29.03.2013 Views

W o r k s h o p - FORDA - Badan Litbang Kehutanan

W o r k s h o p - FORDA - Badan Litbang Kehutanan

W o r k s h o p - FORDA - Badan Litbang Kehutanan

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Workshop<br />

Ari Wibowo<br />

Setiasih Irawanti<br />

Zahrul Muttaqin<br />

Subarudi<br />

Fitri Nurfatriani<br />

Niken Sakuntaladewi<br />

Novi Widyaningtyas<br />

Sulistyo A. Siran<br />

Jakarta, November 2012


Jakarta, Oktober 2011<br />

KEMENTERIAN KEHUTANAN<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN<br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />

PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN<br />

Jakarta, November 2012<br />

Ari Wibowo<br />

Setiasih Irawanti<br />

Zahrul Muttaqin<br />

Subarudi<br />

Fitri Nurfatriani<br />

Niken Sakuntaladewi<br />

Novi Widyaningtyas<br />

Sulistyo A. Siran


Prosiding Workshop Kerjasama Internasional<br />

Oleh:<br />

Ari Wibowo, Setiasih Irawanti, Zahrul Muttaqin, Subarudi, Fitri Nurfatriani,<br />

Niken Sakuntaladewi, Novi Widyaningtyas dan Sulistyo A. Siran<br />

Editor:<br />

Sulistyo A. Siran<br />

Bayu Subekti<br />

© 2012 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,<br />

<strong>Badan</strong> Penelitian dan Pengembangan <strong>Kehutanan</strong><br />

ISBN: 978-602-7672-13-0<br />

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang<br />

Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy,<br />

cetak, mikro lm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan<br />

atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut:<br />

Ari Wibowo, Setiasih Irawanti, Zahrul Muttaqin, Subarudi, Fitri Nurfatriani, Niken<br />

Sakuntaladewi, Novi Widyaningtyas dan Sulistyo A. Siran. 2012. Prosiding Workshop<br />

Kerjasama Internasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan<br />

Kebijakan, <strong>Badan</strong> Penelitian dan Pengembangan <strong>Kehutanan</strong>, Bogor, Indonesia.<br />

Diterbitkan oleh:<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, <strong>Badan</strong> Penelitian dan<br />

Pengembangan <strong>Kehutanan</strong> – Kementerian <strong>Kehutanan</strong><br />

Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Indonesia<br />

Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924<br />

Email: publikasipuspijak@yahoo.co.id; website: http://www.puspijak.org<br />

ii


Kata Pengantar<br />

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena atas berkat dan<br />

karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan prosiding Workshop Kerjasama<br />

Internasional ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, bagi lembaga litbang seperti<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak),<br />

kegiatan kerjasama litbang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari strategi<br />

untuk memperluas jejaring kerja dan meningkatkan kualitas kegiatan litbang. Tanpa<br />

kerjasama dengan institusi lain, lembaga litbang akan teralienasi dari kemajuan ilmu<br />

pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat.<br />

Dilandasi oleh hal tersebut, Puspijak melaksanakan kegiatan workshop Kerjasama<br />

Internasional pada tanggal 5 November 2012 di IPB-International Convention Centre.<br />

Workshop bertujuan untuk memperoleh masukan berupa saran dan kritik membangun<br />

dalam rangka meningkatkan kualitas litbang hasil kerjasama dan mengoptimalkan<br />

pemanfaatannya oleh masyarakat pengguna.<br />

Prosiding yang ada di hadapan saudara merekam kegiatan yang dillaksanakan<br />

oleh proyek kerjasama internasional sepanjang tahun 2012 dimana Puspijak menjadi<br />

executing agencynya. Akhirul kalam semoga prosiding ini dapat memberikan manfaat<br />

bagi kita semua dalam memajukan kegiatan litbang utamanya aktivitas litbang<br />

perubahan iklim dan kebijakan di indonesia.<br />

Bogor, November 2012<br />

Kepala Pusat,<br />

Dr. Kirs anti L. Ginoga, MSc.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

iii


Daftar Isi<br />

Kata Pengantar .................................................................................................iii<br />

Daftar Isi ............................................................................................................. v<br />

Sambutan Kepala Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan Kebijakan ..............vii<br />

1. Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru<br />

Betiri, Jawa Timur ITTO PD 519/08 rev (1)<br />

Ari Wibowo ..................................................................................................... 1<br />

2. Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry<br />

in Indonesia Project Overview: ACIAR- FST/2008/030<br />

Setiasih Irawanti ..............................................................................................13<br />

3. Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong><br />

untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan<br />

(REDD+): Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian<br />

<strong>Kehutanan</strong> FST/2007/052<br />

Zahrul Muttaqin, Subarudi dan Fitri Nurfatriani ..............................................41<br />

4. REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank)<br />

Forest Carbon Partnership Facility<br />

Niken Sakuntaladewi<br />

Novi Widyaningtyas........................................................................................53<br />

5. Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study<br />

on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia<br />

Sulistyo A. Siran ..............................................................................................61<br />

Notulensi ........................................................................................................... 76<br />

Daftar Hadir ..................................................................................................... 88<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

v


SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM<br />

DAN KEBIJAKAN<br />

PADA<br />

WORKSHOP KERJASAMA INTERNASIONAL<br />

BOGOR, 5 NOVEMBER 2012<br />

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,<br />

Selamat Pagi, Salam sejahtera bagi kita sekalian<br />

Yth. Kepala Puslitbang Lingkup <strong>Badan</strong> <strong>Litbang</strong> <strong>Kehutanan</strong> atau yang mewakili,<br />

Yth. Saudara-saudara peneliti, penyuluh kehutanan, widyaiswara, perwakilan dari<br />

perguruan tinggi, sahabat-sahabat dari lembaga swadaya masyarakat dan hadirin<br />

sekalian<br />

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadlirat Allah SWT karena hanya<br />

atas perkenan-Nya sajalah kita dapat hadir dan berkumpul pada kesempatan yang<br />

berbahagia ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, penelitian dan pengembangan<br />

adalah bagian penting dari sebuah organisasi, baik organisasi public maupun<br />

komersial. Banyak organisasi bisnis maupun publik mengalami quantum leap karena<br />

menempatkan litbang pada posisi yang strategis. Misalnya perusahaan-perusahaan<br />

IT seperti Apple dan Microsoft serta Korea Selatan, sebuah negara yang bergerak<br />

cepat dari negara berpendapat rendah pada dekade 60-an menjadi negara industri<br />

maju di era 2000-an karena menempatkan litbang sebagai bagian utuh dari strategi<br />

pembangunan nasionalnya.<br />

Bapak/Ibu peserta workshop Kerjasama Internasional yang saya hormati...<br />

Kementerian <strong>Kehutanan</strong> sebagai salah satu pemangku kepentingan pengelolaan<br />

dan pembangunan kehutanan menyadari sepenuhnya bahwa penelitian dan<br />

pengembangan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi pembangunan<br />

kehutanan nasional. Kerjasama dengan institusi kelitbangan lain, tidak hanya<br />

memberikan dukungan pendanaan, namun lebih dari itu Puspijak juga memperoleh<br />

manfaat berupa terbangunnya jejaring kerja/networking dan akses terhadap berbagai<br />

isu dan akti tas litbang kehutanan terkini yang mungkin masih merupakan suatu ilmu<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

vii


atau teknologi yang baru di tingkatan nasional dan internasional yang dapat di”share”<br />

dan di”learning by doing”, selain exchange of knowledge and skills antar peneliti.<br />

Bapak/Ibu peserta hadirin sekalian yang berbahagia...<br />

Strategi Puspijak dalam pengembangan kerjasama adalah menjalin kemitraan<br />

dengan institusi kelitbangan terkemuka yang bergerak dalam bidang perubahan iklim<br />

dan kebijakan dalam rangka membangun jejaring kerja seluas mungkin. Sampai dengan<br />

saat ini, sebagai executing agency, Puspijak mengelola empat kegiatan kerjasama yang<br />

masih berjalan / on going, yaitu :<br />

1. Tropical Forest Conservation For Reducing Emission From Deforestation and Forest<br />

Degradation And Enhancing Carbon Stock In Meru Betiri National Park, Indonesia<br />

bekerjasama dengan ITTO, 7&1, Telapak, dan TN Meru Betiri<br />

2. Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce Emissions<br />

from Deforestation and Forest Degradation (REDD)-ACIAR bekerjasama dengan<br />

ACIAR, Australia National University, dan CIFOR<br />

3. Overcoming Constrains to Community Based Commercial Forestry in Indonesia-<br />

ACIAR bekerjasama dengan dengan ACIAR, UGM dan BPK Makassar.<br />

4. REDD+ Readiness Preparation TF 99721 ID (FCPF/World Bank) bekerjasama<br />

dengan World-Bank, Pustanling <strong>Kehutanan</strong> dan Dewan <strong>Kehutanan</strong> Nasional.<br />

Satu kegiatan lagi yaitu, Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan-<br />

ITTO/Marubeni kerjasama dengan ITTO baru saja selesai dan akan diperpanjang<br />

dengan fase III yang berdasarkan MoU akan berlangsung dari September 2012 sampai<br />

dengan Maret 2013. Satu kegiatan lagi yang baru saja bergabung dengan Puspijak<br />

adalah kerjasama Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) yang akan<br />

berlangsung sampai dengan tahun 2014.<br />

Saudara-saudara, hadirin yang kami hormati....<br />

Kelima kegiatan kerjasama yang sedang berjalan maupun yang baru saja selesai<br />

telah banyak memberikan kontribusi dalam kegiatan litbang perubahan iklim dan<br />

kebijakan. Dari kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut telah dilaksanakan beberapa<br />

lokakarya, pelatihan dan seminar yang merupakan turunan dari upaya transfer dan<br />

exchange of knowledge and technology dan penguatan kapasitas sebagai bagian dari<br />

tujuan diadakannya kerjasama tersebut.<br />

Namun lebih dari itu semua, Puspijak memandang perlu untuk dilakukan<br />

diseminasi atau penyebarluasan lebih lanjut terhadap berbagai kemajuan/progres<br />

yang telah dicapai oleh kegiatan-kegiatan kerjasama tersebut. Kegiatan diseminasi ini<br />

viii


penting karena selain untuk menyebarluaskan hasil litbang dari kegiatan kerjasama<br />

ini juga untuk memperoleh umpan balik untuk perbaikan ke depan. Masukan ini<br />

diharapkan akan lebih mempertajam hasil-hasil litbang dari kegiatan kerjasama sesuai<br />

dengan kebutuhan pengguna.<br />

Bapak/Ibu peserta hadiri sekalian yang berbahagia...<br />

Akhirul kalam, kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak/Ibu/<br />

Saudara untuk bersama-sama berdiskusi dan berbagi pengetahuan dalam workshop<br />

kerjasama ini. Saran masukan dan kritik untuk perbaikan dari hadirin sekalian sangat<br />

kami harapkan.<br />

Semoga kegiatan hari ini dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan mulia<br />

dari kegiatan dari kegiatan ini dapat tercapai dan kita rasakan hasilnya di masa yang<br />

akan datang.<br />

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.<br />

Kepala PUSPIJAK,<br />

Dr. Kirs anti Ginoga, MSc.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

ix


Demonstration Activity (DA) REDD+ di<br />

Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur<br />

ITTO PD 519/08 rev (1)<br />

Ari Wibowo


1.1 Latar Belakang<br />

1. Pendahuluan<br />

Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Sektor<br />

<strong>Kehutanan</strong> adalah salah satu sektor penting yang berkontribusi terhadap emisi gas<br />

rumah kaca (GRK). Di tingkat global, laporan Stern (2007) menyebutkan kontribusi<br />

sektor perubahan penutupan lahan dan kehutanan (LULUCF) sebesar 18%, sedangkan<br />

di Indonesia, sektor LULUCF adalah yang terbesar yaitu 48% dari total emisi nasional<br />

(KLH, 2009). Untuk itu Indonesia mencanangkan target penurunan emisi sebesar<br />

26% pada tahun 2020, dengan kontribusi sektor kehutanan ditetapkan sebesar 14%.<br />

Upaya penurunan emisi sektor kehutanan dapat dilakukan dengan berbagai cara.<br />

Pada prinsipnya adalah pengurangan emisi dengan menjaga dan mempertahankan stok<br />

karbon yang ada serta meningkatkan serapan melalui berbagai program pembangunan<br />

hutan tanaman. Salah satu mekanisme pengurangan emisi yang sedang dikembangkan<br />

adalah mekanisme REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation<br />

Plus). REDD+ adalah istilah yang mengacu pada Bali Action Plan yaitu 'pendekatan<br />

kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi<br />

dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang; dan peran<br />

konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara<br />

berkembang’. Mekanisme ini diharapkan dapat diimplementasikan penuh sesudah<br />

berakhirnya periode Kyoto Protocol. Agar hasil penurunan emisi mekanime REDD+<br />

dapat diperjual belikan melalui mekanisme pasar, monitoring penurunan emisi haruslah<br />

dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi kaidah internasional, dan bersifat MRV<br />

(Measurable, Reportable dan Veri able).<br />

Indonesia adalah salah satu negara dengan hutan tropis terbesar. Salah satu<br />

kontribusi terhadap isu global adalah melalui perannya dalam mengurangi emisi Gas<br />

Rumah Kaca (GRK) dan meningkatkan persediaan karbon hutan melalui konservasi<br />

hutan yang mekanismenya ditingkat global sedang dibangun melalui kegiatan REDD+.<br />

Hal ini didukung oleh luasnya hutan konservasi di Indonesia yang mencapai 26,8 juta<br />

ha, terdiri dari Taman Nasional, Cagar Alam, dan Hutan Rekreasi.<br />

Sebagian besar hutan konservasi termasuk Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)<br />

yang terletak di bagian selatan Jawa Timur mendapat ancaman potensial dari deforestasi<br />

dan degradasi hutan.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

3


Meskipun tidak terjadi deforestasi yang terencana, pembalakan liar dan perambahan<br />

adalah ancaman bagi kelestarian kawasan konservasi. Mekanisme REDD+ untuk<br />

mengurangi deforestasi dan degradasi hutan akan memiliki banyak manfaat. Disamping<br />

mempertahankan stok karbon yang mencegah terjadinya emisi, dampak positif lainnya<br />

adalah terhadap kelestarian keanekaragaman hayati dan menunjang pembangunan<br />

berkelanjutan melalui peran serta masyarakat.<br />

1.2 Tujuan Kegiatan<br />

Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk memberikan kontribusi dalamn<br />

pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan meningkatkan cadangan<br />

karbon hutan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi dan<br />

pengelolaan MBNP. Tujuan khusus adalah: (1) untuk meningkatkan mata pencaharian<br />

masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar areal TNMB melalui partisipasi<br />

dalam menghindari deforestasi, degradasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, dan<br />

(2) untuk mengembangkan pengukuran yang kredibel, dapat dilaporkan, dan sistem<br />

diveri kasi untuk memantau pengurangan emisi dari deforestasi dan deg radasi hutan<br />

dan peningkatan cadangan karbon hutan di TNMB.<br />

2.1 Lokasi DA REDD+<br />

2. Kondisi Umum Taman Nasional Meru Betiri<br />

Lokasi kegiatan percontohan REDD+ adalah Taman Nasional Meru Betiri<br />

(TNMB) yang terletak di bagian selatan Jawa Timur. TNMB meliputi dua wilayah<br />

kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi. Luas total Taman Nasional adalah ± 58.000<br />

ha yang terdiri dari berbagai tipe vegetasi dari pegunungan sampai ke daerah pesisir.<br />

TNMB kaya keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat sekitar hutan yang<br />

memberikan dampak positif dan negatif terhadap kelestarian hutan.<br />

4<br />

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)


Gambar 1. Lokasi TNMB di Jawa Timur<br />

2.2 Luas dan Zona di TNMB<br />

TNMB memiliki luas 58.000 ha dan terletak di bagian selatan Provinsi Jawa<br />

Timur dan berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan aksesibilitas<br />

relatif tinggi. Kondisi topogra sangat bervariasi mulai dari daerah perbukitan, dataran<br />

rendah, pantai dan mangrove yang menghadap ke Samudera Hindia.<br />

Kawasan Taman Nasional merupakan ekosistem hutan hujan tropis dengan<br />

keanekaragaman ora dan fauna yang tinggi (lebih dari 500 jenis vegetasi telah<br />

diidenti kasi), seperti tanaman obat, tanaman hias, bambu serta berbagai hewan<br />

kecil dan yang relatif besar.<br />

Dalam hal fungsi, TNMB dibagi menjadi 5 zona, yaitu zona inti, zona hutan<br />

utuh, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi dan zona penyangga. Setiap zona dikelola<br />

secara khusus berdasarkan fungsi spesi k. Zona inti dengan luas wilayah 27,900<br />

ha merupakan kawasan lindung dan hanya diperbolehkan untuk penelitian dan<br />

pendidikan. Zona hutan dengan total luas 22,622 ha diperbolehkan untuk penelitian<br />

dan pendidikan, pemanfaatan terbatas untuk ekowisata.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

5


Zona Pemanfaatan dengan luas total 1,285 ha selain untuk penelitian dan pendidikan,<br />

juga untuk pemanfaatan berkelanjutan pada dataran tinggi dan pesisir yaitu untuk<br />

ekowisata. Zona rehabilitasi dengan luas wilayah 4,023 ha adalah zona di mana<br />

rehabilitasi hutan dan lahan (agro-kehutanan budidaya) melibatkan masyarakat<br />

lokal sedang berlangsung untuk memperkuat dan melindungi zona lain. Kegiatan<br />

rehabilitasi dilakukan di daerah ini untuk memulihkan tutupan hutan dari pembalakan<br />

ilegal, konversi dan budidaya sejak awal 1990-an. Rehabilitasi dilakukan berdasarkan<br />

prinsip saling menguntungkan antara TNMB dan masyarakat dengan mengembangkan<br />

sistem agroforestry.<br />

2.3 Aspek lingkungan<br />

Tipe hutan di Taman Nasional Meru Betiri adalah hutan mangrove, hutan rawa,<br />

dan hutan hujan dataran rendah. TNMB merupakan habitat alami dari bunga Raf esia<br />

(Raf esia zollingeriana), dan berbagai vegetasi lainnya seperti bakau (Rhizophora<br />

sp.), Api-api (Avicennia sp.), waru (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (Calophyllum<br />

inophyllum), Rengas (Gluta renghas), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Pulai (Alstonia<br />

scholaris), Bendo (Artocarpus elasticus), serta berbagai jenis tanaman obat. TNMB juga<br />

merupakan rumah bagi beberapa satwa yang dilindungi, termasuk 29 jenis mamalia<br />

dan 180 jenis burung. TNMB dikenal sebagai habitat terakhir Harimau Jawa (Panthera<br />

tigris sondaica) yang sekarang menjadi sangat terancam punah dan merupakan jenis<br />

yang dilindungi. Jejak harimau ini tidak ditemukan lagi selama bertahun-tahun<br />

sehingga dikhawatirkan telah punah.<br />

TNMB juga memiliki karakteristik lainnya yaitu penyu. Pantai Sukamade<br />

merupakan habitat dari berbagai jenis penyu seperti penyu belimbing, penyu sisik,<br />

dan penyu hijau. Fasilitas penangkaran sederhana telah dibangun di pantai ini untuk<br />

memastikan bahwa penyu tersebut tidak menjadi punah<br />

2.4 Aspek Sosial Ekonomi<br />

TNMB berada di dua kabupaten yaitu Jember dan Banyuwangi dengan jumlah<br />

desa yang langsung berbatasan dengan kawasan Taman 11-12 desa dan jumlah<br />

penduduk 23,800. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di desa-desa ini adalah petani<br />

subsisten dan buruh dalam kegiatan yang berhubungan dengan pertanian. Rata-rata<br />

pendapatan masyarakat sangat rendah, sekitar UD $ 150 per tahun. Untuk mendukung<br />

kehidupan sehari-hari, sebagian besar anggota masyarakat mencari sumber pendapatan<br />

alternatif, dan sering melakukan penebangan di kawasan Taman Nasional, baik untuk<br />

6<br />

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)


kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu. Beberapa anggota masyarakat juga bekerja di<br />

TNMB untuk kegiatan rehabilitasi sebagai sumber pendapatan tambahan. Peningkatan<br />

jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya ketergantungan masyarakat pada<br />

sumber daya yang disediakan dari TNMB.<br />

TNMB sebagaimana kawasan hutan lainnya, juga menghadapi ancaman serius<br />

yang menyebabkan degradasi dan mengurangi nilai dari fungsi ekosistem termasuk<br />

perannya dalam penyerapan karbon dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Penyebab<br />

utama ancaman (terutama degradasi hutan) adalah penebangan liar dan perambahan.<br />

Penebangan liar kayu dan non-kayu hasil hutan dari taman nasional sebagian besar<br />

karena masih lemahnya upaya penegakan hukum, kurangnya kesadaran masyarakat<br />

tentang fungsi hutan dan tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kemiskinan dan<br />

kurangnya sumber pendapatan. Situasi ini, secara langsung atau tidak langsung,<br />

memberikan kontribusi terhadap potensi degradasi dari kawasan Taman Nasional.<br />

3. Pelaksanaan DA REDD+ di TNMB<br />

Kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Merubetiri secara resmi telah di<br />

“launching” oleh Menteri <strong>Kehutanan</strong> pada bulan Januari tahun 2010. Saat ini kegiatan<br />

DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri sedang dalam proses register oleh<br />

Direktorat Jenderal PHKA bersama-sama dengan DA di Taman Nasional lainnya,<br />

yaitu TN Sebangau, Tesso Nilo dan Berbak. DA REDD+ di TNMB merupakan<br />

salah satu dari DA REDD di Indonesia yang mewakili kawasan konservasi. Kegiatan<br />

ini sangat mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah<br />

perubahan iklim melalui target penurunan emisi 26 % tahun 2020, sebagai kontribusi<br />

upaya mitigasi dari sektor kehutanan<br />

Jangka waktu implementasi kegiatan 4 tahun (2010-2013) dengan Executing<br />

Agency <strong>Badan</strong> <strong>Litbang</strong> <strong>Kehutanan</strong> melalui Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan<br />

Kebijakan bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Meru Betiri dan LATIN.<br />

Kegiatan percontohan REDD+ di TNMB dibiayai oleh ITTO (PD 519/08 Rev<br />

1 (F), dengan kontribusi dari Perusahaan Jepang, Seven and i Holdings Company.<br />

Nilai kegiatan (hibah) adalah sebesar US$ 814.590<br />

Kegiatan dilakukan untuk mencapai tujuan yaitu terkait dengan upaya<br />

peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, dan kegiatan yang mendukung<br />

tercapainya peningkatan kapasitas dalam persediaan sumber daya dasar dan akuntansi<br />

karbon dalam terukur, dilaporkan dan dapat diveri kasi (MRV). Jenis dan tata waktu<br />

kegiatan adalah sebagai berikut:<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

