Pembuatan Jalan Berdampak Rendah.pdf
Pembuatan Jalan Berdampak Rendah.pdf
Pembuatan Jalan Berdampak Rendah.pdf
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
PERENCANAAN, LOKASI, SURVEI,<br />
KONSTRUKSI DAN PEMELIHARAAN<br />
UNTUK PEMBUATAN JALAN LOGGING<br />
BERDAMPAK RENDAH<br />
Mei, 2006<br />
Ministry of Forestry
BUKU KEEMPAT DARI RANGKAIAN PEDOMAN TEKNIS<br />
PROJECT ITTO PD 110/01 REV.4 (I) :<br />
“PROGRAM UNTUK MEMFASILITASI DAN MEMPROMOSIKAN<br />
PELAKSANAAN REDUCED IMPACT LOGGING DI INDONESIA DAN<br />
WILAYAH ASIA PACIFIC”<br />
PERENCANAAN, LOKASI, SURVEI,<br />
KONSTRUKSI DAN PEMELIHARAAN<br />
UNTUK PEMBUATAN JALAN LOGGING<br />
BERDAMPAK RENDAH<br />
Badan Pelaksanaan :<br />
Pusat Pendidikan dan Pelatihan<br />
Departmen Kehutanan, Republik Indonesia<br />
Jl. Gunung Batu, P.O. Box. 141<br />
Bogor 16610, Indonesia<br />
Phone : (0251) 312841 / 313622 / 337742<br />
Fax : (0251) 323565<br />
E-mail : dikhutan@telkom.net<br />
Bogor, Mei 2006
TROPICAL FOREST FOUNDATION<br />
Manggala Wanabakti Build., Block IV, Floor 7, Wing B<br />
Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 10270, Indonesia<br />
Telephone: (62-21) 573 5589, Fax. (62-21) 5790 2925<br />
E-mail : tff@cn.net.id<br />
http://www.tff-indonesia.org<br />
ISBN : 979-97847-0-0<br />
Publikasi ini ditujukan untuk penggunaan dan distribusi secara luas.<br />
Seluruh bagian dari dokumen ini dapat direproduksi untuk tujuan<br />
peningkatan penerapan praktek-praktek kehutanan dengan menyebutkan<br />
Tropical Forest Foundation sebagai sumber. Salinan dalam bentuk digital<br />
dari manual ini dapat diperoleh di Tropical Forest Foundation dengan<br />
membayar biaya penggantian duplikasi dan pengiriman.
P E R E N C A N A A N , L O K A S I , S U R V E I ,<br />
K O N S T R U K S I D A N P E M E L I H A R A A N<br />
U N T U K P E M B U ATA N J A L A N L O G G I N G<br />
B E R D A M PA K R E N D A H<br />
Penulis :<br />
Art Klassen<br />
Editor :<br />
Hasbillah<br />
Layout :<br />
Mario Ekaroza<br />
Mei, 2006<br />
Proyek ITTO PD 110 / 01 Rev. 4 (I)<br />
TROPICAL<br />
FOREST<br />
FOUNDATION<br />
Departemen Kehutanan<br />
REPUBLIK INDONESIA
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Kata Pengantar<br />
Buku ini merupakan yang keempat<br />
dari satu seri buku yang bertujuan<br />
memberi pedoman teknis yang<br />
jelas tentang penerapan strategi<br />
pengelolaan dengan menggunakan<br />
sistem pembalakan yang berdampak<br />
rendah (RIL) di hutan-hutan dipterocarp<br />
yang berlokasi di dataran rendah dan<br />
dataran tinggi di Indonesia.<br />
Secara teknis, buku petunjuk tentang<br />
“Perencanaan, Lokasi, Survei,<br />
Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
Bagi <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging<br />
<strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong>” (Planning,<br />
Location, Survey, Construction &<br />
Maintenance for Low-Impact Forest<br />
Roads), memang bukan merupakan<br />
bagian dari pertimbangan<br />
perencanaan serta operasional<br />
dari kegiatan pembalakan. Namun<br />
demikian mengingat besarnya<br />
dampak pembangunan jalan<br />
terhadap bentang alam hutan<br />
dan pada nilai-nilai yang<br />
berkaitan dengan hutan,<br />
konsep tentang pembangunan<br />
jalan yang berdampak rendah<br />
merupakan elemen yang<br />
penting guna meningkatkan<br />
kinerja unit pengelolaan<br />
hutan tropis.<br />
Manual ini “berdiri sendiri”<br />
dan diawali dengan pembahasan<br />
tentang factor-faktor yang<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Kata Pengantar<br />
i
Kata Pengantar<br />
ii Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
menimbulkan dampak yang sangat besar pada jalan raya hutan.<br />
Setelah itu, buku petunjuk ini akan membahas tentang tahaptahap<br />
dari rencana pembangunan jalan, lokasi, konstruksi dan<br />
memberi petunjuk sederhana tentang cara mengurangi dampak<br />
dari factor-faktor ini sehingga dapat memperoleh jaringan jalan<br />
di hutan yang berdampak rendah.<br />
Beberapa buku petunjuk yang telah diterbitkan sebelum ini antara<br />
lain:<br />
1. “Prosedur Survei Topografi Hutan dan Pemetaan Pohon”.<br />
Dalam buku petunjuk pertama ini diberikan langkah-langkah<br />
prosedur mengumpulkan data inventarisasi serta kontur<br />
sehingga mampu membuat peta posisi pohon dan kontur yang<br />
dibutuhkan dalam perencanaan operasional.<br />
2. “Pertimbangan dalam Merencanakan Pembalakan<br />
<strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong>”. Buku petunjuk ini menjajagi berbagai<br />
pertimbangan serta standar yang perlu dipertimbangkan saat<br />
membuat rencana kegiatan pembalakan berdasarkan sistem<br />
RIL, Buku petunjuk ini memberi pembaca langkah-langkah<br />
yang diperlukan untuk mempersiapkan rencana pembalakan<br />
yang khas di satu lokasi.<br />
3. “Pertimbangan Operasional untuk Pembalakan<br />
<strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong>”. Buku petunjuk ini menjelaskan seluruh<br />
kegiatan operasional mulai dari pembukaan hutan, penebangan,<br />
bucking termasuk proses penyaradan hingga menon-aktifkan<br />
jalan sarad. Suatu bagian khusus tentang pemanfaatan akan<br />
memusatkan perhatian pada isu limbah pembalakan: penyebab<br />
dan saran untuk mengatasinya.<br />
Buku pedoman ini disusun oleh Tropical Forest Foundation<br />
(TFF) dengan dana hibah dari the International Tropical Timber<br />
Organization (ITTO). Badan pelaksana dana hibah ini adalah Pusa<br />
Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) Departemen Kehutanan<br />
RI, dimana pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh TFF bekerja<br />
sama dengan PUSDIKLAT.<br />
Kritik dan saran untuk perbaikan sangat ditunggu. Mohon kirim<br />
saran serta pendapat Anda ke:<br />
The Regional Director<br />
Tropical Forest Foundation
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Manggala Wanabakti, Blk.IV, Lt. 7, Wing ‘B’<br />
Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270, Indonesia<br />
Tel. (+021) 5735589<br />
Fax. (+021) 57902925<br />
E-mail: tff@cbn.net.id<br />
Selama persediaan masih ada, hanya dengan mengajukan<br />
permohonan, buku-buku petunjuk ini dapat diperoleh tanpa biaya.<br />
Buku petunjuk ini juga tersedia dalam bentuk fi le PDF yang dapat<br />
didownload melalui website TFF: www.tff-indonesia.org.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Kata Pengantar<br />
iii
Daftar Isi<br />
iv Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Daftar Isi<br />
Kata Pengantar ............................................................................................................. i<br />
Daftar Isi ............................................................................................................. iv<br />
Daftar Gambar ........................................................................................................... vi<br />
Daftar Tabel ............................................................................................................ vii<br />
Daftar Foto ........................................................................................................... viii<br />
Prakata ...............................................................................................................1<br />
BAB I - Pendahuluan ...............................................................................................3<br />
1.1 Tujuan Buku Petunjuk ........................................................................................3<br />
1.2 Keterbatasan .......................................................................................................4<br />
1.3 Defi nisi dari berbagai istilah ..............................................................................4<br />
1.4 Konteks Pengaturan ............................................................................................9<br />
1.5 Beberapa factor yang berpengaruh pada dampak yang berlebihan ................10<br />
BAB II - Perencanaan .............................................................................................17<br />
2.1 Strategis Perencanaan ......................................................................................17<br />
2.2 Perencanaan jalan dan area pembalakan. .........................................................20<br />
2.3 Pertimbangan yang Mendasar ..........................................................................21<br />
BAB III - Penandaan Lokasi .................................................................................27<br />
3.1 Peninjauan Area ................................................................................................27<br />
3.2 Membangun Jalur Pembukaan ..........................................................................27<br />
3.3 Penandaan Lokasi Terakhir .............................................................................29<br />
BAB IV - Survei dan Disain ................................................................................30<br />
4.1 Mengapa Melakukan Survey Lokasi <strong>Jalan</strong> .......................................................30<br />
4.2 Prosedur Survey dan Pengumpulan Data .........................................................30<br />
4.3 Rancangan dan Pemrosesan Data .....................................................................34<br />
BAB V - Konstruksi <strong>Jalan</strong> ...................................................................................43<br />
5.1 Hubungan antara bagian perencanaan dan operasional ...................................43<br />
5.2 Pemahaman Biaya ............................................................................................ 44<br />
5.3 <strong>Pembuatan</strong> badan jalan dasar – mendorong atau menggali ..............................45<br />
5.4 Pemadatan dan meratakan permukaan .............................................................48<br />
5.5 Struktur saluran air (drainage) .........................................................................49
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
5.6 Stabilisasi sisi jalan ...........................................................................................58<br />
BAB VI - Pemeliharaan dan Deaktivasi ............................................................62<br />
6.1 Pemiliharaan .....................................................................................................62<br />
6.2 Deaktivasi .........................................................................................................63<br />
LAMPIRAN I - Jawaban dari Latihan Kontur ....................................................... 66<br />
LAMPIRAN II - Daftar Pustaka .............................................................................67<br />
LAMPIRAN III - Istilah Inggris - Indonesia ...........................................................68<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Daftar Isi<br />
v
Daftar Gambar, Tabel<br />
dan Foto<br />
vi Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Daftar Gambar<br />
Gambar 1 : Istilah yang digunakan saat menjelaskan suatu jalan,<br />
tampilan rencana .............................................................................5<br />
Gambar 2 : Istilah yang digunakan saat menjelaskan suatu jalan:<br />
tampilan melintang ..........................................................................5<br />
Gambar 3 : Rencana jalan utama untuk area seluas 7,250 hektar. .................19<br />
Gambar 4 : Contoh peta kontur untuk latihan. .................................................21<br />
Gambar 5 : Sebuah ilustrasi dua jalur jalan pembukaan dengan<br />
beberapa penyesuaian untuk mendapatkan lokasi<br />
jalan yang terbaik. .........................................................................27<br />
Gambar 6 : Sketsa patok survei. .......................................................................30<br />
Gambar 7 : Alat untuk plotting secara manual. ...............................................31<br />
Gambar 8 : Contoh catatan pelintasan jalan. Gambar berwarna hitam<br />
merupakan data dasar yang diperlukan, sementara merah<br />
merupakan informasi tambaha yang diperlukan untuk<br />
mendesain jalan. ...........................................................................32<br />
Gambar 9 : Survei lokasi jalan dihubungkan pada peta operasional<br />
dari area tebang yang diusulkan ....................................................34<br />
Gambar 10 : Unsur dari profi l dan perlintasan ..................................................35<br />
Gambar 11 : Menampilkan contoh hasil disain dengan menggunakan<br />
bantuan komputer. ....................................................................... 40<br />
Gambar 12 : Biaya per jam satu unit Traktor Caterpillar D7-G .......................43<br />
Gambar 13 : Perencanaan drainase berdasarkan survei lokasi jalan. ................49<br />
Gambar 14 : Hindari mengunakan tumpukan kayu gelondongan atau puing<br />
kayu untuk membuat gorong-gorong. ...........................................50
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 15 : Sketsa gorong-gorong terbuat dari kayu log. ................................51<br />
Gambar 16 : Komponen pada jembatan kayu log. .............................................52<br />
Gambar 17 : Penyangga kayu sederhana dengan fondasi kayu dibawah<br />
bendungan lumpur. ........................................................................54<br />
Gambar 18 : Penyangga kayu yang rumit. .........................................................54<br />
Gambar 19 : Struktur crib sederhana, yang terdiri dari kayu log<br />
depan dan belakang yang terkunci dalam bahan isian<br />
kerikil dan batu. .............................................................................55<br />
Gambar 20 : Penyangga jembatan yang kompleks Perhatikan bagian<br />
ujung yang terbuka dengan beberapa kayu log yang terikat<br />
satu sama lain, dan dipendam dibawah material penimbun<br />
jalan untuk menstabilkan seluruh struktur jembatan. ..................55<br />
Gambar 21 : Balok pembatas bisa menjadi bagian dari struktur jembatan<br />
(diatas) atau menjalani fungsi melindungi (dibawah). ..................56<br />
Daftar Tabel<br />
Tabel 1 : Standar jalan dari Departemen Kehutanan ........................................10<br />
Tabel 2 : Rasio perbandingan stabilitas lereng yang dianjurkan ......................58<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Daftar Gambar, Tabel<br />
dan Foto<br />
vii
Daftar Gambar, Tabel<br />
dan Foto<br />
viii Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Daftar Foto<br />
Foto 1 : Biaya konstruksi yang tinggi;dampak yang berlebihan;<br />
biaya perawatan yang tinggi !! .............................................................2<br />
Foto 2 : Biaya konstruksi rendah; dampak tinggi; biaya<br />
pemeliharaan yang tinggi; kegiatan yang disfungsional .....................2<br />
Foto 3 : <strong>Jalan</strong> hutan perlu dirancang untuk dilintasi kendaraan berat<br />
dimana rata-rata truk bermuatan log yang melintas memiliki<br />
40 x lebih berat dari mobil kijang. ......................................................23<br />
Foto 4 : Permukaan jalan cabang dengan tingkat kerusakan rendah .............24<br />
Foto 5 : Permukaan jalan utama yang terletak pada punggung bukit.<br />
Perhatikan lebar koridor yang berlebihan. ........................................25<br />
Foto 6 : Regu suvei lapangan. ..........................................................................29<br />
Foto 7 : Slope staking secara signifi kan mengurangi kegiatan mesin<br />
pada punggung bukit. .........................................................................38<br />
Foto 8 : Bahkan pada daerah yang landai excavator sebagai mesin<br />
pembuatan jalan utama, bisa mengungguli bulldozer<br />
dalam menghasilkan subgrade yang lengkap dengan parit di<br />
pingir jalan dan dampak lingkungan yang minimal. ........................ 44<br />
Foto 9 : Penggunaan Bulldozer pada pembuatan jalan pada daerah<br />
curam dengan cara pembuatan teras untuk memperkecil<br />
kemungkinan longsoran. .................................................................... 44<br />
Foto 10 : <strong>Jalan</strong> ber balast menyeberangi rawa. Waktu berminggu-minggu<br />
dipakai mengunakan bulldozer untuk mengerjakan bagian jalan<br />
ini dengan susah payah dan menimbulkan dampak kerusakan<br />
besar. Dengan mengunakan excavator pekerjaan ini bisa<br />
diselesaikan dalam waktu singkat dengan dampak minimum. ...........45<br />
Foto 11 : Genangan air yang terbentuk oleh gorong-gorong yang salah<br />
adalah pemandangan yang lazim di beberapa HPH. Perhatikan<br />
‘knappel’ yang diperlukan untuk menstabilkan ‘road fi ll’ yang<br />
dipenuhi oleh genangan air. ............................................................... 46
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Foto 12 : Makin bertambah perusahaan HPH yang menyadari<br />
keuntungan yang didapatkan dari pemadatan segera<br />
setelah pembentukan dari badan jalan. ..............................................47<br />
Foto 13 : <strong>Jalan</strong> yang di balast dan dipadatkan dengan baik. Perhatikan<br />
puing kayu yang diletakan di pinggir jalan untuk<br />
mengurangi erosi. ...............................................................................48<br />
Foto 14 : Contoh jembatan dengan structur penyangga kayu di pinggir<br />
dan tengah. ..........................................................................................53<br />
Foto 15 : Sifat kuat dan tahan lama sering tidak ditemukan pada jenis<br />
kayu tropis, akibatnya penggunaan balok kayu yang ditumpuk<br />
biasa digunakan pada pembangunan jembatan. .................................53<br />
Foto 16 : Jembatan baja di hutan, Wilayah Bagian Perak, Malaysia.<br />
Perhatikan penyangga berada pada posisi jauh di atas titik<br />
air tertinggi, memberikan ruangan yang cukup di atas sungai.<br />
Pada contoh ini deck dan pagar dari baja adalah bagian dari<br />
struktur jembatan. ...............................................................................57<br />
Foto 17 : Meratakan jalan menghilangkan lekuk pada permukaan /<br />
meratakan jalan yang memungkinkan pengeringan permukaan<br />
jalan dengan cepat dan memperbaiki kegunaan jalan<br />
secara keseluruhan. Ini berlaku juga untuk jalan sekunder<br />
yang lebih kecil. ..................................................................................61<br />
Foto 18 : Erosi hebat pada selokan dari jalan sekunder yang tidak<br />
dipakai yang disebabkan oleh selokan yang diblokir. ....................... 64<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Daftar Gambar, Tabel<br />
dan Foto<br />
ix
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Prakata<br />
Pembangunan jalan di hutan merupakan salah satu investasi<br />
terbesar yang perlu dilakukan perusahaan konsesi pada saat<br />
perusahaan tersebut akan mengembangkan dan mengelola areal<br />
konsesinya. Namun demikian, pembangunan jalan hutan ini juga bisa<br />
mengakibatkan dampak yang cukup besar pada hutan serta nilai-nilai<br />
yang berkaitan dengan hutan tersebut. Kedua hal ini merupakan<br />
alasan yang cukup untuk menjajagi topik tentang pembangunan<br />
jalan di hutan dengan tujuan memberi bimbingan mengenai cara<br />
mengurangi dampak serta biaya dari pembangunan jalan hingga<br />
dapat menjamin terwujudnya ekologi hutan yang berkelanjutan<br />
serta usaha kehutanan yang lebih berkelanjutan.<br />
Lebih dari dua puluh areal konsesi telah dikunjungi untuk memperoleh<br />
pemahaman tentang berbagai faktor yang mempengaruhi seluruh<br />
aspek dari pengembangan prasarana pembangunan jalan di hutan.<br />
Sejumlah petunjuk dan peraturan dari Departemen Kehutanan<br />
telah dipelajari dengan seksama sehubungan dengan tujuan serta<br />
penerapannya di lapangan.<br />
Di dalam banyak perusahaan konsesi, sejumlah praktek-praktek<br />
tertentu telah diikut sertakan dalam cara merencanakan, mencari<br />
lokasi serta membangun jalan hutan. Praktek-praktek ini merupakan<br />
hasil gabungan antara factor teknis serta merupakan gambaran dari<br />
kebijakan Departemen Kehutanan. Salah satu hal yang disadari di<br />
sini adalah bahwa praktek-praktek tersebut sering mengakibatkan<br />
biaya serta dampak yang tinggi pada sejumlah nilai ekologis.<br />
Memang masih ada ruang untuk perbaikan dalam kedua bidang ini<br />
sehingga masih bisa memberi manfaat bagi perusahaan konsesi dan<br />
pada hutan sebagai sumber daya yang berkelanjutan.<br />
Di samping itu juga ada berbagai pendekatan yang digunakan<br />
perusahaan saat membangun jalan. Perusahaan konsesi dengan<br />
sistem pengelolaan yang baik biasanya akan menyadari pentingnya<br />
jaringan jalan yang telah direncanakan, dibangun dan dipelihara<br />
dengan baik sehingga akan menginvestasikan sumber daya yang cukup<br />
banyak guna memperoleh jaringan jalan yang efi sien dan mempunyai<br />
daya tahan terhadap berbagai macam cuaca. Sedangkan perusahaan<br />
lain biasanya akan mengurangi biaya untuk membangunan dan<br />
pemeliharaan jalan tanpa menyadari bahwa penghematan ini justru<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Prakata<br />
1
Prakata<br />
2 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
akan meningkatkan biaya di sisi lain yang mungkin tidak sepenuhnya<br />
disadari oleh pimpinan perusahaan, seperti misalnya meningkatnya<br />
biaya pemeliharaan truk dan pengangkutan.<br />
Dari perspektif ekonomi, dampak yang terjadi akibat pembangunan<br />
jalan dapat dilihat sebagai ketidak efi siensienan dalam pelaksanaan<br />
proyek. Dampak yang terjadi biasanya merupakan akibat kegiatan<br />
mesin yang berlebihan dalam pembangunan jalan dan seperti kita<br />
ketahui berjalannya waktu mesin memakan biaya yang cukup<br />
tinggi.<br />
Buku petunjuk ini akan membahas berbagai factor yang dapat<br />
menimbulkan dampak yang berlebihan dan akan memberi bimbingan<br />
tentang cara memperbaiki praktek yang dilakukan saat ini hingga<br />
dampak yang terjadi menjadi sangat minimum Buku petunjuk ini<br />
menelliti faktor yang dapat menimbulkan dampak yang berlebihan<br />
dan memberi petunjuk tentang cara memperbaiki praktek-praktek<br />
yang dilakukan saat ini hingga dampak dapat dikurangi dan pada<br />
saat yang bersamaan juga dapat menghemat biaya.<br />
Masih belum yakin kalau buku petunjuk ini bermanfaat<br />
bagi Anda ???<br />
Bila jaringan jalan yang Anda<br />
bangun terlihat seperti ini...<br />
BERARTI ANDA<br />
MEMBUTUHKAN BANTUAN !!!<br />
Foto 2 : Biaya konstruksi rendah; dampak<br />
tinggi; biaya pemeliharaan yang tinggi;<br />
kegiatan yang disfungsional<br />
Foto 1 : Biaya konstruksi yang<br />
tinggi;dampak yang berlebihan; biaya<br />
perawatan yang tinggi !!<br />
Silahkan baca terus . . . . !!
