Terumbu-Karang-Teluk-Lampung-Ok
Terumbu-Karang-Teluk-Lampung-Ok
Terumbu-Karang-Teluk-Lampung-Ok
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
KATA PENGANTAR<br />
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan<br />
rahmat-Nya sehingga terselesaikannya Laporan Akhir “Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>” dengan baik. Laporan ini merupakan lanjutan dan perbaikan dari<br />
Laporan Draf Laporan Akhir yang sudah dibuat sebelumnya.<br />
Laporan Akhir (Final Repport) pelaksanaan pekerjaan “ Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> ” ini secara sistematis tersusun menjadi : Bab I Pendahuluan, Bab II<br />
Gambaran Umum Wilayah, Bab III Pendekatan dan Metodologi, Bab IV Pemetaan<br />
<strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> dan permasalahannya, Bab V Arahan Rencana Pengelolaan <strong>Terumbu</strong><br />
<strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Kami berharap bahwa laporan akhir ini dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya<br />
tentang kondisi ekosistem terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>, sehingga hasil kajian ini<br />
dapat dijadikan referensi dan bahan untuk pengambilan keputusan serta kebijakan<br />
pemerintah dalam mengantisipasi fenomena Global Warming yang sudah terjadi. Untuk<br />
kemudian dapat diimplementasikan dalam bentuk kegiatan aksi untuk melakukan<br />
pelestarian, rehabilitasi, dan pengawasan terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Demikian maksud dari laporan ini dibuat, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan<br />
terima kasih.<br />
Bandar <strong>Lampung</strong>, Desember 2007<br />
PT. TARAM
DAFTAR ISI<br />
Halaman<br />
KATA PENGANTAR i<br />
DAFTAR ISI ii<br />
DAFTAR GAMBAR iv<br />
DAFTAR TABEL vi<br />
DAFTAR GRAFIK vii<br />
BAB I PENDAHULUAN I-1<br />
1.1 Latar Belakang I-1<br />
1.2 Maksud dan Tujuan I-4<br />
1.3 Sasaran I-4<br />
1.4 Keluaran Kegiatan I-5<br />
1.5 Lingkup dan Lokasi Kegiatan I-5<br />
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH II-1<br />
2.1 Provinsi <strong>Lampung</strong> II-1<br />
2.2 Profil Wilayah Pesisir <strong>Lampung</strong> II-3<br />
2.3 <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> II-5<br />
2.3.1 Iklim II-8<br />
2.3.2 Sungai dan DAS II-8<br />
2.3.3 Geologi II-9<br />
2.3.4 Hidro Oseanografi <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> II-11<br />
2.3.4.1 Batimetri Perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> II-11<br />
2.3.4.2 Pasang Surut II-12<br />
2.3.4.3 Arus Laut II-14<br />
2.3.4.4 Gelombang II-18<br />
2.3.4.5 Suhu dan Salinitas II-20<br />
2.3.4.6 Pencemaran Laut II-20<br />
2.3.5 Tsunami II-22<br />
2.3.6 Kondisi Biologi <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> II-23<br />
2.3.6.1 Mangrove II-23<br />
2.3.6.2 <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> II-24<br />
2.3.6.3 Padang Lamun II-24<br />
2.3.6.4 Algae II-25<br />
2.3.6.5 Echinodermata II-25<br />
2.3.6.6 Crustacea II-25<br />
2.3.6.7 Mollusca II-25<br />
2.3.6.8 Ikan II-25<br />
2.3.7 Sosial Kependudukan II-27<br />
2.3.7.1 Kota Bandar <strong>Lampung</strong> II-28<br />
2.3.7.1 Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan II-28<br />
BAB III PENDEKATAN DAN METODELOGI III-1
3.1 Metode Pendekatan Studi III-1<br />
3.2 Metode Pengumpulan Data III-4<br />
3.2.1 Metode Manta Tow III-5<br />
3.2.2 Metode Line Intercept Transect (LIT) III-8<br />
3.2.3 Citra satelit Landsat III-12<br />
3.2.4 Faktor-faktor Oseanografi III-14<br />
3.2.5 Sosial Ekonomi dan Budaya III-15<br />
3.3 Analisis Data III-15<br />
3.3.1 Analisis Data <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> III-15<br />
3.3.2 Analisis Citra satelit III-15<br />
3.3.3 Analisis Sosial, Ekonomi dan Budaya III-16<br />
3.3.4 Analisis Arahan Pengelolaan dan Pemanfaatan <strong>Terumbu</strong><br />
<strong>Karang</strong><br />
III-21<br />
BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN<br />
PERMASALAHANNYA<br />
IV-1<br />
4.1 Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> IV-1<br />
4.1.1 Pulau Tangkil IV-8<br />
4.1.2 Pulau Tegal IV-10<br />
4.1.3 Pulau Maitem IV-13<br />
4.1.4 Pulau Kelagian IV-15<br />
4.1.5 Pulau Puhawang IV-17<br />
4.1.6 Pulau Siuncal IV-20<br />
4.1.7 Pulau Legundi IV-22<br />
4.1.8 Pulau Tiga IV-27<br />
4.1.9 Pulau Condong IV-29<br />
4.1.10 Pulau Pedada IV-31<br />
4.1.11 Pulau Lelangga IV-37<br />
4.1.12 Ketapang IV-41<br />
4.1.13 Pesisir Pantai Kalianda IV-43<br />
4.1.14 Pantai Tanjung Selaki-Pasir Putih IV-46<br />
4.1.15 Lokasi Batu Bara IV-49<br />
4.1.16 Kepulauan Sebuku IV-50<br />
4.1.17 Kepulauan Sebesi IV-53<br />
4.1.18 Pesisir Pantai Bandar <strong>Lampung</strong> IV-46<br />
4.2 Perubahan Ekosistem <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> IV-58<br />
4.3 Persepsi Masyarakat Terhadap Lingkungan Pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> IV-60<br />
4.4 Permasalahan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> IV-64<br />
BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG<br />
TELUK LAMPUNG<br />
V-1
BAB I PENDAHULUAN 1-1<br />
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-1<br />
Tabel 2.1 Amplitudo Komponen Pasut Utama di Perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> 2-13<br />
Tabel 2.2 Kisaran Tinggi Muka Laut di Panjang, <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> 2-14<br />
Tabel 2.3 Kecepatan dan Arah Arus Musim di Selat Sunda 2-15<br />
Tabel 2.4 Kecepatan dan Arah Angin di Panjang dan Perkiraan Kuat Arus<br />
yang ditimbulkan<br />
Tabel 2.5 Kecepatan Arus pasang Surut Maksimal di Selat Sunda 2-18<br />
Tabel 2.6 Tinggi Gelombang di Sekitar Perairan Panjang 2-19<br />
Tabel 2.7 Kondisi Gelombang di Sekitar perairan antara Pulau Maitem dan<br />
Pulau Kelagian<br />
2-19<br />
Tabel 2.8 Nilai Parameter Kualitas Air di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> 2-21<br />
Tabel 2.9 Kondisi Kependudukan Kecamatan Pesisir di Kota Bandar<br />
<strong>Lampung</strong><br />
2-28<br />
Tabel 2.10 Kondisi Kependudukan di Kecamatan Pesisir Kabupaten<br />
<strong>Lampung</strong> Selatan<br />
2-29<br />
Tabel 2.11 Jumlah Sekolah di Kecamtan Pesisir Kabupaten <strong>Lampung</strong><br />
Selatan<br />
2-30<br />
Tabel 2.12 Jumlah Murid per Tingkat Sekolah di Kecamatan pesisir, Kab<br />
Lam-Sel<br />
Tabel 2.13 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pesisir Kab.<br />
<strong>Lampung</strong> Selatan<br />
BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3-1<br />
Tabel 3.1 Kategori Bentuk Substrat Dasar 3-11<br />
Tabel 3.2 Data Hasil Transek 3-12<br />
Tabel 3.3 Kategori Sensor MSS (Multi Spectrum Scanner) 3-13<br />
Tabel 3.4 Karakteristik Sensor TM (Thematic Mapper) 3-14<br />
BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN<br />
PERMASALAHANNYA<br />
Tabel 4.1 Persentase Tutupan dan Kondisi <strong>Karang</strong> dan Beberapa Lokasi<br />
Penyelaman di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Tabel 4.2 Persentase Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong><br />
Tabel 4.3 Penyebab Kerusakan Ekosistem <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong><br />
2-16<br />
2-30<br />
2-30<br />
4-1<br />
4-2<br />
4-16<br />
4-65
BAB I PENDAHULUAN 1-1<br />
Gambar 1.1 Foto Ilustrasi Pengeboman Ikan yang dilakukan oleh Nelayan 1-2<br />
Gambar 1.2 Bintang Laut Berduri (Acanthaster planci) 1-3<br />
Gambar 1.3 Komoditi Perikanan Tangkap dan Budidaya yang sangat tergantung<br />
dengan Kelestarian Ekosistem <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
1-5<br />
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-1<br />
Gambar 2.1 Peta Wilayah Propinsi <strong>Lampung</strong> 2-2<br />
Gambar 2.2 Peta Potensi Abrasi dan Sedimentasi di Perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> 2-4<br />
Gambar 2.3 Budidaya Laut dengan Bagan Apung 2-5<br />
Gambar 2.4 Peta Sebaran Habitat dan Daerah Rawan Pengeboman 2-6<br />
Gambar 2.4 Gempa dan Tsunami <strong>Teluk</strong> lampung dan Pantai Selatan Jawa 2- 23<br />
BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3-1<br />
Gambar 3.1 Gambar Diagram Alir Tahapan Kegiatan Pemetaan 3-3<br />
Gambar 3.2 Tekanan yang diberikan Terhadap Ekosistim <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> 3-4<br />
Gambar 3.3 Teknik Survey <strong>Terumbu</strong> Krang dengan Metode Manta Tow 3-5<br />
Gambar 3.4 <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> yang Rusak dari Kegiatan Pengeboman 3-6<br />
Gambar 3.5 Estimasi dari Persentase Tutupan <strong>Karang</strong> 3-7<br />
Gambar 3.6 Manta Board, Papan Pengamatan yang digunakan sebagai Pencatat<br />
Data<br />
Gambar 3.7 Cara Pencatatan data koloni <strong>Karang</strong> pada Metode Transek garis 3-10<br />
Gambar 3.8 Teknik Line Interception Transect (LIT) 3-12<br />
BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN PERMASALAHANNYA 4-1<br />
Gambar 4.1 Penambangan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> untuk Bahan Bangunan 4-4<br />
Gambar 4.2 Pulau Tangkil 4-9<br />
Gambar 4.3 <strong>Teluk</strong> Tegal sering digunakan oleh Kapal-kapal Ikan untuk<br />
Beristirahat<br />
4-10<br />
Gambar 4.4 Kondisi <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> yang masih baik di <strong>Teluk</strong> Tegal 4-11<br />
Gambar 4.5 Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii)yang ada di Perairan<br />
Pulau Tegal<br />
4-12<br />
Gambar 4.6 Pulau Maitem dengan Perairan yang Dangkal Kerap didatangi<br />
Nelayan untuk menangkap ikan<br />
4-13<br />
Gambar 4.7 Beberapa Variant Biota Bintang Laut Berduri (Acanthaster plancii)<br />
Gambar 4.8 Pulau Kelagian yang Berbukit Dilihat dari Arah Laut<br />
4-14<br />
4-15<br />
Gambar 4.9 <strong>Karang</strong> Lunak Jenis Sinularia flexibilitas Banyak ditemukan di<br />
Kedalaman 7 Meter<br />
4-16<br />
Gambar 4.10 Bangunan Jaring Apung yang Banyak terdapat di Perairan Pulau<br />
Puhawang<br />
4-18<br />
Gambar 4.11 Lokasai Peristirahatan dan Beberapa Kondisi <strong>Karang</strong> di Pulau<br />
Puhawang Lunik<br />
Gambar 4.12 Jangkar Perahu Berpotensi Merusak Keutuhan <strong>Karang</strong> 4-19<br />
Gambar 4.13 Pulau Siuncal di Lihat dari Arah Selat Siuncal 4-20<br />
Gambar 4.14 Pelabuhan Kapal di Pulau Legundi 4-23<br />
Gambar 4.15 Tumpukan <strong>Karang</strong> untuk Bahan bangunan di Pulau Legundi 4-23<br />
Gambar 4.16 Beberapa Bentuk Tumbuh <strong>Karang</strong>, Lobster dan Bintang Laut<br />
3-8<br />
4-18
Berduri 4-24<br />
Gambar 4.17 Pecahan <strong>Karang</strong> Mati (rubble) akibat Pengeboman 4-25<br />
Gambar 4.18 Kondisi <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di Pulau Seserot 4-25<br />
Gambar 4.19 Beberapa Spesies <strong>Karang</strong> yang dibudidayakan untuk Ekspor di<br />
Pulau Unang-unang<br />
4-26<br />
Gambar 4.20 Pulau Tiga dilihat dari Arah Canti Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan<br />
4-27<br />
Gambar 4.21 Pembangunan Tanggul Penahan Pantai yang Menggunakan <strong>Karang</strong><br />
4-29<br />
Gambar 4.22 Pembangunan Fasilitas Peristirahatan dan Budidaya Laut dengan<br />
Jaring Tancap di Pulau Condong<br />
Gambar 4.23 Kondisi Perairan <strong>Teluk</strong> Kucangreang yang terdiri Batuan Cadas,<br />
<strong>Karang</strong> Mati, Lunak serta Makro Algae<br />
Gambar 4.24 Pos Penjagaan Kompleks Budidaya di Pulau Balak<br />
4-32<br />
4-33<br />
Gambar 4.25 Sponge Jenis Callyspongia aerizusa di Perairan Pulau Lok<br />
4-34<br />
Gambar 4.26 Pulau Lunik 4-35<br />
Gambar 4.27 Pualu Tanjung Putus dilihat dari Arah Laut 4-36<br />
Gambar 4.28 Acropora cytherea, dan beberapa Spesies <strong>Karang</strong> Lunak di Perairan<br />
Pulau Lelangga Balak<br />
Gambar 4.29 Pulau Lelangga Lunik di Lihat dari Laut dan Kondisi <strong>Terumbu</strong><br />
<strong>Karang</strong> yang rusak di Perairan Pulau Lelangga Lunik<br />
Gambar 4.30 Pintu Gerbang Kawasan Militer TNI AL Lili, Laut dan Hamparan<br />
<strong>Karang</strong> Jari Acropora irregularis<br />
Gambar 4.31 Makro Algae Halymenia durvillae, Caulerpa racemosa dan<br />
Turbinaria decurrens di Canti<br />
Gambar 4.32 Aktifitas Wisata di Pantai Pasir Putih, Sampah dan Kondisi <strong>Karang</strong><br />
di Dasar Perairan<br />
Gambar 4.33 Kondisi <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di Pulau Sebuku dan di Pulau Elang<br />
Gambar 4.34 Kondisi <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di Pulau Sebesi pada Kedalaman 10<br />
Meter<br />
Gambar 4.35 Pulau Kubur dilihat dari PPI Lempasing, dan Sea Grass Jenis<br />
Enhallus di Dasar Perairan Bandar <strong>Lampung</strong><br />
BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU KARANG<br />
TELUK LAMPUNG<br />
4-30<br />
4-38<br />
4-39<br />
4-42<br />
4-45<br />
4-47<br />
4-51<br />
4-54<br />
4-57<br />
V-1
BAB I PENDAHULUAN 1-1<br />
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2-1<br />
BAB III PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3-1<br />
BAB IV PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN<br />
PERMASALAHANNYA<br />
4-1<br />
Grafik 4.1 Persentase Tutupan <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> 4-2<br />
Grafik 4.2 Persentase Tutupan <strong>Karang</strong> di Pulau Tangkil 4-8<br />
Grafik 4.3 Persentase Tutupan <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> Pedada 4-37<br />
Grafik 4.4 Persentase Tutupan <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> Lelangga 4-37<br />
Grafik 4.5 Persentase Tutupan <strong>Karang</strong> di Perairan Ketapang 4-41<br />
Grafik 4.6 Persentase Tutupan <strong>Karang</strong> di Pantai Kalianda 4-43<br />
Grafik 4.7 Persentase Tutupan <strong>Karang</strong> di Perairan Tanjung Selaki-<br />
Pasir Putih<br />
4-48<br />
Grafik 4.8 Rata-rata Persentase Tutupan <strong>Karang</strong> di Kepulauan Sebuku 4-52<br />
Grafik 4.9 Rata-rata Penutupan <strong>Karang</strong> di Pulau Sebesi 4-55<br />
Grafik 4.10 Tutupan <strong>Karang</strong> di Pesisir Pantai Bandar <strong>Lampung</strong> 4-57<br />
Grafik 4.11 Tutupan <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> tahun 1998 4-58<br />
Grafik 4.12 Tutupan <strong>Karang</strong> Hidup di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Tahun 1998 dan<br />
Tahun 2007<br />
4-59<br />
BAB V ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN TERUMBU<br />
KARANG<br />
V-1
1.1 Latar Belakang<br />
Bab I<br />
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan wilayah yang kaya akan<br />
keragaman hayati dan mempunyai potensi sebagai pendukung pengembangan<br />
pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan. Secara ekologis habitat alami<br />
pesisir menjadi pusat kehidupan dan tempat asuhan berbagai jenis biota laut lainnya,<br />
seperti ikan, udang, moluska, echinodermata dan berbagai jenis rumput laut. Banyak<br />
diantara biota tersebut memiliki nilai ekonomi penting dan dapat menjadi tulang<br />
punggung pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat di wilayah pesisir. Hal ini dapat<br />
tercapai dengan cara pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan diversitas<br />
pemanfaatan yang didasarkan pada ketersediaan data ilmiah dan kemampuan daya<br />
dukung lingkungan serta kepedulian dari para pihak (stakeholders).<br />
Untuk mendukung revitalisasi di bidang kelautan dan perikanan dan pengembangan<br />
jenis komoditi sumberdaya kelautan maka salah satu kegiatan yang dilakukan adalah<br />
dengan pemetaan terumbu karang. Sumber daya kelautan dan perikanan perlu<br />
diseimbangkan agar kelestariannya dapat terpelihara dengan baik sehingga dapat<br />
menopang sumber-sumber ekonomi secara lestari, dengan memperbaiki lingkungan<br />
terumbu karang melalui teknologi transpalansi karang, dan upaya pengawasan ekosistem<br />
terumbu berbasis masyarakat.<br />
Wilayah perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> meliputi luas wilayah 3.865 km 2 dengan panjang<br />
garis pantai 140 km, dan jumlah pulau-pulau kecil mencapai 51 buah. Kondisi terumbu<br />
karang di wilayah <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> kini secara kasat mata sebagian besar sudah<br />
rusak. Oleh karena itu perlu dilakukan studi dan pemetaan kondisi terumbu<br />
Bab I - 1
karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> untuk mengetahui kondisi aktual.<br />
Dewasa ini sebagian besar vegetasi mangrove di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> telah dikonversi<br />
menjadi lahan tambak. Kondisi pesisir sepanjang <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> sebagian besar<br />
bergelombang dengan bentangan yang sempit sampai pinggiran pantai yang terjal<br />
dan berbatasan langsung dengan perbukitan. <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> selain memiliki potensi<br />
perikanan juga mempunyai potensi kelautan dan jasa-jasa kelautan seperti<br />
perhubungan, wisata, ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun, budidaya<br />
mutiara dan sebagainya.<br />
Kondisi terumbu karang telah mengalami gangguan akibat dari penangkapan ikan yang<br />
menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Hal ini terlihat dari proporsi karang mati<br />
sekitar Rangai telah mencapai 30,4 % di kedalaman 10 meter. Namun demikian proporsi karang<br />
hidup masih di atas 50 % dan kondisi ini hampir sama untuk wilayah Ketapang-Padang<br />
Cermin, Kalianda-Way Muli dan Bakauheni (Bapeda Propinsi <strong>Lampung</strong>, 2003).<br />
<strong>Terumbu</strong> karang di Pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> umumnya dari jenis karang tepi dengan<br />
bentangan berkisar 20 meter sampai 120 meter dari bibir pantai sampai kedalaman 17<br />
sampai 20 meter. Ancaman terhadap terumbu karang tidak hanya dari aktivitas<br />
penangkapan oleh nelayan tetapi juga berupa pengambilan batu karang untuk bahan<br />
bangunan dan jalan seperti yang umum dijumpai disetiap pemukiman sepanjang pantai<br />
berkarang.<br />
Bab I - 2
Perubahan kondisi pesisir telah menimbulkan berbagai dampak secara langsung<br />
maupun tidak langsung terhadap masyarakat, seperti menurunnya hasil tangkapan<br />
nelayan, terjadinya abrasi dan banjir. Berdasarkan kajian proyek pesisir (2004) diketahui<br />
beberapa isu penting dalam pengelolaan wilayah pesisir di <strong>Lampung</strong> Selatan yaitu :<br />
Belum adanya tata ruang wilayah pesisir secara rinci<br />
Banyaknya kawasan sempadan pantai yang dikonversi menjadi peruntukan lain<br />
dengan perencanaan yang kurang tepat<br />
Belum jelas batas-batas peruntukan ruang laut untuk kegiatan penangkapan, budidaya, alur<br />
perhubungan dan penempatan bagan.<br />
Kondisi terumbu karang umumnya rusak akibat penggunaan bahan peledak, pengambilan<br />
karang untuk bahan bangunan, dan penggunaan potassium sianida.<br />
Berkembangnya usaha penangkapan yang bersifat merusak sumberdaya akibat dari<br />
lemahnya pengawasan.<br />
Menurunnya kualitas ekosistem alami wilayah pesisir.<br />
Belum berkembangnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, baik<br />
keterpaduan perencanaan antar sektor, keterpaduan wilayah, keterpaduan<br />
lingkungan dan sumberdaya.<br />
Bab I - 3
<strong>Terumbu</strong> karang merupakan habitat bagi beragam biota laut yang membantu keseimbangan<br />
ekosistem antar jenis melalui rantai pangan. Pengambilan secara berlebihan terhadap<br />
salah satu jenis tertentu akan melumpuhkan penurunan terhadap potensi<br />
sumberdayanya. Khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting<br />
sebagai pelindung pantai dari arus dan ombak sementara itu berbagai jenis ikan<br />
menggunakan terumbu karang sebagai tempat memijah, pembesaran/asuhan dan<br />
tempat menemukan atau mencari makanan.<br />
1.2 Maksud dan Tujuan<br />
a Menyediakan data dan informasi mengenai kondisi terumbu karang di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>.<br />
b Memberikan arahan upaya pengelolaan dan pemanfaatan habitat terumbu karang.<br />
1.3 Sasaran<br />
a. Tersedianya data dan informasi sumberdaya terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
b. Mendukung kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang sehingga terciptanya<br />
kawasan konservasi terumbu karang.<br />
1.4 Keluaran Kegiatan<br />
Keluaran/Output yang diharapkan dari kegiatan Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> ini meliputi :<br />
1. Teridentifikasinya kondisi terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
2. Teridentifikasinya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi terumbu karang di<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
3. Tersedianya peta kondisi terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
4. Tersusunnya strategi pelestarian dan rehabilitasi terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Bab I - 4
1.5 Lingkup dan Lokasi Kegiatan<br />
a) Ruang Lingkup<br />
Penyusunan rencana kegiatan.<br />
Identifikasi lokasi dan inventarisasi potensi terumbu karang.<br />
Pemetaan ekosistem terumbu karang yang rusak akibat kegiatan penangkapan<br />
ikan yang tidak ramah lingkungan.<br />
Analisis data dan informasi sekunder seperti terjadinya pencemaran laut, tsunami,<br />
hidrooceanografi, kedalaman, pola arus, pasang surut dan sebagainya.<br />
Pelaksanaan kegiatan pemetaan sumberdaya terumbu karang.<br />
Mensosialisasikan kepada masyarakat.<br />
Monitoring dan evaluasi.<br />
Pelaporan dan diskusi.<br />
b) Lokasi Kegiatan<br />
Wilayah kegiatan Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> adalah di wilayah <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Pemilihan lokasi studi tersebut dimaksudkan bahwa wilayah tersebut merupakan<br />
daerah dengan aktifitas ilegal fishing yang cukup tinggi diduga kerusakan terumbu<br />
karang mencapai lebih dari 70 % sehingga perlu dilestarikan agar sumberdaya<br />
terumbu karang dapat berkelanjutan pemanfaatannya.<br />
Bab I - 5
2.1 Provinsi <strong>Lampung</strong><br />
Bab II. GAMBARAN UMUM WILAYAH<br />
Provinsi <strong>Lampung</strong> lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkan Peraturan<br />
Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964.<br />
Sebelum itu Provinsi <strong>Lampung</strong> merupakan Karesidenan yang tergabung dengan<br />
Provinsi Sumatera Selatan. Kendatipun Provinsi <strong>Lampung</strong> sebelum tanggal 18 Maret 1964<br />
tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan,<br />
namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukan potensi<br />
yang sangat besar.<br />
Provinsi <strong>Lampung</strong> terletak di ujung Pulau Sumatera, yang menghubungkan Pulau<br />
Sumatera dengan Pulau Jawa melalui Selat Sunda. Provinsi <strong>Lampung</strong> mempunyai luas<br />
daerah berkisar 35.377 km 2 termasuk pulau-pulau yang terletak di bagian ujung<br />
Tenggara Pulau Sumatera. Secara geografis Provinsi <strong>Lampung</strong> terletak pada :<br />
Utara - Selatan : 3 0 45' LS - 6 0 45' LU<br />
Timur - Barat : 105 0 50' BT - 103 0 40' BT<br />
Dengan luas perairan laut Provinsi <strong>Lampung</strong> diperkirakan lebih kurang 24.820 km 2<br />
(Sumber: Atlas Sumberdaya Pesisir <strong>Lampung</strong>, 1999).<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 1
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 2<br />
Gambar 2.1<br />
Peta Wilayah<br />
Propinsi<br />
<strong>Lampung</strong>, (besar)<br />
Peta <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> (kecil).
Secara administratif, batas wilayah Provinsi <strong>Lampung</strong> adalah sebagai berikut : Sebelah<br />
Utara dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, Sebelah Selatan dengan<br />
Selat Sunda, Sebelah Timur dengan Laut Jawa, dan Sebelah Barat dengan Samudera<br />
Hindia.<br />
Jumlah penduduk Provinsi <strong>Lampung</strong> Pada tahun 2002 mencapai 6.787.654 jiwa.<br />
Dengan luas wilayah 3.528.835 Ha berarti kepadatan penduduknya mencapai<br />
192.35 jiwa per km 2 . Jumlah wilayah administrasi di Provinsi <strong>Lampung</strong> pada<br />
tahun 2002 tercatat jumlah kabupaten/kota sebanyak 10, terdiri dari 2 kota dan 8<br />
kabupaten, yaitu : Kota Bandar <strong>Lampung</strong>, Kota Metro, Kabupaten Tanggamus,<br />
Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan,<br />
Kabupaten <strong>Lampung</strong> Utara, Kabupaten <strong>Lampung</strong> Timur, Kabupaten <strong>Lampung</strong><br />
Tengah, dan Kabupaten <strong>Lampung</strong> Barat. Namun pada tahun 2007 telah ditetapkan<br />
Kabupaten Pesawaran sebagai kabupaten baru hasil dari pemekaran Kabupaten<br />
<strong>Lampung</strong> Selatan.<br />
Perekonomian <strong>Lampung</strong> didominasi oleh 3 (tiga) sektor kegitan ekonomi, yakni sektor<br />
pertanian, sektor perdagangan/hotel/restoran dan sektor industri pengolahan mata<br />
pencaharian utama penduduk adalah sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, serta<br />
industri kecil.<br />
Pemanfaatan lahan di Provinsi <strong>Lampung</strong> saat ini didominasi oleh penggunaan hutan<br />
sebesar 985.085 Ha, untuk perkebunan tercatat seluas 681.901 Ha, untuk tegalan dan<br />
ladang seluas 631.687 Ha.<br />
2.2 Profil Wilayah Pesisir <strong>Lampung</strong><br />
Wilayah pesisir <strong>Lampung</strong> merupakan pertemuan antara dua fenomena, yaitu laut (Laut<br />
Jawa dan Samudra Hindia) dan darat (pegunungan Bukit Barisan Selatan dan dataran<br />
rendah alluvial di bagian timur propinsi ini). Wilayah pesisir ini bermula dari daratan<br />
pasang air tinggi sampai ke pinggiran paparan benua (continental shelf). Semua itu<br />
menunjukkan perbedaan dua habitat dengan perbedaan flora dan fauna. Fenomena alam<br />
tersebut memberikan pengembangan proses di wilayah pesisir yang sangat unik dan<br />
spesifik. Dengan demikian, secara ekologis wilayah pesisir ini tidak berdiri sendiri,<br />
melainkan terpengaruh oleh faktor eksternal.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 3
Wilayah pesisir Propinsi <strong>Lampung</strong> dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian<br />
yaitu Pantai Barat (227 km), Pantai Timur (270 km), <strong>Teluk</strong> Semangka (200 km), dan<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> (160 km). Keempat wilayah tersebut mempunyai karakteristik biofisik,<br />
sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda.<br />
Keadaan alam daerah <strong>Lampung</strong> dapat dijelaskan sebagai berikut ; sebelah Barat dan<br />
Selatan, di sepanjang pantai, merupakan daerah yang berbukit-bukit sebagai lanjutan<br />
dari jalur pegunungan Bukit Barisan. Ditengah-tengah merupakan dataran rendah,<br />
sedangkan ke dekat pantai sebelah Timur, di sepanjang tepi Laut Jawa terus ke Utara,<br />
merupakan daerah rawa-rawa perairan yang luas.<br />
Terdapat perbedaan yang jelas antara wilayah pesisir Barat dengan wilayah pesisir<br />
Timur. Pantai Barat merupakan jalur wilayah pesisir yang sempit, berlereng hingga<br />
terjal (cliffs; rocky shores), sedangkan Pantai Timur merupakan hamparan peneplein<br />
atau dataran pantai yang landai dan luas, jauh ke pedalaman. Iklim di perairan pesisir,<br />
terutama Pantai Barat <strong>Lampung</strong> dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan oleh<br />
adanya angin munson dan curah hujan yang tinggi, sekitar 2.500 - 3.000 mm/tahun.<br />
(Stasiun Kalianda, 1991). Angin berhembus dari arah Selatan selama bulan Mei sampai<br />
September, dan dari arah yang berlawanan selama bulan November sampai Maret.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar 2.2<br />
Peta potansi abrasi dan<br />
sedimentasi di perairan<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Panah merah yang<br />
mengarah ke garis pantai<br />
menunjukkan adanya<br />
potensi Abrasi di pantai<br />
tersebut.<br />
Sebaliknya panah merah<br />
yang menjauhi garis pantai<br />
mengindikasikan adanya<br />
potensi sedimentasi di<br />
pantai tersebut (Atlas<br />
<strong>Lampung</strong>, 1999).<br />
Bab II ‐ 4
Gelombang besar di Pantai Timur dan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> terjadi pada bulan Juni-<br />
November. Tinggi gelombang berkisar antara 0,50 - 1,00 meter. Pertumbuhan<br />
penduduk mempunyai efek balik yang serius terhadap lingkungan pesisir karena migrasi<br />
dari daerah lain terutama di tempat-tempat yang padat populasinya seperti Bandar<br />
<strong>Lampung</strong> (4.500 jiwa/km 2 ).<br />
Propinsi <strong>Lampung</strong> merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera, yang sarat dengan aliran<br />
penumpang dari Jawa ke Sumatera dengan menggunakan unit kapal Ferry Merak-<br />
Bakauheni, serta aliran barang sekitar 75.000 peti kemas/tahun melalui kapal laut yang<br />
bongkar-muat di Pelabuhan Panjang. Kondisi tersebut menjadikan <strong>Lampung</strong> sebagai<br />
daerah ‘spill over’ pembangunan di Pulau Jawa. Pada sisi lain, posisi strategis ini<br />
memberi peluang pada perkembangan <strong>Lampung</strong> sebagai propinsi yang sedang giat<br />
melaksanakan pembangunan.<br />
Wilayah pesisir <strong>Lampung</strong> dicirikan dengan produktifitas ekosistem yang tinggi,<br />
sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian Propinsi <strong>Lampung</strong> selama ini.<br />
Ditinjau dari segi ekonomi, sumberdaya alam dan jasa lingkungan pesisir <strong>Lampung</strong><br />
cukup tahan terhadap pengaruh krisis total yang melanda negara ini.<br />
Gambar 2.3 Budidaya Laut dengan Bagan Apung merupakan salah satu<br />
cara budidaya yang populer di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
2.3 <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Perikanan serta jasa lingkungan, baik keindahannya maupun fungsi perlindungan<br />
<strong>Terumbu</strong> karang, di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>, merupakan aset sumberdaya alam pesisir yang<br />
mampu menopang kelestarian pantainya, merupakan kekuatan yang spesifik untuk<br />
menunjang perekonomian di propinsi ini. Hasil survei (CRMP, 1998) menunjukkan<br />
bahwa potensi terumbu karang sebagai obyek wisata dan habitat ikan masih cukup<br />
besar, dengan penutupan lebih dari 50% di kawasan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. Walaupun<br />
demikian, di beberapa lokasi menunjukkan penutupan karang yang sangat rendah,<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 5
seperti di luar kawasan <strong>Teluk</strong>/gugus Krakatau yang kurang dari 10%. Potensi terumbu<br />
karang di <strong>Lampung</strong> terdiri dari jenis karang tepi (fringing reef) dengan luasan relatif 20-<br />
60 m 2 sampai kedalaman maksimum 17 m. Sejumlah terumbu karang menyebar (patch<br />
reef) tumbuh dengan baik di sisi Barat <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. <strong>Terumbu</strong> karang di kawasan<br />
Selat Sunda (termasuk <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>) memiliki sekitar 113 jenis, dengan rata-rata<br />
keanekaragaman per lokasi agak rendah (49 jenis). Sementara itu terdapat sekitar 1.600<br />
unit perikanan bagan yang menggantungkan penghasilan tangkapannya di sekitar<br />
terumbu karang (Renstra PWP <strong>Lampung</strong>, 2000).<br />
Penangkapan ikan di laut merupakan kegiatan ekonomi yang penting untuk propinsi ini,<br />
karena kontribusinya dalam penyediaan protein hewani. Produksi perikanan laut yang<br />
didaratkan di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> sekitar 51.000 ton/tahun, di Pantai Timur sekitar 43.000<br />
ton/tahun, dan di Pantai Barat sekitar 10.000 ton/tahun (data 1997). Walaupun<br />
demikian, pengelolaan terhadap sumberdaya ikan di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> sudah<br />
waktunya diupayakan, hal ini karena telah ada indikasi terjadinya “over fishing”<br />
(tangkap lebih). Indikasi ini terlihat di Pusat Pendaratan Ikan, yaitu dengan semakin<br />
kecilnya ukuran dan volume hasil tangkapan ikan nelayan di sekitar <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar 2.4<br />
Peta Sebaran Habitat<br />
dan Daerah Rawan<br />
Pengeboman (Atlas<br />
<strong>Lampung</strong>, 1999).<br />
Bab II ‐ 6
Mangrove yang berkembang dengan baik akan memberikan fungsi dan keuntungan<br />
yang besar, baik untuk mendukung sumberdaya perikanan laut dan budidaya, maupun<br />
untuk melindungi pantai dari ancaman erosi. Tutupan mangrove di <strong>Lampung</strong><br />
mengalami penurunan sangat drastis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sebagai<br />
akibat konversi dan pembabatan hutan mangrove yang tidak terkendali. Saat ini, hanya<br />
sekitar 2.000 ha mangrove yang tersisa dari 20.000 ha mangrove yang pernah ada<br />
(tahun 1990-an).<br />
Habitat padang lamun dan rumput laut yang tersebar dibeberapa pantai dan pulau di<br />
kawasan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> menyediakan fungsi ekologis sebagai pelindung pantai dari<br />
gelombang dan berfungsi sebagai filter alami yang menjaga kualitas perairan supaya<br />
tetap jernih, dengan mengendapkan material tersuspensi dari pelumpuran (siltasi) di<br />
daratan.<br />
Selain itu, padang lamun merupakan daerah asuhan bagi ikan-ikan kecil dan anak-anak<br />
penyu (tukik) yang baru menetas. Ekploitasi rumput laut alami dan perusakan yang<br />
dilakukan terhadap ekosisten ini akan berpengaruh terhadap populasi larva ikan yang<br />
ada dan mengakibatkan menurunnya kecerahan air laut di pantai yang menghalangi<br />
filtrasi cahaya matahari bagi terumbu karang.<br />
Rumput laut jenis Euchema cottonii dibudidayakan di kawasan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>, yaitu<br />
di pantai Padang Cermin, sedang yang alami dipanen nelayan di pantai Kalianda, <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> dan daerah Bengkunat, Pantai Barat.<br />
Potensi perairan khususnya <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya<br />
laut (mutiara dan ikan) seluas 56.000 ha (Winanto, 1994). Dari potensi tersebut, seluas<br />
5.000 ha telah diberikan sebagai wilayah konsesi kepada tiga PMA yaitu PT. Hikari,<br />
PT. Kyokko Shinju, dan PT. <strong>Lampung</strong> Indah Mutiara. Produksi mutiara setiap tahunnya<br />
dari ketiga PMA tersebut diperkirakan 500.000 butir mutiara.<br />
Budidaya ikan kerapu dan ikan karang lainnya belum diusahakan secara optimal,<br />
sehingga peluang pengembangannya masih terbuka. Pilot proyek budidaya Kerapu<br />
Bebek dan Kerapu Macan sedang dilakukan antara Dinas Perikanan, Bappeda, Balai<br />
Budidaya Laut dan swasta di Tanjung Putus. Namun dalam pengembangannya masih<br />
terdapat kendala teknologi yang cukup besar, sehingga perlu adanya survei potensipotensi<br />
lokasi budidaya dan juga teknologi budidaya yang tepat untuk pengembangan<br />
pilot proyek ini.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 7
Kecuali tipe vegetasi alami, maka pesisir <strong>Lampung</strong> memiliki berbagai ragam komoditas<br />
tumbuhan dari jenis tanaman budidaya, antara lain : (1) Perkebunan kelapa (Cocos<br />
nucifera), terutama di wilayah Padang Cermin, (2) Komunitas tanaman dalam areal<br />
kebun talun, dengan jenis utama Lada (Piper nigrum) dan Pisang (Musa sp.), dan (3)<br />
persawahan padi (Oryza sp.).<br />
2.3.1 Iklim<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>, secara umum karena letaknya di bawah 5º Lintang Selatan masih<br />
beriklim tropis dengan tiupan angin yang berasal dari Samudera Indonesia. Tiupan<br />
angin dengan kecepatan rata-rata 5.83 km/jam dapat menjadi dua arah setiap tahunnya<br />
yaitu ; pada bulan Nopember s/d Maret angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut.<br />
Pada bulan April sampai dengan <strong>Ok</strong>tober angin bertiup dari arah Timur hingga<br />
