Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas Sumatera ...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
1.1. Latar Belakang Masalah<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup seorang diri. Dalam<br />
kehidupannya manusia sebagai individu membutuhkan peran manusia lain, hal<br />
inilah yang menuntut manusia untuk dapat menyesuaikan diri (adaptasi) dengan<br />
kondisi dan diri manusia lainnya. Aktivitas manusia dalam hubungannya dengan<br />
manusia lain terjadi proses interaksi dan sosialisasi yaitu melalui proses belajar<br />
yang terjadi secara terus menerus. Proses sosialisasi itu pada akhirnya akan<br />
membentuk suatu pemahaman yang sama terhadap sesuatu dalam suatu kelompok<br />
atau komunitasnya (Sunarto, 2004:23).<br />
Terbentuknya suatu pola pengetahuan inilah yang selanjutnya membentuk<br />
tujuan yang sama pada kelompoknya. Proses belajar yang telah menjadi kebiasaan<br />
dapat dikatakan sebagai budaya atau kebudayaan. Koentjaraningrat (1982:182)<br />
mengatakan bahwa kebudayaan adalah:<br />
”keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam<br />
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan<br />
belajar.”<br />
Kesamaan pola pengetahuan antara individu satu dengan individu lainnya<br />
inilah yang kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya (komunitas) dan pada<br />
akhirnya menjadi sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing<br />
manusia anggota komunitas. Salah satu hal yang menarik untuk dikaji dalam suatu<br />
komunitas adalah bagaimana setiap individu anggota komunitas membentuk suatu<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
perilaku yang disebut dengan perilaku kolektif (Sunarto, 2004:187). Menurut<br />
Lofland (2003:37), istilah perilaku kolektif secara harfiah mengacu pada perilaku<br />
serta bentuk-bentuk peristiwa sosial lepas (emergent) yang tidak dilembagakan<br />
(extra-institutional).<br />
Medan sebagai ibukota <strong>Sumatera</strong> Utara merupakan kota terbesar ketiga di<br />
Indonesia. Perkembangan teknologi dan akses informasi baik media elektronik<br />
maupun media cetak berkembang dengan pesat di kota yang menuju menjadi kota<br />
metropolitan ini. Dampak dari perkembangan teknologi dan pesatnya akses<br />
informasi salah satunya adalah sangat terbukanya masyarakat khususnya anak<br />
muda atau remaja kota Medan terhadap segala bentuk penyebaran informasi dan<br />
globalisasi. Anak muda atau remaja kota Medan mengambil peran dalam hal<br />
mengikuti perkembangan zaman secara global ini.<br />
Salah satu komunitas anak muda atau remaja dengan perilaku kolektif dan<br />
budaya penolakannya di kota Medan adalah komunitas musik indie. Musik indie<br />
bukan merupakan suatu genre musik, melainkan musik indie adalah jalur bagi<br />
band-band yang menuangkan hasil karyanya secara independent (mandiri) baik<br />
dalam menentukan genre music, lagu dan album musik. Bayu (2003:1)<br />
mengatakan bahwa:<br />
”Indie label atau independent label adalah non major label. Jalur ini<br />
merupakan salah satu opsi bagi band-band yang ingin menuangkan hasil<br />
karya mereka dalam bentuk album. Konsep indie label yang mengusung<br />
independensi, membebaskan setiap band menciptakan kreasi musik sesuai<br />
idealisme mereka masing-masing. Ini dimungkinkan karena tidak adanya<br />
campur tangan industri musik komersial yang cenderung mengubah jenis<br />
dan warna musik mereka sesuai tuntutan pasar.”<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Umumnya, label indie dibangun atas dasar komunitas. Satu dekade<br />
terakhir, label indie bermunculan. Namun, mereka tidak bersaing satu sama lain.<br />
Sebaliknya, mereka justru bergandengan tangan meluaskan pengaruh musik<br />
alternatif. Inilah kekuatan label indie atau sering juga disebut label<br />
nonmainstream (Kompas, 9 Mei 2010). Irwansyah Harahap, musikolog Medan<br />
dalam majalah Kover (Edisi Mei 2010) mengatakan bahwa:<br />
”Sebuah band indie bisa dikatakan berhasil apabila ia berhasil membentuk<br />
pasarnya sendiri dan tidak lagi harus didikte label mainstream. Nah, di kita<br />
malah masih sering salah kaprah. Orang masih berpikir dan beranganangan<br />
bagaimana caranya agar bisa menembus label mainstream. Padahal,<br />
sebenarnya ukuran keberhasilan sebuah band indie ialah apabila ia mampu<br />
mengisi ruang kosong yang belum diisi oleh label mainstream.”<br />
Sebagai komunitas yang terlepas dari ’kungkungan’ major label,<br />
komunitas ini pun memiliki suatu cara yang khas dalam mengemas setiap<br />
pertunjukan-pertunjukan musik (event atau gigs) sebagai ajang mengekspresikan<br />
karya-karya mereka kepada peminatnya yang pada umumnya berasal dari<br />
kalangan anak muda atau remaja pula. Cara yang khas seperti ini pulalah yang<br />
juga sebagai wujud perilaku kolektif dari komunitas musik indie tersebut. Hal<br />
inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam mengenai<br />
komunitas musik indie dan perilaku kolektif komunitas musik indie di kota<br />
Medan.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
1.2. Rumusan Masalah<br />
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah<br />
yang dimaksud dengan komunitas musik indie dan bagaimana perilaku kolektif<br />
yang ditunjukkan oleh komunitas tersebut?. Dari rumusan permasalahan ini<br />
dijabarkan ke dalam tiga pertanyaan penelitian, yaitu;<br />
1. Bagaimanakah asal usul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas<br />
musik indie?<br />
2. Bagaimana kreativitas komunitas musik indie dalam menciptakan karya dan<br />
menyelenggarakan pertunjukan musik?<br />
3. Bagaimana bentuk komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif<br />
dan bagaimana komunitas ini dapat bertahan dalam persaingan musik yang<br />
sangat ketat?<br />
1.3. Ruang Lingkup<br />
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan pada tiga komunitas musik indie<br />
kota Medan, yaitu komunitas Kirana, komunitas Tomat dan komunitas Medan<br />
Movement. Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah pertama, asal-<br />
usul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas musik indie. Kedua,<br />
kreativitas komunitas musik indie dalam menciptakan karya dan<br />
menyelenggarakan pertunjukan musik. Dan yang terakhir adalah, komunitas<br />
musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif dan bertahannya komunitas ini<br />
dalam persaingan musik yang sangat ketat. Hal ini dapat diperoleh melalui dua<br />
kategori informan, yaitu remaja-remaja sebagai pelaku ketiga komunitas musik<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
indie Medan tersebut dan remaja-remaja kota Medan sebagai penikmat musik<br />
indie kota Medan.<br />
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian<br />
1.4.1. Tujuan Penelitian<br />
Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena<br />
setiap penelitian yang dilakukan haruslah mempunyai tujuan tertentu. Studi ini<br />
bertujuan untuk:<br />
1. Mendeskripsikan asal-usul dikenalnya musik indie di kota Medan.<br />
2. Memaparkan kreativitas remaja-remaja pengikut musik indie dalam<br />
menciptakan karya lagu, serta mendeskripsikan kreativitas remaja-remaja<br />
komunitas musik indie dalam menyelenggarakan pertunjukan musik.<br />
3. Mendeskripsikan komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif.<br />
1.4.2. Manfaat Penelitian<br />
Setiap penelitian memiliki manfaat yang hendak dicapai agar hasil dari<br />
penelitian dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca nantinya. Secara<br />
akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan<br />
khususnya ilmu Antropologi, terutama mengenai komunitas musik indie. Selain<br />
itu, diharapkan penelitian ini juga dapat menjadi bahan rujukan atau literatur bagi<br />
para pembaca yang ingin meneliti lebih jauh mengenai komunitas musik indie dan<br />
perilaku kolektif komunitas tersebut. Secara praktis, penelitian ini diharapkan<br />
dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi para pembaca dan pihak-<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
pihak yang terkait dengan komunitas musik indie. Dengan demikian, penelitian ini<br />
dapat membantu para pembaca untuk memahani perilaku kolektif komunitas<br />
musik indie, khususnya di kota Medan.<br />
1.5. Tinjauan Pustaka<br />
Nico frijda mengatakan bahwa perilaku manusia merupakan suatu keadaan<br />
yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan-kekuatan<br />
penahan. Perilaku dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua<br />
kekuatan tersebut di dalam diri seseorang. Perilaku manusia pada hakikatnya<br />
adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri. Oleh karena itu perilaku manusia<br />
mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi,<br />
berpakaian, dan lain-lain. Bahkan kegiatan internal (internal activities) sendiri,<br />
seperti berfikir, persepsi dan emosi, juga merupakan perilaku manusia (dalam<br />
Mutis dkk, 2007:28).<br />
Manusia tidak bisa hidup sendiri dan cenderung akan selalu melakukan<br />
sharing (berbagi bersama) dengan manusia yang lain. Proses sharing ini lalu<br />
diserap sebagai pengetahuan individual lewat proses belajar yang dilakukannya.<br />
Apabila hasil dari proses sharing ini terus menerus disosilisasikan dan<br />
dimantapklan akhirnya relatif membentuk pemahaman yang sama tentang sesuatu,<br />
relatif memiliki kesamaan pola pengetahuan, bahkan dalam banyak hal relatif<br />
memiliki artefak atau material yang sama (Sunarto, 2004:31).<br />
Kesamaan antara individu satu dengan individu lainnya inilah yang<br />
kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya, sehingga akhirnya menjadi<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing manusia anggota<br />
