PT Bank Negara Indonesia - Badan Pemeriksa Keuangan

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BUKU I
HASIL
PEMERIKSAAN
ATAS
PENGELOLAAN KREDIT
PADA
PT BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) Tbk.
DI
KANTOR PUSAT JAKARTA, KANTOR
WILAYAH/CABANG DI DAERAH SERTA
KANTOR CABANG LUAR NEGERI
Nomor : 04/S/VII-XV.3/1/2006
Tanggal : 6 Januari 2006

DAFTAR ISI
BAB I RESUME HASIL PEMERIKSAAN 1
A. Pendirian Perusahaan 1
B. Tujuan Perusahaan 1
C. Anggaran dan realisasi Kredit Yang Diberikan 2
D. Temuan Pemeriksaan 2
BAB II HASIL PEMERIKSAAN 22
A. Gambaran Umum 22
1. Tujuan Pemeriksaan 22
2. Sasaran Pemeriksaan 22
3. Metode Pemeriksaan 22
4. Jangka Waktu Pemeriksaan 22
5. Obyek Pemeriksaan 22
B. Temuan Pemeriksaan 27
1. Fasilitas kredit kepada PT Himalaya Tunas Texindo sebesar eq.
Rp769.091,45 juta belum sepenuhnya diawasi dengan baik
2. Analisa pemberian kredit kepada PT Pelangi Cimandiri Tekstil sebesar
Rp134.070,00 juta dilakukan kurang cermat
3. Pengelolaan fasilitas kredit PT Keramik Diamond Industri sebesar
Rp306.123,52 juta belum sesuai dengan ketentuan dan Bank BNI tidak
menegur atau memberikan sanksi kepada debitur atas pelanggaran beberapa
ketentuan dalam PK
4. Pengelolaan kredit PT Sumber Mitra Jaya sebesar Rp388.443,95 juta
belum sepenuhnya sesuai ketentuan
5. Persetujuan pemberian dan pengelolaan kredit kepada PT Suryabumi
Argolanggeng dengan outstanding sebesar Rp316.083,31 juta belum
sepenuhnya mematuhi ketentuan
6. Restrukturisasi dan jaminan kredit PT Filamendo Sakti dengan outstanding
sebesar eq. Rp410.401,07 juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan
7. Pengelolaan Kredit PT Starwin Indonesia dengan outstanding sebesar
Rp165.801,25 juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan
8. Fasilitas kredit kepada PT Prima Inreksa Industries sebesar
eq.Rp454.350,01 juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan
9. Proses pengambilalihan Aset Kredit PT Industries Badja Garuda dari BPPN
tidak didasarkan pada analisa yang cermat sehingga menimbulkan kredit
macet bagi Bank BNI sebesar Rp182.912,20 juta
Hal
27
30
33
38
44
53
58
63
67
i

1
0.
1
1.
1
2.
1
3.
1
4.
1
5.
1
6.
1
7.
1
8.
1
9.
2
0.
2
1.
2
2.
2
3.
2
4.
2
5.
2
6.
2
7.
2
8.
Pengelolaan dan pemantauan fasilitas kredit PT Bosowa Berlian Motor dan
PT Bosowa Multi Finance sebesar Rp271.702,00 juta belum maksimal
Pemberian kredit kepada PT Semen Bosowa Maros sebesar Rp604.950,00
juta belum sepenuhya sesuai dengan ketentuan
Pemberian kredit kepada PT Segoro Fajar Satryo sebesar US$23,640.00
ribu beresiko tinggi
Proses restrukturisasi dan pengawasan fasilitas kredit kepada PT Bratatex
sebesar Rp282.075,03 juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
Pemberian dan pengawasan kredit PT Sungai Rangit sebesar Rp198.576,00
juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
Restrukturisasi kredit PT Riau Sakti United Plantation dengan outstanding
sebesar Rp373.166,96 juta belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan
belum mendatangkan hasil yang optimal
Pemberian dan pengelolaan kredit PT Musim Mas sebesar Rp269.705,21
juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan
Restrukturisasi kredit PT RAPP sebesar US$125.448,00 ribu melalui
kapitalisasi bunga tidak sesuai dengan SK BI No.27/162/Kep/Dir
Persetujuan fasilitas kredit PT Kencana Acidindo Perkasa sebesar
Rp179.650,00 juta belum sepenuhnya memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit
Persetujuan Fasilitas Kredit PT Tunas Baru Lampung Tbk sebesar
Rp125.000,00 juta belum sepenuhnya memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit
Persetujuan Fasilitas Kredit sebesar Rp40.000,00 juta kepada PT Florindo
Makmur belum sesuai ketentuan CPC dan BPP BNI
Pengelolaan kredit PT Erna Djuliawati sebesar Rp301.490,50 juta belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Fasilitas Kredit Investasi PT Riau Andalan Kertas sebesar US$104,253.00
ribu tidak memenuhi syarat permohonan
Pengelolaan kredit PT Intibenua Perkasatama sebesar Rp293.091,20 juta
belum sepenuhnya sesuai ketentuan
Pemberian dan pengelolaan kredit PT Bhineka Karya Manunggal sebesar
Rp433.977,50 juta belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
Pemberian kredit kepada PT Cikarang Listrindo sebesar eq. Rp
1.888.750,25 juta tidak sesuai dengan ketentuan
Pengelolaan kredit PT Petrokimia Gresik sebesar Rp640.021,50 juta belum
sepenuhnya sesuai ketentuan
Pemberian dan pengelolaan kredit PT PP London Sumatera Indonesia Tbk
sebesar US$40,000.00 juta belum sesuai dengan ketentuan
Fasilitas kredit kepada PT Duta Pertiwi sebesar eq. Rp 617.515,00 juta
berisiko tinggi
78
87
89
97
102
107
115
122
127
132
136
141
144
148
151
153
161
164
168
ii

2
9.
3
0.
3
1.
3
2.
3
3.
3
4.
3
5.
3
6.
Pemberian unsecured loan sebesar Rp517.645,22 juta kepada PT Indosat
melampaui batas maksimal partisipasi dalam kredit sindikasi yang
ditetapkan Komite Kebijakan Kredit Bank BNI
Proses take over kredit PT Bukaka Singtel Internasional senilai
Rp129.996,00 juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan yang berlaku
Pemberian KI kepada PT Adi Karya sebesar Rp242.101,00 juta berisiko
tinggi dan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
Pengawasan dan pemberian KMK tambahan sebesar Rp70.000,00 juta atas
nama PT Satyaraya Keramindoindah belum sepenuhnya memenuhi
ketentuan
Pemberian kredit kepada PT Kresna Duta Agroindo sebesar Rp243.523,00
juta berisiko tinggi dan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
Pemberian fasilitas Usance L/C sebesar US$200,000.00 ribu kepada PT
Sumber Segara Primadaya belum sepenuhnya sesuai dengan kebijakan
pemberian kredit Bank BNI
Pemberian kredit kepada PT Pupuk Iskandar Muda dengan outstanding
sebesar Rp427.094,00 juta mengandung risiko tinggi
Pemberian kredit kepada PT Adira Dinamika Multi Finance sebesar
maksimal Rp750.000,00 juta belum sesuai ketentuan
172
174
178
184
189
195
200
205
iii

3
7.
3
8.
3
9.
4
0.
4
1.
4
2.
Pengelolaan kredit PT Pasaraya Tosersajaya sebesar Rp63.072,59 juta
belum sesuai dengan ketentuan
Penyediaan fasilitas pembiayaan Bank BNI kepada PT ANJF sebesar
Rp650.000,00 juta tidak memberikan hasil yang optimal
Pemberian keringanan pembayaran uang muka dan pemenuhan persyaratan
administratif atas fasilitas kredit kepada PT Oto Multiartha sebesar
Rp1.300.000,00 juta belum sesuai ketentuan
Fasilitas pembiayaan bersama dengan PT Astra Sedaya Finance sebesar
Rp2.000.000,00 juta diputus KPK melebihi kebutuhan kredit yang
tercantum dalam analisis pemberian kreditnya sebesar Rp1.260.000,00 juta
Pengelolaan kredit pada PT Cahaya Sakti Furintraco dengan outstanding
sebesar Rp197.624,77 juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
Pemberian kredit kepada PT Duta Rendra Mulya sebesar maksimal
Rp231.496,60 juta belum sesuai dengan persyaratan administrasi Bank BNI
43. Sentra Kredit Medan (SKM) Medan 231
a. Pemberian fasilitas KI dan KMK kepada PT Hamparan Pancaran
Cheimindo dengan outstanding sebesar Rp55.958,83 juta belum
sepenuhnya mengacu kepada prinsip kehati-hatian dalam pemberian
kredi
b. Pemberian fasilitas kredit sebesar Rp12.031,17 juta kepada PT Gaya
Sentosa Lestari kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian
c. a. Pengambilalihan kredit PT ASA dari Bank BIRA sebesar Rp4.300,00
juta dan pemberian fasilitas KMK sebesar Rp3.200,00 juta belum
sepenuhnya mengacu kepada Kebijakan Perkreditan BNI dan prinsip
kehati-hatian dalam pemberian kredit
d. Analisa pemberian kredit kepada PT Sumber Sawit Cahaya Lestari
dengan baki debet sebesar Rp17.509,50 juta lemah
44. SKM Pekanbaru 245
a. Fasilitas kredit PT Khage Lestari Timber (PT KLT) sebesar
US$1,550.98 ribu berpotensi menjadi kredit bermasalah
b. Pemberian fasilitas kredit PT Bumi Jaya Putra Kampar (PT BJPK)
belum sepenuhnya mematuhi ketentuan BPP Bank BNI
c. Analisa kredit atas take over fasilitas kredit PT SRA dan PT SJS dari
PT BRI kurang cermat
d. Pemberian dan pemantauan fasilitas kredit kepada PT Nuansa Agung
Selaras (PT NAS) belum dilaksanakan sesuai ketentuan
e. Pemberian dan pemantauan fasilitas kredit kepada PT Nuansa Agung
Selaras (PT NAS) belum dilaksanakan sesuai ketentuan
45. SKM Palembang 257
a. Pemberian kredit kepada PT GTD serta penghapusbukuannya belum
sesuai dengan ketentuan.
209
215
219
223
226
229
231
235
239
243
245
247
250
252
256
257
iv

. Pemberian KI kepada PT Okitania Pratama maksimum sebesar
Rp15.000,00 juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan
c. Pemberian fasilitas KMK kepada CV Abadi sebesar Rp15.000,00
juta belum sesuai ketentuan
d. Pemberian kredit kepada Fa Kusda dengan outstanding sebesar
Rp2.983,32 juta dan US$710.07 ribu belum sepenuhnya sesuai
ketentuan
46. SKM Bandung 264
a. Pengelolaan kredit CV Pudak Scientific belum sepenunya sesuai
dengan ketentuan
b. Fasilitas kredit yang diberikan kepada CV Selini Sinar Sakti (CV SS)
sebesar Rp8.338,00 juta tidak diawasi dengan baik sehingga menjadi
bermasalah dan merugikan Bank BNI
c. Fasilitas kredit kepada PT Bintang Mitra Textindo sebesar
Rp43.000,00 juta dikategorikan pembiayaan beresiko tinggi
d. Analisis pemberian kredit kepada PT Nico Taiyojaya dengan
outstanding sebesar Rp27.026,88 juta kurang cermat dan jaminan
yang diserahkan tidak cukup untuk mengcover kewajiban kreditnya
e. Pemberian KMK kepada debitur PT Erlangga Bina Niaga Harmonia
sebesar Rp5.000,00 juta menimbulkan kredit bermasalah
47. SKM Surabaya 276
a. Pemberian fasilitas kredit kepada PT Anak Jaya Bapak Sejahtera
belum sepenuhnya sesuai ketentuan
b. Pemberian fasilitas KMKE Onshore kepada PT Anita Vira Andika
belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
c. Fasilitas kredit PT Antika Raya dengan outstanding sebesar
Rp48.436,85 juta belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
d. Pemberian KI kepada PTPN XII sebesar Rp45.115,00 juta belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
e. Pengelolaan fasilitas kredit CV Indonesia Indah dengan hutang pokok
sebesar Rp4.617,70 juta tidak sesuai ketentuan
48. SKM Makassar 290
a. Pemberian dan pengelolaan kredit kepada PT Citratama Timurindo
dan PT Pelayaran Dillah Samudra dengan baki debet masing-masing
Rp31.332,34 juta dan Rp25.644,49 juta belum sesuai ketentuan yang
berlaku
b. Fasilitas kredit kepada PT Makassar Palace sebesar Rp7.550,00 juta
belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku
c. Tambahan fasilitas kredit kepada PT Makassar Phinisi Seaside Hotel
sebesar Rp132.000,00 juta berisiko tinggi
49. SKC Padang 304
Pemberian kredit kepada PT Daya Sekawan Abadi dengan baki debet
sebesar Rp3.080,02 juta belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang
259
261
263
264
266
269
271
273
276
280
283
286
288
290
294
296
304
v

erlaku
50. Kantor Cabang London 304
a. Deposit agreement antara BNI Cabang London serta Rio Tinto
European Holdings dengan outstanding per 31 Desember 2004
sebesar US$43,850.00 ribu tidak lazim dilakukan dan berpotensi
menanggung risiko kerugian
b. Pembelian Promissory Notes Parmalat Participacoes Do Brasil Ltda.
senilai US$2,000.00 ribu tidak dilakukan secara hati-hati dan tidak
memperhatikan ketentuan yang berlaku
c. Pengelolaan fasilitas kredit SR Gent dengan outstanding sebesar
GBP13,000.00 ribu belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
d. Pendapatan kredit hapus buku sebesar US$5,165.98 ribu yang
merupakan milik pemerintah diakui sebagai pendapatan Bank BNI
51. Kantor Cabang Tokyo 318
a. Sebagian fasilitas kredit diberikan kepada debitur yang usahanya tidak
dikategorikan ekspor
b. Kredit kepada Nomura Trading Company dengan outstanding sebesar
JPY300,000.00 ribu dan US$3,020.00 ribu tidak dicover dengan
agunan dan analisis cash flow yang memadai
c. Pemberian dan pengelolaan KI kepada PT Aspek Kumbong sebesar
US$57,000.00 ribu belum sepenuhnya memperhatikan Pedoman
Kredit Bank
304
310
314
317
318
320
321
vi

A. Pendirian Perusahaan
BAB I
RESUME HASIL PEMERIKSAAN
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk selanjutnya disebut Bank BNI, pada awalnya
didirikan di Indonesia sebagai bank sentral dengan nama Bank Negara Indonesia. Pendirian
tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 1946
tanggal 5 Juli 1946. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1968, Bank BNI
ditetapkan menjadi Bank Negara Indonesia 1946 dan statusnya menjadi bank umum milik
negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tanggal 29 April 1992, bentuk badan hukum
diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Akta Pendirian No. 131 tanggal 31 Juli
1992 di hadapan Notaris Muhani Salim, SH yang telah diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia No. 73 tanggal 11 September 1992 Tambahan No. 1 A.
Anggaran Dasar Bank BNI beberapa kali berubah. Perubahan terakhir dengan Akta No.
27 tanggal 17 Desember 2003 yang dibuat dihadapan Fathiah Helmi, SH notaris di Jakarta.
Perubahan tersebut berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal
15 Desember 2003 khususnya mengenai peningkatan modal dasar dari Rp8,5 triliun menjadi
Rp15 triliun dan reverse stock split 15 saham menjadi 1 saham.
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank BNI No.KP/614/DIR/R perihal Perubahan
Organisasi Bank BNI tanggal 10 September 2004, struktur organisasi sesuai SK Direksi di atas
yang berkaitan dengan pengelolaan kredit adalah sebagai berikut:
1. Divisi Kebijakan & Manajemen Risiko di bawah Direktur Manajemen Risiko,
2. Divisi Risiko Kredit di bawah Direktur Manajemen Risiko,
3. Divisi Kredit Khusus di bawah Direktur Korporasi,
4. Divisi Kredit Konsumen di bawah Direktur Konsumer,
5. Divisi Usaha Kecil di bawah Direktur Komersial,
6. Divisi Usaha Menengah di bawah Direktur Komersial,
7. Divisi Korporasi dibawah Direktur Korporasi,
8. Divisi Operasional di bawah Direktur Operasi,
9. Divisi Internasional di bawah Direktur Tresuri dan Internasional.
B. Tujuan Perusahaan
Sesuai Anggaran Dasar Bank BNI, maksud dan tujuan perseroan ialah melakukan
usaha di bidang perbankan, termasuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Untuk
mencapai maksud dan tujuan tersebut, Bank BNI dapat melaksanakan kegiatan usaha antara
lain sebagai berikut :
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu;
2. Memberikan kredit;
3. Menerbitkan surat pengakuan hutang.

C. Anggaran dan Realisasi Kredit Yang Diberikan
Nilai realisasi kredit yang diberikan per 31 Desember 2004 adalah sebesar
Rp57.867.651,00 juta atau 91,87 % dari anggarannya sebesar Rp62.987.436,00 juta. Selain itu
realisasi kredit yang bermasalah (non performing loan) yaitu kolektibilitas kurang lancar,
diragukan dan macet tahun 2004 adalah sebesar Rp2.628.061,00 juta atau (4,60% dari total
kredit), melebihi anggarannya sebesar Rp2.846.665,00 juta atau 4,52%. Anggaran dan
realisasi kolektibilitas kredit Bank BNI per 31 Desember 2004 secara rinci adalah sebagai
berikut:
(dalam juta rupiah)
Kolektibilitas
Realisasi Anggaran %
Kredit
Lancar
Dalam Perhatian Khusus
Kurang Lancar
Diragukan
Macet
D. Temuan Pemeriksaan
46.145.761
9.057.829
1.357.084
444.441
862.536
53.483.945
6.656.827
1.979.639
483.002
384.024
86,28
136,07
68,55
92,02
224,60
Jumlah 57.867.651 62.987.436 91,87
BPK-RI telah memeriksa pengelolaan kredit yang dikaitkan dengan unsur kehati-hatian
perbankan yang mencakup kesesuaian dengan prosedur operasi standar yang telah ditetapkan
Direksi Bank BNI dan peraturan yang berlaku yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
Menteri Keuangan, pertanggungjawaban manajemen dan pihak-pihak yang terkait dengan
pengelolaan kredit pada Bank BNI disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pemeriksaan pengelolaan kredit menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut:
1. Fasilitas kredit kepada PT Himalaya Tunas Texindo (PT HTT) sebesar eq. Rp769.091,45
juta belum sepenuhnya diawasi dengan baik, antara lain yaitu terdapat pinjaman afiliasi
kepada PT Pelangi Cimandiri Tekstil (PT PCT) sebesar Rp138.323,78 juta sehingga
mempengaruhi cash flow PT HTT. Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada
PT HTT berpotensi bermasalah dan merugikan Bank BNI sebesar Rp135.560,60 juta
(jumlah kewajiban sebesar Rp769.091,45 juta dikurangi dengan nilai jaminan terakhir
sebesar Rp633.530,85 juta). Kerugian tersebut akan bertambah apabila piutang afiliasi
sebesar Rp138.323,78 juta ternyata benar-benar tidak terbayar oleh PT PCT. Hal tersebut
terjadi karena Pengelola kredit PT HTT belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang
telah ditetapkan.
2. Analisa pemberian kredit kepada PT Pelangi Cimandiri Tekstil sebesar Rp134.070,00 juta
dilakukan kurang cermat. Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI menderita kerugian
sebesar Rp134.070,00 juta karena telah membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) 100% atas kredit macet tersebut. Kondisi tersebut terjadi karena
pengusul dan pengelola kredit PT PCT kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit.
2

3. Pengelolaan fasilitas kredit PT Keramik Diamond Indah (PT KDI) sebesar Rp306.123,52
juta belum sesuai dengan ketentuan dan Bank BNI tidak menegur/memberikan sanksi
kepada debitur atas pelanggaran beberapa ketentuan dalam Perjanjian Kredit.
Permasalahannya adalah Bank BNI melakukan plafondering bunga, persyaratan jaminan
PT KDI belum sesuai dengan ketentuan, penarikan Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar
Rp7.500,00 juta belum memenuhi syarat penarikan kredit, PT KDI memberikan pinjaman
kepada perusahaan pemegang saham PT KDI sebesar Rp39.685,00 juta dan PT KDI
membeli tanah senilai Rp19.910,00 juta yang tidak digunakan untuk usaha. Kondisi
tersebut mengakibatkan Bank BNI dibebani sebesar Rp306.123,52 juta, karena harus
membentuk penyisihan kredit macet 100%. Hal tersebut terjadi karena RM dan analis
kredit dalam mengelola kredit belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
berlaku serta belum secara tegas meminta debitur untuk memenuhi ketentuan yang tertuang
dalam Perjanjian Kredit (PK).
4. Pengelolaan kredit PT Sumber Mitra Jaya (PT SMJ) sebesar Rp388.443,95 juta belum
sepenuhnya sesuai ketentuan. Dalam kasus ini PT SMJ menerima pinjaman dari bank lain
dan melakukan penyertaan saham tanpa ijin tertulis dari Bank BNI dan PT SMJ belum
memenuhi ketentuan minimal Current Ratio (CR). Kondisi tersebut mengakibatkan risiko
yang akan ditanggung oleh bank akan lebih besar apabila ternyata kredit yang telah
diberikan bermasalah, dan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan PK sebesar
Rp105.950,50 juta dapat mempengaruhi kelancaran PT SMJ untuk memenuhi pembayaran
bunga dan pokok kepada Bank BNI. Hal tersebut terjadi karena RM dan analis kredit dalam
mengelola kredit belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku
serta belum secara tegas meminta debitur untuk memenuhi ketentuan yang tertuang dalam
PK dan dan tidak adanya kewajiban menyampaikan laporan keuangan bulanan sehingga
tidak cukup memadai untuk mencegah dan mendeteksi kemungkinan terjadinya
penyimpangan penggunaan dana oleh debitur.
5. Persetujuan pemberian dan pengelolaan kredit kepada PT Suryabumi Argolanggeng (PT
SBAL) dengan outstanding sebesar Rp316.083,31 juta belum sepenuhnya mematuhi
ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa perusahaan belum melengkapi Analisa Dampak
Lingkungan (AMDAL), total jaminan belum mengcover pemberian kredit, pencairan kredit
KI-Kebun PT SBAL belum sepenuhnya sesuai dengan PK dan PT SBAL mendapat fasilitas
dari bank lain tanpa persetujuan tertulis dari Bank BNI. Hal tersebut mengakibatkan
pemberian kredit kepada PT SBAL berisiko tinggi dan fasilitas pokok kredit yang telah
diberikan sebesar Rp297.913,72 juta berpotensi menjadi kredit macet, pemenuhan
kewajiban PT SBAL kepada Bank BNI menjadi terganggu karena harus memenuhi
kewajiban kepada pihak ke tiga dan dengan tidak mencukupinya jaminan maka resiko
kredit PT SBAL semakin besar. Hal tersebut terjadi karena Pejabat Komite Pemutus Kredit
(KPK) dalam memutus persetujuan kredit belum sepenuhnya mematuhi ketentuan BPP
Bank BNI, Unit Bisnis belum optimal memantau aktivitas usaha PT SBAL dan belum
sepenuhnya mematuhi ketentuan tentang penilaian agunan dan kecukupan jaminan.
6. Restrukturisasi dan jaminan kredit PT Filamendo Sakti (PT FS) dengan outstanding sebesar
eq. Rp410.401,07 juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan, yaitu analisa persetujuan kredit
PT FS sebesar US$52,000.00 ribu belum memenuhi ketentuan rasio keuangan dan rasio
3

jaminan. Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI menanggung resiko lebih besar atas
pengembalian kembali kredit PT FS dan menanggung penyisihan kerugian aktiva produktif
sebesar 50% dari outstanding kredit atau sebesar eq. Rp205.200,53 juta. Hal tersebut terjadi
karena Direksi kurang memperhatikan prosedur persetujuan restrukturisasi dan Unit Bisnis
Bank BNI kurang memperhatikan kepemilikan jaminan yang diserahkan.
7. Pengelolaan Kredit PT Starwin Indonesia (PT SI) dengan outstanding sebesar
Rp165.801,25 juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah PT SI
menerima pinjaman dari kreditur lain di luar Bank BNI dan mengakuisisi PT Golden
Adishoes dan PT Tunas Adimega Dinamika tanpa seijin Bank BNI, fasilitas plafond L/C
impor US$5,000.00 ribu untuk impor bahan baku digunakan untuk impor mesin, nilai
jaminan kredit PT SI belum memenuhi persyaratan bank, CR dan Debt to Equity Ratio
(DER) PT SI tidak pernah memenuhi persyaratan bank dan restrukturisasi kredit PT SI
dilakukan pada saat order sepatu dari Nike dihentikan. Kondisi tersebut mengakibatkan
Bank BNI menderita kerugian sebesar Rp165.801,25 juta yang terdiri dari outstanding
hutang pokok Rp148.770,48 juta, tunggakan bunga Rp14.691,31 juta serta tunggakan
denda dan lainnya Rp2.339,47 juta, karena telah dibebankan sepenuhnya sebagai PPAP.
Hal tersebut terjadi karena Pejabat Bank BNI kurang menggunakan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit kepada PT SI dan tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap
pelanggaran Perjanjian Kredit yang dilakukan debitur.
8. Fasilitas kredit kepada PT Prima Inreksa Industries (PT PII) sebesar eq. Rp454.350,01 juta
belum sepenuhnya sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah pemberian tambahan fasilitas
kredit sebesar US$5,000.00 ribu belum memenuhi prosedur yang berlaku, pemberian
fasilitas kredit sebesar Rp39.940,00 juta tidak sesuai dengan ketentuan BI mengenai
plafondering, Usaha PT PII termasuk industri kategori pale red, fasilitas kredit kepada PT
PII tidak memenuhi ketentuan CR dan DER, jaminan yang diserahkan tidak memenuhi
ketentuan, nilai pengikatan hak tanggungan belum sesuai dengan ketentuan dan PT PII
belum seluruhnya menyalurkan hasil ekspor ke Bank BNI. Kondisi tersebut mengakibatkan
fasilitas kredit berpotensi bermasalah, Bank BNI akan menanggung resiko yang lebih besar
karena kecukupan jaminan dan pengikatannya belum sesuai ketentuan dan Bank BNI
kehilangan kesempatan memperoleh fee lainnya dari transaksi-transaksi yang dilakukan
oleh PT PII yang tidak melalui rekening Bank BNI. Hal tersebut terjadi karena pejabat
pengusul, pemutus dan pengelola fasilitas kredit belum sepenuhnya melaksanakan
ketentuan yang berlaku.
9. Proses pengambilalihan Aset Kredit PT Industries Badja Garuda (PT IBG) dari BPPN tidak
didasarkan pada analisa yang cermat sehingga menimbulkan kredit macet bagi Bank BNI
sebesar Rp182.912,20 juta. Permasalahannya adalah cara menetapkan besarnya Sustainable
Loan (SL) oleh Divisi Korporasi Satu Bank BNI menyimpang dari ketentuan, biaya lainlain
sebesar Rp23.300,00 juta yang dibayarkan Bank BNI kepada PT BTS dalam rangka
take over aset kredit dari BPPN tidak dapat dipertanggungjawabkan, PT IBG tidak mampu
membayar biaya dana talangan sebesar Rp4.550,82 juta dan tunggakan biaya tersebut
kemudian didudukkan ke dalam PK dan fasilitas KI sebesar Rp140.453,78 juta dan KMK
sebesar Rp50.000,00 juta dan tidak mampu dibayar dan dalam waktu yang sangat singkat
menjadi macet. Masalah tersebut mengakibatkan pokok kredit sebesar Rp182.912,20 juta
4

tertanam menjadi kredit macet, sehingga Bank BNI menderita kerugian karena harus
membentuk PPAP 100% atas kredit macet tersebut, fasilitas KI yang diberikan kepada PT
IBG terlampau besar sejumlah Rp81.438,00 juta dan pembayaran biaya lain-lain oleh Bank
BNI kepada PT BTS sebesar Rp23.300,00 juta telah meningkatkan risiko kredit bagi Bank
BNI dan biaya tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut disebabkan Analis
Kredit tidak cermat dalam menghitung dan menetapkan nilai SL atas aset kredit yang di
take over dari BPPN dan pengendalian intern yang dilakukan oleh KPK masih lemah
karena tidak dapat mengungkap adanya kekeliruan dalam menghitung nilai SL.
10. Pengelolaan dan pemantauan fasilitas kredit PT Bosowa Berlian Motor (PT BBM) dan PT
Bosowa Multi Finance (PT BMF) sebesar Rp271.702,00 juta belum maksimal.
Permasalahannya adalah adanya interfinancing kepada group Bosowa sehingga
mempersulit cash flow perusahaan dan pencairan kredit melebihi ketentuan perbulan yang
diperbolehkan. Hal tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT BBM dan PT BMF
dikhawatirkan akan bermasalah apabila fasilitas kredit tersebut tidak dipantau secara baik.
Hal tersebut disebabkan Pengusul dan Pengelola kredit PT BBM dan PT BMF belum
sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan.
11. Pemberian kredit kepada PT Semen Bosowa Maros (PT SBM) sebesar Rp604.950,00 juta
belum sepenuhya sesuai dengan ketentuan yaitu fasilitas Pre Export Finance (PEF) kepada
PT SBM tidak sesuai dengan ketentuan maksimum pembiayaan ekspor dan pelunasan
dipercepat kepada Bank Niaga dan Bank Danamon tidak sesuai PK. Masalah tersebut
mengakibatkan kelebihan pembiayaan PEF kepada PT SBM sebesar 15% dari seharusnya,
sehingga risiko Bank BNI lebih besar dan tertundanya pembayaran kewajiban sampai
dengan akhir Desember 2004 sebesar Rp17.482,71 juta. Hal tersebut disebabkan oleh
pengelolaan kredit PT SBM belum sepenuhnya mematuhi ketentuan yang ditetapkan dan
adanya keputusan seluruh anggota sindikasi yang memberikan persetujuan pembayaran
dipercepat kepada Bank Niaga dan Bank Danamon dalam keaadaan PT SBM mempunyai
tunggakan bunga kepada anggota sindikasi lainnya yang bertentangan dengan akta No.65
tanggal 30 September 2002.
12. Pemberian kredit kepada PT Segoro Fajar Satryo (PT SFS) sebesar US$23,640.00 ribu
beresiko tinggi. Permasalahannya adalah bahwa KI diberikan kepada PT SFS berisiko
tinggi, hasil klaim asuransi tidak mencukupi untuk menyelesaikan fasilitas bridging loan
sebesar US$1,000.00 ribu, klaim Surety Bond sebagai jaminan kredit sebesar
US$10,560.00 tidak dipenuhi oleh PT Asuransi Jasa Raharja Putera dan hasil penjualan
jaminan dan klaim asuransi hanya mengcover 24,15% dari kredit yang telah dihapus buku.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI berpotensi rugi sebesar US$7,854.11 ribu eq.
Rp71.786,57 juta. Hal tersebut disebabkan oleh Pejabat Bank BNI belum sepenuhnya
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit kepada PT SFS.
13. Proses restrukturisasi dan pengawasan fasilitas kredit kepada PT Bratatex sebesar
Rp282.075,03 juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan. Permasalahannya adalah
bahwa tunggakan bunga PT Bratatex didudukkan ke dalam PK, penambahan fasilitas KI
sebesar Rp3.600,00 juta dan plafond L/C sebesar US$10,085.00 ribu belum tunduk kepada
ketentuan, konversi Parsial (write Off/hapus buku) menjadi Penyertaan Sementara Bank
(PSB) belum memenuhi ketentuan BI. Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas yang
5

diberikan kepada PT Bratatex sebesar Rp117.129,15 juta berpotensi menjadi kredit
bermasalah dan Bank BNI menanggung kerugian sebesar US$15,504.00 ribu dan
Rp31.363,00 juta seluruhnya berjumlah Rp127.101,52 juta atas fasilitas kredit yang
dihapus buku karena telah dibebankan sebagai biaya PPAP 100%. Hal tersebut disebabkan
Pengelola Kredit PT Bratatex belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan dan kurang
melakukan upaya untuk memperoleh hak-hak Bank BNI.
14. Pemberian dan pengawasan kredit PT Sungai Rangit (PT SR) sebesar Rp198.576,00 juta
belum sepenuhnya memenuhi ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa pemberian
fasilitas Interest Ballon Payment (IBP) belum memenuhi ketentuan dan nilai hak
tanggungan lebih kecil dari maksimum kredit. Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas
kredit PT SR berpotensi menjadi kredit bermasalah. Hal tersebut disebabkan Relationship
Manager (RM) kurang konsisten dalam menganalisa permohonan fasilitas kredit PT SR.
15. Restrukturisasi kredit PT Riau Sakti United Plantation (PT RSUP) dengan outstanding
sebesar Rp373.166,96 juta belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan belum
mendatangkan hasil yang optimal. Permasalahannya adalah bahwa penyelamatan kredit PT
RSUP dilakukan dengan cara mendudukkan tunggakan bunga dalam PK, pemberian
tambahan fasilitas KMK Transaksional sebesar US$2,400.00 ribu dan fasilitas KMKE
sebesar US$5,250.00 ribu didasarkan pada analisa proyeksi keuangan terhadap PT RSUP
dan Sambu Group yang terlalu optimis dan jaminan yang tidak mengcover. Masalah
tersebut mengakibatkan usaha restrukturisasi dengan mengkapitalisasi tunggakan bunga
menambah fasilitas kredit memperbesar resiko kredit, kemampuan PT RSUP dalam
melunasi seluruh kewajibannya pada tahun 2010 diragukan. Hal tersebut disebabkan
Pejabat KPK dalam merestrukturisasi fasilitas kredit PT RSUP belum mematuhi SK
Direksi BI No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995, Pejabat KPK dalam memutus
pemberian fasilitas sebesar US$2,400.00 ribu dan US$5,250.00 ribu belum sepenuhnya
mentaati ketentuan Buku Pedoman Perkreditan (BPP) dan Credit Policy Committee (CPC)
Bank BNI serta RM belum sepenuhnya memantau hal-hal yang wajib disampaikan dan
dilaksanakan oleh PT RSUP sesuai PK.
16. Pemberian dan pengelolaan kredit PT Musim Mas (PT MM) sebesar Rp269.705,21 juta
belum sepenuhnya sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa PT MM tidak
memenuhi persyaratan maksimum DER untuk memperoleh fasilitas kredit, total jaminan
tidak mengcover pemberian kredit, pemberian kredit kepada PT MM berisiko tinggi dan
persetujuan kredit kepada PT MM dilakukan sebelum mendapat pertimbangan dari Dewan
Komisaris (Dekom) Bank BNI. Masalah tersebut mengakibatkan tambahan kredit kepada
PT MM menambah exposure dan meningkatkan resiko bagi Bank BNI dan Dekom tidak
dapat mempertimbangkan secara dini terhadap kelayakan pemberian kredit tambahan
kepada PT MM. Hal tersebut disebabkan Bagian kredit tidak mematuhi ketentuan yang
berlaku dalam CPC dan BPP Perkreditan Bank BNI dan Pejabat KPK lebih menekankan
penilaian prospek usaha dan pendapatan bank, dengan mengecualikan persyaratan
persetujuan kredit.
17. Restrukturisasi kredit PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) sebesar
USD125.448,00 ribu melalui kapitalisasi bunga tidak sesuai dengan SK BI
No.27/162/Kep/Dir. Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan kesempatan
6

untuk menikmati pendapatan dalam waktu cepat sesuai jatuh tempo kredit dan eksposure
kredit PT RAPP menjadi lebih besar dengan mengkapitalisasi bunga menjadi pokok kredit.
Hal tersebut terjadi karena BPP memperkenankan kapitalisasi bunga/plafondering dan
Bank BNI kurang memperhatikan kepentingan bank dalam menetapkan skema
restrukturisasi kredit PT RAPP.
18. Persetujuan fasilitas kredit PT Kencana Acidindo Perkasa (PT KAP) sebesar Rp179.650,00
juta belum sepenuhnya memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
Permasalahannya adalah bahwa PT KAP tidak memenuhi persyaratan maksimum DER,
Total jaminan yang diserahkan tidak mencover fasilitas kredit, peringkat kredit (CCR) PT
KAP 6 A (Early Warning) sehingga berisiko tinggi, permohonan kredit PT KAP tidak
dilengkapi dengan legalitas usaha yang lengkap dan persetujuan kredit PT KAP dilakukan
sebelum mendapat tanggapan konsultasi dari Dekom. Masalah tersebut mengakibatkan
pemberian fasilitas kredit kepada PT KAP berisiko tinggi dan Dekom tidak dapat
mempertimbangkan secara dini terhadap kelayakan pemberian kredit kepada PT KAP. Hal
tersebut terjadi karena Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan pemberian fasilitas
kredit kepada PT KAP belum menaati ketentuan yang berlaku dan Divisi Analisa Risiko
(ARK) tidak tegas di dalam memberikan pertimbangan resiko terhadap permohonan kredit
PT KAP.
19. Persetujuan Fasilitas Kredit PT Tunas Baru Lampung (PT TBL) sebesar Rp125.000,00 juta
belum sepenuhnya memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
Permasalahannya adalah bahwa fasilitas kredit PT TBL disetujui disaat kolektibilitas kredit
PT TBL di Bank lain berada pada kolektibilitas dua, track record PT TBL selama dua tahun
terakhir kurang baik, PT TBL tidak memenuhi persyaratan minimum CR dan persetujuan
kredit diberikan di saat kinerja PT TBL tidak baik, jaminan yang diserahkan PT TBL tidak
mengcover dan telah dijaminkan kepada bank lain, permohonan kredit PT TBL belum
dilengkapi dengan legalitas usaha yang lengkap dan persetujuan kredit PT TBL dilakukan
sebelum mendapat tanggapan konsultasi dari Dekom. Kondisi tersebut mengakibatkan
pemberian fasilitas kredit kepada PT TBL sebesar Rp125.000,00 juta berisiko tinggi dan
Dekom tidak dapat mempertimbangkan secara dini terhadap kelayakan pemberian kredit
kepada PT TBL. Hal tersebut terjadi karena Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan
fasilitas kredit kepada PT TBL belum sepenuhnya mematuhi ketentuan yang berlaku dan
Divisi ARK tidak tegas dalam memberikan pertimbangan resiko terhadap permohonan
kredit PT TBL.
20. Persetujuan Fasilitas Kredit sebesar Rp40.000,00 juta kepada PT Florindo Makmur (PT
FM) belum sesuai ketentuan CPC dan BPP Bank BNI. Permasalahannya adalah bahwa
analisa kredit PT FM belum sesuai dengan BPP, PT FM belum memenuhi syarat untuk
menjadi nasabah Bank BNI, analisa atas laporan keuangan PT FM belum sepenuhnya
sesuai dengan ketentuan, permohonan kredit PT FM tidak dilengkapi dengan legalitas
usaha yang lengkap dan jaminan yang diserahkan belum diasuransikan. Masalah tersebut
mengakibatkan pemberian fasilitas kredit kepada PT FM sebesar Rp40.000,00 juta berisiko
tinggi. Hal tersebut terjadi karena Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan fasilitas
kredit kepada PT FM belum sepenuhnya mematuhi ketentuan yang berlaku RM dalam
menganalisa permohonan kredit belum memperhatikan ketentuan..
7

21. Pengelolaan kredit PT Erna Djuliawati (PT ED) sebesar Rp301.490,50 juta belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Permasalahannya adalah terdapat
pelanggaran CR dan DER, dan PT ED menerima fasilitas dari Bank lain sebelum KI
dilunasi tanpa ada persetujuan tertulis dari Bank BNI. Kondisi tersebut mengakibatkan
fasilitas yang masih belum dilunasi oleh PT ED sebesar Rp282.024,00 juta menjadi
berisiko apabila kredit tidak diawasi secara ketat. Kondisi tersebut terjadi karena RM dan
pejabat KPK belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan yang diatur di dalam BPP serta
RM belum maksimal dalam memantau perkembangan usaha PT ED dan hal-hal yang yang
wajib disampaikan oleh PT ED.
22. Fasilitas KI PT Riau Andalan Kertas (PT RAK) sebesar US$104,253.00 ribu tidak
memenuhi syarat permohonan. Permasalahannya adalah bahwa PT RAK belum melengkapi
Ijin Mendirikan Bangunan, persetujuan kredit Bank BNI atas proyek pembangunan pabrik
kertas PT RAK diberikan sebelum adanya Laporan Studi Kelayakan, pembukaan Usance
LC PT RAK melebihi USD1,056.93 ribu dari fasilitas KI, penetapan jangka waktu Usance
LC PT RAK tidak sesuai ketentuan BI. Kondisi tersebut mengakibatkan fasilitas kredit PT
RAK berpotensi menjadi kredit bermasalah. Kondisi tersebut terjadi karena Pejabat KPK
dalam memutuskan persetujuan kredit kepada PT RAK tidak memperhatikan ketentuan
larangan pemberian kredit, akan tetapi hanya melihat PT RAK merupakan Grup RGM dan
memandang bahwa pabrik kertas PT RAK merupakan industri strategis yang perlu
mendapat pembiayaan.
23. Pengelolaan kredit PT Intibenua Perkasatama (PT IBP) sebesar Rp293.091,20 juta belum
sepenuhnya sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah jaminan yang diserahkan tidak
memenuhi ketentuan, nilai pertanggungan asuransi PT IBP belum mengcover jaminan yang
diserahkan dan penyaluran transaksi ekspor/impor PT IBP melalui Bank BNI belum
optimal. Kondisi tersebut mengakibatkan kepentingan Bank tidak sepenuhnya
terjamin/aman, karena jaminan tidak mengcover dan nilai pertanggungan jaminannya under
insured dan Bank BNI kehilangan kesempatan memperoleh fee dari transaksi yang
dilakukan oleh PT IBP yang tidak melalui rekening Bank BNI. Kondisi tersebut terjadi
karena pejabat pengelola kredit PT IBP belum sepenuhnya melaksanakan ketentuanketentuan
yang berlaku.
24. Pemberian dan pengelolaan kredit PT Bhineka Karya Manunggal (PT BKM) sebesar
Rp433.977,50 juta belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan fasilitas kredit PT BKM
sebesar maksimal eq. Rp433.977,50 juta yang jatuh tempo tahun 2004 didudukkan dalam
PK tanggal 16 Mei 2005. Kondisi tersebut mengakibatkan fasilitas kredit PT BKM
berpotensi menjadi kredit bermasalah. Kondisi tersebut terjadi karena pejabat pengusul dan
pemutus kredit dalam memberikan kredit kepada PT BKM belum sepenuhnya
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
25. Pemberian kredit kepada PT Cikarang Listrindo (PT CKL) sebesar eq. Rp1.888.750,25
juta tidak sesuai dengan ketentuan. Permasalahannya adalah PT CKL belum efektif
beroperasi selama 3 tahun, analisis kredit PT CKL menggunakan laporan keuangan yang
belum diaudit (home statement), proyeksi arus kas memperlihatkan bahwa CR dari awal
pemberian kredit s.d. kredit lunas tidak memenuhi ketentuan, hanya sebagian besar
pelanggan PT CKL yang berorientasi ekspor sehingga belum sesuai dengan surat Bank
8

Indonesia, feasibility study disusun oleh konsultan yang bukan rekanan Bank BNI, jaminan
yang diberikan tidak mengcover, fasilitas bridging loan diberikan sebelum adanya
persetujuan keikutsertaan peserta sindikasi, penarikan kredit dilakukan meskipun syarat
penarikan belum seluruhnya terpenuhi dan terdapat plafondering kredit dalam
restrukturisasi kredit PT CKL. Masalah tersebut mengakibatkan risiko yang akan
ditanggung oleh Bank akan lebih besar apabila ternyata kredit yang telah diberikan
bermasalah dan dengan dijadikannya tunggakan bunga sebesar US$29,798.26 ribu sebagai
pokok kredit maka Bank BNI harus menyisihkan PPAP sesuai kolektibilitas kreditnya.
Kondisi tersebut terjadi karena RM dan analis kredit dalam melakukan pengelolaan kredit
belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku, KKSK dalam
memutus restrukturisasi kredit PT CKL pada tahun 2002 tidak memperhatikan ketentuan BI
dan Agen Sindikasi (Bank BNI) belum secara tegas meminta debitur untuk memenuhi
ketentuan yang tertuang dalam Akta PK.
26. Pengelolaan kredit PT Petrokimia Gresik (PT PG) sebesar Rp640.021,50 juta belum
sepenuhnya sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa jaminan yang diserahkan
sejak tahun 2001 yang akan dilakukan pengikatan secara paripasu dengan Bank Mandiri,
ternyata sampai dengan Juni 2005 belum terealisir, CR selama tahun 2001 s.d. 2004 belum
memenuhi persyaratan dan PT PG meminjam ke bank lain tanpa memberitahukan kepada
Bank BNI. Kondisi tersebut mengakibatkan risiko yang akan ditanggung oleh Bank akan
lebih besar apabila ternyata kredit yang telah diberikan bermasalah. Kondisi tersebut terjadi
karena RM dalam mengelola kredit belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan-ketentuan
yang berlaku serta belum secara tegas meminta debitur untuk memenuhi ketentuan dalam
PK.
27. Pemberian dan pengelolaan kredit PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (PT PPL)
sebesar US$40,000.00 juta belum sesuai dengan ketentuan. Permasalahannya adalah
PT PPL merupakan debitur macet di Bank lain, penyimpangan CR dan DER, Customer
Risk Rating menunjukkan golongan 6 (early warning), pemberian kredit kepada PT PPL
tidak diputus oleh Direktur Utama dan KAP yang memeriksa Laporan Keuangan PT PPL
memiliki keterkaitan dengan Bank BNI. Kondisi tersebut mengakibatkan risiko yang akan
ditanggung oleh Bank akan lebih besar apabila ternyata kredit yang telah diberikan
bermasalah dan terdapat konflik kepentingan pada KAP Haryanto Sahari dalam melakukan
pemeriksaan Bank BNI dan PT PPL. Kondisi tersebut terjadi karena KPK tetap menyetujui
pemberian kredit kepada PT PPL meskipun PT PPL tidak memenuhi kriteria pemberian
kredit Bank BNI dan RM dan analis kredit dalam melakukan pengelolaan kredit belum
sepenuhnya memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
28. Fasilitas kredit kepada PT Duta Pertiwi (PT DP) sebesar eq. Rp 617.515,00 juta berisiko
tinggi. Permasalahannya yaitu terdapat dua perusahaan grup Sinar Mas yang fasilitas
kreditnya telah dihapusbuku oleh Bank BNI dan terdapat fasilitas kredit grup usaha Sinar
Mas yang juga mempunyai riwayat kredit bermasalah di Bank lainnya. Kondisi tersebut
mengakibatkan fasilitas kredit sebesar eq. Rp617.515,00 juta berpotensi bermasalah apabila
penggunaan kredit tersebut tidak diawasi secara ketat. Kondisi tersebut terjadi karena
pejabat pengusul dan pemutus kredit dalam memberikan persetujuan kredit kepada PT DP
9

elum sepenuhnya menjalankan ketentuan dalam BPP dan belum memperhatikan
rekomendasi Dekom.
29. Pemberian unsecured loan sebesar Rp517.645,22 juta kepada PT Indosat melampaui batas
maksimal partisipasi dalam kredit sindikasi yang ditetapkan Komite Kebijakan
Kebijakan Kredit Bank BNI dan persetujuannya tidak didahului dengan analisa yang
lengkap sehingga mengakibatkan risiko Bank BNI akan lebih besar. Kondisi tersebut
terjadi karena Pejabat pengusul dan pemutus fasilitas reprofiling existing kredit sindikasi
kepada PT Indosat tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dan
adanya upaya dari Bank BNI untuk mempertahankan eksposur kredit PT Indosat pada Bank
BNI.
30. Proses take over kredit PT Bukaka Singtel Internasional (PT BSI) senilai Rp129.996,00
juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan yang berlaku. Permasalahannya adalah bahwa
CR tidak sesuai ketentuan, take over KI tidak disertai dengan Laporan Studi Kelayakan, PT
BSI tidak menyerahkan jaminan pokok, jaminan belum mengcover total fasilitas dan take
over kredit PT BSI disetujui sebelum tanggapan tertulis Dekom diterima. Masalah tersebut
mengakibatkan kepentingan Bank BNI kurang terjamin apabila fasilitas yang diberikan
kepada PT BSI menjadi bermasalah, fasilitas kredit menjadi lebih berisiko karena diberikan
tanpa adanya studi kelayakan dan Dekom tidak dapat mempertimbangkan secara dini
terhadap kelayakan pemberian kredit PT BSI. Kondisi tersebut terjadi karena Bank BNI
lemah dalam melakukan tawar menawar dengan Bank BII sehingga persyaratan CR
disesuaikan dengan ketentuan BII dan pengelola kredit PT BSI kurang memperhatikan
ketentuan intern Bank BNI.
31. Pemberian KI kepada PT Adi Karya (PT AK) sebesar Rp242.101,00 juta berisiko tinggi
dan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan. Permasalahannya adalah share pembiayaan
Bank BNI melebihi ketentuan, jaminan yang diserahkan belum memenuhi ketentuan, Self
Financing baru dikeluarkan pada akhir masa pemeliharaan, DER melebihi ketentuan,
kewajaran nilai proyek tidak diungkapkan dalam analisa dan sumber pelunasan kredit
belum dapat dipastikan. Kondisi tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT AK
berpotensi menjadi kredit bermasalah. Kondisi tersebut terjadi karena Direksi Bank BNI
banyak memberikan exception kepada PT AK dan Divisi Korporasi selaku pengusul
persetujuan permohonan kredit PT AK belum sepenuhnya menjalankan ketentuan.
32. Pengawasan dan pemberian KMK tambahan sebesar Rp70.000,00 juta kepada PT
Satyaraya Keramindoindah (PT SRKI) belum sepenuhnya memenuhi ketentuan.
Permasalahannya adalah jangka waktu KMK melebihi ketentuan, pemberian tambahan
KMK belum mengakomodir rekomendasi Dekom, jaminan belum mengcover fasilitas, nilai
hak tanggungan lebih kecil dari maksimum kredit, PT SRKI menerima fasilitas dari Bank
lain sebelum KI dilunasi tanpa ada persetujuan tertulis dari Bank BNI, nilai pertanggungan
asuransi dibawah nilai jaminan yang insurable dan aktivitas ekspor dan impor PT SRKI
belum maksimal disalurkan ke Bank BNI. Masalah tersebut mengakibatkan apabila terjadi
eksekusi atas jaminan maka hak yang dapat diperoleh Bank BNI lebih kecil dari fasilitas
kredit yang telah diberikan, Bank BNI akan mengalami kerugian apabila terjadi kecelakaan
terhadap barang jaminan yang insurable dan Bank BNI kehilangan fee dari kegiatan ekspor
impor PT SRKI. Kondisi tersebut terjadi karena Pengelola Kredit PT SRKI belum
10

sepenuhnya melaksanakan ketentuan dan kurang melakukan upaya untuk mengamankan
kepentingan Bank BNI dan belum maksimal memantau perkembangan usaha debitur
seperti yang diatur dalam BPP.
33. Pemberian kredit kepada PT Kresna Duta Agroindo (PT KDA) sebesar Rp243.523,00 juta
berisiko tinggi dan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan. Permasalahannya yaitu kredit
diberikan kepada PT KDA, sedangkan anggota group lainnya mempunyai kredit
bermasalah pada Bank BNI dan pihak lain, jumlah fasilitas KI yang diperoleh PT KDA
sebesar USD28,649,400.00 belum dapat diyakini kewajarannya, nilai hak tanggungan
lebih kecil dari maksimum kredit dan PT KDA belum mempunyai ijin AMDAL. Masalah
tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT KDA berpotensi menjadi kredit
bermasalah apabila fasilitas tersebut tidak diawasi secara ketat. Kondisi tersebut terjadi
karena Divisi Korporasi dan KPK belum sepenuhnya menjalankan ketentuan yang
dituangkan dalam BPP dan dalam memberikan persetujuan kredit kepada PT KDA, Direksi
Bank BNI cenderung mengabaikan rekomendasi dari Dekom.
34. Pemberian fasilitas Usance L/C sebesar US$200,000.00 ribu kepada PT Sumber Segara
Primadaya (PT SSP) belum sepenuhnya sesuai dengan kebijakan pemberian kredit Bank
BNI. Permasalahannya adalah permohonan fasilitas usance L/C PT SSP tidak dilengkapi
dengan AMDAL dan penerbitan fasilitas usance L/C sebesar US$200,000.00 ribu belum
mendapat persetujuan seluruh Pejabat KPK. Masalah tersebut mengakibatkan pemberian
kredit kepada PT SSP menjadi lebih berisiko dan pemberian fasilitas usance L/C belum
dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi tersebut terjadi karena Pejabat KPK dalam
memutus persetujuan permohonan usance L/C kepada PT SSP belum sepenuhnya
mematuhi ketentuan atau persyaratan yang telah diatur dalam CPC dan BPP Bank BNI
serta kebijakan Direktur Korporasi dalam memberikan persetujuan pembukaan L/C sebesar
US$200,000.00 ribu belum memperhatikan BPP tentang kewenangan memutus kredit.
35. Pemberian kredit kepada PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) dengan outstanding sebesar
Rp427.094,00 juta mengandung risiko tinggi. Permasalahannya yaitu pemberian KMK
untuk pembangunan pabrik PIM-1 sebesar Rp100.000,00 juta dan KI untuk pabrik PIM-2
sebesar Rp233.993,00 juta dan US$10,964.00 ribu berisiko tinggi dan persetujuan kredit PT
PIM sebesar Rp100.000,00 juta dilakukan sebelum mendapat pertimbangan konsultasi dari
Dewan Komisaris Bank BNI. Masalah tersebut mengakibatkan pemberian kredit kepada PT
PIM meningkatkan resiko Bank BNI, Bank BNI tidak memperoleh penyelesaian kredit
tepat waktu dan Dewan Komisaris tidak dapat mempertimbangkan secara dini terhadap
kelayakan pemberian kredit tambahan kepada PT PIM. Kondisi tersebut terjadi karena
Pejabat KPK lebih menekankan penilaian keberadaan PT PIM sebagai BUMN, dengan
mengecualikan persyaratan persetujuan kredit yang sehat
36. Pemberian kredit kepada PT Adira Dinamika Multi Finance (PT ADMF) sebesar maksimal
Rp750.000,00 juta belum sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah PT ADMF
mendapatkan fasilitas kredit dari beberapa Bank, Bank BNI belum melakukan pemantauan
secara teratur, jaminan yang diserahkan tidak memenuhi ketentuan dan asuransi PT ADMF
belum mengcover jaminan yang diserahkan. Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI
akan menanggung resiko yang lebih besar karena apabila terjadi kerugian, penggantian
kerugian dari asuradur akan lebih kecil dari pada jumlah kerugiannya, kepentingan Bank
11

BNI tidak sepenuhnya aman karena jaminan tidak mencukupi dan afektivitas pemantauan
yang dilakukan Bank BNI atas kredit yang diberikan diragukan dapat dicapai. Kondisi
tersebut terjadi karena Bank BNI dan PT ADMF belum sepenuhnya melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
37. Pengelolaan kredit PT Pasaraya Tosersajaya (PT PTS) sebesar Rp63.072,59 juta belum
sesuai dengan ketentuan. Permasalahannya adalah terjadi penyalahgunaan aliran kas pada
PT PTS, PT PTS tidak menyetor angsuran ke Bank BNI sebesar Rp1.488,91 juta, founder
share holder tidak memenuhi kewjibannya dan jaminan berupa tanah belum seluruhnya
diikat dengan Hak Tanggungan. Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI harus
menanggung risiko yang lebih besar sehubungan kredit PT PTS yang macet sehingga
membebani Bank BNI sebesar Rp63.072,59 juta karena harus membentuk PPAP sebesar
100% dari kredit dan kepentingan Bank BNI belum sepenuhnya aman karena
ketidakcukupan pengikatan jaminan. Kondisi tersebut terjadi karena terjadi penyalahgunaan
cashflow PT PTS ke perusahaan yang terafiliasi dan Pengelola kredit PT PTS kurang
optimal untuk memperoleh dan mengamankan kepentingan Bank BNI.
38. Penyediaan fasilitas pembiayaan Bank BNI kepada PT Austindo Nusantara Jaya Finance
(PT ANJF) sebesar Rp650.000,00 juta tidak memberikan hasil yang optimal.
Permasalahannya adalah bahwa penyediaan fasilitas pembiayaan kepada PT ANJF sebesar
Rp650.000,00 juta tidak memberikan hasil yang optimal dan penetapan target pembiayaan
PT ANJF terlalu optimis dan Bank BNI memberikan keringanan syarat biaya provisi
menjadi 0,5% dari seharusnya 1%, kepada fasilitas pembiayaan PT ANJF. Masalah tersebut
mengakibatkan fasilitas kredit yang disediakan tidak memberikan pendapatan yang optimal
pada Bank BNI, Bank BNI menanggung beban PPAP komitmen sisa penarikan maksimum
pembiayaan sebesar Rp5.954,75 juta dan kehilangan kesempatan pendapatan provisi
sebesar Rp750,00 juta. Kondisi tersebut terjadi karena Wakil Divisi Operasional kurang
cermat dalam menilai kemampuan debitur PT ANJF, yang dapat diketahui dari
ketidaksanggupan PT ANJF dalam menyerap fasilitas pembiayaan yang akan disalurkan.
39. Pemberian keringanan pembayaran uang muka dan pemenuhan persyaratan administratif
atas fasilitas kredit kepada PT Oto Multiartha (PT OTMA) sebesar Rp1.300.000,00 juta
belum sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa pembiayaan dengan Down
Payment (DP) 10% tidak sesuai ketentuan dan terdapat beberapa persyaratan administrasi
debitur yang belum lengkap. Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI akan menghadapi
permasalahan jika fasilitas kredit end user memburuk kolektibilitasnya. Kondisi tersebut
terjadi karena Bank BNI menyetujui keringanan pembayaran uang muka dibawah
ketentuan yang ditetapkan dan masih kurang dalam memantau persyaratan administrasi end
user.
40. Fasilitas pembiayaan bersama dengan PT Astra Sedaya Finance (PT ASF) sebesar
Rp2.000.000,00 juta diputus KPK melebihi kebutuhan kredit yang tercantum dalam analisis
pemberian kreditnya sebesar Rp1.260.000,00 juta dan tingkat bunga kepada PT ASF tidak
sesuai dengan ketentuan. Kondisi tersebut mengakibatkan risiko yang akan ditanggung
Bank BNI akan lebih besar dan Bank BNI kehilangan kesempatan untuk memperoleh
pendapatan dari bunga kredit. Kondisi tersebut terjadi karena Analis Kredit kurang cermat
dalam menganalisis besarnya pembiayaan yang diperlukan PT ASF dan Direksi Bank BNI
12

dalam memutus pembiayaan bersama dengan PT ASF hanya berorientasi pada pencapaian
target ekspansi kredit dan kurang memperhatikan limit maksimum fasilitas kredit yang
diberikan melalui pola kerjasama.
41. Pengelolaan kredit pada PT Cahaya Sakti Furintraco (PT CSF) sebesar eq. Rp197.624,77
juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan. Permasalahannya adalah jaminan dan
pengikatannya belum sesuai ketentuan, terdapat pinjaman dari Bank lain tanpa
sepengetahuan Bank BNI, CR dan DER tidak memenuhi ketentuan, penyertaan kepada
anak perusahaan tanpa seijin Bank BNI dan penyampaian laporan keuangan home
statement dan laporan aktivitas usaha terlambat disampaikan. Masalah tersebut
mengakibatkan kepentingan Bank BNI tidak sepenuhnya aman karena ketidakcukupan dan
pengikatan jaminan dan Bank BNI tidak dapat secara dini mengetahui perkembangan usaha
debitur dan penentuan target penjualan menjadi tidak maksimal. Kondisi tersebut terjadi
karena RM dalam memantau fasilitas kredit kepada PT CSF belum optimal dan tidak
adanya sanksi atas pelanggaran PK.
42. Pemberian kredit kepada PT Duta Rendra Mulya (PT DRM) sebesar maksimal
Rp231.496,60 juta belum sesuai dengan persyaratan administrasi Bank BNI.
Permasalahannya yaitu PT DRM belum sepenuhnya memenuhi ketentuan minimal CR dan
maksimal DER dan jaminan yang diikat belum mengcover maksimum kredit PT DRM.
Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT DRM dapat berpotensi menjadi
kredit bermasalah. Kondisi tersebut terjadi karena pemberian kredit kepada PT DRM belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
43. Sentra Kredit Medan (SKM) Medan
a. Pemberian fasilitas KI dan KMK kepada PT Hamparan Pancaran Cheimindo (PT HPC)
dengan outstanding sebesar Rp55.958,83 juta belum sepenuhnya mengacu kepada
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dan pemberian tambahan fasilitas KI
sebesar Rp12.800,00 juta kepada PT HPC bertentangan dengan ketentuan PK dan
syarat perpindahan lokasi proyek. Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit
kepada PT HPC berpotensi menjadi kredit bermasalah dan Bank BNI Cabang Medan
harus menanggung cost over run dalam bentuk pemberian tambahan fasilitas KI
sebesar Rp12.800,00 juta. Hal tersebut terjadi karena Pejabat KPK dalam memberikan
persetujuan kredit belum sepenuhnya mentaati prinsip kehati-hatian dalam peberian
kredit dan dalam memberikan tambahan fasilitas KI sebesar Rp12.800,00 juta belum
mentaati ketentuan PK tanggal 7 Desember 2001.
b. Pemberian fasilitas kredit sebesar Rp12.031,17 juta kepada PT Gaya Sentosa Lestari
(PT GSL) kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian. Permasalahannya adalah
PT GSL tidak dapat mencapai target penjualan yg dipersyaratkan dalam kontrak, PT
GSL dapat diyakini tidak akan mampu membayar IBP sesuai perjanjian dan terdapat
penyalahgunaan dana kredit investasi. Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit
kepada PT GSL berpotensi menjadi kredit bermasalah disamping itu Bank BNI SKM
Medan harus menyisihkan PPAP yang semakin besar. Hal tersebut terjadi karena KPK
Bank BNI SKM Medan, dalam pemberian fasilitas kredit kepada debitur belum
sepenuhnya mengacu pada BPP dan dan SK Direksi BI No.31/147/KEP/DIR tanggal
12 November 1998 pasal 2 ayat (1).
13

c. Pengambilalihan kredit PT Aneka Surya (PT ASA) dari Bank BIRA sebesar
Rp4.300,00 juta dan pemberian fasilitas KMK sebesar Rp3.200,00 juta belum
sepenuhnya mengacu kepada Kebijakan Perkreditan Bank BNI dan prinsip kehatihatian
dalam pemberian kredit. Permasalahannya adalah bahwa pada saat melakukan
take over kondisi keuangan PT ASA memburuk dan ekspor menurun dan analisa
pemberian kredit terlalu optimis dan belum sepenuhnya mematuhi perinsip kehatihatian
dalam pemberian kredit. Masalah tersebut mengakibatkan SKM Bank BNI
Medan menanggung beban PPAP sebesar 100% yaitu Rp9.394,60 juta. Kondisi
tersebut terjadi karena Pejabat KPK dalam memutus fasilitas kredit kepada PT ASA
belum sepenuhnya mentati ketentuan yang berlaku dan mentati prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit.
d. Analisa pemberian kredit kepada PT Sumber Sawit Cahaya Lestari dengan baki debet
sebesar Rp17.509,50 juta lemah. Permasalahannya adalah bahwa kemampuan debitur
dalam mengelola perusahaan, ketersediaan bahan baku serta pemasaran produk
diragukan. Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI memiliki risiko gagalnya
pengembalian kredit sebesar Rp17.509,50 juta jika PKS milik PT SSCL gagal
memperoleh pasokan bahan baku dari koperasi. Kondisi tersebut terjadi karena Analis
dan KPK kurang berhati-hati dalam menganalisa dan memutus pemberian kredit
kepada PT SSCL.
44. SKM Pekanbaru
a. Fasilitas kredit PT Khage Lestari Timber (PT KLT) sebesar US$1,550.98 ribu
berpotensi menjadi kredit bermasalah. Permasalahannya adalah bahwa mapping untuk
sektor kayu semester I tahun 2003 adalah ‘red’, Credit Risk Rating PT KLT memiliki
rating 6 (Early Warning tanpa pelanggaran Covenant), CCR mencapai rating 7
(Precautionary) dan nilai jaminan terkendali belum mengcover pinjaman. Kondisi
tersebut mengakibatkan outstanding kredit kepada PT KLT berpotensi menjadi kredit
bermasalah dan menimbulkan kerugian karena Bank BNI harus membentuk PPAP
yang lebih besar. Kondisi tersebut terjadi karena dalam pemberian kredit KPK SKM
Pekanbaru mengabaikan mapping sektor industri kayu yang telah dikategorikan
“merah” oleh Kantor Pusat Bank BNI.
b. Pemberian fasilitas kredit PT Bumi Jaya Putra Kampar (PT BJPK) dengan outstanding
sebesar Rp22.850,30 juta dan US$6.434.20 ribu belum sepenuhnya mematuhi
ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa mapping traffic light sektor perdagangan
hotel dan restauran berada pada kategori “red”, tambahan fasilitas kredit sebesar
US$2,000.00 ribu belum dibuatkan Feasibility Study (FS) oleh konsultan dan sudah
termasuk unsur pembiayaan fasilitas kredit sebelumnya dan persyaratan CR belum
sesuai dengan ketentuan. Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI harus membiayai
kekurangan dana yang seharusnya dibiayai oleh debitur, proyek tersebut tidak dapat
diyakini kelayakannya karena tidak ada FS dan fasilitas kredit berpotensi menjadi
bermasalah. Kondisi tersebut terjadi Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan
kredit belum sepenuhnya memperhatika ketentuan yang berlaku dan adanya exception
dari Komite Pemutus Kebijakan Kredit (KPKK).
14

c. Analisa kredit atas take over fasilitas kredit PT Salam Ria Abadi (PT SRA) dan PT
Salam Jaya Sejati (PT SJS) dari PT BRI dengan outstanding sebesar Rp7.169,43 juta
kurang cermat. Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI menanggung kerugian atas
fasilitas kredit yang diberikan kepada PT SJS dan PT SRA yang telah dihapusbuku
sebesar Rp7.169,43 juta. Kondisi tersebut terjadi karena analisa Bank BNI dalam
melakukan pengambilalihan kredit kedua perusahaan tersebut kurang cermat.
d. Pemberian dan pemantauan fasilitas kredit kepada PT Nuansa Agung Selaras (PT
NAS) dengan outstanding sebesar Rp29.997,57 juta belum dilaksanakan sesuai
ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa pengikatan jaminan belum sesuai ketentuan,
terjadi penyaluran fasilitas kredit PT NAS kepada perusahaan afiliasi PT Sinar Geliga
Bestari (PT SGB), Bank BNI belum menjadi tempat penyaluran seluruh transaksi
keuangan PT NAS dan PT NAS melakukan investasi pada perusahaan afiliasi PT SGB.
Masalah tersebut mengakibatkan proyek yang dibiayai atas nama PT SGB akan
beresiko karena bukan nasabah Bank BNI dan posisi Bank BNI atas jaminan sangat
lemah dihadapan hukum. Kondisi tersebut terjadi karena SKM Bank BNI memberikan
disposisi kredit meskipun pengikatan jaminan belum selesai dan sangat lemah jika ada
gugatan dari pihak pemilik hak.
e. Pemberian kredit kepada PT Indomirin sebesar Rp2.895,85 juta hanya dicover dengan
jaminan sebesar 36,70% dari total fasilitas kredit. Kondisi tersebut mengakibatkan
Bank BNI menanggung kerugian atas fasilitas kredit yang diberikan kepada PT
Indomirin sebesar Rp2.895,85 juta. Kondisi tersebut terjadi karena KPK dalam
menyetujui fasilitas kredit kepada PT Indomirin kurang memperhatikan pemenuhan
persyaratan jaminan.
45. SKM Palembang
a. Pemberian kredit kepada PT Graha Taruna Dwipa (PT GTD) dengan outstanding
sebesar Rp8.557,73 juta serta penghapusbukuannya belum sesuai dengan ketentuan.
Permasalahannya adalah analisa aspek keuangan didasarkan pada laporan keuangan
unaudited, jaminan tidak dinilai oleh apraisal, PT GTD tidak menyampaikan laporan
keuangan audited dan penghapusbukuan PT GTD belum sesuai ketentuan. Masalah
tersebut mengakibatkan dana Bank BNI sebesar Rp8.557,73 juta tertanam menjadi
kredit macet dan menanggung kerugian sebesar jumlah tersebut karena harus
membentuk PPAP 100%. Hal tersebut disebabkan Analis Kredit dan pengelola kredit
PT GTD belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan intern.
b. Pemberian KI kepada PT Okitania Pratama maksimum sebesar Rp15.000,00 juta belum
sepenuhnya sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah permohonan kredit PT OP
belum sepenuhnya memenuhi persyaratan, analisa atas laporan keuangan PT OP belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan DER tidak memenuhi ketentuan maksimal 2,3
kali. Masalah tersebut mengakibatkan kondisi keuangan PT OP kurang diyakini
kewajarannya karena menggunakan laporan unaudited dan adanya potensi risiko karena
modal perusahaan tidak bisa mengcover hutang-hutangnya. Kondisi tersebut terjadi
karena Bagian Perkreditan belum sepenuhnya menjalankan ketentuan yang diatur
dalam BPP Bank BNI.
15

c. Pemberian fasilitas KMK kepada CV Abadi sebesar Rp15.000,00 juta belum sesuai
ketentuan. Permasalahannya adalah CV Abadi belum beroperasi tiga tahun tetapi telah
diberikan kredit, hanya menyerahkan satu laporan keuangan audited dan total CEV
jaminan belum terpenuhi dan sebagian besar atas nama pihak ketiga. Masalah tersebut
mengakibatkan posisi Bank BNI atas jaminan menjadi lemah sehingga kepentingan
Bank BNI menjadi kurang terlindungi dan Bank BNI tidak dapat memantau
perkembangan kondisi debitur sejak dini. Hal tersebut terjadi karena adanya
persetujuan exception yang diberikan oleh pejabat KPK + 1.
d. Pemberian kredit kepada Fa Kusda dengan outstanding sebesar Rp2.983,32 juta dan
US$710.07 ribu belum sepenuhnya sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa
Fa Kusda tidak menyampaikan laporan keuangan audited tepat waktu dan jaminan
kredit tidak mengcover fasilitas kredit yang diberikan. Masalah tersebut mengakibatkan
Dana Bank BNI sebesar Rp2.983,32 juta dan US$710.07 ribu tertanam menjadi kredit
macet dan menanggung kerugian sebesar jumlah tersebut karena harus membentuk
PPAP 100%. Hal tersebut terjadi karena RM pengelola fasilitas kredit Fa Kusda belum
maksimal melakukan pengawasan.
46. SKM Bandung
a. Pengelolaan kredit CV Pudak Scientific (CV PS) dengan outstanding sebesar
Rp42.844,45 juta belum sepenunya sesuai dengan ketentuan. Permasalahannya yaitu
CV PS menerima pinjaman dari bank lain tanpa izin tertulis dari Bank BNI dan
terlambat penyampaikan laporan keuangan. Masalah tersebut mengakibatkan adanya
pinjaman kepada bank lain dapat mempengaruhi kelancaran pemenuhan kewajiban
kepada Bank BNI. Hal tersebut disebabkan pengelola debitur CV PS pada SKM Bank
BNI Bandung belum maksimal melakukan pengawasan.
b. Fasilitas kredit yang diberikan kepada CV Selini Sinar Sakti (CV SSS) sebesar
Rp8.338,00 juta tidak diawasi dengan baik sehingga menjadi bermasalah dan
merugikan Bank BNI. Permasalahannya yaitu asset perusahaan diindikasikan
digunakan untuk transaksi di luar usaha perusahaan, terdapat peningkatan biaya gaji
dan fasilitas karyawan yang cukup signifikan dalam keuangan CV SSS tahun 2002 dan
hilangnya modal kerja perusahaan, tidak terpantau oleh SKM Bank BNI Bandung.
Masalah tersebut mengakibatkan dana Bank BNI sebesar Rp8.335,20 juta tertanam
menjadi kredit macet dan menanggung beban sebesar jumlah tersebut karena harus
membentuk PPAP 100%. Hal tersebut disebakan kredit yang telah diberikan kepada
CV SSS tidak diawasi dengan baik.
c. Fasilitas kredit kepada PT Bintang Mitra Textindo (PT Bimatex) sebesar Rp43.000,00
juta dikategorikan pembiayaan beresiko tinggi. Permasalahannya yaitu mapping traffic
light untuk sektor industri pengolahan tekstil, kulit dan sandang tahun 2004 berada
pada kategori red dan pada saat analisis kredit, kinerja keuangan PT Bimatex sedang
menurun. Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT Bimatex dengan
outstanding per 31 Januari 2005 sebesar Rp43.222,06 juta berpotensi menjadi kredit
bermasalah apabila pengelolaannya tidak diawasi secara ketat. Hal tersebut disebabkan
pejabat KPK dalam memutus persetujuan kredit tidak memperhatikan mapping sektor
ekonomi yang telah dibuat oleh Kantor Pusat Bank BNI.
16

d. Analisis pemberian kredit kepada PT Nico Taiyojaya dengan outstanding sebesar
Rp27.026,88 juta kurang cermat dan jaminan yang diserahkan tidak cukup untuk
mengcover kewajiban kreditnya. Masalah tersebut mengakibatkan Dana Bank BNI
sebesar Rp19.390,25 juta (pokok kredit) tertanam menjadi kredit macet dan
menanggung beban sebesar jumlah tersebut karena harus membentuk PPAP 100% dan
SKM Bank BNI Bandung berpotensi menderita kerugian minimal Rp21.348,18 juta
(nilai kewajiban debitur (pokok dan bunga) Rp27.026,88 juta - nilai taksasi jaminan
terakhir Rp5.678,70 juta). Hal tersebut disebabkan Analis Kredit dalam menganalisa
permohonan kredit PT NTJ kurang mendalam yaitu pada aspek produksi, pemasaran
dan aspek pemasaran.
e. Pemberian KMK kepada debitur PT Erlangga Bina Niaga Harmonia sebesar
Rp5.000,00 juta menimbulkan kredit bermasalah. Permasalahannya adalah PT EBNH
diberi exception untuk tidak menyerahkan agunan tambahan, terdapat indikasi bahwa
fasilitas KMK tersebut diberikan oleh PT EBNH kepada PT Toyamilindo yang
merupakan perusahaan terafiliasi dan PT EBNH tidak memenuhi kewajibannya untuk
menyampaikan neraca dan perhitungan laba rugi triwulanan dan laporan keuangan
tahunan audited. Masalah tersebut mengakibatkan dana Bank BNI sebesar Rp5.000,00
juta tertanam menjadi kredit macet dan menanggung kerugian sebesar jumlah tersebut
karena harus membentuk PPAP 100% serta tujuan pengendalian intern perkreditan
untuk mengamankan dan melindungi kredit yang diberikan tidak sepenuhnya tercapai.
Hal tersebut terjadi karena pengawasan oleh RM terhadap kredit yang diberikan kepada
PT EBNH masih lemah dan persyaratan laporan yang harus diserahkan oleh debitur
yang diatur dalam PK belum cukup memadai untuk mencegah timbulnya
penyalahgunaan kredit (Laporan yang disyaratkan triwulanan dan bukan bulanan).
47. SKM Surabaya
a. Pemberian fasilitas kredit kepada PT Anak Jaya Bapak Sejahtera (PT AJBS) belum
sepenuhnya sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa laporan keuangan yang
disampaikan masih unaudited, jaminan terkendali belum memenuhi ketentuan dan
realisasi PAL (standby kredit) sebesar Rp1.127,50 juta dijadikan fasilitas KMK dan KI.
Masalah tersebut mengakibatkan antara lain Analis Kredit dalam menganalisa
permohonan kredit tidak memperoleh informasi laporan keuangan yang lebih andal dan
terpercaya. Hal tersebut disebabkan RM belum sepenuhnya mematuhi dan menerapkan
ketentuan yang telah diatur dalam BPP ketika melakukan analisa kredit.
b. Pemberian fasilitas KMKE Onshore kepada PT Anita Vira Andika belum sepenuhnya
sesuai dengan ketentuan. Permasalahannya adalah jaminan tidak mengcover fasilitas
kreditnya dan belum diikat dengan sempurna, DER melampaui ketentuan dan resiko
umum PT AVA adalah cenderung tinggi. Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas
kredit kepada PT AVA berpotensi menjadi kredit bermasalah dan kepentingan Bank
BNI untuk memperoleh pengembalian kredit dari second way out (jaminan) kurang
kuat. Hal tersebut terjadi karena pejabat pengusul dan pemutus tambahan kredit
KMKE onshore dan penambahan plafond L/C belum sepenuhnya memperhatikan
ketentuan dan pengawasan pengelolaan kredit yang dilakukan oleh RM belum
maksimal.
17

c. Fasilitas kredit PT Antika Raya dengan outstanding sebesar Rp48.436,85 juta belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Permasalahannya adalah pencairan kredit
dilakukan sebelum syarat penarikan dipenuhi, debitur melakukan investasi tanpa ijin
dari Bank BNI, rating sub sektor industri pada saat penambahan kredit adalah red dan
PT AR tidak mencapai target penjualan yang ditetapkan dalam PK. Masalah tersebut
mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT AR dengan outstanding sebesar Rp48.436,85
juta berpotensi menjadi kredit bermasalah. Hal tersebut terjadi karena SKM Wilayah
06 Surabaya belum sepenuhnya menjalankan ketentuan dalam BPP Perkreditan dan
masih belum optimal dalam memantau realisasi kredit sesuai Perjanjian Kredit.
d. Pemberian KI kepada PTPN XII sebesar Rp45.115,00 juta belum sepenuhnya sesuai
dengan ketentuan, yaitu CR PTPN XII pada tahun 2002 dan 2003 tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku, PTPN XII tidak menyerahkan Audited Report Tahun Buku
2002 dan kurang tertib dalam penyerahan laporan triwulanan dan jaminan berupa
tanaman sengon belum diasuransikan kembali. Masalah tersebut mengakibatkan
kepentingan Bank BNI kurang terlindungi apabila kredit menjadi bermasalah. Hal
tersebut terjadi karena Bagian Kredit belum sepenuhnya menjalankan ketentuan yang
berlaku.
e. Pengelolaan fasilitas kredit CV Indonesia Indah dengan hutang pokok sebesar
Rp4.617,70 juta tidak sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah penggunaan fasilitas
KMK sebesar Rp3.100,00 juta tidak sepenuhnya sesuai peruntukan dan sisa kewajiban
sebesar Rp5.165,84 juta tidak dicover dengan jaminan. Masalah tersebut
mengakibatkan Bank BNI menanggung kerugian pokok kredit sebesar Rp4.617,70 juta
karena harus membentuk PPAP 100% dan sisa kewajiban kredit CV II sebesar
Rp5.165,84 juta tidak didukung dengan jaminan. Hal tersebut terjadi karena pengelola
kredit CV II belum optimal dalam memantau penggunaan fasilitas kredit yang
diberikan dan kurang memperhatikan pemenuhan jaminan.
46. SKM Makassar
a. Pemberian dan pengelolaan kredit kepada PT Citratama Timurindo (PT CT) dan PT
Pelayaran Dillah Samudra (PT PDS) dengan baki debet masing-masing Rp31.332,34
juta dan Rp25.644,49 juta belum sesuai ketentuan. Permasalahannya adalah bahwa
analisa pemberian KI tidak didasarkan kepada FS oleh konsultan independen, Laporan
Keuangan audited tahun 2003 terlambat disampaikan, terdapat kekurangan jaminan PT
CT dan jaminan PT CT yang diikat secara fidusia belum sesuai ketentuan. Masalah
tersebut mengakibatkan risiko yang akan ditanggung oleh bank akan lebih besar
apabila ternyata kredit yang telah diberikan bermasalah dan pengikatan secara fidusia
yang dilakukan SKM Makassar masih kurang sebesar Rp3.310,36 juta. Kondisi
tersebut terjadi karena Analis Kredit dan KPK dalam menganalisa dan memutus kredit
belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan yang berlaku dan RM dalam megelola
kredit belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
dalam PK.
b. Fasilitas kredit kepada PT Makassar Palace (PT MP) sebesar Rp7.550,00 juta belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Permasalahannya yaitu analisis
18

pemberian KI pembelian Hotel Makassar Palace tidak menggunakan laporan audit
dan CR dan DER tahun 2002 dan 2003 belum sesuai dengan PK. Masalah tersebut
mengakibatkan pemberian fasilitas kredit berpotensi bermasalah apabila cash flow
perusahaan tidak diawasi secara ketat. Hal tersebut terjadi karena para pengusul dan
pengelola kredit kepada PT MP belum sepenuhnya menjalankan ketentuan dalam
BPP dan PK.
c. Tambahan fasilitas kredit kepada PT Makassar Phinisi Seaside Hotel (PT MPSH)
sebesar Rp132.000,00 juta berisiko tinggi. Permasalahannya yaitu lokasi proyek
kurang menguntungkan, kondisi keuangan PT MPSH sulit untuk memenuhi kewajiban
pemenuhan self financing proyek dan pencairan kredit tahap I tetap dilaksanakan
walaupun beberapa persyaratan dalam PK belum dipenuhi. Kondisi tersebut
mengakibatkan pemberian fasilitas kredit berpotensi bermasalah apabila fasilitas kredit
tersebut tidak diawasi secara ketat. Kondisi tersebut terjadi karena para pengusul kredit
kepada PT MPSH belum sepenuhnya menjalankan ketentuan yang dituangkan dalam
BPP dan PK.
47. SKC Padang
Pemberian kredit kepada PT Daya Sekawan Abadi (PT DSA) dengan baki debet sebesar
Rp3.080,02 juta belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Permasalahannya adalah
bahwa pemberian KMK belum sepenuhnya mempertimbangkan kelangsungan usaha,
aktivitas keuangan belum sepenuhnya disalurkan melalui Bank BNI dan pencairan kredit
untuk fasilitas real estate dan batu bara belum sesuai dengan syarat disposisi kredit.
Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas yang diberikan kepada PT DSA sebesar
Rp3.080,02 juta berpotensi menjadi kredit bermasalah karena pada saat ini PT DSA sudah
tidak aktif dan Bank BNI berpotensi menanggung kerugian sebesar jumlah tersebut karena
harus membentuk PPAP. Kondisi tersebut terjadi karena Analis Kredit dalam menganalisa
kredit dan Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan kredit belum memperhitungkan
kelangsungan usaha PT DSA dimasa yang akan datang dan Pejabat KPK dalam menyetujui
pencairan kredit belum sepenuhnya memperhatikan syarat disposisi kredit dalam SPK.
48. Kantor Cabang London
a. Deposit agreement antara Bank BNI Cabang London serta Rio Tinto European
Holdings (RTEH) dengan outstanding per 31 Desember 2004 sebesar US$43,850.00
ribu tidak lazim dilakukan dan berpotensi menanggung risiko kerugian.
Permasalahannya adalah Deposit Agreement yang dibuat oleh Bank BNI Cabang
London menyimpang dari hasil analisa dalam Memo Usulan Kredit, GM Bank BNI
Cabang London memberikan persetujuan kredit melampaui kewenangan yang
dimilikinya dan fasilitas kredit yang diberikan tidak dijamin dengan agunan. Masalah
tersebut mengakibatkan Bank BNI Cabang London per 31 Desember 2004 berpotensi
menanggung kerugian sebesar US$43,850.00 ribu apabila RTEH gagal membayar
kembali deposit Bank BNI Cabang London dan potensi kerugian tersebut dapat
meningkat dalam jumlah yang lebih besar apabila kedua belah pihak terus melakukan
deal untuk meningkatkan jumlah depositnya masing-masing. Kondisi diatas terjadi
karena adanya potensi bisnis yang dapat menambah pendapatan dan GM Bank BNI
19

Cabang London tidak meminta persetujuan dari Kantor Pusat meskipun transaksi
dengan model Deposit Agreement belum memiliki standar.
b. Pembelian Promissory Notes (PN) Parmalat Participacoes Do Brasil Ltda. (Parmalat)
senilai US$2,000.00 ribu tidak dilakukan secara hati-hati dan tidak memperhatikan
ketentuan yang berlaku. Permasalahannya yaitu pembelian dua buah PN @
US$1,000.00 ribu pada tanggal 1 Desember 2003 tetap dilakukan walaupun kondisi
Parmalat sedang bermasalah dan analisa hanya dilakukan terhadap perusahaan yang
menggaransi (Parmalat). Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI harus
menanggung risiko sehubungan kredit Parmalat yang macet sehingga membebani
sebesar US$4,000.00 ribu karena harus membentuk PPAP sebesar 100%. Kondisi
diatas terjadi karena Analis Kredit dalam melakukan analisa dan Pejabat Pemutus
dalam menyetujui pembelian PN kurang hati-hati dan tidak memperhatikan ketentuan
yang berlaku.
c. Pengelolaan fasilitas kredit SR Gent sebesar GBP13,000.00 ribu belum sepenuhnya
sesuai dengan ketentuan. Permasalahannya yaitu kolektibilitas kredit SR Gent di
tetapkan Lancar walaupun kondisi debitur mulai menurun dan perpanjangan fasilitas
kredit belum dilakukan walaupun sudah jatuh tempo. Masalah tersebut mengakibatkan
Bank BNI Cabang London memiliki risiko kerugian dengan tidak dibentuknya
penyisihan penghapusan piutang SR Gent dan fasilitas kredit yang diberikan tidak
memiliki kekuatan hukum sepanjang proses perpanjangan tersebut belum selesai.
Kondisi diatas terjadi karena dalam menetapkan kolektibilitas kredit Bank BNI Cabang
London selain berdasarkan pada kelancaran debitur dalam memenuhi kewajibannya
juga karena adanya keterikatan secara sindikasi dengan kreditor lainnya dan
pengawasan Bank BNI Cabang London terhadap fasilitas kredit SR Gent belum
optimal.
d. Pendapatan kredit hapus buku sebesar US$5,165.98 ribu yang merupakan milik
pemerintah diakui sebagai pendapatan Bank BNI. Masalah tersebut mengakibatkan
Bank BNI kelebihan mencatat pendapatan sebesar US$5,165.98 ribu. Hal tersebut
terjadi karena Bank BNI kurang memahami bahwa hasil penagihan dari kredit hapus
buku tersebut sebenarnya bukan sebagai pendapatan Bank BNI.
49. Kantor Cabang Tokyo
a. Sebagian fasilitas kredit diberikan kepada debitur yang usahanya tidak dikategorikan
ekspor. Masalah tersebut mengakibatkan tujuan pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan devisa melalui pembiayaan dari perbankan yang mempunyai cabang di luar
negeri, khususnya melalui Bank BNI Cabang Tokyo belum tercapai. Kondisi tersebut
terjadi karena Bank BNI Cabang Tokyo harus memanfaatkan peluang yang ada untuk
mempertahankan eksistensinya.
b. Fasilitas kredit kepada Nomura Trading Company dengan outstanding sebesar
JPY300,000.00 ribu dan US$3,020.00 ribu tidak dicover dengan agunan dan tidak
dilengkapi dengan analisis cash flow dan proyeksi keuangan yang memadai. Masalah
tersebut mengakibatkan fasilitas tersebut berpotensi menjadi bermasalah apabila
debitur tidak mampu membayar kreditnya (default) dan jumlah dan waktu yang
20

sebenarnya (riil) dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban pembayaran tidak dapat
diproyeksikan. Kondisi tersebut terjadi karena Bank BNI cabang Tokyo belum
sepenuhnya mematuhi ketentuan dalam Credit Policy and Procedure Manual untuk
Overseas Branch.
c. Pemberian dan pengelolaan KI kepada PT Aspek Kumbong (PT AK) sebesar
US$57,000.00 ribu belum sepenuhnya memperhatikan Pedoman Kredit Bank.
Permasalahannya adalah bahwa Bank BNI Cabang Tokyo tidak memperoleh
commitment fee/ provisi, penetapan bunga KI tidak memperhitungkan pendapatan
bunga untuk pengelola kredit Cabang Dalam Negeri, pendanaan kredit kurang
memperhatikan ketentuan intern mengenai pemberian kredit kepada PMA dan berisiko
tinggi, pengelolaan jaminan kredit belum sepenuhnya memadai dan PT AK belum
sepenuhnya menyalurkan transaksi ekspornya melalui Bank BNI. Masalah tersebut
mengakibatkan antara lain Bank BNI Cabang Tokyo tidak memperoleh
provisi/commitment fee sebesar eq. Rp2.366,15 juta, Bank BNI Cabang Dalam Negeri
tidak memperoleh pendapatan bunga dari hasil pengelolaan kredit KI offshore,
pemberian kredit kepada debitur yang beresiko tinggi berpotensi menjadi kredit
bermasalah dan kepentingan Bank BNI belum sepenuhnya terjamin, karena jaminannya
belum atas nama PT AK dan belum dinilai ulang. Kondisi tersebut terjadi karena Bank
BNI Cabang Tokyo belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan dalam BPP Bank
BNI.
Untuk lebih jelasnya, temuan dan saran BPK-RI dapat dibaca dalam hasil pemeriksaan.
Penanggung Jawab
Dadang Ahmad Rifai, SE, Ak, MSc
NIP. 240002284
21

BAB II
HASIL PEMERIKSAAN
ATAS
PENGELOLAAN KREDIT
PADA
PT BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) Tbk.
DI
KANTOR PUSAT JAKARTA, KANTOR WILAYAH/CABANG DI DAERAH SERTA
KANTOR CABANG DI LUAR NEGERI
A. Gambaran Umum
1. Tujuan Pemeriksaan
Untuk mengetahui dan menilai :
a. Pengelolaan kredit apakah telah dilakukan secara memadai dengan mempertimbangkan
unsur kehati-hatian perbankan (prudential banking) yaitu dengan mengikuti prosedur
operasi standar yang telah ditetapkan oleh Direksi Bank BNI dan mengikuti peraturanperaturan
berlaku yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Pertanggungjawaban manajemen dan pihak-pihak terkait terhadap pengelolaan kredit
apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sasaran Pemeriksaan
a. Perencanaan atas pengelolaan kredit
b. Proses pemberian kredit mulai dari awal permohonan kredit s.d. monitoring/
penyelamatan kredit.
c. Pelaksanaan penghapusbukuan kredit dan pengawasan kredit yang telah dihapus buku.
3. Metode Pemeriksaan
Metode yang digunakan adalah pengujian terhadap peraturan perundang-undangan
dan ketentuan manajemen yang ada dan pengujian secukupnya secara uji petik terhadap
bukti-bukti, konfirmasi dan melakukan pemeriksaan fisik serta prosedur pemeriksaan lain
yang diperlukan.
4. Jangka Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan dilaksanakan di Kantor Pusat Jakarta, Kantor Wilayah/ Kantor
Cabang Bandung, Pekanbaru, Palembang, Surabaya, Medan, Padang dan Makasar serta
Kantor Cabang Luar Negeri London dan Tokyo dari tanggal 31 Januari 2005 sampai
dengan tanggal 27 Juni 2005.
5. Obyek Pemeriksaan
a. Pendirian perusahaan
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk selanjutnya disebut Bank BNI, pada
awalnya didirikan di Indonesia sebagai bank sentral dengan nama Bank Negara
22

Indonesia berdasarkan Peraturan Peemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun
1946 tanggal 5 Juli 1946. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1968,
Bank BNI ditetapkan menjadi Bank Negara Indonesia 1946 dan statusnya menjadi
bank umum milik negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tanggal 29 April
1992, bentuk badan hukum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan
Akta Pendirian No. 131 tanggal 31 Juli 1992 di hadapan Notaris Muhani Salim, SH
yang telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 73 tanggal 11
September 1992 Tambahan No. 1A.
Anggaran Dasar Bank BNI telah mengalami beberapa kali perubahan,
perubahan terakhir dengan Akta No. 27 tanggal 17 Desember 2003, dibuat di hadapan
Fathiah Helmi, SH notaris di Jakarta berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham Luar Biasa tanggal 15 Desember 2003 antara lain mengenai peningkatan modal
dasar dari Rp8.5 triliun menjadi Rp15 triliun dan reverse stock split 15 saham menjadi
1 saham.
Berdasarkan pasal 3 Anggaran Dasar Bank BNI, tujuan pendirian Bank BNI
adalah untuk melaksanakan tugas dan usaha di bidang perbankan dalam arti kata
seluas-luasnya untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional di bidang
ekonomi ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, termasuk melakukan
kegiatan berdasarkan perbankan syariah.
b. Maksud dan tujuan perusahaan
Sesuai Anggaran Dasar Bank BNI, maksud dan tujuan perseroan ialah
melakukan usaha di bidang perbankan, termasuk melakukan kegiatan berdasarkan
prinsip syariah. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, Bank BNI dapat
melaksanakan kegiatan usaha yang mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
2) Memberikan kredit
3) Menerbitkan surat pengakuan hutang.
4) Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan
dan atas perintah nasabahnya:
- Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama dari pada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat
dimaksud.
- Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya
tidak lebih lama dari pada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud.
- Kertas Perbendaharaan Negara dan Surat jaminan Pemerintah.
- Sertifikat Bank Indonesia
- Obligasi
- Surat Dagang berjangka waktu sampai dengan 1 tahun
- Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 tahun.
23

5) Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun nasabah.
6) Menempatkan dana, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank
lain, dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi, wesel unjuk, cek dsbnya.
7) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan
dengan atau antar pihak ketiga.
8) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
9) Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
kontrak.
10) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat
berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
11) Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal
debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang
dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
12) Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
13) Melakukan kegiatan lain sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
14) Melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah.
Selain melakukan usaha-usaha tersebut tersebut di atas Bank BNI dapat pula
melakukan hal-hal sebagai berikut :
1) Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh yang berwenang.
2) Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang
keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta
lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh yang berwenang.
3) Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat
kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan
memenuhi ketentuan yang yang ditetapkan oleh yang berwenang.
4) Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan mengurus dana pensiun sesuai dengan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Struktur Organisasi
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank BNI No.KP/614/DIR/R perihal
Perubahan Organisasi Bank BNI tanggal 10 September 2004, struktur organisasi sesuai
SK Direksi di atas yang berkaitan dengan pengelolaan kredit adalah sebagai berikut:
1) Divisi Kebijakan & Manajemen Risiko di bawah Direktur Manajemen Risiko,
Divisi ini mengelola risiko pasar dan risiko operasional Bank BNI yang terukur
melalui kebijakan dan prosedur aktiva produktif, serta kebijakan manajemen risiko.
2) Divisi Risiko Kredit di bawah di bawah Direktur Manajemen Risiko,
Divisi ini bertindak sebagai four eyes dalam memutus suatu fasilitas kredit.
3) Divisi Kredit Khusus di bawah Direktur Manajemen Risiko,
24

Divisi ini melaksanakan fungsi sentralisasi pengelolaan kredit bermasalah dan
kredit macet. (kolektibilitas 3, 4, dan 5).
4) Divisi Kredit Konsumen di bawah Direktur Konsumer,
Divisi ini mengelola semua kredit konsumtif/non business/personal.
5) Divisi Usaha Kecil di bawah Direktur Komersial,
Divisi ini mengelola kualitas dan pelaksanaan kredit usaha kecil (small business)
dengan nilai kredit yang diberikan maksimal Rp5.000,00 juta.
6) Divisi Usaha Menengah di bawah Direktur Komersial,
Divisi ini mengelola kualitas dan pelaksanaan kredit menengah (middle market)
dengan nilai kredit yang diberikan berkisar antara Rp5.000,00 juta s.d.
Rp50.000,00 juta.
7) Divisi Korporasi Satu dibawah Direktur Korporasi,
Divisi ini mengelola kualitas dan pelaksanaan perkreditan korporat (wholesale)
dengan nilai kredit yang diberikan berkisar antara Rp5.000,00 juta s.d.
Rp50.000,00 juta.
8) Divisi Korporasi Dua dibawah Direktur Korporasi,
Divisi ini mengelola aktivitas perkreditan korporat (wholesale), serta fungsi-fungsi
investment banking dan jasa-jasa keuangan.
9) Divisi Operasional di bawah Direktur Operasi,
Divisi ini bertugas mengadministrasikan dan mendokumentasikan kredit-kredit
yang dikelola oleh Bank BNI (baik kredit konsumen, usaha kecil, usaha menengah
dan korporasi).
10) Divisi Internasional di bawah Direktur Tresuri dan Internasional,
Divisi ini juga mengelola kredit-kredit yang diberikan oleh cabang luar negeri, baik
performing loan maupun non performing loan.
Secara umum jenis kredit yang ditangani divisi-divisi tersebut di atas terdiri atas 4
segementasi, yaitu :
1) Kredit Wholesale
2) Kredit Middle Market
3) Kredit Ritel Market
4) Kredit Consumer
Segmentasi itu dapat dibedakan dengan kriteria asset debitur, penjualan debitur (sales)
dan Maksimum Kredit yang diberikan, yaitu sebagai berikut :
(dalam RpMilyar)
Segmen Individual Group
Assets Sales Maks. Assets Sales Maks.
Kredit
Kredit
Wholesale > 60 > 80 > 50 > 120 > 160 > 80
Middle
Market
Ritel Market
> 60 s/d
≤60
> 8 s/d
≤80
> 5 s/d
≤50
> 12 s/d
≤120
> 8 s/d
≤160
> 5 s/d ≤80
- Small Bus. ≤ 6 ≤ 8 ≤ 5 ≤ 12 ≤ 16 ≤ 8
Consumer Semua debitur konsumtif/non business
25

d. Anggaran dan Realisasi Kredit Yang Diberikan
Nilai realisasi kredit yang diberikan per 31 Desember 2004 adalah sebesar
Rp57.867.651,00 juta atau 91,87 % dari anggarannya sebesar Rp62.987.436,00 juta.
Selain itu realisasi kredit yang bermasalah (non performing loan) yaitu kolektibilitas
kurang lancar, diragukan dan macet tahun 2004 adalah sebesar Rp2.628.061,00 juta
atau (4,60% dari total kredit), melebihi anggarannya sebesar Rp2.846.665,00 juta
atau 4,52%. Anggaran dan realisasi kolektibilitas kredit Bank BNI per 31 Desember
2004 secara rinci adalah sebagai berikut:
Kolektibilitas
Kredit
Lancar
Dalam Perhatian Khusus
Kurang Lancar
Diragukan
Macet
(dalam juta rupiah)
Realisasi Anggaran %
46.145.761
9.057.829
1.357.084
444.441
862.536
53.483.945
6.656.827
1.979.639
483.002
384.024
86,28
136,07
68,55
92,02
224,60
Jumlah 57.867.651 62.987.436 91,87
B. Temuan Pemeriksaan
BPK-RI telah memeriksa pengelolaan kredit yang dikaitkan dengan unsur kehati-hatian
perbankan yang mencakup kesesuaian dengan prosedur operasi standar yang telah ditetapkan
Direksi Bank BNI dan peraturan yang berlaku yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
Menteri Keuangan, pertanggungjawaban manajemen dan pihak-pihak yang terkait dengan
pengelolaan kredit pada Bank BNI disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pemeriksaan pengelolaan kredit menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut:
26

1. Fasilitas kredit kepada PT Himalaya Tunas Texindo sebesar eq. Rp769.091,45 juta belum
sepenuhnya diawasi dengan baik
PT Himalaya Tunas Texindo (PT HTT) didirikan di Bandung pada tanggal 29 Januari
1975 dengan bentuk Persekutuan Komanditer (CV) yang kemudian diubah menjadi Perseroan
Terbatas dengan nama PT Himalaya Tunas Texindo sesuai Akte Notaris Soria Soemantri No.7
tanggal 6 Desember 1990. Perusahaan beralamat di Jl. Cisirung Km.2 Moh. Toha Km 6,5
Bandung dan daerah Kabupaten Majalaya dan bergerak di bidang industri tekstil berupa
pertenunan (weaving), pencelupan (dyeing) dan printing yang menghasilkan bahan baku kain grey
dan kain jadi yang dijual ke pasar ekspor dan lokal.
Komposisi saham PT HTT sesuai dengan Laporan Hasil Penilaian Saham oleh PT Piesta
Penilai No.071/LP/PS-PFF/XI/2002 tanggal 29 November 2002 dalam rangka Debt to Equity
Participation per tanggal 20 November 2002 antara lain BNI sebesar 81,76 % dan Husen Lumanta
7,29% dari nilai saham sebesar Rp626.318,00 juta. Susunan pengurus PT HTT antara lain Ating
Lumanta sebagai Komisaris Utama (Komut), Sri Haryanto (wakil BNI) sebagai Komisaris, Husen
Lumanta sebagai Direktur Utama (Dirut) dan Wayan Sumertha (wakil BNI) sebagai Direktur
Keuangan.
PT HTT menjadi nasabah Bank BNI Cabang Bandung sejak tanggal 18 Desember 1975
dan pertama kali mendapatkan fasilitas KMK dari Bank BNI pada tahun 1977 sebesar Rp25,00
juta. Fasilitas kredit PT HTT semakin meningkat sehingga pengelolaannya dialihkan ke Kantor
Pusat. PT HTT beberapa kali mengalami kesulitan memenuhi kewajiban bunga dan angsuran
pokok sehingga beberapa kali direstrukturisasi. Restrukturisasi terakhir pada tanggal 26 September
2002 antara lain dengan skim konversi sebagian kewajiban PT HTT menjadi Penyertaan
Sementara Bank (PSB) sebesar Rp512.141,63 juta. Persetujuan masuknya BNI sebagai pemegang
saham sementara dituangkan dalam Perjanjian Penyertaan Sementara Bank No. 112 tanggal 26
September 2002.
Outstanding kredit per 31 Desember 2004 adalah sebesar eq. Rp769.091,45 juta dengan
kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Gol. II). Sesuai dengan Laporan Appraisal PT Piesta
Penilai per 20 November 2002 nilai jaminan terkendali kredit PT HTT adalah sebesar
Rp308.897,03 juta. Sementara itu jaminan tidak terkendali sesuai dengan laporan keuangan audit
PT HTT per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp324.633,82 juta sehingga nilai jaminan
seluruhnya sebesar Rp633.530,85 juta. Apabila dibandingkan dengan jumlah kewajiban PT HTT
per 31 Desember 2004 sebesar Rp769.091,45 juta, maka jaminan kredit yang diserahkan debitur
hanya mengcover sebesar 82,37 %.
Berdasarkan pengujian terhadap berkas kredit PT HTT diketahui bahwa disamping adanya
kondisi makro ekonomi dengan adanya krisis moneter dan kondisi di luar perusahaan lainnya,
fasilitas kredit belum sepenuhnya diawasi dengan baik. Hal tersebut terlihat dari kondisi sebagai
berikut:
a.Terdapat piutang afiliasi kepada PT Pelangi Cimandiri Tekstil (PT PCT) sebesar
Rp138.323,78 juta yang mempengaruhi cash flow PT HTT
1) Piutang afiliasi tersebut meningkat setiap tahun dan tidak ada pengembaliannya.
27

Dalam laporan keuangan audited PT HTT per 31 Desember 2003 diinformasikan
bahwa terdapat piutang dagang sebesar Rp178.858,50 juta. Dari jumlah tersebut sebesar
Rp117.754,63 juta (65,83%) merupakan piutang afiliasi dalam bentuk bahan baku (modal
kerja) kepada PT PCT (debitur hapus buku pada Bank BNI). Perkembangan jumlah
piutang afiliasi sejak tahun 2000, 2001, 2002, 2003 dan 2004 (September) berturut-turut
adalah Rp106.428,49 juta, Rp104.611,38 juta, Rp109.493,00 juta, Rp117.754,63 juta dan
Rp138.323,78 juta (home statement).
Dari data di atas terlihat bahwa kecuali akhir tahun 2001, jumlah piutang afiliasi
meningkat setiap tahun. Peningkatan tersebut akan mempengaruhi cash flow perusahaan
yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kemampuan debitur untuk memenuhi
kewajibannya kepada Bank BNI. Sehubungan kondisi keuangan PT PCT yang terus
menurun dan opini atas laporan keuangan PT PCT per 31 Desember 2002 adalah
disclaimer (tidak memberikan pendapat) karena auditor meragukan kelangsungan
usahanya, maka piutang tersebut kecil kemungkinan akan tertagih.
2) Terdapat perbedaan jumlah sebesar Rp15.281,86 juta antara piutang afiliasi yang
dilaporkan PT HTT dengan yang tercatat pada PT PCT.
Berdasarkan penelitian lebih lanjut terhadap piutang afiliasi sebesar Rp109.493,00
juta pada Laporan Keuangan PT HTT per 31 Desember 2002 diketahui bahwa piutang
tersebut dicatat sebesar Rp94.211,14 juta (sebagai hutang usaha) pada laporan keuangan
PT PCT per 31 Desember 2002 yang diaudit oleh KAP Abdul Muntalib & Co, sehingga
terdapat perbedaan sebesar Rp15.281,86 juta.
b.Bank BNI tidak memberikan sanksi terhadap pelanggaran PK oleh debitur
1) Penyampaian laporan keuangan tidak sesuai jadwal.
Perjanjian Kredit No.114, 115 dan 116 pasal 17 mengatur bahwa debitur
diwajibkan untuk menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor
Akuntan yang terdaftar dan disetujui oleh Bank paling lambat enam bulan setelah tahun
buku laporan, menyampaikan laporan keuangan home statement setiap triwulan dan
menyampaikan laporan aktivitas usaha setiap bulan berupa stock, piutang dan hutang
usaha, penjualan dan pembelian lokal maupun ekspor secara rinci. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa :
− Laporan keuangan audited per 31 Desember 2002 disampaikan tanggal 15 September
2003 (tanggal opini) atau terlambat 77 hari.
− Laporan keuangan audited per 31 Desember 2003 disampaikan tanggal 28 Oktober
2004 atau terlambat 120 hari.
− Laporan keuangan home statement per 31 Desember 2004 belum disampaikan.
Atas keterlambatan penyampaian laporan keuangan ini tidak ada sanksi yang
dikenakan terhadap debitur yang bersangkutan.
2) PT HTT melakukan investasi tanpa persetujuan tertulis dari Bank.
Pasal 18 ayat 13 PK yang sama mengatur bahwa apabila debitur melakukan
investasi, maka debitur tersebut harus memperoleh persetujuan tertulis dahulu dari bank.
Dari pengujian fisik yang dilakukan oleh Tim BPK-RI tanggal 14 Maret 2005
diketahui bahwa debitur telah melakukan investasi dalam bentuk pemasangan turbin
dengan kapasitas 20.000 KPA senilai sekitar US$17,000.00 ribu. Sumber dana untuk
28

investasi tersebut tidak diketahui. Investasi tersebut dilakukan tanpa persetujuan tertulis
dari BNI.
3) PT HTT belum merubah anggaran dasar dengan adanya Perjanjian PSB
Sesuai dengan Perjanjian PSB No. 112 tanggal 26 September 2002 pasal 2
debitur wajib merubah anggaran dasar peseroan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan mendapat persetujuan dari Menteri
Kehakiman dan HAM Republik Indonesia.
Dari penelitian diketahui bahwa sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 31 Maret
2005, PT HTT belum merubah anggaran dasar sebagaimana yang telah diatur dalam
ketentuan di atas.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Kredit Buku I Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 06 point 2.d.1)
yang mengatur bahwa laporan audit untuk Badan Usaha Swasta Nasional (BUSN) selambatlambatnya
6 (enam) bulan setelah penutupan buku, selanjutnya ditetapkan bahwa
keterlambatan penyampaian laporan audit dikenakan penalty sebesar 0,25% per tahun dari
maksimum kredit dan diperhitungkan secara proporsional sesuai dengan lamanya
keterlambatan.
b. Perjanjian Kredit No.114, 115 dan 116 tanggal 26 September 2002 pasal 17 dan 18.
c. Perjanjian Penyertaan Sementara Bank No. 112 tanggal 26 September 2002 pasal 2.
Kondisi tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT HTT berpotensi bermasalah
dan merugikan Bank BNI sebesar Rp135.560,60 juta (jumlah kewajiban sebesar Rp769.091,45
juta dikurangi dengan nilai jaminan terakhir sebesar Rp633.530,85 juta). Risiko tidak terbayarnya
kredit yang diberikan akan lebih besar apabila piutang afiliasi sebesar Rp138.323,78 juta ternyata
benar-benar tidak terbayar oleh PT PCT.
Hal ini terjadi karena Pengelola kredit PT HTT belum sepenuhnya melaksanakan
ketentuan yang telah ditetapkan dan kurangnya pengawasan dari BNI.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Piutang tersebut merupakan piutang dagang yang terjadi karena transaksi jual beli kain sebagai
bahan baku industri printing PT PCT. Piutang ini semakin besar karena kondisi bisnis tekstil
PT PCT sampai saat ini belum membaik, sehingga sering mengalami kesulitan cashflow.
Sebagian piutang afiliasi tersebut merupakan ex proyek investasi sebesar Rp46.790,00 juta
yang digunakan untuk perbaikan infrastruktur dan mesin agar PT PCT dapat beroperasi
kembali. Pengembalian piutang ini diharapkan dari hasil usaha PT PCT yang saat ini sedang
dikaji langkah-langkah penyelesaiannya. Dengan surat No. KKS/3/633/R tanggal 15 Juni 2005
kepada PT HTT dan surat No.KKS/3/635/R tanggal 15 Juni 2005 kepada PT PCT, Bank BNI
minta agar perbedaan jumlah piutang afiliasi tersebut direkonsiliasi. Namun sampai dengan
tanggal 17 Juni 2005 belum ada jawaban.
b. Untuk memenuhi kewajiban penyampaian laporan keuangan audited, Bank BNI telah meminta
penyerahan laporan keuangan audited kepada PT HTT dengan surat No.DKS/2/2301 tanggal
16 Juli 2003, No. KKS/3/632/R tanggal 15 Juli 2004 dan No.KKS/3/657/R tanggal 10 Juni
29

2005. Mengenai denda/penalty atas keterlambatan penyerahan laporan keuangan audited
tahun 2002 dan tahun 2003, dengan surat No. KKS/3/632/R tanggal 15 Juni 2005 Bank BNI
telah meminta debitur untuk membayar denda/penalty sebesar 0,25% dari maksimum kredit
dan diperhitungkan secara proporsional dengan lamanya keterlambatan. Investasi tersebut
pernah dimintakan persetujuan dan pembiayaannya kepada Bank BNI tetapi ditolak dengan
surat No.KPD/3/021 tgl. 28 Oktober 2003. Dari Laporan Pengawasan PT HTT
No.CRT/HTT/062 tanggal 30 Januari 2004, telah diketahui adanya investasi tersebut. Teguran
telah kami lakukan dengan surat No. KKS/3/646/R tanggal 16 Juni 2005. Proses perubahan
Anggaran Dasar (AD) dengan adanya Perjanjian PSB saat ini masih di notaris. Penyelesaian
perubahan AD menunggu proses taksasi tambahan aset sebagai tambahan modal dari
pemegang saham lama. Akte perubahan AD dan pendaftaran kepada Menteri Kehakiman dan
HAM diharapkan dapat diselesaikan akhir September 2005 apabila penilaian aset tersebut
telah selesai.
BPK-RI menyarankan agar Bank BNI (pengelola kredit) mengawasi secara ketat cash flow
PT HTT, menyurati dan mendesak PT PCT untuk menyelesaikan hutang afiliasi kepada PT HTT
dan memberikan teguran atas beberapa pelanggaran PK oleh debitur.
2. Analisa pemberian kredit kepada PT Pelangi Cimandiri Tekstil sebesar Rp134.070,00 juta
dilakukan kurang cermat
PT Pelangi Cimandiri Tekstil (PT PCT) didirikan pada tanggal 6 Februari 1993 sesuai
akte Notaris Ny. Djedjem Wijaya SH No. 22 dan beralamat di Kawasan Industri Jababeka, Jl.
Jababeka VI Blok W 1-2 Cikarang Bekasi.
Susunan pengurus dan komposisi saham PT PCT berdasarkan Akte Risalah Rapat No. 36
tanggal 16 Januari 1998 adalah Ating Lumanta (Komut), Husen Lumanta (Dirut) dan Tarsipin
Lumanta (Direktur) berturut-turut memiliki 10,00%, 60,00% dan 30,00% dari nilai saham sebesar
Rp4.400,00 juta.
Sesuai dengan surat Divisi Khusus kepada Bank BNI Cabang Roa Malaka pinjaman
fasilitas kredit PT PCT dihapus buku pada tanggal 27 September 2002 dan outstanding per 31
Maret 2005 adalah sebesar Rp137.363,35 juta dengan rincian pokok kredit sebesar Rp131.548,68
dan bunga serta denda sebesar Rp5.814,67.
Berdasarkan penelitian atas berkas kredit PT PCT, diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Analisa Pemberian kredit kepada PT PCT dilakukan kurang cermat
1) Analisis pemasaran dalam Memorandum Pengusulan Kredit terlalu optimis.
PT PCT dengan surat No.001/PCT/I/95 tanggal 5 Januari 1995 mengajukan
permohonan KI untuk pembangunan pabrik dyeing, finishing dan printing tekstil di
kawasan industri Jababeka Cikarang Bekasi. Permohonan tersebut dianalisis melalui
Memorandum Pengusulan Kredit (MPK) (tanpa nomor dan tanggal) dan disetujui Direksi
Bank BNI melalui Ikhtisar Persetujuan Kredit (IPK) No.KPI/10/018 tanggal 16 Maret
1995 yang kemudian disampaikan ke debitur dengan Surat Keputusan Kredit (SKK) No.
KPI/9/046/R tanggal 5 April 1995. Fasilitas yang diberikan adalah KI Offshore sebesar
US$5,145.00 ribu untuk pembangunan pabrik dan KMK Offshore sebesar US$2,000.00
ribu untuk modal kerja.
30

MPK tersebut menjelaskan bahwa hasil produksi berupa dyeing dan finishing
akan dijual keluar negeri dan lokal untuk industri garment terutama untuk keperluan grup
usahanya (PT Taeyung Indonesia dan PT Elbemas). Selain itu MPK juga menjelaskan
bahwa dalam merencanakan penjualan tersebut, PT PCT telah memperoleh Letter Of
Intent dari pembeli luar negeri dan lokal yaitu :
− Balmar Exp. Pte. Ltd (German) : 1.000.000 yard per tahun.
− General Trade Torino (Italia) : 4.000.000 yard per tahun.
− Habitex S.A. Bruxelles : 8.000.000 yard per tahun.
− PT Indufa Surya Niaga Pratama : 1.000.000 yard per tahun.
14.000.000 yard per tahun.
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pemasaran tidak menjadi masalah karena PT PCT
telah mempunyai jalur pemasaran diluar negeri yang sudah mapan dari eskpor garment
PT Taeyung Indonesia. Setelah PT PCT beroperasi dan telah memasarkan produknya
tahun 1995 ternyata produksi yang dihasilkan sebagian besar tidak terjual. Hal ini terlihat
pada Surat Divisi Korporasi kepada Direktur Korporasi No. KPI/9/52 tanggal 9 Agustus
1996 yang menyebutkan bahwa “ Kerugian yang dialami oleh PT PCT di awal produksi
disebabkan antara lain bahwa dalam masa percobaan tidak seluruh hasil produksi dapat
dijual karena kualitasnya belum memenuhi syarat. Disamping itu dalam masa percobaan
tersebut yang bersangkutan masih menjajaki/mencari calon pembeli di luar negeri.
Kerugian yang dialami selama tahun 1995 mencapai Rp1.973,00 juta dan sampai Mei
tahun 1996 mencapai Rp3.492,00 juta (kumulatif).
2) Analisis awal pemberian kredit kepada PT PCT kurang memperhatikan aspek harga
bahan baku.
Selanjutnya MPK tersebut juga menjelaskan bahwa bahan baku utama yang
digunakan adalah in-grey yang mudah diperoleh dari perusahaan tekstil di dalam negeri
dan campuran obat-obatan yang juga dipasok dari perusahaan dalam negeri. Tidak ada
analisis lebih lanjut mengenai harga bahan baku. Namun demikian dalam pelaksanaannya
harga bahan baku meningkat sehingga sejak pemberian kredit pada pertengahan tahun
1995 s.d akhir tahun 1996 perusahaan terus mengalami kerugian. Pada tanggal 5 April
1997 PT PCT berhenti beroperasi dan pada bulan Juni 1997 diambil alih oleh manajemen
PT HTT dalam keadaan masih merugi karena harga pokok produksi yang tinggi. Hal
tersebut diatas dikemukan oleh Deputi Manager dalam IPK No.KPD/3/074 tanggal 12
November 1997 yang menjelaskan bahwa : “Kegagalan Group Tae Yung yang mengelola
PT PCT antara lain disebabkan pabrik berproduksi dibawah Titik Impas/Break Even Point
(BEP). Faktor utamanya adalah tingginya harga bahan baku grey (impor) yang diperlukan
pabrik PT PCT yang pada akhirnya mengakibatkan biaya produksi pabrik menjadi tinggi
dan perusahaan menjadi rugi ”.
Kondisi tersebut diatas memperlihatkan bahwa pada awalnya pemberian kredit kepada
PT PCT dilakukan dengan kurang hati-hati. Hal ini belum sepenuhnya sesuai dengan dengan
UU No.7 tahun 1992 pasal 8 yang menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit, bank
umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
31

. Nilai jaminan yang diserahkan PT PCT tidak mengcover kewajiban kreditnya
Berdasarkan laporan appraisal PT Pronilai Indonesia per Januari 2003 Laporan
Keuangan audited per 31 Desember 2002 nilai taksasi jaminan adalah sebesar Rp98.119,87
juta. Apabila dibandingkan dengan kewajiban PT PCT pada saat hapus buku sebesar
Rp137.363,35 juta, maka jaminan PT PCT hanya mengcover sebesar 71,43 %.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J.04 butir 5 yang antara
lain menyebutkan bahwa persyaratan minimum jaminan adalah 100%.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI menderita kerugian pokok kredit sebesar
Rp131.548,68 juta karena telah membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
100% atas kredit macet tersebut.
Hal tersebut terjadi karena pengusul dan pengelola kredit PT PCT kurang memperhatikan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Pada dasarnya terhadap calon pembeli yang telah menyampaikan Letter of Intent telah dilakukan
verifikasi secara sampling terhadap 3 calon pembeli yang tercantum dalam Formulir Ikhtisar
Informasi Eksternal tanggal 16 Pebruari 1995 yaitu PT Indufa Surya, Balmar Exp. PTE. LTD dan
Habitex SA Bruxelles, yang dipertegas dalam PAK hal.10 tanggal 16 Maret 1995 bahwa pabrik
yang akan didirikan oleh PT PCT terintegrasi dengan PT. Taeyung yang telah menjadi partner
dagang mereka, ini menggambarkan bahwa calon pembeli saat itu ada. Namun dalam
perjalanannya tidak semua calon pembeli dimaksud merealisir rencana pembeliannya, ini
dimungkinkan karena kwalitas produksi yang dihasilkan tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan semula oleh calon pembeli, terlebih lagi untuk tujuan ekspor. Bahan baku yang
digunakan berupa kain grey dan obat-obatan tekstil sebagian besar merupakan produk impor
yang dibeli dengan valas USD. Dalam perkembangannya terdapat kenaikan harga bahan baku
yang tidak terlepas dari kenaikan kurs USD. Kondisi tersebut tidak terkendali dan tidak
terprediksi karena pada saat pengusulan kredit tahun 1995 keadaan masih cukup normal sehingga
harga pokok yang diproyeksikan untuk tahun 1996 sebesar 64,7% dari sales, sedangkan
realisasinya pada tahun 1996 dengan adanya kenaikan biaya-biaya dimaksud harga pokok
produksinya mencapai 141% dari sales.
b.Tidak tercovernya jumlah kewajiban debitur oleh jaminan yang diserahkan disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain adanya perubahan penguatan nilai kurs USD terhadap rupiah yang
mengakibatkan semakin tingginya eq. rupiah kewajiban debitur dan nilai jaminan stock dan
piutang bersifat sesaat dan jumlahnya berubah-ubah.
BPK-RI menyarankan agar Direksi Bank BNI memberi teguran kepada pengusul dan
pengelola kredit PT PCT untuk lebih memperhatikan prinsip prudential dalam pemberian kredit
dengan melakukan langkah-langkah yang efektif untuk mencegah kerugian yang lebih besar dan
mendesak PT PCT agar menambah nilai agunan.
32

3. Pengelolaan fasilitas kredit PT Keramik Diamond Industri (PT KDI) sebesar Rp306.123,52
juta belum sesuai dengan ketentuan dan Bank BNI tidak menegur atau memberikan sanksi
kepada debitur atas pelanggaran beberapa ketentuan dalam PK
PT KDI didirikan pada tanggal 14 Desember 1994 sesuai Akta Notaris Sugiri
Kadarisman, SH No.81. PT KDI bergerak di bidang industri keramik, berlokasi di Jl. Sultan
Iskandar Muda (Arteri) No.99 I, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan, sedangkan pabrik
berlokasi di Desa Bambe, Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Pemegang saham PT KDI sesuai akta No.15 tanggal 22 Desember 2000 adalah PT
Kayumas Internasional (PT KMI) sebesar 99,998% dari nilai saham sebesar Rp206.800,00 juta.
Sementara itu 99,60% saham PT KMI berdasarkan Akte No.31 tanggal 31 Juli 1998 dimiliki oleh
PT Kayumas Lestari (PT KL) dan pemegang saham PT KL berdasarkan Akte No.32 tanggal 31
Juli 1998 adalah keluarga Nyoto. Susunan Direksi dan Komisaris PT KDI sesuai Akta Pernyataan
Keputusan Rapat No.11 tanggal 25 September 2001 antara lain Tekmankuntjoro Njoto sebagai
Presiden Komisaris dan Johan Gunawan sebagai Presiden Direktur.
Outstanding kredit PT KDI per 31 Desember 2004 adalah sebesar Rp306.123,52 juta
yang terdiri dari pokok dan bunga kredit masing-masing sebesar Rp238.776,03 juta dan Rp67.347,49 juta,
dengan kolektibilitas Macet (Gol. V). Nilai pasar jaminan PT KDI (tidak termasuk piutang dan
persediaan) berdasarkan Laporan Appraisal PT Actual Kencana Appraisal tanggal 19 Januari
2004 adalah sebesar Rp392.118,70 juta atau 128,09% dari total outstanding kredit. Sedangkan
hasil perhitungan Bank BNI berdasarkan Formulir Analisa Kecukupan dan Pengikatan Jaminan
tanggal 28 Oktober 2004 diketahui bahwa nilai Collateral Equivalent Value (CEV) jaminan adalah
Rp227.225,71 juta atau 74,23% dari total outstanding kredit.
Hasil pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit tersebut diatas menunjukkan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
a.Bank BNI melakukan plafondering bunga
Sejak bulan Maret 1998 PT KDI telah menunggak bunga dan sejak September 1998
menunggak pokok, karena pada tahun 1998 PT KDI mengalami kerugian besar sebagai akibat
krisis moneter. Kondisi tersebut mengakibatkan fasilitas kredit PT KDI sejak 30 Oktober 1998
masuk kolektibilitas IV. Oleh karena itu Rapat Direksi Bank BNI tanggal 28 Oktober 1999
menyetujui restrukturisasi kredit PT KDI sebagai berikut :
a) Fasilitas KMK pokok dengan
maksimum KMK sebesar
Rp11.733,00 juta yang
didudukkan dalam PK No.
075/DKS/CB/09 tanggal 29
Oktober 1999.
b) Fasilitas KI dengan maksimum
KI sebesar Rp32.407,72 juta
yang dituangkan dalam PK No.
074/DKS/CB/09 tanggal 29
Oktober 1999.
c) Fasilitas Convertible Bond (CB)
adalah seluruh tunggakan bunga
(intra dan ekstra komptabel) atas
33

fasilitas KI dan KMK sebesar
Rp41.717,00 juta ditambah eks
L/C impor yadit (akumulasi
tunggakan L/C yang telah jatuh
tempo) Rp20.983,00 juta
sehingga nominal CB menjadi
Rp62.700,00 juta. Fasilitas ini
dituangkan dalam PK
No.076/DKS/CB/09 tanggal 29
Oktober 1999.
Dalam Memorandum Divisi Kredit Khusus No.DKS/2/129/R tanggal 23 Maret 2000
disebutkan bahwa CB tidak sesuai dengan ketentuan BI karena bond/obligasi tersebut harus
tercatat dan diperdagangkan di pasar modal (listed) dan dalam hal ini obligasi PT KDI tidak
tercatat dalam pasar modal. Kemudian diusulkan perubahan bentuk restrukturisasi dari CB
menjadi fasilitas Kredit Jangka Panjang (KJP) dengan opsi pada Bank untuk merubah
pinjaman menjadi penyertaan sementara Bank (saham) pada saat jatuh tempo pinjaman.
Usulan tersebut telah disetujui oleh KPK dan dituangkan dalam PK No.29 tanggal 31 Agustus
2000. Fasilitas kredit PT KDI kembali direstrukturisasi dengan surat No.DKS/2/137/R tanggal
18 Desember 2000 yang memecah dua fasilitas KJP menjadi KJP 1 (eks Dok Yadit) dan KJP-2
(tunggakan bunga) dengan maksimal kredit masing-masing sebesar Rp20.983,00 juta dan
Rp41.717,00 juta. Penyelesaian kredit bermasalah berupa tunggakan bunga PT KDI sebesar
Rp41.717,00 juta tersebut dalam praktik perbankan disebut plafondering kredit (kapitalisasi
tunggakan bunga).
Hal tersebut tidak sesuai dengan Lampiran SK Direksi BI No.27/162/KEP/DIR
tanggal 31 Maret 1995 perihal Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank Bab VII
butir 700.d, yang menyebutkan bahwa bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah
dengan cara menambah plafond kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan mengkapitalisasi
tunggakan bunga tersebut atau yang lazim dikenal dengan praktek plafondering kredit.
b.Pengelolaan kredit PT KDI belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan intern
1) Penilaian kembali agunan PT KDI belum dilakukan
Agunan PT KDI terakhir kali dinilai pada tanggal 26 Desember 2003 oleh PT
Aktual Kencana Appraisal sesuai Laporan No.V03.1758 tanggal 19 Januari 2004 dengan
nilai pasar sebesar Rp392.118,70 juta. Sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 15 April
2005, agunan tersebut belum dinilai kembali. Dengan demikian penilaian independen yang
terakhir telah berumur satu tahun empat bulan. Selain itu kolektibilitas kredit PT KDI
adalah Diragukan (golongan IV) pada tanggal 30 Juni 2004 dan menjadi Macet (golongan
V) pada tanggal 30 September 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04
butir 2.d yang menyebutkan bahwa frekuensi penilaian agunan oleh penilai independen
untuk kredit kualitas ‘Diragukan’ paling lama sekali dalam setahun sedangkan kualitas
‘Macet’ paling lama sekali setiap enam bulan.
2) Nilai pengikatan Hak Tanggungan tanah dan bangunan lebih rendah dari
maksimum kredit
34

Berdasarkan IPK No.KPD/3/02 tanggal 22 Oktober 2003 diketahui bahwa tanah
dan bangunan yang dijaminkan PT KDI telah diikat Hak Tanggungan senilai
Rp264.386,00 juta. Nilai pasar tanah, bangunan, mesin dan sarana pelengkap sesuai hasil
appraisal tanggal 26 Desember 2003 adalah sebesar Rp392.118,70 juta. Sedangkan
maksimum kredit PT KDI posisi 31 Desember 2004 adalah sebesar Rp298.908,46 juta.
Dengan demikian nilai taksasi jaminan lebih besar dari maksimum kredit, sedangkan nilai
pengikatan lebih kecil dari maksimum kredit.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05 Hal
1 butir 5.a.1 perihal besarnya nilai pengikatan Hak Tanggungan untuk Kredit Langsung
yang menetapkan bahwa dalam hal nilai taksasi jaminan lebih besar dari maksimum
kreditnya, maka nilai pengikatan hak tanggungan minimum sebesar maksimum kreditnya.
3) Persyaratan jaminan PT KDI belum sesuai dengan ketentuan
Berdasarkan formulir analisa kecukupan dan pengikatan jaminan PT KDI tanggal
28 Oktober 2004 diketahui bahwa CEV Controlled sebesar 44,39%, Uncontrolled 31,75%
sehingga total CEV sebesar 76,14%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J.04 butir 5, yang
menyebutkan bahwa persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur adalah minimum
total CEV 100% dan minimum CEV Controlled 50%.
c.Bank BNI tidak memberikan teguran dan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan dalam
PK yang dilakukan oleh PT KDI
1) Penarikan KMK sebesar Rp7.500,00 juta belum memenuhi syarat penarikan kredit
Sesuai Nota Intern No.DKS/2/067/INT tanggal 13 September 2002 perihal
pencairan fasilitas KI Tahap empat dan KMK a.n. PT KDI diketahui bahwa debitur
mengajukan pencairan KMK pertama sebesar Rp7.500,00 juta. Pengajuan tersebut
disetujui oleh Pemimpin DKS tanggal 18 September 2002 dan kemudian dibayar tanggal
25 September s.d. 1 Oktober 2002. Berdasarkan Nota Intern No.DKS/2/082/INT tanggal
24 Desember 2002 diketahui bahwa mesin-mesin/peralatan pabrik plant 4 yang dibiayai
dengan fasilitas KI telah datang dan dipasang seluruhnya dan secara teknis siap running.
Selain itu disebutkan bahwa uji coba mesin-mesin plant 4 telah dilakukan sejak tanggal 18
Desember 2002. Dengan demikian dana KMK sebesar Rp7.500,00 juta dicairkan sebelum
uji coba dilakukan.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan PK No.006/DKS/PK/2002 tanggal 20 Maret
2002 pasal 16 butir 1 yang menyebutkan bahwa Bank hanya mengijinkan penerima kredit
melakukan penarikan kredit setelah penerima kredit memenuhi semua syarat-syarat yang
telah ditetapkan dalam PK yaitu antara lain production run Kredit Investasi baru. Hal
tersebut dipertegas oleh Disposisi Direktur Utama tanggal 20 Pebruari 2002 dalam Memo
No.DKS/2/056/R tanggal 18 Pebruari 2002, yang menyebutkan bahwa KMK dapat ditarik
setelah production run KI baru.
2) Bank BNI tetap memberikan izin pembukaan fasilitas L/C impor meskipun PT KDI
memiliki tunggakan kewajiban dokumen L/C yang telah jatuh tempo
Divisi Korporasi Satu dengan surat No.KKS/2/211 tanggal 23 Juni 2004
menyampaikan kepada PT KDI bahwa akumulasi tunggakan L/C dan SKBDN yang telah
jatuh tempo (dokumen yadit) s.d. tanggal 22 Juni 2004 adalah Rp14.291,96 juta. Pada
35

tanggal 7 Juli 2004, Relationship Manajer (RM) mengajukan pemakaian disponible
plafond L/C sebesar US$850.00 ribu dengan Nota Intern No.KKS/2/74 dan disetujui oleh
Pemimpin Kelompok, Wakil Pemimpin KKS dan Pemimpin KKS. Persetujuan tersebut
telah disampaikan kepada PT KDI dengan surat No.KKS/2/307 tanggal 9 Juli 2004.
Kemudian dengan Nota Intern No.KKS/2/158 tanggal 4 November 2004 PT KDI kembali
mengajukan pembukaan L/C sebesar US$250.00 ribu yang telah disetujui oleh Pemimpin
KKS dan telah disampaikan kepada PT KDI dengan surat No.KKS/2/1071/R tanggal 4
November 2004. Dengan demikian Bank BNI mengijinkan pembukaan L/C sebesar
US$1,100.00 ribu kepada PT KDI, meskipun PT KDI memiliki tunggakan L/C dan
SKBDN yang telah jatuh tempo.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Perjanjian Pemberian Fasilitas Pembukaan Letter
of Credit (PPLC) No.04/DKS/PPLC/99 tanggal 12 November 1999 pasal tambahan butir 2
yang menyebutkan bahwa apabila terdapat dokumen L/C yang jatuh tempo dan belum
dilunasi dan telah melewati waktu yang telah ditentukan, maka tidak diperkenankan
membuka L/C lebih lanjut, meskipun plafondnya masih tersedia.
3) PT KDI memberikan pinjaman kepada perusahaan pemegang saham PT KDI
sebesar Rp39.685,00 juta
Berdasarkan Laporan Keuangan audited PT KDI tahun 2003, diketahui bahwa
PT KDI telah memberikan pinjaman kepada PT KMI yang merupakan pemegang saham
PT KDI. Dalam laporan keuangan tersebut dijelaskan bahwa pinjaman tersebut tidak
berhubungan dengan transaksi usaha PT KDI. PT KDI belum meminta izin kepada Bank
BNI untuk memberikan pinjaman tersebut. Terhadap pelanggaran tersebut Bank BNI
belum memberikan teguran secara tertulis kepada PT KDI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. No.005/DKS/PK/2002 tanggal 20 Maret
2002 dan PK No.006/DKS/PK/2002 tanggal 20 Maret 2002 pasal 18 butir e), yang
menyebutkan bahwa tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, penerima kredit
tidak diperkenankan untuk memberikan pinjaman kepada siapapun juga, termasuk kepada
para pemegang saham, kecuali jika pinjaman tersebut diberikan dalam rangka transaksi
dagang yang berkaitan langsung dengan usahanya.
4) PT KDI membeli tanah senilai Rp19.910,00 juta yang tidak digunakan untuk usaha
Berdasarkan Laporan Keuangan audited PT KDI tahun 2003, diketahui bahwa
pada tanggal 18 April 2002 PT KDI membeli tanah seluas 79.640 m2 senilai Rp19.910,00
juta dari Soenarto Njoto (pemegang saham PT KMI). Pembayaran dilakukan dengan cara
mengurangi piutang kepada PT KMI. Tanah tersebut dicatat dalam laporan keuangan
sebagai asset yang tidak digunakan dalam operasi, sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan
pembelian tanah tersebut adalah untuk investasi. PT KDI belum meminta izin kepada
Bank BNI untuk pembelian tanah tersebut. Terhadap pelanggaran tersebut, Bank BNI
belum memberikan teguran secara tertulis kepada PT KDI.
Hal tersebut tidak sesuai PK No. No.005/DKS/PK/2002 dan PK
No.006/DKS/PK/2002 tanggal 20 Maret 2002 pasal 18 butir f), yang menyebutkan bahwa
tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, penerima kredit tidak diperkenankan
untuk melakukan investasi atau penyertaan kecuali untuk mengganti peralatan yang rusak.
5) PT KDI terlambat menyampaikan laporan keuangan audited
36

Berdasarkan file debitur diketahui bahwa PT KDI sering terlambat menyampaikan laporan
keuangan audited, yaitu:
a) Laporan keuangan audited tahun 1999
DKS dengan surat No.DKS/2/293/R tanggal 6 Maret 2001 meminta agar PT KDI
segera menyampaikan laporan keuangan audited tahun 1999 dan 2000. Keterlambatan
penyampaian akan dikenakan sanksi denda sesuai ketentuan dalam PK No.074 dan
075/DKS/PK/99 tanggal 29 Oktober 1999 dan No.029 tanggal 31 Agustus 2000.
Permintaan tersebut telah ditindaklanjuti oleh PT KDI dengan faks
No.KDI/C/BNI/060301-1 tanggal 6 Maret 2001, yang menyebutkan bahwa laporan
keuangan audited tahun 1999 telah dikirim pada tanggal 6 Maret 2001 via titipan kilat.
b) Laporan keuangan audited tahun 2000
DKS dengan surat No.DKS/2/923/R tanggal 26 Juli 2001 meminta PT KDI untuk
segera menyampaikan laporan keuangan audited tahun 2000, yang seharusnya sudah
disampaikan pada akhir bulan Juni. Dari laporan keuangan audited tahun 2000
diketahui bahwa laporan tersebut telah diselesaikan tanggal 28 Juni 2001.
c) Laporan keuangan audited tahun 2003
Laporan keuangan audited tahun 2003 diaudit oleh KAP Ernst & Young sesuai
laporan No.RPC-3088/SBY tanggal 28 Juli 2004. PT KDI baru menyampaikan
laporan keuangan audited tahun 2003 tanggal 29 September 2004. Bank BNI tidak
mengenakan sanksi denda terhadap keterlambatan penyampaian laporan keuangan
audited tersebut
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.29 tanggal 31 Agustus 2000 pasal 13 butir
2.a. yang menyebutkan bahwa penerima kredit menyampaikan kepada Bank laporan
keuangan setiap akhir tahun buku yang telah diaudit oleh KAP yang terdaftar pada Bank
dan laporan keuangan tersebut harus sudah diserahkan kepada Bank selambat-lambatnya
enam bulan setelah tahun buku laporan. Atas keterlambatan penyerahan laporan keuangan
tersebut penerima kredit akan dikenakan denda/penalti sebesar 0,25% per tahun dari
maksimum kredit yang dihitung secara proporsional dengan lamanya waktu
keterlambatan.
Kondisi tersebut mengakibatkan :
a. Bank BNI menderita kerugian pokok kredit sebesar Rp238.776,03 juta karena harus membentuk
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) 100%.
b. Tidak adanya teguran Bank BNI terhadap pelanggaran PK oleh debitur mengakibatkan
pengawasan Bank BNI terhadap kegiatan debitur tidak efektif dan bila terjadi permasalahan
tidak dapat segera mengambil tindakan untuk mengamankan kepentingan bank.
c. Adanya penggunaan dana yang menyimpang dari PK dalam jumlah yang besar yaitu untuk
pinjaman kepada perusahaan pemegang saham dan pembelian tanah untuk investasi seluruhnya
sebesar Rp59.595,01 juta dapat mempengaruhi kelancaran PT KDI dalam membayar bunga dan
pokok kredit.
d. Bank BNI tidak memperoleh pendapatan dari denda keterlambatan penyampaian laporan
keuangan audited minimal sebesar Rp358,21 juta.
37

Hal tersebut disebabkan :
a. RM dan analis kredit dalam mengelola kredit belum sepenuhnya memperhatikan ketentuanketentuan
yang berlaku serta belum secara tegas meminta debitur untuk memenuhi ketentuan
yang tertuang dalam PK.
b. RM, Pimpinan Kelompok, Wakil Kepala Divisi KKS dan Kepala Divisi KKS dalam mencairkan
KMK dan penerbitan L/C tidak memperhatikan PK yang telah ditandatangani.
c. Kewajiban penyampaian laporan keuangan semesteran atau tahunan dalam PK tidak memadai
untuk mencegah dan mendeteksi kemungkinan terjadinya penyimpangan penggunaan dana oleh
debitur.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Kami sependapat bahwa pendudukan tunggakan bunga dalam PK sesuai ketentuan BI tidak
diperbolehkan. Pendudukan tunggakan bunga pada KJP-2 tanggal 18 Pebruari 2000 tidak
dimaksudkan sebagai penyelesaian dengan cara plafondering, melainkan dalam rangka
restrukturisasi kearah penggunaan skim PSB sebagaimana dimaksud pada CPC No.63 tanggal
02-02-1999 yang tercermin pada jenis fasilitasnya yaitu KJP opsi PSB. Pendudukan tunggakan
bunga tersebut pada administrasi BNI tidak dibuku sebagai pendapatan bunga, tetapi masih
dibuku pada “Pendapatan bunga Ditangguhkan”. Outstanding tunggakan bunga (Pokok)
tersebut per 31-05-2005 sebesar Rp.31.811,96 juta (sudah ada pembayaran sebesar Rp9.904,97
juta).
b. Penilaian ulang telah dilakukan oleh PT Pro Nilai Konsulis Indonesia dan selesai akhir bulan
Juni 2005, untuk selanjutnya penilaian agunan akan dilaksanakan sesuai ketentuan. Berkaitan
dengan pengikatan, maksimum awal Rp298,98 milyar namun karena ada angsuran dan
sebagian KI tidak jadi di tarik, maka maksimum kredit menjadi Rp265,8 milyar. Kekurangan
pengikatan sebesar Rp1,4 M akan terpenuhi dari angsuran berjalan paling lambat September
2005. Jika angsuran tidak terealisir maka pengikatan akan ditingkatkan sebesar Rp1,4 M. Atas
kekurangan jaminan tersebut telah dimintakan persetujuan khusus (exception) dan mendapat
persetujuan dari KPK dengan pertimbangan jaminan cukup marketable dan telah diikat
sempurna berupa Hak Tanggungan sebesar Rp264,3 milyar.
c. Untuk selanjutnya akan menjadi perhatian kami bahwa setiap penarikan KMK harus sesuai
dengan persyaratan dalam PK. L/C dibuka untuk membantu kelancaran produksi yang
berdampak positif terhadap kelancaran pembayaran kewajiban, dimana setoran semula Rp500
juta/bulan menjadi Rp1 milyar/bulan (mulai Des 2004 naik menjadi Rp1.250 juta/bulan) dan
dok. Yadit turun sebesar USD77.26 ribu (eqv. Rp757 juta). Untuk selanjutnya akan menjadi
perhatian kami bahwa setiap pembukaan L/C, tunggakan kewajiban yang lalu telah di
selesaikan terlebih dahulu. Berkaitan dengan pinjaman kepada perusahaan pemegang saham
PT KDI sebesar Rp39.685,01 juta, debitur telah disurati cf. KKS/2/641/R tanggal 15-06-2005,
dijelaskan juga mengenai sanksi dan dendanya. Berkaitan dengan pembelian tanah yang tidak
dipergunakan untuk usaha, debitur telah disurati cf. KKS/2/641/R tanggal 15-06-2005 dan
dijelaskan juga mengenai sanksi dan dendanya. Atas keterlambatan penyampaian laporan
keuangan audited, debitur telah disurati cf. KKS/2/641/R tanggal 15-06-2005, dan ditegaskan
juga mengenai denda yang harus dibayar.
38

BPK-RI menyarankan kepada Pemimpin Divisi Kredit Khusus agar:
a. Memberikan sanksi/teguran kepada RM dan Analis kredit agar dalam mengelola kredit lebih
memperhatikan ketentuan yang berlaku serta lebih tegas dan aktif meminta debitur untuk
mematuhi ketentuan dalam PK.
b. RM, Analis kredit, Pimpinan Kelompok, Wakil Kepala Divisi KKS dan Kepala Divisi KKS
dalam mengelola dan memutuskan kredit agar memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
berlaku.
c. Mensyaratkan kewajiban penyampaian laporan oleh debitur dalam PK selain laporan keuangan
semesteran dan tahunan, juga laporan bulanan atas aktivitas usaha debitur agar diperoleh
informasi yang lebih mutakhir dan memadai dalam pengawasan kredit, sehingga kemungkinan
terjadinya penyimpangan penggunaan kredit oleh debitur dapat dideteksi dan dicegah sedini
mungkin.
4. Pengelolaan kredit PT Sumber Mitra Jaya sebesar Rp388.443,95 juta belum sepenuhnya
sesuai ketentuan
PT Sumber Mitra Jaya (PT SMJ) berdiri pada tanggal 15 Oktober 1981 sesuai Akta
Notaris H. Babesa Daeng Lalo, SH No.90. Perusahaan bergerak di bidang industri konstruksi dan
pertambangan batu bara. Kantor PT SMJ berlokasi di Gedung Graha Irama Lt. 14, Jl. Rasuna Said
Blok X-1 Kav.1-2 Jakarta, sedangkan proyek berlokasi di Bukit Asam, Berau-Kaltim dan
Cipularang.
Pemegang saham mayoritas (99,96%) PT SMJ sesuai akta No.5 tanggal 28 Desember
2001 adalah PT Mitra Jaya Paduan. Selanjutnya sesuai Akta No.15 tanggal 30 November 2001
pemegang saham mayoritas (51,52%) PT Mitra Jaya Paduan adalah Drs. Gowindasamy. Pengurus
PT SMJ sesuai akta No. 5 diatas antara lain Ny. Saroja sebagai Komut dan Drs. Gowindasamy
sebagai Dirut perusahaan.
PT SMJ termasuk dalam Grup Mitra Jaya dan telah menjadi debitur Bank BNI sejak tahun
1992. Selama menjadi debitur Bank BNI, kewajibannya kepada Bank dipenuhi dengan baik,
walaupun kadang-kadang pembayaran pokok atau bunga terlambat. Fasilitas kredit PT SMJ telah
mengalami beberapa kali restrukturisasi berupa pemberian Interest Ballon Payment dan
reskeduling pembayaran.
Outstanding kredit PT SMJ per 28 Pebruari 2005 adalah sebesar Rp213.934,92 juta
dengan kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Gol. II). Sesuai laporan appraisal PT Valuindo
Perdana No.003/VP/RP/III/2004 tanggal 15 Maret 2004 jumlah asset yang dijaminkan PT SMJ
adalah sebesar Rp206.324,89 juta sehingga tidak mengcover jumlah kewajibannya.
Hasil pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit menunjukkan beberapa permasalahan
sebagai berikut :
a. Pengelolaan kredit PT SMJ belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
1) Perpanjangan sementara kredit belum sesuai ketentuan Bank BNI
Fasilitas KMK kepada PT SMJ terdiri atas 6 rekening dengan maksimum kredit sebesar
Rp82.500,00 juta. Selama periode Januari s.d. Juni 2003, fasilitas tersebut telah
diperpanjang sementara, karena Perangkat Aplikasi Kredit (PAK) Review Mitra Jaya
Group masih dalam proses perpanjangan pada Divisi Korporasi. Perpanjangan sementara
39

tersebut telah disampaikan kepada Bank BNI cabang Thamrin, sebagai pengelola rekening
(booking office) kredit PT SMJ, dengan telex-telex sebagai berikut :
a) Telex No.99.1783/KAMIS/KPI tanggal 30 Januari 2003 dengan perpanjangan
sementara selama dua bulan.
b) Telex No.10.1917/SENIN/KPI tanggal 21 April 2003 dengan perpanjangan sementara
selama satu bulan.
c) Telex No.14.1843/SENIN/KPI tanggal 19 Mei 2003 dengan perpanjangan selama satu
bulan.
d) Telex No.19.1844/KAMIS/KPI tanggal 19 Juni 2003 dengan perpanjangan sementara
selama satu bulan.
Review terhadap fasilitas kredit Mitra Jaya Group tersebut baru dilakukan sesuai PAK
Review No.KPI/2/38 tanggal 9 Juni 2003 dan telah mendapat persetujuan Komite Pemutus
Kredit (KPK).
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa fasilitas KMK telah diperpanjang sementara
sebanyak empat kali. Selain itu pembuatan PAK Review terlambat, yaitu PAK review
No.KPI/2/38 baru dibuat pada tanggal 9 Juni 2003, sedangkan sebagian fasilitas KMK
telah jatuh tempo pada tanggal 31 Desember 2002. Selanjutnya sesuai surat Divisi Kredit
Khusus kepada PT SMJ No.KKS/1/136/R tanggal 17 Maret 2004 diberitahukan bahwa
KMK sebesar Rp12.000,00 juta telah diperpanjang sementara selama enam bulan sejak
jatuh tempo atau s.d. tanggal 30 Mei 2004 (jatuh tempo tanggal 30 November 2003).
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bank BNI Buku I Bab II.H.06 cfm CPC
No.56 tanggal 3 Desember 1996, yang menyebutkan antara lain :
a) Pembuatan PAK dalam rangka perpanjangan kredit (PAK review) harus sudah selesai
paling lambat dua bulan sebelum jatuh tempo kredit;
b) Apabila PAK tidak dapat selesai pada saat jatuh tempo, maka kredit tersebut dapat
diperpanjang sementara dengan jangka waktu maksimal tiga bulan dan tidak dapat
diperpanjang lagi.
2) Penilaian kembali jaminan baru dilaksanakan setelah melebihi empat tahun
Berdasarkan dokumen kredit diketahui bahwa jaminan kredit PT SMJ telah dinilai
oleh PT Piesta Penilai sesuai Laporan No.063/LP/PFF-PGR/V/99 tanggal 6 Agustus 1999
dan PT Valuindo Perdana sesuai Laporan No.003/VP/RP/III/2004 tanggal 15 Maret 2004
atau 4 tahun 7 bulan kemudian. Berkaitan dengan hal tersebut Divisi Korporasi Bank BNI
dengan surat No.KPI/2/1197 tanggal 27 Mei 2003 dan No.KPI/2/2732 tanggal 31 Oktober
2003 meminta kepada PT SMJ agar menilai kembali jaminan, karena penilaian terakhir
telah berumur lebih dari dua tahun sehingga dinilai tidak valid lagi.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I.J.04 yang menyatakan bahwa
frekuensi penilaian agunan oleh penilai independen paling tidak setiap tiga tahun sekali.
3) Pelaksanaan kunjungan setempat belum dilakukan sesuai ketentuan
Selama tahun 2001 s.d. 2005 petugas Bank BNI telah mengunjungi lokasi
pekerjaan (on the spot) sebagai berikut :
Petugas Bank BNI Lokasi Tanggal
Rentang
Kunjungan
RM (Djoko Setiyadi)
Sanggatta Kaltim & 30-8-2001 s.d.
MA (BB Satsmoko)
Klaten Jateng
01-09-2001
40

Pemimpin Kelompok (Nasrun Tj. Enim, Sanggatta dan 20-25 September 12 bulan
Tamin), RM (Djoko Setiyadi) Jakarta
2002
WORM (Kusprayitno) Tol Cipularang 8 Juni 2004 21 bulan
WORM (Kusprayitno) Tol Cipularang 8 Des. 2004 6 bulan
Dari tabel diatas terlihat bahwa rentang waktu kunjungan yang satu dengan yang lain
memiliki jarak waktu 12 dan 21 bulan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan keputusan Komite Kebijakan Kredit No.CPC/64
tanggal 6 April 1999 yang menyebutkan antara lain bahwa intensitas pemantauan dengan
kunjungan setempat (site visit) untuk debitur klasifikasi A/B minimal setiap enam bulan.
4) Nilai pengikatan Hak Tanggungan jaminan lebih rendah dari nilai taksasi
Berdasarkan data pengikatan jaminan diketahui bahwa jaminan tanah yang telah
diikat hak tanggungan adalah sebesar Rp11.339,90 juta. Nilai taksasi tanah tersebut adalah
sebesar Rp17.448,59 juta, sedangkan maksimum kredit PT SMJ per 28 Pebruari 2005
sebesar Rp242.043,70 juta. Dengan demikian nilai taksasi jaminan lebih kecil dari
maksimum kredit dan nilai pengikatan hak tanggungan jaminan lebih kecil dari nilai
taksasi.
Hal tersebut tidak sesuai BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05 Hal 1 butir
5.a.1 perihal besarnya nilai pengikatan Hak Tanggungan untuk Kredit Langsung yang
menyatakan bahwa apabila nilai taksasi jaminan lebih kecil dari maksimum kreditnya,
maka nilai pengikatan hak tanggungan sebesar nilai taksasinya.
5) Jaminan yang insurabel belum seluruhnya diasuransikan
Berdasarkan penelitian terhadap data obyek pertanggungan diketahui bahwa
belum seluruh jaminan yang insurable telah diasuransikan, yaitu bangunan yang berlokasi
di Desa Karang Raja Tj.Enim, Sumsel.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J.06 butir b.1), yang
menyatakan bahwa terhadap barang-barang jaminan kredit yang insurabel wajib ditutup
asuransi dan dalam setiap penutupan pertanggungan barang-barang jaminan harus
dicantumkan syarat Bankers Clause – Bank BNI.
6) Persyaratan jaminan PT SMJ belum sesuai dengan ketentuan
Berdasarkan data analisa CEV jaminan per Pebruari 2005 diketahui bahwa total
CEV adalah 80,98%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J.04 butir 5 yang
antara lain menyebutkan bahwa persyaratan minimum CEV jaminan adalah 100%.
b. Bank BNI tidak memberikan sanksi terhadap pelanggaran beberapa ketentuan dalam
Perjanjian Kredit yang dilakukan oleh PT SMJ
1) PT SMJ menerima pinjaman dari bank lain tanpa memperoleh ijin dari Bank BNI
Berdasarkan Laporan Keuangan PT SMJ yang telah diaudit untuk tahun 2002 dan
2003 diketahui bahwa PT SMJ telah memperoleh pinjaman dari Bank Mandiri, Bank
Universal dan Bank Bukopin tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank BNI
dengan rincian sebagai berikut :
(Rp juta dan ribu USD)
Bank Jenis Val Nilai Tahun Ket.
Bank KMK Rp 45.000,00 2003 PK No.CBG.CR2/RD6.363/2003
41

Bank Jenis Val Nilai Tahun Ket.
Mandiri tanggal 9 Oktober 2003
KI USD 8,750.00 2003 PK No.CBG.CR2/RD6.363/2003
tanggal 9 Oktober 2003
Bank
Universal
KMK Rp 3.675,10 2002 ---
Bank
Bukopin
KI Rp 7.500,00 2002 SPPK No.3444/DIR/IX/2002
tanggal 3 September 2002.
KMK Rp 10.000,00 2003 SPPK No.5810/DKM/X/2003
tanggal 28 Oktober 2003
KI USD 5,500.00 2003 SPPK No.5810/DKM/X/2003
tanggal 28 Oktober 2003
Jumlah Rp
USD
66.175,10
14,250.00
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
a) Akta Perjanjian Kredit No.31 tanggal 24 Pebruari 1997 pasal tambahan point 4 yang
menyebutkan bahwa “selama fasilitas kredit berdasarkan Perjanjian ini belum lunas,
tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, penerima kredit tidak
diperkenankan menerima pinjaman dari Bank atau Lembaga Keuangan Bukan Bank
Lainnya.
b) BPP Buku I Bab I.A.10.4 yang menyebutkan bahwa selama KI belum
diselesaikan/dilunaskan, debitur dilarang menerima kredit-kredit baru baik dari Bank
lain maupun perusahaan di luar Bank tanpa persetujuan Bank BNI.
2) PT SMJ melakukan penyertaan saham tanpa ijin tertulis dari Bank BNI
Sesuai dengan Laporan Keuangan PT SMJ per 31 Desember 2000, 2001, 2002
dan 2003 yang telah diaudit diketahui bahwa PT SMJ telah melakukan investasi dalam
bentuk penyertaan saham dengan rincian sebagai berikut:
(Rp juta)
Perusahaan Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003
PT Kalimantan Energi Lestari 19.894,39 30.806,63 59.513,95 55.935,57
PT Sungai Rangit 27.380,76 50.167,87 106.877,71 114.455,18
PT Kideco Jaya Agung -- -- -- 105.950,50
PT Mitra Jaya Agro Palm 2.375,75 3.558,88 14.621,89 39.250,00
Dari dokumen yang ada tidak ditemukan adanya persetujuan tertulis dari Bank BNI perihal
investasi tersebut. Selain itu Bank BNI tidak melakukan peneguran kepada PT SMJ atas
pelanggaran PK tersebut.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.31 tanggal 24 Pebruari 1997 pasal 18
butir 6 yang menyebutkan bahwa tanpa ijin tertulis debitur dilarang melakukan investasi
atau penyertaan.
c. PT SMJ belum memenuhi ketentuan minimal CR
Berdasarkan Laporan Keuangan audited tahun 2003 diperoleh CR PT SMJ sebesar
112,89%.
42

Hal tersebut tidak sesuai dengan addendum PK No.(2) 30 tanggal 18 Agustus 1999
pasal 17 yang menyatakan bahwa penerima kredit wajib menjaga dan memelihara keuangan
perusahaan sehingga CR minimal 130%.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Pengelolaan kredit yang tidak mengacu kepada ketentuan intern yang telah ditetapkan,
mengakibatkan risiko yang akan ditanggung oleh bank akan lebih besar apabila ternyata kredit
yang telah diberikan bermasalah, karena peraturan yang telah ditetapkan tersebut pada dasarnya
adalah untuk mengurangi risiko kerugian bagi bank.
b. Tidak adanya teguran oleh Bank BNI atas pelanggaran PK yang dilakukan oleh debitur
mengakibatkan pengawasan terhadap kegiatan debitur yang dilakukan oleh Bank BNI tidak
efektif dan bila terjadi permasalahan tidak dapat segera mengambil tindakan yang
menguntungkan bagi bank.
c. Adanya penggunaan dana yang tidak sesuai dengan PK dalam jumlah yang besar yaitu untuk
membayar hutang kepada pemegang saham dan penyertaan saham kepada PT Kideco Jaya
Agung yang seluruhnya berjumlah Rp105.950,50 juta dapat mempengaruhi kelancaran PT
SMJ untuk memenuhi pembayaran bunga dan pokok kepada Bank BNI.
Hal tersebut disebabkan oleh :
a. RM dan analis kredit dalam pengelolaan kredit belum sepenuhnya memperhatikan ketentuanketentuan
yang berlaku serta belum secara tegas meminta debitur untuk memenuhi ketentuan
yang tertuang dalam PK.
b. Tidak adanya kewajiban menyampaikan laporan keuangan bulanan sehingga sulit mendeteksi
kemungkinan terjadinya penyimpangan penggunaan dana oleh debitur.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Perpanjangan sementara dilakukan untuk menjembatani proses PAK yang belum selesai,
sementara pinjaman telah jatuh tempo, sehingga memberikan kepastian hukum dan menjaga
tertib administrasi, untuk selanjutnya akan menjadi perhatian kami. Penilaian kembali jaminan
terakhir tanggal 15 Maret 2004 dan untuk selanjutnya akan menjadi perhatian kami. OTS
terakhir dilakukan tanggal 28 Maret 2005, dan untuk selanjutnya akan menjadi perhatian kami.
Total pengikatan HT sebesar Rp291,2 milyar mengcover 120,3% dari maksimum fasilitas kredit
sebesar Rp242.043,70 juta, namun demikian pengikatan atas tanah/bangunan akan kami
tingkatkan sesuai nilai taksasi. Bangunan yang berlokasi di Desa Karang Raja Tanjung Enim
telah dimintakan penutupan asuransi ke PT Tripakarta cfm Surat PT Sumber Mitra Jaya No.
090a/SMJ-SB/VI/2005 tanggal 1 Juni 2005, polis masih dalam proses di PT Tripakarta. Kondisi
jaminan yang belum memenuhi ketentuan tersebut sudah dikemukan dalam usulan dan sudah
mendapatkan persetujuan dari KPK.
b. Pinjaman bank lain merupakan fasilitas kredit untuk proyek yang tidak dibiayai oleh Bank BNI.
Kami telah mengirimkan teguran dan meminta penjelasan, dan untuk selanjutnya akan menjadi
perhatian kami. Berkaitan dengan penyertaan saham dapat dijelaskan bahwa sumber dana
penyertaan saham ke PT Kideco Jaya Agung berasal dari pinjaman Bank Mandiri. Penyertaan ke
anak perusahaan lainnya berasal dari tagihan piutang atas pekerjaan konstruksi yang dilakukan
43

oleh PT SMJ. Kami telah mengirimkan teguran dan meminta penjelasan lebih lanjut cfm. surat
KKS No. KKS/2/484 tanggal 15 Juni 2005 dan untuk selanjutnya menjadi perhatian kami.
c. Financial covenant masih dalam batas toleransi maksimal 20% sesuai Keputusan Komite
Kebijakan Kredit No. CPC/99/2004 tanggal 1 Januari 2004 No. 5 butir b.3.
BPK – RI menyarankan kepada Pemimpin Divisi Kredit Khusus agar:
a. Memberikan sanksi teguran kepada RM dan Analis Kredit agar dalam mengelola kredit lebih
memperhatikan ketentuan yang berlaku serta lebih tegas dan aktif meminta debitur untuk
mematuhi ketentuan dalam perjanjian kredit.
b. Mensyaratkan kewajiban penyampaian laporan oleh debitur dalam PK selain laporan keuangan
semesteran dan tahunan, juga laporan periodik bulanan atas aktivitas usaha debitur tujuannya
agar dapat diperoleh informasi yang lebih mutakhir dan memadai dalam pengawasan kredit,
sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan penggunaan kredit oleh debitur dapat
dideteksi dan dicegah sedini mungkin.
5. Persetujuan pemberian dan pengelolaan kredit kepada PT Suryabumi Argolanggeng dengan
outstanding sebesar Rp316.083,31 juta belum sepenuhnya mematuhi ketentuan
PT Suryabumi Argolanggeng (PT SBAL) didirikan tahun 1990 dengan Akte Pendirian
No. 124 tanggal 28 September 1990 oleh Notaris Ny. R. Arie Soetardjo, SH. Perusahaan bergerak
dalam bidang perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang beralamat kantor di Jl. Tawakal
Ujung Raya No.7 B, Tomang Jakarta Barat dan pabrik di Kabupaten Muara Enim, Sumatera
Selatan.
PT SBAL pada awalnya dimiliki oleh Djamili Effendi dan Surya Effendi dengan
kepemilikan saham masing-masing sebesar 50%. Kemudian dalam rangka penyelamatan &
penyelesaian proyek, saham Surya Effendi dijual dan diambil alih oleh Tjandra Mindharta Gozali
sehingga kepemilikan saham menjadi Djamili Effendi sebesar 51% dan Tjandra Mindharta
sebesar 49%. Pada tahun 1999 kembali ada perubahan pemegang saham karena Djamili Effendi
menjual seluruh sahamnya kepada Tjandra Mindharta. Karena Undang-Undang perseroan tidak
memperbolehkan kepemilikan saham secara tunggal, maka dilakukan perubahan kembali sehingga
susunan pemegang saham PT SBAL sesuai Akte No. 12 tanggal 8 November 2000 menjadi PT
Global Indosawit sebesar 60% dan Wiyanto Khong sebesar 15% dari nilai saham sebesar
Rp50.000,00 juta. Susunan pengurus PT SBAL antara lain Wiryanto Khong sebagai Komut dan
Tjandra Mindharta Gozali sebagai Dirut.
PT SBAL telah menjadi debitur Bank BNI sejak tahun 1995. Outstanding kredit PT SBAL
per tanggal 28 Pebruari 2005 adalah Rp316.083,31 juta dengan kolektibilitas Kurang Lancar
(Gol. III).
Dari pemeriksan lebih lanjut terhadap dokumen dan proses pemberian kredit PT SBAL,
diketahui hal-hal sebagai berikut :
a. Pemberian fasilitas KI kepada PT SBAL belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
Buku Pedoman Perkreditan (BPP) Bank BNI
PT SBAL mengajukan permohonan kredit dengan surat No. 001/SA-JKT/VIII.94 tanggal 4
Juli 1995 untuk membiayai proyek Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) yang berlokasi di
44

Kecamatan Gunung Megang dan Talang Ubi, Muara Enim, Propinsi Sumatera Selatan.
Berdasarkan Memorandum Divisi Korporasi No. KPI/7/83 tanggal 22 Agustus 1995 diketahui
bahwa permohonan tersebut telah mendapat ijin prinsip untuk diproses lebih lanjut dari
Direktur Korporasi (Direktur KP), Direktur Kredit Menengah (Direktur KM), Direktur PB,
Direktur Tresuri (Direktur TS), Direktur PG dan Direktur UT. Sedangkan Direktur
Operasional (Direktur (OP) tidak menyokong pemberian kredit kepada PT SBAL karena
masalah kepengurusan dan kepemilikannya yang tidak sesuai dengan ketentuan Bank BNI
yaitu bahwa Sdr Djamili merupakan mantan pengurus/pemilik PT Sinar Biru Utama Acetyline
tahun 1981 sampai dengan tahun 1989, yang merupakan debitur macet BNI. Selanjutnya
berdasarkan MPK No. KPI/7/069 tanggal 17 Oktober 1995 diketahui Relationship Manager
(RM) mengusulkan persetujuan pemberian kredit PT SBAL. Berdasarkan IPK No. KPI/7/073
tanggal 11 Desember 1995 diketahui bahwa usulan tersebut disetujui oleh 4 direktur
sedangkan 2 direktur menolak usulan tersebut. Persetujuan tersebut kemudian dituangkan
dalam PK No. 108 tanggal 15 Desember 1995 yaitu KI (Pokok) sebesar Rp57.800,00 juta,
Fasilitas KI (IDC) sebesar Rp10.900,00 juta dan KMK sebesar US$3,850.00 ribu untuk
pembiayaan pembangunan PKS seluas 10.000 ha.
Dalam proses pemberian kredit kepada PT SBAL tersebut, diketahui terdapat beberapa
hal yang tidak sesuai dengan ketentuan BPP Bank BNI, yaitu :
1) Perusahaan belum melengkapi Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL)
Berdasarkan MPK KPI No. KPI/7/069 tanggal 17 Oktober 1995 diatas diketahui
bahwa permohonan kredit PT SBAL tidak dilengkapi dengan AMDAL.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bank BNI Bab I, Sub Bab A, Sub-Sub 05
mengenai persyaratan umum suatu permohonan kredit, yang mengatur legalitas
perusahaan. Ketentuan tersebut juga mengatur bahwa perusahaan nasabah/calon debitur
yang usahanya diperkirakan mempunyai dampak sensitif yang tinggi terhadap lingkungan,
maka harus mempunyai ijin AMDAL dari instansi yang berwenang agar pemberian
fasilitas kredit dapat dipertimbangkan.
2) Analisa kredit atas laporan keuangan PT SBAL belum sepenuhnya sesuai dengan
ketentuan
Dari MPK diatas diketahui bahwa laporan keuangan yang dijadikan acuan dalam
menganalisa keuangan PT SBAL dalam rangka memutus kredit PT SBAL adalah laporan
keuangan unaudited posisi Juni 1995.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bank BNI Buku I, sub bab F, sub-sub bab
01, yang menyebutkan bahwa laporan keuangan yang dianalisis meliputi laporan keuangan
empat tahun terakhir. Khusus untuk calon debitur yang beroperasi selama tiga tahun,
cukup mempunyai laporan keuangan tiga tahun terakhir. Selanjutnya berdasarkan BPP
Bank BNI Buku I, sub bab A, sub-sub bab 04 disebutkan penyampaian laporan keuangan
audited diwajibkan antara lain bagi calon debitur yang mengajukan permohonan kredit
maksimum Rp3,00 milyar keatas.
3) Total CEV jaminan belum mencover pemberian kredit
Selanjutnya dari MPK No. KPI/7/067 tanggal 17 Oktober 1995 diketahui bahwa
CEV total adalah sebesar 89% dari maksimum kredit yang akan diberikan. Perhitungan
45

CEV jaminan pada saat pembuatan PAK (baru) sesuai BPP Bab I, Sub bab J,04 adalah
sebagai berikut :
a) Jumlah kredit diperhitungkan sebesar maksimum kredit yang diusulkan.
b) CEV jaminan diperhitungkan dengan dasar project cost dan proyeksi
penguasaan/pengikatan jaminan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP bab I, Sub Bab J, Sub- sub Bab 04, yang
menyebutkan persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur dan non debitur minimum
CEV sebesar 100%.
4) Key person Sdr Djamili merupakan mantan pemilik/pengurus perusahaan debitur
macet Bank BNI
Berdasarkan Memorandum Divisi Korporasi No. KPI/7/83 tanggal 22 Agustus
1995 diketahui bahwa Dirut sekaligus pemegang saham PT SBAL yaitu Sdr Djamili
merupakan pemilik/pengurus PT Sinar Biru Utama Acettyline dari tahun 1981 s.d 1989.
Perusahaan tersebut tercatat sebagai debitur macet BNI. Sdr Djamili juga menjabat
sebagai Komut PT Sepanjang Surya Gas (PT SSG), suatu perusahaan publik yang telah
berganti nama menjadi PT Praxair Indonesia. Perusahaan tersebut telah mendapat ancaman
delisting dari Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya karena tidak membagikan
deviden selama tiga tahun berturut-turut karena mengalami kerugian (tahun 1993 sebesar
Rp5.600,00 juta, tahun 1994 sebesar Rp6.300,00 juta), dan saham-sahamnya tidak pernah
diperdagangkan. Selanjutnya diketahui juga bahwa salah satu pengurus Direktur PT SBAL
yaitu Sdr Arjen Tridarma Darmawan merupakan mantan Komisaris PT SSG.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bank BNI Wholesale & Middle Market
(Buku IIIA) mengenai larangan pemberian fasilitas kredit kepada debitur baru :
a) Yang perusahaan atau nama pengurus/pemilik/pemegang kuasa /penjamin/
penanggung jawabnya tercantum dalam daftar kredit macet/penarik cek kosong.
b) Yang menerima kredit baru dari Bank BNI maupun bukan, selama kredit yang lama
belum dilunasi.
b. Pencairan kredit KI-Kebun PT SBAL belum sepenuhnya sesuai dengan PK
Sesuai PK No. 108 tanggal 15 Desember 1995, PT SBAL telah memperoleh fasilitas
kredit untuk pembiayaan pembangunan proyek PKS seluas 10.000 ha antara lain KI (Pokok)
sebesar Rp57.800,00 juta. Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut diketahui terdapat pencairan
kredit yang tidak sesuai dengan syarat disposisi pencairan yaitu pemenuhan dana sendiri (self
financing) sebesar 40%, sebagai berikut :
1) Penarikan KI III tahun 1996 sebesar Rp2.946,93 juta
Dari Nota Intern Kelompok Pengelola Nasabah Lima (KPNL) kepada Divisi Korporasi II
No.KPI/7/47/NI tanggal 2 September 1996 diketahui untuk penarikan kredit tersebut, self
financing belum terpenuhi sebesar Rp785.644.354,96.
2) Penarikan KI triwulan I/1997 sebesar US$1,270.36 ribu
Dari Nota Intern KPNL No.PNL/4/114 tanggal 31 Maret 1997, diketahui kekurangan self
financing s.d. penarikan triwulan IV/1996 sebesar Rp358,51 juta. Sedangkan untuk
penarikan triwulan I/1997, diketahui kekurangan self financing menjadi sebesar
Rp1.358,51 juta.
3) Penarikan KI II tahun 1997 sebesar Rp2.915,80 juta
46

Dari Nota Intern KPNL No.KPI/7/147/NI tanggal 23 Juni 1997, diketahui bahwa terdapat
kekurangan self financing s.d. penarikan triwulan I/1997 sebesar Rp1.843,32 juta.
Sedangkan untuk penarikan KI triwulan II/1997 terdapat kekurangan self financing sebesar
Rp1.943,86 juta.
4) Penarikan KI triwulan III tahun 1997 sebesar US$1,417.73 ribu
Dari Nota Intern KPNL No.PNL/4/180 tanggal 11 September 1997, diketahui bahwa
terdapat kekurangan self financing s.d. penarikan triwulan II/1997 sebesar Rp2.723,00
juta.
Dari data tersebut diatas diketahui bahwa pada saat pencairan kredit syarat disposisi kredit
belum terpenuhi, yaitu self financing PT SBAL dibawah 40%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 108 tanggal 15 Desember 1995 pasal 16,
yang menyebutkan bahwa pemenuhan dana sendiri sebesar 40% untuk biaya proyek yang
harus dilaksanakan secara proporsional dengan penarikan KI dan harus tercermin dalam
laporan keuangan/Neraca pada periode penarikan KI bersangkutan dalam bentuk penyetoran
modal atau hutang kepada pemegang saham yang harus disubordinasikan.
c. Persetujuan konversi kredit dari Rupiah menjadi Dollar belum sesuai dengan ketentuan
PT SBAL dengan surat No.003/SA/EK/I/97 tanggal 17 Januari 1997 mengajukan
permohonan konversi mata uang Rupiah atas fasilitas KI sebesar Rp68.700,00 juta ke dalam
mata uang Dollar dengan alasan sebagai berikut: untuk menekan biaya bunga karena
pelaksanaan proyek memakan waktu yang cukup lama, sebagian besar biaya investasi untuk
barang modal (alat-alat berat dan mesin pabrik) dibeli dengan valas USD dan sebagian besar
(lebih kurang 65%) rencana penjualan produk untuk ekspor. Dengan Memorandum Divisi
Korporasi II No. KPI/7/19 tanggal 24 Pebruari 1997 permohonan PT SBAL tersebut diusulkan
oleh Pengelola IV dan Kelompok Pengelola Nas. IV. DM dan Dir KP menyetujui permohonan
tersebut dan selanjutnya menuangkannya dalam PK No.97/031 tanggal 19 Maret 1997.
Dari MPK No. KPI/7/069 tanggal 17 Oktober 1995 diketahui bahwa strategi bisnis
untuk mencapai target penjualan dan laba akan ditentukan pada waktu produksi komersial.
Namun PT SBAL sudah memproyeksikan penjualan 50% lokal dan 50% ekspor. Selanjutnya
dari surat permohonan PT SBAL diatas diketahui bahwa proyeksi penjualan untuk ekspor naik
dari 50% menjadi 65%. Target penjualan tersebut diatas masih berupa proyeksi dan belum
dapat dipastikan realisasinya. Lebih lanjut diketahui bahwa terhadap persetujuan switching
fasilitas kredit tersebut diatas Bank BNI tidak mensyaratkan kepada PT SBAL untuk menutup
SWAP. Penutupan SWAP ini dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya kerugian yang
disebabkan oleh perubahan nilai tukar Rupiah terhadap USD.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab III, Sub Bab F, Sub-sub bab 01 yang
menyebutkan bahwa kredit dalam valuta asing dapat diberikan dengan syarat-syarat sebagai
berikut :
1) Minimal kreditnya US$100,000.00 (seratus ribu dolar).
2) Dapat diberikan kepada perusahaan yang mempunyai pendapatan dalam USD atau valuta
asing lainnya, tanpa ada keharusan untuk menutup SWAP.
47

3) Apabila pendapatan debitur dalam valuta asing kurang dari 40% dari penjualan/produksi,
maka wajib ditutup SWAP untuk mengatasi resiko kurs valas.
Dalam perjalanannya diketahui bahwa penanaman kebun sawit seluas 10.000 Ha yang
direncanakan selesai pada tahun 1998, baru dapat diselesaikan pada tahun 2001 (terlambat tiga
tahun). Keterlambatan penanaman kebun melewati masa pemberian IDC, sementara
pembangunan PKS dimulai pada akhir tahun 2002 dan selesai pada bulan Agustus 2004. Dari
laporan kunjungan setempat tanggal 14 Oktober 2004 diketahui bahwa dari luas areal tanaman
kelapa sawit seluas 10.000 Ha, s.d. triwulan II 2004 tanaman yang sudah menghasilkan seluas
6.380,83 Ha atau sekitar 63,60%. Total produksi Tanaman Buah Segar (TBS) s.d. Juni 2004
sebanyak 17.525.799 kg atau sekitar 5,49 ton TBS/Ha per tahun. Hasil TBS tersebut jauh
dibawah standar produksi kebun sebesar 20 ton TBS/Ha per tahun. Hasil panen TBS dari
kebun sendiri belum optimal yaitu 2.800.000 kg/bulan, masih jauh dibawah kebutuhan pabrik
sebesar 23.625.000 kg/bulan yang mengakibatkan opportunity loss karena utilitas pabrik PKS
masih jauh dibawah kapasitas terpasang.
Kondisi tersebut diatas menunjukkan bahwa target penjualan/ekspor PT SBAL sebesar
65% ekspor sulit dicapai dan kesesuaian periode fasilitas kredit PT SBAL baik KI maupun
IDC tidak tercapai.
d. Persetujuan penambahan fasilitas KI-IDC dan pemberian KI-PKS belum sepenuhnya
sesuai dengan ketentuan
PT SBAL tanggal 25 dan 27 November 2002 mengajukan permohonan restrukturisasi
kredit sebagai berikut :
1) Perubahan fasilitas KI PKS menjadi KI PKS onshore dan penambahan KI PKS menjadi
US$5,128.70 ribu dan pengurangan KI IDC menjadi US$68.81 ribu.
2) Perubahan porsi biaya PKS perusahaan/self financing 40% menjadi 25%
3) Penambahan fasilitas KI-IDC untuk kebun (Rp & US$) masing-masing sebesar
Rp14.478,00 juta dan US$3,295.00 ribu.
Berdasarkan MAK No.ARK/H/002 tanggal 21 Januari 2003 perihal restrukturisasi
kredit PT SBAL, diketahui terdapat beberapa kelemahan sebagai berikut:
1) Pemilik perusahaan merupakan pemain baru dalam bisnis perkebunan sehingga
kemampuannya diragukan.
2) Rating perusahaan III (kurang baik) karena prestasi dan likuiditas yang rendah.
3) Kolektibilitas kredit berada pada golongan III (kurang lancar).
4) Fasilitas yang akan diberikan dalam mata uang US$ sehingga mempunyai resiko nilai
tukar dan tidak ada penutupan swap.
5) Resiko pembiayaan cukup tinggi meliputi :
a) First way out sangat rendah sehingga dalam jangka pendek belum mampu mengcover
kewajiban yang ada.
b) Second way out tidak memenuhi ketentuan bank, baik untuk fasilitas berjalan maupun
untuk tambahan kredit dengan data sebagai berikut :
(1) Untuk outstanding fasilitas berjalan, CEV Controlled 65,70% dan Uncontrolled
0,78% sehingga CEV total 66,48%.
48

(2) Untuk maksimal fasilitas setelah tambahan dan jaminan yang akan ada berupa
pabrik (proyeksi), CEV Controlled 62,68% dan Uncontrolled 9,87% sehingga CEV
total 72,55%.
(3) Kondisi financial covenant tahun-tahun terakhir tidak memenuhi ketentuan, yaitu
:
Fin Cov 1999 2000 2001 Sep 2002 Syarat*) Keterangan
CR 12,07 1,72 0,27 0,13 1,20 Tdk memenuhi
DER 14,49 3,91 165,11 24,02 2,30 Tdk memenuhi
Berdasarkan MPK 02 tanggal 21 Januari 2003, diketahui bahwa terhadap kondisi yang
tidak sesuai dengan ketentuan tersebut diatas, RM mengusulkan agar dimintakan exception
dan mengusulkan untuk diberikan tambahan kredit dengan data sebagai berikut (dalam juta Rp
dan ribu USD) :
KI-Kebun (Rupiah) :
Jenis Kredit Maks. Semula Maks. diusulkan Keterangan
KI-Pokok 29.731,68 29.731,68 Tetap
KI-IDC 10.000,00 23.498,32 Bertambah
Total 39.731,68 53.230,00 Pembulatan
KI-Kebun (Onshore US$) :
Jenis Kredit Maks. Semula Maks. diusulkan Keterangan
KI-Pokok 12,259.88 12,259.88 Tetap
KI-IDC 6,800.00 9,094.62 Bertambah
Total 19,059.88 21,354.50 Pembulatan
KI-PKS :
Jenis Kredit Maks. Semula
(juta Rp)
Maks. Diusulkan
(ribu USD)
KI-Pokok 38.157,00 4,785.00
KI-IDC 6.343,00 796.00
Total 44.500,00 5,581.00
Keterangan
Switching dari Rp ke USD
diusulkan sumber pembiayaan
30% dana sendiri dan pinjaman
70%.
Melalui Rapat Direksi tanggal 11 Februari 2003 usulan tersebut disetujui dan didudukkan
dalam PK No. 2003/KPI/10, PK No. 2003/KPI/11 dan PK No. 2003/KPI/12 tanggal 28
Pebruari 2003.
Dari kondisi tersebut di atas diketahui bahwa persetujuan penambahan fasilitas KI-
IDC dan persetujuan pemberian KI-PKS belum sesuai dengan kebijakan ekspansi Credit
Policy Comite (CPC) 82 tanggal 11 Januari 2002 yang menyebutkan sebagai berikut :
a) Persyaratan Finacial Covenants diperkenankan penyimpangan maksimal 20% pada semua
segmen dan proyeksi 3 tahun menunjukkan persyaratan pemenuhan financial covenant
dapat terpenuhi, dengan ketentuan toleransi tersebut harus dicover dengan syarat lainnya
yang lebih kuat.
b) Persyaratan jaminan, penyimpangan dari ketentuan kecukupan jaminan controlled tidak
diperkenankan :
49

(1) Apabila sebelum tambahan kredit diberikan terdapat penyimpangan ketentuan
jaminan, maka tambahan kredit harus ada tambahan jaminan baru yang nilai CEV
Controllednya dapat mengcover tambahan kredit yang diberikan.
(2) Dalam hal sebelum tambahan kredit diberikan tidak terdapat penyimpangan ketentuan
kecukupan jaminan, dengan adanya tambahan kredit tersebut maka nilai CEV
Controlled dan total CEV jaminan harus dipenuhi.
e. Penyelesaian usance L/C sebesar US$200.00 ribu ke fasilitas KI IDC PKS kurang sesuai
dengan PK
Berdasarkan Memo dari RM-2 (KPBN-1) kepada Direktur Korporasi-I perihal
penarikan kredit usance L/C sebagai sarana penarikan atas nama PT SBAL, diketahui bahwa
untuk kepentingan pengadaan mesin atas nama PT SBAL telah dibuka dua dokumen usance
L/C impor melalui Bank BNI Cabang Pecenongan sebesar US$4,785.00 ribu (sesuai dengan
fasilitas KI – pokoknya). Satu diantaranya telah jatuh tempo tanggal 20 Maret 2004 sebagai
disposisi pertama fasilitasnya sebesar US$2,037.00 ribu sehingga disponible/kelonggaran tarik
kredit PT SBAL pada saat itu adalah US$2,748.00 ribu. Dokumen lainnya L/C impor
IM2PCG000014.03 sebesar US$2,685.00 ribu tanggal 8 April 2003 akseptasi tanggal 9 April
2003 akan jatuh tempo tanggal 28 Maret 2004, sedangkan nilai tagihan dokumen LC tersebut
sebesar US$2,948.00 setelah ditambah bunga selama satu tahun. Dengan demikian terjadi
kekurangan sebesar US$200.00 ribu dari kelonggaran fasilitas KI PT SBAL US$2,748.00 ribu.
Selanjutnya PT SBAL dengan surat No. 008/SA/EK/III/2004 tanggal 18 Maret 2004 memohon
agar penyelesaian usance L/C sebesar US$200.00 ribu tersebut dibebankan pada fasilitas KI –
IDC.
Berdasarkan Memo dari RM-2 KPBN – 1 diatas diketahui RM 2 mengusulkan untuk
dapat dibebankan pada rekening pinjaman KI Pokok PKS sampai dengan setinggi tingginya
sebesar maksimum KI-Pokok sebesar US$4,785.00 ribu sedangkan kelebihannya sebesar
US$200.00 ribu dapat dibebankan pada rekening KI-IDC PKS. Usulan RM 2 tersebut
didukung oleh Pemimpin Kelompok I, Pemimpin Divisi dan disetujui oleh Direktur Korporasi
dengan ketentuan agar plafond IDC dialihkan ke KI-Pokok PKS sebesar US$200.00 ribu. Dari
data tersebut diatas dapat diketahui bahwa kekurangan tagihan L/C sebesar US$200.00 ribu
yang disebabkan oleh penambahan nilai tagihan sebagai beban bunga usance L/C merupakan
cost over run.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 2003/KPI/12 tanggal 28 Pebruari 2003 pasal
tambahan ayat (7) yang menyebutkan bahwa apabila terjadi cost over run dan cash deficiency
maka menjadi tanggung jawab pemegang saham. Untuk itu harus dibuatkan akta cost over run
dan cash deficiency yang dibuat secara notariil. Pengalihan fasilitas KI-IDC sebesar
US$200.00 ribu kepada fasilitas KI juga tidak sesuai dengan peruntukan fasilitas KI.
Berdasarkan PK No. 2003/KPI/12 tanggal 28 Pebruari 2003 pasal 2 disebutkan bahwa tujuan
kredit adalah untuk pembangunan PKS berkapasitas 45 (empat lima) ton TBS/jam yang dapat
ditingkatkan menjadi 80-90 ton TBS/jam.
f. PT SBAL mendapat fasilitas dari bank lain
Berdasarkan informasi dari BI tanggal 11 Agustus 2003 diketahui bahwa selain
mendapat fasilitas dari BNI, PT SBAL juga mendapat fasilitas Non KUK dari Bank Yudha
Bhakti KP sebesar Rp11.426,86 juta yang diikat dengan PK tanggal 15 Juli 2002 dengan
50

jangka waktu 15 Juli 2002 s.d. 15 Juli 2010. Dari pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa
terhadap penambahan fasilitas dari bank lain tersebut terdapat persetujuan dari Bank BNI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 2003/KPI/12 tanggal 28 Pebruari 2003 pasal
18 yang mengatur tentang pembatasan terhadap tindakan penerima kredit ayat ( j ), yang
menyebutkan bahwa tanpa persetujuan tertulis dari bank penerima kredit tidak diperkenankan
untuk menerima pinjaman dari pihak lain, kecuali pinjaman tersebut diterima dalam rangka
transaksi dagang yang berkaitan langsung dengan usahanya.
g. Penilaian ulang jaminan sejak tahun 2002 s.d. 2005 belum dilakukan
Jaminan PT SBAL terakhir kali dinilai ulang pada tahun 2002, yaitu hasil penilaian
PT Piesta Penilai tanggal 2 Desember 2002.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I, Sub Bab J, Sub – Sub Bab 04 yang
menyebutkan bahwa frekuensi penilaian agunan oleh penilai independen untuk kredit kurang
lancar paling lama 2 tahun sekali. Merujuk kepada BPP diatas, penilaian ulang oleh appraisal
independen terhadap jaminan PT SBAL seharusnya dilakukan tanggal 2 Desember 2004.
h. Nilai jaminan yang diserahkan PT SBAL tidak mengcover fasilitas kredit
Evaluasi nilai jaminan yang dilakukan oleh analis kredit tanggal 3 Pebruari 2004
menunjukkan CEV jaminan sebesar Rp216.566,55 juta. Jika dibandingkan dengan outstanding
kredit PT SBAL posisi 28 Pebruari 2005 sebesar Rp316.083,31 juta maka total CEV sebesar
68,52%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I, Sub Bab J, Sub-Sub Bab 04 yang
menyebutkan untuk KI minimum total CEV sebesar 100%.
Hal tersebut mengakibatkan :
a. Pemberian kredit kepada PT SBAL berisiko tinggi dan fasilitas pokok kredit yang telah
diberikan sebesar Rp297.913,72 juta berpotensi menjadi kredit macet.
b. Restrukturisasi kredit PT SBAL tidak mencapai hasil yang optimal.
c. Pemenuhan kewajiban PT SBAL kepada Bank BNI menjadi terganggu karena harus
memenuhi kewajiban kepada pihak ke tiga.
d. Bank BNI tidak mengetahui nilai mutakhir jaminan yang diserahkan oleh PT SBAL.
e. Dengan tidak mencukupinya jaminan maka risiko kredit PT SBAL semakin besar.
Masalah tersebut terjadi karena:
a. Pejabat KPK dalam memutus persetujuan kredit belum sepenuhnya mematuhi ketentuan BPP
Bank BNI.
b. Pejabat pengusul dan pemutus pencairan KI dan switching fasilitas belum sepenuhnya
mematuhi ketentuan PK.
c. Unit Bisnis belum optimal melakukan pemantauan aktivitas usaha PT SBAL dan belum
sepenuhnya mematuhi ketentuan penilaian agunan dan kecukupan jaminan.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Laporan AMDAL telah dimintakan cfm. SKK No.KPI/7/227/R tanggal 20 september 1995.
AMDAL yang telah disetujui oleh Sekretaris Jendral Ketua Komisi AMDAL
No.2161/menhutbun – II/99 tanggal 30 september 1999 telah disampaikan oleh debitur. Untuk
51

selanjutnya kami akan mereview BPP yang mengatur tentang AMDAL secara lebih rinci
sesuai dengan jenis/objek pembiayaannya. Pertimbangan tidak digunakannya laporan
keuangan audited 3 tahun terakhir dan hanya menggunakan laporan unaudited semester I tahun
1995 dalam proses analisa kredit karena perusahaan belum beroperasi.Untuk selanjutnya
menjadi perhatian kami untuk melakukan evaluasi secara group. Pada saat pengusulan kredit,
agunan masih diperlakukan sebagai uncontrolled mengcover 89% dari maksimum kreditnya
karena dokumentasi agunan belum selesai. Namun demikian pada tahun 2002 jaminan tersebut
telah ditaksasi oleh PT Piesta Penilai cfm. laporan No.156/LP/PFF-PP/XII/2002 tanggal 2
Desember 2002 senilai Rp193.662,00 juta serta telah diikat Hak Tanggungan senilai
Rp200.000,00 juta. Nilai jaminan tersebut mengcover 179,58% (Controlled) dan 3,03%
(Uncontrolled). Pada saat pengusulan cfm. Memorandum No.KPI/7/83 tanggal 22 Agustus
1995 kredit macet a/n. PT.Sinar Biru Utama Acetyline di BNI telah diselesaikan/dilunasi.
b. Ketika pencairan KI tahap III tahun 1996 dan Triwulan I, II dan III tahun 1997 self financing
belum sepenuhnya terpenuhi, namun sampai dengan Desember 1997 self financing sebesar
40% sudah terpenuhi.
c. Sesuai proyeksi, hasil produksi akan diekspor + 65% (di atas 40%) sehingga tidak perlu
ditutup SWAP. Untuk selanjutnya ketentuan tentang hal ini akan kami review dan
sempurnakan.
d. Kami sependapat dengan pokok masalah yang ada. Pemberian tambahan KI-IDC dan KI-PKS
didasarkan pada pertimbangan sbb :
- Karena keterlambatan penyelesaian proyek berakibat cash generated masih rendah,
sehingga untuk kelanjutan penyelesaian proyek diperlukan tambahan KI-IDC dan KI-PKS.
- Dengan asumsi Hutang Pemegang Saham disubordinasikan, maka proyeksi CR dan DER
akan terpenuhi pada tahun ke-3.
- Atas ketidaksesuaian covenant tersebut telah mendapat persetujuan KPK.
- Kepada pemilik perusahaan terus didesak untuk memperbaiki kondisi kebun dan hal
tersebut telah dilaksanakan oleh pemilik perusahaan. Walaupun pemilik perusahaan
merupakan pemain baru dalam industri ini, namun Ybs. committed untuk terus
meningkatkan kualitas tanaman dan produktivitas yang selama ini hal tersebut dilakukan
dengan menggunakan dana sendiri tanpa menggunakan kredit dari bank (BNI belum
memberikan kredit modal kerja untuk pemeliharaan tanaman). Dengan upaya perbaikan
dan peningkatan kualitas kebun secara bertahap dan terus menerus tersebut, maka
resikonya pun secara bertahap diharapkan akan menurun.
e. Kami sependapat bahwa ini seharusnya menjadi beban debitur, namun karena debitur kesulitan
likuiditas sehingga di bebankan ke KI IDC dengan pertimbangan, sbb :
- Switching tersebut dalam rangka penyelesaian agar tidak terjadi Dok. Yadit mengingat KI
Pokok PKS telah penuh.
- Tambahan beban bunga tersebut timbul karena jika L/C Impor dibuka secara Sight
(sebagai sarana disposisi KI PKS) maka akan dikenakan bunga 9,25%, sedangkan jika
dibuka secara Usance akan dikenakan bunga lebih murah oleh supplier sebesar 4,18%.
- Switching tersebut dilakukan dengan cara menambah maksimum KI Pokok PKS dan
mengurangi maksimum KI IDC PKS sebesar US$200,000.00. Atas switching tersebut
telah didudukkan dalam Persetujuan Perubahan Perjanjian Kredit No.(2)2003/KPI/12
tanggal 30-03-2004.
52

f. Fasilitas kredit dari bank lain tersebut digunakan untuk pembelian ruko (saat ini digunakan
untuk kantor). Debitur telah diberikan teguran cfm. surat No.KKS/2/483 tanggal 15-06-2005
dan untuk selanjutnya hal tersebut akan menjadi perhatian kami.
g. Penilaian ulang jaminan oleh perusahaan appraisal telah dimintakan cfm. surat No.KKS/2/220
tanggal 21-03-2005, No.KKS/2/406/R tanggal 15-04-2005, No.KKS/2/304 A tanggal 21-04-
2005 dan saat ini masih dalam proses penilaian oleh PT.Wadantra Nilaitama.
h. Jaminan yang diserahkan tidak mengcover fasilitas kredit karena terjadi depresiasi nilai mata
uang Rupiah. Atas kekurangan jaminan tersebut telah dimintakan tambahan jaminan cfm. surat
No.KKS/2/558 tanggal 05-07-2005.
BPK – RI menyarankan agar :
a. Pejabat KPK dalam mengambil keputusan pemberian fasilitas kredit dan pemberian tambahan
fasilitas kredit memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
b. Unit Bisnis, Pemimipin Kelompok dan DM Bank BNI dalam memberikan persetujuan
pencairan kredit agar memastikan bahwa persyaratan yang ditetapkan dalam PK telah
dipenuhi terlebih dahulu.
c. Unit Bisnis dan Kelompok Pengelola Nas. IV, DM dan Dir KP dalam memberikan persetujuan
switching fasilitas rupiah ke US$ memperhatikan dan mematuhi ketentuan yang berlaku.
d. Unit Bisnis, Pemimpin Kelompok I, Pemimpin Divisi dan Direktur Korporasi dalam memutus
penyelesaian tunggakan L/C dengan cara pengalihan KI IDC ke KI Pokok PKS mematuhi dan
memenuhi ketentuan yang diatur dalam PK.
e. Unit Bisnis agar memantau aktivitas usaha PT SBAL dengan baik.
f. Unit Bisnis dan PNL meminta PT SBAL meningkatkan jaminan sesuai dengan ketetuan.segera
melakukan taksasi ulang terhadap jaminan yang telah diserahkan .
6. Restrukturisasi dan jaminan kredit PT Filamendo Sakti dengan outstanding sebesar
eq. Rp410.401,07 juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan
PT Filamendo Sakti (PT FS) didirikan berdasarkan Akte Notaris Rachmat Santoso, SH
No.129 tanggal 21 Juli 1987. PT FS merupakan Grup Gajah Tunggal dengan key person Mulyati
Gozali, bergerak dibidang Industri benang ban atau filament yarn yang berkantor di Gedung Lotus
lantai 4, Jl. Hayam Wuruk No. 28 Jakarta dan pabrik di Komplek Industri Gajah Tunggal Jl. Gajah
Tunggal Desa Pasir Jaya, Jati Uwung Tangerang.
Berdasarkan Akte No.25 tanggal 3 Agustus 1994, susunan pengurus antara lain Syamsul
Nursalim sebagai Komut dan Mulyati Gozali sebagai Dirut. Susunan pemegang saham
berdasarkan Akte No. 13 tanggal 9 Oktober 1997 yaitu PT Gajah Tunggal Petrochem 92,90% dan
Deg-Deutscheinvestition Und sebesar 7,10% dari nilai saham sebesar Rp225.000,00 juta. Pengurus
PT FS tahun 2005 antara lain Makmun Murod sebagai Komut dan Fredy Gozali sebagai Presiden
Direktur.
Outstanding kredit PT FS pada tanggal 28 Maret 2005 adalah sebesar eq. Rp410.401,07
juta dengan kolektibilitas Diragukan (Gol. IV). Jaminan yang diserahkan PT FS menurut relaas
(ikhtisar laporan) BNI tanggal 31 Januari 2005 telah melebihi 100% CEV, yaitu CEV Controlled
93,37% dan total CEV sebesar 125,18% dengan pengikatan hipotik No.41/Jawa Barat/Tangerang
tanggal 7 Februari 1995 dan telah dipasang asuransi pada PT Asuransi Daiyn Mitra Tbk. S.d.
tanggal 1 Juni 2005.
53

Berdasarkan pemeriksaan atas dokumen kredit PT FS, diketahui hal-hal sebagai berikut:
a.Analisa persetujuan kredit PT FS sebesar US$52,000.00 ribu belum memenuhi ketentuan
rasio keuangan dan rasio jaminan
PT FS dengan surat No.SCF/FS/400/MG/94 tanggal 1 Agustus 1994, mengajukan KI
sebesar US$52,000.00 ribu dan KMK sebesar US$20,000.00 ribu, untuk refinancing pabrik
filament yarn dan penambahan modal kerja. Direksi Bank BNI memberikan persetujuan pada
Memorandum No.KPI/8/056 tanggal 19 September 1994. Akan tetapi hasil analisa
manunjukkan CR tahun 1992, 1993 dan 1994 berturut-turut sebesar 0,08 kali, 0,22 kali dan
0,75 kali belum memenuhi ketentuan bank sebesar 1,2 kali. Jaminan yang diserahkan dengan
total CEV sebesar 97,9% terdiri dari CEV controlled sebesar 90,70% dan CEV uncontrolled
sebesar 7,10%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bank BNI bab I, Sub Bab J, Sub- sub Bab 04,
yang menyebutkan persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur dan non debitur
minimum CEV sebesar 100% (controlled sebesar 50% dan uncontrolled 50%).
b.Perpanjangan sementara KMK PT FS tidak mematuhi ketentuan
Sebelum jatuh tempo kredit, PT FS mengajukan perpanjangan kredit dengan surat
No.SCF/FS/463/MG/95 tanggal 22 Nopember 1995 dan disetujui perpanjangan sementara
selama tiga bulan s.d. tanggal 18 Maret 1996 dengan commitment fee sebesar 0,5%.
Permohonan perpanjangan tersebut diajukan dalam waktu 27 hari sebelum jatuh tempo
fasilitas tanggal 19 Desember 1995. Kemudian perpanjangan sementara tersebut didudukkan
sekaligus menjadi Persetujuan Perubahan Perjanjian Kredit (PPPK) No.(1) 254 tanggal 6
Desember 1995, dengan perpanjangan KMK PT FS sebesar US$20,000.00 ribu selama satu
tahun s.d. tanggal 18 Desember 1996 termasuk perpanjangan sementara yang telah diberikan.
Selain itu perpanjangan sementara atas KMK PT FS diberikan kembali pada :
1) Tanggal 5 Desember 1996 Surat No.KPI/8/252/R, Divisi Korporasi Dua menyetujui
perpanjangan sementara selama tiga bulan sd tanggal 18 Maret 1997.
2) Tanggal 25 Februari 1997 selama tiga bulan s.d. tanggal sd 18 Juni 1997.
3) Tanggal 15 Desember 1997 selama tiga bulan sejak tanggal 19 Desember 1997 s.d. 18
Maret 1998.
4) Tanggal 24 Maret 1998 selama tiga bulan s.d. tanggal 18 Juni 1998.
5) Tanggal 18 September 1998 selama tiga bulan s.d. 18 Sept 1998.
Kemudian berdasarkan analisa laporan keuangan audited PT FS terhadap
perkembangan kredit Bank BNI dan bank lainnya diketahui bahwa sejak tahun 1996 s.d. 1998
terjadi penambahan pinjaman bank lain yang kemudian terjadi penurunan outstanding/
pembayaran kewajiban kredit yang besar s.d tahun 2002, sedangkan outstanding kredit Bank
BNI tidak dilunasi bahkan diperpanjang seperti tampak dalam table berikut :
Kreditur 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
BNI 138,214 232,500 518,153 551,394 724,088 741,820 629,736
Bank lain 188,092 402,270 951,285 838,100 421,083 121,853 77,585
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I, Bab II, H,01 dan H,06 yang mengatur
permohonan dan pemberian perpanjangan sementara sebagai berikut:
54