Tenggara. Temperatur udara di wilayah <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> berkisar antara 26º-30º C pada<br />
daerah dengan ketinggian 20-60 m dpl, sedangkan temperatur maksimal dapat mencapai<br />
33º C. kelembaban udara pada wilayah <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Berkisar antara 80%-88%<br />
sedangkan curah hujan antara 1750-2250 mm/tahun.<br />
Wilayah <strong>Teluk</strong> lampung juga dipengaruhi oleh pergantian pusat tekanan tinggi dan<br />
tekanan rendah di Asia dan Australia yang berlangsung pada bulan Januari dan Juli.<br />
Akibat pengaruh angin muson wilayah <strong>Lampung</strong> Selatan tidak mengalami musim<br />
peralihan (pancaroba) diantara musim kemarau dan musim penghujan. Musim hujan<br />
terjadi antara bulan Desember-Maret akan tetapi cenderung berfluktuasi. Puncak curah<br />
hujan tertinggi pada bulan Maret yaitu sebanyak 2559 mm. musim kemarau terjadi<br />
pada bulan April-Nopember dengan puncak hujan terendah terjadi pada bulan<br />
Nopember yang tidak turun hujan sama sekali. Rata-rata curah hujan berkisar antara<br />
1500-3000 (RTRW Kab. <strong>Lampung</strong> Selatan).<br />
2.3.2 Sungai dan DAS<br />
Wilayah teluk dibatasi oleh morfologi perbukitan, sehingga sungai-sungai yang<br />
bermuara di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> relatif adalah sungai yang pendek dengan daerah aliran<br />
sungai yang sempit. Beberapa sungai yang cukup besar yang bermuara di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>, diantaranya adalah Way Sulan, Way Galih, Way Belau, Way Ratai, Way<br />
Sabu, Way Pedada, dan Way Punduh. Pada umumnya sungai-sungai tersebut memiliki<br />
lembah yang sempit dan terjal, dengan aliran sungai bersifat musiman, fluktuasi debit<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 8
aliran tergantung musim, pada usim hujan aliran besar dan keruh sedangkan dimusim<br />
kemarau kecil dan jernih.<br />
2.3.3 Geologi<br />
Mengacu pada Peta Geologi Wilayah Pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dan <strong>Teluk</strong> Semangka<br />
dalam Rencana Tata Ruang Pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dan <strong>Teluk</strong> Semangka tahun 2003,<br />
maka jenis litologi/batuan secara berurutan dari tua ke muda beserta kandungannya<br />
yang bernilai ekonomis, adalah sebagai berikut :<br />
1. Batuan Intrusi (Tm)<br />
Tersusun oleh batuan beku intrusi dari granit dan dasit. Singkapan batuan intrusi ini<br />
dijumpai disekitar bukit Batu Suluh, Pulau Kelagian dan Pulau Puhawang.<br />
2. Komplek Gunung Kasih (Pzg)<br />
Terdiri dari Sekis, Geneis, Kuarsit, dan lensa-lensa marmer. Di wilayah studi<br />
batuan-batuan penyusun Komplek Gunung Kasih ini dijumpai disekitar Panjang dan<br />
Gebang membentuk morfologi perbukitan/bergelombang. Formasi ini mengandung<br />
mineral logam yang bernilai ekonomis yaitu adanya Sulfida Cu-Pb-Zn dan endapan<br />
besi masif (hematit dan magnetit). Adanya lensa-lensa batu pualam/marmer juga<br />
sudah ditambang secara luas oleh masyarakat.<br />
3. Formasi Menanga (Km)<br />
Terdiri dari perselingan antara serpih gampingan, batu lempung dan batu pasir<br />
dengan sisipan rijang dan batugamping. Batuan-batuan ini dijumpai disekitar<br />
Menanga (Padang Cermin).<br />
4. Formasi Hulusimpang (Tmoh)<br />
Terdiri dari breksi gunung api, lava, tuf bersusunan andesitik-basal, terubah, berurat<br />
kuarsa dan bermineral sulfida. Formasi ini dijumpai pada morfologi perbukitan<br />
sekitar Kecamatan Punduh Pidada.<br />
5. Formasi Tarahan (Tpot)<br />
Pelamparan Formasi ini di daerah studi cukup luas, disebelah timur terdapat di<br />
daerah sekitar Way Lunik, Bukit Kunyit, sedang dibagian barat, dijumpai di sekitar<br />
Sukamaju, Keteguhan terus ke Lempasing dan P.Pasaran. jenis batuannya terdiri<br />
dari Tufa padu, Breksi dengan sisipan tufit. Di tempat lain oleh proses hidrothermal<br />
dan breksiasi, formasi batuan ini memungkinkan untuk dijumpainya urat-urat yang<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 9
mengandung emas. Diwilayah studi kelompok batuan ini di tambang untuk material<br />
bahan bangunan, seperti jalan, material urugan, split dan lain-lain.<br />
6. Endapan Gunung Api Muda (Qhv)<br />
Endapan gunung api muda ini tersusun oleh lava (andesit-basalt), breksi dan tufa,<br />
dijumpai di sekitar Kupang, Pahoman, Sumur Batu terus ke arah barat utara. Hasil<br />
lapukan batuan ini biasanya sebagai bahan untuk membuat bata dan genting.<br />
7. Endapan Alluvial (Qa)<br />
Endapan alluvial ini menempati daerah datar sepanjang pantai, terdiri dari kerakal,<br />
kerikil, pasir, lempung dan gambut.<br />
Geologi wilayah <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> didominasi oleh struktur sesar /patahan, baik sesar<br />
besar maupun sesar kecil dan secara umum berarah barat daya-tenggara. Sesar-sesar<br />
tersebut merupakan suatu sistem sesar yang hampir sejajar, mempunyai umur yang<br />
berbeda-beda dan kejadiannya berhubungan dengan penunjaman Lempeng India–<br />
Australia, yang kebetulan berada di bawah Pulau Sumatera (Katili & Hehuward, 1976).<br />
Kenampakan sistem lembah yang lurus dan depresi-depresi memanjang yang sangat<br />
jelas pada citra SAR, menunjukkan adanya peremajaan yang terjadi selama kuarter<br />
terhadap struktur-struktur yang lebih tua. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa<br />
secara geologis daerah studi, berpotensi untuk terusakan melalui jalur-jalur struktur<br />
yang ada oleh adanya gaya-gaya dari dalam bumi, seperti gempa, dan kegiatan gunung<br />
berapi. Dipermukaan bumi kerusakan-kerusakan yang terjadi bisa menjadi bencana bila<br />
berkaitan dengan kehidupan manusia, terlihat seperti tanah longsor,<br />
subsidence/amblesan, kerusakan bangunan, jalan yang terpotong dan lain-lain.<br />
Mengenai intensitas kegempaan, menurut hasil penelitian Harjono (1988), daerah<br />
sekitar <strong>Teluk</strong> Semangka termasuk <strong>Teluk</strong> tetangganya yaitu <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> selain<br />
Samudera Hindia, termasuk dalam wilayah dengan tingkat seismositas tinggi. Untuk<br />
pengaruh kegmpaan terhadap konstruksi bangunan, wilayah studi termasuk dalam<br />
kategori beresiko sedang dengan nilai 0.1-0.2 g.<br />
Disamping itu, kenyataan pada tahun 1883, Kota <strong>Teluk</strong> Betung terendam gelombang<br />
tsunami setinggi ± 30 m akibat letusan Gunung Krakatau, meningkatnya kegiatan<br />
gunung api Anak Krakatau belakangan ini menunjukkan daerah <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> perlu<br />
waspada terhadap bahaya gunung berapi dan tsunami.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 10
2.3.4 Hidro Oseanografi <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
2.3.4.1 Batimetri Perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Pengetahuan mengenai batimetri perairan sangat penting untuk kajian wilayah pesisir<br />
dan pengembangan wilayah. Kedalaman perairan akan sangat berpengaruh terhadap<br />
karakteristik gelombang. Energi gelombang yang terbangkitkan dengan fetch yang<br />
panjangnya dapat mencapai ribuan kilometer akan habis teredam pada daerah dekat<br />
pantai. Perubahan energi ini sangat dipengaruhi oleh gesekan dari dasar laut (bottom<br />
friction). Dasar perairan, terutama pada perairan dangkal, juga dapat memperlambat<br />
perambatan gerakan pasang, sehingga suatu tempat dapat memiliki lunitidal interval<br />
yang besar.<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> merupakan perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata 25 m. di<br />
mulut teluk kedalaman rata-rata berkisar pada 35 m dengan kedalaman maksimum 75 m<br />
di sekitar Selat Legundi yang terletak di sebelah barat laut mulut teluk. Menuju arah<br />
utara (<strong>Teluk</strong> Betung) kedalaman perairan semakin dangkal hingga isobath 5 m pada<br />
jarak yang relatif dekat dengan garis pantai.<br />
Secara umum, terdapat perbedaan kenampakan fisik yang sangat menonjol antara pantai<br />
barat dan pantai timur <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. Pada pantai barat, garis pantai relatif lebih<br />
berkelok-kelok dengan beberapa teluk kecil diantaranya adalah <strong>Teluk</strong> Ratai, <strong>Teluk</strong><br />
Punduh, dan <strong>Teluk</strong> Pedada. Sepanjang pantai bagian barat lebih banyak dijumpai<br />
gugusan pulau-pulau kecil. Disamping itu pantai bagian barat relatif lebih landai<br />
dibandingkan dengan pantai timur <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Di bagian barat dan kepala teluk garis isobath 10 m berada kurang dari 1 km dari garis<br />
pantai, sedangkan dibagian selatan pantai timur <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> garis isobath tersebut<br />
berjarak 1 km dari garis pantai. Garis isobath 20 m berada pada jarak sekitar 500 m dari<br />
garis pantai Panjang dan menjauh hingga kira-kira 4 km di pantai Kalianda. Di <strong>Teluk</strong><br />
Ratai garis isobath ini berada sekitar 3 km jauhnya dari kepala teluk sedangkan di <strong>Teluk</strong><br />
Pedada pada jarak kira-kira 7 km. Di kawasan pantai Panjang kedalaman perairan<br />
antara garis pantai hingga 1-2 km ke arah laut hanya berkisar 1-2 m dan menurun<br />
dengan cepat hingga kedalaman 10 m pada jarak 2 km tersebut.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 11
2.3.4.2 Pasang Surut<br />
Pasang surut didefinisikan sebagai proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur,<br />
dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari.<br />
Karena posisi bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah secara hampir teratur,<br />
maka besarnya kisaran pasut juga berubah mengikuti perubahan posisi-posisi tersebut.<br />
Pengelompokan pasut berdasarkan komponennya dapat dibedakan atas: komponen<br />
pasut harian (diurnal), pasut tengah-harian (semi diurnal), dan perempat harian<br />
(quarternal). Komponen-komponen tersebut (terutama diurnal dan semi diurnal)<br />
menentukan tipe pasut disuatu perairan. Jika perairan mengalami satu kali pasang dan<br />
satu kali surut dalam satu hari, maka tipe pasut dikawasan tersebut adalah pasut tunggal<br />
(diurnal); sedangkan jika dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut,<br />
maka tipe pasutnya adalah pasut ganda (semi diurnal).<br />
Diantara dua tipe tersebut terdapat tipe pasut peralihan antara tipe tunggal dan ganda<br />
yang dikenal dengan tipe pasut campuran. Secara kuantitatif tipe pasut suatu perairan<br />
dapat ditentukan oleh nisbah (perbandingan) antara amplitudo (tinggi gelombang)<br />
komponen diurnal (K1 dan O1) dengan amplitudo komponen semi diurnal (M2 dan S2),<br />
yang dinyatakan dalam bilangan Formzahl /F.<br />
Dimana:<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
F = K1 + O1<br />
M2 + S2<br />
F = Bilangan Formzahl<br />
K1 = Amplitudo komponen diurnal yang disebabkan gaya tarik bulan<br />
O1 = Amplitudo komponen diurnal yang disebabkan gaya tarik bulan dan matahari<br />
M2 = Amplitudo komponen semi diurnal yang disebabkan gaya tarik bulan<br />
S2 = Amplitudo komponen semi diurnal yang disebabkan gaya tarik matahari<br />
Tipe pasut dapat ditentukan sebagai berikut :<br />
Tipe pasut ganda (semi diurnal), jika nilai F< 0.25<br />
Tipe pasut campuran dengan tipe ganda yang dominan, F= 0.25- 1.50<br />
Tipe pasut campuran dengan tipe tunggal yang dominan, F= 1.51- 3.00<br />
Tipe pasut tunggal (diurnal) 3.00<br />
Untuk mengetahui tipe pasut yang terjadi di perairan teluk lampung dapat digunakan<br />
data pasang surut dari dinas Hidro-Oseanografi TNI AL (2003). Pada Tabel 2.1 berikut<br />
Bab II ‐ 12
ini disajikan data unsur pasut utama di perairan teluk lampung, sehinga dapat diketahui<br />
tipe pasutnya berdasarkan nilai F.<br />
Tabel 2.1 Amplitudo komponen pasut utama di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> (cm)<br />
No Stasiun pengukuran O1 K1 M2 S2 Nilai F<br />
1 Panjang 9 17 32 14 0.57<br />
2 Bakauheni 7 8 20 11 0.48<br />
3 Tarahan 8 16 36 14 0.48<br />
4 <strong>Teluk</strong> ratai 9 16 35 14 0.51<br />
5 Pulau meitem 9 15 35 15 0.48<br />
6 Pulau kelagian 11 13 34 13 0.51<br />
Sumber: Dishidros TNI AL (2003)<br />
Dari nilai F antara 0.48-0.57 diketahui bahwa tipe pasut di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
adalah pasut campuran dengan tipe ganda yang dominan (mixed tide predominantly<br />
semi diurnal), Artinya terjadi dua kali pasang surut dalam sehari, namun kisaran pasang<br />
surut yang satu jauh lebih kecil dari pada pasang surut yang lain. Tipe pasut di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> ini tidak berbeda dengan tipe pasut di Selat Sunda, yang keduanya sangat<br />
dipengaruhi oleh kondisi pasut di Samudra Hindia. Dibawah ini grafik pola pasang<br />
surut di Selat Sunda berdasarkan data Dishidros TNI AL dalam Pariwono (1999).<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 13
Data unsur-unsur pasut di Panjang berdasarkan Dishidros TNI AL (2003) diketahui<br />
bahwa kisaran perubahan tinggi muka laut diperkirakan seperti yang tertera pada Tabel<br />
2.2.<br />
Tabel 2.2 Kisaran tinggi muka laut di panjang, <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> (cm).<br />
No Kisaran muka laut Spring Neap tide Rata‐<br />
tide<br />
rata<br />
1 Tinggi muka laut pada air pasang rata‐rata 141.25 110.83 126.04<br />
(MHWL)<br />
2 Tinggi muka laut pada air surut rata‐ rata (MLWL) 25.00 50.83 37.92<br />
3 Kisaran pasang surut rata‐ rata 116.25 60.00 88.02<br />
4 Tinggi muka laut rata‐ rata (MSL) 80<br />
Sumber: Dishidros TNI AL (2003).<br />
Keterangan: Data diolah kembali berdasarkan pembagian pasang purnama/ mati (spring tide) dan pasang perbani<br />
(neap tide) selama 12 bulan<br />
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kisaran muka laut rata-rata di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
mencapai sekitar 88.02 cm. Kisaran pasut yang besar terjadi pada waktu pasut purnama<br />
(116.25 cm). Pasut purnama adalah pasang yang tertinggi dan surut terendah yang<br />
dialami oleh suatu perairan yang terjadi pada waktu bulan purnama ataupun bulan mati.<br />
Pada saat pasang purnama tinggi muka laut di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dapat mencapai 150 cm<br />
dengan rata- rata 141.25 cm. Pasut perbani terjadi pada saat bulan separuh (bulan tegak<br />
lurus terhadap posisi matahari dan bumi), dimana kisaran pasutnya paling rendah (ratarata<br />
60 cm).<br />
2.3.4.3 Arus Laut<br />
Arus merupakan perpindahan massa air dari suatu tempat ketempat lain yang<br />
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: gradien tekanan, hembusan angin, perbedaan<br />
densitas, atau pasang surut. Arus laut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor<br />
lainnya, seperti sifat air laut, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, distribusi pantai<br />
dan gerakan rotasi bumi.<br />
Arus yang disebabkan oleh angin pada umumnya bersifat musiman, dimana pada suatu<br />
musim arus mengalir kesuatu arah dengan tetap, dan pada musim berukutnya akan<br />
berubah sesuai dengan perubahan arah angin yang terjadi. Pasang surut dapat<br />
menimbulkan arus yang bersifat harian sesuai dengan kondisi pasang surut di perairan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 14
tersebut. Pada saat pasang arus-arus pasang surut pada umumnya akan mengalir dari<br />
lautan lepas ke arah pantai , sedangkan saat surut akan kembali mengalir kearah semula.<br />
Dengan mengetahui pola sirkulasi arus di suatu perairan maka dengan mudah dapat<br />
ditentukan arah dan sebaran materi yang dibawa oleh badan air yang mengalir bersama<br />
arus tersebut. Informasi ini sangat diperlukan dalam kegiatan pengelolaan wilayah<br />
pesisir.<br />
A. Arus Musim<br />
Arus musim yang terjadi di sekitar mulut <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>, sangat dipengaruhi oleh arus<br />
yang terjadi di Selat Sunda.<br />
Tabel 2.3 Kecepatan dan arah arus musim di Selat Sunda<br />
Bulan Kecepatan (cm/s) Arah (º)<br />
Januari<br />
Februari<br />
Maret<br />
April<br />
Mei<br />
Juni<br />
Juli<br />
Agustus<br />
September<br />
<strong>Ok</strong>tober<br />
November<br />
Desember<br />
Sumber : Dishidros TNI AL (2003)<br />
Keterangan : Data diolah kembali<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
31<br />
31<br />
31<br />
36<br />
36<br />
36<br />
36<br />
36<br />
36<br />
31<br />
31<br />
31<br />
Menurut Wyrtki (1961) arus yang disebabkan oleh musim di Selat Sunda mengalir<br />
dengan tetap kearah baratdaya (225º) sepanjang tahun dengan kecepatan antara 0-75<br />
cm/s. Kecepatan arus yang kuat (75 cm/s) terjadi pada bulan Juni dan Agustus,<br />
sedangkan yang paling lemah terjadi pada bulan Desember. Hal ini berbeda dengan<br />
Dishidros TNI AL (2003) yang menyatakan bahwa arus yang disebabkan oleh musim di<br />
Selat Sunda mengalir ke arah yang berlawanan tergantung musimnya. Pada musim<br />
34<br />
34<br />
34<br />
214<br />
214<br />
214<br />
214<br />
214<br />
214<br />
34<br />
34<br />
34<br />
Bab II ‐ 15
timur (April hingga September) arus musim mengalir menuju Lautan Hindia (arah 214º)<br />
dengan kecepatan 36 cm/s, sedangkan pada musim barat (<strong>Ok</strong>tober hingga Maret) arus<br />
musim mengalir ke arah Laut Jawa (arah 34°) dengan kecepatan 31 cm/s. Kecepatan<br />
dan arah arus musim setiap bulan disajikan pada Tabel 2.3.<br />
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan maksimun arus musim<br />
Selat Sunda terjadi pada musim timur, dan arus tersebut mengalir dari Laut Jawa<br />
menuju Samudera Hindia.<br />
Di sekitar perairan <strong>Lampung</strong> data arus musin diperoleh dari PT. Pelindo II (2002)<br />
berdasarkan pendugaan terhadap kecepatan dan arah angin yang terukur (lihat tabel<br />
2.4).<br />
Tabel 2.4 Kecepatan dan arah angin di Panjang dan perkiraan kuat arus yang<br />
ditimbulkannya<br />
Bulan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Angin Arus<br />
Kec. (cm/s) Arah dari Kec. (cm/s) Arah ke<br />
Desember‐Februari 25.7 ‐ 41.2 B – BL – U 3.0 ‐ 4.8 T – TG – S<br />
Maret‐Mei 25.7 ‐ 30.9 BL 3.0 ‐ 3.6 TG<br />
Juni‐Agustus 257 ‐ 309 TG 30.0 – 36.0 BL<br />
September‐<br />
November<br />
25.7 – 41.2 TG – T 3.0 – 4.8 BL ‐ B<br />
Sumber : PT. Pelindo II<br />
Keterangan : B=barat, BL=barat laut, U=utara, TG=Tenggara, T‐timur, S=selatan<br />
Berdasarkan tabel tersebut, diketahui pada bulan Juni–Agustus terjadi arus permukaan<br />
yang paling kuat, yaitu 30–36 cm/s dengan arah barat laut. Pada bulan-bulan lainnya<br />
arus permukaan yang ditimbulkan oleh angin hanya mencapai sekira 5 cm/s<br />
(maksimum).<br />
Pada tahun 1999 telah dilakukan survei arus di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> oleh Puslitbang<br />
Oseanologi LIPI. Pengukuran arus dilakukan pada bulan Juli, September, November.<br />
Berdasarkan hasil survei tersebut diketahui bahwa kecepatan dan arah arus di perairan<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> cukup bervariasi. Pada bulan Juli kecepatan arus antara 0.5 – 21.7 cm/s<br />
dengan arah dominan ke tenggara. Bulan November kecepatan arus antara 4.1 – 43.8<br />
cm/s dengan arah dominan menuju barat daya. Arus pada bulan September tidak<br />
Bab II ‐ 16
diketahui kecepatannya namun arahnya menunjukkan perbedaan antara permukaan dan<br />
lapisan di bawahnya. Arus permukaannya menuju ke barat laut dan arus bagian tengah<br />
dan dasar menuju ke barat daya.<br />
Secara keseluruhan, kesepatan arus di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> bervariasi antara 0.5– 43.8 cm/s.<br />
Dalam arah vertikal, makin ke dalam, kecepatan arus makin berkurang atau makin<br />
lambat. Hal ini membuktikan bahwa faktor gesekan dasar (bottom friction) ikut<br />
berperan meredam pergerakan arus di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang memang relatif<br />
dangkal. Dibandingkan arus di perairan terbuka, yang seringkali mempunyai kecepatan<br />
lebih besar dari 50 cm/c, maka arus perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> ini tergolong lemah.<br />
Namun demikian, nilai kecepatan arus demikian masih dalam kondisi normal untuk<br />
kecepatan arus di perairan teluk.<br />
B. Arus Pasang Surut<br />
Arus yang disebabkan oleh pasang surut terjadi setiap saat, karena kejadian pasang surut<br />
berlangsung terus menerus. Data arus pasang surut yang terjadi di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
tidak banyak diketahui, namun demikian dapat dilakukan pendugaan dari data arus<br />
pasang surut yang terjadi di sekitar Selat Sunda.<br />
Data arus pasang surut yang terjadi di Selat Sunda diperoleh dari Dishidros TNI AL<br />
(2003). Pada waktu air pasang arus mengalir ke arah Timur Laut (arah 34º) menuju<br />
Laut Jawa dengan kecepatan rata-rata 117.9 cm/s; sedangkan pada waktu air surut arus<br />
mengakir kembali ke arah baratdaya (arah 214º) menuju Samudera Hindia dengan<br />
kecepatan rat-rata 101.6 cm/s. Data arus pasang surut yang terjadi di Selat Sunda dapat<br />
dilihat pada Tabel 2.5.<br />
Tabel 2.5 Kecepatan arus pasang surut maksimum di Selat Sunda (cm/s).<br />
Bulan Pasang (arah 34°) Surut (arah 214°)<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 17
Januari<br />
Februari<br />
Maret<br />
April<br />
Mei<br />
Juni<br />
Juli<br />
Agustus<br />
September<br />
<strong>Ok</strong>tober<br />
November<br />
Desember<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
128.6<br />
113.2<br />
97.7<br />
108.0<br />
123.5<br />
133.8<br />
133.8<br />
108.0<br />
92.6<br />
113.2<br />
128.6<br />
133.8<br />
118.3<br />
108.0<br />
87.5<br />
82.3<br />
9737<br />
113.2<br />
118.3<br />
102.9<br />
87.5<br />
87.5<br />
102.9<br />
113.2<br />
Ratarata 117.9 101.6<br />
Sumber : Dishidros TNI AL (2003)<br />
Keterangan : Data diolah kembali<br />
Kecepatan arah arus pasang surut di perairan semi tertutup seperti di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
pada umumnya lebih lemah dibandingkan dengan arus pasut yang terjadi di Selat<br />
Sunda. Sebagai perbandingan, hasil survei Hidro Oseanografi yang dilakukan<br />
Dishidros TNI AL tahun 1987 di perairan <strong>Teluk</strong> Ratai dan sekitarnya diperoleh bahwa<br />
kekuatan arus pasut pada umumnya lemah, yaitu kurang dari 25 cm/s. kecepatan arus<br />
lebih dari 25 cm/s dapat tejadi disekitar selat antara Pulau Kelagian dan Pulau Maitem.<br />
2.3.4.4 Gelombang<br />
Pada umumnya gelombang di suatu perairan diperoleh secara tidak langsung dari data<br />
angin yang terdapat dikawasan tersebut. Hal ini berdasarkan teori bahwa sebagian besar<br />
gelombang yang terjadi di laut dibentuk oleh energi yang ditimbulkan hembusan angin.<br />
Gelombang ini disebut sebagai gelombang angin yang merupakan fungsi dari tiga<br />
faktor, yaitu kecepatan angin, lamanya angin berhembus (duration), dan jarak dari<br />
tiupan angin pada perairan terbuka (fetch).<br />
Kondisi gelombang di perairan Panjang dan sekitarnya yang mencerminkan keadaan<br />
gelombang di daerah kepala <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> diperoleh dari PT.Pelindo II. Dari<br />
informasi tersebut diketahui bahwa gelombang besar di sekitar perairan Panjang terjadi<br />
pada bulan Juni – November. Tinggi gelombang tersebut berkisar antara 50 – 100 cm<br />
dengan kisaran seperti yang tertera pada tabel 2.6.<br />
Tabel 2.6 Tinggi gelombang di sekitar Perairan Panjang<br />
No Bulan Tinggi Gelombang (cm) Arah rambatan/menuju ke ٭)<br />
Bab II ‐ 18
1 Desember ‐ Februari 50 ‐ 75 T – TG – S<br />
2 Maret ‐ Mei 50 – 70 TG<br />
3 Juni ‐ Agustus 50 – 100 BL<br />
4 September‐November 50 ‐ 100 BL ‐ B<br />
Sumber : PT. Pelindo II (2002)<br />
Keterangan: ٭) Diasumsikan gelombang yang terjadi adalah gelombang angin, maka arah rambatannya dapat<br />
diperkirakan dari arah angin<br />
Tinggi gelombang di pantai bagian barat <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> tidak menunjukkan hal yang<br />
berbeda dengan data gelombang di perairan Panjang (pantai bagian timur <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>). Berdasarkan pengamatan Dishidros TNI AL pada Juni 1987 – 1988 di<br />
sekitar perairan antara Pulau Maitem dan Pulau Kelagian diperoleh kisaran tinggi<br />
gelombang maksimum 40 -90 cm (tabel 2.7).<br />
Tabel 2.7 Kondisi gelombang di sekitar perairan antara Pulau Maitem dan Pualu Kelagian<br />
Bulan<br />
Januari<br />
Februari<br />
Maret<br />
April<br />
Mei<br />
Juni<br />
Juli<br />
Agustus<br />
September<br />
<strong>Ok</strong>tober<br />
November<br />
Desember<br />
Arah Gelombang<br />
Dominan Kisaran<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
T<br />
TG<br />
TG<br />
BD<br />
BD<br />
STG<br />
TG<br />
TG<br />
STG<br />
STG<br />
SBD<br />
BL<br />
BD – LT –T<br />
T ‐ TG – S<br />
TG – S – BD<br />
BD – U – TL<br />
BD – B – BL<br />
T – TG – S<br />
T – TG – S<br />
T – TG – S<br />
T – TG – S<br />
TG – S – BD<br />
S ‐ BD –B<br />
B – BL ‐ U<br />
Tinggi maks<br />
(cm)<br />
50<br />
40<br />
52<br />
60<br />
56<br />
90<br />
70<br />
70<br />
90<br />
80<br />
80<br />
50<br />
Tinggi rat‐rata<br />
(cm)<br />
15‐25<br />
20‐30<br />
15‐35<br />
25‐40<br />
25‐35<br />
40‐65<br />
20‐60<br />
20‐50<br />
30‐50<br />
40‐60<br />
40‐65<br />
15‐25<br />
Periode<br />
(detik)<br />
8‐9<br />
6‐7<br />
8‐9<br />
8‐9<br />
10‐11<br />
4‐7<br />
6‐7<br />
6‐7<br />
5‐7<br />
10‐11<br />
10‐11<br />
Sumber : Dishidros TNI AL (1989)<br />
Keterangan : B=barat, BL=barat laut, U=utara, TG=Tenggara, T=timur, S=selatan, STG=selatan tenggara,<br />
SBD=selatan baratdaya<br />
Menurut Dishidros TNI AL (1988) gelombang di <strong>Teluk</strong> Ratai merupakan gelombang<br />
campuran antara gelombang yang disebabkan oleh angin dan alun yang datang dari<br />
Selat Sunda. Gelombang yang merambat masuk <strong>Teluk</strong> Ratai datang terutama dari arah<br />
6‐7<br />
Bab II ‐ 19
tenggara. Tinggi gelombang rata-rata berkisar antara 15-40 cm dengan periode antara<br />
4-11 detik.<br />
2.3.4.5 Suhu dan Salinitas<br />
Berdasarkan penelitian Puslitbang Oseano;ogi LIPI pada bulan Juli-November 1999.<br />
diketahui bahwa variasi suhu di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> berkisar antara 29.075-<br />
29.43ºC dan tercatat rata-rata terendah terjadi pada bulan Agustus. Pola suhu<br />
menggambarkan adanya pengaruh malam menurun sebesar 0.333ºC serta pengaruh<br />
siang dan daratan dengan peningkatan suhu sebesar 0.487°C.<br />
Distribusi horizontal suhu di bagian permukaan perairan, baik pada musim timur (Juli-<br />
Agustus) maupun musim peralihan II (September-November), menunjukkan bahwa<br />
suhu pantai utara dan timur relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan sebelah selatan<br />
teluk. Hal ini disebabkan oleh dominannya kegiatan penduduk (pemukiman) dan<br />
aktivitas pelabuhan.<br />
Variasi salinitas berkisar antara 32.105-32.373 psu dan tercatat rata-rata tertinggi terjadi<br />
pada bulan Agustus. Pola salinitas menunjukkan adanya pengaruh daratan berupa nilai<br />
salinitas yang acak dan pengaruh masuknya massa air laut bersalinitas lebih tinggi dari<br />
lepas pantai <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. Distribusi horizontal salinitas di bagian permukaan, baik<br />
pada musim timur maupun musim peralihan, menunjukkan bahwa salinitas perairan<br />
pantai utara dan timur laut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelah selatan<br />
dan barat teluk. Penurunan salinitas tersebut disebabkan oleh adanya beberapa sungai<br />
di sebelah utara dan timur yang bermuara ke laut.<br />
2.3.4.6 Pencemaran Laut<br />
Kualitas perairan di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> relatif masih dalam keadaan belum tercemar,<br />
namun daerah disekirar kepala teluk (<strong>Teluk</strong> Betung dan Panjang) menunjukkan kondisi<br />
perairan yang tercemar ringan. Di daerah sekitar mulut teluk (perairan Pulau Sebuku<br />
dan Selat Legundi) kualitas perairan masih dalam kondisi yang baik. Beberapa industri<br />
yang terdapat disepanjang pantai <strong>Teluk</strong> Betung hingga Tarahan berpotensi<br />
menimbulkan pencemaran. Industri yang dimaksud antara lain: semen, batubara, kayu,<br />
minyak, molase, kegiatan reklamasi patai serta kegiatan bongkar muat kapal di<br />
Pelabuhan Panjang.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 20
Berdasarkan hasil penelitian CRMP (1999) diketahui bahwa parameter suhu, salinitas,<br />
pH, kecerahan, kekeruhan, kandungan minyak, Cu dan coliform di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
masih tergolong memenuhi syarat standar baku mutu untuk pariwisata dan rekreasi<br />
ataupun budidaya perikanan dan biota laut. Sebaliknya COD dan kandungan Cd sudah<br />
berada di luar batas yang diperbolehkan untuk kegiatan yang sama; sedangkan BOD,<br />
DO, Cr, Pb dan padatan tersuspensi masih memenuhi syarat untuk tujuan rekreasi<br />
maupun budidaya di beberapa tempat, tetapi sudah berada di luar batas yang<br />
diperbolehkan (lihat Tabel 2.8). Oleh karena itu dibuat suatu formula yang dapat<br />
mencerminkan kualitas perairan berdasarkan kandungan beberapa parameter kunci.<br />
Parameter kunci tersebut adalah pestisida, logam berat, minyak, coliform, TSS, dan<br />
bahan organik (BOD dan COD). Dengan melakukan pembobotan dan skoring serta<br />
pejumlahan nilai, akan didapatkan nilai akhir yang mengklasifikasi kualitas perairan.<br />
Berdasarkan formula tersebut, dapat disimpulkan bahwa peraran <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> bagian<br />
dalam diklasifikasi memiliki kualitas perairan yang cukup baik, dengan taraf tercemar<br />
ringan. Di beberapa lokasi, seperti beberapa industri, TPI, dan pemukiman telah terjadi<br />
pencemaran.<br />
Tabel 2.8 Nilai parameter kualitas air di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
No Parameter kualitas air Satuan Kisaran Baku mutu<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
8.<br />
9.<br />
10.<br />
11.<br />
12.<br />
Suhu<br />
Salinitas<br />
pH<br />
Pembacaan Seichi disk<br />
Kekeruhan<br />
<strong>Ok</strong>sigen terlarut<br />
BOD5<br />
COD<br />
Minyak<br />
Coliform<br />
TSS<br />
Logam berat:<br />
Hg<br />
Cr<br />
Pb<br />
Cu<br />
Cd<br />
Sumber: Atlas <strong>Lampung</strong> (1999).<br />
2.3.5 Tsunami<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
°C<br />
psu<br />
-<br />
m<br />
NTU<br />
mg/l<br />
mg/l<br />
mg/l<br />
mg/l<br />
sel/100ml<br />
mg/l<br />
mg/l<br />
mg/l<br />
mg/l<br />
mg/l<br />
mg/l<br />
28.031.5<br />
22.833.5<br />
7.968.22<br />
1.137.55<br />
1.613.37<br />
3.26.2<br />
1040<br />
398123<br />
<br />
0700<br />
1034<br />
3<br />
4<br />
dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh<br />
suatu gangguan implusif yang terjadi pada medium laut, seperti gempa bumi, erupsi<br />
vulkanik atau longsoran (land-slide).<br />
Gangguan impulsive pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga sumber:<br />
1. Gempa dasar laut<br />
2. Letusan gunung api didasat laut<br />
3. Longsoran yang terjadi di dasar laut<br />
Di Indonesia terdapat beberapa kelompok pantai yang rawan tsunami yaitu, kelompok<br />
Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Pulau Jawa, Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau<br />
Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai Utara Irian Jaya dan hampir seluruh<br />
pantai di Sulawesi. <strong>Teluk</strong> dan bagian yang melekuk dari pantai sangat rawan akan<br />
bencana ini. Propinsi <strong>Lampung</strong> mempunyai potensi tsunami berasal dari gempa dasar<br />
laut dan Letusan Gunung Krakatau.<br />
Pesisir Barat <strong>Lampung</strong> mempunyai resiko tinggi gempa bumi karena dipengaruhi oleh<br />
patahan semangka yang memanjang dari <strong>Teluk</strong> Semangka sampai utara Pulau Sumatera.<br />
Sumber gempa di laut selama ini sering berasal dari patahan semangka.<br />
Sumber ancaman tsunami lainnya adalah berasal dari kemungkinan letusan Krakatau.<br />
Kawasan Kepulauan Gunung Krakatau merupakan kepulauan yang terdiri dari Pulau<br />
Sertung, Pulau Anak Krakatau, Pulau Krakatau Kecil dan Pulau Krakatau, terletak di<br />
Selat Sunda. Secara administrasi kawasan ini dari wilayah Kecamatan Kalianda,<br />
Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan.<br />
Menurut Nontji (1993) bahwa korban jiwa tsunami yang ditimbulkan oleh letusan<br />
Gunung Krakatau di Selat Sunda, 27 Agustus 1883, yang merenggut lebih 36.000 jiwa.<br />
Letusan ini merupakan letusan gunung api yang terbesar yang pernah tercatat dalam<br />
sejarah, bunyinya terdengar sampai ke Pulau Rodriguez 1.600 km sebelah timur<br />
Madagaskar, atau 4.563 km dari Krakatau. Dua pertiga bagian pulau seluas 5 x 8 km 2<br />
yang diterbangkan pada puncak letusan. Tsunami yang ditimbulkan luar biasanya<br />
besarnya dan malapetaka yang diakibatkan tak terkira hebatnya terutama di pantai<br />
Sumatra dan Jawa yang berbatasan dengan Selat Sunda. Di Kota <strong>Teluk</strong> Betung tsunami<br />
menerjang dengan gelombang setinggi 20 m dan di Merak sampai setinggi hampir 40<br />
meter. Sebuah bongkahan karang batu seberat 600 ton tercabut dari dalam laut untuk<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 22
kemudian dihempaskan ke darat. Peristiwa yang sangat dramatis menimpa sebuah<br />
kapal uap”Berouw”. Kapal yang sedang berlabuh di depan <strong>Teluk</strong> Betung itu dilempar<br />
3,3 km dari tempat semula dan tersungkur di lembah Sungai Kuripan pada ketinggian 9<br />
m di atas permukaan laut. Boi (pelampung) tempat Berouw tetambat, terdampar di darat<br />
pada ketinggian 20 m dan kini dijadikan monumen Krakatau. Gelombang tsunami<br />
Krakatau merambat ke seluruh dunia. Di Samudera Hindia gelombangnya merambat<br />
dengan kecepatan sekitar 600 km/jam. Gelombang dapat terekam sampai ke English<br />
Channel dan Panama yang masing-masing berjarak 19.872 km dan 20.646 km dari<br />
Krakatau.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 23
Gambar 2.5: Gempa dan Tsunami di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dan Pantai Selatan Jawa<br />
2.3.6 Kondisi Biologi <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> memiliki luas wilayah pesisir dengan luas 48.631 ha atau sebesar<br />
11.7% dari luas wilayah pesisir yang dimiliki Propinsi <strong>Lampung</strong>. Letak teluk ini<br />
menghadap Selat Sunda dan sebagian Samudera Hindia. Bagian teluk sebelah timur<br />
relatif lurus sedangkan pantai barat berlekuk-lekuk membentuk teluk yang cukup dalam<br />
dengan pulau-pulau kecil berada di mulut teluk. Adanya teluk dengan pulau yang<br />
berada di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> juga letaknya antara Selat Sunda serta merupakan perbatasan<br />
antara Laut Hindi dan Laut Pasifik Barat memberikan komposisi flora dan fauna dan<br />
keanekaragaman yang tinggi.<br />
2.3.6.1 Mangrove<br />
Penyebaran hutan mangrove di wilayah pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> terdapat pada kawasan<br />
pulau-pulau kecil dan disepanjang pantai yang umumnya digunakan untuk pemukiman<br />
dan pertambakan. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi<br />
(2000) dan CRMP (1989) menunjukkan bahwa mangrove yang terdapat di pesisir <strong>Teluk</strong><br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 24
<strong>Lampung</strong> tersebar mulai dari wilayah pantai sampai pulau kecil dengan jumlah dan<br />
keragaman yang tinggi.<br />
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000) menyebutkan bahwa terdapat<br />
