Annex 1 - Selamat Datang di Direktorat Hukum dan HAM - Bappenas

Setiabudi Building 2; 2nd floor, Suite 207D
Jl. H.R. Rasuna Said Kav 62 Jakarta 12920
Phone : [62-21] 5290 6813 | Fax : [62-21] 5290 6824
www.nlrp.org
Mahkamah Agung
(Hoge Raad)
di Negeri Belanda
Sistem Kasasi dan Diskusi Tentang
Pembatasan Perkara Kasasi
The Supreme Court (Hoge Raad)
of the Netherlands
System of Cassation and a Discussion
on Limiting Cassation Cases

Sistem Kasasi dan Diskusi Tentang
Pembatasan Perkara Kasasi
Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi – Laporan Komite
Hammerstein mengenai Peran Normatif Mahkamah Agung
(Den Haag, Februari 2008)
Improving Cassation Procedure – Report of the Hammerstein
Committee on the Normative role of the Supreme Court
(The Hague, February 2008)
Sebuah Pengantar ke Mahkamah Agung Belanda
An Introduction to the Supreme Court of The Netherlands
The Supreme Court (Hoge Raad)
of the Netherlands
System of Cassation and a Discussion
on Limiting Cassation Cases

Mahkamah Agung (Hoge Raad) di Negeri Belanda
Publisher:
The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program
(NLRP)
Setiabudi Building 2
2nd floor, Suite 207D
Jl. H.R. Rasuna Said Kav 62
Jakarta 12920
Phone : [62-21] 5290 6813
Fax : [62-21] 5290 6824
Website : www.nlrp.org
Design & Setting:
Fruit Indonesia
PT. Buah Karya Gemilang
fruit@fruitindonesia.com
The publication of this book has been made possible with a grant from the
NLRP.
Translated and published for the visit of the Chief Justice of
the Supreme Court of the Netherlands to Jakarta, Indonesia - June 2010

Kata Pengantar
The Indonesia Netherlands National Legal Reform
Program (NLRP) adalah sebuah program technical
assistance yang dibentuk sejak akhir 2008 guna men-
gelola dana hibah dari pemerintah Kerajaan Belanda
untuk mendukung berbagai upaya reformasi hukum dan
peradilan yang terus dijalankan oleh berbagai lembaga
hukum dan komunitas hukum Indonesia. Mitra utama
NLRP adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasi-
onal (Bappenas) RI, dengan mitra kerja yang terdiri dari
berbagai lembaga hukum Indonesia, khususnya Mahka-
mah Agung RI, serta civil society Indonesia.
Salah satu mandat NLRP adalah menyediakan akses yang
luas bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia pada
bahan-bahan perbandingan yang penting dan relevan
sebagai alternatif sumber gagasan dan pemikiran baru
dalam melaksanakan reformasi hukum dan peradilan.
Selain itu NLRP juga berusaha menjembatani pertukaran
informasi, pengetahuan, dan pengalaman, serta ker-
jasama yang lebih erat antara dunia hukum dan peradilan
Indonesia dengan dunia hukum dan peradilan Belanda.
Untuk kepentingan tersebut, NLRP bersama dengan
Mahkamah Agung RI, Mahkamah Agung Kerajaan
Belanda, dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Ja-
karta, memfasilitasi kunjungan Ketua Mahkamah Agung
Kerajaan Belanda Hon. Geert Corstens dan Wakil Ketua
Mahkamah Agung Kerajaan Belanda Hon. Hans Fleers
sekaligus rangkaian diskusi antara keduanya dengan
Ketua Mahkamah Agung RI Dr. Harifin A. Tumpa
beserta jajaran pimpinan dan staf Mahkamah Agung RI.
Kunjungan ini memiliki arti penting untuk menandai
pengembangan kerjasama yang lebih efektif di bidang
pembaruan peradilan antara kedua negara ke depan.
Rangkaian diskusi yang menyertainya juga penting untuk
saling berbagi pemikiran dan pengalaman mengingat
spektrum permasalahan yang dihadapi kedua lembaga
juga memiliki banyak persentuhan bahkan kesamaan.
Preface
The Indonesia Netherlands National Legal Reform
Program (NLRP) is a technical assistance program
established at the year-end of 2008 to manage a grant
from the Dutch government, allocated to support
various legal reform and judicial reform efforts as
executed by numerous legal institutions and legal
communities in Indonesia. NLRP”s primary partner is
the National Development Planning Board (Bappenas)
RI along with partners consisting of various legal
institutions in Indonesia, in particular Indonesia’s
Supreme Court, as well as Indonesian civil society.
One of NLRP’s mandates is to provide wide access to
Indonesian government and society to important and
relevant comparative materials as an alternative source
of ideas and thoughts to take forward legal and judicial
reform. In addition, NLRP also endeavors to bridge the
exchange of information, knowledge, and experience, as
well as closer cooperation between the legal discipline
and judiciary of Indonesia and the legal discipline and
judiciary of the Netherlands.
Preface
In light of those purposes, NLRP, working hand-
in-hand with Indonesia’s Supreme Court, the Dutch
Supreme Court, and the Dutch Embassy in Jakarta,
facilitates an official visit of the Chief Justice of the
Dutch Supreme Court, Hon. Geert Corstens and
the Vice Chief Justice of the Dutch Supreme Court,
Hon. Hans Fleers. It includes a series of discussions
between them and the Chief Justice of the Indonesian
Supreme Court, Honorable Dr. Harifin A. Tumpa, and
the Indonesian Supreme Court’s leadership ranks and
staff. This visit carries an important meaning to mark
a more effective cooperation development regarding
judicial reform between the two countries in the future.
The series of discussions that come with the visit is also
important to accomodate the exchange of ideas and
experiences, considering that a variety of challenges
i

ii Kata Pengantar
Untuk kepentingan tersebut pulalah buku pegangan
ini diterbitkan. Buku ini berisikan berbagai informasi
mengenai upaya lembaga peradilan Kerajaan Belanda
mereformasi kedudukan, peran, serta pelaksanaan fungsi
dan kewenangannya agar mampu memenuhi ekspektasi
publik, yaitu terselenggaranya kekuasaan kehakiman
yang berwibawa, berkualitas, dan efektif. Pada bagian
pertama, pembaca bisa mendapati Laporan Komite
Hammerstein yang menilai, menganalisa dan memberi
rekomendasi agar Mahkamah Agung Kerajaan Belanda
dapat menjalankan fungsi-fungsinya, dalam mengawasi
keseragaman penerapan hukum dan mengarahkan
perkembangan hukum, serta mengawasi berjalannya
proses peradilan (due process of law), dengan baik.
Pada bagian berikutnya terdapat berbagai keterangan
tambahan yang meliputi ketentuan peraturan perundang-
undangan, data statistik perkara, dan beberapa definisi
atas konsep/peristilahan tertentu untuk menunjang
pemahaman terhadap konteks permasalahan yang diulas
serta usulan solusinya.
Selamat membaca. Besar harapan kami semoga publikasi
buku pegangan ini berguna bagi para pembacanya.
Hormat saya,
Sebastiaan Pompe
Program Manager NLRP
faced by both institutions have common aspects or even
great similarities.
It is in light of that purpose as well, that this hand book
is published. This book contains various information
concerning the efforts of Dutch judiciary in reforming
the position, the role, and the implementation of its
function and authority to fulfill public expectation, i.e.
the establishment of authority of the judiciary with
integrity, quality, and effectiveness. In the first part,
readers can find the Hammerstein Committee Report
which assesses, analyzes and provides recommendations
in order for the Dutch Supreme Court to execute
its functions of supervising uniformity of legal
implemention, of guiding legal development, and of
supervising the due process of law appropriately. In the
next part, there is additional information concerning
laws and regulations, case statistics, and several
definitions and concepts to enhance the understanding
of problems being discussed as well as the solutions
recommended.
Please enjoy reading it. It is our sincere hope that this
hand book serves a meaningful purpose for the readers.
Sincerely yours,
Sebastiaan Pompe
NLRP Program Manager

A
B
C
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar isi
Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi
Ringkasan
1. Pendahuluan
1.1. Kerangka acuan dan susunan
Komite
1.2. Prosedur kerja Komite
2. Premis-premis dasar
2.1. Fungsi-fungsi Mahkamah Agung 8
2.2. Pendekatan baru terhadap
fungsi-fungsi yang telah ada
3. Analisis terhadap permasalahan-
permasalahan
3.1. Perkembangan-perkembangan
lintassektoral
3.2. Sektor perdata
3.3. Sektor pidana
3.4. Sektor pajak
3.5. Kesimpulan interim: perubahan-
perubahan yang diperlukan
4. Rekomendasi Komite
4.1. Diadakannya sebuah mekanisme
seleksi yang lebih kuat lagi
4.2. Lebih banyak kasasi untuk
kepentingan penyeragaman
penerapan hukum
4.3. Penelitian mengenai ruang
lingkup pemberlakuan sistem
putusan awal (preliminary ruling)
4.4. Ruang bagi lebih banyak
informasi dan konsultasi
4.5. Tidak ada kasasi ex proprio motu
untuk sektor perdata
4.6. Evaluasi pada saat yang tepat
terhadap larangan-larangan
melakukan kasasi
4.7. Kesimpulan
i
iii
1
1
4
4
5
8
11
14
15
24
34
45
51
54
55
66
70
75
78
79
80
A
B
C
Contents
Preface
Contents
Improving Cassation Procedure
Summary
1. Introduction
1.1. Terms of reference and
composition of the Committee
1.2. Procedure of the Committee
2. Basic premises
2.1. The functions of the Supreme
Court
2.2. A new approach to existing
functions
3. Analysis of the problems
3.1. Cross-sector developments
3.2. Civil sector
3.3. Criminal sector
3.4. Tax sector
3.5. Interim conclusion: necessary
changes
4. Recommendations of the Committee
4.1. Introduction of a more powerful
selection mechanism
4.2. More cassation in the interests
of the uniform application of
the law
4.3. Study of scope for a preliminary
ruling procedure
4.4. Scope for more information and
consultation
4.5. No cassation ex proprio motu for
the civil sector
4.6. Evaluation of cassation
prohibitions in due course
4.7. Conclusion
Daftar Isi
i
iii
1
1
4
4
5
8
8
11
14
15
24
34
45
51
54
55
66
70
75
78
79
80
iii

iv
Daftar Isi
D
E
Pengantar kepada Mahkamah Agung
Belanda
1. Pendahuluan
2. Gambaran Sistem Pengadilan Belanda
3. Tugas-tugas manajerial dan operasional
yang terkait dengan peradilan di
Belanda
4. Tugas-tugas manajerial dan operasional
yang terkait dengan Mahkamah Agung
5. Kasasi: tugas utama Mahkamah Agung
6. Pelarangan atas peninjauan kembali
konstitusional
7. Tanggung Jawab Procurator General
7.1. Tugas Utama: Pendapat Saran
(Advisory opinions)
7.2. Kewajiban khusus Procurator
Annexes
General:
Annex 1 : Ketentuan undang-undang
yang diperkenalkan untuk penyelesaian
perkara kasasi dengan efisien (pasal
75, sub-bagian 3 dan Pasal 81 Undang-
Undang tentang (Organisasi) Kehakiman)
Annex 2 : Ringkasan dari Laporan
Komite Hammerstein: Meningkatkan
kualitas prosedur kasasi
Annex 3 : Seleksi dan nominasi para
hakim Mahkamah Agung Belanda
Annex 4 : Tindakan-tindakan dan
keluhan-keluhan disipliner terhadap para
hakim
Annex 5 : Struktur kamar Mahkamah
Agung (Hoge Raad) secara umum
Annex 6 : Precedent dan peran Procurator
General
Annex 7: Memastikan konsistensi
penjatuhan sanksi dalam perkara-perkara
pidana yang sebanding (comparable) dalam
lingkungan peradilan.
85
85
85
87
88
89
93
93
93
94
98
102
105
108
117
122
127
D
E
An Introduction to the Supreme Court of
the Netherlands
1. Introduction
2. Outline of the Dutch judicial system
3. The managerial and operational
tasks related to the judiciary in the
Netherlands
4. The managerial and operational tasks
related to the Supreme Court
5. Cassation: the main task of the Supreme
Court
6. The ban on constitutional review
7. Responsibilities of the Procurator
General
7.1. Main task: Advisory opinions
7.2. Special responsibilities of the
Annexes
Procurator General:
Annex 1 : Statutory provisions introduced
to promote the efficient disposal of appeals
in cassation (article 75, subsection 3 and
article 81 of the Judiciary (Organization)
Act)
Annex 2 : Summary of the Report of
the Hammerstein Committee: Improving
cassation procedure
Annex 3 : Selection and nomination
of judges of the Supreme Court of the
Netherlands
Annex 4 : Disciplinary measures and
complaints against judges
Annex 5 : Struktur kamar Mahkamah
Agung (Hoge Raad) secara umum
Annex 6 : Precedent and the role of the
Procurator General
Annex 7: Ensuring consistency in
imposing sanctions in comparable criminal
cases within the judiciary
85
85
85
87
88
89
93
93
93
94
98
102
105
108
117
122
127

Annex 8 : Kontribusi terhadap
kelompok kerja dalam pengaruh hukum
internasional
Annex 9 : Kewajaran (reasonableness) dan
keadilan (fairness)
Annex 10 : Statistik Perkara Mahkamah
Agung Belanda
131
135
139
Annex 8 : Contribution to the working
group on the influence of international law
Annex 9 : Reasonableness and fairness
Annex 10 : Case Statistics of the Supreme
Court of the Netherlands
Daftar Isi
131
135
139
v

vi Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure

Menyempurnakan
Hukum Acara Kasasi
Laporan Komite Hammerstein
mengenai Peran Normatif Mahkamah
Ringkasan
Agung
Den Haag, Februari 2008
Mahkamah Agung memainkan peran penting baik
dalam hal judicial lawmaking (melahirkan hukum dari
yurisprudensi) maupun memberikan perlindungan
hukum. Kedua peran ini tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya. Cara Mahkamah Agung menjalankan
fungsi-fungsinya harus diubah.
Dalam praktiknya, terlihat bahwa sebagian besar
permohonan kasasi sebenarnya tidaklah layak
untuk menyita perhatian Mahkamah Agung karena
permohonan-permohonan kasasi tersebut tidak
terkait dengan permasalahan yang perlu diselesaikan
sehubungan dengan kepentingan penyeragaman
penerapan hukum ataupun pengembangan hukum
serta tidak juga melibatkan aspek penting perlindungan
hukum. Perkara-perkara yang tidak melibatkan peran
nyata Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office
ini harus disingkirkan pada tahap sedini mungkin
untuk mengurangi beban kedua institusi yang memiliki
keterbatasan kapasitas ini. Komite menilai bahwa
dalam pengajuan kasasi yang benar-benar melibatkan
perlindungan hak-hak pribadi seseorang, putusan
Mahkamah Agung baru diperlukan jika tanpa putusan
tersebut pihak bersangkutan akan menderita kerugian
signifikan akibat kesalahan-kesalahan pengadilan yang
lebih rendah.
Improving Cassation
Procedure
Report of the Hammerstein Committee
on the Normative Role of the Supreme
Summary
Court
The Hague, February 2008
The Supreme Court plays an important role in the fields
of both judicial lawmaking and legal protection, roles
which cannot be viewed separately from each other.
How the Supreme Court fulfils its functions should be
modified.
Practice shows that a substantial proportion of cassation
appeals do not really merit the attention of the Supreme
Court because they do not contain issues that need to
be answered in the interests of the uniform application
or development of the law, nor do they involve an
important aspect of legal protection. These cases, in
which the Supreme Court and the Procurator General’s
Office have no real role to play, must be disposed of at
the earliest possible stage of the proceedings in order
to minimise the strain on the limited capacity of these
two institutions. The Committee considers that in
cassation appeals which mainly involve protection of an
individual’s rights a decision of the Supreme Court is
necessary only if the party concerned would otherwise
suffer a significant disadvantage as the result of errors
by the lower court.
Komite Hammerstein
1

2 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
Oleh karena itu, Komite mengusulkan agar dibuatkan
undang-undang yang mengatur suatu mekanisme seleksi
yang memberi kekuasaan kepada Mahkamah Agung
untuk memutus bahwa setiap perkara yang tidak layak
untuk dikasasikan tidaklah dapat diterima. Mekanisme
seleksi tersebut dapat dianggap sebagai suatu langkah
maju yang sejalan dengan kebijakan yang ditempuh
oleh pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi). Kemudian suatu kamar seleksi harus
melakukan penyaringan terhadap perkara-perkara yang
tidak layak untuk dikasasikan.
Mekanisme seleksi yang efektif dapat memperkuat
wibawa Mahkamah Agung karena dengan adanya
mekanisme ini, Mahkamah dan Procurator General’s
Office dapat memusatkan perhatian mereka pada
pokok-pokok permasalahan yang penting bagi kualitas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Komite
merekomendasikan kepada Menteri Kehakiman
untuk melakukan perubahan dalam undang-undang
ini sesegera mungkin dan merekomendasikan kepada
Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office untuk
mengantisipasi perubahan dalam Undang-undang ini
melalui penafsiran pasal 81 tersebut secara lebih luas di
mana dimungkinkan.
Berbagai langkah harus diambil untuk memastikan
bahwa sarana berupa kasasi tersedia bagi setiap pihak
yang berperkara dan putusan-putusan dalam sidang
kasasi dikeluarkan pada saat yang tepat. Hal ini berarti
perlu dibuatkan peraturan, khususnya di bagian perdata,
yang bertujuan untuk mencegah perkara-perkara yang
melibatkan permasalahan-permasalahan hukum yang
dinilai perlu diputus oleh Mahkamah Agung demi
kepentingan publik gagal sampai ke Mahkamah Agung
atau terlambat sampai ke Mahkamah Agung. Oleh
karena itu, Komite berpendapat bahwa berbagai upaya
dapat dilakukan untuk memperluas pengajuan kasasi
demi kepentingan penyeragaman penerapan hukum.
Dengan demikian, Mahkamah Agung akan memiliki
kondisi yang lebih memadai untuk menjalankan
fungsinya menyediakan panduan bagi para praktisi
The Committee therefore proposes that a selection
mechanism be introduced by law to enable the
Supreme Court to rule that a case which is unsuitable
for cassation proceedings is inadmissible. Such a
selection mechanism could be regarded as a further step
along the path adopted by section 81 of the Judiciary
(Organisation) Act. A selection chamber would then
have to filter out cases that are unsuitable for cassation.
An effective selection mechanism could strengthen the
authority of the Supreme Court since it would enable
both the court and the Procurator General’s Office to
concentrate their attention on subjects of importance
to the quality of the administration of justice. The
Committee recommends to the Minister of Justice
that this change in the law be introduced at the earliest
possible opportunity and recommends to the Supreme
Court and the Procurator General’s Office that they
should, wherever possible, anticipate this change in the
law by interpreting the present section 81 rather more
broadly.
Measures must be taken to ensure that the instrument
of cassation is available to litigants and that decisions
in cassation proceedings are taken in good time. This
means that provision must be made, particularly for
the civil division, to prevent cases involving legal issues
on which a landmark judgment of the Supreme Court
may reasonably be assumed to be required in the
public interest failing to reach the Supreme Court or
to reach it in time. In the Committee’s opinion, efforts
could therefore be made to expand the application
of cassation in the interests of uniform application
of the law. The Supreme Court would then be better
placed to perform its function of providing guidance
for legal practitioners and promoting the quality of the
administration of justice. If cassation in the interests
of the uniform application of the law is applied more

hukum dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman. Jika kasasi demi kepentingan
penyeragaman penerapan hukum hendak diterapkan
lebih luas lagi, maka keterbatasan-keterbatasan yang ada,
seperti tidak adanya alasan hukum di antara pihak-pihak
yang berperkara, perlu dihilangkan sejauh mungkin,
misalnya dengan membuka ruang untuk mengomentari
permohonan kasasi Procurator General dan menyediakan
informasi tentang pokok kasasi yang diajukan. Komite
merekomendasikan agar Procurator General Mahkamah
Agung mengambil langkah-langkah untuk tujuan ini.
Komite juga menilai bahwa perlu dipelajari kemungkinan
dibuatnya suatu hukum acara yang memungkinkan
para judex factie, khususnya di bagian perdata, meminta
putusan awal (preliminary ruling) dari Mahkamah Agung.
Hal ini akan menjadi salah satu jalan yang membuka
peluang kasasi bagi perkara-perkara yang saat ini tidak
dapat atau terlambat sampai ke Mahkamah Agung.
Komite merekomendasikan agar Menteri Kehakiman
menugaskan Pusat Penelitian dan Dokumentasi untuk
melakukan kajian ini.
Komite juga merekomendasikan agar Ketua Mahkamah
Agung dan Procurator General melakukan pembahasan
dengan Komisi Yudisial tentang kemungkinan
dilakukannya penempatan sementara, semacam magang,
di Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office,
beserta adanya jangka waktu untuk pelatihan praktis, di
posisi-posisi yang sesuai bagi para hakim dan pejabat
pengadilan. Komite tidak setuju dengan gagasan yang
memperbolehkan bagian perdata melakukan kasasi atas
inisiatifnya sendiri. Terakhir, Komite merekomendasikan
agar pada suatu saat dilakukan kajian mengenai konsisten
tidaknya larangan-larangan kasasi yang ada satu dengan
lainnya dan perlu tidaknya larangan-larangan tersebut
dibatasi atau diperluas (dan di bidang apa saja jika perlu).
Komite merekomendasikan agar Menteri Kehakiman
menugaskan Pusat Penelitian dan Dokumentasi untuk
melakukan kajian ini pada saat yang tepat nanti.
broadly, it would be desirable to remove as far as
possible the existing limitations such as the absence of
legal argument between opposing parties, for example
by introducing the possibility of commenting on the
application of the Procurator General and providing
information about the subject of the cassation appeal.
The Committee recommends that the Procurator
General at the Supreme Court take measures for this
purpose.
Komite Hammerstein
The Committee also considers that it would be
worthwhile studying the possibility of introducing
a procedure that would enable the courts of fact to
request the Supreme Court, in particular the civil
division, for preliminary rulings. This would be another
way in which cassation would become possible for cases
that at present either do not reach the Supreme Court
or do not reach it in time. The Committee recommends
that the Minister of Justice commission the Research
and Documentation Centre to carry out this study.
The Committee also recommends that the President of
the Supreme Court and the Procurator General should
discuss with the Council for the Judiciary the possibility
of secondment and periods of practical training in
suitable positions for judges and trainee judicial officers
at the Supreme Court and the Procurator General’s
Office. The Committee would be against the idea
of allowing the civil division to institute cassation
proceedings on its own initiative. Finally, the Committee
recommends that a study should be carried out at some
point into whether the existing cassation prohibitions
are consistent with one another and whether it would
be desirable to limit or extend them (and, if so, in what
area). The Committee recommends that the Minister of
Justice commission the Research and Documentation
Centre to carry out this study in due course.
3

4 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
1. Pendahuluan
1.1. Kerangka acuan dan susunan Komite
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman dan Penegakan Hukum Kementerian
Kehakiman membentuk Komite untuk Mengaji Peran
Normatif Mahkamah Agung melalui keputusan tanggal
27 Maret 2007. 1 Kerangka acuan Komite adalah:
merumuskan usul-usul untuk memperkuat peran
normatif 2 Mahkamah Agung. Hal tersebut dilakukan
dengan (a) memeriksa apakah sistem kasasi yang ada
sekarang ini (di mana peradilan kasasi berupaya untuk
memberikan perlindungan hukum dalam perkara demi
perkara secara individual serta mendorong keseragaman
penerapan hukum dan berperan dalam judicial lawmaking)
masih memadai; (b) mengusulkan solusi-solusi terhadap
segala permasalahan yang terlihat atau yang belum
terlihat terkait hal ini, dan (c) memberikan laporan dalam
jangka waktu enam bulan sejak Komite dibentuk.
Salah satu hal yang membuat dibentuknya Komite ini
adalah diterbitkannya Laporan Akhir Kajian Mendasar
atas Hukum Acara Perdata Belanda 3 yang berisi usul-usul
untuk memberi kesempatan yang lebih besar kepada
Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsinya dalam
hal judicial lawmaking. 4 Faktor lain yang menjadi alasan
pembentukan Komite ini adalah adanya perdebatan yang
panjang tentang pembatasan beban kerja Mahkamah
Agung. Salah satu usul tersebut adalah diberlakukannya
sistem leave to appeal (suatu sistem yang ‘menyensor’
permohonan kasasi mana saja yang dapat dilanjutkan
ke pemeriksaan kasasi). Usul-usul yang terkait dengan
hukum acara kasasi dalam laporan Komite Evaluasi
1 Nomor 5475594/07
2 Pemahaman Komite mengenai hal ini dijelaskan di sub-bab 2.1.
3 W.D.H. Asser, H.A. Groen dan J.B.M. Vranken, dengan bantuan I.N. Tzankova,
Uitgebalanceerd, Laporan Akhir Kajian Mendasar atas Hukum Acara Perdata Belanda,
Boom Juridische uitgevers, Den Haag 2006.
4 Dalam laporan tersebut fungsi ini dibandingkan dengan fungsi pengawasan Mahka-
mah Agung dalam memberikan perlindungan hukum secara individual; lihat Laporan
Akhir Kajian Dasar, hal. 151 ff.
1. Introduction
1.1. Terms of reference and composition of the Committee
The Director-General for the Administration of Justice
and Law Enforcement of the Ministry of Justice
established the Committee on the Normative Role of
the Supreme Court by decision of 27 March 2007. 1 The
Committee’s terms of reference were to make proposals
for strengthening the normative role 2 of the Supreme
Court. It was to do this by (a) examining whether the
present cassation system (in which the cassation court
attempts to provide legal protection in individual
cases as well as promote legal uniformity and engage
in judicial lawmaking) is still adequate; (b) advising
on solutions for any problems identified or yet to be
identified in this connection, and (c) reporting within six
months of its establishment.
One of the events that prompted the establishment of
the Committee was the publication of the Final Report
on the Fundamental Review of Dutch Civil Procedure, 3
which contained proposals for giving the Supreme
Court more opportunity to discharge its judicial
lawmaking function. 4 Another factor was the long-
running debate on limiting the workload of the Supreme
Court. One of the proposals was the introduction of a
system of leave to appeal. Mention should also be made
here of the proposals relating to cassation procedure in
the report of the Committee for the Evaluation of the
Modernisation of the Judicial Organisation. 5 In addition,
the role and position of the Supreme Court within a
1 Number 5475594/07.
2 What the Committee understands by this is explained in section 2.1.
3 W.D.H. Asser, H.A. Groen and J.B.M. Vranken, with assistance from I.N.
Tzankova, Uitgebalanceerd, Final Report on the Fundamental Review of Dutch Civil
Procedure, Boom Juridische uitgevers, The Hague 2006.
4 In the report this function is compared with the supervisory function of the
Supreme Court in the provision of individual legal protection; see Final Report on
the Fundamental Review, p. 151 ff.
5 Rechtspraak is kwaliteit, The Hague 2006. Committee chaired by W.J. Deetman.
Referred to below as the Deetman Committee.

