22.11.2014 Views

Majalah Warta Anggaran Edisi 24 - Direktorat Jenderal Anggaran ...

Majalah Warta Anggaran Edisi 24 - Direktorat Jenderal Anggaran ...

Majalah Warta Anggaran Edisi 24 - Direktorat Jenderal Anggaran ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

anggaran


SAMBUTAN<br />

MENTERI KEUANGAN<br />

foto: VIVAnews<br />

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga sampai dengan saat ini kita dapat terus<br />

berkarya dan berkinerja untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara kita tercinta.<br />

Sampai dengan pertengahan tahun 2012 ini, berbagai peristiwa telah terjadi dan memberi pengaruh terhadap pelaksanaan tugas<br />

kita semua. Kita harus dapat mengantisipasi peristiwa-peristiwa ini dengan cermat dan tentu saja dapat memberikan solusi yang<br />

cerdas terhadap permasalahan yang ada.<br />

Pertama, salah satu kebijakan yang diambil Pemerintah dalam APBN Perubahan 2012 adalah dengan melakukan pemotongan<br />

belanja Kementerian/Lembaga, pemanfaatan saldo anggaran lebih (SAL) untuk pengembangan pembangunan infrastruktur,<br />

anggaran belanja tambahan, realokasi dari bagian anggaran 999.08 ke bagian anggaran K/L, perubahan anggaran pendidikan, dan<br />

pemanfaatan hasil optimalisasi non pendidikan APBN-P Tahun <strong>Anggaran</strong> 2012.<br />

Dapat saya sampaikan bahwa pemotongan belanja K/L menggunakan prinsip “sharing the participation” yang dimaksudkan untuk<br />

mendukung kebutuhan pembiayaan kompensasi kepada masyarakat. Selain itu juga pemotongan anggaran belanja<br />

Kementerian/Lembaga dimaksudkan untuk meningkatkan quality of spending.<br />

Kebijakan Pemerintah tersebut diambil dengan maksud agar dana hasil optimalisasi dapat dimanfaatkan untuk program/kegiatan<br />

yang dapat diukur output dan outcomenya dan dapat memperkuat pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional dalam<br />

Rencana Kerja Pemerintah Tahun <strong>Anggaran</strong> 2012. Hal penting lainnya adalah bahwa dana optimalisasi dapat dimanfaatkan untuk<br />

mendukung program-program pengurangan kemiskinan dan mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan<br />

Kemiskinan di Indonesia (MP3KI).<br />

Saya sangat mengharapkan agar semua pihak terkait (Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga) dapat memberikan<br />

dukungan terhadap kebijakan yang diambil Pemerintah tersebut. Berikanlah karya terbaik Saudara-Saudara sekalian dengan kerja<br />

keras dan kerja cerdas berlandaskan nilai-nilai Kementerian Keuangan agar kebijakan yang diambil Pemerintah dapat dilaksanakan<br />

dengan baik dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.<br />

Kedua, sampai dengan pertengahan tahun 2012 kita dikejutkan dengan terjadinya berbagai kasus penyelewengan dalam<br />

pelaksanaan program dan kegiatan yang didanai dari APBN. Penyelewengan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak<br />

bertanggung jawab berimplikasi bagi pegawai Kementerian Keuangan khususnya rekan-rekan pada <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong>.<br />

Namun saya yakin dengan integritas dan profesionalisme pegawai-pegawai pada <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong> dapat<br />

bertanggung jawab atas segala pelaksanaan yang terjadi.<br />

Dari kasus-kasus yang tejadi, saya berharap kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang berharga serta terus<br />

melakukan evaluasi atas apa yang telah kita kerjakan. Melalui media ini, saya meminta kepada rekan-rekan di <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

<strong>Anggaran</strong> untuk tetap berjuang dan bekerja keras serta lebih berhati-hati dan cermat dalam melakukan penelaahan anggaran<br />

bersama rekan-rekan dari Kementerian/Lembaga. Kepada mitra kerja Kementerian Keuangan, saya ingin mengajak untuk selalu<br />

bersama-sama menjaga integritas dan bekerja dengan profesional dalam mewujudkan pengalokasian anggaran yang lebih<br />

transparan dan akuntabel sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Saya yakin, kita<br />

semua dapat memberikan kinerja yang optimal dan mewujudkan good governance dalam pengelolaan anggaran negara.<br />

Akhir kata, semoga majalah <strong>Warta</strong> <strong>Anggaran</strong> dapat menjadi sumber informasi tentang segala hal terkait penganggaran bagi<br />

seluruh mitra kerja.<br />

Agus D.W. Martowardojo<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

3


DAFTAR ISI<br />

LAPORAN UTAMA<br />

Performance-based Contract:<br />

Solusi Pekerjaan Perawatan Jalan<br />

Milestone Pembangunan Infrastruktur<br />

Sejarah dan Perkembangan Public Private<br />

Partnership (PPP) di Indonesia<br />

APBN Perubahan 2012<br />

PERENCANAAN<br />

ANGGARAN<br />

Anomali Subsidi BBM<br />

PNBP<br />

USO:<br />

Program Pembangunan Infrastuktur<br />

Telekomunikasi<br />

di Pedesaan<br />

6<br />

13<br />

17<br />

20<br />

25<br />

28<br />

foto: dok. pribadi<br />

PERISTIWA<br />

BERITA<br />

Reward and Punishment<br />

Langkah-Langkah <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

<strong>Anggaran</strong> dalam Penyusunan Pagu Indikatif<br />

Tahun 2013<br />

32<br />

37<br />

38<br />

SISTEM PENGANGGARAN<br />

Standar Biaya,<br />

Kemana Dikembangkan?<br />

Mengkaji Kembali Reformasi Sistem Penganggaran,<br />

Bagaimana Memperkuat Keterkaitan Kebijakan<br />

Makro-Mikro Dalam Implementasi Kebijakan<br />

<strong>Anggaran</strong> Pemerintah<br />

Mendudukkan Belanja Modal<br />

39<br />

42<br />

48<br />

RENUNGAN<br />

ENGLISH CORNER<br />

POJOK FOTO<br />

RESENSI<br />

INTERMEZO<br />

51<br />

52<br />

54<br />

58<br />

59<br />

foto: dok. pribadi<br />

4 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


SALAM REDAKSI<br />

anggaran<br />

Pembaca yang budiman,<br />

Kondisi infrastruktur di Indonesia masih memerlukan perbaikan sana sini.<br />

Apabila kita bandingkan kualitas infrastruktur jalan di Indonesia dengan<br />

negeri jiran, Indonesia berada pada peringkat 90 pada tahun 2010-2011,<br />

sedangkan Thailand pada peringkat 46 dan Malaysia pada peringkat 27.<br />

Laporan utama akan mengangkat topik pada penerbitan <strong>Warta</strong> <strong>Anggaran</strong><br />

<strong>Edisi</strong> <strong>24</strong>.Pembaca kami ajak untuk memahami bagaimana perkembangan<br />

pembangunan infrastruktur di Indonesia melalui beberapa tulisan dan ulasan<br />

dari para penulis kami.<br />

Pada rubrik Sistem Penganggaran, kami menurunkan tulisan tentang<br />

Reformasi Sistem Penganggaran yang mengulas tentang bagaimana<br />

memperkuat keterkaitan kebijakan makro-mikro dalam implementasi<br />

kebijakan anggaran pemerintah. Pembaca juga bisa membaca ulasan tentang<br />

belanja modal dan standar biaya.<br />

Sebagai komitmen Pemerintah untuk terus mengedukasi mitra kerja, kami<br />

meliput kegiatan-kegiatan sosialisasi yang dilakukan <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

<strong>Anggaran</strong> kepada mitra kerjanya. Pada bagian lain, salah seorang pegawai<br />

pada Ditjen <strong>Anggaran</strong> akan berbagi pengalaman ketika mengamati<br />

bagaimana sistem pendidikan Sekolah Dasar di Jepang dan<br />

membandingkannya dengan sistem pendidikan di Indonesia yang kami<br />

tuangkan dalam English Corner.<br />

Sebagai penyeimbang tulisan-tulisan tentang penganggaran, kami ajak<br />

Pembaca menelusuri keindahan alam dan budaya Indonesia melalui foto-foto<br />

perjalanan.<br />

Akhirnya, selamat membaca dan menikmati ulasan-ulasan kami. Semoga<br />

majalah <strong>Warta</strong> <strong>Anggaran</strong> dapat memberi manfaat dan menambah<br />

pengetahuan para Pembaca setia kami.<br />

Salam<br />

PENGARAH<br />

Direktur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />

PENANGGUNG JAWAB<br />

Sekretaris Ditjen <strong>Anggaran</strong><br />

REDAKTUR<br />

Meriyam Megia Shahab<br />

REDAKTUR PELAKSANA<br />

Rini Ariviani F. – Langgeng Suwito – Waskito –<br />

Arief Masdi – M. Indra Zakaria Tarigan –<br />

Sunawan Agung S. – Ahmad Junaidi –<br />

Arif Kelana Putra – Robby Martaputra –<br />

Ade Permadi<br />

PENYUNTING<br />

I.G.A Krisna Murti<br />

Eko Widyasmoro<br />

Hisyami Adib Asyrofi<br />

Mujono Basuki<br />

DESAIN GRAFIS DAN FOTOGRAFER<br />

Fransiskus Edy Santoso<br />

Wirawan Setiadji<br />

Dana Hadi<br />

KEUANGAN<br />

Albert Trisija<br />

TATA USAHA DAN DISTRIBUSI<br />

Rully Wirastaningrum<br />

Faisal Khabibi<br />

Fadly Anshory Lubis<br />

Dimas Abdilla<br />

Redaksi menerima artikel untik dimuat dalam majalah ini.<br />

Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1.5 maksimal 5 halaman.<br />

Artikel dapat dikirim ke wartaanggaran@gmail.com<br />

Isi majalah tidak mencerminkan kebujakan <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />

ALAMAT<br />

Gedung Sutikno Slamet Lt.11<br />

Jl. Dr. Wahidin no. 1<br />

Jakarta 10710<br />

Telepon: (021) 3435 7505<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

5


PERFORMANCE-BASED CONTRACT:<br />

SOLUSI PEKERJAAN PERAWATAN JALAN<br />

Oleh : Mahmudi<br />

Pelaksana pada <strong>Direktorat</strong> <strong>Anggaran</strong> I<br />

Coba simak beberapa judul berita di internet ini: “Jalan Tergenang Warga<br />

Meradang”, “Ganasnya Jalur Pantura”, atau “Jalur Cilegon Merak Tambal<br />

Sulam”. Ketiganya menggambarkan kerusakan ruas-ruas jalan di beberapa<br />

tempat di Indonesia. Jika membandingkan kualitas infrastruktur jalan di<br />

Indonesia dengan negeri jiran, Indonesia mempunyai peringkat 90 pada<br />

tahun 2010-2011, bandingkan dengan Thailand pada posisi 46 dan Malaysia<br />

pada posisi 27. Berdasarkan kondisi tersebut, tentu saja kinerja layanan jalan<br />

di Indonesia sering dikeluhkan banyak pihak, baik oleh dunia usaha maupun<br />

masyarakat pada umumnya.<br />

6<br />

foto: sxc.hu


LAPORAN UTAMA<br />

akta lain, penggunaan moda<br />

transportasi angkutan barang di<br />

FIndonesia saat ini tidak seimbang.<br />

Pergerakan angkutan barang 90%<br />

didominasi oleh moda transportasi darat<br />

melalui jalan. Apabila dikaitkan dengan<br />

kondisi jalan yang ada, sebagian<br />

diantaranya membawa muatan melebihi<br />

kapasitas yang ditentukan. Implikasinya,<br />

Kerusakan jalan semakin cepat dan parah.<br />

Bukannya Pemerintah tinggal diam<br />

melihat kondisi ini. Pemerintah telah<br />

m e n g a n g g a r k a n b i a y a u n t u k<br />

pembangunan dan perawatan jalan setiap<br />

tahun yang relatif besar. Namun<br />

demikian, kebutuhan dana yang ideal<br />

belum terpenuhi, untuk menjaga seluruh<br />

aset jalan dalam kondisi mantap.<br />

P e r l u a d a t e r o b o s a n b a r u ,<br />

mendayagunakan dana perawatan jalan<br />

yang ada, dengan hasil yang memuaskan.<br />

Nah, Pemerintah menawarkan cara baru<br />

pelaksanaan kegiatan perawatan jalan<br />

melalui penerapan performance-based<br />

contract (PBC).<br />

Konsep Dasar PBC<br />

Penerapan PBC untuk pekerjaan<br />

perawatan jalan, telah menggeser kriteria<br />

penilaian kinerja pemeliharaan jalan.<br />

Semula fokus kepada input dan output,<br />

menjadi fokus terhadap kenyamanan<br />

pengguna jalan (customer oriented<br />

outcomes). Dasar penilaian kinerja<br />

kontraktor tidak terletak pada jumlah<br />

ouput yang dikerjakan. Pencapaian level of<br />

services yang diberikan oleh kontraktor<br />

adalah dasar penilaian kinerjanya.<br />

Tandanya berupa indikator kinerja<br />

minimal yang ditetapkan dalam kontrak.<br />

Definis PBC menurut Bank Dunia ialah<br />

kontrak yang mendasarkan pembayaran<br />

untuk biaya manjemen dan pemeliharaan<br />

jalan secara langsung dihubungkan<br />

dengan kinerja kontraktor dalam<br />

memenuhi indikator kinerja minimum<br />

yang ditetapkan. Secara bebas, PBC dapat<br />

diterjemahkan pula sebagai produk akhir<br />

yang pencapaiannya sepenuhnya<br />

ditentukan oleh kontraktor dan<br />

pembayaran kontrak ditentukan oleh<br />

seberapa baik kontraktor berhasil<br />

memenuhi standar kinerja minimal yang<br />

Penyelenggara<br />

Jalan<br />

(Pemerintah)<br />

Pengguna Jalan<br />

Kontraktor<br />

Tabel 1 : Keuntungan dan Kerugian Penerapan PBC<br />

Keuntungan<br />

a. potensi penghematan biaya nilai manfaat<br />

yang lebih besar (economies of scale) apabila<br />

diterapkan pada pekerjaan yang bersifat<br />

"integrated full service" dengan jangka waktu<br />

kontrak yang relatif panjang. Manfaat :<br />

penghematan biaya yang signifikan;<br />

peningkatan kualitas jalan; jaminan kontrak<br />

pengelolaan; dan pemeliharaan asset jalan.<br />

b. mengurangi frekuensi klaim dan<br />

amandemen kontrak akibat perubahan<br />

kuantitas pekerjaan<br />

c. fokus pelanggan karena imbalan<br />

pembayaran kepada kontraktor didasarkan<br />

pada indikator kinerja yang diinginkan oleh<br />

pemilik sekaligus oleh pengguna jalan<br />

d. mengurangi beban kerja penyelenggara<br />

jalan, karena sebagian pekerjaan sudah<br />

diambil alih oleh kontraktor;<br />

e. adanya kepastian kebutuhan pembiayaan<br />

dan pendanaan pemeliharaan jalan dalam<br />

jangka panjang;<br />

f. peningkatan transparasi dan akuntabilitas<br />

dalam pengelolaan jalan;<br />

g. meningkatkan kontrol terhadap penegakan<br />

standar kualitas<br />

h. menghemat biaya rehabilitasi jalan;<br />

i. mengurangi risiko bagi pemilik proyek<br />

karena sebagian besar risiko telah digeser<br />

kepada pihak kontraktor.<br />

a. tersedianya sarana jalan dalam kondisi yang<br />

baik dalam jangka panjang;<br />

b. mengurangi biaya yang harus ditanggung<br />

pengguna jalan (waktu tempuh yang lebih<br />

baik dan menurunnya biaya kerusakan<br />

kendaraan).<br />

a. dapat mengembangkan kemampuan inovasi<br />

penyedia jasa dan kemampuan pengguna<br />

jasa dalam pengelolaan kontrak terintegrasi;<br />

b. jaminan terhadap kontrak dalam jangka<br />

panjang;<br />

c. menyediakan potensi peningkatan<br />

keuntungan; dan<br />

d. membuka peluang terhadap pertumbuhan<br />

perusahaan.<br />

Kerugian<br />

a. waktu pengadaan tender bisa menjadi lebih<br />

lama, apalagi bila terjadi dispute/sanggahan<br />

pada waktu proses pengadaan. Lamanya<br />

waktu yang dibutuhkan mengingat banyak<br />

kriteria yang harus dinilai, disamping itu<br />

perlu terlebih dahulu dilakukan inventarisasi<br />

bersama aset dan kondisi eksisting jalan,<br />

sebagai dasar perhitungan biaya kontrak;<br />

b. rasa kehilangan kewenangan kendali bagi<br />

penyelenggara jalan/pengguna jasa;<br />

c. ketidakpastian dalam jangka waktu lama,<br />

karena kendali penyelenggaraan jalan<br />

berada di tangan penyedia jasa;<br />

d. dapat berakibat menutup peluang bagi<br />

penyedia jasa usaha kecil, karena hanya<br />

perusahaan-perusahaan besar yang<br />

umumnya sanggup melaksanakan kontrak<br />

jangka panjang dengan magnitude biaya<br />

yang relatif besar;<br />

e. kemungkinan kehilangan informasi, jika<br />

kontraktor tidak secara detail melaporkan<br />

kondisi dan penanganan aset jalan.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

7


LAPORAN UTAMA<br />

ditetapkan dalam kontrak, dan bukan<br />

pada jumlah pekerjaan dan jasa yang<br />

dikerjakan.<br />

Berbeda dengan metode kontrak<br />

tradisional, pemilik proyek (owner)<br />

biasanya menentukan spesifikasi teknis,<br />

teknologi, bahan baku dan jumlah bahan<br />

baku yang diperlukan, jangka waktu<br />

pelaksanaan pekerjaan, dan pembayaran<br />

kepada kontraktor didasarkan atas<br />

jumlah input yang digunakan. Dengan<br />

PBC pemilik proyek tidak secara rinci<br />

menentukan metode atau material apa<br />

yang digunakan, sebagai gantinya pemilik<br />

proyek menetapkan indikator kinerja<br />

minimum yang harus dipenuhi oleh pihak<br />

kontraktor, misalnya untuk pemeliharaan<br />

jalan tidak ada toleransi adanya lubang<br />

dengan diameter tertentu, tidak boleh<br />

ada retakan, marka jalan harus terlihat<br />

jelas, saluran drainase berfungsi baik dan<br />

sebagainya.<br />

PBC juga menetapkan suatu pendekatan<br />

kontrak yang menyediakan insentif dan<br />

disinsentif atau keduanya kepada<br />

kontraktor untuk mencapai standar<br />

kinerja atau target hasil yang terukur.<br />

Ukuran kinerja dinyatakan dalam tingkat<br />

layanan (level of services) dengan skala<br />

standar kinerja tertentu, termasuk<br />

respon waktu yang diperlukan untuk<br />

penyelesaian pekerjaan, disertai dengan<br />

pemantauan kinerja yang sistematik<br />

(performance monitoring) guna menilai<br />

kinerja kontraktor sebagai dasar<br />

pembayaran kontrak.<br />

Sistem pembayaran pada kontrak PBC<br />

bersifat lumpsum price, kontraktor akan<br />

menerima pembayaran dalam jumlah<br />

yang sama setiap bulannya, kecuali apabila<br />

kontraktor tidak memenuhi standar<br />

kinerja minimal, maka jumlah<br />

pembayaran akan dikurangi sesuai<br />

dengan ketentuan denda dalam kontrak.<br />

Pada jenis kontrak PBC terdapat<br />

ke l e l u a s a a n ko n t r a k t o r u n t u k<br />

menentukan perancangan, proses<br />

manajemen dan metode kerja yang paling<br />

efisien, termasuk penerapan teknologi<br />

inovatif, sehingga membuka peluang<br />

untuk meningkatkan keuntungan karena<br />

kontraktor dapat menghemat biaya<br />

melalui peningkatan efisiensi dan<br />

efektivitas desain, proses, dan teknologi.<br />

Hal ini berbeda dengan jenis kontrak<br />

tradisional tahunan yang umum diadopsi<br />

o l e h Pe m e r i n t a h , y a n g m a s i h<br />

memisahkan tahap desain, konstruksi dan<br />

pemeliharaan, sehingga seringkali terjadi<br />

peningkatan biaya akibat adanya<br />

pekerjaan-pekerjaan tambahan yang<br />

belum teridentifikasi dalam tahap desain,<br />

atau adanya perubahan dasain itu sendiri,<br />

akibatnya risiko meningkatnya biaya<br />

konstruksi dan pemeliharaan sepenuhnya<br />

ditanggung oleh pemilik proyek.<br />

Sebagai pemilik jalan, Pemerintah dapat<br />

menentukan kondisi minimum jalan,<br />

jembatan, dan aset lalu lintas yang harus<br />

dipelihara oleh kontraktor untuk jangka<br />

waktu tertentu. Konsekwensi logis dari<br />

kontrak PBC, terdapat pergeseran /<br />

pengalokasian risiko yang lebih besar<br />

kepada pihak kontraktor dibandingkan<br />

dengan model kontrak tradisional, tetapi<br />

pada saat yang sama membuka peluang<br />

untuk meningkatkan keuntungan melalui<br />

peningkatan efisiensi dan efektivitas<br />

dalam mencapai standar kinerja yang<br />

ditetapkan.<br />

Sebagai gambaran, tabel 1 pada halaman<br />

sebelumnya mengidentifikasi secara rinci<br />

keuntungan dan kerugian penerapan<br />

PBC.<br />

100%<br />

80%<br />

60%<br />

40%<br />

20%<br />

0%<br />

3.43<br />

13.34<br />

33.56<br />

49.67<br />

Grafik 1 : Kondisi Jalan di Indonesia<br />

Tahun 2010<br />

31.06<br />

28.21<br />

34.88<br />

5.85<br />

21.87<br />

31.14<br />

<strong>24</strong>.53<br />

22.46<br />

NASIONAL PROVINSI KABUPATEN<br />

Data dan Fakta Jalan Maupun<br />

Infrastruktur di Indonesia<br />

Jalan-jalan di Indonesia terbagi dalam jalan<br />

nasional, jalan provinsi, dan jalan<br />

kabupaten/kota. Berikut ini data Ditjen<br />

Bina Marga Tahun 2010 tentang kondisi<br />

jalan di Indonesia. Dari panjang jalan<br />

nasional 38.569 km, ditemukan: 3,34%<br />

mengalami rusak berat; 33,56% rusak<br />

ringan; 33,56% dalam kondisi sedang; dan<br />

sisanya 49,67% dalam kondisi baik. Dari<br />

panjang jalan provinsi 48.966 km,<br />

ditemukan: 31,06% dalam kondisi rusak<br />

berat; 28,21% rusak ringan; 34,88%<br />

kondisi sedang; dan sisanya 5,85% dalam<br />

kondisi baik. Adapun panjang jalan<br />

kabupaten/kota 358.713 Km, ditemukan:<br />

21,87% dalam kondisi rusak berat;<br />

31,14% rusak ringan; <strong>24</strong>,53 kondisi<br />

sedang; dan sisanya 22,46% dalam kondisi<br />

baik.<br />

Pada aspek anggaran, alokasi dana untuk<br />

sek tor jalan sudah mengalami<br />

peningkatan dibanding tahun-tahun<br />

sebelumnya. Secara agregat, alokasi dana<br />

Ditjen Bina Marga dan alokasi dana<br />

infrastruktur dalam APBN juga terus<br />

mengalami peningkatan yang cukup<br />

signifikan, terlihat pada tabel dan grafik di<br />

bawah ini.<br />

Penerapan PBC di Indonesia<br />

Tahun 2011, Pemerintah telah<br />

menerapkan jenis kontrak PBC untuk<br />

RUSAK<br />

BERAT<br />

RUSAK<br />

RINGAN<br />

SEDANG<br />

BAIK<br />

8 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


LAPORAN UTAMA<br />

pekerjaan perawatan jalan dengan jangka<br />

waktu 4 tahun. Jalur Pantura ruas<br />

Ciasem-Pamanukan - Provinsi Jawa Barat<br />

sepanjang 21,7 Km dan ruas Demak-<br />

Trengguli - Provinsi Jawa Tengah<br />

sepanjang 12 Km dipilih sebagai pilot<br />

project. Ini juga merupakan bagian dari<br />

Program 100 Hari Kabinet Indonesia<br />

Bersatu Jilid II, sebagai upaya pemerintah<br />

ESELON I<br />

Kementerian<br />

Pekerjaan Umum<br />

033.04. DITJEN BINA<br />

MARGA<br />

TAHUN<br />

ANGGARAN<br />

dalam meningkatkan kinerja layanan jalan.<br />

H a r a p a n n y a , p e n e r a p a n P B C<br />

meningkatkan kualitas jalan di Indonesia,<br />

mengedepankan aspek good governance,<br />

dan sekaligus memenuhi ekspektasi<br />

pengguna jalan terhadap tersedianya<br />

kualitas layanan jalan yang lebih baik.<br />

Kebutuhan dana untuk dua paket<br />

Tabel 2 : Perkembangan Pagu <strong>Anggaran</strong> Ditjen Bina Marga<br />

TA. 2005 s.d. 2011<br />

Sumber Data : Business Intelegence <strong>Anggaran</strong><br />

30,000,000<br />

25,000,000<br />

20,000,000<br />

15,000,000<br />

10,000,000<br />

5,000,000<br />

0<br />

PAGU<br />

REALISASI<br />

2005 5,759,177,525,000 4,896,309,250,362<br />

2006 8,307,813,005,000 7,681,620,469,040<br />

2007 10,802,952,097,000 9,285,616,912,026<br />

2008 16,826,317,204,000 15,741,116,618,017<br />

2009 20,005,785,194,000 19,238,907,785,478<br />

2010 18,341,485,473,000 15,747,090,872,764<br />

2011 27,975,010,155,000 20,417,067,433,211<br />

Grafik 2: Perkembangan Pagu Ditjen Bina Marga<br />

TA. 2005 s.d. 2011<br />

PERKEMBANGAN PAGU DITJEN BINA MARGA TA. 2005 S.D. 2011<br />

2005<br />

2006 2007 2008 2009 2010 2011<br />

PAGU<br />

REALISASI<br />

Pemeliharaan Jalan Ciasem- Pamanukan<br />

dan ruas Jalan Demak- Trengguli masingmasing<br />

adalah sebesar Rp128,9 miliar dan<br />

sebesar Rp74,45 miliar. Penerapan pilot<br />

project pada dua ruas jalan tersebut<br />

menjadi permulaan diterapkannya PBC<br />

untuk skala yang lebih luas. Nantinya,<br />

seluruh jalan-jalan strategis utama seperti<br />

lintas Pantura Jawa, lintas timur Sumatera,<br />

lintas Kalimantan dan lintas barat<br />

Sulawesi, menerapkan kontrak PBC<br />

sebagai upaya membangun konektivitas<br />

nasional dan memperbaiki sistem logistik<br />

nasional.<br />

Di tinjau dari aspek legal, konsep yang<br />

diterapkan dalam kontrak PBC sudah<br />

diakomodir dalam peraturan perundangundangan<br />

di Indonesia, antara lain: a. UU<br />

No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi; b.<br />

Perpres 54 tahun 2010 tentang<br />

Pengadaan Barang dan Jasa; dan c. PMK<br />

No.56/PMK.02/2010 tentang Tatacara<br />

Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun<br />

Jamak (Multiyears Contract). Pasal 16 Ayat<br />

(3), UU No.18/1999 menyatakan,<br />

“Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan,<br />

dan pengawasan dapat dilakukan secara<br />

terintegrasi dengan memperhatikan<br />

besaran pekerjaan atau biaya, penggunaan<br />

teknologi canggih, serta risiko besar bagi<br />

para pihak ataupun kepentingan umum<br />

dalam satu pekerjaan konstruksi”.<br />

Penjelasan Pasal 6 huruf e, Perpres 54<br />

tahun 2010 menyebutkan secara eskplisit<br />

jenis kontrak PBC. Demikian halnya<br />

dengan PMK No.56/PMK.02/2010, di<br />

sana juga telah tentang PBC.<br />

130.0<br />

110.0<br />

90.0<br />

70.0<br />

50.0<br />

30.0<br />

10.0<br />

23.7<br />

2.3<br />

21.4<br />

Grafik 3 : Perkembangan Alokasi Dana Infrastruktur<br />

TA. 2005 s.d. 2011<br />

Non K/L<br />

K/L<br />

54.0<br />

50.0<br />

7.9 8.9<br />

42.2<br />

45.1<br />

(10.0) 2005 2006 2007 2008 2009 2010<br />

Keterangan : Alokasi terbesar terkait infrastruktur adalah Kemen PU, Kemenhub,<br />

