Majalah Warta Anggaran Edisi 24 - Direktorat Jenderal Anggaran ...
Majalah Warta Anggaran Edisi 24 - Direktorat Jenderal Anggaran ...
Majalah Warta Anggaran Edisi 24 - Direktorat Jenderal Anggaran ...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
anggaran
SAMBUTAN<br />
MENTERI KEUANGAN<br />
foto: VIVAnews<br />
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga sampai dengan saat ini kita dapat terus<br />
berkarya dan berkinerja untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara kita tercinta.<br />
Sampai dengan pertengahan tahun 2012 ini, berbagai peristiwa telah terjadi dan memberi pengaruh terhadap pelaksanaan tugas<br />
kita semua. Kita harus dapat mengantisipasi peristiwa-peristiwa ini dengan cermat dan tentu saja dapat memberikan solusi yang<br />
cerdas terhadap permasalahan yang ada.<br />
Pertama, salah satu kebijakan yang diambil Pemerintah dalam APBN Perubahan 2012 adalah dengan melakukan pemotongan<br />
belanja Kementerian/Lembaga, pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL) untuk pengembangan pembangunan infrastruktur,<br />
anggaran belanja tambahan, realokasi dari bagian anggaran 999.08 ke bagian anggaran K/L, perubahan anggaran pendidikan, dan<br />
pemanfaatan hasil optimalisasi non pendidikan APBN-P Tahun <strong>Anggaran</strong> 2012.<br />
Dapat saya sampaikan bahwa pemotongan belanja K/L menggunakan prinsip “sharing the participation” yang dimaksudkan untuk<br />
mendukung kebutuhan pembiayaan kompensasi kepada masyarakat. Selain itu juga pemotongan anggaran belanja<br />
Kementerian/Lembaga dimaksudkan untuk meningkatkan quality of spending.<br />
Kebijakan Pemerintah tersebut diambil dengan maksud agar dana hasil optimalisasi dapat dimanfaatkan untuk program/kegiatan<br />
yang dapat diukur output dan outcomenya dan dapat memperkuat pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional dalam<br />
Rencana Kerja Pemerintah Tahun <strong>Anggaran</strong> 2012. Hal penting lainnya adalah bahwa dana optimalisasi dapat dimanfaatkan untuk<br />
mendukung program-program pengurangan kemiskinan dan mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan<br />
Kemiskinan di Indonesia (MP3KI).<br />
Saya sangat mengharapkan agar semua pihak terkait (Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga) dapat memberikan<br />
dukungan terhadap kebijakan yang diambil Pemerintah tersebut. Berikanlah karya terbaik Saudara-Saudara sekalian dengan kerja<br />
keras dan kerja cerdas berlandaskan nilai-nilai Kementerian Keuangan agar kebijakan yang diambil Pemerintah dapat dilaksanakan<br />
dengan baik dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.<br />
Kedua, sampai dengan pertengahan tahun 2012 kita dikejutkan dengan terjadinya berbagai kasus penyelewengan dalam<br />
pelaksanaan program dan kegiatan yang didanai dari APBN. Penyelewengan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak<br />
bertanggung jawab berimplikasi bagi pegawai Kementerian Keuangan khususnya rekan-rekan pada <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong>.<br />
Namun saya yakin dengan integritas dan profesionalisme pegawai-pegawai pada <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong> dapat<br />
bertanggung jawab atas segala pelaksanaan yang terjadi.<br />
Dari kasus-kasus yang tejadi, saya berharap kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang berharga serta terus<br />
melakukan evaluasi atas apa yang telah kita kerjakan. Melalui media ini, saya meminta kepada rekan-rekan di <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
<strong>Anggaran</strong> untuk tetap berjuang dan bekerja keras serta lebih berhati-hati dan cermat dalam melakukan penelaahan anggaran<br />
bersama rekan-rekan dari Kementerian/Lembaga. Kepada mitra kerja Kementerian Keuangan, saya ingin mengajak untuk selalu<br />
bersama-sama menjaga integritas dan bekerja dengan profesional dalam mewujudkan pengalokasian anggaran yang lebih<br />
transparan dan akuntabel sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Saya yakin, kita<br />
semua dapat memberikan kinerja yang optimal dan mewujudkan good governance dalam pengelolaan anggaran negara.<br />
Akhir kata, semoga majalah <strong>Warta</strong> <strong>Anggaran</strong> dapat menjadi sumber informasi tentang segala hal terkait penganggaran bagi<br />
seluruh mitra kerja.<br />
Agus D.W. Martowardojo<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
3
DAFTAR ISI<br />
LAPORAN UTAMA<br />
Performance-based Contract:<br />
Solusi Pekerjaan Perawatan Jalan<br />
Milestone Pembangunan Infrastruktur<br />
Sejarah dan Perkembangan Public Private<br />
Partnership (PPP) di Indonesia<br />
APBN Perubahan 2012<br />
PERENCANAAN<br />
ANGGARAN<br />
Anomali Subsidi BBM<br />
PNBP<br />
USO:<br />
Program Pembangunan Infrastuktur<br />
Telekomunikasi<br />
di Pedesaan<br />
6<br />
13<br />
17<br />
20<br />
25<br />
28<br />
foto: dok. pribadi<br />
PERISTIWA<br />
BERITA<br />
Reward and Punishment<br />
Langkah-Langkah <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
<strong>Anggaran</strong> dalam Penyusunan Pagu Indikatif<br />
Tahun 2013<br />
32<br />
37<br />
38<br />
SISTEM PENGANGGARAN<br />
Standar Biaya,<br />
Kemana Dikembangkan?<br />
Mengkaji Kembali Reformasi Sistem Penganggaran,<br />
Bagaimana Memperkuat Keterkaitan Kebijakan<br />
Makro-Mikro Dalam Implementasi Kebijakan<br />
<strong>Anggaran</strong> Pemerintah<br />
Mendudukkan Belanja Modal<br />
39<br />
42<br />
48<br />
RENUNGAN<br />
ENGLISH CORNER<br />
POJOK FOTO<br />
RESENSI<br />
INTERMEZO<br />
51<br />
52<br />
54<br />
58<br />
59<br />
foto: dok. pribadi<br />
4 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
SALAM REDAKSI<br />
anggaran<br />
Pembaca yang budiman,<br />
Kondisi infrastruktur di Indonesia masih memerlukan perbaikan sana sini.<br />
Apabila kita bandingkan kualitas infrastruktur jalan di Indonesia dengan<br />
negeri jiran, Indonesia berada pada peringkat 90 pada tahun 2010-2011,<br />
sedangkan Thailand pada peringkat 46 dan Malaysia pada peringkat 27.<br />
Laporan utama akan mengangkat topik pada penerbitan <strong>Warta</strong> <strong>Anggaran</strong><br />
<strong>Edisi</strong> <strong>24</strong>.Pembaca kami ajak untuk memahami bagaimana perkembangan<br />
pembangunan infrastruktur di Indonesia melalui beberapa tulisan dan ulasan<br />
dari para penulis kami.<br />
Pada rubrik Sistem Penganggaran, kami menurunkan tulisan tentang<br />
Reformasi Sistem Penganggaran yang mengulas tentang bagaimana<br />
memperkuat keterkaitan kebijakan makro-mikro dalam implementasi<br />
kebijakan anggaran pemerintah. Pembaca juga bisa membaca ulasan tentang<br />
belanja modal dan standar biaya.<br />
Sebagai komitmen Pemerintah untuk terus mengedukasi mitra kerja, kami<br />
meliput kegiatan-kegiatan sosialisasi yang dilakukan <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
<strong>Anggaran</strong> kepada mitra kerjanya. Pada bagian lain, salah seorang pegawai<br />
pada Ditjen <strong>Anggaran</strong> akan berbagi pengalaman ketika mengamati<br />
bagaimana sistem pendidikan Sekolah Dasar di Jepang dan<br />
membandingkannya dengan sistem pendidikan di Indonesia yang kami<br />
tuangkan dalam English Corner.<br />
Sebagai penyeimbang tulisan-tulisan tentang penganggaran, kami ajak<br />
Pembaca menelusuri keindahan alam dan budaya Indonesia melalui foto-foto<br />
perjalanan.<br />
Akhirnya, selamat membaca dan menikmati ulasan-ulasan kami. Semoga<br />
majalah <strong>Warta</strong> <strong>Anggaran</strong> dapat memberi manfaat dan menambah<br />
pengetahuan para Pembaca setia kami.<br />
Salam<br />
PENGARAH<br />
Direktur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />
PENANGGUNG JAWAB<br />
Sekretaris Ditjen <strong>Anggaran</strong><br />
REDAKTUR<br />
Meriyam Megia Shahab<br />
REDAKTUR PELAKSANA<br />
Rini Ariviani F. – Langgeng Suwito – Waskito –<br />
Arief Masdi – M. Indra Zakaria Tarigan –<br />
Sunawan Agung S. – Ahmad Junaidi –<br />
Arif Kelana Putra – Robby Martaputra –<br />
Ade Permadi<br />
PENYUNTING<br />
I.G.A Krisna Murti<br />
Eko Widyasmoro<br />
Hisyami Adib Asyrofi<br />
Mujono Basuki<br />
DESAIN GRAFIS DAN FOTOGRAFER<br />
Fransiskus Edy Santoso<br />
Wirawan Setiadji<br />
Dana Hadi<br />
KEUANGAN<br />
Albert Trisija<br />
TATA USAHA DAN DISTRIBUSI<br />
Rully Wirastaningrum<br />
Faisal Khabibi<br />
Fadly Anshory Lubis<br />
Dimas Abdilla<br />
Redaksi menerima artikel untik dimuat dalam majalah ini.<br />
Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1.5 maksimal 5 halaman.<br />
Artikel dapat dikirim ke wartaanggaran@gmail.com<br />
Isi majalah tidak mencerminkan kebujakan <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />
ALAMAT<br />
Gedung Sutikno Slamet Lt.11<br />
Jl. Dr. Wahidin no. 1<br />
Jakarta 10710<br />
Telepon: (021) 3435 7505<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
5
PERFORMANCE-BASED CONTRACT:<br />
SOLUSI PEKERJAAN PERAWATAN JALAN<br />
Oleh : Mahmudi<br />
Pelaksana pada <strong>Direktorat</strong> <strong>Anggaran</strong> I<br />
Coba simak beberapa judul berita di internet ini: “Jalan Tergenang Warga<br />
Meradang”, “Ganasnya Jalur Pantura”, atau “Jalur Cilegon Merak Tambal<br />
Sulam”. Ketiganya menggambarkan kerusakan ruas-ruas jalan di beberapa<br />
tempat di Indonesia. Jika membandingkan kualitas infrastruktur jalan di<br />
Indonesia dengan negeri jiran, Indonesia mempunyai peringkat 90 pada<br />
tahun 2010-2011, bandingkan dengan Thailand pada posisi 46 dan Malaysia<br />
pada posisi 27. Berdasarkan kondisi tersebut, tentu saja kinerja layanan jalan<br />
di Indonesia sering dikeluhkan banyak pihak, baik oleh dunia usaha maupun<br />
masyarakat pada umumnya.<br />
6<br />
foto: sxc.hu
LAPORAN UTAMA<br />
akta lain, penggunaan moda<br />
transportasi angkutan barang di<br />
FIndonesia saat ini tidak seimbang.<br />
Pergerakan angkutan barang 90%<br />
didominasi oleh moda transportasi darat<br />
melalui jalan. Apabila dikaitkan dengan<br />
kondisi jalan yang ada, sebagian<br />
diantaranya membawa muatan melebihi<br />
kapasitas yang ditentukan. Implikasinya,<br />
Kerusakan jalan semakin cepat dan parah.<br />
Bukannya Pemerintah tinggal diam<br />
melihat kondisi ini. Pemerintah telah<br />
m e n g a n g g a r k a n b i a y a u n t u k<br />
pembangunan dan perawatan jalan setiap<br />
tahun yang relatif besar. Namun<br />
demikian, kebutuhan dana yang ideal<br />
belum terpenuhi, untuk menjaga seluruh<br />
aset jalan dalam kondisi mantap.<br />
P e r l u a d a t e r o b o s a n b a r u ,<br />
mendayagunakan dana perawatan jalan<br />
yang ada, dengan hasil yang memuaskan.<br />
Nah, Pemerintah menawarkan cara baru<br />
pelaksanaan kegiatan perawatan jalan<br />
melalui penerapan performance-based<br />
contract (PBC).<br />
Konsep Dasar PBC<br />
Penerapan PBC untuk pekerjaan<br />
perawatan jalan, telah menggeser kriteria<br />
penilaian kinerja pemeliharaan jalan.<br />
Semula fokus kepada input dan output,<br />
menjadi fokus terhadap kenyamanan<br />
pengguna jalan (customer oriented<br />
outcomes). Dasar penilaian kinerja<br />
kontraktor tidak terletak pada jumlah<br />
ouput yang dikerjakan. Pencapaian level of<br />
services yang diberikan oleh kontraktor<br />
adalah dasar penilaian kinerjanya.<br />
Tandanya berupa indikator kinerja<br />
minimal yang ditetapkan dalam kontrak.<br />
Definis PBC menurut Bank Dunia ialah<br />
kontrak yang mendasarkan pembayaran<br />
untuk biaya manjemen dan pemeliharaan<br />
jalan secara langsung dihubungkan<br />
dengan kinerja kontraktor dalam<br />
memenuhi indikator kinerja minimum<br />
yang ditetapkan. Secara bebas, PBC dapat<br />
diterjemahkan pula sebagai produk akhir<br />
yang pencapaiannya sepenuhnya<br />
ditentukan oleh kontraktor dan<br />
pembayaran kontrak ditentukan oleh<br />
seberapa baik kontraktor berhasil<br />
memenuhi standar kinerja minimal yang<br />
Penyelenggara<br />
Jalan<br />
(Pemerintah)<br />
Pengguna Jalan<br />
Kontraktor<br />
Tabel 1 : Keuntungan dan Kerugian Penerapan PBC<br />
Keuntungan<br />
a. potensi penghematan biaya nilai manfaat<br />
yang lebih besar (economies of scale) apabila<br />
diterapkan pada pekerjaan yang bersifat<br />
"integrated full service" dengan jangka waktu<br />
kontrak yang relatif panjang. Manfaat :<br />
penghematan biaya yang signifikan;<br />
peningkatan kualitas jalan; jaminan kontrak<br />
pengelolaan; dan pemeliharaan asset jalan.<br />
b. mengurangi frekuensi klaim dan<br />
amandemen kontrak akibat perubahan<br />
kuantitas pekerjaan<br />
c. fokus pelanggan karena imbalan<br />
pembayaran kepada kontraktor didasarkan<br />
pada indikator kinerja yang diinginkan oleh<br />
pemilik sekaligus oleh pengguna jalan<br />
d. mengurangi beban kerja penyelenggara<br />
jalan, karena sebagian pekerjaan sudah<br />
diambil alih oleh kontraktor;<br />
e. adanya kepastian kebutuhan pembiayaan<br />
dan pendanaan pemeliharaan jalan dalam<br />
jangka panjang;<br />
f. peningkatan transparasi dan akuntabilitas<br />
dalam pengelolaan jalan;<br />
g. meningkatkan kontrol terhadap penegakan<br />
standar kualitas<br />
h. menghemat biaya rehabilitasi jalan;<br />
i. mengurangi risiko bagi pemilik proyek<br />
karena sebagian besar risiko telah digeser<br />
kepada pihak kontraktor.<br />
a. tersedianya sarana jalan dalam kondisi yang<br />
baik dalam jangka panjang;<br />
b. mengurangi biaya yang harus ditanggung<br />
pengguna jalan (waktu tempuh yang lebih<br />
baik dan menurunnya biaya kerusakan<br />
kendaraan).<br />
a. dapat mengembangkan kemampuan inovasi<br />
penyedia jasa dan kemampuan pengguna<br />
jasa dalam pengelolaan kontrak terintegrasi;<br />
b. jaminan terhadap kontrak dalam jangka<br />
panjang;<br />
c. menyediakan potensi peningkatan<br />
keuntungan; dan<br />
d. membuka peluang terhadap pertumbuhan<br />
perusahaan.<br />
Kerugian<br />
a. waktu pengadaan tender bisa menjadi lebih<br />
lama, apalagi bila terjadi dispute/sanggahan<br />
pada waktu proses pengadaan. Lamanya<br />
waktu yang dibutuhkan mengingat banyak<br />
kriteria yang harus dinilai, disamping itu<br />
perlu terlebih dahulu dilakukan inventarisasi<br />
bersama aset dan kondisi eksisting jalan,<br />
sebagai dasar perhitungan biaya kontrak;<br />
b. rasa kehilangan kewenangan kendali bagi<br />
penyelenggara jalan/pengguna jasa;<br />
c. ketidakpastian dalam jangka waktu lama,<br />
karena kendali penyelenggaraan jalan<br />
berada di tangan penyedia jasa;<br />
d. dapat berakibat menutup peluang bagi<br />
penyedia jasa usaha kecil, karena hanya<br />
perusahaan-perusahaan besar yang<br />
umumnya sanggup melaksanakan kontrak<br />
jangka panjang dengan magnitude biaya<br />
yang relatif besar;<br />
e. kemungkinan kehilangan informasi, jika<br />
kontraktor tidak secara detail melaporkan<br />
kondisi dan penanganan aset jalan.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
7
LAPORAN UTAMA<br />
ditetapkan dalam kontrak, dan bukan<br />
pada jumlah pekerjaan dan jasa yang<br />
dikerjakan.<br />
Berbeda dengan metode kontrak<br />
tradisional, pemilik proyek (owner)<br />
biasanya menentukan spesifikasi teknis,<br />
teknologi, bahan baku dan jumlah bahan<br />
baku yang diperlukan, jangka waktu<br />
pelaksanaan pekerjaan, dan pembayaran<br />
kepada kontraktor didasarkan atas<br />
jumlah input yang digunakan. Dengan<br />
PBC pemilik proyek tidak secara rinci<br />
menentukan metode atau material apa<br />
yang digunakan, sebagai gantinya pemilik<br />
proyek menetapkan indikator kinerja<br />
minimum yang harus dipenuhi oleh pihak<br />
kontraktor, misalnya untuk pemeliharaan<br />
jalan tidak ada toleransi adanya lubang<br />
dengan diameter tertentu, tidak boleh<br />
ada retakan, marka jalan harus terlihat<br />
jelas, saluran drainase berfungsi baik dan<br />
sebagainya.<br />
PBC juga menetapkan suatu pendekatan<br />
kontrak yang menyediakan insentif dan<br />
disinsentif atau keduanya kepada<br />
kontraktor untuk mencapai standar<br />
kinerja atau target hasil yang terukur.<br />
Ukuran kinerja dinyatakan dalam tingkat<br />
layanan (level of services) dengan skala<br />
standar kinerja tertentu, termasuk<br />
respon waktu yang diperlukan untuk<br />
penyelesaian pekerjaan, disertai dengan<br />
pemantauan kinerja yang sistematik<br />
(performance monitoring) guna menilai<br />
kinerja kontraktor sebagai dasar<br />
pembayaran kontrak.<br />
Sistem pembayaran pada kontrak PBC<br />
bersifat lumpsum price, kontraktor akan<br />
menerima pembayaran dalam jumlah<br />
yang sama setiap bulannya, kecuali apabila<br />
kontraktor tidak memenuhi standar<br />
kinerja minimal, maka jumlah<br />
pembayaran akan dikurangi sesuai<br />
dengan ketentuan denda dalam kontrak.<br />
Pada jenis kontrak PBC terdapat<br />
ke l e l u a s a a n ko n t r a k t o r u n t u k<br />
menentukan perancangan, proses<br />
manajemen dan metode kerja yang paling<br />
efisien, termasuk penerapan teknologi<br />
inovatif, sehingga membuka peluang<br />
untuk meningkatkan keuntungan karena<br />
kontraktor dapat menghemat biaya<br />
melalui peningkatan efisiensi dan<br />
efektivitas desain, proses, dan teknologi.<br />
Hal ini berbeda dengan jenis kontrak<br />
tradisional tahunan yang umum diadopsi<br />
o l e h Pe m e r i n t a h , y a n g m a s i h<br />
memisahkan tahap desain, konstruksi dan<br />
pemeliharaan, sehingga seringkali terjadi<br />
peningkatan biaya akibat adanya<br />
pekerjaan-pekerjaan tambahan yang<br />
belum teridentifikasi dalam tahap desain,<br />
atau adanya perubahan dasain itu sendiri,<br />
akibatnya risiko meningkatnya biaya<br />
konstruksi dan pemeliharaan sepenuhnya<br />
ditanggung oleh pemilik proyek.<br />
Sebagai pemilik jalan, Pemerintah dapat<br />
menentukan kondisi minimum jalan,<br />
jembatan, dan aset lalu lintas yang harus<br />
dipelihara oleh kontraktor untuk jangka<br />
waktu tertentu. Konsekwensi logis dari<br />
kontrak PBC, terdapat pergeseran /<br />
pengalokasian risiko yang lebih besar<br />
kepada pihak kontraktor dibandingkan<br />
dengan model kontrak tradisional, tetapi<br />
pada saat yang sama membuka peluang<br />
untuk meningkatkan keuntungan melalui<br />
peningkatan efisiensi dan efektivitas<br />
dalam mencapai standar kinerja yang<br />
ditetapkan.<br />
Sebagai gambaran, tabel 1 pada halaman<br />
sebelumnya mengidentifikasi secara rinci<br />
keuntungan dan kerugian penerapan<br />
PBC.<br />
100%<br />
80%<br />
60%<br />
40%<br />
20%<br />
0%<br />
3.43<br />
13.34<br />
33.56<br />
49.67<br />
Grafik 1 : Kondisi Jalan di Indonesia<br />
Tahun 2010<br />
31.06<br />
28.21<br />
34.88<br />
5.85<br />
21.87<br />
31.14<br />
<strong>24</strong>.53<br />
22.46<br />
NASIONAL PROVINSI KABUPATEN<br />
Data dan Fakta Jalan Maupun<br />
Infrastruktur di Indonesia<br />
Jalan-jalan di Indonesia terbagi dalam jalan<br />
nasional, jalan provinsi, dan jalan<br />
kabupaten/kota. Berikut ini data Ditjen<br />
Bina Marga Tahun 2010 tentang kondisi<br />
jalan di Indonesia. Dari panjang jalan<br />
nasional 38.569 km, ditemukan: 3,34%<br />
mengalami rusak berat; 33,56% rusak<br />
ringan; 33,56% dalam kondisi sedang; dan<br />
sisanya 49,67% dalam kondisi baik. Dari<br />
panjang jalan provinsi 48.966 km,<br />
ditemukan: 31,06% dalam kondisi rusak<br />
berat; 28,21% rusak ringan; 34,88%<br />
kondisi sedang; dan sisanya 5,85% dalam<br />
kondisi baik. Adapun panjang jalan<br />
kabupaten/kota 358.713 Km, ditemukan:<br />
21,87% dalam kondisi rusak berat;<br />
31,14% rusak ringan; <strong>24</strong>,53 kondisi<br />
sedang; dan sisanya 22,46% dalam kondisi<br />
baik.<br />
Pada aspek anggaran, alokasi dana untuk<br />
sek tor jalan sudah mengalami<br />
peningkatan dibanding tahun-tahun<br />
sebelumnya. Secara agregat, alokasi dana<br />
Ditjen Bina Marga dan alokasi dana<br />
infrastruktur dalam APBN juga terus<br />
mengalami peningkatan yang cukup<br />
signifikan, terlihat pada tabel dan grafik di<br />
bawah ini.<br />
Penerapan PBC di Indonesia<br />
Tahun 2011, Pemerintah telah<br />
menerapkan jenis kontrak PBC untuk<br />
RUSAK<br />
BERAT<br />
RUSAK<br />
RINGAN<br />
SEDANG<br />
BAIK<br />
8 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
LAPORAN UTAMA<br />
pekerjaan perawatan jalan dengan jangka<br />
waktu 4 tahun. Jalur Pantura ruas<br />
Ciasem-Pamanukan - Provinsi Jawa Barat<br />
sepanjang 21,7 Km dan ruas Demak-<br />
Trengguli - Provinsi Jawa Tengah<br />
sepanjang 12 Km dipilih sebagai pilot<br />
project. Ini juga merupakan bagian dari<br />
Program 100 Hari Kabinet Indonesia<br />
Bersatu Jilid II, sebagai upaya pemerintah<br />
ESELON I<br />
Kementerian<br />
Pekerjaan Umum<br />
033.04. DITJEN BINA<br />
MARGA<br />
TAHUN<br />
ANGGARAN<br />
dalam meningkatkan kinerja layanan jalan.<br />
H a r a p a n n y a , p e n e r a p a n P B C<br />
meningkatkan kualitas jalan di Indonesia,<br />
mengedepankan aspek good governance,<br />
dan sekaligus memenuhi ekspektasi<br />
pengguna jalan terhadap tersedianya<br />
kualitas layanan jalan yang lebih baik.<br />
Kebutuhan dana untuk dua paket<br />
Tabel 2 : Perkembangan Pagu <strong>Anggaran</strong> Ditjen Bina Marga<br />
TA. 2005 s.d. 2011<br />
Sumber Data : Business Intelegence <strong>Anggaran</strong><br />
30,000,000<br />
25,000,000<br />
20,000,000<br />
15,000,000<br />
10,000,000<br />
5,000,000<br />
0<br />
PAGU<br />
REALISASI<br />
2005 5,759,177,525,000 4,896,309,250,362<br />
2006 8,307,813,005,000 7,681,620,469,040<br />
2007 10,802,952,097,000 9,285,616,912,026<br />
2008 16,826,317,204,000 15,741,116,618,017<br />
2009 20,005,785,194,000 19,238,907,785,478<br />
2010 18,341,485,473,000 15,747,090,872,764<br />
2011 27,975,010,155,000 20,417,067,433,211<br />
Grafik 2: Perkembangan Pagu Ditjen Bina Marga<br />
TA. 2005 s.d. 2011<br />
PERKEMBANGAN PAGU DITJEN BINA MARGA TA. 2005 S.D. 2011<br />
2005<br />
2006 2007 2008 2009 2010 2011<br />
PAGU<br />
REALISASI<br />
Pemeliharaan Jalan Ciasem- Pamanukan<br />
dan ruas Jalan Demak- Trengguli masingmasing<br />
adalah sebesar Rp128,9 miliar dan<br />
sebesar Rp74,45 miliar. Penerapan pilot<br />
project pada dua ruas jalan tersebut<br />
menjadi permulaan diterapkannya PBC<br />
untuk skala yang lebih luas. Nantinya,<br />
seluruh jalan-jalan strategis utama seperti<br />
lintas Pantura Jawa, lintas timur Sumatera,<br />
lintas Kalimantan dan lintas barat<br />
Sulawesi, menerapkan kontrak PBC<br />
sebagai upaya membangun konektivitas<br />
nasional dan memperbaiki sistem logistik<br />
nasional.<br />
Di tinjau dari aspek legal, konsep yang<br />
diterapkan dalam kontrak PBC sudah<br />
diakomodir dalam peraturan perundangundangan<br />
di Indonesia, antara lain: a. UU<br />
No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi; b.<br />
Perpres 54 tahun 2010 tentang<br />
Pengadaan Barang dan Jasa; dan c. PMK<br />
No.56/PMK.02/2010 tentang Tatacara<br />
Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun<br />
Jamak (Multiyears Contract). Pasal 16 Ayat<br />
(3), UU No.18/1999 menyatakan,<br />
“Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan,<br />
dan pengawasan dapat dilakukan secara<br />
terintegrasi dengan memperhatikan<br />
besaran pekerjaan atau biaya, penggunaan<br />
teknologi canggih, serta risiko besar bagi<br />
para pihak ataupun kepentingan umum<br />
dalam satu pekerjaan konstruksi”.<br />
Penjelasan Pasal 6 huruf e, Perpres 54<br />
tahun 2010 menyebutkan secara eskplisit<br />
jenis kontrak PBC. Demikian halnya<br />
dengan PMK No.56/PMK.02/2010, di<br />
sana juga telah tentang PBC.<br />
130.0<br />
110.0<br />
90.0<br />
70.0<br />
50.0<br />
30.0<br />
10.0<br />
23.7<br />
2.3<br />
21.4<br />
Grafik 3 : Perkembangan Alokasi Dana Infrastruktur<br />
TA. 2005 s.d. 2011<br />
Non K/L<br />
K/L<br />
54.0<br />
50.0<br />
7.9 8.9<br />
42.2<br />
45.1<br />
(10.0) 2005 2006 2007 2008 2009 2010<br />
Keterangan : Alokasi terbesar terkait infrastruktur adalah Kemen PU, Kemenhub,<br />
Kemen ESDM dan non K/L (alokasi pada Non K/L a.l. land capping,<br />
DAK untuk infrastruktur, PMN untuk infrastruktur).<br />
70.0<br />
10.6<br />
59.4<br />
78.9<br />
13.2<br />
65.7<br />
93.4<br />
25.8<br />
67.5<br />
123.8<br />
18.6<br />
105.1<br />
2011<br />
Harapannya, penerapan<br />
PBC meningkatkan<br />
kualitas jalan di Indonesia,<br />
mengedepankan aspek<br />
good governance, dan<br />
sekaligus memenuhi<br />
ekspektasi pengguna jalan<br />
terhadap tersedianya<br />
kualitas layanan jalan yang<br />
lebih baik.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
9
LAPORAN UTAMA<br />
Dari aspek sistem penganggaran, prinsip<br />
dasar PBC berjalan seiring dengan prinsip<br />
Performance Based Budgeting (PBB). PBB<br />
adalah suatu sistem perencanaan,<br />
penganggaran, dan evaluasi yang<br />
menekankan hubungan antara uang yang<br />
dianggarkan dan hasil yang diharapkan.<br />
PBB mempunyai ciri-ciri: a. fokus pada<br />
hasil, b. memberikan fleksibilitas kepada<br />
manajer untuk menentukan cara terbaik<br />
untuk mencapai hasil, dan c. memiliki<br />
perspektif jangka panjang. Contoh<br />
penerapan prinsip dasar PBC yang sejalan<br />
d e n g a n p r i n s i p P B B , ko n t r a k<br />
pemeliharaan jalan diukur berdasarkan<br />
kualitas layanan yang didefinisikan<br />
menurut perspektif pengguna jalan yaitu:<br />
a. kecepatan rata-rata kendaraan<br />
( perbaikan wak tu tempuh), b.<br />
kenyamanan pengendara dan c.<br />
keselamatan pengendara. Hal ini<br />
menunjukan bahwa PBC juga fokus<br />
terhadap hasil. Pembayaran yang<br />
dikaitkan dengan kinerja kontraktor<br />
dalam memenuhi standar kinerja<br />
tertentu menunjukan bahwa PBC juga<br />
menekankan hubungan antara uang yang<br />
dianggarkan dengan hasil yang<br />
diharapkan. Selanjutnya, PBC juga<br />
memberikan ruang inovasi yang lebih luas<br />
untuk menentukan cara terbaik dalam<br />
mencapai hasil dan memiliki perspektif<br />