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
1.1 Tujuan Buku Petunjuk<br />
BAB I<br />
Pendahuluan<br />
Buku petunjuk ini memberi bimbingan teknis tentang cara membuat<br />
rencana, menentukan lokasi, melakukan Survei, konstruksi,<br />
pemeliharaan serta menon-aktifkan jalan yang dibangun di hutan<br />
dengan tujuan mengurangi dampak keseluruhan dari pembangunan<br />
jaringan jalan di hutan dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan<br />
hutan.<br />
Dalam beberapa situasi, pengurangan dampak yang signifi kan dapat<br />
dilakukan bersamaan dengan penghematan biaya, Sedangkan pada<br />
situasi lain, pembangunan jalan yang berdampak rendah mungkin<br />
justru akan memakan lebih banyak biaya untuk membangunnya,<br />
namun akan ada manfaat ekonomisnya di sisi lain, seperti misalnya<br />
biaya pengangkutan dengan truk yang lebih rendah atau dapat<br />
terhindarnya konfl ik sosial yang sering kali terjadi karena erosi<br />
sebagai akibat pembangunan jalan yang memberi dampak pada<br />
mutu air masyarakat yang tinggal di hilir sungai.<br />
Apabila membicarakan tentang “dampak” dari pembangunan jaringan<br />
jalan hutan, maka biasanya ada kecendrungan untuk mengartikannya<br />
sebagai aspek lingkungan yang negative seperti:<br />
• Gangguan lapisan tanah yang berlebihan<br />
• Erosi tanah<br />
• Sedimentasi pada sungai<br />
• Terjadinya banjir serta hilangnya situs hutan sebagai akibat<br />
struktur saluran air yang tidak memadai.<br />
• Pembukaan koridor jalan hutan yang berlebihan<br />
• Kegagalan dalam menggunakan pohon yang telah ditebang untuk<br />
pembangunan jalan.<br />
• Fragmentasi hutan (memberi dampak pada perpindahan habitat<br />
satwa liar)<br />
• Membuka hutan untuk kegiatan perburuan serta ladang<br />
berpindah<br />
Dalam buku petunjuk ini, pertimbangan tentang “dampak” juga<br />
akan digunakan untuk menunjukkan kerugian biaya bila melakukan<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
3
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
4 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
pembangunan jaringan jalan di hutan tanpa membuat rencana yang<br />
baik:<br />
• Waktu kerja mesin yang berlebihan sehingga meningkatkan<br />
biaya yang harus dikeluarkan<br />
• Pembangunan jalan tanpa rencana yang baik akan meningkatkan<br />
biaya pemeliharaan/perawatannya<br />
• Jaringan jalan yang tidak direncanakan dengan baik akan<br />
mengakibatkan tingginya biaya pengangkutan dengan truk<br />
• <strong>Jalan</strong> utama menjadi tidak berfungsi saat musim hujan tiba.<br />
• Dampak yang terjadi pada aliran sungai menyebabkan timbulnya<br />
konfl ik dengan masyarakat yang bermukim di hilir sungai yang<br />
penyelesaiannya biasanya memakan biaya yang cukup tinggi.<br />
1.2 Keterbatasan<br />
Buku ini bukanlah buku petunjuk keahlian teknis, oleh karena itu<br />
tidak ada petunjuk yang lengkap tentang seluruh kegiatan serta<br />
informasi teknis yang dibutuhkan untuk membangun jaringan jalan<br />
di hutan.<br />
Fokusnya adalah cara mengurangi dampak pembangunan jaringan<br />
jalan di hutan. Hal mana dapat dicapai melalui pembuatan rencana<br />
teknik serta konstruksi yang lebih baik.<br />
Konteks buku petunjuk ini adalah bahwa sistem konsesi di Indonesia<br />
didasarkan pada “hak untuk memanen” sehingga tanggung jawab<br />
untuk membangun pra sarana jalan berada pada perusahaan<br />
pemegang HPH.<br />
Dalam memberikan rekomendasi biasanya yang menjadi bahan<br />
pertimbangan adalah cara memperbaiki keterbatasan-keterbatasan<br />
yang ada, seperti misalnya memperbaiki peta yang kurang memadai,<br />
menambah tenaga kerja dengan ketrampilan yang diperlukan,<br />
memperbaiki keadaan lapisan tanah serta permukaan tanah yang<br />
sulit, meningkatkan pengalaman yang terbatas dalam menggunakan<br />
berbagai alat konstruksi dan kadang-kadang juga memperbaiki hasil<br />
analisis biaya-manfaat yang kurang baik.<br />
1.3 Definisi dari berbagai istilah<br />
Berbagai buku teknis kehutanan menggunakan istilah yang berbeda<br />
tergantung apakah buku tersebut berasal dari Australia, Inggris,<br />
Amerika atau Negara lain. Biasakanlah diri Anda dengan istilah-
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
istilah berikut yang secara<br />
konsisten digunakan dalam<br />
buku petunjuk ini untuk<br />
menjelaskan perencanaan<br />
jaringan jalan di hutan,<br />
keahlian teknik dan<br />
konstruksi.<br />
Alignment – istilah umum<br />
yang digunakan untuk<br />
menjelaskan lokasi fi sik dari<br />
jalan yang sedang dibangun.<br />
Dalam istilah teknis,<br />
umumnya dikemukakan<br />
sebagai vertical alignment<br />
dan horizontal alignment.<br />
Angle of repose – Suatu<br />
sudut di mana keadaan<br />
bahan pengisi, potongan<br />
atau bahan asli akan tetap.<br />
Gambar 1 : Istilah yang digunakan saat<br />
menjelaskan suatu jalan, tampilan<br />
rencana<br />
Gambar 2 : Istilah yang digunakan saat menjelaskan suatu jalan: tampilan<br />
melintang<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
5
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
6 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Ballast – Bahan untuk menstabilkan atau bahan permukaan yang<br />
diletakkan pada timbunan tanah (subgrade) untuk meningkatkan<br />
kemampuan serta kapasitas muatannya. Bahan biasanya tidak<br />
dibedakan dan berasal dari galian lubang di tepi jalan.<br />
Borrow pit – Areal di mana dilakukan penggalian untuk konstruksi<br />
jalan atau di mana lapisan penutup permukaan diperoleh.<br />
Catch basin – Penggalian atau konstruksi kolam penampungan yang<br />
dibuat pada ceruk gorong-gorong yang digunakan untuk menampung<br />
air yang kemudian diarahkan ke gorong-gorong.<br />
Center line – Umumnya digunakan untuk menunjukkan lokasi<br />
lapangan dari jalan yang akan dibangun dan akan digunakan untuk<br />
membuat rancangan dan konstruksi jalan yang sebenarnya..<br />
Cross-drain – Struktur saluran air yang dibuat seperti goronggorong<br />
atau yang khusus digali di jalan yang akan mengalirkan air<br />
dari satu sisi jalan ke sisi yang lainnya.<br />
Culvert – Gorong-gorong yang ditanam dalam struktur cross-drain<br />
untuk mengalirkan air dari satu sisi jalan ke sisi satunya.<br />
Cut slope (Cut bank) – Pemotongan miring pada lapisan tanah<br />
atau bahan asli di sepanjang bagian dalam dari jalan.<br />
Ditch (Side drain) – <strong>Pembuatan</strong> selokan dangkal di sepanjang<br />
lokasi di mana akan dibangun jalan untuk menampung air dari jalan<br />
dan lahan yang bersebelahan sehingga dapat dialirkan ke tempat<br />
pembuangan yang sesuai.<br />
Drainage structure – Struktur saluran air yang dibangun untuk<br />
membuang atau mengalirkan air ke tempat penampungan yang<br />
aman jauh dari lokasi jalan yang akan dibangun. Umumnya struktur<br />
saluran air ini berupa gorong-gorong atau jembatan.<br />
Erosion – Proses habisnya lapisan atas tanah. Sehubungan dengan<br />
jaringan jalan di hutan, biasanya hal ini digunakan untuk menunjukkan<br />
air hujan atau air yang mengalir di sepanjang jalan.<br />
Ford – Cekungan di jalan yang dibuat untuk menampung air yang<br />
mengalir di jalan. Cekungan ini bisa digunakan untuk menampung<br />
aliran air musiman atau aliran air yang tetap seperti air anak sungai.<br />
Ford ini sebaiknya dibuat dari bahan yang tahan erosi seperti batu
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
kerikil atau lapisan batu.<br />
Fill slope (embankment) – Lapisan bahan yang ditimbun untuk<br />
membangun jalan dan biasanya berasal dari tepi luar jalan hingga<br />
dasar.<br />
Full bench cut – Metode membangun jalan di mana jalan dibangun<br />
dengan memotong derajat kemiringan permukaan dan bahan yang<br />
digali diangkut keluar atau ditimbun di tempat lain, Pada full bench<br />
cut road, bahan yang digali bukan merupakan bagian atas dari jalan<br />
yang sedang dibangun.<br />
Grade (gradient) – Derajat kemiringan jalan yang dibangun.<br />
Kemiringan permukaan ini biasanya dinyatakan sebagai peningkatan<br />
prosentase. Sebagai contoh, peningkatan 10 meter pada elevasi<br />
dengan jarak 100m dinyatakan sebagai grade 10%.<br />
Grade (adverse) – Gradien menaiki bukit (plus) pada arah<br />
pengangkutan.<br />
Grade (favorable) – Gradien menuruni bukit (negatif) menuju arah<br />
pengangkutan.<br />
Knappel – Kayu balok yang telah diatur sedemikian rupa sehingga<br />
sesuai dengan pembatasan jalan yang akan dibangun sehingga dapat<br />
menghasilkan dasar yang stabil bagi jalan yang akan dibangun. Teknik<br />
ini biasa digunakan untuk mengisi bagian-bagian tertentu dengan<br />
kemiringan yang sangat curam, atau pada bagian-bagian yang basah<br />
di mana sulit untuk memperoleh dasar jalan yang stabil.<br />
Lead-off ditch – Penggalian yang dilakukan untuk mengarahkan<br />
aliran air ke arah luar dari selokan dan arah jalan apabila hal tersebut<br />
tidak terjadi secara alami agar dapat mengurangi volume serta<br />
kecepatan arus air selokan.<br />
Native material – Lapisan tanah alami atau lapisan tanah “setempat”<br />
yang terbentuk dengan sendirinya pada lokasi dan bukannya dibawa<br />
dari luar menuju tempat tersebut.<br />
Overburden – Lapisan atas tanah, biasanya mengandung bahan<br />
organik atau tanah liat lepas yang tidak memiliki kapasitas untuk<br />
menyatu dan biasanya akan dipindahkan dari lokasi pembangunan<br />
jalan.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
7
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
8 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Parent material (native material) – Bahan asli yang digunakan<br />
untuk membangun jalan.<br />
Plan view – Diagram vertical lengkap dengan lokasi jalan dengan<br />
batas horizontal dan berbagai ciri fi sik seperti sungai dan hambatan<br />
yang mempengaruhi batas horizontal dari jalan tersebut.<br />
Profi le – Lintang bujur yang digunakan saat mendisain jalan raya<br />
dan menghitung gradient dari jalan yang dibangun.<br />
Right-of-way (corridor) – Lahan yang telah dibersihkan untuk<br />
membangun jalan. Hal ini mencakup jalan itu sendiri dan tambahan<br />
pembukaan hutan guna memperoleh sinar matahari yang lebih<br />
baik.<br />
Roadway – Luas horizontal lahan yang terkena akibat pembangunan<br />
jalan, dari bagian atas lereng yang dipotong hingga bagian dasar<br />
dari bagian lereng yang perlu ditimbun.<br />
Seepage, (ground water seepage) – Aliran air bawah tanah<br />
menuruni lereng yang muncul di sepanjang tepi jalan.<br />
Running surface (wearing surface) – bagian atas dari permukaan<br />
jalan yang akan dilewati. Bagian ini harus kuat, memiliki daya tahan<br />
terhadap penyaradan, dan tidak terpengaruh oleh air di permukaan.<br />
Pada jalan yang dibangun di hutan, permukaan jalan bisa juga<br />
mengandung parent material yang dipadatkan atau yang dikenal<br />
sebagai “ballast” yang berasal dari selokan yang sesuai.<br />
Sediment (sedimentation) – Lapisan tanah yang mengandung<br />
tanah liat, pasir dan lumpur yang mengalir ke sungai karena erosi<br />
sehingga menurunkan kualitas air sungai tersebut.<br />
Shoulder – Bahu jalan di sepanjang jalan yang dibangun. Bahu<br />
jalan dalam letaknya berdekatan dengan kemiringan yang digusur.<br />
Sedangkan bahu luar letaknya disebelah lereng yang akan<br />
ditimbun.<br />
Side drain (ditch) – Saluran dangkal yang dibuat disepanjang jalan<br />
guna menampung air yang mengalir dari jalan raya dan lahan yang<br />
berdekatan sehingga dapat dialirkan ke tempat pembuangan yang<br />
sesuai.<br />
Slope ratio – Cara untuk menyatakan kemiringan yang dibuat
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
sebagai perbandingan antara jarak horizontal hingga mencapai<br />
jurang misalnya seperti 1.5 m: 1 (1.5 m horizontal untuk setiap 1m<br />
vertical).<br />
Sub-grade – Permukaan jalan yang mengandung parent material<br />
dan atau bahan penimbun.<br />
Through cut – <strong>Jalan</strong> yang dibangun memotong bukit sehingga<br />
menyebabkan pemotongan lereng pada kedua sisi jalan.<br />
Turnout – Perluasan jalan sehingga memungkinkan dua truk yang<br />
berlawanan arah berjalan pada saat yang bersamaan.<br />
Vertical alignment – elemen vertical dari lokasi jalan atau konstruksi<br />
jalan di sini termasuk lekukan vertical.<br />
Horizontal alignment – elemen horisontal dari lokasi jalan termasuk<br />
lekukan horizontal.<br />
1.4 Konteks Pengaturan<br />
Semua aspek dari administrasi hutan, perencanaan dan kegiatan<br />
diatur secara ketat dalam sistem konsesi hutan.<br />
Kerangka kerja Sistem Tebang pilih Tanam Indonesia (TPTI) 1) terdiri<br />
dari 14 langkah dan menjadi pusat perhatian dari sistem adminsitrasi<br />
kehutanan di Indonesia. Dalam kerangka kerja administrasi ini<br />
langkah ke tiga menangani pengembangan jaringan jalan hutan yang<br />
seharusnya dilakukan satu tahun sebelum pemanenan dilakukan.<br />
Pada Tabel 1, diberikan standard untuk menjelaskan parameter<br />
teknis dari jalan utama serta jalan sekunder.<br />
Standar ini mungkin cocok bagi areal konsesi hutan yang memiliki<br />
lereng yang landai, namun bagi konsesi yang terletak pada lereng<br />
permukaan yang sulit, maka sebagian besar perusahaan konsesi<br />
sering kali harus menggunakan standar teknis yang melewati standar<br />
yang berhubungan dengan grade dan lekukan.<br />
Oleh karena truk yang digunakan dapat beroperasi secara efektif<br />
1) TPTI Tebang Pilih Tanaman Indonesia (Indonesian selective cutting and planting<br />
system) - 1993 revision.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
9
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
10 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
baik pada jalan dengan gradient yang curam, maka keterbatasan<br />
yang dikenakan oleh Departemen Kehutanan seringkali tidak<br />
diperhatikan.<br />
Sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah asal beberapa tindakan<br />
tertentu benar-benar diperhatikan seperti yang berkaitan dengan<br />
kepadatan tanah, pengelolaan air, dll. Buku petunjuk ini akan<br />
menjelaskan aspek teknis tentang disain serta konstruksi jalan<br />
yang akan membantu dalam meyakinkan bahwa dampak dari<br />
pembangunan jalan dapat dikurangi.<br />
Tabel 1 : Standar jalan dari Departemen Kehutanan<br />
Permukaan<br />
Padat<br />
JALAN UTAMA JALAN SEKUNDER<br />
Permukaan<br />
Tidak Padat<br />
Permukaan Padat Permukaan<br />
Tidak Padat<br />
Usia jalan permanen 5 tahun 5 tahun 5 tahun<br />
Periode pengunaan sepanjang tahun musim kering sepanjang tahun musim kering<br />
Lebar badan jalan 12 meter 12 meter 8 meter 12 meter<br />
Permukaan <strong>Jalan</strong> 6 - 8 meter - 4 meter -<br />
Ketebalan lapisan atas 20 - 50 cm. - 10 - 20 cm -<br />
Maksimum gradien<br />
kecuraman menuruni bukit<br />
Maksimum gradien<br />
kecuraman menaiki bukit<br />
10% 10% 12% 10%<br />
8% 8% 10% 8%<br />
Minimum radius lekukan 50 - 60 meter 50 - 60 meter 50 meter 50 - 60 meter<br />
Maksimum kapasitas<br />
muatan<br />
60 ton 60 ton 60 ton 60 ton<br />
Max. right-of-way<br />
r ight-of-way / lahan<br />
yang telah dibersihkan 1) 34 meter 34 meter 34 meter 34 meter<br />
1.5 Beberapa faktor yang berpengaruh pada dampak yang<br />
berlebihan<br />
Contoh konstruksi jalan yang buruk, erosi dan sedimentasi pada<br />
sungai tidak sulit ditemukan pada areal konsesi di Indonesia.<br />
Namun demikian, Indonesia juga memiliki beberapa contoh dari<br />
sistem jaringan jalan hutan yang bagus dan dapat bertahan di<br />
1) Right-of-way tidak dispesifi kasikan dalam TPTI. Hal ini telah direvisi dan kini ditetapkan<br />
pada 34 meter sesuai dengan instruksi yang terdapat dalam Surat Keputusan Menteri<br />
Kehutanan SK.352/Menhut-II/2004. Rincian teknis tambahan diberikan dalam SK<br />
Menteri Kehutanan No. 688/Kpts-II/1990 and 590/Kpts-II/1994.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
segala macam cuaca. Mengapa ada perbedaan yang demikian besar<br />
antar perusahaan konsesi sehubungan dengan aspek penting dari<br />
pengelolaan hutan?<br />
Dalam proses pembukaan lahan hutan, pembangunan jalan<br />
merupakan sumber utama dari dampak yang terjadi. Hal ini sangat<br />
sulit dihindari, pertanyaannya adalah, bisakah dampak ini dikurangi,<br />
dan bila jawabannya ‘ya’, apa yang perlu dilakukan untuk memastikan<br />
penurunan dampak dari pembangunan jalan di hutan.<br />
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui faktorfaktor<br />
yang berpengaruh terhadap terjadinya dampak pada sistem<br />
jaringan jalan.<br />
Beberapa faktor yang berhubungan dengan penyusunan rencana<br />
yang kurang memadai<br />
1. Perencanaan pembangunan sistem jalan yang buruk<br />
Peta yang kurang memadai, staf yang kurang mendapat pelatihan,<br />
peraturan pemerintah yang tidak fl eksibel, serta kurangnya<br />
penerimaan dari manajemen tentang perencanaan yang strategis<br />
merupakan faktor-faktor yang menyebabkan pengembangan<br />
sistem jaringan jalan yang tidak mengoptimalisasikan penetapan<br />
batas. Hal ini menyebabkan gradient yang merugikan dan<br />
yang akhirnya akan meningkatkan biaya pengangkutan selama<br />
penggunaan sistem jalan tersebut.<br />
Pada tingkat yang lebih kecil, faktor yang sama bisa<br />
menyebabkan dibangunnya jalan pada lokasi yang tidak tepat<br />
karena perencanaan yang kurang memadai. Hal ini dapat<br />
mengakibatkan biaya konstruksi, perawatan dan pengangkutan<br />
yang lebih tinggi karena adanya gradien yang merugikan.<br />
2. Pemahaman yang buruk tentang cara merencanakan<br />
pembangunan jalan<br />
Rencana pembuatan jalan merupakan awal dari apa yang dikenal<br />
sebagai disiplin dari teknik kehutanan. Pengembangan disiplin<br />
ini kurang berkembang di Indonesia, baik pada tingkat akademis<br />
maupun pada persepsi manajemen perusahaan.<br />
Akibatnya tidak banyak penitikberatan tentang program pelatihan<br />
yang tepat serta pengembangan ketrampilan professional dalam<br />
disiplin ini. Sebagian besar masalah yang berkaitan dengan<br />
pembangunan jalan hutan disebabkan oleh ketidakmampuan<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
11
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
12 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
untuk menekankan teknik kehutanan, rencana pembangunan<br />
jalan hutan dan bagaimana hal tersebut dapat membantu dalam<br />
mengembangkan sistem jaringan jalan yang rendah biaya dan<br />
dampaknya.<br />
Faktor yang berkaitan dengan Teknik Kehutanan<br />
3. Lokasi yang buruk<br />
Kurangnya perhatian terhadap pentingnya teknik kehutanan<br />
mengakibatkan lokasi jalan yang buruk. Kurangnya perhatian<br />
mengenai pentingnya kegiatan penetapan lokasi memperkecil<br />
kemungkinan menjajagi berbagai pilihan.<br />
Hasilnya seringkali merupakan sistem jaringan jalan yang tidak<br />
memberi solusi transportasi terbaik, biaya tinggi, dampak yang<br />
berlebihan pada hidrologi hutan atau gabungan dari semua<br />
masalah tersebut.<br />
Tidak ada yang dapat menggantikan pengenalan lapangan guna<br />
memastikan telah memilih lokasi yang terbaik.<br />
4. Tidak adanya kepatuhan terhadap standar yang<br />
ditetapkan<br />
Berbagai standar dari sistem jalan hutan telah ditetapkan oleh<br />
Departemen Kehutanan. Besar kemungkinan hal inilah yang<br />
menyebabkan perusahaan konsesi tidak ada yang berusaha<br />
mengembangkan standar mereka sendiri, yang mungkin justru<br />
bisa lebih merefl eksikan secara lebih akurat lingkungan kerja<br />
mereka. Tidak adanya standar khusus perusahaan sering<br />
mengakibatkan munculnya situasi seolah-olah “tidak ada<br />
standar”.<br />
Tidak adanya standar atau penerapan standar yang tidak<br />
memadai dapat mengarah pada situasi dimana jalan dibangun<br />
di lokasi yang buruk. Ini dapat dilihat pada saat seorang ahli<br />
kehutanan yang langsung terjun untuk pencarian lokasi hanya<br />
berbekal peta yang tidak memadai, di samping itu juga tidak<br />
membawa clinometer.<br />
Apabila jalan dibangun sekadarnya, tanpa saluran air yang baik,<br />
atau lokasi jalan di tempat yang terlalu curam, maka dapat<br />
dikatakan bahwa tidak ada standar yang diterapkan baik yang<br />
berhubungan dengan lokasi maupun dengan pembangunannya.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
5. Tidak ada tindak lanjut tentang lokasi jalan<br />
Lokasi jalan di areal konsesi Indonesia jarang dilalui sebelum<br />
konstruksi dilakukan. Sebagai akibatnya tidak ada jalan untuk<br />
memeriksa apakah penetapan batas jalan sudah sesuai dengan<br />
parameter yang ditetapkan standar. Hal ini terutama terlihat<br />
pada vertical alignment di mana lokasi yang ditetapkan sangat<br />
tidak realistis sehingga mengakibatkan biaya serta dampak<br />
yang sangat tinggi.<br />
Kegagalan untuk melakukan survei atas jalan hutan sebelum<br />
membangun sistem jalan hutan juga mengurangi kemungkinan<br />
untuk membuat disain sistem jalan pada bagian-bagian yang<br />
kritis. Disain jalan dapat digunakan sebagai alat untuk memeriksa<br />
alignment juga memberi tindak lanjut praktis seperti informasi<br />
tentang kemiringan permukaan guna membatasi areal yang<br />
dapat digunakan untuk membangun jalan.<br />
Faktor-faktor yang berkaitan dengan Konstruksi dan Perawatan/<br />
pemeliharaan<br />
6. Operator gagal menemukan lokasi<br />
Setiap orang yang pernah melakukan perjalanan ke areal<br />
konsesi pasti telah melihat banyak situasi dimana terlihat<br />
usaha untuk menaiki bukit atau menyeberangi kali yang justru<br />
mengakibatkan terjadinya perusakan hutan yang sebenarnya<br />
tidak perlu.<br />
Hal ini bisa merupakan akibat dari usaha mencari lokasi jalan<br />
yang tidak memadai atau kasus di mana operator traktor telah<br />
melakukan penjelajahan lokasi tanpa diminta.<br />
Apapun alasannya, hasilnya adalah pengeluaran uang yang<br />
sia-sia (biaya mesin) dan adanya dampak lingkungan yang<br />
sebenaryna tidak perlu terjadi.<br />
7. Pengawasan yang buruk<br />
Pembangunan sistem jalan hutan yang tidak terkendali tidak<br />
sepenuhnya merupakan akibat dari teknik kehutanan yang<br />
buruk. Supervisi yang seringkali tidak ketat, sehingga memberi<br />
peluang kepada operator untuk melakukan apa yang dikehendaki<br />
tanpa bimbingan yang memadai.<br />
Di beberapa perusahaan situasi ini diperbesar dengan adanya<br />
fakta bahwa pembangunan jaringan jalan di hutan dikontrakkan<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
13
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
14 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
keluar atau operator mesin dibayar per meter yang dilalui<br />
sehingga akibatnya operator bebas melakukan apa yang<br />
diinginkannya.<br />
8. Kurangnya perhatian pada prisnsip-prinsip dasar<br />
konstruksi<br />
Pembangunan jalan bukanlah merupakan kegiatan yang<br />
membutuhkan pengentahuan tinggi. Namun demikian ada<br />
beberapa prinsip sederhana yang dipahami oleh setiap mandor<br />
pada kegiatan pembangunan jalan.<br />
Pembangunan jalan yang berhasil membutuhkan perhatian<br />
pada pengelolaan air. “Singkirkan air dari jalan!” seharusnya<br />
menjadi prinsip yang membimbing. Hal ini juga berlaku pada<br />
pembangunan jalan yang paling dasar, stabilisasi badan jalan<br />
dan perawatan jalan. Kemungkinan besar jawaban terhadap<br />
pernyataan ini adalah “…….secepat mungkin!”<br />
Di sini perlu diperhatikan hal-hal seperti pemadatan dari lapisan<br />
tanah serta pembuatan lapisan atas yang tahan lama,<br />
Pelaksanaan prinsip-prinsip ini akan menghasilkan sistem jalan<br />
yang bisa bertahan di segala macam cuaca dan memiliki dampak<br />
lingkungan yang rendah.<br />
9. Biaya pembangunan yang tidak memadai<br />
Alat yang digunakan untuk membangun jalan sangat mahal.<br />
Staf yang bertanggung jawab atas alat ini selama pembangunan<br />
jalan biasanya kurang memiliki pemahaman tentang biaya<br />
operasional atau menjalankan mesin seperti Caterpillar D7-G<br />
walaupun alat ini merpakan alat yang sering digunakan pada<br />
saat membangun jalan.<br />
Kurangnya pemahaman tentang elemen biaya dalam<br />
pembangunan jalan bisa mengakibatkan kegagalan untuk<br />
menjamin bahwa mesin tersebut telah digunakan secara efi sien<br />
dan efektif.<br />
Manajer hutan dan supervisor lebih sering menitikberatkan pada<br />
pengurangan biaya buruh. Mungkin karena ini adalah hal yang<br />
benar-benar hanya mereka pahami.<br />
Akibat dari adanya ketidakseimbangan dalam prioritas<br />
merupakan kegagalan dalam menjamin terwujudnya lokasi
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
jalan yang baik dan supervisi dengan biaya rendah namun pada<br />
saat yang bersamaan memberi toleransi pada ketidakefi sienan<br />
mengenai penggunaan mesin yang mahal untuk membangun<br />
jalan.<br />
10. Mesin konstruksi yang tidak tepat<br />
Buldozer adalah mesin yang sering digunakan dalam kegiatan<br />
pembangunan jalan di Indonesia. Berdasarkan track record,<br />
mesin ini sangat kuat dan efi sien saat memindah-mindahkan<br />
material.<br />
Namun demikian mesin ini sangat berat, kurang praktis dan tidak<br />
menunjukkan kinerja yang baik dalam kondisi-kondisi tertentu.<br />
Pembangunan sistem jalan hutan di banyak Negara dengan<br />
permukaan tanah yang berbukit sering menggunakan alat<br />
excavator, Mesin ini memiliki fl eksibilitas untuk menggali dan<br />
menempatkan materi dengan efi sien, dan merupakan kebalikan<br />
dari cara kerja buldozer.<br />
Excavator juga dapat bekerja dengan baik dipermukaan<br />
lahan yang sangat curam. Juga merupakan mesin ideal untuk<br />
membangun jembatan dan memasang gorong-gorong. Pada<br />
lokasi yang basah yang membutuhkan drainase, mesin ini<br />
bekerja lebih baik daripada bulldozer.<br />
Banyak perusahaan konsesi yang telah membeli satu atau dua<br />
unit excavator dan menggunakannya untuk menggali bahan dari<br />
selokan dipinggir jalan. Juga untuk memuat truk. Sedikit sekali<br />
perusahaan konsesi yang menyadari potensi dari excavator ini<br />
dalam membangun jalan hutan dengan dampak yang rendah.<br />
Faktor yang berhubungan dengan sikap manajemen<br />
11. Kurangnya pemahaman<br />
Perbaikan pengelolaan hutan dan pengembangan sistem jaringan<br />
jalan di hutan sangat bergantung pada sikap manajemen.<br />
Masih banyak aspek atau informasi dasar yang belum dipahami<br />
oleh manajemen perusahaan konsesi mengenai peluang untuk<br />
memperbaiki rencana pembangunan sistem jalan hutan.<br />
Kurangnya pemahaman ini seringkali menjadi hambatan untuk<br />
membuat perbaikan.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
15
Pendahuluan<br />
BAB I<br />
16 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Kegagalan untuk memahami pentingnya perencanaan yang<br />
baik atau peluang penghematan biaya yang dapat diperoleh<br />
melalui pemilihan mesin konstruksi yang lebih tepat atau<br />
teknik konstruksi yang sudah diperbarui perlu diatasi dengan<br />
menambah informasi, merencanakan program pelatihan dan<br />
memperagakan hal-hal yang praktis.<br />
12. Apatis terhadap perubahan<br />
Aspek lain dari sikap manajemen yang umum dilakukan adalah<br />
sikap apatis terhadap perubahan. Ada kemungkinan para<br />
manajer menyadari adanya cara lain atau teknologi lain yang<br />
lebih baik namun tidak memiliki keinginan untuk membuat<br />
perubahan.<br />
Perubahan sering membutuhkan usaha. Para pemilik perlu<br />
diyakinkan tentang pentingnya investasi baru. Sedangkan<br />
para staf perlu diberi jabatan baru atau fungsinya diubah.<br />
Sering manajemen berpendapat karena perubahan sering<br />
menimbulkan gangguan mengapa tidak meneruskan apa yang<br />
sudah berlangsung karena hasilnya toh baik?!