7


Tabel 1. Kegiatan DA REDD+ di TNMB dan tata waktu<br />

Kegiatan Utama/Kegiatan Tata Waktu<br />

Upaya peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat<br />

1. Mengkaji skema yang ada dan pembelajaran dari daerah sekitar<br />

2010<br />

2. Melakukan konsultasi parapihak untuk mengidenti kasi skema yang paling 2010<br />

layak untuk TNMB<br />

3. Menetapkan kemitraan untuk konservasi Taman Nasional Meru Betiri<br />

2011<br />

4. Meningkatkan kegiatan ekonomi potensial melalui program kemitraan 2011<br />

komunitas hutan<br />

5. Mempromosikan pengembangan dan domestikasi jenis berharga dari TNMB 2011<br />

6. Melaksanakan program peningkatan kesadaran masyarakat<br />

2011-2013<br />

7. Melakukan pelatihan perlindungan hutan untuk tokoh masyarakat, polisi dan 2010<br />

staf pemerintah lokal lainnya di TNMB<br />

8. Meningkatkan kelembagaan di tingkat masyarakat untuk mengurangi 2011-2013<br />

penebangan liar dan memberdayakan mereka<br />

9. Scaling up pembelajaran DA REDD+<br />

2012<br />

10. Perencanaan program penanaman di zona rehabilitasi oleh masyarakat<br />

2012<br />

Kegiatan yang mendukung tercapainya peningkatan kapasitas dalam<br />

inventarisasi sumber daya dan akuntansi karbon yang dapat diukur, dilaporkan<br />

dan diveri kasi (MRV)<br />

1. Mengkaji metodologi yang tersedia untuk penghitungan karbon menurut 2010-2011<br />

IPCC, VCS dan standar lainnya<br />

2. Mengembangkan prosedur operasi standar (SOP) untuk pengukuran bidang 2011<br />

karbon dan keanekaragaman hayati<br />

3. Menyiapkan petunjuk teknis penyelenggraan DA REDD+ untuk kawasan 2012<br />

konservasi<br />

4. Menentukan batas proyek untuk memfasilitasi pengukuran dan pemantauan 2010<br />

cadangan karbon<br />

5. Menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan tentang inventarisasi berbasis 2011<br />

sumber daya bagi para pemangku kepentingan terkait<br />

6. Menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan tentang penghitungan karbon 2010<br />

bagi para pemangku kepentingan terkait<br />

7. Melakukan analisis penginderaan jauh untuk menentukan perubahan 2011-2012<br />

penutup dalam taman nasional<br />

8. Menetapkan baseline proyek untuk menganalisis penggunaan lahan dan 2011-2012<br />

perubahan tutupan lahan dan perubahan karbon terkait saham<br />

9. Pelaksanaan pembuatan Dokumen Desain Proyek (PDD) sesuai dengan 2012<br />

standar karbon sukarela (VCS)<br />

10. Rencana validasi/veri kasi<br />

2013<br />

Selama pelaksanaan REDD DA, kegiatan sosialisasi telah dilaksanakan. Jaringan<br />

telah dikembangkan melalui:<br />

1. Website: Http :/ / ceserf-itto.puslitsosekhut.web.id<br />

2. Mailing list: redd_forda_itto@yahoogroups.com<br />

3. Video : http://library.forda-mof.org/libforda/ les/mbnp redd+.mpg<br />

4. Berbagai publikasi telah dihasilkan, yaitu: Brief Info (Bulanan), Laporan foto,<br />

Laporan Teknis, Laporan Tahunan, Policy Brief<br />

5. Lea et, poster, pam et, selebaran, dll<br />

8<br />

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)


Kegiatan DA REDD + di TNMB telah memberikan pembelajaran dan<br />

disebarluaskan melalui berbagai pertemuan, lokakarya, seminar dan acara lainnya.<br />

Kegiatan ini juga menarik minat tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari negara<br />

lain untuk melihat TNMB dan implementasi REDD, termasuk kunjungan dari Korea<br />

University, Delegasi Thailand, kunjungan Deperindag Jepang <strong>Kehutanan</strong>, dan Tim<br />

dari University Washington, Amerika Serikat dan Universitas Indonesia.<br />

Untuk Rancangan Metodologi, sampai dengan tahun 2012, sedang disiapkan<br />

Project Design Document (PDD) yang mengacu kepada Veri ed Carbon Standard<br />

(VCS), dengan mengaplikasikan metodologi yang tersedia menurut VCS yaitu VM0015<br />

for Avoided Unplanned Deforestation<br />

4. Pembelajaran<br />

DA REDD+ di TNMB merupakan kegiatan percontohan sebagai pembelajaran<br />

terhadap mekanisme REDD sebelum diimplementasikan secara penuh. Kegiatan ini<br />

mendukung peningkatan pengelolaan kawasan konservasi yang lestari. Pengelolaan<br />

yang meningkat akan ditandai dengan perbaikan fungsi ekosistem hutan, perbaikan<br />

partisipasi masyarakat serta pemangku kepentingan lainnya dan peningkatkan<br />

kesejahteraan masyarakat. Pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan REDD di<br />

TNMB dalam rangka perbaikan penerapan REDD+ diantaranya, adalah sebagai<br />

berikut:<br />

1. Masyarakat di sekitar TNMB merupakan parapihak yang penting dalam<br />

pelaksanaan program REDD+. Mereka telah menunjukkan keinginan dan<br />

partisipasi yang baik dalam menjalankan program REDD+. Untuk itu, masyarakat<br />

memerlukan kepastian jangka panjang dalam menjalankan kegiatannya terutama<br />

di zona rehabilitasi TNMN. Nota kesepahaman yang telah disepakati menjadi<br />

awal dari berlangsungnya kerjasama yang baik antara masyarakat dan TNMB<br />

demi keuntungan kedua belah pihak.<br />

2. Meskipun mekanisme wajib melalui perundingan COP belum memberikan hasil<br />

yang nyata dalam mekanisme REDD+, mekanisme sukarela seperti VCS, CCBA<br />

dan Plan Vivo telah berkembang yang dapat menjadi kesempatan bagi program<br />

REDD+ di Indonesia. Selain itu mekanisme “fund based” seperti “Carbon Offset<br />

Mechanism” dapat menjadi alternatif insentif untuk kawasan konservasi. Saat<br />

ini kegiatan DA REDD+ di TNMB sedang menyiapkan PDD (Project Desugn<br />

Document) yang mengacu kepada Veri ed Carbon Standard (VCS)<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

9


3. Program REDD+ di TNMB telah memberikan pembelajaran dan informasi tentang<br />

potensi karbon di kawasan konservasi dan mengembangkan sistem perhitungan<br />

karbon dan emisi yang dapat diukur, dilaporkan dan diveri kasi (MRV). Hutan<br />

pada kawasan konservasi di TNMB relatif pada kondisi yang baik, tinggi tingkat<br />

kadungan karbon dan memiliki nilai biodiversitas penting<br />

4. Mekanisme REDD+ yang sedang dikembangkan sepertinya lebih memberikan<br />

keuntungan pada wilayah dengan tingkat sejarah deforestasi atau emisi yang tinggi,<br />

sehingga merupakan tantangan dan proses pembelajaran untuk REDD+ di wilayah<br />

konservasi dengan tingkat deforestasi rendah dan nilai konservasi (biodiversitas)<br />

tinggi. Mekanisme insentif dan penghargaan seharusnya diupayakan untuk<br />

wilayah yang telah mengupayakan konservasi dengan baik.<br />

5. Dengan adanya kegiatan DA REDD+ telah terjalin kolaborasi antar stakeholders<br />

(Kemenhut, BTNMB, Pemda, NGO, Perguruan Tinggi, Swasta dll)<br />

Tantangan yang dihadapi dalam implementasi kegiatan DA REDD+ diantaranya<br />

adalah:<br />

1. Kegiatan REDD+ di TNMB ini terutama berkaitan dengan pemberdayaan<br />

masyarakat dan penguatan kelembagaan dalam pengelolaan MBNP untuk<br />

mendukung tujuan konservasi. Potensi risiko yang mungkin muncul adalah dari<br />

kon ik kepentingan antara masyarakat lokal dan pengelolaan TNMB, terutama<br />

dalam pemanfaatan lahan di TNMB. Kon ik kepentingan ini dapat mengakibatkan<br />

berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan.<br />

2. Risiko potensial lain adalah berhubungan dengan pengembangan sistem yang<br />

kredibel untuk memonitor pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan<br />

dan untuk meningkatkan cadangan karbon hutan. Dalam rangka pengembangan<br />

sistem yang kredibel berbagai metodologi tersedia untuk perhitungan dan<br />

pemantauan cadangan karbon, seperti yang dikembangkan oleh Inter-Governmental<br />

Panel on Climate Change (IPCC). Selain itu beberapa standard sukarela juga<br />

tersedia misalnya Veri ed Carbon Standard (VCS) dan Climate and Community<br />

Biodiversity Alliance (CCBA). Berbagai standard ini masih mengutamakan<br />

penurunan emisi sebagai target utama, sedangkan peran konservasi (biodiversity)<br />

dan masyarakat masih merupakan manfaat tambahan (co-bene ts). Rendahnya<br />

sejarah emisi akan mengurangi nilai tambah (additionallity) dari kegiatan ini, dan<br />

sulit untuk mendapatkan insentif dari pasar sukarela.<br />

3. Kegiatan berakhir 2013, diperlukan keberlanjutan pasca ITTO, apakah selesai<br />

sebagai DA pembelajaran atau terus dilaksanakan sebagai “result based DA”.<br />

10<br />

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)


4. Scaling Up<br />

Registrasi dan upaya Dijen PHKA dengan menyiapkan Draft PerdirjenBersamasama<br />

dengan TN Sebangau, Tesso Nilo, dan Berbak<br />

5. Penutup<br />

1. DA REDD+ di TNMB merupakan DA yang mewakili kawasan konservasi yang<br />

dilaksanakan oleh multistakeholder dan kontribusi dari internasional (ITTO dan<br />

Seven and i) terhadap kelestarian hutan tropis<br />

2. Tantangan dan proses belajar untuk REDD+ di kawasan konservasi dengan tingkat<br />

deforestasi rendah dan kaya akan nilai konservasi . Hutan di TNMB umumnya<br />

masih dalam kondisi baik, kaya biodiversitas dan stok karbon.<br />

3. Masyarakat adalah komponen penting dalam REDD+. Kesuksesan tergantung<br />

juga pada partisipasi dan kesadaran masyarakat. REDD+ harus memberikan<br />

manfaat jangka pendek dan jangka panjang. Masyarakat memerlukan kepastian<br />

hukum jangka panjang untuk kegiatan yang berhubungan dengan TNMB.<br />

4. Kegiatan DA telah menghasilkan informasi stok karbon di TNMB sebagai kawasan<br />

konservasi, sistem MRV untuk memonitor stok karbon dan biodiversitas serta<br />

keterlibatan masyarakat sebagai masukan untuk sistem nasional dan program<br />

REDD lainnya.<br />

5. DA REDD+ telah mengikuti prosedur VCS dengan menyiapkan PDD. Untuk<br />

itu perlu didukung dengan keberlanjutan kegiatan setelah berakhirnya kegiatan<br />

ITTO pada tahun 2013.<br />

Daftar Publikasi Project ITTO PD 519/08 Rev (1) F<br />

1. Review existing scemes and lesson learned from surrounding areas<br />

2. Stakeholder consultation to determine the most viable scheme of community and<br />

other stakeholders to be applied at MBNP<br />

3. Determination of project boundary to facilitate measuring and monitoring of<br />

carbon stocks<br />

4. Review existing methodology of resourcebased inventory for measuring reporting<br />

and verivying (MRV) carbon accounting for reducing emission from deforestation<br />

and forest degradation and enhancing carbon stock in Meru Betiri National Park<br />

(MBNP), Indonesia<br />

5. Standard Operating Procedures (SOPs) for Field Measurement<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

11


6. Mengembangkan konservasi berdasarkan Industri dari Zona rehabilitasi di Taman<br />

nasional Meru Betiri<br />

7. The Completion of GIS Analysis Activity in Meru Betiri National Park<br />

8. aporan Pelatihan Pelibatan Masyarakat dalam Pengukuran, Pelaporan, dan<br />

Veri kasi perubahan cadangan karbon di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)<br />

9. landcover change analysis using remote sensing and GIS<br />

10. Progress Of Demonstration Activity Of REDD+ In Meru Betiri Nasional Park,<br />

Indonesia Up To 2011<br />

11. Developing Partnership for Conservation at Meru Betiri National Park<br />

12. Review on Methodology of voluntary carbon standards for application of REDD+<br />

Project in Meru Betiri National Park, East Java<br />

13. Analysis of Land Use, Land Cover Change and the Association Carbon Stock<br />

Change to Establish Project Baseline<br />

14. Review tentang Illegal Logging sebagai ancaman terhadap sumberdaya hutan<br />

dan implementasi kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi<br />

(REDD+) di Indonesia<br />

15. Standard Operational Procedure for Biodiversity Survey in Conservation Area<br />

16. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman Jenis Pada Kawasan<br />

Konservasi<br />

17. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Pengukuran Stock Karbon di Kawasan<br />

Konservasi<br />

18. Pelatihan Inventarisasi Sumber Daya Petani<br />

19. Potensi Karbon di Taman Nasional Meru Betiri<br />

20. Meningkatkan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat untuk Mengatasi<br />

Masalah Penebangan Liar di TNMB<br />

21. Hutan, Perubahan Iklim dan REDD+ (bahan penyuluhan ke sekolah dasar/<br />

menengah)<br />

22. Informasi Teknis Pelaksanaan Kegiatan Da REDD+ Di Kawasan Konservasi<br />

12<br />

Demonstration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa TimurITTO PD 519/08 rev (1)


Overcoming Constraints to Community-<br />

Based Commercial Forestry in Indonesia<br />

Project Overview: ACIAR- FST/2008/030<br />

Setiasih Irawanti


Abstrak<br />

Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya<br />

(23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Sementara itu<br />

penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri skala<br />

besar, namun sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan<br />

mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Apakah <strong>Kehutanan</strong><br />

Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) merupakan strategi kebijakan dan manajemen<br />

yang efektif?. Ada empat tugas penelitian yakni (1) analisis dimensi sosial, (2) kerangka<br />

kerja mata pencaharian sektor kehutanan, (3) analisis rantai nilai dan (4) pendekatan<br />

pembelajaran petani.<br />

Hasil dari analisis dimensi sosial menunjukan bahwa hutan rakyat sengon di<br />

Kabupaten Pati dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan<br />

berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman<br />

perkebunan, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman kehutanan, sehingga<br />

dihasilkan kayu dan hasil bukan kayu (HBK). Program pemerintah KBR, BLM-<br />

PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan<br />

mendorong peningkatan produksi kayu dan HBK.<br />

Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni (1)<br />

hasil penjualan kayu, (2) hasil penjualan HBK, dan (3) hasil penjualan ternak. Ratarata<br />

kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 22%, dari HBK adalah 82% dan<br />

dari ternak adalah 12%. Sedangkan pendapatan petani dari hutan rakyat berasal dari<br />

2 sumber yakni (1) hasil penjualan kayu dan (2) hasil penjualan HBK, di mana ratarata<br />

kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 67% dan dari HBK adalah 87%.<br />

HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman buah-buahan<br />

(31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%). Budidaya ternak<br />

dan hutan rakyat dapat dipandang sebagai usaha komplementer, saling melengkapi<br />

atau menghidupi, karena ternak menghasilkan pupuk kandang untuk menyuburkan<br />

lahan dan tanaman hutan rakyat sebaliknya dari hutan rakyat dihasilkan hijauan pakan<br />

ternak untuk pakan kambing dan sapi. Kayu menjadi insentif pengembangan hutan<br />

rakyat terutama di Desa Payak, sedangkan HBK menjadi insentif pengembangan<br />

hutan rakyat terutama di Desa Gunungsari dan Giling.<br />

HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada<br />

pemilikan lahan yang sempit karena dapat memberi pendapatan pada petani selama<br />

menunggu tanaman kayu dipanen. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur dengan<br />

berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh pendapatan<br />

secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

15


Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan<br />

oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat (HR), Hutan Tanaman<br />

Rakyat (HTR), atau Hutan Kemasyarakatan (HKm), direkomendasikan menggunakan<br />

teknik agroforestri dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman<br />

hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat<br />

menghasilkan berbagai jenis HBK.<br />

Kata kunci: kayu, hasil hutan bukan kayu, hutan rakyat, sengon, Pati<br />

1.1 Latar Belakang<br />

1. Pendahuluan<br />

Merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia di mana 55 juta penduduknya<br />

(23% dari populasi) hidup diantara hutan dan bergantung pada hutan. Diantara mereka<br />

mendapat manfaat dari penggunaan kawasan hutan dan lahan untuk mata pencaharian<br />

tradisional, pertanian subsisten, pemanenan, pengolahan dan ekspor kayu. Banyak<br />

masyarakat pedesaan di Indonesia yang hidup dikelilingi hutan yang seringkali menjadi<br />

satu-satunya 'jaminan sosial' yang mereka miliki.<br />

Kini <strong>Kehutanan</strong> Komersial Berbasis Masyarakat (CBCF) menjadi strategi<br />

untuk mencapai beberapa tujuan, seperti untuk mengurangi deforestasi, membangun<br />

hutan tanaman untuk memasok industri kayu, dan untuk mengurangi kemiskinan<br />

di pedesaan. Strategi pelibatan masyarakat dalam kehutanan komersial di Indonesia<br />

antara lain diluncurkan dalam Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan<br />

Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Rakyat (HR).<br />

Sementara penanaman hutan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan<br />

baku industri skala besar, sebaliknya ketersediaan hutan yang sesuai untuk memenuhi<br />

kebutuhan mata pencaharian masyarakat pedesaan menjadi kurang pasti. Karenanya<br />

terdapat beberapa pertanyaan yang kemudian muncul terkait dengan CBCF ini. (1)<br />

Apakah CBCF dapat memperbaiki mata pencaharian penduduk lokal?, (2) Apakah<br />

CBCF dapat memenuhi pasokan kayu bagi industri?, (3) Bagaimanakah model CBCF<br />

yang baik?<br />

Dalam beberapa tingkatan pemerintahan di Indonesia sangat ingin memastikan<br />

bahwa CBCF menjadi strategi kebijakan dan manajemen yang efektif. Makalah ini<br />

menyajikan gambaran kemajuan kegiatan Kerjasama Penelitian antara ACIAR dan<br />

16<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


<strong>FORDA</strong> Bogor tentang “Overcoming Constraints to Community-Based Commercial<br />

Forestry in Indonesia” (ACIAR, FST/2008/030). Jangka waktu kerjasama ini adalah<br />

4½ tahun yaitu antara April 2011 sampai dengan September 2015. Tujuan yang ingin<br />

dicapai oleh kerjasama penelitian ini adalah sebagai berikut.<br />

1. Melakukan analisis dimensi sosial CBCF, termasuk mengembangkan kerangka<br />

kerja ‘mata pencaharian dari sektor kehutanan’.<br />

2. Melakukan evaluasi ‘rantai nilai’ dari model bisnis CBCF yang dominan.<br />

3. Meningkatkan kapasitas partisipasi petani untuk membuat keputusan investasi<br />

yang lebih baik.<br />

4. Mempengaruhi pemangku kepentingan (pembuat kebijakan, ketuan program,<br />

staf lapangan, kepala desa / tokoh masyarakat) untuk mengoptimalkan CBCF.<br />

1.2 Tugas Penelitian<br />

Model CBCF yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.<br />

Individual growers<br />

Group of growers<br />

2<br />

3<br />

1<br />

Market brokers<br />

Processors<br />

Ada empat Tugas Penelitian dalam kerjasama penelitian ini, sebagai berikut.<br />

1. Tugas Penelitian 1: Analisis dimensi sosial (sampai dengan Juni 2012)<br />

Indonesia memiliki masyarakat yang beragam, dimana masyarakat di pedesaan sering<br />

kali memiliki budaya yang beragam dan mengalami perubahan-perubahan sosial yang<br />

besar seperti melakukan migrasi ke dalam dan keluar, perubahan dalam pekerjaan.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

17


Mengingat pentingnya memahami dimensi sosial yang berbasis masyarakat<br />

kehutanan, penelitian ini melakukan analisis dimensi sosial dari isu-isu kunci<br />

sosial dan masyarakat yang terkait dengan empat model CBCF. Analisis dimensi<br />

sosial meliputi:<br />

a. Mempersiapkan sebuah pro l sosial dari masyarakat yang terlibat dengan<br />

masing-masing model CBCF (misalnya menggambarkan keragaman budaya<br />

dan etnis, struktur pengambilan keputusan lokal).<br />

b. Menggambarkan sejarah serta tantangan dan peluang mata pencaharian saat ini<br />

bagi segmen masyarakat yang berbeda (misalnya masalah gender: kesehatankesejahteraan<br />

khusus, keamanan pangan untuk berbagai anggota komunitas,<br />

peluang usaha bagi gender tertentu).<br />

c. Menggambarkan pengelolaan hutan tradisional dan saat ini untuk berbagai<br />

segmen masyarakat (misal pengetahuan dan peran spesi k gender, peran dan<br />

pengetahuan spesi k umur).<br />

d. Menganalisis bagaimana segmen masyarakat yang berbeda yang terlibat dan<br />

terpengaruh oleh model CBCF individual (misalnya sifat, skala biaya dan<br />

manfaat, bagaimana kemungkinan risiko dipahami dan dikelola oleh keluarga).<br />

2. Tugas Penelitian 2: Kerangka kerja mata pencaharian sektor kehutanan (sampai<br />

dengan Juni 2013)<br />

Analisis dimensi sosial akan memberikan petunjuk berharga bagi tim peneliti yang<br />

kemudian akan mengembangkan sebuah kerangka komprehensif untuk menilai<br />

dampak mata pencaharian dari CBCF, misalnya dengan kerangka kerja mata<br />

pencaharian kehutanan. Analisis ini mencakup diagram livelihood asset, informasi<br />

kontribusi hutan rakyat dalam penghidupan petani, dan sistem informasi modal/<br />

asset masyarakat berbasis geogra s.<br />

3. Tugas Penelitian 3: Analisis rantai nilai (sampai dengan Juni 2013)<br />

Rantai nilai terdiri dari serangkaian kegiatan yang menciptakan dan membangun<br />

nilai dalam suatu barang atau jasa. Konsep rantai nilai kehutanan dapat diterapkan<br />

untuk mencari beberapa tahap rantai yang biasa digunakan oleh pemilik hutan<br />

rakyat di Indonesia. Secara sederhana, prinsip rantai nilai adalah bahwa setiap<br />

tahap rantai harus menghasilkan keuntungan untuk memastikan bahwa industri<br />

ini berkelanjutan.<br />

Menganalisis rantai nilai dari empat model CBCF akan memberikan informasi<br />

penting kepada semua stakeholder tentang cara dihasilkan dan didistribusikannya<br />

18<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


keuntungan sepanjang rantai nilai, sehingga membantu pengembangan strategi<br />

untuk menegosiasikan kontrak dan harga hasil hutan.<br />

4. Tugas Penelitian 4: Pendekatan pembelajaran petani (sampai dengan Desember<br />

2012)<br />

Strategi penting untuk mencapai manfaat berupa dampak dari kegiatan penelitian<br />

adalah merancang dan mengembangkan pendekatan efektif untuk meningkatkan<br />

pengetahuan dan keterampilan petani pemilik HR, yaitu mengembangkan<br />

'pendekatan pembelajaran' efektif bagi petani HR agar mereka dapat membuat<br />

keputusan tentang investasi di sektor kehutanan komersial dalam konteks pasar<br />

yang cepat berubah. Cara yang praktis untuk CBCF di Indonesia adalah melalui<br />

jaringan luas kelompok petani hutan.<br />

Program Master Tree Grower (MTG) telah efektif digunakan untuk meningkatkan<br />

keterampilan dan pengetahuan petani tentang kehutanan sejak akhir 1990-an.<br />

Langkah pertama adalah menganalisis kapasitas kelembagaan dan sosial kelompok<br />

petani hutan yang berpartisipasi dalam empat model CBCF. Konsultan yang<br />

ditunjuk kemudian akan merancang sebuah program pendekatan belajar efektif<br />

capacity building untuk meningkatkan kemampuan kelompok petani hutan dalam<br />

mengoptimalkan keterlibatan mereka dalam CBCF. Setelah periode pelaksanaan<br />

belajar (misalnya 12-18 bulan), keefektifan pendekatan 'belajar' akan dievaluasi<br />

agar dapat direkomendasikan kemungkinannya untuk dilaksanakan dalam skala<br />

luas di seluruh Indonesia melalui jaringan kelompok petani hutan.<br />

Selain itu, kerjasama penelitian ini memiliki strategi capaian substansial terpadu<br />

yang mencakup penerbitan Brief Info bilingual, melakukan pertemuan terbuka<br />

secara teratur dengan petani, instansi dan staf perusahaan, menghasilkan video<br />

tentang petani hutan, dan mengembangkan sebuah proyek website. Pemimpin<br />

Proyek juga akan mengkoordinasikan publikasi dari artikel ilmiah dan co-host<br />

simposium internasional serta menyediakan peer-reviewer kritis untuk tim peneliti<br />

selama 5 tahun.<br />

1.3 Lokasi Penelitian<br />

Kerjasama penelitian antara ACIAR dan <strong>FORDA</strong> Bogor dilakukan di<br />

