W o r k s h o p - FORDA - Badan Litbang Kehutanan
W o r k s h o p - FORDA - Badan Litbang Kehutanan
W o r k s h o p - FORDA - Badan Litbang Kehutanan
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Workshop<br />
Ari Wibowo<br />
Setiasih Irawanti<br />
Zahrul Muttaqin<br />
Subarudi<br />
Fitri Nurfatriani<br />
Niken Sakuntaladewi<br />
Novi Widyaningtyas<br />
Sulistyo A. Siran<br />
Jakarta, November 2012
Jakarta, Oktober 2011<br />
KEMENTERIAN KEHUTANAN<br />
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN<br />
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />
PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN<br />
Jakarta, November 2012<br />
Ari Wibowo<br />
Setiasih Irawanti<br />
Zahrul Muttaqin<br />
Subarudi<br />
Fitri Nurfatriani<br />
Niken Sakuntaladewi<br />
Novi Widyaningtyas<br />
Sulistyo A. Siran
Prosiding Workshop Kerjasama Internasional<br />
Oleh:<br />
Ari Wibowo, Setiasih Irawanti, Zahrul Muttaqin, Subarudi, Fitri Nurfatriani,<br />
Niken Sakuntaladewi, Novi Widyaningtyas dan Sulistyo A. Siran<br />
Editor:<br />
Sulistyo A. Siran<br />
Bayu Subekti<br />
© 2012 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,<br />
<strong>Badan</strong> Penelitian dan Pengembangan <strong>Kehutanan</strong><br />
ISBN: 978-602-7672-13-0<br />
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang<br />
Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy,<br />
cetak, mikro lm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan<br />
atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut:<br />
Ari Wibowo, Setiasih Irawanti, Zahrul Muttaqin, Subarudi, Fitri Nurfatriani, Niken<br />
Sakuntaladewi, Novi Widyaningtyas dan Sulistyo A. Siran. 2012. Prosiding Workshop<br />
Kerjasama Internasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan<br />
Kebijakan, <strong>Badan</strong> Penelitian dan Pengembangan <strong>Kehutanan</strong>, Bogor, Indonesia.<br />
Diterbitkan oleh:<br />
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, <strong>Badan</strong> Penelitian dan<br />
Pengembangan <strong>Kehutanan</strong> – Kementerian <strong>Kehutanan</strong><br />
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Indonesia<br />
Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924<br />
Email: publikasipuspijak@yahoo.co.id; website: http://www.puspijak.org<br />
ii
Kata Pengantar<br />
Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena atas berkat dan<br />
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan prosiding Workshop Kerjasama<br />
Internasional ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, bagi lembaga litbang seperti<br />
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak),<br />
kegiatan kerjasama litbang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari strategi<br />
untuk memperluas jejaring kerja dan meningkatkan kualitas kegiatan litbang. Tanpa<br />
kerjasama dengan institusi lain, lembaga litbang akan teralienasi dari kemajuan ilmu<br />
pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat.<br />
Dilandasi oleh hal tersebut, Puspijak melaksanakan kegiatan workshop Kerjasama<br />
Internasional pada tanggal 5 November 2012 di IPB-International Convention Centre.<br />
Workshop bertujuan untuk memperoleh masukan berupa saran dan kritik membangun<br />
dalam rangka meningkatkan kualitas litbang hasil kerjasama dan mengoptimalkan<br />
pemanfaatannya oleh masyarakat pengguna.<br />
Prosiding yang ada di hadapan saudara merekam kegiatan yang dillaksanakan<br />
oleh proyek kerjasama internasional sepanjang tahun 2012 dimana Puspijak menjadi<br />
executing agencynya. Akhirul kalam semoga prosiding ini dapat memberikan manfaat<br />
bagi kita semua dalam memajukan kegiatan litbang utamanya aktivitas litbang<br />
perubahan iklim dan kebijakan di indonesia.<br />
Bogor, November 2012<br />
Kepala Pusat,<br />
Dr. Kirs anti L. Ginoga, MSc.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
iii
Daftar Isi<br />
Kata Pengantar .................................................................................................iii<br />
Daftar Isi ............................................................................................................. v<br />
Sambutan Kepala Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan Kebijakan ..............vii<br />
1. Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru<br />
Betiri, Jawa Timur ITTO PD 519/08 rev (1)<br />
Ari Wibowo ..................................................................................................... 1<br />
2. Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry<br />
in Indonesia Project Overview: ACIAR- FST/2008/030<br />
Setiasih Irawanti ..............................................................................................13<br />
3. Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong><br />
untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan<br />
(REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian<br />
<strong>Kehutanan</strong> FST/2007/052<br />
Zahrul Muttaqin, Subarudi dan Fitri Nurfatriani ..............................................41<br />
4. REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank)<br />
Forest Carbon Partnership Facility<br />
Niken Sakuntaladewi<br />
Novi Widyaningtyas........................................................................................53<br />
5. Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study<br />
on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia<br />
Sulistyo A. Siran ..............................................................................................61<br />
Notulensi ........................................................................................................... 76<br />
Daftar Hadir ..................................................................................................... 88<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
v
SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM<br />
DAN KEBIJAKAN<br />
PADA<br />
WORKSHOP KERJASAMA INTERNASIONAL<br />
BOGOR, 5 NOVEMBER 2012<br />
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,<br />
Selamat Pagi, Salam sejahtera bagi kita sekalian<br />
Yth. Kepala Puslitbang Lingkup <strong>Badan</strong> <strong>Litbang</strong> <strong>Kehutanan</strong> atau yang mewakili,<br />
Yth. Saudara-saudara peneliti, penyuluh kehutanan, widyaiswara, perwakilan dari<br />
perguruan tinggi, sahabat-sahabat dari lembaga swadaya masyarakat dan hadirin<br />
sekalian<br />
Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena hanya<br />
atas perkenan-Nya sajalah kita dapat hadir dan berkumpul pada kesempatan yang<br />
berbahagia ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, penelitian dan pengembangan<br />
adalah bagian penting dari sebuah organisasi, baik organisasi public maupun<br />
komersial. Banyak organisasi bisnis maupun publik mengalami quantum leap karena<br />
menempatkan litbang pada posisi yang strategis. Misalnya perusahaan-perusahaan<br />
IT seperti Apple dan Microsoft serta Korea Selatan, sebuah negara yang bergerak<br />
cepat dari negara berpendapat rendah pada dekade 60-an menjadi negara industri<br />
maju di era 2000-an karena menempatkan litbang sebagai bagian utuh dari strategi<br />
pembangunan nasionalnya.<br />
Bapak/Ibu peserta workshop Kerjasama Internasional yang saya hormati...<br />
Kementerian <strong>Kehutanan</strong> sebagai salah satu pemangku kepentingan pengelolaan<br />
dan pembangunan kehutanan menyadari sepenuhnya bahwa penelitian dan<br />
pengembangan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi pembangunan<br />
kehutanan nasional. Kerjasama dengan institusi kelitbangan lain, tidak hanya<br />
memberikan dukungan pendanaan, namun lebih dari itu Puspijak juga memperoleh<br />
manfaat berupa terbangunnya jejaring kerja/networking dan akses terhadap berbagai<br />
isu dan akti tas litbang kehutanan terkini yang mungkin masih merupakan suatu ilmu<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
vii
atau teknologi yang baru di tingkatan nasional dan internasional yang dapat di”share”<br />
dan di”learning by doing”, selain exchange of knowledge and skills antar peneliti.<br />
Bapak/Ibu peserta hadirin sekalian yang berbahagia...<br />
Strategi Puspijak dalam pengembangan kerjasama adalah menjalin kemitraan<br />
dengan institusi kelitbangan terkemuka yang bergerak dalam bidang perubahan iklim<br />
dan kebijakan dalam rangka membangun jejaring kerja seluas mungkin. Sampai dengan<br />
saat ini, sebagai executing agency, Puspijak mengelola empat kegiatan kerjasama yang<br />
masih berjalan / on going, yaitu :<br />
1. Tropical Forest Conservation For Reducing Emission From Deforestation and Forest<br />
Degradation And Enhancing Carbon Stock In Meru Betiri National Park, Indonesia<br />
bekerjasama dengan ITTO, 7&1, Telapak, dan TN Meru Betiri<br />
2. Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce Emissions<br />
from Deforestation and Forest Degradation (REDD)-ACIAR bekerjasama dengan<br />
ACIAR, Australia National University, dan CIFOR<br />
3. Overcoming Constrains to Community Based Commercial Forestry in Indonesia-<br />
ACIAR bekerjasama dengan dengan ACIAR, UGM dan BPK Makassar.<br />
4. REDD+ Readiness Preparation TF 99721 ID (FCPF/World Bank) bekerjasama<br />
dengan World-Bank, Pustanling <strong>Kehutanan</strong> dan Dewan <strong>Kehutanan</strong> Nasional.<br />
Satu kegiatan lagi yaitu, Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan-<br />
ITTO/Marubeni kerjasama dengan ITTO baru saja selesai dan akan diperpanjang<br />
dengan fase III yang berdasarkan MoU akan berlangsung dari September 2012 sampai<br />
dengan Maret 2013. Satu kegiatan lagi yang baru saja bergabung dengan Puspijak<br />
adalah kerjasama Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) yang akan<br />
berlangsung sampai dengan tahun 2014.<br />
Saudara-saudara, hadirin yang kami hormati....<br />
Kelima kegiatan kerjasama yang sedang berjalan maupun yang baru saja selesai<br />
telah banyak memberikan kontribusi dalam kegiatan litbang perubahan iklim dan<br />
kebijakan. Dari kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut telah dilaksanakan beberapa<br />
lokakarya, pelatihan dan seminar yang merupakan turunan dari upaya transfer dan<br />
exchange of knowledge and technology dan penguatan kapasitas sebagai bagian dari<br />
tujuan diadakannya kerjasama tersebut.<br />
Namun lebih dari itu semua, Puspijak memandang perlu untuk dilakukan<br />
diseminasi atau penyebarluasan lebih lanjut terhadap berbagai kemajuan/progres<br />
yang telah dicapai oleh kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut. Kegiatan diseminasi ini<br />
viii
penting karena selain untuk menyebarluaskan hasil litbang dari kegiatan kerjasama<br />
ini juga untuk memperoleh umpan balik untuk perbaikan ke depan. Masukan ini<br />
diharapkan akan lebih mempertajam hasil-hasil litbang dari kegiatan kerjasama sesuai<br />
dengan kebutuhan pengguna.<br />
Bapak/Ibu peserta hadiri sekalian yang berbahagia...<br />
Akhirul kalam, kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu/<br />
Saudara untuk bersama-sama berdiskusi dan berbagi pengetahuan dalam workshop<br />
kerjasama ini. Saran masukan dan kritik untuk perbaikan dari hadirin sekalian sangat<br />
kami harapkan.<br />
Semoga kegiatan hari ini dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan mulia<br />
dari kegiatan dari kegiatan ini dapat tercapai dan kita rasakan hasilnya di masa yang<br />
akan datang.<br />
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.<br />
Kepala PUSPIJAK,<br />
Dr. Kirs anti Ginoga, MSc.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
ix
Demonstration Activity (DA) REDD+ di<br />
Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur<br />
ITTO PD 519/08 rev (1)<br />
Ari Wibowo
1.1 Latar Belakang<br />
1. Pendahuluan<br />
Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Sektor<br />
<strong>Kehutanan</strong> adalah salah satu sektor penting yang berkontribusi terhadap emisi gas<br />
rumah kaca (GRK). Di tingkat global, laporan Stern (2007) menyebutkan kontribusi<br />
sektor perubahan penutupan lahan dan kehutanan (LULUCF) sebesar 18%, sedangkan<br />
di Indonesia, sektor LULUCF adalah yang terbesar yaitu 48% dari total emisi nasional<br />
(KLH, 2009). Untuk itu Indonesia mencanangkan target penurunan emisi sebesar<br />
26% pada tahun 2020, dengan kontribusi sektor kehutanan ditetapkan sebesar 14%.<br />
Upaya penurunan emisi sektor kehutanan dapat dilakukan dengan berbagai cara.<br />
Pada prinsipnya adalah pengurangan emisi dengan menjaga dan mempertahankan stok<br />
karbon yang ada serta meningkatkan serapan melalui berbagai program pembangunan<br />
hutan tanaman. Salah satu mekanisme pengurangan emisi yang sedang dikembangkan<br />
adalah mekanisme REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation<br />
Plus). REDD+ adalah istilah yang mengacu pada Bali Action Plan yaitu 'pendekatan<br />
kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi<br />
dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang; dan peran<br />
konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara<br />
berkembang’. Mekanisme ini diharapkan dapat diimplementasikan penuh sesudah<br />
berakhirnya periode Kyoto Protocol. Agar hasil penurunan emisi mekanime REDD+<br />
dapat diperjual belikan melalui mekanisme pasar, monitoring penurunan emisi haruslah<br />
dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi kaidah internasional, dan bersifat MRV<br />
(Measurable, Reportable dan Veri able).<br />
Indonesia adalah salah satu negara dengan hutan tropis terbesar. Salah satu<br />
kontribusi terhadap isu global adalah melalui perannya dalam mengurangi emisi Gas<br />
Rumah Kaca (GRK) dan meningkatkan persediaan karbon hutan melalui konservasi<br />
hutan yang mekanismenya ditingkat global sedang dibangun melalui kegiatan REDD+.<br />
Hal ini didukung oleh luasnya hutan konservasi di Indonesia yang mencapai 26,8 juta<br />
ha, terdiri dari Taman Nasional, Cagar Alam, dan Hutan Rekreasi.<br />
Sebagian besar hutan konservasi termasuk Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)<br />
yang terletak di bagian selatan Jawa Timur mendapat ancaman potensial dari deforestasi<br />
dan degradasi hutan.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
3
Meskipun tidak terjadi deforestasi yang terencana, pembalakan liar dan perambahan<br />
adalah ancaman bagi kelestarian kawasan konservasi. Mekanisme REDD+ untuk<br />
mengurangi deforestasi dan degradasi hutan akan memiliki banyak manfaat. Disamping<br />
mempertahankan stok karbon yang mencegah terjadinya emisi, dampak positif lainnya<br />
adalah terhadap kelestarian keanekaragaman hayati dan menunjang pembangunan<br />
berkelanjutan melalui peran serta masyarakat.<br />
1.2 Tujuan Kegiatan<br />
Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk memberikan kontribusi dalamn<br />
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan meningkatkan cadangan<br />
karbon hutan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi dan<br />
pengelolaan MBNP. Tujuan khusus adalah: (1) untuk meningkatkan mata pencaharian<br />
masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar areal TNMB melalui partisipasi<br />
dalam menghindari deforestasi, degradasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, dan<br />
(2) untuk mengembangkan pengukuran yang kredibel, dapat dilaporkan, dan sistem<br />
diveri kasi untuk memantau pengurangan emisi dari deforestasi dan deg radasi hutan<br />
dan peningkatan cadangan karbon hutan di TNMB.<br />
2.1 Lokasi DA REDD+<br />
2. Kondisi Umum Taman Nasional Meru Betiri<br />
Lokasi kegiatan percontohan REDD+ adalah Taman Nasional Meru Betiri<br />
(TNMB) yang terletak di bagian selatan Jawa Timur. TNMB meliputi dua wilayah<br />
kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi. Luas total Taman Nasional adalah ± 58.000<br />
ha yang terdiri dari berbagai tipe vegetasi dari pegunungan sampai ke daerah pesisir.<br />
TNMB kaya keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat sekitar hutan yang<br />
memberikan dampak positif dan negatif terhadap kelestarian hutan.<br />
4<br />
Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)
Gambar 1. Lokasi TNMB di Jawa Timur<br />
2.2 Luas dan Zona di TNMB<br />
TNMB memiliki luas 58.000 ha dan terletak di bagian selatan Provinsi Jawa<br />
Timur dan berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan aksesibilitas<br />
relatif tinggi. Kondisi topogra sangat bervariasi mulai dari daerah perbukitan, dataran<br />
rendah, pantai dan mangrove yang menghadap ke Samudera Hindia.<br />
Kawasan Taman Nasional merupakan ekosistem hutan hujan tropis dengan<br />
keanekaragaman ora dan fauna yang tinggi (lebih dari 500 jenis vegetasi telah<br />
diidenti kasi), seperti tanaman obat, tanaman hias, bambu serta berbagai hewan<br />
kecil dan yang relatif besar.<br />
Dalam hal fungsi, TNMB dibagi menjadi 5 zona, yaitu zona inti, zona hutan<br />
utuh, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona penyangga. Setiap zona dikelola<br />
secara khusus berdasarkan fungsi spesi k. Zona inti dengan luas wilayah 27,900<br />
ha merupakan kawasan lindung dan hanya diperbolehkan untuk penelitian dan<br />
pendidikan. Zona hutan dengan total luas 22,622 ha diperbolehkan untuk penelitian<br />
dan pendidikan, pemanfaatan terbatas untuk ekowisata.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
5
Zona Pemanfaatan dengan luas total 1,285 ha selain untuk penelitian dan pendidikan,<br />
juga untuk pemanfaatan berkelanjutan pada dataran tinggi dan pesisir yaitu untuk<br />
ekowisata. Zona rehabilitasi dengan luas wilayah 4,023 ha adalah zona di mana<br />
rehabilitasi hutan dan lahan (agro-kehutanan budidaya) melibatkan masyarakat<br />
lokal sedang berlangsung untuk memperkuat dan melindungi zona lain. Kegiatan<br />
rehabilitasi dilakukan di daerah ini untuk memulihkan tutupan hutan dari pembalakan<br />
ilegal, konversi dan budidaya sejak awal 1990-an. Rehabilitasi dilakukan berdasarkan<br />
prinsip saling menguntungkan antara TNMB dan masyarakat dengan mengembangkan<br />
sistem agroforestry.<br />
2.3 Aspek lingkungan<br />
Tipe hutan di Taman Nasional Meru Betiri adalah hutan mangrove, hutan rawa,<br />
dan hutan hujan dataran rendah. TNMB merupakan habitat alami dari bunga Raf esia<br />
(Raf esia zollingeriana), dan berbagai vegetasi lainnya seperti bakau (Rhizophora<br />
sp.), Api-api (Avicennia sp.), waru (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (Calophyllum<br />
inophyllum), Rengas (Gluta renghas), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Pulai (Alstonia<br />
scholaris), Bendo (Artocarpus elasticus), serta berbagai jenis tanaman obat. TNMB juga<br />
merupakan rumah bagi beberapa satwa yang dilindungi, termasuk 29 jenis mamalia<br />
dan 180 jenis burung. TNMB dikenal sebagai habitat terakhir Harimau Jawa (Panthera<br />
tigris sondaica) yang sekarang menjadi sangat terancam punah dan merupakan jenis<br />
yang dilindungi. Jejak harimau ini tidak ditemukan lagi selama bertahun-tahun<br />
sehingga dikhawatirkan telah punah.<br />
TNMB juga memiliki karakteristik lainnya yaitu penyu. Pantai Sukamade<br />
merupakan habitat dari berbagai jenis penyu seperti penyu belimbing, penyu sisik,<br />
dan penyu hijau. Fasilitas penangkaran sederhana telah dibangun di pantai ini untuk<br />
memastikan bahwa penyu tersebut tidak menjadi punah<br />
2.4 Aspek Sosial Ekonomi<br />
TNMB berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan jumlah<br />
desa yang langsung berbatasan dengan kawasan Taman 11-12 desa dan jumlah<br />
penduduk 23,800. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di desa-desa ini adalah petani<br />
subsisten dan buruh dalam kegiatan yang berhubungan dengan pertanian. Rata-rata<br />
pendapatan masyarakat sangat rendah, sekitar UD $ 150 per tahun. Untuk mendukung<br />
kehidupan sehari-hari, sebagian besar anggota masyarakat mencari sumber pendapatan<br />
alternatif, dan sering melakukan penebangan di kawasan Taman Nasional, baik untuk<br />
6<br />
Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)
kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Beberapa anggota masyarakat juga bekerja di<br />
TNMB untuk kegiatan rehabilitasi sebagai sumber pendapatan tambahan. Peningkatan<br />
jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya ketergantungan masyarakat pada<br />
sumber daya yang disediakan dari TNMB.<br />
TNMB sebagaimana kawasan hutan lainnya, juga menghadapi ancaman serius<br />
yang menyebabkan degradasi dan mengurangi nilai dari fungsi ekosistem termasuk<br />
perannya dalam penyerapan karbon dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Penyebab<br />
utama ancaman (terutama degradasi hutan) adalah penebangan liar dan perambahan.<br />
Penebangan liar kayu dan non-kayu hasil hutan dari taman nasional sebagian besar<br />
karena masih lemahnya upaya penegakan hukum, kurangnya kesadaran masyarakat<br />
tentang fungsi hutan dan tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kemiskinan dan<br />
kurangnya sumber pendapatan. Situasi ini, secara langsung atau tidak langsung,<br />
memberikan kontribusi terhadap potensi degradasi dari kawasan Taman Nasional.<br />
3. Pelaksanaan DA REDD+ di TNMB<br />
Kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Merubetiri secara resmi telah di<br />
“launching” oleh Menteri <strong>Kehutanan</strong> pada bulan Januari tahun 2010. Saat ini kegiatan<br />
DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri sedang dalam proses register oleh<br />
Direktorat Jenderal PHKA bersama-sama dengan DA di Taman Nasional lainnya,<br />
yaitu TN Sebangau, Tesso Nilo dan Berbak. DA REDD+ di TNMB merupakan<br />
salah satu dari DA REDD di Indonesia yang mewakili kawasan konservasi. Kegiatan<br />
ini sangat mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah<br />