jangka panjang karena kontrak-kontrak<br />
PBC umumnya berjangka panjang.<br />
keahlian personil penyelenggara jalan,<br />
kapasitas industri kontraktor dan<br />
konsultan yang memadai, kepastian<br />
pendanaan jangka panjang, adaptif<br />
dengan kondisi lokal dan jauh dari<br />
“intervensi” politik. Hal penting lain yang<br />
menjadi kunci sukses penerapan PBC di<br />
Indonesia apabila disertai dengan adanya<br />
public transport reform, hal ini penting<br />
mengingat sektor transportasi/angkutan<br />
di Indonesia, termasuk didalamnya<br />
pengaturan fungsi dan kelas jalan belum<br />
sepenuhnya regulated.<br />
Namun demikian, keberhasilan<br />
penerapan PBC ini membutuhkan<br />
beberapa persyaratan, seperti: a.<br />
Kerjasama sama dan komunikasi yang<br />
harmonis antara pengguna dan penyedia<br />
jasa; b. Komitmen pimpinan yang<br />
d i d u k u n g o l e h ke a h l i a n s t a f<br />
penyelenggara jalan; c. Kemampuan<br />
industri jasa kontraktor dan konsultan<br />
yang mumpuni; d. Adanya jaminan<br />
ketersediaan anggaran; dan e. Penerapan<br />
yang tepat sesuai dengan tingkat<br />
kompleksitas yang dibutuhkan dan<br />
kondisi setempat dan bila perlu dilakukan<br />
pentahapan transisional. Kerjasama<br />
merupakan hal yang sangat penting<br />
terutama pada tahap awal implementasi,<br />
sebagai bagian dari proses pembelajaran.<br />
Suasana kondusif dan terbuka menjadi<br />
factor utama untuk mencegah terjadinya<br />
klaim dan perselisihan kontrak yang rumit<br />
dikemudian hari,<br />
Studi Bank Dunia menemukan bahwa<br />
setiap US$1 yang tidak diinvestasikan<br />
p ad a p e m e l i h a r a n j a l a n a k a n<br />
mengakibatkan peng guna jalan<br />
menambah pengeluaran US$3 (biaya<br />
kerusakan sparepart dll) dan Pemerintah<br />
juga harus menambah US$2 untuk<br />
perbaikan jalan. Inilah yang menguatkan<br />
kita bahwa harus ada dana perawatan<br />
yang cukup ideal dan cara pelaksanaannya<br />
yang tepat, agar dampak pemborosan<br />
karena kondisi jalan yang rusak dapat<br />
diperkecil.<br />
Namun demikian, soal kontrak PBC yang<br />
berjangka panjang masih memerlukan<br />
kajian mendalam mengenai dasar hukum<br />
yang mengatur pelaksanaan kontrak<br />
jangka panjang yang dapat melampaui<br />
masa/periode Pemerintahan.<br />
Dari aspek pendanaan, penerapan PBC<br />
dalam skala yang luas membutuhkan<br />
dukungan pendanaan yang relatif besar,<br />
karena umumnya sebagian jalan nasional<br />
membutuhkan rehabilitasi awal, bahkan<br />
untuk kondisi jalan tertentu yang<br />
mengalami rusak berat perlu peningkatan<br />
struktur. Penerapan PBC disamping<br />
membutuhkan dukungan politik<br />
anggaran sebagai jaminan ketersediaan<br />
anggaran dalam jangka panjang, juga<br />
menawarkan kepastian penyerapan<br />
anggaran yang konstan setiap bulan,<br />
sehingga penyerapan anggaran yang<br />
biasanya menumpuk diakhir triwulan<br />
keempat dapat dihindarkan.<br />
Dalam implementasinya, penerapan PBC<br />
memerlukan persyaratan awal antara<br />
lain : adanya komitmen yang lebih besar<br />
dari pemerintah, kemampuan dan<br />
Referensi :<br />
1. Liautaud, G. 2004. "Maintaining Roads: Experience with Output-based Contracts in<br />
Argentina." Washington, D.C.: The World Bank.<br />
2. Pakkala, Pekka. 2002. "Innovative Project Delivery Methods for Infrastructure.<br />
International Perspective." Helsinki 2002. Finnish Road Enterprise<br />
3. Pakkala, P. 2005. "Performance-based Contracts – International Experiences." Finnish Road<br />
Administration. Presentation at the TRB Workshop on “Performance-based<br />
Contracting.” April 27, Washington, D.C.<br />
4. Rahadian, Hedy.” Langkah Awal Menuju Performance Based Contract Melalui<br />
Extended Warranty Period.” Tidak diterbitkan : Ditjen Bina Marga Kementerian PU;<br />
5. Queiroz, Carlos. 2000. "Contractual Procedures to Involve the Private Sector in Road<br />
Maintenance and Rehabilitation." <strong>24</strong>th International Baltic Road Conference.<br />
6. World Bank. 2004. “Procurement under IBRD Loans and IDA Credits: Guidelines.”<br />
Washington, D.C.: World Bank.<br />
7. World Bank. 2006. “Procurement of Works and Services under Output- and Performancebased<br />
Road Contracts: Sample Bidding Document.” October 2006. Washington, D.C.:<br />
World Bank.<br />
8. Zietlow, Guntar. 2004. “Implementing Performance-based Road Management and<br />
Maintenance Contracts in Developing Countries – An Instrument of German Technical<br />
Cooperation.” November 2004. Eschborn, Germany.<br />
10 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
LAPORAN UTAMA<br />
PENGALAMAN NEGARA LAIN<br />
enis kontrak PBC untuk pekerjaan<br />
pemeliharaan jalan telah lebih dahulu<br />
J berkembang dan diimplementasikan di<br />
beberapa negara antara lain di kawasan<br />
Amerika Latin, Australia, Selandia Baru,<br />
dan Amerika Utara pada awal hingga<br />
pertengahan tahun 1990. Sejak itu<br />
penerapan PBC untuk pekerjaan<br />
pemeliharan jalan telah menyebar ke<br />
Eropa, Asia, dan bahkan negara-negara<br />
Afrika, yang diperkenalkan oleh lembagalembaga<br />
pendanaan pembangunan<br />
internasional seperti Bank Dunia (WB)<br />
dan Bank Pembangunan Asia (ADB),<br />
serta terus diperkenalkan di banyak<br />
negara di dunia termasuk Indonesia dan<br />
dimasa depan bukan tidak mungkin atas<br />
pertimbangan efisiensi dan hasil akhir<br />
yang lebih baik, seluruh pengadaan jasa<br />
p e ke r j a a n p e m e l i h a r a a n j a l a n<br />
nasional/provinsi/ /kabupaten/kota di<br />
Indonesia akan menerapkan jenis kontrak<br />
PBC.<br />
Jenis kontrak berbasis kinerja (PBC)<br />
untuk pekerjaan pemeliharaan jalan,<br />
pertama kali diujicobakan di British<br />
Columbia, Kanada pada tahun 1988<br />
(Zietlow 2004). Selanjutnya, kontrak<br />
berbasis kinerja diperkenalkan dan<br />
diadopsi oleh dua provinsi Kanada lainnya<br />
yaitu Alberta dan Ontario.<br />
Pada tahun 1995 Australia meluncurkan<br />
PBC pertama untuk pemeliharaan jalan di<br />
Kota Sydney. Selanjutnya, New South<br />
Wales, Tasmania, dan Australia Selatan<br />
dan Australia Barat mulai menerapkan<br />
kontrak berbasis kinerja dengan<br />
pendekatan "hybrid", yaitu pekerjaan<br />
rehabilitasi awal (initial rehabilitation)<br />
menggunakan kontrak tradisional “input<br />
based” dan untuk pemeliharaannya<br />
menggunakan jenis kontrak PBC.<br />
Pada tahun 1998 PBC diperkenalkan di<br />
New Zealand untuk pemeliharaan jalan<br />
nasional sepanjang 405 km (Zietlow<br />
2004). Saat ini, lebih dari 15% dari<br />
jaringan nasional Selandia Baru telah<br />
menggunakan jenis kontrak PBC.<br />
Selanjutnya, Negara Amerika Serikat<br />
pertama kali diperkenalkan PBC di<br />
Negara Bagian Virginia pada tahun 1996.<br />
Sejak itu, empat negara-negara lain<br />
(Alaska, Florida, Oklahoma, Texas) dan<br />
Wa s h i n g ton, D C s u d a h mulai<br />
menerapkan pendekatan PBC untuk<br />
pemeliharaan jalan raya, jembatan,<br />
terowongan, rest area dan jalan-jalan<br />
perkotaan.<br />
Di kawasan Amerika Latin, penerapan<br />
PBC mulai dipelopori oleh Argentina<br />
pada tahun 1995 dan sampai dengan<br />
tahun 2004, sebanyak 44% jaringan jalan<br />
di Argentina telah menggunakan kontrak<br />
berbasis kinerja. Pada pertengahan tahun<br />
1990-an Uruguay juga melakukan ujicoba<br />
PBC pertama pada sebagian kecil dari<br />
jaringan nasional dan kemudian di jalanjalan<br />
kota utama dari Montevideo. Tak<br />
lama setelah itu, negara-negara Amerika<br />
Latin, seperti Brazil, Chili, Kolombia,<br />
Ekuador, Guatemala, Meksiko dan Peru,<br />
juga mulai mengadopsi pendekatan<br />
kontrak berbasis kinerja.<br />
Secara bertahap, trend ini telah<br />
menyebar ke negara-negara maju dan<br />
berkembang lainnya di Eropa, Afrika dan<br />
Asia, misalnya, UK, Swedia, Finland,<br />
Belanda, Norwegia, Perancis, Estonia<br />
(63% dari jalan nasional), Serbia dan<br />
Montenegro (8% jalan nasional), Afrika<br />
Selatan (100% dari nasional jalan),<br />
Zambia, Chad (17% dari semua jalan<br />
musim), Filipina (231 km jalan nasional).<br />
Dari pengalaman negara-negara yang<br />
telah menerapkan PBC untuk pekerjaan<br />
perawatan jalan, dilaporkan terdapat<br />
penghematan dibanding dengan<br />
menggunakan jenis kontrak tradisional,<br />
sebagaimana tabel 3 berikut :<br />
Tabel 3 : Perbandingan Prosentase<br />
Penghematan di Berbagai Negara<br />
N0. NEGARA PENGHEMATAN<br />
1. Norwegia Sekitar 20-40%<br />
2. Swedia Sekitar 30%<br />
3. Finlandia Sekitar 30-35%, biaya/km<br />
turun 50%<br />
4. Belanda Sekitar 30—40%<br />
5. Estonia Sekitar 20—40%<br />
6. Inggris Minimal 10%<br />
7. Australia 10-40%<br />
8. Selandia Baru Sekitar 20-30%<br />
9. USA 10-15%<br />
10. Kanada 10-20%<br />
Sumber Pakkala, 2005<br />
Saat ini, persiapan untuk meluncurkan<br />
program PBC sedang berlangsung di<br />
Albania, Cape Verde, Chad, Madagaskar,<br />
Tanzania, Burkina Faso, India, Kamboja,<br />
Thailand, Vietnam dan Yaman. Beberapa<br />
negara di atas menggunakan "murni"<br />
kontrak berbasis kinerja, sementara yang<br />
lain (misalnya, Finlandia, Afrika Selatan,<br />
Serbia dan Montenegro) menggunakan<br />
kontrak "hybrid".<br />
Adapun contoh penerapan indikator<br />
kinerja dalam kontrak pemeliharaan jalan<br />
dengan PBC yang diterapkan oleh negara<br />
di kawasan Amerika Latin, adalah<br />
sebagaimana tabel 4 terlampir.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
11
LAPORAN UTAMA<br />
Tabel 4 : Contoh Penerapan Indikator Kinerja<br />
di Negara-Negara Amerika Latin<br />
KLASIFIKASI ASET KOMPONEN INDIKATOR KINERJA<br />
Lapisan Aspal<br />
(Pavement)<br />
Lapisan Kerikil<br />
(Gravel surfaces)<br />
Bahu Jalan<br />
(Shoulders)<br />
Drainase (Drainage<br />
system)<br />
Lubang (Potholes)<br />
Kekesatan Aspal<br />
Kekesatan bitumen<br />
Alur<br />
Retak<br />
Lubang<br />
Kekesatan<br />
Ketebalan lapisan kerikil<br />
Lubang<br />
Retak<br />
Sambungan Jalan<br />
Struktur penghalang<br />
Tidak boleh berlubang<br />
IRI < 2.0 mts/km (Argentina), IRI < 2.8 (Uruguay)<br />
IRI < 2.9 (Argentina), IRI < 3.4 (Uruguay)<br />
< 12mm (Argentina), < 10mm (Uruguay, Chile)<br />
Ditambal/ditutup<br />
Tidak boleh berlubang<br />
IRI < 6 mts/km (Uruguay), IRI
MILESTONE<br />
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR<br />
Oleh : Wahyu Dede Kusuma, SE.<br />
Staf Subdirektorat Analisis Ekonomi Makro dan Pendapatan Negara,<br />
<strong>Direktorat</strong> Penyusunan APBN<br />
Tidak ada salahnya kita berguru dari saudara tua, Cina, dalam akselerasi<br />
pembangunan ekonomi. Negara yang terkenal gempal dengan jumlah<br />
penduduk sekitar lima kali penduduk Indonesia, sekarang bergerak begitu<br />
lincah dalam kancah global. Kelincahan tersebut bahkan disinyalir telah<br />
menyaingi dominasi Amerika dan Eropa dalam perekonomian dunia.<br />
foto: sxc.hu<br />
13
LAPORAN UTAMA<br />
nfrastruktur menjadi kunci dari<br />
perekonomian Cina. Pembangunan<br />
Iinfrastruktur telah memberikan tiga<br />
manfaat besar bagi Cina. Pertama,<br />
infrastruktur telah meningkatkan fasilitas<br />
produksi dan menstimulasi aktivitas<br />
ekonomi. Kedua, pembangunan tersebut<br />
telah mengurangi biaya transaksi dan<br />
biaya transportasi yang berdampak pada<br />
peningkatan daya saing. Ketiga,<br />
pembangunan infrastruktur telah<br />
membuka akses kesempatan kerja bagi<br />
golongan bawah.<br />
sempat mendekati double digit di tahun<br />
1995. Namun Angka tersebut terus<br />
menurun dengan rata-rata 5 tahun<br />
terakhir hanya sekitar 4% (lihat grafik).<br />
Kondisi pengeluaran infrastruktur Cina<br />
justru berkebalikan. Pada saat krisis,<br />
pengeluaran infrastruktur Cina sempat<br />
hanya sekitar 5,7%. Namun setelah itu,<br />
pengeluaran tersebut terus tumbuh<br />
sampai level double digit.<br />
Sampai sejauh ini terobosan dalam<br />
meningkatkan pengeluaran infrastruktur<br />
di Indonesia terus dilakukan. Dimulai dari<br />
pembangunan infrastruktur. Pengeluaran<br />
infrastruktur yang diharapkan tembus<br />
pada level double digit terhadap PDB,<br />
ternyata hanya terealisasi tidak lebih dari<br />
5%. Faktor internal seperti permasalahan<br />
regulasi, perizinan dan harmonisasi<br />
peraturan masih menjadi masalah yang<br />
harus diselesaikan. Selain itu Faktor<br />
eksternal seperti krisis yang melanda<br />
Amerika Serikat dan sebagian negara<br />
maju turut membuat investor urung diri<br />
dalam pembiayaan infrastruktur yang<br />
notabene syarat dengan risiko yang besar.<br />
Dengan pengeluaran yang besar untuk<br />
pembangunan infrastruktur di awal<br />
tahun 1990, Cina telah menikmati<br />
pertumbuhan ekonomi double digit<br />
menjelang tahun 2000. Selain itu, imbas<br />
dari pembangunan infrastruktur juga<br />
telah meningkatkan akses golongan<br />
bawah. Di awal tahun 1980, angka<br />
kemiskinan di Cina mencapai 60%. Angka<br />
ini menurun drastis menjadi hanya 13%<br />
pada awal tahun 2000.<br />
Berkaca dari pengalaman Cina,<br />
Infrastruktur tentu juga menjadi kunci<br />
dalam pertumbuhan ekonomi dan<br />
penanggulangan kemiskinan di Indonesia.<br />
Indonesia membutuhkan Milestone<br />
dalam pembangunan infrastruktur. Hal ini<br />
disebabkan karena pembangunan<br />
infrastruktur Indonesia masih jauh<br />
tertinggal. Bahkan dari dua tetangga<br />
sejawat (Malaysia dan Thailand) pun<br />
Indonesia juga jauh tertinggal (lihat tabel).<br />
Salah satu penyebab utama lambatnya<br />
pembangunan infrastruktur di Indonesia<br />
karena rendahnya pengeluaran<br />
infrastruktur. Persentase pengeluaran<br />
infrastruktur Indonesia terhadap PDB<br />
Tabel Peringkat Pembangunan Infrastruktur<br />
2010-2011 Indonesia Malaysia Philippines Thailand China<br />
Quality of overall infrastructure 90 27 113 46 72<br />
Quality of roads 84 21 114 36 53<br />
Quality of railroad infrastructure 56 20 97 57 27<br />
Quality of port infrastructure 96 19 131 43 67<br />
Quality of air transport infrastructure 69 29 112 28 79<br />
Available airline seat kilometers 21 22 28 16 2<br />
Quality of electricity supply 97 40 101 42 52<br />
Fixed telephone lines 82 80 106 93 57<br />
Mobile telephone subscription 98 47 88 32 111<br />
Sumber: Global Competitive Report<br />
10%<br />
9%<br />
8%<br />
7%<br />
6%<br />
5%<br />
4%<br />
3%<br />
2%<br />
1%<br />
0%<br />
1994<br />
1995<br />
1996<br />
1997<br />
1998<br />
1999<br />
2000<br />
Sumber: Perkiraan World Bank & Morgan Stanley Research. (2010-2012 diolah).<br />
2001<br />
Indonesia Infrastructure summit di tahun<br />
2005, Pemerintah berupaya menggaet<br />
peran serta BUMN, swasta nasional dan<br />
investasi luar negeri dalam membiayai<br />
pembangunan infrastruktur. Peran<br />
tersebut diharapkan dapat meningkatkan<br />
akselerasi dalam pembangunan<br />
infrastruktur yang selama ini di topang<br />
oleh APBN.<br />
Namun Indonesia Infrastructure summit<br />
belum mampu berperan optimal dalam<br />
meningkatkan peran serta pihak-pihak<br />
selain Pemerintah dalam membiayai<br />
2002<br />
2003<br />
2004<br />
2005<br />
2006<br />
2007<br />
2008<br />
2009<br />
2010<br />
2011<br />
2012<br />
Ke k u r a n g o p t i m a l a n I n d o n e s i a<br />
Infrastructure summit tentu tidak<br />
membuat Pemerintah berpasrah diri<br />
dalam pembangunan infrastruktur.<br />
Pemerintah tetap optimis dalam<br />
menggaet peran serta BUMN, swasta<br />
nasional dan investasi luar negeri. Hal ini<br />
terbukti dengan rencana pembangunan<br />
infrastruktur yang tertuang dalam<br />
Rencana Pembangunan Jangka Menengah<br />
(RPJM) 2010-2014.<br />
Dalam RPJM 2010-2014, investasi<br />
infras truk tur yang dibutuhkan<br />
diperkirakan mencapai Rp1.923,7 triliun.<br />
Peran serta swasta diharapkan menjadi<br />
penopang paling besar melebihi APBN.<br />
Pemerintah daerah juga diembankan<br />
tugas yang sebanding dengan BUMN<br />
untuk memenuhi investasi dalam<br />
pembangunan infrastruktur (lihat<br />
diagram).<br />
Pertanyaan yang muncul adalah<br />
bagaimana cara memenuhi kebutuhan<br />
14 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
LAPORAN UTAMA<br />
infrastruktur tersebut? Kembali meninjau<br />
saudara tua, Cina memiliki resep yang<br />
unik dalam memenuhi kebutuhan<br />
Diagram Kebutuhan Investasi Infrastruktur<br />
(triliun rupiah)<br />
2,000<br />
1,800<br />
1,600<br />
1,400<br />
1,200<br />
1,000<br />
800<br />
600<br />
400<br />
200<br />
0<br />
IDR trn<br />
1923.7<br />
2010-2014<br />
Infrastructure<br />
Investment<br />
Needs<br />
Private:<br />
668.<strong>24</strong><br />
SOE: 340.85<br />
Loval Govt:<br />
355.07<br />
Central Govt:<br />
599.54<br />
Estimated<br />
Financing<br />
Capacity<br />
Sumber: Bappenas & Morgan Stanley Research.<br />
investasi infrastruktur. Ada empat<br />
sumber investasi infrastruktur di Cina<br />
yaitu: alokasi anggaran negara, pinjaman<br />
dalam negeri, self raised fund dan<br />
pendanaan luar negeri. Dari empat<br />
sumber tersebut, alokasi anggaran<br />
negara dan pendanaan luar negeri<br />
berkontribusi kecil dalam investasi<br />
infrastruktur Cina. Sedangkan pinjaman<br />
dalam negeri dan self raised fund<br />
berkontribusi sekitar lebih dari 90%.<br />
C i n a b e r h a s i l m e n g u r a n g i<br />
ketergantungan investasi infrastruktur<br />
dari alokasi anggaran negara karena<br />
adanya pembagian peran dengan<br />
pemerintah daerah. Daerah diberi ruang<br />
yang besar dalam mengembangkan<br />
infrastruktur yang diperlukan. Daerah<br />
juga diberi keleluasaan dalam<br />
menghimpun investasi infrastruktur,<br />
diantaranya pinjaman dalam negeri dan<br />
self raised fund. Dengan keleluasaan<br />
tersebut, pemerintah daerah dapat<br />
melakukan akselerasi dengan melakukan<br />
pungutan resmi ataupun kebijakan lokal<br />
dalam menghimpun dana dari<br />
masyarakat. Walhasil, Cina mampu<br />
membangun infrastruktur dengan<br />
ketergantungan yang kecil pada<br />
pendanaan luar negeri.<br />
Satu lagi yang menarik dari investasi<br />
infrastruktur di Cina adalah adanya<br />
sumber pendanaan yang kuat dari bank<br />
domestik. Bank tersebut merupakan<br />
bank pembangunan yang fokus pada<br />
sektor konstruksi termasuk infrastruktur.<br />
Bank ini dapat menjadi sumber<br />
pendanaan awal ataupun melakukan<br />
penjaminan dalam proyek-proyek<br />
infrastruktur. Pendanaan dan penjaminan<br />
tersebut dapat memberi stimulus bagi<br />
pihak swasta agar berperan besar dalam<br />
pembangunan infrastruktur.<br />
Dengan mengadopsi resep Cina dalam<br />
memenuhi kebutuhan investasi, maka ada<br />
tiga sektor yang harus digiatkan untuk<br />
berkontribusi dalam pembangunan<br />
Infrastruktur di Indonesia. Pertama,<br />
daerah harus didorong dan diberi<br />
keleluasaan dalam pembangunan<br />
infrastruktur. Peran daerah dapat<br />
menjadi jangkar untuk mempercepat<br />
proses integrasi konektivitas nasional.<br />
Kedua, BUMN harus diperkuat sebagai<br />
penunjang dalam pembangunan<br />
infrastruktur. Salah satu peran BUMN<br />
adalah menjadi agen pembangunan dan<br />
atau lembaga penyedia dana untuk<br />
proyek infrastruktur. Ketiga, swasta<br />
nasional diberi akses besar untuk<br />
berperan serta dalam pembangunan<br />
infrastruktur. Keterlibatan swasta harus<br />
ditingkatkan dengan menyediakan akses<br />
penjaminan proyek dan kepastian<br />
regulasi.<br />
Sedikit berbeda dengan Cina, Indonesia<br />
memiliki fleksibilitas yang cukup besar<br />
dalam membangun proyek infrastruktur<br />
yang dibiayai dari investasi luar negeri.<br />
Perekonomian yang relatif stabil di saat<br />
krisis global menjadi bukti bahwa iklim<br />
Indonesia cukup kondusif untuk investasi.<br />
Selain itu, peluang juga terbuka lebar<br />
setelah indonesia berubah status menjadi<br />
i n v e s t m e n t g r a d e . D i t e n g a h<br />
ketidakpastian global, status ini tentu<br />
menjadi pertimbangan besar bagi pemilik<br />
modal untuk berinvestasi.<br />
Sinergitas antara Pemerintah, BUMN dan<br />
swasta menjadi bekal utama dalam<br />
menciptakan milestone pembangunan<br />
infrastruktur. Dengan didukung oleh<br />
kondisi perekonomian yang stabil dan<br />
status investment grade, pengeluaran<br />
pembangunan infrastruktur yang selama<br />
ini bertumpu pada APBN diharapkan<br />
dapat dikurangi. Peran ini digantikan oleh<br />
partisipasi aktif dari BUMN dan swasta<br />
dengan memanfaatkan pendanaan dalam<br />
dan luar negeri.<br />
Agar milestone ini dapat terwujud maka<br />
ada beberapa persyaratan teknis yang<br />
harus dibenahi. Selama ini, persyaratan<br />
teknis tersebut umumnya sering menjadi<br />
penghambat dalam pembangunan<br />
infrastruktur. Adapun persyaratan teknis<br />
tersebut adalah peraturan, pembebasan<br />
tanah, pendanaan dan penjaminan, serta<br />
tata kelola yang baik (lihat gambar).<br />
Harmonisasi peraturan dan pembebasan<br />
lahan menjadi syarat untuk menciptakan<br />
suasana kondusif dalam berinvestasi.<br />
Tumpang tindih peraturan terutama<br />
antara pusat dan daerah akan<br />
menghambat pembagian peran dalam<br />
pembangunan infrastruktur. Kesulitan<br />
pembebasan tanah juga menjadi isu<br />
kronik yang harus dibenahi. Oles sebab<br />
itu, Rencana Tata Ruang Wilayah<br />
(RTRW) harus menjadi dasar yang baku<br />
dalam proyek pembanguan di setiap<br />
daerah.<br />
Sedangkan dalam pendanaan dan<br />
penjaminan, Pemerint ah harus<br />
mendorong peran serta perbankan<br />
nasional dan penyerapan dana luar<br />
negeri. Pendanaan dan penjaminan ini<br />
merupakan faktor yang sangat krusial<br />
untuk meningkatkan partisipasi BUMN<br />
dan swasta dalam pembangunan<br />
infrastruktur. Partisipasi BUMN dan<br />
swasta tersebut juga harus didukung<br />
dengan tata kelola proyek yang baik. Tata<br />
kelola proyek yang baik akan menjadi<br />
bekal yang signifikan dalam membangun<br />
infrastruktur yang efisien dan efektif.<br />
Akhirnya, ungkapan salah seorang<br />
senator Amerika layak kita simak sebagai<br />
dorongan dalam mewujudkan milestone<br />
pembangunan infrastruktur. Ungkapan<br />
ini secara simbolik menjadi bentuk<br />
pengakuan terhadap kemajuan Cina.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
15
LAPORAN UTAMA<br />
“China is not only formidable,<br />
it is also aggressively building<br />
its own economic<br />
infrastructure. Just a few years<br />
from now, China will rival the<br />
U.S. and the European Union<br />
in global market power.”<br />
Gambar Hal-hal yang Menjadi Perhatian Investor<br />
Financing<br />
Resources<br />
and<br />
Guarantees<br />
“China is not only formidable, it is also<br />
aggressively building its own economic<br />
infrastructure. Just a few years from now,<br />
China will rival the U.S. and the European<br />
Union in global market power..”.<br />
Good<br />
Governance<br />
Investor’s<br />
Concern<br />
Regulation<br />
Kalimat ini sudah sepant asnya<br />
diprediketkan untuk Indonesia. Syaratnya,<br />
Indonesia harus mampu melakukan<br />
akselerasi dalam perekonomian.<br />
Akselerasi tersebut dapat diwujudkan<br />
dengan ditunjang oleh pembangunan<br />
infrastruktur yang baik.<br />
Land<br />
Acquistion<br />
16<br />
foto: sxc.hu
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN<br />
PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP (PPP)<br />
DI INDONESIA<br />
Oleh : Arif Kelana Putra<br />
Pegawai pada Dit. Penyusunan APBN<br />
Pembangunan infrastruktur memainkan peranan penting dalam<br />
kemajuan perekonomian suatu bangsa. Semakin maju<br />
perekonomian suatu negara, maka kebutuhan akan pembangunan<br />
infrastruktur akan semakin tinggi.<br />
foto: sxc.hu<br />
17
LAPORAN UTAMA<br />
ndonesia pun saat ini sedang menjalani<br />
proses tersebut. Beberapa tahun<br />
Ibelakangan, perekonomian Indonesia<br />
terus mengalami ekspansi di tengah<br />
kondisi perekonomian dunia yang penuh<br />
ketidakpastian. Kombinasi kuatnya sektor<br />
konsumsi dan pesatnya perkembangan<br />
investasi menjadikan Indonesia salah satu<br />
dari sedikit negara yang mampu<br />
mencetak pertumbuhan tinggi. Ya,<br />
perekonomian Indonesia sedang melaju<br />
saat ini. Untuk mendukung laju<br />
perekonomian tersebut, Pemerintah<br />
sedang “galak-galaknya” mengakselerasi<br />
pembangunan infrastruktur.<br />
Berbagai macam syarat dan kebutuhan<br />
pendukung terus dibenahi. Mulai dari<br />
peraturan, metode pengadaan,<br />
pencarian sumber dana investasi,<br />
pembebasan lahan, dan sebagainya. Satu<br />
hal yang paling menonjol dalam upaya<br />
percepatan pembangunan infrastruktur<br />
yang dilakukan oleh Pemerintah adalah<br />
dalam hal metode pengadaan proyek<br />
infrastruktur. Pemerintah mengadopsi<br />
metode pengadaan public private<br />
partnership (PPP) atau dalam bahasa<br />
Indonesia dikenal sebagai kerjasama<br />
pemerintah-swasta (KPS).<br />
Pemilihan metode ini dilatarbelakangi<br />
fak t a bahwa kondisi ang g aran<br />
Pemerintah terbatas, sementara itu<br />
kebutuhan pembangunan infrastruktur<br />
harus dilakukan dan membutuhkan biaya<br />
yang sangat besar. Skema KPS membuka<br />
ruang bagi sektor swasta untuk berperan<br />
aktif dalam pembangunan sektor<br />
infrastruktur di Indonesia.<br />
Sejarah munculnya metode KPS di dunia<br />
dipicu oleh tekanan untuk mengubah<br />
model standar pengadaan barang publik<br />
yang cenderung menyebabkan<br />
peningkatan utang pemerintah. Sehingga<br />
pada tahun 1992 di Inggris diperkenalkan<br />
lah untuk pertama kali program yang<br />
bertujuan untuk mendorong kerjasama<br />
pemerintah-swasta, yaitu private finance<br />
initiative (PFI).<br />
Skema KPS ini sebenarnya sudah lama<br />
diadopsi di Indonesia. Sebelum terjadinya<br />
krisis keuangan tahun 1998, Pemerintah<br />