Kabupaten Pati. Kabupaten Pati dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki<br />

potensi hutan rakyat sengon. Hutan rakyat disini meliputi tegalan dan pekarangan<br />

rakyat yang ditanami kayu-kayuan dengan teknik agroforestri. Analisis dimensi<br />

sosial difokuskan di tiga desa, yakni Desa Giling Kecamatan Gunungwungkal,<br />

Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu, dan Desa Payak Kecamatan Cluwak.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

19


Unit analisis pada tingkat individu adalah rumahtangga petani dan pada tingkat sosial<br />

adalah dusun. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pencatanan data<br />

sekunder, diskusi kelompok terarah, dan penelusuran wilayah. Contoh penelitian<br />

rumah tangga sebanyak 15 KK/dusun, peserta diskusi kelompok terarah untuk lakilaki<br />

tani dan perempuan tani masing-masing sebanyak 10-15 orang/dusun. Analisis<br />

data menggunakan metode deskriptif kuantitatif.<br />

2.1 Pemanfaatan Lahan Petani<br />

2. Hasil Tugas 1: Analisis Dimensi Sosial<br />

Usaha hutan rakyat sengon di wilayah Kabupaten Pati dikembangkan di lahan<br />

tegalan dan pekarangan milik petani. Penanaman dan pemeliharaan tanaman dilakukan<br />

sendiri-sendiri oleh masing-masing petani. Jumlah pemilikan pohon dan umur tanaman<br />

sangat beragam antar petani satu dengan yang lain. Pemanenan kayu dilakukan oleh<br />

masing-masing petani sesuai umur tanaman dan kebutuhan masing-masing.<br />

Berdasarkan diskusi kelompok dan wawancara rumah tangga petani diketahui<br />

bahwa pada lahan pekarangan dan tegalan rata-rata dipraktekan sistem tumpangsari<br />

antara jenis tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan, dan dibawahnya<br />

dikembangkan tanaman semusim, empon-empon, atau rumput pakan ternak sehingga<br />

berbentuk agroforestri. Hamparan tanaman sengon rata-rata ditanam di tegalan dimana<br />

selama 3 tahun pertama ditumpangsari dengan ubi kayu, jagung dan pisang, namun<br />

setelah berumur 4 tahun saat tajuknya sudah menutup seluruh ruang lahan maka<br />

dibiarkan tanpa campuran atau dicampur dengan empon-empon dan rumput pakan<br />

ternak. Tanaman buah-buahan rata-rata ditanam di lahan pekarangan sekitar rumah,<br />

sedangkan tanaman kehutanan dan perkebunan di tanam di lahan tegalan dan garapan<br />

hutan yang jauh dari rumah. Kepemilikan lahan oleh petani dapat diikuti dalam tabel<br />

berikut:<br />

Tabel 2. Pemilikan Lahan oleh Petani (ha), 2012<br />

No Desa<br />

Sawah Pekarangan Tegalan Jumlah<br />

Ratarata<br />

ha % ha % ha % ha % ha<br />

1 Giling 1,350 10,0 0,949 7,1 11,163 82,9 13,462 100 0,897<br />

2 Gunungsari 1,000 6,2 3,962 24,8 11,030 69,0 15,992 100 1,066<br />

3 Payak 5,510 13,9 3,698 9,4 30,315 76,7 39,523 100 2,635<br />

Jumlah 7,860 11,4 8,809 12,5 52,508 76,1 68,977 100 4,598<br />

Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />

20<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata pemilikan lahan oleh petani antara 0,897<br />

ha s/d 2,635 ha, berupa sawah, tegalan dan pekarangan di mana terluas berupa tegalan<br />

(76,1%), disusul pekarangan (12,5%), dan sawah (11,4%). Dengan demikian rata-rata<br />

lahan rakyat yang diusahakan sebagai hutan rakyat dengan teknik agroforestri adalah<br />

88,6%, sehingga pendapatan dari hutan rakyat diduga menjadi sumber pendapatan<br />

utama.<br />

Berdasarkan hasil wawancara rumah tangga petani diketahui bahwa lahan milik<br />

penduduk di desa-desa lokasi studi rata-rata 91% dilengkapi bukti kepemilikan SPPT<br />

(Surat Pembayaran Pajak Tanah) dan 9% dilengkapi bukti kepemilikan girik tanah.<br />

Secara sik, batas kepemilikan lahan berupa tanaman hidup seperti tanaman jati,<br />

mahoni, randu, pohon kudo, mojo, cepiring, gliricideae (rosidi), salam, kenari, beluntas,<br />

andong, tanaman girang, serta berupa saluran air, parit, dan patok cor. Jarak lahan<br />

dari rumah tinggal antara 0 s/d 4 km. Status kepemilikan lahan yang kuat dan batas<br />

sik yang jelas menyebabkan tidak adanya kon ik kepemilikan lahan.<br />

2.2 Program Pemerintah Terkait Hutan Rakyat<br />

Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah yang<br />

mendukung pengembangan hutan rakyat, yaitu Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari<br />

Pemerintah Pusat, Bantuan Langsung Masyarakat untuk Pengembangan Perhutanan<br />

Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-PPMBK) dari Pemerintah Pusat,<br />

serta Kebun Bibit Desa (KBD) dari Pemerintah Kabupaten.<br />

2.2.1 Kebun Bibit Rakyat (KBR)<br />

KBR merupakan program pemerintah untuk menyediakan bibit tanaman<br />

kehutanan dan MPTS (Multi Purpose Tree Species) yang dilaksanakan secara swakelola<br />

oleh kelompok masyarakat, terutama di pedesaan yang berbasis pemberdayaan<br />

masyarakat. Bibit dari KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis<br />

serta kegiatan penghijauan lingkungan. KBR disalurkan melalui BPDAS, besarnya<br />

Rp 50 juta per unit berupa 50.000 bibit tanaman kayu. Pada tahun 2011 Kabupaten<br />

Pati menerima 45 unit KBR. Dalam KBR ada pendampingan yang dilakukan oleh<br />

Penyuluh <strong>Kehutanan</strong> setempat serta ada pelatihan petani tentang teknik pembuatan<br />

persemaian. Dasar hukum KBR adalah Permenhut P24/Menhut-II/2010 tanggal<br />

3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan KBR, Permenhut P23/Menhut-<br />

II/2011 tanggal 8 April 2011 tentang Pedoman Teknis KBR. Program KBR baru<br />

diselenggarakan selama 2 tahun terkhir yaitu 2010 dan 2011. Contoh bibit jenis<br />

tanaman KBR tahun 2011 di beberapa desa di Kabupaten Pati sebagai berikut.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

21


Tabel 3. Contoh Bibit Kayu KBR di Beberapa Desa di Kabupaten Pati, 2011<br />

No Jenis Bibit Kecamatan Keterangan<br />

1 Avicenia sp, Rhizopora sp Dukuhseti Mangrove<br />

2 Jati, Mahoni, Randu Winong Pati Selatan, lahan kritis<br />

3 Sengon, Kopi Tlogowungu Pati Utara<br />

4 Sengon, Jati, Pete Gembong<br />

5 Sengon, Kakao Gunungwungkal<br />

6 Jati, Mahoni, Gmelina, Randu Gabus<br />

7 Jati, Nangka Pucukwangi<br />

8 Sengon, Kakao Cluwak Pati Utara<br />

9 Jati, Mete, Randu Sukolilo<br />

10 Jati, Mente, Kluweh Kayen Pati Selatan<br />

11 Jati, Sengon, Sirsak Tlogowungu Pati Utara<br />

12 Jati, Jabon, Randu Sukolilo Pati Selatan<br />

13 Sengon, Kakao, Kemiri Cluwak<br />

14 Jati, Sengon, Petai Margorejo<br />

Sumber: Diolah dari Laporan Akhir KBR di Kabupaten Pati, Dishutbun Kab Pati, 2011.<br />

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa Program KBR menyediakan bibit jenis-jenis<br />

tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan.<br />

2.2.2 Kebun Bibit Desa (KBD)<br />

Program KBD dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang <strong>Kehutanan</strong><br />

yang disalurkan ke Pemerintah Kabupaten. Program ini dimaksudkan untuk<br />

mendukung OBIT, ada setiap tahun dan telah diselenggarakan mulai tahun 2009<br />

setelah GERHAN berakhir. Pada tahun 2011, jenis tanaman KBD disesuaikan dengan<br />

keinginan masyarakat. Distribusi bibit KBD 2011 yang disalurkan melalui Kelompok<br />

Tani berupa bibit tanaman kehutanan sebagai berikut.<br />

Tabel 4. Bibit KBD Tahun 2011 Kabupaten Pati<br />

No Desa Kecamatan<br />

Jenis Bibit (batang)<br />

Sengon Jati Mahoni<br />

1 Jrahi Gunungwungkal 5 000 2 000 1 000<br />

2 Kedungbulus Gembong 1 000 1 500 -<br />

3 Bageng Gembong 30 000 - -<br />

4 Karangawen Tambakromo - 3 000 4 000<br />

5 Pakis Tambakromo 1 000 - 1 000<br />

6 Maitan Tambakromo - 3 500 4 000<br />

Sumber: Diolah dari Dishutbun Kabupaten Pati, 2012<br />

22<br />

10 000 10 000 10 000<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


Penanaman bibit KBD dilakukan di turus-turus jalan, lapangan, pekarangan,<br />

sekolahan, kantor PKK, kantor Dharma Wanita, dan lain-lain, serta jenis tanamannya<br />

disesuaikan dengan jenis yang tersedia dalam KBD.<br />

2.2.3 BANSOS PPMBK dan Bangunan Konservasi<br />

Pada tahun 2011 Kabupaten Pati menerima bantuan pemerintah pusat berupa<br />

dua bangunan dam penahan, lima bangunan sumur resapan, dan empat bangunan<br />

embung yang ditujukan untuk konservasi tanah. Selain itu ada 22 Kelompok Tani yang<br />

menerima BANSOS PPMBK dimana dananya 85% digunakan untuk membuat tanaman<br />

kayu-kayuan dan 15% untuk pemberdayaan masyarakat dari sektor lain seperti untuk<br />

membeli ternak, menanam tanaman semusim, atau tanaman hijauan pakan ternak.<br />

Melalui Program BANSOS PPMBK, pemerintah mendukung pengembangan tanaman<br />

kehutanan, tanaman semusim, dan hijauan pakan ternak yang dapat dikembangkan<br />

dengan teknik agroforestri dan diintegrasikan dengan usaha peternakan.<br />

Berbagai Program Pemerintah tersebut sedikitnya telah berhasil mempengaruhi<br />

perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Pada tahun 1970-an para petani<br />

belum bersedia menanam kayu-kayuan, namun sekarang mereka sangat senang kalau<br />

diberi bibit tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman kayu-kayuan.<br />

Program-program pemerintah tersebut telah memperkaya lahan petani dengan tanaman<br />

penghasil kayu dan HBK serta mendorong peningkatan produksinya.<br />

2.3 Pendapatan Dari Seluruh Lahan<br />

Pendapatan dalam hal ini berasal dari semua kegiatan petani yang terkait dengan<br />

pemanfaatan lahan, baik dari lahan milik berupa sawah, pekarangan dan tegalan, lahan<br />

sewa, lahan garapan dalam hutan negara khususnya penduduk Desa Gunungsari, serta<br />

dari usaha budidaya ternak. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal<br />

dari tiga sumber yakni (1) pendapatan dari kayu, (2) pendapatan dari HBK, dan<br />

(3) pendapatan dari ternak. Kontribusi nilai jual kayu, HBK, dan ternak di tiga desa<br />

lokasi studi adalah sebagai berikut.<br />

Tabel 5. Nilai Jual Kayu, HBK, dan Ternak (Rp/KK/tahun), 2012<br />

No Desa Kayu % HBK % Ternak % Jumlah %<br />

1 Giling 2.669.667 19 10.197.128 73 1.152.000 8 14.018.795 100<br />

2 Gunungsari 1.513.333 6 19.543.133 82 2.920.667 12 23.977.133 100<br />

3 Payak 7.171.111 22 22.203.357 68 3.366.333 10 32. 740.801 100<br />

Rata-rata 3.784.703 17.314.539 2.479.666 23.578.909<br />

Sumber: Diolah dari data primer hasil wawancara rumah tangga, 2012<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

23


Pendapatan dari kayu dihitung berdasarkan nilai penjualan kayu dalam 3 tahun<br />

terkhir yang dipanen dari lahan pekarangan dan tegalan baik lahan milik maupun sewa,<br />

karena lahan sawah dan garapan di kawasan hutan tidak menghasilkan kayu. Nilai<br />

tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung rata-rata pendapatan petani dari<br />

kayu. Rata-rata pendapatan petani adalah Rp 3.784.704/KK/tahun dari penjualan<br />

kayu, Rp 17.314.539/KK/tahun dari penjualan HBK, dan Rp 2.479.666/KK/tahun<br />

dari penjualan ternak.<br />

Jenis ternak yang umumnya dipelihara oleh penduduk desa lokasi studi adalah<br />

ayam, kambing dan sapi. Di Desa Payak ada pula yang memelihara bebek dan kambing<br />

etawa. Budidaya ternak dan hutan rakyat dapat dipandang sebagai usaha komplementer,<br />

saling melengkapi atau menghidupi, karena ternak menghasilkan pupuk kandang untuk<br />

menyuburkan lahan dan tanaman hutan rakyat sebaliknya hutan rakyat menghasilkan<br />

hijauan pakan ternak untuk pakan kambing dan sapi. Selain memelihara ternak milik<br />

sendiri, petani dapat pula melakukan gaduh sapi penggemukan. Bagi hasil gaduh sapi<br />

saat dijual adalah 2 bagian menjadi hak petani dan 5 bagian menjadi hak pemilik sapi.<br />

Dalam usaha pembesaran ayam juga ada sistem gaduh dari pengusaha ayam ke petani.<br />

Petani menyiapkan kandang dan memelihara ayam, sedangkan pengusaha menyediakan<br />

bibit dan pakan. Ketika ayam dijual kepada pengusaha, petani menerima upah gaduh<br />

sekitar Rp. 12.000 sampai dengan Rp. 14.000 per kg ayam.<br />

2.4 Pendapatan Dari Hutan Rakyat<br />

Rata-rata 88,6% dari lahan rakyat diusahakan sebagai hutan rakyat sehingga<br />

pendapatan dari hutan rakyat memiliki peran besar dalam ekonomi rumah tangga<br />

petani di desa-desa lokasi studi. Untuk mengetahui kontribusi pendapatan dari kayu<br />

dan HBK yang diperoleh dari hutan rakyat, analisis dibatasi pada lahan tegalan dan<br />

pekarangan yang diusahakan dengan teknik agroforestri. Kontribusi nilai jual kayu<br />

dan HBK dari lahan pekarangan dan tegalan yang diusahakan sebagai hutan rakyat<br />

dengan teknik agroforestri adalah sebagai berikut.<br />

Tabel 6. Tabel 5. Rata-rata Nilai Jual Kayu dan HBK dari Lahan Agroforestri, 2012<br />

Jenis hasil<br />

Rp/KK/<br />

tahun<br />

Giling Gunungsari Payak Kisaran<br />

% Rp/KK/tahun % Rp/KK/tahun % %<br />

Kayu 2.669.667 29 1.513.333 13 7.171.111 67 13 – 67<br />

Bukan kayu 6.424.400 71 9.851.467 87 3.483.133 33 33 - 87<br />

Jumlah 9.094.067 100 11.364.800 100 10.654.244 100<br />

Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />

24<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata kontribusi pendapatan dari kayu<br />

paling tinggi adalah 67% yaitu di Desa Payak. Hal ini sejalan dengan informasi dari<br />

Dinas <strong>Kehutanan</strong> dan Perkebunan Kabupaten Pati bahwa permintaan dokumen SKAU<br />

di Desa Payak adalah tertinggi dibandingkan dengan desa-desa lain di Kabupaten<br />

Pati. Sementara itu rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kelompok jenis<br />

HBK adalah 87% yaitu di Desa Gunungsari.<br />

2.4.1 Peranan kayu dalam usaha hutan rakyat<br />

Petani pada umumnya menanam kayu-kayuan dengan sistem kebun campuran<br />

atau agroforestri. Jenis kayu-kayuan yang ditanam di lahan hutan rakyat dapat<br />

dikelompokan dalam tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh, kelapa, randu),<br />

tanaman penghasil buah-buahan (jengkol, manggis, petai, sukun, durian, rambutan),<br />

dan tanaman kehutanan (sengon, mahoni, jati). Pemeliharaan intensif untuk tanaman<br />

sengon dilakukan sampai umur 3 tahun, sedangkan pemanenan dan penjualan kayu<br />

dilakukan pada umur 5 - 6 tahun.<br />

Petani menjual kayu sengon dalam bentuk pohon berdiri dimana seluruh biaya<br />

penebangan menjadi beban pembeli dalam hal ini pedagang kayu. Kegiatan penebangan<br />

oleh pedagang dilakukan secara borongan menggunakan gergaji rantai (chainsaw).<br />

Dalam perdagangan kayu rakyat sengon, peran blantik cukup penting karena dapat<br />

mempertemukan petani yang akan menjual kayu dengan calon pembeli kayu yaitu<br />

pedagang kayu tingkat desa. Kayu sengon dibeli oleh pedagang untuk selanjutnya<br />

dijual ke pabrik pengolahannya, sedangkan kayu lainnya seperti jati dan mahoni<br />

umumnya dijual ke penduduk atau pedagang desa sebagai bahan bangunan atau<br />

bahan pembuatan mebeler.<br />

Sejauh ini penjualan kayu sengon oleh petani masih dilakukan per pohon atau<br />

bahkan per hamparan lahan dengan sistem tebas. Penjualan per pohon umumnya<br />

dilakukan dengan sistem tebang pilih saat butuh atau tebang pilih rakyat, di mana<br />

pohon yang diameternya sudah besar (meski umur baru 4 tahun) atau yang kira-kira<br />

nilai uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani, akan ditebang<br />

terlebih dahulu. Sementara itu pada penjualan per hamparan dengan sistem tebas,<br />

volume dan harga kayu ditaksir oleh pedagang kayu, sehingga nilai uang hasil penjualan<br />

kayu diduga lebih kecil daripada nilai ekonomi kayu. Petani langsung menerima uang<br />

tunai tanpa menebang, mengukur dan menghitung volume kayunya sendiri.<br />

Supaya tidak dirugikan maka petani sebaiknya menjual kayu dalam bentuk<br />

sortimen dalam satuan m3. Hal ini dapat dilakukan apabila para grader dari pabrik<br />

pengolahan atau depo kayu melakukan grading langsung di lahan petani setelah<br />

batang pohon sengon dipotong-potong sendiri oleh petani menjadi sortimen.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

25


Namun cara demikian menghadapi beberapa kendala seperti beban biaya tebang harus<br />

ditanggung oleh petani, petani belum menguasai teknik memotong sortimen, serta<br />

belum bisa mengukur dan menghitung volume kayu sendiri. Nilai jual kayu yang<br />

dipanen dari lahan pekarangan dan tegalan (selengkapnya lihat Lampiran 2) dalam<br />

3 tahun terakhir dan jenis-jenisnya, adalah sebagai berikut:<br />

Tabel 7. Nilai Jual Kayu Dalam 3 Tahun Terakhir, 2012<br />

No Desa Jenis Kayu Jumlah Nilai (Rp) % Jenis Kayu<br />

1 Giling Sengon 112.135.000 93,4<br />

Jengkol 3.000.000 2,5<br />

Mahoni 5.000.000 4,1<br />

Jumlah Giling 120.135.000 100,0<br />

2 Gunungsari Sengon 62.600.000 91,9<br />

Mahoni 5.500.000 8,1<br />

Jumlah Gunungsari 68.100.000 100,0<br />

3 Payak Sengon 316.500.000 98,1<br />

Mahoni 6.200.000 1,9<br />

Jumlah Payak 322.700.000 100,0<br />

Jumlah 510.935.000<br />

Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa jenis kayu-kayuan dari lahan hutan rakyat<br />

yang telah diperdagangkan termasuk ke dalam kelompok jenis tanaman kehutanan<br />

(sengon, mahoni) dan jenis tanaman penghasil buah-buahan (jengkol). Jenis sengon<br />

dapat dipandang sebagai tanaman hutan rakyat yang komersial, karena dapat memberi<br />

kontribusi lebih dari 90% terhadap pendapatan rumah tangga petani. Selain itu,<br />

penjarangan tanaman sengon dilakukan dengan teknik tebang pilih rakyat dimana<br />

tanaman yang pertumbuhannya baik akan ditebang lebih dahulu untuk mengatasi<br />

kebutuhan keuangan rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara rumah tangga<br />

diketahui bahwa rata-rata 58,5% petani memanen kayu disesuaikan dengan kebutuhan<br />

uang rumah tangga, 4,9% memanen sesuai rotasi tanaman, 2,4% menanen karena<br />

ada penawaran harga tinggi, sedangkan lainnya tidak memanen kayu dalam 3 tahun<br />

terakhir. Petani juga menganggap bahwa tanaman sengon merupakan tabungan<br />

keluarga yang dapat dipanen sewaktu-waktu bila dibutuhkan.<br />

26<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


2.4.2 Peranan HBK dalam usaha hutan rakyat<br />

Jenis HBK yang ditanam di lahan hutan rakyat terdiri dari 3 jenis tanaman<br />

semusim (ubi kayu, jangung, ketela), 2 jenis tanaman empon-empon (kapulaga, jahe),<br />

tanaman rumput pakan ternak, 7 jenis tanaman perkebunan (kakao, kopi, cengkeh,<br />

kelapa, randu, lada, panili), dan 7 jenis tanaman buah-buahan (jengkol, manggis,<br />

petai, pisang, sukun, durian, rambutan). Pedagang atau pembeli HBK umumnya<br />

mendatangi rumah-rumah petani.<br />

Hasil tanaman semusim biasanya dipanen sendiri oleh petani. Buah jagung<br />

dikeringkan terlebih dahulu lalu disimpan untuk selanjutnya dapat dikonsumsi sendiri<br />

atau dijual. Ubi kayu dipanen sendiri lalu dijual ke pabrik tapioka, atau dijual tebas<br />

kepada pedagang yang akan memanennya di lahan. Hasil tanaman empon-empon<br />

kapulaga dan jahe dipanen sendiri dan hasilnya dapat langsung dijual, tetapi untuk<br />

kapulaga dapat pula dikeringkan dan disimpan terlebih dahulu sehingga dapat dijual<br />

sewaktu membutuhkan uang. Rumput pakan ternak jenis rumput gajah atau kalanjana<br />

juga dibudidayakan untuk dijual kepada pemilik kambing atau sapi yang tidak memiliki<br />

tanaman pakan ternak.<br />

Hasil tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, kakao, randu, lada, dan fanili<br />

dipanen satu kali dalam setahun, dan memanennya dapat dilakukan sedikit-sedikit<br />

sehingga dapat dikerjakan sendiri. Hasilnya dapat langsung dijual dalam bentuk basah<br />

atau disimpan dulu dalam bentuk kering karena penanganan paska panennya juga<br />

mudah. Buah kelapa juga dapat dipanen sendiri, dapat dikonsumsi sendiri namun<br />

bila membutuhkan uang juga mudah untuk dijual. Untuk buah randu dapat dijual<br />

dengan sistem tebas, namun dapat pula dipanen sendiri lalu disimpan dalam bentuk<br />

kering sehingga dapat dijual sewaktu harga tinggi atau saat membutuhkan uang.<br />