Kemen ESDM dan non K/L (alokasi pada Non K/L a.l. land capping,<br />

DAK untuk infrastruktur, PMN untuk infrastruktur).<br />

70.0<br />

10.6<br />

59.4<br />

78.9<br />

13.2<br />

65.7<br />

93.4<br />

25.8<br />

67.5<br />

123.8<br />

18.6<br />

105.1<br />

2011<br />

Harapannya, penerapan<br />

PBC meningkatkan<br />

kualitas jalan di Indonesia,<br />

mengedepankan aspek<br />

good governance, dan<br />

sekaligus memenuhi<br />

ekspektasi pengguna jalan<br />

terhadap tersedianya<br />

kualitas layanan jalan yang<br />

lebih baik.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

9


LAPORAN UTAMA<br />

Dari aspek sistem penganggaran, prinsip<br />

dasar PBC berjalan seiring dengan prinsip<br />

Performance Based Budgeting (PBB). PBB<br />

adalah suatu sistem perencanaan,<br />

penganggaran, dan evaluasi yang<br />

menekankan hubungan antara uang yang<br />

dianggarkan dan hasil yang diharapkan.<br />

PBB mempunyai ciri-ciri: a. fokus pada<br />

hasil, b. memberikan fleksibilitas kepada<br />

manajer untuk menentukan cara terbaik<br />

untuk mencapai hasil, dan c. memiliki<br />

perspektif jangka panjang. Contoh<br />

penerapan prinsip dasar PBC yang sejalan<br />

d e n g a n p r i n s i p P B B , ko n t r a k<br />

pemeliharaan jalan diukur berdasarkan<br />

kualitas layanan yang didefinisikan<br />

menurut perspektif pengguna jalan yaitu:<br />

a. kecepatan rata-rata kendaraan<br />

( perbaikan wak tu tempuh), b.<br />

kenyamanan pengendara dan c.<br />

keselamatan pengendara. Hal ini<br />

menunjukan bahwa PBC juga fokus<br />

terhadap hasil. Pembayaran yang<br />

dikaitkan dengan kinerja kontraktor<br />

dalam memenuhi standar kinerja<br />

tertentu menunjukan bahwa PBC juga<br />

menekankan hubungan antara uang yang<br />

dianggarkan dengan hasil yang<br />

diharapkan. Selanjutnya, PBC juga<br />

memberikan ruang inovasi yang lebih luas<br />

untuk menentukan cara terbaik dalam<br />

mencapai hasil dan memiliki perspektif<br />

jangka panjang karena kontrak-kontrak<br />

PBC umumnya berjangka panjang.<br />

keahlian personil penyelenggara jalan,<br />

kapasitas industri kontraktor dan<br />

konsultan yang memadai, kepastian<br />

pendanaan jangka panjang, adaptif<br />

dengan kondisi lokal dan jauh dari<br />

“intervensi” politik. Hal penting lain yang<br />

menjadi kunci sukses penerapan PBC di<br />

Indonesia apabila disertai dengan adanya<br />

public transport reform, hal ini penting<br />

mengingat sektor transportasi/angkutan<br />

di Indonesia, termasuk didalamnya<br />

pengaturan fungsi dan kelas jalan belum<br />

sepenuhnya regulated.<br />

Namun demikian, keberhasilan<br />

penerapan PBC ini membutuhkan<br />

beberapa persyaratan, seperti: a.<br />

Kerjasama sama dan komunikasi yang<br />

harmonis antara pengguna dan penyedia<br />

jasa; b. Komitmen pimpinan yang<br />

d i d u k u n g o l e h ke a h l i a n s t a f<br />

penyelenggara jalan; c. Kemampuan<br />

industri jasa kontraktor dan konsultan<br />

yang mumpuni; d. Adanya jaminan<br />

ketersediaan anggaran; dan e. Penerapan<br />

yang tepat sesuai dengan tingkat<br />

kompleksitas yang dibutuhkan dan<br />

kondisi setempat dan bila perlu dilakukan<br />

pentahapan transisional. Kerjasama<br />

merupakan hal yang sangat penting<br />

terutama pada tahap awal implementasi,<br />

sebagai bagian dari proses pembelajaran.<br />

Suasana kondusif dan terbuka menjadi<br />

factor utama untuk mencegah terjadinya<br />

klaim dan perselisihan kontrak yang rumit<br />

dikemudian hari,<br />

Studi Bank Dunia menemukan bahwa<br />

setiap US$1 yang tidak diinvestasikan<br />

p ad a p e m e l i h a r a n j a l a n a k a n<br />

mengakibatkan peng guna jalan<br />

menambah pengeluaran US$3 (biaya<br />

kerusakan sparepart dll) dan Pemerintah<br />

juga harus menambah US$2 untuk<br />

perbaikan jalan. Inilah yang menguatkan<br />

kita bahwa harus ada dana perawatan<br />

yang cukup ideal dan cara pelaksanaannya<br />

yang tepat, agar dampak pemborosan<br />

karena kondisi jalan yang rusak dapat<br />

diperkecil.<br />

Namun demikian, soal kontrak PBC yang<br />

berjangka panjang masih memerlukan<br />

kajian mendalam mengenai dasar hukum<br />

yang mengatur pelaksanaan kontrak<br />

jangka panjang yang dapat melampaui<br />

masa/periode Pemerintahan.<br />

Dari aspek pendanaan, penerapan PBC<br />

dalam skala yang luas membutuhkan<br />

dukungan pendanaan yang relatif besar,<br />

karena umumnya sebagian jalan nasional<br />

membutuhkan rehabilitasi awal, bahkan<br />

untuk kondisi jalan tertentu yang<br />

mengalami rusak berat perlu peningkatan<br />

struktur. Penerapan PBC disamping<br />

membutuhkan dukungan politik<br />

anggaran sebagai jaminan ketersediaan<br />

anggaran dalam jangka panjang, juga<br />

menawarkan kepastian penyerapan<br />

anggaran yang konstan setiap bulan,<br />

sehingga penyerapan anggaran yang<br />

biasanya menumpuk diakhir triwulan<br />

keempat dapat dihindarkan.<br />

Dalam implementasinya, penerapan PBC<br />

memerlukan persyaratan awal antara<br />

lain : adanya komitmen yang lebih besar<br />

dari pemerintah, kemampuan dan<br />

Referensi :<br />

1. Liautaud, G. 2004. "Maintaining Roads: Experience with Output-based Contracts in<br />

Argentina." Washington, D.C.: The World Bank.<br />

2. Pakkala, Pekka. 2002. "Innovative Project Delivery Methods for Infrastructure.<br />

International Perspective." Helsinki 2002. Finnish Road Enterprise<br />

3. Pakkala, P. 2005. "Performance-based Contracts – International Experiences." Finnish Road<br />

Administration. Presentation at the TRB Workshop on “Performance-based<br />

Contracting.” April 27, Washington, D.C.<br />

4. Rahadian, Hedy.” Langkah Awal Menuju Performance Based Contract Melalui<br />

Extended Warranty Period.” Tidak diterbitkan : Ditjen Bina Marga Kementerian PU;<br />

5. Queiroz, Carlos. 2000. "Contractual Procedures to Involve the Private Sector in Road<br />

Maintenance and Rehabilitation." <strong>24</strong>th International Baltic Road Conference.<br />

6. World Bank. 2004. “Procurement under IBRD Loans and IDA Credits: Guidelines.”<br />

Washington, D.C.: World Bank.<br />

7. World Bank. 2006. “Procurement of Works and Services under Output- and Performancebased<br />

Road Contracts: Sample Bidding Document.” October 2006. Washington, D.C.:<br />

World Bank.<br />

8. Zietlow, Guntar. 2004. “Implementing Performance-based Road Management and<br />

Maintenance Contracts in Developing Countries – An Instrument of German Technical<br />

Cooperation.” November 2004. Eschborn, Germany.<br />

10 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


LAPORAN UTAMA<br />

PENGALAMAN NEGARA LAIN<br />

enis kontrak PBC untuk pekerjaan<br />

pemeliharaan jalan telah lebih dahulu<br />

J berkembang dan diimplementasikan di<br />

beberapa negara antara lain di kawasan<br />

Amerika Latin, Australia, Selandia Baru,<br />

dan Amerika Utara pada awal hingga<br />

pertengahan tahun 1990. Sejak itu<br />

penerapan PBC untuk pekerjaan<br />

pemeliharan jalan telah menyebar ke<br />

Eropa, Asia, dan bahkan negara-negara<br />

Afrika, yang diperkenalkan oleh lembagalembaga<br />

pendanaan pembangunan<br />

internasional seperti Bank Dunia (WB)<br />

dan Bank Pembangunan Asia (ADB),<br />

serta terus diperkenalkan di banyak<br />

negara di dunia termasuk Indonesia dan<br />

dimasa depan bukan tidak mungkin atas<br />

pertimbangan efisiensi dan hasil akhir<br />

yang lebih baik, seluruh pengadaan jasa<br />

p e ke r j a a n p e m e l i h a r a a n j a l a n<br />

nasional/provinsi/ /kabupaten/kota di<br />

Indonesia akan menerapkan jenis kontrak<br />

PBC.<br />

Jenis kontrak berbasis kinerja (PBC)<br />

untuk pekerjaan pemeliharaan jalan,<br />

pertama kali diujicobakan di British<br />

Columbia, Kanada pada tahun 1988<br />

(Zietlow 2004). Selanjutnya, kontrak<br />

berbasis kinerja diperkenalkan dan<br />

diadopsi oleh dua provinsi Kanada lainnya<br />

yaitu Alberta dan Ontario.<br />

Pada tahun 1995 Australia meluncurkan<br />

PBC pertama untuk pemeliharaan jalan di<br />

Kota Sydney. Selanjutnya, New South<br />

Wales, Tasmania, dan Australia Selatan<br />

dan Australia Barat mulai menerapkan<br />

kontrak berbasis kinerja dengan<br />

pendekatan "hybrid", yaitu pekerjaan<br />

rehabilitasi awal (initial rehabilitation)<br />

menggunakan kontrak tradisional “input<br />

based” dan untuk pemeliharaannya<br />

menggunakan jenis kontrak PBC.<br />

Pada tahun 1998 PBC diperkenalkan di<br />

New Zealand untuk pemeliharaan jalan<br />

nasional sepanjang 405 km (Zietlow<br />

2004). Saat ini, lebih dari 15% dari<br />

jaringan nasional Selandia Baru telah<br />

menggunakan jenis kontrak PBC.<br />

Selanjutnya, Negara Amerika Serikat<br />

pertama kali diperkenalkan PBC di<br />

Negara Bagian Virginia pada tahun 1996.<br />

Sejak itu, empat negara-negara lain<br />

(Alaska, Florida, Oklahoma, Texas) dan<br />

Wa s h i n g ton, D C s u d a h mulai<br />

menerapkan pendekatan PBC untuk<br />

pemeliharaan jalan raya, jembatan,<br />

terowongan, rest area dan jalan-jalan<br />

perkotaan.<br />

Di kawasan Amerika Latin, penerapan<br />

PBC mulai dipelopori oleh Argentina<br />

pada tahun 1995 dan sampai dengan<br />

tahun 2004, sebanyak 44% jaringan jalan<br />

di Argentina telah menggunakan kontrak<br />

berbasis kinerja. Pada pertengahan tahun<br />

1990-an Uruguay juga melakukan ujicoba<br />

PBC pertama pada sebagian kecil dari<br />

jaringan nasional dan kemudian di jalanjalan<br />

kota utama dari Montevideo. Tak<br />

lama setelah itu, negara-negara Amerika<br />

Latin, seperti Brazil, Chili, Kolombia,<br />

Ekuador, Guatemala, Meksiko dan Peru,<br />

juga mulai mengadopsi pendekatan<br />

kontrak berbasis kinerja.<br />

Secara bertahap, trend ini telah<br />

menyebar ke negara-negara maju dan<br />

berkembang lainnya di Eropa, Afrika dan<br />

Asia, misalnya, UK, Swedia, Finland,<br />

Belanda, Norwegia, Perancis, Estonia<br />

(63% dari jalan nasional), Serbia dan<br />

Montenegro (8% jalan nasional), Afrika<br />

Selatan (100% dari nasional jalan),<br />

Zambia, Chad (17% dari semua jalan<br />

musim), Filipina (231 km jalan nasional).<br />

Dari pengalaman negara-negara yang<br />

telah menerapkan PBC untuk pekerjaan<br />

perawatan jalan, dilaporkan terdapat<br />

penghematan dibanding dengan<br />

menggunakan jenis kontrak tradisional,<br />

sebagaimana tabel 3 berikut :<br />

Tabel 3 : Perbandingan Prosentase<br />

Penghematan di Berbagai Negara<br />

N0. NEGARA PENGHEMATAN<br />

1. Norwegia Sekitar 20-40%<br />

2. Swedia Sekitar 30%<br />

3. Finlandia Sekitar 30-35%, biaya/km<br />

turun 50%<br />

4. Belanda Sekitar 30—40%<br />

5. Estonia Sekitar 20—40%<br />

6. Inggris Minimal 10%<br />

7. Australia 10-40%<br />

8. Selandia Baru Sekitar 20-30%<br />

9. USA 10-15%<br />

10. Kanada 10-20%<br />

Sumber Pakkala, 2005<br />

Saat ini, persiapan untuk meluncurkan<br />

program PBC sedang berlangsung di<br />

Albania, Cape Verde, Chad, Madagaskar,<br />

Tanzania, Burkina Faso, India, Kamboja,<br />

Thailand, Vietnam dan Yaman. Beberapa<br />

negara di atas menggunakan "murni"<br />

kontrak berbasis kinerja, sementara yang<br />

lain (misalnya, Finlandia, Afrika Selatan,<br />

Serbia dan Montenegro) menggunakan<br />

kontrak "hybrid".<br />

Adapun contoh penerapan indikator<br />

kinerja dalam kontrak pemeliharaan jalan<br />

dengan PBC yang diterapkan oleh negara<br />

di kawasan Amerika Latin, adalah<br />

sebagaimana tabel 4 terlampir.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

11


LAPORAN UTAMA<br />

Tabel 4 : Contoh Penerapan Indikator Kinerja<br />

di Negara-Negara Amerika Latin<br />

KLASIFIKASI ASET KOMPONEN INDIKATOR KINERJA<br />

Lapisan Aspal<br />

(Pavement)<br />

Lapisan Kerikil<br />

(Gravel surfaces)<br />

Bahu Jalan<br />

(Shoulders)<br />

Drainase (Drainage<br />

system)<br />

Lubang (Potholes)<br />

Kekesatan Aspal<br />

Kekesatan bitumen<br />

Alur<br />

Retak<br />

Lubang<br />

Kekesatan<br />

Ketebalan lapisan kerikil<br />

Lubang<br />

Retak<br />

Sambungan Jalan<br />

Struktur penghalang<br />

Tidak boleh berlubang<br />

IRI < 2.0 mts/km (Argentina), IRI < 2.8 (Uruguay)<br />

IRI < 2.9 (Argentina), IRI < 3.4 (Uruguay)<br />

< 12mm (Argentina), < 10mm (Uruguay, Chile)<br />

Ditambal/ditutup<br />

Tidak boleh berlubang<br />

IRI < 6 mts/km (Uruguay), IRI


MILESTONE<br />

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR<br />

Oleh : Wahyu Dede Kusuma, SE.<br />

Staf Subdirektorat Analisis Ekonomi Makro dan Pendapatan Negara,<br />

<strong>Direktorat</strong> Penyusunan APBN<br />

Tidak ada salahnya kita berguru dari saudara tua, Cina, dalam akselerasi<br />

pembangunan ekonomi. Negara yang terkenal gempal dengan jumlah<br />

penduduk sekitar lima kali penduduk Indonesia, sekarang bergerak begitu<br />

lincah dalam kancah global. Kelincahan tersebut bahkan disinyalir telah<br />

menyaingi dominasi Amerika dan Eropa dalam perekonomian dunia.<br />

foto: sxc.hu<br />

13


LAPORAN UTAMA<br />

nfrastruktur menjadi kunci dari<br />

perekonomian Cina. Pembangunan<br />

Iinfrastruktur telah memberikan tiga<br />

manfaat besar bagi Cina. Pertama,<br />

infrastruktur telah meningkatkan fasilitas<br />

produksi dan menstimulasi aktivitas<br />

ekonomi. Kedua, pembangunan tersebut<br />

telah mengurangi biaya transaksi dan<br />

biaya transportasi yang berdampak pada<br />

peningkatan daya saing. Ketiga,<br />

pembangunan infrastruktur telah<br />

membuka akses kesempatan kerja bagi<br />

golongan bawah.<br />

sempat mendekati double digit di tahun<br />

1995. Namun Angka tersebut terus<br />

menurun dengan rata-rata 5 tahun<br />

terakhir hanya sekitar 4% (lihat grafik).<br />

Kondisi pengeluaran infrastruktur Cina<br />

justru berkebalikan. Pada saat krisis,<br />

pengeluaran infrastruktur Cina sempat<br />

hanya sekitar 5,7%. Namun setelah itu,<br />

pengeluaran tersebut terus tumbuh<br />

sampai level double digit.<br />

Sampai sejauh ini terobosan dalam<br />

meningkatkan pengeluaran infrastruktur<br />

di Indonesia terus dilakukan. Dimulai dari<br />

pembangunan infrastruktur. Pengeluaran<br />

infrastruktur yang diharapkan tembus<br />

pada level double digit terhadap PDB,<br />

ternyata hanya terealisasi tidak lebih dari<br />

5%. Faktor internal seperti permasalahan<br />

regulasi, perizinan dan harmonisasi<br />

peraturan masih menjadi masalah yang<br />

harus diselesaikan. Selain itu Faktor<br />

eksternal seperti krisis yang melanda<br />

Amerika Serikat dan sebagian negara<br />

maju turut membuat investor urung diri<br />

dalam pembiayaan infrastruktur yang<br />

notabene syarat dengan risiko yang besar.<br />

Dengan pengeluaran yang besar untuk<br />

pembangunan infrastruktur di awal<br />

tahun 1990, Cina telah menikmati<br />

pertumbuhan ekonomi double digit<br />

menjelang tahun 2000. Selain itu, imbas<br />

dari pembangunan infrastruktur juga<br />

telah meningkatkan akses golongan<br />

bawah. Di awal tahun 1980, angka<br />

kemiskinan di Cina mencapai 60%. Angka<br />

ini menurun drastis menjadi hanya 13%<br />

pada awal tahun 2000.<br />

Berkaca dari pengalaman Cina,<br />

Infrastruktur tentu juga menjadi kunci<br />

dalam pertumbuhan ekonomi dan<br />

penanggulangan kemiskinan di Indonesia.<br />

Indonesia membutuhkan Milestone<br />

dalam pembangunan infrastruktur. Hal ini<br />

disebabkan karena pembangunan<br />

infrastruktur Indonesia masih jauh<br />

tertinggal. Bahkan dari dua tetangga<br />

sejawat (Malaysia dan Thailand) pun<br />

Indonesia juga jauh tertinggal (lihat tabel).<br />

Salah satu penyebab utama lambatnya<br />

pembangunan infrastruktur di Indonesia<br />

karena rendahnya pengeluaran<br />

infrastruktur. Persentase pengeluaran<br />

infrastruktur Indonesia terhadap PDB<br />

Tabel Peringkat Pembangunan Infrastruktur<br />

2010-2011 Indonesia Malaysia Philippines Thailand China<br />

Quality of overall infrastructure 90 27 113 46 72<br />

Quality of roads 84 21 114 36 53<br />

Quality of railroad infrastructure 56 20 97 57 27<br />

Quality of port infrastructure 96 19 131 43 67<br />

Quality of air transport infrastructure 69 29 112 28 79<br />

Available airline seat kilometers 21 22 28 16 2<br />

Quality of electricity supply 97 40 101 42 52<br />

Fixed telephone lines 82 80 106 93 57<br />

Mobile telephone subscription 98 47 88 32 111<br />

Sumber: Global Competitive Report<br />

10%<br />

9%<br />

8%<br />

7%<br />

6%<br />

5%<br />

4%<br />

3%<br />

2%<br />

1%<br />

0%<br />

1994<br />

1995<br />

1996<br />

1997<br />

1998<br />

1999<br />

2000<br />

Sumber: Perkiraan World Bank & Morgan Stanley Research. (2010-2012 diolah).<br />

2001<br />

Indonesia Infrastructure summit di tahun<br />

2005, Pemerintah berupaya menggaet<br />

peran serta BUMN, swasta nasional dan<br />

investasi luar negeri dalam membiayai<br />

pembangunan infrastruktur. Peran<br />

tersebut diharapkan dapat meningkatkan<br />

akselerasi dalam pembangunan<br />

infrastruktur yang selama ini di topang<br />

oleh APBN.<br />

Namun Indonesia Infrastructure summit<br />

belum mampu berperan optimal dalam<br />

meningkatkan peran serta pihak-pihak<br />

selain Pemerintah dalam membiayai<br />

2002<br />

2003<br />

2004<br />

2005<br />

2006<br />

2007<br />

2008<br />

2009<br />

2010<br />

2011<br />

2012<br />

Ke k u r a n g o p t i m a l a n I n d o n e s i a<br />

Infrastructure summit tentu tidak<br />

membuat Pemerintah berpasrah diri<br />

dalam pembangunan infrastruktur.<br />

Pemerintah tetap optimis dalam<br />

menggaet peran serta BUMN, swasta<br />

nasional dan investasi luar negeri. Hal ini<br />

terbukti dengan rencana pembangunan<br />

infrastruktur yang tertuang dalam<br />

Rencana Pembangunan Jangka Menengah<br />

(RPJM) 2010-2014.<br />

Dalam RPJM 2010-2014, investasi<br />

infras truk tur yang dibutuhkan<br />

diperkirakan mencapai Rp1.923,7 triliun.<br />

Peran serta swasta diharapkan menjadi<br />

penopang paling besar melebihi APBN.<br />

Pemerintah daerah juga diembankan<br />

tugas yang sebanding dengan BUMN<br />

untuk memenuhi investasi dalam<br />

pembangunan infrastruktur (lihat<br />

diagram).<br />

Pertanyaan yang muncul adalah<br />

bagaimana cara memenuhi kebutuhan<br />

14 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


LAPORAN UTAMA<br />

infrastruktur tersebut? Kembali meninjau<br />

saudara tua, Cina memiliki resep yang<br />

unik dalam memenuhi kebutuhan<br />

Diagram Kebutuhan Investasi Infrastruktur<br />

(triliun rupiah)<br />

2,000<br />

1,800<br />

1,600<br />

1,400<br />

1,200<br />

1,000<br />

800<br />

600<br />

400<br />

200<br />

0<br />

IDR trn<br />

1923.7<br />

2010-2014<br />

Infrastructure<br />

Investment<br />

Needs<br />

Private:<br />

668.<strong>24</strong><br />

SOE: 340.85<br />

Loval Govt:<br />

355.07<br />

Central Govt:<br />

599.54<br />

Estimated<br />

Financing<br />

Capacity<br />

Sumber: Bappenas & Morgan Stanley Research.<br />

investasi infrastruktur. Ada empat<br />

sumber investasi infrastruktur di Cina<br />

yaitu: alokasi anggaran negara, pinjaman<br />

dalam negeri, self raised fund dan<br />

pendanaan luar negeri. Dari empat<br />

sumber tersebut, alokasi anggaran<br />

negara dan pendanaan luar negeri<br />

berkontribusi kecil dalam investasi<br />

infrastruktur Cina. Sedangkan pinjaman<br />

dalam negeri dan self raised fund<br />

berkontribusi sekitar lebih dari 90%.<br />

C i n a b e r h a s i l m e n g u r a n g i<br />

ketergantungan investasi infrastruktur<br />

dari alokasi anggaran negara karena<br />

adanya pembagian peran dengan<br />

pemerintah daerah. Daerah diberi ruang<br />

yang besar dalam mengembangkan<br />

infrastruktur yang diperlukan. Daerah<br />

juga diberi keleluasaan dalam<br />

menghimpun investasi infrastruktur,<br />

diantaranya pinjaman dalam negeri dan<br />

self raised fund. Dengan keleluasaan<br />

tersebut, pemerintah daerah dapat<br />

melakukan akselerasi dengan melakukan<br />

pungutan resmi ataupun kebijakan lokal<br />

dalam menghimpun dana dari<br />

masyarakat. Walhasil, Cina mampu<br />

membangun infrastruktur dengan<br />

ketergantungan yang kecil pada<br />

pendanaan luar negeri.<br />

Satu lagi yang menarik dari investasi<br />

infrastruktur di Cina adalah adanya<br />

sumber pendanaan yang kuat dari bank<br />

domestik. Bank tersebut merupakan<br />

bank pembangunan yang fokus pada<br />

sektor konstruksi termasuk infrastruktur.<br />

Bank ini dapat menjadi sumber<br />

pendanaan awal ataupun melakukan<br />

penjaminan dalam proyek-proyek<br />

infrastruktur. Pendanaan dan penjaminan<br />

tersebut dapat memberi stimulus bagi<br />

pihak swasta agar berperan besar dalam<br />

pembangunan infrastruktur.<br />

Dengan mengadopsi resep Cina dalam<br />

memenuhi kebutuhan investasi, maka ada<br />

tiga sektor yang harus digiatkan untuk<br />

berkontribusi dalam pembangunan<br />

Infrastruktur di Indonesia. Pertama,<br />

daerah harus didorong dan diberi<br />

keleluasaan dalam pembangunan<br />

infrastruktur. Peran daerah dapat<br />

menjadi jangkar untuk mempercepat<br />

proses integrasi konektivitas nasional.<br />

Kedua, BUMN harus diperkuat sebagai<br />

penunjang dalam pembangunan<br />

infrastruktur. Salah satu peran BUMN<br />

adalah menjadi agen pembangunan dan<br />

atau lembaga penyedia dana untuk<br />

proyek infrastruktur. Ketiga, swasta<br />

nasional diberi akses besar untuk<br />

berperan serta dalam pembangunan<br />

infrastruktur. Keterlibatan swasta harus<br />

ditingkatkan dengan menyediakan akses<br />

penjaminan proyek dan kepastian<br />

regulasi.<br />

Sedikit berbeda dengan Cina, Indonesia<br />

memiliki fleksibilitas yang cukup besar<br />

dalam membangun proyek infrastruktur<br />

yang dibiayai dari investasi luar negeri.<br />

Perekonomian yang relatif stabil di saat<br />

krisis global menjadi bukti bahwa iklim<br />

Indonesia cukup kondusif untuk investasi.<br />

Selain itu, peluang juga terbuka lebar<br />

setelah indonesia berubah status menjadi<br />

i n v e s t m e n t g r a d e . D i t e n g a h<br />

ketidakpastian global, status ini tentu<br />

menjadi pertimbangan besar bagi pemilik<br />

modal untuk berinvestasi.<br />

Sinergitas antara Pemerintah, BUMN dan<br />

swasta menjadi bekal utama dalam<br />

menciptakan milestone pembangunan<br />

infrastruktur. Dengan didukung oleh<br />

kondisi perekonomian yang stabil dan<br />

status investment grade, pengeluaran<br />

pembangunan infrastruktur yang selama<br />

ini bertumpu pada APBN diharapkan<br />

dapat dikurangi. Peran ini digantikan oleh<br />

partisipasi aktif dari BUMN dan swasta<br />

dengan memanfaatkan pendanaan dalam<br />

dan luar negeri.<br />

Agar milestone ini dapat terwujud maka<br />

ada beberapa persyaratan teknis yang<br />

harus dibenahi. Selama ini, persyaratan<br />

teknis tersebut umumnya sering menjadi<br />

penghambat dalam pembangunan<br />

infrastruktur. Adapun persyaratan teknis<br />

tersebut adalah peraturan, pembebasan<br />

tanah, pendanaan dan penjaminan, serta<br />

tata kelola yang baik (lihat gambar).<br />

Harmonisasi peraturan dan pembebasan<br />

lahan menjadi syarat untuk menciptakan<br />

suasana kondusif dalam berinvestasi.<br />

Tumpang tindih peraturan terutama<br />

antara pusat dan daerah akan<br />

menghambat pembagian peran dalam<br />

pembangunan infrastruktur. Kesulitan<br />

pembebasan tanah juga menjadi isu<br />

kronik yang harus dibenahi. Oles sebab<br />

itu, Rencana Tata Ruang Wilayah<br />

(RTRW) harus menjadi dasar yang baku<br />

dalam proyek pembanguan di setiap<br />

daerah.<br />

Sedangkan dalam pendanaan dan<br />

penjaminan, Pemerint ah harus<br />

mendorong peran serta perbankan<br />

nasional dan penyerapan dana luar<br />

negeri. Pendanaan dan penjaminan ini<br />

merupakan faktor yang sangat krusial<br />

untuk meningkatkan partisipasi BUMN<br />

dan swasta dalam pembangunan<br />

infrastruktur. Partisipasi BUMN dan<br />

swasta tersebut juga harus didukung<br />

dengan tata kelola proyek yang baik. Tata<br />

kelola proyek yang baik akan menjadi<br />

bekal yang signifikan dalam membangun<br />

infrastruktur yang efisien dan efektif.<br />

Akhirnya, ungkapan salah seorang<br />

senator Amerika layak kita simak sebagai<br />

dorongan dalam mewujudkan milestone<br />

pembangunan infrastruktur. Ungkapan<br />

ini secara simbolik menjadi bentuk<br />

pengakuan terhadap kemajuan Cina.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