sudah menerapkan skema KPS dalam<br />
pembangunan jalan tol. Tercatat bahwa<br />
Hal yang patut<br />
digarisbawahi di sini adalah<br />
KPS tidak sama dengan<br />
privatisasi. Karena institusi<br />
pemerintah yang terlibat di<br />
dalam kesepakatan<br />
kerjasama menguasai<br />
pengaturan dan kepemilikan<br />
proyek infrastruktur yang<br />
dibangun.<br />
pembangunan jalan tol Jakarta-Bogor-<br />
Ciawi yang dimulai pada tahun 1974<br />
merupakan salah satu contoh<br />
implementasi proyek infrastruktur<br />
dengan skema KPS. Namun, pada saat itu<br />
sumber pembiayaan utama berasal dari<br />
pinjaman luar negeri. Selain itu, proyekproyek<br />
tidak dilelang secara terbuka dan<br />
kompetitif, melainkan penunjukan<br />
langsung yang ditengarai dilandasi oleh<br />
koneksi politik.<br />
Tahun-tahun awal pasca krisis 1998,<br />
pembangunan infrastruktur praktis<br />
menurun seiring dengan penurunan<br />
kinerja perekonomian Indonesia sebagai<br />
dampak dari krisis keuangan. <strong>Anggaran</strong><br />
pemerintah lebih difokuskan untuk<br />
memperbaiki perekonomian ketimbang<br />
pembangunan infrastruktur. Selain itu,<br />
pada periode ini perlu usaha yang keras<br />
untuk mendapatkan kembali kepercayaan<br />
investor yang merosot.<br />
Baru pada tahun 2005, pemerintah<br />
Indonesia mendeklarasikan komitmen<br />
untuk mendorong pembangunan<br />
infrastruktur melalui skema KPS.<br />
Komitmen ini dideklarasikan dalam<br />
pelaksanaan Infrastructure Summit 2005.<br />
Bisa dikatakan bahwa pada tahun inilah<br />
secara resmi Pemerintah mengusung<br />
skema KPS dalam mendorong<br />
pembangunan infrastruktur Indonesia.<br />
Selain karena dideklarasikan secara<br />
f o r m a l , P e m e r i n t a h j u g a<br />
menindaklanjutinya dengan pembenahan<br />
regulasi baik dalam hal kerangka umum<br />
maupun reformasi sektoral serta<br />
pembenahan institusi dan proses<br />
bisnisnya dalam rangka mendukung<br />
pelaksanaan KPS. Selain itu, pemerintah<br />
juga mulai menginisiasi penyediaan<br />
fasilitas pengembangan proyek (Project<br />
Development Facility), dana pembebasan<br />
lahan (Land Acquisition Fund), dan dana<br />
penjaminan infrastruktur (Infrastructure<br />
Guarantee Fund) bagi para investor<br />
swasta yang terlibat dalam pembangunan<br />
infrastruktur yang ditawarkan. Pada<br />
tahun 2005 ini juga dikeluarkan Perpres<br />
67 Tahun 2005 yang mengatur skema<br />
KPS secara komprehensif yang<br />
belakangan pada tahun 2010 direvisi<br />
menjadi Perpres 13 Tahun 2010.<br />
Pada dasarnya, metode KPS adalah<br />
kesepakatan kontrak jangka panjang<br />
antara pemerintah dengan mitra swasta<br />
untuk pengadaan infrastruktur kepada<br />
masyarakat. Karena konsepnya adalah<br />
kerjasama, maka masing-masing pihak<br />
menanggung bersama atas potensi risiko<br />
dan potensi keuntungan yang akan<br />
muncul yang menjadi bagian dari proses<br />
pengadaan infrastruktur tersebut.<br />
Potensi risiko yang akan dihadapi biasanya<br />
m e l i p u t i r i s i ko ke u a n g a n d a n<br />
tanggungjawab serta jaminan kualitas dari<br />
infrastruktur yang dibangun.<br />
Hal yang patut digarisbawahi di sini adalah<br />
KPS tidak sama dengan privatisasi. Karena<br />
institusi pemerintah yang terlibat di<br />
dalam kesepakatan kerjasama menguasai<br />
pengaturan dan kepemilikan proyek<br />
infrastruktur yang dibangun. Sedangkan<br />
privatisasi justru sebaliknya, pihak swasta<br />
menguasai dan mengkontrol secara<br />
penuh atas proyek yang dijalankan.<br />
Beberapa karakteristik utama dari skema<br />
KPS ialah sektor swasta dilibatkan dalam<br />
pembangunan infrastruktur, fokus pada<br />
output yang dihasilkan, optimalnya alokasi<br />
risiko pemerintah dan pihak swasta, dan<br />
kontraknya jangka panjang. Selain itu,<br />
p e n e r a p a n s k e m a K P S a k a n<br />
memunculkan keuntungan bagi<br />
masyarakat melalui biaya yang rendah,<br />
tingkat layanan yang diberikan tinggi, dan<br />
risiko yang dapat ditekan. Fasilitas<br />
infrastruktur yang dibangun pun akan<br />
18 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
LAPORAN UTAMA<br />
dikelola secara efisien dan efektif karena<br />
skema KPS mengkombinasikan<br />
kemampuan mitra swasta pada<br />
pengelolaan fasilitas publik tersebut.<br />
Skema KPS memang terlihat “seksi”,<br />
menguntungkan, dan relatif dapat<br />
diterapkan oleh Pemerintah dalam<br />
membangun infrastruktur di Indonesia.<br />
Hal ini pun didukung dengan fakta bahwa<br />
banyak negara di dunia yang telah berhasil<br />
menerapkan skema ini untuk mendorong<br />
pembangunan infras truk turnya.<br />
Beberapa diantaranya adalah Inggris,<br />
Australia, dan Amerika Serikat. Namun<br />
pertanyaan besarnya adalah kenapa<br />
realisasi penerapan KPS di Indonesia<br />
masih belum optimal?<br />
Ada beberapa faktor yang dapat<br />
mempengaruhi optimalisasi penerapan<br />
KPS di Indonesia. Pertama, pihak<br />
pemerintah harus sebaik-baiknya<br />
berkomitmen mendayagunakan sumber<br />
daya untuk kepentingan pembangunan<br />
infrastruktur. Kedua, menciptakan proses<br />
pengadaan secara efektif dan transparan,<br />
khususnya dalam hal pelelangan proyek.<br />
Ketiga, skema KPS diterapkan pada<br />
rencana proyek infrastruktur yang masuk<br />
akal bagi kedua belah pihak. Keempat,<br />
spesifikasi ouput yang akan dihasilkan jelas<br />
dan kinerjanya dapat diukur. Kelima,<br />
adanya pemahaman bahwa pihak swasta<br />
perlu mendapatkan imbal hasil yang<br />
cukup adil dari pelaksanaan proyek<br />
infrastruktur dengan skema KPS.<br />
Keenam, dari berbagai aspek pengadaan<br />
infrastruktur tersebut terbuka ruang<br />
untuk melakukan inovasi. Dan ketujuh,<br />
tersedianya sumber daya manusia yang<br />
berpengalaman dan berkemampuan<br />
dalam hal pengadaan proyek-proyek<br />
infrastruktur, baik dari pihak pemerintah<br />
maupun swasta.<br />
Secara komprehensif pemerintah telah<br />
b e r u s a h a u n t u k m e l a k u k a n<br />
pembenahan-pembenahan dalam rangka<br />
mendukung percepatan pembangunan<br />
infrastruktur dengan skema KPS, baik itu<br />
dari sisi perundang-undangan, institusi,<br />
maupun finansial. Namun, kendalakendala<br />
teknis, seper ti sulitnya<br />
mekanisme pembebasan lahan, masih<br />
menjadi hambatan dalam eksekusi<br />
proyek infrastruktur dengan skema KPS.<br />
Pelaksanaan percepatan pembangunan<br />
infrastruktur di Indonesia masih<br />
memerlukan kerja keras tak hanya dari<br />
pemerintah saja namun juga masyarakat<br />
secara luas. Negara yang maju adalah<br />
negara yang masyarakatnya menyadari<br />
bahwa masing-masing individu<br />
merupakan bagian penting dari<br />
pembangunan bangsanya sehingga<br />
individu tersebut berkeinginan kuat<br />
untuk berkontribusi dan menjaga<br />
pembangunan tersebut. Bukankah<br />
menjadikan Indonesia negara yang maju<br />
adalah cita-cita kita bersama?<br />
foto: sxc.hu<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
19
APBN Perubahan 2012<br />
*)<br />
foto: dok. pribadi<br />
Mencermati gejolak ekonomi dunia dan harga minyak dunia yang berdampak pada<br />
kondisi perekonomian negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia yang<br />
ikut pula merasakan beban berat yang harus dipikul oleh Negara.<br />
eban berat tersebut yang utama<br />
adalah menyangkut beban subsidi<br />
BBBM yang harus ditanggung<br />
pemerintah akibat naiknya harga minyak<br />
dunia dimana pada awal APBN 2012<br />
harga ICP (Indonesia Crude Oil Price) yang<br />
semula ditetapkan US$ 90.0/barel pada<br />
medio Februari melonjak mencapai US$<br />
105.0/barel, maka dengan harga BBM<br />
subsidi (meliputi premium dan solar)<br />
sebesar Rp.4500,- menyebabkan<br />
membengkaknya subsidi BBM yang harus<br />
d i t a n g g u n g p e m e r i n t a h d a n<br />
dikhawatirkan APBN 2012 akan ‘jebol’<br />
untuk menanggung beban subsidi<br />
tersebut, terlebih nilai tukar rupiah<br />
terhadap dollar USA juga mengalami<br />
penurunan hingga dikisaran Rp.9000-an<br />
per 1 US$ pada medio Pebruari 2012.<br />
Secara keseluruhan gejolak ekonomi<br />
dunia dan harga minyak dunia tersebut<br />
mempengaruhi asumsi makro yang<br />
menjadi dasar penyusunan APBN 2012,<br />
suatu kondisi yang memaksa pemerintah<br />
mempercepat pengajuan APBN<br />
Perubahan 2012 ke Dewan Perwakilan<br />
Rakyat (DPR). Beberapa kerangka asumsi<br />
dasar ekonomi makro yang menjadi dasar<br />
perubahan APBN 2012 adalah meliputi :<br />
- Pertumbuhan ekonomi dari 6,7 %<br />
menjadi 6,5 %<br />
- Laju inflasi dari 5,3 % menjadi 6,8 %<br />
- Asumsi suku bunga SPN 3 bulan dari<br />
semula sebesar 6,0 % menjadi 5,0 %<br />
- Nilai tukar rupiah dari Rp.8.800,-/US$<br />
menjadi Rp.9.000,-/US$<br />
- Harga minyak mentah Indonesia dari<br />
US$90,0 per barel menjadi US$105,0<br />
per barel,<br />
- Lifting minyak dari 950 ribu barel/hari<br />
menjadi 930 ribu barel/hari.<br />
Setelah melalui proses pembahasan yang<br />
ulet untuk mendapatkan persetujuan dan<br />
pengesahan dari DPR, maka akhirnya<br />
usulan APBN-Perubahan 2012 pada<br />
akhir Maret 2012 disetujui oleh DPR.<br />
Walau begitu beban berat subsidi BBM<br />
tidak serta merta terselesaikan, karea<br />
pemerintah tidak secara otomotis dapat<br />
menaikkan harga BBM bersubsidi namun<br />
ada persyaratan tertentu yang harus<br />
dipenuhi yaitu harga rata-rata minyak<br />
Indonesia (ICP) dalam kurun waktu<br />
berjalan mengalami kenaikan atau<br />
penurunan rata-rata sebesar 15 perse<br />
dalam 6 bulan terakhir dari harga minyak<br />
internasional yang diasumsikan dalam<br />
A P B N - Pe r u b a h a n 2 0 1 2 m a k a<br />
p e m e r i n t a h b e r we n a n g u n t u k<br />
melakukan penyesuaian harga BBM<br />
bersubsidi dan kebijakan pendukung.<br />
Menegaskan kembali kebijakan<br />
pemerintah diatas dan terkait dengan<br />
pelaksanaan UU APBN-Perubahan 2012,<br />
maka pada tanggal 2 April 2012<br />
ber tempat di Kantor Kemenko<br />
20 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
LAPORAN UTAMA<br />
Perekonomian, Menteri Keuangan Agus<br />
Martowardojo didampingi Menko<br />
Perekonomian Hatta Rajasa, Meteri<br />
ESDM Jero Wacik dan Wakil Menteri<br />
Bappenas Lukita Dinarsyah menggelar<br />
jumpa press untuk seluruh media massa<br />
cetak dan elektronik. Isi materi jumpa<br />
press secara lengkap sebagaimana<br />
tersebut dibawah ini :<br />
PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN<br />
TERKINI DAN POKOK-POKOK<br />
P E RU B A H A N A P B N TA H U N<br />
ANGGARAN 2012<br />
A. Perkembangan Perekonomian<br />
Terkini<br />
1. Perekonomian Global<br />
Kondisi perekonomian global hingga<br />
awal April 2012 ini masih diwarnai<br />
dengan ketidakpastian ekonomi baik<br />
di kawasan Eropa maupun Amerika<br />
Serikat (AS).<br />
Untuk perkembangan kawasan<br />
Eropa, Uni Eropa akhirnya<br />
menyetujui dana talangan sebesar €<br />
130 milliar atau US$ 170 milliar<br />
sebagai jaminan pembayaran utang<br />
Yunani. Sementara itu, pada fase<br />
terakhir 2011, tampak bahwa<br />
aktivitas perekonomian Eropa masih<br />
mengalami perlambatan dan bahkan<br />
mengalami kontraksi sebesar 0,3 %<br />
(QoQ) pada triwulan ke-4 (tahun)<br />
2011. Jerman sebagai salah satu<br />
negara Uni Eropa yang cukup stabil,<br />
dalam beberapa waktu terakhir juga<br />
mengalami perlambatan dan<br />
pertumbuhannya minus 0,2 % pada<br />
triwulan ke-4 (tahun) 2011 lalu.<br />
Dengan memperhatikan berbagai<br />
perkembangan terkini, Eropa<br />
diperkirakan akan berkontraksi pada<br />
level 0,3 % – 0,5 % di tahun 2012 ini.<br />
Dalam rangka menggairahkan<br />
kembali perekonomiannya, Uni Eropa<br />
telah dua kali menyalurkan likuiditas<br />
murah ke perbankan Eropa melalui<br />
skema Longer-Term Refinancing<br />
Operations (LTRO) sebesar € 1,02<br />
triliun. LTRO pertama pinjaman yang<br />
berhasil disalurkan kepada perbankan<br />
sebesar € 489 milliar dan pada LTRO<br />
kedua jumlah tersebut meningkat<br />
menjadi € 529,5 milliar.<br />
Sedangkan, untuk AS, pergerakan<br />
beberapa variabel sebenarnya mulai<br />
menunjukkan ke arah pemulihan<br />
(stance to recovery). Tingkat<br />
penjualan ritel misalnya, menunjukan<br />
peningkatan jika dibandingkan<br />
dengan akhir tahun 201. Ini artinya,<br />
ada perbaikan pada sisi demand dan<br />
tingkat konsumsi masyarakat AS.<br />
Selain itu, pada bulan Februari 2012,<br />
indeks kepercayaan konsumen di AS<br />
berada level diatas 70 dan ini<br />
merupakan level tertinggi sejak Maret<br />
2011 lalu. Tingkat produksi industri di<br />
AS dalam beberapa waktu terakhir<br />
juga cenderung terus meningkat. Dari<br />
sisi tingkat pengangguran, pada bulan<br />
Februari 2012 sebesar 8,3 % dan ini<br />
merupakan yang terendah sejak<br />
Maret 2009.<br />
Untuk Cina sebagai salah satu global<br />
growth engine , pada bulan Maret<br />
2012 lalu otoritas ekonomi Cina<br />
mempublikasikan pemangkasan<br />
target pertumbuhan ekonomi 2012<br />
dari 8,0 % menjadi 7,5 %. Hal ini<br />
d i l a k u k a n s e i r i n g d e n g a n<br />
perlambatan aktivitas eskpor Cina<br />
yang pada Januari 2012 mengalami<br />
penurunan sebesar 0,5 % (YoY) jika<br />
dibandingkan bulan sebelumnya.<br />
Selain itu, pada Februari 2012 untuk<br />
pertama kalinya sejak 1990 Cina<br />
mengalami defisit perdagangan yang<br />
mencapai US$ 31,5 milliar yang<br />
didorong oleh kenaikan impor minyak<br />
mentah sebesar 23,64 milliar ton.<br />
Senada dengan Cina, Pemerintah<br />
India juga melakukan revisi ke bawah<br />
atas target pertumbuhan ekonomi<br />
tahun 2012 yaitu dari 7,5 % menjadi<br />
6,9 %.<br />
Untuk negara Jepang, pada Februari<br />
2012 Jepang berhasil mencatatkan<br />
surplus perdagangan sebesar ¥ 29<br />
milliar. Selain itu, tingkat penjualan<br />
ritel Jepang juga naik 3,5 % dari<br />
realisasi penjualan tahun sebelumnya.<br />
Kenaikan kinerja penjualan ini<br />
merupakan yang terbaik sejak<br />
Agustus 2010.<br />
Dari harga minyak, dilaporkan bahwa<br />
instabilitas politik di Timur Tengah<br />
akan memberikan tekanan terhadap<br />
harga minyak dunia sepanjang 2012<br />
ini dimana pada Maret 2012 lalu harga<br />
minyak jenis Brent sudah menembus<br />
level US$125 per barel. Tentu, ini<br />
merupakan sinyal yang kurang baik<br />
bagi stabilitas perekonomian di<br />
banyak negara.<br />
2. Perekonomian Domestik<br />
Dari sisi domestik, bisa dikatakan<br />
bahwa secara umum kondisi<br />
perekonomian nasional masih stabil<br />
dan masih mendapatkan kepercayaan<br />
dari investor global. Dalam periode<br />
Januari hingga Maret 2012, dana-dana<br />
asing masih cenderung masuk ke<br />
bursa saham Indonesia terindikasikan<br />
dari IHSG yang cenderung terus<br />
meningkat dan telah menembus level<br />
4.000. Secara nominal, dana asing<br />
yang masuk ke pasar saham hingga<br />
selama Maret 2012 mencapai Rp.<br />
7,88 T.<br />
Di sisi lain, untuk pasar SUN, dalam<br />
bulan Maret 2012 masih terjadi<br />
tekanan outflow sekitar Rp.1,58<br />
triliun dan required yield cenderung<br />
naik seiring meningkatnya ekspektasi<br />
inflasi pada akhir Maret 2012 terkait<br />
dengan kenaikan harga minyak dunia<br />
dan opsi kenaikan harga BBM<br />
bersubsidi. Peningkatan ekspektasi<br />
inflasi juga memberikan sentimen<br />
negatif pada kurs rupiah yang<br />
mengalmi koreksi terhadap US$ pada<br />
akhir Maret 2012.<br />
Untuk stabilitas harga atau inflasi,<br />
tercatat bahwa laju inflasi pada bulan<br />
Maret 2012 berada pada level 0,07 %<br />
(mtm) atau 3,97 % (yoy).<br />
Sementara itu, untuk kinerja<br />
perdagangan internasional, nilai total<br />
eksport pada Februari 2012<br />
mencapai US$15,72 milliar atau<br />
tumbuh 7,6 % (ytd). Sedangkan,<br />
untuk kinerja import pada bulan<br />
Februari 2012 mencapai US$14,8<br />
milliar atau mengalami peningkatan<br />
cukup tinggi sebesar 21,4 % (ytd).<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
21
LAPORAN UTAMA<br />
B. Pokok-Pokok Perubahan APBN<br />
Tahun 2012<br />
Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2003<br />
tentang Keuangan Negara pasal 27, UU<br />
Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR,<br />
DPR, DPD dan DPRD pasal 156, serta<br />
UU Nomor 22 tahun 2011 tentang<br />
APBN Tahun <strong>Anggaran</strong> 2012 pasal 42,<br />
pada tanggal 29 Februari 2012<br />
Pemerintah telah menyampaikan<br />
dokumen RUU Perubahan atas APBN<br />
tahun 2012 beserta Nota Keuangannya<br />
ke DPR-RI. Setelah melalui pembahasan<br />
intensif, pada hari Sabtu tanggal 31 Maret<br />
2012 dalam Sidang Paripurna DPR RI,<br />
RUU Perubahan atas APBN 2012 telah<br />
disetujui untuk disahkan menjadi UU.<br />
Latar belakang perlunya dilakukan<br />
perubahan terhadap APBN tahun 2012<br />
adalah sebagai berikut :<br />
1. Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi<br />
Makro 2012<br />
Sejak ditetapkan menjadi UU Nomor<br />
22 tahun 2011, terdapat berbagai<br />
perkembangan pada perekonomian<br />
domestik dan eksternal yang<br />
menyebabkan perkembangan<br />
ekonomi makro yang tidak sesuai<br />
dengan asumsi yang digunakan dalam<br />
APBN 2012, terutama asumsi ICP,<br />
nilai tukar, lifting dan pertumbuhan<br />
ekonomi sehingga perlu dilakukan<br />
perubahan dan penyesuaian.<br />
2. Perubahan Pokok-pokok Kebijakan<br />
Fiskal, yang meliputi :<br />
a. Tambahan stimulus fiskal yaitu<br />
untuk pembangunan instruktur<br />
Indonesia bagian timur, domestic<br />
connectivity, ketahanan pangan,<br />
mitigasi bencana dan antisipasi<br />
krisis;<br />
b. Perubahan perubahan besaran<br />
subsidi;<br />
c. Kompensasi perubahan besaran<br />
subsidi;<br />
d. Pemotongan belanja K/L;<br />
e. <strong>Anggaran</strong> Belanja Tambahan<br />
u n t u k ke b u t u h a n s a n g a t<br />
mendesak;<br />
f. Pelebaran Defisit <strong>Anggaran</strong> yaitu<br />
dari 1,5 % PDB menjadi 2,23%<br />
PDB;<br />
g. Ta m b a h a n k e b u t u h a n<br />
pembiayaan.<br />
3. Penggunaan Saldo <strong>Anggaran</strong> Lebih<br />
(SAL) tahun-tahun sebelumnya<br />
u n t u k s t i m u l u s f i s k a l d a n<br />
pembangunan infrastruktur dalam<br />
rangka mempertahankan target<br />
pertumbuhan ekonomi.<br />
Berdasarkan pada perkembangan<br />
ekonomi global dan perekonomian<br />
domestik terkini dan prospeknya ke<br />
depan, kerangka asumsi dasar<br />
ekonomi makro yang menjadi dasar<br />
perhitungan berbagai besaran dalam<br />
APBN-P tahun 2012 ditetapkan<br />
sebagai berikut :<br />
- Pertumbuhan ekonomi dari 6,7 %<br />
menjadi 6,5 %<br />
- Laju inflasi dari 5,3 % menjadi 6,8<br />
%<br />
- sumsi suku bunga SPN 3 bulan<br />
dari semula sebesar 6,0 % menjadi<br />
5,0 %<br />
- Nilai tukar rupiah dari Rp.8.800,-<br />
/US$ menjadi Rp.9.000,-/US$<br />
- Harga minyak mentah Indonesia<br />
dari US$90,0 per barel menjadi<br />
US$105,0 per barel,<br />
- Lifting minyak dari 950 ribu<br />
barel/hari menjadi 930 ribu<br />
barel/hari.<br />
Berdasarkan asumsi dasar ekonomi<br />
makro serta arah dan strategi kebijakan<br />
fiskal tersebut diatas, postur APBN-P<br />
2012 akan meliputi pokok-pokok<br />
besaran sebagai berikut :<br />
1. Pendapatan negara dan hibah<br />
diperkirakan sebesar Rp. 1.358,2<br />
foto: dok. pribadi<br />
22
LAPORAN UTAMA<br />
foto: istimewa<br />
triliun atau mengalami kenaikan 3,6%<br />
dari target APBN tahun 2012.<br />
Penerimaan perpajakan dalam<br />
APBN-P tahun 2012 direncanakan<br />
mencapai Rp.1.016,2 triliun. PNBP<br />
diperkirakan mencapai Rp.341,1<br />
triliun atau naik Rp.63,2 triliun (22,7 %<br />
dari target APBN 2012).<br />
Untuk mengamankan sasaran<br />
penerimaan perpajakan tahun 2012,<br />
akan terus dilakukan langkah-langkah<br />
reformasi birokrasi dibidang<br />
perpajakan, kepabeanan dan cukai,<br />
serta langkah-langkah dan upaya<br />
tambahan (extra effort) dalam<br />
p e m u n g u t a n p a j a k m e l a l u i<br />
intensifikasi dan ekstensifikasi<br />
perpajakan.<br />
2. Total belanja negara diperkirakan<br />
sebesar Rp.1.548,3 triliun (18,1 %<br />
terhadap PDB). Jumlah ini berarti<br />
menunjukan peningkatan Rp.112,9<br />
triliun atau 7,9 % dari pagu belanja<br />
negara dalam APBN 2012. Belanja<br />
pemerintah pusat dalam APBN-P<br />
2012 direncanakan sebesar<br />
Rp.1.069,5 triliun atau mengalami<br />
peningkatan Rp.104,5 triliun (10,8 %<br />
dari pagu APBN 2012). Belanja<br />
kementerian negara/ lembaga dalam<br />
tahun 2012 direncanakan mencapai<br />
Rp.547,9 triliun, yang berarti<br />
meningkat sebesar Rp.39,6 triliun<br />
atau 7,8 % dari pagu APBN 2012.<br />
Sementara itu, anggaran transfer ke<br />
daerah dalam APBN-P 2012<br />
direncanakan sebesar Rp.478,8<br />
triliun, yang berarti naik Rp.8,4 triliun<br />
atau 1,8 % dari pagu APBN 2012.<br />
Pe r u b a h a n b e s a r a n b e l a n j a<br />
pemerintah pusat antara lain berasal<br />
dari :<br />
a. Upaya untuk meningkatkan<br />
efisiensi belanja K/L melalui<br />
pemotongan anggaran belanja<br />
K/L (sharing the participation)<br />
— > Rp.18,9 triliun ;<br />
b. Pemanfaatan Saldo <strong>Anggaran</strong><br />
Lebih (SAL) Rp.30,0 triliun,<br />
antara lain untuk mendukung<br />
pembangunan instrastruktur;<br />
c. Program Kompensasi Perubahan<br />
Besaran Subsidi Rp.30,6<br />
triliun;<br />
- Bantuan langsung sementara<br />
masyarakat (BLSM) sebesar<br />
Rp.17,1 triliun (termasuk<br />
safeguarding)<br />
- Kompensasi angkutan umum<br />
sebesar Rp.5,0 triliun (termasuk<br />
safeguarding)<br />
- Infrastuktur perdesaan sebesar<br />
R p. 7 , 9 t r i l i u n ( termasuk<br />
safeguarding)<br />
- Program Keluarga Harapan<br />
(PKH) Rp.0,6 triliun (termasuk<br />
safeguarding).<br />
d. Realokasi belanja BA. 999.08 ke<br />
Belanja K/L Rp.2,3 triliun<br />
e. <strong>Anggaran</strong> Belanja Tambahan K/L<br />
u n t u k ke p e r l u a n s a n g a t<br />
mendesak Rp.0,4 triliun<br />
f. Menjaga anggaran pendidikan<br />
tetap dalam kisaran 20% ----><br />
Rp.310,8 triliun<br />
g. Implement asi reward dan<br />
punishment dalam rangka<br />
meningkatkan quality of spending.<br />
Berkaitan dengan subsidi, beban<br />
anggaran belanja subsidi meningkat<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
23
LAPORAN UTAMA<br />
signifikan, dari Rp.208,9 triliun dalam<br />
APBN 2012 menjadi Rp.<strong>24</strong>5,1 triliun<br />
dalam APBN-P 2012. Peningkatan ini<br />
disebabkan oleh :<br />
a. Implikasi dari adanya penyesuaian<br />
beberapa parameter subsidi<br />
dengan perkembangan terkini,<br />
seperti harga minyak mentah<br />
Indonesia (ICP) dan kurs rupiah;<br />
b. Perubahan fluel mix energi input<br />
pada pembangkit listrik;<br />
c. Tambahan durasi pemberian<br />
raskin dari 12 bulan menjadi 14<br />
bulan;<br />
d. Peningkatan alokasi anggaran<br />
PSO PT Pelni;<br />
e. Tambahan jenis subsidi bunga<br />
kredit untuk sarpras BBM non<br />
subsidi dalam mendukung<br />
diversifikasi BBM ke BBG untuk<br />
transportasi angkutan umum.<br />
Sementara itu, kenaikan transfer ke<br />
daerah berasal dari perubahan Dana<br />
Bagi Hasil menjadi sebesar Rp.108,4<br />
triliun, yang berarti naik Rp.8,4 triliun<br />
8,4 % dari pagu APBN 2012,<br />
berkaitan dengan adanya peningkatan<br />
p e n e r i m a a n n e g a r a y a n g<br />
dibagihasilkan terutama dari<br />
penerimaan Sumber Daya Alam<br />
(SDA).<br />
C. Defisit anggaran dalam APBN-P<br />
diperkirakan Rp.190,1 triliun atau<br />
2,23 % terhadap PDB, naik sebesar<br />
Rp.66,1 triliun apabila dibandingkan<br />
defisit anggaran dalam APBN 2012<br />
yang ditetapkan sebesar Rp.1<strong>24</strong>,0<br />
triliun atau 1,5% terhadap PDB.<br />
D. Pembiayaan anggaran dalam APBN-<br />
P 2012 dipenuhi dari sumber-sumber<br />
pembiayaan dalam negeri sebesar<br />
Rp.194,5 triliun dan pembiayaan luar<br />
negeri sebesar negatif Rp.4,4 triliun.<br />
Kenaikan pembiayaan defisit dalam<br />
APBN-P 2012 akan dibiayai dari<br />
penggunaan Saldo <strong>Anggaran</strong> Lebih<br />
(SAL) dan penerbitan SBN. Selain<br />
untuk membiayai kenaikan defisit<br />
anggaran, pemanfaatan SAL juga<br />
dipergunakan untuk menstimulasi<br />
perekonomian melalui pembangunan<br />
infrastruktur.<br />
*) disarikan dari Konferensi Pers Menko<br />
Perekonomian & Menteri Keuangan<br />
tanggal 2 April 2012<br />
foto: istimewa<br />
<strong>24</strong> WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
ANOMALI SUBSIDI BBM<br />
Oleh : Wahyu Dede Kusuma, SE.<br />
Staf Analisis dan Konsolidasi Penyusunan Postur APBN,<br />
Subdirektorat Analisis Ekonomi Makro dan Pendapatan Negara, <strong>Direktorat</strong> Penyusunan APBN<br />
Gejala krisis dan ketidakpastian global telah menyeret harga minyak<br />
terus bergerak naik. Target ICP (Indonesia Crude Oil) pada APBN-P<br />
2011 yang diproyeksikan sebesar US$ 95 / barel tidak tercapai.<br />
Kondisi yang terjadi adalah realisasi ICP yang lebih tinggi 17,6% dari<br />
target APBN-P yaitu sebesar US$ 111,54 / barel.<br />
ilustrasi: istimewa<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
25
PERENCANAAN ANGGARAN<br />
enaikan ICP berimplikasi pada<br />
kenaikan nilai subsidi. Hal ini<br />
Kdisebabkan karena kenaikan ICP<br />
sejalan dengan kenaikan harga MOPS<br />
(Mean of Plats Singapore) sebagai basis<br />
perhitungan harga bahan bakar minyak<br />
(BBM) dalam negeri. Dengan kenaikan<br />
MOPS maka gap harga keekonomian<br />
dengan harga BBM yang disubsidi akan<br />
semakin lebar, sehingga beban subsidi<br />
yang harus dibayarkan secara<br />
keseluruhan akan meningkat. Sampai<br />
akhir tahun 2011, nilai subsidi BBM yang<br />
telah dikeluarkan Pemerintah sebesar<br />
R p 1 6 5 , 2 t r i l i u n a t a u 1 2 7 , 3 %<br />
dibandingkan jatah dalam APBN-P 2011.<br />
Beban subsidi yang terus meningkat<br />