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
2.1 Strategis Perencanaan<br />
BAB II<br />
Perencanaan<br />
Pada system konsesi hutan di Indonesia, perencanaan jaringan<br />
jalan hutan maupun jalan itu sendiri sering kali tidak sepenuhnya<br />
dimengerti dan terkadang diabaikan. Padahal pada tahap ini, banyak<br />
dibuat keputusan-keputusan penting yang akan berdampak pada<br />
pembiayaan pemeliharaan jangka panjang dan penggunaan sistem<br />
jalan itu sendiri.<br />
Idealnya jalan-jalan utama atau strategi pengembangan suatu<br />
konsesi hutan secara keseluruhan sebaiknya dirancang sebelum<br />
dilakukan kegiatan apapun. Alat paling mendasar dari perencanaan<br />
ini adalah peta dengan skala 1:20.000 atau 25.000. Seringkali peta<br />
yang tersedia adalah berskala 1:50.000. Pada peta berskala semacam<br />
ini, detil topografi kurang jelas sehingga perencanaan yang akurat<br />
sulit dicapai.<br />
Sebagian besar konsesi hutan di Indonesia telah cukup berkembang<br />
dalam penerapan masa rotasi tebangan 35 tahun, untuk masa yang<br />
akan datang strategi perencanaan yang paling relepan adalah RKL<br />
(Rencana Karya Lima tahun).<br />
Gambar 3 mengilustrasikan satu contoh perencanaan jalan yang<br />
dipersiapkan dari peta berskala 1 : 10.000 dengan interval kontur<br />
12,5 meter. Peta tersebut menampilkan luas area sekitar 7.250<br />
hektar atau kurang lebih 3 tahun RKT pada konsesi dengan keluasan<br />
sedang.<br />
Rencana jalan utama yang akan dibangun telah dibuat dan catatancatatan<br />
juga telah dibuat sebagai panduan survey lapangan.<br />
Perencanaan jaringan jalan ini sebanyak mungkin menggunakan<br />
punggung bukit yang berhubungan satu sama lainnya, menghindari<br />
penyeberangan sungai maupun tanah tidak rata dan pada waktu<br />
yang sama memperkecil tanjakan yang merugikan. Beberapa jalan<br />
cabang tetap diperlukan. <strong>Jalan</strong>-jalan ini biasanya dirancang seiring<br />
dengan perencanaan jalan tahunan.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan<br />
BAB II<br />
17
Perencanaan<br />
BAB II<br />
18 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong>
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 3 : Rencana<br />
jalan utama<br />
untuk area seluas<br />
7,250 hektar.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan<br />
BAB II<br />
19
Perencanaan<br />
BAB II<br />
20 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
2.2 Perencanaan jalan dan area pembalakan.<br />
Perencanaan jalan di blok yang akan dibalak lebih terfokus pada<br />
pertimbangan-pertimbangan teknis seperti kondisi kelerengan dan<br />
untuk mencapai jarak penyaradan yang optimal.<br />
Jika inventori hutan telah dikerjakan dua tahun sebelum pembalakan<br />
sebagaimana disebutkan dalam peraturan Departemen Kehutanan,<br />
peta yang terperinci harus tersedia dalam skala 1:1.000 sampai<br />
1:5.000 (untuk pedoman bagaimana menghasilkan peta seperti ini,<br />
dapat dibaca buku manual “Prosedur Teknis Survey Topografi<br />
Hutan dan Pemetaan Pohon”). Peta-peta tersebut merupakan<br />
alat yang sangat baik untuk merencanakan lokasi jalan di area blok<br />
RKT dan petak pembalakan.<br />
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan jalan di area<br />
pembalakan tahunan:<br />
1. Rundingkan /periksa rancangan jalan untuk memastikan bahwa<br />
pola jalan utama telah sesuai.<br />
2. Identifi kasi titik kontrol atau tanda-tanda utama. Tanda-tanda<br />
ini adalah petunjuk dimana jalan harus melintasi, misalnya<br />
daerah yang rendah atau punggung bukit.<br />
3. Identifi kasi titik kontrol kedua atau tanda-tanda lainnya. Tandatanda<br />
ini akan mempengaruhi lokasi dan penempatan jalan baik<br />
secara positif maupun negatif.<br />
4. Hindari lereng yang curam atau topografi patah-patah, lokasi<br />
dengan rembesan air atau rawa, serta kondisi topografi lainnya<br />
yang kemungkinan menimbulkan masalah pada konstruksi jalan<br />
maupun posisi jalan yang menyulitkan bagi pembalakan.<br />
5. Cari lokasi penyebarangan sungai yang menguntungkan,<br />
punggung bukit yang saling berhubungan, gundukan pada<br />
topografi curam dan informasi lain mengenai kontur yang akan<br />
memudahkan penentuan lokasi dan pembangunan jalan untuk<br />
pembalakan.<br />
6. Dalam perencanaan lokasi jalan, jumlah jalan menurun sebaiknya<br />
dibuat dalam jumlah sedikit dan sedapat mungkin selalu sesuai<br />
dengan pedoman desain. Hal ini penting khususnya untuk jalan<br />
utama yang akan digunakan selama bertahun-tahun kemudian.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
2.3 Pertimbangan yang Mendasar<br />
Menentukan lokasi jalan pada peta kontur pada dasarnya tidak<br />
berbeda dengan perencanaan jalan sarad sebagaimana yang<br />
diuraikan pada buku pedoman TFF tentang “Pertimbangan Dalam<br />
Merencanakan Pembalakan <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong>”<br />
Gambar 4 : Contoh peta kontur untuk latihan.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan<br />
BAB II<br />
21
Perencanaan<br />
BAB II<br />
22 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Namun, tidak ada salahnya memaparkan kembali tinjuauan singkat<br />
tahap-tahap perencanaan peta kontur.<br />
Latihan Kontur<br />
(Mengacu pada gambar 4)<br />
Catatan : Skala peta 1:5,000<br />
Pertanyaan 1<br />
Interval kontur : 10 meter<br />
Untuk menaiki saddle pada punggung bukit,<br />
jalan cabang harus melintasi lereng curam.<br />
Berapakah kelerengan rata-rata dari garis<br />
segmen D - E yang melintasi area tersebut<br />
berdasarkan sudut yang tepat terhadap<br />
kontur?<br />
Pertanyaan 2<br />
Berapa kemiringan rata-rata tanjakan yang<br />
akan digunakan untuk mencapai saddle<br />
pada B dari A pada jalan utama?<br />
Pertanyaan 3<br />
Berapa kemiringan rata-rata tanjakan yang<br />
akan digunakan untuk mencapai lokasi jalan<br />
dari B ke C ?<br />
Lihat Lampiran 1 untuk jawabannya.<br />
Gambar 4 Menunjukkan sebuah potongan peta. Dengan rancangan<br />
yang berskala besar bahwa sistem jalan cabang harus dikembangkan<br />
ke arah barat daya dan timur laut punggung B pada punggung<br />
bukit utama. Bagian A pada jalan utama telah diidentifi kasi<br />
sebagai titik awal jalan cabang.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Standar untuk perencanaan dan lokasi jalan hutan<br />
Standar teknis yang dibuat oleh Departemen Kehutanan (lihat<br />
bagian 1.4, Kerangka Peraturan), merupakan awal yang baik<br />
untuk mengembangkan standar perusahaan yang spesifi k dalam<br />
merencanakan, menentukan lokasi, membangun dan deaktivasi<br />
jalan hutan.<br />
Pengembangan standar jalan hutan semacam ini berkaitan dengan<br />
masalah ekonomis. Standar-standar tersebut tidak baku tapi perlu<br />
dikembangkan sesuai dengan kondisi khusus tiap perusahaan. Ini<br />
akan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi tanah secara<br />
keseluruhan, volume kayu yang akan diangkut diatas berbagai jenis<br />
jalan, jenis truk yang digunakan, peralatan konstruksi dan tenaga<br />
kerja terampil yang tersedia.<br />
Standar jalan diperlukan sebagai pedoman dalam perencanaan dan<br />
pembangunan system jalan yang optimal dimana biaya pembuatan,<br />
pengangkutan log dan pemeliharaan ditekan seminimal mungkin.<br />
Pengeluaran-pengeluaran tersebut dikategorikan sebagai “biaya<br />
transportasi.<br />
Di banyak situasi hutan di Indonesia, system jalan cenderung memiliki<br />
bagian-bagian yang menurun. Hal ini merupakan gambaran dari<br />
sebagian besar hutan di Indonesia memiliki topografi yang berbukitbukit<br />
dan merupakan kebiasaan dimana sedapat mungkin mengikuti<br />
punggung bukit untuk masuk ke hutan. Karena posisi mendaki<br />
umumnya memiliki efek lebih besar terhadap biaya pengangkutan<br />
dibandingkan posisi mendatar, maka diperlukan studi untuk<br />
menghitung jalan lebih singkat tapi lebih curam dibandingkan jalan<br />
yang lebih panjang dan<br />
kondisi yang sama<br />
pada posisi mendatar<br />
yang tak teratur.<br />
Foto 3 : <strong>Jalan</strong> hutan perlu<br />
dirancang untuk dilintasi<br />
kendaraan berat dimana<br />
rata-rata truk bermuatan<br />
log yang melintas<br />
memiliki 40 x lebih berat<br />
dari mobil kijang.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan<br />
BAB II<br />
23
Perencanaan<br />
BAB II<br />
Dampak lingkungan<br />
dari standar jalan<br />
hutan terutama adalah<br />
terhadap pembukaan<br />
koridor. Pembukaan jalan<br />
koridor menimbulkan<br />
r i n t a n g a n - r i n t a n g a n<br />
terhadap pergerakan<br />
spesies arboreal, yang<br />
pada beberapa spesies<br />
menyebabkan dampak<br />
negatif yaitu karena<br />
mengisolasi populasi<br />
dan menghalangi akses<br />
menuju sumber makanan<br />
tertentu atau untuk<br />
reproduksi. <strong>Jalan</strong> hutan<br />
yang ramah lingkungan<br />
adalah dimana kera<br />
dapat melintasi jalan<br />
tanpa harus menyentuh<br />
tanah!<br />
Persepsi yang umum<br />
terdapat di perusahaan<br />
konsesi adalah bahwa<br />
24 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Foto 4 : Permukaan jalan cabang dengan tingkat<br />
kerusakan rendah<br />
jalan koridor harus sedapat mungkin lebar agar sinar matahari<br />
dapat mengeringkan jalan setelah turun hujan. Walaupun pendapat<br />
ini ada benarnya, terlebih pada kondisi tanah liat, sebenarnya yang<br />
membuat permukaan tanah tidak stabil adalah pengelolaan air yang<br />
buruk, tingkat kepadatan jalan yang tidak tepat, dan pengerasan<br />
jalan yang kurang tepat. Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut<br />
pada Bab V mengenai konstruksi jalan.<br />
Standar yang ditetapkan Departemen Kehutanan mengenai jalan<br />
koridor maximum selebar 34 meter telah mengalami revisi dari lebar<br />
semula 50 meter.<br />
Perusahaan harus lebih memperhatikan konstruksi dan kestabilan<br />
jalan yang akan lebih berpengaruh daripada pembukaan jalan<br />
yang lebih besar untuk mendapatkan sinar matahari. Kenyataan ini<br />
harus memperlihatkan standar pembuatan jalan tiap perusahaan,<br />
khususnya pada tanah yang berbukit-bukit dimana komposisi dari<br />
kondisi tanah umumnya berbatu-batu.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Foto 5 : Permukaan jalan utama yang terletak pada punggung bukit.<br />
Perhatikan lebar koridor yang berlebihan.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan<br />
BAB II<br />
25
Penandaan Lokasi<br />
BAB III<br />
3.1 Peninjauan Area<br />
26 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
BAB III<br />
Penandaan Lokasi<br />
Lokasi jalan sebaiknya tidak dibuat sebelum dilakukan survey<br />
lapangan secara menyeluruh.<br />
Gunakan titik kontrol atau simbol-simbol yang telah diidentifi kasi<br />
pada peta perencanaan dan buat catatan mengenai titik kontrol<br />
yang akan mempengaruhi pemilihan lokasi jalan. Simbol atau titik<br />
kontol antara lain termasuk :<br />
• Pelintasan sungai yang diinginkan<br />
• Beberapa saddle pada punggung<br />
• Lereng atau tanah berbatu yang harus dihindari<br />
• Tanah lembab atau rawa yang harus dihindari<br />
• Undakan atau topografi yang baik<br />
Akan lebih berguna memberikan tanda pada titik-titik kontrol atau<br />
lokasi di lapangan dimana Anda yakin daerah tersebut cocok untuk<br />
dibuatkan jalan.<br />
Begitu Anda telah memeriksa seluruh area termasuk disekitar jalan<br />
koridor yang akan dibangun, Anda dapat memulai dengan membuat<br />
jalur jalan pembukaan dengan menghubungkan titik-titik kontrol.<br />
3.2 Membangun Jalur Pembukaan<br />
Menentukan lokasi suatu jalan selalu memerlukan upaya lebih dari<br />
satu kali. Survey secara menyeluruh sebenarnya dapat memperkecil<br />
pilihan lokasi jalan menjadi satu lokasi saja, kenyataannya sering<br />
terjadi lebih dari satu pilihan yang tersedia. Oleh karena itu,<br />
disarankan agar upaya awal dalam pembangunan lokasi jalan hutan<br />
mengambil bentuk lokasi pendahuluan atau “P-line”.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 5 : Sebuah ilustrasi dua jalur jalan pembukaan dengan beberapa penyesuaian<br />
untuk mendapatkan lokasi jalan yang terbaik.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Penandaan Lokasi<br />
BAB III<br />
27
Penandaan Lokasi<br />
BAB III<br />
28 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Pertimbangan utama dalam membangun P-line adalah penggolongan<br />
kontrol diantara petunjuk atau symbol kontrol. Regu lokasi lapangan<br />
perlu terbiasa untuk menggunakan klinometer untuk memastikan<br />
bahwa standar teknis kelerengan tidak berlebihan.<br />
Kesalahan prosedural yang biasa terjadi adalah mandor mengirim<br />
seorang asisten dan memintanya untuk mengangkat atau<br />
menurunkan slope hingga mencapai kemiringan yang diinginkan. Hal<br />
ini untuk mencegah lokasi yang dipilih tidak baik dan usaha yang<br />
sia-sia.<br />
Saat mengembangkan P-line, mandor harus selalu berada di depan<br />
dan mengatur asistennya untuk mengembangkan kontrol kelerengan.<br />
Dengan menggunakan pendekatan ini, dia dapat mengevaluasi area<br />
lebih dulu dan menghindari kesalahan membuat P line.<br />
P-line harus ditandai dengan menggunakan pita atau cat berwarna<br />
terang supaya mudah dilihat.<br />
3.3 Penandaan Lokasi Terakhir<br />
Pendekatan paling umum untuk menentukan lokasi jalan adalah<br />
segera melakukan penyesuaian P-line begitu lokasi tersebut<br />
dipastikan sebagai pilihan yang terbaik. Penyesuaian kecil mungkin<br />
bisa dilakukan terhadap P-line untuk memastikan bahwa jalur lokasi<br />
memiliki kelengkungan memadai atau dilokasikan sedekat mungkin<br />
dengan lokasi jalan yang akan dibangun.<br />
Lokasi jalan yang ditetapkan harus merupakan hasil optimal dengan<br />
kalkulasi terbaik demi tercapainya tujuan yaitu memperkecil biaya<br />
konstruksi dan dampak lingkungan serta menjadi pilihan yang terbaik<br />
untuk pembalakan dan pengangkutan.<br />
Lokasi yang dipilih harus dengan jelas diberi tanda sehingga mudah<br />
dilihat.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
BAB IV<br />
4.1 Mengapa Melakukan Survey Lokasi <strong>Jalan</strong><br />
• Untuk menentukan lokasi<br />
jalan secara akurat sebelum<br />
pembangunan dimulai.<br />
• Mengumpulkan informasi<br />
untuk menghitung biaya<br />
sebelum pembangunan<br />
dimulai.<br />
• Mengumpulkan informasi<br />
untuk persiapan desain<br />
teknis jalan.<br />
Survei lokasi jalan dapat<br />
dilakukan secara cepat dengan<br />
menggunakan peralatan<br />
yang dapat dijinjing. Manfaat<br />
melakukan survei jalan adalah<br />
karena dapat mengatur<br />
lokasi jalan yang akurat pada<br />
peta. Lebih penting lagi, juga<br />
merupakan alat kontrol untuk<br />
kesesuaian lokasi jalan fi nal.<br />
Survei dan Disain<br />
Foto 6 : Regu suvei lapangan.<br />
4.2 Prosedur Survey dan Pengumpulan Data<br />
Prosedur dasar survey telah diuraikan dalam buku “Prosedur Survei<br />
Topografi Hutan dan Pemetaan Pohon”. Survei dasar jalur lokasi<br />
jalan tidak banyak berbeda dari prosedur survey topografi kecuali<br />
interval pengukuran yang bervariasi dalam jarak dan azimuth.<br />