- Pembuatan PAK dalam rangka perpanjangan kredit (PAK Review) harus sudah selesai
paling lambat 2 bulan sebelum jatuh tempo kredit.
- Apabila PAK review tidak dapat diselesaikan s.d. saat jatuh tempo (debitur tidak
menyerahkan data lengkap) maka kredit tersebut dapat diperpanjang sementara dengan
jangka waktu maksimal tiga bulan dan tidak diperkenankan dilakukan perpanjangan
sementara lagi.
c.Bank BNI tidak konsisten dalam analisa restrukturisasi kredit dan PT FS tidak
sepenuhnya memenuhi syarat pelaksanaan restrukturisasi
Restrukturisasi kredit PT FS mensyaratkan bahwa seluruh tunggakan bunga periode tahun
2000 sebesar Rp1.939,31 juta dan US$265.82 ribu akan diselesaikan paling lambat s.d. bulan
Desember 2001 dan tunggakan bunga tahun 2001 (Januari s.d. September) sebesar Rp6.424,39
juta akan diselesaikan bulan Oktober 2001. Persyaratan tersebut belum dipenuhi seluruhnya
yaitu kewajiban pembayaran tunggakan bunga sebesar Rp6.424,39 juta belum dipenuhi pada
bulan Oktober 2001. Menurut faksimili No.KPD/2/106 tanggal 13 April 2004 dari Divisi
Korporasi Dua kepada PT FS, diketahui bahwa kewajiban restrkturisasi pembayaran
tunggakan bunga tersebut belum dilunasi sehingga restrukturisasi seharusnya belum dapat
berlaku. Selain itu Memorandum analisa restrukturisasi kredit tanggal 11 Oktober 2001
menyebutkan bahwa letak permasalahan kredit PT FS adalah terganggunya likuiditas Grup
Gajah Tunggal dan melemahnya permintaan industri ban. Sedangkan Memo No.DKS/1358/R
tanggal 13 Desember 2001 menyebutkan lain yaitu PT FS sedang mengembangkan pabrik baru
(plant II) yang diharapkan pada awal tahun 2000 telah berproduksi guna memenuhi permintaan
yang cukup tinggi atau prospek usaha cukup cerah. Demikian pula ditunjukkan dalam laporan
keuangan PT FS tahun 2001 bahwa terjadi peningkatan penjualan cukup besar yaitu
Rp686.221,00 juta. Sehingga pertimbangan dalam analisa pemberian restrukturisasi tersebut
kurang tepat atau Bank BNI tidak konsisten dalam menilai kemampuan pasar produk PT FS.
d.Bank BNI belum sepenuhnya memantau pembatasan investasi PT FS
Memo No.DKS/1358/R tanggal 13 Desember 2001 menyebutkan bahwa PT FS
mengembangkan pabrik baru (plant II) yang diharapkan pada awal tahun 2000 telah
berproduksi guna memenuhi permintaan yang cukup tinggi. Pengadaan pabrik tersebut
ditunjukkan dari laporan keuangan audited PT FS tahun 1998, yaitu terdapat peningkatan
aktiva tetap sebesar Rp570.815,00 juta. Demikian pula terdapat peningkatan hutang bank BNI
sebesar Rp286.013,00 dan hutang bank lain sebesar Rp549.015,00 dari tahun sebelumnya.
Selanjutnya posisi pinjaman dari bank lain menurun dari sebesar Rp951.285,00 juta pada tahun
1998 menjadi sebesar Rp77.585,00 juta pada tahun 2002 atau PT FS telah membayar
kewajiban kredit sebesar Rp873.700,00 juta. Dari pemeriksaan dokumen tidak diperoleh
adanya ijin tertulis dari Bank BNI atas pelaksanaan investasi PT FS atas pabrik (plant II).
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.252 pasal 18 yang melarang debitur
melakukan investasi dan penyertaan tanpa persetujuan tertulis Bank BNI.
e.Jadwal angsuran pelunasan Interest Ballon Payment (IBP) kredit PT FS tidak sesuai
dengan ketentuan.
Pola restrukturisasi kredit PT FS yang diberikan pada tahun 2001, berupa penetapan
IBP atas tunggakan bunga kredit PT FS sebesar US$10.196,11 ribu dan Rp115.759,70 juta
dengan jadwal angsuran pelunasan dimulai tahun 2001 s.d. 2012 (11 tahun).
55

Jangka waktu pelunasan IBP PT FS selama 11 tahun tersebut tidak sesuai dengan BPP
Buku IV Sub.Bab G.04 yang menyebutkan bahwa jangka waktu IBP maksimum selama 3
tahun dan dapat dijadwalkan kembali menjadi maksimal 5 tahun.
f.Ratio Keuangan PT FS tidak sesuai ketentuan
Ratio keuangan PT FS tahun 2000 s.d. 2003 adalah sebagai berikut :
Keterangan Audited
31-12-2000
Audited
31-12-2001
Audited
31-12-2002
Unaudited
31-12-2003
CR 0,31 kali 1,80 kali 1,90 kali 2,93 kali
DER (6,94) kali (9,71) kali (36,43) kali (57,63) kali
ROE (74,14) % (42,31) % (341,63) % (67,35)%
EAT / sales (35,98) % 13,35% 24,15% 3,25%
Sales growt NA 10,79% (5,21) % (12,62) %
CR tahun 2000 sebesar 0,31 kali dibawah ketentuan minimal yang ditetapkan PK 252 pasal 17
yaitu sebesar 1,20 kali, demikian pula DER tahun 2000 s.d. 2003 tidak memenuhi ketentuan
sebesar 2,5 kali. Dari laporan keuangan audited tahun 2000, 2001 dan 2002, diketahui nilai
penjualan PT FS berturut-turut sebesar Rp619.403,00 juta, Rp686.221,00 juta dan
Rp650.462,00 juta. Sedangkan target penjualan tahun 2001 dan 2002 yang ditetapkan dalam
Surat Persetujuan Kredit No.DKS/2/074/R tanggal 2 Agustus 2001 adalah sebesar
Rp814.810,00 juta dan Rp820.103,00 juta. Sehingga PT FS tidak mencapai target penjualan
yang ditetapkan.
g.Jaminan kredit PT FS belum sepenuhnya sesuai ketentuan
Sejak fasilitas kreditnya direstrukturisasi, jaminan yang diserahkan PT FS telah dinilai
pada tanggal 31 Oktober 1999 oleh PT Ujatek Baru dengan laporan appraisal No.NA-99-1996
tanggal 21 Januari 2000. Kemudian pada tanggal 24 Maret 2003 Divisi Kredit Khusus dengan
surat No.DKS/2/904, meminta PT FS untuk menilai kembali jaminan yang diserahkan dengan
menunjuk perusahaan penilai yang terdaftar di Bank BNI. Kemudian dilaksanakan penilaian
pada tanggal 20 Agustus 2003 dengan Laporan dari PT Ujatek Baru No.NA.2003-112.
Berdasarkan surat Divisi Kredit Khusus No.KKS/3/260 kepada BNI Cabang Harmoni,
diantaranya menyebutkan bahwa taksasi agunan dilakukan kembali pada tanggal 31 Mei 2004.
Periode taksasi agunan melampaui 1 tahun sedangkan kolektibilitas kredit PT FS adalah
diragukan (kol –IV) pada tanggal 22 Desember 2000.
Hal tersebut tidak sesuai Pedoman Kredit Bank BNI Bab I SubBab J,04 yang
menetapkan penilaian asset jaminan kredit dengan kolektibilitas IV dilaksanakan satu tahun
sekali.
h.Posisi kredit PT FS per tanggal 3 Februari 2005 sebesar US$41.650,84 juta belum dapat
diyakini kebenarannya
Pencatatan dan laporan mutasi pinjaman Bank BNI pada tahun 2004 dan sebelumnya
menggunakan system Infonas, kemudian mulai Januari 2005 menggunakan system Icon.
Dengan adanya perubahan tersebut, maka sesuai surat Divisi Kredit Khusus No. KKS/3/118/R
tanggal 3 Pebruari 2005 saldo pokok KI Posisi 31 Desember 2004 sebesar US$41,540.66 ribu,
diantaranya saldo KI sebesar US$7,899.07 ribu dan KMK-2 sebesar US$9,122.18 ribu.
Kemudian pada tanggal 2 Pebruari 2005 saldo pokok KI meningkat menjadi sebesar
56

US$41,650.83 ribu, diantaranya saldo KI menjadi sebesar US$7,949.74 ribu dan KMK-2
menjadi sebesar US$9,181.68 ribu. Seharusnya saldo pokok KI dan KMK-2 tidak naik karena
fasilitas kredit tersebut bersifat aflopend (saldo pokok menurun sesuai pembayaran jadwal
angsuran). Kenaikan outstanding pokok tersebut telah disampaikan kepada Bank BNI Cabang
Harmoni sebagai booking office untuk diperbaiki kembali sesuai dengan jadwal angsuran
kewajiban kreditnya, akan tetapi sampai dengan tanggal pemeriksaan 29 Maret 2005 belum
diperbaiki.
Hal tersebut mengakibatkan :
a. Bank BNI menanggung resiko lebih besar atas pengembalian kembali kredit PT FS.
b. Penyajian kewajiban pokok kredit PT FS untuk fasilitas KI dan KMK-2 tidak dapat dinyakini
kebenaranya.
c. Bank BNI tidak dapat segera memanfaatkan dana yang tertanam pada kredit PT FS.
d. Bank BNI menanggung penyisihan kerugian aktiva produktif sebesar 50% dari outstanding
pokok kredit sebesar US$41,540.67 ribu atau sebesar US$20,770.33 ribu eq. sebesar
Rp195.760,41 juta (per 28 Maret 2005 US$1 =Rp9.425,00).
Masalah tersebut terjadi karena:
a. Direksi kurang memperhatikan prosedur persetujuan restrukturisasi.
b. Divisi Korporasi Dua/Unit Bisnis Bank BNI belum sepenuhnya memperhatikan Pedoman
Perkreditan Bank.
c. Unit Bisnis Bank BNI kurang memperhatikan kepemilikan jaminan yang diserahkan.
d. Unit Bisnis Bank BNI kurang optimal melaksanakan monitoring pemenuhan persyaratan
restrukturisasi.
e. Perubahan system pelaporan kredit kurang didukung pelaksanaan monitoringnya.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. CR yang belum memenuhi ketentuan tersebut sudah dikemukakan dalam usulan dan sudah
mendapatkan persetujuan dari KPK. Dalam analisa keuangan secara grup telah memenuhi
persyaratan financial covenant yaitu CR 2.32 kali. Sebagai catatan CR sebesar 0.75 kali
tersebut adalah posisi per Smt 1 tahun 1994 sedangkan untuk posisi per akhir 1994 (audited)
CR 2.54 kali sehingga telah memenuhi ketentuan. CEV 97.9%, namun masih terdapat jaminan
lainnya berupa Personal Guarantee dari Sdr.Sjamsul Nursalim. Kondisi jaminan yang belum
memenuhi ketentuan tersebut sudah dikemukakan dalam usulan dan sudah mendapatkan
persetujuan dari KPK. Kondisi jaminan saat ini mencukupi dengan total CEV 130,32% dan
CEV controlled 92,90% terhadap baki debet pinjaman.
b. Perpanjangan sementara untuk menjembatani PAK yang belum selesai sedangkan pinjaman
telah jatuh tempo. Untuk selanjutnya perpanjangan sementara diupayakan dihindari.
c. Restrukturisasi kredit tahun 2001 dilakukan dengan pertimbangan prospek usaha debitur
masih baik karena adanya perluasan pabrik Plant II yang siap berproduksi dan dalam rangka
penyelamatan. Setelah direstrukturisasi II debitur mampu melakukan setoran pokok sebesar
US$10 juta (dari outstanding pokok semula US$51,548.50 ribu, saat ini sebesar US$41,540.67
57

ibu). PT. FS tidak dapat menyelesaikan bunga tertunggak tahun 2000 dan 2001 karena
kondisi likuiditas dan cash flow belum memungkinkan.
d. Meskipun pengembangan pabrik II tidak ada persetujuan secara tertulis dari Bank BNI tetapi
investasi tersebut sepengetahuan Bank BNI. Investasi tersebut dibiayai oleh grupnya (yaitu
BDNI). Penurunan hutang bank lain bukan karena setoran/pelunasan namun karena hair cut,
sedangkan untuk Bank BUMN hair cut pokok dilarang.
e. Penetapan jangka waktu IBP 11 tahun disesuaikan dengan kemampuan mengangsur debitur
dan telah disetujui oleh KPK.
f. Financial covenant yang belum memenuhi ketentuan disebabkan saat itu belum dilakukan
rescheduling sehingga beban current masih tinggi. Dengan dilakukannya restrukturisasi dan
membaiknya kondisi keuangan Debitur, CR berangsur-angsur membaik, terbukti dari sejak
tahun 2001, 2002, 2003 mengalami perbaikan yaitu berturut-turut 1,80 kali, 1,90 kali, dan 2,93
kali dan terhadap CR tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Bank BNI. Sedangkan untuk
DER-nya sampai dengan tahun 2003 masih negative. (karena masih mengalami kerugian)
g. Jaminan telah kami mintakan untuk ditaksasi ulang sesuai surat No.KKS/3/482 tanggal 15
Juni 2005.
h. Sesuai catatan kami, saldo pokok sebelum konversi sebesar US$41,540.67 ribu dan setelah
konversi ke system Icons menjadi sebesar US$41,650.84 ribu. Selisih tersebut kami
perkirakan karena pembebanan bunga yang langsung membebani pokok. Angka detailnya
sedang kami teliti untuk dilakukan koreksi.
BPK – RI menyarankan agar :
a. Direksi Bank BNI dalam memberi persetujuan restrukturisasi terlebih dahulu harus
memastikan bahwa persyaratan restrukturisasi yang ditetapkan oleh Bank BNI telah dipenuhi
oleh debitur
b. Unit bisnis Bank BNI dalam melakukan analisa lebih memperhatikan ketentuan yang
ditetapkan dalam BPP-Bank BNI
c. Unit bisnis Bank BNI berupaya mendapat penambahan jumlah jaminan
d. Unit bisnis Bank BNI lebih maksimal dalam mengawasi untuk memastikan kepatuhan debitur
dalam memenuhi persyaratan kredit, khususnya bagi non performing loan
e. Laporan eksposure kredit per debitur perlu dicocokkan kembali dengan posisi kredit yang
sebenarnya, melalui rekonsiliasi jumlah penyaluran dan penerimaan angsuran serta konfimasi
terhadap debitur. Selain itu sistem pelaporan perlu dievaluasi agar dapat dihasilkan laporan
yang akurat.
7. Pengelolaan Kredit PT Starwin Indonesia (PT SI) dengan outstanding sebesar Rp165.801,25
juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan
PT SI merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang dirikan berdasarkan
Akta Pendirian No.4 tgl 2 Desember 1988, yang dibuat dihadapan Jusnita Gunawan, SH Notaris
pengganti Koesbiono Sarmanhadi, SH. Perusahaan bergerak dalam bidang produksi sepatu olah
raga merk Nike yang beralamat kantor di Karawaci Office Park Ruko Pinangsia Blok L No. 7
Lippo Karawaci Tangerang dan pabrik di Jalan Raya Serang Km. 14,4 Desa Dukuh Kecamatan
Cikupa Kabupaten Tangerang 15710.
58

Sejak tanggal 22 Juni 2000 dengan surat Menteri Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) No.09/V/PMDN/2000 PT SI telah berubah status menjadi Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) dimana 98% sahamnya dimiliki oleh Chang Hee Kyoung yang telah berubah
status warga negaranya dari Korea menjadi Indonesia dan 2% sahamnya dimiliki oleh FX Edy
Sustanto Rp38.086,00 juta. Berdasarkan Risalah Rapat No.88 tanggal 28 Juni 2000 pengurus PT SI
antara lain FX Edy Sustanto sebagai Komut dan Chang Hee Kyoung sebagai Dirut.
PT SI telah menjadi debitur Bank BNI sejak Juli 1996 dan mendapat fasilitas SBLC dari
Bank BNI sebesar US$11,800,000.00 sesuai dengan Perjanjian Penerbitan Letter of Credit (PPLC)
No.151 tanggal 18 Juli 1996. Fasilitas tersebut diberikan untuk menjamin kredit yang diberikan
oleh PT Hanil Tamara Bank Jakarta, yaitu KMK sebesar US$5,000.00 ribu dan plafond L/C impor
sebesar US$6,800.00 ribu. Kemudian dari MPK (tanpa no dan tanggal) permohonan atas
perpanjangan fasilitas kredit, diketahui bahwa perpanjangan kredit PT SI untuk fasilitas berjalan
SBLC sebesar US$11,800.00 ribu selama satu tahun diusulkan untuk ditambah fasilitas KMK
sebesar Rp14.400,00 juta dan plafond L/C impor sebesar US$5,000.00 ribu yang disetujui dengan
surat No.KPI/9/099/R tanggal 17 Juni 1997.
Outstanding kredit PT SI pada tanggal 29 Pebruari 2004 adalah sebesar Rp147.541,00 juta.
Fasilitas kredit didukung dengan jaminan sebesar Rp74.407,00 juta yang dinilai oleh PT Kawira
Pratama Penilai dan telah diikat dengan Hak Tanggungan Peringkat Pertama sebesar nilai
kreditnya dan telah diasuransikan kepada PT Asuransi Jasa Indonesia dengan masa pertanggungan
sampai tanggal 18 Mei 2005. Dengan demikian jaminan hanya mengcover kurang lebih 50,43%.
Sesuai memorandum No.KKS/1/022 tanggal 26 Maret 2004 kualitas kredit PT SI menurun dari
Kolektibilitas II (dua) menjadi V (lima), dan sekaligus ditetapkan hapus buku berdasarkan Radisi
tanggal 29 Maret 2004, karena pihak pembeli PT SI telah menghentikan ordernya, terjadi
penghentian produksi perusahaan dan pemutusan hubungan karyawan. Selanjutnya PT SI
dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No.32/PAILIT/2004 tanggal 6 September 2004. Keputusan hapus buku PT SI dalam memo
No.PKU/3.2/691/R tanggal 20 Oktober 2004 dengan Hutang pokok Rp148.770,48 juta, tunggakan
bunga Rp14.691,31 juta serta tunggakan denda dan lainnya Rp2.339,47 juta, sehingga total
outstanding sebesar Rp165.801,25 juta.
Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. PT SI menerima pinjaman dari kreditur lain di luar Bank BNI
Memorandum Divisi Korporasi Dua kepada Direksi No. KPI/9/83 tanggal 20 Nopember
1996 menjelaskan bahwa PT SI telah mengajukan pembiayaan leasing untuk membeli mesinmesin
kepada BNI Multi Finance sebesar US$2,364.67 ribu. Pembiayaan tersebut disetujui
dengan surat No.BNIMF/96/11/2680A tanggal 12 Nopember 1996 dimana jaminannya adalah
jaminan yang telah diberikan untuk kredit Bank BNI yang selanjutnya akan diparipasu dan
diikat Hak Tanggungan II untuk kepentingan BNI Multi Finance. Dari Laporan Keuangan
audited tahun 2002 diketahui bahwa PT SI telah memperoleh pinjaman leasing sebesar
Rp15.135,00 juta. Kemudian dari surat Divisi Korporasi Satu No.KPS/2/2656/R tanggal 21
Oktober 2003 juga diketahui bahwa PT SI mempunyai pinjaman dari BII maksimum sebesar
US$500.00 ribu, Citibank Sudirman maksimum sebesar US$500.00 ribu dan Bank Hanvit
Indonesia maksimum sebesar US$300.00 ribu.
b. PT SI mengakuisisi PT Golden Adishoes dan PT Tunas Adimega Dinamika tanpa seijin
Bank BNI
59

PT SI dengan surat No.SI-ACT/010516084 tanggal 16 Mei 2001 berencana untuk
mengakuisisi PT Golden Adishoes dan PT Tunas Adimega Dinamika, perusahaan yang
memproduksi sepatu olah raga merek Reebok. Kedua perusahaan tersebut dikelola oleh BPPN
karena bank pemberi kredit yaitu Bank Ficorinvest masuk dalam Bank Beku Operasi. Dalam
MAK tanggal 13 Juli 2001 disebutkan bahwa rencana akuisisi berdasarkan hasil analisa
kuantitatif dan kualitatif oleh RM menunjukkan hal yang wajar dan selanjutnya akan
direalisasikan pada bulan Juli 2001. Dalam kenyataannya pemilik dan manajemen PT SI telah
mengakuisisi seluruh saham PT Golden Adishoes dan PT Tunas Adimega Dinamika
berdasarkan Akta Risalah Rapat No.74 tanggal 28 Mei 2001 dan No.77 tanggal 28 Mei 2001.
Akuisisi tersebut dilakukan sebelum MAK tersebut diajukan untuk memperoleh persetujuan
dari KPK, atau PT SI telah mengakuisisi kedua perusahaan tersebut tanpa seijin Bank BNI.
c. Pergantian Direksi PT SI tanpa seijin/sepengetahuan Bank BNI
Dari formulir kunjungan setempat tanggal 16 Oktober 2003 untuk pejabat PT SI yang
dikunjungi maupun dari berbagai surat yang dikirim PT SI kepada Bank BNI selama tahun
2002 s.d. 2003 diketahui bahwa direktur PT SI adalah Sdr. Choi Han Yong dan Sung Ki Ho.
Sedangkan susunan direksi/dewan komisaris PT SI berdasarkan risalah Rapat No.88 tanggal
28 Juni 2000, tidak menyebutkan nama-nama tersebut. Dengan kata lain PT SI tidak pernah
memberitahukan adanya pergantian pengurus kepada Bank BNI.
d. Fasilitas plafond L/C impor US$5,000.00 ribu untuk impor bahan baku digunakan untuk
impor mesin
Dari memorandum Divisi Korporasi No.KPD/4/08 tanggal 14 Januari 1999 diketahui
bahwa dengan surat No.IQ-ACT/99011207 tanggal 12 Januari 1999 PT SI memohon agar
plafond L/C Impor sebesar US$5,000.00 ribu untuk pembelian bahan baku, bahan pembantu
dan spare part dapat digunakan untuk mengimpor mesin-mesin untuk memproduksi sepatu
olah raga model terbaru. Permohonan tersebut disetujui oleh Direktur Korporasi dengan
pertimbangan bahwa order sepatu dari Nike yang terus meningkat sehingga dapat menyokong
permohonan PT SI untuk mengimpor injection machine senilai US$996.58 ribu (Usance 6
bulan) dengan syarat setiap bulan PT SI harus menyetorkan cover L/C sebesar 1/6 dari nilai
L/C yang dibuka yaitu sebesar US$166.10 ribu). Lebih lanjut diketahui bahwa injection
machine adalah mesin yang digunakan anak perusahaan PT SI yaitu PT Bintang Jaya Dunia
(PT BJD) untuk memproduksi sol sepatu yang menggunakan system injection phylon. Dengan
adanya persetujuan tersebut maka penggunaan kredit untuk impor mesin PT BJD tidak sesuai
dengan peruntukan semula dan tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PK.
e. Nilai jaminan kredit PT SI belum memenuhi persyaratan bank
PT SI mendapat persetujuan perpanjangan kredit pertama kali dengan surat
No.KPI/9/099/R tanggal 17 Juni 1997 untuk fasilitas SBLC sebesar US$11,800.00 ribu selama
1 tahun, untuk kredit baru ditambah KMK sebesar Rp14.400,00 juta dan plafond L/C Impor
sebesar US$5,000.00 ribu. Selanjutnya setiap tahun kredit-kredit tersebut diperpanjang dan
bisa ditambah atau dikurangi. Dari perpanjangan kredit tahun 1997 tersebut s.d. perpanjangan
kredit terakhir dengan surat No.KPI/2/065/R tanggal 30 Juni 2003, jaminan PT SI selalu
menunjukkan CEV Controlled maupun total CEV yang kurang, sehingga tidak memenuhi
persyaratan bank, seperti data berikut:
(dalam Juta Rupiah)
60

Jaminan 1997 1998 1999
Kekurangan (kelebihan)
CEV Controlled
Kekurangan Total CEV
(2.296) (4,19%)
9.204 (-16,78%)
61.875 (-32,54%)
133.593 (-70,25%)
2000 2001 2002 2003
21.330 (-8,98%)
33.939 (-24.16%)
49.402 (-23,63%)
96.357 (-25,65%)
19.587 (-13,02%)
38.569 (-25.64%)
22.521 (-14,05%)
51.767 (-32.29%)
15.606 (-10,35%)
27.120 (-17,99%)
Sesuai ketentuan Bank BNI jaminan kredit minimum CEV Controlled 50%, minimum CEV
(Controlled + Uncontrolled) 100% dari jumlah kredit yang diberikan.
f. CR dan DER PT SI tidak pernah memenuhi persyaratan bank
Sejak PT SI pertama kali mendapat kredit SBLC sebesar US$11,800.00 ribu pada
tanggal 18 Juli 1996 s.d. perpanjangan kredit terakhir tanggal 30 Juni 2003, ratio keuangan CR
dan DER tidak pernah memenuhi ketentuan yang ditetapkan, yaitu:
1) CR tahun 1995 s.d. 2002: 1,04; 0,92; 0,84; 0,95; 0,78; 0,70; 1,02 dan 1,06
2) DER tahun 1995 s.d. 2002: 6,39; 3,09; 4,80; 3,00; 3,28; 3,47; 3,32 dan 2,39
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK yang mempersyaratkan agar debitur/PT SI
berkewajiban untuk memperbaiki dan memelihara ratio keuangan CR dan DER yaitu CR
minimal 1,2 kali dan DER maksimal 2,60 kali.
g. KMK Post Financing sebesar US$983.70 ribu tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo
dan pemantauan nasabah tidak optimal
Sejak akhir bulan April 2003 debitur telah melampaui penggunaan KMK Post Financing
sebesar US$983.70 ribu dari maksimum kreditnya sebesar US$5,000.00 ribu karena adanya
pembukaan L/C yang jatuh tempo tetapi tidak dibayar debitur. Berdasarkan surat
No.KPI/2/065/R tanggal 30 Juni 2003 telah disetujui pendudukan over limit KMK Post
Financing yang selanjutnya didudukkan dalam PK No.2003/KPI/38 tanggal 30 Juni 2003.
Jangka waktu kredit yang ditetapkan adalah 8 bulan sejak Mei 2003 dan kredit akan lunas pada
saat jatuh tempo bulan Desember 2003 dan tidak boleh diperpanjang. Adanya overlimit ini
menunjukkan bahwa masalah pemantauan/pengawasan terhadap penggunaan kredit oleh pihak
Bank BNI selama ini kurang berjalan dengan optimal. Dari Formulir Kunjungan Setempat
diketahui bahwa selama tahun 2003 kunjungan pejabat Bank BNI kepada PT SI/debitur
dilakukan sebanyak tiga kali yaitu tanggal 3 April, 1 Juli dan 16 Oktober 2003. Dengan adanya
kunjungan setempat 3 kali dalam tahun 2003, fasilitas kredit tetap tidak dapat dilunasi pada
saat jatuh tempo 31 Desember 2003, sehingga dengan tidak lunasnya kredit ini akan
menambah eksposure serta menambah resiko bagi Bank BNI.
h. Restrukturisasi Kredit PT SI dilakukan pada saat order sepatu dari Nike dihentikan
Dalam MAK No.ARK/3/130 tanggal 31 Oktober 2003 diketahui bahwa permohonan
PT SI atas fasilitas L/C import maksimum US$1,000.00 ribu belum dapat dipertimbangkan.
Terhadap PT SI diusulkan dan disetujui untuk restrukturisasi atas pinjaman KMKE
maksimum.Rp14.400,00 juta, sifat kredit semula R/C terbatas menjadi aflopend dengan
angsuran Rp720,00 juta setiap triwulan s.d. triwulan I tahun 2009, jangka waktu 5 tahun sejak
angsuran pertama yang dimulai bulan Juni 2004 s.d Maret 2009. KMK Onshore maksimum
61

US$4,000.00 ribu, sifat kredit semula R/C terbatas direstrukturisasi menjadi aflopend dengan
angsuran US$200.00 ribu setiap triwulan s.d. triwulan I tahun 2009, jangka waktu 5 tahun
sejak angsuran pertama yang dimulai bulan Juni 2004 s.d Maret 2009.
Restrukturisasi tersebut disetujui dengan surat No.KPS/2/191/R tanggal 16 Desember
2003. Menurut penjelasan di dalam Call Memo tanggal 6, 9 dan 16 Oktober 2003, kondisi
usaha PT SI telah menurun akibat order sepatu Nike dihentikan mulai akhir Juli 2003 yang
mengakibatkan penurunan pendapatan, dan debitur mengalami kesulitan likuiditas. Rating
manajemen dan risiko kredit sesuai informasi di dalam MAK menunjukkan Customer Risk
Rating yaitu 6A (early warning) sedangkan Customer Credit Rating 6A (early warning) yang
berarti dalam posisi Rejected Loan Area. Selanjutnya dalam memorandum No.KKS/1/022
tanggal 26 Maret 2004 juga disebutkan bahwa PT SI telah berhenti berproduksi dan belum
jelas rencana produksi selanjutnya dan juga adanya penyelesaian PHK karyawan yang belum
tuntas.
Kondisi tersebut belum sesuai dengan ketentuan sebagai berikut :
a. PK KMKE No.97/084 tanggal 24 Juni 1997, PK KMK No.2000/KPI/34 tanggal 5 Juli 2000,
PK KMK No.2000/KPI/44 tanggal 26 September 2001 Pasal 18 mengatur Pembatasan
terhadap tindakan Penerima Kredit. Tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari bank,
penerima kredit tidak diperkenankan untuk:
a) Mengadakan merger dengan perusahaan lain.
b) Memperoleh fasilitas kredit dan/atau pinjaman dari pihak lain, baik untuk membiayai
kebutuhan modal kerja maupun untuk investasi.
c) Merubah susunan Direksi atau komisaris perusahaan.
b. PK KMK No.2001/KPI/44 Pasal 2, tujuan kredit adalah untuk menampung
pembayaran/penebusan atas L/C yang telah jatuh tempo yang dibuka dengan fasilitas ini
c. BPP Perkreditan untuk Wholesale dan Middle Market Buku I Bab I Sub Bab G Sub Sub Bab
05 halaman 1 dan di dalam setiap PK menyebutkan: Debitur harus memelihara ketentuan
minimum CR 1,2 kali dan maksimum DER 2,30 kali
d. BPP Perkreditan untuk Wholesale dan Middle Market Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04
Point 5 menyebutkan persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur dan non debitur
minimum CEV Controlled 50%, minimum CEV (Controlled + Uncontrolled) 100%
e. PK No.2003/KPI/38 tanggal 30 Juni 2003 Pasal 3 dan 4 menyebutkan bahwa Jangka waktu
kredit adalah 8 bulan atau sejak bulan Mei 2003 sampai dengan bulan Desember 2003, serta
BPP Perkreditan untuk Wholesale dan Middle Market Buku I Bab III Sub Bab A Sub Sub Bab
01 Butir 4.C tentang Pemantauan Kredit Nasabah dapat mendorong pengelola untuk
mengambil tindakan preventif:
1) Akan mengurangi kemungkinan memburuknya kredit
2) Memperbaiki second way out.
f. SK Direksi BI No.31/150/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 tentang restrukturisasi kredit
Pasal 2 Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur yang masih memiliki
prospek usaha yang baik, dan telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran
pokok dan atau bunga kredit.
g. Undang-undang No.7 tahun 1992 pasal 2 yang menyebutkan bahwa Perbankan Indonesia
dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
62

kehati-hatian dan Pasal 8 yang menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit bank umum
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI menderita kerugian pokok kredit sebesar
Rp148.770,48 juta karena harus membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPAP) 100%.
Hal tersebut disebabkan oleh :
a. Pejabat Bank BNI kurang menggunakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
kepada PT SI
b. Pejabat Bank BNI tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran Perjanjian
Kredit yang dilakukan debitur
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Atas pinjaman dari bank lain tersebut telah dilakukan teguran dengan Surat No. KPS/2/2656/R
tanggal 21 Oktober 2003 dan No. KPS/2/3101/R tanggal 8 Desember 2003.
b. Akuisisi tersebut mendapatkan pengesahan/persetujuan dari Bank BNI dengan. PAK No.
KPI/4/040 tgl. 30 Juli 2001.
c. Berdasarkan penelitian dan konfirmasi kami kepada debitur bahwa Sdr. Choi Han Yong dan
Sung Ki Ho hanya menjabat sebagai manager. Susunan pengurus tidak ada perubahan sesuai
Risalah Rapat No. 88 tgl 28 Juni 2000.
d. Dengan Memo No. No. KPD/4/08 tanggal 14 Januari 1999, telah dimohonkan persetujuan dan
telah disetujui “sub alokasi” atas penggunaan plafond L/C untuk impor bahan baku digunakan
untuk impor mesin injection machine sebesar US$996.58 ribu. L/C tersebut telah diselesaikan
dengan baik. Injection machine tersebut kemudian dibeli dan dibayar lunas pada tahun 2000 oleh
PT Bintang Jaya Dunia dalam rangka spesialisasi unit bisnis (sol sepatu).
e. Jaminan tidak memenuhi persyaratan Bank karena adanya apresiasi nilai dollar terhadap rupiah
yang tinggi sedangkan lebih kurang 90% fasilitas kredit dalam valuta US Dollar. Atas
kekurangan jaminan sudah dikemukakan dalam usulan dan sudah mendapatkan persetujuan
khusus.
f. Tidak terpenuhinya CR dan DER telah dikemukakan dan sudah mendapat persetujuan. Dalam
usulan pemberian kredit pertama kali diproyeksikan financial covenant tersebut dapat terpenuhi
pada tahun 2001. DER baru dipenuhi tahun 2002 sedangkan CR diproyeksikan akan terpenuhi
tahun 2003. Untuk yang akan datang menjadi perhatian kami.
g. KMK Post Financing tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo karena adanya demo karyawan
pada bulan Nopember/Desember 2003 sehingga menyebabkan tidak beroperasinya pabrik diluar
kontrol Bank (uncontrollable). Pemantauan terhadap debitur telah dilakukan cfm. laporan OTS
tahun 2003 (bulan April, Juli dan Oktober 2003).
h. Restrukturisasi merupakan upaya penyelamatan dengan harapan kondisi berubah/membaik,
debitur masih kooperatif dan perusahaan masih ada prospek, antara lain saat itu telah ada order
dari Sepatu Reebok Taiwan.
63

BPK – RI menyarankan agar Direksi Bank BNI mengupayakan penjualan barang jaminan
karena PT SI telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada tanggal 6 September 2004 sehingga kerugian kredit dapat dikurangi.
8. Fasilitas kredit kepada PT Prima Inreksa Industries (PT PII) sebesar eq.Rp454.350,01 juta
belum sepenuhnya sesuai ketentuan
PT PII Didirikan pada tanggal 14 Desember 1988, sesuai Akta pendirian No.70 yang dibuat
dihadapan Notaris Ny. Kartini Mulyadi, SH, di Jakarta. PT PII bergerak dalam bidang industri
sepatu, beralamat di Jalan Industri Raya IV, Block AG No.8 Km 8 Desa Bunder, Kec. Cikupa,
Kab. Tangerang, dengan key person Elmora Simorangkir dan Linda Grace Siahaan. Pengurus
PT PII sesuai Akta No.1 tanggal 2 Agustus 2002 antara lain Reimer Aloan Simorangkir sebagai
Presiden Komisaris dan Elmora Simorangkir sebagai Presiden Direktur. Pemegang saham
mayoritas (90%) PT PII yaitu Reimer Aloan Simorangkir dari nilai saham sebesar Rp5.750,00
juta.
Perusahaan mulai beroperasi pada tahun 1990 dengan memproduksi berbagai merk
terkenal sepatu antara lain LA Gear, Adidas, Fila, Nike, disamping produksi sepatu lainnya. Pada
tahun 1992 kondisi kreditnya kurang baik karena terdapat L/C Impor sebesar US$7,825.00 yang
tidak diselesaikan, sehingga didudukkan jadi KI Onshore. Tahun 1998 kreditnya semakin
memburuk karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US$. Fasilitas kredit PT PII telah
direstrukturisasi beberapa kali, terakhir tahun 2003 dengan mendapat keringanan bunga.
Outstanding kredit PT PII per 31 Maret 2005 adalah Rp26.515,48 juta dan US$43,756.01
ribu dengan kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Gol. II). Sesuai dengan laporan appraisal
PT Citra Bahana Penilai tanggal 15 September 2003, nilai agunan PT PII adalah sebesar
Rp146.382,84 juta.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap dokumen kredit PT PII, diketahui hal-hal sebagai
berikut:
a. Pemberian tambahan fasilitas kredit sebesar US$5,000.00 ribu belum memenuhi
prosedur yang berlaku
Berdasarkan PK No.003/DKS/PPLC/2002 tanggal 30 September 2002, PT PII
memperoleh tambahan plafond fasilitas L/C sebesar US$3,000.00 ribu sehingga menjadi
US$9,000.00 ribu, jatuh tempo 29 September 2003 dan diperpanjang s.d 29 September 2004
yang dituangkan dalam Persetujuan Perubahan Perjanjian Pemberian Fasilitas Pembukaan L/C
(P4LC) No.(2) 003/DKS/PPLC/2002. Pada tanggal 16 Agustus 2004 PT PII memperoleh
tambahan fasilitas kredit yang dituangkan dalam P4LC No.(3) 003/DKS/PPLC/2002 sebesar
US$5,000.00 ribu sehingga menjadi sebesar US$14,000.00 ribu. Pada pasal 13 disebutkan
bahwa tambahan plafond L/C maksimal US$5,000.00 ribu baru dapat direalisasi setelah
dipenuhinya syarat-syarat antara lain sebagai berikut:
1) L/C impor yang telah jatuh tempo dan belum dibayar (Dok Yadit) di Bank BNI Kantor
Cabang Harmoni telah dilunasi seluruhnya (tertuang dalam pasal 13 ayat 16.c)
2) Realisasi pembukaan L/C dapat dilakukan dengan syarat tidak ada tunggakan bunga dan
Dok-Yadit (tertuang dalam pasal 13 ayat 16.d).
Kemudian persyaratan ini diubah menjadi:
1) Penyelesaian Dok Yadit dan tunggakan bunga diangsur pelunasannya s.d Oktober 2004
64

2) Bilamana s.d. akhir Oktober 2004 masih terdapat dok-yadit/ tunggakan bunga maka
penggunaan fasilitas kredit termasuk penggunaan plafond L/C tidak diperkenankan
meskipun masih terdapat sisa plafond L/C.
Dari hasil pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa Dok Yadit di Bank BNI Cabang
Harmoni belum dilunasi seluruhnya dengan outstanding per 31 Agustus 2004 sebesar
Rp63.565,19 juta. Berdasarkan surat BNI Cabang Harmoni No.HMN/09/031/05 tanggal 18
April 2005 diketahui bahwa dok yadit s.d. Desember 2003 adalah sebesar Rp5.165,65 juta.
Dok Yadit tersebut baru dilunasi bulan Januari 2005 berdasarkan surat Cabang Harmoni
kepada divisi KKS No.HMN/08/017 tanggal 14 Januari 2005 menyatakan bahwa “sesuai berita
yang dikirim dari PPD I/Impor melalui unit LN KCU Harmoni bahwa Dok Yadit PT PII telah
diselesaikan namun bunga atas Dok Yadit tersebut belum dibebankan”.
Berdasarkan Memo dari PTK2 kepada pemimpin Divisi KKS No.KKS/3/51 tanggal 16
September 2004 diketahui bahwa fasilitas kredit plafond L/C maksimal kreditnya
US$14,000.00 ribu dengan outstanding US$10,305.00 ribu tanggal 16 September 2004. Dari
data tersebut dapat diketahui bahwa PT PII belum melunaskan Dok yaditnya sementara
kreditnya sudah direalisasi.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No (3)003/DKS/PPLC/2002 pasal 13 ayat 16 butir c
dan d dan BPP IIIA bab III sub bab G sub sub bab 01 hal 3 butir 10, menyatakan “Apabila
terjadi tunggakan post financing (di-analogkan dgn Dok Yadit), maka debitur tidak
diperkenankan membuka L/C baru sebelum tunggakan post financing diselesaikan, walaupun
masih terdapat disponible plafond L/C.
b. Pemberian fasilitas kredit sebesar Rp39.940,00 juta tidak sesuai dengan ketentuan BI
mengenai plafondering
Pada tanggal 16 Agustus 2004 PT PII menerima kredit maksimal Rp39.940,00 juta
sesuai PK No.05/PK/KKS/2004 tanggal 16 Agustus 2004. Kredit tersebut berasal dari KMK
eks Delay Payment sebesar Rp26.548,00 juta dan Interest Baloon Payment (bunga kredit yg
ditangguhkan pembayarannya) sebesar Rp13.392,00 juta sesuai dengan perjanjian
restrukturisasi kredit No 046/PIR/DKS/2002 tanggal 16 Agustus 2002. Dalam PK disebutkan
bahwa tujuan kredit adalah untuk pendudukan eks Delay Payment dan Interest Baloon
Payment.
Hal ini tidak sesuai dengan SK Direksi BI No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995
tentang pedoman penyusunan kebijaksanaan perkreditan Bank, Bab 7 mengenai penyelesaian
kredit bermasalah point 700.d, yang menyebutkan bahwa bank tidak menyelesaikan kredit
bermasalah dengan cara menambah plafond kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan
mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau yang lazim dikenal dengan praktek
plafondering kredit.
c. Usaha PT PII termasuk industri kategori pale red
Sesuai dengan checklist uji kepatuhan yang dilakukan oleh Divisi Kepatuhan
No.KPN/PGB/063 tanggal 22 Juni 2004 diketahui bahwa traffic light sub sektor industri
sepatu dan kulit adalah ‘pale red’. Demikian juga Executive Summary dan Ikhtisar Persetujuan
Kredit (IPK)-PAK 01 serta MAK (PAK 02/1) menyatakan sub sektor ekonomi/ traffic light
untuk industri sepatu dan kulit adalah ‘pale red’.
65

Dengan demikian pemberian kredit kepada PT PII tidak sesuai dengan BPP Buku 1 Bab
I sub bab A sub-sub bab 10 No.14 tanggal 16 Januari 2002, yang menyebutkan bahwa “Bank
dilarang memberikan kredit baru dan/atau tambahan kredit terhadap proyek/obyek pembiayaan
yang sector/sub sector ekonominya pada kategori traffic light “pale red” dan/atau”red”.
d. Fasilitas kredit kepada PT PII tidak memenuhi ketentuan CR dan DER
Berdasarkan Laporan Keuangan audited PT PII tahun 2002 dan 2003, diketahui bahwa
CR tahun 2000 s.d. 2003 berturut-turut 0,61, 0,53, 0,86 dan 0,73. DER tahun 2000 s.d. 2003
yaitu -1,72, -1,54, -1,55 dan -1,61. Selain itu posisi 30 Juni 2003 CRR = 7B dan CCR = 9B.
Data tersebut diatas memperlihatkan bahwa CR & DER pada proyeksi cash flow selama
empat tahun belum memenuhi persyaratan dalam BPP Perkreditan Buku I Bab I Sub Bab G
Sub-sub Bab 05 No.05, yang menyebutkan bahwa CR untuk industri sepatu dan kulit minimal
1,20 dan DER 2,6.
e. CEV jaminan yang diserahkan tidak memenuhi ketentuan
Sesuai MAK (PAK 02/1) dalam rangka permohonan tambahan fasilitas kredit L/C impor
sebesar US$5,000.00 ribu, CEV jaminan yang diserahkan yaitu CEV Total sebesar 36,27%
dan CEV Controlled 22,98%. Selanjutnya dalam Laporan perkembangan penyelamatan Kredit
bulan Maret 2003 antara lain disebutkan bahwa total CEV jaminan controlled sebesar
Rp46.724,00 juta atau sebesar 14% dari maksimum kredit. Nilai ini berdasarkan hasil
penilaian PT Dwi Valuina (April 2001).
Dari data di atas diketahui bahwa baik CEV controlled maupun CEV total tidak
memenuhi BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04, yang menyatakan bahwa Nilai CEV
seharusnya 100% dan CEV controlled 50%.
f. Nilai pengikatan hak tanggungan belum sesuai dengan ketentuan
Dalam MAK (PAK 02/1) mengenai evaluasi jaminan disebutkan bahwa jaminan
controlled yang diserahkan berdasarkan PAK 01 berupa tanah dan bangunan pabrik, kantor,
gudang, mesin-mesin dan peralatan serta sarana dan prasarana pabrik sepatu dengan nilai
pengikatan Hak Tanggungan sebesar Rp28.058,00 juta dan Fidusia sebesar Rp43.030,61 juta.
Total nilai jaminan oleh appraisal PT Citra Bahana Penilai adalah sebesar Rp146.382,84 juta
dengan maksimum kredit yang diberikan kepada PT PII posisi 31 Desember 2004 sebesar
Rp454.350,01 juta. Dengan demikian nilai pengikatan hak tanggungan lebih kecil dari
maksimum kreditnya.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub sub Bab 05 No.5, yang
menyebutkan bahwa besarnya nilai pengikatan hak tanggungan bila nilai taksasi jaminan lebih
besar dari maksimum kreditnya, maka nilai pengikatan hak tanggungan minimum sebesar
maksimum kreditnya.
g. PT PII belum seluruhnya menyalurkan hasil ekspor ke Bank BNI
Berdasarkan formulir pengawasan sirkulasi (BNI-134A) diketahui bahwa PT PII belum
seluruhnya menyalurkan hasil ekspor ke Bank BNI yaitu rata-rata per bulan baru 63,02%.
Hal ini tidak sesuai dengan PK pasal 17 No.6 yang mensyaratkan untuk menyalurkan
seluruh transaksi keuangan penerima kredit melalui Bank BNI
Kondisi tersebut mengakibatkan :
a. Fasilitas kredit sebesar eq. Rp454.350,01 juta berpotensi bermasalah.
66

. Bank BNI akan menanggung resiko yang lebih besar karena kecukupan jaminan dan
pengikatannya belum sesuai ketentuan.
c. Bank BNI kehilangan kesempatan memperoleh fee/income/pendapatan lainnya dari transaksitransaksi
yang dilakukan oleh PT PII yang tidak melalui rekening Bank BNI.
Hal tersebut terjadi karena pejabat pengusul, pemutus dan pengelola fasilitas kredit belum
sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Pembukaan L/C impor yang dilakukan dengan Marginal Deposit (MD) 100% memang dalam
kondisi dok-yadit belum terselesaikan, dengan pertimbangan menunjang kelancaran bisnis
debitur dan ada rencana penyelesaian dok-yaditnya, pembukaan L/C impor dengan setoran
MD 100% tidak mengandung risiko dan agar Bank BNI dapat mengontrol aktivitas eksporimpor.
Pada akhirnya seluruh tunggakan dok-yadit sebesar Rp63.565,19 juta dapat
diselesaikan pada tanggal 14 Januari 2005.
b. Kami sependapat bahwa pendudukan tunggakan bunga dalam PK sesuai ketentuan BI tidak
diperbolehkan. Pendudukan tunggakan bunga dalam PK oleh Bank BNI, merupakan upaya
restrukturisasi. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai pemberian/pendudukan pokok kredit yang
baru, melainkan didasarkan pertimbangan meskipun tunggakan bunga didudukkan dalam PK,
tetapi belum dicatat sebagai pendapatan bunga. Tunggakan bunga yang didudukkan dalam PK
tidak diberlakukan sebagai pokok kredit. Untuk selanjutnya restrukturisasi tunggakan bunga
tidak didudukkan dalam PK tetapi akan dibuat format Perjanjian Penyelesaian Hutang ex
Tunggakan Bunga.
c. Secara makro industri sepatu dan kulit di Indonesia dikategorikan pale red, namun secara
mikro PT.PII masih memiliki prospek usaha yang baik, dengan mempertimbangkan sebagai
berikut :
� PT PII telah memperoleh peningkatan order dari buyer Adidas Solomon yang tercermin
dari peningkatan order dari Adidas tahun 2000, 2001, 2002 dan 2003 sebesar 11 %, 19 %,
45 % dan 12 %.
� Dari 7 (tujuh) pabrik sepatu order Adidas di Indonesia saat ini tinggal 3 (tiga) yang masih
beroperasi, PT PII termasuk dari 3 (tiga) pabrik sepatu yang masih dipercaya untuk
mengerjakan order oleh Adidas. Kondisi ini merupakan peluang bagi PT PII untuk
meningkatkan jumlah order atas pengalihan order dari pabrik yang tutup tersebut.
d. CR dan DER belum memenuhi ketentuan karena dampak Debt overhang yang cukup besar
atas fasilitas valas. Perbaikan CR dan DER akan terus diupayakan untuk penurunan hutang
pokok dan angsuran berjalan sesuai schedule yang ditetapkan.
e. Seiring dengan gejolak kurs Rupiah tahun 1998 menjadikan fasilitas kredit PT PII eqv. dalam
rupiah menjadi meningkat, sedangkan jaminan yang berupa tanah, pabrik dan mesin tetap
dinilai dalam Rupiah, sehingga mengakibatkan nilai jaminan semakin tidak mengcover
fasilitas kreditnya.
f. Nilai pengikatan dibandingkan dengan jumlah kreditnya memang tidak memenuhi
sebagaimana penjelasan butir e di atas, namun dari nilai total pengikatan hak tanggungan &
fiducia saat ini telah ditingkatkan menjadi sebesar Rp256.036,00 juta relatif mendekati total
nilai jaminan senilai Rp257.437,00 juta atau 99,45 % dari nilai jaminan.
67

g. Aktivitas ekspor yang disalurkan melalui Bank BNI walaupun belum seluruhnya tetapi telah
meningkat cukup signifikan yang terlihat dari realisasi ekspor sebelum Agustus 2004 yang
masih nihil, sejak Agustus 2004 s.d. Desember 2004 telah disalurkan melalui Bank BNI
dengan total nilai sebesar US$17,644.73 ribu.
BPK – RI menyarankan kepada Pemimpin Divisi Kredit terkait Bank BNI memberi
teguran kepada RM, Analis, administrasi kredit agar memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan oleh bank BNI dan PK dalam mengelola kredit, dan meminta PT PII untuk
menambah nilai agunan yang masih kurang dan menyalurkan aktivitas ekspornya melalui Bank
BNI.
9. Proses pengambilalihan Aset Kredit PT Industries Badja Garuda dari BPPN tidak
didasarkan pada analisa yang cermat sehingga menimbulkan kredit macet bagi Bank BNI
sebesar Rp182.912,20 juta
PT Industries Badja Garuda (PT IBG) sebelumnya bernama PT Industri Badjaberlian Utama
(PT IBU) didirikan pada tahun 1994, bergerak dalam industri baja plat yang memproduksi seng,
terletak di Jl. Yos Sudarso KM 10,5 Kawasan Industri Medan. Berdasarkan Akta No. 8 Notaris
Syahril Sofyan, SH tanggal 13 Agustus 2002 PT IBU diubah namanya menjadi PT IBG dan
menerima penggabungan PT Industri Galvanealmas (PT IG) -- suatu perusahaan yang didirikan
tahun 1992 dan bergerak dalam industri yang memproduksi paku, paku seng, pipa, kawat, kawat
duri dan wire mesh, terletak Jl. Medan Belawan KM 11-- kedalam PT IBG.
Sebelum merger, mayoritas saham PT IBU dan PT IG dimiliki oleh PT Bintang Abad Pacific
(PT BAP) dengan rincian sebagai berikut:
(dalam juta Rupiah)
Nama Pemegang Saham PT IBU % PT IG %
PT BAP 6.400,00 98 14.200,00 98
Edward Pitoy 100,00 2 800,00 2
Total 6.500,00 100 15.000,00 100
Kepemilikan saham PT BAP adalah Marcel Pitoy dan Bobby Pitoy masing-masing sebesar 84,85% dan
15,15% dari nilai saham sebesar Rp6.600,00 juta. Hubungan pengurus perusahaan antara PT IBU dan
PT IG sebagai berikut:
Nama PT IBU PT IG
Paul Coandra Limiarto Direktur Utama Direktur Utama
Edward Pitoy Direktur Direktur
Bobby Pitoy Komisaris Komisaris
Key Person adalah Sdr. Bobby Pitoy (Sdr. BPi)
Setelah merger, kepemilikan saham PT IBG menjadi PT BAP, Bobby Pitoy dan Marcel Pitoy berturutturut
95,81%, 3,72% dan 0,47% dari nilai saham sebesar Rp21.500,00 juta. Hubungan pengurus
perusahaan antara PT BAP dan PT IBG setelah merger sebagai berikut:
Nama PT BAP PT IBG
Paul Coandra Limiarto Direktur Utama Direktur Utama
Bobby Pitoy Komisaris Komisaris
Marcel Pitoy - Direktur
68

PT IBG, PT IBU dan PT IG merupakan debitur-debitur yang diambil alih (take over) Bank
BNI dari BPPN. Aset kredit ketiga debitur tersebut yang ditawarkan BPPN untuk dilelang dalam
Program Penjualan Aset Kredit (PPAK) masing-masing sebesar Rp20.570,90 juta, Rp135.480,55
juta dan Rp261.393,87 juta atau seluruhnya sebesar Rp417.445,32 juta. Berdasarkan MPK tanggal
12 Juli 2002 diketahui bahwa PT IBG telah diambil alih (akuisisi) oleh PT IG pada tahun 2001,
tetapi di BPPN masih dibuku atas nama PT IBG. PT IBU sebelumnya merupakan debitur yang
dialihkan kepada BPPN oleh beberapa bank swasta eks Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) yaitu
Bank Utama, Bank Pelita, Bank Nusa dan Bank Duta, sedangkan PT IG sebelumnya merupakan
debitur kredit macet ex legacy Bank Dagang Negara (BDN/Bank Mandiri) yang telah dialihkan
kepada BPPN.
Untuk mengambil alih aset kredit debitur PT IBG, PT IBU dan PT IG dari BPPN, dengan
Perjanjian No. 001/VII/ADS/2002 tanggal 12 Juli 2002, Bank BNI (sebagai Pihak Pertama)
melakukan kerjasama dalam rangka pembelian aset-aset kredit BPPN dengan PT Bahtera Tjipta
Sakti (PT BTS/selaku Pihak Kedua) yang sahamnya sebesar 25% dimiliki oleh Sdr. Hendrayanto
Marta Sakti, 26% dimiliki oleh Ny. Nadia Jasmine, 20% dimiliki oleh Sdr. Irsan Budianto
Darmaji, 20% dimiliki oleh Sdr. Indrajaya Utama Hasan Syarif dan 9% dimiliki oleh Sdr.
Mohammad Hidayat Hasan. Dalam perjanjian tersebut dijelaskan bahwa Pihak Pertama menunjuk
Pihak Kedua selaku pihak yang akan bertindak mewakili Pihak Pertama dalam melakukan
penawaran dan pembelian aset kredit yang akan dibeli dari BPPN. Selanjutnya, PT BTS dengan
surat tanggal 17 Juli 2002 mengajukan penawaran kepada BPPN dan BPPN berdasarkan
Notification of the Winning Bidder No. Prog-1827/BPPN/0702 tanggal 25 Juli 2002
mengumumkan bahwa aset kredit PT IBG, PT IBU dan PT IG yang seluruhnya berjumlah
Rp417.445,32 juta dimenangkan oleh PT BTS dengan nilai penawaran sebesar Rp104.778,78 juta.
Pembayarannya dilakukan oleh Bank BNI melalui PT BTS kepada BPPN dengan dana tunai
sebesar Rp20.955,76 juta dan sisanya sebesar Rp83.823,02 juta dibayar dengan Obligasi
Rekapitalisasi.
Terhadap aset kredit sebesar Rp417.445,32 juta tersebut, setelah direstrukturisasi diperoleh
nilai Sustainable Loan (jumlah kredit yang pembayaran pokok dan bunganya dapat dipenuhi dari
arus kas debitur) sebesar Rp140.453,78 juta dan sisanya sebesar Rp276.991,54 juta merupakan
Unsustainable Loan (jumlah kredit yang pembayaran pokok dan bunganya tidak dapat dipenuhi
dari arus kas debitur). Selanjutnya nilai Sustainable Loan sebesar Rp140.453,78 juta didudukkan
dalam Perjanjian KI No. 2002/KP1/PK/46 tanggal 18 Oktober 2002 sebagai fasilitas pemberian
KI, tetapi debitur (PT IBG) tidak dapat menarik kredit. Jangka waktu KI selama lima tahun
terhitung sejak tanggal 18 Oktober 2002 s.d 30 September 2007. Sedangkan terhadap nilai
Unsustainable Loan sebesar Rp276.991,54 juta dicatat dalam pembukuan Bank BNI sebagai
pendapatan yang ditangguhkan sesuai Peraturan Bank Indonesia No. 4/7/PBI/2002 tanggal 27
September 2002 tentang prinsip kehati-hatian dalam rangka pembelian kredit oleh bank dari
BPPN.
Setelah diambil alih dari BPPN, PT IBG kemudian diberikan fasilitas KMK sebesar
Rp50.000,00 juta yang didudukkan dalam PK No. 2002/KPI/PK/47 tanggal 18 Oktober 2002,
tujuannya untuk tambahan modal kerja pembelian bahan baku HRC dari PT Krakatau Steel dan
impor timah serta biaya operasional lainnya, dengan jangka waktu kredit sejak tanggal 18 Oktober
2002 s.d 17 Oktober 2003 (satu tahun). Dengan pemberian KMK ini maka produksi dan penjualan
69

dari setiap lini produksi PT IBG dapat berjalan dan profitable (tidak ada lagi yang stop produksi
dengan alasan kurang modal kerja) sehingga mampu membayar bunga dan hutang pokok.
Outstanding kredit PT IBG sampai dengan bulan Februari 2005 adalah sebesar
Rp271.779,41 juta dengan kolektibilitas Macet (Gol. V). Jaminan yang diserahkan oleh PT IBG
sesuai hasil penilaian PT Anima Krida Usaha tanggal 10 Oktober 2003 adalah sebesar
Rp312.469,70 juta atau 170,83% dari jumlah kredit sebesar Rp182.912,20 juta (ketentuan intern
Bank BNI minimal 100%). Jaminan berupa tanah telah dipasang Hak Tanggungan I atas nama
Bank BNI, kecuali satu bidang tanah SHGB No. 9 seluas 14.047 m2 di Medan yang hak atas
tanahnya telah jatuh tempo tanggal 21 Oktober 2002 dan masih dalam pengurusan perpanjangan.
Jaminan berupa bangunan dan mesin-mesin pabrik telah diasuransikan kepada PT Asuransi
Jasindo untuk jangka waktu sampai dengan tanggal 7 Oktober 2005 dengan total nilai
pertanggungan sebesar Rp306.372,90 juta.
Hasil pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a. Cara menetapkan besarnya Sustainable Loan oleh Divisi Korporasi Satu Bank BNI
menyimpang dari ketentuan intern yang berlaku
Dalam menetapkan besarnya Sustainable Loan (SL), Sdri. S selaku Pengelola pada unit
bisnis Divisi Korporasi Satu menggunakan data Laporan Laba Rugi Konsolidasi PT IBU
tanggal 30 April 2002. Jumlah laba sebelum pajak untuk periode sampai dengan 30 April 2002
adalah sebesar Rp6.638,00 juta, sedangkan beban bunga dan penyusutan masing-masing
sebesar Rp10.000,00 juta dan Rp1.468,00 juta sehingga EBITDA per 30 April 2002 adalah
Rp18.106,00 juta (Rp6.638,00 juta + Rp10.000,00 juta + Rp1.468,00 juta). Dengan EBITDA
kwartal pertama tahun 2002 sebesar Rp18.106,00 juta maka EBITDA setahun dalam tahun
2002 adalah sebesar Rp54.318,00 juta (Rp18.106,00 juta x 3). Setelah diketahui EBITDA
setahun sebesar Rp54.318,00 juta maka nilai SL atas aset kredit yang di take over dari BPPN
adalah sebesar Rp162.954,00 juta (Rp54.318,00 juta x 3).
Berkaitan dengan perhitungan EBITDA dan penetapan SL atas aset kredit yang di take
over dari BPPN, dalam Memo Divisi Pengendalian Risiko No. PAR/4/0593 tanggal 14 Juni
2002 (merupakan penyempurnaan Memo Divisi PAR/4/0571 tanggal 7 Juni 2002) tentang
formula penghitungan potensi pinjaman dengan konsep EBITDA disebutkan bahwa EBITDA
merupakan angka absolut berdasarkan Laporan Keuangan tahun terakhir dan besarnya SL
adalah tiga kali EBITDA. Berdasarkan penjelasan Divisi Kebijakan dan Manajemen Risiko
(Divisi KMR), yang dimaksud EBITDA Laporan Keuangan tahun terakhir adalah EBITDA
yang pendapatannya telah terealisasi dan tercantum dalam Laporan Keuangan historis,
kemudian langsung dikalikan tiga. Lebih lanjut Divisi KMR menjelaskan bahwa pertimbangan
Bank BNI menetapkan tiga kali EBITDA adalah mengikuti kondisi pasar yang ada pada saat
itu (bank lainnya) yang melakukan take over aset kredit dari BPPN. Berdasarkan ketentuan
tersebut maka EBITDA yang digunakan untuk menghitung nilai SL seharusnya adalah
EBITDA yang berasal dari Laporan Keuangan tahun buku 2001 (EBITDA satu tahun) yang
merupakan Laporan Keuangan tahun terakhir, jadi bukan laporan laba rugi bulan April 2002.
Nilai EBITDA berdasarkan Laporan Keuangan tahun buku 2001 adalah sebesar Rp27.172,00
juta sehingga nilai SL adalah Rp81.516,00 juta (Rp27.172,00 juta x 3). Jika dibandingkan
antara nilai SL yang dibuat oleh Divisi Korporasi Satu dan nilai SL yang seharusnya sesuai
ketentuan yang berlaku, maka nilai SL yang dibuat oleh Divisi Korporasi Satu lebih tinggi
dalam jumlah yang material yaitu sebesar Rp81.438,00 juta (Rp162.954,00 juta - Rp81.516,00
70

juta). Oleh karena nilai SL ditetapkan terlampau tinggi dan menjadi acuan batas atas dalam
melakukan take over aset kredit dari BPPN, maka nilai take over sebesar Rp104.778,78 juta
dapat dikatakan terlampau tinggi jika dibandingkan dengan nilai SL yang sebenarnya yaitu
sebesar Rp81.516,00 juta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perhitungan SL yang
terlampau besar mengakibatkan terlampau besar pula penyediaan fasilitas KI dengan jumlah
yang sama yaitu sebesar Rp81.516,00 juta, atau dengan kata lain aset kredit PT IBU dan IG
sebenarnya tidak layak di take over dengan nilai sebesar Rp104.778,78 juta.
Sebagai pembanding lain, jika digunakan EBITDA yang disusun oleh Konsultan Piesta
Dinamika Consultindo, EBITDA tahun 2002 adalah sebesar Rp36.809,00 juta (meskipun hal
ini juga tidak tepat karena sesuai ketentuan intern adalah EBITDA yang berasal dari Laporan
Keuangan tahun terakhir, dhi. tahun 2001), maka nilai SL adalah sebesar Rp110.427,00 juta
(Rp36.809,00 juta x 3). Jika dibandingkan antara SL berdasarkan EBITDA yang disusun oleh
konsultan tersebut dan SL berdasarkan EBITDA yang disusun oleh Divisi Korporasi Satu
Bank BNI (Sdri. S), maka SL yang disusun oleh Sdri. S terlampau tinggi sebesar Rp52.527,00
juta (Rp162.954,00 juta - Rp110.427,00 juta). Hal tersebut membuktikan bahwa SL yang
disusun oleh Sdri. S pada unit bisnis Divisi Korporasi Satu Bank BNI tidak tepat.
Terhadap kesalahan mendasar dalam mengambil EBITDA yang menjadi dasar untuk
menghitung SL, seluruh pejabat Kelompok Pemutus Kredit (KPK) yang terdiri dari RM 1-2
Sdr. GK, Pemimpin Kelompok KPB-1 Sdr. NT, Pgs. Pemimpin Kelompok Analis Risiko
Kredit (ARK) Sdri. S, Pgs. Pemimpin Unit ARK Sdr. MS, Pemimpin Divisi KPI Sdr. MAs,
Direktur Korporasi Sdr. SS, Direktur Internasional Sdr. RW dan Direktur Utama Sdr. SH,
tidak mengoreksinya. Hal tersebut mencerminkan pengendalian intern yang dilakukan oleh
KPK masih lemah.
b. Biaya lain-lain sebesar Rp23.300,00 juta yang dibayarkan oleh Bank BNI kepada PT
BTS dalam rangka take over aset kredit PT IBU dan PT IG dari BPPN, tidak dapat
dipertanggungjawabkan
Dalam rangka pembelian aset kredit dari BPPN, Bank BNI (Pihak Pertama) dengan
perjanjian No. 001/VII/ADS/2002 tanggal 12 Juli 2002 telah menunjuk PT BTS (Pihak Kedua)
selaku pihak yang akan bertindak mewakili Bank BNI dalam melakukan penawaran dan
pembelian aset kredit dari BPPN. Beberapa pasal penting dalam perjanjian tersebut yang
berkaitan dengan pengaturan pembelian aset kredit, pembayaran provisi dan manajemen fee
untuk Bank BNI serta fee untuk PT BTS, sebagai berikut:
1) Pasal 3 ayat 1 menyatakan bahwa: “untuk keperluan pelaksanaan perjanjian ini, Pihak
Pertama setuju untuk menempatkan/menyetorkan dana miliknya kedalam rekening
pembelian aset kredit maksimum sebesar harga pembelian ditambah dengan propisi,
management fee untuk Pihak Pertama serta fee untuk Pihak Kedua yang timbul
sehubungan dengan pembelian aset-aset kredit sebagaimana dimaksud pasal 9 perjanjian
ini, penyetoran dana mana tidak akan melebihi jumlah kredit untuk membeli aset-aset
kredit”.
2) Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa: “Dana yang terdapat dalam rekening pembelian aset
kredit hanya dapat digunakan untuk pembelian aset-aset kredit yang dimenangkan oleh
Pihak Kedua dalam lelang BPPN, untuk pembayaran propisi, manajemen fee untuk Pihak
Pertama, dan fee untuk Pihak Kedua yang timbul sehubungan dengan aset-aset kredit
sebagaimana dimaksud pasal 9 Perjanjian ini”.
71

3) Pasal 9 menyatakan bahwa: Pihak Kedua wajib membayar seluruh biaya yang timbul
sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian ini kedalam rekening Pihak Pertama, yaitu:
Ayat 1: “Propisi sebesar 1% per tahun dari maksimum kredit, propisi mana menjadi beban
debitur aset kredit, yang harus telah diterima oleh Pihak Pertama pada tanggal
yang sama dengan tanggal penyetoran dana untuk keperluan aset kredit
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 perjanjian ini”.
Ayat 2: “Management Fee sebesar 8% dari maksimum kredit, fee mana menjadi beban
debitur aset kredit yang harus telah diterima oleh Pihak Pertama pada tanggal yang
sama dengan tanggal penyetoran dana untuk keperluan aset kredit sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 perjanjian ini”.
Ayat 3: “Biaya yang timbul sehubungan dengan pembelian aset-aset kredit, termasuk akan
tetapi tidak terbatas pada biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan uji
tuntas (due diligence) dan penawaran (bidding)”.
Ayat 4: “Pajak, biaya dan/atau pengeluaran lain dengan nama apapun yang timbul
berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian ini sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”.
Oleh karena PT BTS (selaku pihak yang mewakili Bank BNI) telah memenangkan
lelang aset kredit PT IBU dan PT IG senilai Rp104.778,78 juta, maka dengan surat No.
087/BTS/IV/7/2002 tanggal 31 Juli 2002 PT BTS menyampaikan perhitungan success fee
sebesar Rp2.087,23 juta dan biaya lain-lain sebesar Rp23.300,00 juta atau seluruhnya
berjumlah Rp25.387,23 juta kepada Divisi Investasi dan Jasa Keuangan (Divisi IJK) Bank
BNI. Kemudian Kelompok Advisory dan Sekuritisasi (Kelompok ADS) Sdri. RS dengan surat
No. IJK/3/111 tanggal 5 Agustus 2002 mengusulkan bahwa success fee dan biaya lain-lain
tersebut dapat dipertimbangkan sebagai biaya Fronting Company (dhi. PT BTS). Usul tersebut
disetujui oleh Kepala dan Wakil Kepala Divisi IJK. Selanjutnya Sdri. RS dengan surat No.
ADS/3/113 tanggal 7 Agustus 2002 yang ditujukan kepada Pemimpin Divisi IJK, pada butir 4,
intinya menyatakan bahwa Sdr. BPi selaku Komisaris pada PT BAP dan PT IBG (Sdr. BPi
merupakan Key Person dalam hubungan dengan Bank BNI) minta biaya lain-lain sebesar
Rp23.300,00 juta direalisasikan (dibayarkan kepada PT BTS), sedangkan success fee sebesar
Rp2.087,23 juta diminta untuk tidak direalisasikan dulu karena akan dinegosiasikan dengan
pihak PT BTS.
Pembayaran biaya lain-lain sebesar Rp23.300,00 juta tersebut dilakukan oleh Bank BNI
Kantor cabang Jakarta Pusat pada tanggal 7 Agustus 2002 melalui transfer dana ke rekening
PT BTS di Bank BNI, Rekening No. 259.0012455077.001. Sedangkan untuk success fee
sebesar Rp2.087,23 juta sampai dengan tanggal 15 April 2005 saat pemeriksaan oleh BPK-RI
masih berlangsung, diperoleh penjelasan dari Sdri. RS bahwa Bank BNI tidak membayar fee
dimaksud. Pembayaran biaya lain-lain sebesar Rp23.300,00 juta tersebut mencapai 22,24%
dari nilai hasil pelelangan aset kredit PT IBU dan PT IG yaitu sebesar Rp104.778,78 juta
sehingga nilai tersebut dianggap signifikan. Dilain pihak, fee yang diperoleh Bank BNI dari
aktivitas take over aset kredit PT IBU dan PT IG hanya sebesar Rp12.375,00 juta.
Berkaitan dengan pembayaran biaya lain-lain oleh Bank BNI sebesar Rp23.300,00 juta
kepada PT BTS, dalam Perjanjian No.: 001/VII/ADS/2002 tanggal 12 Juli 2002 tidak terdapat
pasal yang mengatur bahwa Bank BNI berkewajiban membayar biaya lain-lain, atau dengan
kata lain tidak ada kewajiban bagi Bank BNI untuk membayar biaya lain-lain dimaksud baik
72

yang ditetapkan dalam unit moneter maupun yang ditetapkan secara prosentase. Dengan
mengacu pada ketentuan pasal 9 ayat 3 dan 4 dapat diketahui dengan jelas bahwa PT BTS
yang seharusnya wajib membayar biaya dimaksud kepada Bank BNI.
Kebijakan Divisi IJK Bank BNI dengan personil kunci yang terdiri dari Sdri. RS selaku
Pemimpin Kelompok pada Divisi ADS, Sdr. DRS dan Sdr. BPr masing-masing selaku
Pemimpin Divisi dan Wakil Pemimpin Divisi IJK, yang mendukung/menyetujui pembayaran
biaya lain-lain sebesar Rp23.300,00 juta kepada PT BTS tersebut melanggar isi Perjanjian
Kerjasama antara Bank BNI dengan PT BTS tanggal 12 Juli 2002 sebagaimana yang telah
diatur pada pasal 9 ayat 3 dan 4. Dengan demikian pembayaran biaya lain-lain sebesar
Rp23.300,00 juta tidak dapat dipertanggungjawabkan.
c. PT IBG tidak mampu membayar biaya dana talangan sebesar Rp4.550,82 juta dan
kemudian tunggakan biaya dana talangan tersebut didudukkan ke dalam Perjanjian
Kredit
Divisi IJK Bank BNI dengan surat No. IJK/3/2620/R tanggal 12 Juli 2002
menyampaikan keputusan pembiayaan melalui dana talangan kepada PT IBU dan PT IG.
Maksimum dana talangan adalah sebesar Rp150.000,00 juta untuk keperluan pembiayaan
penebusan aset kredit di BPPN melalui fronting company PT BTS beserta propisi, manajemen
fee untuk Bank BNI serta fee untuk PT BTS. Jangka waktu dana talangan tersebut adalah tiga
bulan, pelunasannya dilakukan sekaligus dengan dana yang berasal dari penarikan kredit, dan
fasilitas dana talangan yang merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari fasilitas
kredit. Pada posisi 30 Juni 2003 PT IBG tidak mampu membayar kewajiban biaya dana
tertunggak sebesar Rp4.550,82 juta dan kemudian didudukkan dalam Perjanjian Kredit
No.2003/KPI/39 tanggal 1 Juli 2003. Sesuai ketentuan pasal 5 ayat 1 Perjanjian Kredit tanggal
1 Juli 2003 maka penerima kredit tidak dapat menarik kredit karena fasilitas kredit ini khusus
untuk mendudukkan kewajiban yang masih tertunggak.
d. Fasilitas KI sebesar Rp140.453,78 juta dan KMK sebesar Rp50.000,00 juta tidak mampu
dibayar dan dalam waktu yang sangat singkat bermasalah menjadi macet
Outstanding KI dan KMK PT IBG sampai dengan bulan Februari 2005 adalah sebagai
berikut:
(Dalam juta Rupiah)
Jenis Kredit Saldo
Tunggakan
Jumlah Kol
Pokok Pokok Bunga Denda
KI 132.078,24 8.979,97 61.955,83 3.404,29 206.418,33 5
KMK - 41.853,99 19.751,87 3.755,22 65.361,08 5
Jumlah 132.078,24 50.833,96 81.707,70 7.159,51 271.779,41
Kewajiban pembayaran angsuran pokok KI sesuai PK No. 2002/KP1/PK/46 tanggal 18
Oktober 2002 dimulai sejak tanggal 31 Maret 2003, tetapi sejak saat itu sampai dengan bulan
Februari 2005 PT IBG tidak membayar angsurannya, sehingga jumlah tunggakan pokok KI
mencapai sebesar Rp8.979,97 juta. Selain itu, sejak bulan Februari 2003 PT IBG tidak
membayar bunga KI sehingga sampai dengan bulan Februari 2005 jumlah tunggakan
bunganya mencapai Rp61.955,83 juta.
Untuk KMK, berdasarkan PK No. 2002/KPI/PK/47 tanggal 18 Oktober 2002, dengan
jangka waktu kredit selama satu tahun, seharusnya PT IBG sudah melunasinya pada tanggal 18
73

Oktober 2003. Walaupun demikian sampai dengan bulan Februari 2005 PT IBG tidak pernah
membayar dan bahkan menunggak pokok sebesar Rp41.853,99 juta. Sejak bulan Februari
2003 sampai dengan bulan Februari 2005 PT IBG tidak pernah membayar bunga, sehingga
jumlah tunggakan bunganya mencapai sebesar Rp19.751,87 juta.
Kolektibilitas KI dan KMK PT IBG sampai dengan bulan Oktober 2003 masih
digolongkan lancar. Namun demikian lancarnya kolektibilitas tersebut bukan karena kinerja
PT IBG yang baik, tetapi lebih terkait dengan Peraturan Bank Indonesia No.4/7/PBI/2002
tanggal 27 September 2002 pasal 10 ayat (1) yang menyebutkan bahwa kredit yang dibeli dari
BPPN digolongkan dalam kualitas lancar dalam jangka waktu satu tahun sejak saat pembelian.
Secara riil dalam waktu yang sangat singkat atau sekitar tiga bulan setelah penandatanganan
PK KI dan KMK tanggal 18 Oktober 2002 (dhi. bulan Februari 2003) PT IBG sudah
menunggak membayar bunga/pokok KI dan KMK. Pada akhir bulan Nopember 2003 kreditkredit
tersebut digolongkan macet dengan hari tunggakan sekitar 300 hari (sesuai ketentuan BI
menunggak lebih dari 270 hari kolektibilitas dinyatakan macet).
Oleh karena fasilitas KI dan KMK kepada PT IBG yang seluruhnya berjumlah
Rp190.453,78 juta dalam waktu yang sangat singkat sudah bermasalah, maka Divisi Satuan
Pengawasan Intern (Divisi SPI) Bank BNI pada bulan Oktober 2003 telah melakukan audit
khusus, antara lain terhadap debitur PT IBG. Hasil wawancara pada tanggal 14 Oktober 2003
yang dilakukan oleh Tim Audit SPI Bank BNI kepada Sdri. RS dan Sdr. RG dari Divisi IJK,
menyatakan bahwa pada tanggal 8 Juli 2002 telah diadakan pertemuan yang intinya terkait
dengan take over aset BPPN a.n. PT IBG. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Direktur Utama
Sdr. SH, Direktur Kepatuhan Sdr. MAr, Pemimpin Divisi KPI Sdr. MAs., debitur PT IBG Sdr.
BPi, dan Sdr. HM. Pada tanggal 14 Oktober 2003 Tim Audit SPI Bank BNI juga melakukan
wawancara dengan PT BTS. Hasil wawancara dengan PT BTS tersebut menyebutkan bahwa:
1) PT BTS sama sekali tidak mengeluarkan biaya apapun kepada BPPN karena PT IBG telah
melakukan pendekatan sendiri untuk memperoleh nilai bid amount yang paling rendah.
2) Berkaitan dengan munculnya biaya tambahan berupa biaya lain-lain, Sdr. BPi menjelaskan
bahwa biaya tersebut adalah biaya lobbying yang dibutuhkan untuk negosiasi sehingga
diperoleh nilai bid amount aset sebesar Rp104.000,00 juta. Sdr. BPi dari PT IBG meminta
agar biaya tersebut dibebankan sekaligus pada fasilitas di Bank BNI.
3) Karakter Sdr. BPi tidak terlalu baik karena pada saat ada kebutuhan, Sdr. BPi akan
berusaha mencari pimpinan PT BTS. Namun saat ada kewajiban, Sdr. BPi sulit sekali
dicari. Saat inipun PT BTS masih memiliki piutang kepada PT IBG karena fee sebesar
sekitar Rp2.000,00 juta untuk pengambilalihan aset tersebut hingga saat ini belum dibayar
seluruhnya dan tidak ada komitmen dari yang bersangkutan untuk mencicil.
Kemudian Tim Audit SPI Bank BNI pada tanggal 20 Oktober 2003 mewawancarai Sdr.
BPi selaku Key Person/Komisaris PT IBG. Hasil wawancara adalah sebagai berikut:
1) Sdr. BPi menjelaskan bahwa penyebab terganggunya aktivitas perusahaan adalah karena
harga bahan baku yang meningkat dan banyak masuknya seng ilegal di pasaran. Kemudian
PT Krakatau Steel sebagai supplier tunggal mengharuskan perusahaan yang membeli baja
untuk membuka Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) sebesar 50%,
sedangkan disponible fasilitas KMK PT IBG nihil.
2) Sdr. BPi menjelaskan bahwa saat negosiasi harga pembelian dari BPPN, PT IBG harus
mengeluarkan sejumlah dana kepada orang-orang tertentu sebesar Rp30.250,00 juta yang
74

erasal dari biaya tambahan saat pelaksanaan bid sebesar Rp17.000,00 juta dan dana
fasilitas KMK sebesar Rp13.250,00 juta. Uang sejumlah Rp30.250,00 juta tersebut oleh
Sdr. BPi seluruhnya dikirimkan ke rekening Sdr. HM. Untuk meyakinkan pihak Bank
BNI, Sdr. BPi menunjukkan (secara sepintas) bukti-bukti pengiriman uang berikut
rinciannya kepada Tim Audit SPI Bank BNI.
Terkait dengan terganggunya aktivitas PT IBG yang disebabkan oleh adanya kenaikan
harga bahan baku, Tim BPK-RI pada tanggal 29 dan 31 Maret telah melakukan konfirmasi
secara langsung kepada Sdr. BPi bertempat di Lantai 25 Divisi Kredit Khusus Kantor Pusat
Bank BNI. Tim BPK-RI meminta bukti-bukti pembelian bahan baku untuk memastikan
apakah memang benar terdapat kenaikan harga bahan baku. Akan tetapi bukti dimaksud
sampai dengan tanggal 25 April 2005 belum diterima oleh Tim BPK-RI. Kemudian terkait
dengan adanya transfer dana sebesar Rp30.250,00 juta ke rekening Sdr. HM, dari hasil
konfirmasi tersebut diperoleh penjelasan dari Sdr. BPi bahwa transfer dana dimaksud untuk
membayar hutang PT IBG kepada Sdr. HM. Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa kenaikan harga bahan baku bukan menjadi satu-satunya penyebab terganggunya
aktivitas usaha, tetapi juga karena Sdr. BPi menggunakan dana KMK sebesar Rp13.250,00
juta tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam PK.
e. Karakter debitur PT IBG (Sdr. BPi selaku key person) bertolak belakang dengan
keadaan yang sebenarnya
Unit Bisnis Divisi Korporasi 1 Bank BNI (Sdr. NT dan Sdr. GK) pada tanggal 22 Juli
2002 telah melakukan kunjungan setempat ke PT IBU dan PT IG yang tujuannya untuk
melakukan verifikasi karakter Sdr. BPi. Dari hasil verifikasi yang dilakukan dengan cara
menanyakan kepada beberapa debitur Wholesale di Medan dan Kanwil Bank BNI 01 Medan,
diketahui bahwa tidak terdapat informasi negatif mengenai Sdr. BPi.
Walaupun demikian, dalam kasus ini informasi tersebut tidak sesuai. Sdr. BPi tidak
pernah memenuhi kewajibannya untuk menyampaikan Neraca dan Perhitungan laba Rugi
periodik secara triwulanan (laporan triwulan IV/2002, Laporan Keuangan tahun 2002 yang
telah diaudit oleh KAP, laporan triwulan I, II, III dan IV tahun 2003, Laporan Keuangan tahun
2003 yang telah diaudit oleh KAP). Demikian juga laporan triwulanan tahun 2004 tidak
disampaikan, meskipun bank BNI telah memintanya secara tertulis. Selain itu, PT IBG (Sdr.
BPi) tidak memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran pokok kredit dan bunga dari
fasilitas KI dan KMK sampai menjadi macet, dan adanya indikasi penggunaan dana KMK
sebesar Rp13.250,00 juta yang tidak sesuai dengan tujuannya karena dana tersebut dialirkan
ke rekening Sdr. HM.
Kondisi tersebut belum sesuai dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Undang Undang No. 10/1998 tentang Perbankan:
1) Pasal 8 ayat (1) yang menyebutkan: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
75

untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan”.
2) Pasal 29 ayat (2) yang menyebutkan: “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank
sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.
b. Peraturan Bank Indonesia No. 4/7/PBI/2002 tentang Prinsip kehati-hatian dalam rangka
pembelian kredit oleh Bank dari BPPN, pasal 2 menyebutkan :”Bank wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pembelian kredit dari BPPN”.
c. Ketentuan Divisi Pengendalian Risiko No. PAR/4/0593 tanggal 14 Juni 2002 yang mengatur
formula penghitungan potensi pinjaman dengan konsep EBITDA
d. Perjanjian Kerjasama Bank BNI dengan PT BTS No. 001/VII/ADS/2002 tanggal 12 Juli 2002
tentang pembelian aset kredit dari BPPN
e. Perjanjian Kredit Modal Kerja No. 2002/KPI/PK/47 tanggal 18 Oktober 2002
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Dana yang telah dikucurkan sebagai kredit kepada PT IBG yang pada posisi Februari 2005
dengan pokok kredit sebesar Rp182.912,20 juta tertanam menjadi kredit macet, sehingga Bank
BNI menderita kerugian karena harus membentuk PPAP 100% atas kredit macet tersebut
sebesar Rp182.912,20 juta.
b. Fasilitas KI yang diberikan kepada PT IBG terlampau besar sejumlah Rp81.438,00 juta.
c. Pembayaran biaya lain-lain oleh Bank BNI kepada PT BTS sebesar Rp23.300,00 juta telah
meningkatkan risiko kredit bagi Bank BNI dan biaya lain-lain tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan
Hal tersebut disebabkan oleh :
a. Analis Kredit tidak cermat dalam menghitung dan menetapkan nilai SL atas aset kredit yang di
take over dari BPPN
b. Pengendalian intern yang dilakukan oleh KPK masih lemah karena tidak dapat mengungkap
adanya kekeliruan dalam menghitung nilai SL.
c. Bank BNI tidak bisa mencegah itikad tidak baik dari debitur PT IBG yang menggunakan
fasilitas KMK sehingga tidak sepenuhnya sesuai dengan PK-nya
d. Adanya kebijakan Divisi IJK mendukung/menyetujui pembayaran biaya lain-lain sebesar
Rp23.300,00 juta yang bertentangan dengan Perjanjian No.001/ADS/2002 tanggal 12 Juli
2002.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Kami sependapat dengan permasalahan yang dikemukakan oleh BPK. Kami menafsirkan
Memo Div. PAR No. PAR/4/0593 tanggal 14-06-2002 butir I.3 tentang istilah laporan
keuangan tahun terakhir adalah periode yang paling akhir yakni pada periode laporan
keuangan Januari – April 2002 sehingga untuk memperoleh nilai EBITDA 1 tahun, maka
EBITDA sampai dengan April disetahunkan (dikalikan tiga).
b. Berdasarkan Pasal 1 ayat 7 Perjanjian Kerjasama ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan
“Harga Pembelian” adalah harga pembelian aset-aset kredit yang disetujui oleh BNI.
Meskipun didalam Perjanjian Kerjasama tidak diatur secara detail namun sejak awal sudah
76

diantisipasi untuk mengakomodir biaya-biaya dan pajak yang mungkin timbul berkaitan
dengan proses pengambilalihan asset dari BPPN sesuai juklak Div. MAR mengenai Prinsip
Kehati-hatian dalam Pembelian Aset Kredit dari BPPN. Dengan demikian harga pembelian
meliputi bid amount, biaya-biaya lain dan pajak yang timbul sehubungan dengan transaksi
pembelian aset kredit tersebut. Biaya sebesar Rp. 23,30 milyar merupakan bagian/komponen
dari Harga Pembelian Aset kredit yang telah disetujui oleh BNI untuk dikeluarkan atas beban
Rekening Pembelian Aset Kredit. Oleh karena berdasarkan Perjanjian Kerjasama, BTS
merupakan pihak yang ditunjuk Bank BNI untuk mewakili dalam pembelian aset kredit di
BPPN, maka dalam pelaksanaannya biaya dimaksud dibayarkan ke rekening BTS untuk
keperluan pembelian aset kredit. Sehubungan dengan hal tersebut maka pembayaran dana
sebesar Rp 23,30 milyar tidak melanggar isi ketentuan Perjanjian Kerjasama dan dapat
dipertanggungjawabkan, berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1) Pelaksanaan sudah sesuai prosedur internal Bank BNI, cfm. Radisi tgl 24-06-2002
khususnya butir 1 mengenai Co Investing Melalui Perusahaan Lain dengan Bridging Dari
Bank BNI, Juklak Pengambilalihan Aset Kredit BPPN dan Perjanjian Kerjasama.
2) Total Harga Pembelian tidak melebihi maksimum kredit yang telah disetujui oleh Divisi
Korporasi, yaitu sebesar Rp 150,00 milyar, dimana pelaksanaannya hanya sebesar
Rp140.453,78 juta.
c. Kewajiban PT IBG di Divisi IJK sebesar Rp4.550,82 juta adalah biaya untuk keperluan dana
talangan pengambilalihan BPPN. Tidak dapat dipenuhinya kewajiban tersebut dikarenakan
perusahaan mengalami kesulitan likuiditas.
d. Tunggakan pokok dan bunga yang terjadi lebih disebabkan oleh kondisi makro/bisnis risk
sebagai berikut :
1) Adanya kenaikan harga bahan baku HRC dari PT Essar Dananjaya ± 30% (volume
pembelian ± 32%)
2) Membanjirnya produk baja impor illegal yang mengakibatkan harga dan volume seng
dalam negeri merosot dan industri seng dalam negeri sulit bersaing sehingga menyebabkan
menurunnya pangsa pasar ybs., cfm : Harian Kompas tgl 06-05-2003 “Produsen baja
nasional masih panik diserbu produk impor illegal”; Harian Kompas tgl 13-05-2003
“Industri baja tak sekuat baja itu sendiri”; Harian Pos Kota tgl 30-04-2003 “Belasan pabrik
seng gulung tikar ribuan karyawan terancam dipecat”; Harian lainnya “ Industri baja
nasional semakin berkarat”
Mengenai penggunaan dana KMK sebesar Rp13.250,00 juta yang tidak sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan PK, Bank BNI tidak mengetahui mengenai penggunaan dana tersebut.
Dalam SKK No. KPI/2/155/R tgl 18-10-2002 syarat disposisi KMK butir B.7d, yaitu:
1) Secara cash melalui rek. giro setinggi-tingginya Rp15,00 milyar untuk keperluan biaya
operasional (biaya overhead, gaji karyawan, dll).
2) Maksimum sebesar Rp30 M dilakukan melalui SKBDN untuk pengadaan bahan baku HRC
dari PT Krakatau Steel dan perusahaan baja lainnya, dst
3) Maksimum US$500.00 ribu eqv Rp5,00 milyar dari L/C Impor pembelian timah, dst.
4) Realisasi disposisi kredit sudah sesuai dengan persyaratan BNI, yaitu realisasi pembukaan
SKBDN sebanyak 5 slip Rp28.11.749.500 dan realisasi pembukaan L/C Impor sebanyak 7
slip US$ 481.16 ribu.
77

e. Bank BNI sudah melakukan pengecekan tentang karakter BP melalui debitur Wholesale dan
diperoleh penjelasan tidak ada informasi negatif tentang BP, kecuali hutang-hutangnya sudah
diambil alih BPPN. Di samping itu dari hasil pertemuan dengan ybs tidak menunjukkan tandatanda
karakter yang kurang baik. Ybs waktu itu menjabat sebagai pengurus yayasan
pendidikan setempat, menggambarkan reputasi yang cukup dipercaya oleh lingkungannya.
Dari verifikasi di atas pada saat itu disimpulkan bahwa karakter ybs masih layak diberikan
kredit. Namun dalam perjalanannya pada tahun 2003 debitur ybs menunjukkan karakter yang
berubah dengan komitmen-komitmen untuk menyelesaikan kewajibannya sangat rendah.
Catatan:
- Mengenai potensi loss, dapat dicover dari jaminan kredit berupa T/B pabrik, mesin-mesin,
gudang/ruko, rumah, dll dengan total nilai taksasi oleh Kantor Appraisal PT.Anima Krida
Usaha tgl 10-10-2003 sebesar Rp312.469,70 juta.
- Jaminan Bangunan/Mesin pabrik telah diasuransikan kepada Asuransi Jasindo dengan
jangka waktu s.d 07-10-2005 dengan nilai pertanggungan sebesar Rp.306.372,90 juta
BPK – RI menyarankan agar Direksi Bank BNI:
a. Memberikan sanksi kepada Analisis Kredit Sdri. S, sesuai ketentuan intern Bank BNI yang
berlaku.
b. Memperbaiki fungsi pengendalian intern yang dilakukan oleh KPK dalam memutus kredit.
Perbaikan dimaksud dilakukan dengan cara menempatkan personil yang berbeda untuk fungsi
Analisis Kredit dengan fungsi Analisis Risiko Kredit, agar independensi dapat terjaga dan
benturan kepentingan (conflict of interest) dapat dihindari. Dalam kasus PT IBG ini, Analisis
Kredit dan Analisis Risiko Kredit dilakukan oleh personil yang sama yaitu Sdri. S.
c. Memasukkan pengurus PT IBG dalam daftar hitam (black list) intern Bank BNIdan tidak
diberikan faislitas kredit dalam hubungan bisnis dimasa mendatang. Penyelesaian atas fasilitas
kredit yang telah diberikan agar diupayakan semaksimal mungkin.
d. Memberikan sanksi kepada Sdr. DRS, Sdr. BA dan Sdri. RS masing-masing dalam posisinya
sebagai pemimpin Divisi, Wakil Pemimpin Divisi IJK dan Pemimpin Kelompok ADS, sesuai
ketentuan intern Bank BNI yang berlaku.
10. Pengelolaan dan pemantauan fasilitas kredit PT Bosowa Berlian Motor dan PT Bosowa
Multi Finance sebesar Rp271.702,00 juta belum maksimal
Fasilitas kredit kepada PT Bosowa Berlian Motor (PT BBM)
PT Bosowa Berlian Motor (PT BBM) adalah cikal bakal Bosowa Group yang didirikan
pada tahun 1978 dan merupakan agen tunggal pemasaran kendaraan dan suku cadang Mitsubishi di
9 propinsi Wilayah KTI dengan jumlah cabang dan perwakilan mencapai 38 kantor di Sulawesi,
NTT, Maluku dan Irian. PT BBM beralamat di Jl. Urip Sumoharjo 188 Ujung Pandang.
Sejak tahun 1988 PT BBM bekerjasama dengan dealer resmi Mitsubishi di seluruh
Indonesia memberikan fasilitas pembiayaan konsumen, baik untuk perorangan maupun
perusahaan. Sesuai Akta RUPS No.143 tanggal 26 Juni 2002 dan Berita Acara RUPSLB No.21
tanggal 30 April 2003 pemegang saham PT BBM adalah HM Aksa Mahmud sebesar 70% dan Hj.
78

Siti Ramlah 30% dari nilai saham Rp16.000,00 juta. Sedangkan pengurusnya antara lain HM Aksa
Mahmud sebagai Komut dan H Sadikin Aksa sebagai Dirut.
PT BBM menjadi debitur Bank BNI sejak tahun 1993 dengan mendapatkan fasilitas KMK
sebesar Rp2.000,00 juta sesuai dengan PK No.38 tanggal 21 April 1993. Fasilitas tersebut telah
diperpanjang dan disuplesi terakhir dengan PK No.13 tanggal 23 Desember 1999 sebesar
Rp200.000,00 juta.
Fasilitas tersebut tidak tampak dalam Informasi BI karena PT BBM bertindak sebagai
Avalist atas fasilitas KUK-Kerjasama yang diberikan Bank BNI dan merupakan penyaluran kredit
retail untuk pembiayaan kendaraan bermotor roda empat merk Mitsubishi kepada end user, dengan
jangka waktu tiga tahun secara aflopend.
Fasilitas kredit kepada PT Bosowa Multi Finance (PT BMF)
Dalam Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit Kendaraan Bermotor No.2003/02 tanggal
24 Februari 2003 diketahui bahwa penyaluran kredit dilaksanakan oleh perusahaan afiliasi yaitu
PT Bosowa Multi Finance (PT BMF dh. PT Staco Bosowa Finance). Sementara PT BBM dalam
perjanjian ini berperan sebagai penyalur (dealer) kendaraan bermotor merk Mitsubishi dan
penyeleksi calon debitur (end user) yang membutuhkan pembiayaan untuk membeli kendaraan
bermotor.
PT BMF didirikan pada tanggal 4 Agustus 1994 dengan nama PT Staco Bosowa Finance
(PT SBF). PT SBF bergerak di bidang pembiayaan barang modal bagi perorangan dan perusahaan.
PT SBF berubah nama menjadi PT BMF berdasarkan SK Menkeu RI No.245/KMK.06/2003
tanggal 30 Juni 2003. PT BMF sebelum mendapatkan limpahan fasilitas KUK dari BNI
merupakan nasabah Bank Mandiri. Aktivitas pembiayaan yang ditawarkan meliputi sewa guna
usaha/leasing, pembiayaan konsumen, anjak piutang dan channeling KUK.
Pemegang saham PT BMF berdasarkan BA RUPS No.50 tanggal 19 Agustus 1998 dan
Akta No.11 tanggal 12 Juni 2002 adalah PT Bosowa Berlian Motor dan PT Bosowa Utama
masing-masing 50 % dari nilai saham Rp10.000,00 juta. Kedua perusahaan tersebut 100% dimiliki
oleh Kel HM Aksa Mahmud. Pengurus PT BMF antara lain H.M Aksa Mahmud sebagai Komut
dan Syafruddin HZ sebagai Dirut.
Dalam MAK No.KKS/1/58.A tanggal 8 Oktober 2004 diketahui bahwa sejak penyaluran
KUK Kerjasama beralih kepada PT BMF pada 24 Februari 2003 maka penyaluran kredit melalui
PT BBM dihentikan dan tinggal fasilitas yang tersisa yang belum lunas dari end user sampai
dengan jangka waktu pelunasan end user dan tidak ada lagi pencairan. Posisi fasilitas kredit yang
diterima PT BBM dan PT BMF per 31 Maret 2005 masing-masing sebesar Rp57.643,00 juta dan
Rp216.740,00 juta seluruhnya sebesar Rp274.383,00 juta dengan kolektibilitas Dalam Perhatian
Khusus (Gol. II)
Berdasarkan pemeriksaan atas dokumen kredit, diketahui bahwa pemberian kredit kepada
PT BBM dan PT BMF belum sepenuhnya sesuai ketentuan yang berlaku, hal ini terlihat dengan
kondisi sebagai berikut :
a. Fasilitas kredit belum sepenuhnya mengikuti ketentuan intern
1) Penyampaian Laporan Keuangan PT BBM tahun 2003 terlambat dan tidak
dikenakan sanksi sesuai ketentuan
79

Laporan Keuangan PT BBM tahun 2003 diaudit oleh Drs.S. Bharata dengan
laporan No.64/lAP/KAP/SB/JKT/2004 tanggal 9 Agustus 2004. Oleh karena tidak
diketahui kapan diserahkan kepada Bank maka tidak diketahui juga berapa hari
keterlambatannya. Keterlambatan tersebut tidak dikenakan sanksi denda sebagaimana
diatur dalam Pedoman kredit dan PK No.2003/02 tanggal 24 Februari 2003 dalam Pasal 9
ayat 4 sebesar 0,25% pertahun dari maksimum kredit dihitung secara proporsional dengan
lamanya keterlambatan. Diketahui per 31 Desember 2003 maksimum kredit sebesar
Rp210.000,00 juta. Jika dihitung s.d. tanggal laporan yaitu 9 Agustus 2004, laporan
tersebut terlambat 40 hari dari batas waktu penyampaian laporan tanggal 30 Juni 2004.
Minimal denda yang harus dikenakan adalah sebesar Rp210.000,00 juta x 0,25% x 40 hari
= Rp58,33 juta.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab A.06.1 yang
menyatakan bahwa penyampaian audit report diwajibkan bagi debitur yang memperoleh
dan mengajukan tambahan kredit sampai maksimum seluruh fasilitasnya menjadi di atas
Rp5 Milyar. Bagi Badan Usaha Swasta Nasional (BUSN) penyampaian audit report
selambat-lambatnya 6 bulan setelah penutupan tahun buku. Berdasarkan Keputusan CPC
No.54 tanggal 7 Juni 1996 ditetapkan bahwa keterlambatan penyampaian Audited Report
dikenakan penalty sebesar 0,25% p.a dari maksimum kredit dan diperhitungkan secara
proporsional sesuai dengan lamanya keterlambatan.
2) Terdapat tunggakan pokok dan bunga setiap pengajuan disposisi
Dalam pelaksanaan pencairan/disposisi untuk pembiayaan kepada end user sejak tahun
1998 s.d 2003 selalu terdapat tunggakan kewajiban yang selalu dilunasi dari pencairan
kredit, diantaranya sebagai berikut :
a) Dari Daftar Tunggakan Angsuran dan BPKB diketahui bahwa hampir setiap bulan
terdapat tunggakan angsuran (pokok dan bunga) yang harus dilunasi terlebih dahulu
agar dapat dipenuhi disposisi yang diajukan. Bahkan s.d. posisi per 31 Maret 2005
diketahui masih terdapat tunggakan pokok dan bunga. Hal ini tidak sesuai dengan
ketentuan pembayaran angsuran paling lambat tanggal 5 setiap bulan.
b) Dari PAK Periodik atas nama Bosowa Group – W07 Makasar tanggal 29 November
2001 diketahui bahwa terjadinya tunggakan kewajiban pokok dan bunga sebesar
Rp24.149,00 juta karena PT BBM menggunakan pembayaran angsuran dari end user
untuk pembelian mobil dari PT Kramayudha Tigaberlian Motor (KTM) karena
perubahan kebijakan penjualan PT KTM yang tidak menerima Garansi Bank lagi,
melainkan dengan tunai/cash.
c) Dari Nota intern No.W07/7.4/043 tanggal 8 Oktober 2001 diketahui bahwa setiap
bulan tunggakan angsuran pokok maupun bunga mengalami penurunan apabila ada
pencairan kredit, atau penyelesaian tunggakan angsuran pokok dan bunga pinjaman
hanya diharapkan dari pencairan kredit.
d) Dari nota KPI/3/NI 396 tanggal 2 September 2003 diketahui bahwa pada akhir
Agustus 2003 terdapat tunggakan pokok dan bunga pada PT BBM dan PT BMF
masing-masing sebesar Rp7,5 milyar dan Rp2,1 milyar dimana tunggakan tersebut
terjadi karena digunakan untuk penebusan mobil di KTM.
80

e) Surat No.W07/4.4/3274 tanggal 31 Oktober 2003 menjelaskan bahwa tunggakan yang
ada tidak segera diselesaikan, penyelesaianya sebagian besar berasal dari pencairan
kredit (bukan setoran tunai).
Sampai dengan tanggal 31 Maret 2005 PT BBM dan PT BMF tidak mampu membayar
sesuai kewajibannya.
Kondisi tersebut di atas tidak sesuai dengan BPP Buku IIIA Bab III Sub Bab V Kredit
Pola Kemitraan butir 5.b yang menyatakan bahwa angsuran pokok dan bunga wajib
dibayar setiap bulan secara teratur tiap tanggal 1 dan harus telah dilunaskan paling lambat
tanggal 5. Jika pembayaran dilakukan lewat tanggal 5, maka pada debitur dikenakan
tambahan denda tunggakan.
3) CR dan DER tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
CR dan DER PT BBM dan PT BMF dari tahun 1999 s.d 2004 tidak sesuai
ketentuan yaitu sebagai berikut :
a) Dalam MAK (PAK-02/1) per Juni 2004 diketahui bahwa persyaratan DER berdasarkan
Memo Div. MAR No.Mar/2/0835 tanggal 17 Juni 2004 untuk Perdagangan Distribusi
adalah sebesar 2,50. DER dari tahun 2000 s.d 2003 berturut-turut 0,70, 0,64, 5,24 dan
4,34. Sedangkan menurut perhitungan pemeriksa diketahui DER tahun 1999 s.d. 2004
berturut-turut 9,12, 7,10, 5,44, 4,48, 4,13, 4,03 dan 3,58. DER tahun 2002 dan 2003
masing-masing 5,24 dan 4,34 tidak sesuai dengan persyaratan perusahaan maksimal
2,50 kali. Perbedaan hitungan diatas terjadi karena fasilitas kredit chanelling tidak
dimasukkan sebagai fasilitas kredit PT BBM pada tahun 1999 s.d 2001, karena Bank
BNI beranggapan bahwa fasilitas kredit tersebut adalah untuk perorangan/nasabah PT
BBM, sehingga DER pada tahun tersebut terpenuhi.
b) CR dan DER untuk PT BMF dari MAK yang sama diketahui sebagai berikut :
Uraian 2000 2001 2002 2003
CR (kali) 1.13 1.13 1.07 1.07
DER (kali) 7.44 7.15 12.16 18.52
Hasil perhitungan pemeriksa diketahui sbb.:
Uraian 1999 2000 2001 2002 2003 2004
CR (kali) 1,12 1,13 1,13 1,07 1,04 1,07
DER (kali) 7,71 7,44 7,15 12,16 21,30 18,67
Tabel diatas menunjukkan bahwa CR untuk periode laporan keuangan tahun 2000 s.d
2004 cenderung turun dan belum memenuhi persyaratan minimal CR sebesar 1,20
kali. DER juga belum memenuhi. Bahkan sejak PT BMF menjadi penyalur kredit
pembiayaan mobil PT BBM pada awal tahun 2003, DER memburuk, bahkan
melampaui ketentuan dari Menkeu yaitu maksimal DER sebesar 15 kali.
c) Dari Formulir Pengawasan Sirkulasi tanggal 26 April 1996 diketahui bahwa CR dan
DER PT BBM masing-masing sebesar 1,0 kali dan 31,00 kali tidak sesuai dengan
persyaratan. Pemenuhan CR dan DER oleh PT BBM tahun 1996 tidak terpenuhi dan CR
81

membaik mulai tahun 1999. Sedangkan DER tahun 1999 masih tinggi yaitu 9,12 kali
dan membaik di tahun 2004. Hal ini terjadi karena PT BBM sejak awal tahun 2003
berhenti sebagai penyalur pembiayaan mobil dan digantikan oleh PT BMF. Dalam
pemenuhan CR dan DER, PT BMF tidak memenuhi ketentuan sejak sebelum mendapat
limpahan fasilitas KUK Kerjasama dengan Bank BNI dari PT BBM pada awal tahun
2003. Bahkan mulai tahun 2002 sampai tahun 2004 diketahui CR dan DERnya semakin
memburuk dan tidak sesuai dengan ketentuan Bank BNI.
Kondisi tersebut diatas tidak sesuai dengan BPP Buku I Sub Bab G Sub Sub Bab
05 yang menyebutkan bahwa debitur harus memelihara ketentuan minimum CR dan
maksimum DER. Sesuai Memo PAR/2/1225 tanggal 18 Desember 2002 CR minimum
untuk sektor perdagangan subsektor distribusi (PT BBM) adalah sebesar 1,35 kali dan
DER maksimum sebesar 2,50 kali. Untuk PT BMF sektor jasa-jasa dunia usaha subsektor
leasing CR minimum sebesar 1,20 kali dan DER maksimal sebesar 2,75 kali. Kemudian
tahun 2003 DER telah disesuaikan dengan Keputusan Menkeu menjadi maksimal 8,00
kali.
4) Terdapat pencairan kredit meskipun masih ada tunggakan kewajiban
Dari surat No. W07/4.3/1132 tanggal 11 Mei 2004 diketahui bahwa kondisi
likuiditas PT BBM dan PT BMF menurun. Hal tersebut tercermin dalam permintaan
disposisi sebesar Rp19.000,00 juta untuk menebus jatah mobil pada PT KTM, meskipun
masih ada tunggakan sebesar Rp45.000,00 juta di dua cabang Bank BNI (Makasar dan
Mattoangin). Bank BNI Cabang Makasar dan Cabang Mattoangin menyetujui permintaan
tersebut masing-masing pada tanggal 19 April 2004 dan tanggal 22 April 2004. Dengan
adanya pencairan tersebut PT BBM dan PT BMF menjanjikan akan melunasi tunggakan
Rp45.000,00 juta pada tanggal 11 Mei 2004 sesuai jadwal yang telah disepakati.
Pelunasan tunggakan seperti yang dijanjikan tidak dilaksanakan oleh PT BBM dan
PT BMF. Kewajiban kepada Bank BNI Cabang Mattoangin yang seharusnya sebesar
Rp3.150,00 juta hanya dibayar sebesar Rp1.007,67 juta. Kemudian kepada Bank BNI
Cabang Makasar yang seharusnya sebesar Rp13.800,00 juta hanya dibayar sebesar
Rp7.916,07 juta. Oleh karena itu s.d tanggal 10 Mei 2004 tunggakan kewajiban PT BBM
dan PT BMF di Bank BNI Cabang Mattoangin sebesar Rp31.086,43 juta dan di Bank BNI
Cabang Makasar sebesar Rp14.085,71 juta.
Hal tersebut tidak sesuai dengan surat PBE No.PBE/5a/398/R tanggal 15 Agustus
2000 yang menyatakan bahwa penggunaan plafond KUK Rp200.000,00 juta dengan syarat
“tidak diperkenankan menunggak angsuran pokok dan bunga”.
5) Bank BNI dalam memantau PT BBM dan PT BMF kurang maksimal
a) Interfinancing kepada group Bosowa mempersulit cash flow perusahaan
Dari Laporan Keuangan PT BBM tahun buku 2000 s.d 2004 diketahui bahwa terdapat
piutang afiliasi (piutang terhadap group bosowa) tahun 2000 sebesar Rp33.796,39 juta
dan piutang lain-lain (piutang terhadap direktur, karyawan dan non karyawan serta
piutang mobil di cabang) sebesar Rp30.837,78 juta atau total sebesar Rp64.634,17
juta. Piutang tersebut setara 14,90% dari total aktiva lancar sebesar Rp433.600,18 juta.
Sampai dengan tahun 2004 piutang tersebut masih tinggi yaitu masing-masing sebesar
Rp13.362,32 juta dan Rp29.155,64 juta atau total sebesar Rp42.517,96 juta. Piutang
82

tersebut setara 5,28% dari total aktiva sebesar Rp805.193,60 juta. Nilai tersebut
meskipun menurun prosentasenya tetapi jika dikaitkan dengan total tunggakan
kewajiban pada tahun 2004 sebesar Rp45.000,00 juta maka menjadi sangat material.
Terjadinya interfinancing kepada group usaha dapat diketahui sebagai berikut:
(1) Memo Bank BNI No.PBE/5/0825/R tanggal 3 Oktober 2000 pada butir 3.b, yang
menyatakan adanya pinjaman antar perusahaan (inter financing) dari PT BBM
kepada PT Bumi Bosowa International (PT BBI) sebesar Rp2.183,45 juta.
(2) Pendapat Kelompok Pengendalian Risiko (KPR) yang dimuat dalam memorandum
dari Pemasaran Bisnis Wilayah (PBW) kepada KPK tanggal 17 Oktober 2001
menyatakan bahwa pengelolaan keuangan PT BBM terpusat pada Sdr. H. Aksa
Machmud (key person) sehingga terjadi saling membiayai (interfinancing) antar
perusahaan dalam group Bosowa. Kondisi interfinancing ini terlihat pada Neraca
PT BBM per September 2001, pada aktiva lancar terdapat rekening piutang lainlain
sebesar Rp32.909,57 juta dan piutang afiliasi sebesar Rp32.132,51 juta yang
salah satunya adalah piutang pada PT Semen Bosowa Maros untuk pembelian
Kapal Pengangkut Semen sebanyak tiga unit.
PT BBM mendapatkan fasilitas kredit dari bank lain
Pada laporan keuangan home statement tanggal 31 Desember 2004 terdapat hutang
kepada Bank Bukopin dan Bank Mega berupa KMK masing-masing sebesar
Rp40.707,85 juta dan Rp29.895,75 juta. Hutang tersebut tidak tercatat pada laporan
keuangan home statement bulan Juni 2004. Hasil konfirmasi kepada RM menunjukkan
bahwa PT BBM tidak memberitahukan adanya tambahan KMK dari kedua bank
tersebut diatas kepada Bank BNI. Tambahan fasilitas kredit dari bank lain akan
memperberat beban debitur dalam memenuhi kewajiban setiap bulannya yang pada
gilirannya akan mempengaruhi pembayaran kewajiban kepada Bank BNI. Pada akhir
tahun 2004 PT BBM ternyata tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran pokok
dan bunga sebesar Rp39.738,09 juta.
b)Non Performing Loan (NPL) end user mencapai lebih dari 3%
Dari memorandum No.KKS/3/050 tanggal 8 Juli 2004 diketahui bahwa pada posisi
Juni 2004 terdapat NPL end user pada PT BBM dan PT BMF masing-masing sebesar
Rp7.859,14 juta dan Rp24.389,90 juta atau 10,68% dan 12,71% dari outstanding
pinjaman Rp73.567,92 juta dan Rp191.825,00 juta. Sampai dengan dilakukannya
penjadwalan kembali pada September dan Desember 2004 tidak ada lagi informasi
mengenai kolektibilitas tunggakan end user. Dalam dokumen kredit saat pendudukan
Akta Pengakuan Hutang tanggal 30 Desember 2004 hanya diketahui tunggakan pokok
secara keseluruhan per 31 November 2004 tanpa disertai kolektibilitasnya sebagai
berikut :
PT BBM PT BMF
Maksimum 189.839,40 200.000,00
Saldo akhir 70.512,60 182.109,44
Tunggakan pokok 44.895,85 51.337,68
Tunggakan bunga 1.562,56 3.734,00
83

Saldo denda 285,60 207,03
Baki Debet 70.512,60 182.109,44
Outstanding 72.360,76 186.050,47
Ketiga kondisi diatas tidak sesuai BPP Buku I Bab III Sub Bab A Sub Sub Bab 01.1 yang
menyatakan bahwa pemantauan nasabah adalah untuk menilai sejauh mana syarat-syarat
kredit maupun kewajiban pembayaran lainnya telah dipenuhi debitur, untuk menilai
kelayakan usaha debitur dari waktu ke waktu yang dikaitkan dengan risiko yang dihadapi
bank dan untuk membantu bank mengambil langkah-langkah preventif yang diperlukan,
serta untuk memberikan rekomendasi kepada nasabah dalam meningkatkan kinerja usaha
dan keuangan. Bab 01.4 menyatakan bahwa pemantauan nasabah adalah untuk menjamin
penilaian yang berkesinambungan atas first way out dan untuk menjamin penilaian yang
berkesinambungan atas second way out.
b. Terdapat pelanggaran beberapa ketentuan dalam PK
1) Jaminan atas fasilitas kredit kepada PT BBM dan PT BMF tidak mengcover fasilitas
kredit yang diberikan
Dalam perjalanan fasilitas kredit PT BBM dari tahun 1997 s.d 2005 sering terjadi
keterlambatan penyampaian jaminan BPKB yang melebihi jangka waktu tiga bulan.
Dengan kata lain jaminan BPKB yang diserahkan tidak mengcover fasilitas kredit yang
telah diberikan. Hal tersebut terlihat dari :
a) Surat No.PLP/5/0421 tanggal 29 April 1997 dari Bank BNI Cabang Palopo kepada
PT BBM yang menunjukkan adanya 52 buah BPKB yang terlambat diserahkan selama
6 bulan.
b) Surat No.Wtp/5/736/R tanggal 24 September 1999 dari Bank BNI Watansoppeng
kepada PT BBM yang menunjukkan adanya tunggakan BPKB sebanyak 87 buah dari
pencairan kredit tahun 1996 s.d 1998 yang belum diserahkan kepada Bank.
c) Memo No.ARK/4/263 tanggal 16 Desember 2003 dari Divisi ARK kepada Divisi KPS
yang menunjukkan adanya jaminan PT BBM berupa BPKB yang belum diserahkan
sebanyak 779 buah, sedangkan untuk PT BMF sebanyak 1.182 buah.
d) Surat No.W0/4.3/054/R tanggal 2 Februari 2004 dari bank BNI Kanwil 07 Makasar
kepada BNI Kantor Besar Jakarta yang menunjukkan adanya 1.727 BPKB yang belum
diserahkan lebih dari 3 bulan.
e) Laporan Audit Investigasi KAP Drs. Bharata No.62/LAP/KAP/SB/JKT/2004 tanggal
9 Agustus 2004 atas penyaluran fasilitas kredit dari tahun 2001 s.d Februari 2003 yang
menunjukkan bahwa :
(1) Untuk penyaluran tahun 2001 s.d akhir pemeriksaan terdapat 20 buah BPKB yang
baru diselesaikan pada bulan Juni 2004.
(2) Untuk penyaluran tahun 2002, terdapat 477 buah BPKB yang belum diselesaikan
dan 1.334 buah BPKB yang kreditnya telah lunas tetapi masih ditahan di Bank
BNI untuk memperkuat jaminan atas kredit yang disalurkan kepada PT BBM.
(3) Untuk penyaluran s.d Februari 2003, sebanyak 52 buah BPKB belum diselesaikan.
Sampai dengan pemeriksaan tanggal 31 Mei 2004 diketahui KAP Bharata sedang
melakukan audit investigasi penyaluran fasilitas kredit dari Maret 2003 sampai dengan
Februari 2005. Sampai dengan posisi 31 Maret 2005 diketahui PT BBM dengan end user
84

sebanyak 730 terdapat 212 buah BPKB yang belum diterima atau 29,04% sedangkan
untuk PT BMF dengan end user sebanyak 3.182 terdapat 1.564 buah BPKB yang belum
diterima atau 49,15%. Seharusnya terhadap BPKB yang telah terlambat diselesaikan dan
diserahkan diperlakukan sesuai ketentuan yaitu langsung dilunasi oleh Avalist dhi.
PT BBM dan PT BMF. Tetapi ketentuan ini sampai dengan tahun 2005 tidak
dilaksanakan.
Kondisi di atas tidak sesuai dengan Perjanjian-perjanjian Kerjasama dari No. 170
tanggal 18 April 1996 sampai dengan No.13 tanggal 23 Desember 1999 Pasal 5 ayat 2
yang menyatakan bahwa paling lambat tiga bulan sejak penandatanganan perjanjian kredit,
Pihak Kedua (PT BBM) harus menyerahkan surat-surat pemilikan kendaraan kepada dan
untuk disimpan Pihak Pertama (BNI) minimal berupa BPKB dan faktur pembelian
kendaraan atas nama pihak ketiga; dan apabila dalam jangka waktu lebih dari tiga bulan
surat-surat pemilikan kendaraan tersebut belum juga diserahkan kepada pihak Pihak
Pertama, maka fasilitas kredit Pihak Ketiga tersebut akan dibebankan pada rekening Pihak
Kedua dan menjadi tanggung jawab yang harus dibayar Pihak Kedua.
2) Kebijakan escrow account belum berjalan maksimal
Berdasarkan pemeriksaan dokumen diketahui bahwa pelaksanaan rekening escrow tidak
berjalan dengan baik dan dijumpai penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut :
a) Dari Tabel Daftar Tunggakan Angsuran dan BPKB diketahui sejak penyaluran
kredit/KUK Kerjasama dilaksanakan oleh PT BBM dalam tahun 1998 s.d 2003 dan
sejak diambil alih pelaksanaannnya oleh PT BMF pada awal tahun 2003, rekening
escrow/penampungan selalu bersaldo minimal dan tidak mengcover tunggakan
kewajiban yang terjadi.
b) Dalam memo No.ARK/4/263 tanggal 16 Desember 2003 pada butir 8 disebutkan
bahwa berkaitan dengan pasal-pasal dalam perjanjian kerjasama (PKS) No.2003/02
tanggal 24 Februari 2003 terdapat beberapa hal yang tidak terpenuhi, yaitu kewajiban
menyediakan dana dalam escrow account sebesar angsuran yang harus dibayarkan
pada bulan yang bersangkutan.
c) Memo dari Divisi Korporasi kepada Divisi Analisa Risiko Kredit No.KPS/3/3135
tanggal 30 Desember 2003 dalam butir B.1 menjelaskan bahwa dalam usaha
menertibkan administrasi pembukuan KUK dan BPKB di cabang Makasar dan
Mattoangin, PT BBM dan PT BMF diharuskan segera mengaktifkan rekening escrow
yang selama ini transaksinya masih dianggap kurang dengan minimum senilai
kewajiban (pokok dan bunga). Sumber pengaktifan rekening escrow adalah dari
pembayaran angsuran nasabah yang telah dibiayai oleh BNI cabang Sudirman dan
Mattoangin, baik fasilitas PKS KUK via PT BBM langsung ke BNI maupun fasilitas
PKS via PT BMF langsung ke BNI dengan avalist PT BBM, dan diharapkan bukan
bersumber dari dana pencairan atas fasilitas PKS KUK yang telah dibiayai oleh BNI.
d) Nota Intern No.KKS-NI/PTK2/31 tanggal 4 Agustus 2004 butir II.9 menyebutkan
bahwa cadangan sebesar satu kali angsuran pokok + bunga yang harus disimpan di
rekening escrow tidak dilaksanakan, sehingga ketika jatuh tempo, cabang tidak dapat
membebankan kewajiban tersebut karena tidak tersedia dananya.
Hal ini tidak sesuai dengan PKS No.2003/02 tanggal 24 Februari 2003 Pasal 11.(1)
yang menyatakan bahwa Pihak Kedua (PT BMF) wajib membuka rekening giro pada
85

Pihak Pertama (Bank BNI) untuk memudahkan pelaksanaan administrasi kredit dengan
nominal sebesar angsuran yang harus dibayar oleh PT BMF pada bulan yang
bersangkutan.
3) Pencairan kredit melebihi ketentuan perbulan yang diperbolehkan
Dari hasil pemeriksaan terhadap memorandum pencairan diketahui adanya pencairanpencairan
yang melebihi disposisi, sebagai berikut:
a) Dari memorandum tanggal 27 April 2000, diketahui pencairan untuk bulan April
sebesar Rp8.652,25 juta tidak sesuai dengan keputusan KPK KB No.PBE/5/227/R
tanggal 31 Desember 1999 yang menyatakan bahwa maksimum plafond yang ditarik
(realisasi KUK) adalah sebesar Rp7.000,00 juta per bulan.
b) Dalam memorandum tanggal 24 Juli 2000 diketahui bahwa pencairan bulan Juli
mencapai Rp19.999,70 juta. Hal tersebut tidak sesuai dengan surat PBE
No.PBE/5a/231/R tanggal 5 Mei 2000 yang menyatakan bahwa maksimum plafond
yang ditarik adalah sebesar Rp10.000,00 juta per bulan.
c) Realisasi pencairan bulan Juni, Juli dan Agustus masing-masing sebesar Rp15.512,50
juta; Rp19.999,70 juta dan Rp24.092,40 juta melampaui maksimum plafond sebesar
Rp10.000,00 juta.
d) Berdasarkan memorandum tanggal 9 Nopember 2000 diketahui pencairan bulan
Oktober sebesar Rp35.300,00 juta tidak sesuai dengan keputusan KPK KB
No.PBE/5a/398/R tanggal 15 Agustus 2000 yang menyatakan bahwa maksimum
plafond yang ditarik sebesar Rp20.000,00 juta per bulan.
Hal tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT BBM dan PT BMF dikhawatirkan
akan bermasalah apabila fasilitas kredit tersebut tidak dipantau secara baik.
Hal tersebut terjadi karena Pengusul dan Pengelola kredit PT BBM dan PT BMF belum
sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Denda keterlambatan penyampaian Laporan Keuangan Audited PT BBM tahun 2003 telah
kami tagihkan dengan surat No. KKS/3/481 tanggal 15 Juni 2005. Sampai dengan akhir tahun
2004 masih terdapat tunggakan pokok. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan restrukturisasi
kredit dengan mendudukkan dalam Perjanjian Penyelesaian Hutang (PPH) PT.BBM No.
25/KKS/PPH/2004 tanggal 30-12-2004 dan PPH PT.BMF No. 26/KKS/PPH /2004 tanggal 30-
12-2004 berupa penjadwalan angsuran s.d. bulan April 2006. Sesuai surat kami No.KKS/3/361
tanggal 12-05-2005 telah ditegaskan kembali bahwa apabila tunggakan belum diselesaikan
maka disposisi kredit dihentikan. Untuk PT BBM sejak Februari 2003 tidak ada lagi pencairan
kredit baru dan outstanding KUK Kerjasama yang ada dalam rangka pelunasan sehingga
diharapkan kondisi CR dan DER semakin baik. Sesuai kebijakan ekspansi kredit tahun 2004,
(CPC No. 98 tangal 09-01-2004) bagi debitur dalam rangka restrukturisasi (PT.BMF),
penyimpangan financial covenant hanya diperkenankan sampai dengan 40% dengan ketentuan
proyeksi cash flow menunjukkan bahwa penyimpangan tersebut akan dipenuhi dalam waktu
paling lama 5 (lima) tahun. CR dan DER PT.BMF cfm laporan keuangan per tgl. 31-12-2003,
sesuai analisis dalam MAK masih dalam batas toleransi penyimpangan 40% yaitu CR
86

menyimpang 11% (persyaratan 1,20 kali, realisasi 1,07 kali) dan DER menyimpang 23%
(persyaratan sesuai Menkeu 15 kali, realisasi 18,52 kali). Dengan jangka waktu penyaluran
KUK selama 3 (tiga) tahun, dengan penurunan outstanding kredit akibat angsuran dari end
user, diharapkan CR dan DER akan terpenuhi. Upaya pemenuhan syarat pencairan kredit telah
ditertibkan melalui surat No. KKS/3/267 tanggal 11-04-2005 dan No.KKS/3/361 tanggal 12-
05-2005 bahwa apabila ada tunggakan maka disposisi kredit dihentikan. Interfinancing antar
group usaha sulit dihindari. Antara PT BBM dan PT SBM mempunyai hubungan kepemilikan,
sedangkan antara PT BBM dengan PT.BMF mempunyai hubungan transaksi bisnis yang saling
terkait, PT BBM sebagai agen tunggal Mitsubishi sedangkan PT BMF yang membiayai
penjualan kreditnya. Untuk mengawasi terjadinya interfinancing antar group usaha, pada
PT SBM telah ditunjuk Konsultan Pengawas Keuangan PT Piesta Penilai. Tambahan fasilitas
kredit dari Bank Bukopin dan kredit baru dari Bank Mega, baru diketahui dari laporan
keuangan unaudited per 31 Desember 2004 (disampaikan tgl. 4 Maret 2005). Untuk review
kredit berikutnya, fasilitas kredit dari bank lainnya (termasuk Bukopin dan Bank Mega) akan
kami lakukan analisa menyeluruh untuk mengetahui dampaknya terhadap beban keuangan
PT BMF, dan hasil analisa akan digunakan untuk mengambil langkah-langkah pengamanan
terhadap kredit BNI. Pendudukan angsuran tunggakan pokok ke dalam PPH disertai schedule
angsuran yang jelas merupakan restrukturisasi penyelesaian tunggakan; dan syarat disposisi
kepada PT.BMF adalah NPL kurang dari 3% tetap diberlakukan sesuai penegasan surat
No.KKS/3/469/R tanggal 01-10-2004. Selanjutnya melalui surat kami No.KKS/3/267 tanggal
11-04-2005 dan No.KKS/3/361 tanggal 12-05-2005 ditegaskan kembali bahwa apabila
terdapat tunggakan maka disposisi kredit dihentikan
b. Terhadap outstanding KUK yang BPKB-nya sampai dengan saat ini telah melampaui batas
waktu toleransi akan kami mintakan kepada debitur untuk melunasi kreditnya. Setoran escrow
account tidak dapat dilaksanakan karena kondisi keuangan debitur belum memungkinkan.
Syarat escrouw account akan kami review kembali untuk dicari solusi atau syarat lain sebagai
penggantinya. Sejak bulan Februari 2004 s/d saat ini pencairan kredit per bulan telah
disesuaikan dengan persetujuan yang telah dipersyaratkan, dengan batasan rata-rata pencairan
sebesar Rp28.800,00 juta per bulan.
BPK – RI menyarankan Direksi Bank BNI memberi teguran kepada pengusul dan
pengelola kredit agar dalam pemberian fasilitas kredit dan pemantauan kredit lebih maksimal serta
berpedoman pada perjanjian yang telah disepakati.
11. Pemberian kredit kepada PT Semen Bosowa Maros sebesar Rp604.950,00 juta belum
sepenuhya sesuai dengan ketentuan
PT Semen Bosowa Maros (PT SBM) didirikan dalam rangka memenuhi kebutuhan semen
di Kawasan Indonesia Timur (KTI) dan mulai beroperasi pada tanggal 16 Juli 1998 dengan
kapasitas terpasang pabrik seluruhnya 1.800.000 ton semen/tahun. Adanya krisis moneter pada
saat pembangunan pabrik menyebabkan PT SBM tidak mampu menyelesaikan selisih kurs
penyelesaian L/C Import dan untuk itu telah dilakukan restrukturisasi kredit Sindikasi pada tahun
2002.
87

PT SBM bergerak dalam bidang usaha industri semen, berkantor di Plaza Bumi Daya
Lt.29 Jl. Imam Bonjol No.61 Jakarta dan Jl. Urip Sumohardjo No.266 Makasar, dengan lokasi
pabrik di Desa Baruga, Bantimurung, Maros, Sulawesi Selatan .
Pemegang saham PT SBM sesuai Keputusan RUPSLB No.9 tanggal 4 Februari 2000
antara lain PT BBM sebesar 74,87% dari nilai saham sebesar Rp195.000,00 juta. Di dalam
susunan pengurus PT SBM, HM Aksa Mahmud adalah Komut dan H Sadikin Aksa sebagai Dirut.
PT SBM mendapat fasilitas KI secara sindikasi dari Bank Mandiri (agen), Bank BNI,
BTN, Bank Niaga dan Bank Danamon dengan porsi Bank BNI sebesar 26,67% dari sindikasi awal
sebesar Rp526.275,00 juta. Pada tanggal 10 November 2004, PT SBM melakukan pembayaran
dipercepat atas fasilitas dari Bank Niaga dan Bank Danamon, sehingga fasilitas KI Sindikasi per
31 Desember 2004 menjadi sebesar Rp1.670.366,15. Dari jumlah tersebut porsi Bank BNI sebesar
Rp596.086,80 juta.
Outstanding kredit PT SBM per 31 Maret 2005 adalah sebesar Rp598.286,00 juta yang
terdiri dari pokok kredit sebesar Rp595.686,00 juta dan tunggakan bunga sebesar Rp2.600,00 juta
dengan kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Gol. II). Posisi jaminan PT SBM terakhir sesuai
dengan penilaian Appraisal PT Sierlando International tanggal 6 Desember 2004 adalah sebesar
Rp2.003.772,83 juta (nilai pasar) dengan porsi Bank BNI sebesar Rp714.545,00 juta. Jaminan
tersebut diatas diasuransikan dengan broker asuransi PT Gelora Karya Jasatama polis
No.PUF0400252 dan pertanggungan senilai Rp1.800.000,00 juta untuk periode asuransi tanggal 5
Oktober 2004 s.d 5 Oktober 2005.
Dari hasil pemeriksaan atas berkas kredit diketahui bahwa pemberian kredit kepada
PT SBM belum sepenuhya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu sebagai berikut :
a. Fasilitas kredit belum sepenuhnya mengikuti ketentuan intern
1) Fasilitas Pre Export Finance (PEF) kepada PT SBM tidak sesuai dengan ketentuan
maksimum pembiayaan ekspor
Sesuai dengan BPP Buku IIIA Bab III Sub Bab I Sub Sub Bab 01 No.9.a diatur
bahwa “ Perhitungan Kebutuhan Kredit untuk KMK Ekspor yang bersifat transaksional
sedapat mungkin berdasarkan kebutuhan sesuai Proyeksi Cash Flow atau maksimum
sebesar 65% dari nilai pembiayaan barang yang akan diekspor ”.
Dalam pemeriksaan diketahui bahwa fasilitas KMKE transaksional yang dibiayai
oleh Bank BNI sebesar 80% dari nilai L/C Ekspor. Hal tersebut sesuai dengan PK
N0.14/PK/KKS/2004 tanggal 27 Oktober 2004 dalam Pasal 16 Syarat-syarat mengenai
penarikan kredit butir 1.4. Demikian juga Nota Intern Bank BNI No.NI/PTK/008 tanggal
13 Februari 2004 yang menyatakan bahwa dari L/C ekspor No.957011184053M tanggal 6
Februari 2002 sebesar US$487.50 ribu, yang dibuka pada Standard Charterd Bank
Singapore adalah sebesar US$376.35 ribu (US$487.50 ribu x 96,5% x 80%) dari yang
seharusnya maksimum sebesar US$305.78 ribu (US$487.50 ribu x 96,5% x 65%).
Dengan perhitungan di atas, Bank BNI kelebihan membiayai sebesar 15% atau sebesar
US$70.57 ribu (US$376.35 ribu – US$305.78 ribu) atau eq. Rp635,09 juta.
Perhitungan dengan patokan kredit yang dapat diberikan adalah 80% dari nilai L/C
tersebut digunakan sampai dengan pemberian fasilitas PEF tahun 2005. Meskipun
88

pembayaran dapat dikatakan tepat waktu sesuai proceed L/C yang diterima, tetapi
pembiayaan yang dilaksanakan BNI melebihi dari ketentuan.
2) Pelaksanaan Kunjungan Setempat belum dilaksanakan sesuai ketentuan.
Sesuai BPP Buku III Sub Bab BB diketahui bahwa intensitas pemantauan (OTS)
dalam masa produksi komersial dan apabila keadaan usaha dan kreditnya berjalan lancar,
dilaksanakan minimal 6 bulan sekali. Dalam formulir laporan kunjungan setempat
diketahui bahwa terakhir kunjungan ke debitur PT SBM dilaksanakan pada tanggal 19
Agustus 2004. Sampai dengan pemeriksaan tanggal 31 Maret 2005 atau 7 (tujuh) bulan
setelah kunjungan terakhir belum ada kunjungan ke debitur. Surat Agen Sindikasi
PT Bank Mandiri tanggal tanggal 9 Oktober menyebutkan bahwa rencana kunjungan ke
PT SBM tanggal 12 s.d 13 Oktober dibatalkan dan akan ditentukan kemudian. Hal ini
tidak sesuai dengan ketentuan di atas bahwa minimal OTS dilaksanakan 6 bulan sekali.
b. Pelunasan dipercepat kepada Bank Niaga dan Bank Danamon tidak sesuai PK
Menurut Akta No.65 tanggal 30 September 2002 Pasal 7 tentang Pembayaran Kembali
Kredit Yang Dipercepat ayat 1.c dijelaskan bahwa pembayaran kembali yang dipercepat hanya
dapat dilakukan apabila tidak ada tunggakan atas bunga, denda dan biaya-biaya lain
sehubungan dengan kredit dan atau perjanjian kredit. Salah satu persyaratan dalam persetujuan
pembayaran dipercepat oleh para kreditur adalah tidak akan mengganggu pembayaran
kewajiban SBM kepada kreditur sindikasi lainnya, sumber pelunasan bukan dari cash flow
SBM dan tidak ada tunggakan kewajiban PT SBM kepada bank peserta sindikasi yang lain,
bunga triwulan III 2004 harus nihil.
Pelunasan dipercepat kepada Bank Niaga dan Bank Danamon dilaksanakan tanggal 10
November 2004 setelah mendapat persetujuan seluruh anggota sindikasi. Dalam masa
pelunasan dipercepat tersebut diketahui bahwa terdapat tunggakan bunga dari bulan September
s.d Desember 2004 kepada seluruh kreditur sebesar Rp23.418,92 juta dan kepada Bank BNI
sebesar Rp8.005,15 juta. Tunggakan tersebut dibayarkan bersamaan dengan pembayaran
kewajiban bunga pada tanggal 29 Desember 2004 sebesar Rp8.006,63 juta. Selisih yang terjadi
tidak diketahui dari dan untuk pembayaran apa. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada saat
pelunasan dipercepat tanggal 10 November 2004 ternyata masih ada tunggakan kewajiban
bunga bulan September yang belum dibayarkan sebagaimana dipersyaratkan, atau dengan kata
lain mengganggu jadwal pembayaran kewajiban kepada kreditur sindikasi lain.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Kelebihan pembiayaan PEF kepada PT SBM sebesar 15% dari seharusnya, sehingga risiko
Bank BNI lebih besar.
b. Tertundanya pembayaran kewajiban bulan September 2004 s.d Nopember 2004 sebesar
Rp17.482,71 juta.
Hal tersebut terjadi karena:
a. Pengelolaan kredit PT SBM belum sepenuhnya mematuhi ketentuan yang ditetapkan
b. Adanya keputusan seluruh anggota sindikasi yang memberikan persetujuan pembayaran
dipercepat kepada Bank Niaga dan Bank Danamon dalam keadaan PT SBM mempunyai
89

tunggakan bunga kepada anggota sindikasi lainnya yang bertentangan dengan akta No.65
tanggal 30 September 2002
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Untuk yang akan datang dalam menghitung besarnya disposisi PEF, akan berpedoman pada
ketentuan yang berlaku cfm BPP Buku III A Bab III Sub Bab I Sub sub bab 01. Rencana
kunjungan (OTS) kreditur sindikasi ke pabrik semen PT SBM bulan Oktober 2004 dibatalkan.
Dalam rangka monitoring fasilitas bilateral Bank BNI, OTS baru dilaksanakan bulan Maret
2005 karena pertimbangan kondisi cuaca musim hujan. Untuk selanjutnya OTS akan dilakukan
minimal 1 (satu) kali setiap semester.
b. Pelunasan dipercepat kepada Bank Danamon dan Bank Niaga tanggal 10 November 2004
diluar kontrol Bank BNI. Setoran pelunasan dilakukan langsung oleh PT SBM kepada kedua
bank tersebut, dan sesuai penjelasan dari Direktur Keuangan PT SBM bahwa sumber dana
pelunasan tidak berasal dari cash flow PT SBM tetapi berasal dari perusahaan group lainnya.
BPK – RI menyarankan agar dalam menghitung fasilitas PEF Pemimpin Divisi Kredit
Korporasi meminta pengelola kredit mematuhi dan menerapkan ketentuan intern Bank BNI yaitu
maksimum 65% dari nilai pembiayaan barang yang di ekspor. Selain itu, pelaksanaan kunjungan
setempat agar dilakukan secara rutin enam bulan sekali atau disesuaikan dengan kolektibilitas
kreditnya.
12. Pemberian kredit kepada PT Segoro Fajar Satryo (PT SFS) sebesar US$23,640.00 ribu
beresiko tinggi
PT Segoro Fajar Satryo (PT SFS) didirikan tanggal 17 Mei 1994 dan beroperasi secara
komersial sejak bulan April 1996. PT SFS termasuk ke dalam Insani Fajar Senatama grup yang
bergerak dalam bidang jasa bongkar muat petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok. Pemegang
saham PT SFS sesuai Akta No. 65 tanggal 24 Pebruari 2003 antara lain Isfan Fajar Satryo Try
Sutrisno, dengan pemilikan sebesar 40% dari nilai saham sebesar Rp100.000,00 juta. Di dalam
susunan pengurus PT SFS Honggo Purnomo Joseph adalah Komut dan Isfan Fajar Satryo Try
Sutrisno sebagai Dirut perusahaan.
Usaha PT SFS (pihak II) berdasarkan surat Perjanjian Persewaan No.566/3/7/PI.II-95,
tanggal 8 Mei 1995 (dokumen ini tidak pernah ditemukan selama pemeriksaan) adalah
menyewakan peralatan bongkar muat peti kemas, yaitu 2 unit Harbour Mobile Crane Merk
Gottwald Type HMK 170-E dan 2 Unit Type HMK 260-E kepada PT Pelindo II (Pihak I) dengan
jangka waktu 5 tahun. Pihak I akan mengoperasikan peralatan yang disediakan serta menerima
pembayaran dari pengguna jasa dan kemudian membayar sewa kepada pihak II berdasarkan
jumlah/frekuensi bongkar muat per peti kemas. PT Pelindo II mempunyai wewenang atas
pengelolaan pelabuhan/dermaga Tanjung Priok, sedangkan pembeli/pengguna jasa adalah para
importir/eksportir atau kapal-kapal yang bongkar muat melalui Unit Terminal Peti Kemas (UPTK)
Tanjung Priok.
Perjanjian persewaan No.566/3/7/PI.II-95, tanggal 8 Mei 1995 pasal 6 dan 11 menetapkan
bahwa PT Pelindo II/Principal menjamin volume minimal bongkar muat (Container Troughtput)
yaitu 60.000 boxes per Crane per tahun atau total 240.000 boxes per tahun untuk empat unit crane.
Apabila volume bongkar muat kurang tercapai maka PT Pelindo/Principal dikenakan sanksi
90

sebesar 75% X US$44.00 per box, dan sebaliknya jika PT SFS tidak mencapai produktivitas, juga
akan dikenakan sanksi sebesar 75% dari kekurangan produktivitas..
PT SFS memperoleh fasilitas kredit sejak bulan Juli 1996. Fasilitas kredit PT SFS posisi
28 Oktober 2004 dinyatakan hapus buku sesuai surat Divisi Kredit Khusus No.KKS/1/522
tanggal 28 Oktober 2004, dengan hutang pokok Rp94.636,57 juta dan tunggakan bunga
Rp10.119,21 juta, sehingga menjadi sebesar Rp104.755,78 juta. Sedangkan nilai jaminan yang
diserahkan menurut penilaian terakhir oleh PT Anima Krida Usaha per tanggal 28 Juni 2004
adalah sebesar US$4,091.19 ribu eq. Rp38.457,23 juta. Jika dibandingkan dengan outstanding
sebesar Rp104.755.79 juta maka jaminan hanya mengcover kurang lebih 36,71% dari outstanding
kredit. Jaminan tersebut akhirnya dijual kepada Portek Systems & Equipment Pte Ltd Singapura
sebesar US$1,500.00 ribu atau hanya 36,66% dari nilai taksasi jaminan.
Hasil pemeriksaan dokumen kredit PT SFS diketahui hal-hal sebagai berikut :
a. Kredit Investasi diberikan kepada PT SFS berisiko tinggi
Dalam MPK No.KPI/7/035 tanggal 22 Mei 1996 diketahui bahwa PT SFS mengajukan
permohonan kredit dengan surat No.221/SFS/-IFS/IV/96 tanggal 25 April 1996 sebesar
US$22,800.00 ribu untuk pembelian 4 unit Mobile Harbour Crane dan 4 Unit Reach Stacker
yang telah dibeli/diimpor lebih dulu dengan fasilitas Usance L/C dari Bank Niaga. Dari MPK
tersebut diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Perusahaan bergerak di bidang jasa penyewaan peralatan bongkar muat peti kemas sesuai
perjanjian persewaan dengan PT Pelindo II No.566/3/7/PI.II-95, tanggal 8 Mei 1995
dengan jangka waktu 5 tahun. Jadi resiko kelangsungan usaha sangat bergantung pada
hubungan kerja sama dengan pihak Pelindo II.
2) Pengurus perusahaan baru pertama kali menjalin hubungan dengan Bank BNI sehingga
belum diketahui integritas, loyalitas, reputasi dan performancenya dalam dunia bisnis.
3) Perusahaan baru berproduksi pada bulan April 1996 yaitu sejak dioperasikannya 2 unit
Harbour Crane dan 2 unit Reach Staker. Jadi perusahaan relatif masih baru sehingga belum
diketahui laba/rugi.
4) Kondisi keuangan dari Neraca Home Statement per 31/12/1995 dan 30/4/1996
menunjukkan CR masing-masing sebesar 0,11 kali dan 0,08 kali sedangkan DER masingmasing
sebesar 72,26 kali dan 119,59 kali belum memenuhi ketentuan bank BNI, yaitu CR
minimal sebesar 1,20 kali dan DER maksimal sebesar 2,50 kali.
5) Jaminan lemah karena hanya terdiri dari peralatan yang dibiayai, yaitu total CEV sebesar
76,81% terdiri dari CEV Controlled 67,96% dan CEV Uncontrolled 8,85% belum
memenuhi standar Bank BNI yaitu CEV jaminan yang harus tersedia 100%.
6) Pengajuan kredit tidak dilengkapi dengan studi kelayakan proyek yang dibuat oleh
konsultan independen.
Untuk lebih menjamin pengembalian kredit yang diberikan, didukung juga dengan :
1) Kesediaan dari pihak pemberi kerja (PT Pelindo II) untuk menyalurkan pembayaran sewa
ke rekening khusus (Escrow Account) di Bank BNI
2) Jaminan pembayaran angsuran KI dari PT Pelindo II, yaitu Surety Bond (garansi bank)
dari PT Jasa Raharja per tahun senilai US$10,560.00 ribu selama 5 tahun sesuai dengan
jangka waktu perjanjian dengan PT Pelindo II.
Permohonan kredit tersebut disetujui dengan surat No.KPI/7/135/R tanggal 4 Juli 1996. Kredit
kemudian didudukkan dalam PK No.182 tanggal 18 Juli 1996 sebesar Rp42.780,00 juta eq.
91

US$18,278.91 ribu. Kredit tersebut ditujukan untuk pembiayaan proyek jasa bongkar muat peti
kemas di Tanjung Priok dengan nilai sebesar US$30,464.85 ribu. Proyek didanai dengan share
modal sendiri US$12,185.94 ribu (40%) dan dana Bank US$18,278.91 ribu (60%). Jangka
waktu selama 4 tahun sampai dengan tanggal 26 September 2000 tanpa grace period. Dengan
surat No.KPI/7/1046/R tanggal 15 Oktober 1996 fasilitas KI disetujui untuk dialihkan menjadi
KI valas maksimum US$18,439.66 ribu. Pertimbangannya adalah mesin/peralatan yang
dibiayai semuanya dari impor, sedangkan penghasilan dalam bentuk Dollar. Selanjutnya dari
MPK No.KPI/7/102 tanggal 11 Desember 1996 diketahui bahwa debitur mengajukan
permohonan tambahan KI sebesar US$5,200.44 ribu dengan surat No.341/SFS/XI/96 tanggal
19 Nopember 1996. Permohonan tersebut disetujui dengan surat No.KPI/7/278/R tanggal 23
Desember 1996 sebesar US$5,200.34, sehingga seluruh kredit menjadi US$23,640.00 ribu
yang selanjutnya didudukkan dalam PK No.96/213 tanggal 24 Desember 1996. Jangka waktu
sesuai fasilitas berjalan untuk pembiayaan proyek jasa bongkar muat peti kemas di Tanjung
Priok dengan project cost sebesar US$39,400.00 ribu, share modal sendiri US$15,760.00
(40%) dan dana Bank US$23,640.00 (60%).
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1) Project cost jasa bongkar muat peti kemas pada persetujuan KI pertama sebesar
US$30,464.85 ribu, selanjutnya bertambah menjadi sebesar US$39,400.00 ribu atau naik
sebesar US$8,935.15. Perubahan project cost tersebut tidak berdasarkan studi kelayakan
menunjukkan bahwa kewajaran biaya proyek jasa bongkar muat peti kemas di Tanjung
Priok diragukan.
2) Kelangsungan usaha PT SFS sangat tergantung pada jasa persewaan dengan
PT Pelindo II, sehingga berisiko tinggi apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi
atau terjadi penghentian kerjasama oleh pihak PT Pelindo II.
3) Pengurus perusahaan baru pertama kali menjalin hubungan dengan Bank BNI.
4) Ratio keuangan CR dan DER jauh dibawah persyaratan, demikian juga jaminan masih
kurang 23,19%, sehingga belum memenuhi standar Bank BNI
b. Hasil klaim asuransi tidak mencukupi untuk menyelesaikan fasilitas bridging loan
sebesar US$1,000.00 ribu
Dalam MPK No.KPI/2/049 tanggal 6 September 2001 diketahui PT SFS dengan surat
No. No.07/FA/SFS/VII/01 tanggal 6 Juli 2001 mengajukan permohonan kredit sebesar
US$1,000.00 ribu yang sifatnya bridging loan atas klaim asuransi yang sedang diajukan ke
PT Asuransi Tripakarta sebesar US$1,268.40 ribu, yang akan digunakan untuk biaya overhaul
dan relokasi HB Crane dan Reach staker dari Dermaga UTPK I ke Dermaga 300 yang
memerlukan biaya sebesar US$2,250.00 ribu. Dalam permohonan tersebut diketahui hal-hal
sebagai berikut:
1) Perjanjian Persewaan dengan PT JICT (pengganti PT Pelindo II) telah berakhir tanggal 23
Agustus 2001 dan tidak diperpanjang. Selanjutnya PT SFS telah memenangkan tender
kerjasama pengoperasian Dermaga 300, lapangan penumpukan 214 dan 300 Pelabuhan
Tanjung Priok cfm. SK Direksi Pelindo II No.PR.100/6/6/PI.II-01 tanggal 24 Juli 2001,
yang kontrak kerjasamanya akan segera ditandatangani.
2) Kondisi keuangan PT SFS kurang baik, volume penjualan menurun walaupun kewajiban
bunga tetap dapat diselesaikan. Sedangkan pembayaran angsuran pokok tidak terpenuhi
92

sesuai jadwal sehingga pinjaman debitur direschedulling pada tanggal 31 Maret 1999
dengan jangka waktu kredit menjadi sampai dengan 31 Desember 2003.
3) Berdasarkan proyeksi keuangan lima tahun, debitur akan mengalami defisit dari hasil
operasi pada tahun pertama tetapi diharapkan dapat ditutup dari klaim asuransi.
Dari Memorandum Unit Analisa Resiko Kredit No.ARK/4/054 tanggal 20 Juli 2001 berkenaan
dengan permohonan tambahan kredit tersebut diketahui bahwa:
1) Tambahan kredit kepada PT SFS tidak memenuhi ketentuan expansi sesuai dengan CPC
No.67 tanggal 3 Maret 2000, yaitu Mapping Traffic Light sektor usaha debitur termasuk
kategori ‘Red’ dengan Space Available negative sebesar Rp71.512,00 juta dan rasio CR
dan DER tidak memenuhi ketentuan.
2) CRR PT SFS termasuk kategori 6 atau dinilai mempunyai resiko yang cukup tinggi.
3) Pemberian kredit kepada PT SFS mempunyai resiko yang cukup tinggi dari sisi first way
outnya, mengingat aktivitas usaha debitur sangat dipengaruhi pihak eksternal, misalnya
perubahan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan pelabuhan dan adanya asumsi-asumsi
yang menyimpang dari perkiraan.
4) Belum ada pernyataan dari PT Asuransi Tri Pakarta mengenai klaim asuransi, sehingga
cover note klaim asuransi untuk fasilitas bridging loan belum dapat dipastikan.
Permohonan kredit debitur dapat dipertimbangkan sepanjang:
1) Dimintakan izin Divisi PAR atas pembiayaan sektor dimaksud dan exception atas
penyimpangan ratio keuangan CR dan DER.
2) Diperlukan kepastian cover note dari pihak asuransi atas klaim yang akan dibayarkan
langsung untuk melunaskan bridging loan.
3) Verifikasi RM atas kewajaran cost relokasi PT SFS senilai US$2,250.00 ribu.
Dari hasil Radisi tanggal 11 September 2001 diketahui bahwa Direksi menyokong
pemberian bridging loan ini dengan perbandingan satu Direksi tidak setuju dan lima Direksi
setuju dan dengan beberapa catatan yaitu tersedia Personal guarantee; cash defisiensi dari
rencana cash flow ditanggung debitur; hasil klaim bankers clause untuk menurunkan
outstanding pinjaman dan perjanjian yang baru agar diverifikasi. Permohonan kredit tersebut
akhirnya disetujui dengan surat No.KPI/2/124/R tanggal 13 September 2001. Untuk tambahan
KI didudukkan dalam PK No.14 tanggal 19 September 2001 sebesar US$1,000.00 ribu dengan
jangka waktu 1 tahun 3 bulan atau s.d. 31 Desember 2002. Sedangkan perpanjangan KI
didudukkan dalam PK No.13 tanggal 19 September 2001 sebesar US$11,300.00 ribu
(outstanding per tanggal 11 September 2001) dengan jangka waktu s.d. 31 Desember 2004.
Selanjutnya dari Memorandum Divisi Korporasi (tanpa no dan tgl) kepada Direktur
Korporasi diketahui bahwa hasil klaim asuransi hanya disetujui sebesar US$474.68 ribu
cfm.factnya No.278 tanggal 31 Januari 2002
c. Klaim Surety Bond sebagai jaminan kredit sebesar US$10,560.00 tidak dipenuhi oleh PT
Asuransi Jasa Raharja Putera (PT AJP)
Kredit yang diberikan kepada PT SFS dijamin dengan Surety Bond dari PT AJP
sebesar US$10,560.00 ribu dengan jangka waktu s.d. tanggal 14 Agustus 2001. PT Pelindo II
sebagai penyewa disebut Principal dan PT AJP sebagai penjamin disebut Surety,
bertanggungjawab dan dengan tegas terikat kepada PT SFS sebagai pemilik barang yang
disebut Obligee. Karena barang tersebut dibiayai oleh Bank BNI maka hak atas jaminan ini
diserahkan kepada Bank BNI sebagai Kontra Garansi atas kredit yang diterima PT SFS
93

tersebut. Bank BNI dengan surat No.KPI/9/202/R tanggal 29 Januari 2001 telah mengajukan
tuntutan pembayaran kepada PT AJP atas Surety Bond karena PT SFS wanprestasi terhadap
ketentuan Pasal 5 PK yaitu mengenai pembayaran angsuran KI yang dijamin dengan Surety
Bond. Wanprestasi kepada Bank BNI terjadi karena tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran
sewa oleh PT Pelindo II. Pengajuan tuntutan ini tidak mendapat tanggapan, sehingga diajukan
lagi dengan surat No.KPI/9/520/R tanggal 14 Maret 2001 dengan penekanan apabila tidak
segera diselesaikan akan ditempuh melalui jalur hukum. Divisi Hukum dengan memo
No.Huk/2/1248 tanggal 15 Juni 2001 menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1) Perjanjian persewaan antara PT SFS dengan PT Pelindo II No. No.566/3/7/PI.II-95 tanggal
8 Mei 1995 telah diaddendum pada tanggal 16 April 2001. Addendum tersebut
menyangkut perubahan pihak dimana PT JICT sebagai pihak yang menggantikan
kedudukan PT Pelindo II, dan perubahan jangka waktu perjanjian sampai dengan 23
Agustus 2001. Oleh karena itu Divisi Hukum berpendapat sebaiknya pada saat itu juga
diikuti dengan perubahan Surety Bond.
2) Dalam hal PT Pelindo II/PTJICT wanprestasi terhadap kewajibannya maka PT SFS harus
terlebih dahulu mengajukan klaim kepada PT Pelindo II/PT JICT dan apabila klaim
tersebut tidak dipenuhi maka PT SFS yang dalam hal ini diwakili Bank BNI mengajukan
klaim kepada PT AJP selaku penjamin.
Berkaitan dengan butir 2) tersebut Bank BNI dengan surat No.KPI/9/2021/R tanggal 13
September 2001 kepada PT AJP menjelaskan bahwa PT SFS telah mengajukan klaim atas
kekurangan pembayaran sewa (throughput) baik secara langsung maupun melalui kuasa
hukumnya namun belum ada realisasi pembayarannya. Sebagai akibat tidak dipenuhinya
pembayaran oleh PT JICT tersebut pihak Bank BNI mengajukan klaim atas surety bond
kepada PT AJP yang harus dibayar selambat-lambatnya tanggal 14 September 2001.
Selanjutnya Divisi Hukum menegaskan dalam memo No.Huk/2/1555 tanggal 16 Oktober 2001
bahwa terdapat kelemahan Bank BNI dalam mengajukan gugatan kepada PT AJP mengingat
pihak yang dijamin oleh PT AJP adalah PT Pelindo II. Hal tersebut diketahui dari surat
jawaban PT AJP bahwa yang bersangkutan hanya berhubungan dengan PT Pelindo II selaku
Principal. Sehingga untuk menyelamatkan hak-hak Bank BNI perlu menunjuk Lawyer yang
mempunyai kemampuan dibidang litigasi. Dipihak lain sambil menunggu perkembangan klaim
surety bond tersebut, PT SFS telah menyerahkan permasalahan klaim/tuntutan atas kekurangan
pembayaran sewa kepada PT JICT kepada Kantor Advokat dan Pengacara SIA Danuningrat,
SH & Associates. Dengan surat No.003/SIAD/VIII/01 tanggal 28 Agustus 2001, kantor
pengacara tersebut mengajukan somasi tagihan kepada Dirut PT JICT atas kerugian sebagai
akibat tidak dipenuhinya ketentuan pasal 6 (1) F Perjanjian Persewaan HK 566/3/7/PI.II-95.
Jumlah tagihan kerugian dalam kurun waktu April 1999 s/d 23 Agustus 2001 sebesar
US$10,153.07 ribu. Somasi kedua dengan surat No.005/SIAD/IX/01 tanggal 7 September
2001 yang menyatakan bahwa jumlah tagihan kerugian dalam kurun waktu April 1999 s/d 7
September 2001 menjadi sebesar US$10,184.09 ribu. Akibat tidak dipenuhinya klaim tersebut
PT SFS mengajukan gugatan wanprestasi kepada pihak II (PT JICT) pada Pengadilan Negeri
Jakarta Utara pada tanggal 28 September 2001. Di sisi lain pihak II juga telah mengajukan
gugatan wanprestasi kepada pihak I (PT SFS) pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 19
Desember 2001. Terhadap kedua gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah
mengeluarkan keputusannya tanggal 22 April 2002 dan pihak II telah mengajukan banding di
94

Pengadilan Tinggi pada tanggal 3 Mei 2002. Keputusan Pengadilan
No.233/Pdt/G/2001/PN.Jkt.Ut tanggal 13 Mei 2002 menyatakan pihak PT JICT ingkar janji
(wanprestasi) sehingga pengadilan menghukum untuk membayar klaim sebesar US$9,726.35
ribu. Berdasarkan hal-hal tersebut para pihak tersebut akhirnya bermaksud menghentikan,
mengakhiri dan menyelesaikan perkara melalui penyelesaian di luar pengadilan dengan
menandatangani Akta Perjanjian Perdamaian (Dading) No. 1 tanggal 4 Juli 2002 dimana pihak
ke II akan membayar kepada pihak I sebesar US$6,000.00 ribu.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) Klaim surety bond sebesar US$10,560.00 akhirnya tidak dipenuhi oleh PT AJP, karena
pada saat addendum perjanjian persewaan dibuat tanggal 16 April 2001 tidak diikuti
dengan perubahan Surety Bond menyangkut pihak PT JICT selaku principal sebagai pihak
yang menggantikan kedudukan PT Pelindo II.
2) Hasil klaim PT SFS kepada PT JICT hanya terpenuhi sebesar US$6,000.00 ribu.
d. Kredit PT SFS telah dihapus buku, hasil penjualan jaminan dan klaim asuransi hanya
mengcover kredit 24,15%
Dari Memorandum Analisa Penyelamatan dan Memorandum Penetapan Strategi
No.27 tanggal 28 Juli 2004 diketahui bahwa PT Multi Terminal Indonesia (PT MTI) anak
perusahaan PT Pelindo II memutus secara sepihak kerjasama pengoperasian Dermaga 300
Pelabuhan Tanjung Priok sesuai Perjanjian HK.566/12/13/C.Tpk-01 tanggal 3 Oktober 2001.
PT SFS telah menunggak kewajiban kepada PT MTI sebesar Rp86.000,00 juta karena tidak
tercapainya target fee kerjasama. Target fee tersebut tidak tercapai karena PT SFS terlalu
optimis dalam menetapkan target saat tender untuk memenangkan pengoperasian dermaga 300
Tanjung Priok. Dalam Formulir Kunjungan Setempat tanggal 6 Juli 2004 diketahui Sdr. Hadi
Harjono (General Manajer Operasional di lapangan) menjelaskan bahwa PT SFS tidak dapat
memenuhi target karena penetapan target untuk memenangkan tender pengelolaan jasa
pengangkutan peti kemas terlalu optimis yaitu selama lima tahun jasa yang disetor ke PT MTI
sebesar Rp250.000,00 juta, padahal target yang wajar adalah Rp150.000,00 juta. Kondisi ini
dapat dilihat dari pemenang tender ke II (PT Koja) yang hanya menawar Rp138.000,00 juta.
Dengan adanya pemutusan kontrak tersebut PT SFS sudah tidak memiliki usaha lagi, sehingga
diupayakan untuk menjual jaminan, karena jaminan berupa alat/mesin pemindah peti kemas
(Harbour Mobile Crane dan Reach Staker), sebagian dalam kondisi rusak. Nilai likuidasi
jaminan tanggal 28 Juni 2004 oleh konsultan PT Anima Krida Usaha adalah sebesar
Rp38.457,23 juta yang nilainya akan terus menyusut.
Terhadap kredit yang diberikan, PT SFS dengan surat No.209/SFS/Dir/X/04 tanggal
21 Oktober 2004 meminta penyelesaian kredit dengan permohonan haircut, hasil penjualan
jaminan dan pembayaran klaim asuransi. Disposisi Direktur MR terhadap permohonan
tersebut dalam memo No.KKS/3/74 tanggal 29 Oktober 2004 menyetujui hal-hal sebagai
berikut:
1) Penjualan agunan dan setoran hasil klaim asuransi untuk mengangsur hutang pokok
(setoran cash US$ 2,500.00 ribu).
2) Diskon bunga diberikan sebesar US$1,107.14 ribu dan tidak ada diskon pokok.
3) Sisa pokok kredit diangsur dari sumber dana group dan dikenakan bunga 1%/tahun.
4) Bila menunggak selama 3 kali berturut-turut, diskon bunga dibatalkan.
95

Permohonan disetujui dengan surat No.KKS/3/1107/R tanggal 12 Nopember 2004 dan
didudukkan dalam Perjanjian Penyelesaian Hutang dibawah tangan No.19/KKS/PPH/2004
tanggal 9 Desember 2004 sebesar US$10,354.11 ribu, jangka waktu s.d. Desember 2014
dengan sumber pembayaran dari penjualan jaminan US$1,500.00 ribu, klaim asuransi
US$1,000.00 ribu dan angsuran selama 10 tahun (mulai Tw IV 2005 sd Tw IV 2014) sebesar
US$7,854.11 ribu.
PT SFS dinyatakan telah Hapus Buku oleh Divisi Kredit Khusus dengan surat
No.KKS/1/522 tanggal 28 Oktober 2004. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penjualan jaminan dan klaim asuransi seluruhnya sebesar US$2,500.00 ribu digunakan untuk
menurunkan outastanding kredit sebesar US$10,354.11 atau hanya mengcover 24,15% dari
outstanding kredit, sedangkan sisa kredit sebesar US$7,854.11 harus dilunasi sampai dengan
triwulan IV tahun 2014.
Kondisi tersebut belum sesuai dengan ketentuan sebagai berikut :
a. BPP Buku I Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 08 Point 08.2.a Pembuatan Feasibility Study (FS)
oleh konsultan diwajibkan bagi kredit Investasi dengan maksimum sebesar Rp5 Milyar ke atas.
b. Buku I Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 10 point 10.14, Bank dilarang memberikan kredit baru
dan/atau tambahan kredit terhadap proyek/obyek pembiayaan yang sector/sub sector
ekonominya pada kategori traffic light “pale red” dan/ atau “red”
c. Buku I Bab I Sub Bab G Sub Sub Bab 05 point 05 tentang CR dan DER.
d. Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 point 5 tentang minimum CEV jaminan.
e. Buku I Bab I Sub Bab I Sub Sub Bab 01 Point 01, Kebutuhan keuangan nasabah harus
dihitung oleh Analis Kredit untuk menentukan jenis, maksimum dan sifat fasilitas kredit,
kecukupan jaminan/agunan dan syarat-syarat kredit lainnya yang tepat untuk debitur. Jenis,
jumlah, sifat dan jangka waktu fasilitas kredit harus ditetapkan sesuai dengan kebutuhan
pembiayaan debitur.
Hal tersebut mengakibatkan dana yang telah dikucurkan sebagai kredit kepada PT SFS
dengan pokok kredit sebesar Rp94.636,57 juta tertanam menjadi kredit macet, sehingga Bank BNI
menderita kerugian karena harus membentuk PPAP 100%.
Masalah tersebut terjadi karena Pejabat Bank BNI belum sepenuhnya menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam pemberian kredit kepada PT SFS.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Dalam memberikan kredit kepada PT SFS, pada saat itu Bank BNI mempunyai keyakinan atas
kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya, dengan alasan:
1) Aktivitas usaha PT. SFS dalam jasa bongkar muat saat itu mempunyai prospek yang cukup
baik karena adanya perjanjian kerjasama dengan Pelindo II yang merupakan pembeli jasa
PT SFS satu-satunya (monopoli) dan captive market.
2) Jangka waktu fasilitas yang diberikan oleh Bank BNI lebih cepat (4 tahun) dari perjanjian
antara PT SFS dengan Pelindo II (5 tahun).
96

3) Untuk menjamin monitoring pembayaran kepada Bank, hasil tagihan PT. SFS kepada
Pelindo disalurkan melalui rekening escrow di Bank BNI
Pada awalnya tidak ada feasibility study karena pada pemberian kredit pertama kali (take over)
kepada PT SFS didukung adanya Surety Bond dari Pelindo II. Dalam perkembangannya, Bank
BNI telah melakukan feasibility study pada bulan Agustus 2001 yaitu pada saat akan
direlokasi ke Dermaga 300, cfm Perjanjian dengan JICT tanggal 03-10-2001. Untuk
selanjutnya permasalahan tsb menjadi perhatian kami. Pada saat kredit pertama kali diberikan
(Mei 1996), syarat covenant risiko keuangan tidak dipenuhi sesuai ketentuan karena
perusahaan baru berdiri. Hal tsb. telah dimintakan exception dalam MPK dimana CR dan
DER diproyeksikan tidak/belum dapat terpenuhi s.d. tahun 1998. Tidak terpenuhinya covenant
keuangan tersebut diakibatkan pula oleh adanya perubahan prinsipal dari Pelindo ke JICT serta
adanya kenaikan kurs USD akibat krisis moneter.
b. Sumber pelunasan berupa hasil klaim asuransi telah dikonfirmasikan kepada pihak asuradur
namun belum diperoleh kepastian mengenai besarnya ganti rugi karena proses perhitungannya
sedang berlangsung. Namun karena pengalaman sebelumnya kepastian hasil klaim bisa
diperoleh sesuai yang diajukan maka bridging loan direalisasikan secara bertahap. Untuk
selanjutnya prasyarat penarikan kredit akan dipedomani sesuai prosedur yang berlaku.
c. Nilai Surety Bond (AJP) sebesar US$10,560.00 ribu merupakan nilai maksimal penjaminan
sedangkan nilai klaim yang diajukan PT SFS sebesar US$7,453.25 ribu. Hasil klaim yang
dibayar sebesar US$6,000.00 ribu (+/- 80,5% dari klaim) adalah hasil upaya maksimal yang
diperoleh dari klaim yang diajukan. Untuk menghindari terulangnya hal serupa, kami akan
meningkatkan pengendalian risiko dengan melaksanakan fungsi pemantauan sebagaimana
mestinya.
d. Upaya penyelesaian kredit hapus buku oleh Bank BNI diharapkan tidak hanya berasal dari
penjualan jaminan dan klaim asuransi saja, tetapi bersumber dari angsuran PT SFS yang sudah
dijadwal selama 10 tahun sehinga total recovery yang diharapkan dapat diperoleh sebesar
91,8% dari kewajiban, yang bersumber dari :
− Penjualan Jaminan : US$1,500.00 ribu (13,1% dari kewajiban HB) (telah direalisir)
− Klaim Asuransi : US$1,000.00 ribu (8,7 % dari kewajiban HB)
− Angsuran (10 th) : US$8,024.63 ribu (70% dari kewajiban HB)
Untuk klaim asuransi masih dalam proses dan telah dimintakan kepada debitur untuk segera
diselesaikan dengan surat No.KKS/4/294/R tgl. 23 Mei 2005, No. KKS/4/320 tgl. 2 Mei 2005
dan No. KKS/4/801/R tgl. 14 Juli 2005.
BPK – RI menyarankan agar :
a. Direksi Bank BNI dan pejabat KPK lainnya dalam menyetujui pemberian kredit kepada calon
debitur yang usahanya telah diidentifikasikan berisiko tinggi lebih mengedepankan prinsip
kehati-hatian. Selain itu, juga harus memastikan apakah persyaratan yang ditetapkan oleh
Bank BNI telah dipenuhi oleh debitur.
b. RM melakukan fungsi pengawasan atas fasilitas kredit yang diberikan kepada debitur dengan
baik agar kesalahan perubahan principal yang dijamin oleh pihak asuransi yang tidak diikuti
dengan perubahan surety bond tidak terulang dikemudian hari.
97

13. Proses restrukturisasi dan pengawasan fasilitas kredit kepada PT Bratatex sebesar
Rp282.075,03 juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
PT Bratatex didirikan pada tanggal 9 April 1974, dengan akta Pendirian dan Anggaran
Dasar Perseroan No.67 yang dibuat dihadapan Notaris Kurniati S.H yang bergerak dalam bidang
industri pertenunan dan perdagangan umum. Susunan pemegang saham PT Bratatex, berdasarkan
Akta RUPSLB No. 30 tanggal 7 Oktober 2002 adalah Ny. Liem Tjoeij Lan, Leo Sudrajat dan Bank
BNI berturut-turut sebesar 33,31%, 13,60% dan 53,09% dari nilai saham sebesar Rp1.065,90 juta.
Pengurus PT Bratatex antara lain Riady Hardjabrata selaku Komut dan Tommy Hardjabrata selaku
Dirut perseroan.
PT Bratatex sebelumnya bernama CV Djaya Makmur yang berdiri sejak tahun 1966 dan
menjadi debitur retail Bank BNI Cabang Bandung sejak tanggal 30 April 1972, kemudian pada
tahun 1990 meningkat menjadi debitur wholesale dengan fasilitas kredit sebesar Rp15.500,00 juta.
PT Bratatex mendapat beberapa tambahan fasilitas kredit dan beberapa kali direstrukturisasi
Restrukturisasi yang terakhir antara lain dengan mengkonversi hapus buku parsial menjadi
Penyertaan Sementara Bank (PSB). Fasilitas PSB yang diberikan kepada PT Bratatex adalah
sebesar Rp152.502,08 juta.
Outstanding fasilitas PT Bratatex per 31 Maret 2005 adalah sebesar Rp270.795,08 juta
(diantaranya sebesar Rp 268.494,06 juta merupakan pokok kredit) dengan kolektibilitas Dalam
Perhatian Khusus (Gol. II). Sedangkan jaminan yang diserahkan per tanggal 22 September 2004
adalah CEV Controlled 100,94% dan Total CEV 128,10%. Jaminan yang insurable telah
diasuransikan pada PT. Asuransi Jasindo yang akan jatuh tempo pada tanggal 3 April 2005 dan
sudah dimintakan perpanjangan.
Hasil pemeriksaan menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a. Tunggakan bunga PT Bratatex didudukkan ke dalam PK
Tunggakan bunga yang didudukkan dalam PK yaitu:
1) Tahun 1992, pendudukan tunggakan bunga sebesar Rp6.135,00 juta ke dalam PK Investasi
No.203 tanggal 22 Desember 1993, dengan tingkat bunga 1%, setelah diperpanjang akan
jatuh tempo tanggal 31 Desember 2010.
2) Tahun 1998, pendudukan seluruh tunggakan bunga s.d. Juli 1998 sebesar US$932.94 ribu
setara dengan Rp10.169,00 juta yang diikat dalam PK KI dan KMK onshore ex
kapitalisasi bunga No.98/244 tanggal 29 September 1998, tingkat bunga 1%, setelah
diperpanjang akan jatuh tempo tanggal 31 Desember 2010.
3) Tahun 1999, pendudukan bunga maksimum US$589.00 ribu yang diikat dalam PK KMK
onshore No.024/DKS/PK/99 tanggal 29 Juni 2001, setelah diperpanjang akan jatuh tempo
pada tanggal 31 Desember 2010.
Praktik plafondering tidak diperkenankan oleh Bank Indonesia melalui SK BI
No.27/162/Kep/Dir tanggal 31 Maret 1995 mengenai Kewajiban Penyusunan Dan Pelaksanaan
Kebijakan Perkreditan Bank Bagi Bank Umum BabVII Butir 700.d yang menyebutkan bahwa
Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah plafond kredit
atau tunggakan-tunggakan bunga dan mengkapitalisasi tunggkan bunga tersebut atau yang
lazim dikenal dengan praktek plafondering kredit. Pelarangan tersebut dimaksudkan untuk
menjaga kepentingan Bank karena jumlah fasilitas yang diberikan bertambah tetapi
98

kemampuan membayar debitur berkurang dan jaminan yang diterima Bank juga tidak
bertambah.
b. Penambahan fasilitas KI sebesar Rp3.600,00 juta dan plafond L/C sebesar US$10,085.00
ribu belum tunduk kepada ketentuan
Pada tahun 1997 PT Bratatex dengan surat No.369/BRT/ACC/XII/96 tanggal 24 Oktober 1996
memohon tambahan fasilitas KI dan L/C. Permohonan tersebut disetujui dan diikat dalam PK
KI No.155 Tanggal 24 Maret 1997 sebesar Rp3.600,00 juta untuk pembiayaan pemasangan
mesin-mesin, pembangunan gedung pabrik dan biaya lain-lain serta PPLC No.156 Tanggal 24
Maret 1997 sebesar US$10,085.00 ribu untuk pembelian mesin-mesin dalam rangka ekspansi
perusahaan, dengan total project cost sebesar Rp34.041,00 juta. Jaminan kedua fasilitas
tersebut adalah jaminan yang telah diserahkan pada BNI, terkait dengan fasilitas sebelumnya.
Dari analisa dokumen tidak diperoleh data-data mengenai kedua fasilitas tersebut. Dari
Audited Report tahun buku 1997 &1996 diketahui CR dan DER PT Bratatex tahun 1996
masing-masing sebesar 1,12 dan -4,64. Besarnya CR dan DER tersebut belum memenuhi
ketentuan BPP Bab I.G.05 yang menyebutkan bahwa untuk industri pengolahan tekstil dan
sandang minimal CR adalah 1,20 kali dan maksimal DER adalah 2,59 kali.
Penambahan fasilitas tersebut akan semakin memberatkan PT Bratatex untuk memenuhi
kewajibannya. Dengan diberikannya tambahan fasilitas KI maka besarnya hutang PT Bratatex
akan meningkat. Naiknya jumlah hutang tanpa diimbangi dengan bertambahnya modal akan
mengakibatkan nilai DER semakin tinggi.
c. Fasilitas PT Bratatex bermasalah dan direstrukturisasi, tetapi mendapat fasilitas
tambahan berupa GB sebesar Rp3.000,00 juta
Selama tahun 1998 PT Bratatex hanya mampu membayar bunga dibawah ketentuan. Selain itu
PT Bratatex juga mempunyai tunggakan bunga yang kemudian didudukkan dalam perjanjian.
Meskipun kemampuan PT Bratatex untuk memenuhi kewajibannya mengalami penurunan
akan tetapi PT Bratatex mengajukan permohonan Garansi Bank (GB) untuk jaminan
pembelian bahan baku sebanyak dua kali, yaitu:
1) Fasilitas GB dengan plafond Rp3.000,00 juta yang diikat dalam PPGB
No.98/KPD/PPGB/006 tanggal 20 Maret 1998. Setelah diperpanjang akan jatuh tempo
pada tanggal 31 Juli 1999.
2) Fasilitas GB dengan plafond Rp3.000,00 juta yang diikat dalam PPGB
No.98/KPD/PPGB/023 tanggal 7 September 1998. Setelah diperpanjang akan jatuh tempo
pada tanggal 6 September 1999.
Setelah fasilitas GB berakhir, PT Bratatex diberikan lagi fasilitas GB dengan plafond
Rp6.000,00 juta dan diikat dalam PPGB No.033/PPGB/DKS/99 tanggal 30 September 1999.
CR PT Bratatex tahun 1996, 1997 dan 1998 berturut-turut sebesar 1,12x, 1,19x dan
0,86x, sedangkan DER sebesar (4,64), (2,73) dan (1,85) belum memenuhi ketentuan:
- BPP Bab I.G.05 yang menyebutkan bahwa untuk industri pengolahan tekstil dan sandang
minimal CR adalah 1,20 kali dan maksimal DR adalah 2,59 kali
- PK sebelumnya, PK No.155 tanggal 24 Maret 1997 Pasl 16 ayat 7 menyebutkan bahwa
Penerima Kredit diwajibkan untuk menjaga posisi keuangan perusahaan, sehingga CR
minimal sebesar 120% dan DER maksimal 259%.
d. Konversi Parsial WO menjadi PSB belum memenuhi ketentuan BI
99

Pada tanggal 25 September 2002 melalui CF SKK No. DKS/2/102/R, fasilitas
PT Bratatex kembali di restrukturisasi, antara lain dengan skim konversi atas fasilitas yang di
hapus buku menjadi Penyertaan Sementara Bank (PSB) sebesar Rp127.101,52 juta.
Skim restrukturisasi PT Bratatex dengan cara merubah parsial WO menjadi PSB tidak
sesuai dengan ketentuan SK Direksi BI No.31/150/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 pasal
2 yang menyebutkan bahwa restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur yang
masih memiliki prospek usaha yang baik, dan telah atau diperkirakan akan mengalami
kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit. Selain itu, konversi parsial WO menjadi
PSB juga bertentangan dengan BPP Bab IV Sub Bab G Sub Sub Bab 06 butir 4.b mengenai
kualitas kredit. Aturan tersebut menyatakan bahwa yang dapat dikonversi menjadi PSB adalah
1) Kurang Lancar (sub standard), 2) Diragukan (Doubtful), 3) Macet (Loss). WO tidak
termasuk dari ketiga golongan tersebut.
e. PT Bratatex tidak memenuhi setoran sinking fund yang telah ditentukan
DKS kembali merestrukturisasi fasilitas PT Bratatex dengan surat No.DKS/2/113/R
tanggal 7 Oktober 2002 sehingga PSB menjadi sebesar Rp152.502,08 juta. PSB dituangkan
dalam Perjanjian Penyertaan Modal Sementara (PPMS) No.29 tanggal 7 Oktober 2002. Dalam
PPMS pasal 2 ayat 8 disebutkan bahwa PT Bratatex wajib menyetorkan cash surplus yang
timbul setiap akhir triwulan secara prorata kepada Bank sebagai pembayaran sinking fund
yang digunakan untuk keperluan divestasi saham Bank. Jumlah sinking fund yang harus
dipenuhi oleh PT Bratatex s.d. tahun 2004 adalah sebesar Rp27.000,00 juta, dari jadwal
penyetoran s.d. tahun 2007 sebesar Rp127.102,00 juta. Namun demikian realisasi penyetoran
sinking fund PT Bratatex s.d. Agustus 2004 hanya Rp350,00 juta. Oleh karena kemampuan
membayar PT Bratatex menurun maka perjanjian di atas diubah, dan kemudian dituangkan
dalam Persetujuan Perubahan Perjanjian Penyertaan Modal Sementara (PPPPMS) No.(1)29
tanggal 22 Desember 2004, sehingga jadwal penyetoran sinking fund tahun 2004 s.d. 2007
berturut-turut sebesar Rp7.000,00 juta, Rp40.000,00 juta, Rp40.000,00 juta dan Rp40.102,00
juta, atau seluruhnya sebesar Rp127.102,00 juta. Meskipun telah dilakukan perubahan
besarnya setoran akan tetapi PT Bratatex sampai dengan pemeriksaan tanggal 28 Juni 2005
tidak menambah setoran sinking fund.
f. Sebagian jaminan PT Bratatex belum diikat secara sempurna
Dari rincian jaminan tanah PT Bratatex diketahui bahwa 6 bidang tanah SHM
No.1657, No.1661, No.1682, No.01935, No.01936 dan No.482 belum diikat dengan Akta
Pengikatan Hak Tanggungan (APHT) atau Hipotik.
BPP Bab I.J.05 mengenai pengikatan jaminan butir 2 menyebutkan bahwa terhadap
jaminan berupa barang tidak bergerak dalam bentuk tanah bersertifikat Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak pakai atas tanah negara, pengikatannya dilakukan dengan
Hak tanggungan. Peraturan tersebut merupakan salah satu pelaksanaan dari Undang-Undang
No.4 tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan. Selain itu juga diketahui bahwa seluruh tanah
yang dijaminkan belum atas nama perusahaan. Hal tersebut tidak sesuai dengan UU No 1
Tahun 1995 mengenai Perseroan Terbatas pasal 27 yang menyebutkan bahwa Tanah dan
Bangunan menjadi milik perusahaan dan konsekwensi yuridis harus dibalik nama menjadi
nama perusahaan. Sampai dengan pemeriksaan tanggal 28 Juni 2005, 6 bidang tanah SHM
belum diikat dengan APHT dan belum dibalik nama.
100

g. Penyampaian Audit Report belum sesuai ketentuan
Dalam BPP Bab I.A.06 ditentukan bahwa penyampaian audit report diwajibkan bagi
debitur yang memperoleh kredit maksimum di atas Rp5 Milyar. Penyampaian audit report bagi
Badan Usaha Swasta Nasional (BUSN) selambat-lambatnya 6 bulan setelah penutupan tahun
buku. Tanggal penandatanganan Audited Report adalah tanggal penyelesaian pelaksanaan field
audit.
Dari pemeriksaan dokumen diketahui bahwa tanggal penandatanganan Audited report
adalah sebagai berikut:
(dalam juta Rupiah)
No. Tahun Tanggal Penyelesaian Keterlambatan Penalty
1. 2000 20 Juli 2001 20 hari 46,20
2. 2001 9 Agustus 2003 406 hari 397,65
3. 2002 9 Agustus 2003 41 hari 35,02
4. 2003 6 Desember 2004 180 hari 146,43
Total 625,30
Tanggal penyelesaian tersebut menunjukkan keterlambatan, sehingga tanggal penyerahan
secara otomatis juga ikut terlambat. Penalty tersebut diatur lebih lanjut dalam BPP Buku I Bab
I Sub Bab A Sub Sub Bab 06 point 2.d.1) yang menyatakan bahwa keterlambatan
penyampaian laporan audit dikenakan penalty sebesar 0,25% per tahun dari maksimum kredit
dan diperhitungkan secara proporsional sesuai dengan lamanya keterlambatan.
Setelah dikonfirmasi kepada pengelola PT Bratatex diketahui bahwa BNI belum menerima
pembayaran penalty atas keterlambatan tersebut.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Pokok kredit yang diberikan kepada PT Bratatex sebesar Rp268.494,06 juta berpotensi
menjadi kredit bermasalah.
b. Jaminan PT Bratatex akan menimbulkan masalah apabila terjadi eksekusi jaminan.
c. Bank BNI kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan dari penalty keterlambatan Audited
Report sebesar Rp625,30 juta
d. Bank BNI menanggung kerugian sebesar US$15,504.00 ribu dan Rp31.363,00 juta seluruhnya
berjumlah Rp127.101,52 juta atas fasilitas kredit yang dihapus buku karena telah dibebankan
sebagai biaya PPAP 100%.
Hal tersebut terjadi karena Pengelola Kredit PT Bratatex belum sepenuhnya melaksanakan
ketentuan dan kurang melakukan upaya untuk memperoleh hak-hak Bank BNI.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Kami sependapat bahwa pendudukan tunggakan bunga dalam PK sesuai ketentuan BI tidak
diperbolehkan. Pendudukan tunggakan bunga dalam PK oleh BNI, merupakan upaya
restrukturisasi. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai pemberian/pendudukan pokok kredit yang
baru, melainkan didasarkan pertimbangan meskipun tunggakan bunga didudukkan dalam PK,
tetapi belum dicatat sebagai pendapatan bunga. Tunggakan bunga yang didudukkan dalam PK
tidak diberlakukan sebagai pokok kredit. Untuk selanjutnya restrukturisasi tunggakan bunga
101

tidak didudukkan dalam PK tetapi akan dibuat format Perjanjian Penyelesaian Hutang ex
Tunggakan Bunga.
b. CR dan DER belum memenuhi persyaratan tetapi telah mendapat persetujuan KPK.
c. Tambahan fasilitas GB sehingga menjadi maksimum Rp6.000,00 juta merupakan pengalihan
persetujuan tambahan kredit menjadi GB. (telah disetujui tambahan fasilitas KMK tetapi
belum direalisir/belum didudukkan dalam PK). CR telah memenuhi ketentuan dengan
toleransi kurang dari 40% sedangkan DER belum memenuhi persyaratan, untuk selanjutnya
akan menjadi perhatian kami.
d. Kami sependapat dengan permasalahan yang ada dan untuk selanjutnya akan menjadi
perhatian kami.
e. Sampai saat ini kondisi usaha dan kreditnya belum menunjukkan perbaikan. Dari laporan
keuangan debitur terlihat bahwa PT Bratatex masih merugi dan kesulitan likuiditas sehingga
belum dapat memenuhi setoran sinking fund. Debitur mengutamakan pemenuhan kewajiban
angsuran pokok dan bunga. Kepada debitur telah kami sampaikan teguran untuk penyelesaian
PSB dengan surat DKS/2/775/R tanggal 31 Juli 2003 dan surat KKS/3/1120/R tanggal 26
Nopember 2004.
f. Pengikatan Hak Tanggungan akan dilakukan setelah proses balik nama 6 (enam) SHM
menjadi atas nama ahli waris. BNI sudah meminta kelengkapan dokumen tersebut dengan
surat No.KKS/3/1120/R tanggal 26 Nopember 2004 dan No. KKS/3/450/R tanggal 9 Juni
2005. Bilamana dokumen tersebut telah diserahkan, maka akan segera dilakukan proses
pengikatan Hak Tanggungan.
g. BNI telah meminta penyerahan laporan keuangan audited kepada PT. Bratatex dengan surat
No.KKS/1/473/R tanggal 7 Juni 2004, surat No. KKS/3/353/R tanggal 12 desember 2004 dan
surat KKS/3/656/R tanggal 10 Juni 2005. Denda / penalty atas keterlambatan penyerahan
laporan keuangan audited tahun 2002 dan 2003 telah kami tagihkan kepada debitur dengan
surat No. KKS/3/770/R tanggal 7 Juli 2005.
BPK – RI menyarankan agar Pemimpin Divisi Kredit Korporasi terkait Bank BNI
memberi teguran kepada:
a. Pengelola Kredit PT Bratatex agar mematuhi dan menerapkan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Bank Indonesia seperti tidak mendudukkan tunggakan bunga dalam PK, dan melakukan
restrukturisasi dengan mendudukkan kredit yang telah dihapus buku menjadi PSB.
b. Pengelola Kredit PT Bratatex mematuhi dan menerapkan ketentuan intern yang terkait dengan
CR, DER, mengupayakan pengikatan Hak Tanggungan atas tujuh bidang tanah SHM, dan
terus mengupayakan agar setoran sinking fund yang menjadi kewajiban PT Bratatex dapat
dipenuhi.
14. Pemberian dan pengawasan kredit PT Sungai Rangit sebesar Rp198.576,00 juta belum
sepenuhnya memenuhi ketentuan
PT Sungai Rangit (PT SR) merupakan salah satu perusahaan dari Sumber Mitra Group
(SMG), dengan key person Gowindasamy. PT SR didirikan pada tanggal 6 April 1990 dan
102

disahkan dengan Akta No.10 dihadapan Notaris Miftachul Machsum di Pangkalan Baru
Kalimantan Tengah. PT SR bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di
Sukamara dan Kotawaringin Lama, Pangkalan Bun, Kalimantan Barat.
Pemegang saham mayoritas sesuai akta No.61 tanggal 30 Desember 1999 adalah
Gowindasamy sebesar 90% dari nilai saham Rp 2.000,00 juta. Sedangkan pengurus PT SR antara
lain Ny. Saroja sebagai Komut dan Gowindasamy sebagai Dirut perseroan.
PT SR merupakan anggota baru dari Mitra Jaya Group, dan pertama kali berhubungan
dengan BNI pada tahun 1996. Hubungan PT SR dengan Bank BNI adalah sebagai berikut:
a. Tahun 1996, PT SR memohon KI sebesar Rp109.364,00 juta. Permohonan PT SR tidak
diproses, tetapi beberapa bulan kemudian dipertimbangkan untuk diproses lebih lanjut.
b. Tahun 1998, permohonan tersebut direalisir dengan maksimum KI sebesar Rp108.900,00 juta,
yang terdiri dari KI pokok sebesar Rp76.450,00 juta dan KI IDC sebesar Rp32.450,00 juta. KI
tersebut digunakan untuk pembiayaan pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas + 39.500
Ha.
c. Tahun 2002, PT SR mendapat tambahan kredit untuk pembangunan Pabrik Kelapa Sawit
(PKS) sebesar Rp25.912,00 juta sehingga total maksimum fasilitas sebesar Rp134.812,00 juta.
d. Tahun 2004, pengelolaan kredit PT SR dialihkan ke Divisi Korporasi Khusus (KKS). Pada
waktu dikelola KKS, PT SR mendapat fasilitas KMK sebesar Rp35.139,00 juta dan fasilitas
Interest Ballon Payment (IBP) sebesar Rp28.615,00 juta.
Total fasilitas PT SR per tanggal 31 Mei 2005 adalah Rp202.239,94 juta yang terdiri dari
pokok kredit sebesar Rp196.412,39 juta dan bunga sebesar Rp5.827,55 juta, dengan kolektibilitas
Dalam Perhatian Khusus (Gol. II). Jaminan yang diserahkan PT SR berupa tanah perkebunan,
mesin-mesin, saham perseroan, personal guarantee, stock, piutang dagang, tanah. Dari PAK 06/2
diketahui CEV Controlled 134,73% sehingga nilai jaminan tersebut mengcover fasilitas yang telah
diterima PT SR.
Berdasarkan pemeriksaan dokumen atas pemberian kredit kepada PT SR, diketahui hal-hal
sebagai berikut:
a. Pemberian KI sebesar Rp108.900,00 juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
PT SR pertama kali berhubungan dengan Bank BNI pada tahun 1996. Pada saat itu
PT SR mengajukan permohonan KI untuk membangun Proyek Perkebunan Kelapa Sawit Pola
KKPA sebesar Rp109.364,00 juta. Kemudian Divisi Korporasi (1) mengajukan ijin prinsip
pemrosesan KI kepada Direktur Korporasi, berikut permohonan KI PT Eka Kartika Mitra Jaya
(PT EKMJ). Dalam memorandum pengusulan tanggal 8 Maret 1996 diketahui hal-hal sebagai
berikut;
No Keterangan PT SR PT EKMJ
1. Luas lahan 12.000. Ha 40.000. Ha
2. Total Biaya Proyek (Incl. IDC) (Rp juta) 136.240,00 476.594,00
3. Fasilitas KI (Rp juta) 109.364,00 393.013,00
Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang baru didirikan, dengan key person
Sdr. Gowindasamy yang telah berpengalaman dalam mengelola perusahaan, akan tetapi belum
pernah menangani usaha di bidang perkebunan kelapa sawit. Pada tanggal 18 Juni 1996,
usulan tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut:
103

1) Sesuai BPP, eksposure limit untuk pembiayaan sektor pertanian max 6 % dari total
pinjaman sektor korporasi. Saat ini exposure kredit sektor pertanian (per Desember 1995)
telah mencapai 22,72% dari total outstanding kredit.
2) Debitur belum mempunyai pengalaman dalam pengolahan agribisnis.
3) Langkanya sumber bibit kelapa sawit di Indonesia, saat ini pasokan bibit harus menuggu
+/- dua tahun.
4) Project cost lebih tinggi/ mahal dibandingkan dengan perusahaan sejenis.
5) Bagi pemula dalam sektor agribisnis, luas areal yang akan diinvestasi terlalu luas (40.000
Ha + 12.000 Ha)
6) Pengadaan tenaga kerja masih merupakan tanda tanya.
Kemudian pengelola mengusulkan kembali ijin prinsip pemrosesan PT SR, yang dituangkan
dalam Memorandum No. KPI/3/072 tanggal 28 Agustus 1996 yang ditujukan kepada Direktur
Korporasi mengenai Ijin Prinsip Pemrosesan Kredit (CIP) a/n SMG.
Dalam CIP diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) SMG bermaksud mengajukan tambahan fasilitas kredit untuk proyek – proyek yang telah
mulai dan segera akan dikerjakan, yaitu:
a) Permohonan yang telah diajukan :
Kredit yang diminta a/n PT SR untuk pembiayaan pembukaan kebun kelapa sawit pola
KKPA (kebun plasma dan inti). Luas lahan kebun sawit total 24.000 Ha, sedang nilai
proyek + Rp275.148,02 juta.
b) Permohonan yang segera diajukan
- PT Sumber Mitra Jaya (PT SMJ) (Joint venture), pembangunan dan pengelolaan
jalan tol dengan perkiraan nilai proyek Rp1.150.000,00 juta.
- PT SMJ, proyek penambangan batubara bukit asam dengan total proyek
Rp445.000,00 juta.
2) Pengalaman dan tenaga kerja
Strategi yang akan ditempuh PT SR dalam menghadapi masalah tenaga kerja antara lain
bekerjasama dengan koperasi “Tani Fajar” di Sukamara. Jumlah anggota koperasi yang
mengajukan permohonan untuk bergabung sebagai petani plasma sebanyak + 2.243 orang.
Selain itu bekerjasama dengan anggota koperasi lainnya dari wilayah sekitar perkebunan.
Apabila nantinya tenaga kerja masing kurang mencukupi akan ditempuh dengan cara
kerjasama dengan departemen transmigrasi dan koperasi, untuk mendatangkan para
transmigran ke perkebunan.
3) Pengadaan bibit
Untuk lahan seluas 24.000 Ha, PT SR memerlukan bibit sebanyak + 3.600.000.
Para pemasok bibit yang telah menyatakan kesanggupannya antara lain Plantation
Agencies Sdn. Benhard, Penang – Malaysia; Dynacoral Sdn.BHD, Kuala Lumpur –
Malaysia; CV. Tauhid Co, Medan dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Marihat –
Medan.
Direktur korporasi pada tanggal 30 Agustus 1996 menyetujui usulan fasilitas kredit kepada
PT SR sebesar Rp216.000,00 juta.
104

Dari kedua memorandum tersebut terdapat beberapa hal yang perlu dicermati
sehubungan diterimanya permohonan fasilitas KI PT SR (setelah sebelumnya ditolak) antara
lain adalah:
1) Dari pendapat Pengelola Nasabah diketahui bahwa eksposure kredit di bidang pertanian
per Desember 1995 telah mencapai 22,72%, sehingga dengan disetujuinya fasilitas KI
PT SR akan semakin memperbesar eksposure kredit di bidang pertanian.
2) Perbandingan total proyek dari memorandum yang pertama dengan yang kedua adalah
sebagai berikut:
No. Keterangan Memorandum I Memorandum II
1. Total biaya proyek (Rp juta) 136.240,00 275.148,02
2. Luas Kebun 12.000 Ha 24.000 Ha
3. Total biaya per Ha (Rp juta) 11,35 11,47
Tabel diatas menunjukkan bahwa total biaya proyek perkebunan yang diusulkan kembali
(memorandum II) lebih tinggi dari yang pertama. Salah satu alasan ditolaknya proses CIP
PT SR yang pertama adalah total biaya PT SR lebih tinggi dibanding perusahaan sejenis.
Akan tetapi dalam memorandum II, hal tersebut tidak lagi dijadikan pertimbangan
meskipun total biaya proyek PT SR lebih tinggi dari usulan pertama.
3) Pertimbangan lain untuk menolak CIP PT SR pada memorandum I adalah masalah bibit
dan tenaga kerja. Dalam Memorandum yang kedua disebutkan beberapa perusahan yang
siap menjadi pemasok bibit dan langkah yang akan diambil untuk mengatasi masalah
tenaga kerja. Dalam pemeriksaan dokumen tidak diperoleh adanya MoU antara PT SR
dengan pemasok yang dimaksud maupun dengan koperasi yang akan menyediakan tenaga
kerja.
4) Manajemen SMG belum mempunyai pengalaman dalam bidang perkebunan kelapa sawit,
sehingga kurang dapat diyakini kemampuannya. Hal tersebut tidak memenuhi syarat 5C,
dalam hal ini capability, yang diterapkan dalam analisa pemberian kredit.
b. Pemberian fasilitas IBP belum memenuhi ketentuan
Bank BNI dengan surat No.KKS/2/1100/R tanggal 10 Nopember 2004 memberikan
fasilitas Interest Ballon Payment (IBP) kepada PT SR sebesar maksimum Rp28.615,00 juta.
Dalam surat tersebut disebutkan bahwa akumulasi tunggakan bunga s.d. triwulan II/2004
sebesar Rp25.169,70 juta dan + 50% dari kewajiban bunga triwulan III/2004 sebesar
Rp3.445,30 juta, sehingga total menjadi sebesar Rp28.615,00 juta didudukkan sebagai IBP.
Kolektibilitas PT SR pada saat itu adalah III atau Kurang Lancar.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab IV.G.04 butir 04.4 yang menyebutkan
bahwa kriteria debitur yang memperoleh fasilitas IBP adalah Debitur dengan kualitas kredit
golongan Lancar (I) dan Dalam Perhatian Khusus (II).
c. Nilai pertanggungan asuransi dibawah nilai jaminan yang insurable
Hasil analisa CEV jaminan yang tertuang dalam FCP/PAK 06/2 tanggal 21 Mei 2004
menunjukkan bahwa nilai taksasi jaminan yang insurable adalah sebesar Rp317.842,74 juta.
105

Kemudian PT SR mengasuransikan jaminan tersebut kepada PT Tri Pakarta dengan nilai
pertanggungan sebesar Rp79.847,00 juta yang jatuh tempo pada tanggal 14 Agustus 2005.
Dengan demikian nilai pertanggungan asuransi jaminan kredit PT SR lebih rendah dari nilai
jaminan yang insurable.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 06 butir 4.a yang
menyebutkan bahwa dalam melaksanakan penutupan asuransi, nilai pertanggungan harus
selalu disesuaikan dengan nilai sebenarnya dari barang jaminan. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah pertanggungan dibawah harga (under insured) atau diatas harga (over insured),
selain itu disebutkan pula pada butir 4.b bahwa asuransi dibawah harga adalah asuransi dengan
penutupan harga pertanggungan lebih kecil daripada harga sebenarnya.
d. Nilai hak tanggungan lebih kecil dari maksimum kredit
Berdasarkan catatan FCP/PAK 06/2 tanggal 21 Mei 2004 dan APHT diketahui bahwa
tanah SHM No.799 dan SHGU No.09 telah diikat hak tanggungan masing-masing sebesar
Rp200,00 juta dan Rp136.400,00 juta atau seluruhnya sebesar Rp136.600,00 juta. Nilai pasar
untuk tanah, bangunan, mesin dan sarana pelengkap sesuai hasil appraisal PT Piesta Penilai
tanggal 15 Maret 2004 adalah sebesar Rp320.299,00 juta. Sedangkan maksimum kredit PT SR
per 31 Desember 2004 adalah sebesar Rp169.951,00 juta. Dengan demikian nilai taksasi lebih
tinggi dari maksimum kredit, tetapi nilai APHT jaminan lebih kecil dari maksimum kredit.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05 Hal 1 butir
5.a.1 perihal besarnya nilai pengikatan Hak Tanggungan untuk Kredit Langsung ditetapkan
bahwa dalam hal nilai taksasi jaminan lebih besar dari maksimum kreditnya, maka nilai
pengikatan hak tanggungan minimum sebesar maksimum kreditnya.
e. CR PT SR tahun 2003 belum memenuhi ketentuan minimal
Berdasarkan review terhadap laporan keuangan audited tahun 2003 yang diaudit oleh
KAP Dra. Mugowati Sujono diperoleh CR sebesar 0,17 kali.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 62 tanggal 20 Juli 1998, PK No.47 dan PK
No.48 tanggal 25 Nopember 2004 Pasal 17 ayat 8 yang meyebutkan bahwa Penerima Kredit
harus menjaga posisi keuangan perusahaan sehingga CR tidak kurang dari 130% (seratus
tigapuluh persen).
f. Akta perubahan Anggaran Dasar PT SR belum disahkan oleh Menteri Kehakiman
Anggaran dasar PT SR mengalami beberapa kali perubahan, terakhir diubah dengan
Akta No.4 tanggal 4 Desember 2001, dihadapan Notaris Ny.Fransisca Inning Somantri SH,
yaitu dengan masuknya PT SMJ sebagai pemegang saham. Dari pemeriksaan diketahui
perubahan anggaran dasar tersebut belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab D Sub Sub Bab 01 butir 01, yang
menyebutkan bahwa verifikasi atas legalitas usaha antara lain akta pendirian/perubahan
termasuk pengesahan dari Menteri Kehakiman (bila badan hukum).
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Fasilitas pokok kredit yang diberikan kepada PT SR sebesar Rp196.412,39 juta berpotensi
menjadi kredit bermasalah
106