sayangnya cenderung tidak berkorelasi<br />
pada tujuan penyejahteraan masyarakat<br />
INDIKATOR EKONOMI<br />
khususnya kalangan bawah yang<br />
membutuhkan. Skema subsidi yang telah<br />
diterapkan sampai saat ini disinyalir tidak<br />
tepat sasaran. Badan Pusat Statistik (BPS)<br />
telah mengempiriskan hal ini pada tahun<br />
2009 dengan laporan survey bahwa 84<br />
persen subsidi energi dinikmati kalangan<br />
mampu. Di tahun berikutnya melalui<br />
Susenas 2010, BPS memperkuat indikasi<br />
subsidi BBM tidak tepat sasaran dengan<br />
melaporkan komparasi konsumsi bensin<br />
dan solar bersubsidi perbulan rumah<br />
tangga kaya yang jauh lebih besar<br />
dibandingkan rumah tangga miskin.<br />
Melalui Susenas 2010 diperoleh<br />
gambaran bahwa 5% rumah tangga<br />
terkaya mengkonsumsi rata-rata 82 liter<br />
ITEM<br />
1. Belanja Pegawai<br />
2. Belanja Barang<br />
3. Belanja Modal<br />
4. Pembayaran Bunga Utang<br />
i. Utang Dalam Negeri<br />
ii. Utang Luar Negeri<br />
5. Subsidi<br />
a. Subsidi Energi<br />
- BBM, LPG & BBN<br />
- Listrik<br />
b. Subsidi non Energi<br />
6. Belanja Hibah<br />
7. Bantuan Sosial<br />
8. Belanja Lain-lain<br />
Tabel 1<br />
Realisasi Asumsi Makroekonomi<br />
2010 2011<br />
APBN-P REALISASI APBN-P<br />
Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,8 6,1 6,5<br />
Inflasi (yoy, %) 5,3 6,96 5,6<br />
Nilai Tukar (Rp / 1US$) 9.200 9.087 8.700<br />
Suku Bunga (%) 6,5 6,57 5,65<br />
Harga Minyak (US$/barel) 80,0 79,4 95,0<br />
Lifting Minyak (Juta barel per hari) 0,965 0,954 0,945<br />
REALISASI S.D.<br />
DESEMBER<br />
APBN-P<br />
a<br />
6,5<br />
b<br />
3,79<br />
c<br />
8.779<br />
d<br />
4,84<br />
e<br />
111,54<br />
f<br />
0,898<br />
a. Realisasi s.d. triwulan III, sumber: BPS<br />
b. Realisasi s.d. Desember 2011, sumber: BPS<br />
c. Realisasi rata-rata nilai tukar kurs tengah Rupiah s.d. Desember 20122, sumber: BI<br />
d. Realisasi rata-rata Mar-Nov 2011. Suku bunga pada asumsi makro 2011, menggunakan suku bunga SPN.<br />
e. Perkiraan rata-rata minyak ICP s.d. Desember 2011, sumber: Ditjen Migas Kem ESDM dan DJA<br />
Kemenkeu.<br />
f. Realisasi rata-rata lifting periode Des - Nov 2011, sumber: Ditjen Migas Kem ESDM dan DJA Kemenkeu.<br />
bensin/bulan. Hal ini sama dengan 11,7<br />
kali konsumsi bensin 5% rumah tangga<br />
miskin yang rata-rata hanya 7 liter/bulan.<br />
Konsumsi solar menunjukkan gap yang<br />
lebih besar lagi. Konsumsi solar 5% rumah<br />
tangga terkaya rata-rata 113 liter/bulan,<br />
sangat jauh bila dibandingkan konsumsi<br />
solar 5% rumah tangga miskin yang ratarata<br />
hanya 1 liter/bulan.<br />
Lebih lanjut laporan ini juga memberikan<br />
implikasi bahwa jika nilai subsidi bensin<br />
perliter sebesar Rp2.941, maka selama ini<br />
pemerintah telah mensubsidi 5% rumah<br />
tangga terkaya rata-rata sekitar<br />
Rp<strong>24</strong>1.000/bulan. Hal ini tentu saja jauh<br />
lebih besar dibandingkan subsidi bensin<br />
yang dinikmati 5% rumah tangga miskin<br />
Tabel 2<br />
Realisasi Belanja Pemerintah Pusat<br />
162,7<br />
112,6<br />
95,0<br />
105,7<br />
71,9<br />
33,8<br />
201,3<br />
144,0<br />
88,9<br />
55,1<br />
57,3<br />
0,2<br />
71,2<br />
32,9<br />
2010 2011<br />
Realisasi<br />
% thd<br />
APBN-P APBN-P Realisasi<br />
30 Des<br />
148,1<br />
97,6<br />
80,3<br />
88,4<br />
61,5<br />
26,9<br />
192,7<br />
140,0<br />
82,4<br />
57,6<br />
52,8<br />
0,1<br />
68,6<br />
21,7<br />
91,0<br />
86,7<br />
84,5<br />
83,7<br />
85,6<br />
79,6<br />
95,7<br />
97,2<br />
92,6<br />
104,5<br />
92,1<br />
28,8<br />
96,4<br />
65,8<br />
182,9<br />
142,8<br />
141,0<br />
106,6<br />
76,6<br />
30,0<br />
237,2<br />
195,3<br />
129,7<br />
65,6<br />
41,9<br />
0,4<br />
81,8<br />
15,6<br />
175,5<br />
121,0<br />
115,9<br />
93,3<br />
66,8<br />
26,5<br />
294,9<br />
255,6<br />
165,2<br />
90,5<br />
39,3<br />
0,3<br />
70,9<br />
6,5<br />
% thd<br />
APBN-P<br />
96,0<br />
84,7<br />
82,2<br />
87,5<br />
87,2<br />
88,3<br />
1<strong>24</strong>,3<br />
130,9<br />
127,4<br />
138,1<br />
93,7<br />
74,1<br />
86,6<br />
41,8<br />
TOTAL 781,5 697,3 89,2 908,2 878,3 96,7<br />
rata-rata hanya sekitar Rp20.000/bulan.<br />
Untuk solar, gap subsidi antara rumah<br />
tangga kaya dan miskin lebih besar lagi.<br />
Jika nilai subsidi solar perliter sebesar<br />
Rp3.398, maka selama ini pemerintah<br />
telah mensubsidi 5% rumah tangga<br />
t e r k a y a r a t a - r a t a s e k i t a r<br />
Rp384.000/bulan. Sedangkan subsidi<br />
solar yang dinikmati 5% rumah tangga<br />
miskin rat a-rat a hanya sekit ar<br />
Rp3.398/bulan.<br />
Beban subsidi yang terus<br />
meningkat sayangnya<br />
cenderung tidak<br />
berkorelasi pada tujuan<br />
penyejahteraan<br />
masyarakat khususnya<br />
kalangan bawah yang<br />
membutuhkan. Skema<br />
subsidi yang telah<br />
diterapkan sampai saat<br />
ini disinyalir tidak tepat<br />
sasaran.<br />
26 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
PERENCANAAN ANGGARAN<br />
Tabel 3<br />
Konsumsi BBM Bersubsidi<br />
0.9<br />
0.8<br />
0.7<br />
0.6<br />
0.5<br />
0.4<br />
0.3<br />
0.2<br />
0.1<br />
1<br />
Rata-rata Pengeluaran Bensin/Pertamax<br />
Rumah Tangga per Bulan<br />
% RT yang Menggunakan<br />
Bensin (LHS)<br />
0<br />
1 2 3 4 5 6 7 8<br />
5% Termiskin<br />
9 10 11 12<br />
Konsumsi Bensin/Pertamax<br />
per bulan (RHS)<br />
Liter<br />
90<br />
13 14 15 16 17 18 19 20<br />
5% Terkaya<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
0.045<br />
0.04<br />
0.035<br />
0.03<br />
0.025<br />
0.02<br />
0.015<br />
0.01<br />
0.005<br />
% RT yang Menggunakan<br />
Solar (LHS)<br />
Rata-rata Pengeluaran Solar<br />
Rumah Tangga per Bulan<br />
Konsumsi Solar<br />
per bulan (RHS)<br />
Liter<br />
120<br />
0<br />
0<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20<br />
5% Termiskin<br />
5% Terkaya<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
Misalokasi subsidi berdasarkan laporan<br />
Susenas tersebut telah memberikan<br />
bukti yang cukup bahwa adanya<br />
anomali pada skema subsidi BBM saat<br />
ini. Skema subsidi harga sebagai mana<br />
yang diterapkan, ternyata cenderung<br />
tidak efektif untuk mencapai sasaran<br />
yang diharapkan. Oleh sebab itu,<br />
penyempurnaan skema subsidi BBM<br />
mutlak harus dilakukan.<br />
Ada dua hal yang harus diperhatikan<br />
dalam perbaikan skema subsidi BBM ke<br />
depan yaitu volume dan harga. Dari sisi<br />
volume, perlu dilakukan pengendalian<br />
dan pembatasan penggunaan BBM<br />
bersubsidi. Pengendalian dan<br />
pembatasan ini berkaitan dengan<br />
pengguna dan kuota BBM bersubsidi.<br />
Sedangkan dari sisi harga, perlu<br />
dilakukan pengkajian ulang tentang<br />
insentif harga yang diterapkan dalam<br />
penyaluran subsidi BBM. Insentif ini<br />
perlu mempertimbangkan sensitivitas<br />
harga BBM bersubsidi terhadap gejolak<br />
harga minyak dunia yang berpengaruh<br />
terhadap nilai subsidi yang harus<br />
dibayarkan akibat gap harga yang<br />
terjadi dengan harga keekonomiannya.<br />
Pengaturan terhadap volume dan<br />
harga BBM bersubsdi merupakan dua<br />
ko m b i n a s i a p i k y a n g h a r u s<br />
d i fo r mulasikan d e n g a n b a i k .<br />
Pengaturan terhadap volume BBM<br />
bersubsidi dapat meminimalisir<br />
penyaluran subsidi yang tidak tepat<br />
sasaran dengan pengendalian<br />
konsumsi BBM bersubsidi yang hanya<br />
diperbolehkan untuk pengguna yang<br />
diprioritaskan yaitu kalangan bawah<br />
yang membutuhkan. Sedangkan<br />
pembatasan volume merupakan usaha<br />
untuk meredam tingginya laju<br />
konsumsi BBM. Pengaturan terhadap<br />
harga BBM bersubsidi merupakan<br />
langkah untuk meminimalisir beban<br />
subsidi yang terus membengkak akibat<br />
kenaikan harga minyak dunia. Oleh<br />
sebab itu, mekanisme pengaturan<br />
harga harus disempurnakan sehingga<br />
d apat m e n g i r i n g i l a j u h a r g a<br />
keekonomiannya.<br />
Dengan penyempurnaan skema ini<br />
diharapkan peran subsidi BBM dalam<br />
menyejahterakan masyarakat dapat<br />
teroptimalkan. Oleh sebab itu,<br />
dukungan pemangku kebijakan sangat<br />
diperlukan guna terciptanya skema<br />
subsidi BBM yang lebih paripurna.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
27
USO:<br />
PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTUKTUR TELEKOMUNIKASI<br />
DI PEDESAAN<br />
Oleh Arief Masdi dan Yudha Perdana<br />
USO (Universal Service Obligation) atau<br />
lebih dikenal sebagai Kewajiban Pelayanan<br />
Universal adalah bentuk kewajiban<br />
pemerintah untuk menjamin ketersediaan<br />
pelayanan publik bagi setiap warga negara,<br />
khususnya pelayanan telekomunikasi dan<br />
informatika.<br />
28<br />
foto: istimewa
PNBP<br />
ewajiban tersebut berupa<br />
penyelenggaraan pelayanan<br />
Kkomunikasi dan informartika<br />
untuk umum. Baik pada area yang belum<br />
t e r j a n g k a u l a y a n a n j a r i n g a n<br />
telekomunikasi maupun pada kelompok<br />
masyarakat yang masih memerlukan<br />
peran pemerintah dalam penyediaan<br />
layanan komunikasi dan informatika.<br />
1. Apa itu USO<br />
USO (Universal Service Obligation) atau<br />
lebih dikenal sebagai Kewajiban Pelayanan<br />
Universal adalah bentuk kewajiban<br />
p e m e r i n t a h u n t u k m e n j a m i n<br />
ketersediaan pelayanan publik bagi setiap<br />
warga negara, khususnya pelayanan<br />
telekomunikasi dan informatika.<br />
K e w a j i b a n t e r s e b u t b e r u p a<br />
penyelenggaraan pelayanan komunikasi<br />
dan informartika untuk umum. Baik pada<br />
area yang belum terjangkau layanan<br />
jaringan telekomunikasi maupun pada<br />
kelompok masyarakat yang masih<br />
memerlukan peran pemerintah dalam<br />
penyediaan layanan komunikasi dan<br />
informatika.<br />
USO diterapkan di banyak negara dan<br />
meliputi berbagai sek tor. USO<br />
merupakan bagian dari komitmen<br />
beberapa negara yang tergabung dalam<br />
International Telecommunication Union<br />
(ITU). Di Indonesia, USO diterapkan<br />
pada sektor telekomunikasi dan informasi<br />
(TI) sebagai salah satu sektor yang<br />
memiliki peran strategis dalam<br />
pembangunan. Sektor TI sendiri<br />
berkembang sangat pesat dan efisien di<br />
tangan swasta, namun juga sangat profit<br />
oriented. Akibatnya masyarakat yang<br />
tinggal di wilayah pedesaan terpencil tidak<br />
mendapatkan pelayanan TI karena bukan<br />
area profitable.<br />
Pemerintah tidak bertindak secara<br />
langsung sebagai eksekutor dalam<br />
penyelenggaraan kegiatan pelayanan<br />
komunikasi dan informasi ini. Peranan<br />
pemerintah dalam program USO lebih<br />
pada fungsi koordinator dan regulator.<br />
Fungsi eksekutor USO dilakukan oleh<br />
penyelenggara operator yang ditetapkan<br />
oleh pemerintah. Balai Telekomunikasi<br />
dan Informatika Pedesaan (BTIP) yang<br />
berubah menjadi Balai Penyedia dan<br />
Pe n g e l o l a Te l e ko munikasi d a n<br />
Informatika (BP3TI) adalah instansi<br />
pemerintah di bawah Kementerian<br />
Komunikasi dan Informatika yang<br />
menyelenggarakan program USO. Dana<br />
program USO dipungut oleh BP3TI dari<br />
operator telekomunikasi sebagai<br />
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).<br />
2. USO di beberapa Negara<br />
Beberapa negara menerapkan program<br />
USO dalam skema yang berbeda-beda.<br />
Di Tanzania, sumber pendanaan USO<br />
sebagian besar berasal dari bantuan<br />
donor dan pinjaman bank serta<br />
penyertaan modal dari pemerintah<br />
setempat. Tanzania Telecomunication<br />
Corporate ditunjuk sebagai eksekutor<br />
u n t u k m e l a k s a n a k a n p r o y e k<br />
p e m b a n g u n a n I n fo r m a t i o n a n d<br />
Communication Technology (ICT) dalam<br />
rangka menghubungkan seluruh bagian<br />
negara Tanzania.<br />
Di Uganda, proyek pembangunan<br />
infrastruktur ICT backbone dengan<br />
sumber dana pembangunan sistem<br />
berasal dari pinjaman Pemerintah Cina.<br />
Operator yang ditunjuk melaksanakan<br />
proyek adalah Huawei Technology.<br />
Nantinya sistem tersebut akan<br />
dioperasikan oleh perusahaan milik<br />
negara Uganda.<br />
Di Malaysia, pembangunan sistem<br />
berbasis USO dinamakan Multimedia<br />
Super Coridor (MSC). Pembiayaannya<br />
berasal dari anggaran belanja pemerintah<br />
Malaysia sebagai penyertaan modal pada<br />
Telekom Malaysia. MSC merupakan<br />
proyek infrastruktur yang dibangun<br />
dengan kabel fiber optik dengan kapasitas<br />
2.5-10 gigabits per second.<br />
Di Pakistan, program USO dalam bentuk<br />
pembuatan program ICT Initiatives.<br />
Proyek yang dibiayai dari anggaran<br />
p e m e r i n t a h i n i a n t a r a l a i n<br />
mengembangkan infrastruktur, aplikasi<br />
ICT, pemberdayaan masyarakat dan<br />
pengembangan teknologi. Proyek ini<br />
diselenggarakan oleh perusahaan<br />
telekomunikasi milik pemerintah<br />
bernama PTCL.<br />
Di India, program USO berbentuk<br />
pembangunan akses dan infrastruktur<br />
ICT backbone. Pelaksana proyeknya<br />
adalah BSNL dengan pembiayaan dari<br />
dana kontribusi USO sebesar 5% dari<br />
pendapatan ditambah dengan hibah dan<br />
pinjaman lunak pemerintah.<br />
3. Peran BP3TI<br />
Berdasarkan Peraturan Menteri<br />
Komunikasi dan Informatika Nomor 18<br />
Tahun 2010, BP3TI memiliki tugas<br />
m e l a k s a n a k a n p e nye d i a a n d a n<br />
pengelolaan, pembiayaan Information and<br />
Communication Technology (ITC) atau<br />
Teknologi Informasi dan Komunikasi<br />
(TIK), serta aksesibilitas dan layanan<br />
telekomunikasi dan informatika.<br />
Sedangkan pengelolaan keuangan BP3TI,<br />
sejak tahun 2009 menggunakan<br />
mekanisme Badan Layanan Umum (BLU)<br />
secara penuh, sebagaimana Keputusan<br />
M e n t e r i K e u a n g a n N o m o r<br />
350/KMK.05/2009.<br />
BP3TI mengumpulkan dana USO melalui<br />
pungutan PNBP kepada operator<br />
penyelenggara komunikasi sebesar 0,75%<br />
dari pendapatan kotor setiap tahunnya.<br />
Pada Tahun 2007, persentase tarif PNBP<br />
tersebut meningkat menjadi 1,25% dari<br />
pendapatan kotor, sebagaimana diatur<br />
dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan<br />
I n f o r m a t i k a N o m o r<br />
5/PER/M.KOMINFO/2/2007. Ketentuan<br />
tentang jenis dan besaran tarif PNBP<br />
untuk program USO tersebut, juga<br />
dipertegas dalam Peraturan Pemerintah<br />
(PP) Nomor 7 Tahun 2009.<br />
Pada Tahun 2010, BP3TI membukukan<br />
pendapatan dari jasa layanan USO<br />
sebesar Rp1,36 Triliun atau meningkat<br />
23% dibandingkan pendapatan Tahun<br />
2009 sebesar Rp1,1 Triliun. Telkomsel<br />
m e r u p a k a n o p e r a t o r y a n g<br />
menyumbangkan pendapatan terbesar<br />
yaitu Rp539 milyar pada Tahun 2010 dan<br />
Rp452 pada Tahun 2009. Beberapa<br />
operator lain penyumbang pendapatan<br />
dari jasa layanan USO adalah Telkom,<br />
Indosat dan Exelcomindo Pratama.<br />
Tabel di bawah ini, menyajikan rincian<br />
pendapatan BP3TI dari Jasa Layanan USO<br />
per operator untuk Tahun Buku 2009<br />
dan 2010.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
29
PNBP<br />
Tabel Pendapatan BP3TI dari Jasa Layanan USO<br />
Naik / (Turun)<br />
OPERATOR 2010 2009<br />
%<br />
Telkom Rp.302.444.961.054 Rp.255.163.4<strong>24</strong>.081 19%<br />
Telkomsel Rp539.970.803.047 Rp.452.237.491.275 19%<br />
Indosat Rp.208.292.402.307 Rp.200.703.102.213 4%<br />
Exelcomindo Pratama Rp.195.134.483.656 Rp.129.891.707.234 50%<br />
Aplikanusa Lintasarta Rp.13.673.862.963 Rp.8.661.344.133 58%<br />
Im2 Rp.6.059.454.199 Rp.9.912.839.419 -39%<br />
PSN Rp.3.298.293.268 Rp.2.787.709.674 18%<br />
Bakrie Telecom Rp.26.638.409.905 Rp.21.336.<strong>24</strong>0.616 25%<br />
Mobilkom Rp.11.888.484 Rp.6.793.419 75%<br />
Mobile-8 Rp.9.872.937.276 - 100%<br />
Natrindo Telepon Selular Rp.3.280.120.109 Rp.2.395.969.948 37%<br />
Hutchison CP Telecomminication Rp.6.947.874.905 Rp.3.557.311.729 95%<br />
Mandara Selular Rp.926.853.032 Rp.1.631.881.545 -43%<br />
Non Big Operator Rp.49.999.200.942 Rp.18.990.292.151 163%<br />
Jumlah pendapatan Operasional Rp.1.366.551.545.14 Rp.1.107.276.107.437 23%<br />
Sumber : Laporan Keuangan dan Laporan Audit tahun 2010 BP3TI<br />
4. Apa yang sudah dinikmati<br />
masyarakat<br />
Dalam Keputusan Menteri Keuangan<br />
Nomor 1006/KMK.05/2006, BP3TI<br />
mengelola langsung PNBP dari USO<br />
dengan proporsi 70%. Sedangkan sisanya<br />
30% disetorkan ke Kas Negara. Selain<br />
digunakan untuk membiayai kegiatan<br />
operasional, dana tersebut untuk<br />
m e m b i ay a i p e n y e d i a a n a k s e s<br />
telekomunikasi dan informatika di<br />
pedesaan atau daerah terpencil.<br />
Penyediaan akses telekomunikasi dan<br />
informatika di pedesaan atau daerah<br />
terpencil antara lain meliputi jenis<br />
layanan, sebagai berikut :<br />
a. Desa Dering<br />
Layanan ini berbentuk penyediaan<br />
akses telekomunikasi, penyediaan<br />
akses jarinyan end-to-end, dan<br />
penyediaan layanan telekomunikasi<br />
seperti jasa akses internet, SMS, dan<br />
layanan telepon. Penyedia jasa yang<br />
terpilih adalah PT. Telkomsel untuk<br />
kawasan Indonesia bagian barat dan<br />
PT. Icon Plus untuk kawasan Indonesia<br />
bagian timur. Target penerima layanan<br />
sejumlah 33.148 desa. Sedangkan<br />
realisasi sampai bulan Desember<br />
2010 atas satuan sambungan yang on<br />
air sejumlah 26.753 desa.<br />
b. Desa Pinter<br />
Layanan ini berbentuk penyediaan<br />
jaringan internet untuk desa. Target<br />
Desa Pinter untuk 32 propinsi di<br />
tahun 2010 adalah 131 desa,<br />
sedangkan realisasinya di tahun yang<br />
sama sejumlah 101 desa.<br />
c. Pusat Internet Kecamatan<br />
Pembangunan sarana umum akses<br />
internet di ibukota kecamatan pada<br />
wilayah USO. Penyedia layanan antara<br />
lain PT. Aplikasuna Lintasarta, PT.<br />
Telkom, PT. Sarana Insan Muda<br />
Selaras, dan PT. Jastrindo Dinamika.<br />
Target layanan ini pada Tahun 2010<br />
s e j u m l a h 5 . 7 4 8 ke c a m a t a n ,<br />
sedangkan realisasi on air di tahun<br />
yang sama sejumlah 4.269 kecamatan.<br />
d. Mobil Layanan Internet Kecamatan<br />
Penyediaan jasa pusat layanan<br />
internet kecamatan yang bersifat<br />
bergerak pada setiap unit kendaraan<br />
roda empat standar minibus. Target<br />
layanan ini pada tahun 2010 sejumlak<br />
1907, sedangkan realisasinya<br />
diharapkan terlaksana pada tahun<br />
2011.<br />
e. Penyiaran Radio Komunitas di<br />
daerah Perbatasan dan daerah<br />
Terpencil<br />
Pengembangan Lembaga Penyiaran<br />
Komunitas melalui penyediaan alat<br />
dan perangkat radio di daerah<br />
perbatasan dan daerah terpencil.<br />
Target penyediaan radio komunitas<br />
periode 2010-2014 sejumlah 1141<br />
radio komunitas. Sementara itu,<br />
realisasi pada tahun 2010 baru<br />
terlaksana pada level pelaksanaan<br />
pelelangan penyediaan alat dan<br />
perangkat radio komunitas di 15 desa<br />
informasi.<br />
f. Penyediaan sarana dan prasarana<br />
ICT di wilayah Blank Spot,<br />
Transmigrasi, Pesisir Pantai dll.<br />
Pada tahun 2010 belum dilakukan<br />
penyediaan sarana dan prasarana ITC<br />
di wilayah Blank Spot, Transmigrasi,<br />
Pesisir Pantai dll karena masih dalam<br />
proses identifikasi terhadap wilayahwilayah<br />
yang masih belum terakses<br />
oleh komunikasi dan informatika.<br />
g. Sistem Informasi Manajemen dan<br />
Monitoring Layanan Internet<br />
Kecamatan<br />
Layanan ini pada Tahun 2010 baru<br />
mencapai tahap pemilihan penyedia<br />
jasa yaitu PT Solusi Media Semesta.<br />
Sedangkan realisasi target penyediaan<br />
layanan ini diharapkan selesai dalam<br />
jangka waktu 4 tahun kedepan.<br />
h. Akses Internet<br />
Target layanan ini pada tahun 2010<br />
baru mencapai tahap pemilihan<br />
penyedia jasa yaitu PT Cyber<br />
Network Indonesia.<br />
5. Beberapa penilaian masyarakat<br />
Masyarakat umumnya menanggapi<br />
secara positif atas penyelenggaraan<br />
program USO. Antusiasme masyarakat<br />
akan layanan USO juga semakin tinggi<br />
mengingat kebutuhan akan teknologi dan<br />
informasi, di era globalisasi ini. Kebutuhan<br />
atas tindakan responsif, cepat, dan<br />
terencana dapat dihasilkan oleh<br />
masyarakat dengan tersedianya teknologi<br />
dan informasi yang memadai. Beberapa<br />
tanggapan masyarakat yang menilai<br />
positif program USO dapat dilihat,<br />
sebagai berikut :<br />
a. Bupati Trenggalek, pada tanggal 10<br />
Maret 2012, dalam acara penyerahan<br />
bantuan Mobile Pusat Layanan<br />
Internet Kecamatan oleh Direktur<br />
Telekomunikasi Khusus Penyiaran<br />
Publik dan Kewajiban Universal,<br />
30 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
PNBP<br />
Kemkominfo, menyampaikan bahwa<br />
bantuan dari Kemkominfo ini<br />
diharapkan dapat meningkatkan<br />
kemampuan masyarakat untuk<br />
mengakses informasi. Hal ini sejalan<br />
dengan hak masyarakat untuk untuk<br />
mendapatkan informasi. Namun<br />
demikian, Bupati Trenggalek juga<br />
menghimbau agar masyarakat dapat<br />
memanfaatkan teknologi secara bijak,<br />
mengingat kemajuan teknologi tak<br />
hanya memberikan manfaat, tetapi<br />
juga memberikan efek negatif jika<br />
tidak digunakan sebagaimana<br />
mestinya.<br />
b. Wakil Walikota Singkawang, dalam<br />
Sosialisasi dan Publikasi Program<br />
Kewajiban Pelayanan Universal pada<br />
tanggal 1 Maret 2012, menjelaskan<br />
bahwa pemerintah telah banyak<br />
m e m b u a t p r o g r a m u n t u k<br />
memperlancar informasi dan<br />
komunikasi. Program tersebut telah<br />
b e r u p ay a u n t u k m e m b a n t u<br />
masyarakat dalam mengakses<br />
informasi. Sebagai contohnya, pelajar,<br />
dengan adanya internet, sekarang tak<br />
lagi bermasalah dengan sulitnya<br />
mencari sumber-sumber pelajaran.<br />
Dengan demikian, sudah tak ada lagi<br />
alasan bagi pelajar untuk tidak<br />
berprestasi karena begitu luasnya<br />
akses informasi.<br />
Namun demikian, ada juga kritik<br />
masyarakat terhadap program USO.<br />
Sebagian kritik masyarakat terkait<br />
pelaksanaan program USO dapat dilihat,<br />
sebagai berikut :<br />
a. Pada Acara Forum Pemberdayaan<br />
Lembaga Komunikasi Sosial, pada<br />
tanggal 17 November 2011<br />
bertempat di Hotel Prasasti Pacitan,<br />
Dirjen Informasi Komunikasi Publik,<br />
Kemkominfo, mengungkapkan bahwa<br />
pemerintah melalui target USO<br />
terkait kegiatan desa pintar, perlu<br />
meningkatkan kecepatan dan akurasi<br />
dalam memperoleh dan menyalurkan<br />
informasi. Hal ini harus dilakukan<br />
untuk membentuk peradaban<br />
kehidupan manusia yang modern.<br />
Ditambahkannya pula, bahwa masih<br />
terjadi kesenjangan informasi di dalam<br />
konteks kehidupan masyarakat. Hai<br />
ini disebabkan oleh adanya<br />
keterbatasan ekonomi dan kurangnya<br />
keterampilan dalam menggunakan IT.<br />
Oleh karena itu, dibutuhkan<br />
p e m b a n g u n a n i n f r a s t r u k t u r<br />
komunikasi dengan melibatkan<br />
lembaga komunikasi sosial. Namun,<br />
pelibatan lembaga komunikasi sosial<br />
dipandang tak cukup. Pengembangan<br />
komunikasi dan Informasi harus<br />
m e l i b a t k a n s e m u a e l e m e n<br />
masyarakat secara berjenjang,<br />
termasuk Bupati atau kepala daerah<br />
setempat. Dengan demikian,<br />
kesuksesan program USO akan lebih<br />
terasa bila dibandingkan dengan<br />
hanya mengandalkan lembaga<br />
komunikasi sosial saja.<br />
b. Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto<br />
Atmosutarno, selaku Ketua Umum<br />
Asosiasi Telekomunikasi Seluler<br />
Indonesia pada tanggal 11 April 2011<br />
mengingatkan bahwa Pemerintah<br />
perlu melakukan redefinisi mengenai<br />
broadband atau jaringan pita lebar.<br />
Redefinisi broadband diperlukan<br />
karena broadband akan menjadi<br />
kebutuhan dasar setelah kebutuhan<br />
dasar akan layanan telekomunikasi<br />
telah terpenuhi. Lebih lanjut, Direktur<br />
Utama Telkomsel menambahkan,<br />
bahwa pada USO, pemerintah hanya<br />
membeli service-nya saja. Untuk<br />
kedepannya, broadband yang saat ini<br />
menggunakan mekanisme USO,<br />
harus diganti dalam model PSO. Hal<br />
i n i m e n g i n d i k a s i k a n b a hw a<br />
pemerintah setelah menyelesaikan<br />
masalah ketersediaan akses<br />
telekomunikasi melalui program<br />
USO, perlu memikirkan masalah<br />
transmisi untuk broadband. Masalah<br />
baru ini realistis dengan kebutuhan<br />
masyarakat atas jaringan transmisi<br />
yang lebih cepat, setelah kebutuhan<br />
akan tersedianya layanan komunikasi<br />
terpenuhi.<br />
foto: istimewa<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
31
PERISTIWA<br />
foto: dok. pribadi<br />
KOMITMEN PARA PEJABAT DJA<br />
Jakarta, 1/3//2012<br />
e b a g a i k o m i t m e n u n t u k<br />
melaksanakan tugas sebaik-baiknya,<br />
Spara pejabat eselon II dan III<br />
Direk torat <strong>Jenderal</strong> Ang g aran<br />
menandatangani Kontrak Kinerja<br />
dihadapan Direktur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong>,<br />
Herry Purnomo. Kontrak Kinerja para<br />
pejabat eselon II dan III merupakan tindak<br />
lanjut dari penandatanganan Kontrak<br />
Kinerja yang telah dilakukan oleh Dirjen<br />
<strong>Anggaran</strong> dihadapan Menteri Keuangan.<br />
Suatu organisasi di katakan maju apabila<br />
menerapkan kaidah-kaidah pengelolaan<br />
kinerja dengan lebih bagus, salah satunya<br />
melalui Kontrak Kinerja. Herry Purnomo<br />
berharap, kegiatan yang dilaksanakan<br />
pada hari ini dapat dimaknai tidak hanya<br />
sebagai suatu ceremony, tidak hanya suatu<br />
penandatanganan biasa tetapi bisa<br />
dimaknai sebagai suatu ikatan tanggung<br />
jawab antara bawahan dengan atasan baik<br />
di level eselon II, eselon III, maupun eselon<br />
IV dan pelaksana. "Sejak digulirkannya<br />