15


LAPORAN UTAMA<br />

“China is not only formidable,<br />

it is also aggressively building<br />

its own economic<br />

infrastructure. Just a few years<br />

from now, China will rival the<br />

U.S. and the European Union<br />

in global market power.”<br />

Gambar Hal-hal yang Menjadi Perhatian Investor<br />

Financing<br />

Resources<br />

and<br />

Guarantees<br />

“China is not only formidable, it is also<br />

aggressively building its own economic<br />

infrastructure. Just a few years from now,<br />

China will rival the U.S. and the European<br />

Union in global market power..”.<br />

Good<br />

Governance<br />

Investor’s<br />

Concern<br />

Regulation<br />

Kalimat ini sudah sepant asnya<br />

diprediketkan untuk Indonesia. Syaratnya,<br />

Indonesia harus mampu melakukan<br />

akselerasi dalam perekonomian.<br />

Akselerasi tersebut dapat diwujudkan<br />

dengan ditunjang oleh pembangunan<br />

infrastruktur yang baik.<br />

Land<br />

Acquistion<br />

16<br />

foto: sxc.hu


SEJARAH DAN PERKEMBANGAN<br />

PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP (PPP)<br />

DI INDONESIA<br />

Oleh : Arif Kelana Putra<br />

Pegawai pada Dit. Penyusunan APBN<br />

Pembangunan infrastruktur memainkan peranan penting dalam<br />

kemajuan perekonomian suatu bangsa. Semakin maju<br />

perekonomian suatu negara, maka kebutuhan akan pembangunan<br />

infrastruktur akan semakin tinggi.<br />

foto: sxc.hu<br />

17


LAPORAN UTAMA<br />

ndonesia pun saat ini sedang menjalani<br />

proses tersebut. Beberapa tahun<br />

Ibelakangan, perekonomian Indonesia<br />

terus mengalami ekspansi di tengah<br />

kondisi perekonomian dunia yang penuh<br />

ketidakpastian. Kombinasi kuatnya sektor<br />

konsumsi dan pesatnya perkembangan<br />

investasi menjadikan Indonesia salah satu<br />

dari sedikit negara yang mampu<br />

mencetak pertumbuhan tinggi. Ya,<br />

perekonomian Indonesia sedang melaju<br />

saat ini. Untuk mendukung laju<br />

perekonomian tersebut, Pemerintah<br />

sedang “galak-galaknya” mengakselerasi<br />

pembangunan infrastruktur.<br />

Berbagai macam syarat dan kebutuhan<br />

pendukung terus dibenahi. Mulai dari<br />

peraturan, metode pengadaan,<br />

pencarian sumber dana investasi,<br />

pembebasan lahan, dan sebagainya. Satu<br />

hal yang paling menonjol dalam upaya<br />

percepatan pembangunan infrastruktur<br />

yang dilakukan oleh Pemerintah adalah<br />

dalam hal metode pengadaan proyek<br />

infrastruktur. Pemerintah mengadopsi<br />

metode pengadaan public private<br />

partnership (PPP) atau dalam bahasa<br />

Indonesia dikenal sebagai kerjasama<br />

pemerintah-swasta (KPS).<br />

Pemilihan metode ini dilatarbelakangi<br />

fak t a bahwa kondisi ang g aran<br />

Pemerintah terbatas, sementara itu<br />

kebutuhan pembangunan infrastruktur<br />

harus dilakukan dan membutuhkan biaya<br />

yang sangat besar. Skema KPS membuka<br />

ruang bagi sektor swasta untuk berperan<br />

aktif dalam pembangunan sektor<br />

infrastruktur di Indonesia.<br />

Sejarah munculnya metode KPS di dunia<br />

dipicu oleh tekanan untuk mengubah<br />

model standar pengadaan barang publik<br />

yang cenderung menyebabkan<br />

peningkatan utang pemerintah. Sehingga<br />

pada tahun 1992 di Inggris diperkenalkan<br />

lah untuk pertama kali program yang<br />

bertujuan untuk mendorong kerjasama<br />

pemerintah-swasta, yaitu private finance<br />

initiative (PFI).<br />

Skema KPS ini sebenarnya sudah lama<br />

diadopsi di Indonesia. Sebelum terjadinya<br />

krisis keuangan tahun 1998, Pemerintah<br />

sudah menerapkan skema KPS dalam<br />

pembangunan jalan tol. Tercatat bahwa<br />

Hal yang patut<br />

digarisbawahi di sini adalah<br />

KPS tidak sama dengan<br />

privatisasi. Karena institusi<br />

pemerintah yang terlibat di<br />

dalam kesepakatan<br />

kerjasama menguasai<br />

pengaturan dan kepemilikan<br />

proyek infrastruktur yang<br />

dibangun.<br />

pembangunan jalan tol Jakarta-Bogor-<br />

Ciawi yang dimulai pada tahun 1974<br />

merupakan salah satu contoh<br />

implementasi proyek infrastruktur<br />

dengan skema KPS. Namun, pada saat itu<br />

sumber pembiayaan utama berasal dari<br />

pinjaman luar negeri. Selain itu, proyekproyek<br />

tidak dilelang secara terbuka dan<br />

kompetitif, melainkan penunjukan<br />

langsung yang ditengarai dilandasi oleh<br />

koneksi politik.<br />

Tahun-tahun awal pasca krisis 1998,<br />

pembangunan infrastruktur praktis<br />

menurun seiring dengan penurunan<br />

kinerja perekonomian Indonesia sebagai<br />

dampak dari krisis keuangan. <strong>Anggaran</strong><br />

pemerintah lebih difokuskan untuk<br />

memperbaiki perekonomian ketimbang<br />

pembangunan infrastruktur. Selain itu,<br />

pada periode ini perlu usaha yang keras<br />

untuk mendapatkan kembali kepercayaan<br />

investor yang merosot.<br />

Baru pada tahun 2005, pemerintah<br />

Indonesia mendeklarasikan komitmen<br />

untuk mendorong pembangunan<br />

infrastruktur melalui skema KPS.<br />

Komitmen ini dideklarasikan dalam<br />

pelaksanaan Infrastructure Summit 2005.<br />

Bisa dikatakan bahwa pada tahun inilah<br />

secara resmi Pemerintah mengusung<br />

skema KPS dalam mendorong<br />

pembangunan infrastruktur Indonesia.<br />

Selain karena dideklarasikan secara<br />

f o r m a l , P e m e r i n t a h j u g a<br />

menindaklanjutinya dengan pembenahan<br />

regulasi baik dalam hal kerangka umum<br />

maupun reformasi sektoral serta<br />

pembenahan institusi dan proses<br />

bisnisnya dalam rangka mendukung<br />

pelaksanaan KPS. Selain itu, pemerintah<br />

juga mulai menginisiasi penyediaan<br />

fasilitas pengembangan proyek (Project<br />

Development Facility), dana pembebasan<br />

lahan (Land Acquisition Fund), dan dana<br />

penjaminan infrastruktur (Infrastructure<br />

Guarantee Fund) bagi para investor<br />

swasta yang terlibat dalam pembangunan<br />

infrastruktur yang ditawarkan. Pada<br />

tahun 2005 ini juga dikeluarkan Perpres<br />

67 Tahun 2005 yang mengatur skema<br />

KPS secara komprehensif yang<br />

belakangan pada tahun 2010 direvisi<br />

menjadi Perpres 13 Tahun 2010.<br />

Pada dasarnya, metode KPS adalah<br />

kesepakatan kontrak jangka panjang<br />

antara pemerintah dengan mitra swasta<br />

untuk pengadaan infrastruktur kepada<br />

masyarakat. Karena konsepnya adalah<br />

kerjasama, maka masing-masing pihak<br />

menanggung bersama atas potensi risiko<br />

dan potensi keuntungan yang akan<br />

muncul yang menjadi bagian dari proses<br />

pengadaan infrastruktur tersebut.<br />

Potensi risiko yang akan dihadapi biasanya<br />

m e l i p u t i r i s i ko ke u a n g a n d a n<br />

tanggungjawab serta jaminan kualitas dari<br />

infrastruktur yang dibangun.<br />

Hal yang patut digarisbawahi di sini adalah<br />

KPS tidak sama dengan privatisasi. Karena<br />

institusi pemerintah yang terlibat di<br />

dalam kesepakatan kerjasama menguasai<br />

pengaturan dan kepemilikan proyek<br />

infrastruktur yang dibangun. Sedangkan<br />

privatisasi justru sebaliknya, pihak swasta<br />

menguasai dan mengkontrol secara<br />

penuh atas proyek yang dijalankan.<br />

Beberapa karakteristik utama dari skema<br />

KPS ialah sektor swasta dilibatkan dalam<br />

pembangunan infrastruktur, fokus pada<br />

output yang dihasilkan, optimalnya alokasi<br />

risiko pemerintah dan pihak swasta, dan<br />

kontraknya jangka panjang. Selain itu,<br />

p e n e r a p a n s k e m a K P S a k a n<br />

memunculkan keuntungan bagi<br />

masyarakat melalui biaya yang rendah,<br />

tingkat layanan yang diberikan tinggi, dan<br />

risiko yang dapat ditekan. Fasilitas<br />

infrastruktur yang dibangun pun akan<br />

18 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


LAPORAN UTAMA<br />

dikelola secara efisien dan efektif karena<br />

skema KPS mengkombinasikan<br />

kemampuan mitra swasta pada<br />

pengelolaan fasilitas publik tersebut.<br />

Skema KPS memang terlihat “seksi”,<br />

menguntungkan, dan relatif dapat<br />

diterapkan oleh Pemerintah dalam<br />

membangun infrastruktur di Indonesia.<br />

Hal ini pun didukung dengan fakta bahwa<br />

banyak negara di dunia yang telah berhasil<br />

menerapkan skema ini untuk mendorong<br />

pembangunan infras truk turnya.<br />

Beberapa diantaranya adalah Inggris,<br />

Australia, dan Amerika Serikat. Namun<br />

pertanyaan besarnya adalah kenapa<br />

realisasi penerapan KPS di Indonesia<br />

masih belum optimal?<br />

Ada beberapa faktor yang dapat<br />

mempengaruhi optimalisasi penerapan<br />

KPS di Indonesia. Pertama, pihak<br />

pemerintah harus sebaik-baiknya<br />

berkomitmen mendayagunakan sumber<br />

daya untuk kepentingan pembangunan<br />

infrastruktur. Kedua, menciptakan proses<br />

pengadaan secara efektif dan transparan,<br />

khususnya dalam hal pelelangan proyek.<br />

Ketiga, skema KPS diterapkan pada<br />

rencana proyek infrastruktur yang masuk<br />

akal bagi kedua belah pihak. Keempat,<br />

spesifikasi ouput yang akan dihasilkan jelas<br />

dan kinerjanya dapat diukur. Kelima,<br />

adanya pemahaman bahwa pihak swasta<br />

perlu mendapatkan imbal hasil yang<br />

cukup adil dari pelaksanaan proyek<br />

infrastruktur dengan skema KPS.<br />

Keenam, dari berbagai aspek pengadaan<br />

infrastruktur tersebut terbuka ruang<br />

untuk melakukan inovasi. Dan ketujuh,<br />

tersedianya sumber daya manusia yang<br />

berpengalaman dan berkemampuan<br />

dalam hal pengadaan proyek-proyek<br />

infrastruktur, baik dari pihak pemerintah<br />

maupun swasta.<br />

Secara komprehensif pemerintah telah<br />

b e r u s a h a u n t u k m e l a k u k a n<br />

pembenahan-pembenahan dalam rangka<br />

mendukung percepatan pembangunan<br />

infrastruktur dengan skema KPS, baik itu<br />

dari sisi perundang-undangan, institusi,<br />

maupun finansial. Namun, kendalakendala<br />

teknis, seper ti sulitnya<br />

mekanisme pembebasan lahan, masih<br />

menjadi hambatan dalam eksekusi<br />

proyek infrastruktur dengan skema KPS.<br />

Pelaksanaan percepatan pembangunan<br />

infrastruktur di Indonesia masih<br />

memerlukan kerja keras tak hanya dari<br />

pemerintah saja namun juga masyarakat<br />

secara luas. Negara yang maju adalah<br />

negara yang masyarakatnya menyadari<br />

bahwa masing-masing individu<br />

merupakan bagian penting dari<br />

pembangunan bangsanya sehingga<br />

individu tersebut berkeinginan kuat<br />

untuk berkontribusi dan menjaga<br />

pembangunan tersebut. Bukankah<br />

menjadikan Indonesia negara yang maju<br />

adalah cita-cita kita bersama?<br />

foto: sxc.hu<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

19


APBN Perubahan 2012<br />

*)<br />

foto: dok. pribadi<br />

Mencermati gejolak ekonomi dunia dan harga minyak dunia yang berdampak pada<br />

kondisi perekonomian negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia yang<br />

ikut pula merasakan beban berat yang harus dipikul oleh Negara.<br />

eban berat tersebut yang utama<br />

adalah menyangkut beban subsidi<br />

BBBM yang harus ditanggung<br />

pemerintah akibat naiknya harga minyak<br />

dunia dimana pada awal APBN 2012<br />

harga ICP (Indonesia Crude Oil Price) yang<br />

semula ditetapkan US$ 90.0/barel pada<br />

medio Februari melonjak mencapai US$<br />

105.0/barel, maka dengan harga BBM<br />

subsidi (meliputi premium dan solar)<br />

sebesar Rp.4500,- menyebabkan<br />

membengkaknya subsidi BBM yang harus<br />

d i t a n g g u n g p e m e r i n t a h d a n<br />

dikhawatirkan APBN 2012 akan ‘jebol’<br />

untuk menanggung beban subsidi<br />

tersebut, terlebih nilai tukar rupiah<br />

terhadap dollar USA juga mengalami<br />

penurunan hingga dikisaran Rp.9000-an<br />

per 1 US$ pada medio Pebruari 2012.<br />

Secara keseluruhan gejolak ekonomi<br />

dunia dan harga minyak dunia tersebut<br />

mempengaruhi asumsi makro yang<br />

menjadi dasar penyusunan APBN 2012,<br />

suatu kondisi yang memaksa pemerintah<br />

mempercepat pengajuan APBN<br />

Perubahan 2012 ke Dewan Perwakilan<br />

Rakyat (DPR). Beberapa kerangka asumsi<br />

dasar ekonomi makro yang menjadi dasar<br />

perubahan APBN 2012 adalah meliputi :<br />

- Pertumbuhan ekonomi dari 6,7 %<br />

menjadi 6,5 %<br />

- Laju inflasi dari 5,3 % menjadi 6,8 %<br />

- Asumsi suku bunga SPN 3 bulan dari<br />

semula sebesar 6,0 % menjadi 5,0 %<br />

- Nilai tukar rupiah dari Rp.8.800,-/US$<br />

menjadi Rp.9.000,-/US$<br />

- Harga minyak mentah Indonesia dari<br />

US$90,0 per barel menjadi US$105,0<br />

per barel,<br />

- Lifting minyak dari 950 ribu barel/hari<br />

menjadi 930 ribu barel/hari.<br />

Setelah melalui proses pembahasan yang<br />

ulet untuk mendapatkan persetujuan dan<br />

pengesahan dari DPR, maka akhirnya<br />

usulan APBN-Perubahan 2012 pada<br />

akhir Maret 2012 disetujui oleh DPR.<br />

Walau begitu beban berat subsidi BBM<br />

tidak serta merta terselesaikan, karea<br />

pemerintah tidak secara otomotis dapat<br />

menaikkan harga BBM bersubsidi namun<br />

ada persyaratan tertentu yang harus<br />

dipenuhi yaitu harga rata-rata minyak<br />

Indonesia (ICP) dalam kurun waktu<br />

berjalan mengalami kenaikan atau<br />

penurunan rata-rata sebesar 15 perse<br />

dalam 6 bulan terakhir dari harga minyak<br />

internasional yang diasumsikan dalam<br />

A P B N - Pe r u b a h a n 2 0 1 2 m a k a<br />

p e m e r i n t a h b e r we n a n g u n t u k<br />

melakukan penyesuaian harga BBM<br />

bersubsidi dan kebijakan pendukung.<br />

Menegaskan kembali kebijakan<br />

pemerintah diatas dan terkait dengan<br />

pelaksanaan UU APBN-Perubahan 2012,<br />

maka pada tanggal 2 April 2012<br />

ber tempat di Kantor Kemenko<br />

20 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


LAPORAN UTAMA<br />

Perekonomian, Menteri Keuangan Agus<br />

Martowardojo didampingi Menko<br />

Perekonomian Hatta Rajasa, Meteri<br />

ESDM Jero Wacik dan Wakil Menteri<br />

Bappenas Lukita Dinarsyah menggelar<br />

jumpa press untuk seluruh media massa<br />

cetak dan elektronik. Isi materi jumpa<br />

press secara lengkap sebagaimana<br />

tersebut dibawah ini :<br />

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN<br />

TERKINI DAN POKOK-POKOK<br />

P E RU B A H A N A P B N TA H U N<br />

ANGGARAN 2012<br />

A. Perkembangan Perekonomian<br />

Terkini<br />

1. Perekonomian Global<br />

Kondisi perekonomian global hingga<br />

awal April 2012 ini masih diwarnai<br />

dengan ketidakpastian ekonomi baik<br />

di kawasan Eropa maupun Amerika<br />

Serikat (AS).<br />

Untuk perkembangan kawasan<br />

Eropa, Uni Eropa akhirnya<br />

menyetujui dana talangan sebesar €<br />

130 milliar atau US$ 170 milliar<br />

sebagai jaminan pembayaran utang<br />

Yunani. Sementara itu, pada fase<br />

terakhir 2011, tampak bahwa<br />

aktivitas perekonomian Eropa masih<br />

mengalami perlambatan dan bahkan<br />

mengalami kontraksi sebesar 0,3 %<br />

(QoQ) pada triwulan ke-4 (tahun)<br />

2011. Jerman sebagai salah satu<br />

negara Uni Eropa yang cukup stabil,<br />

dalam beberapa waktu terakhir juga<br />

mengalami perlambatan dan<br />

pertumbuhannya minus 0,2 % pada<br />

triwulan ke-4 (tahun) 2011 lalu.<br />

Dengan memperhatikan berbagai<br />

perkembangan terkini, Eropa<br />

diperkirakan akan berkontraksi pada<br />

level 0,3 % – 0,5 % di tahun 2012 ini.<br />

Dalam rangka menggairahkan<br />

kembali perekonomiannya, Uni Eropa<br />

telah dua kali menyalurkan likuiditas<br />

murah ke perbankan Eropa melalui<br />

skema Longer-Term Refinancing<br />

Operations (LTRO) sebesar € 1,02<br />

triliun. LTRO pertama pinjaman yang<br />

berhasil disalurkan kepada perbankan<br />

sebesar € 489 milliar dan pada LTRO<br />

kedua jumlah tersebut meningkat<br />

menjadi € 529,5 milliar.<br />

Sedangkan, untuk AS, pergerakan<br />

beberapa variabel sebenarnya mulai<br />

menunjukkan ke arah pemulihan<br />

(stance to recovery). Tingkat<br />

penjualan ritel misalnya, menunjukan<br />

peningkatan jika dibandingkan<br />

dengan akhir tahun 201. Ini artinya,<br />

ada perbaikan pada sisi demand dan<br />

tingkat konsumsi masyarakat AS.<br />

Selain itu, pada bulan Februari 2012,<br />

indeks kepercayaan konsumen di AS<br />

berada level diatas 70 dan ini<br />

merupakan level tertinggi sejak Maret<br />

2011 lalu. Tingkat produksi industri di<br />

AS dalam beberapa waktu terakhir<br />

juga cenderung terus meningkat. Dari<br />

sisi tingkat pengangguran, pada bulan<br />

Februari 2012 sebesar 8,3 % dan ini<br />

merupakan yang terendah sejak<br />

Maret 2009.<br />

Untuk Cina sebagai salah satu global<br />

growth engine , pada bulan Maret<br />

2012 lalu otoritas ekonomi Cina<br />

mempublikasikan pemangkasan<br />

target pertumbuhan ekonomi 2012<br />

dari 8,0 % menjadi 7,5 %. Hal ini<br />

d i l a k u k a n s e i r i n g d e n g a n<br />

perlambatan aktivitas eskpor Cina<br />

yang pada Januari 2012 mengalami<br />

penurunan sebesar 0,5 % (YoY) jika<br />

dibandingkan bulan sebelumnya.<br />

Selain itu, pada Februari 2012 untuk<br />

pertama kalinya sejak 1990 Cina<br />

mengalami defisit perdagangan yang<br />

mencapai US$ 31,5 milliar yang<br />

didorong oleh kenaikan impor minyak<br />

mentah sebesar 23,64 milliar ton.<br />

Senada dengan Cina, Pemerintah<br />

India juga melakukan revisi ke bawah<br />

atas target pertumbuhan ekonomi<br />

tahun 2012 yaitu dari 7,5 % menjadi<br />

6,9 %.<br />

Untuk negara Jepang, pada Februari<br />

2012 Jepang berhasil mencatatkan<br />

surplus perdagangan sebesar ¥ 29<br />

milliar. Selain itu, tingkat penjualan<br />

ritel Jepang juga naik 3,5 % dari<br />

realisasi penjualan tahun sebelumnya.<br />

Kenaikan kinerja penjualan ini<br />

merupakan yang terbaik sejak<br />

Agustus 2010.<br />

Dari harga minyak, dilaporkan bahwa<br />

instabilitas politik di Timur Tengah<br />

akan memberikan tekanan terhadap<br />

harga minyak dunia sepanjang 2012<br />

ini dimana pada Maret 2012 lalu harga<br />

minyak jenis Brent sudah menembus<br />

level US$125 per barel. Tentu, ini<br />

merupakan sinyal yang kurang baik<br />

bagi stabilitas perekonomian di<br />

banyak negara.<br />

2. Perekonomian Domestik<br />

Dari sisi domestik, bisa dikatakan<br />

bahwa secara umum kondisi<br />

perekonomian nasional masih stabil<br />

dan masih mendapatkan kepercayaan<br />

dari investor global. Dalam periode<br />

Januari hingga Maret 2012, dana-dana<br />

asing masih cenderung masuk ke<br />

bursa saham Indonesia terindikasikan<br />

dari IHSG yang cenderung terus<br />

meningkat dan telah menembus level<br />

4.000. Secara nominal, dana asing<br />

yang masuk ke pasar saham hingga<br />

selama Maret 2012 mencapai Rp.<br />

7,88 T.<br />

Di sisi lain, untuk pasar SUN, dalam<br />

bulan Maret 2012 masih terjadi<br />

tekanan outflow sekitar Rp.1,58<br />

triliun dan required yield cenderung<br />

naik seiring meningkatnya ekspektasi<br />

inflasi pada akhir Maret 2012 terkait<br />

dengan kenaikan harga minyak dunia<br />

dan opsi kenaikan harga BBM<br />

bersubsidi. Peningkatan ekspektasi<br />

inflasi juga memberikan sentimen<br />

negatif pada kurs rupiah yang<br />

mengalmi koreksi terhadap US$ pada<br />

akhir Maret 2012.<br />

Untuk stabilitas harga atau inflasi,<br />

tercatat bahwa laju inflasi pada bulan<br />

Maret 2012 berada pada level 0,07 %<br />

(mtm) atau 3,97 % (yoy).<br />

Sementara itu, untuk kinerja<br />

perdagangan internasional, nilai total<br />

eksport pada Februari 2012<br />

mencapai US$15,72 milliar atau<br />

tumbuh 7,6 % (ytd). Sedangkan,<br />

untuk kinerja import pada bulan<br />

Februari 2012 mencapai US$14,8<br />

milliar atau mengalami peningkatan<br />

cukup tinggi sebesar 21,4 % (ytd).<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

21


LAPORAN UTAMA<br />

B. Pokok-Pokok Perubahan APBN<br />

Tahun 2012<br />

Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2003<br />

tentang Keuangan Negara pasal 27, UU<br />

Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR,<br />

DPR, DPD dan DPRD pasal 156, serta<br />

UU Nomor 22 tahun 2011 tentang<br />

APBN Tahun <strong>Anggaran</strong> 2012 pasal 42,<br />

pada tanggal 29 Februari 2012<br />

Pemerintah telah menyampaikan<br />

dokumen RUU Perubahan atas APBN<br />

tahun 2012 beserta Nota Keuangannya<br />

ke DPR-RI. Setelah melalui pembahasan<br />

intensif, pada hari Sabtu tanggal 31 Maret<br />

2012 dalam Sidang Paripurna DPR RI,<br />

RUU Perubahan atas APBN 2012 telah<br />

disetujui untuk disahkan menjadi UU.<br />

Latar belakang perlunya dilakukan<br />

perubahan terhadap APBN tahun 2012<br />

adalah sebagai berikut :<br />

1. Perubahan Asumsi Dasar Ekonomi<br />

Makro 2012<br />

Sejak ditetapkan menjadi UU Nomor<br />

22 tahun 2011, terdapat berbagai<br />

perkembangan pada perekonomian<br />

domestik dan eksternal yang<br />

menyebabkan perkembangan<br />

ekonomi makro yang tidak sesuai<br />

dengan asumsi yang digunakan dalam<br />

APBN 2012, terutama asumsi ICP,<br />

nilai tukar, lifting dan pertumbuhan<br />

ekonomi sehingga perlu dilakukan<br />

perubahan dan penyesuaian.<br />

2. Perubahan Pokok-pokok Kebijakan<br />

Fiskal, yang meliputi :<br />

a. Tambahan stimulus fiskal yaitu<br />

untuk pembangunan instruktur<br />

Indonesia bagian timur, domestic<br />

connectivity, ketahanan pangan,<br />

mitigasi bencana dan antisipasi<br />

krisis;<br />

b. Perubahan perubahan besaran<br />

subsidi;<br />

c. Kompensasi perubahan besaran<br />

subsidi;<br />

d. Pemotongan belanja K/L;<br />

e. <strong>Anggaran</strong> Belanja Tambahan<br />

u n t u k ke b u t u h a n s a n g a t<br />

mendesak;<br />

f. Pelebaran Defisit <strong>Anggaran</strong> yaitu<br />

dari 1,5 % PDB menjadi 2,23%<br />

PDB;<br />

g. Ta m b a h a n k e b u t u h a n<br />

pembiayaan.<br />

3. Penggunaan Saldo <strong>Anggaran</strong> Lebih<br />

(SAL) tahun-tahun sebelumnya<br />

u n t u k s t i m u l u s f i s k a l d a n<br />

pembangunan infrastruktur dalam<br />

rangka mempertahankan target<br />

pertumbuhan ekonomi.<br />

Berdasarkan pada perkembangan<br />

ekonomi global dan perekonomian<br />

domestik terkini dan prospeknya ke<br />

depan, kerangka asumsi dasar<br />

ekonomi makro yang menjadi dasar<br />

perhitungan berbagai besaran dalam<br />

APBN-P tahun 2012 ditetapkan<br />

sebagai berikut :<br />

- Pertumbuhan ekonomi dari 6,7 %<br />

menjadi 6,5 %<br />

- Laju inflasi dari 5,3 % menjadi 6,8<br />

%<br />

- sumsi suku bunga SPN 3 bulan<br />

dari semula sebesar 6,0 % menjadi<br />

5,0 %<br />

- Nilai tukar rupiah dari Rp.8.800,-<br />

/US$ menjadi Rp.9.000,-/US$<br />

- Harga minyak mentah Indonesia<br />

dari US$90,0 per barel menjadi<br />

US$105,0 per barel,<br />

- Lifting minyak dari 950 ribu<br />

barel/hari menjadi 930 ribu<br />

barel/hari.<br />

Berdasarkan asumsi dasar ekonomi<br />

makro serta arah dan strategi kebijakan<br />

fiskal tersebut diatas, postur APBN-P<br />

2012 akan meliputi pokok-pokok<br />

besaran sebagai berikut :<br />

1. Pendapatan negara dan hibah<br />

diperkirakan sebesar Rp. 1.358,2<br />

foto: dok. pribadi<br />

22


LAPORAN UTAMA<br />

foto: istimewa<br />

triliun atau mengalami kenaikan 3,6%<br />

dari target APBN tahun 2012.<br />

Penerimaan perpajakan dalam<br />

APBN-P tahun 2012 direncanakan<br />

mencapai Rp.1.016,2 triliun. PNBP<br />

diperkirakan mencapai Rp.341,1<br />

triliun atau naik Rp.63,2 triliun (22,7 %<br />

dari target APBN 2012).<br />

Untuk mengamankan sasaran<br />

penerimaan perpajakan tahun 2012,<br />

akan terus dilakukan langkah-langkah<br />

reformasi birokrasi dibidang<br />

perpajakan, kepabeanan dan cukai,<br />

serta langkah-langkah dan upaya<br />

tambahan (extra effort) dalam<br />

p e m u n g u t a n p a j a k m e l a l u i<br />

intensifikasi dan ekstensifikasi<br />

perpajakan.<br />

2. Total belanja negara diperkirakan<br />

sebesar Rp.1.548,3 triliun (18,1 %<br />

terhadap PDB). Jumlah ini berarti<br />

menunjukan peningkatan Rp.112,9<br />

triliun atau 7,9 % dari pagu belanja<br />

negara dalam APBN 2012. Belanja<br />

pemerintah pusat dalam APBN-P<br />

2012 direncanakan sebesar<br />

Rp.1.069,5 triliun atau mengalami<br />

peningkatan Rp.104,5 triliun (10,8 %<br />

dari pagu APBN 2012). Belanja<br />

kementerian negara/ lembaga dalam<br />

tahun 2012 direncanakan mencapai<br />

Rp.547,9 triliun, yang berarti<br />

meningkat sebesar Rp.39,6 triliun<br />

atau 7,8 % dari pagu APBN 2012.<br />

Sementara itu, anggaran transfer ke<br />

daerah dalam APBN-P 2012<br />

direncanakan sebesar Rp.478,8<br />

triliun, yang berarti naik Rp.8,4 triliun<br />

atau 1,8 % dari pagu APBN 2012.<br />

Pe r u b a h a n b e s a r a n b e l a n j a<br />

pemerintah pusat antara lain berasal<br />

dari :<br />

a. Upaya untuk meningkatkan<br />

efisiensi belanja K/L melalui<br />

pemotongan anggaran belanja<br />

K/L (sharing the participation)<br />

— > Rp.18,9 triliun ;<br />

b. Pemanfaatan Saldo <strong>Anggaran</strong><br />

Lebih (SAL) Rp.30,0 triliun,<br />

antara lain untuk mendukung<br />

pembangunan instrastruktur;<br />

c. Program Kompensasi Perubahan<br />

Besaran Subsidi Rp.30,6<br />

triliun;<br />

- Bantuan langsung sementara<br />

masyarakat (BLSM) sebesar<br />

Rp.17,1 triliun (termasuk<br />

safeguarding)<br />

- Kompensasi angkutan umum<br />

sebesar Rp.5,0 triliun (termasuk<br />

safeguarding)<br />

- Infrastuktur perdesaan sebesar<br />

R p. 7 , 9 t r i l i u n ( termasuk<br />

safeguarding)<br />

- Program Keluarga Harapan<br />

(PKH) Rp.0,6 triliun (termasuk<br />

safeguarding).<br />

d. Realokasi belanja BA. 999.08 ke<br />

Belanja K/L Rp.2,3 triliun<br />

e. <strong>Anggaran</strong> Belanja Tambahan K/L<br />

u n t u k ke p e r l u a n s a n g a t<br />

mendesak Rp.0,4 triliun<br />

f. Menjaga anggaran pendidikan<br />

tetap dalam kisaran 20% ----><br />

Rp.310,8 triliun<br />

g. Implement asi reward dan<br />

punishment dalam rangka<br />

meningkatkan quality of spending.<br />

Berkaitan dengan subsidi, beban<br />

anggaran belanja subsidi meningkat<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

23


LAPORAN UTAMA<br />

signifikan, dari Rp.208,9 triliun dalam<br />

APBN 2012 menjadi Rp.<strong>24</strong>5,1 triliun<br />

dalam APBN-P 2012. Peningkatan ini<br />

disebabkan oleh :<br />

a. Implikasi dari adanya penyesuaian<br />

beberapa parameter subsidi<br />

dengan perkembangan terkini,<br />

seperti harga minyak mentah<br />

Indonesia (ICP) dan kurs rupiah;<br />

b. Perubahan fluel mix energi input<br />

pada pembangkit listrik;<br />

c. Tambahan durasi pemberian<br />

raskin dari 12 bulan menjadi 14<br />

bulan;<br />

d. Peningkatan alokasi anggaran<br />

PSO PT Pelni;<br />

e. Tambahan jenis subsidi bunga<br />

kredit untuk sarpras BBM non<br />

subsidi dalam mendukung<br />

diversifikasi BBM ke BBG untuk<br />

transportasi angkutan umum.<br />

Sementara itu, kenaikan transfer ke<br />

daerah berasal dari perubahan Dana<br />

Bagi Hasil menjadi sebesar Rp.108,4<br />

triliun, yang berarti naik Rp.8,4 triliun<br />

8,4 % dari pagu APBN 2012,<br />

berkaitan dengan adanya peningkatan<br />

p e n e r i m a a n n e g a r a y a n g<br />

dibagihasilkan terutama dari<br />

penerimaan Sumber Daya Alam<br />

(SDA).<br />

C. Defisit anggaran dalam APBN-P<br />

diperkirakan Rp.190,1 triliun atau<br />

2,23 % terhadap PDB, naik sebesar<br />

Rp.66,1 triliun apabila dibandingkan<br />

defisit anggaran dalam APBN 2012<br />

yang ditetapkan sebesar Rp.1<strong>24</strong>,0<br />

triliun atau 1,5% terhadap PDB.<br />

D. Pembiayaan anggaran dalam APBN-<br />

P 2012 dipenuhi dari sumber-sumber<br />

pembiayaan dalam negeri sebesar<br />

Rp.194,5 triliun dan pembiayaan luar<br />

negeri sebesar negatif Rp.4,4 triliun.<br />

Kenaikan pembiayaan defisit dalam<br />

APBN-P 2012 akan dibiayai dari<br />

penggunaan Saldo <strong>Anggaran</strong> Lebih<br />

(SAL) dan penerbitan SBN. Selain<br />

untuk membiayai kenaikan defisit<br />

anggaran, pemanfaatan SAL juga<br />

dipergunakan untuk menstimulasi<br />

perekonomian melalui pembangunan<br />

infrastruktur.<br />

*) disarikan dari Konferensi Pers Menko<br />

Perekonomian & Menteri Keuangan<br />

tanggal 2 April 2012<br />

foto: istimewa<br />

<strong>24</strong> WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


ANOMALI SUBSIDI BBM<br />

Oleh : Wahyu Dede Kusuma, SE.<br />

Staf Analisis dan Konsolidasi Penyusunan Postur APBN,<br />

Subdirektorat Analisis Ekonomi Makro dan Pendapatan Negara, <strong>Direktorat</strong> Penyusunan APBN<br />