Patok survey harus dipancangkan di tiap titik survey disepanjang<br />
lokasi jalan. Patok-patok ini akan dapat dengan mudah dipakai<br />
sebagai referensi untuk regu konstruksi jalan, dan referensi cepat<br />
jika perlu dilakukan penyesuaian/perubahan pada lintasan, jika patok<br />
pada lereng diperlukan, atau sebagai pengikat untuk lintasan lain.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
29
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
Protokol pencatatan untuk lintasan<br />
jalan sederhana dapat dilakukan dalam<br />
berbagai bentuk, namun informasi dasar<br />
harus selalu sama seperti yang terdapat<br />
pada gambar 8 (data berwarna hitam<br />
adalah data dasar untuk lintasan dan<br />
warna merah adalah informasi tambahan<br />
yang diperlukan untuk merancang desain<br />
jalan).<br />
• Arah Kompas - dalam derajat sudut<br />
atau kwadran.<br />
• Jarak lereng - lebih baik diambil ke<br />
jarak terdekat.<br />
• Intermediate Fore Shot (IFS)<br />
- untuk menentukan perubahahan<br />
tiba-tiba pada topografi diantara titik<br />
survey.<br />
• Lereng / Slope - dicatat dalam<br />
bentuk +/-%, dan<br />
• Sketsa peta - yang memperlihatkan<br />
simbol-simbol penting misalnya<br />
penyeberangan sungai, dan lain-lain.<br />
30 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 6 : Sketsa patok survei.<br />
Pada contoh ini, jarak horizontal tidak dihitung dilapangan.<br />
Konsekuensinya penempatan disepanjang lintasan menggunakan<br />
system penomoran berurutan yang sederhana. Pada format<br />
pencatatan survei konvensional, penempatan horizontal akumulatif<br />
digunakan, dimana jarak horizontal dihitung di lapangan dengan<br />
memakai tabel kelerengan dan data-data stasiun merupakan jarak<br />
horizontal yang sesungguhnya misalnya (1+357, 1+385, 1+410,<br />
dst.).<br />
Jika ada kebutuhan untuk mendesain jalan atau menghitung volume<br />
penggusuran dan penimbunan, harus tersedia informasi tambahan.<br />
Informasi lereng samping sangat penting untuk merancang suatu<br />
jalan karena menggambarkan topografi dari arah kiri dan kanan.<br />
Informasi ini dikumpulkan dari sudut kanan ke arah lokasi jalan.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Jika terjadi perubahan arah pada lintasan, sudut diantara dua<br />
garis singgung dibagi dua dan informasi lereng samping dicatat<br />
disepanjang garis imajiner yang membagi sudut ini. Informasi<br />
lereng samping harus diperluas setidaknya 20 meter ke arah kanan<br />
dan kiri dari garis tengah dan mungkin berisikan angka segmen<br />
lereng sebagaimana diilustrasikan dalam warna merah di contoh<br />
gambar 8.<br />
Informasi tambahan yang perlu dikumpulkan untuk desain yang<br />
efektif adalah informasi tipe dan kondisi tanah, struktur drainase<br />
yang diperlukan dan pertimbangan lain yang dapat berpengaruh<br />
terhadap desain jalan.<br />
4.3 Rancangan dan Pemrosesan Data<br />
Plotting Dasar<br />
Survey lokasi jalan tidak<br />
memiliki banyak arti<br />
kecuali jika informasi<br />
diplot dan ditempatkan<br />
secara akurat pada<br />
peta dasar. Hal ini<br />
dapat dicapai dengan<br />
menggunakan prosedur<br />
ploting manual atau<br />
proses komputerisasi<br />
data survei.<br />
Penerapan paling<br />
nyata dari survei lokasi<br />
jalan semacam ini Gambar 7 : Alat untuk plotting secara manual.<br />
berhubungan dengan<br />
pembangunan petak. Plot sederhana dari lokasi jalan yang sudah<br />
disurvey melalui petak akan memungkinkan penempatan jalan yang<br />
tepat pada peta.<br />
Ini merupakan syarat dasar sebelum perencanaan pembalakan<br />
dilakukan sebagaimana terdapat pada buku pedoman teknis<br />
kedua yang diterbitkan TFF berjudul “Pertimbangan Dalam<br />
Merencanakan Pembalakan <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong>”.<br />
Titik ikat terhadap batas blok, jalur-jalur cruising atau symbol-symbol<br />
fi sik lain seperti penyeberangan sungai dapat digunakan untuk<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
31
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
32 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 8 : Contoh catatan pelintasan jalan. Gambar berwarna hitam merupakan<br />
data dasar yang diperlukan, sementara merah merupakan informasi<br />
tambahan yang diperlukan untuk mendesain jalan.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain BAB IV<br />
33
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
34 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
menempatkan lintasan lokasi jalan pada peta rencana pembalakan.<br />
Data survei juga dapat diplot untuk menciptakan sudut pandang<br />
yang berbeda dari lokasi jalan. Profi l suatu lokasi jalan dapat mudah<br />
dihasilkan dari catatan lintasan jalan dan memungkinkan evaluasi<br />
yang cepat dari pengaturan penandaan jalan. Hal ini khususnya<br />
penting saat melakukan evaluasi lokasi alternative dan saat<br />
melakukan penilaian terhadap implikasi jangka panjang.<br />
Profi l yang dikombinasi dengan pelintasan jalan dapat juga digunakan<br />
untuk memvisualisasikan penggalian yang diperlukan untuk membuat<br />
jalan dan khususnya berkaitan dengan rancangan suatu jalan.<br />
Gambar 9 : Survei lokasi jalan dihubungkan pada peta<br />
operasional dari area tebang yang diusulkan
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 10 : Unsur dari profil dan perlintasan<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
35
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
36 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Komponen Rancangan Dasar<br />
Desain jalan dihasilkan dari perubahan-perubahan terhadap<br />
lokasi jalan yang direncanakan dan standar konstruksi agar jalan<br />
yang dibangun memiliki fungsi optimal yang diharapkan. Desain<br />
jalan biasanya berfokus pada pengaturan posisi vertical walaupun<br />
pengaturan secara horizontal mudah dibuat sepanjang data lereng<br />
pinggir telah terkumpul.<br />
Tujuan umum dari suatu desain jalan adalah menghitung volume<br />
penggusuran dan penimbunan. Manfaat utama lain dari desain<br />
jalan adalah untuk menghasilkan tabel slope staking yang akan<br />
memungkinkan keakuratan dalam menentukan batas pengoperasian<br />
mesin untuk membangun jalan.<br />
Desain jalan mengacu pada penyesuaian/perubahan pada lokasi<br />
yang disurvei, yang terdiri dari empat aspek utama :<br />
1. Standar <strong>Jalan</strong><br />
Standar jalan harus ditentukan oleh perusahaan konsesi yang<br />
mencerminkan kebutuhan transportasi dan kondisi kerja yang<br />
sesungguhnya. Standar jalan menggambarkan parameter<br />
tentang bagaimana bentuk jalan jika sudah selesai. Standar<br />
jalan mencakup lebar, gorong-gorong, kelerengan maksimum<br />
dan bentuk-bentuk lainnya dari jalan sesuai dengan klas jalan<br />
dan penggunaannya.<br />
2. Rencana Desain<br />
Rencana desain dibuat berkaitan dengan sifat material yang<br />
akan menganggu pada saat pembangunan jalan. Tanah yang<br />
kasar , berbatu memiliki sifat yang berbeda misalnya pada saat<br />
dilakukan pelebaran dan pengerasan, begitu juga halnya dalam<br />
dilakukannya penggusuran dan penimbunan untuk membuat<br />
jalan tersebut stabil.<br />
Penggusuran dan penimbunan lereng bervariasi. Hal ini<br />
tergantung pada sifat alamiah keadaan tanah. Tanah berbatu<br />
mungkin saja memiliki sudut balik yang sangat tajam sementara<br />
tanah liat lebih stabil pada sudut yang lebih landai.<br />
Sudut penggusuran dan penimbunan lereng biasanya dinyatakan<br />
dalam rasio sebagai berikut 3:4, 0.5:1, dan sebagainya, dimana<br />
angka pertama menunjukkan unit horizontal, dan angka kedua<br />
menunjukkan unit vertikal. Rasio ini dapat dikonversikan ke<br />
dalam persen nilai kelerengan dengan membagi angka kedua
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
dengan angka pertama, lalu meng-kalikannya dengan 100. Oleh<br />
karena itu, ratio 3:4, misalnya sama dengan kelerangan 75%.<br />
3. Pengaturan Vertikal / Vertical alignment<br />
Seorang teknisi lokasi jalan hutan biasanya akan menempatkan<br />
garis tengah sedekat mungkin dengan lokasi garis tengah jalan<br />
yang sebenarnya akan dibuat. Oleh sebab itu, saat merancang<br />
elemen lokasi jalan yang paling banyak dimanipulasi adalah<br />
pengaturan vertikal. Hal ini dilakukan dengan melakukan<br />
penyesuaian/perubahan pada penggusuran dan penimbunan<br />
pada garis tengah lokasi jalan.<br />
4. Pengaturan Horizontal / Horizontal alignment<br />
Pengaturan horizontal pada lintasan jalan dilakukan untuk<br />
mendapatkan standar lengkungan yang sesuai dan memperkecil<br />
penggusuran atau penimbunan.<br />
Mengapa <strong>Jalan</strong> di desain ?<br />
Desain jalan tidak umum dilakukan di hutan tropis, dan hanya<br />
sedikit orang yang biasa melakukan kegiatan ini. Lebih jauh lagi,<br />
di kebanyakan situasi, desain jalan tidak terlalu penting sepanjang<br />
standar maupun pedoman pembangunan jalan yang diuraikan<br />
dengan jelas dipatuhi.<br />
Namun, area hutan yang masih belum dikelola di Indonesia<br />
biasanya berbukit-bukit dan kondisi tanahnya tidak rata sehingga<br />
menimbulkan biaya konstruksi dan dampak lingkungan yang tinggi.<br />
Konsekuensinya, sangat ditekankan pengelolaan hutan yang baik<br />
untuk memastikan bahwa jalan-jalan yang dibangun berada di lokasi<br />
yang terbaik dan bahwa konstruksi dilakukan dengan cara yang<br />
efektif dari segi biaya dan ramah lingkungan.<br />
Desain jalan memiliki peran yang penting dalam mencapai tujuantujuan<br />
tersebut dan khususnya berkaitan dengan situasi yang<br />
melibatkan pemotongan bagian sisi yang curam, kelerengan,<br />
penyebarangan sungai, dan topografi yang sulit atau kompleks.<br />
Desain jalan dapat digunakan untuk menghasilkan beberapa hal.<br />
Dua hal yang paling signifi kan dalam membantu meningkatkan<br />
perencanaan dan pembangunan jalan hutan adalah data slope<br />
staking dan kontrol kelerengan.<br />
Kontrol Kelerengan / Grade control<br />
Suatu profi l yang diplot (gambar 11) menunjukkan gambar pengaturan<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
37
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
38 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
vertikal yang sebenarnya dari suatu pembangunan jalan. Gambar ini<br />
seringkali memiliki kekurangan informasi lokasi jalan terbaru dimana<br />
lereng yang sangat curam sebenarnya terdapat di lapangan dengan<br />
harapan kru pembangunan jalan akan mendapat jalan keluarnya.<br />
Hasilnya adalah pengaturan vertical yang sangat curam yang<br />
berpengaruh terhadap biaya pengangkutan selama jalan itu ada.<br />
Situasi ini juga berpengaruh terhadap operator traktor dalam<br />
mengatasi situasi jalan yang sulit, dimana seringkali upaya-upaya<br />
mengatasi situasi tersebut menyebabkan dampak yang besar<br />
terhadap lingkungan. Masih sering ditemui kegiatan pembangunan<br />
jalan yang berulang-ulang pada suatu lokasi yang sulit, atau ditemui<br />
pengupasan yang sangat luas yang dihasilkan dari kontrol kelerengan<br />
yang tidak tepat dalam pengaturan akhir.<br />
Slope staking<br />
Bisa dikatakan, slope staking adalah kegiatan yang tidak pernah<br />
dilakukan di Indonesia, padahal aktivitas semacam survey lokasi<br />
jalan dan desain dasar dapat menghemat waktu operasional<br />
mesin dan uang, belum lagi memperkecil area yang rusak karena<br />
pembangunan jalan.<br />
Slope staking biasanya berhubungan dengan penghitungan<br />
pengukuran kelerengan penggusuran tebing, dan dasar dari<br />
penimbunan.<br />
Foto 7 : Slope staking secara signifikan mengurangi kegiatan mesin pada<br />
punggung bukit.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Berbagai bentuk tabel slope stake tersedia pada buku-buku teknis<br />
kehutanan. Umumnya tabel slope stake disusun untuk lebar jalan<br />
tertentu (termasuk lebar parit) dan untuk sejumlah sudut tertentu<br />
dari pemotongan dan pengisian yang dinyatakan dalam rasio jarak<br />
horisontal terhadap jarak vertikal.<br />
Informasi lereng pinggir dari survei lokasi jalan diperlukan untuk<br />
menterjemahkan tabel slope stake. Selain itu, perkiraan kedalaman<br />
pemotongan pada setopan garis tengah juga diperlukan untuk<br />
menterjemahkan tabel slope stake.<br />
Untuk pembangunan jalan hutan, informasi paling penting yang<br />
diperoleh dari tabel slope stake, adalah posisi penggusuran mulamula<br />
karena hal ini menentukan batas operasi mesin dan memberikan<br />
pedoman yang jelas kepada operator mesin mengenai dimana dia<br />
harus memulai pemotongan dalam pembuatan jalan.<br />
Desain dengan menggunakan komputer<br />
Waktu yang diperlukan memproses data survey secara manual untuk<br />
mendesain jalan berlangsung lama dan seringkali timbul kesalahan.<br />
Desain manual sebaiknya hanya dilakukan untuk jalan yang pendek,<br />
atau bagian-bagian jalan dengan masalah tertentu.<br />
Saat ini banyak program komputer yang mampu memproses data<br />
lapangan dengan cepat dan menyampaikan desain jalan yang<br />
optimal.<br />
Hasil yang diperoleh antara lain profi l, pelintasan jalan, diagram,<br />
tabel volume, table slope stake, peta kontur untuk koridor jalan, dan<br />
bahkan penampang tiga dimensi untuk desain jalan.<br />
Gambar 11 menampilkan contoh bagian jalan yang rinci yang<br />
dihasilkan dari catatan survey yang terdapat pada gambar 8.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
39
Survei dan Disain<br />
BAB IV<br />
40 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 11 : Menampilkan contoh hasil disain dengan menggunakan bantuan<br />
komputer.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain BAB IV<br />
41
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
42 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
BAB V<br />
Konstruksi <strong>Jalan</strong><br />
5.1 Hubungan antara bagian perencanaan dan<br />
operasional<br />
Membicarakan konstruksi jalan akan terasa sangat aneh bila di mulai<br />
dengan diskusi tentang hubungan antar divisi dalam perusahaan,<br />
padahal dalam banyak perusahaan komunikasi antar bagian tidak<br />
berfungsi.<br />
Disini perlu direnungkan untuk perubahan pada tingkat pelaksanaan.<br />
Biasanya bagi staff perencanaan dan teknik mudah untuk memahami<br />
ketika hal ini menjanjikan potensi keuntungan yang dapat dicapai<br />
melalui peningkatan kemampuan praktis. Namun demikian,<br />
dikebanyakan perusahaan, fungsi perencanaan dan keahlian teknik<br />
masih merupakan kegiatan yang tidak terlalu diutamakan, akibatnya<br />
usulan perubahan yang berasal dari perencanaan akan diabaikan<br />
atau dikesampingkan, kalaupun akan diikuti hanya jika tidak terjadi<br />
pertentangan dengan pandangan dan praktek yang telah ada.<br />
Sifat menolak terhadap perubahan sering kali sangat kuat pada<br />
perusahan dan diperlukan keterlibatan aktif dari managemen<br />
perusahaan untuk hal itu.<br />
Dalam upaya mencapai sebuah standar perencanaan dan konstruksi<br />
jalan yang dapat meminimalkan dampak dan efi siensi biaya, suatu<br />
perusahaan mungkin perlu memperkuat fungsi perencanaannya<br />