27 jenis mangrove dan termasuk dalam 17 marga yang terdapat di pulau kecil dan<br />
sepanjang pantainya.<br />
Secara umum mangrove yang dijumpai pada pulau-pulau kecil adalah jenis Rhizopora<br />
spp. dengan ketebalan 100 m. Pada kawasan pantai yang merupakan daerah<br />
pemukiman, tempat wisata dan pertambakan, hutan mangrove yang dijumpai tinggal<br />
memiliki ketebalan
dan Pulau Legundi menunjukkan spesies yang beragam dan persentase penutupan<br />
lamun yang bervariasi karena letak, tipe dan substrat perairannya.<br />
2.3.6.4 Algae<br />
Algae yang terdapat di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />
Oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau Legundi<br />
menunjukkan jumlah dan jenis spesies yang bervariasi karena letak, tipe, dan substrat<br />
perairannya. Secara umum algae yang terdapat di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> mengalami<br />
penurunan jenin karena perusakan karang oleh manusia sehingga substrat untuk hidup<br />
algae juga rusak, bertambahnya aktifitas penduduk dan pencemaran perairan yang<br />
mengotori paparan terumbu.<br />
2.3.6.5 Echinodermata<br />
Echinodermata yang terdapat di kawasan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> menurut Pusat Penelitian dan<br />
Pengembangan oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau<br />
Legundi menunjukkan jumlah dan spesien yang sangat jarang dan hanya dari beberapa<br />
jenis. Secara umum echinodermata yang terdapat di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> mengalami<br />
penurunan jenis karena perusakan karang oleh manusia sehingga substrat untuk hidup<br />
echidodermata juga rusak, bertambahnya aktifitas penduduk seperti pencarian tripang<br />
(suala) dengan cara menyelam tanpa memilih ukuran serta karena pencemaran perairan<br />
yang mengotori paparan terumbu.<br />
2.3.6.6 Crustacea<br />
Jenis crustacea (udang-udangan) yang terdapat di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> menurut Pusat<br />
Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang<br />
dan Pulau Legundi menunjukkan jumlah dan jenis yang jarang dan hanya beberapa<br />
jenis. Jenis yang paling banyak ditemui pada keempat pulau tersebut adalah Pilodius<br />
areolatus dan Actaeodes consobrinus yang merupakan jenis crustacea kecil yang hidup<br />
di bawah batu karang hidup atau karang mati. Pilodius areolatus dan Actaeodes<br />
consobrinus termasuk dalam famili Xanthidae yang banyak ditemukan di daerah koral<br />
atau pecahan batu karang yang dangkal, daerah pasang surut baik daerah tropis dan sub<br />
tropis. Kedua jenis ini merupakan makanan bagi larva ikan.<br />
2.3.6.7 Molusca<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 26
Jenis mollusca yang terdapat di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> menurut Pusat Penelitian dan<br />
Pengembangan Oseanografi (2000) pada Pulau Tangkil, Pulau Puhawang dan Pulau<br />
Legundi bejumlah 66 jenis yang mewakili 30 famili. Mollusca yang terkumpul terdiri<br />
dari 2 klas yaitu Gastropoda dari 18 famili dan Bivalva dari 12 famili yang<br />
menunjukkan keragaman jenis spesies yang cukup banyak dan menandakan tidak<br />
adanya kompetisi pada habitat tertentu. Jenis mollusca klas Gastropoda yaitu Morula<br />
margaliticola, Collumbela scripta, Cerithium zonatum dan Engina zonalis sedangkan<br />
klas Bivalva adalah Atactodea striata dan Modiolus micropetrus.<br />
2.3.6.8 Ikan<br />
Jenis ikan yang terdapat di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> menurut Pusat Penelitian dan<br />
Pengembangan oseanografi (2000) dibagi menjadi ikan karang dan ikan dasar yang<br />
ditangkap menggunakan trawl. Hasil penelitian pada ikan karang tersebut menunjukkan<br />
bahwa dari hasil penelitian di lima lokasi pengamatan didapatkan 7072 individu dari 31<br />
suku dan 162 jenis ikan, 40 jenis diantaranya merupakan ikan target (pangan). Kategori<br />
“major fish” yang terdiri dari 22 suku dengan 160 jenis. Untuk ikan target terdiri dari 9<br />
suku dan 10 jenis, sedangkan ikan indikator terdiri dari 1 suku dengan 16 jenis<br />
kelimpahan ikan tertinggi terdapat di Pulau Puhawang sisi barat dengan nilai 1556<br />
individu. Berdasarkan kategori ikan, kelimpahan ikan “major” tertinggi didapatkan di<br />
Pulau Puhawang sisi barat, sedangkan kelimpahan ikan target tertinggi dijumpai di<br />
Pulau Tegal sisi barat, dan kelimpahan ikan indikator tertinggi sebanyak 31 individu<br />
ditemukan pada Pulau Puhawang sisi timur dan jumlah jenis ikan “major” tertinggi<br />
dijumpai di Pulau Legundi sisi timur sedangkan untuk ikan target dan indikator jumlah<br />
jenis tertinggi dijumpai di Pulau Sebuku pada sisi barat. Kelimpahan relatif untuk<br />
setiap jenis ikan selama pengamatan di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dapat dilihat dari<br />
keanekaragaman jenis berkisar antara 0.7711-1.77700. Keanekaragaman terendah<br />
didapatkan di Pulau Puhawang sebelah barat dan tertinggi di Pulau Legundi sebelah<br />
timur.<br />
Ikan dasar yang ditangkap dengan jaring trawl menurut hasil penelitian Pusat Penelitian<br />
dan Pengembangan Oseanografi (2000) tidak semuanya tergolong ikan demersal (ikan<br />
dasar). Beberapa suku seperti Dlupeidae, Engraulidae, Scrombidae, Sphyraenidae<br />
tertangkap juga dengan alat ini dan keempat suku ini digolongkan pada ikan pelagis.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 27
Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan oseanografi (2000) menunjukkan<br />
bahwa ikan karang dan ikan dasar yang terdapat pada lima pulau di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
menunjukkan pada kondisi yang secara kurang baik. Kondisi ini disebabkan<br />
banyaknya penangkapan ikan menggunakan cara-cara yang merusak karang sebagai<br />
habitat ikan tersebut. Jenis ikan karang dan ikan dasar ekonomis penting masih dapat<br />
ditemukan, tetapi pada keragaman yang mendekati jarang. Kerusakan karang juga akan<br />
mengakibatkan rendahnya ruang hidup bagi ikan karang<br />
2.3.7 Sosial Kependudukan<br />
Propinsi <strong>Lampung</strong> merupakan suatu daerah yang sangat strategis baik secara geografis<br />
maupun dari segi pengembangan wilayahnya. Prasarana perhubungan yang cepat,<br />
murah dan aman serta lahan pertanian yang luas dan subur, merupakan daya tarik utama<br />
mengalirnya arus migrasi dan transmigrasi ke wilayah ini. Penduduk asli <strong>Lampung</strong><br />
diperkirakan hanya sekitar 16 % atau sekitar 1.250.000 jiwa, sedangkan sisanya<br />
merupakan suku-suku pendatang yang terdiri dari suku Jawa (30%), Banten/Sunda<br />
(20%), Semendo (12%), Minang (10%) dan etnis lainnya. Ragam dan heterogenitas<br />
penduduk yang tinggi tersebut, dimana semua suku bangsa/etnis yang ada di <strong>Lampung</strong><br />
hampir berimbang jumlahnya, menjadi salah satu faktor penyebab tidak adanya bahasa<br />
daerah yang dominan di Propinsi <strong>Lampung</strong> dan sebagian besar berkomunikasi dengan<br />
menggunakan Bahasa Indonesia.<br />
Penduduk asli <strong>Lampung</strong> mempunyai kehidupan seni budaya dan adat istiadat tersendiri<br />
yang diturunkan dari nenek moyang mereka dan masih dijalankan sampai sekarang,<br />
sejauh tidak bertentangan dengan syariah agama yang dianutnya. Penduduk asli<br />
<strong>Lampung</strong> dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu Peminggir dan Pepadun<br />
(Sebatin). <strong>Lampung</strong> Peminggir adalah suku <strong>Lampung</strong> Asli yang berdiam di sepanjang<br />
wilayah pesisir (Kalianda, Krui, Maringgai dan lain-lain), sedangkan <strong>Lampung</strong> Pepadun<br />
adalah suku-suku yang tinggal di pedalaman (Abung Siwo Mego, Pubian Telu Suku,<br />
Menggala, Mego Pak Tulang Bawang dan lain-lain)<br />
Adat budaya <strong>Lampung</strong> yang cenderung lebih dekat ke daratan menyebabkan<br />
pemanfaataan wilayah pesisir oleh masyarakat <strong>Lampung</strong> Asli pesisir kurang mendapat<br />
perhatian. Masyarakat asli cenderung lebih memilih untuk mengolah lahan pertanian<br />
dan perladangan daripada menangkap ikan di laut. Karakteristik masyarakat seperti<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 28
inilah yang membuat wilayah pesisir lebih didominasi oleh masyarakat pendatang yang<br />
tinggal dan menetap untuk berbagai alasan.<br />
Penduduk Pendatang, masuk ke Propinsi <strong>Lampung</strong> ini umumnya dengan berbagai<br />
alasan antara lain karena kebijakan pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan<br />
dengan transmigrasi (Jawa, Bali), atau didorong oleh jiwa merantau mereka yang kuat<br />
sehingga datang ke <strong>Lampung</strong> (asal Sulawesi), dan yang pindah karena dipaksa oleh<br />
situasi politik di tempat asal. Sedangkan untuk pendatang-pendatang baru datang ke<br />
<strong>Lampung</strong> banyak yang disebabkan oleh proyek-proyek swasta di bidang pengolahan<br />
lahan produksi. Kedatangan penduduk pendatang ini mengubah keseimbangan sukusuku<br />
yang tinggal di <strong>Lampung</strong>.<br />
2.3.7.1 Kota Bandar <strong>Lampung</strong><br />
A. Kependudukan<br />
Jumlah penduduk Kota Bandar <strong>Lampung</strong> pada tahun 2000 adalah 742.749 jiwa, terdiri<br />
dari 374.184 jiwa penduduk laki-laki dan 368.565 jiwa penduduk perempuan, (Kota<br />
bandar <strong>Lampung</strong> dalam Angka, 2001), dengan kepadatan 3.868,48 jiwa/km 2 .<br />
Kondisi kependudukan di kelurahan-kelurahan pesisir Kota Bandar <strong>Lampung</strong>,<br />
menunjukkan kelurahan dengan jumlah penduduk paling padat adalah Kelurahan<br />
Kangkung (35.513 jiwa/km 2 ), Kecamatan <strong>Teluk</strong> Betung Selatan diikuti oleh Kelurahan<br />
Kota <strong>Karang</strong> (30.923 jiwa/km 2 ), Kecamatan <strong>Teluk</strong> Betung Barat, sedang kelurahan<br />
yang paling rendah kepadatannya adalah Kelurahan Sukamaju (634 jiwa/km 2 ),<br />
Kecamatan <strong>Teluk</strong> Betung Barat.<br />
Tabel 2.9 Kondisi Kependudukan Kecamatan Pesisir di Kota Bandar <strong>Lampung</strong><br />
No Kecamatan di Pesisir Luas (km2) Penduduk<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Kepadatan<br />
(jiwa/km2)<br />
1 <strong>Teluk</strong> Betung Barat 20,99 62.643 2.984,42<br />
2 <strong>Teluk</strong> Betung Selatan 10,07 92.506 9.186,30<br />
3 Panjang 21,16 61.943 2.927,36<br />
Sumber : Kota Bandar <strong>Lampung</strong> dalam Angka, 2006 dan BPS<br />
2.3.7.2 Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan<br />
Bab II ‐ 29
A. Kependudukan<br />
Jumlah penduduk Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan pada tahun 2001 adalah 1.142.435 jiwa<br />
yang terdiri dari laki-laki sebanyak 558.012 jiwa dan perempuan 557.423 jiwa<br />
(<strong>Lampung</strong> Selatan dalam Angka, tahun 2001) pertumbuhan penduduk sejak tahun 1997<br />
sampai tahun 2001 menunjukkan peningkatan sebesar 43.641 jiwa dengan rata-rata<br />
pertumbuhan per tahun 0.99%. Proyeksi penduduk Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan<br />
berdasarkan angka pertumbuhan rata-rata tersebut, pada tahun 2005 diperkirakan<br />
sebanyak 1.188.352 jiwa atau 373,6 jiwa/km 2 .<br />
Kecamatan Natar adalah kecamatan dengan penduduk yang paling padat dengan<br />
kepadatan 750,54 jiwa/km 2 . Sedangkan Kecamatan Punduh Pidada merupakan<br />
kecamatan dengan kepadatan penduduk yang paling rendah yaitu 107,70 jiwa/km 2 .<br />
Tabel 2.10 Kondisi Kependudukan di Kecamatan Pesisir Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan.<br />
Kepadatan<br />
No Kecamatan di Pesisir Luas (km2) Penduduk<br />
(jiwa/km2)<br />
1 Penengahan 190,11 54.293 285,59<br />
2 Kalianda 161,40 74.737 463,05<br />
3 Sidomulyo 160,98 71.911 446,71<br />
4 Ketibung 222,31 78.378 352,56<br />
5 Padang Cermin 317,63 78.463 247.03<br />
6 Rajabasa 100.39 22.420 223.33<br />
7 Punduh Pidada 224,19 24.404 108,85<br />
Sumber : Kab. <strong>Lampung</strong> Selatan dalam Angka, 2006<br />
Kondisi kependudukan di desa-desa pesisir Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan menunjukkan<br />
desa dengan jumlah penduduk paling padat adalah Desa Way Urang di Kecamatan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 30
Kalianda (919 jiwa/km2) diikuti oleh Desa Bumi Agung di Kecamatan Kalianda (719<br />
jiwa/km2) dan Desa Kunyayan di Kecamatan Punduh Pidada (23.32 jiwa/km2)adalah<br />
desa dengan kepadatan penduduk paling rendah. Rata-rata kepadatan penduduk desadesa<br />
pesisir adalah 208 jiwa/km2.<br />
B. Pendidikan<br />
Ketersediaan sarana pendidikan akan menjadi gambaran dari kecukupan masyarakat<br />
pada usia sekolah untuk mendapatkan kemudahan dalam mengenyam bangku sekolah di<br />
tempat yang terdekat. Ketersediaan sekolah di kecamatan-kecamatan pesisir<br />
Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan pada tahun 2000 terlihat pada tabel di bawah ini.<br />
Tabel 2.11 Jumlah Sekolah di Kecamatan Pesisir Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan<br />
No Kecamatan Sekolah Negeri Sekolah Swasta<br />
Pesisir TK SD SLTP SMU TK SD SLTP SMU<br />
1 Penengahan - 40 2 1 4 1 3 1 -<br />
2 Rajabasa - 17 1 - 1 - 1 - -<br />
3 Kalianda 1 40 3 4 9 - 5 5 2<br />
4 Padang<br />
Cermin<br />
- 19 2 1 1 1 3 - -<br />
5 Punduh<br />
Pidada<br />
- 19 2 1 1 1 3 - -<br />
Sumber : <strong>Lampung</strong> Selatan dalam Angka, 2006<br />
Tabel 2.12 Jumlah Murid per Tingkat Sekolah di Kecamatan Pesisir, Kab. Lamsel<br />
No. Kecamatan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Tingkat Sekolah<br />
Pesisir SD SLTP SMU<br />
Jumlah Siswa<br />
1. Penengahan 8.097 1.934 384 10.415<br />
2. Rajabasa 2.989 467 - 3.456<br />
3. Kalianda 9.150 2.485 2.311 13.946<br />
4. Padang Cermin 11.474 2.229 816 14.519<br />
5. Punduh Pidada 3.840 835 393 5.068<br />
Sumber : <strong>Lampung</strong> Selatan dalam Angka tahun 2006.<br />
C. Kesehatan<br />
Untuk menggambarkan tingkat penanganan kesehatan masyarakat, dapat dilihat pada<br />
banyaknya fasilitas yang terdapat di masing-masing kecamatan pesisir.<br />
Bab II ‐ 31
Tabel 2.13 Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Pesisir Kab. <strong>Lampung</strong> Selatan<br />
No.<br />
Kecamatan<br />
Pesisir<br />
Rumah<br />
Sakit<br />
Rumah<br />
Bersalin<br />
Puskesmas<br />
Induk<br />
Puskesmas<br />
Pembantu<br />
Apotik<br />
1 Penengahan - 1 1 3 -<br />
2 Rajabasa - - 1 4 -<br />
3 Kalianda 1 1 2 8 3<br />
4 Padang<br />
Cermin<br />
- - 3 5 -<br />
5 Punduh<br />
Pidada<br />
- - 1 3 -<br />
Sumber : <strong>Lampung</strong> Selatan dalam Angka tahun 2006.<br />
D. Rumah Tangga Perikanan<br />
Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) yang berdomisili di Kabupaten <strong>Lampung</strong><br />
Selatan tahun 1999 mencapai 14.557 RTP. Jumlah ini terdiri dari RTP perikanan<br />
tangkap (3.642 RTP), RTP budidaya laut (442 RTP), RTP budidaya air payau/tambak<br />
(3.427 RTP), RTP pembenuran (162 RTP), RTP budidaya di perairan umum (74 RTP),<br />
RTP penangkapan di perairan umum (2.034 RTP), RTP budidaya air tawar/kolam<br />
(2.002 RTP), RTP Mina Padi (108 RTP), RTP pembenihan di air tawar (121 RTP), RTP<br />
pengolahan (527 RTP), dan RTP pemanenan (2.018 RTP). Dibandingkan dengan tahun<br />
1998, jumlah RTP perikanan di Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan mengalami peningkatan<br />
pada tiap usaha perikanan yang dilakukan.<br />
Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan perikanan tangkap tahun 1999<br />
sebanyak 6.605 tenaga kerja yang merupakan jumlah tenaga kerja yang terbesar<br />
dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan lainnya.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab II ‐ 32
Bab 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI<br />
3.1 Metode Pendekatan Studi<br />
Langkah awal yang dilakukan dalam Kegiatan Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> adalah penyediaan data, baik data primer maupun data sekunder. Data primer<br />
diperoleh dengan melakukan survei langsung ke lapangan yang meliputi data oseanografi,<br />
data titik koordinat, data persentase terumbu karang, dan data sosial budaya. Pengambilan<br />
data sosial, ekonomi dan budaya (sosekbud) menggunakan metode Rapid Rural Appraisal<br />
(RRA). Selain itu juga akan dilakukan kegiatan sosialisasi. Sedangkan data sekunder<br />
didapatkan dengan wawancara dengan stakeholder yang terkait serta mengkaji dokumendokumen<br />
pendukung atau laporan dari dinas / instansi terkait.<br />
Seperti dikemukakan sebelumnya, studi ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan<br />
sumberdaya terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> terutama berkenaan dengan bentuk tumbuh<br />
(life form), persentase hidup dan luasan penyebarannya serta untuk mengkaji sumberdaya<br />
terumbu karang karang sebagai arahan dalam penetapan kawasan konservasi dan daerah<br />
perlindungan laut (DPL). Untuk mewujudkan hal tersebut diatas perlu pengkajian dengan<br />
melihat bebarapa aspek teknis pendukung.<br />
Adapun aspek-aspek teknis dalam pemetaan terumbu karang yang diperlukan antara lain :<br />
1. Identifikasi potensi terumbu karang yang terdapat dilokasi<br />
2. Faktor-faktor oseanografis meliputi pasang surut air laut, suhu, dan salinitas<br />
3. Analisa kondisi terumbu karang:<br />
Manta tow<br />
Line Intersept Transect<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 1
4. Identifikasi penyebaran terumbu karang<br />
5. Penghitungan luas area terumbu karang<br />
6. Identifikasi sosial ekonomi dan budaya<br />
Pengamatan terumbu karang dalam kegitan ini digunakan metode Manta Tow dan Line<br />
Intercept Transect (LIT), yang dianggap cukup dapat mengakomodir kebutuhan data<br />
primer pada pekerjaan ini. Meskipun banyak metode survei yang ada saat ini, namun<br />
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.<br />
Beberapa alasan yang menyebabkan sulitnya menggambarkan suatu kondisi terumbu<br />
karang dengan metode-metode survei yang ada saat ini (Suharsono, 1994), antara lain :<br />
1. <strong>Terumbu</strong> karang yang tumbuh di tempat geografis yang berbeda mempunyai tipe yang<br />
berbeda.<br />
2. Ukuran individu atau koloni sangat bervariasi dari beberapa centimeter hingga<br />
beberapa meter.<br />
3. Satu koloni karang dapat terdiri beberapa individu sampai jutaan individu.<br />
4. Bentuk pertumbuhan sangat bervariasi seperti bercabang, masif, merayap, seperti daun,<br />
dan sebagainya.<br />
5. Tata nama jenis karang masih relatif belum stabil dan adanya perbedaan jenis yang<br />
hidup pada lokasi geografis yang berbeda, serta adanya variasi morfologi dari jenis<br />
yang sama yang hidup pada kedalaman yang berbeda maupun tempat yang berbeda.<br />
Persiapan penyelaman di Kepulauan<br />
Tiga, <strong>Lampung</strong> Selatan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 2
Diagram alir tahapan kegiatan Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dapat dilihat<br />
pada Gambar 3.1. sebagai berikut:<br />
Pengambilan Data Primer<br />
1. Jenis <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
2. Jenis Biota Laut<br />
3. Persentase Hidup<br />
4. Kondisi <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
5. Kualitas Perairan<br />
6. Kondisi Oseanografi<br />
7. Titik Koordinat Pengamatan<br />
8. Luas Area <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
9. Indepth Interview<br />
10. LIT dan PRA<br />
11. Arahan Strategi Pengelolaan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Observasi Studi Literatur<br />
Identifikasi Awal<br />
Perancangan Mekanisme<br />
Kajian<br />
Identifikasi Variabel-variabel<br />
Kajian<br />
Sosialisasi<br />
Pengambilan<br />
Data Sekunder<br />
1. Hasil Penelitian/Dokumen/Laporan<br />
<strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
2. Ganbaran Umum wilayah : Kondisi<br />
Topografi, Kondisi tanah, Geologi,<br />
Hidrologi, Lereng, Vegetasi alam,<br />
Oseonografi dan biofisik, sosial dan<br />
budaya, Kependudukan, Etnis, Sarana<br />
Pendidikan, Sarana Kesehatan, Mata<br />
Pencaharian, Tingkat keejahteraan<br />
masyarakat, Kondisi Perekonomian,<br />
Kegiatan Ekonomi.<br />
3. Citra Satelit.<br />
4. Peta-peta Termatik (tutupan terumbu<br />
karang, Peta administrasi, Peta satuan<br />
lahan, Peta geologi, Peta arus di<br />
perairan lampung, Peta kepadatan<br />
penduduk)<br />
Dokumentasi<br />
Pengolahan dan<br />
Analisa Hasi<br />
Dokumentasi<br />
Asistensi<br />
Pengumpulan data<br />
1. Buku Laporan akhir (Final Repport)<br />
2. Draf laporan Akhir<br />
3. Data Laporan Akhir (dalam bentuk<br />
CD)<br />
Presentasi<br />
Disetujui/Revisi Tidak<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 3
3.2 Metode Pengumpulan Data<br />
Pengambilan data sekunder berasal dari berbagai hasil penelitian, laporan-laporan dan<br />
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan ekosistem terumbu karang. Data ini merupakan<br />
informasi awal yang akan digunakan untuk melihat kondisi wilayah pesisir <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> seperti : kondisi topografi, kondisi tanah, iklim, geologi, hidrologi, vegetasi<br />
alam, sarana dan prasarana penunjang, kependudukan, sosial ekonomi budaya, oseanografi,<br />
perikanan tangkap dan kebijakan secara umum daerah. Selain itu, data sekunder akan<br />
digunakan sebagai bahan verifikasi pada saat survei untuk mengumpulkan data primer<br />
serta bahan analisa pemetaan terumbu karang.<br />
Gambar 3.2<br />
Ilustrasi di samping<br />
menunjukkan tekanan yang<br />
diberikan terhadap<br />
ekosistem terumbu karang.<br />
Dalam kegiatan ini juga akan<br />
di gali data sehubungan<br />
dengan aktifitas manusia<br />
yang berdampak terhadap<br />
terumbu karang.<br />
Data sekunder yang diperlukan dalam kegiatan ini antara lain : data citra satelit, data peta<br />
tutupan terumbu karang, peta administrasi Propinsi <strong>Lampung</strong>, peta satuan lahan, peta<br />
geologi, peta arus di perairan lampung, peta kepadatan penduduk, peta sebaran suku, data<br />
sosial ekonomi dan budaya, data sarana dan prasarana penunjang. Pengumpulan data<br />
sekunder dilakukan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 4
pemerintah dan swasta, seperti Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan, BPS, Bappeda<br />
<strong>Lampung</strong>, Bakosurtanal, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) dan lain-lain.<br />
Selain tersebut diatas metode interview/wawancara juga dilakukan. Pengumpulan data<br />
dilakukan dengan wawancara terhadap beberapa responden yang langsung terlibat dalam<br />
usaha perikanan karang dan pengelolaan terumbu karang serta wawancara dengan<br />
stakeholder wilayah setempat.<br />
Untuk mencapai sasaran dari kajian yang dilakukan, data yang diperlukan baik primer<br />
maupun sekunder adalah seperti yang akan diuraikan dalam sub bab selanjutnya.<br />
3.2.1 Metode Manta Tow<br />
Secara umum, metoda Manta Tow ini digunakan oleh para ahli sekitar tahun 1976 sampai<br />
1990 untuk menghitung jumlah bintang laut berduri (Acanthaster planci) yang berada di<br />
atas terumbu karang.<br />
Gambar<br />
3.3<br />
Teknik survey terumbu<br />
karang dengan metode<br />
Manta Tow, dilakukan<br />
dengan menarik seorang<br />
pengamat yang di lengkapi<br />
dengan papan pencatat<br />
data dan alat snorkling<br />
lengkap.<br />
Metoda Manta Tow ini digunakan juga di berbagai tempat di dunia seperti di Micronesia,<br />
Laut Merah dan di Australia (Great Barrier Reef). Penelitian dengan menggunakan<br />
metoda Manta Tow sangat mudah pada daerah terumbu karang yang luas dan<br />
membutuhkan waktu yang sangat cepat dengan hasil pengamatan yang cukup akurat.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 5
Pada kegiatan ini, Metode Manta Tow akan digunakan untuk mengetahui secara tepat di<br />
mana daerah terumbu karang yang masih baik dan daerah terumbu karang yang telah<br />
rusak. Kerusakan karang tersebut lebih lanjut dipilah berdasarkan penyebab kerusakannya,<br />
seperti kerusakan karang yang disebabkan oleh pemanasan global (bleaching), daerah<br />
bekas pengeboman, kerusakan karang akibat badai topan dan juga kematian karang akibat<br />
pemangsaan bintang laut berduri dalam skala yang luas. Metoda ini juga bermanfaat untuk<br />
memilih lokasi terumbu karang yang baik dan yang terwakili dari luas terumbu karang<br />
yang ada untuk dilakukan pengamatan yang lebih teliti yaitu dengan menggunakan metoda<br />
Transek Garis (Line Intercept Transect).<br />
Gambar<br />
3.4<br />
<strong>Terumbu</strong> karang yang rusak akibat<br />
dari kegiatan pengeboman, (gambar<br />
kiri).<br />
<strong>Terumbu</strong> karang yang mengalami<br />
pemutihan akibat kenaikan suhu air<br />
laut. Kenaikan suhu air laut ini dipicu<br />
oleh gejala iklim El Nino,<br />
(gambar kanan).<br />
Adapun langkah-langkah manta tow adalah sebagai berikut :<br />
Metode Manta Tow adalah suatu teknik pengamatan terumbu karang dengan cara menarik<br />
pengamat dibelakang perahu kecil bermesin dengan menggunakan tali sebagai penghubung<br />
antara perahu dengan pengamat. Dengan kecepatan perahu yang tetap dan melintas di atas<br />
terumbu karang dengan lama tarikan 2 menit, pengamat akan melihat beberapa obyek yang<br />
terlintas serta nilai persentase penutupan karang hidup dan karang mati.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 6
Gambar<br />
3.5<br />
Gambar di atas adalah estimasi dari<br />
persentase tutupan karang. Dalam membuat<br />
estimasi tersebut sangat di tentukan oleh<br />
pengalaman yang dimiliki oleh pengamat.<br />
Perahu dengan berkekuatan kurang lebih 5 PK digunakan untuk menarik pengamat dan<br />
dapat memberikan kecepatan yang cukup bagi pengamat untuk melakukan pengamatan<br />
dengan baik. Pengamatan ditarik diantara rataan terumbu karang dan tubir (reef edge),<br />
dengan kecepatan yang tetap yaitu antara 3 – 5 km/jam atau seperti orang yang berjalan<br />
lambat. Bila ada faktor lain yang menghambat seperti arus perairan yang kencang maka<br />
kecepatan perahu dapat ditambah sesuai dengan tanda dari pengamat yang berada<br />
dibelakang perahu.<br />
Pengamatan terumbu karang dilakukan selama 2 menit, kemudian berhenti beberapa saat<br />
untuk memberikan waktu bagi pengamat mencatat data-data yang terlihat selama 2 menit<br />
pengamatan tersebut ke dalam tabel data yang tersedia di papan manta. Setelah mendapat<br />
tanda dari pengamat maka pengamatan dilanjutkan lagi selama 2 menit, begitu seterusnya<br />
sampai selesai pada batas lokasi terumbu karang yang diamati.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 7
Dalam pengamatan penutupan karang, pengisian data untuk penutupan karang sebaiknya<br />
menggunakan persentase. Hal ini untuk memudahkan pengamat dalam menentukan<br />
masing-masing tutupan karang. Pengamat harus memperhatikan total persen dari<br />
penjumlahan tutupan karang ditambah dengan pasir dan tutupan lainnya jangan sampai<br />
melebihi 100%. Selanjutnya dilakukan pengukuran lebih detail akan dilakukan dengan<br />
menggunakan metode Line Intercept Transect.<br />
3.2.2 Metode Line Intercept Transect (LIT)<br />
Gambar 3.6<br />
Manta Board, adalah papan<br />
pengamatan yang digunakan<br />
sebagai pencatat data,<br />
sekaligus sebagai alat<br />
pengontrol gerakan<br />
pengamat yang ditarik oleh<br />
perahu. Dengan<br />
menggunakan papan manta<br />
ini seorang pengamat<br />
dimungkinkan untuk<br />
bergerak menyelam atau<br />
mempertahankan posisi<br />
dipermukaan air.<br />
Transek garis (Line Intercept Transect) merupakan salah satu metode yang digunakan<br />
untuk menilai kondisi terumbu karang di suatu lokasi. Biota-biota dalam terumbu karang<br />
tersebut dimasukkan dalam kategori berdasarkan bentuk pertumbuhannya (bentic lifeform)<br />
sehingga metode ini juga disebut dengan metode bentic lifeform atau disebut dengan<br />
metode lifeform saja. Asean Australia Marine Project telah mengembangkan metode ini<br />
untuk penelitian terumbu karang.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 8
Beberapa keuntungan dari menggunakan metode ini antara lain:<br />
1. Pengelompokkan biota ke dalam beberapa kategori mempermudah bagi peneliti atau<br />
orang yang memiliki kemampuan terbatas dalam identifikasi karang.<br />
2. Metode ini merupakan metode sampling untuk menghitung persentase tutupan biota<br />
yang sangat efisien dan dapat dipercaya.<br />
3. Hanya memerlukan sedikit peralatan dan relatif sederhana dalam penerapannya.<br />
Dalam melakukan transek garis dengan metode bentic lifeform ini, tidak hanya ditekankan<br />
pada karangnya saja akan tetapi meliputi seluruh biota yang berasosiasi dengan karang<br />
(alga, spong dan biota lainnya) dan juga abiotiknya. Untuk lebih jelasnya pengelompokan<br />
kategori dapat dilihat pada Tabel 3.1.<br />
Pengamatan dilakukan pada dua kedalaman yaitu 3 m mewakili perairan dangkal dan 10 m<br />
untuk mewakili perairan dalam. Pada dua kedalaman ini yaitu 3 m dan 10 m metode<br />
pengamatan bisa dilakukan dengan menggunakan Metode LIT (Line Intercept Transect)<br />
dengan cara membuat garis membujur sepanjang 50 m sejajar dengan garis pantai pada<br />
daerah tubir yang kemudian dicatat bentuk pertumbuhan (lifeform) dan persen<br />
penutupannya. Alat yang digunakan adalah peralatan snorkeling dan SCUBA.<br />
Kode HC, SC, SP, , RB, OT, DC ,DCA, MA dan ABT adalah istilah dalam penelitian<br />
karang yang merupakan beberapa kategori karang dan biota lain yang ada dimasukkan<br />
dalam bentuk pertumbuhannya (benthic lifeform).<br />
HC = Hard Corals (karang batu)<br />
SC = Soft Corals (karang lunak)<br />
SP = Sponges (spong)<br />
RB = (Rubble) pecahan karang mati<br />
OT = Others (lain-lain) sperti anemone, teripang, gorgonian, kima dan lain-lain.<br />
DC = Dead Coral (karang mati)<br />
DCA = Dead Coral Alga (karang mati yang ditumbuhi alga)<br />
MA = Macro Alga: alga yang berukuran besar<br />
ABT = Abiotik = benda benda mati lainya seperti batu dan lain-lain<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 9
Penyelaman di perairan Canti,<br />
<strong>Lampung</strong> Selatan<br />
Gambar 3.7<br />
Cara pencatatan data<br />
koloni karang pada<br />
metode transek garis,<br />
(gambar atas).<br />
Koloni karang masif<br />
berukuran besar<br />
dianggap dua data, CM,<br />
apabila garis meteran<br />
melewati algae persis<br />
diatas koloni tersebut<br />
(English et al, 1994),<br />
(Gambar bawah).<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 10
Tabel 3.1 Kategori Bentuk Substrat Dasar<br />
Bentuk Substrat Dasar Kategori Keterangan<br />
<strong>Karang</strong> Batu (hard corals)<br />
Acropora<br />
Acropora bercabang (Acropora branching) ACB Bentuk bercabang seperti ranking pohon<br />
Acropora meja (Acropora tabulate) ACT Bentuk bercabang dengan arah mendatar, rata<br />
seperti meja<br />
Acropora merayap (Acropora encrusting) ACE Bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora<br />
yang belum sempurna<br />
Acropora submasif (Acropora submassive) ACS Percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh<br />
Acropora berjari (Acropora digitate) ACD Bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti<br />
jari‐jari tangan<br />
Non‐ Acropora<br />
<strong>Karang</strong> bercabang (coral branching) CB Bentuk bercabang, seperti ranting pohon<br />
<strong>Karang</strong> masif (coral massive) CM Bentuknya seperti batu besar yang padat<br />
<strong>Karang</strong> merayap (coral encrusting) CE Bentuk merayap hampir seluruh bagian menempel<br />
pada substrat<br />
<strong>Karang</strong> Submasif (coral submassive) CS Bentuk kokoh dengan tonjolan‐tonjolan atau kolom‐<br />
kolom kecil<br />
<strong>Karang</strong> lembaran (coral foliose) CF Bentuk menyerupai lembaran daun<br />
<strong>Karang</strong> jamur (coral mushroom) CMR Soliter, bentuk seperti jamur<br />
<strong>Karang</strong> api (Millepora) CME Semua jenis karang api, dapat dikenali dengan<br />
adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas<br />
seperti terbakar bila disentuh<br />
<strong>Karang</strong> biru (Heliopora) CHL <strong>Karang</strong> biru, dapat dikenali dengan adanya warna<br />
biru pada skeletonnya.<br />
<strong>Karang</strong> Mati (Dead Scleractina)<br />
<strong>Karang</strong> mati DC <strong>Karang</strong> yang baru mati, berwarna putih<br />
<strong>Karang</strong> mati yang ditutupi alga DCA <strong>Karang</strong> mati yang masih tampak bentuknya, tapi<br />
sudah mulai ditumbuhi alga halus<br />
Alga<br />
Alga makro (macro algae) MA Alga berukuran besar<br />
Alga rumput (turf algae) TA Alga berukuran halus, menyerupai rumput‐ rumput<br />
halus<br />
Alga koralin (Coralline algae) CA Alga yang mempunyai struktur kapur<br />
Halimeda HA Alga dari marga Halimeda<br />
Kumpulan alga (algae assemblage) AA Terdiri lebih dari satu jenis alga<br />
Fauna Lain<br />
<strong>Karang</strong> lunak (soft corals) SC <strong>Karang</strong> dengan tubuh lunak<br />
Sepon (seponges) SP<br />
Zoanthids ZO Contohnya: Platythoa, Protopalythoa<br />
Lain‐lain OT Anemon, teripang, gorgonia, kima dan lain‐lain<br />
Abiotik<br />
Pasir (sand) S<br />
Pecahan karang mati (rubble) R<br />
Lumpur (silt) SI<br />
Celah WA Celah dengan kedalaman lebih dari 50 cm<br />
Batuan vulkanis RCK Batu vulkanik<br />
Sumber :(P3O-LIPI, 1998)<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 11
Untuk memudahkan dalam pemasukan data, hendaknya data transek garis ditulis mengikuti format<br />
transition- categori- taxon, misalnya sebagai berikut:<br />
Tabel 3.2 Data hasil transek<br />
Transition Categori Taxon<br />
32 CF Montifora foliosa<br />
58 TA<br />
99 CM Porites lutea<br />
132 S<br />
157 MA Caulerpa rasemosa<br />
. . .<br />
. . .<br />
. . .<br />
5000 RCK<br />
Sumber :(P3O-LIPI, 1998)<br />
3.2.3 Citra Satelit Landsat<br />
Gambar<br />
3.8<br />
Ilustrasi di atas menggambarkan teknik Line<br />
Interception Transect (LIT) yang dilakukan<br />
oleh pengamat. Teknik ini dilakukan dengan<br />
menarik seutas meteran di atas tutupan<br />
terumbu karang sepanjang 100 m.<br />
Selain melalui pengumpulan data primer dan sekunder, pengumpulan data juga dilakukan<br />
melalui interpretasi citra satelit. Dalam kegiatan Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong><br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 12
<strong>Lampung</strong> ini, citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat 7 TM, adapun karakteristik<br />
produk citra landsat adalah sebagai berikut:<br />
A. Karakteristik Landsat<br />
Landsat pertama kali dikenal dengan nama Earth Resources Technology Satellite (ERTS)<br />
untuk membedakan dengan program satelit oseanografi SEASAT (Sea Satellite).<br />
Selanjutnya ERTS-1 ini diubah namanya menjadi Landsat-1 dan seterusnya. Landsat<br />
generasi ke dua adalah landsat 4 dan 5 yang masing-masing diluncurkan pada tahun 1982<br />
dan 1984. Satelit ini memiliki orbit polar sunsyncronous. Oleh karena itu satelit ini<br />
melewati tempat-tempat pada lintang yang sama dalam waktu lokal yang tetap, dengan<br />
periode 98.5 menit dan sudut inklinasi 98.5 o . sensor yang dibawa oleh satelit ini adalah<br />
MSS (Multi Spectral Scanner) dan TM (Thematic Mapper).<br />
B. Sensor MSS (Multi Spectral Scanner)<br />
Karakteristik dari sensor MSS ini dapat dilihat pada tabel berikut. Sensor MSS mampu<br />
meliput permukaan bumi dengan empat saluran spektral secara simultan melalui sistem<br />
optik tunggal. Pada setiap kanalnya ada 6 detektor, sehingga seluruhnya ada 24 detektor.<br />
Tabel 3.3 Karakteristik Sensor MSS (Butler et al. 1998)<br />
Panjang Gelombang Kanal 4: 0.5 – 0.6 μm (hijau)<br />