perubahan iklim melalui target penurunan emisi 26 % tahun 2020, sebagai kontribusi<br />
upaya mitigasi dari sektor kehutanan<br />
Jangka waktu implementasi kegiatan 4 tahun (2010-2013) dengan Executing<br />
Agency <strong>Badan</strong> <strong>Litbang</strong> <strong>Kehutanan</strong> melalui Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan<br />
Kebijakan bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Meru Betiri dan LATIN.<br />
Kegiatan percontohan REDD+ di TNMB dibiayai oleh ITTO (PD 519/08 Rev<br />
1 (F), dengan kontribusi dari Perusahaan Jepang, Seven and i Holdings Company.<br />
Nilai kegiatan (hibah) adalah sebesar US$ 814.590<br />
Kegiatan dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu terkait dengan upaya<br />
peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, dan kegiatan yang mendukung<br />
tercapainya peningkatan kapasitas dalam persediaan sumber daya dasar dan akuntansi<br />
karbon dalam terukur, dilaporkan dan dapat diveri kasi (MRV). Jenis dan tata waktu<br />
kegiatan adalah sebagai berikut:<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
7
Tabel 1. Kegiatan DA REDD+ di TNMB dan tata waktu<br />
Kegiatan Utama/Kegiatan Tata Waktu<br />
Upaya peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat<br />
1. Mengkaji skema yang ada dan pembelajaran dari daerah sekitar<br />
2010<br />
2. Melakukan konsultasi parapihak untuk mengidenti kasi skema yang paling 2010<br />
layak untuk TNMB<br />
3. Menetapkan kemitraan untuk konservasi Taman Nasional Meru Betiri<br />
2011<br />
4. Meningkatkan kegiatan ekonomi potensial melalui program kemitraan 2011<br />
komunitas hutan<br />
5. Mempromosikan pengembangan dan domestikasi jenis berharga dari TNMB 2011<br />
6. Melaksanakan program peningkatan kesadaran masyarakat<br />
2011-2013<br />
7. Melakukan pelatihan perlindungan hutan untuk tokoh masyarakat, polisi dan 2010<br />
staf pemerintah lokal lainnya di TNMB<br />
8. Meningkatkan kelembagaan di tingkat masyarakat untuk mengurangi 2011-2013<br />
penebangan liar dan memberdayakan mereka<br />
9. Scaling up pembelajaran DA REDD+<br />
2012<br />
10. Perencanaan program penanaman di zona rehabilitasi oleh masyarakat<br />
2012<br />
Kegiatan yang mendukung tercapainya peningkatan kapasitas dalam<br />
inventarisasi sumber daya dan akuntansi karbon yang dapat diukur, dilaporkan<br />
dan diveri kasi (MRV)<br />
1. Mengkaji metodologi yang tersedia untuk penghitungan karbon menurut 2010-2011<br />
IPCC, VCS dan standar lainnya<br />
2. Mengembangkan prosedur operasi standar (SOP) untuk pengukuran bidang 2011<br />
karbon dan keanekaragaman hayati<br />
3. Menyiapkan petunjuk teknis penyelenggraan DA REDD+ untuk kawasan 2012<br />
konservasi<br />
4. Menentukan batas proyek untuk memfasilitasi pengukuran dan pemantauan 2010<br />
cadangan karbon<br />
5. Menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan tentang inventarisasi berbasis 2011<br />
sumber daya bagi para pemangku kepentingan terkait<br />
6. Menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan tentang penghitungan karbon 2010<br />
bagi para pemangku kepentingan terkait<br />
7. Melakukan analisis penginderaan jauh untuk menentukan perubahan 2011-2012<br />
penutup dalam taman nasional<br />
8. Menetapkan baseline proyek untuk menganalisis penggunaan lahan dan 2011-2012<br />
perubahan tutupan lahan dan perubahan karbon terkait saham<br />
9. Pelaksanaan pembuatan Dokumen Desain Proyek (PDD) sesuai dengan 2012<br />
standar karbon sukarela (VCS)<br />
10. Rencana validasi/veri kasi<br />
2013<br />
Selama pelaksanaan REDD DA, kegiatan sosialisasi telah dilaksanakan. Jaringan<br />
telah dikembangkan melalui:<br />
1. Website: Http :/ / ceserf-itto.puslitsosekhut.web.id<br />
2. Mailing list: redd_forda_itto@yahoogroups.com<br />
3. Video : http://library.forda-mof.org/libforda/ les/mbnp redd+.mpg<br />
4. Berbagai publikasi telah dihasilkan, yaitu: Brief Info (Bulanan), Laporan foto,<br />
Laporan Teknis, Laporan Tahunan, Policy Brief<br />
5. Lea et, poster, pam et, selebaran, dll<br />
8<br />
Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)
Kegiatan DA REDD + di TNMB telah memberikan pembelajaran dan<br />
disebarluaskan melalui berbagai pertemuan, lokakarya, seminar dan acara lainnya.<br />
Kegiatan ini juga menarik minat tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari negara<br />
lain untuk melihat TNMB dan implementasi REDD, termasuk kunjungan dari Korea<br />
University, Delegasi Thailand, kunjungan Deperindag Jepang <strong>Kehutanan</strong>, dan Tim<br />
dari University Washington, Amerika Serikat dan Universitas Indonesia.<br />
Untuk Rancangan Metodologi, sampai dengan tahun 2012, sedang disiapkan<br />
Project Design Document (PDD) yang mengacu kepada Veri ed Carbon Standard<br />
(VCS), dengan mengaplikasikan metodologi yang tersedia menurut VCS yaitu VM0015<br />
for Avoided Unplanned Deforestation<br />
4. Pembelajaran<br />
DA REDD+ di TNMB merupakan kegiatan percontohan sebagai pembelajaran<br />
terhadap mekanisme REDD sebelum diimplementasikan secara penuh. Kegiatan ini<br />
mendukung peningkatan pengelolaan kawasan konservasi yang lestari. Pengelolaan<br />
yang meningkat akan ditandai dengan perbaikan fungsi ekosistem hutan, perbaikan<br />
partisipasi masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya dan peningkatkan<br />
kesejahteraan masyarakat. Pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan REDD di<br />
TNMB dalam rangka perbaikan penerapan REDD+ diantaranya, adalah sebagai<br />
berikut:<br />
1. Masyarakat di sekitar TNMB merupakan parapihak yang penting dalam<br />
pelaksanaan program REDD+. Mereka telah menunjukkan keinginan dan<br />
partisipasi yang baik dalam menjalankan program REDD+. Untuk itu, masyarakat<br />
memerlukan kepastian jangka panjang dalam menjalankan kegiatannya terutama<br />
di zona rehabilitasi TNMN. Nota kesepahaman yang telah disepakati menjadi<br />
awal dari berlangsungnya kerjasama yang baik antara masyarakat dan TNMB<br />
demi keuntungan kedua belah pihak.<br />
2. Meskipun mekanisme wajib melalui perundingan COP belum memberikan hasil<br />
yang nyata dalam mekanisme REDD+, mekanisme sukarela seperti VCS, CCBA<br />
dan Plan Vivo telah berkembang yang dapat menjadi kesempatan bagi program<br />
REDD+ di Indonesia. Selain itu mekanisme “fund based” seperti “Carbon Offset<br />
Mechanism” dapat menjadi alternatif insentif untuk kawasan konservasi. Saat<br />
ini kegiatan DA REDD+ di TNMB sedang menyiapkan PDD (Project Desugn<br />
Document) yang mengacu kepada Veri ed Carbon Standard (VCS)<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
9
3. Program REDD+ di TNMB telah memberikan pembelajaran dan informasi tentang<br />
potensi karbon di kawasan konservasi dan mengembangkan sistem perhitungan<br />
karbon dan emisi yang dapat diukur, dilaporkan dan diveri kasi (MRV). Hutan<br />
pada kawasan konservasi di TNMB relatif pada kondisi yang baik, tinggi tingkat<br />
kadungan karbon dan memiliki nilai biodiversitas penting<br />
4. Mekanisme REDD+ yang sedang dikembangkan sepertinya lebih memberikan<br />
keuntungan pada wilayah dengan tingkat sejarah deforestasi atau emisi yang tinggi,<br />
sehingga merupakan tantangan dan proses pembelajaran untuk REDD+ di wilayah<br />
konservasi dengan tingkat deforestasi rendah dan nilai konservasi (biodiversitas)<br />
tinggi. Mekanisme insentif dan penghargaan seharusnya diupayakan untuk<br />
wilayah yang telah mengupayakan konservasi dengan baik.<br />
5. Dengan adanya kegiatan DA REDD+ telah terjalin kolaborasi antar stakeholders<br />
(Kemenhut, BTNMB, Pemda, NGO, Perguruan Tinggi, Swasta dll)<br />
Tantangan yang dihadapi dalam implementasi kegiatan DA REDD+ diantaranya<br />
adalah:<br />
1. Kegiatan REDD+ di TNMB ini terutama berkaitan dengan pemberdayaan<br />
masyarakat dan penguatan kelembagaan dalam pengelolaan MBNP untuk<br />
mendukung tujuan konservasi. Potensi risiko yang mungkin muncul adalah dari<br />
kon ik kepentingan antara masyarakat lokal dan pengelolaan TNMB, terutama<br />
dalam pemanfaatan lahan di TNMB. Kon ik kepentingan ini dapat mengakibatkan<br />
berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan.<br />
2. Risiko potensial lain adalah berhubungan dengan pengembangan sistem yang<br />
kredibel untuk memonitor pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan<br />
dan untuk meningkatkan cadangan karbon hutan. Dalam rangka pengembangan<br />
sistem yang kredibel berbagai metodologi tersedia untuk perhitungan dan<br />
pemantauan cadangan karbon, seperti yang dikembangkan oleh Inter-Governmental<br />
Panel on Climate Change (IPCC). Selain itu beberapa standard sukarela juga<br />
tersedia misalnya Veri ed Carbon Standard (VCS) dan Climate and Community<br />
Biodiversity Alliance (CCBA). Berbagai standard ini masih mengutamakan<br />
penurunan emisi sebagai target utama, sedangkan peran konservasi (biodiversity)<br />
dan masyarakat masih merupakan manfaat tambahan (co-bene ts). Rendahnya<br />
sejarah emisi akan mengurangi nilai tambah (additionallity) dari kegiatan ini, dan<br />
sulit untuk mendapatkan insentif dari pasar sukarela.<br />
3. Kegiatan berakhir 2013, diperlukan keberlanjutan pasca ITTO, apakah selesai<br />
sebagai DA pembelajaran atau terus dilaksanakan sebagai “result based DA”.<br />
10<br />
Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)
4. Scaling Up<br />
Registrasi dan upaya Dijen PHKA dengan menyiapkan Draft PerdirjenBersamasama<br />
dengan TN Sebangau, Tesso Nilo, dan Berbak<br />
5. Penutup<br />
1. DA REDD+ di TNMB merupakan DA yang mewakili kawasan konservasi yang<br />
dilaksanakan oleh multistakeholder dan kontribusi dari internasional (ITTO dan<br />
Seven and i) terhadap kelestarian hutan tropis<br />
2. Tantangan dan proses belajar untuk REDD+ di kawasan konservasi dengan tingkat<br />
deforestasi rendah dan kaya akan nilai konservasi . Hutan di TNMB umumnya<br />
masih dalam kondisi baik, kaya biodiversitas dan stok karbon.<br />
3. Masyarakat adalah komponen penting dalam REDD+. Kesuksesan tergantung<br />
juga pada partisipasi dan kesadaran masyarakat. REDD+ harus memberikan<br />
manfaat jangka pendek dan jangka panjang. Masyarakat memerlukan kepastian<br />
hukum jangka panjang untuk kegiatan yang berhubungan dengan TNMB.<br />
4. Kegiatan DA telah menghasilkan informasi stok karbon di TNMB sebagai kawasan<br />
konservasi, sistem MRV untuk memonitor stok karbon dan biodiversitas serta<br />
keterlibatan masyarakat sebagai masukan untuk sistem nasional dan program<br />
REDD lainnya.<br />
5. DA REDD+ telah mengikuti prosedur VCS dengan menyiapkan PDD. Untuk<br />
itu perlu didukung dengan keberlanjutan kegiatan setelah berakhirnya kegiatan<br />
ITTO pada tahun 2013.<br />
Daftar Publikasi Project ITTO PD 519/08 Rev (1) F<br />
1. Review existing scemes and lesson learned from surrounding areas<br />
2. Stakeholder consultation to determine the most viable scheme of community and<br />
other stakeholders to be applied at MBNP<br />
3. Determination of project boundary to facilitate measuring and monitoring of<br />
carbon stocks<br />
4. Review existing methodology of resourcebased inventory for measuring reporting<br />
and verivying (MRV) carbon accounting for reducing emission from deforestation<br />
and forest degradation and enhancing carbon stock in Meru Betiri National Park<br />
(MBNP), Indonesia<br />
5. Standard Operating Procedures (SOPs) for Field Measurement<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
11
6. Mengembangkan konservasi berdasarkan Industri dari Zona rehabilitasi di Taman<br />
nasional Meru Betiri<br />
7. The Completion of GIS Analysis Activity in Meru Betiri National Park<br />
8. aporan Pelatihan Pelibatan Masyarakat dalam Pengukuran, Pelaporan, dan<br />
Veri kasi perubahan cadangan karbon di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)<br />
9. landcover change analysis using remote sensing and GIS<br />
10. Progress Of Demonstration Activity Of REDD+ In Meru Betiri Nasional Park,<br />
Indonesia Up To 2011<br />
11. Developing Partnership for Conservation at Meru Betiri National Park<br />
12. Review on Methodology of voluntary carbon standards for application of REDD+<br />
Project in Meru Betiri National Park, East Java<br />
13. Analysis of Land Use, Land Cover Change and the Association Carbon Stock<br />
Change to Establish Project Baseline<br />
14. Review tentang Illegal Logging sebagai ancaman terhadap sumberdaya hutan<br />
dan implementasi kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi<br />
(REDD+) di Indonesia<br />
15. Standard Operational Procedure for Biodiversity Survey in Conservation Area<br />
16. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis Pada Kawasan<br />
Konservasi<br />
17. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Pengukuran Stock Karbon di Kawasan<br />
Konservasi<br />
18. Pelatihan Inventarisasi Sumber Daya Petani<br />
19. Potensi Karbon di Taman Nasional Meru Betiri<br />
20. Meningkatkan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat untuk Mengatasi<br />
Masalah Penebangan Liar di TNMB<br />
21. Hutan, Perubahan Iklim dan REDD+ (bahan penyuluhan ke sekolah dasar/<br />
menengah)<br />
22. Informasi Teknis Pelaksanaan Kegiatan Da REDD+ Di Kawasan Konservasi<br />
12<br />
Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)
Overcoming Constraints to Community-<br />
Based Commercial Forestry in Indonesia<br />
Project Overview: ACIAR- FST/2008/030<br />
Setiasih Irawanti
Abstrak<br />
Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya<br />
(23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Sementara itu<br />
penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri skala<br />
besar, namun sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan<br />
mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Apakah <strong>Kehutanan</strong><br />
Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) merupakan strategi kebijakan dan manajemen<br />
yang efektif?. Ada empat tugas penelitian yakni (1) analisis dimensi sosial, (2) kerangka<br />
kerja mata pencaharian sektor kehutanan, (3) analisis rantai nilai dan (4) pendekatan<br />
pembelajaran petani.<br />
Hasil dari analisis dimensi sosial menunjukan bahwa hutan rakyat sengon di<br />
Kabupaten Pati dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan<br />
berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman<br />
perkebunan, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman kehutanan, sehingga<br />
dihasilkan kayu dan hasil bukan kayu (HBK). Program pemerintah KBR, BLM-<br />
PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan<br />
mendorong peningkatan produksi kayu dan HBK.<br />
Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni (1)<br />
hasil penjualan kayu, (2) hasil penjualan HBK, dan (3) hasil penjualan ternak. Ratarata<br />
kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 22%, dari HBK adalah 82% dan<br />
dari ternak adalah 12%. Sedangkan pendapatan petani dari hutan rakyat berasal dari<br />
2 sumber yakni (1) hasil penjualan kayu dan (2) hasil penjualan HBK, di mana ratarata<br />
kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 67% dan dari HBK adalah 87%.<br />
HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman buah-buahan<br />
(31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%). Budidaya ternak<br />
dan hutan rakyat dapat dipandang sebagai usaha komplementer, saling melengkapi<br />
atau menghidupi, karena ternak menghasilkan pupuk kandang untuk menyuburkan<br />
lahan dan tanaman hutan rakyat sebaliknya dari hutan rakyat dihasilkan hijauan pakan<br />
ternak untuk pakan kambing dan sapi. Kayu menjadi insentif pengembangan hutan<br />
rakyat terutama di Desa Payak, sedangkan HBK menjadi insentif pengembangan<br />
hutan rakyat terutama di Desa Gunungsari dan Giling.<br />
HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada<br />
pemilikan lahan yang sempit karena dapat memberi pendapatan pada petani selama<br />
menunggu tanaman kayu dipanen. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur dengan<br />
berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh pendapatan<br />
secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
15
Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan<br />
oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat (HR), Hutan Tanaman<br />
Rakyat (HTR), atau Hutan Kemasyarakatan (HKm), direkomendasikan menggunakan<br />
teknik agroforestri dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman<br />
hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat<br />
menghasilkan berbagai jenis HBK.<br />
Kata kunci: kayu, hasil hutan bukan kayu, hutan rakyat, sengon, Pati<br />
1.1 Latar Belakang<br />
1. Pendahuluan<br />
Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya<br />
(23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Diantara mereka<br />
mendapat manfaat dari penggunaan kawasan hutan dan lahan untuk mata pencaharian<br />
tradisional, pertanian subsisten, pemanenan, pengolahan dan ekspor kayu. Banyak<br />
masyarakat pedesaan di Indonesia yang hidup dikelilingi hutan yang seringkali menjadi<br />
satu-satunya 'jaminan sosial' yang mereka miliki.<br />
Kini <strong>Kehutanan</strong> Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) menjadi strategi<br />
untuk mencapai beberapa tujuan, seperti untuk mengurangi deforestasi, membangun<br />
hutan tanaman untuk memasok industri kayu, dan untuk mengurangi kemiskinan<br />
di pedesaan. Strategi pelibatan masyarakat dalam kehutanan komersial di Indonesia<br />
antara lain diluncurkan dalam Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan<br />
Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Rakyat (HR).<br />
Sementara penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan<br />
baku industri skala besar, sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi<br />
kebutuhan mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Karenanya<br />
terdapat beberapa pertanyaan yang kemudian muncul terkait dengan CBCF ini. (1)<br />
Apakah CBCF dapat memperbaiki mata pencaharian penduduk lokal?, (2) Apakah<br />
CBCF dapat memenuhi pasokan kayu bagi industri?, (3) Bagaimanakah model CBCF<br />
yang baik?<br />
Dalam beberapa tingkatan pemerintahan di Indonesia sangat ingin memastikan<br />
bahwa CBCF menjadi strategi kebijakan dan manajemen yang efektif. Makalah ini<br />
menyajikan gambaran kemajuan kegiatan Kerjasama Penelitian antara ACIAR dan<br />
16<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
<strong>FORDA</strong> Bogor tentang “Overcoming Constraints to Community-Based Commercial<br />
Forestry in Indonesia” (ACIAR, FST/2008/030). Jangka waktu kerjasama ini adalah<br />
4½ tahun yaitu antara April 2011 sampai dengan September 2015. Tujuan yang ingin<br />
dicapai oleh kerjasama penelitian ini adalah sebagai berikut.<br />
1. Melakukan analisis dimensi sosial CBCF, termasuk mengembangkan kerangka<br />
kerja ‘mata pencaharian dari sektor kehutanan’.<br />
2. Melakukan evaluasi ‘rantai nilai’ dari model bisnis CBCF yang dominan.<br />
3. Meningkatkan kapasitas partisipasi petani untuk membuat keputusan investasi<br />
yang lebih baik.<br />
4. Mempengaruhi pemangku kepentingan (pembuat kebijakan, ketuan program,<br />
staf lapangan, kepala desa / tokoh masyarakat) untuk mengoptimalkan CBCF.<br />
1.2 Tugas Penelitian<br />
Model CBCF yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.<br />
Individual growers<br />
Group of growers<br />
2<br />
3<br />
1<br />
Market brokers<br />
Processors<br />
Ada empat Tugas Penelitian dalam kerjasama penelitian ini, sebagai berikut.<br />
1. Tugas Penelitian 1: Analisis dimensi sosial (sampai dengan Juni 2012)<br />
Indonesia memiliki masyarakat yang beragam, dimana masyarakat di pedesaan sering<br />
kali memiliki budaya yang beragam dan mengalami perubahan-perubahan sosial yang<br />
besar seperti melakukan migrasi ke dalam dan keluar, perubahan dalam pekerjaan.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
17
Mengingat pentingnya memahami dimensi sosial yang berbasis masyarakat<br />
kehutanan, penelitian ini melakukan analisis dimensi sosial dari isu-isu kunci<br />
sosial dan masyarakat yang terkait dengan empat model CBCF. Analisis dimensi<br />
sosial meliputi:<br />
a. Mempersiapkan sebuah pro l sosial dari masyarakat yang terlibat dengan<br />
masing-masing model CBCF (misalnya menggambarkan keragaman budaya<br />
dan etnis, struktur pengambilan keputusan lokal).<br />
b. Menggambarkan sejarah serta tantangan dan peluang mata pencaharian saat ini<br />
bagi segmen masyarakat yang berbeda (misalnya masalah gender: kesehatankesejahteraan<br />
khusus, keamanan pangan untuk berbagai anggota komunitas,<br />
peluang usaha bagi gender tertentu).<br />
c. Menggambarkan pengelolaan hutan tradisional dan saat ini untuk berbagai<br />
segmen masyarakat (misal pengetahuan dan peran spesi k gender, peran dan<br />
pengetahuan spesi k umur).<br />
d. Menganalisis bagaimana segmen masyarakat yang berbeda yang terlibat dan<br />
terpengaruh oleh model CBCF individual (misalnya sifat, skala biaya dan<br />
manfaat, bagaimana kemungkinan risiko dipahami dan dikelola oleh keluarga).<br />
2. Tugas Penelitian 2: Kerangka kerja mata pencaharian sektor kehutanan (sampai<br />
dengan Juni 2013)<br />
Analisis dimensi sosial akan memberikan petunjuk berharga bagi tim peneliti yang<br />
kemudian akan mengembangkan sebuah kerangka komprehensif untuk menilai<br />
dampak mata pencaharian dari CBCF, misalnya dengan kerangka kerja mata<br />
pencaharian kehutanan. Analisis ini mencakup diagram livelihood asset, informasi<br />
kontribusi hutan rakyat dalam penghidupan petani, dan sistem informasi modal/<br />
asset masyarakat berbasis geogra s.<br />
3. Tugas Penelitian 3: Analisis rantai nilai (sampai dengan Juni 2013)<br />
Rantai nilai terdiri dari serangkaian kegiatan yang menciptakan dan membangun<br />
nilai dalam suatu barang atau jasa. Konsep rantai nilai kehutanan dapat diterapkan<br />