Modernisasi Organisasi Kekuasaan Kehakiman 5 juga
perlu diperhatikan di sini. Di samping itu, peran dan
kedudukan Mahkamah Agung dalam sebuah organisasi
kekuasaan kehakiman yang terus berkembang di bawah
arahan Komisi Yudisial harus dipertimbangkan dalam
konteks ini.
Komite beranggotakan:
A. Hammerstein
I.M. Abels
hakim Mahkamah Agung (ketua)
penasihat koordinator untuk hukum
acara pidana di Sektor Hukum dan Sanksi
Pidana, Departemen Perundang-undangan
Kementerian Kehakiman
P.M.M. van der Grinten
J. de Hullu
L. Strikwerda
T.J. van Laar
R. Kuiper
penasihat untuk sektor hukum privat,
Departemen Perundang-undangan
Kementerian Kehakiman
hakim Mahkamah Agung
Advocate General di Mahkamah Agung
penasihat kebijakan senior untuk urusan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
dan penyelesaian sengketa di Bagian
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman dan
Penyelesaian Sengketa, Departemen Sistem
Hukum Kementerian Kehakiman (sekretaris)
asisten hukum Mahkamah Agung di pusat
penelitian Mahkamah Agung (wakil sekretaris)
1.2. Prosedur kerja Komite
Laporan ini berhubungan dengan permasalahan-
permasalahan mendasar yang terkait dengan
kedudukan dan peran peradilan kasasi dalam sistem
hukum Belanda. Semakin besar pengaruh usul-usul
5 Rechtspraak is kwaliteit, Den Haag 2006. Komite yang diketuai oleh W.J. Deetman. Di
bawah ini akan disebut sebagai Komite Deetman.
judicial organisation evolving under the direction of the
Council for the Judiciary should be considered in this
context.
The Committee consisted of the following members:
A. Hammerstein
I.M. Abels
justice of the Supreme Court (chair)
coordinating adviser for criminal procedure in
the criminal Law and Sanctions Sector of the
Ministry of Justice’s Legislation Department
P.M.M. van der Grinten
J. de Hullu
L. Strikwerda
T.J. van Laar
R. Kuiper
adviser to the private law sector of the
Ministry of Justice’s Legislation Department
justice of the Supreme Court
Advocate General at the Supreme Court
senior policy adviser for the administration
of justice and dispute resolution in the
Administration of Justice and Dispute
Resolution Division of the Ministry of
Justice’s Legal System Department (secretary)
court legal assistant in the research centre of
the Supreme Court (deputy secretary)
1.2. Procedure of the Committee
Komite Hammerstein
This report deals with fundamental issues concerning
the position and role of the cassation court in the Dutch
legal system. The greater the extent to which proposals
for change affect the existing structure, the more
pressing are the related questions. To be able to advise
properly on radical changes it is often necessary to carry
5

6 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
perubahan terhadap struktur yang ada, semakin besar
pula tekanan dari permasalahan-permasalahan yang
terkait. Untuk dapat memberikan nasihat secara tepat
terkait perubahan-perubahan besar seringkali perlu
dilakukan penelitian yang luas yang menyita waktu
dan sumber daya, dan keduanya tidak dimiliki oleh
Komite. Oleh karena itu, Komite menafsirkan kerangka
acuannya dengan pengertian bahwa Komite harus
menguji perubahan-perubahan apa yang diharapkan
dapat membawa kemajuan-kemajuan jangka pendek
dan menengah terhadap kemampuan Mahkamah
Agung dalam menjalankan peran normatifnya. Dalam
kaitan ini, Komite telah melakukan pemisahan antara
perubahan-perubahan yang memerlukan keterlibatan
undang-undang dan perubahan-perubahan yang dapat
diprakarsai sendiri oleh Mahkamah Agung dan Procurator
General’s Office sendiri. Selain itu, Komite menafsirkan
ruang lingkup kewenangannya sebagai usul-usul yang
masih memerlukan penelitian lebih mendalam, namun
sangat layak untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
Tentu saja Komite telah menyadari pentingnya pokok
permasalahan yang menjadi dasar atas saran yang
diminta darinya, namun Komite juga sadar akan
keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Permasalahan
pokok ini menyentuh kepentingan-kepentingan dari
segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman. Pendapat-pendapat yang terlihat
dari sudut pandang kerangka acuan sebagai sebuah
masalah atau malah sebagai suatu kemajuan bisa
berbeda-beda tidak hanya di antara ‘para pelanggan’
keadilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung
tetapi juga di antara ‘para produsen’-nya. Untuk
memastikan bahwa usul-usul tersebut mendapat
dukungan seluas mungkin, Komite telah berupaya
untuk bersikap seterbuka mungkin sejak memulai
pekerjaannya. Komite senantiasa mengemukakan arah
pemikirannya baik dalam lingkungan Mahkamah Agung
maupun dalam lingkungan Kementerian Kehakiman.
Dengan cara begitu, Komite dapat mempertimbangkan
gagasan-gagasan dan pandangan-pandangan orang
lain di saat yang tepat tanpa menimbulkan rintangan-
out extensive research, for which the Committee had
neither the time nor the resources. The Committee has
therefore interpreted its terms of reference as meaning
that it should examine what changes can be expected
to produce improvements in the short and medium
term in the ability of the Supreme Court to perform
its normative role. The Committee has distinguished in
this connection between changes requiring legislation
and changes which can be initiated by the Supreme
Court and the Procurator General’s Office themselves.
In addition, the Committee has interpreted its remit as
including various proposals that require more research,
but which do indeed merit further consideration.
The Committee has naturally been aware of the
importance of the subject on which its advice has been
requested, but has also recognised its own limitations.
The subject matter touches on the interests of all
concerned in the administration of justice, and opinions
on what can be viewed in the light of the terms of
reference as a problem or as an improvement vary not
only among the ‘customers’ of the justice administered
by the Supreme Court but also among its ‘producers’.
To ensure that the proposals command the widest
possible support, the Committee has attempted to be
as open as possible since starting work. The Committee
has at all times made known the direction of its thinking
both within the Supreme Court and within the Ministry
of Justice. In this way it has been able to take account
of the ideas and views of other people in good time
and without throwing up barriers. Draft versions of its
report were submitted to a focus group within Supreme
Court. In addition, the Committee’s provisional
conclusions were discussed at a meeting of all members
of the Supreme Court, the Procurator General’s Office

intangan. Rancangan-rancangan laporannya diserahkan
terlebih dahulu kepada sebuah focus group dalam lingkup
Mahkamah Agung. Selain itu, kesimpulan-kesimpulan
sementara Komite juga dibahas dalam pertemuan
dengan seluruh Hakim Agung, Procurator General’s
Office, dan pusat penelitian pada akhir November
2007. Rancangan laporan dan kesimpulan-kesimpulan
sementara tersebut juga telah dibahas di lingkungan
Kementerian Kehakiman dengan para wakil dari
departemen-departemen terkait di berbagai kesempatan.
Kesimpulan-kesimpulan sementara yang sama tersebut
juga telah dikemukakan di hadapan Komisi Yudisial,
Dewan Procurators General, dan Asosiasi Advokat
Belanda. Komite juga telah mencatat komentar-
komentar para wakil dari organisasi-organisasi ini
dalam pertemuan meja bundar yang digelar bersama
mereka. Atas dasar tanggapan-tanggapan dari organisasi-
organisasi ini dan rekan-rekan dari Mahkamah Agung
serta Kementerian Kehakiman, Komite mendapat kesan
yang kuat bahwa usul-usulnya akan mendapat dukungan
yang luas tidak hanya dari para anggotanya tetapi juga di
antara para pengguna sehari-hari sistem kasasi itu seperti
mereka yang terwakili dalam pertemuan meja bundar.
Komite dalam kesempatan ini berterima kasih kepada
semua pihak yang terkait atas keterlibatan mereka dalam
pelaksanaan pekerjaan Komite dan juga atas begitu
banyaknya sumbangsih positif dan konstruktif yang
telah diberikan.
‘Pada pertemuan para ketua lembaga-lembaga
peradilan tertinggi Masyarakat Eropa bulan
Oktober yang lalu di Venesia, utusan dari
Inggris memberitahukan kepada kami bahwa
mereka merasa kami ada di jalur yang salah.
Sebuah perkara hanya bisa sampai ke House
of Lords jika pengadilan bersangkutan yakin
bahwa perkara tersebut melibatkan isu hukum
yang fundamental. Dengan rata-rata sepuluh
Law Lords, House of Lords Inggris memeriksa
sekitar 65 perkara per tahun. Bandingkan
dengan Mahkamah Agung Belanda yang
dengan 32 hakimnya menangani lebih dari
Komite Hammerstein
and the research centre at the end of November 2007.
The draft report and the provisional conclusions have
also been discussed within the Ministry on various
occasions with representatives of the departments
concerned. The same provisional conclusions have
been presented to the Council for the Judiciary, the
Board of Procurators General and the Dutch Bar
Association. The Committee has also taken note of the
comments of the representatives of these organisations
in a roundtable meeting convened with them. On the
basis of the reactions of these organisations and of
colleagues within the Supreme Court and the Ministry
of Justice, the Committee has the firm impression that
its proposals can count on widespread support not only
among its own members but also among important
users of the cassation system on a daily basis, such as
those represented at the roundtable meeting.
The Committee takes this opportunity to thank those
concerned for their involvement in its work and for the
many positive and constructive contributions made.
‘At last October’s meeting in Venice of the
presidents of all the highest courts in the EC,
the British delegation told us they thought we
were on the wrong track. A case reaches the
House of Lords only if the courts believe it
involves a fundamental issue of law. With an
average of ten Law Lords, they hear some
65 cases a year. By comparison, the Dutch
Supreme Court, with 32 justices, handles over
3,000 cases a year. Basically, this means that
in the Netherlands – as in other EC countries
– the highest court functions to a large extent
as a court of third instance. Naturally people
are entirely within their rights to pursue their
7

8 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
3.000 perkara per tahun. Pada dasarnya, hal
ini menunjukkan bahwa di Belanda – seperti
halnya di negara-negara Masyarakat Eropa
lainnya – lembaga peradilan tertinggi sangat
menjalankan fungsi sebagai pengadilan tingkat
ketiga. Dengan demikian tentu saja masyarakat
memiliki hak sepenuh-penuhnya untuk
meneruskan upaya hukumnya sejauh mungkin.
Namun hal ini juga berarti Mahkamah Agung
tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk
memeriksa isu-isu hukum yang penting.’ 6
2. Premis-premis dasar
Usul-usul perubahan hanya dapat dinilai dengan tepat
dari sudut pandang filosofis fungsi-fungsi Mahkamah
Agung dan Procurator General’s Office Mahkamah Agung.
Oleh karena usul-usul perubahan tersebut dimaksudkan
untuk menghasilkan sebuah kemajuan, maka perlu
diketahui bagaimana situasi saat ini dan perlu dimiliki
gagasan tentang bagaimana proses kasasi dapat
disempurnakan. Bab ini menguraikan premis-premis
dasar Komite.
2.1. Fungsi-fungsi Mahkamah Agung
Komite mengawali dengan premis dasar yang
mengharuskan Mahkamah Agung untuk mengawasi
dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang berada di bawah yurisdiksinya. Peran
normatif Mahkamah Agung dan Procurator General’s
Office Mahkamah Agung sehubungan dengan kualitas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman harus tercermin
dalam putusan-putusan kasasi yang tepat waktu dan
memadai. Oleh karena putusan-putusan Mahkamah
Agung ini biasanya diikuti oleh pengadilan-pengadilan
yang lebih rendah dan dengan demikian berfungsi
sebagai preseden, maka putusan-putusan tersebut
memiliki kepentingan yang jauh lebih luas di masyarakat:
bahkan di luar tembok-tembok pengadilan, putusan-
6 Yang Mulia Ras, Ketua Mahkamah Agung saat itu, dalam sebuah wawancara yang
dimuat dalam harian NRC-Handelsblad pada tanggal 27 Agustus 1988.
actions as far as they can. But this means
that the Supreme Court has insufficient
opportunity to hear the important legal
issues.’ 6
2. Basic premises
Proposals for change can be properly assessed only
in the light of a philosophy on the functions of the
Supreme Court and the Procurator General’s Office at
the Supreme Court. As the proposals for change are
intended to bring about an improvement, it is necessary
to know the present situation and have an idea of how
cassation proceedings could be improved. This chapter
sets out the Committee’s basic premises.
2.1. The functions of the Supreme Court
The Committee starts with the basic premise that
the Supreme Court should monitor and promote the
quality of the justice administered under its jurisdiction.
The normative role of the Supreme Court and the
Procurator General’s Office at the Supreme Court in
relation to the quality of the administration of justice
must be reflected in timely and adequate cassation
judgments. As these judgments of the Supreme Court
are usually followed by the lower courts and thus
serve as a precedent, they have a broader significance
in society: even outside the confines of the courts,
the decisions of the Supreme Court can serve as legal
guidelines.
6 H.E. Ras, then President of the Supreme Court, in an interview published in the
daily newspaper NRC-Handelsblad on 27 August 1988.

putusan Mahkamah Agung dapat berfungsi sebagai
panduan hukum.
Berdasarkan informasi berbobot yang diberikan oleh
Procurator General’s Office Mahkamah Agung, Mahkamah
harus berperan dalam pengembangan hukum dan
mendorong keseragaman hukum serta kepastian hukum
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan hukum dalam
perkara-perkara tertentu dengan dasar analisis yang
menyeluruh terhadap peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, dan literatur hukum, termasuk aspek-
aspek hukum Eropa dan hukum internasional. Hal
tersebut harus dilakukan dengan cara yang dapat
menyajikan penjelasan terbaik untuk perkara-perkara
serupa di masa mendatang. Pada saat yang bersamaan,
Mahkamah Agung juga bertindak sebagai pengadilan
tingkat terakhir dalam perkara-perkara tertentu. Dengan
kapasitas ini Mahkamah Agung bisa memberikan
perlindungan hukum bagi pihak-pihak perorangan yang
berperkara bilamana diperlukan. Berkaitan dengan hal
ini, Mahkamah Agung harus turun tangan bilamana
terdapat kesalahan-kesalahan serius yang dilakukan
oleh pengadilan-pengadilan yang lebih rendah yang
dirujuk padanya, sekalipun kesalahan-kesalahan
tersebut hanya berpengaruh pada kepentingan para
pihak terkait dan putusan Mahkamah Agung tidak
dapat membantu mengembangkan hukum tersebut
secara umum. Dalam hal ini, satu lagi peran lembaga
peradilan tertinggi adalah untuk menetapkan tolok
ukur bagi pengadilan-pengadilan yang lebih rendah dan
mengawasi (serta mengembangkan) prinsip-prinsip
dasar proses peradilan. Dengan meluruskan kesalahan-
kesalahan serius yang terkadang timbul, Mahkamah
Agung pun telah meningkatkan kualitas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman melalui peran pengawasannya.
Bisa disimpulkan juga bahwa adanya bentuk pengawasan
seperti ini turut membantu meningkatkan kualitas
pekerjaan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. 7
7 Perlu dicatat juga bahwa pemberian perlindungan hukum individual yang
berkesinambungan seperti ini secara jelas memegang peranan penting dalam proses
mengalirnya perkara. Oleh karena dalam sistem yang ada saat ini pencarian perlind-
ungan hukum menjadi motif utama sejumlah besar kasasi yang diajukan, beban kerja
Mahkamah Agung pun menjadi sangat bergantung pada hal ini.
On the basis of sound information provided by the
Procurator General’s Office at the Supreme Court,
the Court should shape the development of the law
and promote legal uniformity and legal certainty by
answering legal questions in specific cases on the basis
of a thorough analysis of the legislation, case law and
legal literature, including aspects of European and
international law. This must be done in such a way as
to provide maximum clarification for similar cases in
the future. At the same time, the Supreme Court acts
as court of last instance in specific cases, in which
capacity it can, where necessary, give legal protection
to individual litigants. In this connection, the Supreme
Court should intervene when serious errors by lower
courts are referred to it, even if such errors merely affect
the interests of parties and a judgment of the Supreme
Court would not help to develop the law generally. To
this extent, another role of the cassation court is to set
standards for the lower courts and monitor (and develop)
the fundamental principles of due process. By rectifying
what are sometimes serious errors, the Supreme Court
improves the quality of the administration of justice
through its scrutinising role. It may also be assumed that
the mere existence of this form of supervision helps
to boost the quality of the work of the lower courts. 7
It is also a good thing that judgments of the lower
courts in cases that excite great public interest can be
tested in cassation, even though they do not involve any
significant legal issues. In practice, there is not always
a strict distinction between the performance of the
various functions. These are mutually complementary
and cannot – without far-reaching changes to the system
– be viewed in isolation from one another. The Supreme
Court derives its authority from the manner in which it
performs these functions.
Komite Hammerstein
7 It should be noted in passing that the continued provision of this form of individ- individ-
ual legal protection clearly has an important bearing on the flow of cases. As in the
present system the search for legal protection is the primary motive for many appeals
in cassation, the Supreme Court is dependent on this for its caseload.
9

10 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
Sebaiknya putusan pengadilan-pengadilan yang lebih
rendah dalam perkara-perkara yang menyita perhatian
besar publik dapat diuji juga di tingkat kasasi, meskipun
putusan-putusan tersebut tidak melibatkan isu hukum
yang signifikan. Dalam praktiknya, pelaksanaan berbagai
fungsi tersebut tidak selalu dapat dipilah dengan jelas.
Fungsi-fungsi ini bersifat saling melengkapi dan tidak
dapat ditinjau secara terpisah satu sama lain tanpa
perubahan-perubahan yang berarti di dalam sistemnya.
Dari fungsi-fungsi yang dijalankannya inilah, Mahkamah
Agung memperoleh wibawanya.
Melihat hal di atas, Komite menilai bahwa peran
normatif Mahkamah Agung tidak hanya mencakup
pemenuhan kepentingan keseragaman hukum dan
pengembangan hukum dengan memberikan jawaban
yang tepat waktu dan memadai atas pertanyaan-
pertanyaan hukum yang melampaui kepentingan satu
kasus tertentu saja, namun juga mencakup pengawasan
terhadap penerapan hukum yang tepat dalam masing-
masing perkara-perkara tersebut. Peran lawmaking
Mahkamah Agung sangatlah penting dalam menjamin
kepastian hukum dan pengembangan hukum. Fungsi
Mahkamah Agung yang satu ini sangat penting untuk
menjamin diterimanya oleh masyarakat hasil suatu proses
hukum, setidaknya dalam sistem hukum yang berlaku
saat ini. Sampai Pada tahap ini Komite sama sekali tidak
mendorong dilakukannya perubahan apapun terhadap
batas dan ruang lingkup kewenangan Mahkamah Agung
yang ada di undang-undang yang sedang berlaku saat ini.
Dalam lingkup yang lebih luas, perubahan besar yang
membutuhkan kajian yang lebih mendalam semacam ini
juga belum dipandang perlu untuk saat ini. 8
8 Lihat M.S. Groenhuijsen (editor) dan G. Knigge (editor), Afronding en verantwoording,
Eindrapport onderzoeksproject Strafvordering 2001 (Penyelesaian dan Pertanggungjawa-
ban; Laporan Akhir Proyek Penelitian Hukum Acara Pidana Tahun 2001), Kluwer
Deventer 2004, hal. 477, dan W.D.H. Asser, H.A. Groen dan J.B.M. Vranken, Uitgebal-
anceerd, Boom Juridische uitgevers, Den Haag, 2006, hal. 159 ff.
In view of the above, the Committee considers that
the normative role of the Supreme Court includes
not only serving the interests of legal uniformity
and development of the law by providing timely and
adequate answers to legal questions that go beyond
the interests of an individual case but also monitoring
the correct application of the law in individual cases.
The Supreme Court’s lawmaking role is essential in the
interests of legal certainty and the development of the
law. This function of the Supreme Court is important
in ensuring the social acceptability of the outcome of
legal proceedings, at least in the legal system as it is
currently organised. To this extent the Committee does
not advocate any change in the current statutory remit
of the Supreme Court. Nor is such far-reaching change,
which would require detailed study, presently viewed as
necessary or desirable in wider circles. 8
8 See M.S. Groenhuijsen and G. Knigge (eds.), Afronding en verantwoording, Eindrapport
onderzoeksproject Strafvordering 2001 (Completion and Accountability; Final Report
on the 2001 Criminal Procedure Research Project) , Kluwer Deventer 2004, p. 477,
and W.D.H. Asser, H.A. Groen and J.B.M. Vranken, Uitgebalanceerd, Boom Juridische
uitgevers, The Hague, 2006, p. 159 ff.

2.2. Pendekatan baru terhadap fungsi-fungsi
yang telah ada
Kesimpulan akan pentingnya kedua fungsi tersebut tidak
menjelaskan apa-apa tentang bagaimana fungsi-fungsi
tersebut harus dijalankan dalam praktiknya. Secara
abstrak, fungsi judicial lawmaking dan fungsi perlindungan
hukum dapat dijalankan dengan cara sedemikian rupa
hingga dapat meminimalkan atau memaksimalkan
dampak fungsi-fungsi tersebut. Penerapan fungsi
perlindungan hukum secara maksimal berarti bahwa baik
atas inisiatifnya sendiri ataupun sebaliknya, Mahkamah
Agung akan menguraikan setiap ketidakseragaman
putusan pengadilan yang lebih rendah yang diterimanya,
dan bahkan bila perlu mengaitkan berbagai konsekuensi
pada putusan-putusan tersebut. Sebaliknya penerapan
fungsi perlindungan hukum tersebut secara minimal bisa
berarti Mahkamah Agung hanya beranggapan bahwa
perkara-perkara yang dilimpahkan padanya melibatkan
isu hukum yang penting, atau menyimpulkan bahwa
sebagian besar pertanyaan itu berada di luar ranah ruang
lingkup fungsi judicial lawmaking-nya. Pada kenyataannya
fungsi-fungsi ini tidak dipandang dengan cara ekstrem
seperti ini. Uraian di atas hanya dimaksudkan untuk
memberi gambaran bahwa kesimpulan atas keberadaan
fungsi-fungsi yang berbeda tersebut tidak serta merta
menjelaskan bagaimana fungsi-fungsi tersebut harus
dijalankan dalam praktiknya. Hal ini tergantung pada
peninjauan terhadap peran proses kasasi, kebijakan yang
ingin dicapai, dan sarana-sarana yang tersedia untuk
mencapai tujuan tersebut. 9
Dengan latar belakang seperti ini, penting untuk dicatat
juga bahwa kapasitas Mahkamah Agung yang terbatas
(yang dinilai Komite sebagai suatu keadaan yang sudah
harus diterima) 10 mengharuskan adanya pemilihan cara
9 Sebagai contoh, lihat artikel Marc Loth, Ingrid den Hollander, Alexander Schild,
Ruben Wiegerink dan Erika Schulten, Rechtsvinding door de Hoge Raad; de breedte en/of de
diepte in? (Bagaimana Mahkamah Agung menemukan hukum: mencari secara meluas
dan/atau secara mendalam?), Trema 2007, no. 8, hal. 317 ff.
10 Hal ini dibahas lebih rinci lagi di bab 3, namun perlu dicatat di sini bahwa tidak
ada yang memandang ‘pemekaran’ Mahkamah Agung secara substansial sebagai
sebuah pilihan yang serius.
2.2. A new approach to existing functions
The conclusion that both functions are important says
nothing in itself about how the functions should be
performed in practice. In abstract terms the judicial
lawmaking and legal protection functions can be
performed in such a way as to minimise or maximise
their impact. Maximum fulfilment of the legal
protection function could mean that the Supreme Court,
whether of its own motion or otherwise, addresses
any irregularities in decisions of the lower courts
submitted to it and, if necessary, attaches consequences
to them. By contrast, minimum fulfilment could mean
that the Supreme Court only exceptionally considers
that the cases submitted to it involve an important
legal issue or concludes that most questions would go
beyond the remit of its judicial lawmaking function.
Naturally, these functions are not viewed in such
extreme terms in reality. They merely serve to illustrate
that the conclusion that different functions exist does
not necessarily shed any light on how they should be
performed in practice. This depends on how the role of
cassation proceedings is viewed, the policy it is desired
to pursue and the means available for this purpose. 9
Against this background it is also important to note
that the limited capacity of the Supreme Court (which
the Committee regards as a given) 10 makes it necessary
to choose how the functions of the Supreme Court
are performed in practice. In view of this limitation, it
9 See, for example, the article of Marc Loth, Ingrid den Hollander, Alexander
Schild, Ruben Wiegerink and Erika Schulten, Rechtsvinding door de Hoge Raad; de breedte
en/of de diepte in? (How the Supreme Court finds the law: searching in the breadth
and/or the depth?), Trema 2007, no. 8, p. 317 ff.
Komite Hammerstein
10 This is examined in more detail in chapter 3, but it should be noted here that no
one regards a substantial enlargement of the Supreme Court as a serious option.
11