Kanal 5: 0.6 – 0.7 μm (merah)<br />
Kanal 6: 0.7 – 0.8 μm (IR dekat)<br />
Kanal 7: 0.8 – 1.1 μm (IR dekat)<br />
IFOV 0.086 mrad<br />
Lebar Sapuan 185 km<br />
Ukuran resolusi Pixel 80 x80<br />
C. Sensor TM (Thematic Mapper)<br />
Sensor TM digunakan pada Landsat 4 guna memperbaiki resolusi spasial, memisahkan<br />
spektral, menambah ketelitian data radiometrik dan gemetrik. Thematic Mapper<br />
merupakan suatu sensor optik yang beroperasi pada saluran tampak dan infraerah bahkan<br />
saluran spektral. Karakteristik yang dimiliki oleh sensor TM ini dijelaskan pada Tabel 3.4<br />
sebagai berikut :<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 13
Tabel 3.4 Karakteristik Sensor TM (Butler et al. 1998)<br />
Panjang<br />
Gelombang<br />
Kanal 1: 0.45 – 0.52 μm(violet –biru)<br />
Kanal 2: 0.52 – 0.60 μm(hijau)<br />
Kanal 3: 0.63 – 0.69 μm(merah)<br />
Kanal 4: 0.76 – 0.90 μm(IR dekat)<br />
Kanal 5: 1.55 – 1.75 μm(IR menengah)<br />
Kanal 6: 10.40 – 12.50 μm(IR thermal jauh)<br />
Kanal 7: 2.08 – 2.35 μm(IR menengah)<br />
IFOV 0.043 mrad (kecuali kanal 6: 0/170 mrad)<br />
Lebar Sapuan 185 km<br />
Ukuran Resolusi<br />
Pixel<br />
3.2.4 Faktor-Faktor Oseanografi<br />
30 x 30 meter (kecuali kanal 6: 120 x 120 m)<br />
Data Oseanografi diperoleh berdasarkan data sekunder dari instansi terkait di Pemerintah<br />
Provinsi <strong>Lampung</strong> dan Kabupaten/Kota di sekitar <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Pasang surut air laut<br />
Pasang surut (pasut) merupakan proses naik turunnya muka laut yang hampir teratur,<br />
yang dibangkitkan oleh gaya tarik bulan dan matahari secara harian. Jika suatu<br />
perairan mengalami satu kali pasang dan surut per hari, maka kawasan tersebut<br />
dikatakan bertipe pasang surut tunggal. Jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut<br />
dalam satu hari, maka dikatakan bertipe pasang surut ganda. Tipe pasang surut lainnya<br />
merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, yang dikenal sebagai pasang surut<br />
campuran.<br />
Arus dan gelombang<br />
Umumnya kondisi gelombang disuatu perairan diperoleh secara tidak langsung dari<br />
data angin yang terdapat di kawasan perairan tersebut. Hal ini didasarkan atas kondisi<br />
umum yang berlaku di laut, yaitu sebagian besar gelombang yang ditemui di laut<br />
dibentuk oleh energi yang ditimbulkan oleh tiupan angin. Pengukuran gelombang<br />
diamati berdasarkan type, dan interval waktu serta tingkat pemecahan gelombang dan<br />
amplitudonya.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 14
3.2.5 Sosial Ekonomi dan Budaya<br />
Komponen yang ditelaah meliputi: data sosial budaya (penduduk, tingkat pendidikan,<br />
perumahan,kesehatan dan etnis/adat), data sosial ekonomi (mata pencaharian penduduk,<br />
tingkat pendapatan, pola pemanfaatan sumberdaya alam dan pertumbuhan ekonomi lokal),<br />
data sarana dan prasarana penunjang (pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi,<br />
perdagangan, jasa, dan lain-lain).<br />
Data sosial ekonomi dan budaya yang dikumpulkan meliputi data primer dan data<br />
sekunder. Pengumpulan data primer dan informasi tentang sosial ekonomi dan budaya di<br />
lokasi studi menggunakan metode pengamatan langsung di lapangan dan kajian cepat<br />
(Rapid Rural Appraisal-RRA). Data primer akan diperoleh dengan melakukan wawancara<br />
terhadap penduduk yang dipilih secara purposive dan secara acidental dan disamping itu<br />
dilakukan juga observasi atau pengamatan langsung di lapangan. Wawancara dilakukan<br />
secara perorangan maupun kelompok dalam bentuk diskusi kelompok terarah (focussed<br />
discussion group). Khusus untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan,<br />
selain wawancara juga dilakukan public hearing. Kebudayaan dilokasi studi diamati<br />
dengan mencatat data dan informasi tentang adat istiadat, kesenian, budaya dan<br />
kelembagaan masyarakat.<br />
Data sekunder dikumpulkan dari berbagai dokumen dan atau informasi dari beberapa<br />
sumber instansi yang relevan seperti pemerintahan baik tingkat kecamatan maupun tingkat<br />
desa, Dinas Kelautan dan Perikanan <strong>Lampung</strong>, Dinas Kehutanan <strong>Lampung</strong> Barat, BPS,<br />
Bappeda, BPLH <strong>Lampung</strong> dan sebagainya.<br />
3.3 ANALISIS DATA<br />
Data yang diperoleh dari hasil survei kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data.<br />
Analisis data yang dilakukan antara lain :<br />
3.3.1 Analisis Data <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
Dilakukan dengan menganalisa data penyelaman dan melakukan verifikasi dengan<br />
menggunakan citra satelit. Analisis kuantitatif yang dilakukan adalah penutupan terumbu<br />
karang.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 15
Penutupan terumbu karang adalah persentase penutupan suatu jenis karang hidup pada<br />
suatu areal tertentu yang dihitung dengan persamaan Yap dan Gomes (1988) dan English<br />
et al. (1994) dan Kepmen LH no: 4 tahun 2001 tentang kriteria Baku Kerusakan <strong>Terumbu</strong><br />
<strong>Karang</strong>:<br />
dimana :<br />
li = panjang transek yang melalui life form ke-i<br />
l = panjang garis transek<br />
C = persen tutupan karang<br />
Kategori kondisi penutupan karang:<br />
75 - 100% : Sangat Baik;<br />
50 – 74,9% : Baik;<br />
25 – 49,9% : Sedang;<br />
0 - 24,9% : Rusak/Buruk.<br />
3.3.2 Analisis Citra Satelit<br />
Analisis citra satelit menggunakan software ER Mapper 6.4. Hasil analisis citra berupa<br />
data luasan terumbu karang. Sedangkan tahapan analisis citra adalah sebagai berikut:<br />
a. Koreksi terhadap citra<br />
b. Interpretasi terhadap terumbu karang<br />
c. Melakukan pengukuran luas terhadap hasil interpretasi.<br />
d. Melakukan survei lapangan untuk verifikasi hasil analisis citra.<br />
Penggabungan klas dan perapian hasil klasifikasi dengan digitizion on screen. Adapun<br />
kombinasi band yang yang umum digunakan pada saat penafsiran citra satelit secara<br />
manual/visual yaitu 4-5-3 dan 5-4-2 dimana berbagai kenampakkan vegetasi baik alami<br />
maupun yang ditanam dapat terlihat dengan jelas.<br />
Untuk mempermudah pengenalan tipe-tipe penutup lahan pada suatu citra, dapat<br />
digunakan kunci penafsiran yang dikembangkan untuk penafsiran citra Landsat-TM warna<br />
tidak standar (band 2-3-4). Namun hal ini bisa pula diterapkan pada citra dengan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 16
kombinasi band lainnya dengan menerapkan elemen-elemen penafsiran lainnya selain<br />
warna. Kunci eliminasi teresebut pada prinsipnya disusun agar interpretasi berlanjut<br />
langkah demi langkah dari yang umum ke yang khusus, dan kemudian menyisihkan semua<br />
kenampakan atau kondisi kecuali satu yang diidentifikasi. Kunci eliminasi sering tampil<br />
dalam bentuk kunci dua pilihan (dichotomous key) dimana penafsir dapat melakukan<br />
serangkaian pilihan antara dua alternatif dan menghilangkan secara langsung semuanya,<br />
kecuali satu jawaban yang mungkin (Lillesand & Kiefer, 1990).<br />
Untuk penafsiran manual/visual (on screen digitation), perlu memperhatikan pola jaringan<br />
sungai, danau atau garis pantai didelineasi yang diikuti dengan pola jaringan jalan, hal ini<br />
akan membantu dalam penafsiran obyek-obyek atau vegetasi yang terliput pada citra yang<br />
ada. Selanjutnya dilakukan deteksi pada obyek-obyek dengan melakukan delineasi batas<br />
luar pada kelompok yang yang mempunyai warna yang sama dan memisahkannya dari<br />
yang lain. Langkah terakhir adalah mengidentifikasi dan analisis obyek atau tipe vegetasi<br />
dengan menggunakan informasi spasial seperti ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan<br />
asosiasi dan situs (Lillesand dan Kiefer, 1990; Sutanto, 1985).<br />
Integrasi data hasil klasifikasi penginderaan jauh dan GIS dilakukan dengan cara<br />
menggabungkan citra hasil klasifikasi awal dengan peta referensi. Langkah yang dilakukan<br />
adalah melakukan overlay data digital citra asli dan hasil klasifikasi teracu dengan petapeta<br />
penunjang.<br />
A. Pemotongan Citra<br />
Suatu wahana satelit akan merekam data pada suatu daerah yang sangat luas degan skala<br />
yang sangat kecil. Oleh karena itu perlu dilakukan pemotongan citra (cropping) sesuai<br />
dengan daerah penelitian untuk memperjelas dan mempermudah pengenalan serta<br />
interpretasi suatu kenampakan (feature).<br />
B. Koreksi Radiometrik<br />
Secara umum kesalahan radiometrik disebabkan oleh 2 faktor yaitu:<br />
1. Kesalahan Respon Detektor<br />
Untuk mengkonversi energi cahaya yang direkam menjadi voltage atau digital number<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 17
(DN) sistem sensor penginderaan jauh menggunakan detektor. Sensor Thematic Mapper<br />
(TM) menggunakan 16 detektor yang berfungsi pada waktu menscan permukaan bumi<br />
untuk mengatur energi visible, near dan middle infrared. Detektor mempunyai beberapa<br />
keterbatasan/kelemahan yang dapat menyebabkan kesalahan seperti line dropout, stripping<br />
dan line strart.<br />
2. Pengaruh Atmosfir<br />
Atmosfir bumi mempunyai efek menghalangi karena terjadinya proses pemencaran<br />
(atmospheric scattaering) dan penyerapan (atmospheric absorbtion) oleh uap air atau gasgas<br />
lainnya. Interaksi ini menyebabkan distorsi radiometrik eksternal yang tidak<br />
sistematik. Pada citra, pengaruh scattering akan menyebabkan meningkatnya kecerahan<br />
(brightness), sementara penyerapan oleh atmosfir akan menyebabkan menurunnya<br />
brightness. Masalah pengaruh atmosfir ini akan tampak apabila kita ingin membandingkan<br />
spektral pada suatu lokasi yang direkam pada waktu yang berbeda.<br />
Koreksi radiometrik akibat atmosfir ini bisa dilakukan dengan dua teknik pendekatan yaitu<br />
atas dasar suatu bahwa data yang direkam menggunakan band visible (ג 0.4 – 0.7 µm)<br />
sebagian besar bebas dari pengaruhnya. Ada 2 teknik koreksi radiometrik yaitu dengan<br />
cara pengaturan histogram (histogram adjustment) dan pengaturan regresi (regression<br />
adjustment).<br />
Dalam penelitian ini, koreksi yang digunakan adalah histogram adjusment. Operasinya<br />
didasarkan pada pengurangan sebesar bias dari masig-masing band. Cara menentukan bias<br />
masing-masing band adalah dengan cara mencari nilai minimum DN pada setiap band.<br />
Secara matematik, koeksi pengaruh atmosfir dengan pengaturan histogram adalah:<br />
C. Koreksi Geometrik<br />
DN i,j,k (output: terkoreksi) = DN i,j,k (input: asli) – Bias<br />
Data penginderaan jauh biasanya mengandung distorsi geometris sistematis dan yang tidak<br />
sistematis. Distorsi/kesalahan tersebut dapat dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Yang dapat<br />
dikoreksi menggunakan sejumlah titik-titik kontrol lapangan (ground Control Point) yang<br />
cukup. GCP adalah suatu titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik<br />
pada citra (kolom/pixel dan baris) maupun pada peta (yang diukur dalam derajat lintang,<br />
bujur, feet atau meter).<br />
Penyebab terjadinya distorsi geometrik ini antara lain adalah: terjadinya rotasi bumi pada<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 18
saat perekaman, pengaruh kelengkungan bumi, efek panoramik (sudut pandang), pengaruh<br />
topografi serta pengaruh gravitasi bumi yang menyebabkan terjadinya perubahanan<br />
ketinggian satelit dan ketidakstabilan ketinggian platform.<br />
Rektifikasi adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga<br />
mempunyai proyeksi yang sama dengan peta. Atas dasar data acuan yang digunakan,<br />
rektifikasi dapat dibedakan atas :<br />
1. Registrasi citra ke citra (image to image rectification)<br />
2. Rektifikasi citra ke peta (image to map rectification)<br />
Dalam melakukan koreksi geometric, GCP yang dipilih harus tersebar merata pada seluruh<br />
citra, relative permanent, tidak berubah dalam kurun waktu yang pendek (seperti jalan,<br />
jembatan, sudut bangunan dan sebagainya). Setelah GCP terpilih, didapatkan nilai akar<br />
kesalahan rata-rata kuadrat (Root Mean Square Error) untuk masing-masing GCP.<br />
Dianjurkan agar RMSE lebih kecil dari 0.5 pixel. Jika RMSE masih lebih besar dari<br />
ketelitian yang diinginkan (>0.5 pixel) maka perlu dilakukan penghapusan pada GCP yang<br />
memberikan RMSE terbesar. Proses ini dilanjutkan sampai dengan RMSE lebih kecil dari<br />
yang diinginkan.<br />
D. Penajaman Citra<br />
Penajaman citra dilakukan guna memperjelas kenampakan suatu obyek agar didapatkan<br />
citra yang lebih informasi. Teknik penajaman citra untuk pemetaan sebaran terumbu<br />
karang antara lain dengan FCC (False Color Composite), algoritme SWIM (Shallow Water<br />
Image Mapping) dan algoritme Lyzenga.<br />
False Color Composite dilakukan dengan cara meletakkan tiga buah filter warna yaitu<br />
merah, hijau dan biru secara tumpang tindih (overlay). Kanal yang digunakan adalah kanal<br />
4,2, dan 1. Kombinasi kanal ini dipilih karena kanal 1 dan 2 merupakan kanal sinar<br />
tampak yang mempunyai daya penetrasi dalam kolom air yang cukup baik. Sedangkan<br />
kanal 4 dipilih karena dapat membedakan batas antara darat dan laut dengan jelas.<br />
Metode yang kedua adalah menggunakan algoritme SWIM yang dikembangkan oleh<br />
Bierwirth. Metode ini dilakukan dengan cara membuat komposit untuk filter warna merah,<br />
hijau dan biru dengan input kanal 1,2,3 serta algoritme sebagai berikut:<br />
Filter warna merah : TM3/(TM1 + TM2+ TM3)<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 19
Filter warna hijau : TM2/(TM1 + TM2+ TM3)<br />
Filter warna biru : TM1/(TM1 + TM2+ TM3)<br />
Metode yang ketiga adalah dengan menggunakan algoritme Lyzenga yang dikembangkan<br />
oleh (Siregar et al. 1995) menjadi:<br />
Y = ln(TM1) + ki/kj* ln(TM2)<br />
Y merupakan citra baru yang merupakan kombinasi dari kanal 1 dan 2. Untuk<br />
mendapatkan nilai koefisien ki/kj dilakukan training area pada citra asli sebanyak ± 30<br />
titik. Selanjutnya melalui perhitungan statistik diperoleh nilai rata-rata untuk setiap kanal.<br />
Namur dalam proses ini hanya nilai rata-rata kanal 1 dan 2 yang digunakan karena kanal<br />
tersebut diasumsikan memiliki daya penetrasi yang baik dalam kolom air. Kemudian dicari<br />
nilai varian dan kovarian untuk kedua kanal guna mendapatkan nilai a dan ki/kj.<br />
Persamaan yang digunakan untuk mencari nilai tersebut adalah :<br />
dimana:<br />
TM1 : Kanal 1 landsat TM<br />
TM2 : Kanal 2 landsat TM<br />
Ki : Koefisien atenuasi air pada גi<br />
Kj : Koefisien atenuasi air pada גj<br />
Ki/kj = a + √(a 2 + 1)<br />
a = (var TM1 – var TM2)/(2*cover TM1 TM2)<br />
Dalam penelitian ini digunakan metode dengan mengunakan algoritme Lyzenga, karena<br />
tampilan dari hasil algoritme ini memberikan hasil yang lebih baik informatif bila<br />
dibandingkan dengan cara lainnya. Sehingga untuk langkah selanjutnya citra hasil<br />
algoritme Lyzenga inilah yang digunakan.<br />
E. Klasifikasi Citra<br />
Klasifikasi merupakan proses mengelompokkan pixel-pixel ke dalam kelas- kelas atau<br />
kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/BV atau<br />
digital numbering/DN) pixel yang bersangkutan. Pada penelitian ini dilakukan klasifikasi<br />
kuantitatif dimana pengelompokkan dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 20
nilai kecerahan (BV atau DN) contoh yang diambil sebagai area contoh (training area).<br />
Klasifikasi kuantitatif apat dilakukan dengan 2 metode yaitu: klasifikasi terbimbing dan<br />
klasifikasi tidak terbimbing. Klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />
klasifikasi tidak terbimbing dimana memerlukan sedikit campur tangan analis, karena<br />
operasi numerik dilakukan secara otomatis dengan mencari group secara alamiah<br />
berdasarkan sifat-sifat spektral pixel bersangkutan. Disini analisis memerintahkan<br />
komputer untuk mencari nilai rata-rata kelas dan matrik ragam-ragamnya yang akan<br />
digunakan adalam klasifikasi. Dalam penelitian ini, citra hasil algoritme Lyzenga inilah<br />
yang dikelaskan menjadi 30 kelas.<br />
F. Editing<br />
Proses ini dilakukan pada citra klasifikasi dengan mengacu pada citra hasil transformasi<br />
Lyzenga. Proses editing dilakukan agar citra tampak lebih baik, terutama untuk<br />
mengeleminir awan, stripping pada kelas laut dan kesalahan klasifikasi.<br />
G. Reclass<br />
Citra klasifikasi yang telah diedit, dikelaskan kembali (reclass) menjadi 7 kelas untuk<br />
memperoleh hasil yang lebih informatif. Kelas-kelas tersebut adalah: kelas karang hidup,<br />
karang mati, pasir 1, lamun, pasir 2, darat dan laut.<br />
3.3.3. Analisis Sosial, Ekonomi dan Budaya<br />
Analisis sosial ekonomi dan budaya dianalisis menggunakan metode statistik non<br />
parametrik (SPSS), berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat dan stakeholder<br />
terkait.<br />
3.3.4. Analisis Arahan Pengelolaan dan Pemanfaatan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
Data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan<br />
analisis deskriptif, tabulasi dan kuantitatif. Setelah diperoleh masukan informasi yang<br />
lengkap dari semua masyarakat, yang telibat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang,<br />
selanjutnya akan dilakukan analisis data dan informasi dengan memperhatikan kekuatan,<br />
kelemahan, peluang dan tantangannya atau dikenal dengan metode SWOT. Analisis<br />
dilakukan dengan menerapkan kriteria kesesuaian, dengan menggunakan data kuantitatif,<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 21
maupun dengan deskripsi keadaan, sehingga dapat dilakukan yang dinamakan “Weakness<br />
and Threat Management”, dan “Conflict Management”.<br />
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT ini adalah :<br />
1. Identifikasi Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/Ancaman<br />
Mengidentifikasi potensi wilayah baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam<br />
dengan melihat kekuatan/strengths (S), kelemahan/weaknesses (W),<br />
peluang/opportunities (O) dan ancaman/threats (T) terhadap ekosistem terumbu karang.<br />
2. Analisis SWOT<br />
Dalam menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot nilai terhadap<br />
tiap unsur SWOT. Setelah masing-masing unsur SWOT diberi nilai/bobot, unsur-unsur<br />
tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi<br />
(SO, ST, WO, WT).<br />
3. Alternatif Strategi Hasil Analisis SWOT<br />
Alternatif strategi yang dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk<br />
mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk<br />
menghadapi ancaman yang akan datang (ST), pengurangan kelemahan yang ada<br />
dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada<br />
untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT).<br />
Dengan alat (tools) analisis ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk<br />
menyusun suatu kerangka kerja dalam melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan<br />
ekosistem terumbu karang.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab III ‐ 22
Bab 4. PEMETAAN TERUMBU KARANG DAN<br />
PERMASALAHANNYA<br />
4.1 Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Umumnya terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah jenis “fringing reefs” (karang tepi).<br />
Berdasarkan hasil analisis citra Landsat ETM 7 luas total terumbu karang di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> ± 4823,493 Ha. Hasil pemetaan terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dengan<br />
skala peta 1 : 50.000, tertuang dalam Lampiran Peta (bagian belakang) berisi luasan<br />
karang per lokasi, sebaran karang dan kondisi terumbu karang berdasarkan<br />
penyelaman. Sebaran vertikal terumbu karang pada lokasi penelitian umumnya tidak<br />
terlalu dalam. Pada kedalaman lebih dari 15 meter keberadaan terumbu karang sudah<br />
sangat berkurang dibandingkan dengan kedalaman diatasnya. Substrat yang ada di<br />
kedalaman dibawah 15 meter hanya merupakan hamparan pasir dengan sedimen lumpur<br />
diatas permukaaanya. Terbatasnya sebaran karang secara vertikal sangat dipengaruhi<br />
oleh tipe substrat dasar, dimana pada kedalaman lebih 15 meter pada hampir semua<br />
lokasi penyelaman tidak ditemukan dasar yang keras bagi pertumbuhan karang dan<br />
berkurangnya sinar matahari. Umumnya terumbu karang yang dekat pantai sangat<br />
dipengaruhi sedimentasi yang tinggi dari daratan dan aktivitas pemboman di perairan<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang hingga kini masih kerap terjadi. Tingginya sedimentasi akibat<br />
pembukaan lahan atas untuk pemukiman dan pertanian, penebangan mangrove dan<br />
pembukaan tambak. Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang yang<br />
bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran (foliose)<br />
terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae, karena secara<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 1
ekologi ke empat famili ini merupakan famili penyusun utama terumbu karang.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 2
Tabel 4.1 Persentase Tutupan dan Kondisi <strong>Karang</strong> dari Beberapa Lokasi Penyelaman di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Kode Lokasi Lokasi Penyelaman Site Description Lintang Selatan Bujur Timur Hard Coral (Acropora) Hard Coral (Non Acropora) Dead Scleractinia Algae Other Fauna<br />
Sand<br />
ABIOTIK<br />
Rubble Silt<br />
% <strong>Karang</strong> Hidup % <strong>Karang</strong> Mati Kategori<br />
1 Pulau Tangkil Upper Fore Reef 05 30 35 105 16 10.7 30 3 30 0 2 24 11 0 33 30 Sedang<br />
2 <strong>Teluk</strong> Pulau Tegal Upper Fore Reef 05 33 53.40 105 16 43.60 8 38 24 6 8 3 13 0 46 24 Sedang<br />
3 Pulau Maitem Upper Fore Reef 05 35 33.50 105 16 44.60 20 22.5 12 8 22.5 5 10 0 42.5 12 Sedang<br />
4 Pulau Kelagian Lower Fore Reef 05 37 08.97 105 13 08.28 16.28 45.63 14.97 0 5.03 17.09 1.01 0 61.91 14.97 Baik<br />
5 Pulau Puhawang Lower Fore Reef 05 39 44.10 105 12 27.8 9.18 29.18 11.12 10 5.1 19.39 16.02 0 38.36 11.12 Sedang<br />
6 Pulau Siuncal Upper Fore Reef 05 48 06 105 18 50.90 5.74 42.01 5.36 1.44 31.87 3.82 9.76 0 47.75 5.36 Sedang<br />
7 Pulau Legundi Lower Fore Reef 05 47 69.84 105 17 56 0 10.97 10 3.42 28.77 0 46.84 0 10.97 10 Buruk<br />
8 <strong>Teluk</strong> Selesung (Legundi) Upper Fore Reef 05 47 23.74 105 17 36.4 1.89 27.82 13 5.25 11.13 0 40.91 0 29.71 13 Sedang<br />
9 Pulau Unang‐unang Upper Fore Reef 05 47 25.95 105 16 44.03 10.53 25.47 10.53 7.37 4.2 1.58 40.32 0 36 10.53 Sedang<br />
10 Pulau Seserot Upper Fore Reef 05 47 35.77 105 14 52.12 8.89 26.67 4.44 0 3.33 7.78 48.89 0 35.56 4.44 Sedang<br />
11 <strong>Teluk</strong> Kucangreang Reef Flat 05 46 24.06 105 13 2.65 0.52 2.06 44.33 2.37 25.46 25.26 0 0 2.58 44.33 Buruk<br />
12 Pulau Balak Reef Flat 05 45 10.10 105 10 39.70 35 16 9 0 7 23 10 0 51 9 Baik<br />
13 Pulau Lok Fore Reef 05 44 42.90 105 10 35.20 11 30 5.5 4.5 14.8 14 20.2 0 41 5.5 Sedang<br />
14 Gosong Pulau Lok Reef Flat 05 44 31.96 105 10 46.32 6.82 12.16 10 3.41 3.41 45.45 18.75 0 18.98 10 Buruk<br />
15 Pulau Lunik Reef Flat 05 44 22.25 105 10 26.57 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 Buruk<br />
16 Gosong Lunikan Reef Flat 05 44 26.70 105 10 16.30 9.95 39.3 10.95 1.11 11.46 17.69 9.55 0 49.25 10.95 Sedang<br />
17 Tajung Putus (1) Reef Flat 05 43 46.94 105 12 40.23 7.14 32.14 35.71 3.57 0 7.14 14.29 0 39.28 35.71 Sedang<br />
18 Tanjung Putus (2) Reef Flat 05 43 46.65 105 12 32.83 12 50 8 0 8 12 10 0 62 8 Baik<br />
19 Pulau Lelangga Balak Reef Flat 05 43 45.75 105 13 46.31 24.6 10 27 0 14.4 14 10 0 34.6 27 Sedang<br />
20 Pulau Lelangga Lunik Upper Fore Reef 05 43 10.40 105 14 32.10 10 14 20 0 16 24 16 0 24 20 Buruk<br />
21 Pulau Puhawang Lunik Reef Flat 05 40 35.30 105 14 24.60 2 22 30 5 0 18 23 0 24 30 Buruk<br />
22 Pantai Ketapang Reef Flat 05 35 33.50 105 13 59.40 9 50 13 18 5 0 5 0 59 13 Baik<br />
23 Pantai Canti Reef Flat 05 48 01.30 105 34 58.2 0 15.8 16 11 19 22 16.2 0 15.8 16 Buruk<br />
24 Pulau Tiga Lana Fore Reef 05 48 52.38 105 32 37.15 0 16 4 12 15 18 35 0 16 4 Buruk<br />
25 Pulau Tiga Lok Fore Reef 05 48 59.65 105 32 46.30 0 26 2 4 16 21 31 0 26 2 Sedang<br />
26 Pulau Tiga Damar Fore Reef 05 49 9.05 105 33 0.96 0 19 0 12 12 29 28 0 19 0 Buruk<br />
27 Pulau Sebuku Upper Fore Reef 05 50 48.40 105 31 45 13.8 10.13 16.46 1.27 2.66 54.43 1.27 0 23.93 16.46 Buruk<br />
28 Pulau Elang (Sebuku Kecil) Reef Flat 05 52 40.11 105 32 29.67 0 12 72 0 0 16 0 0 12 72 Buruk<br />
29 Pulau Sebesi Lower Fore Reef 05 55 11.26 105 30 3.18 5.6 15.4 4 7 19 23 26 0 21 4 Buruk<br />
30 Pulau Umang‐umang Reef Flat 05 55 33.99 105 31 57.11 21.6 25.4 12 10 15 8 8 0 47 12 Sedang<br />
31 Pelabuhan Kaliandak Reef Flat 05 44 39.61 105 35 10.60 2 10 0 42 0 46 0 0 12 0 Buruk<br />
32 Pantai Pasir Putih Reef Flat 05 33 32.24 105 22 0.94 23 2 0 17 0 27 31 0 25 0 Buruk<br />
33 Lokasi Batu Bara Reef Flat 05 31 48.90 105 21 14.37 20 8 20 2 1 8 0 41 28 20 Sedang<br />
34 Pulau Sulah (1) Upper Fore Reef 05 32 45.22 105 20 44.12 13.5 10.5 7 0 0 39 30 0 24 7 Buruk<br />
35 Pulau Sulah (2) Lower Fore Reef 05 32 48.36 105 20 35.98 29.63 14.81 38.89 0 7.41 9.26 0 0 44.44 38.89 Sedang<br />
36 Pulau Condong Laut Lower Fore Reef 05 33 25.65 105 20 28.87 28.8 12 15.8 12 0 18 13.4 0 40.8 15.8 Sedang<br />
37 Pulau Condong Darat Reef Flat 05 33 25 105 20 54.63 27.27 17.27 12.73 4.55 0 18.18 20 0 44.54 12.73 Sedang<br />
38 Tanjung Selaki Reef Flat 05 37 23.44 105 24 18.21 36.14 0 0 49.57 0 0 14.29 0 36.14 0 Sedang<br />
39 Merak Belantung (1) Reef Flat 05 40 29.86 105 32 32.95 0 11 0 55 0 26 8 0 11 0 Buruk<br />
40 Merak Belantung (2) Reef Flat 05 41 31.45 105 31 59.03 0 8 15 51 0 25 1 0 8 15 Buruk<br />
41 Pantai Puri Gading Back Reef 05 28 9.21 105 15 27.69 0 0 0 0 0 87 0 13 0 0 Buruk<br />
42 Gudang Lelang Back Reef 05 27 18.45 105 16 14.20 0 0 0 0 24 68 0 8 0 0 Buruk<br />
43 Pulau Kubur Back Reef 05 29 14.30 105 15 29.80 0 0 0 0 33.33 66.67 0 0 0 0 Buruk<br />
44 Pulau Tegal Lower Fore Reef 05 34 5.53 105 16 7.98 8 39 26 0 2 9 16 0 47 26 Sedang<br />
RATA‐RATA<br />
11 19 14 8 9 23 15 1 29 14<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 3
Tabel 4.1 adalah persentase penutupan karang dari 44 lokasi penyelaman di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>. Kriteria persentase karang hidup menurut Yap dan Gomes (1988) dan<br />
Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku<br />
Kerusakan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> bahwa kategori kondisi penutupan karang hidup : 75 – 100<br />
% : Sangat Baik; 50 – 74.9 % : Baik; 25 – 49.9 % : Sedang; 0 - 24.9 % : rusak/buruk.<br />
Berdasarkan kriteria di atas, persentasi tutupan karang hidup sebagai indikator<br />
kerusakan terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> termasuk dalam kriteria buruk (rusak)<br />
sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>, kondisi terumbu karang<br />
dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk (rusak) ditemukan sebanyak 20 lokasi dan<br />
kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. <strong>Terumbu</strong> karang dalam kondisi baik terdapat di<br />
perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang.<br />
Persentase tutupan karang dan kondisi ekosistem terumbu karang di perairan <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> secara umum digambarkan dalam grafik penutupan karang sebagai berikut :<br />
Grafik<br />
4.1<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Grafik persentase tutupan karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Dari grafik di atas diperoleh gambaran bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di<br />
perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dalam kondisi sedang. Namun perlu diperhatikan bahwa<br />
persentase pecahan karang yang diduga kuat akibat kegiatan pengeboman ikan di<br />
seluruh <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> ada dalam angka 15 %. Angka ini termasuk tinggi mengingat<br />
bila tidak ada upaya serius dari pemerintah dan masyarakat, maka masyarakat di sekitar<br />
Bab IV - 4
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> akan mengalami kerugian ekonomi dan lingkungan pada setiap meter<br />
persegi terumbu karang yang rusak karena kegiatan pengeboman.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar 4.1 Penambangan terumbu karang untuk bahan<br />
bangunan di Lempasing turut memperparah<br />
kondisi terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
selain aktifitas pengeboman<br />
Persentase rata-rata tutupan fauna lain (other fauna) di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah 9 %<br />
yang sebagian besar terdiri dari karang lunak (soft coral), spons (sponge) dan lain -<br />
lain. Tutupan rata-rata karang lunak di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah 4%. <strong>Karang</strong><br />
lunak ini sebagian besar hidup di perairan yang berpasir atau di atas hamparan<br />
pecahan karang mati (rubble). Kehadiran karang lunak tersebut mengindikasikan<br />
bahwa di areal tersebut ada gejala karang akan pulih. Namun untuk kondisi perairan<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang padat dengan aktifitas manusia, areal karang yang menuju pulih<br />
harus mendapat campur tangan manusia untuk melindungi area pemulihan tersebut,<br />
sehingga sampai batas waktu tertentu area tersebut benar-benar terbebas dari<br />
gangguan yang destruktif.<br />
Sebagian besar karang lunak yang menyusun ekosistem terumbu karang di perairan<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah dari marga Sinularia, seperti Sinularia polydactyla, Sinularia<br />
flexibilis, Sinularia brassica, Sinularia querciformis, dan Sinularia variabilis. Selain<br />
itu karang lunak dari marga Sarcophyton, Lobophytum, Nepthea, Litophyton, Xenia,<br />
dan Dendronephtya juga banyak ditemui selama penyelaman dilakukan. Marga<br />
Dendronephtya dikenal sebagai marga karang lunak yang memiliki warna-warni yang<br />
cerah dan indah. Keberadaan karang lunak ini di suatu perairan adalah sensasi<br />
tersendiri bagi penyelam pada umumnya. Berikut dibawah ini disajikan beberapa<br />
spesies karang lunak di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Bab IV - 5
Halymenia durvillaei Sinularia sp.<br />
Sinularia flexibilis Dendronephthya kukenthal<br />
Sponge adalah biota dengan bentuk unik yang tersebar di seluruh ekosistem karang di<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. Pada saat penyelaman dilakukan biota ini dapat ditemukan disetiap<br />
kedalaman, mulai dari kedalaman 0.5 meter hingga kedalaman 10 meter. Berdasarkan<br />
hasil suvey diperoleh persentase rata-rata tutupan sponge di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah<br />
sebesar 0.06%. Beberapa jenis sponge yang teridentifikasi selama penelitian atara lain<br />
adalah Clatria reinwardti., Stylissa carteri, Theonella swinhoei, Xestospongia sp.,<br />
Callyspongia aerizusa, Acervochalina sp., Cinachyra sp., dan Petrosia nigricans. Di<br />
bawah ini beberapa contoh spesies spons yang ada di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 6
Stylissa carteri Xestospongia sp.<br />
Callyspongia aerizusa Ircinia sp.<br />
Lamun atau Seagrass adalah tumbuhan tingkat tinggi yang terdapat dan tumbuh baik<br />
di zona reef flat (dangkal). Padang Lamun yang cukup luas dan mencolok dapat<br />
ditemukan di perairan <strong>Teluk</strong> Pulau Tegal. Sebagian besar spesies pembentuk<br />
hamparan lamun di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah Enhalus acoroides. Selain itu ditemukan<br />
pula hamparan lamun yang terbentuk dari marga Halophila, Cymodocea, dan<br />
Thalassia.<br />
Enhalus acoroides (Seagrass)<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 7
Algae adalah tumbuhan dengan tingkatan yang lebih rendah dibandingkan dengan<br />
biota lamun. Persentase rata-rata tutupan algae di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah sebesar 8%.<br />
Sebagian besar tutupan karang yang ditemui selama pengamatan didominasi oleh<br />
makro alga dari marga Sargassum dan Padina. Beberapa spesies alga yang biasa<br />
ditemukan di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> antara lain adalah Sargassum duplicatum,<br />
Padina commersoni, Turbinaria decurrens, dan Ulva fasciata.<br />
Halimeda micronesica Caulerpa racemosa<br />
Sargassum echinocarpum Actinotrichia fragilis.<br />
Dalam beberapa kasus, keberadaan lamun dan makro alga yang dapat hidup subur di<br />
suatu perairan menandakan bahwa secara alami di perairan tersebut berpotensi untuk<br />
usaha budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut dimungkinkan di suatu lokasi<br />
dengan karakter perairan yang dangkal dan berarus lemah hingga sedang.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 8
4.1.1 Pulau Tangkil<br />
Pengamatan di pulau ini dilakukan di sebelah utara pulau pada titik koordinat<br />
05°30’35” LS - 105°16’10.7” BT. Penyelaman dilakukan di perairan yang relatif<br />
tenang dengan angin ke arah timur (3 knot), dan dalam kondisi air surut sehingga arus<br />
laut bergerak lemah ke arah tenggara.<br />
Kondisi terumbu karang pada kedalaman 5 meter di pulau ini dapat dilihat pada<br />
Grafik 4.2 dibawah ini.<br />
Grafik<br />
4.2<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Grafik persentase tutupan karang di Pulau Tangkil<br />
Tutupan karang keras (HC) di perairan Pulau Tangkil pada kedalaman 5 meter adalah<br />
33 %, yang tersusun dari genus Acropora (30 %) dan genus Non Acropora (3 %).<br />
Fauna lain (OT) yang didominasi oleh <strong>Karang</strong> Lunak (Sinularia polydactyla) memiliki<br />
tutupan sebesar 2 %.<br />
Tutupan karang mati (DS) di perairan ini cukup besar (30 %), yang diduga disebabkan<br />
karena sering tertutup endapan dan tersebarnya sampah di dasar perairan akibat kegiatan<br />
wisata yang cukup tinggi di Pulau ini.<br />
Bab IV - 9
Gambar<br />
4.2<br />
Pulau Tangkil selain menjadi tujuan wisata yang paling diminati oleh masyarakat di<br />
Bandar <strong>Lampung</strong> dan sekitarnya selain karena aksesnya yang mudah di jangkau dari<br />
Pantai Mutun, pulau ini juga menjadi sasaran ilegal fishing yaitu kegiatan pengeboman<br />
ikan yang dilakukan oleh oknum nelayan yang beroperasi di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. Ini<br />
terlihat dari besarnya persentase tutupan pecahan karang (rubble) sebesar 35 %. Secara<br />
umum persentase tutupan terumbu karang dari hasil pengamatan di pulau ini termasuk<br />
dalam kategori SEDANG berdasarkan Keputusan Menteri Negera Lingkungan Hidup<br />
No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong>.<br />
4.1.2 Pulau Tegal<br />
Pulau Tegal, kini secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Pesawaran,<br />
dan merupakan pulau yang paling dekat dengan sentra kegiatan budidaya laut (marine<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Pulau Tangkil (atas), ikan Amphiprion sp. (kiri bawah), dan<br />
terumbu karang yang hancur akibat aktifitas pengeboman<br />
(kanan bawah)<br />
Bab IV - 10
culture) yang ada di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. Pulau ini juga merupakan pulau wisata dengan<br />
akses masuk dari Pantai Ringgung. Kegiatan budidaya laut yang ada di sekitar perairan<br />
pulau antara lain adalah budidaya kerang mutiara, budidaya ikan kerapu dengan<br />
menggunakan bagan apung dan lain-lain. Pengamatan kondisi terumbu karang di pulau<br />
ini dilakukan di <strong>Teluk</strong> Tegal (0533’53,40” LS - 10516’43,60” BT), sebuah teluk di<br />
sebelah timur pulau dan pantai bagian barat pulau (5°34'5.53" LS - 105°16'7.98" BT)<br />