reformasi birokrasi, proses pengikatan<br />
seperti yang dilakukan pada saat ini masih<br />
ada beberapa hal yang menurut pendapat<br />
saya terlambat. Tetapi lebih baik<br />
terlambat daripada tidak sama sekali."<br />
sambung Herry.<br />
Dengan adanya penerapan penilaian<br />
kinerja perorangan pada tahun ini,<br />
diharapkan ada kemajuan kinerja untuk<br />
s e l u r u h p e g a w a i . D e n g a n<br />
ditandatanganinya Kontrak Kinerja, harus<br />
sudah dimulai evaluasi capaian kinerja<br />
masing-masing pegawai baik eselon II,<br />
eselon III, eselon IV maupun pelaksana.<br />
Selain itu, "segera fungsikan unit<br />
pengendalian intern, tidak hanya<br />
mengontrol masalah keuangan tetapi juga<br />
masalah pekerjaan. Baik mengenai SOP,<br />
prosedur penelaahan dan lain<br />
sebagainya." pesan Herry Purnomo.<br />
Herry juga menyingung adanya keluhan<br />
dari beberapa Sekretaris <strong>Jenderal</strong><br />
Kementerian/Lembaga (K/L) bahwa<br />
ketika proses penelaahan sudah ada<br />
kesepakatan untuk hal-hal tertentu.<br />
Misalnya ada suatu persyaratan yang<br />
sudah dipenuhi pada waktu pembahasan<br />
awal tetapi kemudian ada pembahasan<br />
lagi dan yang sudah disepakati ini diminta<br />
lagi. Terkait hal ini, Herry Purnomo<br />
berharap setiap adanya pertemuan,<br />
harus ada notulen agar segala sesuatunya<br />
terekam dengan jelas.<br />
Berdasarkan pengalaman Dirjen<br />
<strong>Anggaran</strong> dengan K/L dan auditor,<br />
sekiranya perlu dilihat lagi tata cara<br />
melakukan penelaahan, dokumendokumen<br />
apa saja yang perlu dilihat. Jadi<br />
diperlukan sebuah standarisasi sehingga<br />
betul-betul dapat dilakukan pelayanan<br />
prima. "selamat bekerja, selamat<br />
mencapai IKU yang sudah ditetapkan<br />
sesuai target yang telah disepakati."<br />
pungkas Herry Purnomo.<br />
32 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
PERISTIWA<br />
foto: dok. pribadi<br />
SOSIALISASI STANDAR BIAYA<br />
Jakarta, 22/3/2012<br />
ebagai salah satu pilar penting<br />
dalam penganggaran berbasis<br />
Skinerja, standar biaya mempunyai<br />
peran yang sangat strategis. Di kalangan<br />
kementerian negara/lembaga dan aparat<br />
pemeriksa masih ditemukan persepsi<br />
beragam dan masih sering menanyakan<br />
tentang fungsi atau penggunanan standar<br />
biaya. Hal tersebut disampaikan dalam<br />
sambutan Direktur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />
yang diwakili oleh Direktur Sistem<br />
Penganggran, Drs. Rakhmat, MA dalam<br />
pembukaan sosialisasi Peraturan Menteri<br />
Keuangan tentang Standar Biaya 2013.<br />
Rakhmat menjelaskan bahwa fungsi<br />
standar biaya adalah sebagai batas<br />
tertinggi biaya dan estimasi biaya. Standar<br />
biaya berupa honorarium atau yang<br />
bersifat menambah penghasilan pegawai<br />
berfungsi sebagai batas tertinggi yang<br />
tidak dapat dilampaui besaran biayanya<br />
baik dalam perencanaan maupun<br />
pelaksanaan anggaran. Untuk standar<br />
biaya yang berupa barang dan jasa<br />
berfungsi sebagai batas tertinggi di dalam<br />
perencanaan anggaran dan estimasi biaya<br />
dalam pelaksanaan anggaran. Hal ini<br />
berarti batas tersebut dapat dilampaui<br />
besarannya sepanjang sesuai harga pasar<br />
dan ketersediaan alokasi anggaran.<br />
Namun demikian harus memperhatikan<br />
prinsip ekonomis, efisiensi, efektifitas,<br />
serta mengacu pada ketentuan peraturan<br />
perundang-undangan.<br />
Apa yang disampaikan oleh Rakhmat<br />
dituangkan dalam Peraturan Menteri<br />
Keuangan Nomor 37/PMK.02/2012.<br />
Dalam PMK tersebut, telah dilakukan<br />
penyempurnaan dan pengembangan<br />
agar lebih aplikatif dalam penggunaannya,<br />
antara lain meliputi penambahan satuan<br />
biaya (di antaranya Honorarium<br />
Pengurus/Penyimpan BMN dan Uang<br />
Saku Rapat Dalam Kantor), penyesuaian<br />
besaran, penegasan definisi dan fungsi<br />
standar biaya.<br />
S t a n d a r B i ay a TA 2 0 1 3 j u g a<br />
disempurnakan dengan pengaturan<br />
satuan biaya untuk masing-masing<br />
provinsi dan untuk daerah-daerah<br />
dengan tingkat kemahalan di atas normal<br />
di provinsi-provinsi tertentu. Bahkan<br />
Standar Biaya TA 2013 juga mengatur<br />
satuan biaya penyelenggaraan kantor<br />
perwakilan RI di luar negeri. Hal ini<br />
menegaskan bahwa standar biaya<br />
diharapkan dapat diterapkan pada semua<br />
wilayah di Indonesia bahkan digunakan di<br />
luar negeri. Diharapkan standar biaya<br />
tahun 2013 makin implementatif saat<br />
digunakan oleh seluruh kementerian<br />
negara/lembaga.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
33
PERISTIWA<br />
foto: dok. pribadi<br />
RAKOR LKPP 2012<br />
Jakarta, 7/2/2012<br />
asil audit BPK atas Laporan<br />
Keuangan Pemerintah Pusat<br />
H(LKPP) 2010, ditemukan<br />
beberapa permasalahan terkait dengan<br />
pengelolaan PNBP dan Belanja pada BA<br />
9 9 9 . 0 7 d a n B A 9 9 9 . 0 8 y a n g<br />
menyebabkan BPK memberikan opini<br />
Wajar Dengan Pengecualian (WDP).<br />
Untuk meningkatkan opini audit BPK atas<br />
LKPP, <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />
m e n g u n d a n g w a k i l - w a k i l d a r i<br />
Kementerian Negara/Lembaga (K/L)<br />
untuk bersama-sama memecahkan<br />
permasalahan tersebut. Rapat koordinasi<br />
m e n g a m b i l t e m a Pe n i n g k a t a n<br />
Akuntabilitas Pengelolaan PNBP, BA<br />
999.07 dan BA 999.08 Menuju LKPP<br />
Dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian.<br />
Wakil Menteri Keuangan I, Anny<br />
Ratnawati dalam sambut annya<br />
menyampaikan bahwa akuntabilitas,<br />
transparansi dan governance merupakan<br />
syarat mutlak dalam penyelenggaraan<br />
Pemerintah. Anny mengingatkan bahwa<br />
sumber krisis yang terjadi di Eropa dan<br />
Amerika dikarenakan fiscal policy yang<br />
tidak prudent dan belanja yang tidak<br />
efisien sehingga kita tidak boleh lengah<br />
dan jangan melakukan kesalahan yang<br />
dilakukan oleh negara-negara maju.<br />
Agar APBN sehat, kita harus mencari<br />
sebanyak mungkin sumber penerimaan<br />
dan tidak boleh terjadi "besar pasak<br />
daripada tiang", sambung Anny. Dari<br />
sinilah peranan Penerimaan Negara<br />
Bukan Pajak (PNBP) menjadi penting<br />
karena <strong>24</strong>,5 persen penerimaan Negara<br />
berasal dari PNBP. Harus ada pengaturan<br />
lebih lanjut untuk pemungutan PNBP.<br />
Pelaporan PNBP masih menjadi problem<br />
d a n b a n y a k K e m e n t e r i a n<br />
Negara/Lembaga tidak melaporkan<br />
PNBP nya karena tidak ada reward and<br />
punishment. Disamping itu, banyak<br />
keluhan tentang pemanfaatan PNBP, yaitu<br />
PNBP seringkali tidak bisa digunakan di<br />
awal tahun padahal pemanfaatan hak<br />
y a n g d i m i l i k i K e m e n t e r i a n<br />
Negara/Lembaga untuk kepentingan<br />
publik harus bisa digunakan di awal tahun.<br />
Untuk hal ini Anny Ratnawati<br />
mengingatkan <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
<strong>Anggaran</strong> untuk melakukan review.<br />
Dalam hal belanja subsidi dan belanja lainlain,<br />
sejak tahun lalu seluruh alokasi dari<br />
BA 999.07 dan BA 999.08 akan<br />
dicatatkan pada BA K/L. Hal ini<br />
dimaksudkan agar asas governance terjaga<br />
karena yang menggunakan belanja dari<br />
BA 999.07 dan BA 999.08 adalah<br />
Kementerian Negara/Lembaga masingmasing.<br />
Jangan sampai Kementerian<br />
Negara/Lembaga yang belanja,<br />
Ke m e n t e r i a n Ke u a n g a n y a n g<br />
bertanggungjawab, pungkas Anny.<br />
Selanjutnya Direktur <strong>Anggaran</strong> III,<br />
Sambas Mulyana, Direktur PNBP,<br />
Askolani dan Kepala Auditorat IIA BPK, I<br />
G e d e K a s t aw a b e r t u r u t - t u r u t<br />
menyampaikan materi mengenai temuan<br />
BPK atas LKPP dalam hal pengelolaan<br />
PNBP dan Belanja Subsidi dan Belanja<br />
Lain-lain.<br />
34 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
PERISTIWA<br />
foto: dok. pribadi<br />
REVIEW BASELINE<br />
Jakarta, 9/2/2012<br />
“ engan dilakukannya review<br />
terhadap baseline, maka<br />
Dpenetapan pagu indikatif<br />
menjadi lebih realistis, sehingga ketika kita<br />
mencari sumber pendanaan untuk<br />
memenuhi kebutuhan Kementerian<br />
Negara/Lembaga menjadi lebih tepat",<br />
demikian harapan Direktur <strong>Anggaran</strong> II,<br />
Dwi Pujiastuti Handayani (akrab disapa<br />
Ani) dalam wawancara singkat setelah<br />
memberikan arahan dalam acara<br />
Bimbingan Teknis Review Baseline yang<br />
diselenggarakan di Jakarta, selama 3 (tiga)<br />
hari sejak tanggal 7-9 Februari 2012.<br />
"Peserta bimtek diharapkan dapat<br />
mengikuti kegiatan ini dengan serius<br />
karena selain diberikan paparan materi<br />
juga dilakukan latihan bagaimana<br />
melakukan review baseline", pesan singkat<br />
Ani dalam arahannya dihadapan<br />
kementerian negara/lembaga yang<br />
menjadi mitra kerjanya.<br />
Selanjutnya, didampingi Kepala<br />
Subdirektorat <strong>Anggaran</strong> IIB, Aprildin<br />
selaku moderator, Kepala Subdirektorat<br />
Transformasi Sistem Penganggaran,<br />
Made Arya Wijaya membawakan<br />
paparan materi tentang review baseline<br />
Tahun 2012. Baseline pada Tahun<br />
<strong>Anggaran</strong> 2012, yaitu :<br />
1. B a s e l i n e k e b u t u h a n B i a y a<br />
Operasional:<br />
a. Pembayaran gaji, tunjangan yang<br />
melekat dg gaji, honor tetap,<br />
tunjangan lain terkait dg belanja<br />
pegawai, lembur dan vakasi;<br />
b. O p e r a s o n a l s e h a r i - h a r i<br />
perkantoran, langganan daya dan jasa,<br />
pemeliharaan sarana dan prasarana<br />
kantor.<br />
2. Baseline kebutuhan Biaya Non<br />
Operasional:<br />
a. Ke g i a t a n / O u t p u t t e r k a i t<br />
pelaksanaan tugas fungsi unit;<br />
b. Ke g i a t a n / O u t p u t t e r k a i t<br />
pelayanan kepada publik;<br />
c. Ke g i a t a n / O u t p u t t e r k a i t<br />
pelaksanaan kebijakan prioritas<br />
pembangunan nasional;<br />
d. Ke g i a t a n / O u t p u t t e r k a i t<br />
penugasan sesuai kebijakan<br />
Pemerintah.<br />
Dengan dilakukan review baseline pada<br />
biaya operasional, dapat dilakukan<br />
perbaikan pola distribusi antar Program<br />
atau antar Unit/Satker dlm K/L yang<br />
bersangkutan. Sehingga apabila terjadi<br />
kekurangan alokasi pagu, sepanjang<br />
penyebabnya telah diidentifikasi dengan<br />
jelas dan dilengkapi dokumen pendukung<br />
yang benar, maka kebutuhan anggarannya<br />
harus dihitung menjadi baseline.<br />
Sedangkan dalam hal terdapat alokasi<br />
pagu yang berlebih, maka selisih<br />
lebihnya harus dikeluarkan dari<br />
penghitungan baseline. Untuk biaya<br />
non operasional, review baseline antara<br />
lain berguna dalam menilai "apakah<br />
suatu program/kegiatan/output sangat<br />
diperlukan untuk dilanjutkan", "apakah<br />
menghasilkan optimalisasi", dan<br />
"apakah sudah dikelola dengan metode<br />
yang tepat".<br />
"Yang terpenting dalam melakukan<br />
review adalah tidak mencampur<br />
kebijakan existing dengan isu-isu<br />
kebijakan yang akan dilakukan pada<br />
tahun yang akan datang, tetapi hal<br />
tersebut dapat dijadikan inisiatif baru",<br />
pesan Made dalam menjawab<br />
pertanyaan dari salah satu peserta<br />
bimtek. Sesi latihan menjadi sesi<br />
penutup acara bimtek review baseline.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
35
PERISTIWA<br />
foto: dok. pribadi<br />
D I R J E N A N G G A R A N<br />
“MENDISIPLINKAN” PEGAWAI<br />
irektur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong>,<br />
H e r r y P u r n o m o<br />
Dm e n g u m p u l k a n s e l u r u h<br />
pegawainya dalam acara sosialisasi<br />
penegakan disiplin PNS. Herry meminta<br />
kepada seluruh pegawai <strong>Direktorat</strong><br />
<strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong> untuk terus menjaga<br />
disiplin dalam menjalankan tugas.<br />
"Sebagai PNS, kita diikat oleh ramburambu<br />
disiplin dan kode etik. Terjadinya<br />
pelanggaran-pelanggaran disiplin pegawai<br />
diakibatkan kurangnya pemahaman atas<br />
peraturan disiplin PNS. Selain itu, para<br />
atasan banyak yang tidak mengetahui dan<br />
memahami kewenangannya untuk<br />
membina bawahannya" sambung Herry.<br />
Selain itu, Direktur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />
mengingatkan jajarannya untuk selalu<br />
menjaga hal-hal yang bersifa t<br />
administratif terutama atas beberapa<br />
kasus yang menyangkut pengelolaan<br />
APBN pada Kementerian/Lembaga lain.<br />
"Dalam hal pembahasan RKA-KL,<br />
dokumen-dokumen yang bersifat<br />
administratif harus benar-benar dijaga<br />
dengan baik, begitu juga dengan<br />
dokumen pendukungnya".<br />
Pada bagian akhir, Herry kembali<br />
berpesan kepada seluruh pegawai untuk<br />
s e l a l u m e n j a g a i n tegrit a s d a n<br />
profesionalisme dalam menjalankan<br />
tugasnya. Para pegawai diingatkan untuk<br />
tidak mudah tergiur oleh materi yang<br />
ditawarkan oleh mitra kerja.<br />
36 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
BERITA<br />
REWARD AND PUNISHMENT<br />
foto: dok. pribadi<br />
“<br />
alaupun batas wak tu<br />
pemberian reward and<br />
Wpunishment menurut UU<br />
APBN adalah tanggal 31 Maret, namun<br />
(acara ini dilakukan) agar lebih siap dalam<br />
meng-exercise dan menganalisa<br />
pemberian penghargaan dan sanksi ini<br />
(sehingga bisa selesai lebih cepat)”.<br />
Hal tersebut tersebut disampaikan oleh<br />
Direktur Sistem Penganggaran, Rakhmat<br />
pada acara sosialisasi pemberian<br />
penghargaan dan sanksi K/L pada APBN<br />
TA 2011 (16/01/2012). Rakhmat juga<br />
menegaskan bahwa langkah percepatan<br />
tersebut sekaligus sebagai usaha dalam<br />
mendukung kinerja <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />
<strong>Anggaran</strong> dalam rangka program “Naik<br />
Kelas”.<br />
Selanjutnya Kasubdit Evaluasi Kinerja<br />
Penganggaran, Dendi Koska dan<br />
Kasubdit Pengembangan Sistem<br />
Penganggaran, Made Arya Wijaya<br />
menjelaskan mengenai dasar hukum<br />
pemberian penghargaan dan sanksi,<br />
kriteria dan bentuk penghargaan dan<br />
sanksi. Disampaikan bahwa ada beberapa<br />
hal yang perlu diperhatikan dalam proses<br />
pengenaan penghargaan dan sanksi,<br />
antara lain :<br />
1. Pemberian reward kepada K/L<br />
merupakan penghargaan dari<br />
pemerintah atas kinerja K/L yang<br />
menggunakan anggaran belanja<br />
dengan lebih efisien.<br />
2. Realisasi penyerapan anggaran oleh<br />
K/L untuk TA 2011 rata-rata sebesar<br />
84,7% sehingga jika diberikan<br />
tambahan alokasi, agar dipastikan<br />
dapat terserap dengan baik,<br />
menambah kinerja dan digunakan<br />
untuk hal-hal yag bersifat prioritas<br />
nasional.<br />
3. Tahun <strong>Anggaran</strong> 2012 merupakan<br />
tahun kedua penerapan penghargaan<br />
dan sanksi, sehingga K/L diharapkan<br />
semakin menyadari dan lebih paham<br />
implikasinya.<br />
4. Pagu belanja untuk TA 2012 telah<br />
diikat oleh t arget kinerja<br />
pembangunan, sehing ga jika<br />
dilakukan pemotongan pagu belanja<br />
K/L diharapkan tidak mengganggu<br />
pencapaian target kinerja yang telah<br />
direncanakan.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
37
BERITA<br />
LANGKAH-LANGKAH DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN<br />
DALAM PENYUSUNAN PAGU INDIKATIF TAHUN 2013<br />
Oleh Kiswanto<br />
alam proses penyusunan Pagu<br />
Indikatif 2013, <strong>Direktorat</strong><br />
D<strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong> (DJA) telah<br />
melakukan pemantapan penerapan<br />
<strong>Anggaran</strong> Berbasis Kinerja (ABK).<br />
Pemantapan ABK dilakukan dengan<br />
kebijakan (i) menyempurnakan pola<br />
pengalokasian anggaran yang mengacu<br />
pada prinsip money follow function, (ii)<br />
memberikan fleksibilitas yang lebih besar<br />
kepada Pengguna <strong>Anggaran</strong> (PA)/Kuasa<br />
Pengguna <strong>Anggaran</strong> (KPA) dalam<br />
p e l a k s a n a a n a n g g a r a n m e l a l u i<br />
penyederhanaan struktur anggaran dan<br />
jenis belanja. (iii) meningkatkan<br />
keterkaitan antara alokasi anggaran<br />
dengan target kinerja yang akan<br />
dihasilkan (iv) Meningkatkan efisiensi<br />
belanja melalui penajaman atas kelayakan<br />
anggaran terhadap sasaran kinerja dan<br />
konsistensi sasaran kinerja dengan<br />
Renstra/Rencana Kerja Pemerintah<br />
(RKP).<br />
Selain itu, dilakukan pemantapan<br />
penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka<br />
Menengah (KPJM), melalui (i) penerapan<br />
anggaran bergulir melalui penyusunan<br />
prakiraan maju untuk 3 tahun anggaran<br />
kedepan (ii) Penggunaan angka prakiraan<br />
maju sebagai dasar penghitungan alokasi<br />
anggaran dan proyeksi kebutuhan<br />
anggaran terhadap sebuah kebijakan yang<br />
dilaksanakan lebih dari satu tahun (iii)<br />
penyesuaian angka dasar berdasarkan<br />
perubahan parameter ekonomi (inflasi,<br />
nilai tukar rupiah) dan parameter non<br />
ekonomi (penyesuaian Standar Biaya<br />
Umum, St andar Biaya Khusus,<br />
penambahan/pengurangan volume di<br />
luar prioritas nasional/bidang) serta hasil<br />
evaluasi kinerja anggaran. (iv) mekanisme<br />
Inisiatif Baru dan metode kompetisi<br />
dalam penilaian untuk tambahan alokasi<br />
anggaran bagi K/L diluar angka dasar<br />
(baseline) (v) Penyempurnaan metode<br />
costing untuk proposal penilaian Inisiatif<br />
Baru<br />
Untuk mendapatkan informasi<br />
mendalam tentang program/kegiatan<br />
prioritas dan kebutuhan anggaran yang<br />
akan dilaksanakan dari masing-masing K/L<br />
pada tahun 2013, DJA telah melakukan<br />
Roadshow ke 6 K/L besar. Keenam K/L<br />
tersebut adalah Kementerian Pekerjaan<br />
Umum, Kementerian Perhubungan,<br />
Ke m e n t e r i a n P e n d i d i k a n d a n<br />
Kebudayaan, Kementerian Agama,<br />
Kementerian Pertahanan dan Kepolisian<br />
RI .<br />
Kegiatan roadshow penting dilakukan<br />
agar diperoleh bahan dan masukan yang<br />
akan digunakan sebagai bahan analisis,<br />
pertimbangan dan perhitungan dalam<br />
penyusunan resource envelope, serta<br />
pengukuran kapasitas fiskal yang akurat<br />
sesuai dengan kebutuhan rill dan prioritas<br />
pembangunan nasional. Dari kegiatan<br />
roadshow juga diperoleh bahan untuk<br />
mengawali penyusunan pagu indikatif<br />
berdasarkan dinamika kebijakan<br />
pengalokasian anggaran pada tahun<br />
2012, updating renstra K/L, capaian<br />
kinerja tahun 2011, arahan / direktif<br />
presiden, hasil sidang kabinet dan<br />
komitmen pemerintah yang akan<br />
mempengaruhi penyediaan alokasi<br />
anggaran tahun 2013<br />
DJA juga melakukan review baseline<br />
alokasi anggaran tahun 2012 dalam<br />
rangka penyusunan pagu indikatif 2013.<br />
Review dimaksudkan untuk memperoleh<br />
indikasi awal (ancar-ancar) kebutuhan<br />
anggaran yang harus disediakan untuk<br />
melaksanakan Program/ Kegiatan sesuai<br />
kebijakan Pemerintah dengan target<br />
kinerja tertentu yang telah ditetapkan<br />
serta berdasarkan prakiraan maju (KPJM<br />
Tahun 2013) dalam RKA-KL tahun 2012.<br />
Terakhir, dalam rangka melaksanakan<br />
fungsi akuntabilitas diterapkan Evaluasi<br />
Kinerja Penganggaran sesuai amanat PMK<br />
<strong>24</strong>9/MK.02/2012. Kepada para<br />
Menteri/Pimpinan Lembaga diminta<br />
untuk melakukan pengukuran dan<br />
evaluasi Kinerja atas pelaksanaan RKA-<br />
K/L tahun sebelumnya dan tahun<br />
anggaran berjalan. Aspek yang diukur<br />
dalam evaluasi kinerja tersebut adalah<br />
aspek implementasi, aspek manfaat dan<br />
aspek konteks.<br />
38 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
foto: dok. pribadi
foto: dok. pribadi<br />
STANDAR BIAYA,<br />
KEMANA DIKEMBANGKAN?<br />
Oleh Langgeng Suwito<br />
PENGANTAR<br />
Secara yuridis (de jure) kehendak untuk<br />
mempraktekkan Performace Based<br />
Budgetting telah diamanatkan dalam UU<br />
No 17 tentang Keuangan Negara, namun<br />
setelah hampir 10 (sepuluh) tahun<br />
diundangkan, boleh jadi dalam<br />
prakteknya (de facto) masih belum<br />
seperti harapan, seperti masih tercampur<br />
dengan rasa Line Item Budgetting. Hal ini<br />
utamanya karena proses penganggaran<br />
yang ada masih sering terperangkap<br />
dengan hal-hal detail item-per-item<br />
belanja, yang melebihi dari orientasi pada<br />
hasil (output) – itu sendiri. Hal lain yang<br />
juga ikut memperkeruh kondisi ini adalah<br />
penerapan prinsip let managers manage<br />
pada K/L pada saat pelaksanaan anggaran,<br />
yang juga masih sangat kental dengan<br />
pendekatan item-item belanja yang<br />
sering melebihi dari upaya pencapaian<br />
output secara efisien dan efektif.<br />
Pe r fo r m a n c e B a s e d B udgetting<br />
mensyaratkan bahwa terlaksananya<br />
prinsip let managers manage akan<br />
berjalan baik manakala: (1) adanya<br />
kepercayaan (trust) dari Kementerian<br />
Keuangan selaku Chief Financial Officer<br />
(CFO) kepada K/L(managers) selaku<br />
Chief Operational Officer (COO) untuk<br />
mengurus hal-hal yang detail dan<br />
mengikat hal-hal yang strategis (capaian<br />
output), didasarkan pada anggapan<br />
bahwa K/L (managers) adalah pihak yang<br />
dianggap paling mengetahui dan paling<br />
bertanggung jawab tentang bagaimana<br />
cara untuk mencapai output yang<br />
diperjanjikan atas penggunaan alokasi<br />
anggaran, dan (2) pada saat bersamaan<br />
K/L (managers) diasumsikan memang<br />
dapat dipercaya (amanah) dalam<br />
membelanjakan anggarannya untuk<br />
mencapai output yang diperjanjikan<br />
secara efisien dan efektif, sehingga apabila<br />
dalam pelaksanannya terdapat<br />
pelanggaran maka mereka harus<br />
dimintakan pertanggungjawabannya.<br />
Tulisan ini memaparkan peran strategis<br />
s t andar biaya (cos ting ) dalam<br />
mewujudkan tujuan performance based<br />
budgetting, dan langkah-langkah untuk<br />
merealisasikannya. Melalui tulisan ini<br />
diharapkan dapat menginspirasi pembaca<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
39
SISTEM PENGANGGARAN<br />
dan semua pihak terkait dalam<br />
mengefektifkan peran standar biaya<br />
dalam sistem penganggaran.<br />
PERANAN STANDAR BIAYA<br />
Upaya untuk mengoptimalkan peran<br />
standar biaya (costing) dalam sistem<br />
penganggaran pperlu berangkat dari<br />
pemikiran tentang perlunya mencermati<br />
kembali atas pengaturan three in one (satu<br />
dan lainnya saling melengkapi, saling<br />
menguatkan, dan harus saling bekerja<br />
paralel), yaitu antara: (1) indikator<br />
output, (2) standar biaya (costing) dan<br />
(3) monitoring & evaluasi (monev) dalam<br />
mensukseskan pelaksanaan Performance<br />
Based Budgetting pada pasal 3 ayat (3) PP<br />
Nomor 90 Tahun 2010 tentang<br />
penyususnan RKAKL. Hubungan ketiga<br />
hal tersebut dapat dijelaskan sebagai<br />
berikut: Pertama, rumusan output secara<br />
tepat beserta indikatornya merupakan<br />
cerminan seberapa efektif nantinya akan<br />
mampu menopang mencapaian kegiatan,<br />
program dan dampak (impacts) dari<br />
alokasi anggaran akan dirasa secara riil<br />
oleh masyarakat. Hal ini menguatkan<br />
keyakinan tentang urgensi untuk<br />
mengawal terwujudnya rumusan output<br />
dan indikator kinerja K/L yang makin baik<br />
dari waktu ke waktu. Kedua, standar biaya<br />
(costing) merupakan alat agar alokasi<br />
anggaran dapat dilakukan secara efisien<br />
dan ekonomis dalam pencapaian output.<br />
Hal ini mengedepankan pentingnya<br />
allocatif efficiency dalam perencanaan<br />
anggaran dan operational efficiency dalam<br />
pelaksanaan anggaran dengan<br />
menggunakan prinsip let managers<br />
manage. Sedangkan ketiga, monev<br />
menjadi pilar/alat untuk mengawal dan<br />
membandingkan antara pelaksanaan<br />
anggaran dengan tujuan kinerja yang<br />
diharapkan dari alokasi anggaran agar<br />
dapat terlaksana sesuai dengan yang telah<br />
diperjanjikan dalam indikator kinerja<br />
output sampai dengan impact kepada<br />
masyarakat. Dari ketiga instrumen<br />
tersebut selanjutnya indikator output dan<br />
costing yang memadai diperlukan agar<br />
monev dapat berjalan sesuai tujuan.<br />
Rumusan output yang tepat dan<br />
memadai merupakan prasyarat agar<br />
costing dapat dilaksanakan secara baik<br />
pada saat proses alokasi anggaran.<br />
Selanjutnya, hasil monev juga dibutuhkan<br />
untuk proses costing dalam alokasi<br />
anggaran periode berikutnya.<br />
Standar biaya (costing) dalam sistem<br />
penganggaran mempunyai peran yang<br />
sangat penting untuk menjamin<br />
terwujudnya keekonomian dan efisiensi<br />
anggaran. Salah satu alasannya adalah<br />
karena karakteristik K/L (pengguna<br />
anggaran) saat ini cenderung untuk<br />
menggunakan anggaran dengan harga<br />
maksimal dan perlunya prinsip keadilan<br />
u n t u k p e m b i a y a a n s u a t u<br />
kegiatan/aktivitas yang sama bagi seluruh<br />
K/L. Untuk mewujudkan peran standar<br />
biaya yang makin berkontribusi positif<br />
d a l a m s i s t e m p e n g a n g g a r a n ,<br />
Kementerian Keuangan dalam hal ini<br />
Ditjen <strong>Anggaran</strong> sebagai otoritas<br />
perencanaan keuangan K/L telah<br />
melakukan langkah-langkah dalam<br />
menerapkan efisiensi belanja negara,<br />
salah satu caranya melalui penetapan<br />
standar biaya, yang meliputi: (1) standar<br />
biaya masukan (SBM), dan (2) standar<br />
biaya keluaran (SBK). Mengingat Standar<br />
biaya merupakan instrumen efisiensi<br />
dalam penerapan Performance Based<br />
Budgetting, maka pengembangan<br />
standar biaya (costing) akan diarahkan<br />
pada pengembangan standar biaya yang<br />
berorientasi pada hasil atau penyusunan<br />
standar biaya berbasis output dalam<br />
bentuk penyusunan Standar Biaya<br />
Keluaran (SBK). Seharusnya SBK secara<br />