12 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
bagaimana fungsi-fungsi Mahkamah Agung tersebut
dijalankan dalam praktiknya. Melihat keterbatasan ini,
cukup mudah untuk disepakati bahwa Mahkamah Agung
harus memusatkan perhatiannya pada perkara-perkara
yang benar-benar penting dari perspektif fungsinya
yang beragam tersebut. Oleh karena itu, pembahasan
terutama harus diarahkan pada pertanyaan tentang sifat
sebenarnya dari perkara-perkara ini.
Menurut Komite, cara Mahkamah Agung menjalankan
fungsi perlindungan hukumnya sekarang ini yang
terkadang terlalu njelimet tidak penting bagi pelaksanaan
tugas-tugasnya dengan baik dan memadai. Mahkamah
Agung juga dapat menerapkan pendekatan yang lebih
meluas pada fungsi lawmaking-nya. Komite menilai
bahwa sasaran perlindungan hukum seharusnya
ditujukan hanya pada pelurusan kesalahan-kesalahan
pengadilan yang lebih rendah yang mengakibatkan
kerugian signifikan bagi orang yang bersangkutan.
Tidak semua ketidakseragaman putusan pengadilan
yang lebih rendah harus menjadi perhatian Mahkamah
Agung. Melakukan kajian terperinci atas seluruh perkara
yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk memastikan
benar tidaknya tindakan judex factie bukan merupakan
tugas Mahkamah Agung. Keterbatasan ini sejalan
dengan kedudukan Mahkamah Agung dalam sistem
hukum kita dan dasar fungsi pengujian yang diberikan
padanya: kasasi bisa menjadi suatu penyelesaian,
namun Mahkamah Agung tidaklah dimaksudkan untuk
bertindak sebagai peradilan tingkat ketiga biasa. 11 Atas
pertimbangan fungsinya, Mahkamah Agung harus sebisa
mungkin mencari cara untuk lebih aktif dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan hukum yang ada dibandingkan
dengan yang ada saat ini. Untuk mempertahankan
wibawa putusannya (membatasi perhatiannya hanya pada
perkara-perkara penting akan mendorong meningkatnya
wibawa tersebut) dan juga mengelola beban kerjanya,
Mahkamah Agung harus lebih menekankan fungsi
penyeragaman hukum dan fungsi pengembangan
11 Hal ini juga selaras dengan rekomendasi-rekomendasi yang dibuat dalam laporan
Dewan Penasihat Kebijakan Pemerintah, De toekomst van de nationale rechtstaat (Masa
Depan Negara Konstitusional Nasional), Den Haag, SDU Uitgevers 2002, hal.
271-272.
is easy to agree that the Supreme Court should focus
its attention on cases of real importance from the
perspective of its various functions. The discussion
must therefore address, above all, the question of the
precise nature of these cases.
In the Committee’s opinion, the extremely detailed
manner in which the Supreme Court sometimes
performs its legal protection function at present is not
essential for the proper discharge of its duties. The
Supreme Court could also adopt a more broad-based
approach to its lawmaking function. The Committee
considers that the aim of legal protection should be
to redress only those errors of the lower courts that
cause significant harm to the person concerned. Not
every irregularity in any decision of the lower courts
requires the attention of the Supreme Court. It is not
the job of the Supreme Court to make a detailed review
of all cases referred to it in order to ascertain whether
the court of fact acted correctly. This limitation is in
keeping with the position of the Supreme Court in
our legal system and the nature of the review function
assigned to it: cassation may be an ordinary remedy,
but it is not intended that the Supreme Court should
act as an ordinary court of third instance. 11 In view of
its function, it should, wherever possible, seek ways of
answering legal questions, perhaps more actively than
at present. To maintain the authority of its judgments
(confining its attention to important cases would help
to increase this authority) and also manage its workload,
the Supreme Court will have to place greater emphasis
on its functions of establishing legal uniformity and
developing the law. In addition, the provision of legal
protection in individual cases should be performed
more for the purpose of monitoring the quality of the
11 This is also in keeping with the recommendations made in the report of the
Advisory Council on Government Policy, De toekomst van de nationale rechtstaat (The
Future of the National Constitutional State), The Hague, SDU Uitgevers 2002, pp.
271-272.

hukumnya. Selain itu, pemberian perlindungan hukum
dalam perkara-perkara individual harus dijalankan
lebih mengarah pada tujuan pengawasan kualitas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. 12
Beban kerja yang berlebihan yang meliputi perkara-
perkara yang pada dasarnya tidak penting menyebabkan
berkurangnya ruang bagi pemeriksaan perkara-perkara
penting sehingga menjadi lebih sulit bagi Mahkamah
Agung untuk menyelesaikan dan memberi perhatian
yang memadai bagi perkara-perkara penting tersebut.
Apalagi dalam kenyataannya kecepatan dan dasar
pertimbangan (reasoning) yang berbobot sangatlah
penting bagi wibawa Mahkamah Agung. Wibawa ini
menjadi terkubur jika terlalu banyak perkara yang
harus ditangani dan akibatnya keseluruhan nilai
penting keyurisprudensian dari perkara-perkara yang
diputus juga mungkin akan menjadi kabur dan tidak
jelas. Saat ini, para praktisi hukum seringkali dituntut
untuk menyarikan sendiri inti hukum yang lahir dari
yurisprudensi melalui serangkaian putusan Mahkamah
Agung.
Walaupun para peneliti hukum dan Procurator General’s
Office Mahkamah Agung memegang peran penting
dalam membuat yurisprudensi Mahkamah Agung dapat
diakses, Mahkamah Agung sendiri juga dapat memberi
sumbangsih berarti dengan membuat putusan-putusan
yang jelas dan berlandaskan alasan yang tepat serta
menghadirkan berbagai pertimbangan dan menyajikan
tinjauan yang jelas, atau memperlihatkan arahan yang
benar bilamana memungkinkan. Sudah banyak langkah
yang diambil Mahkamah Agung dalam arahan ini.
Komite berpendapat bahwa untuk melanjutkan strategi
ini harus dibuat lebih banyak lagi ruang untuk itu.
‘Berhubung Mahkamah Agung seringkali
sudah dibebani dengan pekerjaan yang
sebenarnya tidak perlu sebagai akibat dari
banyaknya perkara yang dirujuk padanya oleh
para anggota profesi advokat yang bukan
12 Perubahan penekanan ini jelas diprakarsai oleh pembuat undang-undang dengan
diberlakukannya sistem kasasi tiga hakim (bukan lima hakim) dan, khususnya, oleh
diberlakukannya pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi).
administration of justice. 12
An excessive workload consisting of cases that are
not of essential importance reduces the scope for
hearing important cases, thereby making it more
difficult to dispose of them promptly and give them
the attention they deserve. This is notwithstanding the
fact that promptness and sound reasoning are of great
importance to the authority of the Supreme Court. This
authority is undermined if too many cases are dealt
with and the overall thrust of decided cases is thereby
perhaps obscured rather than clarified. At present, legal
practitioners are often obliged to distil the essence of
the case law from a whole series of decisions of the
Supreme Court.
Although legal researchers and the Procurator General’s
Office at the Supreme Court play an important role in
making the case law of the Supreme Court accessible,
the Court itself can also make a significant contribution
by delivering clear and properly reasoned decisions
showing the various considerations and, where
possible, providing a clear overview or indicating the
right direction. The Supreme Court has already taken
many steps along this path. The Committee considers
that more scope should be created for continuing this
strategy.
Komite Hammerstein
‘As the Supreme Court is often already
burdened with what is actually unnecessary
work, since the Bar refers numerous cases
to it that do not belong before it (as is clear
from the large number of cases in which
12 This change of emphasis was clearly initiated by the legislator through the intro- intro-
duction of the three-judge (rather than five-judge) cassation court and, in particular,
by the introduction of section 81 of the Judiciary (Organisation) Act.
13

14 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
merupakan ranah Mahkamah Agung (seperti
yang jelas terlihat dari banyaknya perkara
yang ditolak permohonan kasasinya karena
kurangnya dasar faktual atau karena kasasi
diajukan terhadap putusan mengenai fakta),
dan mengingat bahwa sebagai akibat dari
perluasan hak peninjauan kembali Mahkamah
Agung, beban pekerjaannya akan bertambah
berat lagi, maka dipertimbangkanlah perlu
tidaknya dibentuk suatu chambre des requêtes.
Tujuan dari institusi Perancis ini adalah
untuk menyaring perkara-perkara yang tidak
layak untuk dibawa ke meja kasasi. Dengan
demikian perkara-perkara baru akan masuk ke
chambre civile setelah diluluskan oleh chambre des
requêtes. Izin ini ditolak bagi semua pemohon
yang perkaranya dipastikan akan gugur dalam
pemeriksaan kasasi karena permohonan
kasasinya adalah terhadap putusan mengenai
fakta atau dalil permohonan kasasinya
bertentangan dengan yurisprudensi tetap.
Dengan demikian pengadilan kasasi hanya
akan memeriksa perkara yang menurut chambre
des requêtes memiliki dasar untuk dikasasikan.
Usulan pembentukan kamar semacam ini
sebelumnya diputuskan untuk tidak diajukan
karena pada saat itu secara a priori dinilai
belum diperlukan penggunaan sistem dua
kamar sejauh masih bisa berjalan tanpa sistem
tersebut.’ 13
3. Analisis terhadap permasalahan-
permasalahan
Bagaimana cara Mahkamah Agung menjalankan fungsi-
fungsinya bergantung juga pada perkara-perkara yang
diajukan kepadanya untuk diputus. Jika Mahkamah
Agung diharapkan untuk membuat putusan-putusan
yang bersifat mendasar atas jumlah perkara yang besar,
13 Diambil dari Memorandum Penjelasan atas Rancangan Undang-undang Hukum
Acara Perdata, yang disampaikan oleh Komisi Negara untuk Mengaji Hukum Acara
Perdata kepada Ratu, dan ditetapkan dengan Ketetapan Kerajaan 4 November 1911,
hal. 222.
the appeal is dismissed for want of any
factual basis or because the appeal is against
decisions on points of fact), and taking into
account that as a result of the expansion
of the Supreme Court’s right of review its
work will undoubtedly increase still further,
the question of whether a so-called chambre
des requêtes should be established has been
considered. The purpose of this French
institution is to filter out cases that are not
suitable for cassation proceedings. Cases
therefore come before the chambre civile only
with the permission of the chambre des requêtes.
Permission is refused to all applicants whose
cases would fail in cassation proceedings on
the grounds that they concern decisions on
points of fact or are contrary to settled case
law. The cassation court therefore gets to hear
only those cases which could, in the opinion
of the chambre des requêtes, provide a ground
for cassation.
It was decided not to submit a proposal for
such a chamber because it was not considered
desirable a priori to introduce a two-chamber
system, when it might be possible to do
without this for the time being.’ 13
3. Analysis of the problems
How the Supreme Court performs its functions depends
in part on the cases submitted to it for decision. If the
Supreme Court is expected to take substantive decisions
on large numbers of cases, this is bound to affect the
nature of the decisions. The ideal ways of influencing
the work of the Supreme Court are therefore control of
the case flow and creation of means of disposal suited
13 Taken from the Explanatory Memorandum to the Bill adopting a Code of Civil
Procedure, presented to the Queen by the State Commission for the Review of the
Code of Civil Procedure, established by Royal Decree of 4 November 1911, p. 222.

hal ini akan memengaruhi kondisi putusan-putusannya
tersebut. Oleh sebab itu, cara ideal untuk menjaga
kinerja Mahkamah Agung adalah dengan mengendalikan
aliran perkara dan menciptakan sarana-sarana
penyaringan yang sesuai dengan sifat perkara-perkara
tersebut. Hal ini bukanlah hal yang baru. Berbagai
langkah yang dirancang untuk memberi kesempatan
kepada Mahkamah Agung agar dapat memusatkan
perhatiannya pada perkara-perkara yang sesuai telah
diambil dalam beberapa dekade terakhir ini. Langkah-
langkah yang akan dibahas di bawah ini telah beberapa
kali menuai keberhasilan dan memungkinkan dapat
dikendalikannya beban perkara selama kurun waktu
yang cukup panjang. Namun meski demikian, terus
meningkatnya jumlah dan kompleksitas perkara yang
dihadapkan pada Mahkamah Agung, terutama perkara
pidana, menjadikan kebutuhan kapasitas Mahkamah
Agung dan Procurator General’s Office Mahkamah Agung
juga terus bertambah. Langkah-langkah baru kini
diperlukan untuk mengatasi keadaan-keadaan ini dan
memenuhi kebutuhan peningkatan kualitas dengan cara
memberikan kesempatan untuk memusatkan perhatian
pada perkara-perkara penting.
Berikut ini adalah tinjauan umum atas perkembangan-
perkembangan lintassektoral akhir-akhir ini dan tinjauan
terhadap langkah-langkah yang telah dijalankan. Tinjauan
ini diikuti oleh gambaran tentang hukum acara di sektor-
sektor yang berbeda dan permasalahan-permasalahan
yang adi di tiap sektor tersebut.
3.1. Perkembangan-perkembangan lintassektoral
Jumlah perkara dan sifat pekerjaan
Untuk menggambarkan kenaikan jumlah pekerjaan
Mahkamah Agung, biar angka-angka yang berbicara:
Sektor perdata, sektor pidana, dan sektor pajak di
Mahkamah Agung secara berturut-turut menerima 158,
560, dan 284 perkara di tahun 1973. Angka-angka ini
meningkat menjadi 451, 2.069, dan 765 secara berturut-
to the nature of the cases. This is not new. Various
measures designed to enable the Supreme Court to
concentrate on appropriate cases have been taken in
recent decades. These measures, which are discussed
below, have sometimes been very successful and made
it possible to control the caseload for a long time.
However, the constant increase in the number of cases,
especially criminal cases, brought before the Supreme
Court and the growing complexity of some of them
are making ever greater demands on the capacity of the
Supreme Court and the Procurator General’s Office at
the Supreme Court. New measures are now required
to cope with these circumstances and meet the need
to improve quality by providing an opportunity to
concentrate on the important cases.
Below is an overview of cross-sector developments in
the very recent past and of the measures already taken.
This is followed by a description of the procedure in the
different sectors and the problems that exist in each of
them.
3.1. Cross-sector developments
Volume of cases and nature of the work
Komite Hammerstein
As far as the increased volume of work is concerned,
the figures speak for themselves: the civil, criminal and
tax sectors of the Supreme Court received 158, 560 and
284 cases respectively in 1973. These numbers had risen
to 451, 2,069 and 765 respectively in 1987 and to 531,
3,184 14 and 1,126 in 1997. Finally, 582, 3,864 and 752
� This does not include the ,��� ,��� cases under the Traffi Traffic c �egulations �egulations (Administra-
15

16 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
turut di tahun 1987 dan menjadi 531, 3.184 14 , dan 1.126
di tahun 1997. Terakhir, di tahun 2007, sektor-sektor ini
menerima 582, 3.864, dan 752 perkara. 15
Di sisi lain, perlu adanya penjelasan yang lebih jauh
untuk dapat menunjukkan perubahan-perubahan sifat
pekerjaan tersebut. Dengan semakin meningkatnya
kompleksitas dan tingkat kesulitan berbagai perkara,
tugas-tugas Mahkamah Agung dan Procurator General’s
Office Mahkamah Agung juga bertambah berat. 16
Contohnya adalah sejumlah besar kriteria terbuka
yang harus dibuatkan panduannya, putusan-putusan
yang bertentangan dengan syarat-syarat hukum acara,
pengembangan prinsip-prinsip dasar persidangan,
penilaian sesuai tidaknya dengan konvensi-konvensi
hak-hak asasi manusia, meningkatnya angka jumlah
perkara yang sulit dan berskala besar serta tumbuhnya
angka perkara dengan dimensi internasional. Selain itu,
pembuat undang-undang tidak hanya ‘mengalihkan’
tugasnya melakukan pendekatan hukum yang sesuai
terhadap permasalahan-permasalahan sosial dan etnis
tertentu ke pengadilan, tetapi juga mengeluarkan
undang-undang baru dalam jumlah yang berlebihan. 17
Lingkup pekerjaan sektor perdata Procurator General’s
14 Angka ini tidak termasuk 1.042 perkara yang berada di bawah naungan Undang-
undang Ketentuan Lalu Lintas (Penegakan Hukum Administratif). Sekarang perkara-
perkara ini ditangani oleh Pengadilan Banding Leeuwarden sebagai pengadilan tingkat
terakhir.
15 Angka-angka ini adalah angka-angka yang dikeluarkan di awal tahun 2008.
16 Hal ini dapat digambarkan oleh perkara-perkara Mahkamah Agung (HR) berikut:
HR 18 Maret 2005, NJ 2006, 606 (Baby Kelly) dan HR 6 Oktober 2006, JA 2006,
142 (Vie d’Or) di sektor perdata, HR 30 Maret 2004, NJ 2004, 376 (atas pasal 359a
Hukum Acara Pidana) dan HR 11 April 2006, NJ 2006, 393 (atas pasal 359 ayat (2)
Hukum Acara Pidana yang baru) di sektor pidana, and HR 14 April 2006, BNB 2006,
253 (aturan perpajakan bagi pola penanaman modal berkelompok yang melanggar
pasal 56 dan 57 Piagam Komisi Eropa?) dan HR 12 Januari 2007, BNB 2007, 160
(permasalahan-permasalahan dalam hukum Eropa terkait dengan bea pindahan) di
sektor perpajakan. Di luar dugaan, ternyata perkara-perkara yang tidak jelas terlihat
secara sepintas lalu juga bisa menimbulkan beban kerja yang cukup berarti.
17 Lihat De toegang tot de cassatierechter in strafzaken (Akses ke peradilan kasasi dalam
perkara pidana), Laporan Komite tentang Beban kerja Bagian Pidana Mahkamah
Agung, Desember 1996, hal. 3. Untuk pembahasan yang lebih terperinci, sebagai
contoh lihat M.S. Groenhuijsen (editor) dan G. Knigge (editor), Afronding en verantwoord-
ing (Penyelesaian dan Pertanggungjawaban), Laporan Akhir Proyek Penelitian Hukum
Acara Pidana Tahun 2001) , Kluwer Deventer 2004, hal. 471-473.
cases were received by these sectors in 2007. 15
By contrast, more explanation is needed in order to
demonstrate the changes in the nature of the work.
The tasks of the Supreme Court and the Procurator
General’s Office at the Supreme Court have become
more onerous as the complexity and difficulty of
some of the cases have increased. 16 Examples are the
numerous open criteria that have to be defined, the
decisions on breaches of procedural requirements,
development of the fundamental principles of due
process, assessment of compliance with human rights
conventions, the rise in the number of difficult and
large-scale cases and the growth in the number of cases
with international dimensions. In addition, the legislator
has not only left the task of adopting the appropriate
legal approach to certain social and ethical problems to
the courts but has also introduced a plethora of new
legislation. 17 The field of work of the civil sector of the
Procurator General’s Office at the Supreme Court and
the civil division of the Supreme Court covers virtually
the entire civil law spectrum. This is a real advantage
from the perspective of legal uniformity, but as the Bar
and legal advisers are becoming increasingly specialised
it also poses a major challenge. The areas of the law
tive Enforcement) Act, which are now disposed of by the Court of Appeal in
Leeuwarden as the court of last instance.
� These are the fi figures gures published early in ����. ����.
16 This can be illustrated by the following Supreme Court (HR) cases: HR 18 March
2005, NJ 2006, 606 (Baby Kelly) and HR 6 October 2006, JA 2006, 142 (Vie d’Or) in
the civil sector, HR 30 March 2004, NJ 2004, 376 (on article 359a Code of Criminal
Procedure) and HR 11 April 2006, NJ 2006, 393 (on the new article 359, paragraph
2 Code of Criminal Procedure) in the criminal sector, and HR 14 April 2006, BNB
2006, 253 (tax rules for collective investment schemes in breach of articles 56 and
57 of the EC Treaty?) and HR 12 January 2007, BNB 2007, 160 (problems under
European law with transfer duty) in the tax sector. Incidentally, even cases in which
this is much less apparent at first sight may also involve considerable work.
17 See De toegang tot de cassatierechter in strafzaken (Access to the cassation court in
criminal cases), Report of the Committee on the Workload of the Criminal Division
of the Supreme Court, December 1996, p. 3. For a more detailed consideration,
see for example M.S. Groenhuijsen and G. Knigge (eds), Afronding en verantwoording
(Completion and Accountability), Final Report on the 2001 Criminal Procedure
Research Project, Kluwer Deventer 2004, pp. 471-473.

Office Mahkamah Agung dan bagian perdata Mahkamah
Agung mencakup hampir seluruh wilayah hukum
perdata. Dilihat dari sudut pandang keseragaman
hukum, hal ini merupakan suatu keuntungan yang nyata.
Akan tetapi semakin mengkhususnya bidang keahlian
Organisasi Profesi Advokat dan para penasihat hukum
juga menunjukkan adanya tantangan besar. Bidang
hukum yang menjadi cakupan bagian pidana dan bagian
perpajakan tidak sama luasnya dengan bagian perdata
sehingga masalah pengkhususan bidang tidak timbul
sejauh itu di sektor-sektor ini.
Procurator General’s Office Mahkamah Agung bertugas
untuk memberikan informasi selengkap mungkin kepada
Mahkamah Agung. Hal ini berarti bahwa pertama-
tama semua permohonan kasasi harus dibahas terlebih
dahulu. Di samping itu, pendapat yang diberikan kepada
pengadilan seringkali tidak hanya mencerminkan
kondisi hukum terkini di bidang terkait, namun juga
mencerminkan perkembangan-perkembangan di bidang-
bidang yang terkait. Perlu adanya penelitian komparatif
yang cukup rutin dalam hal ini. Cakupan dan pengaruh
hukum Eropa juga meningkat dengan tajam. Pada
akhirnya pendapat tersebut harus memberikan kejelasan
bagi Mahkamah Agung tentang pilihan-pilihan apa yang
tersedia terkait pengembangan hukum dan keseragaman
hukum serta, bilamana memungkinkan, mencakup
aspek-aspek kebijakan hukum apa yang terlibat dalam
pilihan tersebut.
Agar Mahkamah Agung dapat terus memainkan
peran utamanya dalam praktik sehari-hari, komunikasi
dengan mereka yang memiliki keterlibatan profesi
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, seperti
judex factie-judex factie dan para pembuat undang-undang
menjadi semakin penting. Komunikasi tidak lagi sekadar
dilakukan melalui muatan pendapat-pendapat Procurator
General’s Office dan putusan-putusan Mahkamah Agung.
Terdapat beragam bentuk konsultasi, seperti pertemuan-
pertemuan setengah tahunan dengan para pejabat
Kementerian Kehakiman, dan konsultasi-konsultasi
dengan para anggota Komite Tetap Parlemen urusan
covered by the criminal and tax divisions are not of
the same size. The problem of specialisation does not
therefore occur to the same extent in these sectors.
The Procurator General’s Office at the Supreme Court
has the job of providing the fullest possible information
to the Supreme Court. This means in the first place that
all cassation applications must be discussed. In addition,
the opinion provided to the court will often reflect not
only the current state of the law in the field concerned
but also developments in related fields. Comparative
research is required fairly regularly. The scope and
influence of European law is increasing sharply. Finally,
the opinion must make clear to the Supreme Court what
choices are available as regards the development of the
law and legal uniformity and possibly also what aspects
of legal policy are involved in this choice.
Komite Hammerstein
To enable the Supreme Court to continue playing a
central role in day-to-day practice, the importance of
communicating with those professionally involved in
the administration of justice, such as the courts that
rule on points of fact and the legislature, has grown.
Communication no longer takes place only through the
content of the opinions of the Procurator General’s
Office and the judgments of the Supreme Court.
There are various forms of consultation such as the
half-yearly meetings with officials of the Ministry
of Justice, and consultations with members of the
Parliamentary Standing Committee for Justice and
17

18 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
Kehakiman serta dengan para perwakilan dari Organisasi
Profesi Advokat. Di sini perlu dicatat bahwa semua
sektor di Mahkamah Agung menggelar konsultasi-
konsultasi informal secara berkala dengan pengadilan-
pengadilan banding. Selain itu hubungan-hubungan
informal juga terjadi ketika para Hakim Agung dan
Procurator General’s Office secara perorangan terlibat
dalam berbagai pembahasan tentang penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman melalui beragam cara, misalnya
dengan mempersiapkan kursus-kursus, menerbitkan
artikel-artikel akademis, mengambil jabatan di universitas
atau masuk dalam dewan penyunting jurnal-jurnal
hukum. Tentu saja para Hakim Agung dan Procurator
General’s Office harus tetap bebas sepenuhnya dalam
membuat putusan-putusan atas masing-masing perkara
yang dihadapkan pada mereka tanpa terikat oleh
hubungan-hubungan ini.
Permasalahan yang agak terpisah adalah komunikasi
dengan masyarakat. Komunikasi ini sebagian besar
dilakukan melalui media dan menjadi semakin penting
dalam menjelaskan apa yang telah dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan dalam menerangkan putusan-
putusan tertentu. Perlu digarisbawahi bahwa secara
khusus, perkara-perkara pidana kerapkali menyedot
perhatian media dan sebagian advokat benar-benar mahir
dalam mengundang perhatian masyarakat luas terhadap
perkara-perkara mereka yang tentunya juga disajikan
dari perspektif klien mereka. Jika publisitas ini tidak
diimbangi secara memadai oleh informasi dari sumber
yang netral, akibatnya akan terjadi penyimpangan
dalam peliputan media. Kemudian bisa timbul salah
paham atau ketidakpahaman terhadap putusan-putusan
yurisprudensi oleh sebagian besar masyarakat. Untuk
menghindari terjadinya hal ini, harus ada informasi yang
jelas dan terbaru yang dapat diperoleh dengan mudah
oleh media. Untuk itu, salah satu langkah yang telah
diambil adalah dengan penerbitan siaran pers dalam
perkara-perkara yang menarik minat media. Langkah
lain yang diambil belakangan ini adalah dibukanya
kesempatan bagi media untuk mendapatkan penjelasan
dari para hakim di sektor perdata maupun pidana dalam
with representatives of the Bar. It should be noted
here that all sectors of the Supreme Court periodically
hold informal consultations with the courts of appeal.
There are also informal contacts as individual members
of the Supreme Court and the Procurator General’s
Office engage in discussions on the administration
of justice in various ways, for example by arranging
courses, publishing academic articles, holding positions
at a university or being on the editorial board of legal
journals. The members of the Supreme Court and
the Procurator General’s Office must naturally remain
completely free to reach decisions in individual cases
that come before them and are not bound by these
contacts.
A somewhat separate issue is communication with
society, which takes place largely through the media and
which has become of ever greater importance in making
clear what the Supreme Court does and explaining
specific decisions. It should be noted that criminal cases
in particular often generate great media interest and
that some lawyers are highly adept at bringing cases to
the attention of a wider public, presented of course
from the perspective of their client. If this publicity is
not sufficiently balanced by information from a neutral
source, this can result in skewed media coverage. Large
sections of the population may then misunderstand or
fail to comprehend judicial decisions. To prevent this
situation, clear and up-to-date information must be
made easily available to the media. One measure already
taken for this purpose is the issuing of press releases
in media-sensitive cases. Another recent measure is
that justices from both the civil and criminal sectors
are now available to brief the media in appropriate
cases. Nonetheless, these measures are subject to
important limitations. Naturally, information can be
given only after judgment and must even then always
be limited to explaining the content of the decision.
Given the secrecy of matters discussed in chambers,

perkara-perkara yang sesuai. Namun biar bagaimanapun,
pengambilan langkah-langkah ini tetap ditentukan atas
dasar batasan-batasan seberapa pentingnya langkah
tersebut diambil. Pada dasarnya informasi baru bisa
diberikan setelah adanya putusan dan bahkan setelah itu
pun pemberian informasi tersebut harus selalu terbatas
hanya pada penjelasan isi putusan tersebut. Mengingat
berbagai masalah yang didiskusikan di dalam kamar
pengadilan bersifat rahasia, tidaklah mungkin dapat
diinformasikan semua pertimbangan dalam sebuah
proses pengambilan keputusan sejauh hal tersebut tidak
dijelaskan dalam putusan itu sendiri. Terkadang Procurator
General’s Office bisa saja lebih menitikberatkan penjelasan
pada pendapatnya di tahap sebelum penjatuhan
putusan (sebagaimana yang sudah dilakukan beberapa
kali) dengan tujuan untuk mendorong peliputan yang
seimbang seperti yang dijelaskan di atas.
Langkah-langkah yang telah diambil
Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai langkah
yang bersifat legislatif telah diambil untuk menjamin
agar Mahkamah Agung dapat terus menjalankan
fungsi-fungsinya secara memadai di tengah beban
perkara yang semakin bertambah. Jalan keluar yang
pertama adalah dengan menambah jumlah hakim di
Mahkamah Agung, terutama disebabkan adanya undang-
undang yang mengatur bahwa setiap perkara harus
disidangkan di hadapan majelis yang beranggotakan
lima orang hakim. Namun biar bagaimanapun, hal ini
jelas ada keterbatasannya karena semakin besar jumlah
hakim, maka akan semakin sulit pula untuk menjamin
keseragaman dalam putusan-putusan yang dikeluarkan.
Alasan lain yang lebih sederhana namun terbukti benar
adalah terbatasnya ketersediaan calon-calon yang tepat. 18
Kemudian diputuskanlah untuk perkara-perkara tertentu
boleh disidangkan di hadapan majelis beranggotakan tiga
orang hakim dan diputuskan juga untuk dibentuk divisi
hakim tunggal untuk menggelar persidangan cause list.
Hasilnya, proses perkara di tingkat kasasi pun sebagian
18 Sebagai contoh, lihat wawancara dengan Yang Mulia Ras, mantan ketua Mahka-
mah Agung, dan G.J.M. Corstens, yang diterbitkan di NRC Handelsblad pada tanggal
27 Agustus 1988 dengan judul De toekomst van de cassatie (Masa depan kasasi).
it is not possible to provide an exhaustive account of
the decision-making process in so far as this is not
explained in the decision itself. The Procurator General’s
Office could conceivably sometimes give rather greater
prominence to its opinion in the pre-judgment stage
(as it already does occasionally) in order to promote
balanced coverage as referred to above.
Measures already taken
In recent decades various legislative measures have
been taken to enable the Supreme Court to continue
performing its functions adequately, despite a growing
caseload. The initial solution was to increase the number
of Supreme Court judges, mainly because, by law, cases
still had to be heard by a panel of five justices. However,
there is clearly a limit to this as the greater the number
of justices the more difficult it becomes to ensure
uniformity in judgments. A more prosaic but no less
valid argument is that the supply of suitable candidates
is not inexhaustible. 18 Subsequently, it was decided
to allow certain cases to be heard by a panel of three
justices and to establish a single-judge division to hold
cause list sessions. As a result, proceedings in cassation
came to be conducted largely in writing. 19
Komite Hammerstein
18 See, for example, an interview with H.E. Ras, former president of the Supreme
Court, and G.J.M. Corstens, which was published in NRC Handelsblad on 27 August
1988 under the title De toekomst van de cassatie (The future of cassation).
19 Act of 21 May 1986, Bulletin of Acts and Decrees 1986, 286.
19