. Apabila terjadi kerugian, penggantian kerugian dari asuradur akan lebih kecil daripada jumlah
kerugiannya.
Hal tersebut terjadi karena :
a. RM kurang konsisten dalam menganalisa permohonan fasilitas kredit PT SR.
b. RM kurang melakukan pengawasan terhadap fasilitas kredit yang telah diterima PT SR.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Dengan memo Divisi Korporasi Satu kepada Direktur Korporasi No. KPI/12/696/R tanggal 17
April 1996 disebutkan bahwa sesuai Instruksi No. IN/0060/PKR tanggal 8 Juli 1993 ketentuan
mengenai limit kredit telah diupdate, yang tidak menyebutkan limit tertentu lagi, tetapi akan
diatur kemudian secara tersendiri dan s.d. diajukan ijin prinsip yang kedua, ketentuan limit
kredit belum ditetapkan. Kesulitan pengadaan tenaga kerja telah teratasi dengan adanya
kontrak kerja dengan Koperasi Unit Desa “tani Fajar” dan Surat Pernyataan dukungan kepala
desa di Kecamatan Sukamara dan KUD Tani Fajar untuk pengembangan perkebunan kelapa
sawit dengan PT SR. Kesulitan pengadaan bibit telah diatasi dengan adanya kesanggupan dari
PPKS Marihat Medan dengan surat No. 499/PPKS/Pel.Bht/ VIII/1996 tanggal 5 Agustus 1996.
b. Tunggakan bunga sebesar Rp28.615,00 juta direstruktur untuk diangsur setiap triwulan selama
5 tahun sesuai kemampuan cashflow. Tunggakan bunga tersebut dibukukan pada rekening
memorial seperti halnya pembukuan IBP (tidak dibuku sebagai pendapatan).
c. Telah disurati kepada PT Tripakarta tanggal 5 Juli 2005 untuk meningkatkan nilai
pertanggungan asuransi sesuai nilai taksasinya.
d. Peningkatan pengikatan hak tanggungan menjadi sebesar maksimum kredit akan menjadi
perhatian kami.
e. Kondisi keuangan yang belum memenuhi ketentuan tersebut telah dikemukan dalam PAK dan
sudah mendapatkan persetujuan khusus dari KPK.
f. Kepada debitur telah ditegur dengan surat No.KKS/2/555 tanggal 5 Juli 2005 dan untuk
selanjutnya menjadi perhatian kami.
BPK – RI menyarankan agar Pemimpin Divisi Kredit Korporasi terkait Bank BNI
menginstruksikan kepada:
a. RM untuk lebih konsisten dalam menganalisa permohonan fasilitas kredit. Apabila suatu
permohonan kredit pada awalnya telah ditolak dengan alasan tertentu, jika kemudian
diusulkan kembali untuk dianalisa maka masalah yang menjadi alasan penolakan pada tahap
awal harus dipastikan telah dipenuhi dan hal tersebut diungkapkan dalam memorandum
analisa kedit.
b. RM meningkatkan pengawasan terhadap fasilitas kredit yang telah diterima PT SR. Terhadap
nilai pengikatan Hak Tanggungan yang masih kurang diupayakan untuk ditingkatkan sampai
sejumlah maksimum kreditnya. Terhadap CR yang belum memenuhi ketentuan minimal,
kepada debitur agar disurati dengan meminta pemenuhan CR minimum.
15. Restrukturisasi kredit PT Riau Sakti United Plantation (PT RSUP) dengan outstanding
sebesar Rp373.166,96 juta belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan belum
mendatangkan hasil yang optimal
107

PT Riau Sakti United Plantation (PT RSUP) didirikan tahun 1978 dengan Akta Pendirian
N0. 5 tanggal 2 Maret 1978 oleh Notaris Henk Limanou, SH. Perusahaan beralamat di Jl. Rawa
Bebek No. 14 dan alamat proyek di Jalan Sungai Guntung, Indagiri Hilir, Riau. PT RSUP bergerak
dalam bidang perkebunan kelapa hybrida dan nenas beserta industri pengolahannya. PT RSUP
tergabung di dalam Sambu Group, yang merupakan pengembangan usaha Sambu Group yang
memulai usahanya sejak tahun 1960-an melalui PT Pulau Sambu.
PT RSUP telah beberapa kali mengalami perubahan pemegang saham dan pengurus.
Berdasarkan akte perubahan yang terakhir No. 16 tanggal 14 november 2001, diketahui modal
dasar perusahaan sebesar Rp282.000,00 juta atau 18.800 lembar saham dengan modal disetor
sebesar Rp282.000,00 juta dengan susunan pemegang saham antara lain PT Pulau Sambu 70,21%
dan Anthony Salim 1,49%. Pengurus PT RSUP antara lain Tay Jui Cheow selaku Komut dan Thay
Juhana sebagai Dirut perseroan.
PT RSUP menjadi debitur BNI sejak tahun 1985 dan telah menerima fasilitas KI dan
KMK untuk membiayai proyek penanaman perkebunan kelapa hibrida, nenas dan industri
pengolahannya di Pulau Burung, Kateman, Inhil, Riau dengan industri pengolahannya di Pulau
Burung, Kateman, Inhil, Riau. Selain PT RSUP terdapat perusahaan-perusahaan lain yang
tergabung dalam Sambu Group yang mendapatkan fasilitas kredit dari BNI dan pada saat ini dalam
pengelolaan Divisi Kredit Khusus (DKS), yaitu PT Pulau Sambu (PT PS), PT Sambu Sakti
Saumill (PT SSS), PT Gantung Hasrat Makmur (PT GHS) dan PT Riau Sakti Trans Mandiri
(PT RSTM).
Kondisi keuangan PT RSUP sejak tahun 1995 mulai terganggu sehingga terhadap fasilitas
tersebut perlu dilakukan restrukturisasi. Hal ini dapat dilihat dari adanya tunggakan-tunggakan
bunga maupun tunggakan pokok yang sangat besar pada posisi bulan Januari 1995 sebesar
Rp21.900,00 juta. Tunggakan – tunggakan tersebut terjadi karena PT RSUP terlalu cepat
mengembangkan bisnisnya tanpa didukung sumber dana yang memadai sehingga terjadi aliran
dana dalam satu group perusahaan/interfinancing dan ataupun penggunaan dana yang seharusnya
diperlukan untuk memenuhi kewajiban kepada BNI dipakai untuk kelangsungan proyek baru.
Kondisi tersebut di atas di perparah lagi dengan menurunnya harga jual produk kelapa olahan &
nenas olahan di pasar dunia, menguatnya kurs Rupiah terhadap US$ yang mengakibatkan
terjadinya aliran kas jangka pendek/shorted cash flow dan terjadinya pembengkakkan kredit/debt
over hang sebesar Rp295.600,00 juta akibat konversi fasilitas pinjaman US$54,000.00 ribu ke
Rupiah pada tahun 1998. Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tersebut di atas,
fasilitas kredit PT RSUP dan fasilitas Sambu Group lainnya telah beberapa kali direstrukturisasi
dengan skim one obligor concept.
Berdasarkan data portepel kredit PT RSUP diketahui posisi kredit per tanggal 28 Pebruari
2005 adalah sebesar Rp373.166,96 juta dengan kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Gol. II)
diantaranya PSB Rp165.650,00 juta. Jaminan yang diserahkan PT RSUP posisi tanggal 28
Pebruari 2005 atas fasilitas kredit tersebut telah memenuhi ketentuan yaitu CEV Total 122% dan
CEV Controlled sebesar 105%. Jaminan tersebut telah diikat dengan hipotik/hak tanggungan dan
pemasangan asuransi yang berlaku sampai dengan bulan Januari tahun 2006.
Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut, diketahui permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
a. Penyelamatan kredit PT RSUP dilakukan dengan cara mendudukkan tunggakan bunga
dalam PK
108

Dari informasi PK No. 40 tanggal 12 Juni 1996, diketahui bahwa BNI telah beberapa
kali menyetujui pemberian tambahan fasilitas kepada PT RSUP untuk menampung
penangguhan pembayaran bunga atas fasilitas KMK dan telah dituangkan dalam PK, dengan
data sebagai berikut :
1) PK No. 37 tanggal 12 Desember 1995 dengan maksimum sebesar Rp378,50 juta, dengan
jangka waktu s.d tanggal 31 Desember 2000.
2) PK No. 44 tanggal 12 Desember 1995 dengan maksimum sebesar Rp402,82 juta, dengan
jangka waktu s.d tanggal 31 Desember 2001.
3) PK No. 45 tanggal 12 Desember 1995 dengan maksimum sebesar Rp316,25 juta, dengan
jangka waktu s.d tanggal 31 Desember 2001.
4) PK No. 47 tanggal 12 Desember 1995, dengan maksimum sebesar Rp748,99 juta, dengan
jangka waktu s.d tanggal 31 Desember 2003.
5) PK No. 48 tanggal 12 Desember 1995 dengan maksimum sebesar Rp3.865,94 juta, dengan
jangka waktu s.d tanggal 31 Desember 2003.
6) PK No.49 tanggal 12 Desember 1995 dengan maksimum sebesar Rp1.463,42 juta, dengan
jangka waktu s.d tanggal 31 Desember 2002.
7) PK No.50 tanggal 12 Desember 1995 dengan maksimum sebesar Rp2.427,13 juta, dengan
jangka waktu s.d tanggal 31 Desember 1999.
8) PK No.51 tanggal 12 Desember 1995 dengan maksimum sebesar Rp1.233,27 juta, dengan
jangka waktu s.d tanggal 31 Desember 2000.
Kemudian PT RSUP dengan surat tanggal 9 April 1996 mengajukan permohonan
kepada bank untuk dapat dilakukan penjadwalan kembali atas fasilitas kredit tersebut di atas.
Permohonan tersebut disetujui oleh BNI dengan surat No. KPI/5/204/R tanggal 11 Juni 1996
dan dituangkan dalam PK No. 40 tanggal 12 Juni 1996 dengan jangka waktu s.d tanggal 31
Desember 2011. Selanjutnya berdasarkan informasi dari PK No. 41 tanggal 12 Juni 1996
diketahui bahwa PT RSUP dengan surat tanggal 9 April 1996 memohon kepada BNI untuk
dapat melakukan penangguhan pembayaran bunga atas KI dan KMK yang telah dinikmati oleh
PT RSUP. BNI dengan surat No. KPI/5/198/R tanggal 7 Juni 1996, KPI/5/200/R tanggal 10
Juni 1996 dan KPI No. 5/2004/R tanggal 11 Juni 1996 menyetujui permohonan PT RSUP
untuk melakukan pendudukan atas penangguhan pembayaran bunga KI dan KMK sebesar
Rp27.084,00 juta. Fasilitas tersebut kemudian dituangkan dalam PK No. 41 tanggal 12 Juni
1996 dengan jangka waktu s.d tanggal 31 Desember 2012.
Upaya penyelamatan kredit dengan mendudukkan tunggakan bunga dalam fasilitas
tambahan KI tersebut di atas belum sesuai dengan SK Direksi BI No.27/162/KEP/DIR tanggal
31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank, Bab VII
mengenai Penyelesaian Kredit Bermasalah point 700.d., yang antara lain menyebutkan bahwa
Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah plafond kredit
atau tunggakan-tunggakan bunga dan mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau yang
lazim dikenal dengan praktik plafondering kredit.
b. Pemberian tambahan fasilitas KMK Transaksional sebesar US$2,400.00 ribu kepada
PT RSUP didasarkan pada analisa proyeksi keuangan terhadap PT RSUP dan Sambu
Group yang terlalu optimis dan jaminan yang tidak mengcover
Dari MAK No. DKS/2/017 tanggal 14 Maret 2003, diketahui bahwa PT RSUP
mengajukan tambahan KMK Transaksional maksimum sebesar US$5,000.00 ribu yang
109

digunakan untuk uang muka/pembelian bahan baku kelapa bulat/kopra & nenas. Berdasarkan
MAK tersebut di atas juga diketahui bahwa restrukturisasi perusahaan yang tergabung dalam
Sambu Group dilakukan dengan skema one obligor concept. Berdasarkan MPK No DKS/2/017
tanggal 14 Maret 2003 diketahui terhadap permohonan tersebut, RM mengusulkan untuk
disetujui sebesar US$2,400.00 ribu. Usulan tersebut diteruskan melalui Rapat Direksi setelah
ada pejabat KPK yang menolak permohonan PT RSUP. Penolakan tersebut didasari
pertimbangan karena dua perusahaan yang tergabung dalam Sambu Group yaitu PT Gantung
Hasrat Makmur dan PT Riau Sakti Transmandiri merupakan debitur hapus buku. Berdasarkan
hasil Rapat Direksi diketahui bahwa permohonan PT RSUP tersebut disetujui dan dituangkan
di dalam PK No. 008/PK/DKS/2003 tanggal 6 Juni 2003.
Dari pemeriksaan lebih lanjut terhadap proses persetujuan tambahan fasilitas tersebut
di atas diketahui bahwa analisa proyeksi keuangan yang dilakukan oleh RM terhadap
PT RSUP dan Sambu Group terlalu optimis dan jaminan yang diserahkan tidak mengcover
fasilitas yang diberikan. Hal tersebut diketahui dari informasi MAK No. DKS/2/017 tanggal 14
Maret 2003. Dari MAK tersebut diketahui bahwa analisa proyeksi keuangan yang dilakukan
oleh RM berdasarkan teori penghitungan Ebitda yang hanya memperhitungkan kewajiban
pembayaran bunga tanpa memperhitungkan kewajiban-kewajiban debitur lainnya, sehingga
setelah diperhitungkan dengan kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh PT RSUP terdapat
kekurangan Ebitda. Hal tersebut dapat dilihat dari data sebagai berikut :
Proyeksi Ebitda PT RSUP :
(dalam juta Rupiah)
2003 2004 2005
1. Ebitda 59.632,00 73,601,00 81.987,00
2. Distribusi Pemakaian :
a. Biaya bunga 29.492,00 29.239,00 28.819,00
b. Pajak 0,00 0,00 0,00
c. Sinking fund 30.000,00 45.600,00 48.000,00
d. Biaya premi Sinking fund 0,00 0,00 0,00
e. Angs. Hutang dagang 0,00 0,00 0,00
f. Angsuran kredit 0,00 2.400,00 2.400,00
g. Investasi 7.741,00 7.552,00 7.945,00
Total 67.233,00 84.791,00 87.164,00
3. Lebih (kurang) Ebitda (7.601,00) (11.190,00) (5.177,00)
Proyeksi Ebitda konsolidasi Sambu Industri :
(dalam juta Rupiah)
2003 2004 2005
1. Ebitda
2. Distribusi Pemakaian :
122.563,00 141.556,00 149.942,00
h. Biaya bunga 67.465,00 66.336,00 63,491,00
i. Pajak 0,00 0,00 221,00
j. Sinking fund 30.000,00 45.600,00 48.000,00
k. Biaya premi Sinking fund 0,00 0,00 0,00
l. Angs. Hutang dagang 0,00 0,00 0,00
m. Angsuran kredit 0,00 0,00 0,00
110

n. Angsuran Hutang bunga 12.525,00 16.924,00 17.169,00
o. Investasi 20.041,00 22.852,00 24.245,00
Total 130.031,00 151.712,00 153.126,00
3. Lebih (kurang) Ebitda (7.468,00) (10.156,00) (3.184,00)
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa Ebitda PT RSUP dan group usaha tidak memadai dan
kemampuan PT RSUP untuk menyelesaikan pinjaman tepat waktu, diragukan.
Selain permasalahan tersebut diatas, dari informasi PAK No. DKS/2/063A tanggal 17
September 2002 diketahui bahwa posisi jaminan secara group (Sambu Group) sebelum
pengajuan permohonan kredit PT RSUP adalah CEV controlled sebesar 64% dan CEV
uncontrolled sebesar 13% sehingga nilai CEV jaminan yang diserahkan Sambu Group sebesar
77% (belum mengcover fasilitas pinjaman). Selanjutnya dari MAK No. DKS/2/017 tanggal 14
Maret 2003 diketahui bahwa jaminan yang diserahkan tidak mencover tambahan fasilitas
kredit baru yang dimohonkan oleh PT RSUP, yaitu nilai CEV controlled sebesar 63% dan nilai
CEV uncontrolled sebesar 13% sehingga secara keseluruhan nilai CEV jaminan yang
diserahkan Sambu Group sebesar 76%. Dari kedua data tersebut diatas dapat dilihat bahwa
nilai jaminan PT RSUP sebelum pengajuan tambahan fasilitas kredit baru tidak mengcover
fasilitas yang telah diterima dan pada saat permohonan tambahan fasilitas tidak ada
penambahan jaminan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Kredit BANK BNI Bab IV Sub Bab B, Sub –
sub 01, yang menyebutkan di dalam melakukan analisa penyelamatan kredit menggunakan tiga
pilar kelayakan nasabah yang meliputi kemampuan membayar kembali, jaminan dan
kredibilitas menajemen. Hal tersebut juga tidak sesuai dengan BPP BNI Bab IV, Sub Bab G,
Sub – sub bab 03 yang antara lain menyebutkan bahwa tambahan kredit dapat diberikan
dengan memperhatikan antara lain jaminan kredit mencukupi sesuai ketentuan yang berlaku
dan margin usaha debitur mencukupi.
c. Pemberian tambahan fasilitas KMKE sebesar US$5,250.00 ribu kepada PT RSUP
didasarkan pada analisa proyeksi keuangan terhadap PT RSUP dan Sambu Group yang
terlalu optimis dan jaminan yang tidak mengcover
PT RSUP melalui surat No. 043/RSUP/B/03/TJ/TN tanggal 29 Juli 2003 mengajukan
permohonan KMK baru untuk perkebunan nenas sebesar US$6.000.000,00.
Selanjutnya terhadap permohonan PT RSUP tersebut dilakukan analisa di dalam
Paket Analisa Kredit (PAK) No. KPD/3/017 tanggal 3 Oktober 2003. Dari PAK tersebut
diketahui RM (Sdr II) mengusulkan memberikan tambahan KMKE onshore untuk penanaman
nenas sebesar US$5,250,000.00. Terhadap usulan tambahan fasilitas tersebut di atas diketahui
melalui exception yang memerlukan persetujuan KPK, yaitu Customer Credit Rating (CCR)
melebihi investment grade (1 sampai dengan 5), dengan kondisi sebagai berikut :
1) Unjusted Initial Rating/UIR (CCR Unjusted) = 4 (Alowable Risk)
2) Initial Rating (CRR Adjusted) = 6 (Early Warning)
Berdasarkan BPP BNI, kondisi tersebut tidak boleh diberikan penambahan kredit.
Usulan RM tersebut di atas disetujui oleh KPK dan diteruskan kepada PT RSUP
melalui SKK No.KPD/3/025/R tanggal 4 November 2003 dan kemudian dituangkan dalam PK
No. 013/PK/KPD/2003 tanggal 5 November 2003.
Dari pemeriksaan lebih lanjut terhadap proses persetujuan tambahan fasilitas tersebut
di atas, diketahui bahwa Analisa proyeksi keuangan yang dilakukan oleh RM terhadap
111

PT RSUP dan Sambu Group terlalu optimis dan jaminan yang diserahkan tidak mengcover
fasilitas yang diberikan. Hal tersebut diketahui dari informasi MAK No. No. KPD/3/017
tanggal 3 Oktober 2003.
Dari MAK No. KPD/3/017 tersebut di atas diketahui bahwa analisa proyeksi keuangan
yang dilakukan oleh RM berdasarkan teori penghitungan Ebitda yang hanya memperhitungkan
kewajiban pembayaran bunga saja tanpa memperhitungkan kewajiban debitur yang lainnya,
sehingga setelah diperhitungkan dengan kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh debitur
terdapat kekurangan Ebitda. Hal tersebut dapat dilihat dari data sebagai berikut :
Proyeksi Ebitda PT RSUP :
(dalam juta Rupiah)
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 - 2010
1. Ebitda 40.090,00 64.886,00 108.391,00 111.089,00 114.239,00 114.203 228.406,00
2. Distribusi Pemakaian
a. Biaya bunga 27.578,00 31.115,00 32.130,0 29.080,00 27.261,00 23.990,00 21.068,00
b. Sinking fund 21.000,00 36.600,00 57.000,00 57.000,00 56.400,00 0,00 0,00
c. Angs. KMK Afl
nenas
0,00 0,00 28.175,00 15.211,00 0,00 0,00 0,00
d. Angsuran KI 0,00 2.400,00 2.400,00 2.400,00 13.800,00 48.000,00 84.192,00
e. Angsuran kmke
Transks
0,00 0,00 0,00 0,00 9.840,00 9.840,00 0,00
Sub Total 48.578,00 70.115,00 119.705,00 103691,00 107.301,00 81.830,00 105.260,00
f. Pajak 0,00 1.385,00 16.909,00 19.586,00 17.358,00 25.755,00 60.930,00
g. Anggs. Htg.
Cometa&Mesin
0,00 3.083,00 8.300,00 4.100,00 0,00 0,00 0,00
h. Investasi 1.373,00 7.175,00 5.205,00 15.937,00 35.682,00 38.660,00 77.320,00
Total 49.951,00 81.758,00 150.119 143.314,00 160.341,00 146.245,00 243.510,00
3. Lebih (kurang) Ebitda (9.041,00) (16.872,00) (41.728,00) (32.225,00) (46.102,00) (32.042,00) (15.104,00)
Proyeksi Ebitda Sambu Group (konsolidasi atas laporan 3 perusahaan yang terdiri dari
PT RSUP,PT PS dan PT SSS) :
(dalam juta Rupiah)
2003 2004 2005 2006 2007 2008 - 2010
1. Ebitda 90.773,00 116.980,00 165.086,00 154.177,00 164.255,00 373.477,00
2. Distribusi Pemakaian :
a. Biaya bunga 63.135,00 66.722,00 65.865,00 56.452,00 52.622,00 70.069,00
b. Sinking fund 21.00,00 36.600,00 57.000,00 57.000,00 56.400,00 0,00
c. Angs. KMK Afl nenas 0,00 0,00 28.175,00 15.211,00 0,00 0,00
d. Angsuran KI 10.766,00 14.996,00 15.274,00 13.700,00 13.800,00 132.192,00
e. Angsuran KMK
Aflopend
0,00 800,00 1.000,00 1.500,00 2.000,00 3.200,00
f. Angsuran KMK Transk. 0,00 0,00 0,00 0,00 9.840,00 9.840,00
g. Kewjb. GHS & RSTM 16.591,00 13.119,00 13,119,00 13.119,00 13.119,00 39.457,00
112

Sub Total 111.492,00 132.237,00 180.433,00 156.982,00 147.781,00 254.658,00
h. Pajak 1.405,00 2.482,00 18.207,00 19.586,00 17.358,00 86.685,00
i. Anggs. Htg.
Cometa&Mesin
0,00 3.083,00 8.300,00 4.100,00 0,00 0,00
j. Investasi 1.673,00 17.568,00 17.112,00 15.937,00 35.682,00 115.980,00
Jumlah 114.570,00 155.370,00 224.052,00 196.605,00 200.821,00 457.323,00
3. Lebih (kurang) Ebitda (23.797,00) (38.390,00) (56.966,00) (42.428,00) (36.566,00) (83.846,00)
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa Ebitda perusahaan dan Ebitda group usaha tidak
memadai dan kemampuan PT RSUP untuk menyelesaikan pinjaman tepat waktu diragukan.
Selain permasalahan tersebut diatas, dari informasi MAK No. DKS/2/017 tanggal 14
Maret 2003 diketahui bahwa posisi jaminan secara group (Sambu Group) sebelum pengajuan
permohonan kredit PT RSUP adalah CEV controlled sebesar 63% dan CEV uncontrolled
sebesar 13% sehingga nilai CEV jaminan yang diserahkan Sambu Group sebesar 76% (belum
mengcover fasilitas pinjaman). Selanjutnya dari MAK tersebut di atas diketahui juga bahwa
jaminan yang diserahkan oleh Sambu Group tidak mengcover fasilitas kredit yang diberikan
yaitu CEV controlled sebesar 70% dan CEV uncontrolled sebesar 20% sehingga nilai CEV
jaminan yang diserahkan Sambu Group sebesar 90%. Dari kedua data tersebut diatas dapat
dilihat bahwa nilai jaminan PT RSUP sebelum pengajuan tambahan fasilitas kredit baru tidak
mengcover fasilitas yang telah diterima dan pada saat permohonan tambahan fasilitas tidak ada
penambahan jaminan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Kredit BANK BNI Bab IV Sub Bab B, Sub –
sub 01, yang menyebutkan di dalam melakukan analisa penyelamatan kredit menggunakan tiga
pilar kelayakan nasabah yang meliputi kemampuan membayar kembali, jaminan dan
kredibilitas menajemen. Hal tersebut juga tidak sesuai dengan BPP BNI Bab IV, Sub Bab G,
Sub – sub bab 03 yang antara lain menyebutkan bahwa tambahan kredit dapat diberikan
dengan memperhatikan antara lain jaminan kredit mencukupi sesuai ketentuan yang berlaku
dan margin usaha debitur mencukupi.
d. PT RSUP belum tertib dalam menyampaikan Laporan keuangan
Dari pemeriksaan yang dilakukan terhadap kepatuhan penyampaian laporan keuangan
audited diketahui adanya keterlambatan penyampaian yaitu sebagai berikut :
1) Laporan keuangan tahun buku 2000 yang diaudit oleh KAP Drs. Djambrut Abdullah,
laporan tanggal 25 September 2001.
2) Laporan keuangan tahun buku 2001 yang diaudit oleh KAP Drs. Djambrut Abdullah,
laporan tanggal 26 September 2002.
3) Laporan keuangan tahun buku 2002 yang diaudit oleh KAP Rodi Kartamulja, Budiman &
Rekan, laporan tanggal 24 September 2003.
4) Laporan keuangan tahun buku 2003 yang diaudit oleh KAP Rodi Kartamulja, Budiman &
Rekan, laporan tanggal 19 Juli 2004.
113

Dari tanggal pendatanganan laporan audit terlihat bahwa penyelesaian audit terlambat,
sedangkan tanggal penyampaian laporan ke BNI sampai dengan pemeriksaan berakhir tidak
diketahui.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I, Bab I, Sub Bab A, Sub – Sub Bab 06
diketahui antara lain bahwa penyampaian laporan keuangan ditetapkan antara lain untuk Badan
Usaha Swasta Nasional (BUSN), penyampaian laporan keuangan selambat-lambatnya 6
(enam) bulan setelah penutupan tahun buku.
e. Nilai pertanggungan Asuransi PT RSUP masih dibawah nilai taksasi jaminan
Dari Daftar Jatuh Tempo Asuransi Jaminan kredit PT RSUP tahun 2005 diketahui
jaminan telah diikat dengan nilai pertanggungan sebesar Rp40.279,70 juta. Selanjutnya
berdasarkan Formulir Analisa CEV (FCP) PAK 06/02 diketahui bahwa nilai taksasi jaminan
PT RSUP oleh PT Indepensia Consultindo Appraisal tanggal 8 Juni 2001 sebesar
Rp710.112,00 juta. Dengan demikian total nilai pertanggungan masih dibawah nilai taksasi
jaminan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I, Sub Bab J, Sub – Sub Bab 06, yang antara
lain menyebutkan bahwa dalam melaksanakan penutupan asuransi, nilai pertanggungan harus
selalu disesuaikan dengan nilai sebenarnya dari barang jaminan. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah pertanggungan dibawah harga (under insured) atau di atas harga (over insured).
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Usaha restrukturisasi PT RSUP dengan mengkapitalisasi tunggakan bunga memperbesar
resiko kredit.
b. Restrukturisasi kredit PT RSUP dengan menambah fasilitas kredit memperbesar resiko Bank
BNI dan belum mendatangkan hasil yang optimal.
c. Kemampuan PT RSUP dalam melunasi seluruh kewajibannya pada tahun 2010 diragukan.
d. BNI tidak dapat memantau kondisi usaha PT RSUP secara dini.
e. Apabila terjadi kerugian, penggantian kerugian dari asuradur akan lebih kecil daripada jumlah
kerugiannya.
Hal tersebut disebabkan oleh :
a. Pejabat KPK dalam merestrukturisasi fasilitas kredit PT RSUP belum mematuhi Surat
Keputusan Direksi BI No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman
Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank, Bab VII .
b. Analisa proyeksi keuangan yang dilakukan RM terhadap permohonan tambahan fasilitas kredit
terlalu optimis.
c. Pejabat KPK dalam memutus pemberian fasilitas sebesar US$2,400.00 ribu dan US$5,250.00
ribu belum sepenuhnya mentaati ketentuan BPP dan CPC BNI.
d. RM belum sepenuhnya memantau hal-hal yang wajib disampaikan dan dilaksanakan oleh
PT RSUP kepada BNI sehubungan dengan pemberian fasilitas kredit.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Kami sependapat bahwa pendudukan tunggakan bunga dalam PK sesuai ketentuan BI tidak
diperbolehkan. Pendudukan tunggakan bunga dalam PK oleh BNI, merupakan upaya
114

estrukturisasi. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai pemberian/pendudukan pokok kredit yang
baru, melainkan didasarkan pertimbangan meskipun tunggakan bunga didudukkan dalam PK,
tetapi belum dicatat sebagai pendapatan bunga. Tunggakan bunga yang didudukkan dalam PK
tidak diberlakukan sebagai pokok kredit. Untuk selanjutnya restrukturisasi tunggakan bunga
tidak didudukkan dalam PK tetapi akan dibuat format Perjanjian Penyelesaian Hutang ex
Tunggakan Bunga.
b. Dari analisa EBITDA yang dilakukan terhadap PT. RSUP dan group usahanya cash flow
PT RSUP maupun Sambu Group kurang memadai untuk memenuhi kewajibannya. Namun
kekurangan tersebut akan dipenuhi dari setoran pemegang saham. Hal tersebut terlihat dari
realisasi pembayaran kewajiban s.d. Juni 2005 dibayar dengan lancar (tidak ada tunggakan),
sedangkan pembayaran Sinking Fund untuk buy back Penyertaan Sementara Bank dilakukan
oleh pemegang saham. Disamping itu pembayaran kewajiban group usaha lainnya kepada BNI
s/d Juni 2005 juga dibayar lancar (tidak ada tunggakan), khususnya setoran Sinking Fund s/d
Juni 2005 sebesar Rp86.100,00 juta. Nilai jaminan Sambu Group sebelum pengajuan
tambahan kredit PT RSUP maupun setelahnya belum mengcover fasilitas yang telah dan akan
diterimanya. Namun secara individual, total CEV jaminan PT RSUP cukup mengcover seluruh
fasilitas (incl. PSB) baik sebelum maupun setelah tambahan fasilitas, sehingga tidak
diperlukan tambahan jaminan. Sebelum tambahan fasilitas total CEV sebesar 117% (CEV
Controlled 109% + CEV Uncontrolled 8%) dan setelah tambahan fasilitas total CEV sebesar
110% (CEV Controlled 102% + CEV Uncontrolled 8%)
c. Penjelasan tentang EBITDA sesuai dengan butir b. diatas. Sedangkan berkaitan dengan
jaminan, secara individual total CEV jaminan cukup mengcover seluruh fasilitas (incl. PSB)
baik sebelum maupun setelah tambahan fasilitas, sehingga tidak diperlukan tambahan jaminan.
Sebelum tambahan fasilitas total CEV sebesar 133% (CEV Controlled 115% + CEV
Uncontrolled 8%) dan setelah tambahan fasilitas total CEV sebesar 119% (CEV Controlled
103% + CEV Uncontrolled 6%).
d. Kepada PT RSUP telah disurati dengan surat No.KKS/2/556 tanggal 5 Juli 2005 dan untuk
penyampaian laporan keuangan berikutnya akan menjadi perhatian kami. Atas keterlambatan
penyampaian laporan keuangan tersebut akan dikenakan denda sesuai ketentuan.
e. Kepada PT Asuransi Tri Pakarta telah disurati dengan surat No.KKS/2/557 tanggal 5 Juli 2005
untuk meningkatkan nilai pertanggungan asuransi sesuai nilai insurablenya.
BPK – RI menyarankan agar :
a. Pejabat KPK dalam mengambil keputusan pemberian kredit dan merestrukturisasi fasilitas
kredit mematuhi dan menerapkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia antara
lain tidak mendudukkan tunggakan bunga dalam PK.
b. RM dalam menganalisa proyeksi keuangan baik terhadap fasilitas kredit baru maupun
tambahannya dilakukan secara obyektif dan menghindari analisa yang sifatnya terlalu optimis.
c. RM melakukan pengawasan yang maksimal terhadap perkembangan usaha PT RSUP dan
melakukan pemantauan kewajiban PT RSUP menyampaikan laporan secara tertib dan teratur.
16. Pemberian dan pengelolaan kredit PT Musim Mas sebesar Rp269.705,21 juta belum
sepenuhnya sesuai ketentuan
115

PT Musim Mas (PT MM) didirikan di Medan tahun 1972 berdasarkan akte pendirian No.
40 tanggal 21 Juni 1972 oleh Notaris Marah Sutan Nasution. Perusahaan semula bergerak dalam
usaha pengolahan minyak mentah (CPO) yang kemudian berkembang memproduksi minyak
goreng murni. PT MM tergabung dalam Musim Mas Group (MM Group) yang mempunyai lokasi
pabrik di dua tempat, yaitu pabrik I di Jl Yos Sudarso Km 7,8 Tanjung Mulia Medan dan pabrik II,
di Jl Yos Sudarso Km 10,5 Kawasan Industri Medan.
Susunan pengurus sesuai dengan akta No.35 tanggal 11 Juni 2003 antara lain Ny. Mieke
Wijaya sebagai Komut dan Bachtiar Karim sebagai Dirut. Pemegang Saham PT MM yaitu Bactiar,
Burhan dan Bahari Karim masing-masing sebesar 30% dan Ny. Mieke Wijaya sebesar Rp10% dari
nilai saham sebesar Rp278.800,00 juta
PT MM menjadi debitur Bank BNI sejak tanggal 10 Juni 1993 dengan mendapat fasilitas
Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE) sebesar Rp20.000,00 juta melalui PK No.98. Pada saat itu
PT MM merupakan nasabah baru bagi Bank BNI yang sebelumnya telah menjadi debitur Bank
BRI. Dengan adanya peningkatan usaha yang memerlukan tambahan fasilitas kredit, sementara
tidak adanya ekspansi kredit dari Bank BRI, mendorong PT MM untuk berhubungan dengan lebih
dari satu Bank.
Selanjutnya perusahaan semakin berkembang dan dapat mengolah inti sawit menjadi
minyak goreng inti sawit, margarine dan sabun. Perkembangan tersebut diikuti dengan
penambahan kredit BNI kepada PT MM. Pada tahun 2001 dengan surat No.KPI/4/022/R tanggal
14 Pebruari 2001, PT MM mendapat fasilitas KI Pokok dan KI-IDC sebesar Rp73.624,00 juta
untuk refinancing pembangunan pabrik yang ke III di Jl Sulawesi II Belawan, Medan serta
tambahan KMKE sebesar Rp60.000,00 juta untuk tambahan modal kerja. Sekarang ini PT MM
telah menjadi perusahaan yang terintegrasi dan memiliki kebun seluas 48.233 Ha, dengan hasil
produksinya kurang lebih 90% diekspor dan 10% dijual di pasar lokal.
PT MM merupakan nasabah prima Bank BNI dengan outstanding kredit per 30 Mei 2005
sebesar Rp269.705,21 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I) dan belum pernah
direstrukturisasi serta belum pernah menunggak pembayaran bunga. Sedangkan jaminan yang
diserahkan adalah sebesar Rp594.392,00 juta dengan nilai pertanggungan sebesar Rp369.980,00
juta. Penilaian terakhir jaminan tersebut dilakukan oleh PT Anima Krida Usaha tanggal 25 Maret
2003 dan pemasangan pertanggungan asuransi oleh PT China Insurance Indonesia s.d. tanggal 31
Desember 2005.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap pemberian kredit PT MM diketahui adanya
permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
a. Pemberian fasilitas KMKE kepada PT MM pada tahun 2003 sebesar US$11,778.50 ribu
eqv. Rp100.000,00 juta belum memenuhi ketentuan CPC dan BPP Perkreditan Bank
BNI
PT MM mengajukan permohonan fasilitas kredit sebesar US$11,778.50 ribu eq.
Rp100.000,00 juta dengan surat No.506.Hm/VII/MM/03 tanggal 10 Juli 2003, untuk
pembelian bahan baku guna mengantisipasi peningkatan jumlah penjualan pada semester ke II
tahun 2003 dengan jangka waktu selama 6 (enam) bulan. Permohonan tersebut dianalisa
melalui MAK No. ARK/6/094 tanggal 16 September 2003 yang merupakan PAK individual,
sedangkan PAK secara grup akan disusulkan kemudian karena mendesaknya kebutuhan
pinjaman tersebut. Dari MAK tersebut diketahui bahwa Pemimpin Kelompok Analisa Resiko
Kredit (ARK) dan Pgs. Pengelola ARK menjelaskan bahwa pada prinsipnya permohonan
116

tambahan KMK sebesar Rp100.000,00 juta tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut,
mengingat Customer Risk Rating (CRR) PT MM menurun dari 5B menjadi 6B. Akan tetapi
permohonan tersebut dapat dipertimbangkan dengan mensyaratkan hal-hal sebagai berikut :
1) Jaminan-jaminan yang under value pengikatannya agar ditingkatkan nilai pengikatannya
minimal sama dengan nilai taksasinya, sedangkan untuk mesin dan peralatan agar dirinci
jenis, merek dan nilainya.
2) Jaminan-jaminan yang insurable agar diasuransikan pada perusahaan asuransi rekanan
Bank BNI, dengan banker’s clause Bank BNI, selama ini jaminan diasuransikan pada
PT China Insurance Indonesia – Medan. Nilai pertanggungan disesuaikan minimal sama
dengan nilai taksasinya.
3) Perusahaan diwajibkan memelihara ratio keuangannya, terutama CR minimal 1,32 kali dan
DER tidak lebih dari 2,20 kali, serta CRR sebesar 5.
4) Perusahaan wajib menyampaikan laporan keuangan konsolidasi (seluruh group usaha baik
yang dibiayai Bank BNI maupun tidak), diaudit oleh auditor yang terdaftar di Bank BNI.
Berdasarkan pembahasan serta analisa Unit ARK tersebut, selanjutnya diusulkan tambahan
KMKE untuk tambahan modal kerja pembelian bahan baku selama 6 bulan yang kemudian
disetujui oleh semua Pejabat KPK dalam IPK No.PAK:KPI/3/80 tanggal 29 September 2003.
Kemudian diteruskan ke PT MM dengan SKK No. KPI/3/152/R tanggal 27 Oktober 2003 dan
dituangkan dalam PK dibawah tangan No.2003/KPS/81 tanggal 3 Nopember 2003 sebesar
US$11,778.50 ribu eq. Rp100.000,00 juta, jangka waktu 6 bulan s.d. tanggal 2 Mei 2004
Proses pemberian kredit PT MM tersebut di atas diketahui terdapat beberapa hal
yang tidak sesuai dengan ketentuan CPC dan BPP Perkreditan, yaitu :
1) PT MM tidak memenuhi persyaratan maksimum DER untuk memperoleh fasilitas
kredit
Dari IPK tanggal 29 September 2003 diatas diketahui bahwa PT MM tidak memenuhi
persyaratan financial covenant untuk diberikan kredit, yaitu adanya penyimpangan CR dan
DER, per 31 Juli 2003 yaitu CR 1,10 kali dan DER 2,76 kali. Sesuai dengan ketentuan
CPC No. 89 tanggal 27 Desember 2002, khususnya persyaratan dua financial covenant,
yaitu CR minimal 1,25 kali dan DER maksimal 2,20 kali dimana CR dalam batas toleransi
20% (minimum 1 kali) sedangkan DER dalam batas toleransi 20% (maksimum 2,64 kali).
Pengecualian penyimpangan DER tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh
BNI lebih dari batas toleransi penyimpangan sebesar 20%.
2) Total CEV jaminan tidak mengcover pemberian kredit
Dari IPK tanggal 29 September 2003 diatas diketahui bahwa jaminan yang diserahkan
oleh PT MM kepada Bank BNI dengan mempertimbangkan tambahan fasilitas yang
diusulkan sebesar eqv. Rp100.000,00 juta tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh
BNI, yaitu CEV jaminan Controlled sebesar 36,78% dan total CEV sebesar 90,01%.
Berdasarkan BPP Perkreditan Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 butir 5
diketahui bahwa persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur adalah untuk CEV
controlled sebesar 50% dan total CEV minimal 100% dari maksimum kredit.
b. Pemberian kredit kepada PT MM berisiko tinggi
Dari IPK tanggal 29 September 2003 diketahui bahwa hasil perhitungan CRR menunjukkan
sebesar 6B (early warning dengan dua pelanggaran covenant) dan perhitungan CCR PT MM
117

menunjukkan sebesar 8B (Substandard dengan dua pelanggaran covenant). Memo ARK
No.ARK/2/407 tanggal 21 Agustus 2003 kepada Divisi Korporasi menjelaskan bahwa hasil
perhitungan CRR debitur MM Group menunjukkan PT MM yang semula (Smt I/2003) sebesar
5B menjadi 6B (Smt 2/2003). Dengan rating kredit 6B maka permohonan tambahan kredit a/n
MM Group termasuk PT MM, sesuai CPC 89 tanggal 27 Desember 2002 tidak dapat diproses
lebih lanjut, atau ditolak.
Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa pejabat KPK dalam memberikan persetujuan
fasilitas kredit kepada PT MM, belum sepenuhnya memperhatikan tingkat risiko kredit kepada
PT MM yang cukup tinggi.
c. Isi Perjanjian Kredit tidak mengakomodir pendapat pejabat KPK
Pemberian KMKE transaksional sebesar eq. Rp100.000,00 juta, telah disetujui dalam SKK No.
KPI/3/152/R tanggal 27 Oktober 2003. Beberapa pejabat KPK yang menyetujui fasilitas kredit
tersebut memberi catatan antara lain Direktur Pengendalian Resiko menegaskan bahwa kredit
ini harus lunas pada saat jatuh tempo dengan catatan harus dipatuhi. Dalam surat permohonan
debitur No.506.Hm/VII/MM/03 tanggal 10 Juli 2003 juga menyebutkan bahwa kredit yang
diminta adalah transaksional dengan jangka waktu pinjaman selama 6 (enam) bulan.
Sedangkan dalam PK No. 2003/KPS/81 tanggal 3 Nopember 2003 dalam hal jangka waktu
kredit pasal 4 telah diatur bahwa jangka waktu kredit adalah 6 (enam) bulan s.d. tanggal 2 Mei
2004, sedangkan dalam pasal 5 ayat 2 diatur bahwa atas kesepakatan tertulis antara Bank dan
Penerima Kredit, jangka waktu kredit tersebut dapat diperpanjang. Adanya pasal 5 ayat 2
tersebut memberikan kesempatan kepada debitur apabila pada saat jatuh tempo kredit tidak
dapat dilunasi maka dapat dimohonkan perpanjangan, sedangkan apabila isi PK tersebut
mempertimbangkan pendapat pejabat KPK di atas, maka kredit seharusnya lunas pada saat
jatuh tempo dalam jangka waktu 6 bulan, yaitu tanggal 2 Mei 2004 dan tidak bisa diperpanjang
lagi.
d. Persetujuan kredit kepada PT MM dilakukan sebelum mendapat pertimbangan dari
Dewan Komisaris Bank BNI
Persetujuan permohonan KMK transaksional sebesar Rp100.000,00 juta disampaikan kepada
PT MM melalui SKK No. KPI/3/152/R tanggal 27 Oktober 2003. Fasilitas tersebut kemudian
didudukkan dalam PK No.2003/KPS/81 tanggal 3 Nopember 2003. Surat konsultasi Direksi
BNI kepada Dekom baru disampaikan tanggal 28 Oktober 2003 dengan surat No.DIR/374.
Sedangkan tanggapan Dekom baru disampaikan dengan surat No.DK/095 tanggal 4 Nopember
2003. Dengan demikian persetujuan kredit PT MM efektif pada tanggal 27 Oktober 2003
sebelum mendapat pertimbangan konsultasi dari Dekom.
Hal tersebut tidak sesuai dengan SK Menteri Keuangan No.S-150a/MK.017/1997
tanggal 14 Maret 1997 dan BPP Perkreditan Bab II Sub Bab D Sub Sub Bab 04 point 05 yang
mengatur bahwa dalam pemberian kredit dengan jumlah Rp50.000.000.000,00 ke atas baik
kredit investasi maupun kredit modal kerja harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan Dewan
Komisaris masing-masing dengan ketentuan tidak dilakukan pemecahan terhadap suatu usulan
proyek.
118

e. KMKE Transaksional sebesar eq. Rp100.000,00 juta yang seharusnya lunas dalam
tempo 6 bulan dijadikan KMKE Revolving
Berdasarkan PAK MM Group pada MAK No PAK:ARK/4/006 tanggal 2 April 2004,
diketahui bahwa KMKE insidentil PT MM sebesar eq. Rp100.000,00 juta diusulkan untuk
diswitching menjadi KMKE permanen sesuai surat permohonan debitur
No.639.Hm/III/MM/04/ tanggal 10 Maret 2004. Dari MAK tersebut diketahui bahwa Pgs.
Pemimpin Kelompok ARK dan Pengelola ARK menyebutkan bahwa berdasarkan persyaratan
kriteria ekspansi kredit, maka perusahaan–perusahaan yang tergabung dalam MM Group yang
saat ini mengajukan kredit, tidak memenuhi persyaratan untuk dapat dipertimbangkan
permohonan kreditnya karena adanya penyimpangan financial covenant dan fasilitas yang
dimohon akan mengakibatkan penambahan eksposure kredit, walaupun CRR PT MM 5B
(termasuk investment grade). Namun dengan mempertimbangkan peluang bisnis, maka
permohonan tersebut layak dipertimbangkan dengan catatan penyimpangan financial covenant
tersebut mendapat persetujuan exception Direksi. Maka untuk meminimalisir resiko perlu
disyaratkan hal-hal sebagai berikut :
1) PT MM diminta untuk memperbaiki kondisi keuangan, sehingga financial covenant yang
ditetapkan Bank BNI yaitu CR minimum 1,3 kali dan DER maksimum 2,20 kali dapat
dipenuhi. Apabila pada review kreditnya hal ini tidak bisa dipenuhi, maka pendudukan
KMK Revolving tersebut agar ditinjau kembali.
2) Diusahakan yang bersangkutan bersedia menyerahkan jaminan tambahan sehingga
memenuhi persyaratan covenant jaminan.
Selanjutnya Pimpinan Kelompok PMK2 dan Pengelola Nasabah mengusulkan adanya
perubahan persyaratan yaitu dari KMKE Insidental sebesar US$11,778.50 ribu menjadi
KMKE R/C Terbatas dengan jangka waktu dari tanggal 2 Mei 2004 s/d tanggal 9 Desember
2004 serta adanya keringanan tingkat suku bunga kredit. Usulan tersebut kemudian disetujui
oleh semua pejabat KPK dalam IPK tanpa Nomor dan tanggal, dalam Formulir Pengawasan
Sirkulasi (BNI-134A) KPS/3/P.38 tanggal 13 April 2004. Persetujuan tersebut kemudian
diteruskan ke PT MM melalui SKK No.KPS/063/R tanggal 27 Mei 2004 berupa perpanjangan
dan perubahan fasilitas kredit antara lain:
1) Perpanjangan KMKE sebesar US$12,411.30 selama satu tahun sejak tanggal 10 Desember
2003 sampai dengan 9 Desember 2004.
2) Perubahan KMKE Insidentil menjadi Plafond KMKE sebesar US$11,778.50 ribu dan
perpanjangan sejak jatuh tempo tanggal 3 Mei 2004 s/d 9 Desember 2004 (termasuk
perpanjangan sementara 3 bulan s/d tanggal 2 Agustus 2004) serta didudukkan dalam P3K
No.(2) 2003/KPS/81 tanggal 9 Juni 2004.
3) KI pokok dan KI-IDC tidak mengalami perubahan jatuh tempo 26 Desember 2007,
didudukkan dalam PK No.2001/KPI/27 tanggal 27 Juni 2001
4) Plafond GB Rp40.000,00 juta diperpanjang selama 12 bulan sejak tanggal 10 Desember
2003 s/d tanggal 9 Desember 2004.
5) Forex Line menjadi sebesar US$5,000.00 ribu dari semula US$20,000.00 ribu
diperpanjang selama 12 bulan sejak tanggal 10 Desember 2003 s/d tanggal 9 Desember
2004. Pelaksanaannya dengan menandatangani Persetujuan Perubahan Perjanjian Kredit
(P3K)
119

Proses perpanjangan kredit PT MM tersebut diketahui terdapat hal-hal yang tidak sesuai
dengan ketentuan CPC dan BPP Perkreditan BNI, yaitu:
1) Perubahan Perpanjangan Perjanjian Kredit (P3K) ditandatangani setelah kredit jatuh
tempo
Fasilitas KMKE transaksional sebesar US$11,778.50 ribu akan jatuh tempo tanggal 2 Mei
2004, dengan surat No.KPS/063/R tanggal 27 Mei 2004 disetujui untuk diperpanjang s/d
9 Desember 2004 (termasuk P3K sementara 3 bulan tanggal 9 Juni 2004). Perpanjangan
sementara sekaligus didudukkan dalam P3K No.2003/KPS/81 tanggal 9 Juni 2004.
Perpanjangan P3K sementara tanggal 9 Juni 2004 tersebut telah lewat satu bulan sejak
kredit jatuh tempo tanggal 2 Mei 2004.
Dalam BPP Perkreditan Buku I Bab II Sub Bab H Sub Sub Bab 06 point 06 mengatur
bahwa apabila perpanjangan telah mendapat persetujuan, selanjutnya dibuat P3K dibawah
tangan. P3K tersebut harus sudah ditandatangani sebelum kredit jatuh tempo. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa P3K ditandatangani setelah kredit jatuh tempo.
2) Jaminan CEV Controlled tidak mengcover pemberian kredit
Berdasarkan ketentuan persyaratan ekspansi kredit tahun 2004 dalam CPC No.98 tanggal
27 Januari 2004 telah diatur untuk debitur existing antara lain :
a) Hasil analisa CRR berada pada rating 1 s/d 5
b) Penyimpangan financial covenant (CR dan/atau DER) hanya diperkenankan s/d 20%,
tetapi harus dicover dengan syarat lainnya (jaminan) yang lebih kuat dan proyeksi 3
tahun harus menunjukkan pemenuhan persyaratan financial covenant dapat terpenuhi.
c) Penyimpangan dalam batasan toleransi tersebut tidak perlu dimintakan Exception.
d) Syarat jaminan diatur apabila sebelum tambahan ada penyimpangan kecukupan
jaminan, maka untuk tambahan harus ada tambahan jaminan yang dapat mengcover
tambahan kredit yang akan diberikan.
Dari MAK No.PAK:Ark/4/006 tanggal 2 April 2004 diketahui bahwa pemenuhan
ketentuan ekspansi kredit untuk PT MM menunjukkan data sebagai berikut:
Kriteria Persyaratan Realisasi Memenuhi/Tidak memenuhi
CRR PT
MM
Financial
Covenant
1 s/d 5 Per 30-09-2003
CR = 1,30 kali
DER = 2,20 kali
Jaminan CEV Controlled
34,83%
sebesar 5B
CR = 1,20 kali
DER = 2,42 kali
CEV Controlled
22,04%
Bersifat moderat atau dapat
diterima, sedangkan B adanya dua
pelanggaran CR dan DER
Menyimpang 7,7% Menyimpang
10%
Penyimpangan 2 financial
covenant lebih kecil dari 20%
CEV Controlled tidak memenuhi
Total CEV 65,11% Total CEV 66,39%
Dari data di atas, sehubungan pengajuan permohonan switching KMKE Insidentil menjadi
KMKE Revolving sebagian memenuhi kriteria ekspansi namun mengingat terdapat
financial covenant maka harus dicover dengan jaminan yang kuat. Sedangkan jaminan
120

yang ada sehubungan dengan permohonan switching fasilitas US$11,778.50 ribu menjadi
KMK permanent, adalah sebagai berikut:
(dalam jutaRupiah)
Jenis jaminan Syarat min. Tersedia Lebih/(kurang)
CEV Controlled 163.462,00 103.425,00 (60.036,00)
CEV Uncontrolled 142.093,00 208.178,00 66.086,00
Total CEV 305.555,00 311.603,00 6.049,00
Penyerahan jaminan tersebut tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BNI, yaitu
masih terjadi kekurangan CEV Controlled.
Berdasarkan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 butir 5 diketahui bahwa
persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur adalah untuk CEV controlled sebesar
50% dan total CEV minimal 100% dari maksimum kredit.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan switching fasilitas KMK insidentil
menjadi KMK permanent sebesar US$11,778,500.00 belum memperhatikan ketentuan
CPC No.98 tanggal 27 Januari 2004 dan BPP Perkreditan Bank BNI. Dengan jaminan
yang tidak mencukupi fasilitas yang diberikan, menyebabkan resiko kredit bertambah
besar.
f. Perusahaan penjamin asuransi bukan perusahaan rekanan Bank BNI dan penutupan
pertanggungan asuransi hanya sebesar Rp172.000,00 juta
Dari Formulir Ikhtisar Taksasi Jaminan PT MM tanggal 9 Maret 2004 dan MAK
No.PAK:ARK/4/006 tanggal 2 April 2004 tentang permohonan switching KMK insidentil
menjadi KMK permanen diketahui bahwa jaminan insurable yang diserahkan sebesar
Rp575.314,00 juta, sedangkan pertanggungan asuransi hanya sebesar Rp172.000,00 juta pada
perusahaan asuransi PT China Insurance Indonesia yang bukan rekanan BNI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Perkreditan Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 06
halaman 1 bahwa terhadap barang-barang jaminan kredit yang insurable wajib ditutup asuransi
dan dalam setiap penutupan pertanggungan barang-barang jaminan harus dicantumkan syarat
Bankers Clause –Bank BNI. Point 2. nama-nama perusahaan asuransi yang telah disetujui
sebagai Asuradur Bank BNI dan daerah kerjanya masing-masing agar dipedomani ketentuan
yang dikeluarkan oleh Divisi PAR. Sedangkan PT China Insurance Indonesia tidak termasuk
dalam daftar yang dikeluarkan oleh Divisi PAR. Point 4.a. dalam melaksanakan penutupan
asuransi, nilai pertanggungan harus selalu disesuaikan dengan nilai sebenarnya dari barang
jaminan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah pertanggungan di bawah harga (under insured)
atau di atas harga (over insured)
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Tambahan kredit kepada PT MM menambah exposure dan meningkatkan risiko bagi Bank
BNI
b. Bank BNI tidak memperoleh penyelesaian kredit tepat waktu.
c. Dewan Komisaris tidak dapat mempertimbangkan secara dini terhadap kelayakan pemberian
kredit tambahan kepada PT MM
Hal tersebut disebabkan oleh :
121

a. Bagian kredit tidak mematuhi ketentuan yang berlaku dalam CPC dan BPP Perkreditan Bank
BNI
b. Bagian administrasi kredit belum mengakomodir pendapat beberapa pejabat KPK dalam
pembuatan PK.
c. Pejabat KPK lebih menekankan penilaian prospek usaha dan pendapatan bank, dengan
mengecualikan persyaratan persetujuan kredit.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Sebagaimana telah diatur dalam CPC 89 tgl.27-12-2002 bahwa kebijakan ekspansi kedit untuk
debitur existing diperkenankan penyimpangan financial covenant kurang dari 20%.
Penyimpangan financial covenant lebih dari 20% harus dengan persetujuan khusus (CPC 98
tgl. 9-1-2004).
1) Pada saat analisa dilakukan, persyaratan DER memang belum memenuhi ketentuan BNI
dan hal ini telah mendapat persetujuan khusus karena pertimbangan bahwa PT.MM
memiliki Track Record dan prospek bisnis yang dinilai baik. Berdasarkan Laporan
Keuangan per Desember 2004, syarat DER ini telah terpenuhi (2,01 kali).
2) CEV Controlled belum memenuhi ketentuan BNI namun pada posisi per. 31-12-2003
total CEV jaminan telah mengcover fasilitas kreditnya (109%). Atas kekurangan CEV
Jaminan Controlled tersebut diatas telah mendapat persetujuan khusus karena
pertimbangan yang sama dengan butir 1 diatas.
3) Dilihat dari segi rating CRR dan CCR rating resiko PT.MM sebesar 6B (early warning).
Hal ini telah mendapat persetujuan KPK dengan pertimbangan resiko kredit ini masih
dapat dimitigasi, dengan cara seluruh transaksi dan hasil ekspornya disalurkan melalui
BNI serta hal ini telah dituangkan dalam Perjanjian Kredit.
4) Kredit ini telah didudukkan dengan jangka waktu 6 bulan sebagai KMK Transaksional
sesuai keputusan KPK. Adanya pasal 5.2 merupakan standar PK transaksional yang
menyatakan bahwa “atas kesepakatan tertulis antara bank dan debitur fasilitas tsb dapat
diperpanjang”. Namun demikian hal ini tidak berarti secara otomatis kredit dapat
diperpanjang tetapi bank tetap memiliki kewenangan untuk tidak memperpanjang apabila
menurut penilaian bank tidak layak atau tidak bankable untuk diteruskan. Untuk
penyempurnaan kedepan akan dikonsultasikan kembali dengan Divisi Operasional
(Kelompok ADK).
5) Meskipun tanggapan Dekom baru diterima pada tgl.4-11-2003, namun konsultasi Dekom
telah dilakukan pada tgl.30-10-2003 dan Perjanjian Kredit ditandatangani tgl.3-11-2003.
Di dalam SKK yang diterbitkan pada tgl. 27-10-2003 telah dipersyaratkan bahwa Surat
Keputusan Kredit tersebut baru mempunyai kekuatan hukum yang mengikat setelah
didudukkan dalam perjanjian kredit.
b. Karena kondisi usahanya yang sudah berubah yaitu adanya peningkatan harga bahan baku
CPO dan peningkatan penjualan, maka kredit ini perlu diperpanjang kembali untuk
mendukung kebutuhan modal kerja tersebut.
1) PK perpanjangan ditanda tangani setelah kredit jatuh tempo karena persetujuan dari KPK
baru diperoleh setelah tanggal jatuh tempo kredit. Walaupun demikian PK perpanjangan
tersebut berlaku surut sejak kredit jatuh tempo. Untuk penyempurnaan kedepan hal
tersebut akan menjadi perhatian kami.
122

2) CEV Controlled belum memenuhi ketentuan BNI namun pada posisi per. 31-12-2003
total CEV jaminan telah mengcover fasilitas kreditnya (109%). Atas kekurangan CEV
Jaminan Controlled tersebut diatas telah mendapat persetujuan khusus karena
pertimbangan yang sama dengan butir a.1 diatas.
3) Perusahaan asuransi China Insurance belum tercantum sebagai rekanan asuransi BNI,
namun karena telah lama berjalan dengan reputasi yang baik, maka diberikan persetujuan
khusus oleh KPK. Selanjutnya penutupan asuransinya akan ditingkatkan menjadi senilai
insurablenya cfm surat penegasan kepada Debitur No. KPI/3/1163/R tgl. 2 Juni 2005 dan
debitur telah menyanggupinya.
BPK – RI menyarankan agar Pejabat Bank BNI lebih menekankan prinsip kehati-hatian
dalam memberikan persetujuan kredit kepada debitur tanpa mengesampingkan pendapatan bank
dengan tetap mematuhi ketentuan yang berlaku, baik ketentuan intern maupun ekstern.
17. Restrukturisasi kredit PT RAPP sebesar US$125.448,00 ribu melalui kapitalisasi bunga
tidak sesuai dengan SK BI No.27/162/Kep/Dir
PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP) didirikan pada tanggal 15 Mei 1989 dengan
Akte No.76 yang dibuat oleh Notaris Arikanti Kusuma, SH. Perusahaan beralamat kantor di Jl.
Teluk Betung No.31 Jakarta Pusat dan lokasi pabrik (proyek) di Desa Kerinci, Langgam, Kampar,
Riau yang merupakan satu kawasan (Riau Complek) bersama pabrik PT Riau Andalan Kertas
(PT RAK) dan PT Riau Prima Energi (PT RPE) yang tergabung dalam Raja Garuda Mas Grup
(RGM Grup).
Susunan pemegang saham terdiri dari tiga perusahaan yaitu; The Asia Pasific Resources
International Holding Ltd. (PT APRIL) sebesar US$1,467.70 ribu , PT Tanoto Danaperkasa
sebesar US$336.18 ribu dan PT RGM Pulp and Paper sebesar USD199.34 ribu atau seluruhnya
sebesar US$2.003.22 ribu, dengan key person Sukanto Tanoto. Berdasarkan Akte No.79 dan 276
tanggal 27 Februari 1999, susunan pengurus PT RAPP antara lain Sukanto Tanoto sebagai
Presiden Komisaris, Prof. Dr. Wahyudi Prakasa dan Cosmas Batubara sebagai Komisaris dan
Protarisius Daritan sebagai Presiden Direktur. Sedangkan pengurus PT RAPP menurut Akte No.83
tanggal 21 Desember 2004 antara lain AJ. Devanesan sebagai Komut dan Irsan Syarief sebagai
Dirut perseroan.
PT RAPP bergerak dibidang industri pengolahan kayu menjadi bubur kertas (pulp) yang
mulai beroperasi secara komersial sejak bulan Februari 1995. Hasil produksi berupa pulp
disalurkan untuk bahan baku produksi PT RAK dan sebagian besar diekspor melalui perusahaan
afiliasi RGM Group, yaitu Asia Fine Paper Trading Ltd yang berkedudukan di Singapura.
PT RAPP mendapat fasilitas KI sindikasi sebesar US$284,996.17 ribu diantaranya porsi
BNI sebesar US$69,757.76 ribu yang digunakan untuk membiayai pembangunan industri pulp and
paper yang berlokasi di Riau. Terjadinya krisis ekonomi dan harga pulp dunia yang menurun
mengakibatkan PT RAPP mengalami kesulitan likuiditas termasuk grup usahanya yang merupakan
kesatuan usaha dibidang industri pulp and paper yaitu PT RPE sebagai perusahaan pemasok energi
dan PT RAK sebagai perusahaan pengolah pulp menjadi kertas. Kemudian fasilitas kredit telah
direstrukturisasi sebanyak tiga kali sejak tanggal 30 Juni 1999 dan yang terakhir merevisi syarat
kredit pada tanggal 30 September 2002.
123

Baki debet kredit PT RAPP pada BNI per tanggal 31 Januari 2005 adalah sebesar
US$125,448.00 ribu dengan kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Gol.II). Fasilitas kredit
tersebut didukung dengan penyerahan jaminan yang diparipasu dengan bagian BNI sebesar
21,87% dengan CEV Controlled 190,72%, Uncontrolled 25,26% sehingga total CEV 215,98%.
T\taksasi jaminan terakhir pada tanggal 31 Desember 2002 oleh PT Satyatama Tama Graha dan
diasuransikan pada PT Asuransi Ramayana Tbk. yang berlaku sd tanggal 30 Juni 2005.
Hasil pemeriksaan atas dokumen pemberian kredit PT RAPP, diketahui hal-hal sebagai
berikut :
a. Penangguhan kewajiban bunga kredit PT RAPP digunakan untuk investasi/ pembiayaan
Pulp Line 2A (PL2A)
PT RAPP dengan surat No.243/S-RAPP/V/1999 tanggal 21 Mei 1999, mengajukan
penjadwalan kembali atas jangka waktu kredit dan penangguhan pembayaran kewajiban bunga
karena menurunnya harga pulp and paper. Sesuai IPK No.DKS/2/4091/R tanggal 15
Nopember 1999, Review PAK dan MPK tanggal 30 September 1999, diketahui hal-hal
sebagai berikut:
- Maksimum kredit PT RAPP terdiri dari KI sebesar US$69,757.76 ribu dan KMK sebesar
US$32,638.00 ribu (konversi tanggal 10 Juni 1999 dari sebesar Rp251.319,00 juta),
maksimum fasilitas kredit PT RAK terdiri KI US$85,899.56 ribu dan KMK sebesar
US$5,974.00 ribu, kedua fasilitas tersebut digolongkan kurang lancar (III).
- Permasalahan RGM Grup terjadi karena adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda
Indonesia sehingga perusahaan mengalami kesulitan keuangan terutama PT RAK
sedangkan PT RAPP relatif baik. Permasalahan lainnya karena adanya proyek PL2A yang
masih dalam tahap pembangunan sehingga masih memerlukan dana. Selain itu seluruh
pemberi kredit menghentikan pembiayaan yang telah disetujui termasuk suplier dari luar
negeri. Kondisi proyek yang akan dilanjutkan dalam masa restrukturisasi kredit adalah :
1) PT RPE terdiri dari Plan 1 yang telah selesai 100% dan Plan II mencapai 90%,
kekurangan pendanaannya akan dipenuhi dari dana sendiri.
2) PT RAPP terdiri dari Plan I yang telah selesai 100%, proyek PL2A baru mencapai
setara 60%, kekurangan pendanaannya akan bersumber dari bunga yang
ditangguhkan dari seluruh bank sindikasi.
3) PT RAK terdiri dari Plan I telah selesai 100% dan Plan II baru mencapai 30% yang
penyelesaiannya ditunda dan akan diselesaikan sendiri oleh pemegang saham jika
kondisi telah memungkinkan.
Dari evaluasi laporan keuangan diketahui bahwa PT RAPP pada tahun 1997 masih rugi
usaha sebesar US$54,670.00 ribu, tahun 1998 memperoleh laba usaha sebesar
US$3,273.00 ribu dan s.d Juni 1999 peningkatan laba usaha menjadi sebesar US$9,085.00
ribu. Sedangkan PT RAK s.d. bulan Juni 1999 masih rugi sebesar US$54,67.00 ribu,
karena kapasitas produksi baru mencapai 50 s.d 60%. Sehingga tingkat kemampuan
perusahaan membayar bunga s.d Juni 1999 masih rendah, seperti adanya tunggakan bunga
yang belum diselesaikan.
- Asumsi proyeksi kas PT RAPP dengan memperhitungkan kapasitas Plan 1 mencapai
850.000 ton per tahun, bunga kredit dapat dibayar dengan tingkat 12% atau sesuai dengan
bunga berlaku serta dapat menyelesaikan hutang pokok hingga tahun 2004. Sedangkan
124

RGM Grup lainnya harus menyelesaikan pinjaman seluruh kewajiban kreditnya seperti
kredit PT RAK (di Bank BNI) dan PT RPE.
Untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan kewajiban
tersebut, maka proyek PL2A yang telah mencapai hingga 60% perlu dilanjutkan dengan dana
yang bersumber dari bunga yang ditangguhkan dari seluruh pinjaman lokal kepada RGM Grup
sebesar 10%, selama 18 bulan. Selanjutnya diusulkan restrukturisasi kredit PT RAPP dan
PT RAK yang digabung menjadi satu RGM Grup berupa perpanjangan jangka waktu KMK
dan penangguhan pembayaran bunga. Usulan tersebut disetujui sesuai hasil Rapat Direksi
Bank BNI tanggal 12 Oktober 1999 dan PAK No.DKS/2/4091/R tanggal 15 Nopember 1999
dan SKK No.DKS/2/435/R dan DKS/2/1472/R tanggal 7 Desember 1999.
Selanjutnya ditetapkan kedalam Perjanjian Restrukturisasi kredit PT RAPP No.55
tanggal 30 Juni 2000 dengan skema penyelamatan kredit berupa keringanan pembayaran
bunga dan penjadwalan kembali angsuran pokok s.d. tahun 2006 yang berlaku sejak tanggal 1
September 1999 dan menangguhkan pembayaran bunga sejak bulan September 1999 s.d.
Februari 2001 atau selama 18 bulan. Penangguhan bunga tersebut dihitung dari tingkat bunga
yang ditetapkan atas fasilitas kredit PT RAPP sebesar tingkat bunga rata-rata simpanan
berjangka enam bulan dari enam bank sindikasi ditambah 3,5% (TDR 6 bulan + 3,5%)
minimal 12%. Cara pembayarannya yaitu bunga dibayar efektif sebesar 2% dan sisanya 10%
ditangguhkan selama 18 bulan sebesar US$28,585.65 ribu. Bunga yang ditangguhkan akan
dibukukan secara ekstra comptable untuk seluruh rekening yang dikenakan penundaan
pembayaran bunga tersebut, atau Bank BNI melakukan penghapusan atas pembayaran bunga
yang ditangguhkan.
Berdasarkan surat Divisi Kredit Khusus No.DKS/5/871 tanggal 17 Oktober 2000,
diketahui bahwa prinsip awal dilakukan restrukturisasi kredit RGM Group dengan perlakuan
one obligor atas debitur PT RAK, PT RAPP dan PT RPE (Bank BNI membiayai PT RAK dan
PT RAPP) adalah ketiga perusahaan tersebut saling menunjang apabila terdapat salah satu
perusahaan yang tidak dapat menyelesaikan kewajiban kreditnya. Hal tersebut tercermin dari
pemberian fasilitas penangguhan bunga yang dibentuk untuk dana pembangunan PL2A milik
PT RAPP. Pada saat restrukturisasi disetujui efektif sesuai SKK tanggal 7 Desember 1999
progres proyek sudah mencapai 60%. Pada tanggal 2 Agustus 2000 progres mencapai 97,52%,
dan pada bulan Januari 2001 telah beroperasi secara komersial.
Persetujuan restrukturisasi kredit RGM Grup tersebut tidak tepat, dengan memberikan
kesempatan RGM Grup memperbesar usahanya sedangkan Bank BNI kehilangan kesempatan
untuk memanfaatkan pendapatan dalam waktu cepat.
b. Ratio keuangan PT RAPP tidak memenuhi ketentuan
Berdasarkan laporan keuangan PT RAPP yang telah diaudit, diketahui bahwa CR dan DER
PT RAPP adalah sebagai berikut:
Ratio 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
CR 0,18 0,62 0,60 0,60 0,41 0,35 0,62 0,47
DER 0,99 1,16 1,33 1,39 1,11 1,19 0,96 1,02
125

Ratio CR selama tahun 1997 s.d. 2001 belum mencapai 1,20 kali, hal tersebut tidak sesuai
dengan ketentuan BPP Bab I, SubBab G,05 yaitu syarat ketentuan minimum CR sebesar 1,2
kali dan maksimum DER sebesar 2,30 kali.
c. Penetapan jadwal pelunasan IBP tidak memenuhi ketentuan
Perjalanan fasilitas kredit RGM Group sejak tanggal 30 Juni 2000 s.d. 5 Juli 2002
telah dilakukan retrukturisasi kredit sebanyak tiga kali, restrukturisasi ketiga berdasarkan nota
kesepakatan tanggal 5 Juli 2002 dengan skema fasilitas kredit menjadi sebagai berikut :
(dalam ribu US$)
Debitur Tranche A Tranche B Tranche C Jumlah
PT RAPP 14,658.57 76,050.18 38,837.34 129,546.10
PT RAK 20,426.89 81,889.71 30,842.96 133,169.57
Total BNI 35,085.46 157,939.89 69,680.30 262,715.67
Total sindikasi 116,287.53 596,397.69 253,120.84 965,806.34
Berdasarkan penelitian lebih lanjut diketahui bahwa tranche C merupakan kewajiban atas
penangguhan bunga PT RAPP. Kewajiban tersebut akan dilunasi pada tahun 2010 sebesar
100% atau dalam jangka waktu 8 tahun.
Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan atas penangguhan bunga (Interest Ballon
Paymet/IBP) dalam BPP Buku IV Sub.Bab G.04 yang menyebutkan antara lain bahwa jangka
waktu IBP maksimum selama 3 tahun dan dapat direscheduling menjadi maksimal 5 tahun.
d. Kebijakan restrukturisasi kredit PT RAPP melalui kapitalisasi bunga kredit melanggar
ketentuan BI
Berdasarkan surat Bank BNI No.DKS/2/1472/R tanggal 7 Desember 1999 mengenai
Restrukturisasi Fasilitas Kredit atas nama PT RAPP, diketahui bahwa keputusan Direksi Bank
BNI dalam Rapat Direksi tanggal 12 Oktober 1999 antara lain menyetujui pemberian
restrukturisasi kredit dengan menagguhkan bunga kredit PT RAPP. Berdasarkan surat Divisi
Kredit Khusus No.DKS/2/208/R tanggal 17 Mei 2000 kepada direksi, diketahui bahwa
tunggakan kewajiban bunga kredit PT RAPP s.d. tanggal 31 Agustus 1999 sebesar
Rp100.330,00 juta dan US$8,673.00 ribu. Tunggakan bunga tersebut selanjutnya didudukkan
dalam PK tersendiri dimana tingkat suku bunga ditetapkan berdasarkan tingkat bunga rata-rata
simpanan berjangka/ time deposit rate (TDR) enam bulan dari 6 bank sindikasi ditambah 3,5%
minimal sebesar 12% dengan cara pembayaran efektif sebesar 2% sejak 1 September 1999 s.d.
28 Februari 2001 sedangkan sisanya sebesar 10% ditangguhkan. Untuk tahun selanjutnya
bunga ditetapkan sebesar TDR + 3,5% yang direview setiap delapan bulan. Bunga yang
ditangguhkan akan dibukukan secara ekstracomptable untuk seluruh rekening yang terjadi
penundaan pembayaran bunga,
Kebijakan Direksi Bank BNI atas pemberian skema restrukturisasi kredit PT RAPP
tersebut tidak sesuai dengan SK Direksi BI No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995
tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank, Bab VII mengenai penyelesaian
kredit bermasalah point 700.d. yang antara lain menyebutkan bahwa bank tidak melakukan
penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah plafond kredit atau tunggakantunggakan
bunga dan mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau lazim dikenal dengan
praktek plafondering kredit.
126

Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Bank BNI kehilangan kesempatan untuk menikmati pendapatan dalam waktu cepat sesuai
jatuh tempo kredit.
b. Bank BNI menanggung resiko atas pengembalian kredit PT RAPP yang tidak didukung
dengan kondisi keuangan yang sehat.
c. Eksposure kredit PT RAPP menjadi lebih besar dengan mengkapitalisasi bunga menjadi pokok
kredit.
Hal tersebut disebabkan oleh :
a. Pedoman Perkreditan Bank BNI memperkenankan kapitalisasi bunga/plafondering yang
dimuat dalam BPP BNI Bab IV, SubBab A, 03, tentang restrukturisasi adalah perubahan
syarat-syarat kredit yang menyangkut; penambahan dana bank, konversi seluruh/ sebagian
tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan atau konversi seluruh atau sebagian dari
kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.
b. Bank BNI kurang memperhatikan kepentingan bank dalam menetapkan skema
restrukturisasi kredit PT RAPP.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Tujuan pemberian penangguhan pembayaran bunga yang digunakan untuk
pembangunan/pembiayaan PL2A adalah dalam rangka penyelamatan kredit BNI dan Bank
peserta sindikasi lainnya secara menyeluruh, baik untuk PT. RAPP, RPE maupun PT. RAK.
Persetujuan pemberian restrukturisasi didasarkan :
- Pada ketiga perusahaan ini banyak tertanam Asset Bank Pemerintah, BPPN, dan Bank
Swasta lainnya, serta banyak menyerap tenaga kerja.
- Rekstrukturisasi secara bersama lebih baik, karena ada cross subsidi.
- Kondisi saat itu memperlihatkan kondisi ekonomi secara keseluruhan dalam kondisi krisis
sehingga perlu dilakukan penyehatan perekonomian baik oleh Pemerintah, Bank maupun
oleh pihak Swasta. Restrukturisasi ketiga perusahaan tersebut telah sejalan dengan
kebijakan Pemerintah yang dilaksanakan melalui JITF dan KKSK.
- Dalam restrukturisasi ketiga perusahaan ini tidak ada pengurangan bunga atau pokok, yang
ada hanyalah penangguhan bunga, sehingga ybs masih mempunyai kewajiban.
- Pembangunan PL2A pada waktu restrukturisasi dilakukan telah mencapai +/- 60 %,
sehingga apabila tidak dilanjutkan maka dana yang telah tertanam dikhawatirkan akan
hilang sehingga kerugian menjadi lebih besar. Pada dasarnya restrukturisasi tsb bukan
merupakan ekspansi kegiatan usaha PT. RAPP, namun dalam rangka penyelamatan asset
yang sudah ada dan memiliki potensi untuk menghasilkan keuntungan.
b. Kondisi keuangan perusahaan kurang baik, dimana rasio CR dan DER belum memenuhi
persyaratan bank karena masih dalam masa pembangunan. Untuk menyehatkan keuangan
perusahaan harus dilakukan restrukturisasi dan kondisi keuangan saat ini menunjukkan
perkembangan cukup baik.
c. Dalam menentukan besarnya kemampuan perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban, telah
dilakukan analisa oleh konsultan independent (Deloitte Touche) dan dinegosiasikan antara
para kreditur dan debitur yang ditengahi oleh JITF, sehingga disetujui secara unanimous
127

dengan persyaratan bahwa kewajiban pokok harus diselesaikan terelebih dahulu baru
kemudian menyelesaikan kewajiban bunga tertunggak (IBP) dan dinilai cara tersebut lebih
seimbang bagi semua pihak.
d. Kebijakan restrukturisasi yang antara lain mendudukan bunga tertunggak menjadi plafon baru
(Tranche C) terkait dengan langkah-langkah penyelamatan yang dilaksanakan sesuai kondisi
debitur saat itu, dan telah memperoleh persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan
(KKSK) No. S-173/M.EKUIN/06/2000 tanggal 29 Juni 2000.
BPK – RI menyarankan agar Direksi BNI:
a. Mengkaji ulang BPP Bab IV, Sub Bab A, 03 khususnya yang menyangkut konversi
seluruh/sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru sehingga tidak bertentangan
dengan peraturan BI No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 Bab VII point 700.d.
b. Mengirim surat kepada PT RAPP agar ketentuan minimal CR sebesar 1,2 kali diupayakan
untuk dipenuhi.
18. Persetujuan fasilitas kredit PT Kencana Acidindo Perkasa sebesar Rp179.650,00 juta belum
sepenuhnya memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
PT Kencana Acidindo Perkasa (PT KAP) didirikan di Lampung tanggal 11 Agustus 1995
berdasarkan akte No. 162 tanggal 11 Agustus 1995. Perusahaan bergerak dalam bidang usaha
perkebunan dan Industri pengalengan nenas. PT KAP beralamat di Wisma Budi lantai 9 Jalan HR.
Rasuna said Kavling C-6 dengan lokasi pabrik di Jalan Ikan Kakap No. 9 – 12 Pesawahan, Teluk
Betung Selatan, Bandar Lampung. PT KAP tergabung dalam Sungai Budi Group (SBG), yang
mulai beroperasi sejak tahun 1947 dalam bidang perdagangan hasil bumi. Dalam perjalanannya
SBG mengembangkan usahanya dalam produksi dan distribusi minyak goreng, beras berikut
turunannya (tepung beras dan bihun) serta distribusi rokok kretek dan property.
Berdasarkan Akta Risalah Rapat No. 33 tanggal 10 April 2002, pemegang saham PT KAP
adalah Widarto dan Santosa Winata masing-masing sebesar 50% dari nilai saham Rp17.500,00
juta. Berdasarkan Akta No. 30 tanggal 2 September 1996 pengurus PT KAP adalah Widarto
sebagai Komisaris dan Santosa Winata sebagai Direktur.
PT KAP mulai berhubungan dengan BNI ketika mengajukan fasilitas KI untuk mengambil
alih areal perkebunan PT Mira Rantih seluas 5.055 Ha yang akan digunakan untuk perkebunan
tanaman nenas seluas 3.500 Ha dan tanaman kelapa sawit seluas 1.039 Ha, serta mengambil alih
kredit dari BII dalam bentuk KI sebesar Rp38.054,58 juta dan KMK sebesar Rp17.000,00 juta.
Berdasarkan data portepel kredit diketahui posisi kredit PT KAP per tanggal 30 April 2005
adalah Rp163.994,07 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Jaminan yang diserahkan belum
memenuhi ketentuan yaitu CEV Controlled 47,32%, Uncontrolled 4,51% atau total CEV jaminan
sebesar 51,83%. Jaminan tersebut telah diikat secara fidusia dan telah diasuransikan kepada
PT Asuransi Raksa Pratikara dan PT Asuransi Jasa Proteksi yang berlaku s.d. tanggal 28 Agustus
2005.
Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut diketahui permasalahan-permasalahan sebagai
berikut :
a. Persetujuan KPK atas pemberian fasilitas kredit sebesar Rp179.650,00 juta belum sesuai
dengan ketentuan CPC dan BPP BNI
128

PT KAP mengajukan permohonan kredit kepada BNI dengan surat No.
031/KAP/FD/III/04 tanggal 19 Maret 2004 untuk keperluan tambahan modal kerja kelapa
sawit dan untuk mengambil alih fasilitas kredit dari BII. Permohonan tersebut kemudian
dianalisa dalam MAK PAK 02-01 No. ARK/1/021 tanggal 27 Mei 2004. Dari MAK tersebut
diketahui bahwa Pengelola Kelompok Analisa Resiko Kredit (ARK) menyebutkan bahwa pada
dasarnya kepada PT KAP tidak dapat diberikan fasilitas kredit, karena terdapat beberapa syarat
tidak bisa dipenuhi, yaitu terdapat penyimpangan DER dan jaminan PT KAP yang tidak
mengcover fasilitas kredit yang diberikan. Namun dengan pertimbangan bisnis, maka
pemberian kredit dapat dipertimbangkan dengan terlebih dahulu meminta exception atas
penyimpangan tersebut diatas kepada Pejabat KPK. Selanjutnya Pimpinan Divisi Korporasi
Satu, Wakil Kepala Divisi Korporasi Satu, Pimpinan Kelompok PMK-2 dan RM melalui MPK
No. ARK/1/021 tanggal 27 Mei 2004 mengusulkan pemberian fasilitas kredit kepada PT KAP
dengan fasilitas sebagai berikut :
1) KI maksimum sebesar Rp52.820,00 juta untuk keperluan refinancing pembelian kebun
bekas milik PT Mira Rantih dan pengembangan perkebunan nenas dan kelapa sawit
sebesar Rp480.010,00 juta, berjangka waktu 5 tahun sejak PK ditandatangani.
2) KI maksimum sebesar US$4,027.00 ribu (eq. Rp34.230,00 juta) untuk keperluan take over
KI maksimum US$4,027.00 ribu, berjangka waktu 5 tahun sejak PK ditandatangani.
3) KMK maksimum sebesar Rp75.600,00 juta untuk tambahan modal kerja perusahaan
sebesar Rp75.600,00 juta, berjangka waktu 12 bulan sejak PK ditandangani.
4) KMK maksimum sebesar US$2,000.00 ribu (eq. Rp17.000,00 juta) untuk keperluan take
over KMK BII maksimum US$2,000.00 ribu, berjangka waktu 12 bulan sejak PK
ditandatangani.
Permintaan exception tersebut diatas disetujui oleh Pejabat KPK dan selanjutnya
pejabat KPK menyetujui usulan pemberian fasilitas kredit kepada PT KAP melalui Formulir
IPK No. KPS/3/p.59 tanggal 4 Juni 2004. Persetujuan tersebut diteruskan ke PT KAP melalui
SKK No. KPS/3/100/R tanggal 25 Juni 2004 dan dituangkan dalam PK No 16 (KI maksimum
Rp52.820,00 juta), PK No. 17 (KI maksimum US$4,027.00 ribu), PK No. 18 (KMK
maksimum Rp75.600,00 juta), PK No. 19 (KMK maksimum US$2,000.00 ribu) dan PK No.
20 (Plafond L/C maksimum sebesar US$2,000.00 ribu) masing-masing tanggal 29 Juni 2004.
Dalam proses pemberian kredit PT KAP diketahui terdapat beberapa hal yang tidak
sesuai dengan ketentuan CPC dan BPP BNI, yaitu :
1) PT KAP tidak memenuhi persyaratan maksimum DER
Dari MAK tanggal 27 Mei 2004 diatas diketahui bahwa PT KAP tidak memenuhi
persyaratan untuk diberikan kredit, yaitu adanya penyimpangan DER tahun 2001, 2002
dan 30 September 2003 berturut-turut 39,98x, 3,56x, dan 2,47x dari persyaratan DER
maksimum 2,00x. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa terjadi penyimpangan DER dari
ketentuan lebih dari batas toleransi penyimpangan sebesar 10%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan CPC No. 98 tanggal 9 Januari 2004 yang
mengatur persyaratan untuk pemberian kredit kepada calon debitur existing yang
menyebutkan antara lain bahwa “Penyimpangan financial covenant hanya diperkenankan
sampai dengan 20%, tetapi harus dicover dengan syarat lainnya (jaminan) yang lebih kuat
dan proyeksi 3 tahun harus menunjukkan pemenuhan persyaratan financial covenant akan
dapat dipenuhi”.
129

2) Total CEV jaminan yang diserahkan tidak mencover fasilitas kredit
Dari MAK tanggal 27 Mei 2004 diatas diketahui juga bahwa CEV jaminan yang
diserahkan, yaitu CEV Controlled 47,32%, Uncontrolled 4,51% atau Total CEV 51,83%
Hal tersebut tidak sesuai BPP Buku I Bab I Sub Bab J.04 butir 5 bahwa
persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur adalah minimum CEV (Controlled +
Uncontrolled) 100% dan minimum CEV Controlled 50%.
Sehubungan dengan permasalahan jaminan PT KAP tersebut di atas, Divisi
Kepatuhan BNI melalui Laporan Checklist Uji Kepatuhan Rancangan Keputusan Kredit
No. KPN/PGK/055 tanggal 14 Juni 2004 telah memperingatkan bahwa pemberian kredit
kepada PT KAP berisiko tinggi, karena CEV jaminan yang dapat dikuasai BNI kurang
dari 50% maksimum kredit yang diberikan. Walupun telah mendapat peringatan, pejabat
KPK tetap menyetujui pemberian kredit kepada PT KAP.
b. Peringkat kredit (CCR) PT KAP 6 A (Early Warning) sehingga berisiko tinggi
Dari MAK tanggal 27 Mei 2004 diatas diketahui bahwa hasil perhitungan analisa
peringkat kredit PT KAP menunjukkan CCR PT KAP setelah mendapat fasilitas kredit
menjadi 6 A (Early Warning) karena jaminan berupa bangunan yang diserahkan berada di atas
tanah anak perusahaan PT KAP (PT Adhi Karya Gemilang) dimana jaminan tersebut terkait
negative pledge clause (telah dijaminkan ke bank sindikasi oleh anak perusahaan PT KAP),
sehingga yang dapat diperhitungkan sebagai jaminan kredit hanya berupa mesin-mesin di
lokasi tersebut.
c. Permohonan kredit PT KAP tidak dilengkapi dengan legalitas usaha yang lengkap
Dari MAK tanggal 27 Mei 2004 diatas diketahui bahwa legalitas usaha PT KAP belum
dilengkapi dengan Surat Ijin Tempat Usaha (SITU), Undang-Undang Gangguan (UUG), Izin
Usaha Industri dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Berdasarkan BPP Bab
I, Sub Bab A, Sub-Sub Bab 05 diketahui bahwa legalitas usaha merupakan persyaratan umum
suatu permohonan kredit. Lebih jauh BPP mengatur bahwa kelengkapan usaha suatu
permohonan kredit yang harus dimiliki oleh pemohon kredit adalah sebagai berikut akta
pendirian berikut perubahan-perubahannya yang terbaru dan pengesahannya dari Departemen
Kehakiman, SIUP/Ijin Industri/Ijin Usaha sesuai dengan bidang usahanya, UUG, TDP (Tanda
Daftar Perusahaan) dan AMDAL.
Dari kondisi diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Divisi ARK tidak tegas di dalam memberikan pertimbangan resiko terhadap permohonan
kredit PT KAP, di satu sisi menyebutkan bahwa PT KAP tidak dapat diberikan fasilitas
kredit karena terdapat beberapa syarat kriteria perusahaan untuk diberikan kredit tidak bisa
dipenuhi, namun di sisi lain memberikan pertimbangan lain (aspek bisnis) yang
memungkinkan BNI menyetujui permohonan PT KAP. Sewajarnya Divisi ARK dalam
memberikan pertimbangan terhadap permohonan kredit harus merujuk kepada ketentuan
BNI.
2) Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan pemberian fasilitas kredit kepada
PT KAP, lebih didasari oleh pertimbangan peluang bisnis tanpa mempertimbangkan
ketentuan atau persyaratan yang telah diatur dalam CPC dan BPP mengenai ketentuan dan
syarat – syarat di dalam memberikan kredit.
130

3) Berkaitan dengan pemberian exception tersebut, dalam BPP (Buku I) untuk Wholesale dan
Middle Market, disebutkan bahwa yang tidak dapat diberikan exception hanya persyaratan
laporan keuangan audited. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dapat
diberikan exception dalam proses pemberian kredit Bank BNI mencakup hal yang sangat
luas, dalam arti bahwa selain laporan keuangan audited tidak ada yang tidak mungkin
untuk diberikan exception sepanjang disetujui oleh Direksi. Seperti PT KAP yang mana
sesuai dengan ketentuan intern sebenarnya tidak dapat diberikan fasilitas kredit karena ada
beberapa ketentuan dalam pemberian fasilitas kredit yang tidak dapat dipenuhi oleh
PT KAP ternyata diberikan exception oleh Direksi Bank BNI.
Dalam SE BI No.27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 disebutkan bahwa materi dalam pedoman
perkreditan adalah bersifat minimal. Hal ini mencerminkan bahwa bank harus hati-hati
(prudent) agar kredit yang diberikan lebih aman, memberikan pendapatan yang optimal dan
dapat terhindar dari kemungkinan risiko yang lebih besar. Melihat demikian luasnya aspek
exception yang dapat diberikan, hal tersebut bertentangan dengan SE BI No.27/7/UPPB
tanggal 31 Maret 1995 yang meminta bahwa materi dalam pedoman perkreditan bersifat
minimal. Dengan luasnya aspek exception yang dapat diberikan tersebut, berarti pengendalian
intern perkreditan menjadi longgar dan dikhawatirkan meimbulkan penyalahgunaan wewenang
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab karena adanya vested interest tertentu dalam
pemberian kredit.
Selanjutnya kebijakan Pejabat KPK memberikan exception terhadap penyimpangan
permohonan PT KAP yang tidak sesuai ketentuan BPP dan CPC BNI tersebut diatas
mencerminkan kekurangtaatan pejabat KPK terhadap prinsip kehati-hatian dalam pemberian
kredit.
d. Persetujuan kredit PT KAP dilakukan sebelum mendapat tanggapan konsultasi dari
Dewan Komisaris
Sebagaimana diuraikan diatas permohonan kredit PT KAP disetujui oleh Pejabat
KPK melalui Formulir IPK No. KPS/3/p.59 tanggal 4 Juni 2004. Persetujuan tersebut
kemudian diteruskan ke PT KAP melalui SKK No. KPS/3/100/R tanggal 25 Juni 2004 dan
dituangkan dalam PK No 16 s.d. No. 20 tanggal 29 Juni 2004. Sementara konsultasi kepada
Dekom baru disampaikan melalui surat Direksi No. DIR/354 tanggal 22 Juni 2004 yang
ditanggapi oleh Dekom melalui surat No. DK/106 tanggal 1 Juli 2004. Dengan demikian
persetujuan kredit kepada PT KAP efektif tanggal 29 Juni 2004 sebelum mendapat
pertimbangan konsultasi dari Dekom.
Hal tersebut tidak sesuai dengan SK Menteri Keuangan No. S-150a/MK.017/1997
tanggal 14 Maret 1997 yang mengatur bahwa pemberian kredit dengan jumlah Rp50.000,00
juta ke atas, baik kredit investasi maupun kredit modal kerja harus berkonsultasi terlebih
dahulu dengan Dewan Komisaris.
e. Perusahaan penjamin asuransi bukan perusahaan rekanan BNI
Dari pemeriksaan yang dilakukan diketahui bahwa perusahaan yang menjadi
asuradur jaminan PT KAP adalah PT Asuransi Raksa Pratikara dan PT Asuransi Jaya Proteksi,
kedua perusahaan asuransi tersebut belum terdaftar di BNI.
Hal tersebut belum sesuai dengan ketentuan BPP Bab I Sub Bab J, Sub-Sub Bab 06
mengatur antara lain bahwa nama-nama perusahaan asuransi yang telah disetujui sebagai
131

asuradur bank BNI dan daerah kerjanya masing-masing agar dipedomani ketentuan yang
dikeluarkan oleh Divisi PAR. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
melaksanakan asuransi jaminan harus memperhatikan perusahaan asuransi yang telah terdaftar
di Bank BNI.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Pemberian fasilitas kredit kepada PT KAP sebesar Rp179.650,00 juta berisiko tinggi karena
diberikan pada saat jaminan tidak mengcover, CCR dan DER yang tidak sesuai dengan
ketentuan.
b. Persetujuan pemberian kredit belum mengakomodasi/mempertimbangkan tanggapan Dekom.
Hal tersebut terjadi karena:
a. Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan pemberian fasilitas kredit kepada PT KAP belum
menaati ketentuan yang berlaku.
b. Divisi ARK tidak tegas di dalam memberikan pertimbangan risiko terhadap permohonan
kredit PT KAP.
c. RM belum mematuhi ketentuan yang diatur di dalam BPP Bab I Sub Bab J, Sub-Sub Bab 06.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Persyaratan maksimal DER belum memenuhi ketentuan. Untuk memenuhi persyaratan DER
tersebut dilakukan pendudukan Sub Ordinated Loan Notariil (akte SOL No.27 tgl.29 Juni
2004), sehingga posisi DER menjadi 0,99 X. Total CEV belum memenuhi karena piutang dan
persediaan masih relatif kecil. Dengan tambahan kredit modal kerja dari Bank BNI secara
bertahap akan meningkatkan nilai uncontrolled dan total CEV. Total CEV yang tidak
memenuhi ketentuan telah mendapat persetujuan khusus dari KPK.
b. Meskipun pemberian kredit mengandung resiko tinggi (CRR = 6A) prospek usaha dianggap
masih baik, karena usaha berorientasi ekspor dan sales diproyeksikan meningkat terutama
setelah tanaman sendiri mulai menghasilkan. Sebagai mitigasi risiko, perusahaan harus
menyalurkan seluruh transaksi ekspor melalui Bank BNI dan menyampaikan aktivitas bulanan
sebagai alat monitoring agar risiko tidak bertambah.
c. Pada waktu PAK diproses legalitas usaha belum lengkap, namun saat ini telah dilengkapi yaitu
SITU No. 32/II/S/TBS/1999 tgl. 07 April 1999, Surat Ijin Gangguan (HO) dan SITU No.
438/II/S/TBS/2004 tgl. 17.03.2004, AMDAL No. 660.2/60.IV.05-WK/2001 tgl. 06.06.2001.
d. Meskipun tanggapan Dekom baru diterima tgl. 1 Juli 2004, konsultasi telah dilakukan pada tgl.
24 Juni 2004, sehingga secara lisan telah diperoleh persetujuannya. Sebelum SKK diterbitkan
telah diperoleh clearance dari Staff Dekom yang dapat dilihat dari persyaratan yang
disampaikan Dekom telah diakomodir dalam SKK tersebut. Untuk selanjutnya hal ini akan
menjadi perhatian kami.
e. Pada polis asuransi telah dimintakan untuk mencantumkan Bank BNI sebagai banker’s clause.
Asuransi yang berlaku pada saat ini akan jatuh tempo pada bulan Agustus 2005. Selanjutnya
telah dipersyaratkan agar pada saat asuransi jatuh tempo menggunakan asuransi rekanan Bank
BNI.
BPK – RI menyarankan agar :
132

a. Pejabat KPK dalam mengambil keputusan pemberian kredit lebih memperhatikan ketentuanketentuan
yang berlaku dalam CPC dan BPP.
b. Divisi ARK Bank BNI dalam memberikan pertimbangan resiko terhadap permohonan kredit,
hendaknya lebih tegas dan memperhatikan ketentuan yang berlaku.
c. Pemimpin Divisi Kredit Korporasi meminta RM untuk melakukan pemantauan yang lebih
maksimal terhadap perkembangan usaha PT KAP.
d. Terhadap total jaminan yang masih kurang dalam jumlah yang cukup material yaitu sekitar
48% atau sebesar Rp94.719,00 juta, Direktur Kredit Korporasi agar menyurati PT KAP untuk
menambah kekurangan jaminan, mengikat dan mengasuransikannya kepada perusahaan
asuransi yang terdaftar di Bank BNI.
19. Persetujuan Fasilitas Kredit PT Tunas Baru Lampung Tbk sebesar Rp125.000,00 juta
belum sepenuhnya memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
PT Tunas Baru Lampung Tbk (PT TBL) didirikan tahun 1973 dengan Akte Pendirian
No. 23 tanggal 22 Desember 1973 di hadapan notaris Halim Kurniawan . PT TBL bergerak dalam
bidang usaha perkebunan sawit, hibrida dan pengolahan turunannya dan beralamat di Wisma Budi
lantai 8 - 9 Jalan HR. Rasuna Said Kavling C-6 dengan lokasi pabrik di Jalan Ikan Kakap No. 9 –
12 Pesawahan, Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung.
Berdasarkan Akta Penegasan Keputusan Rapat Perseroan No.127 tanggal 24 Desember
2003, diketahui pemegang saham mayoritas yaitu PT Sungai Budi sebesar 50,03% dari nilai saham
Rp201.670,90 juta. Pengurus PT TBL berdasarkan Akta Keputusan Rapat No.109 tanggal 28 Juni
2002 antara lain Santosa Winata sebagai Presiden Komisaris dan Widarto sebagai Presiden
Direktur.
PT TBL tergabung ke dalam Sungai Budi Group (SBG), yang mulai beroperasi sejak
tahun 1947 dalam bidang perdagangan hasil bumi. Dalam perjalanannya SBG mengembangkan
usahanya dalam produksi dan distribusi minyak goreng, beras berikut turunannya (tepung beras
dan bihun) serta distribusi rokok kretek dan property.
PT TBL mulai berhubungan dengan BNI ketika PT TBL mengajukan KMK Term
Loan/aflopend maksimum sebesar Rp125.000,00 juta untuk keperluan modal kerja perusahaan.
Permohonan PT TBL tersebut disetujui dan dituangkan dalam PK No 37 tanggal 29 Juni 2004.
Berdasarkan data portepel kredit diketahui posisi kredit per tanggal 30 April 2005 adalah
Rp118.765,86 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut diketahui permasalahan-permasalahan sebagai
berikut :
a. Persetujuan KPK atas pemberian fasilitas kredit PT TBL sebesar Rp125.000,00 juta
belum sesuai dengan ketentuan CPC dan BPP BNI
PT TBL mengajukan permohonan kredit kepada Bank BNI dengan surat
No. 021/TBL/V/04 tanggal 12 Mei 2004 untuk keperluan tambahan modal kerja perusahaan.
Permohonan tersebut kemudian dianalisa dalam MAK No. ARK/1/021 tanggal 27 Mei 2004.
Dari MAK tersebut diketahui bahwa Pengelola Kelompok ARK menyebutkan bahwa pada
dasarnya kepada PT TBL tidak dapat diberikan fasilitas kredit, karena terdapat beberapa syarat
kredit tidak bisa dipenuhi, yaitu pada saat permohonan kredit, terdapat penyimpangan DER,
jaminan tidak mengcover, track record PT TBL selama dua tahun terakhir kurang baik dan
133

kolektibilitas kredit pada bank lain berada pada kolektibilitas dua. Namun dengan
pertimbangan bisnis Divisi ARK berpendapat bahwa hubungan bisnis dengan PT TBL
memungkinkan BNI memperoleh benefit, maka pemberian kredit dapat dipertimbangkan
dengan terlebih dahulu penyimpangan tersebut diatas dimintakan exception untuk mendapat
persetujuan KPK Banding. Selanjutnya Pimpinan Divisi Korporasi Satu, Wakil Kepala Divisi
Korporasi Satu, Pimpinan Kelompok PMK-2 dan RM dengan MPK No. ARK/1/021 tanggal
27 Mei 2004 mengusulkan pemberian fasilitas KMK Term Loan/aflopend maksimum sebesar
Rp125.000,00 juta dengan jangka waktu 5 tahun sejak penandatanganan PK. Permintaan
exception tersebut disetujui oleh Pejabat KPK dan sekaligus menyetujui pemberian fasilitas
kredit kepada PT TBL melalui Formulir IPK No. KPS/3/p.59 tanggal 4 Juni 2004 yang
diteruskan ke PT TBL dengan SKK No. KPS/3/099/R tanggal 25 Juni 2004 dan dituangkan
dalam PK No 37 tanggal 29 Juni 2004.
Dalam proses pemberian kredit PT TBL diketahui terdapat beberapa hal yang tidak
sesuai dengan ketentuan CPC dan BPP BNI, yaitu :
1) Fasilitas kredit PT TBL disetujui disaat kolektibilitas kredit PT TBL di Bank lain
berada pada kolektibilitas dua
Berdasarkan informasi BI No. 1/799596/DPIP/Dtb/Rhs tanggal 20 April 2004
yang dimuat dalam MAK tersebut diatas diketahui bahwa pada saat fasilitas kredit
diproses untuk disetujui, kolektibilitas kredit PT TBL di Bank Niaga berada pada
kolektibilitas tiga (namun diinformasikan bahwa pada saat analisa dilakukan pinjaman
PT TBL kepada Bank Niaga sudah dilunasi) dan kolektibilitas dua pada UFJ Indonesia.
Berdasarkan CPC No. 98 tanggal 9 Januari 2004 disebutkan bahwa “untuk calon
debitur (termasuk debitur yang akan ditake over ) yang sudah menjadi debitur bank lain,
maka kolektibilitasnya harus lancar (kolektibilitas satu)”.
2) Track record PT TBL selama dua tahun terakhir kurang baik
Dari Memo Divisi Korporasi No. KPS/3/P.66 tanggal 21 Juni 2004 kepada
Direktur Kepatuhan diketahui bahwa PT TBL sebelumnya telah mendapat fasilitas kredit
sindikasi dari bank asing, yaitu UFJ Indonesia, Rabobank Indonesia dan BNP Indonesia.
Fasilitas tersebut telah direstrukturisasi dan selesai pada bulan Mei 2003. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa track record PT TBL selama dua tahun terakhir kurang
baik.
Hal tersebut tidak sesuai dengan CPC No. 98 tanggal 9 Januari 2004 yang
menyebutkan bahwa “calon debitur harus memiliki track record yang baik selama dua
tahun terakhir dengan data/informasi pendukung yang akurat”.
3) PT TBL tidak memenuhi persyaratan minimum CR dan persetujuan kredit
diberikan di saat kinerja PT TBL tidak baik
Berdasarkan MAK tersebut diatas diketahui bahwa PT TBL belum memenuhi
persyaratan untuk diberikan kredit, yaitu adanya penyimpangan CR tahun 2001, 2002 dan
30 September 2003, berturut-turut sebesar 0,85x, 1,02x dan 1,00x dari persyaratan 1,30x.
Dengan demikian terjadi penyimpangan CR minimal sebesar 30% dari batas toleransi
penyimpangan sebesar 20%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan CPC No. 98 tanggal 9 Januari 2004
yang menyebutkan “penyimpangan financial covenant hanya diperkenankan sampai
134

dengan 20%, tetapi harus dicover dengan syarat lainnya (jaminan) yang lebih kuat dan
proyeksi 3 tahun harus menunjukkan pemenuhan persyaratan financial covenant akan
dapat dipenuhi”.
4) Jaminan yang diserahkan PT TBL tidak mengcover dan telah dijaminkan kepada
bank lain
Berdasarkan data jaminan yang dimuat dalam MAK diatas diketahui bahwa CEV
jaminan yang diserahkan kepada Bank BNI adalah Controlled sebesar 0,00% dan CEV
Total 80,69.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J.04 butir 5 yang
menyebutkan bahwa persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur adalah Minimum
Total CEV (Controlled+Uncontrolled) 100% dan Minimum CEV Controlled 50%. Hal
tersebut juga belum sesuai dengan CPC No. 98 tanggal 9 Januari 2004 antara lain
menyebutkan “penyimpangan persyaratan jaminan untuk debitur baru dilarang”.
Lebih lanjut dari MAK diatas diketahui bahwa jaminan yang diserahkan PT TBL
adalah jaminan yang telah dijaminkan untuk fasilitas kredit sindikasi dari bank lain, yang
dalam PK nya mencantumkan “negative pledge caluse” sehingga asset tersebut tidak
boleh dijadikan agunan/diikat, namun setiap peserta sindikasi memperoleh hak preference
yang sama sebesar share kredit. Dari ketentuan PK sindikasi tersebut dapat diyakini bahwa
yang mempunyai hak atas jaminan tersebut adalah kreditur peserta sindikasi, sementara
Bank BNI dalam hal ini bukan peserta sindikasi sehingga tidak mempunyai hak atas
jaminan tersebut. Sehubungan dengan permasalahan jaminan PT TBL tersebut di atas,
Divisi Kepatuhan Bank BNI melalui Laporan Checklist Uji Kepatuhan Rancangan
Keputusan Kredit No. KPN/PGK/055 tanggal 14 Juni 2004, telah memperingatkan bahwa
pemberian kredit kepada PT TBL berisiko tinggi karena tidak ada kepastian bahwa
jaminan tersebut dapat dikuasai dan diikat atas nama Bank BNI. Walupun telah mendapat
peringatan dari Divisi Kepatuhan, namun Pejabat KPK tetap memberikan persetujuan
kepada PT TBL.
Kondisi tersebut diatas menunjukkan bahwa Pejabat KPK dalam memberikan
persetujuan kredit kepada PT TBL kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian, yaitu
belum mempertimbangkan aspek jaminan PT TBL yang belum mengakomodir
kepentingan BNI. Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dalam UU No.
7 tahun 1992 pasal 8 yang menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit, bank umum
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
5) Permohonan kredit PT TBL belum dilengkapi dengan legalitas usaha yang lengkap
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari MAK diatas, diketahui bahwa legalitas
usaha PT TBL belum dilengkapi dengan akte pendirian dan perubahan AD/ART,
sedangkan perijinan - perijinan lainnya sampai dengan saat pemeriksaan belum diperoleh.
Berdasarkan BPP Bab I, Sub Bab A, Sub-Sub Bab 05 diketahui bahwa legalitas
usaha merupakan persyaratan umum suatu permohonan kredit. Lebih jauh BPP mengatur
bahwa kelengkapan usaha suatu permohonan kredit yang harus dimiliki oleh pemohon
kredit adalah akta pendirian berikut perubahan-perubahannya yang terbaru dan
pengesahannya dari Departemen Kehakiman, SIUP/Ijin Industri/Ijin Usaha sesuai dengan
135

idang usahanya, UUG (Undang-Undang Gangguan), TDP (Tanda Daftar Perusahaan) dan
AMDAL. Bagi perusahaan nasabah/calon debitur yang usahannya diperkirakan
mempunyai dampak sensitif yang tinggi terhadap lingkungan, maka fasilitas kredit hanya
dapat dipertimbangkan apabila perusahaan tersebut mempunyai ijin AMDAL dari instansi
yang berwenang.
b. Persetujuan kredit PT TBL dilakukan sebelum mendapat tanggapan konsultasi dari
Dewan Komisaris
Fasilitas kredit PT TBL disetujui pada tanggal 25 Juni 2004 dan dituangkan dalam PK
No 37 tanggal 29 Juni 2004. Sedangkan tanggapan Dewan Komisaris terhadap konsultasi
Direksi baru disampaikan dengan surat No. DK/106 tanggal 1 Juli 2004. Dengan demikian
persetujuan kredit PT TBL diberikan sebelum mendapat pertimbangan konsultasi dari Dekom.
Hal tersebut tidak sesuai dengan SK Menteri Keuangan No. S-150a/MK.017/1997
tanggal 14 Maret 1997 yang mengatur bahwa dalam pemberian kredit dengan jumlah
Rp50.000,00 juta ke atas, baik kredit investasi maupun kredit modal kerja harus berkonsultasi
terlebih dahulu dengan Dewan Komisaris masing-masing dengan ketentuan tidak dilakukan
pemecahan terhadap suatu usulan proyek.
Kondisi tersebut mengakibatkan :
a. Pemberian fasilitas kredit kepada PT TBL sebesar Rp125.000,00 juta berisiko tinggi.
b. Persetujuan pemberian kredit belum mengakomodasi/mempertimbangkan tanggapan Dewan
Komisaris.
Hal tersebut disebabkan oleh :
a. Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan fasilitas kredit kepada PT TBL belum
sepenuhnya mematuhi ketentuan yang berlaku.
b. Divisi ARK tidak tegas dalam memberikan pertimbangan resiko terhadap permohonan kredit
PT TBL.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Sebagaimana telah diatur dalam CPC 89 tgl. 27-12-2002 bahwa kebijakan ekspansi kredit
untuk debitur existing diperkenankan penyimpangan financial covenant kurang dari 20%.
Penyimpangan financial covenant lebih dari 20% harus dengan persetujuan khusus (CPC 98
tgl. 09-01-2004). Pada saat pemberian fasilitas, kolektibilitas kredit PT TBL pada Bank UFJ
adalah 2, tetapi penetapan kolektibilitas 2 tersebut karena mempertimbangkan country risk
Indonesia. Pada saat pemberian fasilitas kredit, kredit PT TBL dalam proses restrukturisasi
dari existing lendernya, tetapi restrukturisasi tersebut diminta oleh PT TBL kepada kreditur
sebelum pinjaman tersebut menunggak dan dapat digolongkan event of default yaitu karena
harga CPO yang turun drastis (berkisar USD. 300/ton). Restrukturisasi ini juga disetujui oleh
seluruh kreditur. CR sesuai ketentuan BNI seharusnya minimal 1,3 x. Namun dengan
pertimbangan bisnis CR minimal 1x sebagaimana ditetapkan oleh existing lenders dinilai
cukup wajar. Pada dasarnya jaminan yang diserahkan PT TBL tidak dapat diikat karena
adanya negatif pledge clause. Sebagai mitigasi risk, pada PK telah diantisipasi dengan klausul
136

ahwa kedudukan BNI sama dengan existing lenders secara proporsional terhadap seluruh
asset perusahaan. Pada saat PAK diproses, legalitas usaha belum lengkap. Namun demikian
pada saat ini telah dilengkapi antara lain Akta pendirian No. 23 tgl. 22.12.1973, Akta
perubahan Anggaran Dasar No. 43 tgl. 29.03.1974, Akta Pernyataan keputusan rapat No. 109
tgl. 28.06.2002 dan No. 127 tgl. 24.12.2003, SIUP No. 1.844/09-04/PB/VIII/99 tgl.
26.08.1999, AMDAL No. 1482/UKPL/SDW-3/IV/2000 tgl. 03.04.2000, Surat Izin Gangguan
dan SITU No. 1357/TI/W/TJS/2004 tgl. 27.08.2004 dan No. 1362/TI/W/TBS/2004 tgl.
08.09.2004.
b. Meskipun tanggapan Dekom baru diterima tanggal 1 Juli 2004, konsultasi telah dilakukan
tanggal 24 Juni 2004, sehingga secara lisan telah diperoleh persetujuannya. Selain itu sebelum
SKK diterbitkan telah diperoleh clearance dari staff Dekom yang dapat dilihat dari persyaratan
yang disampaikan Dekom yang telah diakomodir dalam SKK. Untuk selanjutnya hal ini akan
menjadi perhatian kami.
BPK – RI menyarankan agar :
a. Pejabat KPK dalam mengambil keputusan pemberian kredit lebih memperhatikan ketentuanketentuan
yang berlaku baik dalam CPC dan BPP Perkreditan.
b. Divisi ARK Bank BNI dalam memberikan pertimbangan resiko terhadap permohonan kredit,
hendaknya lebih tegas dan memperhatikan ketentuan yang berlaku.
c. Pemimpin Divisi Kredit Korporasi meminta RM untuk melakukan pengawasan maksimal
terhadap perkembangan usaha PT TBL.
d. Direktur Kredit Korporasi menyurati PT TBL untuk menambah jaminan yang masih kurang
sekitar 20% atau sebesar Rp62.500,00 juta dan mengikat kekurangan jaminan dimaksud.
20. Persetujuan Fasilitas Kredit sebesar Rp40.000,00 juta kepada PT Florindo Makmur belum
sesuai ketentuan CPC dan BPP BNI
PT Florindo Makmur (PT FM) didirikan pada tahun 2002 berdasarkan Akta Pendirian
No. 08 tanggal 6 Mei 2002 yang dibuat dihadapan Elly Roida, SH. PT FM bergerak dalam bidang
industri tepung tapioca dan beralamat di Wisma Budi lantai 9 Jalan HR. Rasuna said Kavling C-6
dengan lokasi pabrik di Jalan Tanjung Bintang, Tulung Laut, Propinsi Lampung.
Berdasarkan Akta Risalah Rapat No. 106 tanggal 30 Juli 2002, komposisi pemegang
saham PT FM adalah Johansyah Anton Budiman dan Trinura Indarto masing-masing sebesar 50%
dari nilai saham sebesar Rp4.000,00 juta. Susunan pengurus berdasarkan Akta Pendirian No. 08
tanggal 6 Juni 2002 adalah Johansyah Anton Budiman sebagai Komisaris dan Trinura Indarto
sebagai Direktur.
PT FM merupakan perusahaan baru yang mulai beroperasi sejak bulan Maret 2003.
PT FM telah mengakuisisi lima unit pabrik tapioka PT Eka Inti Tapioka (PT EIT) (berlokasi di
Tulung Buyut, Sukaraja, Seputih Banyak 7 dan Rumbia) dan satu unit pabrik PT Langgeng Citra
Lestari yang berlokasi di Tanjung Bintang. Produk yang dihasilkan seluruhnya dipasarkan oleh
Sungai Budi Group (SBG) yang juga memiliki usaha dalam bidang yang sama melalui PT Budi
Acid Jaya, Tbk.
PT FM pertama kali berhubungan dengan Bank BNI ketika mengajukan KI untuk
membiayai asset yang telah dibeli (refinancing) dari PT Eka Inti Tapioka dan PT Langgeng Citra
137

Lestari (PT LCL) senilai Rp42.071,00 juta. Permohonan tersebut disetujui dan dituangkan
dalam PK No. 28 dan PK No. 29 tanggal 29 Juni 2004.
Berdasarkan data portepel kredit diketahui posisi kredit per tanggal 30 April 2005 adalah
Rp40.000,00 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Jaminan yang diserahkan PT FM telah
memenuhi ketentuan yaitu Controlled 116,80%, Uncontrolled 9,74% sehingga Total CEV 126,54
%.
Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut terhadap proses pemberian kredit PT FM
diketahui hal-hal sebagai berikut :
a. Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan pemberian fasilitas kredit kepada PT FM
sebesar Rp40.000,00 juta belum mengacu kepada CPC dan BPP BNI
PT FM mengajukan permohonan kredit dengan surat No. 017/KAP/FM/101/R
tanggal 24 Pebruari 2004 untuk keperluan tambahan modal kerja kelapa sawit dan untuk
mengambil alih fasilitas kredit dari Bank BII. Permohonan tersebut dianalisa di dalam MAK
PAK 02-01 No. ARK/1/021 tanggal 27 Mei 2004. Selanjutnya Pimpinan Divisi Korporasi
Satu (DKS), Wakil Kepala DKS, Pimpinan Kelompok PMK-2 dan RM dengan MPK No.
ARK/1/021 tanggal 27 Mei 2004 mengusulkan pemberian fasilitas kredit kepada PT FM
dengan ketentuan sebagai berikut :
1) KI maksimum sebesar Rp30.000,00 juta untuk keperluan refinancing sebagian pembelian
kebun milik PT EIT dan PT LCL dengan jangka waktu 5 tahun sejak PK ditandatangani.
2) KMK sebesar maksimum Rp10.000,00 juta untuk keperluan modal kerja dengan jangka
waktu 12 bulan sejak PK ditandatangani.
Selanjutnya pejabat KPK menyetujui usulan tersebut melalui Formulir IPK No.
KPS/3/p.59 tanggal 4 Juni 2004. Persetujuan tersebut diteruskan ke PT FM dengan SKK No.
KPS/3/101/R tanggal 25 Juni 2004 dan dituangkan dalam PK No 28 dan No. 29 tanggal 29
Juni 2004.
Dalam proses pemberian kredit PT FM diketahui terdapat beberapa hal yang tidak
sesuai dengan ketentuan CPC dan BPP BNI, yaitu :
1) Analisa kredit PT FM belum sesuai dengan BPP BNI
Berdasarakan informasi yang diperoleh dari MAK tanggal 27 Mei 2004 diatas,
diketahui bahwa PT FM merupakan perusahaan baru yang mulai beroperasi sejak bulan
Maret 2003. PT FM mengajukan fasilitas KI untuk membiayai asset yang telah dibeli dari
PT EIT dan PT LCL senilai Rp42.071,00 juta. Permohonan tersebut dianalisa dalam MAK
tersebut di atas yang merupakan Paket Analisa Kredit Sungai Budi Group (SBG). MAK
tersebut juga digunakan untuk menganalisa permohonan kredit PT Kencana Acidindo
Perkasa (PT KAP) dan PT Tunas Baru Lampung, Tbk (PT TBL) yang merupakan anggota
group SBG. Dari penelusuran terhadap MAK diatas diketahui bahwa Pengelola Kelompok
ARK mengelompokkan PT FM kedalam group SBG karena adanya keterkaitan pengurus.
Kebijakan ARK tersebut didasari informasi RM yang menyebutkan bahwa Sdr Widarto
selain menjabat sebagai Presiden Komisaris PT TBL dan Komisaris PT KAP, juga
merupakan salah satu pengurus PT FM. Akan tetapi secara legal sesuai dengan Akta
Pendirian No. 08 diketahui bahwa nama Sdr Widarto tidak termasuk dalam daftar
kepengurusan PT FM. Dengan demikian PT FM tidak termasuk anggota group SBG dan
138

permohonan kredit PT FM harus dikelompokkan pada permohonan kredit calon debitur
baru.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I, Sub Bab A, Sub-Sub Bab 05 yang
menyebutkan bahwa pemberian fasilitas kredit kepada perusahaan baru tidak
diijinkan/dilarang. Yang dimaksud dengan perusahaan baru adalah adalah perusahaan yang
beroperasi kurang dari tiga tahun.
2) PT FM belum memenuhi syarat untuk menjadi nasabah BNI
Berdasarkan MAK tanggal 27 Mei 2004 diketahui bahwa PT FM belum pernah
menjadi debitur BNI ataupun bank lain, sehingga menurut ketentuan BPP Bab I, Sub Bab
A, Sub Sub Bab 05 yang mengatur syarat untuk menjadi debitur Whosale Market dan
Midle Market yaitu minimal harus telah menjadi nasabah Bank BNI atau bank lain selama
enam bulan dan kinerja hasil usaha dari hasil verifikasi terbukti baik, tidak layak diberikan
fasilitas kredit tersebut.
3) Analisa atas laporan keuangan PT FM belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
Berdasarkan MAK tersebut diatas diketahui bahwa laporan keuangan yang
dijadikan acuan dalam menganalisa keuangan PT FM adalah laporan keuangan home
statement (Unaudited) posisi 31 Desember 2003.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I, sub bab A, sub-sub bab 06 yang
menyebutkan bahwa laporan keuangan audited wajib disampaikan oleh calon debitur yang
mengajukan permohonan kredit maksimum Rp5,00 milyar keatas. Terhadap ketentuan
tersebut diatas diberi aturan tambahan (catatan) sebagai berikut :
a) Tidak diperkenankan adanya penyimpangan (exception) atas kewajiban penyampaian
audited report.
b) Ketentuan kewajiban debitur/calon debitur untuk menyampaikan audited report
diperlakukan untuk debitur/calon debitur per individual.
c) Bagi anggota group yang maksimum kreditnya di atas Rp5,00 milyar wajib
menyampaikan audited report.
Dengan demikian laporan keuangan yang akan dianalisis seharusnya adalah laporan
keuangan audited.
4) Permohonan kredit PT FM tidak dilengkapi dengan legalitas usaha yang lengkap
Berdasarkan MAK tersebut di atas juga diketahui bahwa legalitas usaha PT FM
belum dilengkapi dengan Surat Ijin Tempat Usaha (SITU), Undang-Undang Gangguan
(UUG), Izin Usaha Industri dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dengan belum lengkapnya legalitas usaha perusahaan, maka kelangsungan operasional
perusahaan diragukan.
Berdasarkan BPP BNI Bab I, Sub Bab A, Sub-Sub Bab 05 diketahui bahwa
legalitas usaha merupakan persyaratan umum suatu permohonan kredit. Kelengkapan
usaha suatu permohonan kredit yang harus dimiliki oleh pemohon kredit yaitu akta
pendirian berikut perubahan-perubahannya yang terbaru dan pengesahannya dari
Departemen Kehakiman, SIUP/Ijin Industri/Ijin Usaha sesuai dengan bidang usahanya,
UUG, TDP (Tanda Daftar Perusahaan), AMDAL. Bagi perusahaan nasabah/calon debitur
139

yang usahanya diperkirakan mempunyai dampak sensitif yang tinggi terhadap lingkungan,
maka fasilitas kredit hanya dapat dipertimbangkan apabila perusahaan tersebut mempunyai
ijin AMDAL dari instansi yang berwenang.
b. Jaminan yang diserahkan PT FM belum diasuransikan
Dari Formulir Jaminan PT FM triwulan IV tahun 2004 diketahui jaminan yang
diserahkan oleh PT FM sebesar (nilai pasar) Rp84.770,09 juta. Berdasarkan penelitian lebih
lanjut terhadap dokumen PT FM dan keterangan RM diketahui bahwa jaminan tersebut di atas
belum diasuransikan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I, sub Bab J, Sub Sub Bab 06 yang
menyebutkan antara lain bahwa terhadap barang-barang jaminan yang dapat diasuransikan
wajib ditutup asuransi dan dalam setiap penutupan pertanggungan barang-barang jaminan
harus dicantumkan syarat bankers clause – BNI. Kondisi di atas juga tidak sesuai dengan PK
No. 28 dan 29 tanggal 29 Juni 2004, pasal 12, ayat 1 yang mengatur bahwa selama kredit
berjalan barang-barang jaminan yang dapat diasuransikan wajib diasuransikan oleh penerima
kredit kepada maskapai asuransi yang ditunjuk dan disetujui oleh bank terhadap risiko
kerugian yang yang macam risiko, nilai dan jangka waktunya ditentukan oleh bank.
c. Personal Guarantee Johansyah Anton Budiman dan Trinura Indarto sebagai pemegang
saham mayoritas belum diikat
Dari Akta Risalah Rapat No. 106 tanggal 30 Juli 2002 diketahui bahwa Johansyah
Anton Budiman dan Trinura Indarto merupakan pemegang saham PT FM dengan persentase
kepemilikan masing-masing sebesar 50,00%. Selanjutnya dari penelitian lebih lanjut terhadap
dokumen legal PT FM diketahui bahwa Johansyah Anton Budiman dan Trinura Indarto belum
diikat Personal Guarantee terkait dengan pemberian fasilitas kredit kepad PT FM. Dari
pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa BNI tidak mensyaratkan pengikatan personal
guarantee pemegang saham di dalam PK.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I, Sub Bab J, Sub – Sub Bab 05 yang
antara lain mengatur bahwa pengurus yang sekaligus sebagai pemegang saham dan/atau
pengendali perusahaan wajib menyerahkan personal guarantee dengan sedapat mungkin
melampirkan daftar kekayaan pemberi jaminan tersebut.
Masalah tersebut mengakibatkan :
b. Pemberian fasilitas kredit kepada PT FM sebesar Rp40.000,00 juta berisiko tinggi.
c. Dengan belum dilakukannya penutupan asuransi terhadap jaminan dan pengikatan personal
garansi mengakibatkan kepentingan BNI atas resiko kredit tidak sepenuhnya aman.
Hal tersebut disebabkan oleh :
a. Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan fasilitas kredit kepada PT FM belum sepenuhnya
mematuhi ketentuan yang berlaku.
b. RM belum sepenuhnya mematuhi ketentuan yang diatur di dalam BPP dan PT FM belum
menaati ketentuan yang diatur dalam PK No. 28 tanggal 29 Juni 2004, pasal 12, ayat 1.
c. Divisi ARK dalam menyusun PK tidak mengakomodir ketentuan yang diatur didalam BPP
Buku I, Sub Bab J, Sub – Sub Bab 05 mengenai pengikatan personal guarantee.
140

Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Kami sependapat dengan pokok permasalahan yang dikemukakan BPK. Namun berdasarkan
informasi lisan yang diterima dari perusahaan pada saat dilakukan proses analisa, PT FM akan
dimasukan sebagai anggota group SBG. Meskipun demikian secara legal PT FM baru dapat
dikategorikan sebagai anggota SBG pada tanggal 30 Nopember 2004. Pada saat proses analisa
kredit dilakukan, Laporan Keuangan Audited PT.FM masih dalam proses, sehingga analisis
didasarkan pada laporan keuangan home statement. Atas hal tsb sudah mendapat persetujuan
khusus dari KPK, karena pertimbangan prospek usaha yang dinilai baik dan pengalaman usaha
group dalam bidang pengolahan tepung tapioka (PT. Budi Acid Jaya Tbk.). Pada waktu PAK
diproses legalitas usaha belum lengkap, namun saat ini telah dilengkapi dengan antara lain
SITU dan Ijin Ganngguan No. 503/99/22/LS/2002 tgl. 12.11.2002 berlaku s/d Nopember 2005,
AMDAL No. 1216/UKPI/SDW-3/VI/1999 tgl. 02.06.1999 dan AMDAL No.
660/053/Bapedalda LU/2004 tgl. 07.05.2004.
b. Sesuai polis asuransi dari PT. Asuransi Jaya Proteksi No. 01.01.E.00054, No. 01.01.E.00055,
No. 01.01.E.00056, No. 01.01.E.00057, No. 01.01.E.00072, saat ini masih dalam proses
perpanjangan.
c. Pada saat ini Personal Guarantee yang diperoleh baru dari key person SBG, yaitu Sdr. Widarto
dan Sdr. Santoso Winata. Namun demikian akan diupayakan untuk dimintakan personal
guarantee dari pemegang sahamnya.
BPK – RI menyarankan agar :
a. Pejabat KPK dalam mengambil keputusan pemberian kredit lebih memperhatikan ketentuanketentuan
yang berlaku baik yang diatur dalam CPC maupun BPP Perkreditan
b. Pemimpin Divisi Kredit Korporasi meminta RM melakukan pengawasan yang lebih maksimal
terhadap perkembangan usaha PT FM.
c. RM memantau proses perpanjangan asuransi atas jaminan yang diserahkan oleh PT FM dan
memastikan bahwa perusahaan asuransi tersebut telah terdaftar pada Bank BNI dan
mengusahakan pengikatan personal garansi terhadap pemegang saham, yaitu sdr. Johansyah
Anton Budiman dan sdr. Trinura Indarto.
21. Pengelolaan kredit PT Erna Djuliawati (PT ED) sebesar Rp301.490,50 juta belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku
PT Erna Djuliawati (PT ED) didirikan pada tahun 1971 dengan status Penanaman Modal
Asing (PMA). Status tersebut telah diubah menjadi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
berdasarkan Akta No. 93 tanggal 27 Oktober 1978. PT ED beralamat kantor di Jalan Abdul Muis
No. 50 Jakarta Pusat sedangkan pabrik berlokasi di Sanggau, Kalimantan Barat. PT ED tergabung
dalam kelompok usaha Holding Lyman bergerak di bidang industri kayu lapis/plywood yang
produksi utamanya adalah plywood, fancy wood dan container flooring yang sebagian besar untuk
ekspor.
Berdasarkan Akta No. 18 tanggal 13 Maret 1998, pemegang saham mayoritas (99,385%)
PT ED dari modal dasar sebesar Rp65.000,00 juta adalah PT Lyman Investindo. Berdasarkan Akta
No. 11 tanggal 12 Juni 2000, pengurus PT ED antara lain Osbert Lyman sebagai Komut dan
Indaradi Kusuma selaku Dirut PT ED.
141

PT ED pertama kali menjadi debitur BNI tanggal 14 Mei 1978. Outstanding kredit posisi
tanggal 28 Pebruari 2005 adalah sebesar Rp282.024,00 juta dengan kolektibilitas Dalam
Perhatian Khusus (Gol. II). Nilai jaminan yang diserahkan PT ED sebesar Rp639.994,00 juta
atau 212,28% dari maksimum kredit. Jaminan tersebut telah diikat dengan hipotik/hak tanggungan
dan pemasangan asuransi yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2005.
Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut diketahui permasalahan-permasalahan sebagai
berikut :
a.Terdapat pelanggaran CR dan DER
Berdasarkan analisa keuangan dalam MAK No. ARK/8/007 tanggal 21 Januari 2004
diketahui CR tahun 2001, 2002 dan 30 Juni 2003 berturut-turut sebesar 0,92x, 0,80x dan
0,86x, belum memenuhi kriteria minimal CR yang ditetapkan Bank BNI untuk sektor
pengolahan kayu dan kerajinan sebesar 1,20 kali. Sedangkan DER tahun 2000, 2001, 2002 dan
30 Juni 2003 berturut-turut sebesar 3,71x, 6,37x, 6,47x dan 5,54x, belum memenuhi ketentuan
maksimal sebesar 2,40 kali. Berdasarkan proyeksi keuangan, kondisi DER membaik namun
kriteria DER baru dapat dipenuhi perusahaan tahun 2010 (tahun 2009 terdapat penyimpangan
DER sekitar 3,33% lebih rendah dari batas toleransi 20% yang ditetapkan Bank BNI). Dengan
demikian kemampuan PT ED untuk melunasi kewajiban jangka pendek dan jangka panjang
kepada Bank BNI sangat lemah. Terhadap pelanggaran CR dan DER posisi 30 Juni 2003 RM
mengusulkan untuk meminta exception yang kemudian disetujui oleh KPK melalui Rapat
Direksi tanggal 1 Juni 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I, Sub Bab G, sub-sub Bab 05 yang
mengatur debitur agar memelihara ketentuan minimum CR dan maksimum DER.
b.PT ED menerima fasilitas dari Bank lain sebelum KI dilunasi tanpa ada persetujuan
tertulis dari BNI
Berdasarkan Informasi BI No. 1/73591/DPIP/Dt.b/Rhs tanggal 18 Oktober 2000 yang
dimuat dalam MAK No. PRK/3/014 tanggal 16 Pebruari 2001 diketahui bahwa PT ED selain
menerima fasilitas kredit dari Bank BNI juga dari Sanwa Bank dengan baki debet sebesar
US$1,150.00 ribu dan Lippo Bank dengan plafond sebesar US$1,000.00 ribu yang masingmasing
jatuh tempo tanggal 31 Oktober 1999. Selanjutnya dari MAK tersebut diketahui bahwa
fasilitas KI pada BNI maksimum Rp24.350,00 juta s.d. posisi Desember 2000 masih
outstanding sebesar Rp18.008,50 juta, sehingga dapat dikatakan bahwa fasilitas tambahan dari
bank lain diperoleh sebelum fasilitas KI dari Bank BNI dilunasi. Kemudian berdasarkan
Informasi BI No. I/62757/DPIP/DTB/Rhs tanggal 5 November 2003 yang dimuat dalam MAK
No.ARK/8/007 tanggal 21 Januari 2004, diketahui bahwa selain mendapat kredit dari Bank
BNI, PT ED juga mendapat kredit dari NISP sebesar Rp8.200,00 juta sesuai PK tanggal 12
Agustus 2003 dan dari CitiBank sebesar Rp10.000,00 juta sesuai PK tanggal 4 Mei 2001.
Fasilitas tambahan dari kedua bank tersebut diatas belum mendapat persetujuan dari Bank
BNI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I, Sub Bab A, Sub Sub Bab 10 yang
menyebutkan antara lain bahwa selama kredit investasi belum diselesaikan/dilunaskan, debitur
dilarang untuk menerima kredit-kredit baru baik dari Bank lain maupun perusahaan di luar
Bank tanpa persetujuan Bank BNI. Untuk keperluan ini agar dimintakan surat pernyataan dari
Debitur.
142

c.Penyampaian audited report PT ED belum sepenuhnya sesuai dengan PK
Dari pemeriksaan yang dilakukan terhadap kepatuhan penyampaian laporan keuangan
audited report PT ED, diketahui bahwa penyampaian audited report belum sesuai dengan
ketentuan (terjadi keterlambatan) dengan data sebagai berikut :
1) Dari Memo No. KPI/3/348 tanggal 25 Pebruari 2002 diketahui bahwa s.d. tanggal memo
tersebut PT ED belum menyampaikan audited report per 31 Desember 2000.
2) Audit report PT ED per 31 Desember 2001 baru disampaikan tanggal 12 Agustus 2002.
3) Sesuai surat PT ED No. 140/APL-BDD/VI/03 tanggal 27 Juni 2003 laporan keuangan per
31 Desember 2002 masih dalam proses penyelesaian oleh KAP Drs. Robert Yogi dan akan
selesai paling lambat akhir Juli 2003.
Dari kondisi tersebut diatas diketahui bahwa penyelesaian audit terlambat, sedangkan
tanggal penyampaian audited report tahun 2000 dan 2002 sampai dengan pemeriksaan
berakhir tidak diketahui. Selain itu atas keterlambatan penyampaian audited report tersebut
Bank BNI tidak mengenakan denda kepada PT ED.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 2000/KPI/14 tanggal 25 Januari 2000 pasal
17 ayat 2c yang menyebutkan bahwa PT ED harus menyampaikan laporan keuangan audited
per 31 Desember 2001 selambat-lambatnya pada akhir Juni 2002. Keterlambatan penyerahan
laporan keuangan tersebut diatas akan dikenakan penalty sebesar 0,25% pa dari total
maksimum kredit atas nama PT ED yang diperhitungkan secara proporsional dengan lamanya
waktu keterlambatan.
d.Aktivitas ekspor dan impor PT ED belum maksimal disalurkan melalui Bank BNI
Dari Memorandum Pengusulan Kredit No. PRK/3/014 tanggal 16 Pebruari 2001
diketahui bahwa aktivitas ekspor dan impor belum maksimal disalurkan melalui Bank BNI,
karena para buyer melakukan pembelian secara TT (Cost Cutting) bukan melalui L/C. Hal ini
dimungkinkan karena buyernya reguler dan sudah berhubungan lama. Selanjutnya dari Berita
Facsmile Kantor Cabang Pontianak No. PNK/7/00/0 tanggal 12 Januari 2004, diketahui
aktivitas ekspor PT ED beberapa tahun sebelum tahun 1993 sampai dengan bulan Januari 2003
nihil atau belum disalurkan melalui Bank BNI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 98.103 tahun 1998 pasal 17 ayat 4 yang
mengharuskan penerima kredit untuk menyampaikan seluruh transaksi keuangan perusahaan
melalui Bank.
Kondisi tersebut mengakibatkan:
a.Fasilitas yang masih belum dilunasi oleh PT ED sebesar Rp282.024,00 juta menjadi berisiko
apabila kredit tidak diawasi secara ketat.
b.Bank BNI kehilangan pendapatan dari denda keterlambatan penyampaian audited report yang
tidak dikenakan dan Bank BNI tidak dapat memantau kondisi usaha PT ED secara dini.
c.Bank BNI kehilangan fee dari kegiatan ekspor impor PT ED.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a.RM dan pejabat KPK belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan yang diatur di dalam BPP
Bab I, Sub Bab G, sub-sub Bab 05.
b.RM belum maksimal dalam memantau perkembangan usaha PT ED dan hal-hal yang yang wajib
disampaikan oleh PT ED.
143

c.PT ED belum mentaati ketentuan yang diatur dalam PK No. 2000/KPI/14 pasal 17 ayat 2c dan
PK No. 98.103, pasal 17 ayat 4.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Pelanggaran financial covenant disebabkan perusahaan mengalami kerugian akibat kondisi
makro industri plywood yang kurang baik (terutama rendahnya harga plywood). Sejak tahun
2003 kondisi keuangan PT ED mulai membaik dan telah membukukan keuntungan.
Penyimpangan CR dan DER telah mendapatkan persetujuan khusus.
b. Adanya pinjaman kepada bank lain terjadi karena krisis ekonomi tahun 1998 sehingga debitur
membutuhkan pembiayaan yang tidak dapat dipenuhi oleh Bank BNI. Untuk selanjutnya akan
menjadi perhatian kami dan telah ditindaklanjuti sesuai surat No.KPI/5/1679/R tanggal 14 Juli
2005.
c. Penyampaian Laporan Keuangan Audited PT ED memang belum sepenuhnya sesuai dengan
PK. Namun demikian kepada perusahaan telah diminta perhatiannya agar menyerahkan
Audited Report secara tepat waktu sesuai surat No.KPI/3/1222/R tanggal 8 Juni 2005.
d. Selama ini transaksi ekspor impor PT ED dilakukan dengan TT bukan menggunakan sarana
L/C sehingga aktivitasnya nihil. Namun, aktivitas rekening giro dan KMKnya cukup aktif
karena TT-nya disalurkan melalui Bank BNI.
BPK-RI menyarankan agar Pemimpin Divisi Kredit Korporasi terkait Bank BNI
memperingatkan kepada:
a. RM untuk meminta PT ED memenuhi ketentuan minimal CR dan maksimum DER.
b. Pemimpin Divisi Kredit Korporasi untuk meminta RM lebih maksimal mengawasi
perkembangan usaha PT ED dan ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan serta
mengenakan denda keterlambatan kepada PT ED.
22. Fasilitas Kredit Investasi PT Riau Andalan Kertas sebesar US$104,253.00 ribu tidak
memenuhi syarat permohonan
PT Riau Andalan Kertas (PT RAK) yang tergabung dalam kelompok usaha Raja Garuda
Mas (RGM) semula bernama PT Rokan Pulp and Paper yang didirikan pada tanggal 4 Juni 1989
dengan Akte No.440 Notaris Arikanti Natakusuma SH. Berdasarkan Akte No.17 tanggal 13 Juli
1995 perusahaan berganti nama menjadi PT Kampar Andalan Kencana dan berdasarkan Akte
No.142 tanggal 15 Nopember 1995 menjadi PT RAK.
Perusahaan bergerak dibidang industri kertas yang berlokasi di Riau Komplek, Kerinci,
Kampar, Langgam – Riau, dengan produksi berupa Uncoated Woodfree (HVS) dengan branded
“Paper One”, yang penjualannya sebanyak 83% untuk ekspor dan 17% penjualan lokal. Pemasaran
lokal dilaksanakan sendiri oleh PT RAK dan penjualan ekspor seluruhnya diserahkan kepada Asia
Fine Paper Trading Ltd. (AFPT) yang masih merupakan satu Group RGM yang berdomisili di
Singapura. Bahan baku berupa pulp berasal dari produksi PT Riau Andalan Pulp and Paper
(PT RAPP) sehingga selama PT RAPP berproduksi, sumber bahan baku akan terjamin Sedangkan
sumber energi dan air berasal dari PT Riau Prima Energi (PT RPE) yang terletak dalam satu
komplek Riau Paper.
144

Berdasarkan Berita Acara Rapat No.6 tanggal 4 Juni 1996 modal dasar PT RAK sebesar
Rp120.000,00 juta diantaranya sebesar Rp30.000,00 juta telah ditempatkan dan disetor penuh oleh
pemegang saham yang terdiri dari PT Indorayon Lestari sebesar Rp28.500,00 juta (95%) dan
Sukanto Tanoto sebesar Rp1.500,00 juta (5%). Susunan pengurus PT RAK menurut akte No. 17
tanggal 13 Juli 1995 dan Akte No.6 Juni 1996 adalah Sukanto Tanoto bertindak sebagai Komut
dan Polar Yanto Tanoto bertindak sebagai Dirut perusahaan. Susunan pengurus baru berdasarkan
Akte No.82 tanggal 21 Desember 2004 antara lain AJ. Devanesan selaku Komut dan Irsan Syarief
selaku Dirut.
Fasilitas KI PT RAK awalnya memperoleh persetujuan prinsip Bank BNI pada tanggal 11
Oktober 1995, kemudian bersama-sama BBD, Bapindo, BTN menyepakati pemberian KI Sindikasi
yang dituangkan dalam PK Sindikasi No.141 tanggal 27 Juni 1997, dengan maksimum kredit
sebesar USD227,899.57 ribu dan bagian Bank BNI sebesar USD85.899.57 ribu dengan jangka
waktu selama sembilan tahun. Sebelumnya bersamaan dengan pelaksanaan pembangunan pabrik
kertas PT RAK untuk memenuhi kebutuhan mesin-mesin pabrik kertas, PT RAK telah membuka
Usance LC pada BNI sebesar USD86,956.50 ribu pada tanggal 20 Januari 1997 dan pelunasannya
berasal dari KI (sindikasi).
Outstanding kredit PT RAK pada tanggal 31 Januari 2005 adalah sebesar US$104,253.00
ribu dengan kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Gol. II). Sedangkan jaminan yang
diserahkan telah dinilai pada tanggal 31 Desember 2002 oleh PT Satyatama Graha Tara dan
pemasangan asuransi pada PT Ramayana Insuranse s.d. tanggal 30 Juni 2005, dengan jumlah
seluruhnya sebesar US$400.35 ribu dan porsi BNI sebesar US$128.59 ribu atau 32,12%. Nilai
CEV atas jaminan controlled sebesar 63,67%, sedangkan dan total CEV 74,96% tidak mencukupi
dari ketentuan 100%.
Hasil pemeriksaan atas dokumen kredit PT RAK diketahui hal-hal sebagai berikut :
a.Bank BNI menyetujui fasilitas KI PT RAK dan RGM Grup yang belum memenuhi syarat
pengajuan kredit
Bank BNI memberikan fasilitas kredit kepada RGM Grup melalui PT RAPP dan
PT RAK dalam rangka pembangunan pabrik pulp and paper. PT RAK mendapat fasilitas
kredit sindikasi sebesar US$227,899.57 ribu dengan porsi Bank BNI sebesar US$85,899.57
ribu sesuai PK No.141 tanggal 27 Juni 1997 kemudian diperbaharui dengan PK No.23 tanggal
10 Juli 1997. Fasilitas kredit tersebut diterima pada saat pembangunan PM-1 berjalan yaitu
ketika perusahaan belum beroperasi, sedangkan pembangunan baru selesai pada bulan April
1998 dan mulai beroperasi yang ditunjukkan dengan mulai diperolehnya hasil penjualan bersih
menurut laporan keuangan audited tahun 1998 sebesar US$ 75,023.00 ribu. Demikian pula
dengan fasilitas kredit sindikasi PT RAPP sebesar US$450,000.00 ribu atau eq. Rp978.750,00
juta (kurs tengah BI Rp2.175), dengan porsi Bank BNI sebesar US$110,000.00 ribu atau
Rp239.250,00 juta sesuai PK No.3 tanggal 1 September 1994. Fasilitas tersebut diberikan
dalam rangka pembangunan pabrik Pulp Line (PL–1) dengan kapasitas produksi sebesar
850.000 ton/tahun dari seluruh rencana pembangunan pabrik pulp (PL -1, PL-2a dan PL-2b)
dengan kapasitas produksi sebesar 2.000.000 ton/tahun. PT RAPP menyelesaikan pabrik PL-1
pada bulan Februari 1995 dan beroperasi secara komersial. Fasilitas kredit kepada PT RAK
dan PT RAPP diberikan ketika perusahaan belum beroperasi atau masuk dalam kelompok
perusahaan baru, baik secara individual masing-masing perusahaan (PT RAK dan PT RAPP)
145

maupun secara grup. Sehingga pemberian kredit kepada RGM Group tidak memenuhi
ketentuan dan melanggar larangan atas pemberian kredit kepada perusahaan baru.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP BNI Bab I, Sub bab A, 10 yang melarang
pemberian fasilitas kredit kepada perusahaan baru. Yang dimaksud perusahaan baru adalah
perusahaan yang beroperasi kurang dari tiga tahun.
Selain itu CR PT RAK tahun 1996 s.d. 1998 berturut-turut sebesar 0,57x, 0,10x dan
0,14x tidak memenuhi batas minimal sebesar 1,2 kali dan DER berturut-turut sebesar 7,82x,
1,44x dan 1,77x sehingga DER tahun 1996 melebihi batas maksimal sebesar 2,35 kali sesuai
ketentuan BPP BNI Bab I, Subbab F,01.
Demikian pula dengan jaminan yang diserahkan dengan total CEV sebesar 98,07%,
terdiri dari controlled sebesar 84,53% dan uncontrolled sebesar 13,54% atau tidak sesuai
dengan BPP BNI bab I, Sub Bab J, Sub- sub Bab 04, yang menyebutkan persyaratan jaminan
per jenis kredit untuk debitur dan non debitur minimum CEV sebesar 100% (controlled
sebesar 50% dan uncontrolled 50%).
b.Persetujuan Kredit PT RAK tidak memenuhi persyaratan umum permohonan kredit.
PT RAK mengajukan permohonan fasilitas KI Sindikasi dengan surat No. 004/S-
RAK/III/96 tanggal 6 Maret 1996, No.1112/RAPP/VIII/96 tanggal 26 Agustus 1996, No.
263/S-RAK/XI/96 tanggal 23 Nopember 1996 dan No.052/S-RAK/XI/96 tanggal 17 Februari
1997. Kemudian permohonan tersebut disetujui oleh BNI berturut-turut dengan surat
No.SJK/5/2897 tanggal 9 Agustus 1996, No. SJK/5/4049 tanggal 18 Nopember 1996,
No.SJK/5/5291 tanggal 19 Desember 1996 dan No.SJK/5/1460 tanggal 22 April 1997.
Kemudian ditetapkan dalam PK No.141 tanggal 27 Juni 1997, dengan fasilitas KI sebesar
US$227,899.57 ribu. Proses pengajuan fasilitas kredit PT RAK belum seluruhnya memenuhi
syarat umum permohonan kredit, yaitu :
1) PT RAK belum melengkapi Ijin Mendirikan Bangunan
Hasil pemeriksaan terhadap dokumen legal PT RAK diketahui adanya Surat Ijin
Bangunan (SIB) No.06/IMB/PU.CK/V/1998 tanggal 4 Mei 1998 yang dikeluarkan oleh
Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Tingkat II Kampar. SIB tersebut memberi ijin
kepada Roby Wijaya selaku Direktur PT RAK untuk mendirikan bangunan Pabrik
PT RAK di Jalan Lintas Timur Kecamatan Langgam, Pangkalan Kerinci, yaitu Bangunan
Converting building, paper mill office building dan paper machine dengan luas Lantai I,
Lantai II, Lantai III dan Lantai IV berturut-turut seluas 61.056 M2, 19.472 M2, 5.456 M2
dan 320 M2. Penerbitan SIB pabrik PT RAK pada tanggal 4 Mei 1998 tersebut
menunjukkan bahwa persetujuan kredit yang diberikan pada tahun 1996 dan 1997 belum
didasarkan atas kelengkapan syarat pelaksanaan pembangunan pabrik kertas, khususnya
IMB atas bangunan pabrik PT RAK.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I, SubBab A, 04 yang menetapkan
bahwa PAK untuk pengusulan KI harus dibuatkan uraian lengkap tentang proyek atau
aktiva yang dibiayai antara lain Tanah, Bangunan, Mesin, Peralatan, Sarana/Utilities,
Biaya pendahuluan, Biaya pra operasi yang memuat perihal nilai/harga aktiva tersebut,
kondisi/ keadaan dan legalitas aktiva serta kemampuan/kapasitas aktiva tersebut.
2) Persetujuan kredit Bank BNI atas proyek pembangunan pabrik kertas PT RAK
diberikan sebelum adanya Laporan Studi Kelayakan
146

PT RAK dengan surat No.929/S-RAPP/X/95 tanggal 2 Oktober 1995 memohon
persetujuan prinsip Bank BNI atas pembiayaan pembangunan pabrik kertas. Permohonan
tersebut disetujui secara prinsip oleh Bank BNI dengan surat No.SJK/5/3014 tanggal 11
Oktober 1995, dengan penyediaan fasilitas KI maksimal sebesar US$195,000.00 ribu
diantaranya porsi Bank BNI sebesar US$72,000.00 ribu. Kemudian PT RAK mengajukan
penambahan maksimal kredit menjadi sebesar US$226,750.00 ribu dengan surat
No.003/S-KAK/X/95 tanggal 3 Nopember 1995, akan tetapi belum dilengkapi dengan
studi kelayakan proyek pabrik PT RAK. Sampai dengan persetujuan kredit PT RAK pada
tanggal 27 Juni 1997 studi kelayakan tersebut belum disampaikan, sehingga analisa kredit
dalam PAK belum lengkap. Project cost PM-1 dan PM-2 dan studi kelayakan baru
disampaikan dengan surat No.556/S-RAK/FIN/XI/1997 pada tanggal 15 Nopember 1997.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I, Sub Bab A,08 yang menetapkan
fasilitas KI diwajibkan pembuatan studi kelayakan oleh Konsultan.
c.Persetujuan Bank BNI atas pembukaan Usance LC PT RAK sebesar US$86,956.50 ribu
melampaui sebesar US$1,057.00 ribu atas penyediaan KI
Persetujuan Usance LC dalam Perjanjian PPLC tanggal 20 Januari 1997 mengatur
bahwa jumlah fasilitas sebesar US$86,956.50 ribu digunakan dalam rangka pembelian mesinmesin
pabrik kertas PT RAK. Perjanjian KI Sindikasi ditandatangani pada tanggal 27 Juni
1997 dan perubahannya pada tanggal 10 Juli 1997 yang menetapkan penyediaan dana dari
Bank BNI sebesar US$85,899.57 ribu yang digunakan untuk pembelian mesin-mesin pabrik
kertas PT RAK yang dilaksanakan melalui pembukaan Usance LC. Atas pelaksanaan PPLC
tersebut diketahui hal-hal sebagai berikut :
1) Pembukaan Usance LC PT RAK melebihi USD1,056.93 ribu dari fasilitas KI
Pembukaan Usance LC PT RAK adalah sebesar US$86,956.50 ribu yang pelunasannya
ditutup dari penyediaan fasilitas KI sebesar US$85,899.57 ribu, sehingga terjadi kelebihan
pembukaan LC sebesar US$1,056.93 equivalen sebesar Rp2.430,95 juta yang sumber
pelunasannya tidak tersedia dalam KI. Selain itu kelebihan pembukaan Usance LC tersebut
tidak didukung oleh margin deposit yang seharusnya disediakan bagi pembukaan LC
sesuai dengan PK No.141 tanggal 27 Juni 1997.
2) Penetapan jangka waktu Usance LC PT RAK tidak sesuai ketentuan BI
Penetapan jangka waktu pelunasan transaksi impor PT RAK melalui Usance LC selama
jangka waktu 360 hari dan diperpanjang selama 360 hari, sehingga dapat dikatakan bahwa
pelunasannya berjangka waktu selama 720 hari. Sedangkan ketentuan BI dalam Surat
Edaran kepada Bank-Bank Devisa di Indonesia No.29/10/ULN tanggal 4 Juni 1996
menetapkan bahwa pembayaran impor barang dapat dilaksanakan dengan LC dan tanpa
LC. Butir ke 12 menetapkan untuk LC yang dibuka sejak tanggal 4 Juni 1996, Bank
dapat melakukan pembukaan LC dengan syarat pembayaran berjangka dengan ketentuan
jangka waktu penundaan pembayaran tidak melampaui 360 hari setelah tanggal
pengapalan barang.
d.Persyaratan fasilitas kredit PT RAK tidak sesuai permohonan dan ketentuan
Persetujuan fasilitas kredit sindikasi PT RAK disampaikan dengan SKK
No.SJK/5/2897 tanggal 19 Agustus 1996, yang menyebutkan bahwa maksimum KI PT RAK
sebesar Rp524.169,00 juta dengan porsi Bank BNI sebesar Rp200.000,00 juta dengan jangka
147

waktu tujuh tahun termasuk grace periode dua tahun dan jangka waktu penarikan selama dua
tahun. Selanjutnya PT RAK dengan surat No.Reff 1112/RAPP/VIIII/1996 tanggal 26 Agustus
1996 memohon penyesuaian persyaratan kredit berupa jangka waktu kredit tujuh tahun
termasuk grace periode selama dua tahun sejak Usance LC atau seluruh grace periode menjadi
empat tahun dan menurunkan comitment fee menjadi sebesar 0,25%. Perubahan syarat kredit
tersebut diusulkan oleh Divisi Sindikasi dan Jasa Keuangan (DSJK) melalui Memorandum
No.SJK/5/3202 tanggal 13 September 1996 kepada Direksi, dengan mempertimbangkan
permohonan PT RAK atas pembukaan Usance LC yang berjangka waktu dua tahun. Bank BNI
dengan surat No. SJK/5/4049 tanggal 18 Nopember 1996 menyetujui perubahan syarat kredit
berupa penetapan jangka waktu kredit menjadi sembilan tahun termasuk grace periode selama
4 tahun dan menetapkan comitment fee sebesar 0,25%.
Penetapan jangka waktu kredit KI tersebut tidak sesuai dengan surat permohonan
debitur dan comitment fee yang ditetapkan dibawah ketentuan Bank BNI (BPP Bab I, SubBab
J,02) sebesar 0,5% bagi kredit valas, sehingga Bank BNI kehilangan pendapatan (comitment
fee) sebesar US$217.39 ribu atau Rp500,00 juta. (0,25% x US$86,956.50 ribu).
Kondisi tersebut mengakibatkan :
a. Fasilitas kredit PT RAK berpotensi menjadi kredit bermasalah
b. Bank BNI kehilangan kesempatan memperoleh Comitment Fee sebesar Rp500,00 juta.
c. Pengembalian kewajiban kredit PT RAK menjadi lebih panjang dua tahun yaitu s.d tahun 2010.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a. Pejabat KPK dalam memutuskan persetujuan kredit kepada PT RAK tidak memperhatikan
ketentuan larangan pemberian kredit, akan tetapi hanya melihat PT RAK merupakan Grup
RGM dan memandang bahwa pabrik kertas PT RAK merupakan industri strategis yang perlu
mendapat pembiayaan.
b. Persetujuan pejabat KPK atas penetapan syarat kredit tidak memperhatikan ketentuan
perkreditan BNI, khususnya ketentuan comitment fee/ provisi.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Meskipun secara individu PT RAK perusahaan baru, tetapi karena PT RAK merupakan salah
satu anggota dari Raja Garuda Mas group yang telah beroperasi cukup lama, maka dapat
dikategorikan bukan perusahaan baru. Dalam masa pembangunan (perusahaan belum
beroperasi) maka belum terdapat piutang dan persediaan yang menyebabkan posisi aktiva
lancar menjadi kecil, sehingga CR tidak memenuhi ketentuan. Namun demikian dalam
perkembangannya tahun 2004 CR telah mencapai 1,77 kali. Jaminan CEV Uncontrolled belum
memenuhi ketentuan karena proyek yang dibiayai masih dalam pembangunan.
b. Untuk pembangunan pabrik, PT RAK telah mendapat Ijin Prinsip Pembangunan Industri Kertas
dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kampar No. 535/TP/3637 tgl. 26.05.1997. Pada saat
proses kredit dilakukan IMB masih dalam tahap pengurusan dan selesai tgl 4 Mei 1998. PAK
internal Bank BNI disusun atas dasar data perusahaan yang disesuaikan dengan kriteria BNI.
Selanjutnya dalam proses penawaran sindikasi sudah didasarkan pada Study Kelayakan per tgl.
30 Oktober 1996.
148

c. Porsi KI Bank BNI semula sebesar US$115,899.57 ribu telah dilakukan perubahan menjadi
porsi BNI sebesar US$85.899.57 ribu dan sisanya dibiayai Bank Universal sebesar
US$30,000.00 ribu, termasuk cover LC sebesar US$1,057.00 ribu (cfm surat Bank BNI ke
Bank Universal No. IJK/5/1451/R tanggal 27 September 2000 dan Surat BU No.
170/BU/SAM/IX/00 tgl. 4 September 2000 perihal kewajiban L/C BU yang belum
terselesaikan). Jangka waktu Usance L/C memang 2 (dua) tahun, namun jangka waktu
pembayarannya tidak lebih dari 360 hari sejak pengapalan barang/mesin-mesin.
d. Perubahan jangka waktu KI yang semula 7 tahun (gp 2 tahun) menjadi 9 tahun (gp 4 tahun),
mengingat fasilitas KI tersebut digunakan sebagai cover L/C usance 2 tahun, dan draw down
KI pertama baru dilaksanakan 2 tahun sejak PK KI ditandatangani. Penurunan commitment
fee menjadi 0,25% pa, dengan pertimbangan akan dikompensir dari pendapatan lainnya berupa
fee agen sindikasi dan fee akseptasi L/C.
BPK-RI menyarankan agar :
a. Direksi Bank BNI mengkaji kembali tentang pengaturan Grup Perusahaan, dalam
persetujuannya harus memperhatikan aspek ratio keuangan dan persyaratan operasional
perusahaan.
b. Walaupun restrkturisasi kredit memperkenankan penjadwalan ulang, akan tetapi Direksi Bank
BNI juga harus memperhatikan percepatan pengembalian fasilitas kredit oleh PT RAK.
c. Direksi Bank BNI mengembalikan penetapan commitment fee menjadi 0,50%, apabila
perkembangan usaha debitur dinilai lebih baik.
23. Pengelolaan kredit PT Intibenua Perkasatama sebesar Rp293.091,20 juta belum sepenuhnya
sesuai ketentuan
PT Intibenua Perkasatama (IBP) didirikan pada tanggal 18 Maret 1994, sesuai dengan akta
No.191 Notaris Linda Herawati, SH di Medan. PT IBP bergerak dalam bidang usaha minyak
goreng kelapa sawit, beralamat kantor di Jln. Datuk Laksamana, Dumai, Riau dan pabrik di Jln.
Duri-Dumai Km 29 Bukit kayu Kapur, Dumai, Riau dan di Jln Datuk Laksamana, Dumai Riau.
PT IBP merupakan Group usaha Musim Mas dengan key person Bachtiar Karim.
Sesuai dengan Akta No. 41 tanggal 11 Agustus 2003 pengurus PT IBP yaitu Burhan
Karim selaku Komisaris dan Bachtiar Karim selaku Direktur. Sedangkan kepemilikan saham
PT IBP sesuai akta tersebut adalah Burhan Karim, Bachtiar Karim dan Bahari Karim masingmasing
pemilik 30% saham dan Ny. Mikie Widjaya pemilik 10% dari saham PT IBP senilai
Rp63.600,00 juta.
PT IBP menjadi nasabah Bank BNI sejak tanggal 23 Maret 1994. Outstanding kredit
PT IBP posisi 31 Maret 2005 adalah sebesar eq. Rp228.670,64 juta dengan kolektibilitas Lancar
(Gol. I). PT IBP mengikat jaminan tanah yang diberikan kepada Bank BNI dengan Hak
tanggungan sebesar Rp305.000,00 juta.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap dokumen kredit PT IBP, diketahui hal-hal sebagai
berikut:
a. CEV Jaminan yang diserahkan oleh PT IBP tidak memenuhi ketentuan
149

Berdasarkan Ikhtisar Persetujuan Kredit (IPK) (PAK-01) diketahui bahwa CEV
jaminan PT IBP tahun 2002, 2003 dan 2004 berturut-turut sebesar 78,04%, 83,65%, 59,60%
sehingga belum memenuhi ketentuan minimal sebesar 100%.
Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04
yang menyatakan bahwa Nilai CEV seharusnya 100%.
b. Bank BNI belum menerima laporan keuangan perusahaan (home statement) triwulanan
PT IBP secara tepat waktu
Berdasarkan pemeriksaan dokumen kredit diketahui bahwa laporan keuangan (home
statement) triwulanan PT IBP yang terakhir diterima adalah per 30 Juni 2004. Oleh karena
laporan bersifat triwulanan, Bank BNI seharusnya telah menerima laporan tersebut secara
rutin untuk dapat memantau perkembangan perusahaan yang dibiayai.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK pasal 17 mengenai Hal-hal yang harus dilakukan
penerima kredit butir 3 yang menyebutkan bahwa penerima kredit wajib menyampaikan
kepada Bank Neraca dan perhitungan rugi laba (home statement) periodik secara triwulanan
berikut penjelasannya yang telah disahkan oleh Direksi perusahaan penerima kredit dengan
secepat mungkin akan tetapi tidak lebih lambat dari 60 (enam puluh) hari sejak akhir periode
tiap-tiap laporan.
c. Total piutang, inventory dan uang muka pembelian PT IBP belum memenuhi ketentuan
pasal tambahan dalam PK
Berdasarkan PK No. 2005/KPS/002 tanggal 11 Januari 2005 dan PK No.2004/KPS/23
tanggal 9 Juni 2004 pasal tambahan No.8 menyebutkan bahwa total piutang, inventory dan
uang muka pembelian minimal 150% dari outstanding KMK Bank BNI yang divalidasi dalam
laporan keuangan triwulanan selambat-lambatnya diterima Bank sebulan setelah periode
laporan. Dari laporan keuangan diketahui bahwa pencairan kredit yang dilakukan sebelum
tahun 2004 adalah sebesar Rp143.312,39 juta, sehingga minimal total piutang, inventory dan
uang muka pembelian sebesar Rp214.968,58 juta (150% x Rp143.312,39 juta). Dari Laporan
keuangan bulan Juni 2004 (home statement) diketahui bahwa total piutang, inventory dan uang
muka pembelian sebesar Rp163.172,97 juta masih belum memenuhi ketentuan PK minimal
sebesar Rp214.968,58 juta. Dalam PK pasal 21 juga menyebutkan bahwa apabila rasio
piutang, inventory dan uang muka pembelian tidak mencapai ketentuan tersebut, maka
terhadap maksimum KMK akan diturunkan secara proporsional.
d. Nilai pertanggungan asuransi PT IBP belum mengcover jaminan yang diserahkan
kepada Bank BNI
Berdasarkan MAK No. PAK ARK/4/006 tanggal 2 April 2004 diketahui bahwa nilai
taksasi jaminan PT IBP posisi April 2004 adalah sebesar Rp542.131,00 juta dengan jaminan
insurablenya sebesar Rp376.023,00 juta dan baru dicover asuransi oleh PT China Insurance
Indonesia sebesar Rp267.095,10 juta.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Bab 1 Sub Bab J Sub-Sub bab 06 No. 4 mengenai
penetapan nilai pertanggungan pasal b yang menyebutkan bahwa asuransi dibawah harga
adalah asuransi dengan penutupan harga pertanggungan lebih kecil dari pada harga yang
sebenarnya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi tertanggung, karena apabila terjadi
kerugian, penggantian kerugian dari asuradur akan lebih kecil dari pada jumlah kerugiannya.
e. Asuradur PT IBP belum terdaftar sebagai rekanan Bank BNI
150

PT IBP mengasuransikan jaminannya kepada PT China Insurance Indonesia yang
jatuh tempo tanggal 31 Desember 2005. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa
PT China Insurance Indonesia belum masuk dalam daftar rekanan Bank BNI.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Bab 1 Sub Bab J Sub-Sub Bab 06 No.2 yang
menyebutkan bahwa perusahaan asuransi kerugian yang ditunjuk asuradur Bank BNI, yaitu
PT Asuransi Tri Pakarta, PT Asuransi Wahana Tata, PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Maskapai
Asuransi Indonesia dan PT Asuransi Jiwa Bank BNI Jiwasraya.
f. Penyaluran transaksi ekspor/impor PT IBP melalui Bank BNI belum optimal
Dari MAK tanggal 13 Desember 2002 No PAK:ARK/5/121 diketahui bahwa PT IBP
belum optimal menyalurkan seluruh transaksi ekspor/impor melalui Bank BNI. Pada bulan
Juni 2002 aktivitas ekspor PT IBP yang disalurkan melalui Bank BNI hanya sebesar
US$40,988.00 ribu (65%) setahun dari total ekspor US$63,066.00 ribu. Sedangkan data pada
tahun berikutnya tidak diperoleh.
Hal ini tidak sesuai dengan PK pasal 17 No.6 yang mengharuskan seluruh
aktivitas/transaksi keuangan perusahaan penerima kredit melalui Bank BNI.
Kondisi tersebut mengakibatkan :
a. Kepentingan Bank tidak sepenuhnya terjamin/aman, karena jaminan tidak mengcover dan
nilai pertanggungan jaminannya under insured.
b. Bank BNI tidak dapat mengetahui keadaan/kondisi keuangan PT IBP secara dini.
c. Bank BNI kehilangan kesempatan memperoleh fee dari transaksi yang dilakukan oleh PT IBP
yang tidak melalui rekening Bank BNI.
Kondisi tersebut terjadi karena pejabat pengelola kredit PT IBP belum sepenuhnya
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Kekurangan jaminan tersebut telah mendapat persetujuan khusus KPK. Namun demikian kami
akan mengupayakan untuk meminta kepada debitur bersangkutan dapat meningkatkan nilai
jaminannya.
b.Untuk selanjutnya kepada debitur akan diingatkan kembali untuk menyampaikan laporan
keuangan triwulanan tepat waktu.
c.Rasio piutang, inventory dan uang muka pembelian belum mencapai ketentuan karena saldo kas
sebesar Rp66,6 Milyar belum digunakan untuk pembayaran uang muka.
d.Penutupan asuransi pada saat analisa memang belum mengcover jaminan yang diserahkan,
namun demikian akan ditingkatkan menjadi senilai insurablenya cfm surat penegasan kepada
debitur No. KPI/3/1164/R tgl. 2 Juni 2005 dan debitur telah menyanggupinya.
e.Asuradur memang belum terdaftar sebagai rekanan Bank BNI. Namun karena perusahaan
asuransi China Insurance telah lama berjalan dengan reputasinya baik sehingga telah mendapat
persetujuan khusus KPK sesuai ketentuan yang berlaku.
151

f.Selama ini transaksi ekspornya sebagian besar dilakukan melalui TT dan bukan melalui LC
sehingga dari transaksi nego LC yang diselesaikan di Bank BNI tampak kecil. Namun aktivitas
rekening giro dan KMK cukup aktif di Bank BNI Cabang Medan, karena TT.nya disalurkan
melalui Bank BNI. Meskipun demikian Bank BNI akan berupaya meningkatkan pengawasan agar
seluruh aktivitas transaksi keuangan perusahaan disalurkan melalui Bank BNI.
BPK-RI menyarankan agar Direksi Bank BNI memperingatkan kepada RM, Analis dan
Administrasi Kredit untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan intern yang ditetapkan dan akta
PK dalam mengelola kredit. Selain itu mendesak PT IBP untuk menambah nilai agunan yang
kurang dan mengirim surat kepada PT IBP untuk mengingatkan kewajiban penyampaian neraca
dan laporan laba rugi triwulanan kepada Bank BNI tepat waktu.
24. Pemberian dan pengelolaan kredit PT Bhineka Karya Manunggal sebesar Rp433.977,50 juta
belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
PT Bhineka Karya Manunggal (BKM) didirikan tanggal 5 Juli 1982 sesuai dengan Akta
Notaris Raden Muhammad Hendrawan, SH No.21. PT BKM bergerak dalam bidang industri
tekstil terpadu dengan produk benang, kain grey, dying dan printing. PT BKM beralamat kantor di
Plaza BII menara II Lt.33 Jl. MH Thamrin Kav.51 Jakarta dan alamat pabrik di Desa Walahar,
Klari, Kerawang, Jawa Barat, dan di Desa Puspanegara, Citeureup, Bogor, Jawa Barat. Pada tahun
1995 perusahaan mengembangkan jenis usaha dengan memproduksi dyeing dan finishing.
Susunan kepengurusan dan kepemilikan PT BKM sesuai dengan akta No.8 tanggal 10 Mei
2003 antara lain Yusuf Gunawan selaku Komut dan pemilik 22,00% saham dan Wilson Kurniawan
selaku Dirut dan pemilik 8,00% saham PT BKM.
PT BKM menjadi debitur Bank BNI sejak tahun 1970. Outstanding kredit PT BKM posisi
31 Desember 2004 adalah sebesar Rp409.019,85 juta dengan kolektibilitas Dalam Perhatian
Khusus (Gol. II).
Berdasarkan hasil pemeriksaan lebih lanjut terhadap dokumen kredit PT BKM diketahui
hal-hal sebagai berikut:
a. Fasilitas kredit PT BKM sebesar maksimal eq. Rp433.977,50 juta yang jatuh tempo
tahun 2004 didudukkan dalam PK tanggal 16 Mei 2005
Fasilitas kredit yang diberikan kepada PT BKM sebesar eq. Rp433.977,50 juta terdiri dari
fasilitas KMK dan KI sebesar Rp418.525,84 juta yang jatuh tempo tanggal 31 Oktober 2004
dan KI TSL sebesar Rp15.451,66 juta jatuh tempo tanggal 12 September 2011. Berdasarkan
facsimile Divisi Korporasi BNI No.KPS/3/0862, No.KPS/3/0915, No.KPS/3/0950,
No.KPS/3/052, No.KPS/3/073 dan No.KPI/3/118 fasilitas kredit yang jatuh tempo tanggal 31
Oktober 2004 diperpanjang setiap bulan sampai dengan 11 Mei 2005. Pemberian perpanjangan
tersebut hanya diberitahukan kepada PT BKM melalui facsimile dan baru didudukkan dalam
PK tanggal 16 Mei 2005. Sementara itu selama fasilitas kredit tersebut di maintance, plafond
L/C masih terus digunakan melalui pembukaan L/C yaitu pada tanggal 3 November 2004, 27
Januari 2005 dan 31 Maret 2005. Hal ini menimbulkan resiko yang tinggi apabila terjadi
masalah, Bank tidak memiliki kekuatan hukum.
b. Pemberian kredit PT BKM sebesar eq. Rp433.977,50 juta belum sesuai dengan
ketentuan
152

1) Berdasarkan MAK No.PAK KPI/5/099 tanggal 16 Mei 2000 dalam rangka penambahan
KI sebesar US$12,879.00 ribu dan KMK sebesar US$2,825.00 ribu menyebutkan bahwa
baik secara individu maupun group, berdasarkan kredit berjalan maupun dengan rencana
tambahan kredit, PT BKM belum memenuhi financial covenant meskipun telah
diperhitungkan toleransi sebesar 20% terhadap CR dan DER. CR tahun 1998 s.d. 2003
berturut-turut 0,88, 0,59, 0,98, 0,64, 0,67 dan 0,71. Sedangkan DER tahun 1998 s.d. tahun
2003 berturut-turut 4,58, 4,08, 4,13, 12,40, 6,53 dan 5,43. Dari data tersebut dapat
dikatakan bahwa CR dan DER pada proyeksi cash flow selama 6 tahun belum dapat
memenuhi persyaratan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Perkreditan Buku I Bab I Sub Bab G Sub-sub Bab
05 No.05 yang menyebutkan minimal CR 1,20 dan DER 2,5 untuk industri tekstil.
2) CEV total jaminan yang diserahkan dibandingkan dengan jumlah kredit posisi tanggal 16
Mei 2000, 13 Juli 2001, 23 Juli 2002 dan 23 September 2003 berturut-turut sebesar
91,20%, 44,50%, 61,09% dan 97,97%
Hal tersebut tidak sesuai BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 yang menyatakan
bahwa Nilai CEV seharusnya 100%.
3) Berdasarkan CPC-76 tanggal 20 Februari 2001 yang dimuat dalam MPK (PAK-02/2)
disebutkan bahwa sub sektor industri tekstil, sandang dan kulit untuk segmen wholesale
berada pada ‘light red’, yang berarti bahwa peluang ekspansi sudah tertutup. Selain itu
MAK tanggal 16 Mei 2000 No.PAK. KPI/5/099 menyebutkan bahwa sektor/sub sector
industri tekstil berada pada mapping “red” sehingga eksposure kredit sektor/sub sektor
industri tekstil di Bank BNI secara sistem harus diturunkan. Demikian juga pada saat
penandatanganan PK yang disetujui antara tahun 2000 s/d 2003 semua analisa
mengungkapkan traffic lightnya sudah ‘red’. Selanjutnya dalam Formulir Pengawasan
Sirkulasi tanggal 22 Juli 2004 disebutkan bahwa saat yang sangat krusial bagi industri
tekstil adalah pada tahun 2005, dimana quota ke Amerika dan Uni Eropa dihapuskan. Saat
itu produk unggulanlah yang dapat bertahan. Dikhawatirkan, perusahaan tekstil Indonesia
banyak yang gulung tikar, akibat kalah bersaing dengan perusahaan tekstil China dan
India. Dengan demikian pemberian fasilitas untuk sektor ini seharusnya diturunkan.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku 1 Bab I sub bab A sub-sub bab 10 No.14 tanggal 16
Januari 2002 yang menyebutkan bahwa “Bank dilarang memberikan kredit baru dan/atau
tambahan kredit terhadap proyek/obyek pembiayaan yang sector/sub sector ekonominya
pada kategori traffic light “pale red” dan/atau”red”.
Kondisi tersebut mengakibatkan fasilitas kredit PT BKM berpotensi menjadi kredit
bermasalah.
Kondisi tersebut terjadi karena pejabat pengusul dan pemutus kredit dalam memberikan
kredit kepada PT BKM belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Fasilitas kredit tersebut baru didudukkan dalam PK tanggal 16 Mei 2005 karena usulan
perpanjangan dilakukan bersamaan dengan paket restrukturisasi fasilitas kredit secara
menyeluruh a/n Guna Group yang baru mendapat keputusan KPK pada bulan Mei 2005.
153

Fasilitas LC masih tetap dipergunakan dengan pertimbangan kontinuitas supplay bahan baku
agar perusahaan tetap beroperasi.
b.Sejak tahun 1998 persyaratan covenant CR, DER, dan jaminan belum memenuhi ketentuan
Bank BNI. Hal itu disebabkan oleh perubahan kurs pada pinjaman USD. Selanjutnya dalam
setiap proses review selalu dimintakan persetujuan khusus kepada KPK. Meskipun mapping
traffic light sudah red namun tetap diberikan tambahan fasilitas kredit karena pertimbangan
sudah menjadi nasabah sejak 1970, selalu memenuhi kewajiban bunga dan angsuran secara
tepat waktu serta kebutuhan yang mendesak agar usahanya dapat berjalan secara kontinue.
BPK-RI menyarankan agar RM lebih tertib dalam mengelola kredit dan memantau
perkembangan usaha PT BKM secara ketat. Dalam hal fasilitas kredit telah jatuh tempo, apabila
debitur yang bersangkutan memohon perpanjangan maka harus segera didudukkan dalam PK yang
baru. Kemudian terhadap CR, DER dan CEV jaminan yang belum memenuhi ketentuan intern,
kepada PT BKM agar diingatkan untuk berupaya memenuhinya.
25. Pemberian kredit kepada PT Cikarang Listrindo sebesar eq. Rp 1.888.750,25 juta tidak
sesuai dengan ketentuan
PT Cikarang Listrindo (PT CKL) termasuk dalam Grup Jababeka, berdiri pada tanggal 28
Juli 1990 sesuai Akta Notaris Lukman Kirana, SH No.187 yang bergerak di bidang supply tenaga
listrik. Kantor PT CKL berlokasi di Jl. Jendral Sudirman kav. 29 –31 Jakarta sedangkan proyek
berlokasi di Cikarang Industrial Estate Jl. Jababeka Raya Blok R Cikarang.
Berdasarkan RUPS tanggal 20 Desember 2004 pemegang saham PT CKL antara lain
PT Brasali Industri Pratama dan PT Udinda Wahanatama masing-masing sebesar 31,15% dan
PT Pentakencana Pakarperdana sebesar 30,58% dari nilai saham sebesar Rp438.500,00 juta. Sesuai
Akta Penyataan Keputusan Rapat tanggal 10 Desember 2004 No.13 pengurus PT CKL antara lain
Budi Brasali sebagai Komut dan Ismail Sofyan sebagai Dirut.
Outstanding kredit PT CKL per 31 Mei 2005 adalah sebesar eq. Rp1.888.750,25 juta
dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Sesuai laporan appraisal PT Ujatex Baru No.NA-2004-
103A tanggal 14 September 2004 tanah, bangunan, kendaraan, alat berat dan transportasi yang
dijaminkan PT CKL adalah senilai Rp3.346.694,01 juta. Setelah dilakukan penilaian ulang oleh
RM diperoleh hasil penilaian sebesar Rp3.027.602,75 juta dengan porsi Bank BNI sebesar
Rp2.119.321,93 juta (70%).
Hasil pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit menunjukkan beberapa permasalahan
sebagai berikut :
a) Pemberian fasilitas kredit kepada PT CKL belum sepenuhnya dilakukan sesuai
ketentuan
1)PT CKL belum efektif beroperasi selama 3 tahun
Dari hasil kunjungan setempat yang dilakukan Bank BNI terhadap proyek pembangunan
PLTGU pada tanggal 26 Agustus 1992 diketahui bahwa proyek telah mulai dilaksanakan
dengan land clearing. Sedangkan fasilitas kredit kepada PT CKL berupa bridging loan
telah diberikan pada tanggal 28 Oktober 1992 sesuai PK No.129. Dengan demikian kredit
diberikan sebelum aktivitas perusahaan dalam bentuk produksi, penjualan atau operasional
mencapai tiga tahun.
154

Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 Sub Bab A Sub Sub Bab 05 butir 4
perihal persyaratan umum pemberian kredit yang menyebutkan bahwa perusahaan sudah
beroperasi minimal 3 (tiga) tahun, dengan ketentuan antara lain lamanya beroperasi
perusahaan tidak dilihat dari tanggal pendirian atau tanggal Akta Anggaran Dasar
Perusahaan, melainkan dilihat dari mulainya aktivitas perusahaan dalam bentuk produksi,
penjualan atau pemberian jasa secara nyata (operasional).
2)Analisis kredit PT CKL menggunakan laporan keuangan yang belum diaudit (home
statement)
Dalam MPK No.KPD/2/069 tanggal 1 Oktober 1992 diketahui bahwa debitur baru akan
memulai pembangunan, sehingga laporan keuangan yang disampaikan adalah Neraca
Pembuka per 31 Desember 1991 dan per 30 Mei 1992 yang dibuat oleh debitur (Home
Statement). Sedangkan fasilitas kredit kepada PT CKL berupa bridging loan telah
diberikan pada tanggal 28 Oktober 1992.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 Sub Bab A Sub Sub Bab 06 yang
menyatakan bahwa penyampaian audited report diwajibkan bagi calon debitur yang
mengajukan permohonan kredit maksimum diatas Rp5 miliar dan tidak diperkenakan
adanya penyimpangan (exception) atas kewajiban penyampaian Audited Report.
3)Proyeksi arus kas memperlihatkan bahwa CR dari awal pemberian kredit s.d. kredit
lunas tidak memenuhi ketentuan Bank BNI
Dari MPK No.KPD/2/069 tanggal 1 Oktober 1992 diketahui bahwa proyeksi arus kas
menunjukkan bahwa CR dari tahun 1993 s.d. 1997 berturut-turut sebesar 0,34x, 0,34x,
0,33x, 0,31x dan 1,01x.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Komite Kebijakan Kredit No.CPC/37
tanggal 13 Pebruari 1992 yang menyebutkan bahwa ketentuan CR Bank BNI untuk
sektor listrik adalah 1,4 x.
Atas hal tersebut dijelaskan bahwa PT CKL memiliki jenis industri tenaga listrik sehingga
persediaan PT CKL relatif kecil karena tidak menyimpan stock produk (tenaga listrik) dan
stock bahan bakar gas sedangkan dalam pos pasiva lancar terdapat kewajiban lancar
bagian dari hutang jangka panjang (KI Sindikasi) yang relatif cukup besar.
Kemudian dalam pengajuan tambahan kredit tahap II juga disebutkan bahwa proyeksi
kondisi CR sampai dengan fasilitas KI dilunaskan (tahun 2003) kurang baik, yaitu :
Tahun 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02
CR (x) 0,53 0,22 0,36 0,55 0,54 0,52 0,51 0,49 0,51 0,54
Hal tersebut terjadi kembali dalam pengajuan tambahan kredit tahap III disebutkan bahwa
proyeksi CR sampai tahun 2005 kurang baik, yaitu :
Tahun 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05
CR (x) 0,50 0,49 0,53 0,52 0,56 0,56 0,55 0,54 0,53 0,53
155

Atas kondisi CR yang tidak memenuhi ketentuan Bank tersebut, telah dilakukan
permohonan exception kepada KPK dalam setiap MPK pengajuan kredit dan telah
mendapat persetujuan.
4)Hanya sebagian besar pelanggan PT CKL yang berorientasi ekspor sehingga belum
sesuai dengan surat Bank Indonesia
Dalam MPK No.KPD/2/069 tanggal 1 Oktober 1992 disebutkan bahwa PT CKL telah
memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia (BI) dengan surat No.25/44/UKU/PPkr
tanggal 18 Juli 1992, maka kredit yang diberikan Bank dapat digolongkan sebagai Kredit
Ekspor, atau dengan kata lain dapat diberikan dalam valuta US$. Surat BI tersebut
menyatakan bahwa dalam rangka menanggulangi masalah penyediaan tenaga listrik,
khususnya untuk keperluan industri yang berada di kawasan industri, maka kredit yang
diberikan Bank kepada perusahaan penyedia tenaga listrik dimaksud dapat digolongkan
sebagai kredit ekspor sepanjang hasil produksi perusahaan yang berada dikawasan industri
tersebut adalah untuk ekspor.
Selanjutnya diketahui bahwa dalam analisa yang dilakukan Bank BNI (pada MPK
No.KPD/2/069) sama sekali tidak mengungkapkan tentang hasil produksi perusahaan yang
berada di kawasan industri apakah untuk ekspor atau bukan. Selain itu dari review
terhadap data yang disampaikan PT CKL mengenai posisi kebutuhan tenaga listrik untuk
industri di dalam kawasan industri yang belum membayar biaya penyambungan kepada
PLN diketahui bahwa tidak semua perusahaan tersebut bertujuan ekspor.
Kemudian dengan dilakukannya pembangunan tahap II dan III PLTGU Cikarang, PT CKL
juga memperoleh pinjaman dalam bentuk valuta asing, yang penjualannya terutama
ditujukan kepada PT PLN yang bukan merupakan perusahaan yang bertujuan ekspor.
Kemudian berdasarkan jawaban tertulis PT CKL atas konfirmasi yang dilakukan BPK-RI
menyatakan bahwa sebagian besar pelanggan PT CKL merupakan perusahaan yang
berorientasi ekspor.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat BI No.25/44/UKU/PPkr tanggal 18 Juli 1992 dan
Pedoman Kebijakan dan Prosedur Kredit Wholesale dan Middle Market Buku IIIA Bab
III.F.03 No.3 tentang Penggunaan Kredit menyebutkan bahwa kredit dalam valuta asing
yang diberikan Bank harus digunakan untuk membiayai usaha yang dikategorikan ekspor
(penghasil devisa).
5)Feasibility study disusun oleh konsultan yang bukan rekanan Bank BNI
Dalam MPK No.KPD/2/069 tanggal 1 Oktober 1992 disebutkan bahwa feasibility study
(FS) dibuat oleh konsultan asing yaitu Montreal Engineering Company (Monenco) yang
bukan merupakan konsultan rekanan Bank BNI. Penggunaan konsultan yang bukan
rekanan Bank BNI tersebut telah dimintakan exception kepada KPK dan telah mendapat
persetujuan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 08 perihal
ketentuan khusus untuk kredit investasi butir 08.2.a dan c yang menyebutkan bahwa :
a) pembuatan FS oleh konsultan diwajibkan bagi kredit investasi dengan maksimum
sebesar Rp5 miliar ke atas.
156

) debitur bebas memilih konsultan yang akan digunakan oleh perusahaan yang
bersangkutan (atas dasar konsultan yang terdaftar di Bank BNI).
6)Jaminan yang diberikan tidak memenuhi total CEV
Dalam MPK No.KPD/2/069 tanggal 1 Oktober 1992 disebutkan bahwa proyeksi total
CEV jaminan PT CKL setelah proyek selesai adalah sebesar 82,82%. Jaminan yang belum
memenuhi syarat tersebut terjadi kembali pada saat pengajuan kredit tahap II dan III yaitu
masing-masing hanya 84,55% dan 87,15%. Kekurangan jaminan tersebut telah dimintakan
exception kepada KPK dan telah mendapat persetujuan. Selanjutnya berdasarkan Ikhtisar
Persetujuan Kredit/IPK No.KPI/1/123 tanggal 31 Desember 2003 diketahui bahwa total
CEV jaminan PT CKL adalah sebesar 67,85%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J.04 butir 5 yang
menyebutkan bahwa persyaratan minimum total CEV jaminan untuk KI dan KMK adalah
100%.
7)Fasilitas bridging loan diberikan sebelum adanya persetujuan keikutsertaan peserta
sindikasi
Bank BNI dengan Surat Keputusan Pemberian Kredit No.KPD/2/130/R tanggal 26
Oktober 1992 menyetujui untuk memberikan kredit berupa bridging loan sebesar
Rp56.868,00 juta dan selanjutnya dengan surat No.KPD/2/002/R tanggal 7 Januari 1993
Bank BNI menyetujui tambahan bridging loan sebesar Rp28.132,00 juta sehingga total
bridging loan kepada PT CKL menjadi sebesar Rp85.000,00 juta. Sebelumnya dengan
surat No.KPS/5/1670/R tanggal 16 Oktober 1992 dan No.KPS/5/1977/R tanggal 10
Desember 1992 Bank BNI telah menawarkan kepada Bank Exim, Panin Bank , Sakura
Swadharma Bank, Bank Internasional Indonesia (BII) dan Fuji Bank International
Indonesia untuk ikut serta dalam sindikasi pembiayaan atas proyek PT CKL. Persetujuan
keikutsertaan dari bank -bank tersebut baru diperoleh Bank BNI dengan data sbb:
Nama Bank Tanggal Surat Keterangan (ribu USD)
Bank Exim 9 Maret 1993 Ikut sindikasi US$10,000.00
Panin Bank 6 Pebruari 1993 Tidak ikut sindikasi
Sakura Swadharma Bank 14 Januari 1993 Tidak ikut sindikasi
BII 25 Januari 1993 Ikut sindikasi US$10,000.00
Fuji Bank Int. Indonesia 3 Pebruari 1993 Ikut sindikasi US$10,000.00, dengan
syarat Bank BNI menyediakan SBLC
Dengan demikian Bank BNI telah memberikan fasilitas bridging loan kepada PT CKL
sebelum memperoleh jawaban atas keikutsertaan peserta sindikasi yang lain.
Kemudian pemberian bridging loan tahap II sebesar US$19,300.00 ribu telah disampaikan
kepada PT CKL dengan surat No.KPI/2/94/R tanggal 24 Juni 1994. Dari hasil
pemeriksaan diketahui bahwa peserta sindikasi yaitu BII dan Bank Exim baru
menyampaikan persetujuan ikut berpartisipasi dalam proyek tahap II masing-masing
dengan surat No.94/1712/DIRKR/KC-4 tanggal 8 Agustus 1994 dan faksimile tanggal 29
Agustus 1994.
Hal tersebut belum sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 10 yang
menyebutkan bahwa pemberian bridging loan dilarang bagi debitur yang PAK-nya belum
157

mendapatkan persetujuan KPK dan/atau kredit sindikasi yang belum mendapatkan
persetujuan dari peserta sindikasi lainnya.
8)Penarikan kredit telah dilakukan meskipun syarat penarikan bridging loan belum
seluruhnya terpenuhi
Dari Nota Intern No.KPD/2/Int tanggal 29 Oktober 1992 perihal penarikan pertama
fasilitas bridging loan PT CKL sebesar US$13,862.13 ribu diketahui bahwa persyaratan
penarikan kredit PT CKL belum seluruhnya memenuhi ketentuan yaitu PT CKL belum
menyetor sebesar 35% dari kewajiban pembayaran yang harus dilaksanakan. Dalam nota
tersebut disebutkan bahwa porsi modal sendiri adalah sebesar 35% dari pengeluaran yang
harus dilakukan sebesar Rp41.223,98 juta yaitu sebesar Rp14.428,39 juta. Sedangkan
realisasi setoran modal PT CKL baru sebesar Rp11.321,00 juta sehingga masih kurang
sebesar Rp3.107,39 juta (Rp14.428,39 juta - Rp11.321,00 juta). Selanjutnya dari Nota
Intern No.KPD/2/13/Int tanggal 13 Maret 1993 perihal penarikan fasilitas bridging loan
PT CKL diketahui bahwa :
a) Maksimum fasilitas bridging loan sebesar Rp85.000,00 juta yang terinci dalam dua
perjanjian kredit masing-masing sebesar Rp56.868,00 juta dan Rp28.132,00 juta.
b) Outstanding per 10 Maret 1993 sebesar Rp70.048.667.203,00.
c) Realisasi proyek per 28 Pebruari 1993 sesuai Laporan Konsultan Pengawas dan
rekomendasi konsultan Monenco sebesar 58,17% dengan biaya Rp93.124,84 juta.
d) Setoran modal yang telah dipenuhi sebesar Rp21.008,00 juta atau 22,56% dari realisasi
proyek, sehingga terdapat kekurangan sebesar Rp11.585,69 juta [(Rp93.124,84 juta x
35%) - Rp21.008,00 juta].
Dengan demikian syarat penarikan kredit berupa PT CKL telah menyetor sebesar 35% dari
kewajiban pembayaran yang harus dilaksanakan belum terpenuhi, akan tetapi kepada
debitur tetap diperbolehkan untuk melakukan penarikan kredit.
Hal tersebut belum sesuai dengan PK Bridging Loan No.129 tanggal 28 Oktober 1992
mengenai syarat penarikan antara lain debitur telah melakukan kewajiban setoran modal
sebesar 35% dari kewajiban yang harus dilaksanakan.
b) Terdapat plafondering kredit dalam restrukturisasi kredit PT CKL
Dari dokumen kredit diketahui fasilitas kredit PT CKL posisi 30 Juni 2002 sebelum
restrukturisasi (porsi Bank BNI) adalah sebagai berikut :
(dalam USD ribu)
Jenis Kredit Maksimum Outstanding Sustainable Unsustainable
PK loan Loan
KI Pokok (tranche A) 110,902.02 110,902.02 110.902.02 -
Bridging/Ex LC (Tranche C) 63,798.66 63,798.66 63.798.66 -
KMK 8,191.20 8,191.20 8.191.20 -
Ex Tunggakan Bunga (Tranche C) 19,737.31 19,737.31 - 19,737.31
Ex Tung. Bunga KI Pokok (Tranche F) 10,060.95 10,060.95 - 10,060.95
Bunga Ditangguhkan (Tranche D) 14,332.01 17,280.98 - 17,280.98
158

Total BNI 227,022.13 229,971.12 182,891.88 47,079.24
Jumlah sindikasi 321,656.38 325,026.12 263,640.37 61,385.75
Restrukturisasi fasilitas kredit PT CKL disetujui oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan
(KKSK) No.KEP.01/K.KKSK/08/2002 tanggal 22 Agustus 2002 sebagai berikut :
1) Tranche A berupa KI Jangka Panjang sebesar US$263,6 juta (total sindikasi) dengan tenor
s.d. akhir tahun 2017, bunga tetap 7% untuk tiga tahun pertama dan seterusnya minimum
7% dengan formula SIBOR+Margin (minimum 3% dan maksimum 5%).
2) Tranche B berupa Kredit Jangka Panjang Opsi Saham (KJPOS) sebesar US$37,4 juta
dengan tenor 10 tahun dan kupon 1%.
3) Tranche C diselesaikan dengan penyelesaian tunai sebesar 10 sen per US$1
Fasilitas kredit PT CKL setelah restrukturisasi sesuai PK Restrukturisasi Tahap II No.105 pada
tanggal 30 Agustus 2002 (porsi BNI) adalah :
(dalam USD ribu)
Bank Sustainable Unsustainable Total
Tranche A Tranche B/KJPOS Tranche C
Porsi BNI 182,891.87 29,798.26 17,280.98 229,971.11
Total sindikasi 263,640.37 37,468.48 23,917.27 325,026.12
Dari data fasilitas kredit sebelum dan setelah restrukturisasi terlihat bahwa tunggakan bunga
PT CKL sebesar US$29,798.26 ribu (fasilitas Tranche C dan F sebelum restrukturisasi) telah
dijadikan plafond kredit baru (Tranche B) dengan jumlah yang sama, sehingga telah terjadi
plafondering kredit.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Lampiran Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 perihal Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan
Perkreditan Bank Bab VII butir 700.d yang menyebutkan bahwa Bank tidak melakukan
penyelesaian kredit bermasalah dengan cara menambah plafond kredit atau tunggakantunggakan
bunga dan mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau yang lazim dikenal
dengan praktek plafondering kredit.
c) Perubahan pemegang saham dan direksi PT CKL belum mendapat ijin dari Bank
sindikasi
Susunan pemegang saham PT CKL sesuai RUPS Luar Biasa tanggal 31 Oktober 2003 adalah
sebagai berikut :
No. Nama % saham
a) PT Brasali Industri Pratama (PT BIP) 23,75
b) PT Udinda Wahanatama (PT UWT) 23,75
c) PT Pentakencana Pakarperdana (PT PKP) 23,32
d) PT Penta Cosmopolitan Corp. (PT PCC) 0,43
e) PT Prabuwahana Budidharma (PT PBD) 19,00
f) PT Mitra Agung Sentra Invest. (PT MASI) 4,75
g) PT Polamegah Utama (PT PMU) 5,00
100,00
159

Kemudian PT CKL pada tanggal 3 Agustus 2004 memohon perubahan komposisi pemegang
saham yaitu penjualan saham dari PT MASI kepada PT PBD dan disetujui oleh anggota
sindikasi. Berdasarkan RUPS tanggal 20 Desember 2004 susunan pemegang saham yang baru
adalah sebagai berikut :
(dalam juta Rupiah)
No. Nama % saham Nilai Saham
a) PT BIP 31,15 136.582,00
b) PT UWT 31,15 136.582,00
c) PT PKP 30,58 134.096,00
d) PT PCC 0,57 2.486,00
e) PT PMU 6,56 28.754,00
Jumlah 100 438.500,00
Dengan demikian terdapat perubahan pemegang saham yang belum mendapat persetujuan dari
anggota sindikasi yaitu PT PBD tidak lagi merupakan pemegang saham PT CKL. Selain itu
sesuai Akta Penyataan Keputusan Rapat tanggal 10 Desember 2004 No.13 telah dilakukan
perubahan susunan Direksi dan Komisaris PT CKL sebagai berikut:
Jabatan Baru Lama
Komisaris Utama Budi Brasali Budi Brasali
Komisaris Iwan Putra Brasali, Agus
Lasmono, Fenza Sofyan dan
Djeradjat Yanto Yoso.
Tonyadi Halim
Direktur Utama Ismail Sofyan Ismail Sofyan
Wakil Dirut Sutanto Joso Susanto Joso
Direktur Produksi Ewe Chai P’ang Ewe Chai Plang
Direktur Komersial Andrew Labbaika Andrew Labbaika
Direktur --- Juan Ramon Jimenez
Perubahan kepemilikan saham dan pengurus PT CKL belum mendapat persetujuan dari Bank
sindikasi.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Akta PK Restrukturisasi No.105 tanggal 30 Agustus 2002
pasal 14 butir 12 yang menyebutkan bahwa tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari para
pemberi kredit melalui agen, penerima kredit tidak diperkenankan untuk mengubah susunan
pengurus (Direksi dan/atau Komisaris) dan mengubah kepemilikan saham.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Pengelolaan kredit yang tidak mengacu kepada ketentuan intern yang telah ditetapkan,
mengakibatkan risiko yang akan ditanggung oleh Bank akan lebih besar apabila ternyata kredit
yang telah diberikan bermasalah. Karena peraturan yang telah ditetapkan tersebut pada dasarnya
adalah untuk mengurangi risiko kerugian bagi Bank .
b. Dengan dijadikannya tunggakan bunga sebesar US$29,798.26 ribu sebagai pokok kredit maka
Bank BNI harus menyisihkan PPAP sesuai kolektibilitas kreditnya.
c. Tidak adanya teguran oleh Bank BNI atas pelanggaran PK yang dilakukan oleh debitur
mengakibatkan pengawasan terhadap kegiatan debitur yang dilakukan oleh Bank BNI tidak
efektif dan bila terjadi permasalahan tidak dapat segera mengambil tindakan yang
menguntungkan bagi Bank .
160