Sementara itu tanaman buah-buahan seperti durian, jengkol, langsep, manggis,<br />

duku, petai, sukun, mangga, rambutan, pisang, umumnya panen satu kali dalam<br />

setahun kecuali buah pisang. Musim berbuah dari berbagai jenis buah-buahan tidak<br />

bersamaan sehingga musim panennya dapat terjadi secara bergilir. Cara memanennya<br />

juga dilakukan sedikit-sedikit sehingga dapat dikerjakan sendiri, dan hasilnya mudah<br />

dijual. Petani hutan rakyat di wilayah Pati telah menguasai seluruh teknik budidaya,<br />

pemanenan, penanganan paska panen, dan pemasaran berbagai jenis HBK dari hasil<br />

tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, dan<br />

tanaman buah-buahan. Jenis-jenis HBK yang berasal dari hutan rakyat yang dibangun<br />

diatas lahan pekarangan dan tegalan (selengkapnya lihat Lampiran 1), adalah sebagai<br />

berikut:<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

27


Tabel 8. Jenis dan Nilai Jual HBK dari Hutan Rakyat, 2012<br />

No Desa Jenis Tanaman Nilai Jual (Rp/KK/Th) %<br />

1 Giling Pangan 2.650.000 2,75<br />

Empon-empon 5.000 0,01<br />

Perkebunan 21.331.000 22,13<br />

Buah-buahan 72.380.000 75,11<br />

Jumlah 96.366.000 100<br />

2 Gunungsari Pangan 13.200.000 8,93<br />

Empon-empon 2.295.000 1,55<br />

Perkebunan 81.870.000 55,41<br />

Buah-buahan 50.407.000 34,11<br />

Jumlah Gunungsari 147.772.000 100<br />

3 Payak Pangan 13.000.000 24,88<br />

Pakan ternak 3.000.000 5,75<br />

Perkebunan 19.747.000 37,79<br />

Buah-buahan 16.500.000 31,58<br />

Jumlah Payak 52,247,000 100<br />

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa jenis HBK dari lahan hutan rakyat yang<br />

rata-rata kontribusi pendapatannya besar di tiga desa lokasi studi adalah kelompok<br />

jenis buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan kelompok jenis hasil perkebunan (22,13%<br />

- 55,41%). Khusus di Desa Payak, rata-rata kontribusi pendapatan dari kelompok<br />

tanaman semusim relatif tinggi serta terdapat tanaman rumput pakan ternak yang<br />

telah diperjualbelikan.<br />

Berdasarkan diskusi kelompok terarah diketahui bahwa hasil berbagai jenis<br />

tanaman yang dibudidayakan oleh petani dapat dipanen secara bergilir. Tanaman<br />

semusim, empon-empon, dan rumput pakan ternak dapat dipanen secara begilir<br />

dalam jangka harian, mingguan dan bulanan. Tanaman buah-buahan dan tanaman<br />

perkebunan dapat dipanen secara bergilir dalam jangka tahunan. Tanaman kayu dapat<br />

dipanen secara bergilir dalam jangka lebih dari 5 tahunan. Dari lahannya, penduduk<br />

desa dapat memperoleh uang tunai dalam jangka harian, mingguan, bulanan, tahunan,<br />

dan lebih dari lima tahunan. Dengan cara menanam berbagai jenis tanaman tersebut,<br />

petani dapat memenuhi seluruh kebutuhan jangka pendek, jangka menengah dan<br />

jangka panjang, namun kecukupannya sangat dipengaruhi oleh luasan lahannya.<br />

Jangka waktu panen HBK yang lebih singkat sangat besar peranannya dalam<br />

mempertahankan eksistensi hutan rakyat terutama pada pemilikan lahan sempit<br />

28<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


karena petani tetap mempunyai sumber pendapatan dari lahan hutan rakyat meskipun<br />

tanaman kayunya belum dapat dipanen. Berbagai jenis HBK dapat dipanen oleh petani<br />

secara bergilir sehingga dapat memenuhi kebutuhan keuangan harian, jangka pendek,<br />

menengah, dan jangka panjang. Sebagian jenis HBK juga dapat disimpan dalam<br />

bentuk kering sehingga menyerupai tabungan yang dengan mudah digunakan apabila<br />

sewaktu-waktu dibutuhkan. Meskipun pemilikan lahan petani relatif sempit namun<br />

mereka masih dapat menanam tanaman kayu-kayuan karena ada sumber pendapatan<br />

dari HBK yang diterima selama menunggu saat panen kayu hasil hutan rakyat.<br />

2.5 Hambatan dan Peluang Pada Usaha Hutan Rakyat<br />

2.5.1 Hambatan pada usaha hutan rakyat<br />

2.5.1.1 Keterbatasan teknis silvikultur petani<br />

Di desa-desa lokasi studi, pertumbuhan tanaman sengon seringkali tidak seragam<br />

walaupun ditanam pada lahan dengan waktu dan perlakukan yang sama. Hal ini<br />

diduga karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas bibit yang tidak seragam.<br />

Para petani mendapatkan bibit dari Dishutbun Kabupaten dan pedagang setempat.<br />

Pembagian bibit dari Dishutbun seringkali dilakukan pada bulan-bulan terakhir musim<br />

penghujan, dan ukuran bibitnya seringkali terlalu kecil sehingga banyak yang mati<br />

saat ditanam. Petani juga belum menguasai teknik pembibitan sengon dengan baik.<br />

Selain itu, umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang terlalu lama dalam<br />

kaitannya dengan kesinambungan pendapatan petani. Karena itu petani menerapkan<br />

pola tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai umur sengon tiga<br />

tahun. Memasuki tahun ke empat, tumpangsari dilakukan dengan tanaman emponempon<br />

(kapulaga, temulawak, dsb) atau dengan tanaman kopi/kakao. Namun ketika<br />

sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak tertimpa pohon, padahal umur panen<br />

sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman kopi, sehingga banyak petani yang<br />

tidak menerapkan pola tersebut. Beberapa petani tetap memilih tumpangsari sengon<br />

dengan ubi kayu, tanaman pisang, empon-empon, dan hijauan pakan ternak.<br />

2.5.1.2 Serangan penyakit karat puru<br />

Permasalahan yang sangat mengganggu budidaya sengon di ketiga lokasi studi<br />

adalah penyakit karat tumor atau karat puru karena dapat mematikan sengon di<br />

tingkat semai sampai tegakan. Selama ini petani setempat menganggap penyakit ini<br />

disebabkan karena serangan virus atau akibat penanaman dengan pola monokultur.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

29


Menurut Anggraeni (2008), penyebab penyakit karat tumor (gall rust) adalah jenis fungi<br />

Uromycladium tepperianum. Gejala penyakit diawali dengan adanya pembengkakan<br />

lokal (tumefaksi) di bagian tanaman yang terserang (daun, cabang, dan batang),<br />

lama kelamaan pembengkakkan berubah menjadi benjolan-benjolan yang kemudian<br />

menjadi bintil-bintil kecil atau disebut tumor. Pengendalian penyakit karat puru dapat<br />

dilakukan dengan cara mekanik, yaitu menghilangkan puru pada tanaman sengon yang<br />

terserang, puru dikumpulkan dan dikubur dalam tanah agar tidak menular. Setelah<br />

puru dihilangkan lalu batang dilabur dan disemprot dengan belerang.<br />

2.5.1.3 Pemangkasan liar untuk pakan ternak<br />

Ternak kambing merupakan ternak andalan di ketiga desa lokasi studi karena<br />

ternak kambing lebih cepat berproduksi, mudah pemeliharaannya dan mudah<br />

dipasarkan. Kegiatan pemangkasan dahan sengon di daerah ini bertujuan ganda,<br />

yaitu untuk membentuk pertumbuhan kayu sengon dan untuk penyediaan hijauan<br />

pakan ternak. Kegiatan pengumpulan hijauan pakan ternak dari pepohonan dan daundaunan<br />

biasa disebut rambanan (pemangkasan dahan sengon, dadap, lamtoro, randu<br />

dll). Kegiatan pengumpulan hijauan pakan ternak dari rerumputan biasa (rumput<br />

setaria, rumput kalanjana) disebut ngarit. Berkembangnya ternak kambing di daerah<br />

ini menimbulan permasalahan dalam budidaya sengon, karena petani sering melakukan<br />

pemangkasan dahan sengon tanpa seijin pemiliknya. Sebagian besar petani (± 80 %)<br />

memelihara ternak, tetapi sebagian peternak tersebut (± 30 %) tidak mempunyai lahan.<br />

Pemangkasan liar seringkali merusak dan mengganggu pertumbuhan tanaman sengon.<br />

Di beberapa desa sudah dilakukan himbauan melalui pertemuan kelompok/desa dan<br />

beberapa petani melakukan injeksi pestisida pada tanaman sengonnya, namun injeksi<br />

pestisida dapat menyebabkan kematian ternak yang memakannya sehingga jarang<br />

dilakukan oleh petani. Karena itu pemangkasan liar masih terjadi.<br />

2.5.1.4 Tebang pilih saat butuh<br />

Sejauh ini petani hutan rakyat Pati belum paham tentang teknik penjarangan<br />

tanaman yaitu menebang tanaman yang tidak bagus dengan tujuan untuk meningkatkan<br />

kualitas tegakan tinggal. Tindakan yang sering dilakukan oleh petani saat ini justru<br />

sebaliknya, tanaman yang tumbuh bagus, capaian diameternya lebih besar dari tanaman<br />

yang lain akan ditebang lebih dulu. Sebaliknya tanaman yang jelek tetap dipelihara<br />

karena tanaman yang tumbuhnya lambat bila dibiarkan hidup juga dapat membesar.<br />

Hal ini dilakukan karena tanaman sengon dapat dijual per pohon, dijual pada saat<br />

30<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


elum masak tebang bila ada kebutuhan keuangan mendesak atau yang kira-kira nilai<br />

uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani.<br />

2.5.1.5 Ketidaksediaan petani untuk memanen kayu sendiri<br />

Selama ini petani menjual kayu per pohon atau bahkan per hamparan lahan<br />

dengan sistem tebas, langsung menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur,<br />

dan menghitung volume sendiri. Teknik penjualan demikian dipandang belum dapat<br />

memaksimalkan nilai uang hasil jual kayu yang diterima oleh petani. Supaya petani<br />

tidak dirugikan dalam perhitungan harga kayu, sebaiknya grader dari pabrik pengolahan<br />

kayu atau depo kayu melakukan grading kayu di lahan petani setelah batang pohon<br />

sengon dipotong-potong menjadi sortimen. Dengan demikian petani diharapkan dapat<br />

menjual kayu dalam bentuk sortimen, dalam satuan m3, bukan per batang pohon atau<br />

per hamparan lahan dengan sistem tebas.<br />

Namun penjualan kayu oleh petani dalam bentuk sortimen akan memiliki<br />

konsekuensi berupa beban biaya tebang yang ditanggung oleh petani. Kendala lain<br />

adalah petani umumnya tidak bisa membaca Daftar Grade yang dibuat oleh pabrik,<br />

tidak bisa melakukan grading kayu sendiri, dan tidak tahu cara mengukur volume<br />

kayu. Para petani kayu di desa-desa lokasi studi umumnya tidak sabar dan telaten<br />

untuk mengerjakan pekerjaan pemanenan kayu sendiri karena dinilai sebagai pekerjaan<br />

yang merepotkan.<br />

2.5.2 Peluang pada usaha hutan rakyat<br />

2.5.2.1 Konversi pemanfaatan lahan<br />

Di desa-desa lokasi studi terjadi konversi lahan sawah menjadi tegal dan<br />

pekarangan karena pasokan air untuk pertanian sawah tidak dapat berlangsung<br />

sepanjang tahun. Apabila budidaya padi sawah tidak dapat dilakukan maka lahannya<br />

ditanami tanaman semusim lainnya. Namun banyak petani yang mengkonversi lahan<br />

sawahnya menjadi tegal dan pekarangan untuk ditanami sengon karena kayu sengon<br />

cepat tumbuh dan mulai umur empat tahun sudah dapat dipanen.<br />

Selain itu terjadi konversi jenis tanaman dari tanaman tradisional ubi kayu ke<br />

tanaman komersial sengon. Hal ini karena sebagian laki-laki pergi meninggalkan<br />

desa untuk mencari nafkah di luar Jawa, sehingga mereka memilih jenis tanaman<br />

yang perawatannya mudah agar dapat dikerjakan oleh isteri atau anaknya. Biaya<br />

pembangunan tanaman sengon juga dinilai relatif murah, sebaliknya tanaman ubi<br />

kayu setidaknya memerlukan 5 kali biaya besar yaitu biaya-biaya mencangkul lahan,<br />

menyiangi pertama, pemupukan pertama, menyiangi kedua, dan pemupukan kedua.<br />

Kondisi demikian menjadi peluang untuk berkembangnya usaha hutan rakyat sengon.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

31


2.5.2.2 Dukungan program pemerintah<br />

Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah antara<br />

lain KBR, BLM-PPMBK, serta KBD. Program-program tersebut sedikitnya telah<br />

mampu mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Program<br />

KBR menyediakan jenis bibit tanaman kehutanan, perkebunan, dan buah-buahan,<br />

dan Program BANSOS PPMBK menyediakan bibit tanaman kehutanan, tanaman<br />

semusim, hijauan pakan ternak, dan pembelian ternak. Hal ini telah mendorong<br />

berkembangnya hutan rakyat sengon yang dikembangkan dengan teknik agroforestri<br />

dan diintegrasikan dengan usaha peternakan.<br />

2.5.2.3 Tanah subur<br />

Lima kecamatan dari bagian utara wilayah Pati yaitu Kecamatan Margorejo,<br />

Gunungwungkal, Tlogowungu, Cluwak, dan Sidomulyo, terletak di kawasan perbukitan<br />

kaki gunung Muria yang tanahnya subur sehingga potensial dengan tanaman kayukayuan.<br />

Pilihan jenis tanaman kayu-kayuan mempunyai peluang besar di wilayah<br />

ini karena topogra nya curam sehingga selain memberi manfaat ekonomi juga untuk<br />

tujuan konservasi tanah dan air. Beragam jenis tanaman kayu-kayuan, tanaman<br />

perkebunan dan tanaman semusim tumbuh bersama-sama di wilayah ini sehingga<br />

membentuk agroforestri. Hal ini merupakan peluang untuk memajukan usaha hutan<br />

rakyat sengon di wilayah tersebut.<br />

2.5.2.4 Permintaan kayu sengon tinggi<br />

Di Jawa Tengah banyak terdapat industri kayu yang mengolah kayu sengon<br />

menjadi berbagai bentuk produk seperti kayu lapis, papan sambung, bilah sambung,<br />

papan blok, dan lain-lain. Lokasi pabriknya tersebar di berbagai kota. Untuk menjamin<br />

kesinambungan bahan baku, pabrik-pabrik ini ada yang memiliki pelanggan depo<br />

kayu, tetapi ada pula yang memiliki ratusan pemasok kayu yaitu para pedagang kayu.<br />

Untuk memperlancar pasokan kayu, pabrik-pabrik tersebut mengirim grader dan<br />

tenaga pengumpul kayu ke sentra-sentra produksi kayu hampir di seluruh Jawa.<br />

Grader pabrik dapat bekerja di lahan petani, di pedagang desa, atau di depo desa.<br />

Hal ini memberi gambaran tentang makin tingginya persaingan antar pabrik<br />

dalam memperebutkan kayu rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabriknya.<br />

Hal ini berdampak pada makin ketatnya persaingan antar depo dan antar pedagang<br />

karena makin tingginya permintaan kayu rakyat khususnya jenis sengon. Dalam<br />

kaitan ini petani relatif memiliki kebebasan dalam menentukan kepada siapa kayunya<br />

32<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


akan dijual karena relatif banyaknya pedagang kayu maupun blantik (perantara) yang<br />

datang ke desa-desa penghasil kayu rakyat.<br />

2.5.2.5 Peluang untuk dikembangkan industri pengolahan<br />

Di wilayah Kabupaten Pati tersedia pasar HBK yang merupakan hasil lahan<br />

penduduk desa-desa di lokasi studi, seperti beberapa unit pabrik tepung tapioka. Selain<br />

itu di Perhutani KPH Pati BKPH Regaloh yang kawasannya berbatasan dengan Desa<br />

Gunungsari terdapat pabrik pengolahan ubi kayu menjadi tepung mocaf (modi er<br />

casava) yang digunakan sebagai pencampur tepung terigu, dan limbah pengolahannya<br />

diproses lebih lanjut menjadi bioethanol. Selain itu terdapat pabrik tepung jagung yang<br />

merupakan pakan ternak, serta industri terpadu yang mengolah kapuk randu menjadi<br />

serat yang diekspor dan dipasarkan di dalam negeri, industri pengolahan biji randu<br />

menjadi Crude Kelenteng Oil (CKO) pengganti minyak goreng bebas kolesterol, serta<br />

industri pengemasan madu bunga randu dan pengolahan madu menjadi minuman<br />

sehat.<br />

Namun di wilayah ini belum ada industri pengolahan kayu rakyat, sehingga<br />

kayu dari Pati dijual ke industri di kabupaten lain seperti Semarang, Temanggung,<br />

Kebumen, dan bahkan ke Jawa Timur. Dalam hal ini masih terbuka peluang untuk<br />

dikembangkan industri pengolahan kayu sengon di wilayah kabupaten Pati agar lokasi<br />

pabrik makin dekat dengan lokasi pemasok bahan bakunya sehingga akses petani ke<br />

pasar produknya makin terbuka lebar.<br />

3.1 Kesimpulan<br />

3. Kesimpulan Dan Rekomendasi<br />

1. Di tiga desa lokasi studi, hutan rakyat sengon dibangun di lahan tegalan dan<br />

pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, emponempon,<br />

rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buahbuahan,<br />

dan tanaman kehutanan, sehingga dapat menghasilkan kayu dan HBK.<br />

2. Program pemerintah KBR, BLM-PPMBK, dan KBD berperan memperkaya<br />

lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi kayu<br />

dan HBK.<br />

3. Pendapatan petani dari kegiatan terkait lahan berasal dari 3 sumber yakni dari<br />

kayu, HBK, dan ternak, di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari<br />

kayu 22%, dari HHK 82% dan dari ternak 12%.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

33


4. Pendapatan petani dari hutan rakyat berasal dari 2 sumber yakni kayu dan HBK,<br />

di mana rata-rata kontribusi pendapatan tertinggi dari kayu adalah 67% yaitu di<br />

Desa Payak dan dari HBK adalah 87% yaitu di Desa Gunungsari.<br />

5. Kelompok jenis HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman<br />

buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%).<br />

6. HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada<br />

pemilikan lahan yang sempit karena dapat dipanen secara bergilir dan memberi<br />

pendapatan pada petani selama menunggu tanaman kayu dipanen.<br />

3.2 Rekomendasi<br />

Hutan rakyat sengon perlu dipromosikan atau didukung pengembangannya<br />

dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk mengatasi kendalanya seperti, (1)<br />

diperlukan pelatihan petani untuk mengatasi serangan penyakit karat puru yang<br />

menghambat produksi kayu sengon, (2) pelatihan petani agar menguasai teknik<br />

mengukur dan menghitung volume kayu untuk meningkatkan posisi tawar dan nilai<br />

jual kayu petani, (3) mempermudah akses petani ke pasar kayu atau mendekatkannya ke<br />

industri pengolahan kayu, (4) membangun DEMPLOT hutan rakyat sengon melalui<br />

dukungan program pemerintah sebagai tempat pembelajaran petani.<br />

Jangka waktu panen HBK relatif lebih singkat dibadingkan dengan panen kayu,<br />

karena panen tanaman semusim hanya dalam beberapa bulan serta panen tanaman<br />

perkebunan dan buah-buahan adalah setahun sekali. Peran HBK sangat besar dalam<br />

mempertahankan eksistensi dan mendorong perkembangan usaha hutan rakyat<br />

terutama di wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani sangat sempit<br />

seperti halnya di Kabupaten Pati, karena selama menunggu saat panen kayu petani<br />

mempunyai sumber pendapatan dari HBK. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur<br />

dengan berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh<br />

pendapatan secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir.<br />

Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh<br />

petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat,<br />

atau Hutan Kemasyarakatan, direkomendasikan menggunakan teknik agroforestri<br />

atau campuran dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman<br />

hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat<br />

menghasilkan berbagai jenis HBK.<br />

34<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


Daftar Pustaka<br />

Anggraeni. 2008. Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada<br />

Tanaman Sengon, 19 Nop 2008. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan<br />

Pemuliaan Tanaman Hutan.<br />

Anonim. 2010, Peraturan Menteri <strong>Kehutanan</strong> Nomor P24/Menhut-II/2010 Tanggal<br />

3 Juni 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat, Jakarta.<br />

Anonim. 2011, Peraturan Menteri <strong>Kehutanan</strong> Nomor P23/Menhut-II/2011 Tanggal<br />

8 April 2011 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat, Jakarta.<br />

Anonim. 2011. Gambaran Umum Kondisi Desa Gunungsari, Gunungsari.<br />

Anonim. 2011. Data Monogra Desa dan Kelurahan, Desa Gunungsari, Pemerintah<br />

Daerah Kabupaten Pati, Gunungsari.<br />

Anonim. 2011, Data Monogra Desa Giling Tahun 2011, Pemerintah Desa Giling,<br />

Giling.<br />

Anonim. 2011, Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-<br />

Desa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) Tahun 2009-2010<br />

(Hasil Review Tahun 2011), Pemerintah Desa Payak, Payak.<br />

BPS Kabupaten Pati, 2010, Pati Dalam Angka 2010, <strong>Badan</strong> Pusat Statistik Kabupaten<br />

Pati, Pati.<br />

Dishutbun Kabupaten Pati. 2010, Laporan Tahunan 2010, Dinas <strong>Kehutanan</strong> dan<br />

Perkebunan Kabupaten Pati, Pati.<br />

Dishutbun Kabupaten Pati. 2011, Laporan Akhir Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten<br />

Pati, Dinas <strong>Kehutanan</strong> dan Perkebunan Kabupaten Pati, Pati.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