Gejala krisis dan ketidakpastian global telah menyeret harga minyak<br />

terus bergerak naik. Target ICP (Indonesia Crude Oil) pada APBN-P<br />

2011 yang diproyeksikan sebesar US$ 95 / barel tidak tercapai.<br />

Kondisi yang terjadi adalah realisasi ICP yang lebih tinggi 17,6% dari<br />

target APBN-P yaitu sebesar US$ 111,54 / barel.<br />

ilustrasi: istimewa<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

25


PERENCANAAN ANGGARAN<br />

enaikan ICP berimplikasi pada<br />

kenaikan nilai subsidi. Hal ini<br />

Kdisebabkan karena kenaikan ICP<br />

sejalan dengan kenaikan harga MOPS<br />

(Mean of Plats Singapore) sebagai basis<br />

perhitungan harga bahan bakar minyak<br />

(BBM) dalam negeri. Dengan kenaikan<br />

MOPS maka gap harga keekonomian<br />

dengan harga BBM yang disubsidi akan<br />

semakin lebar, sehingga beban subsidi<br />

yang harus dibayarkan secara<br />

keseluruhan akan meningkat. Sampai<br />

akhir tahun 2011, nilai subsidi BBM yang<br />

telah dikeluarkan Pemerintah sebesar<br />

R p 1 6 5 , 2 t r i l i u n a t a u 1 2 7 , 3 %<br />

dibandingkan jatah dalam APBN-P 2011.<br />

Beban subsidi yang terus meningkat<br />

sayangnya cenderung tidak berkorelasi<br />

pada tujuan penyejahteraan masyarakat<br />

INDIKATOR EKONOMI<br />

khususnya kalangan bawah yang<br />

membutuhkan. Skema subsidi yang telah<br />

diterapkan sampai saat ini disinyalir tidak<br />

tepat sasaran. Badan Pusat Statistik (BPS)<br />

telah mengempiriskan hal ini pada tahun<br />

2009 dengan laporan survey bahwa 84<br />

persen subsidi energi dinikmati kalangan<br />

mampu. Di tahun berikutnya melalui<br />

Susenas 2010, BPS memperkuat indikasi<br />

subsidi BBM tidak tepat sasaran dengan<br />

melaporkan komparasi konsumsi bensin<br />

dan solar bersubsidi perbulan rumah<br />

tangga kaya yang jauh lebih besar<br />

dibandingkan rumah tangga miskin.<br />

Melalui Susenas 2010 diperoleh<br />

gambaran bahwa 5% rumah tangga<br />

terkaya mengkonsumsi rata-rata 82 liter<br />

ITEM<br />

1. Belanja Pegawai<br />

2. Belanja Barang<br />

3. Belanja Modal<br />

4. Pembayaran Bunga Utang<br />

i. Utang Dalam Negeri<br />

ii. Utang Luar Negeri<br />

5. Subsidi<br />

a. Subsidi Energi<br />

- BBM, LPG & BBN<br />

- Listrik<br />

b. Subsidi non Energi<br />

6. Belanja Hibah<br />

7. Bantuan Sosial<br />

8. Belanja Lain-lain<br />

Tabel 1<br />

Realisasi Asumsi Makroekonomi<br />

2010 2011<br />

APBN-P REALISASI APBN-P<br />

Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,8 6,1 6,5<br />

Inflasi (yoy, %) 5,3 6,96 5,6<br />

Nilai Tukar (Rp / 1US$) 9.200 9.087 8.700<br />

Suku Bunga (%) 6,5 6,57 5,65<br />

Harga Minyak (US$/barel) 80,0 79,4 95,0<br />

Lifting Minyak (Juta barel per hari) 0,965 0,954 0,945<br />

REALISASI S.D.<br />

DESEMBER<br />

APBN-P<br />

a<br />

6,5<br />

b<br />

3,79<br />

c<br />

8.779<br />

d<br />

4,84<br />

e<br />

111,54<br />

f<br />

0,898<br />

a. Realisasi s.d. triwulan III, sumber: BPS<br />

b. Realisasi s.d. Desember 2011, sumber: BPS<br />

c. Realisasi rata-rata nilai tukar kurs tengah Rupiah s.d. Desember 20122, sumber: BI<br />

d. Realisasi rata-rata Mar-Nov 2011. Suku bunga pada asumsi makro 2011, menggunakan suku bunga SPN.<br />

e. Perkiraan rata-rata minyak ICP s.d. Desember 2011, sumber: Ditjen Migas Kem ESDM dan DJA<br />

Kemenkeu.<br />

f. Realisasi rata-rata lifting periode Des - Nov 2011, sumber: Ditjen Migas Kem ESDM dan DJA Kemenkeu.<br />

bensin/bulan. Hal ini sama dengan 11,7<br />

kali konsumsi bensin 5% rumah tangga<br />

miskin yang rata-rata hanya 7 liter/bulan.<br />

Konsumsi solar menunjukkan gap yang<br />

lebih besar lagi. Konsumsi solar 5% rumah<br />

tangga terkaya rata-rata 113 liter/bulan,<br />

sangat jauh bila dibandingkan konsumsi<br />

solar 5% rumah tangga miskin yang ratarata<br />

hanya 1 liter/bulan.<br />

Lebih lanjut laporan ini juga memberikan<br />

implikasi bahwa jika nilai subsidi bensin<br />

perliter sebesar Rp2.941, maka selama ini<br />

pemerintah telah mensubsidi 5% rumah<br />

tangga terkaya rata-rata sekitar<br />

Rp<strong>24</strong>1.000/bulan. Hal ini tentu saja jauh<br />

lebih besar dibandingkan subsidi bensin<br />

yang dinikmati 5% rumah tangga miskin<br />

Tabel 2<br />

Realisasi Belanja Pemerintah Pusat<br />

162,7<br />

112,6<br />

95,0<br />

105,7<br />

71,9<br />

33,8<br />

201,3<br />

144,0<br />

88,9<br />

55,1<br />

57,3<br />

0,2<br />

71,2<br />

32,9<br />

2010 2011<br />

Realisasi<br />

% thd<br />

APBN-P APBN-P Realisasi<br />

30 Des<br />

148,1<br />

97,6<br />

80,3<br />

88,4<br />

61,5<br />

26,9<br />

192,7<br />

140,0<br />

82,4<br />

57,6<br />

52,8<br />

0,1<br />

68,6<br />

21,7<br />

91,0<br />

86,7<br />

84,5<br />

83,7<br />

85,6<br />

79,6<br />

95,7<br />

97,2<br />

92,6<br />

104,5<br />

92,1<br />

28,8<br />

96,4<br />

65,8<br />

182,9<br />

142,8<br />

141,0<br />

106,6<br />

76,6<br />

30,0<br />

237,2<br />

195,3<br />

129,7<br />

65,6<br />

41,9<br />

0,4<br />

81,8<br />

15,6<br />

175,5<br />

121,0<br />

115,9<br />

93,3<br />

66,8<br />

26,5<br />

294,9<br />

255,6<br />

165,2<br />

90,5<br />

39,3<br />

0,3<br />

70,9<br />

6,5<br />

% thd<br />

APBN-P<br />

96,0<br />

84,7<br />

82,2<br />

87,5<br />

87,2<br />

88,3<br />

1<strong>24</strong>,3<br />

130,9<br />

127,4<br />

138,1<br />

93,7<br />

74,1<br />

86,6<br />

41,8<br />

TOTAL 781,5 697,3 89,2 908,2 878,3 96,7<br />

rata-rata hanya sekitar Rp20.000/bulan.<br />

Untuk solar, gap subsidi antara rumah<br />

tangga kaya dan miskin lebih besar lagi.<br />

Jika nilai subsidi solar perliter sebesar<br />

Rp3.398, maka selama ini pemerintah<br />

telah mensubsidi 5% rumah tangga<br />

t e r k a y a r a t a - r a t a s e k i t a r<br />

Rp384.000/bulan. Sedangkan subsidi<br />

solar yang dinikmati 5% rumah tangga<br />

miskin rat a-rat a hanya sekit ar<br />

Rp3.398/bulan.<br />

Beban subsidi yang terus<br />

meningkat sayangnya<br />

cenderung tidak<br />

berkorelasi pada tujuan<br />

penyejahteraan<br />

masyarakat khususnya<br />

kalangan bawah yang<br />

membutuhkan. Skema<br />

subsidi yang telah<br />

diterapkan sampai saat<br />

ini disinyalir tidak tepat<br />

sasaran.<br />

26 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


PERENCANAAN ANGGARAN<br />

Tabel 3<br />

Konsumsi BBM Bersubsidi<br />

0.9<br />

0.8<br />

0.7<br />

0.6<br />

0.5<br />

0.4<br />

0.3<br />

0.2<br />

0.1<br />

1<br />

Rata-rata Pengeluaran Bensin/Pertamax<br />

Rumah Tangga per Bulan<br />

% RT yang Menggunakan<br />

Bensin (LHS)<br />

0<br />

1 2 3 4 5 6 7 8<br />

5% Termiskin<br />

9 10 11 12<br />

Konsumsi Bensin/Pertamax<br />

per bulan (RHS)<br />

Liter<br />

90<br />

13 14 15 16 17 18 19 20<br />

5% Terkaya<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

0.045<br />

0.04<br />

0.035<br />

0.03<br />

0.025<br />

0.02<br />

0.015<br />

0.01<br />

0.005<br />

% RT yang Menggunakan<br />

Solar (LHS)<br />

Rata-rata Pengeluaran Solar<br />

Rumah Tangga per Bulan<br />

Konsumsi Solar<br />

per bulan (RHS)<br />

Liter<br />

120<br />

0<br />

0<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20<br />

5% Termiskin<br />

5% Terkaya<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

Misalokasi subsidi berdasarkan laporan<br />

Susenas tersebut telah memberikan<br />

bukti yang cukup bahwa adanya<br />

anomali pada skema subsidi BBM saat<br />

ini. Skema subsidi harga sebagai mana<br />

yang diterapkan, ternyata cenderung<br />

tidak efektif untuk mencapai sasaran<br />

yang diharapkan. Oleh sebab itu,<br />

penyempurnaan skema subsidi BBM<br />

mutlak harus dilakukan.<br />

Ada dua hal yang harus diperhatikan<br />

dalam perbaikan skema subsidi BBM ke<br />

depan yaitu volume dan harga. Dari sisi<br />

volume, perlu dilakukan pengendalian<br />

dan pembatasan penggunaan BBM<br />

bersubsidi. Pengendalian dan<br />

pembatasan ini berkaitan dengan<br />

pengguna dan kuota BBM bersubsidi.<br />

Sedangkan dari sisi harga, perlu<br />

dilakukan pengkajian ulang tentang<br />

insentif harga yang diterapkan dalam<br />

penyaluran subsidi BBM. Insentif ini<br />

perlu mempertimbangkan sensitivitas<br />

harga BBM bersubsidi terhadap gejolak<br />

harga minyak dunia yang berpengaruh<br />

terhadap nilai subsidi yang harus<br />

dibayarkan akibat gap harga yang<br />

terjadi dengan harga keekonomiannya.<br />

Pengaturan terhadap volume dan<br />

harga BBM bersubsdi merupakan dua<br />

ko m b i n a s i a p i k y a n g h a r u s<br />

d i fo r mulasikan d e n g a n b a i k .<br />

Pengaturan terhadap volume BBM<br />

bersubsidi dapat meminimalisir<br />

penyaluran subsidi yang tidak tepat<br />

sasaran dengan pengendalian<br />

konsumsi BBM bersubsidi yang hanya<br />

diperbolehkan untuk pengguna yang<br />

diprioritaskan yaitu kalangan bawah<br />

yang membutuhkan. Sedangkan<br />

pembatasan volume merupakan usaha<br />

untuk meredam tingginya laju<br />

konsumsi BBM. Pengaturan terhadap<br />

harga BBM bersubsidi merupakan<br />

langkah untuk meminimalisir beban<br />

subsidi yang terus membengkak akibat<br />

kenaikan harga minyak dunia. Oleh<br />

sebab itu, mekanisme pengaturan<br />

harga harus disempurnakan sehingga<br />

d apat m e n g i r i n g i l a j u h a r g a<br />

keekonomiannya.<br />

Dengan penyempurnaan skema ini<br />

diharapkan peran subsidi BBM dalam<br />

menyejahterakan masyarakat dapat<br />

teroptimalkan. Oleh sebab itu,<br />

dukungan pemangku kebijakan sangat<br />

diperlukan guna terciptanya skema<br />

subsidi BBM yang lebih paripurna.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

27


USO:<br />

PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTUKTUR TELEKOMUNIKASI<br />

DI PEDESAAN<br />

Oleh Arief Masdi dan Yudha Perdana<br />

USO (Universal Service Obligation) atau<br />

lebih dikenal sebagai Kewajiban Pelayanan<br />

Universal adalah bentuk kewajiban<br />

pemerintah untuk menjamin ketersediaan<br />

pelayanan publik bagi setiap warga negara,<br />

khususnya pelayanan telekomunikasi dan<br />

informatika.<br />

28<br />

foto: istimewa


PNBP<br />

ewajiban tersebut berupa<br />

penyelenggaraan pelayanan<br />

Kkomunikasi dan informartika<br />

untuk umum. Baik pada area yang belum<br />

t e r j a n g k a u l a y a n a n j a r i n g a n<br />

telekomunikasi maupun pada kelompok<br />

masyarakat yang masih memerlukan<br />

peran pemerintah dalam penyediaan<br />

layanan komunikasi dan informatika.<br />

1. Apa itu USO<br />

USO (Universal Service Obligation) atau<br />

lebih dikenal sebagai Kewajiban Pelayanan<br />

Universal adalah bentuk kewajiban<br />

p e m e r i n t a h u n t u k m e n j a m i n<br />

ketersediaan pelayanan publik bagi setiap<br />

warga negara, khususnya pelayanan<br />

telekomunikasi dan informatika.<br />

K e w a j i b a n t e r s e b u t b e r u p a<br />

penyelenggaraan pelayanan komunikasi<br />

dan informartika untuk umum. Baik pada<br />

area yang belum terjangkau layanan<br />

jaringan telekomunikasi maupun pada<br />

kelompok masyarakat yang masih<br />

memerlukan peran pemerintah dalam<br />

penyediaan layanan komunikasi dan<br />

informatika.<br />

USO diterapkan di banyak negara dan<br />

meliputi berbagai sek tor. USO<br />

merupakan bagian dari komitmen<br />

beberapa negara yang tergabung dalam<br />

International Telecommunication Union<br />

(ITU). Di Indonesia, USO diterapkan<br />

pada sektor telekomunikasi dan informasi<br />

(TI) sebagai salah satu sektor yang<br />

memiliki peran strategis dalam<br />

pembangunan. Sektor TI sendiri<br />

berkembang sangat pesat dan efisien di<br />

tangan swasta, namun juga sangat profit<br />

oriented. Akibatnya masyarakat yang<br />

tinggal di wilayah pedesaan terpencil tidak<br />

mendapatkan pelayanan TI karena bukan<br />

area profitable.<br />

Pemerintah tidak bertindak secara<br />

langsung sebagai eksekutor dalam<br />

penyelenggaraan kegiatan pelayanan<br />

komunikasi dan informasi ini. Peranan<br />

pemerintah dalam program USO lebih<br />

pada fungsi koordinator dan regulator.<br />

Fungsi eksekutor USO dilakukan oleh<br />

penyelenggara operator yang ditetapkan<br />

oleh pemerintah. Balai Telekomunikasi<br />

dan Informatika Pedesaan (BTIP) yang<br />

berubah menjadi Balai Penyedia dan<br />

Pe n g e l o l a Te l e ko munikasi d a n<br />

Informatika (BP3TI) adalah instansi<br />

pemerintah di bawah Kementerian<br />

Komunikasi dan Informatika yang<br />

menyelenggarakan program USO. Dana<br />

program USO dipungut oleh BP3TI dari<br />

operator telekomunikasi sebagai<br />

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).<br />

2. USO di beberapa Negara<br />

Beberapa negara menerapkan program<br />

USO dalam skema yang berbeda-beda.<br />

Di Tanzania, sumber pendanaan USO<br />

sebagian besar berasal dari bantuan<br />

donor dan pinjaman bank serta<br />

penyertaan modal dari pemerintah<br />

setempat. Tanzania Telecomunication<br />

Corporate ditunjuk sebagai eksekutor<br />

u n t u k m e l a k s a n a k a n p r o y e k<br />

p e m b a n g u n a n I n fo r m a t i o n a n d<br />

Communication Technology (ICT) dalam<br />

rangka menghubungkan seluruh bagian<br />

negara Tanzania.<br />

Di Uganda, proyek pembangunan<br />

infrastruktur ICT backbone dengan<br />

sumber dana pembangunan sistem<br />

berasal dari pinjaman Pemerintah Cina.<br />

Operator yang ditunjuk melaksanakan<br />

proyek adalah Huawei Technology.<br />

Nantinya sistem tersebut akan<br />

dioperasikan oleh perusahaan milik<br />

negara Uganda.<br />

Di Malaysia, pembangunan sistem<br />

berbasis USO dinamakan Multimedia<br />

Super Coridor (MSC). Pembiayaannya<br />

berasal dari anggaran belanja pemerintah<br />

Malaysia sebagai penyertaan modal pada<br />

Telekom Malaysia. MSC merupakan<br />

proyek infrastruktur yang dibangun<br />

dengan kabel fiber optik dengan kapasitas<br />

2.5-10 gigabits per second.<br />

Di Pakistan, program USO dalam bentuk<br />

pembuatan program ICT Initiatives.<br />

Proyek yang dibiayai dari anggaran<br />

p e m e r i n t a h i n i a n t a r a l a i n<br />

mengembangkan infrastruktur, aplikasi<br />

ICT, pemberdayaan masyarakat dan<br />

pengembangan teknologi. Proyek ini<br />

diselenggarakan oleh perusahaan<br />

telekomunikasi milik pemerintah<br />

bernama PTCL.<br />

Di India, program USO berbentuk<br />

pembangunan akses dan infrastruktur<br />

ICT backbone. Pelaksana proyeknya<br />

adalah BSNL dengan pembiayaan dari<br />

dana kontribusi USO sebesar 5% dari<br />

pendapatan ditambah dengan hibah dan<br />

pinjaman lunak pemerintah.<br />

3. Peran BP3TI<br />

Berdasarkan Peraturan Menteri<br />

Komunikasi dan Informatika Nomor 18<br />

Tahun 2010, BP3TI memiliki tugas<br />

m e l a k s a n a k a n p e nye d i a a n d a n<br />

pengelolaan, pembiayaan Information and<br />

Communication Technology (ITC) atau<br />

Teknologi Informasi dan Komunikasi<br />

(TIK), serta aksesibilitas dan layanan<br />

telekomunikasi dan informatika.<br />

Sedangkan pengelolaan keuangan BP3TI,<br />

sejak tahun 2009 menggunakan<br />

mekanisme Badan Layanan Umum (BLU)<br />

secara penuh, sebagaimana Keputusan<br />

M e n t e r i K e u a n g a n N o m o r<br />

350/KMK.05/2009.<br />

BP3TI mengumpulkan dana USO melalui<br />

pungutan PNBP kepada operator<br />

penyelenggara komunikasi sebesar 0,75%<br />

dari pendapatan kotor setiap tahunnya.<br />

Pada Tahun 2007, persentase tarif PNBP<br />

tersebut meningkat menjadi 1,25% dari<br />

pendapatan kotor, sebagaimana diatur<br />

dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan<br />

I n f o r m a t i k a N o m o r<br />

5/PER/M.KOMINFO/2/2007. Ketentuan<br />

tentang jenis dan besaran tarif PNBP<br />

untuk program USO tersebut, juga<br />

dipertegas dalam Peraturan Pemerintah<br />

(PP) Nomor 7 Tahun 2009.<br />

Pada Tahun 2010, BP3TI membukukan<br />

pendapatan dari jasa layanan USO<br />

sebesar Rp1,36 Triliun atau meningkat<br />

23% dibandingkan pendapatan Tahun<br />

2009 sebesar Rp1,1 Triliun. Telkomsel<br />

m e r u p a k a n o p e r a t o r y a n g<br />

menyumbangkan pendapatan terbesar<br />

yaitu Rp539 milyar pada Tahun 2010 dan<br />

Rp452 pada Tahun 2009. Beberapa<br />

operator lain penyumbang pendapatan<br />

dari jasa layanan USO adalah Telkom,<br />

Indosat dan Exelcomindo Pratama.<br />

Tabel di bawah ini, menyajikan rincian<br />

pendapatan BP3TI dari Jasa Layanan USO<br />

per operator untuk Tahun Buku 2009<br />

dan 2010.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

29


PNBP<br />

Tabel Pendapatan BP3TI dari Jasa Layanan USO<br />

Naik / (Turun)<br />

OPERATOR 2010 2009<br />

%<br />

Telkom Rp.302.444.961.054 Rp.255.163.4<strong>24</strong>.081 19%<br />

Telkomsel Rp539.970.803.047 Rp.452.237.491.275 19%<br />

Indosat Rp.208.292.402.307 Rp.200.703.102.213 4%<br />

Exelcomindo Pratama Rp.195.134.483.656 Rp.129.891.707.234 50%<br />

Aplikanusa Lintasarta Rp.13.673.862.963 Rp.8.661.344.133 58%<br />

Im2 Rp.6.059.454.199 Rp.9.912.839.419 -39%<br />

PSN Rp.3.298.293.268 Rp.2.787.709.674 18%<br />

Bakrie Telecom Rp.26.638.409.905 Rp.21.336.<strong>24</strong>0.616 25%<br />

Mobilkom Rp.11.888.484 Rp.6.793.419 75%<br />

Mobile-8 Rp.9.872.937.276 - 100%<br />

Natrindo Telepon Selular Rp.3.280.120.109 Rp.2.395.969.948 37%<br />

Hutchison CP Telecomminication Rp.6.947.874.905 Rp.3.557.311.729 95%<br />

Mandara Selular Rp.926.853.032 Rp.1.631.881.545 -43%<br />

Non Big Operator Rp.49.999.200.942 Rp.18.990.292.151 163%<br />

Jumlah pendapatan Operasional Rp.1.366.551.545.14 Rp.1.107.276.107.437 23%<br />

Sumber : Laporan Keuangan dan Laporan Audit tahun 2010 BP3TI<br />

4. Apa yang sudah dinikmati<br />

masyarakat<br />

Dalam Keputusan Menteri Keuangan<br />

Nomor 1006/KMK.05/2006, BP3TI<br />

mengelola langsung PNBP dari USO<br />

dengan proporsi 70%. Sedangkan sisanya<br />

30% disetorkan ke Kas Negara. Selain<br />

digunakan untuk membiayai kegiatan<br />

operasional, dana tersebut untuk<br />

m e m b i ay a i p e n y e d i a a n a k s e s<br />

telekomunikasi dan informatika di<br />

pedesaan atau daerah terpencil.<br />

Penyediaan akses telekomunikasi dan<br />

informatika di pedesaan atau daerah<br />

terpencil antara lain meliputi jenis<br />

layanan, sebagai berikut :<br />

a. Desa Dering<br />

Layanan ini berbentuk penyediaan<br />

akses telekomunikasi, penyediaan<br />

akses jarinyan end-to-end, dan<br />

penyediaan layanan telekomunikasi<br />

seperti jasa akses internet, SMS, dan<br />

layanan telepon. Penyedia jasa yang<br />

terpilih adalah PT. Telkomsel untuk<br />

kawasan Indonesia bagian barat dan<br />

PT. Icon Plus untuk kawasan Indonesia<br />

bagian timur. Target penerima layanan<br />

sejumlah 33.148 desa. Sedangkan<br />

realisasi sampai bulan Desember<br />

2010 atas satuan sambungan yang on<br />

air sejumlah 26.753 desa.<br />

b. Desa Pinter<br />

Layanan ini berbentuk penyediaan<br />

jaringan internet untuk desa. Target<br />

Desa Pinter untuk 32 propinsi di<br />

tahun 2010 adalah 131 desa,<br />

sedangkan realisasinya di tahun yang<br />

sama sejumlah 101 desa.<br />

c. Pusat Internet Kecamatan<br />

Pembangunan sarana umum akses<br />

internet di ibukota kecamatan pada<br />

wilayah USO. Penyedia layanan antara<br />

lain PT. Aplikasuna Lintasarta, PT.<br />

Telkom, PT. Sarana Insan Muda<br />

Selaras, dan PT. Jastrindo Dinamika.<br />

Target layanan ini pada Tahun 2010<br />

s e j u m l a h 5 . 7 4 8 ke c a m a t a n ,<br />

sedangkan realisasi on air di tahun<br />

yang sama sejumlah 4.269 kecamatan.<br />

d. Mobil Layanan Internet Kecamatan<br />

Penyediaan jasa pusat layanan<br />

internet kecamatan yang bersifat<br />

bergerak pada setiap unit kendaraan<br />

roda empat standar minibus. Target<br />

layanan ini pada tahun 2010 sejumlak<br />

1907, sedangkan realisasinya<br />

diharapkan terlaksana pada tahun<br />

2011.<br />

e. Penyiaran Radio Komunitas di<br />

daerah Perbatasan dan daerah<br />

Terpencil<br />

Pengembangan Lembaga Penyiaran<br />

Komunitas melalui penyediaan alat<br />

dan perangkat radio di daerah<br />

perbatasan dan daerah terpencil.<br />

Target penyediaan radio komunitas<br />

periode 2010-2014 sejumlah 1141<br />

radio komunitas. Sementara itu,<br />

realisasi pada tahun 2010 baru<br />

terlaksana pada level pelaksanaan<br />

pelelangan penyediaan alat dan<br />

perangkat radio komunitas di 15 desa<br />

informasi.<br />

f. Penyediaan sarana dan prasarana<br />

ICT di wilayah Blank Spot,<br />

Transmigrasi, Pesisir Pantai dll.<br />

Pada tahun 2010 belum dilakukan<br />

penyediaan sarana dan prasarana ITC<br />

di wilayah Blank Spot, Transmigrasi,<br />

Pesisir Pantai dll karena masih dalam<br />

proses identifikasi terhadap wilayahwilayah<br />

yang masih belum terakses<br />

oleh komunikasi dan informatika.<br />

g. Sistem Informasi Manajemen dan<br />

Monitoring Layanan Internet<br />

Kecamatan<br />

Layanan ini pada Tahun 2010 baru<br />

mencapai tahap pemilihan penyedia<br />

jasa yaitu PT Solusi Media Semesta.<br />

Sedangkan realisasi target penyediaan<br />

layanan ini diharapkan selesai dalam<br />

jangka waktu 4 tahun kedepan.<br />

h. Akses Internet<br />

Target layanan ini pada tahun 2010<br />

baru mencapai tahap pemilihan<br />

penyedia jasa yaitu PT Cyber<br />

Network Indonesia.<br />

5. Beberapa penilaian masyarakat<br />

Masyarakat umumnya menanggapi<br />

secara positif atas penyelenggaraan<br />

program USO. Antusiasme masyarakat<br />

akan layanan USO juga semakin tinggi<br />

mengingat kebutuhan akan teknologi dan<br />

informasi, di era globalisasi ini. Kebutuhan<br />

atas tindakan responsif, cepat, dan<br />

terencana dapat dihasilkan oleh<br />

masyarakat dengan tersedianya teknologi<br />

dan informasi yang memadai. Beberapa<br />

tanggapan masyarakat yang menilai<br />

positif program USO dapat dilihat,<br />

sebagai berikut :<br />

a. Bupati Trenggalek, pada tanggal 10<br />

Maret 2012, dalam acara penyerahan<br />

bantuan Mobile Pusat Layanan<br />

Internet Kecamatan oleh Direktur<br />

Telekomunikasi Khusus Penyiaran<br />

Publik dan Kewajiban Universal,<br />

30 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


PNBP<br />

Kemkominfo, menyampaikan bahwa<br />

bantuan dari Kemkominfo ini<br />

diharapkan dapat meningkatkan<br />

kemampuan masyarakat untuk<br />

mengakses informasi. Hal ini sejalan<br />

dengan hak masyarakat untuk untuk<br />

mendapatkan informasi. Namun<br />

demikian, Bupati Trenggalek juga<br />

menghimbau agar masyarakat dapat<br />

memanfaatkan teknologi secara bijak,<br />

mengingat kemajuan teknologi tak<br />

hanya memberikan manfaat, tetapi<br />

juga memberikan efek negatif jika<br />

tidak digunakan sebagaimana<br />

mestinya.<br />

b. Wakil Walikota Singkawang, dalam<br />

Sosialisasi dan Publikasi Program<br />

Kewajiban Pelayanan Universal pada<br />

tanggal 1 Maret 2012, menjelaskan<br />

bahwa pemerintah telah banyak<br />

m e m b u a t p r o g r a m u n t u k<br />

memperlancar informasi dan<br />

komunikasi. Program tersebut telah<br />

b e r u p ay a u n t u k m e m b a n t u<br />

masyarakat dalam mengakses<br />

informasi. Sebagai contohnya, pelajar,<br />

dengan adanya internet, sekarang tak<br />

lagi bermasalah dengan sulitnya<br />

mencari sumber-sumber pelajaran.<br />

Dengan demikian, sudah tak ada lagi<br />

alasan bagi pelajar untuk tidak<br />

berprestasi karena begitu luasnya<br />

akses informasi.<br />

Namun demikian, ada juga kritik<br />

masyarakat terhadap program USO.<br />

Sebagian kritik masyarakat terkait<br />

pelaksanaan program USO dapat dilihat,<br />

sebagai berikut :<br />

a. Pada Acara Forum Pemberdayaan<br />

Lembaga Komunikasi Sosial, pada<br />

tanggal 17 November 2011<br />

bertempat di Hotel Prasasti Pacitan,<br />

Dirjen Informasi Komunikasi Publik,<br />

Kemkominfo, mengungkapkan bahwa<br />

pemerintah melalui target USO<br />

terkait kegiatan desa pintar, perlu<br />

meningkatkan kecepatan dan akurasi<br />

dalam memperoleh dan menyalurkan<br />

informasi. Hal ini harus dilakukan<br />

untuk membentuk peradaban<br />

kehidupan manusia yang modern.<br />

Ditambahkannya pula, bahwa masih<br />

terjadi kesenjangan informasi di dalam<br />

konteks kehidupan masyarakat. Hai<br />

ini disebabkan oleh adanya<br />

keterbatasan ekonomi dan kurangnya<br />

keterampilan dalam menggunakan IT.<br />

Oleh karena itu, dibutuhkan<br />

p e m b a n g u n a n i n f r a s t r u k t u r<br />

komunikasi dengan melibatkan<br />

lembaga komunikasi sosial. Namun,<br />

pelibatan lembaga komunikasi sosial<br />

dipandang tak cukup. Pengembangan<br />

komunikasi dan Informasi harus<br />

m e l i b a t k a n s e m u a e l e m e n<br />

masyarakat secara berjenjang,<br />

termasuk Bupati atau kepala daerah<br />

setempat. Dengan demikian,<br />

kesuksesan program USO akan lebih<br />

terasa bila dibandingkan dengan<br />

hanya mengandalkan lembaga<br />

komunikasi sosial saja.<br />

b. Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto<br />

Atmosutarno, selaku Ketua Umum<br />

Asosiasi Telekomunikasi Seluler<br />

Indonesia pada tanggal 11 April 2011<br />

mengingatkan bahwa Pemerintah<br />

perlu melakukan redefinisi mengenai<br />

broadband atau jaringan pita lebar.<br />

Redefinisi broadband diperlukan<br />

karena broadband akan menjadi<br />

kebutuhan dasar setelah kebutuhan<br />

dasar akan layanan telekomunikasi<br />

telah terpenuhi. Lebih lanjut, Direktur<br />

Utama Telkomsel menambahkan,<br />

bahwa pada USO, pemerintah hanya<br />

membeli service-nya saja. Untuk<br />

kedepannya, broadband yang saat ini<br />

menggunakan mekanisme USO,<br />

harus diganti dalam model PSO. Hal<br />

i n i m e n g i n d i k a s i k a n b a hw a<br />

pemerintah setelah menyelesaikan<br />

masalah ketersediaan akses<br />

telekomunikasi melalui program<br />

USO, perlu memikirkan masalah<br />

transmisi untuk broadband. Masalah<br />

baru ini realistis dengan kebutuhan<br />

masyarakat atas jaringan transmisi<br />

yang lebih cepat, setelah kebutuhan<br />

akan tersedianya layanan komunikasi<br />

terpenuhi.<br />

foto: istimewa<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

31


PERISTIWA<br />

foto: dok. pribadi<br />

KOMITMEN PARA PEJABAT DJA<br />

Jakarta, 1/3//2012<br />

e b a g a i k o m i t m e n u n t u k<br />

melaksanakan tugas sebaik-baiknya,<br />

Spara pejabat eselon II dan III<br />

Direk torat <strong>Jenderal</strong> Ang g aran<br />

menandatangani Kontrak Kinerja<br />

dihadapan Direktur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong>,<br />