atau memperhatikan keahlian teknik masing-masing jalan. Dalam<br />
kasus ini peningkatan kemampuan teknis pada pembangunan jalan<br />
hutan harus seirama dan terintegrasi dengan perubahan pada fungsi<br />
perencanaan dan teknik didalam kegiatan konstruksi jalan.<br />
Petunjuk yang baik dari bagian teknis kehutanan harus sesuai<br />
dengan standar yang jelas. Pelatihan bagi pengawas dan<br />
operator juga diperlukan sehingga memunkinkan mereka untuk<br />
menginterpretasinya bagi perbaikan suatu petunjuk teknis. Akhirnya<br />
pengawas dan operator pembangunan jalan harus bersedia untuk<br />
suatu pelatihan yang menekankan perlunya meminimalkan dampak<br />
dari pembangunan jalan.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
5.2 Pemahaman Biaya<br />
Menejer hutan sering kali enggan untuk mempekerjakan banyak<br />
staff, khususnya untuk keperluan diluar bidang produksi seperti<br />
perencanaan dan teknisi kehutanan. Alasan utamanya adalah biaya.<br />
Seorang tenaga akhli teknik kehutanan mungkin harus dibayar<br />
Rp.10,000,000 (sekitar US$1,110) per bulannya!<br />
Menajer hutan yang sama, mungkin juga memberikan perhatian yang<br />
kecil pada bagaimana mengefi siensi tim bulldozer atau traktor dalam<br />
operasionalnya. Dia tahu berapa kilometer jalan dapat dibangun oleh<br />
mesin-mesin tersebut dalam satu bulan tetapi mungkin dia tidak<br />
mengetahui apakah mereka bekerja dengan kemampuan maksimum<br />
atau mungkin bisa dua kali lipat hasilnya.<br />
Dampak yang tinggi<br />
pada jalan hutan sering<br />
kali merupakan hasil<br />
dari kegiatan mesin yang<br />
berlebihan dan tidak<br />
terawasi. Ini berarti<br />
biaya yang dikeluarkan<br />
lebih besar dari yang<br />
seharusnya.<br />
Pengunjung pada HPH<br />
hampir selalu akan<br />
menemukan bukti<br />
perencanaan dan<br />
konstruksi jalan yang<br />
tidak baik. Contoh<br />
paling gampang bisa<br />
didapatkan pada situasi<br />
dimana operator traktor<br />
telah mencoba berkalikali<br />
untuk menaiki suatu<br />
bukit atau menyeberangi<br />
sungai. Ini disebabkan<br />
Gambar 12 : Biaya per jam satu unit Traktor<br />
Caterpillar D7-G<br />
1. Biaya pemilik : $19.65/jam<br />
(Depresiasi, bunga, asuransi)<br />
2. Biaya Operational : $32.20/jam<br />
(BBM, oli, lubricants, fi lters, perbaikan,<br />
undercarriage, operator)<br />
Total Biaya $51.85/jam<br />
Assumsi<br />
- Biaya kepemilikan berdasarkan<br />
perkiraan waktu depresiasi 10,000<br />
jam operasi.<br />
- Berdasarkan data yang dibuat oleh<br />
Caterpillar / PT Trakindo Utama<br />
pada 2004 tetapi menggunakan<br />
harga BBM sekarang.<br />
- Nilai ini hanya mendekati.<br />
dari perencanaan penempatan jalan yang tidak baik atau kegagalan<br />
operator traktor untuk mengikuti garis jalan yang telah direncanakan.<br />
Dua hal ini akan mengakibatkan penambahan jam kerja traktor yang<br />
tidak perlu dan dampak kerusakan lebih besar pada hutan.<br />
Biaya perekrutan dan pelatihan teknisi penempatan jalan, bisa<br />
diperoleh kembali dari pengunaan traktor yang lebih efektif untuk<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
43
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
Foto 8 : Bahkan pada daerah yang landai<br />
excavator sebagai mesin pembuatan jalan utama,<br />
bisa mengungguli bulldozer dalam menghasilkan<br />
subgrade yang lengkap dengan parit di pingir<br />
jalan dan dampak lingkungan yang minimal.<br />
44 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
mencapai pembangunan jalan dengan dampak rendah. Penghematan<br />
terbesar akan terjadi pada biaya pengangkutan kayu dengan truk<br />
dalam jangka panjang.<br />
5.3 <strong>Pembuatan</strong> badan jalan dasar – mendorong atau<br />
menggali<br />
Pemilihan peralatan pembuatan jalan<br />
Caterpillar D7-G / D8, atau Komatsu D85-SS (atau model yang<br />
serupa) adalah mesin yang paling lazim digunakan untuk pembuatan<br />
jalan hutan di Indonesia. Ini adalah mesin yang sangat efektif dan<br />
efi sien untuk memindahkan material dalam volume besar. Tetapi,<br />
bila digunakan secara tidak tepat akan menyebabkan kerusakan<br />
yang besar dan dampak yang berlebihan.<br />
Di negara-negara di mana pegunungan mendominasi dari wilayah<br />
kerja industri kehutanannya, excavator menjadi pilihan yang paling<br />
lazim digunakan. Di Indonesia semakin sering HPH menghadapi situasi<br />
di mana bulldozer kalah dalam efi siensi dan hasil akhir dibandingkan<br />
excavator, namun masih belum semua HPH telah mendapatkan<br />
ketrampilan untuk dapat mempergunakan mesin tersebut secara<br />
sepenuhnya.<br />
Foto 9 : Penggunaan<br />
Bulldozer pada pembuatan<br />
jalan pada daerah curam<br />
dengan cara pembuatan<br />
teras untuk memperkecil<br />
kemungkinan longsoran.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Dimana excavator lebih unggul dibanding bulldozer :<br />
- Pada daerah curam yang memerlukan penempatan meterial<br />
galian dengan hati-hati.<br />
- Pada daerah perlintasan sungai dan pada pembuatan drainage<br />
- Pada perlintasan daerah berair atau rawa dengan tanah liat,<br />
dimana drainage kerapkali menjadi masalah.<br />
- Pada penggalian material pengeras untuk permukaan jalan.<br />
Foto 10 : <strong>Jalan</strong> ber<br />
balast menyeberangi<br />
rawa. Waktu<br />
berminggu-minggu<br />
dipakai mengunakan<br />
bulldozer untuk<br />
mengerjakan bagian<br />
jalan ini dengan<br />
susah payah dan<br />
menimbulkan dampak<br />
kerusakan besar.<br />
Dengan mengunakan<br />
excavator pekerjaan<br />
ini bisa diselesaikan<br />
dalam waktu<br />
singkat dengan<br />
dampak minimum.<br />
Meskipun, sebagian besar dari jalan lebih efektif dibuat dengan<br />
bulldozer, ada banyak bagian yang akan lebih efektif dibuat<br />
menggunakan bulldozer dan excavator secara bersamaan. Untuk<br />
menentukan mesin apa yang akan dipakai dalam pembangunan jalan<br />
adalah tugas dari bagian teknis kehutanan yang bertangung jawab<br />
atas penentuan lokasi jalan, survei dan design. Ini memerlukan<br />
koordinasi yang lebih baik antara kegiatan teknis kehutanan dan<br />
kegiatan pembangunan jalan.<br />
Prinsip dasar dalam pembuatan jalan<br />
Apakah menggunakan bulldozer, excavator atau gabungan duaduanya<br />
dalam pembuatan jalan di hutan, terdapat beberapa prinsipprinsip<br />
sederhana, tetapi mendasar yang perlu diperhatikan untuk<br />
memastikan kegiatan pembuatan jalan mencapai tujuan yang<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
45
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
46 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
diinginkan dengan hasil baik dan biaya rendah. Beberapa prinsip<br />
dapat dilihat sebagai berikut :<br />
Persiapan<br />
1. Apakah sudah ditentukan lokasi trayek jalan yang terbaik?<br />
Apakah sudah mendapat persetujuan lokasi jalan dari<br />
supervisor? Apakah lokasi jalan sudah ditandai dengan baik ?<br />
(termasuk tanda pancang pada kelerengan ).<br />
2. Apakah supervisor dan / atau mandor jalan sudah diinformasikan<br />
tentang keadaan khusus pada konstruksi jalan ? Apakah operator<br />
traktor dan mandor telah berjalan kaki pada garis konstruksi<br />
jalan dan telah mengenal medan dan area yang memerlukan<br />
perhatian khusus ?<br />
Pertimbangan Pembangunan<br />
3. Pengelolaan air dengan baik, harus menjadi prioritas pada<br />
pembangunan badan jalan. Dimana dimungkinkan, struktur<br />
pembuangan air harus dipasang secepatnya pada waktu<br />
pembuatan badan jalan. Air rawa harus diatur melalui pembuatan<br />
selokan yang baik dan diarahkan keluar jalan. Badan jalan harus<br />
dibentuk sebagaimana mestinya untuk mencegah air terkumpul<br />
dan merusak badan jalan pada waktu pembangunan, dan<br />
memungkinkan badan jalan secepat mungkin kering.<br />
Pemadatan telah dilaksanakan<br />
hanya pada beberapa HPH, padahal<br />
pemadatan dan pengelolaan air<br />
dengan baik, bisa mengurangi<br />
dampak dari pembangunan jalan<br />
dan ongkos pembuatan perkerasan<br />
jalan.<br />
Badan jalan yang telah dipadatkan<br />
dengan segera setelah dibentuk<br />
akan mengurangi pengikisan / erosi<br />
pada waktu hujan. Badan jalan yang<br />
Foto 11 : Genangan air yang terbentuk<br />
oleh gorong-gorong yang salah adalah<br />
pemandangan yang lazim di beberapa<br />
HPH. Perhatikan ‘knappel’ yang<br />
diperlukan untuk menstabilkan ‘road<br />
fill’ yang dipenuhi oleh genangan air.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
dipadatkan akan memerlukan lebih sedikit meterial perkerasan<br />
untuk membentuk permukaan jalan untuk segala cuaca.<br />
5. Balast atau bahan permukaan jalan, biasanya diperlukan<br />
untuk mencapai kondisi permukaan jalan yang padat dan bisa<br />
digunakan untuk segala cuaca. Keperluan balast tergantung<br />
ketahanan yang diharapkan, sifat dari material yang digunakan<br />
dan kemiringan jalan.<br />
Umum:<br />
6. Rentang waktu pembuatan jalan harus diseleraskan dengan<br />
musim panas. Ini terutama sekali bila tanah sangat liat. Untuk<br />
menghindari terjadinya erosi, hindari pembangunan jalan pada<br />
musim hujan.<br />
5.4 Pemadatan dan meratakan permukaan<br />
Foto 12 : Makin bertambah perusahaan HPH<br />
yang menyadari keuntungan yang didapatkan<br />
dari pemadatan segera setelah pembentukan dari<br />
badan jalan.<br />
Semakin bertambah<br />
perusahaan HPH yang<br />
menyadari keuntungan<br />
yang didapatkan dari<br />
pemadatan segera setelah<br />
pembentukan dari badan<br />
jalan.<br />
Pemadatan mengurangi<br />
ketidakteraturan pada<br />
permukaan jalan dan<br />
mempercepat pengeringan<br />
badan jalan. Badan jalan<br />
yang telah dipadatkan,<br />
mengurangi terjadinya erosi<br />
/ pengikisan pada waktu<br />
hujan dan mengurangi<br />
genangan air hujan pada permukaan jalan yang memperpanjang<br />
masa waktu kering.<br />
Badan jalan yang stabil dan padat, memerlukan lebih sedikit material<br />
untuk balast hingga mengurangi biaya pembuatan jalan.<br />
Sebelum pemadatan, badan jalan harus diratakan lebih dahulu dan<br />
membuat garis parit / selokan.<br />
Pemadatan adalah cara yang sangat efektif dari pembuatan<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
47
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
48 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
permukaan jalan setelah bahan balast telah dilapisi diatas badan<br />
jalan. Ini terutama sekali bila bahan untuk balast tidak berbeda<br />
dari bahan badan jalan. Pemadatan akan memastikan bahan tanah<br />
dengan ukuran berbeda telah dibentuk terikat dan dihaluskan<br />
permukaan jalannya.<br />
5.5 Struktur saluran air (drainase)<br />
Foto 13 : <strong>Jalan</strong> yang di<br />
balast dan dipadatkan<br />
dengan baik. Perhatikan<br />
puing kayu yang diletakan<br />
di pinggir jalan untuk<br />
mengurangi erosi.<br />
Saluran air dibangun khusus untuk mengalihkan air hujan dari atas<br />
dan bawah jalan.<br />
Sebelum membahas jenis-jenis drainase yang berbeda, ada<br />
beberapa hal utama yang harus diikuti dimana dimungkinkan untuk<br />
memperkecil ganguan penyaluran air alamiah dan mengurangi resiko<br />
pengendapan aliran sungai.<br />
• Sebisa mungkin, mempertahankan pola saluran air yang sudah<br />
ada.<br />
• Buatlah gorong-gorong pada waktu pembangunan jalan dan<br />
sedapat mungkin dekat dengan tanah. Hindari pembuatan<br />
gorong-gorong pada tanggul yang telah ditinggikan. Bila ini tidak<br />
dimungkinkan, pastikan lapisan tanah pada saluran keluar dilapisi<br />
dengan bahan batu-batuan. Dalam keadaan tertentu sebaiknya<br />
dibangun pintu air dengan mengunakan batu dan semen atau<br />
beton.<br />
• Jangan lupa untuk membangun saluran persilangan pada bagian<br />
yang panjang dan miring dari jalan, di tempat dimana pengalihan
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
air hujan atau rembasan air<br />
susah dialihkan dari jalan.<br />
• Jangan menggunakan kayu<br />
berlubang atau tumpukan<br />
kayu untuk mengisi goronggorong.<br />
Saluran persilangan<br />
jenis ini sangat gampang<br />
tersumbat dan berakibat<br />
terbentuknya kolam dan<br />
pada akhirnya membanjiri<br />
badan jalan.<br />
• Pembangunan goronggorong<br />
paling baik dilakukan<br />
dengan meng-gunakan<br />
excavator. Ini adalah<br />
salah satu segi di mana<br />
keefektifan pembangunan<br />
jalan bisa diperbaiki<br />
dengan mengabungkan<br />
kelebihan dari bulldozer dan<br />
excavator.<br />
Ada tiga tipe dasar struktur saluran air.<br />
Gambar 13 : Perencanaan drainase<br />
berdasarkan survei lokasi jalan.<br />
Saluran air persilangan terbuka<br />
Saluran air persilangan terbuka adalah parit yang dibuat pada jalan<br />
dengan tujuan untuk memungkinkan air untuk menyeberangi jalan.<br />
Ini bisa dilakukan untuk aliran air musiman atau aliran air tetap.<br />
Material pada saluran ini harus tahan erosi / pengikisan, seperti<br />
batuan kerikil atau lapisan tanah yang keras.<br />
Penyeberangan air adalah saluran air terbuka pada aliran sungai<br />
yang lebih besar, dan biasanya memiliki aliran air tetap.<br />
Saluran air terbuka atau penyeberangan air, adalah solusi yang tepat<br />
guna untuk penyeberangan aliran air hanya bila terbuat dari material<br />
yang tahan terhadap erosi atau bila saluran air dilapisi dengan batu<br />
krikil untuk membentuk dasar yang stabil.<br />
Untuk jalan utama yang permanen, saluran air bisa dibuat dari semen<br />
atau batu dan berbentuk pipa gorong-gorong untuk memungkinkan<br />
aliran air melewati bawah saluran air terbuka pada saat volume<br />
aliran air rendah dan bila air meluap dapat melewati di atas saluran<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
49
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
terbuka.<br />
Gorong-gorong<br />
Bentuk paling umum<br />
dari struktur saluran air<br />
(drainase) pada jalan di<br />
hutan, adalah goronggorong.<br />
Tetapi goronggorong<br />
ini adalah aspek<br />
yang paling sering<br />
diabaikan pada jalan dalam<br />
hutan.<br />
Hanya sedikit perusahan<br />
HPH telah mengembangkan<br />
pedoman pembuatan<br />
jalan yang menguraikan<br />
50 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 14 : Hindari mengunakan tumpukan kayu<br />
gelondongan atau puing kayu untuk membuat<br />
gorong-gorong.<br />
cara pembuatan gorong-gorong. Akibatnya pembuatan goronggorong<br />
telah diserahkan kepada kebijaksanaan operator traktor yang<br />
sering kali dibayar per meter jalan yang sudah selesai dibangun.<br />
Kegagalan dalam menangani pengelolaan aliran air yang baik pada<br />
pembangunan jalan, seringkali menghasilkan keadaan sebagai<br />
berikut :<br />
• Tidak cukupnya saluran penyeberangan air, khususnya pada<br />
jalan yang panjang di pengir tebing.<br />
AKIBATNYA : Terbentuknya selokan erosi yang dalam, sepanjang<br />
parit; Pengendapan pada aliran sungai.<br />
• Saluran air / gorong-gorong yang berbentuk tumpukan kayu log<br />
dan puing. Kadang bila tesedia kayu log berlubang digunakan<br />
sebagai penganti gorong-gorong.<br />
AKIBATNYA : Gorong-gorong tersumbat yang menyebabkan<br />