kelompok tersebut (Koentjaraningrat, 1982:140). Selanjutnya, Mutis (2007:106-<br />
121) mengatakan bahwa sesuatu yang terpola atau sesuatu yang telah menjadi<br />
kebiasaan ini kemudian disebut dengan istilah budaya atau kebudayaan.<br />
Menurutnya, ini artinya sesuatu yang disebut dengan budaya apabila hal-hal yang<br />
dimiliki manusia tersebut sifatnya :<br />
1. Sudah menjadi milik bersama dengan orang lain yang ada di kelompoknya.<br />
Masalahnya, konsep bersama dalam hal ini kecenderungannya akan dilihat<br />
secara berbeda oleh masing-masing ahli.<br />
2. Sesuatu itu didapat lewat proses belajar dan tidak didapat secara biologis atau<br />
genitas. Artinya, budaya sifatnya harus dipelajari dan tidak bisa diturunkan<br />
begitu saja dari generasi sebelumnya. Akal manusia akan selalu memproses<br />
pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar ini, sehingga budaya<br />
cenderung akan mengalami modifikasi dan perubahan, baik sifatnya lambat<br />
(evolusi) maupun cepat (revolusi).<br />
Menurut Hermawan (2008:1), secara umum, kelompok diartikan sebagai<br />
kumpulan orang-orang. Sementara sosiolog melihat kelompok sebagai dua atau<br />
lebih orang yang mengembangkan perasaan kebersatuan dan yang terikat<br />
bersama-sama oleh pola interaksi sosial yang relatif stabil. Terdapat sejumlah<br />
kriteria yang mencirikan apakah sekumpulan orang bisa disebut sebagai kelompok<br />
atau tidak, tetapi pada dasarnya terdapat dua karakteristik pokok dari kelompok,<br />
yaitu 1) adanya interaksi yang terpola dan 2) adanya kesadaran akan identitas<br />
bersama.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu<br />
wilayah yang nyata dan berinteraksi secara kontinu sesuai dengan suatu sistem<br />
adat istiadat dan terikat oleh suatu rasa identitas. Berdasarkan yang tertulis di<br />
Wikipedia, komunitas adalah:<br />
”sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi<br />
lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam<br />
komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud,<br />
kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah<br />
kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas<br />
yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang<br />
berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak".<br />
Sekelompok manusia termasuk yang tergabung dalam suatu komunitas,<br />
yang melakukan suatu kegiatan secara bersama dapat diartikan sebagai suatu<br />
bentuk kolektivisme (kebersamaan). Perilaku sekelompok manusia yang<br />
dilakukan secara bersama ini pula dapat diistilahkan sebagai perilaku kolektif.<br />
Neil Smelser dalam Suryanto (2008:2) mengidentifikasi beberapa kondisi yang<br />
memungkinkan munculnya perilaku kolektif, diantaranya:<br />
1. Structural conduciveness, yaitu beberapa struktur sosial yang memungkinkan<br />
munculnya perilaku kolektif, seperti: pasar, tempat umum, tempat peribadatan,<br />
mall, dan sebagainya.<br />
2. Structural Strain, yaitu munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul<br />
secara terstruktur. Misalnya: antar pendukung kontestan pilkada.<br />
3. Generalized Belief: share interpretation of event, yaitu menginterpretasikan<br />
suatu peristiwa yang diketahui oleh banyak orang. Misalnya suatu pertunjukan<br />
acara atau konser.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
4. Precipitating factors, yaitu ada kejadian pemicu (trigerring incidence). Misal<br />
ada pencurian, ada kecelakaan, dan lain-lain.<br />
5. Mobilization for actions, yaitu adanya mobilisasi massa. Misalnya: aksi buruh,<br />
rapat umum suatu ormas, dan seterusnya.<br />
6. Failure of Social Control, yaitu akibat agen yang ditugaskan melakukan<br />
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik.<br />
Bila dilihat dari beberapa kategori di atas, komunitas musik indie termasuk<br />
dalam kategori yang ketiga dan keenam yaitu Generalized belief: share<br />
interpretation of event, yang berarti bahwa anak muda yang tergabung dalam<br />
komunitas musik indie mencoba menginterpretasikan suatu peristiwa yang pada<br />
umumnya diketahui oleh banyak orang dan Failure of Social Control, yaitu<br />
melakukan suatu perilaku kolektif akibat adanya agen yang ditugaskan melakukan<br />
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Menurut Barker (2008:338), anak muda<br />
adalah:<br />
” petunjuk alamiah dan niscaya dari usia yang ditentukan secara biologis,<br />
suatu pengklasifikasian secara organis terhadap orang-orang yang<br />
menempati posisi sosial tertentu akibat perkembangan usia mereka.”<br />
Sibley di dalam bukunya Barker (2008:340) mengemukakan bahwa:<br />
”Batas kategorisasi anak berbeda-beda di berbagai kebudayaan dan telah<br />
mengalami perubahan berarti melalui perjalanan sejarah di dalam<br />