35


Lampiran 1. Nilai HBK dari Lahan Pekarangan dan Tegalan,<br />

2012<br />

36<br />

No. Desa<br />

Jenis<br />

Tanaman<br />

Jenis HBK<br />

Frekuensi<br />

Panen<br />

(panen/<br />

th)<br />

Nilai Jual<br />

(Rp/KK/<br />

th)<br />

1 Giling Pangan Ubi kayu 1 2,650,000 2,75<br />

Emponempon<br />

Kapulaga 1 5,000 0,01<br />

Perkebunan Kakao 6-12 2,061,000 22,13<br />

(21,331,000) Kopi 2 8,000,000<br />

Cengkeh 1 50,000<br />

Kelapa 8 120,000<br />

Randu 1 11,100,000<br />

Buahbuahan<br />

Jengkol 1-2 72,380,000 75,11<br />

Jumlah Giling 96,366,000 100<br />

2 Gunungsari Pangan Ubi kayu 1 13,175,000 8,93<br />

(13,200,000) Jagung 2 25,000<br />

Emponempon<br />

Kapulaga 2-3 1,295,000 1,55<br />

(2,295,000) Jahe 1 1,000,000<br />

Perkebunan Kopi 1 29,000,000 55,41<br />

(81,870,000) Cengkeh 1 47,500,000<br />

Randu 1 1,340,000<br />

Kelapa 10 1,860,000<br />

Lada 1 300,000<br />

Kakao - 1,800,000<br />

Panili 1 70,000<br />

Buahbuahan<br />

Manggis 1 29,875,000 34,11<br />

(50,407,000) Jengkol 1 3,150,000<br />

Petai 1 4,390,000<br />

Pisang 1-10 7,892,000<br />

Sukun 4 3,200,000<br />

Durian 1 1,500,000<br />

Rambutan 1 400,000<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030<br />

%


No. Desa<br />

Jenis<br />

Tanaman<br />

Jenis HBK<br />

Frekuensi<br />

Panen<br />

(panen/<br />

th)<br />

Nilai Jual<br />

(Rp/KK/<br />

th)<br />

Jumlah Gunungsari 147,772,000 100<br />

3 Payak Pangan Ubi kayu 1 6,000,000 24,88<br />

(13,000,000) Ketela 1 4,000,000<br />

Jagung 1 3,000,000<br />

Pakan ternak Rumput 6 3,000,000 5,75<br />

Perkebunan Cengkeh 1 8,000,000 37,79<br />

(19,747,000) Kakao 6 3,777,000<br />

Kopi 1 4,050,000<br />

Randu 1 2,000,000<br />

Kelapa 8 1,920,000<br />

Buahbuahan<br />

Jengkol 1 5,650,000 31,58<br />

(16,500,000) Pisang 10,350,000<br />

Durian 1 350,000<br />

Rambutan 1 50,000<br />

Petai 1 100,000<br />

Jumlah Payak 52,247,000 100<br />

Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

%<br />

37


Lampiran 2. Nilai Jual Kayu Dalam 3 Tahun Terakhir, 2012<br />

38<br />

No. Desa<br />

Pernah Menjual<br />

Ya Tidak<br />

Jenis Kayu<br />

Jumlah Nilai<br />

(Rp)<br />

1 Giling Tidak -<br />

2 Giling Ya Sengon, Jengkol 20.000.000<br />

3 Giling Ya Sengon, Mahoni 27.000.000<br />

4 Giling Ya Sengon 6.700.000<br />

5 Giling Tidak - -<br />

6 Giling Ya Sengon 435.000<br />

7 Giling Tidak - -<br />

8 Giling Ya Sengon 31.000.000<br />

9 Giling Ya Sengon 19.500.000<br />

10 Giling Tidak - -<br />

11 Giling Tidak - -<br />

12 Giling Ya Sengon 13.500.000<br />

13 Giling Tidak - -<br />

14 Giling Ya Sengon 2.000.000<br />

15 Giling Tidak - -<br />

16 Gunungsari Ya Mahoni 5.500.000<br />

17 Gunungsari Tidak - -<br />

18 Gunungsari Tidak - -<br />

19 Gunungsari Ya Sengon 3.000.000<br />

20 Gunungsari Tidak - -<br />

21 Gunungsari Ya Sengon 20.000.000<br />

22 Gunungsari Tidak - -<br />

23 Gunungsari Tidak - -<br />

24 Gunungsari Ya Sengon 32.500.000<br />

Overcoming Constraints to Community-Based Commercial Forestry in IndonesiaProject Overview: ACIAR- FST/2008/030


No. Desa<br />

Pernah Menjual<br />

Ya Tidak<br />

Jenis Kayu<br />

Jumlah Nilai<br />

(Rp)<br />

25 Gunungsari Tidak - -<br />

26 Gunungsari Tidak - -<br />

27 Gunungsari Ya Sengon 4.000.000<br />

28 Gunungsari Ya Sengon 700.000<br />

29 Gunungsari Ya Sengon 2.400.000<br />

30 Gunungsari Tidak - -<br />

31 Payak Ya Sengon 58.000.000<br />

32 Payak Ya Sengon 5.500.000<br />

33 Payak Ya Sengon, Mahoni 24.000.000<br />

34 Payak Ya Sengon 36.000.000<br />

35 Payak Tidak - -<br />

36 Payak Ya Sengon 21.000.000<br />

37 Payak Ya Sengon 66.000.000<br />

38 Payak Ya Sengon 40.000.000<br />

39 Payak Tidak - -<br />

40 Payak Ya Sengon, Mahoni 5.900.000<br />

41 Payak Tidak - -<br />

42 Payak Ya Sengon 15.800.000<br />

43 Payak Ya Sengon 8.000.000<br />

44 Payak Ya Sengon 14.000.000<br />

45 Payak Ya Sengon 28.500.000<br />

Total nilai jual 3 tahun terakhir 510.935.000<br />

Rata2 nilai jual per tahun 170.311.667<br />

Rata2 nilai jual per KK per tahun 3.784.704<br />

Sumber: Diolah dari data primer, 2012<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

39


Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan<br />

Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong> untuk Mengurangi Emisi<br />

dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):<br />

Belajar dari proyek kerjasama<br />

ACIAR-Kementerian <strong>Kehutanan</strong><br />

FST/2007/052<br />

Zahrul Muttaqin, Subarudi dan Fitri Nurfatriani


1. Pendahuluan<br />

Deforestasi dipercaya menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca<br />

di dunia. Dengan demikian pengurangan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan<br />

memainkan peranan yang sangat penting dalam rangka merespon perubahan iklim.<br />

Dengan luas hutan tropis yang sangat besar, Indonesia dapat memainkan peranan<br />

yang sangat penting dalam mengurangi emisi dari deforestasi melalui skema Reducing<br />

Emissions from Deforestation and Forest Degradation and the Enhancement of Forest<br />

Carbon Stock in Developing countries (REDD+). Saat ini Indonesia merupakan<br />

salah satu negara yang termasuk paling maju dalam persiapan pelaksanaan REDD+.<br />

Pembentukan Satgas REDD+, kebijakan moratorium penerbitan izin usaha<br />

pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam, penyusunan srategi nasional REDD+,<br />

persiapan-persiapan MRV dan safeguards, merupakan bukti-bukti kesiapan Indonesia<br />

melaksanakan REDD+.<br />

Sejak tahun 2008, setelah dilaksanakannya COP 13 di Bali, Kementerian<br />

<strong>Kehutanan</strong>, melalui <strong>Badan</strong> <strong>Litbang</strong> <strong>Kehutanan</strong> menjalin kerjasama penelitian dengan<br />

Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) terkait dengan<br />

perbaikan tatakelola, kebijakan dan kelembagaan kehutanan untuk mendukung<br />

pelaksanaan skema REDD+ di Indonesia. Tujuan utama pelaksanaan proyek penelitian<br />

ini adalah mendukung pengembangan kebijakan dan kelembagaan REDD+ di tingkat<br />

provinsi dan kabupaten untuk memfasilitasi pelaksanaan REDD+ dan mendesain<br />

distribusi manfaat nansial REDD+ dari pendanaan internasional.<br />

Secara khusus, proyek penelitian ini memiliki empat tujuan. Tujuan khusus<br />

pertama adalah untuk mengidenti kasi penyebab deforestasi di tingkat provinsi<br />

sehingga diharapkan pemerintah provinsi lebih memahami penyebab-penyebab<br />

tersebut. Tujuan khusus kedua adalah menduga manfaat dan biaya deforestatsi dan<br />

REDD+ baik berupa analisis biaya dan manfaat ekonomi maupun pandangan para<br />

pihak (stakeholders) berkaitan dengan biaya dan manfaat REDD+. Tujuan khusus<br />

ketiga adalah analisis perbaikan tata kelola hutan untuk memberikan masukan kepada<br />

Kementerian <strong>Kehutanan</strong> mengenai alokasi lahan hutan dan praktik-praktik pengelolaan<br />

hutan yang lebih baik. Tujuan khusus keempat adalah mengembangan sistem<br />

tatakelola REDD+ yang terdesentralisasi. Dalam hal ini sistem yang dikembangkan<br />

adalah bagaimana pendanaan REDD+ dapat didesain dengan menggunakan sistem<br />

penganggaran nasional serta bagaimana sistem distribusi manfaat REDD+ dapat<br />

dikembangkan di tingkat masyarakat lokal.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

43


Tulisan ini bertujuan untuk mensintesakan hasil-hasil penelitian yang telah<br />

dilaksanakan, terutama mengenai perbaikan tatakelola hutan dan pembangunan<br />

kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan REDD+. Dalam hal ini, tujuan khusus<br />

ketiga dan keempat akan dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan ini karena merupakan<br />

ultimate goal dari beberapa tujuan khusus penelitian ini. Disamping itu, tujuan ketiga<br />

dan keempat penelitian ini dapat memberikan masukan konkret bagi perumusan dan<br />

perbaikan kebijakan kehutanan nasional untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di<br />

Indonesia. Secara khusus, tulisan ini akan membahas: (1) analisis para pihak yang<br />

terlibat dalam rantai pasokan kayu dari hutan produksi serta permasalannya; (2)<br />

mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui kebijakan desentralisasi skal; dan<br />

(3) desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat.<br />

2. Kerangka Teori dan Analisis<br />

REDD+ dikonseptaulisasikan sebagai mekanisme untuk memberikan kompensasi<br />

pada upaya pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan yang terveri kasi atau upaya<br />

peningkatan stok karbon yang terveri kasi (Viana et al., 2012). Dengan demikian<br />

REDD+ merupakan sistem pembayaran berbasis kinerja (Wertz-Kanounnikof and<br />

Angelsen, 2009). Kerangka utama REDD+ terdiri dari: (1) cakupan (scope); (2)<br />

reference level; (3) distribusi (distribution); dan (4) pendanaan ( nancing) (Parker et<br />

al., 2008). Cakupan REDD+ terkait dengan jenis-jenis kegiatan yang dapat dianggap<br />

sebagai kegiatan REDD+(Parker et al., 2008). REDD+ dalah sebuah inisiatif untuk<br />

menciptakan nilai nansial atas karbon yang disimpan di dalam hutan, dengan cara<br />

menawarkan insentif pada negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi dari<br />

hutan, dan meningkatkan stok karbon hutan melalui investasi dalam pembangunan<br />

rendah karbon (UN-REDD Programme, n.d.).<br />

Reference level REDD+ terkait dengan bagaimana stok karbon diukur dan<br />

atas dasar apa stok karbon berubah (Parker et al., 2008). Dengan demikian baselines<br />

di tingkat nasional, sebagai elemen penting dari skema REDD+, perlu dibangun.<br />

Perdebatan tentang penentuan baselines saat ini difokuskan pada dua hal: (1)<br />

prediksi deforestasi dan kerusakan hutan dalam skenario Business As Usual (BAU);<br />

(2) bagaimana kredit diberikan berdasarkan baseline, termasuk seberapa kuat suatu<br />

negara dalam negosiasi internasional (Angelsen, 2008). Distribusi REDD+ berkaitan<br />

dengan alokasi manfaat yang dihasilkan dari pengurangan emisi pada pihak-pihak<br />

44<br />

Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong> untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):<br />

Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian <strong>Kehutanan</strong> FST/2007/052


terkait, sementara mekanisme pendanaan REDD+ berkaitan dengan bagaimana dana<br />

REDD+ dimobilisasi (Parker et al., 2008).<br />

Dunia internasional telah menunjukkan keinginan yang kuat untuk melakukan<br />

transaksi REDD+, beberapa negara berkembang menunjukkan kemauan yang kuat<br />

untuk mengatasi permasalahan deforestasi dan kerusakan hutan dan perubahan iklim<br />

secara umum (Seymour and Angelsen, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa terdapay<br />

beberapa perkembangan positif dan prospektif terhadap REDD+, meskipun masa depan<br />

REDD+ sebagai mekanisme global masih tetap belum jelas (Seymour and Angelsen,<br />

2012). Dengan demikian REDD+ masih merupakan inisiatif yang berguna untuk tetap<br />

didiskusikan (Seymour and Angelsen, 2012). Namun demikian ada beberapa elemen<br />

REDD+ yang masih perlu direalisasikan, yaitu: (1) kebutuhan untuk menyediakan<br />

pendanaan yang memadai dari negara maju, baik untuk mengkompensasikan biaya<br />

korbanan (opportunity costs) maupun untuk peningkatan kapasitas negara berkembang;<br />

(2) pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan; (3) pentingnya baselines<br />

nasional; (4) perlunya menangani masalah permanence dan leakage; dan (5) peran kunci<br />

dari manfaat pendamping (co-bene ts) seperti keragaman hayati dan hak-hak serta<br />

mata pencaharian masyarakat sekitar hutan (Blaustein et al., 2007).<br />

Dari beberapa elemen tersebut, pentingnya peningkatan kapasitas teknis dan<br />

kelembagaan, serta perlunya menangani masalah permanence dan leakage berkaitan<br />

langsung dengan perbaikan tatakelola kehutanan. Beberapa aktivitas produktif<br />

diizinkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengeksploitasi hutan dan<br />

seringkali menyebabkan kerusakan hutan dan berakhir pada alih fungsi lahan hutan.<br />

Pembalakan hutan biasanya merupakan awal dari pembukaan hutan alam secara legal<br />

berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Kementerian <strong>Kehutanan</strong><br />

(Kartodihardjo and Supriono, 2000). Selama 4 dasawarsa terakhir, pemegang izin usaha<br />

pemanfaatan kayu dari hutan alam telah gagal mengimplementasikan pengelolaan<br />

hutan lestari (Kartodihardjo and Supriono, 2000). Dengan demikian, perbaikan<br />

tatakelola kehutanan merupakan upaya yang harus diprioritaskan untuk mengurangi<br />

kerusakan hutan yang mengarah deforestasi di kawasan hutan, terutama di kawasan<br />

hutan produksi.<br />

Dalam mempersiapkan pelaksanaan REDD+, selain perbaikan tata kelola<br />

kehutanan, distribusi manfaat REDD+ juga merupakan salah satu elemen yang perlu<br />

diperhatikan. Salah satu mekanisme mendistribusikan manfaat REDD+ adalah melalui<br />

dana perimbangan pusat dan daerah. Alokasi dana perimbangan pusat dan daerah<br />

merupakan salah satu bentuk transfer skal antarpemerintah (intergovernmental scal<br />

transfers/IFTs). Kriteria sebuah IFT yang baik antara lain adalah: (1) Keobyektifan,<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

45


untuk menjamin e siensi layanan publik pada tingkat lokal; (2) Kenetralan, formula<br />

distribusi transfer harus dapat mempengaruhi pemerintah daerah memodi kasi belanja<br />

atau pajak daerahnya; (3) Otonomi, pemerintah daerah harus memiliki tingkat otonomi<br />

yang memadai; (4) Akuntabilitas, agar pemerintah daerah harus bertanggung jawab<br />

kepada pemberi transfer; dan (5) Kesederhanaan, agar mekanisme transfer tidak rumit<br />

sehingga mengurangi biaya transaksi (Bird, 2001, p.25).<br />

Pada tingkat masyarakat lokal, sistem distribusi manfaat REDD+ dapat<br />

dirancang dengan menggunakan konsep pembayaran atas jasa lingkungan atau lebih<br />

dikenal sebagai payments for environmental/ecosystem services (PES). Bond et al. (2009)<br />

menyatakan bahwa PES memiliki peran yang penting dalam mengurangi alih fungsi dan<br />

kerusakan hutan. Dengan demikian, PES juga berpotensi untuk dapat menyukseskan<br />

pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional, sub-nasional, maupun masyarakat. Hasil<br />

penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa PES dapat dikombinasikan dengan<br />

program konservasi terpadu dimana pendapatan dari kehutanan dan agroforestri<br />

untuk menunjang ketahanan pangan/ekonomi dalam jangka pendek dan manfaat<br />

kelestarian lingkungan dalam jangka panjang (Hoang et al., 2012).<br />

PES dapat dide niskan sebagai sebuah sistem yang transparan untuk penyediaan<br />

jasa lingkungan melalui pembayaran bersyarat pada penyedia jasa secara sukarela<br />

(Tacconi, 2012). Dengan demikian sebuah sistem imbal jasa lingkungan dapat disebut<br />

sebagai sebuah PES jika memenuhi syarat: (1) transparansi; (2) tambahan manfaat<br />

(additionality); (3) bersyarat (conditionality); dan (4) kesukarelaan. Agar dapat terjadi<br />

transaksi antara penyedia jasa dan penerima manfaat, nilai pembayaran dalam kerangka<br />

PES harus melebihi tambahan manfaat yang biasa diterima oleh para penyedia jasa<br />

jika memanfaatkan lahan untuk kepentingan lain (atau para penyedia jasa tidak akan<br />

bersedia untuk mengubah perilaku mereka) dan juga harus lebih rendah daripada<br />

nilai manfaat yang diterima oleh para pembeli jasa tersebut (atau mereka akan enggan<br />

untuk membayar jasa lingkungan tersebut) (Pagiola and Platais, 2002, p.22).<br />

Pendekatan PES untuk REDD+ mensyaratkan adanya sistem dan kerangka tata<br />

kelola yang efektif dan adil yang antara lain dicerminkan oleh kokohnya sistem hak<br />

atas lahan dan berfungsinya sistem pemantauan (monitoring) karbon hutan sebagai<br />

dasar pelaksanaan pembayaran (Bond et al., 2009). Dengan demikian, sistem tenurial<br />

dan tata kelola hutan di tingkat masyarakat merupakan salah satu syarat utama dalam<br />

perancangan PES untuk REDD+ yang melibatkan masyarakat sekitar hutan.<br />

Agrawal dan Angelsen (2009) merekomendasikan bahwa pengelolaan hutan<br />

oleh masyarakat (community forest management) merupakan kendaraan yang<br />

baik untuk melaksanakan program-program REDD+ di tingkat masyarakat.<br />

46<br />

Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong> untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):<br />

Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian <strong>Kehutanan</strong> FST/2007/052


Lebih jauh Agrawal dan Angelsen (2009) menyarankan bahwa pelaksanaan REDD+<br />

harus memerhatikan beberapa faktor yang memengaruhi tingkat keberhasilan<br />

pelaksanaan REDD+, yaitu: (1) luas dan tata batas hutan; (2) aliran manfaat yang<br />

mudah diprediksi; (3) kelembagaan hak atas lahan hutan; dan (4) tingkat otonomi<br />

lokal. Berkaitan dengan hal ini, Ostrom (1990) menyatakan bahwa kelembagaan<br />

lokal memegang peranan sangat penting dalam membangun pengelolaan hutan<br />

berbasis masyarakat (PHBM). Akan tetapi, jika kelembagaan lokal belum secara<br />

formal diakui, maka perlu dilakukan pembenahan kebijakan kehutanan nasional untuk<br />

mengintegrasikan REDD+ dan PHBM (Agrawal, 2007).<br />

3. Metode Penelitian<br />

Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian permasalahan dan para<br />

pihak yang terlibat sepanjang rantai pasokan kayu hutan adalah analisis kebijakan<br />

dengan tahapan: (1) Evaluasi kebijakan terkait dengan LULUCF; dan (2) Formulasi<br />

kebijakan untuk mendukung pengelolaan hutan lestari (Nurrochmat et al., 2011).<br />

Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dalam kerangka<br />

snowball sampling (Nurrochmat et al., 2011).<br />

Penelitian mengenai desain mekanisme distribusi manfaat REDD+ melalui<br />

kebijakan desentralisasi skal dilaksanakan dengan metode campuran antara kualitatif<br />

dan kuantitatif. Metode kuantitatif yang digunakan adalah analisis biaya dan manfaat<br />

konservasi sumberdaya hutan bagi pemerintah daerah. Biaya yang dihitung adalah<br />

biaya korbanan atas penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi selain konservasi<br />

hutan (Irawan et al., 2011). Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui hubungan<br />

sebab-akibat dalam pengurangan deforestasi di daerah (Irawan et al., 2011).<br />

Untuk penelitian desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat<br />

masyarakat, metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif sengan<br />

menggunakan analisis para pemangku (stakeholder analysis), analisis klaim tenurial<br />

(tenure claim analysis), serta analisis politik ekonomi REDD+ (Muttaqin, 2012).<br />

Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara, focus groups dan lokakarya<br />

(Muttaqin, 2012).<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

47


4. Ringkasan Hasil Penelitian<br />

Hasil penelitian rantai pasokan kayu menunjukkan bahwa terdapat tiga<br />

permasalahan utama yang harus diperhatikan untuk memperbaiki tata kelola<br />

kehutanan di Indonesia, yaitu: (1) permasalahan sistem legalitas sehubungan<br />

dengan ketidakkonsistenan peraturan, ketidaklengkapan peraturan, dan legitimasi<br />

peraturan yang rendah; (2) permasalahan pengorganisasian pengelolaan hutan;<br />

dan (3) permasalahan berkaitan dengan kebijakan skal (Nurrochmat et al., 2011).<br />

Permasalahan ketidakkonsistenan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari<br />

pnde nisian hutan yang berbeda-beda antara UU <strong>Kehutanan</strong>, UU Tata Ruang dan UU<br />

Otonomi Daerah (Nurrochmat et al., 2011). Ketidaklengakapan peraturan dapat dilihat<br />

dari belum adanya peraturan mengenai karbon hutan, sedangkan rendahnya legitimasi<br />

peraturan dapat dilihat dari peraturan mengenai SKSKB dan SKAU (Nurrochmat et<br />

al., 2011).<br />

Hasil penelitian distribusi manfaat REDD+ di tingkat pemerintahan<br />

menunjukkan bahwa dana perimbangan pusat dan daerah perlu ditujukan untuk<br />

mengkompensai pengelolaan dan biaya korbanan kegiatan konservasi; khusus untuk<br />

kompensasi biaya korbanan, dan perimbangan perlu didesain lebih eksibel sesuai<br />

kebutuhan daerah (Irawan et al., 2011). Meskipun menyarankan penggunaan transfer<br />

anggaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, Irawan et al. (2011) menyaratkan<br />

adanya penganggaran berdasarkan kinerja pemerintah daerah dalam konservasi<br />

sumberdaya hutan, termasuk di dalamnya adalah pengurangan emisi karbon.<br />

Hasil penelitian desain sistem distribusi manfaat REDD+ di tingkat masyarakat<br />

menunjukkan bahwa desain PES untuk REDD+ di tingkat masyarakat dapat dilakukan<br />

melalui dua tahapan dimana tahap pertama adalah perbaikan sistem tenurial, dan tahapan<br />

kedua adalah mekanisme PES murni (Muttaqin, 2012). Pembangunan kelembagaan<br />

pengelolaan hutan berbagis masyarakat (PHBM) itu nantinya dapat diklaim sebagai<br />

bagian dari biaya pelaksaan REDD+ sehingga layak untuk mendapatkan kompensasi<br />

dari dana REDD+ (Muttaqin, 2012).<br />

48<br />

Perbaikan Tata Kelola, Kebijakan dan Kelembagaan <strong>Kehutanan</strong> untuk Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Kerusakan Hutan (REDD+):<br />

Belajar dari proyek kerjasama ACIAR-Kementerian <strong>Kehutanan</strong> FST/2007/052