banjir di hulu. Banjirnya sebagian areal hutan. Melemahnya daya<br />
tahan dari badan jalan, karena keadaan yang basah.<br />
• Dimana tanggul jalan melintasi selokan, kayu berlubang seringkali<br />
dipasang, setelah penyelesaian tanggul dan ditempatkan pada<br />
bagian atas dari tanggul.<br />
AKIBATNYA : Banjir di hulu, banjir pada sebagian areal hutan,<br />
melemahnya daya tahan tanggul karena keadaan yang basah.<br />
Gorong-gorong yang terbuat dari kayu gelondongan, mudah dibuat
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
dengan menggunakan<br />
bahan yang tersedia<br />
secara lokal. Gambar<br />
15 menggambarkan<br />
gorong-gorong kotak<br />
sederhana terdiri dari<br />
dua kayu log sejajar<br />
diletakan diatas kayu<br />
pembendung lumpur,<br />
yang mendistribusikan<br />
berat dari kayu log<br />
diatas. Pada bagian<br />
atas dari goronggorong<br />
telah dipasang batangbatang<br />
kayu bersebelahan yang<br />
melintang.<br />
Gambar 15 : Sketsa gorong-gorong<br />
terbuat dari kayu log.<br />
Gorong-gorong sederhana ini, bisa dipasang dengan menggunakan<br />
bulldozer atau menggunakan tenaga manual, walaupun bisa dilakukan<br />
lebih baik dengan menggunakan excavator.<br />
Gorong-gorong kotak sebaiknya dipasang pada ketinggian yang sama<br />
dengan ketinggian permukaan tanah yang asli di atas material yang<br />
dapat menopang bobot dari gorong-gorong dan material di atasnya.<br />
Bila gorong-gorong dipasang lebih tinggi dari permukaan tanah yang<br />
asli, saluran keluar harus diperkuat dengan bahan berbatu untuk<br />
mencegah erosi tanggul.<br />
Jembatan<br />
Jembatan bisa dibangun dengan berbagai ukuran dan bentuk<br />
sehingga sesuai dengan keadaan di tempat itu. Pada jalan di hutan<br />
material yang paling sering ditemukan adalah kayu berbentuk log /<br />
gelondongan.<br />
Jembatan terdiri dari struktur penyangga /abutment pada kedua<br />
sisi yang bisa dibangun dengan menggunakan tumpukan kayu<br />
gelondongan atau pondasi dari beton. Rentang jembatan terdiri<br />
dari kayu balok yang ditutupi dengan batu krikil atau papan kayu<br />
gergajian. Berbagai bagian lain yang bisa ditambahkan pada suatu<br />
jembatan termasuk pagar jembatan, kayu balok (shear) untuk<br />
menjaga memasuki jembatan. Pada rentang yang panjang dan<br />
diperlukan pembagian pada rentang yang lebih pendek struktur<br />
penyangga tambahan di tengah rentang diperlukan dan dapat<br />
dibangun dari tumpukan kayu balok atau tiang beton.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
51
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
52 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 16 : Komponen pada jembatan kayu log.<br />
Pertimbangan Dasar<br />
• Pilih tempat yang mempunyai dasar yang kuat, lebih baik berbatu<br />
untuk menjamin penjajaran (allignment) yang baik dengan<br />
jembatan penyebarangan.<br />
• Posisi struktur penyangga kayu balok sederhana dengan dasar<br />
yang padat dan ketinggian melewati tingkat air tertinggi, bila<br />
memungkinkan.<br />
• Struktur jangkar yang kompleks dan tanah, krikil pengisi tanggul,<br />
bahan batu.<br />
• Merencanakan pembangunan dari jembatan sebelum kegiatan<br />
mesin mulai di lapangan.<br />
• Memilih jenis kayu yang tahan lama untuk semua bagian<br />
dari jembatan. Mencari keterangan dari data penelitian bila<br />
dimungkinkan mengenai sifat kekuatan dan ketahanan dari<br />
material yang digunakan.<br />
• Gunakanlah mesin-mesin yang tepat. Pembangunan jembatan<br />
bisa dipermudah dengan mengunkan excavator.<br />
• Mengatur pembangunan jembatan untuk dilakukan pada musim<br />
panas dimana tingkat air berada pada tingkat terendah.<br />
• Mencari keterangan di buku pedoman yang tepat, untuk petunjuk<br />
mengenai perencanaan dan pembangunan jembatan 1) .<br />
1) Salah satu buku pedoman mengenai perencanaan dan pembangunan jembatan dari kayu<br />
adalah “Log Bridge Handbook 1980” oleh Nagy, Trebett, Wellburn ad Gower (terbitan<br />
kedua 1989) dibuat dan diterbitkan oleh Forest Engineering Research Institute of Canada<br />
at 201-2112 West Broadway, Vancouver, B.C., Canada, H9R 4Z7.Buku bisa didapatkan<br />
dengan menghubungi Margaret-J@MTL.Feric.ca.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Pengenalan dengan<br />
komponen jembatan<br />
Jembatan kayu sangat<br />
sesuai untuk jalan<br />
di hutan karena bisa<br />
dipasang dan dibuat di<br />
tempat dengan bahanbahan<br />
yang tersedia dari<br />
hutan sekitarnya.<br />
Gambar berikut ini<br />
memberikan pengenalan<br />
mengenai beberapa<br />
pendekatan yang dilakukan<br />
pada pembangunan bagianbagian<br />
utama dari jembatan<br />
kayu balok.<br />
Foto 14 : Contoh jembatan dengan structur<br />
penyangga kayu di pinggir dan tengah.<br />
Bentuk yang paling umum dari jembatan kayu balok, biasanya<br />
membutuhkan struktur penyangga yang sederhana (Gambar 17).<br />
Bila dasar dari struktur penyangga adalah batu, satu atau lebih kayu<br />
balok pondasi sudah cukup untuk penyangga kayu balok / stringer.<br />
Bila diperlukan celah tambahan atau bila tanah di bawah penyangga<br />
labil, akan diperlukan kombinasi dari pondasi kayu log dan bendungan<br />
lumpur (mud sill).<br />
Semua bagian dari penyangga harus terkunci, terpaku atau terikat<br />
dengan aman untuk menjamin kestabilan.<br />
Foto 15 : Sifat kuat dan<br />
tahan lama sering tidak<br />
ditemukan pada jenis<br />
kayu tropis, akibatnya<br />
penggunaan balok<br />
kayu yang ditumpuk<br />
biasa digunakan pada<br />
pembangunan jembatan.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
53
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
Gambar 18 : Penyangga<br />
kayu yang rumit.<br />
54 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 17 :<br />
Penyangga kayu<br />
sederhana dengan<br />
fondasi kayu dibawah<br />
bendungan lumpur.<br />
Bahan timbunan harus terdiri dari tanah berbatu. Jangan mengunakan<br />
tanah yang mudah tererosi pada waktu musim banjir dan tidak<br />
mendukung lalu-lintas truk.<br />
Struktur tumpukan bisa bermacam-macam, tergantung dari<br />
ketinggian yang diperlukan dan kondisi tanah di tempat penyangga.<br />
Gambar 19 dan 20 memberikan suatu contoh dari kedua jenis struktur<br />
tumpukan sederhana dan struktur yang lebih rumit dari tumpukan<br />
dengan ujung terbuka.<br />
Penting sekali, bahan timbunan kembali dari tanggul terdiri dari<br />
material berbatu yang tahan erosi, karena struktur tumpukan yang<br />
compleks sering sekali dilanda banjir musiman. Bahan timbunan<br />
yang mudah erosi akan mengakibatkan memperlemahnya struktur<br />
dan pada akhirnya kerusakan pada struktur.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Gambar 19 : Struktur crib sederhana, yang<br />
terdiri dari kayu log depan dan belakang yang<br />
terkunci dalam bahan isian kerikil dan batu.<br />
Gambar 20 : Penyangga jembatan yang kompleks<br />
Perhatikan bagian ujung yang terbuka dengan<br />
beberapa kayu log yang terikat satu sama lain,<br />
dan dipendam dibawah material penimbun jalan<br />
untuk menstabilkan seluruh struktur jembatan.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
55
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
Gambar 21 : Balok pembatas bisa menjadi<br />
bagian dari struktur jembatan (diatas) atau<br />
menjalani fungsi melindungi (dibawah).<br />
56 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Ada alternatif yang lebih mahal selain jembatan kayu bulat, yaitu<br />
jembatan dari baja yang dibuat di tempat lain sebelum dipasang dan<br />
mempunyai beberapa keunggulan.<br />
Jembatan baja dirancang untuk beban muatan sesuai panjang<br />
rentang jembatan. Jembatan tersebut bisa secara mudah diangkut<br />
dan dipasang pada tempat dan penyangga kayu atau semen yang<br />
sudah dibuat lebih dahulu. Salah satu keunggulan utama dari<br />
jembatan baja adalah tahan lama dan bisa digunakan kembali pada<br />
lokasi lain bila diperlukan.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Foto 16 : Jembatan baja di hutan,<br />
Wilayah Bagian Perak, Malaysia.<br />
Perhatikan penyangga berada pada<br />
posisi jauh di atas titik air tertinggi,<br />
memberikan ruangan yang cukup di atas<br />
sungai. Pada contoh ini deck dan pagar<br />
dari baja adalah bagian dari struktur<br />
jembatan.<br />
5.6 Stabilisasi sisi jalan<br />
<strong>Jalan</strong> yang baru dibangun akan menyebabkan erosi dan pengendapan<br />
(sedimentation) untuk waktu yang panjang. Pembangunan jalan<br />
berdampak rendah harus mencoba meminimalkan erosi tersebut<br />
melalui bermacam-macam tindakan.<br />
Saluran samping dan lintasan saluran dapat menyalurkan air hujan<br />
keluar jalan. Pemadatan dan pengerasan akan mengurangi erosi<br />
dari permukaan jalan. Tetapi khususnya pada daerah berbukitbukit,<br />
gusuran dan timbunan adalah sumber utama erosi dan<br />
sedimentasi.<br />
Tergantung dari kondisi lapangan, lereng timbunan pada area<br />
dengan curah hujan tropis yang tinggi ditumbuhi tanaman secara<br />
alami dalam satu-dua tahun, untuk lereng gusuran akan diperlukan<br />
waktu lebih lama. Khususnya pada tanah yang sangat labil, tindakan<br />
stabilisasi lereng di sisi jalan harus dilaksanakan, secepat mungkin<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
57
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
58 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
setelah pembangunan jalan untuk mengurangi erosi dan masuknya<br />
sedimentasi ke sungai terdekat.<br />
Manfaat lingkungan dari upaya menstabilkan sisi pinggir jalan pada<br />
lereng gusuran dan lereng timbunan, bukanlah merupakan satusatunya<br />
faktor pendorong. Kerusakan pada lereng gusuran dan<br />
lereng timbunan menimbulkan biaya perbaikan yang mahal dan<br />
pengendapan pada hilir sungai bisa menimbulkan konfl ik dengan<br />
penduduk lokal yang tergantung pada air sungai untuk memenuhi<br />
kebutuhan rumah tangga mereka dan salah satu sumber pangan<br />
yang penting.<br />
Untuk menstabilkan lereng gusuran, sebaiknya dilakukan pada waktu<br />
pelaksanaan pembangunan jalan. Tindakan lain bisa juga dilakukan<br />
sesudah pembangunan selesai. Semua tindakan harus didahului<br />
oleh inspeksi lapangan dan penafsiran resiko dengan tujuan untuk<br />
menjamin gusuran dan timbunan lereng tetap stabil dan tidak<br />
menjadi sumber endapan untuk tata air (hydrology) lokal dan tidak<br />
menambah biaya perawatan jalan.<br />
Dalam perencanaan dan pembangunan jalan hutan tabel berikut ini<br />
dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk stabilitas dari lereng gusuran<br />
dan lereng timbunan dengan berbagai macam bahan / material<br />
yang mungkin ditemui pada pembangunan jalan hutan. Nilai dalam<br />
tabel ini didapatkan atas pengalaman sendiri. Tiap perusahaan HPH<br />
bisa merubah nilai pada tabel, berdasarkan situasi operasional dan<br />
pengalaman mereka.<br />
Tabel 2 : Rasio perbandingan stabilitas lereng yang dianjurkan<br />
Rasio perbandingan yang dianjurkan untuk stabilitas lereng dengan bahan tanah yang berbeda-beda<br />
Kondisi dari Tanah / Batu Rasio Lereng (Horizontal:Vertical)<br />
Batu Keras (jarang ditemui di Indonesia) 0.25:1 - 0.5:1<br />
Batu pecah-pecah, batu lunak 0.5:1 - 1:1<br />
Tanah yang mengikat dengan baik 0.25:1 - 0.5:1<br />
Normal tanah (gusuran lereng) 0.75 - 1:1<br />
Tanah yang sangat liat 2:1 - 3:1<br />
Daerah lembab atau tanah lempung yang subur 2:1 - 3:1<br />
Timbunan pada kebanyakan tanah 1.4:1 - 2:1<br />
Timbunan dari matrial batu yang mudah lepas 1.3:1
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Kondisi Umum<br />
Perhatikan pertimbangan berikut ini, ketika mengembangkan<br />
kebijaksanaan dan praktek baru yang dirancang untuk mengurangi<br />
erosi lereng gusuran dan lereng timbunan dari jalan hutan.<br />
1. Gusuran lereng utama harus dibangun menggunakan teras<br />
bangku yang masuk kedalam. Teras-teras tersebut akan<br />
mengarahkan air hujan sepanjang lereng dan dialihkan ke areal<br />
hutan yang berdekatan dengan demikian mengurangi volume<br />
dan kekuatan pengikisan dari air sepanjang parit.<br />
2. Menggusur lereng pada sudut yang cocok dengan bahan /<br />
material dari tanah yang digunakan untuk membangun jalan<br />
(lihat Tabel 2). Memancangkan tongkat (staking) pada lereng<br />
adalah teknik yang berguna untuk memastikan sudut yang tepat<br />
telah tercapai selama pembangunan jalan.<br />
3. Lereng yang digusur bisa distabilkan dengan menanam rumput<br />
atau tanaman lain yang cepat tumbuh. Menanam pohon pada<br />
lereng mempunyai pengaruh yang kecil atau sama sekali tidak<br />
berpngaruh pada erosi.<br />
4. Pastikan sekitar tempat gorong-gorong telah terlindungi dengan<br />
tanah berbatu, krikil.<br />
5. Menanam tanaman pada lereng timbunan segera setelah<br />
pembangunan jalan. Rumput atau tanaman lain yang tumbuh<br />
cepat harus digunakan. Menanam pohon akan mempunyai<br />
pengaruh menstabilkan lereng dalam jangka panjang, tapi<br />
jangan mengharapkan untuk mengurangi erosi pada lereng<br />
dalam tahun pertama setelah pembangunan dengan menanam<br />
pohon.<br />
6. Dimana dimungkinkan, tempatkanlah dahan, ranting pohon<br />
pada lereng timbunan jalan untuk mengurangi erosi permukaan<br />
tanah dan memperbaiki kondisi pertumbuhan dari rumput.<br />
7. Gunakan pagar hidup dari semak-semak dimana dimungkinkan<br />
pada lereng timbunan dan lereng gusuran jalan. Ada banyak<br />
jenis tanaman tropis yang cocok untuk penggunaaan seperti<br />
itu. Pagar hidup (tanaman) sangat cocok untuk resiko erosi<br />
sangat tinggi dan dimana areal rembesan air akan memilihara<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
59
Survei dan Disain<br />
BAB V<br />
kelembaban tanah.<br />
60 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
8. Menstabilkan tanah secara mekanis (dengan mesin) harus<br />
dilaksanakan pada keadaan khusus dimana resiko erosi atau<br />
kerusakan yang serius pada lereng tersebut. Pada lereng<br />
gusuran, struktur dengan keranjang terisi batu ternyata dapat<br />
berguna untuk mencegah pergerakan tanah yang disebabkan<br />
rembesan air. Solusi lain yang bisa digunakan adalah dengan<br />
memperkuat tempat perembesan air, walaupun ini memerlukan<br />
pengunaan excavator.<br />
9. Pada lereng timbunan, area di bawah gorong-gorong saluran<br />
keluar mungkin membutuhkan perlindungan yang bisa diberikan<br />
melalui penempatan reruntuhan kayu atau krikil untuk mencegah<br />
erosi skala besar dan runtuhnya lereng timbunan.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
BAB VI<br />
Pemeliharaan dan Deaktivasi<br />
6.1 Pemeliharaan<br />
Pemeliharaan jalan secara rutin adalah kegiatan yang sangat<br />
penting untuk memelihara sistem jalan dalam kondisi yang baik dan<br />
memelihara sistem saluran airnya bekerja sebagaiman mestinya.<br />
<strong>Jalan</strong> yang dipelihara dengan baik akan mengurangi endapan,<br />
mencegah kerusakan jalan dengan cepat, dan mengurangi biaya<br />
transportasi.<br />
Perusahaan HPH dengan jaringan jalan yang baik telah belajar dari<br />