Kondisi tersebut terjadi karena :
a.RM dan analis kredit dalam melakukan pengelolaan kredit belum sepenuhnya memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
b.KKSK dalam memutus restrukturisasi kredit PT CKL pada tahun 2002 tidak memperhatikan
ketentuan BI.
c.Agen Sindikasi (Divisi Investasi dan Jasa Keuangan Bank BNI) belum secara tegas meminta
debitur untuk memenuhi ketentuan yang tertuang dalam Akta PK.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Meskipun secara individu PT CKL merupakan perusahaan baru, tetapi karena PT CKL
merupakan salah satu anggota dari group Metropolitan Jaya dan Group Erakomindo, sehingga
dapat dikategorikan bukan perusahaan baru. Laporan keuangan audited belum tersedia karena PT
CKL merupakan perusahaan yang baru didirikan untuk mengoperasikan power plant yang akan
dibiayai dan belum ada kegiatan operasional. Tidak terpenuhinya CR dalam proyeksi arus kas
karena sesuai dengan karakteristik bisnis pembangkit listrik, dimana inventory perusahaan hanya
berupa sparepart karena hasil produksi tidak dapat disimpan sehingga nilai inventory relative
kecil. Konsep awal pembangunan power plant PT CKL adalah untuk mensuplay kebutuhan listrik
Kawasan Industri Cikarang yang merupakan kawasan berikat dimana perusahaan-perusahaan
yang ada didalamnya sebagian besar merupakan perusahaan yang berorientasi ekspor. Kami
sependapat bahwa Feasibility Study proyek disusun oleh konsultan yang belum tercatat sebagai
rekanan BNI. Namun karena konsultan tersebut merupakan konsultan asing yang mempunyai
keahlian khusus di bidang power plant dan memiliki reputasi international, sehingga tidak
dipandang perlu untuk dimintakan penyusunan ulang oleh konsultan rekanan BNI dan hal ini
telah mendapat persetujuan khusus dari KPK. Total CEV memang belum memenuhi. Kekurangan
CEV uncontrolled disebabkan oleh karakteristik jenis usaha yang memiliki persediaan yang
relative kecil untuk digunakan sebagai jaminan Uncontrolled. Persetujuan permberian Bridging
Loan oleh BNI mendahului terbentuknya sindikasi dengan pertimbangan karena telah adanya
komitmen beberapa calon peserta sindikasi sehingga diharapkan pembentukan sindikasi tidak
menghadapi masalah. Syarat penarikan Bridging Loan yang belum terpenuhi adalah setoran
modal sendiri sebesar 35%, namun demikian hal ini disetujui oleh Direksi untuk disetor secara
bertahap dan akan diperhitungkan dengan kewajiban pembayaran selanjutnya. Kekurangan Self
Financing tersebut telah dipenuhi pada bulan Januari 1993.
b.Kebijakan restrukturisasi yang antara lain mendudukkan bunga tertunggak menjadi plafond baru
(Tranche B) terkait dengan langkah-langkah penyelamatan yang dilaksanakan sesuai kondisi
debitur saat itu, dan telah memperoleh persetujuan KKSK tanggal 22 Agustus 2002. Debitur sejak
Juni 2005 telah menyampaikan proposal kesanggupan untuk mengangsur dengan bunga sesuai
kesepakatan Tranche I.
c.Atas permasalahan tersebut BNI akan melakukan teguran kepada PT CKL untuk menyampaikan
permohonan ijin persetujuan dari lender sindikasi.
BPK-RI menyarankan agar Pemimpin Divisi Kredit Korporasi terkait Bank BNI
memperingatkan RM dan analis kredit untuk lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam melakukan pengelolaan kredit dan memantau perkembangan usaha debitur secara
161

lebih ketat serta Agen Sindikasi (Divisi Investasi dan Jasa Keuangan Bank BNI/unit bisnis terkait)
agar lebih tegas meminta debitur untuk memenuhi ketentuan yang tertuang dalam Akta PK.
26. Pengelolaan kredit PT Petrokimia Gresik sebesar Rp640.021,50 juta belum sepenuhnya
sesuai ketentuan
PT Petrokimia Gresik (PT PG) berdiri pada tanggal 8 Agustus 1964 berdasarkan Inpres
No.01/Inst/1963 tanggal 4 Maret 1964 dengan nama Projek Petrokima Surabaja dan berubah status
menjadi perseroan pada tanggal 31 Mei 1975 sesuai Akta Pendirian No.110 Notaris Abdul Latief,
SH yang bergerak di bidang industri pengolahan kimia. Kantor dan pabrik PT PG berlokasi di
Jl.Ahmad Yani, Gresik Jawa Timur.
Susunan pemegang saham PT PG sesuai Akta Perubahan No.82 tanggal 27 Maret 1998
Notaris Imas Fatimah SH adalah PT Pusri Palembang dan Yayasan PT Petrokimia Gresik masingmasing
sebesar 99,99% dan 0,01% dari nominal saham sebesar Rp406.410,00 juta. Sedangkan
susunan pengurus PT PG berdasarkan Keputusan RUPS Luar Biasa tanggal 28 September 2004
antara lain Ato Suprapto selaku Komut dan Arifin Tasrif selaku Dirut.
Outstanding kredit PT PG per 31 Mei 2005 adalah sebesar eq. Rp640.021,50 juta dengan
kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Hasil pemeriksaan terhadap pemberian dan pengelolaan kredit menunjukkan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
a. Jaminan yang diserahkan ke Bank BNI sejak tahun 2001 yang akan dilakukan
pengikatan secara paripasu dengan Bank Mandiri, ternyata sampai dengan Juni 2005
belum terealisir
Fasilitas KI Credit Cash Collateral (CCC) untuk pembangunan pabrik NPK telah
berjalan sejak 28 November 1998 sesuai PK No.98/HLB/100, maksimum kredit sebesar
US$23,550.00 ribu dengan jaminan berupa deposito milik PTPN II, III dan V. Fasilitas
tersebut telah didisposisi sebesar US$14,685.00 ribu karena deposito yang ditempatkan hanya
sebesar disposisi tersebut. Karena kesulitan likuiditas, PTPN II, III dan V bermaksud untuk
menarik seluruh deposito yang menjadi jaminan fasilitas KI CCC sehingga PT PG memohon
agar KI CCC sebesar US$13,636.07 ribu diubah menjadi KI rupiah. Hal tersebut telah
diajukan ke KPK sesuai PAK Interim No.KPI/3/058A/R tanggal 15 Oktober 2001 dan
sesuai Rapat Direksi tanggal 25 Oktober 2001 telah disetujui pemberian KI rupiah
equivalent US$13,636.07 ribu serta telah dibuat dalam PK No.2001/KPI/63 tanggal 5
Desember 2001 dengan maksimum kredit Rp132.136,81 juta dengan jangka waktu s.d.
tanggal 1 November 2007. Jaminan yang diserahkan selain satu bidang tanah Hak Guna
Bangunan (HGB) No.9 berlokasi di Desa Ngipik Kecamatan Gresik yang telah dijaminkan
untuk fasilitas sebelumnya (KMK, SBLC dan LC), juga dijaminkan dua bidang tanah HGB
No.69 dan 70 berlokasi di Desa Roomo Kecamatan Manyar serta segala sesuatu yang ada
diatas tanah tersebut terutama bangunan pabrik pupuk NPK, mesin-mesin dan peralatan dari
pabrik pupuk NPK. Dari dokumen kredit diketahui bahwa tanah yang berlokasi di Desa
Roomo beserta bangunan, mesin dan peralatan pabrik pupuk NPK telah dijaminkan kepada
Bank Mandiri sehubungan dengan pemberian fasilitas KI oleh Bank Mandiri, sehingga
jaminan tersebut akan diparipasu dengan Bank Mandiri sebagai pengganti jaminan deposito.
162

Bank Mandiri dengan surat No.RMN.CRA/CG1.544/2002 tanggal 2 Juli 2002 telah
menyetujui untuk memberikan ijin kepada PT PG untuk menerbitkan Hak Tanggungan II
kepada Bank BNI senilai maksimal Rp132.000,00 juta atas tanah, bangunan, mesin dan
peralatan pabrik pupuk NPK dengan syarat pengikatan Hak Tanggungan I untuk kepentingan
Bank Mandiri sudah mengcover seluruh limit kredit yang diberikan Bank Mandiri kepada
PT PG. Sampai dengan pemeriksaan tanggal 20 Juni 2005, jaminan tersebut belum juga diikat
secara paripasu, walaupun Bank BNI telah mengirim surat No.KPI/9/2009/R tanggal 13
Agustus 2003 dan No.DRK/4/439/R tanggal 28 April 2005 agar PT PG segera melakukan
pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan tersebut.
Hal tersebut belum sesuai dengan PK No.2001/KPI/63 tanggal 5 Desember 2001
pasal 11 butir 2.b. yang menyebutkan bahwa terhadap 2 SHGB No.69 dan 70 akan dibebani
dengan Hak Tanggungan secara paripasu dengan Bank Mandiri minimal sebesar nilai
maksimum kredit di Bank Mandiri dan Bank BNI.
b. Penilaian kembali jaminan oleh appraisal independen baru dilaksanakan setelah
melebihi empat tahun
Asset PT PG terakhir kali dilakukan penilaian oleh Appraisal PT Gandamega Serasi
tanggal 17 Juni 2004 sesuai laporan No.038-L/GDS/LP-PKG/VI/2004 dengan nilai pasar
sebesar Rp4.084.158,00 juta. Sebelumnya pada bulan Januari 2000 jaminan dinilai oleh
PT Shantika Valuindo sesuai laporan No.SVL-PN-99110A, B dan H. Dengan demikian
penilaian baru dilakukan kembali oleh PT Gandamega Serasi setelah 4 tahun 5 bulan sejak
penilaian oleh PT Shantika Valuindo.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I.J.04 yang menyebutkan bahwa
frekuensi penilaian agunan oleh penilai independen untuk kredit kualitas lancar dan dalam
perhatian khusus paling lama setiap tiga tahun sekali.
c. Nilai pertanggungan asuransi PT PG lebih rendah dari nilai sebenarnya
Agunan yang dijaminkan PT PG berupa bangunan, mesin dan peralatan telah
diasuransikan dengan nilai pertanggungan sebesar Rp1.094.038,60 juta kepada PT Asuransi
Jasa Indonesia dengan jangka waktu pertanggungan mulai 1 Maret 2005 s.d. 1 Maret 2006.
Berdasarkan Formulir Analisa Kecukupan dan Pengikatan Jaminan tanggal 26 Oktober 2004
diketahui bahwa nilai taksasi untuk jaminan yang diasuransikan adalah sebesar
Rp2.198.625,16 juta. Dengan demikian nilai pertanggungan asuransi PT PG lebih
rendah/under insured daripada nilai taksasi (nilai sebenarnya) barang jaminan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 06 butir 4
perihal penetapan nilai pertanggungan yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan
penutupan asuransi, nilai pertanggungan harus selalu disesuaikan dengan nilai sebenarnya dari
barang jaminan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah pertanggungan di bawah harga (under
insured) atau di atas harga (over insured).
d. CR PT PG selama tahun 2001 s.d. 2004 belum memenuhi persyaratan
Berdasarkan MAK tanggal 6 Desember 2004 diketahui bahwa CR dan DER PT PG tahun 2001
s.d. 2004 sesuai laporan keuangan audited adalah :
2001 2002 2003 2004
CR 0,87 0,94 1,02 1,25
DER 1,83 1,80 1,96 2,17
163

Dengan demikian CR PT PG belum memenuhi ketentuan Bank BNI yaitu BPP Buku I Bab I
Sub Bab G Sub Sub Bab 05 butir 5 yang menyebutkan bahwa debitur harus memelihara
ketentuan minimum CR untuk industri pengolahan kimia adalah 1,35 kali.
e. PT PG meminjam ke bank lain tanpa memberitahukan kepada Bank BNI
Berdasarkan Laporan Keuangan audited PT PG tahun 2003 diketahui bahwa pada
tahun 2003 PT PG memperoleh pinjaman dari BCA sebesar Rp300.000,00 juta dan
US$30,000.00 ribu serta dari Bank Syariah Mandiri (BSM) sebesar Rp75.000,00 juta.
Kemudian dari Laporan Keuangan audited PT PG tahun 2004 diketahui bahwa pada tahun
2004 PT PG juga memperoleh hutang dari Bank DBS Indonesia sebesar US$30,000.00 ribu.
Dari dokumen debitur tidak diperoleh data-data mengenai pemberitahuan PT PG mengenai
pinjaman dari BCA, BSM dan DBS kepada Bank BNI maupun surat persetujuan dari Bank
BNI mengenai pinjaman tersebut.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.97/HLB/050a tanggal 1 Agustus 1997 pasal
18 yang menyebutkan bahwa penerima kredit wajib melaporkan/memberitahukan kepada Bank
apabila melakukan hal-hal antara lain menerima pinjaman dari Bank komersial atau lembaga
keuangan lainnya.
f. Bank BNI belum mendaftarkan jaminan kredit yang diikat secara fidusia
PT PG telah menyerahkan jaminan antara lain berupa :
1) Mesin-mesin/peralatan pabrik urea dan amoniak diikat secara fidusia, sesuai akta
penyerahan hak milik secara fidusia tanggal 22 Desember 1992 No.419 oleh Notaris
Ny.Nurlaily Adam, SH.
2) Seluruh persediaan bahan baku, bahan pembantu, bahan penolong, barang setengah jadi,
barang jadi diikat secara fidusia sesuai akta penyerahan hak milik secara fidusia tanggal 22
Desember 1992 No.420 oleh Notaris Ny. Nurlalily Adam, SH.
Sampai dengan pemeriksaan tanggal 20 Juni 2005 diketahui bahwa jaminan fidusia tersebut
belum didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia Departemen Kehakiman dan Hak Azasi
Manusia.
Hal tersebut belum sesuai dengan UU No. 4 tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia
pasal 12 yang menyebutkan bahwa Pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan pada Kantor
Pendaftaran Fidusia (Departemen Kehakiman).
Kondisi tersebut mengakibatkan risiko yang akan ditanggung oleh Bank BNI akan lebih
besar apabila ternyata kredit yang telah diberikan bermasalah.
Kondisi tersebut terjadi karena RM dalam mengelola kredit belum sepenuhnya
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta belum secara tegas meminta debitur untuk
memenuhi ketentuan dalam PK.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Proses pengikatan jaminan secara paripasu harus memperoleh ijin tertulis dari Bank Mandiri dan
baru dikirimkan melalui faksimili oleh debitur kepada Bank BNI pada akhir tahun 2004,
164

meskipun ijin dimaksud telah diterima debitur pada tahun 2002. Saat ini pengikatan sedang
dilaksanakan melalui notaris yang ditunjuk oleh debitur.
b.Mempertimbangkan biaya hertaksasi yang relatif tinggi, debitur mohon penundaan pelaksanaan
penilaian ulang jaminan yang seharusnya pada tahun 2003, baru dilaksanakan pada tanggal 17
Juni 2004.
c.Saat ini sedang diproses pengalihan asuradur dari PT.Asuransi Ramayana ke PT.Asuransi
Jasindo sekaligus penyesuaian nilai asuransi persediaan dan mesin-mesin yang masih under
insured.
d.Pada tahun 2001 s/d 2003 CR belum memenuhi ketentuan Bank BNI karena terdapat bagian
lancar hutang jangka panjang yang cukup besar. Namun demikian dalam perkembangannya
menunjukkan perbaikan dan pada posisi per 31 Desember 2004 telah mencapai 1,25 kali atau
hanya (7,4) % dibawah ketentuan minimal 1,35 kali.
e.Adanya pinjaman kepada bank lain akan menjadi perhatian kami dalam pemantauan nasabah
selanjutnya, dan kepada debitur telah kami tegur secara lisan dan tertulis cf. Surat No.
KPI/9/1681/R tanggal 14 Juli 2005.
f.Pendaftaran fidusia sedang dalam proses.
BPK-RI menyarankan agar Pemimpin Divisi Kredit Korporasi terkait Bank BNI
memperingatkan RM untuk lebih memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
mengelola kredit, memantau perkembangan usaha debitur serta lebih tegas meminta debitur untuk
memenuhi ketentuan yang tertuang dalam Akta Perjanjian Kredit. Jaminan yang belum dilakukan
pengikatan agar segera diikat secara notarial dan jaminan fiducia agar segera didaftarkan.
27. Pemberian dan pengelolaan kredit PT PP London Sumatera Indonesia Tbk sebesar
US$40,000.00 juta belum sesuai dengan ketentuan
PT PP London Sumatera Indonesia Tbk (PT PPL) didirikan pada tanggal 18 Desember
1962 sesuai Akta Notaris Raden Kardiman, SH No.93 yang bergerak di bidang industri
perkebunan kelapa sawit, karet, cocoa, teh, kopi dan industri pengolahan. PT PPL berkantor pusat
di Gedung WTC Jl. Jendral Sudirman kav. 29 –31 Jakarta, sedangkan pabrik/kebun berlokasi di
Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan.
Pemegang saham mayoritas (76,56%) PT PPL sesuai Pernyataan Keputusan Rapat No.162
tanggal 21 Juni 2004 adalah masyarakat sedangkan sebesar 22,17% dan 1,27% dari nominal saham
sebesar Rp1.034.334,29 juta masing-masing dimiliki oleh PT Pan London Sumatra Plantation dan
Happy Cher Limited. Sedangkan susunan Direksi dan Komisaris PT PPL sesuai Pernyataan
Keputusan Rapat No.339 tanggal 27 Mei 2004 antara laian Mark Howard Carnegie Presiden
Komisaris Glen MS Yusuf Dirut perusahaan.
PT PPL mendapat fasilitas KMK sindikasi sebesar US$75,000.00 ribu yang dituangkan ke
dalam akta No.66 tanggal 30 Juni 2004, dengan rincian Bank BNI sebesar US$40,000.00 ribu,
Bank Niaga US$10,000.00 ribu dan PT Namatalu Cakrawala Securites (NCS) US$25,000.00 ribu.
Outstanding kredit PT PPL per 31 Desember 2004 adalah sebesar US$40,000.00 ribu
dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Hasil appraisal PT Ujatex Baru sesuai laporan No.UB-
191/AF.017-B/VI/2004-Rev. tanggal 9 Juni 2004 atas tanah, bangunan, kendaraan, alat berat dan
transportasi yang dijaminkan PT PPL adalah senilai Rp2.113.352,88 juta, dengan porsi Bank BNI
sebesar Rp1.127.121,53 juta.
165

Hasil pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit menunjukkan beberapa permasalahan
sebagai berikut :
a. Pemberian kredit kepada PT PPL belum sesuai dengan CPC No.98/2004 tanggal 9
Januari 2004
1) PT PPL merupakan debitur macet di Bank lain
Berdasarkan Informasi BI No.1/547828/DPIP/DtB/Rhs tanggal 30 Juni 2003 yang dimuat
dalam MAK No.ARK/2/004 tanggal 16 Januari 2004 disebutkan bahwa PT PPL
memperoleh pinjaman dari CitiBank dan Indosuez Indonesia dengan baki debet masingmasing
sebesar US$10,000.00 ribu dan US$6,700.00 ribu dengan kolektibilitas macet
(Gol. V). Sedangkan sesuai Laporan Keuangan Home Statement PT PPL per Juni 2003
disebutkan bahwa PT PPL memiliki hutang kepada HSBC Investment & Union Bank of
Switzerland Singapura dan Panin Bank dengan baki debet masing-masing sebesar
Rp1.010.770,00 juta dan Rp19.329,00 juta dengan kolektibilitas macet (Gol. V). Selain itu
terdapat pinjaman kepada Bank Syariah Mandiri sebesar Rp14.250,00 juta tanpa
penjelasan kolektibilitas kreditnya.
2) Penyimpangan dua financial covenant
Sesuai MAK No.ARK/2/004 tanggal 16 Januari 2004 disebutkan bahwa hasil perhitungan
financial covenant menunjukkan bahwa CR hanya 0,32x, melanggar s.d. 23,70% dari
ketentuan minimal 1,35x dan DER sebesar 155,76x, melanggar s.d. 6.772% dari ketentuan
maksimal 2,30x.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Komite Kebijakan Kredit No.CPC-
98/2004 tanggal 9 Januari 2004 butir III.D dan E yang menyebutkan bahwa :
•Kriteria untuk calon debitur (termasuk debitur yang akan di take over) yang sudah menjadi
debitur Bank lain, maka kolektibilitasnya harus lancar (gol. I).
•Pemberian kredit untuk debitur baru diperkenankan penyimpangan salah satu financial
covenant (CR atau DER) s.d. 10%.
b. Customer Risk Rating menunjukkan golongan 6 (early warning)
Sesuai MAK tanggal 16 Januari 2004 diatas hasil perhitungan Customer Risk Rating (CRR)
menunjukkan bahwa PT PPL termasuk golongan 6 (early warning).
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab E Sub Sub Bab 02 butir 5 yang
menyebutkan bahwa “dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kredit dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian, maka sebelum Unit Analis Risiko Kredit melakukan
pemrosesan PAK secara lengkap terhadap permohonan kredit untuk calon debitur baru
ditetapkan untuk menggunakan formulir CRR dan apabila rating kredit > 6, maka terhadap
permohonan kredit tersebut tidak perlu diteruskan dengan PAK lengkap, atau tegasnya
permohonan kredit ditolak.”
c. Pemberian kredit kepada PT PPL tidak diputus oleh Direktur Utama
Dalam Rapat Direksi (Radisi) tanggal 18 Pebruari 2004 yang dihadiri oleh Wakil Direktur
Utama, Direktur KP, Direktur MR, Pemimpin Divisi dan Pemimpin Kelompok CRM,
Pemimpin Divisi dan Kelompok Korporasi Satu dan RM diputuskan untuk menyetujui
pemberian KMK kepada PT PPL sebesar US$40,000.00 ribu eq. Rp360.000,00 juta. Dengan
166

demikian KPK yang memutuskan pemberian KMK PT PPL adalah Wakil Direktur Utama,
Direktur KP dan Direktur MR. Dalam MAK tanggal 16 Januari 2004 diatas terdapat pengajuan
exception perihal penyimpangan financial covenant dan CRR serta merupakan debitur macet
pada Bank lain
Hal tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Radisi tanggal 23 Januari 2004 yang memutuskan
antara lain :
1) KPK untuk kredit korporasi dengan maksimum kredit > Rp150 s.d. Rp500 miliar adalah
Wakil Dirut, Dir.KP dan Dir.MR
2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap kebijakan dan prosedur kredit internal, maka
PAK perlu dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada KPK 1 tingkat di atas KPK
Pemutus Tertinggi (KPK + 1).
3) KPK +1 untuk maksimum kredit > Rp150 s.d. Rp 500 miliar adalah Direktur Utama.
d. Nilai pengikatan Hak Tanggungan lebih kecil dari maksimum kredit
agar PT PG segera melakukan pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan
tersebut.Berdasarkan PK Sindikasi No.66 tanggal 30 Juni 2004 diketahui bahwa nilai
maksimum kredit kepada PT PPL adalah US$75,000.00 ribu eq. Rp696.375,00 juta dan telah
dijamin antara lain dengan 34 bidang yang telah diikat dengan Hak Tanggungan sebesar
US$72,392.00 ribu eq. Rp672.159,72 juta. Hasil appraisal PT Ujatex Baru sesuai laporan
No.UB-191/AF.017-B/VI/2004-Rev. tanggal 9 Juni 2004 atas tanah, bangunan, kendaraan, alat
berat dan transportasi yang dijaminkan PT PPL adalah senilai Rp2.113.352,88 juta, dengan
porsi Bank BNI sebesar Rp1.127.121,53 juta (53,33% dari nilai appraisal). Dengan demikian
nilai taksasi jaminan (Rp2.113.352,88 juta) lebih besar dari maksimum kreditnya
(Rp696.375,00 juta) sedangkan nilai pengikatan jaminan (Rp672.159,72 juta) lebih kecil dari
maksimum kredit (Rp696.375,00 juta).
Hal tersebut tidak sesuai BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05 Hal 1 butir
5.a.1 perihal besarnya nilai pengikatan Hak Tanggungan untuk Kredit Langsung ditetapkan
bahwa dalam hal nilai taksasi jaminan lebih besar dari maksimum kreditnya, maka nilai
pengikatan hak tanggungan minimum sebesar maksimum kreditnya.
e. KAP yang memeriksa Laporan Keuangan PT PPL memiliki keterkaitan dengan Bank
BNI
Laporan Keuangan PT PPL tahun buku 2004 diaudit oleh KAP Haryanto Sahari & Rekan.
Selanjutnya Laporan Keuangan Bank BNI tahun buku 2004 juga diaudit oleh KAP yang sama.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Dewan Komisaris Bank BNI No.DK/057 tanggal 22
April 2004 perihal pemberian kredit sebesar US$40,000.00 ribu kepada PT PPL antara lain
menyebutkan bahwa untuk menjamin terciptanya akuntabilitas perusahaan yang sehat
diharapkan agar penetapan KAP yang akan melakukan pemeriksaan Laporan Keuangan
perusahaan adalah KAP yang tidak memiliki keterkaitan dengan Bank BNI.
f. Current Ratio tidak memenuhi PK
Berdasarkan review terhadap Laporan Keuangan audited PT PPL tahun buku 2004 dan
Laporan Keuangan Home Statement per Maret 2005 diketahui bahwa CR PT PPL tahun 2004
dan Maret 2005 masing-masing sebesar 0,48x dan 0,42x.
Hal tersebut tidak sesuai PK Sindikasi No.66 tanggal 30 Juni 2004 pasal 13 butir 14 yang
menyebutkan antara lain bahwa debitur wajib mempertahankan CR minimum 1,35x.
167

Kondisi tersebut mengakibatkan :
a. Pengelolaan kredit yang tidak mengacu kepada ketentuan intern yang telah ditetapkan,
mengakibatkan risiko yang akan ditanggung oleh Bank BNI akan lebih besar apabila ternyata
kredit yang telah diberikan bermasalah. Karena peraturan yang telah ditetapkan tersebut pada
dasarnya adalah untuk mengurangi risiko kerugian bagi Bank.
b. Terdapat konflik kepentingan pada KAP Haryanto Sahari dalam melakukan pemeriksaan Bank
Bank BNI dan PT PPL.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a. KPK tetap menyetujui pemberian kredit kepada PT PPL meskipun PT PPL tidak memenuhi
kriteria pemberian kredit Bank BNI.
b. RM dan analis kredit dalam melakukan pengelolaan kredit belum sepenuhnya memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Semula Bank BNI menolak permohonan PT PPL, karena kondisi keuangannya belum memenuhi
syarat. Namun dalam perkembangannya setelah melihat skenario restrukturisasi, Bank BNI
melihat potensi bisnis untuk dibiayai. Untuk meminimalkan resiko pembiayaan telah ditetapkan
syarat-syarat realisasi kredit dibantu konsultan hukum independen Hadiputranto, Hadinoto &
Partners & konsultan keuangan Ernst & Young dan telah dipenuhi oleh PT PPL. Pada saat
pelaksanaan fasilitas sindikasi posisi CR = 3,73 kali dan DER = 0,81 kali serta restrukturisasi
telah selesai dengan sisa pinjaman lancar sebesar US$. 75 juta.
b.Pada saat proses persetujuan kredit memang masih terdapat pelanggaran financial covenant.
Namun pada saat penandatanganan PK sudah tidak terdapat pelanggaran terhadap ketentuan
Bank BNI.
c.Dari 34 sertifikat yang telah diikat hak tanggungan I sebanyak 33 sertifikat yang berlokasi di
Sumatera, Jawa Timur dan Sulawesi dengan nilai pengikatan sebesar US$72.30 juta. Satu
sertifikat yang terletak di Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan dengan nilai taksasi sebesar
Rp8.591,50 juta belum diikat Hak Tanggungan I karena masih ada sengketa dengan penduduk
yang diharapkan bulan Juli 2005 mendatang permasalahan telah selesai dan dapat diikat sebesar
US$2.60 juta sehingga nilai pengikatannya menjadi sebesar`US$75 juta. Jaminan tersebut belum
di perhitungkan dengan jaminan lainnya berupa mesin dan peralatan, peralatan kebun , stock,
Rekening Bank dan Tagihan yang telah diikat fidusia masing-masing nomor 68, 69 70, 71 dan
72, sementara outstanding Bank Sindikasi per 30.06.2005 sebesar equivalent US$64,043.39 ribu.
d.PT PPL adalah perusahaan terbuka dimana penentuan KAP berdasarkan RUPS dan terdaftar di
Bapepam, sementara fasilitas kredit yang diberikan secara sindikasi (BNI, BCA, Bank Niaga,
dan BRI), sehingga tidak dapat memastikan penggunaan KAP yang lain, Haryanto Sahari &
Rekan (PWC) sendiri merupakan big five.
e.Rendahnya CR di thn.2004 & Maret 2005 disebabkan karena adanya sisa hutang wajib konversi
yang timbul sebesar Rp405 M dimana pos ini nantinya akan dikonversi menjadi modal.
BPK-RI menyarankan agar:
168

a. KPK dalam memberikan persetujuan kredit mematuhi dan menerapkan sepenuhnya ketentuanketentuan
yang berlaku, terutama terhadap calon debitur yang pengurusnya telah teridentifikasi
tercatat sebagai debitur kredit macet.
b. RM dan Analis Kredit dalam melakukan pengelolaan kredit mematuhi dan menerapkan
sepenuhnya ketentuan-ketentuan yang berlaku dan memantau perkembangan usaha debitur
secara lebih ketat.
28. Fasilitas kredit kepada PT Duta Pertiwi sebesar eq. Rp 617.515,00 juta berisiko tinggi
PT Duta Pertiwi (PT DP) yang tergabung dalam grup Sinar Mas Group (SMG), didirikan
pada tanggal 29 Desember 1972. Sesuai dengan Anggaran Dasar, perusahaan bergerak dalam
bidang usaha konstruksi dan pembangunan real estate serta perdagangan umum. Perusahaan mulai
beroperasi komersial pada tanggal 1 Oktober 1988 dalam bidang real estate. PT DP dan anak
perusahaannya telah mengembangkan tujuh proyek superblok berupa sarana bisnis terpadu, yaitu :
superblok Mangga Dua, Roxy Mas, Cempaka Mas, Ambassador Kuningan, Fatmawati Mas,
Permata Hijau dan Mangga Dua Surabaya. Disamping superblok, PT DP dan anak perusahaannya
juga mengembangkan proyek perumahan antara lain Taman Duta Mas, Banjar Wijaya, Taman
Permata Buana, Kota Bunga, Kota Legenda, Kota Wisata (bekerjasama dengan mitra asing yaitu
Marubeni Jepang, LG Korea dan Land & House dari Thailand) dan proyek perkantoran berupa
Dusit Mangga Dua, Dusit Balikpapan dan Plaza Bank Internasional Indonesia (BII).
Kepemilikan PT DP berdasarkan Pernyataan Keputusan Rapat No.42 tanggal 25 Juli 1998
antara lain PT Ekacentra Usahamaju sebesar 50,45% dan masyarakat 34,71% dari nilai saham
Rp693.750,00 juta. Pengurus PT DP berdasarkan Keputusan Rapat No.37 tanggal 24 Juni 2003
antara lain Teguh Ganda Wijaya selaku Komut, Arthur Tahya dan Simon Lim selaku Komisaris,
Mukhtar Wijaya selaku Dirut, Franky Oesman Widjaya dan John Ferdinand Pandelaki selaku
Direktur perusahaan.
Sesuai surat permohonan No.001/DIR/DP/2004 tanggal 6 Januari 2004 PT DP mengajukan
KMK sebesar US$28,500.00 ribu dan Rp352.750,00 juta untuk keperluan refinancing plaza BII
Tower 2 dan 3 serta bangunan kios ITC Cempaka Mas yang belum terjual sebanyak 1.189 unit
seluas 28.412,31 m2. Permohonan tersebut disetujui tanggal 20 September 2004 yang kemudian
dituangkan dalam PK No. 83 (untuk maksimum Rp352.750,00 juta) dan 84 (untuk maksimum
US$28,500.00 ribu) tanggal 22 Desember 2004. Selanjutnya fasilitas ini telah dicairkan pada
tanggal 23 Desember 2004 oleh Bank BNI Cabang Tokyo dan Cabang Roa Malaka (sebagai
cabang pembuku) sebesar eq. Rp617.917,00 juta.
Outstanding kredit PT DP per 31 Mei 2005 adalah sebesar eq. Rp621,487.55 juta dengan
kolektibilitas Lancar (Gol. I). Jaminan yang diserahkan yaitu satu bidang tanah SHGB No.1139
yang berlaku s.d. tanggal 30 Maret 2025, yang telah diikat dengan Hak Tanggungan senilai
Rp743.750,00 juta dan Stock Kios ITC Cempaka Mas yang belum terjual yang telah diikat secara
SKMHT senilai Rp 174.250,00 juta atau seluruhnya sebesar Rp918.000,00 juta.
Berdasarkan pemeriksaan atas berkas kredit PT DP diketahui hal-hal sebagai berikut :
a.Fasilitas kredit kepada PT DP sebesar eq Rp617.515,00 juta berisiko tinggi
1) Terdapat dua perusahaan grup Sinar Mas yang fasilitas kreditnya telah
dihapusbuku oleh Bank BNI
a) PT Global Agronusa Indonesia (PT GAI).
169

PT GAI bergerak dalam bidang usaha perkebunan pisang Cavendish untuk ekspor
yang terletak di daerah Galela, Tobelo, Maluku Utara. Pada saat hapus buku posisi
pinjaman adalah sebesar US$9,542.54 ribu dan Rp27.614,49 juta. Outstanding
pinjaman per 31 Maret 2004 adalah sebesar US$8,065.44 ribu dan Rp20.935,26 juta.
Selanjutnya sesuai Akte No. 15 tanggal 11 Desember 2002 pemegang saham (100%)
PT GAI adalah PT Ivo Mas Tunggal dari nilai saham sebesar Rp454.268,00 juta.
Sedangkan susunan pengurus PT GAI sesuai akta tersebut antara lain Franky Oesman
Widjaya selaku Komut, John Ferdinand Pandelaki dan Arthur Tahya selaku
Komisaris, Mukhtar Wijaya selaku Dirut dan Simon Lim selaku Direktur. Dari data
diatas terlihat bahwa beberapa pengurus PT GAI juga merupakan pengurus PT DP.
b) Asia Pulp & Paper Global Finance (III) Cayment Limited (APPGFI).
APPGFI tergabung dengan perusahaan Asia Pulp & Paper (APP) yang merupakan
divisi di Grup Sinar Mas yang bergerak dalam bidang pulp and paper industry,
didirikan oleh APP Global Limited yang bertujuan untuk memperoleh dana segar di
pasar uang dan pasar modal Internasional. APPGFI memperoleh fasilitas berupa
penerbitan surat berharga berupa Floating Rate Notes (FRN) sejumlah US$15,000.00
ribu dari total USD638,000.00 ribu yang dibeli BNI cabang London dan Singapura
senilai US$15,000.00 ribu yang diterbitkan pada tanggal 17 April 1997 dengan jangka
waktu 5 tahun (s/d April 2002). Adanya permasalahan likuiditas, supply pulp yang
berlebihan dan penurunan tajam harga pulp dunia menyebabkan pembayaran bunga
dari APPFGI tersendat dan kemudian diumumkan dalam keadaan standstill (gagal
bayar) pada tanggal 9 April 2001. Dari tanggal tersebut hingga sekarang tidak ada
pembayaran bunga atau pelunasan pokok. Eksposure fasilitas FRN sebesar
US$10,000.00 ribu telah dihapusbuku oleh Bank BNI Singapura pada bulan Oktober
2002 dan sebesar US$5,000.00 ribu telah dihapusbuku oleh Bank BNI London pada
bulan Juni 2002. Sejak APP dinyatakan standstill pada April 2001, dibentuk beberapa
group yang mewakili kepentingan kreditur, salah satunya adalah bondholder group
diwakili perusahaan Amerika yaitu Bingkam Dana LLP. Sampai saat analisis
pemberian kredit kepada PT DP, belum ada kesepakatan dan sedang dilakukan
negosiasi mengenai tata cara pelunasan kewajiban APP yang melibatkan para lender,
agent dari APP. Selanjutnya sesuai informasi dari prospektus APPGFI yang
disampaikan Bank BNI cabang Singapura diketahui bahwa pemegang saham
APPGFI adalah APP Global Limited yang dimiliki oleh keluarga Widjaya. Dalam
prospektus tersebut juga dijelaskan bahwa Dewan Direksi APP telah membetuk
komite penasehat (advisory committee) yang dipimpin oleh Teguh Ganda Wijaya
(Komut PT DP).
2) Terdapat fasilitas kredit grup usaha Sinar Mas yang juga mempunyai riwayat kredit
bermasalah di Bank lainnya
Anak perusahaan PT DP yaitu PT Sinarwijaya Ekapratista (PT SE) mempunyai kewajiban
sebesar Rp27.194,00 juta dan US$10,000.00 ribu yang bermasalah kepada BII dan
Danamon yang akhirnya diserahkan ke BPPN dan telah dialihkan ke Folkingham. Sampai
saat analisa kredit, fasilitas kredit PT SE sedang direstrukturisasi.
Dekom dengan surat No. DK/0178 tanggal 29 November 2004 menyampaikan bahwa
pemberian kredit kepada SMG mengandung resiko yang sangat tinggi mengingat terdapat
170

eberpa perusahaan yang menjadi anggota group usahanya masih memiliki tunggakan kredit
macet (hapus buku) di Bank BNI. Oleh karena itu agar pemberian kredit kepada SMG
dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan sangat hati-hati serta terlebih dahulu
memprioritaskan penyelesaian pinjaman hapus buku atas nama APPGF dan PT GAI tanpa ada
kerugian bagi Bank BNI
b.Penjualan Kios ITC Cempaka Mas baru mencapai 0,04 % per 2 Juni 2005
Dari SPPK No. KPS/2/208/R tanggal 17 Desember 2004 disebutkan bahwa keperluan
kredit yang diberikan kepada PT DP antara lain untuk refinance Bangunan kios ITC Cempaka
Mas yang belum terjual sebanyak 1.189 unit (kemudian direvisi menjadi 1.094 unit) yang
dijadikan barang jaminan. Berdasarkan data dari Divisi Korporasi Bank BNI per 2 Juni 2005,
jumlah yang terjual baru mencapai 48 unit (0,044%) dari jumlah yang seharusnya terjual
selama jangka waktu 5 tahun (60 bulan) yaitu sebanyak 1.094 unit. Apabila dirata-ratakan per
bulan, jumlah yang harus terjual adalah sebanyak 18,23 unit (1046 unit : 60 bulan). Jika
dihitung dari tanggal pencairan kredit kepada PT DP tanggal 23 Desember 2004 s.d. tanggal 2
Juni 2005 sudah berjalan 5 bulan, maka jumlah yang sudah terjual seharusnya sebanyak
91,15 unit (5 bulan x 18,23 unit ). Hasil pemeriksaan fisik jaminan kredit ke ITC Cempaka
Mas oleh Tim BPK-RI pada tanggal 8 Juni 2005 menunjukkan bahwa dari jumlah unit yang
belum terjual sebanyak 1.046 unit tersebut ternyata dipinjam-pakaikan kepada pihak ketiga
sebanyak 153 unit tanpa dipungut sewa. Menurut manajemen PT DP, pihak yang meminjampakai
tersebut diharapkan akan membeli kios dimaksud. Dari penjelasan diatas menunjukkan
bahwa ternyata penjualan kios ITC Cempaka Mas masih belum signifinikan selama 5 bulan
terakhir. Jika dikaitkan dengan analisis pemberian kredit bahwa angsuran kredit PT DP
antara lain berasal dari penjualan kios tersebut maka dikhawatirkan akan mempengaruhi
pemenuhan kewajiban PT DP kepada Bank BNI.
Kondisi tersebut belum sesuai dengan BPP Buku IIIA mengenai larangan pemberian
fasilitas kredit kepada debitur baru :
a.Yang perusahaan atau nama pengurus/pemilik/pemegang kuasa/penjamin/ penanggungjawabnya
tercantum dalam daftar kredit macet/penarik cek kosong.
b.Yang menerima kredit baru dari Bank BNI maupun bukan, selama kredit yang lama belum
dilunasi
Kondisi tersebut mengakibatkan fasilitas kredit sebesar eq. Rp617.515,00 juta berpotensi
bermasalah apabila penggunaan kredit tersebut tidak diawasi secara ketat.
Kondisi tersebut terjadi karena pejabat pengusul dan pemutus kredit dalam memberikan
persetujuan kredit kepada PT DP belum sepenuhnya menjalankan ketentuan dalam BPP dan belum
memperhatikan rekomendasi Dekom.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Fasilitas kredit kepada PT.DP sebesar Rp617.515,00 juta memang berisiko tinggi, tetapi untuk
menekan resiko tersebut kami telah melakukan langkah-langkah sebagaimana yang dituangkan
sebagai persyaratan dalam PK yaitu permasalahan FRN atas nama APP sudah diselesaikan
dengan pihak Bank BNI dan sumber penyelesaiannya bukan berasal dari fasilitas kreditnya dan
171

penyelesaian kredit bermasalah a.n PT GAI harus tetap dipatuhi sesuai dengan PK restrukturisasi
yang telah dilaksanakan. Selanjutnya terkait dengan fasilitas kredit PT GAI,
penghapusbukuannya dilakukan karena force majeur (kebun dirusak masa) dan pemegang saham
(PT Ivo Mas Tunggal) telah menyatakan komitmennya untuk tetap menyelesaikan secara
aplofend sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan fasilitas FRN pada cabang London & Singapora
dihapus buku karena pada saat FRN jatuh tempo tahun 2002 ybs tidak dapat membayar
kewajibannya sebagai akibat turunnya harga pulp dunia. Sejak saat itu FRN menjadi tidak
bernilai. Terhadap permasalahan grup usaha yaitu PT SE akan diselesaikan kepada pihak
Folkingham selambat-lambatnya bulan Juni 2005 Cfm. Laporan keuangan konsolidasi bulan
Maret 2005.
b.Realisasi penjualan kios secara rata-rata selama 5 bulan ini memang nampak kecil. Namun
demikian rental gedung BII yang merupakan sumber utama pelunasan s.d. bulan Mei 2005
menunjukkan Occupancy Rate 95%. Pada bulan Juni 2005 PT DP mampu membayar angsuran
pokok baik atas fasilitas rupiah maupun valas sehingga posisi outstanding per 30 Juni 2005 telah
sesuai jadwal.
BPK-RI menyarankan agar Pemimpin Divisi Kredit Korporasi terkait Bank BNI
memperingatkan RM untuk mengawasi secara ketat cash flow PT DP supaya mencegah
terjadinya interfinancing dalam Grup Sinar Mas dan mendesak PT DP berupaya lebih maksimal
meningkatkan hasil penjualan kios Cempaka Mas, agar kewajiban debitur dapat dilaksanakan
dengan lancar dan tidak mengganggu cashflow PT DP secara keseluruhan.
29. Pemberian unsecured loan sebesar Rp517.645,22 juta kepada PT Indosat melampaui batas
maksimal partisipasi dalam kredit sindikasi yang ditetapkan Komite Kebijakan
Kredit Bank BNI
PT Indonesian Satelit Corporation (PT Indosat) didirikan pada tanggal 10 November
1967`dalam rangka Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1 tahun 1967. Cikal
Bakal PT Indosat adalah sebagai subsidiary tak langsung dari International Telephone and
Telegraph Corporation (ITT) yang dipilih oleh pemerintah RI untuk melakukan build, operate and
transfer (BOT) selama 20 tahun dan mengoperasikan satelit bumi “Intelsat” di Indonesia guna
mengakses satelit Indian Ocean Region. PT Indosat beroperasi secara komersial tahun 1969 dan
pada tahun 1979 meluncurkan satelit Intelsat kedua. Sesuai dengan anggaran dasar, perusahaan
bertujuan untuk menyelenggarakan jaringan dan jasa telekomunikasi serta informatika. Pada tahun
1980, ITT menjual saham PT Indosat kepada Pemerintah RI sehingga statusnya menjadi BUMN.
Pada tanggal 15 Desember 2002, pemerintah RI mejual 41,94% sahamnya kepada Singapore
Tecnologies Telemedia Pte Ltd (STT). Pada tanggal 7 Februari 2003, perusahaan memperoleh
persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas perubahan status dari BUMN
menjadi perusahaan PMA.
Anggaran dasar persahaan telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir dengan Akta
No.145 tanggal 30 September 2004 antara lain mengenai perubahan nama PT Indonesian Satelit
Corporation Tbk menjadi PT Indosat Tbk. Susunan pemegang saham PT Indosat berdasarkan akta
tersebut adalah Pemerintah Indonesia, Indonesian Communication Limited dan masyarakat
berturut-turut sebesar 15,00%, 41,94% dan 43,06% dari nilai saham sebesar Rp528.531,00 juta.
Susunan pengurus PT Indosat berdasarkan Risalah RUPS Luar Biasa tanggal 8 Juni 2005 antara
172

lain Peter Seah Lim Huat sebagai Komut, Eva Riyanti Hutapea sebagai Komisaris Independen,
Setyanto P. Santosa dan Roes Aryawidjaya sebagai Komisaris dan Hasnul Suhaimi sebagai Dirut
perusahaan.
Melalui Surat Keputusan Kredit No.KPS/3/19/1R tanggal 2 Oktober 2003 PT Indosat
memperoleh fasilitas KMK sindikasi dengan porsi Bank BNI sebesar Rp900.000,00 juta yang
digunakan untuk refinancing hutang PT Satelindo (anak perusahaan PT Indosat) dengan jangka
waktu 5 tahun. Fasilitas sindikasi ini diageni oleh PT Bank BCA dengan porsi sebagai berikut
BCA Rp975.000,00 juta, Bank Mandiri dan BNI masing-masing Rp900.000,00 juta, Bank
Danamon Rp240.000,00 juta dan Bank Bukopin Rp150.000,00 juta seluruhnya sebesar
Rp3.165.000,00 juta yang dituangkan dalam PK Sindikasi No. 12 tanggal 2 Oktober 2003.
Sampai dengan akhir Maret 2005 jumlah kewajiban PT Indosat adalah sebesar
Rp1.842.780,00 juta. PT Indosat telah melakukan pembayaran dipercepat kepada seluruh anggota
sindikasi sebesar Rp592.780,00 sehingga kewajiban PT Indosat menjadi sebesar Rp1.250.000,00
juta, sedangkan jumlah kreditur sindikasi menjadi 3 bank dengan porsi: BCA Rp611.762,53 juta,
Bank BNI Rp517.645,21 juta dan Bank Mandiri Rp120.592,26 juta. Pembayaran dipercepat ini
dituangkan dalam Perubahan Perjanjian Pinjaman Sindikasi (PPKS) tanggal 31 Maret 2005.
Dalam perubahan PK tersebut antara lain diatur bahwa ketentuan mengenai jaminan tidak berlaku
lagi. Dengan adanya perubahan PK sindikasi ini maka fasilitas kredit kepada PT Indosat
dikategorikan “Unsecured Loan” yaitu fasilitas pinjaman yang hanya dijamin dengan kepercayaan
dan reputasi dari debitur dan tidak didukung oleh jaminan barang (Kamus Perbankan dari Bank
Indonesia tahun 1999).
Berdasarkan pemeriksaan atas berkas kredit PT Indosat diketahui bahwa pemberian
reprofiling/refinancing kepada PT Indosat tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan intern Bank
BNI yaitu :
a.Pemberian unsecured loan sebesar Rp 517.645,26 juta kepada PT Indosat melampaui
batas maksimal partisipasi dalam kredit sindikasi yang ditetapkan Komite Kebijakan
Kredit
Sesuai dengan PPKS tanggal 31 Maret 2005 diketahui bahwa PT Indosat telah melakukan
pembayaran lebih awal atas sebagian kewajibannya kepada kreditur sindikasi, sehingga
jumlah kredit sindikasi menjadi sebesar Rp1.250.000,00 juta dengan porsi Bank BNI sebesar
Rp517.645,22 juta atau 41,41% dari jumlah kredit sindikasi.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Komite Kebijakan Kredit No. CPC/83 tanggal 20
Februari 2002 tentang Kriteria Utama bahwa pemberian Unsecured Loan hanya dapat
dilakukan secara sindikasi atau Club Deal dengan maksimum partisipasi Bank BNI adalah 1/3
(33,33 %) dari total kredit namun tidak melebihi Rp200.000,00 juta.
b.Persetujuan unsecured loan tidak didahului dengan analisa PAK yang lengkap
Dari pemeriksaan diketahui bahwa persetujuan Unsecured Loan tanggal 15 Maret 2005
diberikan tanpa adanya analisa Perangkat Aplikasi Kredit (PAK).
Hal ini tidak sesuai dengan Keputusan Komite Kebijakan Kredit No. CPC/83 tanggal 20
Februari 2002 tentang Kriteria Utama bahwa pemberian Unsecured Loan antara lain
perusahaan layak dibiayai atas dasar analisa PAK lengkap.
173

Pemberian fasilitas kredit yang melampaui kententuan dan tidak didukung PAK yang
lengkap, mengakibatkan risiko Bank BNI akan lebih besar.
Kondisi tersebut terjadi karena Pejabat pengusul dan pemutus fasilitas reprofiling existing
kredit sindikasi kepada PT Indosat tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang telah
ditetapkan dan adanya upaya dari BNI untuk mempertahankan eksposur kredit PT Indosat pada
Bank BNI.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Pemberian kredit melampaui batas maksimal partisipasi dalam kredit sindikasi dengan
pertimbangan karena PT Indosat merupakan perusahaan yang cukup solid dan kondisi bisnis jasa
telekomunikasi saat ini dan dimasa mendatang masih sangat prospektif (rata-rata dana yang
mengendap di Bank BNI pada saat tsb. kurang lebih Rp400.000,00 juta). Hal itu telah mendapat
persetujuan khusus dari KPK.
b.Pemberian fasilitas unsecured loan yang diberikan pada dasarnya tidak merubah obyek yang
dibiayai dan kemampuan cash flow yang sangat baik. Sebelumnya telah dibuatkan PAK lengkap
cfm. No. KPI/3/P.96 tgl. 29 September 2003 (pemberian unsecured loan hanya merubah struktur
jaminan dan maksimum kredit menjadi lebih kecil).
BPK-RI menyarankan agar KPK dalam memutus pemberian kredit mematuhi dan
menerapkan sepenuhnya prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Setiap pemberian kredit
harus dilakukan analisa secara mendalam yang dituangkan dalam PAK. Untuk unsecured loan
yang dibiayai secara sindikasi, maka batas maksimum porsi Bank BNI sebesar 33,33%
sebagaimana yang telah diatur dalam CPC No. 83 tanggal 20 Februari 2002 agar dipatuhi.
30. Proses take over kredit PT Bukaka Singtel Internasional senilai Rp129.996,00 juta belum
sepenuhnya memenuhi ketentuan yang berlaku
PT Bukaka Singtel Internasional (PT BSI) merupakan perusahaan berstatus PMA,
didirikan pada tanggal 17 Oktober 1995 sesuai dengan Akta notaris BRA Ayu Mahyastoeti
Notonagoro, SH dan berdomisili di Makassar Sulawesi Selatan. PT BSI.
Susunan pemegang saham PT BSI adalah PT Bukaka Telkomindo Internasional (PT BTI),
Singapore Telcom Internasional (singtel) dan Transpac Capital Pte.Ltd berturut-turut sebesar
51,50%, 40,00% dan 8,50% dari modal sebesar Rp190.000,00 juta. Susunan pengurus PT BSI
antara lain Muhammad Abduh, MA sebagai Komut, Achmad Kalla dan Suhaeli Kalla masingmasing
sebagai Komisaris dan Ng. Jin Hok sebagai Dirut. Pada tanggal 5 Juli 2002 Green View
Finance Offshore Ltd. membeli seluruh saham PT Bukaka Teknik Utama (BTU) yang tergabung
dalam group Kalla, selaku pemilik 99,00% saham PT BTI. Dengan pembelian saham tersebut
maka PT BSI bukan merupakan anggota dari Group Kalla dan tidak mengubah susunan pemegang
saham PT BSI.
Fasilitas kredit PT BSI merupakan take over dari BII, karena BII juga dimiliki oleh Singtel
sehingga terafiliasi dengan PT BSI. Dari memo No.KPS/3/P.31 tanggal 30 Maret 2004 diketahui
hal-hal sebegai berikut:
174

a. BII dengan surat No.2004.017/DIR4-Korporasi tanggal 15 Januari 2004 mengajukan
penawaran kepada Bank BNI untuk memberikan pembiayaan kepada PT BSI yang menjadi
debitur BII. Porsi partisipasi yang ditawarkan adalah Rp200.000,00 juta.
b. Menanggapi penawaran tersebut, melalui PAK No.KPS/3/p.12 tanggal 11 Pebruari 2004 telah
disetujui fasilitas kredit baru (sindikasi) a.n PT BSI, yang diteruskan dengan SKK No. KPS
/3/031/R tanggal 5 Maret 2004, dengan syarat sebagai berikut:
1) KMK Aflopen maksimum Rp50.000,00 juta untuk keperluan refinancing atas investasi.
2) KMK Revolving maksimum Rp50.000,00 juta untuk keperluan pembiayaan piutang/
refinancing piutang.
c. BII dengan surat No.2004.211/DIR4-Korporasi tanggal 15 Maret 2004 memberitahukan
perihal tanggapan PT BSI atas persetujuan pengalihan sebagian fasilitas kredit dari BII ke
Bank BNI. Pada surat tersebut diketahui terdapat 7 persyaratan dari Bank BNI tidak dapat
dipenuhi oleh PT BSI. Kemudian Bank BNI dengan surat No. KPS/3/0768/R tanggal 18 Maret
2004 menyatakan bahwa dari 7 persyaratan tersebut, Bank BNI dapat menyetujuinya kecuali 3
persyaratan pokok yaitu pembayaran pokok pinjaman setiap akhir bulan, periode bunga
tanggal 1 s.d akhir bulan dan CR minimal 1,3 kali.
d. Tanggapan dari PT BSI melalui BII dengan surat No.2004.247/DIR4 – Korporasi tanggal 26
Maret 2004 menyatakan bahwa rencana pengalihan sebagian fasilitas kredit a.n PT BSI dari
Bank BII dibatalkan.
Selanjutnya, BII dengan surat No.2004.828/DIR4-Korporasi tanggal 28 Oktober 2004
menawarkan piutang PT BSI. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa sehubungan dengan adanya
Internal Corporate Action yang dilakukan oleh BII, maka BII mengajukan penawaran kepada Bank
BNI untuk berpartisipasi dalam pembiayaan kepada PT BSI, dengan mengambil alih seluruh
pinjaman PT BSI sesuai dengan syarat dan kondisi yang berlaku pada BII. Adapun porsi piutang
yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
(dalam juta Rupiah)
Jenis Fasilitas Plafond Kredit Baki Debet Bunga Jatuh Tempo
28 Okt 2004 (p.a)
Pinjaman Berjangka 83.330,00 83.330,00 15% 15 Des 2008
Pinjaman Promes Berulang 50.000,00 10.000,00 13,5% 17 Des 2004
Menindaklanjuti penawaran tersebut, Kelompok Analis Kredit melalui Nota Intern
No.KPS/9/3117 tanggal 24 Nopember 2004 merekomendasikan penawaran BII untuk mengambil
alih seluruh piutang BII kepada PT BSI sebesar posisi terakhir pada BII, yaitu KMK Aflopend
Rp79.996,00 juta dan KMK Revolving Rp50.000,00 juta.
Berdasarkan nota tersebut di atas, dibuat MPK dan mengusulkan fasilitas KI sebesar Rp79.996,00
juta dan KMK sebesar Rp50.000,00 juta. Selain itu juga diusulkan untuk diberikan exception
terhadap persyaratan minimal covenant CR menjadi lebih dari 1,00 kali (seharusnya minimal CR
1,30 kali). Usulan tersebut disetujui oleh Direktur Korporasi (tanggal 29 Nopember 2004),
Direktur Management Risiko (tanggal 30 Nopember 2004), Wakil Direktur Utama untuk exception
CR (tanggal 6 Desember 2004), dan Direktur Kepatuhan (tanggal 13 Desember 2004). Fsilitas
PT BSI tersebut didudukkan dalam PK No. 17 dan 18 tanggal 20 Desember 2004.
Outstanding kredit PT BSI per tanggal 31 Mei 2005 adalah sebesar Rp73.328,00 juta
dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Jaminan yang diserahkan PT BSI adalah piutang kepada
175

Telkom Rp165.917,00 juta yang telah diikat secara fiducia dengan akta No.19 tanggal 20
Desember 2004.
Dari hasil pemeriksaan diketahui hal-hal sebagai berikut :
a.CR PT BSI tidak sesuai dengan ketentuan
Dari laporan keuangan PT BSI diketahui CR PT BSI tahun 2003, 2004 dan April 2005
berturut-turut sebesar 1,01x, 0,99x dan 1,14x belum memenuhi BPP Buku I Bab I Sub Bab G
Sub Sub Bab 05 yang menyebutkan bahwa debitur harus memelihara ketentuan minimum CR
untuk sektor komunikasi adalah 1,2. Ketentuan minimum CR diberlakukan kepada setiap
debitur/calon debitur, kecuali yang memperoleh fasilitas kredit dengan KLBI/TSL tunduk pada
ketentuan BI/Otoritas Moneter.
Ketentuan tersebut diatas tidak dilaksanakan dalam PK. Dalam PK No.17 dan 18
tanggal 20 Desember 2004 pasal 17 ayat 3 disebutkan bahwa penerima kredit diwajibkan
memelihara agar CR tidak kurang dari 1 (satu) kali. Penyimpangan tersebut telah dimintakan
exception dan telah disetujui KPK yang dimuat dalam Notulen Rapat Direksi tanggal 6
Desember 2004.
b.Take Over KI sebesar Rp79.996,00 juta tidak disertai dengan Laporan Studi Kelayakan
Sesuai PK No.17 tanggal 20 Desember 2004, Bank BNI telah melakukan take over KI
sebesar Rp79.996,00 juta. Terhadap fasilitas tersebut, PT BSI diwajibkan untuk menyerahkan
studi kelayakan atas proyek yang dibiayai. Dalam pemeriksaan tidak diperoleh laporan studi
kelayakan atas proyek PT BSI tersebut.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Sub Bab A Sub Sub Bab 08 butir 08.2.a
yang menyebutkan bahwa pembuatan feasibility study oleh konsultan, diwajibkan bagi kredit
investasi dengan maksimum sebesar Rp5.000,00 juta ke atas.
c.PT BSI tidak menyerahkan jaminan pokok
KI yang diberikan kepada PT BSI digunakan untuk mengambilalih pinjaman
berjangka PT BSI dari BII, yang diperoleh sejak tanggal 6 Nopember 2003 dan digunakan
sebagai refinancing atas capital expenditure yang telah dikeluarkan berupa pembangunan
sarana atau jaringan baru di wilayah Divisi Regional VII Kawasan Indonesia Timur, dengan
maksimum pembiayaan sebesar 80% dari project cost. Atas proyek tersebut, PT BSI
menyerahkan jaminan berupa piutang pada PT Telkom. Jaminan tersebut telah diikat dengan
akta fiducia No.19 tanggal 20 Desember 2004 dengan nilai tagihan Rp165.917,00 juta.
Jaminan yang diserahkan PT BSI tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J
Sub Sub Bab 03 butir 03 yang menyebutkan bahwa harta, obyek atau transaksi yang dibiayai
harus dijadikan jaminan pokok, sedang harta lainnya yang tidak dibiayai dengan fasilitas kredit
dijadikan jaminan tambahan.
d.Jaminan belum mengcover total fasilitas kredit yang diberikan
Dalam PAK 02/2 disebutkan struktur jaminan PT BSI adalah sebagai berikut:
1) Jaminan yang diberikan:
(dalam juta Rupiah)
Jenis Jaminan Nilai Jaminan CEF CEV
Controlled
a. Minimal pengendapan dana 4.348,00 100% 4.348,00
b. Piutang Telkom 161.533,00 75% 121.150,00
176

Uncontrolled - - -
Total 165.917,00 - 125.534,00
Cash Equivalent Factor (CEF) yang digunakan oleh RM sebesar 75%, tidak sesuai dengan
BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 butir 4 No.1.8. yang menyatakan bahwa
tagihan termijn yang sudah ada untuk proyek pemerintah adalah 60%.
2) Pemenuhan persyaratan Cash Equivalent Value (CEV) jaminan
a) Berdasarkan outstanding kredit dan piutang pada tanggal 30 September 2004 (bukan
dari maksimum fasilitas yang diterima) diperoleh CEV Total = CEV Controlled yaitu
134,50%.
b) Berdasarkan maksimum kredit dan rata-rata piutang diperoleh CEV Total = CEV
Controlled yaitu 105,06%. CEV jaminan yang diserahkan sebesar Rp136.584,00 juta
berasal dari rata-rata piutang sebesar Rp176.255,99 juta dikalikan dengan CEF sebesar
75%. Dari perhitungan tersebut terdapat kelebihan jaminan sebesar Rp6.588,00 juta
atau 5,06%.
Selanjutnya Tim BPK menghitung ulang kecukupan jaminan PT BSI, yaitu:
a) Berdasarkan maksimum kredit dan rata-rata piutang (menanggapi perhitungan RM di
PAK 02/2)
Dalam perhitungan PAK 02/2 digunakan CEF sebesar 75%, sedangkan menurut
ketentuan BNI adalah 60%, sehingga diperoleh CEV Total = CEV Controlled yaitu
81% (Rp176.255,99 juta x 60% dibagi jumlah fasilitas)
b) Berdasarkan nilai piutang yang diikat dengan fiducia.
Dalam Akta Fiducia No.19 tanggal 20 Desember 2004 diketahui bahwa piutang yang
diikat dalam perjanjian itu sebesar Rp165.917,00 juta, sehingga diperoleh CEV Total
= CEV Controlled yaitu 76,6% (Rp165.917,00 juta x 60% dibagi jumlah fasilitas).
Dengan demikian CEV jaminan yang diserahkan PT BSI sebesar 76,6% tidak sesuai
dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 yang menyebutkan bahwa
persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur, minimum total CEV jaminan adalah
100%.
e.Take over kredit PT BSI disetujui sebelum tanggapan tertulis Dekom diterima
Surat Menteri Keuangan No.S-150a/MK.017/1997 tanggal 14 Maret 1997 menyatakan
bahwa dalam pemberian kredit dengan jumlah Rp50.000,00 juta ke atas, baik kredit investasi
maupun kredit modal kerja harus berkonsultasi dengan dewan komisaris masing-masing
dengan ketentuan tidak dilakukan pemecahan terhadap suatu usulan proyek. Menindaklanjuti
surat tersebut, Direksi melalui surat No.DIR/751 tanggal 14 Desember 2004 melakukan
konsultasi dengan Dekom. Dekom menanggapi dengan surat No.DK/0192 tanggal 21
Desember 2004. Sedangkan PK ditandatangani pada tanggal 20 Desember 2004. Dengan
demikian take over kredit a.n PT BSI dilakukan sebelum mendapat tanggapan dari Dekom.
f.PT BTI belum menyerahkan company guarantee
PT BTI merupakan pemegang saham mayoritas (51,5%) PT BSI. Sebagai pemegang
saham pengendali PT BTI diwajibkan untuk menyerahkan company guarantee sehubungan
dengan fasilitas kredit yang diterima PT BSI. Dalam pemeriksaan tidak diperoleh adanya
guarantee atas nama PT BTI.
177

Hal yersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05 butir
9.d.2) yang menyebutkan bahwa dalam hal pemegang saham/pengendali perusahaan adalah
perusahaan (bukan perorangan), maka dimintakan Company Guarantee yang harus dilampiri
dengan rincian harta kekayaan perusahaan sebagaimana tertuang dalam laporan keuangan
perusahaan.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a.Kepentingan Bank BNI kurang terjamin apabila fasilitas yang diberikan kepada PT BSI menjadi
bermasalah.
b.Fasilitas kredit menjadi lebih berisiko karena diberikan tanpa adanya studi kelayakan.
c.Dekom Bank BNI tidak dapat mempertimbangkan secara dini terhadap kelayakan pemberian
kredit PT BSI.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a.Bank BNI lemah dalam melakukan tawar menawar dengan Bank BII sehingga persyaratan CR
disesuaikan dengan ketentuan BII.
b.Pengelola kredit PT BSI kurang memperhatikan ketentuan intern Bank BNI
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.CR yang tidak memenuhi ketentuan Bank BNI telah mendapat persetujuan khusus dari KPK.
Pertimbangan Bnak BNI menyetujui CR sebesar 1x karena kondisi perusahaan dianggap cukup
baik dan cukup mampu untuk menyelesaikan seluruh kewajiban jangka pendeknya. Namun
demikian Bank BNI akan berupaya meminta kepada debitur yang bersangkutan agar dapat
memenuhi ketentuan minimum CR sebagaimana yang diatur oleh BPP.
b.Pada saat proses analisa kredit memang tidak berdasarkan FS (FS tidak tersedia). Keyakinan
kami dalam mempertimbangkan pemberian kredit ini berdasarkan pada proyek yang sudah
berjalan sejak tahun 1997 dan cash flow project yang cukup baik dan Kerjasama Operasi dengan
Telkom masih berjalan sampai dengan tahun 2010.
c.Jaminan pokok berupa sarana/jaringan telekomunikasi tidak diserahkan sebagai jaminan karena
sulitnya mendapatkan ijin dari pemerintah Singapura (Singtel). Pertimbangan lain karena secara
materil jaminan yang diserahkan berupa piutang dan dana dalam escrow account dianggap lebih
kuat dan secara total nilai jaminan telah memenuhi.
d.Telah disyaratkan bahwa sesuai dengan ketentuan pada awal pengusulan kredit, posisi jaminan
memang tidak memenuhi. Namun demikian untuk menjaga keamanan Bank BNI, kami telah
mensyaratkan jaminan berupa piutang proyek pada KSO (cfm. PKS No. 225/K810/UTA-00/95
tanggal 20-10-1995 antara PT BSI dengan Telkom) maupun piutang lain dengan pihak ketiga
(apabila piutang KSO tidak mencukupi) minimal sebesar 125% dari outstanding fasilitas KI.
e.Meskipun tanggapan Dekom baru diterima pada tgl. 21 Desember 2004, konsultasi telah
dilakukan pada tgl. 16 Desember 2004, sehingga secara lisan telah diperoleh persetujuannya.
Sebelum SKK diterbitkan telah diperoleh clearance dari staff Dekom yang dapat dilihat dari
persyaratan yang disampaikan Dekom telah diakomodir dalam SKK. Untuk selanjutnya hal ini
akan menjadi perhatian kami.
f.Sesuai keputusan memang tidak dipersyaratkan adanya Company Guarantee dari PT BTI. Namun
demikian akan diupayakan pada periode mendatang.
178

BPK-RI menyarankan agar Direksi Bank BNI lebih optimal dalam melakukan tawar
menawar dengan Bank lain yang kreditnya akan ditake over serta pengelola kredit PT BSI agar
lebih memperhatikan ketentuan intern Bank BNI. Terhadap company guarantee yang belum
diperoleh, RM mengirim surat kepada PT BSI meminta company guarantee dimaksud untuk
dipenuhi.
31. Pemberian KI kepada PT Adi Karya sebesar Rp242.101,00 juta berisiko tinggi dan belum
sepenuhnya memenuhi ketentuan
PT Adi Karya (PT AK) merupakan salah satu BUMN yang bergerak di bidang usaha jasa
konstruksi. PT AK didirikan pada tanggal 1 Juni 1974 dengan Akta Notaris Kartini Muljadi, SH
No.1. Berdasarkan Akta No.35 tanggal 18 Nopember 2003 Pemerintah memiliki 100% saham
PT AK sebesar Rp136.000,00 juta.
Berdasarkan SK Menteri BUMN No.Kep-46/MBU/2002 tanggal 29 Januari 2002 yang
dinyatakan dalam Akta No.31 tanggal 10 April 2003, pengurus PT AK antara lain Ir. Hendrianto
Notosoegondo selaku Komut dan Ir. M.Saiful Imam, MM selaku Dirut.
Pada tanggal 6 April 2004 dengan surat No.011-8/008, PT AK mengajukan permohonan
KMK sebesar Rp214.671,00 juta yang akan digunakan untuk tambahan modal kerja pembiayaan
pembangunan proyek jalan tol Cikampek – Purwakarta – Padalarang tahap II paket 2. Terhadap
permohonan tersebut, Bank BNI menyetujuinya sebesar Rp214.671,00 juta dan mendudukkan
dalam PK No.20 tanggal 7 Mei 2004. Selanjutnya Surat Perjanjian Pemborongan Pembangunan
Jalan Tol Cikampek – Purwakarta – Padalarang Paket 2 Ruas Purwakarta Selatan –Plered (Sta
84+500 – Sta93+050) No.014/SPP-DIR/2004 tanggal 8 April 2004, mengalami penambahan yaitu
nilai kontrak semula sebesar Rp209.652,33 juta menjadi sebesar Rp238.525,51 juta. Perubahan
tersebut dimuat dalam Addendum No.I tanggal 20 Desember 2004. Sehubungan dengan itu,
dengan surat No.011-8/2002 tanggal 1 Pebruari 2005, PT AK mengajukan tambahan fasilitas
KMK sebesar Rp27.430,00 juta, sehingga total fasilitas menjadi Rp226.600,00 juta. Permohonan
tersebut disetujui dengan SKK No.KPI/059/R tanggal 29 Maret 2005 dan didudukkan dalam PK
No.158 tanggal 15 April 2005.
Outstanding kredit PT AK per tanggal 30 April 2005 adalah sebesar Rp185.093,93 juta
dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Sedangkan jaminan yang diserahkan per April 2004 adalah
seluruh tagihan penerima kredit atas proyek pembangunan jalan tol Cikampek – Purwakarta –
Padalarang Tahap II Paket 2 ruas Purwakarta Selatan – Plered Sta 84+500 – Sta 93+050 sebesar
Rp209.652,33 juta atau Total CEV sebesar 47%. Jaminan yang insurable telah diasuransikan pada
PT. Asuransi Takaful dengan nilai pertanggungan sebesar Rp209.652,83 juta yang telah jatuh
tempo pada tanggal 8 Mei 2005 dan belum dimintakan perpanjangan.
Dari hasil pemeriksaan menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a.Fasilitas kredit PT AK sebesar Rp242.101,00 berisiko tinggi
Dalam MAK No.PAK:ARK/2/008 tanggal 06 April 2004 diketahui adanya beberapa
exception yang menjadikan kredit tersebut mempunyai risiko yang tinggi, yaitu:
1) Share pembiayaan Bank BNI melebihi ketentuan
Pengajuan KMK PT AK disetujui Bank BNI dengan rincian sebagai berikut:
179

(dalam juta Rupiah)
Fasilitas Term Loan PAL % Keterangan
Pokok 199.170,00 39.834,00 95% Pembiayaan Bank
Self Financing 10.482,00 2.096,00 5% Pembiayaan Sendiri
Total 209.652,00
IDC 15.501,00 4.580,00 Pembiayaan Bank
PAL = Pre Approved Line
Total proyek yang akan dibiayai adalah sebesar Rp209.652,00 juta. Dari total biaya
tersebut share (bagian) PT AK adalah sebesar Rp10.482,00 juta atau 5%, sedangkan Bank
BNI adalah sebesar Rp199.170,00 juta atau 95%.
Share Bank BNI tersebut tidak sesuai dengan CPC No.94 tanggal 31 Juli 2003 yang
menyebutkan bahwa ketentuan pembiayaan (pemberian kredit) untuk KMK konstruksi
ditetapkan, untuk proyek pemerintah, maksimum pembiayaan adalah 80% dari total
kebutuhan pembiayaan.
2) Agunan PT AK yang diserahkan belum memenuhi ketentuan
Fasilitas kredit PT AK adalah sebesar Rp214.671,00 dengan jaminan berupa proyek
senilai Rp209.652,00 juta, sehingga nilai CEV jaminan yang diserahkan adalah
Rp125.791,20 juta (Rp209.652,00 juta x 60%).
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 yang
menyebutkan bahwa persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur, minimum total
CEV jaminan adalah 100%, sehingga seharusnya PT AK menyerahkan jaminan sebesar
Rp214.671,00 juta (100% dari maksimum kredit). Dengan demikian terdapat kekurangan
jaminan yang diserahkan PT AK sebesar Rp88.879,80 juta (Rp214.671,00 juta –
Rp125.791,20 juta). Pemberian exception pada agunan tersebut melanggar CPC No.98
tanggal 9 Januari tahun 2004 tentang kebijakan ekspansi kredit 2004 huruf F butir 1 yang
menyebutkan bahwa penyimpangan persyaratan jaminan untuk debitur baru dilarang.
3) Self Financing baru dikeluarkan pada akhir masa pemeliharaan
Dalam melaksanakan proyeknya, PT AK melakukan pembiayaan sendiri (self
financing) sebesar Rp12.578,00 juta (termasuk Pre Approved Line (PAL). Sesuai
kesepakatan yang terjadi sebelum PK ditandatangani, pembayaran self financing dilakukan
pada akhir masa pemeliharaan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan CPC No.91 tanggal 25 Maret 2003 yang
menyebutkan bahwa self financing harus dipenuhi dan digunakan terlebih dahulu oleh
debitur dalam rangka pelaksanaan proyek yang dibiayai Bank.
4) Cost overrun yang terjadi dicadangkan sebagai PAL
Proyek yang dibiayai tersebut menggunakan pola turn key atau Contractor Pre
Financing (CPF) dengan PT Jasa Marga (PT JM) sebagai bouwheer. Dengan pola ini,
apabila proyek yang dikerjakan PT AK telah selesai maka hutang PT AK akan diambil alih
oleh PT JM. Informasi dari kelompok PMK-1 tanggal 13 April 2004 menyebutkan bahwa
hasil pertemuan Divisi Korporasi Satu dengan (PT JM) pada tanggal 12 April 2004 dan
tanggal 14 April 2004 diduga kuat akan terjadi cost overrun (yang tidak merubah
spesifikasi) diperkirakan kurang lebih sebesar 20% dari nilai kontrak. Mengingat cost
180

overrun tidak merubah spesifikasi maka pihak PT JM bersedia menjamin pembiayaannya
termasuk bunga yang akan timbul dan untuk itu Bank BNI diminta mencadangkan
pembiayaannya sebagai PAL termasuk IDC-nya.
Hal tersebut tidak sesuai dengan kelaziman yang selalu membebankan cost overrun
untuk menjadi tanggung jawab debitur, dalam hal ini PT AK.
5) DER melebihi 20%
Besarnya DER tahun 2000 s.d. 2003 berturut-turut sebesar 5,69x, 5,11x, 4,34x dan
4,96x. Dengan demikian selama kurun waktu empat tahun DER PT AK melebihi
ketentuan Bank BNI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab G Sub Sub Bab 05 butir
05 yang antara lain menyebutkan bahwa debitur harus memelihara ketentuan maksimum
DER untuk sektor konstruksi jalan dan jembatan sebesar 2,00 kali.
Untuk memenuhi ketentuan dari Menteri Keuangan No.S-150a/MK.017/1977 tanggal
14 Maret 1997, Direksi Bank BNI melalui surat No.DIR/259 tanggal 5 Mei 2004 mengajukan
konsultasi kepada Dewan Komisaris (Dekom). Menanggapi surat tersebut, Dekom melalui
surat No.DK/080 tanggal 19 Mei 2004 menyatakan bahwa pemberian kredit kepada PT AK
perlu mendapat perhatian. Hal yang perlu diperhatikan antara lain adalah pemberian exception
dalam proses keputusan kredit yang meliputi pelanggaran share pembiayaan, setoran self
financing, penyerahan agunan serta pembiayaan cost overrun, hendaknya dijadikan sinyal
bahwa pemberian kredit ini memiliki risiko yang sangat tinggi. Berkenaan dengan hal tersebut
diharapkan agar upaya pengamanan di berbagai titik risiko dilaksanakan dengan sebaikbaiknya
Selain pemberian exception, terdapat hal lain yang menyebabkan pemberian kredit
kepada PT AK beresiko tinggi, yaitu:
1) Kewajaran nilai proyek tidak diungkapkan dalam analisa
Dari evaluasi kebutuhan kredit diketahui biaya pembangunan proyek berdasarkan
pengajuan penawaran PT AK kepada PT JM adalah sebesar Rp234.952,00 juta. Biaya
tersebut mengalami perubahan karena adanya sebagian material pembangunan dikeluarkan
dari project cost, sehingga total project cost dikoreksi menjadi Rp209.652,00 juta. Bank
BNI memberikan fasilitas kredit kepada PT AK sesuai dengan besarnya total proyek.
Bahkan Bank BNI juga memberikan fasilitas PAL sebesar Rp44.414,00 juta.
Fasilitas KMK berikut PAL kepada PT AK diberikan sesuai dengan pengajuannya
tanpa dianalisa ulang kewajaran nilai proyek tersebut, setidaknya melakukan perbandingan
dengan proyek sejenis. Tanpa mengetahui kewajaran nilai proyek yang dibiayai maka
dikhawatirkan kredit yang diberikan lebih besar dari yang seharusnya sehingga risiko
kredit menjadi lebih tinggi.
2) Tidak dilakukan analisa terhadap kondisi keuangan PT JM.
Dari Laporan Keuangan Audited PT JM Tahun 2003 diketahui bahwa financial
covenant PT JM tidak sesuai ketentuan, yaitu CR sebesar 0,62 kali dan DER sebesar 2,50
kali. Dengan demikian, apabila hutang PT AK diambil alih oleh PT JM, maka DER PT JM
akan semakin meningkat. Tingginya nilai DER menunjukkan bahwa kemampuan PT JM
181

untuk memenuhi kewajibannya adalah rendah. Hal tersebut meningkatkan risiko kredit
bagi kerugian bagi Bank BNI.
3) Sumber pelunasan kredit dari PT JM belum dapat dipastikan
KMK Transaksional adalah fasilitas kredit yang diberikan atas dasar suatu
transaksi tertentu, yang sumber pelunasannya berasal dari transaksi yang bersangkutan.
Fasilitas yang diberikan kepada PT AK adalah KMK transaksional, sehingga apabila
proyek tersebut telah selesai maka yang akan melunasai kreditnya adalah PT JM.
Sehubungan dengan itu, maka dalam MAK disebutkan bahwa PT JM menggunakan sistem
turnkey sehingga pencairan (pembayaran dari PT JM kepada PT AK) akan dilakukan
setelah fisik proyek selesai 100% (diluar masa pemeliharaan) yang dilakukan dengan cara
pelunasan sekaligus KMK transaksionalnya. Selanjutnya dalam hal kemampuan
membayar disebutkan hal-hal sebagai berikut:
a)Berdasarkan proyeksi cash flow tahun 2004 s.d 2005 dengan asumsi yang ada, PT AK
mampu melunasi hutang pokok dan bunga yang bersumber dari bouwheer.
b)Sumber dana pihak PT JM dengan asumsi mengambil kredit ditahun 2005 yang
bersumber dari PAL Bank BNI, diharapkan menjamin pengembalian kredit PT AK.
Dari surat Direksi BNI No. DIR/259 tanggal 05 Mei 2004, yang ditujukan kepada
Dekom disebutkan pemecahan atas pelunasan kredit PT AK, yaitu:
a)PT JM akan membayar hutang kontraktor beserta bunganya kepada Bank sesuai dengan
Monthly Certificate (MC) yang telah disetujui.
b)Untuk pembayaran proyek tersebut PT JM akan mencari dana dengan berbagai
alternatif, antara lain menerbitkan obligasi, Initial Public Offering (IPO) dan Kredit
Sindikasi.
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa PT JM masih belum mempunyai kepastian
sumber dana untuk melunasi kredit PT AK. Apabila fasilitas kredit AK diambil alih oleh
PT JM, maka akan timbul masalah dengan kemampuan PT JM untuk menyelesaikan
kewajibanya secara tepat waktu, mengingat CR dan DER PT JM per 30 Juni 2004 masingmasing
sebesar 0,45 dan 2,55.
4) Dalam analisa tidak diungkapkan track record PT AK yang pernah diberikan
fasilitas kredit oleh Bank BNI
PT AK pada tahun 1997 mendapat fasilitas KMK onshore maksimum sebesar
US$15,000.00 ribu dan KMK Rupiah maksimum sebesar Rp96.450,00 juta. Pada tanggal
1 April 1999 fasilitas tersebut dinyatakan macet dan direstrukturisasi, kemudian pada
tanggal 31 Januari 2000 diserahkan ke BPPN. Sedangkan jaminan yang diserahkan bukan
jaminan kebendaan yang memiliki nilai komersial, tetapi berupa Surat Pernyataan
Kesanggupan untuk menyalurkan tagihan termin proyek (Cessie). Dengan demikian tidak
ada jaminan kebendaan yang dikuasai BPPN atas fasilitas kredit yang diterima PT AK.
Dalam pemberian fasilitas kredit tersebut terdapat beberapa pelanggaran dan
penyimpangan, yaitu:
a)Fasilitas KMK tersebut diberikan kepada PT AK pada saat kondisi keuangan dan
jaminan PT AK belum memenuhi persyaratan Bank , yaitu CR dan DER PT AK masingmasing
sebesar 0,9 dan 14 kali.
182

)Jaminan yang diberikan hanya berupa kesanggupan untuk menyalurkan tagihan termin
proyek.
c)Penggunaan KMK sebesar Rp24.400,00 juta tidak sesuai dengan tujuannya yaitu yang
seharusnya digunakan untuk pembelian valuta asing US$10,000.00 ribu guna melunasi
kewajiban KMK PT AK di BNI ternyata digunakan untuk merealisasikan hak beli PT
AK sebesar US$5,000.00 ribu tanggal 23 Pebruari 1998 dengan hedge forward
Rp3.700,00 per 1US$ dan hasil transaksi pembelian valas sebesar US$5,000.00 ribu
tidak diketahui pengunaannya. Sementara itu KMK dari BNI sebesar US$10,000.00 ribu
yang seharusnya dilunasi dari penggunaan pinjaman sebesar Rp24.400,00 juta tersebut
tidak terbayar dan menjadi macet.
Dari track record tersebut diketahui bahwa PT AK pernah mempunyai kredit bermasalah
di BNI. Oleh sebab itu, pemberian fasilitas KMK kepada PT AK dengan banyak exception
tidak menutup kemungkinan untuk menjadi kredit bermasalah.
Kondisi tersebut belum sesuai dengan BPP Buku IIIA mengenai larangan
pemberian fasilitas kredit kepada debitur baru antara lain kepada perusahaan atau nama
pengurus/pemilik/pemegang kuasa/penjamin/penanggungjawabnya tercantum dalam daftar
kredit macet/penarik cek kosong.
Uraian diatas semakin memperkuat bahwa fasilitas kredit yang diberikan kepada PT AK
berisiko tinggi, dan proses pemberiannya dilakukan dengan kurang hati-hati. Hal tersebut tidak
sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No.10 tahun 1998 pasal 8 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Bank umum
wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan yang
diterapkan oleh BI dan pasal 29 ayat (2) yang menyebutkan bahwa Bank wajib memelihara
tingkat kesehatan Bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas
manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan
usaha Bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian
b.Asuradur bukan rekanan Bank BNI dan tidak memuat Bank er’s clause dalam polisnya
PT AK telah mengasuransikan barang-barang jaminan kepada PT Asuransi Takaful
Umum (PT ATU) pada tanggal 6 Mei 2004 dengan nilai pertanggungan sebesar Rp209.652,83
juta dan jatuh tempo pada tanggal 8 Mei 2005. Dari pemeriksaan diketahui bahwa PT ATU
bukan rekanan Bank BNI dan polis asuransi tersebut tidak memuat adanya Bank er’s clause
Bank BNI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.20 tanggal 7 Mei 2004 pasal 12 ayat 1 yang
menyebutkan bahwa selama kredit berjalan barang-barang jaminan yang dapat diasuransikan,
wajib diasuransikan oleh penerima kredit kepada maskapai asuransi PT Tri Pakarta atau
maskapai asuransi yang ditunjuk dan disetujui oleh Bank terhadap risiko karugian yang
macam risiko, nilai dan jangka waktunya ditentukan oleh Bank. Di dalam perjanjian asuransi
(polis) harus dicantumkan klausula sedemikian rupa, sehingga jika ada pembayaran ganti rugi
dari pihak maskapai asuransi, maka Bank berhak untuk memperhitungkan hasil pembayaran
klaim tersebut dengan seluruh kewajiban penerima kredit kepada Bank (Bank er’s caluse)
Kondisi tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT AK berpotensi menjadi kredit
bermasalah.
183

Kondisi tersebut terjadi karena :
a.Direksi Bank BNI banyak memberikan exception kepada PT AK
b.Divisi Korporasi, dalam hal ini Wakil Pemimpin Divisi, Kelompok PML, dan RM selaku
pengusul persetujuan permohonan kredit PT AK belum sepenuhnya menjalankan ketentuan.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Kami sependapat bahwa share pembiayaan Bank BNI tidak sesuai dengan ketentuan intern yang
berlaku. Salah satu pertimbangan pemberian kredit ini adalah obyek pembiayaan merupakan
public service yang melibatkan negara RI sebagai tuan rumah konferensi Asia Afrika. Skim
pembiayaan ini adalah turnkey proyek yang di didesign khusus dimana share pembiayaan Bank
sebesar 95% dari nilai proyek, hal ini bisa diterima oleh semua Bank yang ikut serta dalam
pembiayaan ini (Bank BNI, Mandiri, Bukopin dan BCA) karena proyek ini merupakan proyek
strategis yang harus selesai dalam satu tahun untuk persiapan KTT AA 2005 di Bandung dan
kredit ini akan di take over oleh PT. Jasa Marga. Untuk proyek jalan tol umumnya tidak bisa
memenuhi ketentuan karena objek yang dibiayai tidak dapat diikat, namun demikian Bank bisa
menguasai/mengikat tagihan tol Fee setelah kredit ini dialihkan menjadi kredit kepada PT.Jasa
Marga. Self Financing yang diperlakukan didalam project ini memang tidak sesuai dengan
ketentuan, yaitu tidak dilaksanakan didepan karena proses pengambilalihan kredit nantinya
dengan PT.Jasa Marga yang didasarkan pada seluruh pengeluaran-pengeluaran project yang telah
dikeluarkan oleh Kontraktor termasuk bunga IDC. Sejak awal disadari bahwa PT. Jasa Marga
sangat kesulitan menentukan besarnya project cost yang pasti terhadap project ini karena kondisi
medan yang sulit diprediksi secara tepat, sehingga diminta kepada Bank -Bank yang membiayai
project ini untuk mencadangkan tambahan biaya atas adanya perubahan spesifikas yang
memerlukan tambahan biaya sehingga Bank BNI mencadangkan PAL Sifat dari sektor usaha
konstruksi biasanya memerlukan proses produksi lebih dari 1 tahun, sementara sumber modal
kerja berasal dari uang muka proyek dan atau fasilitas kredit yang cukup besar sehingga
berdampak pada DER.
b.Penutupan asuransi oleh debitur dilakukan sendiri sebelum kredit diberikan, sedangkan
penambahan klausula Bank er’s telah kami minta kepada pihak asuransi untuk menambah
klausula dimaksud cfm. surat KPI/4/2128 tanggal 6 Juli 2005.
BPK-RI menyarankan agar Direksi Bank BNI tidak terlalu banyak memberikan exception
serta Divisi Korporasi, dalam hal ini Wakil Pemimpin Divisi, Kelompok PML dan RM selaku
pengusul persetujuan permohonan kredit mematuhi dan menerapkan sepenuhnya ketentuan yang
telah ditetapkan.
32. Pengawasan dan pemberian KMK tambahan sebesar Rp70.000,00 juta atas nama
PT Satyaraya Keramindoindah belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
PT Satyaraya Keramindoindah (PT SRKI) merupakan perusahaan Lyman Group (PMA)
yang bergerak dalam bidang industri keramik. PT SRKI didirikan pada tahun 1998 sesuai Akta No.
80 tanggal 11 Nopember 1998 Notaris Rachmad Santoso, SH. Berdasarkan akte notaris Fardian
SH, No.5 tanggal 5 Agustus 2003, pengurus PT SRKI antara lain Poedji Koentarso sebagai
Komisaris Utama dan Osbert Lyman sebagai Direktur Utama. Sedangkan susunan pemegang
184

saham PT SRKI, berdasarkan akte tersebut adalah PT Metropole Megah, Oriental Equty
Investment Ltd dan PT Lyman Industri Industrindo berturut-turut memiliki 81%, 18% dan 1% dari
nominal saham sebesar Rp64.441.000,00 juta
Pada tahun 1995, investasi PT SRKI berupa 3 lines wall tile yang berkapsitas 6,6 M2 per
tahun, dibiayai BNI berupa KI sebesar Rp42.350,70 juta dan KMK sebesar Rp12.000,00 juta. Pada
tahun 1996 perusahaan memperoleh tambahan fasilitas KMK sebesar Rp30.000,00 juta, sehingga
total fasilitas KMK berjalan sebesar Rp56.800,00 juta, fasilitas LC dan GB masing masing sebesar
US$400.00 ribu dan US$600.00 ribu, selanjutnya pada tahun 2000 memperoleh dua fasilitas KMK
onshore masing-masing sebesar US$7,424.66 ribu dan US$3,452.05 ribu, dan pada tahun 2001
memperoleh 2 fasilitas KMK masing-masing sebesar Rp19.600,00 juta dan Rp6.000,00 juta.
Outstanding kredit PT SRKI per 31 Maret 2005 adalah sebesar Rp85.307,54 juta dengan
kolektibilitas Lancar (Gol. I). Jaminan PT SRKI atas fasilitas yang diterima adalah satu bidang
tanah seluas 340.260 m2 berikut bangunan dan mesin-mesin di desa Sentul, Balaraja, Tangerang.
Selain itu juga stock barang-barang yang dibiayai serta sarana pelengkap dan peralatan kantor.
Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut diketahui permasalahan-permasalahan sebagai
berikut :
a.Pemberian tambahan KMK sebesar Rp70.000,00 juta belum sesuai ketentuan
PT SRKI telah beberapa kali mengalami restruksturisasi yaitu berupa perpanjangan kredit dan
pemberian fasilitas IBP. Selanjutnya, dengan surat No.068/MM-SRKI/FIN-COR/IV/2003
tanggal 21 April 2003, PT SRKI memohon KMK sebesar Rp70.000,00 juta yang akan
digunakan untuk modal kerja produksi dan penjualan keramik lokal maupun ekspor. Dalam
pemberian kredit tersebut terdapat beberapa hal yang belum memenuhi ketentuan:
1) Jangka waktu KMK melebihi ketentuan
Fasilitas KMK tersebut berjangka waktu 5 tahun 6 bulan termasuk grace period 6
triwulan. Dengan jangka waktu yang lama tersebut, maka pengelola kredit lebih sulit
untuk melakukan pemantauan penggunaannya karena dalam KMK tidak disyaratkan
menyerahkan laporan appraisal dari pihak independen seperti layaknya fasilitas KI.
Jangka waktu tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku BPP III A Bab III Sub Bab A
Sub Sub Bab 01 butir 4 yang menyebutkan bahwa jangka waktu KMK (diluar KMK
Permanen) paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan, tetapi
tidak melebihi dari jangka waktu semula untuk setiap kali perpanjangan.
2) Pemberian tambahan KMK belum mengakomodir rekomendasi Dekom
Menanggapi surat Direksi No.DIR/242 tanggal 11 Agustus 2003 perihal konsultasi kredit
nasabah dengan maksimum diatas Rp50 milyar, Dekom dengan surat No.DK/060 tanggal
15 Agustus 2003 merekomendasikan antara lain agar penggunaan sarana L/C impor untuk
pembelian bahan baku dijadikan salah satu syarat penarikan. Dari pemeriksaan diketahui
bahwa PK ditandatangani pada tanggal yang sama dengan surat Dekom, yaitu tanggal 15
Agustus 2003. Sampai dengan pemeriksaan tanggal 24 Juni 2005, PT SRKI belum
menggunakan sarana L/C impor, sementara KMK sudah ditarik sebesar Rp67.500,00 juta.
b.Jaminan PT SRKI belum mengcover fasilitas kredit
Dari Formulir Evaluasi Nilai Jaminan tanggal 27 Desember 2004 diketahui hal-hal
sebagai berikut:
1) Total maksimum fasilitas SRKI adalah sebesar Rp184.244,00 juta
185

2) CEV jaminan sebesar Rp253.571,00 juta, jika dibandingkan dengan fasilitas sebesar
Rp184.244,00 juta, maka % CEV adalah 137,63% melebihi ketentuan sebesar 37,63%.
Dari pemeriksaaan diketahui bahwa total fasilitas PT SRKI adalah sebesar Rp269.943,40 juta.
Perbedaan jumlah fasilitas tersebut terjadi karena RM memperhitungkan empat fasilitas kredit
berdasarkan outstanding portepel per 30 Nopember 2003, bukan maksimum kredit.
Perhitungan tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku III Bab I Sub Bab C Sub Sub Bab
06 halaman 2 yang menyatakan bahwa total % CEV adalah total CEV dibagi dengan total
fasilitas dikalikan dengan 100%. Dengan maksimum kredit sebesar Rp269.943,40 juta maka
porsentase CEV menjadi Rp253.571,00 juta/ Rp269.943,40 juta x 100% yaitu 94% sehingga
tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 butir 5 yang menyebutkan
bahwa persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur, CEV jaminan adalah sebesar 100%.
c.Nilai hak tanggungan lebih kecil dari maksimum kredit
Penyerahan jaminan kredit PT SRKI antara lain sebidang tanah yang terletak di Sentul
Bogor, telah diikat Hak Tanggungan senilai Rp200.000,00 juta, sedangkan nilai pasar untuk
aktiva tetap sesuai laporan appraisal No.2325/PRO-LP/IX/02 tanggal 14 Maret 2003 oleh
PT Pronilai adalah sebesar Rp347.446,00 juta, dan maksimum kredit yang diterima adalah
sebesar Rp271.430,46 juta. Nilai taksasi jaminan tersebut lebih tinggi dari maksimum kredit,
akan tetapi nilai hak Tanggungan jaminan lebih kecil dari maksimum kredit.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05 Hal 1 butir
5.a.1 perihal besarnya nilai pengikatan Hak Tanggungan untuk Kredit Langsung ditetapkan
dalam hal nilai taksasi jaminan lebih besar dari maksimum kreditnya, maka nilai pengikatan
hak tanggungan minimum sebesar maksimum kreditnya.
d.Company Guarantee tidak disertai dengan daftar kekayaan
PT SRKI menjaminkan sebidang tanah seluas 340.260 m2 berikut bagunan, mesin,
barang-barang, sarana pelengkap dan peralatan kantor. Selain itu PT SRKI memberikan
personal guarantee dan Company guarantee. Personal gurantee tersebut atas nama Osbert
lyman dan Royson Lyman, masing-masing sesuai dengan akte notariil No.118 dan No.119
tanggal 14 Nopember 1989. Sedangkan Company Gurantee atas nama PT Metropole Megah
dan PT Erna Djuliawati masing-masing sesuai akte notariil No.120 dan No.121 tanggal 14
Nopember 1989, tetapi tidak dilampiri dengan rincian Harta Kekayaan Perusahaan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05 butir
9.d yang menyebutkan bahwa Penyerahan Personal Guarantee sebagai jaminan tambahan
diatur sebagai berikut dalam hal pemegang saham/pengendali perusahaan adalah perusahaan
(bukan perorangan), maka dimintakan company guarantee yang harus dilampiri dengan rincian
Harta Kekayaan Perusahaan sebagaimana tertuang dalam Laporan Keuangan Perusahaan.
e.PT SRKI menerima fasilitas dari Bank lain sebelum KI dilunasi, tanpa ada persetujuan
tertulis dari Bank BNI.
Dari Laporan Keuangan PT SRKI tahun 2003 yang telah diaudit oleh KAP Tanubrata
Yogi Sibarani Hananta diketahui bahwa PT SRKI mempunyai pinjaman kepada Bank NISP
Rp62.231,45 juta dalam bentuk Aksep On Call (KOC I dan II), Kredit Rekening Koran dan
kredit Aksep untuk keperluan tambahan modal kerja produksi dan penjualan keramik.
Demikian pula menurut informasi BI No.1/627467/DPIP/Dtb/Rhs tanggal 5 November 2003,
186

selain mendapat kredit dari Bank BNI, PT SRKI juga mendapat fasilitas kredit dari NISP. Dari
laporan keuangan tersebut diketahui bahwa PT SRKI mempunyai KI pada Bank BNI dengan
saldo Rp1.193,46 juta yang menunjukkan bahwa PT SRKI belum melunasi KI yang diperoleh
dari Bank BNI. Dalam pemerksaan dokumen tidak diperoleh adanya ijin tertulis dari Bank
BNI sehubungan dengan pinjaman dari Bank NISP. Hal tersebut diungkapkan pula dalam
memo No.KPS/3/p.67 tanggal 21 juni 2004 perihal Penjelasan tambahan atas Checklist Uji
Kepatuhan bahwa PT SRKI mendapat fasilitas dari Bank lain sebelum fasilitas KI Bank BNI
lunas dan tidak nampak adanya persetujuan dari Bank BNI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
1) BPP Bab I, Sub Bab A, Sub Sub Bab 10 butir 4 yang menyebutkan antara lain bahwa
selama KI belum diselesaikan, debitur dilarang untuk menerima kredit-kredit baru baik
dari Bank lain maupun perusahaan di luar Bank tanpa persetujuan Bank BNI. Untuk
keperluan ini agar dimintakan Surat pernyataan dari Debitur.
2) PK No.2003/KPI/47 tanggal 15 Agustus 2003 pasal 18 butir c yang menyatakan bahwa
tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, Penerima Kredit tidak diperkenankan
untuk memperoleh fasilitas kredit dan/atau pinjaman dari pihak lain, baik untuk
membiayai kebutuhan modal kerja maupun untuk investasi, kecuali jika pinjaman tersebut
diberikan dalm rangka transaksi dagang yang berkaitan langsung dengan usahanya.
f.Asuradur bukan rekanan Bank BNI, nilai pertanggungan asuransi dibawah nilai jaminan
yang insurable dan tidak memuat Bank er’s clause dalam polisnya
PT Pronilai telah melakukan penilaian Aktiva Tetap sesuai Surat No.2325/PRO-
LP/IX/02 tanggal 14 Maret 2003 dengan nilai taksasi sebesar Rp347.446,00 juta. Semua
jaminan tersebut harus diasuransikan, kecuali tanah, agar tidak ada kerugian yang ditanggung
BNI bila ada kejadian force majeur. Nilai jaminan yang insurable adalah sebesar
Rp275.526,00 juta. PT SRKI telah mengasuransikan jaminannya ke PT Asuransi Raksa
Pratikara (PT ARP) dan akan jatuh tempo pada tanggal 26 Maret 2006. Dari pemeriksaan
diketahui bahwa PT ARP bukan rekanan asuransi yang terdaftar di Bank BNI.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Bab 1 Sub Bab J Sub-Sub Bab 06 No.2 yang
menyebutkan bahwa perusahaan asuransi kerugian yang ditunjuk asuradur Bank BNI, yaitu
PT Asuransi Tri Pakarta, PT Asuransi Wahana Tata, PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Maskapai
Asuransi Indonesia dan PT Asuransi Jiwa Bank BNI Jiwasraya.
Total nilai jaminan insurable menurut laporan appraisal adalah Rp275.526,00 juta
sedangkan nilai pertanggunan asuransinya sebesar Rp170.729,19 juta.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 06 butir 4.a yang
menyebutkan bahwa dalam melaksanakan penutupan asuransi, nilai pertanggungan harus
selalu disesuaikan dengan nilai sebenarnya dari barang jaminan. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah pertanggungan dibawah harga (under insured) atau diatas harga (over insured),
selain itu disebutkan pula di butir 4.b bahwa Asuransi dibawah harga (under insured) adalah
asuransi dengan penutupan harga pertanggungan lebih kecil darppada harga sebenarnya. Nilai
pertanggungan tersebut juga tidak sesuai dengan PK No.2003/KPI/47 tanggal 15 Agustus 2003
pasal 16 ayat 6 yang menyebutkan bahwa nilai penutupan asuransi barang-barang jaminan
ditingkatkan menjadi bangunan minimal menjadi Rp56.200,00 juta, mesin-mesin minimal
menjadi Rp209.300,00 juta dan stock minimal senilai rata-rata stock atau senilai Rp112.000,00
juta.
187

Selain itu dalam polis asuransi juga tidak memuat Bank er’s clause. Hal itu tidak
sesuai dengan PK No.2003/KPI/47 tanggal 15 Agustus 2003 pasal 12 ayat 1 yang
menyebutkan antara lain bahwa dalam perjanjian asuransi (polis) harus dicantumkan klausula
sedimikian rupa, sehingga jika ada pembayaran ganti rugi dari pihak maskapai asuransi, maka
Bank berhak untuk memperhitungkan hasil pembayaran klaim tersebut dengan seluruh
kewajiban penerima kredit kepada Bank (Bank er’s clause)
g.Aktivitas ekspor dan impor PT SRKI belum maksimal disalurkan ke Bank BNI
Dari MPK (PAK-02/2) tanpa nomor dan tanggal diketahui bahwa aktivitas impor dan
ekspor PT SRKI masih belum seluruhnya disalurkan melalui Bank BNI. Sebagian aktivitas
tersebut masih disalurkan melalui ABN Amro dan sebagian lagi dilakukan tidak dengan
menggunakan sarana L/C namun secara Open Account karena buyer dan suppliernya
merupakan langganan lama yang saling percaya dan pertimbangan efisiensi biaya Bank.
Sementara itu untuk pembiayaan impor/ekspor dengan T/T sebagian dilakukan melalui Bank
BNI. Atas kondisi tersebut diatas telah dibicarakan dengan PT SRKI untuk dijadikan
perhatian, namun belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Oleh karena itu
kepada PT SRKI seyogyanya diberikan kesempatan selama tiga bulan terhitung sejak fasilitas
kreditnya jatuh tempo, apabila aktivitas impor dan ekspornya masih belum disalurkan melalui
BNI maka akan dilakukan fasilitas Plafon L/C Impor diakhiri/dicabut dan fasilitas KMKE
dipindahkan/diswitch menjadi fasilitas KMK lokal.
Aktivitas keuangan PT SRKI belum sesuai dengan PK No.2003/KPI/47 tanggal 15
Agustus 2003 pasal tambahan ayat 11 yang menyatakan Penerima Kredit wajib mengupayakan
secara optimal penyaluran transaksi perbankan berupa impor, ekspor dan penempatan dana
pada Bank minimal sebanding dengan fasilitas yang diterima oleh Penerima Kredit dari Bank
Sampai dengan pemeriksaan tanggal 24 Juni 2005, plafond L/C PT SRKI belum
digunakan dan masih dilakukan perpanjangan dengan PPPLC No.(13)96.042 tanggal 24 Juni
2004, yang akan jatuh tempo pada tanggal 31 Desember 2004. Dengan tidak digunakannya
plafond L/C tersebut maka Bank BNI kehilangan kesempatan memperoleh fee dari setiap
penerbitan L/C.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Apabila terjadi eksekusi atas jaminan maka hak yang dapat diperoleh Bank BNI lebih kecil dari
fasilitas kredit yang telah diberikan.
b. Bank BNI akan mengalami kerugian apabila terjadi kecelakaan terhadap barang jaminan yang
insurable.
c. Bank BNI kehilangan fee dari kegiatan ekspor impor PT SRKI.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a. Pengelola Kredit PT SRKI belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan dan kurang melakukan
upaya untuk mengamankan kepentingan Bank BNI.
b. Pengelola kredit belum maksimal memantau perkembangan usaha seperti yang diatur dalam
BPP.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
188

a. KMK yang diberikan kepada PT. SRKI berjangka waktu lima tahun karena angsuran kreditnya
disesuaikan dengan kemampuan cash flow perusahaan. Setiap tahun terhadap fasilitas tersebut
dilakukan review dan dipungut provisi kredit sebagaimana yang diberlakukan dalam KMK
yang lain (berjangka waktu satu tahun). Sesuai dengan rekomendasi Dekom, penarikan KMK
dilaksanakan dengan mekanisme LC. Dalam realisasinya tidak bisa diimplementasikan
mengingat pengadaan material impor tidak hanya dilaksanakan dengan mekanisme LC tetapi
juga dengan TT.
b. Perhitungan jaminan untuk fasilitas KI dan KMK Aflopend didasarkan pada baki debet
(maksimum kredit sesuai jadwal / setelah diperhitungkan angsuran) sehingga jaminan yang
diserahkan dinilai telah memenuhi ketentuan (total CEV 137,63%).
c. Jika dilihat dari maksimum awal kreditnya pengikatan yang telah ada belum mencukupi.
Namun apabila didasarkan pada maksimum kredit sesuai jadwal (Baki debet), maka nilai
pengikatan sebesar Rp200 milyar telah lebih 100% dari maksimum kredit yaitu sebesar
Rp184.244 juta. Untuk selanjutnya akan diupayakan nilai pengikatan jaminan sehingga dapat
mengcover kreditnya. Selanjutnya pengertian maksimum kredit pada BPP yang berkaitan
dengan jaminan akan kami kaji ulang.
d. Lampiran Daftar Kekayaan Corporate Guarantee telah dimintakan kepada PT. SRKI sesuai
surat No. OPR/5.1/1464/R tanggal 05 Juli 2005 dan akan dilakukan monitoring dalam
pemenuhannya.
e. Hal ini disebabkan dengan terjadinya krisis ekonomi th. 1998 debitur membutuhkan
pembiayaan yang tidak dapat dipenuhi oleh Bank BNI. Untuk selanjutnya akan menjadi
perhatian kami dan telah ditindaklanjuti sesuai dengan surat No. KPI/5/1680/R tgl. 14 Juli
2005.
f. PT. Asuransi Raksa Pratikara pada saat penutupan dilaksanakan masih terdaftar sebagai
rekanan Bank BNI Cf. Memo No. MAR/5/096 tgl. 26.01.2004 dan saat ini telah dimintakan
untuk di endorsement dengan mencantumkan Bank BNI sebagai Banker’s Clause. Nilai
pertanggungan dibandingkan dengan baki debet per 30 Juni 2005 sebesar Rp129.879,- juta
telah lebih dari 100%. Untuk selanjutnya akan dibicarakan kembali untuk dilakukan
penyesuaian nilai pertanggungan.
g. Akan menjadi perhatian kami agar di masa yang akan datang PT SRKI dapat lebih optimal
menyalurkan aktivitas ekspor impornya melalui Bank BNI.
BPK-RI menyarankan agar:
a. Direktur Bank BNI yang membidangi Risk Management mengkaji ulang BPP Perkreditan
yang berkaitan dengan jaminan agar tidak menimbulkan multi tafsir pada tingkat unit bisnis.
Ketentuan yang perlu direformulasi adalah masalah CEV dikaitkan dengan maksimum kredit.
Dalam hal fasilitas kredit telah ditarik, apakah CEV 100% dihitung dari maksimum fasilitas
awal kredit atau dari baki debetnya.
b. Pengelola kredit PT SRKI melaksanakan ketentuan dan melakukan upaya untuk mengamankan
kepentingan Bank BNI dan meningkatkan pemantauan perkembangan usaha seperti yang
diatur dalam BPP. Terhadap aktivitas ekspor impor yang belum maksimal disalurkan melalui
Bank BNI, pengelola kredit agar menyurati Direksi PT SRKI untuk meminta aktivitas ekspor
impor hendaknya disalurkan sepenuhnya melalui Bank BNI.
189

33. Pemberian kredit kepada PT Kresna Duta Agroindo sebesar Rp243.523,00 juta berisiko
tinggi dan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
PT Kresna Duta Agroindo (PT KDA) didirikan pada tanggal 29 Oktober 1985 sesuai Akta
Notaris Willy Silitong, SH No.69. PT KDA bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit berikut
industri pengolahannya dengan kantor pusat di Plaza BII Menara II Lantai 28 Jl. MH Thamrin Kav
22 Jakarta.
Pemegang saham mayoritas (99,90)%) adalah PT Smart dari saham seluruhnya
Rp201.000,00 juta. PT Smart merupakan group Sinar Mas (SMG) sehingga secara otomatis
PT KDA adalah group Sinar Mas dengan susunan pengurus antara lain Franki Oesman Widjaja
sebagai Komut, John Ferdinand Pandelaki sebagai Komisaris, Muktar Widjaja sebagai Dirut,
Simon Lim dan Arthur Tahya sebagai Direktur Perusahaan.
PT KDA melalui surat No.030/CF/EM/02-04 tanggal 16 Februari 2004 mengajukan
permohonan kredit sebesar US$25,000.00 ribu, terdiri atas fasilitas kredit refinancing
US$20,000.00 ribu dan KMK sebesar US$5,000.00 ribu Selanjutnya, pada tanggal 2 April 2004,
dengan surat No.068/CF/EM/04-04, PT KDA mengajukan permohonan tambahan fasilitas kredit
sebesar US$5,430.00 ribu sehingga menjadi US$30,430.00 ribu. Permohonan tersebut disetujui
dengan keluarnya Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) No.KPS/2/210/R tanggal 17
Desember 2004 sebesar US$25,219.40 ribu untuk refinancing pinjaman kepada pihak terkait
dengan perusahaan sebesar Rp198.053,00 juta dan refinancing pembangunan pabrik PKS dengan
kapasitas 15 ton TBS/jam sebesar US$1,919.41 ribu (eq. Rp16.315,00 juta dalam Laporan
Keuangan 31 Maret 2004) dan US$3,430.00 ribu untuk pembangunan PKS dengan kapasitas 30
ton TBS/jam.
Outstanding kredit PT KDA per tanggal 30 April 2005 adalah sebesar US$22,940.40 ribu
dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Pemenuhan CEV Jaminan menurut IPK tanggal 25 Mei
2004 adalah CEV Controlled 88% dan CEV Total 104%.
Dalam pemeriksaan atas berkas kredit PT KDA diketahui hal-hal sebagai berikut:
a.Kredit diberikan kepada PT KDA, sedangkan anggota group lainnya mempunyai kredit
bermasalah pada Bank BNI dan pihak lain
Permohonan kredit PT KDA diproses melalui MAK No Pak: AK/4/17 tanggal 21 Mei
2004, akan tetapi analisa tersebut tidak mengungkapkan adanya kredit yang bermasalah pada
SMG. Selanjutnya Dekom dengan surat No.DK/111 tanggal 7 Juli 2004 memberikan
tanggapan atas penyediaan fasilitas kredit PT KDA, dengan menyampaikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Meminta Direksi agar track record debitur (single obligor: Sinar Mas Group) dimasa lalu
diteliti kembali.
2) Sebagaimana diketahui dalam daftar debitur Write off bulan Maret 2004 yang diterbitkan
oleh Divisi Kredit Khusus (KKS), bahwa APP Global Finance (APPGF) sebagai salah satu
dari anggota SMG mempunyai tunggakan kredit macet (hapus buku) di Bank BNI Cabang
London dan Singapore masing-masing sebesar USD5 juta dan USD10 juta. Kedua fasilitas
tersebut telah dihapus buku sejak tahun 2002 dan selama ini belum ada recovery yang
diterima oleh Bank BNI.
Sehubungan dengan hal tersebut Dekom berpendapat bahwa keputusan Direksi untuk
memberikan fasilitas kredit kepada PT KDA sebesar USD25,12 juta mengandung resiko yang
190

sangat tinggi karena dalam analisis kredit tidak mengungkap performance kredit SMG a/n
APPGF di Bank BNI yang pada saat ini berada pada kolektibilitas macet (hapus buku).
Pengungkapan itu akan sangat berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan kredit
dimaksud. Oleh karena itu Dekom meminta agar keputusan pemberian kredit kepada PT KDA
untuk sementara ditangguhkan terlebih dahulu, memprioritaskan penyelesaian pinjaman hapus
buku a/n APPGF.
Menanggapi surat Dekom, Direksi Bank BNI menjelaskan perihal fasilitas Kredit atas
nama SMG di Bank BNI dengan No.DIR/460 tanggal 9 Agustus 2004 sebagai berikut:
1) Perusahaan dalam SMG yang telah memperoleh fasilitas kredit dari Bank BNI adalah
PT Sinar Kencana Inti Perkasa, PT Sumber Indah Perkasa, PT Sinar Wisata Permai.
Fasilitas kredit ketiga debitur tersebut dalam golongan lancar.
2) Perusahaan-perusahaan lain yang tergabung dalam SMG yang telah memperoleh fasilitas
kredit dari Bank BNI dan telah dihapus buku adalah sebagai berikut:
a) PT Global Agronusa Indonesia (PT GAI).
PT GAI bergerak dalam bidang usaha perkebunan pisang Cavendish untuk ekspor
yang terletak di daerah Galela, Tobelo, Maluku Utara. Pada saat hapus buku posisi
pinjaman adalah sebesar US$9,542.54 ribu dan Rp27.614,49 juta. Outstanding
pinjaman per 31 Maret 2004 adalah sebesar US$8,065.44 ribu dan Rp20.935,26 juta.
Selanjutnya sesuai Akte No. 15 tanggal 11 Desember 2002 pemegang saham (100%)
PT GAI adalah PT Ivo Mas Tunggal dari nilai saham sebesar Rp454.268,00 juta.
Sedangkan susunan pengurus PT GAI sesuai akta tersebut antara lain Franky Oesman
Widjaya selaku Komut, John Ferdinand Pandelaki dan Arthur Tahya selaku
Komisaris, Mukhtar Wijaya selaku Dirut dan Simon Lim selaku Direktur. Dari data
diatas terlihat bahwa beberapa pengurus PT GAI juga merupakan pengurus PT KDA.
b) Asia Pulp & Paper Global Finance (III) Cayment Limited (APPGFI).
APPGFI tergabung dengan perusahaan Asia Pulp & Paper (APP) yang merupakan
divisi di Grup Sinar Mas yang bergerak dalam bidang pulp and paper industry,
didirikan oleh APP Global Limited yang bertujuan untuk memperoleh dana segar di
pasar uang dan pasar modal Internasional. APPGFI memperoleh fasilitas berupa
penerbitan surat berharga berupa Floating Rate Notes (FRN) sejumlah US$15,000.00
ribu dari total USD638,000.00 ribu yang dibeli Bank BNI Cabang London dan
Singapura senilai US$15,000.00 ribu yang diterbitkan pada tanggal 17 April 1997
dengan jangka waktu 5 tahun (s/d April 2002). Adanya permasalahan likuiditas,
supply pulp yang berlebihan dan penurunan tajam harga pulp dunia menyebabkan
pembayaran bunga dari APPFGI tersendat dan kemudian diumumkan dalam keadaan
standstill (gagal bayar) pada tanggal 9 April 2001. Dari tanggal tersebut hingga
sekarang tidak ada pembayaran bunga atau pelunasan pokok. Eksposure fasilitas FRN
sebesar US$10,000.00 ribu telah dihapusbuku oleh Bank BNI Singapura pada bulan
Oktober 2002 dan sebesar US$5,000.00 ribu telah dihapusbuku oleh Bank BNI
Cabang London pada bulan Juni 2002. Sejak APP dinyatakan standstill pada April
2001, dibentuk beberapa group yang mewakili kepentingan kreditur, salah satunya
adalah bondholder group diwakili perusahaan Amerika yaitu Bingkam Dana LLP.
Sampai saat analisis pemberian kredit kepada PT DP, belum ada kesepakatan dan
sedang dilakukan negosiasi mengenai tata cara pelunasan kewajiban APP yang
191

melibatkan para lender, agent dari APP. Selanjutnya sesuai informasi dari prospektus
APPGFI yang disampaikan Bank BNI cabang Singapura diketahui bahwa pemegang
saham APPGFI adalah APP Global Limited yang dimiliki oleh keluarga Widjaya.
Dalam prospektus tersebut juga dijelaskan bahwa Dewan Direksi APP telah membetuk
komite penasehat (advisory committee) yang dipimpin oleh Teguh Ganda Wijaya
(Komut PT DP).
c) Obligasi PT Sinar Mas Multiartha (PT SMM) I
Nominal obligasi sebesar Rp500.000,00 juta dengan jangka waktu 5 tahun (11 April
1997 sampai dengan 10 April 2002). Nilai obligasi yang belum terselesaikan hingga 8
Juni 2004 adalah Rp35.100,00 juta (belum termasuk bunga dan denda).
Selanjutnya, Dekom dengan surat No. DK/0178 tanggal 29 November 2004
menyampaikan bahwa Dekom tetap berpendapat bahwa pemberian kredit kepada SMG
mengandung resiko yang sangat tinggi mengingat terdapat beberpa perusahaan yang menjadi
anggota group usahanya masih memiliki tunggakan kredit macet (hapus buku) di Bank BNI.
Oleh karena itu agar pemberian kredit kepada SMG dilakukan dengan pertimbangan yang
matang dan sangat hati-hati serta terlebih dahulu memprioritaskan penyelesaian pinjaman
hapus buku atas nama APPGF dan PT GAI tanpa ada kerugian bagi Bank BNI.
Terhadap pendapat Dekom diatas, langkah yang telah dan akan dilakukan adalah
sebagai berikut:
1) Terhadap fasilitas APPGF cfm. Radisi tanggal 25 Agustus 2004 telah diputus bahwa
direksi setuju untuk menjual paper milik Sinar Mas senilai 30%.
2) Terhadap PT GAI, fasilitas kredit yang telah hapus buku tersebut telah didudukkan dalam
Perjanjian Kredit Restrukturisasi pada tanggal 21 Juli 2001.
Sedangkan informasi lisan pada bulan Mei 2005 diketahui bahwa fasilitas kredit
PT GAI ternyata masih tercatat secara extra comptable, yang menunjukkan bahwa fasilitas
PT GAI masih dikategorikan dalam kredit macet yang dihapus buku. Sehingga pemberian
fasilitas kredit kepada PT KDA mempunyai resiko yang cukup tinggi, karena perusahaan grup
SMG mempunyai kredit bermasalah di Bank BNI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 10 butir 10.3
yang menyebutkan Walupun Bank Indonesi tidak melarang pemberian kredit kepada
Perusahaan atau perorangan yang namanya tercantum dalam Daftar Kredit Macet/Penarik Cek
kosong (Black List), namun Bank BNI tetap melarang pemberian kredit kepada debitur baru
(calon debitur) yang perusahaannya atau nama pengurus/ pemilik/pemegang kuasa/ penjamin/
penanggungjawabnya tercantum dalam Daftar Kredit Macet/ Penarik Cek kosong (black list).
Larangan tersebut tidak berlaku untuk debitur kelolaan BPPN.
b.Jumlah fasilitas KI yang diperoleh PT KDA sebesar USD28,649,400.00 belum dapat
diyakini kewajarannya
Pada tanggal 4 Mei 2004 dengan surat No.083/CF/EM/05-04 PT KDA mengubah
komposisi fasilitas kredit sehingga menjadi sebagai berikut:
Fasilitas Proposal
Sebelumnya
(dalam ribu US$)
Proposal Baru
Tranche A
-Kredit Refinancing 20,000.00 23,300.00
192

- Kredit Modal Kerja 5,000.00 1,700.00
Sub total 25,000.00 25,000.00
Tranche B
- Kredit take over pinjaman Bank Mandiri 5,430.00 5,430.00
Total 30,430.00 30,430.00
Selanjutnya PT KDA menyerahkan Laporan Studi Kelayakan Pengembangan Usaha
Melalui Pembayaran Hutang Afiliasi Serta Pengajuan Kredit Refinancing yang disusun oleh
PT Ujatek Baru dengan nomor laporan No.NA-2004-029A tanggal 18 Maret 2004 antara lain
menyebutkan bahwa PT KDA merencanakan akan melakukan pengembangan usaha dan
refinancing (pengalihan hutang) ke Bank BNI sebesar US$20,000.00 ribu untuk investasi dan
US$5,000.00 ribu untuk modal kerja dan berdasarkan hasil analisa keuangan Perseroan,
rencana tersebut masih layak.
Dari laporan studi kelayakan tersebut diketahui bahwa fasilitas yang layak diterima
oleh PT KDA adalah sebesar US$20,000.00 ribu untuk KI dan US$5,000.00 ribu untuk KMK.
Sedangkan menurut Divisi Korporasi Satu dengan surat No.KPS/2/p.188 tanggal 7 Desember
2004, diketahui bahwa fasilitas kredit PT KDA merupakan kredit Bank Mandiri sebesar
US$1,919.41 ribu (eq. Rp16.315,00 juta) atas pembiayaan pembangunan PKS berkapasitas 15
ton TBS/jam serta refinancing pembiayaan dari pihak terkait sebesar Rp168.053,00 juta. Dari
usulan surat tersebut diatas, keperluan kredit PT KDA diubah dari keperluan take
over/pengambilalihan kredit menjadi refinancing PKS. Usulan tersebut mendapat persetujuan
direksi Bank BNI dengan fasilitas maksimum KI sebesar US$28,649.40 ribu yang ditetapkan
dalam PK tanggal 22 Desember 2004.
Persetujuan Direksi Bank BNI atas fasilitas PT KDA sebesar US$28,649.40 ribu tidak
dapat diyakini kewajarannya, karena melebihi jumlah fasilitas kredit yang layak diberikan dan
kemampuan PT KDA untuk memenuhi kewajiban KI sesuai studi kelayakan PT KDA. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemberian fasilitas KI kepada PT KDA kurang memperhatikan
prinsip kehati-hatian sehingga mempunyai resiko yang cukup tinggi karena pemberiannya
melebihi nilai yang sewajarnya. Terlebih lagi dengan tidak direalisasikannya KMK maka PT
KDA akan mendapat kesulitan dalam modal kerja dan dapat mempengaruhi tingkat
produktivitasnya.
Tidak diserahkannya studi kelayakan untuk fasilitas KI sebesar US$28,649.40 ribu
tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 08 butir 08.2.a yang menyatakan
bahwa pembuatan Feasibility Study (FS) oleh konsultan, diwajibkan bagi kredit investasi
dengan maksimum sebesar Rp5 Milyar ke atas (keputusan CPC No.61 tanggal 31 Maret 1998).
c.Nilai hak tanggungan lebih kecil dari maksimum kredit
Tanah yang dijaminkan PT KDA telah diikat hak tanggungan sebesar Rp216.306,00
juta. Nilai pasar aktiva tetap sesuai laporan PT Asian Appraisal Indonesia No.AAI2003-217/C
tanggal 20 Agustus 2003 adalah sebesar Rp483.123,00 juta. Sedangkan maksimum kredit yang
diterima PT KDA per 31 Desember 2004 adalah sebesar US$28,649.40 ribu eq. Rp243.523,00
juta. Dari hal tersebut diatas diketahui bahwa nilai taksasi lebih tinggi dari maksimum kredit,
tetapi nilai pengikatan jaminan lebih kecil dari maksimum kredit.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05 Hal 1 butir
5.a.1 perihal besarnya nilai pengikatan Hak Tanggungan untuk Kredit Langsung ditetapkan
193

sebagai berikut dalam hal nilai taksasi jaminan lebih besar dari maksimum kreditnya, maka
nilai pengikatan hak tanggungan minimum sebesar maksimum kreditnya.
d.PT KDA belum mempunyai ijin AMDAL
PT KDA mengajukan KI untuk pembangunan PKS dengan kapasitas 15 ton/jam.
Sehubungan dengan lingkungan disekitar pabrik maka PT KDA wajib menyerahkan ijin
AMDAL dari instansi yang berwenang. Dari pemeriksaan diketahui bahwa PT KDA belum
mempunyai ijin AMDAL meskipun fasilitas telah disetujui bahkan telah dilakukan penarikan.
Hal itu tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 05 butir 05.1.e yang
menyatakan bahwa Persyaratan umum suatu permohonan kredit adalah AMDAL (Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan) bagi perusahaan nasabah/ calon nasabah yang usahanya
diperkirakan mempunyai dampak sensitif. yang tinggi terhadap lingkungan, maka fasilitas
kredit hanya dapat dipertimbangkan apakah perusahaan tersebut mempunyai ijin AMDAL dari
instansi yang berwenang.
Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT KDA berpotensi menjadi
kredit bermasalah apabila fasilitas tersebut tidak diawasi secara ketat.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a. Divisi Korporasi dan KPK belum sepenuhnya menjalankan ketentuan yang dituangkan dalam
BPP.
b. Dalam memberikan persetujuan kredit kepada PT KDA, Direksi Bank BNI cenderung
mengabaikan rekomendasi dari Dekom.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a.Fasilitas kredit kepada PT.KDA sebesar USD28,649.40 ribu memang berisiko tinggi, namun
untuk menekan resiko tersebut kami telah melakukan langkah-langkah sebagaimana yang telah
dituangkan sebagai persyaratan dalam SKK / PK yaitu permasalahan FRN atas nama APP sudah
diselesaikan dengan pihak BNI dan sumber penyelesaiannya bukan berasal dari fasilitas kreditnya
dan penyelesaian kredit bermasalah a.n PT GAI harus tetap dipatuhi sesuai dengan PK
restrukturisasi yang telah dilaksanakan. Terkait dengan fasilitas kredit PT.GAI
penghapusbukuannya dilakukan karena force majeur (Kebun dirusak masa) tetapi pemegang
saham (PT. Ivo Mas Tunggal) telah menyatakan komitmennya untuk tetap menyelesaian secara
aplopend sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan fasilitas FRN pada cabang London & Singapore
dihapus buku karena pada saat FRN jatuh tempo thn 2002 ybs tidak dapat membayar
kewajibannya, sebagai akibat turunnya harga pulp dunia. Sejak saat itu FRN menjadi tidak
bernilai.
b.Pemberian fasilitas KI tersebut didasarkan pada evaluasi internal BNI atas kemampuan keuangan
PT. KDA yang sumber datanya mengacu pada :
1)Laporan studi kelayakan PT. Ujatek Baru tanggal 18 Maret 2004 mengenai rencana KI
refinancing sebesar US$20,000.00 ribu dan modal kerja sebesar US$5,000.00 ribu.
2)Laporan studi kelayakan PT. Piesta Dinamika tanggal 2 Mei 2002 mengenai KI pabrik
kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 30 ton TBS/jam sebesar US$3,978.20 ribu.
3)Laporan studi kelayakan PT.Piesta Dinamika tgl 6 Mei 2002 mengenai KI PKS dengan
kapasitas 15 ton/jam sebesar US$2,292.21 ribu.
194

Dalam perkembangannya PT.KDA dengan surat No.083/CF/EM/05-04 tgl. 4 Mei 2004
mengajukan permohonan KI sebesar US$28,730.00 ribu yang merupakan perubahan
komposisi sebagian dari KMK menjadi KI, dan setelah dianalisa jumlah tersebut dapat
disetujui oleh KPK BNI.
c.Jika dilihat dari maksimum awal kreditnya, pengikatan yang telah ada belum mencukupi. Untuk
selanjutnya akan diupayakan nilai pengikatan jaminan sehingga dapat mengcover kreditnya.
Selanjutnya pengertian maksimum kredit pada BPP yang berkaitan dengan jaminan akan kami
kaji ulang.
d.PT. KDA dalam menjalankan aktivitas usahanya telah memperhatikan aspek lingkungan dan
telah dilengkapi dokumen-dokumen antara lain Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan
Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) PT. Kresna Duta Agroindo tahun 1995, 1996 dan 1997.
AMDAL dilakukan secara bertahap dan PT. KDA telah melakukan kerjasama pembuatan
AMDAL yang lengkap dengan Universitas Jambi pada tanggal 7 Maret 2005. Laporan dan izin
AMDAL tersebut diperkirakan akan selesai di bulan September 2005.
BPK-RI menyarankan agar:
a. Divisi Korporasi dan KPK mematuhi dan menerapkan sepenuhnya prosedur pemberian kredit,
terlebih terhadap calon debitur yang pengurusnya telah diidentifikasi tercatat sebagai debitur
kredit macet, maka hal tersebut harus dihindari.
b. Direktur Bank BNI yang membidangi Risk Management mengkaji ulang BPP Perkreditan
yang berkaitan dengan jaminan agar tidak menimbulkan multi tafsir pada tingkat unit bisnis.
Ketentuan yang perlu direformulasi adalah masalah CEV dikaitkan dengan maksimum kredit.
Dalam hal fasilitas kredit telah ditarik, apakah CEV 100% dihitung dari maksimum fasilitas
awal kredit atau dari baki debetnya.
34. Pemberian fasilitas Usance L/C sebesar US$200,000.00 ribu kepada PT Sumber Segara
Primadaya belum sepenuhnya sesuai dengan kebijakan pemberian kredit Bank BNI
PT Sumber Segara Primadaya (PT SSP) didirikan berdasarkan Akta Pendirian No. 65
tanggal 12 Mei 2003 oleh notaris Hilda Sari Gunawan, SH. PT PT SSP bergerak dalam bidang
perdagangan, perindustrian, pertambangan dan jasa.
Berdasarkan Berita Acara RUPS LB tanggal 14 Januari 2004 pemegang saham PT SSP
adalah PT Sumber Energi Sakti Prima (PT SESP) dan PT Pembangkit Jawa Bali (PT PJB) masingmasing
sebesar 51% dan 49%. Sedangkan pengurus PT SSP antara lain Dewi kam sebagai Komut
dan Achmad Ilham Rasyid sebagai Dirut. Susunan pemegang saham PT SESP adalah Mohammad
Abdullah Jasin sebesar 70% dan Bakti Santosa Luddin 30%. PT PJB bergerak dalam bidang
ketenagalistrikan berdasarkan prinsip industri dan niaga yang sehat. Berdasarkan Akta No. 34
tanggal 20 Pebruari 2001 PT PJB dimiliki oleh PT PLN (Persero) sebesar 99,98% dari nilai saham
sebesar Rp6.000,00 juta.
PT SSP dengan surat No. 093/Presdir-S2P/VI/03 tanggal 23 Juni 2003 mengajukan
permohonan fasilitas usance L/C untuk menjamin pembayaran kepada Chengda atas pembelian
mesin-mesin pembangkit listrik senilai US$408,000.00 ribu dalam rangka pembangunan dua unit
power plant di Cilacap Jawa Tengah dengan kapasitas masing-masing sebesar 300 MW. Fasilitas
195

usance L/C kepada PT SSP diberikan sebesar US$200,000.00 ribu dan didudukkan dalam
Perjanjian Pembukaan Usance L/C No. 52 tanggal 25 Oktober 2004. Kemudian pada tanggal 27
Oktober 2004 BNI telah menerbitkan usance L/C atas nama PT SSP sebesar maksimum
US$200,000.00 ribu.
Outstanding kredit PT SSP tanggal 28 Juli 2005 adalah sebesar Rp1.860.000,00 juta dengan
kolektibilitas Lancar (Gol. I). Jaminan yang diserahkan PT SSP posisi tanggal 27 Oktober 2004
adalah sebesar Rp2.057.725,00 juta atau total CEV 110,63% seluruhnya merupakan CEV
Controlled. Jaminan tersebut belum termasuk mesin-mesin, equipment/peralatan dan instalasi
pembangkit listrik yang dimiliki PT SSP sebesar US$510,000.00 ribu yang taksasinya akan
dilakukan setelah proyek selesai. Sampai dengan proyek selesai asuransi terhadap proyek instalasi
PT SSP masih menjadi tanggung jawab pihak Chengda.
Dari pemeriksan lebih lanjut terhadap dokumen dan proses pemberian usance L/C PT SSP
dketahui hal-hal sebagai berikut :
a. Proses pemberian fasilitas usance L/C belum sepenuhnya sesuai dengan kebijakan
pemberian kredit Bank BNI
Berdasarkan review terhadap MAK No. ARK/3/029 tanggal 22 Juni 2004, diketahui hal-hal
sebagai berikut :
1) Pemberian fasilitas usance L/C sebesar US$200,000.00 ribu belum sesuai ketentuan
CPC 98 tgl 9 Januari 2004
Dari proyeksi keuangan yang dilakukan oleh RM diketahui bahwa CR selama
periode analisa (tahun 2001 s.d tahun 2004) belum memenuhi ketentuan minimal CR BNI,
yaitu sebesar 1,2 kali. CR baru terpenuhi pada tahun 2012. Sedangkan ketentuan DER
maksimum sebesar 2,75 kali baru terpenuhi tahun 2009, dengan data sebagai berikut :
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
CR 0,10 0,10 0,05 0,20 0,21 0,19 0,20 0,30 0,68 1,20
Selisih CR dari Keten.
min sebesar 1,2 kali -1,10 -1,10 -1,15 -0,99 -0,99 -1,01 0,00 -0,90 -0,52 0,00
DER 1,73 3,14 4,56 5,26 3,99 2,85 1,97 1,20 0,84 0,76
Selisih DER dari Keten.
maks sebesar 2,75 kali -1,02 0,39 1,81 2,51 1,24 0,10 -0,78 -1,55 -1,91 -1,99
Melalui MAK tersebut diatas RM berpendapat terhadap pelanggaran financial tersebut di
atas agar dimintakan terlebih dahulu persetujuan exception dari Pejabat KPK. Terhadap
permohonan persetujuan exception tersebut kemudian disetujui oleh pejabat KPK.
Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan CPC No. 98 tanggal 9 Januari 2004 yang
mengatur persyaratan untuk pemberian kredit kepada calon debitur existing yang
menyebutkan antara lain menyebutkan bahwa “Penyimpangan financial covenant hanya
diperkenankan sampai dengan 20%, tetapi harus dicover dengan syarat lainnya (jaminan)
yang lebih kuat dan proyeksi 3 tahun harus menunjukkan pemenuhan persyaratan financial
covenant akan dapat dipenuhi”.
2) Permohonan fasilitas usance L/C PT SSP tidak dilengkapi dengan AMDAL
196

Berdasarkan MAK tanggal 22 Juni 2004 diatas diketahui bahwa permohonan
PT SSP belum dilengkapi dengan AMDAL. Perijinan AMDAL merupakan suatu hal yang
harus dipenuhi oleh PT SSP untuk melakukan kegiatan usahanya, mengingat bidang usaha
yang dikerjakan yaitu PLTU dengan bahan baku batubara yang merupakan sumber
pencemaran atmosfir. Pemenuhan ijin AMDAL tersebut berkaitan dengan kelangsungan
hidup perusahaan, karena apabila perusahaan melakukan pelanggaran atas ketentuan yang
berlaku maka terdapat kemungkinan sebagian atau keseluruhan ijin usaha dicabut dan
mengakibatkan terhentinya kegiatan usaha perusahaan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP BNI Bab I, Sub Bab A, Sub-Sub 05 mengenai
persyaratan umum suatu permohonan kredit, yang mengatur legalitas perusahaan yang
menyebutkan antara lain bagi perusahaan nasabah/calon debitur yang usahanya
diperkirakan mempunyai dampak sensitif yang tinggi terhadap lingkungan, maka fasilitas
kredit hanya dapat dipertimbangkan apabila perusahaan tersebut mempunyai ijin AMDAL
dari instansi yang berwenang.
Kondisi tersebut diatas menunjukan bahwa Pejabat KPK dalam memberikan
persetujuan fasilitas kredit kepada PT SSP belum sepenuhnya mempertimbangkan ketentuan
atau persyaratan yang telah diatur dalam CPC dan BPP BNI mengenai ketentuan dan syaratsyarat
di dalam memberikan kredit.
Berkaitan dengan pemberian exception tersebut, dalam Buku Pedoman Perkreditan
(Buku I) untuk Wholesale dan Middle Market, disebutkan bahwa yang tidak dapat diberikan
exception hanya persyaratan laporan keuangan audited. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa yang dapat diberikan exception dalam proses pemberian kredit Bank BNI mencakup
hal yang sangat luas, dalam arti bahwa selain laporan keuangan audited tidak ada yang tidak
mungkin untuk diberikan exception sepanjang disetujui oleh Direksi. Seperti PT SSP yang
mana sesuai dengan ketentuan intern tidak dapat diberikan fasilitas kredit karena ada ketentuan
dalam pemberian fasilitas kredit yang tidak dapat dipenuhi oleh PT SSP diberikan exception
oleh Direksi Bank BNI.
Sebagaimana disebutkan pada SE BI No.27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 perihal
kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan Bank bagi Bank umum,
disebutkan bahwa materi dalam pedoman perkreditan adalah bersifat minimal. Penegasan
bahwa ketentuan pedoman perkreditan bersifat minimal tersebut mencerminkan bahwa Bank
harus hati-hati (prudent) agar kredit yang diberikan lebih aman, memberikan pendapatan yang
optimal dan dapat terhindar dari kemungkinan risiko yang lebih besar.
Melihat demikian luasnya aspek exception yang dapat diberikan, hal tersebut
bertentangan dengan SE BI No.27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 yang meminta bahwa
materi dalam pedoman perkreditan bersifat minimal. Dengan luasnya aspek exception yang
dapat diberikan tersebut, maka pengendalian intern perkreditan menjadi longgar dan
dikhawatirkan meimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab karena adanya vested interest tertentu dalam pemberian kredit.
b. Penerbitan fasilitas usance L/C sebesar US$200,000.00 ribu belum mendapat
persetujuan seluruh Pejabat KPK
PT SSP dengan surat No. 093/Presdir-S2P/VI/03 tanggal 23 Juni 2003 mengajukan
permohonan fasilitas usance L/C sebesar maksimum US$50,000.00 ribu untuk menjamin
197

pembayaran kepada chengda untuk pembelian mesin-mesin pembangkit listrik senilai
US$408,000.00 ribu. Selanjutnya terhadap kekurangan fasilitas penjaminan yang lainnya akan
dilakukan secara sindikasi dengan Bank lain. Permohonan tersebut dianalisa dalam MAK No.
ARK/3/029 tanggal 22 Juni 2004. Melalui MAK tersebut diatas diketahui bahwa RM
mengusulkan persetujuan pemberian fasilitas usance L/C sebesar US$50,000.00 ribu.
Kemudian Pejabat KPK melalui Formulir IPK No. KPS/2/030 tanggal 28 Juni 2004
menyetujui pemberian usance L/C sebesar US$100,000.00 ribu dan dilaksanakan secara
sindikasi. Nilai yang disetujui tersebut lebih besar dari nilai L/C yang dimohonkan oleh PT
SSP dan yang diusulkan oleh RM yaitu sebesar US$50,000.00 ribu. Alasan Pejabat KPK
memberikan persetujuan melebihi usulan RM antara lain karena nilai L/C yang disetujui oleh
Pejabat KPK belum melampai BMPK, fasilitas L/C tersebut akan menambah pendapatan fee
bagi Bank BNI dan analisa cash flow yang dilakukan telah memperhitungkan seluruh
kewajiban PT SSP. Selanjutnya melalui SKK No. KPS/2/137/R tanggal 27 Agustus 2004
persetujuan tersebut disampaikan kepada PT SSP dengan maksimum fasilitas L/C sebesar
US$200,000.00 ribu dengan ketentuan share Bank BNI setingi-tingginya sebesar
US$100,000.00 ribu, sisanya ditawarkan kepada Bank -Bank atas dasar Best Effort.
Dari pemeriksaan yang dilakukan diketahui bahwa Bank BNI telah menyampaikan
penawaran kepada PT Bank Mandiri (PT BM) dengan surat No. KPD/3/1502 tanggal 10
September 2004 dan telah melakukan serangkaian pertemuan segi tiga antara BNI, PT BM dan
PT SSP untuk membahas rencana pembiayaan sindikasi tersebut. Namun PT BM dengan surat
No. CBG.CPD/Syndication.287/2005 tanggal 18 Pebruari 2005 akhirnya menolak
keikutsertaan mereka dalam pembiyaan L/C tersebut. Berdasarkan hasil konfirmasi dengan
PT BM tanggal 27 Juni 2005 diketahui bahwa alasan penolakan tersebut disebabkan Direksi
PT BM tidak setuju dengan pemberian fasilitas tersebut antara lain karena jangka waktu
fasilitas melebihi waktu 360 hari yang menurut PT BM pola pembayaran yang cocok adalah
SBLC dan waktu yang terlalu mendesak sehingga tidak dimungkinkan melakukan analisa yang
cermat.
Kemudian PT SSP dengan surat No. 232/Presdir-S2P/X/2004 tanggal 22 Oktober
2004 memohon agar Usance L/C sebesar US$200,000.00 ribu dapat diterbitkan tanggal 25
Oktober 2004, dengan alasan pihak suplier mesin di China sudah mendesak agar L/C segera
diterbitkan. Selanjutnya Divisi Korporasi Satu dengan surat No. KPS/2/P.160 tanggal 25
Oktober 2004 mengusulkan kepada Direktur Korporasi agar L/C sebesar US$200,000.00 ribu
atas nama PT SSP dapat diterbitkan. Usulan tersebut disetujui Direksi Korporasi, dengan
pertimbangan adanya cover dana PT PJB sebesar US$100,000.00 ribu yang sifatnya
sementara, apabila debitur telah memperoleh pembiyaan dari Bank lain maka cover dana dari
PJB tersebut akan ditarik. Selanjutnya pada hari yang sama, pemberian fasilitas tersebut
didudukkan dalam Perjanjian Pembukaan Usance L/C (PPLC) No. 52 tanggal 25 Oktober
2004. Persetujuan dari Direksi yang lain baru diperoleh satu hari setelah PPLC dibuat yaitu
tanggal 26 Oktober 2004, akan tetapi tidak terdapat persetujuan dari Diretur Utama.
Berdasarkan BPP Buku I, Bab II, Sub Bab I, Sub-Sub Bab 02, antara lain diatur
bahwa dalam rangka menyetujui atau menolak usulan modifikasi fasilitas kredit merupakan
wewenang Pejabat KPK sesuai dengan kewenangannya. Mengingat besarnya nilai fasilitas
yang diberikan kepada PT SSP maka kewenangan memutus fasilitas tersebut seharusnya
sampai Direktur Utama.
198

Pada tanggal 26 Oktober telah dilakukan pengikatan Akte Gadai terhadap setoran
dana (Giro) dari PT PJB. Berdasarkan BPP Buku III-a, Bab III, Sub Bab G, Sub-Sub Bab 01
antara lain dijelaskan bahwa giro/deposito/tabungan yang diblokir, dianggap sebagai Marginal
Deposit (Uang Jaminan). Selanjutnya Divisi Korporasi Satu melalui telex tanggal 26 Oktober
2004 kepada Bank BNI Cabang Surabaya meminta agar segera memblokir rekening Giro atas
nama PT PJB sebesar US$100,000.00 ribu sebagai jaminan atas pembukaan usance L/C
sebesar US$200,000.00 ribu dengan jangka waktu dua tahun. Kemudian pada tanggal 26
Oktober 2004 terhadap rekening giro PT PJB tersebut telah dilakukan pemblokiran oleh Bank
BNI Cabang Surabaya. Usance L/C atas nama PT SSP sebesar maksimum US$200,000.00 ribu
diterbitkan pada tanggal 27 Oktober 2004.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa Usance LC atas nama PT SSP tersebut
merupakan fasilitas kredit tidak langsung Bank BNI sebesar US$200,000.00 ribu dan giro
PT PJB sebesar US$100,000.00 ribu merupakan jaminan dari fasilitas tersebut dan dilihat dari
nilai fasilitas yang diberikan seharusnya fasilitas usance L/C tersebut harus mendapat
persetujuan dari seluruh Direksi Bank BNI.
Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa persetujuan pemberian fasilitas
Usance LC kepada PT SSP sebesar US$200,000.00 ribu belum mendapat persetujuan dari
seluruh Pejabat KPK. Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan BPP BNI Bab II, Sub Bab A,
Sub-Sub Bab 04 yang mengatur kewenangan memutus kredit dalam negeri yang antara lain
menyebutkan bahwa pemberian fasilitas kredit dengan nilai fasilitas diatas Rp200.000,00 juta
merupakan kewenangan seluruh Direksi.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Pemberian kredit kepada PT SSP menjadi lebih berisiko.
b. Pemberian fasilitas usance L/C belum dapat dipertanggungjawabkan
Kondisi tersebut terjadi karena :
a. Pejabat KPK dalam memutus persetujuan permohonan usance L/C kepada PT SSP sesuai SKK
No. KPS/2/137/R tanggal 27 Agustus 2004 belum sepenuhnya mematuhi ketentuan atau
persyaratan yang telah diatur dalam CPC dan BPP BNI mengenai ketentuan dan syarat-syarat
di dalam memberikan kredit.
b. Kebijakan Direktur Korporasi dalam memberikan persetujuan pembukaan L/C sebesar
US$200,000.00 ribu belum memperhatikan BPP tentang kewenangan memutus kredit.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Pembukaan usance L/C sebesar US$200,000.00 ribu yang dijamin dengan dana nasabah
sebesar US$100,000.00 ribu dapat kami jelaskan bahwa pada saat proses analisa kredit
dilakukan memang besarnya CR & DER berlum memenuhi ketentuan. Namun demikian CR &
DER tersebut diberikan persetujuan khusus dengan pertimbangan proyek ini adalah proyek
nasional yang strategis dan sangat vital bagi jaringan PLN Jawa Bali. Disamping itu prospek
usaha ini cukup baik karena of takernya 100% adalah PLN. Selanjutnya pada saat awal proses
analisa kredit memang belum ada AMDAL. Namun demikian dalam perkembangannya
AMDAL diperoleh pada tanggal 15 Desember 2004 dengan Kep.Gubernur Jateng No.
671.1/10/2004.
199

. Pembukaan usance L/C sebesar US$200,000.00 ribu sesuai ketentuan seharusnya diputus oleh
KPK semula. Namun dalam pelaksanannya hanya diputus oleh Direktur Sektor (Dir.KP)
karena tidak menambah resiko kredit. Selanjutnya akan dimintakan pengesahan ke KPK.
BPK-RI menyarankan agar:
a. Pejabat KPK dalam memutus fasilitas usance L/C atau kredit mematuhi dan menerapkan
sepenuhnya persyaratan baik yang diatur dalam BPP Perkreditan maupun yang diatur dalam
CPC. Kekurangtaatan terhadap ketentuan tersebut akan menempatkan bank pada risiko yang
lebih besar.
b. Pejabat KPK mulai Pemimpin Divisi kebawah dalam mengusulkan suatu modifikasi fasilitas
kredit hendaknya mematuhi dan menerapkan sepenuhnya ketentuan sebagaimana diatur dalam
BPP Perkreditan Buku I, Bab II, Sub Bab I, Sub Sub Bab 02 dan tidak mengambil jalan pintas
untuk suatu alasan karena proses persetujuan harus segera diperoleh. Dalam hal pemegang
kewenangan KPK sampai pada level Direktur Utama, maka lembar persetujuan kredit yang
harus disiapkan dalam MAK juga sampai level Direktur Utama.
35. Pemberian kredit kepada PT Pupuk Iskandar Muda dengan outstanding sebesar
Rp427.094,00 juta mengandung risiko tinggi
PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) merupakan BUMN yang didirikan berdasarkan Akta
No.54 Notaris Soelaeman Ardjasasmita SH tanggal 24 Pebruari 1982 dan bergerak dalam bidang
industri kimia yang menghasilkan pupuk urea dan ammonia. PT PIM berkantor Pusat di Jl. Medan
Banda Aceh Lhokseumawe, Aceh Utara dan Kantor Perwakilan di Jl. Bangka Raya 107 Jakarta
sedangkan pabrik PT PIM (PIM-1 dan PIM-2) di areal seluas 323 hektar terletak di wilayah Zone
Industri Lhokseumawe (ZILS) di desa Krueng Geukueh, Kabupaten Aceh Utara, Propinsi NAD.
Berdasarkan Akta No. 90. tanggal 20 Nopember 2000 pemegang saham PT PIM yaitu PT
Pusri Palembang sebesar 99,99% dan Yasasan Kesejahteraan Karyawan PIM sebesar 0,01% dari
nilai saham sebesar Rp412.626,00 juta. Sedangkan pengurus PT PIM berdasarkan Risalah
RUPSLB tanggal 15 Juli 2004 dan 28 September 2004 antara lain Ir. Benny Wachyudi, MBA
sebagai Komut dan Ir. Hidayat Nyakman, MSIE, MA sebagai Dirut perseroan.
Produksi komersial dimulai pada tanggal 1 April 1985. Pembangunan PIM-1 tahun 1983
dibiayai oleh KI konsorsium yaitu Bank BNI, BRI dan BDN dan telah dilunasi pada tanggal 5
Nopember 1999. Selanjutnya PT PIM membangun PIM-2 yang didukung KI Sindikasi dengan
peserta Bank BNI, Bank Mandiri dan BRI yang direncanakan beroperasi pada tahun 2005.
Outstanding kredit posisi tanggal 31 Mei 2005 adalah sebesar eq. Rp427.094,00 juta dengan
kolektibilitas Lancar (Gol. I). CEV Controlled jaminan sebesar Rp482.926,00 jua dan total CEV
sebesar Rp744.990,00 juta dengan porsi Bank BNI (40%) kecuali piutang dagang (100%) untuk
menjamin fasilitas KMK Bank BNI. Penilaian Aktiva tetap terakhir per 1 Maret 2005 oleh PT
Sucofindo Appraisal Utama, sedangkan pertanggungan polis asuransi sebesar US$139,179.00 oleh
PT Asuransi Parolamas sampai dengan 2 Pebruari 2006.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap pemberian kredit PT PIM diketahui adanya
permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
a.Pemberian KI untuk pembangunan proyek PIM-2 sebesar Rp233.993,00 juta dan
US$10,964.00 ribu berisiko tinggi
200

Sesuai memo No.HLB/4/217 tanggal 20 Pebruari 1998 Direksi telah menyetujui
pemberian ijin prinsip pembiayaan PIM-2 dengan total Project Cost sebesar US$308,112.77
ribu sesuai Studi Kelayakan oleh konsultan PT Satyatama Graha Tara yang dibuat bulan Maret
1997. Semula proyek tersebut merupakan crash program pemerintah, mengingat kapasitas
produksi PIM-1 yang berada pada lokasi yang sama dengan proyek PIM-2 telah terpakai
secara optimal, sementara hasil analisa juga menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan
pupuk urea dan ammonia dipasar domestik maupun internasional. Untuk memberikan
kepastian pemberian kredit oleh Bank BNI, maka Memorandum of Understanding (MoU)
antara BNI dengan PT PIM ditandatangani tanggal 17 Juni 1998. Proyek PIM-2 mulai
dibangun pada bulan Nopember 1998 yang diperkirakan selesai tahun 2001 dan kegiatan
komersial direncanakan dimulai pada tahun 2002. Pembangunan proyek sempat mengalami
penundaan sejak 18 Desember 1999 selama 6 bulan sehubungan kondisi keamanan di Aceh
yang tidak menentu. Hal tersebut berdampak pada peningkatan biaya proyek sehingga studi
kelayakan PIM-2 direvisi oleh konsultan yang sama sehingga total Project Cost PIM-2 menjadi
sebesar US$332,205.82 ribu.
Kondisi keamanan dan politik di Aceh pada saat pembangunan PIM-2 belum
sepenuhnya normal, namun sesuai pengarahan Pemerintah RI kepada pihak manajemen
perusahaan rencana pembangunan proyek tersebut tetap diteruskan, hanya saja pelaksanaan
pembangunannya mengalami kemunduran dari jadwal yang telah direncanakan. Dalam notulen
pertemuan Direksi Bank BNI dengan Direksi PT PIM tanggal 4 Mei 2000 dibicarakan
kepastian rencana pelaksanaan pembangunan Proyek PIM-2. Dari hasil keputusan RUPS PT
Pusri, pembangunan PIM-2 akan tetap dilanjutkan sesuai keputusan Pemerintah RI dan
tuntutan rakyat setempat. Sesuai keputusan pemerintah RI maka tanggung jawab keamanan
akan dikoordinasikan dengan pemerintah pusat (Kapolri), yang didalam pelaksanaannya akan
dipisahkan antara pengamanan operasional dan pengamanan politik. Sedangkan Bank BNI
akan berpartisipasi dalam pembiayaan proyek PIM-2 sepanjang secara teknis feasible serta ada
jaminan keamanan dan politik dari Pemerintah dan pembiayaan proyek PIM-2 akan ditempuh
dengan Sindikasi beberapa Bank. Dengan surat No.KPI/4/168/R tanggal 15 Desember 2000
telah disetujui KI untuk proyek PIM-2 dengan pembiayaan secara sindikasi dimana Bank BNI
bertindak sebagai Lead Manager dengan fasilitas KI Pokok sebesar Rp412.218,00 juta dan
US$22,467.00 ribu sedangkan KI IDC sebesar Rp172.766,00 juta dan US$4,943.00 ribu,
dengan porsi pembiayaan:
(dalam juta Rupiah dan ribu
US$)
Pembiayaan BNI (40%) Pembiayaan Bank Lain (60%) Total
(Rp) (US$) (Rp) (US$) (Rp) (US$)
KI Pokok 164.887,00 8,987.00 247.331,00 13,480.00 412.218,00 22,467.00
KI-IDC 69.106,00 1,977.00 103.660,00 2,966.00 172.766,00 4,943.00
Total 233.993,00 10,964.00 350.991,00 16,446.00 584.984,00 27,410.00
Disposisi terhadap kredit tersebut baru akan dilakukan setelah ada kepastian dari Bank
sindikasi.
Kondisi keamanan dan politik di Aceh pada saat pembangunan PIM-2 tidak
sepenuhnya normal. Hal tersebut terlihat selama pembangunan proyek PIM-2 berlangsung
telah mengalami tiga kali penghentian/penundaan, karena adanya gangguan keamanan yaitu
201

tanggal 18/12/1999 s.d. 10/07/2000; tanggal 27/11/2000 s.d. 05/2/2001 dan tanggal 28/4/2001
s.d. 18 /09 / 2001. Kejadian penghentian pembangunan PIM-2 tersebut dapat terulang setiap
saat karena kondisi keamanan di Aceh yang kurang baik, menimbulkan tingkat resiko yang
tinggi bagi kegiatan usaha yang berada di wilayah tersebut, sementara dipihak lain gangguan
tersebut tidak dapat sepenuhnya dikendalikan oleh Pemerintah.
Dengan surat No.IJK/5/00991/R tanggal 2 April 2002 Bank-Bank sindikasi akhirnya
memutuskan untuk memberikan KI sindikasi kepada PT PIM, dimana Bank BNI sebagai
Arranger dan facility Agent serta PT Bank Mandiri sebagai agen jaminan dengan porsi
sebagai berikut:
(dalam juta Rupiah dan ribu US$)
Bank KI Pokok KI- IDC Sub Total KI Pokok KI-IDC Sub Total
(Rp) (Rp) (Rp) (US$) (US$) (US$)
Bank Mandiri 176.883,00 74.108,00 250.991,00 13,480.00 2,966.00 16,446.00
Bank BNI 164.887,00 69.106,00 233.993,00 8,987.00 1,977.00 10,964.00
Bank BRI 70.448,00 29.552,00 100.000,00 0 0 0
Total 412.218,00 172.766,00 584.984,00 22,467.00 4,943.00 27,410.00
Persetujuan fasilitas sindikasi tersebut didudukkan dalam PK Investasi Sindikasi No.19
tanggal 5 April 2002, dengan jangka waktu kredit 10 tahun 3 bulan sejak PK ditandatangani
termasuk masa tenggang selama 2 tahun 9 bulan. PK Investasi sindikasi tersebut telah
mengalami empat kali perubahan, diantaranya dengan merestrukturisasi kewajiban bunga yang
dibebankan kedalam KI IDC menjadi 100% s/d bulan Maret 2005 dari yang diatur sebelumnya
sebesar 65%. Perubahan PK sindikasi terakhir dengan No.58 tanggal 18 Maret 2005. Fasilitas
KI sindikasi tersebut telah dicairkan seluruhnya, khusus Bank BNI Rp164.887,00 juta dan
US$8,987.00 ribu.
Dalam perjalanan waktu performance kredit PT PIM berpotensi bermasalah
disebabkan antara lain :
1) Kondisi yang cukup rawan di Aceh bisa menimbulkan gangguan keamanan yang
berdampak terhentinya kegiatan pabrik dapat terjadi lagi di masa mendatang.
2) Kelangkaan pengadaan gas alam sebagai bahan baku utama, karena adanya kebijakan
Pemerintah dimana supply gas alam didominasi penjualan ekspor yang memberikan harga
lebih tinggi. Kondisi ini dapat berdampak industri pupuk tutup, karena tidak ada pasokan
gas alam.
3) Produksi komersial pabrik PIM-2 diperkirakan baru bisa dimulai bulan Mei 2005 setelah
proyek pembangunannya sempat tertunda berkali-kali.
Dari hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pembiayaan proyek PIM-2 sejak awal
pembangunan yang paling signifikan adalah permasalahan risiko gangguan keamanan yang
dapat menghentikan pembangunan proyek PIM-2, sedangkan setelah proyek selesai dapat
menghadapi kesulitan pemasokan bahan baku gas alam.
b.Pemberian KMK untuk pabrik PIM-1 sebesar Rp100.000,00 juta berisiko tinggi
Dengan surat No.U-234/PIM/DIR/J/VIII/2001 tanggal 31 Agustus 2001 PT PIM
mengajukan permohonan KMK sebesar maksimum Rp100.000,00 juta terdiri dari, KMK
Permanen sebesar Rp50.000,00 juta dan KMK Transaksional sebesar Rp50.000,00 juta untuk
tambahan modal kerja. Dari MAK No.ARK/4/072 tanggal 24 September 2001 diketahui
202

ahwa PT PIM pernah mengajukan permohonan KMK untuk pabrik PIM-1 kepada Bank BNI
tetapi tidak disetujui dengan alasan terhentinya seluruh aktivitas produksi pabrik PIM-1 sejak 9
Maret 2001 sebagai akibat penghentian pasokan bahan baku gas dari PT Exxon Mobil
Indonesia Inc. yang disebabkan gangguan keamanan oleh gerakan separatis. Setelah
penghentian pasokan gas selama 5 bulan, pada tanggal 18 September 2001 PT PIM mulai aktif
produksi lagi namun yang bersangkutan harus menanggung kerugian yang cukup besar.
Likuiditas hanya mencukupi untuk kegiatan operasional sampai minggu kedua bulan Oktober
2001. Tambahan modal kerja tersebut juga diperlukan karena dana perusahaan telah terserap
untuk proyek PIM-2 akibat belum tersedianya KI sindikasi. Karena alasan tersebut yang
bersangkutan mengajukan KMK sebesar Rp100.000,00 juta untuk digunakan :
1) Operasional perusahaan sebesar Rp50.000,00 juta termasuk US$1,000.00 ribu untuk
membayar tagihan gas dari PT Exxon Mobil (pembayaran Oktober 2001).
2) Membayar kewajiban PPh Badan tahun 2000 termasuk bunga dan gaji 1.129 pegawai.
Sedangkan dari performance keuangan PT PIM s/d 31 Agustus 2001 mengalami penurunan
sebagai akibat terhentinya aktivitas produksi, sehingga perusahaan menderita rugi.
Dari analisa resiko diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Ratio CR dan DER tidak memenuhi ketentuan Bank , dimana CR sebesar 0,53 kali
dibawah ketentuan minimal 1,30 kali, sedangkan DER sebesar 2,39 kali berada di atas
ketentuan maksimal 2,25 kali. Dengan posisi covenant tersebut, klasifikasi perusahaan
turun dari B menjadi C.
2) Credit Risk Rating (CRR) dan Customer Credit Rating (CCR) adalah masing-masing 5B.
Lokasi usaha PT PIM yang berada pada daerah rawan keamanan maka dilakukan
penyesuaian menjadi masing-masing 6B (early warning dengan dua pelanggaran
covenant).
3) Dari jaminan diketahui total CEV masih terdapat kekurangan 29,65%, sehingga belum
memenuhi ketentuan Bank .
Atas hal-hal tersebut diusulkan diberikan exception dengan pertimbangan PT PIM selama
berhubungan dengan Bank dinilai baik, sedangkan kondisi keuangan perusahaan lebih
disebabkan oleh situasi politik dan keamanan yang tidak dapat diprediksi dan dikuasai oleh
PT PIM dan bahkan Pemerintah RI. Semua pejabat KPK akhirnya menyetujui pemberian
kredit melalui IPK No.PAK:KPI/3/057/R tanggal 11 Oktober 2001 dengan beberapa pendapat
pejabat KPK antara lain;
1) Permasalahan yang paling signifikan PT PIM adalah risiko keamanan pemasokan bahan
baku gas, untuk mengatasi permasalahan tersebut PT Pusri Palembang bersedia
mengeluarkan Parent Company Guarantee, sehingga keamanan kredit lebih terjamin.
2) PT PIM adalah BUMN sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akan
diperoleh solusi terbaik.
Akhirnya persetujuan kredit kepada debitur disampaikan dengan surat No.KPI/3/138/R tanggal
30 Oktober 2001 berupa KMK Non Transaksional Rp50.000,00 juta yang didudukkan dalam
PK No.2001/KPI/57 tanggal 2 Nopember 2001 untuk tambahan modal kerja pabrik PIM-1
jangka waktu 12 bulan sejak tanggal 2 Nopember 2001 s/d tanggal 1 Nopember 2002 dan
KMK Transaksional Rp50.000,00 juta yang didudukkan dalam PK No.2001/KPI/58 tanggal 2
Nopember 2001 untuk pembayaran kewajiban PPh Badan tahun 2000 (termasuk bunga)
203

jangka waktu 12 bulan sejak tanggal 2 Nopember 2001 s/d tanggal 1 Nopember 2002 dan
tidak dapat diperpanjang kembali.
Dari persetujuan atas pemberian fasilitas KMK terhadap PT PIM di atas dapat
disimpulkan bahwa pemberian kredit berisiko tinggi karena:
1) Fasilitas KMK yang disetujui dikhawatirkan digunakan untuk keperluan pembiayaan
investasi proyek PIM-2.
2) Kredit disetujui dalam keadaan beberapa persyaratan financial covenant belum memenuhi
ketentuan Bank.
c.Persetujuan kredit PT PIM sebesar Rp100.000,00 juta dilakukan sebelum mendapat
pertimbangan konsultasi dari Dewan Komisaris Bank BNI
Fasilitas kredit kepada PT PIM disetujui oleh Pejabat KPK melalui Formulir IPK No.
PAK:KPI/3/057/R tanggal 11 Oktober 2001. Persetujuan tersebut kemudian diteruskan ke
PT PIM tanggal 30 Oktober 2001. Fasilitas KMK Non Transaksional Rp50.000,00 juta
didudukkan dalam PK No.2001/KPI/57 tanggal 2 Nopember 2001, sedangkan KMK
Transaksional Rp50.000,00 juta didudukkan dalam PK No.2001/KPI/58 tanggal 2 Nopember
2001. Surat konsultasi Direksi Bank BNI kepada Dekom atas kredit tersebut baru dilakukan
tanggal 22 Nopember 2001. Sedangkan tanggapan Dekom terhadap konsultasi Direksi tersebut
baru disampaikan dengan surat No. DK/086 tanggal 29 Nopember 2001. Dengan demikian
persetujuan kredit PT PIM efektif pada tanggal 30 Oktober 2001 sebelum mendapat
pertimbangan konsultasi dari Dekom.
Hal tersebut tidak sesuai dengan SK Menteri Keuangan No.S-150a/MK.017/1997
tanggal 14 Maret 1997 dan BPP Perkreditan Bab II Sub Bab D Sub Sub Bab 04 point 05 yang
mengatur bahwa dalam pemberian kredit dengan jumlah Rp50.000,00 juta ke atas baik kredit
investasi maupun kredit modal kerja harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan Dekom
masing-masing dengan ketentuan tidak dilakukan pemecahan terhadap suatu usulan proyek.
Kondisi tersebut belum sesuai dengan :
a. Undang-undang No.7 tahun 1992 pasal 2 yang menyebutkan bahwa Perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian
dan Pasal 8 yang menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit Bank umum wajib
mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya
sesuai dengan yang diperjanjikan.
b. Buku I Bab II Sub Bab D Sub Sub Bab 04 point 5 Pemberian kredit baru dan/atau tambahan
kredit sebesar maksimum Rp50 milyar keatas harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada
komisaris sebagaimana diatur dalam surat Menteri Keuangan No.S-150a/MK.017/1997 tanggal
14 Maret 1997.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Pemberian kredit kepada PT PIM meningkatkan resiko BNI
b. Bank BNI tidak memperoleh penyelesaian kredit tepat waktu.
c. Dewan Komisaris Bank BNI tidak dapat mempertimbangkan secara dini terhadap kelayakan
pemberian kredit tambahan kepada PT PIM.
204

Kondisi tersebut terjadi karena Pejabat KPK lebih menekankan penilaian keberadaan
PT PIM sebagai BUMN, dengan mengecualikan persyaratan persetujuan kredit yang sehat
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Proyek yang dibiayai merupakan industri strategis yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah
RI, termasuk resiko keamanan dan ketersediaan bahan baku gas alam saat itu. Status proyek
PIM-2 saat ini telah selesai 100%, dan telah berproduksi penuh sejak 1 Mei 2005. Kondisi
keamanan di lokasi pabrik secara berangsur-angsur menjadi lebih baik, sedangkan untuk
kelangsungan pasokan gas alam saat ini secara intensif sedang dilakukan pembicaraan dengan
Pemerintah RI yang telah memberikan komitmen untuk mempertahankan keberadaan
PT PIM. Sedangkan mitigasi terhadap resiko kredit yang diberikan telah dilakukan dengan
adanya Company Guarantee dari pihak PT. Pupuk Sriwidjaja sebagai “Holding Company”
yang mewakili Pemerintah RI.
b. Fasilitas KMK maks. Rp100.000,00 juta diberikan dengan pertimbangan :
1)PT PIM membutuhkan tambahan modal kerja yang sangat mendesak karena kas yang
dimiliki hanya cukup untuk kebutuhan operasional pabrik PIM-1 sampai dengan Oktober
2001. Kondisi tersebut akibat terhentinya pasokan gas alam selama 5 bulan, yang
menyebabkan kerugian.
2)Fasilitas KI-Sindikasi untuk pabrik PIM-2 saat itu telah memperoleh kepastian dari Bank
peserta; Bank BNI, Mandiri, BRI dan Mandiri telah menyatakan kesediaannya untuk
memberikan porsi pembiayaan terbesar dan bersedia memberikan seluruh fasilitas KMK yang
diperlukan.
3)Financial Covenant berupa CR & DER serta total CEV jaminan memang belum memenuhi
ketentuan, namun dapat disetujui dengan pertimbangan bahwa proyek ini merupakan proyek
strategis dan sepenuhnya di back up oleh pemerintah.
c. SKK diterbitkan tanggal 30 Oktober 2001 sebelum dilakukan konsultasi dengan Dekom
tanggal 22 November 2001, namun realisasi penarikan kredit dilaksanakan setelah tanggapan
tertulis dari Dekom diterima tanggal 29 November 2001.
BPK-RI menyarankan agar Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan kredit kepada
PT PIM tetap menekankan persyaratan persetujuan kredit yang sehat walaupun debitur tersebut
adalah perusahaan BUMN.
36. Pemberian kredit kepada PT Adira Dinamika Multi Finance sebesar maksimal Rp750.000,00
juta belum sesuai ketentuan
PT Adira Dinamika Multi Finance (ADMF) merupakan anggota Group PT Adira
Dinamika Investindo yang didirikan tanggal 13 November 1990 berdasarkan akta notaris
Misahardi Wilamarta, SH, No.131. PT ADMF memperoleh izin usaha sebagai perusahaan
pembiayaan dari Menteri Keuangan dalam Surat Keputusan No.253/KMK.013/1991 tanggal 4
Maret 1991. Dengan diperolehnya izin tersebut maka PT ADMF dapat melakukan kegiatan dalam
bidang sewa guna usaha, anjak piutang dan pembiayaan konsumen. Pada saat ini, Perusahaan
terutama bergerak dalam bidang pembiayaan konsumen. Perusahaan berdomisili di Jalan Menteng
Raya No.21 Jakarta dan memiliki 68 cabang. Perusahaan memulai operasi komersialnya pada
tahun 1990.
205

Pemegang saham PT ADMF sesuai dengan RUPSLB tanggal 23 Juni 2004 antara lain
PT Bank Danamon Tbk sebesar 89,65% dari nilai saham Rp836,50 juta. Pengurus PT ADMF
antara lain T.Permadi Rachmat sebagai Komut dan Stanley Setia Atmadja sebagai Dirut.
Pada tanggal 22 April 2003, perusahaan memperoleh fasilitas pinjaman modal kerja yang
bersifat berulang (revolving) dari BNI. Selain mendapatkan fasilitas KMK revolving, PT ADMF
juga mendapat fasilitas KUK-Kerjasama yang merupakan portepel ritel bersifat aflopend
digunakan untuk pembiayaan penjualan kredit mobil/motor. Fasilitas KUK-Kerjasama terdiri dari
beberapa tahap, tahap tahap I, II dan III ini telah lunas. Pada tanggal 1 November 2000 telah
ditandatangani perjanjian kerjasama tahap IV No.2002/KS/003 dengan plafond kerjasama sebesar
Rp30.000,00 juta yang harus lunas selambat-lambatnya bulan Oktober 2003. Pada tanggal 14 Juni
2002 ditandatangani perjanjian kerjasama tahap V (dalam masa angsuran) No.2002/02 dengan
plafond maksimal Rp90.000,00 juta yang harus lunas selambat-lambatnya bulan Pebruari 2006.
Kemudian pada tanggal 21 April 2003 berdasarkan surat Bank No.KPI/2/038 telah disetujui
tambahan plafond kerjasama penyaluran kredit kendaraan bermotor sampai sejumlah
Rp250.000,00 juta dan telah ditandatangani perjanjian kerjasama tahap VI No.2003/04 pada
tanggal 22 April 2003. KUK Kerjasama tahap IV ini harus lunas pada bulan Oktober 2007.
Posisi fasilitas kredit yang diterima PT ADMF per 31 Maret 2005 Rp395.317,23 juta
dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Berdasarkan Analisa CEV Jaminan PT ADMF posisi per 31
Desember 2004 diketahui bahwa total CEV jaminan adalah sebesar 72,33% dari fasilitas kredit.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap dokumen kredit PT ADMF, diketahui hal-hal
sebagai berikut:
a. PT ADMF mendapatkan fasilitas kredit dari beberapa Bank
Sesuai Informasi BI tanggal 11 September 2003 diketahui bahwa selain mendapat
fasilitas kredit dari Bank BNI, PT ADMF juga mendapat fasilitas kredit dari 11 Bank lain
(Non KUK) dengan baki debet sebesar Rp509.590,00 juta dan US$2,000.00 ribu dan hampir
sebagian besar (99,02%) atau eq.Rp504.590,00 juta masuk dalam kolektibilitas 1 sedangkan
sisanya sebesar Rp5.000,00 juta atau 0,98% masuk dalam kolektibilitas 2.
Hal ini tidak sesuai dengan PK No.2002/KPI/10 pasal 18 tentang pembatasan terhadap
tindakan penerima kredit, butir 3 menyebutkan bahwa PT ADMF memperoleh fasilitas kredit
dan/atau pinjaman dari pihak lain, baik untuk membiayai kebutuhan modal kerja maupun
untuk investasi, kecuali jika pinjaman tersebut diberikan dalam rangka transaksi dagang yang
berkaitan langsung dengan usahanya.
b. Bank BNI belum melakukan pemantauan secara teratur
Dari formulir kunjungan setempat diketahui bahwa Bank BNI melakukan pemantauan
pada tanggal kunjungan terakhir 3 September 2003 dengan lokasi di Jl. Menteng Raya 21
Jakarta Pusat & Kavling Emeralda, Cimanggis.
Hal ini tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Bank BNI dengan PT ADMF
tentang penyaluran kredit kendaraan bermotor No. 2003/04 tanggal 22 April 2003 pasal 4
point 4.b menyatakan setiap 3 (tiga) bulan, petugas Bank BNI dapat melakukan rechecking
atas keberadaan BPKB yang menjadi jaminan fasilitas yang diberikan Bank BNI berdasarkan
perjanjian ini, dengan biaya akomodasi menjadi beban PT ADMF dan BPP Buku I Bab III Sub
Bab C Sub sub bab 04 point 04 menyatakan bahwa aktivitas pemantauan untuk kunjungan
setempat debitur CCR 1 s/d 5 adalah setiap semesteran.
206

c. PT ADMF belum menyampaikan laporan daftar jaminan BPKB
PT ADMF menjaminkan Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dari
kendaraan bermotor yang dibiayai sebagai pelunasan kredit pembiayaan yang diberikan oleh
Bank BNI sebesar maksimal Rp90.000,00 juta tahap V dan Rp250.000,00 juta tahap VI.
BPKB atau surat yang dapat menggantikannya sementara untuk kendaraan yang baru disimpan
oleh PT ADMF dan penyimpanan BPKB tersebut harus diadministrasikan dan disimpan
tersendiri sehingga memudahkan pengawasan oleh Bank BNI. Dari hasil pemeriksaan
diketahui bahwa PT ADMF belum membuat laporan realisasi dan perkembangan kerjasama
penyaluran kredit pada tanggal pembayaran angsuran setiap bulan dan laporan mengenai daftar
jaminan BPKB.
Hal ini tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Bank BNI dengan PT ADMF
tentang penyaluran kredit kendaraan bermotor pasal 8 (Laporan) yang menyebutkan bahwa
kantor pusat pihak kedua wajib menyampaikan secara tertulis kepada pihak pertama :
1) Laporan realisasi dan perkembangan kerjasama penyaluran kredit pada tanggal
pembayaran angsuran setiap bulan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a)Besarnya saldo pinjaman pada setiap kantor cabang pihak pertama
b)Jumlah debitur yang menunggak dan besarnya tunggakan
c)Jumlah BPKB yang dalam proses penyelesaian
d)Sisa plafond kredit pada setiap kantor cabang pihak kedua.
2) Laporan mengenai daftar jaminan BPKB yang dibiayai dengan fasilitas kredit berdasarkan
perjanjian ini berikut nama Debitur, nomor perjanjian kredit debitur, maksimum kredit per
Debitur dan outstanding kredit per Debitur.
d. Asuransi PT ADMF belum terdaftar dalam rekanan Bank BNI
Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa PT ADMF mengasuransikan jaminannya
kepada PT Adira Insurance yang jatuh tempo tanggal 31 Desember 2005 dan Mei 2006. Dari
daftar nama rekanan asuransi yang terdaftar di Bank BNI, PT Adira Insurance belum masuk
dalam daftar rekanan Bank BNI.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Bab 1 Sub Bab J Sub-Sub Bab 06 No.2 yang
menyebutkan bahwa perusahaan asuransi kerugian yang ditunjuk asuradur Bank BNI, yaitu
PT Asuransi Tri Pakarta, PT Asuransi Wahana Tata, PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Maskapai
Asuransi Indonesia dan PT Asuransi Jiwa Bank BNI Jiwasraya.
e. CEV Jaminan yang diserahkan tidak memenuhi ketentuan
Berdasarkan MAK (PAK 02/1) tanggal 30 September 2003 mengenai Analisa
Evaluasi Jaminan Kredit diketahui bahwa jaminan PT ADMF terhadap fasilitas kredit yang
sedang berjalan adalah Total CEV sebesar 77%. Selanjutnya berdasarkan Analisa CEV
Jaminan PT ADMF posisi per 31 Desember 2004 diketahui bahwa total CEV jaminan adalah
sebesar 72,33%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 yang
menyatakan bahwa Nilai CEV seharusnya 100%.
f. Asuransi PT ADMF belum mengcover jaminan yang diserahkan
Berdasarkan Laporan penilaian aktiva tetap tanggal 7 September 2004 oleh
PT Valuindo Perdana nilai jaminan insurablenya adalah sebesar Rp13.098,01 juta. Kemudian
PT ADMF mengasuransikan jaminan tersebut kepada PT Adira Insurance dengan nilai
207

pertanggungan sebesar Rp6.282,67 juta. Dengan demikian nilai pertanggungan asuransi
jaminan lebih rendah dari nilai jaminan yang insurable.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 06 butir 4.a yang
menyebutkan bahwa dalam melaksanakan penutupan asuransi, nilai pertanggungan harus
selalu disesuaikan dengan nilai sebenarnya dari barang jaminan. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah pertanggungan dibawah harga (under insured) atau diatas harga (over insured),
selain itu disebutkan pula pada butir 4.b bahwa asuransi dibawah harga adalah asuransi dengan
penutupan harga pertanggungan lebih kecil daripada harga sebenarnya.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Bank BNI akan menanggung resiko yang lebih besar apabila terjadi kerugian, penggantian
kerugian dari asuradur akan lebih kecil dari pada jumlah kerugiannya.
b. Kepentingan Bank BNI tidak sepenuhnya aman karena jaminan tidak mencukupi.
c. Efektivitas pemantauan yang dilakukan Bank BNI atas kredit yang diberikan diragukan dapat
dicapai.
Kondisi tersebut terjadi karena Bank BNI dan PT ADMF belum sepenuhnya
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Untuk periode sebelum thn 2004, debitur mendapatkan fasilitas kredit dari Bank lain tanpa
persetujuan bank BNI disebabkan karena debitur menganggap pinjaman dari Bank lain tsb
merupakan transaksi dagang yang berkaitan langsung dengan aktivitas usahanya yaitu sebagai
lembaga pembiayaan. Berdasarkan surat Bank BNI No. KPS/4/1142/R tanggal 22-04-2004,
bahwa Bank BNI telah menyetujui pembebasan/pelepasan pasal 18 Perjanjian Kredit untuk
kepentingan IPO.
b. OTS memang belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan ketentuan. Namun demikian selama
ini pemantauan dilakukan melalui laporan bulanan yang diserahkan secara teratur dan juga
melalui laporan keuangan debitur. Untuk selanjutnya pemantauan melalui OTS akan
diintensifkan lagi.
c. Daftar jaminan BPKB secara rinci memang tidak disampaikan sejak 6 (enam) bulan terakhir,
namun disampaikan setiap bulannya dalam bentuk rekap.
d. Debitur berkeberatan untuk menggunakan asuransi rekanan Bank BNI dengan pertimbangan
efesiensi biaya. Namun dalam rangka mengamankan kepentingan Bank BNI, maka telah
dibuatkan Bank er’s Clause Bank BNI.
e. Jika dilihat dari maksimum awal kreditnya, CEV jaminan yang telah ada belum mencukupi.
Namun apabila dilihat dari outstanding kredit maka CEV jaminan telah memenuhi ketentuan.
Selanjutnya pengertian maksimum kredit pada BPP yang berkaitan dengan jaminan akan kami
kaji ulang.
f. Nilai jaminan yang seharusnya ditutup asuransi adalah sebesar Rp10.975 juta, sedangkan
jumlah penutupan asuransi yang telah dilakukan adalah sebesar Rp8.950 juta. Selanjutnya
akan diusahakan agar debitur meningkatkan nilai pertanggungan asuransinya sesuai yang
seharusnya.
208

BPK-RI menyarankan agar Direksi BNI:
a. Memperingatkan Petugas Bank BNI yang ditunjuk melakukan pengecekan keberadaan BPKB
untuk melakukan pengecekan secara rutin setiap tiga bulan sebagaimana yang telah diatur
dalam Perjanjian Kerjasama No. 2003/04 tanggal 22 April 2003. Pengecekan keberadaan
BPKB tersebut sangat penting karena untuk jenis kredit kendaraan bermotor, BPKB
merupakan jaminan kredit.
b. Direktur Bank BNI yang membidangi Risk Management mengkaji ulang BPP Perkreditan
yang berkaitan dengan jaminan agar tidak menimbulkan multi tafsir pada tingkat unit bisnis.
Ketentuan yang perlu direformulasi adalah masalah CEV dikaitkan dengan maksimum kredit.
Dalam hal fasilitas kredit telah ditarik, apakah CEV 100% dihitung dari maksimum fasilitas
awal kredit atau dari baki debetnya.
c. Menginstruksikan RM yang mengelola debitur PT ADMF untuk segera mengusahakan
kekurangan nilai pertanggungan asuransi sebesar Rp2.025,00 juta dengan menyurati
PT ADMF untuk meminta pemenuhan kekurangan penutupan nilai pertanggungan dimaksud.
37. Pengelolaan kredit PT Pasaraya Tosersajaya sebesar Rp63.072,59 juta belum sesuai dengan
ketentuan
PT Pasaraya Tosersajaya (PT PTS) didirikan berdasarkan akta Notaris Drs. Gde
Ngurahrai, SH No. 9 tanggal 7 Februari 1981 di Jakarta yang bergerak di bidang retail bisnis.
Berdasarkan Akta No.95 tahun 2003 pemegang saham mayoritas (85%) adalah PT Pasaraya
Nusakarya (PT PNK) sedangkan 14% dan 1% saham sisanya dimiliki masing-masing oleh
PT Taspen (Persero) dan PT Jasa Raharja (Persero) dari nilai saham sebesar Rp190.574,13 juta.
Sementara pengurus PT PTS antara lain Abdul Muthalib selaku Komisaris Utama dan Hasim
Sumiana selaku Direktur Utama.
PT PTS memperoleh fasilitas KI sindikasi sebesar Rp376.000,00 juta yang didudukkan
dalam PK No.99 tanggal 30 September 1993, dengan rincian sebagai berikut:
(dalam juta Rupiah)
No. Nama Bank Maksimum Fasilitas Prosentase
1. BRI (leader) 115.600,00 30,74%
2. BTN 75.200,00 20,00%
3. Bapindo 75.200,00 20,00%
4. BNI 72.500,00 19,28%
5. Bank Exim 37.500,00 9,97%
Total 376.000,00 100,00%
KI tersebut digunakan untuk keperluan pembangunan Proyek Mega Pasaraya. Fasilitas KI tersebut
telah tiga kali direstrukturisasi, yaitu tanggal 10 Agustus 1998, 18 April 2000 dan 30 Desember
2002.
Selanjutnya, dari surat Bank BRI No.B.073-DIR/RPK/RKM/01/05 tanggal 27 Januari
2005 perihal rencana tindak lanjut kredit PT PTS diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Alternatif restrukturisasi yaitu penjualan Pasaraya Manggarai (harus terealisir selambatlambatnya
31 Maret 2005), penunjukan Property Manajemen dan penyerahan dokumendokumen.
b. Alternatif lain
209

Mengingat kesempatan memperbaiki performance kredit PT PTS telah diberikan kreditur
sindikasi dengan cara restrukturisasi kredit hingga tiga kali, sementara kewajiban pokok
PT PTS telah mencapai sebesar Rp390.644,13 juta dan tunggakan bunga sebesar Rp92.215,90
juta, sehingga restrukturisasi yang keempat diharapkan tidak mengalami kegagalan. Oleh
karena itu apabila syarat-syarat pada butir 1 diatas tidak dapat dipenuhi oleh PT PTS, kreditur
sindikasi akan mempertimbangan alternatif lain, diantarnya melakukan upaya penyelesaian
kredit melalui jalur hukum.
Sehubungan dengan gagalnya penjualan Pasaraya, maka diusulkan alternatif restrukturisasi
kredit. Dengan surat No.193/TSS.02/IV/05 tanggal 19 April 2005 PT PTS mengusulkan skenario
alternatif restrukturisasi dengan konsep konversi sewa. Menanggapi surat tersebut, Bank BRI
dengan surat No.B.367 – RPK/RKM/04/05 tanggal 25 April 2005 meminta PT PTS segera
menunjuk konsultan untuk melakukan penyusunan proposal restrukturisasi dengan asumsi yang
sesuai dengan kondisi perusahaan yang terakhir. Menindaklanjuti surat BRI tersebut, PT PTS
menunjuk PT Deloitte Konsultan Indonesia (DTT). Dari hasil presentasi DTT, DTT belum dapat
meyakini data yang disampaikan PT PTS sehingga proyeksi cash flow yang dihasilkan juga
diragukan tingkat keberhasilannya. Pernyatan DTT tersebut dimuat dalam surat Bank BRI
No.B.461 – RPK/RKM/05/05 tanggal 20 Mei 2005. Sampai pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005,
restrukturisasi kredit PT PTS belum disetujui.
Fasilitas PT PTS dinyatakan macet dengan surat No. KKS/3/526 tanggal 27 Agustus
2004. Sedangkan total outstanding fasilitas KI PT PTS pada Bank BNI per tanggal 31 Mei 2005
adalah Rp84.810,88 juta (outstanding pokok Rp63.072,59 juta).
Dari pemeriksaan diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Terjadi penyalahgunaan aliran kas pada PT PTS
PT PTS telah tiga kali direstrukturisasi tetapi tidak memberikan hasil seperti yang
diharapkan. Salah satu penyebab tidak tercapainya kesepakatan hasil restrukturisasi adalah
adanya penyalahgunaan aliran kas pada PT PTS. Hal tersebut diketahui dari data sebagai
berikut:
1) Dari Executive Summary PT PTS yang disusun oleh BRI (tanpa nomor dan tanggal)
diketahui bahwa saat ini PT PTS sedang mengalami kesulitan cash flow yang cukup serius
sebagai akibat dari penyimpangan penggunaan cash flow perusahaan, dimana sebagian
cash flow telah dipergunakan untuk menanggulangi kekurangan cash flow Lativi sebesar
Rp147.000,00 juta. Sejak bulan September 2003 kewajiban bunga kepada Bank Sidikasi
mulai menunggak karena sejak saat itu secara fisik cash flow dikuasai oleh para supplier
sehingga debitur tidak dapat lagi menyetorkan hasil penjualan ke escrow account. Hal ini
disampaikan langsung oleh Sdr. Abdul Latief kepada Direktur Pengendalian Kredit BRI
pada pertemuan tanggal 10 Oktober 2003. Akibatnya para supplier tidak terbayar
(terhutang) dan akumulasi hutang kepada supplier belum dibayar mencapai +
Rp145.000,00 juta.
2) Surat Working Officer Relationship Manager (WORM) No.KPD/3/03/A tanggal 18
November 2003 yang ditujukan kepada Divisi Korporasi Dua perihal
penggolongan/perubahan kredit diketahui bahwa kelangsungan usaha debitur semakin
menurun, karena :
� Faktor ekstern berupa persaingan yang semakin tajam dengan tumbuhnya pusat-pusat
perbelanjaan.
210

� Faktor intern, berupa kesulitan cash flow akibat investasi yang berlebihan yang
dilakukan oleh pemilik, antara lain pendirian stasiun Lativi dan penambahan empat
lantai gedung Pasaraya blok M eks Seibu (lantai 9 s.d 12). Hal tersebut menyebabkan
tunggakan pembayaran/hutang kepada supplier, dan mengakibatkan supplier kesulitan
modal kerja untuk menambah barang dagangan sehingga berpengaruh kepada
penjualan.
3) Kedua pernyataan diatas didukung dengan pernyataan yang terdapat dalam Laporan
Keuangan Audited tahun 2003, yaitu:
a) Piutang kepada pihak terafiliasi
Saldo piutang kepada pihak terafiliasi yaitu PT Ambhara Tharuna (PT AT), PT PNK
dan PT Alatief Corporation (PT AC) berturut-turut sebesar Rp16.253,69 juta,
Rp12.252,50 juta dan Rp5.615,57 juta atau seluruhnya sebesar Rp47.354,38 juta
dengan penjelasan sebagai berikut:
(1) Piutang kepada PT AT merupakan pinjaman yang digunakan untuk mendanai
pembangunan Hotel Ambhara. Berdasarkan perjanjian antara PT PTS dengan
PT AT tanggal 10 Maret 2003, PT AT bersedia melunasi seluruh kewajibannya
paling lambat 10 November 2003. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2003
PT AT belum melunasi kewajibannya.
(2) Piutang kepada PT PNK merupakan pinjaman yang digunakan untuk operasional
perusahaan seperti pembayaran hutang PNK ke supplier dan pembayaran
manajemen fee.
(3) Piutang kepada PT AC merupakan pembayaran terlebih dahulu oleh perusahaan
atas biaya-biaya yang merupakan beban PT AC.
Dari laporan keuangan tersebut diketahui bahwa PT PTS telah mengalirkan dananya
untuk membantu kewajiban PT AC dan PT PNK, sementara kewajiban PT PTS sendiri
terabaikan.
PT PTS seharusnya menyetorkan seluruh dana yang masuk ke rekening
penampungan sesuai perjanjian rekening penampungan No.25 tanggal 18 April 2000.
Karena keterbatasan dokumen, tidak diketahui secara jelas tentang aliran dana PT PTS
ke rekening penampungan. Akan tetapi aliran dana dari PT PTS ke PT AC dan
PT PNK telah menyalahi perjanjian tersebut, yaitu pasal 3 yang menyebutkan bahwa
dana yang ada pada rekening penampungan (escrow account) tersebut akan digunakan
menurut urutan prioritas sebagai berikut:
2.2 Pembayaran bunga dan angsuran pokok serta biaya-biaya yang timbul sehubungan
dengan pelaksanaan perjanjian kredit.
2.3 Jika masih ada kelebihan atas pembayaran tersebut akan digunakan penerima
kredit untuk pembayaran kembali yang dipercepat.
Pemberian pinjaman kepada PT AC dan PT PNK juga menyalahi Perubahan
Perjanjian Restrukturisasi atas Fasilitas Kredit Investasi dan Fasilitas Kredit Jangka
Panjang Opsi Saham Secara Sindikasi (PPRFKI & FKJPOS) No. 29 tanggal 30
September 2002, pasal 21 ayat 3 yang menyatakan bahwa selama seluruh hutang yang
timbul berdasarkan akta ini belum dinyatakan lunas oleh agen fasilitas, tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemberi kredit melalui agen fasilitas, penerima
kredit tidak boleh memberikan pinjaman baru kepada siapapun juga, termasuk kepada
211

para pemegang saham, kecuali apabila pinjaman tersebut diberikan dalam rangka
transaksi usaha yang berkaitan langsung dengan usaha penerima kredit.
Dalam pemeriksaan tidak diketahui adanya ijin tertulis dari pemberi kredit sehubungan
dengan pinjaman pada pihak terafiliasi tersebut.
b) Aktiva tetap
Saldo aktiva tetap PT PTS tahun 2003 adalah sebesar Rp803.634,84 juta,
meningkat sebesar Rp80.491,98 juta. Meningkatnya nilai aktiva tetap tersebut
sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya nilai bangunan dan perlengkapan studio
masing-masing sebesar Rp90.536,10 juta dan Rp2.298,14 juta. Penambahan bangunan
di lantai 9 s.d. 12 digunakan untuk perluasan areal perdagangan perusahaan.
Sedangkan perlengkapan studio adalah pembelian perlengkapan studio yang akan
disewakan kepada PT Lativi Mediakarya (PT LMK), pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
Dari laporan analisa anggaran arus kas yang disusun oleh DTT diketahui hal-hal
sebagai berikut:
(1) Periode kuartal I tahun 2003
Manajemen menganggarkan Rp183,00 juta untuk belanja investasi teknologi
untuk keperluan rack server dan instalasi kabel. Manajemen juga menganggarkan
sebesar Rp630,00 juta untuk keperluan peningkatan bangunan Pasaraya
Manggarai.
(2) Periode kuartal II tahun 2003
Manajemen menganggarkan Rp1.100,00 juta untuk peningkatan bangunan
Manggarai.
Dari informasi yang diperoleh, PT PTS sudah tidak menggunakan jasa DTT karena
terhambat masalah keuangan.
Investasi yang telah dilaksanakan sesuai dengan anggaran yang dibuat DTT
adalah sebesar Rp1.913,00 juta, sehingga investasi PT PTS sebesar Rp113.635,23 juta
(Rp115.548,23 juta – Rp1.913,00 juta) dilakukan tanpa laporan analisa anggaran arus
kas. Selain itu, investasi ke PT LMK juga tidak berdasarkan laporan konsultan.
Tindakan PT PTS untuk berinvestasi dalam bentuk bangunan dan peralatan
studio, tidak sesuai dengan PPRFKI & FKJPOS No.29 tanggal 30 September 2002,
pasal 21 ayat 16 yang menyatakan bahwa selama seluruh hutang yang timbul
berdasarkan akta ini belum dinyatakan lunas oleh agen fasilitas, tanpa persetujuan
tertulis terlebih dahulu dari pemberi kredit melalui agen fasilitas, penerima kredit tidak
boleh mengadakan ekspansi usaha dan/atau investasi yang nilainya melebihi ekivalen
Rp1.000,00 juta, kecuali untuk capital expenditure yang telah dianggarkan
sebagaimana tercantum dalam cashflow projection yang dibuat oleh konsultan
pengawas.
4) Formulir Laporan Pembicaraan (FLP)/ Call Memo tanggal 16 Agustus 2004.
Dari FLP diketahui bahwa Sdr. Adul Latief mengakui bahwa penyimpangan penggunaan
dana dari PT PTS antara lain ke PT LMK karena pada waktu itu izin pendirian stasiun
televisi telah diperoleh dan Bank Mandiri bersedia untuk memberikan fasilitas kredit.
Namun demikian karena kurang berpengalaman dalam bidang tersebut maka terjadi
212

kesalahan antara lain dalam hal pembelian program dan sumber daya manusia sehingga
terjadi kesulitas likuiditas.
Seluruh keterangan diatas, meliputi pernyataan Sdr. Abdul Latief, surat WORM, laporan
keuangan, dan FLP menunjukkan adanya kesalahan aliran kas. Hal tersebut merupakan salah
satu penyebab gagalnya program restrukturisasi.
b. PT PTS tidak menyetor angsuran ke Bank BNI sebesar Rp1.488,91 juta
PPRFKI & FKJPOS No. 29 tanggal 30 September 2002 pasal 11 menyebutkan bahwa
penerima kredit wajib melunasi seluruh jumlah hutang kepada para pemberi kredit selambatlambatnya
pada tanggal berakhirnya jangka waktu fasilitas KI dan fasilitas KJPOS sebgaimana
diatur pada pasal 4 akta ini, dengan jadwal angsuran KI pada bulan Maret dan Juni tahun 2005,
serta KJPOS pada bulan Juni 2005. Besarnya angsuran porsi Bank BNI yang harus disetor
untuk KI bulan Maret dan Juni masing-masing sebesar Rp340,81 juta dan KJPOS bulan Juni
sebesar Rp807,29 juta atau selruhnya sebesar Rp1.488,91 juta. Sehubungan dengan penyetoran
dana, BRI dengan surat No. B.478-RPK/RKM/05/05 tanggal 26 Mei 2004 memberitahukan
bahwa PT PTS telah menyetorkan dana sebesar Rp800,00 juta. Setoran dana tersebut belum
didistribusikan ke Bank-Bank sindikasi. BRI akan mendistribusikan sebagai pembayaran
kepada Bank-Bank sindikasi apabila:
1) Restrukturisasi disetujui, dana akan dialokasikan untuk memenuhi pembayaran kepada
kreditur Alatif Group PT PTS, PT PNK, PT AC, dan PT Alatief Nusakarya Corporation.
2) Restrukturisasi tidak disetujui, dana dialokasikan sebagai pembayaran kepada kreditur
sindikasi untuk menurunkan kewajiban PT PTS.
Sampai dengan pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005 restrukturisasi kredit IV PT PTS belum
disetujui dan setoran dana PT PTS belum digunakan untuk memenuhi kewajibannya kepada
Bank BNI. Hal tersebut menunjukkan bahwa PT PTS belum memenuhi kewajibannya sesuai
jadwal yang ditetapkan.
c. PT PTS tidak melunasi tunggakan premium sebesar Rp363,00 juta
Sehubungan dengan pembayaran premium akibat dari KJPOS, PT PTS telah
menunggak pembayaran premium sebesar Rp6.908,88 juta. Dari jumlah tersebut, hak Bank
BNI sebesar Rp986,03 juta. PT PTS sudah membayar sebesar Rp623,03 juta sehingga saldo
tunggakan premium adalah sebesar Rp363,00 juta. Sampai dengan saat pemeriksaan tanggal
27 Juni 2005 tunggakan tersebut belum dilunasi.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PPRFKI & FKJPOS No.29 tanggal 30 September
2002, pasal 6 ayat 1.a yang menyebutkan bahwa premium untuk periode bulan Juli sampai
dengan bulan Desember tahun 2002 dan periode bulan Januari sampai dengan bulan Desember
tahun 2003 ditetapkan sebesar 2% per tahun dan wajib dilunasi sekaligus pada tanggal
pembayaran premium atau selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2004.
d. Founder share holder tidak memenuhi kewjibannya
Dari portepel kredit tanggal 30 Juni 2005, PT PTS mempunyai tunggakan pokok,
bunga dan rupa-rupa berturut-turut sebesar Rp1.488,92 juta, Rp17.199,18 juta dan Rp3.050,20
juta atau seluruhnya Rp21.738,30 juta. Adanya tunggakan-tunggakan tersebut menunjukkan
bahwa PT PTS mengalami kekurangan cash flow sehingga tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Terhadap kekurangan tersebut, Tuan Abdul Latief sebagai founder share holder
tidak menutupnya.
213

Hal tersebut tidak sesuai dengan PPRFKI & FKJPOS No. 29 tanggal 30 September
2002, pasal 20 ayat 20 yang menyebutkan bahwa penerima kredit wajib menyebabkan Tuan
Abdul Latief sebagai founder share holder untuk menutup setiap kekurangan cashflow
operasional penerima kredit dalam rangka memenuhi kewajiban pembayaran hutang penerima
kredit kepada para pemberi kredit, yang untuk keperluan tersebut Tuan Abdul Latief wajib
menandatangani surat pernyataan (commitment letter) yang dibuat secara notariil.
e. Jaminan berupa tanah belum seluruhnya diikat dengan APHT
Dari 10 bidang tanah yang dijaminkan, lima bidang tanah yaitu tanah SHGB No.115
seluas 4.921m2, tanah bekas HGB No.115 seluas 368m2, tanah SHGB No.126 seluas 420m2,
tanah bekas HGB No.69 seluas 423m2 dan tanah negara/persil Matraman belakang No.38
seluas 370m2 belum diikat dengan hak tanggungan.
Hal tersebut bertentangan dengan UU No.4 tahun 1996 Bab I pasal 1 yang
menyebutkan bahwa hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar
pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
f. Beberapa Laporan Keuangan Audited terlambat disampaikan
Tanggal Laporan Keuangan Audited PT PTS tahun buku 1999, 2001 dan 2003
berturut-turut adalah 4 Nopember 2000, 8 Agustus 2002 dan 24 Agustus 2004 sehingga dapat
dikatakan bahwa laporan-laporan tersebut diserahkan setelah bulan Juni.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PPRFKI & FKJPOS No.29 tanggal 30 September
2002, pasal 20 ayat 4.a yang menyebutkan bahwa laporan keuangan tahunan (neraca dan
perhitungan laba/rugi) yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh
penerima kredit dan disetujui oleh mayoritas para pemberi kredit harus diserahkan selambatlambatnya
180 hari kalender terhitung sejak tanggal penutupan buku.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Bank BNI menanggung kerugian atas pokok kredit sebesar Rp63.072,59 juta yang macet,
karena harus membentuk PPAP sebesar 100%.
b. Kepentingan Bank BNI belum sepenuhnya aman karena ketidakcukupan pengikatan jaminan.
c. Pemantauan terhadap aktivitas keuangan PT PTS terlambat diketahui sehingga sulit mengambil
keputusan yang berkaitan dengan fasilitas kredit PT PTS.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a. Terjadi penyalahgunaan cashflow oleh PT PTS ke perusahaan yang terafiliasi.
b. Pengelola kredit PT PTS kurang optimal untuk memperoleh dan mengamankan kepentingan
Bank BNI.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Sindikasi telah berusaha untuk melakukan pengawasan dan manajemen kas dengan pembukaan
rekening penampungan dan sebagai cash management agent adalah Bank Mandiri.
214