20 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
besar menjadi dilakukan secara tertulis. 19
Perubahan-perubahan ini merupakan langkah awal
dalam memberikan keleluasaan kepada Mahkamah
Agung untuk menyesuaikan cara pengesampingan
perkara yang ditujukan padanya berdasarkan penilaian
terhadap seberapa pentingnya perkara tersebut. Langkah
selanjutnya adalah penetapan pasal 101a (sekarang
pasal 81) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi). 20 Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal
1 Juli 1988.
Berdasarkan Memorandum Penjelasan Undang-undang
tersebut, aturan ini merupakan suatu langkah yang
‘dapat membantu memastikan bahwa Mahkamah Agung
mampu untuk terus menjalankan fungsi-fungsinya
dengan benar sebagai lembaga peradilan pusat, yakni
yang pertama mengawasi keseragaman hukum dan
mengarahkan perkembangan hukum, dan yang kedua
mengawasi proses peradilan (due process)’. 21 Pasal 81
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi)
membuka peluang bagi Mahkamah Agung untuk
membatasi dasarnya menolak pengajuan kasasi cukup
pada penilaian bahwa permohonan itu tidak dapat
dikasasikan serta tidak menimbulkan isu hukum yang
perlu diselesaikan terkait kepentingan keseragaman
hukum ataupun perkembangan hukum. Seperti
yang dapat disimpulkan dari jumlah perkara yang
disingkirkan berdasarkan ketentuan pasal 81 Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi) (lihat di
bawah), ketentuan ini telah mengurangi beban kerja
Mahkamah Agung secara berarti. Konsekuensi yang
harus ditanggung dengan dikeluarkannya ketentuan ini
juga cukup kecil. Cara pengesampingan ini diterapkan
hanya pada perkara-perkara yang tidak menimbulkan isu
19 Undang-undang tanggal 21 Mei 1986, Buletin Undang-undang dan Ketetapan
1986, 286.
20 Undang-undang tanggal 16 Juni 1988, Buletin Undang-undang dan Ketetapan
1988, 286. Kita juga dapat merujuk pada Undang-undang tanggal 23 Desember 97,
Buletin Undang-undang dan Ketetapan 1987, 645, yang memungkinkan para hakim
Mahkamah Agung dan para Advocate General untuk ditunjuk sebagai anggota luar
biasa.
21 Parliamentary Papers II 1986-87, 19953, no. 3, hal. 1.
These changes were the first steps in giving the Supreme
Court a degree of discretion in matching the manner
in which a case is disposed of to its assessment of the
substantive importance of the case. The next step was
the introduction of section 101a (now section 81) of the
Judiciary (Organisation) Act. 20 This provision entered
into force on 1 July 1988.
According to the Explanatory Memorandum to
the Act, this was a measure that ‘can help to ensure
that the Supreme Court is capable of continuing to
properly perform its functions as central court, i.e.
first, monitoring legal uniformity and directing the
development of the law and, second, supervising due
process’. 21 Section 81 of the Judiciary (Organisation)
Act gives the Supreme Court the possibility of confining
its grounds for dismissing an appeal in cassation to a
finding that appeal cannot result in cassation and does
not raise any legal issues that need to be addressed
in interests of legal uniformity or the development
of the law. As can be inferred from the numbers of
cases disposed of under section 81 of the Judiciary
(Organisation) Act (see below), this provision greatly
reduces the workload of the Supreme Court. The price
that has to be paid for this is small. This manner of
disposal is applied only in cases which do not raise
legal issues and cannot result in cassation. By contrast,
the Procurator General’s Office does deal with the
substance of the legal submissions in its opinion.
Although the law does not prevent the Procurator
General’s Office from issuing an abridged opinion, 22
this is hardly ever done in practice (following some
rather unsatisfactory experiments). Another important
20 Act of 16 June 1988, Bulletin of Acts and Decrees 1988, 286. Reference may
also be made to the Act of 23 December 97, Bulletin of Acts and Decrees 1987,
645, which made it possible for Supreme Court justices and Advocates General to be
appointed as extraordinary members.
21 Parliamentary Papers II 1986-87, 19953, no. 3, p. 1.
22 Parliamentary Papers II 1987-88, 19953, no. 5 (of Reply), p. 7.

hukum dan tidak dapat dikasasikan. Sebaliknya, dalam
pendapatnya Procurator General’s Office harus membahas
substansi dalil-dalil hukum permohonan tersebut.
Meskipun hukum tidak melarang Procurator General’s
Office untuk membuat pendapat yang sumir, 22 hal ini
hampir tidak pernah dilakukan dalam praktiknya (setelah
adanya sejumlah eksperimen dengan hasil yang kurang
memuaskan). Pertimbangan penting lainnya adalah
bahwa di dalam hukum acara yang ada saat ini, pendapat
Procurator General’s Office tersebut juga merupakan sumber
informasi utama bagi bagian perdata dan pidana dalam
perkara-perkara ini. 23 Jika di dalam pendapat tersebut
informasi ini tidak tersedia bagi Mahkamah Agung,
maka Mahkamah Agung terpaksa harus mencarinya dari
tempat lain. Hal ini hanya akan sekadar mengalihkan
beban kerja. Oleh karena itu, pada batasan tertentu
muatan pendapat ini juga memengaruhi isi putusan,
contohnya dalam kaitannya dengan pemberian informasi
kepada para pihak. Namun meski demikian, sudah
saatnya bagi Procurator General’s Office untuk mengatasi
keterbatasan ini dengan cukup membuat pendapat yang
sumir dalam sebagian perkara, dan hal ini sudah teruji.
Oleh karena pasal 81 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman (Organisasi) telah memegang peran yang
sangat penting dalam memberi kesempatan kepada
Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi-fungsinya
dengan lebih memadai selama hampir dua puluh tahun,
maka pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi) tersebut harus dianggap sebagai sebuah
instrumen yang sangat berhasil. Namun demikian, saat
ini keterbatasan-keterbatasan ketentuan tersebut sudah
hampir terjangkau. Dalam praktiknya terlihat bahwa
pasal 81 menerapkan pembatasan-pembatasan yang
tidak lagi didasarkan pada kepentingan pelaksanaan
tugas-tugas Mahkamah Agung dan Procurator General’s
Office secara optimal. Hal ini akan dibahas dengan
lebih terperinci di sub-bab 3.5 di bawah. Namun
bagaimanapun, setumpuk pengalaman yang kaya telah
didapatkan dari adanya peraturan tentang penyeleksian
22 Parliamentary Papers II 1987-88, 19953, no. 5 (tentang Jawaban), hal. 7.
23 Bagian pajak memiliki hukum acara yang berbeda seperti yang akan digambarkan
di bawah ini.
consideration is that in the present procedure the
opinion is a major source of information for the civil
and criminal divisions in these cases as well. 23 If this
information were not available to the Supreme Court
in the opinion, it would have to obtain it elsewhere.
This would simply shift the workload. To some extent
the content of the opinion therefore affects that of
the judgment, for example in relation to the provision
of information to the parties. Nonetheless, the time
has come for the Procurator General’s Office to make
do with an abridged opinion in some cases, and this is
already being tested.
As section 81 of the Judiciary (Organisation) Act has
been of crucial importance for almost twenty years in
enabling the Supreme Court to perform its functions
more adequately, it must be regarded as an extremely
successful instrument. However, the limits of this
provision are now being approached. Practice has shown
that section 81 imposes limitations which are no longer
in the interest of optimal performance by the Supreme
Court and the Procurator General’s Office of their
duties. This is considered in more detail in section 3.5
below. However, a wealth of experience has been gained
with this provision in selecting cases and concentrating
time and attention on them.
Komite Hammerstein
23 The tax division has a different procedure, which will be described below.
21

22 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
perkara serta pemusatan waktu dan perhatian pada
perkara tersebut ini.
Langkah-langkah lain yang didasarkan pada undang-
undang yang harus dikemukakan di sini adalah
diharuskannya penunjukan advokat bagi terdakwa
di sektor pidana dalam mengajukan permohonan
kasasi 24 dan diperbolehkannya hakim cause list untuk
menyingkirkan sendiri sebuah perkara jika tidak ada
permohonan demikian yang diajukan. 25 Jumlah perkara
yang berlanjut dengan pengajuan permohonan kasasi
juga dipengaruhi oleh berbagai langkah lainnya yang
didasarkan pada undang-undang. Contoh yang paling
jelas adalah dikeluarkannya berbagai larangan kasasi 26
dan pengalihan yurisdiksi kasasi dalam perkara-perkara
yang melibatkan pelanggaran kendaraan bermotor
(berdasarkan Undang-undang Ketentuan Lalu Lintas
(Penegakan Hukum Administratif)) dari bagian pidana
Mahkamah Agung ke Pengadilan Banding Leeuwarden. 27
Di sektor pajak, dampak dari diberlakukannya
pengadilan tingkat kedua yang baru sangatlah jelas
terlihat dari turunnya angka perkara kasasi. Perubahan-
perubahan hukum lain yang dilakukan akhir-akhir
ini, seperti perubahan yang memungkinkan Dinas
Kejaksaan menyingkirkan perkara-perkara kecil dengan
menerapkan penalti, 28 perampingan perkara-perkara
kasasi yang diajukan dan ditetapkannya suatu sistem
larangan kasasi dalam perkara-perkara kecil, 29 masih
dapat membantu mengurangi beban perkara di sektor
pidana, namun dengan berbagai alasan Komite tidak
mengharapkan perubahan-perubahan ini akan dapat
24 Undang-undang tanggal 28 Oktober 1999, Buletin Undang-undang dan Keteta-
pan 1999, 467.
25 Undang-Undang tanggal 31 October 2002, Buletin Undang-Undang dan Keteta-
pan 2002, 539.
26 Salah satu contoh dalam sektor pidana adalah batasan (threshold) kasasi yang lebih
tinggi untuk perkara-perkara kecil yang diatur dengan Undang-undang tanggal 28
Oktober 1999, Buletin Undang-undang dan Ketetapan 1999, 467
27 Undang-undang tanggal 28 Oktober 1999, Buletin Undang-undang dan Keteta-
pan 1999, 469.
28 Undang-undang tanggal 7 Juli 2006, Buletin Undang-undang dan Ketetapan
2006, 330.
29 Undang-undang tanggal 5 Oktober 2006, Buletin Undang-undang dan Ketetapan
2006, 470.
Other statutory measures which should be mentioned
here are the introduction in the criminal sector of an
obligation for the accused to have a cassation pleading
lodged by a lawyer 24 and, by extension, the possibility
for the cause list judge to dispose of a case alone if
no such pleading has been lodged. 25 The number of
cases in which cassation appeals are lodged is also
affected by other statutory measures. The most obvious
examples are the introduction of various cassation
prohibitions 26 and the transfer of cassation jurisdiction
in cases involving motoring offences (under the
Traffic �egulations (Administrative Enforcement) Act)
from the criminal division of the Supreme Court to
Leeuwarden Court of Appeal. 27 In the tax sector the
impact of the introduction of a new court of second
instance is apparent from the decline in the number of
cassation cases. Other recent changes in the law, such as
that enabling the Public Prosecution Service to dispose
of minor cases by imposing a penalty, 28 the streamlining
of appeals and the introduction of a system of leave to
appeal in minor cases, 29 may still help to moderate the
caseload in the criminal sector, but for various reasons
the Committee does not expect them to bring about any
real reduction of the workload in cassation cases.
24 Act of 28 October 1999, Bulletin of Acts and Decrees 1999, 467.
25 Act of 31 October 2002, Bulletin of Acts and Decrees 2002, 539.
26 An example in the criminal sector is the higher cassation threshold for minor
cases, which was introduced by the Act of 28 October 1999, Bulletin of Acts and
Decrees 1999, 467
27 Act of 28 October 1999, Bulletin of Acts and Decrees 1999, 469.
28 Act of 7 July 2006, Bulletin of Acts and Decrees 2006, 330.
29 Act of 5 October 2006, Bulletin of Acts and Decrees 2006, 470.

menghasilkan pengurangan beban kerja yang nyata
dalam perkara kasasi.
Berbagai upaya untuk memperkuat peran filter
Organisasi Profesi Advokat masih belum membuahkan
hasil. Sebuah usul dari Komite tentang Beban Kerja
Bagian Pidana Mahkamah Agung (Komite Haak) 30 untuk
mewajibkan para advokat di tingkat kasasi menjalani
spesialisasi lebih lanjut dalam perkara pidana tidak
diterima oleh Kementerian Kehakiman, terutama karena
berbagai langkah telah diambil oleh organisasi-organisasi
seperti Asosiasi Advokat Belanda. 31 Usul-usul Komite
Neleman terkait advokat perdata di tingkat kasasi kini
telah ditindaklanjuti oleh laporan rekomendasi Komite
Fleers yang masih belum dipublikasikan dan merupakan
topik konsultasi-konsultasi informal antara Kementerian
Kehakiman, Asosiasi Advokat Belanda, dan Mahkamah
Agung.
Sektor perpajakan tidak mengharuskan adanya
perwakilan advokat bagi pihak-pihak yang berperkara
di dalam persidangan-persidangan kasasi, namun hal
ini akan menjadikannya sulit diatur karena adanya
perbedaan latar belakang profesi yang sangat besar dari
orang-orang yang saat ini menawarkan bantuan hukum
bagi para wajib pajak dalam persidangan-persidangan
tersebut.
Di sini perlu dicatat bahwa kesulitan dalam memproses
masuknya perkara-perkara yang penting dengan
tepat waktu seringkali menjadi alasan yang langsung
mendasari langkah-langkah tersebut secara sederhana
dinamakan sebagai berkurangnya beban kerja. Namun
biar bagaimanapun, yang penting adalah menciptakan
keseimbangan dalam pemberian perhatian yang sesuai
terhadap setiap perkara yang diterima. 32 Sasaran
30 Diberi nama berdasarkan nama ketuanya. Komite ini menerbitkan laporannya
dengan judul De toegang tot de cassatierechter in strafzaken (Akses ke peradilan kasasi
dalam perkara pidana) pada bulan Desember 1996.
31 Lihat Parliamentary Papers II 1997-98, 26027, no. 3 (Memorandum Penjelasan), hal.
12. Langkah-langkah ini tidak mencapai hasil yang dikehendaki, sebagaimana akan
dibahas di sub-bab 3.3 di bawah.
32 Cf. W.E. Haak, Naar een optimale beoordeling in cassatie van het straf(proces)recht (Menuju
Various attempts to strengthen the filtering role of the
Bar have not yet got off the ground. A proposal of the
Committee on the Workload of the Supreme Court
Criminal Division (the Haak Committee) 30 to make it
compulsory for cassation lawyers to undergo further
specialisation in criminal cases was not adopted by the
Minister of Justice, above all because of steps already
being taken by organisations such as the Dutch Bar
Association. 31 The Neleman Committee’s proposals on
civil cassation lawyers have now been followed up by
an advisory report of the Fleers Committee, which has
not yet been published and is the subject of informal
consultations between the Ministry of Justice, the Dutch
Bar Association and the Supreme Court.
The tax sector does not require litigants to have legal
representation in cassation proceedings, but this would
anyway be hard to arrange because of the very varied
professional background of the people who currently
provide legal assistance to taxpayers in such proceedings.
It should be noted here that as the immediate reason
for the measures was often the difficulty of processing
the substantial case flow in time, they are often labelled
simply as workload reductions. The important thing,
however, is to strike a balance in which each case
receives the attention it deserves. 32 The chief aim must
30 Named after its chairperson. The Committee published its report entitled De
toegang tot de cassatierechter in strafzaken (Access to the cassation court in criminal cases)
in December 1996.
31 See Parliamentary Papers II 1997-98, 26027, no. 3 (Explanatory Memorandum),
p. 12. These steps did not achieve the desired result, as will be discussed below in
section 3.3.
Komite Hammerstein
32 Cf. W.E. Haak, Naar een optimale beoordeling in cassatie van het straf(proces)recht
(Towards an optimal assessment of criminal law and criminal procedure in cassation
proceedings), in Glijdende Schalen, Collection of essays in honour of J. de Hullu,
eds. M.S. Groenhuijsen and J.B.H.M. Simmelink, Wolf Legal Publishers 2003, p. 206.
23

24 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
utamanya harus diarahkan pada upaya untuk memastikan
jalannya fungsi-fungsi pengadilan kasasi dengan cara yang
selaras dengan segala tuntutan di zaman sekarang ini.
Di samping semua langkah yang didasarkan pada
undang-undang ini, perubahan-perubahan penting
dalam organisasi juga dilakukan dari waktu ke waktu.
Pertama-tama bisa dilihat dari didirikannya sebuah pusat
penelitian. Mahkamah Agung dan Prosecutor General’s
Office memanfaatkan dukungan hukum yang disediakan
oleh para peneliti ini secara luas. Walaupun bagian
perdata masih belum banyak memanfaatkan pusat
penelitian ini dibandingkan dengan bagian pidana dan
bagian pajak, hal ini juga sudah mulai berubah. Perluasan
dukungan lebih jauh lagi bagi bagian perdata terlihat
masuk akal. Tentu saja Mahkamah Agung dan Prosecutor
General’s Office juga menggunakan teknologi informasi
dengan seefektif mungkin serta terus melakukan
perampingan prosedur-prosedur operasi internal mereka.
Aspek-aspek yang terkait dengan urusan organisasi ini
juga tercermin dalam pembahasan berikut mengenai
hukum acara yang ada saat ini di tiap sektor dan
masalah-masalah utama di sektor-sektor ini.
3.2. Sektor Perdata
Hukum Acara
Setiap tahun, bagian perdata menjatuhkan sekitar 500
putusan kasasi. Prosecutor General’s Office mengajukan
pendapatnya dalam semua perkara ini. 75% perkara
diputus oleh majelis beranggotakan 5 hakim, yang
artinya praktis keseluruhan 11 hakim di bagian tersebut
sudah mempelajari draft (rancangan) dan, setelah itu,
memorandum kasasi. Dalam kurang lebih sepertiga
dari jumlah perkara ini, bagian perdata menolak perkara
tersebut dengan membuat pernyataan sumir mengenai
assessment yang optimal mengenai hukum pidana dan hukum acara pidana dalam
proses kasasi), dalam Glijdende Schalen, Collection of essays in honour of J. de Hullu, M.S.
Groenhuijhsen (editor) dan J.B.H.M. Simmelink (editor), Wolf Legal Publishers 2003,
hal. 206.
be to try to ensure that the functions of the cassation
court are performed in a manner that is in keeping with
the requirements of this day and age.
In addition to all these statutory measures, important
organisational changes have also been introduced
over time. Mention can be made first of all of the
establishment of a research centre. The Supreme Court
and the Prosecutor General’s Office make extensive
use of the legal support provided by these researchers.
Although the civil division still makes less use of the
research centre than the criminal and tax divisions, this
too is starting to change. Further expansion of support
for the civil division would seem logical. Naturally, the
Supreme Court and the Prosecutor General’s Office also
use information technology as effectively as possible and
are continuously engaged in streamlining their internal
operating procedures. These organisational aspects
are also reflected in the discussion below of current
procedure in each sector and the main problems in these
sectors.
3.2. Civil sector
Procedure
Each year the civil division gives judgment in about
��� cassation cases. The Prosecutor General’s Office
submits an opinion in all these cases. 75% of the cases
are decided by a 5-judge panel, which means in practice
that the entire division of 11 justices has studied the
draft and the subsequent memorandums. In about a
third of these cases the division disposes of the case
by giving an abridged statement of the grounds under
section 81 of the Judicial (Organisation) Act. The
number of cases in which appealed judgments are
quashed fluctuates between ��% and 3�%. The average
period that elapses between the service of the writ of
cassation summons and the judgment of the Supreme

dasar pertimbangan yang melatarinya berdasarkan pasal
81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi).
Jumlah perkara yang putusan pengadilan yang lebih
rendahnya (yang menjadi obyek kasasi) dibatalkan oleh
Mahkamah Agung di kasasi berfluktuasi antara ��%
hingga 30%. Selang waktu rata-rata yang dilalui sejak
dikeluarkannya surat panggilan untuk menghadiri sidang
kasasi hingga diputus oleh Mahkamah Agung adalah
sekitar 400 hari. 33
Secara umum, bagian perdata bekerja dengan cara
sebagai berikut. 34 Setelah Prosecutor General’s Office
mengajukan pendapatnya, seorang hakim tunggal—
berdasarkan penilaian substantif secara singkat—
memutuskan apakah perkara tersebut akan diperiksa oleh
majelis yang beranggotakan tiga orang hakim atau lima
orang hakim. Bagian pendaftaran perkara menentukan
susunan majelis (nama-nama hakim yang akan memutus
perkara terkait) dan menjadwalkan perkara tersebut di
suatu tanggal untuk dibuatkan rapat permusyawaratan di
kamar-kamar, biasanya sekitar tiga atau empat minggu
ke depan. Bagian perdata mengadakan pertemuan setiap
hari Kamis dalam rapat paripurna untuk melakukan
konsultasi. Hanya perkara-perkara yang diperiksa oleh
lima hakim yang dibahas di rapat paripurna ini. Pada
sore harinya setelah rapat paripurna selesai, barulah
perkara-perkara yang diperiksa oleh tiga hakim dibahas
secara terpisah oleh hakim-hakim yang ditunjuk untuk
duduk di dalam majelis tersebut. Sebagian besar perkara
ini disingkirkan berdasarkan pasal 81 Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman (Organisasi). Pengesampingan
ini hanya memerlukan waktu yang singkat. Semua
perkara yang disidang oleh lima orang hakim terlebih
dahulu dibahas dan diputus sementara dalam rapat
paripurna di kamar-kamar oleh kelima hakim yang
ditunjuk untuk duduk dalam majelis tersebut yang juga
33 Angka-angka ini diambil dari Laporan Tahunan Mahkamah Agung untuk tahun
2005 dan 2006, yang juga dimuat di website www.hogeraad.nl.
34 Lihat juga laporan pendahuluan W.D.H. Asser untuk Asosiasi Kajian Hukum
Perbandingan Belgia dan Belanda, Den Haag: Boom Juridische uitgevers 2007, hal.
183-230, dan literatur yang dirujuk dalam laporan itu, dan A. Hammerstein, Een betere
oplossing dan de cassatie is nog niet gevonden (Solusi yang lebih baik daripada kasasi belum
ditemukan), TCR 2006, hal. 7-11.
Court is about 400 days. 33
Komite Hammerstein
Broadly speaking, the civil division operates as follows. 34
After the Prosecutor General’s Office has submitted
an opinion, a single justice decides on the basis of a
brief substantive assessment whether the cases are to
be heard by a 3-judge or a 5-judge panel. A decision
that a case should be heard by a 3-judge panel may later
be reversed and the case assigned to a 5-judge panel.
The Court registry determines the composition of the
panel (the names of the justices who will decide the
case) and assigns the case to a date for deliberations in
chambers, usually three or four weeks hence. The civil
division meets every Thursday in plenary session for
its consultations. Only the 5-judge cases are discussed
in this plenary session. At the end of the afternoon,
after the plenary session finishes, the 3-judge cases are
discussed separately by the justices assigned to the panel.
Most of these cases are disposed of under section 81
of the Judiciary (Organisation) Act. These disposals
take little time. All 5-judge cases are discussed and
provisionally decided upon first in the plenary session
in chambers by the five justices assigned to the panel,
who have access to all cassation documents and the case
file. Their discussions are conducted in the presence
of the other members of the civil division (who only
receive the opinion of the Procurator General’s Office
and may, if they wish, intervene in the discussions).
33 These fi figures gures are taken from the Annual �eports �eports of the Supreme Court for ���� ����
and 2006, which are also published on the website at www.hogeraad.nl.
34 See also the preliminary report of W.D.H. Asser for the Association for the
Comparative Study of the Law of Belgium and the Netherlands, The Hague: Boom
Juridische uitgevers 2007, pp. 183-230, and the literature referred to in that report,
and A. Hammerstein, Een betere oplossing dan de cassatie is nog niet gevonden (A better solu-
tion than cassation has not yet been found), TCR 2006, pp. 7-11.
25