untuk mencari beberapa tahap rantai yang biasa digunakan oleh pemilik hutan<br />
rakyat di Indonesia. Secara sederhana, prinsip rantai nilai adalah bahwa setiap<br />
tahap rantai harus menghasilkan keuntungan untuk memastikan bahwa industri<br />
ini berkelanjutan.<br />
Menganalisis rantai nilai dari empat model CBCF akan memberikan informasi<br />
penting kepada semua stakeholder tentang cara dihasilkan dan didistribusikannya<br />
18<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
keuntungan sepanjang rantai nilai, sehingga membantu pengembangan strategi<br />
untuk menegosiasikan kontrak dan harga hasil hutan.<br />
4. Tugas Penelitian 4: Pendekatan pembelajaran petani (sampai dengan Desember<br />
2012)<br />
Strategi penting untuk mencapai manfaat berupa dampak dari kegiatan penelitian<br />
adalah merancang dan mengembangkan pendekatan efektif untuk meningkatkan<br />
pengetahuan dan keterampilan petani pemilik HR, yaitu mengembangkan<br />
'pendekatan pembelajaran' efektif bagi petani HR agar mereka dapat membuat<br />
keputusan tentang investasi di sektor kehutanan komersial dalam konteks pasar<br />
yang cepat berubah. Cara yang praktis untuk CBCF di Indonesia adalah melalui<br />
jaringan luas kelompok petani hutan.<br />
Program Master Tree Grower (MTG) telah efektif digunakan untuk meningkatkan<br />
keterampilan dan pengetahuan petani tentang kehutanan sejak akhir 1990-an.<br />
Langkah pertama adalah menganalisis kapasitas kelembagaan dan sosial kelompok<br />
petani hutan yang berpartisipasi dalam empat model CBCF. Konsultan yang<br />
ditunjuk kemudian akan merancang sebuah program pendekatan belajar efektif<br />
capacity building untuk meningkatkan kemampuan kelompok petani hutan dalam<br />
mengoptimalkan keterlibatan mereka dalam CBCF. Setelah periode pelaksanaan<br />
belajar (misalnya 12-18 bulan), keefektifan pendekatan 'belajar' akan dievaluasi<br />
agar dapat direkomendasikan kemungkinannya untuk dilaksanakan dalam skala<br />
luas di seluruh Indonesia melalui jaringan kelompok petani hutan.<br />
Selain itu, kerjasama penelitian ini memiliki strategi capaian substansial terpadu<br />
yang mencakup penerbitan Brief Info bilingual, melakukan pertemuan terbuka<br />
secara teratur dengan petani, instansi dan staf perusahaan, menghasilkan video<br />
tentang petani hutan, dan mengembangkan sebuah proyek website. Pemimpin<br />
Proyek juga akan mengkoordinasikan publikasi dari artikel ilmiah dan co-host<br />
simposium internasional serta menyediakan peer-reviewer kritis untuk tim peneliti<br />
selama 5 tahun.<br />
1.3 Lokasi Penelitian<br />
Kerjasama penelitian antara ACIAR dan <strong>FORDA</strong> Bogor dilakukan di<br />
Kabupaten Pati. Kabupaten Pati dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki<br />
potensi hutan rakyat sengon. Hutan rakyat disini meliputi tegalan dan pekarangan<br />
rakyat yang ditanami kayu-kayuan dengan teknik agroforestri. Analisis dimensi<br />
sosial difokuskan di tiga desa, yakni Desa Giling Kecamatan Gunungwungkal,<br />
Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu, dan Desa Payak Kecamatan Cluwak.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
19
Unit analisis pada tingkat individu adalah rumahtangga petani dan pada tingkat sosial<br />
adalah dusun. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pencatanan data<br />
sekunder, diskusi kelompok terarah, dan penelusuran wilayah. Contoh penelitian<br />
rumah tangga sebanyak 15 KK/dusun, peserta diskusi kelompok terarah untuk lakilaki<br />
tani dan perempuan tani masing-masing sebanyak 10-15 orang/dusun. Analisis<br />
data menggunakan metode deskriptif kuantitatif.<br />
2.1 Pemanfaatan Lahan Petani<br />
2. Hasil Tugas 1: Analisis Dimensi Sosial<br />
Usaha hutan rakyat sengon di wilayah Kabupaten Pati dikembangkan di lahan<br />
tegalan dan pekarangan milik petani. Penanaman dan pemeliharaan tanaman dilakukan<br />
sendiri-sendiri oleh masing-masing petani. Jumlah pemilikan pohon dan umur tanaman<br />
sangat beragam antar petani satu dengan yang lain. Pemanenan kayu dilakukan oleh<br />
masing-masing petani sesuai umur tanaman dan kebutuhan masing-masing.<br />
Berdasarkan diskusi kelompok dan wawancara rumah tangga petani diketahui<br />
bahwa pada lahan pekarangan dan tegalan rata-rata dipraktekan sistem tumpangsari<br />
antara jenis tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan, dan dibawahnya<br />
dikembangkan tanaman semusim, empon-empon, atau rumput pakan ternak sehingga<br />
berbentuk agroforestri. Hamparan tanaman sengon rata-rata ditanam di tegalan dimana<br />
selama 3 tahun pertama ditumpangsari dengan ubi kayu, jagung dan pisang, namun<br />
setelah berumur 4 tahun saat tajuknya sudah menutup seluruh ruang lahan maka<br />
dibiarkan tanpa campuran atau dicampur dengan empon-empon dan rumput pakan<br />
ternak. Tanaman buah-buahan rata-rata ditanam di lahan pekarangan sekitar rumah,<br />
sedangkan tanaman kehutanan dan perkebunan di tanam di lahan tegalan dan garapan<br />
hutan yang jauh dari rumah. Kepemilikan lahan oleh petani dapat diikuti dalam tabel<br />
berikut:<br />
Tabel 2. Pemilikan Lahan oleh Petani (ha), 2012<br />
No Desa<br />
Sawah Pekarangan Tegalan Jumlah<br />
Ratarata<br />
ha % ha % ha % ha % ha<br />
1 Giling 1,350 10,0 0,949 7,1 11,163 82,9 13,462 100 0,897<br />
2 Gunungsari 1,000 6,2 3,962 24,8 11,030 69,0 15,992 100 1,066<br />
3 Payak 5,510 13,9 3,698 9,4 30,315 76,7 39,523 100 2,635<br />
Jumlah 7,860 11,4 8,809 12,5 52,508 76,1 68,977 100 4,598<br />
Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />
20<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata pemilikan lahan oleh petani antara 0,897<br />
ha s/d 2,635 ha, berupa sawah, tegalan dan pekarangan di mana terluas berupa tegalan<br />
(76,1%), disusul pekarangan (12,5%), dan sawah (11,4%). Dengan demikian rata-rata<br />
lahan rakyat yang diusahakan sebagai hutan rakyat dengan teknik agroforestri adalah<br />
88,6%, sehingga pendapatan dari hutan rakyat diduga menjadi sumber pendapatan<br />
utama.<br />
Berdasarkan hasil wawancara rumah tangga petani diketahui bahwa lahan milik<br />
penduduk di desa-desa lokasi studi rata-rata 91% dilengkapi bukti kepemilikan SPPT<br />
(Surat Pembayaran Pajak Tanah) dan 9% dilengkapi bukti kepemilikan girik tanah.<br />
Secara sik, batas kepemilikan lahan berupa tanaman hidup seperti tanaman jati,<br />
mahoni, randu, pohon kudo, mojo, cepiring, gliricideae (rosidi), salam, kenari, beluntas,<br />
andong, tanaman girang, serta berupa saluran air, parit, dan patok cor. Jarak lahan<br />
dari rumah tinggal antara 0 s/d 4 km. Status kepemilikan lahan yang kuat dan batas<br />
sik yang jelas menyebabkan tidak adanya kon ik kepemilikan lahan.<br />
2.2 Program Pemerintah Terkait Hutan Rakyat<br />
Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah yang<br />
mendukung pengembangan hutan rakyat, yaitu Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari<br />
Pemerintah Pusat, Bantuan Langsung Masyarakat untuk Pengembangan Perhutanan<br />
Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-PPMBK) dari Pemerintah Pusat,<br />
serta Kebun Bibit Desa (KBD) dari Pemerintah Kabupaten.<br />
2.2.1 Kebun Bibit Rakyat (KBR)<br />
KBR merupakan program pemerintah untuk menyediakan bibit tanaman<br />
kehutanan dan MPTS (Multi Purpose Tree Species) yang dilaksanakan secara swakelola<br />
oleh kelompok masyarakat, terutama di pedesaan yang berbasis pemberdayaan<br />
masyarakat. Bibit dari KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis<br />
serta kegiatan penghijauan lingkungan. KBR disalurkan melalui BPDAS, besarnya<br />
Rp 50 juta per unit berupa 50.000 bibit tanaman kayu. Pada tahun 2011 Kabupaten<br />
Pati menerima 45 unit KBR. Dalam KBR ada pendampingan yang dilakukan oleh<br />
Penyuluh <strong>Kehutanan</strong> setempat serta ada pelatihan petani tentang teknik pembuatan<br />
persemaian. Dasar hukum KBR adalah Permenhut P24/Menhut-II/2010 tanggal<br />
3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan KBR, Permenhut P23/Menhut-<br />
II/2011 tanggal 8 April 2011 tentang Pedoman Teknis KBR. Program KBR baru<br />
diselenggarakan selama 2 tahun terkhir yaitu 2010 dan 2011. Contoh bibit jenis<br />
tanaman KBR tahun 2011 di beberapa desa di Kabupaten Pati sebagai berikut.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
21
Tabel 3. Contoh Bibit Kayu KBR di Beberapa Desa di Kabupaten Pati, 2011<br />
No Jenis Bibit Kecamatan Keterangan<br />
1 Avicenia sp, Rhizopora sp Dukuhseti Mangrove<br />
2 Jati, Mahoni, Randu Winong Pati Selatan, lahan kritis<br />
3 Sengon, Kopi Tlogowungu Pati Utara<br />
4 Sengon, Jati, Pete Gembong<br />
5 Sengon, Kakao Gunungwungkal<br />
6 Jati, Mahoni, Gmelina, Randu Gabus<br />
7 Jati, Nangka Pucukwangi<br />
8 Sengon, Kakao Cluwak Pati Utara<br />
9 Jati, Mete, Randu Sukolilo<br />
10 Jati, Mente, Kluweh Kayen Pati Selatan<br />
11 Jati, Sengon, Sirsak Tlogowungu Pati Utara<br />
12 Jati, Jabon, Randu Sukolilo Pati Selatan<br />
13 Sengon, Kakao, Kemiri Cluwak<br />
14 Jati, Sengon, Petai Margorejo<br />
Sumber: Diolah dari Laporan Akhir KBR di Kabupaten Pati, Dishutbun Kab Pati, 2011.<br />
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa Program KBR menyediakan bibit jenis-jenis<br />
tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan.<br />
2.2.2 Kebun Bibit Desa (KBD)<br />
Program KBD dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang <strong>Kehutanan</strong><br />
yang disalurkan ke Pemerintah Kabupaten. Program ini dimaksudkan untuk<br />
mendukung OBIT, ada setiap tahun dan telah diselenggarakan mulai tahun 2009<br />
setelah GERHAN berakhir. Pada tahun 2011, jenis tanaman KBD disesuaikan dengan<br />
keinginan masyarakat. Distribusi bibit KBD 2011 yang disalurkan melalui Kelompok<br />
Tani berupa bibit tanaman kehutanan sebagai berikut.<br />
Tabel 4. Bibit KBD Tahun 2011 Kabupaten Pati<br />
No Desa Kecamatan<br />
Jenis Bibit (batang)<br />
Sengon Jati Mahoni<br />
1 Jrahi Gunungwungkal 5 000 2 000 1 000<br />
2 Kedungbulus Gembong 1 000 1 500 -<br />
3 Bageng Gembong 30 000 - -<br />
4 Karangawen Tambakromo - 3 000 4 000<br />
5 Pakis Tambakromo 1 000 - 1 000<br />
6 Maitan Tambakromo - 3 500 4 000<br />
Sumber: Diolah dari Dishutbun Kabupaten Pati, 2012<br />
22<br />
10 000 10 000 10 000<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
Penanaman bibit KBD dilakukan di turus-turus jalan, lapangan, pekarangan,<br />
sekolahan, kantor PKK, kantor Dharma Wanita, dan lain-lain, serta jenis tanamannya<br />
disesuaikan dengan jenis yang tersedia dalam KBD.<br />
2.2.3 BANSOS PPMBK dan Bangunan Konservasi<br />
Pada tahun 2011 Kabupaten Pati menerima bantuan pemerintah pusat berupa<br />
dua bangunan dam penahan, lima bangunan sumur resapan, dan empat bangunan<br />
embung yang ditujukan untuk konservasi tanah. Selain itu ada 22 Kelompok Tani yang<br />
menerima BANSOS PPMBK dimana dananya 85% digunakan untuk membuat tanaman<br />
kayu-kayuan dan 15% untuk pemberdayaan masyarakat dari sektor lain seperti untuk<br />
membeli ternak, menanam tanaman semusim, atau tanaman hijauan pakan ternak.<br />
Melalui Program BANSOS PPMBK, pemerintah mendukung pengembangan tanaman<br />
kehutanan, tanaman semusim, dan hijauan pakan ternak yang dapat dikembangkan<br />
dengan teknik agroforestri dan diintegrasikan dengan usaha peternakan.<br />
Berbagai Program Pemerintah tersebut sedikitnya telah berhasil mempengaruhi<br />
perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Pada tahun 1970-an para petani<br />
belum bersedia menanam kayu-kayuan, namun sekarang mereka sangat senang kalau<br />
diberi bibit tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman kayu-kayuan.<br />
Program-program pemerintah tersebut telah memperkaya lahan petani dengan tanaman<br />
penghasil kayu dan HBK serta mendorong peningkatan produksinya.<br />
2.3 Pendapatan Dari Seluruh Lahan<br />
Pendapatan dalam hal ini berasal dari semua kegiatan petani yang terkait dengan<br />
pemanfaatan lahan, baik dari lahan milik berupa sawah, pekarangan dan tegalan, lahan<br />
sewa, lahan garapan dalam hutan negara khususnya penduduk Desa Gunungsari, serta<br />
dari usaha budidaya ternak. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal<br />
dari tiga sumber yakni (1) pendapatan dari kayu, (2) pendapatan dari HBK, dan<br />
(3) pendapatan dari ternak. Kontribusi nilai jual kayu, HBK, dan ternak di tiga desa<br />
lokasi studi adalah sebagai berikut.<br />
Tabel 5. Nilai Jual Kayu, HBK, dan Ternak (Rp/KK/tahun), 2012<br />
No Desa Kayu % HBK % Ternak % Jumlah %<br />
1 Giling 2.669.667 19 10.197.128 73 1.152.000 8 14.018.795 100<br />
2 Gunungsari 1.513.333 6 19.543.133 82 2.920.667 12 23.977.133 100<br />
3 Payak 7.171.111 22 22.203.357 68 3.366.333 10 32. 740.801 100<br />
Rata-rata 3.784.703 17.314.539 2.479.666 23.578.909<br />
Sumber: Diolah dari data primer hasil wawancara rumah tangga, 2012<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
23
Pendapatan dari kayu dihitung berdasarkan nilai penjualan kayu dalam 3 tahun<br />
terkhir yang dipanen dari lahan pekarangan dan tegalan baik lahan milik maupun sewa,<br />
karena lahan sawah dan garapan di kawasan hutan tidak menghasilkan kayu. Nilai<br />
tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung rata-rata pendapatan petani dari<br />
kayu. Rata-rata pendapatan petani adalah Rp 3.784.704/KK/tahun dari penjualan<br />
kayu, Rp 17.314.539/KK/tahun dari penjualan HBK, dan Rp 2.479.666/KK/tahun<br />
dari penjualan ternak.<br />
Jenis ternak yang umumnya dipelihara oleh penduduk desa lokasi studi adalah<br />
ayam, kambing dan sapi. Di Desa Payak ada pula yang memelihara bebek dan kambing<br />
etawa. Budidaya ternak dan hutan rakyat dapat dipandang sebagai usaha komplementer,<br />
saling melengkapi atau menghidupi, karena ternak menghasilkan pupuk kandang untuk<br />
menyuburkan lahan dan tanaman hutan rakyat sebaliknya hutan rakyat menghasilkan<br />
hijauan pakan ternak untuk pakan kambing dan sapi. Selain memelihara ternak milik<br />
sendiri, petani dapat pula melakukan gaduh sapi penggemukan. Bagi hasil gaduh sapi<br />
saat dijual adalah 2 bagian menjadi hak petani dan 5 bagian menjadi hak pemilik sapi.<br />
Dalam usaha pembesaran ayam juga ada sistem gaduh dari pengusaha ayam ke petani.<br />
Petani menyiapkan kandang dan memelihara ayam, sedangkan pengusaha menyediakan<br />
bibit dan pakan. Ketika ayam dijual kepada pengusaha, petani menerima upah gaduh<br />
sekitar Rp. 12.000 sampai dengan Rp. 14.000 per kg ayam.<br />
2.4 Pendapatan Dari Hutan Rakyat<br />
Rata-rata 88,6% dari lahan rakyat diusahakan sebagai hutan rakyat sehingga<br />
pendapatan dari hutan rakyat memiliki peran besar dalam ekonomi rumah tangga<br />
petani di desa-desa lokasi studi. Untuk mengetahui kontribusi pendapatan dari kayu<br />
dan HBK yang diperoleh dari hutan rakyat, analisis dibatasi pada lahan tegalan dan<br />
pekarangan yang diusahakan dengan teknik agroforestri. Kontribusi nilai jual kayu<br />
dan HBK dari lahan pekarangan dan tegalan yang diusahakan sebagai hutan rakyat<br />
dengan teknik agroforestri adalah sebagai berikut.<br />
Tabel 6. Tabel 5. Rata-rata Nilai Jual Kayu dan HBK dari Lahan Agroforestri, 2012<br />
Jenis hasil<br />
Rp/KK/<br />
tahun<br />
Giling Gunungsari Payak Kisaran<br />
% Rp/KK/tahun % Rp/KK/tahun % %<br />
Kayu 2.669.667 29 1.513.333 13 7.171.111 67 13 – 67<br />
Bukan kayu 6.424.400 71 9.851.467 87 3.483.133 33 33 - 87<br />
Jumlah 9.094.067 100 11.364.800 100 10.654.244 100<br />
Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />
24<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata kontribusi pendapatan dari kayu<br />
paling tinggi adalah 67% yaitu di Desa Payak. Hal ini sejalan dengan informasi dari<br />
Dinas <strong>Kehutanan</strong> dan Perkebunan Kabupaten Pati bahwa permintaan dokumen SKAU<br />
di Desa Payak adalah tertinggi dibandingkan dengan desa-desa lain di Kabupaten<br />
Pati. Sementara itu rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kelompok jenis<br />
HBK adalah 87% yaitu di Desa Gunungsari.<br />
2.4.1 Peranan kayu dalam usaha hutan rakyat<br />
Petani pada umumnya menanam kayu-kayuan dengan sistem kebun campuran<br />
atau agroforestri. Jenis kayu-kayuan yang ditanam di lahan hutan rakyat dapat<br />
dikelompokan dalam tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh, kelapa, randu),<br />
tanaman penghasil buah-buahan (jengkol, manggis, petai, sukun, durian, rambutan),<br />
dan tanaman kehutanan (sengon, mahoni, jati). Pemeliharaan intensif untuk tanaman<br />
sengon dilakukan sampai umur 3 tahun, sedangkan pemanenan dan penjualan kayu<br />
dilakukan pada umur 5 - 6 tahun.<br />
Petani menjual kayu sengon dalam bentuk pohon berdiri dimana seluruh biaya<br />
penebangan menjadi beban pembeli dalam hal ini pedagang kayu. Kegiatan penebangan<br />
oleh pedagang dilakukan secara borongan menggunakan gergaji rantai (chainsaw).<br />
Dalam perdagangan kayu rakyat sengon, peran blantik cukup penting karena dapat<br />
mempertemukan petani yang akan menjual kayu dengan calon pembeli kayu yaitu<br />
pedagang kayu tingkat desa. Kayu sengon dibeli oleh pedagang untuk selanjutnya<br />
dijual ke pabrik pengolahannya, sedangkan kayu lainnya seperti jati dan mahoni<br />
umumnya dijual ke penduduk atau pedagang desa sebagai bahan bangunan atau<br />
bahan pembuatan mebeler.<br />
Sejauh ini penjualan kayu sengon oleh petani masih dilakukan per pohon atau<br />
bahkan per hamparan lahan dengan sistem tebas. Penjualan per pohon umumnya<br />
dilakukan dengan sistem tebang pilih saat butuh atau tebang pilih rakyat, di mana<br />
pohon yang diameternya sudah besar (meski umur baru 4 tahun) atau yang kira-kira<br />
nilai uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani, akan ditebang<br />
terlebih dahulu. Sementara itu pada penjualan per hamparan dengan sistem tebas,<br />
volume dan harga kayu ditaksir oleh pedagang kayu, sehingga nilai uang hasil penjualan<br />
kayu diduga lebih kecil daripada nilai ekonomi kayu. Petani langsung menerima uang<br />
tunai tanpa menebang, mengukur dan menghitung volume kayunya sendiri.<br />
Supaya tidak dirugikan maka petani sebaiknya menjual kayu dalam bentuk<br />
sortimen dalam satuan m3. Hal ini dapat dilakukan apabila para grader dari pabrik<br />
pengolahan atau depo kayu melakukan grading langsung di lahan petani setelah<br />
batang pohon sengon dipotong-potong sendiri oleh petani menjadi sortimen.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
25
Namun cara demikian menghadapi beberapa kendala seperti beban biaya tebang harus<br />
ditanggung oleh petani, petani belum menguasai teknik memotong sortimen, serta<br />
belum bisa mengukur dan menghitung volume kayu sendiri. Nilai jual kayu yang<br />
dipanen dari lahan pekarangan dan tegalan (selengkapnya lihat Lampiran 2) dalam<br />
3 tahun terakhir dan jenis-jenisnya, adalah sebagai berikut:<br />
Tabel 7. Nilai Jual Kayu Dalam 3 Tahun Terakhir, 2012<br />
No Desa Jenis Kayu Jumlah Nilai (Rp) % Jenis Kayu<br />
1 Giling Sengon 112.135.000 93,4<br />
Jengkol 3.000.000 2,5<br />
Mahoni 5.000.000 4,1<br />
Jumlah Giling 120.135.000 100,0<br />
2 Gunungsari Sengon 62.600.000 91,9<br />
Mahoni 5.500.000 8,1<br />
Jumlah Gunungsari 68.100.000 100,0<br />
3 Payak Sengon 316.500.000 98,1<br />
Mahoni 6.200.000 1,9<br />
Jumlah Payak 322.700.000 100,0<br />
Jumlah 510.935.000<br />
Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa jenis kayu-kayuan dari lahan hutan rakyat<br />
yang telah diperdagangkan termasuk ke dalam kelompok jenis tanaman kehutanan<br />
(sengon, mahoni) dan jenis tanaman penghasil buah-buahan (jengkol). Jenis sengon<br />
dapat dipandang sebagai tanaman hutan rakyat yang komersial, karena dapat memberi<br />
kontribusi lebih dari 90% terhadap pendapatan rumah tangga petani. Selain itu,<br />
penjarangan tanaman sengon dilakukan dengan teknik tebang pilih rakyat dimana<br />
tanaman yang pertumbuhannya baik akan ditebang lebih dahulu untuk mengatasi<br />
kebutuhan keuangan rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara rumah tangga<br />
diketahui bahwa rata-rata 58,5% petani memanen kayu disesuaikan dengan kebutuhan<br />
uang rumah tangga, 4,9% memanen sesuai rotasi tanaman, 2,4% menanen karena<br />
ada penawaran harga tinggi, sedangkan lainnya tidak memanen kayu dalam 3 tahun<br />
terakhir. Petani juga menganggap bahwa tanaman sengon merupakan tabungan<br />
keluarga yang dapat dipanen sewaktu-waktu bila dibutuhkan.<br />
26<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
2.4.2 Peranan HBK dalam usaha hutan rakyat<br />
Jenis HBK yang ditanam di lahan hutan rakyat terdiri dari 3 jenis tanaman<br />
semusim (ubi kayu, jangung, ketela), 2 jenis tanaman empon-empon (kapulaga, jahe),<br />
tanaman rumput pakan ternak, 7 jenis tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh,<br />
kelapa, randu, lada, panili), dan 7 jenis tanaman buah-buahan (jengkol, manggis,<br />
petai, pisang, sukun, durian, rambutan). Pedagang atau pembeli HBK umumnya<br />
mendatangi rumah-rumah petani.<br />
Hasil tanaman semusim biasanya dipanen sendiri oleh petani. Buah jagung<br />
dikeringkan terlebih dahulu lalu disimpan untuk selanjutnya dapat dikonsumsi sendiri<br />
atau dijual. Ubi kayu dipanen sendiri lalu dijual ke pabrik tapioka, atau dijual tebas<br />
kepada pedagang yang akan memanennya di lahan. Hasil tanaman empon-empon<br />
kapulaga dan jahe dipanen sendiri dan hasilnya dapat langsung dijual, tetapi untuk<br />
kapulaga dapat pula dikeringkan dan disimpan terlebih dahulu sehingga dapat dijual<br />
sewaktu membutuhkan uang. Rumput pakan ternak jenis rumput gajah atau kalanjana<br />
juga dibudidayakan untuk dijual kepada pemilik kambing atau sapi yang tidak memiliki<br />
tanaman pakan ternak.<br />
Hasil tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, kakao, randu, lada, dan fanili<br />
dipanen satu kali dalam setahun, dan memanennya dapat dilakukan sedikit-sedikit<br />