yang berhadapan langsung dengan daratan Sumatera. Kondisi perairan di teluk ini<br />
tenang pada saat pengamatan dilakukan. <strong>Teluk</strong> Tegal memiliki hamparan padang lamun<br />
(Enhallus acoroides) hingga sejauh 50 meter dari garis pantai. Menurut penuturan<br />
penduduk setempat di hamparan lamun ini sering ditemukan penyu yang sedang<br />
mencari makan. Pantai di bagian barat pulau memiliki hamparan karang hingga 50<br />
meter dari garis pantai. Tutupan karang di pantai ini mulai jarang (poor) ditemukan<br />
pada kedalaman 10 meter.<br />
Gambar<br />
4.3<br />
Sebagian dari <strong>Teluk</strong> Tegal yang sering digunakan oleh kapal‐kapal ikan untuk beristirahat<br />
(atas), karang mati yang sudah ditumbuhi alga (kiri bawah), dan bongkahan karang<br />
besar yang pecah akibat aktifitas pengeboman ikan (kanan bawah).<br />
Persentasi tutupan karang mati di <strong>Teluk</strong> Tegal cukup besar (24 %), dan pecahan karang<br />
(rubble) ditemukan tersebar diseluruh teluk terutama di area tubir karang (fore reef).<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 11
Tutupan pecahan karang ini sebesar 13 % yang diduga kuat akibat dari aktifitas<br />
pengeboman ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan yang beroperasi di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>. Secara lengkap komposisi tutupan terumbu karang di <strong>Teluk</strong> Tegal dapat<br />
dilihat pada grafik sebagai berikut :<br />
Tutupan karang hidup di perairan ini di dominasi oleh karang dengan bentuk tumbuh<br />
karang daun sebesar 19 % (Montipora florida, Turbinaria reniformis), karang masif<br />
(Favia lacuna, Favites abdita, dan Porites mayeri) sebesar 16 %, dan karang bercabang<br />
(Pocillopora damicornis, Acropora nobilis) sebesar 3 %. Berdasarkan kriteria baku<br />
kerusakan terumbu karang maka kondisi terumbu karang di perairan <strong>Teluk</strong> Tegal<br />
termasuk dalam kategori SEDANG.<br />
Gambar 4.4<br />
Kondisi terumbu<br />
karang yang masih<br />
baik di <strong>Teluk</strong> Tegal<br />
menjadi tempat<br />
berlindung dan<br />
pengasuhan (nursery<br />
ground) bagi anak‐<br />
anak ikan di perairan<br />
ini.<br />
Tutupan karang di pantai barat Pulau Tegal termasuk dalam kategori sedang dengan<br />
persentase karang hidup 47 % yang didominasi oleh karang daun 33 %, Acropora<br />
bercabang 8 %, karang masif 6 %, dan karang jari 5 %.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 12
Sementara itu karang mati 26 % dan pecahan karang mati sebesar 16 % banyak terlihat<br />
di sepanjang dasar perairan akibat dari penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan<br />
dan akibat jangkar perahu, yang hilir-mudik dari daratan Sumatera ke Pulau Tegal<br />
sebagai sarana transportasi rutin penduduk pulau maupun wisatawan yang akan<br />
berekreasi di pulau ini. Secara detail koposisi tutupan karang di pantai barat Pulau<br />
Tegal dapat dilihat pada diagram di bawah ini.<br />
Secara umum kondisi terumbu karang di Pulau Tegal berdasarkan hasil penelitian di<br />
dua lokasi tersebut di atas menurut kriteria baku kerusakan terumbu karang termasuk<br />
dalam kondisi sedang.<br />
Gambar 4.5<br />
Bintang Laut Berduri<br />
(Acanthaster plancii) yang<br />
ada di perairan Pulau Tegal,<br />
merupakan salah satu hama<br />
terumbu karang yang paling<br />
merusak. Terlihat dalam<br />
gambar karang memutih<br />
(bagian kanan) di makan oleh<br />
hama ini<br />
4.1.3 Pulau Maitem<br />
Pulau Maitem adalah sebuah pulau kecil yang terletak di barat daya Pulau Tegal. Pulau<br />
yang berpenduduk beberapa kepala keluarga ini memiliki garis pantai sepanjang 3 km<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 13
dan luas pulau ± 17 ha. Jarak pulau ini dengan dengan daratan Sumatera hanya 500<br />
meter saja. Sehingga membuat pulau ini memiliki interaksi yang cukup sering dengan<br />
aktifitas masyarakat di pulau induk.<br />
Gambar<br />
4.6<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Pulau Maitem dengan perairan yang dangkal kerap didatangi nelayan<br />
untuk menangkap ikan dengan menggunakan jala dan handline (atas).<br />
Koloni <strong>Karang</strong> lunak (Soft Coral) yang sebagian besar terdiri dari<br />
keluarga Sinularia (kiri bawah). Koloni karang bercabang (Seriatopora<br />
hystrix) seringkali bersimbiosis dengan ikan karang (kanan bawah).<br />
Presentase tutupan karang di zona Reef Flat pulau adalah 42.5 % karang hidup yang<br />
tesusun dari karang Acropora (Acropora teres, Acropora palifera, dan Acropora<br />
cerealis) sebesar 20 % dan karang non acropora (Porites attenuata, Porites lobata,<br />
Mussismilia hispida, dan Montipora florida) sebesar 22.5 %. <strong>Karang</strong> lunak juga banyak<br />
ditemukan tersebar di perairan pulau ini dengan tutupan 22.5 %, yang terdiri dari<br />
spesies Sinularia brassica, Sinularia polydactyla, dan Lobophytum crassum.<br />
Sebaran karang mati yang di dominasi oleh Dead Coral Algae memiliki prosentase<br />
tutupan 12 %, dan pecahan karang mati sebesar 10 %. Menurut informasi masyarakat<br />
setempat, banyaknya pecahan karang mati yang ada diduga kuat disebabkan oleh<br />
aktifitas pengeboman ikan dan jangkar bagan apung yang sering ditambatkan di<br />
perairan pulau ini. Presentase tutupan karang di perairan Pulau Maitem dapat<br />
diilustrasikan dalam diagram di bawah ini :<br />
Bab IV - 14
Berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang yang ditetapkan oleh Kementrian<br />
Negara Lingkungan Hidup, kondisi terumbu karang di Pulau Maitem ada dalam<br />
kategori sedang.<br />
Di perairan ini pula ditemukan banyak bintang laut berduri (Acanthaster plancii) yang<br />
menjadi hama bagi terumbu karang. Untuk mengendalikan populasi biota ini tidak ada<br />
cara lain dengan melakukan penyelaman dan membunuh biota ini satu persatu.<br />
Sebenarnya predator alami dari biota ini adalah penyu. Karena populasi penyu di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> sudah dapat dikatakan punah maka populasi bintang laut berduri ini<br />
berkembang tanpa ada pengendali alaminya.<br />
4.1.4 Pulau Kelagian<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar 4.7 Beberapa variant biota Bintang Laut Berduri (Acanthaster<br />
plancii) yang di temukan di perairan Pulau Maitem.<br />
Pulau Kelagian adalah salah satu pulau besar yang ada di perairan <strong>Teluk</strong> Ratai, sebuah<br />
teluk kecil di wilayah perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. Pulau ini memiliki panjang garis pantai<br />
± 10 km. Topografi Pulau Kelagian berbukit-bukit dengan hutan alam yang cukup<br />
Bab IV - 15
lebat. Pulau yang bependuduk ini kini sebagian besar lahannya dijadikan tempat TNI<br />
Angkatan Laut (Batalyon Marinir) berlatih perang-perangan.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar 4.8 Pulau Kelagian yang berbukit dilihat dari arah laut.<br />
Persentase tutupan karang hidup di perairan pulau ini cukup tinggi (61.91 %) di<br />
bandingkan dengan pulau-pulau lain di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. Hal ini terjadi karena kegiatan<br />
ilegal fishing seperti pengeboman dan pemotasan relatif sedikit, karena aktifnya<br />
kegiatan TNI AL di pulau tersebut. Berikut diagram presentase tutupan karang di Pulau<br />
Kelagian.<br />
Tutupan karang mati di lokasi pengamatan (05°37’08.97” LS - 105°13’08.28” BT)<br />
sebagian besar berupa karang mati berwarna putih (death coral) sebesar 14.97 % dan<br />
pecahan karang mati (rubble) sebesar 1.01 %. Tutupan karang lunak (soft coral) di<br />
lokasi pengamatan juga ditemukan sebesar 5.03 %, yang didominasi spesies Sinularia<br />
flexibillis. Pada kedalaman 7 meter, presentase tutupan pasir (sand) sebesar 17.09 %.<br />
Di lokasi pengamatan, pada kedalaman lebih dari 7 meter kecerahan air jauh berkurang<br />
Bab IV - 16
(3 m) karena air yang cenderung keruh. Pada kedalaman ini tutupan karang menjadi<br />
lebih jarang selaras dengan bertambahnya kedalaman.<br />
Secara umum kondisi tutupan karang di perairan Pulau Kelagian berdasarkan ukuran<br />
baku mutu kerusakan karang termasuk dalam kategori baik.<br />
4.1.5 Puhawang<br />
Gambar<br />
4.9<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
<strong>Karang</strong> lunak jenis Sinularia flexibillis banyak ditemukan<br />
di kedalaman 7 meter (kiri atas). <strong>Terumbu</strong> karang yang<br />
sehat menjadi tempat berkembangbiaknya ikan‐ikan<br />
(kanan atas).<br />
Lili laut diantara tutupan karang Acropora (kiri bawah).<br />
Penyelam sedang mengamati tutupan karang daun di<br />
kedalaman 7 meter (kanan bawah).<br />
Pengamatan tutupan terumbu karang di Puhawang di lakukan di dua lokasi yaitu di<br />
Pulau Puhawang (05°39’44,10” LS - 105°12’27,8” BT) dan di Pulau Puhawang Lunik<br />
(05°40’35.30” LS - 105°14’24,60” BT).<br />
Pulau Puhawang merupakan pulau besar yang berpenduduk. Pulau ini memiliki<br />
panjang garis pantai ± 11 km. Di pulau ini pula kegiatan budidaya laut dengan<br />
Bab IV - 17
menggunakan bagan jaring apung dilakukan di perairan sekitar pulau. Di lokasi<br />
pengamatan ini persentase karang hidup sebesar 38.36 % dan karang mati sebesar 11,12<br />
% yang sebagian besar di dominasi oleh karang yang baru mati (death coral). Hal ini<br />
terjadi diduga karena cahaya matahari yang tidak dapat diterima karang karena tertutup<br />
oleh banyaknya bangunan bagan jaring apung yang berada di atas ekosistem karang.<br />
Selain itu, persentase pecahan karang mati (16.02 %) di lokasi pegamatan ini terjadi<br />
karena gesekan jangkar bangunan bagan jaring apung dan jangkar kapal yang sering<br />
merapat di bangunan bagan apung.<br />
Pulau Puhawang Lunik adalah pulau kecil yang terletak di sebelah timur pulau<br />
induknya (P. Puhawang). Pulau kecil ini memiliki panjang garis pantai ± 1.2 km dan<br />
kini menjadi pulau peristirahatan dengan dibangunnya fasilitas rekreasi oleh seorang<br />
pengusaha. <strong>Terumbu</strong> karang di perairan pulau ini rusak, dengan persentase penutupan<br />
karang hidup hanya 24 %. Sedangkan tutupan karang mati sebesar 30 % dan pecahan<br />
karang mati (rubble) sebesar 23 %. Komposisi penutupan karang di wilayah Puhawang<br />
dapat dilihat pada diagram di bawah ini.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 18
Gambar<br />
4.10<br />
Salah satu bangunan bagan jaring apung yang banyak terdapat di perairan Pulau<br />
Puhawang (atas). Kondisi tutupan karang (kiri bawah) dan pecahan karang mati<br />
di tengah kondisi perairan yang keruh sehingga menghambat pertumbuhan dan<br />
recovery karang (kanan bawah).<br />
Penutupan karang lunak di lokasi pengamatan Pulau Puhawang adalah sebesar 5.1 %<br />
dengan dominasi jenis Nepthea audouin. Sedangkan makro alga di temukan juga di<br />
lokasi pengamatan P. Puhawang (10 %) dan di P. Puhawang lunik sebesar 5 %.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar<br />
4.11<br />
Lokasi Peristirahatan dan beberapa kondisi<br />
karang di P. Puhawang Lunik.<br />
Secara umum kondisi terumbu karang di wilayah Puhawang dapat di ilustrasikan dalam<br />
grafik di bawah ini.<br />
Bab IV - 19
Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa tutupan karang hidup di wilayah Puhawang<br />
sebesar 31.2 % dan tutupan karang mati 20.6 % dan pecahan karang mati sebesar 19.5<br />
%. Sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang<br />
adalah bahwa ekosistem terumbu karang di wilayah Puhawang ini berada dalam<br />
kategori sedang.<br />
4.1.6 Pulau Siuncal<br />
Pulau Siuncal adalah salah satu pulau di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang berhadapan langsung<br />
dengan Samudera Hindia. Karena letak geografis pulau ini yang terletak tepat di mulut<br />
teluk maka pengaruh perairan Samudera Hindia sangat besar terhadap pulau ini antara<br />
lain adalah arus dan gelombang yang besar terutama di sebelah barat daya dan selatan<br />
pulau.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar 4.12<br />
Jangkar perahu yang digunakan untuk<br />
menambat perahu juga sangat<br />
berpotensi merusak keutuhan karang<br />
(kiri atas). <strong>Karang</strong> masif, Favia fragum<br />
dan Erythrastrea flabellata (kanan atas).<br />
<strong>Karang</strong> lunak Nepthea audouin di dasar<br />
perairan (kiri bawah).<br />
Bab IV - 20
Lokasi penyelaman di Pulau Siuncal adalah di sebelah barat daya pulau (05°48’06” LS-<br />
105°18’50,90” BT), di Selat Siuncal, sebuah perairan yang dikenal sebagai rumah dari<br />
segala jenis ikan hiu.<br />
Gambar 4.13 Pulau Siuncal di lihat dari arah Selat Siuncal (atas). Kondisi tutupan karang di<br />
Selat Siuncal yang istimewa dengan kelimpahan ikan karang dan kima raksasa (bawah).<br />
Penyelaman di lakukan di kedalaman 5 meter dan pada saat laut pasang, sehingga arus<br />
bergerak menyeret pengamat ke arah utara. Kecerahan air cukup baik (6 meter) dan di<br />
setiap kolom air dapat ditemui ubur-ubur (jelly fish). Lokasi pengamatan ini sangat<br />
berpotensi sebagai tempat olahraga selam, karena keanekaragaman jenis karang keras<br />
dan karang lunak serta ikan karang berwarna-warni yang melimpah. Kesan pertama<br />
pengamat pada saat melakukan penyelaman di lokasi sangat baik dan kesan ini penting<br />
bagi setiap penyelam yang beraktifitas di lokasi ini untuk suatu saat kembali lagi.<br />
Walaupun di lokasi ini menurut masyarakat pulau, frekuensi pengeboman ikan tidak<br />
sering, namun di beberapa tempat masih tertinggal lobang-lobang bekas pengeboman<br />
yang terasa sangat mengganggu pemandangan pada saat menyelam. Menurut<br />
masyarakat di Pulau Siuncal, pengeboman jarang dilakukan di perairan ini dikarenakan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 21
anyaknya ikan hiu, hal ini yang mencegah penyelam kapal bom untuk masuk ke dalam<br />
air untuk memungut ikan hasil pengeboman.<br />
Persentase tutupan karang di lokasi pengamatan sebesar 47.75 %, dengan komposisi<br />
tutupan karang keras Acropora 5.74 % (Acropora foliosa, Acropora aspera, dan<br />
Acropora valida), dan karang keras non Acropora sebesar 42.01 % dengan jenis karang<br />
pembentuknya antara lain Montipora florida, Seriatopora hystrix, Pavona calavus,<br />
Pocillopora eydouxi, Porites lobata dan Porites cylindrica. Berikut di bawah ini di<br />
sajikan grafik tutupan karang di lokasi pengamatan secara lengkap.<br />
Tutupan karang mati di perairan ini di dominasi oleh karang mati (DC) sebesar 5.36 %.<br />
Persentase kerusakan karang tersebut bertambah pula dengan tutupan pecahan karang<br />
mati (rubble) sebesar 9.76 %. Persentase biota lain (other fauna) di perairan ini di<br />
dominasi oleh karang lunak (soft coral) dengan persentase tutupan sebesar (31.87 %).<br />
Jenis-jenis karang lunak yang ditemukan di lokasi pengamatan ini antara lain adalah,<br />
Sinularia polydactyla, Sinularia flexibillis, dan Sarcopyton sp.Secara umum ekosistem<br />
terumbu karang di Pulau Siuncal berdasarkan baku mutu kerusakan karang ada dalam<br />
kategori sedang.<br />
4.1.7 Legundi<br />
Pengamatan terumbu karang di wilayah Pulau Legundi di lakukan di 4 (empat) lokasi<br />
yaitu di Pulau Legundi (05°47’69,84” LS - 105°17’56” BT), <strong>Teluk</strong> Selesung (05°47<br />
23,74 LS - 105°17 36,4 BT), Pulau Unang-Unang (05°47’25,95” LS - 105°16’44,03”<br />
BT), dan di Pulau Seserot (05°47’35,77” LS - 105°14’52,12” BT).<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 22
Pengamatan tutupan karang dilakukan dengan penyelaman di kedalaman 5 meter, dan<br />
kecerahan hingga 4-6 meter. Penyelaman dilakukan pada saat air pasang sehingga arus<br />
bergerak ke arah utara. Dari pengamatan tersebut, diperoleh persentase tutupan karang<br />
di wilayah Legundi yang diilustrasikan pada grafik dibawah ini.<br />
Pulau Legundi adalah sebuah pulau besar di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang berpenduduk cukup<br />
banyak, dengan topografi yang berbukit dan memiliki vegetasi tropis yang cukup luas.<br />
Karena tingginya aktifitas penduduk dan kegiatan penangkapan ikan maupun budidaya<br />
laut dengan menggunakan bagan jaring apung, jaring tancap dan lain sebagainya, secara<br />
langsung dan tidak langsung berdampak terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di<br />
perairan Pulau Legundi.<br />
Tutupan karang hidup di lokasi pengamatan ini adalah 10.97 % dengan komposisi<br />
karang bercabang (CB) 9.96 %, dan karang kerak (CE) 1.01 %. Di lokasi pengamatan<br />
ini dasar perairan didominasi oleh karang lunak dengan tutupan sebesar 28.77 %.<br />
Spesies karang lunak yang dominan adalah Sinularia flexibillis. Bukti bahwa di Pulau<br />
ini telah berlangsung tekanan yang hebat terhadap ekosistem terumbu karang adalah<br />
dengan tingginya tutupan pecahan karang mati (rubble) yaitu sebesar 46.84 %.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 23
Gambar 4.14 Pelabuhan kapal di Pulau Legundi selain berfungsi sebagai tempat ditambatkannya kapal<br />
juga sebagai tempat bersandarnya bagan apung yang beroperasi di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> (atas). Salah satu<br />
spesies <strong>Karang</strong> masif (kiri bawah). <strong>Karang</strong> lunak keluarga Sinularia dengan tutupan 28.77 % di lokasi<br />
pengamatan P. Legundi (kanan bawah).<br />
<strong>Teluk</strong> Selesung merupakan teluk kecil di pantai Pulau Legundi. Dari hasil pengamatan<br />
yang dilakukan di kedalaman 7 meter, persentase penutupan karang hidup sebesar 39.71<br />
% yang terdiri dari tutupan karang Acropora 1.89 % dan karang non Acropora 37.82 %.<br />
Tutupan karang mati di lokasi ini sebesar 13 % dan dipertegas dengan tutupan pecahan<br />
karang mati sebesar 40.91 %. Hal ini menunjukkan tingginya tekanan alam dan akibat<br />
dari aktifitas manusia di perairan ini. Pengambilan karang oleh masyarakat untuk bahan<br />
bangunan dan jalan di Pulau Legundi menjadi salah satu penyebab terbesar rusaknya<br />
ekosistem karang di perairan Legundi.<br />
Gambar 4.15<br />
Tumpukan karang<br />
untuk bahan bangunan<br />
di Pulau Legundi.<br />
Tutupan karang lunak di <strong>Teluk</strong> Selesung sebesar 11.13 % dengan spesies dominan<br />
Xenia sp. Selain itu makro alga (MA) memiliki persentase tutupan 1.05 % dan alga<br />
halus (turf algae) sebesar 4.20 %.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 24
Gambar 4.15 Beberapa bentuk tumbuh karang, lobster (kiri atas) dan<br />
bintang laut biru (kanan bawah).<br />
Pulau Unang-Unang adalah pulau kecil yang sekarang berfungsi sebagai tempat<br />
budidaya karang hias. Keberadaan usaha budidaya karang hias untuk ekspor ini sangat<br />
berpengaruh dalam mengurangi frekuensi tindak pengeboman ikan dan pemotasan<br />
lobster di perairan sekitar pulau. Hingga kini menurut penuturan penduduk pulau,<br />
kegiatan pengeboman ikan masih berlangsung di perairan sekitar Pulau Legundi.<br />
Persentase penutupan karang hidup dipulau ini 36 % dengan komposisi karang acropora<br />
jenis Acropora aspera dan Acropora cylindrica sebesar 10.53 %, karang non acropora<br />
yang di dominasi bentuk tumbuh masif (Goniopora minor dan Porites murrayensis)<br />
sebesar 17.05 %.Tutupan karang mati di perairan pulau ini 10.53 %, dan pecahan<br />
karang mati sebesar 40.32 %. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan pengeboman yang<br />
dilakukan oleh oknum nelayan sering dilakukan di pulau ini di waktu yang lalu.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 25
Gambar 4.16 Pecahan karang mati (rubble) akibat pengeboman (kiri atas). Beberapa bentuk tumbuh<br />
karang (kanan atas). Ikan karang diantara karang lunak (kiri bawah). Budidaya karang hias untuk ekspor<br />
(kanan bawah).<br />
Pulau Seserot adalah salah satu pulau yang menjadi sasaran para pengebom ikan di<br />
wilayah perairan Legundi dengan persentase karang hidup 35.56 % dan karang mati<br />
4.44 %. Yang menonjol di perairan pulau ini adalah persentase pecahan karang mati<br />
sebesar 48.89 %. <strong>Karang</strong> lunak di perairan ini didominasi oleh spesies Sinularia<br />
ehrenberg, dan karang masif terdiri dari Enchinopora forskaliana dan Porites<br />
murrayensis.<br />
Gambar 4.17 Kondisi terumbu karang di Pulau Seserot.<br />
Secara umum persentase penutupan karang di wilayah perairan Legundi terdiri dari<br />
karang hidup 30.6 %, karang mati 9.5 % dan pecahan karang mati (rubble) 47.5 %.<br />
Secara detail komposisi penutupan karang di perairan legundi ditunjukkan oleh grafik<br />
dibawah ini.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 26
Dengan demikian, berdasarkan kriteria baku mutu kerusakan karang yang telah<br />
ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup (2001), penutupan karang di<br />
wilayah ini termasuk dalam kategori sedang.<br />
Gambar 4.18 Beberapa spesies karang yang dibudidayakan untuk ekspor di Pulau Unang-Unang.<br />
Berurutan ; Acropora globiceps, Acropora nobilis, Galaxea fascicularis, Anemon, dan Acropora robusta.<br />
4.1.8 Pulau Tiga<br />
Pulau tiga adalah nama umum yang diberikan masyarakat <strong>Lampung</strong> Selatan untuk tiga<br />
pulau yang berdampingan membentuk satu garis lurus. Pulau ini terletak tepat di<br />
tengah-tengah antara Canti dan Pulau Sebuku Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan. Ketiga<br />
pulau itu adalah Pulau Tiga Lana (05°48’52,38” LS - 105°32’37,15” BT), Pulau Tiga<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 27
Lok (05°48’59,65” LS - 105°32’46.30” BT), dan Pulau Tiga Damar (05°49’9.05” LS -<br />
105°33’0.96” BT).<br />
Ketiga pulau kecil dan tidak berpenghuni tersebut dikelilingi tutupan terumbu karang<br />
yang sempit dan curam (crack). Kedalaman laut disekeliling pulau dapat mencapai<br />
hingga 47 meter dari permukaan laut. Posisi ketiga pulau yang saling berdekatan,<br />
berlorong dan bergua di bawah laut menjadi rumah yang tepat bagi populasi ikan hiu.<br />
Secara khusus kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas penyelam<br />
yang menyukai daerah hiu (shark point).<br />
Gambar 4.19 Pulau Tiga dilihat dari arah Canti Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan, pulau besar di belakang<br />
ketiga pulau tersebut adalah Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi (atas). Kontur Pulau Tiga yang berlorong<br />
dan bergua menjadi atraksi wisata khusus penyelaman Shark Point (kiri bawah). <strong>Karang</strong> daun dan karang<br />
lunak di Pulau Tiga (kanan bawah).<br />
Kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut relatif sama, hal ini dapat<br />
dimengerti karena pulau-pulau tersebut masih terletak di satu hamparan terumbu.<br />
Secara detail persentase tutupan karang di tiap-tiap pulau dapat di tunjukkan dalam<br />
grafik dibawah ini :<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 28
Secara umum rata-rata persentase karang hidup di wilayah perairan Pulau Tiga adalah<br />
20.3 %, karang mati 2 %, dan pecahan karang mati terpantau sebesar 31.3 %.<br />
Sementara itu fauna lain di dominasi oleh karang lunak yang terdiri dari jenis Sinularia<br />
polydactyla dan Sarcophyton sp.<br />
Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, maka tutupan karang di perairan<br />
Pulau Tiga termasuk dalam kategori rusak. Secara komposisi rata-rata tutupan karang<br />
di perairan Pulau Tiga ditunjukkan dalam grafik dibawah ini.<br />
4.1.9 Kepulauan Condong<br />
Pengamatan tutupan karang di Kepulauan Condong dilakukan di tiga pulau<br />
pembentuknya yaitu Pulau Sulah (Stasiun I : 05°32’45.22” LS - 105°20’44.12” BT,<br />
Stasiun II : 05°32’48.36” LS - 105°20’35.98” BT), Pulau Condong Laut (05°33’25.65”<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 29
LS - 105°20’28.87” BT), dan Pulau Condong Darat (05°33’25” LS - 105°20’54.63”<br />
BT). Persentase penutupan karang secara detail dapat dilihat pada grafik di bawah ini.<br />
Kondisi tutupan karang di tiga pulau ini mengalami kerusakan, dan kualitas terumbu<br />
karang di perairan ini jauh menurun dibandingkan dengan 5 hingga 6 tahun yang lalu.<br />
Ini terjadi karena laju pembangunan fasilitas wisata dan peristirahatan milik<br />
perseorangan di ketiga pulau tersebut.<br />
Gambar 4.20 Pembangunan tanggul penahan pantai (kiri) yang menggunakan karang dari perairan di<br />
Pulau Sulah merusak ekosistem terumbu karang di pulau ini (kanan).<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 30
Gambar 4.21 Pembangunan fasilitas peristirahatan dan budidaya laut dengan jaring tancap di Pulau<br />
Condong Laut dan kondisi terumbu karang di Pulau Condong Laut (atas). Pulau Condong Darat yang<br />
dikelola oleh Grup Artha Graha dan kondisi terumbu karang di perairan Pulau Condong Darat (bawah).<br />
Persentase tutupan terumbu karang di Kepulauan Condong rata-rata untuk karang hidup<br />
38.4 %, karang mati 18.6 % dan pecahan karang mati (rubble) sebesar 18.6 % (lihat<br />
grafik rata-rata penutupan karang di Kepulauan Condong di bawah). Dari grafik di<br />
bawah ini dapat diketahui berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang, terumbu<br />
karang di perairan Kepulauan Condong ada dalam kategori sedang.<br />
4.1.10 <strong>Teluk</strong> Pedada<br />
<strong>Teluk</strong> Pedada adalah perairan semi tertutup di dalam kawasan perairan <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>. <strong>Teluk</strong> Pedada termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Pesawaran,<br />
dan perairan ini terletak di ujung barat <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang berbatasan dengan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 31
Samudera Hindia. Garis pantai di teluk ini penuh dengan lika-liku dan terdapat<br />
beberapa pulau kecil serta gosong karang di dalamnya.<br />
Batimetri <strong>Teluk</strong> Pedada tergolong miring dimulai dari pantai kearah mulut <strong>Teluk</strong><br />
Pedada kedalaman dasar perairan ini bisa mencapai 50 m. Secara umum perairan ini<br />
memiliki kedalaman rata-rata yang tertinggi dibandingkan dengan perairan teluk kecil<br />
lainnya yang ada di wilayah <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Grafik 4.22 Grafik persentase tutupan karang di <strong>Teluk</strong> Pedada<br />
Pengamatan karang di <strong>Teluk</strong> Pedada dilakukan pada saat laut surut, dengan arus lemah<br />
yang bergerak ke arah tenggara. Pengamatan dilakukan di 8 (delapan) titik<br />
penyelaman yaitu <strong>Teluk</strong> Kucangreang (05°46’24,06”LS - 105°13’2,65”BT), Pulau<br />
Balak (05°45’10,10”LS - 105°10’39,70”BT), Pulau Lok (05°44’42,90”LS-<br />
105°10’35,20”BT), Gosong Pulau Lok (05°44’31,96”LS-105°10’ 46,32” BT), Pulau<br />
Lunik (05°44’22,25”LS-105°10’26,57”BT), Gosong Lunikan (05°44’26,70”LS-<br />
105°10’16,30”BT), Tanjung Putus 1 (05°43’46,94”LS-105°12’40,23”BT) dan di<br />
Tanjung Putus 2 (05°43’46,65”LS-105°12’32,83”BT).<br />
Bab IV - 32
Suhu rata-rata di perairan pada saat pengamatan 29°C dan salinitas air permukaan<br />
rata-rata 32 permil. Kecerahan air laut pada kedalaman 5 meter disetiap titik<br />
pengamatan rata-rata adalah 5 meter. Secara detail hasil pengamatan persentase<br />
terumbu karang di <strong>Teluk</strong> Pedada dapat dilihat pada Grafik 4.11 di atas.<br />
Gambar 4.23 Kondisi perairan <strong>Teluk</strong> Kucangreang yang terdiri dari batuan cadas, karang mati dan<br />
dominasi karang lunak serta makro alga.<br />
Perairan <strong>Teluk</strong> Kucangreang miskin karang hidup. Dari hasil pengamatan di peroleh<br />
perairan tersebut didominasi oleh karang lunak dari genus Sinularia (24.74%) dan<br />
makro alga dari genus Turbinaria (2.06%) seperti Turbinaria decurrens yang tersebar<br />
di tempat-tempat dimana bisa terkena gelombang secara langsung.<br />
Pulau Balak merupakan daerah survey yang menarik karena di pulau ini terdapat<br />
kegiatan budidaya ikan kerapu dan penangkaran ikan hiu. Selain itu karena aktifitas<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 33
di pulau dan dengan adanya pos penjagaan yang dijaga aparat, secara tidak langsung<br />
melindungi ekosistem terumbu karang disekitar pulau dari kegiatan penangkapan ikan<br />
yang tidak ramah lingkungan.<br />
Persentase tutupan karang hidup di Perairan Pulau Balak termasuk dalam kategori<br />
BAIK (51 %) berdasarkan standar baku mutu kerusakan karang. Namun demikian<br />
masih terdapat pecahan karang mati (rubble) sebesar 10% di sekitar perairan Pulau<br />
Balak.<br />
Pulau Lok adalah pulau kedua terbesar di <strong>Teluk</strong> Pedada setelah Pulau Balak. Pulau<br />
ini merupakan pulau datar dengan luas ± 7 ha dan memiliki garis pantai sepanjang ±<br />
1.3 km. Pulau ini menurut keterangan masyarakat sering menjadi sasaran kegiatan<br />
ilegal fishing terutama pengeboman ikan. Hal ini terlihat dari persentase pecahan<br />
karang mati (rubble) yang sebesar 20.2 %.<br />
Namun demikian tutupan karang hidup di pulau ini masih tergolong sedang (40 %)<br />
dengan komposisi karang acropora yang didominasi oleh spesies Acropora aspera<br />
(11%), dan karang keras non acropora dengan bentuk tumbuh karang daun (17.5%)<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar 4.24<br />
Pos Penjagaan kompleks budidaya di<br />
Pulau Balak dan keramba jaring<br />
tancap berisi ikan hiu yang di<br />
tangkarkan.<br />
Bab IV - 34
adalah dari genus Montipora, Pavona cactus dan spesies Agaricia agaricites. <strong>Karang</strong><br />
dengan bentuk tumbuh masif sebesar 12.5% yang antara lain terdiri dari Porites<br />
mayeri,Siderastrea siderea, dan Lobophyllia hemprichii.<br />
<strong>Karang</strong> lunak juga cukup banyak ditemukan di perairan ini (13.8%) yang tersusun dari<br />
genus Sinularia, disamping makro alga (4.5%) dan sponge 1%. Untuk makro alga<br />
spesies yang dominan adalah Padina commersoni.<br />
Gambar 4.25 Sponge jenis Callyspongia aerizusa di perairan Pulau Lok.<br />
Pulau Lunik adalah sebuah pulau kecil di sebelah utara Pulau Lok dengan diameter ±<br />
50 meter. Komposisi dasar perairan pulau ini sebagian besar terdiri dari pasir. Tetapi<br />
tidak demikian dengan Gosong Lunikan yang memiliki tutupan karang hidup sebesar<br />
49.2 %. Kondisi Pulau Lunik yang miskin dengan terumbu karang berdampak pada<br />
tingkat abrasi pantai yang terjadi di pulau tersebut, sehingga membuat pengelola pulau<br />
tersebut perlu membuat struktur penahan pantai yang hingga kini tampaknya juga<br />
tidak terlalu efektif manfaatnya.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 35
Gambar 4.26 Pulau Lunik (atas), Porites cylindrica dan karang masif Favia lacuna di Gosong Lunikan.<br />
Tanjung Putus terletak di sebelah ujung Timur Laut <strong>Teluk</strong> Pedada. yang dikatakan<br />
perairan Tanjung Putus sebenarnya adalah sebuah selat sempit diantara daratan<br />
Sumatera dengan Pulau Tanjung Putus. Dinamakan Tanjung Putus karena konon<br />
dahulu kala daerah itu adalah sebuah tanjung yang karena suatu hal terpisahkan dari<br />
daratan utamanya.<br />
Perairan Tanjung Putus ini merupakan salah satu sentra kegiatan budidaya laut dengan<br />
menggunakan jaring apung dan juga sebagai basis wisata penyelaman di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>. Karena pengawasan dan aktifitas budidaya dan wisata yang hampir tdak<br />
pernah berhenti di wilayah perairan tersebut, tutupan terumbu karang di perairan<br />
tersebut relatif terhindar dari kegiatan pengeboman yang ditandai dengan banyaknya<br />
hamparan peracahan karang mati (rubble). Persentase tutupan karang hidup di<br />
perairan ini termasuk dalam kategori baik (50.64 %) walaupun di beberapa tempat<br />
tetap ditemukan pecahan karang mati (rubble) sebesar 12.15 %, yang diduga<br />
kerusakan karang tersebut disebabkan akibat jangkar bangunan jaring apung dan<br />
jangkar perahu yang beroperasi diperairan tersebut.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 36
Gambar 4.27 Pulau Tanjung Putus dilihat dari arah laut (atas), juvenil ikan hidup diantara terumbu<br />
karang, dan karang masif Montipora turgescens (bawah).<br />
Bentuk tumbuh karang penyusun karang hidup di perairan Tanjung Putus yang<br />
dominan adalah karang daun (foliose) dan karang masif. <strong>Karang</strong> daun yang<br />
ditemukan di perairan ini antara lain adalah Leptoseris yabei, dan karang masif yang<br />
ditemukan antara lain adalah Montipora turgescens, dan Porites lobata. <strong>Karang</strong><br />
jamur (mushroom) juga banyak tersebar di perairan ini yaitu sebesar 3 %.<br />
Dari hasil pengamatan, di peroleh gambaran bahwa <strong>Teluk</strong> Pedada merupakan salah<br />
satu sentra budidaya laut dan entry point dari kegiatan wisata selam di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>. Secara umum persentase penutupan karang di perairan ini adalah 33 %<br />
karang hidup, karang mati 15.4% dan pecahan karang mati (rubble) 10.3%.<br />
Perlu mendapat perhatian terhadap tingginya penutupan karang yang rusak (karang<br />
mati dan karang pecah) sebesar 25.7 %, dengan kata lain seperempat dari seluruh<br />
luasan terumbu karang di <strong>Teluk</strong> Pedada dalam keadaan rusak. Tentunya hal ini<br />
mengisyaratkan bahwa perlu diambil kebijakan pengawasan oleh pemerintah dan<br />
masyarakat untuk mengurangi aktifitas dibidang perikanan secara teknis yang<br />
berpotensi merusak kelestarian ekosistem terumbu karang di teluk ini.<br />
Berdasarkan kriteria baku kerusakan terumbu karang (Kepmen LH No.4 tahun 2001),<br />
tutupan terumbu karang di wilayah perairan <strong>Teluk</strong> Pedada termasuk dalam kategori<br />
sedang dengan penutupan karang hidup rata-rata adalah 33 %. Secara detail<br />
persentase tutupan karang di <strong>Teluk</strong> Pedada dapat dilihat pada grafik dibawah ini.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 37
4.1.11 Kepulauan Lelangga<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Grafik 4.4 Tutupan <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> Pedada<br />
Kepulauan Lelangga terdiri dari Pulau Lelangga Balak (05°43’45,75”LS-<br />
105°13’46,31”BT) dan Pulau Lelangga Lunik (05°43’10,40”LS-105°14’32,10”BT).<br />
Hasil pengamatan dan detail tutupan terumbu karang di kepulauan tersebut dapat<br />
dilihat pada grafik dibawah ini.<br />
Grafik 4.5 Persentase tutupan karang di Kepulauan Lelangga<br />
Secara umum kondisi karang di Kepulauan Lelangga berdasarkan kriteria baku<br />
kerusakan terumbu karang, termasuk dalam kategori sedang (karang hidup (29.3%).<br />
<strong>Karang</strong> hidup di perairan ini sebagian besar tersusun dari karang dengan bentuk<br />
tumbuh meja (9.5%), karang jari (6.8%), karang daun (4.5%) dan karang bercabang<br />
Bab IV - 38
(8%).<br />
Spesies karang dengan bentuk tumbuh meja (tabulate) yang ada di perairan ini antara<br />
lain Acropora cytherea. Bentuk tumbuh jari spesies pembentuknya antara lain adalah<br />
Acropora palifera, dan pembentuk populasi karang bercabang di perairan Lelangga<br />
antara lain adalah Acropora parilis, karang masif adalah Montastrea curta, serta<br />
karang daun Agaricia agaricites.<br />
Gambar 4.28 Acropora cytherea (atas), dan beberapa spesies karang lunak<br />
di perairan Pulau Lelangga Balak.<br />
Yang menarik dari pengamatan di perairan Lelangga adalah kondisi dan status Pulau<br />
Lelangga Lunik. Pulau Lelangga Lunik kini pengelolaannya sudah dikuasai oleh<br />
seorang pengusaha. Di atas pulau itu dibangun beberapa fasilitas rumah<br />
peristirahatan. Namun sayangnya kondisi terumbu karang di perairan ini rusak<br />
terutama di arah pintu masuk ke pulau. <strong>Karang</strong> hidup di pulau ini praktis hanya di<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 39
temukan di sebelah selatan pulau (24%) dan sisanya adalah karang rusak yang terdiri<br />