bertahap dikembangkan ke arah fullcosting<br />
(dengan mengecualikan<br />
komponen gaji dan biaya administrasi<br />
p a d a t a h a p aw a l n y a ) d e n g a n<br />
menggunakan pendekatan activity based<br />
costing. Apabila hal ini telah dilakukan,<br />
maka alokasi anggaran K/L akan<br />
didasarkan pada alokasi biaya output yang<br />
dihasilkan oleh K/L yang bersangkutan.<br />
P E N G E M B A N G A N S TA N DA R<br />
BIAYA<br />
Standar Biaya Masukan (SBM) saat ini<br />
telah menjadi tools bagi pengguna<br />
anggaran dalam melakukan penyusunan<br />
RKA-K/L. Selain itu, standar biaya juga<br />
d i p e r l u k a n u n t u k m e m b a t a s i<br />
pengeluaran-pengeluaran yang terkait<br />
dengan tambahan penghasilan bagi<br />
pegawai, karena dengan belum<br />
berlakunya sistem remunerasi secara<br />
penuh, saat ini banyak K/L yang masih<br />
mengalokasikan honorarorium yang<br />
seharusnya sudah menjadi bagian dari<br />
sistem remunerasi sehingga perlu<br />
pembatasan melalui standar biaya.<br />
Sedangkan untuk Standar Biaya Keluaran<br />
(SBK), saat ini penyusunannya masih<br />
dilakukan hanya untuk biaya langsung<br />
(direct cost) yang terkait langsung dalam<br />
pencapaian suatu output, dengan fokus<br />
pada proses pembelajaran kepada K/L<br />
bahwa penyusunan SBK merupakan<br />
bagian dari upaya efisiensi belanja negara.<br />
Namun demikian, pengembangan<br />
konsep SBK terus dilakukan secara<br />
bertahap agar perubahan yang terjadi<br />
dapat berjalan dengan baik dan dapat<br />
diterima oleh pihak-pihak yang<br />
berkepentingan.<br />
Beberapa hal penting yang merupakan<br />
arah pengembangan SBM ke depan<br />
adalah: (1) Peningkatan kualitas dan<br />
cakupan SBM, dan mencarikan penataan<br />
pengaturan terhadap satuan-satuan biaya<br />
yang berlaku spesifik pada setiap K/L<br />
untuk menjamin efisiensi anggaran, (2)<br />
Makin mengintensifkan keterlibatan K/L<br />
dalam penyusuna SBM, dan (3)<br />
Menggeser penggunaan SBM ke K/L<br />
dengan menguatkan peran aparat<br />
p e n g aw a s a n d a l a m m e m a n t a u<br />
pelaksanaan SBM oleh K/L. Sedangkan<br />
beberapa arah pengembangan SBK<br />
a n t a r a l a i n d e n g a n c a r a : ( 1 )<br />
Pengembangan costing methodologies,<br />
dan (2) pengembangan banch marking<br />
atas SBK yang telah ada untuk diterapkan<br />
pada tahun berbeda, wilayah berbeda,<br />
atau K/L berbeda. Kondisi saat ini, SBK<br />
sebagai alat efisiensi kurang atau<br />
mendapat tanggapan positif dari K/L<br />
karena beberapa hal: (1) keengganan K/L<br />
untuk melakukan efisiensi, (2) Hukum<br />
penerapan SBK belum menjadi<br />
kewajiban, (3) K/L belum merasa<br />
menerima manfaat secara nyata atas<br />
penerapan SBK, (4) Yang sudah<br />
menerapkan SBK justru merasa sering<br />
diaudit daripada yang belum menerapkan<br />
SBK. Hal-hal tersebut selanjutnya perlu<br />
disikapi dengan seksama, dan dituangkan<br />
dalam peraturan.<br />
40 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
SISTEM PENGANGGARAN<br />
L A N G K A H - L A N G K A H<br />
PENGEMBANGAN<br />
Untuk mencapai tujuan pengembangan<br />
standar biaya tersebut di atas, perlu<br />
difikirkan tent ang reformulasi<br />
pengaturan teknis standar biaya dari<br />
tahun ke tahun, yang selama ini diatur<br />
dalam PMK Standar Biaya tiap tahunnya.<br />
Hal mendasar pertama adalah bagaimana<br />
mewujudkan adanya pengaturan standar<br />
biaya yang berlaku untuk sepanjang tahun<br />
yang mencakup prinsip-prinsip dan<br />
pedoman-pedoman costing untuk<br />
menjamin alllocative efficiency dan<br />
operational efficiency. Selanjutnya<br />
bagaimana memberikan pengaturan<br />
standar-standar biaya yang berlaku untuk<br />
setiap tahunnya sebatas pada hal-hal atau<br />
angka-angka detailnya.<br />
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah<br />
pengembangan SBK yang menjadi suatu<br />
kewajiban bagi K/L untuk ha-hal tertentu<br />
secara bertahap melalui proses<br />
penelaahan secara prudent yg akan<br />
dijadikan sebagai baseline (angka dasar)<br />
semua output. Untuk mendukung proses<br />
ini perlu disusun costing methodolgy<br />
sebagai proses efisiensi terhadap outputoutput<br />
yang dihasilkan K/L. Kalau hal ini<br />
sudah tertata, langkah berikutnya adalah<br />
alokasi output-output yang bersifat<br />
dukungan manajemen (Gaji dan<br />
Manajemen Kantor) didistribusikan<br />
kepada output-output teknis sehingga<br />
yang tersisa adalah output teknis saja<br />
sebagai dasar alokasi K/L. Untuk<br />
mendukung alokasi output bersangkutan<br />
maka perlu pedoman bagaimana suatu<br />
output dicapai melalui tahapan-tahapan<br />
atau komposisi biaya tertentu sehingga<br />
dalam pencapaian suatu output menjadi<br />
jelas biaya-biaya yang diperlukan.<br />
Secara lebih rinci, langkah-langkah<br />
pengembangan dari aspek kebijakan,<br />
sistem dan SDM adalah sebagai berikut:<br />
a. Aspek Kebijakan<br />
Pengembangan standar biaya<br />
diarahkan kepada pencapaian<br />
keekonomiasan alokasi dan efisiensi<br />
belanja negara dalam rangka<br />
mendukung penerapan anggaran<br />
b e r b a s i s k i n e r j a . U n t u k<br />
pengembangan ini perlu koordinasi<br />
secara lebih inten antara DJA dengan<br />
K/L dan para praktisi penganggaran,<br />
khususnya mengenai metodologi<br />
pembiayaan sebagai upaya untuk<br />
mendorong percepatan penerapan<br />
SBK.<br />
b. Aspek Kesisteman<br />
Pengembangan standar biaya harus<br />
sejalan dengan sistem perencanaan<br />
yang berlaku (Renstra, Renja,<br />
Penganggaran itu sendiri (RKA-K/L),<br />
dokumen pelaksanaan anggaran dan<br />
pertanggungjawaban kinerja (LKPP<br />
dan LAKIP). Dari aspek kelembagaan,<br />
perlu dikaji kembali keberadaan unit<br />
yang bertanggungjawab menangani<br />
seluruh elemen yang terdapat di<br />
dalam Standar Biaya, dan dalam<br />
kerangka penerapan full-costing maka<br />
upaya untuk mensinergikan<br />
penanganan standar biaya dan<br />
remunerasi merupakan hal urgent<br />
dalam kerangka proses reorganisasi.<br />
Dari sisi Teknologi Informasi, perlu<br />
dikembangkan Sistem Informasi /<br />
Teknologi Informasi (SI/TI) dalam<br />
rangka pengolahan data hasil survei<br />
dan penetapan besaran standar biaya<br />
secara elektronik.<br />
c. Aspek Sumber Daya Manusia<br />
Peningkatan kapasitas SDM yang<br />
memadai untuk mengembangkan<br />
norma akuntansi biaya pada sektor<br />
publik/pemerintahan sebagai upaya<br />
penerapan efisiensi atas anggaran<br />
berbasis kinerja. Peningkatan SDM<br />
dimaksud meliputi SDM pada<br />
Kemenkeu (sebagai CFO), K/L<br />
(COO) maupun Aparat Pemeriksa<br />
Fungsional (BPK, BPKP) melalui<br />
program intensif semacam PPAKP<br />
(pada akuntansi pemerintahan)<br />
dengan tekanan pengetahuan proses<br />
perencanaan dan costing methodology.<br />
d. Aspek pengembangan kerjasama<br />
Pengembangan standar biaya tidak<br />
hanya cukup dilaksanakan sendiri.<br />
Perlu adanya upaya-upaya yang lebih<br />
strategis dengan memperluas<br />
kerjasama dengan pihak lain untuk<br />
pengembangannya. Beberapa bentuk<br />
kerjasama pengembangan Standar<br />
Biaya antara lain dalam bentuk<br />
kerjasama terkait costing methodology<br />
dengan pihak kampus, pelaksanaan<br />
survey dengan BPS dan/atau institusi<br />
Kementerian Keuengan yang memiliki<br />
kantor daerah, dan terkait capacity<br />
building dan bantuan konsultan dapat<br />
bekerjasama dengan lembagalembaga<br />
internasional yang bersedia<br />
memberikan bantuan atau hibah<br />
untuk kepentingan pengembangan<br />
standar biaya tersebut.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
41
SISTEM PENGANGGARAN<br />
MENGKAJI KEMBALI REFORMASI SISTEM PENGANGGARAN,<br />
BAGAIMANA MEMPERKUAT KETERKAITAN<br />
KEBIJAKAN MAKRO-MIKRO DALAM IMPLEMENTASI<br />
KEBIJAKAN ANGGARAN PEMERINTAH<br />
Oleh : Ernest Patria Raihan<br />
<strong>Direktorat</strong> Sistem Penganggaran<br />
PENDAHULUAN<br />
Sistem perencanaan penganggaran yang<br />
kredibel pada prinsipnya harus dapat<br />
mencerminkan kebijakan alokasi yang<br />
menampung pendanaan berbagai<br />
prioritas pemerintah pada suatu periode<br />
tertentu. Disisi lain, sistem perencanaan<br />
penganggaran juga mengemban misi<br />
untuk dapat menunjukkan strategi fiskal<br />
pemerintah yang focus pada penciptaan<br />
dampak positif terhadap perekonomian<br />
agregat.<br />
Pengalaman negara-negara OECD pada<br />
masa krisis fiskal di awal tahun 1990an<br />
menunjukkan bahwa membangun disiplin<br />
fiskal melalui perencanaan alokasi yang<br />
ketat dan proses penganggaran dengan<br />
karakter top-down merupakan kunci bagi<br />
kerberhasilan mengatasi defisit anggaran<br />
yang akut dismaping untuk menstimulasi<br />
pertumbuhan ekonomi di sisi lain.<br />
Kondisi inilah yang diidamkan banyak<br />
negara berkembang di dunia untuk dapat<br />
mengefektifkan kebijakan fiskalnya dalam<br />
kondisi keterbatasan sumber daya yang<br />
sangat berat. Meningkatnya permintaan<br />
publik atas ketersediaan barang dan jasa<br />
publik (public goods and services) dengan<br />
biaya yang paling efisien akan menuntut<br />
pemerintah semakni cerdas dalam<br />
mendisain proses pelaksanaan<br />
implementasi berbagai kebijakan<br />
pemerintah yang akan secara langsung<br />
menghasilkan barang dan jasa publik<br />
dimaksud, disamping komitmen<br />
p e m e r i n t a h u n t u k m e m e n u h i<br />
prioritasnya dalam penyediaan barang<br />
dan jasa publik tersebut.<br />
Aspek penting disini adalah bagaimana<br />
otoritas fiskal, dalam hal ini otoritas<br />
anggaran, dapat mendisain mekanisme<br />
yang secara jelas akan menunjukkan<br />
keterkaitan antara kebijakan makro-fiskal<br />
sebagai grand strategy penyediaan<br />
kebijakan publik dengan kebijkan dan<br />
struktur mikro pelaksanaan program<br />
pemerintah sesuai dengan dampak positif<br />
yang ingin diraih dalam perencanaan<br />
dalam konteks kebijakan makro.<br />
Dalam hal ini, pemerintah membutuhkan<br />
sebuah kerangka kerja implementatif<br />
yang dapat memperkuat keterkaitan<br />
antara pencapaian prioritas dan<br />
dukungan kebijakan anggaran untuk<br />
mencapainya. Kebijakan makro dalam<br />
kajian ini adalah keseluruhan kebijakan<br />
makro dan sasarannya seper ti:<br />
pertumbuhan ekonomi, peningkatan<br />
aksesibilitas masyarakat terhadap<br />
pelayanan umum, penciptaan lapangan<br />
pekerjaan serta berbagai parameter<br />
makro lainnya, sedangkan kebijakan<br />
mikro adalah kebijakan pemerintah<br />
secara individual pada sektor-sektor<br />
t e r t e n t u b e s e r t a s t r u k t u r<br />
program/kegiatan yang didanai oleh<br />
kebijakan anggaran.<br />
DUA KUTUB DALAM SIKLUS<br />
P E N G A N G G A R A N , A N TA R A<br />
AL LOC ATIVE EFFICIENCY DAN<br />
OPERATIONAL EFFICIENCY<br />
Siklus kebijakan anggaran (budget policy)<br />
pada prinsipnya berintikan pada 3 aspek<br />
penting, yaitu:<br />
1. P r i o r i t i s a s i Ke b i j a k a n d a n<br />
Pengambilan Keputusan (Prioritizing<br />
and Decision Making)<br />
2. Pelaksanaan Belanja (Spending)<br />
3. Monitoring dan Pelaporan (Reviewing<br />
dan Reporting)<br />
Ketiga proses yang terus menerus dalam<br />
siklus merupakan tahapan (stage) dari<br />
sebuah kebijakan anggaran yang efektif,<br />
karena dalam bentuk apapun, kebijakan<br />
anggaran adalah pengejawantahan<br />
prioritas pemerintah dalam bentuk<br />
pelaksanaan kebijakan yang didanai<br />
anggaran publik.<br />
Oleh karena itu, keterkaitan struktur<br />
antara kebijakan makro (dalam hal ini<br />
adalah kebijakan prioritas beserta<br />
parameter-parameter ekonomi agregat)<br />
dengan disain mikro kebijakan (struktur<br />
program/kegiatan pemerintah) menjadi<br />
sangat penting, mengingat hasil / keluaran<br />
kebijakan di level mikro oleh setiap<br />
Kementerian / Lembaga Negara<br />
merupakan kepingan-kepingan puzzle<br />
yang akan membentuk “dampak positif<br />
utama” (ultimate outcomes) seperti yang<br />
menjadi sasaran kebijakan pemerintah<br />
secara strategis. Kredibilitas kebijakan<br />
fiskal, terutama kualitas belanja<br />
pemerintah akan diuji disini.<br />
42 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
SISTEM PENGANGGARAN<br />
Pengalaman Indonesia pada periode<br />
1990an dalam mengelola kebijakan fiskal<br />
yang sangat berhati-hati (prudent macrofiscal<br />
management) sekalipun, tidak dapat<br />
mencegah dampak negatif dari krisis pada<br />
tahun 1997-1999 lalu, terlebih lagi<br />
sejumlah parameter di level mikro juga<br />
m e n u n j u k k a n m a s i h b e s a r n y a<br />
permasalahan dalam proses penyediaan<br />
barang/jasa publik yang esensial di hampir<br />
seluruh aspek ekonomi dan sosial.<br />
Bahkan di beberapa tahun belakangan ini<br />
setelah konstitusi mengharuskan 20%<br />
dari pengeluaran pemerintah melalui<br />
APBN merupakan pengeluaran yang<br />
secara eksklusif untuk sektor pendidikan,<br />
tidak secara otomatis menyebabkan<br />
peningkatan signifikan tingkat tingkat<br />
aksesibilitas masyarakat terhadap<br />
pendidikan disamping masih tingginya<br />
biaya ekonomi dan sosial yang harus<br />
ditanggung masyarakat. Anomali inilah<br />
yang masih terjadi dimana masyarakat<br />
harus mengeluarkan biaya ekonomi yang<br />
meningkat dari tahun ke tahun untuk<br />
menikmati haknya dalam memperoleh<br />
pendidikan, padahal di saat yang sama<br />
pengeluaran pemerintah untuk sektor<br />
pendidikan juga meningkat seiring<br />
peningkatan porsi belanja dalam APBN.<br />
Belum lagi kita bicara tentang sektor<br />
kesehatan, kenyataan yang terjadi juga<br />
tidak jauh berbeda dengan apa yang<br />
terjadi pada sektor pendidikan.<br />
Lemahnya proses “penerjemahan”<br />
prioritas makro kedalam struktur /<br />
arsitrektur mikro, terutama di level<br />
Kegiatan dan Komponen Kegiatan dalam<br />
implementasi kebijakan anggaran belanja<br />
merupakan aspek krusial pada masalah<br />
ini, disamping masih lemahnya introduksi<br />
kerangka kinerja (performance<br />
framework) dan parameter kinerja<br />
(performance indicator) dalam service<br />
delivery barang dan jasa publik kepada<br />
masyarakat luas dan terutama kepada<br />
target komunitas sasaran kebijakan.<br />
Aspek pertama dalam siklus kebijakan<br />
anggaran adalah proses prioritisasi dan<br />
pengambilan keputusan strategis yang<br />
sangat krusial dampaknya, karena<br />
keputusan apapun yang diambil akan<br />
mengakibatkan konsentrasi sumber daya<br />
untuk mencapai target/sasaran yang<br />
melekat pada struktur program/kegiatan<br />
yang telah disepakati dalam pengambilan<br />
keputusan strategis tersebut.<br />
Pada tahap prioritisasi inilah pemerintah<br />
harus meletakkan Kerangka Kinerja<br />
(performance framework) yang relevan<br />
dengan target/sasaran yang akan dicapai<br />
dalam suatu kurun waktu tertentu, pada<br />
sektor tertentu, sehingga sejak awal<br />
pemerintah telah memiliki struktur<br />
program/kegiatan dalam kebijakan<br />
anggaran yang fokus kepada pencapaian<br />
target/sasaran yang telah ditetapkan.<br />
Setiap sektor memiliki kerangka kinerja<br />
yang spesifik dan dalam beberapa hal<br />
bersifat penciptaan sinergi seperti<br />
pentingnya infrastruktur irigasi dengan<br />
sektor pertanian, antara infrastruktur<br />
sanitasi dan air bersih dengan sektor<br />
kesehatan dan lain sebagainya.<br />
Begitu pentingya kerangka kinerja bagi<br />
setiap program pemerintah sehingga sulit<br />
untuk membangun parameter/indikator<br />
kinerja tanpa adanya kerangka kinerja<br />
dalam setiap program pemerintah,<br />
karena kerangka kinerja merupakan<br />
parameter makro sebuah program<br />
secara luas, termasuk unit pemerintah<br />
pelaksananya, sementara indikator dan<br />
parameter mikro terletak di setiap<br />
komponen kegiatan dalam sebuah<br />
program. Kerangka kinerja inilah yang juga<br />
akan berperan dalam upaya untuk<br />
semakin memperjelas keterkaitan<br />
m a k ro - m i k ro d a l a m ke b i j a k a n<br />
pemerintah di seluruh sektor.<br />
Langkah berikutnya adalah bagaimana<br />
pemerintah mendisain arsitektur<br />
program/kegiatan mikro secara individual<br />
untuk mencapai target/sasaran prioritas<br />
tersebut. Arsitektur perencanaan<br />
operasional kebijakan inilah yang harus<br />
secara hati-hati didisain agara efektivitas<br />
alokasi pendanaan menjadi optimal.<br />
Dengan demikian, setiap alokasi<br />
pendaanaan dalam kebijakan pemerintah<br />
akan memiliki struktur, baik dari sisi<br />
arsitektur program-kegiatan-komponen,<br />
kinerja maupun pendanaan anggaran,<br />
yang akan secara jelas menunjukkan<br />
konsistensi dan keterkaitan (link) antara<br />
perencanaan makro dan disain mikro<br />
kebijakan yang optimal.<br />
Dalam konteks Indonesia, peran<br />
parlemen yang begitu kuat dalam disain<br />
mikro kebijakan sudah seharusnya<br />
dibatasi secara otomatis lewat konsistensi<br />
pemerintah dalam mendisain kebijakan<br />
mikro yang sejalan dengan target/sasaran<br />
prioritas dalam jangka menengah<br />
sehingga proses pencapaiannya dapat<br />
dilaksanakan dalam kondisi keterbatasan<br />
sumber daya yang ketat. Disinilah peran<br />
perencanaan penganggaran yang sangat<br />
substansial untuk menjamin efisiensi<br />
alokasi pendanaan anggaran (allocative<br />
efficiency).<br />
Pada aspek yang kedua, efisiensi<br />
operasional kebijakan pemerintah dalam<br />
skala mikro pada sisi belanja (spending)<br />
diawali oleh proses costing yang efektif<br />
dalam penyusunan dokumen anggaran.<br />
Penyederhanaan struktur dan penyajian<br />
komponen yang relevansinya tinggi dalam<br />
struktur belanja seluruh satuan kerja<br />
pemerintah diharapkan akan berdampak<br />
pada semakin fokusnya implementasi<br />
kebijakan terhadap sasaran/target<br />
kebijakan dalam struktur keluaran dan<br />
dampak positif dari kebijakan anggaran.<br />
Dalam pelaksanaan belanja, tantangan<br />
terbesar dalam sistem perencanaan<br />
penganggaran adalah bagaimana proses<br />
costing dalam anggaran dapat secara<br />
maksimal mencerminkan biaya yang<br />
paling ekonomis dalam setiap kebijakan<br />
belanja pemerintah. Dalam konteks ini,<br />
costing adalah proses penilaian<br />
(assessment) dari dampak finansial bagi<br />
pemerintah dalam kebijakan pendanaan<br />
anggaran dalam memobilisasi sumber<br />
daya untuk berbagai usulan pendanaan<br />
yang telah disetujui bagi berbagai<br />
program dalam struktur belanja<br />
pemerintah.<br />
Costing juga merupakan bagian integral<br />
dalam tahap prioritisasi kebijakan dengan<br />
membantu otoritas anggaran dalam<br />
pengambil keputusan dengan memberi<br />
proyeksi kebutuhan pendanaan pada<br />
tahun-tahun fiskal mendatang.<br />
Pengerahan sumber daya publik dalam<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
43
SISTEM PENGANGGARAN<br />
melaksanakan program/kegiatan<br />
pemerintah harus dapat dipahami oleh<br />
otoritas anggaran sebagai kombinasi<br />
berbagai komponen proses dalam<br />
menghasilkan keluaran (output) yang<br />
r e l e v a n d e n g a n p e n c a p a i a n<br />
target/sasaran pemerintah untuk setiap<br />
sektor sehingga tingkat akurasi dan<br />
efisiensi implementasi kebijakan menjadi<br />
optimal.<br />
Pada tahap inilah peran penting otoritas<br />
anggaran dalam memahami proses<br />
pelaksanaan dan komponen kebijakan<br />
menjadi sangat krusial. Dibutuhkan<br />
pemahaman yang akurat dalam<br />
menganalisis struktur biaya kebijakan<br />
sehingga proses costing yang dilakukan<br />
dapat menghasilkan efsiensi alokasi yang<br />
optimal dalam struktur mikro kebijakan<br />
anggaran oleh seluruh Kementerian /<br />
Lembaga Negara.<br />
Proses costing yang dilakukan otoritas<br />
anggaran bukanlah sebuah proses yang<br />
pada akhirnya akan “menjebak” dalam<br />
struktur input dan harga input, tetapi<br />
lebih melihat kepada “biaya proses” yang<br />
akan dilakukan pemerintah dalam setiap<br />
program-kegiatan-komponen dengan<br />
orientasi kepada pencapaian hasil terukur<br />
dalam skema dan kerangka kinerja<br />
tertentu.<br />
Misalnya bagaimana menganalisis biaya<br />
proses pemerintah dalam menyediakan<br />
pelayanan kesehatan dasar di tingkat<br />
kecamatan melalui unit Pusat Kesehatan<br />
Masyarakat (Puskesmas) yang disetiap<br />
walayah memiliki kondisi spesifik yang<br />
unik seperti tingkat prevalensi penyakit<br />
tertentu, aspek sosial budaya yang<br />
berbeda dengan wilayah lainnya, kondisi<br />
infrastruktur penunjang dan tingkat<br />
aksesibiltas yang berbeda dan lain<br />
sebagainya, sehingga proses costing yang<br />
efektif akan menghendaki pemahaman<br />
otoritas anggaran terhadap mekanisme<br />
service delivery yang dilakukan di setiap<br />
unit kerja pemerintah, dengan karakter<br />
dan spesifikasi yang beragam, sebelum<br />
dapat memahami struktur dan relevansi<br />
input dalam implementasi anggaran oleh<br />
setiap Kementrerian/Lembaga Negara.<br />
Dengan demikian, pada proses costing<br />
yang komprehensif dalam analisis<br />
kelayakan pendanaan anggaran dalam<br />
struktur mikro belanja pemerintah akan<br />
menjadikan proses kerja pada sisi otoritas<br />
anggaran menjadi relatif lebih efektif<br />
karena fokus analisis akan lebih tertuju<br />
dalam mengkaji tingkat efisiensi belanja<br />
dan parameter kinerja pada berbagai<br />
program pemerintah yang akan<br />
menimbulkan dampak finansial kepada<br />
anggaran negara di masa mendatang.<br />
Proses costing yang komprehensif ini<br />
sebaiknya lebih ditujukan kepada<br />
usulan/inisiatif baru dalam struktur mikro<br />
pemerintah pada struktur kegiatan dan<br />
komponen belanja satuan kerja (spending<br />
unit) di setiap institusi pemerintah.<br />
Aspek ketiga dalam siklus penganggaran<br />
adalah bagaimana pemerintah melakukan<br />
kajian kembali (reviewing) dan menyusun<br />
metode pelaporan (reporting) yang<br />
efektif tentang segala hal yang berkaitan<br />
dengan aktivitas fiskal pemerintah,<br />
terutama sisi belanja publik, kepada<br />
seluruh stake holders dalam konteks<br />
kepentingannya masing-masing.<br />
Mekanisme review merupakan umpanbalik<br />
(feed back) bagi kebijakan anggaran<br />
yang efektif, terutama pada faktor<br />
mengkaji ulang struktur mikro kebijakan<br />
dan capaian kinerja implementasi<br />
kebijakan belanja. Hal ini adalah sangat<br />
penting untuk dilakukan terutama untuk<br />
menjamin kualitas belanja (spending<br />
quality assurance), sehingga secara<br />
periodik pemerintah dapat mengukur<br />
dengan tingkat akurasi yang relatif lebih<br />
baik tentang kebijakan belanjanya,<br />
terutama bagaimana relevansi belanja<br />
pada struktur mikro pemerintah dapat<br />
menghasilkan keluaran yang relevan<br />
d e n g a n s t r a t e g i p e n c a p a i a n<br />
target/sasaran prioritas pemerintah di sisi<br />
kebijakan makro (macro policy priorities).<br />
Apabila hasil review menunjukkan adanya<br />
kelambatan dalam proses pencapaian<br />
kinerja dalam kerangka kinerja suatu<br />
sektor, maka sebab kelambatan tersebut<br />
harus ditemukan untuk dapat dilakukan<br />
penyesuaian dan perbaikan, terutama<br />
kemungkinan terjadinya ketidak-efektifan<br />
penyusunan struktur komponen dari sisi<br />
arsitektur program dan / atau alokasi<br />
pendanaan anggaran. Dari sisi internal<br />
kebijakan, kelambatan pencapaian target<br />
kinerja tersebut pada umumnya terjadi<br />
karena dua hal, yaitu:<br />
1. Struktur komponen dalam kegiatan<br />
yang tidak relevan dalam rangka<br />
proses pencapaian target kinerja. Hal<br />
ini dapat terjadi apabila pengambil<br />
keputusan di sisi mikro kebijakan<br />
keliru mengidentifikasi komponenkomponen<br />
apa yang dibutuhkan<br />
sebagai instrumen pencapaian target<br />
kinerja.<br />
2. Alokasi pada struktur Program-<br />
Kegiatan-Komponen yang tidak tepat<br />
sehingga terjadi kondisi kekurangan<br />
pendanaan (under funding) pada<br />
struktur mikro kebijakan yang secara<br />
signifikan merupakan kontributor<br />
utama dari proses pencapaian kinerja.<br />
Dalam konteks penganggaran di<br />
Indonesia, komponen ini merupakan<br />
komponen utama kebijakan, yaitu<br />
bagian yang paling signifikan<br />
kontribusinya pada struktur mikro<br />
kebijakan dalam proses pencapaian<br />
target kinerja. Komponen utama ini<br />
seharusnya memperoleh alokasi<br />
pendanaan yang relatif lebih besar,<br />
sehing ga akan menunjukkan<br />
konsistensi pemerintah dalam<br />
menjaga keterkait an ant ara<br />
perencanaan kebijakan (makro)<br />
dengan struktur alokasi pendanaan<br />
anggaran (mikro).<br />
Sedangkan aspek pelaporan dalam<br />
kebijakan anggaran merupakan bagian<br />
integral yang sangat penting dalam<br />
menjaga tingkat akuntabilitas, kredibilitas<br />
dan transparansi pemerintah secara luas<br />
dalam kerangka kebijakan fiskal yang<br />
efektif, dan dengan tingkat biaya yang<br />
paling efisien. disamping itu, perlaporan<br />
juga sebaiknya dapat mengilustrasikan<br />
implementasi kebijakan pemerintah<br />
dilakukan dengan struktur kebijakan yang:<br />
1. spesifik, sehingga tidak dapat<br />
disubstitusi atau di duplikasi oleh unit<br />
pemerintah lainnya, apalagi oleh<br />
sektor swasta,<br />
2. terukur dampak positifnya,<br />
3. relevan dengan kondisi riel yang<br />
m e n g h a r u s k a n d i l a k u k a n ny a<br />
intervensi pemerintah,<br />
4. realistis dalam menetapkan struktur<br />
dan target/sasaran kebijakan,<br />
44 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
SISTEM PENGANGGARAN<br />
5. tepat sasaran pada target komunitas<br />
yang paling relevan,<br />
6. dilaksanakan dalam kerangka waktu<br />
yang tepat, sehingga tidak kehilangan<br />
m o m e n t u m y a n g a k a n<br />
mengoptimalkan dampak positif<br />