masyarakat Barat kapitalis. Batas-batas yang memisahkan anak-anak dan<br />
orang dewasa tetap merupakan sesuatu yang membingungkan. Remaja<br />
adalah suatu zona ambivalen dimana batas anak-anak/dewasa bisa secara<br />
beragam ditempatkan menurut siapa yang melakukan kategorisasi. Jadi,<br />
remaja tidak mendapatkan akses di dalam dunia orang dewasa, namun<br />
mereka mencoba mengambil jalan antara dirinya dengan dunia anak-anak.<br />
Pada saat yang sama mereka mempertahankan sejumlah hubungan dengan<br />
anak-anak. Remaja bisa terlihat mengancam dimata orang dewasa karena<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
mereka menerobos batas-batas dewasa/anak-anak dan tampak berbeda di<br />
ruang ’orang dewasa’... Tindakan menentukan garis batas dalam konstruksi<br />
kategori-kategori yang terpisah menyela hal-hal secara alami<br />
berkelanjutan.”<br />
Perilaku kolektif anak-anak muda bersama komunitasnya, yaitu berusaha<br />
menginterpretasikan suatu peristiwa akibat agen yang ditugaskan melakukan<br />
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Khususnya dalam hal musik, anak-anak<br />
muda yang tergabung dalam komunitas musik indie, berusaha melakukan kontrol<br />
sosial tersebut melalui musik indie. Musik indie sebagai suatu hasil karya seni,<br />
merupakan salah satu wujud dari budaya populer. Musik indie adalah salah satu<br />
media yang dapat digunakan untuk menyuarakan penderitaan rakyat tertindas<br />
ataupun realitas sosial yang ada. Karya seni yang hanya menjadi instrumen<br />
hegemoni yang membuat ilusi-ilusi dan fantasi dimana kemudian secara tidak<br />
disadari membuat penikmat lupa terhadap realitas sosial disekitarnya, karena<br />
keindahan dan kesan-kesan yang dibawa dan ditawarkannya (Wink, 2008:1).<br />
Munawar (2008:2) mengemukaan bahwa seniman atau penikmat seni<br />
dapat saja acuh terhadap realitas karena disibukkan dengan kontemplasi tentang<br />
cinta, kasih sayang, keharuan dan sebagainya, sehingga tanpa di sadari dia sedang<br />
melanggengkan sebuah tatanan sosial politik ekonomi dan yang lebih parah lagi<br />
implikasinya terhadap kaum tertindas; dimana disaat mereka seharusnya sedang<br />
berpikir dan mengusahakan terwujudnya suatu perubahan menuju keadaan yang<br />
lebih baik, seniman-budayawan malah terlena dalam suasana mabuk keharuan,<br />
cinta, kasih sayang, dll. Menurutnya, seni sebagai konsep perlawanan adalah<br />
subordinat dari sebuah perlawanan budaya (counter cultur). Konsuekensinya<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
karya seni tersebut akan terpinggirkan meski mungkin cuma sementara dan<br />
menghadapi penolakan secara reaksioner dari masyarakat tetapi juga memiliki<br />
resiko "dijinakkan" oleh hegemoni sistem yang ada dengan mengubahnya menjadi<br />
sekedar konsep alternatif yang kemudian bakal menjadi mainstream kesenian.<br />
Dalam konteks gerakan perubahan, seni adalah sebuah media sekaligus alternatif<br />
perlawanan. Meski begitu seni tidak dapat lepas sebagai sebuah bentuk<br />
perlawanan budaya (counter culture) tersendiri.<br />
Musik populer cenderung diciptakan dengan beberapa sifat yang salah<br />
satunya berupa representasi kehidupan manusia dimana di dalamnya terdapat<br />
ekspresi, impresi, dan lain-lain. George Planketes melalui esainya yang berjudul<br />
“Music” menyatakan lirik yang berupa kata-kata yang dinyanyikan dalam musik<br />
dapat mensugesti (terutama para remaja) dan akhirnya termanifestasi ke dalam<br />
perilaku pendengar tersebut (Muhary;2007:17).<br />
Thomas Inge dan Dennis Hall dalam Muhary (2007:19) mengatakan :<br />
“Musik merupakan pusat dari ‘pengalaman’ usia remaja, meliputi<br />
identitasnya, ideologi, dan aktivitas. Semakin meningkat lirik lagu yang<br />
rumit, menjadi sangat kuat dan sangat berarti, dari nyanyian perorangan<br />
menjadi musik kelompok perlawanan untuk protes dan perubahan di<br />
tengah-tengah pergolakan politik dan sosial dengan latar belakang sebuah<br />
massa”<br />
Strinati (2007:78-79) juga mengatakan bahwa:<br />
“Sebenarnya Gendron menggunakan contoh produksi mobil untuk<br />
menjelaskan apa yang dimaksud Adorno ketika dia mengatakan bahwa<br />
fungsi kapitalisme adalah untuk menstandardisasi komoditas. Standardisasi<br />
melibatkan pertukaran bagian-bagian bersama-sama dengan individualisasi<br />
semu. Bagian-bagian dari suatu jenis mobil dapat dipertukarkan dengan<br />
bagian-bagian mobil lain berdasarkan standarisasi, sementara penggunaan<br />
gaya atau individualisasi semu seperti penambahan sirip belakang pada<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
sebuah mobil Cadillac membedakan mobil-mobil antara satu sama lain,<br />
serta menyembunyikan kenyataan bahwa standardisasi tengah terjadi.<br />
Menurut Gendron, Adorno mengemukakan bahwa apa yang terjadi pada<br />
mobil terjadi pada music pop. Keduanya dibedakan oleh inti dan periferi<br />