dari karang mati (20%), dan pecahan karang mati atau rubble sebesar 16%. Beberapa<br />
karang lunak juga ditemukan di perairan ini sebagai bentuk upaya karang untuk<br />
kembali pulih. <strong>Karang</strong> lunak (36%) yang ada di perairan ini antara lain adalah<br />
Nepthea audouin, dan beberapa jenis karang lunak dari genus Sinularia.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar<br />
4.29<br />
Pulau Lelangga Lunik di lihat dari laut dan<br />
kondisi terumbu karang yang rusak di perairan<br />
Pulau Lelangga Lunik.<br />
Secara umum tutupan karang yang rusak di perairan lelangga lebih besar<br />
dibandingkan dengan karang hidup (36.5%), yang terdiri dari karang mati 23.5% dan<br />
rubble 13%. Rata-rata persentase tutupan karang di Kepuluan Lelangga disajikan<br />
dalam grafik dibawah ini.<br />
Bab IV - 40
4.1.12 Ketapang<br />
Ketapang adalah pantai di wilayah perairan <strong>Teluk</strong> Ratai Kecamatan Padang Cermin,<br />
Kabupaten Pesawaran. <strong>Teluk</strong> Ratai merupakan teluk di kawasan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
yang menjadi pusat pertahan dan keamanan nasional. Di teluk ini dibangun dan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Kerusakan karang yang parah di<br />
Pulau Lelangga Lunik, Kabupaten<br />
Pesawaran.<br />
Bab IV - 41
dikembangkan Pangkalan Utama Armada Laut/Maritim TNI Angkatan Laut Bagian<br />
Barat <strong>Teluk</strong> Ratai. Selain terdapat Dermaga Armada Barat, Pangkalan Maritim dan<br />
Brigade Infanteri Marinir juga di pusatkan di kawasan ini. Dijadikannya <strong>Teluk</strong> Ratai<br />
sebagai basis militer berdampak pada kelestarian ekosistem terumbu karang di<br />
perairan ini. Hal ini tercermin dari kondisi tutupan terumbu karang di perairan<br />
Ketapang. Tutupan karang hidup di perairan ini adalah 59%. <strong>Karang</strong> rusak 18%<br />
yang terdiri dari karang mati 13% dan rubble 5%. Pecahan karang mati (rubble) yang<br />
sedikit mengindikasikan bahwa di wilayah ini kegiatan pengeboman ikan dan kegiatan<br />
ilegal fishing lainnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi perairan<br />
lainnya di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Grafik 4.6 Grafik Persentase tutupan karang di perairan Ketapang.<br />
Pengamatan terumbu karang di perairan ini dilakukan pada saat laut surut, arus sedang<br />
ke arah selatan. Suhu permukaan pada saat pengamatan 30°C dan salinitas air laut 31<br />
pemil. Kecerahan air laut pada kedalaman 5 meter adalah 6 meter, kondisi ini cukup<br />
memudahkan proses pengambilan data primer dengan menggunakan metode Line<br />
Intercept Transect yang menarik garis lurus di daerah Reef Flat sepanjang 50 meter.<br />
Kondisi kecerahan tersebut juga sangat memudahkan pengambilan dokumentasi<br />
bawah laut di perairan ini.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 42
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar<br />
4.29<br />
Pintu gerbang kawasan militer TNI AL<br />
(atas), lili laut dan hamparan karang jari<br />
Acropora irregularis (bawah).<br />
<strong>Karang</strong> hidup di perairan Ketapang di dominasi oleh karang non acropora dengan<br />
bentuk tumbuh karang daun (foliose) sebanyak 40% seperti spesies Leptoseris<br />
amitoriensis. <strong>Karang</strong> bercabang sebanyak 29% seperti Montipora gaimardi, Acropora<br />
brueggemanni, Anacropora pillai dan lain-lain.<br />
Beberapa spesies karang jari (coral digitate) penyusun ekosistem terumbu di perairan<br />
ini antara lain adalah Acropora irregularis, Montipora angulata. Dan karang lunak<br />
(5%) di perairan ini sebagian besar terdiri dari genus Sinularia.<br />
4.1.13 Pesisir Pantai Kalianda<br />
Pengamatan ekosistem terumbu karang di pesisir pantai Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan<br />
sangat penting untuk mengetahui perbandingan kondisi tutupan karang diantara pantai<br />
Bab IV - 43
Kabupaten Pesawaran, Kota Bandar <strong>Lampung</strong> dan dengan Kabupaten <strong>Lampung</strong><br />
Selatan itu sendiri.<br />
Pengamatan karang di pantai Kalianda Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan di lakukan di 4<br />
(empat) stasiun yaitu; Pantai Canti (05°48’01,30”LS-105°34’58,2”BT), Pantai<br />
Kaliandak (05°44’39.61”LS-105°35’10.60”BT), Merak Belantung 1<br />
(05°40’29.86”LS-105°32’32.95”BT), Merak Belantung 2 (05°41’31.45”LS-<br />
105°31’59.03”BT). Persentase tutupan karang di lokasi pengamatan tersebut dapat<br />
dilihat pada grafik di bawah ini.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Grafik 4.7 Persentase tutupan karang di Pantai Kalianda.<br />
Kondisi ekosistem terumbu karang di Pantai Kalianda berdasarkan kriteria baku<br />
kerusakan karang termasuk dalam kategori rusak. Hal ini terlihat dilapangan bahwa<br />
kelompok terumbu karang yang masih hidup didasar perairan cukup sulit ditemukan.<br />
Sebagai contoh di Canti tutupan karang hidup 15.8%, Pantai Kalianda 12%, dan ratarata<br />
tutupan karang hidup di Merak Belantung 9.5%.<br />
Secara umum kondisi penutupan terumbu karang di wilayah pesisir pantai Kalianda<br />
Bab IV - 44
dapat di ilustrasikan dengan grafik kue dibawah ini.<br />
Pada grafik kue di atas dapat dilihat penutupan karang hidup hanya 11.7% (kategori<br />
rusak), dan karang rusak 16.15% yang terdiri dari karang mati 7.75% dan rubble<br />
8.4%.<br />
Yang unik dari pengamatan di pesisir Kalianda adalah tingginya persentase penutupan<br />
alga di perairan ini yaitu sebesar 39.75%. Kondisi ini hampir merata di setiap lokasi<br />
pengamatan, seperti di Canti tutupan alga sebesar 11%, pantai Kalianda 42%, dan<br />
rata-rata tutupan alga di Merak Belantung sebesar 53%. Persentase tutupan alga yang<br />
cukup tinggi ini disebabkan karena kondisi habitat yang tepat cocok untuk<br />
pertumbuhan alga yaitu kondisi perairan pantai yang relatif tenang hingga berarus<br />
sedang, serta substrat perairan yang berpasir (29.75%). Kondisi perairan yang di<br />
tumbuhi alga biasanya menjadi indikator bahwa di perairan tersebut representatif<br />
untuk pengembangan budidaya rumput laut, yang dapat menjadi alternatif usaha bagi<br />
masyarakat pesisir Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan.<br />
Beberapa jenis makro alga yang teridentifikasi di sepanjang lokasi pengamatan antara<br />
lain adalah ; Caulerpa racemosa, Turbinaria decurrens, Padina commersoni,<br />
Actinotrichia fragilis, Sargassum duplicatum, dan Halymenia durvillaei.<br />
Makro alga yang ditemukan dominan di pantai Canti adalah dari jenis Caulerpa<br />
racemosa yaitu 11% dari area pengamatan di Canti, makro alga di Pantai Kalianda<br />
didominasi oleh spesies Actinotichia fragilis (34%) dan Sargassum sp (8%), serta<br />
makro alga di Merak Belantung didominasi oleh genus Sargassum (50%).<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 45
Gambar 4.30 Makro algae Halymenia durvillaei di Canti (kiri atas), Caulerpa racemosa dan<br />
Turbinaria decurrens di Canti (kanan atas), Actinotichia fragilis (merah) dan Titanophora<br />
pulchra (orange) di Kalianda (kanan bawah), dan Sargassum sp. Di Merak Belantung (kiri<br />
bawah).<br />
Makro alga dari jenis Titanophora pulchra yang berwarna orange adalah makro alga<br />
yang jarang ditemui. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI (1996), makro alga jenis<br />
Titanophora sp baru terlihat di perairan Sulawesi dan itupun hanya satu sampel saja<br />
yang ditemukan.<br />
4.1.14 Pantai Tanjung Selaki-Pasir Putih<br />
Pantai Tanjung Selaki dan Pasir Putih adalah dua pantai di pesisir Kabupaten<br />
<strong>Lampung</strong> Selatan yang menjadi sentra kegiatan wisata. Kegiatan-kegiatan wisata<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 46
ahari yang dilakukan di kedua pantai tersebut sebagian besar adalah wisata keluarga<br />
dan berperahu. Pantai Pasir Putih berhadapan langsung dengan Pulau Condong Darat,<br />
salah satu dari tiga pulau di Kepulauan Condong. Seperti diketahui Pulau Condong<br />
adalah Pulau wisata dan Pasir Putih menjadi salah satu pintu masuk ke Pulau Condong<br />
tersebut.<br />
Bersebelahan dengan Pantai Pasir Putih, terdapat tempat pendaratan ikan di Rangai,<br />
sehingga semua aktifitas perikanan dan wisata di sekitar Pantai Pasir Putih tersebut<br />
cukup memberikan tekanan yang berat terhadap kelestarian terumbu karang di<br />
perairan tersebut. Hal ini terlihat dari persentase tutupan karang hidup di Pasir Putih<br />
yang sebesar 25% dan pecahan karang sebesar 31%. Persentase tutupan karang di<br />
Pantai Pasir Putih dan Tanjung Selaki dapat di lihat pada grafik dibawah ini.<br />
Tekanan yang diterima oleh ekosistem terumbu karang di Tanjung Selaki relatif sama<br />
dengan apa yang terjadi di Pantai Pasir Putih. Kegiatan wisata cukup padat di akhir<br />
minggu dan kegiatan penangkapan ikan dengan bagan apung di perairan sekitar<br />
Tanjung Selaki sedikit banyak memberikan dampak pada karang yang tercermin pada<br />
keberadaan karang hidup di perairan ini. Persentase tutupan karang hidup diperairan<br />
ini sebesar 36.14% dan menurut kriteria baku kerusakan karang kondisi ini tegolong<br />
sedang.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 47
Gambar 4.31 Aktifitas wisata di pantai Pasir Putih, sampah, dan kondisi karang di dasar perairan.<br />
<strong>Karang</strong> hidup di perairan Pasir Putih sebagian besar terbentuk dari karang masif<br />
dengan spesies penyusunnya antara lain Diploria labyrinthiformis. Selain itu di<br />
perairan tersebut juga terekam tutupan alga sebesar 17% yang tersusun oleh alga dari<br />
spesies Caulerpa racemosa, Sargassum sp., dan Actinotichia fragilis.<br />
Di perairan Tanjung Selaki diketahui spesies karang dominan yang membentuk<br />
tutupan karang hidup di perairan tersebut adalah karang dengan bentuk tumbuh<br />
bercabang (36.14%) dengan spesies antara lain Acropora prolifera dan Acropora<br />
palifera. Makro alga juga banyak ditemukan diperairan ini dengan tutupan sebesar<br />
49.57%.<br />
Kondisi tutupan karang di perairan Tanjung Selaki secara umum dapat dilihat pada<br />
grafik persentase tutupan karang di bawah ini.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 48
Grafik 4.8 Persentase tutupan karang di perairan Tanjung Selaki-Pasir Putih.<br />
Dari grafik diatas diperoleh gambaran bahwa tutupan karang di perairan Pantai<br />
Tanjung Selaki dan Pasir Putih termasuk dalam kategori sedang (30.6%). Dan<br />
pecahan karang mati (rubble) sebesar 22.6%. Hamparan pecahan karang ini diduga<br />
kuat diakibatkan oleh kegiatan penangkapan ikan dengan bahan peledak yang hingga<br />
kini masih sering terjadi, dan karena kegiatan wisata yang tidak mengindahkan<br />
lingkungan serta jangkar kapal /perahu/bagan apung yang sering beroperasi di lokasi<br />
pengamatan.<br />
4.1.15 Lokasi Batu Bara<br />
Penamaan Lokasi Batu Bara pada laporan ini sebenarnya hanya untuk memberi inisial<br />
titik koordinat (05°31’48.90”LS-105°21’14.37”BT) tempat dimana pengamatan dan<br />
penyelaman dilakukan. Lokasi pengamatan tersebut adalah di pantai dimana terminal<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bagan apung yang beroperasi<br />
di Perairan Tanjung Selaki.<br />
Bab IV - 49
ongkar muat batubara tarahan berada. Pengamatan dilakukan ditempat ini bertujuan<br />
untuk melihat dampak kegiatan bongkar muat batubara terhadap kondisi terumbu<br />
karang yang ada di perairan tersebut.<br />
Persentase tutupan karang hidup di perairan tersebut yaitu sebesar 28%, dalam artian<br />
kondisi karang diperairan masih dalam kategori sedang walaupun mendekati rusak.<br />
Namun yang menarik di lokasi ini adalah tutupan silt atau lumpur maupun substrat<br />
halus yang menutupi dasar perairan. Tutupan substrat halus tersebut berwarna coklat<br />
hingga hitam terhampar seluas 41%. Di lokasi ini juga ditemukan hamparan karang<br />
mati yang meliputi 20% dari luas garis pengamatan. <strong>Karang</strong> mati ini diduga terjadi<br />
karena resapan cahaya matahari yang kurang karena keruhnya air laut di sekitar<br />
perairan. Pada saat penyelaman dilakukan kecerahan air laut kurang dari 4 meter,<br />
walaupun pada saat itu air sedang dalam keadaan surut.<br />
4.1.16 Pulauan Sebuku<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Grafik 4.9 Persentase tutupan karang di lokasi Batubara.<br />
Pengamatan terumbu karang di Pulau Sebuku dilakukan di dua lokasi penyelaman<br />
yaitu Pulau Sebuku (05°50’48.40”LS-105°31’45”BT) dan Pulau Sebuku Kecil yang<br />
biasa di sebut Pulau Elang (05°52’40.11”LS-105°32’29.67”BT). Pulau Sebuku<br />
Bab IV - 50
merupakan salah satu pulau besar selain Pulau Sebesi di kawasan perairan <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>. Pulau Sebuku adalah pulau yang berpenghuni dan aktifitas kegiatan<br />
penangkapan ikan cukup tinggi. Persentase tutupan karang di setiap lokasi<br />
pengamatan dapat dilihat dalam grafik dibawah ini.<br />
Kondisi karang di Pulau Sebuku termasuk dalam kategori rusak. Hal ini tercermin<br />
dari persentase karang hidup di Pulau Sebuku yang hanya 23.93%. Demikian pula<br />
dengan Pulau Elang yang tutupan karang hidupnya 12%.<br />
Menurut penuturan nelayan dari Pulau Sebuku, di perairan sekitar pulau sering terjadi<br />
pengeboman ikan terutama di Pulau Elang. Dampak dari kegiatan ilegal fishing ini<br />
tampak pada persentase karang mati di Pulau Elang yang hingga mencapai 72%.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 51
Gambar 4.32 Kondisi terumbu karang di Pulau Sebuku (atas), dan di Pulau Elang (bawah).<br />
Beberapa spesies karang yang ditemukan di Pulau Sebuku antara lain adalah karang<br />
dengan bentuk bercabang seperti Acropora cylindrica, karang dengan bentuk tumbuh<br />
meja yaitu Acropora japonica dan Montipora efflorescens, serta karang dengan<br />
bentuk tumbuh masif seperti Astreopora myriophthalma.<br />
Di perairan Pulau Sebuku juga terdapat hamparan karang lunak yang hidup diatas<br />
karang mati sebagai bentuk awal dari akan pulihnya ekosistem karang. Persentase<br />
karang lunak (soft coral) di perairan ini adalah 2.66%. Selain karang lunak, tutupan<br />
makro alga juga menghiasi hamparan karang mati dengan besaran tutupan 1.27%.<br />
Spesies karang lunak yang ada di perairan Pulau Sebuku antara lain adalah Xenia sp<br />
dan genus Sinularia. Sementara spesies makro alga yang dominan ada di dasar<br />
perairan ini adalah alga Halimeda sp.<br />
Tutupan karang di Pulau Elang sungguh memprihatinkan. <strong>Karang</strong> hidup yang terukur<br />
di perairan ini hanya 12% yang meliputi karang masif 7% dan karang kerak 5%.<br />
Sementara hamparan karang mati mencapai 72% yang meliputi karang yang baru mati<br />
(dead coral) 29%, dan karang mati yang tertutup alga (Dead Coral Algae) mencapai<br />
tingkat tutupan sebesar 43%.<br />
Secara umum, tutupan karang di perairan kepulauan Sebuku dapat di gambarkan<br />
dalam grafik kue dibawah ini.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 52
Grafik 4.10 Grafik Rata-rata persentase tutupan karang di Pulau Sebuku<br />
<strong>Karang</strong> hidup diperairan kepulauan ini rata-rata hanya 18% sehingga kondisi<br />
ekosistem terumbu karang ada dalam kategori rusak berdasarkan kriteria baku<br />
kerusakan karang dari Kepmen Lingkungan Hidup No.4 tahun 2001.<br />
4.1.17 Kepulauan Sebesi<br />
Pengamatan terumbu karang di Kepulauan Sebesi dilakukan di 2 (dua) lokasi<br />
penyelaman yaitu di sebelah utara Pulau Sebesi pada koordinat 05°55’11.26”LS-<br />
105°30’3.18”BT, dan di Pulau Umang-umang pada koordinat 05°55’33.99”LS-<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Perahu penumpang, sebagai satu‐satunya alat<br />
transportasi dari Canti ke Kepulauan Sebesi dan Sebuku.<br />
Bab IV - 53
105°31’57.11”BT.<br />
Pulau sebesi merupakan pulau besar yang berpenduduk cukup banyak dalam sebuah<br />
desa. Dahulu penduduk pulau ini hidup makmur dengan mangandalkan hasil<br />
perkebunan kelapa, namun sejak krisis ekonomi komoditi kelapa tidak lagi dominan<br />
dan kini banyak kebun kelapa di pulau ini dikonversi menjadi kebun coklat.<br />
Garis pantai Pulau Sebesi mencapai ±21 km dengan topografi pulau hingga ± 800<br />
meter. Kondisi perairan pada saat pengamatan dilakukan adalah pada saat surut dan<br />
arus bergerak keras ke arah utara. Selain itu penyelaman dilakukan pada saat gunung<br />
anak Krakatau dalam keadaan siaga II. Persentase tutupan karang di setiap lokasi<br />
pengamatan di tampilkan dalam grafik dibawah ini.<br />
Persentase tutupan karang hidup di Pulau Sebesi adalah 21%, dan karang mati sebesar<br />
4%, serta tutupan pecahan karan mati mencapai 26%. Dengan demikian kondisi<br />
terumbu karang di Pulau Sebesi dalam ada dalam kategori rusak.<br />
Pulau Umang-Umang merupakan pulau kecil di sebelah timur Pulau Sebesi dan pulau<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 54
ini kini dijadikan daerah perlindungan laut (DPL) yang dikelola oleh masyarakat<br />
pulau. Kondisi tutupan terumbu karang di pulau ini jauh lebih baik daripada kondisi<br />
karang di pulau induknya. Tutupan karang hidup di pulau ini mencapai 47%, dengan<br />
komposisi karang keras dari keluarga Acropora sebesar 21.60%, dan kelompok non<br />
acropora sebesar 37.40%. Selain itu tutupan alga mencapai 10%, dan hamparan<br />
karang lunak yang menghiasi dasar perairan mencapai 15%.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Gambar<br />
4.33<br />
Kondisi terumbu karang di Pulau<br />
Sebesi pada kedalaman 10 meter<br />
(atas), Pulau Umang-umang dan<br />
Kima Raksasa (Tridacna gigas)<br />
yang banyak terdapat di perairan<br />
DPL pulau ini (bawah).<br />
Dari pengamatan terumbu karang di kedua lokasi penyelaman tersebut diperoleh<br />
gambaran persentase tutupan karang di Pulau Sebesi adalah seperti yang diilustrasikan<br />
pada grafik dibawah ini.<br />
Bab IV - 55
Grafik 4.11 Grafik rata-rata Penutupan karang di Pulau Sebesi.<br />
Persentase tutupan karang hidup di Pulau Sebesi adalah 34% sehingga berdasarkan<br />
kriteria baku kerusakan karang ekosistem terumbu karang di kepulauan ini termasuk<br />
dalam kategori sedang.<br />
Pada grafik di atas tergambar pula persentase kerusakan karang yang mencapai 25%<br />
yang terdiri dari karang mati 8% dan pecahan karang mati sebesar 17%. Bila di Pulau<br />
Sebesi tersebut tidak ada upaya untuk mengamankan sebagian dari wilayah<br />
perairannya untuk menjadi daerah perlindungan laut (DPL), maka dapat diestimasi<br />
bahwa persentase karang hidup di perairan sebesi akan jauh lebih rendah dari yang<br />
terhitung sekarang.<br />
4.1.18 Pesisir Pantai Bandar <strong>Lampung</strong><br />
Pesisir pantai Kota Bandar <strong>Lampung</strong> merupakan daerah yang terpada dengan<br />
penduduk dan aktifitas perekonomiannya. Sebagai ibukota Propinsi <strong>Lampung</strong> seluruh<br />
aktifitas kegiatan manusia mulai dari pusat pemerintahan, pelabuhan perikanan dan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 56
pelabuhan peti kemas, pusat wisata hingga ke industri seluruhnya ikut memberikan<br />
tekanan yang tinggi terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir<br />
kotamadya ini.<br />
Tekanan aktifitas kegiatan manusia tersebut tercermin dari hilangnya kelestarian<br />
ekosistem terumbu karang diperairan. Pada saat pengamatan karang yang dilakukan<br />
di tiga lokasi penyelaman yang meliputi Pantai Puri Gading (05°28’9.21”LS-<br />
105°15’27.69”BT), Gudang Lelang (05°27’18.45”LS-105°16’14.20”BT), dan Pulau<br />
Kubur (05°29’14.30”LS-105°15’29.80”BT), tidak ditemukan tutupan karang hidup,<br />
bahkan tutupan karang mati sangat jarang (poor) dan sudah tertutup endapan (silt)<br />
sehingga dapat diabaikan keberadaannya. Dibawah ini disajikan grafik penutupan<br />
karang per lokasi pengamatan di pesisir pantai Bandar <strong>Lampung</strong>.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 57
Gambar 4.34 Pulau Kubur dilihat dari PPI Lempasing, dan sea grass jenis Enhallus acoroides<br />
di dasar perairan Bandar <strong>Lampung</strong>.<br />
Secara umum kondisi ekosistem terumbu karang di pesisir pantai Bandar <strong>Lampung</strong> di<br />
lokasi pengamatan adalah rusak dengan tutupan karang hidup 0%. Dasar laut di<br />
kawasan perairan tersebut didominasi oleh hamparan pasir (73.9%) dan lumpur (7%).<br />
Selain itu hanya ditemukan fauna lain yang masih hidup dari kelopok sea grass seperti<br />
Enhallus acoroides. Dengan demikian kondisi karang di perairan tersebut dapat<br />
digambarkan dalam grafik dibawah ini.<br />
Grafik 4.12 Grafik tutupan karang di pesisir pantai Bandar <strong>Lampung</strong>.<br />
4.2 Perubahan Ekosistem <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> tahun 1998 dan<br />
tahun 2007<br />
Pada tahun 1998, kondisi ekosistem terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> pernah<br />
dilakukan penelitian karang di beberapa pulau melalui kegiatan Coastal Resources<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 58
Management Project <strong>Lampung</strong>. Pengukuran tutupan terumbu karang di lakukan di 6<br />
(enam lokasi) yaitu ; Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat, Pulau<br />
Kelagian, Pulau Puhawang dan Pulau Dua.<br />
Rata-rata tutupan karang hidup di lokasi pengamatan tersebut pada tahun 1998 adalah<br />
65.5%, dan tutupan rata-rata karang mati adalah 14.73%. Sehingga berdasarkan<br />
kriteria baku kerusakan karang, kondisi terumbu karang di beberapa lokasi di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> pada tahun 1998 termasuk dalam kategori BAIK. Berikut disajikan dalam<br />
bentuk grafik persentase tutupan karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> pada tahun 1998.<br />
Grafik 4.13 Grafik tutupan karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> tahun 1998.<br />
Dibandingkan dengan kondisi tutupan karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> tahun 1998 tersebut,<br />
kondisi ekosistem karang <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> pada beberapa lokasi yang sama saat ini<br />
(tahun 2007) sangat menurun selama kurun waktu 8 tahun ini dengan laju penurunan<br />
tutupan karang hidup sebesar 3% pertahun.<br />
Perubahan dan perbandingan persentase tutupan karang hidup di beberapa lokasi di<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> antara tahun 1998 dengan tahun 2007, disajikan dalam grafik<br />
dibawah ini.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 59
Grafik 4.14 Grafik tutupan karang hidup di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> pada beberapa lokasi tahun 1998<br />
dan tahun 2007.<br />
Dari grafik yang menunjukkan perbandingan kondisi tutupan karang di atas, diperoleh<br />
gambaran bahwa hampir seluruh lokasi pengamatan karang mengalami penurunan<br />
tutupan karang, kecuali di Pulau Kelagian. Hal ini terjadi karena dipilihnya Pulau<br />
Kelagian sebagai daerah latihan perang yang dikelola oleh TNI AL, sehingga aktifitas<br />
TNI AL sekitar perairan ini mengurangi aksi pengeboman ikan yang dilakukan oleh<br />
oknum nelayan.<br />
4.3 Persepsi Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Wilayah pesisir merupakan salah satu sistem ekologi yang paling produktif, beragam<br />
dan kompleks. Wilayah ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Jangkar<br />
kapal/perahu<br />
turut andil dala<br />
kerusakan<br />
karang di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 60
diantara daratan dan lautan, serta merupakan pemusatan terbesar penduduk sehingga<br />
memberikan tekanan yang semakin berat terhadap ekosistem di wilayah ini.<br />
Secara spasial dan ekologis, wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas<br />
(daratan) dan laut. Hal ini karena wilayah pesisir merupakan merupakan daerah<br />
pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka<br />
pengelolaan kawasan pesisir tidak lepas dari pengelolaan yang dilakukan di kawasan<br />
darat dan laut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada kawasan pesisir<br />
merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang<br />
dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri,<br />
pemukiman dan sebagainya.<br />
Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri, pertanian dan<br />
rumah tangga, serta sedimentasi tidak dapat dilakukan hanya di kawasan pesisir saja,<br />
tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan<br />
wilayah pesisir harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah<br />
Aliran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan.<br />
Keterkaitan antar ekosistem pesisir dan laut harus selalu diperhatikan, misalnya<br />
ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.<br />
Salah satu sumberdaya alam di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang rentan terhadap<br />
kerusakan adalah terumbu karang. <strong>Terumbu</strong> karang dengan segala kehidupan yang ada<br />
didalamnya merupakan salah satu kekayaan yang dapat menunjang produksi<br />
perikanan, bahan baku farmasi, obyek wisata bahari, bahan hiasan dan aquarium ikan<br />
laut, bahan bangunan, tempat pemijahan ikan, tempat mencari ikan, tempat asuhan dan<br />
pembesaran dan pelindung pantai dari hempasan ombak.<br />
Kerusakan ekosistem terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia.<br />
Kerusakan ini akan menyebabkan berkurangnya atau menghilangkan fungsi dan<br />
manfaat terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk<br />
mengembalikan terumbu karang yang rusak maka diperlukan upaya pengelolaan<br />
terumbu karang yang diantaranya rehabilitasi terumbu karang.<br />
Keberhasilan pengelolaan terumbu karang ditentukan oleh banyak faktor. Salah<br />
satunya adalah partisipasi masyarakat setempat. Tanpa adanya upaya pemeliharaan<br />
dan perlidungan terumbu karang secara terus menerus, maka upaya rehabilitasi<br />
terumbu karang kecil kemungkinannya akan berhasil. Untuk itu hal yang perlu<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 61
diperhatikan adalah bagaimana mengembangkan partisipasinya masyarakat agar<br />
telibat aktif serta persepsi masyarakat terhadap pengelolaan wilayah pesisir.<br />
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden sebanyak 110 orang di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>, persepsi masyarakat terhadap lingkungan pesisirnya adalah sebagai berikut:<br />
Tabel 4.2 Persepsi Masyarakat terhadap Lingkungan Pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
No Pertanyaan Kuisioner Persentase Responden (%)<br />
1 Kegiatan manusia di laut akan<br />
mempengaruhi jumlah ikan di laut<br />
2 Hutan mangrove tidak dilindungi,<br />
maka kita tidak dapat menangkap<br />
ikan kecil-kecil<br />
3 Kita harus peduli dan menjaga tanah<br />
dan laut, bila tidak tanah dan laut<br />
tidak akan menyediakan makanan<br />
bagi kita<br />
4 Membuang sampah ke pantai, akan<br />
dibawa arus ke laut dan tidak akan<br />
menimbulkan kerusakan di laut<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
0<br />
25.5<br />
6.4<br />
2.7<br />
5.5<br />
57.3<br />
2.7<br />
0<br />
26.4<br />
1.8<br />
4.5<br />
2.7<br />
56.4<br />
8.2<br />
1.8<br />
6.4<br />
0.9<br />
0.9<br />
0.9<br />
70.9<br />
18.2<br />
4.5<br />
48.2<br />
Bab IV - 62
5 Kita tidak perlu kuatir mengenai<br />
lingkungan udara dan laut, karena<br />
Tuhan akan merawat dan<br />
menjaganya<br />
6 Apabila ada kerjasama dari<br />
masyarakat maka sumberdaya alam<br />
di sekitar desa kita dapat dijaga dan<br />
dilindungi<br />
7 Menangkap ikan akan lebih mudah<br />
bila karang tempat hidup ikan di<br />
angkat dan diambil habis<br />
8 Perkebunan di perbukitan di<br />
belakang desa dapat mempengaruhi<br />
kehidupan ikan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
0.9<br />
0.9<br />
0.9<br />
36.4<br />
8.2<br />
5.5<br />
41.8<br />
2.7<br />
1.8<br />
0<br />
40.9<br />
7.3<br />
0.9<br />
0<br />
0.9<br />
0.9<br />
2.7<br />
82.7<br />
11.8<br />
1.8<br />
74.5<br />
4.5<br />
0.9<br />
0<br />
13.6<br />
4.5<br />
0<br />
46.4<br />
0.9<br />
5.5<br />
Bab IV - 63
9 Karena begitu banyak ikan di laut,<br />
maka berapapun yag ditangkap, ikan<br />
akan tetap tersedia cukup bagi<br />
kebutuhan kita<br />
10 Kawasan laut yang dimanfaatkan<br />
oleh desa ini terbatas<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
Sangat tidak setuju<br />
Tidak setuju<br />
Agak tidak setuju<br />
Tidak tahu<br />
Agak setuju<br />
Setuju<br />
Setuju sekali<br />
2.7<br />
42.7<br />
1.8<br />
0<br />
13.6<br />
8.2<br />
0<br />
0.9<br />
69.1<br />
8.2<br />
2.7<br />
31.8<br />
0<br />
4.5<br />
0<br />
56.4<br />
4.5<br />
Masyarakat yang menyatakan setuju (57,3%/63 orang) bahwa kegiatan manusia dilaut<br />
mempengaruhi jumlah ikan di laut. Sedangkan persepsi terhadap hutan bakau bahwa<br />
masyarakat yang setuju (56,4%/62 orang) dan tidak setuju (26,4 %/29 orang) jika<br />
hutan bakau tidak dilindungi maka tidak dapat menangkap ikan-ikan kecil lagi.<br />
Masyarakat setuju membuang sampah ke sungai sebanyak (36,4%/40 orang) dan tidak<br />
(48,2%/53 orang), ini berarti bahwa banyak masyarakat mempunyai kebiasaan suka<br />
membuang sampah ke sungai. Kerjasama dalam menjaga sumberdaya alam sangat<br />
penting, masyarakat yang setuju (82,7%/91 orang), ini berarti tanggung jawab<br />
menjaga lingkungan laut adalah tanggung jawab bersama. Persepsi masyarakat<br />
terhadap kemudahan menangkap ikan pada karang yang diangkat dan diambil habis<br />
sebayak (74,5 %/82 orang) tidak setuju, ini berarti masyarakat secara pengalaman<br />
sehari-hari mengetahui bahwa karang merupakan habitat ikan karang. Pandangan<br />
Bab IV - 64
ahwa sumberdaya ikan sangat terbatas sebanyak (69,1%/76 orang) setuju dan hanya<br />
(13,6%/ 15 orang) tidak setuju. Tentang kawasan laut yang dimanfaatkan mempunyai<br />
keterbatasan, sebanyak (56,4%/62 orang) setuju dan (31,8%/35 orang) tidak setuju.<br />
4.4 Permasalahan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Ekosistem terumbu karang dapat mengalami degradasi/kerusakan oleh aktifitas<br />
manusia. Aktifitas tersebut seperti yang diungkapkan oleh Berwick (1983) dalam<br />
Dahuri et al (1996) adalah: penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak,<br />
penangkapan ikan dengan alat yang merusak dan eksploitasi yang berlebihan,<br />
pembuangan limbah panas, pengundulan hutan di lahan atas, pengerukan di sekitar<br />
terumbu karang, kepariwisataan, pencemaran oleh limbah manusia dari hotel tanpa<br />
hotel tanpa pengolahan, kerusakan fisik terumbu karang oleh jangkar kapal, kegiatan<br />
penyelaman yang tidak peduli terhadap nilai kelestarian terumbu karang, serta<br />
penangkapan ikan hias dengan menggunakan kalsium sianida (KCN). Sedangkan<br />
pengaruh faktor alam misalnya akibat badai dan pemangsaan predator (Acanthaster<br />
plancii) juga akibat perubahan suhu air laut yang menyebabkan karang mati dan<br />
menjadi putih (bleaching).<br />
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan hasil survey lapangan bahwa<br />
kerusakan terumbu karang <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> di sebabkan oleh:<br />
1. Kegiatan Pemboman dan pemutasan karang untuk mencari ikan karang<br />
Pemboman karang terjadi diantara Pulau Legundi, Pulau Siuncal, dan pulau<br />
kecil lainya. Bekas-bekas bom dapat dilihat dari banyaknya patahan karang<br />
dan lubang bekas bom serta setelah terjadi pemboman terjadi perubahan<br />
ekosistem mikro terumbu karang dengan danya rubbles dan sea anemone<br />
(karang lunak) yang melimpah. Ini menandakan terjadinya recovery karang<br />
tetapi eksositem baru ini tidak akan mendukung keberadaan ikan-ikan karang<br />
untuk kembali. Dampak racun (potas) menghilangkan semua jenis karang dan<br />
ikan karang dalam bentuk dewasa dan juvenil maupun telurnya.<br />
2. Penambangan karang untuk bahan bangunan, jalan dan perhiasan<br />
Dampak penambangan karang adalah kestabilan pantai berkurang dan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 65
ertambahnya erosi/abrasi pantai sehingga menimbulkan masalah sosial seperti<br />
kerusakan bangunan pantai, pantai, rumah, dan infrastruktur penting lainya.<br />
Penambangan karang di untuk pondasi bangunan terjadi disepanjang pantai<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dan pulau-pulau kecil. Kerajinan karang banyak<br />
diperdagangkan di Kalianda.<br />
3. Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan pertambakan.<br />
Sedimentasi terjadi pada wilayah dekat pantai dan diwilayah muara sungai.<br />
Dampak yang ditimbulkan matinya karang karena endapan lumpur, susah<br />
melakukan repirasi, perairan keruh dan zooxantelae pada karang tidak bisa<br />
bisa melakukan fotosintesa. Sepanjang pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> terjadi alih<br />
konversi lahan menjadi tambak udang dan penebangan mangrove.<br />
4. Perusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulau- pulau kecil<br />
karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga. Kerusakan<br />
karang akibat jangkar seperti patahnya karang bercabang, tercabutnya karang<br />
meja dan hancur karang lunak.<br />
Tabel 4.3 Penyebab Kerusakan Ekosistem <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
No Penyebab Utama Kerusakan Akibat yang ditimbulkan<br />
1 Kegiatan Pemboman dan pemutasan<br />
karang untuk mencari ikan karang<br />
2 Penambangan karang untuk bahan<br />
bangunan, jalan dan perhiasan<br />
3 Sedimentasi akibat penebangan<br />
hutan dan pembukaan pertambakan<br />
4 Perusakan karang akibat<br />
pembuangan jangkar kapal di pulau‐<br />
pulau kecil karena kurangnya<br />
pelampung tambat (mooring buoy)<br />
dan dermaga<br />
4.5 Parameter Oseanografi<br />
4.5.1 Angin dan Suhu Udara<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Kerusakan habitat, karang patah, membuang<br />
lubang, karang kena potas memutih, dan<br />
berkurangnya keanekaragaman hayati<br />
Kestabilan pantai berkurang dan<br />
bertambahnya erosi/abrasi pantai<br />
Matinya karang karena endapan lumpur,<br />
susah melakukan repirasi, perairan keruh<br />
dan zooxantelae pada karang tidak bisa bisa<br />
melakukan fotosintesa<br />
Rusaknya karang dan berkurangnya ikan<br />
karang, karang patah terutama karang<br />
bercabang, dan karang terbongkar.<br />
Angin yang bertiup di atas <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> pada saat pengamatan berlangsung adalah<br />
Bab IV - 66
angin musim barat yang bertiup dari arah barat laut.<br />
Suhu udara yang diperoleh pada saat pengamatan di seluruh lokasi memiliki kisaran<br />
antara 28ºC-32ºC. Sehingga dari hasil pengukuran tersebut suhu udara rata-rata di<br />
perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah 30ºC.<br />
4.5.2 Arus<br />
Kecepatan arus permukaan pada saat pengamatan memiliki kisaran antara 0.061<br />
m/det-0.472 m/det. Kecepatan maksimum arus permukaan yang diperoleh adalah<br />
0.472 m/det di perairan Pulau Sebesi. Sedangkan kecepatan minimum arus<br />
permukaan yang diperoleh adalah 0.061 m/det di <strong>Teluk</strong> Tegal.<br />
Arah dan kecepatan arus permukaan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang diperoleh saat pengamatan<br />
lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang sedang pasang,<br />
pengaruh arus yang masuk dari Selat Sunda, kondisi geografis dan batimetri perairan<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>. Sedangkan pengaruh angin (Nontji, 1987) dan gaya Coriolis<br />
(Sidjabat, 1973) tidak terlalu mempengaruhi arah dan keceepatan arus di dalam <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>. Secara keseluruhan rata-rata kecepatan arus permukaan di perairan <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> di lokasi pengamatan adalah 0.337 m/det dengan arah arus rata-rata menuju<br />