26 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
memiliki akses ke semua dokumen kasasi dan berkas
perkara tersebut. Pembahasan mereka dilakukan di
tengah kehadiran anggota-anggota lain bagian perdata
(yang hanya menerima pendapat Procurator General’s
Office dan, jika mau, boleh mengintervensi pembahasan
yang sedang berlangsung). Setelah itu seorang hakim
ditugaskan untuk menyusun rancangan putusan.
Rancangan putusan tersebut dijadwalkan untuk dibahas
dalam pertemuan dalam kamar dua minggu kemudian
dan harus diedarkan selambat-lambatnya Senin pagi
sebelumnya. Email-email yang berisi komentar-komentar
dan usul-usul perubahan diedarkan dari hari Senin
tersebut hingga hari Rabunya. Sebagian besar catatan
tersebut datang dari para anggota majelis hakim, namun
dalam perkara-perkara yang penting, bahkan hakim-
hakim yang tidak ditunjuk untuk duduk dalam majelis
pun sering mengajukan komentar. Rancangan tersebut
dibahas dan bilamana memungkinkan dituntaskan di
paruh pertama pertemuan di dalam kamar. Kadang-
kadang sebuah rancangan putusan perlu dibahas
beberapa kali di kamar, biasanya dengan selang waktu
seminggu. Ketika suatu rancangan sangatlah rumit
atau sangat sederhana, mereka dapat dibantu oleh
dua anggota pusat penelitian bagian tersebut. Dengan
cara demikian, sekitar 30 perkara dapat diperiksa oleh
bagian perdata setiap minggunya. Beberapa di antaranya
adalah perkara baru yang melibatkan penunjukan
seorang rapporteur setelah pembahasan inti perkara
tersebut, dan sisanya adalah perkara yang didiskusikan
rancangan putusannya. Susunan majelis berubah dari
perkara yang satu ke perkara lainnya. Dalam kaitan
ini, kehadiran hakim-hakim yang tidak duduk dalam
majelis perkara tersebut sangatlah penting. Mereka
menjadi familiar dengan perkara tersebut dari pendapat
yang ada, rancangan putusan dan memorandum-
memorandum, dan mengikuti serta sering terlibat dalam
berbagai pembahasan. Ini adalah langkah terbaik untuk
memastikan terjaganya konsistensi internal dalam sistem
kehakiman. Para anggota yang lain itu tidak hanya
harus familiar dengan yurisprudensi bagian perdata
secara lengkap, tetapi juga ikut bertanggung jawab atas
keseragaman hukum dan konsistensi kasasi perkara
Afterwards a justice is assigned to draft a judgment. The
draft is tabled for discussion at the meeting in chambers
two weeks later and must be circulated no later than the
preceding Monday morning. Email notes containing
comments and proposals for amendments are circulated
from the Monday to the Wednesday. Most of the notes
come from the members of the panel, but in important
cases even the justices not assigned to the panel often
submit comments. The drafts are discussed and, if
possible, finalised in the first half of the meeting in
chambers. Sometimes a draft may have to be discussed
in chambers on several occasions, usually at intervals
of a week. Where drafts are very complicated or very
simple, assistance is obtained from two members of
the division’s research centre. In this way, some 30
cases are considered by the civil division each week.
Some of them are new cases, in which a rapporteur is
designated after discussion of the substance, and the
rest are cases in which the draft judgment is discussed.
The composition of the panel changes from case to
case. The presence of the justices who are not part of
the panel hearing the case is of great importance in
this connection. They become acquainted with the case
from the opinion, the draft and the memorandums and
follow and are often involved in the discussions. This
is the best way of ensuring the internal consistency of
the justice system. The other members not only have
to be familiar with the full case law of the civil division,
but are also partly responsible for legal uniformity
and consistency in civil cassation proceedings. One
reason why it is therefore crucially important for all the
knowledge, experience and special expertise available
within the civil division to be available for deployment
in each case of any importance is that when the Court
registry determines the composition of the panel it does
so, on account of the principle of judicial independence,
without reference to the subject-matter of the dispute.
Owing to the complexity and breadth of the civil
division’s field of work, little if any specialisation is
possible. This also means that the connection between
the different areas of law can be monitored.

perdata. Salah satu alasan mengapa begitu krusialnya
dan pentingnya semua pengetahuan, pengalaman,
dan keahlian khusus yang terdapat di dalam lingkup
bagian perdata siap digunakan dalam setiap perkara
yang sepenting apapun adalah karena pada saat bagian
pendaftaran perkara Mahkamah Agung menentukan
susunan majelis hakim, hal tersebut dilakukan atas
dasar prinsip independensi yudisial, tanpa mengacu
pada permasalahan pokok atau substansi dari sengketa
tersebut. Melihat kompleksitas dan luasnya lingkup kerja
bagian perdata, sangat kecil sekali kemungkinan bisa
melakukan spesialisasi, itu pun kalau ada. Hal ini juga
berarti bahwa hubungan antara bidang-bidang hukum
yang berbeda dapat dimonitor.
Semua lembaga peradilan tertinggi yang memiliki
dua atau lebih bagian atau seksi harus mengambil
langkah-langkah untuk ‘mengamankan’ koordinasi
internalnya. Bagian perdata Mahkamah Agung bertujuan
melakukan hal ini seefisien mungkin dengan jumlah
anggotanya yang ada sekarang melalui pengaturan yang
mengikutsertakan mereka semua dalam rapat-rapat
permusyawaratan perkara yang menggunakan majelis
lima hakim. Meskipun ini sama sekali bukan berarti
bahwa semua hakim membaca seluruh berkas perkara
yang menggunakan majelis lima hakim, hal ini berarti
bahwa mereka sendiri dapat memutuskan—berdasarkan
rancangan putusan yang diajukan dalam pembahasan—
apakah mereka akan melibatkan diri dalam perkara yang
mereka sendiri tidak menjadi anggota majelis hakimnya,
dan, bila iya, sampai sejauh mana mereka hendak
melibatkan diri. Dalam kenyataan praktik, prosedur ini
telah terbukti menjadi cara yang efektif untuk menjaga
kualitas dan terlihat jelas adanya manfaat yang nyata dari
saling membaca rancangan putusan perkara-perkara
penting yang dikerjakan satu sama lain.
Sebagian besar perkara disingkirkan dalam waktu enam
minggu sejak dikirimkan ke bagian ini. Bagian ini hanya
bisa dipecah menjadi seksi-seksi yang berbeda jika
jumlah anggotanya ditambah. Hal ini akan menghasilkan
manfaat berupa kapasitas ‘produksi’ yang lebih besar lagi
All the highest courts that have two or more divisions
or sections must take measures to safeguard internal
coordination. The civil division of the Supreme Court
aims to do this as efficiently as possible with its present
number of members by arranging for all of them
to participate in the deliberations on 5-judge cases.
While it is by no means the case that all justices read
all documents in 5-judge cases, this does mean that
they can themselves decide on the basis of the draft
judgment submitted for discussion whether and, if so,
to what extent they will involve themselves in cases
they are not hearing. This procedure has been found in
practice to be an effective way of safeguarding quality,
and there is clearly real merit in reading one another’s
drafts in important cases.
Komite Hammerstein
Most cases are disposed of within six weeks of being
sent to the division. A case could be made for splitting
the division into different sections only if the number
of members were to be increased. This would have
the advantage of higher production capacity and the
27

28 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
dan kemungkinan dilakukannya spesialisasi (meskipun
terbatas). Namun di samping hambatan praktis akibat
terbatasnya ketersediaan calon-calon yang sesuai
sebagaimana yang diutarakan di atas, setiap penambahan
kelengkapan kehakiman dengan sendirinya akan diikuti
juga dengan penambahan waktu dan usaha yang
diperlukan untuk menjaga koordinasi internal. Oleh
karena itu, keuntungan-keuntungannya menjadi kelihatan
lebih kecil dibanding dengan kerugian-kerugiannya.
Penambahan tersebut juga tidak diperlukan karena
sebagian besar perkara yang diajukan di bagian perdata
tidak layak untuk dikasasikan. Sebagai contoh, dalam
perkara-perkara yang melibatkan kepentingan besar,
para pihak sering memanfaatkan pengajuan kasasi
sebagai cara untuk menggugat suatu putusan yang pada
prinsipnya merupakan kewenangan judex factie. Pemohon
kasasi kemudian mengajukan berbagai pembelaan yang
berbeda dalam menggugat dasar pertimbangan putusan
pengadilan yang lebih rendah itu. 35 Perkara-perkara ini
dapat disingkirkan dengan lebih efisien.
Untuk dapat bekerja dengan efisiensi yang paling tinggi
bagian ini perlu memastikan bahwa informasi yang
diterima olehnya dari para anggota Organisasi Profesi
Advokat dan Procurator General’s Office adalah informasi
yang benar. Oleh karena Procurator General’s Office hanya
beranggotakan sejumlah kecil Advocate General yang
tidak mampu mengkhususkan diri sebaik para advokat
kasasi, Procurator General’s Office hanya dapat bekerja
dengan dukungan pusat penelitian. Perlu diingat juga
bahwa semakin rendah kualitas putusan pengadilan yang
lebih rendah yang dijadikan obyek kasasi dan semakin
rendah kualitas informasi yang diberikan oleh para pihak
(yakni para advokat kasasi), semakin berat pula tugas
Mahkamah Agung. 36
35 Perkara-perkara ini sangat menguras tenaga, terutama bagi Procurator General’s Of-
fice. Di samping pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi), bagian
tersebut juga memiliki beragam instrumen yang dapat digunakannya untuk menye-
derhanakan pengesampingan perkara-perkara demikian. Sebagai contoh, bagian ini
dapat mengeluarkan putusan mengenai satu aspek tunggal yang krusial dari suatu
permohonan kasasi sehingga tidak perlu lagi dipertimbangkan alasan-alasan lainnya.
36 Lihat juga E. Grabandt, Kwaliteit in cassatie (Kualitas proses kasasi) dalam kumpu-
possibility of specialisation (albeit limited). But quite
apart from the practical obstacle, as noted above, that
the supply of suitable candidates is not inexhaustible,
any increase in the judicial complement would be bound
to mean that more time and effort has to be spent on
safeguarding internal coordination. The advantages
would therefore seem to be outweighed by the
disadvantages.
Nor is there any need for such an increase, because a
good many of the cases filed with the civil division are
not suitable for cassation. For example, in cases where
the stakes are high, parties often use cassation appeals
as a way of challenging a decision which is, in principle,
reserved to the court that rules on points of fact. The
appellant then puts forward many different arguments
contesting the grounds of the lower court’s judgment. 35
These cases could be disposed of more efficiently.
To work with maximum efficiency the division needs
to be certain that the information it receives from
members of the Bar and the Procurator General’s
Office is correct. As the Procurator General’s Office is
staffed by only a small number of Advocates General,
who are not able to specialise to the same extent as
cassation lawyers, it can operate only with the support
of the research centre. It should also be borne in mind
that the poorer the quality of the appealed decisions
and the information provided by the parties (i.e. the
cassation lawyers) the more onerous the task of the
Supreme Court. 36
35 These cases are very labour-intensive, especially for the Procurator General’s Of- Of-
fice. Besides section � of the Judiciary (Organisation) Act, the division has various
instruments which it can use to simplify the disposal of such cases. For example, it
can give a ruling on a single crucial aspect of an appeal, which obviates the need to
consider the other arguments.
36 See also E. Grabandt, Kwaliteit in cassatie (Quality in cassation proceedings) in De
Advocatenstandaard collection, 2007, p. 149 ff.

Kesenjangan beban perkara
Jumlah perkara yang diperiksa oleh bagian perdata
Mahkamah Agung bergantung pada kesediaan para
pihak yang berperkara untuk mengajukan permohonan
kasasi. Perkara perdata memakan biaya yang besar
dan menyita waktu serta memerlukan pengorbanan-
pengorbanan lain dari para pihak. Seringkali para pihak
yang berperkara jera mengajukan kasasi karena besarnya
biaya atau waktu yang tersita untuk mendapatkan
putusan. Akibatnya, sejumlah isu tertentu masih tetap
berada di luar jangkauan pengadilan kasasi. Dan yang
paling penting, isu-isu hukum dari perkara-perkara yang
berasal dari ‘kelas menengah’ 37 yang diputus oleh judex
factie tidak bisa mencapai Mahkamah Agung. Demikian
pula halnya dengan isu-isu hukum yang hanya masuk ke
arbitrase, terutama oleh para pelaku usaha.
Singkat kata, pengadilan kasasi perdata sulit dijangkau
oleh sejumlah pihak yang berperkara dan oleh karenanya
pengadilan ini tidak dapat menjalankan fungsinya secara
optimal. Meskipun kasasi dapat dilakukan atas dasar
kepentingan penyeragaman penerapan hukum, hal ini
hanya memberikan suatu solusi yang terbatas. Hanya
sedikit perkara yang cocok untuk didasarkan pada
tujuan ini dikarenakan faktor-faktor seperti dasar faktual
(fakta) yang terlalu minim dan tidak adanya adu argumen
hukum oleh para pihak yang bersengketa. Oleh karena
itulah esensi masalah ini cenderung tetap tersembunyi.
Hal ini dibahas secara lebih terperinci di sub-bab 4.2 di
bawah.
Besarnya tumpukan perkara yang melebihi kemampuan
Satu masalah yang dihadapi sektor perdata adalah
relatif besarnya jumlah perkara yang tidak dikasasikan,
lan De Advocatenstandaard, 2007, hal. 149 ff.
37 Secara umum, lebih banyak perkara yang diajukan oleh pihak-pihak yang baik
lemah secara keuangan (misalnya diwajibkan masuk rumah sakit jiwa dan perkara-
perkara kepailitan) maupun yang kuat secara keuangan (badan-badan pemerintah,
pelaku-pelaku usaha, kaum berpunya) yang sampai ke Mahkamah Agung diband-
ingkan dengan yang diajukan oleh warga masyarakat rata-rata. Bagi mereka (warga
masyarakat rata-rata), biaya proses kasasi sangatlah mahal.
Gaps in caseload
The volume of cases heard by the civil sector of the
Supreme Court is dependent on the willingness of
litigants to appeal in cassation. Civil litigation is costly
and time-consuming and also requires other sacrifices by
the parties. Often litigants are deterred from appealing
in cassation by the expense or by the time taken to
obtain judgment. As a result, certain subjects remain
beyond the reach of the cassation court. Above all,
legal issues from the ‘middle segment’ 37 of the cases
heard by the courts of fact may not reach the Supreme
Court, as is also true of subjects that are referred only to
arbitration, mainly by businesses.
In short, the civil cassation court is hard to reach
for some litigants and is therefore prevented from
performing its function to the full. Although cassation
proceedings can be instituted in the interests of the
uniform application of the law, this provides only a
limited solution. No more than a handful of cases are
suitable for this purpose due to such factors as the
meagre factual basis and the absence of legal argument
between opposing parties. The essence of the problem
therefore tends to remain hidden. This is dealt with in
more detail in section 4.2 below.
Excessive caseload
A problem that faces the civil sector is the relatively
large number of cases that are not suitable for cassation,
given the remit of the Supreme Court. 38 Even with
3� Broadly speaking, more cases brought by parties that are either fi financially nancially
weak (e.g. compulsory admissions to psychiatric hospitals and insolvency cases) or
financially strong (government bodies, businesses, repeat players) reach the Supreme
Court than cases brought by average members of the public, for whom cassation
proceedings are very expensive.
Komite Hammerstein
38 See also J.B.M. Vranken, Toeval of beleid? Over rechtsvorming door de hoogste rechters
29

30 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
mengingat perkara-perkara itu bukan merupakan ranah
Mahkamah Agung. 38 Bahkan dengan penafsiran tentang
batasan ranah Mahkamah Agung yang sedang berlaku
sekarang pun ini tetap merupakan masalah yang sedang
dihadapi, akan tetapi akan menjadi lebih akut lagi
kalau rekomendasi-rekomendasi Komite diterima dan
kriteria seleksi yang lebih ketat diterapkan, sehingga
meningkatkan keengganan sektor perdata untuk
memeriksa perkara yang murni hanya berurusan dengan
perlindungan kepentingan individual.
Dalam hukum acara kasasi yang sedang berlaku saat
ini, secara formal batasan-batasan antara perkara
yang layak dan tidak layak masuk ke pengadilan kasasi
ditentukan antara lain oleh alasan-alasan kasasi yang
diatur dalam pasal 79 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman (Organisasi) dan juga oleh syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh sebuah permohonan kasasi
berdasarkan pasal 407 ayat (2) Kitab Undang-undang
Hukum Acara Perdata (pasal 426a ayat (2) Kitab
Undang-undang Hukum Acara Perdata) dan juga
oleh ketentuan-ketentuan pasal 419 Kitab Undang-
undang Hukum Acara Perdata yang mengatur tentang
dasar faktual (fakta) untuk mengajukan gugatan atau
permohonan hukum ke lembaga peradilan. Semestinya,
permohonan kasasi yang didasarkan pada alasan-alasan
yang melanggar batasan-batasan yang ditetapkan
pasal 79 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi) (satu contoh yang sangat gamblang
adalah permohonan dengan alasan ada pelanggaran
terhadap hukum asing) atau yang didasarkan pada
alasan-alasan yang tidak cukup spesifik atau yang tidak
memiliki dalil yang cukup memadai (misalnya argumen
yang tidak menunjuk dengan jelas dan tegas bagian
mana persisnya dari suatu putusan atau pertimbangan
putusan yang dipermasalahkan dan mengapa itu perlu
dipermasalahkan) harus berakhir dengan dinyatakan
tidak dapat diterima. Namun umumnya Mahkamah
Agung tidak seketat ini. Permohonan-permohonan
yang tidak layak semacam ini biasanya ditolak dengan
38 Lihat juga J.B.M. Vranken, Toeval of beleid? Over rechtsvorming door de hoogste rechters
(Kesempatan atau kebijakan? Mengenai lawmaking di lembaga-lembaga peradilan
tertinggi), NJB 2000, pp. 1-5.
the remit as currently interpreted this is a problem,
but it will become even more acute if the Committee’s
recommendations are adopted and more stringent
selection criteria are applied, thereby increasing the
civil sector’s reluctance to hear cases that are solely
concerned with the protection of individual interests.
In the current state of cassation procedure, the
boundaries between cases which do and do not belong
in the cassation court are determined, in formal terms,
partly by the grounds for cassation set out in section
79 of the Judiciary (Organisation) Act and partly by
the requirements which a cassation appeal should
fulfil under article ���, paragraph � of the Code of
Civil Procedure (article 426a, paragraph 2 Code of
Civil Procedure) and by the provisions of article 419
of the Code of Civil Procedure governing the factual
basis for legal submissions. Cassation appeals based on
grounds that employ submissions going beyond the
limits of section 79 of the Judiciary (Organisation) Act
(submissions about the violation of foreign law are an
obvious example) or grounds that are not sufficiently
specific or substantiated (e.g. arguments that do not
indicate with sufficient precision what findings or
decisions of the lower court are contested and why)
must, strictly speaking, result in a declaration of non-
admissibility. Generally, however, the Supreme Court
is not so strict. Such submissions are usually dismissed
under section 81 of the Judiciary (Organisation) Act.
(Chance or policy? About lawmaking by the highest courts), NJB 2000, pp. 1-5.

dasar pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi).
Secara substantif, batasan-batasan itu ditentukan
oleh fungsi kasasi. Dengan demikian, menentukan
perkara apa saja yang harus dibawa ke meja kasasi atau
tidak boleh dibawa ke meja kasasi adalah tergantung
pada bagaimana fungsi Mahkamah Agung dimaknai
(dalam hal kebijakan hukum (legal policy)). Bila
penekanannya lebih pada memonitor keseragaman
hukum dan mendorong perkembangan hukum daripada
memberikan perlindungan hukum dalam perkara demi
perkara secara individual, maka batasan-batasannya akan
berbeda dengan batasan-batasan yang diberlakukan
bila keseragaman hukum dan perkembangan hukum
hanya dianggap sebagai ‘efek samping’ yang positif
dari putusan yang dijatuhkan dalam rangka dan demi
kepentingan perkara-perkara individual. 39
Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diuraikan di
atas oleh Komite, berikut terdapat dua kategori perkara
yang pada prinsipnya tidak tepat untuk dibawa ke meja
kasasi: (a) permohonan kasasi yang dimaksudkan untuk
mempersoalkan aspek hukum (bukan fakta) dan atau
mempersoalkan dasar pertimbangan putusan tersebut,
akan tetapi sebenarnya ia ingin membuat Mahkamah
Agung memeriksa ulang lagi putusan pengadilan yang
lebih rendah itu hanya dalam hal atau terutama dalam
hal yang bersifat faktual (fakta) padahal hal tersebut
merupakan kewenangan pengadilan yang lebih rendah
(kewenangan yang hanya diberikan kepada pengadilan
yang lebih rendah meliputi penemuan atau evaluasi atas
fakta, penafsiran atas gugatan/jawaban, dan penilaian
atas bukti-bukti yang diajukan, serta kewenangan-
kewenangan yang diberikan terutama kepada pengadilan
yang lebih rendah yang mencakup hal-hal yang bersifat
menggabungkan hukum dan fakta) atau kemerdekaan
pengadilan yang lebih rendah dalam menentukan
kebijakan hukum acaranya sendiri; (b) permohonan
kasasi yang argumennya memang benar memenuhi
39 Cf. J.B.M. Vranken, Mengeksplorasi Bingkai Pikiran Ahli Hukum, Kluwer
Deventer 2006, no. 10.
In substantive terms, the limits are determined by the
function of cassation proceedings. Deciding what cases
should or should not be heard in cassation is accordingly
dependent on how the function of the Supreme Court
is perceived (in terms of legal policy). If the emphasis
is put mainly on monitoring legal uniformity and
promoting the development of the law rather than on
the provision of legal protection in individual cases,
the limits will be different from those that apply if
legal uniformity and the development of the law are
regarded mainly as the spin-off of decisions given in
and therefore geared to individual cases. 39
On the basis of the principles previously defined by
the Committee, the following two categories of cases
are not, in principle, suitable for cassation: (a) those in
which the cassation submissions purportedly contest
findings of law or the grounds of the judgment, but
actually require the Supreme Court to reconsider
decisions of the lower courts based solely or mainly on
assessments of a factual nature reserved to the lower
courts (decisions reserved solely to the lower courts
include findings or evaluations of fact, interpretation of
case pleadings and assessment of the evidence and those
reserved mainly to the lower courts include matters
combining law and fact) or on the court’s freedom to
determine its own procedural policy; (b) cases in which
the arguments admittedly qualify as submissions on
points of law, but are in fact simply put forward as a
pretext since the matter raised in fact amounts to an
‘acte clair’ or ‘acte éclairé’.
39 Cf. J.B.M. Vranken, Exploring the Jurist’s Frame of Mind, Kluwer Deventer
2006, no. 10.
Komite Hammerstein
31

32 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
syarat sebagai dalil yang mempersoalkan aspek hukum
(bukan fakta), akan tetapi sebetulnya dalil yang demikian
diajukan hanya sebagai alasan saja sebab masalah yang
diangkatnya sebenarnya berkualifikasi sebagai ‘acte clair’
atau ‘acte éclairé’.
Ada satu pengecualian yang berlaku bagi perkara yang
tergolong kategori (b) jika pengadilan yang lebih rendah
telah salah menerapkan hukum acara ataupun hukum
materiil, dan dasar/alasan permohonan kasasinya
mengandung dalil mengenai hal ini. Karena peran
tradisional lembaga peradilan kasasi adalah memonitor
kualitas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (yakni
untuk ‘melindungi hukum dari pengadilan’), dalam
perkara-perkara seperti itu Mahkamah Agung harus
membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah itu,
kecuali, mungkin, bila kesalahan penerapan hukum itu
tidak menyebabkan timbulnya kerugian yang signifikan.
Kendala-kendala lain dalam pelaksanaan peran normatif
Mahkamah Agung selalu menjatuhkan putusan secara
perkara per perkara. Dengan demikian Mahkamah
Agung memutus berdasarkan fakta yang terdapat
dalam perkara bersangkutan serta dasar-dasar
permohonan kasasi yang diajukan. Dan kadang-kadang,
Mahkamah Agung memfokuskan diri pada hasil akhir
perkara tersebut. Sebagai akibatnya, dari segi aspek
fungsi lawmaking nilai putusan seperti ini terkadang
menjadi tidak terlalu bernilai dan di mana letak nilai
keyurisprudensiannya terdapat menjadi kabur atau tidak
jelas. Karena Mahkamah Agung terikat pada fakta dari
perkara yang sedang diperiksanya, Mahkamah Agung
tidak dapat membuat putusan yang akan memiliki
dampak yang meluas bila isu yang hendak diputusnya
itu berdampak pada banyak kepentingan yang berbeda-
beda, termasuk kepentingan pihak ketiga (yang tidak
bisa ikut didengarkan oleh Mahkamah Agung dalam
pemeriksaannya). Agar dapat membuat putusan yang
bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan secara
sosial, Mahkamah Agung dan Prosecutor General’s Office
memerlukan lebih banyak lagi informasi daripada
An exception applies to the category of cases referred
to at (b) if the lower court has misapplied a provision of
procedural or substantive law and the ground of appeal
contains submissions on this point. As the traditional
role of a cassation court is to monitor the quality of the
administration of justice (i.e. to ‘protect the law from
the courts’), the Supreme Court should in such cases set
aside the decision of the lower court, except possibly in
those cases in which the misapplication of the law has
not caused significant harm.
Other obstacles to fulfilment of the normative role
The Supreme Court always gives judgment in individual
cases. If follows that the Supreme Court decides on
the basis of both the facts of the specific case and
the grounds of cassation submitted to it and that it
sometimes focuses on the outcome of the individual
case. As a result, the value of these judgments in terms
of their lawmaking component is sometimes limited and
the general thrust of the case law is occasionally vague
or unclear. As the Supreme Court is bound by the facts
of the case it is hearing, it cannot take a decision that
would have a wider impact if the issue to be decided
affects many different interests, including those of third
parties (who cannot be heard). In order to arrive at a
sound and socially responsible decision, the Supreme
Court and the Procurator General’s Office need more
information in such cases than the parties are able
to supply. This problem sometimes also plays a role
in applications to the Procurator General to institute
cassation proceedings in the interests of the uniform
application of the law. This will be dealt with in more
detail in section 4.2 below.