(sampingan, tambahan), intinya mengikuti standardisasi, sedangkan periferi<br />
tunduk pada individualisasi semu. Proses standardisasi itu terikat dengan<br />
kehidupan orang-orang yang harus hidup di dalam masyarakat kapitalis dan<br />
dengan status inferior music pop jika dibandingkan dengan music klasik<br />
maupun music garda depan. Gendron juga menjelaskan bahwa<br />
standardisasi music pop, menurut pandangan Adorno, berlangsung secara<br />
diakronis (begitulah, dari waktu ke waktu seiring dengan ditetapkannya<br />
standar-standar music pop) maupun secara sinkronis (standar-standar yang<br />
berlaku kapan pun).”<br />
Yudhasmara (2010:1) menyebutkan Indie pop adalah sebuah aliran musik<br />
alternative pop yang berasal dari Inggris pada pertengahan era 1980an. Terkadang<br />
istilah indie digunakan untuk menggambarkan grup musik yang berkarier secara<br />
independen. Indie adalah gerakan bermusik yang berbasis dari segala yang ada<br />
pada penyanyi tanpa bantuan langsung label mulai dari merekam,<br />
mendistribusikan dan promosi dengan uang sendiri. Menurutnya, terdapat<br />
perbedaan antara mainstream dan indie. Umumnya yang dimaksud dengan<br />
mainstream adalah arus utama, tempat di mana band-band yang bernaung di<br />
bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut dipasarkan<br />
secara meluas yang coverage promosinya juga secara luas, nasional maupun<br />
internasional, dan mereka mendominasi promosi di seluruh media massa, mulai<br />
dari media cetak, media elektronik hingga multimedia dan mereka terekspos<br />
dengan baik. Klasifikasi kelompok indie itu lebih kepada industrinya,<br />
perbedaannya lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan<br />
rekaman. Dilihat dari talenta dan bakat, tidak ada yang memungkiri kalau band-<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
and indie terkadang lebih bagus daripada band-band mainstream. Masalah utama<br />
mereka adalah uang, karena industri musik mainstream berbasis kepada profit,<br />
jadi label menanamkan modal yang besar untuk mencari keuntungan yang lebih<br />
besar pada nilai investasinya.<br />
Istilah Indie, baru populer di pertengahan tahun 1990an. Awalnya<br />
Indonesia lebih mengenal istilah underground bagi musik yang ‘lari’ dari trend<br />
budaya mainstream. Perkembangan musik luar yang menghasilkan beberapa<br />
varian-varian baru seperti grunge, brit pop, hip-hop, melodic punk dan lain-lain<br />
(Fikrie, 2008:1). Hal ini menyeret anak-anak muda Indonesia pada sekian banyak<br />
pilihan bermusik. Selanjutnya di kota-kota besar, banyak bermunculan band-band<br />
serta komunitas-komunitas dengan varian musik yang beragam. Sejak saat itu<br />
istilah underground mulai digantikan dengan istilah Indie. Mungkin istilah<br />
underground, dirasa terlalu identik dengan musik metal. Maka istilah indie<br />
dengan kesan yang lebih modern, mulai lazim digunakan.<br />
“Pure Saturday”, menjadi pionir band-band dengan aliran selain metal<br />
yang membuat album rekaman sendiri. Grup band ini tercatat mencetak album<br />
pertamanya pada tahun 1995, dengan tajuk ‘Not A Pup E.P’. Keberhasilan<br />
mencetak album ini lantas diikuti oleh sederet nama lain seperti “Waiting Room”,<br />
“Pestol Aer”, “Toilet Sound” dll. Selanjutnya booming Indie semakin menjadi,<br />
ketika “Mocca” (band Swing Pop asal Bandung) sukes menembus angka di atas<br />
100.000 copy dalam penjualan kaset mereka. Keberhasilan “Mocca”, turut<br />
membawa dampak bagi perkembangan musik indie. Selanjutnya deretan nama<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
seperti “Puppen”, “Shagy Dog”, “Superman Is Dead”, “Rocket Rockers”,<br />
“Superglad” dll, mencuri perhatian para penikmat musik.<br />
Musisi Indonesia, banyak mengadopsi budaya barat dalam berkarya.<br />
Sebagai negara bagian dunia ketiga, kita memiliki banyak ketertinggalan dalam<br />
soal ekonomi dibanding dengan negara-negara maju. Akhirnya musik kelas bawah<br />
di belahan utara bumi, diadaptasi oleh kelas menengah di Indonesia. Karena kelas<br />
menengah memiliki kesempatan lebih untuk mengintip perkembangan dunia<br />
musik luar negeri ketika itu. Tak heran presiden Soekarno kala itu pernah<br />
memenjarakan “Koes Ploes”, karena musiknya dituduh identik dengan budaya<br />
kapitalisme internasional. Soekarno dengan padangan politiknya melihat musik<br />
“Koes Ploes”, bukan hal yang penting bagi kelas bawah di Indonesia. “Koes<br />
Ploes” juga tak salah jika mengadaptasi musik yang menurut mereka<br />
mengekspresikan kebebasan.<br />
Semangat-semangat penolakan juga masih terdengar dalam lirik-lirik band<br />
indie di Indonesia. Terakhir kita dengar “Efek Rumah Kaca” yang lugas dalam<br />
merekam realitas sosial. Lagu ‘Di Udara’ misalnya, bercerita soal kematian<br />
Munir, seorang aktivis hak azasi manusia. Selanjutnya ada ‘Cinta Melulu’, yang<br />