Pengeloalaan penerimaan dan penggunaan dana PT PTS ini telah dituangkan ke dalam
Perjanjian Pengelolaan Rekening Penampungan Akta No.27 tanggal 15-08-2000. Tujuan
pembukaan rekening penampungan tersebut untuk memantau penggunaan dana PT PTS,
tetapi usaha ini tidak berhasil karena debitur tidak tidak menyalurkan dananya melalui rekening
tersebut sehingga terjadi tunggakan pembayaran bunga dan angsuran pokok.
b. BRI sebagai agen Bank Sindikasi telah melakukan penagihan secara aktif kepada debitur,
terakhir dengan surat peringatan No. B.609-RPK/RKM/06/05 tanggal 29 Juni 2005 kepada
PT PTS, yang sampai saat ini belum terlihat hasilnya. Setoran dana dari PT PTS sebesar
Rp800,00 juta pada bulan Mei 2005, bilamana sudah ada keputusan atas permohonan
restrukturisasi kredit dari kreditur sindikasi, akan didistribusikan sesuai surat BRI No.B.478-
RPK/RKM/05/05 tanggal 26-05-2005. Dari hasil rapat direktur Bank sindikasi tanggal 30-06-
2005 talah disepakati bahwa penyelesaian kredit akan diserahkan ke KP2LN.
c. Bunga premium ini merupakan tambahan pembayaran margin 3% pa. Th. 2002 dan 2003 yang
akan dibayar pada tahun 2004 melalui agen (BRI), namun mulai bulan Oktober 2003, debitur
menunggak. Sebagaimana atas tunggakan bunga, terhadap tunggakan premium ini, Agen Bank
Sindikasi telah berulang kali melakukan penagihan kepada debitur, terakhir surat peringatan ke
II dengan No. B.609-RPK/RKM/06/05 tanggal 29 Juni 2005, namun belum berhasil.
d. Kami telah meminta kepada BRI sebagai agen sindikasi melalui surat No.KKS/3/785/R tanggal
12-07-2005 untuk melakukan penagihan / teguran secara tertulis kepada Sdr. Abdul Latief
sebagai founder share holder dan sekaligus selaku personel guarantee atas kredit PT PTS
kepada kreditur sindikasi berdasarkan akte No.20 tanggal 06-10-1993.
e. Jaminan yang diserahkan telah selesai diikat Hak Tanggungan :
1)Tanah SHGB No. 115 /Pasar Manggis menjadi SHGB 706/Pasar Manggis
2)Tanah SHGB No.115/Matraman, SHGB No. 126/Pasar Manggis Jakarta Selatan, SHGB
No.69/Pasar Manggis, dan tanah negara persil matraman No.38 menjadi satu sertifikat yaitu
SHGB No.710/Pasar Manggis.
Kedua SHGB No. 706 dan 710 merupakan jaminan yang berlokasi di Pasaraya Manggarai dan
telah diikat dengan Sertifikat Hak Tanggungan No.1305/2005 tgl. 26-04-2005 sebesar
Rp.107.660 juta.
f. Dalam rapat kreditur sindikasi dengan debitur, BRI sebagai agen sindikasi telah meminta
penyerahan Laporan Keuangan audited atas nama PT PTS, vide Notulen Rapat tanggal 12-08-
2003, Surat BRI No.B1725-MNG/BUM/KUS/10/03 tanggal 21-10-2003 dan Surat BRI
No.419-MNG/BUM/KUS/03/04 tanggal 12-03-2004, yang disampaikan dengan surat BRI No.
B1334-MNG/BUM/KUS/06/03 tanggal 25-08-2003.
BPK-RI menyarankan agar Direktur Kredit Korporasi Bank BNI segera menyurati Direksi
Bank BRI selaku Lead Sindikasi, yang intinya meminta penyelesaian kredit PT PTS segera
diserahkan kepada Kantor Penyelesaian Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Selain itu Direksi
Bank BNI agar mencatat pengurus perusahaan PT PTS dalam daftar hitam (black list) intern Bank
BNI sepanjang fasilitas kreditnya belum dilunasi..
38. Penyediaan fasilitas pembiayaan Bank BNI kepada PT ANJF sebesar Rp650.000,00 juta
tidak memberikan hasil yang optimal
215

PT Austindo Nusantara Jaya Finance (PT ANJF) semula didirikan pada tanggal 3 Mei
1990 dengan nama PT Elbama Securindo (Grup Kalbe Farma) yang bergerak dibidang
perdagangan surat berharga dan penjamin emisi. Kemudian pada tahun 1993 perusahaan berganti
nama menjadi PT Elbatama Finance dengan kegiatan usahanya menjadi leasing, factoring dan
pembiayaan konsumen. Selanjutnya pada bulan Juni 2000 perusahaan diambil alih oleh Austindo
Jaya Grup dan mengubah nama menjadi PT ANJF sesuai Akte No.10 tanggal 4 Juli 2003. SH.
PT ANJF tergabung dalam holding company PT Austindo Nusantara Jaya (PT ANJ) yang bergerak
dibeberapa sektor seperti pertambangan, kelistrikan, agro bisnis (kebun sawit) dan financial
service.
Berdasarkan Akte Pernyataan Keputusan RUPS No. 7 tanggal 13 Maret 2001 oleh Notaris
Suprata, SH pemegang saham mayoritas (80,01%) PT ANJF adalah PT ANJ dari nominal saham
sebesar Rp136.000,00 juta. Sedangkan berdasarkan Keputusan Rapat No.11 tanggal 3 Oktober
2003 pengurus PT ANJF antara lain Dr. Sjakon George selaku Komut dan RC Eko Santoso
Budianto selaku Dirut perseroan.
PT ANJF merupakan salah satu dari 21 perusahaan pembiayaan hasil mapping Pengelola
Bisnis Perorangan (PBP) BNI, yang menempati peringkat ke 11 dengan predikat cukup potensial
dalam penyaluran kredit konsumtif kemitraan.
PT ANJF mendapat fasilitas kredit BNI berupa pembiayaan Kredit Kemitraan Konsumtif
(K-3) dengan pola channeling sebesar Rp500.000,00 juta dan fasilitas K-3 pola asset buy sebesar
Rp150.000,00 juta atau seluruhnya sebesar Rp650.000,00 juta sesuai Perjanjian Kerja Sama
(PKS) No.2004/014 tanggal 21 Juli 2004.. Sedangkan baki debet kredit PT ANJF per tanggal 30
Mei 2005 sebesar Rp26.674,55 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol 1), sedangkan jaminan
yang diserahkan berupa kendaraan bermotor yang pengikatannya secara fiducia.
Hasil pemeriksaan atas dokumen kredit PT ANJF, diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Penyediaan fasilitas pembiayaan kepada PT ANJF sebesar Rp650.000,00 juta tidak
memberikan hasil yang optimal dan penetapan target pembiayaan PT ANJF terlalu
optimis
Usaha pembiayaan PT ANJF untuk tiga tahun terakhir sejak tahun 2001, 2002, 2003
masing-masing sebesar Rp189.702,00 juta, Rp270.740,00 juta dan Rp489.429,00 juta dengan
tingkat pertumbuhan sebesar 42,7% dan 80,8%, dengan target yang ditetapkan pada tahun
2004 dalam permohonan pembiayaan PT ANJF meningkat sebesar 136,7% atau target
pembiayaan PT ANJF menjadi sebesar Rp1.158.500,00 juta. Pembiayaan kendaraan bermotor
oleh PT ANJF pada tahun 2001, 2002, 2003 dan 2004 masing-masing sebesar 1,518 unit,
2.371 unit, 3.822 unit dan 7.723 unit.
Berdasarkan data usaha PT ANJF diketahui bahwa segmen pasar (market share) pada
tahun 2001, PT ANJF menguasai sebesar 1,47% dan tahun 2002 sebesar 1,63% dari
pembiayaan industri multifinance. Target yang ditetapkan Gaikindo pada tahun 2003 sebesar
345.000 unit dengan realisasi sebesar 354.333 unit atau 103% dari target yang ditetapkan dan
prediksi penjualan mobil pada tahun 2004 sebesar 380.000 unit. Dengan memperhitungkan
market share PT ANJF pada tahun 2002 sebesar 1,63%, maka penetapan target pembiayaan
PT ANJF pada tahun 2004 sebesar 7.723 unit dengan tingkat pertumbuhan sebesar 136,7%
terlalu besar dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan usaha PT ANJF tahun sebelumnya
yang hanya sebesar 80,8%. Demikian pula dengan penguasaan segmen pasar PT ANJF atas
target pembiayaan tahun 2004 menjadi sebesar 2,03% (7723 unit/ 380.000 unit),
216

pertumbuhannya tersebut cukup besar dibandingkan pada tahun 2002 sebesar 1,63% atau
tahun 2001 sebesar 1,47%.
Tingginya target pembiayaan PT ANJF pada tahun 2004 tidak diikuti dengan realisasi
pembiayaan PT ANJF. Hal tersebut ditunjukkan dengan realisasi penarikan fasilitas Bank BNI
hanya sebesar Rp54.524,85 juta melalui pencairan enam tahap sejak tanggal 14 September
2004 sd 29 Nopember 2004 dari seluruh fasilitas pembiayaan yang disediakan Bank BNI
kepada PT ANJF sebesar Rp650.000,00 juta.
b. Bank BNI memberikan keringanan syarat biaya provisi menjadi 0,5% dari seharusnya
1%, kepada fasilitas pembiayaan PT ANJF
Keputusan persetujuan yang disampaikan kepada PT ANJF melalui SKK
No.PBP/5/1001/R tanggal 26 April 2004, antara lain mensyaratkan pembayaran beban provisi
kredit sebesar 1% dari maksimum kredit diluar beban bunga, proporsional dengan besarnya
penarikan kredit. Kemudian PT ANJF mengajukan peninjauan persyaratan SK K-3 dengan
surat No.087/ANJF-DUR/V/04 tanggal 14 Mei 2004, persyaratan tersebut dilakukan
perubahan sesuai surat BNI No.PBP/5/007/R tanggal 1 Juni 2004 kepada PT ANJF yang
antara lain menyetujui keringanan biaya provisi menjadi 0,5% dari maksimum kredit, diluar
beban bunga. Pemungutannya dilakukan satu kali pada awal penarikan dan besarnya
proporsional dengan nilai penarikan kredit. Persyaratan fasilitas kredit tersebut dituangkan
dalam PKS No 2004/14 sebesar Rp150.000,00 juta dan No.2004/13 sebesar Rp500.000,00 juta
pada tanggal 21 Juli 2004.
Pemberian keringanan biaya provisi untuk pembiayaan melalui pola asset buy
tersebut tidak sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan BNI Auto tanggal 29 Maret 2004 yang
mengatur bahwa biaya provisi untuk pola channeling ditetapkan sebesar 1% dan pemberian
keringanan sebesar 0,5% merupakan keputusan Divisi. Sedangkan biaya provisi untuk
pembiayaan melalui pola asset buy ditetapkan sebesar 1% dan menurut BPP BNI Bab III,
SubBab V, halaman 5 tanggal 11 Juli 1996 yang menetapkan bahwa provisi Kredit Kemitraan
sebesar 1% dari maksimum kredit. Sehingga Bank BNI kehilangan pendapatan provisi
pembiayaan asset buy sebesar Rp750,00 juta atau 0,5% dari plafond kredit sebesar
Rp150.000,00 juta.
c. Penetapan sifat kredit tidak sesuai Petunjuk Pelaksanaan PKS
SKK No.PBP/5/SKK/1001/R tanggal 23 April 2004 menetapkan sifat kredit adalah
Aflopend Revolving, demikian pula dengan PKS No.2004/13 dan No.2004/013 tanggal 21 Juli
2004 pasal 3 ayat 8 menyebutkan hal yang sama. Aflopend Revolving adalah bentuk/sifat
kredit penarikan/disponible yang tersedia akibat adanya angsuran dimungkinkan untuk ditarik
kembali dengan persetujuan tertulis dari Bank BNI.
Penetapan sifat kredit/pembiayaan BNI kepada PT ANJF dengan menggunakan
Aflopend Revolving adalah tidak sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan Kerja Sama
Pembiayaan dengan Perusahaan Pembiayaan, mengenai Ketentuan Umum point 4.E yang
menyebutkan bahwa bentuk fasilitas kredit kepada Mitra dan End User adalah Aflopend,
dengan penjelasan terhadap fasilitas kredit yang telah diangsur oleh Mitra atau End User tidak
dapat dipergunakan lagi.
d. Persyaratan masa kerja end user atas permohonan pembiayaan kepada PT ANJF belum
sesuai dengan penetapan PKS Bank BNI
217

Berdasarkan PKS No. 2004/014 tanggal 21 Juli 2004, pasal 4 point d. mengenai
kreteria End User, obyek pembiayaan dan biaya-biaya, menetapkan bahwa masa kerja End
User adalah minimal 2 tahun (pegawai aktif, dokter, professional lainnya), usaha/ bisnis telah
berjalan minimal dua tahun (untuk pengusaha/ wiraswasta). Sedangkan PT ANJF dalam
melakukan usahanya menyalurkan pembiayaan kepada End User, mensyaratkan pemenuhan
kelengkapan permohonan kredit oleh End User yang antara lain persyaratan menyerahkan
copy kartu tanda penduduk, mempunyai penghasilan tetap dan masa kerja End User minimal
satu tahun.
Penetapan syarat kredit mengenai masa kerja End User tidak sejalan dengan PKS
anatara Bank BNI dan PT ANJF, sehingga perbedaan syarat masa kerja End User tersebut
dapat menimbulkan bertambahnya resiko kredit.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a.Fasilitas kredit yang disediakan tidak memberikan pendapatan yang optimal bagi Bank BNI
b.Fasilitas kredit kepada PT ANJF mengandung resiko dari penilaian kemampuan pembayaran
kembali dari End User yang hanya ditetapkan masa kerja minimal 1 tahun.
c.Bank BNI menanggung beban PPAP komitmen sisa penarikan maksimum pembiayaan sebesar
Rp5.954,75 juta.
d.Bank BNI kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan provisi sebesar Rp750,00 juta.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a. Wakil Divisi Operasional kurang cermat dalam menilai kemampuan debitur PT ANJF untuk
menyerap fasilitas pembiayaan yang akan disalurkan.
b. Divisi PBP kurang menekankan kesesuaian syarat permohonan pembiayaan end user.
c. Direksi Kredit Ritel tidak memperhatikan ketentuan bentuk kredit sebagaimana yang telah
diatur dalam petunjuk pelaksanaan kerjasama pembiayaan
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Target pembiayaan ANJF thn 2004 meningkat sebesar 137% dibanding th.2003 (atau proyeksi
kenaikan menjadi sebesar Rp.1.158,5 M untuk 7723 unit kendaraan). Target ini cukup realistis
mengingat penjualan kendaraan roda 4 di tahun 2004 diprediksi mengalami booming.
Realisasinya dari target penjualan mobil GAIKINDO di tahun 2004 sebanyak 380.000 unit
tercapai 483.283 unit (127% dari target). Dari besarnya target yang ditentukan, dalam tahun
2004 ANJF membukukan volume pembiayaan sebesar Rp713,4 Milyar (untuk 6626 unit
kendaraan) atau 61,5% dari target (by nominal) dan 85,6% dari target (by unit). Peningkatan
volume pembiayaan ANJF tahun 2004 sebesar Rp223.940 juta hanya diback-up oleh fasilitas
channeling BNI sebesar Rp54.525 juta (24% dari margin peningkatan pembiayaan ANJF),
karena :
1)Tingkat bunga yang ditetapkan Bank BNI masih lebih tinggi dibanding tingkat bunga yang
ditetapkan oleh Bank ers ANJF lainnya.
2)Syarat dan ketentuan end user serta kriteria obyek yang dapat dibiayai Bank BNI relatif lebih
ketat dibanding persyaratan dari Bank ers ANJF lain.
3)Adanya permintaan with recourse dari Bank BNI agar ANJF melakukan talangan terhadap
tunggakan end user merupakan tambahan biaya yang sangat diperhitungkan oleh ANJF.
218

Sebagai tindak lanjutnya fasilitas kredit ANJF akan disesuaikan (diturunkan) dengan
mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan yang bersangkutan selama 12 bulan mendatang
dan klausul dalam PKS akan disempurnakan dengan melakukan addendum.
b. Keringanan provisi ditujukan agar pemanfaatan fasilitas kredit menjadi lebih optimal. Selain itu
karena kondisi Bank -Bank pesaing yang menetapkan propisi 0,25% s/d. 0,5% untuk setiap
penarikan. Kewenganan pemberian keringanan propisi telah diatur dalam ALCO tgl.27 Juli
2004.
c. Penetapan sifat kredit Aflopend Revolving hanya ditujukan untuk mitra multifinance yang
qualified dan memiliki integritas manajemen yang dinilai sangat baik. Sedangkan pemakaian
kembali disponible kredit yang ada sangat dibatasi yaitu penarikan kembali hanya dapat
dilakukan bila ada disponible pinjaman dari hasil pelunasan batch yang jatuh tempo, harus
seijin Pimpinan Divisi dan penarikan kembali dilakukan setelah hasil evaluasi Bank BNI
terhadap pemanfaatan pinjaman dinilai baik dan seluruh kewajiban diselesaikan tepat waktu.
Tindak lanjut :
o Mengingat pemanfaatan fasilitas channeling ANJF belum optimal, maka saat review
dilaksanakan (pada periode Juli 2005 ini), sifat kredit akan diubah menjadi aflopend.
o Peninjauan Juklak Kerjasama, dengan memberikan peluang kepada multifinance yang
memiliki integritas dan kredibilitas baik untuk memperoleh fasilitas channeling yang
bersifat aflopend revolving.
d. Persyaratan kredit yang ditetapkan oleh Multifinance kepada end usernya dapat berbeda dengan
persyaratan yang ditetapkan oleh Bank BNI. Perbedaan persyaratan ini tidak berarti Bank BNI
memberikan kelonggaran, melainkan hanya bersedia membiayai end user yang benar-benar
sesuai dengan ketentuan Bank BNI. Dengan kata lain bagi end user yang tidak memenuhi
persyaratan Bank BNI maka tidak dapat dibiayai oleh Bank BNI; dan biasanya oleh
multifinance dialihkan ke Bank ers lainnya.
BPK-RI menyarankan agar Direksi Bank BNI meminta:
a. Divisi Operasional untuk melakukan evaluasi kembali atas fasilitas kredit kepada PT ANJF
dan kesanggupan penyerapan kredit oleh debitur.
b. Divisi PBP untuk mengirim surat kepada PT ANJF agar dalam menyalurkan kredit kepada end
user, persyaratan yang harus dipenuhi oleh end user mengacu pada Perjanjian Kerjasama No.
2004/014 tanggal 21 Juli 2004 yang telah dibuat antara Bank BNI dan PT ANJF.
c. Direksi Kredit Ritel mematuhi dan menerapkan sepenuhnya petunjuk pelaksanaan kerjasama
pembiayaan terutama dalam menetapkan sifat kredit. Dokumen PKS No. 2004/13 dan No.
2004/013 tanggal 21 Juli 2004, agar dilakukan addendum dengan merubah sifat kredit yang
semula Aflopend Revolving menjadi Aflopend.
39. Pemberian keringanan pembayaran uang muka dan pemenuhan persyaratan administratif
atas fasilitas kredit kepada PT Oto Multiartha sebesar Rp1.300.000,00 juta belum sesuai
ketentuan
PT Oto Multiartha (PT OTMA) berdiri sejak tahun 1994 dengan nama PT Manunggal
Multi Finance dan sejak tahun 1995 nama perusahaan menjadi PT OTMA. PT OTMA merupakan
perusahaan yang bergerak dalam bidang pembiayaan khususnya pembiayaan konsumen kendaraan
roda empat. PT OTMA adalah Group Sumitomo Corporation dan beralamat di Summitmas II,
219

Lt.18 Jl. Jend. Sudirman Kav. 61-62 Jakarta 12190 dan memiliki 31 kantor cabang yang tersebar di
Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Sesuai dengan Akta Pernyataan Para Pemegang Saham Perubahan Anggaran Dasar No.65
tanggal 23 Oktober 2001 pemegang saham mayoritas (76,14%) adalah Sumitomo Corporation dari
nilai saham sebesar Rp325.000,00 juta. Susunan pengurus PT OTMA sesuai Akta Pernyataan
Keputusan Para Pemegang Saham No.52 tanggal 11 Agustus 2004 antara lain Makato Sato sebagai
Presiden Komisaris dan Djohan Marzuki sebagai Presiden Direktur.
Sesuai dengan permohonan kredit PT OTMA No.042/DIR/III/04 tanggal 8 Maret 2003,
PT OTMA menjadi debitur BNI sejak disetujuinya fasilitas kredit channeling sebesar
Rp500.000,00 juta dengan SKK No.BPB/5/SKK/003/R tanggal 18 Mei 2004 dan dituangkan
dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) No.2004/006. Kemudian dengan permohonan kredit
No.099/DIR/VIII/04 tanggal 13 Agustus 2004, PT OTMA kembali mengajukan tambahan fasilitas
sebesar Rp1.000.000,00 juta. Atas permohonan tersebut disetujui tambahan fasilitas sebesar
Rp800.000,00 juta dengan SKK No.KSN/3/021/R tanggal 10 Desember 2004 dan dituangkan
dalam PKS No.10 tanggal 14 Desember 2004.
Outstanding fasilitas kredit PT OTMA per 31 Mei 2005 adalah sebesar Rp790.059,59 juta
dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Dari pemeriksaan dokumen diketahui permasalahan sebagai berikut :
a. Terdapat pembiayaan dengan Down Payment (DP) 10% tidak sesuai ketentuan
Dari PAKS Ikhtisar Pengusulan Kerja Sama No.PBP/5/PAKS/019 tanggal 21
September 2004 perihal permohonan tambahan fasilitas kredit kepada PT OTMA sebesar
Rp1.000.000,00 juta diketahui bahwa PT OTMA memohon keringanan syarat DP
(pembayaran uang muka) (exception) atau self financing end user kepada Bank BNI dari 15%
atas mobil baru menjadi 10% dan untuk mobil bekas sebesar 20% menjadi 15%. Keringanan
DP diminta oleh PT OTMA karena untuk mengikuti persaingan pasar yang tinggi dengan
program promosi DP rendah di perusahaan pembiayaan lain. Permohonan exception tersebut
disetujui dengan Keputusan Permohonan Fasilitas KKK No.KSN/3/021/R tanggal 19
Desember 2004 dimana DP mobil baru dikenakan sebesar 10% dan DP untuk mobil bekas
tetap sebesar 20% dari total pembiayaan. Persetujuan fasilitas ini dituangkan dalam Perjanjian
Kerja Sama No.10 tanggal 14 Desember 2004. Dari hasil sampling terhadap 20 end user dari
kelompok pencairan BNI-OTO/0412/0005 tanggal 22 Desember 2004 diketahui bahwa DP
yang dilaksanakan oleh end user tetap lebih besar dari 20% dari yang disetujui sebesar 10%
untuk mobil baru atau mobil bekas 20%.
Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Self Financing End User untuk Pola
Kerjasama Channeling/Joint Financing/Executing dalam CPC No.100 tanggal 24 Mei 2004
antara lain New Car 15%, Used Car 20%, Motor Jepang 10% dimana self financing dihitung
dari total pembiayaan yaitu harga kendaraan dan asuransi.
b. Dari Laporan Hasil Pemeriksaan Kredit Kerja Sama dengan PT OTMA yang dilakukan
oleh Quality Assurance pada posisi bulan November 2004, diketahui permasalahan
sebagai berikut :
1) Pemeriksaan atas keberadaan, catatan pembayaran dan dokumen pembiayaan end
user tidak dilaksanakan sesuai perjanjian
220

Dari Laporan Hasil Pemeriksaan Kredit Kerja Sama dengan Perusahaan
Pembiayaan PT OTMA yang dilaksanakan oleh Qualiy Assurance untuk fasilitas kredit
posisi bulan November 2004, diketahui bahwa ruang lingkup pemeriksaan meliputi
pemeriksaan terhadap dokumen nasabah/keberadaan end user, dokumen jaminan/BPKB
dan catatan/administrasi pembayaran end user. Sesuai dengan perjanjian kerja sama
diketahui bahwa pemeriksaan atas keberadaan, catatan pembayaran dan dokumen
pembiayaan end user dapat dilaksanakan oleh Bank BNI minimal tiga bulan sekali, dalam
pelaksanaannya pemeriksaan baru dilaksanakan enam bulan setelah fasilitas kredit
disetujui dan dicairkan bulan Juni 2004. Sedangkan untuk pemeriksaan periode Desember
2004 sampai dengan Juni 2005 atau selama tujuh bulan belum dilaksanakan.
Hal ini tidak sesuai dengan PKS No.2004/006 Pasal 10.2.i s.d iii bahwa Bank
BNI berhak melakukan verifikasi untuk menguji keberadaan atau eksistensi debitur dan
pemeriksaan atas catatan pembayaran debitur kepada PT OTMA serta pemeriksaan seluruh
dokumen pembiayaan dan jaminan (BPKB) untuk memastikan keabsahan dokumentasi
dan sistem fiiling secara berkala minimal tiga bulan sekali dengan sampling minimum 2%
dari jumlah Debitur dengan obyek pembiayaan berupa Kendaraan Bermotor Roda Dua dan
minimum 10% dari jumlah Debitur dengan obyek pembiayaan berupa Kendaraan
Bermotor Roda Empat.
2) Terdapat jaminan BPKB yang penyelesaiannya melebihi ketentuan.
Dari Laporan Hasil Pemeriksaan Kredit Kerja Sama dengan Perusahaan
Pembiayaan PT OTMA yang dilaksanakan oleh Quality Assurance untuk fasilitas kredit
posisi bulan November 2004, atas pemeriksaan dokumen jaminan/BPKB yang disimpan di
PT OTMA diketahui bahwa sampai dengan November 2004 terdapat BPKB yang belum
dikuasai dan melebihi batas waktu yang telah ditetapkan (enam bulan) sebanyak 535 end
user. Sedangkan sampai dengan 1 Mei 2005 diketahui BPKB yang belum dikuasai dan
melebihi batas waktu enam bulan sebanyak 200 end user.
Hal ini tidak sesuai dengan PBP/7/3206 tanggal 1 Agustus 2004 Butir E.
Ketentuan Umum No.20.b yang menyatakan bahwa Pengambilalihan pengelolaan
pinjaman dimana mitra usaha (perusahaan pembiayaan) wajib melakukan pengambilalihan
kembali pinjaman end user apabila dokumen jaminan tidak ada sampai batas waktu yang
ditentukan (6 bulan), kecuali bila kelambatan dikarenakan oleh lamanya penerbitan BPKB
di kantor SAMSAT setempat yang dapat dibuktikan mitra usaha, dengan adanya resi
pengambilan BPKB.
3) Kredit di atas Rp.50,00 juta belum dilengkapi dengan copy NPWP
Dari laporan hasil pemeriksaan Qualiy Assurance sampai dengan November 2004
diketahui bahwa atas fasilitas kredit yang diberikan kepada PT OTMA dengan debitur
yang mendapat pembiayaan di atas Rp50,00 juta belum disyaratkan untuk menyerahkan
copy NPWP.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku II Bab IV Sub Bab B.11.e bahwa untuk calon
debitur/pemohon BNI Auto dengan total plafond equivalen Rp50,00 juta keatas
diwajibkan menyampaikan fotocopy NPWP.
c. Terdapat beberapa persyaratan administrasi debitur yang belum lengkap
221

Dari hasil rekapitulasi bagian Resiko Kredit atas kelompok pencairan BNI-
OTO/0412/0005 tanggal 22 Desember 2004 diketahui bahwa masih ada dokumen persyaratan
debitur yang tidak ada yaitu copy Kartu Tanda Penduduk. Sedangkan dari hasil sampling
terhadap 20 debitur dari kelompok pencairan BNI-OTO/0412/0005 tanggal 22 Desember 2004
diketahui beberapa hal yang tidak sesuai dengan persyaratan administrasi di dalam perjanjian
kredit seperti copy identitas diri, copy BPKB, copy KTP dan copy Surat Kuasa Memasang
Jaminan Fiducia belum lengkap.
Hal ini tidak sesuai dengan PKS No.10 tanggal 14 Desember 2004 Pasal 3 ayat 4 yang
menyatakan bahwa setiap akan melakukan permintaan penyaluran kredit, pihak kedua wajib
mengajukan permohonan kepada pihak pertama dengan dilampiri asli surat permohonan, copy
PK debitur, copy aplikasi, copy identitas dan perangkat persetujuan debitur, copy SKMJF, dll
serta ayat 5 yang menyatakan apabila karena suatu hal copy perjanjian kredit/dokumen kredit
lainnya belum dapat dilampirkan, maka dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja
setelah pencairan kredit pihak kedua wajib menyampaikan dokumen kredit dimaksud dengan
persyaratan pada saat pencairan kredit pihak kedua telah menyerahkan kepada pihak pertama
dokumen-dokumen berupa surat penawaran dari dealer kepada debitur, bukti penyetoran self
financing/uang muka dan bukti identitas diri.
Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI akan menghadapi permasalahan jika fasilitas
kredit end user memburuk kolektibilitasnya karena pemeriksaan belum dilaksanakan sesuai
ketentuan, adanya BPKB yang penyelesaian lebih dari enam bulan dan tidak adanya copy NPWP
end user.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a.Bank BNI menyetujui keringanan pembayaran uang muka dibawah ketentuan yang ditetapkan.
b.Bank BNI belum dapat memenuhi ketentuan untuk melakukan pemeriksaan minimal tiga bulan
sekali terhadap PT Oto Multiarha dan kurang menekan PT Oto Multiartha agar mematuhi
ketentuan Bank .
c.Bank BNI masih kurang dalam memantau persyaratan administrasi end user.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Usulan keringanan DP ini merupakan langkah antisipatif OTMA dalam menghadapi
persaingan pasar yang sangat tinggi dimana perusahaan multifinance berlomba merebut pangsa
pasar dengan memberikan berbagai kemudahan persyaratan kredit, DP ringan dan tingkat
bunga yang murah.
Namun demikian, pemberian DP new car menjadi 10% dan used car min. 15% masih
manageable dan controllable. Hal tersebut dibuktikan dari data kualitas piutang OTMA untuk
DP kendaraan ≤ 15% yang tertunggak 60 hari keatas hanya sebesar 8,4% dari total tunggakan
OTMA atau 0,5% dari total piutang OTMA per Desember 2004.
b. Laporan Hasil Kredit Kerja Sama dengan PT OTMA :
1)Pemeriksaan yang dilakukan Quality Assurance (QA – Divisi KPN) memang baru dapat
dilaksanakan pada bulan Desember 2004. Pertimbangannya adalah penyesuaian waktu dan
kondisi pekerjaan antara OTMA dengan BNI. Namun demikian, disela-sela waktu tersebut
BNI (dalam hal ini Divisi KSN) melakukan checking informal terhadap eksistensi end user
222

2)Bank BNI telah meminta kepada OTMA untuk membuy back end user yang pengurusan
BPKB-nya di atas 6 bulan.
3)Sesuai Surat Edaran BI No.28/3/UKU dan SK Dir No.28/83/Kep/DIR tgl.12.10.1995 yang
wajib menyerahkan NPWP adalah debitur diatas Rp.50 juta. Hingga saat ini rekening dibuka
atas nama PT. OTMA, dengan demikian pelaporan masih menggunakan NPWP PT. OTMA.
Untuk selanjutnya akan diperbaiki sesuai ketentuan.
c. Dokumen-dokumen wajib yang masih belum diserahkan OTMA akan segera kami mintakan
untuk dilengkapi
BPK-RI menyarankan agar Direksi BNI memperingatkan :
a. RM dalam mengelola fasilitas kredit hendaknya mematuhi dan menerapkan sepenuhnya
ketentuan yang telah ditetapkan. Pengaturan besarnya uang muka yang sudah tidak relevan
lagi dengan keadaan pasar, hendaknya dikaji ulang dan diformulasikan dalam ketentuan
yang baru dengan tetap mempertimbangkan proteksi kepentingan bank dari risiko yang
mungkin timbul.
b. Quality Assurance Bank BNI lebih maksimal untuk melakukan verifikasi secara periodik
minimal tiga bulan sekali sebagaimana yang telah diatur dalam Perjanjian Kerjasama No.
2004/006.
c. RM maksimal dalam melakukan pengawasan terhadap persyaratan administrasi debitur yang
masih kurang, seperti identitas diri, BPKB dan KTP.
40. Fasilitas pembiayaan bersama dengan PT Astra Sedaya Finance sebesar Rp2.000.000,00 juta
diputus KPK melebihi kebutuhan kredit yang tercantum dalam analisis pemberian
kreditnya sebesar Rp1.260.000,00 juta
PT Astra Sedaya Finance (PT ASF) merupakan salah satu perusahaan yang tergabung
dalam Grup Astra, didirikan berdasarkan Akte Notaris Ny. Rukmasanti, SH No. 50 tanggal 15
Juli 1982 dengan nama awal PT Raharja Sedaya. Kemudian berubah nama menjadi PT Raharja
Sedaya Finance berdasarkan akte No. 21 tanggal 5 Juli 1989 dan menjadi PT ASF berdasarkan
Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 161 tanggal 20 Desember 1990. PT ASF bergerak dalam
bidang usaha multifinance (lembaga pembiayaan) dalam bentuk kredit kepemilikan kendaraan
bermotor baik kendaraan baru maupun kendaraan bekas pakai (used car) berupa sedan, minibus,
pick up, jeep dan truck dengan jangka waktu 1 s.d 5 tahun. Fokus pembiayaan PT ASF adalah
segmen perorangan, berpenghasilan tetap, pemilik usaha mandiri. PT ASF berkantor pusat di Jln.
RS Fatmawati No. 9, Jakarta Selatan 12420 dan memiliki 24 kantor cabang yang tersebar di 17
propinsi.
Susunan pemegang saham PT ASF berdasarkan Akta Berita Acara RUPS No. 38 tanggal 4
Maret 1998 adalah PT General Electrical Asia Investment Inc, PT Astra International Tbk dan
PT Sedaya Multi Investama berturut-turut sebesar 47,00%, 44,28% dan 8,72% dari nilai saham
sebesar Rp112.830,00 juta. Susunan Pengurus PT ASF berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan
RUPS No. 4 tanggal 28 April 2003 antara lain Michael Dharmawan Ruslim selaku Presiden
Komisaris dan Gunawan Geniushardja selaku Presiden Direktur.
223

Dengan surat No. 133/Trea-AHZ/1X/03 tanggal 15 September 2003 PT ASF mengajukan
kerjasama pembiayaan bersama (joint financing) antara PT ASF dengan Bank BNI sebesar
Rp2.000.000,00 juta. Pengajuan ini ditindaklanjuti dengan MAK. No. ARK/6/006 tanggal 20
Januari 2004, IPK No. KPS/2/008 tanggal 29 Januari 2004 dan disetujui oleh Direksi dalam Rapat
Direksi (Radisi) tanggal 19 Februari 2004 yang kemudian dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama
(PKS) No. 2004/02 tanggal 23 April 2004 (dibawah tangan).
Outstanding kredit PT ASF per 31 Mei 2005 adalah sebesar Rp1.284.294,58 juta dengan
kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Hasil pemeriksaan atas berkas kredit PT ASF menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
a.Fasilitas pembiayaan bersama yang diputus KPK melebihi analisis pemberian kreditnya
Dalam MAKS tersebut diatas dijelaskan bahwa berdasarkan evaluasi kebutuhan
fasilitas pembiayaan bersama diperoleh hasil perhitungan sebesar Rp1.260.000,00 juta. Dalam
Radisi tanggal 19 Februari 2004, ternyata maksimum kredit yang diputuskan adalah sebesar
Rp2.000.000,00 juta. Pendapat yang sama disampaikan oleh Komisaris Bank BNI dengan
surat No. DK/053 tanggal 2 April 2004 Dalam notulen Radisi tersebut tidak ada penjelasan
mengenai adanya exception atas besarnya nilai fasilitas yang diberikan kepada PT ASF
tersebut.
Dengan demikian maksimum kredit yang diputuskan oleh KPK melebihi maksimum
kredit yang diusulkan. Selain itu hal tersebut tidak sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan
Kerjasama Pembiayaan dengan Perusahaan Pembiayaan Divisi Pengelolaan Bisnis Perorangan
(DPB) No. PBP/3/352 tanggal 12 Desember 2003 yang mengatur bahwa maksimum fasilitas
kredit yang diberikan melalui pola kerjasama kepada mitra adalah sebesar Rp1.000.000,00 juta
untuk satu perusahaan dan untuk maksimum di atas Rp1.000.000,00 juta diajukan melalui
exception.
b.Tingkat bunga kepada PT ASF tidak sesuai dengan ketentuan intern
Sesuai dengan SKK No. KPI/2/035/R tanggal 25 Maret 2004 diatur bahwa tingkat
bunga yang dibebankan kepada PT ASF adalah sebesar 13% per tahun (sudah termasuk
provisi). Selanjutnya sesuai surat No. 102/Tea-SHD/VI/04 PT ASF memohon penurunan
tingkat bunga karena kondisi suku bunga di pasar pembiayaan kendaraan roda empat yang
semakin kompetitif dan agar terpenuhinya target volume penjualan pembiayaan bersama
antara Bank BNI dengan PT ASF. Permohonan ini disetujui Bank BNI dengan surat Divisi
Pengelolaan Bisnis Personal No. PBP/5/1336/R tanggal 12 Juli 2004 yaitu pemberian
keringanan bunga sebesar 0,5% lebih rendah dari tingkat bunga yang berlaku saat ini.
1) Tingkat bunga (termasuk provisi) yang berlaku sebelum penurunan.
− 11,00% per tahun (fixed, untuk jangka waktu 1 tahun)
− 12,00% per tahun (fixed, untuk jangka waktu 2 tahun)
− 13,00% per tahun Ifixed, untuk jangka waktu 3 tahun)
2) Tingkat bunga (termasuk provisi) setelah diberikan keringanan menjadi sebagai berikut :
− 10,50% per tahun (fixed, untuk jangka waktu 1 tahun)
− 11,50% per tahun (fixed, untuk jangka waktu 2 tahun)
− 12,50% per tahun Ifixed, untuk jangka waktu 3 tahun)
Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan DPB No. PBP/3/352 tanggal 12
Desember 2003 bahwa suka bunga Kredit Multi Guna (KMG) kendaraan melalui perusahaan
224

multifinance adalah sebesar 14,5% per tahun, provisi dan biaya administrasi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
c.Perjanjian Kerjasama dengan PT ASF belum mencerminkan ketetentuan intern Bank
BNI
Dalam Laporan Quality Assurance kepada Pemimpin Divisi KSN No. DQA/006
tanggal 4 Februari 2005 perihal pemeriksaan on site PT ASF antara lain disampaikan bahwa
debitur (end user) perorangan yang mendapat pembiayaan diatas Rp50,00 juta belum
disyaratkan untuk menyerahkan copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selanjutnya
berdasarkan review atas PKS No. 2004/02 tanggal 23 April 2004 antara Bank BNI dengan
PT ASF tidak ada pasal yang mengharuskan debitur perorangan dengan plafond di atas
Rp 50,00 juta untuk menyerahkan copy NPWP.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku II Bab IV, Sub Bab C, Sub Sub Bab 01 yang
antara lain mengatur bahwa calon debitur mengisi Formulir Aplikasi Pemohonan Kredit yang
telah disediakan dengan melampirkan antara lain Foto copy NPWP untuk plafond equivalen
Rp 50,00 juta keatas.
Kondisi tersebut mengakibatkan :
a. Pemberian persetujuan pembiayaan bersama melebihi jumlah yang dianalisis mengakibatkan
risiko yang akan ditanggung Bank BNI akan lebih besar.
b. Bank BNI kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari bunga kredit.
Kondisi tersebut terjadi karena :
a. Analis Kredit kurang cermat dalam menganalisis besarnya pembiayaan yang diperlukan
PT ASF.
b. Direksi Bank BNI dalam memutus pembiayaan bersama dengan PT ASF hanya berorientasi
pada pencapaian target ekspansi kredit dan kurang memperhatikan limit maksimum fasilitas
kredit yang diberikan melalui pola kerjasama
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Dasar pertimbangan Radisi memutuskan Rp2.000 milliar antara lain sebagai berikut:
1)PT ASF merupakan Multi Finance yang paling sehat dan dalam tahun 2004 menargetkan
penjualan Rp7.800 milliar dengan realisasi sebesar Rp12.000 miliar sehingga dengan
kerjasama K-3 sebesar Rp2.000. miliar hanya mengambil 20% dari target pembiayaan tahun
2004.
2)PT ASF dinilai AAA oleh perfindo sehingga risiko kerjasama dengan PT ASF dinilai
rendah.
3)Dari kerjasama yang telah disalurkan sebesar Rp2.000 miliar telah dibayar lancar hingga
posisi 30 Juni 2005 sebesar Rp1.203 miliar atau telah terjadi penurunan sebesar Rp797
miliar.
Perihal perhitungan kebutuhan pembiayaan yang dilakukan oleh Divisi Analisa Risiko Kredit
(ARK) sebesar Rp1.260 miliar memuat kekeliruan, akibat adanya perbedaan persepsi dalam
menterjemahkan rumus evaluasi kebutuhan fasilitas. Revisi perhitungan telah disampaikan
kepada Dekom dengan surat DIR/237 tgl.23.04.2004. Sebagai tindak lanjut, Bank BNI akan
225

melakukan penyempurnaan perhitungan evaluasi kebutuhan fasilitas pembiayaan dan
memperbaiki sistem sosialisasi atas juklak yang dibuat sehingga mengeliminir adanya
perbedaan persepsi.
b. Pemberian keringanan bunga mengacu pada ketentuan ALCO No. TRS/8/4834 tanggal 28 Juli
2004 pada butir 4.b yang menyebutkan bahwa kewenangan pemberian keringanan tarif untuk
penyaluran kredit kendaraan bermotor melalui perusahaan multifinance hingga 1,5% berada
pada DIR KR.
c. Surat Edaran BI No.28/3/UKU dan SK Dir No.28/83/Kep/DIR tanggal 12 Oktober 1995 yang
wajib menyerahkan NPWP adalah debitur diatas Rp50,00 juta. Hingga saat ini rekening dibuka
atas nama PT ASF, dengan demikian pelaporan masih menggunakan NPWP PT ASF. Untuk
selanjutnya akan diperbaiki sesuai ketentuan.
BPK-RI menyarankan agar:
a. Direksi Bank BNI memperingatkan Analis Kredit untuk lebih cermat dalam menganalsis
kebutuhan kredit sehingga Dekom dapat memberikan evaluasi dan pertimbangan yang tepat.
b. Direksi Bank BNI dalam mengupayakan pencapaian target ekspansi kredit hendaknya
mematuhi ketentuan maksimum kredit yang diberikan melalui pola kerjasama sebesar
Rp1.000.000,00 juta.
41. Pengelolaan kredit pada PT Cahaya Sakti Furintraco dengan outstanding sebesar
Rp197.624,77 juta belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
PT Cahaya Sakti Furintraco (PT CSF) yang tergabung ke dalam Olympic Group semula
berbentuk CV yang didirikan pada tahun 1980 dan menjadi perseroan terbatas pada tahun 1983.
PT CSF bergerak dalam bidang industri furniture panel yang berlokasi di Jln. Kaumsari,
Kedunghalang, Bogor. PT CSF yang dimiliki dan dikendalikan oleh Au Bintoro dan Ny. Tan
Wellih (istri) menjadi nasabah Bank BNI sejak tahun 1981.
Outstanding kredit PT CSF posisi tanggal 30 April 2005 adalah sebesar eq. Rp197.624,77
juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Nilai taksasi jaminan PT CSF adalah sebesar
Rp304.255,00 juta dengan nilai pengikatan sebesar Rp117.536,00 juta.
Dari hasil pemeriksaan diketahui adanya permasalahan sebagai berikut :
a. CEV jaminan belum sesuai ketentuan
Dari Memorandum Money Market Line (MML) No.KPD/095 tanggal 22 Desember
2004 diketahui bahwa total CEV jaminan PT CSF hanya sebesar 92% atau masih kurang
sebesar 8% dari maksimum kredit. Selanjutnya dari MAK tanggal 1 April 2005 perihal
permohonan perpanjangan, review dan tambahan fasilitas kredit a.n Olympic Group diketahui
bahwa total CEV jaminan PT CSF meningkat menjadi 96,45% tetapi masih kurang 3,55% dari
maksimum kredit posisi tanggal 31 Maret 2005 sebesar Rp208.805,00 juta. Selain itu CEV
controlled PT CSF diketahui sebesar 45,49% atau kurang sebesar 4,51% dari kebutuhan CEV
controlled minimum.
226

Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04.5 tentang
persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur dan non debitur untuk KMK Minimum CEV
100% dan minimum CEV controlled 50%.
b. Pengikatan jaminan fasilitas kredit PT CSF belum sesuai dengan ketentuan
Dari MAK tanggal 1 April 2005 diatas diketahui bahwa jaminan yang telah diikat baru
sebesar Rp117.536,00 juta atau 56,90% dari total fasilitas kredit Group Olympic posisi 31
Maret 2005 sebesar Rp208.805,00 juta atau harus ditingkatkan minimal senilai jaminan
sebesar Rp143.798,00 juta. Sedangkan dari formulir analisa CEV & pengikatan jaminan
tanggal 31 Maret 2005 atas nama PT CSF diketahui bahwa nilai taksasi jaminan Rp304.255,00
juta dengan pengikatan jaminan hanya sebesar Rp117.536,00 juta, maka minimum terdapat
kekurangan Rp100.118,94 juta dari maksimum kredit per 31 Mei 2005 sebesar Rp217.654,94.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku I Sub Bab J Sub Sub Bab 05.05.5 Besarnya
nilai pengikatan Hak Tanggungan ditetapkan antara lain dalam hal nilai taksasi jaminan lebih
besar dari maksimum kreditnya, maka nilai pengikatan Hak Tanggungan minimum sebesar
maksimum kreditnya.
c. Terdapat pinjaman dari Bank lain tanpa sepengetahuan Bank BNI
Dari informasi Bank Indonesia (BI) No.1/1010703/DPIP/DtB/Rhs tanggal 26 Oktober
2004 diketahui PT CSF menerima fasilitas dari Bank NISP sebesar Rp516,00 juta yang
digunakan untuk leasing kendaraan/mobil operasional perusahaan. Atas fasilitas dari Bank
NISP tersebut tanpa ijin terlebih dahulu dari Bank BNI.
Hal ini tidak sesuai dengan PK No.94.182 tanggal 23 November 1994 Pasal Tambahan
ayat 7 bahwa Penerima kredit tidak diperkenankan melakukan perubahan susunan pengurus
dan pemilikan saham, melakukan pembagian deviden dan pinjaman dari Bank lain serta
lembaga keuangan non Bank termasuk untuk tambahan kredit yang dibiayai oleh Bank lain
atas nama Group Usaha PT CSMI.
d. CR dan DER dalam perjalanan kredit tidak memenuhi ketentuan
Dari pemeriksaan dokumen diketahui bahwa CR dan DER PT CSF dari tahun 1996
belum memenuhi ketentuan Bank BNI. Laporan Keuangan PT CSF merupakan konsolidasian
dengan anak perusahaan yaitu PT Bogorindo Cemerlang (PT BC) dan PT Cahaya Sakti Multi
Intraco (PT CSMI) yang masing-masing bergerak dalam bidang pembangunan kawasan
industri/penyiapan kavling di Sentul, Bogor dan distributor produk PT CSF. Dari hasil
perhitungan Bank BNI berdasarkan laporan keuangan PT CSF Konsolidasian diketahui CR
dan DER sebagai berikut:
Ket 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
CR 1,12 1,15 1,07 1,19 1,51 1,33 1,05 1.08 1,24 1,20
DER 2,57 2,53 8,83 -2,88 -3,26 -2,41 -2,63 2,33 2,59 2,19
*) tahun 2004 berupa homestatement per 30 September 2004
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa secara group PT CSF dari tahun 1999 dalam jangka
pendek mampu memenuhi kewajibannya tetapi dalam jangka panjang tidak mampu memenuhi
kewajibannya.
227

Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab G Sub Sub Bab 05.05 tentang
Debitur harus memelihara ketentuan CR dan maksimum DER untuk industri pengolahan kayu
dan kerajinan masing-masing sebesar 1,20 kali dan 2,40 kali.
e. Penyertaan kepada anak perusahaan tanpa seijin Bank BNI
Dari laporan keuangan tahun buku 2000 s.d 2003 dan home statement 30 September
2004 diketahui PT CSF melakukan penyertaan kepada anak perusahaan tanpa seijin Bank
BNI. Pada laporan keuangan PT CSF tahun buku 2000 dan 2001 diketahui terdapat
penyertaan PT CSF terhadap PT BC masing-masing sebesar Rp11.635,50 juta dan Rp9.972.74
juta. Pada laporan keuangan tahun 2002, penyertaan PT CSF kepada PT BC dan PT Cahaya
Sakti Multi Intraco (CSMI) masing-masing sebesar Rp23.708,66 juta dan Rp44.071,78 juta
sedangkan dalam laporan keuangan tahun 2003 masing-masing sebesar Rp21.467,74 juta dan
Rp49.354,09 juta. Dalam surat PT CSF No.50CSFCEO/B-SUX/XI/02 tanggal 26 November
2002 diketahui bahwa PT CSF memberitahukan kepada Bank BNI akan adanya penambahan
modal kepada anak perusahaannya, antara lain kepada PT CSMI sebesar Rp80.730,00 juta dan
PT BC sebesar Rp13.455,00 juta. Atas surat tersebut tidak diketahui jawaban persetujuannya
dari Bank BNI.
Hal ini tidak sesuai dengan PK No.026/DKS/PK/2000 tanggal 16 Mei 2000 pasal 18.f
bahwa tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Bank, Penerima Kredit tidak
diperkenankan untuk melakukan investasi.
f. Penyampaian laporan keuangan home statement dan laporan aktivitas usaha terlambat
disampaikan kepada Bank
Dari pemeriksaan dokumen diketahui bahwa atas laporan bulanan (laporan aktivitas
usaha) dan laporan triwulanan (home statement) PT CSF terlambat disampaikan kepada Bank
BNI. Hal ini diketahui dari laporan keuangan home statement terakhir yang diterima Bank
BNI s.d. pemeriksaan tanggal 23 Mei 2005 adalah home statement per 30 September 2004
sedangkan laporan per Desember 2004 dan per Maret 2005 belum disampaikan kepada Bank.
Untuk pelaksanaan review perpanjangan kredit PT CSF pada bulan April 2005, Bank BNI
masih menggunakan home statement per 30 September 2004 sehingga data dan informasi yang
disampaikan kurang mutakhir. Demikian juga laporan bulanan berupa laporan aktivitas usaha
tidak disampaikan secara rutin kepada Bank BNI.
Selanjutnya PK No.011/DKS/PK/2003 tanggal 31 Juli 2003 dan
No.(1)011/DKS/PK/2003 tanggal 2 April 2004 menetapkan target penjualan minimum
sebesar Rp50.000,00 juta per bulan dan direvisi menjadi Rp27.000,00 juta perbulan. Dengan
tidak diterimanya laporan aktivitas usaha tersebut diatas, Bank BNI dalam memprediksikan
target penjualan yang harus dicapai PT CSF menjadi terlalu rendah karena dari Formulir
Laporan Kunjungan Nasabah tanggal 22 Desember 2004, rata-rata realisasi penjualan tahun
2002, 2003 dan 2004 perbulan berturut-turut sebesar Rp43.756,82 juta, Rp50.318,95 juta dan
Rp59.180,11 juta.
Hal ini tidak sesuai dengan PK No.011/DKS/PK/2003 tanggal 31 Juli 2003 Pasal 17
tentang Hal-hal yang harus dilaksanakan penerima kredit ayat 2.a dan 2.b disebutkan bahwa
penerima kredit menyampaikan kepada Bank dalam bentuk dan dalam perincian yang dapat
diterima oleh Bank yaitu Laporan aktivitas usaha berupa posisi persediaan, pembelian,
penjualan, hutang dagang dan piutang setiap bulan harus disampaikan kepada Bank paling
228

lambat 15 (lima belas) hari setelah periode laporan dan laporan keuangan home statement
setiap triwulan harus disampaikan kepada Bank paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
akhir periode laporan.
Masalah tersebut mengakibatkan :
a. Kepentingan Bank BNI tidak sepenuhnya aman karena ketidakcukupan dan pengikatan
jaminan
b. Bank BNI tidak dapat secara dini mengetahui perkembangan usaha debitur dan penentuan
target penjualan menjadi tidak maksimal.
Kondisi tersebut terjadi karena RM dalam memantau fasilitas kredit kepada PT CSF belum
optimal dan tidak adanya sanksi atas pelanggaran PK.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
b.Posisi jaminan per 22.12.2004 dan 01.04.2005 masih belum memenuhi ketentuan Bank BNI
karena disebabkan kurs Dollar Amerika Serikat meningkat, dimana sebagian besar fasilitas kredit
ybs dalam US Dollar sehingga CEV jaminan saat itu tidak tercover. Namun setelah dilakukan
pelunasan sebagian kredit pada bulan Juli 2005, maka posisi jaminan telah memenuhi ketentuan.
c.Pada saat dilakukan proses analisa nilai pengikatan jaminan memang belum memenuhi
ketentuan. Namun demikian pada bulan Juli 2005 telah dilakukan pengikatan Fiducia Notariil
atas stock sebesar Rp.100,00 Milyar dan piutang dagang sebesar Rp.51,60 Milyar, sehingga nilai
total pengikatannya menjadi sebesar Rp.270,00 Milyar.
d.Fasilitas kredit dari NISP tanpa ijin Bank BNI, mengingat kebutuhan kendaraan operasional
sangat mendesak, nilai kredit relative kecil dibandingkan dengan fas. Kredit di Bank BNI
sehingga tidak mengganggu cash flow perusahaan. Namun demikian akan menjadi perhatian
kami selanjutnya.
e.Ratio CR menunjukkan perbaikan sejak th.1997 dan memenuhi syarat Bank BNI, sementara ratio
DER belum membaik, hal ini disebabkan adanya beban hutang yang cukup besar sebagai akibat
terdepresiasinya mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
f.Perbedaan nilai penyertaan PT. CSF pada anak perusahaan (PT.BC dan PT. CASMI) dari tahun
ke tahun karena nilai penyertaan yang tercatat pada pembukuan PT. CSF adalah nilai pernyertaan
bersih yaitu jumlah penyertaan setelah dikurangi akumulasi laba/rugi anak perusahaan.
g.Laporan keuangan home statement dan laporan aktivitas usaha memang belum disampaikan
tepat waktu kepada Bank BNI. Untuk selanjutnya kepada debitur akan diingatkan kembali untuk
menyampaikan tepat waktu.
BPK-RI menyarankan agar RM meningkatkan pengawasan untuk mencegah pelanggaran
yang terjadi dan memperingatkan Direksi PT CSF untuk mematuhi PK.
42. Pemberian kredit kepada PT Duta Rendra Mulya sebesar maksimal Rp231.496,60 juta
belum sesuai dengan persyaratan administrasi Bank BNI
PT Duta Rendra Mulya (PT DRM) didirikan sesuai dengan Akta pendirian No.14 tanggal
5 Agustus 1983 dan dikembangkan mulai tahun 1993. PT DRM bergerak dalam bidang industri
plywood, blackboard, wood working dan glue dan beralamat di Komp. Perkantoran Duta Merlin
229

Blok A No.48, Jl. Gajah Mada No.3-5, Jakarta Pusat. Lokasi pabrik di Jl. Desa Sukalantang, Kec.
Sei Asam, Kabupaten Pontianak, Kalimantan barat dengan key person Sunardi Winarto.
Sesuai dengan Akta Risalah Rapat No.11 tanggal 25 Mei 1999 oleh Notaris Sugito
Tedjamulja, SH di Jakarta, pemegang saham PT DRM antara lain PT Citra Kencana Kasita sebesar
72% dari nilai saham sebesar Rp48.926,00 juta, sedangkan pengurus antara lain Sinarman Jonatan
sebagai Komut dan Sunardi Winarto sebagai Dirut.
Pada tanggal 5 Nopember 1987 PT DRM mengambilalih kredit macet PT Harapan Kita
Utama (PT HKU) dan sejak itu menjadi nasabah BNI. Sejak dikelola oleh PT DRM, pabrik
ex.HKU ini berjalan lancar, namun sejak tahun 1994 s.d 1998 menderita rugi. Kredit ini telah
berulangkali direstrukturisasi sejalan dengan perkembangan usaha PT DRM secara umum merugi.
Pada tahun 2003 PT DRM rugi sebesar Rp8.255 juta. Pada periode ini bisnis plywood belum
menunjukkan perkembangan yang diharapkan. Adanya kerugian disebabkan selisih kurs.
Walaupun bunga tetap dibayar lancar namun sulit untuk menyisikan dana untuk mengangsur
hutang pokok. Upaya penagihan lewat personal gurantor telah dilakukan dengan surat
DKS/2/639/R tanggal 23 Mei 2004, namun belum membuahkan hasil. PT DRM mengajukan
restrukturisasi dan sesuai hasil pertemuan dengan direksi tanggal 30 September 2003, permohonan
tersebut ditolak. Direksi mengarahkan untuk tetap menagih lewat Salim Group. Pada tanggal 26
Desember 2003, pinjaman PT DRM digeser ke Kolektibilitas IV. Pada tahun 2004 perusahaan
masih rugi, tetapi harga plywood sudah membaik, namun pengadaan bahan baku tetap menjadi
kendala utama. Kewajiban bunga dibayar lancar, hutang pokok tidak dapat diselesaikan. Per
tanggal 30 Juni 2004 digeser dari menjadi kolektibilitas III.
Outstanding kredit PT DRM per 1 Maret 2005 adalah Rp231.496,60 juta dengan
kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Gol. II). Sesuai dengan laporan appraisal PT Laksa
Laksana tanggal 18 Nopember 2004 nilai agunan yang dijaminkan PT DRM adalah sebesar
Rp279.730,65 juta.
Berdasarkan hasil pemeriksaan lebih lanjut terhadap dokumen kredit PT DRM diketahui
hal-hal sebagai berikut:
a. PT DRM belum sepenuhnya memenuhi ketentuan minimal CR dan maksimal DER
Dari Laporan Keuangan yang disampaikan oleh PT DRM, baik audited maupun home
statement dari tahun 1998 s.d. tahun 2003 terlihat sebagai berikut:
1998 1999 2000 2001 2002 2003* 2004*
CR 0,51 0,50 0,49 0,45 0,41 0,42 0,42
DER -2,03 -2,21 -2,20 -1,94 -1,88 -1,78 -1,77
*unaudited
Dari data di atas diketahui bahwa CR dan DER PT DRM tidak sesuai dengan BPP Perkreditan
Bab I Sub Bab G Sub-sub Bab 05 No.05 yang menyebutkan CR minimal 1,20 dan DER
maksimal 2,4 untuk industri pengolahan kayu dan kerajinan.
b. Jaminan yang diikat belum mengcover maksimum kredit PT DRM
Untuk menjamin fasilitas kreditnya PT DRM telah memberikan jaminan berupa
tanah dengan sertifikat HGB No.538, 539, 748, 2395, 2397,2 398, dan 3012 yang telah diikat
dengan hak tanggungan senilai Rp95.450,00 juta. Selain tanah PT DRM juga memberikan
jaminan 5 (lima) buah kapal tongkang dan atau kapal motor yang diikat secara hipotik sebesar
Rp4.923,10 juta sehingga jaminan yang sudah diikat dengan hak tanggungan (APHT)
230

seluruhnya sebesar Rp100.373,10 juta atau kurang dari maksimal kredit yang diberikan kepada
PT DRM sebesar Rp115.600,00 juta dan US$25,355,000.00 ribu. Nilai taksasi jaminan sesuai
dengan penilaian appraisal PT Laksa Laksana tanggal 5 Juni 2004 sebesar Rp406.465,49 juta,
sehingga nilai pengikatan hak tanggungan lebih rendah dari maksimal kreditnya.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub sub Bab 05 No.5
menyebutkan bahwa besarnya nilai pengikatan hak tanggungan antara lain ditetapkan bila nilai
taksasi jaminan lebih besar dari maksimal kreditnya, maka nilai pengikatan hak tanggungan
minimum sebesar maksimal kreditnya.
Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit yang diberikan kepada PT DRM sebesar
Rp231.496,60 juta dapat berpotensi menjadi kredit bermasalah.
Kondisi tersebut terjadi karena pemberian kredit kepada PT DRM belum sepenuhnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Fasilitas PT DRM sebagian besar berupa Valas (USD) oleh karena itu dampak krisis
mengakibatkan terjadinya pembengkakan kredit yang tidak dapat dihindarkan (debt overhang).
Kondisi tersebut berakibat rasio keuangan (CR dan DER) menjadi turun tajam bahkan DER
negatif. Belum terpenuhinya CR dan DER tersebut telah diperoleh persetujuan khusus sesuai
ketentuan.
b. Jika dilihat dari maksimum kreditnya pengikatan yang telah ada belum mencukupi. Untuk
selanjutnya akan diupayakan nilai pengikatan jaminan sehingga dapat mengcover kreditnya.
Selanjutnya pengertian maksimum kredit pada BPP yang berkaitan dengan jaminan akan kami
kaji ulang.
BPK-RI menyarankan agar:
a. Direktur BNI yang membidangi Risk Management mengkaji ulang BPP Perkreditan yang
berkaitan dengan jaminan agar tidak menimbulkan multi tafsir pada tingkat unit bisnis.
Ketentuan yang perlu direformulasi adalah masalah CEV dikaitkan dengan maksimum kredit.
Dalam hal fasilitas kredit telah ditarik, apakah CEV 100% dihitung dari maksimum fasilitas
awal kredit atau dari baki debetnya.
b. RM mengupayakan peningkatan nilai pengikatan jaminan kredit sampai mengcover kreditnya.
43. Sentra Kredit Medan (SKM) Medan
a. Pemberian fasilitas KI dan KMK kepada PT Hamparan Pancaran Cheimindo dengan
outstanding sebesar Rp55.958,83 juta belum sepenuhnya mengacu kepada prinsip
kehati-hatian dalam pemberian kredit
PT Hamparan Pancaran Cheimindo (PT HPC) didirikan dengan Akte Pendirian No.
17 tanggal 25 Januari 2001 yang dibuat oleh Ny. Chairani Bustami SH Notaris di Medan.
PT HPC beralamat di Kawasan Industri Mabar II, Jalan Pulau Karimun, Medan, dengan
bidang usaha industri pengolahan sawit dan turunannya. Pada saat pendirian PT HPC
merupakan group usaha PT Flora Sawita Chemindo (PT FSC), perusahaan yang bergerak
dalam bidang Industri fatty acid.
231

Berdasarkan Berita Acara Rapat No. 15 tanggal 29 Oktober 2002 serta Berita Acara
No. 14 tanggal 24 Maret 200, pengurus dan kepemilikan saham PT HPC adalah Riza Mutyara
sebagai Komisaris dan Irfan Mutyara sebagai Dirut, masing-masing memiliki saham sebesar
49% dan 51%.
PT HPC sejak bulan Desember 2001 tercatat sebagai debitur BNI Cabang Medan
dan menikmati fasilitas KI untuk pembangunan satu komplek pabrik soap noodle (bahan baku
sabun) dan KMK untuk pengolahan soap nodle. Pada tahun 2003 pabrik telah selesai dibangun
dan sempat beroperasi secara komersial namun hanya beberapa bulan saja, sejak bulan Maret
2003 operasional perusahaan berhenti sama sekali karena adanya masalah pengadaan bahan
baku, produk yang dihasilkan belum sesuai dengan standar pasar, kesulitan modal kerja,
terjadinya konflik antara pemegang saham dan masalah hukum dengan kontraktor. Hal
tersebut menyebabkan performance perusahaan menurun dan kolektibilitas menurun ke 3
(kurang lancar). Perusahaan kembali berproduksi sejak 23 November 2004. Pada tanggal 10
Desember 2004 kolektibilitas PT HPC naik ke kolektibilitas 2 (dalam perhatian khusus).
Berdasarkan data Rekening Koran PT HPC diketahui outstanding kredit tanggal 28
Pebruari 2005 adalah sebesar Rp55.958,83 juta dengan kolektibilitas Dalam Perhatian
Khusus (Gol. II).
Dari pemeriksan lebih lanjut terhadap dokumen kredit PT HPC, diketahui halhal
sebagai berikut :
1) Pemberian fasilitas kredit belum sepenuhnya mengacu kepada prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit
Dalam rangka pembangunan pabrik pengolahan soap noodle, PT HPC dengan
surat No101/IM/XI/01 tanggal 23 Oktober 2001 mengajukan fasilitas KI dan KI IDC.
Berdasarkan MPK No.31 tanggal 8 Nopember 2001 diketahui bahwa Kategori Risiko
PT HPC adalah III. Menunjuk kepada BPP Buku I, Sub Bab E, sub – sub bab 02 mengenai
kategori resiko, disebutkan bahwa pemberian kredit terutama ditujukan kepada nasabah
yang tergolong pada kategori resiko I dan II. Untuk nasabah kategori III agar
dipertimbangkan secara selektif dengan alasan yang kuat. Kemudian fasilitas tersebut
disetujui oleh Bank BNI Cabang Medan dengan No. WO1/3.12459/R tanggal 5 Desember
2001 dan dituangkan dalam PK No 2001.056 dan No. 2001.057 tanggal 7 Desember 2001,
dengan rincian KI sebesar Rp30.000,00 juta dan KI IDC sebesar Rp2.000,00 juta
seluruhnya sebesar Rp32.000,00 juta, jatuh tempo 6 Maret 2003.
Dari hasil pemeriksaan lebih lanjut terhadap proses pemberian kredit kepada
PT HPC diketahui beberapa permasalahan sebagai berikut :
a) Analisa laporan keuangan mengacu kepada laporan keuangan Group, yaitu PT FSC
dari tahun 1997 s.d. September 2001 dan laporan keuangan PT HSC periode
September 2001. Dari laporan keuangan tersebut diketahui bahwa PT FSC sejak tahun
1998 s.d. tahun 2000 mengalami rugi, walaupun pada periode laporan per September
2001 perusahaan memperoleh keuntungan tetapi keuntungan tersebut diperoleh dari
pendapatan lain-lain (selisih kurs).
b) CR tahun 1997, 1998 dan 1999 berturut-turut sebesar 0,77, 0,82 dan 0,53 belum
memenuhi persyaratan Bank BNI minimal CR sebesar 1,31. Sedangkan DER sejak
tahun 1997 s.d. September 2001 berturut-turut sebesar 3,40, 5,76, 26,43, 2.455,28 dan
417,51 belum memenuhi syarat Bank BNI maksimal sebesar 2,16.
232

c) PT HPC merupakan perusahaan baru, sehingga laporan keuangannya hanya berupa
neraca home statement untuk periode yang berakhir September 2001. Dari laporan
keuangan tersebut diketahui bahwa CR belum dapat dihitung sementara DER sebesar
0,02. Dari data tersebut diatas dapat dilihat bahwa dalam analisa pemberian kredit
kepada PT HPC, analisanya lebih ditekankan kepada kredibilitas group usahanya yaitu
PT FSC, sementara berdasarkan data tersebut diatas diketahui bahwa PT FSC selama 3
tahun terakhir mengalami kerugian dan kemampuan memenuhi kewajibannya sangat
rendah.
d) Bank BNI Cabang Medan belum sepenuhnya meneliti kebenaran/kepastian
menyangkut aspek yuridis dari lokasi tanah untuk pembangunan proyek yang akan
dibiayai dan penggunaan fasilitas utility milik PT FSC yang nantinya akan dibalik
nama atas nama PT HPC. Pada awal persetujuan kredit diketahui bahwa lokasi tanah
yang akan dibangun milik PT FSC berada dilokasi Kawasan Industri Sarana Tamora
Permai, desa Tanjung Baru bersebelahan dengan pabrik PT FSC. Untuk menghemat
biaya pembangunan, PT HPC merencanakan akan menggunakan fasilitas milik
PT FSC dengan sistem kontrak. Dari pemeriksaan lebih lanjut diketahui tidak ada
dokumen yang secara yuridis dapat memberikan kepercayaan kepada Bank BNI
tentang penggunaan lokasi dan utilitas milik PT FSC tersebut. Dalam perjalanannya
diketahui bahwa lokasi pembangunan pabrik tersebut dipindahkan ke Kawasan
Industri Medan – II (KIM-II) Jl. Pulau Karimun, desa Saentis. Perpindahan lokasi
tersebut terjadi karena tidak ada kepastian hukum atau legalitas pemilikan tanah.
Dengan perubahan lokasi pabrik, biaya pembangunan pabrik yang semula tidak
diperhitungkan seperti utilitas dan pengadaan tanah yang baru menjadi semakin besar,
pembangunan fisik proyek tertunda seharusnya pada bulan Desember 2001 namun
baru dimulai pada bulan April 2002 dan operasional perusahaan tertunda sehingga
angsuran KI dan KI IDC jatuh tempo sebelum perusahaan melakukan penjualan
komersial.
e) Analisa mengenai pengadaan bahan baku dan pemasaran produk yang dihasilkan
PT HPC terlalu optimis, hal ini dapat dilihat dari :
(1) Pengadaan bahan baku, semua berasal dari PT FSC tetapi belum dituangkan dalam
suatu dokumen perjanjian yang bisa mengikat kedua pihak. Hal tersebut
dimaksudkan agar jika terjadi sesuatu hal di masa yang akan datang yang dapat
menyebabkan terjadinya perselisihan para pemilik ke dua perusahaan tersebut,
tidak menyebabkan pasokan bahan baku terhenti.
(2) Belum ada kontrak pembelian dengan pembeli maupun kerjasama dengan calon
pembeli sehingga kepastian penjualan sebagai sumber utama pembayaran kembali
pinjaman kurang dapat diyakini.
Berdasarkan kondisi diatas dapat disimpulkan bahwa Bank BNI Cabang Medan
dalam pemberian kredit kepada PT HPC belum sepenuhnya mengacu kepada prinsip
kehati-hatian dalam memberikan kredit.
2) Pemberian tambahan fasilitas KI sebesar Rp12.800,00 juta kepada PT HPC
bertentangan dengan ketentuan PK dan syarat perpindahan lokasi proyek
Dengan surat No. 02/014/HPC-FA/IM tanggal 22 Juni 2002 PT HPC
mengajukan permohonan pemindahan lokasi pabrik dari Kawasan Industri Sarana Tamora
233

Permai Tanjung Morawa ke Kawasan Industri Medan II. Permohonan tersebut disetujui
oleh Pemimpin Wilayah (Pinwil) dengan surat No WO13/3.1/1619/R tanggal 29 Juli 2002
dengan catatan antara lain bahwa semua cost over run akibat perpindahan lokasi tersebut
menjadi tanggung jawab share holder perusahaan. Dengan adanya perubahan lokasi
tersebut, maka biaya pembangunan proyek meningkat, biaya yang semula tidak
diperhitungkan seperti utilitas pabrik serta adanya perubahan harga machinery equipment
yang semula direncanakan Rp17.156,58 juta ternyata realisasinya mencapai Rp26.200,69
juta. Selanjutnya diketahui bahwa PT HPC dengan surat No. 100/B/HPC-028/2002
tanggal 22 Nopember 2002 mengajukan tambahan fasilitas KI dan KMK pabrik soap
noodle. Bank BNI Cabang Medan menyetujui pemberian tambahan fasilitas KI dan KMK
baru dengan surat No. WO1/3/3065/R tanggal 24 Desember 2002 dan dituangkan dalam
PK No.2005.055 tanggal 30 Desember 2002 dan PK No. 2003.014 tanggal 24 Mei 2003,
dengan rincian KI II sebesar Rp12.800,00 juta dan KMK sebesar Rp5.000,00 juta atau
seluruhnya sebesar Rp32.000,00 juta.
Persetujuan pemberian fasilitas tambahan KI tidak sesuai dengan PK No.
2001.056 tanggal 7 Desember 2001 mengenai Pasal Tambahan ayat 22 yang menyebutkan
apabila terjadi kelebihan proyek/cost over run sepenuhnya menjadi tanggung jawab
penerima kredit dengan meningkatkan self financing. Pemberian tambahan KI tersebut
juga tidak sesuai dengan pertimbangan Pinwil pada awal persetujuan perpindahan lokasi
yang menyebutkan bahwa semua cost over run akibat pemindahan lokasi ini menjadi
tanggung jawab share order/perusahaan.
3) Pemberian tambahan fasilitas KMK sebesar Rp14.000,00 juta kepada PT HPC
belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip kehati-hatian
Berdasarkan PAK 012/1 No. 18 tanggal 18 Juli 2003 diketahui bahwa proyek
terlambat, seharusnya selesai bulan November 2002, trial and error bulan Desember 2002,
mulai produksi bulan Januari 2003 dan angsuran KI mulai bulan April 2003. Namun
faktanya proyek baru selesai awal Juni 2003 dan rencana produksi komersial bulan
Agustus 2003. Dengan asumsi trial and error selama 3 bulan dan bila mengacu pada
realisasi penyelesaian pabrik maka seharusnya angsuran baru akan dimulai pada bulan
November 2003 atau bergeser selama 7 bulan. Angsuran KI yang lebih dahulu jatuh tempo
dibandingkan dengan realisasi penjualan perdana akan mempengaruhi kinerja keuangan
perusahaan. Selanjutnya PT HPC dengan surat No. 100/B/HPC-015/2003 tanggal 11 Juni
2003 mengajukan tambahan fasilitas KMK sebesar Rp42.874,66 juta dengan komposisi
bank 65% atau Rp27.868,53 juta dan dana sendiri 35% atau Rp15.006,13 juta. Permohonan
tersebut disetujui dan didudukkan dalam PK No. 2003.037 tanggal 31 Juli 2003 dengan
maksimum kredit sebesar Rp14.000,00 juta.
Dari penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa asumsi-asumsi yang digunakan
terlalu optimis karena hal-hal sebagai berikut :
a) Belum ada kontrak penjualan dalam jangka panjang (minimal 1 tahun), sehingga
kepastian penjualan sebagai sumber utama pembayaran kembali pinjaman kurang
dapat diyakini.
b) Perjanjian pengadaan bahan baku tidak diikat secara jangka panjang. Dari data yang
diperoleh, perjanjian pengadaan bahan baku hanya bersifat temporer sehingga
ketersedian bahan baku kurang terjamin.
234

Berdasarkan kondisi diatas dapat disimpulkan bahwa BNI Cabang Medan dalam
pemberian kredit kepada PT HPC belum sepenuhnya mempertimbangkan sumber
pembayaran pinjaman dan kelangsungan usaha debitur.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan :
1) BPP Buku I ,Sub Bab E, sub – sub bab 02.
2) PK No. 2001.056 tanggal 7 Desember 2001 mengenai pasal tambahan ayat 22.
3) UU no. 7 tahun 1992 pasal 2 yang menyebutkan bahwa perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian,
dan pasal 8 yang menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit, bank umum
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1) Fasilitas kredit kepada PT HPC berpotensi menjadi kredit bermasalah.
2) Bank BNI Cabang Medan harus menanggung cost over run dalam bentuk pemberian
tambahan fasilitas KI sebesar Rp12.800,00 juta.
Hal tersebut disebabkan oleh :
1) Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan kredit belum sepenuhnya mentaati prinsip
kehati-hatian dalam peberian kredit.
2) Pejabat KPK dalam memberikan tambahan fasilitas KI sebesar Rp12.800,00 juta belum
mentaati ketentuan PK No. 2001.056 tanggal 7 Desember 2001, pasal tambahan ayat 22
dan pertimbangan pejabat PPK pada awal persetujuan perpindahan lokasi.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1) Group usaha yaitu PT Parasawita, PT Damar Siput dan key person merupakan deposan
inti Bank BNI sehingga diyakini group ini memiliki background yang kuat. Dari hasil
analisa keuangan, manajemen, dll. PT FSC masuk dalam kategori 3 (sedang) sehingga
memungkinkan diberikan fasilitas kredit. Semula lokasi tanah diyakini tidak ada masalah
karena terletak di kawasan industri, disamping itu mengingat key person kedua
perusahaan tersebut adalah orang yang sama. Pengadaan bahan baku diyakini tidak ada
masalah, mengingat key person PT HPC dan PT FSC adalah sama dan produknya saling
terkait, namun belum diikat dengan perjanjian.
2) Tambahan KI untuk penyelesaian pabrik dan agar dapat operasional sesuai dengan
rencana pendiriannya, sehingga risiko bank akan lebih kecil dari pada apabila pabrik tidak
selesai dibangun.
3) Tambahan KMK maksimum Rp14.000,00 juta dimaksudkan agar aktivitas usaha PT HPC
dapat berjalan sesuai dengan harapan. Untuk menjamin kelancaran pasokan bahan baku,
terus diusahakan mencari tambahan pemasok lainnya dan sedapat mungkin didudukkan
dalam kontrak. Sedangkan atas pemasaran dipandang belum perlu adanya kontrak.
235

BPK-RI menyarankan agar Analis Kredit melakukan analisa yang lebih mendalam
atas permohonan fasilitas kredit yang diajukan oleh debitur dan Pejabat KPK dalam
memberikan persetujuan kredit dan tambahan fasilitas kredit hendaknya mematuhi dan
menerapkan sepenuhnya ketentuan terkait yang berlaku dalam BPP Perkreditan dan PK.
b. Pemberian fasilitas kredit sebesar Rp12.031,17 juta kepada PT Gaya Sentosa Lestari
kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian
PT Gaya Sentosa Lestari (GSL) didirikan berdasarkan Akte pendirian No.103 tanggal
20 Desember 1982 oleh Abdul Latief Harahap, pengganti sementara DR.A.P.Parlindungan SH
Notaris Medan. PT GSL yang tergabung ke dalam Group Putra Gaya Sentosa Pratama (PGSP)
dan beralamat di Jl.Prof.H.M Yamin SH No.21 D Medan. Perusahaan pada awal usahanya
bergerak dalam bidang usaha industri kayu olahan dan pada bulan Nopember 2003 berubah
menjadi produksi dengan target penjualan ekspor. Susunan pengurus dan pemegang saham
PT GSP pada awal pendirian, antara lain Bonar Gani sebagai Komisaris dan Gani sebagai
Presdir masing-masing memiliki saham 9,09% dan 68%. Kemudian kembali mengalami
perubahan setelah PT GSP berubah menjadi PT GSL sehingga menjadi Gani sebagai
Komisaris dan Buyung Gani sebagai Dirut masing-masing memiliki 50% dan 25%.
PT GSP menjadi debitur pada tanggal 31 Januari 1997, saat dilakukan pemeriksaan
dokumen secara uji petik diketahui bahwa posisi debitur berada pada kolektibilitas Dalam
Perhatian Khusus (Gol. II).
Selanjutnya dari hasil pemeriksaan dokumen kredit PT GSL pada tahun buku 2003 dan
tahun buku 2004 diketahui hal-hal sebagai berikut :
1)PT GSL tidak dapat mencapai target penjualan yg dipersyaratkan dalam kontrak
Berdasarkan dokumen perkreditan diketahui bahwa PT GSL pada tahun 2003 telah
mendapat 4 (empat) fasilitas kredit dengan nilai seluruhnya sebesar Rp12.031,17 juta
dengan rincian sebagai berikut:
a) KMK Aflopend sebesar Rp1.000,00 juta dengan PK No.2003.040 tanggal 25 Agustus
2003 untuk tambahan sementara modal kerja industri.
b) KMK Aflopend sebesar Rp3.688,90 juta dengan PK No.2003.077 tanggal 29
Desember 2003 untuk tambahan modal kerja produksi/ekspor Pallet/Kayu olahan,
moulding.
c) KMKE (R/C terbatas) sebesar Rp6.288,00 juta dengan PK No.2003.078 tanggal 29
Desember 2003 untuk tambahan modal kerja produksi/ekspor pallet/kayu olahan.
Ketiga PK tersebut diatas mengalami perpanjangan/perubahan, perubahan terakhir antara
lain tentang Tujuan kredit, semula target penjualan/ekspor sebesar Rp1.068,00 juta per
bulan diubah menjadi sebesar Rp2.788,00 juta per bulan.
d) Kredit Tambahan Investasi (KI) sebesar Rp1.114,27 juta dengan PK No.2003.079
tanggal 29 Desember 2003 untuk tambahan investasi 5 (lima) unit KD kapasitas 300
m3, pembelian mesin moulding, pembangunan gudang, penimbunan tanah dan
pembelian 1 unit Forklif. Perjanjian tersebut mengalami perubahan antara lain Pasal 2
tentang Tujuan Kredit, dana digunakan untuk tambahan Investasi 5 unit KD kapasitas
300m3 dan pembelian mesin moulding.
236

Berdasarkan daftar eksportir pada BNI SKM Medan, PT GSL telah menerima L/C
dengan opening Bank / Buyer sebanyak 4 Bank Swasta dan realisasi nego per tanggal 13
Juli 2004 s.d. tanggal 20 Januari 2005 diketahui bahwa target penjualan/ekspor kayu
olahan/Pallet dan moulding PT GSL setiap bulannya tidak pernah mencapai target
penjualan yang ditetapkan, sesuai 3 (tiga) fasilitas PK diatas dengan rincian sebagai
berikut:
No. Bank Tgl Nego Jml Wesel
(eq. Rp juta)
Target PK
(Rp juta)
1. 3 Bank 13 s.d 28.7.2004 1.044,46 2.788,00
2. 2 Bank 2 s.d 31.8.2004 1.833,08 2.788,00
3. 1 Bank 2 s.d 30.9.2004 1.315,79 2.788,00
4. 1 Bank 1 s.d 27.10.2004 2.016,76 2.788,00
5. 1 Bank 1 s.d 23.11.2004 875,15 2.788,00
6. 1 Bank 2 s.d 28.12.2004 699,52 2.788,00
7 1 Bank 3 s.d 20.1.2004 1.073,28 2.788,00
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa PT GSL tidak dapat mencapai target penjualan
yg dipersyaratkan dalam kontrak.
Hal diatas belum sesuai dengan PK No.2003.040 tanggal 25 Agustus 2003 pasal 2
yang menyatakan bahwa tujuan pemberian kredit KMKE maupun KMK aflopend sebagai
tambahan modal kerja produksi dengan target penjualan/ekspor sebesar Rp2.788,00 juta
per bulan.
2)PT GSL dapat diyakini tidak akan mampu membayar IBP sesuai perjanjian
PT GSL sejak tahun buku 2003 s.d. pemeriksaan tanggal 14 Maret 2005 telah
mendapat keringan atau penundaan bunga sesuai dengan PK (KMK Aflopend) No.(2)
2003.040; KMK Aflopend No.(1) 2003.077; KMKE (R/C terbatas) No.(1) 2003.078 dan
KI No.(1) 2003.079 yaitu pasal tambahan yang menyatakan perlakuan penundaan bunga
kredit (Interest Balloon Payment) paling lama ditetapkan s.d. Oktober 2005. Dari data
tersebut dan hasil konfirmasi dengan RM maupun Analis Kredit diketahui bahwa pihak
debitur belum pernah melakukan pembayaran bunga yang tertunda karena pada bulan Mei
2003 mengalami kerugian sesuai dengan laporan KAP Drs.Togar Manik. Hasil
pemeriksaan fisik yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 14 Maret 2005, Tim BPK-RI
didampingi RM dan Analis kredit dipertemukan dengan Dirut dan Komisaris PT GSL
dimana yang bersangkutan mengakui tidak akan dapat melunasi tunggakan bunga yang
ditangguhkan (IBP) karena sulitnya penyediaan bahan baku kayu sehingga mempengaruhi
penjualan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab.IV Sub Bab B Sub Sub Bab 01
halaman 2 yang menyatakan bahwa menilai nasabah dalam penyelamatan dilakukan
dengan menilai dan menganalisa 3 (tiga) pilar kelaikan nasabah yaitu pilar kemampuan
membayar kembali, pilar jaminan dan pilar kredibilitas manajemen dengan cara
melaksanakan call, pengecekan kepada kreditur lain dan melakukan kunjungan setempat
dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang cukup dan tepat guna untuk menetapkan
strategi penyelamatan.
237

3)Pemberian 4 (empat) fasilitas kredit kepada PT GSL kurang dapat
dipertanggungjawabkan
Dari data dokumen perkreditan dan Laporan Keuangan audited PT GSL yang
berakhir pada tanggal 31 Desember 2003 diketahui bahwa selama tahun buku 2003
PT GSL mengalami kerugian sebesar Rp3.927,91 juta dengan rincian sebagai berikut :
a) Sejak Mei 2003 pembayaran kewajiban PT GSL mulai tersendat sehingga s.d.
November 2003 tunggakan hutang pokok dan bunga seluruhnya sebesar Rp1.610,00
juta.
b) Sejak tahun 2003 PT GSL mengalami kesulitan likuiditas antara lain :
(1) Turunnya pelanggan permintaan dari luar negeri, adanya klaim dari beberapa
negara mengenai kayu Indonesia yang illegal.
(2) Kurang bersaingnya harga dibanding produk china dan Thailand yang menjual
lebih murah karena menggunakan kayu selundupan dari Indonesia.
(3) Dari segi keuangan, CR hanya mencapai 0,14 kali sedangkan persyaratan minimal
1.20 kali, kemudian DER telah mencapai minus 13,15 kali sedangkan yang di
persyaratkan maksimum 2.40 kali.
c) Berdasarkan dokumen Resume PAK Review dari unit SKM Medan point 3 diketahui
bahwa sub sector industri kayu dan hasil kayu sudah tidak terdapat kelonggaran untuk
dilakukan ekspansi karena space available minus Rp24.727,76 juta dan IRR : 1
sehingga mempunyai risiko sangat tinggi (very high risk).
4)Terdapat penyalahgunaan dana kredit investasi
PK No.2003.079 tanggal 29 Desember 2003 pasal 2 antara lain menyatakan bahwa
fasilitas kredit digunakan untuk tambahan investasi 5 (lima) unit KD kapasitas 300m3,
pembelian mesin moulding, pembangunan gudang, penimbunan tanah dan pembelian 1
(satu) unit forklift. PK tersebut diubah dengan diterbitkannya PK No.(1) 2003.079 tanggal
25 Oktober 2004 dengan perubahan antara lain pasal 2 yaitu tujuan kredit digunakan untuk
tambahan investasi 5 (lima) unit KD kapasitas 300 m3 dan pembelian mesin moulding.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 14 Maret 2005
diketahui bahwa dana KI sebesar Rp1.114,27 juta tidak dimanfaatkan untuk pembelian
mesin namun digunakan antara lain untuk pembelian forklift.
Hal tersebut tidak sesuai dengan peruntukan penggunaan dana sesuai PK No.(1)
2003.079 pasal 2.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan :
1) BPP Buku I Bab.IV Sub Bab B Sub Sub Bab 01;
2) PK No.2003.040 tanggal 25 Agustus 2003 pasal 2.
3) PK No.(1) 2003.079 tanggal 29 Desember 2003 pasal 2.
4) SK Direksi BI No.31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 pasal 2 ayat (1) tentang
Kualitas Aktiva Produktif menyebutkan bahwa penanaman dana Bank pada Aktiva
Produktif wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Masalah tersebut mengakibatkan 4 (empat) fasilitas kredit berupa KMKE, KMK
Aflopend, KMK Aflopend dan KI kepada PT GSL berpotensi menjadi kredit bermasalah
sehingga harus menyisihkan PPAP yang semakin besar.
238

Hal tersebut disebabkan oleh KPK Bank BNI SKM Medan, dalam pemberian fasilitas
kredit kepada debitur belum sepenuhnya mengacu pada BPP dan dan SK Direksi BI
No.31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 pasal 2 ayat (1).
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1) Perseroan tidak dapat mencapai target penjualan yang disyaratkan dalam SKK sebagai
dampak dari kebijakan pemerintah untuk membatasi Ijin Penebangan Kayu dan maraknya
penyelundupan kayu log ke luar negeri sehingga pasokan kayu untuk kebutuhan industri
dalam negeri menjadi berkurang.
2) Perseroan tidak dapat membayar IBP karena perusahaan mengalami kerugian.
3) Perubahan penggunaan kredit, sesuai dengan Memo tanggal 28 Maret 2003 dan
dituangkan dalam SKK No.W01/3.1/0852/R tanggal 31 Maret 2003 bahwa. PK
No.2003.079 tanggal 29 Desember 2003 merupakan penggabungan antara PK No.(3)
2000.020 tanggal 24 Oktober 2000 dengan No.2003.018 tanggal 1 April 2003.
BPK – RI menyarankan agar:
1) Pejabat KPK Bank BNI SKM Medan dalam memberikan kredit hendaknya mematuhi dan
menerapkan sepenuhnya ketentuan yang telah diatur dalam BPP dan memperhatikan prinsip
kehati-hatian sebagaimana yang diatur dalam SK Direksi BI No.31/147/KEP/DIR tanggal 12
November 1998 pasal 2 ayat (1).
2) Pejabat KPK Bank BNI SKM Medan hendaknya memperhatikan pemetaan sektor industri
yang telah dibuat oleh Kantor Pusat. Dalam hal sektor industri telah dimasukkan dalam
kelompok very high risk atau yang mempunyai risiko sangat tinggi, maka ekspansi kredit
pada sektor industri tersebut harus dihindari.
c. Pengambilalihan kredit PT ASA dari Bank BIRA sebesar Rp4.300,00 juta dan
pemberian fasilitas KMK sebesar Rp3.200,00 juta belum sepenuhnya mengacu kepada
Kebijakan Perkreditan Bank BNI dan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
PT Aneka Surya (PT ASA) didirikan tahun 1987 dengan Akte Pendirian No. 4
tanggal 8 April 1987 yang beralamat di Jalan Industri Tanjung Morawa. Produk yang
dihasilkan oleh PT ASA adalah sandal pria/wanita dari berbagai jenis model dan ukuran
dengan peruntukan sandal santai dan resmi untuk semua umur.
PT ASA sebelumnya debitur Bank Indonesia Raya (Bank Bira) yang telah dilikuidasi
oleh BPPN. Sejak bank Bira dilikuidasi semua kewajiban PT ASA ditangani oleh BPPN yang
pada saat itu memberikan diskon pada debitur yang bersedia melunaskan pinjamannya.
PT ASA dengan surat tanggal 9 Oktober 2000 mengajukan permohonan take over
pinjamanannya dari BPPN kepada Bank BNI Cabang Medan.
PT ASA telah beberapa kali menerima fasilitas dari Bank BNI, kredit pertama kali
diberikan tanggal 25 januari 2001, yaitu KMK maksimum Rp3.200,00 juta untuk tambahan
modal kerja/industri perdagangan sandal plastik dan KI maksimum Rp4.300,00 juta untuk
pengambilalihan kredit pada BPPN atas pembiayaan pembangunan pabrik dan pembelian
mesin-mesin senilai Rp8.985,91 juta. Kemudian tahun 2001 s.d. 2003 PT ASA diberikan
tambahan kredit seluruhnya sebesar Rp2.020,00 juta. Pinjaman mulai bermasalah sejak
239

adanya tragedi WTC di Amerika yang mengakibatkan ekspor ke negara tersebut tidak dapat
dilanjutkan karena pihak pembeli memutus kontrak sehingga omzet penjualan menurun dratis.
Pembayaran kewajiban bank menjadi tersendat yang mengakibatkan kualitas pinjaman terus
memburuk sehingga pada bulan Mei 2004 diresturkturisasi. Namun demikian debitur tetap
tidak mampu membayar kewajibannya sehingga pinjaman didown grade secara bertahap
hingga ke kolektibilitas V (Macet). Selanjutnya terhadap fasilitas kredit PT ASA tersebut
diatas telah dilakukan Hapus Buku pada tanggal 10 Desember 2004 dengan outstanding akhir
sebesar Rp9.394,60 juta.
Dari pemeriksan lebih lanjut terhadap dokumen kredit PT ASA, diketahui hal-hal
sebagai berikut :
1)Pengambilalihan kredit PT ASA dari Bank BIRA sebesar Rp4.300,00 juta dan
pemberian KMK sebesar Rp3.200,00 juta belum sepenuhnya mengacu kepada
Kebijakan Perkreditan BNI dan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
PT ASA dengan surat tanggal 9 Oktober 2000 mengajukan permohonan
pengambilalihan pinjamanannya dari BPPN kepada Bank BNI Cabang Medan. Melalui
MAK tanggal 16 Oktober 2000, diusulkan untuk disetujui take over sebesar Rp4.300,00
juta dan pemberian KMK sebesar Rp3.200,00 juta kepada PT ASA. Usulan tersebut
disetujui oleh Pejabat KPK dan dituangkan dalam PK No.2001.003 tgl 25 Januari 2001 dan
PK No.2001.002 tanggal 2001.000 tanggal 25 Januari 2001.
Dari pemeriksaan lebih lanjut terhadap persetujuan fasilitas tersebut diatas diketahui
beberapa hal yang belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu sebagai
berikut :
a) Pada saat melakukan take over kondisi keuangan PT ASA memburuk dan ekspor
menurun
Berdasarkan rekening koran terakhir yang diterima dari BPPN (posisi tanggal 22
Agustus 2000) diketahui sebagai berikut outstanding kredit Rp6.315,63 juta,
Tunggakan Bunga Rp1.286,68 juta dan Tunggakan Lain-lain Rp339,89 juta. Dengan
adanya tunggakan bunga dan tunggakan lain-lain diatas dapat diyakini bahwa
pemasaran produk PT ASA mengalami penurunan sehingga mengganggu
kemampuannya dalam memenuhi kewajibannya. Berdasarkan MAK No. 28 tersebut
diatas juga diketahui bahwa secara umum pasar yang dituju oleh PT ASA adalah lokal
dan ekspor terutama ke Spanyol, Italy, USA dan Malaysia. Penjualan ekspor sangat
dominan sekali yaitu sebesar 80% dari total penjualan produk, sedangkan penjualan
lokal hanya mencapai 20% dari total penjualan produk. Dari data perkembangan ekspor
PT ASA periode 1997 s.d. September 2000, diketahui sebagai berikut :
Dari tahun 1997 ke 1998 volume ekspor meningkat 3,41 % dengan nilai 1.06%. Tahun
1998 ke tahun 1999 volume ekspor naik 26,19% dengan nilai 5,19%. Dari tahun 1999
ke tahun 2000 ekspor turun sebesar 37.88%. Berdasarkan hasil wawancara dengan RM
jumlah ekspor yang kemungkinan dapat direalisir s.d. bulan Desember sebesar +/-
US$800.00 ribu, sehingga proyeksi ekspor tahun 2000 sebesar USD1.435.34 ribu.
Apabila dibandingkan dengan tahun 1999, terdapat penurunan 37,2%. Dari data
tersebut diatas dapat kita lihat bahwa pada saat take over terjadi penurunan penjualan
produk sehingga kemampuan untuk memenuhi kewajiban PT ASA terganggu.
240

) Analisa dalam MAK No. 28 terlalu optimis dan belum sepenuhnya mematuhi
perinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
Hal ini dapat dilihat dari:
(1) Berdasarkan MAK No.28 diatas diketahui penjualan ekspor sangat dominan yaitu
sebesar 80% dari total penjualan, sedangkan penjualan lokal hanya 20% dari total
penjualan. Di satu sisi pasar ekspor bersifat musiman, yaitu Oktober s.d. April (7
bulan) sedangkan diluar bulan tersebut (5 bulan) penjualan ekspor nihil. Di sisi lain
untuk penjualan lokal pembayarannya cukup lama yaitu sekitar 3 bulan, sehingga
akan menyulitkan modal kerja perusahaan.
(2) Selanjutnya resiko yang menyangkut pengadaan bahan baku yang hampir
semuannya berasal dari impor (Singapore, Amerika dan Arab) akan menyulitkan
perusahaan jika rupiah terdepresiasi, karena akan mengakibatkan tingginya harga
komponen bahan baku kimia impor.
(3) Selain itu kondisi persaingan dalam industri ini sangat tinggi mengingat hampir
setiap negara dapat memasuki perdagangan produk ini. Salah satu pesaing utama
adalah RRC yang memiliki kualitas lebih baik dan harga lebih murah dari PT DSA,
hal ini dapat menyebabkan omset PT ASA mengalami penurunan karena pembeli
akan beralih ke perusahaan pesaing.
Berdasarkan kondisi diatas dapat disimpulkan bahwa usaha PT ASA mempunyai resiko
yang sangat tinggi untuk dibiayai.
2)PT ASA terlambat menyerahkan laporan keuangan audited 2001 dan belum
menyerahkan laporan keuangan audited tahun buku 2002 dan 2003
Berdasarkan pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen PT ASA diketahui bahwa
Laporan Keuangan Audited tahun buku 2001 oleh KAP Togar Manik dengan laporan
tanggal 3 Oktober 2002. Dengan demikian penyampaian laporan keuangan audited tahun
2001 terlambat sehingga harus dikenakan denda sebesar (0,25 x 7.500,00) x (123/360) =
Rp640,63 juta. Selanjutnya dari pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa laporan
keuangan audited tahun 2002 belum disampaikan s.d. saat pemeriksaan tanggal 15 Maret
2005. Sementara untuk laporan keuangan tahun 2003 PT ASA hanya menyampaiakan
laporan keuangan 2003 unaudited. Terhadap keterlambatan penyampaian laporan keuangan
tersebut, SKM BNI Medan tidak mengenakan sangsi apapun.
Hal tersebut diatas tidak sesuai dengan PK No. 2001.002 dan PK No. 2001.003
tanggal 25 Januari 2001, pasal tambahan ayat 10 yang menyebutkan bahwa selama fasilitas
kredit berjalan atau belum lunas maka penerima kredit wajib menyampaikan laporan secara
berkala yang meliputi antara lain :
a) Audited report yang telah disusun oleh KAP yang terdaftar atau akuntan yang telah
mempunyai izin kerja dari instansi yang berwenang dan terdaftar di BNI dan harus
diserahkan kepada bank selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah akhir tahun.
b) Atas keterlambatan penyampaian laporan audit report kepada bank dikenakan sangsi
berupa pengenaan denda penalty sebesar 0,25% setahun dihitung dari maksimum
kredit dan diperhitungkan secara proporsional atas lamanya keterlambatan.
3)PT ASA belum menyerahkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan bukti pelunasan
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2004
241

Berdasarkan pemeriksaan terhadap dokumen kredit PT ASA diketahui bahwa
PT ASA belum menyampaikan asli IMB terhadap semua jaminan yang dijaminkan ke
Bank BNI, yaitu IMB bangunan pabrik di Jalan Industri No. 54 Tg. Morawa Deli Serdang,
IMB untuk bangunan pabrik di Jalan Industri No. 9 Tg. Morawa Deli Serdang, IMB untuk
bangunan di Taman Putri Hijau Blok D No. 51 Medan dan IMB untuk bangunan Ruko di
pemuda Baru III Medan Maimun Medan. Sampai dengan pemeriksaan tanggal 16 Maret
2005 asli IMB tersebut belum diserahkan oleh PT ASA. Selanjutnya berdasarkan informasi
dari Memo (form BNI-115) tanggal 12 November 2004, diketahui PT ASA belum
melakukan pembayaran PBB tahun 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 2001.002 dan PK No. 2001.003 tanggal 25
Januari 2001, pasal tambahan ayat 11, yang menyebutkan bahwa penerima kredit harus
menyerahkan IMB, copy pelunasan PBB atas seluruh tanah/bangunan yang menjadi
jaminan kepada bank .
4)Jaminan PT ASA belum dilakukan penilaian ulang oleh apraisal independen
Berdasarkan formulir Iktisar Taksasi Jaminan (lampiran FKS/PAK-06/01 tanggal 16
Oktober 2001, diketahui bahwa penilaiannya jaminan yang diserahkan PT ASA dilakukan
oleh PT Satya Graha Tara dengan laporan No. 546-ASA/PNL/SGT-MDN/05/00 tanggal 19
Juni 2000. Dari pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa sejak tahun 2000 s.d.
pemeriksaan tanggal 16 Maret 2005, jaminan PT ASA tersebut belum dinilai ulang.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I, Bab I, sub bab J, sub-sub bab 04, yang
menyebutkan antara lain bahwa frekwensi penilaian agunan oleh penilai independen antara
lain kredit kualitas macet paling lama setiap 6 bulan sekali.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1)Bank BNI SKM Medan menanggung kerugian karena harus membentuk PPAP 100%
yaitu Rp9.394,60 juta.
2)Bank BNI SKM Medan tidak dapat mengetahui nilai jaminan pada saat ini apakah masih
mengcover atau tidak dan kehilangan pendapatan dari denda yang tidak dikenakan minimal
sebesar Rp640,63 juta.
Kondisi tersebut terjadi karena :
1) Pejabat KPK dalam memutus fasilitas kredit kepada PT ASA belum sepenuhnya mentati
ketentuan yang berlaku dan mentati prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
2) RM Sdr. AG belum maksimal melakukan monitoring/ pemantauan/penagihan terhadap
kewajiban-kewajiban yang harus disampaikan debitur kepada SKM BNI Medan.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1) Debitur telah disurati untuk menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2002 dan 2003.
2) Debitur telah beberapa kali disurati, namun karena saat ini kredit debitur dalam kondisi
macet, maka ybs tidak kooperatif lagi.
242

3) Penilaian ulang oleh appraisal belum dilakukan, mengingat debitur dalam kondisi
kesulitan keuangan dan mengutamakan pembayaran bunga. Setiap tahun dilakukan taksasi
oleh petugas BNI pada saat review.
BPK – RI menyarankan agar :
1)Analis Kredit dalam melakukan analisa hendaknya hendaknya lebih mendalam. Dalam hal
penjualan hasil produksi debitur mayoritas ditujukan untuk ekspor, maka harus dapat
dijelaskan secara rinci berapa ratio kepada masing-masing negara yang dituju. Hal tersebut
dimaksudkan agar jika terjadi masalah dengan penjualan ekspornya, maka Analis Kredit
dapat menganalisa secara tepat untuk mengetahui kebenaran alasan yang disampaikan
debitur.
2)Pejabat dalam memutus fasilitas kredit lebih memperhaikan ketentuan yang berlaku dan
mentaati prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
3)RM lebih maksimal melakukan monitoring/pemantauan/penagihan terhadap kewajibankewajiban
yang harus disampaikan debitur kepada SKM BNI Medan.
d. Analisa pemberian kredit kepada PT Sumber Sawit Cahaya Lestari dengan baki debet
sebesar Rp17.509,50 juta lemah
PT Sumber Sawit Cahaya Lestari (PT SSCL) didirikan tanggal 12 Agustus 2003 dengan
Akta Notaris Adi Pinem, SH No.40 dan bergerak dibidang industri minyak kelapa sawit.
Kantor dan pabrik PT SSCL berlokasi di Desa Mancang, Kecamatan Selesai, Kabupaten
Langkat, Sumut.
Susunan pemegang saham dan pengurus PT SSCL sesuai akta Notaris Adi Pinem, SH,
No.65 tanggal 14 Juni 2004 antara lain Hadi Sumargo pemilik 15,16% saham sebagai Komut
dan Binsar Ho pemilik 34,84% saham sebagai Dirut perseroan.
PT SSCL dengan surat No.033/SSCL/III/2004 tanggal 10 Maret 2004 memohon kredit
kepada Bank BNI Kanwil Medan untuk pembangunan pabrik minyak kelapa sawit (PKS)
berkapasitas 25 ton tandan buah segar (TBS)/jam, dengan fasilitas berupa KI sebesar
Rp27.816,41 juta, KI – IDC sebesar Rp3.746,98 juta dan KMK sebesar Rp6.000,00 juta.
Permohonan tersebut disetujui oleh Bank BNI dengan SKK No.W01/3.1/2344/R tanggal 25
Mei 2004, dengan fasilitas yang diberikan adalah KI sebesar Rp24.200,00 juta, KI-IDC
sebesar Rp1.065,00 juta dan KMK sebesar Rp5.000,00 juta.
Baki debet fasilitas kredit PT SSCL per 28 Pebruari 2005 adalah sebesar Rp17.509,50
juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Hasil pemeriksaan terhadap pengelolaan kredit menunjukkan permasalahan sebagai
berikut :
Kemampuan debitur dalam mengelola perusahaan, ketersediaan bahan baku serta
pemasaran produk diragukan
Berdasarkan analisa dalam Perangkat Analisa Kredit (PAK) 02/1 diketahui hal-hal
sebagai berikut:
1) Aspek Umum dan Manajemen
PT SSCL merupakan perusahaan patungan antara Elang Mas Group (35%) milik Sdr.
Binsar Ho dan PT Sumatera Raya Sari (25%) milik Sdr. Hadi Sumargo, yang keduanya
bergerak di jasa konstruksi pembangunan PKS dan sisanya 40% dimiliki empat orang yang
243

merupakan pengumpul Tandan Buah Segar (TBS) di Langkat. Selanjutnya Sdr. Hadi
Sumargo diangkat sebagai Komut, Sdr. Binsar Ho sebagai Dirut dan Sdr. Paiman (pihak
pengumpul TBS) sebagai Direktur dan nantinya dalam operasional sehari-hari PT SSCL
akan mempekerjakan orang-orang kompeten di bidang pengolahan minyak sawit.
2) Aspek Pengadaan Bahan Baku
Bahan baku utama yaitu TBS akan diperoleh dari para petani maupun KUD yang berada
dalam radius 50 km dari rencana lokasi pabrik, karena PT SSCL tidak memiliki kebun
sendiri. Untuk pemenuhan bahan baku TBS, pabrik PT SSCL telah mengadakan Perjanjian
Kerjasama Kemitraan yang dibuat oleh Notaris Simon Petrus Ginting, SH dengan 10
koperasi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Langkat yang memiliki luas areal
perkebunan sebesar 9.050 ha. Dengan potensi lahan seluas 9.050 ha dan rata-rata produksi
sebanyak 20 ton/ha/tahun maka produksi TBS mencapai ±181.000 ton per tahun yang
berarti mampu memenuhi kebutuhan TBS pabrik yang hanya 150.000 ton TBS/tahun untuk
kapasitas pabrik 25 ton TBS/jam.
3) Aspek Pemasaran
Minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO dan Palm Kernel Oil/PKO) merupakan produk akhir
dari pabrik kelapa sawit. CPO dikonsumsi oleh industri fraksinasi/rafinasi dalam
pembuatan minyak goreng, industri sabun, margarine, shortening dan industri kimia.
Pasaran utama CPO yang diproduksi adalah ekspor namun tidak tertutup kemungkinan
untuk penjualan lokal terutama bagi perusahaan yang memiliki refinary, yaitu perusahaan
faaty acid. Persaingan dibidang industri CPO pada umumnya tidak terlalu ketat mengingat
jumlah PKS yang tersedia masih lebih sedikit daripada produksi TBS. Namun demikian
pada saat musim track (buah sedikit), biasanya supply bahan baku berkurang yang
mengakibatkan PKS tidak dapat berproduksi secara optimal. Saat ini perusahaan belum
beroperasi sehingga belum memiliki pelanggan tetap. Namun mengingat komoditi sawit
adalah komoditi dunia dan berdasarkan proyeksi kebutuhan minyak sawit dunia
diperkirakan pemasaran CPO tidak akan mendapatkan masalah.
Dari hasil analisa diatas, terdapat beberapa kelemahan-kelemahan yang dapat mengganggu
kelancaran pengelolaan PKS serta pengembalian pinjaman kepada bank yaitu :
1) Pemegang saham/pengurus perusahaan tidak berpengalaman dalam mengelola PKS
Pemegang saham PT SSCL sekaligus pengurus perusahaan merupakan gabungan dari
pihak-pihak yang berpengalaman dalam bidang pembangunan PKS dan pengumpul TBS,
akan tetapi tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam mengelola dan menjalankan
usaha PKS, sehingga diragukan kemampuannya. Walaupun nantinya PT SSCL dalam
operasional sehari-hari akan mempekerjakan orang-orang yang kompeten di bidang
pengolahan minyak sawit, akan tetapi pengurus merupakan pihak yang sangat menentukan
dalam operasional perusahaan sehingga dengan tidak memiliki pengalaman dalam bidang
pengelolaan PKS dapat mengakibatkan kesalahan dalam mengambil keputusan.
2) PT SSCL tidak memiliki kebun kelapa sawit sendiri serta tidak dijelaskan tentang
kondisi perkebunan yang akan menjadi supplier bahan baku
244

Bahan baku PKS berupa TBS diperoleh melalui koperasi-koperasi perkebunan kelapa sawit
yang berada di sekitar Kabupaten Langkat. Hal tersebut terjadi karena PT SSCL tidak
memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri. Dengan demikian PT SSCL sangat tergantung
kepada koperasi-koperasi tersebut dalam pemenuhan TBS. Kemudian analisa dalam PAK
02/1 hanya menyebutkan rata-rata hasil TBS per hektar/tahun dan luas areal perkebunan
yang dimiliki oleh koperasi tersebut, sedangkan mengenai umur tanaman kelapa sawit serta
hasil panen yang telah diperoleh koperasi tersebut sama sekali tidak disebutkan. Oleh
karena itu tidak diketahui apakah perkebunan kelapa sawit yang dikelola koperasi tersebut
telah mampu menghasilkan TBS dan telah dapat dipanen. Selain itu tidak diketahui juga
realisasi jumlah TBS yang sudah dihasilkan oleh perkebunan tersebut.
3) PT SSCL belum memiliki calon pembeli yang telah menyatakan berminat membeli
produk PT SSCL
Analisa dalam PAK 02/1 menyebutkan bahwa komoditi sawit adalah komoditi dunia dan
berdasarkan proyeksi kebutuhan minyak sawit dunia diperkirakan pemasaran CPO yang
akan dihasilkan tidak akan mendapatkan masalah. Akan tetapi tidak diketahui apakah
PT SSCL telah menjajaki pasar untuk mengetahui calon pembeli. Oleh karena itu belum
dapat diketahui perkiraan volume penjualan yang dapat diserap pasar. Selain itu volume
penjualan juga sangat tergantung kepada kualitas produk yang dihasilkan apakah telah
memenuhi kualitas/standar yang diinginkan oleh pembeli.
Hal tersebut belum sesuai dengan SK Direksi BI No.31/147/KEP/DIR tanggal 12
November 1998 Pasal 2 ayat (1) tentang Kualitas Aktiva Produktif yang menyebutkan bahwa
penanaman dana Bank pada Aktiva Produktif wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehatihatian.
Masalah tesebut mengakibatkan Bank BNI memiliki risiko gagalnya pengembalian
kredit sebesar Rp17.509,50 juta jika PKS milik PT SSCL gagal memperoleh pasokan bahan
baku dari koperasi.
Kondisi tersebut terjadi karena Analis dan KPK kurang berhati-hati dalam
menganalisa dan memutus pemberian kredit kepada PT SSCL.
Direksi PT BNI menjelaskan bahwa :
1)Titik kritis dalam pengelolaan PKS, yaitu pembangunan PKS, bahan baku dan penjualan
dapat dikuasai oleh pengurus perusahaan karena salah satu pengurus memiliki workshop dan
berpengalaman membangun PKS, pengurus lainnya adalah pengumpul TBS dan CPO
merupakan komoditi yang mudah dipasarkan. Selain itu PT SSCL juga mempekerjakan
tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman dalam industri pengolahan kelapa sawit.
2)Salah satu pemegang saham adalah pengumpul TBS yang berpengalaman memasok TBS ke
PTPN yang jumlah pasokannya melampaui kapasitas PKS yang dibangun. Dalam PAK telah
dibahas mengenai luas lahan dan produktivitas pemasok.
3)Produk CPO sangat mudah dijual karena permintaan pasar yang tinggi sehingga
pemasarannya diharapkan tidak akan menemui kendala.
245

BPK-RI menyarankan agar Analis Kredit dan KPK dalam memutus kredit agar lebih
berhati-hati terutama pemberian kredit kepada industri pengolahan kelapa sawit yang tidak
memiliki kebun sendiri.
44. SKM Pekanbaru
a. Fasilitas kredit PT Khage Lestari Timber (PT KLT) sebesar US$1,550.98 ribu berpotensi
menjadi kredit bermasalah
PT KLT adalah perusahaan yang bergerak dibidang Pengolahan Kayu. Semula bernama
CV Khage bersaudara, perusahaan keluarga yang dipimpin/dikelola oleh Gusman Gaus (alm).
Tahun 1994 status perusahaan ditingkatkan menjadi PT Khage Lestari Timber. Untuk
meningkatkan usaha baik dari segi modal maupun jaringan usaha maka PT KLT menjalin
kerjasama dengan perusahaan Malaysia yaitu PT Sindora Nusantara SDN Bhd. (PT SN). PT
KLT berlokasi di jalan Ulu Gadut Raya No.1 Padang. Berdasarkan Akta Perubahan No.71
tanggal 31 Mei 2004, pemegang saham PT KLT yaitu PT Sindora Nusantara SDN Bhd sebesar
51% dan PT Khage Lestari Investama 49% dari nilai saham Rp3.840,00 juta, sedangkan
susunan Pengurus PT KLTantara lain Drs. Irman Gusman, MBA sebagai Presiden Komisaris
dan M. Razip Bin Basir sebagai Presiden Direktur.
Outstanding kredit PT KLT posisi tanggal 31 Januari 2005 adalah sebesar Rp dengan
US$1,550.98 ribu dengan kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Gol. II).
Dari pemeriksaan terhadap dokumen kredit PT KLT diketahui bahwa hal-hal sebagai
berikut:
1)Dari Laporan Keuangan PT KLT diketahui bahwa penjualan kayu dari tahun 2001 s.d.
tahun 2003 menurun (tahun 2001 : US$1,366.90 ribu; tahun 2002 : US$481.45 ribu; Juni
2003 : US$178.71 ribu) sehingga perusahaan menderita kerugian. Pada tahun 2001
perusahaan melakukan PHK beberapa orang tenaga kerja yang kurang potensi, sejalan
dengan rendahnya kapasitas tenaga kerja. Meskipun upaya tersebut telah dilakukan namun
hingga Juni 2003 penjualan terus menurun. Hal ini menunjukkan upaya yang telah dilakukan
belum dapat mengatasi krisis yang dialami PT KLT.
2)Persedian per 13 Juli 2003 menumpuk akibat kebijakan pembelian bahan baku yang kurang
tepat, karena ukuran bahan baku tidak sesuai dengan kebutuhan unit produksi berdasarkan
permintaan pasar sehingga sebagian modal kerja tertanam pada persediaan barang jadi berupa
kayu laminating pendek yang tidak dapat segera dijual karena membutuhkan kayu panjang
sebagai pelengkap untuk dapat dijual.
3)Kemampuan mengelola perusahaan (management) kurang profesional ditambah beberapa
pengurus cenderung kurang fokus pada bisnis perusahaan dan aktif di bidang lain, misalnya
Presiden Direktur menjadi pengurus yang aktif di perusahaan lain, Ismail Gusman (Direktur)
aktif di Bosowo Motor, sedangkan Irman Gusman (Presiden Komisaris) aktif sebagai anggota
MPR.
4)Berdasarkan MAK tanggal 7 Agustus 2003 diketahui bahwa mapping untuk sektor kayu
semester I tahun 2003 adalah ‘red’. Credit Risk Rating PT KLT memiliki rating 6 (Early
Warning tanpa pelanggaran Covenant). Sedangkan CCR mencapai rating 7 (Precautionary).
5)Nilai CEV Jaminan controlled belum mengcover pinjaman sedangkan total jaminan cukup
mengcover kredit. Apabila pinjaman dalam USD, apabila rupiah mengalami depresiasi
dikhawatirkan pinjaman semakin tidak tercover oleh jaminan yang ada.
246

Hal tersebut belum sesuai dengan :
1) BPP Buku III Bab I Sub Bab A Sub-Sub Bab 06 point C menyatakan bahwa “Empat
kriteria utama dikelompokkan sebagai variable kualitatif dan kuantitatif yaitu: Variabel
kualitatif rating industri, kondisi bisnis, manajemen dan variable kuantitatif yaitu kinerja
keuangan.
2) BPP Buku I Bab I Sub Bab A Sub-Sub Bab 10 no.14 menyatakan bahwa “Bank dilarang
memberikan kredit baru dan/atau tambahan kredit terhadap proyek/obyek pembiayaan
yang sector/sub sector ekonominya pada kategori traffic light “pale red” dan/atau”red”.
3) BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub-Sub Bab 04 masalah persyaratan CEV per jenis jaminan.
Kondisi tersebut mengakibatkan outstanding kredit kepada PT KLT sebesar
US$1,550.98 ribu berpotensi menjadi kredit bermasalah dan menimbulkan kerugian karena
Bank BNI harus membentuk PPAP yang lebih besar.
Kondisi tersebut terjadi karena dalam pemberian kredit KPK SKM Pekanbaru
mengabaikan mapping sektor industri kayu yang telah dikategorikan “merah” oleh Kantor
Pusat Bank BNI.
Atas masalah tersebut, Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa pemberian tambahan
fasilitas kredit atas dasar pertimbangan :
1) Usaha perkayuan PT KLT sudah dikelola sejak tahun 1981, tahun 2000 menjadi debitur
Bank BNI Cabang Padang dengan past performance baik (pada saat krisis tetap survive)
dan kebijakan PHK tahun 2001 adalah dalam rangka efisiensi.
2) Tahun 2001 usaha mengalami penurunan karena harga jual ekspor turun dan hasil
produksi tidak dapat dipasarkan (berukuran pendek/tidak sesuai permintaan) sehingga
akhirnya debitur kesulitan likuiditas. Komitmen manajemen sangat kuat sehingga
kewajiban pembayaran pokok dan bunga tetap lancar.
3) Manajemen dinilai cukup profesional (Dirut diambil dari Sindora Group/Malaysia)
4) Persaingan cukup ketat, tetapi dengan pengalaman usaha dan diversifikasi pasar ke Eropa
dan China, usaha ini masih cukup prospektif untuk dikembangkan.
5) Dalam rangka penyelamatan dan dengan dibentuknya Badan Revitalisasi Industri
Kehutanan yang mengawasi penyediaan bahan baku industri kehutanan, diharapkan
bisnis kayu legal akan semakin membaik sehingga langkah yang ditempuh Bank adalah
dalam rangka upaya mengurangi risiko kerugian yang lebih besar.
BPK-RI menyarankan agar :
1)KPK SKM Pekanbaru dalam pemberian kredit memperhatikan dan mempertimbangkan
mapping sektor industri yang telah dibuat oleh Kantor Pusat Bank BNI. Dalam hal sektor
industri kayu telah dikategorikan “merah” maka ekspansi atau pemberian kredit pada sektor
tersebut harus dihindari. Hal tersebut dimaksudkan agar risiko kredit tidak menjadi lebih
besar.
2)Pemimpin SKM Pekanbaru melakukan langkah-langkah yang efektif untuk mencegah
kerugian yang lebih besar.
247

. Pemberian fasilitas kredit PT Bumi Jaya Putra Kampar (PT BJPK) belum sepenuhnya
mematuhi ketentuan BPP Bank BNI
PT Bumi Jaya Putra Kampar (PT BJPK) adalah perusahaan Group PT Putera Perintis
Kampar Utama (PT PPKU), yang berlokasi di jalan Pasar Nagoya Baru Lt.II No.2 Batam.
Perusahaan tersebut bergerak dibidang jasa perhotelan. Pemegang saham dan pengurus
PT BJPK sesuai Akta Perubahan No.10 tanggal 6 Mei 1999 antara lain Karto sebagai Pres.
Komisaris dan Yohanes sebagai Pres. Direktur masing-masing memiliki 35% dan 10% saham
perusahaan.
Outstanding Fasilitas kredit yang diberikan kepada PT BJPK posisi per 31 Januari
2005 adalah sebesar Rp4.434,20 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I)adalah sbb:
(dalam juta Rupiah dan ribu US$)
Fasilitas Mata
Uang
Maksimum Outstanding Tgl. Diberikan Tgl.Jt. Tempo
KI Rp 22.651,63 22.581,63 11 Juni 2002 10 Juni 2015
KI Rp 2.000,00 268,67 11 Juni 2002 10 Juni 2015
KI US$ 2,000.00 2,000.00 27 April 2004 27 April 2015
KI US$ 4,434.20 4,434.20 27 April 2004 10 Juni 2015
Dari pemeriksaan terhadap dokumen kredit PT BJPK ditemukan beberapa
permasalahan:
1)Bank BNI belum sepenuhnya mematuhi prinsip prudential dalam pemberian kredit
a) Berdasarkan MAK dan pendapat Kelompok Analisis Wilayah (KAW) terhadap
pemrosesan/permohonan fasilitas kredit PT BJPK tanggal 11 Maret 2004 diketahui
bahwa mapping traffic light per tgl 31 Desember 2003, sektor perdagangan hotel dan
restaurant berada pada kategori “red”.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Kredit Buku I Bab I Sub Bab A Sub-Sub
Bab 10 no.14 menyatakan bahwa “Bank dilarang memberikan kredit baru dan/atau
tambahan kredit terhadap proyek/obyek pembiayaan yang sector/sub sector
ekonominya pada kategori traffic light “pale red” dan/atau”red
b) Sertifikat atas bangunan Planet Holiday Hotel berikut izin-izin yang berkaitan dengan
penetapan lokasi dan izin mendirikan bangunan masih atas nama PT Pembangunan
Batam Persada yang merupakan Group perusahaan PT BJPK. CV Pembangunan Batam
pada tanggal 3 Maret 1994 berdasarkan akta No.41, 42, 43 (kemudian dengan beberapa
kali berubah Akta menjadi PT Pembangunan Batam Persada) akhirnya diambil alih
seluruh kepemilikan modalnya oleh key person group perusahaan PT Putera Perintis
Kampar Utama.
c) Tambahan fasilitas kredit sebesar US$2,000.00 ribu belum dibuatkan Feasibility Study
(FS) oleh konsultan sehingga dasar penilaian analisa kredit berdasarkan informasi dan
home statement yang dibuat oleh debitur, serta belum ada konsultan pengawas yang
terdaftar di Bank BNI.
248

Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab A Sub-Sub Bab 8
no.8 point 2 menyatakan bahwa penggunaan jasa konsultan untuk pembuatan FS
diwajibkan bagi KI dengan maksimum sebesar Rp 5 Milyar ke atas dan diwajibakan
menggunakan konsultan pengawas untuk membantu menilai jaminan dan pengawasan
perkembangan proye
2)Pemberian fasilitas kredit tambahan US$2,000.00 ribu sudah termasuk unsur
pembiayaan fasilitas kredit sebelumnya
Pada tanggal 2 Januari 2002 PT BJPK mengajukan permohonan fasilitas KI yang
pertama sebesar Rp45.000,00 juta yang kemudian dikonversi menjadi US$4,434.20 ribu
dan Rp22,65 juta untuk pembangunan “Planet holiday hotel” di Batam dengan kapasitas
350 kamar dengan RAB biaya proyek sampai dengan selesai sebesar Rp104.771,00 juta.
Self Financing (SF) sebesar Rp59.771,00 juta atau (57%) dan Biaya BNI sebesar
Rp45.000,00 juta atau (43%) dengan lay out hotel sebagai berikut:
Lantai 1 sampai dengan 5: Restoran, café, diskotik & karaoke, steam & sauna, fitness
centre, shopping centre, business centre, meeting room, ballroom, snooker & video game,
prayer room, luggage room, salon, lounge bar, bank office. Kemudian pada tahun 2004 PT
BJPK mengajukan tambahan fasilitas kredit sebesar Rp10.000,00 juta (US$2,000.00 ribu)
untuk pembangunan ballroom, restaurant dan fitness & Health Center Equipment dengan
project cost sebesar Rp18.550,00 juta. Pada saat permintaan kredit tersebut proyek hotel
tersebut sudah selesai 97,07%. Dengan demikian pemberian tambahan fasilitas kredit
sebesar Rp10.000,00 juta untuk pembangunan ballroom, restaurant dan fitness & Health
Center Equipment sudah termasuk dalam RAB pembangunan hotel atas fasilitas kredit
Rp45.000,00 juta.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK yang menyebutkan bahwa apabila terjadi
biaya pembangunan hotel melebihi biaya project cost (Cost Over Run) maka
kekurangannya menjadi beban debitur.
3)Persyaratan CR PT BJPK belum sesuai dengan ketentuan BPP BNI
a) Berdasarkan proyeksi Laporan Keuangan PT BJPK posisi 31 Desember 2003 dan IPK
tanggal 16 Maret 2003 diketahui bahwa CR PT BJPK adalah sebesar 0,35 tidak sesuai
persyaratan PK minimal 1,20.
b) Jaminan telah lebih dari 3 (tiga) tahun belum dilakukan reappraisal oleh independent
appraisal yang ditunjuk oleh Bank BNI. Penilaian terakhir dilakukan oleh PT Surveyor
Indonesia bln November 2000.
Kondisi tersebut mengakibatkan :
1) Bank BNI harus membiayai kekurangan dana yang seharusnya dibiayai oleh debitur.
2) Proyek Hotel tersebut tidak dapat diyakini kelayakannya karena tidak ada FS dan
Konsultan pengawasnya tidak terdaftar di Bank BNI.
3) Fasilitas kredit berpotensi menjadi bermasalah.
Kondisi tersebut terjadi Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan kredit belum
sepenuhnya memperhatika ketentuan yang berlaku dan adanya exception dari Komite Pemutus
Kebijakan Kredit (KPKK).
249

Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Sesuai BPP Perkreditan Buku 1 Bab 1.A.10 halaman 3 dijelaskan bahwa Bank dilarang
memberikan kredit baru/tambahan terhadap proyek yang sektor/sub sektor ekonominya
kategori traffic light red atau pale red, kecuali masih dapat dilakukan switching. PT BJPK
telah disetujui untuk diberikan switching oleh pejabat yang berwenang. Karena seluruh
saham PT PBP telah diambil alih oleh key person yaitu Sdr. Karto dan Yohannes, maka
sertifikat atas bangunan hotel berikut izin-izin yang berkaitan dengan penetapan lokasi dan
IMB hotel masih tetap atas nama PT PBP. Tambahan KI diatas Rp5 milyar dapat diproses
tanpa adanya FS sepanjang ada persetujuan exception dari KPK. Tambahan fasilitas KI
sebesar US$2,000.00 ribu telah dimintakan exception melalui memo PAK Review
No.2004/004 tanggal 13 Maret 2004 dan disetujui KPK dengan surat UMN
No.UMN/2/339/R tanggal 16 April 2004.
2)Dalam RAB hotel sudah ada rencana untuk pembangunan ballrom namun berdasarkan
laporan realisasi proyek per Mei 2003 masih nihil. Mengingat kebutuhan/permintaan
ballroom yang cukup tinggi dan belum ada hotel yang menyediakan fasilitas dalam kapasitas
besar maka diputuskan untuk membangun ballroom dan conference room dengan project cost
Rp1.850,00 juta sehingga project cost menjadi Rp123.321,00 juta. Porsi BNI masih 43% dan
memungkinkan untuk ditingkatkan dengan pertimbangan prospek bisnis dan jaminan yang
mengcover.
3)Posisi per 31 Desember 2003 hotel Planet Holiday masih dalam masa pembangunan
sehingga persyaratan CR tidak diberlakukan. Pada saat pemberian tambahan KI sebesar
US$2,000.00 ribu belum dilakukan penilaian kembali asset PT BPJK oleh penilai
independen, namun telah dilakukan pada tanggal 15 April 2004 cfm Laporan Penilaian PT
Procon Penilai No.027-Planet Htl.doc.IV-04 tanggal 15 April 2004.
BPK-RI menyarankan agar KPKK dalam memberikan persetujuan exception tidak
berarti menyetujui ditiadakannya persyaratan baku seperti kewajiban penyampaian FS oleh
debitur, dalam arti bahwa FS tersebut tetap harus disampaikan oleh debitur. Aspek kehatihatian
dan proteksi dari risiko yang mungkin timbul harus menjadi dasar pertimbangan KPKK
dalam memberikan persetujuan exception.
c. Analisa kredit atas take over fasilitas kredit PT SRA dan PT SJS dari PT BRI kurang
cermat
PT Salam Jaya Sejati (PT SJS) didirikan dengan Akte Pendirian No.70 tanggal 25
Februari 1992, bergerak dalam industri kantong plastik dan beralamat di Kompleks
Perindustrian, Batu Ampar, Batam. PT Salam Jaya Abadi (PT SJA) yang kemudian menjadi
PT Salam Ria Abadi (PT SRA) didirikan dengan Akte Pendirian No.45 tanggal 16 April
1991, bergerak dalam bidang industri pengolahan kayu dan beralamat di Komplek
Perbengkelan Bengkong No.12 Batam Timur, Batam. Kedua perusahaan tersebut tergabung ke
dalam Salam Jaya Group yang menjadi debitur BNI sejak tahun 1993. Susunan pengurus
PT SJS dan PT SRA antara lain Rita Efriyani selaku Komisaris dan Chandra Konoto selaku
Dirut kedua perusahaan tersebut dan pemegang saham PT SJS antara lain Rita Efriyani sebesar
20% dan Chandra Kinoto sebesar 30%. Fasilitas kredit yang diterima kedua perusahaan
tersebut seluruhnya sebesar Rp9.957 juta dengan rincian sebagai berikut:
250

(dalam juta Rupiah)
PT SJS PT SRA
No Faslts No. PK Tgl. PK Maks No Faslts No. PK Tgl. PK Maks
1 KI No.93.049 24-07-93 376,00
1 KI No.93.047 24-07-93 3.800,00 2 KI No.94.054 20-12-94 900,00
2 KMK No.93.048 24-07-93 1.340,00 3 KMK No.94.055 20-12-94 1.841,00
3 KI No.93.089 11-11-93 1.200,00 4 KMK No.94.055 20-12-94 500,00
Total 6.340,00 Total 3.617,00
Outstanding kredit PT SJA dan PT SRA per 31 Januari 2005 masing-masing sebesar
Rp4.745,36 juta dan Rp2.424,07 juta atau seluruhnya sebesar Rp7.169,43 juta yang telah
dihapusbukukan pada tanggal 29 Desember 1995.
Berdasarkan dokumen Formulir Laporan Kunjungan Setempat (FKS) tanggal 22
Februari 1995 diketahui bahwa PT SRA merupakan debitur macet di BRI. Hal tersebut
diketahui bahwa sebelum kredit PT SRA disetujui untuk diambil alih disyaratkan bahwa kredit
yang ada di PT BRI dilunasi dan surat jaminan diserahkan kepada Bank BNI. Ternyata tidak
semua surat hak sewa tanah jaminan diserahkan kepada BNI dan dipergunakan oleh PT SRA
untuk jaminan fasilitas kredit yang ada di BRI dengan maksimum kredit sebesar Rp750,00 juta
yang akhirnya juga macet.
Dengan tidak terungkapnya fakta baik dari PT SRA maupun BRI menunjukkan bahwa
analisa masih kurang cermat khususnya yang berkaitan dengan karakter debitur dan informasi
fasilitas yang telah diberikan oleh lembaga keuangan lain. Dampak dari kekurangcermatan
tersebut sesuai penjelasan dalam FKS tanggal 22 Februari 1995, 27 Juli 1995, 2-4 Juli 1997
dan 23 Maret 1998 adalah fasilitas kredit yang telah diambil alih menjadi bermasalah sejak
bulan Mei 1995 atau 10 bulan setelah fasilitas kredit tersebut diambil alih, debitur mulai
menunggak kewajibannya, bahkan tidak mampu lagi membayar kewajiban-kewajiban yang
telah ditetapkan. Kemudian sejak menunggak kewajiban tersebut fasilitas kredit PT SJS dan
SRA dihapusbukukan pada tanggal 29 Desember 1995.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku I bab I Sub Bab C Sub Sub Bab 01 hal 1
tentang verifikasi pihak ketiga dan debitur point 01.1 bahwa tujuan dari verifikasi data adalah
untuk menjamin dan menyakini kebenaran dan keakuratan data atau informasi yang telah
dikumpulkan dan point 01.4 bahwa dalam melaksanakan verifikasi kepada pihak ketiga
tersebut perlu diperhatikan juga reputasi pihak-pihak yang memberikan informasi dan
kewajaran informasi tersebut. Selain itu juga tidak sesuai dengan Buku I bab I Sub Bab D Sub
Sub Bab 01 tentang analisa informasi umum perusahaan yang bertujuan untuk memberikan
informasi mengenai perusahaan debitur/calon debitur, guna bahan evaluasi berkaitan dengan
kepemilikan, manajemen, strategi usaha, legalitas dan riwayat perusahaan debitur /calon
debitur serta hubungannya dengan bank atau kreditur.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI menanggung kerugian atas fasilitas kredit
yang diberikan kepada PT SJS dan PT SRA yang telah dihapusbuku sebesar Rp7.169,43 juta
karena harus membentuk PPAP 100%.
251

Kondisi tersebut terjadi karena analisa Bank BNI dalam melakukan pengambilalihan
kredit kedua perusahaan PT SJS dan PT SRA tersebut kurang cermat.
Direksi PT BNI menjelaskan bahwa :
1)Analisa dan verifikasi data pada saat take over fasilitas dari BRI sudah sesuai dengan
ketentuan, antara lain dengan meminta informasi bank. Kelemahan terjadi pada saat
pelaksanaan take over, dimana fasilitas didisposisi tetapi sebagian jaminan yang ada pada
BRI tidak di take over.
2)Sejak dihapus buku, Bank BNI telah berupaya menyelesaikannya dengan menjual/melelang
jaminan yang ada dan saat ini PT SRA sedang dalam proses lelang di KP2LN Batam.
BPK-RI menyarankan agar :
1) Pemimpin Divisi UMN atau pejabat yang berwenang di Kantor Pusat memberikan sanksi
kepada para pejabat yang menyetujui take over fasilitas kredit macet PT SJS dan PT SRA
dari Bank BRI karena sudah mengetahui kredit tersebut macet namun tetap diberikan
fasilitas kredit untuk take over, sehingga dalam waktu singkat kurang dari satu tahun
kredit tersebut telah dihapus buku.
2) Pemimpin Bank BNI SKM Pekanbaru hendaknya mengambil langkah-langkah yang lebih
efektif untuk menyelesaikan fasilitas kredit tersebut
d. Pemberian dan pemantauan fasilitas kredit kepada PT Nuansa Agung Selaras (PT NAS)
belum dilaksanakan sesuai ketentuan.
PT Nuansa Agung Selaras (PT NAS) adalah grup usaha Jababa yang bergerak di bidang
usaha konstruksi dan developer. PT NAS berdiri pada tanggal 2 Mei 2000 dengan akta
pendirian No. 24 dengan notaris Drajat Darmaji, SH, Notaris di Jakarta. PT NAS
berkedudukan di Jakarta yaitu di Jl. Sultan Iskandar Muda N0.100 C Kebayoran Lama Utara,
Jakarta Selatan dan lokasi proyek di Jl. Sudirman, Belian, Nongsa, Batam.
Susunan pengurus PT NAS berdasarkan akta pendirian dan RUPSLB tanggal 2
Desember 2002 antara lain Drs. Poerwanto Lenggono sebagai Komut dan Dewi Handayani
Tan sebagai Dirut masing-masing memiliki 49,68% dan 49,607% dari nilai saham sebesar
Rp31.000,00 juta
Outstanding kredit PT NAS posisi per 31 januari 2005 adalah sebesar Rp29.997,57
juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Dari pemeriksaan terhadap dokumen PT NAS diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Pengikatan jaminan PT NAS belum sesuai dengan ketentuan Pedoman Kebijakan
dan Prosedur Kredit Buku I
Berdasarkan surat No. 10/NAS-DIR/BTM/I/03 tanggal 3 Januari 2003 PT NAS
mengajukan fasilitas kredit untuk proyek perumahan Taman Mediterania (TMD) senilai
Rp25.823,00 juta. Proyek tersebut didirikan di atas tanah Penetapan Lokasi (PL) milik
PT Sawindo Putra Perkasa (PT SPP). Tanah tersebut dialihkan kepada PT NAS dengan
berdasarkan Akta Kuasa Menjaminkan No.108 tanggal 16 Desember 2000, Akta Kuasa
252

Untuk Menjual No.106 tanggal 16 Desember 2000, Akta Kuasa mengurus No.105 tanggal
16 Desembar 2000 dan Akta Kuasa untuk membangun No.107 tanggal 16 Desember 2000.
Berdasarkan akta-akta tersebut disyaratkan untuk melakukan pengikatan dalam bentuk
Perjanjian Penyerahan Jaminan dan pemberian Kuasa (PPJPK) sesuai surat
No.W.02/3.1/2063/R tanggal 29 Juli 2003 dan Butir I.12 perihal Syarat Disposisi antara
lain disebutkan akan diterbitkan PL berikut surat-surat lainnya atas pemecahan tanah dan
balik nama menjadi atas nama PT NAS. Selain itu berdasarkan Nota Intern Aspek hukum
Pengendali Resiko atas salah satu jaminan kredit PT NAS disimpulkan bahwa posisi bank
akan sangat lemah dihadapan hukum jika sewaktu-waktu hak PL PT SPP tersebut dicabut.
Selanjutnya diketahui bahwa pada saat disposisi kredit sesuai persetujuan dari KAW dan
Pimpinan Wilayah tanggal 19 Maret 2003, dokumen jaminan d.h.i. tanah dengan hak PL
belum dibalik nama atas nama PT NAS, bahkan berdasarkan memorandum No.
PBWJJ/18/VI/2003 tanggal 18 Juni 2003 PT NAS keberatan atas biaya yang harus
ditimbulkan dalam pengurusan tanah PL tersebut sehingga dibuatkan memorandum
perubahan persyaratan disposisi tersebut di atas.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04
point 6.3 bahwa pada saat kredit di realisir harus sudah dipenuhi antara lain Penetapan
lokasi (PL), SKEP dan Surat Perjanjian sudah atas`nama pemilik terakhir/yang dijaminkan
dan sudah diserahkan kepada notaris untuk peningkatan status kepemilikan menjadi
SHGB.
2) Terjadi penyaluran fasilitas kredit PT NAS kepada perusahaan afiliasi PT Sinar
Geliga Bestari (PT SGB)
PT SGB yang didirikan pada tanggal 17 Oktober 2002 dengan akta No. 93 oleh
Notaris Yandri Danto, SH di Batam bergerak dalam bidang konstruksi dan developer
T SGB tersebut adalah pemegang hak PL atas penggunaan dan penguasaan tanah lokasi
proyek Imperium Super Blok (ISB) seluas 182.089 m2 sesuai akta no.24 tanggal 12
September 2003 yang semula sesuai akta perjanjian No.6 tanggal 2 Mei 2003 adalah hak
dari PT Genta Prana dari Pemerintah Otorita Batam. Hak tersebut diambil alih PT SGB
meskipun menurut ketentuan Pemerintah Otorita Batam tidak boleh dialihkan haknya.
Berdasarkan pemeriksaan dokumen dan konfirmasi dengan RM diketahui bahwa
PT NAS melakukan penarikan kredit untuk pembangunan proyek ISB di Batam. Oleh
karena PT NAS dan PT SGB dimiliki dan diurus oleh pemilik dan pengurus yang sama
maka proyek PT SGB oleh Bank BNI dianggap juga proyek PT NAS. Secara hukum
fasilitas kredit diberikan kepada PT NAS, tetapi realisasinya adalah proyek PT ISB
sehingga disposisi kredit adalah untuk PT SGB melalui PT NAS.
Hal ini tidak sesuai dengan PK No.2003.025 dan No.2003.026 Pasal 2 bahwa
tujuan fasilitas kredit diberikan kepada PT NAS adalah tambahan modal kerja
pembangunan proyek property “Imperium Super Blok” tahap 1/ Cluster 1 sejumlah 242
unit ruko yang terletak di Jl. Jenderal sudirman, kelurahan baloi, Kec. Nongsa, Kota
Batam.
3) Bank BNI belum menerima laporan perkembangan usaha triwulanan PT NAS
secara tepat waktu tiap triwulan
253

Berdasarkan pemeriksaan terhadap dokumen kredit PT NAS diketahui bahwa
laporan perkembangan usaha triwulanan yang terakhir diterima adalah laporan bulanan
proyek untuk periode s.d. akhir Agustus 2004 atas proyek TMD dan ISB, sedangkan
laporan rincian pembelian/penjualan rumah, laporan persediaan rumah serta saldo hutang
piutang terakhir yang diterima oleh Bank BNI adalah laporan per 30 April 2004. Oleh
karena laporan bersifat triwulanan, seharusnya Bank BNI telah menerima laporan paling
akhir adalah periode Desember 2004.
Hal ini tidak sesuai dengan Persetujuan Perubahan PK No. (2) 2003.025 Pasal
Tambahan ayat 9.8.a laporan aktivitas usaha setiap triwulan berikut rinciannya antara lain
meliputi jumlah pembelian rumah dan bahan bangunan.
4) Bank BNI belum menerima laporan keuangan home statement secara tepat waktu
tiap triwulan
Laporan keuangan perusahaan (home statement) PT NAS yang diterima BNI s.d.
Februari 2005 adalah laporan per 31 Maret 2004, seharusnya laporan per 30 Juni, 30
September 2004 dan 31 Desember 2004. Laporan keuangan perusahaan tersebut terlambat
disampaikan lebih dari yang telah ditetapkan 30 hari sejak akhir masanya.
Hal ini tidak sesuai dengan PK No. 2004.006 Pasal 17 Hal-hal yang harus
dilaksankan penerima kredit ayat 2.2 Penerima kredit menyampaikan kepada bank dalam
bentuk dan dengan perincian yang dapat diterima oleh Bank laporan keuangan Home
Statement berupa Neraca dan perhitungan Rugi Laba periodik setiap triwulan berikut
penjelasannya yang telah disahkan oleh Direksi Perusahaan penerima kredit dengan
secepat mungkin tetapi tidak lebih lambat dari 30 (tiga puluh) hari sejak akhir masanya.
5) Bank BNI belum menjadi tempat penyaluran seluruh transaksi keuangan PT NAS
Dari laporan keuangan PT NAS baik yang audited per 31 Desember 2003 dan
home statement per 31 Maret 2004 diketahui bahwa atas rekening giro bank terdapat (2)
dua bank penyimpanan/penampungan yaitu Bank BTN dan Bank BNI sebagai berikut :
Nama Bank Nomer Rek. Audited 31-12-2003 Home Stat. 31-3-2004
BTN 000242-7 70.839.700,00 74.059.345,37
BTN Escrow 90.381.000,00 129.571.000,00
BNI 245.005533888.201 74.724.267,00 82.064.069,00
BNI 245.005533888.201 16.489.400,00 1.487,520,00
Total 252.434.367,00 287.181.934,37
Data di atas menunjukkan bahwa belum semua aktivitas keuangan PT NAS disalurkan
melalui Bank BNI, bahkan berdasarkan laporan home statement tersebut diketahui
sebagian besar yaitu Rp203,63 juta atau 70,91% masih melalui Bank BTN dari total
sebesar Rp287,18 juta.
Hal ini tidak sesuai dengan Persetujuan Perubahan PK No. (2) 2003.025 dan No.
(2)2003.026 tanggal 23 januari 2004 pasal tambahan ayat 7 bahwa ”Setiap penjualan unit
rumah di Komplek Taman Mediterania agar disetorkan ke rekening pinjaman penerima
254

kredit yang ada pada Bank” dan ayat 9.1 “Penerima kredit diwajibkan menyalurkan
transaksi keuangan melalui Bank” serta Perjanjian Kredit Nomor 2004.006 tanggal 23
Januari 2004 dalam pasal tambahan bahwa “Penerima kredit diwajibkan menyalurkan
transaksi keuangan melalui Bank”.
6) PT NAS melakukan investasi pada perusahaan afiliasi PT SGB
Sesuai dengan laporan keuangan home statement PT NAS per 31 Desember 2003
dan 31 Maret 2004 diketahui adanya rekening aktiva lain-lain ‘Investasi Imperium Super
Blok PT Sinar Geliga Bestari’ berupa fee tunai masing-masing sebesar Rp2.851,78 juta dan
Rp5.170,19 juta. Diketahui bahwa PT SGB ini adalah perusahaan afiliasi PT NAS dengan
alamat kantor dan pengurus serta pemilik yang sama yaitu Sutarmin Liem selaku
Komisaris dan Dewi Handayani Tan selaku Direksi dengan porsi saham per 30 Juni 2004
masing-masing sebesar 33,33% dan 14,96%.
Hal ini tidak sesuai dengan Persetujuan Perubahan PK No. (2) 2003.025 dan No.
(2)2003.026 tanggal 23 Januari 2004 pasal tambahan ayat 7 9.3 “Penerima kredit
diwajibkan untuk tidak melakukan tindakan-tindakan hukum berupa melakukan investasi
pada perusahaan lain, ” serta Perjanjian Kredit Nomor 2004.006 tanggal 23 Januari 2004
dalam pasal tambahan bahwa “Penerima kredit diwajibkan untuk tidak akan melakukan
tindakan-tindakan hukum berupa melakukan investasi pada perusahaan lain, ”.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1) Posisi Bank BNI atas jaminan yang diikat dengan PPJPK sangat lemah dihadapan hukum.
2) Proyek yang dibiayai atas nama PT SGB akan beresiko karena bukan nasabah Bank BNI
secara hukum.
3) SKM Bank BNI tidak dapat memantau perkembangan perusahaan secara lebih maksimal
dan kurang dapat mengamankan fasilitas yang diberikan serta penggunaannya.
Kondisi tersebut terjadi karena :
1) SKM Bank BNI memberikan disposisi kredit meskipun atas pengikatan jaminan belum
selesai dan sangat lemah jika ada gugatan dari pihak pemilik hak PL.
2) SKM Bank BNI tidak memberikan teguran dan sanksi atas pelanggaran perjanjian yang
telah disepakati dan kekurangan kelengkapan administrasi debitur.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Disposisi dilaksanakan karena syarat disposisi yang tercantum dalam SKK/PK telah
terpenuhi. Dalam perjalanan selanjutnya, karena tingginya biaya balik nama dan peningkatan
hak atas tanah (Rp2 milyar), maka debitur mengajukan permohonan agar tidak dilakukan
peningkatan hak atas tanah dan balik nama serta telah disetujui KPK.
2)Pada saat proses tambahan kredit untuk pembiayaan ISB diusulkan agar pembiayaan
dilakukan an. PT NAS mengingat perusahaan ini sudah eksis dan secara bank teknis lebih
layak untuk dianalisis/dievaluasi. Saat ini PT SGB telah memiliki legalitas usaha yang
lengkap sehingga pada review fasilitas PT NAS tahun 2005 akan dilaksanakan novasi dari
PT NAS menjadi PT SGB khusus untuk pembiayaan proyek ISB.
3)Bank BNI akan menindaklanjuti dengan menyurati debitur untuk melaksanakan hal-hal
sebagai berikut :
255

a) Agar menyerahkan laporan perkembangan proyek dan laporan perkembangan usaha
setiap bulannya tepat waktu dan debitur disurati satu bulan sebelum berakhirnya
periode laporan keuangan triwulanan agar penyerahan laporan keuangan tersebut dapat
dilaksanakan sesuai jawal yang telah disepakati dalam PK.
b) Akan dibuatkan schedule on the spot yang realistis untuk pelaksanaan pemantauan
kredit yang intensif.
BPK-RI menyarankan agar :
1) RM dalam mengelola kredit hendaknya memperhatikan ketentuan yang berlaku serta lebih
tegas dan aktif meminta debitur untuk mematuhi ketentuan dalam PK.
2) RM segera menyurati PT NAS untuk meminta laporan triwulanan yang belum diterima
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam PK, sekaligus mengingatkan kepada yang
bersangkutan agar kewajiban penyampaian laporan dapat dipenuhi tepat waktu.
1) Untuk melindungi kepentingan Bank BNI atas fasilitas kredit yang diberikan kepada PT
NAS, persetujuan exception yang diberikan oleh KPK atas permohonan debitur untuk tidak
melakukan peningkatan hak atas tanah dan melakukan balik nama menjadi PT NAS,
hendaknya ditinjau ulang karena hal tersebut telah menempatkan Bank BNI pada posisi
yang sangat lemah jika terjadi gugatan dari pemilik hak PL.
e. Bank BNI menanggung kerugian atas fasilitas kredit yang diberikan kepada
PT Indomirin sebesar Rp2.895,85 juta
PT Indomirin merupakan debitur hapus buku SKM Pekanbaru yang bergerak dalam
bidang usaha Industri Saw Timber dan Moulding. Perusahaan beralamat kantor di Jl.Masjid II
No.28 Pejompongan, Jakarta dan lokasi pabrik di Rengat, Riau. Perusahaan menjadi debitur
Bank BNI sejak tanggal 20 Januari 1994 dengan key person Lee Won Chui (kuasa usaha),
Danuar Darmo sebagai Dirut dan Hadi DarsonoTedjo sebagai Direktur perusahaan.
Fasilitas kredit yang diperoleh perusahaan per 27 Januari 1999 adalah sebesar
Rp4.574.99 juta dengan PK No. 94.008 – 94.012 tanggal 20 Januari 1994 dan Pk No. 94.046
tanggal 31 Oktober 1994. Perubahan kolektibilitas fasilitas tersebut yaitu dari Gol 1 ke 2
tanggal 31 Oktober 1994, Gol 2 ke 3 tanggal 1 Maret 1995, Gol 3 ke 4 tanggal 29 Desember
1995 dan hapus buku tanggal 29 Desember 1995.
Posisi kredit per 31 Januari 2005 yaitu tunggakan hutang pokok Rp2.895,85 juta,
tunggakan bunga Rp984,36 juta dan tagihan lain-lain Rp155,46 juta atau seluruhnya sebesar
Rp3.999,67 juta. Posisi kredit tersebut adalah posisi setelah dikurangi dengan hasil eksekusi
jaminan yang terkontrol (controlled) pada bulan Juli 1998 oleh Kantor Pengurusan Piutang
dan Lelang Negara (KP2LN) dan untuk jaminan yang tidak terkontrol sedang diupayakan
untuk dieksekusi yaitu jaminan perorangan atas nama Lee Won Chui dengan akta notariil
No.44 tahun 1993, atas nama Danuar Darmo dengan akta notariil No.45 tahun 1993 dan atas
nama Hadi Darsono dengan akta notariil No.46 tahun 1993.
Hasil pengujian lebih lanjut menunjukkan bahwa 2 (dua) tahun sejak fasilitas kredit
di tandatangani, kolektibilitas kredit PT Indomirin menjadi bermasalah sehingga akhirnya
pada tanggal 29 Desember 1995 dihapusbukukan. Selain itu dari perhitungan jaminan
diketahui bahwa nilai jaminan hanya mengcover 36,70% dari total fasilitas kredit, sehingga
total outstanding pokok kredit yang masih ada dan tidak tercover jaminan adalah sebesar
Rp2.895,85 juta atau 74,3%.
256

Kondisi jaminan tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub
Bab 04 Point 5 yang menyebutkan persyaratan jaminan per jenis kredit yaitu minimum CEV
(Controlled + Uncontrolled) adalah 100%.
Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI menanggung kerugian pokok kredit
sebesar Rp2.895,85 juta karena harus membentuk PPAP 100% ketika kredit tersebut macet.
Kondisi tersebut terjadi karena KPK dalam menyetujui fasilitas kredit kepada
PT Indomirin kurang memperhatikan pemenuhan persyaratan jaminan.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Fasilitas kredit kepada PT Indomirin adalah take over dari kredit macet atas nama PT
Kabinhu Sakti plus unpaid Bill yang dilakukan dalam rangka penyelamatan kredit. Pada saat
take over agunan kredit yaitu pabrik (bangunan dan mesin) sudah tidak layak berproduksi,
namun pihak investor (PT Indomirin) menilai masih layak dan hanya memerlukan biaya
investasi sedikit saja. Tetapi saat pabrik berjalan, terjadi kesulitan memperoleh bahan baku
kayu dan produksi tidak maksimal sehingga kewajiban kepada Bank BNI tidak terpenuhi dan
kredit menjadi macet.
2)Nilai agunan/jaminan pada saat dilelang hanya sebesar 36,70% karena bangunan sudah tua
dan tidak layak huni, mesin-mesin sudah tua dan rusak sehingga tidak dapat dioperasikan lagi
dan lokasi jaminan jauh diluar kota Rengat (dalam hutan).
BPK-RI menyarankan agar KPK dalam menyetujui kredit didasarkan pada analisis
yang cermat dan berhati-hati terutama pemenuhan persyaratan jaminan dan pemberian fasilitas
kredit untuk tujuan take over kredit yang telah digolongkan macet harus dihindari.
45. SKM Palembang
a. Pemberian kredit kepada PT GTD serta penghapusbukuannya belum sesuai dengan
ketentuan
T Graha Taruna Dwipa (GTD) didirikan pada tanggal 22 Agustus 1992, dan bergerak
dalam sektor usaha pengangkutan umum. PT GTD berlokasi di Jl. Raya Panjang Sribawono
Km.12,5 Tanjung Bintang – Lampung Selatan. PT GTD sudah menjadi nasabah Bank BNI
Cabang Panjang – Lampung sejak 5 Pebruari 1994 dan tanggal 24 Oktober 1994 menjadi
debitur BNI.
PT GTD mendapat fasilitas kredit sebagai berikut: tanggal 15 Nopember 2000 KI
sebesar Rp1.000,00 juta dan KMK Rp1.000,00 juta, tanggal 19 Maret 2001 KMK sebesar
Rp6.000,00 juta dan tanggal 17 September 2001 KMK sebesar Rp7.000,00 juta. Total fasilitas
PT SGB per 31 Desember 2004 sebesar Rp7.749,52 juta yang telah dihapusbukukan pada
tanggal 24 Desember 2002.
Dari pemeriksaan dokumen kredit PT GTD diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Analisa aspek keuangan PT GTD didasarkan pada laporan keuangan unaudited
257

Pada waktu analisa atas KI senilai Rp1.000,00 juta dan penambahan serta
perpanjangan KMK sebesar Rp7.000,00 juta, PT GTD hanya menyerahkan laporan
keuangan unaudited. Analisa kredit didasarkan pada data-data dari laporan keuangan
intern tersebut.
Hal tersebut tidak sesuai BPP Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 06 butir 06.1.C yang
menyebutkan bahwa penyampaian Audited Report diwajibkan bagi Debitur yang
memperoleh dan mengajukan tambahan kredit sehingga maksimum seluruh fasilitasnya
menjadi di atas Rp5 Milyar.
2) Jaminan tidak dinilai oleh perusahaan apraisal
Total fasilias kredit yang diterima oleh PT GTD adalah sebesar Rp8.000,00 juta.
Dari fasiltas tersebut PT GTD menjaminkan lima unit truk yang diikat secara Fiducia, satu
bidang tanah dan rumah tinggal SHGB, empat bidang tanah dan bangunan SHM, mesinmesin
dan persediaan barang yang diikat secara Fiducia tanah, bangunan, kendaraan dan
mesin-mesin senilai Rp11.733,29 juta. Dari pemeiksaan diketahui bahwa jaminan yang
diagunkan oleh PT GTD belum dinilai oleh perusahaan apraisal.
Hal tersebut tidak sesuai BPP Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 butir 04.1.b yang
menyebutkan bahwa penilaian agunan dilakukan untuk mengevaluasi agunan antara lain
meliputi: kondisi, lokasi, status kepemilikan, penetapan harga taksasi, dll. Penggunaan
apraisal (penilai) independen dalam menilai taksasi jaminan kredit berupa harta tetap
diwajibkan untuk seluruh segmen, sesuai Surat Divisi PAR No. PAR/4/902 tanggal 24
September 2001 bagi debitur baru dan debitur existing yang berada di golongan
performing (PL) dengan fasilitas kredit di atas Rp5 Milyar.
3) PT GTD tidak menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit KAP
Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa PT GTD belum pernah menyerahkan
laporan keuangan audited dan juga tidak dikenai penalty.
Hal tersebut tidak sesuai BPP Bab I Sub bab A Sub Sub Bab 06 butir 2.d.1 dan 2.e
yang masing-masing menyebutkan bahwa Penyampaian Audited Report ditetapkan untuk
Badan Usaha Swasta Nasional (BUSN), penyampaian Audited Report selambat-lambatnya
6 (enam) bulan setelah tutup buku, dan Berdasarkan Keputusan CPC No.54 tanggal 7 Juni
1996 ditetapkan bahwa keterlambatan penyampaian Audited Report dikenakan penalty
sebesar 0,25% p.a dari maksimum kredit dan diperhitungkan secara proposional sesuai
dengan lamanya.
4) Penghapusbukuan PT GTD belum sesuai ketentuan
Kolektibilitas PT GTD pada tanggal 30 Nopember 2004 adalah Diragukan (Gol.
IV). Terhadap fasilitas tersebut, pengelola MCW mengusulkan untuk dihapusbukukan.
Usulan tersebut disampaikan melalui Advis Penghapusbukuan/Penghapusan Pinjaman
Macet No. 010 tanggal 23 Desember 2002 dan disetujui pada tanggal 24 Desember 2002.
Pada tanggal 27 Desember 2002 kewajiban PT GTD dihapusbuku dengan total kewajiban
Rp.8.557,73 juta. Penagihan atas kewajiban PT GTD masih dilakukan oleh Bank BNI
sehingga total fasilitas pada 31 Desember 2004 adalah sebesar Rp7.749,52 juta.
Hal tersebut tidak sesuai BPP Bab I IV Sub Bab E Sub Sub Bab 01 butir II.1 yang
menyebutkan bahwa pinjaman yang akan dihapus buku harus memenuhi kriteria:
258

a) Pinjaman telah berada di golongan 5 (macet) dan sudah terbentuk PPAP sesuai
ketentuan, atau
b) Kredit telah diserahkan penagihannya kepada PUPN/BUPLN dan/atau Pengadilan
Negeri, atau
c) Telah menerima ganti rugi (klaim) dari perusahaan asuransi penjamin/ penjamin
(untuk kredit yang diasuransikan atau dijamin oleh perusahaan penjamin)
Masalah tersebut mengakibatkan Bank BNI menanggung kerugian sebesar Rp8.557,73
juta karena harus membentuk PPAP 100%.
Hal tersebut disebabkan Analis Kredit dan pengelola kredit PT GTD belum
sepenuhnya memperhatikan ketentuan intern.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)PT GTD semula dikelola oleh Bank BNI Cabang Panjang dan pada tanggal 8 Mei 2002
dipindahkan ke Kanwil dengan Kolektibilitas II. Kondisi debitur terus memburuk sehingga
kewajiban penyampaian audited report dan penilaian agunan oleh perusahaan appraisal tidak
dapat dipenuhi oleh debitur.
2)Sesuai Memo No.010 tanggal 23 Desember 2002, fasilitas kredit dengan kol.IV diusulkan
oleh Kanwil untuk dihapus buku dan disetujui oleh Kantor Besar tanggal 24 Desember 2002
dengan outstanding total Rp8,56 milyar dan kekurangan PPAP atas beban Kantor Besar
Divisi PKU.
3)Sejak tahun 2004 telah diupayakan penjualan asset/agunan secara dibawah tangan dan saat
ini masih terus dilakukan negosiasi dengan peminat serius.
BPK – RI menyarankan agar:
1) Pejabat Bank BNI dalam memberikan kredit kepada debitur tetap menekankan persyaratan
persetujuan kredit yang sehat.
2) Oleh karena fasilitas kredit kepada PT GTD telah dihapus buku, maka Pemimpin Divisi
UMN Kantor Pusat agar meminta Pemimpin SKM Palembang untuk menyelesaikan kredit
dengan memfokuskan pada penjualan barang jaminan. Jika pengurus PT GTD tidak
kooperatif lagi dalam menyelesaikan kreditnya, maka segera disampaikan kepada KP2LN
sesuai prosedur intern yang berlaku.
b. Pemberian KI kepada PT Okitania Pratama maksimum sebesar Rp15.000,00 juta belum
sepenuhnya sesuai ketentuan
PT Okitania Pratama (PT OP) didirikan pada tanggal 17 Januari 1994 dan bergerak
dibidang perkebunan kelapa sawit. Alamat pabrik di Desa Gunung Raja Kec.Beringin Kab.
Muara Enim Prop.Sumatera Selatan, sedangkan alamat kantor di Jl. Gajah Blok L No. 6
Komplek Kedamaian Permai Palembang.
Pengurus dan pemegang saham PT OP berdasarkan Berita Acara Rapat No.32 tanggal
12 Juli 2004 antara lain Johanes Sitorus sebagai Komut pemilik 40% saham dan Anthony
Sitorus sebagai Dirut pemilik 40% saham dari nilai saham sebesar Rp4.700,00 juta.
Fasilitas kredit yang dinikmati sesuai PK No.04.021-023 tanggal 2 Desember 2004
adalah sebesar Rp15.000,00 juta untuk refinancing pembelian kebun dan pembangunan kebun
259

kelapa sawit seluas 700 ha dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Sedangkan jaminan yang
diserahkan berupa tanah, bangunan dan kebun kelapa sawit dengan nilai pengikatan sebesar
Rp15.000,00 juta. Penilaian terakhir jaminan dilakukan oleh PT Sierlando International
Appraisal pada tanggal 6 Agustus 2004 dengan nilai appraisal sebesar Rp28.163,38 juta.
Dari pemeriksaan atas dokumen kredit diketahui hal-hal sebagai berikut :
1) Permohonan kredit PT OP belum sepenuhnya memenuhi persyaratan
Debitur mengajukan surat permohonan KI pada tanggal 10 Agustus 2004 tanpa
menyebutkan besarnya kredit yang diminta untuk membangun perkebunan kelapa sawit
seluas 1.159 ha.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 08 yang
menyebutkan bahwa pada saat pengajuan permohonan KI, debitur/calon debitur
diwajibkan melengkapi project proposal yang meliputi anggaran biaya pembangunan yang
dihitung oleh ahli teknis secara rinci.
Selain itu dari MAK diketahui bahwa legalitas usaha PT OP belum dilengkapi
dengan Perubahan Anggaran Dasar tahun 2004 yang disahkan oleh Menteri Kehakiman.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab A, Sub-Sub Bab 05 yang
menyebutkan bahwa legalitas usaha merupakan persyaratan umum suatu permohonan
kredit. Kelengkapan usaha suatu permohonan kredit yang harus dimiliki oleh pemohon
kredit antara lain yaitu akta pendirian berikut perubahan-perubahannya yang terbaru dan
pengesahannya dari Departemen Kehakiman.
2) Analisa atas laporan keuangan PT OP belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
Berdasarkan MAK yang dibuat pada saat pengajuan kredit diketahui bahwa
laporan keuangan yang dijadikan acuan dalam menganalisa keuangan PT OP adalah
laporan keuangan home statement (Unaudited) posisi 31 Desember 2003 dan 30
September 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I, sub bab A, sub-sub bab 06 yang
menyebutkan bahwa laporan keuangan audited wajib disampaikan oleh calon debitur yang
mengajukan permohonan kredit maksimum Rp5,00 milyar keatas. Terhadap ketentuan
tersebut diatas diberi aturan tambahan (catatan) sebagai berikut :
a) Tidak diperkenankan adanya penyimpangan (exception) atas kewajiban penyampaian
audited report.
b) Ketentuan kewajiban debitur/calon debitur untuk menyampaikan audited report
diperlakukan untuk debitur/calon debitur per individual.
c) Bagi anggota group yang maksimum kreditnya di atas Rp5,00 milyar wajib
menyampaikan audited report.
Dengan demikian laporan keuangan yang akan dianalisis seharusnya adalah laporan
keuangan audited.
3) Debt to Equity Ratio (DER) tidak memenuhi ketentuan maksimal 2,3 kali
Dari laporan keuangan tersebut diperoleh DER PT OP per 31 Desember 2003 dan
30 September 2004 masing-masing sebesar 38,58 dan 2,46.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab G Sub Sub Bab 05 yang
menyebutkan bahwa debitur harus memelihara ketentuan maksimum DER 2,30 kali.
260

Kondisi tersebut mengakibatkan kondisi keuangan PT OP kurang diyakini
kewajarannya karena menggunakan laporan unaudited dan adanya potensi risiko karena modal
perusahaan tidak bisa mengcover hutang-hutangnya.
Masalah tersebut terjadi karena Bagian Perkreditan belum sepenuhnya menjalankan
ketentuan yang diatur dalam BPP BNI.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa perubahan Anggaran Dasar PT OP telah
disahkan Menkeh RI pada tanggal 25 Nopember 2004 (menjelang penandatanganan PK
tanggal 2 Desember 2004) sehingga belum terungkap dalam MAK. Selain itu penyimpangan
DER yang terjadi telah diberikan exception oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini KPK+1
dengan surat No. UMN/2.2/1211/R tanggal 14 Desember 2004.
BPK-RI menyarankan agar Bagian Perkreditan mentaati dan menerapkan sepenuhnya
BPP Perkreditan dalam menganalisa permohonan kredit yang diajukan oleh debitur.
c. Pemberian fasilitas KMK kepada CV Abadi sebesar Rp15.000,00 juta belum sesuai
ketentuan
CV Abadi bergerak dalam bidang perdagangan meubel dan budidaya udang & kerapu
dengan alamat kantor Jl. Ikan Tongkol No 83, Teluk Betung, Bandar Lampung.
Susunan Pengurus CV Abadi yaitu Dinsyurah sebagai Pesero Pengurus (Direktur) dan
Welly Hartanto Pesero Komanditer (Pesero) Pasif.
Fasilitas kredit CV Abadi terdiri dari PK KMK aflopen No 04.019 dan PK KMK R/C
No 04.018 tanggal 3 Nopember 2004 masing-masing sebesar maksimal Rp5.000,00 juta dan
Rp7.500,00 juta untuk tambahan modal kerja budidaya (tambak) udang dan ikan krapu
(keramba) dan PK KMK R/C No 04.017 tanggal 3 Nopember 2004 maksimal Rp2.500,00 juta
untuk tambahan modal kerja usaha perdagangan meubel atau seluruhnya sebesar maksimal
Rp15.000,00 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Berdasarkan pemeriksaan dokumen kredit diketahui hal-hal sebagai berikut :
1) CV Abadi belum beroperasi tiga tahun sehingga belum dapat diberikan kredit
Dalam memorandum (PAK) dijelaskan bahwa CV Abadi adalah perusahaan yang
baru berdiri pada tahun 2003, usaha ini diawali dari usaha perseorangan yang dimiliki oleh
keluarga Willy Hartanto yang dirintis oleh kakeknya sejak tahun 1927, yang selanjutnya
diteruskan oleh ayah Sdr. Willly Hartanto, ketika ayahnya meninggal pada tahun 1974
usaha ini dipercayakan oleh keluarga kepada Sdr. Willy Hartanto. Usaha ini mula-mula
bergerak dalam perdagangan furniture atau mebel dengan nama usaha Toko Senen,
selanjutnya pada 1984 Sdr. Willy Hartanto melakukan diversifikasi usaha bisnis tambak
udang. Sedangkan fasilitas kredit kepada CV Abadi berupa KMK diberikan pada tanggal 3
Nopember 2004. Dengan demikian kredit diberikan sebelum aktivitas perusahaan dalam
bentuk produksi, penjualan atau operasional mencapai tiga tahun.
Berdasarkan BPP Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 10 butir 5, pemberian fasilitas
kredit kepada perusahaan baru tidak diijinkan atau dilarang. Yang dimaksud perusahaan
baru adalah perusahaan yang beroperasi kurang dari 3 tahun. Selanjutnya sesuai BPP Buku
I Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 05 point 04 ditegaskan bahwa lamanya beroperasi
261

perusahaan tidak dilihat dari tanggal pendirian atau akta anggaran dasar perusahaan,
melainkan dilihat dari mulainya aktivitas perusahaan dalam bentuk produksi, penjualan,
atau jasa secara nyata (operasional).
2) CV Abadi baru menyerahkan satu laporan keuangan audited
Hasil pengujian menunjukkan bahwa CV Abadi baru menyerahkan satu laporan
keuangan audited per 30 Juni 2004 dan per 31 Desember 2003 yang diaudit oleh KAP
Weddie Andriyanto dan rekan. Sedangkan laporan keuangan audited per 31 Desember
2004 sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005 belum disampaikan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I, Bab I, Sub Bab A, Sub – Sub Bab 06
yang menyebutkan bahwa penyampaian laporan keuangan untuk Badan Usaha Swasta
Nasional selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah penutupan tahun buku.
3) Total CEV Jaminan belum terpenuhi dan sebagian besar atas nama pihak ketiga
Melalui perhitungan penilaian jaminan kredit yang dilakukan oleh PT Sierlando
International Apraisal diperoleh data sebagai berikut:
a) Persyaratan jaminan controlled memenuhi syarat Bank BNI yaitu CEV Controlled
sebesar 57,414% dengan nilai taksasi Rp12.902,23 juta.
b) Total Jaminan belum memenuhi syarat Bank BNI yaitu hanya 75,43% dari total
fasilitas kredit yang diusulkan dengan nilai taksasi jaminan Rp20.752,03 juta.
Hasil analisa tim analis SKM Palembang menyatakan bahwa jaminan tidak mencukupi dan
beberapa dokumen berupa surat tanah tambak masih atas nama pihak ketiga karena
sebagian lahan tambak CV Abadi masih disewa dari pihak lain.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05
point 07 yang menyebutkan bahwa jaminan milik pihak ketiga berupa tanah dan bangunan
tidak dapat diterima sebagai jaminan kredit kecuali (surat CPC No 62 tanggal 5 Juni 1998):
a) Jaminan milik owner atau pengurus perusahaan;
b) Jaminan milik keluarga owner/pengurus perusahaan dalam hal ini, pengertian keluarga
adalah keluarga sampai dengan derajat pertama dalam garis lurus maupun garis
kesamping, termasuk dalam pengertian keluarga tersebut adalah suami/istri, anak,
bapak/ibu, kakak/adik, ipar, menantu, mertua;
c) Jaminan tersebut telah diserahkan ke Bank (sebelum berlaku ketentuan ini).
Masalah tersebut mengakibatkan posisi Bank BNI atas jaminan menjadi lemah
sehingga kepentingan Bank BNI menjadi kurang terlindungi dan Bank BNI tidak dapat
memantau perkembangan kondisi debitur sejak dini.
Hal tersebut terjadi karena adanya persetujuan exception yang diberikan oleh pejabat
KPK + 1.
Direksi PT BNI menjelaskan bahwa :
1) CV Abadi memang belum beroperasi 3 tahun, namun perusahaan tersebut merupakan
peningkatan status dari usaha perorangan Sdr. Welly Hartanto Bdn “Toko Senen” yang
beroperasi sejak tahun 1972 dan tambak udang sejak tahun 1984. Sesuai ketentuan,
peningkatan status dari usaha perorangan dimungkinkan dan harus dilakukan bila fasilitas
262

kredit yang dimohon lebh dari Rp2,5 miliar. Dengan demikian CV Abadi tidak termasuk
perusahaan baru karena telah beroperasi lebih dari 20 tahun.
2) Kekurangan jaminan telah mendapatkan persetujuan khusus dari pejabat yang berwenang.
BPK – RI menyarankan agar Pemimpin Divisi UMN Kantor Pusat meminta Pemimpin
SKM Palembang untuk menegur debitur agar menyampaikan laporan keuangan audited tepat
waktu dan mengusahakan pemenuhan kekurangan jaminan kepada debitur yang bersangkutan.
Adanya persetujuan exception tersebut tidak berarti bahwa kekurangan jaminan menjadi tidak
perlu dipenuhi karena hal tersebut akan menempatkan Bank BNI pada posisi yang tidak
menguntungkan jika kredit gagal dibayar kembali oleh debitur.
d. Pemberian kredit kepada Fa Kusda dengan outstanding sebesar Rp2.983,32 juta dan
US$710.07 ribu belum sepenuhnya sesuai ketentuan
Fa Kusda adalah usaha yang didirikan pada tahun 1963 dengan Akta Pendirian No.2
tanggal 6 Mei 1963 dihadapan Tan Thong Kie, SH Notaris di Palembang. Terakhir melalui
Akta Kuasa No.38 tanggal 24 September 1993 manajemen usaha diserahkan kepada Sdr. Joli.
Pada awalnya Fa Kusda bergerak dalam perdagangan kayu logs (kayu gelondongan) di
Sumatera Selatan. Dalam perkembangannya sejak tahun 1994 debitur hanya memproduksi
kayu gergajian yang diolah oleh PT Gentong Mas yang berubah namanya menjadi PT Sako
Indah Gemilang (Group Usaha Fa Kusda).
Pada tahun 1988 debitur mengalami kesulitan likuiditas akibat pembatalan ekspor
kayu logs oleh Dirjen Bea Cukai pelabuhan Boom Baru Palembang sehingga berdampak pada
kualitas kredit yang memburuk. Pada tahun 1994 fasilitas kredit Fa Kusda direstrukturisasi
sehingga pada tahun 1995 kondisi debitur mulai membaik. Akan tetapi pada tahun 2002
kondisi debitur memburuk lagi, sehingga Fasilitas KI/KMK (Onshore) direscheduling kembali
dan diberi tambahan kredit. Setelah diberikan tambahan KMKE, pada bulan Desember 2002
kolektibilitas debitur berada pada golongan lancar. Pada awal tahun 2003 kondisi debitur
mulai memburuk lagi, karena nilai ekspor yang semakin menurun. Pertengahan tahun 2003
tunggakan bunga semakin membesar, kewajiban pembayaran pokok tidak dapat dipenuhi,
sehingga kolektibilitas debitur memburuk. Usaha-usaha yang telah dilakukan untuk
penyelamatan Fa Kusda adalah:
1) Tahun 2002 diberi tambahan KMKE sebesar Rp1.500,00 juta sehingga fasilitas KMKE
menjadi Rp3.000,00 juta.
2) Tanggal 30 September 2002 fasilitas Kapitalisasi Bunga maksimum Rp1.857,00 juta
dijadwalkan kembali sejak bulan Juli 2003 s/d Agustus 2007.
3) Fasilitas Penggabungan KI/KMK maksimum Rp1.220,00 juta dijadwalkan kembali sejak
Agustus 1995 s/d Agustus 2007 dan bunga valas 6%.
4) Fasilitas Penggabungan KI/KMK maksimum Rp5.120,00 juta dijadwalkan kembali sejak
bulan Juli 2003 s/d Agustus 2007.
Fasilitas kredit Fa Kusda mengalami perubahan kolektibilitas yaitu dari gol. 1 ke 2
tanggal 31 Januari 2003, gol. 2 ke 3 tanggal 31 Maret 2003, gol. 3 ke 4 tanggal 31 Agustus
2003 dan gol. 4 ke 5 tanggal 30 Nopember 2003. Outstanding kredit Fa Kusda pada saat
hapus buku tanggal 30 Maret 2004 yaitu Fasilitas KMKE sebesar Rp2.983,32 juta dan
Fasilitas Penggabungan KI/KMK sebesar US$710.07 ribu.
Dari hasil pemeriksaan lebih lanjut diketahui hal-hal sebagai berikut:
263

1) Fa Kusda tidak menyampaikan laporan keuangan audited tepat waktu
Laporan keuangan Fa Kusda per 31 Desember 2002 diaudit oleh KAP Drs
Masyhur Hamdan ditandatangani pada tanggal 15 September 2003. Tanggal penyelesaian
tersebut menunjukkan keterlambatan, sehingga tanggal penyerahan secara otomatis juga
terlambat. Selain itu laporan keuangan audited per 31 Desember 2003 sampai dengan saat
pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005 belum disampaikan.
Hal tersebut tidak sesuai PK No.02.011 tanggal 30 September 2002 Pasal 17 ayat
2 yang menyebutkan bahwa penerima kredit menyampaikan ke Bank Neraca dan
perhitungan rugi laba yang telah diaudit oleh Akuntan publik terdaftar tidak lebih lama
dari 180 hari. Apabila melebihi 6 bulan setelah akhir tahun buku, penerima kredit
dikenakan denda.
2) Jaminan kredit tidak mengcover fasilitas kredit yang diberikan
Dari Memorandum Evaluasi Pemantauan dan Perpanjangan Kredit Sementara
tanggal 27 Agustus 2003 diketahui bahwa CEV Controlled jaminan sebesar 20,53% dan
total CEV sebesar 56,87%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04
Point 5 yang menyebutkan persyaratan jaminan per jenis kredit yaitu minimum CEV
Controlled 50% dan minimum CEV (Controlled + Uncontrolled) 100%.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1) Bank BNI menanggung kerugian sebesar sebesar Rp2.983,32 juta dan US$710.07 ribu
karena harus membentuk PPAP 100% ketika kredit tersebut macet.
2) Bank BNI kehilangan pendapatan dari denda yang tidak dikenakan.
Hal tersebut terjadi karena RM pengelola fasilitas kredit Fa Kusda belum maksimal
melakukan pengawasan.
Direksi PT BNI menjelaskan bahwa :
1)Audited report tahun buku 2003 tidak disampaikan karena tidak mampu lagi membayar fee.
2)Kekurangan jaminan akibat stock menurun dan nilai kredit dalam USD sebesar US$704.42
ribu meningkat cukup besar karena melemahnya Rupiah (kurs saat diberikan Rp1.800,00).
Untuk mengetahui nilai jaminan saat ini, debitur telah setuju untuk menilai kembali agunan
yang akan dilaksanakan oleh PT Satyatama Graha Tara dengan beban Fa. Kusda dengan cara
mencicil.
BPK – RI menyarankan agar Pemimpin Divisi UMN menginstruksikan RM untuk
mengusahakan pemenuhan kekurangan jaminan kepada debitur. Selain itu karena kredit sudah
hapus buku, Pemimpin Divisi UMN agar mengambil tindakan untuk meminimalisir jumlah
kerugian.
46. SKM Bandung
a. Pengelolaan kredit CV Pudak Scientific belum sepenunya sesuai dengan ketentuan
264

CV Pudak Scientific (CV PS) didirikan di Bandung pada tanggal 5 Juni 1981 dengan
akta No.8 oleh Harry Hardjito, SH. CV PS adalah perusahaan keluarga dan bergerak di bidang
industri alat peraga pendidikan dengan alamat kantor di Jl. Pudak No.4 Bandung dan pabrik di
Jl. Mekar Raya Kav. 12 Kawasan Industri Gede Bage, Bandung. Key person perusahaan
adalah Hendro Wangsanegara. Susunan pengurus CV PS sesuai dengan Akta Perubahan
Anggaran Dasar No.20 tanggal 30 Juni 1994 adalah Drs. Hendro Wangsanegara sebagai
Pesero Komanditer dan Zaenal Arief sebagai Direktur. CV PS menjadi debitur BNI Kanwil
Bandung sejak tanggal 5 Desember 2000.
Sampai dengan tanggal 9 Maret 2005 diketahui outstanding kredit yang diperoleh CV
PS adalah Rp42.844,45 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Dari hasil pemeriksaan atas berkas kredit CV Pudak Scientific diketahui
permasalahan sebagai berikut:
1) Pelanggaran PK atas ketentuan mengenai penyampaian laporan keuangan
Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa CV PS baru menyampaikan laporan
keuangan audit tahun buku 2003 pada tanggal 23 Agustus 2004, sesuai dengan tanggal
laporan KAP Sanusi, Supardi & Soegiharto No.03/AU/2-8/2004. Selanjutnya diketahui
bahwa atas keterlambatan penyampaian laporan tersebut tidak dikenakan denda oleh BNI
SKM Bandung, yaitu minimal sebesar Rp28,93 juta (0,25% x 84/360 x Rp49.600,00 juta).
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.2002.036 tanggal 29 November 2002 pada
pasal tambahan ayat 23 disebutkan bahwa “penerima kredit harus menyampaikan Laporan
Keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Terdaftar yang disetujui oleh
Bank BNI paling lambat bulan Juni setiap tahunnya atau 6 (enam) bulan setelah penutupan
tahun buku. Apabila penyampaian laporan keuangan audit disampaikan kepada Bank BNI
lebih dari 6 (enam) bulan setelah penutupan tahun buku, maka Penerima Kredit akan
dikenakan penalty sebesar 0,25% setahun setelah dihitung dari maksimum kredit secara
proporsional atas lamanya keterlambatan”.
2) Pelanggaran PK atas ketentuan mengenai penerimaan pinjaman dari bank lain
Sesuai dengan informasi Bank Indonesia (BI) No.2000/2001/3140/DPNP/IDPn
tanggal 14 Oktober 2002 diketahui bahwa disamping sebagai nasabah BNI, CV PS juga
tercatat sebagai nasabah BCA dengan total fasilitas Rp3.000,00 juta, yang terdiri atas
KMK sebesar Rp2.750,00 juta dan KI sebesar Rp250,00 juta atas nama “Yogya Medianet”
(group usaha CV PS) yang bergerak dalam bidang TV Kabel di Yogjakarta. Selanjutnya
diketahui bahwa perusahaan ini meminjam atas nama CV PS dari Bank BCA dan akan
dikeluarkan dari CV PS satu tahun kemudian. Fasilitas yang diberikan BCA tersebut tidak
tercantum dalam laporan keuangan audited tahun 2002 yang diaudit oleh KAP Rodi
Kartamulja, Budiman dan Rekan maupun dalam home statement per 31 Desember 2002
atau CV PS tidak mengungkapkan informasi tentang fasilitas kredit dari bank lain tanpa
memberitahukan terlebih dahulu kepada Bank BNI dan telah melakukan investasi dari hasil
kredit tersebut tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Bank BNI. Selanjutnya sesuai dengan
informasi BI No.5/29809/DPIP/DtB/BD/RHS tanggal 10-11-2003, diketahui bahwa CV
PS juga telah mendapatkan fasilitas kredit dari Bank Danamon sebesar Rp850,00 juta
dengan PK tanggal 17 Oktober 2002 yang digunakan untuk pembelian 1 (satu) unit mesin
“Citizen Cincom Branch CNC Model C121X dan 1 (satu) unit mesin Ikura LE20-3M,
265

yang akan dilunasi setelah mendapatkan fasilitas dari Bank BNI. Atas pelanggaran PK
dimaksud tidak ada teguran tertulis dari Bank BNI SKM Bandung.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.2002.036 tanggal 29 November 2002
pasal tambahan ayat 3 diatur bahwa penerima tidak diperkenankan menerima kredit dari
bank lain dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank atau pihak ketiga lainnya termasuk
fasilitas leasing sebelum kreditnya lunas.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1) BNI SKM Bandung kehilangan pendapatan dari denda kelambatan penyampaian laporan
keuangan audit yang tidak dikenakan minimal sebesar Rp28,93 juta.
2) Adanya pinjaman kepada bank lain dapat mempengaruhi kelancaran pemenuhan
kewajiban kepada Bank BNI.
Hal tersebut disebabkan oleh Pengelola debitur CV PS pada SKM Bank BNI Bandung
belum maksimal melakukan pengawasan.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1) Atas keterlambatan penyampaian laporan keuangan audited untuk selanjutnya akan
mendapat perhatian kami.
2) Pada dasarnya peminjam fasilitas kredit di BCA adalah Yogya Medianet milik pribadi
Ronald Malone (anak Komisaris CV Pudak) yang menggunakan nama CV Pudak
sehingga tidak tercantum dalam laporan keuangan 2002. Fasilitas KI yang diberikan Bank
Danamon sebesar Rp850 juta dinilai tidak signifikan dibandingkan dengan fasilitas yang
ada di BNI serta tidak mempengaruhi covenant CR dan DER perusahaan.
BPK – RI menyarankan agar RM meningkatkan pengawasan atas pengelolaan kredit
CV PS. Terhadap keterlambatan penyampaian laporan keuangan audited oleh CV PS, RM
agar mengirim surat kepada CV PS untuk mengingatkan bahwa kewajiban penyampaian
laporan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam PK hendaknya dipenuhi tepat waktu.
Demikian halnya terhadap pinjaman yang diterima oleh CV PS dari bank lain, Pemimpin SKM
Bandung agar memberikan teguran melalui surat. Hal tersebut dimaksudkan agar kepentingan
Bank BNI SKM Bandung terhadap pengembalian atas fasilitas kredit yang diberikan tetap
terproteksi
b. Fasilitas kredit yang diberikan kepada CV Selini Sinar Sakti (CV SS) sebesar
Rp8.338,00 juta tidak diawasi dengan baik sehingga menjadi bermasalah dan merugikan
Bank BNI
CV Selini Sinar Sakti (CV SSS) adalah perusahaan yang bergerak dibidang
distribusi/perdagangan pupuk, obat-obatan peralatan pertanian dan telah ditunjuk sebagai
distributor pupuk produksi PT Pupuk Kijang. CV SSS berlokasi di Jalan Raya Lemah Abang
Karawang. Susunan pengurus CV SSS berdasarkan akte notaris NY. Widary Tjandrasantosa,
SH No. 06 tanggal 20 Agustus 2001 adalah Endin Jaenudi sebagai Persero komanditer dan
Endang Slamet (alm) Persero pengurus/Direktur.
266

CV SSS telah menjadi debitur Bank BNI sejak tahun 2000. Fasilitas kredit yang
diterima yaitu KMK plafond sebesar Rp2.000,00 juta, KI plafond sebesar Rp500,00 juta
tanggal 18 Desember 2000, KI sebesar Rp828,00 juta, Bank Garansi (BG) sebesar Rp2.000,00
juta tanggal 3 Desember 2001 yang kemudian ditambah sebesar Rp1.700,00 juta tanggal 6
Maret 2002. Fasilitas KMK sebesar Rp2.000,00 juta dan Rp1.700,00 juta diperpanjang dan
digabung menjadi satu fasilitas KMK sebesar Rp3.700,00 juta tanggal 8 September 2003.
Bank Garansi digabung menjadi satu fasilitas BG sebesar Rp3.700,00 juta yang diperpanjang,
terakhir diatur dalam Perjanjian Penerbitan Bank Garansi (PPGB) No.2003/W04/008/GB
tanggal 8 September 2003. Selanjutnya diketahui bahwa fasilitas BG ini akhirnya efektif
menjadi KMK sebesar Rp3.697,00 juta dengan keluarnya persetujuan dari Pemimpin SKM
No.BDM/2/0153/R tanggal 23 September 2004 karena telah dicairkan akibat CV SSS tidak
sanggup melaksanakan kewajibannya kepada PT Pupuk Kujang.
Sesuai dengan Memorandum Analisa Penyelamatan No. 04/MAP/KPB tanggal 30
Agustus 2004 diketahui bahwa key person dari CV SSS ini yaitu Bapak H. Endang Slamet
meningal dunia pada tanggal 19 Juni 2004. Sejak yang bersangkutan meninggal dunia semua
kegiatan usaha berhenti, sehingga kelangsungan usaha sudah tidak ada. Hal tersebut terjadi
karena faktor kritis berupa kekuatan lobby almarhum sangat mempengaruhi kinerja
perusahaan. Hal tersebut mempengaruhi kewajiban perusahaan kepada Bank BNI yang
terlihat pada pergeseran kolektibilitasnya sesuai dengan form BNI 308, yaitu tanggal 31
September 2004 dari gol. I ke gol. II, tanggal 28 Oktober 2004 dari II ke III, tanggal 11
November 2004 dari III ke IV dan tanggal 27 Januari 2005 dari IV ke V.
Outstanding kredit CV SSS per 31 Desember 2004 adalah Rp8.335,20 juta dengan
kolektibilitas Macet (Gol. V). Kondisi jaminan terakhir adalah sebagai berikut :
1) Jaminan controlled sebesar Rp4.798,50 juta, sesuai Laporan Penilaian jaminan oleh
appraisal PT Actual Kencana Appraisal No. V04.1.10224.3 tanggal 4 Januari 2005,
sedangkan nilai likuidasi terakhir adalah sebesar Rp3.424,80 juta.
2) Jaminan uncontrolled berupa modal CV SSS sesuai dengan Laporan Kunjungan Nasabah
terakhir yaitu tanggal 2 September 2004 sebesar Rp51,88 juta.
Dengan demikian posisi jaminan terakhir s.d. saat pemeriksaan tanggal 15 Maret 2005 adalah
sebesar Rp3.476,63 juta.
Dari hasil pemeriksan terhadap dokumen-dokumen kredit CV SSS diketahui hal-hal
sebagai berikut :
1) Asset perusahaan diindikasikan digunakan untuk transaksi di luar usaha
perusahaan
Dari penelitian atas laporan keuangan CV SSS per 31 Desember 2003 dan laporan
kunjungan nasabah terdapat indikasi asset perusahaan digunakan diluar usaha yaitu
sebagai berikut :
a)Sesuai dengan laporan keuangan CV SSS per 31 Desember 2003 (unaudited)
- Terdapat rekening pekerjaan dalam penyelesaian sebesar Rp1.092,71 juta. Tidak
ada penjelasan lebih lanjut mengenai rekening tersebut di dalam penjelasan atas
laporan keuangan dan dokumen-dokumen lainnya.
- Terdapat biaya ditangguhkan sebesar Rp362,74 juta, dalam penjelasan atas
laporan laporan keuangan disebutkan bahwa saldo tersebut merupakan uang muka
267

pembelian tanah Kosambi, rehab rumah, biaya perubahan badan perusahaan dari
CV kepada PT Selini dan biaya penebusan kendaraan bermotor.
- Terdapat penggunaan asset perusahaan untuk perusahaan afiliasi dan pengurus
CV SSS.
Dalam neraca per 31 Desember 2003 terdapat piutang lain-lain sebesar
Rp454,52 juta yang sebagian besar merupkan piutang afiliasi kepada PT AMI
(pemiliknya adalah sdr.H. Endang dan merupakan distributor motor merk “TURBO”)
sebesar Rp296,43 juta, sisanya antara lain piutang kepada H. Endang S (atas nama
pribadi) sebesar Rp154,59 juta.
b)Sesuai dengan laporan kunjungan setempat tanggal 2 September 2004 terungkap antara
lain sebagai berikut :
− Pemakaian keuangan perusahaan untuk kepentingan politis yang telah
dipergunakan oleh almarhum yaitu lobby-lobby kepada para pejabat dan partaipartai
untuk menjadi Bupati Karawang serta melancarkan rencana Sdr. Iwan
Ridwan (pejabat yang ditugaskan menjadi pengganti H. Endang Slamet) yang saat
ini telah menjadi anggota legislatif.
− Biaya pernikahan almarhum di Surabaya dengan istri kedua sekitar Rp400,00 juta
dan renovasi rumah istrinya sekitar Rp300,00 juta.
2) Terdapat peningkatan biaya gaji dan fasilitas karyawan yang cukup signifikan
dalam keuangan CV SSS tahun 2002
Dari penelitian terhadap laporan keuangan CV SSS per 31 Desember 2002 dan
2001 yang telah diaudit oleh KAP Hasanudin,MSc, jumlah biaya administrasi umum
pada tahun 2002 sebesar Rp2.225,70 juta, diantaranya Rp1.116,33 juta adalah biaya gaji
dan fasilitas karyawan. Jumlah dimaksud meningkat cukup signifikan dibanding biaya
gaji dan fasilitas karyawan tahun 2001 yang hanya sebesar Rp65,10 juta. Terhadap
peningkatan yang cukup signifikan ini tidak ada penjelasan lebih lanjut (disclose) baik di
dalam catatan atas laporan keuangan maupun dalam dokumen lainnya dalam berkas
kredit. Hal tesebut mengindikasikan adanya trasnsaksi yang tidak wajar yang dilakukan
oleh pengurus CV SSS.
3) Hilangnya modal kerja perusahaan, tidak terpantau oleh Bank BNI SKM Bandung
Posisi aktiva lancar (modal kerja) yang dijadikan salah satu jaminan untrolled CV
SSS per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp8.255,23 juta. Selanjutnya sesuai dengan
dengan Laporan Kunjungan Nasabah terakhir yaitu tanggal 2 September 2004, jumlah
aktiva lancar hanya sebesar Rp51,88 juta yang terdiri atas kas Rp0,88 juta dan piutang
Rp51,00 juta. Hal tersebut menunjukkan hilangnya modal kerja perusahaan yang tidak
terpantau oleh Bank BNI SKM Bandung.
Kondisi tersebut belum sesuai dengan BPP Buku Bab III Sub A, Sub Sub Bab 01
mengenai ikhtisar Pemantauan Nasabah yang antara lain mengatur bahwa “Pemantauan
nasabah wajib dilakukan oleh setiap pejabat kredit antara lain untuk mendeteksi
perkembangan kredit yang kurang baik dan tingkat risiko kredit nasabah untuk
mengidentifikasi nasabah yang bermasalah dan dapat mengetahui masalah-masalah secara dini
agar lebih mudah diperbaiki ”.
268

Masalah tersebut mengakibatkan :
1) Bank BNI menanggung kerugian sebesar Rp8.335,20 juta karena harus membentuk PPAP
100% atas kredit macet tersebut.
2) Apabila tagihan pokok dikurangi dengan nilai likuidasi jaminan yang diserahkan CV dan
aktiva CV SSS yang tersisa, maka Bank BNI SKM Bandung berpotensi mengalami
kerugian sebesar Rp4.858,57 juta.
Hal tersebut disebakan oleh kredit yang telah diberikan kepada CV SSS tidak diawasi
dengan baik.
Direksi BNI menjelaskan bahwa :
1)Kredit menjadi bermasalah setelah key person meninggal dunia. Performance fasilitas kredit
memburuk dengan cepat. Pemantauan aktivitas keuangan sulit dilakukan karena aktivitas
usaha langsung berhenti total.
2)Naiknya biaya gaji dan fasilitas karyawan yang signifikan terutama adanya kenaikan gaji
karyawan. Bila pada tahun 2001 gaji karyawan rata-rata Rp180.000 per bulan/pegawai maka
tahun 2002 dinaikkan sesuai dengan UMR pada saat itu sebesar Rp470.500,00.
3)Posisi aktiva lancar (stok dan piutang) menurun tajam tahun 2004. Pemantauan atas modal
kerja mengalami kesulitan saat itu karena key person meninggal. Langkah-langkah
pengamanan kredit diarahkan pada penguasaan aset-aset yang bisa dikontrol oleh bank
terutama aset-aset tetap. Beberapa aset telah berhasil dijual bahkan dengan nilai yang lebih
tinggi dari nilai likuidasinya.
BPK-RI menyarankan agar RM meningkatkan pengawasan terhadap barang jaminan
dan aset-aset perusahaan yang masih ada dan mengupayakan penyelesaian kredit dengan
melakukan penjulan barang jaminan. Apabila dipandang debitur sudah tidak kooperatif lagi
dalam menyelesaikan kreditnya, maka kredit tersebut segera diserahkan kepada KP2LN sesuai
ketentuan intern Bank BNI.
c. Fasilitas kredit kepada PT Bintang Mitra Textindo sebesar Rp43.000,00 juta
dikategorikan pembiayaan beresiko tinggi
PT Bintang Mitra Textindo (Bimatex) adalah perusahaan yang bergerak dibidang
industri textil. Pada awalnya PT Bimatex berasal dari PT Pabrik Tenun Andir (PT PTA), yang
merupakan salah satu pabrikan yang produknya didistribusikan kepada PT Buana Talimas
(milik key person). PT PTA yang sebelumnya dimiliki keluarga Indrapradja tersebut berdiri
sejak tanggal 20 Januari 1949. Pada tahun 1994 PT PTA mengalami kesulitan likuiditas,
sehingga beberapa pemilik/pengurus PT Buana Talimas melalui sebuah perusahaan yang
bernama PT Bintang Adyagraha mengambil alih kepemilikan sekaligus kepengurusan PT PTA
tanggal 27 Juli 1995. Tanggal 29 Januari 1997 PT PTA diubah namanya menjadi PT Bintang
Mitra Texindo (PT Bimatex) dengan Akta Notaris James HR SH No.104. PT Bimatex
berlokasi di Jalan Raya Banjaran Km 14,9 Kabupaten Bandung (Pabrik) dan Jalan Wahid
Hasyim No.157 Jakarta Pusat (Kantor).
269

Pengurus dan pemegang saham PT Bimatex sesuai Akte Berita Acara Rapat No.4
tanggal 7 September 2001 antara lain Robert Yapari sebagai Komisaris pemilik 35% saham
dan Bubun Purwadi Limarga sebagai Dirut pemilik 30% saham.
Outstanding kredit PT Bimatex posisi per 31 Januari 2005 adalah Rp43.222,05 juta
dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Dari hasil pemeriksan terhadap dokumen-dokumen kredit diketahui bahwa pemberian
kredit kepada PT Bimatex dikategorikan pembiayaan beresiko tinggi seperti terlihat pada
kondisi sebagai berikut :
1) Pemberian kredit kepada PT Bimatex termasuk dalam pembiayaan dengan
kategori lampu merah (red light)
Berdasarkan MAK (PAK 02/1) terhadap permohonan kredit PT Bimatex tanggal 24 Juni
2004 diketahui bahwa mapping traffic light untuk sektor industri pengolahan tekstil, kulit
dan sandang tahun 2004 berada pada kategori red. Selanjutnya sesuai dengan Lembar
disposisi No. 2004.027 tanggal 24 Juni 2004 juga ditegaskan bahwa rating resiko industri
tekstil di BNI adalah 1 atau very high risk, yaitu sektor yang memiliki tingkat risiko
sangat tinggi untuk dimasuki. Penilaian ini sejalan dengan analisis makro kalangan
pengamat di berbagai media massa yang telah menetapkan sektor industri Tekstil dan
Produk Tekstil sebagai sunset industri di Indonesia.
2) Pada saat analisi kredit, kondisisi kinerja keuangan PT Bimatex sedang mengalami
penurunan
Dalam analisa juga disebutkan bahwa rating industri very high risk, market share very
high risk dan profitabilitas juga high risk yang terlihat pada Laporan Keuangan
PT Bimatex per 31 Desember 2003 yang telah diaudit oleh KAP, terdapat kerugian
sebesar Rp8.427,15 juta sehingga kemampuan debitur untuk memenuhi likuiditasnya
kurang baik.
Berdasarkan BPP Buku I Bab I Sub Bab A Sub-Sub Bab 10 no.14 menyatakan bahwa
“Bank dilarang memberikan kredit baru dan/atau tambahan kredit terhadap proyek/obyek
pembiayaan yang sector/sub sector ekonominya pada kategori traffic light “pale red”
dan/atau”red”.
Masalah tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT Bimatex dengan
outstanding per 31 Januari 2005 sebesar Rp43.222,06 juta berpotensi menjadi kredit
bermasalah apabila pengelolaannya tidak diawasi secara ketat.
Hal tersebut disebabkan pejabat KPK dalam memutus persetujuan kredit tidak
memperhatikan mapping sektor ekonomi yang telah dibuat oleh Kantor Pusat Bank BNI.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Traffic light industri sub sektor termasuk pale red. Namun demikian pemberian fasilitas
kredit masih memungkinkan diberikan dengan beberapa pertimbangan sbb :
a) CRR = 5 (Marginal Risk)
b) Performance keuangan per Maret 2004 dalam kondisi likuid, solvabel dan profitabel
serta tidak ada penyimpangan CR dan DER.
270

c) Pengalaman usaha 34 tahun.
d) Space available per 31-12-2003 untuk sektor industri masih positif Rp786.352 juta
dengan space availabel sub sektor tekstil, sandang dan kulit Rp20.775 juta (light
green).
e) Kewajiban dibayar lancar sejak menjadi debitur tahun 2000 (kolektiblitas 1).
f) Penjualan sejak 2002 memiliki trend yang meningkat.
2)Pada tahun 2003, perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp8,42 milyar akibat tingginya
beban bunga yang harus dibayarkan kepada pemegang saham. Namun s.d. periode Mei 2004
(kumulatif) perusahaan memperoleh laba sebesar Rp1,7 milyar.
BPK – RI menyarankan agar dalam memberikan persetujuan kredit, pejabat KPK
hendaknya mempertimbangkan mapping sektor ekonomi yang telah dibuat oleh Kantor Pusat.
Jika suatu sektor ekonomi telah dikategorikan merah, maka sebaiknya ekspansi kredit pada
sektor tersebut dihindari. Hal tersebut dimaksudkan agar risiko kredit gagal bayar dan menjadi
bermasalah dapat dihindari.
d. Analisis pemberian kredit kepada PT Nico Taiyojaya dengan outstanding sebesar
Rp27.026,88 juta kurang cermat dan jaminan yang diserahkan tidak cukup untuk
mengcover kewajiban kreditnya
PT Nico Taiyojaya (PT NTJ) sebelumnya bernama CV Cakra Dinamika yang
didirikan dengan akta No.27 tanggal 31 Desember 1985, kemudian statusnya ditingkatkan
menjadi PT dan namanya diubah menjadi PT NTJ dengan akta perubahan No.133 tanggal 23
Maret 1997 oleh Notaris Wiratni Ahmadi, SH. Perusahaan bergerak dalam bidang industri
mutton (pemrosesan bulu domba menjadi karpet, tempat duduk, karpet untuk tidur dan sandal)
yang seluruh produknya diekspor ke Jepang. PT NTJ beralamat di Jl. Bojong Salam, Kec.
Cikancung Cicalengka, Bandung dengan key person Chandra Mardiyana.
Pengurus dan pemegang saham PT NTJ antara lain Suriwati Affan sebagai Komisaris
pemilik 5% saham dan Chandra Mardiyana sebagai Dirut pemilik 70% saham. Sesuai akta
Perubahan No.255 tanggal 26 Agustus 1997 berubah menjadi Dana Valianti sebagai
Komisaris pemilik 5% saham dan Chandra Mardiyana sebagai Dirut pemilik 90% saham.
PT NTJ menjadi debitor sejak tanggal 27 Maret 1996. Fasilitas yang diterima PT NTJ
sampai dengan dihapusbukukan pada tanggal 31 Mei 2000 sebesar Rp26.834,69 juta
(diantaranya pokok KI Rp5.126,10 juta dan KMK Rp21.280,62 juta). Outstanding pinjaman
PT NTJ per 31 Desember 2004 adalah Rp27.026,88 juta.
Dalam pemeriksaan atas berkas kredit PT NTJ diketahui hal-hal sebagai berikut :
1) Analisis kredit kurang cermat terutama dari aspek produksi, pemasaran dan
manajemen
a) Kurang cermat dalam menganalisis aspek produksi
Disamping adanya krisis moneter, penyebab lain dari permasalahan kredit PT NTJ
adalah kurangnya analisis produksi yang diketahui setelah kredit ini ini berjalan
sesuai Dokumen Call Memo tanggal 17 Mei 2000, antara lain yaitu :
− Ketergantungan ahli produksi kepada satu orang yaitu Sdr. Murohara dan ini
diperparah dengan tidak adanya kaderisasi dalam pengelolaan produksi.
271