5. Pelajaran yang Dapat Diambil<br />

Meskipun tingkat persiapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia termasuk yang<br />

paling maju di dunia, masih banyak persoalah kelembagaan yang perlu dibenahi<br />

oleh berbagai pihak agar skema REDD+ dapat dijalankan dengan prinsip-prinsip<br />

e siensi, efekti tas, berkeadilan, dan berkelanjutan. Perbaikan system peraturan<br />

perundang-undangan merupakan salah satu basis dalam membangun kelembagaan<br />

REDD+ di Indonesia. Jika peraturan perundang-undangan sudah mampu mendukung<br />

kelembagaan REDD+, maka sistem distribusi manfaat REDD+ dapat dikembangkan<br />

sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Secara implicit, hasil penelitian<br />

menunjukkan bahwa peran Kementerian <strong>Kehutanan</strong> dan Kementrerian Keuangan<br />

dalam membangun sistem distribusi insentif REDD+ sangat besar sehingga perlu<br />

didorong untuk segera menyelesaikan hambatan struktural dalam perumusan kebijakan<br />

dan penyusuan peraturan perundang-undangan.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

49


Daftar Pustaka<br />

AGRAWAL, A. 2007. Forests, Governance, and Sustainability: Common property<br />

theory and its contributions, International Journal of the Commons, 1, 111-136.<br />

AGRAWAL, A. & ANGELSEN, A. 2009. Using Community Forest Management<br />

to Achieve REDD+ Goals, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS,<br />

M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ-<br />

KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National strategy and policy<br />

options. Bogor: CIFOR.<br />

ANGELSEN, A. 2008. How do we set the reference levels for REDD payments?, In:<br />

ANGELSEN, A. (ed.) Moving Ahead with REDD: Issues, options and implications.<br />

Bogor: CIFOR.<br />

BIRD, R. 2001. Intergovernmental Fiscal Relations in Latin America: Policy Design<br />

and Policy Outcomes. Washington, DC: Inter-American Development Bank.<br />

BLAUSTEIN, R., ETTLINGER, R. B., BOUCHER, D., MACEY, K., RYAN, F.<br />

& SCHWARTZMAN, S. 2007. Reducing Emissions from Deforestation and<br />

Forest Degradation (REDD). Available: http://www.ucsusa.org/assets/documents/<br />

global_warming/can_redd_discussion_paper.pdf.<br />

BOND, I., GRIEG-GRAN, M., WERTZ-KANOUNNIKOFF, S., HAZLEWOOD,<br />

P., WUNDER, S. & ANGELSEN, A. 2009. Incentives to Sustain Forest Ecosystem<br />

Services: A review and lessons for REDD. London, Bogor and Washington, D.C.:<br />

International Institute for Environment and Development, London, UK, with<br />

CIFOR, Bogor, Indonesia, and World Resources Institute, Washington D.C.,<br />

USA.<br />

HOANG, M. H., DO, T. H., PHAM, M. T., NOORDWIJK, M. V. & MINANG,<br />

P. A. 2012. Benefit Distribution Across Scales to Reduce Emissions from<br />

Deforestation and Forest Degradation (REDD+) in Vietnam, Land Use Policy,<br />

In Press.<br />

IRAWAN, S., TACCONI, L. & RING, I. 2011. Designing Intergovernmental Fiscal<br />

Transfers for Conservation: The case of REDD+ revenue distribution to local<br />

governments in Indonesia Working Paper #3. Canberra: Asia Paci c Network<br />

for Environmental Governance, The Australian National University.<br />

50<br />

Daftar Pustaka


KARTODIHARDJO, H. & SUPRIONO, A. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral<br />

terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan<br />

Perkebunan di Indonesia. Bogor, Center for International Forestry Research<br />

(CIFOR). Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).<br />

MUTTAQIN, M. Z. 2012. Designing Payments for Environmental Services (PES) to<br />

Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) in Indonesia<br />

PhD Thesis Submitted for Examination, The Australian National University.<br />

NURROCHMAT, D. R., KOSMARYADI, N. & HADIANTO, A. 2011. Analysis<br />

of Problems & Stakeholders In uencing the Timber Supply Chain in Production<br />

Forests & Land Clearing Permits. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />

Perubahan Iklim dan Kebijakan.<br />

OSTROM, E. 1990. Governing the Commons: The evolution of institutions for collective<br />

action. Cambridge; New York: Cambridge University Press.<br />

PAGIOLA, S. & PLATAIS, G. 2002. Payments for Environmental Services<br />

Environment Strategy Notes [Online], May 2002. Available: http://www-wds.<br />

worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2004/08/26/0001<br />

12742_20040826104114/Rendered/PDF/296710English0EnvStrategyNote302002.<br />

pdf [Accessed 13/11/2008].<br />

PARKER, C., MITCHELL, A., TRIVEDI, M. & MARDAS, N. 2008. The Little<br />

REDD Book: A guide to governmental and non-governmental proposals for reducing<br />

emissions from deforestation and degradation. Oxford: Global Canopy Foundation.<br />

SEYMOUR, F. & ANGELSEN, A. 2009. Summary and Conclusions: REDD wine in<br />

old wineskins?, In: ANGELSEN, A., WITH BROCKHAUS, M., KANNINEN,<br />

M., SILLS, E, SUNDERLIN, W.D., AND WERTZ-KANOUNNIKOFF, S.<br />

(ed.) Realising REDD+: National strategy and policy options. Bogor: CIFOR.<br />

SEYMOUR, F. & ANGELSEN, A. 2012. Summary and Conclusions: REDD+<br />

without regrets, In: ANGELSEN, A., BROCKHAUS, M., SUNDERLIN,<br />

W. D. & VERCHOT, L. V. (eds.) Analysing REDD+: Challenges and choices.<br />

Bogor: CIFOR.<br />

TACCONI, L. 2012. Rede ning Payments for Environmental Services, Ecological<br />

Economics, 73, 29-36.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

51


UN-REDD PROGRAMME. n.d. About REDD+. UN-REDD Programme. Available:<br />

http://www.un-redd.org/AboutREDD/tabid/582/Default.aspx [Accessed 20/06/<br />

2012].<br />

VIANA, V. M., AQUINO, A. R., PINTO, T. M., LIMA, L. M. T., MARTINET,<br />

A., BUSSON, F. & SAMYE, J. M. 2012. REDD+ and Community Forestry:<br />

Lessons learned from an exchange of Brazilian experiences with Africa. Manaus,<br />

Brazil: The World Bank/Amazonas Sustainable Foundation.<br />

WERTZ-KANOUNNIKOF, S. & ANGELSEN, A. 2009. Global and National<br />

REDD+ Architecture: Linking institutions and actions, In: ANGELSEN, A.,<br />

WITH BROCKHAUS, M., KANNINEN, M., SILLS, E, SUNDERLIN,<br />

W.D., AND WERTZ-KANOUNNIKOFF, S. (ed.) Realising REDD+: National<br />

strategy and policy options. Bogor: CIFOR.<br />

52<br />

Daftar Pustaka


REDD+ Readiness Preparation<br />

TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest<br />

Carbon Partnership Facility<br />

Niken Sakuntaladewi<br />

Novi Widyaningtyas


1.1 Latar Belakang<br />

1. Pendahuluan<br />

Kawasan Hutan di Indonesia meliputi areal kurang lebih seluas 136,88 juta<br />

hektar, termasuk kawasan konservasi perairan. Sebagai negara yang terletak pada<br />

kawasan tropis dunia, hutan Indonesia terdiri dari 15 formasi hutan dimana sebagian<br />

besar didominasi oleh tipe hutan hujan tropis. Hutan tropis Indonesia dikenal sebagai<br />

tempat megadiversity baik di daratan maupun perairan (Kemenhut, 2010).<br />

Kelestarian hutan adalah prioritas untuk Indonesia. Permasalahan deforestasi<br />

yang tidak terencana, pembalakan liar, kebakaran hutan , dan degradasi lahan gambut<br />

merupakan masalah nasional dan internasional karena menyebabkan peningkatan<br />

emisi gas rumah kaca (GHG). Masalah lingkungan ini juga menimbulkan dampak<br />

lingkungan, sosial dan ekonomi, baik lokal, regional, maupun global. Fasilitas<br />

Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility/FCPF) membantu<br />

negara-negara berkembang dalam upaya mitigasi emisi dari deforestasi dan degradasi<br />

huta, meningkatkan serapan karbon, konservasi, dan pengelolaan hutan lestari.<br />

Indonesia merupakan salah satu lembaga pertama yang mendapat pendanaan FCPF<br />

untuk meningkatkan kapasitas dalam menyiapkan kerangka infrastruktur untuk<br />

implementasi REDD+ (PUSPIJAK, 2011:1).<br />

Grant Funding yang diberikan untuk FCPF Indonesia adalah sebesar US$3,6<br />

juta. Dana tersebut diberikan untuk melaksanakan R-PP (Readiness Preparation Plan-<br />

Proposal-Persiapan Kesiapan Indonesia) dengan mekanisme pengelolaan on budget-on<br />

treasury. Sebagai koordinator dalam FCPF Indonesia adalah <strong>Badan</strong> Penelitian dan<br />

Pengembangan <strong>Kehutanan</strong> cq Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim<br />

dan Kebijakan.<br />

1.2 Tujuan<br />

Tujuan kerjasama ini adalah untuk membantu pengembangan kapasitas institusi<br />

penerima dalam merancang strategi nasional REDD+ membangun skenario acuan<br />

tingkat nasional dan sub nasional, dan membangun sistem perhitungan karbon dan<br />

monitoring sesuai dengan kondisi lokal, regional dan nasional.<br />

Dengan demikian, tujuan pengembangan akan dipantau melalui indikator<br />

berikut ini:<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

55


1. SESA dipersiapkan dan disetujui oleh para pemangku kepentingan nasional<br />

termasuk lembaga-lembaga pemerintah yang kompeten;<br />

2. Situasi dan kondisi yang berdampak pada Skenario Acuan Nasional (dasar) diukur<br />

dan dibahas bersama para pemangku kepentingan yang relevan, dan<br />

3. Kajian tentang penyebab deforestasi, opsi bagi hasil dan opsi intervensi yang<br />

semakin memperkuat Strategi REDD+ nasional disusun dan disetujui oleh<br />

Pemerintah setelah dibahas dan disahkan oleh para pemangku kepentingan.<br />

1.3 Cakupan Kegiatan<br />

Program FCPF mempunyai empat komponen utama:<br />

1. Kegiatan analisis yang mencakup kaijian tentang penyebab deforestasi dan tentang<br />

investasi serta intervensi lain yang dibutuhkan untuk mengurangi deforestasi dan<br />

emisi gas rumah kaca;<br />

2. Dukungan bagi proses kesiapan. Komponen ini mencakup: kajian terhadap<br />

peraturan-peraturan baru yang relevan dengan REDD+; peningkatan kapasitas<br />

lembaga dan pemangku kepentingann; kajian cepat terhadap opsi bagi hasil;<br />

sub komponen besar konsultasi dan sosialisasi yang mencakup semua pelaku<br />

termasuk Masyarakat Adat; dan penyelesaian Kajian Lingkungan Hidup dan<br />

Sosial Strategis (SESA) serta penyusunan Kerangka Pengelolaan Lingkungan<br />

Hidup dan Sosial (ESMF)<br />

3. Kajian dan pengukuran dampak perubahan tata guna lahan terhadap emisi gas<br />

rumah kaca. Komponen ini akan mengkaji dan mengukur dampak dari perubahan<br />

tata guna lahan terhadap stok karbon, mengembangkan deret waktu perubahan<br />

lahan dan mendukung sistem pemantauan stok karbon, mengembangkan deret<br />

waktu perubahan lahan dan mendukung sistem pemantauan stok karbon di tingkat<br />

lapangan. Penilaian dan pementauan Stok karbon terutama akan dibiayai oleh<br />

FAO (UN-REDD) dan AusAid;<br />

4. Pengumpulan data dan peningkatan Kapasitas Daerah. Komponen proyek yang<br />

keempat ini akan memfasilitasi kegiatan REDD+ yang relevan di tingkat subnasional<br />

(daerah) dengan mengumpulkan data sosial ekonomi dan sumber daya<br />

hayati serta parameter-parameter lain yang dibutuhkan.<br />

56<br />

REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility


1.4 Hasil-Hasil Utama<br />

1. Pemahaman dan pengetahuan tentang penyebab deforestasi dan degradasi hutan<br />

serta tentang strategi untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan meningkat;<br />

hasil kajian tentang opsi-opsi investasi prioritas untuk mengurangi deforestasi<br />

dan degradasi hutan tersedia; kegiatan di Indonesia yang berhasil mengurangi<br />

emisi dan meningkatkan penyerapan karbon, serta stabilisasi stok karbon hutan<br />

dikaji; dan pemahaman tentang status, kesenjangan dan kebutuhan peningkatan<br />

kapasitas untuk melaksanakan kerangka REDD+ nasional meningkat;<br />

2. Peraturan-peraturan yang ada tentang REDD+ dikaji; kapasitas lembaga yang<br />

berkaitan dengan REDD+ meningkat; kesadaran dan rasa memiliki terhadap<br />

proses kesiapan meningkat melalui konsultasi dan sosialisasi; kapasitas pemangku<br />

kepentingan, termasuk masyarakat adat, untuk ikut dalam proses pengembangan<br />

kebijakan diperkuat; dan Kerangka Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sosial<br />

yang berfokus pada kegiatan Demonstrasi REDD+ yang akan datang tersedia.<br />

3. Pemahaman tentang siklus karbon terestrialdari berbagai bentuk penggunaan lahan<br />

meningkat; hasil analisis deret waktu terhadap aspek sosial eonomi dan kebijakan<br />

utama dari perubahan tata guna lahan tersedia; dan Patok Sample Permanen<br />

(PSP) meningkatkan kepastian pada perkiraan GRK dari REDD+ di berbagai<br />

jenis hutan di kawasan-kawasan terpilih.<br />

4. Data terbaru tentang potensi REDD+ di Propinsi terpilih dihasilkan; kapasitas<br />

untuk menyusun kerangka REDD+ dan melaksanakan program-program REDD+<br />

di lokasi sub nasional terpilih (lokasi: Kalimantan Selatan, Papua Barat, Sulawesi<br />

Selatan, Kabupaten Musi Rawas-Sumatera Selatan, NAD).<br />

2. Perkembangan Hingga Saat Ini (2011-2012)<br />

Kegiatan Hasil<br />

A. WB: Sosialisasi awal SESA Pemahaman awal SESA<br />

B. PUSTANLING<br />

1. Workshop on DD From Development perspective,<br />

LU & demand, demographic, development &<br />

identi cation of activities that result in RE &<br />

increased removals & stabilization of forest C<br />

stocks<br />

Prosiding<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

57


58<br />

Kegiatan Hasil<br />

2. Outrech on management of data & lessons on<br />

readiness activities/DA<br />

3. Stakeholder process to review existing regulatory<br />

C. PUSPIJAK<br />

framework and formulate an integrated REDD<br />

regulation<br />

1. Launcing FCPF<br />

Prosiding<br />

Prosiding<br />

2. Penyusunan TOR TOR<br />

3. Pembuatan Flyer Draft Flyer (3 buah)<br />

4. Penyelesaian Reksus &Peraturan Dirjen<br />

Perbendaharaan<br />

Reksus dan Perdirjen<br />

5. Penyusunan manual Draft manual FCPF<br />

6. Stakeholder coordination workshop<br />

“Comprehensive Mitigation Action for REDD+”<br />

Gambaran tentang pemahaman<br />

stakeholder tenteng REDD+ &<br />

saran terhadap program FCPF<br />

7. Training Need Assesment workshop Modul pelatihan<br />

8. Stakeholder Coordination workshop for sharing &<br />

learning on methods, techniques and institutional<br />

of demonstration activities (DA) to support forestry<br />

GHG emission reduction target<br />

9. Shared learning Through Printed Publication and<br />

website<br />

10. Workshop on MRV (Pusat dan sub nasional)<br />

11. Establishment of PSP for ground based monitoring<br />

12. Identify activities within the country that result<br />

in reduced emission and increased removals and<br />

stabilization of forest carbon stocks<br />

13. Development time series analysis of the primary<br />

social economic and policy aspect of land use<br />

change<br />

14. Development of social economic and biophysics<br />

baseline data for evaluating the readiness of<br />

REDD+ implementation<br />

15. Training of trainer on carbon accounting and<br />

monitoring at national level<br />

REDD+ Readiness Preparation TF99721 ID (FCPF/World Bank) Forest Carbon Partnership Facility<br />

Progress dan pemetaan DA<br />

Flyer, warta, buku laporan kegiatan


D. Dewan <strong>Kehutanan</strong> Nasional (DKN)<br />

Kegiatan Hasil<br />

1. Develop guidance for effective engagement of IP<br />

and local Comunity<br />

a. Pengembangan panduan konsultasi publik<br />

untuk REDD+<br />

b. Pengembangan panduan keterlibatan<br />

masyarakat secara efektif di tataran lapangan<br />

untuk REDD<br />

2. Workshop to develop Guidance for effective<br />

engagement of IP and local communities<br />

a. Konsultasi publik untuk penyempurnaan<br />

pedoman konsultasi publik untuk REDD+<br />

b. Konsultasi publik panduan keterlibatan<br />

masyarakat untuk REDD+<br />

3. Development of SESA<br />

a. Review instrumen SESA untuk REDD+<br />

b. Konsultasi publik SESA untuk REDD+<br />

c. Penyempurnaan sistem info pengaman untuk<br />

sosial dan lingkungan untuk REDD+<br />

d. Pendokumentasian nal-sistem informasi<br />

SESA untuk REDD+<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

59


Project number: PD 73/89 (F,M,I)<br />

Phase II Feasibility Study on REDD+<br />

in Central Kalimantan, Indonesia<br />

Sulistyo A. Siran


1. Background<br />

As the follow up of Pre Feasibility Study on Investment Scheme For Japanese<br />

Private Sector in a REDD+ Project in Indonesia held from August 2010-March<br />

2011, it is recommended to conduct full Feasibility Study (FS) which aims to develop<br />

a complete REDD+ MRV Methodology for the bilateral offset scheme.<br />

The scheme will be developed in the absence of mechanism in addressing green<br />

house gas emission due to deforestation in developing countries, though negotiations<br />

on REDD+ implementation has been intensively discussed in the Conference of the<br />

UN Framework Convention on Climate Change in Durban, South Africa.<br />

Within the Indonesian context, The Government has a commitment to reduce<br />

26% (with the government budget), or 41% (with additional funding) from international<br />

communities) of GHG emission (business as usual) by 2020. For this commitment<br />

the Central Government has established Climate Change National Body (DNPI),<br />

Working Unit to Supervise and Control Implementation of Development (UKP4), Set<br />

up National Action Planning of GHG reduction (RAN GRK) as well as regulation<br />

for the basis of REDD+ Implementation.<br />

Indonesia and many other developing countries experienced rapid deforestation<br />

and forest degradation, due to several factors among others are: forest re, illegal<br />

logging, encroachment and conversion of forest land to other purposes such as<br />

agriculture and resettlement. This activities will lead to high contribution to GHG<br />

emission where the highest contributor for emmision coming from peat land.<br />

2. Project Objectives and Implementation Strategy<br />

1. In response to the above matter, one of the promising solution agreed upon by<br />

countries under the UN CCC is the mechanism called REDD+. This mechanism<br />

offers incentive to the country in reducing emission from deforestation and forest<br />

degradation. Though negotiation on REDD+ still continue in the next several<br />

Conference of the UN Framework Convention on Climate Change, it seems that<br />

the nal agreement on REDD+ implementation could be far from en end.<br />

2. Due to the likelihood of the matter could be solved immediately, one<br />

of the potential scheme could be developed is bilateral offset scheme.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

63


This Feasibility Study is therefore aims to develop a complete REDD+<br />

Methodology for the bilateral offset scheme. Through the FS, several objectives<br />

will be achieved which are: MRV applicable methodologies to measure the<br />

volume of GHG emission reduction, methodology to have social and environment<br />

safeguard, methodology design document and consideration of bilateral offset<br />

scheme through scrutinizing various possible schemes for credit transfer.<br />

3. Activities of the FS was carried out by The Ministry of Forestry Indonesia, in<br />

cooperation with ITTO, University of Hokkaido, Starling Resources PT. Rimba<br />

Makmur Utama and Terra Global Capital Inc.,<br />

3. Project Activities<br />

The FS on REDD+ in Central Kalimantan consist of seven activities/sub<br />

activities. Result of each activity implementation is as follows:<br />

3.1 Review of the current Voluntary Carbon standard (VCS) and SOP<br />

on Katingan Peat Restoration and Conservation Project<br />

3.1.1 Specific Objective(s)<br />

Speci c objective of this activity is to review draft on: (1) Overview of the<br />

current Voluntary Carbon standard (VCS) and SOP on Katingan Peat Restoration<br />

and Conservation Project provided by Terra Global Capital (TGC).<br />

3.1.2 Outputs and Detailed activities<br />

Output of this activity is a report on: (1) Draft of SOP on Allometric Equation<br />

(2) Draft of SOP on Field Measurement (3) Draft Review of the current Voluntary<br />

Carbon Standard (VCS) provided by Terra Global Capital (TGC).<br />

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />

1. MOF/<strong>FORDA</strong> together with Starling Resources (SR) review: (1)<br />

Draft of SOP on Allometric Equation and (2) Draft of SOP on Field<br />

Measuremen provided by Terra Global Capital (TGC).<br />

2. Draft reviewed then was sent back to TGC for further improvement including<br />

additional information from eld survey (forest biomass inventory and destructive<br />

sampling).<br />

64<br />

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia


3. TGC incorporated all comment both from MOF/<strong>FORDA</strong> and the University<br />

of Hokkaido to nalize the Draft.<br />

4. With regard to Review of the current Voluntary Carbon Standard (VCS), MOF/<br />

<strong>FORDA</strong> has yet received the draft from Terra Global Capital (TGC), therefore<br />

it could not be reviewed.<br />

Conclusion<br />

From the review, MOF/<strong>FORDA</strong> Team suggest to develop new local Allometric<br />

Equation rather than to verify that equation since the existing allometric equation was<br />

not developed based on peat forest parameter. Otherwise the equation is considered<br />

not valid and not credible.<br />

3.2 Development and Testing of a Carbon MRV Methodology and<br />

Monitoring Plan<br />

3.2.1 Specific Objective(s)<br />

Speci c objective of this activity is to design and test the applicability and<br />

scienti c thoroughness of the carbon MRV methodology through the measurement and<br />

monitoring of peat, water level, and forest biomass at each permanent sampling plot.<br />

3.2.2 Outputs and detailed activities<br />

Output of this activity is a report on the development of carbon MRV methodology<br />

to measure the volume of GHG emission reduction and monitoring plan.<br />

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />

The scienti c and thoroughness of carbon MRV methodology is developed<br />

through the measurement and monitoring of peat, water level and forest biomass at<br />

each permanent sampling plot.<br />

3.2.2.1 Peat<br />

1. Prepare planning to determine the point in which the sampling will be taken<br />

2. Measure peat depth in the eld (primary forest, burn forest, logged over<br />

forest) by taking peat soil sample directly from the auger as much as 30 cm<br />

long at the centre of auger.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