mengkritik soal budaya latah musisi Indonesia dalam membuat lirik-lirik lagu<br />
cinta. Hits lainnya ‘Jalang’, mengkritik kebijakan UU Pornografi dan Pornoaksi.<br />
(Kompas, 3 September 2008). “Ras Muhammad” dengan musik reggaenya,<br />
pantas juga di sebut sebagai musisi indie yang concern berbicara soal realitas-<br />
realitas sosial. Belum lagi jika menyebut beberapa band Punk seperti “Marjinal”<br />
dan “Bunga Hitam”, yang hampir setiap lirik lagunya berbau kritik sosial. Hal<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
yang sama juga masih dilakukan oleh band-band lain, seperti “Burger Kill”,<br />
“KOIL”, “Seringai”, “Komunal” dll. Untuk band-band seperti ini, kita pantas<br />
mengucap salut. Mereka benar-benar mengadopsi idealisme indie dalam<br />
bermusik. Idealisme yang bukan hanya sekedar di maknai dalam proses distribusi<br />
dan produksi kaset/cd, tapi juga dalam karya mereka yang jujur dalam merekam<br />
realistas sosial (Fikrie, 2008:1).<br />
Seharusnya band indie merupakan band yang beridealis dengan karakter<br />
musikalitas dan menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan eksperimennya<br />
tanpa mengikuti trend, sekaligus mereka melakukan aktivitas band secara mandiri,<br />
seperti menitipkan demo ke radio, mencari gigs hingga memproduksi album.<br />
Apalagi pegenalan dan penjualan karya sudah dapat dilakukan melalui teknologi<br />
internet. Seiring jaman, tidak salah kalau mereka mendapatkan akses yang mudah<br />
untuk mendukung aktivitas band indie itu sendiri. Kebutuhan kepada seseorang<br />
yang dipercayai untuk mengurusi band, banyaknya telah menjadi kebutuhan band<br />
indie (mandiri). Selain itu kertertarikan indie maupun Major Label pun akan<br />
bersikap mengikuti keadaan idealisme band itu sendiri yang dilihat dari karya,<br />
budaya dan massa.<br />
Pekerjaan rumah untuk penggemar mereka adalah mengenalkan karya<br />
mereka. Ini lebih efektif dan mungkin akan menarik industri, baik indie ataupun<br />
Major Label. Perlahan budaya akan berubah untuk menikmati karya-karya dari<br />
musisi kritis dengan keidealisan karyanya. Dalam kenyataannya, bentukan label<br />
yang dikatakan Major mempertimbangkan pasar yang luas. Sebaliknya, hal ini<br />
adalah Indie Label yang berjasa besar. Sebuah harga yang harus mahal untuk<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
karya musikalitas yang berkualitas, bukan karya yang terlahir karena mengikuti<br />
trend, tuntutan budaya atau industri musik/hiburan. Majalah Kover (Edisi Mei<br />
2010) menuliskan bahwa:<br />
”Sejarah mencatat, indie label memang tidak selalu bertumpu pada<br />
penjualan album secara massal, tapi mengutamakan komunitas dulu.<br />
Kemudian membentuk pasarnya sendiri. Sebenarnya, pergerakan indie<br />
sudah menjalar ke ranah musik kita sejak tahun 1990-an. Padi adalah<br />
salah satu band indie yang berhasil membentuk komunitasnya sendiri<br />
hingga menancapkannya di jalur mainstream.”<br />
Di Medan sendiri hanya beberapa nama band indie yang masih mampu<br />
eksis, semisal “SPR”, “Cherrycola”, “Korine Conception”, “Army Clown”, “Sinar<br />
Band” maupun “Beautiful Monday” yang saat ini dikabarkan sedang menjalani<br />
proses rekaman untuk album band perdana di Jakarta. Band-band indie Medan ini<br />
eksis dengan caranya masing-masing. SPR yang hidup dari panggung ke<br />
panggung atas undangan beberapa event organizer Medan, senasib dengan “Army<br />
Clown”. Sementara ada yang eksis atas kemauan yang kuat lewat promosi ke<br />
promosi album. Caranya beragam, mulai dari menjalin koneksi dengan radio dan<br />
media cetak, misalnya, seperti “Cherrycola” dan “Korine Conception” (Fikrie,<br />
2008:1).<br />
Belakangan, perkembangan musik indie di Medan memang drastis naik.<br />
Diperkirakan jumlahnya ratusan band, mencakup pelajar dan mahasiswa. Mereka<br />
berjalan dengan gayanya masing-masing. Ada yang mengekspresikan eksistensi<br />
bandnya dengan membuat mini album tanpa peduli apakah album itu akan<br />
“meledak” di pasaran atau tidak. Ini kemudian diikuti dengan munculnya<br />
beberapa label rekaman, seperti Huria Record! dan Evilusound Record, dan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
eberapa label lainnya. Selain itu, muncul lagi rental-rental rekaman yang ternyata<br />
menjadi peluang tersendiri bagi pengusaha musik di Medan. Salah satu rental<br />
rekaman yang boleh dikatakan memadai itu adalah Music Room Studio yang<br />
didirikan oleh T Harris. A. Sinar (Riza, 2004:1).<br />
1.6. Metode Penelitian<br />
1.6.1. Rancangan Penelitian<br />
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode<br />
kualitatif. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif<br />
mengenai perilaku kolektif komunitas musik indie di kota Medan. Dengan<br />
demikian, eksplorasi data secara mendalam tentang aktivitas kolektif remaja-<br />