kebijakan tersebut, dan tentu saja<br />
7. diimplementasikan dengan biaya yang<br />
paling efisien dalam koridor<br />
pelaksanaan yang sesuai dengan<br />
peraturan perundangan yang berlaku<br />
dalam pengelolaan keuangan sektor<br />
publik.<br />
K E R A N G K A P E N G E L UA R A N<br />
JANGKA MENENGAH, MEMBAWA<br />
P R I O R I TA S P E R E N C A N A A N<br />
KEDALAM KEBIJAKAN ALOKASI<br />
ANGGARAN DAN KETERKAITAN<br />
PRIORITAS MAKRO – STRUKTUR<br />
MIKRO DALAM PENGANGGARAN<br />
Ada beberapa kelemahan mendasar<br />
dalam sistem perencanaan penganggaran<br />
saat ini yang sangat mengganggu<br />
optimalisasi pengerahan sumber daya<br />
anggaran dalam pelaksanaan kebijakan<br />
pemerintah di sisi belanja, sehingga perlu<br />
perbaikan substansial untuk menjamin<br />
terselenggaranya fungsi intervensi<br />
kebijakan anggaran dalam kehidupan<br />
bernegara secara optimal.<br />
Pertanyaan pertama yang harus diajukan<br />
untuk memahami secara struktural<br />
mengenai kebijakan belanja dalam<br />
konteks kebijakan fiskal adalah “Dalam<br />
aspek apa negara membutuhkan intervensi<br />
pemerintah dan dalam bentuk instrumen<br />
apa intervensi itu dilakukan? (on where the<br />
states should intervene in the economy and<br />
with which instrument?).<br />
Memahami bentuk intervensi itu<br />
merupakan pemahaman awal untuk<br />
dapat menganalisis lebih lanjut mengenai<br />
pelaksanaan kebijakan anggaran di dalam<br />
perekonomian agregat. Hal ini perlu<br />
dilakukan mengingat untuk negara yang<br />
berkarakteristik “small and open<br />
economy” seperti Indonesia, integrasi<br />
ekonomi dengan dunia internasional<br />
semakin meningkat dengan tingkat<br />
intensitas yang juga semakin tinggi.<br />
Dampak revolusi teknologi informasi,<br />
telekomunikasi dan transportasi semakin<br />
mengaburkan batas-batas teritorial<br />
negara dalam konteks ekonomi, sehingga<br />
sedikit banyak, dampak positif maupun<br />
negatif dalam perekonomian nasional<br />
akan sangat dipengaruhi oleh faktor<br />
global, yang secara seksama harus juga<br />
menjad konsideran dalam memutuskan<br />
bentuk intervensi pemerintah yang akan<br />
didanai oleh anggaran publik.<br />
Oleh karena itu, memutuskan bentuk<br />
intervensi negara dalam perekonomian<br />
melalui kebijakan anggaran harus<br />
diputuskan dengan hati-hati, terlebih<br />
dalam kondisi keterbatasan fiskal yang<br />
sangat ketat seperti saat ini, sehingga<br />
kapasitas negara dalam mandanai bentuk<br />
intervensi apapun harus dikalkulasi<br />
dengan maksimal.<br />
Mekanisme perencanaan penganggaran<br />
yang efektif seharusnya membuat<br />
otoritas anggaran fokus kepada bentuk<br />
dan dampak intervensi ini terhadap<br />
peningkatan kualitas hidup dan<br />
kehidupan masyarakat dan/atau target<br />
komunitas tertentu yang menjadi sasaran<br />
kebijakan serta pendanaan intervensi<br />
tersebut dalam tingkat efisiensi yang juga<br />
maksimal.<br />
Dalam kondisi kebijakan anggaran yang<br />
hanya berorintasi pada satu tahun fiskal<br />
semata, horizon perencanaan anggaran<br />
menjadi teramat sangat terbatas,<br />
terutama fokus analisa bentuk intervensi<br />
pemerintah dalam bentuk programkegiatan-komponen<br />
dalam kebijakan<br />
anggaran. Ada beberapa kelemahan<br />
fundamental dalam siklus seperti ini;<br />
Pertama, dalam horizon waktu yang<br />
relatif sempit ini, beban kerja otoritas<br />
anggaran dalam menganalisis arsitektur<br />
program dan struktur pendanaan plus<br />
costing, menjadi sangat besar karena<br />
sempitnya waktu untuk menyelesaikan<br />
perencanaan anggaran.<br />
Kedua, oleh karena setiap proses<br />
penganggaran membutuhkan legitimasi<br />
hukum melalui undang-undang,<br />
dibutuhkan banyak waktu untuk<br />
memperoleh legitimasi tersebut melalui<br />
serangkaian diskusi dengan legislatif yang<br />
diskusinya seringkali gagal membahas isu<br />
strategis dalam intervensi kebijakan<br />
anggaran. Hal ini menyebabkan lemahnya<br />
keterkaitan sasaran prioritas dalam<br />
kebijakan anggaran karena setiap detail<br />
proses harus melalui persetujuan<br />
legislatif, karena seringkali inisiatif<br />
pemerintah dalam pengajuan usulan<br />
arsitektur program terlalu diintervensi<br />
oleh parlemen sehingga otoritas dan<br />
independensi pada sisi eksekutif dalam<br />
merumuskan kebijakan anggaran menjadi<br />
tidak optimal.<br />
Ketiga, proses alokasi pendanaan<br />
anggaran yang berorientasi hanya satu<br />
tahun fiskal menjadikan tingginya tingkat<br />
ketidakpastian keberlanjutan alokasi,<br />
dengan demikian, hilanglah insentif untuk<br />
membuat perencanaan komprehensif<br />
yang berdimensi jangka waktu menengah<br />
(medium-term policy planning) terlebih<br />
apabila tingkat perencanaan jangka<br />
menengah tersebut ada di level mikro<br />
kegiatan-komponen kebijakan.<br />
Pada tahap inilah hilangnya keterkaitan<br />
yang akan dengan jelas menunjukkan<br />
adanya konsistensi pemerintah dalam<br />
proses pencapaian sasaran/target makro<br />
dengan cara pencapainnya melalui<br />
serangkaian/kombinasi mikro struktur<br />
melalui program-kegiatan-komponen<br />
dalam kebijakan belanja negara.<br />
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah,<br />
dalam konteks ini, akan menjadi kerangka<br />
kerja yang menunjukkan keterkaitan<br />
(linking framework) antara pengeluaran<br />
belanja negara yang disebabkan adanya<br />
prioritas tertentu dalam keterbatasan<br />
sumber daya anggaran.<br />
The MTEF provides the "linking<br />
f ra m e w o r k " t h a t a l l o w s<br />
expenditures to be "driven by<br />
policy priorities and disciplined by<br />
budget realities”<br />
Disiplin fiskal, terutama pada sisi belanja<br />
negara, harus dimulai dengan proses Top-<br />
Down yang disiplin, baik dari sisi<br />
ketersediaan sumber daya anggaran<br />
maupun dari sisi target/sasaran kebijakan<br />
makro dalam konteks perencanaan<br />
kebijakan (policy planning).<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
45
SISTEM PENGANGGARAN<br />
Hal ini dapat dibangun melalui Kerangka<br />
Pengeluaran Jangka Menengah karena<br />
sejak awal proses perencanaan anggaran,<br />
pemerintah telah memiliki angka proyeksi<br />
penerimaan negara yang akan menjadi<br />
sumber pendanaan kebijakannya<br />
sehingga dalam hal menyusun kebijakan<br />
belanja, pemerintah “dipaksa” untuk<br />
fokus pada disain pendanaan belanja<br />
kepada proses yang mengasilkan<br />
keluaran/dampak positif kebijakan yang<br />
secara signifikan akan berkontribusi<br />
kepada pencapaian prioritas-prioritasnya,<br />
atau dengan kata lain, hanya akan fokus<br />
kepada struktur belanja yang signifikan<br />
terhadap parameter/indikator kinerja<br />
dalam program pemerintah.<br />
Disamping itu, dari sisi bottom-up dalam<br />
mekanisme Kerangka Pengeluaran Jangka<br />
Menengah, setiap unit pemerintah akan<br />
memiliki kerangka kerja yang memberi<br />
kejelasan dalam menyusun struktur<br />
mikro tersebut, beserta estimasi<br />
kebutuhan pendanaan anggarannya.<br />
Dengan didasari pada kerangka kinerja<br />
sebagai derivasi dari prioritas pemerintah<br />
dalam suatu peroide, setiap unit<br />
organisasi pemerintah dapat melakukan<br />
intra-sectoral allocation, yaitu mekanisme<br />
untuk melakukan realokasi pendanaan<br />
anggaran dari satu struktur mikro<br />
ke b i j a k a n a n g g a r a n ( ke g i a t a n -<br />
komponen) ke struktur mikro lainnya<br />
yang memiliki tingkat urgensi yang relatif<br />
lebih tinggi. Proses inilah yang menjadi<br />
peran penting Kerangka Pengeluaran<br />
Jangka Menengah pada sisi disain struktur<br />
mikro kebijakan pendanaan anggaran.<br />
Proses skrutinisasi (scrutinizing) atau<br />
seleksi dari berbagai kombinasi pada<br />
struktur mikro seharusnya menjadi aspek<br />
krusial dalam kerangka kerja perencanaan<br />
pendanaan anggaran dalam jangka<br />
menengah pada proses bottom-up,<br />
karena pada hal inilah insentif untuk<br />
menjadi semakin fokus kepada dua<br />
prinsip penting dalam penganggaran,<br />
yaitu efisiensi alokasi dan efisiensi<br />
operasional (allocative efficiency and<br />
operational efficiency).<br />
Nilai tambah (value added) dalam<br />
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah<br />
dalam sistem perencanaan penganggaran<br />
adalah dengan menyediakan kerangka<br />
kerja yang akan merekonsiliasi<br />
pendekatan top-down (dalam hal ini<br />
adalah ketersediaan sumber daya<br />
pendanaan anggaran sebagai hard budget<br />
constraint dan kerangka serta parameter<br />
kinerja makro prioritas) dengan<br />
pendekatan bottom-up (yaitu struktur<br />
mikro kebijakan berikut implikasi finansial<br />
bagi anggaran pemerintah) secara lebih<br />
integratif sehingga keterbatasan sumber<br />
daya anggaran akan lebih fokus kepada<br />
alokasi struktur mikro yang secara<br />
signifikan akan berkontribusi kepada<br />
pencapaian berbagai priorit as<br />
pemerintah.<br />
Untuk memulainya, langkah pertama<br />
adalah pemerintah harus memiliki angka<br />
proyeksi ketersediaan pendanaan<br />
anggaran sebagai batas alokasi<br />
pendanaan maksimal (hard budget<br />
constraint). Angka inilah yang akan<br />
menjadi referensi awal bagi pemerintah<br />
dalam menyusun kebijakan anggarannya.<br />
Hal ini sekaligus akan menjadi instrumen<br />
pemerintah dalam menjaga konsistensi<br />
prioritas alokasi pendanaan.<br />
Langkah kedua, otoritas fiskal harus<br />
memiliki konsep dasar kebijakan<br />
pendanaan anggaran sebagai kebijakan<br />
yang saat ini tengah dilaksanakan oleh<br />
seluruh unit kerja pemeirintah (existing<br />
policies as a policy baseline atau dapat saja<br />
disingkat sebagai baseline) beserta<br />
konsukuensi finansialnya untuk tahuntahun<br />
mendatang. Inilah yang akan<br />
menjadi “potret” riel pada saat ini untuk<br />
menunjukkan tingkat keterkaitan antara<br />
prioritas pemerintah dengan kebijakan<br />
alokasi pendanaan anggaran, kemudian<br />
diikuti dengan langkah ketiga yaitu<br />
membangun kerangka kinerja pada level<br />
makro program sebagai representasi<br />
prioritas pemerintah yang akan berlaku<br />
sebagai referensi seluruh unit kerja<br />
pemerintah dalam menyusun parameter<br />
kinerja di level struktur mikro anggaran.<br />
Kombinasi ketiga hal inilah yang akan<br />
menjadi “kertas kerja” pemerintah dalam<br />
mendisain kebijakan belanja pemerintah<br />
yang seharusnya akan mencerminkan<br />
efektivitas alokasi pendanaan anggaran<br />
disamping kejelasan keterkaitan prioritas<br />
makro dengan struktur mikro programkegiatan,<br />
yang dalam hal ini melekatnya<br />
kebijakan pendanaan justru berada pada<br />
struktur mikro.<br />
Inilah aspek strategis yang merupakan<br />
langkah reformasi mendasar dalam<br />
memperjelas keterkaitan, bukan hanya<br />
perencanaan dan penganggaran, tetapi<br />
juga antara prioritas makro - struktur<br />
mikro kebijakan, kerangka kinerja makro -<br />
parameter kinerja mikro dan, tentu saja<br />
struktur alokasi pendanaan anggaran itu<br />
sendiri.<br />
PENUTUP<br />
Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan<br />
bernegara dalam kontreks global yang<br />
sangat dinamis seperti saat ini, yang salah<br />
satu aspeknya adalah perubahan, baik itu<br />
pada aspek sosial, ekonomi maupun<br />
politik secara masif dan sangat cepat<br />
(massive rapid change), pemerintah<br />
dituntut semakin efektif dalam<br />
mengoptimalisasi pelaksanaan tugas<br />
pokok dan fungsinya dalam memberikan<br />
pelayanan publik dengan biaya,<br />
mekanisme dan metode yang semakin<br />
efisien.<br />
Terlebih lagi dengan semakin tingginya<br />
intensitas interaksi Indonesia dalam<br />
globalisasi ekonomi, semakin deras dan<br />
cepatlah perubahan multi-dimensi itu<br />
akan mempengaruhi berbagai faktor di<br />
dalam negeri, baik itu positif maupun<br />
negatif, mengingat Indonesia adalah<br />
negara dengan karakter small open<br />
economy dalam peta perekonomian<br />
global.<br />
Dari sisi kebijakan fiskal, kondisi<br />
perubahan yang cepat tersebut tidak<br />
memberi banyak pilihan bagi pemerintah<br />
untuk mengimplementasikan kebijakan<br />
belanja yang efektif. Hal ini menuntut<br />
pemerintah untuk dapat mendisain<br />
bentuk intervensi kebijakan yang didanai<br />
oleh anggaran publik secara tepat, dan<br />
dalam struktur biaya yang paling efisien,<br />
mengingat sumber daya pendanaan<br />
anggaran publik selalu dalam kondisi yang<br />
terbatas (scarcity of resources).<br />
Salah satu bentuk ketidakoptimalan<br />
dalam implementasi kebijakan belanja<br />
46 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
SISTEM PENGANGGARAN<br />
anggaran adalah kekeliruan dalam<br />
mendisain kebijakan mikro anggaran yang<br />
dapat merefleksikan konsistensi<br />
pemerintah dalam menjaga keterkaitan<br />
yang erat antara prioritas kebijakan<br />
makro dengan tingkat operasionalisasi<br />
prioritas tersebut dalam struktur mikro<br />
kebijakan belanja pemerintah.<br />
Dengan kondisi seperti itulah reformasi<br />
sistem perencanaan penganggaran di<br />
Indonesia dilakukan dengan tujuan untuk<br />
semakin meningkatkan kualitas hidup dan<br />
kehidupan warganegaranya, yang<br />
merupakan "penerima manfaat yang<br />
utama" (ultimate beneficieries) dari<br />
eksistensi sebuah negara merdeka yang<br />
berdaulat, tanpa diskriminasi seperti apa<br />
yang menjadi cita-cita para Founding<br />
Father negara kesatuan ini, disamping<br />
seperti yang juga tertuang dalam<br />
konstitusi Republik Indonesia.<br />
Di banyak negara, Kerangka Pengeluaran<br />
Jangka Menengah adalah salah satu<br />
karakteristik dalam proses reformasi<br />
sistem perencanaan penganggaran yang<br />
sangat progresif, terutama di beberapa<br />
negara di benua Afrika seperti Afrika<br />
Selatam, Tanzania dan Uganda.<br />
Salah satu kelemahan struktural di<br />
negara-negara tersebut dalam formulasi<br />
kebijakan anggarannya adalah lemahnya<br />
keterkaitan antara prioritas makro dan<br />
struktur mikro kebijakan, disamping<br />
dalam beberapa hal, kebijakan alokasi<br />
anggaran yang tidak realistis untuk<br />
mendanai program-program strategis.<br />
Aspek mikro dalam kajian ini bukankah<br />
seperti dimaksud dalam mikroekonomi<br />
di literatur yang lebih fokus kepada<br />
analisis dan fenomena perilaku aktor<br />
ekonomi secara individual, dalam konteks<br />
kebijakan anggaran, struktur mikro lebih<br />
memfokuskan kepada struktur program<br />
Kementerian / Lembaga Negara yang<br />
didanai oleh anggaran publik.<br />
Efisiensi alokasi dalam kebijakan anggaran<br />
dan efisiensi proses service delivery yang<br />
dilakukan oleh pemerintah kepada<br />
masyarakat pada akhirnya juga akan<br />
ditentukan oleh struktur mikro yang<br />
relevan dengan prioritas makro di sektor<br />
tersebut, sehingga Kerangka Pengeluaran<br />
Jangka Menengah akan sangat membantu<br />
untuk menggambarkan keterkaitan dan<br />
relevansi tersebut secara efektif.<br />
Disamping itu, Kerangka Pengeluaran<br />
Jangka Menengah juga dapat memberi<br />
tingkat kepastian yang lebih tinggi untuk<br />
kontinuitas pendanaan anggaran bagi<br />
pelaksanaan program-program prioritas<br />
yang tengah dan akan berlangsung,<br />
sehingga pelaksanaan kebijakan akan<br />
secara otomatis menjadi baseline<br />
pemerintah di kebijakan anggaran.<br />
Dari sisi Baseline yang dihasilkan inilah titik<br />
awal analisis keterkaitan makro-mikro<br />
akan diawali sehingga proses realokasi<br />
foto: istimewa<br />
47
SISTEM PENGANGGARAN<br />
MENDUDUKKAN BELANJA MODAL<br />
Oleh : Achmad Zunaidi dan Hari Subekti<br />
<strong>Direktorat</strong> Sistem Penganggaran<br />
foto: istimewa<br />
Ada gambaran dan pendapat pengamat<br />
ekonomi yang harus diluruskan soal<br />
keberadaan belanja modal dalam <strong>Anggaran</strong><br />
Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pendapat<br />
bahwa belanja modal seharusnya lebih besar<br />
dibanding dengan belanja pegawai dan belanja<br />
barang, hampir tiap tahun muncul di mass<br />
media, saat Pemerintah menyampaikan<br />
Rancangan APBN kepada DPR. Hal ini juga<br />
menjadi pandangan media massa dalam<br />
editorialnya.<br />
eperti bola salju, pandangan<br />
tersebut diadopsi sebagian wakil<br />
Srakyat untuk menekan Pemerintah<br />
agar komposisi belanja modal menjadi<br />
lebih besar lagi.<br />
Belanja modal digambarkan sebagai<br />
pembiayaan untuk pembangunan<br />
i n f r a s t r u k t u r. P e m b a n g u n a n<br />
infrastruktur mempunyai manfaat<br />
multiplier effect, yaitu menciptakan<br />
lapangan pekerjaan dan memancing<br />
kehadiran investor swata. Pada akhirnya,<br />
pertambahan belanja modal mendorong<br />
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan<br />
belanja barang dan belanja pegawai<br />
digambarkan sebagai pembiayaan untuk<br />
kepentingan birokrasi: biaya gaji dan<br />
pembelian fasilitas birokrasi lainnya. Kalau<br />
belanja pegawai dan belanja barang lebih<br />
besar dibanding belanja modal, rakyat<br />
kurang mendapat manfaat atas besarnya<br />
belanja dalam APBN. Inilah kerangka<br />
berpikir para pengamat ekonomi.<br />
Pangkal Persoalan<br />
Gambaran dan pandangan pengamat<br />
ekonomi sebelum dan sesudah<br />
perubahan cara penyajian belanja dalam<br />
APBN tidak berubah. Belanja APBN<br />
hanya dilihat dari sisi belanja rutin dan<br />
pembangunan. Belanja rutin diwakili oleh<br />
belanja pegawai dan belanja barang.<br />
Sedangkan belanja pembangunan diwakili<br />
belanja modal. Para komentator APBN<br />
ini tidak memperhatikan perubahan yang<br />
telah terjadi dalam penyajiannya. Padahal<br />
perubahannya bukan cuma asesoris<br />
tetapi substansi penyajian belanjanya.<br />
Penyajian belanja Pemerintah Pusat<br />
dalam APBN berubah sejak tahun<br />
anggaran 2005. Belanja Pemerintah Pusat<br />
yang sebelumnya dikelompokkan dalam<br />
belanja rutin dan pembangunan, saat ini<br />
dikelompokkan langsung dalam 8 jenis<br />
belanja. Jadi, belanja rutin dan<br />
pembangunan lebur kedalam 8 jenis<br />
belanja, lihat tabel konversi. Penyesuaian<br />
dengan praktik internasional penyajian<br />
belanja APBN merupakan tujuan utama,<br />
sebagaimana Government Financial<br />
Statistic (GFS) 2001. Dengan adanya cara<br />
penyajian yang mengacu GFS, APBN<br />
suatu negara dapat dibandingkan dengan<br />
negara lain.<br />
KONVERSI FORMAT LAMA BELANJA NEGARA<br />
KE FORMAT BARU<br />
FORMAT LAMA<br />
(s.d. 2004)<br />
Belanja Pemerintah Pusat:<br />
1. <strong>Anggaran</strong> Belanja RUTIN<br />
a. Belanja Pegawai<br />
b. Belanja Barang<br />
c. Pembayaran Bunga Utang<br />
d. Subsidi<br />
e. Pengeluatan Rutin Lainnya<br />
2. <strong>Anggaran</strong> Belanja<br />
PEMBANGUNAN<br />
FORMAT BARU<br />
(mulai TA 2005)<br />
Belanja Pemerintah Pusat:<br />
1. Belanja Pegawai<br />
2. Belanja Barang<br />
3. Belanja Modal<br />
4. Pembayaran Bunga<br />
Utang<br />
5. Subsidi<br />
6. Belanja Hibah<br />
7. Bantuan Sosial<br />
8. Belanja Lain-lain<br />
48 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
SISTEM PENGANGGARAN<br />
Kelompok biaya yang termasuk belanja<br />
modal bukan saja digunakan untuk<br />
pembangunan infrastuktur saja, seperti<br />
pembangunan jalan, jembatan, atau<br />
pelabuhan. Belanja modal juga digunakan<br />
u n t u k p e m b a n g u n a n g e d u n g<br />
Pemerintah, pembelian aset seperti<br />
mobil, peralatan, dan tanah yang<br />
digunakan birokrasi untuk pelayanan<br />
kepada masyarakat. Intinya, belanja Modal<br />
adalah pengeluaran yang dilakukan dalam<br />
rangka pembentukan modal yang sifatnya<br />
menambah aset tetap/inventaris,<br />
memberikan manfaat lebih dari satu<br />
periode akuntansi, termasuk didalamnya<br />
adalah pengeluaran untuk biaya<br />
p e m e l i h a r a a n y a n g s i f a t n y a<br />
mempertahankan atau menambah masa<br />
manfaat, meningkatkan kapasitas dan<br />
kualitas aset.<br />
Jadi belanja modal berbeda dengan<br />
belanja pembangunan. Belanja modal<br />
cakupan biayanya lebih kecil dibanding<br />
belanja pembangunan. Dalam hal belanja<br />
pembangunan, Kementerian Keuangan<br />
menyebut sebagai belanja investasi<br />
P e m e r i n t a h y a n g m e m p u n y a i<br />
karakteristik seperti hanya belanja<br />
pembangunan sebelum perubahan. Data<br />
APBN 2005-2012 menunjukkan kondisi<br />
itu. Komponen belanja modal hanya<br />
sekitar 40%-50% dari total pengeluaran<br />
investasi Pemerintah. Jadi, kurang pas<br />
apabila menunjuk belanja modal sebagai<br />
re p re s e n t a s i b e l a n j a i nve s t a s i<br />
pemerintah, lihat grafik perkembangan<br />
belanja modal dan pengeluaran investasi<br />
pemerintah.<br />
Peran sebenarnya dari belanja<br />
Pemerintah adalah total belanjanya,<br />
350,000.0<br />
300,000.0<br />
250,000.0<br />
200,000.0<br />
150,000.0<br />
96,4<strong>24</strong>.7<br />
100,000.0<br />
55,091.5 54,951.9<br />
50,000.0 32,888.8<br />
bukan per bagian jenis belanja, seperti<br />
belanja modal saja. Peran belanja modal<br />
diket ahui sebagai 'pendorong'<br />
per tumbuhan ekonomi. Disebut<br />
'pendorong' karena perannya kecil<br />
dibandingkan total pendapatan nasional<br />
dilihat dari besaran angka nominal.<br />
Pengeluaran Pemerintah secara total<br />
adalah alat kebijakan Pemerintah untuk<br />
mempengaruhi tingkat pendapatan<br />
nasional. Ingat persamaan Y=<br />
C+I+G+(X-M) dimana: Y=pendapatan<br />
nasional; C=konsumsi privat dan<br />
masyarakat; I=investasi; G=pengeluaran<br />
Pemerintah di luar transfer; X=ekspor;<br />
dan M=impor).<br />
Dampak Perubahan<br />
<strong>Anggaran</strong> belanja negara disusun<br />
berdasarkan arahan dari atas (top down)<br />
dan usulan dari bawah (bottom up)<br />
dengan pendekatan penganggaran<br />
berbasis kinerja. Proses penyusunan<br />
anggarannya: Kinerja suatu program<br />
(indikator kinerja dan hasil yang<br />
diharapkan) ser t a ang garannya<br />
ditetapkan terlebih dahulu oleh pimpinan<br />
Kementerian Negara/Lembaga (K/L);<br />
selanjutnya Unit Operasional K/L<br />
menerjemahkan dalam bentuk cara dan<br />
biaya (dikelompokkan dalam jenis<br />
belanja) yang diperlukan dalam mencapai<br />
k i n e r j a . D e n g a n d e m i k i a n ,<br />
p e n g e l o m p o k a n j e n i s b e l a n j a<br />
dimaksudkan sebagai perencanaan<br />
transaksi keuangan, bukan dasar<br />
pengambilan kebijakan alokasi anggaran<br />
K/L.<br />
Bagaimana kalau informasi belanja modal<br />
sebagai dasar kebijakan alokasi anggaran<br />
K/L? Dalam pembahasan anggaran, DPR<br />
GRAFIK PERKEMBANGAN BELANJA MODAL DAN PENGELUARAN<br />
INVESTASI PEMERINTAH, 2005-2012<br />
(miliar rupiah)<br />
176,852.8<br />
153,681.9<br />
127,0<strong>24</strong>.8<br />
140,952.5<br />
113,813.6<br />
72,772.5<br />
80,287.1<br />
75,870.8<br />
64,288.7<br />
274,167.1<br />
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011<br />
APBN-P<br />
Belanja Modal Pengeluaran Investasi<br />
151,975.0<br />
306,408.3<br />
2012<br />
APBN<br />
dapat menekan Pemerintah agar belanja<br />
modal naik 10% dibanding tahun<br />
sebelumnya. Apabila ini menjadi<br />
ketetapan dalam Undang-Undang<br />
tentang APBN. Ada 2 skenario yang akan<br />
dilakukan: per tama, Pemerintah<br />
menaikkan besaran belanja modal 10%<br />
dari alokasi belanja tiap K/L; kedua,<br />
Pemerintah mengubah pembagian<br />
belanja K/L dengan hasil akhir komposisi<br />
belanja modal naik 10% dari tahun<br />
sebelumnya.<br />
Dampak skenario pertama terjadi pada<br />
K/L dapat dikelompokkan menjadi 2:<br />
kelompok 1, K/L akan memangkas biayabiaya<br />
penunjang dan mengalihkannya<br />
kepada belanja modal sebesar 10%; dan<br />
kelompok 2, K/L akan memperbesar<br />
b e l a n j a m o d a l 1 0 % d e n g a n<br />
mengorbankan capaian kinerjanya<br />
melalui pengurangan kegiatan non fisik.<br />
Kelompok 1 meliputi K/L yang<br />
mempunyai tugas-fungsi menyediakan<br />
sarana-prasarana publik seper ti<br />
Pekerjaan Umum, Pertahanan atau<br />
Perhubungan. Sedangkan kelompok 2<br />
meliputi K/L yang tugas-fungsinya hanya<br />
menyusun kebijakan dan koordinasi,<br />
seper ti Kementerian Keuangan,<br />
Pertanian, Pendidikan, atau Kementerian<br />
Negara pada umumnya.<br />
K/L kelompok 1 akan memangkas biayabiaya<br />
penunjang. Dapat dibayangkan<br />
apabila K/L dipaksa untuk membangun<br />
sarana-prasarana publik dengan<br />
mengabaikan kajian, studi kelayakan,<br />
pemantauan dan supervisi. Apa jadinya<br />
pembangunan sarana dan prasarana<br />
gencar tanpa biaya pendukung itu.<br />
Mungkin saja terbangun sarana-prasarana<br />
publik banyak tetapi cepat hancur karena<br />
tidak memper timbangkan biaya<br />
pemeliharaan nantinya, atau saranaprasarana<br />
tersebut tidak berfungsi<br />
karena kurang dibutuhkan masyarakat<br />
setempat.<br />
K/L kelompok 2 karena tugas-fungsinya<br />
hanya merumuskan kebijakan atau<br />
koordinasi memaksa diri melakukan<br />
pembiayaan belanja modal. Caranya,<br />
pengadaan fasilitas birokrasi seperti<br />
gedung, mobil dinas, atau perlengkapan<br />
kantor menjadi satu-satunya pilihan<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
49
SISTEM PENGANGGARAN<br />
dengan mengabaikan capaian kinerjanya<br />
sendiri. Mungkin akan terjadi, kebijakan<br />
yang dihasilkan tidak menyeluruh bahkan<br />
bertentangan dengan K/L lainnya karena<br />
koordinasi tidak jalan.<br />
Dampak skenario kedua berupa revisi<br />
atau perubahan atas perencanaan yang<br />
telah disusun. Perencanaan K/L merevisi<br />
perencanaan dan target kinerja agar<br />
sesuai dengan perubahan alokasi belanja.<br />
Revisi perencanaan K/L kemungkinan<br />
menghasilkan perencanaan yang kurang<br />
matang, asal jadi, dan tidak sesuai<br />