sehingga dapat dikerjakan sendiri. Hasilnya dapat langsung dijual dalam bentuk basah<br />
atau disimpan dulu dalam bentuk kering karena penanganan paska panennya juga<br />
mudah. Buah kelapa juga dapat dipanen sendiri, dapat dikonsumsi sendiri namun<br />
bila membutuhkan uang juga mudah untuk dijual. Untuk buah randu dapat dijual<br />
dengan sistem tebas, namun dapat pula dipanen sendiri lalu disimpan dalam bentuk<br />
kering sehingga dapat dijual sewaktu harga tinggi atau saat membutuhkan uang.<br />
Sementara itu tanaman buah-buahan seperti durian, jengkol, langsep, manggis,<br />
duku, petai, sukun, mangga, rambutan, pisang, umumnya panen satu kali dalam<br />
setahun kecuali buah pisang. Musim berbuah dari berbagai jenis buah-buahan tidak<br />
bersamaan sehingga musim panennya dapat terjadi secara bergilir. Cara memanennya<br />
juga dilakukan sedikit-sedikit sehingga dapat dikerjakan sendiri, dan hasilnya mudah<br />
dijual. Petani hutan rakyat di wilayah Pati telah menguasai seluruh teknik budidaya,<br />
pemanenan, penanganan paska panen, dan pemasaran berbagai jenis HBK dari hasil<br />
tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, dan<br />
tanaman buah-buahan. Jenis-jenis HBK yang berasal dari hutan rakyat yang dibangun<br />
diatas lahan pekarangan dan tegalan (selengkapnya lihat Lampiran 1), adalah sebagai<br />
berikut:<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
27
Tabel 8. Jenis dan Nilai Jual HBK dari Hutan Rakyat, 2012<br />
No Desa Jenis Tanaman Nilai Jual (Rp/KK/Th) %<br />
1 Giling Pangan 2.650.000 2,75<br />
Empon-empon 5.000 0,01<br />
Perkebunan 21.331.000 22,13<br />
Buah-buahan 72.380.000 75,11<br />
Jumlah 96.366.000 100<br />
2 Gunungsari Pangan 13.200.000 8,93<br />
Empon-empon 2.295.000 1,55<br />
Perkebunan 81.870.000 55,41<br />
Buah-buahan 50.407.000 34,11<br />
Jumlah Gunungsari 147.772.000 100<br />
3 Payak Pangan 13.000.000 24,88<br />
Pakan ternak 3.000.000 5,75<br />
Perkebunan 19.747.000 37,79<br />
Buah-buahan 16.500.000 31,58<br />
Jumlah Payak 52,247,000 100<br />
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa jenis HBK dari lahan hutan rakyat yang<br />
rata-rata kontribusi pendapatannya besar di tiga desa lokasi studi adalah kelompok<br />
jenis buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan kelompok jenis hasil perkebunan (22,13%<br />
- 55,41%). Khusus di Desa Payak, rata-rata kontribusi pendapatan dari kelompok<br />
tanaman semusim relatif tinggi serta terdapat tanaman rumput pakan ternak yang<br />
telah diperjualbelikan.<br />
Berdasarkan diskusi kelompok terarah diketahui bahwa hasil berbagai jenis<br />
tanaman yang dibudidayakan oleh petani dapat dipanen secara bergilir. Tanaman<br />
semusim, empon-empon, dan rumput pakan ternak dapat dipanen secara begilir<br />
dalam jangka harian, mingguan dan bulanan. Tanaman buah-buahan dan tanaman<br />
perkebunan dapat dipanen secara bergilir dalam jangka tahunan. Tanaman kayu dapat<br />
dipanen secara bergilir dalam jangka lebih dari 5 tahunan. Dari lahannya, penduduk<br />
desa dapat memperoleh uang tunai dalam jangka harian, mingguan, bulanan, tahunan,<br />
dan lebih dari lima tahunan. Dengan cara menanam berbagai jenis tanaman tersebut,<br />
petani dapat memenuhi seluruh kebutuhan jangka pendek, jangka menengah dan<br />
jangka panjang, namun kecukupannya sangat dipengaruhi oleh luasan lahannya.<br />
Jangka waktu panen HBK yang lebih singkat sangat besar peranannya dalam<br />
mempertahankan eksistensi hutan rakyat terutama pada pemilikan lahan sempit<br />
28<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
karena petani tetap mempunyai sumber pendapatan dari lahan hutan rakyat meskipun<br />
tanaman kayunya belum dapat dipanen. Berbagai jenis HBK dapat dipanen oleh petani<br />
secara bergilir sehingga dapat memenuhi kebutuhan keuangan harian, jangka pendek,<br />
menengah, dan jangka panjang. Sebagian jenis HBK juga dapat disimpan dalam<br />
bentuk kering sehingga menyerupai tabungan yang dengan mudah digunakan apabila<br />
sewaktu-waktu dibutuhkan. Meskipun pemilikan lahan petani relatif sempit namun<br />
mereka masih dapat menanam tanaman kayu-kayuan karena ada sumber pendapatan<br />
dari HBK yang diterima selama menunggu saat panen kayu hasil hutan rakyat.<br />
2.5 Hambatan dan Peluang Pada Usaha Hutan Rakyat<br />
2.5.1 Hambatan pada usaha hutan rakyat<br />
2.5.1.1 Keterbatasan teknis silvikultur petani<br />
Di desa-desa lokasi studi, pertumbuhan tanaman sengon seringkali tidak seragam<br />
walaupun ditanam pada lahan dengan waktu dan perlakukan yang sama. Hal ini<br />
diduga karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas bibit yang tidak seragam.<br />
Para petani mendapatkan bibit dari Dishutbun Kabupaten dan pedagang setempat.<br />
Pembagian bibit dari Dishutbun seringkali dilakukan pada bulan-bulan terakhir musim<br />
penghujan, dan ukuran bibitnya seringkali terlalu kecil sehingga banyak yang mati<br />
saat ditanam. Petani juga belum menguasai teknik pembibitan sengon dengan baik.<br />
Selain itu, umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang terlalu lama dalam<br />
kaitannya dengan kesinambungan pendapatan petani. Karena itu petani menerapkan<br />
pola tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai umur sengon tiga<br />
tahun. Memasuki tahun ke empat, tumpangsari dilakukan dengan tanaman emponempon<br />
(kapulaga, temulawak, dsb) atau dengan tanaman kopi/kakao. Namun ketika<br />
sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak tertimpa pohon, padahal umur panen<br />
sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman kopi, sehingga banyak petani yang<br />
tidak menerapkan pola tersebut. Beberapa petani tetap memilih tumpangsari sengon<br />
dengan ubi kayu, tanaman pisang, empon-empon, dan hijauan pakan ternak.<br />
2.5.1.2 Serangan penyakit karat puru<br />
Permasalahan yang sangat mengganggu budidaya sengon di ketiga lokasi studi<br />
adalah penyakit karat tumor atau karat puru karena dapat mematikan sengon di<br />
tingkat semai sampai tegakan. Selama ini petani setempat menganggap penyakit ini<br />
disebabkan karena serangan virus atau akibat penanaman dengan pola monokultur.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
29
Menurut Anggraeni (2008), penyebab penyakit karat tumor (gall rust) adalah jenis fungi<br />
Uromycladium tepperianum. Gejala penyakit diawali dengan adanya pembengkakan<br />
lokal (tumefaksi) di bagian tanaman yang terserang (daun, cabang, dan batang),<br />
lama kelamaan pembengkakkan berubah menjadi benjolan-benjolan yang kemudian<br />
menjadi bintil-bintil kecil atau disebut tumor. Pengendalian penyakit karat puru dapat<br />
dilakukan dengan cara mekanik, yaitu menghilangkan puru pada tanaman sengon yang<br />
terserang, puru dikumpulkan dan dikubur dalam tanah agar tidak menular. Setelah<br />
puru dihilangkan lalu batang dilabur dan disemprot dengan belerang.<br />
2.5.1.3 Pemangkasan liar untuk pakan ternak<br />
Ternak kambing merupakan ternak andalan di ketiga desa lokasi studi karena<br />
ternak kambing lebih cepat berproduksi, mudah pemeliharaannya dan mudah<br />
dipasarkan. Kegiatan pemangkasan dahan sengon di daerah ini bertujuan ganda,<br />
yaitu untuk membentuk pertumbuhan kayu sengon dan untuk penyediaan hijauan<br />
pakan ternak. Kegiatan pengumpulan hijauan pakan ternak dari pepohonan dan daundaunan<br />
biasa disebut rambanan (pemangkasan dahan sengon, dadap, lamtoro, randu<br />
dll). Kegiatan pengumpulan hijauan pakan ternak dari rerumputan biasa (rumput<br />
setaria, rumput kalanjana) disebut ngarit. Berkembangnya ternak kambing di daerah<br />
ini menimbulan permasalahan dalam budidaya sengon, karena petani sering melakukan<br />
pemangkasan dahan sengon tanpa seijin pemiliknya. Sebagian besar petani (± 80 %)<br />
memelihara ternak, tetapi sebagian peternak tersebut (± 30 %) tidak mempunyai lahan.<br />
Pemangkasan liar seringkali merusak dan mengganggu pertumbuhan tanaman sengon.<br />
Di beberapa desa sudah dilakukan himbauan melalui pertemuan kelompok/desa dan<br />
beberapa petani melakukan injeksi pestisida pada tanaman sengonnya, namun injeksi<br />
pestisida dapat menyebabkan kematian ternak yang memakannya sehingga jarang<br />
dilakukan oleh petani. Karena itu pemangkasan liar masih terjadi.<br />
2.5.1.4 Tebang pilih saat butuh<br />
Sejauh ini petani hutan rakyat Pati belum paham tentang teknik penjarangan<br />
tanaman yaitu menebang tanaman yang tidak bagus dengan tujuan untuk meningkatkan<br />
kualitas tegakan tinggal. Tindakan yang sering dilakukan oleh petani saat ini justru<br />
sebaliknya, tanaman yang tumbuh bagus, capaian diameternya lebih besar dari tanaman<br />
yang lain akan ditebang lebih dulu. Sebaliknya tanaman yang jelek tetap dipelihara<br />
karena tanaman yang tumbuhnya lambat bila dibiarkan hidup juga dapat membesar.<br />
Hal ini dilakukan karena tanaman sengon dapat dijual per pohon, dijual pada saat<br />
30<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
elum masak tebang bila ada kebutuhan keuangan mendesak atau yang kira-kira nilai<br />
uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani.<br />
2.5.1.5 Ketidaksediaan petani untuk memanen kayu sendiri<br />
Selama ini petani menjual kayu per pohon atau bahkan per hamparan lahan<br />
dengan sistem tebas, langsung menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur,<br />
dan menghitung volume sendiri. Teknik penjualan demikian dipandang belum dapat<br />
memaksimalkan nilai uang hasil jual kayu yang diterima oleh petani. Supaya petani<br />
tidak dirugikan dalam perhitungan harga kayu, sebaiknya grader dari pabrik pengolahan<br />
kayu atau depo kayu melakukan grading kayu di lahan petani setelah batang pohon<br />
sengon dipotong-potong menjadi sortimen. Dengan demikian petani diharapkan dapat<br />
menjual kayu dalam bentuk sortimen, dalam satuan m3, bukan per batang pohon atau<br />
per hamparan lahan dengan sistem tebas.<br />
Namun penjualan kayu oleh petani dalam bentuk sortimen akan memiliki<br />
konsekuensi berupa beban biaya tebang yang ditanggung oleh petani. Kendala lain<br />
adalah petani umumnya tidak bisa membaca Daftar Grade yang dibuat oleh pabrik,<br />
tidak bisa melakukan grading kayu sendiri, dan tidak tahu cara mengukur volume<br />
kayu. Para petani kayu di desa-desa lokasi studi umumnya tidak sabar dan telaten<br />
untuk mengerjakan pekerjaan pemanenan kayu sendiri karena dinilai sebagai pekerjaan<br />
yang merepotkan.<br />
2.5.2 Peluang pada usaha hutan rakyat<br />
2.5.2.1 Konversi pemanfaatan lahan<br />
Di desa-desa lokasi studi terjadi konversi lahan sawah menjadi tegal dan<br />
pekarangan karena pasokan air untuk pertanian sawah tidak dapat berlangsung<br />
sepanjang tahun. Apabila budidaya padi sawah tidak dapat dilakukan maka lahannya<br />
ditanami tanaman semusim lainnya. Namun banyak petani yang mengkonversi lahan<br />
sawahnya menjadi tegal dan pekarangan untuk ditanami sengon karena kayu sengon<br />
cepat tumbuh dan mulai umur empat tahun sudah dapat dipanen.<br />
Selain itu terjadi konversi jenis tanaman dari tanaman tradisional ubi kayu ke<br />
tanaman komersial sengon. Hal ini karena sebagian laki-laki pergi meninggalkan<br />
desa untuk mencari nafkah di luar Jawa, sehingga mereka memilih jenis tanaman<br />
yang perawatannya mudah agar dapat dikerjakan oleh isteri atau anaknya. Biaya<br />
pembangunan tanaman sengon juga dinilai relatif murah, sebaliknya tanaman ubi<br />
kayu setidaknya memerlukan 5 kali biaya besar yaitu biaya-biaya mencangkul lahan,<br />
menyiangi pertama, pemupukan pertama, menyiangi kedua, dan pemupukan kedua.<br />
Kondisi demikian menjadi peluang untuk berkembangnya usaha hutan rakyat sengon.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
31
2.5.2.2 Dukungan program pemerintah<br />
Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah antara<br />
lain KBR, BLM-PPMBK, serta KBD. Program-program tersebut sedikitnya telah<br />
mampu mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Program<br />
KBR menyediakan jenis bibit tanaman kehutanan, perkebunan, dan buah-buahan,<br />
dan Program BANSOS PPMBK menyediakan bibit tanaman kehutanan, tanaman<br />
semusim, hijauan pakan ternak, dan pembelian ternak. Hal ini telah mendorong<br />
berkembangnya hutan rakyat sengon yang dikembangkan dengan teknik agroforestri<br />
dan diintegrasikan dengan usaha peternakan.<br />
2.5.2.3 Tanah subur<br />
Lima kecamatan dari bagian utara wilayah Pati yaitu Kecamatan Margorejo,<br />
Gunungwungkal, Tlogowungu, Cluwak, dan Sidomulyo, terletak di kawasan perbukitan<br />
kaki gunung Muria yang tanahnya subur sehingga potensial dengan tanaman kayukayuan.<br />
Pilihan jenis tanaman kayu-kayuan mempunyai peluang besar di wilayah<br />
ini karena topogra nya curam sehingga selain memberi manfaat ekonomi juga untuk<br />
tujuan konservasi tanah dan air. Beragam jenis tanaman kayu-kayuan, tanaman<br />
perkebunan dan tanaman semusim tumbuh bersama-sama di wilayah ini sehingga<br />
membentuk agroforestri. Hal ini merupakan peluang untuk memajukan usaha hutan<br />
rakyat sengon di wilayah tersebut.<br />
2.5.2.4 Permintaan kayu sengon tinggi<br />
Di Jawa Tengah banyak terdapat industri kayu yang mengolah kayu sengon<br />
menjadi berbagai bentuk produk seperti kayu lapis, papan sambung, bilah sambung,<br />
papan blok, dan lain-lain. Lokasi pabriknya tersebar di berbagai kota. Untuk menjamin<br />
kesinambungan bahan baku, pabrik-pabrik ini ada yang memiliki pelanggan depo<br />
kayu, tetapi ada pula yang memiliki ratusan pemasok kayu yaitu para pedagang kayu.<br />
Untuk memperlancar pasokan kayu, pabrik-pabrik tersebut mengirim grader dan<br />
tenaga pengumpul kayu ke sentra-sentra produksi kayu hampir di seluruh Jawa.<br />
Grader pabrik dapat bekerja di lahan petani, di pedagang desa, atau di depo desa.<br />
Hal ini memberi gambaran tentang makin tingginya persaingan antar pabrik<br />
dalam memperebutkan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabriknya.<br />
Hal ini berdampak pada makin ketatnya persaingan antar depo dan antar pedagang<br />
karena makin tingginya permintaan kayu rakyat khususnya jenis sengon. Dalam<br />
kaitan ini petani relatif memiliki kebebasan dalam menentukan kepada siapa kayunya<br />
32<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
akan dijual karena relatif banyaknya pedagang kayu maupun blantik (perantara) yang<br />
datang ke desa-desa penghasil kayu rakyat.<br />
2.5.2.5 Peluang untuk dikembangkan industri pengolahan<br />
Di wilayah Kabupaten Pati tersedia pasar HBK yang merupakan hasil lahan<br />
penduduk desa-desa di lokasi studi, seperti beberapa unit pabrik tepung tapioka. Selain<br />
itu di Perhutani KPH Pati BKPH Regaloh yang kawasannya berbatasan dengan Desa<br />
Gunungsari terdapat pabrik pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf (modi er<br />
casava) yang digunakan sebagai pencampur tepung terigu, dan limbah pengolahannya<br />
diproses lebih lanjut menjadi bioethanol. Selain itu terdapat pabrik tepung jagung yang<br />
merupakan pakan ternak, serta industri terpadu yang mengolah kapuk randu menjadi<br />
serat yang diekspor dan dipasarkan di dalam negeri, industri pengolahan biji randu<br />
menjadi Crude Kelenteng Oil (CKO) pengganti minyak goreng bebas kolesterol, serta<br />
industri pengemasan madu bunga randu dan pengolahan madu menjadi minuman<br />
sehat.<br />
Namun di wilayah ini belum ada industri pengolahan kayu rakyat, sehingga<br />
kayu dari Pati dijual ke industri di kabupaten lain seperti Semarang, Temanggung,<br />
Kebumen, dan bahkan ke Jawa Timur. Dalam hal ini masih terbuka peluang untuk<br />
dikembangkan industri pengolahan kayu sengon di wilayah kabupaten Pati agar lokasi<br />
pabrik makin dekat dengan lokasi pemasok bahan bakunya sehingga akses petani ke<br />
pasar produknya makin terbuka lebar.<br />
3.1 Kesimpulan<br />
3. Kesimpulan Dan Rekomendasi<br />
1. Di tiga desa lokasi studi, hutan rakyat sengon dibangun di lahan tegalan dan<br />
pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, emponempon,<br />
rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buahbuahan,<br />
dan tanaman kehutanan, sehingga dapat menghasilkan kayu dan HBK.<br />
2. Program pemerintah KBR, BLM-PPMBK, dan KBD berperan memperkaya<br />
lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi kayu<br />
dan HBK.<br />
3. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni dari<br />
kayu, HBK, dan ternak, di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari<br />
kayu 22%, dari HHK 82% dan dari ternak 12%.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
33
4. Pendapatan petani dari hutan rakyat berasal dari 2 sumber yakni kayu dan HBK,<br />
di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 67% yaitu di<br />
Desa Payak dan dari HBK adalah 87% yaitu di Desa Gunungsari.<br />
5. Kelompok jenis HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman<br />
buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%).<br />
6. HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada<br />
pemilikan lahan yang sempit karena dapat dipanen secara bergilir dan memberi<br />
pendapatan pada petani selama menunggu tanaman kayu dipanen.<br />
3.2 Rekomendasi<br />
Hutan rakyat sengon perlu dipromosikan atau didukung pengembangannya<br />
dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk mengatasi kendalanya seperti, (1)<br />
diperlukan pelatihan petani untuk mengatasi serangan penyakit karat puru yang<br />
menghambat produksi kayu sengon, (2) pelatihan petani agar menguasai teknik<br />
mengukur dan menghitung volume kayu untuk meningkatkan posisi tawar dan nilai<br />
jual kayu petani, (3) mempermudah akses petani ke pasar kayu atau mendekatkannya ke<br />
industri pengolahan kayu, (4) membangun DEMPLOT hutan rakyat sengon melalui<br />
dukungan program pemerintah sebagai tempat pembelajaran petani.<br />
Jangka waktu panen HBK relatif lebih singkat dibadingkan dengan panen kayu,<br />
karena panen tanaman semusim hanya dalam beberapa bulan serta panen tanaman<br />
perkebunan dan buah-buahan adalah setahun sekali. Peran HBK sangat besar dalam<br />
mempertahankan eksistensi dan mendorong perkembangan usaha hutan rakyat<br />
terutama di wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani sangat sempit<br />
seperti halnya di Kabupaten Pati, karena selama menunggu saat panen kayu petani<br />
mempunyai sumber pendapatan dari HBK. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur<br />
dengan berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh<br />
pendapatan secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir.<br />
Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh<br />
petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat,<br />
atau Hutan Kemasyarakatan, direkomendasikan menggunakan teknik agroforestri<br />
atau campuran dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman<br />
hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat<br />
menghasilkan berbagai jenis HBK.<br />
34<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
Daftar Pustaka<br />
Anggraeni. 2008. Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada<br />
Tanaman Sengon, 19 Nop 2008. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan<br />
Pemuliaan Tanaman Hutan.<br />
Anonim. 2010, Peraturan Menteri <strong>Kehutanan</strong> Nomor P24/Menhut-II/2010 Tanggal<br />
3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat, Jakarta.<br />
Anonim. 2011, Peraturan Menteri <strong>Kehutanan</strong> Nomor P23/Menhut-II/2011 Tanggal<br />
8 April 2011 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat, Jakarta.<br />
Anonim. 2011. Gambaran Umum Kondisi Desa Gunungsari, Gunungsari.<br />
Anonim. 2011. Data Monogra Desa dan Kelurahan, Desa Gunungsari, Pemerintah<br />
Daerah Kabupaten Pati, Gunungsari.<br />
Anonim. 2011, Data Monogra Desa Giling Tahun 2011, Pemerintah Desa Giling,<br />
Giling.<br />
Anonim. 2011, Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-<br />
Desa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) Tahun 2009-2010<br />
(Hasil Review Tahun 2011), Pemerintah Desa Payak, Payak.<br />
BPS Kabupaten Pati, 2010, Pati Dalam Angka 2010, <strong>Badan</strong> Pusat Statistik Kabupaten<br />
Pati, Pati.<br />
Dishutbun Kabupaten Pati. 2010, Laporan Tahunan 2010, Dinas <strong>Kehutanan</strong> dan<br />
Perkebunan Kabupaten Pati, Pati.<br />
Dishutbun Kabupaten Pati. 2011, Laporan Akhir Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten<br />
Pati, Dinas <strong>Kehutanan</strong> dan Perkebunan Kabupaten Pati, Pati.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
35
Lampiran 1. Nilai HBK dari Lahan Pekarangan dan Tegalan,<br />
2012<br />
36<br />
No. Desa<br />
Jenis<br />
Tanaman<br />
Jenis HBK<br />
Frekuensi<br />
Panen<br />
(panen/<br />
th)<br />
Nilai Jual<br />
(Rp/KK/<br />
th)<br />
1 Giling Pangan Ubi kayu 1 2,650,000 2,75<br />
Emponempon<br />
Kapulaga 1 5,000 0,01<br />
Perkebunan Kakao 6-12 2,061,000 22,13<br />
(21,331,000) Kopi 2 8,000,000<br />
Cengkeh 1 50,000<br />
Kelapa 8 120,000<br />
Randu 1 11,100,000<br />
Buahbuahan<br />
Jengkol 1-2 72,380,000 75,11<br />
Jumlah Giling 96,366,000 100<br />
2 Gunungsari Pangan Ubi kayu 1 13,175,000 8,93<br />
(13,200,000) Jagung 2 25,000<br />
Emponempon<br />
Kapulaga 2-3 1,295,000 1,55<br />
(2,295,000) Jahe 1 1,000,000<br />
Perkebunan Kopi 1 29,000,000 55,41<br />
(81,870,000) Cengkeh 1 47,500,000<br />
Randu 1 1,340,000<br />
Kelapa 10 1,860,000<br />
Lada 1 300,000<br />
Kakao - 1,800,000<br />
Panili 1 70,000<br />
Buahbuahan<br />
Manggis 1 29,875,000 34,11<br />
(50,407,000) Jengkol 1 3,150,000<br />
Petai 1 4,390,000<br />
Pisang 1-10 7,892,000<br />
Sukun 4 3,200,000<br />
Durian 1 1,500,000<br />
Rambutan 1 400,000<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030<br />
%
No. Desa<br />
Jenis<br />
Tanaman<br />
Jenis HBK<br />
Frekuensi<br />
Panen<br />
(panen/<br />
th)<br />