pengalaman dimana dengan mengikuti praktek-praktek tersebut<br />
bahwa penting sekali untuk memelihara jaringan jalan dengan baik<br />
dimana akan mengurangi biaya transportasi kayu.<br />
1. Melaksanakan pemeliharaan jalan sesegera mungkin sangat<br />
diperlukan. Keterlambatan dalam pemeliharaan jalan, akan<br />
menyebabkan kerusakan lebih parah pada jalan dan akan<br />
meningkatkan biaya pemeliharaan.<br />
Foto 17 : Meratakan jalan menghilangkan lekuk pada permukaan /<br />
meratakan jalan yang memungkinkan pengeringan permukaan jalan<br />
dengan cepat dan memperbaiki kegunaan jalan secara keseluruhan.<br />
Ini berlaku juga untuk jalan sekunder yang lebih kecil.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Pemeliharaan &<br />
Deaktivasi<br />
BAB VI<br />
61
Pemeliharaan &<br />
Deaktivasi<br />
BAB VI<br />
62 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
2. Pembersihan dan perataan permukaan jalan secara berkala untuk<br />
menimbun lubang-lubang dan pembentukan kembali permukaan<br />
jalan dan system pengeringan yang baik. Pembersihan dan<br />
perataan sebaiknya dilakukan pada waktu permukaan jalan<br />
sedikit basah. Dianjurkan dilakukan pemadatan jalan, setelah<br />
perataan selesai.<br />
3. Membersihkan selokan / parit dan gorong-gorong dari sampah<br />
yang menyumbat.<br />
4. Membiarkan rumput atau tanaman lain sepanjang pinggir jalan<br />
untuk mengurangi erosi permukaan jalan.<br />
5. Bila jalan tidak mempunyai permukaan yang cocok untuk segala<br />
cuaca, tutuplah jalan tersebut pada waktu musim hujan, untuk<br />
menghindari gangguan pada permukaan jalan, seperti terjadinya<br />
lubang-lubang.<br />
6. Membersihkan pinggir jalan dari tumbuhan dibutuhkan untuk<br />
memelihara jarak penglihatan yang maksimal untuk keselamatan<br />
lalu-lintas.<br />
7. Memasang tanda-tanda peringatan jalan.<br />
6.2 Deaktivasi<br />
Deaktivasi / pemberhentian kegiatan operasional pada jalan<br />
yang sudah tidak dibutuhkan, adalah praktek yang sangat jarang<br />
dilakukan di Indonesia, padahal pengabaian deaktivasi sering sekali<br />
menimbulkan dampak negatif yang besar. Hanya sebagian orang akan<br />
membantah bahwa pengabaian deaktivasi jalan bisa menimbulkan :<br />
• Erosi tak terkendalikan pada jalan yang sudah tidak digunakan<br />
karena selokan dan parit tersumbat,<br />
• Menyebarnya penebangan liar ’illegal logging’, karena jalan yang<br />
tidak digunakan di biarkan terbuka.<br />
• Menyebarnya pemukiman penduduk dan terbukanya hutan<br />
karena kegiatan perladangan yang berpindah-pindah dan tidak<br />
cukup memperhatikan pada apa yang mereka tinggalkan,<br />
• Berkurangnya satwa liar, karena perburuan yang tidak terkontrol<br />
dan pengambilan satwa langka.<br />
Tingkat keunikan dari masalah ini, akan berbeda dari tempat<br />
satu dengan tempat yang lain, karena itu dibutuhkan pendekatan
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
terkoordinasi.<br />
Garda ‘garis depan’ pertahanan dimulai dengan pengelolaan HPH yang<br />
proaktif dan sampai melewati siklus penebangan pertama. Walaupun<br />
pernyataan maaf mengutip kegagalan Departemen Kehutanan atau<br />
pemerintah daerah untuk menegakkan hukum, kerapkali mempunyai<br />
dasar kesimpulan yang logis. Ada langkah-langkah yang nyata dan<br />
praktis yang dapat diambil oleh perusahaan HPH untuk memastikan<br />
masa depan areal hutan yang mereka kelola, dan memastikan fungsi<br />
ekologi telah terlindungi sesudah kepentingan mereka dari hutan<br />
tersebut terpenuhi.<br />
Tindakan yang dianjurkan :<br />
1. Membuat dan menjalankan panduan dan kebijaksanaan yang<br />
jelas untuk memastikan kegiatan deaktivasi dan pemberhentian<br />
yang tepat telah dilaksanakan.<br />
2. Tempatkan rintangan yang efektif pada jalan yang sudah<br />
tidak digunakan, untuk mencegah masuknya orang yang tidak<br />
berkepentingan. Rintangan harus ditempatkan pada bagian<br />
jalan dimana tidak dimungkinkan untuk mengitari rintangan.<br />
Rintangan harus cukup besar untuk mencegah penerobosan.<br />
3. Pemasangan rambu-rambu yang<br />
menunjukkan penutupan dari jalan<br />
tersebut, dilarang berburu, dll.<br />
4. Membersihkan puing sisa dari<br />
logging yang dapat menambah<br />
polusi lingkungan.<br />
5. Memberitahukan pada masyarakat<br />
lokal, tentang tujuan penutupan<br />
jalan, untuk menjamin tidak ada<br />
yang berkeberatan dari pihak<br />
masyarakat lokal, dan kebutuhan<br />
masyarakat telah terpenuhi dengan<br />
cara bekerjasama dan tertib.<br />
6. Membongkar bangunan seperti jembatan dan gorong-gorong. Ini<br />
tidak saja akan memastikan pembentukan kembali dari saluran<br />
air secara alami, dan mengurangi resiko erosi pada jalan yang<br />
sudah tidak dipakai, tapi juga akan menjadi rintangan yang<br />
efektif, terhadap masuknya penebang liar.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Pemeliharaan &<br />
Deaktivasi<br />
BAB VI<br />
63
Pemeliharaan &<br />
Deaktivasi<br />
BAB VI<br />
64 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Foto 18 : Erosi hebat pada selokan dari jalan sekunder yang tidak dipakai yang<br />
disebabkan oleh selokan yang diblokir.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
LAMPIRAN I<br />
Jawaban dari Latihan Kontur<br />
Jawaban Pertanyaan 1 :<br />
(Bekenaan dengan bagian 2.3)<br />
Ruas garis (D-E) adalah 5 centimeter pada peta. Dengan skala<br />
1:5,000 sama dengan 250 meter.<br />
Garis tersebut memotong 8 interval kontour atau 80 meter.<br />
Kemiringan rata-ratanya adalah :<br />
Jawaban Pertanyaan 2:<br />
80 x 100 = +32%<br />
250<br />
Jarak peta dari (A) ke (B) adalah 9 centimeter atau 450 meter. Lokasi<br />
jalan pada bagian ini harus mendaki 70 meter untuk mencapai saddel<br />
pada titik (B).<br />
Dengan mengunakan konstanta ketinggian adalah :<br />
Jawaban pertanyaan 3:<br />
70 x 100 = +15.5%<br />
450<br />
Dari titik (B) pada punggung, lokasi jalan akan diturunkan sejauh<br />
30 meter dari elevasi pada peta dengan jarak 7,5 centimeter ke titik<br />
(C) dari mana dapat dilanjutkan untuk dapat melewati lereng yang<br />
mudah.<br />
Turunan pada bagian dijalan yang dimaksud akan menjadi :<br />
30 x 100 = -8%<br />
375<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Jawaban dari<br />
Latihan Kontur<br />
Lampiran I<br />
65
Daftar Pustaka<br />
Lampiran II<br />
66 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
LAMPIRAN II<br />
Daftar Pustaka<br />
Berikut ini daftar pustaka yang telah digunakan dalam persiapan<br />
buku pedoman ini.<br />
Applegate, Grahame, 1998, “Code of Practice for Forest Harvesting<br />
in Indonesia”, NRM2, Bappenas, Dept. of Forestry and Estate<br />
Crops<br />
Departemen Kehutanan, 1993, “Pedoman Tebang Pilih Tanam<br />
Indonesia”, Ministry of Forests.<br />
Holmes, D.C., 1978, “Manual for Roads and Transportation”, British<br />
Columbia Institute of Technology.<br />
Keller, Gordon, and James Sherar, 2002, “Low-Volume Roads<br />
Engineering, Best Management Practices Field Guide”,<br />
USAID, USDA Forest Service, and Virginia Polytechnic Inst.<br />
and State University.<br />
Klassen, A.W., 1992, “Forest Engineering Procedures Manual for<br />
the Bhutan Logging Corporation”, World Bank, Forestry II<br />
Project.<br />
Nagy, M.M., J.T. Trebett, G.V. Wellburn, L.E. Gower, 1989, “Log Bridge<br />
Construction Handbook”, Forest Engineering Research<br />
Institute of Canada.<br />
Papua New Guinea Forest Authority, 1996, “Papua New Guinea<br />
Logging Code of Practice”, Department of Environment and<br />
Conservation, Papua New Guinea.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
LAMPIRAN III<br />
Alignment : Penjajaran. Istilah umum yang digunakan untuk<br />
menjelaskan lokasi fi sik dari jalan yang sedang<br />
dibangun. Dalam istilah teknis umumnya<br />
dikemukakan dengan vertical alignment dan<br />
horizontal alignment.<br />
Angle of repose : Suatu sudut kemiringan dimana keadaan bahan<br />
pengisi, tepi yang terbuka atau bahan asli akan<br />
tetap stabil.<br />
Ballast : Bahan untuk menstabilkan (Ballast) atau bahan<br />
permukaan jalan yang diletakkan pada subgrade<br />
untuk meningkatkan ketahanan beban jalan. Bahan<br />
tersebut tidak dibedakan dan berasal dari galian<br />
lubang (borrow pit) di tepi jalan.<br />
Borrow pit : Areal lubang yang tersisa dari pengalian material batu untuk<br />
pembuatan jalan<br />
Catch basin : Penggalian atau kolam penampungan yang dibuat<br />
pada ceruk gorong-gorong yang digunakan untuk<br />
menampung air yang kemudian diarahkan ke<br />
gorong-gorong.<br />
Center line : Lini tengah. Umumnya digunakan untuk<br />
menunjukkan lokasi lapangan dari jalan yang akan<br />
dibangun dan akan digunakan untuk membuat<br />
rancangan dan konstruksi jalan yang sebenarnya.<br />
Cross-drain : Struktur saluran air yang dibuat seperti goronggorong<br />
atau yang khusus digali di jalan yang akan<br />
mengalirkan air dari satu sisi jalan ke sisi yang<br />
lainnya.<br />
Culvert : Gorong-gorong yang ditanam dalam struktur cross<br />
drain untuk mengalirkan air dari satu sisi jalan ke<br />
sisi lain dari jalan.<br />
Cut slope (Cut<br />
bank)<br />
Istilah Inggris - Indonesia<br />
: Pomotongan lereng miring pada lapisan tanah<br />
sepanjang bagian dalam dari jalan.<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Istilah<br />
Inggris - Indonesia<br />
Lampiran III<br />
67
Istilah<br />
Inggris - Indonesia<br />
Lampiran III<br />
Ditch (Side<br />
drain)<br />
Drainage<br />
structure<br />
68 Tropical Forest Foundation<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
: Selokan, parit di pingir jalan<br />
: Struktur saluran air di sepanjang jalan<br />
Erosion : Erosi, pengikisan lapisan atas tanah.<br />
Fill slope<br />
(embankment)<br />
: Tanggul, lapisan tanah yang ditimbun untuk<br />
membangun jalan dan biasanya berasal dari tepi<br />
luar jalan.<br />
Ford : Tempat penyeberangan sungai yang dangkal<br />
Full bench cut : Metode membangun jalan di mana jalan dibangun<br />
dengan memotong derajat kemiringan permukaan<br />
dan bahan yang digali diangkut keluar atau ditimbun<br />
di tempat lain. Pada full bench cut road, bahan yang<br />
digali bukan merupakan bagian atas dari jalan yang<br />
sedang dibangun.<br />
Grade (gradient) : Derajat kemiringan jalan yang dibangun.<br />
Kemiringan permukaan ini biasanya dinyatakan<br />
sebagai peningkatan prosentase. Sebagai contoh,<br />
peningkatan 10 meter pada elevasi dengan jarak<br />
100 m dinyatakan sebagai grade 10%<br />
Grade (adverse) : Gradien menaiki bukit (plus) pada arah<br />
pengangkutan.<br />
Grade<br />
(favorable)<br />
Horizontal<br />
alignment<br />
: Gradien menuruni bukit (negatif) pada arah<br />
pengangkutan.<br />
: Elemen horisontal dari lokasi jalan termasuk lekukan<br />
horizontal.<br />
Knappel : Kayu balok yang telah diatur sedemikian rupa<br />
sehingga sesuai dengan pembatasan jalan yang<br />
akan dibangun sehingga dapat menghasilkan<br />
dasar yang stabil. Teknik ini biasa digunakan untuk<br />
mengisi bagian-bagian tertentu dengan kemiringan<br />
yang sangat curam, atau pada bagian di mana sulit<br />
memperoleh dasar jalan yang stabil.
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Lead-off ditch : Penggalian yang dilakukan untuk mengarahkan<br />
alitan air ke arah dari selokan dan arah jalan<br />
apabila hal tersebut tidak terjadi secara alami agar<br />
dapat mengurangi volume serta kecepatan arus air<br />
selokan.<br />
Native material : Lapisan tanah alami atau lapisan tanah “setempat”,<br />
bukan di bawah dari tempat lain.<br />
Overburden : Lapisan atas tanah, biasanya mengandung bahan<br />
organik atau tanah liat yang tidak memiliki sifat<br />
untuk menyatu dan biasanya akan dipindahkan dari<br />
lokasi pembangunan jalan.<br />
Parent material<br />
(native material)<br />
: Bahan tanah asli setempat yang digunakan untuk<br />
membangun jalan.<br />
Plan view : Diagram vertical lengkap dengan lokasi jalan dengan<br />
batas horizontal dan berbagai ciri fi sik seperti sungai<br />
dan hambatan yang mempengaruhi batas horizontal<br />
dari jalan tersebut.<br />
Profi le : Tampang, T Lintang bujur yang digunakan saat<br />
mendesain jalan dan menghitung gradiant dari jalan<br />
yang dibangun.<br />
Right-of-way<br />
(corridor)<br />
: Lahan yang telah dibersihkan untuk membangun<br />
jalan di hutan. Hal ini mencakup jalan itu sendiri<br />
dan tambahan pembukaan hutan guna memperoleh<br />
sinar matahari yang lebih baik.<br />
Roadway : Luas horizontal lahan yang terkena akibat<br />
pembangunan jalan, dari atas lereng yang dipotong<br />
hingga bagian dasar dari lereng yang perlu diisi.<br />
Running surface<br />
(wearing<br />
surface)<br />
Sediment<br />
(sedimentation)<br />
: Bagian atas dari permukaan jalan yang akan<br />
dilewati. Bagian ini harus kuat, memiliki daya<br />
tahan terhadap penyaradan, dan tidak terpengaruh<br />
oleh air di permukaan. Pada jalan yang dibangun<br />
di hutan, permukaan jalan bisa juga mengandung<br />
parent material yang dipadatkan atau yang dikenal<br />
sebagai “ballast” yang berasal dari selokan yang<br />
sesuai.<br />
: Endapan - lapisan tanah yang mengandung tanah<br />
liat, pasir dan lumpur yang mengalir ke sungai<br />
karena erosi sehingga menurunkan kualitas air<br />
sungai<br />
Tropical Forest Foundation<br />
Istilah<br />
Inggris - Indonesia<br />
Lampiran III<br />
69
Istilah<br />
Inggris - Indonesia<br />
Lampiran III<br />
Seepage,<br />
(ground water<br />
seepage)<br />
70 Tropical Forest Foundation<br />
: Rembasan air tanah<br />
Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan<br />
untuk <strong>Pembuatan</strong> <strong>Jalan</strong> Logging <strong>Berdampak</strong> <strong>Rendah</strong><br />
Shoulder : Bahu jalan di sepanjang jalan yang dibangun. Bahu<br />
jalan dalam letaknya berdekatan dengan kemiringan<br />
yang dipotong. Sedangkan bahu luar letaknya<br />
disebelah lereng yang akan diisi.<br />
Side drain<br />
(ditch)<br />
: Saluran parit - saluran dangkal yang dibuat<br />
disepanjang jalan guna menampung air yang<br />
mengalir dari jalan raya dan lahan yang berdekatan<br />
sehingga dapat dialirkan ke tempat pembuangan<br />
yang sesuai.<br />
Slope ratio : Cara untuk menyatakan kemiringan yang dibuat<br />
sebagai perbandingan antara jarak horizontal hingga<br />
mencapai jurang misalnya seperti 1.5 m: 1 (1.5 m<br />
horizontal untuk setiap 1m vertical).<br />
Sub-grade : Permukaan jalan yang mengandung parent material<br />
dan atau bahan pengisi.<br />
Through cut : <strong>Jalan</strong> yang dibangun memotong bukit sehingga<br />
menyebabkan pemotongan lereng pada kedua sisi<br />
jalan.<br />
Turnout : Bagian dari jalan yang diperlebar sehingga<br />
memungkinkan dua truk yang berlawanan arah<br />
berjalan pada saat yang bersamaan.<br />
Vertical<br />
alignment<br />
: Elemen vertical dari lokasi jalan atau konstruksi<br />
jalan, termasuk di sini lekukan vertical.
The Tropical Forest Foundation<br />
Manggala Wanabakti Build.,<br />
Block IV, 7th Floor, Room 718B<br />
Jl. Jend. Gatot Subroto,<br />
Jakarta 10270, Indonesia