remaja yang tergabung dalam komunitas musik indie bisa terjaring dengan baik.<br />
1.6.2. Informan Penelitian<br />
Untuk menghasilkan data dengan tingkat akurasi yang baik mengenai<br />
komunitas musik indie di kota Medan, maka penulis melakukan pengambilan data<br />
melalui dua kategori informan, yaitu:<br />
1. Pelaku komunitas musik indie yang merupakan pelaku langsung kegiatan musik<br />
maupun pergelaran musik indie di Medan.<br />
2. Penikmat musik indie yang merupakan penonton di setiap pergelaran musik<br />
indie.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data<br />
Data dalam penelitian ini dibedakan atas data kualitatif dan data kuantitatif.<br />
Data kualitatif dijadikan data utama, sedangkan data kuantitatif digunakan untuk<br />
melengkapi data kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data<br />
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari<br />
lapangan melalui observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder<br />
merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini buku-buku,<br />
literatur, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, serta bahan-bahan bacaan yang<br />
relevan dengan masalah penelitian.<br />
teknik, yaitu :<br />
Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa<br />
1.6.3.1. Wawancara<br />
Pertanyaan-pertanyaan awal hingga informasi yang dibutuhkan untuk<br />
mendeskripsikan kondisi objektif, sangat efektif dengan metode ini. Metode ini<br />
juga dapat lebih mendekatkan diri secara emosional dengan informan. Selain itu,<br />
data-data otentik dari sudut pandang masyarakat (emic view) juga dapat dimulai<br />
dengan wawancara. Menurut Bungin (2007:107) wawancara merupakan proses<br />
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil<br />
bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang<br />
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana<br />
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.<br />
Wawancara yang dilakukan pada praktek penelitian ini bersifat<br />
kondisional. Penulis melakukan wawancara terbuka ataupun tertutup, berencana<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
dan tidak berencana, dan wawancara mendalam berdasarkan kondisi yang sesuai<br />
dengan keadaan di lapangan. Untuk mendapatkan data tentang pengertian istilah<br />
indie, penulis juga melakukan wawancara melalui surat elektronik (email) ke<br />
email resminya “Pure Saturday” (info@puresaturday.com) yang dianggap sebagai<br />
pioner band indie di Indonesia. Wawancara berencana dan tidak berencana,<br />
penulis lakukan pada informan selaku penikmat musik indie, yaitu informan yang<br />
terbilang sering penulis lihat hadir di setiap acara-acara pertunjukan musik indie<br />
di kota Medan, seperti yang penulis lakukan kepada Nola Pohan, Rizki Maghfira,<br />
dan Acid Anwar. Wawancara kepada informan tersebut langsung penulis lakukan<br />
dengan cara berbincang di tengah-tengah pertunjukan musik indie (gigs).<br />
Kekurangan dan ketidakjelasan data mengenai hal ini, penulis mengatasinya<br />
dengan melakukan wawancara kembali kepada informan dalam gigs berikutnya<br />
yang juga dihadiri oleh informan.<br />
Wawancara mendalam penulis lakukan seperti kepada Yas Budaya (vokalis<br />
“Alone At Last”, band indie asal kota Bandung) dalam kesempatan ketika “Alone<br />
At Last” diundang konser oleh komunitas Medan Movement. “Alone At Last”<br />
merupakan band indie Indonesia yang sampai saat ini mampu eksis dan produktif<br />
dalam menghasilkan karya. “Alone At Last” juga merupakan band indie yang<br />
cukup dikenal oleh remaja-remaja pelaku dan penikmat musik indie, serta<br />
mempunyai friends (dalam dunia musik secara luas dikenal dengan istilah fans)<br />
yang dinamakan ‘Stand Alone Crew’ yang tersebar di seluruh daerah Indonesia.<br />
Atas dasar itulah, penulis langsung meminta waktu kepada Yas Budaya ketika<br />
bertemu di Aula Terminal Futsal (tempat berlangsungnya konser “Alone At<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
Last”). Sebelumnya, penulis tidak menyangka, Yas Budaya sangat merespon<br />
dengan baik ajakan penulis untuk berdiskusi (wawancara) mengenai musik indie<br />
dengannya, “Gue demen banget kayak ginian, gue respect sama lo. Yok kita<br />
berbagi cerita” jawab Yas Budaya. Wawancara penulis lakukan dengan Yas<br />
Budaya beberapa jam sebelum “Alone At Last” konser.<br />
Wawancara secara mendalam penulis lakukan khususnya bagi informan<br />
kunci pada ketiga komunitas musik indie, yaitu informan selaku pelaku komunitas<br />
musik indie yang merupakan anggota yang aktif dan berpengaruh di<br />
komunitasnya seperti penulis mewawancarai Torep, Lutfi (Kentung) di komunitas<br />
Kirana. Di komunitas Tomat ada Dicky dan Ari, dan di komunitas Medan<br />
Movement penulis jumpai Indra Antian Sitompul (Bimbim), Fandy dan Darren.<br />