65


3. Weigh the sample using digital balance and put into the labeled plastic bag.<br />

Take the next peat soil sample every 50 cm peat depth.<br />

4. Test peat maturity to see the level of peat maturity<br />

5. Describe peat color by using munsell soil-color chart<br />

6. Integrate all data (including data from previous measurement) and<br />

information to determine the peat dept level.<br />

3.2.2.2 Water level<br />

1. Prepare planning to put Automatic Water Level Recording (AWLR) in the eld<br />

(burn forest or logged over forest)<br />

2. Set up the AWLR by preparing and inserting HOBO into the iron pipe.<br />

3. Record the coordinate of the location where AWLR was put in place.<br />

4. Monitor water level periodically<br />

5. Measure water level based on the data recorded in the AWLR<br />

3.3 Forest Biomass<br />

3.3.1 Development of allometric equation<br />

1. Establishment of plot in the eld, followed by measurement and calculation of<br />

carbon stock<br />

2. Formulation of allometric equation based on the relationship between total dry<br />

weight of each part of trees and other parameter, such as diameter, total tree high<br />

and wood density<br />

3. Calculation of biomass deviation between local allometric equation (result of this<br />

research) Chave equation and Kettering equation<br />

3.3.2 Estimation of a below ground biomass (peat soil)<br />

1. Measurement of peat depth by inserting the drill peat or Eidjelkamp gradually<br />

2. Physical and chemical analysis of peat samples<br />

3. Develop peat pro ling in the eld<br />

66<br />

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia


3.3.3 Forest Biomass estimation using remote sensing<br />

1. Pre Processing of satellite image, trough geometric correction and image<br />

enhancement<br />

2. Development of vegetation index<br />

3. Regression analysis<br />

Conclusion<br />

1. Peat depth at each plot vary from one plot to another. The variation starts from<br />

1.0 meter depth (mostly in the burnt forest) to over 8 meter depth (mostly in log<br />

over forest.<br />

2. Test on automatic water level recording shows that the water table level pattern<br />

is highly varied (from 0 cm until 23 cm)so as a longer time series data is needed.<br />

3. Total carbon stock of both above ground biomass in primary forest, logged-over<br />

forest and ex-burnt forest amounting to 3,424.36 ton/ha; 3,180.93 ton/ha, and<br />

654.36 ton/ha respectively.<br />

4. Based on the result of the analysis of deviation between the local equation of<br />

biomass with biomass equation of Ketterings ad Chave, it can be concluded that<br />

local allometric equation can reduce up to 35.72% over estimation of Chave’s<br />

biomass estimation and reduce up to 22.54% over estimation of Kettering’s biomass<br />

estimation. Thus, Kettering equation has the lowest deviation than the Chave’s.<br />

Recommendation<br />

It is suggested that in the absence of local allometric equation, Kettering equation<br />

can be used since this equation is relatively low over estimation rather than Chave’s<br />

Equaion.<br />

4.1 Specific Objective(s)<br />

4. Implementing Social Safeguard<br />

Objectives of this project is to implements social safeguard through engagement<br />

of Local communities.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

67


4.2 Output and detailed activities<br />

Output of this activity is a report on the implementing social safeguard through<br />

engagement of local communities.<br />

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />

1. Conduct dialogue with communities from 4 villages such as: Hanau Village,<br />

Bapinang Hulu, Terentang Hilir, and Terentang.<br />

2. Conduct a stakeholder analysis<br />

3. Identify agent of deforestation in relation to the drivers of deforestation<br />

4. Develop a comprehensive IEC methodology from content developmment to<br />

dissimination<br />

5. Identify target audience and assess propper ways to implement FPIC process<br />

6. Identify a traditional means to dissiminate information at the local level<br />

7. Identify existing pattern of resources use and livelihood activities<br />

8. Identify market opportunities for value added forest and non forest products<br />

9. Analyze incentive structure and assess the feasibility of bene ts distribution<br />

mechanism that correspond to stake holder's rights and responsibility<br />

10. Monitor and evaluate socio-economic impacts of the project<br />

Conclusion<br />

From the dialogue with communities several villages, namely: Hanau Village,<br />

Bapinang Hulu, Terentang Hilir, and Terentang, data and information collected in<br />

the previous study, it is concluded that: (1). Communities more and more understand<br />

about the conservation of forest (2). Propose to be involve in the forest protection,<br />

although they expect to get material from forest to build a house (3). They expect more<br />

favorable policy on regulating non wood timber forest product, such as rattan, so that<br />

their income will not decrease. (4) Expect to get training on certain aspect such as<br />

culture of fungi to increase income.<br />

Recommendation<br />

In response to community’s expectation speci cally on rattan trade regulation, it<br />

is recommended for stakeholders such as Local Government, Local Non Government<br />

Organization (NGO) and Company to provide alternative source of income due to the<br />

possibility of low rattan price so that they will not return to forest to illegally log trees.<br />

68<br />

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia


1. Duration: November 2011- February 2012<br />

2. Budget: Japan Yen 1,250,000,-<br />

5.1 Specific Objective(s)<br />

5. Implementing Environmental Safeguards<br />

Objectives of this project is to implement environmental safeguard through<br />

biodiversity conservation<br />

5.2 Output and detailed activities<br />

Output of this activity is a report on the implementing environmental safeguard<br />

through biodiversity conservation<br />

Implementation of the activities in detailed is as follows:<br />

1. Undertake biodiversity assessment including endangered and threatened oral<br />

and faunal species.<br />

2. Indentify HCV areas<br />

3. Develop biodiversity management strategies and methodologies linked to the<br />

project's zonation plan and HCV priorities<br />

4. Assess the anticipated impacts of an ecosystem restoration plan including replanting<br />

native species and restoring hydrological function<br />

5. Design an integrated data base and GIG system to manage, record and analyze<br />

the outcome of he FS<br />

6. Assess the feasibility of local capacity building to support biodiversity and he<br />

project's objective<br />

7. Assess the existing or the need to establish new feedback mechanism to incorporate<br />

biodiversity data and analysis into project's longterm research agenda and plans.<br />

Based on the eld survey, the assessment has been made for the followings: (1)<br />

delineation of High Conservation Values including peat hydrology relevant to areas to<br />

be planted with native species. (2) Assessment the impact of forest restoration activities<br />

and landscape level in Katingan district (3). Determine areas to be operated by SR/<br />

villages, without jeopardizing ability to maintain HCV across the FMU, including<br />

peat land hydrology, (4) Develop strategies of Environmental Safeguard for HCV<br />

areas in the Katingan Project area.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

69


6.1 Specific Objective(s)<br />

6. Methodology Design Document<br />

Objectives of this activity is to review methodology design document provided<br />

by the Starling Resources.<br />

6.2 Output and detailed activities<br />

Output of this activity is a review draft methodology design document.<br />

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />

Review draft of Methodology Design Document (MDD) has been made. MDD is<br />

the product of Feasibility Study containing 3 parts. Part One outlines the Background,<br />

Objectives, Study site, Study methods, and outputs. Part Two consist of three sections.<br />

Section One discusses about Carbon MRV methodology, Section Two discusses about<br />

Social Safeguards, while Section Three discusses about Environmental Safeguard.<br />

Part Three contains several annexes namely: SOP for Field Measurements, SOP for<br />

Allometric Development and Veri cation, Local Allometric Equation, Aboveground<br />

and Belowground Carbon Stock Estimation,<br />

Based on the review, MOF propose to make additional recommendation on<br />

the following aspects: (1) Full carbon stock analysis using advanced remote sensing<br />

technology (eg. LIDAR), (2) Measurement of Emission Factors for the Katingan<br />

Projject Area (3) Development of early warning system for peat re.<br />

7. Various Possible Schemes for Credit Transfer<br />

7.1 Specific Objective(s)<br />

Objectives of this activity is to identify possible schemes for credit Transfer ad<br />

institutional arrangement under bilateral offset scheme.<br />

70<br />

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia


7.2 Output and detailed activities<br />

Output of this activity is a report on the identi cation of possible schemes for<br />

credit transfer and institutional arrangement under bilateral offset scheme.<br />

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />

1. Preparation and collection of secondary data<br />

2. Review on current schemes for credit transfer and institutional arrangement<br />

under bilateral offset scheme.<br />

3. Write a report on the identi cation schemes for credit transfer and institutional<br />

arrangement under bilateral offset scheme.<br />

Conclusion and Recommendation on the identi cation of possible schemes<br />

for credit transfer and institutional arrangement under bilateral offset scheme are<br />

as follows:<br />

Conclusion<br />

1. There are many existing credit transfer scheme in many countries with various<br />

method, approach, number of parties, scheme and activities<br />

2. In general. All credit transfer have effective and ef cient institution arrangement.<br />

Therefore it can achieve their objective to conserve forest resources.<br />

3. Credible credit transfer could be gained through the payment of environmental<br />

services (PES) approach, since it is believed that it will compensate the community<br />

fair enough with the bene t from their effort.<br />

4. Credit transfer institution should considered effective, ef cient and equity<br />

principle, so that every stakeholders will play their role in balance manner.<br />

Recommendation<br />

Base on the existing credit transfer scheme in several countries and consider<br />

ef cient and effective institutional arrangement, it is recommended to (1) set up<br />

pre condition enabling the scheme can be applicable such as rule and regulation, (2)<br />

develop the scheme which is appropriate with Indonesian condition.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

71


8. Consideration of REDD+ Juridictional and Nested (sub<br />

nasional) Approach<br />

8.1 Specific Objective(s)<br />

Objectives of this activity is to review and comment on the draft report of the FS.<br />

8.2 Output and detailed activities<br />

Output of this activity is a review on the draft report which contain the assessment<br />

of the FS of implementing bilateral offset scheme beyond project level and the potential<br />

of expanding the offset mechanism to the sub national level.<br />

Implementation of this activity in detailed steps are as follows:<br />

II.2. Input Applied<br />

4. Project Outcome, Target Bene ciaries Involvement.<br />

(i) As stated in the project document, the objective of the project is to develop a<br />

complete MRV methodology for bilateral offset scheme. In order to develop<br />

credible MRV methodology specially in the peat land, many aspects in the<br />

development of MRV should be considered in order that thoroughness and<br />

scienti cally MRV methodology will be achieved. Since MRV methodology in<br />

peat land is still far from enough in Indonesia, it is therefore MRV methodology<br />

resulted from this Feasibility Study is incredibly important and could be a model<br />

for other peat land in Central Kalimantan with the same characteristic.<br />

(ii) Besides the above, eldwork and analysis of data and information from many<br />

sources to develop MRV methodology involves scientist from many institutions<br />

such as MOF/<strong>FORDA</strong>, University of Hokkaido, Starling Resources and Terra<br />

Global Capital. The Involvement of those institutions certainly demonstrate their<br />

commitment to present credible MRV methodology as one of the instrument to<br />

measure carbon emission reduction in peat land.<br />

(iii) Completion of the project produces a set of reports that present data and<br />

information about outputs of the project consist of report from each of activity:<br />

1. Report 1.1: Draft of SOP on Allometric Equation<br />

2. Report 1.2: Draft of SOP on Field Measurement<br />

72<br />

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia


3. Report 1.3: Draft Review of the current Voluntary Carbon Standard (VCS)<br />

4. Report 1.2: Development and Testing of a carbon MRV methodology and<br />

monitoring plan<br />

5. Report 1.3: The Implementation of Social Safeguard through Engagement<br />

of Local Communities.<br />

6. Report 1.4: The implementation of Environmental Safeguard through<br />

Biodiversity Conservation<br />

7. Report 1.5: Review draft Methodology Design Document<br />

8. Report 1.6: The Identi cation of Possible Schemes for Credit Transfer and<br />

Institutional Arrangement under Bilateral Offset Scheme.<br />

9. Report1.7: The Assessment of the FS of Implementing Bilateral Offset<br />

Scheme Beyond Project.<br />

Several tools and of ce equipment have been procured through this project, namely:<br />

Automatic Water Level Recording (AWLR), Eidjelkamp (Peat Sampler), IPAD,<br />

printer, hard-disks. All these tools and equipment are intended to help increase<br />

capacity in the execution of the project.<br />

5. Assessment and Analysis<br />

(i) The Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan is a short term project<br />

(6 month), This FS is a follow- up of Pre FS which was undertaken in the previous<br />

year. Although all activities were carried out as described in the project document,<br />

but some ndings from previous Pre FS are used in the implementation of FS.<br />

(ii) In general, all activities are carried out according to schedule in the work plan,<br />

and no major problem were encountered during implementation. However<br />

since the project is carried out by consortium, several activities can only be done<br />

if such activities have been completed by those member of consortium.<br />

(iii) Time and input for the project implementation can be summarized as follows:<br />

Time<br />

The project was implemented within the time frame. Based on the MOU,<br />

the duration of the project was 6 month, starting from September 2011 until<br />

February 2012. in fact, the works just started in October 2011 and intensively<br />

implemented in December 2012 and should nish at the end of February 2012.<br />

Before the project started, an administrative arrangement should be completed<br />

such as a bank account, project team, coordination, executing agency. In fact, it<br />

was required some time to be done.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

73


Project inputs<br />

From seven activities of the project, four activities are carried out by four teams,<br />

thus one team is responsible to one activity involving researcher or experts<br />

in related eld with one member as a coordinator. From the observation , all<br />

team showing a good performance both in terms of work quality and team work<br />

building. It is therefore each team will diliver a report of their activity in due<br />

course.<br />

In relation with equipment , there is no major problem to support eld work<br />

because all equipment needed are available in the eld, either provided by<br />

Starling Resources or purchased by the project. These most important equipment<br />

include Automatic Water Level Recording (AWLR) to measure water table and<br />

Eidjelkamp, for measuring peat depth.<br />

There was no problem with nancial resources, since they already know how to<br />

spend money for the activity according to rule and regulation provided by ITTO<br />

and Marubeni Corporation. The experience of handling activity from previous<br />

Pre Feasibility Study is also very supportive in such circumstances.<br />

(iv). The Feasibility Study project involves seven institutions:<br />

Centre for International Cooperation-MOF RI<br />

Research Center for Climate Change and Policy<br />

International Tropical Timber Organization<br />

Marubeni Corporation<br />

University of Hokkaido<br />

Starling Resources<br />

Terra Global Capital<br />

PT. Rimba Makmur Utama<br />

Cooperation and coordination are running smoothly both during planning until the<br />

execution of the project. Each institution perform according to its task and obligation.<br />

6. Lessons learned<br />

Lessons learned from the project can be outlined as follows:<br />

Project design and identi cation is well set up. This will lead to each party involved to<br />

play role and contribute to the success of the project.<br />

Coordination among seven institutions during project arrangement, planning and<br />

implementation is a key success in achieving goal and objectives of the project<br />

Monitoring and evaluation were carried out through intensive meeting, both internal<br />

meeting as well as technical meeting.<br />

The creation of millist as a medium for group to communicate about the progress of<br />

the projects is very helpful.<br />

74<br />

Project number: PD 73/89 (F,M,I) Phase II Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia


7. Conclusion and Recommendation<br />

The FS on REDD+ in Central Kalimantan, Indonesia achieved objectives and<br />

deliver outputs as planned in the project document. Although the FS was a short<br />

terms project, it could be executed smoothly in the eld according to schedule. Good<br />

coordination and cooperation among institutions involveld was most rewarding and<br />

make it possible to pursue the target.<br />

Since the FS has provided a good result and nding in relation with carbon emission, it<br />

is recommended to get bilateral offset scheme become materialized in the eld, so that<br />

both countries (Indonesia and Japan) can share offset credit as agreed upon.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

75


Notulensi<br />

Workshop Kerjasama Internasional di Puspijak 2012<br />

Ruang Meeting E , Botani Square<br />

Bogor 5 Nopember 2012<br />

1. Workshop dipimpin oleh Kepala Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan Kebijakan<br />

(Puspijak) dan dihadiri oleh 75 (tujuh puluh lima) orang peserta. Para peserta<br />

mewakili instansi pemerintah, perguruan tinggi negeri/swasta, LSM, serta praktisi<br />

kehutanan.<br />

2. Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) saat ini memiliki 4<br />

(empat ) proyek kerjasama internasional, yaitu :<br />

a. Tropical Forest Conservation For Reducing Emission From Deforestation and<br />

Forest Degradation And Enchancing Carbon Stock In Meru Betiri National<br />

Park, Indonesia-ITTO<br />

b. Overcoming Constrains to Community Based Comercial Forestry in Indonesia-<br />

Aciar<br />

c. Improving Governance, Policy and Institutional Arrangements to Reduce<br />

Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)-ACIAR<br />

d. REDD+ Readiness Preparation TF 99721 id (FCPF/World Bank)<br />

3. Dalam sambutannya Kepala Pusat <strong>Litbang</strong> Perubahan Iklim dan Kebijakan<br />

(Puspijak) menyampaikan posisi strategis kerjasama litbang bagi suatu institusi<br />

riset, disampaikan pula bahwa melalui forum workshop ini dapat diperoleh<br />

masukan, saran dan kritik membangun untuk mempertajam program dan<br />

optimalisasi capaian serta pemanfaatan hasil litbang hasil keerjasama di Puspijak.<br />

1.1 Presentasi 1<br />

1. Presentasi<br />

Pelibatan Masyarakat dalam DA-REDD (Tropical Forest Conservation for Reducing<br />

Emission from Deforestation and Forest Degradation and Enchancing Carbon Stock in<br />

Meru Betiri National Park, Indonesia)<br />

Oleh : Ir. Ari Wibowo, Msc.<br />

Moderator : Dr. Fauzi Masud<br />

76<br />

Notulensi


1. Kegiatan DA REDD di TN Meru Betiri bertujuan untuk mengurangi emisi sebagai<br />

kegiatan mitigasi perubahan iklim dan bersifat voluntary. Indonesia mendukung<br />

sekma REDD karena sesuai dengan pengelolaan hutan lestari.<br />

2. Banyak kegiatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi proyek REDD+<br />

Indonesia, Kemenhut dapat mengakomodir dengan memantau kegiatan REDD<br />

dan mendorong perannya dalam kegiatan penurunan emisi.<br />

3. REDD+ di Merubetiri karena TN Meru Betiri merupakan kawasan konservasi<br />

yang memperoleh ancaman (threats).<br />

4. Pro l Kegiatan DA REDD di TN Meru Betiri :<br />

a. Pelaksana : Balitbanghut<br />

b. Proponen : Puspijak, TNMB, Latin<br />

c. Periode kegiatan : 2010-2013 (4 tahun)<br />

d. Luas : 58 ha<br />

e. Lokasi kegiatan : di selatan TN Merubetiri<br />

5. Tujuan kegiatan berkaitan dengan masyarakat dan penurunan emisi yang credible,<br />

luaran yang diharapkan berupa networking (terjadi kolabarisasi antara Pemda,<br />

NGO, Perguruan Tinggi, Pemerintah/swasta) serta diseminasi dan publikasi,<br />

kegiatan pelatihan masyarakat (MRV, inventarisasi berbasis sumberdaya), 40<br />

permanen plot untuk mengetahui stok carbon dan perkembangan deforestasi.<br />

6. Dampak kegiatan yang diharapkan dari DA Meru Betiri ini adalah hadirnya<br />

kegiatan percontohan sebagai pembelajaran dalam mendukukung kegiatan<br />

pengelolaan hutan lestari.<br />

7. Merupakan DA yang mewakili konservasi serta merupakan proses belajar terutama<br />

yang terkait dengan masyarakat, salah satu bentuk konkrit kegiatan tersebut adalah<br />

adanya perjanjian antara masyarakat dengan pihak TN terkait zona pemanfaatan<br />

dan zona rehabilitasi yang dilakukan dengan menanaman jenis tanaman yang<br />

mengandung carbon tinggi.<br />

8. Tantangan yang dihadapi adalah masalah keberlanjutan pendanaan pasca kegiatan<br />

DA. Mekanisme REDD masih dalam tahap perkembangan, salah satu peluang<br />

perolehan pendanaan pasca kegiatan DA adalah masuk ke skema voluntary market.<br />

Walaupan pasarnya kecil, namun voluntary market membuka peluang untuk<br />

pasar yang lain<br />

9. Tantangan lain dari kegiatan ini adalah upaya Scaling up agar dapat dilakukan<br />

di tempat lainnya.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

77


1.2 Presentasi 2<br />

Hutan Rakyat di Pati (Overcoming Constrains to Community Based Comercial Forestry<br />

in Indonesia-ACIAR)<br />

Oleh : Dra. setiasih Irawanti, Msi.<br />

Moderator : Dr. Fauzi Masud<br />

1. Pro l Kegiatan<br />

a. Judul kegiatan : FST /2008/030<br />

b. Periode pelaksanaan dari April 2011 – september 2015 (4,5 tahun)<br />

c. Lokasi kegiatan dan jenis tanaman : Kabupaten Pati (sengon), Kabupaten<br />

Gunung Kidul (jati), Kabupaten Bulukumba Sulsel dan Sulawesi Tenggara<br />

(biti dan jati), Sumbawa(jati)<br />

d. Tujuan kegiatan adalah untuk untuk mengurangi deforestasi dan membangun<br />

hutan tanaman<br />

e. Lokasi penelitian kegiatan ini berlokasi di lereng Gunung Muria<br />

2. Kegiatan ini memiliki empat tugas riset (reseach task), yaitu :<br />

a. analisis dimensi sosial<br />

b. kerangka kerja mata pencaharian<br />

c. analisis rantai nilai<br />

d. pendekatan pembelajaran petani<br />

3. Tujuan penelitian yaitu melakukan dimensi analisis sosial, evaluasi rantai nilai,<br />

meningkatkan kapasitas petani, mempengaruhi pemangku kepentingan.<br />

4. Kegiatan memiliki 4 (empat) Communication tasks yaitu pembuatan brief info,<br />

website, partner lokal/setempat. Di pati kegiatan bermitra dengan LSM Trees for<br />

Trees. Hasil penelitian akan disampaikan dalam international conference.<br />

5. Kabupapaten Pati merupakan lokasi kegiatan hutan rakyat. Hasil dari budi<br />

daya kayu di hutan rakyat dipasrkan ke Kabupaten Semarang, Salatiga, dan<br />

Temanggung. Petani di kabupaten Pati berfokus pada kayu sengon karena memiliki<br />

nilai komersial, juga dibudidayakan mahoni dan jati.<br />

6. Hasil research analisis dimensi sosial sementara adalah identi kasi lahan hutan<br />

rakyat yaitu tegalan dan lahan milik rakyat, batas sik kepemilikan lahan berupa<br />

tanaman hidup, pemanfaatan lahan dengan tumpangsari, hasil lahan yaitu kayu<br />

dan HHBK, serta ternak. Dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa hutan<br />

rakyat merupakan pendapatan utama petani setempat.<br />

78<br />

Notulensi


7. Rekomendasi dari kegiatan ini adalah pembangunan HR, HTR, HKm dengan<br />

menggunkan teknik agroforestry<br />

1.3 Presentasi 3<br />

Governance dan Skema Pendanaaan REDD+ (Improving Governance, Policy and<br />

Institutional Arrangements to Reduce Emissions From Deforestation and Forest<br />

Degradation (REDD)-ACIAR)<br />

Oleh : Zahrul Mutaqin, S.Hut., MSc.<br />

Moderator : Dr. Fauzi Masud<br />

1. Pro l kegiatan<br />

a. Latar belakang proyek: mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan<br />

hutan dalam rangka merespon perubahan iklim<br />

b. Tujuan proyek: mendukung pengembangan kebijakan dan kelembagan<br />

REDD+ di tingkat propinsi dan kabupaten<br />

c. Jenis aktivitas: studi literatur, lokakarya, FGD, penelitian lapangan,<br />

peningkatan kapasitas peneliti dan pihak terkait dan diseminasi hasil penelitian<br />

d. Lokasi penelitian: Prop. Riau (Kab. Siak dan Rokan Hilir) dan Provinsi Papua<br />

(Kab. Sarmi dan Merauke).<br />

2. Identi kasi penyebab deforestasi menunjukan adanya penurunan luas dan tutupan<br />

hutan terutama di Siak dan Rokan Hilir, di Papua perlu dikontekstualisasikan<br />

dengan prioritas nasional, agenda pembangunan perbatasan dan otonomi khusus.<br />

3. Tata kelola hutan masih belum baik ditandai dengan adanya inkonsistensi<br />

peraturan, ketidaklengkapan peraturan, dan legitimasi peraturan yang rendah.<br />