Nilai Jual<br />
(Rp/KK/<br />
th)<br />
Jumlah Gunungsari 147,772,000 100<br />
3 Payak Pangan Ubi kayu 1 6,000,000 24,88<br />
(13,000,000) Ketela 1 4,000,000<br />
Jagung 1 3,000,000<br />
Pakan ternak Rumput 6 3,000,000 5,75<br />
Perkebunan Cengkeh 1 8,000,000 37,79<br />
(19,747,000) Kakao 6 3,777,000<br />
Kopi 1 4,050,000<br />
Randu 1 2,000,000<br />
Kelapa 8 1,920,000<br />
Buahbuahan<br />
Jengkol 1 5,650,000 31,58<br />
(16,500,000) Pisang 10,350,000<br />
Durian 1 350,000<br />
Rambutan 1 50,000<br />
Petai 1 100,000<br />
Jumlah Payak 52,247,000 100<br />
Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
%<br />
37
Lampiran 2. Nilai Jual Kayu Dalam 3 Tahun Terakhir, 2012<br />
38<br />
No. Desa<br />
Pernah Menjual<br />
Ya Tidak<br />
Jenis Kayu<br />
Jumlah Nilai<br />
(Rp)<br />
1 Giling Tidak -<br />
2 Giling Ya Sengon, Jengkol 20.000.000<br />
3 Giling Ya Sengon, Mahoni 27.000.000<br />
4 Giling Ya Sengon 6.700.000<br />
5 Giling Tidak - -<br />
6 Giling Ya Sengon 435.000<br />
7 Giling Tidak - -<br />
8 Giling Ya Sengon 31.000.000<br />
9 Giling Ya Sengon 19.500.000<br />
10 Giling Tidak - -<br />
11 Giling Tidak - -<br />
12 Giling Ya Sengon 13.500.000<br />
13 Giling Tidak - -<br />
14 Giling Ya Sengon 2.000.000<br />
15 Giling Tidak - -<br />
16 Gunungsari Ya Mahoni 5.500.000<br />
17 Gunungsari Tidak - -<br />
18 Gunungsari Tidak - -<br />
19 Gunungsari Ya Sengon 3.000.000<br />
20 Gunungsari Tidak - -<br />
21 Gunungsari Ya Sengon 20.000.000<br />
22 Gunungsari Tidak - -<br />
23 Gunungsari Tidak - -<br />
24 Gunungsari Ya Sengon 32.500.000<br />
Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030
No. Desa<br />
Pernah Menjual<br />
Ya Tidak<br />
Jenis Kayu<br />
Jumlah Nilai<br />
(Rp)<br />
25 Gunungsari Tidak - -<br />
26 Gunungsari Tidak - -<br />
27 Gunungsari Ya Sengon 4.000.000<br />
28 Gunungsari Ya Sengon 700.000<br />
29 Gunungsari Ya Sengon 2.400.000<br />
30 Gunungsari Tidak - -<br />
31 Payak Ya Sengon 58.000.000<br />
32 Payak Ya Sengon 5.500.000<br />
33 Payak Ya Sengon, Mahoni 24.000.000<br />
34 Payak Ya Sengon 36.000.000<br />
35 Payak Tidak - -<br />
36 Payak Ya Sengon 21.000.000<br />
37 Payak Ya Sengon 66.000.000<br />
38 Payak Ya Sengon 40.000.000<br />
39 Payak Tidak - -<br />
40 Payak Ya Sengon, Mahoni 5.900.000<br />
41 Payak Tidak - -<br />
42 Payak Ya Sengon 15.800.000<br />
43 Payak Ya Sengon 8.000.000<br />
44 Payak Ya Sengon 14.000.000<br />
45 Payak Ya Sengon 28.500.000<br />
Total nilai jual 3 tahun terakhir 510.935.000<br />
Rata2 nilai jual per tahun 170.311.667<br />
Rata2 nilai jual per KK per tahun 3.784.704<br />
Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
39
Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan<br />
Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong> untuk Mengurangi Emisi<br />
dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):<br />
Belajar dari proyek kerjasama<br />
ACIAR-Kementerian <strong>Kehutanan</strong><br />
FST/2007/052<br />
Zahrul Muttaqin, Subarudi dan Fitri Nurfatriani
1. Pendahuluan<br />
Deforestasi dipercaya menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca<br />
di dunia. Dengan demikian pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan<br />
memainkan peranan yang sangat penting dalam rangka merespon perubahan iklim.<br />
Dengan luas hutan tropis yang sangat besar, Indonesia dapat memainkan peranan<br />
yang sangat penting dalam mengurangi emisi dari deforestasi melalui skema Reducing<br />
Emissions from Deforestation and Forest Degradation and the Enhancement of Forest<br />
Carbon Stock in Developing countries (REDD+). Saat ini Indonesia merupakan<br />
salah satu negara yang termasuk paling maju dalam persiapan pelaksanaan REDD+.<br />
Pembentukan Satgas REDD+, kebijakan moratorium penerbitan izin usaha<br />
pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam, penyusunan srategi nasional REDD+,<br />
persiapan-persiapan MRV dan safeguards, merupakan bukti-bukti kesiapan Indonesia<br />
melaksanakan REDD+.<br />
Sejak tahun 2008, setelah dilaksanakannya COP 13 di Bali, Kementerian<br />
<strong>Kehutanan</strong>, melalui <strong>Badan</strong> <strong>Litbang</strong> <strong>Kehutanan</strong> menjalin kerjasama penelitian dengan<br />
Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) terkait dengan<br />
perbaikan tatakelola, kebijakan dan kelembagaan kehutanan untuk mendukung<br />
pelaksanaan skema REDD+ di Indonesia. Tujuan utama pelaksanaan proyek penelitian<br />
ini adalah mendukung pengembangan kebijakan dan kelembagaan REDD+ di tingkat<br />
provinsi dan kabupaten untuk memfasilitasi pelaksanaan REDD+ dan mendesain<br />
distribusi manfaat nansial REDD+ dari pendanaan internasional.<br />
Secara khusus, proyek penelitian ini memiliki empat tujuan. Tujuan khusus<br />
pertama adalah untuk mengidenti kasi penyebab deforestasi di tingkat provinsi<br />
sehingga diharapkan pemerintah provinsi lebih memahami penyebab-penyebab<br />
tersebut. Tujuan khusus kedua adalah menduga manfaat dan biaya deforestatsi dan<br />
REDD+ baik berupa analisis biaya dan manfaat ekonomi maupun pandangan para<br />
pihak (stakeholders) berkaitan dengan biaya dan manfaat REDD+. Tujuan khusus<br />
ketiga adalah analisis perbaikan tata kelola hutan untuk memberikan masukan kepada<br />
Kementerian <strong>Kehutanan</strong> mengenai alokasi lahan hutan dan praktik-praktik pengelolaan<br />
hutan yang lebih baik. Tujuan khusus keempat adalah mengembangan sistem<br />
tatakelola REDD+ yang terdesentralisasi. Dalam hal ini sistem yang dikembangkan<br />
adalah bagaimana pendanaan REDD+ dapat didesain dengan menggunakan sistem<br />
penganggaran nasional serta bagaimana sistem distribusi manfaat REDD+ dapat<br />
dikembangkan di tingkat masyarakat lokal.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
43
Tulisan ini bertujuan untuk mensintesakan hasil-hasil penelitian yang telah<br />
dilaksanakan, terutama mengenai perbaikan tatakelola hutan dan pembangunan<br />
kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan REDD+. Dalam hal ini, tujuan khusus<br />
ketiga dan keempat akan dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan ini karena merupakan<br />
ultimate goal dari beberapa tujuan khusus penelitian ini. Disamping itu, tujuan ketiga<br />
dan keempat penelitian ini dapat memberikan masukan konkret bagi perumusan dan<br />
perbaikan kebijakan kehutanan nasional untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di<br />
Indonesia. Secara khusus, tulisan ini akan membahas: (1) analisis para pihak yang<br />
terlibat dalam rantai pasokan kayu dari hutan produksi serta permasalannya; (2)<br />
mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui kebijakan desentralisasi skal; dan<br />
(3) desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat.<br />
2. Kerangka Teori dan Analisis<br />
REDD+ dikonseptaulisasikan sebagai mekanisme untuk memberikan kompensasi<br />
pada upaya pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan yang terveri kasi atau upaya<br />
peningkatan stok karbon yang terveri kasi (Viana et al., 2012). Dengan demikian<br />
REDD+ merupakan sistem pembayaran berbasis kinerja (Wertz-Kanounnikof and<br />
Angelsen, 2009). Kerangka utama REDD+ terdiri dari: (1) cakupan (scope); (2)<br />
reference level; (3) distribusi (distribution); dan (4) pendanaan ( nancing) (Parker et<br />
al., 2008). Cakupan REDD+ terkait dengan jenis-jenis kegiatan yang dapat dianggap<br />
sebagai kegiatan REDD+(Parker et al., 2008). REDD+ dalah sebuah inisiatif untuk<br />
menciptakan nilai nansial atas karbon yang disimpan di dalam hutan, dengan cara<br />
menawarkan insentif pada negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi dari<br />
hutan, dan meningkatkan stok karbon hutan melalui investasi dalam pembangunan<br />
rendah karbon (UN-REDD Programme, n.d.).<br />
Reference level REDD+ terkait dengan bagaimana stok karbon diukur dan<br />
atas dasar apa stok karbon berubah (Parker et al., 2008). Dengan demikian baselines<br />
di tingkat nasional, sebagai elemen penting dari skema REDD+, perlu dibangun.<br />
Perdebatan tentang penentuan baselines saat ini difokuskan pada dua hal: (1)<br />
prediksi deforestasi dan kerusakan hutan dalam skenario Business As Usual (BAU);<br />
(2) bagaimana kredit diberikan berdasarkan baseline, termasuk seberapa kuat suatu<br />
negara dalam negosiasi internasional (Angelsen, 2008). Distribusi REDD+ berkaitan<br />
dengan alokasi manfaat yang dihasilkan dari pengurangan emisi pada pihak-pihak<br />
44<br />
Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong> untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):<br />
Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian <strong>Kehutanan</strong> FST/2007/052
terkait, sementara mekanisme pendanaan REDD+ berkaitan dengan bagaimana dana<br />
REDD+ dimobilisasi (Parker et al., 2008).<br />
Dunia internasional telah menunjukkan keinginan yang kuat untuk melakukan<br />
transaksi REDD+, beberapa negara berkembang menunjukkan kemauan yang kuat<br />
untuk mengatasi permasalahan deforestasi dan kerusakan hutan dan perubahan iklim<br />
secara umum (Seymour and Angelsen, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa terdapay<br />
beberapa perkembangan positif dan prospektif terhadap REDD+, meskipun masa depan<br />
REDD+ sebagai mekanisme global masih tetap belum jelas (Seymour and Angelsen,<br />
2012). Dengan demikian REDD+ masih merupakan inisiatif yang berguna untuk tetap<br />
didiskusikan (Seymour and Angelsen, 2012). Namun demikian ada beberapa elemen<br />
REDD+ yang masih perlu direalisasikan, yaitu: (1) kebutuhan untuk menyediakan<br />
pendanaan yang memadai dari negara maju, baik untuk mengkompensasikan biaya<br />
korbanan (opportunity costs) maupun untuk peningkatan kapasitas negara berkembang;<br />
(2) pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan; (3) pentingnya baselines<br />
nasional; (4) perlunya menangani masalah permanence dan leakage; dan (5) peran kunci<br />
dari manfaat pendamping (co-bene ts) seperti keragaman hayati dan hak-hak serta<br />
mata pencaharian masyarakat sekitar hutan (Blaustein et al., 2007).<br />
Dari beberapa elemen tersebut, pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan<br />
kelembagaan, serta perlunya menangani masalah permanence dan leakage berkaitan<br />
langsung dengan perbaikan tatakelola kehutanan. Beberapa aktivitas produktif<br />
diizinkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengeksploitasi hutan dan<br />
seringkali menyebabkan kerusakan hutan dan berakhir pada alih fungsi lahan hutan.<br />
Pembalakan hutan biasanya merupakan awal dari pembukaan hutan alam secara legal<br />
berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kementerian <strong>Kehutanan</strong><br />
(Kartodihardjo and Supriono, 2000). Selama 4 dasawarsa terakhir, pemegang izin usaha<br />
pemanfaatan kayu dari hutan alam telah gagal mengimplementasikan pengelolaan<br />
hutan lestari (Kartodihardjo and Supriono, 2000). Dengan demikian, perbaikan<br />
tatakelola kehutanan merupakan upaya yang harus diprioritaskan untuk mengurangi<br />
kerusakan hutan yang mengarah deforestasi di kawasan hutan, terutama di kawasan<br />
hutan produksi.<br />
Dalam mempersiapkan pelaksanaan REDD+, selain perbaikan tata kelola<br />
kehutanan, distribusi manfaat REDD+ juga merupakan salah satu elemen yang perlu<br />
diperhatikan. Salah satu mekanisme mendistribusikan manfaat REDD+ adalah melalui<br />
dana perimbangan pusat dan daerah. Alokasi dana perimbangan pusat dan daerah<br />
merupakan salah satu bentuk transfer skal antarpemerintah (intergovernmental scal<br />
transfers/IFTs). Kriteria sebuah IFT yang baik antara lain adalah: (1) Keobyektifan,<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
45
untuk menjamin e siensi layanan publik pada tingkat lokal; (2) Kenetralan, formula<br />
distribusi transfer harus dapat mempengaruhi pemerintah daerah memodi kasi belanja<br />
atau pajak daerahnya; (3) Otonomi, pemerintah daerah harus memiliki tingkat otonomi<br />
yang memadai; (4) Akuntabilitas, agar pemerintah daerah harus bertanggung jawab<br />
kepada pemberi transfer; dan (5) Kesederhanaan, agar mekanisme transfer tidak rumit<br />
sehingga mengurangi biaya transaksi (Bird, 2001, p.25).<br />
Pada tingkat masyarakat lokal, sistem distribusi manfaat REDD+ dapat<br />
dirancang dengan menggunakan konsep pembayaran atas jasa lingkungan atau lebih<br />
dikenal sebagai payments for environmental/ecosystem services (PES). Bond et al. (2009)<br />
menyatakan bahwa PES memiliki peran yang penting dalam mengurangi alih fungsi dan<br />
kerusakan hutan. Dengan demikian, PES juga berpotensi untuk dapat menyukseskan<br />
pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional, sub-nasional, maupun masyarakat. Hasil<br />
penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa PES dapat dikombinasikan dengan<br />
program konservasi terpadu dimana pendapatan dari kehutanan dan agroforestri<br />
untuk menunjang ketahanan pangan/ekonomi dalam jangka pendek dan manfaat<br />
kelestarian lingkungan dalam jangka panjang (Hoang et al., 2012).<br />
PES dapat dide niskan sebagai sebuah sistem yang transparan untuk penyediaan<br />
jasa lingkungan melalui pembayaran bersyarat pada penyedia jasa secara sukarela<br />
(Tacconi, 2012). Dengan demikian sebuah sistem imbal jasa lingkungan dapat disebut<br />
sebagai sebuah PES jika memenuhi syarat: (1) transparansi; (2) tambahan manfaat<br />
(additionality); (3) bersyarat (conditionality); dan (4) kesukarelaan. Agar dapat terjadi<br />
transaksi antara penyedia jasa dan penerima manfaat, nilai pembayaran dalam kerangka<br />
PES harus melebihi tambahan manfaat yang biasa diterima oleh para penyedia jasa<br />
jika memanfaatkan lahan untuk kepentingan lain (atau para penyedia jasa tidak akan<br />
bersedia untuk mengubah perilaku mereka) dan juga harus lebih rendah daripada<br />
nilai manfaat yang diterima oleh para pembeli jasa tersebut (atau mereka akan enggan<br />
untuk membayar jasa lingkungan tersebut) (Pagiola and Platais, 2002, p.22).<br />
Pendekatan PES untuk REDD+ mensyaratkan adanya sistem dan kerangka tata<br />
kelola yang efektif dan adil yang antara lain dicerminkan oleh kokohnya sistem hak<br />
atas lahan dan berfungsinya sistem pemantauan (monitoring) karbon hutan sebagai<br />
dasar pelaksanaan pembayaran (Bond et al., 2009). Dengan demikian, sistem tenurial<br />
dan tata kelola hutan di tingkat masyarakat merupakan salah satu syarat utama dalam<br />
perancangan PES untuk REDD+ yang melibatkan masyarakat sekitar hutan.<br />
Agrawal dan Angelsen (2009) merekomendasikan bahwa pengelolaan hutan<br />
oleh masyarakat (community forest management) merupakan kendaraan yang<br />
baik untuk melaksanakan program-program REDD+ di tingkat masyarakat.<br />
46<br />
Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong> untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):<br />
Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian <strong>Kehutanan</strong> FST/2007/052
Lebih jauh Agrawal dan Angelsen (2009) menyarankan bahwa pelaksanaan REDD+<br />
harus memerhatikan beberapa faktor yang memengaruhi tingkat keberhasilan<br />
pelaksanaan REDD+, yaitu: (1) luas dan tata batas hutan; (2) aliran manfaat yang<br />
mudah diprediksi; (3) kelembagaan hak atas lahan hutan; dan (4) tingkat otonomi<br />
lokal. Berkaitan dengan hal ini, Ostrom (1990) menyatakan bahwa kelembagaan<br />
lokal memegang peranan sangat penting dalam membangun pengelolaan hutan<br />
berbasis masyarakat (PHBM). Akan tetapi, jika kelembagaan lokal belum secara<br />
formal diakui, maka perlu dilakukan pembenahan kebijakan kehutanan nasional untuk<br />
mengintegrasikan REDD+ dan PHBM (Agrawal, 2007).<br />
3. Metode Penelitian<br />
Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian permasalahan dan para<br />
pihak yang terlibat sepanjang rantai pasokan kayu hutan adalah analisis kebijakan<br />
dengan tahapan: (1) Evaluasi kebijakan terkait dengan LULUCF; dan (2) Formulasi<br />
kebijakan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari (Nurrochmat et al., 2011).<br />
Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dalam kerangka<br />
snowball sampling (Nurrochmat et al., 2011).<br />
Penelitian mengenai desain mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui<br />
kebijakan desentralisasi skal dilaksanakan dengan metode campuran antara kualitatif<br />
dan kuantitatif. Metode kuantitatif yang digunakan adalah analisis biaya dan manfaat<br />
konservasi sumberdaya hutan bagi pemerintah daerah. Biaya yang dihitung adalah<br />
biaya korbanan atas penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi selain konservasi<br />
hutan (Irawan et al., 2011). Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui hubungan<br />
sebab-akibat dalam pengurangan deforestasi di daerah (Irawan et al., 2011).<br />
Untuk penelitian desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat<br />
masyarakat, metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif sengan<br />
menggunakan analisis para pemangku (stakeholder analysis), analisis klaim tenurial<br />
(tenure claim analysis), serta analisis politik ekonomi REDD+ (Muttaqin, 2012).<br />
Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara, focus groups dan lokakarya<br />
(Muttaqin, 2012).<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
47
4. Ringkasan Hasil Penelitian<br />
Hasil penelitian rantai pasokan kayu menunjukkan bahwa terdapat tiga<br />
permasalahan utama yang harus diperhatikan untuk memperbaiki tata kelola<br />
kehutanan di Indonesia, yaitu: (1) permasalahan sistem legalitas sehubungan<br />
dengan ketidakkonsistenan peraturan, ketidaklengkapan peraturan, dan legitimasi<br />
peraturan yang rendah; (2) permasalahan pengorganisasian pengelolaan hutan;<br />
dan (3) permasalahan berkaitan dengan kebijakan skal (Nurrochmat et al., 2011).<br />
Permasalahan ketidakkonsistenan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari<br />
pnde nisian hutan yang berbeda-beda antara UU <strong>Kehutanan</strong>, UU Tata Ruang dan UU<br />
Otonomi Daerah (Nurrochmat et al., 2011). Ketidaklengakapan peraturan dapat dilihat<br />
dari belum adanya peraturan mengenai karbon hutan, sedangkan rendahnya legitimasi<br />
peraturan dapat dilihat dari peraturan mengenai SKSKB dan SKAU (Nurrochmat et<br />
al., 2011).<br />
Hasil penelitian distribusi manfaat REDD+ di tingkat pemerintahan<br />
menunjukkan bahwa dana perimbangan pusat dan daerah perlu ditujukan untuk<br />
mengkompensai pengelolaan dan biaya korbanan kegiatan konservasi; khusus untuk<br />
kompensasi biaya korbanan, dan perimbangan perlu didesain lebih eksibel sesuai<br />
kebutuhan daerah (Irawan et al., 2011). Meskipun menyarankan penggunaan transfer<br />
anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, Irawan et al. (2011) menyaratkan<br />
adanya penganggaran berdasarkan kinerja pemerintah daerah dalam konservasi<br />
sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya adalah pengurangan emisi karbon.<br />
Hasil penelitian desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat<br />
menunjukkan bahwa desain PES untuk REDD+ di tingkat masyarakat dapat dilakukan<br />
melalui dua tahapan dimana tahap pertama adalah perbaikan sistem tenurial, dan tahapan<br />
kedua adalah mekanisme PES murni (Muttaqin, 2012). Pembangunan kelembagaan<br />
pengelolaan hutan berbagis masyarakat (PHBM) itu nantinya dapat diklaim sebagai<br />
bagian dari biaya pelaksaan REDD+ sehingga layak untuk mendapatkan kompensasi<br />
dari dana REDD+ (Muttaqin, 2012).<br />
48<br />
Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong> untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):<br />
Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian <strong>Kehutanan</strong> FST/2007/052
5. Pelajaran yang Dapat Diambil<br />
Meskipun tingkat persiapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia termasuk yang<br />
paling maju di dunia, masih banyak persoalah kelembagaan yang perlu dibenahi<br />
oleh berbagai pihak agar skema REDD+ dapat dijalankan dengan prinsip-prinsip<br />
e siensi, efekti tas, berkeadilan, dan berkelanjutan. Perbaikan system peraturan<br />
perundang-undangan merupakan salah satu basis dalam membangun kelembagaan<br />
REDD+ di Indonesia. Jika peraturan perundang-undangan sudah mampu mendukung<br />
kelembagaan REDD+, maka sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dikembangkan<br />
sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Secara implicit, hasil penelitian<br />
menunjukkan bahwa peran Kementerian <strong>Kehutanan</strong> dan Kementrerian Keuangan<br />
dalam membangun sistem distribusi insentif REDD+ sangat besar sehingga perlu<br />
didorong untuk segera menyelesaikan hambatan struktural dalam perumusan kebijakan<br />
dan penyusuan peraturan perundang-undangan.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
49
Daftar Pustaka<br />
AGRAWAL, A. 2007. Forests, Governance, and Sustainability: Common property<br />
theory and its contributions, International Journal of the Commons, 1, 111-136.<br />
AGRAWAL, A. & ANGELSEN, A. 2009. Using Community Forest Management<br />
to Achieve REDD+ Goals, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS,<br />
M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ-<br />
KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National strategy and policy<br />
options. Bogor: CIFOR.<br />
ANGELSEN, A. 2008. How do we set the reference levels for REDD payments?, In:<br />
ANGELSEN, A. (ed.) Moving Ahead with REDD: Issues, options and implications.<br />
Bogor: CIFOR.<br />
BIRD, R. 2001. Intergovernmental Fiscal Relations in Latin America: Policy Design<br />
and Policy Outcomes. Washington, DC: Inter-American Development Bank.<br />
BLAUSTEIN, R., ETTLINGER, R. B., BOUCHER, D., MACEY, K., RYAN, F.<br />
& SCHWARTZMAN, S. 2007. Reducing Emissions from Deforestation and<br />