Herry Purnomo. Kontrak Kinerja para<br />

pejabat eselon II dan III merupakan tindak<br />

lanjut dari penandatanganan Kontrak<br />

Kinerja yang telah dilakukan oleh Dirjen<br />

<strong>Anggaran</strong> dihadapan Menteri Keuangan.<br />

Suatu organisasi di katakan maju apabila<br />

menerapkan kaidah-kaidah pengelolaan<br />

kinerja dengan lebih bagus, salah satunya<br />

melalui Kontrak Kinerja. Herry Purnomo<br />

berharap, kegiatan yang dilaksanakan<br />

pada hari ini dapat dimaknai tidak hanya<br />

sebagai suatu ceremony, tidak hanya suatu<br />

penandatanganan biasa tetapi bisa<br />

dimaknai sebagai suatu ikatan tanggung<br />

jawab antara bawahan dengan atasan baik<br />

di level eselon II, eselon III, maupun eselon<br />

IV dan pelaksana. "Sejak digulirkannya<br />

reformasi birokrasi, proses pengikatan<br />

seperti yang dilakukan pada saat ini masih<br />

ada beberapa hal yang menurut pendapat<br />

saya terlambat. Tetapi lebih baik<br />

terlambat daripada tidak sama sekali."<br />

sambung Herry.<br />

Dengan adanya penerapan penilaian<br />

kinerja perorangan pada tahun ini,<br />

diharapkan ada kemajuan kinerja untuk<br />

s e l u r u h p e g a w a i . D e n g a n<br />

ditandatanganinya Kontrak Kinerja, harus<br />

sudah dimulai evaluasi capaian kinerja<br />

masing-masing pegawai baik eselon II,<br />

eselon III, eselon IV maupun pelaksana.<br />

Selain itu, "segera fungsikan unit<br />

pengendalian intern, tidak hanya<br />

mengontrol masalah keuangan tetapi juga<br />

masalah pekerjaan. Baik mengenai SOP,<br />

prosedur penelaahan dan lain<br />

sebagainya." pesan Herry Purnomo.<br />

Herry juga menyingung adanya keluhan<br />

dari beberapa Sekretaris <strong>Jenderal</strong><br />

Kementerian/Lembaga (K/L) bahwa<br />

ketika proses penelaahan sudah ada<br />

kesepakatan untuk hal-hal tertentu.<br />

Misalnya ada suatu persyaratan yang<br />

sudah dipenuhi pada waktu pembahasan<br />

awal tetapi kemudian ada pembahasan<br />

lagi dan yang sudah disepakati ini diminta<br />

lagi. Terkait hal ini, Herry Purnomo<br />

berharap setiap adanya pertemuan,<br />

harus ada notulen agar segala sesuatunya<br />

terekam dengan jelas.<br />

Berdasarkan pengalaman Dirjen<br />

<strong>Anggaran</strong> dengan K/L dan auditor,<br />

sekiranya perlu dilihat lagi tata cara<br />

melakukan penelaahan, dokumendokumen<br />

apa saja yang perlu dilihat. Jadi<br />

diperlukan sebuah standarisasi sehingga<br />

betul-betul dapat dilakukan pelayanan<br />

prima. "selamat bekerja, selamat<br />

mencapai IKU yang sudah ditetapkan<br />

sesuai target yang telah disepakati."<br />

pungkas Herry Purnomo.<br />

32 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


PERISTIWA<br />

foto: dok. pribadi<br />

SOSIALISASI STANDAR BIAYA<br />

Jakarta, 22/3/2012<br />

ebagai salah satu pilar penting<br />

dalam penganggaran berbasis<br />

Skinerja, standar biaya mempunyai<br />

peran yang sangat strategis. Di kalangan<br />

kementerian negara/lembaga dan aparat<br />

pemeriksa masih ditemukan persepsi<br />

beragam dan masih sering menanyakan<br />

tentang fungsi atau penggunanan standar<br />

biaya. Hal tersebut disampaikan dalam<br />

sambutan Direktur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />

yang diwakili oleh Direktur Sistem<br />

Penganggran, Drs. Rakhmat, MA dalam<br />

pembukaan sosialisasi Peraturan Menteri<br />

Keuangan tentang Standar Biaya 2013.<br />

Rakhmat menjelaskan bahwa fungsi<br />

standar biaya adalah sebagai batas<br />

tertinggi biaya dan estimasi biaya. Standar<br />

biaya berupa honorarium atau yang<br />

bersifat menambah penghasilan pegawai<br />

berfungsi sebagai batas tertinggi yang<br />

tidak dapat dilampaui besaran biayanya<br />

baik dalam perencanaan maupun<br />

pelaksanaan anggaran. Untuk standar<br />

biaya yang berupa barang dan jasa<br />

berfungsi sebagai batas tertinggi di dalam<br />

perencanaan anggaran dan estimasi biaya<br />

dalam pelaksanaan anggaran. Hal ini<br />

berarti batas tersebut dapat dilampaui<br />

besarannya sepanjang sesuai harga pasar<br />

dan ketersediaan alokasi anggaran.<br />

Namun demikian harus memperhatikan<br />

prinsip ekonomis, efisiensi, efektifitas,<br />

serta mengacu pada ketentuan peraturan<br />

perundang-undangan.<br />

Apa yang disampaikan oleh Rakhmat<br />

dituangkan dalam Peraturan Menteri<br />

Keuangan Nomor 37/PMK.02/2012.<br />

Dalam PMK tersebut, telah dilakukan<br />

penyempurnaan dan pengembangan<br />

agar lebih aplikatif dalam penggunaannya,<br />

antara lain meliputi penambahan satuan<br />

biaya (di antaranya Honorarium<br />

Pengurus/Penyimpan BMN dan Uang<br />

Saku Rapat Dalam Kantor), penyesuaian<br />

besaran, penegasan definisi dan fungsi<br />

standar biaya.<br />

S t a n d a r B i ay a TA 2 0 1 3 j u g a<br />

disempurnakan dengan pengaturan<br />

satuan biaya untuk masing-masing<br />

provinsi dan untuk daerah-daerah<br />

dengan tingkat kemahalan di atas normal<br />

di provinsi-provinsi tertentu. Bahkan<br />

Standar Biaya TA 2013 juga mengatur<br />

satuan biaya penyelenggaraan kantor<br />

perwakilan RI di luar negeri. Hal ini<br />

menegaskan bahwa standar biaya<br />

diharapkan dapat diterapkan pada semua<br />

wilayah di Indonesia bahkan digunakan di<br />

luar negeri. Diharapkan standar biaya<br />

tahun 2013 makin implementatif saat<br />

digunakan oleh seluruh kementerian<br />

negara/lembaga.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

33


PERISTIWA<br />

foto: dok. pribadi<br />

RAKOR LKPP 2012<br />

Jakarta, 7/2/2012<br />

asil audit BPK atas Laporan<br />

Keuangan Pemerintah Pusat<br />

H(LKPP) 2010, ditemukan<br />

beberapa permasalahan terkait dengan<br />

pengelolaan PNBP dan Belanja pada BA<br />

9 9 9 . 0 7 d a n B A 9 9 9 . 0 8 y a n g<br />

menyebabkan BPK memberikan opini<br />

Wajar Dengan Pengecualian (WDP).<br />

Untuk meningkatkan opini audit BPK atas<br />

LKPP, <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />

m e n g u n d a n g w a k i l - w a k i l d a r i<br />

Kementerian Negara/Lembaga (K/L)<br />

untuk bersama-sama memecahkan<br />

permasalahan tersebut. Rapat koordinasi<br />

m e n g a m b i l t e m a Pe n i n g k a t a n<br />

Akuntabilitas Pengelolaan PNBP, BA<br />

999.07 dan BA 999.08 Menuju LKPP<br />

Dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian.<br />

Wakil Menteri Keuangan I, Anny<br />

Ratnawati dalam sambut annya<br />

menyampaikan bahwa akuntabilitas,<br />

transparansi dan governance merupakan<br />

syarat mutlak dalam penyelenggaraan<br />

Pemerintah. Anny mengingatkan bahwa<br />

sumber krisis yang terjadi di Eropa dan<br />

Amerika dikarenakan fiscal policy yang<br />

tidak prudent dan belanja yang tidak<br />

efisien sehingga kita tidak boleh lengah<br />

dan jangan melakukan kesalahan yang<br />

dilakukan oleh negara-negara maju.<br />

Agar APBN sehat, kita harus mencari<br />

sebanyak mungkin sumber penerimaan<br />

dan tidak boleh terjadi "besar pasak<br />

daripada tiang", sambung Anny. Dari<br />

sinilah peranan Penerimaan Negara<br />

Bukan Pajak (PNBP) menjadi penting<br />

karena <strong>24</strong>,5 persen penerimaan Negara<br />

berasal dari PNBP. Harus ada pengaturan<br />

lebih lanjut untuk pemungutan PNBP.<br />

Pelaporan PNBP masih menjadi problem<br />

d a n b a n y a k K e m e n t e r i a n<br />

Negara/Lembaga tidak melaporkan<br />

PNBP nya karena tidak ada reward and<br />

punishment. Disamping itu, banyak<br />

keluhan tentang pemanfaatan PNBP, yaitu<br />

PNBP seringkali tidak bisa digunakan di<br />

awal tahun padahal pemanfaatan hak<br />

y a n g d i m i l i k i K e m e n t e r i a n<br />

Negara/Lembaga untuk kepentingan<br />

publik harus bisa digunakan di awal tahun.<br />

Untuk hal ini Anny Ratnawati<br />

mengingatkan <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

<strong>Anggaran</strong> untuk melakukan review.<br />

Dalam hal belanja subsidi dan belanja lainlain,<br />

sejak tahun lalu seluruh alokasi dari<br />

BA 999.07 dan BA 999.08 akan<br />

dicatatkan pada BA K/L. Hal ini<br />

dimaksudkan agar asas governance terjaga<br />

karena yang menggunakan belanja dari<br />

BA 999.07 dan BA 999.08 adalah<br />

Kementerian Negara/Lembaga masingmasing.<br />

Jangan sampai Kementerian<br />

Negara/Lembaga yang belanja,<br />

Ke m e n t e r i a n Ke u a n g a n y a n g<br />

bertanggungjawab, pungkas Anny.<br />

Selanjutnya Direktur <strong>Anggaran</strong> III,<br />

Sambas Mulyana, Direktur PNBP,<br />

Askolani dan Kepala Auditorat IIA BPK, I<br />

G e d e K a s t aw a b e r t u r u t - t u r u t<br />

menyampaikan materi mengenai temuan<br />

BPK atas LKPP dalam hal pengelolaan<br />

PNBP dan Belanja Subsidi dan Belanja<br />

Lain-lain.<br />

34 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


PERISTIWA<br />

foto: dok. pribadi<br />

REVIEW BASELINE<br />

Jakarta, 9/2/2012<br />

“ engan dilakukannya review<br />

terhadap baseline, maka<br />

Dpenetapan pagu indikatif<br />

menjadi lebih realistis, sehingga ketika kita<br />

mencari sumber pendanaan untuk<br />

memenuhi kebutuhan Kementerian<br />

Negara/Lembaga menjadi lebih tepat",<br />

demikian harapan Direktur <strong>Anggaran</strong> II,<br />

Dwi Pujiastuti Handayani (akrab disapa<br />

Ani) dalam wawancara singkat setelah<br />

memberikan arahan dalam acara<br />

Bimbingan Teknis Review Baseline yang<br />

diselenggarakan di Jakarta, selama 3 (tiga)<br />

hari sejak tanggal 7-9 Februari 2012.<br />

"Peserta bimtek diharapkan dapat<br />

mengikuti kegiatan ini dengan serius<br />

karena selain diberikan paparan materi<br />

juga dilakukan latihan bagaimana<br />

melakukan review baseline", pesan singkat<br />

Ani dalam arahannya dihadapan<br />

kementerian negara/lembaga yang<br />

menjadi mitra kerjanya.<br />

Selanjutnya, didampingi Kepala<br />

Subdirektorat <strong>Anggaran</strong> IIB, Aprildin<br />

selaku moderator, Kepala Subdirektorat<br />

Transformasi Sistem Penganggaran,<br />

Made Arya Wijaya membawakan<br />

paparan materi tentang review baseline<br />

Tahun 2012. Baseline pada Tahun<br />

<strong>Anggaran</strong> 2012, yaitu :<br />

1. B a s e l i n e k e b u t u h a n B i a y a<br />

Operasional:<br />

a. Pembayaran gaji, tunjangan yang<br />

melekat dg gaji, honor tetap,<br />

tunjangan lain terkait dg belanja<br />

pegawai, lembur dan vakasi;<br />

b. O p e r a s o n a l s e h a r i - h a r i<br />

perkantoran, langganan daya dan jasa,<br />

pemeliharaan sarana dan prasarana<br />

kantor.<br />

2. Baseline kebutuhan Biaya Non<br />

Operasional:<br />

a. Ke g i a t a n / O u t p u t t e r k a i t<br />

pelaksanaan tugas fungsi unit;<br />

b. Ke g i a t a n / O u t p u t t e r k a i t<br />

pelayanan kepada publik;<br />

c. Ke g i a t a n / O u t p u t t e r k a i t<br />

pelaksanaan kebijakan prioritas<br />

pembangunan nasional;<br />

d. Ke g i a t a n / O u t p u t t e r k a i t<br />

penugasan sesuai kebijakan<br />

Pemerintah.<br />

Dengan dilakukan review baseline pada<br />

biaya operasional, dapat dilakukan<br />

perbaikan pola distribusi antar Program<br />

atau antar Unit/Satker dlm K/L yang<br />

bersangkutan. Sehingga apabila terjadi<br />

kekurangan alokasi pagu, sepanjang<br />

penyebabnya telah diidentifikasi dengan<br />

jelas dan dilengkapi dokumen pendukung<br />

yang benar, maka kebutuhan anggarannya<br />

harus dihitung menjadi baseline.<br />

Sedangkan dalam hal terdapat alokasi<br />

pagu yang berlebih, maka selisih<br />

lebihnya harus dikeluarkan dari<br />

penghitungan baseline. Untuk biaya<br />

non operasional, review baseline antara<br />

lain berguna dalam menilai "apakah<br />

suatu program/kegiatan/output sangat<br />

diperlukan untuk dilanjutkan", "apakah<br />

menghasilkan optimalisasi", dan<br />

"apakah sudah dikelola dengan metode<br />

yang tepat".<br />

"Yang terpenting dalam melakukan<br />

review adalah tidak mencampur<br />

kebijakan existing dengan isu-isu<br />

kebijakan yang akan dilakukan pada<br />

tahun yang akan datang, tetapi hal<br />

tersebut dapat dijadikan inisiatif baru",<br />

pesan Made dalam menjawab<br />

pertanyaan dari salah satu peserta<br />

bimtek. Sesi latihan menjadi sesi<br />

penutup acara bimtek review baseline.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

35


PERISTIWA<br />

foto: dok. pribadi<br />

D I R J E N A N G G A R A N<br />

“MENDISIPLINKAN” PEGAWAI<br />

irektur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong>,<br />

H e r r y P u r n o m o<br />

Dm e n g u m p u l k a n s e l u r u h<br />

pegawainya dalam acara sosialisasi<br />

penegakan disiplin PNS. Herry meminta<br />

kepada seluruh pegawai <strong>Direktorat</strong><br />

<strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong> untuk terus menjaga<br />

disiplin dalam menjalankan tugas.<br />

"Sebagai PNS, kita diikat oleh ramburambu<br />

disiplin dan kode etik. Terjadinya<br />

pelanggaran-pelanggaran disiplin pegawai<br />

diakibatkan kurangnya pemahaman atas<br />

peraturan disiplin PNS. Selain itu, para<br />

atasan banyak yang tidak mengetahui dan<br />

memahami kewenangannya untuk<br />

membina bawahannya" sambung Herry.<br />

Selain itu, Direktur <strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong><br />

mengingatkan jajarannya untuk selalu<br />

menjaga hal-hal yang bersifa t<br />

administratif terutama atas beberapa<br />

kasus yang menyangkut pengelolaan<br />

APBN pada Kementerian/Lembaga lain.<br />

"Dalam hal pembahasan RKA-KL,<br />

dokumen-dokumen yang bersifat<br />

administratif harus benar-benar dijaga<br />

dengan baik, begitu juga dengan<br />

dokumen pendukungnya".<br />

Pada bagian akhir, Herry kembali<br />

berpesan kepada seluruh pegawai untuk<br />

s e l a l u m e n j a g a i n tegrit a s d a n<br />

profesionalisme dalam menjalankan<br />

tugasnya. Para pegawai diingatkan untuk<br />

tidak mudah tergiur oleh materi yang<br />

ditawarkan oleh mitra kerja.<br />

36 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


BERITA<br />

REWARD AND PUNISHMENT<br />

foto: dok. pribadi<br />

“<br />

alaupun batas wak tu<br />

pemberian reward and<br />

Wpunishment menurut UU<br />

APBN adalah tanggal 31 Maret, namun<br />

(acara ini dilakukan) agar lebih siap dalam<br />

meng-exercise dan menganalisa<br />

pemberian penghargaan dan sanksi ini<br />

(sehingga bisa selesai lebih cepat)”.<br />

Hal tersebut tersebut disampaikan oleh<br />

Direktur Sistem Penganggaran, Rakhmat<br />

pada acara sosialisasi pemberian<br />

penghargaan dan sanksi K/L pada APBN<br />

TA 2011 (16/01/2012). Rakhmat juga<br />

menegaskan bahwa langkah percepatan<br />

tersebut sekaligus sebagai usaha dalam<br />

mendukung kinerja <strong>Direktorat</strong> <strong>Jenderal</strong><br />

<strong>Anggaran</strong> dalam rangka program “Naik<br />

Kelas”.<br />

Selanjutnya Kasubdit Evaluasi Kinerja<br />

Penganggaran, Dendi Koska dan<br />

Kasubdit Pengembangan Sistem<br />

Penganggaran, Made Arya Wijaya<br />

menjelaskan mengenai dasar hukum<br />

pemberian penghargaan dan sanksi,<br />

kriteria dan bentuk penghargaan dan<br />

sanksi. Disampaikan bahwa ada beberapa<br />

hal yang perlu diperhatikan dalam proses<br />

pengenaan penghargaan dan sanksi,<br />

antara lain :<br />

1. Pemberian reward kepada K/L<br />

merupakan penghargaan dari<br />

pemerintah atas kinerja K/L yang<br />

menggunakan anggaran belanja<br />

dengan lebih efisien.<br />

2. Realisasi penyerapan anggaran oleh<br />

K/L untuk TA 2011 rata-rata sebesar<br />

84,7% sehingga jika diberikan<br />

tambahan alokasi, agar dipastikan<br />

dapat terserap dengan baik,<br />

menambah kinerja dan digunakan<br />

untuk hal-hal yag bersifat prioritas<br />

nasional.<br />

3. Tahun <strong>Anggaran</strong> 2012 merupakan<br />

tahun kedua penerapan penghargaan<br />

dan sanksi, sehingga K/L diharapkan<br />

semakin menyadari dan lebih paham<br />

implikasinya.<br />

4. Pagu belanja untuk TA 2012 telah<br />

diikat oleh t arget kinerja<br />

pembangunan, sehing ga jika<br />

dilakukan pemotongan pagu belanja<br />

K/L diharapkan tidak mengganggu<br />

pencapaian target kinerja yang telah<br />

direncanakan.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

37


BERITA<br />

LANGKAH-LANGKAH DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN<br />

DALAM PENYUSUNAN PAGU INDIKATIF TAHUN 2013<br />

Oleh Kiswanto<br />

alam proses penyusunan Pagu<br />

Indikatif 2013, <strong>Direktorat</strong><br />

D<strong>Jenderal</strong> <strong>Anggaran</strong> (DJA) telah<br />

melakukan pemantapan penerapan<br />

<strong>Anggaran</strong> Berbasis Kinerja (ABK).<br />

Pemantapan ABK dilakukan dengan<br />

kebijakan (i) menyempurnakan pola<br />

pengalokasian anggaran yang mengacu<br />

pada prinsip money follow function, (ii)<br />

memberikan fleksibilitas yang lebih besar<br />

kepada Pengguna <strong>Anggaran</strong> (PA)/Kuasa<br />

Pengguna <strong>Anggaran</strong> (KPA) dalam<br />

p e l a k s a n a a n a n g g a r a n m e l a l u i<br />

penyederhanaan struktur anggaran dan<br />

jenis belanja. (iii) meningkatkan<br />

keterkaitan antara alokasi anggaran<br />

dengan target kinerja yang akan<br />

dihasilkan (iv) Meningkatkan efisiensi<br />

belanja melalui penajaman atas kelayakan<br />

anggaran terhadap sasaran kinerja dan<br />

konsistensi sasaran kinerja dengan<br />

Renstra/Rencana Kerja Pemerintah<br />

(RKP).<br />

Selain itu, dilakukan pemantapan<br />

penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka<br />

Menengah (KPJM), melalui (i) penerapan<br />

anggaran bergulir melalui penyusunan<br />

prakiraan maju untuk 3 tahun anggaran<br />

kedepan (ii) Penggunaan angka prakiraan<br />

maju sebagai dasar penghitungan alokasi<br />

anggaran dan proyeksi kebutuhan<br />

anggaran terhadap sebuah kebijakan yang<br />

dilaksanakan lebih dari satu tahun (iii)<br />

penyesuaian angka dasar berdasarkan<br />

perubahan parameter ekonomi (inflasi,<br />

nilai tukar rupiah) dan parameter non<br />

ekonomi (penyesuaian Standar Biaya<br />

Umum, St andar Biaya Khusus,<br />

penambahan/pengurangan volume di<br />

luar prioritas nasional/bidang) serta hasil<br />

evaluasi kinerja anggaran. (iv) mekanisme<br />

Inisiatif Baru dan metode kompetisi<br />

dalam penilaian untuk tambahan alokasi<br />

anggaran bagi K/L diluar angka dasar<br />

(baseline) (v) Penyempurnaan metode<br />

costing untuk proposal penilaian Inisiatif<br />

Baru<br />

Untuk mendapatkan informasi<br />

mendalam tentang program/kegiatan<br />

prioritas dan kebutuhan anggaran yang<br />

akan dilaksanakan dari masing-masing K/L<br />

pada tahun 2013, DJA telah melakukan<br />

Roadshow ke 6 K/L besar. Keenam K/L<br />

tersebut adalah Kementerian Pekerjaan<br />

Umum, Kementerian Perhubungan,<br />

Ke m e n t e r i a n P e n d i d i k a n d a n<br />

Kebudayaan, Kementerian Agama,<br />

Kementerian Pertahanan dan Kepolisian<br />

RI .<br />

Kegiatan roadshow penting dilakukan<br />

agar diperoleh bahan dan masukan yang<br />

akan digunakan sebagai bahan analisis,<br />

pertimbangan dan perhitungan dalam<br />

penyusunan resource envelope, serta<br />

pengukuran kapasitas fiskal yang akurat<br />

sesuai dengan kebutuhan rill dan prioritas<br />

pembangunan nasional. Dari kegiatan<br />

roadshow juga diperoleh bahan untuk<br />

mengawali penyusunan pagu indikatif<br />

berdasarkan dinamika kebijakan<br />

pengalokasian anggaran pada tahun<br />

2012, updating renstra K/L, capaian<br />

kinerja tahun 2011, arahan / direktif<br />

presiden, hasil sidang kabinet dan<br />

komitmen pemerintah yang akan<br />

mempengaruhi penyediaan alokasi<br />

anggaran tahun 2013<br />

DJA juga melakukan review baseline<br />

alokasi anggaran tahun 2012 dalam<br />

rangka penyusunan pagu indikatif 2013.<br />

Review dimaksudkan untuk memperoleh<br />

indikasi awal (ancar-ancar) kebutuhan<br />

anggaran yang harus disediakan untuk<br />

melaksanakan Program/ Kegiatan sesuai<br />

kebijakan Pemerintah dengan target<br />

kinerja tertentu yang telah ditetapkan<br />

serta berdasarkan prakiraan maju (KPJM<br />

Tahun 2013) dalam RKA-KL tahun 2012.<br />

Terakhir, dalam rangka melaksanakan<br />

fungsi akuntabilitas diterapkan Evaluasi<br />

Kinerja Penganggaran sesuai amanat PMK<br />

<strong>24</strong>9/MK.02/2012. Kepada para<br />

Menteri/Pimpinan Lembaga diminta<br />

untuk melakukan pengukuran dan<br />

evaluasi Kinerja atas pelaksanaan RKA-<br />

K/L tahun sebelumnya dan tahun<br />

anggaran berjalan. Aspek yang diukur<br />

dalam evaluasi kinerja tersebut adalah<br />

aspek implementasi, aspek manfaat dan<br />

aspek konteks.<br />

38 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

foto: dok. pribadi


foto: dok. pribadi<br />

STANDAR BIAYA,<br />

KEMANA DIKEMBANGKAN?<br />

Oleh Langgeng Suwito<br />

PENGANTAR<br />

Secara yuridis (de jure) kehendak untuk<br />

mempraktekkan Performace Based<br />

Budgetting telah diamanatkan dalam UU<br />

No 17 tentang Keuangan Negara, namun<br />

setelah hampir 10 (sepuluh) tahun<br />

diundangkan, boleh jadi dalam<br />

prakteknya (de facto) masih belum<br />

seperti harapan, seperti masih tercampur<br />

dengan rasa Line Item Budgetting. Hal ini<br />

utamanya karena proses penganggaran<br />

yang ada masih sering terperangkap<br />

dengan hal-hal detail item-per-item<br />

belanja, yang melebihi dari orientasi pada<br />

hasil (output) – itu sendiri. Hal lain yang<br />

juga ikut memperkeruh kondisi ini adalah<br />

penerapan prinsip let managers manage<br />

pada K/L pada saat pelaksanaan anggaran,<br />

yang juga masih sangat kental dengan<br />

pendekatan item-item belanja yang<br />

sering melebihi dari upaya pencapaian<br />

output secara efisien dan efektif.<br />

Pe r fo r m a n c e B a s e d B udgetting<br />

mensyaratkan bahwa terlaksananya<br />

prinsip let managers manage akan<br />

berjalan baik manakala: (1) adanya<br />

kepercayaan (trust) dari Kementerian<br />

Keuangan selaku Chief Financial Officer<br />

(CFO) kepada K/L(managers) selaku<br />

Chief Operational Officer (COO) untuk<br />

mengurus hal-hal yang detail dan<br />

mengikat hal-hal yang strategis (capaian<br />

output), didasarkan pada anggapan<br />

bahwa K/L (managers) adalah pihak yang<br />

dianggap paling mengetahui dan paling<br />

bertanggung jawab tentang bagaimana<br />

cara untuk mencapai output yang<br />

diperjanjikan atas penggunaan alokasi<br />

anggaran, dan (2) pada saat bersamaan<br />

K/L (managers) diasumsikan memang<br />

dapat dipercaya (amanah) dalam<br />

membelanjakan anggarannya untuk<br />

mencapai output yang diperjanjikan<br />

secara efisien dan efektif, sehingga apabila<br />

dalam pelaksanannya terdapat<br />

pelanggaran maka mereka harus<br />

dimintakan pertanggungjawabannya.<br />

Tulisan ini memaparkan peran strategis<br />

s t andar biaya (cos ting ) dalam<br />

mewujudkan tujuan performance based<br />

budgetting, dan langkah-langkah untuk<br />

merealisasikannya. Melalui tulisan ini<br />

diharapkan dapat menginspirasi pembaca<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