− Ketergantungan bahan baku full skin (kulit domba) seluruhnya impor dari
Australia dengan menggunakan valas yang sensitif terhadap perubahan kurs.
− Dalam proses produksi dan proses deying PT NTJ masih masih tergantung
kepada PT Sinar Baskara di Sentul, Bogor. Hal ini menyebabkan produksi
perusahaan tersebut tidak dapat dikontrol secara langsung oleh PT NTJ.
b) Kurang cermat dalam menganalisis aspek pemasaran
− Belum memiliki alternatif pasar selain Jepang.
− Pemasaran hanya mengandalkan satu penghubung (Murohara).
Ketergantungan ini menyebabkan tidak berjalannya perencanaan penjualan dan
produksi.
− Bargaining power dari buyer sangat besar dan dapat diputuskan secara sepihak
atau posisi PT NTJ sangat lemah. Pengiriman tetap harus konfirmasi buyer
terlebih dahulu, bila tidak dilakukan hubungan bisnis akan putus dan Sdr.
Murohara sangat berperan dalam penjualan ini.
c) Kurang cermat dalam melakukan analisis aspek manajemen
− Sdr. Chandra Mardiyana sebagai Direktur Utama tidak berani mengambil
terobosan untuk memasarkan sendiri hasil produknya ke buyer lain selain di
Jepang karena alasan pribadi yaitu ikatan historis yang sangat kuat dengan Sdr.
Murohara meskipun banyak permintaan langsung kepada PT NTJ, tetapi
manajemen selalu menghendaki setiap pembeli harus lewat Sdr. Murohara.
− Sdr. Chandra Mardiyana tidak dapat membedakan antara hubungan bisnis
dengan pribadi dan terlalu mempercayakan semua urusan produksi dan penjualan
kepada Sdr. Murohara.
− Sdr. Chandra Mardiyana tidak dapat mengetahui secara jelas hasil penjualan
karena penjualan yang dilakukan oleh Murohara di Jepang secara eceran,
pengiriman tidak berdasarkan L/C hanya berdasarkan kepercayaan, manajemen
tidak dapat mengontrol dan memprediksi hasil penjualan yang akan diterima.
Kondisi-kondisi tersebut diatas kurang mendapat perhatian dalam analisis kredit pertama
kali yaitu dalam MAK No.96.016A tanggal 13 Maret 1996, terutama dalam analisis risiko.
Dalam analisis risiko hanya disebutkan secara umum perusahaan berisiko rendah dengan
rating manajemen, likuiditas, prestasi dan rating industri cukup baik. Disamping itu sumber
pembayaran utama (first way out) tampak pada cash flow dimana perusahaan mampu
mengembalikan kreditnya dalam jangka waktu tidak lebih dari 5 tahun.
2) Jaminan yang diserahkan tidak cukup untuk mengcover kewajiban kreditnya
Rincian jaminan yang diserahkan oleh PT NTJ kepada SKM BNI Bandung sesuai nilai
taksasi terakhir tanggal 16 Juni 1997 sebesar Rp5.678,70 juta dengan nilai pengikatan
sebesar Rp4.006,70 juta sehingga tidak mengcover nilai kewajiban PT NTJ per 31
Desember 2004 sebesar Rp27.026,88 juta.
Kondisi tersebut belum seusai dengan :
1) BPP Buku I Bab I Sub Bab D dan E Sub Sub Bab 01 tentang Tujuan Informasi Umum
Perusahaan dan Tujuan Analisa Informasi Bisnis Perusahaan serta Tujuan Analisa Risiko
dan Buku I Bab C Sub Sub Bab 01 tentang verifikasi data untuk menentukan kebenaran,
kewajaran, dan ketepatan data melalui on the spot ataupun pihak ketiga.
272

2) BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05 Hal 1 butir 5.a.1 perihal besarnya nilai
pengikatan Hak Tanggungan untuk Kredit Langsung ditetapkan bahwa dalam hal nilai
taksasi jaminan lebih kecil dari maksimum kreditnya, maka nilai pengikatan hak
tanggungan minimum sebesar nilai taksasinya.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1) Bank BNI menanggung kerugian sebesar Rp19.390,25 juta (pokok kredit) karena harus
membentuk PPAP 100% ketika kredit tersebut macet.
2) Bank BNI SKM Bandung berpotensi menderita kerugian minimal Rp21.348,18 juta (nilai
kewajiban debitur (pokok dan bunga) Rp27.026,88 juta - nilai taksasi jaminan terakhir
Rp5.678,70 juta).
Hal tersebut disebabkan Analis Kredit dalam menganalisa permohonan kredit PT NTJ
kurang mendalam yaitu pada aspek produksi, pemasaran dan aspek pemasaran.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Penilaian aspek-aspek produksi, pemasaran, manajemen serta aspek-aspek risiko lainnya
untuk selanjutnya menjadi perhatian kami.
2)Pada saat ini jaminan tidak lagi mengcover fasilitas kreditnya karena konversi dari valuta
USD ke valuta Rupiah dengan kurs yang lebih tinggi.
BPK – RI menyarankan agar :
1) Pemimpin Divisi UMN atau pejabat lain terkait di Kantor Pusat memberikan teguran
kepada Analis Kredit yang melakukan analisa kredit kepada PT NTJ, karena kurang
mendalam sehingga kredit tersebut menjadi macet dan bahkan telah dihapus buku.
2) RM mengupayakan penyelesaian kredit dengan melakukan penjualan barang jaminan yang
dikuasai oleh BNI. Apabila dipandang debitur sudah tidak kooperatif lagi dalam
menyelesaikan kreditnya, maka kredit tersebut segera diserahkan kepada KP2LN sesuai
ketentuan intern BNI.
e. Pemberian KMK kepada debitur PT Erlangga Bina Niaga Harmonia sebesar Rp5.000,00
juta menimbulkan kredit bermasalah
PT Erlangga Bina Niaga Harmonia (PT EBNH) didirikan pada tahun 1993 oleh Ir.
Handoko, kemudian pada tahun 1998 dibeli oleh Ir. H. Soenoto. PT EBNH merupakan
perusahaan yang bergerak dalam bidang industri pengolahan rotan dengan produk utamanya
kursi yang seluruhnya di ekspor ke luar negeri. Alamat kantor dan pabriknya terletak di Desa
Bodesari dan Desa Karangmulya, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon.
Berdasarkan Akta perubahan No. 27 tanggal 21 Desember 1998, pengurus dan pemilik
saham PT EBNH antara lain Ir. H. Soenoto sebagai Komut pemilik 97% saham dari nilai
saham Rp150,00 juta dan Ir. H. Deden Nursasih sebagai Dirut.
PT EBNH pertama kali mendapat KMK dari SKM BNI Bandung sebesar Rp5.000,00
juta sesuai PK No. 2001.026 tanggal 25 Oktober 2001. Fasilitas tersebut diperpanjang dan
ditambah sesuai PK No. 2003.023 tanggal 5 September 2003 sehingga menjadi Rp5.860,00
273

juta. Kredit kepada PT EBNH mulai bermasalah (Kurang Lancar) sejak tanggal 12 Januari
2004. Pada tanggal 12 April 2004 kolektibilitas kreditnya turun menjadi diragukan, tanggal 28
Mei 2004 KMK sebesar Rp5.000,00 juta dinyatakan macet sedangkan KMK transaksional
sebesar Rp860,00 juta telah dilunasi pada tanggal 4 Mei 2004 dengan cara PT EBNH menjual
jaminan tanah kosong yang tidak diikat hak tanggungan. Pada bulan September 2004 dihapus
bukukan dan ketika dihapus buku jaminan yang diikat sebesar Rp6.930,02 juta, sedangkan
nilai taksasinya sebesar Rp5.364,00 juta dari jumlah kewajiban sebesar Rp5.000,00 juta.
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan terhadap dokumen perkreditan PT EBNH,
diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) PT EBNH diberi exception untuk tidak menyerahkan agunan tambahan
PT EBNH merupakan debitur baru yang mendapat fasilitas KMK dari BNI SKM
Bandung. Sebagai debitur baru, untuk memperoleh kredit dari BNI maka berdasarkan
ketentuan intern dalam CPC No. 79 tanggal 16 Agustus 2001 butir 1.a.2, PT EBNH
diwajibkan untuk menyerahkan agunan tambahan berupa tanah/rumah tinggal yang
dimiliki dan ditempati oleh pengurus yang sekaligus sebagai pemegang saham atau sebagai
pengendali perusahaan. Berkaitan dengan agunan tambahan tersebut, Pgs Pemimpin
Wilayah (Pinwil) 04 Bandung dengan surat No. W.04/3.1/028 tanggal 22 Oktober 2001
mengusulkan kepada Sub Komite CPC Kantor Pusat yang dalam usulannya dikemukakan
bahwa PT EBNH tidak menyerahkan jaminan rumah tinggal wajar dipertimbangkan. Usul
Pinwil tersebut melanggar ketentuan intern yang fungsinya untuk memproteksi
kepentingan bank. Berkaitan dengan tidak ditegakkannya ketentuan intern tersebut,
meskipun Sub Komite CPC Kantor Pusat pada tanggal 7 Desember 2001 memberikan
persetujuan tetapi persetujuan tersebut diberikan dengan catatan keras bahwa
ketidakdisiplinan terhadap sistem harus mendapat teguran keras. Selain itu, exception
hanya diberikan satu tahun saja dan jaminan rumah tinggal dari pengurus PT EBNH
diusahakan untuk dipenuhi. Dalam pelaksanaannya meskipun persetujuan exception baru
diperoleh pada tanggal 7 Desember 2001 tetapi sebelumnya pada tanggal 31 Oktober 2001
BNI SKM Bandung telah merealisir pencairan KMK sebesar Rp5.000,00 juta. Terhadap
jaminan rumah tinggal tersebut, s.d. fasilitas KMK macet dan dihapus buku pada bulan
september 2004, dan bahkan s.d. hingga saat pemeriksaan tanggal 16 Maret 2005, jaminan
rumah tinggal dimaksud belum diperoleh.
2) Terdapat indikasi bahwa fasilitas KMK sebesar Rp5.000,00 juta diberikan oleh
PT EBNH kepada PT Toyamilindo yang merupakan perusahaan terafiliasi
Berdasarkan pemeriksaan terhadap Laporan Keuangan PT EBNH dan Laporan
Keuangan PT Toyamilindo per 31 Desember 2002 (Audited) dengan komparasi tahun 2001
(unaudited) diketahui bahwa pada Neraca PT EBNH tercatat Piutang Afiliasi sebesar
Rp5.000,00 juta dan dalam catatan atas Laporan Keuangan diungkapkan bahwa Piutang
Afiliasi tersebut adalah kepada PT Toyamilindo. Kemudian pada Neraca PT Toyamilindo
juga tercatat Hutang Afiliasi sebesar Rp5.000,00 juta dan dalam catatan atas Laporan
Keuangan diungkapkan bahwa Piutang Afiliasi tersebut adalah kepada PT EBNH.
Kemudian pada catatan atas Laporan Keuangan PT Toyamilindo akun Modal Saham,
diungkapkan bahwa sejak tanggal 10 November 2001 Ir. H. Snt yang merupakan Komut
274

dan pemegang 97% saham PT EBNH, juga merupakan Komut dan pemegang 90% saham
PT Toyamilindo. Dari keadaan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam waktu yang sangat
singkat setelah KMK direalisasikan pencairannya pada tanggal 31 Oktober 2001, Ir. H. Snt
selain membeli saham PT Toyamilindo, juga telah memberikan pinjaman sebesar
Rp5.000,00 juta kepada PT Toyamilindo. Atas transfer dana tanpa persetujuan dari Bank
BNI tersebut, tidak terdapat upaya dari Bank BNI SKM Bandung melakukan peneguran
secara tertulis.
Hal tersebut melanggar PK No. 2001.026 tanggal 25 Oktober 2001 pasal 18 huruf
e yang mengatur bahwa tanpa persetujuan dari Bank, penerima kredit (dhi. PT EBNH)
tidak diperkenankan memberikan pinjaman kepada siapapun kecuali transaksi dagang yang
berkaitan langsung dengan usahanya. Oleh karena usaha PT Toyamilindo bergerak dalam
bidang air minum dalam kemasan, sedangkan PT EBNH bergerak dalam bidang industri
rotan maka adanya pinjaman yang diberikan oleh PT EBNH keapda PT Toyamilindo
seharusnya tidak diperbolehkan.
3) Penilaian bahwa Key Person (Ir. H. Soenoto) cukup terbuka, jujur, kooperatif dan
selalu menjaga nama baiknya tidak tepat
Dalam MPK tanggal 23 Oktober 2001 antara lain disebutkan bahwa Key Person
(Ir. H. Snt, mantan Bendaharawan PAN) cukup terbuka, jujur, kooperatif dan selalu
menjaga nama baiknya. Dalam kenyataannya hal tersebut bertolak belakang dan tidak
terbukti yang terlihat ketika Pengelola PBW Bank BNI melakukan kunjungan ke lokasi
PT EBNH pada tanggal 2 Oktober 2003, yang bersangkutan kurang terbuka dan tidak
kooperatif. Jika Ir. H. Snt selalu menjaga nama baiknya maka yang bersangkutan
tentunya akan selalu berusaha memenuhi kewajiban membayar bunga dan pokok KMK
kepada Bank BNI. Dalam kenyataannya justru menunggak, bermasalah dan menjadi
macet. Sealain itu jika yang bersangkutan jujur, maka ketika akan mengalirkan dana
sebesar Rp5.000,00 juta kepada PT Toyamilindo tentunya yang bersangkutan akan minta
persetujuan terlebih dahulu dari Bank BNI. Dari hal-hal tersebut terbukti bahwa penilaian
tentang diri Ir. H. Soenoto dalam MPK tidak sepenuhnya tepat.
4) Debitur PT EBNH tidak memenuhi kewajibannya untuk menyampaikan neraca dan
perhitungan laba rugi triwulanan dan laporan keuangan tahunan audited
PT EBNH tidak memenuhi kewajibannya untuk menyampaikan neraca dan perhitungan
laba rugi periodik triwulan I, II, III, dan IV tahun 2003, Laporan Keuangan per 31
Desember 2003 yang telah diaudit serta laporan triwulan I dan II tahun 2004 sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 17 PK No. 2001.026 tanggal 25 Oktober 2001. Terhadap masalah
tersebut, BNI SKM Bandung tidak melakukan peneguran secara tertulis.
Hal tersebut belum sesuai dengan PK No. 2001.026 tanggal 25 Oktober 2001 pasal
17 ayat 2 huruf a menyebutkan penerima kredit menyampaikan kepada Bank dalam
bentuk dan dengan perincian yang dapat diterima Bank:
a. Neraca dan Perhitungan Laba Rugi periodik (triwulanan) berikut penjelasannya yang
telah disahkan oleh Direksi perusahaan penerima kredit tidak lebih lambat dari 30
hari.
275

. Neraca dan Perhitungan Laba Rugi dari perusahaan penerima kredit yang telah
diaudit oleh Akuntan Publik terdaftar yang disetujui oleh Bank.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1) Bank BNI menanggung kerugian sebesar Rp5.000,00 juta karena harus membentuk PPAP
100% atas kredit macet tersebut.
2) Tujuan pengendalian intern perkreditan untuk mengamankan dan melindungi kredit yang
diberikan tidak sepenuhnya tercapai.
Hal tersebut disebabkan oleh :
1) Pengawasan oleh RM terhadap kredit yang diberikan kepada PT EBNH masih lemah
2) Persyaratan laporan yang harus diserahkan oleh debitur yang diatur dalam PK belum
cukup memadai untuk mencegah timbulnya penyalahgunaan kredit dati tujuan yang telah
ditetapkan (Laporan yang disyaratkan triwulanan dan bukan bulanan)
3) Adanya karakter yang tidak baik dari pengurus Sdr. Ir. H. Snt.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Pada saat ini sulit dimintakan jaminan berupa rumah tinggal karena kredit sudah berada pada
golongan Hapus Buku dan debitur yang bersangkutan sudah tidak kooperatif lagi. Namun
demikian akan menjadi perhatian kami.
2)Penyalahgunaan KMK diketahui oleh pihak Bank setelah terjadi dan sulit untuk
dikembalikan lagi. Secara lisan telah dibicarakan dengan debitur yang bersangkutan namun
tanggapannya saat itu positif dalam artian tujuannya adalah untuk meningkatkan laba
perusahaan.
3)Penilaian terhadap key person (Ir. Soenoto) cukup terbuka, jujur, kooperatif dan selalu
menjaga nama baik didasarkan penilaian pada saat debitur masih dalam proses dan lancar
serta saat itu permintaan produk perusahaan ybs. mengalami booming. Namun ketika buyer
di LN menurunkan permintaan sehingga perusahaan rugi dan akhirnya kredit menjadi
bermasalah. Sejak itu Ir. Soenoto menjadi tidak kooperatif, sangat tertutup dan sulit diminta
data keuangan.
BPK-RI menyarankan agar :
1) RM meningkatkan pengawasan pengelolaan kredit PT EBNHdan atas laporan keuangan
triwulanan dan laporan keuangan audited yang belum diperoleh, RM agar segera
menyurati PT EBNH untuk meminta laporan dimaksud dapat dipenuhi tepat waktu
sebagaimana yang telah diatur dalam PK. Demikian halnya atas agunan tambahan berupa
tanah/rumah tinggal yang dimiliki oleh pengurus PT EBNH agar dimintakan kepada Sdr.
Ir. H. Snt.
2) Memasukkan Sdr. Ir. H. Snt dalam daftar hitam pengurus kredit macet Bank BNI sampai
yang bersangkutan dapat melunasi seluruh fasilitas kreditnya
3) Bank BNI SKM Bandung melakukan langkah-langkah yang efektif untuk mencegah
kerugian yang lebih besar.
276

47. SKM Surabaya
a. Pemberian fasilitas kredit kepada PT Anak Jaya Bapak Sejahtera belum sepenuhnya
sesuai ketentuan
PT Anak Jaya Bapak Sejahtera (PT AJBS) adalah perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan alat-alat teknik, seperti mur, baut dan sejenisnya yang berbentuk swalayan
sehingga dikenal juga dengan nama AJBS Swalayan. PT AJBS berdiri berdasarkan Akte
No.61 tanggal 24 Mei 2000 oleh Notaris Justicia Soetandio, SH di Surabaya. PT AJBS
termasuk group AJBS bersama PT Aneka Jaya Baut Sejahtera dan PT Sepanjang Baut
Sejahtera, dengan susunan pengurus dan pemegang saham PT AJBS sebagai berikut PT Aneka
Jaya Baut Sejahtera sebesar 99% dari nilai saham Rp562,00 juta dengan pengurus Suhartono
selaku Komut dan Adriantono Suhartono selaku Direktur.
PT AJBS mendapat fasilitas kredit Bank BNI sejak tanggal 24 Desember 2002 dengan
fasilitas kredit yang diterima seluruhnya sebagai berikut :
Jenis Perjanjian Kredit Plafond
(dalam juta Rupiah)
Tujuan Kredit
Kredit No. Tgl. Kredit
KMK 02.074 16 Sept 2003 10.000,00 Tambahan modal kerja
swalayan/perdagangan
KI 02.075 24 Des 2002 5.000,00 Pembelian SAP Ritel & pembukaan 2 gerai
Aflopend
di Didoarjo dan Krian
KI 03.057 16 Sept 2003 445,00 Pembukaan swalayan mur baut dan alat-alat
Aflopend
teknik untuk gerai AJBS Gresik
Jumlah 15.445,00
Jaminan yang diserahkan atas seluruh fasilitas kredit Bank BNI tersebut adalah tanah dan
bangunan dengan nilai taksasi Rp8.309,40 juta oleh PT Satyatama Graha Tara tanggal 17
September 2002.
PT AJBS mengajukan permohonan kredit dengan surat No.029/DIR-AJBS/AS/X/2002
tanggal 28 Oktober 2002 sebagai berikut:
1) KMK Maksimum Rp10.000,00 juta untuk tambahan modal kerja perdagangan (swalayan)
alat-alat teknik pada 4 gerai yang telah ada dan 2 gerai yang baru dibuka.
2) KI Maksimal Rp5.000,00 juta digunakan untuk pembiayaan pembelian SAP (System
Aplication & Product) dan pembukaan 2 gerai baru di Sidoarjo dan Krian.
3) Pre Approved Lines/PAL (standby plafond KI dan KMK) sebesar Rp26.438,92 juta untuk
pembiayaan proyek pengembangan AJBS Swalayan berupa rencana pembukaan 17 gerai
baru pada tahun 2003 – 2004.
Dari hasil pemeriksaan dokumen pada saat pembuatan Paket Aplikasi Kredit baru
(PAK) tanggal 14 Nopember 2002 diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Aspek perijinan/legalitas usaha
Akte pendirian yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman, dalam
hal pengumuman dalam Berita Negara dan Tambahan Berita Negara RI belum diserahkan
ke Bank. Ijin gangguan/lokasi atas 3 swalayan yaitu Jl Semarang, Jl Kebraon, dan Jl
Margomulyo serta 2 swalayan di Sidoarjo dan Krian belum diserahkan/ belum ada.
277

Hal tersebut belum sesuai dengan BPP Bab I, Sub Bab A, Sub-Sub Bab 05
diketahui bahwa legalitas usaha merupakan persyaratan umum suatu permohonan kredit.
Lebih jauh BPP mengatur bahwa kelengkapan usaha suatu permohonan kredit yang harus
dimiliki oleh pemohon kredit antara lain akta pendirian berikut perubahan-perubahannya
yang terbaru dan pengesahannya dari Departemen Kehakiman, SIUP/Ijin Industri/Ijin
Usaha sesuai dengan bidang usahanya dan UUG (Undang-Undang Gangguan).
2) Tambahan setoran modal belum diaktanotariilkan
Dalam laporan keuangan tahun 2001 pemegang saham menambah setoran modal
sebesar Rp12.716,50 juta dan pada tahun 2002 sebesar Rp2.575,00 juta. Setoran modal
tersebut belum dibuatkan akta notariilnya. Sampai dengan pembuatan Formulir Informasi
Umum (PAK 03/1) tanggal 25 Mei 2004 setoran modal sebesar Rp12.716,50 juta tersebut
belum diaktakan.
Hal tersebut tidak sesuai PK No.02.074 dan No.02.075 tanggal 24 Desember 2002
dalam Pasal Tambahan ayat 6.e menyebutkan adanya Surat Pernyataan dari PT AJBS
bahwa setoran modal oleh para pemegang saham sebesar Rp12.716,50 juta dan
Rp2.575,00 juta yang belum didudukkan dalam akta perubahan modal akan didudukkan
paling lambat pada bulan April 2003.
3) Laporan keuangan yang disampaikan masih Home Statement
PT AJBS mengajukan permohonan KMK sebesar Rp10.000,00 juta, KI sebesar
Rp5.000,00 juta dan PAL sebesar Rp26.438,92 juta, sedangkan laporan keuangan yang
diserahkan ke Bank BNI untuk dianalisa dalam pembuatan PAK adalah laporan per 31
Desember 2001 dan per 30 Juni 2002 masih dalam bentuk Home Statement (unaudited).
Hal tersebut belum sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 06
butir 6.1 yang menyebutkan bahwa penyampaian Audited Report diwajibkan bagi Calon
debitur yang mengajukan permohonan kredit maksimum di atas Rp 5 milyar.
4) Jaminan yang diserahkan khususnya CEV controlled belum memenuhi ketentuan
Pada saat pengajuan fasilitas KMK dan KI maksimum Rp15.000,00 juta nilai
jaminan controlled sebesar Rp4.508,66 juta atau 30,06% sedangkan nilai CEV jaminan
uncontrolled sebesar Rp12.240,86 juta atau 81,61%, sehingga total CEV jaminan sebesar
Rp16.749,52 juta atau 111,66% dari total fasilitas (PAK 06/1). Secara total CEV
memenuhi persyaratan 100%, tetapi CEV jaminan controlled belum memenuhi
persyaratan minimal CEV controlled sebesar 50%.
Hal tersebut belum sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04
butir 5 menyebutkan bahwa persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur dan non
debitur minimum CEV Controlled 50%.
5) Realisasi PAL sebesar Rp1.127,50 juta dijadikan fasilitas KMK dan KI
Dalam memorandum realisasi PAL tanggal 13 Agustus 2003 telah disetujui
realisasi PAL kepada debitur yang akan digunakan untuk usaha gerai AJBS Swalayan
Cabang Gresik sebesar Rp1.127,50 juta. Pencairan kredit sebesar Rp1.127,50 juta tersebut
dijadikan 2 jenis fasilitas kredit yaitu KMK dan KI masing-masing sebesar Rp682,50 juta
dan Rp445,00 juta, sedangkan fasilitas PAL untuk KI tidak diatur dalam buku BPP
Perkreditan.
278

Hal tersebut belum sesuai dengan BPP Buku I Bab II Sub Bab H Sub Sub Bab 05
halaman 2 butir c, yang menyebutkan bahwa fasilitas yang dapat diberikan dalam PAL
adalah KMK.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1) Analis Kredit dalam melakukan analisa permohonan kredit tidak memperoleh informasi
laporan keuangan yang lebih andal dan terpercaya karena yang digunakan bahan analisa
masih berupa laporan keuangan unaudited.
2) Dengan belum diperolehnya ijin gangguan/lokasi oleh PT AJBS atas empat lokasi usaha
yaitu di Jl. kebraon, Jl. Margomulyo, Jl. Sidoharjo dan Jl. Krian maka kepentingan BNI
untuk memperoleh kelancaran pembayaran kembali kredit menjadi kurang terlindungi.
Hal tersebut disebabkan :
1) RM belum sepenuhnya mematuhi dan menerapkan ketentuan yang telah diatur dalam BPP
ketika melakukan analisa kredit.
2) PT AJBS tidak memenuhi kesepakatan yang telah diatur dalam PK.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1) Pengumuman Berita Negara dan Tambahan Berita Negara atas akta pendirian saat ini
sedang dalam proses pengurusan. Dokumen tersebut telah diminta melalui SKK
No.SBM/2/3299/R tanggal 9 Agustus 2004. Untuk perijian atas ke 5 lokasi telah diminta
melalui SKK No.SBM/2/3299/R tanggal 9 Agustus 2004 dan yang telah diserahkan
adalah untuk swalayan di Jl.Semarang, sedangkan sisanya masih dalam proses
pengurusan.
2) Setoran modal yang telah diaktakan sebesar Rp5.000 juta (Pernyataan Keputusan Rapat
No.61A tanggal 20 Desember 2004). Sisanya akan didudukkan bertahap.
3) Saat proses kredit PAK tanggal 14 November 2002, laporan keuangan audited tahun 2001
masih dalam proses pembuatan. Untuk periode 30 Juni 2002 masih Home Statement
karena periode laporan auditnya adalah laporan keuangan yang berakhir pada 31
Desember 2002. Laporan keuangan audit 2001 dan 2002 diserahkan kemudian dan
dipergunakan untuk review kredit berikutnya.
4) Jaminan yang diserahkan, khususnya CEV Controlled, belum memenuhi ketentuan Bank.
Hal tersebut telah dimintakan persetujuan khusus bersamaan dengan pengajuan fasilitas
PAL, tetapi oleh pemutus dinilai tidak ada pelanggaran sehingga tidak diperlukan
persetujuan khusus. Disposisi KMK didasarkan ketersediaan jaminan dan telah diikat
sesuai ketentuan.
5) Sesuai BPP Buku I Bab II Sub Bab H.05 Hal.2 butir c, fasilitas yang dapat diberikan
dalam PAL dalam KMK, tetapi dalam BPP tersebut secara tegas tidak melarang
pemberian PAL dalam bentuk KI. Realisasi PAL Rp445 juta adalah untuk sewa (jangka
panjang) dan pembelian perlengkapan gerai swalayan sehingga lebih tepat didudukan
sebagai KI. Hal tersebut untuk meminimalkan risiko, pengembalian pinjaman telah diatur
sesuai jadwal angsuran. Pemberian PAL telah mendapat persetujuan KPK.
BPK RI menyarankan agar:
279

1) RM mematuhi dan menerapkan sepenuhnya serta memastikan bahwa seluruh persyaratan
untuk pemberian kredit dipenuhi oleh pemohon kredit, antara lain aspek perijinan/legalitas
usaha, audited report dan ketentuan yang mengatur mengenai pemberian fasilitas Pre
Approved Line
2) RM agar segera mengirim surat kepada PT AJBS untuk meminta yang bersangkutan segera
mengaktakan setoran modal sebesar Rp12.716,50 juta dan melengkapi kekurangan jaminan
controlled.
b. Pemberian fasilitas KMKE Onshore kepada PT Anita Vira Andika belum sepenuhnya
sesuai dengan ketentuan
PT Anita Vira Andika (PT AVA) sebelumnya bernama PT Aneka Industri Rotan yang
didirikan pada tahun 1979, kemudian diubah menjadi PT AVA tahun 1980. PT AVA bergerak
dalam bidang perdagangan rotan dan furniture rotan untuk pasar ekspor. Pemegang saham PT
AVA berdasarkan Akta No.3 tanggal 5 Pebruari 1991 adalah Ferry Lamo dan Yakobus
Gunawan masing-masing sebesar 50% dari nilai saham sebesar Rp564,00 juta. Sedangkan
susunan pengurus PT AVA antara lain Arnold Pieter Wenas sebagai Presiden Komisaris dan
Ferry Lamo sebagai Dirut.
PT AVA telah menjadi nasabah Bank BNI sejak tahun 1982, sedangkan group
usahanya sudah menjadi nasabah sejak tahun 1972. Sejalan dengan perkembangan usahanya,
pada tahun 1988 PT AVA mengambil alih fasilitas group usahanya. Oleh sebab itu total
kewajiban PT AVA pada BNI sebesar US$6,431.47 ribu dan Rp4.594,45 juta. Pada tanggal 20
Oktober 2003 PT AVA memohon pinjaman sebesar US$2,000.00 ribu. Selain itu PT AVA
juga mengajukan penjadwalan ulang atas KMKE onshore dan penambahan plafond L/C
sehingga menjadi US$200.00 ribu. Selanjutnya BNI menyetujui permohonan tersebut melalui
SKK No.W06/3/5382/R tanggal 29 Desember 2003. Dengan persetujuan tersebut maka
fasilitas PT AVA menjadi sebagai berikut:
(dalam ribu US$)
Fasilitas No. PK Tanggal PK Maksimum Jatuh Tempo
KMK Aflp (8)99.002 29–12- 2003 5,655.00 30-06-2009
KMK (3)02.060 29–12- 2003 1,500.00 13-11-2004
L/C Impor LC (3) 02.002 29–12- 2003 200.00 13-11-2004
IBP (5)99.002 30- 07- 2002 691.47 28-02-2008
Pada saat pemeriksaan tanggal 16 Maret 2005, kolektibilitas PT AVA adalah Kurang
Lancar (Gol. III). Tunggakan bunga PT AVA per tanggal 28 Pebruari 2005 adalah sebesar
US$1,205.05 ribu.
Dalam pemeriksaan atas fasilitas kredit PT AVA diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Jaminan PT AVA tidak mengcover fasilitas kreditnya
Jaminan PT AVA untuk permohonan tambahan fasilitas KMKE onshore sehingga
menjadi maksimum US$1,500.00 ribu adalah CEV Controlled 32,25%, Uncontrolled
47,68% dan Total CEV 79,93%. Terhadap fasilitas yang diterimanya, jaminan PT AVA
kurang mencukupi sebesar Rp13.566,28 juta atau 20,07%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04 butir 5
yang menyebutkan bahwa minumum CEV adalah 100% dan minimum CEV controlled
sebesar 50%.
280

2) Jaminan dengan nilai taksasi Rp2.358,00 juta belum diikat dengan sempurna
PT AVA menjaminkan tanah, bangunan, persediaan dan mesin-mesin. Semua
jaminan tersebut telah diikat sesuai dengan ketentuan, keculi 7 bidang tanah kosong yang
berlokasi di desa Cijantra, Legok, Banten dengan nilai taksasi Rp2.358,00 juta. Ketujuh
bidang tanah tersebut belum diikat secara sempurna, masih menggunakan Akta Jual Beli
(AJB) atas nama Drs Arnold Pieter Wenas.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 03 butir 3
yang menyebutkan bahwa Hak atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan kredit dengan
atau tanpa bangunan/tanaman diatasnya dibatasi pada hak atas tanah sebagai berikut, Hak
Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai diatas tanah negara. Hak atas
tanah selain dari keempat jenis hak tersebut diatas dimungkinkan untuk diterima sebagai
jaminan kredit berdasarkan keputusan khusus dari Direksi atau Komite Kebijakan Kredit
(CPC), misalnya tanah perkebunan.
3) DER PT AVA melampaui ketentuan
Dari laporan keuangan PT AVA diketahui hal-hal sebagai berikut:
Tahun
PT AVA
DER
Maksimum PT AVA
CR
Minimum
2000 (9,85) kali 2,40 kali 0,83 kali 1,20 kali
2001 26,69 kali 2,40 kali 0,84 kali 1,20 kali
2002 216,50 kali 2,40 kali 4,89 kali 1,20 kali
2003 94,64 kali 2,40 kali 2,78 kali 1,20 kali
2004 88,68 kali 2,40 kali 2,77 kali 1,20 kali
DER PT AVA pada tahun 2000 bernilai negatif, menunjukkan modal PT AVA adalah
negatif. Pada tahun 2001 sampai dengan 2004 DER PT AVA melebihi nilai maksimum
yang ditetapkan. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa kemampuan PT AVA dalam
memenuhi kewajibannya kurang baik.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub Bab G Sub Sub Bab 05 butir 05
yang menyebutkan bahwa ketentuan minimum CR dan maksimum DER untuk sektor kayu
dan kerajinan adalah 1.20 kali dan 2.40 kali.
4) Resiko umum PT AVA adalah cenderung tinggi
Pemberian tambahan kredit KMKE onshore dan penambahan plafond L/C pada
PT AVA mempunyai resiko yang cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh:
a) Industrial Rating Risk (IRR) untuk industri kayu dan hasil kerajinan kayu ratingnya
adalah 2, yang berarti berisiko tinggi.
b) Credit Risk Rating (CRR) adalah 5A yang berarti bahwa tingkat kemampuan nasabah
dalam membayar atau memenuhi kewajibannya kepada Bank berdasarkan kemampuan
first way out adalah marginal risk dengan 1 pelanggaran covenant (covenant DER).
c) Consumer Credit Rating (CCR) adalah 6A yang berarti bahwa kemampuan nasabah
dalam memenuhi kewajibannya kepada Bank berdasarkan second way out (jaminan)
adalah early warning dengan 1 pelanggaran covenant, yaitu DER.
d) Prioritas pemasaran PT AVA adalah C, yaitu peluang untuk memasarkan produkproduk
Bank BNI adalah relatif kecil.
281

e) Kualitas Aktiva Produktif adalah 2 (Dalam Perhatian Khusus) yang menunjukkan
bahwa debitur dalam restrukturisasi dengan pola Interest Ballon Payment (IBP).
f) Trafic light sektor industri pengolahan kayu adalah ‘pale red’.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku 1 Bab I sub bab A sub-sub bab 10 No.14
tanggal 16 Januari 2002 yang menyebutkan bahwa “Bank dilarang memberikan kredit
baru dan/atau tambahan kredit terhadap proyek/obyek pembiayaan yang sector/sub sector
ekonominya pada kategori traffic light “pale red” dan/atau”red”.
5) PT AVA tidak menambah jaminan kredit
Dengan adanya penambahan maksimum kredit, jaminan PT AVA semakin kurang
mencukupi. Oleh sebab itu dalam PPPK No. (3) 02.060 tanggal 29 Desember 2003 Pasal
Tambahan Angka 7 ditetapkan sebagai berikut:
a) Jaminan yang masih berupa AJB (Desa Cijantra) agar segera diselesaikan dan dibebani
Hak Tanggungan sesuai Nilai Taksasinya.
b) Asset yang tidak produktif agar diusahakan untuk segera dijual dan hasilnya untuk
menurunkan outstanding pinjaman.
c) Penerima Kredit agar mengupayakan tambahan jaminan untuk memenuhi kekurangan
jaminan yang diserahkan.
Namun sampai dengan pemeriksaan tanggal 16 Maret 2005, ketentuan tersebut
belum terealisir.
6) PT AVA tidak menyerahkan laporan triwulanan
Terhadap fasilitas kredit yang diterimanya, PT AVA diwajibkan untuk
menyerahkan laporan triwulanan. Sampai dengan pemeriksaan tanggal 16 maret 2005,
PT AVA tidak menyerahkan laporan triwulanan. PT AVA hanya beberapa kali
menyerahkan laporan keuangan semesteran. Laporan semesteran yang terkahir diterima
yaitu Semester I tahun 2004. Selain itu diketahui bahwa laporan semesteran tersebut tidak
dilengkapi dengan rincian per pos yang ada didalamnya.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 02.060 tanggal 14 Nopember 2002 Pasal
Tambahan butir 7.c yang menyebutkan bahwa penerima kredit wajib menyampaikan
Laporan Keuangan triwulanan (home statement) berupa neraca dan pernyataan laba/rugi
yang dilengkapi dengan perincian per pos yang ada di dalamnya.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1) Fasilitas kredit kepada PT AVA berpotensi menjadi kredit bermasalah.
2) Kepentingan Bank BNI untuk memperoleh pengembalian kredit dari second way out
(jaminan) kurang kuat karena selain nilai jaminan masih kurang sebesar Rp13.566,28 juta,
juga masih terdapat jaminan berupa tanah yang kepemilikannya berbentuk AJB (bukan
HM, HGB, HGU) sehingga belum dapat diikat secara sempurna.
3) Bank BNI SKM Surabaya tidak memperoleh informasi mutakhir mengenai perkembangan
usaha debitur sehingga dapat mempengaruhi efektivitas pengawasan kredit.
Hal tersebut disebabkan oleh :
1) Pejabat pengusul dan pemutus tambahan kredit KMKE onshore dan penambahan plafond
L/C belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan dalam BPP.
2) Pengawasan pengelolaan kredit yang dilakukan oleh RM belum maksimal
282

3) PT AVA tidak sepenuhnya mematuhi Perjanjian Kredit
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Sebelum krisis, kredit ybs dalam valuta USD. Saat krisis dikonversi menjadi pinjaman
Rupiah dengan kurs USD yang lebih tinggi. Setelah itu dikonversi kembali menjadi pinjaman
USD dengan kurs yang masih tinggi sehingga kenaikan nominal pinjaman tidak sebanding
dengan kenaikan nilai jaminan. Hal ini telah mendapat persetujuan khusus oleh pejabat yang
berwenang.
2)Aset tanah yang berlokasi di Kel.Cijantra Tangerang masih bebentuk AJB. Peningkatan hak
atas tanah menjadi SHGB masih dalam proses pengurusan (sesuai SK BPN Kanwil Propinsi
Banten No.7.3-550.2.28-2004) sehingga pengikatan hak tanggungan belum dapat
dilaksanakan. Terhadap asset ini telah dilakukan pendekatan untuk dilakukan penjualan dan
telah diupayakan penawaran ke nasabah melalui SKM Medan.
3)DER menjadi tinggi karena beban pinjaman USD yang semakin besar akibat fluktuasi kurs.
Upaya penurunan DER antara lain dengan menurunkan outstanding kredit melalui penjualan
jaminan telah mendapat persetujuan khusus dari pejabat yang berwenang.
4)Terhadap industri yang memiliki risiko tinggi telah dilakukan monitoring yang terus
menerus. Terhadap debitur ini dilakukan monitoring dengan kunjungan langsung minimal 1
bulan sekali.
5)Upaya untuk meningkatkan penguasaan dan pengembalian kredit melalui penjualan jaminan
masih terus dilakukan sampai saat ini. Penambahan jaminan untuk memperkuat second way
out juga telah dinegosiasikan dengan ybs.
6)Penyampaian laporan keuangan masih tetap dilakukan, namun memang sering terlambat.
Telah diupayakan untuk meminta menyerahkan laporan tepat waktu. Yang terakhir
diserahkan adalah periode Juni 2004.
BPK – RI Menyarankan agar :
1) RM meningkatkkan pengawasan atas pengelolaan kredit PT AVA dan atas laporan
triwulanan semester II tahun 2004 yang belum diterima hendaknya segera mengirim surat
untuk meminta laporan dimaksud sebagaimana yang telah diatur dalam PK tanggal 29
Desember 2003 dipenuhi.
2) Terhadap jaminan tanah yang masih berupa AJB yang peningkatan statusnya menjadi
SHGB masih dalam proses di BPN Banten agar terus dimonitor penyelesaiannya.
c. Fasilitas kredit PT Antika Raya dengan outstanding sebesar Rp48.436,85 juta belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
PT Antika Raya (PT AR) didirikan pada tahun 1976 dan beralamat di Jl. Demak No.
123 Surabaya dengan beberapa cabang/perwakilan yang tersebar di beberapa daerah yaitu
Semarang, Jakarta, Bandung dan Denpasar. Bisnis utama perusahaan adalah sebagai
perwakilan anti karat Tuff-Kotc Dinol USA, pembuatan box aluminium untuk kendaraan, bak
dump truck, steel cargo box, tangki minyak tanah/premium, pemadam kebakaran, mobil untuk
dalmas/anti huru hara dan bak untuk angkutan gas dan elpiji.
Perusahaan berbentuk perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki keluarga dengan
pemegang sahamnya antara lain Ferry Tenacious selaku Komisaris dan pemilik 33,33% saham
283

dan Hengky Tenacious selaku Dirut dan pemilik 33,33% saham dari nilai saham sebesar
Rp2.301,00 juta.
PT AR merupakan debitur baru BNI dengan fasilitas kredit yang diterima sejak
tanggal 2 Oktober 2003, terdiri dari KMK Revolving sebesar Rp30.000,00 juta dan KMK
Aflopend sebesar Rp10.000,00 juta. Total fasilitas setelah penambahan kredit sebesar
Rp11.500,00 juta tanggal 15 Desember 2004 adalah sebesar Rp51.500,00 juta. Outstanding
kredit per 28 Februari 2005 adalah sebesar Rp48.436,85 juta dengan kolektibilitas Lancar
(Gol. I).
Dari pemeriksaan atas dokumen perkreditan debitur PT AR diketahui hal-hal sebagai
berikut :
1) Pencairan kredit dilakukan sebelum syarat penarikan dipenuhi
Berdasarkan MAK No. PAK/039/2003 tanggal 7 Agustus 2003, No.
MAK/64/2004 tanggal 29 September 2004 dan No. MAK/74/2004 tanggal 8 November
2004 diketahui bahwa terdapat beberapa dokumen legal perusahaan yang belum
diserahkan kepada Bank BNI yaitu copy akte pendirian, akte perubahan anggaran dasar
tanggal 15 Januari 1997, akta peralihan pemegang saham dari Winarto Tejakusuma, Modi
Yosafat dan Sanusi kepada pemegang saham baru yaitu Hengky Tenacious dan Yanuar
Tenacious serta copy surat ijin gangguan (HO). Namun demikian, fasilitas KMK aplofend
telah dicairkan pada bulan Oktober 2003.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I sub bab A sub sub bab 05 yang
menyebutkan bahwa persyaratan umum suatu permohonan kredit untuk aspek legalitas
usaha antara lain akta pendirian berikut perubahan-perubahannya yang terbaru yang
disahkan dari Departemen Kehakiman dan Undang-Undang Gangguan. Kondisi tersebut
juga tidak sesuai dengan PK No. 03.058, No. 03.059 dan No. 03.060 tanggal 2 Oktober
2003 pasal tambahan point 6, untuk KMK maksimal Rp10.000,00 juta yang menyatakan
bahwa penerima kredit baru dapat melakukan penarikan atau disposisi setelah
menyerahkan copy akte pendirian.
2) Debitur melakukan investasi tanpa ijin dari Bank BNI
Dalam MPK No. 74/2004 butir I mengenai penetapan struktur fasilitas kredit dan
jaminan disebutkan bahwa sehubungan dengan banyaknya permintaan dari pasar, PT AR
membangun pabrik baru di daerah Margomulyo (terpisah dari lokasi yang ada) dengan
harapan dapat mengurangi antrian waktu pesanan ataupun menolak karena kelebihan
order. Pembangunan tahap II ini dibiayai dari dana/modal usaha sendiri termasuk untuk
pembelian mesin-mesin ex Jepang dan Jerman. Dalam PAK penambahan kredit tidak
dijelaskan mengenai rincian sumber pembiayaan sendiri atas investasi ini. Selain itu dalam
neraca PT AR audited per 31 Desember 2003 dan laporan home statement per 30
September 2004 diketahui bahwa terdapat peningkatan nilai Bangunan dalam Penyelesaian
yang cukup signifikan sebesar Rp3.250,77 juta dari sebesar Rp2.113,99 juta pada tahun
2003 menjadi sebesar Rp5.364,76 juta pada tahun 2004. Investasi tersebut dilakukan tanpa
adanya ijin tertulis dari Bank BNI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 03.058, No. 03.059 dan No. 03.060
tanggal 2 Oktober 2003 pasal 17 yang menyatakan bahwa tanpa persetujuan tertulis
terlebih dulu dari bank, penerima kredit tidak diperkenankan untuk melakukan investasi
284

atau penyertaan dan pasal tambahan point 14 bahwa KMK yang diberikan tidak
diperkenankan untuk investasi maupun penyelesaian hutang jangka panjang kepada pihak
ketiga lainnya.
3) Rating sub sektor industri pada saat penambahan kredit adalah red
Dari MAK No. PAK/039/2003 diketahui bahwa rating risiko industri untuk sektor
ekonomi industri pengolahan sub sektor perakitan dan logam dasar adalah 1 yang berarti
bahwa sektor tersebut berisiko sangat tinggi untuk diberikan pinjaman dengan prospek dan
kemampuan keuangan yang meragukan. Selain itu traffic light sektor sub sektor industri
pada saat pemberian kredit pertama kali adalah dark green. Namun pada saat penambahan
kredit traffic light sektor sub sektor industrinya adalah red. Atas dasar hal tersebut,
tambahan KMK yang diberikan akan dimintakan switching antar sektor kepada Div MAR
melalui Div UMN. Memo permohonan switching anggaran No. KMB/271/2004 tanggal 8
November 2004 disampaikan oleh SKM Surabaya kepada Div MAR melalui Div UMN.
Disposisi UMN tanggal 25 November 2004 menyetujui switching industri pengolahan ke
sektor ekonomi lainnya.
Dengan demikian pemberian tambahan kredit kepada PT AR sebesar Rp11.500,00
juta tidak sesuai dengan BPP Buku 1 Bab I sub bab A sub-sub bab 10 No.14 tanggal 16
Januari 2002, yang menyebutkan bahwa “Bank dilarang memberikan kredit baru dan/atau
tambahan kredit terhadap proyek/obyek pembiayaan yang sector/sub sector ekonominya
pada kategori traffic light “pale red” dan/atau”red”.
4) PT AR tidak mencapai target penjualan yang ditetapkan dalam PK
Penjualan yang dicapai PT AR sesuai dengan laporan keuangan audited per 31
Desember 2003 dan laporan home statement per 30 September 2004 masing-masing
sebesar Rp128.873,19 juta dan Rp123.222,53 juta. Penjualan tersebut tidak mencapai
target yang ditetapkan dalam PK.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No. 03.058, No. 03.059 dan No. 03.060
tanggal 2 Oktober 2003 pasal 2 yang menyebutkan bahwa target penjualan sebelum
penambahan adalah sebesar Rp132.575,00 juta, setelah perpanjangan menjadi
Rp152.577,00 juta dan setelah penambahan fasilitas menjadi Rp164.297,00 juta.
Kondisi tersebut mengakibatkan fasilitas kredit kepada PT AR dengan outstanding
sebesar Rp48.436,85 juta berpotensi menjadi kredit bermasalah.
Masalah tersebut terjadi karena SKM Wilayah 06 Surabaya belum sepenuhnya
menjalankan ketentuan dalam BPP Perkreditan dan masih belum optimal dalam memantau
realisasi kredit sesuai Perjanjian Kredit.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa:
1) Dokumen legalitas perusahaan seperti copy Akta Pendirian, Akta Perubahan Anggaran
Dasar tanggal 15 Januari 1997, Akta-akta Peralihan kepada pemegang saham serta
perijinan HO sudah dilengkapi sebelum kredit direalisir karena dokumen-dokumen
tersebut juga diperlukan untuk pembuatan PK.
285

2) Pembangunan pabrik baru sudah dimulai pada saat proses pemberian kredit yang pertama
kali (sebelum diberikan tambahan kredit). Investasi dibiayai sendiri dengan dana yang
berasal dari akumulasi laba perusahaan. Atas investasi yang dilakukan tanpa ijin tertulis
dari Bank, akan diberikan teguran secara tertulis.
3) Telah disetujui switching antar sub sektor oleh pejabat yang berwenang pada tanggal 25
November 2004 sebelum fasilitas kredit direalisir.
4) Target penjualan ditetapkan sebesar Rp132.575,00 juta per tahun, sedangkan realisasi s.d.
30 September 2004 sebesar Rp123.222,53 juta sehingga secara proporsional telah tercapai.
BPK-RI menyarankan agar RM meningkatkan pengawasan terhadap perkembangan
usaha dan cash flow PT AR untuk menjaga kelancaran pemenuhan kewajiban kepada bank.
d. Pemberian KI kepada PTPN XII sebesar Rp45.115,00 juta belum sepenuhnya sesuai
dengan ketentuan
PT Perkebunan Nusantara XII (Persero) (PTPN XII)merupakan peleburan PTP XXII,
PTP XXVI dan PTP XXIX. PTPN XX didirikan berdasarkan Akte No. 45 Notaris Harun
Kamil, SH tanggal 11 Maret 1996 dan 100% sahamnya senilai Rp200.000,00 juta dimiliki oleh
Pemerintah.
Pengurus PTPN XII yang diangkat berdasarkan SK Menteri Keuangan
No.249/KMK.05/2001 tanggal 30 April 2001 antara lain Ir. A.H Rahadian, M.Si selaku Komut
dan Ir. VHS Limbong selaku Dirut perseroan.
PTPN XII mendapat fasilitas kredit dari BNI sesuai PK No.03.030 tanggal 8 Mei 2003
maksimum sebesar Rp42.400,00 juta untuk tambahan biaya/refinancing penanaman sengon
dan PK No.03.031 tanggal 8 Mei 2003 maksimum sebesar Rp2.715,00 juta untuk tambahan
biaya pemeliharaan tanaman sengon.
Total kewajiban PTPN XII per tanggal 31 Desember 2004 adalah sebesar
Rp45.115,00 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I) karena masih dalam masa Grace
Period.
Dari hasil pemeriksaan diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) CR PTPN XII pada tahun 2002 dan 2003 tidak memenuhi ketentuan yang berlaku
Fasilitas KI PTPN XII dianalisis berdasarkan laporan keuangan tahun 2002. CR
PTPN XII pada waktu itu adalah sebesar 0,94 kali atau dibawah minimal CR yang
disyaratkan. Sedangkan CR pada tahun 2003 menurun menjadi 0,62 kali. Dengan
demikian PTPN XII tidak memelihara besarnya CR agar sesuai dengan ketentuan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab I Sub bab G Sub Sub Bab 01 butir 5
yang menyebutkan bahwa ketentuan minimal CR adalah sebesar 1.20 kali, dan Sub Sub
Bab 05 butir 05 yang menyebutkan bahwa Debitur harus memelihara ketentuan minimum
CR sebesar 1.20 kali.
2) PTPN XII tidak menyerahkan Audited Report Tahun Buku 2002 dan kurang tertib
dalam penyerahan laporan triwulanan
Dalam PK fasilitas KI PTPN XII disebutkan bahwa debitur mempunyai kewajiban
untuk menyerahkan laporan usaha berkala tiap bulan serta laporan keuangan triwulanan.
Selain itu debitur juga wajib menyerahkan laporan keuangan akhir tahun yang telah diaudit
286

oleh KAP. Hasil pengujian lebih lanjut menunjukkan bahwa laporan keuangan audited
tahun 2002 dan laporan triwulan III dan IV tahun 2004 belum disampaikan.
Hal tersebut tidak sesuai PK No.03.030 dan No.03.031 tanggal 8 Mei 2003 pasal
17 ayat 2 yang menyebutkan bahwa Penerima kredit menyampaikan kepada Bank dalam
bentuk dan dengan rincian yang dapat diterima oleh Bank yaitu laporan usaha berkala tiap
bulan serta laporan keuangan berupa Neraca & Rugi/Laba setiap triwulan.
3) Jaminan berupa tanaman sengon belum diasuransikan kembali
Fasilitas KI kepada PTPN XII digunakan untuk membiayai penanaman dan
pemeliharaan tanaman sengon. Oleh karena itu, tanaman sengon tersebut termasuk dalam
jaminan yang harus diasuransikan untuk mengurangi resiko Bank apabila terjadi sesuatu
terhadap jaminan tersebut. Jaminan tersebut telah diasuransikan kepada PT Tri Pakarta
dengan nilai pertanggungan sebesar Rp39.954,96 juta yang jatuh tempo pada tanggal 19
Desember 2004. Sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 16 Maret 2005, jaminan
tersebut di atas belum diasuransikan kembali.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.03.030 dan No.03.031 tanggal 8 Mei
2003 pasal 12 ayat 1 yang menyebutkan bahwa selama kredit berjalan barang-barang
jaminan yang dapat diasuransikan, wajib diasuransikan oleh Penerima Kredit kepada
Maskapai Asuransi yang ditunjuk dan disetujui oleh Bank terhadap resiko kerugian yang
macam resiko, nilai dan jangka waktunya ditetapkan oleh Bank.
Hal tersebut mengakibatkan
1) Kepentingan Bank BNI kurang terlindungi apabila kredit menjadi bermasalah.
2) Bank BNI tidak dapat secara dini memantau perkembangan usaha khususnya kondisi
keuangan debitur.
Masalah tersebut terjadi karena Bagian Kredit belum sepenuhnya menjalankan
ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa:
1) Rendahnya CR terjadi karena kewajiban pembayaran dana pensiun untuk pegawai tidak
tetap yang sebelumnya tidak wajib dibayarkan sehingga tercatat sebagai hutang jangka
panjang, sesuai ketentuan Menteri Keuangan harus dibayarkan sehingga kewajiban
tersebut dimasukkan dalam pos hutang lancar. Penyimpangan CR tersebut telah mendapat
persetujuan khusus dari pejabat yang berwenang.
2) Laporan keuangan audited tahun buku 2002 telah diserahkan oleh debitur, tetapi saat
pemeriksaan laporan tidak ditemukan sehingga telah dimintakan kembali kepada debitur.
Laporan triwulan III dan IV 2004 telah dimintakan kepada debitur.
3) Persetujuan khusus penutupan asuransi tanaman sengon telah diberikan oleh pejabat yang
berwenang dengan pertimbangan penutupan asuransi tersebut meningkatkan beban
perusahaan karena biaya premi sebesar 4% relatif tinggi. Selain itu penutupan asuransi
hanya terbatas risiko kebakaran, tidak mengcover risiko tanaman mati. Risiko kebakaran
tanaman perkebunan relatif kecil.
287

BPK-RI menyarankan agar RM memantau perkembangan usaha debitur,
memperingatkan debitur untuk memenuhi kewajiban penyampaian laporan tahunan audited
dan laporan triwulanan tepat waktu.
e. Pengelolaan fasilitas kredit CV Indonesia Indah dengan hutang pokok sebesar
Rp4.617,70 juta tidak sesuai ketentuan
CV Indonesia Indah (CV II) didirikan berdasarkan Akte No.52. tanggal 11 Februari
1978. CV II bergerak dibidang industri Karoseri Mobil dengan alamat di Jl. Trunojoyo No.165
Madiun Jawa Timur.
CV II mendapat fasilitas kredit dari BNI sejak tahun 1988 yang kemudian
diperpanjang dan ditambah sehingga fasilitas kredit yang diterima CV II sebesar Rp5.600,00
juta terdiri atas KI sebesar Rp2.500,00 juta dengan PK No.50 tanggal 22 Desember 1990,
KMK sebesar Rp1.400,00 juta dengan PK No.14 tanggal 10 Februari 1992, KMK sebesar
Rp1.200,00 juta dengan PK No.15 tanggal 10 Februari 1992 dan KMK sebesar Rp500,00 juta
dengan PK No.92 tanggal 8 Juli 1992.
Menghadapi perkembangan dan ketatnya persaingan usaha industri karoseri, CV II
melengkapi usahanya dengan mesin full pressed body. Namun adanya persaingan dari
perusahaan pabrikan automotif yang memproduksi kendaraan original body mengurangi
jumlah pesanan pekerjaan karoseri CV II. Sehingga kewajiban kredit CV II tidak dapat
dipenuhi yang mengakibatkan penurunan kolektibilitas. Perubahan kolektibilitas fasilitas CV II
yaitu dari gol 1 ke 2 tanggal 13 Oktober 1992, dari gol. 2 ke 3 tanggal 25 April 1993 dan dari
gol. 3 ke 4 (macet) tanggal 28 Agustus 1993. Kemudian fasiltas kredit diserahkan ke KP2LN
tanggal 8 Desember 1995 dan akhirnya dinyatakan hapus buku tanggal tanggal 29 Desember
1995. Nilai kredit yang dilimpahkan ke KP2LN yaitu sebesar Rp11.405,19 juta, terdiri dari
hutang pokok sebesar Rp4.617,70 juta, tunggakan bunga sebesar Rp6.727,87 juta dan beban
lainnya sebesar Rp59,63 juta.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen kredit CV II, diketahui hal-hal sebagai
berikut :
1)Penggunaan fasilitas KMK sebesar Rp3.100,00 juta tidak sepenuhnya sesuai
peruntukan
Usaha jasa karoseri CV II dimulai sejak tahun 1978 dan berkembang seiring
dengan bergairahnya usaha sektor automotif di dalam negeri. Kemudian pada akhir tahun
1990 CV II memperluas usahanya dengan melakukan investasi mesin-mesin dan bangunan
pabrik yang didukung oleh penerimaan KI dari BNI sebesar Rp2.500,00 juta dan
pembiayaan modal kerja sebesar Rp3.100,00 juta. Pengembangan usaha tersebut
memerlukan dana cukup besar, sehingga sebagian modal kerja CV II terserap pada
investasi tersebut. Menurut laporan keuangan CV II (audited) diketahui bahwa investasi
yang tertanam dalam aktiva tetap pada tahun 1991 sebesar Rp4.329,00 juta meningkat
cukup besar menjadi Rp7.991,00 juta. Sedangkan Net Working Capital CV II pada tahun
1991 sebesar 1.178 menurun menjadi minus 2.934 pada tahun 1992. Demikian pula
288

dengan laba setelah pajak tahun 1991 sebesar Rp592,00 juta menjadi minus sebesar
Rp454,00 juta pada tahun 1992. Menurunnya usaha tersebut merupakan imbas dari kondisi
automotif dalam negeri yang belum menentu akibat perubahan/deregulasi peraturan
industri automotif seperti perusahaan pabrikan kendaraan memproduksi kendaraan original
body. Sehingga pesanan karoseri perusahaan pabrikan mobil seperti PT Lautan Berlian
Utama Motor, Suzuki dan Daihatsu berkurang.
Menurut Memorandum Analisa Penyelamatan Kredit – MAP (BNI-301) diketahui
bahwa usaha debitur menurun tajam karena menipisnya modal kerja perusahaan akibat
dari pembayaran kewajiban kredit kepada BNI sebesar Rp1.600,00 juta untuk angsuran KI,
angsuran KMK dan pembayaran bunga. Selain itu modal kerja dipakai untuk investasi
gedung showroom, membeli mesin-mesin peralatan matras dan pembangunan ruang kerja
yang cukup besar guna menunjang usaha karoseri dengan system full pressed body.
Demikian pula berdasarkan Formulir Laporan Kunjungan Setempat (PAK-10) tanggal 4
Maret 1994 diketahui bahwa Direktur CV II mengakui bahwa macetnya pembayaran
kewajiban kredit BNI karena pendanaan terpakai dalam investasi mesin-mesin dengan
system full pressed body dan membangun gedung sarana penunjangnya. Upaya Direksi
CV II mengangkat kembali usaha karoserinya dilakukan dengan menyiapkan mesin
system full pressed body dan menerima pesanan dengan harga rendah yaitu menetapkan
keuntungan sebesar Rp0,20 juta per unit pada tahun 1992 kemudian dinaikkan menjadi
sebesar Rp0,50 juta s.d. Rp1,25 juta per unit kendaraan sesuai dengan kondisi usahanya.
Dengan demikian CV II memperoleh pesanan yang cukup meningkat, akan tetapi CV II
tidak dapat memenuhi pesanan tersebut karena kekurangan modal kerja. Sehingga
kewajiban kredit kepada Bank BNI pun tidak dapat dipenuhi.
Investasi pengembangan usaha CV II tersebut dilakukan tanpa ijin dari Bank BNI
sebagai pihak kreditor. Demikian pula penggunaan kredit modal kerja untuk pembayaran
pelunasan hutang KI maupun investasi tidak sesuai dengan peruntukan kredit modal kerja
yang diberikan untuk menunjung kebutuhan modal kerja karoseri.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.14 dan No. 15 tanggal 10 Februari 1992
dan PK No.92 tanggal 8 Juli 1992 yang menetapkan bahwa fasilitas kredit digunakan
untuk keperluan pembelian bahan/material usaha karoseri mobil CV II.
2)Sisa kewajiban sebesar Rp5.165,84 juta tidak dicover dengan jaminan
Pada saat penyerahan kredit kepada KP2LN tanggal 8 Desember 1995 dengan
surat Kanwil-06 No.W.06/3/4625/R posisi jaminan adalah sebagai berikut:
Jenis Bukti Kepemilikan Luas/M2
Taksasi
(Rp juta)
Pengikatan
(Rp juta)
T.B rumah, kantor dan tempat SHM No.502,538,570,571, T.10.079
Hipotik 6.043
kerja di Jl Trunojoyo No.165 574,615,315 & 1061 an.
Suherman
B.3.406 2.141 inc. mesin
TB rumah, gudang di SHM No.703,854, 653 & T. 11.615 672 Hipotik 872
Jl.Merak No.2 Madiun 689 an. Suherman & Ny. B. 818
Mesin-mesin Faktur/ kwitansi 1.740 Fee notaril
Jumlah T, 21694
B. 4.224
4.553 6.915
Berdasarkan Laporan Realisasi Penyelesaian Pinjaman Hapus Buku Triwulan III/2001
tanggal 5 Juli 2001, diketahui bahwa seluruh jaminan baik tanah dan mesin CV II di Jl.
Trunojoyo No.165 telah dicairkan/ditebus dan dilelang yang hasilnya untuk menyelesaikan
289

kewajiban kredit, sedangkan kewajiban kredit CV II per tanggal 30 September 2001 masih
tersisa sebesar Rp5.165,84 juta atau kewajiban kredit CV II tidak didukung oleh jaminan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 04
Point 5 yang menyebutkan persyaratan jaminan per jenis kredit yaitu minimum CEV
Controlled 50% dan minimum CEV (Controlled + Uncontrolled) 100%.
Kondisi tersebut mengakibatkan
1) Bank BNI menanggung kerugian pokok kredit sebesar Rp4.617,70 juta karena harus
membentuk PPAP 100%.
2) Sisa kewajiban kredit CV II sebesar Rp5.165,84 juta tidak didukung dengan jaminan.
Masalah tersebut terjadi karena pengelola kredit CV II belum optimal dalam
memantau penggunaan fasilitas kredit yang diberikan dan kurang memperhatikan pemenuhan
jaminan.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa penyelesaian pinjaman a.n. CV II bersumber
dari penjualan jaminan baik secara lelang maupun penebusan. Harga penebusan maupun lelang
rata-rata dibawah harga pasar karena nilai bangunan dan mesin-mesin menurun dan debitur
juga terkesan kurang kooperatif dalam menyelesaikan kreditnya. Setelah kredit diserahkan ke
KP2LN, Bank BNI dalam menentukan harga limit jaminan tidak diikutkan. Selain itu biaya
lelang yang tinggi juga mengakibatkan hasil lelang yang masuk ke BNI berkurang.
BPK RI menyarankan agar Direksi BNI memperingatkan pengelola kredit CV II
karena pemantauan yang tidak optimal dan kurang mematuhi ketentuan jaminan.
48. SKM Makassar
a. Pemberian dan pengelolaan kredit kepada PT Citratama Timurindo dan PT Pelayaran
Dillah Samudra dengan baki debet masing-masing Rp31.332,34 juta dan Rp25.644,49
juta belum sesuai ketentuan yang berlaku
PT Citratama Timurindo (PT CT)
PT CT yang tergabung dalam Dillah Group berdiri pada tanggal 25 Juli 1994 sesuai
Akta Notaris Budiono Widjaja, SH No.48 yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan
berlokasi di Jl.Pengayoman Jasper III No.7-9 Makassar Sulawesi Selatan. Susunan pemegang
saham dan pengurus PT CT sesuai akta Notaris Hendrik Jaury, SH No.69 tanggal 25 Juni 2003
anatara lain Hj. Amelia Fernando Lim sebagai Komisaris dan pemilik 16,67% saham dan
Tauphan Ansar Nur sebagai Dirut pemilik 77,23% saham.
PT CT dengan surat No.21/PK/CT/III/2004 tanggal 15 Maret 2004 mengajukan kepada
BNI Makassar untuk melakukan take over fasilitas sebagai berikut :
(Rp juta)
• Take over KI pada Bank Syariah Mandiri (BSM) 9.821,16
• Take over KI pada perusahaan leasing 5.200,00
• Take over Kredit Modal Kerja (KMK) pada BSM 5.000,00
290

• Take over KMK pada BPD Sulawesi Selatan Cab Sengkang 4.000,00
• Tambahan KMK konstruksi 10.000,00
Jumlah 34.021,20
Kemudian melalui Formulir IPK No.2004/015 K tanggal 7 Mei 2004 diudulkan untuk
diberikan KI dan KMK masing-masing maksimal sebesar Rp15.000,00 juta dan Rp19.000,00
juta dan disetujui KPK pada tanggal 26 Mei 2004 yang selanjutnya dituangkan dalam PK
masing-masing No.2004.030 dan No.2004.029 pada tanggal 28 Mei 2004.
Baki debet kredit PT CT per 31 Mei 2005 adalah Rp31.332,34 juta dengan
kolektibilitas Lancar (Gol. I).
PT Pelayaran Dillah Samudra (PT PDS)
PT PDS berdiri pada tanggal 15 April 1995 sesuai Akta Notaris Untung Darnosoewiryo,
SH No.88 yang bergerak di bidang industri transportasi laut. Kantor PT PDS berlokasi di
Jl.Pengayoman Jasper III No.7-9 Makassar Sulawesi Selatan. Susunan pemegang saham dan
pengurus PT PDS sesuai akta No.86 tanggal 12 Maret 2004 adalah Hj. Amelia Fernando Lim
selaku Komisaris dan pemilik 16,67% dan H. Tauphan Ansar Nur sebagi Dirut dan pemilik
77,23% saham.
PT PDS dengan surat No.12/PK/DS/III/2004 tanggal 15 Maret 2004 mengajukan kepada
BNI Makassar agar melakukan take over fasilitas sebagai berikut :
Rp juta
• Take over KI pada Bank Syariah Mandiri (BSM) 10.400,00
• Take over KI leasing pada PT SSV 700,68
• Tambahan Kredit Modal Kerja (KMK) pada BSM 3.500,00
Jumlah 14.600,68
Kemudian Bank BNI Makassar melanjutkan permohonan tersebut kepada KPK
dengan Formulir IPK No.2004/015 K tanggal 7 Mei 2004 yang mengusulkan agar diberikan
KI dan KMK masing-masing maksimal dan Rp3.500,00 juta dan disetujui KPK pada tanggal
26 Mei 2004 yang kemudian dituangkan kedalam PK masing-masing No.2004.032 maksimum
Rp11.100,00 juta dan No.2004.031 maksimum Rp3.500,00 juta pada tanggal 28 Mei 2004.
Kemudian PT PDS pada tanggal 17 September 2004 mengajukan tambahan KMK dan KI
untuk pembelian kapal tug boat dan tongkang sebesar Rp34.470,00 juta. SKM Makassar
dengan Formulir IPK No.031 tanggal 4 November 2004 mengusulkan tambahan kredit sebesar
Rp27.900,00 juta, terdiri dari KI sebesar Rp26.300,00 juta dan KMK sebesar Rp1.600,00 juta.
Usulan tersebut disetujui KPK tanggal 1 Desember 2004 sebesar Rp26.600,00 juta terdiri dari
KI sebesar Rp25.000,00 juta dan KMK sebesar Rp1.600,00 juta. Selanjutnya dituangkan
dalam PK KI No.2005.014 tanggal 23 Maret 2005 maksimum kredit Rp25.000,00 juta.
Baki Debet kredit PT PDS per 31 Mei 2005 adalah Rp25.644,49 juta.
Hasil pemeriksaan terhadap pemberian dan pengelolaan kredit menunjukkan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1) Analisa pemberian KI tidak didasarkan kepada feasibility study oleh konsultan
independen
Hasil pemeriksaan terhadap file debitur dan konfirmasi kepada RM diketahui
bahwa pemberian kredit kepada PT CT dan PT PDS tidak disertai dengan pembuatan
feasibility study karena KI yang diberikan merupakan kredit take over dari bank lain.
291

Kemudian analisa pemberian KI tambahan pada PT PDS untuk pembelian kapal sebesar
Rp25.000,00 juta juga tidak didasarkan kepada FS yang dibuat oleh konsultan independen,
karena laporan hasil FS yang dibuat oleh PT Indoprofita Konsultama baru selesai tanggal
26 November 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab A Sub Sub Bab 08
perihal ketentuan khusus untuk kredit investasi butir 08.2.a yang menyebutkan bahwa
pembuatan FS oleh konsultan diwajibkan bagi kredit investasi dengan maksimum sebesar
Rp5 miliar ke atas.
2) Laporan Keuangan audited tahun 2003 terlambat disampaikan
Bank BNI dengan surat No.MKM/2/075/R tanggal 27 September 2004 kepada
PT PDS menyampaikan bahwa permohonan tambahan kredit belum dapat diproses karena
adanya kekurangan persyaratan atas kredit berjalan antara lain Laporan Keuangan Audited
dari perusahaan akuntan terdaftar di BNI atas nama PT PDS dan PT CT.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No.2004.029 tanggal 28 Mei 2004 pasal
tambahan butir 2.a. yang menyebutkan bahwa penerima kredit wajib menyampaikan
kepada bank laporan keuangan audited dari akuntan publik yang telah terdaftar di Bank
BNI setiap akhir tahun selambat-lambatnya 6 bulan setelah periode laporan dimulai audited
report 2003.
3) Terdapat kekurangan jaminan PT CT secara individu
Berdasarkan Formulir IPK tanggal 7 Mei 2004 diatas diketahui bahwa PT CT
merupakan debitur baru dan selanjutnya disebutkan bahwa pemenuhan CEV jaminan PT
CT adalah CEV Controlled 89,86%, Uncontrolled 1,66% sehingga Total CEV 91,52%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J.04 butir 5 yang
menyebutkan bahwa persyaratan jaminan per jenis kredit untuk debitur adalah minimum
Total CEV 100%. Hal tersebut tidak sesuai juga dengan CPC No.98 tanggal 9 Januari 2004
perihal Kebijakan Ekspansi Kredit tahun 2004 butir III.F.1 tentang Persyaratan Jaminan
yang menyebutkan bahwa penyimpangan persyaratan jaminan untuk debitur baru dilarang.
4) Nilai jaminan PT CT (secara individu) yang diikat secara fidusia belum sesuai
ketentuan
Dalam Lampiran PK No.2004/029 tanggal 28 Mei 2005 diketahui bahwa nilai
pengikatan jaminan adalah Rp39.189,64 juta. Jika dibandingkan dengan maksimum kredit
sebesar Rp34.000,00 juta maka total nilai pengikatan sebesar 115,26% dari maksimum
kredit.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab J Sub Sub Bab 05
butir 8.A.1).b.) yang menyebutkan bahwa bagi debitur yang menyerahkan jaminan
tambahan berupa tanah dan/atau bangunan dan telah diikat dengan hak tanggungan
maupun jaminan lainnya yang telah diikat gadai dengan total nilai pengikatan (Hak
Tanggungan + Gadai) lebih kecil dari maksimum kreditnya, maka atas jaminan lainnya
yang diikat secara fidusia wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia dengan nilai
penjaminan minimal sebesar fasilitas yang belum tercover oleh hak tanggungan ditambah
minimal 25% dari nilai fasilitas sehingga total pengikatan minimal 125% dari jumlah
fasilitasnya atau sebesar Rp42.500,00 juta.
292

5) Pemberian grace period 3 bulan tidak sesuai dengan disposisi Kepala Divisi Usaha
Menengah (UMN)
BNI SKM Makassar mengusulkan tambahan kredit kepada PT PDS untuk
pembelian kapal sebesar Rp25.000,00 juta dengan IPK No.031 tanggal 4 November 2004.
Kepala Divisi UMN dalam disposisinya antara lain menyetujui kredit tambahan sebesar
Rp25.000,00 juta dengan jangka waktu investasi 68 bulan tanpa grace period. Persetujuan
tersebut disampaikan kepada PT PDS dengan surat No.MKM/2/0151/B tanggal 7
Desember 2004. Pada saat pengajuan pencairan pertama tanggal 23 Maret 2005 terdapat
disposisi Pemimpin SKM Makassar yang menyebutkan bahwa selama masa pembuatan
sesuai perjanjian kontrak, kepada yang bersangkutan diberi grace period (3 bulan), karena
kapal belum dapat dioperasikan selain itu perhitungan cash flow termasuk hasil dari kapal
yang dibeli. Berdasarkan disposisi tersebut maka dalam Surat BNI SKM Makassar
No.MKM/2/055/R tanggal 23 Maret 2005 telah jangka waktu diubah menjadi 68 bulan
dengan grace period selama 3 bulan dan telah dimuat dalam PK tanggal 23 Maret 2005.
Pemberian grace period tersebut tidak sesuai dengan disposisi yang dibuat oleh
Kepala Divisi UMN selaku KPK dalam IPK No.031 tanggal 4 November 2004.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1) Pengelolaan kredit yang tidak mengacu kepada ketentuan intern yang telah ditetapkan,
mengakibatkan risiko yang akan ditanggung oleh bank akan lebih besar apabila ternyata
kredit yang telah diberikan bermasalah. Karena peraturan yang telah ditetapkan tersebut
pada dasarnya adalah untuk mengurangi risiko kerugian bagi bank.
2) Pengikatan secara fidusia yang dilakukan SKM Makassar masih kurang sebesar Rp3.310,36
juta.
Kondisi tersebut terjadi karena :
1) Analis Kredit dan KPK dalam menganalisa dan memutus kredit belum sepenuhnya
memperhatikan ketentuan yang berlaku.
2) RM dalam melakukan pengelolaan kredit belum sepenuhnya memperhatikan ketentuanketentuan
yang telah ditetapkan dalam PK.
3) Kepala SKM Bank BNI Makassar dalam membuat revisi Surat Keputusan Kredit kepada PT
PDS belum memperhatikan disposisi Kepala Divisi UMN
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)FS oleh konsultan rekanan BNI tidak dimintakan karena pembiayaan tersebut merupakan
take over dari bank lain. Penelitian terhadap FS didasarkan pada performance ybs selama di
Bank Syariah Mandiri yang baik dan berdasarkan hasil analisa cash flow terhadap obyek
pembiayaan feasible.
2)Audited report terlambat karena dibuat sekaligus untuk tahun 2003 dan 2004 dan telah
diserahkan ke BNI tanggal 30 Mei 2005.
3)Pemenuhan CEV jaminan secara individu kurang sebesar Rp2.884 juta (8,48%), namun
dalam kesimpulan jaminan sesuai. IPK untuk PT Citratama dan groupnya (Dillah Group),
total CEV lebih Rp2.049 juta.
293

4)Walaupun secara individu jaminan (barang tetap + bergerak) kurang sebesar Rp3.318 juta,
namun secara group hak tanggungan dan hipotik yang ada nilainya Rp52.993 juta sedangkan
total fasilitas group Rp48.600 juta sehingga hak tanggungan dan hipotik over Rp4.233 juta.
5)Sesuai kontrak pembelian kapal No.007/MR-PDS/III/2005 tanggal 17 Maret 2005, kapal
akan selesai bulan Juli 2005 sehingga saat disposisi tanggal 23 Maret 2005 kapal masih
dalam proses pembuatan. Angsuran pinjaman berasal dari hasil kapal yang dibiayai sehingga
hal ini digunakan sebagai dasar pemberian grace period selama 3 bulan. Selanjutnya
dimintakan pengesahan ke UMN sesuai surat No.MKM/2/0133/R tanggal 7 Juli 2005
BPK-RI menyarankan agar:
1) Analis Kredit dan KPK dalam menganalisa dan memutus kredit menerapkan sepenuhnya
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan terutama terkait dengan kewajiban
menyampaikan FS yang dibuat oleh konsultan untuk debitur yang memohon KI diatas
Rp5.000,00 juta meskipun fasilitas yang dimohon berupa KI take over dari bank lain.
Penilaian kelayakan usaha hanya dengan menilai performance yang bersangkutan selama
berada di bank pemberi kredit sebelumnya tanpa mengetahui hasil FS yang dibuat oleh
konsultan, masih belum cukup memadai.
2) RM dalam melakukan pengelolaan kredit hendaknya memperhatikan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam PK. Terhadap kekurangan jaminan dan pengikatan nilai jaminan secara
individu, agar diupayakan pemenuhannya.
3) Pemimpin Divisi UMN Kantor Pusat memberikan teguran kepada Pemimpin SKM
Makassar agar dalam membuat Surat Keputusan Kredit (SKK) memperhatikan catatan
persetujuan yang diberikan oleh Pemimpin Divisi UMN selaku KPK. Dalam hal suatu
fasilitas kredit disetujui oleh Pemimpin Divisi UMN tanpa grace period maka baik dalam
SKK maupun PK harus tercermin tanpa grace period.
b. Fasilitas kredit kepada PT Makassar Palace sebesar Rp7.550,00 juta belum sepenuhnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
PT Makassar Palace (PT MP) merupakan salah satu dari grup usaha Passokarang,
didirikan pada tanggal 1 November 1995 berdasarkan Akte Notaris Endang Soelanti, SH.
Perusahaan bergerak dibidang usaha perhotelan dengan alamat di Jl. Tentara Pelajar Pejuang
No. 50 Makassar, merupakan hotel berbintang 2 dengan jumlah kamar sebanyak 62 dan
dilengkapi dengan fasilitas convention hall, karaoke dan live musik. Susunan pemegang
saham dan pengurus berdasarkan akte No. 62 tanggal 27 Februari 2002 antara lain Ny.
Wilianto Tanto sebagai Komut pemilik 50% saham dan Anggiat Sinaga sebagai Direktur
Utama 5 Rp3.000,00 juta.
PT MP sebelumnya dimiliki oleh Sdr. Ahmad Reza Ali, yang kemudian dibeli oleh
Sdr. Willianto Tanto dengan fasilitas pembiayaan berupa KI dari BNI sesuai PK No.
2002.008 tanggal 1 Maret 2002. Nilai proyek pembelian Hotel Makassar Palace tersebut
adalah sebesar Rp10.756,98 juta yang pendanannya berasal dari Self Financing Rp4.256,98
juta (39,57%) dan KI BNI Rp6.500,00 juta (60,43%). Disamping memperoleh KI, PT MP juga
memperoleh fasilitas IDC sebesar Rp900,00 juta sesuai PK No. 2002.009 tanggal 1 Maret
2003 dan KMK sebesar Rp150,00 juta. Dengan demikian fasilitas kredit yang diberikan
kepada PT MP seluruhnya sebesar Rp7.550,00 juta.
294

Outstanding kredit PT Makassar Palace per 31 Maret 2005 adalah sebesar Rp6.029,00
juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Jaminan yang diserahkan PT MP adalah sebesar
Rp12.347,50 juta, nilai pengikatan Rp8.618,50 juta, penutupan asuransi Rp10.864,00 juta.
Berdasarkan pemeriksaan atas berkas kredit PT MP diketahui hal-hal sebagai berikut:
1)Analisis pemberian KI pembelian Hotel Makassar Palace tidak menggunakan
laporan audit
Sesuai dengan MPK (tidak pakai nomor dan tanggal) dalam rangka analisis
pertimbangan (rekomendasi) kepada KPK sehubungan dengan adanya permohonan
tambahan kredit dari Grup Passokarang halaman 26 menyebutkan bahwa analisa hanya
didasarkan dari Business Plan yang disampaikan oleh calon manajemen baru hotel tersebut
sehingga akurasinya belum teruji.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab I Sub Bab I Sub sub bab 06 halaman
1, yang menyatakan bahwa calon debitur yang mengajukan kredit dengan maksimum
diatas Rp5.000,00 juta wajib menyampaikan audited report dan tidak diperkenankan
adannya penyimpangan/exeption.
2)CR dan DER tahun 2002 dan 2003 belum sesuai dengan PK
Dari data Laporan Keuangan PT MP tahun 2002 dan 2003 yang telah diaudit oleh
KAP Bambang Siswanto diperoleh CR tahun 2002 dan 2003 masing-masing sebesar 80,29
% dan 104,23 % dan DER masing-masing sebesar 2,31 kali dan 2,27 kali
Hal ini tidak sesuai dengan PK No. W.07/3.1/470 A/R tanggal 28 Februari 2002
pasal 17 yang antara lain mengatur bahwa penerima kredit diharuskan memelihara CR
minimal 1,20 kali (120%) dan DER maksimal 2,00 kali (200%)
Masalah tersebut mengakibatkan pemberian fasilitas kredit berpotensi bermasalah
apabila cash flow perusahaan tidak diawasi secara ketat
Hal tersebut disebabkan para pengusul dan pengelola kredit kepada PT MP belum
sepenuhnya menjalankan ketentuan dalam BPP dan PK.
Atas masalah tersebut, Direksi BNI menjelaskan bahwa :
1)Pada saat proses pembelian Hotel Makassar Palace oleh sdr. Willianto Tanoto, pemilik lama
tidak mau berhubungan dengan akuntan publik dengan pertimbangan apabila pembelian tidak
jadi maka ybs merasa rugi mengeluarkan biaya pembuatan audited report sehingga laporan
keuangan didasarkan atas proyeksi dan wawancara dengan pemilik lama.
2)CR dan DER belum memenuhi ketentuan karena hotel tersebut baru diambil alih dan
direnovasi sehingga tingkat hunian masih rendah. Untuk tahun 2004, CR 1,91 kali dan DER
1,59 kali.
BPK-RI menyarankan agar para pengusul kredit lebih berhati-hati (prudent) dengan
sepenuhnya mematuhi dan menerapkan Pedoman Kebijakan dan Prosedur kredit. Dalam
295

melakukan analisa kredit, analis harus memastikan bahwa persyaratan yang harus dilengkapi
oleh pemohon (seperti audited report dan ketentuan CR/DER) telah dipenuhi. Hal tersebut
dimaksudkan agar risiko kredit menjadi bermasalah dapat dikurangi.
c. Tambahan fasilitas kredit kepada PT Makassar Phinisi Seaside Hotel sebesar
Rp132.000,00 juta berisiko tinggi
PT Makassar Phinisi Seaside Hotel (PT MPSH) merupakan salah satu dari grup usaha
Passokarang, didirikan pada tanggal 15 Desember 1993, sesui dengan Akta No, 15 yang dibuat
dihapadan Notaris Hans Tantular Trenggono, SH. Perusahaan bergerak dibidang perhotelan,
yang telah mendirikan hotel berlantai 7 di Jl Somba Opu No. 235, Makassar dengan nama
awal Radisson Hotel. Kemudian berganti nama menjadi Hotel Quality (selanjutnya disebut
Hotel Quality I). Awalnya hotel tersebut dimiliki oleh Sdr. Samuel Suwandi dan Rosemary
Pane kemudian diambil alih oleh Wilianto Tanto dan Arifin Tanto pada tahun 2000. Susunan
pemegang saham dan pengurus PT MPSH berdasarkan akta No. 54 tanggal 20 Maret 2000
antara lain Wilianto Tanto sebagai Komut pemilik 80% saham dari nilai saham Rp3.000,00
juta dan Anggiat Sinaga sebagai Direktur.
Hotel Quality I merupakan hotel berbintang 3 dengan jumlah kamar sebanyak 90
dan dilengkapi dengan fasilitas convention hall, karaoke dan live musik. Untuk mengatasi
persaingan dalam pemasaran hotel di Makassar, perusahaan mempercayakan pengelolaan
hotel di bawah kendali Radison yang merupakan operator hotel bertaraf internasional yang
berkantor di Meneapolis USA. Pembiayaan hotel dimaksud awalnya berasal dari kredit dari
Bank Umum Nasional (BUN). Karena BUN termasuk dalam Bank Beku Kegiatan Usaha
(BBKU), fasilitas kredit sempat diambil alih oleh Bank Artha Graha sebelum diserahkan
kepada BPPN. Fasilitas kredit ini akhirnya diambil alih SKM BNI Makassar tahun 2002
dengan fasilitas KI sebesar Rp15.000,00 juta dan KMK sebesar Rp1.000,00 juta berdasarkan
SKK No.W.07/3.1/2366/R tanggal 28 Oktober 2002 dan PK (dibawah tangan) No. 2002.048
tanggal 29 Oktober 2002.
Selanjutnya PT MPSH bermaksud melakukan ekspansi usaha dengan mendirikan
hotel di Jln. AP. Pettarani, Makassar yaitu Hotel Quality II dengan investasi sebesar
Rp184.553,00 juta yang pembiayaan berasal dari modal sendiri (self financing) sebesar
Rp65.553,00 juta (35 %) dan Bank sebesar Rp119.000,00 juta. Konstruksi fisik bangunan
hotel berbintang 4 (empat) direncanakan 15 lantai dengan jumlah kamar sebanyak 330 unit
dengan penyelesaian dan operasional pertama sebanyak 214 kamar dan sisanya akan
diselesaikan setelah yang 214 kamar tersebut telah beroperasi.
Sesuai surat No. 016/MPSH/V/2004 tanggal 12 April 2004 PT MPSH mengajukan
permohonan KI kepada BNI. Permohonan ini dianalisis melalui MAK (tanpa nomor) tanggal
18 Mei 2004 dan akhirnya disetujui dalam rapat KPK tanggal 19 Juni 2004. Kemudian
disampaikan kepada debitur melalui SKK No. W07/3.1/1871/R tanggal 19 Juli 2004 dan
dituangkan dalam PK No.2004.037 tanggal 19 Juli 2004. Disamping itu PT MPSH
memperoleh fasilitas IDC sebesar Rp13.000,00 yang dituangkan dalam PK No.2004.038
tanggal 19 Juli 2004.
Oustanding kredit PT MPSH per 30 April 2005 adalah sebesar Rp70.086,61 juta
dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I). Jaminan yang diserahkan oleh PT MPSH adalah
296

sebesar Rp246.658,90 juta, dengan nilai pengikatan Rp210.169,30 juta dan penutupan asuransi
sebesar Rp30.200,00 juta.
Dalam pemeriksaan atas berkas kredit PT MPSH diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Pemberian kredit kepada PT MPSH sebesar Rp 132.000,00 juta berisiko tinggi
a) Lokasi proyek kurang menguntungkan dibanding pesaing-pesaing Hotel
Quality II
Berdasarkan data dari Persatuan Hotel dan Restoran Indoneisa (PHRI) wilayah
Makassar, tingkat hunian (occupancy rate) masing-masing hotel yang akan menjadi
pesaing Hotel Quality II tahun 2001 s.d. 2003 adalah sebagai berikut :
No. Nama Hotel Bintang Jml Occupancy Rate Tahun
Kamar 2001 2002 2003
1. Sahid Hotel 5 220 46,8 49,2 49,1
2. Marannu City Tower Hotel 4 122 46,1 18,4 55,0
3. Hotel Makassar Golden 4 60 64,7 66,7 73,9
4. Hotel Pantai Gapura Makssar 4 68 53,8 49,1 75,2
Jumlah 52,9 45,9 63,0
Daftar di atas menunjukkan bahwa rata-rata occupancy rate hotel yang sekelas dengan
Hotel Quality II untuk tahun 2001 adalah sebesar 52,9%, kemudian turun menjadi
45,9% pada tahun 2002 dan 63,0 % pada tahun 2003. Sehingga dari data diatas terlihat
bahwa dengan menyediakan 330 unit kamar, Hotel Quality II akan kesulitan menyerap
pasar hotel bintang 4 dan 5 yang ada sekarang, mengingat dari segi lokasi dibanding
keempat hotel diatas letak Hotel Qulity II kurang menguntungkan, karena berdasarkan
laporan AMDAL yang disusun oleh Konsultan CV Jasa Lingkungan lokasi proyek
tersebut dekat dengan daerah perumahan penduduk dan perkantoran, yaitu sebagai
berikut :
Sebelah Utara : Perumahan penduduk di Jl. Bonto Sunggu
Sebelah Timur : Perumahan dosen UNM dan Mess PT Telkom
Sebelah Selatan : Jl. A.P Pettarani
Sebelah Barat : Pusat Pelatda PT Telkom dan perumahan Jl. Bonto Cani
Hal ini terlihat juga pada MAK tanggal 18 Mei 2004 hal 32 yang antara lain
menyebutkan bahwa lokasi Hotel Qualty II berada pada lokasi yang kurang “menjual”
dibandingkan dengan hotel-hotel yang berada di sekitar pantai.
b) Keuangan PT MPSH menunjukkan kondisi yang sulit untuk memenuhi
kewajiban pemenuhan self financing pembiayaan proyek Hotel Quality II
Dari laporan keuangan PT MPSH dan grup usaha lainnya yaitu PT Makassar
Palace dan PT Passokorang tahun 2003 yang telah diaudit oleh KAP Bambang
Siswanto dapat dilihat sebagai berikut :
(dalam juta Rupiah)
No. Nama perusahaan Aktiva Lancar Aktiva Modal
1. PT MPSH 1.938,92 27.162,74 13.651,19
2. PT MP 1.485,02 12.030,92 3.676,26
3 PT PK 63.693,68 91.080,41 64.010,48
297

Daftar diatas menunjukkan bahwa PT MPSH sebagai pengelola Hotel Quality II hanya
memiliki modal kerja yang likuid (aktiva lancar) sebesar Rp1.938,93 juta atau hanya
sebesar 2,96% dari jumlah kewajiban pemenuhan self financing untuk proyek, yaitu
sebesar Rp65.553,00 juta. Hal ini menunjukkan bahwa PT MPSH akan sulit memenuhi
kewajiban self financing tersebut, kecuali pemenuhan tersebut diambil dari grup usaha
atau hutang pemegang saham (secara pribadi). Apabila self financing tersebut berasal
grup usaha yang lain (inter financing) yang juga debitur Bank BNI SKM Makassar, hal
tersebut akan berpengaruh kepada cash flow grup usaha Passokorang secara
keseluruhan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi pemenuhan kewajiban keseluruhan
grup usaha Passokorang yang oustanding pinjamannya adalah sebesar Rp114.579,33
juta atau sebesar 16,18% dibanding baki debet Bank BNI SKM Makassar per 31 Mei
2005 sebesar Rp708.063,33 juta.
2) Pencairan kredit tahap I tetap dilaksanakan walaupun beberapa persyaratan dalam
PK belum dipenuhi
Fasilitas kredit kepada PT MPSH untuk proyek Hotel Quality II pertama sekali
dicairkan pada tanggal 26 Juli 2004 sebesar Rp23.800,00 juta. Berdasarkan pemeriksaan
lebih lanjut diketahui bahwa pencairan I tersebut tetap dilaksanakan walaupun beberapa
persyaratan belum dilengkapi, yaitu :
a) Ijin AMDAL masih dalam proses pengurusan.
Ijin dimaksud baru selesai tanggal 24 Januari 2005, sesuai dengan surat Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedal) Kota Makassar No.
660/02/Kep/I/05.
b) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
Ijin tersebut baru diterbitkan tanggal 6 Agustus 2004, sesuai dengan Surat Ijin
Walikota Makassar No. 503/1602/IMB/KPP/2004.
c) Laporan Konsultan Pengawas belum diserahkan.
Hal ini tidak sesuai dengan PK No. 2004.037 tanggal 19 Juli 2004, pasal
tambahan yang mengatur bahwa pencairan baru dapat dilaksanakan setelah (antara lain):
a) Ijin-ijin sebagaimana yang diisyaratkan dalam rekomendasi Pemda telah diserahkan
kepada BNI antara lain AMDAL dan IMB.
b) Penerima kredit menyerahkan laporan konsultan pengawas dengan tetap mengacu
kepada perhitungan konservatif pembiayaan yaitu 60 % : 40 %.
Kondisi tersebut mengakibatkan pemberian fasilitas kredit berpotensi bermasalah
apabila fasilitas kredit tersebut tidak diawasi secara ketat, baik selama masa pembangunan
maupun setelah hotel beroperasi.
Kondisi tersebut terjadi karena para pengusul kredit kepada PT MPSH belum
sepenuhnya menjalankan ketentuan yang dituangkan dalam BPP dan PK.
Atas masalah tersebut, Direksi BNI menjelaskan bahwa :
1)Di lokasi hotel Jl. AP Pettarini banyak terdapat pusat bisnis (Pannakukang Mas, Diamond
Mal, Carrefour, dll) serta menjadi pusat perkantoran (Telkom, Telkomsel, Indosat, PLN dll)
298

sehingga lokasi tersebut dinilai strategis dan mudah dalam akses tol bandara. Disamping itu
pelaku bisnis (khususnya pengembang) menilai bahwa lokasi Hotel Quality II sangat
strategis dan akan menjadi ancaman Hotel Sahid.
2)Sumber self financing berasal dari keuntungan group usaha dan diproyeksikan tidak akan
mengganggu cash flow masing-masing perusahaan yaitu :
(dalam juta Rupiah)
Perusahaan Keuntungan
2004 *) 2005 **) 2006 **) Total
PT Passokorang 36.589 37.555 28.464 102.608
PT Makassar Palace 1.202 681 853 2.736
Hotel Quality I 5.598 2.804 8.095 14.497
Total 43.388 41.040 37.413 121.841
*) Data aktual sesuai audited report.
**) Data proyeksi cfm PAK.
3)Pada saat disposisi pertama seluruh perijinan tersebut pada prinsipnya (hasil konfirmasi
dengan instansi terkait) telah disetujui, namun secara formal belum terbit. Saat ini seluruh
dokumen persyaratan telah dikuasai. Disposisi didasarkan pada setoran self financing yang
telah dilakukan oleh debitur pada escrow account sebesar Rp13.110 juta dengan komposisi
sesuai persyaratan (35,5% : 64,5%). Disposisi tahap II dan berikutnya telah didasarkan
adanya laporan konsultan pengawas independen yang menjadi rekanan Bank BNI.
BPK-RI menyarankan agar:
1) Pengusul kredit berhati-hati (prudent) dalam pemberian kredit dengan sepenuhnya
mematuhi dan menerapkan pedoman kebijakan dan prosedur kredit. Kemudian dalam
memberikan persetujuan pencairan kredit, seluruh persyaratan yang telah ditetapkan dalam
PK harus dipastikan telah dilengkapi oleh pemohon kredit.
2) RM hendaknya mengawasi secara ketat cash flow PT MPSH untuk mencegah terjadinya
adanya interfinancing dalam Grup Passokorang.
49. SKC Padang
Pemberian kredit kepada PT Daya Sekawan Abadi dengan baki debet sebesar Rp3.080,02
juta belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku
CV Daya Sekawan Abadi (CV DSA) didirikan tahun 1999 dengan alamat Jl. Lubuk
Begalung No. 25 Padang, bidang usahanya perdagangan kayu dan pemasok batubara ke PT Semen
Padang (PT SP). Kemudian CV DSA diubah menjadi PT Daya Sekawan Abadi (PT DSA) dengan
akta Notaris Indra Jaya, SH No. 14 tanggal 10 April 2001.
Dari Rekening koran PT DSA diketahui saldo akhir kredit per 25 Pebruari 2005 adalah
sebesar Rp3.080,02 juta dengan kolektibilitas Lancar (Gol. I).
Berdasarkan hasil pemeriksaan lebih lanjut terhadap dokumen kredit PT DSA diketahui halhal
sebagai berikut :
1)Pemberian fasilitas KMK kepada PT DSA belum sepenuhnya mempertimbangkan
kelangsungan usaha dimasa yang akan datang
Pada tanggal 16 Januari 2001 PT DSA mengajukan permohonan kredit sebesar
Rp900,00 juta yang disetujui BNI Padang sebesar Rp600,00 juta dan telah dituangkan dalam
299

PK No. 2001.014 untuk tambahan modal usaha perdagangan ekspor kayu dan batu bara.
Berdasarkan MPK tanggal 24 Januari 2001 diketahui bahwa persetujuan kredit kepada PT DSA
dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut :
a) Kondisi keuangan secara keseluruhan dinyatakan baik, sehingga pengembalian kredit dari
hasil usaha yang dibiayai dari fasilitas kredit dapat berjalan lancar.
b) Second way out berupa sebuah persil berikut bangunan diatasnya, cukup mengcover jika
fasilitas KMK disetujui.
c) PT DSA merupakan nasabah giran Bank BNI Cabang Padang sejak tahun 2000, dan
merupakan satu group dengan CV Rezky Langgeng serta transaksi ekspornya telah
dilakukan melalui BNI Cabang Padang. Sedangkan Key person Sdr. Ricardo IT merupakan
nasabah taplus sejak tahun 1998 dan aktivitas usahanya disalurkan melalui rekening yang
bersangkutan.
d) Dari segi pemasaran berjalan bagus, hal ini terbukti dengan terjalinnya hubungan yang
baik antara pemasok dan pelanggan yaitu di daerah Sumbar, Riau, Maluku maupun di luar
negeri, sehingga continuitas usaha berjalan dengan baik
Selain itu dari MPK diatas disebutkan bahwa resiko yang mungkin timbul adalah :
a) Bidang usaha yang digeluti oleh PT DSA mempunyai persaingan yang cukup ketat, yaitu
dengan banyaknya muncul perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha sejenis.
b) Adanya kebijaksanaan Pemerintah dalam perdagangan kayu dan batubara.
c) Fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap USD sangat berpengaruh pada aktivitas ekspor ke
luar negeri, sehingga secara langsung berpengaruh terhadap omset usaha dan perolehan
keuntungan.
Dari persetujuan kredit diatas, dapat disimpulkan bahwa asumsi-asumsi yang dipakai
oleh pihak BNI Cabang Padang terlalu optimis. Hal ini dapat dilihat dari :
a) PT DSA tidak mempunyai ijin HPH/IPK, kelangsungan usaha PT DSA sangat bergantung
kepada pihak ketiga dan BNI Cabang Padang tidak dapat meyakini kelangsungan usaha
PT DSA dan tidak dapat menilai kemampuan debitur dalam membayar kewajibannya.
Selanjutnya dengan adanya larangan ekspor kayu log dari Pemerintah sejak bulan Oktober
2001 s.d. 2003, omset PT DSA tahun 2002 mengalami penurunan dengan data sebagai
berikut Rp21.065,5 juta, Rp5.682 juta dan Rp5.534 juta.
b) Kelangsungan usaha PT DSA sangat bergantung kepada pihak ke tiga karena tidak
memiliki Kuasa Pertambangan (KP). Dari segi pemasaran yaitu penjualan batubara ke
PT SP masih menggunakan nama perusahaan lain yaitu PT Tambang Batubara Nagari
(PT TBN) Muaro, dimana PT TBN hanya menerima fee.
Dari pemeriksaan selanjutnya diketahui bahwa kerjasama sebagai pemasok batubara dengan
PT SP tidak didudukkan dalam perjanjian kerjasama sesuai dengan informasi MAK tanggal 12
Maret 2003.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa Bank BNI Cabang Padang belum dapat
memperhitungkan kelangsungan usaha PT DSA dimasa yang akan datang. Hal ini terbukti dari
usaha PT DSA yang pada saat ini sudah tidak ada (tidak aktif), dan pelunasan kredit PT DSA
diusahakan melalui penjualan jaminan. Fasilitas KMK PT DSA akan jatuh tempo tanggal 31
Maret 2005. Sejak tahun 2003 pemenuhan kewajiban pembayaran bunga diambil dari saldo
pinjaman yang belum ditarik. Saldo per 25 Pebruari 2005 sebesar Rp3.080,03 juta.
300

Hal tersebut tidak sesuai dengan UU no. 7 tahun 1992 pasal 2, yang menyebutkan bahwa
perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian, dan pasal 8 yang menyebutkan bahwa dalam memberikan
kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur
untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
2)PT DSA tidak mematuhi ketentuan PK dan telah melakukan pengikatan dengan pihak
ketiga
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Formulir Penelitian Hasil Prestasi Semester II
tahun 2001 tanggal laporan 9 Maret 2002 dan Semester II tahun 2002 tanggal laporan 12 Maret
2003, diketahui bahwa penilaian terhadap karakter/Integritas dalam hal ini keterbukaan,
kejujuran, dan kerjasama dengan bank, mempunyai rating resikonya 2 (cukup baik).
Selanjutnya dari hasil pemeriksaan dokumen kredit diketahui bahwa PT DSA telah
mendapat tambahan fasilitas kredit sebesar Rp2.600,00 juta dari BNI Cabang Padang dengan
penjelasan sebagai berikut :
a) PT DSA mendapat fasilitas dari Bank Danamon
Berdasarkan MAK No.Pdg/015 tanggal 26 Maret 2005 dan informasi BI tanggal 6
Pebruari 2003 diketahui PT DSA selain mendapat fasilitas kredit dari BNI juga mendapat
fasilitas kredit dari Bank Danamon dengan PK tanggal 25 Juni 2001.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PK No2003.022 pasal 18 ayat h, yang mengatur
pembatasan terhadap tindakan penerima kredit yang menyebutkan bahwa debitur dilarang
untuk menerima pinjaman dari pihak lain, kecuali pinjaman tersebut diterima dalam rangka
transaksi dagang yang berkaitan dengan usahannya.
b) Aktivitas Keuangan PT DSA belum sepenuhnya disalurkan melalui PT BNI Padang
Berdasarkan MAK tanggal 12 Maret 2002, diketahui bahwa aktivitas rekening
PT DSA di Bank BNI Padang tidak terlalu aktif. PT DSA lebih banyak melakukan transaksi
melalui Bank Mandiri dan Bank Bali. Dengan tidak disalurkannya aktivitas keuangan
PT DSA melalui Bank BNI Cabang Padang maka tidak dapat dipantau secara dini
penggunaan kredit yang telah diberikan. Dari penelusuran lebih lanjut terhadap aktivitas
usaha PT DSA diketahui bahwa aktivitas keuangan usaha PT DSA selama tahun 2002 yang
melalui Bank BNI Cabang Padang berkisar sebesar 30% sampai dengan 34% dari total
omset, sesuai hasil MAK tanggal 20 Maret 2003. Selanjutnya dari MAK tanggal 26 Maret
2004 diketahui bahwa aktivitas usaha PT DSA selain melalui BNI Cabang Padang juga
dilakukan melalui rekening di Bank Bali, Bank Danamon. Aktivitas usaha PT DSA yang
melalui Bank BNI Cabang Padang hanya berkisar 6% s.d 8 % dari aktivitas usahanya.
Dengan demikian hasil penilaian terhadap karakter/Integritas dalam hal ini
mengenai keterbukaan, kejujuran, dan kerjasama dengan bank yang dilakukan oleh
Pengelola Pemasaran (PPM) Bank BNI Cabang Padang diragukan kebenarannya. Kondisi
tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa karakter pengurus PT DSA kurang baik, namun
KPK BNI Cabang Padang tetap menyetujui pemberian fasilitas kredit tersebut.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Persetujuan Kredit (SPK) No. Pdg/5/0189/R
tanggal 13 Februari 2001 ayat b (syarat lain-lain), yang menyatakan bahwa debitur wajib
melaksanakan hal-hal sebagai berikut :
(1) Berbank tunggal dengan Bank BNI Cabang Padang.
301

(2) Menyalurkan semua aktivitas keuangan usaha melalui Bank BNI Cabang Padang
minimal sebanding dengan aktifitas usaha.
(3) Menyalurkan seluruh aktivitas ekspor melalui Bank BNI Cabang Padang.
Hal tersebut juga tidak sesuai dengan SPK No. Pdg/5/0407/R tanggal 28 Maret 2003 pasal
11 mengenai syarat lain-lain yang menyebutkan bahwa debitur harus menyalurkan aktivitas
keuangan melalui Bank BNI Cabang Padang minimal 80% dari total aktivitas usahanya.
3)Pencairan kredit untuk fasilitas real estate belum sesuai dengan syarat disposisi kredit
PT DSA dengan surat tanggal 16 April 2003 mengajukan permohonan fasilitas kredit
untuk tambahan modal kerja kontruksi Real Estate. Dalam permohonan tersebut Bank BNI
Cabang Padang menyetujui untuk memberikan kredit tersebut sebesar Rp2.000,00 juta
exclusive fasilitas berjalan sebesar Rp2.600,00 juta. Dari pemeriksaan terhadap fasilitas real
estate tersebut diketahui bahwa Bank BNI telah melakukan pembiayaan untuk 3 unit rumah.
Dalam rangka pembiayaan tersebut diketahui bahwa Bank BNI Cabang Padang telah telah
menyetujui pencairan dengan data sebagai berikut :
a) Pencairan tahap I sebesar Rp100,00 juta pada tanggal 26 Juni 2003.
b) Pencairan tahap II sebesar Rp50,00 juta pada tanggal 27 Juni 2003.
c) Pencairan tahap III sebesar Rp350,00 juta pada tanggal 4 Juli 2003.
d) Pencairan tahap IV atas tiga pembeli sebesar Rp105,00 juta tanggal 8 Maret 2004.
Berdasarkan KPK diketahui bahwa pencairan tersebut disetujui karena telah memenuhi
salah satu syarat disposisi kredit (dari KPK), yaitu telah menyerahkan asli SHM No. 144 dan
SHGB No. 35,36,49,50,53,54 dan telah dibalik namakan atas nama Sdr. Ricardo dan telah
dilaksanakan pengikatan Hak Tanggungan minimal sampai dengan penandatanganan APHT
Notariel, serta telah adanya calon pembeli. Selanjutnya dalam pencairan tahap I s.d. tahap III
diketahui belum terdapat setoran pelunasan kerekening pinjaman.
Hal tersebut tidak sesuai dengan SPK No. Pdg/5/0695/R tanggal 11 Juni 2003 mengenai
disposisi kredit, yaitu pencairan dapat dilakukan sebesar 80% dari harga pokok produksi
(sesuai dengan RAB) dan telah ada setoran uang muka sebesar 30%.
4)Pencairan Kredit untuk fasilitas batu bara belum sesuai dengan syarat disposisi kredit
Berdasarkan dokumen pencairan fasilitas batubara diketahui pencairan telah dilakukan
sebesar Rp3.153,00 juta. Selanjutnya dari rekening pinjaman PT DSA diketahui pembayaran
yang telah dilakukan sebesar Rp2.674,43 juta sehingga terdapat selisih sebesar Rp478,57 juta.
Selain itu berdasarkan Memorandum dari Unit Bisnis kepada KPK tanggal 25 Maret 2004
diketahui terdapat pembayaran PT SP yang tidak melalui rekening pinjaman tetapi melalui
rekening giro di Bank BNI Cabang Padang yaitu pada tanggal 16 dan 22 Desember 2003
seluruhnya sebesar Rp235,00 juta.
Hal tersebut tidak sesuai dengan SPK No. Pdg/5//0407/R tanggal 28 Maret 2003 yang
menyebutkan antara lain disposisi fasilitas tambahan dilakukan atas dasar Confirmasi Order,
Rekap pemasukan batubara atau invoice dan fasilitas berjalan harus dicover oleh tagihan pada
CO/PO/invoice sebesar 125%.
Dengan adanya syarat fasilitas berjalan harus dicover oleh tagihan pada CO/PO/invoice
sebesar 125% seharusnya pembayaran PT SP lebih besar dari pencairan kredit. Berdasarkan
Memorandum dari Unit Bisnis tanggal 25 Maret 2004 dan Notulen Rapat Bank BNI Cabang
Padang dengan PT DSA tanggal 7 Juni 2004 diketahui bahwa tagihan batubara yang tidak
302

disalurkan melalui rekening pinjaman tersebut digunakan untuk investasi yaitu pembangunan
real estate sebesar Rp2.253,00 juta (belum termasuk investasi tanah).
5)PT DSA belum menyerahkan laporan keuangan semesteran
Berdasarkan SPK No. Pdg/5/0407/R tanggal 28 Maret 2003 diketahui bahwa PT DSA
sesuai pasal 11 (syarat lain – lain) diharuskan menyampaikan laporan aktivitas usaha setiap 6
bulan, meliputi pembelian, penjualan, hutang/piutang dagang dan stock secara teratur.
Selanjutnya dari hasil pemeriksaan dokumen diketahui bahwa PT DSA belum menyampaikan
laporan 6 bulanan tersebut.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1)Kredit yang diberikan kepada PT DSA dengan outstanding per 25 Februari 2005 sebesar
Rp3.080,03 juta berpotensi bermasalah karena pada saat ini PT DSA sudah tidak aktif dan Bank
BNI Cabang Padang berpotensi menanggung kerugian sebesar jumlah tersebut karena harus
membentuk PPAP.
2)Pengembalian kredit hanya terfokus pada second way out berupa penjualan barang jaminan.
3)Aktivitas usaha PT DSA tidak terpantau secara dini.
Kondisi tersebut terjadi karena :
1)Analis Kredit dalam menganalisa kredit dan Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan kredit
belum memperhitungkan kelangsungan usaha PT DSA dimasa yang akan datang.
2)Pejabat KPK dalam menyetujui pencairan kredit belum sepenuhnya memperhatikan syarat
disposisi kredit dalam SPK.
3)PPM belum maksimal dalam melakukan pengawasan kredit yang diberikan kepada PT DSA.
Atas masalah tersebut, Direksi BNI menjelaskan bahwa :
1)Kami sependapat dengan auditor, bahwa debitur belum memiliki Kuasa Penambangan (KP)
sebagai satu syarat untuk dapat memasok batubara ke PT SP serta kelangsungan usaha ybs,
walaupun PT DSA telah mengikat kontrak dengan perusahaan yang telah memiliki KP.
2)Kami sependapat dengan auditor, bahwa PT DSA sebelum proses pemberian kredit dilakukan
ybs tidak mematuhi ketentuan dalam PK. Untuk yang akan datang akan menjadi perhatian kami
untuk selalu memantau aktivitas debitur.
3)Kami sependapat bahwa dalam pencairan fasilitas kredit untuk real estate tidak sesuai dengan
syarat disposisi kredit dan pada akhirnya oleh debitur digunakan untuk kepeluan lain dan terhadap
hal ini tidak terpantau.
4)Kami menyadari bahwa perlu adanya pemantauan terhadap aktivitas debitur, khususnya yang
berhubungan dengan kewajiban debitur yang disyaratkan dalam PK.
BPK-RI menyarankan agar :
1)Analis Kredit dalam menganalisa permohonan kredit hendaknya dilakukan dengan hati-hati dan
mendalam terutama dalam menilai kelangsungan usaha pemohon kredit. Demikian halnya dengan
Pejabat KPK dalam memberikan persetujuan kredit juga harus hati-hati dan unit kerja penilaian
risiko kredit (credit risk assessment) hendaknya memberikan penilaian risiko secara tepat dan
independen.
303

2)PPM Bank BNI memberikan teguran dan sanksi kepada PT DSA yang tidak mematuhi
ketentuan kredit Bank BNI.
3)Pemimpin SKC Padang memfokuskan penyelesaian kredit dengan melakukan penjualan barang
jaminan sesuai ketentuan yang berlaku.
50. Kantor Cabang London
a. Deposit agreement antara BNI Cabang London serta Rio Tinto European Holdings
dengan outstanding per 31 Desember 2004 sebesar US$43,850.00 ribu tidak lazim
dilakukan dan berpotensi menanggung risiko kerugian
Rio Tinto European Holdings (RTEH) adalah merupakan perusahaan yang bergerak
dibidang pertambangan emas dan tembaga yang beralamat di Jl. St. Jame’s Square 6, London
SW1Y 4LD. Berdasarkan Credit Proposal Memo (CPM) No.: 23158 tanggal 3 Desember
2003 yang dibuat oleh Sdr. EAI, antara lain dinyatakan bahwa BNI Cabang London
mengusulkan pemberian kredit kepada RTEH sebesar US$13,200.00 ribu. Dalam dokumen
nasabah (customer file) RTEH, rencana BNI untuk memberikan kredit kepada RTEH terkait
dengan rencana RTEH yang akan menyimpan dananya pada BNI Cabang London
sebagaimana yang diatur pada draft Deposit Agreement yang disiapkan/dibuat oleh RTEH.
Draft Deposit Agreement tersebut telah mengalami beberapa kali revisi oleh pihak Cabang
London melalui Lawyers Travers, Smith, Braithwaite (TSB). Bahkan Lawyers TSB dengan
surat No. CCM/CCM 1861088 tanggal 19 Desember 2002 memberikan koreksi yang semula
perjanjiannya berupa Deposit Agreement direvisi menjadi Loan Agreement. Namun terakhir
perjanjian tersebut berubah dan kembali lagi ke Deposit Agreement. Dari dokumen RTEH
yang ada, tidak terdapat informasi yang menjelaskan mengenai alasan mengapa PT BNI
Cabang London kembali pada Deposit Agreement dan bukan melanjutkan Loan Agreement
sebagaimana yang disarankan oleh Lawyers TSB. Penjelasan yang memadai tidak dapat
diperoleh karena Sdr. EAI selaku General Manager (GM) BNI Cabang London yang
menandatangani Deposit Agreement, pada saat ini telah pensiun dan diganti dengan pejabat
baru Sdr. SS sejak tanggal 13 Februari 2004.
Usulan pemberian kredit kepada RTEH sebesar US$13,200.00 ribu disetujui oleh Sdr.
EAI pada tanggal 5 Desember 2003, sedangkan sebelumnya pada tanggal 4 Desember 2003
antara RTEH dan BNI Cabang London telah menandatangani Deposit Agreement. Dengan
demikian Sdr. EAI baru memberikan persetujuan fasilitas kredit setelah Deposit Agreement
ditandatangani.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap dokumen kontrak, catatan pembukuan dan laporan
yang terkait dengan RTEH, diketahui hal-hal sebagai berikut:
1)Deposit Agreement yang dibuat oleh BNI Cabang London menyimpang dari hasil
analisa dalam Memo Usulan Kredit (Credit Proposal Memo/CPM)
Mengacu kepada CPM tanggal 3 Desember 2003, tujuan paket permohonan
adalah untuk pemberian fasilitas kredit kepada RTEH. Jumlah fasilitas kredit yang
disetujui adalah sebesar US$13,200.00 ribu dengan sifat bergulir (revolving) yang
didasarkan pada perjanjian demi perjanjian (deal by deal basis). Jika BNI Cabang London
konsisten dengan hasil analisa yang dituangkan dalam CPM dan persetujuan yang telah
diberikan oleh Sdr. EAI selaku GM BNI Cabang London, maka perjanjian yang seharusnya
dibuat adalah Loan Agreement (Perjanjian Kredit) sebagaimana yang pernah disarankan
oleh Lawyers TSB. Dalam kenyataannya, perjanjian yang dibuat adalah Deposit
Agreement. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan Sdr EAI melakukan
304

Deposit Agreement dengan RTEH adalah bersifat kontradiksi dan menyimpang dari
persetujuan yang telah diberikannya sendiri.
Dalam Deposit Agreement diatur bahwa kedua belah pihak saling men-deposit-kan
dan atau menarik dananya melalui mekanisme transfer bank. Perintah untuk saling transfer
dana antara BNI Cabang London dan RTEH, dilakukan pada tanggal tertentu yang telah
ditetapkan oleh kedua belah pihak dengan mekanisme deal by deal basis. Transfer tersebut
dibuat dalam valuta Dollar Amerika Serikat dan dilakukan pada hari yang sama. Jumlah
dana awal RTEH yang di depositkan pada BNI Cabang London sesuai Deposit Agreement
tanggal 4 Desember 2003 adalah sebesar US$13,221.86 ribu. Sedangkan dana awal BNI
Cabang London yang di transfer kepada rekening RTEH No. 9102772986 di The Chase
Manhattan Bank, New York, Fedwire ABA 021000021, SWIFT CHASUS33 atau pada
rekening bank lain yang sebelumnya telah diberitahukan oleh RTEH yaitu sebesar
US$13,200.00 ribu. Deposit RTEH sebesar US$13,221.86 ribu tersebut adalah atas nama
Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral – qq PT Kelian Equatorial Mining –
c/o Rio Tinto European Holding. Dalam CPM diungkapkan bahwa deposit RTEH tersebut
terkait dengan biaya penutupan tambang Kelian di Indonesia. Namun demikian seberapa
besar jumlah deposit yang diperlukan atau disyaratkan oleh Direktur Jenderal Geologi dan
Sumber Daya Mineral (Dirjen GSDM) dalam rangka penutupan tambang Kelian di
Indonesia, tidak diungkapkan dalam CPM. Demikian halnya dengan Deposit Agreement
tanggal 4 Desember 2003, hal tersebut juga tidak diungkapkan. Terhadap masalah ini, BNI
Cabang London tidak dapat menjelaskan mengenai bagaimana kewajiban PT Kelian
Equatorial Mining (PT Kelian) kepada Dirjen GSDM dan seberapa besar biaya yang
diperlukan oleh PT Kelian berkaitan dengan penutupan tambang Kelian di Indonesia. Oleh
karena deposit RTEH terkait dengan biaya penutupan tambang Kelian di Indonesia, maka
jika pada suatu saat RTEH harus memenuhi kewajibannya kepada Dirjen GSDM dengan
cara menarik seluruh deposit yang dimilikinya dan RTEH gagal membayar kembali
pinjamannya kepada BNI Cabang London, maka BNI Cabang London berpotensi
menanggung kerugian.
2)GM BNI Cabang London (Sdr. EAI) telah memberikan persetujuan kredit melampaui
kewenangan yang dimilikinya
Perkembangan kredit yang diberikan oleh BNI Cabang London kepada RTEH dan
jumlah deposit RTEH di BNI Cabang London per 31 Desember 2004 adalah sebagai
berikut:
(dalam ribu US$)
Loan No. Value Date Maturity Date Description Loan Balance PT BNI
1 2 3 4 5
001333 5 Dec 2003 9 Jan 2004 New loan 13,200.00
001339 22 Dec 2003 9 Jan 2004 Addition 19,500.00
001346 30 Dec 2003 9 Jan 2004 Addition 1,500.00
001352 9 Jan 2004 16 Jan 2004 New Laon 34,200.00
16 Jan 2004 - Repayment (692.21)
16 Jan 2004 - Addition 42.21
001359 16 Jan 2004 17 Feb 2004 New loan 33,550.00
17 Feb 2004 - Repayment (641.65)
17 Feb 2004 - Addition 4.,65
001381 17 Feb 2004 15 Mar 2004 New Laon 32,950.00
305

15 Mar 2004 - Repayment (850.00)
001403 15 Mar 2004 15 Apr 2004 New Laon 32,100.00
15 Apr 2004 - Repayment (694.65)
15 Apr 2004 - Addition 5.35
001427 15 Apr 2004 14 May 2004 New Laon 31,400.00
14 May 2004 - Repayment (600.00)
001450 14 May 2004 14 Jun 2004 New Laon 30,800.00
14 Jun 2004 - Repayment (652.84)
14 Jun 2004 - Addition 52.84
001461 14 Jun 2004 17 Jun 2004 New Laon 30,200.00
17 Jun 2004 - Repayment (15.40)
17 Jun 2004 - Addition 15.40
001464 17 Jun 2004 8 Jul 2004 New Laon 30,200.00
8 Jul 2004 - Repayment (723.31)
8 Jul 2004 - Addition 23.31
001474 8 Jul 2004 9 Aug 2004 New Laon 29,500.00
9 Aug 2004 - Repayment (1,517.90)
9 Aug 2004 - Addition 17.90
001488 9 Aug 2004 9 Sep 2004 New Laon 28,000.00
9 Sep 2004 - Repayment (1,019.83)
9 Sep 2004 - Addition 19.83
001504 9 Sep 2004 8 Oct 2004 New Laon 27,000.00
8 Oct 2004 - Repayment (1,038.90)
8 Oct 2004 - Addition 38.90
001524 8 Oct 2004 8 Nov 2004 New Laon 26,000.00
001524 8 Oct 2004 8 Nov 2004 New Laon 26,000.00
8 Nov 2004 - Addition 50.00
001540 8 Nov 2004 8 Dec 2004 New Laon 26,050.00
8 Dec 2004 - Repayment (867.30)
8 Dec 2004 - Addition 67.30
001555 8 Dec 2004 10 Jan 2005 New Laon 25,250.00
001564 24 dec 2004 10 Jan 2005 Addition 18,600.00
31 Dec 2004 - Balance 43.850.00
Jumlah deposit RTEH per 31 Desember 2004 pada BNI Cabang London adalah sebesar
US$43,933.05 ribu. Dari tabel tersebut di atas dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:
a) Dana sebesar US$13,200.00 ribu yang ditransfer oleh BNI Cabang London kepada
RTEH (dalam Deposit Agreement disebut sebagai Deposit BNI pada RTEH) pada
tanggal 5 Desember 2003, dalam pembukuan BNI Cabang London dicatat sebagai
fasilitas kredit yang diberikan kepada RTEH dan bukan sebagai deposit kepada RTEH
sebagaimana diatur dalam Deposit Agreement. Demikian juga dengan transaksi
transafer yang lainnya, perlakuan pencatatannya juga sama yaitu diakui sebagai kredit
yang diberikan kepada RTEH. Selanjutnya pada laporan Direct Facility Loan per 31
Desember 2004, dana yang ditransfer kepada RTEH tersebut dilaporkan sebagai
pemberian modal kerja (Working Capital) oleh BNI Cabang London kepada RTEH.
b) Fasilitas kredit yang diberikan bersifat bergulir (revolving), artinya ketika fasilitas
kredit telah jatuh tempo maka dilakukan pembaharuan lagi sebagai kredit baru.
306

Fasilitas kredit pertama pada tanggal 5 Desember 2003 adalah sebesar US$13,200.00
ribu disetujui oleh Sdr. EAI. Berdasarkan ketentuan dalam Credit Manual for Overseas
Branches, seharusnya Sdr. EAI hanya dapat memutus dan memberikan persetujuan
kredit sebesar US$7,500.00 ribu. Dengan demikian Sdr. EAI telah memutus
persetujuan kredit melampaui kewenangan yang dimilikinya yang seharusnya menjadi
kewenangan Kantor Pusat BNI. Pada tanggal 13 Februari 2004 ketika Sdr. EAI diganti
oleh Sdr. SS selaku GM BNI Cabang London yang baru, fasilitas kredit kepada RTEH
telah dilakukan perpanjangan dua kali dan jumlahnya telah meningkat menjadi sebesar
US$33,550.00 ribu. Terakhir setelah dilakukan beberapa kali perpanjangan, fasilitas
kredit kepada RETH per 31 Desember 2004 adalah sebesar US$43,850.00 ribu. Oleh
karena fasilitas kredit yang telah jatuh tempo kemudian dilakukan perpanjangan
sebagai fasilitas kredit baru dengan jumlah yang terus meningkat, maka seharusnya
juga harus dimintakan persetujuan kepada Kantor Pusat BNI.
3)Fasilitas kredit yang diberikan kepada RTEH tidak dijamin dengan agunan
Dalam Deposit Agreement diatur bahwa jumlah deposit RTEH pada BNI Cabang
London dan deposit BNI Cabang London pada RTEH lebih kecil sekitar US$50.00 ribu
dan hal tersebut masih tetap terjaga s.d. posisi per 31 Desember 2004 yaitu deposit RTEH
di BNI Cabang London sebesar US$43,933.05 ribu dan deposit BNI Cabang London di
RTEH sebesar US$43,850.00 ribu. Jika RTEH meminta pencairan depositnya, maka BNI
Cabang London juga akan meminta pembayaran pelunasan depositnya dalam jumlah yang
sama besarnya. Namun apabila RTEH tidak dapat membayar deposit BNI Cabang London,
sedangkan BNI Cabang London tidak dapat mencairkan deposit milik RTEH karena selain
deposit tersebut bukan merupakan jaminan, deposit tersebut juga hanya bisa dicairkan atas
dasar perintah dari RTEH. Dengan demikian maka BNI Cabang London tidak dalam posisi
yang sepenuhnya aman dan berpotensi menanggung risiko.
4)Pemberian fasilitas kredit dengan skim BNI Cabang London menempatkan deposit
pada RTEH belum diatur dalam Credit Manual for Overseas Branches (Book 1)
Dalam menjalankan aktivitas operasionalnya BNI Cabang London seharusnya
memperhatikan prinsip kehati-hatian perbankan, yaitu dengan mengikuti dan patuh pada
manual operasional misalnya seperti Standard Operating Procedures (SOP). Dengan
adanya SOP tersebut diharapkan bahwa kepentingan bank dapat lebih terproteksi dari
kemungkinan timbulnya risiko di kemudian hari. Untuk pemberian fasilitas kredit dengan
skim BNI Cabang London menempatkan deposit pada RTEH semacam ini, BNI baik di
Kantor Pusat maupun cabang-cabang yang ada di luar negeri belum memiliki SOP. Oleh
karena itu sebelum melakukan Deposit Agreement dengan RTEH, seharusnya BNI
Cabang London berkonsultasi dengan Kantor Pusat pada Divisi terkait yang membidangi
risk management. Dalam kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan.
Dari hal-hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Deposit Agreement dengan
pengaturan transaksi back to back deposit merupakan transaksi yang tidak biasa, karena
counterpart BNI Cabang London (dhi. RTEH) adalah lembaga non-bank. Risiko dari transaksi
ini terletak pada tidak adanya agunan yang berfungsi untuk menjamin kredit yang diberikan
kepada RTEH. Penggunaan dana deposit BNI Cabang London yang telah ditransfer ke
rekening RTEH tidak dapat dikontrol oleh BNI Cabang London dalam arti bahwa apakah dana
tersebut sepenuhnya ditempatkan sebagai deposit saja atau digunakan untuk tujuan lain,
307

misalnya digunakan sebagai modal kerja. Kemudian konfirmasi yang dilakukan atas dana
yang telah ditransfer sebagai deposit BNI Cabang London kepada RTEH berupa konfirmasi
kredit (Loan Confirmation). Jika BNI Cabang London dan RTEH sepenuhnya menjalankan
perjanjian back to back deposit, seharusnya yang dikonfirmasi oleh BNI Cabang London
kepada RTEH pada saat jatuh tempo adalah merupakan Deposit Confirmation. Oleh karena itu
deposit BNI Cabang London pada RTEH substansinya sangat dekat dengan fasilitas
pemberian KMK dengan sifat bergulir (revolving) dengan jaminan deposit (cash collateral)
RTEH yang ada di BNI Cabang London. Hanya saja, deposit RTEH yang ada di BNI Cabang
London tersebut tidak diikat sebagai jaminan. Hal tersebut dapat dilihat dari fasilitas kredit
yang diberikan kepada RTEH, apabila kredit kepada RTEH naik maka deposit RTEH di BNI
Cabang London juga harus dinaikkan dalam jumlah yang sama besarnnya, begitu juga
sebaliknya. Dengan demikian substansi dari deposit BNI Cabang London pada RTEH
merupakan pemberian fasilitas KMK yang akan lebih tepat dan aman bagi BNI Cabang
London jika perjanjian yang dibuat adalah Loan Agreement dan bukan Deposit Agreement.
Jika Deposit Agreement dianalogikan sebagai transaksi pasar uang (money market)
dimana terjadi transaksi penempatan dan peminjaman (borrowing and placement), hal tersebut
tidak tepat karena dalam money market biasanya pihak yang mempunyai kelebihan dana akan
menawarkan dananya untuk ditempatkan (placement) kepada pihak yang membutuhkan dana
(borrowing) dan umumnya tidak diatur bahwa pihak yang meminjam dana disyaratkan untuk
menempatkan kembali atas dana yang telah dipinjamnya (back to back placement) kepada
pihak yang meminjamkan dananya.
Selanjutnya dari hasil konfirmasi yang dilakukan oleh Tim audit BPK-RI pada Dirjen
GSDM pada tanggal 20 Juni 2005, diperoleh data bahwa jumlah biaya yang diperlukan untuk
pengakhiran tambang dalam rangka reklamasi untuk memperbaiki kegunaan lahan yang
terganggu akibat kegiatan penambangan yang harus dilakukan oleh PT Kelian selama periode
tahun 2002 s.d 2008, adalah sebesar US$73,000.00 ribu. Untuk menjamin pelaksanaan
pekerjaan reklamasi tersebut, maka PT Kelian harus menyampaikan jaminan reklamasi (antara
lain berupa deposito berjangka) kepada Dirjen GSDM yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan
biaya reklamasi sesuai dengan rencana tahunan pengelolaan lingkungan untuk jangka waktu
lima tahun.
Berkaitan dengan jaminan reklamasi tersebut, dalam Keputusan Dirjen Pertambangan
Umum No.: 336.K/271/DDJP/1996 tanggal 1 Agustus 1996 tentang Jaminan reklamasi, pada
pasal 12 disebutkan bahwa: “Perusahaan pertambangan dapat mengajukan pencairan atau
pelepasan jaminan reklamasi kepada Direktur Jenderal sesuai dengan tahapan pelaksanaan
reklamasi”. Kemudian pada pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa: “Keputusan atas permohonan
pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi diberikan oleh Direktur Jenderal”. Berdasarkan
ketentuan pasal 12 dan pasal 13 ayat (3) tersebut jelas bahwa jaminan reklamasi PT Kelian
berupa deposito yang ada pada Bank BNI Cabang London hanya dapat dicairkan jika
mendapat persetujuan dari Dirjen GSDM. Dari hasil konfirmasi tersebut juga diperoleh
penjelasan bahwa apabila PT Kelian tidak melaksanakan/menyelesaikan pekerjaan reklamasi
yang menjadi kewajibannya, maka Dirjen GSDM akan menunjuk pihak ketiga lainnya untuk
melaksanakan pekerjaan reklamasi dimaksud dengan dana yang bersumber dari jaminan
reklamasi. Dengan demikian jelas bahwa kredit yang diberikan oleh Bank BNI Cabang
London kepada RTEH berisiko tinggi.
308

Hal tersebut belum sesuai dengan :
1)Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, pasal 8 menyebutkan: “Dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
yang diperjanjikan”
2)Setiap aktivitas operasional bank seharusnya di dasarkan pada Standard Operating
Procedures (SOP) agar bank dapat terhindar dari kemungkinan risiko yang lebih besar di
kemudian hari
Masalah tersebut mengakibatkan BNI Cabang London per 31 Desember 2004
berpotensi menanggung kerugian sebesar US$43,850.00 ribu apabila RTEH gagal membayar
kembali deposit Bank BNI Cabang London dan potensi kerugian tersebut dapat meningkat
dalam jumlah yang lebih besar apabila kedua belah pihak terus melakukan deal untuk
meningkatkan jumlah depositnya masing-masing.
Kondisi diatas terjadi karena :
1)Deposit Agreement dilakukan oleh GM Bank BNI Cabang London karena melihat adanya
potensi bisnis yang dapat menambah pendapatan
2)GM Bank BNI Cabang London lalai tidak meminta persetujuan dari Kantor Pusat meskipun
transaksi dengan model Deposit Agreement belum memiliki SOP
Atas masalah tersebut, Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Pada awalnya transaksi Bank BNI London dan RTEH adalah transaksi deposit dari RTEH
yang ditempatkan di Bank BNI London. Mempertimbangkan country risk Indonesia yang
terkait dengan Bank BNI London, RTEH memerlukan untuk mendapatkan pinjaman dari BNI
London dengan jumlah yang hampir sama untuk jumlah depositnya, yang kemudian disetujui
Bank BNI London dengan cara membuat back to back arrangement.
2)Yang menjadi perhatian Bank BNI London dengan membuat back to back arrangement
adalah untuk setiap penarikan yang dilakukan, RTEH berkewajiban untuk melakukan
pembayaran dengan jumlah yang sama dengan yang ditariknya ke rekeningnya di Bank BNI
London (berada dalam penguasaan BNI London).
3)Dengan skim di atas, uang yang disediakan Bank BNI London untuk RTEH terkait dengan
deposit RTEH di Bank BNI London, maka transaksi tersebut disepakati untuk didudukkan
dalam Deposit Agreement.
4)Hal-hal tersebut yang menjadi perhatian BPK, telah menjadi perhatian Direksi dan
Komisaris Bank BNI. Sesuai saran Komisaris, saat ini kami sedang meminta opini hukum
dari konsultan hukum Indonesia guna mendapatkan pandangan hukum berdasarkan hukum
Indonesia atas posisi Bank BNI dalam transaksi tersebut dan untuk dapat melakukan legal
risk assestment atas transaksi tersebut. Dan kepada Bank BNI London telah diminta untuk
309

menghentikan transaksi dengan RTEH serta melakukan kajian untuk terminasi kontrakkontrak
yang telah berjalan.
BPK-RI menyarankan agar:
1) Untuk meraih dan merealisasikan pendapatan, GM Bank BNI Cabang London tidak berarti
harus mengabaikan prinsip kehati-hatian sehingga menempatkan BNI Cabang London
pada posisi yang tidak aman dan berisiko tinggi. Untuk mencegah Bank BNI Cabang
London dari risiko kerugian yang lebih besar maka Direktur bidang Internasional segera
mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi masalah tersebut.
2) GM Bank BNI Cabang London hendaknya senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian
(prudent) dalam menempatkan dana dalam kredit atau dalam bentuk aktiva produktif
lainnya dengan mematuhi dan menerapkan sepenuhnya SOP yang berlaku. Dalam hal suatu
aktivitas operasional belum memiliki SOP maka GM Bank BNI Cabang London harus
meminta konfirmasi terlebih dahulu kepada unit bisnis terkait di Kantor Pusat. Dengan
demikian untuk setiap penempatan dana dalam bentuk kredit maka harus didudukkan
dalam dokumen legal yang tepat yaitu Perjanjian Kredit dan pengaturan jaminannya juga
harus diatur secara tepat.
b. Pembelian Promissory Notes Parmalat Participacoes Do Brasil Ltda. senilai US$2,000.00
ribu tidak dilakukan secara hati-hati dan tidak memperhatikan ketentuan yang berlaku
Parmalat Particippacoes Do Brasil Ltda (Parmalat Brasil), mayoritas dimiliki dan
dikontrol oleh Parmalat SpA (Parmalat) di Itali, pada tahun 2003 mengeluarkan Promissory
Notes (PN) yang digaransi oleh Parmalat dan dananya akan digunakan untuk mendukung
perdagangan ekspor yang dilakukan oleh perusahaan Parmalat di Amerika Latin. Parmalat
merupakan perusahaan yang bergerak di sektor makanan, menduduki peringkat pertama dalam
ranking milk UHT (Ultra High Temperatur) dunia, dan menjadi market leader dalam beberapa
produk makanan yang lain di Itali dan Brazil. Parmalat beroperasi di 31 negara, memiliki 62
perusahaan, 149 pabrik dan lebih dari 38.000 pekerja.
Bank BNI Cabang London (BNI) membeli tiga buah PN Parmalat Brasil sebesar
US$4,000.00 ribu yang terdiri atas :
1)PN dengan nomor BCI-008-03 tanggal 27 Mei 2003 senilai US$2,000.00 ribu jatuh tempo
tanggal 21 Mei 2004 yang dibeli dari BCI Soditic Trade Finance Ltd tanggal 4 Juni 2003.
2)PN dengan nomor ECO-PB-109 tanggal 23 April 2003 senilai US$1,000.00 ribu jatuh
tempo tanggal 23 April 2004 yang dibeli dari Sumitomo Mitsui Banking Corporation
(Sumitomo) pada tanggal 1 Desember 2003.
3)PN dengan nomor ECO-PB-110 tanggal 23 April 2003 senilai US$1,000.00 ribu jatuh
tempo tanggal 23 April 2004 yang dibeli dari Sumitomo tanggal 1 Desember 2003.
PN tersebut dicatat oleh Bank BNI sebagai loan/pinjaman atas nama Parmalat. Pada saat jatuh
tempo tanggal 23 April 2004 dan 21 Mei 2004, PN tersebut tidak bisa dibayar baik oleh
Parmalat Brasil maupun oleh Parmalat sebagai guarantor, sehingga oleh Bank BNI dibukukan
sebagai kredit bermasalah dengan kolektibilitas 5 (macet). Bank BNI dengan bantuan
pengacara di Inggris dan Italia telah mengajukan petisi tanggal 31 Mei 2004 ke Pengadilan di
Kota Parma, akan tetapi Pengadilan pada tanggal 16 Desember 2004 memutuskan bahwa
310

petisi BNI tersebut ditolak dengan alasan dokumen yang diberikan tidak mendukung klaim
Bank BNI. Kemudian BNI dengan surat No.LDN/1/1036/R tanggal 16 Desember 2004,
mengusulkan kepada Divisi Kredit Khusus Kantor Pusat Bank BNI agar kredit tersebut
dihapus buku dengan pertimbangan sebagai berikut :
1)Telah dicover sepenuhnya dengan provisi 100%;
2)Parmalat Brasil telah menghentikan operasinya, sehingga pengembalian hanya tergantung
pada guarantee yang diberikan Parmalat.
3)Upaya penyelamatan telah dilakukan dengan cara mengajukan klaim kepada Parmalat dan
kasusnya telah dipegang pengadilan Itali, tetapi membutuhkan waktu beberapa tahun
sebelum kasus berakhir.
Permohonan tersebut disetujui oleh Direktur Risk Management dan Direktur Treasury masingmasing
tanggal 22 dan 23 Desember 2004, dan BNI telah melakukan penghapusbukuan pada
tanggal 31 Desember 2004.
Hasil pemeriksaan terhadap proses pengelolaan kredit atas nama Parmalat
menunjukkan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1) Pembelian dua buah PN @ US$1,000.00 ribu pada tanggal 1 Desember 2003 tetap
dilakukan walaupun kondisi Parmalat sedang bermasalah
Pada tanggal 30 April 2003, Credit Analyst Bank BNI mengajukan transaksi secondary
trade financing berupa pembelian PN milik Parmalat Brasil senilai US$2,000.00 ribu, yang
digaransi oleh Parmalat dan telah disetujui oleh Treasury, Corporate Relationship Manager
(CRM), Deputy General Manager – Operational (DGMO) dan General Manager (GM)
masing-masing pada tanggal 6 Mei 2003. Pembayaran telah dilakukan kepada BSI Soditic
pada tanggal 4 Juni 2003 sebesar US$1,943.10 ribu. Selanjutnya berdasarkan Risk
Assesment and Approval Sheet Secondary Trade Financing Transaction No.F03004
tanggal 28 November 2003, Credit Analyst kembali mengajukan pembelian dua buah PN
milik Parmalat Brasil @ US$1,000.00 ribu atau total sebesar US$2,000.00 ribu yang
ditawarkan oleh Sumitomo. Dalam analisa tersebut antara lain disebutkan bahwa :
a) Perusahaan yang menggaransi (Parmalat) memiliki rating BBB- (cukup) menurut
Standard & Poor’s.
b) Banyak kontroversi yang timbul sehubungan pernyataan Auditor Deloitte & Touche
(KAP yang memeriksa Parmalat) tentang pembatasan yang dilakukan Parmalat
terhadap audit semester I tahun 2003 termasuk informasi yang tidak cukup perihal
investasi Parmalat sebesar EUR477,700.00 ribu pada dana timbal balik (mutual fund).
Hal tersebut menyebabkan pemberhentian sementara atas penjualan saham Parmalat di
bursa serta mundurnya Corporate Finance Officer/CFO (Direktur Keuangan) Parmalat.
c) CFO Parmalat yang baru memiliki komitmen untuk mengurangi beban hutang group
Parmalat yang mencapai EUR6,000,000.00 ribu dengan cara menjual setengah dari
asset group yang likuid senilai EUR4,200,000.00 ribu dalam dua tahun mendatang.
d) Harga PN yang ditawarkan menarik dengan hasil USD LIBOR + 2,25% pa atau sama
dengan 3,48% sedangkan dana rata-rata tertimbang (weighted cost of funds) mencapai
2,48% sehingga BNI London mendapat net margin 1%.
Permohonan tersebut pada tanggal 1 Desember 2003 disetujui oleh Treasury, CRM,
DGMO serta GM, sehingga Bank BNI kembali membeli dua buah PN Parmalat Brasil
senilai US$2,000.00 ribu. Dengan demikian total PN Parmalat Brasil yang dimiliki Bank
311

BNI sebesar US$4,000.00 ribu. Lebih lanjut diketahui bahwa Reuters, Dow Jones
Internasional dan AFX International Focus pada tanggal 10 dan 11 November 2003 telah
menginformasikan bahwa :
a) Auditor Deloitte & Touche SpA tidak dapat memberikan opini atas Laporan
Semesteran Parmalat karena ketidakcukupan dan ketidaklengkapan informasi
sehubungan dengan investasi perusahaan dan anak perusahaan pada mutual fund.
b) Pembatasan lain adalah tidak adanya penilai independen untuk mengetahui nilai wajar
dari kontrak derivatif yang ditandatangani anak perusahaan Parmalat dengan
perusahaan investasi di luar negeri.
c) Pemberhentian sementara atas penjualan saham Parmalat di bursa Milan dengan nilai
saham telah jatuh 10,89% sehingga menimbulkan kenaikan biaya asuransi untuk
menghadapi kegagalan pembayaran hutang Parmalat sekitar EUR580.00 ribu per tahun
untuk mengasuransikan hutang sebesar EUR 10,000.00 ribu.
d) Biaya untuk mengasuransikan hutang Parmalat tersebut tertinggi dibandingkan dengan
perusahaan yang memiliki rating sejenis, yaitu BBB- atau rating terendah dalam
tingkat investasi.
Selain itu Citigroup Smith Barney pada tanggal 17 November 2003 dan Blomberg pada
tanggal 25 November 2003 melaporkan bahwa Parmalat memiliki resiko peringkat
kreditnya akan diturunkan menjadi tingkat spekulatif (speculative grade) atau sampah
(junk) oleh Standard & Poor’s. Selain itu analisa Citigroup juga melaporkan bahwa neraca
Parmalat menunjukkan ketidakefisienan dalam struktur modal perusahaan karena total
hutang mencapai EUR5,300,000.00 ribu sedangkan asset yang likuid hanya
EUR3,500,000.00 ribu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Parmalat (sebagai perusahaan yang menggaransi PN
yang diterbitkan oleh Parmalat Brasil) sedang menghadapi permasalahan yaitu
ketidakefisienan permodalan perusahaan serta kurangnya kepercayaan dari
lembaga/perusahaan keuangan internasional.
2) Analisa hanya dilakukan terhadap perusahaan yang menggaransi (Parmalat)
Credit Analyst Bank BNI dalam menganalisa pembelian PN Parmalat Brasil hanya
melakukan analisa terhadap kondisi Parmalat dan Italia, sedangkan analisa tentang kondisi
perusahaan yang mengeluarkan PN tersebut yaitu Parmalat Brasil tidak dilakukan sama
sekali, terutama mengenai profil perusahaan dan kondisi keuangan Parmalat Brasil.
3) BNI belum maksimal dalam melakukan penagihan kembali kredit Parmalat
Bank BNI dengan bantuan pengacara di Inggris dan Italia telah mengajukan petisi
mengenai kegagalan pembayaran Parmalat pada tanggal 31 Mei 2004 ke Pengadilan di
Kota Parma, akan tetapi Pengadilan pada tanggal 16 Desember 2004 memutuskan bahwa
petisi Bank BNI tersebut ditolak dengan alasan dokumen yang diberikan tidak mendukung
klaim Bank BNI. Atas keputusan tersebut, Bank BNI akan melakukan upaya naik banding
ke Pengadilan Italia. Akan tetapi BNI belum menanyakan ke Pengadilan Parma mengenai
penyebab dokumen yang telah diberikan tidak dapat mendukung klaim Bank BNI.
Hal tersebut belum sesuai dengan :
312

1)Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tanggal 10 November
1998 tentang Perbankan dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/147/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 Pasal 2 ayat (1) tentang Kualitas Aktiva Produktif, yang antara
lain menyebutkan bahwa Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
2)Bank BNI seharusnya aktif melakukan upaya penagihan kepada Parmalat Italia melalui
Pengadilan.
Masalah tersebut mengakibatkan :
1)BNI harus menanggung risiko sehubungan kredit Parmalat yang macet sehingga membebani
Bank BNI sebesar US$4,000.00 ribu karena harus membentuk PPAP sebesar 100%.
2)Bank BNI tidak dapat mendaftarkan kredit Parmalat yang telah jatuh tempo kepada
Pengadilan di Italia.
Kondisi diatas terjadi karena :
1)Analis Kredit dalam melakukan analisa dan CRM, DGMO dan GM dalam memutuskan
pembelian PN kurang hati-hati dan tidak memperhatikan ketentuan yang berlaku.
2)Bank BNI belum menanyakan kepada Pengadilan Parma di Italia perihal alasan penolakan
klaim Bank BNI.
Atas masalah tersebut, Direksi bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Parmalat SpA Italia merupakan guarantor dari PN yang diterbitkan oleh Parmalat sehingga
analisa atas pembelian PN dilakukan atas Parmalat SpA mengingat ultimate risk berada pada
guarantor. Pada saat itu rating Parmalat SpA adalah BBB-.
2)Terhadap pembelian PN pada Desember 2003 juga telah dilakukan analisa dan didasarkan
pada pertimbangan bisnis dimana Bank BNI London mendapatkan tawaran untuk pembelian
kembali atas PN yang dimiliki sebelumnya dan terutama didasarkan pada masuknya
Deutsche Bank untuk membeli debt instrument Parmalat.
3)Upaya recovery telah dilakukan secara optimal oleh Bank BNI London yang antara lain
adalah menunjuk lawyer setempat (Italia) untuk mewakili kepentingan Bank BNI London
dalam proses restrukturisasi Parmalat di Pengadilan Italia.
4)Kendala terbesar adalah karena proses restrukturisasi Parmalat ini berskala besar (world
wide) dimana porsi Bank BNI London relatif kecil jika dibandingkan dengan total eksposur
hutang Parmalat yang sedang direstrukturisasi kurang lebih sebesar USD17 miliar.
5)Terhadap penolakan pengadilan Italia atas klaim yang diajukan Bank BNI London (dan juga
bank lain) saat ini masih dalam proses banding. Sedangkan atas alasan penolakan klaim,
lebih disebabkan karena ketidakpahaman Bank BNI London terhadap proses pengadilan di
Italia karena semua prosedur menggunakan bahasa Italia. Hearing akan dilanjutkan pada
tanggal 22 November 2005 dimana pengadilan Italia akan kembali melakukan verifikasi
dokumen. BNI London telah menyediakan cadangan 100% atas PN Parmalat.
BPK-RI menyarankan agar:
1) Analis Kredit dalam menganalisa pembelian PN hendaknya dilakukan lebih hati-hati dan
mendalam agar pemutus kredit memperoleh informasi yang lengkap dan dapat mengambil
keputusan dengan tepat. CRM, DGMO dan GM lebih berhati-hati dalam memutuskan
pembelian PN, dalam hal telah diketahui informasi negatif tentang perusahaan penerbit PN
313

maka akan lebih aman apabila Bank BNI dalam posisi tidak menyetujui keputusan
pembelian PN karena jelas mengandung risiko yang besar.
2) Bank BNI London terus melanjutkan upaya penyelesaian PN senilai US$4,000.00 ribu
dengan menyiapkan data yang lengkap agar ketika proses hearing pada tanggal 22
November 2005 verifikasi dokumen yang akan dilakukan oleh pengadilan Italia dapat
berjalan lancar dan klaim yang diajukan oleh Bank BNI London dapat terealisir.
c. Pengelolaan fasilitas kredit SR Gent dengan outstanding sebesar GBP13,000.00 ribu
belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
SR Gent PLC merupakan perusahaan yang bergerak dibidang importir pakaian wanita
dan pakaian anak-anak yang sebagian besar produksinya dipasarkan melalui Marks & Spencer
plc. Alamat perusahaan di Dodworth Road,Barnsley, South Yorkshire S70 6JE London.
Susunan Pemegang sahamnya yaitu Magnum Mars Capital sebesar 100% dan pengurus
perusahaan yaitu Mr Ponnuswamy Manohar sebagai Chairman dan Mr. Richard Steven Franks
sebagai Chief Executive.
Sedangkan pemegang saham PT Magnum Mars Capital 100 % adalah Mr.
Ponnuswamy Manohar yang pernah menjabat sebagai Group Director pada PT Texmaco
sampai dengan tahun 1999SR Gent menjadi nasabah Bank BNI Cabang London sejak tahun
1997 sesuai dengan Intercreditor Agreement antara SR. Gent, The Lenders dan Midlan Bank
plc tanggal 9 Desember 1997. Dalam perjanjian tersebut Bank BNI Cabang London
merupakan salah satu lender, sedangkan yang bertindak sebagai agen adalah Bank
Midland/HSBC. Fasilitas kredit yang diperoleh SR Gent dari Bank BNI Cabang London
sebesar GBP43,750.00 ribu yang terdiri dari fasilitas kredit berupa Term Credit Fasility
sebesar GBP10,000.00 ribu untuk refinancing hutang, revolving credit sebesar GBP7,500.00
ribu untuk modal kerja, Trade Finance Fasility sebesar GBP6,250.00 ribu untuk mengimpor
fabric dan garmen, Forex sebesar GBP20,000.00 ribu untuk mengcover forex risk atas
pembelian bahan baku.
Fasilitas Kredit yang diberikan s.d. Januari 2005 adalah sebesar GBP13,000.00 ribu
dengan kolektibilitas Lancar (A).
Dari hasil pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen diketahui hal- hal sebagai berikut:
1)Kolektibilitas kredit SR Gent di tetapkan Lancar walaupun kondisi Perusahaan
mulai menurun
Sesuai dengan daftar tersebut diatas kolektibilitas fasilitas kredit atas nama SR
Gent adalah lancar. Sedangkan kondisi perusahaan berdasarkan Credit Proposal Memo
(CPM) Bank BNI Cabang London tanggal 5 Maret 2004 adalah sebagai berikut : Produksi
UK pada tahun 2002 mengalami penurunan dari 40 % tahun 1999 menjadi 18 % tahun
2002, penjualan semakin menurun akibat ZIP (Marks & Spencer/M&S) sebagai klien
utama menurunkan margin target dari 20 % menjadi 11%. Dari aspek keuangan selama
tahun 2002, penjualan SR Gent mengalami penurunan dibanding tahun 2001, yaitu dari
sebesar GBP 102,964.00 ribu menjadi GBP92,992.00 ribu, pada tahun 2003 penjualan
menurun 19 %, Gross profit juga mengalami penurunan sebesar 16,5% dari GBP38,4
million menjadi GBP32,1 million. Kinerja SR Gent selama tahun 2002 dan awal tahun
2003 masih menunjukan kinerja yang buruk, walaupun SR Gent akan melakukan
314

perubahan strategi pemasaran yang diharapkan dapat memperbaiki kinerja di masa
mendatang. Berdasarkan CPM CAP Reference : 25004 tanggal 28 Januari 2005 diketahui
kondisi keuangan perusahaan pada tahun 2003 dan 2004 adalah sbb:
(dalam ribu GBP)
Uraian 30 Nov 2003 30 Nov 2004 % Naik(turun)
Penjualan 67,921.00 63,648.00 (6,0)
Pendapatan Kotor 18,506.00 20,483.00 10,7
Pendapatan Operasional (193.00) 552.00 386,0
Pendapatan SBL biaya bunga (193.00) 552.00 386,0
Biaya Bunga (767.00) (815.00) 6,3
Pendapatan (rugi) Slbm Pajak (960.00) (263.00) 82,6
Pajak 635.00 0 (100 )
Earning (325.00) (263.00) 19,1
Biaya luar biasa (1,154.00) (585.00) (49,3)
Pendapatan (Rugi) bersih (1,479.00) (848.00) 42,7
Dari tabel di atas dapat dikemukakan bahwa tingkat penjualan tahun 2004 menurun sebesar
6% dibandingkan tahun 2003, selama tahun 2003 – 2004 mengalami kerugian walaupun
kerugian tahun 2004 turun 42,7 % dibandingkan tahun 2003 atau sebesar GBP637.00 ribu
(1,479.00 ribu – 848.00 ribu). Selain masalah keuangan, tingkat persaingan Marks &
Spencer sebagai departemen store dalam memasarkan pakaian adalah sangat ketat. Hal
ini sangat berpengaruh terhadap tingkat penjualan SR Gent karena M& S merupakan klien
utama SR Gent. Sementara itu pesaing dari SR Gent sendiri adalah perusahaan yang cukup
kuat seperti Crystal International dan Saralee.
Dengan demikian penetapan kolektibilitas fasilitas kredit SR Gent tersebut diatas
kurang sesuai dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/267/KEP/DIR
tanggal 27 Februari 1998 pasal 4 dan Lampiran SK DIR BI yang antara lain menyebutkan
bahwa fasilitas kredit dikatakan lancar adalah selain dalam memenuhi kewajiban tepat
waktu atau lancar juga ditentukan oleh kondisi perusahaan antara lain peluang industri,
daya saing tinggi, pasar product masih bagus, masih memperoleh keuntungan, likuid dan
masih ada sumber pendapatan lain.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas Deputy GM Bank BNI Cabang London
menjelaskan secara lisan bahwa, kolektibilitas SR Gent lancar karena SR Gent selalu tepat
waktu dalam memenuhi kewajibannya. Selain hal tersebut pihak Bank BNI Cabang
London tidak dapat melakukan perubahan apapun secara sepihak termasuk perubahan
kolektibilitas kredit, karena sudah terikat dalam perjanjian Intercreditor Agreement
antara SR. Gent tanggal 9 Desember 1997 klausula 4.1b yang menyatakan lenders tidak
boleh mengurangi dan merubah term dan conditions fasilitas tanpa persetujuan tertulis
Security Agent (HSBC). Security Agent hanya dapat memberi persetujuan apabila
diinstruksikan oleh mayoritas lender. Lebih lanjut diketahui bahwa Bank BNI Cabang
London tidak membentuk Penyisihan Penghapusan Piutang (PPAP) sekalipun kondisi
perusahaan SR Gent menurun.
2)Perpanjangan Fasilitas Kredit belum dilakukan walaupun sudah jatuh tempo
315

Selain hal tersebut diatas, berdasarkan CPM tanggal 5 Maret 2004, diketahui bahwa
sekalipun penilaian terhadap kondisi SR Gent yang menurun, Bank BNI Cabang London
berdasarkan persetujuan dari Divisi Internasional pada tanggal 24 Maret 2004 menyetujui
perpanjangan fasilitas SR Gent sebesar GBP13,000.00 ribu s.d. 31 Januari 2005.
Perpanjangan tersebut dituangkan dalam Surat bank BNI Cabang London No.
LDN/2/0455 tanggal 28 Mei 2004 kepada Direktur S.R. Gent Group. Akan tetapi analisa
atas fasilitas kredit tersebut diatas baru mulai dilakukan pada tanggal 28 Januari 2005.
Sesuai dengan credit Approval Sheet Reference 25004 diketahui bahwa pada tanggal 28
Januari 2005 s.d. pemeriksaan tanggal 1 Maret 2005 analisa perpanjangan fasilitas
tersebut masih ditangani oleh GM Bank BNI Cabang London.
Hal tersebut belum sesuai dengan :
1)Surat keputusan Direksi BI No. 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 pasal 4 dan
Lampiran SK DIR BI disebutkan bahwa syarat kolektibilitas lancar adalah :
a) Pembayaran angsuran pokok dan bunga tepat waktu, dan memiliki mutasi rekening
yang aktif atau bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai
b) Bidang industri diterima umum, permintaan cukup, profitabilitas cukup, persaingan
minimal;
c) Kondisi perusahaan diatas rata-rata sector, daya saing kuat, produk dan pasar yang
baik;
d) Keuangan menguntungkan, likuid, Cashflow memadai, ratio hutang rendah, dua
sumber pembayaran kembali, sedikit ketergantung terhadap FX dan stabilitas suku
bunga;
e) Manajemen memiliki integritas, memiliki visi strategis yang jelas, kontrol yang baik,
ekternal audit yang baik;
f) Viability tidak ada risiko yang significant.
2)Mengingat kondisi Perusahaan SR Gent mulai menurun seharusnya BNI Cabang
membentuk penyisihan penghapusan piutang.
3)Credit Manual for Overseas Branch Buku I Bab I.A.02 yang berlaku efektif tanggal 3 April
2001 menyebutkan bahwa CAP atas review kredit harus disiapkan dan diselesaikan oleh
Credit Analis paling lambat satu bulan sebelum kredit jatuh tempo atau tanggal review yang
ditetapkan .
Masalah tersebut mengakibatkan :
1)Bank BNI Cabang London kemungkinan memiliki risiko kerugian dengan tidak dibentuknya
penyisihan penghapusan piutang SR Gent.
2)Fasilitas kredit yang diberikan tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang proses
perpanjangan tersebut belum selesai.
Kondisi diatas terjadi karena :
a) Dalam menetapkan kolektibilitas kredit Bank BNI Cabang London selain berdasarkan
pada kelancaran debitur dalam memenuhi kewajibannya juga karena adanya keterikatan
secara sindikasi dengan kreditor lainnya.
316

) Pelaksanaan pengawasan/monitoring Bank BNI Cabang London terhadap fasilitas kredit
SR Gent kurang baik.
Atas masalah tersebut, Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Bank BNI London memang tidak membentuk PPAP karena sesuai kebijakan PPAP dibentuk
di Kantor Besar berdasarkan Undertaking and Indemnity dari Kantor Besar. Namun
demikian, Bank BNI London tetap melakukan pengawasan ketat dan memperhitungkan risiko
yang mungkin timbul dengan memperhitungkan jaminan SR Gent sebagai pengembalian atas
kewajibannya apabila SR Gent default. Saat ini nilai jaminan (berdasarkan nilai taksasi)
kurang lebih sebesar 60% - 80% dari total pinjaman, yang apabila dijual pada harga saat ini
diperkirakan dapat lebih tinggi dari nilai taksasi.
2)Keterlambatan pembuatan CAP review disebabkan karena masalah teknis seperti
terlambatnya Bank BNI London menerima audited financial report. Hal tersebut telah
menjadi perhatian Bank BNI London.
BPK-RI menyarankan agar Bank BNI Cabang London meningkatkan pengawasan
terhadap perkembangan usaha SR Gent dengan menggunakan sumber data laporan keuangan
periode terakhir yang telah diaudit.
d. Pendapatan kredit hapus buku sebesar US$5,165.98 ribu yang merupakan milik
pemerintah diakui sebagai pendapatan Bank BNI
Bank BNI Cabang London (Bank BNI) memiliki kredit hapus buku per 31 Desember
2004 sebesar US$100,316.40 ribu dengan jumlah debitur sebanyak 54 perusahaan. Sampai
dengan 31 Desember 2004 telah diterima hasil penagihan sebesar US$14,427.59 ribu sehingga
sisa kredit yang belum tertagih sebesar US$85,888.81 ribu. Pengujian lebih lanjut
menunjukkan bahwa sebanyak empat debitur dengan nilai kredit sebesar US$16,545.81 ribu
merupakan debitur yang telah diserahkan Bank BNI ke BPPN dan Bank BNI memperoleh
obligasi rekapitalisasi. Selanjutnya BPPN menyerahkan kembali debitur-debitur tersebut
kepada Bank BNI karena debitur tersebut merupakan perusahaan yang tidak berlokasi di
negara Indonesia (non resident), sehingga menyulitkan penagihan. Akan tetapi atas
pengembalian tersebut, Bank BNI tidak mengembalikan obligasi rekapitalisasi yang telah
diterima kepada Pemerintah. Rincian nilai kredit debitur-debitur tersebut dan hasil
penagihannya adalah sebagai berikut :
No. Nama Debitur Nilai (dalam Ribu USD)
Kredit Hapus Buku Pengembalian Sisa
1 GITIC HK Holdings Ltd. 7,500.00 1,743.22 5,756.78
2 MBF Credit Ltd. 2,500.00 131.06 2,368.94
3 QPL International Holdings LTd. 3,000.00 3,000.00 -
4 Creditland Ltd. 3,545.81 291.70 3,254.11
Jumlah 16,545.81 5,165.98 11,379.83
Dari tabel diatas diketahui bahwa hasil penagihan kredit dari keempat debitur tersebut sejak
hapus buku sampai dengan 31 Desember 2004 adalah sebesar US$5,165.08 ribu. Hasil
penagihan tersebut dicatat sebagai pendapatan Bank BNI.
317

Hasil penagihan kredit hapus buku yang diserahkan kembali oleh BPPN kepada Bank
BNI yang sebenarnya telah diperhitungkan dengan obligasi rekapitalisasi seharusnya
dikembalikan kepada BPPN/Pemerintah setelah diperhitungkan dengan biaya penagihan.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI kelebihan mencatat pendapatan sebesar
US$5,165.98 ribu.
Hal tersebut terjadi karena Bank BNI kurang memahami bahwa hasil penagihan dari
kredit hapus buku tersebut sebenarnya bukan sebagai pendapatan Bank BNI.
Debitur yang disebutkan (GITIC, MBF, QPL dan Credietland Ltd) adalah debitur yang
pernah dialihkan ke Kantor Besar untuk kemudian diserahkan ke BPPN. Selanjutnya berkaitan
dengan dana rekapitalisasi bank, dapat kami sampaikan bahwa BNI dan BPPN telah
mengadakan suatu Addendum Perjanjian Pengalihan Hak atas Piutang yang ditandatangani
pada tanggal 9 Maret 2000 yang didalamnya menyepakati dan menyetujui untuk mengeluarkan
22 debitur dari daftar nominative yang merupakan debitur nonresident, termasuk didalamnya
adalah keempat debitur dimaksud. Nilai keseluruhan debitur tersebut adalah Rp546,75 milyar.
Menurut pendapat kami jumlah tersebut telah diperhitungkan dengan dana rekap yang
dikembalikan oleh BNI kepada Pemerintah. Total dana rekap yang diterima BNI adalah
sebesar Rp61,8 triliun terdiri dari Rp30 triliun pada tanggal 7 April 2000 dan Rp31,8 triliun
pada tanggal 30 Juni 2000. Berdasarkan hasil audit akuntan publik Prasetio Utomo & Co.,
pada tanggal 5 November 2001 BNI mengembalikan kelebihan dana sebesar Rp631 milyar
kepada Pemerintah, yang menurut pendapat kami didalamnya termasuk kompensasi
pengembalian debitur non resident dari BPPN kepada BNI.
BPK-RI menyarankan agar BNI Cabang London mengembalikan pendapatan sebesar
US$5,165.98 ribu tersebut kepada pemerintah atau membukukannya sebagai hutang kepada
pemerintah.
51. Kantor Cabang Tokyo
a. Sebagian fasilitas kredit diberikan kepada debitur yang usahanya tidak dikategorikan
ekspor
Portofolio kredit sesuai dengan laporan kredit BNI Cabang Tokyo per 31 Desember
2004 adalah sebagai berikut :
(dalam juta Rupiah)
No. Nama Perusahaan Status fasilitas Kol. Maksimum Baki debet
I. CASH LOAN
1. Nomura Trading Co On shore loan 2 34.822,00 32.942,00
2. Yanase & Co On shore loan 1 17.196,00 17.196,00
3. Republik Indonesia On shore loan/TSL 1 57.978,00 57.978,00
4. Republik Indonesia On shore loan/TSL 1 141.181,00 141.181,00
No. Nama Perusahaan Status fasilitas Kol. Maksimum Baki debet
318

5. Malaysian Airlines System (MAS) On shore loan 2 12.241,00 12.241,00
6. Bank Rakyat Indonesia Jakarta Offshore loan 1 7.509,00 7.509,00
7. PT Aspex Kumbong Offshore loan 1 197.653,00 197.653,00
8 PT Telekomunikasi Indonesia Tbk Offshore loan 1 36.294,00 36.294,00
9. PT Bank Mandiri Cayman Offshore loan 1 14.118,00 14.118,00
10. PT Duta Pertiwi Offshore loan 1 268.244,00 268.244,00
II. NON CASH LOAN
Jumlah 787.236,00 752.414,00
1. PT PLN Offshore loan (BG) 1 42.166,03 -
2. PT Petrokimia Gresik Offshore loan (BG) 1 343.540,26 -
3. Hitachi Zosen Plant Onshore loan ( BG ) 1 103,00 -
Jumlah 385.809,69
Data diatas memperlihatkan bahwa sebagian fasilitas kredit diberikan kepada debitur yang
usahanya tidak berorientasi ekspor, antara lain sebagai berikut :
1)PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, yang bergerak dalam bidang jasa
telekomunikasi yang sebagian besar pendapatannya dalam mata uang Rupiah.
2)PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), yang bergerak dalam bidang jasa kelistrikan,
sebagian besar pendapatannya dalam mata uang Rupiah.
3)PT Petrokimia Gresik yang bergerak dalam bidang produksi pupuk, pendapatannya dalam
mata uang Rupiah.
4)PT Duta Pertiwi, yang bergerak dalam bidang usaha property, walaupun penjualannya dalam
mata uang asing tetapi investornya (pembeli) adalah dari dalam negeri.
Hal tersebut belum sesuai dengan BPP Buku IIIA, Bab III, sub F, sub sub 01
mengenai ketentuan internal loan participation/off shore loan disebutkan bahwa kredit dalam
valuta asing yang diberikan Bank harus digunakan untuk membiayai usaha yang dikategorikan
ekspor (penghasil devisa).
Masalah tersebut mengakibatkan tujuan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan
devisa melalui pembiayaan dari perbankan yang mempunyai cabang di luar negeri, khususnya
melalui Bank BNI Cabang Tokyo belum tercapai.
Kondisi tersebut terjadi karena Bank BNI Cabang Tokyo harus memanfaatkan peluang
yang ada untuk mempertahankan eksistensinya.
Atas masalah tersebut, Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa operasional Bank BNI
Tokyo ditujukan untuk mendorong aktivitas perekonomian Indonesia dengan negara-negara
lainnya terutama dengan negara dimana cabang tersebut berada. Dalam aktivitasnya Bank BNI
Tokyo harus dapat memanfaatkan peluang yang ada untuk mempertahankan eksistensi cabang.
Sejalan dengan hal tersebut Bank BNI Tokyo tidak membatasi diri hanya pada aktivitas yang
berkaitan dengan ekspor Indonesia.
BPK-RI menyarankan agar Direktur Bank BNI yang membidangi Internasional
mengkaji ulang relevansi BPP khususnya yang mengatur mengenai internal loan
319

participation/offshore loan yang membatasi pemberian kredit dalam valuta asing hanya untuk
membiayai usaha yang dikategorikan ekspor. Hasil kaji ulang tersebut hendaknya tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan tidak bertentangan dengan aturan lainnya yang
berlaku. Hal tersebut perlu dilakukan karena untuk mempertahankan eksistensinya, cabang
luar negeri khususnya Tokyo sudah tidak lagi membatasi diri hanya pada aktivitas usaha yang
berorientasi ekspor saja.
b. Kredit kepada Nomura Trading Company dengan outstanding sebesar JPY300,000.00
ribu dan US$3,020.00 ribu tidak dicover dengan agunan dan analisis cash flow yang
memadai
Nomura Trading Company (NTC) adalah perusahaan Jepang yang tergabung dalam
Grup Nomura yang didirikan oleh T. Nomura sejak tahun 1917 yang pada mulanya merupakan
South Sea Enterprise Division. Pada tahun 1951 perusahaan berdiri sendiri sebagai perusahaan
dagang dan mengambil alih usaha yang sebelumnya dilakukan oleh divisi perdagangan dan
pembangunan luar negeri dari Grup Nomura. Perusahaan melakukan restrukturisasi organisasi
pada 2 April 2002 dengan mengalihkan semua bisnisnya kepada Alton Trading Co. Ltd,
kecuali untuk bisnis baja yang telah dialihkan kepada Sumitomo Corp pada September 2002.
Alton Trading Company kemudian berganti nama menjadi NTC. NTC yang lama berubah
menjadi Nomura Trading Holding Co. NTC beralamat di 1-1-1 Hirakawa-cho, Chiyoda-ku,
Tokyo.
Awalnya fasilitas kredit yang diberikan adalah sebesar JPY300,000.00 ribu dan untuk
fasilitas ekspor impor sebesar US$3,000.00 ribu. Pada tanggal 30 Maret 2004, sesuai dengan
Credit Aplication Pakage (CAP) interim/amendement No. 04/2 BNI cabang Tokyo menambah
fasilitas kredit dengan menambah limit gabungan loan on bills dan fasilitas ekspor/impor dari
US$3,000.00 ribu menjadi US$3,500.00 ribu. Penambahan fasilitas disetujui oleh GM BNI
Tokyo pada tanggal 7 April 2004 dan disetujui oleh grup Pengelola Cabang Luar Negeri
(PCL) Divisi Internasional Kantor Pusat BNI pada tanggal 22 April 2004.
Outstanding kredit NTC per 31 Desember 2004 adalah JPY300,000.00 ribu dan
US$3,020.00 ribu.
Dari pemeriksaan atas berkas kredit Nomura Trading Company (NTC) diketahui
hal-hal sebagai berikut :
1)Pinjaman yang diberikan untuk trade related financing (dalam USD) tidak dicover
dengan jaminan yang memadai
Sesuai dengan CAP tentang peningkatan jumlah plafond kredit dari US$3,000.00
ribu menjadi US$3,500.00 ribu yang disiapkan oleh Loan Administrator Bank BNI cabang
Tokyo tanggal 30 Maret 2004 No.04/2 dijelaskan bahwa NTC merupakan perusahaan
menengah yang belum listing di bursa. Fasilitas kredit yang telah dijamin dengan
Promissory Notes (P/N) hanya pinjaman dalam JPY senilai JPY300,000.00 ribu yang
diterbitkan tanggal 29 Oktober 2004 dan akan jatuh tempo pada tanggal 28 Oktober 2005.
Sedangkan pinjaman untuk trade financing sebesar US$3,500.00 ribu belum dicover
jaminan.
Hal tersebut belum sesuai dengan Credit Policy and Procedure Manual Indek:
IN/0023/PKR Chapter I Subchapter H Sub-subchapter 02, agunan atas kredit trade
financing, modal kerja atau fasilitas jangka pendek untuk perusahaan kelas dua yang
320

terdaftar di Tokyo Stock Exchange dan perusahaan menengah dapat berupa jaminan dari
pihak ketiga atau sekuritas dan atau promissory notes.
2)Analisa keuangan tidak dilengkapi dengan analisa cash flow dan proyeksi keuangan
yang memadai
Pada CAP penambahan plafond kredit menjadi US$3,500.00 ribu diketahui bahwa
pada butir 5 mengenai analisis keuangan, analisis yang dibuat hanya analisis mengenai
perkembangan usaha selama beberapa tahun terakhir, tidak dilengkapi dengan analisa cash
flow dan proyeksi keuangan yang memadai. Analisis yang dilakukan hanya analisis historis
atas aktivitas bisnis, investasi dan pendanaan (finance) debitur.
Hal tersebut belum sesuai dengan Credit Policy and Procedure Manual Indek:
IN/0036/PAR Chapter I Subchapter F Sub-subchapter 01, proyeksi cash flow harus
disiapkan untuk mengevaluasi permintaan finansial debitur (jumlah, kapan diperlukan dan
berapa lama) dan untuk mengevaluasi kemampuan debitur untuk membayar hutangnya
kepada bank. Proyeksi cash flow, proyeksi laba rugi dan proyeksi neraca harus disiapkan
untuk setiap CAP baik aplikasi maupun review baik untuk kredit jangka pendek,
menengah, jangka panjang, langsung atau tidak langsung.
Masalah tersebut mengakibatkan:
1)Fasilitas kredit yang tidak dicover dengan jaminan yang memadai berpotensi menjadi
bermasalah apabila debitur tidak mampu membayar kreditnya (default).
2)Tidak dilakukannya analisis cash flow yang memadai mengakibatkan jumlah dan waktu
yang sebenarnya (riil) dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban pembayaran tidak dapat
diproyeksikan.
Kondisi tersebut terjadi karena Bank BNI cabang Tokyo belum sepenuhnya mamatuhi
ketentuan dalam Credit Policy and Procedure Manual untuk Overseas Branch.
Atas masalah tersebut, Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa kredit yang diberikan
kepada Nomura dicover dengan Promissory Notes (PN) yang secara legal menurut ketentuan
hukum di Jepang telah mengikat issuer untuk segera memenuhi kewajibannya, bila nasabah
gagal memenuhi kewajibannya maka PN tersebut dapat di-clearingkan melalui clearing house.
Bila telah diclearingkan dan ternyata issuer tidak dapat melunasinya maka akan berakibat
bankcruptcy pada issuer. Hal ini memberikan kepastian hukum dan hak kepada Bank BNI
Tokyo untuk menyita asset tersebut. Tambahan kredit untuk fasilitas import tidak dibuatkan
cash flow secara khusus karena fasilitas ini bersifat self liquidating sehingga setiap
penggunaan fasilitas akan lunas pada setiap cycle transaksi.
BPK-RI menyarankan agar GM Bank BNI Cabang Tokyo mengupayakan jaminan
atas fasilitas trade related financing kepada NTC segera dipenuhi dan Analis Kredit dalam
menganalisa permohonan kredit hendaknya mematuhi dan menerapkan sepenuhnya ketentuanketentuan
terkait yang ditetapkan dalam kebijakan kredit dan manual prosedur yang berlaku
seperti membuat proyeksi cash flow.
321

c. Pemberian dan pengelolaan KI kepada PT Aspek Kumbong sebesar US$57,000.00 ribu
belum sepenuhnya memperhatikan Pedoman Kredit Bank
PT Aspek Kumbong (PT AK) merupakan perusahaan baru hasil penggabungan pada
tahun 1999, antara PT Aspek Paper (PT AP) yang bergerak dibidang industri kertas Koran dan
didirikan pada tahun 1983 dengan PT Kumbong Container Industry (PT KCI) grup Korindo
yang bergerak dibidang usaha pembuatan peti kemas dan trailer. PT AK berdiri berdasarkan
Akte pernyataan Kep. Rapat No. 26 tanggal 20 Des 1999 Notaris A. Partomuan Pohan SH di
Jakarta. Sesuai dengan Ijin BKPM No./II/PMA/1981/tanggal 15 Juni 1981 PT AK merupakan
Perusahaan Modal Asing (PMA). Produksi PT AK menghasilkan kertas koran, kertas yellow
page dan peti kemas. Pemasaran produksi PT AK selain untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri (market share PT AK 60% – 70%), sebagian besar (75%) diekspor ke Negara Asean,
Taiwan, Hongkong, Srilangka, India, Pakistan, Australia, dan Korea.
PT AK memperoleh fasilitas kredit dari Bank BNI pada tahun 2002, yaitu KMK
Ekspor Rp30.000,00 juta, KI (off shore) US$128,000.00 ribu, Garansi Bank Rp20.000,00 juta
dan L/C Impor US$20,000.00 ribu. Fasilitas kredit tersebut semula disalurkan seluruhnya
melalui Cabang Dalam Negeri (Cabang Thamrin) yang kemudian pada tanggal 18 September
2002 KI offshore sebesar US$128,000.00 ribu direlokasi ke Bank BNI Cabang Tokyo, sesuai
keputusan Dir.KP pada Memo KPI/3 tanggal 26 Juli 2002 dan PK No.2002/KPI/32 tanggal 10
September 2002. Fasilitas kredit offshore tersebut untuk pembiayaan investasi mesin pengolah
kertas jalur/line ketiga dengan kapasitas sebesar 210.000 ton per tahun.
Usaha PT AK menghadapi masalah penurunan harga kertas koran yang semula Rp5,76
juta per ton pada tahun 2001 menjadi Rp3.73 juta per ton pada tahun 2002, yang dipengaruhi
oleh menurunnya kondisi perekonomian dunia dan naiknya harga bahan bakar minyak serta
tarif dasar listrik. Hal tersebut mengurangi kemampuan cash flow perusahaan dan pembayaran
kewajiban kreditnya, sehingga periode kredit investasi PT AK mendapat perpanjangan waktu
selama enam bulan atau jatuh tempo tanggal 30 Juni 2006 yang sebelumnya sejak tanggal 18
September 2002 s.d. 31 Desember 2005.
Baki debet kredit PT AK posisi tanggal 31 Desember 2004 KMK Ekspor sebesar
Rp30.000,00 juta, KI (offshore) US$21,000.00 ribu, Garansi bank Rp20.000,00 juta dan LC
US$20,000.00 ribu atau seluruhnya sebesar Rp50.000,00 juta dan US$41,000.00 ribu dengan
kolektibilitas Lancar (Gol.I).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen diketahui hal-hal sebagai berikut :
1)BNI Cabang Tokyo tidak menikmati keuntungan atas commitment fee/ provisi atas
Fasilitas KI (off shore) PT AK
Berdasarkan MPK tanggal 31 Desember 2002, KI (offshore) PT AK dengan
periode 18 September 2002 sd 31 Desember 2005 mendapat persetujuan perpanjangan
selama enam bulan sehingga jatuh tempo menjadi tanggal 31 Juni 2006. Maksimum
fasilitas tersebut sebesar US$128,000.00 ribu untuk tambahan investasi pabrik kertas
Koran di Cileungsi Bogor. Tingkat bunga ditetapkan sebesar 8,46% pa dipungut setiap
triwulan dan akan direview setiap satu bulan disesuaikan dengan bunga yang berlaku di
BNI, sedangkan kewajiban propisi atau commitment fee tidak dipungut.
Baki debet KI (offshore) PT AK pada tanggal 31 Desember 2002 sebesar
US$57,000.00 ribu sebelumnya telah dilakukan pelunasan sebesar US$20,000.00 ribu,
322

sehingga jumlah kredit yang telah ditarik PT AK sebesar US$77,000.00 ribu atau terdapat
kelonggaran tarik sebesar US$51,000.00 ribu (US$128,000.00 ribu – US$77,000.00 ribu).
BPP Buku IIIA, SubBab : F, 03. point II menetapkan bahwa debitur dikenakan
comitment fee baik untuk KMK maupun KI sebesar 0,5% pa yang dipungut setiap akhir
bulan atas jumlah kredit yang belum ditarik (undrawn portion) sesuai dengan schedule dan
jumlah penarikan yang telah ditetapkan, provisi/commitment fee tersebut untuk
keuntungan Cabang Luar Negeri. Dengan demikian, Cabang Tokyo seharusnya
mengenakan commitment fee atas KI Offshore PT AK sebesar 0,5% x US$51,000.00 ribu
atau US$255.00 ribu eq. Rp2.366,15 juta (kurs tanggal 3 Maret 2005, 1 US$ = Rp9.279).
2)Penetapan bunga KI (offshore) PT AK tidak memperhitungkan pendapatan bunga
untuk pengelola kredit Cabang Dalam Negeri
KI (offshore) maksimum sebesar US$128,000.00 ribu kepada PT AK merupakan
fasilitas kredit offshore, sehingga pengelolaanya dilaksanakan di BNI Cabang Dalam
Negeri sedangkan BNI Cabang Tokyo sebagai booking office yang hanya melaksanakan
penyediaan dana dan penerimaan pembayaran kewajiban kredit. Berdasarkan buku
pembantu piutang yang merekam pembayaran angsuran pokok dan kewajiban bunga
diketahui bahwa, penerimaan bunga pada bulan September 2002 sebesar US$199.86 ribu
dengan tingkat bunga sebesar 9,71 %. Tingkat bunga tersebut sama dengan tingkat bunga
yang ditetapkan Divisi Korporasi melalui Telex No. Rol KPI/3/1947/R tanggal 11
September 2002 kepada Bank BNI Cabang Tokyo, sehingga tidak terdapat bagian
keuntungan/pendapatan bunga bagi BNI Cabang dalam negeri sebagai pengelola kredit.
Menurut Kebijakan dan Prosedur Kredit Bank BNI Cabang Tokyo seharusnya
menetapkan sendiri tingkat bunga dan unit pengelola kredit oleh Cabang Dalam Negeri
memperoleh pendapatan bunga sebesar selisih antara tarif bunga yang dikenakan kepada
debitur dengan tingkat bunga yang ditetapkan oleh Cabang Luar Negeri.
3)Pendanaan penyaluran kredit kepada PT AK sebesar US$57,000.00 ribu kurang
memperhatikan ketentuan intern mengenai pemberian kredit kepada PMA dan
berisiko tinggi
PT AK merupakan perusahaan yang bergerak dibidang industri kertas/pulp dengan
Customer Risk Rating (CRR) dan Customer Credit Rating (CCR) masing-masing sebesar
6a, yang menurut standar Industry Risk Rating (IRR) Bank BNI Semester II tahun 2002
termasuk debitur yang sangat beresiko tinggi. Akan tetapi Cabang Tokyo membiayai kredit
onshore menjadi kredit off shore dengan baki debet sebesar US$57,000.00 ribu pada
tanggal 18 September 2002, dengan pendanaan dari PT Caymand Island dan Divisi
Treasury masing-masing sebesar US$29,800.00 ribu dan US$27,200.00 ribu, sesuai
penjelasan dalam Fax transmission No/Date: CMN/3/3519 tanggal 17 September 2002 dari
Cabang Cayman Island kepada Divisi Treasury dan Cabang Tokyo.
Penyediaan dana kredit tersebut belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan BPP
Bab I, Sub Bab A,08 yang menyebutkan bahwa pemberian kredit investasi dalam rangka
PMA/perusahaan asing/joint ventura tidak diperkenankan, kecuali yang diberikan dengan
dana-dana yang berasal dari perusahaan multilateral, bilateral dan sumber lain yang
diteruskan pinjaman oleh Pemerintah kepada BNI melalui suatu perjanjian penerusan
pinjaman.
323

Selain itu pemberian kredit kepada PT AK dengan CRR dan CCR 6a belum
sepenuhnya memperhatikan prinsip kehati-hatian penanaman dana yang diatur dalam SK
BI No.31/147/Kep/Dir tanggal 12 Nopember 1998, bahwa penanaman dana bank wajib
dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian.
4)Pengelolaan atas jaminan kredit PT AK belum sepenuhnya memadai
Fasilitas kredit PT AK posisi tanggal 31 Desember 2004 dikelompokkan
kolektibilitas lancar dengan baki debet sebesar Rp50.000,00 juta dan US$41,000.00 ribu .
Jaminan kredit yang diserahkan berupa tanah seluas 266.097 m2 dan 23987 m2 di desa
Dayeuh Kec. Cilengsi Kab. Bogor dengan SHGB No.1 dan 5, dengan pengikatan
jaminannya berupa Hipotik No.1635 tanggal 13 Maret 1986 dan Hipotik No.199 tanggal 6
Maret 1999. Selain itu diserahkan pula jaminan bangunan, mesin-mesin, alat berat,
persediaan, company guarantee dari PT Korindi Abadi, saham yang diikat dalam gadai
saham serta pernyataan penanggungan dari Grup Korindo. Akan tetapi kedua SHGB
tersebut masih atas nama PT Aspek Paper (perusahaan asal) dan pengikatan belum
ditingkatkan kedalam Hak Tanggungan. Selain itu jaminan kredit PT AK sejak dinilai
ulang pada tanggal 29 September 2001 oleh PT Piesta Penilai, belum dilakukan penilaian
kembali.
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Bab I, Sub Bab J, yang
menetapkan frekwensi penilaian agunan untuk kredit kolektibilitas 1 paling lama 3 tahun
sekali, dan pengikatan yang berlaku adalah hak tanggungan.
5)PT AK belum sepenuhnya menyalurkan transaksi ekspornya melalui BNI dan
terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan home statement
Menurut MPK tanggal 31 Desember 2002, diketahui bahwa penyaluran dana
ekspor PT AK pada tahun 2002 (sd Juni) melalui rekening Bank BNI adalah giro
Rp112.314,00 juta, ekspor (sd. Juni 2002) US$36,997.00 ribu eq. Rp323.354,00 juta dan
impor (sd. Juni 2002) US$3.776,00 ribu. Dari laporan keuangan home statement PT AK
diketahui bahwa penjualan ekspor untuk paper dan petikemas masing-masing sebesar
Rp1.052.527,43 juta dan Rp338.752,16 juta atau seluruhnya sebesar Rp1.391.279,60 juta.
Dengan demikian transaksi ekspor PT AK masih belum sepenuhnya dilaksanakan melalui
rekening Bank BNI. Selain itu berdasarkan surat Divisi Korporasi No.KPI/3/1000/R
tanggal 30 April 2003, diketahui bahwa laporan keuangan home statement PT AK baru
diterima Bank BNI melalui faksimili pada tanggal 29 April 2003. Sehingga terjadi
keterlambatan penyerahan laporan keuangan home statement PT AK selama 120 hari dari
tanggal tutup buku 31 Desember 2002.
Hal tersebut belum sesuai dengan SKK No. KPS/3/012/R tanggal 3 Februari 2004
point 9 yang menyebutkan bahwa penerbitan/penerimaan LC agar disalurkan melalui Bank
BNI serta ketentuan penyerahan laporan keuangan home statement per triwulan harus
disampaikan selambat-lambatnya 30 hari setelah periode akhir tiap semester.
Masalah tersebut mengakibatkan
1)Bank BNI Cabang Tokyo tidak menikmati keuntungan propisi/commitment fee sebesar
0,5% dari kelonggaran tarik atau sebesar eq. Rp2.366,15 juta.
2)Bank BNI Cabang DN tidak memperoleh pendapatan bunga dari hasil pengelolaan kredit KI
offshore.
324

3)Pemberian kredit kepada debitur yang beresiko tinggi berpotensi menjadi kredit bermasalah.
4)Kepentingan Bank BNI belum sepenuhnya terjamin, karena jaminannya belum atas nama
PT AK dan belum dinilai ulang.
5)Bank tidak dapat memantau perkembangan usaha/kondisi keuangan debitur secara tepat
waktu.
Kondisi tersebut terjadi karena Bank BNI Cabang Tokyo belum sepenuhnya
memperhatikan ketentuan dalam BPP BNI.
Atas masalah tersebut, Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
1)Pada saat kredit PT AK dipindahkan ke Bank BNI Tokyo (offshore loan) fasilitas ini telah
berjalan beberapa waktu sedangkan provisi diterima pada saat disbursement fasilitas ini,
sehingga dengan sendirinya menjadi hak cabang pengelola sebelumnya.
2)Cabang dalam negeri tidak diberikan pendapatan atas pengelolaannya karena secara
konsolidasi seluruh keuntungan Bank BNI Tokyo akan ditransfer ke dalam negeri, sehingga
manfaatnya tetap dirasakan di unit-unit dalam negeri.
3)Pendanaan kepada PT AK telah memperhatikan aspek kehati-hatian karena telah full match
dan asset ini didanai dari exchange offer yang didapat dari pasar internasional.
BPK-RI menyarankan agar:
1) GM Bank BNI Tokyo agar meminta PT AK untuk segera merubah jaminan tanah SHGB
yang masih atas nama pemilik lama (PT AP) menjadi atas nama PT AK dan kemudian
diikat dengan Hak Tanggungan.
2) GM Bank BNI Tokyo meminta kepada PT AK agar seluruh transaksi ekspornya disalurkan
melalui rekening Bank BNI dan kewajiban penyampaian laporan home statement
triwulanan agar dipenuhi tepat waktu.
3) GM Bank BNI Tokyo mengawasi perkembangan usaha debitur secara ketat sehingga
kelancaran pembayaran kewajiban dapat dipertahankan.
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
325

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BUKU II
HASIL
PEMERIKSAAN
ATAS
PENGADAAN BARANG DAN JASA
PADA
PT BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) Tbk.
DI
KANTOR PUSAT JAKARTA, KANTOR
WILAYAH/CABANG DI DAERAH
Nomor : 04/S/VII-XV.3/1/2006
Tanggal : 6 Januari 2006

DAFTAR ISI
BAB I RESUME HASIL PEMERIKSAAN 1
A. Pendirian Perusahaan 1
B. Tujuan Perusahaan 1
C. Anggaran dan Realisasi Biaya Pengadaan Barang dan jasa 1
D. Temuan Pemeriksaan 1
BAB II HASIL PEMERIKSAAN 11
A. Gambaran Umum 11
1. Tujuan Pemeriksaan 11
2. Sasaran Pemeriksaan 11
3. Metode Pemeriksaan 11
4. Jangka Waktu Pemeriksaan 11
5. Uraian Singkat mengenai Entitas yang diperiksa 11
B. Temuan Pemeriksaan 12
1. Perjanjian sewa perangkat VSAT dengan Koperasi Swadharma sebesar
Rp216.640,30 juta tidak efektif dan mengakibatkan selisih yang cukup
signifikan bila dibandingkan dengan cara beli langsung
2. Pelaksanaan pengadaan PC sebanyak 10.300 unit, PC server sebanyak 620 unit
dan SVS PC server sebanyak 220 unit untuk rollout BNI ICONS senilai
US$9,345.79 ribu atau eq. Rp86.457,91 juta belum sepenuhnya memenuhi
ketentuan yang berlaku sehingga menimbulkan ketidakhematan Rp10.658,47
juta
3. Pengadaan ATM Bank BNI tahun 2003 sebanyak 300 unit dan tahun 2004
sebanyak 571 unit seluruhnya sebesar eq. Rp133.888,01 juta belum sepenuhnya
mematuhi ketentuan dan mengakibatkan ketidakhematan sebesar eq.
Rp11.256,22 juta
4. Pengadaan PC HP sebanyak 1.509 unit senilai US$1,234.36 ribu eq.
Rp10.615,51 juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan
5. Pengadaan upgrade jaringan LAN/backbone sebesar eq. Rp41.926,73 juta oleh
PT. Swadharma Duta Data belum sesuai ketentuan
6. Pengadaan server untuk Roll Out BNI ICONS sebesar eq. Rp15.712,54 juta
belum sepenuhnya sesuai ketentuan
7. Pengadaan 418 unit Multiplexer Memotec Cx900e selama tahun 2003 sebesar
US$1,071.33 ribu eq. Rp9.620,58 juta tidak sesuai dengan ketentuan
8. Pengadaan Passbook Printer tahun 2003 sebanyak 1.356 unit sebesar
Rp7.945,44 juta dan tahun 2004 sebanyak 2.800 unit sebesar Rp18.544,95
juta belum sepenuhnya sesuai ketentuan dan adanya ketidakhematan sebesar
Rp222,79 juta
i
13
22
32
40
42
44
47
52

9. Pengadaan 811 unit Modem Atrie 288 LCD selama tahun 2003 sebesar Rp45,39
juta dan US$197.75 ribu eq. Rp1.775,80 juta atau total Rp1.821,19 juta tidak
sesuai dengan ketentuan
1
0.
1
1.
1
2.
1
3.
1
4.
1
5.
1
6.
1
7.
1
8.
1
9.
2
0.
2
1.
Pengadaan VSAT Wide Area Network dengan perkiraan nilai kontrak sebesar
Rp233.347,07 juta tidak sepenuhnya sesuai ketentuan dan dilaksanakan tanpa
kontrak
Pengadaan Disaster Recovery Center (DRC) sebesar eq. Rp115.678,20 juta
belum dilakukan test secara keseluruhan sehingga tidak dapat dijamin
keandalannya
PT Bank BNI tidak memberikan sanksi maupun pinalty kepada PT. Swadharma
Duta Data yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai kontrak
Pengadaan barang dan jasa sistem implementor untuk keperluan
Implementasi/Rollout Proyek NCB dengan nilai perkiraan sebesar Rp39.035,70
juta tidak dilakukan sesuai ketentuan dan terdapat ketidakhematan sebesar
Rp6.400,50 juta
Pengadaan mesin Ibm P670 dan P650 sebesar eq. Rp15.570,98 juta tidak
sepenuhnya sesuai ketentuan
Pengadaan penambahan Modul Aplikasi Base-24 sebesar eq. Rp12.955,63 juta
belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
Pengadaan perangkat komunikasi Router dan Switch tahun 2004 tidak
dilakukan dengan lelang
Pekerjaan Program Branding Project yang dilakukan oleh Landors sebesar
US$370.50 ribu tidak sepenuhnya sesuai ketentuan dan oleh Markplus sebesar
Rp2.178,75 juta tidak termasuk dalam program awal Bank BNI
Pengadaan agensi periklanan tidak direncanakan secara memadai dan besarnya
nilai kontrak tidak ditetapkan
Pembelian tanah Yayasan Danar Dana Swadharma oleh Kanwil Bandung belum
sepenuhnya sesuai ketentuan
Pekerjaan renovasi Rumah Dinas/Rumah Jabatan di Jl. Bengawan No. 63 oleh
Kanwil Bandung belum sepenuhnya sesuai ketentuan
Pengadaan tanah parkir Kanca Tulungagung belum sesuai ketentuan 105
ii
58
62
68
73
76
83
85
88
91
98
101
102

A. Pendirian Perusahaan
BAB I
RESUME HASIL PEMERIKSAAN
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk selanjutnya disebut Bank BNI, pada awalnya
didirikan di Indonesia sebagai bank sentral dengan nama Bank Negara Indonesia. Pendirian
tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 1946 tanggal
5 Juli 1946. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1968, Bank BNI ditetapkan
menjadi Bank Negara Indonesia 1946 dan statusnya menjadi bank umum milik negara.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tanggal 29 April 1992, bentuk badan hukum diubah
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Akta Pendirian No. 131 tanggal 31 Juli 1992 di
hadapan Notaris Muhani Salim, SH yang telah diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia No. 73 tanggal 11 September 1992 Tambahan No. 1 A.
B. Tujuan Perusahaan
Berdasarkan pasal 3 Anggaran Dasar Bank BNI, tujuan pendirian bank adalah untuk
melaksanakan tugas dan usaha di bidang perbankan dalam arti kata seluas-luasnya untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional di bidang ekonomi ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak, termasuk melakukan kegiatan berdasarkan perbankan syariah.
C. Anggaran dan Realisasi Biaya Pengadaan Barang dan Jasa
Realisasi biaya pengadaan barang dan jasa tahun 2003 dan 2004 masing-masing sebesar
Rp1.027.483,00 juta atau 73,60% dari anggarannya dan sebesar Rp1.016.206,00 juta atau
70,91% dari anggarannya.
D. Temuan Pemeriksaan
BPK-RI telah memeriksa realisasi pengadaan tahun 2003 sebesar Rp251.065,35 juta dan
tahun 2004 sebesar Rp563.713,97 juta. Pemeriksaan tersebut diarahkan terhadap ketertiban,
ketaatan pada peraturan dan perjanjian yang berlaku, kehematan/ekonomi, efisiensi dan
efektivitas pengadaan barang dan jasa.
Pemeriksaan pengadaan barang dan jasa menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut:
1. Dalam rangka meningkatkan pelayanan Bank BNI kepada para nasabah diseluruh Indonesia,
Bank BNI melakukan perjanjian sewa-menyewa Sistem Very Small Apperture Terminal
(VSAT) dengan Koperasi Swadharma senilai Rp216.640,30 juta dengan jangka waktu 10
tahun. Dari penelitian lebih lanjut ditemukan beberapa permasalahan :
a. Pengadaan VSAT dengan cara sewa kepada koperasi Swadharma mengakibatkan selisih
sebesar Rp145.443,11 juta bila dibandingkan dengan membeli.
b. Perbedaan jatuh tempo ketiga kontrak sewa VSAT yang cukup lama dapat menimbulkan
konsekuensi ekonomis bagi BNI.
c. Jumlah remote yang disewa dari koperasi dalam kontrak III tidak disebutkan secara jelas
dan terdapat beberapa remote VSAT yang tidak terpasang.
d. Perhitungan harga sewa dibuat tanpa memperhatikan pemanfaatan perangkat yang
disewa secara individual.
e. Perangkat VSAT yang disewa tidak sesuai dengan teknologi BNI saat ini sehingga
diganti namun belum dituangkan dalam kontrak.
f. Perjanjian pengoperasian VSAT dengan PT Tangara Mitrakom dan PT Aplikanusa
Lintasartha tahun 2005 dilaksanakan tanpa kontrak.
1

g. Sejak tahun 2003 terjadi ketidakhematan biaya sewa remote VSAT sedikitnya
Rp7.507,94 juta.
Hal tersebut terjadi karena Bank BNI belum sepenuhnya mematuhi ketentuan pengadaan
barang dan jasa yang berlaku pada saat itu (Keppres No. 16 tahun 1994), keputusan
penggunaan perangkat VSAT kurang direncanakan secara matang dan kebijakan Direksi
Bank BNI menunjuk Koperasi Swadharma tanpa didasari evaluasi capital budgeting.
2. Untuk mengganti sistem teknologi informasi lama yaitu Branch Operating Support System
(BOSS) yang dianggap sudah tidak memadai lagi untuk operasional perbankan, maka Bank
BNI menerapkan sistem teknologi informasi yang baru yaitu BNI Integrated Centralized
Online System (BNI ICONS). Sehubungan dengan hal tersebut, BNI melaksanakan
pengadaan PC sebanyak 10.300 unit, PC Server dan SVS PC Server dengan nilai sebesar eq.
Rp86.457,90 juta. Pengadaan PC tersebut mengalami empat tahap pelelangan yang dalam
pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan :
a. Keputusan Direksi menetapkan empat pemenang yaitu PT Sistimindo, PT Berca, PT
Multipolar dan PT Mastersystem dalam Pengadaan PC, PC Server dan SVS PC server
belum sepenuhnya memenuhi ketentuan.
b. Perubahan penetapan aspek penilaian teknis dan harga yang semula 0% dan 100% pada
lelang I dan II menjadi 40% dan 60% pada lelang III dan IV kurang didukung oleh
analisa dan evaluasi yang memadai.
c. Pelaksanaan lelang pengadaan PC, PC Server dan SVS server yang berulang-ulang
menunjukan perencanaan yang kurang memadai dan kurang mencerminkan prinsip adil
(fair) dan transparan dan adanya pengaruh dari sistem implementor.
d. Pengadaan PC, PC Server dan SVS server menimbulkan ketidakhematan sebesar eq.
Rp10.658,47 juta.
Kondisi tersebut mengakibatkan nilai pengadaan yang disepakati belum menunjukkan nilai
yang paling menguntungkan dan proses pengadaan PC, PC Server dan SVS PC server untuk
BNI iCONS belum dapat diyakini keadilan dan transparansinya, serta terjadi ketidakhematan
sebesar eq Rp10.658,47 juta
Hal tersebut terjadi karena Direksi belum sepenuhnya mematuhi ketentuan yang berlaku,
Divisi Perencanaan, Divisi Teknologi dan Divisi Umum kurang didukung dengan data dan
informasi yang akurat dalam merencanakan pengadaan dan belum sepenuhnya menerapkan
ketentuan yang berlaku.
3. Berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) untuk tahun buku 2003 dan
2004 yang telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham PT Bank BNI, diketahui adanya
rencana pengadaan Automatic Teller Machine (ATM) untuk tahun 2003 sebanyak 400 unit
dan tahun 2004 sebanyak 589 unit. Pengadaan ATM tahun 2003 dilaksanakan dengan
sistem lelang dengan mengundang dua rekanan yaitu PT NCR Indonesia dan PT Siemens
Indonesia. PT NCR Indonesia kemudian menunjuk satu mitra usahanya yaitu PT Multipolar
Corporation karena tidak melakukan penjualan langsung. Selanjutnya berdasarkan Rapat
Direksi pengadaan ATM tahun 2003 disetujui sebanyak 300 unit dengan pembagian dari
kedua vendor tersebut masing-masing sebanyak 150 unit untuk merk NCR sebesar
US$2,903.18 ribu dan merk Siemens sebesar US$2,332.50 ribu. Sedangkan untuk
pengadaan tahun 2004, merk NCR sebanyak 285 unit senilai US$5,392.20 ribu dan merk
Siemens sebanyak 286 unit senilai US$4,696.98 ribu. Selanjutnya dalam pengadaan ATM
tersebut ditemukan beberapa permasalahan sebagai berikut :
a. Pengadaan ATM Bank BNI tahun buku 2003 dan 2004, dilaksanakan dengan penunjukan
langsung kepada dua rekanan.
2