Perbaikannya dilakukan dengan dengan memperbaiki rantai pasokan kayu<br />

memperbaiki pengelolaan hutan melalui KPH dan menyusun kebijakan skal<br />

yang lebih baik.<br />

1.4 Presentasi 4<br />

REDD+ Readiness Preparation TFf 99721 id (FCPF / World Bank)<br />

oleh : Dr. Niken Sakuntaladewi, MSC (Puspijak) dan<br />

Novi Widyaningtyas, SHut,. MSc. (Pustanling)<br />

Moderator : DR. Tigor Butarbutar, MSc.<br />

1. Pro l Kegiatan :<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

79


a. Tujuan kegiatan adalah mendukung kapasitas Indonesia dalam mempersiapkan<br />

implementasi REDD+<br />

b. MoU ditandatangani pada 14 Juni 2011<br />

c. Waktu pelaksanaan 3,5 tahun ( Juni 2011 – Desember 2014)<br />

d. Grant funding US$ 3,6 juta<br />

e. Mekanisme pengelolaan on budget – on treasury<br />

f. Koordinator <strong>FORDA</strong> cq. Puspijak dan berkoordinasi dengan Pustanling,<br />

DKN dan World Bank<br />

2. Realisasi kegiatan World Bank menyelenggarakan sosialisai awal SESA.<br />

3. Kontribusi FCPF-yang dikelola pustanling adalah :<br />

a. Peningkatan pengetahuan dan kapasitas stakeholder di daerah;<br />

b. Mendorong dan membantu daerah dalam pembentukan kelembagaan REDD+;<br />

c. Mendukung sub-nasional dalam menyusun strategi daerah REDD+ dan<br />

RAD-GRK;<br />

d. Memberikan landasan awal kepada pembentukan Pokja REDD+;<br />

e. Memfasilitasi stakeholders di daerah<br />

f. Workshop penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan identi kasi kegiatan<br />

yang dapat menghasilkan penurunan emisi dan meningkatkan serapan serta<br />

stabilisasi stok karbon hutan di Balikpapan dan Riau,<br />

g. Pertemuan sosialisasi (outreach) di Jember dan Padang<br />

h. Pertemuan stakeholder dalam rangka kajian kebijakan dan formulasi regulasi<br />

REDD+ yang terintegrasi terkait isu penyebab deforestasi di Jakarta<br />

4. Puspijak menyelenggarakan Launching FCPF, penyusunan TOR, pembuatan<br />

yer dll.<br />

5. DKN menyelenggarakan sosialisasi awal SESA.<br />

1.5 Presentasi 5<br />

Feasibility Study on REDD+ in Central Kalimantan-ITTO/Marubeni<br />

Oleh : Ir. Sulistyo A. Siran, MAgr.<br />

moderator : Ir. Tigor Butarbutar, MSc.<br />

1. Waktu pelaksanaan kegiatan yaitu Sept 2011 – Februari 2012<br />

80<br />

Notulensi


2. Pelaksana kegiatan terdiri dari Puspijak, Setjen, Ditjen Palnologi serta Ditjen<br />

Bina Usaha <strong>Kehutanan</strong><br />

3. Mitra terdiri dari METI, ITTO, Marubeni, Hokaido University, dll.<br />

4. Tujuan kegiatan membangun REDD+ dan metodologi MRV untuk Bilateral<br />

Offset Carbon antara Jepang dan Indonesia<br />

5. Output yang diharapkan adalah membuat SOP pengukuran lapangan; menyusun<br />

metodologi MRV: kajian implementasi perlindungan sosial dan lingkungan;<br />

membuat MDD; dan skema transfer kredit<br />

6. Lokasi proyek di Katingan-Kalimantan Tengah<br />

2.1 Pertanyaan<br />

1. Sentot (BP DAS-PS)<br />

Bagaimana mengelola hutan dalam rangka mengelola emisi?<br />

2. Ombo (UNB)<br />

a. komentar untuk bu Asih :<br />

i. manfaat hutan rakyat selain kayu juga HHBK<br />

2. Diskusi<br />

ii. penelitian hutan rakyat sebaiknya juga dilaksanakan di luar Jawa seperti<br />

Sulawesi karena hutan rakyat di Jawa sudah cukup bagus.<br />

b. komentar untuk pak Ari : bagaimana skema REDD dalam kegiatan di Meru<br />

Betiri<br />

c. komentar untuk pak Zahrul : pembangunan di Riau karena deforestasi dan<br />

degradation.<br />

d. saran untuk pak Zahrul : melanjutkan penelitian di Riau.<br />

e. apakah informasi mengenai REDD ini sampai pada pemda setempat karena<br />

dorongan pemda setempat sangat penting.<br />

3. Asep (Ditjen PHKA)<br />

a. bagaimana apresiasi mekanisme DA REDD terhadap pihak-pihak TN? karena<br />

kelihatannya mekanisme belum ada.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

81


. apakah sudah ada prosedur atau cara untuk memastikan komitmen pemerintah<br />

kuat terhadap pelaksanaan REDD+?<br />

4. Mulyaningrum (IPB)<br />

Di Papua berkaitan dengan kepastian lahan, bukti kepemilikan yang sah seperti<br />

apa karena di Papua cukup sulit. mohon penjelasannya?.<br />

5. Diah (BDK Rumpin Bogor)<br />

komentar : keprihatinan ada pergeseran kesadaran akan menjaga kerusakan hutan<br />

yang pada awalnya mereka sadar, sekarang setelah banyak program masyarakat<br />

malah mengharapkan bayaran.<br />

6. Iwan (Fahutan IPB)<br />

a. Apa yang bisa diklim dalam draft implementasi untuk deforestasi karbon.<br />

b. Apakah boleh diklaim penanaman pohon jenis eksotik? pada tahap implementasi<br />

karbon TN Meru Betiri betiri kelihatannya tidak banyak menghasilkan.<br />

7. Rahman Effendi (Puspijak)<br />

a. Tertarik dalam pelibatan masyarakat dalam DA REDD dalam arah<br />

yang terukur. Agar lebih terukur indicator-indikator apa saja yang perlu<br />

dikembangkan apa saja dalam pelibatan masyarakat?<br />

b. HBK lebih besar daripada kayu sendiri. tetapi HBK bukan komoditi<br />

kehutanan. bagaimana meningkatkan produktivitas komoditi kehutanan.<br />

Apabila diterapkan, apa saja yang perlu disiapkan untuk masyarakat?<br />

c. Penaksiran volume kayu sering menjadi masalah, selain itu sebetulnya<br />

bagaimana sosialisasi agar petani dapat mengukur. yang menjadi masalah<br />

adalah karena petani tidak mengetahui TUK (Tata Usaha Kayu).<br />

d. Komentar : implementasi REDD sangat sulit, karena proyek ini sekarang masih<br />

ada yang mendanai, tetapi kedepannya bagaimana upaya untuk memperoleh<br />

serti kasi REDD.<br />

e. Berkaitan dengan TUK, keterangan dari pemda seharusnya dari bupati bukan<br />

lurah. untuk memperoleh rekomendasi sangat sulit. Pemda punya peran yang<br />

sangat penting daripada <strong>Litbang</strong>, karena pemda yang melaksanakan dan<br />

mengetahui implikasi TUK di daerah.<br />

8. Yayasan Kehati<br />

82<br />

a. Berkenaan dengan deforestasi yang rendah, mengapa kegiatannya diarahkan<br />

pada deforestasi saja bukan konservasi?. mengapa tidak digunakan modelling<br />

approach?<br />

Notulensi


. Dalam konteks REDD+, yang harus dilihat biodiversity atau jasa lingkungan?<br />

yang dihargai adalah upaya-upaya untuk konservasi.<br />

c. Bagaimana proses FCPF, dan bagaimana safeguardnya?<br />

d. Bagaimana kepastian tenurial di Papua, bagaimana terjadinya tumpang tindih<br />

kebijakan di daerah?<br />

9. Mahfud (UN REDD)<br />

a. Dilihat dari beberapa kegiatan FCPF, bila ada kegiatan di level nasional terkait<br />

dengan REDD+ lebih baik disenergikan.<br />

b. Berkaitan dengan university forum untuk universitas-universitas bagian<br />

timur,akan lebih bagus tempatnya di Ambon karena banyak sekali manfaat<br />

karena disana banyak penelitian tentang REDD.<br />

10. Bu Novi (Pustekolah)<br />

a. Bagaimana mekanisme FCPF untuk mengevaluasi apa yang dilakukan oleh<br />

FCPF telah berhasil?<br />

b. Apakah didalam proyek marubeni diidenti kasi pengolahan HHBK di Kalteng?<br />

11. Asep (Dit. Pengelolaan Jasa Lingkungan)<br />

a. Stakeholder mana saja yang paling lemah dalam memahami REDD+?,<br />

terkait dengan peran pemda setempat berkenaan dengan rencana pelaksanaan<br />

REDD+?<br />

b. Ketidaksiapan yang abagimana sehingga kita perlu memperpanjang waktu<br />

untuk persiapan itu, faktor dan kendala utamanya apa? perpanjangan<br />

membutuhkan waktu berapa lama?<br />

c. Ingin penjelasan lebih lanjut tentang MRV metodologi, komponennya apa saja?<br />

d. Apakah tidak ada metodologi lain dengan tidak harus melakukan penebangan?<br />

12. Pak Ombo<br />

Ada kecenderungan karena adanya proyek REDD, beberapa negara ingin tenaga<br />

ahlinya masuk ke Indonesia. bidang apa di Indonesia yang kita perlukan tenaga<br />

ahli asing? apakah memang kita perlu tenaga ahli asing?<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

83


13. Bu Juniarti (CIFOR)<br />

a. Bagaimana mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan FCPF?<br />

b. PES akan menjadi favorit dalam bene t sharing proyek REDD yang ada di<br />

indonesia. akan tetapi sudah banyak publikasi tentang PES, apakah ada yang<br />

dapat membedakan kegiatan PES di negara lain yang sudah dievaluasi?<br />

2.2 Jawaban<br />

1. Ir. Ari Wibowo, Msi.<br />

84<br />

a. REDD+ ada unsur plusnya sebagai bagian dari REDD, yang awalnya hanya<br />

mencakup degradasi dan deforestasi. Mekanisme REDD+ masih tahap<br />

negoisasi<br />

b. Peran balai TN sangat vital terutama di dalam pengamanan kawasan. Untuk<br />

kegiatan DA REDD tuan rumah tetap TN. Pemerintah harus memberikan<br />

alokasi untuk segala resources. Masyarakat dan LSM dapat bersatu padu untuk<br />

menjaga stok karbon di kawasan konservasi. Masyarakat merasa semangat<br />

karena mereka ikut dalam kegiatan menyelamatkan dunia.<br />

c. Terkait TN Meru Batieri yang menjadi lokasi penelitian, masyarakat sejak<br />

awal sudah dilibatkan. Ada interksi antara masyarakat dengan TN. Hubungan<br />

antara kawasan konservasi dengan masyarakat belum diatur. antara dua pihak<br />

ada “win-win solution”, pelibatan masyarakat sejak awal sudah berjalan.<br />

d. Memang ada local wisdom, masyarakat sudah punya kebiasan-kebiasaan baik<br />

akan tetapi karena kebutuhan masyarakat meningkat, maka kedua belah pihak<br />

perlu dicarikan jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak.<br />

e. Historical emission pun rendah sehingga aditionalitynya rendah. Perjuanagan<br />

di tingkat internasional harus memasukan unsur konservasi, sambil menunggu<br />

hasil negosiasi di tingkat internasional berbagai celah perlu diupayakan,<br />

dalam hal memanfaatkan zona rehabilitasi memang menimbulkan potensi<br />

ancaman terhadap TN.<br />

f. bagaimana peningkatan pemahaman, kesadaran dan pendapatan masyarakat<br />

sedang dilakukan sedang disusun oleh Latin.<br />

g. ancaman/tantangan bukan historical deforestasi rendah. tetapi redd+ adalah<br />

mekanisme insentif yangmana ada persyaratan yang harus dipenuhi. tantangan<br />

dari kita sendiri sebagai negara yang mempunyai kawasan konservasi yang<br />

cukup luas.<br />

Notulensi


h. kembali ke demonstration activity, untuk memenuhi kaidah2 dalam kegiatan<br />

redd harus mengetahui potensi lima karbon yang ada disana. ad tipe hutan<br />

lain selain hutan primer maka akan mempengaruhi stok karbon kedepan. mrv<br />

harus mengetahui stok karbon kedepan.<br />

2. Dra. Setiasih Irawanti, Msi.<br />

a. Hutan rakyat dapat berperan sebagai lumbung bagi petani, tidak hanya kayu<br />

tetapi HBK juga hasilnya besar terhadap pendapat petani karena tambahan<br />

pendapatannya dapat diperoleh sebelum kayu ditebang.<br />

b. Sudah dilakukan penelitian hutan rakyat di Bulukumba Prop. Sulawesi Selatan.<br />

c. Dari tiga desa lokasi penelitian, HBKnya memang tinggi tetapi bukan HBK<br />

kehuaatanan, karena HBK kehutanan merupakan hasil dari hutan alam. Di<br />

desa studi merupakan HBK dari hutan rakyat. Pilihan untuk menentukan<br />

jenis kayu sepenuhnya merupakan pertimbangan petani karena petani rasional<br />

untuk memilih jenis tanaman yang akan ditanam di lahan miliknya.<br />

d. Value change analysis memang belum dilihat secara jauh baru menyentuh pada<br />

peraturan dan kebijakan. Analisis tersebut baru akan dikerjakan. Budi daya<br />

sengon harus mengikuti kebijakan pemerintah tentang SKAU. Perdagangan<br />

mahoni dan jati masih terhambat karena pengambilan dokumen yang lokasinya<br />

jauh dan harus diambil sendiri.<br />

e. Penaksiran volume kayu merupakan tugas litbang. Petani memiliki keterbatasan<br />

dan malas dalam mengukur volume kayu. Maka nilai uang yang mereka lebih<br />

rendah terhadap nilai kayu yang mereka hasilkan. merupakan pertimbangan<br />

untuk melaksanaan pelatihan untuk mengukur volume kayu dan hama puru<br />

kayu.<br />

3. Zahrul Mutaqin, SHut.<br />

a. HTI dan kelapa sawit maka terjadi deforestasi, bahkan bagi sebagian besar<br />

orang HTI juga dianggap deforestasi.<br />

b. Respon dinas kehutanan Prop. Riau kurang baik, terutama apabila dari<br />

Australia datang kesana (2009) namun kondisi tersebut berubah ketika proyek<br />

ini masuk dan ada pelatihan mengenai REDD, ada semacam institution low<br />

impact. sekarang pihak pemda merasa antusias dengan proyek ini. Saat ini di<br />

Pemda Prop. Riau sudah terbentuk pokja REDD.<br />

c. Kalau di Papua masyarakat sudah mengetahui, tetapi mereka menanyakan<br />

kapan mereka akan dibayar. Kepala dinas sangat mendukung dan sudah ada<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

85


sosialisasi dari Pemda bahwa mereka akan ada kompensasi karena mereka<br />

sudah menjaga hutan.<br />

d. Belum ada prosedur kompensasi. Sudah disampaikan kepada Kementerian<br />

keuangan bahwa akan ada semacam dana Dak DR atau dana bagi hasil.<br />

Mekanisme ini sedang dipelajari oleh Kementerian Keuangan. Saat ini para<br />

pihak sedang fokus pada bagaimana distribusi mekanisme REDD disusun.<br />

e. Apa yang harus dilakukan dengan legalitas, terkait dengan tiga hal. Perbaikan<br />

legalitas dengan memperbaiki inkonsistensi, aturan yang belum ada harus<br />

disusun. Hutan dianggap milik adat sehingga untuk pelepasan hutan perlu<br />

membayar kepada masyarakat adat. Halsemacam itu yang membuat Papua<br />

lebih spesi k.<br />

f. Pengalaman di TN Wasur, karena faktor tekanan ekonomi yang sangat tinggi<br />

membuat masyarakat semakin transaksional. Maka insentif-insentif ekonomi<br />

merupakan alat untuk changing behaviour.<br />

g. prinsip REDD yang harus dipakai adalah voluntarily. Untuk bisa mencapai<br />

skala besar harus ada koordinasi yang perlu didorong upaya untuk menjaga<br />

stok karbon.<br />

4. Novi Widyaningtyas, SHut., MSc:<br />

a. Sangat betul komentar dari pak mahfud, kami lebih meningkatkan capaian<br />

kinerja yang sekarang. Perlu ditingkatkan koordinasi dengan satker dan satgas.<br />

b. Mengenai forum universitas, bahwa di Sulawesi Tengah perlu dilakukan upaya<br />

seperti yang telah sukses dilaksanakan kan di Maluku. Kalau sudah ada forum<br />

bisa jadi mitra kerja FCPF.<br />

c. Di level internasional tidak mengikat kesiapan di tahun 2012, dilihat dari<br />

perangkat implementasi REDD+ ada empat yaitu Stranas maupun Strada,<br />

REL, MRV System. Dari empat elemen itu kita dapat melihat kesiapan di<br />

daerah. Belum ada satupun yang sudah sempurna dimana tingkat kesiapan<br />

daerah berbeda-beda. Yang sudah agak siap yaitu Prop. Kaltim.<br />

d. FCPF tidak memerlukan tenaga ahli asing karena tujuannya adalah untuk<br />

membantu Indonesia.<br />

5. Dr. Niken Sakuntaladewi, MSc.<br />

86<br />

a. Terkait mekanisme untuk evaluasi karena skema FCPF bersifat on budget-on<br />

treasury maka dalam pelaksanaannya kegiatan mengikuti peraturan kita. World<br />

Notulensi


ank tidak serumit yang dikira. Setelah 20 bulan melaksanakan kegiatan ada<br />

kegiatan review kegiatan FCPF di Indonesia.<br />

b. terkait pemahaman stakeholder, di level masyarakat cukup lemah hal ini dapat<br />

terlihat pada kegiatan-kegiatan workshop.<br />

c. Banyak tenaga ahli dari dalam sehingga tidak perlu tenaga ahli dari luar.<br />

6. Ir. Sulistyo A. Siran, MAgr.<br />

a. Akan ada proyek lanjutan Fase 3 karena Fase 2 telah menghasilkan temuan.<br />

b. Agroforestry menyangkut beberapa komoditi. Akan dibuat model termasuk<br />

beberapa HHBK yang potensial untuk dikembangkan juga akan diperkenalkan<br />

teknik pengolahan limbah secara sederhana oleh Hokaido University.<br />

c. Untuk menngkatkan dukungan masyarakat sebagai bagian dari social safegurads,<br />

masyarakat akan diberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan.<br />

d. Kegiatan berlokasi di hutan produksi, bisa dibedakan hutan primer, bekas<br />

tebangan dan bekas kebakaran.<br />

e. Untuk areal konservasi yang berdekatan penghitungan karbon tidak perlu<br />

dilakukan destruktif.<br />

f. Untuk REDD+ kita cukup punya ahli di Puspijak dan Puskonser hanya<br />

kuantitas dan volume pekerjaan tidak seimbang. Dari MITI dan Marubeni<br />

kita harus bekerjasama. Untuk emisi, karbon stok expert dari Indonesia<br />

sudah mampu, terutama terkait masalah sosial karena orang Indonesia lebih<br />

mengetahui budaya lokal Indonesia.<br />

g. Bene t sharing baru yang terkait penggunaan air yang kaitannya dengan<br />

karbon sedang dilakukan bene t sharing dengan beberapa topik penelitian<br />

yang akan dilakukan oleh Puspijak.<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

87


Daftar Hadir<br />

Hari/Tanggal : Senin, 5 November 2012<br />

Pukul : 08.00 s/d selesai<br />

Acara : Workshop Kerjasama Internasional Tahun 2012<br />

Tempat : Gedung IPB International Convention Center, Jalan Pajajaran – Bogor<br />

88<br />

No. Nama Instansi/Bagian<br />

1 Joko Purhopuspbo Cifor<br />

2 Yosude Oki Moto Cifor<br />

3 Fahmi Komaeni Puskonse<br />

4 Lukas R W Puspijak<br />

5 Ombo Scapradja UNB<br />

6 Karyano ESDH<br />

7 Machtide UNRIDA<br />

8 Setiasih Irawanti Puspijak<br />

9 Duterwati Puspijak<br />

10 Ari Sulistyo BPDAS. PS<br />

11 Sylnam Puspijak<br />

12 Kuncoro Ariawan Puspijak<br />

13 Ari Wibowo Puspijak<br />

14 Januarti S.T Cifor<br />

15 Sri Harteti Pusdik<br />

16 Sentot Subagyo Dit BPTH BPDAS PS<br />

17 Wawan Kurniawan Pusat KLN<br />

18 Elvida Y.S Puspijak<br />

19 Novitri Hastuti Pustekolah<br />

20 Andri Setiadi K Puspijak<br />

21 Magdalena Puspijak<br />

22 Sulistya Ekawati Puspijak<br />

23 Iwan Hilwan Falutan IPB<br />

24 Rachman E Puspijak<br />

25 Yoppy Hidayanto Burung Indonesia<br />

26 Asep Sugiharti PJLKKAL<br />

Daftar Hadir


No. Nama Instansi/Bagian<br />

27 Deazy R Dt.wp3h<br />

28 M. Zahrul Muttazin Puspijak<br />

29 Dewi Ratna K.S Puspijak<br />

30 Diah Zuhriana BDK Bogor<br />

31 Agus Asthop BPTPTH Bogor<br />

32 Fentie Salaka Puspijak<br />

33 Efrian M Kehati<br />

34 Nyoman Dundun Marubeni Corp<br />

35 Asep Mulyana Yayasan Pusat<br />

36 Retno Maryani Puspijak<br />

37 Siti Nurjanah Proyek FS<br />

38 Yanto Puspijak<br />

39 Wahyuningsih Puspijak<br />

40 Niken S Puspijak<br />

41 Epi S Puspijak<br />

42 RM.Mulyadin Puspijak<br />

43 Mulyaningrum SITH-ITB<br />

44 Jusmy Punhena PSL-IPB<br />

45 Aneka PS Puspijak<br />

46 Lis Alviya Puspijak<br />

47 Jajang Puspijak<br />

48 Ratna W Puspijak<br />

49 Virni Budi A Puspijak<br />

50 Leni Wulandari Puspijak<br />

51 R. Su Puspijak<br />

52 Rieka Ayu W RCPF<br />

53 Gamma Galudva ICRAF<br />

54 Putra Agung ICRAF<br />

55 Endang Savini Puspijak<br />

56 Jerman Puspijak<br />

57 Tigor B Puspijak<br />

58 Mega L Puspijak<br />

Prosiding<br />

Workshop Kerjasama Internasional<br />

89


90<br />

No. Nama Instansi/Bagian<br />

59 Yuli R Puspijak<br />

60 Untung Firdaus Puspijak<br />

61 Al ddin Puspijak<br />

62 Bayu Subekti Puspijak<br />

63 Deden Puspijak<br />

64 Fitri Nurfatriani Puspijak<br />

65 Gentini Puspijak<br />

66 Ellis Zuasi<br />

67 Surati Puspijak<br />

68 Kus Puspijak<br />

69 Galih K.S Puspijak<br />

70 Ismatul H Puspijak<br />

71 Novia Widyaningtyas Pustanling<br />

72 Sulistya AS Puspijak<br />

73 Agus Mahdar Puspijak<br />

74 Budi Puspijak<br />

75 Fullki Hendrawan Puspijak<br />

Daftar Hadir


Workshop<br />

KEMENTERIAN KEHUTANAN<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN<br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />

PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN<br />

Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Indonesia<br />

Telp/Fax: +62-251 8633944/+62-251 8634924<br />

Email: publikasipuspijak@yahoo.co.id; website: http://www.puspijak.org<br />

ISBN: 978-602-7672-13-0<br />

9 786027 672130

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!