39


SISTEM PENGANGGARAN<br />

dan semua pihak terkait dalam<br />

mengefektifkan peran standar biaya<br />

dalam sistem penganggaran.<br />

PERANAN STANDAR BIAYA<br />

Upaya untuk mengoptimalkan peran<br />

standar biaya (costing) dalam sistem<br />

penganggaran pperlu berangkat dari<br />

pemikiran tentang perlunya mencermati<br />

kembali atas pengaturan three in one (satu<br />

dan lainnya saling melengkapi, saling<br />

menguatkan, dan harus saling bekerja<br />

paralel), yaitu antara: (1) indikator<br />

output, (2) standar biaya (costing) dan<br />

(3) monitoring & evaluasi (monev) dalam<br />

mensukseskan pelaksanaan Performance<br />

Based Budgetting pada pasal 3 ayat (3) PP<br />

Nomor 90 Tahun 2010 tentang<br />

penyususnan RKAKL. Hubungan ketiga<br />

hal tersebut dapat dijelaskan sebagai<br />

berikut: Pertama, rumusan output secara<br />

tepat beserta indikatornya merupakan<br />

cerminan seberapa efektif nantinya akan<br />

mampu menopang mencapaian kegiatan,<br />

program dan dampak (impacts) dari<br />

alokasi anggaran akan dirasa secara riil<br />

oleh masyarakat. Hal ini menguatkan<br />

keyakinan tentang urgensi untuk<br />

mengawal terwujudnya rumusan output<br />

dan indikator kinerja K/L yang makin baik<br />

dari waktu ke waktu. Kedua, standar biaya<br />

(costing) merupakan alat agar alokasi<br />

anggaran dapat dilakukan secara efisien<br />

dan ekonomis dalam pencapaian output.<br />

Hal ini mengedepankan pentingnya<br />

allocatif efficiency dalam perencanaan<br />

anggaran dan operational efficiency dalam<br />

pelaksanaan anggaran dengan<br />

menggunakan prinsip let managers<br />

manage. Sedangkan ketiga, monev<br />

menjadi pilar/alat untuk mengawal dan<br />

membandingkan antara pelaksanaan<br />

anggaran dengan tujuan kinerja yang<br />

diharapkan dari alokasi anggaran agar<br />

dapat terlaksana sesuai dengan yang telah<br />

diperjanjikan dalam indikator kinerja<br />

output sampai dengan impact kepada<br />

masyarakat. Dari ketiga instrumen<br />

tersebut selanjutnya indikator output dan<br />

costing yang memadai diperlukan agar<br />

monev dapat berjalan sesuai tujuan.<br />

Rumusan output yang tepat dan<br />

memadai merupakan prasyarat agar<br />

costing dapat dilaksanakan secara baik<br />

pada saat proses alokasi anggaran.<br />

Selanjutnya, hasil monev juga dibutuhkan<br />

untuk proses costing dalam alokasi<br />

anggaran periode berikutnya.<br />

Standar biaya (costing) dalam sistem<br />

penganggaran mempunyai peran yang<br />

sangat penting untuk menjamin<br />

terwujudnya keekonomian dan efisiensi<br />

anggaran. Salah satu alasannya adalah<br />

karena karakteristik K/L (pengguna<br />

anggaran) saat ini cenderung untuk<br />

menggunakan anggaran dengan harga<br />

maksimal dan perlunya prinsip keadilan<br />

u n t u k p e m b i a y a a n s u a t u<br />

kegiatan/aktivitas yang sama bagi seluruh<br />

K/L. Untuk mewujudkan peran standar<br />

biaya yang makin berkontribusi positif<br />

d a l a m s i s t e m p e n g a n g g a r a n ,<br />

Kementerian Keuangan dalam hal ini<br />

Ditjen <strong>Anggaran</strong> sebagai otoritas<br />

perencanaan keuangan K/L telah<br />

melakukan langkah-langkah dalam<br />

menerapkan efisiensi belanja negara,<br />

salah satu caranya melalui penetapan<br />

standar biaya, yang meliputi: (1) standar<br />

biaya masukan (SBM), dan (2) standar<br />

biaya keluaran (SBK). Mengingat Standar<br />

biaya merupakan instrumen efisiensi<br />

dalam penerapan Performance Based<br />

Budgetting, maka pengembangan<br />

standar biaya (costing) akan diarahkan<br />

pada pengembangan standar biaya yang<br />

berorientasi pada hasil atau penyusunan<br />

standar biaya berbasis output dalam<br />

bentuk penyusunan Standar Biaya<br />

Keluaran (SBK). Seharusnya SBK secara<br />

bertahap dikembangkan ke arah fullcosting<br />

(dengan mengecualikan<br />

komponen gaji dan biaya administrasi<br />

p a d a t a h a p aw a l n y a ) d e n g a n<br />

menggunakan pendekatan activity based<br />

costing. Apabila hal ini telah dilakukan,<br />

maka alokasi anggaran K/L akan<br />

didasarkan pada alokasi biaya output yang<br />

dihasilkan oleh K/L yang bersangkutan.<br />

P E N G E M B A N G A N S TA N DA R<br />

BIAYA<br />

Standar Biaya Masukan (SBM) saat ini<br />

telah menjadi tools bagi pengguna<br />

anggaran dalam melakukan penyusunan<br />

RKA-K/L. Selain itu, standar biaya juga<br />

d i p e r l u k a n u n t u k m e m b a t a s i<br />

pengeluaran-pengeluaran yang terkait<br />

dengan tambahan penghasilan bagi<br />

pegawai, karena dengan belum<br />

berlakunya sistem remunerasi secara<br />

penuh, saat ini banyak K/L yang masih<br />

mengalokasikan honorarorium yang<br />

seharusnya sudah menjadi bagian dari<br />

sistem remunerasi sehingga perlu<br />

pembatasan melalui standar biaya.<br />

Sedangkan untuk Standar Biaya Keluaran<br />

(SBK), saat ini penyusunannya masih<br />

dilakukan hanya untuk biaya langsung<br />

(direct cost) yang terkait langsung dalam<br />

pencapaian suatu output, dengan fokus<br />

pada proses pembelajaran kepada K/L<br />

bahwa penyusunan SBK merupakan<br />

bagian dari upaya efisiensi belanja negara.<br />

Namun demikian, pengembangan<br />

konsep SBK terus dilakukan secara<br />

bertahap agar perubahan yang terjadi<br />

dapat berjalan dengan baik dan dapat<br />

diterima oleh pihak-pihak yang<br />

berkepentingan.<br />

Beberapa hal penting yang merupakan<br />

arah pengembangan SBM ke depan<br />

adalah: (1) Peningkatan kualitas dan<br />

cakupan SBM, dan mencarikan penataan<br />

pengaturan terhadap satuan-satuan biaya<br />

yang berlaku spesifik pada setiap K/L<br />

untuk menjamin efisiensi anggaran, (2)<br />

Makin mengintensifkan keterlibatan K/L<br />

dalam penyusuna SBM, dan (3)<br />

Menggeser penggunaan SBM ke K/L<br />

dengan menguatkan peran aparat<br />

p e n g aw a s a n d a l a m m e m a n t a u<br />

pelaksanaan SBM oleh K/L. Sedangkan<br />

beberapa arah pengembangan SBK<br />

a n t a r a l a i n d e n g a n c a r a : ( 1 )<br />

Pengembangan costing methodologies,<br />

dan (2) pengembangan banch marking<br />

atas SBK yang telah ada untuk diterapkan<br />

pada tahun berbeda, wilayah berbeda,<br />

atau K/L berbeda. Kondisi saat ini, SBK<br />

sebagai alat efisiensi kurang atau<br />

mendapat tanggapan positif dari K/L<br />

karena beberapa hal: (1) keengganan K/L<br />

untuk melakukan efisiensi, (2) Hukum<br />

penerapan SBK belum menjadi<br />

kewajiban, (3) K/L belum merasa<br />

menerima manfaat secara nyata atas<br />

penerapan SBK, (4) Yang sudah<br />

menerapkan SBK justru merasa sering<br />

diaudit daripada yang belum menerapkan<br />

SBK. Hal-hal tersebut selanjutnya perlu<br />

disikapi dengan seksama, dan dituangkan<br />

dalam peraturan.<br />

40 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


SISTEM PENGANGGARAN<br />

L A N G K A H - L A N G K A H<br />

PENGEMBANGAN<br />

Untuk mencapai tujuan pengembangan<br />

standar biaya tersebut di atas, perlu<br />

difikirkan tent ang reformulasi<br />

pengaturan teknis standar biaya dari<br />

tahun ke tahun, yang selama ini diatur<br />

dalam PMK Standar Biaya tiap tahunnya.<br />

Hal mendasar pertama adalah bagaimana<br />

mewujudkan adanya pengaturan standar<br />

biaya yang berlaku untuk sepanjang tahun<br />

yang mencakup prinsip-prinsip dan<br />

pedoman-pedoman costing untuk<br />

menjamin alllocative efficiency dan<br />

operational efficiency. Selanjutnya<br />

bagaimana memberikan pengaturan<br />

standar-standar biaya yang berlaku untuk<br />

setiap tahunnya sebatas pada hal-hal atau<br />

angka-angka detailnya.<br />

Langkah awal yang perlu dilakukan adalah<br />

pengembangan SBK yang menjadi suatu<br />

kewajiban bagi K/L untuk ha-hal tertentu<br />

secara bertahap melalui proses<br />

penelaahan secara prudent yg akan<br />

dijadikan sebagai baseline (angka dasar)<br />

semua output. Untuk mendukung proses<br />

ini perlu disusun costing methodolgy<br />

sebagai proses efisiensi terhadap outputoutput<br />

yang dihasilkan K/L. Kalau hal ini<br />

sudah tertata, langkah berikutnya adalah<br />

alokasi output-output yang bersifat<br />

dukungan manajemen (Gaji dan<br />

Manajemen Kantor) didistribusikan<br />

kepada output-output teknis sehingga<br />

yang tersisa adalah output teknis saja<br />

sebagai dasar alokasi K/L. Untuk<br />

mendukung alokasi output bersangkutan<br />

maka perlu pedoman bagaimana suatu<br />

output dicapai melalui tahapan-tahapan<br />

atau komposisi biaya tertentu sehingga<br />

dalam pencapaian suatu output menjadi<br />

jelas biaya-biaya yang diperlukan.<br />

Secara lebih rinci, langkah-langkah<br />

pengembangan dari aspek kebijakan,<br />

sistem dan SDM adalah sebagai berikut:<br />

a. Aspek Kebijakan<br />

Pengembangan standar biaya<br />

diarahkan kepada pencapaian<br />

keekonomiasan alokasi dan efisiensi<br />

belanja negara dalam rangka<br />

mendukung penerapan anggaran<br />

b e r b a s i s k i n e r j a . U n t u k<br />

pengembangan ini perlu koordinasi<br />

secara lebih inten antara DJA dengan<br />

K/L dan para praktisi penganggaran,<br />

khususnya mengenai metodologi<br />

pembiayaan sebagai upaya untuk<br />

mendorong percepatan penerapan<br />

SBK.<br />

b. Aspek Kesisteman<br />

Pengembangan standar biaya harus<br />

sejalan dengan sistem perencanaan<br />

yang berlaku (Renstra, Renja,<br />

Penganggaran itu sendiri (RKA-K/L),<br />

dokumen pelaksanaan anggaran dan<br />

pertanggungjawaban kinerja (LKPP<br />

dan LAKIP). Dari aspek kelembagaan,<br />

perlu dikaji kembali keberadaan unit<br />

yang bertanggungjawab menangani<br />

seluruh elemen yang terdapat di<br />

dalam Standar Biaya, dan dalam<br />

kerangka penerapan full-costing maka<br />

upaya untuk mensinergikan<br />

penanganan standar biaya dan<br />

remunerasi merupakan hal urgent<br />

dalam kerangka proses reorganisasi.<br />

Dari sisi Teknologi Informasi, perlu<br />

dikembangkan Sistem Informasi /<br />

Teknologi Informasi (SI/TI) dalam<br />

rangka pengolahan data hasil survei<br />

dan penetapan besaran standar biaya<br />

secara elektronik.<br />

c. Aspek Sumber Daya Manusia<br />

Peningkatan kapasitas SDM yang<br />

memadai untuk mengembangkan<br />

norma akuntansi biaya pada sektor<br />

publik/pemerintahan sebagai upaya<br />

penerapan efisiensi atas anggaran<br />

berbasis kinerja. Peningkatan SDM<br />

dimaksud meliputi SDM pada<br />

Kemenkeu (sebagai CFO), K/L<br />

(COO) maupun Aparat Pemeriksa<br />

Fungsional (BPK, BPKP) melalui<br />

program intensif semacam PPAKP<br />

(pada akuntansi pemerintahan)<br />

dengan tekanan pengetahuan proses<br />

perencanaan dan costing methodology.<br />

d. Aspek pengembangan kerjasama<br />

Pengembangan standar biaya tidak<br />

hanya cukup dilaksanakan sendiri.<br />

Perlu adanya upaya-upaya yang lebih<br />

strategis dengan memperluas<br />

kerjasama dengan pihak lain untuk<br />

pengembangannya. Beberapa bentuk<br />

kerjasama pengembangan Standar<br />

Biaya antara lain dalam bentuk<br />

kerjasama terkait costing methodology<br />

dengan pihak kampus, pelaksanaan<br />

survey dengan BPS dan/atau institusi<br />

Kementerian Keuengan yang memiliki<br />

kantor daerah, dan terkait capacity<br />

building dan bantuan konsultan dapat<br />

bekerjasama dengan lembagalembaga<br />

internasional yang bersedia<br />

memberikan bantuan atau hibah<br />

untuk kepentingan pengembangan<br />

standar biaya tersebut.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

41


SISTEM PENGANGGARAN<br />

MENGKAJI KEMBALI REFORMASI SISTEM PENGANGGARAN,<br />

BAGAIMANA MEMPERKUAT KETERKAITAN<br />

KEBIJAKAN MAKRO-MIKRO DALAM IMPLEMENTASI<br />

KEBIJAKAN ANGGARAN PEMERINTAH<br />

Oleh : Ernest Patria Raihan<br />

<strong>Direktorat</strong> Sistem Penganggaran<br />

PENDAHULUAN<br />

Sistem perencanaan penganggaran yang<br />

kredibel pada prinsipnya harus dapat<br />

mencerminkan kebijakan alokasi yang<br />

menampung pendanaan berbagai<br />

prioritas pemerintah pada suatu periode<br />

tertentu. Disisi lain, sistem perencanaan<br />

penganggaran juga mengemban misi<br />

untuk dapat menunjukkan strategi fiskal<br />

pemerintah yang focus pada penciptaan<br />

dampak positif terhadap perekonomian<br />

agregat.<br />

Pengalaman negara-negara OECD pada<br />

masa krisis fiskal di awal tahun 1990an<br />

menunjukkan bahwa membangun disiplin<br />

fiskal melalui perencanaan alokasi yang<br />

ketat dan proses penganggaran dengan<br />

karakter top-down merupakan kunci bagi<br />

kerberhasilan mengatasi defisit anggaran<br />

yang akut dismaping untuk menstimulasi<br />

pertumbuhan ekonomi di sisi lain.<br />

Kondisi inilah yang diidamkan banyak<br />

negara berkembang di dunia untuk dapat<br />

mengefektifkan kebijakan fiskalnya dalam<br />

kondisi keterbatasan sumber daya yang<br />

sangat berat. Meningkatnya permintaan<br />

publik atas ketersediaan barang dan jasa<br />

publik (public goods and services) dengan<br />

biaya yang paling efisien akan menuntut<br />

pemerintah semakni cerdas dalam<br />

mendisain proses pelaksanaan<br />

implementasi berbagai kebijakan<br />

pemerintah yang akan secara langsung<br />

menghasilkan barang dan jasa publik<br />

dimaksud, disamping komitmen<br />

p e m e r i n t a h u n t u k m e m e n u h i<br />

prioritasnya dalam penyediaan barang<br />

dan jasa publik tersebut.<br />

Aspek penting disini adalah bagaimana<br />

otoritas fiskal, dalam hal ini otoritas<br />

anggaran, dapat mendisain mekanisme<br />

yang secara jelas akan menunjukkan<br />

keterkaitan antara kebijakan makro-fiskal<br />

sebagai grand strategy penyediaan<br />

kebijakan publik dengan kebijkan dan<br />

struktur mikro pelaksanaan program<br />

pemerintah sesuai dengan dampak positif<br />

yang ingin diraih dalam perencanaan<br />

dalam konteks kebijakan makro.<br />

Dalam hal ini, pemerintah membutuhkan<br />

sebuah kerangka kerja implementatif<br />

yang dapat memperkuat keterkaitan<br />

antara pencapaian prioritas dan<br />

dukungan kebijakan anggaran untuk<br />

mencapainya. Kebijakan makro dalam<br />

kajian ini adalah keseluruhan kebijakan<br />

makro dan sasarannya seper ti:<br />

pertumbuhan ekonomi, peningkatan<br />

aksesibilitas masyarakat terhadap<br />

pelayanan umum, penciptaan lapangan<br />

pekerjaan serta berbagai parameter<br />

makro lainnya, sedangkan kebijakan<br />

mikro adalah kebijakan pemerintah<br />

secara individual pada sektor-sektor<br />

t e r t e n t u b e s e r t a s t r u k t u r<br />

program/kegiatan yang didanai oleh<br />

kebijakan anggaran.<br />

DUA KUTUB DALAM SIKLUS<br />

P E N G A N G G A R A N , A N TA R A<br />

AL LOC ATIVE EFFICIENCY DAN<br />

OPERATIONAL EFFICIENCY<br />

Siklus kebijakan anggaran (budget policy)<br />

pada prinsipnya berintikan pada 3 aspek<br />

penting, yaitu:<br />

1. P r i o r i t i s a s i Ke b i j a k a n d a n<br />

Pengambilan Keputusan (Prioritizing<br />

and Decision Making)<br />

2. Pelaksanaan Belanja (Spending)<br />

3. Monitoring dan Pelaporan (Reviewing<br />

dan Reporting)<br />

Ketiga proses yang terus menerus dalam<br />

siklus merupakan tahapan (stage) dari<br />

sebuah kebijakan anggaran yang efektif,<br />

karena dalam bentuk apapun, kebijakan<br />

anggaran adalah pengejawantahan<br />

prioritas pemerintah dalam bentuk<br />

pelaksanaan kebijakan yang didanai<br />

anggaran publik.<br />

Oleh karena itu, keterkaitan struktur<br />

antara kebijakan makro (dalam hal ini<br />

adalah kebijakan prioritas beserta<br />

parameter-parameter ekonomi agregat)<br />

dengan disain mikro kebijakan (struktur<br />

program/kegiatan pemerintah) menjadi<br />

sangat penting, mengingat hasil / keluaran<br />

kebijakan di level mikro oleh setiap<br />

Kementerian / Lembaga Negara<br />

merupakan kepingan-kepingan puzzle<br />

yang akan membentuk “dampak positif<br />

utama” (ultimate outcomes) seperti yang<br />

menjadi sasaran kebijakan pemerintah<br />

secara strategis. Kredibilitas kebijakan<br />

fiskal, terutama kualitas belanja<br />

pemerintah akan diuji disini.<br />

42 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


SISTEM PENGANGGARAN<br />

Pengalaman Indonesia pada periode<br />

1990an dalam mengelola kebijakan fiskal<br />

yang sangat berhati-hati (prudent macrofiscal<br />

management) sekalipun, tidak dapat<br />

mencegah dampak negatif dari krisis pada<br />

tahun 1997-1999 lalu, terlebih lagi<br />

sejumlah parameter di level mikro juga<br />

m e n u n j u k k a n m a s i h b e s a r n y a<br />

permasalahan dalam proses penyediaan<br />

barang/jasa publik yang esensial di hampir<br />

seluruh aspek ekonomi dan sosial.<br />

Bahkan di beberapa tahun belakangan ini<br />

setelah konstitusi mengharuskan 20%<br />

dari pengeluaran pemerintah melalui<br />

APBN merupakan pengeluaran yang<br />

secara eksklusif untuk sektor pendidikan,<br />

tidak secara otomatis menyebabkan<br />

peningkatan signifikan tingkat tingkat<br />

aksesibilitas masyarakat terhadap<br />

pendidikan disamping masih tingginya<br />

biaya ekonomi dan sosial yang harus<br />

ditanggung masyarakat. Anomali inilah<br />

yang masih terjadi dimana masyarakat<br />

harus mengeluarkan biaya ekonomi yang<br />

meningkat dari tahun ke tahun untuk<br />

menikmati haknya dalam memperoleh<br />

pendidikan, padahal di saat yang sama<br />

pengeluaran pemerintah untuk sektor<br />

pendidikan juga meningkat seiring<br />

peningkatan porsi belanja dalam APBN.<br />

Belum lagi kita bicara tentang sektor<br />

kesehatan, kenyataan yang terjadi juga<br />

tidak jauh berbeda dengan apa yang<br />

terjadi pada sektor pendidikan.<br />

Lemahnya proses “penerjemahan”<br />

prioritas makro kedalam struktur /<br />

arsitrektur mikro, terutama di level<br />

Kegiatan dan Komponen Kegiatan dalam<br />

implementasi kebijakan anggaran belanja<br />

merupakan aspek krusial pada masalah<br />

ini, disamping masih lemahnya introduksi<br />

kerangka kinerja (performance<br />

framework) dan parameter kinerja<br />

(performance indicator) dalam service<br />

delivery barang dan jasa publik kepada<br />

masyarakat luas dan terutama kepada<br />

target komunitas sasaran kebijakan.<br />

Aspek pertama dalam siklus kebijakan<br />

anggaran adalah proses prioritisasi dan<br />

pengambilan keputusan strategis yang<br />

sangat krusial dampaknya, karena<br />

keputusan apapun yang diambil akan<br />

mengakibatkan konsentrasi sumber daya<br />

untuk mencapai target/sasaran yang<br />

melekat pada struktur program/kegiatan<br />

yang telah disepakati dalam pengambilan<br />

keputusan strategis tersebut.<br />

Pada tahap prioritisasi inilah pemerintah<br />

harus meletakkan Kerangka Kinerja<br />

(performance framework) yang relevan<br />

dengan target/sasaran yang akan dicapai<br />

dalam suatu kurun waktu tertentu, pada<br />

sektor tertentu, sehingga sejak awal<br />

pemerintah telah memiliki struktur<br />

program/kegiatan dalam kebijakan<br />

anggaran yang fokus kepada pencapaian<br />

target/sasaran yang telah ditetapkan.<br />

Setiap sektor memiliki kerangka kinerja<br />

yang spesifik dan dalam beberapa hal<br />

bersifat penciptaan sinergi seperti<br />

pentingnya infrastruktur irigasi dengan<br />

sektor pertanian, antara infrastruktur<br />

sanitasi dan air bersih dengan sektor<br />

kesehatan dan lain sebagainya.<br />

Begitu pentingya kerangka kinerja bagi<br />

setiap program pemerintah sehingga sulit<br />

untuk membangun parameter/indikator<br />

kinerja tanpa adanya kerangka kinerja<br />

dalam setiap program pemerintah,<br />

karena kerangka kinerja merupakan<br />

parameter makro sebuah program<br />

secara luas, termasuk unit pemerintah<br />

pelaksananya, sementara indikator dan<br />

parameter mikro terletak di setiap<br />

komponen kegiatan dalam sebuah<br />

program. Kerangka kinerja inilah yang juga<br />

akan berperan dalam upaya untuk<br />

semakin memperjelas keterkaitan<br />

m a k ro - m i k ro d a l a m ke b i j a k a n<br />

pemerintah di seluruh sektor.<br />

Langkah berikutnya adalah bagaimana<br />

pemerintah mendisain arsitektur<br />

program/kegiatan mikro secara individual<br />

untuk mencapai target/sasaran prioritas<br />

tersebut. Arsitektur perencanaan<br />

operasional kebijakan inilah yang harus<br />

secara hati-hati didisain agara efektivitas<br />

alokasi pendanaan menjadi optimal.<br />

Dengan demikian, setiap alokasi<br />

pendaanaan dalam kebijakan pemerintah<br />

akan memiliki struktur, baik dari sisi<br />

arsitektur program-kegiatan-komponen,<br />

kinerja maupun pendanaan anggaran,<br />

yang akan secara jelas menunjukkan<br />

konsistensi dan keterkaitan (link) antara<br />

perencanaan makro dan disain mikro<br />

kebijakan yang optimal.<br />

Dalam konteks Indonesia, peran<br />

parlemen yang begitu kuat dalam disain<br />

mikro kebijakan sudah seharusnya<br />

dibatasi secara otomatis lewat konsistensi<br />

pemerintah dalam mendisain kebijakan<br />

mikro yang sejalan dengan target/sasaran<br />

prioritas dalam jangka menengah<br />

sehingga proses pencapaiannya dapat<br />

dilaksanakan dalam kondisi keterbatasan<br />

sumber daya yang ketat. Disinilah peran<br />

perencanaan penganggaran yang sangat<br />

substansial untuk menjamin efisiensi<br />

alokasi pendanaan anggaran (allocative<br />

efficiency).<br />

Pada aspek yang kedua, efisiensi<br />

operasional kebijakan pemerintah dalam<br />

skala mikro pada sisi belanja (spending)<br />

diawali oleh proses costing yang efektif<br />

dalam penyusunan dokumen anggaran.<br />

Penyederhanaan struktur dan penyajian<br />

komponen yang relevansinya tinggi dalam<br />

struktur belanja seluruh satuan kerja<br />

pemerintah diharapkan akan berdampak<br />

pada semakin fokusnya implementasi<br />

kebijakan terhadap sasaran/target<br />

kebijakan dalam struktur keluaran dan<br />

dampak positif dari kebijakan anggaran.<br />

Dalam pelaksanaan belanja, tantangan<br />

terbesar dalam sistem perencanaan<br />

penganggaran adalah bagaimana proses<br />

costing dalam anggaran dapat secara<br />

maksimal mencerminkan biaya yang<br />

paling ekonomis dalam setiap kebijakan<br />

belanja pemerintah. Dalam konteks ini,<br />

costing adalah proses penilaian<br />

(assessment) dari dampak finansial bagi<br />

pemerintah dalam kebijakan pendanaan<br />

anggaran dalam memobilisasi sumber<br />

daya untuk berbagai usulan pendanaan<br />

yang telah disetujui bagi berbagai<br />

program dalam struktur belanja<br />

pemerintah.<br />

Costing juga merupakan bagian integral<br />

dalam tahap prioritisasi kebijakan dengan<br />

membantu otoritas anggaran dalam<br />

pengambil keputusan dengan memberi<br />

proyeksi kebutuhan pendanaan pada<br />

tahun-tahun fiskal mendatang.<br />

Pengerahan sumber daya publik dalam<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