kebutuhan rakyat. Mungkin saja terjadi,<br />
berbagai pembangunan hasil kebijakan<br />
membesarkan belanja modal tersebut<br />
tanpa melihat kebutuhan riil rakyat, asal<br />
bangun, asal belanja modal besar.<br />
Kedua dampak skenario tersebut di atas<br />
lebih banyak mudharatnya dibanding<br />
mafaatnya dari sisi capaian kinerja K/L<br />
atau Pemerintah secara keseluruhan.<br />
Harus diingat bahwa proses perencanaan<br />
anggaran melalui jalan yang panjang,<br />
dimulai musyawarah perencanaan pada<br />
tingkat paling bawah, kelurahan, yang<br />
berujung pada musyawarah perencanaan<br />
p e m b a n g u n a n n a s i o n a l<br />
ilustrasi: istimewa<br />
50 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
RENUNGAN<br />
SINERGI<br />
Oleh : Asrukhil Imro<br />
Dari berbagai sumber<br />
Ketika membuka lembaran baru bulan Juli 2012 pada<br />
kalender DJA tertulis tagline “Sinergi : memiliki<br />
sangka baik, saling percaya, dan menghormati. Serta<br />
menemukan dan melaksanakan solusi terbaik.”<br />
Sinergi merupakan salah satu dari lima nilai-nilai<br />
Kementerian Keuangan.<br />
ilustrasi: istimewa<br />
embaca tagline tersebut<br />
membuat Penulis merinding.<br />
MPenulis membayangkan betapa<br />
dahsyatnya nilai ini apabila semua pegawai<br />
DJA mengetahui dan menghayati nilai<br />
sinergi dalam kehidupan di kantor.<br />
Sehingga orang bijak bilang dengan<br />
bersinergi 1+1 bisa sama dengan 100,<br />
tetapi tanpa sinergi 1+1 sama dengan 2.<br />
Sinergi berasal dari kata Yunani synergos<br />
yang berarti bekerja bersama-sama.<br />
Sinergi adalah suatu bentuk/citra dari<br />
sebuah proses atau interaksi yang<br />
menghasilkan sesuatu yang balance<br />
harmony sehingga bisa menghasilkan<br />
sesuatu yang optimum. Ada beberapa<br />
syarat utama penciptaan sinergi yakni<br />
kepercayaan, komunikasi yang efektif,<br />
feedback yang cepat, dan kreatifitas.<br />
Mimpi DJA naik kelas, perlu kerja keras<br />
dari seluruh elemen DJA. Agar bisa<br />
menyatukan seluruh elemen DJA untuk<br />
bahu membahu bekerja sama, perlu<br />
kepemimpinan dengan gaya manajemen<br />
sinergi. Kepemimpinan yang berusaha<br />
membangkitkan kepercayaan antar orang<br />
di dalam organisasi. Membangun<br />
komunikasi yang tidak ditunda-tunda<br />
untuk mencegah distorsi pesan serta<br />
membudayakan umpan balik yang cepat<br />
sebagai pola hubungan yang erat baik<br />
vertikal dan atau horizontal.<br />
Prakteknya, pemimpin mendorong para<br />
pegawai untuk mengenal satu sama lain<br />
melalui berbagai aktifitas sosial. Mereka<br />
diajak berperilaku baik yang tidak<br />
m e n i m b u l k a n ke c u r i g a a n d a n<br />
kekhawatiran pihak lain akan kehilangan<br />
posisi atau karirnya. Tidak sekedar para<br />
pegawai yang demikian itu, tetapi juga<br />
antar manajemen. Kreatifitas digalakkan<br />
sehingga memperkuat dan memperkaya<br />
sinergisme dalam organisasi.<br />
Penulis membayangkan pemimpin DJA<br />
dengan senyum tulus. Mereka berdiskusi<br />
di warung kopi pinggir kota sambil<br />
menikmati kopi tubruk yang disaring<br />
dengan kaos kaki ditemani roti bakar<br />
diolesi selai lokal yang rasanya nendang.<br />
Mereka berusaha untuk membangun<br />
sinergi dengan saling percaya dalam<br />
organisasi. Rasa saling percaya akan<br />
tumbuh dan mampu merubah organisasi.<br />
Budaya kepercayaan harus dibangun<br />
walaupun memerlukan waktu. Tapi<br />
pemimpin yang dilahirkan dengan<br />
komitmen dan karakter akan mampu<br />
mentransformasikan hal itu untuk<br />
membuat rasa saling percaya.<br />
Kepercayaan yang bijak dan pandai adalah<br />
hal yang dapat mengubah sesuatu. Dalam<br />
o r g a n i s a s i , ke m a m p u a n u n t u k<br />
membangun, menumbuhkan, menjaga<br />
dan mengembalikan semua kepercayaan<br />
para pemangku kepentingan maupun<br />
re k a n ke r j a m e r u p a k a n k u n c i<br />
kepemimpinan baru.<br />
Membangun trust di tengah situasi saling<br />
tidak percaya, sikap membela diri<br />
berlebihan, dan keluh kesah antara<br />
pegawai harus diawali dengan sikap<br />
menghargai dan menerima kepercayaan<br />
tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari<br />
dan latihan yang terus menerus. Tanpa<br />
adanya perilaku nyata, pemahaman dan<br />
penerimaan kita akan trust pun tidak<br />
berarti apapun.<br />
Membangun trust berarti memikirkan<br />
suatu kepercayaan dalam cara yang<br />
positif, membangun langkah demi<br />
langkah, komitmen demi komitmen. Jika<br />
trust dianggap sebagai sebuah bentuk<br />
resiko dan penuh ancaman, maka tidak<br />
ada hal positif yang bisa kita dapatkan.<br />
Memang trust selalu berdampingan<br />
dengan ketidakpastian, tapi kita harus<br />
berusaha membuat diri kita sendiri untuk<br />
berpikir bahwa ketidakpastian tersebut<br />
sebagai sebuah kemungkinan dan<br />
kesempatan, bukan sebagai halangan.<br />
Trust merupakan sesuatu hal yang penting<br />
bagi sebuah hubungan karena di<br />
dalamnya terdapat kesempatan untuk<br />
melakukan aktivitas yang kooperatif,<br />
pengetahuan, self-respect, dan nilai moral<br />
lainnya.<br />
Rasanya kerja menjadi ringan, hatipun<br />
menjadi tenang.<br />
ilustrasi: istimewa<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
51
ENGLISH CORNER<br />
ELEMENTARY SCHOOL<br />
IN JAPAN AND INDONESIA<br />
foto: istimewa<br />
was very impressed with the<br />
education system in Japan, especially its<br />
Ielementary education system. I get<br />
this impression when I learned and<br />
observed the elementary school system<br />
in Japan is very effective, then I compared<br />
it to my country, Indonesia.<br />
The Elementary schools in Japan<br />
(Shôgakkô/<br />
More than 99% of Japanese elementary<br />
school-age children are enrolled in<br />
school. All children enter first grade at<br />
age six, and starting school is considered<br />
a very important event in a child's life.<br />
Virtually all elementary education takes<br />
place in public schools; less than 1% of<br />
them are private. Private schools tended<br />
to be costly, although the rate of cost<br />
increases in tuition for these schools had<br />
slowed in the 1980s. Some private<br />
elementary schools are prestigious, and<br />
they serve as a first step to higher-level<br />
private schools with which they are<br />
affiliated, and thence to a university.<br />
Although public elementary education is<br />
free, some school expenses are borne by<br />
parents, for example, school lunches and<br />
supplies. For many families, there are also<br />
nonschool educational expenses, for<br />
extra books, or private lessons. Costs for<br />
private elementary schools are<br />
substantially higher.<br />
Course of study<br />
The courses of study are consists of a<br />
wide variety of subjects, both academic<br />
and nonacademic, including moral<br />
education and "special activities." "Special<br />
activities" refer to scheduled weekly time<br />
given over to class affairs and to preparing<br />
for the school activities and ceremonies<br />
that are used to emphasize character<br />
development and the importance of<br />
group effort and cooperation.<br />
The lessons of Japanese Junior High<br />
School consists of simple Japanese<br />
(kokugo), Social Sciences (shakai), Math<br />
(suugaku), Natural Science (rika), Music<br />
(ongaku), Art (bijutsu), Healthy<br />
Education (hokentaiiku), Talent (gijutsu<br />
katei), Moral Education (doutoku), and<br />
English (gaikokugu). The language of<br />
companion in that school is Japenes<br />
language. This school has the special<br />
classes for students who are suffer the<br />
mentally handycapped or physical<br />
disability where learning process is<br />
adapted to the condition of them.<br />
Lunch System at Elementary School of<br />
Japan<br />
I am very impressed with the lunch<br />
52 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
ENGLISH CORNER<br />
provision of Elementary School in Japan.<br />
Practically all elementary school children<br />
receive a full lunch (bentou) at school.<br />
Although subsidized by the government,<br />
the program is not altogether free. Full<br />
meals usually consist of bread, a main<br />
dish, and milk. Although the program<br />
grew out of concern in the immediate<br />
postwar period for adequate nutrition,<br />
the school lunch is also important as a<br />
teaching device. Frequently, the students<br />
also are responsible for serving the lunch<br />
and cleaning up.<br />
The Elementary School System in<br />
Indonesia<br />
The Ministry of National Education<br />
administers all educational policies,<br />
guidelines and implementation in<br />
Indonesia. All citizens in the country have<br />
to finish 9 years of education, 6 years at<br />
elementary level and 3 years at middle<br />
school. The constitution stated that<br />
education in the country is divided into<br />
two parts, formal and non-formal. A<br />
formal education is divided again into<br />
three levels, primary, secondary and<br />
tertiary education.<br />
Unlike in Japan, the costs of education in<br />
Indonesia, particularly elementary<br />
education, is not free. Although the<br />
government launched a free education,<br />
but in reality a lot of costs that must be<br />
paid for the parents to send their children<br />
in elementary school. The parents should<br />
buy textbooks, book supporting lessons,<br />
exercise books, even uniforms. In the<br />
elementary school, each class consists of<br />
25-40 pupils. Each class is led by captain<br />
who has task to manage their friends in<br />
that class and was chosen by students or<br />
by homeroom teacher.<br />
Course of study<br />
Compared with the primary school<br />
curriculum in Japan, in Indonesai is more<br />
severe. Actually, the material is relatively<br />
the same for instance mathematics,<br />
natural sciences, social science, english,<br />
moral and ethict also religion. The<br />
materials in Indonesia seem more<br />
difficult, because of a lot of tasks. It is<br />
different from education in Japan, in<br />
Indonesia, students are taught to<br />
memorize rather than understand. That<br />
cause the students less creative in their<br />
activities.<br />
Elementary School Students' Eating<br />
Habits<br />
The most memorable things when I went<br />
to elementary school in Japan, is their<br />
habit to eat together at lunch time, and<br />
habits of the school provide the lunch for<br />
students. This is rarely found in primary<br />
schools in Indonesia. The students are<br />
allowed to buy some foods outside,<br />
usually less hygienic and healthy. It was<br />
very different from elementary schools<br />
in Japan, are very concerned to health,<br />
nutritional, hygiene and even calorie<br />
content. I can imagine if the system<br />
imposed lunch in elementary school at<br />
Japan enforced in Indonesia, must make<br />
their students healthier.<br />
Glossary:<br />
Enrolled : mendaftarkan<br />
Virtually : hampir<br />
Tuition : biaya pendidikan<br />
Pupils : murid/siswa<br />
Homeroom : wali kelas<br />
foto: istimewa<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
53
POJOK FOTO<br />
FOTOGRAFI PERJALANAN<br />
Oleh Fr. Edy Santoso<br />
staf <strong>Direktorat</strong> <strong>Anggaran</strong> III Ditjen <strong>Anggaran</strong><br />
Penggemar fotografi, pemilik digital underground studio dan website www.singomoto.com<br />
Kita sering melakukan perjalanan, baik perjalanan dalam rangka dinas<br />
maupun perjalanan yang sengaja dilakukan karena liburan atau cuti.<br />
Banyak hal yang seringkali kita lewatkan atau hanya dinikmati sesaat saja<br />
tanpa ada niat untuk mendokumentasikan peristiwa atau tempat yang<br />
menarik tersebut. Bila ada rencana perjalanan dinas atau memang<br />
mempunyai rencana untuk melakukan liburan, akan lebih bijaksana bila<br />
mulai sekarang membekali diri dengan kamera digital untuk<br />
mendokumentasikan perjalanan Anda.<br />
Canon EOS 5D<br />
Speed 1/250 sec, f 1/3.2,<br />
ISO-400, foc. length 190mm<br />
54<br />
foto: Fr. Edy Santoso
POJOK FOTO<br />
Berikut beberapa tips/saran bila ingin<br />
mendokumentasikan perjalanan anda.<br />
I. Persiapan<br />
a. Waktu<br />
Lebih baik melakukan perjalanan<br />
dengan lebih terencana dan jauh-jauh<br />
hari. Pilih waktu di mana cuaca cukup<br />
bersahabat, sehingga bisa maksimal<br />
mengekplorasi tempat tujuan. Tentu<br />
saja berapa lama akan tinggal di<br />
t e m p a t t e r s e b u t m e n j a d i<br />
pertimbangan.<br />
b. Tempat tujuan<br />
Jika berlibur maupun melakukan<br />
perjalanan dinas, lebih baik mencari<br />
informasi sebanyak-banyaknya<br />
tentang tempat tersebut. Carilah<br />
informasi yang terkait dengan tempat<br />
menginap, kuliner, wisata andalan, dll.<br />
Informasi bisa diperoleh dari buku,<br />
blog, website, dll.<br />
c. Dengan siapa ?<br />
Kalau melakukan perjalanan dinas,<br />
sudah tentu harus melakukannya<br />
bersama rekan kerja anda. Tetapi bila<br />
melakukan perjalanan dalam rangka<br />
liburan, bisa jadi dilakukan bersama<br />
pasangan, baik isteri juga anak-anak.<br />
Jangan melakukan perjalanan liburan<br />
seorang diri, tidak enak banget.<br />
Percaya deh…benar-benar tidak<br />
enak.<br />
d. Peralatan<br />
Apabila melakukan perjalanan untuk<br />
berlibur, tidak khusus untuk “hunting<br />
foto”, peralatan standar yang perlu<br />
dibawa adalah kamera digital. Anda<br />
bisa membawa kamera pocket digital,<br />
DSLR dengan satu lensa yang<br />
mempunyai range cukup lebar,<br />
misalnya 18-135 mm atau 18-270<br />
mm, sehingga tidak perlu bergantiganti<br />
lensa. Mungkin agak repot, tetapi<br />
saya sarankan juga membawa tripod<br />
dan banterai cadangan.<br />
e. Obyek/Subyek untuk dipotret<br />
Akan lebih bijaksana, apabila<br />
membuat daftar apa saja yang hendak<br />
anda potret. Itulah gunanya<br />
mempelajari atau mencari informasi<br />
tentang tempat tujuan bepergian.<br />
Canon EOS KISS Digital X<br />
Speed 1/500 sec, f 1/4,<br />
ISO-400, foc. length 200mm<br />
f. Memory/media penyimpan<br />
Fotografer yang bijak dan cerdas akan<br />
membawa memory yang kosong dan<br />
baterai yang penuh dalam kameranya.<br />
Bukan sebaliknya membawa memory<br />
yang penuh karena belum ditransfer<br />
ke komputer dan baterai yang<br />
kosong karena belum di”charge”.<br />
Lebih baik membawa memory yang<br />
cukup banyak, karena pasti ada<br />
obyek-obyek menarik yang tidak<br />
cukup difoto dalam satu jepretan.<br />
foto: Fr. Edy Santoso<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
55
POJOK FOTO<br />
Canon EOS KISS Digital X<br />
Speed 1/250 sec, f 1/13,<br />
ISO-200, foc. length 25mm<br />
Canon EOS 5D<br />
Speed 1/250 sec, f 1/3.2,<br />
ISO-400, foc. length 78mm<br />
g. Rute perjalanan<br />
Bila melakukan perjalanan darat,<br />
banyak obyek-obyek menarik yang<br />
dilewati yang bisa dipotret. Silakan<br />
mencari jalur yang paling mudah dan<br />
paling menarik untuk dilewati. Tetapi<br />
apabila melakukan perjalanan dengan<br />
pesawat udara, jangan simpan kamera<br />
ke dalam tas, anda masih bisa<br />
memotret awan dan pemandangan<br />
lainnya dari jendela cabin.<br />
II. Subyek/Obyek<br />
Banyak yang bisa direkam atau<br />
dipotret di suatu daerah atau lokasi.<br />
Beberapa obyek/subyek yang bisa<br />
anda rekam, antara lain:<br />
a. Manusia<br />
Manusia adalah subyek foto yang<br />
paling menarik dan bisa diajak<br />
kerjasama untuk menghasilkan foto<br />
yang dahsyat. Ada beberapa cara atau<br />
teknik untuk memotret manusia.<br />
- Portrait<br />
Portrait adalah teknis memotret<br />
manusia secara proporsional,<br />
seringkali dengan cara close up atau<br />
lebih banyak mengekspose wajah<br />
manusia.<br />
- Aktivitas manusia<br />
Memotret aktivitas manusia ini<br />
m e m e r l u k a n ke j e l i a n d a n<br />
keberanian, karena seringkali<br />
subyek yang kita potret kurang<br />
suka. Lebih baik anda meminta izin<br />
t e r l e b i h d a h u l u s e b e l u m<br />
memotretnya.<br />
foto: Fr. Edy Santoso<br />
- Kegiatan kolosal<br />
Yang dimaksud dengan kegiatan<br />
kolosal adalah kegiatan yang<br />
dilakukan bersama-sama oleh<br />
banyak orang. Banyak kegiatan<br />
budaya ataupun keagamaan yang<br />
dilakukan bersama-sama di suatu<br />
tempat.<br />
- Anak-anak<br />
Memotret anak-anak memang<br />
tidak mudah, tetapi juga tidak sulit,<br />
karena kita bisa memotret segala<br />
macam aktivitas mereka secara<br />
natural. Banyak kejadian-kejadian<br />
lucu dan menggemaskan yang bisa<br />
anda potret.<br />
- Teman perjalanan<br />
B e r b i c a r a t e n t a n g t e m a n<br />
perjalanan, anda bisa memotret<br />
aktivitas rekan perjalanan anda<br />
sewaktu melakukan perjalanan<br />
dinas bersama. Tetapi apabila anda<br />
melakukan perjalanan liburan<br />
bersama keluarga, anda bisa<br />
memotret aktivitas isteri dan anakanak<br />
di setiap lokasi wisata.<br />
- Etiket/sopan-santun<br />
Disarankan sebelum memotret di<br />
suatu lokasi, anda meminta izin<br />
terlebih dahulu kepada subyek yang<br />
akan anda potret.<br />
b. Landscape<br />
Landscape atau pemandangan adalah<br />
obyek yang paling sering dipotret oleh<br />
para traveler. Setiap lokasi<br />
mempunyai obyek landscape yang<br />
tidak dimiliki oleh lokasi lain. Foto-foto<br />
l a n s d s c a p e m e l i p u t i<br />
gunung/pegunungan, persawahan,<br />
hutan, danau, dll.<br />
c. Arsitektur/Bangunan<br />
Banyak bangunan yang kuno maupun<br />
bangunan yang baru atau modern<br />
yang bisa diabadikan dengan kamera.<br />
Beberapa bangunan bahkan menjadi<br />
ciri khas suatu tempat yang tidak<br />
dimiliki oleh tempat lain.<br />
d. Interior<br />
Anda bisa memotret interior kamar<br />
hotel di mana anda menginap juga di<br />
tempat di mana anda berkunjung.<br />
B e b e r a p a l o k a s i t i d a k<br />
56 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
foto: Fr. Edy Santoso
Canon EOS 5D<br />
Speed 1/250 sec, f 1/3.2,<br />
ISO-400, foc. length 120mm<br />
POJOK FOTO<br />
mempermasalahkan bila dipotret<br />
interiornya menggunakan kamera<br />
digital.<br />
e. Street/transportation<br />
Kondisi jalanan dan bangunan di kiri<br />
kanannya di mana anda berkunjung<br />
menarik juga untuk dipotret, juga alat<br />
transpor tasi yang digunakan.<br />
Beberapa lokasi mempunyai alat<br />
transportasi umum yang menarik dan<br />
mempunyai bentuk yang unik. Kalau<br />
anda jeli, bentuk becak di Yogyakarta<br />
berbeda dengan becak yang ada di<br />
kota lain.<br />
f. Acara/perayaan/karnaval<br />
Kalau beruntung atau memang sudah<br />
dijadwalkan perjalanan secara baik,<br />
beberapa tempat mempunyai<br />
kegiatan atau acara yang menarik dan<br />
melibatkan banyak sekali manusia.Di<br />
Jember misalnya, setiap bulan Agustus<br />
selalu diadakan Jember Fashion<br />
Week, yaitu peragaan busana dengan<br />
jalan utama Kota Jember sebagai<br />
“catwalk”nya.<br />
g. Entertainment/Pertunjukan<br />
Beberapa daerah mempunyai jadwal<br />
pertunjukan tari, musik, maupun<br />
foto: Fr. Edy Santoso<br />
memotret pertunjukan Sendratari<br />
Ramayana setiap malam di Pura<br />
Wisata, atau di Pelataran Candi<br />
Prambanan setiap hari Sabtu di bulan<br />
April s.d. Oktober.<br />
h. Makanan dan Minuman<br />
Makanan atau minuman yang disajikan<br />
kepada kita sebagai hidangan makan<br />
pagi, makan siang, maupun makan<br />
malam bisa menjadi obyek yang<br />
menarik. Dengan sudut-sudut kreatif,<br />
makanan dan minuman yang biasa<br />
pun akan menjadi sebuah foto yang<br />
sangat menarik. Di beberapa<br />
restoran, mereka menyajikan<br />
makanan dengan unik dan artistik.<br />
i. Kehidupan liar<br />
Kadang tempat yang kita kunjungi juga<br />
mempunyai tempat konservasi atau<br />
suaka margasatwa. Luangkan waktu<br />
sebentar untuk memotret satwa di<br />
habitatnya yang asli.<br />
Canon EOS 50D<br />
Speed 1/200 sec, f 1/4,<br />
ISO-3200, foc. length 75mm<br />
j. Ikon suatu tempat<br />
Di setiap daerah pasti mempunyai<br />
bangunan atau benda yang menjadi<br />
lambang atau ikon suatu daerah.<br />
Misalnya Jam Gadang di Bukit Tinggi,<br />
Tugu Monas di Jakarta, dll.<br />
III. Penutup<br />
Setelah kembali ke rumah, kalau<br />
belum sempat mentransfer semua<br />
foto ke dalam computer, jangan lupa<br />
untuk mentransfer semua foto di<br />
kamera ke computer. Setelah proses<br />
transfer selesai, disarankan untuk<br />
menformat memory tersebut dengan<br />
menggunakan kamera.<br />
Bersihkan dan simpan kamera dengan<br />
baik, untuk melakukan perjalanan<br />
berikutnya di tempat-tempat baru<br />
yang menarik.<br />
Foto diambil dua tahun lalu tepatnya pada<br />
bulan Januari 2010 dari Puncak Pananjakan,<br />
tempat terbaik untuk menyaksikan matahari<br />
terbit di Gunung Bromo Jawa Timur.<br />
Canon EOS 500D<br />
Manual exposure, speed 1/80 sec,<br />
f 1/16, ISO-400, foc. length 10mm<br />
foto: Fr. Edy Santoso<br />
budaya lainnya secara bulanan<br />
ataupun tahunan. Setiap daerah<br />
mempunyai budaya yang berbedabeda,<br />
sehingga anda mempunyai<br />
pilihan obyek yang bervariasi,<br />
misalnya.<br />
- Pertunjukan tari<br />
- Musik<br />
- Olah raga<br />
- Kehidupan malam<br />
Di Yogyakarta, anda bisa melihat dan<br />
foto: Budi S.<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
57
RESENSI<br />
Performance Coaching :<br />
Metode Baru Mendongkrak Kinerja Karyawan<br />
Penulis :<br />
Carol Wilson<br />
Penerbit :<br />
PPM Management<br />
Tebal :<br />
290 halaman<br />
PERSPEKTIF BARU<br />
DALAM MEMANDANG DUNIA PELATIHAN<br />
p a k a h a n d a p e r n a h<br />
membayangkan bahwa setiap<br />
Amenit yang anda dedikasikan<br />
untuk pekerjaan anda bisa membawa<br />
perubahan yang sangat besar dalam<br />
kemajuan unit tempat anda bekerja? Dan<br />
apakah anda tahu bahwa Pelatihan<br />
Kinerja dapat membantu individu dan<br />
organisasi untuk mencapai potensi<br />
maksimum, menjawab tantangan dan<br />
memenuhi target yang spesifik, dan pada<br />
a k h i r n y a a k a n m e n g h a s i l k a n<br />
perkembangan individu dan organisasi<br />
serta membantu dalam menciptakan<br />
keseimbangan dalam bekerja? Carol<br />
Wilson , Seorang pakar HRD berusaha<br />
untuk menyampaikan pesan mulia<br />
tersebut melalui bukunya “Performance<br />
Coaching : Metode Baru Mendongkrak<br />
Kinerja Karyawan”.<br />
Dalam buku ini, Wilson sebagai penulis<br />
memulai penyampaian pesannya<br />
tersebut dengan membagi buku ini<br />
menjadi dua bagian. Bagian pertama buku<br />
ini menceritakan sejarah dan prinsipprinsip<br />
utama dalam bidang pelatihan<br />
SDM, menjelaskan perbedaan mendasar<br />
antara bidang ini dengan bidang lain yang<br />
terkait dan memberikan contoh<br />
bagaimana bidang ini bisa memfasilitasi<br />
perubahan budaya kerja dalam sebuah<br />
organisasi. Tidak hanya itu, penulis juga<br />
memberikan panduan-panduan<br />
mendasar teknik pelatihan beserta<br />
contoh dan petunjuk praktis cara<br />
membawakan sesi pelatihan secara rapi<br />
dan terstruktur.<br />
Bagian kedua buku ini memberikan<br />
contoh-contoh model dan kelengkapan<br />
termutakhir yang sering digunakan dalam<br />
sebuah sesi pelatihan yang baik dan<br />
disertai dengan lembar-lembar kerja,<br />
latihan dan evaluasi yang sudah terbukti<br />
kualitasnya.<br />
Petunjuk Praktis<br />
Dalam buku ini, penulis menekankan<br />
bahwa alih-alih memberikan nasihat<br />
bagaimana melakukan sesuatu dengan<br />
benar, pelatihan sejatinya adalah salah<br />
satu cara dalam memfasilitasi proses<br />
pembelajaran yang ditentukan oleh<br />
individu itu sendiri.<br />
Berkaitan dengan hal diatas, penulis<br />
memberikan beberapa tips sederhana<br />
dalam membawakan sesi pelatihan,<br />
antara lain :<br />
1. Selalu usahakan agar sesi pelatihan<br />
direncanakan dalam struktur yang<br />
jelas dengan keluaran dari tiap-tiap sesi<br />
yang juga jelas.<br />
2. Gunakan kata-kata yang jelas dan tidak<br />
ambigu dalam sesi pelatihan agar dapat<br />
mengalir dengan baik.<br />
3. Dalam sesi evaluasi pelatihan, gunakan<br />
metode umpan balik mengenai diri<br />
sendiri. Artinya, trainer meminta<br />
peserta untuk mengevaluasi dirinya<br />
sendiri dan mencoba merefleksikan<br />
dengan apa yang mereka dapat selama<br />
proses pelatihan sehingga mereka<br />
akan mampu untuk membuat<br />
solusinya sendiri.<br />
Kegunaan buku ini dalam pengembangan<br />
individu dalam organisasi<br />
Buku ini bisa menjadi panduan lengkap<br />
bagi para staf yang bertanggungjawab<br />
dalam pengembangan SDM dalam<br />
sebuah organisasi karena buku ini<br />
menyediakan starter kit bagi para pemula<br />
dalam bidang pelatihan, termasuk di<br />
dalamnya tips-tips praktis, contoh, serta<br />
instruksi-instruksi mendetail dalam<br />
membawakan suatu sesi pelatihan. Bagi<br />
para pakar di bidang pelatihan pun, buku<br />
ini bisa menjadi sangat membantu karena<br />
menyediakan panduan referensi<br />
termutakhir dengan disertai studi kasus<br />
bertaraf internasional.<br />
Bagi para individu pun buku ini bisa<br />
menjadi sangat berguna karena<br />
memberikan perspektif baru dalam<br />
memandang dunia pelatihan secara<br />
khusus dan bidang Pengembangan<br />
Sumber Daya Manusia pada umumnya.<br />
Hisyami Adib.A<br />
Pustakawan DJA<br />
58 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012
INTERMEZO<br />
Bang Bujed<br />
Ada trilateral meeting, sosialisasi,<br />
APBN-P, reward-punishment, entah apalagi...<br />
WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />
59
Selamat Hari Raya<br />
Idul Fitri 1433 H<br />
taqobalallahu minna wa minkum<br />
semoga Allah menerima amalku<br />
dan amal kalian...<br />
© arbirajab