sekadar informasi yang bisa diberikan oleh para pihak
perkara tersebut. Masalah ini terkadang juga memainkan
peran yang penting dalam hal permohonan kepada
Procurator General agar Procurator General mengajukan
kasasi demi kepentingan penyeragaman penerapan
hukum. Hal ini akan dibahas lebih rinci lagi pada sub-
bab 4.2 di bawah.
Ringkasan
Semua ini menghasilkan analisis berikut. Bidang kerja
sektor perdata memang sangat luas cakupannya dan
sangat kompleks. Karena hampir tidak mungkin
dilakukan spesialisasi, haruslah ditemukan solusi-solusi
lain untuk ‘menghemat’ kerja. Perkara yang masuk
ke bagian perdata Mahkamah Agung sangat beragam
baik dari segi seberapa pentingnya, kompleksitasnya,
maupun ruang lingkupnya. Terlebih lagi, sangat banyak
dari perkara yang masuk itu bukanlah ranah Mahkamah
Agung, mengingat batas kewenangan Mahkamah Agung.
Oleh karena itu harus dibuat suatu sistem pra-seleksi
yang lebih efektif dan diferensiasi yang lebih efektif atas
arus perkara yang masuk, apalagi terdapat kebutuhan
untuk memberikan putusan dengan cepat. Beberapa
perkara perlu disingkirkan dengan segera, sedangkan
untuk sejumlah perkara lain kelancaran proses kasasi
tidak akan langsung terancam bila diberikan lebih
banyak waktu lagi untuk dipertimbangkan apakah akan
disingkirkan atau tidak. Harus dicatat pula bahwa untuk
jenis-jenis kasasi tertentu yang mengangkat pertanyaan
hukum yang penting, jumlah permohonan yang diajukan
ke Mahkamah Agung justru sangat kurang. Masalah ini
melahirkan pertanyaan apakah diperlukan hukum acara
baru yang dapat membuat perkara-perkara semacam
ini lebih mudah mencapai meja Mahkamah Agung.
Terkadang Mahkamah Agung juga perlu lebih banyak
lagi informasi agar dapat membuat putusan yang benar-
benar penting. Dalam kaitan ini, pertanyaan yang harus
diajukan adalah apakah perlu dibuat cara-cara baru agar
Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office dapat
memperoleh informasi yang lebih banyak lagi itu, dan,
jika memang ternyata perlu, apa saja cara-cara baru itu.
In summary
Komite Hammerstein
This results in the following analysis. The civil sector’s
field of work is wide-ranging and complex. As
specialisation is virtually impossible other work-saving
solutions must be found. The cases submitted to the
civil division for decision differ widely in terms of
their importance, complexity and scope. Moreover, a
substantial number of them do not even belong before
the Supreme Court, given its remit. A more effective
system for the preselection and differentiation of case
flows must therefore be devised, not least because
of the need to give judgment promptly. Some cases
need to be disposed of quickly, whereas in others the
adequacy of cassation proceedings is not immediately
jeopardised if rather more time is taken over disposal.
It should also be noted that certain types of cases in
which important legal issues are raised are reaching the
Supreme Court in insufficient numbers. This raises the
question of whether there is a need for new procedures
to allow these cases to reach the Supreme Court more
easily. Sometimes the Supreme Court also needs more
information in order to be able to take decisions of real
import. The question to be asked in this connection
is whether it is necessary to create new ways for the
Supreme Court or the Procurator General’s Office to
obtain this information and, if so, what they should be.
33

34 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
3.3. Sektor Pidana
Hukum acara 40
Bagian pidana Mahkamah Agung menyingkirkan hampir
4.000 perkara per tahun. 41 Sekitar 50% dari jumlah
perkara yang disingkirkan ini tidak memiliki memori
kasasi yang tertulis mengenai dasar /alasan kasasinya dan
tidak diajukan oleh seorang advokat (walaupun sejak 1
Oktober 2000 hal ini sudah diwajibkan). 42 Oleh karena
itu perkara-perkara ini ditolak oleh Mahkamah Agung
dan Prosecutor General’s Office tanpa mempertimbangkan
lagi pokok perkara. Terdapat satu sistem yang terpisah
dan efektif untuk menyingkirkan perkara-perkara seperti
ini. Tidak ada opini yang diajukan Prosecutor General’s
Office untuk perkara seperti ini, 43 dan putusan penolakan
perkara itu dibuat oleh hakim tunggal. 44 Sebagian besar
pekerjaan untuk mengurus perkara seperti ini dilakukan
oleh staf pendukung administrasi dan pusat penelitian. 45
Dengan demikian, dari sudut pandang beban kerja
Mahkamah Agung dan Prosecutor General’s Office, tidak
ada kebutuhan yang mendesak akan perubahan, akan
tetapi ada alasan-alasan yang bagus juga dalam konteks
usul perubahan yang diajukan oleh Proyek Penelitian
Hukum Acara Pidana pada tahun 2001 untuk mengubah
praktik yang berlaku sekarang ini. 46 Walaupun usul ini
layak dipertimbangkan, Komite tidak akan membahasnya
secara lebih rinci di sini karena usul tersebut hanya
40 Mengenai hukum acara di sektor pidana, lihat juga laporan awal W.A.M. van
Schendel untuk Asosiasi Kajian Hukum Perbandingan Belgia dan Belanda, Den
Haag: Boom Juridische uitgevers 2007, hal. 111-141, dan literatur yang dirujuk dalam
laporan tersebut.
41 Angka-angka dalam sub-bab ini juga diambil dari Laporan-laporan Tahunan
Mahkamah Agung, yang dapat diakses di www.hogeraad.nl.
42 Diatur dalam pasal 437 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
43 Lihat pasal 439, ayat 2, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
44 Lihat pasal 440, ayat 3, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
45 Misalnya melakukan pemberitahuan berdasarkan pasal 435 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana dan mengecek terlaksana tidaknya pemberitahuan ini.
46 Lihat M.S. Groenhuijsen (editor) dan G. Knigge (editor). Afronding en verantwoor-
ding, Eindrapport onderzoeksproject Strafvordering 2001 (Penyelesaian Penyelesaian dan Pertanggungjaw-
Pertanggungjaw-
aban; Laporan Akhir Proyek Penelitian Hukum Acara Pidana Tahun 2001), Kluwer
Deventer 2004, hal. 483-485.
3.3. Criminal sector
Procedure 40
The criminal division disposes of almost 4,000 cases
annually. 41 In around 50% of these cases no written
pleading setting out the grounds for cassation is filed
by a lawyer (although this has been compulsory since
1 October 2000). 42 These cases are therefore dismissed
without consideration of the merits by the Supreme
Court and the Prosecutor General’s Office. There is
a separate and efficient procedure for disposing of
such cases. No opinion is submitted by the Prosecutor
General’s Office in these cases, 43 and the decision to
dismiss is taken by the single-judge division. 44 Most of
the work generated by these cases is performed by the
administrative support staff and the research centre. 45 It
follows that, from the point of view of the workload of
the Supreme Court and the Prosecutor General’s Office,
there is no real need for change, but in the context of
the 2001 Criminal Procedure Research Project proposals
for changing existing practice have been made for
other good reasons. 46 Although these proposals merit
consideration in themselves, the Committee will not
discuss them in more detail here because they can be
implemented only if a detailed judgment is available
in each case on the day on which the Court of Appeal
delivers its ruling. As this is currently not the case, the
40 As regards procedure in the criminal sector, see also the preliminary report of
W.A.M. van Schendel for the Association for the Comparative Study of the Law of
Belgium and the Netherlands, The Hague: Boom Juridische uitgevers 2007, pp. 111-
141, and the literature referred to in that report.
� The fi figures gures in this section are also taken from the Annual �eports �eports of the Supreme
Court, which can be found on the website at www.hogeraad.nl.
42 Laid down in article 437 of the Code of Criminal Procedure.
43 See article 439, paragraph 2, of the Code of Criminal Procedure.
44 See article 440, paragraph 3, of the Code of Criminal Procedure.
�� Examples are the notifications notifi cations given under article �3� �3� of the Code of Criminal
Procedure and the checks on this.
46 See M.S. Groenhuijsen and G. Knigge (eds.). Afronding en verantwoording, Eindrap-
port onderzoeksproject Strafvordering 2001 (Completion and Accountability; Final Report
on the 2001 Criminal Procedure Research Project), Kluwer Deventer 2004, pp.
483-485.

isa diimplementasikan jika dalam setiap perkara dapat
diperoleh putusan yang lengkap pada hari Pengadilan
Banding menjatuhkan putusan tersebut. Karena saat
ini kenyataannya tidaklah demikian, Komite tidak dapat
mengaji secara memadai praktik yang sedang berlaku
saat ini ataupun fisibilitas dan lebih baik tidaknya
diadakannya perubahan.
Untuk permohonan kasasi yang menyertakan memori
kasasi yang tertulis yang memaktubkan dasar / alasan
pengajuan kasasi, jalurnya lain lagi. Untuk semua perkara
seperti ini, Prosecutor General’s Office mengajukan opini
tertulis yang berisi penilaian atas dasar/alasan pengajuan
kasasi serta nasihat kepada Mahkamah Agung mengenai
perlu tidaknya perkara itu ditolak. Sekitar setengah
dari jumlah perkara yang seperti ini akhirnya langsung
ditolak oleh Mahkamah Agung berdasarkan pasal 81
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi).
Dalam sekitar seperempat dari jumlah perkara yang
seperti ini, Mahkamah Agung membatalkan putusan
pengadilan yang lebih rendah. Dalam sejumlah besar
perkara yang dibatalkan putusan pengadilan yang lebih
rendahnya itu, alasan Mahkamah Agung membatalkan
adalah bahwa syarat ‘dipersidangkan dalam batas waktu
yang wajar’ sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1)
Konvensi Hak-hak Asasi Manusia Eropa tidak terpenuhi.
Setelah membatalkan putusan, Mahkamah Agung
memutus sendiri dalam perkara tersebut dalam sekitar
setengah dari total perkara, dan sekitar setengahnya
lagi dikembalikan kepada judex factie. Sektar 90%
permohonan kasasi yang memaktubkan dasar/alasan
pengajuan kasasi diputus oleh majelis yang terdiri dari
tiga orang hakim. Setiap hakim bagian pidana Mahkamah
Agung, terkecuali hakim ketua majelis, memiliki asisten
penelitinya sendiri. Dukungan ini dianggap perlu dan
memadai.
Sekitar dua tahun lalu, sebuah tim khusus dibentuk
untuk perkara-perkara yang direkomendasikan Prosecutor
General’s Office agar langsung ditolak berdasarkan pasal
81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi).
Tujuan adanya ‘tim pasal 81’ ini adalah untuk mengambil
Committee is unable to properly assess current practice
or the feasibility and desirability of change.
Cases in which a written pleading containing the
grounds for cassation has been filed follow a different
route. In all these cases the Prosecutor General’s
Office submits a written opinion in which the grounds
for cassation are examined and the Supreme Court is
advised on the manner in which the case should be
disposed of. Around half of these cases are ultimately
disposed of by the Supreme Court outright under
section 81 of the Judiciary (Organisation) Act. The
judgment of the lower court is set aside in around a
quarter of the cases in which cassation is sought. In a
substantial number of these cases, the reason for setting
aside the judgment is that the requirement of a ‘hearing
within a reasonable time’ as referred to in article 6 (1)
of the European Convention on Human Rights has
not been fulfilled. After setting aside a judgment the
Supreme Court disposes of the matter itself in around
half of the cases and refers it back to the court of
fact in the other half. Over 90% of the cases in which
grounds for cassation are filed are disposed of by
3-judge panels. Each justice in the criminal division, with
the exception of the presiding judge, has his or her own
researcher. This support is regarded as both necessary
and adequate.
Komite Hammerstein
About two years ago a special team was set up for cases
in which the Prosecutor General’s Office recommends
outright dismissal under section 81 of the Judiciary
(Organisation) Act. The purpose of the ‘section 81
team’ is to take integrated and consistent measures to
35

36 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
langkah-langkah yang terpadu dan konsisten guna
meminimalisasi waktu para hakim Mahkamah Agung
yang tersita oleh perkara-perkara yang pada akhirnya
nanti akan ditolak berdasarkan pasal 81. Tim ini terdiri
dari dua wakil ketua 47 dan dua anggota pusat penelitian
yang sudah berpengalaman. Tim ini, yang pada dasarnya
bertindak sebagai panitia seleksi untuk perkara-perkara
yang permohonannya kasasinya jelas-jelas akan ditolak
dan yang tidak membutuhkan pernyataan yang lebih
rinci mengenai dasar pertimbangan putusan ditolaknya
permohonan kasasi tersebut, bekerja dengan cara sebagai
berikut. Tim ini membahas pendapat-pendapat yang
diajukan per minggu oleh Prosecutor General’s Office yang
berisi rekomendasi penolakan langsung berdasarkan
pasal 81, dengan melampirkan memori kasasi tertulisnya,
lalu memutuskan perkara mana saja yang jelas-jelas layak
ditolak berdasarkan pasal 81 sesuai dengan rekomendasi
tersebut. Sang asisten peneliti lalu mempersiapkan
sebuah draft (rancangan) putusan penolakan atas dasar
pasal 81. Bilamana perlu, sebelum mempersiapkan
draft tersebut sang asisten peneliti mempelajari terlebih
dahulu isu apapun yang mungkin diangkat selama rapat
pembahasan tim tersebut. Draft ini dilengkapi dengan
sebuah penjelasan yang sangat singkat oleh si asisten
peneliti dan lalu diedarkan kepada ketiga hakim anggota
majelis yang ditunjuk oleh bagian pendaftaran perkara.
Kenyataan praktik menunjukkan bahwa ketiga hakim
tersebut umumnya hanya membutuhkan sedikit waktu
untuk mempelajari perkara-perkara ini dan dalam
kebanyakan perkara cenderung setuju untuk menolak
berdasarkan pasal 81.
Perkara-perkara yang dianggap ‘tim pasal 81’ tidak begitu
tepat untuk diterapkan ketentuan ini terhadapnya (sekitar
30%) mengikuti jalur normal. Ketika dasar/alasan untuk
pengajuan kasasi sudah dimasukkan, ‘jalur normal’ ini
dimulai dengan ditunjuknya—oleh bagian pendaftaran
perkara—seorang hakim sebagai rapporteur (pelapor).
Dengan bantuan asisten peneliti dia, hakim rapporteur
ini menyiapkan sebuah draft (rancangan) putusan (yang
47 Keduanya adalah juga hakim ketua seksi ‘A’ dan seksi ‘B’. Bagian pidana dibagi
menjadi kedua seksi tersebut.
minimise the demands made on the time of the justices
by cases that will ultimately be disposed of under
section 81. The team consists of two vice presidents 47
and two experienced members of the research centre.
This team, which basically acts as a selection committee
for cases in which the cassation appeal will clearly be
dismissed and which do not require a more detailed
statement of the grounds for the decision, works as
follows. The team discusses the opinions which are
submitted weekly by the Prosecutor General’s Office
and recommend outright dismissal under section 81,
together with the attached written pleadings in the
cassation, and then decides which cases are clearly
suited for disposal under section 81 in keeping with the
recommendation. In these cases the researcher then
prepares a draft judgment for disposal under section 81,
where necessary after studying any issue that may have
been raised during the team’s consultation. This draft
is accompanied by a very brief explanation prepared
by the researcher and is then circulated among the
members of the 3-judge panel designated by the court
registry. Practice shows that the three justices concerned
generally need spend little time studying these cases and
tend in most cases to agree to disposal under section 81.
Cases which are regarded by the section 81 team as
not being manifestly suitable for application of this
provision (approximately 30%) follow the normal route.
Where grounds for cassation have been submitted,
this ‘normal route’ starts with a justice designated as
rapporteur by the court registry. With the assistance
of the researcher working for him, the rapporteur
prepares a draft judgment (which may entail disposal
47 They are also the presiding judges of the ‘A’ and ‘B’ sections into which the
criminal division is divided.

isa saja berisi penolakan berdasarkan pasal 81). Pada
prinsipnya, semua perkara ditangani oleh majelis tiga
hakim. Semua perkara ini dikirim ke masing-masing
majelis-tiga-hakim oleh bagian pendaftaran perkara.
Selama dibahasnya suatu perkara oleh majelis tiga hakim,
mereka dapat memutuskan untuk menyerahkan perkara
itu ke majelis yang terdiri dari lima hakim. Perkara itu
lalu dibahas dalam kamar-kamar dalam rapat paripurna
(ini juga terjadi pada bagian perdata).
Dari sudut pandang bagian pidana, tidaklah baik bila
Prosecutor General’s Office hanya mengeluarkan pendapat
yang sumir berdasarkan pasal 81, karena hal ini akan
bertentangan dengan mekanisme seleksi yang dilakukan
oleh ‘tim pasal 81’. Keberatan-keberatan lain yang sudah
disinggung di sub-bab sebelumnya dapat, sampai tingkat
tertentu, diatasi di sektor pidana dengan cara membuat
agar asisten peneliti—yang telah mempersiapkan
pendapat terkait—memasukkan ke dalam laporan
awalnya sebuah penjelasan yang lebih rinci tentang
pertimbangan atas permohonan yang masuk.
Tidak ada kesenjangan arus perkara
Sektor perdata menghadapi masalah bahwa beban
perkaranya tidak mencerminkan dengan akurat jenis-
jenis perkara yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan
negeri dan pengadilan banding, dan bahwa jenis-jenis
perkara tertentu tidak pernah sampai ke meja kasasi.
Sektor pidana tidak mengalami masalah-masalah
demikian. Tentu saja, memang ada perkara-perkara yang
mengenainya Mahkamah Agung tidak memperoleh
kesempatan untuk menyatakan pandangannya tentang
suatu isu hukum yang menarik secara intrinsik yang
diputus oleh pengadilan negeri atau pengadilan banding,
dikarenakan Dinas Kejaksaan ataupun si terdakwa
memutuskan, dengan alasan masing-masing, untuk
tidak melakukan kasasi. Akan tetapi Komite belum
pernah menemukan adanya bukti bahwa akibat hal
itu, suatu isu hukum yang penting menjadi tetap tak
terjangkau oleh Mahkamah Agung untuk waktu yang
under section 81). In principle, all cases are circulated by
the Court registry as 3-judge cases. During circulation
among the members of the panel, it may be decided to
transfer a case to a 5-judge panel. It is then discussed in
chambers during a plenary session (as also happens in
the civil division).
From the point of view of the criminal division, it
would not be desirable for the Prosecutor General’s
Office to issue abridged opinions under section � as
this would be at odds with the selection mechanism
established in the form of the section 81 team. The
other objections mentioned in the previous section
could to some extent be overcome in the criminal sector
by arranging for the researcher who has prepared the
relevant opinion to include in the preliminary report a
more detailed account of the findings concerning the
submissions that have been filed.
No gaps in case flow
Whereas the civil sector faces the problem that its
caseload is not an accurate reflection of the types of
case heard by the district courts and courts of appeal,
and that certain types of case never reach it, this
problem does not exist in the criminal sector. Naturally,
cases do occur in which the Supreme Court does not
get the chance to express its views on an intrinsically
interesting legal issue decided by a district court or court
of appeal because the Public Prosecution Service or
the defendant decides, for reasons of their own, not to
enter an appeal. But the Committee is not aware of any
evidence that important legal issues consequently remain
beyond the reach of the Supreme Court for long. 48
In principle, the entire field of criminal law receives
the attention of the Supreme Court, not least because
48 This also generally applies to the types of case that might perhaps come to mind
in this connection, i.e. minor cases and economic offences in which negotiations
between the defendant and the Public Prosecution Service could play a rather greater
role.
Komite Hammerstein
37

38 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
lama. 48 Pada prinsipnya, seluruh lapangan hukum
pidana mendapat perhatian Mahkamah Agung, apalagi
karena begitu besarnya jumlah perkara yang masuk
ke bagian pidananya. Oleh karena itu tidaklah terjadi
bahwa Mahkamah Agung tidak dapat menjalankan peran
lawmaking-nya lantaran jenis-jenis perkara tertentu tidak
pernah tiba di meja kasasi. 49
Macam-macam faktor juga memainkan peran di sini.
Mengingat sifat acara pidana, yang pada dasarnya
meliputi pemeriksaan terhadap dakwaan Dinas
Kejaksaan atas si terdakwa, terdapat lebih sedikit
ruang—dibandingkan dengan hukum perdata—bagi
para pihak untuk mencapai kesepakatan di antara
mereka. Sangat sedikit, itu pun kalau ada, mekanisme
penyelesaian sengketa lain yang tersedia. Satu faktor
lagi yang membuat orang cenderung mau terus lanjut
berperkara dalam perkara pidana adalah sifat dasar
kepentingan yang ada dalam perkara pidana; sebab
dalam perkara pidana, sifat dasar kepentingannya
seringkali adalah kepentingan yang bersifat genting,
yang bisa mencakup ‘hidup atau mati’ sifatnya. Motif
lain lagi yang membuat orang cenderung mau terus
berlarut-larut berperkara dalam perkara pidana adalah
adanya kemungkinan menunda-nunda pelaksanaan
hukuman dengan dilakukannya permohonan kasasi 50
dan adanya kemungkinan mendalilkan dalam kasasinya
bahwa persidangan atas perkaranya tidak dilaksanakan
‘dalam batas waktu yang wajar’. 51 Apalagi, sistem subsidi
48 Hal ini juga secara umum terjadi terhadap jenis-jenis perkara yang mungkin ter-
lintas di pikiran dalam kaitan ini, yakni perkara-perkara kecil dan kejahatan-kejahatan
ekonomi yang di dalamnya negosiasi antara terdakwa dengan Dinas Kejaksaan dapat
memainkan peran yang lumayan besar.
49 Proyek Penelitian Hukum Acara Pidana Tahun 2001 juga mencapai kesimpulan
yang sama: M.S. Groenhuijsen (editor) dan G. Knigge (editor), Afronding en verant-
woording, Eindrapport onderzoeksproject Strafvordering 2001 (Penyelesaian dan Pertang-
gungjawaban; Laporan Akhir Proyek Penelitian Hukum Acara Pidana Tahun 2001),
Kluwer Deventer 2004, hal. 480-481.
50 Mengenai hal ini, lihat, misalnya, A.A. Franken, De Hoge Raad en de cassatieadvoca-
tuur (Mahkamah Agung dan para advokat kasasi), DD 2005, hal. 695-702.
51 Kemungkinan mendasarkan permohonan kasasi hanya pada kenyataan
bahwa persidangan tersebut tidak diselenggarakan dalam batas waktu yang wajar,
sebagaimana dimaksud pasal 6 Konvensi Hak-hak Asasi Manusia Eropa, dikatakan
sebagai ‘penyalahgunaan (abuse)’ dalam Laporan Akhir Proyek Penelitian Hukum
of the large volume of cases referred to its criminal
division. It is therefore not the case that the Supreme
Court is unable to perform its lawmaking role because
certain types of case are never appealed in cassation. 49
Various factors are thought to play a role here. Given
the nature of criminal proceedings, which basically
involve assessing the charges brought by the Public
Prosecution Service against a defendant, there is less
scope than in civil law for parties to reach agreement
among themselves. Few if any other mechanisms for
dispute resolution exist. Another factor conducive to
the continuation of proceedings is the fundamental
character of the interests that are often at stake in
criminal cases. Other motives for pursuing proceedings
are the possibility of staying the enforcement of
sentence by instituting an appeal in cassation 50 and of
basing an appeal in cassation on the fact that a hearing
has not been held ‘within a reasonable time’. 51 Moreover,
the system of subsidised legal assistance (legal aid)
also enables people to appeal in cassation who would
otherwise lack the financial means to do so.
49 The 2001 Criminal Procedure Research Project reached the same conclusion:
M.S. Groenhuijsen and G. Knigge (eds.), Afronding en verantwoording, Eindrapport
onderzoeksproject Strafvordering 2001 (Completion and accountability; Final Report on
the 2001 Criminal Procedure Research Project), Kluwer Deventer 2004, pp. 480-481.
50 On this point see, for example, A.A. Franken, De Hoge Raad en de cassatieadvocatuur
(The Supreme Court and cassation lawyers), DD 2005, pp. 695-702.
51 The possibility of basing an appeal in cassation solely on the fact that the hearing
has not been held within a reasonable time, as referred to in article 6 of the Euro-
pean Convention on Human Rights, is described as an ‘abuse’ in the Final Report on
the 2001 Criminal Procedure Research Project, see p. 485.