43


SISTEM PENGANGGARAN<br />

melaksanakan program/kegiatan<br />

pemerintah harus dapat dipahami oleh<br />

otoritas anggaran sebagai kombinasi<br />

berbagai komponen proses dalam<br />

menghasilkan keluaran (output) yang<br />

r e l e v a n d e n g a n p e n c a p a i a n<br />

target/sasaran pemerintah untuk setiap<br />

sektor sehingga tingkat akurasi dan<br />

efisiensi implementasi kebijakan menjadi<br />

optimal.<br />

Pada tahap inilah peran penting otoritas<br />

anggaran dalam memahami proses<br />

pelaksanaan dan komponen kebijakan<br />

menjadi sangat krusial. Dibutuhkan<br />

pemahaman yang akurat dalam<br />

menganalisis struktur biaya kebijakan<br />

sehingga proses costing yang dilakukan<br />

dapat menghasilkan efsiensi alokasi yang<br />

optimal dalam struktur mikro kebijakan<br />

anggaran oleh seluruh Kementerian /<br />

Lembaga Negara.<br />

Proses costing yang dilakukan otoritas<br />

anggaran bukanlah sebuah proses yang<br />

pada akhirnya akan “menjebak” dalam<br />

struktur input dan harga input, tetapi<br />

lebih melihat kepada “biaya proses” yang<br />

akan dilakukan pemerintah dalam setiap<br />

program-kegiatan-komponen dengan<br />

orientasi kepada pencapaian hasil terukur<br />

dalam skema dan kerangka kinerja<br />

tertentu.<br />

Misalnya bagaimana menganalisis biaya<br />

proses pemerintah dalam menyediakan<br />

pelayanan kesehatan dasar di tingkat<br />

kecamatan melalui unit Pusat Kesehatan<br />

Masyarakat (Puskesmas) yang disetiap<br />

walayah memiliki kondisi spesifik yang<br />

unik seperti tingkat prevalensi penyakit<br />

tertentu, aspek sosial budaya yang<br />

berbeda dengan wilayah lainnya, kondisi<br />

infrastruktur penunjang dan tingkat<br />

aksesibiltas yang berbeda dan lain<br />

sebagainya, sehingga proses costing yang<br />

efektif akan menghendaki pemahaman<br />

otoritas anggaran terhadap mekanisme<br />

service delivery yang dilakukan di setiap<br />

unit kerja pemerintah, dengan karakter<br />

dan spesifikasi yang beragam, sebelum<br />

dapat memahami struktur dan relevansi<br />

input dalam implementasi anggaran oleh<br />

setiap Kementrerian/Lembaga Negara.<br />

Dengan demikian, pada proses costing<br />

yang komprehensif dalam analisis<br />

kelayakan pendanaan anggaran dalam<br />

struktur mikro belanja pemerintah akan<br />

menjadikan proses kerja pada sisi otoritas<br />

anggaran menjadi relatif lebih efektif<br />

karena fokus analisis akan lebih tertuju<br />

dalam mengkaji tingkat efisiensi belanja<br />

dan parameter kinerja pada berbagai<br />

program pemerintah yang akan<br />

menimbulkan dampak finansial kepada<br />

anggaran negara di masa mendatang.<br />

Proses costing yang komprehensif ini<br />

sebaiknya lebih ditujukan kepada<br />

usulan/inisiatif baru dalam struktur mikro<br />

pemerintah pada struktur kegiatan dan<br />

komponen belanja satuan kerja (spending<br />

unit) di setiap institusi pemerintah.<br />

Aspek ketiga dalam siklus penganggaran<br />

adalah bagaimana pemerintah melakukan<br />

kajian kembali (reviewing) dan menyusun<br />

metode pelaporan (reporting) yang<br />

efektif tentang segala hal yang berkaitan<br />

dengan aktivitas fiskal pemerintah,<br />

terutama sisi belanja publik, kepada<br />

seluruh stake holders dalam konteks<br />

kepentingannya masing-masing.<br />

Mekanisme review merupakan umpanbalik<br />

(feed back) bagi kebijakan anggaran<br />

yang efektif, terutama pada faktor<br />

mengkaji ulang struktur mikro kebijakan<br />

dan capaian kinerja implementasi<br />

kebijakan belanja. Hal ini adalah sangat<br />

penting untuk dilakukan terutama untuk<br />

menjamin kualitas belanja (spending<br />

quality assurance), sehingga secara<br />

periodik pemerintah dapat mengukur<br />

dengan tingkat akurasi yang relatif lebih<br />

baik tentang kebijakan belanjanya,<br />

terutama bagaimana relevansi belanja<br />

pada struktur mikro pemerintah dapat<br />

menghasilkan keluaran yang relevan<br />

d e n g a n s t r a t e g i p e n c a p a i a n<br />

target/sasaran prioritas pemerintah di sisi<br />

kebijakan makro (macro policy priorities).<br />

Apabila hasil review menunjukkan adanya<br />

kelambatan dalam proses pencapaian<br />

kinerja dalam kerangka kinerja suatu<br />

sektor, maka sebab kelambatan tersebut<br />

harus ditemukan untuk dapat dilakukan<br />

penyesuaian dan perbaikan, terutama<br />

kemungkinan terjadinya ketidak-efektifan<br />

penyusunan struktur komponen dari sisi<br />

arsitektur program dan / atau alokasi<br />

pendanaan anggaran. Dari sisi internal<br />

kebijakan, kelambatan pencapaian target<br />

kinerja tersebut pada umumnya terjadi<br />

karena dua hal, yaitu:<br />

1. Struktur komponen dalam kegiatan<br />

yang tidak relevan dalam rangka<br />

proses pencapaian target kinerja. Hal<br />

ini dapat terjadi apabila pengambil<br />

keputusan di sisi mikro kebijakan<br />

keliru mengidentifikasi komponenkomponen<br />

apa yang dibutuhkan<br />

sebagai instrumen pencapaian target<br />

kinerja.<br />

2. Alokasi pada struktur Program-<br />

Kegiatan-Komponen yang tidak tepat<br />

sehingga terjadi kondisi kekurangan<br />

pendanaan (under funding) pada<br />

struktur mikro kebijakan yang secara<br />

signifikan merupakan kontributor<br />

utama dari proses pencapaian kinerja.<br />

Dalam konteks penganggaran di<br />

Indonesia, komponen ini merupakan<br />

komponen utama kebijakan, yaitu<br />

bagian yang paling signifikan<br />

kontribusinya pada struktur mikro<br />

kebijakan dalam proses pencapaian<br />

target kinerja. Komponen utama ini<br />

seharusnya memperoleh alokasi<br />

pendanaan yang relatif lebih besar,<br />

sehing ga akan menunjukkan<br />

konsistensi pemerintah dalam<br />

menjaga keterkait an ant ara<br />

perencanaan kebijakan (makro)<br />

dengan struktur alokasi pendanaan<br />

anggaran (mikro).<br />

Sedangkan aspek pelaporan dalam<br />

kebijakan anggaran merupakan bagian<br />

integral yang sangat penting dalam<br />

menjaga tingkat akuntabilitas, kredibilitas<br />

dan transparansi pemerintah secara luas<br />

dalam kerangka kebijakan fiskal yang<br />

efektif, dan dengan tingkat biaya yang<br />

paling efisien. disamping itu, perlaporan<br />

juga sebaiknya dapat mengilustrasikan<br />

implementasi kebijakan pemerintah<br />

dilakukan dengan struktur kebijakan yang:<br />

1. spesifik, sehingga tidak dapat<br />

disubstitusi atau di duplikasi oleh unit<br />

pemerintah lainnya, apalagi oleh<br />

sektor swasta,<br />

2. terukur dampak positifnya,<br />

3. relevan dengan kondisi riel yang<br />

m e n g h a r u s k a n d i l a k u k a n ny a<br />

intervensi pemerintah,<br />

4. realistis dalam menetapkan struktur<br />

dan target/sasaran kebijakan,<br />

44 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


SISTEM PENGANGGARAN<br />

5. tepat sasaran pada target komunitas<br />

yang paling relevan,<br />

6. dilaksanakan dalam kerangka waktu<br />

yang tepat, sehingga tidak kehilangan<br />

m o m e n t u m y a n g a k a n<br />

mengoptimalkan dampak positif<br />

kebijakan tersebut, dan tentu saja<br />

7. diimplementasikan dengan biaya yang<br />

paling efisien dalam koridor<br />

pelaksanaan yang sesuai dengan<br />

peraturan perundangan yang berlaku<br />

dalam pengelolaan keuangan sektor<br />

publik.<br />

K E R A N G K A P E N G E L UA R A N<br />

JANGKA MENENGAH, MEMBAWA<br />

P R I O R I TA S P E R E N C A N A A N<br />

KEDALAM KEBIJAKAN ALOKASI<br />

ANGGARAN DAN KETERKAITAN<br />

PRIORITAS MAKRO – STRUKTUR<br />

MIKRO DALAM PENGANGGARAN<br />

Ada beberapa kelemahan mendasar<br />

dalam sistem perencanaan penganggaran<br />

saat ini yang sangat mengganggu<br />

optimalisasi pengerahan sumber daya<br />

anggaran dalam pelaksanaan kebijakan<br />

pemerintah di sisi belanja, sehingga perlu<br />

perbaikan substansial untuk menjamin<br />

terselenggaranya fungsi intervensi<br />

kebijakan anggaran dalam kehidupan<br />

bernegara secara optimal.<br />

Pertanyaan pertama yang harus diajukan<br />

untuk memahami secara struktural<br />

mengenai kebijakan belanja dalam<br />

konteks kebijakan fiskal adalah “Dalam<br />

aspek apa negara membutuhkan intervensi<br />

pemerintah dan dalam bentuk instrumen<br />

apa intervensi itu dilakukan? (on where the<br />

states should intervene in the economy and<br />

with which instrument?).<br />

Memahami bentuk intervensi itu<br />

merupakan pemahaman awal untuk<br />

dapat menganalisis lebih lanjut mengenai<br />

pelaksanaan kebijakan anggaran di dalam<br />

perekonomian agregat. Hal ini perlu<br />

dilakukan mengingat untuk negara yang<br />

berkarakteristik “small and open<br />

economy” seperti Indonesia, integrasi<br />

ekonomi dengan dunia internasional<br />

semakin meningkat dengan tingkat<br />

intensitas yang juga semakin tinggi.<br />

Dampak revolusi teknologi informasi,<br />

telekomunikasi dan transportasi semakin<br />

mengaburkan batas-batas teritorial<br />

negara dalam konteks ekonomi, sehingga<br />

sedikit banyak, dampak positif maupun<br />

negatif dalam perekonomian nasional<br />

akan sangat dipengaruhi oleh faktor<br />

global, yang secara seksama harus juga<br />

menjad konsideran dalam memutuskan<br />

bentuk intervensi pemerintah yang akan<br />

didanai oleh anggaran publik.<br />

Oleh karena itu, memutuskan bentuk<br />

intervensi negara dalam perekonomian<br />

melalui kebijakan anggaran harus<br />

diputuskan dengan hati-hati, terlebih<br />

dalam kondisi keterbatasan fiskal yang<br />

sangat ketat seperti saat ini, sehingga<br />

kapasitas negara dalam mandanai bentuk<br />

intervensi apapun harus dikalkulasi<br />

dengan maksimal.<br />

Mekanisme perencanaan penganggaran<br />

yang efektif seharusnya membuat<br />

otoritas anggaran fokus kepada bentuk<br />

dan dampak intervensi ini terhadap<br />

peningkatan kualitas hidup dan<br />

kehidupan masyarakat dan/atau target<br />

komunitas tertentu yang menjadi sasaran<br />

kebijakan serta pendanaan intervensi<br />

tersebut dalam tingkat efisiensi yang juga<br />

maksimal.<br />

Dalam kondisi kebijakan anggaran yang<br />

hanya berorintasi pada satu tahun fiskal<br />

semata, horizon perencanaan anggaran<br />

menjadi teramat sangat terbatas,<br />

terutama fokus analisa bentuk intervensi<br />

pemerintah dalam bentuk programkegiatan-komponen<br />

dalam kebijakan<br />

anggaran. Ada beberapa kelemahan<br />

fundamental dalam siklus seperti ini;<br />

Pertama, dalam horizon waktu yang<br />

relatif sempit ini, beban kerja otoritas<br />

anggaran dalam menganalisis arsitektur<br />

program dan struktur pendanaan plus<br />

costing, menjadi sangat besar karena<br />

sempitnya waktu untuk menyelesaikan<br />

perencanaan anggaran.<br />

Kedua, oleh karena setiap proses<br />

penganggaran membutuhkan legitimasi<br />

hukum melalui undang-undang,<br />

dibutuhkan banyak waktu untuk<br />

memperoleh legitimasi tersebut melalui<br />

serangkaian diskusi dengan legislatif yang<br />

diskusinya seringkali gagal membahas isu<br />

strategis dalam intervensi kebijakan<br />

anggaran. Hal ini menyebabkan lemahnya<br />

keterkaitan sasaran prioritas dalam<br />

kebijakan anggaran karena setiap detail<br />

proses harus melalui persetujuan<br />

legislatif, karena seringkali inisiatif<br />

pemerintah dalam pengajuan usulan<br />

arsitektur program terlalu diintervensi<br />

oleh parlemen sehingga otoritas dan<br />

independensi pada sisi eksekutif dalam<br />

merumuskan kebijakan anggaran menjadi<br />

tidak optimal.<br />

Ketiga, proses alokasi pendanaan<br />

anggaran yang berorientasi hanya satu<br />

tahun fiskal menjadikan tingginya tingkat<br />

ketidakpastian keberlanjutan alokasi,<br />

dengan demikian, hilanglah insentif untuk<br />

membuat perencanaan komprehensif<br />

yang berdimensi jangka waktu menengah<br />

(medium-term policy planning) terlebih<br />

apabila tingkat perencanaan jangka<br />

menengah tersebut ada di level mikro<br />

kegiatan-komponen kebijakan.<br />

Pada tahap inilah hilangnya keterkaitan<br />

yang akan dengan jelas menunjukkan<br />

adanya konsistensi pemerintah dalam<br />

proses pencapaian sasaran/target makro<br />

dengan cara pencapainnya melalui<br />

serangkaian/kombinasi mikro struktur<br />

melalui program-kegiatan-komponen<br />

dalam kebijakan belanja negara.<br />

Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah,<br />

dalam konteks ini, akan menjadi kerangka<br />

kerja yang menunjukkan keterkaitan<br />

(linking framework) antara pengeluaran<br />

belanja negara yang disebabkan adanya<br />

prioritas tertentu dalam keterbatasan<br />

sumber daya anggaran.<br />

The MTEF provides the "linking<br />

f ra m e w o r k " t h a t a l l o w s<br />

expenditures to be "driven by<br />

policy priorities and disciplined by<br />

budget realities”<br />

Disiplin fiskal, terutama pada sisi belanja<br />

negara, harus dimulai dengan proses Top-<br />

Down yang disiplin, baik dari sisi<br />

ketersediaan sumber daya anggaran<br />

maupun dari sisi target/sasaran kebijakan<br />

makro dalam konteks perencanaan<br />

kebijakan (policy planning).<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

45


SISTEM PENGANGGARAN<br />

Hal ini dapat dibangun melalui Kerangka<br />

Pengeluaran Jangka Menengah karena<br />

sejak awal proses perencanaan anggaran,<br />

pemerintah telah memiliki angka proyeksi<br />

penerimaan negara yang akan menjadi<br />

sumber pendanaan kebijakannya<br />

sehingga dalam hal menyusun kebijakan<br />

belanja, pemerintah “dipaksa” untuk<br />

fokus pada disain pendanaan belanja<br />

kepada proses yang mengasilkan<br />

keluaran/dampak positif kebijakan yang<br />

secara signifikan akan berkontribusi<br />

kepada pencapaian prioritas-prioritasnya,<br />

atau dengan kata lain, hanya akan fokus<br />

kepada struktur belanja yang signifikan<br />

terhadap parameter/indikator kinerja<br />

dalam program pemerintah.<br />

Disamping itu, dari sisi bottom-up dalam<br />

mekanisme Kerangka Pengeluaran Jangka<br />

Menengah, setiap unit pemerintah akan<br />

memiliki kerangka kerja yang memberi<br />

kejelasan dalam menyusun struktur<br />

mikro tersebut, beserta estimasi<br />

kebutuhan pendanaan anggarannya.<br />

Dengan didasari pada kerangka kinerja<br />

sebagai derivasi dari prioritas pemerintah<br />

dalam suatu peroide, setiap unit<br />

organisasi pemerintah dapat melakukan<br />

intra-sectoral allocation, yaitu mekanisme<br />

untuk melakukan realokasi pendanaan<br />

anggaran dari satu struktur mikro<br />

ke b i j a k a n a n g g a r a n ( ke g i a t a n -<br />

komponen) ke struktur mikro lainnya<br />

yang memiliki tingkat urgensi yang relatif<br />

lebih tinggi. Proses inilah yang menjadi<br />

peran penting Kerangka Pengeluaran<br />

Jangka Menengah pada sisi disain struktur<br />

mikro kebijakan pendanaan anggaran.<br />

Proses skrutinisasi (scrutinizing) atau<br />

seleksi dari berbagai kombinasi pada<br />

struktur mikro seharusnya menjadi aspek<br />

krusial dalam kerangka kerja perencanaan<br />

pendanaan anggaran dalam jangka<br />

menengah pada proses bottom-up,<br />

karena pada hal inilah insentif untuk<br />

menjadi semakin fokus kepada dua<br />

prinsip penting dalam penganggaran,<br />

yaitu efisiensi alokasi dan efisiensi<br />

operasional (allocative efficiency and<br />

operational efficiency).<br />

Nilai tambah (value added) dalam<br />

Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah<br />

dalam sistem perencanaan penganggaran<br />

adalah dengan menyediakan kerangka<br />

kerja yang akan merekonsiliasi<br />

pendekatan top-down (dalam hal ini<br />

adalah ketersediaan sumber daya<br />

pendanaan anggaran sebagai hard budget<br />

constraint dan kerangka serta parameter<br />

kinerja makro prioritas) dengan<br />

pendekatan bottom-up (yaitu struktur<br />

mikro kebijakan berikut implikasi finansial<br />

bagi anggaran pemerintah) secara lebih<br />

integratif sehingga keterbatasan sumber<br />

daya anggaran akan lebih fokus kepada<br />

alokasi struktur mikro yang secara<br />

signifikan akan berkontribusi kepada<br />

pencapaian berbagai priorit as<br />

pemerintah.<br />

Untuk memulainya, langkah pertama<br />

adalah pemerintah harus memiliki angka<br />

proyeksi ketersediaan pendanaan<br />

anggaran sebagai batas alokasi<br />

pendanaan maksimal (hard budget<br />

constraint). Angka inilah yang akan<br />

menjadi referensi awal bagi pemerintah<br />

dalam menyusun kebijakan anggarannya.<br />

Hal ini sekaligus akan menjadi instrumen<br />

pemerintah dalam menjaga konsistensi<br />

prioritas alokasi pendanaan.<br />

Langkah kedua, otoritas fiskal harus<br />

memiliki konsep dasar kebijakan<br />

pendanaan anggaran sebagai kebijakan<br />

yang saat ini tengah dilaksanakan oleh<br />

seluruh unit kerja pemeirintah (existing<br />

policies as a policy baseline atau dapat saja<br />

disingkat sebagai baseline) beserta<br />

konsukuensi finansialnya untuk tahuntahun<br />

mendatang. Inilah yang akan<br />

menjadi “potret” riel pada saat ini untuk<br />

menunjukkan tingkat keterkaitan antara<br />

prioritas pemerintah dengan kebijakan<br />

alokasi pendanaan anggaran, kemudian<br />

diikuti dengan langkah ketiga yaitu<br />

membangun kerangka kinerja pada level<br />

makro program sebagai representasi<br />

prioritas pemerintah yang akan berlaku<br />

sebagai referensi seluruh unit kerja<br />

pemerintah dalam menyusun parameter<br />

kinerja di level struktur mikro anggaran.<br />

Kombinasi ketiga hal inilah yang akan<br />

menjadi “kertas kerja” pemerintah dalam<br />

mendisain kebijakan belanja pemerintah<br />

yang seharusnya akan mencerminkan<br />

efektivitas alokasi pendanaan anggaran<br />

disamping kejelasan keterkaitan prioritas<br />

makro dengan struktur mikro programkegiatan,<br />

yang dalam hal ini melekatnya<br />

kebijakan pendanaan justru berada pada<br />

struktur mikro.<br />

Inilah aspek strategis yang merupakan<br />

langkah reformasi mendasar dalam<br />

memperjelas keterkaitan, bukan hanya<br />

perencanaan dan penganggaran, tetapi<br />

juga antara prioritas makro - struktur<br />

mikro kebijakan, kerangka kinerja makro -<br />

parameter kinerja mikro dan, tentu saja<br />

struktur alokasi pendanaan anggaran itu<br />

sendiri.<br />

PENUTUP<br />

Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan<br />

bernegara dalam kontreks global yang<br />

sangat dinamis seperti saat ini, yang salah<br />

satu aspeknya adalah perubahan, baik itu<br />

pada aspek sosial, ekonomi maupun<br />

politik secara masif dan sangat cepat<br />

(massive rapid change), pemerintah<br />

dituntut semakin efektif dalam<br />

mengoptimalisasi pelaksanaan tugas<br />

pokok dan fungsinya dalam memberikan<br />

pelayanan publik dengan biaya,<br />

mekanisme dan metode yang semakin<br />

efisien.<br />

Terlebih lagi dengan semakin tingginya<br />

intensitas interaksi Indonesia dalam<br />

globalisasi ekonomi, semakin deras dan<br />

cepatlah perubahan multi-dimensi itu<br />

akan mempengaruhi berbagai faktor di<br />

dalam negeri, baik itu positif maupun<br />

negatif, mengingat Indonesia adalah<br />

negara dengan karakter small open<br />

economy dalam peta perekonomian<br />

global.<br />

Dari sisi kebijakan fiskal, kondisi<br />

perubahan yang cepat tersebut tidak<br />

memberi banyak pilihan bagi pemerintah<br />

untuk mengimplementasikan kebijakan<br />

belanja yang efektif. Hal ini menuntut<br />

pemerintah untuk dapat mendisain<br />

bentuk intervensi kebijakan yang didanai<br />

oleh anggaran publik secara tepat, dan<br />

dalam struktur biaya yang paling efisien,<br />

mengingat sumber daya pendanaan<br />

anggaran publik selalu dalam kondisi yang<br />

terbatas (scarcity of resources).<br />

Salah satu bentuk ketidakoptimalan<br />

dalam implementasi kebijakan belanja<br />

46 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


SISTEM PENGANGGARAN<br />

anggaran adalah kekeliruan dalam<br />

mendisain kebijakan mikro anggaran yang<br />

dapat merefleksikan konsistensi<br />

pemerintah dalam menjaga keterkaitan<br />

yang erat antara prioritas kebijakan<br />

makro dengan tingkat operasionalisasi<br />

prioritas tersebut dalam struktur mikro<br />

kebijakan belanja pemerintah.<br />

Dengan kondisi seperti itulah reformasi<br />

sistem perencanaan penganggaran di<br />

Indonesia dilakukan dengan tujuan untuk<br />

semakin meningkatkan kualitas hidup dan<br />

kehidupan warganegaranya, yang<br />

merupakan "penerima manfaat yang<br />

utama" (ultimate beneficieries) dari<br />

eksistensi sebuah negara merdeka yang<br />

berdaulat, tanpa diskriminasi seperti apa<br />

yang menjadi cita-cita para Founding<br />

Father negara kesatuan ini, disamping<br />

seperti yang juga tertuang dalam<br />

konstitusi Republik Indonesia.<br />

Di banyak negara, Kerangka Pengeluaran<br />

Jangka Menengah adalah salah satu<br />

karakteristik dalam proses reformasi<br />

sistem perencanaan penganggaran yang<br />

sangat progresif, terutama di beberapa<br />

negara di benua Afrika seperti Afrika<br />

Selatam, Tanzania dan Uganda.<br />

Salah satu kelemahan struktural di<br />

negara-negara tersebut dalam formulasi<br />

kebijakan anggarannya adalah lemahnya<br />

keterkaitan antara prioritas makro dan<br />

struktur mikro kebijakan, disamping<br />

dalam beberapa hal, kebijakan alokasi<br />

anggaran yang tidak realistis untuk<br />

mendanai program-program strategis.<br />

Aspek mikro dalam kajian ini bukankah<br />

seperti dimaksud dalam mikroekonomi<br />

di literatur yang lebih fokus kepada<br />

analisis dan fenomena perilaku aktor<br />

ekonomi secara individual, dalam konteks<br />

kebijakan anggaran, struktur mikro lebih<br />

memfokuskan kepada struktur program<br />

Kementerian / Lembaga Negara yang<br />

didanai oleh anggaran publik.<br />

Efisiensi alokasi dalam kebijakan anggaran<br />

dan efisiensi proses service delivery yang<br />

dilakukan oleh pemerintah kepada<br />

masyarakat pada akhirnya juga akan<br />

ditentukan oleh struktur mikro yang<br />

relevan dengan prioritas makro di sektor<br />

tersebut, sehingga Kerangka Pengeluaran<br />

Jangka Menengah akan sangat membantu<br />

untuk menggambarkan keterkaitan dan<br />

relevansi tersebut secara efektif.<br />

Disamping itu, Kerangka Pengeluaran<br />

Jangka Menengah juga dapat memberi<br />

tingkat kepastian yang lebih tinggi untuk<br />

kontinuitas pendanaan anggaran bagi<br />

pelaksanaan program-program prioritas<br />

yang tengah dan akan berlangsung,<br />

sehingga pelaksanaan kebijakan akan<br />

secara otomatis menjadi baseline<br />

pemerintah di kebijakan anggaran.<br />

Dari sisi Baseline yang dihasilkan inilah titik<br />

awal analisis keterkaitan makro-mikro<br />

akan diawali sehingga proses realokasi<br />

foto: istimewa<br />

47


SISTEM PENGANGGARAN<br />

MENDUDUKKAN BELANJA MODAL<br />

Oleh : Achmad Zunaidi dan Hari Subekti<br />

<strong>Direktorat</strong> Sistem Penganggaran<br />

foto: istimewa<br />

Ada gambaran dan pendapat pengamat<br />

ekonomi yang harus diluruskan soal<br />

keberadaan belanja modal dalam <strong>Anggaran</strong><br />

Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pendapat<br />

bahwa belanja modal seharusnya lebih besar<br />

dibanding dengan belanja pegawai dan belanja<br />

barang, hampir tiap tahun muncul di mass<br />

media, saat Pemerintah menyampaikan<br />

Rancangan APBN kepada DPR. Hal ini juga<br />

menjadi pandangan media massa dalam<br />

editorialnya.<br />

eperti bola salju, pandangan<br />

tersebut diadopsi sebagian wakil<br />

Srakyat untuk menekan Pemerintah<br />

agar komposisi belanja modal menjadi<br />

lebih besar lagi.<br />

Belanja modal digambarkan sebagai<br />

pembiayaan untuk pembangunan<br />

i n f r a s t r u k t u r. P e m b a n g u n a n<br />

infrastruktur mempunyai manfaat<br />

multiplier effect, yaitu menciptakan<br />

lapangan pekerjaan dan memancing<br />

kehadiran investor swata. Pada akhirnya,<br />

pertambahan belanja modal mendorong<br />

pertumbuhan ekonomi. Sedangkan<br />

belanja barang dan belanja pegawai<br />

digambarkan sebagai pembiayaan untuk<br />

kepentingan birokrasi: biaya gaji dan<br />

pembelian fasilitas birokrasi lainnya. Kalau<br />

belanja pegawai dan belanja barang lebih<br />

besar dibanding belanja modal, rakyat<br />

kurang mendapat manfaat atas besarnya<br />

belanja dalam APBN. Inilah kerangka<br />

berpikir para pengamat ekonomi.<br />

Pangkal Persoalan<br />

Gambaran dan pandangan pengamat<br />

ekonomi sebelum dan sesudah<br />

perubahan cara penyajian belanja dalam<br />

APBN tidak berubah. Belanja APBN<br />

hanya dilihat dari sisi belanja rutin dan<br />

pembangunan. Belanja rutin diwakili oleh<br />

belanja pegawai dan belanja barang.<br />

Sedangkan belanja pembangunan diwakili<br />

belanja modal. Para komentator APBN<br />

ini tidak memperhatikan perubahan yang<br />

telah terjadi dalam penyajiannya. Padahal<br />

perubahannya bukan cuma asesoris<br />

tetapi substansi penyajian belanjanya.<br />

Penyajian belanja Pemerintah Pusat<br />

dalam APBN berubah sejak tahun<br />

anggaran 2005. Belanja Pemerintah Pusat<br />

yang sebelumnya dikelompokkan dalam<br />

belanja rutin dan pembangunan, saat ini<br />

dikelompokkan langsung dalam 8 jenis<br />

belanja. Jadi, belanja rutin dan<br />

pembangunan lebur kedalam 8 jenis<br />

belanja, lihat tabel konversi. Penyesuaian<br />

dengan praktik internasional penyajian<br />

belanja APBN merupakan tujuan utama,<br />

sebagaimana Government Financial<br />

Statistic (GFS) 2001. Dengan adanya cara<br />

penyajian yang mengacu GFS, APBN<br />

suatu negara dapat dibandingkan dengan<br />

negara lain.<br />

KONVERSI FORMAT LAMA BELANJA NEGARA<br />

KE FORMAT BARU<br />

FORMAT LAMA<br />

(s.d. 2004)<br />

Belanja Pemerintah Pusat:<br />

1. <strong>Anggaran</strong> Belanja RUTIN<br />

a. Belanja Pegawai<br />

b. Belanja Barang<br />

c. Pembayaran Bunga Utang<br />

d. Subsidi<br />

e. Pengeluatan Rutin Lainnya<br />

2. <strong>Anggaran</strong> Belanja<br />

PEMBANGUNAN<br />

FORMAT BARU<br />

(mulai TA 2005)<br />

Belanja Pemerintah Pusat:<br />

1. Belanja Pegawai<br />

2. Belanja Barang<br />

3. Belanja Modal<br />

4. Pembayaran Bunga<br />

Utang<br />

5. Subsidi<br />

6. Belanja Hibah<br />

7. Bantuan Sosial<br />

8. Belanja Lain-lain<br />

48 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


SISTEM PENGANGGARAN<br />

Kelompok biaya yang termasuk belanja<br />

modal bukan saja digunakan untuk<br />

pembangunan infrastuktur saja, seperti<br />

pembangunan jalan, jembatan, atau<br />

pelabuhan. Belanja modal juga digunakan<br />

u n t u k p e m b a n g u n a n g e d u n g<br />

Pemerintah, pembelian aset seperti<br />

mobil, peralatan, dan tanah yang<br />

digunakan birokrasi untuk pelayanan<br />

kepada masyarakat. Intinya, belanja Modal<br />

adalah pengeluaran yang dilakukan dalam<br />

rangka pembentukan modal yang sifatnya<br />

menambah aset tetap/inventaris,<br />

memberikan manfaat lebih dari satu<br />

periode akuntansi, termasuk didalamnya<br />

adalah pengeluaran untuk biaya<br />

p e m e l i h a r a a n y a n g s i f a t n y a<br />

mempertahankan atau menambah masa<br />

manfaat, meningkatkan kapasitas dan<br />

kualitas aset.<br />

Jadi belanja modal berbeda dengan<br />

belanja pembangunan. Belanja modal<br />

cakupan biayanya lebih kecil dibanding<br />

belanja pembangunan. Dalam hal belanja<br />

pembangunan, Kementerian Keuangan<br />

menyebut sebagai belanja investasi<br />

P e m e r i n t a h y a n g m e m p u n y a i<br />

karakteristik seperti hanya belanja<br />

pembangunan sebelum perubahan. Data<br />

APBN 2005-2012 menunjukkan kondisi<br />

itu. Komponen belanja modal hanya<br />

sekitar 40%-50% dari total pengeluaran<br />

investasi Pemerintah. Jadi, kurang pas<br />

apabila menunjuk belanja modal sebagai<br />

re p re s e n t a s i b e l a n j a i nve s t a s i<br />

pemerintah, lihat grafik perkembangan<br />

belanja modal dan pengeluaran investasi<br />

pemerintah.<br />

Peran sebenarnya dari belanja<br />

Pemerintah adalah total belanjanya,<br />

350,000.0<br />

300,000.0<br />

250,000.0<br />

200,000.0<br />

150,000.0<br />

96,4<strong>24</strong>.7<br />

100,000.0<br />

55,091.5 54,951.9<br />

50,000.0 32,888.8<br />

bukan per bagian jenis belanja, seperti<br />

belanja modal saja. Peran belanja modal<br />

diket ahui sebagai 'pendorong'<br />

per tumbuhan ekonomi. Disebut<br />

'pendorong' karena perannya kecil<br />

dibandingkan total pendapatan nasional<br />

dilihat dari besaran angka nominal.<br />

Pengeluaran Pemerintah secara total<br />

adalah alat kebijakan Pemerintah untuk<br />

mempengaruhi tingkat pendapatan<br />

nasional. Ingat persamaan Y=<br />

C+I+G+(X-M) dimana: Y=pendapatan<br />

nasional; C=konsumsi privat dan<br />

masyarakat; I=investasi; G=pengeluaran<br />

Pemerintah di luar transfer; X=ekspor;<br />

dan M=impor).<br />

Dampak Perubahan<br />

<strong>Anggaran</strong> belanja negara disusun<br />

berdasarkan arahan dari atas (top down)<br />

dan usulan dari bawah (bottom up)<br />

dengan pendekatan penganggaran<br />

berbasis kinerja. Proses penyusunan<br />

anggarannya: Kinerja suatu program<br />

(indikator kinerja dan hasil yang<br />

diharapkan) ser t a ang garannya<br />

ditetapkan terlebih dahulu oleh pimpinan<br />

Kementerian Negara/Lembaga (K/L);<br />

selanjutnya Unit Operasional K/L<br />

menerjemahkan dalam bentuk cara dan<br />

biaya (dikelompokkan dalam jenis<br />

belanja) yang diperlukan dalam mencapai<br />

k i n e r j a . D e n g a n d e m i k i a n ,<br />

p e n g e l o m p o k a n j e n i s b e l a n j a<br />

dimaksudkan sebagai perencanaan<br />

transaksi keuangan, bukan dasar<br />

pengambilan kebijakan alokasi anggaran<br />

K/L.<br />

Bagaimana kalau informasi belanja modal<br />

sebagai dasar kebijakan alokasi anggaran<br />

K/L? Dalam pembahasan anggaran, DPR<br />

GRAFIK PERKEMBANGAN BELANJA MODAL DAN PENGELUARAN<br />

INVESTASI PEMERINTAH, 2005-2012<br />

(miliar rupiah)<br />

176,852.8<br />

153,681.9<br />

127,0<strong>24</strong>.8<br />

140,952.5<br />

113,813.6<br />

72,772.5<br />

80,287.1<br />

75,870.8<br />

64,288.7<br />

274,167.1<br />

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011<br />

APBN-P<br />

Belanja Modal Pengeluaran Investasi<br />

151,975.0<br />

306,408.3<br />

2012<br />

APBN<br />

dapat menekan Pemerintah agar belanja<br />

modal naik 10% dibanding tahun<br />

sebelumnya. Apabila ini menjadi<br />

ketetapan dalam Undang-Undang<br />

tentang APBN. Ada 2 skenario yang akan<br />

dilakukan: per tama, Pemerintah<br />

menaikkan besaran belanja modal 10%<br />

dari alokasi belanja tiap K/L; kedua,<br />

Pemerintah mengubah pembagian<br />

belanja K/L dengan hasil akhir komposisi<br />

belanja modal naik 10% dari tahun<br />

sebelumnya.<br />

Dampak skenario pertama terjadi pada<br />

K/L dapat dikelompokkan menjadi 2:<br />

kelompok 1, K/L akan memangkas biayabiaya<br />

penunjang dan mengalihkannya<br />

kepada belanja modal sebesar 10%; dan<br />

kelompok 2, K/L akan memperbesar<br />

b e l a n j a m o d a l 1 0 % d e n g a n<br />

mengorbankan capaian kinerjanya<br />

melalui pengurangan kegiatan non fisik.<br />

Kelompok 1 meliputi K/L yang<br />

mempunyai tugas-fungsi menyediakan<br />

sarana-prasarana publik seper ti<br />

Pekerjaan Umum, Pertahanan atau<br />

Perhubungan. Sedangkan kelompok 2<br />

meliputi K/L yang tugas-fungsinya hanya<br />

menyusun kebijakan dan koordinasi,<br />

seper ti Kementerian Keuangan,<br />

Pertanian, Pendidikan, atau Kementerian<br />

Negara pada umumnya.<br />

K/L kelompok 1 akan memangkas biayabiaya<br />

penunjang. Dapat dibayangkan<br />

apabila K/L dipaksa untuk membangun<br />

sarana-prasarana publik dengan<br />

mengabaikan kajian, studi kelayakan,<br />

pemantauan dan supervisi. Apa jadinya<br />

pembangunan sarana dan prasarana<br />

gencar tanpa biaya pendukung itu.<br />

Mungkin saja terbangun sarana-prasarana<br />

publik banyak tetapi cepat hancur karena<br />

tidak memper timbangkan biaya<br />

pemeliharaan nantinya, atau saranaprasarana<br />

tersebut tidak berfungsi<br />

karena kurang dibutuhkan masyarakat<br />

setempat.<br />

K/L kelompok 2 karena tugas-fungsinya<br />

hanya merumuskan kebijakan atau<br />

koordinasi memaksa diri melakukan<br />

pembiayaan belanja modal. Caranya,<br />

pengadaan fasilitas birokrasi seperti<br />

gedung, mobil dinas, atau perlengkapan<br />

kantor menjadi satu-satunya pilihan<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