. Terdapat ketidakhematan sebesar US$1,282.32 ribu eq. Rp11.256,22 juta bila pengadaan
ATM tahun buku 2003 dan 2004 hanya menggunakan merk Siemens saja.
c. Satu unit ATM yang dikirim ke Ramayana Medan rusak sehingga tidak dapat segera
dimanfaatkan.
d. Pengenaan denda keterlambatan masih kurang sebesar eq. Rp1.464,51 juta
e. HPS dibuat setelah vendor menyampaikan harga penawaran.
f. HPS dibuat tanpa membandingkan dengan harga pasar.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang mendapatkan harga yang
paling menguntungkan dan terdapat ketidakhematan sebesar eq. Rp11.256,22 juta dan kurang
pengenaan denda keterlambatan sebesar Rp 1.464,51 juta..
Hal tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan belum sepenuhnya
menerapkan peraturan yang ditetapkan dalam BPP dan PT Multipolar tidak sepenuhnya
mematuhi ketentuan yang telah diatur dalam kontrak No.UMM/4/040/R tanggal 14 April
2004.
4. Untuk memenuhi keperluan Cabang-cabang dan unit-unit layanan yang lain di Kantor Besar,
Divisi Teknologi Informasi (TEK) meminta kepada Divisi Umum untuk mengadakan
hardware berupa PC. Berdasarkan permintaan tersebut Divisi umum melaksanakan
pengadaan PC sebanyak 1509 unit dengan nilai sebesar US$1,234.36 ribu dengan cara
pemilihan langsung dan sebagai pemenangnya adalah PT Mastersystem Infotama. Kondisi
tersebut tidak sesuai dengan BPP bab 3.2.15 yang mejelaskan bahwa pengadaan barang dan
jasa dengan nilai diatas Rp500,00 juta dilaksanakan dengan cara pelelangan, dan syarat
peserta pelelang adalah lima rekanan. Sementara itu business partner dari masing- masing
principal lebih dari satu dengan demikian pengadaan tersebut seharusnya dilakukan dengan
sistem pelelangan. Selain masalah tersebut pembuatan kontrak kerja baru dibuat 5 hari
sebelum jatuh tempo.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga
yang paling menguntungkan.
Hal ini terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan proses pengadaan
PC belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku.
5. Backbone merupakan jaringan utama yang digunakan untuk membentuk jaringan LAN
(Local Area Network) yang mempunyai fungsi sangat penting yaitu merupakan pintu
gerbang bagi user-user yang berada dilokasi remote BNI seperti cabang, dan jika jaringan
backbone down maka seluruh user BNI tidak dapat melakukan transaksi. Selain fungsinya
yang sangat penting, umur dari backbone yang ada tersebut sudah lebih dari lima tahun
untuk itu perlu segera dilakukan penggantian. Mengingat fungsinya sangat penting
selanjutnya dilaksanakan pengadaan Backbone, yang dituangkan dalam perjanjian Nomor.
UMM/4/186/R tanggal 23 Desember 2004 dengan nilai sebesar US$4,557.53 ribu eq.
Rp41.926,73 juta
Dalam melaksanakan penggantian LAN backbone Bank BNI menggunakan mekanisme
penunjukkan langsung, hal ini tidak sesuai dengan Buku Pedoman Pengadaan Bab 3 tentang
petunjuk umum pengadaan point 3.2.15 yang mejelaskan bahwa pengadaan barang dan jasa
dengan nilai diatas Rp500,00 juta dilaksanakan dengan cara pelelangan, dan syarat peserta
pelelang adalah lima rekanan.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk memperoleh harga
yang paling menguntungkan dan kualitas yang lebih baik dan kepentingan Bank BNI kurang
terlindungi bila PT SDD wan prestasi.
3

Hal ini terjadi karena pengumuman lelang belum dilakukan secara terbuka yang dapat diakses
oleh publik dan panitia pengadaan belum sepenuhnya menerapkan perjanjian dengan PT
SDD.
6. Berkaitan dengan penerapan sistem teknologi yang baru yaitu BNI iCONS, PT Bank BNI
melaksanakan pengadaan perangkat infrastruktur berupa Server dan jasa yang terkait dengan
pemasangan barang proyek yang baru maupun sparepart.
Rencana awal pengadaan server untuk implementasi BNI iCONS yang termuat dalam
Proposal Permintaan adalah 512 unit untuk distribusi kebutuhan Kantor Cabang dan 9 unit
untuk distribusi kebutuhan Kantor Pusat. Berdasarkan permintaan tersebut Bank BNI
melaksanakan pengadaan PC dan Server BNI iCONS dengan sistem pemilihan langsung
dengan nilai sebesar US$1,673.33 ribu eq Rp15.712,54 juta.
Dalam pelaksanaan tersebut terdapat beberapa permasalahan sbb :
a. Pengadaan server dilakukan dengan pemilihan langsung.
b. Penunjukan sistem implementor sebagai pemenang pengadaan server tidak konsisten
dengan prinsip bersaing, transparan dan adil
c. Surat perintah kerja (SPK) tidak diterbitkan
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga
server yang paling menguntungkan.
Hal tersebut terjadi karena panitia pengadaan belum sepenuhnya mematuhi ketentuan yang
berlaku.
7. Dalam buku anggaran investasi Bank BNI tahun 2003, diketahui bahwa total kebutuhan
akan multiplexer adalah 418 unit dengan total anggaran sebesar Rp11.375,00 juta. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut Bank BNI melaksanakan pengadaan multiplexer merk
memotec yang pengadaannya dilakukan sebanyak tiga kali. Pengadaan tersebut dilaksanakan
dengan penunjukan langsung kepada PT Dymar Jaya Indonesia (DJI) yang merupakan
authorized partner Memotec di Indonesia dengan nilai sebesar Rp9.620,58 juta.
Berdasarkan pemeriksaan atas pengadaan tersebut diketemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Tidak ada kajian/evaluasi /justifikasi teknis tentang multiplexer merk Memotec.
b. Pengadaan multiplexer tahun 2003 tidak dilakukan melalui pelelangan.
c. HPS dibuat setelah surat penawaran dari rekanan diterima.
d. Jaminan pelaksanaan pada saat Addendum I Kontrak Kerja No. UMM/4/089/R tanggal
21 Agustus 2003 tidak diperpanjang.
e. Penawaran harga dari PT DJI tidak disertai dengan Jaminan Penawaran.
f. SPK pengadaan Multiplexer Memotec CX900c tidak diterbitkan
g. Perencanaan pengadaan Multiplexer memotec CX900c tahun 2003 kurang matang.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapat harga yang
paling menguntungkan, HPS tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya, kepentingan Bank
kurang terlindungi karena jaminan pelaksanaan tidak diperpanjang dan terdapat multiplexer
yang idle sebanyak 91 unit..
Hal ini terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan proses pengadaan
belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa.
8. Dalam rangka pembukaan 100 Cabang baru, Bank BNI melaksanakan pengadaan passbook
printer pada tahun 2003 sebanyak 1.356 unit dengan dua merk yaitu sebanyak 678 unit merk
Wincor Nixdorf dengan nilai Rp3.958,80 juta dan 678 unit merk IBM dengan nilai sebesar
Rp3.986,64 juta. Pengadaan tahun 2004 dilaksanakan tiga tahap, kontrak I sebanyak 500 unit
dengan nilai US$344,50 ribu eq. Rp3.134,95 juta, kontrak ke II sebanyak 1300 unit dengan
nilai Rp8.710,00 juta dan kontrak ke III sebanyak 1.000 unit senilai Rp6.700,00 juta
4

Berdasarkan pemeriksaaan atas pengadaan passbook tersebut ditemukan masalah-masalah
sebagai berikut:
a. Pengadaan tidak dilakukan melalui lelang.
b. HPS kontrak I tahun 2004 tidak dihitung secara keahlian/professional dan dibuat
bersamaan dengan pembukaan penawaran dari vendor.
c. Pengadaan 1.356 unit passbook printer tahun 2003 tidak hemat sebesar Rp27,84 juta.
d. Harga pengadaan kontrak I tahun 2004 tidak hemat sebesar Rp194,95 juta.
e. Pengadaan passbook printer tahun 2004 tidak direncanakan dengan baik
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga
yang paling kompetitif, HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran serta untuk
menilai kewajaran harga penawaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya dan
pengadaan tidak hemat sebesar Rp222,79 juta
Hal tersebut terjadi karena pengumuman lelang belum dilakukan secara terbuka yang dapat
diakses oleh publik dan panitia pengadaan belum sepenuhnya menerapkan ketentuan dalam
BPP.
9. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hardware Bank BNI sebagai akibat dari adanya
penambahan cabang dan ATM baru, selama tahun 2003 Divisi Umum melakukan pengadaan
811 unit modem atrie 288 LCD dari PT DJI yang terbagi dalam tiga kontrak pengadaan yaitu
tanggal 12 Maret 2003 sebanyak 20 unit dengan nilai Rp45,39 juta, tanggal 7 April 2003
senilai US$75.00 ribu eq. Rp673,50 juta dan tanggal 2 Juni 2003 senilai US$122.75 ribu eq.
Rp1.102,30 juta seluruhnya Rp1.821,19 juta.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui hal-hal sbb :
a. Tidak ada kajian /evaluasi /justifikasi teknis tentang modem merk atrie.
b. Pengadaan modem tahun 2003 tidak dilakukan melalui pelelangan.
c. HPS dibuat setelah surat penawaran dari rekanan diterima.
d. Penawaran harga dari PT DJI tidak disertai dengan Jaminan Penawaran.
e. SPK pengadaan modem atrie 288 LCD tidak diterbitkan.
f. Perencanaan pengadaan modem atrie 288 LCD tahun 2003 tidak matang.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapat harga yang
paling menguntungkan, HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran serta untuk
menilai kewajaran harga penawaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya dan
terdapat modem yang idle sebanyak 65 unit.
Hal ini terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan proses pengadaan
modem belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam BPP.
10. Sehubungan dengan kebutuhan binis Bank BNI dan sejalan dengan rencana perubahan
sistem operasional core banking Bank BNI dari sistem terdistribusi menjadi sistem
tersentralisasi, Bank BNI melakukan pengadaan saluran komunikasi jaringan VSAT Wide
Area Network (WAN). Sehubungan dengan itu Divisi Umum dan Divisi TEK memberikan
persetujuan pengadaan VSAT WAN dengan ketiga vendor yaitu PT Aplikanusa Lintasartha,
PT Citra Sari Makmur, PT Tangara Mitrakom sesuai surat No. UMM/4/245-247 tanggal 26
Januari 2005 dengan harga sebesar Rp 6,37 juta/bulan, dengan jangka waktu 3 tahun yang
berlaku sejak tanggal Berita Acara On line.Berdasarkan pemeriksaan terhadap dokumen
pengadaan terkait diketahui sebagai berikut:
a. Pengadaan tidak dilakukan melalui pelelangan meskipun nilai pengadaan mencapai
Rp233.347,07 juta.
b. SPK pengadaan jaringan VSAT WAN tidak diterbitkan.
c. Pelaksanaan pekerjaan dilakukan tanpa kontrak dan tidak ada jaminan pelaksanaan.
d. HPS dibuat berdasarkan harga penawaran dari vendor
5

e. Alokasi kepada masing-masing vendor tidak dapat diyakini kewajarannya.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga
VSAT WAN yang paling menguntungkan, pelaksanaan pekerjaan yang tidak diikat secara
legal dapat merugikan kepentingan Bank BNI, HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi
penawaran serta untuk menilai kewajaran harga penawaran kurang dapat digunakan sebagai
sarana negosiasi yang efekitif dan alokasi pekerjaan kepada masing-masing vendor menjadi
tidak proporsional sesuai dengan total skornya.
Hal tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan proses
pengadaan VSAT WAN belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan
jasa dalam BPP.
11. Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi, serta adanya Surat Keputusan
Direksi BI No. 27/164/KEP/DIR dan SE. BI. No. 27/9/UPPB tanggal 31 Maret 1995 yang
menetapkan bahwa Bank BNI diharuskan mempunyai jaringan Disaster Recovery Center
(DRC), maka Divisi Umum melaksanaan pengadaan DRC dengan nilai US$13,450.95 ribu
eq. Rp115.678,20 juta yang terdiri pengadaan perangkat network senilai US$1,414.39 ribu
eq. Rp12.163,75 juta dengan cara penunjukan langsung kepada PT Swadharma Duta Data
dan pengadaan Mesin IBM pseries untuk DRC (Regatta) senilai US$12,036.56 ribu eq.
Rp103.514,45 juta dengan cara penunjukkan langsung kepada PT Multipolar.
Dari hasil pemeriksaan diketahui hal-hal sebagai berikut :
a. Pengadaan perangkat network DRC (Hardware & software) dan Hardware ICONS
dilakukan melalui penunjukan langsung.
b. Terdapat perbedaan harga senilai US$657.66 ribu eq. Rp5.655,89 juta.
c. Divisi Umum tidak menerbitkan SPK.
d. Hasil pemeriksaan phisik DRC di Jatiluhur yang dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2005
diketahui bahwa DRC belum pernah dilakukan pengetesan secara keseluruhan dan
adanya pengeluaran barang dari Jatiluhur yang dipinjam ke BNI Pusat.
Kondisi tersebut mengakibatkan BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga yang
paling menguntungkan, pembangunan fasilitas DRC sebesar US$13,450.95 ribu eq
Rp115.678,19 juta belum mencapai sasaran atau belum efektif dan adanya indikasi
kemahalan harga sebesar US$657.66 ribu eq. Rp5.655,89 juta.
Hal tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan proses
pengadaan DRC belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam
BPP.
12. Sehubungan dengan rencana relokasi mesin Back Up Tandem dan Cardlink dari lokasi
saat ini ke DRC di Jatiluhur, diperlukan penambahan modul pada perangkat jaringan baik
di Data Center Kantor Besar maupun di DRC. Atas hal tersebut BNI melakukan pengadaan
kepada PT Swadharma Duta Data (SDD) dengan nilai kontrak sebesar US$ 193.69 ribu.
Dari pemeriksaan diketahui bahwa Bank BNI tidak memberikan sanksi maupun pinalty
kepada PT SDD yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai kontrak pengadaan
upgrade DRC senilai US$193.77 ribu eq Rp1.751,04 juta dan kelompok pengadaan
Teknologi dan Non premisis tidak melakukan pelelangan ulang.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI tidak segera dapat memanfaatkan hasil upgrade
sesuai rencana dan kehilangan pendapatan dari denda keterlambatan yang tidak dikenakan
sebesar 5 % dari nilai terhutang atau sebesar US$9.68 ribu eq Rp87,55 juta.
Hal tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan proses
pengadaan belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam BPP.
6

13. Dalam rangka menunjang pelaksanaan implementasi Business Plan Bank BNI dalam bidang
Teknologi Informasi, Bank BNI telah menetapkan untuk menciptakan sistem Core Banking
yang tersentralisasi maka dibentuklah Tim New Core Banking (Tim NCB). Adapun salah
satu fungsi pokok dari Tim NCB adalah menunjang dan mengkoordinasikan pengelolaan
sistem pemilihan Vendor/Konsultan yang akan ditunjuk di dalam pelaksanaan proyek NCB
serta menjaga agar pelaksanaannya sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance dan
sistem yang berlaku di Bank BNI.
Berdasarkan Memo Tim NCB kepada Divisi Hubungan Investor & Kesekretariatan (HIS) No.
HIS/3/0371/R tanggal 4 September 2003, disebutkan bahwa Direksi dalam Rapat Direksi
(Radisi) tanggal 25 Agustus 2003 telah menyetujui PT MI dan PT MC sebagai Sistem
Implementor (SI) sesuai hasil kajian teknis di atas. Terhadap kedua vendor tersebut, Divisi
Umum (Divisi UMM) melakukan negosiasi harga pada tanggal 3 September 2003, sesuai
Memo Divisi UMM No.UMM/4/1029 tanggal 10 September 2003. Dalam memo tersebut
juga dijelaskan bahwa perkiraan total biaya untuk implementasi/rollout adalah sebesar
Rp39.035,70 juta.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
a. Tim NCB dan Divisi UMM (Panitia Pengadaan) tidak mengevaluasi harga dalam
mengadakan barang dan jasa SI untuk keperluan rollout.
b. Panitia Pengadaan tidak membuat HPS kecuali untuk HPS rack dibuat setelah pembukaan
penawaran harga.
c. Jangka waktu perjanjian pengadaan barang dan jasa SI untuk keperluan rollout belum
dilakukan perpanjangan.
d. Jadwal pekerjaan rollout yang pasti dalam perjanjian tidak ditetapkan.
e. Perencanaan pengadaan Rack Server dan Rack Network untuk keperluan rollout tidak
dilakukan dengan matang.
f. Persetujuan addendum perjanjian pengadaan barang dan jasa SI untuk keperluan rollout
hanya diberikan oleh Pemimpin Divisi UMM.
g. Perubahan spesifikasi rack tidak hemat minimal sebesar Rp6.400,50 juta.
Kondisi tersebut mengakibatkan Bank BNI berkurang peluangnya untuk mendapat harga
yang paling menguntungkan dalam pengadaan barang dan jasa SI untuk keperluan rollout
NCB dan Proses pengadaan barang dan jasa SI untuk keperluan rollout NCB tidak dapat
diyakini kewajarannya, serta HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran serta
untuk menilai kewajaran harga penawaran kurang dapat digunakan sebagai sarana negosiasi
yang efektif. Selain itu terdapat ketidakhematan minimal sebesar Rp6.400,50 juta sehubungan
dengan adanya perubahan spesifikasi rack untuk keperluan rollout.
Hal tersebut terjadi karena panitia pengadaan dalam proses pengadaan barang dan jasa SI
untuk keperluan rollout NCB belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang
dan jasa dalam BPP dan Pemimpin Divisi UMM dalam mengambil keputusan tidak
memperhatikan batas kewenangannya.
14. Untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur mesin development dan testing dalam rangka
pilotting New Core Banking (NCB) pada bulan November 2003, Tim NCB memandang
perlunya Bank BNI memiliki server tersendiri agar tidak mengganggu product environment
yang sedang berjalan demi mendukung kesuksesan program NCB. Proses penciptaan dan
perbaikan aplikasi (program sistim informasi) ini memerlukan dua environment berbeda yang
disebut proses environment development dan environment testing.
Selanjutnya untuk mendukung rencana tersebut PT BNI melaksanakan pengadaan server
yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kontrak No. UMM/4/128R tanggal 10 Oktober
7

2003 dengan nilai kontrak sebesar US$1,859.00 ribu atau eq. Rp15.570,98 juta (kurs tengah
BI pada tanggal 10 Oktober 2003, 1US$= Rp8.376,00)
Dari hasil pemeriksaan terhadap pengadaan tersebut terdapat hal-hal sebagai berikut:
a. Pengadaan dilaksanakan dengan penunjukan langsung.
b. HPS tidak dibuat.
c. SPK tidak Diterbitkan
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga mesin
IBM PSeries yang paling menguntungkan dengan kualitas terbaik.
Hal tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan proses
pengadaan tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam BPP.
15. Dalam rangka mendukung pelaksanaan pemenuhan persyaratan kepatuhan terhadap pihak
ketiga (dhi. MasterCard) dan pengembangan produk/jasa baru, Divisi Teknologi Informasi
(Divisi TEK) mengusulkan kepada Direktur Operasi melalui Memonya No.TEK/1/1319
tanggal 15 April 2004, untuk melakukan penambahan beberapa modul pada aplikasi Base-24
(B24). B24 merupakan software/aplikasi yang digunakan pada mesin Tandem. Sehubungan
hal tersebut, Divisi TEK melalui Memonya No.TEK/13/1876 tanggal 27 Mei 2004,
menyampaikan kebutuhan penambahan modul-modul di atas kepada Divisi Umum/UMM
untuk direalisasikan pengadaannya. Selanjutnya dilaksanakan pengadaan yang kemudian
dituangkan ke dalam Perjanjian Pengadaan Modul Aplikasi Base-24 No.UMM/4/119/R
tanggal 7 Oktober 2004 dengan nilai sebesar US$1,378.26 ribu Eq. Rp12.955,63 juta.
Berdasarkan pemeriksaan atas pengadaan penambahan modul pada aplikasi B24, diketahui
hal-hal sebagai berikut:
a. HPS dibuat hanya berdasarkan pada surat penawaran dari rekanan.
b. SPK pengadaan tambahan modul pada Aplikasi B24 tidak diterbitkan.
c. Perjanjian pengadaan tambahan modul aplikasi B24 tidak menetapkan jangka waktu
pelaksanaan pekerjaan.
Hal tersebut mengakibatkan HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran serta
untuk menilai kewajaran harga penawaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya dan
BNI tidak dapat segera menggunakan dan memanfaatkan Modul ATM MultiCurrency.
Hal tersebut terjadi karena panitia pengadaan dalam mengadakan tambahan modul aplikasi
B24 belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam BPP dan
Pasal 13 Perjanjian Pengadaan Modul Aplikasi B24 No.UMM/4/119/R tanggal 7 Oktober
2004 lemah karena belum mengatur secara tegas jangka waktu pelaksanaan pekerjaan.
16. Sejalan dengan kebutuhan implementasi infrastruktur New Core Banking (ICONS), Divisi
TEK menyiapkan peralatan komunikasi berupa router & cisco di Kantor Besar dan Kantor
Cabang/Capem. Pengadaan tersebut dilaksanakan dua kali yaitu pengadaan bulan Juni 2004
sebesar US$2,084.52 ribu eq. Rp17.906,05 juta dan pengadaan bulan Desember 2004 kontrak
sebesar US$6,249.64 ribu eq. Rp57.340,47 juta.
Atas Pengadaan Router & Cisco selama tahun 2004 tidak dilakukan dengan sistem lelang
kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab 3.2.1.5 yang menjelaskan bahwa kriteria
pelelangan adalah pengadaan barang dan jasa dengan nilai diatas Rp500,00 juta.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapat harga yang
paling menguntungkan dan kualitas yang baik.
Hal ini terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan proses pengadaan
router dan switch belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam
BPP.
8

17. Pada bulan November 2003 di Bank BNI Cabang Utama Kebayoran Baru terjadi kasus L/C
yang menimbulkan dampak besar terhadap menurunnya citra positif Bank BNI sehingga
Manajemen Bank BNI melakukan serangkaian langkah strategis untuk meningkatkan citra
positif Bank BNI. Bank BNI kemudian menandatangani perjanjian pekerjaan program
branding project dengan Landors pada tanggal 23 Maret 2004 dengan nilai kontrak
US$370.50 ribu dan dengan Markplus tanggal 6 Mei 2004 dengan nilai kontrak sebesar Rp
2.178,75 juta. Sampai dengan pemeriksaan tanggal 16 Mei 2005 diketahui bahwa Bank BNI
telah melakukan pembayaran kepada Landors sebesar US$357.57 ribu dan kepada Markplus
sebesar Rp 695,83 juta.
Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa:
a. Kontrak yang dilakukan antara Bank BNI dan Landors tidak menggunakan peraturan
hukum Republik Indonesia dan jangka waktu penyelesaian pekerjaan dalam kontrak
tersebut tidak pasti.
b. Pekerjaan program branding project dengan Markplus tidak termasuk dalam program
awal Bank BNI dan Markplus mengubah penawarannya setelah dibuka (post bidding).
Selain itu pekerjaan Markplus belum selesai pada saat perjanjian berakhir sehingga harus
dikenakan denda sebesar Rp 217,87 juta.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI akan kesulitan menyelesaikan perselisihanperselisihan
yang mungkin timbul akibat perjanjian tersebut dan dapat menimbulkan biaya
tambahan apabila terjadi sengketa hukum. Selain itu Bank BNI tidak dapat mengenakan
penalti kepada konsultan, apabila penyelesaian pekerjaannya berlarut-larut dan adanya
ketidakhematan sebesar Rp 2.178,75 juta karena pekerjaan tersebut tidak direncanakan
sebelumnya dan BNI kehilangan pendapatan dari denda keterlambatan yang tidak dikenakan
sebesar Rp 217,87 juta.
Hal ini terjadi karena Bank BNI dalam membuat perjanjian belum sepenuhnya
memperhatikan ketentuan intern yang ditetapkan dalam BPP dan Direksi Bank BNI menilai
bahwa koordinator bagi perusahaan-perusahaan yang menangani branding, advertising dan
PR sangat diperlukan agar kegiatan yang dilakukan terarah dan adanya perbedaan persepsi
antara BNI dan rekanan dalam pengenaan denda keterlambatan.
18. Sehubungan dengan berakhirnya kerjasama agensi periklanan dengan PT Cabe Rawit
Pariwara pada bulan Desember 2003, BNI melakukan perjanjian agensi periklanan baru
dengan PT Dentsu sesuai kontrak No. CSR/3/1/SPK/039 tanggal 6 Mei 2004 dengan jangka
waktu 2 tahun.. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa pengadaan agensi periklanan tersebut
tidak direncanakan secara memadai dan dalam perjanjian kerjasama tidak dicantumkan nilai
pekerjaan.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI tidak dapat mengetahui jumlah biaya yang secara
pasti harus dikeluarkan selama dua tahun dan berpotensi menimbulkan praktik tidak sehat
yang merugikan BNI.
Hal tersebut terjadi karena tidak ada koordinasi yang jelas antara Divisi HIS dan Divisi Bisnis
Kartu dalam pengadaan jasa agensi periklanan dan perjanjian No.CSR/3.1/SPK/039 tanggal 6
Mei 2004 khususnya pasal 6 yang mengatur tentang harga dan cara pembayaran masih lemah
karena belum menetapkan jumlah nilai kontraknya..
19. Pada tahun 2004 Bank BNI Kanwil Bandung melaksanakan pembelian tanah YDDS di
Komplek Perumahan Swadharma Jl. Terusan Buah Batu Bandung dengan anggaran sebesar
Rp9.000,00 juta. Perumahan tersebut dibeli dari Yayasan Danar Dana Swadharma (YDDS)
dengan nilai sebesar Rp5.536,70 juta. Dalam pelaksanaannya Bank BNI Kanwil 04 Bandung
menanggung biaya Pajak Penghasilan sebesar Rp250,00 juta, berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) No.79 tahun 1999 pajak tersebut seharusnya dibayar oleh penjual dalam hal
9

ini YDDS dan pembelian tanah milik YDDS tersebut terlampau mahal sebesar Rp603,49
juta.
Kondisi tersebut terjadi karena panitia pembelian tanah milik YDDS kurang maksimal dalam
melakukan negosiasi harga yang mendekati harga taksasi dari 2 perusahaan apraisal yang
ditunjuk oleh Bank BNI Kanwil 04 Bandung.
20. Salah satu alokasi penggunaan anggaran tahun 2004 adalah untuk renovasi rumah dinas Wakil
Pemimpin Cabang di Jalan Bengawan Bandung sebesar Rp 500,00 juta. Sehubungan dengan
hal tersebut Kanwil Bandung menetapkan CV AMA dengan harga kontrak Rp 485,50 juta
yang termasuk kompensasi bongkaran bangunan lama sebesar Rp 10,00 juta.
Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa:
a. Pembongkaran bangunan lama dilakukan tanpa seijin Komisaris Bank BNI.
b. HPS dibuat setelah pembukan penawaran dan evaluasi harga.
c. Kerangka Acuan Kerja (KAK) dibuat setelah SPK diterbitkan.
d. Progres proyek masih 0% sementara dalam laporan pengawasan mencapai 4,80% padahal
seharusnya mencapai 30,68%.
Hal tersebut mengakibatkan Komisari tidak dapat mempertimbangkan secara dini kelayakan
penghapusbukuan bangunan lama, HPS tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya dan
adanya potensi keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
Hal tersebut terjadi karena Panitia Pengadaan rudin Jl. Bengawan No.63 Bandung belum
sepenuhnya mematuhi ketentuan yang berlaku.
21. Kantor Cabang Tulungagung PT BNI pada tanggal 18 November 2002 secara resmi pindah
ke Jl. Panglima Sudirman No. 43 Tulungagung Jawa Timur, dengan fasilitas gedung baru
akan tetapi belum dilengkapi fasilitas lahan parkir. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut telah
dialokasikan anggaran pengadaan sewa beli lahan parkir tersebut sebesar Rp1.256,25 juta
untuk sewa selama 18 bulan atau sd. bulan Februari 2004. Pelaksanaan pembelian tanah lahan
parkir diproses melalui Perjanjian Kerjasama Sewa Beli antara PT BNI Kantor Wilayah 06
Surabaya dengan Koperasi Swadharma dengan nilai sewa sebesar Rp7.672,55 juta selama 10
tahun. Sehubungan dengan adanya alokasi anggaran investasi Divisi Jaringan dan Layanan
sebesar Rp 2.500,00 juta yang hanya mencukupi pembelian tanah, Pemimpin Wilayah 06
Surabaya menyetujui untuk melunasi tanah tersebut sedangkan pengadaan bangunan/fasilitas
dilaksanakan dengan melanjutkan perjanjian sewa.
Dari hasil pemeriksaan diketahui:
a. Transaksi pembelian lahan parkir Kanca Tulungagung, dengan pelunasan pembayaran
sebesar Rp 2.478,99 juta mendahului persetujuan Direksi.
b. Pembebanan lahan parkir melebihi masa pemakaiannya dan melampaui anggarannya.
Kondisi tersebut mengakibatkan Direktur Sektor tidak dapat mempertimbangkan secara dini
terhadap kelayakan pembelian/pelunasan lahan parkir Kanca Tulungagung dan BNI Kanca
Tulungagung kelebihan membayar selama 8 bulan sebesar Rp534,46 juta.
Hal ini terjadi karena pembayaran sewa lahan parkir Cabang Tulungagung tidak sesuai
realisasi pemanfaatan lahan parkir dan keputusan pembayaran pelunasan harga lahan parkir
hanya didasarkan atas kesediaan dana yang dianggap sudah menyetujui.
Untuk lebih jelasnya, temuan dan saran BPK-RI dapat dibaca dalam hasil pemeriksaan.
Penanggung Jawab,
10

Dadang A. Rifai SE, MSc, Ak.
NIP. 240002284
11

BAB II
HASIL PEMERIKSAAN
ATAS
PENGADAAN BARANG DAN JASA
PADA
PT BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) Tbk.
DI
JAKARTA, MEDAN, PADANG, PEKANBARU, PALEMBANG, BANDUNG DAN SURABAYA
A. Gambaran Umum
1. Tujuan Pemeriksaan
Untuk mengetahui dan menilai apakah perusahaan telah melaksanakan pengadaan
barang dan jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan, perjanjian dan ketentuan intern
perusahaan yang berlaku.
2. Sasaran Pemeriksaan
a. Perencanaan dan penentuan atas kebutuhan barang/jasa, penetapan Rencana dan Anggaran,
jumlah kebutuhan barang, Harga Perhitungan Sendiri (HPS) atau Owner Estimate (OE),
serta Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) atau Term of Reference (TOR).
b. Pengadaan, pembayaran dan distribusi, serta pemanfaatan barang/jasa.
3. Metode Pemeriksaan
Metode yang digunakan adalah pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dan
ketentuan manajemen yang ada, pengujian secukupnya secara uji petik terhadap bukti-bukti,
konfirmasi dan pemeriksaan fisik dan prosedur pemeriksaan lain yang diperlukan.
4. Jangka Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan dilaksanakan di Kantor Pusat Jakarta, Kantor Wilayah (Kanwil) 01
Medan, Kanwil 02 Padang dan Pekanbaru, Kanwil 03 Palembang, Kanwil 04 Bandung, dan
Kanwil 06 Surabaya dari tanggal 31 Januari sampai dengan 27 Juni 2005.
5. Uraian Singkat mengenai Entitas yang diperiksa
a. Pendirian perusahaan
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk selanjutnya disebut Bank BNI, pada
awalnya didirikan di Indonesia sebagai bank sentral dengan nama Bank Negara Indonesia
berdasarkan Peraturan Peemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 1946 tanggal 5
Juli 1946. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1968, Bank BNI
ditetapkan menjadi Bank Negara Indonesia 1946 dan statusnya menjadi bank umum milik
negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tanggal 29 April 1992, bentuk badan
hukum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Akta Pendirian No. 131
tanggal 31 Juli 1992 di hadapan Notaris Muhani Salim, SH yang telah diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia No. 73 tanggal 11 September 1992 Tambahan No. 1A.
Anggaran Dasar Bank BNI telah mengalami beberapa kali perubahan, perubahan
terakhir dengan Akta No. 27 tanggal 17 Desember 2003, dibuat di hadapan Fathiah Helmi,
SH notaris di Jakarta berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa
tanggal 15 Desember 2003 antara lain mengenai peningkatan modal dasar dari Rp8.5
triliun menjadi Rp15 triliun dan reverse stock split 15 saham menjadi 1 saham.
12

. Maksud dan tujuan perusahaan
Berdasarkan pasal 3 Anggaran Dasar Bank BNI, tujuan pendirian Bank BNI
adalah untuk melaksanakan tugas dan usaha di bidang perbankan dalam arti kata seluasluasnya
untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional di bidang
ekonomi ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, termasuk melakukan kegiatan
berdasarkan perbankan syariah.
c. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Divisi Umum Bank BNI berdasarkan Surat Keputusan Direksi
Bank BNI No. KP/0105/DIR/R tanggal 17 Maret 2005 adalah sebagai berikut:
1) Pemimpin Divisi membawahi Wakil Pemimpin Divisi dan tiga kelompok yaitu
Kelompok Premises, Kelompok Teknologi dan Premises dan Kelompok Penunjang.
2) Kelompok Premises membawahi empat pengelola yaitu Pengelolaan Perencanaan dan
Pengendalian, Pengelolaan Pengadaan Premises, Pengelolaan Pemanfaatan dan
Pengelolaan SIA.
3) Kelompok Teknologi dan Non Premises membawahi tiga pengelola yaitu Pengelolaan
Pengadaan Teknologi, Pengelolaan Pengadaan Non Premises dan Pengelolaan Sistem
dan Prosedur.
4) Kelompok Penunjang membawahi Bagian Komunikasi dan Test Key, Bagian Arsip,
Bagian Pelayanan Protokoler dan Transportasi dan Bagian Akuntansi.
d. Anggaran dan Realisasi Biaya Pengadaan Barang dan Jasa
Uraian
2003 2004
(dalam juta rupiah)
Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %
A. Bangunan 221.000,00 162.749,00 73,64 152.824,00 125.389,00 82,05
B. Tanah 40.000,00 22.332,00 55,83 45.350,00 31.507,00 69,48
C. Perabotan
1. Perabotan Otomasi 892.000,00 687.359,00 77,06 972.625,00 701.404,00 72,11
2. Perabotan Non
Otomasi 179.000,00 108.778,00 60,77 165.970,00 114.494,00 68,98
D. Kendaraan 64.000,00 46.265,00 72,29 19.454,00 17.566,00 90,30
E. Konsultan 0,00 0,00 0,00 76.775,00 25.846,00 0,00
Total Investasi 1.396.000,00
1.027.483,0
0 73,60
1.432.998,0
0
1.016.206,0
0 70,91
Data tersebut menunjukkan nilai realisasi investasi tahun 2003 dan 2004 masing-masing
mencapai sebesar Rp1.027.483,00 juta atau 73,60% dari anggarannya dan sebesar
Rp1.016.206,00 juta atau 70,91% dari anggarannya.
B. Temuan Pemeriksaan
BPK-RI telah melakukan pemeriksaan terhadap ketertiban, ketaatan, kehematan/ekonomi,
efisiensi dan efektivitas pengadaan barang dan jasa pada Bank BNI yang diarahkan pada penilaian
atas kegiatan perencanaan dan justifikasi kebutuhan barang/jasa, penetapan Rencana dan
Anggaran Biaya, jumlah kebutuhan barang, Harga Perhitungan Sendiri atau Owner’s Estimate,
Rencana Kerja dan Syarat-syarat dan kegiatan pengadaan, pembayaran, distribusi, serta
pemanfaatan barang/jasa.
Pemeriksaan pengadaan barang dan jasa menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut:
13

1. Perjanjian sewa perangkat VSAT dengan Koperasi Swadharma sebesar Rp216.640,30
juta tidak efektif dan mengakibatkan selisih yang cukup signifikan bila dibandingkan
dengan cara beli langsung
Dalam rangka meningkatkan pelayanan Bank BNI kepada para nasabah dan
mengakomodasi perkembangan yang akan datang, baik mengenai penambahan aplikasi
maupun pertumbuhan jumlah cabang maka dirasakan perlunya suatu sistem jaringan
komunikasi data dengan sistem very small apperture terminal (VSAT) untuk melayani
komunikasi data di seluruh Indonesia. Semua kantor cabang (kanca) dan kantor wilayah
(kanwil) terhubung pada Kantor Besar (Kantor Pusat) melalui jaringan VSAT ini dengan
memakai satu satelit. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Bank BNI melakukan perjanjian
sewa dengan Koperasi Swadharma (selanjutnya disebut Koperasi) yang merupakan koperasi
karyawan Bank BNI dimulai sejak tahun 1995, terdiri dari 3 kontrak sebagai berikut:
a. Kontrak I, sewa peralatan sistem VSAT, 308 remote VSAT dan peralatan tes (Hub I
Sudirman)
Pertimbangan penggunaan jaringan VSAT pada waktu itu adalah besarnya biaya
telekomunikasi yang dikeluarkan oleh Bank BNI setiap tahunnya, sehingga apabila biaya
tersebut dialokasikan ke sewa sistem VSAT akan menyebabkan efisiensi yang cukup
signifikan karena besarnya sewa tahunan VSAT lebih kecil dari biaya telekomunikasi
(melalui Telkom) dan kualitas serta konektivitas lebih terjamin daripada menggunakan
telekomunikasi publik. Selanjutnya sekretaris Komite Manajemen dan Teknologi (KMT)
meminta persetujuan Dirut yang diberikan pada tanggal 30 September 1994 yang
kemudian ditindaklanjuti oleh Divisi Pengendalian Keuangan dan Teknologi (PKT) untuk
memulai proses pemesanan VSAT melalui Koperasi dengan masa sewa selama 10 tahun.
Perjanjian sewa No. KS/XXVIII/018A/PS/95 tanggal 27 Februari 1995 dibuat berdasarkan
surat perjanjian jual beli antara Koperasi dengan PT Abhimata Citra Abadi (PT ACA) No.
KS/XXVII/2357/94 dan No. 803/ACA/XI/94/YL tanggal 11 November 1994 dengan
jangka waktu sewa selama 10 tahun yang tidak dapat dibatalkan sejak barang tersebut
diterima Bank BNI yaitu terhitung sejak 1 Juli 1995 s.d. 30 Juni 2005 dan besarnya harga
sewa akan ditetapkan kemudian. Perhitungan harga sewa dan tatacara pembayaran
ditetapkan dalam Addendum I No. KS/XXVIII/018A/PS/95(I) tanggal 4 Desember 1995
yaitu sebesar Rp120.339,97 juta termasuk PPN ditambah dengan biaya pengurusan dalam
rangka pesanan sebesar Rp231,42 juta sehingga jumlah biaya yang harus dibayarkan
kepada Koperasi adalah sebesar Rp120.571,39 juta. Harga sewa dan tatacara pembayaran
kemudian diubah dengan Addendum II No. KS/XXVIII/018A/PS/95 (II) tanggal 1 Juli
1996 dimana total harga sewa menjadi sebesar Rp132.632,96 juta sudah termasuk PPN
dan sudah termasuk biaya pengurusan dalam rangka pesanan barang sejumlah Rp231,42
juta. Addendum III No. UMM/4/085/R tanggal 15 Agustus 2002 merubah definisi
operasional Sistem Komunikasi Stasiun Bumi Mikro (SKSBM) dan merubah nama, jenis
dan tipe barang yang disewa. Perubahan harga sewa dan tatacara pembayaran sewa
terakhir ditetapkan dengan Addendum IV No. UMM/4/140/R tanggal 6 November 2003
menjadi sebesar Rp130.666,91 juta yang berlaku mulai Oktober 2003.
b. Kontrak II, sewa back up Hub II (Hub Tebet)
Pertimbangan pengadaan sewa back up Hub dari Koperasi, sesuai keputusan
Direksi dalam rapat KMT tanggal 23 Juli 1996 adalah diperlukannya Disaster Recovery
Center (DRC) atas Hub Sudirman mengingat fungsi dan peranan Hub station sebagai
pengendali VSAT dicabang-cabang sangat penting. Selanjutnya dibuat Kontrak No.
PKU/2/552/R tanggal 22 Juli 1998 untuk sewa back up Hub II dengan jangka waktu
14

selama 10 tahun sejak 1 Juli 1998 s.d. 30 Juni 2008 dengan harga sewa sebesar
Rp49.264,72 juta termasuk PPN. Perubahan harga sewa ditetapkan dengan Addendum I
No. UMM/4/142/R tanggal 6 November 2003 menjadi sebesar Rp38.394,62 juta.
c. Kontrak III, sewa remote dan suku cadang VSAT
Kebutuhan suku cadang (spareparts) dan 55 remote VSAT tambahan adalah untuk
kelancaran dan pengembangan teknologi dan berkaitan dengan terjadinya kebakaran
persediaan suku cadang Hub/VSAT di gudang Pancoran. Atas hal tersebut, Koperasi
menyampaikan penawaran harga kepada Bank BNI berdasarkan surat penawaran harga
dari PT ACA No. 022/ACA-M/VI/97/YL tanggal 24 Juni 1997. Selanjutnya Kontrak No.
PKU/2/944/R ditandatangani tanggal 31 Desember 1998 untuk menyewa remote dan suku
cadang VSAT dengan jangka waktu selama 8 tahun sejak 1 Juli 1998 s.d. 30 Juni 2006
dengan harga sewa sebesar Rp54.453,87 juta. Perubahan harga sewa ditetapkan dengan
Addendum I No. UMM/4/141/R tanggal 6 November 2003 menjadi sebesar Rp47.578,76
juta.
Addendum terakhir yang merubah nilai kontrak dan tatacara pembayaran untuk
ketiga kontrak tersebut dibuat sehubungan dengan memo Divisi Teknologi (TEK) kepada
Direktur Korporasi No. TEK/1/459/R tanggal 14 Mei 2003 mengenai proposal efisiensi biaya
telekomunikasi VSAT yang antara lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa permasalahan
dalam pengoperasian dan pemeliharaan sistem VSAT, yaitu sebagai berikut:
a. Pengadaan dan pengoperasian VSAT diatur melalui beberapa kontrak dengan beberapa
rekanan yaitu sebagai berikut:
1) Kepemilikan VSAT termasuk seluruh suku cadangnya berada pada Koperasi yang
disewa Bank BNI dalam 3 kontrak sewa (seperti disebutkan diatas).
2) Pengoperasian dilakukan bersama oleh PT Aplikanusa Lintasartha (PT AL) dan PT
Tangara Mitrakom (PT TM).
3) Pemeliharaan remote dilakukan oleh PT Swadharma Marga Inforindo (PT SMI) yang
terbatas pada penyediaan tenaga kerja untuk penggantian komponen yang rusak.
4) Perbaikan perangkat/komponen yang rusak dilakukan oleh PT ACA yang kemudian
diteruskan kepada PT Hughes Indonesia (HNS).
b. Dari sisi teknis, terlalu banyaknya pihak yang terlibat dalam pengoperasian VSAT
sehingga berdampak:
1) Tidak adanya single point of contact sehingga terjadi kerumitan-kerumitan dalam
melakukan koordinasi baik dalam pelaksanaan proyek maupun penanganan masalah.
2) Kelambatan penanganan masalah terjadi karena pada umumnya masing-masing pihak
bertahan pada posisi masing-masing dan cenderung menutup permasalahan yang ada.
3) Kesulitan dalam menerapkan standar performance minimum (service level
agreement/SLA) serta monitoring kinerja rekanan.
4) Teknologi hybrid yang dipakai sudah usang, boros bandwith dan beroperasi dengan
kualitas transmisi suara yang rendah.
c. Dari sisi biaya, biaya sewa yang dibayarkan kepada Koperasi dianggap sangat
memberatkan dimana:
1) Nilai sewa selama 10 tahun sebesar Rp236.351,56 juta atas ketiga kontrak dengan
Koperasi mencapai 332% dari nilai perolehan sebesar Rp71.197,18 juta.
2) Dari total kontrak sebesar Rp236.351,56 juta, pembayaran yang telah dilakukan s.d.
Juni 2003 sebesar Rp164.691,72 juta. Nilai sewa yang masih harus dibayar sampai
dengan habisnya kontrak adalah sebesar Rp71.659,83 juta.
15

3) Kontrak sewa tidak dikaitkan dengan sasaran kinerja tertentu, dilain pihak users
semakin keras mengharuskan Divisi TEK committed terhadap suatu acuan SLA yang
disepakati.
Selanjutnya pembiayaan perangkat VSAT yang disewa dari Koperasi sebagian
bersumber dari modal sendiri dan sebagian diperoleh dari fasilitas pinjaman Divisi Korporasi
Bank BNI (KPI) dan dari PT BNI Multi Finance yang kemudian diambil alih oleh Divisi KPI
pada tahun 2000 dengan total pinjaman sebesar Rp49.184,98 juta dengan outstanding per
April 2003 adalah sebesar Rp26.004,49 juta. Oleh karena itu, untuk efisiensi biaya dan agar
searah dengan implementasi arsitektur telekomunikasi pada proyek New Core Banking (NCB,
pola outsourcing untuk keseluruhan layanan telekomunikasi), Divisi TEK mengajukan
alternatif untuk mengakhiri kontrak sewa dan membeli dari Koperasi sebesar nilai
outstanding pinjaman Divisi KPI yaitu sebesar Rp26.004,49 juta sebagai plafond negosiasi
dengan pertimbangan bahwa perangkat VSAT tersebut masih akan digunakan sampai dua
tahun mendatang khususnya untuk menjangkau area dengan kondisi infrastruktur yang masih
terbelakang dan anggaran untuk membeli VSAT masih tersedia.
Akan tetapi usulan menggunakan nilai outstanding tidak disetujui oleh Direksi.
Direksi lebih menyetujui menggunakan alternatif lainnya yaitu nilai buku sebesar
Rp16.531,44 juta. Harga yang diajukan Koperasi berdasarkan surat No. KS/9.2/203/2003
tanggal 18 Juni 2003 adalah sebesar Rp41.228,96 juta yang merupakan net present value nilai
sewa yang akan diterima Koperasi hingga berakhirnya masing-masing perjanjian.
Setelah beberapa kali negosiasi dengan Koperasi tidak terdapat titik temu, maka
dengan memo No. TEK/13/2293 tanggal 19 Juni 2003 kepada Direktur Kepatuhan, Divisi
TEK mengusulkan untuk melakukan negosiasi dasar-dasar perhitungan harga sewa.
Berdasarkan surat No. KS/9.3/762/2003 tanggal 27 Agustus 2003, Koperasi menyetujui akan
memberikan diskon 50% dari keuntungan hasil sewa/bulan. Setelah rapat negosiasi tanggal 3
September 2003, diskon yang diberikan menjadi 60% yang berlaku sejak Oktober 2003
sehingga terjadi perubahan nilai kontrak untuk kontrak I menjadi sebesar Rp130.666,91 juta,
kontrak II menjadi Rp38.394,62 juta dan kontrak III menjadi Rp47.578,76 juta dengan
perhitungan biaya sewa yang masih harus dibayar sampai dengan berakhirnya masa sewa
adalah sebesar Rp45.689,36 juta.
Sebagaimana disebutkan diatas kontrak sewa dengan Koperasi hanya untuk perangkat
VSATnya saja, sedangkan untuk pengoperasiannya terdapat perjanjian lain yaitu pelayanan
jasa SKSBM antara Koperasi dengan PT AL No. KS/XXVII/1069A/94 tanggal 15 Juli 1994
dengan jangka waktu selama 10 tahun dengan rincian biaya bulanan berupa biaya sumber
daya manusia (SDM) sebesar US$29.95 ribu belum termasuk PPN, biaya hak pemakaian
frekuensi sebesar US$25.00 belum termasuk PPN, biaya hak pakai khusus sebesar
US$175.00 per terminal, biaya penyelenggaraan Depparpostel sebesal 1% dari penerimaan
operasional per bulan dan biaya lain-lain. Perjanjian tersebut kemudian diaddendum sesuai
perjanjian No. KS/XXIX/PJ/96 tanggal 18 Oktober 1996 yang merubah biaya bulanan
pengoperasian dan administrasi menjadi sebesar US$32.84 ribu.
Berdasarkan memo Divisi Pengendalian Keuangan (PKU) kepada Direktur Keuangan
No. PKU/2/6889 tanggal 10 Desember 1998 diusulkan untuk mendudukkan perjanjian
pengoperasian VSAT Hub I dan Hub II antara Bank BNI dengan PT AL dan PT TM yang
kemudian disetujui oleh Direktur Keuangan tanggal 14 Desember 1998. Dengan surat No.
PKU/2/7283 tanggal 28 Desember 1998 kepada Koperasi, Divisi PKU memberitahukan
bahwa rencana pengoperasian Hub I dan Hub II oleh PT AL dan PT TM akan dilakukan
tanggal 1 Januari 1999, maka perjanjian sewa perangkat VSAT antara Bank BNI dengan
Koperasi perlu dibuatkan addendum tersendiri dan perjanjian pengoperasian Hub I antara
16

Koperasi dengan PT AL No. KS/XXVII/1069.A/94 tanggal 15 Juli 1994 agar diakhiri dan
dinyatakan tidak berlaku per tanggal 1 Januari 1999.
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas dokumen pengadaan diketahui hal-hal sebagai
berikut:
a. Pengadaan VSAT dengan cara sewa kepada Koperasi mengakibatkan selisih
sebesar Rp145.443,11 juta bila dibandingkan dengan membeli
Pengadaan VSAT melalui sewa kepada Koperasi sejak tahun 1995 tidak didahului
dengan proses capital budgeting untuk menganalisis apakah lebih menguntungkan sewa
kepada pihak ketiga atau membeli langsung kepada vendor mengingat VSAT adalah
kebutuhan yang sangat penting dengan jangka waktu penggunaan yang cukup panjang.
Pertimbangan dilakukannya sewa juga tidak disebutkan secara jelas dalam dokumen
pengadaan yang ada. Sementara itu, ketentuan pengadaan barang dan jasa yang masih
berlaku pada saat pengadaan adalah Keppres No. 16 tahun 1994 dimana dalam Lampiran I
Bab IV butir 6.e.2 disebutkan bahwa untuk penetapan persetujuan pemilihan langsung
pengadaan yang bernilai diatas Rp5.000,00 juta badan usaha milik negara dan milik
daerah mengajukan permohonan persetujuan langsung kepada Menteri Koordinator
Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, baik dananya bersumber dari
anggaran perusahaan maupun yang bersumber dari sebagian atau seluruhnya dari DIP atau
dokumen yang disamakan, kecuali pengadaan barang dan jasa yang sifatnya
operasional/eksploitasi.
Total nilai kontrak sewa dengan Koperasi berdasarkan addendum terakhir adalah
sebesar Rp216.640,29 juta. Sementara itu harga perolehan Koperasi sebagaimana
disebutkan dalam memo Divisi TEK kepada Direktur Korporasi No. TEK/1/459/R tanggal
14 Mei 2003 adalah sebesar Rp71.197,18 juta. Hal tersebut mengakibatkan adanya selisih
sebesar Rp145.443,11 juta dengan rincian sebagai berikut:
(dalam juta Rp)
Keterangan Kontrak I Kontrak II Kontrak III Total
Nilai kontrak sewa (addendum
terakhir) 130.666,91 38.394,62 47.578,76 216.640,29
Harga perolehan 39.397,89 18.310,94 13.488,34 71.197,18
Selisih 91.269,01 20.083,67 34.090,42 145.443,11
Oleh karena perangkat VSAT merupakan kebutuhan penting dengan jangka waktu
yang cukup panjang, Bank BNI seharusnya melakukan proses capital budgeting untuk
menetapkan pilihan yang paling menguntungkan Bank BNI (d.h.i membeli VSAT lebih
menguntungkan.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Buku Pedoman Perusahaan (BPP)
Pengelolaan Aktiva Tetap BNI tanggal 1 November 2002 yang mulai berlaku tanggal 1
Januari 2003 Buku I Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Bab 1 butir 1.3.1 yang
menyebutkan bahwa pengadaan barang dan jasa harus menggunakan sumber dana yang
dimiliki untuk memperoleh manfaat setinggi-tingginya bagi Bank BNI dan butir 1.3.7
bahwa pengadaan barang dan jasa harus memenuhi kualitas menurut persyaratan teknis
yang ditentukan dan harga yang paling menguntungkan dengan hasil yang optimal serta
tidak sesuai dengan Keppres No. 16 tahun 1994, Lampiran I Bab IV butir 6.e.2.
b. Perbedaan jatuh tempo ketiga kontrak sewa VSAT yang cukup lama dapat
menimbulkan konsekuensi ekonomis bagi BNI
Kontrak I untuk sewa Hub Sudirman dibuat sejak tahun 1995 dengan jangka
waktu 10 tahun yang tidak dapat dibatalkan berakhir s.d. 30 Juni 2005, kontrak II untuk
17

Hub Tebet dan kontak III untuk remote serta spareparts dimulai tahun 1998 dengan jangka
waktu masing-masing 10 dan 8 tahun yang berakhir tanggal 30 Juni 2008 dan 30 Juni
2006. Jatuh tempo sewa Hub Tebet dan sewa remote dan spareparts masing-masing
terpaut 3 dan 1 tahun lebih lama dari jatuh tempo kontrak sewa Hub Sudirman.
Sebagaimana diuraikan diatas, Hub Tebet merupakan back up/DRC dari Hub
Sudirman sedangkan remote serta spareparts merupakan perangkat VSAT yang digunakan
di cabang-cabang sehingga pemanfaatan Hub Tebet dan remote serta spareparts akan
memiliki ketergantungan kepada Hub Sudirman. Konsekuensinya, apabila kontrak I Hub
Sudirman akan diperpanjang maka jangka waktu perpanjangannya maksimal s.d. jangka
waktu Hub Tebet yaitu, 30 Juni 2008. Apabila kontrak I tersebut diputus, maka kontrak II
dan III diputus juga secara bersamaan. Selain itu jangka waktu kontrak sewa VSAT
tersebut tidak mempertimbangkan rencana perubahan sistem dan dalam ketiga perjanjian
tidak disebutkan review secara periodik terhadap kelayakan teknis perangkat VSAT yang
disewa dari Koperasi.
c. Jumlah remote yang disewa dari Koperasi dalam kontrak III tidak disebutkan
secara jelas dan terdapat beberapa remote VSAT yang tidak terpasang
Dalam Lampiran I Kontrak I Hub Sudirman, Bank BNI menyewa remote
sebanyak 308 unit yang terdiri dari tipe PES 8000 sebanyak 100 unit dan PES 6000
sebanyak 208 unit, sedangkan dalam Kontrak III tidak disebutkan jumlah unitnya. Namun
berdasarkan surat Divisi PKT kepada Koperasi No. PKT/10/4891 tanggal 13 Juni 1997
disebutkan bahwa berkaitan dengan terjadinya kebakaran spareparts VSAT di Gudang
Pancoran maka dibutuhkan 20 unit remote tipe PES 6000 dan 35 unit remote tipe PES
8000 seluruhnya sebanyak 55 unit dan spareparts lainnya. Berdasarkan fax dari Koperasi
tanggal 6 Januari 1999 mengenai telaahan dan perbandingan perhitungan kompensasi hasil
klaim asuransi sehubungan dengan kebakaran VSAT diketahui jumlah yang terbakar
sebanyak 25 unit. Dengan demikian jumlah unit remote yang disewa Bank BNI dari
Koperasi adalah sebanyak 338 unit.
Posisi remote yang terpasang berdasarkan laporan adalah sebagai berikut:
Tipe remote Tanggal laporan
29-8-1996 1-8-1998 1-7-1999 6-1-2000
PES 8000 100 102 117 118
PES 6000 152 179 170 171
Total 252 281 287 289
Berdasarkan daftar lokasi VSAT Koperasi yang masih aktif dari Divisi TEK diketahui
bahwa terdapat 192 lokasi yang masih aktif yaitu 1 Kantor Besar, 12 kanwil, 156 kanca, 7
cabang syariah dan 16 kanca pembantu (kancapem). Dengan demikian jumlah remote
yang tidak terpasang sebanyak 146. Lebih lanjut dari hasil pengecekan terhadap Berita
Acara Instalasi dan pemesanan VSAT IP yang merupakan jaringan komunikasi pengganti
VSAT yang disewa dari Koperasi diketahui bahwa dari 192 lokasi tersebut, sebanyak 41
lokasi telah terpasang VSAT baru (WAN) sesuai dengan Berita Acara Instalasi dari PT
TM No. 020/TM-BNI/BAI/VSAT/III/05 tanggal 1 Maret 2005 dan No. 035/TM-
BNI/BAI/VSAT/IV/05 tanggal 8 April 2005 dan sebanyak 35 lokasi telah diminta untuk
dipasang link VSAT kepada PT TM, PT CSM dan PT AL.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.2 yang menyebutkan
bahwa pengadaan barang dan atau jasa harus memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dan
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Bank BNI.
18

d. Perhitungan harga sewa dibuat tanpa memperhatikan pemanfaatan perangkat yang
disewa secara individual
Berdasarkan memo Divisi UMM kepada Direktur Utama (Dirut) melalui Direktur
Komersial No. UMM/3/362 tanggal 23 Mei 1996, perhitungan harga sewa Hub Sudirman
selama 10 tahun (d.h.i termasuk 308 unit remote) sebelum addendum terakhir dihitung
berdasarkan total harga perolehan/pembelian Koperasi dari PT ACA ditambah dengan
bunga pinjaman kreditur, biaya-biaya yang harus dikeluarkan Koperasi dan keuntungan
Koperasi berupa spread sebesar 0,75%. Perangkat VSAT yang disewakan kepada Bank
BNI tersebut dibeli oleh Koperasi setelah disesuaikan dengan kebutuhan Bank BNI pada
saat itu, antara lain terkait dengan rencana pembukaan cabang dan kantor kas baru.
Perhitungan sewa tersebut dibuat tanpa mempertimbangkan realisasi pemanfaatan
perangkat tersebut pada kantor cabang dan kantor kas baru yang akan dibuka.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.1 yang menyebutkan
bahwa pengadaan barang dan jasa harus menggunakan sumber dana yang dimiliki untuk
memperoleh manfaat setinggi-tingginya bagi Bank BNI (efisien), butir 1.3.2 bahwa
pengadaan barang dan jasa harus memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dan dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Bank BNI dan butir 1.3.7 bahwa
pengadaan barang dan jasa harus memenuhi kualitas menurut persyaratan teknis yang
ditentukan dan harga yang paling menguntungkan dengan hasil yang optimal.
e. Perangkat VSAT yang disewa tidak sesuai dengan teknologi BNI saat ini sehingga
diganti namun belum dituangkan dalam kontrak
Berdasarkan memo Divisi UMM kepada Direksi melalui Direktur Perencanaan
dan SDM No. UMM/4/1197 tanggal 9 September 2004 diketahui bahwa sehubungan
dengan perubahan sistem operasional core banking Bank BNI dari sistem terdistribusi
menjadi tersentralisasi diperlukan infrastruktur jaringan Local Area Network (LAN) dan
Wide Area Network (WAN) yang baru dengan teknologi yang berbeda dari yang
digunakan saat ini sehingga konfigurasi jaringan WAN dan LAN saat ini perlu
disesuaikan agar dapat mengakomodasi sistem yang akan diimplementasikan. Atas hal
tersebut, Divisi UMM telah memulai proses pengadaan dengan melakukan aanwijzing
pada tanggal 8 April 2004. Setelah negosiasi dan disetujui oleh Dirut tanggal 22 Oktober
2004, Divisi UMM mengirimkan surat persetujuan pengadaan jasa jaringan komunikasi
VSAT WAN kepada 3 rekanan pada tanggal 26 Januari 2005 yaitu PT AL No.
UMM/4/245, PT Citra Sari Makmur (PT CSM) No. UMM/4/246 dan PT TM No.
UMM/4/247 dengan biaya bulanan sebesar Rp6,37 juta per lokasi untuk 987 lokasi.
Berdasarkan Berita Acara Instalasi dari PT TM No. 020/TM-BNI/BAI/VSAT/III/05
tanggal 1 Maret 2005 dan No 035/TM.OP-BNI/BAO/VSAT/IV/05 tanggal 8 April 2005,
pelaksanaan pekerjaan telah dimulai dari 17 Juni 2004 untuk 5 kanca di Kanwil 12 yang
menjadi pilot VSAT WAN. Akan tetapi kontrak pengadaan jaringan komunikasi VSAT
WAN tersebut sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005 belum dibuat karena
masih membahas SLA.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab 6 butir 6.2.1 yang menyebutkan
bahwa penandatanganan kontrak dilakukan secepatnya setelah surat penunjukan atau SPK
diterbitkan.
19

f. Perjanjian pengoperasian VSAT dengan PT TM dan PT AL tahun 2005
dilaksanakan tanpa kontrak
Perjanjian Pengoperasian VSAT antara BNI dengan PT AL dan PT TM No.
TEK/1/0473-A/R ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1998 dengan jangka waktu
selama 3 tahun sejak 1 Januari 1999 dengan biaya sebesar Rp400,00 juta per bulan tidak
termasuk PPN untuk pengoperasian Hub dan 500 terminal. Perjanjian tersebut kemudian
diaddendum sesuai Addendum I No. PKU/2/685/R tanggal 4 Oktober 2000 yang merubah
biaya bulanan menjadi Rp225,00 juta tidak termasuk PPN. Addendum II No.
UMM/4/0394/R tanggal 5 Mei 2003 dibuat untuk memperpanjang jangka waktu
perjanjian pengoperasian selama 1 tahun terhitung sejak 1 Januari 2003 s.d. 31 Desember
2003. Addendum III No. UMM/4/062/R tanggal 11 Mei 2004 memperpanjang jangka
waktu pengoperasian selama 1 tahun dari 1 Januari 2004 s.d. 31 Desember 2004.
Kemudian sehubungan dengan masih diperlukannya pengoperasian SKSBM dalam rangka
transisi ICONS dan migrasi satelit palapa B4 ke Telkom1, maka perjanjian pengoperasian
SKSBM diperpanjang s.d. 31 Maret 2005 dengan surat persetujuan perpanjangan
pengoperasian SKSBM No. UMM/4/870 tanggal 18 Maret 2005.
Selanjutnya dalam memo Divisi TEK kepada Divisi UMM No. TEK/13/1835
tanggal 4 April 2005 disebutkan bahwa sehubungan dengan telah berakhirnya masa
operasi satelit palapa B4, maka BNI telah mengalihkan seluruh remote VSAT ke satelit
Telkom1 melalui antenna dan radio frequency PT TM dan pengoperasian seluruh remote
dilakukan di Hub Sudirman sedangkan Hub Tebet tidak lagi dioperasikan. Akan tetapi,
dari hasil cek fisik tanggal 2 Juni 2005 diketahui bahwa Hub Tebet masih dioperasikan
oleh PT TM sebagai back up Hub Sudirman. Berkaitan dengan hal tersebut, Bank BNI
mengklarifikasi pengoperasian Hub Sudirman dengan PT AL dan PT TM dengan
kesepakatan bahwa Hub Sudirman akan dioperasikan oleh PT TM sejak 1 April 2005,
namun sampai saat pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005 masih dalam proses di Divisi UMM
dan Divisi TEK.
Perpanjangan perjanjian pengoperasian dengan PT AL dan PT TM sampai dengan
31 Maret 2005 dan dengan PT TM sejak 1 April 2005 belum dituangkan dalam kontrak.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab 6 butir 6.2.1 yang menyebutkan
bahwa penandatanganan kontrak dilakukan secepatnya setelah surat penunjukan atau SPK
diterbitkan.
g. Sejak tahun 2003 terjadi ketidakhematan biaya sewa remote VSAT sedikitnya
sebesar Rp7.507,94 juta
Berdasarkan harga perolehan remote dalam kontrak III dan surat Koperasi kepada Bank
BNI No. KS/XXX/0955/97 tanggal 14 Juli 1997, estimasi biaya sewa satu unit remote per
bulan adalah sebesar Rp4,74 juta dengan perhitungan sebagai berikut:
Komponen
Harga Perolehan berdasarkan
surat Koperasi
(dalam ribuan US$)
Persentase harga perolehan
PES 6000 791,90 23,13%
PES 8000 1.562,92 45,66%
Lain-lain 136,22 3,98%
Subtotal 2.491,04 72,77%
Sparepart 931,99 27,23%
Total 3.423,03 100,00%
20

dalam juta Rp
a. Persentase biaya sewa remote 72,77%
b. Biaya sewa kontrak III/bulan Rp358,89
c. Jumlah remote yang disewa 55
Biaya sewa/remote (a*b/c) Rp4,74
Sebagaimana diuraikan diatas jaringan komunikasi Bank BNI yang semula menggunakan
VSAT dari Koperasi telah diganti dengan VSAT WAN dari tiga vendor yaitu PT TM, PT
CSM dan PT AL. Berdasarkan hasil crosscheck antara laporan remote/terminal VSAT
Bank BNI status terpasang s.d 6 Januari 2000 dari PT SMI dengan Berita Acara Instalasi
VSAT WAN dari PT TM dan surat-surat pemesanan VSAT kepada PT TM, PT CSM dan
PT AL, telah terjadi ketidakhematan sedikitnya sebesar Rp7.507,94 juta yang terjadi
karena tidak digunakannya remote yang disewa selama tahun 2003 dan 2004 dan dualisme
jaringan komunikasi dengan rincian sebagai berikut:
(dalam juta Rp)
Bulan
Jumlah remote tidak
terpasang
Biaya sewa remote*)
Januari 2003-Mei 2004 47 3.794,33
Juni 2004 48 227,94
Juli 2004 53 251,68
Agustus 2004 54 256,43
September 2004 73 346,66
Oktober 2004 80 379,90
November 2004 82 389,40
Desember 2004 82 389,40
Januari 2005 87 413,15
Februari 2005 111 527,12
Maret 2005 112 531,87
Total 7.507,94
*) Dihitung berdasarkan estimasi biaya remote per unit sebesar Rp4,74 juta.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.2 tentang prinsip
efisiensi yang menyebutkan bahwa pengadaan barang dan atau jasa harus memenuhi
kebutuhan yang ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
Bank BNI dan butir 1.5.3 yang intinya menyebutkan bahwa dalam proses pengadaan
barang dan atau jasa harus menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan
kebocoran keuangan
Hal tersebut mengakibatkan:
a. Ketidakhematan sebesar Rp145.443,11 juta karena Bank BNI memilih untuk menyewa
dari Koperasi tidak membeli langsung kepada vendor
b. Ketidakhematan sebesar Rp7.507,94 juta dari sewa remote kepada Koperasi yang tidak
digunakan dan adanya dualisme jaringan.
c. Pengoperasian Hub tahun 2005 dengan PT TM dan PT AL tidak diikat dengan komitmen
yang sah dan legal yang dapat merugikan Bank BNI.
Kondisi tersebut terjadi karena Bank BNI belum sepenuhnya menerapkan ketentuan
pengadaan barang dan jasa yang berlaku pada saat itu (Keppres No. 16 tahun 1994),
keputusan penggunaan perangkat VSAT kurang direncanakan secara matang dan kebijakan
21

Direksi Bank BNI menunjuk Koperasi Swadharma sebagai penyedia peralatan sewa tanpa
didasari analisa perbandingan atas biaya dan manfaat antara sewa dan beli langsung.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa:
a. Selisih tersebut terjadi karena beban bunga pinjaman Koperasi kepada BNI (+/-23,5%
p.a), pajak-pajak terkait, biaya asuransi peralatan, dan spread keuntungan untuk Koperasi.
b. Perbedaan jatuh tempo Kontrak I dengan Kontrak II dan III disebabkan antara lain
adanya perkiraan umur ekonomis perangkat VSAT akan melebihi 10 tahun, sehingga
akan tetap dioperasikan sampai berakhirnya Kontrak II dan pertimbangan resiko kredit
macet dari Koperasi, apabila kontraknya lebih pendek atau diputus, serta pertimbangan
kemampuan BNI dalam membayar sewa dikaitkan dengan jangka waktu kredit yang
diberikan pada Koperasi.
c. Jumlah remote yang disewa dari Koperasi yang tidak disebutkan secara jelas dalam
kontrak III dan terdapat beberapa remote VSAT yang tidak terpasang telah diakomodasi
dalam Kontrak No.PKU/2/944/R tanggal 31 Desember 1998 pada Pasal 2. Sewa remote
sebanyak 308 unit kemudian ditambah sebanyak 30 unit menjadi 338 unit. Remote yang
tidak terpasang sebagian karena reversed stock dan sebagian karena adanya pembatalan
pembukaan kanca dan kancapem. Pembatalan pembukaan kantor tersebut merupakan
faktor diluar kendali pengelola karena berkaitan dengan perizinan.
d. Rencana pengadaan VSAT terkait dengan rencana pembukaan cabang dan kantor kas
baru. Dalam perjalanannya, rencana tersebut terkendala dengan perijinan Bank Indonesia.
Namun demikian, secara individual perangkat VSAT yang terpasang juga digunakan
untuk sarana telekomunikasi data dan suara (PAMA) untuk daerah terpencil, Tanjung
Enim, Natuna, Bengkalis, Atambua, Newmont, dll.
e. Arsitektur teknologi baru memerlukan sarana komunikasi dengan bandwidth besar yang
tidak bisa dipenuhi dari VSAT Koperasi. Untuk itu telah ditetapkan VSAT IP sebagai
penggantinya dan diimplementasikan bersamaan dengan implementasi ICONS, maka
Kontrak I dengan Koperasi tidak diperpanjang. Untuk Kontrak II dan III akan diputus
sebelum jatuh tempo (paling lambat setelah proyek ICONS). Penetapan SLA cukup lama
karena diskusi yang cukup panjang untuk mendapatkan service level yang seragam
diantara ketiga vendor.
f. Perpanjangan kontrak pengopersian SKSBM telah dituangkan dalam Surat Persetujuan
Perpanjangan No. UMM/4/870, tanggal 18 Maret 2005, dengan masa berlaku surut.
Surat persetujuan tersebut memuat klausula bahwa Surat Persetujuan ini merupakan
bagian dan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian terdahulu. Sejak akhir
April 2005 Hub Tebet secara teknis tidak mungkin dioperasikan. Keberadaan operator
masih diperlukan untuk menjaga harta (assets) dan biayanya tidak menjadi beban biaya
BNI. Namun demikian hal tersebut akan segera didudukkan dalam addendum kontrak.
g. Sesuai dengan kontrak antara BNI dengan Koperasi, sewa yang dibayar sesuai dengan
jumlah VSAT yang terpasang maupun backupnya, mengingat pengadaan spare part
(backup) membutuhkan waktu yang cukup lama dan sulit diperoleh dipasar. Sedangkan
dualisme jaringan komunikasi secara teknis tidak dapat dihindarkan selama masa transisi,
sehingga adanya tambahan biaya.
BPK-RI menyarankan agar Direksi Bank BNI mereviu kembali perjanjian sewa
VSAT dengan Koperasi Swadharma dan melakukan pemutusan kontrak sesegera mungkin
dengan konsekuensi ekonomis yang seminimal mungkin dan agar selanjutnya segala
kebutuhan barang dan jasa dilingkungan Bank BNI harus direncanakan dengan baik dan
22

matang, dianalisis biaya, manfaat dan aspek finansialnya dengan lebih baik dan lebih
memperhatikan prinsip efisiensi dan efektifitas.
2. Pengadaan PC sebanyak 10.300 unit, PC server sebanyak 620 unit dan SVS PC server
sebanyak 220 unit senilai US$9,345.79 ribu eq. Rp86.457,91 juta belum sepenuhnya
memenuhi ketentuan sehingga menimbulkan ketidakhematan Rp10.658,47 juta
Sistem teknologi informasi yang baru yaitu BNI iCONS (Bank Negara Indonesia
Integrated Centralized Online Systems) diterapkan untuk mengganti sistem teknologi
informasi lama yaitu sistem BOSS (Branch Operating Support System) yang dianggap sudah
tidak memadai lagi untuk operasional perbankan. Sistem iCON yang sudah menerapkan
sentralisasi database dianggap mempunyai platform teknologi lebih canggih dibandingkan
dengan sistem BOSS yang masih menggunakan pola database terdistribusi. Kelemahan
sistem BOSS antara lain sistem informasi masih menggunakan sistem database terdistribusi
sehingga kurang dapat mendukung efisiensi operasi, kurang dapat mendukung persaingan
bisnis, adopsi terhadap teknologi baru relatif lambat dan infrastruktur berupa perangkat keras
dan jaringan komunikasi tidak mendukung operasional kerja. Dengan kondisi tersebut BNI
memutuskan untuk mengembangkan Arsitektur Information Technology (IT) baru yaitu BNI
iCONS. Proses pelaksanaan BNI iCONS meliputi pengadaan perangkat infrastruktur
(komputer) berupa Personal Computer (PC), PC Server, dan SVS PC Server dan jasa yang
terkait pemasangan barang baru maupun sparepart, jasa pemasangan software Microsoft,
antivirus, jasa pengiriman dan jasa support setelah implementasi (go live).
Proses pengadaan diawali dengan perencanaan oleh Divisi Perencanaan/REN (NCB)
dengan memo No. REN/9/332/NCB tanggal 8 Agustus 2003 yang menjelaskan mekanisme
pengadaan hardware yang antara lain memuat aturan bahwa pengadaan tersebut tidak boleh
melalui Sistem Implementor (SI) yang ditunjuk yaitu PT Mastersystem Infotama (PT MI) dan
PT Multipolar Corporation (PT MC). Di dalam Request for Proposal/RFP (Proposal
Permintaan), semula Tim NCB merekomendasikan spesifikasi PC tersebut adalah merk HP
(Compaq) dan IBM, namun dalam perkembangannya melalui beberapa kali rapat koordinasi,
Divisi TEK dengan memo No. TEK/2/938 tanggal 19 Maret 2004 menetapkan bahwa merk
PC yang layak dan memenuhi syarat untuk kebutuhan PC, PC server dan SVS PC server
untuk proyek iCONS tersebut adalah HP, Dell dan IBM. Kerangka Acuan Kerja (KAK/RFP)
No. TEK/2/1259 tanggal 13 April 2004 yang dibuat oleh Divisi TEK mengatur tata cara
pengadaan sebagai berikut:
a. Merk PC yang akan digunakan adalah Dell, HP dan IBM karena sesuai dengan kajian
teknis oleh Divisi TEK, ketiga PC tersebut mempunyai kualitas yang setara dan layak
digunakan untuk system iCONS.
b. Aspek penilaian dan bobot yaitu administrasi (gugur/tidak gugur), finansial (gugur/tidak
gugur), teknis (gugur/tidak gugur) dan harga 100%. Penilaian dan bobot untuk aspek
administrasi, finansial & teknis menggunakan passing grade (0%) karena kualitas ketiga
merk tersebut setara dan PC merupakan barang yang beredar secara luas di pasar (barang
komoditi). Dengan demikian, para calon peserta lelang dituntut untuk bersaing dari sisi
harga saja (100%).
c. Pemenang hanya satu yaitu yang memenuhi persyaratan administrasi, finansial, teknis
dan memberikan penawaran terendah.
d. Tender akan diulang jika harga yang diperoleh lebih tinggi dari Harga Perhitungan
Sendiri /HPS (Owner Estimate/OE).
23

Kronologis pelaksanaan pengadaan PC, PC server dan SVS PC server mengalami
empat tahap pelelangan sebagai berikut :
a. Proses Lelang I
Rapat koordinasi antara Divisi TEK, Tim NCB dan Tim Pengadaan Divisi UMM
pada tanggal 24 April 2004 menyepakati pelaksanaan pengadaan sebagai berikut:
1) Jumlah PC sebanyak 7.831 unit, PC server 620 unit dan SVS PC server 220 unit
dengan merk HP, Dell dan IBM.
2) Masa garansi 3 tahun dengan kondisi 3.3.3 (untuk parts, labor, dan monitor).
3) Perangkat keras (hardware) dikirimkan ke gudang SI di Jakarta.
4) Pembayaran pengadaan sesuai dengan prestasi atau jumlah penerimaan oleh SI.
5) Pengiriman barang ke lokasi merupakan tugas SI.
6) Jadual kebutuhan pengadaan ditetapkan BNI.
7) Untuk tindak lanjut perlu diadakan annwizjing (rapat penjelasan) dengan mengundang
prinsipal dari produk tersebut.
Aanwijzing dilakukan pada tanggal 5 Mei 2004 dengan hasil sebagai berikut :
1) Seluruh peserta telah memahami seluruh syarat dalam RFP.
2) Hardware dikirim ke gudang SI dan diperiksa oleh SI dan Divisi TEK.
3) Pembayaran dilakukan setelah barang diterima di gudang SI tersebut.
4) Selama barang ada di gudang, maka SI akan menutup asuransi barang tersebut dengan
biaya ”at-cost” yang akan ditagihkan langsung kepada BNI.
5) Dengan pertimbangan bahwa yang akan menerima barang dan memeriksa kualitas
barang adalah SI, maka SI yaitu PT MI dan PT MC tidak diperkenankan ditunjuk
sebagai mitra kerja (business partner) dari produk (prinsipal) untuk pengadaan
dimaksud.
Pengadaan PC, PC server, SVS PC server dilakukan dengan cara lelang yaitu dokumen
dan harga penawaran akan dibuka di depan seluruh peserta dan tidak dilakukan negosiasi,
pemenang akan dipilih satu dari tiga prinsipal yang diundang dan masing-masing prinsipal
menunjuk minimal dua business partner untuk memasukkan proposal penawaran.
Penyerahan dokumen penawaran dan pembukaan direncanakan pada tanggal 14 Mei 2004.
Berdasarkan rapat dengan Direktur Perencanaan dan Direktur Operasional pada
tanggal 12 Mei 2004, disepakati bahwa pelaksanaan pengadaan PC, PC server, dan SVS
PC server dibatalkan dengan pertimbangan sebagi berikut :
1) Jumlah PC yang dibutuhkan berubah dari semula 7.831 unit menjadi 9.231 unit.
2) Agar proyek pengadaan bisa berjalan sukses.
3) Untuk mengurangi resiko yang akan menghambat proyek implementasi.
4) Supaya SI yang ditunjuk dapat memberikan konfirmasi, jaminan dan dukungan
terhadap prinsipal yang produknya nanti akan diinstall secara teknis oleh SI.
5) Untuk menghindari resiko mengupgrade PC, dianjurkan untuk memilih alternatif
menambah jumlah pengadaan PC.
Kemudian pembatalan lelang disosialisasikan kepada seluruh prinsipal dengan surat Divisi
UMM No UMM/4/- tertanggal 12 Mei 2004.
b. Proses Lelang II
Pada tanggal 13 Mei 2004 Divisi UMM, Divisi TEK dan SI mengadakan rapat
koordinasi dengan keputusan sebagai berikut :
1) SI belum memiliki pengalaman mengimplementasikan merk lain selain produk yang
diageni oleh masing-masing SI yaitu IBM (PT MC) dan HP (PT MI).
2) SI akan bertanggung jawab sebatas ”best effort” jika menggunakan merk lain.
24

3) Untuk pengadaan PC:
a) Menggunakan dua merk yaitu HP dan IBM
b) SI keberatan membawa merk Dell
c) SI diperkenankan sebagai business partner
4) Untuk pengadaan PC server dan SVS PC server
a) Menggunakan empat merk yaitu HP, IBM, NEC dan Dell.
b) Kandidat pemenang satu merk.
c) Prinsipal harus mensupport sampai dengan berita acara serah terima dan
implementasi di cabang.
d) SI diperkenankan sebagai business partner.
Berdasarkan hasil rapat tersebut dan untuk menghindari kendala teknis pelaksanaan
implementasi oleh SI, maka tindak lanjut proses pengadaannya dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1) Mengundang annwijzing kembali untuk keempat prinsipal tersebut tanggal 18 Mei
2004.
2) Menyesuaikan beberapa persyaratan teknis antara lain sebagai berikut:
a) Adanya syarat penyediaan golden unit.
b) Spesifikasi teknis harus mengikuti up-date dari Intel.
c) Cara pengadaan PC/ PC server:
(1) dengan cara pemilihan langsung yaitu dokumen dan harga penawaran
diserahkan tertutup kepada Tim Pengadaan dan diklarifikasi/negosiasi.
(2) business partner yang ditunjuk prinsipal termasuk SI diperbolehkan mengikuti
pengadaan.
(3) pembayaran barang dilakukan setelah PC terpasang di lokasi.
(4) pemenang yang ditetapkan dapat lebih dari satu merk/produk.
(5) Dell dapat diikutsertakan untuk pengadaan tersebut, sepanjang dapat memenuhi
syarat-syarat RFP.
(6) diputuskan PC yang harus diadakan sebanyak 9.231 unit, PC server 620 unit
dan SVS PC server 220 unit.
Perubahan penting dari lelang I ke lelang II adalah SI diperkenankan ikut dalam proses
pengadaan, adanya syarat RFP yang membatasi calon peserta lelang berupa dukungan
teknis dari SI dan berubahnya cara pengadaan dari lelang menjadi pemilihan langsung.
Selanjutnya RFP yang sama (pada lelang I) dikirimkan kembali kepada calon
peserta tender. Aanwizjing dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2004 dan penawaran harga
dibuka pada tanggal 21 Mei 2004 dengan hasil sebagai berikut :
1) Untuk PC dan PC server diterima penawaran dari dua merk yaitu IBM bekerja sama
dengan PT MC dan HP dengan PT MI.
2) Dell tidak memasukkan penawaran karena SI tidak mau diajak kerjasama.
3) Hasil negosiasi terhadap kedua merk tersebut yaitu :
Principal
Per unit PC (US$) Per unit PC Server (US$)
Penawaran Negosiasi Penawaran Negosiasi
HP 1,001.00 936.80 2,062.50 2,057.00
IBM 1,002.00 979.00 2,065.25 2,050.00
Sedangkan HPS berdasarkan informasi harga pasar dan harga yang pernah terjadi yaitu PC
sebesar US$818.00, PC Server US$1.99 ribu dan SVS PC ServerUS$1.99 ribu.
25

Dengan surat tanggal 21 Mei 2004 yang ditujukan kepada Direksi BNI, Dell
menyatakan keberatan terhadap proses pengadaan PC/PC server yang dilaksanakan
tersebut dan mengharapkan penjelasan dari BNI perihal :
1) Perubahan hasil kesepakatan pada aanwizjing awal yang tidak melibatkan Dell.
2) Perubahan jadual pemasukan penawaran dan perubahan RFP secara tiba tiba.
3) Kriteria kerjasama dengan SI yang dianggap tidak wajar.
Karena hasil negosiasi harga penawaran PC, PC server, SVS PC server lebih
tinggi dari HPS, maka pada tanggal 27 Mei 2004 diadakan rapat koordinasi antara Divisi
UMM dan Divisi TEK dan diperoleh hasil sebagai berikut :
”Membatalkan kembali proses pemilihan langsung dimaksud dan melakukan proses
pelelangan dengan mengundang para partner bisnis dari produk yang didukung SI, dengan
harapan akan didapatkan harga yang terbaik”
c. Proses Lelang III
Karena proses pemilihan langsung (proses pelelangan pengadaan yang kedua)
dibatalkan dengan pertimbangan harga PC dan Server yang ditawarkan oleh vendor masih
tinggi, maka dengan memo No. UMM/ 4/1237 tanggal 17 September 2004 dilaksanakan
lelang yang ketiga dengan perubahan jumlah unit sesuai dengan memo Divisi TEK No.
TEK/2/3328 tanggal 1 September 2004, yaitu jumlah PC berubah dari 9.231 unit menjadi
10.500 unit, PC server tetap 620 unit dan SVS PC server tetap 220 unit. Berdasarkan
kebutuhan PC, PC server, dan SVS PC server diatas Bank BNI melakukan proses
pengadaan dengan cara sebagai berikut :
1) Pengadaan dengan cara pelelangan dan evaluasi penawaran dengan sistem scoring.
2) Evaluasi teknis semula ditetapkan dengan bobot 0% sesuai RFP No. TEK/2/1259
tanggal 13 April 2004 yang mencakup penilaian produk/merk, kemudian menjadi
40%, yang mencakup penilaian prinsipal seperti pangsa pasar di Indonesia, sejarah
hubungan, penilaian partner bisnis seperti dukungan teknis, jumlah tempat pelayanan
purna jual (service point) dan pengalaman proyek sejenis.
3) Evaluasi harga semula ditetapkan 100% menjadi 60%.
Selain itu kriteria penetapan pemenang diatur sebagai berikut :
1) Dapat ditetapkan lebih dari 1 pemenang pengadaan untuk setiap barang (PC, PC
server dan SVS PC server).
2) Penawaran yang akan diusulkan sebagai pemenang pengadaan adalah yang paling
menguntungkan bagi Bank BNI dalam arti spesifikasi teknis dalam proposal jelas,
penawaran secara teknis dapat dipertanggungjawabkan dan perhitungan harga yang
ditawarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Kemudian HPS ditetapkan sebesar US$11,916.83 ribu sudah termasuk PPN dengan
rincian sebagai berikut:
1) Total HPS PC : 10.500 x @US$958,636 = US$10,065.61 ribu
2) Total HPS PC server : 620 x @ US$2,203.83 = US$1,366.37 ribu
3) Total HPS SVS PC server : 220 x @ US$2,203.83 = US$484.84 ribu
Selanjutnya hasil penilaian terhadap peserta lelang yang memenuhi persyaratan yaitu:
Adminis- Scoring Total
No Vendor
trasi Teknis Finansial Score
(40%) (60%)
1 PT Adhisakti Solusi Komputindo (PT ASK) Sah 5.05 7.46 6.49
2 PT Anabatic Teknologi (PT AT) Sah 7.34 7.02 7.15
3 PT Berca Cakra Teknologi (PT BCT) Sah 4.96 7.46 6.46
4 PT Mastersystem Infotama (PT MI) Sah 8.39 7.10 7.62
26

5 PT Multipolar Corporation (PT MC) Sah 8.28 7.07 7.56
6 PT Sistimindo Kompudata (PT SK) Sah 7.97 7.06 7.45
7 PT Srisindhu Lestari (PT SL) Sah 7.10 7.10 7.08
Dari penilaian tersebut diperoleh dua nominator yaitu :
1) PT MI dengan total score 7.62, harga per unit termasuk PPN sebagai berikut :
a) PC sebesar US$945.00 (harga ini untuk pembelian antara 3001-6000 unit).
b) PC server dan SVS PC server sebesar US$1.65 ribu.
2) PT MC dengan total score 7.56, harga per unit termasuk PPN sebagai berikut :
a) PC sebesar US$949.00 (harga ini untuk pembelian antara 3001-6000 unit).
b) PC server dan SVS PC server sebesar US$1.66 ribu.
Dengan berpatokan pada harga tertinggi (PT MC) maka perkiraan kebutuhan anggaran
untuk hardware tersebut adalah sebesar US$11,363.10 ribu eq. Rp102.892,87 juta (asumsi
kurs jual BI tanggal 17 September 2004, US$1= Rp9.055) yang akan menjadi beban
anggaran investasi otomasi tahun 2004.
Selanjutnya berdasarkan memo Divisi UMM No. UMM/4/1264 tanggal 27
September 2004 dan No. UMM/4/1275 tanggal 29 September 2004 yang ditujukan
kepada Direktur SDM, pengadaan PC yang semula 10.500 unit diubah menjadi 10.300
unit sedangkan PC server tetap 620 unit dan SVS PC server tetap 220 unit. Hasil lelang
ketiga kembali dibatalkan karena adanya perubahan ruang lingkup, spesifikasi dan
jumlah PC dan Server yang dibutuhkan BNI. Kemudian Tim pengadaan menghitung ulang
HPS dengan hasil sebagai berikut :
1) Total HPS PC : 10.300 x @US$840,83 = US$8,660.54 ribu
2) Total HPS PC server : 620 x @ US$2,086.03 = US$1,293.33 ribu
3) Total HPS SVS PC server : 220 x @ US$2,086.03 = US$ 458.92 ribu
Sehingga total HPS keseluruhan hardware adalah sebesar US$10,412.81 ribu.
d. Proses Lelang IV
Sehubungan dengan pembatalan lelang III, dengan memo No. TEK/2/1200/R
tanggal 30 Agustus 2004 Divisi UMM melakukan proses pengadaan dengan ketentuan
proposal administrasi Gugur/Tidak Gugur, proposal teknis 40% dan harga 60%.
Sedangkan kriteria penetapan pemenang tetap sama seperti pada lelang III. Berdasarkan
RFP yang keempat maka diadakan proses pelelangan ulang dengan peserta pelelangan
sama dengan peserta sebelumnya yaitu PT ASK, PT AT, PT BCT, PT MI, PT MC, PT SK
dan PT SL. Dari hasil evaluasi proposal adminitrasi, teknis dan finansial oleh Divisi TEK
diperoleh total score terbobot sebagai berikut :
No. Vendor
Harga yang
Ditawarkan
Vendor
Total
Score PC
(dalam ribu US$)
Total Score PC,
Server/SVS PC
Server
1. PT ASK 8,258.02 8.16 8.07
2. PT AT 9,709.50 7.65 7.59
3. PT BCT 8,193.66 8.27 8.27
4. PT MI 9,624.00 8.41 8.55
5. PT MC 9,665.72 7.71 7.75
6. PT SK 9,626.52 8.76 8.89
7. PT SL 9,690.80 7.17 7.14
Dari hasil penilaian tersebut maka rekanan dengan score tertinggi yaitu PT SK dengan
total harga sebesar US$9,626.52 ribu. Kebutuhan anggaran untuk pengadaan hardware
sebesar US$9,626.52 ribu eq. Rp89.054,93 juta (asumsi Rp9.251/1US$ kurs jual BI
tanggal 29 September 2004) akan menjadi beban anggaran investasi otomasi tahun 2004.
27

Selanjutnya Divisi UMM dengan memo No. UMM/4/1275 tanggal 29 September 2004
mengusulkan kepada Direksi melalui Direktur SDM bahwa pemenang lelang adalah PT
SK selaku partner bisnis dari prinsipal HP dengan syarat dan kondisi sebagai berikut:
(dalam ribu USD)
No. Hardware Quantity Harga Satuan Total Harga
1. PC 10.300 0.81 8,343.00
2. PC Server 620 1.53 947.36
3. SVS PC Server 220 1.53 336.16
TOTAL 9,626.52
”Harga sudah termasuk PPN, spesifikasi dan konfigurasi PC, PC server dan SVS PC server sesuai proposal
yang disampaikan oleh vendor”
Berdasarkan hasil pemeriksaan lebih lanjut diperoleh hal-hal sebagai berikut :
a. Keputusan Direksi menetapkan empat pemenang (dalam tiga merk) pengadaan PC,
PC Server, dan SVS Server belum sepenuhnya memenuhi ketentuan
Berdasarkan usulan Divisi UMM tersebut, Rapat Direksi tanggal 29 September
2004 memutuskan hal-hal sebagai berikut:
1) Pemenang tender adalah peserta yang memperoleh skoring tertinggi di setiap merk.
2) BNI akan menggunakan 3 merk PC (HP, Dell dan IBM) dan setiap vendor tidak boleh
menyuplai lebih dari 50% PC agar tidak ada ketergantungan pada satu merk dan
terjadi kompetisi dalam pelayanannya.
3) Pemenang tender PC dan PC server adalah PT SK (HP) dengan proporsi (30%), PT
MI (HP) 30%, PT BCT (Dell) 20% dan PT MC (IBM) 20%.
4) Harga PC Dell yang cukup jauh dibawah merk lain diteliti lagi, wajar atau dumping.
5) Keputusan dalam rapat Direksi ini sudah kuorum, sehingga dapat langsung dieksekusi
tanpa harus menunggu hadirnya seluruh direksi.
Rapat Direksi yang dihadiri oleh Wadirut, Direktur Operasional (OP), Direktur Korporasi
(KP), Direktur Kepatuhan (KN), Direktur SDM, Direktur Komersial (KL), dan dihadiri
pula oleh Tim Pengadaan yaitu Divisi UMM dan Wakil Divisi TEK memutuskan untuk
memenangkan empat perusahaan tersebut.
Merujuk keputusan tersebut, Tim pengadaan menetapkan empat pemenang lelang
dan dituangkan dalam kontrak pada tanggal 19 Oktober 2004 sebagai berikut :
(dalam ribu US$)
No Nama Pemenang
Proporsi
(%)
No Kontrak
Total Nilai
Kontrak
1 PT SK (HP) 30 % UMM/4/130/R 2,887.96
2 PT BCT(Dell) 20 % UMM/4/127/R 1,638.74
3 PT MC (IBM) 20 % UMM/4/129/R 1,931.90
4 PT MI (HP) 30 % UMM/4/128/R 2,887.20
Total 9,345.79
Dengan asumsi Rp9.251/US$1.00 kurs jual BI tanggal 29 September 2004 maka total nilai
kontrak adalah sebesar US$9,345.79 ribu x Rp9.251 = Rp86.457,91 juta.
Keputusan untuk memenangkan empat perusahaan peserta lelang tersebut belum
sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku 1 Bab 3 butir 3.2.1.5 yang menyebutkan bahwa
untuk pengadaan barang dan atau jasa diatas Rp500,00 juta harus melalui mekanisme
lelang. Keputusan tersebut juga tidak sesuai dengan Instruksi No. IN/0187/UMM tanggal
1 Nopember 2002 bahwa kewenangan untuk memutus pengadaan diatas Rp50,000 juta
harus mendapatkan persetujuan dari seluruh Direksi. Ketidaksesuain cara pengadaan
tersebut dipertegas oleh Dewan Komisaris (Dekom) Bank BNI dengan surat No DK/015
nomor 2 butir (a) yang menyebutkan bahwa keputusan Direksi menetapkan tiga prinsipal
28

atau pemegang merk yaitu HP, IBM dan Dell yang disuplai oleh empat vendor yaitu PT
SK, PT MI, PT MC dan PT BCT tidak sesuai dengan BPP Bab 3.2.1.5.
b. Perubahan aspek penilaian teknis dan harga yang semula 0% dan 100% pada
lelang I dan II menjadi 40% dan 60% pada lelang III dan IV kurang didukung
oleh analisa dan evaluasi yang memadai
Di dalam RFP sejak lelang I hingga IV selalu disebutkan kriteria dan penetapan
pemenang pengadaan, antara lain evaluasi proposal administrasi, teknis dan harga.
Sehingga dari hasil evaluasi tersebut diharapkan akan diperoleh peserta yang memenuhi
persyaratan dan pada akhirnya akan diperoleh pemenang tender dengan harga yang sangat
kompetitif dan menguntungkan BNI. Dari kondisi yang telah disebutkan di atas bobot
teknis dan harga masing-masing ditetapkan sebesar 0% dan 100%. Namun pada
perkembangannya bobot teknis dan harga tersebut diubah menjadi masing-masing 40%
dan 60%. Perubahan aspek penilaian teknis dari 0% menjadi 40% dan harga dari 100%
menjadi 60% berawal dari disposisi (tanpa tanggal) Kepala Divisi UMM yang menjabat
pada saat itu (yang dilekatkan pada memo Divisi TEK No. TEK/2/1200/R tanggal 30
Agustus 2004) yang mengarahkan perubahan dari penilaian tanpa scoring menjadi
penilaian dengan scoring dan bobot harga diusahakan lebih kecil dari bobot teknis.
Pengarahan Kepala Divisi UMM tersebut belum didukung dengan analisa dan evaluasi
yang memadai. Selain itu tidak ada rapat koordinasi dari masing-masing pihak yang
terlibat dalam menentukan perubahan bobot penilaian.
Perubahan RFP tersebut berbeda dengan perencanaan awal Divisi TEK. Dengan
surat No. TEK/2/1259 tanggal 13 April 2004, Divisi TEK sudah mengarahkan bahwa
peserta lelang yang membawa merk PC Dell, IBM dan HP harus bersaing sepenuhnya
melalui harga yang ditawarkan, karena berdasarkan analisa dan evaluasi yang dilakukan
ketiga merk PC tersebut sangat direkomendasikan dan mempunyai kualitas yang setara.
Selain itu PC merupakan barang komoditi yang banyak beredar di pasaran.
Perubahan tersebut mengakibatkan scoring dalam menetapkan pemenang lelang
menjadi tidak sesuai dengan tujuan pelelangan yaitu untuk mendapatkan harga yang
paling menguntungkan. Selain itu adanya perubahan tersebut menunjukkan bahwa aspek
keadilan dan kompetisi tidak dapat diyakini pencapaiannya, adanya diskriminasi terhadap
beberapa calon peserta lelang dan mencerminkan kebijakan penggunaan dana investasi
yang tidak berorientasi pada efisiensi.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.1 yang
menyebutkan bahwa pengadaan barang dan jasa harus menggunakan sumber dana yang
dimiliki untuk memperoleh manfaat setinggi-tingginya bagi Bank BNI dan butir 1.3.7
bahwa pengadaan barang dan jasa harus memenuhi kualitas menurut persyaratan teknis
yang ditentukan dan harga yang paling menguntungkan dengan hasil yang optimal.
c. Pelaksanaan lelang pengadaan PC, PC Server dan SVS Server yang berulang-ulang
menunjukkan perencanaan yang kurang memadai dan kurang mencerminkan
prinsip adil (fair) dan transparan dan adanya pengaruh dari SI
Bank BNI selaku pemilik proyek implementasi BNI ICONS semula menetapkan
dua merk yaitu IBM dan HP. Hal ini diperkuat dalam RFP yang pada intinya semula Tim
NCB merekomendasikan spesifikasi hardware tersebut adalah merk HP dan IBM. Namun
dalam perkembangannya melalui beberapa kali rapat koordinasi, Divisi TEK dengan
memo No. TEK/ 2/938 tanggal 19 Maret 2004 menetapkan merk yang diuji dan
memenuhi syarat untuk kebutuhan PC, PC server dan SVS PC server adalah HP, Dell dan
29

IBM. Sedangkan yang menjadi SI adalah PT MC yang merupakan partner bisnis IBM dan
PT MI sebagai partner bisnis HP.
Selanjutnya proses pengadaan PC sejak awal tahun 2004 berubah sebanyak empat
kali dengan alasan sebagai berikut :
1) Lelang I dibatalkan karena PT MC dan PT MI selaku SI keberatan apabila diminta
menginstall produk dari vendor lain selain merk IBM dan HP.
2) Lelang II dibatalkan karena tidak diikuti oleh Dell yang tidak mendapat dukungan dari
SI, sehingga Dell mengirimkan surat protes tanggal 21 Mei 2004 yang ditujukan
kepada seluruh Direksi BNI dan ditembuskan kepada Komite Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU).
3) Lelang III dibatalkan karena Divisi TEK dan Divisi UMM berpendapat bahwa harga
dan spesifikasi yang ditawarkan oleh vendor terlalu tinggi.
4) Lelang IV dilaksanakan dan diikuti oleh 7 vendor dan dimenangkan oleh PT SK.
Selanjutnya Rapat Direksi tanggal 29 September 2004 memenangkan 3 prinsipal
yaitu HP, IBM dan Dell yang disuplai oleh empat vendor yaitu PT SK, PT MI, PT MC
dan PT BCT.
Berdasarkan kondisi tersebut, Dekom dengan surat No. DK/104 tanggal 1 Juli 2004
menyebutkan bahwa dalam proses pengadaan PC dan PC server terdapat indikasi adanya
intervensi peserta lelang dan persiapan yang kurang matang dari panitia pengadaan dalam
melaksanakan proses pelelangan. Adanya indikasi intervensi yang disinyalir oleh Dekom
tersebut dapat dilihat dari adanya keberatan-keberatan beberapa peserta lelang (d.h.i. SI
yaitu PT MI dan PT MC) yang diakomodasi dalam keputusan-keputusan yang dihasilkan
dalam beberapa rapat koordinasi, yaitu sebagai berikut:
1) SI belum memiliki pengalaman mengimplementasikan lain selain produk yang diageni
oleh masing-masing SI yaitu IBM (PT MC) dan HP (PT MI).
2) SI akan bertanggung jawab sebatas ”best effort” jika menggunakan merk lain.
3) SI berkeberatan membawa merk Dell.
4) Dell dapat diikutsertakan untuk pengadaan tersebut, sepanjang dapat memenuhi
syarat-syarat RFP.
Dari segi bisnis, SI mempunyai misi untuk dapat menjual produk IBM dan HP melalui
mereka, apalagi nilai proyek yang ditawarkan cukup besar yaitu kurang lebih Rp90
milyar. Sehingga dengan berbagai alasan tersebut SI berusaha agar dapat lolos menjadi
vendor pengadaan PC tersebut.
Keberatan SI untuk menginstal PC dari merk lain tersebut kurang tepat karena PC
merupakan barang yang banyak terdapat di pasaran dan telah menjadi barang yang
dikonsumsi oleh masyarakat umum. Selain itu alasan yang dikemukakan SI pada dasarnya
merupakan batasan yang dapat menghilangkan kesempatan pemasok (vendor) merk-merk
lain seperti Dell. Hal ini terbukti dengan adanya sanggahan dan keberatan dari salah satu
peserta lelang (Dell) yang merasa diperlakukan tidak adil oleh manajemen BNI, sehingga
mengindikasikan adanya kecenderungan Bank BNI dipengaruhi oleh SI. Padahal harga
yang ditawarkan Dell jauh lebih murah dibandingkan dengan harga PC dari HP dan IBM.
Pelaksanaan lelang sampai dengan empat kali menunjukkan kurangnya perencanaan
yang memadai dan dipengaruhi oleh pihak ketiga dalam hal ini SI. Selain itu dengan
pertimbangan bahwa yang akan menerima dan mengecek kualitas barang adalah SI, maka
SI yaitu PT MI dan PT MC seharusnya tidak layak ikut dalam proses pengadaan PC, PC
server dan SVS PC server.
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
30

1) BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.3, 1.3.4 dan 1.3.5 yang menyebutkan bahwa pengadaan
barang dan atau jasa wajib dilaksanakan dengan prinsip bersaing, transparan dan adil.
2) Surat Dekom No. DK/104 tertanggal 1 Juli 2004 yang menyebutkan bahwa pengadaan
PC dan server untuk proyek BNI iCONS harus sesuai dengan prinsip transparansi dan
keadilan (tidak diskriminatif).
3) Memo No. REN/9/332/NCB tanggal 8 Agustus 2003 yang menyebutkan bahwa
mekanisme pengadaan tidak melalui SI yang ditunjuk yaitu PT MI dan PT MC.
4) Aanwijzing tanggal 5 Mei 2004 butir 5 yang menyebutkan bahwa SI tidak boleh
ditunjuk menjadi business partner/vendor dalam pengadaan PC, PC Server dan SVS
PC Server.
d. Pengadaan PC, PC server dan SVS PC server menimbulkan ketidakhematan
sebesar US$1.152,14 ribu atau eq. Rp10.658,47 juta
Perhitungan biaya pengadaan terhadap kontrak yang dilakukan oleh BNI dengan
empat pemenang tender adalah sebagai berikut :
(dalam ribu US$)
Nama Pro-
Harga/unit x Total
No
Jenis PC
Pemenang porsi
Jumlah Komputer Harga
1 PT SK (HP) 30% PC
PC server
SVS PC server
2 PT BCT(Dell) 20 % PC
PC server
SVS PC server
3 PT MC (IBM) 20 % PC
PC server
SVS PC server
4 PT MI (HP) 30 % PC
PC server
SVS PC server
0.81 x 3090
1.53 x 186
1,53 x 66
0.69x 2060
1.33 x 124
1,33 x 44
0.81 x 2060
1.56 x 124
1.56 x 44
0.81 x 3090
1.53 x 186
1.53 x 66
2,502.90
284.21
100.85
2,887.96
1,415.38
164.85
58.50
1,638.74
1,670.66
192.82
68.42
1,931.90
2,502.90
283.65
100.65
2,887.20
Total (1,2,3,4) 9,345.79
Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi oleh Divisi TEK yang dituangkan dalam
RFP No. TEK/2/1259 tanggal 13 April 2004 diketahui bahwa merk PC yang ikut lelang
mempunyai kualitas setara sehingga aspek teknis seharusnya tidak dihitung lagi. Hal ini
juga diperkuat berdasarkan hasil klarifikasi dengan Wakil Kepala Divisi TEK bahwa pada
intinya Divisi TEK tidak merekomendasikan untuk merubah bobot teknis dan harga
dalam RFP yaitu masing-masing 0% dan 100%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
dari segi teknologi ketiga vendor tersebut dalam kondisi yang berimbang. Hal ini
dipertegas dengan memo Divisi TEK No. TEK/2/3201 tanggal 26 Agustus 2003 yang
intinya bahwa ”Setelah dilakukan uji coba terhadap PC merk Dell, hasilnya menunjukkan
bahwa kualitasnya setara dengan IBM dan HP, sehingga dapat digunakan untuk keperluan
operasional BNI”. Untuk menunjukkan bahwa ketiga merk PC yang disebutkan di atas
setara, hasil rekapitulasi perbaikan CPU yang dikeluarkan dari Divisi TEK menunjukkan
bahwa PC dengan merk HP mengalami kerusakan sebanyak 87 unit, merk Dell sebanyak
21 unit, dan merk IBM sebanyak 25 unit. Jika dihitung secara prosentase jumlah
kerusakan dibandingkan dengan jumlah seluruh PC masing-masing merk yaitu :
31

Merk PC
Jumlah PC
yang Rusak
Jumlah seluruh
Pengadaan PC
Prosentase
(1) (2) (3) (2)/(3)x100
HP 87 Unit 3.090+3.090=6.180 1,40%
IBM 25 Unit 2.060 1,21%
Dell 21 Unit 2.060 1,02%
Hasil perhitungan tersebut mendukung pendapat yang dikeluarkan oleh Divisi TEK bahwa
ketiga merk PC tersebut mempunyai kualitas yang setara bahkan dalam praktiknya PC
merk HP dan IBM mempunyai prosentase kerusakan yang lebih tinggi dari Dell.
Dengan demikian pemenang lelang pengadaan PC, PC server dan SVS PC Server
seharusnya adalah PT BCT (Dell) karena memberikan harga penawaran yang paling
rendah, yaitu harga PC, PC server dan SVS PC Server per unit berturut-turut sebesar
US$0.69 ribu, US$1.33 ribu dan US$1.33 ribu. Oleh karena itu apabila dihitung secara
keseluruhan, harga pengadaan hardware dari Dell adalah sebesar US$8,193.65 ribu
dengan rincian sebagai berikut:
(dalam ribu US$)
Harga Per unit x Total
Nama Pemenang % Jenis PC
Jumlah Komputer Harga
PT BCT (Dell) 100 PC
PC server
SVS PC server
0.69 x10.300
1.33 x 620
1.33 x 220
7,076.92
824.24
292.48
Total 8,193.65
Penetapan vendor pemenang lelang yang seharusnya PT BCT menjadi 4 vendor
mengakibatkan ketidakhematan sebesar US$1,152.14 ribu atau eq. Rp10.658,47 juta
(asumsi 1 US$ sebesar Rp9.251, kurs jual BI tanggal 29 September 2004) yang dihitung
dari selisih jumlah yang dibayar kepada 4 vendor sebesar US$9,345.79 ribu dengan harga
yang ditawarkan PT BCT sebesar US$8,193.65 ribu.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.7 yang
menyebutkan bahwa pengadaan barang dan atau jasa harus memenuhi kualitas menurut
persyaratan teknis yang ditentukan dan harga yang paling menguntungkan dengan hasil
yang optimal dan butir 1.5.3 yang intinya menyebutkan bahwa dalam proses pengadaan
barang dan atau jasa harus menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan
kebocoran keuangan.
Hal tersebut mengakibatkan nilai pengadaan yang disepakati belum menunjukkan
nilai yang paling menguntungkan, proses pengadaan PC, PC Server dan SVS PC server
belum dapat diyakini kewajaran, keadilan dan transparansinya dan terjadi ketidakhematan
sebesar US$1,152.14 ribu atau eq. Rp10.658,47 juta.
Kondisi tersebut terjadi karena Direksi belum sepenuhnya mematuhi ketentuan yang
berlaku, Divisi REN/NCB, Divisi TEK dan Divisi UMM dalam merencanakan pengadaan
kurang didukung dengan data dan informasi yang memadai dan tidak sepenuhnya mematuhi
ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa:
a. Keputusan menetapkan empat pemenang (dalam tiga merek) pengadaan PC, PC Server
dan SVS PC Server telah mengacu pada ketentuan pedoman pengadaan sesuai BPP buitr
1.3.2.1.5 dan 4.1.10.2, didasarkan pada aspek efektivitas dan efisiensi operasional dan
32

telah memenuhi syarat kuorum (+/- 60%) sehingga sah dan berhak mengambil keputusan
sesuai Anggaran Dasar BNI Ps. 13 ayat 8.
b. Pada awalnya, untuk pengadaan 10.300 unit PC, Tim lelang mengusulkan untuk
mempertimbangkan faktor harga (100%) tanpa mempertimbangkan faktor teknis. Namun
karena menyangkut pengadaan PC dalam jumlah yang besar dan penyebaran ke seluruh
cabang di Indonesia, maka dimasukkan penilaian faktor kesiapan, kesanggupan dan
kemampuan para vendor dalam memenuhi dan mendukung proyek BNI. Berbagai kriteria
harga dan teknis dievaluasi pada setiap vendor untuk mendapatkan tingkat keyakinan
bahwa BNI telah memilih produk yang tepat dan dilayani oleh vendor yang tepat pula.
Komponen penilaian faktor teknis di atas kemudian digabung dengan faktor harga untuk
mendapatkan skor total. Dalam hal ini faktor harga tetap mendapatkan bobot yang lebih
tinggi yakni 60% (harga) dan 40% (teknis).
c. Diikutsertakannya SI dalam pengadaan didasarkan pada pertimbangan bahwa
keberhasilan implementasi BNI-iCONS sangat dipengaruhi oleh efektivitas kerja dari SI.
Namun demikian disamping kedua merk yang ada (IBM dan HP), BNI juga
mengikutsertakan Dell dalam tender pengadaan PC Terminal.
d. Pelaksanaan lelang yang berulang-ulang yaitu pembatalan lelang tahap I s.d. tahap IV
tersebut pada dasarnya dilakukan untuk penyempurnaan dalam rangka mendapatkan
benefit yang lebih optimal sesuai dengan kebutuhan BNI dan keberhasilan BNI-iCONS.
Selain itu disebabkan adanya perubahan spesifikasi dan jumlah serta untuk mendapatkan
jaminan yang lebih besar dari vendor.
e. Jika pengadaan PC dilakukan dengan menunjuk PT BCT (Dell) maka terdapat
penghematan sebesar Rp10.658,47 juta. Namun demikian skor tertinggi dalam pengadaan
PC tersebut adalah PT SK dengan total harga sebesar US$9,626.52 ribu. Realisasi
pengadaan setelah menunjuk 3 merk dari 4 vendor dengan pertimbangan diatas hanya
sebesar US$9,345.79 ribu, sehingga dengan keputusan tersebut terdapat efisiensi sebesar
US$280.72 ribu eq.+ Rp2,597 Milyar (kurs. Rp.9.251). Pertimbangan tidak menunjuk
Dell sebagai pemenang tunggal meskipun harganya paling murah antara lain nilai skor
teknis lebih rendah dibanding 2 merk lainnya, yang disebabkan antara lain support teknis
dari Dell Indonesia pada saat itu belum ada.
BPK-RI menyarankan agar Direksi BNI mempertanggungjawabkan kebijakannya
kepada pemegang saham dalam memecah pemenang pelelangan menjadi empat pemenang,
meminta pertanggungjawaban Pemimpin Divisi UMM yang merubah bobot penilaian,
mematuhi ketentuan dalam proses pengadaan barang dan jasa serta membakukan score
penilaian aspek teknis dan harga untuk menghindari cara-cara yang tidak sehat dalam
memilih pemenang pelelangan pengadaan barang dan atau jasa.
3. Pengadaan ATM tahun 2003 sebanyak 300 unit dan tahun 2004 sebanyak 571 unit
seluruhnya sebesar eq. Rp133.888,01 juta belum sepenuhnya mematuhi ketentuan dan
mengakibatkan ketidakhematan sebesar eq. Rp11.256,22 juta
Berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun Buku 2003 dan
2004 yang telah disetujui RUPS Bank BNI diketahui adanya rencana pengadaan Automatic
Teller Machine (ATM) untuk tahun 2003 sebanyak 400 unit dengan anggaran sebesar
Rp78.005,07 juta dan tahun 2004 sebanyak 589 unit dengan anggaran sebesar Rp116.531,00
juta.
33

Pengadaan tahun 2003
Pengadaan ATM dilakukan melalui penggantian ATM lama dan penambahan ATM
baru. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka Bank BNI melalui Tim Pengadaan pada
Divisi UMM mengundang 2 rekanan yaitu PT NCR Indonesia (PT NCRI) dan PT Siemens
Indonesia (PT SI). Selanjutnya pada tanggal 6 Maret 2003 dilakukan rapat aanwijzing yang
dihadiri oleh kedua rekanan tersebut. Dari hasil rapat aanwijzing diketahui bahwa PT NCRI
tidak dapat menjual produknya langsung kepada Bank BNI karena memiliki kebijakan
penjualan melalui mitra kerjanya (business partner). Oleh karena itu PT NCRI menunjuk
salah satu business partnernya yaitu PT Multipolar Corporation Tbk (PT MC).
Dari pengujian lebih lanjut diketahui bahwa pada tanggal 12 Maret 2003 PT MC
menawarkan harga sebesar US$19.71 ribu per unit ATM merk NCR sedangkan PT SI
menawarkan harga pada tanggal 13 Maret 2003 sebesar US$16.50 ribu per unit ATM merk
Siemens. Kemudian pada tanggal 17 April 2003 Tim Pengadaan melakukan negosiasi harga
sehingga harga seluruhnya sebesar US$5,235.67 ribu dengan rincian sebagai berikut:
a. Merk Siemens Procash-2000 ditetapkan sebesar US$15.55 ribu per unit termasuk pajak.
b. Merk NCR Persona S70 (type 5678) ditetapkan sebesar US$19.35 ribu per unit termasuk
pajak.
Untuk mengevaluasi kedua penawaran tersebut, pada tanggal 25 April 2003 diadakan
rapat koordinasi. Evaluasi teknis dilakukan oleh Divisi TEK dan Divisi Operasional (OPR),
sedangkan scoring harga didasarkan pada hasil negosiasi yang dibandingkan dengan HPS
dengan hasil sebagai berikut :
a. NCR mendapat score teknis 240 dan harga 120 sehingga score total sebesar 360.
b. Siemens mendapat score teknis 207,3 dan harga 200 sehingga score total sebesar 407,3.
Berdasarkan scoring tersebut Divisi UMM dengan surat No. UMM/4/532 tanggal 14
Mei 2003 kepada Direksi melalui Direktur Kepatuhan mengusulkan pengadaan ATM
sebanyak 400 unit dengan beberapa alternatif sebagai berikut :
Alternatif I : 400 unit ATM merk Siemens sebesar US$6,220.00 ribu eq. Rp55.980,00
juta, karena Siemens memiliki total score tertinggi yaitu 407,3 dan
efisiensi anggaran dari selisih harga dapat digunakan untuk peningkatan
kinerja ATM lainnya
Alternatif II : 400 unit ATM merk NCR sebesar US$7,741.80 ribu eq. Rp 69.676,20 juta
karena NCR mendapat score teknis tertinggi yaitu 240, sedangkan score
harga tidak diperhatikan karena masih dibawah anggaran. Selain itu BNI
akan memperoleh apresiasi mesin ATM NCR sebanyak 18 unit yang dapat
digunakan untuk mengganti mesin ATM lama sehingga jumlah mesin
yang diterima sebanyak 418 unit dan dari segi kinerja lebih baik.
Alternatif III : Proporsional atas dasar perolehan score total, yaitu NCR 188 unit dan
Siemens 212 unit dengan total harga sebesar US$6,935.24 ribu eq.
Rp62.417,21 juta dan efisiensi anggaran dari selisih harga dapat
digunakan untuk peningkatan kinerja ATM lainnya.
Alternatif IV : Proprosional atas dasar perolehan score teknis yaitu NCR 225 unit dan
Siemens 175 unit dengan total harga sebesar US$7,076.01 ribu eq.
Rp63.684,11 juta, score harga tidak diperhatikan karena masih dibawah
anggaran dan BNI akan memperoleh apresiasi ATM NCR sebanyak 2 unit
sehingga jumlah ATM yang diterima sebanyak 402 unit.
Alternatif V : Proporsional 50 : 50, NCR 200 unit dan Siemens 200 unit dengan total
harga sebesar US$6,980.90 ribu eq. Rp62.828,10 juta karena mengacu
34

pada pengadaan mesin ATM Deployment 2002 dan hasil KMT tahun
2002. Dengan opsi ini BNI tidak mendapat apresiasi ATM dari NCR.
Asumsi kurs I US$ = Rp9.000,00, asumsi kurs anggaran.
Dari 5 alternatif tersebut, Tim Pengadaan merekomendasikan alternatif IV dengan
pertimbangan:
a. Kedua produk/merk tersebut tetap dipertimbangkan untuk dipilih dalam upaya
memberikan motivasi kompetisi mutu dan harga yang optimal dan telah teruji sehingga
layak dipilih untuk memenuhi kebutuhan ATM.
b. Perbedaan tingkat kinerja teknis dari masing-masing produk perlu diperhatikan sehingga
pertimbangan pemilihan produk didasarkan pada perolehan proporsional score teknis
masing-masing merk yaitu NCR 240 dan Siemens 207,3.
c. Score harga tidak diperhatikan karena realisasi pengadaannya sebesar Rp63.684,11 juta
masih di bawah anggaran yang tersedia sebesar Rp78.000,00 juta.
d. Dengan jumlah proporsional tersebut masih diperoleh apresiasi ATM NCR sebanyak 2
unit (US$38.70 ribu eq. Rp348,38 juta) yang dapat digunakan untuk mengganti mesin
ATM lama sehingga jumlah ATM yang diperoleh sebanyak 402 unit.
Dari surat No. HIS/3/0292/R tanggal 27 Juni 2003, perihal penyampaian hasil risalah
rapat Direksi tanggal 11 Juni 2003, Direksi menyetujui pembelian ATM sebanyak 300 unit
yang terdiri dari 150 unit merk Siemens dan 150 unit merk NCR. Namun tidak dijelaskan
mengenai jumlah pengadaan mesin ATM yang semula direncanakan sebanyak 400 unit
menjadi 300 unit dan proporsi dari masing-masing merk.
Selanjutnya pada tanggal 28 Juli 2003 ditandatangani kontrak jual beli ATM Siemen
Wincor-Nixdorf Procash 2000 dengan PT SI No. UMM/4/079/R sebesar US$2,332.00 ribu
dan pada tanggal 5 Agustus 2003 dibuat kontrak jual beli ATM NCR Persona S70 dengan PT
MC No. UMM/4/081/R sebesar US$2,903.17 ribu.
Pengadaan tahun 2004
Berdasarkan RKAP tahun 2004 diketahui bahwa pengadaan ATM tahun 2004
sebanyak 589 unit akan dialokasikan ke cabang/wilayah untuk mengganti mesin-mesin ATM
lama yang sering rusak sebanyak 434 unit, penempatan baru sebanyak 150 unit dan cadangan
ATM hilang sebanyak 5 unit. Dengan memo No. OPR/3/0248 tanggal 27 Februari 2004
Divisi OPR meminta Divisi UMM untuk mengadakan ATM dengan prioritas utama
penggantian ATM lama sebanyak 434 unit. Berdasarkan memo No. UMM/4/433 tanggal 26
Maret 2004 yang ditujukan kepada Direksi melalui Direktur Perencanaan dan SDM diketahui
hal-hal sebagai berikut:
a. Dari kebutuhan 589 unit ATM, sebanyak 571 unit ATM yang harus segera dipenuhi saat
sekarang dan untuk antisipasi perkembangan sistim aplikasi dimasa datang (minimum
setara dengan spesifikasi teknis pengadaan mesin ATM tahun 2003).
b. Dari memo Corporte Secretary (CS) No. CSR/2/026/R tanggal 16 Maret 2004 kepada
Divisi TEK dan Divisi UMM diketahui bahwa Rapat Direksi tanggal 11 Februari 2004
mengungkapkan bahwa hingga saat ini masih banyak keluhan yang diterima mengenai
ATM yang tidak berfungsi dengan baik. Untuk menanggulangi permasalahan ini, Direksi
menyetujui pengadaan ATM melalui cara repeat order.
c. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, Divisi UMM mengusulkan agar pengadaan ATM
sebanyak 571 unit dapat ditindaklanjuti dengan pertimbangan/ketentuan sebagai berikut:
1) Pengadaan mesin ATM tersebut sejalan dengan program penggantian mesin ATM
lama dan pengembangan ATM 2004 yang dilaporkan oleh Divisi OPR selaku
koordinator proyek yang secara prinsip telah disetujui oleh Direksi.
35

2) Spesifikasi teknis mesin telah mendapat rekomendasi dari Divisi TEK.
3) Penetapan merk yang akan dibeli yaitu Wincor Nixdorf/Siemens dan NCR (melalui
principal masing-masing) karena kedua merk tersebut telah digunakan oleh Bank BNI
yaitu Wincor/Siemens sejak 2 tahun lalu dan NCR sejak tahun 1996.
4) Pengadaan dibagi 2 untuk masing-masing vendor yaitu 286 unit Wincor Nixdorf Pro
Cash 2000 sebesar US$4,696.98 ribu eq. Rp40.394,01 juta dan 285 unit NCR P77
sebesar US$5,392.20 ribu eq. Rp46.372,92 juta (kurs anggaran US$1 = Rp8.600,00).
Usulan tersebut disetujui Dirut dan Direktur Konsumer tanggal 2 April 2004, Direktur
Komersial dan Direktur Korporasi tanggal 6 April 2004, Direktur Tresury dan Internasional
dan Wadirut tanggal 7 April 2004, Direktur Operasi, Direktur Manajemen Resiko dan
Direktur Kepatuhan tanggal 8 April 2004. Selanjutnya dibuat perjanjian jual beli ATM NCR
Persona S77 dengan PT MC No. UMM/4/040/R tanggal 14 April 2004 untuk pengadaan
ATM sebanyak 285 unit sebesar US$5,392.20 ribu atau harga per unitnya sebesar US$18.92
ribu sedangkan dengan PT SI ditetapkan dalam kontrak No. UMM/4/041/R tanggal 14 April
2004 sebanyak 286 unit sebesar US$4,696.97 ribu atau harga per unitnya sebesar US$16.42
ribu.
Selanjutnya pada tanggal 16 Juli 2004 ditandatangani Berita Acara Serah Terima
BAST) Barang dari PT SI, sedangkan BAST dari PT MC pada tanggal 19 Juli 2004, dimana
untuk sementara ATM akan dititipkan di gudang rekanan/vendor. Selain BAST, pada tanggal
yang sama ditandatangani Berita Acara Penitipan Barang disertai dengan Berita Acara
Pemeriksaan Barang antara Bank BNI dengan rekanan tersebut di atas, masing-masing
dengan penjelasan bahwa barang tersebut telah diterima dengan kondisi barang yang dijamin
baik oleh kedua rekanan.
Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut diketahui sebagai berikut :
a. Pengadaan ATM tahun 2003 dan 2004 dilaksanakan dengan penunjukan langsung
Dalam pengadaan ATM tahun 2003 dan 2004 Bank BNI menggunakan sistem
lelang. Dalam pelaksanaannya Bank BNI hanya mengundang dua rekanan (principal)
yaitu PT NCRI dan PT SI padahal nilai pengadaan tahun 2003 dan 2004 masing-masing
sebesar Rp47.121,07 juta dan Rp86.766,93 juta. Kedua principal tersebut masing-masing
menunjuk satu bisnis partner dan keduanya menjadi pemenang dengan jumlah unit yang
sama. Dengan demikian proses pengadaan ATM tersebut bukan lelang karena hanya
diikuti oleh dua rekanan dan keduanya ditetapkan sebagai pemenang. Peserta yang dapat
mengikuti pengadaan ATM sebetulnya bukan hanya dua rekanan, mengingat business
partner PT NCRI bukan hanya PT MC saja melainkan masih ada yang lain yaitu PT
Asaba Computer Center dan PT Sigma Cipta Caraka.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang menyebutkan
bahwa kriteria pelelangan adalah pengadaan barang dan atau jasa dengan nilai diatas
Rp500,00 juta dan butir 3.2.1.3 yang menyebutkan bahwa pelelangan harus diikuti oleh
minimal 5 peserta yang memenuhi syarat.
b. Terdapat ketidakhematan sebesar eq. Rp11.256,22 juta bila pengadaan ATM tahun
buku 2003 dan 2004 hanya menggunakan merk Siemens saja
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap aspek teknis dan harga, skor total ATM merk
Siemens sebesar 407,3 jauh lebih tinggi dari skor total merk NCR sebesar 360. Dengan
demikian apabila pengadaan 300 unit ATM tahun 2003 menggunakan merk Siemens saja
dibutuhkan dana sebesar US$4,665.00 ribu (300 unit x US$15.55 ribu) eq. Rp41.985,00
juta (kurs US$1 = Rp9.000/kurs anggaran BNI). Namun realisasinya pengadaan ATM
36

tahun 2003 adalah sebesar US$5,235.67 ribu (150 unit x US$19.35 ribu + 150 unit x
US$15.55 ribu) dengan menggunakan merk NCR dan Siemens, sehingga terdapat
ketidakhematan sebesar US$570.67 ribu (US$5,235.67 ribu – US$4,665.00 ribu) eq.
Rp5.136,07 juta.
Selanjutnya apabila pengadaan 571 unit ATM tahun 2004 menggunakan merk
Siemens saja dibutuhkan dana sebesar US$9,377.53 ribu (571 unit x US$16.42 ribu) eq
Rp80.646,78 juta (kurs US$1 = Rp8.600,00/kurs anggaran BNI tahun 2004). Namun
realisasinya pengadaan ATM tahun 2004 adalah sebesar US$10,089.17 ribu (286 unit x
US$16.42 ribu + 285 unit x US$18.92 ribu) eq. Rp86.766,93 juta dengan menggunakan
merk NCR dan Siemens. Dengan demikian dalam pengadaan ATM tahun 2004 terdapat
ketidakhematan sebesar US$711.64 ribu (US$10,089.17 ribu – US$9,377.53 ribu) eq.
Rp6.120,14 juta.
Sehingga apabila pengadaan ATM tahun 2003 dan 2004 hanya menggunakan
merk Siemens maka Bank BNI dapat melakukan penghematan sebesar US$1,282.32 ribu
(US$570.67 ribu + US$711.64 ribu) eq. Rp11.256,22 juta (Rp5.136,07 juta +
Rp6.120,14 juta). Selain itu berkaitan dengan perbandingan kinerja kedua merk ATM
tersebut dapat dikemukakan bahwa selama tahun 2003 dan 2004 dari 55 unit ATM yang
rusak hanya 4 (empat) unit merk Siemens selebihnya merk NCR.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.7 yang
menyebutkan bahwa pengadaan barang dan atau jasa harus memenuhi kualitas menurut
persyaratan teknis yang ditentukan dan harga yang paling menguntungkan dengan hasil
yang optimal dan butir 1.5.3 yang intinya menyebutkan bahwa dalam proses pengadaan
barang dan atau jasa harus menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan
kebocoran keuangan.
c. Satu unit ATM yang dikirim ke Ramayana Medan rusak sehingga tidak dapat
segera dimanfaatkan
Berdasarkan surat BNI Wilayah 01 Medan kepada Kantor Pusat No. W01/7.2/2759
tanggal 27 September 2004 diketahui bahwa dari 285 unit mesin ATM yang dibeli dari PT
MC, 8 unit diantaranya dikirim ke BNI Medan. Pengiriman tersebut dilakukan melalui
ekspedisi rekanan Bank BNI yaitu PT Mitra Utama Dirgaraya sesuai surat Divisi UMM
No. UMM/4/4041 tanggal 1 Oktober 2004 dimana salah satunya dikirim ke lokasi
Ramayana III Medan yang beralamat di Jl. Iskandar Muda Medan. Berdasarkan hasil cek
fisik oleh Tim BPK pada tanggal 10 Maret 2005 ke lokasi Ramayana III Medan diketahui
bahwa ATM yang berada di lokasi tersebut bukan merk NCR Pesona S77 melainkan merk
NCR 5670. Dari hasil konfirmasi dengan pejabat terkait diperoleh keterangan bahwa
ATM di lokasi tersebut bukan ATM baru melainkan mesin ATM bekas penggantian dari
ATM Cabang Padang Sidempuan-2. Hal ini terjadi karena pada saat diaktivasi tanggal 23
Desember 2004 ATM baru tersebut tidak dapat dioperasikan karena rusak digigit tikus.
Agar aktivitas tetap berjalan dan mengingat ijin operasi BI berakhir tanggal 28 Desember
2004, maka ATM Ramayana Medan III diganti dengan ATM bekas yang tidak terpakai
dari Cabang Padang Sidempuan-2.
BNI Wilayah Medan dengan surat No. W01/723651 tanggal 29 Desember 2004
memberitahukan kerusakan dan penggantian ATM tersebut kepada Divisi UMM.
Berdasarkan penjelasan lisan dari Divisi UMM diketahui bahwa Divisi UMM
menganggap PT MC telah memperbaiki karena sesuai Berita Acara Instalasi ATM tanggal
27 Desember 2004 dari PT Swadarma Sarana Informatika (sebagai pelaksana instalasi)
menyatakan bahwa ATM merk NCR Persona S77 telah dapat digunakan sejak tanggal 27
37

Desember 2004. Selain itu dengan surat No.Ref.SI/Q/05/0138 tanggal 7 Maret 2005 PT
MC mengajukan penawaran biaya penggantian spare part mesin ATM NCR sebesar
US$9,853.78 ribu dan menyatakan bahwa PT MC telah mengganti spare part yang rusak
kepada Bank BNI. Akan tetapi sampai saat pemeriksaan tanggal 31 Maret 2005 ternyata
ATM tersebut masih belum diperbaiki. Kondisi tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi
apabila sejak semula penyerahan ATM tersebut franco di tempat. Akan tetapi realisasinya
penyerahan barang franco Jabotabek.
Hal ini tidak sesuai dengan BPP Buku IV Bab 3 butir 3.3.5 yang menyebutkan
bahwa kebutuhan barang–barang otomasi terlebih dahulu dimintakan rekomendasi dari
unit yang berkompeten, selanjutnya diteruskan ke unit yang memiliki kewenangan
pengadaan dengan disertai jenis barang otomasi yang dibutuhkan termasuk merk,
spesifikasi yang dibutuhkan serta rencana distribusi.
d. Pengenaan denda keterlambatan masih kurang sebesar eq. Rp1.464,51 juta
Menurut pasal 7 perjanjian jual beli No. UMM/4/040 dan No. UMM/4/041 tanggal
14 April 2004, penyerahan keseluruhan hardware wajib dilakukan oleh Pihak Kedua
dalam jangka waktu maksimal 12 (duabelas) minggu setelah SPK (Surat Perintah Kerja)
atau s.d. tanggal 23 Juni 2004. Realisasi penyelesaian pengadaan ATM oleh kedua
rekanan tersebut adalah sebagai berikut:
1) PT MC selesai pada tanggal 19 Juli 2004. Atas keterlambatan tersebut BNI
mengenakan denda dari 285 unit ATM, namun PT MC menolak karena berdasarkan
bukti surat persetujuan pengeluaran barang dari gudang, ATM yang terlambat hanya 4
unit. BNI menerima keberatan tersebut sehingga denda yang dikenakan sebesar
US$0.38 ribu (1%0 x 5 hari x 4 unit x US$18.92 ribu).
2) PT SI selesai pada tanggal 16 Juli 2004 sebanyak 68 unit dan 6 Agustus 2004
sebanyak 218 unit. Atas keterlambatan tersebut BNI mengenakan denda sebesar
US$14.52 ribu (1 %0 x 4 hari x 118 unit x US$14.93 ribu = US$7.47 ribu) + (1 %0 x
5 hari x 100 unit x US$14.93 ribu = US$7.47 ribu).
Sedangkan perhitungan denda keterlambatan oleh Tim BPK adalah sebagai berikut
(dalam ribu US$):
1) PT MC, 1%0 x 26 hari x 4 unit x US$18.92 = 1.97
2) PTSI, 1%0 x 23 hari x 68 unit x US$ 16.42 = 25.69
1%0 x 44 hari x 218 unit x US$ 16.42 =157.53
Jumlah 185.19
Dengan demikian terdapat perbedaan sebesar US$170.29 ribu {US$185.19 ribu –
(US$0.38 ribu + US$14.52 ribu)} eq. Rp1.464,51 juta (kurs US$1 = Rp8.600,00/kurs
anggaran BNI tahun 2004). Perbedaan tersebut terjadi karena Tim BPK menghitung sejak
SPK ditandatangai sesuai dengan pasal 7 perjanjian jual beli, sedangkan Bank BNI
menghitung sejak Perjanjian Jual Beli ditandatangani.
e. HPS dibuat setelah vendor menyampaikan harga penawaran
Dari hasil penelitian terhadap dokumen pengadaan ATM tahun buku 2003 diketahui
bahwa PT MC dan PT SI mengajukan penawaran harga masing-masing pada tanggal 12
dan 13 Maret 2003, sedangkan Tim Pengadaan membuat HPS pada tanggal 14 Maret
2003. Selanjutnya untuk tahun buku 2004 diketahui bahwa PT MC dan PT SI mengajukan
penawaran harga masing-masing pada tanggal 19 dan 23 Maret 2004, sedangkan Tim
Pengadaan membuat HPS pada tanggal 23 Maret 2004. Dengan demikian kedua HPS
tersebut dibuat setelah vendor menyampaikan harga penawaran.
38

Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.4.1 yang menyebutkan
bahwa HPS harus disahkan oleh pemimpin unit yang akan melaksanakan pengadaan
barang dan atau jasa atau pejabat yang berwenang memutus pengadaan barang dan atau
jasa sebelum acara pembukaan penawaran harga.
f. HPS dibuat tanpa membandingkan dengan harga pasar
Dari pengujian lebih lanjut terhadap dokumen pengadaan ATM diketahui bahwa
HPS diperoleh dengan memperhitungkan data dasar sebagai berikut:
HPS ATM tahun 2003 (dalam ribu US$)
ATM merk NCR, harga kontrak yang pernah dilakukan :
� Kontrak No. PKU/2/857/R, tgl 30-11-2001 = US$21.29
� Kontrak No. UMM/4.1/25/R, tgl 28-05-2002 = US$21.23
� Kontrak No. UMM/4//172/R, tgl 23-12-2002 = US$16.24
ATM merk Siemens, harga kontrak yang pernah dilakukan :
� Kontrak No. UMM/4.1/024/R, tgl 27-05-2002 = US$15.97
� Kontrak No. UMM/4/173/R, tgl 23-12-2002 = US$15.55
Harga yang didapatkan berdasarkan estimasi usulan
anggaran tahun 2003 = US$21.67
Kesimpulan :
Harga tertinggi yang diperkenankan =US$21.23
HPS ATM tahun 2004 (dalam ribu US$) :
ATM merk NCR, harga kontrak yang pernah dilakukan :
� Kontrak No. UMM/4.1/25/R, tgl 28-05-2002 = US$21.23
� Kontrak No. UMM/4/081/R, tgl 05-08-2003 = US$19.35
Rata-rata harga mesin ATM NCR = US$20.29
(Asumsi kenaikan harga sebesar 10% karena adanya perubahan
spesifikasi teknis yang lebih tinggi dari spesifikasi teknis ATM
sebelumnya) = US$22.32
ATM merk Wincor Nixdorf, harga kontrak yang pernah dilakukan :
� Kontrak No. UMM/4.1/173/R, tgl 23-12-2002 = US$15.55
� Kontrak No. UMM/4/079/R, tgl 28-07-2003 = US$15.55
Rata-rata harga mesin ATM Wincor Nixdorf = US$15.55
(Asumsi kenaikan harga sebesar 10% karena adanya perubahan
spesifikasi teknis yang lebih tinggi dari spesifikasi teknis ATM
sebelumnya) = US$17.11
Kesimpulan :
Harga tertinggi yang diperkenankan :
� Mesin ATM merk NCR = US$22.32
� Mesin ATM merk Wincor Nixdorf = US$17.11
Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa HPS yang disusun oleh Tim Pengadaan
hanya didasarkan pada nilai rata-rata dari kontrak-kontrak yang pernah dilakukan
sebelumnya bukan dari perbandingan harga pasar.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.4.3 yang menyebutkan
bahwa HPS harus dihitung secara cermat dengan mempertimbangkan antara lain analisis
harga satuan pekerjaan yang bersangkutan, harga pasar setempat pada waktu penyusunan
HPS, harga kontrak untuk barang/pekerjaan sejenis setempat yang pernah dilaksanakan,
informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik,
39

Bappenas, badan/instansi lainnya dan media cetak yang datanya dapat
dipertanggungjawabkan dan harga/tarif barang dan atau jasa yang dikeluarkan oleh
pabrikan/agen prinsipal tunggal/atau lembaga independen.
Hal tersebut mengakibatkan:
a. Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga yang paling menguntungkan.
b. Dengan tidak menggunakan merk Siemens seluruhnya dalam pengadaan ATM tahun buku
2003 dan 2004 maka terdapat ketidakhematan sebesar eq. Rp11.256,22 juta.
c. Dengan belum diperbaikinya mesin ATM yang rusak tersebut maka pemanfaatannya
menjadi terlambat.
d. BNI kehilangan pendapatan dari denda keterlambatan yang kurang dikenakan sebesar eq.
Rp1.464,51 juta.
e. HPS yang dibuat kurang dapat diyakini kewajarannya dan tidak dapat digunakan sebagai
alat evaluasi kewajaran harga yang ditawarkan.
Kondisi tersebut terjadi karena:
a. Direksi BNI dan panitia pengadaan belum sepenuhnya menerapkan peraturan yang
ditetapkan dalam BPP.
b. PT Multipolar tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan yang diatur dalam Kontrak No.
UMM/4/040/R tanggal 14 April 2004
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa :
a. Penunjukan langsung kepada dua merk dilakukan karena merk lain misalnya Diebold,
Digital dan Philips sesuai hasil rapat KMT tanggal 26 Februari 2002 tidak menunjukkan
catatan kinerja yang baik. Penawaran telah dilakukan langsung pada prinsipal dengan
harapan dapat membuka peluang harga dan service yang lebih baik. Namun demikian,
prinsipal hanya menunjuk PT MC sebagai perwakilannya di Indonesia, sedangkan
prinsipal Siemens tidak mempunyai mitra kerja lain kecuali PT SI.
b. Penggunaan 2 merk ATM diputuskan dengan pertimbangan bahwa BNI tidak ingin
tergantung pada satu merk ATM saja yang dikhawatirkan dapat meningkatkan harga
pengadaan dan mahalnya biaya perawatan di masa mendatang. Selain itu untuk
mengurangi resiko kegagalan implementasi yang meliputi seluruh cabang BNI sehingga
membutuhkan kemampuan, fasilitas pengiriman dan instalasi yang sangat besar.
c. Kerusakan ATM yang dikirim ke lokasi Ramayana Medan terjadi karena ATM tersebut
disimpan di gudang kanwil (tidak dapat langsung dipasang) karena ijin prinsip dari BI
belum keluar.
d. Kekurangan pengenaan denda keterlambatan terjadi karena BNI menilai bahwa kontrak
mempunyai kekuatan hukum yang lebih mengikat daripada SPK, sehingga pelaksanaan
pengiriman barang mengacu pada term of condition dalam kontrak. Namun demikian saat
ini kami sedang mengklarifikasi permasalahan ini dengan kedua vendor.
e. HPS dibuat setelah vendor menyampaikan harga penawaran karena BNI berusaha untuk
memperoleh informasi harga pasar terakhir yang diharapkan lebih tepat dan akurat.
f. HPS dibuat tanpa membandingkan dengan harga pasar karena menurut BNI HPS yang
dihitung berdasarkan pricelist yang dipublikasikan di internet telah memenuhi BPP.
BPK RI menyarankan agar Direksi BNI mempertanggungjawabkan kebijakannya
kepada pemegang saham dalam memutus pengadaan ATM melalui penunjukan langsung,
memperingatkan panitia pengadaan untuk mematuhi BPP secara konsisten dan mengkaji
40

kembali kekurangan denda keterlambatan dan menagihkannya kepada rekanan. Selain itu
kontrak pengadaan agar disusun berdasarkan realisasi penempatan ATM sampai ATM
tersebut dinyatakan beroperasi.
4. Pengadaan PC HP sebanyak 1.509 unit sebesar US$1,234.36 ribu eq. Rp10.615,51 juta
belum sepenuhnya sesuai ketentuan
Untuk memenuhi keperluan cabang-cabang dan unit-unit layanan lainnya di Kantor
Besar, Divisi TEK dengan memo No. TEK/2/724 tanggal 27 Februari 2004 meminta kepada
Divisi UMM untuk mengadakan hardware dengan menggunakan sisa anggaran tahun 2003.
Kemudian dengan memo No. TEK/2/0938 tanggal 19 Maret 2004 Divisi TEK menyampaikan
hasil analisa terhadap PC merk HP, Dell dan IBM dengan hasil baik. Berdasarkan analisa
tersebut Divisi UMM mengadakan PC dengan cara pemilihan langsung dan sebagai
pemenangnya adalah PT Mastersystem Infotama (PT MI) yang merupakan bisnis partner HP.
Selanjutnya ditandatangani kontrak kerja No.UMM/4/050/R tanggal 22 April 2004 senilai
US$1,234.36 ribu dengan jangka waktu 4 minggu atau jatuh tempo pada tanggal 27 April
2004. Pada tanggal 26 April 2004 dilakukan serah terima barang oleh PT MI yang telah
menyelesaikan seluruh pekerjaan sesuai BAST tanggal 9 Juni 2004.
Hasil pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen pengadaan diketahui hal- hal sebagai
berikut :
a. Pelaksanaan pengadaan PC sebanyak 1.509 unit menggunakan mekanisme
pemilihan langsung
Pada tanggal 23 Maret 2004 Divisi UMM mengundang PT IBM Indonesia (PT
IBM), Dell Asia Pasific Sdn. Bhd. (Dell) dan PT Hewlett Packard (PT HP) untuk
mengambil dokumen tender pengadaan PC. Aanwijzing dilaksanakan pada tanggal 23
Maret 2004 jam 14.00 WIB. Dari memo No. UMM/4/452 tanggal 30 Maret 2004
diketahui bahwa proses pembukaan dokumen penawaran dan negosiasi dilakukan 2 kali
yaitu tanggal 24 Maret dan 26 Maret 2004. Kemudian pada tanggal 24 Maret 2004 ketiga
rekanan (principal) tersebut mengajukan penawaran dan menunjuk busines partner
masing-masing sebagai berikut :
(dalam ribu US$ per unit)
Principal Busines Partner Harga penawaran
PT IBM PT Srisindhu Lestari (PT SL) Monitor 15” 1.13, Monitor 17” 1.15
PT HP PT MI Monitor 15” 1.25, Monitor 17” 1.30
Dell 1.27
HPS per unit ditetapkan sebesar US$0.83 ribu eq. Rp7,11 juta sehingga harga penawaran
tersebut masih melampaui HPS. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tanggal 25 Maret
2004 Divisi UMM mengundang kembali ketiga rekanan tersebut untuk memasukkan
penawaran ulang dengan data sebagai berikut:
No Merk Disc Monitor
1. Dell ---
---
2. HP $ 27/unit
$ 27/unit
3. IBM $ 10/unit
$ 20/unit
15”
17”
15”
17”
15 “
17”
Harga Satuan (US$)
Penawaran Negosiasi
837 837
852 852
845 818
865 838
830 820
850 830
Berdasarkan penawaran tersebut diatas maka dalam rapat koordinasi tanggal 26 Maret
2004, Tim Pengadaan merekomendasikan HP sebagai calon pemenang pengadaan PC
41

sebanyak 1.509 unit dengan monitor ukuran 15” sebesar US$818.00/unit atau seluruhnya
sebesar US$1,234.36 ribu eq. Rp10.615,51 juta.
Dari proses pengadaan PC diatas, pengadaan seharusnya dilakukan melalui
pelelangan karena nilainya di atas Rp500,00 juta. Selain itu PC bukan barang yang
spesifik dan bussines partner dari masing-masing principal tidak hanya satu tetapi masih
ada yang lainnya yaitu:
1) Busines partner PT IBM yaitu PT SL, PT Multipolar Corporation dan PT Anabatic
Teknologi.
2) Busines partner Dell yaitu PT Adi Sakti Solusi Computindo dan PT Berca Cakra
Teknologi.
3) Busines partner PT HP yaitu PT Sistimindo Kompudata dan PT MI.
Selanjutnya Dekom BNI dalam surat No. DK/104 tanggal 01 Juli 2004 menyebutkan
bahwa pengadaan PC dan PC Server dilaksanakan melalui business partner dan bukan
melalui principalnya.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang menjelaskan
bahwa kriteria pelelangan adalah pengadaan barang dan jasa dengan nilai diatas Rp500,00
juta dan butir 3.2.2.1 bahwa pelelangan dilakukan secara terbuka melalui pengumuman
pada papan pengumuman di Kantor BNI atau pemberitahuan tertulis kepada asosiasi
penyediaan barang dan jasa, atau pengiriman undangan lelang kepada rekanan Bank BNI.
b. Kontrak kerja dibuat 5 hari sebelum jatuh tempo
Kontrak Kerja No. UMM/4/050/R ditandatangani pada tanggal 22 April 2004.
Berdasarkan syarat-syarat kontrak kerja disebutkan bahwa pekerjaan harus diselesaikan
dalam waktu empat minggu terhitung sejak dikeluarkannya SPK tanggal 30 Maret 2004,
sehingga jatuh tempo pada tanggal 27 April 2004. Dengan demikian kontrak kerja dibuat
5 hari sebelum jatuh tempo.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab 6 butir 6.2.1 yang menyebutkan
bahwa penandatanganan kontrak dilakukan secepatnya setelah surat penunjukan atau SPK
diterbitkan.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga
yang paling menguntungkan.
Hal tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan
proses pengadaan PC belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa
yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa:
a. Pengadaan dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme pemilihan langsung
mengingat rekanan yang diundang untuk negosiasi adalah pihak prinsipal/pabrikan
langsung dari 3 merk yang direkomendasikan (HP, Dell dan IBM), harga disampaikan
langsung oleh prinsipal, selanjutnya prinsipal menunjuk busines partnernya.
b. Pembuatan kontrak 5 hari sebelum jatuh tempo terjadi karena kesibukan yang ada.
Namun demikian penyelesaian kontrak tanggal 27 April 2004 tidak menyebabkan
terhambatnya pelaksanaan pekerjaan, karena vendor dapat melaksanakan pekerjaannya
berdasarkan SPK tanggal 30 Maret 2004 dan pekerjaan selesai seluruhnya tanggal 26
April 2004.
42

BPK RI menyarankan agar Direksi BNI mempertanggungjawabkan kebijakannya
kepada pemegang saham dalam memutus pengadaan PC melalui pemilihan langsung dan
memperingatkan panitia pengadaan untuk mematuhi BPP secara konsisten.
5. Pengadaan upgrade jaringan LAN/backbone sebesar eq. Rp41.926,73 juta oleh PT
Swadharma Duta Data belum sesuai dengan ketentuan
Kantor Pusat BNI telah memiliki jaringan backbone yang digunakan sejak awal tahun
1997. Jaringan ini digunakan sebagai pusat jalur komunikasi antar divisi/lantai/gedung pada
Kantor Pusat dan distribusi jaringan ke seluruh terminal. Backbone merupakan jaringan
utama yang digunakan untuk membentuk jaringan LAN. Selain digunakan untuk melayani
penggunaan lokal di gedung BNI dan Wisma 46 yang jumlahnya lebih dari 2.000, jaringan
backbone juga digunakan sebagai pintu gerbang bagi user–user (jumlahnya lebih dari
10.000) yang berada di lokasi remote BNI seperti cabang, capem, mesin EDC, mesin ATM
dan lain–lain. Jaringan backbone ini memiliki fungsi yang sangat penting karena jika jaringan
backbone mati, maka seluruh user BNI baik lokal maupun remote tidak dapat melakukan
transaksi.
Mengingat fungsinya yang sangat penting, maka perangkat backbone harus segera
diganti karena bebannya telah melampaui kapasitas, telah digunakan sejak tahun 1997 dan
telah mencapai usia MTBF produk yaitu 48.742 jam atau lebih dari 5 tahun. Berkenaan
dengan hal-hal tersebut, maka Divisi TEK dengan memo No. TEK/3/2/01 tanggal 17 Juni
2004 mengusulkan pengadaan perangkat backbone yang baru. Usulan tersebut disetujui oleh
Direksi Operasi pada tanggal 23 Juni, Direktur Perencanaan dan SDM tanggal 24 Juni 2004,
Dirut tanggal 25 Juni dan Direktur Kepatuhan tanggal 28 Juni 2004. Berdasarkan persetujuan
tersebut Divisi UMM melaksanakan pengadaan backbone yang dituangkan dalam perjanjian
No. UMM/4/186/R tanggal 23 Desember 2004 sebesar US$4,557.25 ribu eq. Rp41.926,72
juta (kurs jual BI tanggal 9 Agustus 2004, US$1=Rp 9.200,00).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen pengadaan diketahui permasalahanpermasalahan
sebagai berikut:
a. Pengadaan backbone menggunakan mekanisme penunjukan langsung
Dengan memo No. TEK/1/2623 tanggal 23 Juli 2004, Divisi TEK meminta Divisi
UMM untuk melakukan proses pengadaan perangkat backbone. Dengan memo No.
TEK/1/1082 tanggal 30 Juli 2004 Divisi TEK mengirimkan syarat peserta lelang, sebagai
berikut :
1) Berpengalaman dalam bidang networking minimal 5 tahun dan dalam bidang
backbone dan jaringan LAN/WAN dengan user minimal 800 user.
2) Mempunyai engineer yang mengerti komunikasi mainframe, RISC/600 dan Tandem.
3) Berpengalaman dalam mengintegrasikan ketiga perangkat komunikasi yaitu
Cisco,Vanguard dan 3Com.
4) Mendapat referensi dari prinsipal ketiga produk komunikasi tersebut.
5) Dapat melakukan proses upgrade jaringan dengan waktu yang telah ditentukan.
6) Dapat memberikan delivery order peralatan komunikasi sesuai waktu proyek.
7) Support on site 7 x 24 jam.
Kemudian pada tanggal 2 Agustus 2004 pengumuman lelang ditempelkan di Papan
Pengumuman pada Divisi UMM Kantor Pusat BNI dengan masa pendaftaran peserta
lelang s.d. 4 Agustus 2004. Dari memo No. UMM/4/1064 tanggal 13 Agustus 2004
diketahui bahwa setelah 3 hari diumumkan hanya empat calon yang mendaftar.
43

Selanjutnya Divisi UMM memperpanjang waktu pendaftaran peserta selama 2 hari sesuai
pengumuman lelang No. UMM/4.1/3142 tanggal 5 Agustus 2004. Adapun perusahaan
yang telah mendaftar yaitu PT Swadharma Duta Data (SDD), PT Mastersystem Infotama
(PT MI), PT Multipolar Corporation (PT MC) dan PT Sistimindo Kompudata (PT SK).
Dari keempat perusahaan yang mendaftar, hanya PT SDD yang memenuhi persyaratan
administrasi. Adapun kekuranglengkapan persyaratan administrasi dari ketiga perusahaan
lainnya adalah sebagai berikut :
1) PT MI tidak memiliki dukungan principal untuk produk Vanguard.
2) PT MC tidak memiliki dukungan principal untuk produk Vanguard dan 3 Com.
3) PT SK tidak menunjukkan surat pernyataan memiliki engineer yang mengerti
komunikasi mainframe, RISC/6000 dan Tandem, tidak memiliki dukungan principal
untuk produk Cisco, Vanguard dan 3 Com dan tidak menunjukkan surat kesanggupan
untuk menyerahkan peralatan sesuai waktu yang ditetapkan.
Berdasarkan kondisi tersebut, dengan memo No. UMM/4/1189 tanggal 8 September
2004 kepada Direksi melalui Direktur Perencanaan dan SDM, Divisi UMM mengusulkan
pengadaan LAN dilaksanakan dengan penunjukan langsung. Selanjutnya Direktur
Kepatuhan memberikan disposisi tanggal 20 September 2004 agar diteliti lagi apakah
persyaratan lelang (yang seharusnya diikuti 5 rekanan) telah dipenuhi dan apakah
undangan lelang cukup dengan menempelkan pengumuman untuk menghindari
kontroversi/protes di kemudian hari dari peserta yang kalah. Sehubungan dengan
disposisi tersebut diatas, Divisi UMM menjelaskan antara lain sebagai berikut :
1) Sesuai ketentuan dalam BPP, pengadaan diatas Rp500,00 juta dilakukan dengan cara
pelelangan terbatas pada rekanan terdaftar di BNI.
2) Sesuai dengan BPP Bab IV butir 4.1.1.1 pemberitahuan pelelangan diumumkan
melalui papan pengumuman di Kantor BNI (d.h.i papan pengumuman pada Divisi
UMM).
Mengingat besarnya nilai pengadaan dan pentingnya fungsibackbone, BNI
seharusnya mengundang principal/business partner dari Cisco, Vanguard dan 3Com untuk
dapat berkompetisi/bersaing dari aspek teknis dan harga. Pengadaan tersebut seharusnya
dilakukan dengan cara lelang sehingga dapat diperoleh harga yang kompetitif dan kualitas
yang lebih baik, mengingat business partner Cisco berdasarkan data dari situs
http://tool.cisco.com/WWChannels/LOCATR/jsp/ServletController.jsp tanggal 19 Mei
2005 lebih dari 5 business partner antara lain PT Nusantara Compnet Integrator, PT
Omnes Service Indonesia, PT Sisindosat Lintas Buana, PT Tri Indonusa Surya dan PT
Asaba Computer Certer.
Berdasarkan penelitian lebih lanjut diketahui bahwa terbatasnya peserta pelelangan
terjadi karena antara lain pengumuman pelelangan hanya ditempelkan pada pengumuman
Divisi UMM dan tidak diumumkan secara luas pada media massa yang mempunyai
sirkulasi nasional. Oleh karena itu peserta yang mengikuti pelelangan umumnya kurang
dari 5 perusahaan karena tidak banyak diketahui oleh perusahaan yang lain sehingga
proses pengadaan menjadi kurang transparan.
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang
menyebutkan bahwa pengadaaan barang atau jasa dengan nilai diatas Rp 500,00 juta harus
diadakan dengan cara pelelangan dan butir 3.2.2.1 bahwa pelelangan dilakukan secara
terbuka melalui pengumuman pada papan pengumuman di Kantor BNI atau
pemberitahuan tertulis kepada asosiasi penyediaan barang dan jasa, atau pengiriman
undangan lelang kepada rekanan Bank BNI.
44

. Jaminan pelaksanaan yang telah jatuh tempo tanggal 16 Februari 2004 baru
diperpanjang pada tanggal 14 April 2005
Untuk pelaksanaan pekerjaan, PT SDD wajib menyerahkan kepada Bank BNI,
jaminan pelaksanaan berupa Garansi Bank Umum (selain Bank BNI) atau dari Perusahaan
Asuransi Kerugian sebesar 5% dari total nilai kontrak. Dari dokumen sertifikat jaminan
pelaksanaan PT SDD yang diterbitkan oleh PT Asuransi Tri Pakarta diketahui bahwa
masa berlakunya jaminan tersebut dari tanggal 16 Desember 2004 s.d. 16 Februari 2005
sehingga sudah jatuh tempo, namun Divisi UMM baru memperpanjang tanggal 14 April
2005.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.9.2.4 yang menyebutkan
bahwa masa berlaku jaminan pelaksanaan adalah sama dengan jangka waktu pelaksanaan
pekerjaan.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk memperoleh harga
yang paling menguntungkan dan kualitas yang lebih baik dan kepentingan Bank BNI kurang
terlindungi bila PT SDD wan prestasi.
Kondisi tersebut terjadi karena pengumuman lelang belum dilakukan secara terbuka
yang dapat diakses oleh publik dan panitia pengadaan belum sepenuhnya menerapkan
perjanjian dengan PT SDD.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa:
a. Mekanisme penunjukan langsung dilakukan, setelah calon vendor lain tidak dapat
memenuhi persyaratan teknis yang diminta pada dokumen lelang, antara lain dukungan
dari 3 principal (vanguard, 3Com dan Cisco), mengingat jaringan backbone merupakan
jantung komunikasi yang sangat vital dan kritikal. Selain itu pelelangan ulang tidak
dimungkinkan karena pada saat itu seluruh cabang tidak dapat beroperasi secara online.
b. Keterlambatan dalam perpanjangan jaminan pelaksanaan merupakan akibat dari
kesibukan yang ada, namun demikian resiko yang dikuatirkan tidak terjadi dan untuk
selanjutnya akan menjadi perhatian kami agar lebih tertib lagi.
BPK RI menyarankan agar Direksi BNI mengkaji kembali BPP tentang pengumuman
lelang agar diumumkan dimedia yang lebih mudah diakses oleh publik sehingga lebih
transparan.
6. Pengadaan server untuk Roll Out BNI ICONS sebesar eq. Rp15.712,54 juta belum
sepenuhnya sesuai ketentuan
Sistem teknologi informasi yang baru yaitu BNI iCONS diterapkan untuk mengganti
sistim lama yaitu BOSS (Brand Operating Support System) yang dianggap sudah tidak
memadai lagi untuk operasional perbankan. Sistim iCONS yang sudah menerapkan
sentralisasi database dianggap mempunyai platform teknologi yang lebih canggih
dibandingkan dengan sistim BOSS. Kelemahan sistem BOSS antara lain masih menggunakan
sistim database terdistribusi sehingga kurang dapat mendukung efisiensi operasi, kurang
dapat mendukung persaingan bisnis, adopsi terhadap teknologi baru relatif lambat dan
infrastruktur berupa perangkat keras dan jaringan komunikasi tidak mendukung operasional
kerja. Oleh karena itu BNI memutuskan untuk mengembangkan Arsitektur Information
Technology (IT) baru yaitu BNI iCONS.
45

Proses pelaksanaan BNI iCONS meliputi pengadaan perangkat infrastruktur berupa
server dan jasa yang terkait pemasangan barang baru maupun sparepart, jasa pemasangan
sofware Microsoft, antivirus, aplikasi delivery system, jasa pengiriman dan jasa support
setelah implementasi (go live). Setelah diketahui jumlah server yang dibutuhkan, Tim
Pengadaan menghitung HPS pengadaan server berdasarkan ”pricelist” yang dipublikasikan di
internet oleh prinsipal server yaitu HP, IBM dan Dell. Dari hasil perbandingan pricelist antar
principal server tersebut diperoleh harga pengadaan server untuk kanca sebesar US$2,635.88
ribu dan untuk kantor pusat sebesar US$209.60 ribu. Harga tersebut ditetapkan pada tanggal
26 Agustus 2004 sebagai HPS, sehingga total HPS adalah sebesar US$2,635.88 ribu +
US$209.60 ribu = US$2,845.48 ribu.
Berdasarkan penjelasan Divisi UMM dalam aanwizjing pengadaan PC dan Server BNI
ICONS tanggal 5 Mei 2004 yang dihadiri oleh empat principal yaitu IBM, HP, Dell dan NEC
(PT Abhimata Persada) serta SI yaitu PT Multipolar Corporation (PT MC) dan PT
Mastersystem Infotama (PT MI) disebutkan bahwa SI tidak boleh ditunjuk sebagai business
partner/distributor dari salah satu merk atau principal dengan alasan supaya tercapai
persaingan bisnis yang baik, adil dan transparan. Namun selanjutnya prinsipal menunjuk
business partner masing masing yaitu IBM menunjuk PT MC, HP menunjuk PT MI, Dell
menunjuk PT Adhisakti (PT AS) dan PT Berca Cakra Technology (PT BCT) dan NEC
menunjuk PT Abhimata Persada (PT AP) untuk melakukan penawaran awal tanggal 21 Mei
2004 dengan harga sebagai berikut:
(dalam ribu US$, incl. PPN)
Nama Rekanan PT MC PT BCT PT AS PT MI PT AP
Harga Penawaran 2,464.7
3
1,867.99 1,867.9
9
2,490.2
4
1,990.73
Kemudian dengan surat tanggal 27 Agustus 2004 Divisi UMM mengundang kelima
vendor tersebut untuk negosiasi harga, dengan hasil sebagai berikut :
(dalam ribu US$)
No Nama Rekanan
Harga Penawaran
Awal
Harga Penawaran
( Setelah Negosiasi)
1 PT MC 2,464.73 (Inc PPN) 1,673.33
2 PT BCT 1,867.99 (Inc PPN) 1,718.54
3 PT AS 1,867.99 (Inc PPN) 1774.59
4 PT MI 2,490.24 (Inc PPN) 1,656.94
5 PT AP 1,990.73 (Inc PPN) 1,897.50
Dari tabel penawaran harga sebelum negosiasi, PT MC yang pada awalnya menawarkan
perangkat keras IBM dengan harga tertinggi yaitu US$2,464.73 ribu (inc. PPN), setelah
negosiasi turun secara signifikan menjadi US$1,673.32 ribu.
Sesuai dengan terms of reference (TOR) teknis dan administrasi untuk proses
pengadaan, maka penilaian kandidat pemenang dilakukan dengan ketentuan bobot penilaian
teknis 70% dan finansial 30%. Hasil penilaian berdasarkan ketentuan bobot tersebut yaitu :
No Business Partner Score Teknis Score Finansial Total Score
1 PT AP (NEC) 4.8228 2.2499 7.0827
2 PT AS (Dell) 5.2214 2.4079 7.6293
3 PT BCT (Dell) 5.2214 2.4864 7.7079
4 PT MI (HP) 5.7752 2.2760 8.3513
5 PT MC (IBM) 5.8149 2.5512 8.3661
46

Selanjutnya dengan surat No.UMM/4/1142 tanggal 31 Agustus 2004, Divisi UMM
mengusulkan PT MC sebagai pelaksana pengadaan server sebesar US$1,673.32 ribu atau eq.
Rp15.712,54 dan disetujui oleh dua Direksi yaitu Direktur Sektor dan Direktur terkait pada
tanggal 31 Agustus 2004. Surat Persetujuan No. UMM/4/3921 dibuat tanggal 24 September
2004 dan kontrak No. UMM/4/162/R ditandatangani tanggal 2 Desember 2004 sebesar
US$1.673.32 ribu.
Dari pemeriksaan dokumen diperoleh hal-hal sebagai berikut :
a. Pengadaan server dilakukan dengan pemilihan langsung
Dari proses pengadaan server yang diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa
metode pengadaan yang dilakukan yaitu pemilihan langsung walaupun nilai
pengadaannya diatas Rp500,00 juta yaitu US$1,673.32 ribu atau eq. Rp15.712,54 juta
(Kurs tengah BI per 30 Agustus 2004 US$1= Rp9.343). Selain itu server merupakan
barang komoditi yang banyak terdapat di pasaran, sehingga bukan merupakan barang
spesifik. Dari penelitian lebih lanjut diketahui bahwa business partner IBM tidak hanya
PT MC tetapi PT Anabatic dan PT Srisindu.
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang
menyebutkan bahwa pengadaaan barang atau jasa dengan nilai diatas Rp 500,00 juta harus
diadakan dengan cara pelelangan dan butir 3.2.2.1 bahwa pelelangan dilakukan secara
terbuka melalui pengumuman pada papan pengumuman di Kantor BNI atau
pemberitahuan tertulis kepada asosiasi penyediaan barang dan jasa, atau pengiriman
undangan lelang kepada rekanan Bank BNI.
b. Penunjukan SI sebagai pemenang pengadaan server tidak konsisten dengan prinsip
bersaing, transparan dan adil
PT MC sebagai salah satu SI dari proyek BNI iCONS ditetapkan sebagai pemenang
tender pengadaan server, sedangkan dalam aanwijzing tanggal 5 Mei 2004 disebutkan
bahwa SI tidak boleh ditunjuk menjadi business partner/distributor dari salah satu merk
atau principal. Dalam suatu pengambilan keputusan bisnis yang telah di umumkan dan
disepakati bersama hendaknya dilaksanakan secara konsisten, sehingga tidak
menimbulkan preseden buruk bagi pelaksanaan kesepakatan berikutnya. Selain itu
ketidakkonsistenan pelaksanaan suatu keputusan dapat menimbulkan persaingan yang
tidak sehat dan kecurigaan dikalangan pelaku bisnis, dalam hal ini dari peserta yang tidak
menang dalam proses pengadaan tersebut. Selain itu alasan SI belum memiliki
pengalaman dalam mengimplementasikan merk lain selain produk yang diageni oleh
masing-masing SI yaitu IBM (PT MC) dan HP (PT MI) tidak dapat diterima. Apabila SI
tersebut tidak dapat mengimplementasikan merk lain, Bank BNI seharusnya mengkaji
kembali kontrak jasa implementasinya karena dikhawatirkan dapat menggangu
independensi SI.
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
1) BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.3, 1.3.4 dan 1.3.5 yang menyebutkan bahwa pengadaan
barang dan atau jasa wajib dilaksanakan dengan prinsip bersaing, transparan dan adil.
2) Surat Dekom No. DK/104 tertanggal 1 Juli 2004 yang menyebutkan bahwa pengadaan
PC dan server untuk proyek BNI iCONS harus sesuai dengan prinsip transparansi dan
keadilan (tidak diskriminatif).
3) Memo No. REN/9/332/NCB tanggal 8 Agustus 2003 yang menyebutkan bahwa
mekanisme pengadaan tidak melalui SI yang ditunjuk yaitu PT MI dan PT MC.
4) Aanwijzing tanggal 5 Mei 2004 yang menyebutkan bahwa SI tidak boleh ditunjuk
menjadi business partner/vendor dalam pengadaan server.
47

c. SPK tidak diterbitkan
Dari pengujian lebih lanjut terhadap dokumen persetujuan pengadaan server
diketahui bahwa Divisi UMM tidak menerbitkan SPK kepada PT MC sebagai penyedia
barang yang ditunjuk. Sebelum kontrak kerja No. UMM/4/162/R ditandatangani tanggal 2
Desember 2004, Divisi UMM hanya mengirimkan Surat Persetujuan No. UMM/4/3921
tanggal 24 September 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6 butir 6.1.1 yang menyebutkan
bahwa SPK dikeluarkan setelah atau bersamaan dengan surat penunjukan diterbitkan dan
butir 6.1.2 bahwa SPK dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan perintah mulai
bekerja kepada penyedia barang dan jasa yang ditunjuk sebelum kontrak selesai dibuat.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga
server yang paling menguntungkan.
Hal tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan belum sepenuhnya
mematuhi ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa :
a. Apabila dilihat dari nilai dan jumlah vendor yang ada, cara pengadaan dilakukan dengan
prosedur lelang, namun pelaksanaannya dilakukan dengan pemilihan langsung sesuai
BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.2.2.5 dengan pertimbangan bahwa rekanan yang diundang
pada awalnya adalah pihak prinsipal/pabrikan langsung dari 4 merk yang
direkomendasikan (HP, Dell, IBM dan NEC), dan kemudian principal menunjuk busines
partnernya untuk mengajukan penawaran. Selain itu barang yang akan dibeli (server)
merupakan barang yang spesifik (harus dicustomize terlebih dahulu). Untuk selanjutnya
BPP Pengelolaan Aktiva Tetap akan dikaji ulang dan disempurnakan agar tidak
menimbulkan peluang penafsiran yang berbeda.
b. Semula SI tidak diperkenankan untuk ikut, tetapi untuk memberikan kesempatan bersaing
yang lebih luas dan dalam rangka mendapatkan harga yang lebih kompetitif maka SI
diperkenankan untuk ikut.
c. SPK tidak diterbitkan karena menurut hemat kami surat persetujuan dapat dianggap
sebagai SPK, karena isinya sudah berbunyi “kami setuju untuk pelaksanaan pengadaan
server melalui Saudara dengan ketentuan sbb:” Namun demikian untuk selanjutnya
penerbitan SPK akan kami lakukan.
BPK RI menyarankan kepada Direksi BNI untuk mempertanggungjawabkan
kebijakannya dalam memutus pengadaan server melalui pemilihan langsung dan
memperingatkan panitia pengadaan untuk mematuhi BPP secara konsisten.
7. Pengadaan 418 unit Multiplexer Memotec Cx900e tahun 2003 sebesar US$1,071.33 ribu
eq. Rp9.620,58 juta tidak sesuai dengan ketentuan
Dalam Buku Anggaran Investasi Bank BNI tahun 2003, diketahui bahwa total
kebutuhan multiplexer (salah satu jenis perangkat komunikasi) adalah sebanyak 418 unit
sebesar Rp11.375,00 juta. Pengadaaan multiplexer tahun 2003 direalisasikan sebanyak tiga
kali dengan rincian dan penjelasan seperti pada tabel berikut:
48

No
Dasar
Pengadaan
a. Memo Div. TEK
No.TEK/02/709,
Tgl.21-02-2003
b. Memo Div. TEK
No.TEK/02/1134,
Tgl.24-03-2003
c. Memo Div. TEK
No.TEK/02/2916,
Tgl.04-08-2003
Merk/Jml
Multiplexer
yg diminta
Div.TEK
Memotec
CX900e/
265 unit
Memotec
CX900e/
117 unit
Memotec
CX900e/
36 unit
Harga
Penawaran
dari vendor
(PT DJI)
HPS
per unit
Hasil
Negosiasi
Harga
Penawaran
2,629.00 2,630.00 2,563.00
2,563.00 2,670.00 2,563.00
2,563.00 2,563.00 2,563.00
(dalam ribu US$ dan juta Rp)
Total
Nilai
Pengadaan
679,195.00
Eq.
6.099,17
299,871.00
Eq.
Rp2.692,84
92,268.00
Eq.
Rp828,57
Total 418 unit 9.620,58
Surat
Persetujuan
Pembelian
No.
UMM/4/1198
tgl.10-04-2003
No.
UMM/4/1797
tgl.23-05-2003
No.
UMM/4/3813
tgl.25-08-2003
Kontrak Kerja
No.
UMM/4/0032/R
tgl.10-04-2003
No.
UMM/4/63/R
tgl.02-06-2003
No.
UMM/4/091/R
tgl.01-09-2003
Penjelasan tambahan dari tabel di atas:
a. Asumsi Kurs US$1.00 = Rp8.980,00, PT DJI (PT Dymar Jaya Indonesia).
b. Pengadaan dilakukan dengan penunjukan langsung kepada PT DJI karena berdasarkan
email dari Memotec Inc. tanggal 7 Maret 2003 diketahui bahwa PT DJI merupakan
authorised partner Memotec Inc. di Indonesia.
c. Persetujuan pengadaan multiplexer diberikan oleh Direksi untuk pengadaan 265 unit dan
117 unit Multiplexer Memotec CX900e dan Pemimpin Divisi UMM untuk pengadaan 36
unit Multiplexer Memotec CX900e.
d. Jangka waktu yang disepakati dalam setiap kontrak adalah selama 10 minggu, sehingga:
1) Kontrak Kerja tanggal 10 April 2003 jatuh tempo pada tanggal 19 Juni 2003.
2) Kontrak Kerja tanggal 2 Juni 2003 jatuh tempo pada tanggal 1 Agustus 2003.
3) Kontrak Kerja tanggal 1 September 2003 jatuh tempo pada tanggal 3 November 2003.
e. Kontrak Kerja tanggal 2 Juni 2003 diperpanjang, yaitu semula jatuh tempo pada tanggal 1
Agustus diubah menjadi tanggal 15 September 2003 yang dituangkan ke dalam
Addendum I Kontrak Kerja No.UMM/4/089/R tanggal 21 Agustus 2003.
Berdasarkan pemeriksaan pengadaan 418 unit Multiplexer Memotec CX900e selama
tahun 2003, diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak ada kajian/evaluasi/justifikasi teknis tentang multiplexer merk Memotec
Sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005, Tim BPK-RI tidak
memperoleh hasil kajian/evaluasi/justifikasi pemilihan multiplexer merk Memotec, baik
dari segi teknis maupun harga dan tidak memilih merk lainnya, seperti Cisco, ADC
Kentrox, Adtran, Nortel, Lucent, Black Box, dll. Dalam kaitan ini Divisi TEK
menganggap hanya multiplexer merk Memotec yang compatible dengan sistem Bank BNI
dan sudah dipakai sejak tahun 1998. Dengan demikian Panitia Pengadaan (Divisi TEK
dan Divisi UMM) dalam melakukan proses pengadaan multiplexer tahun 2003 hanya
berpedoman pada pengadaan tahun-tahun sebelumnya yang selalu menggunakan
multiplexer Memotec CX900e. Apabila Divisi TEK melakukan kajian terhadap
multiplexer merk lainnya seperti tersebut di atas yang memiliki kesamaan fungsi dengan
multiplexer merk Memotec, maka Bank BNI berpeluang untuk memperoleh harga
pengadaan multiplexer yang lebih kompetitif dengan kualitas teknis yang lebih baik.
49

Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1.3.7 yang menjelaskan bahwa
pengadaan barang dan jasa harus memenuhi kualitas menurut persyaratan teknis yang
ditentukan dan harga yang paling menguntungkan dengan hasil yang optimal.
b. Pengadaan multiplexer tahun 2003 tidak dilakukan melalui pelelangan
Hasil penelitian lebih lanjut terhadap dokumen pengadaan menunjukkan bahwa
selama tahun 2003 Divisi UMM melakukan tiga kali proses pengadaan multiplexer merk
Memotec melalui penunjukan langsung kepada PT DJI. Divisi TEK maupun Divisi UMM
juga tidak dapat menunjukkan justifikasi tentang pemilihan multiplexer merk Memotec
type CX900e dan cara pengadaannya melalui penunjukan langsung, mengingat terdapat
beberapa merk dan perusahaan penyedia multiplexer di Indonesia. Hasil observasi yang
dilakukan melalui media internet pada tanggal 20 Mei s.d. 3 Juni 2005, diketahui bahwa
terdapat beberapa merk multiplexer yang beredar di Indonesia, antara lain Cisco, ADC
Kentrox, Adtran, Nortel, Lucent dan Black Box. Selain itu terdapat beberapa perusahaan
penyedia multiplexer di Indonesia antara lain PT Metrodata, PT Mastersystem Infotama,
PT Netwave Maju Abadi, PT Plexis Erakarsa Pirantiniaga, PT Mitra Infoparama dan PT
Metalogic Infomitra.
Lebih lanjut diketahui bahwa sebagian besar pengadaan barang dan jasa yang
dilakukan oleh Divisi UMM Bank BNI, jika dilihat dari nilainya seharusnya dilakukan
melalui prosedur pelelangan, tetapi dalam kenyataannya hanya melalui prosedur
pemilihan langsung atau penunjukan langsung. salah satu penyebabnya yaitu
pengumuman pelelangan hanya terbatas ditempelkan pada papan pengumuman Divisi
UMM saja dan tidak diumumkan secara luas pada media cetak yang mempunyai sirkulasi
nasional. Oleh karena itu peserta yang mengikuti pengadaan umumnya kurang dari lima
perusahaan karena tidak banyak diketahui oleh perusahaan yang lain sehingga tidak
transparan.
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang
menyebutkan bahwa pengadaaan barang atau jasa dengan nilai diatas Rp 500,00 juta harus
diadakan dengan cara pelelangan, butir 3.2.2.1 bahwa pelelangan dilakukan secara terbuka
melalui pengumuman pada papan pengumuman di Kantor BNI atau pemberitahuan tertulis
kepada asosiasi penyediaan barang dan jasa, atau pengiriman undangan lelang kepada
rekanan Bank BNI dan butir 3.2.3.2.3 bahwa salah satu kriteria penunjukan langsung
adalah pengadaan barang dan jasa spesifik, yaitu yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu
penyedia barang dan atau jasa, agen tunggal, pemegang hak paten atau principal.
c. HPS dibuat setelah surat penawaran dari rekanan diterima
Dari pengujian lebih lanjut terhadap HPS diketahui bahwa:
1) Untuk pengadaan 265 unit, HPS dibuat pada tanggal 18 Maret 2003, sedangkan surat
penawaran harga PT DJI No.102/DJI-SLs/III/2003/YL tanggal 13 Maret 2003.
2) Untuk pengadaan 117 unit, HPS dibuat pada tanggal 25 April 2003, sedangkan surat
penawaran harga PT DJI No.179/DJI-Sls/IV/2003/YL tanggal 24 April 2003.
3) Untuk pengadaan 36 unit, HPS dibuat pada tanggal 13 Agustus 2003, sedangkan surat
penawaran harga PT DJI No.329/DJI-Sls/VIII/2003/YL tanggal 12 Agustus 2003.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3.4.1 yang menyebutkan bahwa
HPS harus disahkan oleh pemimpin unit yang akan melaksanakan pengadaan barang dan
atau jasa atau pejabat yang berwenang memutus pengadaan barang dan atau jasa sebelum
acara pembukaan penawaran harga.
50

d. Jaminan pelaksanaan pada saat Addendum I Kontrak Kerja No.UMM/4/089/R
tanggal 21 Agustus 2003 tidak diperpanjang
Pada saat pengadaaan 117 unit multiplexer dengan Kontrak Kerja No.UMM/4/63/R
tanggal 2 Juni 2003, PT DJI memberikan Jaminan Pelaksanaan senilai US$14.99 ribu
yang diterbitkan oleh PT Asuransi Ramayana Tbk. dengan jangka waktu dari tanggal 27
Mei s.d. 12 Agustus 2003. Sehubungan dengan adanya keterlambatan pengiriman dari
Memotec Inc. (principal), maka kontrak tersebut diperpanjang yang dituangkan dalam
Addendum I Kontrak Kerja No.UMM/4/089/R tanggal 21 Agustus 2003. Akan tetapi PT
DJI tidak memberikan Jaminan Pelaksanaan yang baru (yang sebelumnya telah jatuh
tempo).
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3.9.2.4 yang menyebutkan bahwa
masa berlaku jaminan pelaksanaan adalah sama dengan jangka waktu pelaksanaan
pekerjaan.
e. Penawaran harga dari PT DJI tidak disertai dengan Jaminan Penawaran
Hasil penelitian lebih lanjut terhadap dokumen penawaran menunjukkan bahwa
pada setiap penyerahan surat penawaran harga untuk pengadaan unit Multiplexer
Memotec CX900e, PT DJI tidak menyerahkan Jaminan Penawaran.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.9.1.1 yang menyebutkan
bahwa pengadaan barang dan jasa yang menggunakan jaminan penawaran adalah
pelelangan untuk pengadaan barang dan jasa, pemilihan langsung untuk pengadaan barang
dan jasa yang nilainya diatas Rp500,00 juta dan penunjukan langsung untuk pengadaan
barang dan jasa yang memiliki resiko yang perlu dipertimbangkan dan butir 3.9.1.2 yang
menyebutkan bahwa Jaminan Penawaran diserahkan pada saat pemasukan dokumen
penawaran.
f. SPK pengadaan Multiplexer Memotec CX900e tidak diterbitkan
Dari pengujian lebih lanjut terhadap dokumen persetujuan pengadaan Multiplexer
Memotec CX900e diketahui bahwa Divisi UMM tidak menerbitkan SPK kepada PT DJI
sebagai penyedia barang yang ditunjuk. Sebelum kontrak kerja dibuat, Divisi UMM hanya
mengirimkan Surat Persetujuan Pembelian sebagai berikut :
1) Persetujuan pengadaan 265 unit multiplexer dengan surat No.UMM/4/1198 tanggal
10 April 2003. Kontrak kerja ditandatangani pada tanggal 10 April 2003.
2) Persetujuan pengadaan 117 unit multiplexer dengan surat No.UMM/4/1797 tanggal
23 Mei 2003. Kontrak kerja ditandatangani pada tanggal 2 Juni 2003.
3) Persetujuan pengadaan 36 unit multiplexer dengan surat No.UMM/4/3813 tanggal 25
Agustus 2003. Kontrak kerja ditandatangani pada tanggal 1 September 2003.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6 butir 6.1.1 yang menyebutkan
bahwa SPK dikeluarkan setelah atau bersamaan dengan surat penunjukan diterbitkan dan
butir 6.1.2 bahwa SPK dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan perintah mulai
bekerja kepada penyedia barang dan jasa yang ditunjuk sebelum kontrak selesai dibuat.
g. Perencanaan pengadaan Multiplexer Memotec CX900e tahun 2003 kurang matang
Hasil penelitian lebih lanjut terhadap distribusi Multiplexer Memotec CX900e
diketahui bahwa:
1) Divisi UMM sebagai unit yang memiliki kewenangan pengadaan tidak mengetahui
rencana distribusi (user) multiplexer tersebut.
51

2) Dari Rekap Stock H/W Divisi TEK tanggal 4 April 2005 diketahui masih terdapat 91
unit Multiplexer Memotec CX900e pengadaan tahun 2003 yang masih belum
digunakan.
Kondisi di atas menunjukkan kurang matangnya perencanaan pengadaan Multiplexer
Memotec CX900e tahun 2003.
Hal tersebut tidak sesuai dangan BPP Buku IV Bab 3 butir 3.3.5 yang menyebutkan
bahwa kebutuhan barang-barang otomasi terlebih dahulu dimintakan rekomendasi dari
unit yang berkompeten, selanjutnya diteruskan ke unit yang memiliki kewenangan
pengadaan dengan disertai jenis barang otomasi yang dibutuhkan termasuk merk,
spesifikasi yang dibutuhkan serta rencana distribusinya dan butir 3.3.6.2.4 yang
menyebutkan bahwa jumlah barang yang diusulkan untuk diadakan adalah sesuai dengan
kebutuhan yang diminta atau sesuai dengan jumlah barang yang direkomendasikan oleh
unit yang berkompeten setelah dilakukan penelitian terhadap kebutuhan pengguna barang.
Hal tersebut mengakibatkan:
a. Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga multiplexer yang paling
menguntungkan dengan kualitas teknis yang lebih baik.
b. HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran dan penilaian kewajaran harga
penawaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.
c. Jaminan pelaksanaan yang tidak diperpanjang mengakibatkan kepentingan Bank kurang
terlindungi.
d. Terdapat multiplexer yang idle sebanyak 91 unit.
Kondisi tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam
melakukan proses pengadaan Multiplexer belum sepenuhnya menerapkan ketentuan
pengadaan barang dan jasa.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa :
a. Kajian teknis multiplexer merk memotec tidak dibuat lagi karena sudah dipakai dan
beroperasi untuk waktu yang cukup lama dan BNI merasa puas (convenience) dengan
produk tersebut. Memotec dipilih dengan dasar dapat menghidupkan spliting 1 L/C untuk
kebutuhan terminal teller (synchronous) dan ATM (asynchronous) sekaligus. Di samping
itu, multiplexer memotec memiliki kapasitas (port) yang lebih banyak dan bersifat
modular.
b. Jika dilihat dari banyaknya produk yang beredar di pasaran, pengadaan dapat dilakukan
dengan lelang. Namun mengingat BNI convenience dengan multiplexer merk memotec
dan berdasarkan rekomendasi principal hanya menunjuk PT DJI sebagai authorized
partner di Indonesia, maka pengadaan dilakukan dengan cara penunjukan langsung.
c. Memang benar HPS dibuat setelah surat penawaran masuk. Namun demikian HPS dibuat
tidak berdasarkan penawaran PT DJI, tetapi berdasarkan harga pengadaan sebelumnya.
d. Keterlambatan perpanjangan jaminan pelaksanaan terjadi karena kesibukan kami, namun
demikian resiko yang dikuatirkan tidak terjadi dan untuk selanjutnya akan menjadi
perhatian kami agar lebih tertib lagi.
e. Memang benar PT DJI tidak memberikan jaminan penawaran meskipun nilai
pengadaannya diatas Rp500,00 juta. Namun menurut hemat kami pengadaan Multiplexer
Memotec tidak mempunyai resiko yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak
memerlukan Jaminan Penawaran.
52

f. Menurut hemat kami surat persetujuan dapat dianggap sebagai SPK, namun demikian
untuk selanjutnya penerbitan SPK akan kami lakukan.
g. Perencanaan pengadaan sudah dilakukan dengan mekanisme anggaran namun dalam
realisasinya terdapat perubahan karena adanya perubahan organisasi yang mendadak
antara lain pembekuan ijin pembukaan Kantor Cabang Pembantu (Kancapem) sehingga
masih terdapat stock 91 unit yang semula direncanakan untuk pembukaan Kancapem.
BPK RI menyarankan kepada Direksi BNI untuk mempertanggungjawabkan
kebijakannya kepada pemegang saham dalam memutus pengadaan multiplexer melalui
penunjukan langsung dan memperingatkan panitia pengadaan untuk mematuhi BPP secara
konsisten.
8. Pengadaan Passbook Printer tahun 2003 sebanyak 1.356 unit sebesar Rp7.945,44 juta
dan tahun 2004 sebanyak 2.800 unit sebesar Rp18.544,95 juta belum sepenuhnya sesuai
ketentuan dan adanya ketidakhematan sebesar Rp222,79 juta
Pengadaan tahun 2003
Pengadaan passbook printer tahun 2003 diawali dengan permintaan Divisi TEK
sesuai Memo No. TEK/02/709 kepada Divisi UMM tanggal 21 Februari 2003 sebanyak 400
unit yang akan digunakan oleh Divisi Pemasaran Ritel (PMR) dalam rangka pembukaan 100
cabang baru. Divisi TEK kemudian mengajukan permintaan tambahan pada tanggal 24 Maret
2003 sesuai Memo No. TEK/02/1134 sebanyak 945 unit untuk kebutuhan hardware dalam
negeri. Spesifikasi teknis passbook printer yang diminta adalah merk IBM 9068 A03 atau
Wincor Nixdorf HPR 4915+.
Atas dasar permintaan tersebut, Divisi UMM mengirimkan permintaan penawaran
harga kepada PT Siemens Indonesia (PT Siemens) untuk passbook printer merk Wincor
Nixdorf dan kepada PT IBM Indonesia untuk passbook printer merk IBM. PT Siemens
mengajukan harga penawaran per unit termasuk PPN sebesar Rp6,76 juta dan PT Intikom
Berlian Mustika (PT Intikom) yang merupakan business partner IBM mengajukan penawaran
harga per unit termasuk PPN sebesar Rp7,81 juta. Setelah negosiasi harga pada tanggal 31
Maret dan 4 April 2003, harga per unit passbook printer yang diajukan PT Siemens menjadi
sebesar Rp5,83 juta dan harga per unit yang diajukan oleh PT Intikom menjadi sebesar
Rp5,88 juta. HPS dibuat tanggal 31 Maret 2003 berdasarkan harga per unit dalam kontrak
pengadaan passbook printer merk IBM 9068 A03 No. UMM/4/204/R dengan vendor PT
Multipolar Corporation tanggal 31 Desember 2002 sebesar Rp8,17 juta per unit.
Berdasarkan risalah rapat koordinasi pengadaan passbook printer yang dihadiri oleh
Divisi UMM, Divisi TEK dan Divisi Pembinaan Bisnis Ritel (PBE) tanggal 3 April 2003,
direkomendasikan untuk membeli passbook printer dari masing-masing vendor sebanyak 678
unit dengan pertimbangan bahwa kedua merk passbook printer memiliki spesifikasi teknis
yang sama dan memberikan kompetisi kepada masing-masing vendor sehingga memberikan
yang terbaik untuk BNI baik dari sisi performance maupun harga.
Setelah mendapat disposisi Direktur Kepatuhan pada tanggal 10 April 2003 dan
Direktur Ritel pada tanggal 11 April 2003 terhadap memo Divisi UMM No. UMM/4/390
tanggal 10 April 2003, selanjutnya Divisi UMM mengirimkan surat persetujuan pengadaan
passbook printer kepada PT Siemens No. UMM/4/1321 tanggal 21 April 2003 dan
menuangkan dalam surat perjanjian jual beli 678 unit passbook printer Wincor Nixdorf HPR
4915+ No. UMM/4/049/R tanggal 14 Mei 2003 sebesar Rp3.958,80 juta (termasuk PPN).
Divisi UMM juga mengirimkan surat persetujuan kepada PT Intikom No. UMM/4/1322
53

tanggal 21 April 2003 dan menuangkan dalam surat perjanjian jual beli 678 unit passbook
printer IBM 9068 Type A03 No. UMM/4/041/R tanggal 6 Mei 2003 sebesar Rp3.986,64 juta
(termasuk PPN).
Pengadaan tahun 2004
Pengadaan passbook printer tahun 2004 dilakukan sebanyak tiga kali seluruhya sebesar
Rp18.544,95 juta, sebagai berikut:
a. Kontrak I sebanyak 500 unit sebesar US$344.50 ribu atau eq. Rp3.134,95 juta
Dengan memo No. TEK/13/1635 tanggal 11 Mei 2004, Divisi TEK meminta
pengadaan 500 unit passbook printer dengan spesifikasi teknis IBM 9068 A03 atau
Wincor Nixdorf HPR 4915+ untuk proyek otomasi H/W-S/W Divisi Jaringan dan
Layanan (JAL). Berdasarkan permintaan tersebut, Divisi UMM meminta penawaran harga
kepada PT Wincor Nixdorf Indonesia (PT Wincor) dan PT IBM Indonesia (PT IBM). PT
IBM dengan surat No. 3A/FSS/V/2004 tanggal 25 Mei 2004 menunjuk tiga business
partner untuk mengikuti pengadaan, yaitu PT Binareka Tatamandiri, PT Srisindhu Lestari
dan PT Intikom. Divisi UMM kemudian mengirimkan permintaan penawaran harga
kepada ketiga business partner IBM diatas dan PT Wincor Nixdorf Indonesia pada tanggal
7 Juni 2004. Klarifikasi dan negosiasi harga dilaksanakan pada tanggal 8 Juni 2004.
Penawaran harga dan harga setelah negosiasi per unit termasuk PPN dari masing-masing
vendor adalah sebagai berikut:
(dalam ribu US$)
No. Vendor Harga penawaran Harga setelah negosiasi
1. PT Srisindhu Lestari 0.76 0.69
2. PT Intikom Berlian Mustika 0.75 0.71
3. PT Binareksa Tatamandiri 0.77 0.71
4. PT Wincor Nixdorf Indonesia 0.78 0.75
HPS dibuat tanggal 8 Juni 2004 dengan menggunakan harga rata-rata kontrak
pengadaan tahun 2003 dengan price list dari principal sebesar US$0.78 ribu sudah
termasuk PPN. Setelah disetujui Direktur Perencanaan dan SDM atas memo Divisi UMM
No. UMM/4/1049 tanggal 10 Agustus 2004, Divisi UMM mengirimkan surat persetujuan
pengadaan passbook printer kepada PT Srisindhu No. UMM/4/3567 tanggal 31 Agustus
2004 dan menuangkan dalam perjanjian jual beli passbook printer merk IBM 9068 A03
No. UMM/4/105/R tanggal 1 September 2004 sebanyak 500 unit sebesar US$344.50 ribu
termasuk PPN atau eq. Rp3.134,95 juta (kurs US$1.00 = Rp9.100,00). Barang diterima
secara bertahap yaitu sebanyak 200 unit pada tanggal 3 September 2004 dan sebanyak 300
unit pada tanggal 10 September 2004 dan telah dicek pada tanggal 10 September 2004.
b. Kontrak II sebanyak 1300 unit senilai Rp8.710,00 juta
Dengan memo No. TEK/13/3782 tanggal 17 September 2004, Divisi TEK
meminta passbook printer sebanyak 1.000 unit. Kemudian pada tanggal 20 Oktober 2004,
Divisi TEK meminta tambahan 300 unit passbook printer dengan memo No.
TEK/13/4649 dengan spesifikasi teknis IBM 9068 high speed yang berbeda dengan yang
telah diadakan sebelumnya atau Wincor Nixdorf 4915+. Berdasarkan permintaan tersebut,
Divisi UMM mengumumkan pelelangan tanggal 21 Oktober 2004 dan membuka
pendaftaran peserta lelang s.d. tanggal 26 Oktober 2004 yang diperpanjang s.d. tanggal 28
Oktober 2004. Karena peserta lelang yang mendaftar hanya PT Wincor dan PT Srisindhu,
maka sesuai dengan disposisi Kepala Divisi UMM terhadap memo yang disampaikan oleh
Pemimpin Kelompok Pengadaan Non Premises dan Teknologi (PPT) No. PPT/4.1/267
54

tanggal 1 November 2004, Divisi UMM mengirimkan surat permintaan penawaran
kembali kepada vendor-vendor yang pernah ikut dalam proses pengadaan sejenis yaitu PT
Multipolar, PT Intikom, PT Binareksa, PT Srisindhu dan PT Wincor pada tanggal 3
November 2004. Pembukaan penawaran harga dilakukan pada tanggal 4 November 2004
dengan dihadiri oleh seluruh vendor kecuali PT Binareksa yang tidak dapat memenuhi
undangan karena keterbatasan waktu untuk mempersiapkan dokumen-dokumen yang
menjadi prasyarat tender. Penawaran harga per unit dan harga setelah negosiasi dari
masing-masing vendor adalah sebagai berikut:
(dalam juta Rp, per unit)
No. Vendor Harga penawaran
Harga setelah
negosiasi
1. PT Srisindhu Lestari 7,05 6,90
2. PT Intikom Berlian Mustika 7,40 7,25
3. PT Wincor Nixdorf Indonesia 7,95 7,15
4. PT Multipolar Corporation 7,70 7,50
HPS dibuat tanggal 29 Oktober 2004 dengan harga tertinggi yang diperkenankan
termasuk PPN sebesar US$ 0.87 ribu berdasarkan rata-rata harga dari price list IBM dan
harga penawaran passbook printer Wincor Nixdorf pada pengadaan sebelumnya (Kontrak
I). Sesuai dengan disposisi Direktur SDM tanggal 12 November 2004 untuk menegosiasi
ulang dan melakukan cross check dengan vendor IBM lainnya, maka Divisi UMM
melakukan negosiasi ulang tetapi hanya kepada PT Multipolar yang bersedia menurunkan
harga menjadi Rp6,70 juta, lebih rendah dari harga yang ditawarkan PT Srisindhu.
Selanjutnya pada tanggal 23 November 2003, berdasarkan informasi dari principal IBM,
PT Srisindhu akan diminta kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan passbook printer
dengan harga sama yang ditawarkan oleh PT Multipolar. Selanjutnya Divisi UMM
mengirimkan surat persetujuan pengadaan passbook printer kepada PT Srisindhu No.
UMM/4/4790 tanggal 30 November 2004 sebanyak 1.300 unit. Perjanjian jual beli No.
UMM/4/164/R sebesar Rp8.710,00 juta ditandatangani pada tanggal 2 Desember 2004.
Barang telah diterima dan diperiksa seluruhnya pada tanggal 30 November 2004.
c. Kontrak III/repeat order dari kontrak II sebanyak 1.000 unit senilai Rp6.700,00
juta
Dengan memo No. TEK/1.d/4829 tanggal 8 November 2004, Divisi TEK meminta
1.000 unit passbook printer untuk mengganti passbook printer IBM 4722 yang tidak dapat
mendukung arsitektur ICONS. Berdasarkan permintan tersebut, Divisi UMM meminta
penawaran harga secara kepada PT Srisindhu dengan surat No. UMM/4/48/3 tanggal 1
Desember 2004. PT Srisindhu dengan surat No. 0120/SL-XI/2004 tanggal 3 Desember
2004 memberikan harga penawaran per unit sama dengan harga dalam kontrak
sebelumnya yaitu sebesar Rp 6,70 juta. Setelah disetujui Direktur SDM tanggal 24
Desember 2004 dan Direktur Operasi tanggal 30 Desember 2004, Divisi UMM
mengirimkan surat persetujuan pengadaan passbook printer No. UMM/4/5425 tanggal 30
Desember 2004 sebanyak 1.000 unit dan menuangkannya dalam perjanjian jual beli No.
UMM/4/211/R tanggal 30 Desember 2004. Barang telah diterima dan diperiksa pada
tanggal 25 Januari 2005.
Berdasarkan pemeriksaan atas pengadaan passbook printer tersebut diatas, diketahui
hal-hal sebagai berikut:
a. Pengadaan passbook printer tidak dilakukan melalui lelang
55