antuan hukum juga memungkinkan orang melakukan
kasasi, yang bila tidak ada subsidi demikian mungkin
tidak akan memiliki sumber daya finansial yang cukup
untuk melakukannya.
Dinas Kejaksaan juga dapat mengajukan permohonan
kasasi (baru-baru ini kewenangan ini diperluas). 52
Tentu saja, Dinas Kejaksaan memiliki kepentingan
untuk mendapatkan jawaban dari Mahkamah Agung
atas pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan demi
kepentingan keseragaman hukum atau perkembangan
hukum. Oleh sebab itu Dinas Kejaksaan sangat rutin
menggunakan kesempatan mengajukan permohonan
kasasi. Dan agar kepentingan tersebut dapat dijalankan
dengan sebaik mungkin dan guna memastikan bahwa
kinerjanya sendiri memenuhi standar yang disyaratkan,
Dinas Kejaksaan telah melakukan perubahan terhadap
organisasinya dalam beberapa tahun terakhir dengan
mendirikan sebuah ‘meja kasasi’. 53
Adanya sarana berupa kasasi guna kepentingan
penyeragaman penerapan hukum juga memainkan
peran dalam mengeliminasi ketertundaan penanganan
perkara. 54 Upaya hukum ini, yang dapat digunakan oleh
Procurator General Mahkamah Agung dalam perkara-
perkara yang terhadapnya tidak ada lagi upaya hukum
biasa yang tersebdia, dalam praktiknya cenderung
digunakan terutama dalam perkara-perkara yang tidak
Acara Pidana Tahun 2001, lihat hal. 485.
52 Ini merujuk pada dihapusnya pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana dengan Undang-undang tanggal 31 Oktober 2002, Buletin Undang-undang
dan Ketetapan 2002, 539; ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2003.
53 Dalam Laporan Tahunan Desk Kasasi untuk periode April 2006-Juli 2007, hal.
27, terdapat paragraf berikut: ‘Desk kasasi akan mengembangkan kebijakan mengenai
bagaimana melakukan pendekatan yang lebih proaktif lagi dalam tahun-tahun
mendatang. Untuk itu Desk Kasasi akan menganalisis putusan-putusan pengadilan-
pengadilan negeri dan pengadilan-pengadilan banding untuk mengidentifikasi tren,
isu-isu hukum baru, dan pertanyaan-pertanyaan yang penting bagi perkembangan
hukum, apakah dalam rangka merespons undang-undang baru ataupun tidak. Ini
berarti bahwa analisis tersebut dapat membuat desk kasasi mendekati kantor-kantor
kejaksaan dalam hal perkara-perkara yang di dalamnya Dinas Kejaksaan memiliki
kepentingan untuk mengajukan permohonan kasasi.’
54 Di sini juga, desk kasasi Dinas Kejaksaan memainkan peran aktif. Lihat Buletin
Tahunan Dinas Kejaksaan Tahun 2006, hal. 14, dan Laporan Tahunan Desk Kasasi
untuk periode April 2006-Juli 2007, hal. 13.
The Public Prosecution Service too may lodge an
appeal in cassation (this power was recently expanded). 52
Naturally, it is in the Public Prosecution Service’s own
interests to obtain an answer from the Supreme Court
to questions that need to be raised in the interests of
legal uniformity or the development of the law. The
Public Prosecution Service therefore makes very regular
use of the possibility of appealing in cassation and, in
order to do full justice to these interests and ensure that
its own performance meets the required standards, has
modified its organisation in recent years by establishing
a ‘cassation desk’. 53
The instrument of cassation in the interests of the
uniform application of the law also plays a role in
eliminating any gaps in the case flow. 54 This legal
remedy, which is available to the Procurator General at
the Supreme Court in cases where no other ordinary
form of redress exists, tends to be used in practice
mainly in cases in which there is no possibility of
appealing in cassation. 55 This in itself is an indication
that no important legal questions are left unanswered by
52 This is a reference to the abolition of article 430 of the Code of Criminal
Procedure by Act of 31 October 2002, Bulletin of Acts and Decrees 2002, 539; the
provision entered into force on 1 January 2003.
Komite Hammerstein
53 The Cassation Desk Annual Report for the period April 2006-July 2007, p. 27,
includes the following passage: ‘The cassation desk will develop its policy of adopt-
ing a more proactive approach in the years ahead. For this purpose it will analyse the
judgments of the district courts and courts of appeal to identify trends, new legal
issues and questions of importance to the development of the law, whether or not in
response to new legislation. This means that the analysis may prompt the cassation
desk to approach the public prosecutor’s offices in cases in which it would be in the
interests of the Public Prosecution Service to institute an appeal in cassation.’
54 Here too the cassation desk of the Public Prosecution Service plays an active
role. See the 2006 Public Prosecution Service Annual Bulletin, p. 14 and the Cassa-
tion Desk Annual Report for the period April 2006-July 2007, p. 13.
55 Cf. Supreme Court of the Netherlands, 2005 and 2006 Report, p. 155.
39

40 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
memiliki kemungkinan untuk dikasasikan. 55 Hal ini
dengan sendirinya mengindikasikan bahwa tidak ada
isu hukum yang penting yang tidak terjawab oleh
Mahkamah Agung dalam perkara-perkara yang masih
mungkin untuk dikasasikan. Berdasarkan pengamatan
atas bagaimana bekerjanya sistem kasasi saat ini,
tidaklah perlu mengubah hukum acara pidana dengan
memberlakukan kemungkinan bagi judex factie untuk
meminta Mahkamah Agung melakukan preliminary ruling
atas isu tertentu. Usul ini sudah dipertimbangkan dan
ditolak dalam Laporan Akhir tentang Hukum Acara
Pidana Tahun 2001. 56
Besarnya beban perkara yang melebihi kemampuan
Masalah utama di sektor pidana adalah tak kunjung
diputusnya perkara akibat besarnya beban perkara. 57
Beban perkara ini sebagian besar disebabkan oleh
banyaknya perkara yang sebetulnya bukan merupakan
urusan Mahkamah Agung. Masalah ini paling tidak sudah
sangat melemahkan kinerja Procurator General’s Office
dan bagian pidana dalam melaksanakan fungsi-fungsi
normatif mereka.
Ini masalah yang sudah berlangsung lama dan terus
terjadi berulang-ulang, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya dalam laporan ini. Laporan Komite Peninjau
Beban Kerja Bagian Pidana Mahkamah Agung, yang
berjudul De toegang tot de cassatierechter in strafzaken (Akses
terhadap peradilan tingkat kasasi dalam hal perkara
pidana), yang diterbitkan pada Desember 1996 perlu
dibahas lebih lanjut di sini. Komite ini diketuai oleh
W.E. Haak, yang kala itu adalah Wakil Ketua Mahkamah
Agung. Komite ini mengaji sejumlah besar cara yang
55 Cf. Laporan Tahun 2005 dan 2006 Mahkamah Agung Belanda, hal. 155.
56 Lihat M.S. Groenhuijsen dan G. Knigge (eds.), Afronding en verantwoording,
Eindrapport onderzoeksproject Strafvordering 2001 (Penyelesaian dan Pertanggungjawa-
ban; Laporan Akhir Proyek Penelitian Hukum Acara Pidana Tahun 2001), Kluwer
Deventer 2004, hal. 480-481.
57 Cf. G.J.M. Corstens, De toekomst van de cassatie (Masa depan kasasi), Strafblad 2007,
hal. 31-38, yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang penggunaan sistem leave
to appeal akan menjadi tak terelakkan. Sehubungan dengan hal ini dapat juga dilihat
pemikiran-pemikiran terkait mengenai diintrodusirnya sistem seperti itu dalam Lapo-
ran Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2005 dan 2006, hal. 33-35.
the Supreme Court in those cases in which cassation is
possible. In view of how the cassation system functions
at present, there is accordingly no need for criminal
procedure to be modified by introducing the possibility
for a court of fact to refer issues to the Supreme Court
for preliminary ruling. This idea was also considered and
rejected in the 2001 Criminal Procedure Final Report. 56
Excessive caseload
The main problem in the criminal sector is the tight
bottleneck caused by the excess caseload, 57 which
consists to a large extent of cases that do not come
within the remit of the Supreme Court. At the
very least, this seriously compromises the ability of
Procurator General’s Office and the criminal division to
perform their normative functions.
This is an old and recurrent problem, as previously
explained in this report. The report of the Committee
on the Workload of the Criminal Division of the
Supreme Court, entitled De toegang tot de cassatierechter
in strafzaken (Access to the cassation court in criminal
cases), of December 1996 merits further consideration
here. Chaired by W.E. Haak, then the vice president of
the Supreme Court, the Committee examined a large
number of measures designed to limit the number
of new cases. 58 The introduction of the obligation to
56 See M.S. Groenhuijsen and G. Knigge (eds.), Afronding en verantwoording, Eindrap-
port onderzoeksproject Strafvordering 2001 (Completion and Accountability; Final Report
on the 2001 Criminal Procedure Research Project), Kluwer Deventer 2004, pp.
480-481.
57 Cf. G.J.M. Corstens, De toekomst van de cassatie (The future of cassation), Strafblad
2007, pp. 31-38, who states that in the long term the introduction of a system of
leave to appeal will become inevitable. Reference may also be made in this connec-
tion to the thoughts about the introduction of such a system in the Annual Report
of the Supreme Court for 2005 and 2006, pp. 33-35.
58 Among the ideas ultimately rejected by the Committee were proposals to charge

dapat digunakan untuk membatasi jumlah perkara baru. 58
Diberlakukannya kewajiban mengajukan memori kasasi
yang tertulis yang harus diajukan oleh seorang advokat,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam laporan ini,
merupakan salah satu hasil usulan yang diajukan oleh
Komite tersebut. Akan tetapi, berkebalikan dari apa yang
diharapkan Komite tersebut, advokat dimaksud tidak
mesti advokat yang memiliki spesialisasi hukum pidana.
Di samping itu, usul-usul Komite tersebut melahirkan
undang-undang baru (sebagaimana juga telah dijelaskan
di atas) yang meniadakan kemungkinan melakukan kasasi
bagi perkara-perkara pidana kecil dan pidana-pidana
lalu lintas (berdasarkan Undang-undang Ketentuan Lalu
Lintas (Penegakan Hukum Administratif)).
Perubahan hukum yang dibahas di atas juga telah dapat
membatasi jumlah beban kerja sektor pidana yang
berasal dari perkara-perkara yang tidak begitu tepat
untuk dikasasikan, meskipun satu-satunya pihak
yang sebenarnya diuntungkan oleh diberlakukannya
pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi) adalah Mahkamah Agung. Perlu dicatat di
sini bahwa, sejak diberlakukannya kewajiban mengajukan
memori kasasi yang tertulis, bagian pidana semakin
jarang/sedikit menggunakan kemungkinan memasuki
tingkat kasasi atas dasar inisiatifnya sendiri (kasasi ex
proprio motu). 59 Pendekatan yang lebih ketat ini sebagian
besar didasarkan pada asumsi bahwa penasihat hukum
terdakwa, setelah berdiskusi dengan terdakwa, akan
mampu mengaji dan mendalilkan dengan tepat bagian-
bagian apa saja yang harus dipermasalahkan dari
58 Ada beberapa ide yang akhirnya ditolak oleh Komite tersebut, antara lain usul
diadakannya biaya pendaftaran perkara, diberlakukannya keharusan menaruh
sejumlah uang jaminan tertentu, diberlakukannya kewajiban membayar ongkos-
ongkos, dibatasinya alasan untuk mengajukan kasasi. Komite tersebut berpendapat
masih belum waktunya memberlakukan sistem leave to appeal, tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa sistem semacam itu mungkin memang harus diberlakukan dalam
bentuk tertentu pada suatu waktu tertentu di masa mendatang apabila usul-usul yang
diajukan Komite tersebut tidak berhasil memecahkan masalah terus meningkatnya
jumlah perkara ini.
59 Akan tetapi, kemungkinan dilakukannya kasasi seperti ini tetap dipertahankan;
cf. Laporan Final Proyek Penelitian Hukum Acara Pidana Tahun 2001, hal. 480, dan
G.J.M. Corstens, De toekomst van de cassatie (Masa depan kasasi), Strafblad 2007, hal. 33.
have a written pleading filed by a lawyer, as mentioned
previously in the present report, was the result of a
proposal made by the Committee. However, contrary
to what the Committee had envisaged, the lawyer need
not be specialised in the criminal law. In addition, the
Committee’s proposals resulted in new legislation
(as also explained above) excluding the possibility of
appealing in cassation in respect of minor offences
and motoring offences (under the Traffic �egulations
(Administrative Enforcement) Act).
The changes in the law discussed previously have
also had the effect of limiting the quantity of work
generated for the criminal sector by cases that are not
really suitable for cassation, although the only real
beneficiary of the introduction of section � of the
Judiciary (Organisation) Act has been the Supreme
Court. It should also be noted here that, since the
introduction of the obligation to file written pleadings,
the criminal division has made more sparing use of the
possibility of instituting cassation proceedings on its
own initiative (cassation ex proprio motu). 59 This more
restrained approach is largely based on the assumption
that defence counsel, in consultation with the defendant,
is able to properly assess and substantiate what parts of
the disputed judgment should be challenged. 60 However,
another consideration is that if cassation ex proprio motu
were to be applied more extensively this would tend
to negate the requirement of a compulsory written
pleading. Moreover, the workload in the criminal sector
a court registry fee, require the payment of a deposit, introduce orders for costs
and limit the grounds for review. The Committee considered that the time was not
right for the introduction of a system of leave to appeal, but did not exclude the
possibility that such a system might have to be introduced in some form in the
future if the proposals it put forward did not provide an adequate solution for the
increasing caseload.
59 However, the existence of this possibility is welcomed; cf. Final Report on the
2001 Criminal Procedure Research Project, p. 480, and G.J.M. Corstens, De toekomst
van de cassatie (The future of cassation), Strafblad 2007, p. 33.
Komite Hammerstein
60 See Supreme Court of the Netherlands, 2003 and 2004 Report, pp. 34-35.
41

42 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
putusan bersangkutan. 60 Namun, pertimbangan lain
lagi adalah bahwa bila kasasi ex proprio motu digunakan
lebih ekstensif lagi, hal ini akan cenderung menegasikan
syarat keharusan mengajukan memori kasasi secara
tertulis. Terlebih lagi, beban kerja di sektor pidana sudah
sedemikian beratnya hingga praktis tidak ada kesempatan
untuk melakukan kajian yang mendetil dan konsisten
untuk keperluan ex proprio motu dalam semua perkara
yang dikasasikan.
Namun demikian, harus dicatat pula bahwa jumlah
perkara per tahun sangatlah besar dan terus menumpuk,
sebagaimana bisa dilihat dari jumlah perkara yang
tertunggak. Masih belum terlihat adanya suatu bentuk
spesialisasi yang lebih terstruktur dalam Organisasi
Profesi Advokat, yang akan membuat Organisasi
tersebut memainkan peran filter yang lebih besar
sebagaimana diusulkan oleh Komite Peninjau Beban
Kerja Bagian Pidana Mahkamah Agung pada tahun
1996. Masih belum terlihatnya hal tersebut bukanlah
sesuatu yang mengherankan. Mengenai sektor pidana,
sudah barang tentu Komite kami ini tidak akan
mengajukan usul mengenai hal ini. 61 Tentu saja, ini
bukan berarti bahwa inisiatif-inisiatif dari organisasi-
organisasi seperti Asosiasi Advokat Belanda untuk
meningkatkan standar advokat kasasi tidak layak
mendapatkan apresiasi; justru, inisiatif-inisiatif seperti
ini harus didukung (termasuk dukungan praktis seperti
bantuan dalam memberikan kursus-kursus).
Dengan adanya latar belakang seperti itu—yakni beban
kerja yang melebihi kemampuan di sektor pidana—harus
digarisbawahi bahwa Mahkamah Agung dan Procurator
General’s Office berpendapat bahwa dalam banyak perkara,
kualitas upaya kasasi yang diajukan demikian parahnya
hingga satu-satunya cara untuk menolak perkara
adalah dengan menggunakan pasal 81 Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman (Organisasi). Contoh-contoh
60 Lihat Laporan Tahun 2003 dan 2004 Mahkamah Agung Belanda, hal. 34-35.
61 Cf. A.A. Franken, De Hoge Raad en de cassatieadvocatuur (Mahkamah Agung dan
para advokat kasasi), DD 2005, hal. 695-702, dan A.J.A. van Dorst dan J. de Hullu,
Warme gevoelens en irritaties in cassatie (Rasa kesal dan jengkel dalam proses kasasi),
Strafblad 2007, hal. 39-46.
is such that there is simply no opportunity for a detailed
and consistent examination ex proprio motu in all cases in
which a cassation appeal is instituted.
Nonetheless, it should be noted again that the annual
caseload is very large and is also mounting, as is
reflected in the pending caseload. There is still no
evidence of a more structured form of specialisation
by the Bar, which would enable it to play a more
pronounced filtering role as proposed by the Committee
on the Workload of the Criminal Division of the
Supreme Court in 1996. As it would anyway not expect
wonders of such a move, certainly as regards the
criminal sector, the present Committee will not make
any proposals on this subject. 61 Naturally, this is not to
say that initiatives from organisations such as the Dutch
Bar Association to raise the standards of cassation
lawyers would not be appreciated; on the contrary, such
initiatives deserve support (including such practical
support as the provision of assistance with courses).
Against the background of the excess caseload in the
criminal sector, it should be noted that, in the opinion
of the Supreme Court and the Procurator General’s
Office, the submissions filed in many cases are so
deficient that the only possible way of disposing of the
case is under section 81 of the Judiciary (Organisation)
Act. Obvious examples are submissions which (i) lack
any factual basis; (ii) misconstrue the settled case law;
(iii) misconstrue the clear text of the law; and (iv) fail
61 Cf. A.A. Franken, De Hoge Raad en de cassatieadvocatuur (The Supreme Court and
cassation lawyers), DD 2005, pp. 695-702, and A.J.A. van Dorst and J. de Hullu,
Warme gevoelens en irritaties in cassatie (Warm feelings and irritations in cassation pro-
ceedings), Strafblad 2007, pp. 39-46.

yang sangat gamblang adalah upaya kasasi yang (i) tidak
memiliki landasan faktual yang memadai; (ii) didasarkan
pada pemahaman yang keliru atas yurisprudensi tetap/
yang sudah mapan; (iii) didasarkan pada pemahaman
yang keliru atas ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bunyinya sudah jelas; and (iv) tidak
mengindahkan batas-batas hal apa saja yang dapat
diajukan ke kasasi. 62 Sebagaimana telah diuraikan di
atas, Dinas Kejaksaan mengajukan pendapatnya dalam
semua perkara ini. Banyak dari pekerjaan ini dilakukan
oleh pusat penelitian Dinas Kejaksaan dalam proses
persiapannya. Semua perkara ini lalu akan dikaji oleh
tiga hakim dan disingkirkan berdasarkan pasal 81
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi).
Mengingat beratnya beban kerja dan bahwa mungkin
akan ada lebih banyak lagi yang diharapkan dari
Mahkamah Agung dalam konteks peran normatifnya,
semakin berat rasanya bagi Mahkamah Agung untuk
menerima semua pekerjaan yang harus dilakukan untuk
menyingkirkan permohonan-permohonan kasasi yang
masuk ketika hasilnya sudah sangat amat jelas hanya
dengan membaca sekilas berkas kasasinya. Diperlukan
metode menyingkirkan yang lebih sederhana lagi untuk
62 Dengan cara menyebutkan contoh-contoh, G.J.M. Corstens menyatakan bahwa
yang termasuk upaya kasasi yang tergolong kategori (iv) ini adalah alasan permo-
honan kasasi yang (i) jelas-jelas menggunakan dalil unus testis, nullus testis secara keliru;
(ii) mempersoalkan pemilihan alat bukti padahal sebelumnya pemohon kasasi tidak
mengambil sikap yang eksplisit menyangkut masalah ini pada kesempatan di penga-
dilan yang lebih rendah; (iii) mendalilkan bahwa perkara tersebut tidak dapat diterima
dengan alasan syarat jangka waktu yang patut telah dilanggar walaupun kenyataannya
tidak ada ketertundaan yang ekstrem; (iv) menggunakan dalil yang menurut pemohon
sudah disampaikan pada kesempatan di pengadilan yang lebih rendah padahal dalil
tersebut tidak ada dalam berita acara persidangan di pengadilan yang lebih rendah
tersebut maupun dalam nota pembelaan/pledoi yang terlampir pada permohonan
kasasi tersebut; (v) mempersoalkan yurisprudensi tetap/yang sudah mapan tanpa
argumen yang memadai (dan mungkin juga tanpa disadarinya). Lihat De toekomst van
de cassatie (Masa depan kasasi), Strafblad 2007, hal. 31-38. A.J.A. van Dorst dan J. de
Hullu membahas masalah ini dalam kaitannya dengan alasan-alasan pengajuan kasasi
yang didasarkan pada pembacaan yang nyata-nyata keliru atas berkas perkara, alasan-
alasan pengajuan kasasi yang bertentangan dengan bunyi peraturan perundang-
undangan atau yurisprudensi tetap/yang sudah mapan tanpa argumen yang memadai,
atau alasan-alasan pengajuan kasasi yang pada dasarnya adalah mempersoalkan fakta
(termasuk upaya melakukan pembelaan atas perkara tersebut dari nol lagi). Lihat
Warme gevoelens en irritaties in cassatie (Rasa kesal dan jengkel dalam proses kasasi),
Strafblad 2007, hal. 39-46.
to recognise the constraints of review in cassation. 62 As
already noted, the Public Prosecution Service submits
opinions in all these cases and much work is carried out
by the research centre in their preparation. All these
cases are then assessed by three justices and disposed
of under section 81 of the Judiciary (Organisation)
Act. Given the heavy workload and the fact much more
may perhaps be expected of the Supreme Court in
the context of its normative role, the work involved in
disposing of appeals is all the more hard to accept when
the outcome is often crystal clear after just a cursory
reading of the written documents. A simpler method
of disposal would be desirable for cases that do not
contribute to the normative role.
62 G.J.M. Corstens mentions by way of example grounds of appeal which (i) clearly
wrongly invoke the unus testis, nullus testis rule; (ii) complain about the selection of the
evidential material although no explicit position on this was taken before the lower
court; (iii) claim that the case is inadmissible on the ground that the reasonable time
requirement has not been met although there has been no extreme delay; (iv) invoke
what is alleged to have been submitted in the lower court although this has not been
recorded in the transcript of the hearing or in a memorandum of oral pleading
attached to it; (v) challenge settled case law without proper argument (and possibly
unwittingly). See De toekomst van de cassatie (The future of cassation), Strafblad 2007,
pp. 31-38. A.J.A. van Dorst and J. de Hullu refer in this connection to grounds of
appeal which are based on a manifestly incorrect reading of the documents, conflict
with the text of the legislation or settled case law without proper argument, or which
in essence amount to a defence on points of fact (including attempts to argue the
case afresh). See Warme gevoelens en irritaties in cassatie (Warm feelings and irritations in
cassation proceedings), Strafblad 2007, pp. 39-46.
Komite Hammerstein
43

44 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
perkara-perkara yang tidak memiliki sumbangsih bagi
pelaksanaan peran normatif Mahkamah Agung.
Dalam hal perkara pidana, juga sering terjadi situasi
bahwa sebuah permohonan kasasi mempersoalkan,
entah secara tepat ataupun tidak, suatu aspek dari
putusan pengadilan yang lebih rendah yang sebegitu
sepelenya hingga tidak memiliki dampak apapun
ataupun sebegitu sepelenya hingga masalah itu dapat
dengan mudah dikoreksi oleh Mahkamah Agung sendiri.
Mengenai hal ini dapat disebutkan antara lain perkara-
perkara di mana Mahkamah Agung:
• berpendapat bahwa tidak dipertimbangkannya
oleh judex factie suatu dalil pembelaan yang
perlu ditanggapi tidak perlu berujung kasasi
karena Mahkamah Agung sendiri bisa dengan
mudah menjelaskan mengapa dalil pembelaan
tersebut memang seharusnya tidak diterima;
• memperbaiki pengertian tindak pidana
dimaksud dengan cara yang hanya sangat kecil
pentingnya;
• memperbaiki rujukan pada ketentuan undang-
undang yang diberlakukan/digunakan;
• memperbaiki bagian-bagian yang tidak
esensial dari putusan judex factie dengan cara
menghapus, mengubah, atau melengkapinya;
• tidak mempertimbangkan pertimbangan
(atau bagian-bagian dari pertimbangan) yang
diberikan oleh judex factie atas putusannya,
atau tidak menyatakan pendapat apakah
pertimbangan itu tepat atau tidak; atau
• memberikan interpretasinya sendiri atas
pertimbangan yang diberikan oleh judex factie
atas putusannya. 63
Dalam semua perkara ini, pertama-tama sebuah
pendapat diajukan dahulu oleh Procurator General’s
Office, dan lalu sebuah putusan diambil oleh tiga hakim
dalam sebuah putusan yang memuat pertimbangan
yang memadai. Oleh karena itu hal ini merupakan
63 Untuk mendapatkan lebih banyak contoh lagi, lihat pendapat Advocate General Jörg
yang mengundang banyak perdebatan, dalam HR 25 Januari 2005, NJ 2006, 411.
Situations also regularly occur in criminal cases in which
a cassation submission takes issue, rightly or otherwise,
with an aspect of the lower court’s judgment that is
of such trifling importance that it need not have any
consequences or can be easily rectified by the Supreme
Court itself. Reference may be made here to cases in
which the Supreme Court:
• considers that a failure of the court of fact to
deal with a defence that requires a response
need not result in cassation since the Supreme
Court can itself easily explain why the defence
should have been dismissed;
• improves the definition of the offence in ways
that are of only minor importance;
• improves the references to the statutory rules
that are declared applicable;
• improves non-essential parts of the findings
of the court of fact by deleting, changing or
supplementing them
• disregards the reasoning (or parts of the
reasoning) given by the court of fact for its
decision or does not express an opinion on
whether it is correct; or
• places its own interpretation on the reasoning
given by the court of fact for its decisions. 63
In all these cases, an opinion is first submitted by
the Procurator General’s Office and a decision is
subsequently taken by three justices in a reasoned
judgment. This is therefore a time-consuming category
of cases which raise no important legal issues and
63 For more examples, see the much debated opinion of Advocate General Jörg in
HR 25 January 2005, NJ 2006, 411.

sebuah kategori perkara yang menyita banyak waktu.
Ia tidak mengandung isu hukum yang penting dan
tidak mengandung kesalahan yang sifatnya akan
merugikan pihak pemohon tersebut secara signifikan
apabila Mahkamah Agung tidak turun tangan. Untuk
perkara-perkara seperti ini juga diperlukan metode
menyingkirkan yang lebih sederhana lagi. Ada tidaknya
kerugian signifikan 64 dapat dijadikan kriteria untuk
perkara-perkara yang di dalamnya Mahkamah Agung
pada dasarnya hanya diminta untuk melaksanakan fungsi
perlindungan hukumnya, meskipun perlindungan hukum
tidak begitu menjadi isu yang dibahas di sini.
Ringkasan
Di sektor pidana, terdapat kebutuhan yang mendesak
akan adanya sebuah mekanisme pemprosesan perkara
yang lebih efisien yang akan meminimalisasi waktu yang
digunakan Mahkamah Agung dan Procurator General’s
Office untuk perkara-perkara yang tidak memenuhi syarat
untuk kasasi. Sebagaimana sudah jelas dari penjelasan
mengenai hukum acara ini, sudah banyak upaya
yang dilakukan untuk membuat kategorisasi perkara
berdasarkan substansinya, akan tetapi masih banyak
yang perlu dilakukan lagi dalam hal ini. Yang diperlukan
adalah sebuah mekanisme evaluasi yang tepat yang
akan dapat membuat perkara yang memang tidak layak
dikasasikan—karena nyata-nyata
tidak memiliki substansi kasasi yang memadai—
dinyatakan tidak dapat diterima, tanpa perlu adanya
pendapat tertulis dari Procurator General.
3.4. Sektor pajak
Hukum acara
Dalam beberapa tahun terakhir ini, bagian pajak telah
menolak sekitar 1.000 perkara per tahun. Sebelumnya
perkara-perkara yang ditolak adalah yang berasal dari
perkara-perkara yang telah diperiksa oleh peradilan
banding sebagai peradilan tingkat pertama. Sejak 1
Januari 2005, pengadilan-pengadilan negeri ditugaskan
64 Cf. Protokol No. 14 Konvensi Hak-hak Asasi Manusia Eropa.
contain no errors of such a nature that, in the absence
of intervention by the Supreme Court, a party would
suffer a significant disadvantage. A simpler method
of disposal would be desirable for these cases as well.
The absence of significant disadvantage 64 could serve
as a criterion for cases in which the Supreme Court
is basically asked only to perform its legal protection
function, even though legal protection is not really at
issue.
In summary
The criminal sector is in urgent need of a more efficient
processing mechanism that will minimise the time which
the Supreme Court and the Procurator General’s Office
have to spend on cases that are not eligible for cassation.
As is apparent from the description of the present
procedure, much has already been done to distinguish
between categories of case according to their substance,
but more still needs to be done in this respect. What is
required is a sound evaluation mechanism that would
allow appropriate cases to be declared inadmissible on
account of a manifest lack of substance, without the
necessity of a written opinion from the Procurator
General.
3.4. Tax sector
Procedure
Komite Hammerstein
In recent years the tax division has disposed of some
1,000 cases annually. Until recently they consisted solely
of cases that had been heard at first instance by the
courts of appeal. Since 1 January 2005 the district courts
have been designated to hear tax cases at first instance. 65
64 Cf. Protocol No. 14 to the European Convention on Human Rights.
65 The district courts having jurisdiction in cases involving central government
taxes are those of Haarlem, The Hague, Breda, Arnhem and Leeuwarden. Other tax
45