utara.<br />
4.5.3 Suhu<br />
Rata-rata suhu permukaan perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah 28ºC. Secara umum<br />
kisaran suhu permukaan di perairan teluk adalah 28ºC-30ºC. Variasi suhu permukaan<br />
yang terdapat di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> ini secara umum disebabkan karena pengaruh<br />
masukan massa air dari Selat Sunda dan sungai-sungai yang bermuara di <strong>Teluk</strong> Ratai<br />
dan <strong>Teluk</strong> Punduh-Pidada. Secara umum sebaran mendatar suhu permukaan tersebut<br />
menunjukkan bahwa pada saat pengamatan, suhu permukaan di tengah-tengah teluk<br />
dan di mulut teluk relatif lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan yang<br />
terukur di pantai barat teluk. Hal ini disebabkan karena perairan dibagian tengah teluk<br />
lebih banyak mendapat pengaruh massa air dari Selat Sunda yang relatif bersuhu lebih<br />
dingin. Sedangkan di perairan barat teluk seperti di <strong>Teluk</strong> Kucangreang dan <strong>Teluk</strong><br />
Punduh-Pidada suhu permukaan perairan lebih tinggi karena adanya pengaruh<br />
masukan massa air (run off) dari Sungai Punduh dan Sungai Ratai yang bersuhu relatif<br />
lebih hangat.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 67
4.5.4 Salinitas<br />
Nilai salinitas permukaan perairan yang diperoleh memiliki kisaran antara 31.91‰-<br />
32.84‰. Rata-rata nilai salinitas permukaan perairan yang diperoleh adalah 32.39‰,<br />
dengan maksimum salinitas kedalaman permukaan tersebut adalah 32.84‰ di perairan<br />
Pulau Siuncal. Dengan demikian nilai rata-rata salinitas permukaan (32.39‰) di<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> tersebut masih dalam kisaran nilai salinitas yang layak untuk<br />
kehidupan biota laut. Kisaran nilai salinitas yang diusulkan untuk kehidupan biota<br />
laut dan budidaya menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup<br />
adalah18‰-32‰ (KLH, 1987).<br />
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa sebaran mendatar salinitas disetiap lokasi<br />
pengamatan terumbu karang sangat bervariasi, hal ini secara umum disebabkan oleh<br />
besarnya sirkulasi massa air yang terjadi di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>, seperti pengadukan,<br />
pengangkatan massa air laut dan pertemuan antara massa air yang berasal dari darat<br />
dengan massa air yang berasal dari <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> sendiri atau dari Selat Sunda.<br />
4.5.5 <strong>Ok</strong>sigen Terlarut<br />
Kandungan oksigen terlarut permukaan di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> yang diperoleh<br />
berkisar antara 4.13-5.80 ppm. Nilai terendah yang didapat adalah 4.13 ppm di sekitar<br />
Pulau Puhawang. Nilai maksimum yang diperoleh adalah 5.80 ppm di sekitar pulau<br />
Siuncal. Nilai rata-rata oksigen terlarut di permukaan perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah<br />
5.22 ppm. Variasi kandungan oksigen terlarut dipermukaan perairan disebabkan<br />
adanya potensi turbulensi dan pengangkatan massa air laut, serta tingkat kepadatan<br />
usaha budidaya laut di perairan tersebut.<br />
4.5.6 Phosphat, Nitrat dan Silikat<br />
Kisaran kandungan phosphat yang terdapat pada kedalaman permukaan adalah 0.12<br />
µgr-at P/l-0.61 µgr-at P/l. Nilai minimum yang diperoleh adalah 0.12 µgr-at P/l yang<br />
terukur di sekitar perairan Pulau Legundi dan Pulau Siuncal sedangkan nilai<br />
maksimum yang diperoleh (0.61 µgr-at P/l ) terukur di sekitar perairan Pulau<br />
Kelagian.<br />
Dari hasil pengukuran di lokasi pengamatan diperoleh gambaran bahwa semakin<br />
mengarah ke pantai barat <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> (<strong>Teluk</strong> Punduh dan <strong>Teluk</strong> Ratai),<br />
kandungan phosphat semakin besar. Hal ini disebabkan karena banyak sungai yang<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 68
membawa sedimen dan membawa substrat yang bermuara di <strong>Teluk</strong> Punduh dan <strong>Teluk</strong><br />
Ratai. Pertemuan massa air dari <strong>Teluk</strong> Punduh dan <strong>Teluk</strong> Ratai dengan massa air laut<br />
<strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> ini menyebabkan terjadinya variasi nilai phosphat karena proses<br />
fenomena pengangkatan massa air akibat pertemuan dua massa air tersebut.<br />
Secara umum rata-rata nilai kandungan phosphat di permukaan perairan <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> adalah 0.29 µgr-at P/l. Berdasarkan klasifikasi Joshimura, secara khusus<br />
lapisan permukaan perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> diklasifikasikan sebagai perairan yang<br />
subur. Menurut Joshimura dalam Wardoyo (1973), perairan yang memiliki kisaran<br />
kandungan phosphat antara 0.101 µgr-at P/l dan 0.2 µgr-at P/l dikategorikan sebagai<br />
perairan yang sangat subur.<br />
Nilai kandungan nitrat di permukaan perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> memiliki kisaran 0.018<br />
µgr-at N/l-0.173 µgr-at N/l dengan rata-rata kandunga nitrat yang diperoleh adalah<br />
0.13 µgr-at N/l.Nilai nitrat maksimum yang diperoleh terukur di perairan Pulau<br />
Puhawang yang dekat dengan <strong>Teluk</strong> Ratai dan <strong>Teluk</strong> Punduh. Perairan tersebut<br />
dipengaruhi oleh masukan massa air dari sungai-sungai yang bermuara di kedua teluk<br />
kecil tersebut yang banyak membawa suspensi dari daratan sehingga sedikit banyak<br />
turut mensuplai kandunga nitrat ke perairan tersebut.<br />
Menurut Prowse (1962) dan Mackentum (1969) dalam Nazdan (1996), bahwa di suatu<br />
perairan N akan menjadi faktor pembatas bagi kelimpahan fitoplankton bila<br />
kandungan nitrat diperairan tersebut lebih kecil dari 0.14 µgr-at N/l. Bila kandungan<br />
nitrat diperairan tersebut semakin tinggi, maka biasanya kelimpahan plankton akan<br />
semakin besar. Dengan demikian perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> secara keseluruhan<br />
memiliki kandunga nitrat yang cukup layak untuk kehidupan plankton terutama<br />
fitoplankton.<br />
Secara umum kandungan silikat yang terdapat pada permukaan perairan <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> memiliki kisaran antara 20 µgr-at Si/l-375 µgr-at Si/l. Dengan nilai terbesar<br />
di peroleh di perairan sekitar <strong>Teluk</strong> Ratai. Hal ini dipengaruhi oleh substrat yang<br />
dibawa masuk oleh sungai-sungai yang bermuara di teluk tersebut. Secara<br />
keseluruhan nilai silikat di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah 71.39 µgr-at Si/l.<br />
4.6 Sosialisasi Masyarakat<br />
Sosialisasi tentang ekosistem terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dilakukan guna<br />
memberikan pengetahuan dan gambaran tentang kondisi ekosistem terumbu karang<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 69
terkini kepada masyarakat di pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Sosialisasi tersebut dilaksanakan 2 (dua) kali yaitu di pelabuhan pendaratan ikan<br />
Lemasing, Bandar <strong>Lampung</strong> dan di Dermaga Ketapang Kabupaten Pesawaran.<br />
Sosialisasi dilakukan dengan mengundang tokoh masyarakat dan nelayan. Secara<br />
umum pada saat kegiatan sosialisasi dan diskusi berlangsung diperoleh gambaran<br />
bahwa rata-rata masyarakat di pesisir <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> tidak mengetahui status<br />
kerusakan karang di daerahnya sendiri. Disamping itu pula masyarakat tidak<br />
mengetahui manfaat dan fungsi terumbu karang yang berguna untuk penahan<br />
gelombang, sebagai tempat makan ikan dan sebagai lumbung ikan karang yang<br />
menjadi daya tarik bagi ikan-ikan ekonomis penting yang lebih besar yang datang dari<br />
arah laut lepas untuk mencari makan di sekitar terumbu karang.<br />
Namun peserta sosialisasi di dua lokasi kegiatan tersebut sepakat bahwa hingga kini<br />
kegiatan ilegal fishing seperti pengeboman ikan, pemotasan ikan dan udang serta<br />
penyetruman ikan yang dilakukan di muara sungai masih sering terjadi. Berdasarkan<br />
dari hasil diskusi diketahui pula bahwa rata-rata hasil tangkapan nelayan di dua lokasi<br />
kegiatan tersebut yang beroperasi di sekitar <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> menurun. Selain itu pula<br />
kini sulit bisa memprediksi suasa yang tepat untuk melaut dan sulit untuk menduga<br />
musim ikan yang di tahun-tahun sebelumnya hal tersebut berjalan dengan rutin dan<br />
mudah diprediksi.<br />
Pelabuhan pendaratan ikan di<br />
Rangai, <strong>Lampung</strong> Selatan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Bab IV - 70
Bab 5. ARAHAN RENCANA PENGELOLAAN<br />
TERUMBU KARANG TELUK LAMPUNG<br />
5.1 Landasan Hukum Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
Untuk mencegah semakin rusaknya ekosistem terumbu karang, pemerintah telah<br />
mengeluarkan serangkaian peraturan perundangan dan peraturan lainnya untuk mengatur<br />
aktifitas manusia di perairan terumbu karang.<br />
Tabel 5.1 Perundangan dan Peraturan Pengelolaan Lingkungan Perairan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
di Indonesia<br />
No Jenis Perundangan dan Peraturan<br />
1 Undang-Undang No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati<br />
dan Ekosistemnya<br />
2 Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang Pariwisata<br />
3 Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang<br />
4 Undang-Undang No.5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai<br />
Keanekaragaman Hayati<br />
5 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />
6<br />
Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.<br />
7 Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.<br />
8 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di<br />
Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 1
9 Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan<br />
Kawasan Pelestarian Alam<br />
10 Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan<br />
atau Perusakan Laut.<br />
11 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak<br />
Lingkungan<br />
12 Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1990, tentang Usaha Perikanan<br />
13 Keputusan Presiden RI No. 43 tahun 1978 tentang Ratifikasi CITES (Convention<br />
on Internasional Trade of Endangered Species of Wild Flora and fauna).<br />
14 Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung.<br />
15 Keputusan Presiden No. 32 tahun 1992, tentang Daftar Bidang Usaha Yang<br />
Tertutup Bagi Penanaman Modal (Lampiran 1 No. 56, Bidang Usaha<br />
Pemanfaatan dan Pengusaha Sponges (bunga karang) yang tertutup dalam rangka<br />
Undang-Undang PMA, PMDN dan Non PMA/PMDN)<br />
16 Keputusan Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1989 tanggal 15 Nopember 1989<br />
tentang Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan<br />
Taman Wisata Laut<br />
17 Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi<br />
No.KM.13/PW.102/MPPT/93 tentang Ketentuan Usaha Sarana Wisata Tirta.<br />
18 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.04/2001 tentang Kriteria Baku<br />
Kerusakan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
19 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun Baku Mutu Air Laut.<br />
20 Surat Edaran Menteri PPLH No. 408/MNPPLH/4/1979 tanggal 30 April 1979<br />
(Dtujukan kepada Gubernur Kepala daerah Tingkat I di seluruh Indonesia)<br />
tentang larangan Pengambilan Batu <strong>Karang</strong> yang dapat merusak lingkungan laut.<br />
21 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 38 Tahun 2004 tentang<br />
Pedoman Umum Penggelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong>.<br />
22 Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan No. IK 220/D4.T44/91 (ditujukan<br />
kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia)<br />
tentang Penangkapan Ikan dengan bahan/alat terlarang.<br />
23 Surat Dirjen PHKA, Departemen Kehutanan, tanggal 28 Februari 2003, tentang<br />
Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang<br />
termasuk Appendix CITES dan tidak dilindungi Undang-Undang untu periode<br />
tahun 2003.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 2
5.2 Arahan Sistem Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong><br />
5.2.1 Batas Kawasan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Penentuan tata batas kawasan pengelolaan terumbu karang <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> didasarkan atas<br />
berbagai pertimbangan baik dari aspek ekologi, administrasi, ekonomi, sosial budaya,<br />
maupun regional kawasan. Batas administrasi dipertimbangkan sebagai batas yuridis yang<br />
bertujuan agar tidak terjadi kerancuan wewenang dalam pengelolaan terumbu karang.<br />
Batas ekologis dipertimbangkan dengan tujuan agar pengelolaan tersebut mencakup suatu<br />
ekosistem yang utuh.<br />
Batas Administrasi<br />
Secara administrasi kawasan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> terletak pada Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan<br />
dan Kota Bandar <strong>Lampung</strong>. Sebelah barat <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> berbatasan dengan Kabupaten<br />
<strong>Lampung</strong> Selatan, Sebelah utara berbatasan dengan Kota Bandar <strong>Lampung</strong> dan Kabupaten<br />
<strong>Lampung</strong> Selatan, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan,<br />
serta sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Wilayah perairan <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> mempunyai luas wilayah 3.865 km 2 dengan panjang garis pantai 140 km, dengan<br />
jumlah pulau kecil sebanyak 51 buah. <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> merupakan <strong>Teluk</strong> terbesar di Pulau<br />
Sumatera, membentang dari Tanjung Tua (sebelah timur) sampai dengan Tanjung Tikus,<br />
dan Pidada sebelah barat.<br />
Batas Ekologi<br />
Batas ekologis didasarkan pada integrasi dari berbagai proses interaksi secara fisikkimiawi<br />
dan biologis yang terjadi di wilayah perairan laut dan pesisir Kabupaten <strong>Lampung</strong><br />
Selatan dan Kota Bandar <strong>Lampung</strong> yang saling mempengaruhi kondisi terumbu karang,<br />
lamun, mangrove ekosistem pulau kecil, estuaria dan flora-fauna yang hidup didalamnya.<br />
Peruntukan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah sebagai kawasan pariwisata, kawasan budidaya<br />
(pembenihan udang, tambak udang, dan bududaya mutiara), daerah penangkapan ikan<br />
(jalur penangkapan 1 dan II), kawasan pelayaran, cagar alam dan latihan TNI Angkatan<br />
Laut.<br />
5.2.2 Kelembagaan<br />
Penataan Kelembagaan pengelolaan terumbu karang dilakukan di berbagai jenjang, baik di<br />
Pusat, Propinsi <strong>Lampung</strong>, Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan, dan Kota Bandar <strong>Lampung</strong> yang<br />
bersifat lintas sektoral. Kelembagaan yang dibangun memiliki strusktur organisasi, tugas<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 3
dan fungsi, tujuan, sasaran. Program/rencana kerja, administrasi, serta pendanaan dalam<br />
rangka pengelolaan terumbu karang.<br />
Kelembagaan pengelolaan terumbu karang dibentuk melalui proses yang merupakan<br />
kombinasi dari pendekatan bottom up dan top down, dimana Pemerintah Pusat, Pemerintah<br />
Propinsi <strong>Lampung</strong>, Pemerintah Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan, dan Kota Bandar <strong>Lampung</strong><br />
dan masyarakat mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dalam perlindungan dan<br />
pengelolaan terumbu karang. Kelembagaan pengelolaan terumbu karang mengakomodasi<br />
semangat otonomi daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gubernur<br />
Propinsi <strong>Lampung</strong> dapat membentuk kelembagaan pengelolaan terumbu karang lingkup<br />
Propinsi. Kelembagaan ini dapat berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan terumbu<br />
karang lintas Kabupaten/Kota, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,<br />
pemantauan, pengendalian dan evaluasi.<br />
Lembaga Pengelola <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di Propinsi <strong>Lampung</strong> nantinya dibentuk dengan<br />
anggota yang berasal dari instansi pemerintah terkait (DKP, Bapeda, Dinas Pariwisata,<br />
Dinas Kehutanan, dan lain-lain) dan stakeholders (Perguruan Tinggi, LSM,dan<br />
masyarakat). Sedangkan perumusan dan kewajiban serta mekanisme kerja harus diatur<br />
dalam peraturan yang berkekuatan hukum yaitu Peraturan Daerah.<br />
5.2.3 Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan<br />
Agar program pengelolaan dan kinerja lembaga pengelola <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Lampung</strong><br />
dapat berjalan baik dan sesuai dengan tujuannya, maka diperlukan pemantauan dan<br />
evaluasi. Pemantauan dan evaluasi merupakan perangkat yang menelaah kegiatan yang<br />
telah dilaksanakan dengan tujuan untuk meninjau dan menganalisis efisiensinya dan<br />
efektifitas kegiatan yang selaras dengan tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan dan<br />
sebagai umpan balik terhadap program pengelolaan terumbu karang.<br />
Pemantauan dilaksanakan untuk melihat perubahan yang diperkirakan telah terjadi sebagai<br />
akibat dari pelaksanaan program-program konservasi dan kegiatan pengelolaan isu di<br />
lapangan. Dalam kegiatan pemantauan diperlukan adanya indikator program sosial –<br />
ekonomi dan lingkungan sebagai dasar penilaian. Pemantauan dilakukan berdasarkan data<br />
dan informasi dari kondisi awal sebelum pelaksanaan suatu program kegiatan dimulai.<br />
Evaluasi dilakukan untuk untuk mengkaji efektifitas dari strategi program-proram baru,<br />
memeriksa permasalahan-permasalahan dalam implementasinya, membuat penyesuaian<br />
dalam strategi-strategi, membuat keputusan tentang program penegelolaan konservasi dan<br />
penelitian.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 4
Langkah-langkah yang perlu dirancang dalam menyusun strategi Pemantauan Pengelolaan<br />
<strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di Propinsi <strong>Lampung</strong>:<br />
1. Membuat daftar isu lingkungan perairan terumbu karang dan tindakan konservasi yang<br />
telah mendapat rekomendasi pengelolaannya.<br />
2. Menjabarkan sasaran ke dalam tujuan pemantauan yang lebih spesifik<br />
3. Memilih indikator spesifik sesuai dengan masing-masing tujuan pemantauan<br />
pengelolaan<br />
4. Menelaah program pemantauan yang ada dan mengidentifikasi program yang<br />
mengukur indikator yang sama<br />
5. Menentukan rancangan pengambilan sample dan stasiun<br />
6. Menguji kemampuan program yang diusulkan untuk memenuhi kriteria indikator kerja.<br />
5.2.4 Penegakan Hukum dan Sanksi<br />
Aparat Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi <strong>Lampung</strong>, Pemerintah Kabupaten <strong>Lampung</strong><br />
Selatan, Kota Bandar <strong>Lampung</strong>, dan masyarakat dapat melakukan pengawasan,<br />
pemantauan, dan pengendalian terhadap pengelolaan terumbu karang <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>.<br />
Masyarakat dapat melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi mengenai terumbu karang<br />
dan berhak mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak- pihak yang melakukan perusakan<br />
terumbu karang yang menimbulkan kerugian. Kegiatan penegakan hukum pengelolaan<br />
terumbu karang dilakukan oleh unsur-unsur terkait seperti TNI AL, Polisi Perairan, DKP,<br />
Pemerintah Propinsi <strong>Lampung</strong>, Pemerintah Kabupaten <strong>Lampung</strong> Selatan, Pemerintah Kota<br />
Bandar <strong>Lampung</strong> dan masyarakat.<br />
Penegakan hukum dan sanksi merupakan proses untuk mematuhi suatu aturan yang telah<br />
ditetapkan dalam program pengelolaan terumbu karang oleh semua pihak yang akan atau<br />
melaksanakan kegiatan konservasi tersebut. Penegakan hukum didalam pengelolaan<br />
kawasan terumbu karang bertujuan:<br />
1. Memberikan hukuman/ganjaran yang sesuai dengan pelanggaran hukum yang terjadi di<br />
dalam perairan terumbu karang.<br />
2. Menciptakan keenggganan/keseganan untuk melanggar hukum di dalam kawasan<br />
konservasi karena adanya hukuman/sanksi<br />
3. Menginformasikan kepada masyarakat tentang peraturan/undang-undang atau tata cara<br />
yang berlaku unuk melaksanakan kegiatan didalam kawasan perairan terumbu karang.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 5
Beberapa mekanisme penegakakan hukum yang dapat digunakan dalam pemantauan<br />
program pengelolaan terumbu karang yaitu:<br />
1. Sanksi, dimana melibatkan serangkaian peringatan hukuman untuk pelanggaran<br />
undang-undang. Hukuman dapat berupa pengurangan, penundaan ijin, dan pelanggaran<br />
yang dilakukan tergolong berat dapat mengakibatkan pencabutan ijin.<br />
2. Denda, dimana melibatkan serangkaian pembayaran yang harus dilunasi oleh pelanggar<br />
hukum. Hal ini diberlakukan untuk persyaratan hukum yang bersifat mengikat.<br />
3. Sanksi Kriminal, dimana hukuman untuk pelanggar yang bersifat lebih berat dan<br />
bentuknya dapat berupa hukuman penjara.<br />
4. Sanksi adat,dimana melibatkan hukum adat atau kebisaan masyarakat lokal, dibeberapa<br />
daerah pesisir sangat efektif untuk melestarikan laut.<br />
5.2.5 Pendanaan<br />
Dana pengelolaan terumbu karang dapat bersumber dari APBN, APBD, Pinjaman/ Hibah<br />
Luar Negeri dan dana masyarakat. Mekanisme pendanaan dilakasanakan berdasarkan<br />
prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yaitu terbuka, jujur,<br />
adil dan bertanggung jawab dengan berpihak kepada masyarakat.<br />
5.3 Analisa SWOT<br />
Untuk memperoleh arahan pengelolaan terumbu karang dilakukan analisa SWOT dengan<br />
melihat faktor internal dan eksternal. Kedua faktor ini merupakan faktor penentu dalam<br />
analisa SWOT, karena didalamnya meliputi unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan<br />
ancaman yang apabila disinergikan akan memberikan kualitas arahan, strategi dan program<br />
yang baik. Dengan pendekatan matrik antara faktor eksternal dan internal dilakukan<br />
pembobotan dengan kisaran nilai 0 – 1. Untuk peluang dan ancaman, serta unsur kekuatan<br />
dan kelemahan dengan nilai ranking 1 - 4.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 6
Tabel 5.2: Matrik Faktor Internal Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Kode<br />
Faktor Internal<br />
Kekuatan<br />
Bobot Ranking Skor Komentar<br />
K1 Memiliki hamparan terumbu 0,30 4 1,20 <strong>Terumbu</strong> karang di<br />
karang yang luas sebagai habitat<br />
pantai dan pulau-<br />
sumberdaya perikanan<br />
pulau kecil<br />
K2 Beberapa lokasi mempunyai nilai 0,20 3 0,60 Banyak pulau<br />
estetika yang tinggi sebagai<br />
kecil potensi<br />
pengembangan wisata bahari<br />
diving<br />
snorkling<br />
dan<br />
K3 Adanya daerah perlindungan laut 0,10 2 0,20 Pulau Sebesi dan<br />
(sekitar perairan Pulau Sebesi dan<br />
Dan Pulau Legundi) sebagi contoh<br />
perlindungan ekosistem karang<br />
Kelemahan<br />
Pulau Legundi<br />
L1 Rendahnya pengetahuan 0,30 4 1,20 Kesadaran<br />
masyarakat lokal mengenai<br />
menyelamatan<br />
manfaat ekosistem terumbu karang<br />
terumbu karang<br />
masih kurang<br />
L2 Sulitnya pengawasan dan 0,30 4 1,20 Kurang sarana<br />
lemahnya penegakkan hukum bila<br />
kapal pengawas<br />
terjadi eksploitasi terumbu karang<br />
dan personil<br />
L3 Belum adanya Perda untuk 0,10 2 0,20 Perlu dibuat Perda<br />
melarang penambangan karang<br />
pelestarian<br />
dan perusakan karang<br />
terumbu karang<br />
Tabel 5.3 : Matrik Faktor Eksternal Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Kode<br />
Faktor Eksternal<br />
Peluang<br />
Bobot Ranking Skor Komentar<br />
P1 Peluang Investasi Budidaya ikan 0,30 3 0,90 Potensi pada<br />
karang<br />
perairan karang di<br />
teluk<br />
kecil<br />
dan pulau<br />
P2 Peluang Investasi wisata bahari 0,30 3 0,90 Pulau-pulau kecil<br />
P3 Rehabilitasi karang dengan 0,10 2 0,20<br />
kegiatan transplantasi<br />
Ancaman<br />
A1 Kegiatan pemboman dan 0,30 4 1,20 Pemboman masih<br />
penggunaan racun (potas) untuk<br />
menangkap ikan<br />
terjadi<br />
A2 Penambangan karang untuk 0,30 3 0,90 Untuk bangunan<br />
bahan bangunan<br />
penahan gelombang<br />
dan pondasi rumah<br />
A3 Kerusakan ekosistem karang 0,20 2 0,40 Terjadi di dekat<br />
akibat kegiatan pembangunan<br />
pantai dan<br />
(sedimentasi dan pencemaran<br />
pencemaran laut<br />
laut)<br />
pada daerah padat<br />
industri<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 7
Tabel 5.4. : Matrik Analisis SWOT<br />
Faktor Eksternal<br />
Faktor Internal<br />
PELUANG (P)<br />
P1.Peluang Investasi Budidaya<br />
ikan karang<br />
P2.Peluang Investasi wisata bahari<br />
P3.Rehabilitasi karang dengan<br />
kegiatan transplantasi<br />
ANCAMAN (A)<br />
A1.Kegiatan pemboman dan<br />
penggunaan racun (potas)<br />
untuk menangkap ikan<br />
A2.Penambangan karang untuk<br />
bahan bangunan<br />
A3.Kerusakan ekosistem karang<br />
akibat kegiatan pembangunan<br />
(sedimentasi dan pencemaran<br />
laut)<br />
KEKUATAN (K)<br />
K1.Memiliki hamparan terumbu<br />
karang yang luas sebagai<br />
habitat sumberdaya<br />
perikanan<br />
K2.Beberapa lokasi mempunyai<br />
nilai estetika yang tinggi<br />
sebagai pengembangan<br />
wisata bahari<br />
K3. Adanya daerah perlindungan<br />
laut (sekitar perairan Pulau<br />
Sebesi dan Dan Pulau<br />
Legundi) sebagi contoh<br />
perlindungan ekosistem<br />
karang<br />
STRATEGI KP<br />
KP1.Pengembangan mata<br />
pencaharian alternatif<br />
budidaya ikan karang<br />
KP2.Pengembangan mata<br />
pencaharian alternatif wisata<br />
bahari berbasis masyarakat<br />
KP3.Pengembangan program<br />
rehabilitasi karang dengan<br />
transplantasi<br />
STRATEGI KA<br />
KA1.Pengembangan teknologi<br />
penangkap ikan yang ramah<br />
lingkungan<br />
KA2.Pelarangan penambangan<br />
karang untuk bahan<br />
bangunan<br />
KA3.Pengembangan dan<br />
pengawasan Daerah<br />
Perlindungan Laut (DPL)<br />
KELEMAHAN (L)<br />
L1.Rendahnya pengetahuan<br />
masyarakat lokal mengenai<br />
manfaat ekosistem terumbu<br />
karang<br />
L2.Sulitnya pengawasan dan<br />
lemahnya penegakkan<br />
hukum bila terjadi<br />
eksploitasi terumbu karang<br />
L3.Belum adanya Perda untuk<br />
melarang penambangan<br />
karang dan perusakan<br />
karang<br />
masyarakat<br />
STRATEGI LP<br />
LP1.Meningkatkan pengetahuan<br />
masyarakat tentang manfaat<br />
ekosistem karang<br />
LP2.Memperkuat sistem<br />
keamanan laut untuk menjaga<br />
ekosistem terumbu karang<br />
LP3.Koordinasi terpadu antar<br />
lintas sektoral dalam<br />
pelestarian terumbu karang<br />
STRATEGI LA<br />
LA1.Peningkatan kesadaran<br />
masyarakat untuk melestarikan<br />
terumbu karang<br />
LA2.Pelibatan masyarakat secara<br />
aktif untuk menjaga dan<br />
melestarikan ekosistem<br />
terumbu karang<br />
LA3.Pembuatan Perda/Peraturan<br />
lainnya untuk melindungi<br />
ekosistem terumbu karang<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 8
Tabel 5.5 : Alternatif Pemilihan Strategi untuk Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Unsur-Unsur Strategi<br />
a. Strategi KP<br />
Keterkaitan<br />
Unsur SWOT<br />
Total Skor Ranking<br />
KP1.Pengembangan mata pencaharian alternatif<br />
budidaya ikan karang<br />
K1P1 2,10 6<br />
KP2.Pengembangan mata pencaharian alternatif<br />
wisata bahari berbasis masyarakat<br />
K2P2 1,50 10<br />
KP3.Pengembangan program rehabilitasi karang<br />
dengan transplantasi<br />
b. Strategi KA<br />
K1P3 1,40 11<br />
KA1.Pengembangan teknologi penangkap ikan<br />
yang ramah lingkungan<br />
K1A1 2,40 5<br />
KA2.Pelarangan penambangan karang untuk K1A2 2,00 7<br />
bahan bangunan<br />
KA3. Pengembangan dan pengawasan Daerah<br />
Perlindungan Laut (DPL)<br />
c. Strategi LP<br />
K3A3 0,60 12<br />
LP1.Meningkatkan pengetahuan masyarakat<br />
tentang manfaat ekosistem karang<br />
L1P1P2P3 3,20<br />
3<br />
LP2.Memperkuat sistem keamanan laut untuk<br />
menjaga ekosistem terumbu karang<br />
L1L2L3P3 2,80 4<br />
LP3.Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam<br />
pelestarian terumbu karang<br />
Strategi LA<br />
L2L3P3 1,60 9<br />
LA1.Peningkatan kesadaran masyarakat untuk<br />
melestarikan terumbu karang<br />
L1L2L3A1A2A3 5,10 1<br />
LA2.Pelibatan masyarakat secara aktif untuk<br />
menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu<br />
karang<br />
L2A1A2A3 3,70 2<br />
LA3.Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk<br />
melindungi ekosistem terumbu karang<br />
L3A1A2A3 1,80 8<br />
5.4 Strategi Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
Sumberdaya terumbu karang perlu dikelola secara berkelanjutan (sustainable) artinya<br />
keberadaan dan manfaat terumbu karang harus lestari untuk menjamin kemampuan,<br />
kesejahteraan dan kualitas generasi ini masa kini dan masa depan. Pengelolaan terumbu<br />
karang secara berkelanjutan terwujud apabila laju regenerasi terumbu karang lebih besar<br />
atau sama dengan laju kematian dalam suatu periode waktu yang lama.<br />
Konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang dapat diterapkan dengan menekankan pada<br />
kegiatan rehabilitasi dan konservasi untuk memelihara laju pertumbuhan karang, sebagai<br />
penyeimbang terhadap laju pemanfaatan yang mengakibatkan kematian terumbu karang.<br />
Mengingat pertumbuhan karang sangat lambat maka rehabilitasi dilakukan dengan cara<br />
alami yaitu konservasi, misalnya dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan<br />
maksud menghilangkan pengaruh manusia terhadap ekosistem terumbu karang pada waktu<br />
tertentu sehingga dapat dimanfaatkan kembali.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 9
Pengelolaan terumbu karang yang lestari adalah menggabungkan antara kepentingan<br />
ekologis dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar ekosistem terumbu karang.<br />
Untuk itu strategi yang diterapkan harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi<br />
masyarakat selain tujuan konservasi terumbu karang tercapai. Dengan demikian, strategi<br />
dan kegiatan-kegiatan pengelolaan terumbu karang tidak semata-mata meningkatkan<br />
pemahaman dan kesadaran akan pentingnya terumbu karang serta kemampuan dalam<br />
mengelolanya, namun juga memberdayakan kehidupan sosial ekonomi masyarakat melalui<br />
mata pencaharian alternatif.<br />
Bertolak dari matriks keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis SWOT, maka<br />
dapat ditentukan arahan strategi dan kebijakan pegelolaan terumbu karang <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
sebagaimana pada Tabel 5.5. Berikut adalah strategi pengelolaan pengelolaan terumbu<br />
karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>:<br />
Strategi 1: Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang<br />
Penyadaran masyarakat diarahkan pada pemahaman masyarakat terhadap manfaat<br />
kelestarian ekosistem terumbu karang dan pemanfaatan yang berkelanjutan untuk<br />
perubahan perilaku sosial. Peningkatkan kesadaran berbagai lapisan masyarakat tentang<br />
manfaat perlindungan dan pelestarian ekosistem terumbu karang, yang diharapkan akan<br />
merubah perilaku masyarakat dari perilaku yang dapat merusak menjadi perilaku yang<br />
mengelola dan melindungi kelestarian ekosistem terumbu karang. Penyadaran masyarakat<br />
dilakukan dimulai dari usia dini seperti anak SD untuk memahami manfaat ekologi<br />
terumbu karang. Kampanye penyadaran lewat brosur, media cetak, TV, internet dan lewat<br />
penyuluhan langsung.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Program penyuluhan pengelolaan terumbu karang yang berbasis masyarakat di daerah<br />
pesisir.<br />
2. Pelatihan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat bagi penyuluh lapangan<br />
3. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat muatan lokal kurikulum SD, SMP dan<br />
SMA di daerah pesisir<br />
4. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat brosur, buku bacaan anak-anak, media<br />
cetak dan media elektonik.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 10
Strategi 2: Pelibatan masyarakat secara aktif untuk menjaga dan melestarikan<br />
ekosistem terumbu karang<br />
Perencanaan pengelolaan terumbu karang terkait dengan penyelenggaraan pembangunan<br />
masyarakat disekitarnya. Untuk itu perlu adanya peningkatan peran serta masyarakat yang<br />
proaktif dan mampu menumbuhkan adanya peningkatan kesadaran untuk melestarikan<br />
sumberdaya alam laut. Guna menjamin berlanjutnya proses peran masyarakat, perlu<br />
dibangun mekanisme pengelolaan terumbu karang yang memberi ruang bagi aspek<br />
pengembangan masyarakat lokal serta mampu menjadi fasilitator bagi kegiatan<br />
pemanfaatan yang dilakukan masyarakat lokal. Pengembangan masyarakat lokal<br />
merupakan upaya mengakui hak dan kewajiban masyarakat yang bermukim di dalam<br />
kawasan perairan karang melalui keterlibatannya dalam proses perencanaan, pelaksanaan<br />
dan evaluasi pengelolaan dengan tetap memperhatikan tingkat kesejahteraannya. Aspirasi<br />
masyarakat sangat penting diperhatikan mengingat bahwa masyarakat terlebih dahulu<br />
mengelola kawasan laut perairan terumbu karang.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Melibatkan masyarakat, instansi pemerintah, LSM, perguruan tinggi, dan pengusaha<br />
dalam berbagai usaha untuk melestarikan terumbu karang.<br />
2. Menciptakan kader-kader motivator untuk mendukung kegiatan pelestarian terumbu<br />
karang.<br />
3. Membentuk dan memberdayakan kelompok-kelompok/ organisasi masyarakat di<br />
kawasan perairan karang.<br />
4. Mengembangkan prinsip-prinsip keterlibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan<br />
terumbu karang.<br />
5. Memberikan pelatihan bagi tenaga –tenaga lapangan untuk memberikan pendidikan<br />
lingkungan laut serta keterlibatan publik dalam pengelolaan terumbu karang.<br />
6. Mengembangkan koordinasi pendanaan program, antara pemerintah pusat, pemerintah<br />
Propinsi/Kabupaten, organisasi non pemerintah, BUMN/BUMD, swasta dan<br />
masyarakat untuk perberdayaan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 11
Strategi 3: Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat ekosistem<br />
karang<br />
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat terumbu karang seperti pelindung<br />
pantai dari hempasan gelombang, sebagai habitat ikan, tempat mencai makan (feeding<br />
ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning<br />
ground) bagi berbagai biota laut. <strong>Terumbu</strong> karang yang bagus bisa untuk penyelaman<br />
(diving) dan snokling serta tempat penangkapan ikan komsumsi dan ikan hias. <strong>Karang</strong> juga<br />
dapat dimanfaatkan sebagai bahan farmasi dan kerajinan tangan.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Penyuluhan eksosistem terumbu karang dan manfaatnya<br />
2. Melakukan program pemetaan partisipasif bersama masyarakat di wilayah pengelolaan<br />
tradisionilnya untuk melihat kondisi kondisi terumbu karang dan langkah-langkah<br />
pencegahan kerusakannya<br />
3. Melakukan studi banding pada daerah yang maju dalam pengelolaan terumbu<br />
karangnya seperti Bali<br />
4. Membuat pusat informasi terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