Wawancara mendalam ini dilakukan sesuai dengan waktu dan tempat yang<br />
disepakati informan dengan penulis. Tempat wawancara biasa dilakukan di tempat<br />
berkumpulnya remaja-remaja komunitas tersebut, dan juga pernah dilakukan pada<br />
malam hari di salah satu warung kopi yang ada di kota Medan. Penulis juga<br />
memanfaatkan korespondensi melalui percakapan telepon, pesan singkat (sms),<br />
dan BBM (BlackBerry Messenger) fasilitas pesan singkat yang disediakan<br />
BlackBerry smartphone kepada informan apabila ada wawancara yang tidak<br />
begitu jelas ditangkap oleh alat perekam, dan apabila informan sedang berada di<br />
luar kota Medan.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
1.6.3.2. Observasi Partisipasi<br />
Informasi dan data pada penelitian ini salah satunya didapat dari observasi<br />
partisipasi dimana peneliti terlibat aktif di dalam kegiatan remaja-remaja<br />
komunitas musik indie. Selain itu, observasi partisipasi merupakan pilihan yang<br />
tepat untuk mendukung akurasi data yang diperoleh dari wawancara. Penulis<br />
terlibat langsung pada komunitas musik indie, lebih tepatnya pada komunitas<br />
Tomat sekitar pada akhir tahun 2006 dan kemudian bergabung membentuk<br />
komunitas Medan Movement. Penulis juga berperan aktif sebagai penikmat musik<br />
indie sekaligus pelaku komunitas musik indie. Dalam hal bermusik, penulis<br />
bergabung dalam band “Aboutmind”, sebagai additional (pemain pengganti)<br />
bassist (pemain bass) dalam band “Parksound” dan “Just In Case”. Sebagai pelaku<br />
komunitas musik indie, penulis juga berperan dalam proses penyelenggaran<br />
pertunjukan musik indie (gigs) dan menjalin kerjasama dengan komunitas-<br />
komunitas lainnya.<br />
Menurut Danandjaja (1994; 105), penelitian di lapangan (fieldwork) perlu<br />
dipupuk dahulu hubungan baik serta mendalam dengan para informan sehingga<br />
timbul percaya-mempercayai, disebut raport (rapport). Rapport atau hubungan<br />
baik yang terjalin dengan remaja-remaja komunitas musik indie tersebut, tentu<br />
memiliki manfaat tersendiri bagi penulis dalam melakukan penelitian ini. Tujuan<br />
penelitian yang berusaha menggambarkan perilaku kolektif komunitas musik<br />
indie kota Medan, dapat diperoleh dengan keterlibatan langsung penulis.<br />
Keakraban dan hubungan personal yang berhasil penulis jalin dengan remaja-<br />
remaja komunitas musik indie kota Medan yang dikaji tanpa kehilangan<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
objektivitas penelitian, pada akhirnya keberhasilan dalam memperoleh data dapat<br />
dilakukan dengan baik.<br />
1.6.3.3. Literatur<br />
Penelusuran literatur (studi pustaka) yang berhubungan dengan data-data<br />
psikologi remaja, perilaku kolektif, budaya populer, dan teori-teori yang<br />
berhubungan dengan masalah penelitian menghasilkan keterangan yang<br />
membantu penulis untuk mempertajam analisis dan melengkapi data yang<br />
dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun jenis literatur ini berupa buku-buku<br />
teori, laporan penelitian; skripsi, tesis, disertasi, artikel, opini dari surat kabar atau<br />
majalah, serta media online melalui internet.<br />
1.6.3.4. Bahan visual<br />
Sebagai bahan informasi sekunder, penulis menggunakan dokumentasi<br />
visual untuk lebih menguatkan data dari hasil observasi dan wawancara. Alat<br />
dokumentasi berupa kamera DSLR tipe Nikon D3000 10 Megapixel yang penulis<br />
miliki.<br />
1.6.4. Analisis Data<br />
Pengelompokan dari data yang terkumpul digunakan untuk<br />
mendeskripsikan komunitas musik indie, perilaku kolektif para remaja komunitas<br />
musik indie. Analisis dan penyajian data kualitatif dilakukan dengan<br />
menggunakan deskriptif analisis. Data-data yang telah dikumpulkan termasuk<br />
juga catatan lapangan dikelompokkan atas dasar aktivitas khusus yang diteliti.<br />
Kemudian, pengelompokkan data tersebut dikaitkan satu dengan yang lainnya<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara
sebagai suatu kesatuan kejadian dan fakta yang terintegrasi. Tahap terakhir,<br />
kesimpulan diperoleh dari analisa data dan literatur-literatur yang terkait dengan<br />
tujuan penelitian.<br />
1.6.5 Lokasi Penelitian<br />
Lokasi penelitian dalam studi ini adalah di kota Medan yang terletak di<br />
Jalan Kenanga Raya, kecamatan Medan Selayang, lokasi sebuah rumah sebagai<br />
tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Medan Movement. Jalan<br />
Darussalam, kecamatan Medan Baru, tempat berdirinya studio musik Kirana dan<br />
sekaligus sebagai tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Kirana. Dan di<br />
Jalan Tomat, kecamatan Medan Baru, tempat berdirinya studio Tomato dan<br />
tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Tomat.<br />
<strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> Utara