Pengadaan tahun 2003 senilai Rp 7.945,44 juta dan tahun 2004 senilai Rp 18.544,95
juta dilakukan melalui penunjukan langsung dan pemilihan langsung. Pengadaan kedua
tahun 2004 sebanyak 1.300 unit senilai Rp 8.710,00 juta dilakukan melalui pemilihan
langsung setelah sebelumnya diupayakan melalui lelang. Akan tetapi karena yang
mendaftar sebagai peserta lelang hanya dua rekanan, maka Divisi UMM mengirimkan
surat permintaan penawaran harga kepada vendor-vendor yang sebelumnya pernah
mengikuti pengadaan sejenis dengan jangka waktu hanya satu hari untuk memasukkan
harga dan melengkapi dokumen yang dipersyaratkan dalam pengumuman lelang. Vendorvendor
yang pernah ikut dalam pengadaan sejenis sejak tahun 2002 dan diundang dalam
lelang adalah sebagai berikut:
No. Nama Perusahaan Merk
Tahun pengadaan yang
pernah diikuti
1. PT Multipolar Corporation IBM 2001 dan 2002
2. PT Srisindhu Lestari IBM 2004
3. PT Binareksa Tatamandiri IBM 2004
4. PT Intikom Berlian Mustika IBM 2003 dan 2004
5. PT Wincor Nixdorf Indonesia Wincor Nixdorf 2003 dan 2004
Oleh karena jangka waktu yang diberikan sangat terbatas, PT Binareksa dengan surat No.
832/BT-YR/11/04 tanggal 4 November 2004 menyatakan tidak dapat mengikuti lelang
karena keterbatasan waktu menyiapkan dokumen persyaratan tender, undangan diterima
tanggal 3 November 2004 jam 12.05 WIB dan pembukaan penawaran harga dilakukan
keesokan harinya jam 09.00 WIB .
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang
menyebutkan bahwa pengadaaan barang atau jasa dengan nilai diatas Rp 500,00 juta harus
diadakan dengan cara pelelangan, butir 3.2.2.1 bahwa pelelangan dilakukan secara terbuka
melalui pengumuman pada papan pengumuman di Kantor BNI atau pemberitahuan tertulis
kepada asosiasi penyediaan barang dan jasa, atau pengiriman undangan lelang kepada
rekanan Bank BNI.
b. HPS kontrak I tahun 2004 tidak dihitung secara keahlian/profesional dan dibuat
bersamaan dengan pembukaan penawaran dari vendor
HPS sebesar US$0.78 ribu per unit yang dibuat pada tanggal 8 Juni 2004
didasarkan pada rata-rata harga kontrak pengadaan tahun 2003 dan harga yang diajukan
oleh principal (IBM) dengan perhitungan sebagai berikut:
No. Keterangan Harga/unit
a. Merk IBM Rp5,88 juta
e.q US$ 0.66 ribu
b. Merk Wincor Nixdorf Rp5,84 juta
e.q US$ 0.66 ribu
c. Harga dari IBM (termasuk PPN)
US$1,93 ribu
Diskon 44% berdasarkan pengadaan tahun 2003
US$ 1.08 ribu
Harga tertinggi yang diperkenankan ((a+b+c)/3) US$ 0.78 ribu
Keterangan: e.q US$ menggunakan kurs tengah pada saat negosiasi tanggal 3 April 2003 sebesar
Rp8.880,00.
Sebagaimana disebutkan diatas, pembukaan penawaran harga juga dilakukan
pada tanggal 8 Juni 2004 bersamaan dengan tanggal penetapan HPS. Lebih lanjut
diketahui bahwa pengadaan barang dengan spesifikasi yang sama pada tahun 2003 yaitu
IBM 9068 A03 dan Wincor Nixdorf HPR 4915+ dengan harga per unit masing-masing
Rp5,88 juta dan Rp5,83 juta, HPS per unitnya adalah sebesar Rp8,17 juta yang disusun
56

erdasarkan harga pengadaan tahun 2002 sesuai kontrak No. UMM/4/204/R tanggal 31
Desember 2002 pengadaan passbook printer IBM 9068 A03 sebanyak 200 unit kepada PT
Multipolar Corporation tanpa memperhitungkan price list dari IBM pada waktu itu sebesar
US$1,500.00.
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.4.3 yang
menyebutkan bahwa HPS harus dihitung dengan cermat dengan mempertimbangkan
antara lain analisis harga satuan barang, harga pasar barang tersebut, harga kontrak untuk
barang/pekerjaan sejenis setempat yang pernah dilaksanakan, harga/tarif barang dan atau
jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/agen prinsipal tunggal/atau lembaga independen.
HPS harus disahkan oleh pemimpin unit yang akan melaksanakan pengadaan barang dan
atau jasa atau pejabat yang berwenang memutus pengadaan barang dan atau jasa sebelum
acara pembukaan penawaran harga.
c. Pengadaan 1.356 unit passbook printer tahun 2003 tidak hemat sebesar Rp27,84
juta
Pengadaan 1.356 unit passbook printer tahun 2003 dilakukan melalui dua vendor
yaitu PT Siemens (merk Wincor Nixdorf) dan PT Intikom (merk IBM) dengan rincian
sebagai berikut:
(dalam juta Rp)
1) Passbook printer Wincor Nixdorf 678 x Rp5,84 juta= Rp3.958,80
2) Passbook printer IBM 678 x Rp5,88 juta= Rp3.986,64
Jumlah a Rp7.945,44
Oleh karena kedua merk passbook printer tersebut mempunyai spesifikasi
teknis yang sama, maka pengadaan 1.356 unit passbook printer tahun 2003
akan lebih hemat jika seluruhnya dibeli dari PT Siemens dengan merk
Windor Nixdorf, yaitu: 1.356 x Rp5,84 (jumlah b) Rp7.917,60
Ketidakhematan (a – b) Rp 27,84
d. Harga pengadaan kontrak I tahun 2004 tidak hemat sebesar Rp 194,95 juta
Harga passbook printer per unit dalam kontrak I adalah sebesar US$689.00 atau eq.
Rp6,26 juta (kurs US$1 = Rp9.100) dan dianggap masih dibawah HPS yang ditetapkan
sebesar US$799.23. Akan tetapi, pada tahun 2003 Bank BNI melakukan pengadaan
barang dengan spesifikasi yang sama sesuai kontrak No. UMM/4/041/R tanggal 6 Mei
2003 kepada vendor PT Intikom dengan harga per unit sebesar Rp5,88 juta. Pada
umumnya, dengan spesifikasi yang sama harga barang teknologi akan menurun seiring
berjalannya waktu karena adanya perkembangan baru dalam teknologi tersebut sehingga
terjadi ketidakhematan dalam pengadaan 500 unit passbook printer merk IBM 9068 A03
pada kontrak I tahun 2004 sebesar Rp389.900,00 per unit (Rp6,26 juta – Rp5,88 juta) atau
total ketidakhematan untuk 500 unit adalah sebesar Rp194,95 juta (Rp389.900,00x 500
unit).
e. Pengadaan passbok printer tahun 2004 tidak direncanakan dengan baik
Anggaran kebutuhan passbook printer untuk tahun 2004 adalah sebanyak 1.910 unit
dengan perkiraan harga sebesar Rp11.627,00 juta dengan rincian sebagai berikut:
(dalam juta Rp)
Divisi/Proyek Satuan Total
H/W otomasi Kantor Besar 275 1.842,00
Proyek tim NCB-modul cash admin 13 54,00
Proyek tim NCB-modul clearing center 25 103,00
H/W cabang dalam negeri 1.597 9.628,00
57

Total 1.910 11.627,00
Meskipun anggaran kebutuhan telah disusun sebelumnya namun pelaksanaan pengadaan
di Divisi UMM tidak direncanakan berdasarkan anggaran melainkan dari permintaan
Divisi TEK yang untuk tahun 2004 disampaikan melalui beberapa kali permintaan dengan
jangka waktu yang tidak terlalu lama yaitu sebanyak 500 unit pada tanggal 11 Mei, 1.000
unit pada tanggal 17 September, 300 unit pada tanggal 20 Oktober 2004 dan terakhir
1.000 unit pada tanggal 8 November 2004. Realisasi pengadaan passbook printer untuk
tahun 2004 yaitu sebanyak 2.800 unit senilai Rp18.544,95 juta melebihi anggarannya
sebanyak 890 unit senilai Rp6.917,95 juta. Selain itu dari pemeriksaan diketahui bahwa
Divisi UMM sebagai unit yang berwenang melakukan pengadaan, tidak mengetahui
rencana distribusi passbook printer yang diminta. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pelaksanaan pengadaan passbook tidak direncanakan secara matang.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku IV Bab 3 butir 3.3.5 yang menyebutkan
bahwa kebutuhan barang-barang otomasi terlebih dahulu dimintakan rekomendasi dari
unit yang berkompeten, selanjutnya diteruskan ke unit yang memiliki kewenangan
pengadaan dengan disertai jenis barang otomasi yang dibutuhkan termasuk merk,
spesifikasi yang dibutuhkan serta rencana distribusinya.
Hal ini mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga yang
paling kompetitif, HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran dan untuk menilai
kewajaran harga penawaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya dan pengadaan
passbook tidak hemat sebesar Rp222,79 juta.
Kondisi tersebut terjadi karena pengumuman lelang belum dilakukan secara terbuka
yang dapat diakses oleh publik dan panitia pengadaan belum sepenuhnya menerapkan
ketentuan dalam BPP.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa:
a. Jika dilihat dari nilai dan banyaknya bussiness partner maka, pengadaan ini dilakukan
dengan prosedur lelang, namun demikian pelaksanaannya dilakukan dengan pemilihan
langsung sesuai BPP Buku I Bab 3 Butir 3.2.2.2.5, dengan pertimbangan bahwa rekanan
yang diundang untuk negosiasi adalah pihak principal/pabrikan langsung dari 2 merk
yang direkomendasikan (IBM dan Wincor Nixdorf), harga disampaikan langsung oleh
principal. Selain itu passbook printer ini merupakan perangkat yang sangat penting untuk
menunjang pelayanan kepada nasabah sehingga ketersediaan service point sangat
berpengaruh terhadap pemilihan bussiness partner mengingat alat ini memiliki banyak
komponen mekanis yang secara regular harus diganti. Untuk selanjutnya BPP
Pengelolaan Aktiva Tetap akan dikaji ulang dan disempurnakan agar tidak menimbulkan
peluang penafsiran yang berbeda.
b. HPS pengadaan passbook tidak ditetapkan atas dasar penawaran, melainkan atas dasar
harga pengadaan sebelumnya dan dibuat sebelum proses negosiasi harga dengan vendor.
c. Pengadaan Passbook Printer sebanyak 400 unit diperlukan untuk kebutuhan pembukaan
100 Capem baru, sebanyak 945 unit untuk kebutuhan Hardware Cabang-Cabang dan 11
unit untuk kebutuhan hardware bank Syariah untuk menunjang program Quantum Leap.
Dari hasil negosiasi harga dengan PT Intikom Berlian Mustika dan PT Wincor Nixdorf
didapatkan bahwa PT Intikom Berlian Mustika mempunyai stock sebanyak 400 unit
sisanya indent 3 minggu sedangkan PT Wincor Nixdorf mempunyai stock 140 unit dan
58

sisanya 4 minggu indent. Berdasarkan hal tersebut maka direkomendasikan oleh Tim
Pengadaan untuk pembelian sebanyak 678 unit melalui PT Intikom Berlian Mustika dan
678 unit melalui PT Wincor Nixdorf, dengan pertimbangan :
1) PT Intikom Berlian Mustika mempunyai stock 400 unit yang dapat dipergunakan
untuk pembukaan 100 Capem baru yang membutuhkan 400 unit Passbook Printer
sehingga tidak mengganggu operasional pelayanan kepada nasabah dan
perkembangan bisnis BNI.
2) Memberikan kompetisi kepada masing-masing vendor sehingga memberikan yang
terbaik untuk BNI baik dari sisi performance dan harga.
d. Harga pengadaan kontrak I tahun 2004 lebih tinggi dari pengadaan tahun 2003 sebesar
Rp194,95 juta disebabkan harga mengalami kenaikan yaitu karena perubahan Price List
dari Principal, yaitu pada tahun 2003 sebesar US$1.50 ribu dan pada tahun 2004 sebesar
US$1.75 ribu.
e. Perencanaan pengadaan sudah dilakukan dengan mekanisme anggaran namun dalam
realisasinya terdapat perubahan yang diakibatkan adanya perubahan organisasi yang
mendadak.
BPK RI menyarankan agar Direksi BNI mengkaji kembali BPP tentang pengumuman
lelang agar diumumkan dimedia yang lebih mudah diakses oleh publik sehingga lebih
transparan dan memperingatkan panitia pengadaan untuk mematuhi ketentuan dalam BPP
secara konsisten.
9. Pengadaan 811 unit Modem Atrie 288 LCD tahun 2003 sebesar Rp45,39 juta dan
US$197.75 ribu eq. Rp1.775,80 juta atau seluruhnya Rp1.821,19 juta tidak sesuai
dengan ketentuan
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hardware Bank BNI karena adanya penambahan
cabang dan ATM baru selama tahun 2003, Divisi UMM melakukan pengadaan 811 unit
Modem Atrie 288 LCD (suatu perangkat on line antara cabang dengan cabang pembantu)
sebanyak tiga kali dengan rincian dan penjelasan seperti pada tabel berikut:
No
a.
b.
c.
Dasar
Pengadaan
Memo Div.TEK
No.TEK/02/302,
Tgl.24-01-2003
Memo Div.TEK
No.TEK/02/709,
Tgl.21-02-2003
Memo Div.TEK
No.TEK/02/1134
Tgl.24-03-2003
Merk/Jml
Modem yg
diminta
Div.TEK
Atrie 288
LCD/
20 unit
Atrie 288
LCD/
300 unit
Atrie 288
LCD/
491 unit
Harga
Penawaran
vendor
(PT DJI)
HPS
per unit
Hasil
Negosiasi
Harga
Penawaran
Total
Nilai Pengadaan
Rp2,50 juta Rp2,32 juta Rp2,27 juta Rp45,39 juta
US$0.28 ribu US$0.25 US$0.25 ribu
US$0.25 ribu US$0.26 US$0.25 ribu
US$75.00 ribu
eq.
Rp673,50 juta
US$122.75 ribu
eq.
Rp1.102,30 juta
Total 811 unit Rp1.821,19 juta
Surat
Persetujuan
Pembelian
No.
UMM/4/620
tgl.24-02-2003
No.
UMM/4/1061
tgl.31-03-2003
No.
UMM/4/1641
tgl.12-05-2003
Kontrak Kerja
No.
UMM/4/015/R
tgl.12-03-2003
No.
UMM/4/0028/R
tgl.07-04-2003
No.
UMM/4/62/R
tgl.02-06-2003
Penjelasan tambahan dari tabel di atas yaitu:
a. Asumsi Kurs US$1.00 = Rp8.980,00, PT DJI (PT Dymar Jaya Indonesia).
b. Pengadaan dilakukan dengan penunjukan langsung kepada PT DJI karena berdasarkan
email dari Atrie Technology Inc. tanggal 6 Februari 2003, diketahui bahwa PT DJI
merupakan partner Atrie Technology Inc. di Indonesia.
59

c. Persetujuan pengadaan modem diberikan oleh Pemimpin Kelompok Pengadaan Non
Premises dan Teknologi (PPT) untuk pengadaan 20 unit Modem Atrie 288 LCD dan
Pemimpin Divisi UMM untuk pengadaan 300 unit dan 491 unit Modem Atrie 288 LCD.
d. Jangka waktu yang disepakati dalam kontrak adalah:
1) Kontrak kerja tanggal 12 Maret 2003 adalah 7 hari atau jatuh tempo pada tanggal 21
Maret 2003.
2) Kontrak kerja tanggal 7 April 2003 adalah 4 minggu atau jatuh tempo pada tanggal 5
Mei 2003.
3) Kontrak kerja tanggal 2 Juni 2003 adalah 4 minggu atau jatuh tempo pada tanggal 8
Juni 2003.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen pengadaan 811 unit Modem
Atrie 288 LCD selama tahun 2003 diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak ada kajian/evaluasi/justifikasi teknis tentang modem merk Atrie
Sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005, Tim BPK-RI tidak
memperoleh hasil kajian/evaluasi/justifikasi pemilihan modem merk Atrie, baik dari segi
teknis maupun harga dan tidak memilih merk lainnya, seperti Motorola, 3Com, Adtran,
Lucent, ADC Kentrox, Multitech Systems, dll. Dalam kaitan ini Divisi TEK menganggap
hanya modem merk Atrie yang compatible dengan sistem Bank BNI dan sudah dipakai
sejak tahun 2002. Dengan demikian Panitia Pengadaan (Divisi TEK dan Divisi UMM)
dalam melakukan proses pengadaan modem tahun 2003 hanya berpedoman pada
pengadaan tahun-tahun sebelumnya yang selalu menggunakan Modem Atrie 288 LCD.
Apabila Divisi TEK melakukan kajian terhadap modem merk lainnya seperti tersebut di
atas yang memiliki kesamaan fungsi dengan Modem Atrie 288 LCD, maka Bank BNI
berpeluang untuk memperoleh harga pengadaan modem yang lebih kompetitif dengan
kualitas teknis yang lebih baik.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1.3.7 yang menjelaskan bahwa
pengadaan barang dan jasa harus memenuhi kualitas menurut persyaratan teknis yang
ditentukan dan harga yang paling menguntungkan dengan hasil yang optimal.
b. Pengadaan modem tahun 2003 tidak dilakukan melalui pelelangan
Hasil penelitian lebih lanjut terhadap dokumen pengadaan menunjukkan bahwa
selama tahun 2003 Divisi UMM melakukan tiga kali proses pengadaan modem melalui
penunjukan langsung kepada PT DJI dengan merk Atrie 288 LCD. Divisi TEK maupun
Divisi UMM tidak dapat menunjukkan justifikasi tentang pemilihan modem merk Atrie
288 LCD dan cara pengadaannya melalui penunjukan langsung, mengingat terdapat
beberapa merk dan perusahaan penyedia modem di Indonesia. Hasil observasi yang
dilakukan melalui media internet pada tanggal 20 Mei s.d. 3 Juni 2005, diketahui bahwa
terdapat beberapa merk modem yang beredar di Indonesia, antara lain: Motorola, 3Com,
Adtran, Lucent, ADC Kentrox dan Multitech Systems. Selain itu terdapat beberapa
perusahaan penyedia modem di Indonesia, antara lain PT Metrodata, PT Mastersystem
Infotama, PT Netwave Maju Abadi, PT Plexis Erakarsa Pirantiniaga, PT Mitra
Infoparama dan PT Metalogic Infomitra.
Lebih lanjut diketahui bahwa sebagian besar pengadaan barang dan jasa yang
dilakukan oleh Divisi UMM Bank BNI, jika dilihat dari nilainya seharusnya dilakukan
melalui prosedur pelelangan, tetapi dalam kenyataannya hanya melalui prosedur
pemilihan langsung atau penunjukan langsung. salah satu penyebabnya yaitu
pengumuman pelelangan hanya terbatas ditempelkan pada papan pengumuman Divisi
UMM saja dan tidak diumumkan secara luas pada media cetak yang mempunyai sirkulasi
60

nasional. Oleh karena itu peserta yang mengikuti pengadaan umumnya kurang dari lima
perusahaan karena tidak banyak diketahui oleh perusahaan yang lain sehingga tidak
transparan.
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang
menyebutkan bahwa pengadaaan barang atau jasa dengan nilai diatas Rp 500,00 juta harus
diadakan dengan cara pelelangan, butir 3.2.2.1 bahwa pelelangan dilakukan secara terbuka
melalui pengumuman pada papan pengumuman di Kantor BNI atau pemberitahuan tertulis
kepada asosiasi penyediaan barang dan jasa, atau pengiriman undangan lelang kepada
rekanan Bank BNI dan butir 3.2.3.2.3 bahwa salah satu kriteria penunjukan langsung
adalah pengadaan barang dan jasa spesifik, yaitu yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu
penyedia barang dan atau jasa, agen tunggal, pemegang hak paten atau principal.
c. HPS dibuat setelah surat penawaran dari rekanan diterima
Dari pengujian lebih lanjut terhadap HPS diketahui bahwa:
1) Untuk pengadaan 20 unit, HPS dibuat pada tanggal 14 Februari 2003, sedangkan surat
penawaran harga PT DJI No.046/DJI-SLS/II/2003/ES tanggal 7 Februari 2003.
2) Untuk pengadaan 300 unit, HPS dibuat pada tanggal 18 Maret 2003, sedangkan surat
penawaran harga PT DJI No.094/DJI-SLS/III/2003/ES tanggal 6 Maret 2003.
3) Untuk pengadaan 491 unit, HPS dibuat pada tanggal 25 April 2003, sedangkan surat
penawaran harga PT DJI No.180/DJI-SLS/IV/2003/YL tanggal 24 April 2003.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3.4.1 yang menyebutkan bahwa
HPS harus disahkan oleh pemimpin unit yang akan melaksanakan pengadaan barang dan
atau jasa atau pejabat yang berwenang memutus pengadaan barang dan atau jasa sebelum
acara pembukaan penawaran harga.
d. Penawaran harga dari PT DJI tidak disertai dengan Jaminan Penawaran
Hasil penelitian lebih lanjut terhadap dokumen penawaran menunjukkan bahwa
pada setiap penyerahan surat penawaran harga untuk pengadaan unit Multiplexer
Memotec CX900e, PT DJI tidak menyerahkan Jaminan Penawaran.
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
1) BPP Buku I Bab 3.9.1.1 yang menyebutkan bahwa pengadaan barang dan jasa yang
menggunakan jaminan penawaran adalah pelelangan untuk pengadaan barang dan jasa,
pemilihan langsung untuk pengadaan barang dan jasa yang nilainya diatas Rp500,00
juta dan penunjukan langsung untuk pengadaan barang dan jasa yang memiliki resiko
yang perlu dipertimbangkan.
2) BPP Buku I Bab 3.9.1.2 yang menyebutkan bahwa Jaminan Penawaran diserahkan
pada saat pemasukan dokumen penawaran.
e. SPK pengadaan Modem Atrie 288 LCD tidak diterbitkan
Dari pengujian lebih lanjut terhadap dokumen persetujuan pengadaan Modem
Atrie 288 LCD, diketahui bahwa Divisi UMM tidak menerbitkan SPK yang ditujukan
kepada PT DJI sebagai penyedia barang yang ditunjuk. Sebelum kontrak kerja dibuat,
Divisi UMM hanya mengirimkan Surat Persetujuan Pembelian sebagai berikut :
1) Persetujuan pengadaan 20 unit dengan surat No.UMM/4/620 tanggal 24 Februari 2003.
Kontrak kerja ditandatangani pada tanggal 12 Maret 2003.
2) Persetujuan pengadaan 300 unit dengan surat No.UMM/4/1061 tanggal 31 Maret
2003. Kontrak kerja ditandatangani pada tanggal 7 April 2003.
3) Persetujuan pengadaan 491 unit dengan surat No.UMM/4/1641 tanggal 12 Mei 2003.
Kontrak kerja ditandatangani pada tanggal 2 Juni 2003.
61

Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6.1.1 yang menyebutkan bahwa
SPK dikeluarkan setelah atau bersamaan dengan surat penunjukan diterbitkan dan BPP
Buku I Bab 6.1.2 bahwa SPK dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan perintah
mulai bekerja kepada penyedia barang dan jasa yang ditunjuk sebelum kontrak selesai
dibuat.
f. Perencanaan pengadaan Modem Atrie 288 LCD tahun 2003 tidak matang
bahwa:
Hasil penelitian lebih lanjut terhadap distribusi Modem Atrie 288 LCD diketahui
1) Divisi UMM sebagai unit yang memiliki kewenangan pengadaan tidak mengetahui
rencana distribusi (user) modem tersebut.
2) Dari Rekap Stock H/W Divisi TEK tanggal 4 April 2005 diketahui masih terdapat 65
unit Modem Atrie 288 LCD pengadaan tahun 2003 yang masih belum digunakan.
Kondisi di atas menunjukkan kurang matangnya perencanaan pengadaan Modem Atrie
288 LCD tahun 2003.
Hal tersebut tidak sesuai dangan :
1) BPP Buku IV Bab 3.3.5 yang menyebutkan bahwa kebutuhan barang-barang otomasi
terlebih dahulu dimintakan rekomendasi dari unit yang berkompeten, selanjutnya
diteruskan ke unit yang memiliki kewenangan pengadaan dengan disertai jenis barang
otomasi yang dibutuhkan termasuk merk, spesifikasi yang dibutuhkan serta rencana
distribusinya.
2) BPP Buku IV Bab 3.3.6.2.4 yang menyebutkan bahwa jumlah barang yang diusulkan
untuk diadakan adalah sesuai dengan kebutuhan yang diminta atau sesuai dengan
jumlah barang yang direkomendasikan oleh unit yang berkompeten setelah dilakukan
penelitian terhadap kebutuhan pengguna barang.
Hal tersebut mengakibatkan:
1) Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga modem yang paling
menguntungkan dengan kualitas teknis yang lebih baik.
2) HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran dan penilaian kewajaran harga
penawaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.
3) Terdapat modem yang idle sebanyak 65 unit.
Kondisi tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam
melakukan proses pengadaan modem belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan
barang dan jasa dalam BPP.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa:
a. Kajian teknis modem merk atrie tidak dibuat lagi karena sudah dipakai dan beroperasi
untuk waktu yang cukup lama dan BNI merasa puas (convenience) dengan produk
tersebut.
b. Jika dilihat dari banyaknya produk yang beredar di pasaran, pengadaan dapat dilakukan
dengan lelang. Namun mengingat BNI convenience dengan multiplexer merk memotec
dan berdasarkan rekomendasi principal hanya menunjuk PT DJI sebagai authorized
partner di Indonesia, maka pengadaan dilakukan dengan cara penunjukan langsung.
Untuk selanjutnya BPP Pengelolaan Aktiva Tetap akan dikaji ulang dan disempurnakan
agar tidak menimbulkan peluang penafsiran yang berbeda.
62

c. Memang benar HPS dibuat setelah surat penawaran masuk. Namun demikian HPS dibuat
tidak berdasarkan penawaran PT DJI, tetapi berdasarkan harga pengadaan sebelumnya
dan dibuat sebelum proses negosiasi harga dengan vendor.
d. Memang benar PT DJI tidak memberikan jaminan penawaran meskipun nilai
pengadaannya diatas Rp.500,00 juta. Namun menurut hemat kami pengadaan modem
tidak mempunyai resiko yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak memerlukan
Jaminan Penawaran.
e. Menurut hemat kami surat persetujuan dapat dianggap sebagai SPK, namun demikian
untuk selanjutnya penerbitan SPK akan kami lakukan.
f. Perencanaan pengadaan sudah dilakukan dengan mekanisme anggaran namun dalam
realisasinya terdapat perubahan yang diakibatkan adanya perubahan organisasi yang
mendadak antara lain pembekuan ijin pembukaan Kantor Cabang Pembantu (Kancapem)
sehingga masih terdapat stock 65 unit yang semula direncanakan untuk pembukaan
Kancapem.
BPK RI menyarankan kepada Direksi BNI untuk mempertanggungjawabkan
kebijakannya kepada pemegang saham dalam memutus pengadaan modem melalui
penunjukan langsung dan memperingatkan panitia pengadaan untuk mematuhi BPP secara
konsisten.
10. Pengadaan VSAT Wide Area Network dengan perkiraan nilai kontrak sebesar
Rp233.347,07 juta tidak sepenuhnya sesuai ketentuan dan dilaksanakan tanpa kontrak
Sehubungan dengan kebutuhan bisnis Bank BNI dan sejalan dengan rencana perubahan
sistem operasional banking Bank BNI dari sistem terdistribusi menjadi sistem tersentralisasi
serta perlunya penyesuaian terhadap arsitektur teknologi yang ada, Divisi TEK dengan surat
No. TEK/3/1033 tanggal 26 Maret 2004 kepada Divisi UMM menyampaikan RFP pengadaan
saluran komunikasi jaringan VSAT Wide Area Network (WAN) untuk sistem New Core
Banking (NCB). Selanjutnya diadakan rapat koordinasi tanggal 7 April 2004 antara Divisi
UMM dan Divisi TEK yang membahas rencana pengadaan, jadwal pelaksanaan, bobot
penilaian dan jangka waktu kontrak yaitu selama 3 tahun. Berdasarkan hasil seleksi dari
penyedia jasa saluran komunikasi jaringan yang ada diputuskan untuk mengundang tiga
vendor yaitu PT Aplikanusa Lintasarta (PT AL), PT Citra Sari Makmur (PT CSM), PT
Tangara Mitrakom (PT TM) karena vendor-vendor tersebut pernah bekerjasama dengan Bank
BNI sebagai penyedia jasa jaringan komunikasi. Kemudian undangan pelelangan No.
UMM/4/1434-1436 tanggal 8 April 2004 dikirimkan oleh Divisi UMM kepada PT AL, PT
CSM dan PT TM. Pengambilan dokumen pengadaan dilakukan tanggal 12 April 2004 dan
aanwijzing tanggal 14 April 2004 yang dihadiri oleh semua rekanan yang diundang. PT CSM
menyampaikan penawaran harga dengan surat No. L-0790/DIR/PLT/IV/04 tanggal 20 April
2004, PT AL No. 014/AL/400/2004 tanggal 20 April 2004 dan PT TM No. 201/TM-Ltr/BD-
DS/IV/04 tanggal 22 April 2004. Klarifikasi dan negosiasi harga dilakukan tanggal 27 April
2004.
Divisi TEK kemudian menyampaikan hasil penilaian teknis pengadaan jaringan VSAT
IP kepada Divisi UMM sesuai memo No. TEK/3/2295 tanggal 28 Juni 2004 dimana skor
untuk PT AL 30,08, PT CSM 33,10 dan PT TM 36,88 yang kemudian berubah karena adanya
perubahan skala sesuai memo No. TEK/3/2831 tanggal 4 Agustus 2004 sehinga hasil evaluasi
teknis untuk masing-masing rekanan adalah PT AL 160, PT CSM 205 dan PT TM 270.
Berdasarkan hasil scoring tersebut, dalam rapat koordinasi evaluasi pengadaan jaringan
63

terestrial dan VSAT tanggal 19 Agustus 2004, direkomendasikan alokasi total link VSAT
sebanyak 987 link kepada masing-masing rekanan berdasarkan hasil evaluasi teknis dan
harga adalah sebagai berikut:
Kriteria Bobot
PT CSM
Nilai Nilai Bobot (NB)
PT TM
Nilai NB
PT AL
Nilai NB
Teknis 65% 205 133 270 176 160 104
Harga 35% 300 105 200 70 100 35
Total 238 246 139
Rekomendasi
alokasi link 218 614 155
Dari hasil rapat koordinasi tanggal 19 Agustus tersebut diputuskan bahwa tim akan
melakukan negosiasi dengan acuan tarif termurah. Apabila ketiga rekanan sepakat dengan
harga termurah, pembagian alokasi sesuai dengan tabel diatas, namun apabila hanya 2 atau 1
rekanan yang sepakat dengan harga termurah, seluruh link dialokasikan seluruhnya kepada
rekanan tersebut. Sesuai berita acara negosiasi tanggal 23 Agustus 2004, harga penawaran
biaya bulanan dan setelah negosiasi dari masing-masing vendor adalah sebagai berikut:
(dalam juta Rp)
Rekanan Harga penawaran Harga Negosiasi I Harga Negosiasi II
PT TM 7,00 6,80 6,71
PT CSM 6,86 6,71 6,71
PT AL 9,11 7,43 6,71
Dari hasil negosiasi harga disepakati bahwa biaya instalasi ditetapkan berdasarkan harga
penawaran terendah untuk masing-masing wilayah dari ketiga vendor. Selanjutnya HPS
dibuat tanggal 7 September 2004 dengan harga tertinggi biaya bulanan yang diperkenankan
sebesar Rp8,39 juta sudah termasuk PPN dan biaya instalasi berdasarkan rata-rata penawaran
untuk tiap wilayah dari masing-masing vendor. Berdasarkan memo dari Divisi UMM kepada
Direksi melalui Direktur SDM No. UMM/4/1197 tanggal 9 September 2004 mengenai
pengadaan jasa saluran komunikasi jaringan VSAT WAN, disebutkan bahwa kebijakan
pembagian jumlah kebutuhan jaringan komunikasi VSAT kepada ketiga rekanan didasari
pertimbangan sebagai berikut:
a. menggunakan ketiga rekanan tersebut diharapkan dapat membagi tingkat penyebaran
risiko, dibandingkan risiko hanya kepada satu rekanan pemenang saja,
b. proporsional pembagian jumlah alokasinya adalah berdasarkan hasil evaluasi/penilaian
aspek teknis yang dimiliki oleh masing-masing vendor yang dilakukan oleh Divisi TEK,
c. dengan adanya ketiga vendor tersebut diharapkan dapat tetap menjaga kompetisi kinerja
(SLA jaringan) diantara penyedia jasa tersebut.
Direksi kemudian memberikan persetujuan atas pengadaan VSAT WAN, terakhir persetujuan
dari Dirut tanggal 22 Oktober 2004. Direktur SDM kemudian mengoreksi skoring masingmasing
vendor sehingga total nilai untuk PT TM menjadi 30, PT CSM menjadi 29 dan PT AL
menjadi 18.
Dalam memo No. UMM/4/070 tanggal 20 Januari 2005 dari Divisi UMM kepada
Direktur SDM diketahui bahwa berdasarkan pembicaraan per telepon dengan Direktur SDM
pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2005 disepakati bersama Direktur SDM dan Direktur
Operasional mengenai proporsi distribusi alokasi remote VSAT WAN sebagai berikut:
No. Vendor Jumlah Link Persentase alokasi link
1. PT TM 494 unit 50%
2. PT CSM 345 unit 35%
3. PT AL 148 unit 15%
64

No. Vendor Jumlah Link Persentase alokasi link
Total 987 unit 100%
Selain itu dalam memo tersebut disebutkan bahwa melalui pembicaraan per telepon dengan
Direktur SDM tanggal 13 Januari 2005 diketahui bahwa Direktur SDM telah melakukan
negosiasi harga dengan PT CSM. Harga hasil negosiasi tersebut ditetapkan sebagai biaya
pengadaan VSAT WAN bulanan yaitu sebesar Rp6,37 juta termasuk PPN.
Divisi UMM dan Divisi TEK kemudian melakukan rapat pengadaan VSAT WAN
dengan ketiga vendor dimana dalam Berita Acara disebutkan bahwa ketiga vendor telah
menyetujui harga biaya berlangganan sebesar Rp6,37 juta/bulan termasuk PPN dan
pembagian alokasi VSAT seperti disebutkan diatas dan penetapan lokasi pemasangan VSAT
WAN akan disampaikan oleh BNI (d.h.i Divisi TEK) kepada masing-masing vendor dengan
jangka waktu sewa selama 3 tahun dan biaya instalasi/deinstalasi menggunakan harga
penawaran yang terendah. Divisi UMM kemudian mengirimkan persetujuan pengadaan
masing-masing kepada PT AL, PT CSM dan PT TM dengan surat No. UMM/4/245-247
tanggal 26 Januari 2005 dengan jumlah link sesuai dengan jumlah yang disepakati dalam
rapat tanggal 24 Januari 2005 dengan biaya bulanan sebesar Rp6,37 juta termasuk PPN
dengan jangka waktu sewa selama 3 tahun yang berlaku sejak tanggal Berita Acara On Line.
Dari pemeriksaan terhadap dokumen pengadaan terkait diketahui sebagai berikut:
a. Pengadaan tidak dilakukan melalui pelelangan meskipun nilai pengadaan mencapai
Rp 233.347,07 juta
Seperti disebutkan dalam memo No. UMM/4/1197 tanggal 9 September 2004
kepada Direksi melalui Direktur Perencanaan dan SDM, Divisi UMM dan Divisi TEK
memperoleh shortlist 3 vendor yang akan diseleksi dan diundang untuk memasukkan
penawaran dari 6 vendor penyedia jasa sejenis dengan pertimbangan bahwa ketiga vendor
memiliki referensi dan pernah bekerjasama dengan Bank BNI. Berdasarkan risalah rapat
koordinasi pengadaan WAN tanggal 7 April 2004 disebutkan bahwa penyedia jasa
jaringan komunikasi sejenis terdiri dari 6 perusahaan dimana selain PT TM, PT CSM dan
PT AL terdapat pula PT Infokom Elektrindo, PT Satkomindo dan PT Sanatel. Selain itu
berdasarkan memo Divisi UMM kepada Direktur SDM No. UMM/4/1280 tanggal 29
September 2004 disebutkan bahwa provider penyedia VSAT yang ada di bank-bank selain
Bank BNI adalah sebagai berikut:
1) Bank Mandiri: PT CSM, PT AL, PT TM (baru implementasi tahun 2004) dan SC
Media (baru implementasi tahun 2004),
2) BRI: PT CSM dan PT Satkomindo,
3) BCA: PT Primakom.
Dalam memo tersebut disebutkan bahwa selama ini Bank BNI melakukan kerja sama
dengan ketiga provider dan dianggap sudah memenuhi kebutuhan Bank BNI.
Penyedia jasa jaringan komunikasi VSAT seperti disebutkan dalam memo-memo
diatas terdiri dari 9 vendor sehingga cukup memenuhi syarat untuk dilakukan lelang
terutama mengingat nilai sewa selama 3 tahun sebesar Rp226.338,84 juta (987 link x
Rp6,37 juta x 36 bulan) dan biaya instalasi kurang lebih sebesar Rp7.008,22 juta atau
perkiraan nilai kontrak seluruhnya sebesar Rp233.347,07 juta. Dengan nilai pengadaan
mencapai Rp233.347,07 juta maka pengadaan VSAT WAN seharusnya dilakukan melalui
lelang. Selain itu, sebagaimana disebutkan dalam risalah rapat koordinasi tanggal 19
Agustus 2004 diputuskan bahwa tim pengadaan akan melakukan negosiasi dengan acuan
tarif termurah. Apabila ketiga rekanan sepakat dengan harga termurah, pembagian alokasi
sesuai dengan tabel diatas, namun apabila hanya 2 atau 1 rekanan yang sepakat dengan
65

harga termurah, seluruh link dialokasikan seluruhnya kepada rekanan tersebut. Tatacara
pengadaan seperti ini lebih bersifat sebagai pemilihan langsung.
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang
menyebutkan bahwa pengadaaan barang atau jasa dengan nilai diatas Rp500,00 juta harus
diadakan dengan cara pelelangan, butir 3.2.2.1 bahwa pelelangan dilakukan secara terbuka
melalui pengumuman pada papan pengumuman di Kantor BNI atau pemberitahuan tertulis
kepada asosiasi penyediaan barang dan jasa, atau pengiriman undangan lelang kepada
rekanan Bank BNI dan butir 3.2.3.2.3 bahwa salah satu kriteria penunjukan langsung
adalah pengadaan barang dan jasa spesifik, yaitu yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu
penyedia barang dan atau jasa, agen tunggal, pemegang hak paten atau principal.
b. SPK pengadaan jaringan VSAT WAN tidak ditebitkan
Dari pengujian lebih lanjut terhadap dokumen persetujuan pengadaan VSAT WAN,
diketahui bahwa Divisi UMM tidak menerbitkan SPK yang ditujukan kepada PT TM, PT
CSM maupun PT AL sebagai penyedia jaringan komunikasi VSAT WAN. Sebelum
kontrak kerja dibuat, Divisi UMM hanya mengirimkan surat persetujuan pengadaan jasa
jaringan komunikasi VSAT WAN No. UMM/4/245-247 tanggal 26 Januari 2005.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6 butir 6.1.1 yang menyebutkan
bahwa SPK dikeluarkan setelah atau bersamaan dengan surat penunjukan diterbitkan,
butir 6.1.2 bahwa SPK dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan perintah mulai
bekerja kepada penyedia barang dan jasa yang ditunjuk sebelum kontrak selesai dibuat
dan butir 6.1.3 yang menyebutkan bahwa apabila pembuatan kontrak dirasa tidak
memerlukan waktu yang terlalu lama, maka dimungkinkan SPK ditiadakan.
c. Pelaksanaan pekerjaan dilakukan tanpa kontrak dan tidak ada jaminan
pelaksanaan
Sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005, kontrak pengadaan dengan
ketiga vendor belum dibuat dan ditandatangani karena belum tercapainya kesepakatan
antara vendor dengan BNI mengenai service level agreement (SLA) yang mengatur
tingkat pelayanan yang diberikan oleh vendor dalam memberikan jasa pelayanan sistem
jaringan komunikasi VSAT WAN kepada Bank BNI. Berdasarkan summary mapping
VSAT dalam dokumen pengadaan disebutkan bahwa implementasi piloting VSAT WAN
pada 5 cabang di Wilayah 12 (Karawang, Cikampek, Cilegon, Serang dan Rangkas
Bitung) telah dilakukan oleh PT TM, sehingga jumlah kekurangan link adalah sebanyak
982 link. Kemudian Berdasarkan berita acara instalasi operasional PT TM No. 020/TM-
BNI/BAI/VSAT/III/05 tanggal 1 Maret 2005 disebutkan bahwa tanggal inslatasi di kelima
cabang diatas dilakukan pada bulan Juni-Juli 2004. Selain itu dalam berita acara tersebut
disebutkan bahwa sampai dengan tanggal 26 Januari 2005 (tanggal surat persetujuan
pengadaan VSAT WAN kepada vendor) PT TM telah melakukan instalasi di 118 lokasi.
Kemudian berdasarkan berita acara instalasi PT TM No. 035/TM-BNI/BAI/VSAT/IV/05
tanggal 8 April 2005, sampai dengan tanggal 26 Januari 2005, PT TM telah melakukan
instalasi di 2 lokasi. Dengan demikian, berdasarkan kedua berita acara tersebut diatas,
sampai dengan diterbitkannya surat persetujuan pengadaan jaringan komunikasi VSAT
WAN, PT TM telah melakukan instalasi sebanyak 120 link dari 494 link yang
dialokasikan kepada PT TM atau sebanyak 24,29%. Kemudian dalam surat persetujuan
pengadaan, tidak disebutkan mengenai jangka waktu dan jadwal instalasi namun hanya
menyebutkan mengenai jangka waktu sewa selama 3 tahun dan ketentuan serta syarat
lainnya akan dituangkan tersendiri dalam perjanjian. Ketiga vendor melaksanakan
66

instalasi berdasarkan surat permintaan dari Divisi TEK. Kemudian, oleh karena kontrak
belum ditandatangani sampai saat ini, vendor juga belum menyerahkan jaminan
pelaksanaan sementara pekerjaan telah dimulai.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6 butir 6.2.1 yang menyebutkan
bahwa penandatanganan kontrak dilakukan secepatnya setelah surat penunjukan atau SPK
diterbitkan.
d. HPS dibuat berdasarkan harga penawaran dari vendor
HPS dibuat tanggal 7 September 2004 dengan harga tertinggi yang diperkenankan
sebesar Rp8,38 juta sudah termasuk pajak, yang diperoleh dari rata-rata harga pasaran
sebesar Rp7,00 juta sampai dengan Rp8,25 juta sesuai dengan pembicaraan dalam call
memo kepada salah satu pegawai PT CSM. HPS untuk biaya instalasi dan deinstalasi yang
juga dibuat tanggal 7 September 2004 diperoleh berdasarkan rata-rata penawaran dari
masing-masing vendor dengan rincian sebagai berikut:
(dalam juta Rp)
No
HPS biaya instalasi HPS biaya deinstalasi
Wilayah PT TM PT CSM PT AL HPS PT TM PT CSM PT AL HPS
1 01 8,50 12,21 8,80 9,84 6,50 9,13 3,30 6,31
2 02 6,50 10,01 8,80 8,44 4,50 7,59 3,30 5,13
3 03 5,80 7,43 7,15 6,79 3,30 5,89 3,30 4,16
4 04 5,10 5,34 4,95 5,13 2,60 4,29 1,65 2,85
5 05 5,40 6,38 7,15 6,31 2,90 5,23 2,75 3,63
6 06 5,70 5,34 7,15 6,06 3,20 4,79 2,75 3,58
7 07 10,50 12,98 11,00 11,49 8,00 9,79 4,40 7,40
8 08 7,92 9,63 7,15 8,23 5,49 7,32 4,40 5,74
9 09 8,10 10,73 8,80 9,21 5,60 8,25 4,40 6,08
10 10 2,50 1,32 2,75 2,19 1,00 0,99 1,10 1,03
11 11 9,10 17,79 11,50 12,83 6,60 12,76 4,95 8,10
12 12 2,80 1,32 2,75 2,29 1,10 0,99 1,10 1,06
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.4.1 yang menyebutkan
bahwa setiap unit yang berwenang melaksanakan pengadaan barang dan atau jasa harus
memiliki HPS yaitu harga perkiraan yang dikalkulasikan secara keahlian/profesional. HPS
harus disahkan oleh pemimpin unit yang akan melaksanakan pengadaan barang dan atau
jasa atau pejabat yang berwenang memutus pengadaan barang dan atau jasa sebelum acara
pembukaan penawaran harga.
e. Alokasi kepada masing-masing vendor tidak dapat diyakini kewajarannya
Berdasarkan evaluasi teknis dari Divisi TEK sesuai dengan risalah rapat koordinasi
tanggal 19 Agustus 2004, rekomendasi alokasi link berdasarkan hasil penilaian teknis
adalah sebagai berikut :
Kriteria Bobot
PT CSM PT TM PT AL
Nilai NB Nilai NB Nilai NB
Teknis 65% 205 133 270 176 160 104
Harga 35% 300 105 200 70 100 35
Total 238 246 139
Rekomendasi alokasi link 614 218 155
67

Berdasarkan memo dari Divisi TEK No. TEK/1/5352 tanggal 16 Desember 2004,
disebutkan bahwa dari penilaian teknis atas proposal yang disampaikan dan mengacu
kepada permintaan Direktur SDM maka:
1) Dengan mempertimbangkan lokasi Hub diperoleh distribusi alokasi remote seperti
yang telah disebutkan diatas;
2) Tanpa memperhatikan lokasi Hub diperoleh distribusi alokasi remote VSAT untuk PT
TM sebanyak 605 remote, PT CSM sebanyak 223 remote dan PT AL sebanyak 159
remote.
Kemudian berdasarkan disposisi Direktur SDM dan review skoring yang disesuaikan
dengan skor teknis, maka persentase alokasi yang diusulkan adalah sebagai berikut :
Vendor
Kriteria
Teknis
Kriteria
Non Teknis
Total Persentase
Alokasi
PT AL 13 5 18 23
PT CSM 22 7 29 38
PT TM 19 11 30 39
Namun melalui pembicaraan per telepon Direktur SDM kepada Kelompok PPT Divisi
UMM tanggal 12 Januari 2005, diputuskan proporsi distribusi alokasi remote untuk PT
AL sebanyak 15%, PT CSM sebanyak 35% dan PT TM sebanyak 50%. Proporsi tersebut
digunakan sebagai alokasi akhir kepada masing-masing vendor. Sebagaimana hasil
evaluasi teknis setelah revisi skoring diatas, skor total PT CSM hanya 1 point lebih rendah
dibandingkan dengan PT TM namun alokasinya diputuskan 15% lebih rendah. Selain itu
nilai kriteria teknis PT CSM lebih tinggi dibandingkan PT TM. Alokasi tersebut yang
dituangkan dalam persetujuan pengadaan sama sekali tidak didasarkan pada hasil evaluasi
teknis.
Penentuan alokasi kepada vendor seharusnya secara proporsional dan konsisten
didasarkan pada skor total masing-masing vendor.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga
VSAT WAN yang paling menguntungkan, pelaksanaan pekerjaan yang tidak diikat secara
legal dapat merugikan kepentingan Bank BNI, HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi
penawaran serta untuk menilai kewajaran harga penawaran kurang dapat digunakan sebagai
sarana negosiasi yang efekitif dan alokasi pekerjaan kepada masing-masing vendor menjadi
tidak proporsional sesuai dengan total skornya.
Kondisi tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam
melakukan proses pengadaan VSAT WAN belum sepenuhnya menerapkan ketentuan
pengadaan barang dan jasa dalam BPP.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa:
a. BNI telah mengundang 3 vendors dari 9 vendors, yaitu PT CSM, PT TM, dan PT AL.
Vendor tersebut telah bekerjasama dengan BNI dan memiliki referensi, sedangkan
vendor lainnya tidak diundang dengan alasan:
1) Provider lain yang ada pada long-list dinilai tidak independen karena merupakan
perusahaan yang terkait dengan pesaing BNI, yaitu PT Satkomindo merupakan anak
perusahaan BRI, PT. Sanatel merupakan anak perusahaan Danamon, PT. Infokom
68

Elektrindo tidak bergerak di sektor perbankan dan PT. Primakom merupakan anak
perusahaan BCA.
2) Untuk menjaga kerahasian data yang ditransmisikan melalui jaringan tersebut, maka
provider yang terafiliasi dengan bank lain (pesaing) tidak diikutsertakan dalam proses
pengadaan.
Pada proses negosiasi, ketiga vendors sepakat dengan harga termurah dengan demikian
pengalokasian pengadaan pada ketiga vendors menguntungkan BNI dari sisi:
1) Menjaga kompetensi pelayanan purna jual.
2) Mendistribusikan risiko pada tiga vendors dan
3) Memelihara kompetisi pelayanan antar vendors.
b. Divisi UMM telah memegang surat persetujuan yang dianggap berfungsi dan memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan SPK.
c. Pengadaan pekerjaan dilakukan tanpa kontrak dan tidak ada jaminan pelaksanaan,
karena:
1) Kontrak belum selesai dibuat berkenaan dengan pembahasan service level agreement,
sementara pekerjaan harus tetap dilaksanakan.
2) Jadual instalasi ditentukan oleh Divisi TEK sehingga vendors bekerja berdasarkan
permintaan Divisi TEK.
3) Jaminan pelaksanaan belum dibuat karena sampai dengan proses terakhir tidak ada
risiko yang perlu dipertimbangkan.
4) Sebagai informasi tambahan, sampai dengan saat ini belum ada pembayaran kepada
vendor yang dilakukan oleh BNI.
5) Target penyelesaian kontrak Akhir Juli 2005
d. Pada kasus ini, BNI tidak menemukan harga pasar yang dipublikasikan dan tidak
memiliki catatan transaksi sebelumnya karena merupakan pengadaan yang pertama kali.
e. Alokasi pada ketiga vendors, yaitu PT. AL 15%, PT. CSM 35% dan PT. TM 50% bila
dibandingkan dengan skoring yang telah disesuaikan 23:38:39 atau perbandingan
penilaian teknis sebelumnya 155:218:614 (15:22:62) tampak tidak sesuai karena adanya
koreksi dengan pertimbangan untuk menjaga faktor resiko sehingga ditetapkan masingmasing
provider tidak mendapat alokasi lebih dari 50% links yang ada. Alokasi links
tidak dapat ditetapkan berdasarkan score teknis semata karena sangat bergantung kepada
kesanggupan masing-masing provider untuk melaksanakan implementasi dalam periode
yang telah ditetapkan BNI.
BPK RI menyarankan kepada Direksi BNI untuk mempertanggungjawabkan
kebijakannya kepada pemegang saham dalam memutus pengadaan VSAT WAN dengan
menunjuk tiga vendor dan memperingatkan panitia pengadaan untuk mematuhi BPP secara
konsisten.
11. Pengadaan Disaster Recovery Center (DRC) sebesar eq. Rp115.678,20 juta belum
dilakukan Test secara keseluruhan sehingga tidak dapat dijamin keandalannya
Sesuai SK Direksi BI No. 27/164/KEP/DIR dan SE BI No.27/9/UPPB tanggal 31
Maret 1995, setiap Bank diharuskan mempunyai jaringan Disaster Recovery Center (DRC).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Divisi UMM pada tahun buku 2004 melakukan perikatan
dengan vendor berupa pembangunan fasilitas DRC oleh PT Indosat, pengadaan perangkat
jaringan oleh PT Swadharma Duta Data (SDD) dan Mesin IBM pSERIES oleh PT Multipolar
Corporation untuk DRC sebagai berikut :
69

a. Pengadaan perangkat network sebesar US$1,414.39 ribu eq. Rp12.163,75 juta
Divisi TEK dengan surat No.TEK/17.1/1004 tanggal 24 Maret 2004 kepada Divisi UMM
memohon bantuan untuk pengadaan komponen Database Oracle dan perangkat jaringan
(network) untuk DRC Site dan Main site. Sesuai dengan kebutuhan tersebut, Pemimpin
Kelompok Teknologi dan Non Premises pada Divisi UMM dengan surat No.UMM/4/1193
tanggal 26 Maret 2004 meminta PT Cisco System Indonesia (PT CSI) untuk mengajukan
penawaran harga dan sekaligus mengundang untuk klarifikasi dan negosiasi harga
perangkat Cisco DRC Site. Kemudian PT CSI mengajukan penawaran sebesar
US$1,460.42 ribu dan setelah dinegosiasi pada tanggal 26 Maret 2004 menjadi sebesar
US$1,285.81 ribu dengan rincian perangkat jaringan sebesar US$984.20 ribu dan services
terdiri dari implementasi dan installasi, pemeliharaan satu tahun dan penyediaan perangkat
Back Up seluruhnya sebesar US$301.61 ribu. Selanjutnya HPS ditetapkan sebesar
US$1,623.93 ribu dengan rincian perangkat jaringan sebesar US$1,239.77 ribu dan
services sebesar US$384.15 ribu.
Selanjutnya Pemimpin Divisi UMM dengan surat No.UMM/4/1275 tanggal 31 Maret
2004 memberitahukan persetujuannya kepada PT Swadharma Duta Data (PT SDD)
sebagai mitra PT CSI dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :
1) Harga dan obyek pengadaan perangkat network untuk DRC Bank BNI dengan nilai
kontrak sebesar US$1,414.39 ribu Incl.PPN 10% eq. Rp12.163,75 juta yaitu :
(dalam ribu US$)
No Deskripsi Harga (Excl.PPN) Harga (Incl.PPN)
1. Perangkat Network DRC 984.20 1,082.62
2. Services/Implementasi 301.61 331.77
Total 1,285.81 1,414.39
2) Delivery time maksimal 6 (enam) minggu terhitung sejak SPK.
3) PT SDD harus menyerahkan jaminan pelaksanaan sebesar US$ 70,719.49
4) Tata cara pembayaran :
a) Pembayaran perangkat network DRC dilakukan sebesar 100% setelah seluruh
hardware dan software diterima Bank BNI yang dibuktikan dengan BA Serah
Terima Barang dan setelah User Acceptance Test (UAT) yang dibuktikan dengan
BA UAT.
b) Pembayaran Implementasi/Jasa :
� Tahap I sebesar 80% setelah UAT sebesar US$ 265,415.92 Incl PPN
� Tahap II sebesar 20% dibayarkan terhitung satu tahun sejak masa garansi
berakhir, sebesar US$ 66,353.98 Incl.PPN 10%.
Selanjutnya dari hasil pemeriksaan dokumen diketahui bahwa pada hari dan tanggal yang
sama, Divisi Umum melalui surat No.UMM/4/462 tanggal 31 Maret 2004 mengajukan
persetujuan kepada Direksi melalui Direktur Perencanaan dan SDM perihal Pengadaan
Perangkat Network Disaster Recovery Center (DRC) (Hardware dan Software Cisco)
yang menyebutkan dan mengusulkan antara lain :
1) Prosedur pengadaan dilakukan dengan cara penunjukan langsung kepada principal
produk Cisco yaitu PT Cisco Indonesia dengan pertimbangan pengadaan hardware
pertama dilakukan oleh Cisco Indonesia melalui PT SDD.
2) Spesifikasi barang sesuai dengan rekomendasi dari Divisi TEK.
3) Harga penawaran masih dibawah OE
70

4) Harga dan obyek pengadaan dilakukan dengan mata uang US$ sebesar US$
1,414,389.90 (Incl PPN) eq. Rp 12.163.753.140,00 (kurs tengah tgl 30 Maret 2004
yaitu 1 US$ = Rp 8.600,-) termasuk maintenance satu tahun terhitung sejak UAT.
5) Delivery Time maksimal enam minggu terhitung sejak SPK.
Usulan Divisi Umum telah disetujui oleh Direktur Operasi dan Direktur Kepatuhan pada
tanggal 1 April 2004 dengan lembar permintaan persetujuan No.788 tanggal 31 Maret
2004.
Selanjutnya Pemimpin Divisi UMM membuat Perjanjian Perangkat Network untuk DRC
dengan PT SDD No. UMM/4/039/R tanggal 14 April 2004 senilai US$ 1,414,389.90 Incl
PPN 10% dan Garansi 1 tahun pertama untuk perangkat jaringan yang digunakan
terhitung sejak dilakukannya UAT dengan rincian biaya sebagai berikut :
1) Perangkat Network untuk DRC Cisco sebesar US$ 1,082,620.90
2) Implementasi/ services sebesar US$ 331,769.90
dengan jangka waktu sejak ditandatangani perjanjian s.d tanggal 30 Mei 2005.
b. Pengadaan Mesin IBM pSERIES untuk Disaster Recovery Center (Regatta) senilai
US$ 12,036.56 ribu eq. Rp 103.514,45 juta
Berdasarkan surat Divisi Teknologi Informasi No.TEK/1/990 tanggal 23 Maret 2004
kepada Divisi Umum mengenai pengadaan mesin IBM untuk DRC.
Berkenaan kebutuhan hardware tersebut Divisi Umum melalui surat No.UMM/4/1097
tanggal 23 Maret 2004 meminta kepada PT IBM Indonesia untuk mengajukan permintaan
penawaran harga. Kemudian PT IBM mengajukan penawaran harga sebesar US$
16,385,710.00 melalui surat No.10/FSS/III/2004 tanggal 24 Maret 2004 dengan rincian
sebagai berikut :
dalam ribu US$
No Deskripsi Total Harga (US$)
1 Requirements for DR Site 13,573.15
2 Requirements for Production Site 1,887.56
3 Services 925.00
Pada hari yang sama PT IBM melalui surat No.11/FSS/III/2004 tanggal 24 Maret
2004 memberitahukan kepada Divisi Umum bahwa mengenai pengadaan mesin IBM
untuk DRC merekomendasikan bussiness partnernya yaitu PT Multipolar Corporation Tbk
di Jl.Boulevar Palem Raya No.7 Lippo Karawaci, Tanggerang.
Selanjutnya dilakukan negosiasi harga mesin Regatta DRC dengan hasil penetapan
harga sebesar US$ 10,732,330.50 (Excl. PPN 10%). Owner Estimate (OE) diketahui
sebesar US$ 11,118,477.60 (Excl.PPN 10%) atau sebesar US$12,230,325.36.
Divisi UMM dengan surat No.UMM/4/455 tanggal 31 Maret 2004 meminta
persetujuan Direksi. Persetujuan diberikan pada tanggal 31 Maret 2004 oleh Dirut,
Wadirut, Direktur Operasi, Direktur Manajemen Resiko, Direktur Kepatuhan, Direktur
Komsumer, Direktur Korporasi dan Direktur Treasuri dan Internasional. Berdasarkan
persetujuan tersebut, Divisi UMM dengan surat No.UMM/4/1274 tanggal 31 Maret 2004
memberitahukan persetujuan pengadaan hardware ICONS untuk DRC kepada PT
Multipolar dengan menyebutkan antara lain sebagai berikut :
1) Total harga pengadaan hardware ICONS sebesar US$ 12,036,563.55 (Incl.PPN 10%)
dengan rincian yaitu :
(Dalam ribu US$)
No Deskripsi Harga (Excl.PPN) Harga Incl.PPN)
1 Hardware ICONS utk DRC 10,732.33 11,805.56
2 Implementasi 210.00 231,00
Total 10,942.33 12,036,56
71

2) Obyek pengadaan adalah Hardware ICONS, terdiri dari :
a) Requirements for DR Site
b) Requirements for Production Site
c) Services/Implementation
3) Delivery time maksimal dua bulan terhitung sejak SPK
4) Jaminan yang harus diserahkan berupa :
a) PT IBM Indonesia harus menyerahkan jaminan uang muka sebesar 20% dari nilai
kontrak atau sebesar US$2,407.31 ribu.
b) PT IBM Indonesia harus menyerahkan jaminan pelaksanaan berupa Garansi Bank
selain Bank BNI atau dari Asuransi Kerugian sebesar 5% dari nilai kontrak atau
sebesar US$601.82 ribu
Selanjutnya Pemimpin Divisi Umum membuat Perjanjian Jual Beli dengan
Multipolar Corp.Tbk No.UMM/037/R tanggal 14 April 2004, jangka waktu ditetapkan s.d
15 Mei 2004, menyerahkan & melakukan instalasi sesuai dengan kebutuhan pihak
pertama terhadap seluruh Hardware & Software terkait di lokasi yang ditetapkan pihak
pertama dengan lokasi pengiriman franco PT BNI-Jabotabek dengan franco Disaster
Recovery Centre BNI di lokasi atau franco DRC atau franco gudang yang disepakati
kedua belah pihak di wilayah Jabotabek atau dilokasi DRC sebagai tempat penitipan
sementara yang selanjutnya membuat Berita Acara Pemeriksaan Barang dan Berita Acara
Serah Terima Barang.
Lebih lanjut diketahui bahwa Divisi Umum telah melakukan pembayaran sebesar
US$11,805.56 ribu dengan rincian sebagai berikut :
1) Pembayaran uang muka pada tanggal 21 April 2004 sebesar US$2,361.11 ribu
Pembayaran tahap I pada tanggal 4 Mei 2004 sebesar US$ 9,444.45 ribu
2) Pembayaran tahap II sebesar US$ 231.00 ribu belum dilaksanakan.
Hasil pemeriksaan menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
a. Pengadaan perangkat network DRC (Hardware & Software) dan Hardware ICONS
dilakukan melalui penunjukan langsung
Sejak Divisi TEK pada tanggal 24 Maret 2004 memberitahukan kepada Divisi
Umum perihal persiapan Back Up system ICONS di DRC dan menganjurkan agar Divisi
Umum melakukan pengadaan perangkat ICONS. Kemudian ditindak lanjuti oleh Divisi
Umum pada tanggal 26 Maret 2004 dengan cara menyurati PT CSI untuk mengajukan
penawaran harga serta sekaligus negosiasi. Hal tersebut dilakukan Divisi Umum dengan
pertimbangan pengadaan Hardware pertama kali dilakukan oleh PT CSI melalui PT SDD.
Sedangkan untuk hardware ICONS Divisi Umum hanya mengacu pada surat Divisi TEK
tertanggal 23 Maret 2004 dan langsung menunjuk PT IBM untuk mengajukan penawaran
harga pengadaan hardware ICONS yang langsung dilakukan negosiasi sampai
diterbitkannya perjanjian No.UMM/037/R tanggal 14 April 2004 antara BNI dengan
Multipolar. Dalam surat menyurat tersebut tidak disebutkan bahwa pengadaan hardware
ICONS sangat mendesak sehingga tidak mengganggu bisnis Bank BNI, disamping itu
tidak diketahui alasan mengapa dilakukan penunjukkan langsung. Untuk kedua hal
tersebut diatas, tidak sesuai dengan BPP Bab III Halaman 3-2 ayat 3.2 point 3.2.1.5
menyatakan kriteria pelelangan untuk pengadaan barang dan atau jasa dengan nilai di atas
Rp 500.000.000,00 seharusnya diikuti minimal oleh lima rekanan yang merupakan
business partner PT CSI dan IBM, bukan langsung memilih PT SDD maupun PT
Multipolar. Atas hal tersebut terlihat bahwa pihak BNI cenderung memilih PT SDD dan
PT Multipolar sebagai vendornya yang juga merupakan Sistem Implementor (SI) yang
72

ertugas mengimplementasi system, mengecek, menguji hardware, jaringan dan sesuai
dengan rapat/aanwijzing dimana SI tidak boleh ikut sebagai vendor.
b. Terdapat perbedaan harga sebesar US$ 657.66 ribu eq. Rp 5.655,89 juta
Berdasarkan perjanjian jual beli Mesin IBM P Series untuk DRC dengan PT
Multipolar No. UMM/037/R tanggal 14 April 2004 sebesar US$12,036.56 ribu eq
Rp103.514,44 juta diketahui bahwa salah satu jenis perangkat untuk DRC adalah IBM
P690 sebanyak dua unit dengan harga per unit sebesar US$2,228.83 ribu atau
US$4,457.66 ribu, seluruhnya sebesar eq. Rp38.335,89 juta (kurs 1 US$ = Rp 8.600,00).
Dari hasil penelaahan melalui situs IBM yaitu dari ZD Net News diketahui bahwa
harga IBM P690 dengan spesifikasi kurang lebih sama belum termasuk diskon hanya
sebesar US$1,900.00 ribu per unit atau sebesar US$3,800.00 ribu untuk dua unit eq.
Rp32.680,00 juta sehingga terdapat selisih harga sebesar US$657.66 ribu (US$4,457.66
ribu – US$3,800.00 ribu) eq. Rp5.655,89 juta (Rp38.335,89 juta – Rp32.680,00 juta).
Dengan demikian harga yang diperjanjikan dalam perjanjian jual beli IBM pSeries 690
tidak dapat diyakini bahwa BNI mendapatkan harga yang menguntungkan.
c. Divisi UMM tidak menerbitkan SPK
Berdasarkan pengujian lebih lanjut terhadap dokumen persetujuan dan hasil
konfirmasi dengan bagian teknologi diketahui bahwa SPK untuk rekanan tidak dibuat.
Selama ini Surat Pemberitahuan Persetujuan No.UMM/4/1275 tanggal 31 Maret 2004
oleh Divisi UMM diidentikkan dengan SPK. Sedangkan kontrak/Perjanjian Perangkat
Network untuk DRC dengan PT SDD No.UMM/4/039/R dan Perjanjian Jual Beli dengan
Multipolar No.UMM/037/R ditandatangani pada tanggal 14 April 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6.1.1 yang menyebutkan bahwa
SPK dikeluarkan setelah atau bersamaan dengan surat penunjukan diterbitkan dan Bab
6.1.2 bahwa SPK dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan perintah mulai bekerja
kepada penyedia barang dan jasa yang ditunjuk sebelum kontrak selesai dibuat.
d. Hasil pemeriksaan phisik DRC di Jatiluhur yang dilaksanakan pada tanggal 25 Mei
2005 diketahui hal sebagai berikut :
1) Dari hasil peninjauan DRC di Jatiluhur dan pada saat dimintakan dokumentasi
mengenai hasil uji/test fasilitas DRC diketahui bahwa DRC belum pernah dilakukan
pengetesan secara keseluruhan, sehingga sulit dijamin kehandalannya. Sedangkan
pengetesan yang sudah dilaksanakan, yaitu baru untuk Kartu Kredit itupun secara
partial sedangkan secara keseluruhan belum dilaksanakan.
2) Adanya pengeluaran barang dari Jatiluhur yaitu berupa :
a) Seperangkat Cisco 7609, menurut lampiran kontrak terdapat dua unit namun
realisasinya hanya terdapat satu unit, hal tersebut dikarenakan satu unit perangkat
Cisco 7609 ditarik ke BNI Pusat dengan bukti Surat Pengeluaran Barang tertanggal
8 Maret 2005.
b) Total Storage System merk IBM Type 2105 sebanyak dua unit dan Kabel Power +
Legrand merk 64 A sebanyak dua pasang, yang dipinjam ke BNI Pusat dengan
bukti Surat Pengeluaran Barang tertanggal 16 April 2005.
Hal ini menunjukkan bahwa, pembangunan fasilitas DRC yang menghabiskan dana
sebesar US$13,450.95 ribu eq Rp115.678,19 juta untuk Net Work dan Hardware
(termasuk IBM P690/Regatta) tidak direncanakan dengan matang atau dengan kata lain
belum efektif berjalan sesuai dengan tujuannya.
73

Hal tersebut mengakibatkan BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga yang
paling menguntungkan, pembangunan fasilitas DRC sebesar US$13,450.95 ribu eq
Rp115.678,19 juta belum mencapai sasaran atau belum efektif dan adanya indikasi
kemahalan harga sebesar US$657.66 ribu eq. Rp5.655,89 juta.
Kondisi tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan
proses pengadaan DRC belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa
dalam BPP.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa:
a. Pengadaan perangkat network DRC (Hardware & Software) dan Hardware iCONS
dilakukan melalui penunjukkan langsung, dengan pertimbangan:
� Penunjukan langsung memudahkan integrasi kebutuhan dan instalasi antara main data
center dengan dissaster recovery center.
� Didasarkan pada aspek efektivitas dan efisiensi operasi serta dapat
dipertanggungjawabkan.
� Vendor yang ditunjuk telah sesuai rekomendasi dari principal (IBM) dengan
pertimbangan memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menyediakan barang dan
jasa sesuai persyaratan BNI.
Hal tersebut sesuai dengan keputusan pengadaan dilakukan oleh forum Direksi melalui
mekanisme penunjukkan langsung sejalan dengan BPP.3.2.3.2.3 dan BPP.3.1.3. Berkenaan
dengan kemungkinan adanya kelemahan dalam BPP akan menjadi prioritas review internal
BNI berikutnya. Selanjutnya untuk barang-barang yang spesifik akan dibuatkan daftar
vendor yang dianggap mampu untuk melaksanakan pekerjaan dimaksud.
b. Perbedaan harga dengan data situs ZD-Net News kemungkinan besar disebabkan oleh
perbedaan konfigurasi dan waktu. Konfigurasi hardware yang dipesan umumnya sangat
unik/spesifik karena selalui disesuaikan dengan kebutuhan pemesan. Pada prakteknya
hardware tersebut umumnya “dirakit pada saat dipesan”, sehingga, menurut hemat
kami, sulit untuk diperbandingkan. Harga dari web site ZD-Net News masih harus
ditambah dengan biaya shipping & handling, bea/pajak importasi, insurance, PPN, dsb.
Di samping itu pertimbangan kami yang lain adalah harga total dan jaminan
pelaksanaannya. Salah satu barang, secara individual, dapat saja lebih murah atau lebih
mahal dari lainnya, akan tetapi harga keseluruhannya (kontrak) belum tentu
menguntungkan BNI.
c. Pelaksanaan pekerjaan vendor didasarkan pada ketentuan dalam kontrak. BNI dan vendor
juga telah menandatangani surat persetujuan yang berfungsi dan berkekuatan hukum
sama dengan SPK. Untuk selanjutnya hal yang seperti ini akan dibuatkan SPK.
d. Pada dasarnya, BNI telah melaksanakan uji-coba DRC meskipun belum seluruhnya
karena dalam pelaksanaannya harus mengikuti jadwal yang telah ditetapkan agar tidak
mengganggu operasi network BNI secara keseluruhan. Implementasi DRC dilakukan
secara partial (mesin per mesin) sehingga pengetesan secara keseluruhan baru dapat
dilaksanakan setelah roll out BNI iCONS selesai paling lambat akhir tahun 2005.
e. Berkenaan dengan pengeluaran barang dari Jatiluhur dapat dijelaskan sebagai berikut:
� Perangkat Cisco 7609 yang ditarik ke Sudirman digunakan untuk pengetesan sesuai
kondisi sistem production, yang akan dikembalikan lagi ke DRC setelah pengetesan
selesai dilakukan.
� Digunakan untuk kebutuhan space storage yang ada di production system di Sudirman
untuk tujuan mengatasi masalah alokasi data pada storage production yang sudah
74

mencapai + 90% dan untuk menghindari masalah batch processing yang bisa
berdampak tidak berjalannya operasi BNI.
BPK RI menyarankan kepada Direksi BNI untuk mempertanggungjawabkan
kebijakannya kepada pemegang saham dalam memutus pengadaan DRC dengan penunjukan
langsung dan memperingatkan panitia pengadaan untuk mematuhi BPP secara konsisten.
12. Bank BNI tidak memberikan sanksi maupun pinalty kepada PT Swadharma Duta Data
yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai kontrak
Berdasarkan surat No. TEK/3/2977 tanggal 12 Agustus 2004, Divisi TEK
mengusulkan kepada Direktur Operasi untuk merelokasi mesin Back up Tandem dan
Cardlink (S/390) dari lokasi saat ini ke DRC Jatiluhur sehingga diperlukan penambahan
modul pada perangkat jaringan baik di Data Center Kantor Besar maupun DRC Jatiluhur.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan investasi sebesar ± US$225.79 ribu yang
akan dibiayai dari anggaran investasi otomasi Network DRC proyek Divisi TEK tahun 2004.
Usulan tersebut disetujui oleh tiga Direktur yaitu Direktur Manajemen Resiko, Direktur
Kepatuhan dan Direktur Perencanaan & SDM pada tanggal 19 Agustus 2004. Selanjutnya
Divisi UMM dengan surat No.UMM/4/4174 tanggal 7 Oktober 2004 melaksanakan
pelelangan terbatas di antara rekanan terdaftar Bank BNI yang berkualifikasi B dengan batas
akhir pendaftaran tanggal 13 Oktober 2004 setelah diperpanjang sesuai surat Divisi UMM
No.UMM/4/4235 tanggal 11 Oktober 2004. Pelelangan hanya diikuti oleh tiga rekanan yang
mendaftar dan memenuhi persyaratan, yaitu PT Swadharma Duta Data (PT SDD), PT
Multipolar Corporation (PT MC), dan PT Mastersystem Infotama (PT MI).
Berdasarkan Nota Intern Kelompok Pengadaan Teknologi dan Non Premisis (PPT)
No.UMM/4/295 tanggal 30 November 2004 kepada Pemimpin Divisi UMM, dilaporkan
antara lain hal sebagai berikut :
a. Sesuai hasil rapat koordinasi dengan Divisi TEK, pengadaan jaringan untuk DRC telah
dilaksanakan oleh BNI dengan cara penunjukan langsung melalui Principal Cisco (PT
Cisco Indonesia) yang menunjuk PT SDD untuk melaksanakan pengadaannya.
b. Menetapkan HPS pengadaan seluruhnya sebesar US$200.35 ribu (incl.PPN 10%) eq.
sebesar Rp1.827,60 juta (Kurs per tgl 25 Oktober 2004 yaitu US$1= Rp 9.122,00) dengan
rincian sebagai berikut :
1) Harga perangkat sebesar US$159.04 ribu eq.Rp1.450,82 juta.
2) Harga Implementasi/Services sebesar US$41.30 ribu eq. Rp376,78 juta.
c. Sehubungan dengan tiga rekanan yang mendaftar dan memenuhi persyaratan, maka
pengadaan dapat dilakukan dengan prosedur pemilihan langsung.
d. Kelompok PPT pada tanggal 2 November 2004 telah menegosiasi harga dengan ketiga
rekanan dengan hasil sebagai berikut :
Rekanan Keterangan
Harga Penawaran
(US$)
Harga Negosiasi
(US$)
PT SDD Perangkat
134,784.90 134,784.90
Maintenance
43,479.00 41,305.00
178,263.90 176,089.90
PPN 10 %
17,826.39 17,609.00
Total
196,090.29 193,698.90
PT MC Perangkat
160,877.97 160,877.97
Maintenance
60,938.63 60,938.63
Total
221,816.60 221,816.60
PT MI Perangkat 162,611.00 162,611.00
75

Maintenance
Total
65,762.00
228,373.00
65,762.00
228,373.00
e. Kelompok PPT mengusulkan pengadaan Upgrade Jaringan DRC dilaksanakan oleh PT
SDD dengan syarat antara lain :
1) Total harga pengadaan Upgrade Jaringan DRC sebesar US$193.69 ribu.
2) Delivery time : 6-8 minggu setelah SPK
3) Jaminan yang harus disampaikan berupa jaminan uang muka 20 % atau US$29.65
ribu sedangkan jaminan pelaksanaan sebesar US$7.41 ribu.
Pemimpin Divisi UMM menyetujui usulan tersebut pada tanggal 30 November 2004,
kemudian dengan surat No. UMM/4/5179 tanggal 21 Desember 2004 memberitahukan
kepada PT SDD mengenai persetujuan pengadaan Upgrade Jaringan DRC, dan melakukan
perikatan Perjanjian Pengadaan Perangkat untuk Upgrade Network DRC Site No.
UMM/4/182/R tanggal 23 Desember 2004 sebesar US$193.69 ribu. Jangka waktu ditetapkan
8 minggu terhitung sejak SPK dikeluarkan atau s.d tanggal 14 Pebruari 2005, dengan jaminan
berupa jaminan uang muka sebesar 20% atau sebesar US$29.65 ribu dan jaminan
pelaksanaan sebesar US$9.68 ribu.
Berdasarkan pemeriksaan atas pengadaan tersebut diatas, diketahui hal-hal sebagai
berikut :
a. Kelompok PPT tidak melakukan pelelangan ulang
Berdasarkan surat Divisi UMM No.UMM/4/4174 tanggal 7 Oktober 2004
mengenai pelaksanaan pelelangan terbatas diantara rekanan terdaftar Bank BNI dengan
kualifikasi B, diketahui bahwa walaupun pengumuman pelelangan telah diperpanjang dari
tanggal 11 Oktober 2004 menjadi tanggal 13 Oktober 2004, tetapi peserta pelelangan
hanya diikuti tiga rekanan yaitu PT SDD, PT MC dan PT MI. Proses pengadaan upgrade
DRC tersebut tidak dilelang ulang tetapi langsung diubah menjadi prosedur pemilihan
langsung.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Bab 4 butir 4.1.2.3, yang menyatakan bahwa
bila calon peserta pelelangan yang memenuhi persyaratan kurang dari lima, pelelangan
tidak dapat dilanjutkan dan penyusunan daftar calon peserta pelelangan harus diulang
dengan mengumumkan kembali untuk mengundang calon peserta pelelangan yang baru.
b. Divisi UMM maupun Divisi TEK tidak memberikan sanksi terhadap PT SDD yang
tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kontrak
Berdasarkan hasil konfirmasi dengan kelompok PPT, diketahui bahwa sesuai
Perjanjian No.UMM/4/182/R tanggal 23 Desember 2004, pekerjaan upgrade DRC
seharusnya berakhir pada tanggal 14 Pebruari 2005, tetapi sampai saat pemeriksaan
tanggal 18 April 2005 pekerjaan tersebut belum selesai atau terlambat 65 hari.
Berdasarkan surat PT SDD No.SDD/DIR/222 tanggal 6 Mei 2005 yang ditujukan kepada
Divisi UMM diketahui alasan keterlambatan penyelesaian pekerjaan yaitu perangkat
network yang diterima tanggal 14 Pebruari 2005 tidak dapat langsung diserahkan ke BNI
dengan pertimbangan bahwa fungsi perangkat tersebut tidak dapat diuji coba secara teknis
karena tidak adanya DC-DRC Link Upgrade 16 port serial for 7609 yang baru diterima
tanggal 20 April 2005. Terhadap keterlambatan tersebut Divisi UMM tidak memberikan
sanksi terhadap PT SDD.
Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan kontrak No. UMM/4/182/R tanggal 23
Desember 2004 pasal 10 yang intinya anatara lain menyebutkan bahwa perjanjian batal
jika pekerjaan tertunda oleh pihak Kedua lebih dari 1 (satu) bulan bukan disebabkan oleh
pihak Pertama tetapi disebabkan pihak Kedua tidak memungkinkan melanjutkan
76

pekerjaan, tidak terbatas pada surat ijin usaha dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi,
atau pihak Kedua dinyatakan pailit dan jika batas waktu perjanjian dalam pasal 4
perjanjian ini dilampaui lebih dari 50 hari kalender atau jumlah denda telah mencapai
lebih dari 5 % dari nilai terhitung.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI tidak segera dapat memanfaatkan hasil
upgrade sesuai rencana dan kehilangan pendapatan dari denda keterlambatan yang tidak
dikenakan sebesar 5 % dari nilai terhutang atau sebesar US$9.68 ribu eq Rp87,55 juta.
Hal tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan belum sepenuhnya
menerapkan peraturan yang ditetapkan dalam BPP dan PT SDD tidak sepenuhnya mematuhi
ketentuan yang telah diatur dalam kontrak No. No.UMM/4/182/R tanggal 23 Desember
2004.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa:
a. Pelelangan ulang tidak dapat dilaksanakan karena BNI telah melaksanakan pengumuman
lelang akan tetapi hanya 3 rekanan yang memasukan penawaran, meskipun pengumuman
tersebut telah diperpanjang melalui pengumuman kembali. Pemilihan Langsung
dilaksanakan dengan mengacu pada BPP Buku I Bab 3 Butir 3.2.2.2.3 yang mengatur
kondisi sebagaimana tersebut di atas. Untuk selanjutnya cara pengumuman lelang akan
kami perbaiki dengan membuat pengumuman melalui web site BNI dan e-Procurement.
b. Sanksi keterlambatan belum dapat diputuskan karena baik penyerahan barang maupun
transaksi pembayaran oleh BNI belum pernah terjadi, sanksi akan diperhitungkan pada
saat pembayaran.
BPK RI menyarankan agar Direksi BNI Direksi BNI mengkaji kembali BPP tentang
pengumuman lelang agar diumumkan dimedia yang lebih mudah diakses oleh publik
sehingga lebih transparan dan mengkaji kembali kekurangan denda keterlambatan dan
menagihkannya kepada rekanan.
13. Pengadaan barang dan jasa Sistem Implementor untuk keperluan Rollout Proyek NCB
dengan nilai perkiraan sebesar Rp39.035,70 juta tidak dilakukan sesuai ketentuan dan
terdapat ketidakhematan sebesar Rp6.400,50 juta
Dalam rangka menunjang pelaksanaan implementasi Business Plan Bank BNI di
bidang Teknologi Informasi (TI), Bank BNI telah menetapkan sistem core banking yang
tersentralisasi sebagai salah satu bagian dari pengembangan strategi TI yang efektif.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada tanggal 11 Maret 2002 Tim NCB dibentuk
berdasarkan SK Direksi No.KP/059/DIR/R. Tim tersebut beberapa kali berubah, yang
terakhir pada tanggal 10 Februari 2004 sesuai dengan SK Direksi No.KP/081/DIR/R. Salah
satu fungsi pokok dari Tim NCB adalah menunjang dan mengkoordinasikan pengelolaan
sistem pemilihan vendor/konsultan yang akan ditunjuk dalam pelaksanaan proyek NCB serta
menjaga agar pelaksanaannya sesuai dengan prinsip Good Corporate dan sistem yang berlaku
di Bank BNI. Salah satu pemilihan vendor yang dilakukan oleh Tim NCB adalah pengadaan
jasa roll out infrastruktur/Sistem Implementor (SI). Sebagai kelanjutan dari pengadaan
tersebut, maka pada tanggal 10 Juli 2003 diadakan presentasi Steering Committee (SC) yang
membahas progress Proyek NCB. Hasil yang disepakati dalam presentasi SC tersebut antara
lain sebagai berikut:
77

a. Calon vendor SI yang sudah mendapat persetujuan prinsip untuk diundang adalah PT
Asaba Computer Center (PT ACC), PT Multipolar Corporation (PT MC), PT
Mastersystem Infotama (PT MI), PT Astra Graphia (PT AG), PT Swadharma Sarana
Informatika (PT SSI) dan PT Swadharma Duta Data (PT SDD).
b. Untuk membantu proses implementasi/rollout NCB, pemilihan vendor/kandidat/ partner
minimal 2 partner sebagai SI.
c. Jangka waktu rollout adalah April-November 2004.
d. Total outlets Bank BNI yang akan di-rollout adalah sebanyak 840 (termasuk cabang,
capem, hubs dan kios).
Selanjutnya Tim NCB dengan surat No.REN/9/068s.d.073/NCB pada tanggal 1
Agustus 2003 mengirimkan undangan partisipasi dalam rangka seleksi pengadaan SI beserta
RFP. Setelah RFP dikembalikan, pada tanggal 11 s.d. 12 Agustus 2003 Tim NCB
mengevaluasi RFP aspek teknis yang dituangkan kedalam Berita Acara Rekapitulasi Hasil
Penilaian Aspek Teknis tanggal 14 Agustus 2003, dengan hasil sebagai berikut:
Vendor ACC AG MI MC SDD SSI
Skor Total 58,762 63,549 79,117 75,867 44,005 21,959
Berdasarkan memo Tim NCB kepada Divisi Hubungan Investor & Kesekretariatan (HIS) No.
HIS/3/0371/R tanggal 4 September 2003, disebutkan bahwa Rapat Direksi tanggal 25
Agustus 2003 menyetujui PT MI dan PT MC sebagai SI sesuai hasil kajian teknis diatas. Dari
memo Divisi UMM No.UMM/4/1029 tanggal 10 September 2003 diketahui bahwa Divisi
UMM melakukan negosiasi harga kepada kedua vendor tersebut pada tanggal 3 September
2003 dan perkiraan total biaya untuk implementasi/rollout adalah sebesar Rp39.035,70 juta.
Selanjutnya pada tanggal 30 Oktober 2003, Divisi UMM menerbitkan SPK No.UMM/4/4918
untuk PT MC dan No.UMM/4/4919 untuk PT MI. Sedangkan perjanjiannya ditandatangani
pada tanggal 27 Februari 2004, antara BNI dengan PT MC No.UMM/4/14/R dan PT MI
No.UMM/4/15/R. Hal-hal yang disepakati dalam kedua perjanjian tersebut antara lain:
a. Objek jual beli:
1) Barang terdiri dari Data Cabling termasuk panel/rack, Power Cabling dan Grounding.
Jumlahnya berdasarkan jumlah node (titik) dari Laporan Hasil Survey oleh SI.
2) Jasa terdiri dari jasa project management, jasa survey, jasa instalasi, jasa pelatihan
cara kerja, jasa simulasi, jasa cut over dan jasa on-site support.
b. Harga jual beli adalah sbb:
No Pekerjaan Satuan (Rp juta)
1) Services/Implementation
-Mandays Rate 0,53
2) Cabling Services
-Cost per node (Titik) 0,60
-Cost for Rack 40U 5,94
-Cost for Rack 15U 2,97
3) Electricity+Grounding Services
-Cost per node 0,25
-Grounding u/ Standard 0.2 Ω billed at cost
4) Transportation & Accomodation
Sesuai pasal 6 perjanjian, besarnya nilai akan ditagihkan setelah kegiatan rollout dilaksanakan.
c. Jangka waktu perjanjian berlaku selama 1 tahun terhitung sejak ditandatanganinya
perjanjian dan dapat diperpanjang atau dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak.
d. Jaminan pelaksanaan sebesar Rp906,95 juta.
78

Sehubungan dengan adanya pengumuman dari Pemerintah tentang kenaikan harga baja sejak
awal tahun 2004, PT MI dan PT MC meminta kepada Divisi UMM untuk dapat merevisi
harga rack sesuai surat PT MI No.Ref.0332.M.2004 tanggal 20 April 2004 dan surat PT MC
No.Ref.SI/L/04/0798 tanggal 21 April 2004. Kenaikan yang diusulkan oleh PT MI dan PT
MC adalah:
- Rp5,94 juta menjadi Rp7,95 juta untuk ukuran 40U dan
- Rp2,97 juta menjadi Rp3,98 juta untuk ukuran 15U.
Sebelum surat tersebut dibahas oleh Divisi UMM, Divisi TEK pada tanggal 6 Mei 2004
dengan memo kepada Divisi UMM No.TEK/13/1597 mengajukan revisi spesifikasi/
konfigurasi rack yang sebelumnya type 40U dan 15U menjadi type 42U. Dalam memo
tersebut tidak dijelaskan alasan perubahan spesifikasi tersebut. Perubahan tersebut hanya
menambah tinggi rack ± 9 cm. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 2004 Divisi UMM
mengundang rapat PT MI dan PT MC untuk membahas perubahan spesifikasi rack tersebut.
Berdasarkan hasil rapat, PT MI dan PT MC mengajukan penawaran harga rack yang baru dan
hasil negosiasi tanggal 28 Mei 2004 dan 2 September 2004 adalah sebagai berikut :
(Dalam juta Rp)
Penawaran Harga Negosiasi Harga (Tanggal)
Type
PT MI1) PT MC2) 28-5-2004 2-9-2004
Rack Server
Klas A 11,55 11,41 10,27 8,70
Klas B 11,55 11,41 10,27 8,70
Klas C 12,10 12,26 10,80 9,20
Klas D 12,43 12,70 11,15 9,50
Rack Network
Klas A 11,55 11,41 10,27 8,70
Klas B
Keterangan:
11,55 11,41 10,27 8,70
- 1) Sesuai dgn surat PT MI No.0404.M.2004 tgl.18 Mei 2004
- 2) Sesuai dgn surat PT MPC No.SI/Q/04/0219 tgl.18 Mei 2004
Berdasarkan hasil negosiasi tersebut, dengan nota No.PPT/4.1/221 tanggal 22 September
2004, Kelompok PPT meminta persetujuan Pemimpin Divisi UMM untuk mengaddendum
perjanjian dan disetujui tanggal 28 September 2004. Selanjutnya pada tanggal 2 November
2004 dibuat dan ditandatangani Addendum Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa untuk
Rollout antara Bank BNI dengan PT MI No.UMM/4/142/R dan PT MC No. UMM/4/143/R.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen pengadaan barang dan jasa SI
untuk keperluan implementasi proyek NCB diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Tim NCB dan Divisi UMM (Panitia Pengadaan) tidak mengevaluasi harga dalam
mengadakan barang dan jasa SI untuk keperluan rollout
Berdasarkan memo Tim NCB kepada Divisi UMM No.REN/9/392/NCB tanggal 5
September 2003, diketahui bahwa evaluasi yang dilakukan oleh Panitia Pengadaan hanya
terbatas pada aspek teknis saja, sedangkan terhadap aspek harga yang ditawarkan oleh
kandidat SI tidak dilakukan. Evaluasi baru dilakukan pada saat negosiasi harga antara
kandidat SI ranking 1 dan 2 (PT MI dan PT MC) dengan Tim NCB, Divisi UMM dan
Divisi TEK. Sehubungan dengan tidak dilakukannya evaluasi harga, maka Bank BNI
tidak mendapatkan harga penawaran yang termurah. Disamping itu, Direksi Bank BNI
dalam menyetujui usulan penunjukan vendor SI hanya berpedoman pada hasil
kajian/penilaian aspek teknis saja, yang terungkap dalam Risalah Rapat Direksi tanggal 25
Agustus 2003 dan memo Tim NCB kepada Divisi HIS tanggal 4 September 2003.
79

Hal tersebut tidak sesuai dengan:
1) BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.7 yang menjelaskan bahwa pengadaan barang dan jasa
harus memenuhi kualitas menurut persyaratan teknis yang ditentukan dan harga yang
paling menguntungkan dengan hasil yang optimal.
2) BPP Buku I Bab 4 butir 4.1.7.1 yang menjelaskan bahwa pelaksanaan evaluasi
penawaran dilakukan oleh Panitia Pengadaan terhadap semua penawaran yang
dinyatakan sah pada saat pembukaan penawaran. Evaluasi tersebut meliputi evaluasi
administrasi, teknis dan harga berdasarkan kriteria, metode dan tata cara evaluasi yang
telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan.
3) BPP Buku I Bab 4 butir 4.1.7.4.1 yang menjelaskan bahwa unsur-unsur yang perlu
diteliti dan dinilai dalam evaluasi harga meliputi kewajaran harga penawaran dengan
membandingkan terhadap HPS.
4) BPP Buku I Bab 4 butir 4.1.10.1 yang menjelaskan bahwa dalam penetapan pemenang
lelang, Panitia Pengadaan merekomendasikan calon pemenang lelang yang
memasukan penawaran yang menguntungkan bagi Bank BNI dalam arti:
a) Penawaran secara administratif dan teknis dapat dipertanggungjawabkan.
b) Perhitungan harga yang ditawarkan dapat dipertanggungjawabkan.
c) Penawaran tersebut adalah terendah diantara penawaran yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud di atas.
b. Panitia pengadaan tidak membuat HPS kecuali untuk HPS Rack dibuat setelah
pembukaan penawaran harga
Berdasarkan hasil pengujian lebih lanjut dan konfirmasi dengan Panitia Pengadaan,
diketahui bahwa:
1) Panitia Pengadaan tidak membuat HPS untuk beberapa item pekerjaan dalam
pengadaan barang dan jasa SI, yaitu services/implementasi (mandays rate), cabling
services (cost per node), electricity+grounding services (cost per node & grounding
untuk Standard 0.2Ω) dan transportation & accommodation.
2) HPS Rack Server dan Rack Network dibuat setelah adanya permintaan perubahan
spesifikasi rack sesuai memo No.TEK/13/1597 tanggal 6 Mei 2004. HPS tersebut
dibuat oleh Divisi UMM pada tanggal 26 Mei 2004. Sedangkan surat penawaran
terhadap perubahan harga rack diberikan oleh PT MI dan PT MC pada tanggal 18 Mei
2004, sesuai dengan surat PT MI No.0404.M.2004 dan PT MPC No.SI/Q/04/0219.
Dengan demikian HPS rack perubahan spesifikasi dibuat setelah surat penawaran
harga dari PT MI dan PT MC masuk.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.4.1 yang menyebutkan
bahwa setiap unit yang berwenang melaksanakan pengadaan barang dan atau jasa harus
memiliki HPS yang dikalkulasikan secara keahlian/profesional. HPS harus disahkan oleh
pemimpin unit yang akan melaksanakan pengadaan barang dan atau jasa atau pejabat yang
berwenang memutus pengadaan barang dan atau jasa sebelum acara pembukaan
penawaran harga.
c. Jangka waktu perjanjian pengadaan barang dan jasa SI untuk keperluan rollout
belum diperpanjang
Dalam Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa untuk Rollout yang ditandatangani
Bank BNI dengan PT MI dan PT MC pada tanggal 27 Februari 2004, pasal 16 disebutkan
bahwa jangka waktu perjanjian berlaku selama 1 tahun terhitung sejak perjanjian
ditandatangani oleh kedua belah pihak dan dapat diperpanjang atau dihentikan atas
kesepakatan kedua belah pihak. Dengan demikian pada tanggal 27 Februari 2005 jangka
80

waktu perjanjian tersebut telah berakhir. Namun sampai dengan saat pemeriksaan tanggal
27 Juni 2005, perjanjian tersebut belum diperpanjang, sementara pekerjaan SI oleh PT MI
dan PT MC belum berakhir.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa untuk
Rollout No.UMM/4/14/R dan No.UMM/4/15/R tanggal 27 Februari 2004, pasal 16 yang
menjelaskan bahwa jangka waktu perjanjian berlaku selama 1 tahun terhitung sejak
ditandatanganinya perjanjian oleh kedua belah pihak dan dapat diperpanjang atau
dihentikan atas kesepakatan kedua belah pihak.
d. Jadwal pekerjaan rollout yang pasti dalam perjanjian tidak ditetapkan
Sesuai pasal 9 butir II Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa untuk Rollout tanggal
27 Februari 2004, disebutkan bahwa jadwal rollout ke seluruh kantor cabang terdapat pada
lampiran 2 perjanjian tersebut. Namun dari penelitian terhadap lampiran 2 perjanjian
tersebut tidak terdapat jadwal rollout yang dimaksud. Setelah dikonfirmasi kepada Panitia
Pengadaan, diketahui bahwa pada saat perjanjian dibuat/ditandatangani, Tim NCB belum
dapat memastikan kapan mulai dan berakhirnya waktu rollout. Sedangkan jadwal rollout
schedule (1) baru disampaikan oleh Divisi TEK kepada Direksi dengan memo
No.TEK/1/767 pada tanggal 3 Maret 2004 untuk meminta persetujuan. Pada lampiran
memo tersebut diketahui bahwa jadwal rollout yang disetujui Direksi adalah 19 April
2004 s.d. 9 Mei 2005. Namun sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005,
pelaksanaan rollout oleh SI belum selesai.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6 butir 6.2.3.8 yang menyebutkan
bahwa di dalam kontrak memuat jangka waktu pelaksanaan kontrak, kapan dimulainya
dan kapan berakhirnya pekerjaan.
e. Perencanaan pengadaan Rack Server dan Rack Network untuk keperluan rollout
tidak dilakukan dengan matang
Berdasarkan hasil pengujian dan konfirmasi dengan Panitia Pengadaan diketahui
hal-hal sebagai berikut:
1) Tidak ada kajian/evaluasi/justifikasi teknis tentang spesifikasi rack type 40U dan 15U
untuk kebutuhan rollout/implementasi.
2) Adanya perubahan spesifikasi rack dari type 40U dan 15U menjadi 42U, setelah
perjanjian pengadaan barang dan jasa SI untuk keperluan rollout ditandatangani.
3) Tim NCB belum dapat memastikan kapan mulai dan berakhirnya waktu rollout.
4) Pada saat perjanjian ditandatangani, Divisi UMM sebagai unit yang memiliki
kewenangan pengadaan, tidak mengetahui rencana distribusi (user) Rack Server dan
Rack Network.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa baik TIM NCB maupun Divisi UMM dalam
menentukan spesifikasi dan rencana distribusi rack untuk kebutuhan rollout kurang
matang.
Hal tersebut tidak sesuai dangan:
1) BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.7 yang menyebutkan bahwa pengadaan barang dan jasa
harus memenuhi kualitas menurut persyaratan teknis yang ditentukan dan harga yang
paling menguntungkan dengan hasil yang optimal.
2) BPP Buku IV Bab 3 butir 3.3.5 yang menyebutkan bahwa kebutuhan barang-barang
otomasi terlebih dahulu dimintakan rekomendasi dari unit yang berkompeten,
selanjutnya diteruskan ke unit yang memiliki kewenangan pengadaan dengan disertai
jenis barang otomasi yang dibutuhkan termasuk merk, spesifikasi yang dibutuhkan
serta rencana distribusinya.
81

f. Persetujuan addendum perjanjian pengadaan barang dan jasa SI untuk keperluan
rollout hanya diberikan oleh Pemimpin Divisi UMM
Persetujuan terhadap usulan addendum perjanjian SI karena adanya perubahan
spesifikasi rack diberikan oleh Pemimpin Divisi UMM pada tanggal 28 September 2004,
sesuai dengan nota Kelompok PPT No.PPT/4.1/221 tanggal 22 September 2004. Dalam
nota tersebut dijelaskan bahwa perkiraan total harga untuk kebutuhan rack setelah
mengalami perubahan spesifikasi menjadi sebesar Rp9.311,10 juta, dari nilai sebelumnya
sebesar Rp2.910,60 juta sehingga terdapat selisih sebesar Rp6.400,50 juta. Jika melihat
besarnya tambahan perkiraan harga, maka persetujuan seharusnya diberikan oleh dua
Direktur.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku V Tabel-1 yang menyebutkan bahwa
kewenangan memutus pengadaan dengan nilai Rp5.000,00 juta s.d. Rp20.000,00 juta
adalah dua Direktur (Dir.Sektor dan Dir.Terkait).
g. Perubahan spesifikasi rack tidak hemat minimal sebesar Rp6.400,50 juta
Berdasarkan Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa tanggal 27 Februari 2004, pasal
4 ayat 1 disebutkan bahwa harga jual beli satuan barang dan jasa antara lain adalah:
(dalam juta rupiah)
No. Tipe Rack Satuan Jumlah *) Total *)
1. Cost of Rack 40U 5,94 140 831,60
2. Cost of Rack 15U 2,97 700 2.079,00
Total 840 2.910,60
*) Sesuai surat PT MI No.Ref.2895.M.2003 tanggal 15 Desember 2003 dan surat PT MC
No.Ref.FIBU/L/03/2575 tanggal 9 Desember 2003.
Sedangkan setelah adanya permintaan perubahan spesifikasi dan kebutuhan rack dari
Divisi TEK, yang kemudian dituangkan dalam Addendum Perjanjian tanggal 2 November
2004, biaya pengadaan rack menjadi:
(dalam juta rupiah)
No Tipe Rack Satuan Jumlah *) Total *)
1. Rack Server (42U)
Klas A 8,70 6 52,20
Klas B 8,70 109 948,30
Klas C 9,20 143 1.315,60
Klas D 9,50 631 5.994,50
2. Rack Network (42U)
Klas A 8,70 6 52,20
Klas B 8,70 109 948,30
Total 1004 9.311,10
*) Sesuai nota Kelompok PPT kepada Pemimpin Divisi UMM No.PPT/4.1/221 tanggal 22 September
2004.
Berdasarkan hasil kajian konfigurasi rack yang dibuat oleh Divisi TEK dan hasil
cek fisik tanggal 10 Mei 2005 pada Kantor Cabang Utama Jakarta Pusat, Harmoni, dan
Menteng, diketahui bahwa selisih tinggi rack type 40U dibandingkan type 42U adalah ± 9
cm, selisih tersebut menurut pengamatan yang dilakukan oleh auditor tidak terlalu
signifikan, karena kondisi fisik rack masih terdapat beberapa ruang (space) yang kosong
dan belum dimanfaatkan. Sehingga dari tabel di atas dapat disimpulkan telah terjadi
ketidakhematan minimal sebesar Rp6.400,50 juta (Rp9.311,10 juta - Rp2.910,60 juta),
sebagai akibat perubahan spesifikasi rack.
82

Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.1 yang menyebutkan
bahwa pengadaan barang dan jasa harus menggunakan sumber dana yang dimiliki untuk
memperoleh manfaat setinggi-tingginya bagi Bank BNI (efisien), butir 1.3.2 bahwa
pengadaan barang dan jasa harus memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dan dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Bank BNI dan butir 1.3.7 bahwa
pengadaan barang dan jasa harus memenuhi kualitas menurut persyaratan teknis yang
ditentukan dan harga yang paling menguntungkan dengan hasil yang optimal.
Hal tersebut mengakibatkan:
a. Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga yang paling menguntungkan
dalam pengadaan barang dan jasa SI untuk keperluan rollout NCB.
b. HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran serta untuk menilai kewajaran
harga penawaran tidak dapat digunakan sebagai sarana negosiasi harga yang efektif.
c. Jangka waktu perjanjian yang belum diperpanjang dan jadwal pekerjaan yang tidak
ditetapkan dengan jelas kurang melindungi kepentingan BNI.
d. Direktur Sektor dan Direktur Terkait tidak dapat mempertimbangkan secara dini
terhadap kelayakan penambahan harga dari perubahan spesifikasi rack.
e. Adanya ketidakhematan minimal sebesar Rp6.400,50 juta dari adanya perubahan
spesifikasi rack untuk keperluan rollout.
Kondisi tersebut terjadi karena panitia pengadaan dalam proses pengadaan barang
dan jasa SI untuk keperluan rollout NCB belum sepenuhnya menerapkan ketentuan
pengadaan barang dan jasa dalam BPP dan Pemimpin Divisi UMM dalam mengambil
keputusan tidak memperhatikan batas kewenangannya.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa:
a. Pertimbangan tidak dilakukan evaluasi harga antara lain karena pengadaan tersebut
merupakan pengadaan yang pertama kali dan lebih mengutamakan keberhasilan aspek
teknis.
b. HPS tidak dapat dibuat dengan pertimbangan sebagai berikut :
1) Sumber data dan informasi terbatas pada data bench mark Bank Mandiri, karena
belum pernah ada pengalaman pengadaan SI selama ini.
2) Sumber informasi dan data dari luar (external sources) juga sulit sekali diperoleh,
karena sifatnya yang spesifik, tidak tersedia di pasaran bebas, dan bukan jasa umum.
3) Penyusunan HPS Rack (server & network), dapat dibuat karena telah ada proses
pembelajaran (learning process) yang lebih baik dari staff Divisi UMM berdasarkan
informasi spesifikasi yang disampaikan oleh Divisi TEK dan Rekanan SI.
c. Mengingat adanya kesibukan yang meningkat pada awal tahun 2005, serta kelemahan
monitoring pelaksanaan kontrak yang berjalan maka perpanjangan kontrak terlambat di
proses. Untuk selanjutnya akan dilakukan perbaikan dalam monitoring pelaksanaan
kontrak berjalan baik oleh atasan langsung maupun SPI.
d. Walaupun dalam RFP dan kontrak perjanjian tercantum klausul untuk menyiapkan usulan
jadwal pekerjaan roll out yang disusun oleh SI yang bersangkutan, namun dalam
kenyataannya usulan jadwal tersebut sangat sulit untuk bisa diterbitkan pada saat kontrak
ditandatangani karena:
1) Pekerjaan roll out tersebut sangat luas dan kompleks.
2) Lokasi terus bertambah dan berubah sesuai perkembangan usaha di lapangan.
83

3) Menghindarkan adanya addendum yang diprediksi akan terus terjadi dalam lampiran
kontrak, kalau usulan jadwal dipaksakan diterbitkan dengan segala keterbatasannya.
Untuk itu Divisi TEK telah menerbitkan usulan jadwal secara bertahap yang disepakati
dengan SI untuk setiap lokasi yang akan dimulai pekerjaan roll out-nya. Sampai dengan
pertengahan Juli 2005 telah diselesaikan sebanyak 708 outlet (dari total 907 outlet).
e. Perencanaan pengadaan Rack Server dan Rack Network sulit untuk ditetapkan dengan
tingkat kepastian yang tinggi karena dalam kenyataannya harus berdasarkan pada hasil
survey di lapangan oleh SI. Di lain pihak survey baru dapat dilakukan setelah kontrak
resmi ditandatangani. Dengan demikian pada awal persiapan persetujuan kontrak
pekerjaan roll out, pengadaan rack masih didasarkan pada perkiraan data sementara dan
harus dimatangkan oleh informasi tambahan hasil survey agar hasilnya lebih tepat dan
bermanfaat bagi operasional unit yang membutuhkan.
f. Persetujuan addendum nilai pengadaan rack tidak disampaikan kepada Direksi yang
berwenang, semata-mata karena Divisi UMM menafsirkannya sebagai akibat perubahan
spesifikasi teknik yang harga per-unitnya hanya dibawah Rp10,00 juta. Karena perubahan
harga per unit relatif kecil, maka Tim pengadaan Divisi UMM memutuskan bahwa
persetujuan perubahan harga tersebut cukup hanya sampai Pemimpin Divisi UMM.
g. Penambahan nilai pengadaan Rack pada pekerjaan roll out sebesar Rp6.400,50 juta
belum dapat dikatakan tidak hemat, karena :
1) Adanya penambahan jumlah rack dari 840 unit menjadi 1004 unit dan penambahan
spesifikasi yang benar-benar dibutuhkan oleh PT BNI sesuai hasil survey SI.
2) Disamping itu nilai awal sebesar Rp2.910,60 juta hanya merupakan data awal
pengadaan rack dan hanya sebagai “perkiraan sementara”, sehingga tidak mengikat
kepada suatu angka yang pasti dalam kontrak.
BPK-RI menyarankan agar Direksi BNI meminta pertanggungjawaban kepada
Pemimpin Divisi UMM karena keputusannya berada diluar kewenangan, memperingatkan
panitia pengadaan untuk mematuhi ketentuan pengadan barang dan jasa dalam BPP dan
selanjutnya kebutuhan barang dan jasa di lingkungan Bank BNI harus direncanakan dengan
baik dan matang.
14. Pengadaan Mesin IBM P670 dan P650 sebesar eq. Rp15.570,98 juta tidak sepenuhnya
sesuai ketentuan
Untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur mesin development dan testing dalam rangka
pilotting NCB pada bulan November 2003, Tim NCB memandang perlu agar para
programmer yang bertugas membuat dan memperbaiki aplikasi program untuk kebutuhan
Bank BNI memiliki media tersendiri agar tidak mengganggu product environment yang
sedang berjalan. Setelah dilakukan kajian terhadap kebutuhan tersebut, disimpulkan bahwa
perangkat keras yang dibutuhkan untuk proses pilotting adalah 1 server merk IBM
RISC/6000 type P670 dan 1 server merk IBM RISC/6000 type P650.
Selanjutnya Divisi UMM dengan memo No. UMM/4/3380 tanggal 3 September 2003
meminta PT IBM Indonesia untuk menyampaikan daftar harga hardware tersebut dan busines
partner yang direkomendasikan. PT IBM dengan surat No. 4 /CNL/IX/03 tanggal 4
September 2003 menunjuk langsung PT Multipolar Corporation (PT MC) sebagai business
partner yang direkomendasikan dan dapat mendukung kebutuhan BNI dengan pertimbangan
antara lain memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menyediakan barang dan jasa bagi
Bank BNI, sehingga diputuskan pengadaan hardware tersebut dengan cara penunjukan
84

langsung. HPS untuk kebutuhan hardware tersebut tidak dapat dihitung oleh panitia
pengadaan karena hardware tersebut bersifat sangat spesifik dan konfigurasi hardware yang
dibutuhkan saat ini berbeda dengan konfigurasi yang terdapat di pasaran atau di perusahaan
lain. Dengan pertimbangan tersebut maka negosiasi terhadap hardware tersebut dilakukan
langsung dengan prinsipalnya yaitu PT IBM. Atas penunjukan tersebut, Divisi UMM, Divisi
TEK beserta tim NCB melakukan rapat klarifikasi dan negosiasi dengan PT IBM dan PT MC
pada tanggal 5 September 2003 dengan hasil sebagai berikut:
Penawaran PT IBM dengan surat No 4/CNL/IX/03 sebesar 3,040.37 ribu
Revisi harga setelah revisi spesifikasi sebesar 2,321.82 ribu
Hasil Negosisasi pada tanggal 5 September 2003 sebesar 1,859.00 ribu
Setelah disetujui Direktur Kepatuhan dan Direktur Operasional tanggal 17 September
2003, selanjutnya dibuat Surat Persetujuan Pengadaan RISC6000 P670 dan P650 dengan PT
MC No.UMM/4/4409 tanggal 30 September 2003 dan dituangkan ke dalam Surat Perjanjian
No.UMM/4/128R tanggal 10 Oktober 2003 sebesar US$1,859.00 ribu eq. Rp15.570,98 juta
juta (asumsi kurs tengah BI pada tanggal 10 Oktober 2003, 1US$= Rp8.376,00)
Dari pemeriksaan dokumen diperoleh beberapa permasalahan sebagai berikut :
a. Pengadaan dilaksanakan dengan penunjukan langsung
Berdasarkan memo No.UMM/4/3380 tanggal 3 September 2003 Divisi UMM
menunjuk langsung PT IBM untuk mengadakan kebutuhan hardware tersebut. Selanjutnya
PT IBM dengan surat No. 4/CNL/IX/03 tanggal 4 September 2003 menunjuk PT MC,
sebagai business partner yang direkomendasikan dan dapat mendukung kebutuhan BNI.
Pengadaan tersebut seharusnya dilakukan melalui lelang karena nilainya diatas Rp500,00
juta yaitu sebesar Rp15.570,98 juta dan business partner PT IBM tidak hanya PT MC akan
tetapi masih ada yang lain yaitu PT Anabatic Tehnologi dan PT Srisindhu Lestari.
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang
menyebutkan bahwa pengadaaan barang atau jasa dengan nilai diatas Rp500,00 juta harus
diadakan dengan cara pelelangan, butir 3.2.2.1 bahwa pelelangan dilakukan secara terbuka
melalui pengumuman pada papan pengumuman di Kantor BNI atau pemberitahuan tertulis
kepada asosiasi penyediaan barang dan jasa, atau pengiriman undangan lelang kepada
rekanan Bank BNI dan butir 3.2.3.2.3 bahwa salah satu kriteria penunjukan langsung
adalah pengadaan barang dan jasa spesifik, yaitu yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu
penyedia barang dan atau jasa, agen tunggal, pemegang hak paten atau principal.
b. HPS tidak dibuat karena merupakan barang yang spesifik, diragukan dan tidak
sesuai ketentuan
Dari memo No. UMM/4/1071 tanggal 17 September 2003 diketahui bahwa HPS
untuk pengadaan hardware ini tidak dapat dihitung karena merupakan barang yang
sifatnya spesifik dan konfigurasi hardware yang dibutuhkan saat ini berbeda dengan
konfigurasi yang terdapat dipasaran. Namun demikian belum ada kajian bahwa pengadaan
barang tersebut spesifik yang hanya dapat dilaksanakan oleh satu penyedia barang dan
atau jasa, agen tunggal, pemegang hak paten atau principal. Karena HPS sangat
diperlukan untuk mengevaluasi kewajaran harga, maka apabila tidak bisa disusun sendiri,
panitia pengadaan seharusnya melakukan survei dengan lembaga yang telah
memanfaatkan teknologi informasi yang sejenis atau menyewa konsultan teknologi yang
mempunyai kemampuan untuk membantu penyusunan HPS tersebut.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.4.1 yang menyebutkan
bahwa setiap unit yang berwenang melaksanakan pengadaan barang dan atau jasa harus
85

memiliki HPS yang dikalkulasikan secara keahlian/profesional. HPS harus disahkan oleh
pemimpin unit yang akan melaksanakan pengadaan barang dan atau jasa atau pejabat yang
berwenang memutus pengadaan barang dan atau jasa sebelum acara pembukaan
penawaran harga dan butir 3.4.3 bahwa HPS harus dihitung dengan cermat dengan
mempertimbangkan antara lain analisis harga satuan barang, harga pasar barang tersebut,
harga kontrak untuk barang/pekerjaan sejenis setempat yang pernah dilaksanakan, harga/
tarif barang dan atau jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/agen prinsipal tunggal atau
lembaga independen.
c. Surat Perintah Kerja (SPK) Tidak Diterbitkan
Dari pengujian lebih lanjut terhadap dokumen persetujuan pengadaan Mesin IBM
P670 dan P650, diketahui bahwa Divisi UMM tidak menerbitkan SPK yang ditujukan
kepada PT MC sebagai penyedia barang yang ditunjuk. Sebelum Surat Perjanjian
No.UMM/4/128R tanggal 10 Oktober 2003 dibuat, Divisi UMM mengirimkan Surat
Persetujuan Pengadaan No.UMM/4/4409 tanggal 30 September 2003.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6.1.1 yang menyebutkan bahwa
SPK dikeluarkan setelah atau bersamaan dengan surat penunjukan diterbitkan dan BPP
Buku I Bab 6.1.2 bahwa SPK dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan perintah
mulai bekerja kepada penyedia barang dan jasa yang ditunjuk sebelum kontrak selesai
dibuat.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapatkan harga
mesin IBM PSeries yang paling menguntungkan dengan kualitas terbaik.
Hal tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam melakukan
proses pengadaan tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam
BPP.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa:
a. Pertimbangan penunjukan langsung mengacu pada penafsiran kami atas BPP Buku I Bab
3 Butir 3.2.3.2.3, mengingat Server IBM P-Series merupakan produk yang spesifik
karena konfigurasinya ditentukan oleh kebutuhan user. Pada prakteknya, jarang sekali
terjadi konfigurasi yang sama untuk setiap penjualan dan prinsipal (IBM) hanya
merekomendasikan satu business partner setelah mempertimbangkan risiko dan
persyaratan kemampuan dan pengalaman vendor.
b. HPS tidak dibuat karena IBM P-Series merupakan barang yang unik, sehingga tidak ada
informasi harga pembanding yang setara baik dari publikasi yang ada maupun transaksi
lainnya. Untuk mengendalikan harga diusahakan negosiasi sehingga memperoleh diskon
sesuai kelaziman sekitar 10%. Diskon yang diperoleh BNI rata-rata 20% dari daftar harga
yang ditawarkan. Selanjutnya kami akan mengupayakan lebih banyak informasi untuk
melihat kewajaran harga, misalnya melalui internet dll.
c. Surat persetujuan dianggap memiliki fungsi dan kekuatan hukum yang sama dengan
SPK, karena surat persetujuan memuat persetujuan dan klausula yang sama dengan SPK.
Untuk yang akan datang, SPK akan diterbitkan sesuai dengan BPP.
BPK RI menyarankan kepada Direksi BNI untuk mempertanggungjawabkan
kebijakannya kepada pemegang saham dalam memutus pengadaan server dengan penunjukan
langsung dan memperingatkan panitia pengadaan untuk mematuhi BPP secara konsisten.
86

15. Pengadaan tambahan Modul Aplikasi Base-24 sebesar eq. Rp12.955,63 juta belum
sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
Dalam rangka mendukung pemenuhan persyaratan kepatuhan terhadap pihak ketiga
(dhi. MasterCard) dan pengembangan produk/jasa baru, dengan memo No.TEK/1/1319
tanggal 15 April 2004, Divisi TEK mengusulkan kepada Direktur Operasi untuk menambah
beberapa modul pada aplikasi Base-24 (B24). B24 merupakan aplikasi yang digunakan pada
mesin Tandem. Modul-modul tersebut yaitu:
a. Modul ATM Cash Deposit Machine (CDM), diperlukan untuk mendukung Divisi
Operasional (OPR) terkait dengan pelaksanaan penyediaan ATM yang berfungsi sebagai
Cash Deposit, yang diharapkan menjadi layanan unggulan Bank BNI.
b. Modul BankNet MasterCard, diperlukan untuk mendukung Divisi Pengelola Bisnis Kartu
(PBK) terkait dengan aktivitas komunikasi antara Tandem Bank BNI dengan jaringan
MasterCard International Credit System.
c. Modul ATM MultiCurrency, diperlukan oleh Divisi Pengelolaan Business Personal
(PBP) untuk mendukung pelaksanaan pengembangan produk baru yaitu ATM DollarPlus.
Sehubungan hal tersebut, Divisi TEK dengan memo No.TEK/13/1876 tanggal 27 Mei 2004
meminta Divisi UMM untuk mengadakan tambahan modul-modul tersebut. Dalam memo
tersebut dijelaskan bahwa kebutuhan tambahan modul tersebut telah disetujui oleh Direktur
Operasi pada tanggal 15 April 2004. Disamping itu, Divisi TEK juga melampirkan
penawaran harga tambahan modul dari PT Abhimata Persada (PT AP) yang merupakan
distributor tunggal produk-produk ACI’s Base24 di Indonesia.
Selanjutnya Divisi UMM dengan surat No.UMM/4/2312 tanggal 8 Juni 2004
mengundang PT AP untuk melakukan negosiasi harga modul tambahan aplikasi B24.
Negosiasi tersebut dilakukan pada tanggal 10 Juni 2004, dengan hasil sebagai berikut:
(dalam ribu US$)
Produk Services
No Modul Penawaran Hasil Negosiasi Penawaran Hasil Negosiasi
(US$) (US$) (US$) (US$)
1. ATM Multi Currency 147.82 127.12 96.00 42.50
2. Banknet 438.75 377.32 54.00 29.75
3. CDM 547.27 470.65 60.00 38.25
Total 975.10 210.00 110.50
Cat.: Maintenance License per tahun adalah 18% dari total nilai hasil negosiasi produk.
Dari memo Divisi UMM No.UMM/4/799 tanggal 25 Juni 2004 diketahui bahwa pengadaan
tambahan modul B24 yang dilakukan dengan cara penunjukan langsung disetujui oleh
Direksi Bank BNI pada tanggal 25 Juni 2004. Sedangkan Surat Persetujuan Penambahan
Modul B24 telah dikirim oleh Divisi UMM pada tanggal 20 Juni 2004 No.UMM/4/2847 j.o.
No.UMM/4/3028 tanggal 2 Agustus 2004, yang kemudian dituangkan ke dalam Perjanjian
Pengadaan Modul Aplikasi Base-24 No.UMM/4/119/R tanggal 7 Oktober 2004.
Berdasarkan pemeriksaan atas pengadaan tambahan modul aplikasi B24, diketahui
hal-hal sebagai berikut:
a. HPS dibuat hanya berdasarkan pada surat penawaran dari rekanan
Dari pengujian lebih lanjut terhadap dokumen HPS diketahui bahwa Divisi UMM
dalam membuat dan menetapkan HPS hanya didasarkan pada penawaran harga dari PT
AP, yaitu dihitung dengan cara mengurangi harga yang ditawarkan dengan diskon sebesar
10% s.d. 18%. Hal tersebut menunjukkan bahwa HPS dibuat setelah surat penawaran
harga dari PT AP masuk dan tidak didasari atas perhitungan yang cermat.
87

Hal tersebut tidak sesuai dengan:
1) BPP Buku I Bab 3.4.1 yang menyebutkan bahwa setiap unit yang berwenang
melaksanakan pengadaan barang dan atau jasa harus memiliki HPS yang
dikalkulasikan secara keahlian/profesional. HPS harus disahkan oleh pemimpin unit
yang akan melaksanakan pengadaan barang dan atau jasa atau pejabat yang
berwenang memutus pengadaan barang dan atau jasa sebelum acara pembukaan
penawaran harga.
2) BPP Buku I Bab 3.4.3 yang menyebutkan bahwa HPS harus dihitung dengan cermat
dan mempertimbangkan antara lain analisis harga satuan pekerjaan yang
bersangkutan, harga pasar setempat pada waktu penyusunan HPS dan informasi lain
yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. SPK pengadaan tambahan modul pada Aplikasi B24 tidak diterbitkan
Hasil penelitian lebih lanjut terhadap dokumen persetujuan pengadaan tambahan
modul pada aplikasi B24 menunjukkan bahwa Divisi UMM tidak menerbitkan SPK
kepada PT AP sebagai penyedia barang yang ditunjuk. Sebelum kontrak dibuat, Divisi
UMM hanya mengirimkan surat Persetujuan Penambahan Modul Base24
No.UMM/4/2847 tanggal 20 Juni 2004 j.o. No.UMM/4/3028 tanggal 2 Agustus 2004.
Sedangkan Perjanjian Pengadaan Modul Aplikasi Base-24 No.UMM/4/119/R
ditandatangani pada tanggal 7 Oktober 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6.1.1 yang menyebutkan bahwa
SPK dikeluarkan setelah atau bersamaan dengan surat penunjukan diterbitkan, Bab 6.1.2
bahwa SPK dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan perintah mulai bekerja kepada
penyedia barang dan jasa yang ditunjuk sebelum kontrak selesai dibuat dan Bab 6.1.3
yang menyebutkan bahwa apabila pembuatan kontrak dirasa tidak memerlukan waktu
yang terlalu lama, maka dimungkinkan SPK ditiadakan.
c. Perjanjian pengadaan tambahan modul aplikasi B24 tidak menetapkan jangka
waktu pelaksanaan pekerjaan
Dalam Perjanjian Pengadaan Modul Aplikasi Base-24 tanggal 7 Oktober 2004
tidak disebutkan tanggal mulai dan berakhirnya pelaksanaan pekerjaan. Pada perjanjian
tersebut hanya dijelaskan mulai berlakunya perjanjian yaitu sejak tanggal diterbitkannya
surat penunjukan No.UMM/4/2847 tanggal 20 Juni 2004, tetapi tidak menyebutkan kapan
berakhirnya pelaksanaan pekerjaan tersebut (sesuai pasal 13). Hal tersebut terjadi karena
Divisi TEK pada saat perjanjian dibuat tidak dapat memastikan urutan prioritas proyek
TEK yang direncanakannya. Sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 27 Juni 2005,
diketahui bahwa dari tiga modul aplikasi B24 baru dua yang diselesaikan, yaitu Modul
ATM CDM dan Modul BankNet MasterCard, sedangkan Modul ATM MultiCurrency
belum dikerjakan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
1) BPP Buku I Bab 6.2.3.8 yang menjelaskan bahwa di dalam kontrak memuat jangka
waktu pelaksanaan kontrak, kapan dimulai dan berakhirnya pekerjaan.
2) BPP Buku IV Bab 3.3.6.2.4 yang menjelaskan bahwa jumlah barang yang diusulkan
untuk diadakan adalah sesuai dengan kebutuhan yang diminta atau sesuai dengan
jumlah barang yang direkomendasikan oleh unit yang berkompeten setelah dilakukan
penelitian terhadap kebutuhan pengguna barang.
88

Hal tersebut mengakibatkan HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran
dan penilaian kewajaran harga penawaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya dan
Bank BNI tidak dapat segera memanfaatkan Modul ATM MultiCurrency.
Hal tersebut terjadi karena panitia pengadaan dalam mengadakan tambahan modul
aplikasi B24 belum sepenuhnya menerapkan ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam
BPP dan Pasal 13 Perjanjian Pengadaan Modul Aplikasi B24 No.UMM/4/119/R tanggal 7
Oktober 2004 lemah karena belum mengatur secara tegas jangka waktu pelaksanaan
pekerjaan.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa:
a. Penambahan modul aplikasi Base-24 yang dibutuhkan merupakan pekerjaaan unik yang
hanya dapat dilaksanakan oleh vendor tersebut sehingga data pembandingnya tidak
tersedia di pasar. BNI telah menyusun HPS, khususnya untuk biaya jasa, dengan
mempertimbangkan informasi jasa dukungan teknis PT AP sebelumnya, pengadaan
terakhir, customizing Base 24 for B@NCS dan acuan Bappenas dengan tarif US$900 per
man-days. Perhitungan HPS dengan menggunakan kalkulasi teknis sulit dilaksanakan
karena beberapa hal berikut:
1) Berkaitan dengan jaminan risiko operasional dan terbatasnya penyedia jasa,
2) Tidak ada informasi harga yang dapat dijadikan pembanding.
3) BNI belum pernah membeli barang yang sama sebelumnya.
Usaha terakhir yang telah dilaksanakan BNI adalah dengan mengusahakan perolehan
potongan (discount) sebesar 10% untuk harga produk dan 18% untuk biaya pemeliharaan
(maintenance) dan lisensi. Angka discount tersebut didasarkan pada praktek yang lazim
(best practice). Untuk selanjutnya dalam penghitungan HPS akan diupayakan mencari
informasi yang lebih banyak lagi.
b. Aplikasi tersebut pada dasarnya telah tersedia dan hanya memerlukan penyesuaian sesuai
keinginan BNI, sehingga dapat segera diimplementasikan ketika disetujui. Dengan kata
lain, vendors telah memulai pekerjaan baik ada SPK maupun tidak.
c. Jadual pelaksanaan terdapat dalam lampiran kontrak akan tetapi belum diupdate secara
berkala. Dari ketiga modul yang dibeli, saat ini hanya modul ATM multicurrency yang
belum berjalan meskipun produknya telah siap karena masih menunggu SOP dari user
yang masih dalam proses pengembangan.
BPK-RI menyarankan kepada Direksi BNI agar memperingatkan panitia pengadaan
untuk mematuhi ketentuan pengadaan barang dan jasa dalam BPP secara konsisten sehingga
kepentingan bank lebih terlindungi.
16. Pengadaan perangkat komunikasi Router dan Switch tahun 2004 tidak dilakukan
dengan lelang
Sejalan dengan kebutuhan implementasi infrastruktur NCB (ICONS), salah satu tugas
Divisi TEK adalah menyiapkan peralatan komunikasi di Kantor Besar dan kanca/kancapem.
Dari dokumen kajian pemilihan perangkat infrastruktur jaringan diketahui bahwa berdasarkan
evaluasi teknis disimpulkan bahwa solusi Cisco memiliki kemampuan lebih untuk memenuhi
kebutuhan BNI. Selanjutnya direkomendasikan untuk melakukan proses pengadaan melalui
business partner Cisco. Untuk itu Divisi TEK meminta kepada Divisi UMM untuk
mengadakan peralatan komunikasi tersebut.
89

Pengadaan Bulan Juni 2004
Dengan surat No. UMM/4/1632 tanggal 23 April 2004, Divisi UMM meminta kepada
PT Cisco Indonesia (Cisco) untuk menyampaikan penawaran harga dan business partner yang
dapat mendukung kebutuhan Bank BNI. Atas permintaan tersebut Cisco dengan surat No.
132/Cisco/HW/IV/2004 tanggal 26 April 2004 menjelaskan bahwa business partner Cisco
yang dapat mendukung kebutuhan implementasi infrastruktur NCB di BNI adalah partner
yang memiliki predikat minimum Cisco Premier Partner yaitu PT Mastersystem Infotama
(PT MI, Predikat Gold Certified Partner), PT Swadharma Duta Data (PT SDD, Premier
Certified Partner) dan PT Multipolar Corporation (PT MC, Silver Certified Partner) dengan
harga price list sebesar US$2,665.97 ribu belum termasuk PPN yang direvisi menjadi sebesar
US$2,217.77 ribu. Berdasarkan price list tersebut pada tanggal 30 April 2004 Panitia
Pengadaan menetapkan HPS sebesar US $2,301.95 ribu.
Selanjutnya Divisi UMM pada tanggal 27 April 2004 mengundang ketiga rekanan
tersebut untuk mengambil dokumen lelang. Kemudian masing-masing rekanan mengirimkan
harga penawaran dan pada tanggal 30 April 2004 dinegosiasi dengan hasil sebagai berikut:
(dalam ribu US$, incl. PPN)
Uraian PT MI PT SDD PT MC
Penawaran 2,466.38 2,152.47 2,331.85
Negosiasi 2,466.38 2,152.47 2,331.85
Dari memo No. UMM/4/641 tanggal 12 Mei 2004 diketahui bahwa Divisi UMM
mengusulkan pengadaan dilakukan dengan cara pelelangan terbuka diantara Business Partner
Cisco. Berdasarkan hasil evaluasi, pengadaan Router dan Switch diusulkan melalui PT SDD
sebesar US$2,152.47 ribu. Direksi menyetujui usulan tersebut pada memo Divisi UMM No.
UMM/4/696 tanggal 4 Juni 2004 dan meminta agar dinegosiasi ulang. Berdasarkan negosiasi
tanggal 31 Mei 2004 yang dihadiri oleh BNI, PT SDD dan Cisco, harga pengadaan menjadi
sebesar US$2,084.52 ribu (incl. PPN).
Selanjutnya diterbitkan surat persetujuan pengadaan No. UMM/4/2242 tanggal 4 Juni
2004 yang kemudian dituangkan dalam surat perjanjian pengadaan perangkat network dengan
PT SDD No. UMM/4/075/R tanggal 23 Juni 2004 sebesar US$2,084.52 ribu eq.
Rp17.906,04 juta (Kurs tengah tanggal 29 Oktober 2003 US$1= Rp8.590) dengan jangka
waktu perjanjian berlaku sejak perjanjian ditandatangani dan berakhir tanggal 30 Juni 2005.
Pengadaan Bulan Desember 2004
Berdasarkan Call Memo tanggal 30 Agustus 2004 diketahui bahwa sisa stock router
switch dari pengadaan bulan Juni 2004 untuk wilayah 10 & wilayah 12 adalah Router Cisco
type 3725 sebanyak 18 unit, Router Cisco type 2621 XM sebanyak 106 unit dan Switch Cisco
Catalyst 2950 G sebanyak 159 unit. Mempertimbangkan hal tersebut, dan sebagai tindak
lanjut rencana rollout implementasi ICONS yang semakin mendesak, disepakati untuk
meminta Divisi UMM segera mengadakan router & switch ICONS.
Divisi UMM pada tanggal 30 September 2004 membuat pengumuman lelang dengan
surat No.UMM/4/4006 dengan jangka waktu pendaftaran dari tanggal 30 September s.d. 4
Oktober 2004. Karena sampai dengan jangka waktu pendaftaran tersebut berakhir hanya 3
rekanan yang mendaftar, maka jangka waktu pendaftaran diperpanjang s.d. tanggal 8
Oktober 2004. Setelah diperpanjang ternyata hanya tiga rekanan yang mendaftar untuk
pengadaan dimaksud yaitu PT SDD, PT MC dan PT MI. Selanjutnya Divisi Umum
mengundang tiga rekanan yang telah memenuhi persyaratan untuk mengajukan penawaran
harga. HPS ditetapkan sebesar sebesar US$6,306.72 ribu termasuk PPN eq. sebesar
90

Rp57.864,20 juta (Kurs Jual BNI tanggal 8 Oktober 2004 US$1 = Rp9.175). Kemudian
Divisi UMM melakukan klarifikasi dan negosiasi harga dengan ketiga vendor pada tanggal
14 Oktober 2004, dengan hasil sebagai berikut:
(dalam ribu US$, incl. PPN)
Uraian PT MI PT SDD PT MC
Penawaran 7,481.65 6,809.64 7,168.04
Negosiasi 7,302.44 6,249.64 6,988.84
Dari hasil negosiasi tersebut, PT SDD diusulkan menjadi pemenang. Usulan tersebut disetujui
dari Direktur Operasi tanggal 12 November 2004, Direktur Manajemen Risiko tanggal 22
November 2004, Direktur kepatuhan tanggal 24 November 2004 dan Direktur Komersial 26
November 2004. Selanjutnya dibuat Surat Persetujuan Pengadaan Hardware Network ICONS
No. UMM/4/4812 tanggal 1 Desember 2004. Persetujuan tersebut dituangkan dalam Perjajian
Pengadaan Perangkat Network untuk ICONS BNI Tahap II No.UMM/4/170/R tanggal 15
Desember 2004 sebesar US$6,249.64 ribu eq. Rp57.340,47 juta (Kurs tanggal 8 Oktober
2004 US$1.00= Rp9.175) dengan jangka waktu berakhir s.d. tanggal 30 Nopember 2005.
Pengadaan perangkat network diatas, seharusnya dilakukan melalui mekanisme
pelelangan, mengingat nilai pengadaan di atas Rp500,00 juta dan business partner dari
principal Cisco bukan hanya tiga saja melainkan masih ada beberapa lagi antara lain PT
Datacraft Indonesia, PT Nusantara Compnet Integrator dan HP (compaq) dengan predikat
Gold Certified Partner dan PT SCS`Astragraphia Technologies, PT Omnes Sevice Indonesia
dan PT Sisindosat Lintasbuana dengan predikat Silver Certified Partner
Lebih lanjut diketahui bahwa sebagian besar pengadaan barang dan jasa yang
dilakukan oleh Divisi UMM Bank BNI, jika dilihat dari nilainya seharusnya dilakukan
melalui prosedur pelelangan, tetapi dalam kenyataannya hanya melalui prosedur pemilihan
langsung atau penunjukan langsung. salah satu penyebabnya yaitu pengumuman pelelangan
hanya terbatas ditempelkan pada papan pengumuman Divisi UMM saja dan tidak diumumkan
secara luas pada media cetak yang mempunyai sirkulasi nasional. Oleh karena itu peserta
yang mengikuti pengadaan umumnya kurang dari lima perusahaan karena tidak banyak
diketahui oleh perusahaan yang lain sehingga tidak transparan.
Hal tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.2.1.5 yang
menyebutkan bahwa pengadaaan barang atau jasa dengan nilai diatas Rp 500,00 juta harus
diadakan dengan cara pelelangan, butir 3.2.2.1 bahwa pelelangan dilakukan secara terbuka
melalui pengumuman pada papan pengumuman di Kantor BNI atau pemberitahuan tertulis
kepada asosiasi penyediaan barang dan jasa, atau pengiriman undangan lelang kepada
rekanan Bank BNI.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI kehilangan peluang untuk mendapat harga
perangkat network (router dan switch) yang paling menguntungkan dan kualitas yang baik.
Kondisi tersebut terjadi karena Direksi BNI dan panitia pengadaan dalam
melakukan proses pengadaan router dan switch belum sepenuhnya menerapkan ketentuan
pengadaan barang dan jasa dalam BPP.
Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa pemilihan langsung dilakukan karena hanya
memperoleh tiga vendor sebagaimana ketentuan pada BPP Bab 3. Butir 3.2.2.2.5. Keadaan
tersebut terjadi setelah BNI melaksanakan usaha antara lain menghubungi prinsipal, yang
kemudian merekomendasikan 3 business partner. Sedangkan pemilihan business partners
91

yang direkomendasikan prinsipal, pada saat itu, dimaksudkan untuk memperoleh kepastian
dukungan prinsipal sehingga pasokan dan pelayanan purna jual menjadi lebih terjamin.
Sebaliknya, jika mengundang business partner yang tidak direkomendasikan, jaminan
dukungan dari prinsipal menjadi diragukan atau setidak-tidaknya berkurang. Untuk
selanjutnya cara pengumuman lelang akan kami perbaiki dengan membuat pengumuman
melalui web site BNI dan e-Procurement.
BPK-RI menyarankan agar Direksi BNI menindak tegas Divisi Umum dan Teknologi
atas pelaksanaan pengadaan tanpa prosedur lelang, selanjutnya dalam melakukan pengadaan
mematuhi ketentuan yang ada dan dalam proses pelelangan tidak hanya mengundang
prinsipalnya saja.
17. Pekerjaan Program Branding Project yang dilakukan oleh Landors sebesar US$370.50
ribu tidak sepenuhnya sesuai ketentuan dan oleh Markplus sebesar Rp2.178,75 juta
tidak termasuk dalam program awal Bank BNI
Pada bulan November 2003 di Bank BNI Cabang Utama Kebayoran Baru terjadi
kasus L/C yang menimbulkan dampak besar terhadap menurunnya citra positif Bank BNI.
Oleh karena itu Manajemen Bank BNI melakukan serangkaian langkah strategis untuk
meningkatkan citra positif Bank BNI sehingga diperlukan tenaga profesional di bidang
agency advertising, konsultan public relation (PR) dan konsultan branding.
Divisi Hubungan Investor dan Kesekretariatan (HIS) Bank BNI dengan Memo No.
HIS/6/0071 tanggal 13 Januari 2004 kepada Wakil Direktur Utama (Wadirut) perihal tender
agency dan konsultan PR menjelaskan bahwa perjanjian kerjasama dengan biro iklan (PT
Cabe Rawit) telah berakhir pada bulan Desember 2003 dan dengan konsultan PR (Media
Comm) akan berakhir pada tanggal 29 Januari 2004. Sehubungan dengan hal tersebut, Divisi
HIS mengusulkan untuk mengadakan evaluasi dan tender ulang bagi agency dan konsultan
PR.
Dalam Memo Corporate Secretary (CS) No.CSR/3/0024 tanggal 28 Januari 2004
kepada Wadirut menindaklanjuti Memo Divisi HIS di atas, pengarahan Wadirut tanggal 17
Januari 2004 dan Dirut tanggal 20 Januari 2004 perihal tender agency, konsultan PR dan
konsultan branding, diketahui hal-hal berikut :
a.Peserta tender untuk konsultan branding yang akan diundang yaitu Markplus-Hermawan
Kertajaya, Rhenald Khasali, Landors, Interbrand (Kafi Kurnia), Makki Makki, Nu Image
dan Bridge Communication.
b.Apabila terdapat peserta yang mengundurkan diri diganti dengan peserta lain dibawahnya.
Dalam Nota Intern Pengelola Eksternal 2 No.CSR/E2/099 tanggal 28 Januari 2004
kepada CS menindaklanjuti Memo CS di atas dan disposisi Wadirut pada memo tersebut
diketahui hal-hal sebagai berikut :
a.Peserta tender yang diundang adalah Markplus, Rhenald Khasali, Landors, Interbrand,
Makki Makki, Nu Image dan Bridge Communication.
b.Teknis pemilihan pemenang tender akan dilakukan secara bertahap, yaitu dari long list akan
dipilih short list oleh Tim Penilai untuk diajukan ke Direksi. Apabila terdapat perusahaan
agency yang tidak bersedia maka akan diganti oleh perusahaan yang termasuk dalam top ten
agency.
Undangan kepada 7 perusahaan periklanan tersebut untuk melakukan presentasi
tanggal 12 Februari 2004 disampaikan dengan surat Divisi HIS No. HIS/6/0036 tanggal 29
Januari 2004.
92

Hasil penilaian oleh Tim Penilai tanggal 12 Pebruari 2004 yaitu sebagai berikut:
No Uraian Mark Rhenald Inter
Perusahaan
Makki Nu Bridge Landor
Plus KS brand Makki Image Comm
a. Strategi - 30% 2400 1800 2220 1800 1560 1860 2250
b. Organisasi - 25% 2750 2075 2600 2000 1775 2125 2350
c. Program - 25% 2250 1850 2500 1750 1550 1750 2475
d. Budget - 20% 400 380 440 340 360 360 440
Total 7800 6105 7760 5890 5245 6095 7515
Pemenang 1 2 3
Pada tanggal 19 Februari 2004 dengan surat No.CSR/3/0200-0204 CS
memberitahukan kepada Nu Image, Rhenald KS, Bridge dan Makki-makki bahwa perusahaan
tersebut belum terpilih.
Dari Memo CS No.CSR/3/0226 tanggal 24 Pebruari 2004 kepada Divisi Pengelolaan
Bisnis Personal (PBP) dan Pengelolaan Bisnis Kartu (PBK) diketahui bahwa presentasi
konsultan branding akan dilakukan tanggal 5 Maret 2004 dengan peserta Markplus,
Interbrand dan Landors. Direksi kemudian memilih dua perusahaan yang dianggap lebih baik
yaitu Markplus dan Landors.
Selanjutnya dari Memo CS No.CSR/3/0425 tanggal 16 Maret 2004 kepada Dirut dan
Wadirut perihal tender konsultan branding dan PR antara lain mengenai branding yaitu :
a.Sesuai dengan pengarahan Direksi, diputuskan agar tim branding meneliti kemungkinan
kolaborasi antara 2 agency yaitu Landors dan Markplus menangani Branding Bank BNI.
b.Hasil pembicaraan dengan Markplus dan Landors mengenai kemungkinan tersebut,
kesimpulannya adalah :
1) Tahapan, cara dan strategi Landors tidak bisa diintervensi atau dibagi oleh Markplus
2) Markplus fungsinya menjadi strategic integrator, koordinator 3 konsultan/agency
lainnya yaitu Landors, Advertising dan PR dan konsultan yang mensosialisasikan
program branding Bank BNI kepada internal dan eksternal.
c.Apabila cara ini disetujui, dari hasil negosiasi harga dan mengurangi fungsi Markplus serta
Landor, biaya yang diajukan oleh masing-masing konsultan adalah :
Landors
Corporate Identity Development : US$ 200.00 ribu
Retail Environment Development : US$ 190.00 ribu +
: US$ 390.00 ribu
Discount 5% : US$ 19.50 ribu -
: US$ 370.50 ribu
Markplus
Professional fee sebelum revisi Rp 3.118,75 juta
Professional fee setelah revisi Rp 2.178,75 juta
Wadirut dan Dirut menyetujui usulan tersebut masing-masing tanggal 17 dan 19
Maret 2004. Selanjutnya Bank BNI menandatangani perjanjian dengan :
a.Landors
Tanggal Tanggal 23 Maret 2004
Pekerjaan Repositioning a Leading Financial Brand for Success : A Brand
Revitalization Workplan
Biaya jasa konsultasi US$370.50 ribu (professional fees dan out of pocket expenses)
Tidak termasuk reimbursable cost, administration cost, travel
cost dan legal cost. PPh dan PPN ditanggung oleh Bank BNI.
b.Markplus
93

Nomor dan tanggal CSR/3.1/SPK/037 tanggal 6 Mei 2004
045/MPC/V/2004
Pekerjaan Melakukan proyek konsultasi sebagai branding strategy
consultant dan strategic integrator
Ruang lingkup
perjanjian
1)Strategic Refinement (perbaikan)
2)Strategic Execution (pelaksanaan)
3)Strategic Evaluation (evaluasi)
Biaya Rp2.178,75 juta sudah termasuk PPh 7,5% dan belum termasuk
PPN 10%. Apabila timbul biaya lain (yang terkait langsung
untuk kepentingan pelaksanaan pekerjaan) maka biaya tersebut
menjadi tanggung jawab BNI
Jangka waktu 12 bulan yaitu 1 April 2004 s.d. 31 Maret 2005.
Sampai dengan pemeriksaan tanggal 30 Juni 2005 Bank BNI telah membayar
Landors sebesar US$357.57 ribu yang terdiri dari Pembayaran Kontrak (tanpa PPN & PPh)
sebesar US$322.50 ribu dan Travel Expenses sebesar US$35.07 ribu dan membayar
Markplus sebesar Rp695,83 juta yang terdiri dari pembayaran tahap I (tanpa PPN & PPh)
sebesar Rp653,62 juta dan sosialisasi rebranding ke Kanwil sebesar Rp42,21 juta.
Hasil pemeriksaan atas dokumen proyek branding menunjukkan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
a.Pekerjaan Program Branding Project yang dilakukan oleh Landors sebesar
US$370.50 ribu tidak sepenuhnya sesuai ketentuan
1) Kontrak kerja antara Bank BNI dan Landors tidak menggunakan peraturan
hukum Republik Indonesia
Perjanjian kerja sama dengan Landors dituangkan dalam kontrak tanpa
nomor tanggal 23 Maret 2004 yang diwakili Direktur Utama Bank BNI dan Landors
yang diwakili oleh Michael Ip (Managing Director, Asia Pacific). Dalam kontrak
tersebut disebutkan bahwa kontrak tidak mengacu pada peraturan hukum negara
Republik Indonesia.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Sistem Manajemen Proyek Bab 10
Manajemen Konsultan butir X. 4.2.16. yang menyebutkan bahwa “Hukum yang
berlaku dan diterapkan dalam perjanjian ini berdasarkan pada hukum wilayah RI.
Sedangkan hukum yang disepakati dalam kontrak tersebut adalah hukum Hongkong,
sehingga dikhawatirkan apabila terjadi “wan prestasi” (cidera janji) yang dilakukan
oleh Landors maka Bank BNI akan kesulitan menyelesaikan perselisihan-perselisihan
yang mungkin timbul akibat perjanjian tersebut.
2) Kontrak kerja antara Bank BNI dan Landor tidak menetapkan jangka waktu
penyelesaian pekerjaan yang jelas
Perjanjian kontrak antara Bank BNI sebagai pemilik proyek dan Landor
sebagai pelaksana proyek rebranding terdiri dari termin–termin pekerjaan sebagai
berikut :
Part A Corporate Identity Development
Phase Tahap–tahap
Nilai Pekerjaan
(ribu USD)
Jangka waktu
perkiraan
1a Brand Evaluation 27.00 3-4 weeks
1b Brand Strategy Development 23.00 3-4 weeks
2 Basic Identity 50.00 4-6 weeks
3 Identity System Look and Feel 60.00 6-7 weeks
4 Identity Guidelines 40.00 6-7 weeks
94

Total 200.00
Part B Retail Environment Development
Phase Tahap–tahap
Nilai Pekerjaan
(ribu USD)
Jangka waktu
perkiraan
1 Concept Design & Development US$45.00 4-5 weeks
2 Brand Strategy Development US$50.00 6 weeks
3 Basi US$55.00 10-12 weeks
4 Retail Identity Guidelines US$40.00 5-6 weeks
Total US$190.00
Grand Total A + B US$390.00
Dari tabel diatas hanya diketahui waktu perkiraan tahap–tahap pekerjaan tertentu
(hitungan minggu), akan tetapi tidak diatur waktu tertentu kapan pekerjaan tersebut
harus diselesaikan. Karena tidak ada tanggal penyelesaian pekerjaaan maka Bank
BNI tidak dapat mengenakan penalti kepada Landors apabila penyelesaiannya
berlarut-larut. Sedangkan Landors memasukkan klausul dalam kontrak bahwa apabila
pembayaran Bank BNI melebihi 30 hari akan dikenakan penalti sebesar 1,5 %
perbulan dari total sisa nilai kontrak yang belum dibayar. Dengan demikian Bank
BNI juga seharusnya dapat menerapkan penalti kepada Landors apabila ditetapkan
batas waktu penyelesaian pekerjaan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Sistem Manajemen Proyek Bab X butir
X.4.2.3 yang menyebutkan bahwa perjanjian harus memuat jangka waktu
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh konsultan sejak tanggal
ditandatanganinya perjanjian sampai selesai pelaksanaan pekerjaan. Umumnya
jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konsultansi dinyatakan dalam bulan.
b.Pekerjaan Program Branding Project oleh Markplus sebesar Rp2.178,75 juta tidak
termasuk dalam program awal Bank BNI
1) Pekerjaan yang dilakukan Markplus tidak termasuk dalam rencana awal Bank
BNI sehingga terdapat ketidakhematan sebesar Rp2.178,75 juta
Seperti yang telah diuraikan diatas Bank BNI akan melakukan tender agency,
konsultan PR dan konsultan branding dengan peserta (konsultan branding) sebanyak 7
perusahaan. Setelah penawaran peserta tender dievaluasi, maka Tim Penilai memilih
dan mengajukan 3 perusahaan untuk presentasi kepada Direksi yaitu Markplus,
Landors dan Interbrand. Direksi kemudian memilih dua perusahaan yang dianggap
lebih baik yaitu Markplus dan Landors. Selanjutnya Direksi meminta agar Tim
Branding meneliti kemungkinan kolaborasi antara 2 agency yaitu Landors dan
Markplus untuk menangani branding Bank BNI. Hasil pembicaraan dengan Markplus
dan Landors mengenai kemungkinan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa :
a) Tahapan, cara dan strategi Landors tidak bisa diintervensi atau dibagi oleh
Markplus.
b) Fungsi Markplus menjadi strategic integrator, koordinator 3 konsultan/agency
lainnya yaitu Landors, Advertising dan PR dan konsultan yang mensosialisasikan
program branding Bank BNI.
Wadirut dan Dirut menyetujui pemilihan 2 perusahaan tersebut masing-masing tanggal
17 dan 19 Maret 2004. Selanjutnya Bank BNI menandatangani perjanjian kerja antara
95

Bank BNI dengan Markplus pada tanggal 6 Mei 2004 dengan nilai kontrak
Rp2.178,75 juta.
Hasil konfirmasi kepada Ketua Tim Branding diketahui bahwa untuk
keberhasilan program branding tersebut Direksi memandang perlu adanya konsultan
yang mengintegrasikan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan branding,
agency dan PR serta melakukan sosialisasi program branding kepada pihak internal
dan eksternal. Karena Hermawan Kertajaya (sebagai pendiri Markplus) lebih
berpengalaman dalam melakukan pemasaran dan dikenal masyarakat luas maka
Markplus terpilih sebagai perusahaan yang melakukan strategic integrator, koordinator
dan mensosialisasikan program branding kepada pihak internal dan eksternal.
Kemudian karena Landors berpengalaman dalam hal mendesain logo perusahaan maka
Landors dipilih sebagai perusahaan yang mendesain logo, pengembangan identitas
perusahaan dan pertumbuhan usaha retail
Dari uraian diatas terlihat bahwa Bank BNI sejak awal merencanakan untuk
melaksanakan tiga pekerjaan yang akan ditender yaitu agency, konsultan PR dan
konsultan branding. Pada awal proses tender, penawaran yang diajukan oleh Markplus
adalah untuk pekerjaan branding tetapi pada akhir proses tender Markplus ditugasi
untuk melakukan strategic integrator, koordinator dan mensosialisasikan program
branding dimana pekerjaan tersebut tidak termasuk dalam rencana tender awal yang
telah ditetapkan. Selain itu pekerjaan tersebut belum pernah dilakukan tender. Dengan
demikian keputusan Dirut dan Wadirut Bank BNI menunjuk Markplus untuk
mengintegrasikan pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan branding, agency dan PR
menyimpang dari rencana awal tender..
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Sistem Manajemen Proyek Bab X
Manajemen Konsultan butir X.3.1.3 yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pengadaan
jasa konsultasi di dalam lingkungan Bank BNI wajib berlandaskan kepada prinsipprinsip
dasar antara lain :
a) Bersaing, berarti penggunaan jasa konsultan harus dilakukan melalui
pelelangan/seleksi dan persaingan yang sehat diantara penyedia jasa konsultasi
yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan
prosedur yang jelas dan transparan.
b) Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua
calon konsultan dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak
tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun.
2) Markplus mengubah penawarannya setelah penawaran dibuka (post bidding)
Dari dokumen penawaran yang diajukan Markplus pada saat presentasi kepada
Tim Penilai tanggal 12 Februari 2004 diketahui bahwa Markplus mengajukan
penawaran sebagai berikut :
a) Pekerjaan yang dilakukan :
a) Tahap 1 (Riset) yaitu strategic integrator, qualitative research on brand corporate
image dan quantitative research on brand corporate image.
b) Tahap 2 (Strategi) yaitu strategic integrator, strategic brand corporate development
dan corporate and brand revitalization.
c) Tahap 3 (Implementasi) yaitu strategic integrator, brand insemination,
communication dan socialization.
d) Tahap 4 (Monitoring) yaitu strategic coordinator dan monitoring.
96

) Biaya konsultasi yang diajukan sebesar Rp1.833,75 juta, tidak termasuk PPN dan
biaya lain yang mungkin terjadi pada saat proyek berjalan (misalnya transportasi,
telekomunikasi, sewa hotel, dll).
Kemudian setelah Markplus dinyatakan termasuk dalam tiga nominasi yang akan
melakukan presentasi kepada Direksi Bank BNI pada tanggal 5 Maret 2004, Markplus
merubah proposal yang telah disampaikan tanggal 12 Februari 2004 sehingga menjadi
sebagai berikut :
1) Pekerjaan yang dilakukan :
a) Tahap 1 (Strategic Refinement) yaitu review on existing strategic intent and
existing corporate image dan strategic intent adjustment and corporate branding
strategy.
b) Tahap 2 (Stategic Execution) yaitu strategic integrator, new corporate identity
development dan corporate branding communication.
c) Tahap 3 (Strategic Evaluation) yaitu supervision dan Monitoring.
2) Biaya konsultasi yang diajukan sebesar Rp3.118,75 juta, tidak termasuk PPN dan
biaya lain yang mungkin terjadi pada saat proyek berjalan.
Setelah dilakukan negosiasi antara Bank BNI dengan Markplus maka terdapat pekerjaan
yang dihilangkan yaitu new corporate identity development (karena akan dikerjakan
Landors) dan biaya konsultasi berkurang menjadi sebesar Rp2.178,75 juta.
Dari uraian diatas terlihat bahwa Markplus telah mengubah penawaran dari penawaran
yang diajukan tanggal 12 Februari 2004.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Sistem Manajemen Proyek Bab X
Manajemen Konsultan butir X.3.4.5.1 yang menyebutkan bahwa calon penyedia jasa
konsultasi tidak diperbolehkan menambah atau mengurangi atau mengubah penawarannya
setelah penawaran dibuka (post bidding).
3) Pekerjaan Markplus belum selesai pada saat perjanjian berakhir tanggal 31
Maret 2005 sehingga Markplus harus dikenakan denda sebesar Rp217,87 juta
Sesuai pasal 5 perjanjian kerjasama antara Bank BNI dengan Markplus tanggal 6
Mei 2004 disebutkan bahwa perjanjian berlaku s.d. tanggal 31 Maret 2005 dan dapat
diperpanjang atas kesepakatan para pihak. Dari konfirmasi diketahui bahwa pekerjaan
yang dilakukan oleh Markplus untuk tahap II telah selesai pada bulan Mei 2005
sedangkan tahap III s.d. tanggal 30 Juni 2005 sedang dalam proses akhir penyusunan
untuk presentasi ke Direksi, sehingga terlambat dari jadwal yang ditetapkan (31 Maret
2005). CS Bank BNI dengan surat No.CSR/3.1/1010 tanggal 8 Juni 2005 kepada
Markplus menyebutkan bahwa Markplus terlambat menyelesaikan pekerjaan tahap II dan
III sesuai workplan yang telah disampaikan sehingga Bank BNI akan mengenakan denda
sebesar Rp217,88 juta (10% x Rp2.178,87 juta) yang dikenakan pada masing-masing
tahap sehingga total denda yang dikenakan sebesar Rp435,77 juta [(10% x Rp2.178,87
juta) x 2]. Kemudian Markplus dengan surat No.047/MPC/VI/05 tanggal 10 Juni 2005
memberikan tanggapan atas surat No.CSR/3.1/1010 yang menyebutkan bahwa :
c) Keterlambatan penyelesaian tahap II tidak sepenuhnya disebabkan oleh pihak
Markplus tetapi karena adanya kendala teknis dalam kaitan koordinasi dengan
konsultan lain.
d) Keterlambatan tahap III terjadi karena evaluasi aktivitas rebranding BNI tidak dapat
dijalankan pada bulan Januari sesuai dengan workplan karena belum banyaknya
aktivitas komunikasi pemasaran ekternal yang dilakukan oleh BNI.
97

e) Markplus menyatakan bahwa denda dikenakan pada keseluruhan proyek bukan pada
setiap tahap proyek sehingga denda yang dapat dikenakan hanya sebesar Rp217,87
juta (10% x Rp2.178,75 juta).
Menindaklanjuti hal tersebut, Unit Komunikasi Pemasaran dengan Nota intern
No.KSP/009 tanggal 23 Juni 2005 kepada Pemimpin CS mengusulkan agar denda
keterlambatan tetap dikenakan kepada Markplus sebesar 10% dari total nilai pekerjaan
yaitu sebesar Rp217,87 juta. Pemimpin CS memberikan disposisi tanggal 23 Juni 2005
yang menyatakan agar meminta pendapat hukum. Selanjutnya dibuat Memo Divisi
Komunikasi Perusahaan (dahulu CS) No.KMP/4/0738 tanggal 27 Juni 2005 kepada Divisi
Hukum yang meminta pendapat hukum mengenai pengenaan denda konsultan Markplus.
Sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 30 Juni 2005 jawaban dari Divisi Hukum Bank
BNI belum diperoleh.
Berdasarkan pasal 8 ayat 1 perjanjian kerjasama antara Bank BNI dengan
Markplus tanggal 6 Mei 2004 menyebutkan bahwa apabila Markplus terlambat
menyerahkan hasil pekerjaan maka Markplus dikenakan denda keterlambatan sebesar
0,5% untuk setiap hari keterlambatan maksimal sebesar 10% dari total nilai pekerjaan.
Sehingga Bank BNI seharusnya mengenakan denda sebesar 10% x Rp2.178,75 juta atau
sebesar Rp217,87 juta.
Hal tersebut mengakibatkan:
a. Bank BNI akan kesulitan menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang mungkin timbul
akibat perjanjian tersebut dan dapat menimbulkan biaya tambahan apabila terjadi sengketa
hukum. Selain itu Bank BNI tidak dapat mengenakan penalti kepada konsultan, apabila
penyelesaian pekerjaannya berlarut-larut.
b. Adanya ketidakhematan sebesar Rp2.178,75 juta karena pekerjaan tersebut tidak
direncanakan sebelumnya dan Bank BNI kehilangan pendapatan dari denda keterlambatan
yang tidak dikenakan sebesar Rp217,87 juta.
Hal tersebut terjadi karena:
a. Bank BNI dalam membuat perjanjian belum sepenuhnya memperhatikan ketentuan intern
yang ditetapkan dalam BPP.
b. Direksi Bank BNI menilai bahwa koordinator bagi perusahaan-perusahaan yang
menangani branding, advertising dan PR sangat diperlukan agar kegiatan yang dilakukan
terarah dan adanya perbedaan persepsi antara BNI dan rekanan dalam pengenaan denda
keterlambatan.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa:
a. Pada dasarnya, berdasarkan ketentuan dalam KUHP pasal 1338, setiap pembuatan kontrak
dapat dilakukan pilihan hukum atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini juga
sejalan dengan arahan dari Divisi Hukum sesuai memo No. HUK/3/813 tanggal 7 Mei
2004 yang tidak mempertanyakan pilihan hukum yang digunakan dalam kontrak tersebut.
Perlu kami informasikan, untuk menghindari kerugian yang dapat diderita, BNI hanya
melakukan pembayaran apabila pekerjaan telah selesai (atas dasar prestasi kerja). Jangka
waktu tidak dapat dibuat karena terdapat pekerjaan-pekerjaan yang sangat terkait dari
kedua belah pihak. Untuk jangka waktu yang lebih terinci atas pelaksanaan pekerjaan
Landors (tanggal berapa dimulai dan tanggal berapa selesai), akan menjadi catatan kami
untuk perbaikan selanjutnya.
98

. Munculnya pekerjaan strategic integrator untuk MarkPlus karena Manajemen menilai
proses rebranding ini perlu disosialisasikan kepada internal BNI. MarkPlus dinilai lebih
ahli dalam mensosialisasikan proses rebranding ini kepada internal BNI, sedangkan
Landor dinilai lebih ahli dalam pembuatan desain Logo dan implementasinya. Sehingga
pekerjaan untuk rebranding dibagi menjadi dua, strategic integrator dilaksanakan oleh
MarkPlus dan desain corporate identity serta implementasinya dilakukan oleh Landor.
Kesimpulannya, pekerjaan yang dilaksanakan oleh MarkPlus yaitu sebagai strategic
integrator masih merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proyek branding. Oleh
sebab itu tidak diperlukan tender ulang karena masih dalam lingkup pekerjaan branding.
Selanjutnya perubahan harga penawaran terjadi karena adanya penambahan scope
pekerjaan dari Markplus. Hal ini akan menjadi perhatian dan komitmen kami agar tidak
terulang lagi di masa yang akan datang. Dengan surat No. CSR/3.1/1010 tanggal 8 Juni
2005 kepada Markplus, BNI telah menyampaikan bahwa Markplus akan dikenakan denda
keterlambatan sebesar Rp446,64 juta.
BPK RI menyarankan agar Direksi BNI dalam membuat perjanjian kerja lebih
menekankan penggunaan hukum negara Republik Indonesia dan mencantumkan jangka
waktu penyelesaian pekerjaan secara terinci dan merencanakan suatu pekerjaan dengan lebih
matang dan terkoordinasi dan menagih denda keterlambatan kepada Markplus.
18. Pengadaan agensi periklanan tidak direncanakan secara memadai dan besarnya nilai
kontrak tidak ditetapkan
Berdasarkan memo Divisi Hubungan Investor dan Kesekretariatan (HIS) No.
HIS/6/0071 tanggal 13 Januari 2004 kepada Wakil Direktur Utama (Wadirut) diketahui
bahwa masa perjanjian kerjasama agensi periklanan dengan PT Cabe Rawit Pariwara telah
berakhir pada bulan Desember 2003. Selanjutnya Bank BNI melakukan perjanjian agensi
periklanan yang baru dengan PT Dentsu yang dituangkan dalam Kontrak No.
CSR/3.1/SPK/039 tanggal 6 Mei 2004 dengan jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak
kontrak ditandatangani atau berakhir tanggal 6 Mei 2006.
Dari hasil pemeriksaan atas dokumen diketahui hal-hal sebagai berikut :
a. Pengadaan agensi periklanan tidak direncanakan secara memadai
Berdasarkan pengujian terhadap data/dokumen pada Divisi HIS (Corporate
Secretary (Corsec)) Bank BNI diketahui bahwa dalam kurun waktu yang sama Bank BNI
melakukan dua tender agensi periklanan, yaitu:
1) Tender yang dilakukan oleh Divisi HIS
Dengan berakhirnya kerjasama agensi periklanan dengan PT Cabe Rawit
Pariwara, Divisi HIS mengusulkan untuk melakukan tender kembali dengan
melampirkan dokumen pendukung berupa urutan agensi berdasarkan pendapatannya
(Ranking Billing Agensi Advertising), Draft Term Of Reference (TOR) dan jadwal
pelaksanaan tender kepada Wadirut Bank BNI. Usulan tersebut disetujui dengan Nota
Intern Pengelola Eksternal 2 No.HUM/E2/065 tanggal 19 Januari 2004 dengan
ketentuan sebagai berikut :
a) Peserta tender yang akan diundang sebanyak 5 (lima) perusahaan yaitu Lowe,
JWT Adforces, Matari advertising, Ogilvy & Matter Advertising dan Leo Burnett
Kreasindo.
b) Apabila terdapat perusahaan agensi yang tidak bersedia maka akan diganti oleh
perusahaan yang termasuk dalam top ten agensi.
99

Namun dalam realisasinya peserta tender yang diundang bertambah satu perusahaan
yaitu PT Cabe Rawit Pariwara sesuai nota intern No.CSR/E2/099 tanggal 28 Januari
2004 dengan jadwal presentasi ditetapkan tanggal 10 Pebruari 2004. Selanjutnya hasil
penilaian konsultan PR tanggal 10 Pebruari 2004 adalah sebagai berikut :
No. Perusahaan
Cabe Rawit Matari Adv Ogilvy Adforces Ad Work
1. Strategi (30%) 1980 1890 2070 1650 1920
2. Organisasi 25%) 2000 2175 2400 2000 2125
3. Program (25%) 2225 2125 2125 1500 2025
4. Budget (20%) 380 440 420 500 600
Total 6585 6630 7015 5650 6670
Pemenang 3 1 2
Dari data diatas dapat dilihat bahwa peserta tender yang dinilai berbeda dengan peserta
tender yang diundang yaitu Lowe dan Leo Burnett sebelum presentasi telah
mengundurkan diri karena banyak pekerjaan sehingga diganti sesuai urutan
dibawahnya yaitu Adforces dan Ad Work. Pemenang tender berdasarkan penilaian
tersebut yaitu Ogilvy sebagai pemenang pertama, Ad Work pemenang kedua dan
Matari pemenang ketiga.
Sesuai memo No.CSR/3/0226 tanggal 24 Pebruari 2004 yang ditujukan kepada
Divisi Pengelolaan Bisnis Personal (PBP) dan Pengelolaan Bisnis Kartu (PBK)
diketahui bahwa presentasi agensi periklanan akan dilaksanakan pada tanggal 9 Maret
2004. Namun sebelum presentasi dilaksanakan, Ogilvy & Matari pada tanggal 5 Maret
2004 mengundurkan diri karena banyaknya pekerjaan. Dengan pengunduran diri
Ogilvy dan Matari maka daftar peserta tender yang akan diajukan untuk presentasi ke
Direksi adalah Ad Work, Cabe Rawit dan Adforces. Dari hasil konfirmasi diketahui
bahwa penetapan pemenang tender tidak hanya didasarkan pada hasil skoring tetapi
juga pada hasil presentasi didepan Direksi. Dari presentasi tersebut diketahui
pemenangnya adalah Adforces.
2) Tender yang dilakukan oleh BNI Card Center (Divisi Bisnis Kartu)
Dalam kurun waktu yang sama, Divisi Bisnis Kartu juga melakukan tender
periklanan dengan peserta Dentsu Indonesia, PT Cabe Rawit Pariwara, Perwanal
Saatchi & Saachi, Ogilvy & Matter Advertising dan MACS 909. Namun sebelum
proses tender dimulai, Ogilvy & Matter Advertising pada tanggal 24 Pebruari 2004
mengundurkan diri dengan alasan komitmen dan beban kerja sehingga presentasi
kepada tim penilai yang dilaksanakan pada tanggal 1 & 2 Maret 2004 hanya dihadiri
oleh 4 (empat) perusahaan dengan hasil penilaian sebagai berikut :
Agensi Average Nilai Persentase
Dentsu Indonesia 3.700 26,32
Saatchi & Saachi 3.592 25,55
PT Cabe Rawit Pariwara 3.693 26,27
MACS 909 3.074 21,86
14.059 100
Selanjutnya pemenang agensi periklanan pada Divisi Bisnis Kartu yaitu Dentsu
Indonesia sesuai surat No.PBK/5/A&P/PITCH/2754 tanggal 11 Maret 2004.
Dari uraian diatas diketahui pemenang tender agensi periklanan terdapat dua
pemenang yaitu
1) Adforces, sebagai pemenang tender agensi periklanan yang dilakukan oleh Corsec
100

2) Dentsu Indonesia, sebagai pemenang tender agensi periklanan yang dilakukan oleh
Divisi Bisnis Kartu.
Mengingat managemen Bank BNI menginginkan satu agensi periklanan bagi
seluruh komunikasi, baik corporate maupun produk Bank BNI maka akan dilakukan tender
ulang (repitching). Dari hasil repitching yang dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2004
dan Laporan Corsec No.CSR/3/0449 tanggal 17 Maret 2004 kepada Dirut dan Wadirut
diketahui bahwa Corsec merekomendasikan untuk memilih Dentsu sebagai pemenang
tender dengan pertimbangan :
a. Dalam konteks pengalaman, SDM yang dimiliki Dentsu adalah orang-orang yang
cukup lama menangani perbankan (BII, Danamon, Citi Bank) dan berasal dari agensi
ternama (Leo Burnett, JWT Adforces, dll ).
b. Dari sistem media placement, Dentsu memiliki sarana (tools) yang lengkap untuk
mengukur efektivitas pemasangan iklan.
c. Fee yang disampaikan Dentsu cukup murah yaitu sebesar 11,5 % sesuai proposal
yang diajukan dan dimungkinkan untuk dinegosiasi.
Selanjutnya Wadirut memberikan disposisi tanggal 17 Maret 2004 kepada Dirut
untuk memilih kedua perusahaan tersebut dan Dirut pada tanggal 18 Maret 2004 memilih
Dentsu dengan syarat fee ditawar lagi menjadi 9%. Kemudian Corsec dengan surat
No.CSR/3/0519 tanggal 26 Maret 2004 memberitahukan kepada Dentsu sebagai pemenang
tender.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa pengadaan agensi periklanan tidak
direncanakan secara memadai karena ada dua unit kerja yang berbeda yaitu Divisi HIS
(Corsec) dan Divisi Bisnis Kartu yang melakukan proses tender untuk jenis pekerjaan yang
sama atau dengan kata lain terjadi tumpang tindih pelaksanaan pengadaan agensi
periklanan.
Pengadaan agensi periklanan seharusnya direncanakan secara matang.
b. Dalam perjanjian kerjasama tidak dicantumkan nilai pekerjaan
Berdasarkan surat perjanjian kerjasama agensi periklanan No.CSR/3.1/SPK/039
tanggal 6 Mei 2004 antara Bank BNI dengan Dentsu Indonesia diketahui bahwa:
a. Biaya pemasangan di media akan dibayarkan oleh Bank BNI kepada Dentsu
berdasarkan harga netto (harga setelah diskon) ditambah komisi sebesar 9 % dari harga
netto (setelah diskon).
b. Biaya produksi iklan akan dibayarkan oleh Bank BNI kepada Dentsu berdasarkan
harga netto ditambah komisi sebesar 9 % dari harga netto.
Dalam perjanjian tersebut tidak dicantumkan nilai kontraknya sehingga sulit diketahui
secara pasti biaya yang akan dikeluarkan oleh Bank BNI selama dua tahun (masa
perjanjian). Berdasarkan hasil konfirmasi, nilai kontrak secara absolut tidak dicantumkan
karena perjanjian kerjasama agensi periklanan merupakan jasa/fee yang diberikan kepada
Dentsu Indonesia dan Corsec belum mempunyai keahlian dalam mendesign iklan.
Sampai dengan bulan Desember 2004 biaya yang telah dikeluarkan oleh Corsec untuk
Dentsu seluruhnya sebesar Rp13.677,30 juta.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 6 butir 6.2.3.5 yang menyebutkan
bahwa di dalam kontrak memuat besarnya nilai kontrak dan cara pembayarannya.
Hal tersebut mengakibatkan Bank BNI tidak dapat mengetahui jumlah biaya yang
secara pasti harus dikeluarkan selama dua tahun dan berpotensi menimbulkan praktik-praktik
yang tidak sehat yang dapat merugikan Bank BNI.
101

Hal tersebut terjadi karena tidak ada koordinasi yang jelas antara Divisi HIS dan
Divisi Bisnis Kartu dalam pengadaan jasa agensi periklanan dan perjanjian
No.CSR/3.1/SPK/039 tanggal 6 Mei 2004 khususnya pasal 6 yang mengatur tentang harga
dan cara pembayaran masih lemah karena belum menetapkan jumlah nilai kontraknya.
Direksi Bank BNI menjelaskan antara lain bahwa
a. Pada awalnya masing-masing divisi yang melakukan promosi dapat melaksanakan
tender agensi periklanan sendiri-sendiri. Pelaksanaan tender secara bersamaan terjadi
karena pada saat itu BNI belum memutuskan untuk menggunakan agensi tunggal,
sehingga unit-unit yang melakukan aktivitas promosi dapat menunjuk agensi masingmasing.
Akibatnya tidak ada keseragaman arah komunikasi dan desain pada kegiatan
promosi BNI, serta tidak ada benang merah antara kegiatan promosi korporat dengan
produk. Oleh karena itu Manajemen memutuskan untuk menggunakan agensi periklanan
tunggal, sehingga Dentsu Indonesia yang telah menang dalam proses tender di Divisi
Bisnis Kartu, harus menjalani proses tender lagi di Corsec bersama-sama dengan Ad
Work. Dan pemenangnya adalah Dentsu Indonesia.
b. Nilai kontrak pekerjaan untuk Dentsu Indonesia dalam Master Agreement tidak dapat
dicantumkan karena sifat pekerjaannya misalnya tidak mudah membuat perencanaan
iklan tahunan, terutama hal-hal yang menyangkut force mayor, seperti iklan duka cita
(bom kuningan, tsunami) dan ucapan selamat terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden.
Oleh karena itu dalam Master Agreement, nilai kontrak pekerjaan tidak dicantumkan,
namun tercantum dalam Surat Perintah Kerja yang dibuat untuk masing-masing proyek.
BPK-RI menyarankan agar Divisi HIS dan Divisi Bisnis Kartu dalam pembuatan
kontrak periklanan selanjutnya lebih aktif melakukan koordinasi dan dalam perjanjian kerja
sama sedapat mungkin dicantumkan nilai pekerjaan.
19. Pembelian tanah Yayasan Danar Dana Swadharma oleh Kanwil Bandung belum
sepenuhnya sesuai ketentuan
Sesuai dengan surat Divisi Jaringan dan Layanan (Divisi JAL) kepada Kanwil 04
Bandung No.JAL/5.3/077/R tanggal 20 Februari 2004 perihal Alokasi Anggaran Investasi
tahun 2004, diketahui bahwa salah satu penggunaan anggarannya adalah untuk pembelian
tanah Yayasan Danar Dana Swadharma (YDDS) di Komplek Perumahan Swadharma Jl.
Terusan Buah Batu Bandung sebesar Rp9.000,00 juta. Sehubungan dengan rencana tersebut,
maka dibentuk Tim/Panitia Pembelian yang dituangkan dalam SK No.KP/2197/W.04/R
tanggal 9 Juni 2004. Selanjutnya dari surat Kanwil 04 Bandung kepada Divisi JAL
No.W.04/7.2/3360/R tanggal 21 September 2004 diketahui bahwa tim/panitia
merekomendasikan pembelian tanah milik YDDS dengan pertimbangan antara lain:
a. Sejak tahun 1986 Bank BNI telah menyewa tanah milik YDDS dan di lokasi tersebut
telah berdiri 7 rumah dinas dan 1 bangunan gudang arsip milik Bank BNI.
b. Apabila Bank BNI tidak jadi membeli, maka YDDS akan menjual kepada pihak lain,
sehingga Bank BNI harus membongkar bangunan yang dimilikinya dan mencari
alternatif lokasi baru berikut pembangunannya.
Realisasi pembelian tanah tersebut dilakukan pada tanggal 30 Desember 2004
dihadapan Notaris Dr. Wiratni Ahmadi,SH, yang dituangkan dalam Akta Jual Beli
No.501/2004 dan No.502/2004 sebesar Rp 5.536,70 juta.
102

Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen pembelian tanah milik YDDS tersebut
diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Bank BNI Kanwil Bandung menanggung biaya PPh sebesar Rp250,00 juta
Sesuai dengan surat keterangan tanggal 28 Desember 2004 dari Dr. Wiratni
Ahmadi, SH, Notaris yang ditunjuk untuk melaksanakan transaksi pembelian tanah milik
YDDS, diketahui bahwa biaya-biaya yang harus ditanggung oleh Bank BNI terdiri dari (di
luar harga tanah sebesar Rp5.000,00 juta):
(dalam juta Rp)
No. Biaya-biaya Jumlah
1. BPHTB (Pajak Pembeli) 248,50
2. PPh (Pajak Penjual) 250,00
3. Ijin Peralihan Hak Kanwil BPN 10,00
4. Akta Jual Beli 20,00
5. Proses Balik nama 5,00
Jumlah 533,50
Dari tabel di atas diketahui bahwa Bank BNI harus membayar PPh yang seharusnya
dibayar oleh Penjual.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.79 tahun 1999 tentang Pembayaran PPh
atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan disebutkan bahwa
penjual harus membayar PPh sebesar 5% dari nilai pengalihan. Dengan mengacu pada PP
tersebut maka penjual terhutang PPh yang harus dibayar sebesar Rp250,00 juta. Namun
dalam pelaksanaannya PPh sebesar Rp250,00 juta dibayar oleh Bank BNI selaku pembeli.
b. Harga beli tanah milik YDDS terlalu mahal sebesar Rp603,49 juta
Salah satu tugas dari Panitia tersebut adalah melengkapi data terhadap lokasi tanah
terbaik, antara lain dengan menggunakan jasa appraisal dan atau melalui perusahaan
asuransi setempat sebagai harga pembanding. Sehubungan dengan hal tersebut maka Bank
BNI telah menunjuk PT Saptasentra Jasa Pradana (PT SJP) dan PT Asuransi Tri Pakarta
(PT ATP) untuk melakukan taksasi terhadap tanah milik YDDS. Harga tanah per m²
sesuai taksasi kedua perusahaan tersebut yaitu:
1) PT SJP memperkirakan sebesar Rp0,90 juta (surat tanggal 9 Juni 2004).
2) PT ATP memperkirakan antara Rp0,85 juta s.d. Rp0,90 juta (tanggal 10 Juni 2004).
Sedangkan harga tanah milik YDDS yang telah dibeli oleh Bank BNI adalah Rp1,02 juta
per m 2 , sehingga terdapat selisih sebesar Rp0,12 juta per m 2 atau seluruhnya sebesar
Rp603,49 juta (Rp123.541,00 x 4885 m 2 ).
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 1 butir 1.3.1 yang menyebutkan
bahwa pengadaan barang dan jasa harus menggunakan sumber dana yang dimiliki untuk
memperoleh manfaat setinggi-tingginya bagi Bank BNI dan butir 1.3.7 bahwa pengadaan
barang dan jasa harus memenuhi kualitas menurut persyaratan teknis yang ditentukan dan
harga yang paling menguntungkan dengan hasil yang optimal.
Hal tersebut mengakibatkan harga pembelian tanah milik YDDS tersebut terlampau
mahal sebesar Rp603,49 juta.
Hal tersebut disebabkan panitia pembelian tanah milik YDDS kurang maksimal dalam
melakukan negosiasi harga yang mendekati harga taksasi dari 2 perusahaan apraisal yang
ditunjuk oleh Bank BNI Kanwil 04 Bandung.
103

Direksi Bank BNI menjelaskan bahwa Bank BNI telah berupaya seoptimal mungkin
melakukan negosiasi harga jual tanah yang ditawarkan oleh YDDS. Harga tersebut menurut
hemat kami merupakan harga yang wajar, tetapi apabila dibandingkan dengan harga jual hasil
appraisal PT SJP dan PT ATP memang masih terdapat selisih sebesar Rp603,49 juta.
BPK – RI menyarankan agar Direksi Bank BNI memberikan teguran kepada Panitia
pengadaan atas kemahalan harga yang terjadi dalam pembelian tanah milik YDDS tersebut.
20. Pekerjaan renovasi Rumah Dinas/Rumah Jabatan di Jl. Bengawan No. 63 oleh Kanwil
Bandung belum sepenuhnya sesuai ketentuan
Sesuai dengan surat Divisi JAL kepada Kanwil Bandung No.JAL/5.3/077/R tanggal 20
Februari 2004 perihal Alokasi Anggaran Investasi tahun 2004, diketahui bahwa salah satu
penggunaan anggarannya adalah untuk renovasi rumah dinas (rudin) Wakil Pemimpin
Cabang di Jl. Bengawan sebesar Rp500,00 juta. Sehubungan dengan rencana tersebut, maka
dibentuk panitia pemilihan langsung proyek renovasi rudin yang dituangkan dalam SK
No.KP/1511/W.04/R tanggal 29 April 2004, yang direvisi pada tanggal 6 September 2004.
Pada tanggal 3 Desember 2004 Bank BNI melakukan aanwijzing yang dihadiri oleh 3
(tiga) rekanan, yaitu CV Mudya Nusantara (CV MN), CV Piduma (CV PM) dan CV
Adikersa Multi Abadi (CV AMA). Selanjutnya pada tanggal 24 Desember 2004, Bank BNI
bersama CV Nuansa Visual Reka Optima (Konsultan Manajemen Kontruksi/MK)
mengevaluasi penawaran yang masuk dan dituangkan ke dalam Berita Acara Evaluasi
Penawaran, dengan hasil sebagai berikut:
No Rekanan Sah/tdk
Harga
(Rp juta)
Keterangan
1. CV MN Sah 383,00 Cukup efisien karena tidak terlalu merubah bangunan
secara struktur dan masih mempertahankan ciri khas
struktur bangunan lama
2. CV PM Sah 397,75 Cukup efisien, tetapi perlu memperhatikan
pengorganisasian ruang dan sirkulasi sesuai kebutuhan.
3. CV AMA Sah 460,65 Merubah bangunan lama baik secara desain maupun
struktur bangunan.
Dari nota intern No.W.04/7.2/126 tanggal 30 Desember 2004, diketahui bahwa Pemimpin
Wilayah menetapkan pemenang pengadaan yaitu CV AMA dengan harga Rp460,65 juta.
Namun karena adanya revisi rencana denah rudin, maka CV AMA mengajukan penawaran
harga kedua menjadi Rp492,50 juta. Setelah dinegosiasi pada tanggal 30 Desember 2004,
harga yang disepakati menjadi Rp485,00 juta, dengan kompensasi bongkaran bangunan lama
dibeli oleh CV AMA senilai Rp10,00 juta.
Berdasarkan kesepakatan di atas, maka Kanwil mengeluarkan SPK No.W.04/7.2/017
tanggal 31 Desember 2004 yang dilanjutkan dengan Surat Perjanjian Pemborongan (SPP)
Paket Pekerjaan Renovasi Rumah Jabatan Jl. Bengawan No.63 Bandung No.W.04/7.2/4545
tanggal 31 Desember 2004.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen dan cek fisik pekerjaan renovasi rudin Jl.
Bengawan No.63 Bandung diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Pembongkaran bangunan tanpa seijin dari Komisaris Bank BNI
Dari nota intern No.W.04/7.2/126 tanggal 30 Desember 2004 diketahui bahwa
konsep design yang digunakan oleh CV AMA adalah dengan merobohkan bangunan yang
lama (bongkar total) dan mendirikan bangunan yang baru. Berdasarkan konfirmasi dengan
104

pihak Bank BNI dan dari penelitian terhadap dokumen diketahui bahwa Bank BNI belum
meminta ijin dari Komisaris.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku II Pedoman Pengelolaan Tanah dan
Bangunan Bab 3 butir 3.2.2.4. yang menyebutkan bahwa apabila dalam lokasi yang akan
dibangun terdapat bangunan milik Bank BNI dan harus dibongkar, maka pelaksanaan
pembongkarannya harus terlebih dahulu mendapat ijin penghapusbukuan dari Komisaris.
b. HPS dibuat setelah pembukaan dan evaluasi penawaran harga
Berdasarkan pengujian dokumen diketahui bahwa dalam HPS tidak dicantumkan
tanggal pembuatannya. Setelah dikonfirmasi, HPS tersebut dibuat pada tanggal 30
Desember 2003, sedangkan harga penawaran pekerjaan renovasi rudin Jl. Bengawan telah
dievaluasi pada tanggal 24 Desember 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.4.1 yang menjelaskan
bahwa HPS harus disahkan oleh pemimpin unit yang akan melaksanakan pengadaan
sebelum acara pembukaan penawaran harga. HPS digunakan sebagai acuan dalam
evaluasi penawaran serta untuk menilai kewajaran harga penawaran.
c. KAK dibuat setelah SPK diterbitkan
Berdasarkan penelitian lebih lanjut diketahui bahwa Kerangka Acuan Kerja (KAK)
dibuat pada tanggal 14 Januari 2005 setelah SPK diterbitkan tanggal 31 Desember 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku I Bab 3 butir 3.5.1 yang menjelaskan
bahwa sebelum melaksanakan proses pengadaan barang dan jasa, unit yang melakukan
harus terlebih dahulu menyiapkan dokumen pengadaaan termasuk KAK.
d. Progress proyek masih 0 % (nol persen)
Dari hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 12 Maret 2005, diketahui bahwa progres
pekerjaan masih pada tahap pembongkaran bangunan lama. Sedangkan berdasarkan
Laporan Pengawasan Mingguan tanggal 15 Maret 2005 diketahui bahwa total prestasi
terhadap bobot pekerjaan baru mencapai 4,80%, padahal total prestasi pekerjaan
seharusnya mencapai 30,68%.
Hal tersebut tidak sesuai dengan SPP Paket Pekerjaan Renovasi Rumah Jabatan
No.W.04/7.2/4545 tanggal 31 Desember 2004 pasal 2 yang menyebutkan bahwa
pekerjaan dimaksud dalam pasal 1 SPP ini oleh Pihak Kedua harus diselesaikan 100%
(serah terima pertama) dan diserahkan kepada Pihak Pertama dalam jangka waktu 180 hari
kalender sejak SPK diterbitkan.”
Hal tersebut mengakibatkan:
a. Komisaris tidak dapat mempertimbangkan secara dini terhadap kelayakan
penghapusbukuan bangunan tersebut
b. HPS yang merupakan acuan dalam evaluasi penawaran dan penilaian kewajaran harga
penawaran tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.
c. Adanya potensi keterlambatan penyelesaian pekerjaan sehingga Bank BNI tidak dapat
segera memanfaatkannya.
Hal tersebut disebabkan Panitia Pengadaan rudin Jl. Bengawan No.63 Bandung belum
sepenuhnya mematuhi ketentuan yang berlaku.
Direksi Bank BNI menjelaskan :
105

a. Anggaran yang dialokasikan merupakan anggaran investasi untuk renovasi rumah bukan
pembangunan rumah sehingga tidak dilakukan proses hapus buku. Pembongkaran
dilakukan karena dikhawatirkan pada saat pelaksanaan renovasi bangunan, struktur
bangunan lama tidak kuat menopang struktur baru Untuk selanjutnya akan dimintakan
ijin bongkar berikut hapus bukunya kepada Komisaris.
b. Renovasi bangunan rumah dilaksanakan dengan konsep design & built, sehingga HPS
baru dibuat setelah penawaran masuk dari kontraktor. Namun demikian hal tersebut akan
menjadi perhatian kami sepenuhnya terutama dalam pembayarannya kepada kontraktor.
c. KAK yang ditandatangani MK, sebenarnya bukan output MK, tetapi merupakan KAK
untuk MK yang telah disampaikan sebelum penunjukannya sebagai MK.
d. Pembongkaran baru dapat dilaksanakan setelah rudin dikosongkan oleh pejabat lama,
sedangkan pejabat baru untuk sementara telah menempati rudin lainnya yang kebetulan
kosong, sehingga kebutuhan rudin masih mencukupi.
BPK-RI menyarankan kepada Direksi Bank BNI dan Pemimpin Wilayah agar
memperingatkan Panitia Pengadaan tetap memperhatikan ketentuan yang diatur dalam BPP.
21. Pengadaan tanah parkir Kanca Tulungagung belum sesuai ketentuan
Kantor Cabang (Kanca) BNI Tulungagung pada tanggal 18 November 2002 secara
resmi pindah ke gedung baru di Jl. Panglima Sudirman No. 43 Tulungagung Jawa Timur,
tetapi belum dilengkapi dengan fasilitas lahan parkir. Dari surat DIPBE No.PBR/2/0846
tanggal 24 April 2002 diketahui bahwa anggaran investasi tahun 2002 untuk pembelian tanah
tidak tersedia sehingga untuk pengadaan tanah parkir Kanca Tulungagung dapat
dikerjasamakan dengan pihak ketiga (Koperasi Swadharma). Selanjutnya dari surat DIPBE
No.PBE/2/1909/R tanggal 2 Agustus 2002 diketahui bahwa anggaran pengadaan sewa beli
lahan parkir tersebut telah dialokasikan sebesar Rp1.256,25 juta untuk sewa selama 18 bulan
atau s.d. bulan Februari 2004.
Pengadaan lahan parkir dilaksanakan dengan Perjanjian Kerjasama Sewa Beli antara
BNI Kanwil Surabaya dengan Koperasi No.KS/MBU/092/PS/02 tanggal 27 September 2002
dan No.W06/7.2/5370 tanggal 23 Oktober 2002 dan diperbaharui dengan Addendum I
Perjanjian Sewa Menyewa Tanah No.KS/MBU/07/PS/03 (I) tanggal 13 Februari 2003. Kedua
pihak menyepakati ketentuan sewa menyewa sebidang tanah seluas 2210 m² dengan HGB
No. 18 tanggal 13 September 2002 atas nama Koperasi dengan jangka waktu sewa selama 10
tahun sebesar Rp7.672,54 juta mulai tanggal 1 September 2002 s.d. 31 Agustus 2012 dan
tidak dapat dibatalkan sepihak. Kemudian setelah jangka waktu 10 tahun berakhir, status
kepemilikan tanah menjadi milik BNI dan BNI mempunyai hak opsi untuk membeli tanah
tersebut pada tahun kedua dan seterusnya.
Berdasarkan Berita Faksimili Kanwil Surabaya No.W06/7.2/0934 tanggal 18 Maret
2004 kepada Kanca Tulungagung diketahui bahwa Divisi JAL pada tanggal 27 Februari 2004
telah mengalokasikan anggaran investasi tahun 2004 sebesar Rp2.500,00 juta untuk melunasi
tanah milik Koperasi. Selanjutnya Kanca Tulungagung memperoleh persetujuan pembelian
tanah dari Koperasi dalam suratnya No.KS/9.1/0710/2004 tanggal 2 April 2004, dengan nilai
pelunasan sebesar Rp2.209,31 juta dan biaya-biaya terkait menjadi beban BNI. Nilai
pengadaan tanah parkir Kanca Tulungagung menjadi sebesar Rp2.478,98 juta dan telah
dibayar melalui BNI Hub Gambir dengan rincian sebagai berikut :
- Harga tanah Rp2.209,31 juta
- PPh final 5% Rp 110,46 juta
- BPHTB (harga tanah – Rp15juta) x 15% Rp 109,71 juta
106

- Biaya notaris Rp 45,00 juta
- PPN biaya notaris 10% Rp 4,50 juta
Total pelunasan Rp2.478,98 juta
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen pengadaan/pembelian tanah/lahan parkir
Kanca Tulungagung diketahui hal-hal sebagai berikut :
a. Transaksi pembelian lahan parkir Kanca Tulungagung, dengan pelunasan
pembayaran sebesar Rp2.478,98 juta mendahului persetujuan Direksi
Berdasarkan surat No.JAL/5.3/077/R tanggal 20 Februari 2004 diatas, Kanca
Tulungagung memperoleh alokasi dana anggaran investasi sebesar Rp2.500,00 juta.
Jumlah tersebut hanya mencukupi untuk pelunasan pengadaan tanah lahan parkir sebesar
Rp2.478,99 juta. Sedangkan pengadaan bangunan/fasilitas lain yang berada di atas lahan
parkir tersebut, dengan nilai pelunasan sebesar Rp275,94 juta belum dapat dipenuhi.
Dengan Nota Intern No.W.06/7.2/016/NI tanggal 30 Maret 2004, Unit Teknologi dan
Logistik mengusulkan kepada Pemimpin Kanwil 06 Surabaya agar pelaksanaan pelunasan
diprioritaskan untuk pengadaan tanah lahan parkir Kanca Tulungagung, sedangkan
pengadaan bangunan/fasilitas dilaksanakan dengan melanjutkan perjanjian sewa menyewa
dan usulan tersebut disetujui. Biaya pengadaan lahan parkir dibayarkan tanggal 8 April
2004 sebesar Rp2.478,99 juta oleh Kanca Tulungagung kepada rekening Koperasi AC
No.089.000010500.001 pada BNI Hub Gambir. Akan tetapi transaksi tersebut baru
disetujui oleh Direksi sesuai surat No.JAL/5.3/1045 pada tanggal 10 September 2004.
Hal tersebut tidak sesuai dengan BPP Buku V Tabel-1 yang menyebutkan bahwa
kewenangan memutus pengadaan dengan nilai sampai dengan Rp5.000,00 adalah satu
Direktur Sektor.
b. Pembebanan harga lahan parkir Kanca Tulungagung melebihi masa pemakaiannya
Beberapa ketentuan dalam Perjanjian Sewa No.KS/MBU/092/PS/02 tanggal 27
September 2002 adalah sebagai berikut :
1) Pasal 1, obyek sewa menyewa adalah sebidang tanah milik Koperasi seluas 2.210 m²
di Jl. Panglima Sudirman No. 43 Tulungagung, Jawa Timur.
2) Pasal 2, masa berlaku perjanjian selama 10 tahun dengan total harga sewa Rp6.880,27
juta. yang tidak dapat dibatalkan sepihak dan mulai berlaku sejak tanggal 1 September
2002 s.d. tanggal 31 Agusutus 2012.
3) Pasal 5 (1), pembayaran dilakukan oleh BNI dimulai setelah sebidang tanah diterima
oleh BNI yang dibuktikan dengan BAST atau sejak tanggal 1 September 2002.
4) Pasal 5 (2), jadwal pembayaran diatur sebagai berikut :
(dalam juta rupiah)
Jangka Waktu
Sewa
Tanah
Sewa
Bangunan
Total
Sewa
Sept sd Des 2002 229,34 - 229,34
Jan sd Des 2003 688,02 75,78 763,81
Jan sd Peb 2004 114,67 13,77 128,44
Mar 04 sd Peb 05 688,02 82,67 770,69
Mar 05 sd Peb 06 688,02 82,67 770,69
Mar 06 sd Peb 07 688,02 82,67 770,69
Mar 07 sd Peb 08 688,02 82,67 770,69
Mar 08 sd Peb 09 688,02 82,67 770,69
Mar 09 sd Peb 10 688,02 82,67 770,69
Mar 10 sd Peb 11 688,02 82,67 770,69
Mar 11 sd Agust 12 688,02 82,67 770,69
107

Menindaklanjuti Pasal 5 (1) perjanjian sewa tersebut, sebidang tanah lahan parkir milik
Koperasi dengan sertifikat No.18 tanggal 13 September 2002 telah diserahkan yang
dituangkan dalam BAST tanggal 27 September 2002.
Dari surat No.TIa/1011/R tanggal 2 April 2004 diketahui bahwa Kanca
Tulungagung belum dapat memanfaatkan lahan parkir pada saat menempati alamat baru
bulan November 2002. Selain itu pekerjaan penyiapan lahan parkir oleh Koperasi baru
dilaksanakan sesuai SPK No.KS/MMD/SPK/3573/2002 tanggal 29 Nopember 2002,
yang pekerjaanya dapat diselesaikan pada tanggal 1 Mei 2003. Sehingga Kanca
Tulungagung baru dapat memanfaatkan lahan parkir pada tanggal 2 Mei 2003,
sedangkan pembayaran sewa lahan parkir dibebankan sejak bulan September 2002
sesuai jadwal dalam perjanjian kerjasama. Hal tersebut tidak proporsional dengan masa
pemanfaatan lahan dan bangunan parkir Kanca Tulungagung. Pembebanan sewa lahan
dan bangunannya seharusnya baru dimulai pada bulan Mei 2003 efektif sesuai
pemakaian lahan parkir tersebut. Dengan demikian terjadi kelebihan pembayaran sewa
lahan parkir pada Kanca Tulungagung selama 8 bulan (September 2002 s.d. April 2003)
sebesar Rp534,46 juta dengan rincian sebagai berikut :
(dalam juta rupiah)
Jangka Waktu Sewa Tanah Sewa Bangunan Total Sewa
Sept sd Des 2002 229,34 - 229,34
Jan sd April 2003 229,34 25,26 305,12
Jumlah 534,46
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
a. BPP Instruksi No.IN/0189/UMM tanggal 1 November 2002 mengenai kewenangan
Direktur Sektor untuk memutus pembelian tanah untuk bangunan selain rumah
jabatan dengan jumlah s.d Rp5.000,00 juta. Kewenangan Pemimpin Wilayah s.d
Rp1.000,00 juta untuk memutus dan melaksanakan pembelian tanah untuk perluasan
bangunan selain rumah jabatan.
b. Perjanjian Sewa Menyewa Tanah antara PT BNI dengan Koperasi Swadharma tanggal
27 September 2002 dan Addendum I tanggal 13 Februari 2003.
Hal tersebut mengakibatkan Direktur Sektor tidak dapat mempertimbangkan secara
dini terhadap kelayakan pembelian/pelunasan lahan parkir Kanca Tulungagung dan BNI
Kanca Tulungagung kelebihan membayar selama 8 bulan sebesar Rp534,46 juta.
Hal tersebut terjadi karena pembayaran sewa lahan parkir Cabang Tulungagung tidak
sesuai realisasi pemanfaatan lahan parkir dan keputusan pembayaran pelunasan harga lahan
parkir hanya didasarkan atas kesediaan dana yang dianggap sudah menyetujui.
Direksi Bank BNI menjelaskan :
a. Sesuai surat Divisi JAL No.JAL/5.3/077/R tanggal 20 Februari 2004, dengan adanya
alokasi anggaran yang disetujui oleh Komisaris antara lain Anggaran Investasi tanah
untuk Kanca Tulungagung maka menurut hemat kami sudah merupakan persetujuan
untuk melunasi pembelian tanah parkir tersebut dan pengesahan telah dimintakan dan
disetujui Direksi dengan surat No.JAL/5.3/1045 tanggal 10 September 2004.
108

. Pembayaran kepada Koperasi dimulai setelah sebidang tanah diterima oleh pihak Bank
BNI sesuai BAST sejak tanggal 27 September 2002. Pengurukan lahan dimulai sejak
bulan September 2002 tetapi belum menggunakan paving stone dan telah digunakan
untuk lahan parkir Kanca, sedangkan pembayaran sewa bangunan dilakukan setelah
tahapan penyelesaian bangunan Musolla, Kantin Lapangan Tennis & Volley hampir
selesai, dan mulai dibayar sewanya pada tanggal 4 April 2003. Semua fasilitas tersebut
selesai seluruhnya pada tanggal 1 Mei 2003. Sejak penandatanganan BAST tanggal 27
September 2002 lahan parkir Kanca Tulungagung sudah bisa dimanfaatkan namun belum
optimal. Sehingga menurut hemat kami pembayaran yang dilaksanakan sejak 28 Oktober
2002 kepada Koperasi sudah sesuai dengan pemanfaatannya.
BPK – RI menyarankan agar Direksi Bank BNI dalam merencanakan pengadaan
disesuaikan dengan kebutuhannya, dan setiap pelaksanaan terlebih dahulu dimintakan
persetujuan dari pejabat yang berwenang serta meminta kembali kelebihan pembayaran sewa
selama 8 bulan kepada koperasi Swadarma sebesar Rp534,46 juta
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
109