49


SISTEM PENGANGGARAN<br />

dengan mengabaikan capaian kinerjanya<br />

sendiri. Mungkin akan terjadi, kebijakan<br />

yang dihasilkan tidak menyeluruh bahkan<br />

bertentangan dengan K/L lainnya karena<br />

koordinasi tidak jalan.<br />

Dampak skenario kedua berupa revisi<br />

atau perubahan atas perencanaan yang<br />

telah disusun. Perencanaan K/L merevisi<br />

perencanaan dan target kinerja agar<br />

sesuai dengan perubahan alokasi belanja.<br />

Revisi perencanaan K/L kemungkinan<br />

menghasilkan perencanaan yang kurang<br />

matang, asal jadi, dan tidak sesuai<br />

kebutuhan rakyat. Mungkin saja terjadi,<br />

berbagai pembangunan hasil kebijakan<br />

membesarkan belanja modal tersebut<br />

tanpa melihat kebutuhan riil rakyat, asal<br />

bangun, asal belanja modal besar.<br />

Kedua dampak skenario tersebut di atas<br />

lebih banyak mudharatnya dibanding<br />

mafaatnya dari sisi capaian kinerja K/L<br />

atau Pemerintah secara keseluruhan.<br />

Harus diingat bahwa proses perencanaan<br />

anggaran melalui jalan yang panjang,<br />

dimulai musyawarah perencanaan pada<br />

tingkat paling bawah, kelurahan, yang<br />

berujung pada musyawarah perencanaan<br />

p e m b a n g u n a n n a s i o n a l<br />

ilustrasi: istimewa<br />

50 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


RENUNGAN<br />

SINERGI<br />

Oleh : Asrukhil Imro<br />

Dari berbagai sumber<br />

Ketika membuka lembaran baru bulan Juli 2012 pada<br />

kalender DJA tertulis tagline “Sinergi : memiliki<br />

sangka baik, saling percaya, dan menghormati. Serta<br />

menemukan dan melaksanakan solusi terbaik.”<br />

Sinergi merupakan salah satu dari lima nilai-nilai<br />

Kementerian Keuangan.<br />

ilustrasi: istimewa<br />

embaca tagline tersebut<br />

membuat Penulis merinding.<br />

MPenulis membayangkan betapa<br />

dahsyatnya nilai ini apabila semua pegawai<br />

DJA mengetahui dan menghayati nilai<br />

sinergi dalam kehidupan di kantor.<br />

Sehingga orang bijak bilang dengan<br />

bersinergi 1+1 bisa sama dengan 100,<br />

tetapi tanpa sinergi 1+1 sama dengan 2.<br />

Sinergi berasal dari kata Yunani synergos<br />

yang berarti bekerja bersama-sama.<br />

Sinergi adalah suatu bentuk/citra dari<br />

sebuah proses atau interaksi yang<br />

menghasilkan sesuatu yang balance<br />

harmony sehingga bisa menghasilkan<br />

sesuatu yang optimum. Ada beberapa<br />

syarat utama penciptaan sinergi yakni<br />

kepercayaan, komunikasi yang efektif,<br />

feedback yang cepat, dan kreatifitas.<br />

Mimpi DJA naik kelas, perlu kerja keras<br />

dari seluruh elemen DJA. Agar bisa<br />

menyatukan seluruh elemen DJA untuk<br />

bahu membahu bekerja sama, perlu<br />

kepemimpinan dengan gaya manajemen<br />

sinergi. Kepemimpinan yang berusaha<br />

membangkitkan kepercayaan antar orang<br />

di dalam organisasi. Membangun<br />

komunikasi yang tidak ditunda-tunda<br />

untuk mencegah distorsi pesan serta<br />

membudayakan umpan balik yang cepat<br />

sebagai pola hubungan yang erat baik<br />

vertikal dan atau horizontal.<br />

Prakteknya, pemimpin mendorong para<br />

pegawai untuk mengenal satu sama lain<br />

melalui berbagai aktifitas sosial. Mereka<br />

diajak berperilaku baik yang tidak<br />

m e n i m b u l k a n ke c u r i g a a n d a n<br />

kekhawatiran pihak lain akan kehilangan<br />

posisi atau karirnya. Tidak sekedar para<br />

pegawai yang demikian itu, tetapi juga<br />

antar manajemen. Kreatifitas digalakkan<br />

sehingga memperkuat dan memperkaya<br />

sinergisme dalam organisasi.<br />

Penulis membayangkan pemimpin DJA<br />

dengan senyum tulus. Mereka berdiskusi<br />

di warung kopi pinggir kota sambil<br />

menikmati kopi tubruk yang disaring<br />

dengan kaos kaki ditemani roti bakar<br />

diolesi selai lokal yang rasanya nendang.<br />

Mereka berusaha untuk membangun<br />

sinergi dengan saling percaya dalam<br />

organisasi. Rasa saling percaya akan<br />

tumbuh dan mampu merubah organisasi.<br />

Budaya kepercayaan harus dibangun<br />

walaupun memerlukan waktu. Tapi<br />

pemimpin yang dilahirkan dengan<br />

komitmen dan karakter akan mampu<br />

mentransformasikan hal itu untuk<br />

membuat rasa saling percaya.<br />

Kepercayaan yang bijak dan pandai adalah<br />

hal yang dapat mengubah sesuatu. Dalam<br />

o r g a n i s a s i , ke m a m p u a n u n t u k<br />

membangun, menumbuhkan, menjaga<br />

dan mengembalikan semua kepercayaan<br />

para pemangku kepentingan maupun<br />

re k a n ke r j a m e r u p a k a n k u n c i<br />

kepemimpinan baru.<br />

Membangun trust di tengah situasi saling<br />

tidak percaya, sikap membela diri<br />

berlebihan, dan keluh kesah antara<br />

pegawai harus diawali dengan sikap<br />

menghargai dan menerima kepercayaan<br />

tersebut, melibatkan rutinitas sehari-hari<br />

dan latihan yang terus menerus. Tanpa<br />

adanya perilaku nyata, pemahaman dan<br />

penerimaan kita akan trust pun tidak<br />

berarti apapun.<br />

Membangun trust berarti memikirkan<br />

suatu kepercayaan dalam cara yang<br />

positif, membangun langkah demi<br />

langkah, komitmen demi komitmen. Jika<br />

trust dianggap sebagai sebuah bentuk<br />

resiko dan penuh ancaman, maka tidak<br />

ada hal positif yang bisa kita dapatkan.<br />

Memang trust selalu berdampingan<br />

dengan ketidakpastian, tapi kita harus<br />

berusaha membuat diri kita sendiri untuk<br />

berpikir bahwa ketidakpastian tersebut<br />

sebagai sebuah kemungkinan dan<br />

kesempatan, bukan sebagai halangan.<br />

Trust merupakan sesuatu hal yang penting<br />

bagi sebuah hubungan karena di<br />

dalamnya terdapat kesempatan untuk<br />

melakukan aktivitas yang kooperatif,<br />

pengetahuan, self-respect, dan nilai moral<br />

lainnya.<br />

Rasanya kerja menjadi ringan, hatipun<br />

menjadi tenang.<br />

ilustrasi: istimewa<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

51


ENGLISH CORNER<br />

ELEMENTARY SCHOOL<br />

IN JAPAN AND INDONESIA<br />

foto: istimewa<br />

was very impressed with the<br />

education system in Japan, especially its<br />

Ielementary education system. I get<br />

this impression when I learned and<br />

observed the elementary school system<br />

in Japan is very effective, then I compared<br />

it to my country, Indonesia.<br />

The Elementary schools in Japan<br />

(Shôgakkô/<br />

More than 99% of Japanese elementary<br />

school-age children are enrolled in<br />

school. All children enter first grade at<br />

age six, and starting school is considered<br />

a very important event in a child's life.<br />

Virtually all elementary education takes<br />

place in public schools; less than 1% of<br />

them are private. Private schools tended<br />

to be costly, although the rate of cost<br />

increases in tuition for these schools had<br />

slowed in the 1980s. Some private<br />

elementary schools are prestigious, and<br />

they serve as a first step to higher-level<br />

private schools with which they are<br />

affiliated, and thence to a university.<br />

Although public elementary education is<br />

free, some school expenses are borne by<br />

parents, for example, school lunches and<br />

supplies. For many families, there are also<br />

nonschool educational expenses, for<br />

extra books, or private lessons. Costs for<br />

private elementary schools are<br />

substantially higher.<br />

Course of study<br />

The courses of study are consists of a<br />

wide variety of subjects, both academic<br />

and nonacademic, including moral<br />

education and "special activities." "Special<br />

activities" refer to scheduled weekly time<br />

given over to class affairs and to preparing<br />

for the school activities and ceremonies<br />

that are used to emphasize character<br />

development and the importance of<br />

group effort and cooperation.<br />

The lessons of Japanese Junior High<br />

School consists of simple Japanese<br />

(kokugo), Social Sciences (shakai), Math<br />

(suugaku), Natural Science (rika), Music<br />

(ongaku), Art (bijutsu), Healthy<br />

Education (hokentaiiku), Talent (gijutsu<br />

katei), Moral Education (doutoku), and<br />

English (gaikokugu). The language of<br />

companion in that school is Japenes<br />

language. This school has the special<br />

classes for students who are suffer the<br />

mentally handycapped or physical<br />

disability where learning process is<br />

adapted to the condition of them.<br />

Lunch System at Elementary School of<br />

Japan<br />

I am very impressed with the lunch<br />

52 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


ENGLISH CORNER<br />

provision of Elementary School in Japan.<br />

Practically all elementary school children<br />

receive a full lunch (bentou) at school.<br />

Although subsidized by the government,<br />

the program is not altogether free. Full<br />

meals usually consist of bread, a main<br />

dish, and milk. Although the program<br />

grew out of concern in the immediate<br />

postwar period for adequate nutrition,<br />

the school lunch is also important as a<br />

teaching device. Frequently, the students<br />

also are responsible for serving the lunch<br />

and cleaning up.<br />

The Elementary School System in<br />

Indonesia<br />

The Ministry of National Education<br />

administers all educational policies,<br />

guidelines and implementation in<br />

Indonesia. All citizens in the country have<br />

to finish 9 years of education, 6 years at<br />

elementary level and 3 years at middle<br />

school. The constitution stated that<br />

education in the country is divided into<br />

two parts, formal and non-formal. A<br />

formal education is divided again into<br />

three levels, primary, secondary and<br />

tertiary education.<br />

Unlike in Japan, the costs of education in<br />

Indonesia, particularly elementary<br />

education, is not free. Although the<br />

government launched a free education,<br />

but in reality a lot of costs that must be<br />

paid for the parents to send their children<br />

in elementary school. The parents should<br />

buy textbooks, book supporting lessons,<br />

exercise books, even uniforms. In the<br />

elementary school, each class consists of<br />

25-40 pupils. Each class is led by captain<br />

who has task to manage their friends in<br />

that class and was chosen by students or<br />

by homeroom teacher.<br />

Course of study<br />

Compared with the primary school<br />

curriculum in Japan, in Indonesai is more<br />

severe. Actually, the material is relatively<br />

the same for instance mathematics,<br />

natural sciences, social science, english,<br />

moral and ethict also religion. The<br />

materials in Indonesia seem more<br />

difficult, because of a lot of tasks. It is<br />

different from education in Japan, in<br />

Indonesia, students are taught to<br />

memorize rather than understand. That<br />

cause the students less creative in their<br />

activities.<br />

Elementary School Students' Eating<br />

Habits<br />

The most memorable things when I went<br />

to elementary school in Japan, is their<br />

habit to eat together at lunch time, and<br />

habits of the school provide the lunch for<br />

students. This is rarely found in primary<br />

schools in Indonesia. The students are<br />

allowed to buy some foods outside,<br />

usually less hygienic and healthy. It was<br />

very different from elementary schools<br />

in Japan, are very concerned to health,<br />

nutritional, hygiene and even calorie<br />

content. I can imagine if the system<br />

imposed lunch in elementary school at<br />

Japan enforced in Indonesia, must make<br />

their students healthier.<br />

Glossary:<br />

Enrolled : mendaftarkan<br />

Virtually : hampir<br />

Tuition : biaya pendidikan<br />

Pupils : murid/siswa<br />

Homeroom : wali kelas<br />

foto: istimewa<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

53


POJOK FOTO<br />

FOTOGRAFI PERJALANAN<br />

Oleh Fr. Edy Santoso<br />

staf <strong>Direktorat</strong> <strong>Anggaran</strong> III Ditjen <strong>Anggaran</strong><br />

Penggemar fotografi, pemilik digital underground studio dan website www.singomoto.com<br />

Kita sering melakukan perjalanan, baik perjalanan dalam rangka dinas<br />

maupun perjalanan yang sengaja dilakukan karena liburan atau cuti.<br />

Banyak hal yang seringkali kita lewatkan atau hanya dinikmati sesaat saja<br />

tanpa ada niat untuk mendokumentasikan peristiwa atau tempat yang<br />

menarik tersebut. Bila ada rencana perjalanan dinas atau memang<br />

mempunyai rencana untuk melakukan liburan, akan lebih bijaksana bila<br />

mulai sekarang membekali diri dengan kamera digital untuk<br />

mendokumentasikan perjalanan Anda.<br />

Canon EOS 5D<br />

Speed 1/250 sec, f 1/3.2,<br />

ISO-400, foc. length 190mm<br />

54<br />

foto: Fr. Edy Santoso


POJOK FOTO<br />

Berikut beberapa tips/saran bila ingin<br />

mendokumentasikan perjalanan anda.<br />

I. Persiapan<br />

a. Waktu<br />

Lebih baik melakukan perjalanan<br />

dengan lebih terencana dan jauh-jauh<br />

hari. Pilih waktu di mana cuaca cukup<br />

bersahabat, sehingga bisa maksimal<br />

mengekplorasi tempat tujuan. Tentu<br />

saja berapa lama akan tinggal di<br />

t e m p a t t e r s e b u t m e n j a d i<br />

pertimbangan.<br />

b. Tempat tujuan<br />

Jika berlibur maupun melakukan<br />

perjalanan dinas, lebih baik mencari<br />

informasi sebanyak-banyaknya<br />

tentang tempat tersebut. Carilah<br />

informasi yang terkait dengan tempat<br />

menginap, kuliner, wisata andalan, dll.<br />

Informasi bisa diperoleh dari buku,<br />

blog, website, dll.<br />

c. Dengan siapa ?<br />

Kalau melakukan perjalanan dinas,<br />

sudah tentu harus melakukannya<br />

bersama rekan kerja anda. Tetapi bila<br />

melakukan perjalanan dalam rangka<br />

liburan, bisa jadi dilakukan bersama<br />

pasangan, baik isteri juga anak-anak.<br />

Jangan melakukan perjalanan liburan<br />

seorang diri, tidak enak banget.<br />

Percaya deh…benar-benar tidak<br />

enak.<br />

d. Peralatan<br />

Apabila melakukan perjalanan untuk<br />

berlibur, tidak khusus untuk “hunting<br />

foto”, peralatan standar yang perlu<br />

dibawa adalah kamera digital. Anda<br />

bisa membawa kamera pocket digital,<br />

DSLR dengan satu lensa yang<br />

mempunyai range cukup lebar,<br />

misalnya 18-135 mm atau 18-270<br />

mm, sehingga tidak perlu bergantiganti<br />

lensa. Mungkin agak repot, tetapi<br />

saya sarankan juga membawa tripod<br />

dan banterai cadangan.<br />

e. Obyek/Subyek untuk dipotret<br />

Akan lebih bijaksana, apabila<br />

membuat daftar apa saja yang hendak<br />

anda potret. Itulah gunanya<br />

mempelajari atau mencari informasi<br />

tentang tempat tujuan bepergian.<br />

Canon EOS KISS Digital X<br />

Speed 1/500 sec, f 1/4,<br />

ISO-400, foc. length 200mm<br />

f. Memory/media penyimpan<br />

Fotografer yang bijak dan cerdas akan<br />

membawa memory yang kosong dan<br />

baterai yang penuh dalam kameranya.<br />

Bukan sebaliknya membawa memory<br />

yang penuh karena belum ditransfer<br />

ke komputer dan baterai yang<br />

kosong karena belum di”charge”.<br />

Lebih baik membawa memory yang<br />

cukup banyak, karena pasti ada<br />

obyek-obyek menarik yang tidak<br />

cukup difoto dalam satu jepretan.<br />

foto: Fr. Edy Santoso<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

55


POJOK FOTO<br />

Canon EOS KISS Digital X<br />

Speed 1/250 sec, f 1/13,<br />

ISO-200, foc. length 25mm<br />

Canon EOS 5D<br />

Speed 1/250 sec, f 1/3.2,<br />

ISO-400, foc. length 78mm<br />

g. Rute perjalanan<br />

Bila melakukan perjalanan darat,<br />

banyak obyek-obyek menarik yang<br />

dilewati yang bisa dipotret. Silakan<br />

mencari jalur yang paling mudah dan<br />

paling menarik untuk dilewati. Tetapi<br />

apabila melakukan perjalanan dengan<br />

pesawat udara, jangan simpan kamera<br />

ke dalam tas, anda masih bisa<br />

memotret awan dan pemandangan<br />

lainnya dari jendela cabin.<br />

II. Subyek/Obyek<br />

Banyak yang bisa direkam atau<br />

dipotret di suatu daerah atau lokasi.<br />

Beberapa obyek/subyek yang bisa<br />

anda rekam, antara lain:<br />

a. Manusia<br />

Manusia adalah subyek foto yang<br />

paling menarik dan bisa diajak<br />

kerjasama untuk menghasilkan foto<br />

yang dahsyat. Ada beberapa cara atau<br />

teknik untuk memotret manusia.<br />

- Portrait<br />

Portrait adalah teknis memotret<br />

manusia secara proporsional,<br />

seringkali dengan cara close up atau<br />

lebih banyak mengekspose wajah<br />

manusia.<br />

- Aktivitas manusia<br />

Memotret aktivitas manusia ini<br />

m e m e r l u k a n ke j e l i a n d a n<br />

keberanian, karena seringkali<br />

subyek yang kita potret kurang<br />

suka. Lebih baik anda meminta izin<br />

t e r l e b i h d a h u l u s e b e l u m<br />

memotretnya.<br />

foto: Fr. Edy Santoso<br />

- Kegiatan kolosal<br />

Yang dimaksud dengan kegiatan<br />

kolosal adalah kegiatan yang<br />

dilakukan bersama-sama oleh<br />

banyak orang. Banyak kegiatan<br />

budaya ataupun keagamaan yang<br />

dilakukan bersama-sama di suatu<br />

tempat.<br />

- Anak-anak<br />

Memotret anak-anak memang<br />

tidak mudah, tetapi juga tidak sulit,<br />

karena kita bisa memotret segala<br />

macam aktivitas mereka secara<br />

natural. Banyak kejadian-kejadian<br />

lucu dan menggemaskan yang bisa<br />

anda potret.<br />

- Teman perjalanan<br />

B e r b i c a r a t e n t a n g t e m a n<br />

perjalanan, anda bisa memotret<br />

aktivitas rekan perjalanan anda<br />

sewaktu melakukan perjalanan<br />

dinas bersama. Tetapi apabila anda<br />

melakukan perjalanan liburan<br />

bersama keluarga, anda bisa<br />

memotret aktivitas isteri dan anakanak<br />

di setiap lokasi wisata.<br />

- Etiket/sopan-santun<br />

Disarankan sebelum memotret di<br />

suatu lokasi, anda meminta izin<br />

terlebih dahulu kepada subyek yang<br />

akan anda potret.<br />

b. Landscape<br />

Landscape atau pemandangan adalah<br />

obyek yang paling sering dipotret oleh<br />

para traveler. Setiap lokasi<br />

mempunyai obyek landscape yang<br />

tidak dimiliki oleh lokasi lain. Foto-foto<br />

l a n s d s c a p e m e l i p u t i<br />

gunung/pegunungan, persawahan,<br />

hutan, danau, dll.<br />

c. Arsitektur/Bangunan<br />

Banyak bangunan yang kuno maupun<br />

bangunan yang baru atau modern<br />

yang bisa diabadikan dengan kamera.<br />

Beberapa bangunan bahkan menjadi<br />

ciri khas suatu tempat yang tidak<br />

dimiliki oleh tempat lain.<br />

d. Interior<br />

Anda bisa memotret interior kamar<br />

hotel di mana anda menginap juga di<br />

tempat di mana anda berkunjung.<br />

B e b e r a p a l o k a s i t i d a k<br />

56 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

foto: Fr. Edy Santoso


Canon EOS 5D<br />

Speed 1/250 sec, f 1/3.2,<br />

ISO-400, foc. length 120mm<br />

POJOK FOTO<br />

mempermasalahkan bila dipotret<br />

interiornya menggunakan kamera<br />

digital.<br />

e. Street/transportation<br />

Kondisi jalanan dan bangunan di kiri<br />

kanannya di mana anda berkunjung<br />

menarik juga untuk dipotret, juga alat<br />

transpor tasi yang digunakan.<br />

Beberapa lokasi mempunyai alat<br />

transportasi umum yang menarik dan<br />

mempunyai bentuk yang unik. Kalau<br />

anda jeli, bentuk becak di Yogyakarta<br />

berbeda dengan becak yang ada di<br />

kota lain.<br />

f. Acara/perayaan/karnaval<br />

Kalau beruntung atau memang sudah<br />

dijadwalkan perjalanan secara baik,<br />

beberapa tempat mempunyai<br />

kegiatan atau acara yang menarik dan<br />

melibatkan banyak sekali manusia.Di<br />

Jember misalnya, setiap bulan Agustus<br />

selalu diadakan Jember Fashion<br />

Week, yaitu peragaan busana dengan<br />

jalan utama Kota Jember sebagai<br />

“catwalk”nya.<br />

g. Entertainment/Pertunjukan<br />

Beberapa daerah mempunyai jadwal<br />

pertunjukan tari, musik, maupun<br />

foto: Fr. Edy Santoso<br />

memotret pertunjukan Sendratari<br />

Ramayana setiap malam di Pura<br />

Wisata, atau di Pelataran Candi<br />

Prambanan setiap hari Sabtu di bulan<br />

April s.d. Oktober.<br />

h. Makanan dan Minuman<br />

Makanan atau minuman yang disajikan<br />

kepada kita sebagai hidangan makan<br />

pagi, makan siang, maupun makan<br />

malam bisa menjadi obyek yang<br />

menarik. Dengan sudut-sudut kreatif,<br />

makanan dan minuman yang biasa<br />

pun akan menjadi sebuah foto yang<br />

sangat menarik. Di beberapa<br />

restoran, mereka menyajikan<br />

makanan dengan unik dan artistik.<br />

i. Kehidupan liar<br />

Kadang tempat yang kita kunjungi juga<br />

mempunyai tempat konservasi atau<br />

suaka margasatwa. Luangkan waktu<br />

sebentar untuk memotret satwa di<br />

habitatnya yang asli.<br />

Canon EOS 50D<br />

Speed 1/200 sec, f 1/4,<br />

ISO-3200, foc. length 75mm<br />

j. Ikon suatu tempat<br />

Di setiap daerah pasti mempunyai<br />

bangunan atau benda yang menjadi<br />

lambang atau ikon suatu daerah.<br />

Misalnya Jam Gadang di Bukit Tinggi,<br />

Tugu Monas di Jakarta, dll.<br />

III. Penutup<br />

Setelah kembali ke rumah, kalau<br />

belum sempat mentransfer semua<br />

foto ke dalam computer, jangan lupa<br />

untuk mentransfer semua foto di<br />

kamera ke computer. Setelah proses<br />

transfer selesai, disarankan untuk<br />

menformat memory tersebut dengan<br />

menggunakan kamera.<br />

Bersihkan dan simpan kamera dengan<br />

baik, untuk melakukan perjalanan<br />

berikutnya di tempat-tempat baru<br />

yang menarik.<br />

Foto diambil dua tahun lalu tepatnya pada<br />

bulan Januari 2010 dari Puncak Pananjakan,<br />

tempat terbaik untuk menyaksikan matahari<br />

terbit di Gunung Bromo Jawa Timur.<br />

Canon EOS 500D<br />

Manual exposure, speed 1/80 sec,<br />

f 1/16, ISO-400, foc. length 10mm<br />

foto: Fr. Edy Santoso<br />

budaya lainnya secara bulanan<br />

ataupun tahunan. Setiap daerah<br />

mempunyai budaya yang berbedabeda,<br />

sehingga anda mempunyai<br />

pilihan obyek yang bervariasi,<br />

misalnya.<br />

- Pertunjukan tari<br />

- Musik<br />

- Olah raga<br />

- Kehidupan malam<br />

Di Yogyakarta, anda bisa melihat dan<br />

foto: Budi S.<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

57


RESENSI<br />

Performance Coaching :<br />

Metode Baru Mendongkrak Kinerja Karyawan<br />

Penulis :<br />

Carol Wilson<br />

Penerbit :<br />

PPM Management<br />

Tebal :<br />

290 halaman<br />

PERSPEKTIF BARU<br />

DALAM MEMANDANG DUNIA PELATIHAN<br />

p a k a h a n d a p e r n a h<br />

membayangkan bahwa setiap<br />

Amenit yang anda dedikasikan<br />

untuk pekerjaan anda bisa membawa<br />

perubahan yang sangat besar dalam<br />

kemajuan unit tempat anda bekerja? Dan<br />

apakah anda tahu bahwa Pelatihan<br />

Kinerja dapat membantu individu dan<br />

organisasi untuk mencapai potensi<br />

maksimum, menjawab tantangan dan<br />

memenuhi target yang spesifik, dan pada<br />

a k h i r n y a a k a n m e n g h a s i l k a n<br />

perkembangan individu dan organisasi<br />

serta membantu dalam menciptakan<br />

keseimbangan dalam bekerja? Carol<br />

Wilson , Seorang pakar HRD berusaha<br />

untuk menyampaikan pesan mulia<br />

tersebut melalui bukunya “Performance<br />

Coaching : Metode Baru Mendongkrak<br />

Kinerja Karyawan”.<br />

Dalam buku ini, Wilson sebagai penulis<br />

memulai penyampaian pesannya<br />

tersebut dengan membagi buku ini<br />

menjadi dua bagian. Bagian pertama buku<br />

ini menceritakan sejarah dan prinsipprinsip<br />

utama dalam bidang pelatihan<br />

SDM, menjelaskan perbedaan mendasar<br />

antara bidang ini dengan bidang lain yang<br />

terkait dan memberikan contoh<br />

bagaimana bidang ini bisa memfasilitasi<br />

perubahan budaya kerja dalam sebuah<br />

organisasi. Tidak hanya itu, penulis juga<br />

memberikan panduan-panduan<br />

mendasar teknik pelatihan beserta<br />

contoh dan petunjuk praktis cara<br />

membawakan sesi pelatihan secara rapi<br />

dan terstruktur.<br />

Bagian kedua buku ini memberikan<br />

contoh-contoh model dan kelengkapan<br />

termutakhir yang sering digunakan dalam<br />

sebuah sesi pelatihan yang baik dan<br />

disertai dengan lembar-lembar kerja,<br />

latihan dan evaluasi yang sudah terbukti<br />

kualitasnya.<br />

Petunjuk Praktis<br />

Dalam buku ini, penulis menekankan<br />

bahwa alih-alih memberikan nasihat<br />

bagaimana melakukan sesuatu dengan<br />

benar, pelatihan sejatinya adalah salah<br />

satu cara dalam memfasilitasi proses<br />

pembelajaran yang ditentukan oleh<br />

individu itu sendiri.<br />

Berkaitan dengan hal diatas, penulis<br />

memberikan beberapa tips sederhana<br />

dalam membawakan sesi pelatihan,<br />

antara lain :<br />

1. Selalu usahakan agar sesi pelatihan<br />

direncanakan dalam struktur yang<br />

jelas dengan keluaran dari tiap-tiap sesi<br />

yang juga jelas.<br />

2. Gunakan kata-kata yang jelas dan tidak<br />

ambigu dalam sesi pelatihan agar dapat<br />

mengalir dengan baik.<br />

3. Dalam sesi evaluasi pelatihan, gunakan<br />

metode umpan balik mengenai diri<br />

sendiri. Artinya, trainer meminta<br />

peserta untuk mengevaluasi dirinya<br />

sendiri dan mencoba merefleksikan<br />

dengan apa yang mereka dapat selama<br />

proses pelatihan sehingga mereka<br />

akan mampu untuk membuat<br />

solusinya sendiri.<br />

Kegunaan buku ini dalam pengembangan<br />

individu dalam organisasi<br />

Buku ini bisa menjadi panduan lengkap<br />

bagi para staf yang bertanggungjawab<br />

dalam pengembangan SDM dalam<br />

sebuah organisasi karena buku ini<br />

menyediakan starter kit bagi para pemula<br />

dalam bidang pelatihan, termasuk di<br />

dalamnya tips-tips praktis, contoh, serta<br />

instruksi-instruksi mendetail dalam<br />

membawakan suatu sesi pelatihan. Bagi<br />

para pakar di bidang pelatihan pun, buku<br />

ini bisa menjadi sangat membantu karena<br />

menyediakan panduan referensi<br />

termutakhir dengan disertai studi kasus<br />

bertaraf internasional.<br />

Bagi para individu pun buku ini bisa<br />

menjadi sangat berguna karena<br />

memberikan perspektif baru dalam<br />

memandang dunia pelatihan secara<br />

khusus dan bidang Pengembangan<br />

Sumber Daya Manusia pada umumnya.<br />

Hisyami Adib.A<br />

Pustakawan DJA<br />

58 WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012


INTERMEZO<br />

Bang Bujed<br />

Ada trilateral meeting, sosialisasi,<br />

APBN-P, reward-punishment, entah apalagi...<br />

WARTA ANGGARAN | <strong>Edisi</strong> <strong>24</strong> Tahun 2012<br />

59


Selamat Hari Raya<br />

Idul Fitri 1433 H<br />

taqobalallahu minna wa minkum<br />

semoga Allah menerima amalku<br />

dan amal kalian...<br />

© arbirajab

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!