Forest Degradation (REDD). Available: http://www.ucsusa.org/assets/documents/<br />
global_warming/can_redd_discussion_paper.pdf.<br />
BOND, I., GRIEG-GRAN, M., WERTZ-KANOUNNIKOFF, S., HAZLEWOOD,<br />
P., WUNDER, S. & ANGELSEN, A. 2009. Incentives to Sustain Forest Ecosystem<br />
Services: A review and lessons for REDD. London, Bogor and Washington, D.C.:<br />
International Institute for Environment and Development, London, UK, with<br />
CIFOR, Bogor, Indonesia, and World Resources Institute, Washington D.C.,<br />
USA.<br />
HOANG, M. H., DO, T. H., PHAM, M. T., NOORDWIJK, M. V. & MINANG,<br />
P. A. 2012. Benefit Distribution Across Scales to Reduce Emissions from<br />
Deforestation and Forest Degradation (REDD+) in Vietnam, Land Use Policy,<br />
In Press.<br />
IRAWAN, S., TACCONI, L. & RING, I. 2011. Designing Intergovernmental Fiscal<br />
Transfers for Conservation: The case of REDD+ revenue distribution to local<br />
governments in Indonesia Working Paper #3. Canberra: Asia Paci c Network<br />
for Environmental Governance, The Australian National University.<br />
50<br />
Daftar Pustaka
KARTODIHARDJO, H. & SUPRIONO, A. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral<br />
terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan<br />
Perkebunan di Indonesia. Bogor, Center for International Forestry Research<br />
(CIFOR). Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).<br />
MUTTAQIN, M. Z. 2012. Designing Payments for Environmental Services (PES) to<br />
Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) in Indonesia<br />
PhD Thesis Submitted for Examination, The Australian National University.<br />
NURROCHMAT, D. R., KOSMARYADI, N. & HADIANTO, A. 2011. Analysis<br />
of Problems & Stakeholders In uencing the Timber Supply Chain in Production<br />
Forests & Land Clearing Permits. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />
Perubahan Iklim dan Kebijakan.<br />
OSTROM, E. 1990. Governing the Commons: The evolution of institutions for collective<br />
action. Cambridge; New York: Cambridge University Press.<br />
PAGIOLA, S. & PLATAIS, G. 2002. Payments for Environmental Services<br />
Environment Strategy Notes [Online], May 2002. Available: http://www-wds.<br />
worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2004/08/26/0001<br />
12742_20040826104114/Rendered/PDF/296710English0EnvStrategyNote302002.<br />
pdf [Accessed 13/11/2008].<br />
PARKER, C., MITCHELL, A., TRIVEDI, M. & MARDAS, N. 2008. The Little<br />
REDD Book: A guide to governmental and non-governmental proposals for reducing<br />
emissions from deforestation and degradation. Oxford: Global Canopy Foundation.<br />
SEYMOUR, F. & ANGELSEN, A. 2009. Summary and Conclusions: REDD wine in<br />
old wineskins?, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS, M., KANNINEN,<br />
M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ-KANOUNNIKOFF, S.<br />
(ed.) Realising REDD+: National strategy and policy options. Bogor: CIFOR.<br />
SEYMOUR, F. & ANGELSEN, A. 2012. Summary and Conclusions: REDD+<br />
without regrets, In: ANGELSEN, A., BROCKHAUS, M., SUNDERLIN,<br />
W. D. & VERCHOT, L. V. (eds.) Analysing REDD+: Challenges and choices.<br />
Bogor: CIFOR.<br />
TACCONI, L. 2012. Rede ning Payments for Environmental Services, Ecological<br />
Economics, 73, 29-36.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
51
UN-REDD PROGRAMME. n.d. About REDD+. UN-REDD Programme. Available:<br />
http://www.un-redd.org/AboutREDD/tabid/582/Default.aspx [Accessed 20/06/<br />
2012].<br />
VIANA, V. M., AQUINO, A. R., PINTO, T. M., LIMA, L. M. T., MARTINET,<br />
A., BUSSON, F. & SAMYE, J. M. 2012. REDD+ and Community Forestry:<br />
Lessons learned from an exchange of Brazilian experiences with Africa. Manaus,<br />
Brazil: The World Bank/Amazonas Sustainable Foundation.<br />
WERTZ-KANOUNNIKOF, S. & ANGELSEN, A. 2009. Global and National<br />
REDD+ Architecture: Linking institutions and actions, In: ANGELSEN, A.,<br />
WITH BROCKHAUS, M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN,<br />
W.D., AND WERTZ-KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National<br />
strategy and policy options. Bogor: CIFOR.<br />
52<br />
Daftar Pustaka
REDD+ Readiness Preparation<br />
TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest<br />
Carbon Partnership Facility<br />
Niken Sakuntaladewi<br />
Novi Widyaningtyas
1.1 Latar Belakang<br />
1. Pendahuluan<br />
Kawasan Hutan di Indonesia meliputi areal kurang lebih seluas 136,88 juta<br />
hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara yang terletak pada<br />
kawasan tropis dunia, hutan Indonesia terdiri dari 15 formasi hutan dimana sebagian<br />
besar didominasi oleh tipe hutan hujan tropis. Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai<br />
tempat megadiversity baik di daratan maupun perairan (Kemenhut, 2010).<br />
Kelestarian hutan adalah prioritas untuk Indonesia. Permasalahan deforestasi<br />
yang tidak terencana, pembalakan liar, kebakaran hutan , dan degradasi lahan gambut<br />
merupakan masalah nasional dan internasional karena menyebabkan peningkatan<br />
emisi gas rumah kaca (GHG). Masalah lingkungan ini juga menimbulkan dampak<br />
lingkungan, sosial dan ekonomi, baik lokal, regional, maupun global. Fasilitas<br />
Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility/FCPF) membantu<br />
negara-negara berkembang dalam upaya mitigasi emisi dari deforestasi dan degradasi<br />
huta, meningkatkan serapan karbon, konservasi, dan pengelolaan hutan lestari.<br />
Indonesia merupakan salah satu lembaga pertama yang mendapat pendanaan FCPF<br />
untuk meningkatkan kapasitas dalam menyiapkan kerangka infrastruktur untuk<br />
implementasi REDD+ (PUSPIJAK, 2011:1).<br />
Grant Funding yang diberikan untuk FCPF Indonesia adalah sebesar US$3,6<br />
juta. Dana tersebut diberikan untuk melaksanakan R-PP (Readiness Preparation Plan-<br />
Proposal-Persiapan Kesiapan Indonesia) dengan mekanisme pengelolaan on budget-on<br />
treasury. Sebagai koordinator dalam FCPF Indonesia adalah <strong>Badan</strong> Penelitian dan<br />
Pengembangan <strong>Kehutanan</strong> cq Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim<br />
dan Kebijakan.<br />
1.2 Tujuan<br />
Tujuan kerjasama ini adalah untuk membantu pengembangan kapasitas institusi<br />
penerima dalam merancang strategi nasional REDD+ membangun skenario acuan<br />
tingkat nasional dan sub nasional, dan membangun sistem perhitungan karbon dan<br />
monitoring sesuai dengan kondisi lokal, regional dan nasional.<br />
Dengan demikian, tujuan pengembangan akan dipantau melalui indikator<br />
berikut ini:<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
55
1. SESA dipersiapkan dan disetujui oleh para pemangku kepentingan nasional<br />
termasuk lembaga-lembaga pemerintah yang kompeten;<br />
2. Situasi dan kondisi yang berdampak pada Skenario Acuan Nasional (dasar) diukur<br />
dan dibahas bersama para pemangku kepentingan yang relevan, dan<br />
3. Kajian tentang penyebab deforestasi, opsi bagi hasil dan opsi intervensi yang<br />
semakin memperkuat Strategi REDD+ nasional disusun dan disetujui oleh<br />
Pemerintah setelah dibahas dan disahkan oleh para pemangku kepentingan.<br />
1.3 Cakupan Kegiatan<br />
Program FCPF mempunyai empat komponen utama:<br />
1. Kegiatan analisis yang mencakup kaijian tentang penyebab deforestasi dan tentang<br />
investasi serta intervensi lain yang dibutuhkan untuk mengurangi deforestasi dan<br />
emisi gas rumah kaca;<br />
2. Dukungan bagi proses kesiapan. Komponen ini mencakup: kajian terhadap<br />
peraturan-peraturan baru yang relevan dengan REDD+; peningkatan kapasitas<br />
lembaga dan pemangku kepentingann; kajian cepat terhadap opsi bagi hasil;<br />
sub komponen besar konsultasi dan sosialisasi yang mencakup semua pelaku<br />
termasuk Masyarakat Adat; dan penyelesaian Kajian Lingkungan Hidup dan<br />
Sosial Strategis (SESA) serta penyusunan Kerangka Pengelolaan Lingkungan<br />
Hidup dan Sosial (ESMF)<br />
3. Kajian dan pengukuran dampak perubahan tata guna lahan terhadap emisi gas<br />
rumah kaca. Komponen ini akan mengkaji dan mengukur dampak dari perubahan<br />
tata guna lahan terhadap stok karbon, mengembangkan deret waktu perubahan<br />
lahan dan mendukung sistem pemantauan stok karbon, mengembangkan deret<br />
waktu perubahan lahan dan mendukung sistem pemantauan stok karbon di tingkat<br />
lapangan. Penilaian dan pementauan Stok karbon terutama akan dibiayai oleh<br />
FAO (UN-REDD) dan AusAid;<br />
4. Pengumpulan data dan peningkatan Kapasitas Daerah. Komponen proyek yang<br />
keempat ini akan memfasilitasi kegiatan REDD+ yang relevan di tingkat subnasional<br />
(daerah) dengan mengumpulkan data sosial ekonomi dan sumber daya<br />
hayati serta parameter-parameter lain yang dibutuhkan.<br />
56<br />
REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility
1.4 Hasil-Hasil Utama<br />
1. Pemahaman dan pengetahuan tentang penyebab deforestasi dan degradasi hutan<br />
serta tentang strategi untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan meningkat;<br />
hasil kajian tentang opsi-opsi investasi prioritas untuk mengurangi deforestasi<br />
dan degradasi hutan tersedia; kegiatan di Indonesia yang berhasil mengurangi<br />
emisi dan meningkatkan penyerapan karbon, serta stabilisasi stok karbon hutan<br />
dikaji; dan pemahaman tentang status, kesenjangan dan kebutuhan peningkatan<br />
kapasitas untuk melaksanakan kerangka REDD+ nasional meningkat;<br />
2. Peraturan-peraturan yang ada tentang REDD+ dikaji; kapasitas lembaga yang<br />
berkaitan dengan REDD+ meningkat; kesadaran dan rasa memiliki terhadap<br />
proses kesiapan meningkat melalui konsultasi dan sosialisasi; kapasitas pemangku<br />
kepentingan, termasuk masyarakat adat, untuk ikut dalam proses pengembangan<br />
kebijakan diperkuat; dan Kerangka Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial<br />
yang berfokus pada kegiatan Demonstrasi REDD+ yang akan datang tersedia.<br />
3. Pemahaman tentang siklus karbon terestrialdari berbagai bentuk penggunaan lahan<br />
meningkat; hasil analisis deret waktu terhadap aspek sosial eonomi dan kebijakan<br />
utama dari perubahan tata guna lahan tersedia; dan Patok Sample Permanen<br />
(PSP) meningkatkan kepastian pada perkiraan GRK dari REDD+ di berbagai<br />
jenis hutan di kawasan-kawasan terpilih.<br />
4. Data terbaru tentang potensi REDD+ di Propinsi terpilih dihasilkan; kapasitas<br />
untuk menyusun kerangka REDD+ dan melaksanakan program-program REDD+<br />
di lokasi sub nasional terpilih (lokasi: Kalimantan Selatan, Papua Barat, Sulawesi<br />
Selatan, Kabupaten Musi Rawas-Sumatera Selatan, NAD).<br />
2. Perkembangan Hingga Saat Ini (2011-2012)<br />
Kegiatan Hasil<br />
A. WB: Sosialisasi awal SESA Pemahaman awal SESA<br />
B. PUSTANLING<br />
1. Workshop on DD From Development perspective,<br />
LU & demand, demographic, development &<br />
identi cation of activities that result in RE &<br />
increased removals & stabilization of forest C<br />
stocks<br />
Prosiding<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
57
58<br />
Kegiatan Hasil<br />
2. Outrech on management of data & lessons on<br />
readiness activities/DA<br />
3. Stakeholder process to review existing regulatory<br />
C. PUSPIJAK<br />
framework and formulate an integrated REDD<br />
regulation<br />
1. Launcing FCPF<br />
Prosiding<br />
Prosiding<br />
2. Penyusunan TOR TOR<br />
3. Pembuatan Flyer Draft Flyer (3 buah)<br />
4. Penyelesaian Reksus &Peraturan Dirjen<br />
Perbendaharaan<br />
Reksus dan Perdirjen<br />
5. Penyusunan manual Draft manual FCPF<br />
6. Stakeholder coordination workshop<br />
“Comprehensive Mitigation Action for REDD+”<br />
Gambaran tentang pemahaman<br />
stakeholder tenteng REDD+ &<br />
saran terhadap program FCPF<br />
7. Training Need Assesment workshop Modul pelatihan<br />
8. Stakeholder Coordination workshop for sharing &<br />
learning on methods, techniques and institutional<br />
of demonstration activities (DA) to support forestry<br />
GHG emission reduction target<br />
9. Shared learning Through Printed Publication and<br />
website<br />
10. Workshop on MRV (Pusat dan sub nasional)<br />
11. Establishment of PSP for ground based monitoring<br />
12. Identify activities within the country that result<br />
in reduced emission and increased removals and<br />
stabilization of forest carbon stocks<br />
13. Development time series analysis of the primary<br />
social economic and policy aspect of land use<br />
change<br />
14. Development of social economic and biophysics<br />
baseline data for evaluating the readiness of<br />
REDD+ implementation<br />
15. Training of trainer on carbon accounting and<br />
monitoring at national level<br />
REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility<br />
Progress dan pemetaan DA<br />
Flyer, warta, buku laporan kegiatan
D. Dewan <strong>Kehutanan</strong> Nasional (DKN)<br />
Kegiatan Hasil<br />
1. Develop guidance for effective engagement of IP<br />
and local Comunity<br />
a. Pengembangan panduan konsultasi publik<br />
untuk REDD+<br />
b. Pengembangan panduan keterlibatan<br />
masyarakat secara efektif di tataran lapangan<br />
untuk REDD<br />
2. Workshop to develop Guidance for effective<br />
engagement of IP and local communities<br />
a. Konsultasi publik untuk penyempurnaan<br />
pedoman konsultasi publik untuk REDD+<br />
b. Konsultasi publik panduan keterlibatan<br />
masyarakat untuk REDD+<br />
3. Development of SESA<br />
a. Review instrumen SESA untuk REDD+<br />
b. Konsultasi publik SESA untuk REDD+<br />
c. Penyempurnaan sistem info pengaman untuk<br />
sosial dan lingkungan untuk REDD+<br />
d. Pendokumentasian nal-sistem informasi<br />
SESA untuk REDD+<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
59
Project number: PD 73/89 (F,M,I)<br />
Phase II Feasibility Study on REDD+<br />
in Central Kalimantan, Indonesia<br />
Sulistyo A. Siran
1. Background<br />
As the follow up of Pre Feasibility Study on Investment Scheme For Japanese<br />
Private Sector in a REDD+ Project in Indonesia held from August 2010-March<br />
2011, it is recommended to conduct full Feasibility Study (FS) which aims to develop<br />
a complete REDD+ MRV Methodology for the bilateral offset scheme.<br />
The scheme will be developed in the absence of mechanism in addressing green<br />
house gas emission due to deforestation in developing countries, though negotiations<br />
on REDD+ implementation has been intensively discussed in the Conference of the<br />
UN Framework Convention on Climate Change in Durban, South Africa.<br />
Within the Indonesian context, The Government has a commitment to reduce<br />
26% (with the government budget), or 41% (with additional funding) from international<br />
communities) of GHG emission (business as usual) by 2020. For this commitment<br />
the Central Government has established Climate Change National Body (DNPI),<br />
Working Unit to Supervise and Control Implementation of Development (UKP4), Set<br />
up National Action Planning of GHG reduction (RAN GRK) as well as regulation<br />
for the basis of REDD+ Implementation.<br />
Indonesia and many other developing countries experienced rapid deforestation<br />
and forest degradation, due to several factors among others are: forest re, illegal<br />
logging, encroachment and conversion of forest land to other purposes such as<br />
agriculture and resettlement. This activities will lead to high contribution to GHG<br />
emission where the highest contributor for emmision coming from peat land.<br />
2. Project Objectives and Implementation Strategy<br />
1. In response to the above matter, one of the promising solution agreed upon by<br />
countries under the UN CCC is the mechanism called REDD+. This mechanism<br />
offers incentive to the country in reducing emission from deforestation and forest<br />
degradation. Though negotiation on REDD+ still continue in the next several<br />
Conference of the UN Framework Convention on Climate Change, it seems that<br />
the nal agreement on REDD+ implementation could be far from en end.<br />
2. Due to the likelihood of the matter could be solved immediately, one<br />
of the potential scheme could be developed is bilateral offset scheme.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
63
This Feasibility Study is therefore aims to develop a complete REDD+<br />
Methodology for the bilateral offset scheme. Through the FS, several objectives<br />
will be achieved which are: MRV applicable methodologies to measure the<br />
volume of GHG emission reduction, methodology to have social and environment<br />
safeguard, methodology design document and consideration of bilateral offset<br />
scheme through scrutinizing various possible schemes for credit transfer.<br />
3. Activities of the FS was carried out by The Ministry of Forestry Indonesia, in<br />
cooperation with ITTO, University of Hokkaido, Starling Resources PT. Rimba<br />
Makmur Utama and Terra Global Capital Inc.,<br />
3. Project Activities<br />
The FS on REDD+ in Central Kalimantan consist of seven activities/sub<br />
activities. Result of each activity implementation is as follows:<br />
3.1 Review of the current Voluntary Carbon standard (VCS) and SOP<br />
on Katingan Peat Restoration and Conservation Project<br />
3.1.1 Specific Objective(s)<br />
Speci c objective of this activity is to review draft on: (1) Overview of the<br />
current Voluntary Carbon standard (VCS) and SOP on Katingan Peat Restoration<br />
and Conservation Project provided by Terra Global Capital (TGC).<br />
3.1.2 Outputs and Detailed activities<br />
Output of this activity is a report on: (1) Draft of SOP on Allometric Equation<br />
(2) Draft of SOP on Field Measurement (3) Draft Review of the current Voluntary<br />
Carbon Standard (VCS) provided by Terra Global Capital (TGC).<br />
Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />
1. MOF/<strong>FORDA</strong> together with Starling Resources (SR) review: (1)<br />
Draft of SOP on Allometric Equation and (2) Draft of SOP on Field<br />
Measuremen provided by Terra Global Capital (TGC).<br />
2. Draft reviewed then was sent back to TGC for further improvement including<br />
additional information from eld survey (forest biomass inventory and destructive<br />
sampling).<br />
64<br />
Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia
3. TGC incorporated all comment both from MOF/<strong>FORDA</strong> and the University<br />
of Hokkaido to nalize the Draft.<br />
4. With regard to Review of the current Voluntary Carbon Standard (VCS), MOF/<br />
<strong>FORDA</strong> has yet received the draft from Terra Global Capital (TGC), therefore<br />
it could not be reviewed.<br />
Conclusion<br />
From the review, MOF/<strong>FORDA</strong> Team suggest to develop new local Allometric<br />
Equation rather than to verify that equation since the existing allometric equation was<br />
not developed based on peat forest parameter. Otherwise the equation is considered<br />
not valid and not credible.<br />
3.2 Development and Testing of a Carbon MRV Methodology and<br />
Monitoring Plan<br />
3.2.1 Specific Objective(s)<br />
Speci c objective of this activity is to design and test the applicability and<br />
scienti c thoroughness of the carbon MRV methodology through the measurement and<br />
monitoring of peat, water level, and forest biomass at each permanent sampling plot.<br />
3.2.2 Outputs and detailed activities<br />
Output of this activity is a report on the development of carbon MRV methodology<br />
to measure the volume of GHG emission reduction and monitoring plan.<br />
Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />
The scienti c and thoroughness of carbon MRV methodology is developed<br />
through the measurement and monitoring of peat, water level and forest biomass at<br />
each permanent sampling plot.<br />
3.2.2.1 Peat<br />
1. Prepare planning to determine the point in which the sampling will be taken<br />
2. Measure peat depth in the eld (primary forest, burn forest, logged over<br />
forest) by taking peat soil sample directly from the auger as much as 30 cm<br />
long at the centre of auger.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
65
3. Weigh the sample using digital balance and put into the labeled plastic bag.<br />
Take the next peat soil sample every 50 cm peat depth.<br />
4. Test peat maturity to see the level of peat maturity<br />
5. Describe peat color by using munsell soil-color chart<br />
6. Integrate all data (including data from previous measurement) and<br />
information to determine the peat dept level.<br />
3.2.2.2 Water level<br />
1. Prepare planning to put Automatic Water Level Recording (AWLR) in the eld<br />
(burn forest or logged over forest)<br />
2. Set up the AWLR by preparing and inserting HOBO into the iron pipe.<br />
3. Record the coordinate of the location where AWLR was put in place.<br />
4. Monitor water level periodically<br />
5. Measure water level based on the data recorded in the AWLR<br />
3.3 Forest Biomass<br />
3.3.1 Development of allometric equation<br />
1. Establishment of plot in the eld, followed by measurement and calculation of<br />
carbon stock<br />
2. Formulation of allometric equation based on the relationship between total dry<br />
weight of each part of trees and other parameter, such as diameter, total tree high<br />
and wood density<br />
3. Calculation of biomass deviation between local allometric equation (result of this<br />
research) Chave equation and Kettering equation<br />
3.3.2 Estimation of a below ground biomass (peat soil)<br />
1. Measurement of peat depth by inserting the drill peat or Eidjelkamp gradually<br />
2. Physical and chemical analysis of peat samples<br />
3. Develop peat pro ling in the eld<br />
66<br />
Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia
3.3.3 Forest Biomass estimation using remote sensing<br />