5. Melakukan monitoring secara rutin dan seminar hasil- hasil penelitian karang di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> kerjasama Pemerintah Daerah, DKP Pusat, LIPI, Unila, masyarakat pesisir<br />
dan LSM.<br />
Strategi 4: Memperkuat sistem keamanan laut untuk menjaga ekosistem terumbu<br />
karang<br />
Penegakan hukum merupakan pelengkap dan pendukung komponen lain serta memiliki<br />
arti strategis dalam rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Penegakan hukum<br />
merupakan suatu proses pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari<br />
penegakan hukum preventif bersifat pencegahan dan penegakan hukum represif bersifat<br />
penindakan. Penegakan hukum preventif adalah semua kegiatan hukum seperti<br />
pencemaran dan terjadinya perusakan lingkungan terumbu karang. Keberhasilan<br />
pencegahan akan menjamin terjadinya pemulihan terumbu karang secara alami.<br />
Penegakan hukum represif adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk menindak setiap<br />
pelanggaran. Aparat penegak hukum yang berperan di laut adalah TNI AL dan Polisi Air.<br />
Pengawasan bersama masyarakat sangat penting untuk mengimbangi kekurangan personil<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 12
keamanan laut. Kegiatan penegakan hukum represif terdiri dari kegiatan identifikasi<br />
pelanggaran, penyidikan, penuntutan dan pemutusan perkara. Pemutusan perkara<br />
merupakan wenang penuh hakim yang memimpin sidang, atas dasar tuntutan yang telah<br />
telah dilakukan oleh jaksa dan kesaksian yang telah diberikan oleh anggota masyarakat<br />
atau unit pengawasan dan penegakan hukum yang bertindak sebagai saksi dalam<br />
sidang penuntutan perkara.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Penambahan jumlah personil, sarana dan prasarana penegakan hukum dilaut.<br />
2. Mengadakan pelatihan-pelatihan hukum laut, konservasi sumberdaya alam hayati dan<br />
ekosistem serta undang-undang perikanan bagi aparat penegak hukum.<br />
3. Melakukan pengawasan secara intensif terhadap berbagai motif pelanggaran yang ada<br />
di wilayah laut.<br />
4. Mengembangkan operasi pengamanan pesisir dan laut terpadu<br />
5. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan operasi pengawasan di laut<br />
6. Mengintensifkan sosialisasi terhadap produk hukum pelestarian terumbu karang yang<br />
dihasilkan.<br />
Strategi 5: Pengembangan teknologi penangkap ikan yang ramah lingkungan.<br />
Pembangunan perikanan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan dan<br />
cenderung berorientasi pada tujuan ekonomi semata kini telah menimbulkan kerusakan<br />
lingkungan. Adanya overfishing, kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang, dan<br />
ekosistem laut lainnya merupakan akibat pembangunan yang tidak memperhatikan aspek<br />
keberlanjutan. Meningkatnya degradasi lingkungan laut tidak terlepas dari pesatnya<br />
penggunaan alat dan praktek penangkapan yang bersifat destructive dalam penangkapan<br />
ikan. Overfishing pada beberapa area penangkapan menunjukkan keberadaan<br />
sumberdaya ikan berada dalam keadaan kritis. Semua itu dipicu beberapa hal, seperti<br />
banyaknya kegiatan penangkapan ikan yang berukuran belum layak tangkap (juvenile)<br />
serta laju penangkapan ikan yang melebihi nilai maximum sustainable yield.<br />
Penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing practice) seperti pengunaan bom<br />
dan potassium, terutama disekitar terumbu karang, mengakibatkan kerusakan ekosistem<br />
terumbu karang untuk jangka panjang, tanpa kecuali ikan-ikan yang bukan tujuan<br />
penangkapan.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 13
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas penggunaan bom dan racun (potas)<br />
dalam menangkap ikan di terumbu karang.<br />
2. Pengembangan alat tangkap ikan karang yang ramah lingkungan seperti bubu<br />
3. Pengaturan jumlah tangkapan ikan karang sesuai daya dukung perairan<br />
4. Pengaturan jenis dan ukuran ikan karang yang boleh ditangkap<br />
5. Bantuan modal dari pemerintah/swasta untuk pengadaan alat tangkap yang ramah<br />
lingkungan<br />
6. Memperluas pemasaran hasil perikanan ikan karang<br />
Strategi 6: Pengembangan mata pencaharian alternatif budidaya ikan karang<br />
Mata pencaharian alternatif merupakan mata pencaharian atau suatu uaha baru yang<br />
dikembangkan dalam rangka mengurangi atau menghilangkan tekananan terhadap<br />
terumbu karang sekaligus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Tujuan<br />
pengembangan mata pencaharian alternatif adalah untuk mengurangi atau<br />
menghilangkan cara-cara penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya laut lainnya<br />
yang berakibat kerusakan terumbu karang. Sasaran, terbentuknya jenis-jenis usaha baru<br />
yang diterima masyarakat sebagai mata pencaharian alternatif untuk merubah kegiatan<br />
masyarakat dari bersifat merusak terumbu karang menjadi ramah lingkungan serta<br />
mampu meningkatkan penghasilan keluarga.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Identifikasi jenis-jenis usaha budidaya ikan karang yang potensial<br />
2. Penyusunan studi kelayakan budidaya ikan karang<br />
3. Pelatihan teknik budidaya ikan karang<br />
4. Menyusun usulan kegiatan untuk memperoleh bantuan modal usaha<br />
5. Penerapan budidaya ikan karang yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat<br />
6. Evaluasi dan monitoring bersama masyarakat tentang budidaya ikan karang<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 14
Strategi 7: Pelarangan penambangan karang untuk bahan bangunan<br />
Penambangan karang untuk bahan bangunan banyak dilakukan di sepanjang pantai <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> dan pulau-pulau kecil. Walaupun sudah banyak aturan dari pemerintah tentang<br />
larangan pengambilan karang untuk bangunan seperti Keputusan Presiden, Surat Edaran<br />
Menteri KLH, Surat Edaran Dirjen Perikanan dan peraturan lainnya. Dalam pelaksanaan di<br />
lapangan belum ada sanksi yang tegas. Alasan masyarakat mengambil batu karang untuk<br />
pondasi rumah adalah batu karang lebih kuat dan mahalnya batu bata di pasaran,<br />
disamping itu menambang karang sangat mudah. Penambangan karang akan menurunkan<br />
persen penutupan karang dan menghilangkan substrat tempat menempelnya larva karang<br />
sebagai awal daur regenerasi karang.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas penambangan karang untuk pondasi<br />
bangunan<br />
2. Sosialisasi ke masyarakat dan dinas-dinas terkait tentang peraturan- peraturan yang<br />
berhubungan pelarangan penambangan karang untuk bangunan<br />
3. Sosialisasi dampak penambangan terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang<br />
4. Menerapkan sanksi yang tegas terhadap kontraktor yang menggunakan karang sebagai<br />
pondasi bangunan<br />
Strategi 8: Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk melindungi ekosistem<br />
terumbu karang<br />
Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-udangan tingkat daerah untuk mengatur<br />
daerahnya dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.<br />
Peraturan daerah untuk pelestarian terumbu karang di Propinsi <strong>Lampung</strong> sangat penting<br />
sebagai payung hukum pengelolaan terumbu karang.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Melibatkan peran serta masyarakat secara partisipatif dalam menyusun perda<br />
pelestarian terumbu karang<br />
2. Membahas permasalahan kerusakan terumbu karang secara bersama, untuk<br />
ditanggulangi bersama antara stakeholders.<br />
3. Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dilaksanakan secara bersama dengan<br />
stakeholders terkait<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 15
4. Melibatkan pihak LSM dan swasta dalam membahas substansi rancangan peraturan<br />
daerah pelestarian terumbu karang<br />
5. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif untuk membuat kebijakan<br />
yang berbasis masyarakat pada pengelolaan terumbu karang<br />
Strategi 9: Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam pelestarian terumbu<br />
karang<br />
Koordinasi yang terpadu dalam pengelolaan terumbu karang sangat penting dalam dinasdinas<br />
terkait. Egosektoral sering terjadi dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan dan<br />
sering menghambat pembangunan. Untuk itu peranan Gubernur/Bupati/Walikota, Setda<br />
dan DPRD untuk menciptakan iklim kerja yang efektif dan profesional sangat penting<br />
dalam memperlancar birokrasi pelayanan umum dan pemerintahan.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Mengembangkan misi dan visi yang sama dalam pengelolaan terumbu karang dinas<br />
terkait di Propinsi <strong>Lampung</strong>.<br />
2. Menghilangkan egosektoral dalam pengelolaan terumbu karang<br />
3. Melibatkan peran serta masyarakat, pemuda, LSM, Perguruan Tinggi, tokoh adat<br />
secara partisipatif dalam menyusun kebijakan pengelolaan terumbu karang.<br />
4. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif untuk membuat kebijakan<br />
yang mengakar pada masyarakat bawah<br />
5. Menumbuhkan lagi adat istiadat pesisir yang berwawasan lingkungan di Propinsi<br />
<strong>Lampung</strong> untuk pelestarian terumbu karang.<br />
Strategi 10: Pengembangan mata pencaharian alternatif wisata bahari berbasis<br />
masyarakat.<br />
Selama dua dekade perkembangan pariwisata di Asia Pasifik, khususnya perkembangan<br />
wisata pantai dan wisata bahari menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat. Hal ini<br />
mengakibatkan pula semakin banyaknya masyarakat yang terlibat dalam pengembangan<br />
pariwisata. <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> mempunyai potensi besar dalam pengembangan wisata pantai<br />
dan wisata bahari karena banyak mempunyai pantai pasir putih dan keindahan karang di<br />
pulau-pulau kecilnya. Perkembangan wisata bahari berpengaruh positif terhadap perluasan<br />
peluang usaha dan kerja. Peluang tersebut lahir karena adanya permintaan wisatawan.<br />
Dengan demikian kedatangan wisatawan ke suatu daerah akan membuka peluang bagi<br />
masyarakat untuk menjadi pengusaha penginapan, wisma, hotel, homestay, restoran,<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 16
warung, angkutan, pedagang asongan, sarana olah raga dan jasa lainya. Peluang usaha<br />
tersebut akan memberikan kesempatan masyarakat pesisir untuk bekerja dan sekaligus<br />
dapat menambah pendapatan untuk menunjang kehidupan rumah tangganya.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Peningkatan promosi wisata bahari ke <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> melalui pameran, brosur, TV,<br />
internet dan kerja sama biro perjalanan dan hotel<br />
2. Mengundang investor wisata bahari ke <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
3. Mempermudah perijinan usaha wisata bahari<br />
4. Penyediaan akses modal berusaha melalui kredit pada bank.<br />
5. Peningkatan jasa angkutan laut sebagai sarana penghubung antar pulau kecil di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong><br />
6. Pelatihan pengelolaan wisata bahari bagi aparat dinas pariwisata dan pelaku wisata<br />
bahari<br />
7. Studi banding ke daerah lain yang sudah maju dalam wisata bahari seperti Bali dan<br />
Bunaken<br />
Strategi 11: Pengembangan program rehabilitasi karang dengan transplantasi.<br />
Transplantasi merupakan suatu teknik penanaman dan pertumbuhan koloni karang baru<br />
dengan metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu induk koloni tertentu.<br />
Transplantasi karang bertujuan untuk mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah<br />
mengalami kerusakan atau untuk memperbaiki daerah terumbu karang yang rusak,<br />
terutama untuk meningkatkan keragaman dan persen penutupan. Berbagai fungsi/manfaat<br />
transplantasi karang antara lain:<br />
1. Mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak. Hal ini berarti upaya untuk<br />
menghidupkan atau menanam kembali karang dengan benih-benih baru baik yang<br />
berasal dari tempat sekitarnya atau juga dapat berasal dari tempat lain.<br />
2. Rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak. Aplikasi dari kegiatan ini adalah<br />
bagian-bagian yang nantinya dapat dilaksanakan untuk kegiatan konservasi.<br />
3. Menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru ke dalam ekosistem<br />
terumbu karang di daerah tertentu.<br />
4. Konservasi plasma nutfah, disebut juga konservasi dari sumber keaneakaragaman<br />
hayati.<br />
5. Keperluan perdagangan.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 17
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Menentukan lokasi-lokasi yang cocok untuk daerah transplantasi karang<br />
2. Mencari jenis-jenis karang yang cocok untuk bibit transplantasi<br />
3. Bimbingan teknis penyelaman (diving) terhadap masyarakat yang terlibat dalam<br />
transplantasi karang<br />
4. Penyusunan Buku Petunjuk Teknis Transplantasi <strong>Karang</strong><br />
5. Pilot proyek transplantasi karang hias untuk tujuan komersial yang berbasis masyarakat<br />
6. Pilot proyek transplantasi karang untuk tujuan ekowisata<br />
Strategi 12: Pengembangan dan pengawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL)<br />
Daerah Perlindungan Laut merupakan salah satu model dalam upaya onservasi terumbu<br />
karang. Daerah ini adalah suatu wilayah pesisisr yang dipilih dan ditentukan sendiri oleh<br />
masyarakat lokal untuk dilindungi dan ditutup secara permanen dari semua kegiatan<br />
pengambilan oleh manusia.<br />
Tujuan DPL antara lain adalah:<br />
1. Melindungi berbagai jenis ikan, karang serta tumbuhan dan hewan lainnya yang hidup<br />
di wilayah tersebut. DPL juga bertujuan melindungi pantai dan mangrove.<br />
2. Menyediakan tempat yang aman untuk bertelur, tempat asuhan (pembesaran), dan<br />
tempat hidup biota (hewan dan tumbuhan) lainnya<br />
3. Mewujudkan hak dan wewenang masyarakat lokal untuk mengelola sumberdaya<br />
pesisir dan laut mereka sendiri demi masa depan. DPL menjadi alat pembelajaran<br />
dalam memperkuat kapasitas dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya<br />
perlindungan sumberdaya pesisir dan laut.<br />
Dalam penetapan DPL dibutuhkan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang terkait<br />
didalamnya. Pihak-pihak tersebut adalah Pemerintah, LSM, dan Perguruan Tinggi<br />
setempat yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam semua tahapan proses<br />
penetapan DPL, termasuk memberikan pendidikan lingkungan hidup, pelatihan serta<br />
bantuan teknis kepada masyarakat. Daerah perlindungan laut di <strong>Teluk</strong> lampung yang<br />
sudah ditetapkan antara lain DPL Pulau Sebesi dan Pulau Legundi. Lokasi-lokasi perairan<br />
lainnya perlu dibentuk dan dilakukan pengawasan terhadap DPL yang sudah ditetapkan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 18
supaya terjaga kelestariannya. Manfaat dari pembentukan Daerah Perlindungan Laut<br />
adalah: 1. DPL dapat meningkatkan hasil tangkapan perikanan lokal 2. Pembagian<br />
keuntungan ekonomis dari pengelolaan DPL dapat meningkatkan pendapatan masyarakat,<br />
masyarakat setempat, misalnya keuntungan dari dana kegiatan pemanfaatan pariwisata dan<br />
sebagainya 3. Pelibatan masyarakat setempat dapat membantu penegakkan peraturan<br />
karena mereka lebih cepat memahami dan menerima tujuan pembentukan DPL 4.<br />
Lestarinya sumberdaya ikan dan keanekaragaman hayati dalam sebuah DPL yang dikelola<br />
dengan baik, yang bisa menjamin kelangsungan hidup dan masa depan generasi<br />
mendatang.<br />
Langkah-Langkah yang diperlukan:<br />
1. Penambahan daerah DPL baru di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dengan persetujuan masyarakat dan<br />
Pemerintah Daerah<br />
2. Pengenalan kepada masyarakat dan sosialisasi program- progran DPL<br />
3. Pelatihan, pendidikan, dan pengembangan kapasitas masyarakat dalam mengelola DPL<br />
4. Sosialisasi peraturan-peraturan DPL yang telah ada dan pembuatan peraturan baru<br />
sesuai dengan dinamika masyarakat<br />
5. Penataan ruang laut untuk berbagai keperluan<br />
6. Meningkatkan pengawasan dan Penegakan hukum terhadap kegiatan yang merusak<br />
karang<br />
7. Pembukaan jalur transportasi langsung yang dapat menunjang pengembangan wisata<br />
bahari dan perikanan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab V - 19
6.1 Kesimpulan<br />
Bab 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI<br />
Berdasarkan hasil Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong>, dapat disimpulkan sebagai<br />
berikut:<br />
1. Perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> mempunyai ekosistem terumbu karang yang luas, umumnya<br />
tipe terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> adalah jenis “fringing reefs” (karang tepi).<br />
Berdasarkan hasil analisis citra Landsat ETM 7 luas total terumbu karang di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> ± 4823,493 Ha. Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang<br />
yang bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran<br />
(foliose) terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae dan Faviidae.<br />
2. Kondisi penutupan karang hidup dari 44 lokasi penyelaman di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
termasuk dalam kriteria buruk (rusak) sampai baik. Dari 44 lokasi penyelaman di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong>, status kondisi terumbu karang dalam kondisi baik 4 lokasi, kondisi buruk<br />
(rusak) ditemukan sebanyak 20 lokasi dan kondisi sedang sebanyak 20 lokasi. <strong>Terumbu</strong><br />
karang dalam status kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak,<br />
Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang.<br />
3. Laju penurunan tutupan terumbu karang di perairan <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> pada beberapa<br />
lokasi tertentu yang sama (yaitu di Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat,<br />
Pulau Kelagian, dan Pulau Puhawang) selama kurun waktu 8 (delapan) tahun, mulai<br />
dari tahun 1998 hingga tahun 2007 adalah 3% pertahun. Pada tahun 1998, kondisi<br />
tutupan terumbu karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> ada dalam kategori BAIK (65.5%), dan<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab VI- 1
pada tahun 2007 tutupan karang di beberapa lokasi ini menurun menjadi kategori<br />
SEDANG (29%).<br />
4. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan hasil survey lapangan bahwa<br />
kerusakan terumbu karang <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> di sebabkan oleh: Kegiatan Pemboman dan<br />
pemutasan karang untuk mencari ikan karang, Penambangan karang untuk bahan<br />
bangunan, jalan dan perhiasan, Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan<br />
pertambakan dan Kerusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulau-pulau<br />
kecil karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga.<br />
5. Arahan rencana pengelolaan terumbu karang <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> ditekankan pada:<br />
Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang, Pelibatan<br />
masyarakat secara aktif untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang,<br />
Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat ekosistem karang,<br />
Memperkuat sistem keamanan laut untuk menjaga ekosistem terumbu karang,<br />
Pengembangan teknologi penangkap ikan yang ramah lingkungan, Pengembangan<br />
mata pencaharian alternatif budidaya ikan karang, Pelarangan penambangan karang<br />
untuk bahan bangunan, Pembuatan Perda/Peraturan lainnya untuk melindungi<br />
ekosistem terumbu karang, Koordinasi terpadu antar lintas sektoral dalam pelestarian<br />
terumbu karang, Pengembangan mata pencaharian alternatif wisata bahari berbasis<br />
masyarakat, Pengembangan program rehabilitasi karang dengan transplantasi, dan<br />
Pengembangan dan pengawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL).<br />
6.2 Rekomendasi<br />
1. Usulan penambahan Daerah Perlindungan Laut baru di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dalam rangka<br />
pelestarian terumbu karang.<br />
2. Perlu aturan dan sanksi yang tegas dalam pemanfaatan terumbu karang di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> sehingga kerusakannya dari tahun ke tahun tidak semakin bertambah parah.<br />
3. Perlu dilakukan pembentukan Lembaga Pengelola Pengelola <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di<br />
Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota yang bersifat terpadu dan partisipatif.<br />
4. Mengembangkan program mata pencaharian alternatif bagi masyarakat disekitar<br />
kawasan konservasi laut dengan wisata bahari berbasis masyarakat dan budidaya laut.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab VI- 2
5. Perlu dilakukan tindakan rehabilitasi terhadap ekosistem terumbu karang yang telah<br />
mengalami kerusakan dengan program transplantasi karang.<br />
6. Perlunya pedampingan dana dari APBN/APBD Propinsi <strong>Lampung</strong> setiap tahun untuk<br />
program pelestarian terumbu karang <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> karena terumbu karang <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong> mempunyai nilai strategis dalam pengembangan wisata bahari, lingkungan<br />
hidup, penahan abrasi pantai, dan perikanan laut.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab VI- 3
DAFTAR REFERENSI<br />
Agus, S.B. dan Siregar, V.P. 2004. Penginderaan Jarak Jauh Sumberdaya Pesisir dan<br />
Lautan. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.<br />
Anonimous. 2007. Landsat 7 Handbook. www.brsi.msu.edu<br />
Butler, M.J.A, M.c. Mouchot, V. Barale dan C. LeBlance. 1988. The Application of<br />
Remote Sensing Technology to Marine Fisheries: an Introductory Manual. FAO<br />
Fisheries Technical Paper: 295. Rome. 165 hal.<br />
CRMP. 1998. Propil Perairan Pantai Propinsi <strong>Lampung</strong>. Technical Report CRMP<br />
<strong>Lampung</strong>, Bandar <strong>Lampung</strong>.<br />
CRMP. 1998. Sumber-Sumber Pencemaran Wilayah Pesisir <strong>Lampung</strong>. Technical Report<br />
CRMP <strong>Lampung</strong>, Bandar <strong>Lampung</strong>.<br />
CRMP. 1998. Kondisi Oseanografi Perairan Pesisir <strong>Lampung</strong>. Technical Report CRMP<br />
<strong>Lampung</strong>, Bandar <strong>Lampung</strong>.<br />
Dishidros. 2003. Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia. Dinas Hidro Oseanografi TNI<br />
AL. Jakarta, 524 hal.<br />
Danoedoro dan Projo. 1996. Pengolahan Citra Digital. Yogyakarta: Fakultas Geografi,<br />
Universitas Gadjah Mada.<br />
English, S., C. Wilkinson, and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine<br />
Resources. Asean-Australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine<br />
Science, Townsville.<br />
Gomez, E. D. Dan H.T Yap. 1988. Monitoring Reef Conditions in: Kenchington R.A dan<br />
B.E.T Hudson (Eds). Coral Reef Management Handbook. Unesco Regional Office<br />
for Science and Technolohy for South-East Asia, Jakarta. Hal 171- 178.<br />
KLH. 2005. Kumpulan Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut. Deputi<br />
Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan<br />
Lingkungan. Kemeterian Lingkungan Hidup, Jakarta.<br />
Lillesand, T.M dan Kiefer, R.W. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra<br />
(terjemahan), Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.<br />
Mulyana, Y. 2006. Pedoman Standar Pelatihan Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Proyek<br />
Pengelolaan dan Rehabilitasi <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong>. COREMAP II, DKP, Jakarta.<br />
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta, 368 hal.<br />
Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografis: Tutorial Arc View. Informatika, Bandung.<br />
Setiabudi dan Upik Rosalina W. 1996. Petunjuk Praktis Identifikasi dan Pemetaan<br />
Vegetasi dengan menggunakan Penafsiran Citra Landsat TM; Studi Kasus Sumatera,<br />
Bogor: makalah dalam seminar Tropical Forest Dynamic, SEAMEO-BIOTROP.<br />
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh, Jilid 1 dan 2, Yogyakarta: Gadjah Mada University<br />
Press.<br />
Trisakti, B. Hasyim, B. Dewanti, R. Hartuti, M. dan Winarso, G. 2003. Teknologi<br />
Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pusat<br />
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh. LAPAN, Jakarta.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab VI- 1
Wyrtki, K. 1961. physical Oseanography of Southeast Asian Waters. Naga Report, Vol 2.<br />
Univ. California, LA Jolla, 195 p.<br />
Pemetaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> Bab VI- 2
Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> (Mas parjito, Nama Dinas mohon direvisi sesuai dinas2<br />
di <strong>Lampung</strong>)<br />
No Strategi Pengelolaan Program-Program Institusi Jangka Waktu (tahun)<br />
1<br />
2<br />
3<br />
Strategi 1:Peningkatan kesadaran masyarakat<br />
untuk melestarikan terumbu karang<br />
Strategi 2: Pelibatan masyarakat secara aktif<br />
untuk menjaga dan melestarikan ekosistem<br />
terumbu karang<br />
Strategi3: Meningkatkan pengetahuan<br />
masyarakat tentang manfaat ekosistem<br />
karang<br />
1. Program penyuluhan pengelolaan terumbu karang yang<br />
berbasis masyarakat di daerah pesisir.<br />
2. Pelatihan pengelolaan terumbu karang berbasis<br />
masyarakat bagi penyuluh lapangan<br />
3. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat muatan<br />
lokal kurikulum SD, SMP dan SMA di daerah pesisir<br />
4. Penyadaran pelestarian terumbu karang lewat brosur,<br />
buku bacaan anak-anak, media cetak dan media<br />
elektonik.<br />
1. Melibatkan masyarakat, instansi pemerintah, LSM,<br />
perguruan tinggi, dan pengusaha dalam berbagai usaha<br />
untuk melestarikan terumbu karang.<br />
2. Menciptakan kader-kader motivator untuk mendukung<br />
kegiatan pelestarian terumbu karang.<br />
3. Membentuk dan memberdayakan kelompok-kelompok/<br />
organisasi masyarakat di kawasan perairan karang.<br />
4. Mengembangkan prinsip-prinsip keterlibatan masyarakat<br />
pesisir dalam pengelolaan terumbu karang.<br />
5. Memberikan pelatihan bagi tenaga –tenaga lapangan<br />
untuk memberikan pendidikan lingkungan laut serta<br />
keterlibatan publik dalam pengelolaan terumbu karang.<br />
6. Mengembangkan koordinasi pendanaan program, antara<br />
pemerintah pusat, pemerintah Propinsi/Kabupaten,<br />
organisasi non pemerintah, BUMN/BUMD, swasta dan<br />
masyarakat untuk perberdayaan masyarakat dalam<br />
pengelolaan terumbu karang.<br />
1. Penyuluhan eksosistem terumbu karang dan manfaatnya<br />
2. Melakukan program pemetaan partisipasif bersama<br />
masyarakat di wilayah pengelolaan tradisionilnya untuk<br />
melihat kondisi kondisi terumbu karang dan langkahlangkah<br />
pencegahan kerusakannya<br />
3. Melakukan studi banding pada daerah yang maju dalam<br />
pengelolaan terumbu karangnya seperti Bali<br />
4. Membuat pusat informasi terumbu karang di <strong>Teluk</strong><br />
<strong>Lampung</strong><br />
5. Melakukan monitoring secara rutin dan seminar hasil-<br />
hasil penelitian karang di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> kerjasama<br />
Pemerintah Daerah, DKP Pusat, LIPI, Unila, masyarakat<br />
pesisir dan LSM.<br />
Dinas Pendidikan, Dinas Kelautan dan<br />
Perikanan, LSM, UNILA, TVRI, TV Swata<br />
Dinas Kelautan dan Perikanan, LSM,<br />
UNILA, Bapeda, Polisi Perairan, TNI AL<br />
Dinas Kelautan dan Perikanan, UNILA, LSM,<br />
Balibangda, Bapedalda<br />
1- 5 th 5- 10 th 10 - 15
Lanjutan Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
No Strategi Pengelolaan Program-Program Institusi Jangka Waktu (tahun)<br />
4<br />
5<br />
6<br />
Strategi 4: Memperkuat sistem keamanan<br />
laut untuk menjaga ekosistem terumbu<br />
karang<br />
Strategi 5: Pengembangan teknologi<br />
penangkap ikan yang ramah lingkungan<br />
Strategi 6: Pengembangan mata pencaharian<br />
alternatif budidaya ikan karang<br />
1. Penambahan jumlah personil, sarana dan prasarana<br />
penegakan hukum dilaut.<br />
2. Mengadakan pelatihan-pelatihan hukum laut, konservasi<br />
sumberdaya alam hayati dan ekosistem serta undangundang<br />
perikanan bagi aparat penegak hukum.<br />
3. Melakukan pengawasan secara intensif terhadap berbagai<br />
motif pelanggaran yang ada di wilayah laut.<br />
4. Mengembangkan operasi pengamanan pesisir dan laut<br />
terpadu<br />
5. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan operasi<br />
pengawasan di laut<br />
6. Mengintensifkan sosialisasi terhadap produk hukum<br />
pelestarian terumbu karang yang dihasilkan.<br />
1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas<br />
penggunaan bom dan racun (potas) dalam menangkap<br />
ikan di terumbu karang.<br />
2. Pengembangan alat tangkap ikan karang yang ramah<br />
lingkungan seperti bubu<br />
3. Pengaturan jumlah tangkapan ikan karang sesuai daya<br />
dukung perairan<br />
4. Pengaturan jenis dan ukuran ikan karang yang boleh<br />
ditangkap<br />
5. Bantuan modal dari pemerintah/swasta untuk pengadaan<br />
alat tangkap yang ramah lingkungan<br />
6. Memperluas pemasaran hasil perikanan ikan karang<br />
1. Identifikasi jenis-jenis usaha budidaya ikan karang yang<br />
potensial<br />
2. Penyusunan studi kelayakan budidaya ikan karang<br />
3. Pelatihan teknik budidaya ikan karang<br />
4. Menyusun usulan kegiatan untuk memperoleh bantuan<br />
modal usaha<br />
5. Penerapan budidaya ikan karang yang ramah lingkungan<br />
dan berbasis masyarakat<br />
6. Evaluasi dan monitoring bersama masyarakat tentang<br />
budidaya ikan karang<br />
Polisi Perairan, TNI AL, Dinas Kelautan dan<br />
Perikanan, Kejaksaan, Kejati, Biro Hukum<br />
Dinas Perikanan dan Kelautan,<br />
Deperindag, Balibangda, Bapedalda,<br />
UNILA, Dinas Perdagangan<br />
Dinas Perikanan dan Kelautan, Bapeda,<br />
LSM, Unila<br />
1- 5 th 5- 10 th 10 - 15
Lanjutan Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
No Strategi Pengelolaan Program-Program Institusi Jangka Waktu (tahun)<br />
7<br />
8<br />
9<br />
Strategi 7: Pelarangan penambangan karang<br />
untuk bahan bangunan<br />
Strategi 8: Pembuatan Perda/Peraturan<br />
lainnya untuk melindungi ekosistem terumbu<br />
karang<br />
Strategi 9: Koordinasi terpadu antar lintas<br />
sektoral dalam pelestarian terumbu karang<br />
1. Melakukan pelarangan dan sanksi yang tegas<br />
penambangan karang untuk pondasi bangunan<br />
2. Sosialisasi ke masyarakat dan dinas-dinas terkait tentang<br />
peraturan- peraturan yang berhubungan pelarangan<br />
penambangan karang untuk bangunan<br />
3. Sosialisasi dampak penambangan terhadap kerusakan<br />
ekosistem terumbu karang<br />
4. Menerapkan sanksi yang tegas terhadap kontraktor yang<br />
menggunakan karang sebagai pondasi bangunan<br />
1. Melibatkan peran serta masyarakat secara partisipatif<br />
dalam menyusun perda pelestarian terumbu karang<br />
2. Membahas permasalahan kerusakan terumbu karang<br />
secara bersama, untuk ditanggulangi bersama antara<br />
stakeholders.<br />
3. Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah<br />
dilaksanakan secara bersama dengan stakeholders terkait<br />
4. Melibatkan pihak LSM dan swasta dalam membahas<br />
substansi rancangan peraturan daerah pelestarian<br />
terumbu karang<br />
5. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif<br />
untuk membuat kebijakan yang berbasis masyarakat pada<br />
pengelolaan terumbu karang<br />
1. Mengembangkan misi dan visi yang sama dalam<br />
pengelolaan terumbu karang dinas terkait di Propinsi<br />
<strong>Lampung</strong>.<br />
2. Menghilangkan egosektoral dalam pengelolaan terumbu<br />
karang<br />
3. Melibatkan peran serta masyarakat, pemuda, LSM,<br />
Perguruan Tinggi, tokoh adat secara partisipatif dalam<br />
menyusun kebijakan pengelolaan terumbu karang.<br />
4. Memberdayakan masyarakat pesisir dan institusi legistatif<br />
untuk membuat kebijakan yang mengakar pada<br />
masyarakat bawah<br />
5. Menumbuhkan lagi adat istiadat pesisir yang berwawasan<br />
lingkungan di Propinsi <strong>Lampung</strong> untuk pelestarian<br />
terumbu karang.<br />
Dinas Kimpraswil, Polisi Perairan, Dinas<br />
Perikanan dan Kelautan, Kejati, Bapedalda,<br />
BKSDA <strong>Lampung</strong><br />
Dinas Kelautan dan Perikanan, DPRD,<br />
LSM, UNILA, Bapedalda, Balibangda, Biro<br />
Hukum, BKSDA <strong>Lampung</strong><br />
Bapeda, Dinas Kelautan dan Perikanan,<br />
LSM, Balitbangda, UNILA, TNI AL, Polisi<br />
Perairan, BKSDA <strong>Lampung</strong><br />
1- 5 th 5- 10 th 10 - 15
Lanjutan Lampiran 2 : Arahan Rencana Pengelolaan <strong>Terumbu</strong> <strong>Karang</strong> di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
No Strategi Pengelolaan Program-Program Institusi Jangka Waktu (tahun)<br />
10<br />
11<br />
12<br />
Strategi 10: Pengembangan mata<br />
pencaharian alternatif wisata bahari berbasis<br />
masyarakat.<br />
Strategi 11: Pengembangan program<br />
rehabilitasi karang dengan transplantasi.<br />
Strategi 12: Pengembangan dan<br />
pengawasan Daerah Perlindungan Laut<br />
(DPL)<br />
1. Peningkatan promosi wisata bahari ke <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
melalui pameran, brosur, TV, internet dan kerja sama biro<br />
perjalanan dan hotel<br />
2. Mengundang investor wisata bahari ke <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
3. Mempermudah perijinan usaha wisata bahari<br />
4. Penyediaan akses modal berusaha melalui kredit pada<br />
bank.<br />
5. Peningkatan jasa angkutan laut sebagai sarana<br />
penghubung antar pulau kecil di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong><br />
6. Pelatihan pengelolaan wisata bahari bagi aparat dinas<br />
pariwisata dan pelaku wisata bahari<br />
7. Studi banding ke daerah lain yang sudah maju dalam<br />
wisata bahari seperti Bali dan Bunaken<br />
1. Menentukan lokasi-lokasi yang cocok untuk daerah<br />
transplantasi karang<br />
2. Mencari jenis-jenis karang yang cocok untuk bibit<br />
transplantasi<br />
3. Bimbingan teknis penyelaman (diving) terhadap<br />
masyarakat yang terlibat dalam transplantasi karang<br />
4. Penyusunan Buku Petunjuk Teknis Transplantasi <strong>Karang</strong><br />
5. Pilot proyek transplantasi karang hias untuk tujuan<br />
komersial yang berbasis masyarakat<br />
6. Pilot proyek transplantasi karang untuk tujuan ekowisata<br />
1. Penambahan daerah DPL baru di <strong>Teluk</strong> <strong>Lampung</strong> dengan<br />
persetujuan masyarakat dan Pemerintah Daerah<br />
2. Pengenalan kepada masyarakat dan sosialisasi program-<br />
progran DPL<br />
3. Pelatihan, pendidikan, dan pengembangan kapasitas<br />
masyarakat dalam mengelola DPL<br />
4. Sosialisasi peraturan-peraturan DPL yang telah ada dan<br />
pembuatan peraturan baru sesuai dengan dinamika<br />
masyarakat<br />
5. Penataan ruang laut untuk berbagai keperluan<br />
6. Meningkatkan pengawasan dan Penegakan hukum<br />
terhadap kegiatan yang merusak karang<br />
7. Pembukaan jalur transportasi langsung yang dapat<br />
menunjang pengembangan wisata bahari dan perikanan<br />
Dinas Pariwisata, Dinas Tenaga Kerja,<br />
Dinas kelautan dan Perikanan, Bank BUMN<br />
dan Swasta, Dinas Perhubungan,<br />
Dinas Kelautan dan Perikanan, BKSDA<br />
<strong>Lampung</strong>, Bapedalda, Balitbangda, P3O-<br />
LIPI, UNILA, LSM<br />
Dinas Kelautan dan Perikanan, BKSDA<br />
<strong>Lampung</strong>, Polisi Perairan, TNI AL, Bapeda,<br />
Bapedalda, balitbangda, UNILA, LSM,<br />
Dinas Kehutanan<br />
1- 5 th 5- 10 th 10 – 15