1. Pre Processing of satellite image, trough geometric correction and image<br />
enhancement<br />
2. Development of vegetation index<br />
3. Regression analysis<br />
Conclusion<br />
1. Peat depth at each plot vary from one plot to another. The variation starts from<br />
1.0 meter depth (mostly in the burnt forest) to over 8 meter depth (mostly in log<br />
over forest.<br />
2. Test on automatic water level recording shows that the water table level pattern<br />
is highly varied (from 0 cm until 23 cm)so as a longer time series data is needed.<br />
3. Total carbon stock of both above ground biomass in primary forest, logged-over<br />
forest and ex-burnt forest amounting to 3,424.36 ton/ha; 3,180.93 ton/ha, and<br />
654.36 ton/ha respectively.<br />
4. Based on the result of the analysis of deviation between the local equation of<br />
biomass with biomass equation of Ketterings ad Chave, it can be concluded that<br />
local allometric equation can reduce up to 35.72% over estimation of Chave’s<br />
biomass estimation and reduce up to 22.54% over estimation of Kettering’s biomass<br />
estimation. Thus, Kettering equation has the lowest deviation than the Chave’s.<br />
Recommendation<br />
It is suggested that in the absence of local allometric equation, Kettering equation<br />
can be used since this equation is relatively low over estimation rather than Chave’s<br />
Equaion.<br />
4.1 Specific Objective(s)<br />
4. Implementing Social Safeguard<br />
Objectives of this project is to implements social safeguard through engagement<br />
of Local communities.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
67
4.2 Output and detailed activities<br />
Output of this activity is a report on the implementing social safeguard through<br />
engagement of local communities.<br />
Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />
1. Conduct dialogue with communities from 4 villages such as: Hanau Village,<br />
Bapinang Hulu, Terentang Hilir, and Terentang.<br />
2. Conduct a stakeholder analysis<br />
3. Identify agent of deforestation in relation to the drivers of deforestation<br />
4. Develop a comprehensive IEC methodology from content developmment to<br />
dissimination<br />
5. Identify target audience and assess propper ways to implement FPIC process<br />
6. Identify a traditional means to dissiminate information at the local level<br />
7. Identify existing pattern of resources use and livelihood activities<br />
8. Identify market opportunities for value added forest and non forest products<br />
9. Analyze incentive structure and assess the feasibility of bene ts distribution<br />
mechanism that correspond to stake holder's rights and responsibility<br />
10. Monitor and evaluate socio-economic impacts of the project<br />
Conclusion<br />
From the dialogue with communities several villages, namely: Hanau Village,<br />
Bapinang Hulu, Terentang Hilir, and Terentang, data and information collected in<br />
the previous study, it is concluded that: (1). Communities more and more understand<br />
about the conservation of forest (2). Propose to be involve in the forest protection,<br />
although they expect to get material from forest to build a house (3). They expect more<br />
favorable policy on regulating non wood timber forest product, such as rattan, so that<br />
their income will not decrease. (4) Expect to get training on certain aspect such as<br />
culture of fungi to increase income.<br />
Recommendation<br />
In response to community’s expectation speci cally on rattan trade regulation, it<br />
is recommended for stakeholders such as Local Government, Local Non Government<br />
Organization (NGO) and Company to provide alternative source of income due to the<br />
possibility of low rattan price so that they will not return to forest to illegally log trees.<br />
68<br />
Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia
1. Duration: November 2011- February 2012<br />
2. Budget: Japan Yen 1,250,000,-<br />
5.1 Specific Objective(s)<br />
5. Implementing Environmental Safeguards<br />
Objectives of this project is to implement environmental safeguard through<br />
biodiversity conservation<br />
5.2 Output and detailed activities<br />
Output of this activity is a report on the implementing environmental safeguard<br />
through biodiversity conservation<br />
Implementation of the activities in detailed is as follows:<br />
1. Undertake biodiversity assessment including endangered and threatened oral<br />
and faunal species.<br />
2. Indentify HCV areas<br />
3. Develop biodiversity management strategies and methodologies linked to the<br />
project's zonation plan and HCV priorities<br />
4. Assess the anticipated impacts of an ecosystem restoration plan including replanting<br />
native species and restoring hydrological function<br />
5. Design an integrated data base and GIG system to manage, record and analyze<br />
the outcome of he FS<br />
6. Assess the feasibility of local capacity building to support biodiversity and he<br />
project's objective<br />
7. Assess the existing or the need to establish new feedback mechanism to incorporate<br />
biodiversity data and analysis into project's longterm research agenda and plans.<br />
Based on the eld survey, the assessment has been made for the followings: (1)<br />
delineation of High Conservation Values including peat hydrology relevant to areas to<br />
be planted with native species. (2) Assessment the impact of forest restoration activities<br />
and landscape level in Katingan district (3). Determine areas to be operated by SR/<br />
villages, without jeopardizing ability to maintain HCV across the FMU, including<br />
peat land hydrology, (4) Develop strategies of Environmental Safeguard for HCV<br />
areas in the Katingan Project area.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
69
6.1 Specific Objective(s)<br />
6. Methodology Design Document<br />
Objectives of this activity is to review methodology design document provided<br />
by the Starling Resources.<br />
6.2 Output and detailed activities<br />
Output of this activity is a review draft methodology design document.<br />
Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />
Review draft of Methodology Design Document (MDD) has been made. MDD is<br />
the product of Feasibility Study containing 3 parts. Part One outlines the Background,<br />
Objectives, Study site, Study methods, and outputs. Part Two consist of three sections.<br />
Section One discusses about Carbon MRV methodology, Section Two discusses about<br />
Social Safeguards, while Section Three discusses about Environmental Safeguard.<br />
Part Three contains several annexes namely: SOP for Field Measurements, SOP for<br />
Allometric Development and Veri cation, Local Allometric Equation, Aboveground<br />
and Belowground Carbon Stock Estimation,<br />
Based on the review, MOF propose to make additional recommendation on<br />
the following aspects: (1) Full carbon stock analysis using advanced remote sensing<br />
technology (eg. LIDAR), (2) Measurement of Emission Factors for the Katingan<br />
Projject Area (3) Development of early warning system for peat re.<br />
7. Various Possible Schemes for Credit Transfer<br />
7.1 Specific Objective(s)<br />
Objectives of this activity is to identify possible schemes for credit Transfer ad<br />
institutional arrangement under bilateral offset scheme.<br />
70<br />
Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia
7.2 Output and detailed activities<br />
Output of this activity is a report on the identi cation of possible schemes for<br />
credit transfer and institutional arrangement under bilateral offset scheme.<br />
Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />
1. Preparation and collection of secondary data<br />
2. Review on current schemes for credit transfer and institutional arrangement<br />
under bilateral offset scheme.<br />
3. Write a report on the identi cation schemes for credit transfer and institutional<br />
arrangement under bilateral offset scheme.<br />
Conclusion and Recommendation on the identi cation of possible schemes<br />
for credit transfer and institutional arrangement under bilateral offset scheme are<br />
as follows:<br />
Conclusion<br />
1. There are many existing credit transfer scheme in many countries with various<br />
method, approach, number of parties, scheme and activities<br />
2. In general. All credit transfer have effective and ef cient institution arrangement.<br />
Therefore it can achieve their objective to conserve forest resources.<br />
3. Credible credit transfer could be gained through the payment of environmental<br />
services (PES) approach, since it is believed that it will compensate the community<br />
fair enough with the bene t from their effort.<br />
4. Credit transfer institution should considered effective, ef cient and equity<br />
principle, so that every stakeholders will play their role in balance manner.<br />
Recommendation<br />
Base on the existing credit transfer scheme in several countries and consider<br />
ef cient and effective institutional arrangement, it is recommended to (1) set up<br />
pre condition enabling the scheme can be applicable such as rule and regulation, (2)<br />
develop the scheme which is appropriate with Indonesian condition.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
71
8. Consideration of REDD+ Juridictional and Nested (sub<br />
nasional) Approach<br />
8.1 Specific Objective(s)<br />
Objectives of this activity is to review and comment on the draft report of the FS.<br />
8.2 Output and detailed activities<br />
Output of this activity is a review on the draft report which contain the assessment<br />
of the FS of implementing bilateral offset scheme beyond project level and the potential<br />
of expanding the offset mechanism to the sub national level.<br />
Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />
II.2. Input Applied<br />
4. Project Outcome, Target Bene ciaries Involvement.<br />
(i) As stated in the project document, the objective of the project is to develop a<br />
complete MRV methodology for bilateral offset scheme. In order to develop<br />
credible MRV methodology specially in the peat land, many aspects in the<br />
development of MRV should be considered in order that thoroughness and<br />
scienti cally MRV methodology will be achieved. Since MRV methodology in<br />
peat land is still far from enough in Indonesia, it is therefore MRV methodology<br />
resulted from this Feasibility Study is incredibly important and could be a model<br />
for other peat land in Central Kalimantan with the same characteristic.<br />
(ii) Besides the above, eldwork and analysis of data and information from many<br />
sources to develop MRV methodology involves scientist from many institutions<br />
such as MOF/<strong>FORDA</strong>, University of Hokkaido, Starling Resources and Terra<br />
Global Capital. The Involvement of those institutions certainly demonstrate their<br />
commitment to present credible MRV methodology as one of the instrument to<br />
measure carbon emission reduction in peat land.<br />
(iii) Completion of the project produces a set of reports that present data and<br />
information about outputs of the project consist of report from each of activity:<br />
1. Report 1.1: Draft of SOP on Allometric Equation<br />
2. Report 1.2: Draft of SOP on Field Measurement<br />
72<br />
Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia
3. Report 1.3: Draft Review of the current Voluntary Carbon Standard (VCS)<br />
4. Report 1.2: Development and Testing of a carbon MRV methodology and<br />
monitoring plan<br />
5. Report 1.3: The Implementation of Social Safeguard through Engagement<br />
of Local Communities.<br />
6. Report 1.4: The implementation of Environmental Safeguard through<br />
Biodiversity Conservation<br />
7. Report 1.5: Review draft Methodology Design Document<br />
8. Report 1.6: The Identi cation of Possible Schemes for Credit Transfer and<br />
Institutional Arrangement under Bilateral Offset Scheme.<br />
9. Report1.7: The Assessment of the FS of Implementing Bilateral Offset<br />
Scheme Beyond Project.<br />
Several tools and of ce equipment have been procured through this project, namely:<br />
Automatic Water Level Recording (AWLR), Eidjelkamp (Peat Sampler), IPAD,<br />
printer, hard-disks. All these tools and equipment are intended to help increase<br />
capacity in the execution of the project.<br />
5. Assessment and Analysis<br />
(i) The Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan is a short term project<br />
(6 month), This FS is a follow- up of Pre FS which was undertaken in the previous<br />
year. Although all activities were carried out as described in the project document,<br />
but some ndings from previous Pre FS are used in the implementation of FS.<br />
(ii) In general, all activities are carried out according to schedule in the work plan,<br />
and no major problem were encountered during implementation. However<br />
since the project is carried out by consortium, several activities can only be done<br />
if such activities have been completed by those member of consortium.<br />
(iii) Time and input for the project implementation can be summarized as follows:<br />
Time<br />
The project was implemented within the time frame. Based on the MOU,<br />
the duration of the project was 6 month, starting from September 2011 until<br />
February 2012. in fact, the works just started in October 2011 and intensively<br />
implemented in December 2012 and should nish at the end of February 2012.<br />
Before the project started, an administrative arrangement should be completed<br />
such as a bank account, project team, coordination, executing agency. In fact, it<br />
was required some time to be done.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
73
Project inputs<br />
From seven activities of the project, four activities are carried out by four teams,<br />
thus one team is responsible to one activity involving researcher or experts<br />
in related eld with one member as a coordinator. From the observation , all<br />
team showing a good performance both in terms of work quality and team work<br />
building. It is therefore each team will diliver a report of their activity in due<br />
course.<br />
In relation with equipment , there is no major problem to support eld work<br />
because all equipment needed are available in the eld, either provided by<br />
Starling Resources or purchased by the project. These most important equipment<br />
include Automatic Water Level Recording (AWLR) to measure water table and<br />
Eidjelkamp, for measuring peat depth.<br />
There was no problem with nancial resources, since they already know how to<br />
spend money for the activity according to rule and regulation provided by ITTO<br />
and Marubeni Corporation. The experience of handling activity from previous<br />
Pre Feasibility Study is also very supportive in such circumstances.<br />
(iv). The Feasibility Study project involves seven institutions:<br />
Centre for International Cooperation-MOF RI<br />
Research Center for Climate Change and Policy<br />
International Tropical Timber Organization<br />
Marubeni Corporation<br />
University of Hokkaido<br />
Starling Resources<br />
Terra Global Capital<br />
PT. Rimba Makmur Utama<br />
Cooperation and coordination are running smoothly both during planning until the<br />
execution of the project. Each institution perform according to its task and obligation.<br />
6. Lessons learned<br />
Lessons learned from the project can be outlined as follows:<br />
Project design and identi cation is well set up. This will lead to each party involved to<br />
play role and contribute to the success of the project.<br />
Coordination among seven institutions during project arrangement, planning and<br />
implementation is a key success in achieving goal and objectives of the project<br />
Monitoring and evaluation were carried out through intensive meeting, both internal<br />
meeting as well as technical meeting.<br />
The creation of millist as a medium for group to communicate about the progress of<br />
the projects is very helpful.<br />
74<br />
Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia
7. Conclusion and Recommendation<br />
The FS on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia achieved objectives and<br />
deliver outputs as planned in the project document. Although the FS was a short<br />
terms project, it could be executed smoothly in the eld according to schedule. Good<br />
coordination and cooperation among institutions involveld was most rewarding and<br />
make it possible to pursue the target.<br />
Since the FS has provided a good result and nding in relation with carbon emission, it<br />
is recommended to get bilateral offset scheme become materialized in the eld, so that<br />
both countries (Indonesia and Japan) can share offset credit as agreed upon.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
75
Notulensi<br />
Workshop Kerjasama Internasional di Puspijak 2012<br />
Ruang Meeting E , Botani Square<br />
Bogor 5 Nopember 2012<br />
1. Workshop dipimpin oleh Kepala Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan Kebijakan<br />
(Puspijak) dan dihadiri oleh 75 (tujuh puluh lima) orang peserta. Para peserta<br />
mewakili instansi pemerintah, perguruan tinggi negeri/swasta, LSM, serta praktisi<br />
kehutanan.<br />
2. Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) saat ini memiliki 4<br />
(empat ) proyek kerjasama internasional, yaitu :<br />
a. Tropical Forest Conservation For Reducing Emission From Deforestation and<br />
Forest Degradation And Enchancing Carbon Stock In Meru Betiri National<br />
Park, Indonesia-ITTO<br />
b. Overcoming Constrains to Community Based Comercial Forestry in Indonesia-<br />
Aciar<br />
c. Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce<br />
Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)-ACIAR<br />
d. REDD+ Readiness Preparation TF 99721 id (FCPF/World Bank)<br />
3. Dalam sambutannya Kepala Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan Kebijakan<br />
(Puspijak) menyampaikan posisi strategis kerjasama litbang bagi suatu institusi<br />
riset, disampaikan pula bahwa melalui forum workshop ini dapat diperoleh<br />
masukan, saran dan kritik membangun untuk mempertajam program dan<br />
optimalisasi capaian serta pemanfaatan hasil litbang hasil keerjasama di Puspijak.<br />
1.1 Presentasi 1<br />
1. Presentasi<br />
Pelibatan Masyarakat dalam DA-REDD (Tropical Forest Conservation for Reducing<br />
Emission from Deforestation and Forest Degradation and Enchancing Carbon Stock in<br />
Meru Betiri National Park, Indonesia)<br />
Oleh : Ir. Ari Wibowo, Msc.<br />
Moderator : Dr. Fauzi Masud<br />
76<br />
Notulensi
1. Kegiatan DA REDD di TN Meru Betiri bertujuan untuk mengurangi emisi sebagai<br />
kegiatan mitigasi perubahan iklim dan bersifat voluntary. Indonesia mendukung<br />
sekma REDD karena sesuai dengan pengelolaan hutan lestari.<br />
2. Banyak kegiatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi proyek REDD+<br />
Indonesia, Kemenhut dapat mengakomodir dengan memantau kegiatan REDD<br />
dan mendorong perannya dalam kegiatan penurunan emisi.<br />
3. REDD+ di Merubetiri karena TN Meru Betiri merupakan kawasan konservasi<br />
yang memperoleh ancaman (threats).<br />
4. Pro l Kegiatan DA REDD di TN Meru Betiri :<br />
a. Pelaksana : Balitbanghut<br />
b. Proponen : Puspijak, TNMB, Latin<br />
c. Periode kegiatan : 2010-2013 (4 tahun)<br />
d. Luas : 58 ha<br />
e. Lokasi kegiatan : di selatan TN Merubetiri<br />
5. Tujuan kegiatan berkaitan dengan masyarakat dan penurunan emisi yang credible,<br />
luaran yang diharapkan berupa networking (terjadi kolabarisasi antara Pemda,<br />
NGO, Perguruan Tinggi, Pemerintah/swasta) serta diseminasi dan publikasi,<br />
kegiatan pelatihan masyarakat (MRV, inventarisasi berbasis sumberdaya), 40<br />
permanen plot untuk mengetahui stok carbon dan perkembangan deforestasi.<br />
6. Dampak kegiatan yang diharapkan dari DA Meru Betiri ini adalah hadirnya<br />
kegiatan percontohan sebagai pembelajaran dalam mendukukung kegiatan<br />
pengelolaan hutan lestari.<br />
7. Merupakan DA yang mewakili konservasi serta merupakan proses belajar terutama<br />
yang terkait dengan masyarakat, salah satu bentuk konkrit kegiatan tersebut adalah<br />
adanya perjanjian antara masyarakat dengan pihak TN terkait zona pemanfaatan<br />
dan zona rehabilitasi yang dilakukan dengan menanaman jenis tanaman yang<br />
mengandung carbon tinggi.<br />
8. Tantangan yang dihadapi adalah masalah keberlanjutan pendanaan pasca kegiatan<br />
DA. Mekanisme REDD masih dalam tahap perkembangan, salah satu peluang<br />
perolehan pendanaan pasca kegiatan DA adalah masuk ke skema voluntary market.<br />
Walaupan pasarnya kecil, namun voluntary market membuka peluang untuk<br />
pasar yang lain<br />
9. Tantangan lain dari kegiatan ini adalah upaya Scaling up agar dapat dilakukan<br />
di tempat lainnya.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
77
1.2 Presentasi 2<br />
Hutan Rakyat di Pati (Overcoming Constrains to Community Based Comercial Forestry<br />
in Indonesia-ACIAR)<br />
Oleh : Dra. setiasih Irawanti, Msi.<br />
Moderator : Dr. Fauzi Masud<br />
1. Pro l Kegiatan<br />
a. Judul kegiatan : FST /2008/030<br />
b. Periode pelaksanaan dari April 2011 – september 2015 (4,5 tahun)<br />
c. Lokasi kegiatan dan jenis tanaman : Kabupaten Pati (sengon), Kabupaten<br />
Gunung Kidul (jati), Kabupaten Bulukumba Sulsel dan Sulawesi Tenggara<br />
(biti dan jati), Sumbawa(jati)<br />
d. Tujuan kegiatan adalah untuk untuk mengurangi deforestasi dan membangun<br />
hutan tanaman<br />
e. Lokasi penelitian kegiatan ini berlokasi di lereng Gunung Muria<br />
2. Kegiatan ini memiliki empat tugas riset (reseach task), yaitu :<br />
a. analisis dimensi sosial<br />
b. kerangka kerja mata pencaharian<br />
c. analisis rantai nilai<br />
d. pendekatan pembelajaran petani<br />
3. Tujuan penelitian yaitu melakukan dimensi analisis sosial, evaluasi rantai nilai,<br />
meningkatkan kapasitas petani, mempengaruhi pemangku kepentingan.<br />
4. Kegiatan memiliki 4 (empat) Communication tasks yaitu pembuatan brief info,<br />
website, partner lokal/setempat. Di pati kegiatan bermitra dengan LSM Trees for<br />
Trees. Hasil penelitian akan disampaikan dalam international conference.<br />
5. Kabupapaten Pati merupakan lokasi kegiatan hutan rakyat. Hasil dari budi<br />
daya kayu di hutan rakyat dipasrkan ke Kabupaten Semarang, Salatiga, dan<br />
Temanggung. Petani di kabupaten Pati berfokus pada kayu sengon karena memiliki<br />
nilai komersial, juga dibudidayakan mahoni dan jati.<br />
6. Hasil research analisis dimensi sosial sementara adalah identi kasi lahan hutan<br />
rakyat yaitu tegalan dan lahan milik rakyat, batas sik kepemilikan lahan berupa<br />
tanaman hidup, pemanfaatan lahan dengan tumpangsari, hasil lahan yaitu kayu<br />
dan HHBK, serta ternak. Dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa hutan<br />
rakyat merupakan pendapatan utama petani setempat.<br />
78<br />
Notulensi
7. Rekomendasi dari kegiatan ini adalah pembangunan HR, HTR, HKm dengan<br />
menggunkan teknik agroforestry<br />
1.3 Presentasi 3<br />
Governance dan Skema Pendanaaan REDD+ (Improving Governance, Policy and<br />
Institutional Arrangements to Reduce Emissions From Deforestation and Forest<br />
Degradation (REDD)-ACIAR)<br />
Oleh : Zahrul Mutaqin, S.Hut., MSc.<br />
Moderator : Dr. Fauzi Masud<br />
1. Pro l kegiatan<br />
a. Latar belakang proyek: mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan<br />
hutan dalam rangka merespon perubahan iklim<br />
b. Tujuan proyek: mendukung pengembangan kebijakan dan kelembagan<br />
REDD+ di tingkat propinsi dan kabupaten<br />
c. Jenis aktivitas: studi literatur, lokakarya, FGD, penelitian lapangan,<br />
peningkatan kapasitas peneliti dan pihak terkait dan diseminasi hasil penelitian<br />
d. Lokasi penelitian: Prop. Riau (Kab. Siak dan Rokan Hilir) dan Provinsi Papua<br />
(Kab. Sarmi dan Merauke).<br />
2. Identi kasi penyebab deforestasi menunjukan adanya penurunan luas dan tutupan<br />
hutan terutama di Siak dan Rokan Hilir, di Papua perlu dikontekstualisasikan<br />
dengan prioritas nasional, agenda pembangunan perbatasan dan otonomi khusus.<br />
3. Tata kelola hutan masih belum baik ditandai dengan adanya inkonsistensi<br />
peraturan, ketidaklengkapan peraturan, dan legitimasi peraturan yang rendah.<br />
Perbaikannya dilakukan dengan dengan memperbaiki rantai pasokan kayu<br />
memperbaiki pengelolaan hutan melalui KPH dan menyusun kebijakan skal<br />
yang lebih baik.<br />
1.4 Presentasi 4<br />
REDD+ Readiness Preparation TFf 99721 id (FCPF / World Bank)<br />
oleh : Dr. Niken Sakuntaladewi, MSC (Puspijak) dan<br />
Novi Widyaningtyas, SHut,. MSc. (Pustanling)<br />
Moderator : DR. Tigor Butarbutar, MSc.<br />
1. Pro l Kegiatan :<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
79
a. Tujuan kegiatan adalah mendukung kapasitas Indonesia dalam mempersiapkan<br />
implementasi REDD+<br />
b. MoU ditandatangani pada 14 Juni 2011<br />
c. Waktu pelaksanaan 3,5 tahun ( Juni 2011 – Desember 2014)<br />
d. Grant funding US$ 3,6 juta<br />
e. Mekanisme pengelolaan on budget – on treasury<br />
f. Koordinator <strong>FORDA</strong> cq. Puspijak dan berkoordinasi dengan Pustanling,<br />
DKN dan World Bank<br />
2. Realisasi kegiatan World Bank menyelenggarakan sosialisai awal SESA.<br />
3. Kontribusi FCPF-yang dikelola pustanling adalah :<br />
a. Peningkatan pengetahuan dan kapasitas stakeholder di daerah;<br />
b. Mendorong dan membantu daerah dalam pembentukan kelembagaan REDD+;<br />
c. Mendukung sub-nasional dalam menyusun strategi daerah REDD+ dan<br />
RAD-GRK;<br />
d. Memberikan landasan awal kepada pembentukan Pokja REDD+;<br />
e. Memfasilitasi stakeholders di daerah<br />
f. Workshop penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan identi kasi kegiatan<br />
yang dapat menghasilkan penurunan emisi dan meningkatkan serapan serta<br />
stabilisasi stok karbon hutan di Balikpapan dan Riau,<br />
g. Pertemuan sosialisasi (outreach) di Jember dan Padang<br />
h. Pertemuan stakeholder dalam rangka kajian kebijakan dan formulasi regulasi<br />
REDD+ yang terintegrasi terkait isu penyebab deforestasi di Jakarta<br />
4. Puspijak menyelenggarakan Launching FCPF, penyusunan TOR, pembuatan<br />
yer dll.<br />
5. DKN menyelenggarakan sosialisasi awal SESA.<br />
1.5 Presentasi 5<br />
Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan-ITTO/Marubeni<br />
Oleh : Ir. Sulistyo A. Siran, MAgr.<br />
moderator : Ir. Tigor Butarbutar, MSc.<br />
1. Waktu pelaksanaan kegiatan yaitu Sept 2011 – Februari 2012<br />
80<br />
Notulensi
2. Pelaksana kegiatan terdiri dari Puspijak, Setjen, Ditjen Palnologi serta Ditjen<br />
Bina Usaha <strong>Kehutanan</strong><br />
3. Mitra terdiri dari METI, ITTO, Marubeni, Hokaido University, dll.<br />
4. Tujuan kegiatan membangun REDD+ dan metodologi MRV untuk Bilateral<br />
Offset Carbon antara Jepang dan Indonesia<br />
5. Output yang diharapkan adalah membuat SOP pengukuran lapangan; menyusun<br />
metodologi MRV: kajian implementasi perlindungan sosial dan lingkungan;<br />
membuat MDD; dan skema transfer kredit<br />
6. Lokasi proyek di Katingan-Kalimantan Tengah<br />
2.1 Pertanyaan<br />
1. Sentot (BP DAS-PS)<br />
Bagaimana mengelola hutan dalam rangka mengelola emisi?<br />
2. Ombo (UNB)<br />
a. komentar untuk bu Asih :<br />
i. manfaat hutan rakyat selain kayu juga HHBK<br />
2. Diskusi<br />
ii. penelitian hutan rakyat sebaiknya juga dilaksanakan di luar Jawa seperti<br />
Sulawesi karena hutan rakyat di Jawa sudah cukup bagus.<br />
b. komentar untuk pak Ari : bagaimana skema REDD dalam kegiatan di Meru<br />
Betiri<br />
c. komentar untuk pak Zahrul : pembangunan di Riau karena deforestasi dan<br />
degradation.<br />
d. saran untuk pak Zahrul : melanjutkan penelitian di Riau.<br />
e. apakah informasi mengenai REDD ini sampai pada pemda setempat karena<br />
dorongan pemda setempat sangat penting.<br />
3. Asep (Ditjen PHKA)<br />
a. bagaimana apresiasi mekanisme DA REDD terhadap pihak-pihak TN? karena<br />
kelihatannya mekanisme belum ada.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
81
. apakah sudah ada prosedur atau cara untuk memastikan komitmen pemerintah<br />
kuat terhadap pelaksanaan REDD+?<br />
4. Mulyaningrum (IPB)<br />
Di Papua berkaitan dengan kepastian lahan, bukti kepemilikan yang sah seperti<br />
apa karena di Papua cukup sulit. mohon penjelasannya?.<br />
5. Diah (BDK Rumpin Bogor)<br />
komentar : keprihatinan ada pergeseran kesadaran akan menjaga kerusakan hutan<br />
yang pada awalnya mereka sadar, sekarang setelah banyak program masyarakat<br />
malah mengharapkan bayaran.<br />
6. Iwan (Fahutan IPB)<br />
a. Apa yang bisa diklim dalam draft implementasi untuk deforestasi karbon.<br />
b. Apakah boleh diklaim penanaman pohon jenis eksotik? pada tahap implementasi<br />
karbon TN Meru Betiri betiri kelihatannya tidak banyak menghasilkan.<br />
7. Rahman Effendi (Puspijak)<br />
a. Tertarik dalam pelibatan masyarakat dalam DA REDD dalam arah<br />
yang terukur. Agar lebih terukur indicator-indikator apa saja yang perlu<br />
dikembangkan apa saja dalam pelibatan masyarakat?<br />
b. HBK lebih besar daripada kayu sendiri. tetapi HBK bukan komoditi<br />
kehutanan. bagaimana meningkatkan produktivitas komoditi kehutanan.<br />
Apabila diterapkan, apa saja yang perlu disiapkan untuk masyarakat?<br />
c. Penaksiran volume kayu sering menjadi masalah, selain itu sebetulnya<br />
bagaimana sosialisasi agar petani dapat mengukur. yang menjadi masalah<br />
adalah karena petani tidak mengetahui TUK (Tata Usaha Kayu).<br />
d. Komentar : implementasi REDD sangat sulit, karena proyek ini sekarang masih<br />
ada yang mendanai, tetapi kedepannya bagaimana upaya untuk memperoleh<br />
serti kasi REDD.<br />
e. Berkaitan dengan TUK, keterangan dari pemda seharusnya dari bupati bukan<br />
lurah. untuk memperoleh rekomendasi sangat sulit. Pemda punya peran yang<br />
sangat penting daripada <strong>Litbang</strong>, karena pemda yang melaksanakan dan<br />
mengetahui implikasi TUK di daerah.<br />
8. Yayasan Kehati<br />
82<br />
a. Berkenaan dengan deforestasi yang rendah, mengapa kegiatannya diarahkan<br />
pada deforestasi saja bukan konservasi?. mengapa tidak digunakan modelling<br />
approach?<br />
Notulensi
. Dalam konteks REDD+, yang harus dilihat biodiversity atau jasa lingkungan?<br />
yang dihargai adalah upaya-upaya untuk konservasi.<br />
c. Bagaimana proses FCPF, dan bagaimana safeguardnya?<br />
d. Bagaimana kepastian tenurial di Papua, bagaimana terjadinya tumpang tindih<br />
kebijakan di daerah?<br />
9. Mahfud (UN REDD)<br />
a. Dilihat dari beberapa kegiatan FCPF, bila ada kegiatan di level nasional terkait<br />
dengan REDD+ lebih baik disenergikan.<br />
b. Berkaitan dengan university forum untuk universitas-universitas bagian<br />
timur,akan lebih bagus tempatnya di Ambon karena banyak sekali manfaat<br />
karena disana banyak penelitian tentang REDD.<br />
10. Bu Novi (Pustekolah)<br />
a. Bagaimana mekanisme FCPF untuk mengevaluasi apa yang dilakukan oleh<br />
FCPF telah berhasil?<br />
b. Apakah didalam proyek marubeni diidenti kasi pengolahan HHBK di Kalteng?<br />
11. Asep (Dit. Pengelolaan Jasa Lingkungan)<br />
a. Stakeholder mana saja yang paling lemah dalam memahami REDD+?,<br />
terkait dengan peran pemda setempat berkenaan dengan rencana pelaksanaan<br />
REDD+?<br />
b. Ketidaksiapan yang abagimana sehingga kita perlu memperpanjang waktu<br />
untuk persiapan itu, faktor dan kendala utamanya apa? perpanjangan<br />
membutuhkan waktu berapa lama?<br />
c. Ingin penjelasan lebih lanjut tentang MRV metodologi, komponennya apa saja?<br />
d. Apakah tidak ada metodologi lain dengan tidak harus melakukan penebangan?<br />
12. Pak Ombo<br />
Ada kecenderungan karena adanya proyek REDD, beberapa negara ingin tenaga<br />
ahlinya masuk ke Indonesia. bidang apa di Indonesia yang kita perlukan tenaga<br />
ahli asing? apakah memang kita perlu tenaga ahli asing?<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
83
13. Bu Juniarti (CIFOR)<br />
a. Bagaimana mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan FCPF?<br />
b. PES akan menjadi favorit dalam bene t sharing proyek REDD yang ada di<br />
indonesia. akan tetapi sudah banyak publikasi tentang PES, apakah ada yang<br />
dapat membedakan kegiatan PES di negara lain yang sudah dievaluasi?<br />
2.2 Jawaban<br />
1. Ir. Ari Wibowo, Msi.<br />
84<br />
a. REDD+ ada unsur plusnya sebagai bagian dari REDD, yang awalnya hanya<br />
mencakup degradasi dan deforestasi. Mekanisme REDD+ masih tahap<br />
negoisasi<br />
b. Peran balai TN sangat vital terutama di dalam pengamanan kawasan. Untuk<br />
kegiatan DA REDD tuan rumah tetap TN. Pemerintah harus memberikan<br />
alokasi untuk segala resources. Masyarakat dan LSM dapat bersatu padu untuk<br />
menjaga stok karbon di kawasan konservasi. Masyarakat merasa semangat<br />
karena mereka ikut dalam kegiatan menyelamatkan dunia.<br />
c. Terkait TN Meru Batieri yang menjadi lokasi penelitian, masyarakat sejak<br />
awal sudah dilibatkan. Ada interksi antara masyarakat dengan TN. Hubungan<br />
antara kawasan konservasi dengan masyarakat belum diatur. antara dua pihak<br />
ada “win-win solution”, pelibatan masyarakat sejak awal sudah berjalan.<br />
d. Memang ada local wisdom, masyarakat sudah punya kebiasan-kebiasaan baik<br />
akan tetapi karena kebutuhan masyarakat meningkat, maka kedua belah pihak<br />
perlu dicarikan jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak.<br />
e. Historical emission pun rendah sehingga aditionalitynya rendah. Perjuanagan<br />
di tingkat internasional harus memasukan unsur konservasi, sambil menunggu<br />
hasil negosiasi di tingkat internasional berbagai celah perlu diupayakan,<br />
dalam hal memanfaatkan zona rehabilitasi memang menimbulkan potensi<br />
ancaman terhadap TN.<br />
f. bagaimana peningkatan pemahaman, kesadaran dan pendapatan masyarakat<br />
sedang dilakukan sedang disusun oleh Latin.<br />
g. ancaman/tantangan bukan historical deforestasi rendah. tetapi redd+ adalah<br />
mekanisme insentif yangmana ada persyaratan yang harus dipenuhi. tantangan<br />
dari kita sendiri sebagai negara yang mempunyai kawasan konservasi yang<br />
cukup luas.<br />
Notulensi
h. kembali ke demonstration activity, untuk memenuhi kaidah2 dalam kegiatan<br />
redd harus mengetahui potensi lima karbon yang ada disana. ad tipe hutan<br />
lain selain hutan primer maka akan mempengaruhi stok karbon kedepan. mrv<br />
harus mengetahui stok karbon kedepan.<br />
2. Dra. Setiasih Irawanti, Msi.<br />
a. Hutan rakyat dapat berperan sebagai lumbung bagi petani, tidak hanya kayu<br />
tetapi HBK juga hasilnya besar terhadap pendapat petani karena tambahan<br />
pendapatannya dapat diperoleh sebelum kayu ditebang.<br />
b. Sudah dilakukan penelitian hutan rakyat di Bulukumba Prop. Sulawesi Selatan.<br />
c. Dari tiga desa lokasi penelitian, HBKnya memang tinggi tetapi bukan HBK<br />
kehuaatanan, karena HBK kehutanan merupakan hasil dari hutan alam. Di<br />
desa studi merupakan HBK dari hutan rakyat. Pilihan untuk menentukan<br />
jenis kayu sepenuhnya merupakan pertimbangan petani karena petani rasional<br />
untuk memilih jenis tanaman yang akan ditanam di lahan miliknya.<br />
d. Value change analysis memang belum dilihat secara jauh baru menyentuh pada<br />
peraturan dan kebijakan. Analisis tersebut baru akan dikerjakan. Budi daya<br />
sengon harus mengikuti kebijakan pemerintah tentang SKAU. Perdagangan<br />
mahoni dan jati masih terhambat karena pengambilan dokumen yang lokasinya<br />
jauh dan harus diambil sendiri.<br />
e. Penaksiran volume kayu merupakan tugas litbang. Petani memiliki keterbatasan<br />
dan malas dalam mengukur volume kayu. Maka nilai uang yang mereka lebih<br />
rendah terhadap nilai kayu yang mereka hasilkan. merupakan pertimbangan<br />
untuk melaksanaan pelatihan untuk mengukur volume kayu dan hama puru<br />
kayu.<br />
3. Zahrul Mutaqin, SHut.<br />
a. HTI dan kelapa sawit maka terjadi deforestasi, bahkan bagi sebagian besar<br />
orang HTI juga dianggap deforestasi.<br />
b. Respon dinas kehutanan Prop. Riau kurang baik, terutama apabila dari<br />
Australia datang kesana (2009) namun kondisi tersebut berubah ketika proyek<br />
ini masuk dan ada pelatihan mengenai REDD, ada semacam institution low<br />
impact. sekarang pihak pemda merasa antusias dengan proyek ini. Saat ini di<br />
Pemda Prop. Riau sudah terbentuk pokja REDD.<br />
c. Kalau di Papua masyarakat sudah mengetahui, tetapi mereka menanyakan<br />
kapan mereka akan dibayar. Kepala dinas sangat mendukung dan sudah ada<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
85
sosialisasi dari Pemda bahwa mereka akan ada kompensasi karena mereka<br />
sudah menjaga hutan.<br />
d. Belum ada prosedur kompensasi. Sudah disampaikan kepada Kementerian<br />
keuangan bahwa akan ada semacam dana Dak DR atau dana bagi hasil.<br />
Mekanisme ini sedang dipelajari oleh Kementerian Keuangan. Saat ini para<br />
pihak sedang fokus pada bagaimana distribusi mekanisme REDD disusun.<br />
e. Apa yang harus dilakukan dengan legalitas, terkait dengan tiga hal. Perbaikan<br />
legalitas dengan memperbaiki inkonsistensi, aturan yang belum ada harus<br />
disusun. Hutan dianggap milik adat sehingga untuk pelepasan hutan perlu<br />
membayar kepada masyarakat adat. Halsemacam itu yang membuat Papua<br />
lebih spesi k.<br />
f. Pengalaman di TN Wasur, karena faktor tekanan ekonomi yang sangat tinggi<br />
membuat masyarakat semakin transaksional. Maka insentif-insentif ekonomi<br />
merupakan alat untuk changing behaviour.<br />
g. prinsip REDD yang harus dipakai adalah voluntarily. Untuk bisa mencapai<br />
skala besar harus ada koordinasi yang perlu didorong upaya untuk menjaga<br />
stok karbon.<br />
4. Novi Widyaningtyas, SHut., MSc:<br />
a. Sangat betul komentar dari pak mahfud, kami lebih meningkatkan capaian<br />
kinerja yang sekarang. Perlu ditingkatkan koordinasi dengan satker dan satgas.<br />
b. Mengenai forum universitas, bahwa di Sulawesi Tengah perlu dilakukan upaya<br />
seperti yang telah sukses dilaksanakan kan di Maluku. Kalau sudah ada forum<br />
bisa jadi mitra kerja FCPF.<br />
c. Di level internasional tidak mengikat kesiapan di tahun 2012, dilihat dari<br />
perangkat implementasi REDD+ ada empat yaitu Stranas maupun Strada,<br />
REL, MRV System. Dari empat elemen itu kita dapat melihat kesiapan di<br />
daerah. Belum ada satupun yang sudah sempurna dimana tingkat kesiapan<br />
daerah berbeda-beda. Yang sudah agak siap yaitu Prop. Kaltim.<br />
d. FCPF tidak memerlukan tenaga ahli asing karena tujuannya adalah untuk<br />
membantu Indonesia.<br />
5. Dr. Niken Sakuntaladewi, MSc.<br />
86<br />
a. Terkait mekanisme untuk evaluasi karena skema FCPF bersifat on budget-on<br />
treasury maka dalam pelaksanaannya kegiatan mengikuti peraturan kita. World<br />
Notulensi
ank tidak serumit yang dikira. Setelah 20 bulan melaksanakan kegiatan ada<br />
kegiatan review kegiatan FCPF di Indonesia.<br />
b. terkait pemahaman stakeholder, di level masyarakat cukup lemah hal ini dapat<br />
terlihat pada kegiatan-kegiatan workshop.<br />
c. Banyak tenaga ahli dari dalam sehingga tidak perlu tenaga ahli dari luar.<br />
6. Ir. Sulistyo A. Siran, MAgr.<br />
a. Akan ada proyek lanjutan Fase 3 karena Fase 2 telah menghasilkan temuan.<br />
b. Agroforestry menyangkut beberapa komoditi. Akan dibuat model termasuk<br />
beberapa HHBK yang potensial untuk dikembangkan juga akan diperkenalkan<br />
teknik pengolahan limbah secara sederhana oleh Hokaido University.<br />
c. Untuk menngkatkan dukungan masyarakat sebagai bagian dari social safegurads,<br />
masyarakat akan diberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan.<br />
d. Kegiatan berlokasi di hutan produksi, bisa dibedakan hutan primer, bekas<br />
tebangan dan bekas kebakaran.<br />
e. Untuk areal konservasi yang berdekatan penghitungan karbon tidak perlu<br />
dilakukan destruktif.<br />
f. Untuk REDD+ kita cukup punya ahli di Puspijak dan Puskonser hanya<br />
kuantitas dan volume pekerjaan tidak seimbang. Dari MITI dan Marubeni<br />
kita harus bekerjasama. Untuk emisi, karbon stok expert dari Indonesia<br />
sudah mampu, terutama terkait masalah sosial karena orang Indonesia lebih<br />
mengetahui budaya lokal Indonesia.<br />
g. Bene t sharing baru yang terkait penggunaan air yang kaitannya dengan<br />
karbon sedang dilakukan bene t sharing dengan beberapa topik penelitian<br />
yang akan dilakukan oleh Puspijak.<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
87
Daftar Hadir<br />
Hari/Tanggal : Senin, 5 November 2012<br />
Pukul : 08.00 s/d selesai<br />
Acara : Workshop Kerjasama Internasional Tahun 2012<br />
Tempat : Gedung IPB International Convention Center, Jalan Pajajaran – Bogor<br />
88<br />
No. Nama Instansi/Bagian<br />
1 Joko Purhopuspbo Cifor<br />
2 Yosude Oki Moto Cifor<br />
3 Fahmi Komaeni Puskonse<br />
4 Lukas R W Puspijak<br />
5 Ombo Scapradja UNB<br />
6 Karyano ESDH<br />
7 Machtide UNRIDA<br />
8 Setiasih Irawanti Puspijak<br />
9 Duterwati Puspijak<br />
10 Ari Sulistyo BPDAS. PS<br />
11 Sylnam Puspijak<br />
12 Kuncoro Ariawan Puspijak<br />
13 Ari Wibowo Puspijak<br />
14 Januarti S.T Cifor<br />
15 Sri Harteti Pusdik<br />
16 Sentot Subagyo Dit BPTH BPDAS PS<br />
17 Wawan Kurniawan Pusat KLN<br />
18 Elvida Y.S Puspijak<br />
19 Novitri Hastuti Pustekolah<br />
20 Andri Setiadi K Puspijak<br />
21 Magdalena Puspijak<br />
22 Sulistya Ekawati Puspijak<br />
23 Iwan Hilwan Falutan IPB<br />
24 Rachman E Puspijak<br />
25 Yoppy Hidayanto Burung Indonesia<br />
26 Asep Sugiharti PJLKKAL<br />
Daftar Hadir
No. Nama Instansi/Bagian<br />
27 Deazy R Dt.wp3h<br />
28 M. Zahrul Muttazin Puspijak<br />
29 Dewi Ratna K.S Puspijak<br />
30 Diah Zuhriana BDK Bogor<br />
31 Agus Asthop BPTPTH Bogor<br />
32 Fentie Salaka Puspijak<br />
33 Efrian M Kehati<br />
34 Nyoman Dundun Marubeni Corp<br />
35 Asep Mulyana Yayasan Pusat<br />
36 Retno Maryani Puspijak<br />
37 Siti Nurjanah Proyek FS<br />
38 Yanto Puspijak<br />
39 Wahyuningsih Puspijak<br />
40 Niken S Puspijak<br />
41 Epi S Puspijak<br />
42 RM.Mulyadin Puspijak<br />
43 Mulyaningrum SITH-ITB<br />
44 Jusmy Punhena PSL-IPB<br />
45 Aneka PS Puspijak<br />
46 Lis Alviya Puspijak<br />
47 Jajang Puspijak<br />
48 Ratna W Puspijak<br />
49 Virni Budi A Puspijak<br />
50 Leni Wulandari Puspijak<br />
51 R. Su Puspijak<br />
52 Rieka Ayu W RCPF<br />
53 Gamma Galudva ICRAF<br />
54 Putra Agung ICRAF<br />
55 Endang Savini Puspijak<br />
56 Jerman Puspijak<br />
57 Tigor B Puspijak<br />
58 Mega L Puspijak<br />
Prosiding<br />
Workshop Kerjasama Internasional<br />
89
90<br />
No. Nama Instansi/Bagian<br />
59 Yuli R Puspijak<br />
60 Untung Firdaus Puspijak<br />
61 Al ddin Puspijak<br />
62 Bayu Subekti Puspijak<br />
63 Deden Puspijak<br />
64 Fitri Nurfatriani Puspijak<br />
65 Gentini Puspijak<br />
66 Ellis Zuasi<br />
67 Surati Puspijak<br />
68 Kus Puspijak<br />
69 Galih K.S Puspijak<br />
70 Ismatul H Puspijak<br />
71 Novia Widyaningtyas Pustanling<br />
72 Sulistya AS Puspijak<br />
73 Agus Mahdar Puspijak<br />
74 Budi Puspijak<br />
75 Fullki Hendrawan Puspijak<br />
Daftar Hadir
Workshop<br />
KEMENTERIAN KEHUTANAN<br />
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN<br />
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />
PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN<br />
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Indonesia<br />
Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924<br />
Email: publikasipuspijak@yahoo.co.id; website: http://www.puspijak.org<br />
ISBN: 978-602-7672-13-0<br />
9 786027 672130