46 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
memeriksa perkara-perkara pajak sebagai peradilan
tingkat pertama. 65 Upaya banding dapat dilakukan
atas putusan pengadilan-pengadilan negeri ini kepada
pengadilan-pengadilan banding. 66
Ketika diberlakukan sistem dua tingkat untuk yurisdiksi
judex factie dalam hal perkara pajak, diharapkan bahwa
hal ini akan berhasil mengurangi secara besar-besaran
jumlah perkara kasasi baru yang masuk. Setelah kurang
berhasil selama beberapa waktu, akhirnya pada tahun
���6 memang terjadi penurunan yang signifikan dalam
jumlah perkara baru yang masuk. Pada tahun 2007
terjadi penurunan lebih lanjut lagi, ketika hanya ada
752 perkara baru yang diterima. 67 Namun demikian,
jumlah perkara baru diperkirakan akan meningkat
sedikit lagi begitu terjadi peningkatan ‘produksi’
putusan oleh pengadilan-pengadilan negeri sebagai
akibat meningkatnya jumlah pegawai yang direkrut oleh
pengadilan-pengadilan negeri tersebut (yang memang
harus dilakukan pengadilan-pengadilan negeri tersebut
mengingat tingginya tumpukan perkara yang belum
diputus). Namun bagaimanapun, jumlahnya tetap akan
di bawah rata-rata jumlah perkara yang diterima per
tahun dalam kurun waktu tahun 2003 hingga 2005, yakni
sekitar 1.500 perkara.
Tidak ada lagi tumpukan perkara yang melebihi kemampuan
atau kesenjangan dalam arus perkara
Dengan adanya penurunan jumlah perkara baru,
tampaknya bagian pajak akan dapat menangani dengan
baik beban kerjanya dalam jangka pendek dan menengah
65 Pengadilan negeri yang memiliki yurisdiksi atas perkara yang menyangkut pajak-
pajak pemerintah pusat adalah pengadilan negeri Haarlem, pengadilan negeri Den
Haag, pengadilan negeri Breda, pengadilan negeri Arnhem, dan pengadilan negeri
Leeuwarden. Sedangkan perkara-perkara pajak lain, yang tidak menyangkut pajak-
pajak pemerintah pusat, dapat diperiksa oleh semua pengadilan negeri.
66 Namun, kasasi langsung ke Mahkamah Agung atas putusan pengadilan-pengadi-
lan negeri ini dimungkinkan bila disetujui oleh pihak yang satunya lagi
(pasal 28 ayat (3) Undang-undang Pajak Negara).
67 1.500 perkara diterima pada tahun 2003, 1.133 perkara pada tahun 2004, 1.498
perkara pada tahun 2005, dan 922 perkara pada tahun 2006. Lihat Laporan Tahun
2005 dan 2006 Mahkamah Agung Belanda, hal. 186.
Appeal lies against their judgments to the courts of
appeal. 66
When the two-tier system of jurisdiction for deciding
on points of fact was introduced in tax cases, it was
expected that this would bring about a substantial
decline in the number of new cassation appeals. After
some delay, a substantial decline was indeed recorded
in the number of new cases in 2006 and a further fall
occurred in 2007, when 752 new cases were received. 67
However, the number of new cases is expected to
rise again slightly once recent increases in the staffing
levels at the district courts (necessitated by high levels
of pending cases) are reflected in higher production
at these courts. In any event, the number will remain
permanently below the level of approximately 1,500
received annually in the period from 2003 to 2005.
No excessive caseload or gaps in case flow
In view of the decline in the number of new cases, it
seems likely that the tax division will be able to handle
the workload in the short and medium term with its
existing complement of twelve justices. 68 This was not
the case in the period from 2003 to 2005 when 1,500
cases were received annually. This led to backlogs in
those years. It should be noted, however, that although
cases may be heard by all district courts.
66 However, a leap-frogging appeal in cassation is possible with the consent of the
other party (section 28, subsection 3 State Taxes Act).
67 1,500 cases were received in 2003, 1,133 in 2004, 1,498 in 2005 and 922 in 2006.
See Supreme Court of the Netherlands, 2005 and 2006 Report, p. 186.
68 If the number of cases received were to stabilise at the 2007 level, the comple- comple-
ment could even be reduced in due course.

dengan jumlah hakim yang ada saat ini, yakni 12 orang. 68
Tidak demikian halnya pada rentang waktu tahun 2003
hingga 2005, ketika 1.500 perkara diterima per tahun.
Hal tersebut menyebabkan tumpukan tunggakan
perkara selama tahun-tahun tersebut. Akan tetapi harus
pula digarisbawahi bahwa meskipun jumlah perkara
mungkin menjadi lebih kecil dengan adanya sistem dua
tingkat untuk yurisdiksi judex factie dalam hal perkara
pajak, kemungkinan besar kompleksitas dan seberapa
pentingnya perkara-perkara yang diperiksa pada tingkat
kasasi akan menjadi semakin tinggi. Hal ini dikarenakan
jumlah ‘kasasi tersamar’ (yakni upaya-upaya kasasi
yang dapat dipastikan akan kalah karena sesungguhnya
merupakan keberatan atas ketidaktepatan putusan hakim
dalam hal fakta) diperkirakan akan menurun drastis.
Alasan lain mengapa kompleksitas perkara-perkara
pajak yang diperiksa pada tingkat kasasi akan meningkat
adalah karena bagian pajak, sebagaimana halnya bagian-
bagian lain, akan menerima semakin dan semakin banyak
perkara yang sulit dan menguras banyak tenaga. Hal ini
di antaranya disebabkan oleh semakin meningkatnya
dampak dari hukum internasional dan hukum Eropa
dalam bidang ini serta juga disebabkan oleh berbagai
reformasi yang mendasar di bidang perpajakan
(contohnya Undang-undang Pajak Penghasilan tahun
2001 dan amandemen terhadap Undang-undang Pajak
Badan Usaha tahun 1969 yang mulai berlaku sejak 1
Januari 2007).
Sekalipun sudah terjadi penurunan jumlah perkara
yang masuk, meningkatnya kompleksitas dan seberapa
pentingnya perkara-perkara pajak yang diperiksa pada
tingkat kasasi membuat sektor pajak akan terus menerus
mencari cara untuk mengurangi beban kerjanya. Untuk
saat ini, sektor pajak belum akan memikirkan cara-
cara yang akan membuat jumlah perkara baru yang
masuk semakin berkurang lagi. Hal ini dikarenakan
bagian pajak memerlukan jumlah perkara yang cukup
untuk membuatnya dapat secara efektif memonitor
keseragaman hukum dan mendorong pengembangan
68 Bila jumlah perkara yang diterima bisa stabil pada level tahun 2007, jumlah hakim
bagian pajak bahkan bisa dikurangi pada saatnya nanti.
Komite Hammerstein
the caseload may be lower as a consequence of the
introduction of the two-tier system of jurisdiction for
deciding on points of fact in tax cases, the complexity
and importance of the cases heard in cassation is likely
to be greater. This is because the number of ‘disguised
appeals’ (i.e. cases bound to fail in cassation as they
are essentially complaints about the correctness of
decisions on points of fact) is expected to fall sharply.
Another reason for this growing complexity is that the
tax division, like the other divisions, is increasingly being
called upon to handle difficult and labour-intensive
cases. This is partly attributable to the growing impact
of international and European law in this field and to
various fundamental tax reforms (e.g. the Income Tax
Act 2001 and the amendment to the Corporation Tax
Act 1969 with effect from 1 January 2007).
The growing complexity and importance of the cases
means that the tax sector will continue to seek ways of
reducing its workload despite the decrease in the influx.
For the time being it is not considering measures that
would bring about a further reduction in the number
of new cases. This is because the tax division needs
a sufficient caseload to enable it to monitor legal
uniformity and promote the development of the law
effectively. It is particularly important at present for
these tasks to be performed even more intensively as the
administrative sectors of the district courts, which have
now been given jurisdiction in tax cases at first instance,
are not yet fully conversant with tax law and tax
47

48 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
bidang hukum ini. Untuk saat ini, justru tugas-tugas ini
sangat penting sehingga justru harus dilakukan semakin
intensif lagi. Sebab, sektor hukum administrasi pada
pengadilan-pengadilan negeri, yang sekarang sudah
diberikan yurisdiksi sebagai peradilan tingkat pertama
dalam perkara pajak, belum sepenuhnya menguasai
hukum pajak dan hukum acara pajak. Oleh karena itu,
akan bermanfaat juga bila, selain dimungkinkannya
kasasi langsung ke Mahkamah Agung atas putusan
pengadilan negeri dalam perkara pajak, dibuka pula
kemungkinan untuk melakukan kasasi atas putusan
pengadilan negeri yang dijatuhkan melalui hukum acara
yang disederhanakan. 69 Ini akan membuat bagian pajak
mampu melaksanakan fungsi normatifnya, khususnya
dalam hal hukum acara.
Apa yang penting bagi bagian pajak, sebagaimana semua
bagian lainnya, adalah disingkirkannya secara efisien
perkara-perkara yang tidak penting dari sudut pandang
kepentingan penyeragaman hukum atau pengembangan
hukum. Sejak tahun 2003 (tahun terjadinya puncak
jumlah perkara baru yang masuk) bagian pajak sudah
memetik banyak hikmah. ‘Produksi’ putusan meningkat
tajam, di antaranya disebabkan oleh dukungan tambahan
dari pusat penelitian. Efisiensi sudah ditingkatkan,
khususnya dengan cara semakin banyak memanfaatkan
pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi). Sekitar 70% permohonan kasasi kini
dinyatakan tidak berdasar/tidak beralasan berdasarkan
pasal ini. 70 Bagian pajak juga menggunakan pasal ini jika
sebuah permohonan kasasi sebenarnya berdasar, namun
tetap saja tidak dapat dikasasikan. Di samping itu, bagian
pajak sudah beralih ke cara majelis-tiga-hakim untuk
dapat menyingkirkan lebih banyak perkara lagi (sekitar
75% dari total). 71 Dan, dalam beberapa tahun terakhir ini
69 Lihat pasal 28 ayat (2) and (3) Undang-undang Pajak Negara.
70 Sebagai perbandingan, angka-angka pada tahun-tahun lain adalah sebagai berikut:
2001: 41%; 2002: 42%; 2003: 65%; 2004: 62%; 2005: 71%: 2006: 71%. Persentase
jumlah perkara yang disingkirkan berdasarkan pasal 81 dari total jumlah putusan
masing-masing tahun adalah 26%, 29%, 42%, 42%, 45% and 44%. Lihat Laporan
Tahunan Tahun 2003 dan 2004 Mahkamah Agung Belanda, hal. 80, dan Laporan
Tahun 2005 dan 2006, hal. 189 dan 190.
71 Sebagai perbandingan, angka-angka pada tahun-tahun lain adalah sebagai berikut:
procedure. It is therefore also useful that, besides leap-
frogging appeals in cassation, appeals in cassation are
possible against judgments of a district court given after
a simplified procedure. 69 This enables the tax division to
perform its normative function above all in the field of
procedural law.
What is important to the tax division, like the other
divisions, is that cases that are not of interest from the
point of view of legal uniformity or the development
of the law are disposed of efficiently. Since ���3 (the
peak year for the influx of new cases) the tax division
has gained a wealth of experience. Production has
been greatly increased, partly thanks to the additional
support provided by the research centre. Efficiency has
been improved, particularly by greater use of section
81 of the Judiciary (Organisation) Act. Approximately
70% of cassation appeals are now declared unfounded
under this section. 70 The tax division also applies
this section if an appeal is well-founded, but can still
not result in cassation. In addition, the division has
switched to disposing of more cases in 3-judge panels
(approximately 75% of the total). 71 Finally, little further
use has been made in recent years of the possibility of
69 See section 28, subsections 2 and3 of the State Taxes Act.
�� For the sake of comparison the fi figures gures in other years were as follows: ��� ��� : � � %� %�
2002: 42%; 2003: 65%; 2004: 62%; 2005: 71%: 2006: 71%. The number of cases
disposed of under section 81 as a proportion of the total number of judgments
in the years concerned was 26%, 29%, 42%, 42%, 45% and 44% respectively. See
Supreme Court of the Netherlands, 2003 and 2004 Annual Report, p. 80, and 2005
and 2006 Report, pp. 189 and 190.
� For the sake of comparison the figures fi gures in other years were as follows: ��� ��� :
62%; 2002: 66%; 2003: 74%; 2004: 75%; 2005: 76%: 2006: 715. See Supreme Court
of the Netherlands, 2003 and 2004 Annual Report, p. 79, and 2005 and 2006 Report,
p. 189.

sudah semakin jarang digunakan kewenangan memutus
secara ex proprio motu atas suatu putusan pengadilan yang
lebih rendah ketika dalam perkara tersebut tidak ada
kasasi yang diajukan. 72
Dengan semakin mengecilnya jumlah perkara yang
masuk, penggunaan secara besar-besaran pasal 81
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi) ini
dan pengesampingan sebanyak mungkin perkara oleh
majelis beranggotakan tiga hakim bisa terus dilakukan.
Akan tetapi penurunan ini juga harus tetap pada jumlah
perkara yang memungkinkan tingkat kompleksitas
dan tingkat seberapa pentingnya perkara-perkara yang
masuk tetap terjaga, sebagaimana diuraikan di atas. Yang
lebih penting lagi, diberlakukannya yurisdiksi judex factie
dua tingkat dapat berperan dalam mengurangi jumlah
perkara pajak yang dikasasikan padahal sebetulnya bukan
merupakan ranah Mahkamah Agung.
Karena perkara pajak diadili oleh peradilan tingkat pertama
dan peradilan banding sebelum mencapai Mahkamah
Agung, bagian pajak Mahkamah Agung bisa memiliki
dasar untuk tidak begitu mengaji dan memerhatikan lagi
seberapa komprehensifnya penemuan fakta dalam perkara
tersebut, sebagaimana yang selalu dilakukan sebelumnya.
Hal ini juga akan meningkatkan efisiensi.
Harus dicatat pula bahwa di sektor pajak, hanya perkara
yang benar-benar penting yang dapat menyita tenaga
Procurator General’s Office. Hal ini dikarenakan dalam
perkara pajak, adanya opini dari Procurator General adalah
sesuatu yang bersifat opsional. 73 Harus digarisbawahi
pula bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi, bagian
pajak Mahkamah Agung sudah dipecah menjadi dua sub-
bagian sejak tahun 1976. Masing-masing bagian tersebut
mengurus bidang hukum pajaknya sendiri.
Satu perbedaan penting antara hukum acara kasasi
perkara pajak dengan hukum acara kasasi perkara
2001: 62%; 2002: 66%; 2003: 74%; 2004: 75%; 2005: 76%: 2006: 715. Lihat Laporan
Tahunan Tahun 2003 dan 2004 Mahkamah Agung Belanda, hal. 79, dan Laporan
Tahun 2005 dan 2006, hal. 189.
72 Lihat pasal 29e, ayat (2) Undang-undang Pajak Negara.
73 Lihat pasal 29d Undang-undang Pajak Negara.
setting aside a judgment ex proprio motu in cases in which
no cassation submissions have been filed. 72
The large-scale use of section 81 of the Judiciary
(Organisation) Act and the disposal of as many cases
as possible by 3-judge panels can be continued against
the background of the smaller influx of cases. However,
allowance must be made for a fall in the number of
cases suitable for such disposal as a result of their
growing complexity and importance, as described
above. Above all, the introduction of the second tier
of jurisdiction for deciding on points of fact may
contribute to a reduction in the number of tax cases
submitted for cassation that do not belong before the
Supreme Court.
As tax cases are adjudicated by both a court of first
instance and an appeal court before reaching the
Supreme Court, the tax division may consider that there
are grounds for assessing the comprehensibility of
findings of fact less strictly than it was accustomed to
doing. This too would improve efficiency.
It should also be noted that in the tax sector only cases
that are of real importance take up the capacity of
the Procurator General’s Office. This is because the
preparation of an opinion by the Procurator General
is optional in tax cases. 73 It should also be noted that in
order to increase efficiency the tax division was split into
two sections as long ago as 1976, each section covering
its own field of tax law.
An importance difference between the procedure for
cassation appeals in tax cases and in civil and criminal
cases is that litigants are not obliged to have legal
representation in tax cases. Taxpayers can themselves
institute appeals in cassation and base them on whatever
72 See section 29e, subsection 2 State Taxes Act.
73 See section 29d State Taxes Act.
Komite Hammerstein
49

50 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
perdata dan pidana adalah bahwa dalam perkara pajak
para pihak yang berperkara tidak wajib memiliki kuasa
hukum. Si wajib pajak bisa mengajukan kasasi sendiri,
berdasarkan alasan apapun yang menurut dia tepat.
Para pihak hanya wajib diwakili oleh advokat dalam hal
menyampaikan memori kasasi tertulis ataupun lisan. 74
Karena wajib pajak boleh beracara sendiri dalam kasasi,
hal ini terkadang menimbulkan masalah tertentu dalam
memeriksa kasasinya. Dalil-dalil yang diajukan dalam
mempersoalkan putusan yang dikasasikan tidak selalu
disampaikan dengan sangat jelas. Kalau sudah demikian
halnya, bagian pajak Mahkamah Agung terkadang harus
mengecek sendiri ketentuan hukum yang disengketakan
itu. Masalah ini juga menyebabkan bagian pajak
Mahkamah Agung kadang-kadang tidak mengetahui
bahwa sebelumnya terdapat debat yang berbobot
antara kuasa hukum yang kompeten dari para pihak.
Maka bila diberlakukan keharusan menggunakan kuasa
hukum, hal tersebut akan membantu Mahkamah Agung
meningkatkan kualitas dan efisiensi beracara.
Namun, pemberlakukan keharusan seperti ini belum
dapat dilakukan untuk saat ini karena adanya keberatan
baik yang bersifat fundamental maupun praktis. Salah
satu keberatan yang bersifat fundamental adalah bahwa
di mana pun, dalam ranah hukum administrasi tidak
ada kewajiban memiliki kuasa hukum. Terlebih lagi,
karena biaya yang harus dikeluarkan bisa saja menjadi
faktor yang membuat orang mengurungkan niat mencari
keadilan di lembaga peradilan, syarat wajib seperti ini
dinilai tidak tepat karena hukum administrasi justru
mengatur tentang hubungan yang sering tidak setara
antara pemerintah dan warga negara. Satu faktor lagi
adalah bahwa hukum pajak hampir selalu menyangkut
urusan hubungan dengan kekuasaan yang melibatkan
unsur pemaksaan kehendak (misalnya assessment pajak
yang tidak diminta oleh si wajib pajak). Dua keberatan
yang bersifat praktis adalah Organisasi Profesi Advokat
belum siap untuk menyediakan kuasa hukum yang
memadai untuk semua perkara pajak dan, yang lebih
74 Lihat pasal 29c Undang-undang Pajak Negara.
grounds they see fit. Litigants are obliged to be
represented by a lawyer only for the submission of oral
or written pleadings in cassation. 74
As taxpayers can themselves take proceedings in
cassation, this sometimes gives rise to problems in
assessing the appeal. The arguments contesting the
disputed decision are not always formulated very
clearly. In such cases the tax division may sometimes
have to look up the disputed legal provision itself.
Occasionally it also misses informed debate between
the parties’ legally qualified representatives. Compulsory
legal representation would help the Supreme Court to
improve the quality and efficiency of the proceedings.
However, the introduction of such a requirement
is prevented for the time being by objections of a
fundamental and practical nature. A fundamental
objection is that compulsory legal representation
is not prescribed anywhere else in the field of
administrative law. Moreover, as the cost would be a
disincentive to seeking legal protection from the courts,
the requirement is not considered appropriate here
since administrative law regulates the often unequal
relationship between government and citizens. An
additional factor in the case of tax law is that it almost
always concerns a relationship with the authorities
that entails an element of compulsion (e.g. a tax
assessment that has not been requested by the taxpayer).
Two practical objections are that the Bar is still not
adequately equipped to act as representative in all tax
cases and, above all, that there is no statutory scheme
regulating the profession of tax adviser and thus
providing guarantees of proper representation in court.
74 See section 29c State Taxes Act.

penting lagi, tidak ada undang-undang yang mengatur
profesi penasihat pajak yang dapat menjamin kualitas
kuasa hukum pajak yang memadai di lembaga peradilan.
Dalam perkara pajak, untuk melakukan kasasi
tidak ada kewajiban menyampaikan memori kasasi
yang tertulis. Karena tidak wajib ada kuasa hukum,
tidaklah disarankan untuk memberlakukan kewajiban
menyampaikan memori kasasi yang tertulis dalam
hal kasasi perkara pajak. Bagaimanapun juga, sulitlah
mengharapkan para wajib pajak sendiri membuat
memori kasasi tertulis. Akan tetapi, sejak tahun 1994
diberlakukan kewajiban menyebutkan alasan apa saja
yang mendasari permohonan kasasi yang diajukan. Bila
tidak berhasil memenuhi syarat ini, permohonan kasasi
yang bersangkutan bisa (tapi tidak mesti) dinyatakan
tidak dapat diterima. 75 Secara kebetulan, kewajiban ini
merupakan justifikasi bagi kenyataan bahwa bagian pajak
Mahkamah Agung kini sudah sangat jarang memeriksa
perkara secara ex proprio motu.
3.5. Kesimpulan interim: perubahan-perubahan yang diperlukan
Satu masalah yang terjadi di semua sektor di Mahkamah
Agung, sebagaimana terlihat dari keseluruhan uraian di
atas mengenai masalah-masalah yang mereka hadapi,
adalah bahwa banyaknya perkara yang masuk ke
Mahkamah Agung yang tidak memberikan kesempatan
pada Mahkamah Agung untuk melakukan fungsi
judicial lawmaking ataupun fungsi perlindungan hukum,
berdasarkan penafsiran Mahkamah Agung sendiri saat
ini atas fungsi-fungsi tersebut. Secara kuantitatif, masalah
ini paling dirasakan di sektor pidana. Sebaliknya, di
sektor pajak, jumlah perkara yang tidak tepat yang masuk
masih belum merupakan masalah yang mendesak saat
ini. Arus perkara di sektor pajak jauh lebih kecil daripada
di sektor pidana. Dan dapat pula diasumsikan (sebagian
dikarenakan tidak ada kewajiban menggunakan kuasa
hukum) bahwa di sektor pajak persentase jumlah perkara
75 Lihat pasal 6:24 juncto pasal 6:5, ayat (1) huruf (d), dan pasal 6:6 Undang-undang
Pajak Negara.
In tax cases, the obligation to formulate written
submissions is not obligatory in cassation proceedings.
As long as legal representation is not compulsory,
the introduction of an obligation to formulate such
submissions in cassation would be inadvisable. After all,
taxpayers themselves can hardly be expected to draft
them. However, there has been an obligation since 1994
to state the grounds on which the appeal in cassation is
based, failing which the appeal may (but need not) be
declared inadmissible. 75 Incidentally, this obligation is
the justification for the fact that tax division now hardly
ever reviews cases ex proprio motu.
3.5. Interim conclusion: necessary changes
A problem common to all the different sectors, as
evident from this description of the difficulties facing
them, is that many of the cases received by the Supreme
Court give it no opportunity to perform its judicial
lawmaking or legal protection functions, given its
current interpretation of these functions. The problem
is greatest in quantitative terms in the criminal sector.
In the tax sector, by contrast, the number of unsuitable
cases received is not a pressing issue at present. The case
flow is much smaller than in the criminal sector, and it
may be assumed (partly because there is no compulsory
legal representation) that the percentage suitable for
disposal under section 81 of the Judiciary (Organisation)
Act is much higher than in the civil sector. Attention will
therefore be mainly focused below on the problems in
the civil and criminal sectors.
75 See section 6:24 in conjunction with 6:5, subsection 1 (d), and 6:6 of the State
Taxes Act.
Komite Hammerstein
51

52 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
yang dapat disingkirkan berdasarkan pasal 81 Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi) adalah jauh
lebih tinggi daripada di sektor perdata. Oleh karena
itu, berikut ini kami lebih mencurahkan perhatian pada
masalah-masalah yang dihadapi oleh sektor perdata dan
sektor pidana.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tumpukan
perkara yang ada di Mahkamah Agung membuat
Mahkamah Agung tidak dapat melaksanakan fungsi-
fungsinya secara memadai dalam segala hal. Meskipun
para advokat kasasi memang sudah memfilter sebagian
perkara yang tidak tepat untuk dikasasikan, tetap saja
sejumlah tertentu perkara yang tidak tepat dikasasikan
masih mencapai meja Mahkamah Agung.
Untuk mengatasi masalah di sektor perdata dan sektor
pidana, pengesampingan berdasarkan pasal 81 Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi) tidak lagi
merupakan solusi yang memadai, walaupun pasal ini
barangkali masih dapat diterapkan secara lebih luas
lagi. Di semua sektor, sejumlah besar perkara sudah
disingkirkan berdasarkan pasal 81. Dengan demikian,
kelihatannya ruang lingkup alasan untuk melakukan
pengurangan lebih lanjut lagi atas jumlah perkara
menjadi terbatas. Satu faktor utama di sini adalah pasal
81 mengatur bahwa alasan untuk tidak menerima
permohonan kasasi hanyalah apabila permohonan
tersebut sebetulnya tidak dapat dikasasikan. Cara
digunakannya pasal 81 ini menimbulkan masalah bagi
sektor pidana, karena dari redaksional ketentuan pasal
ini tidak jelas apakah permohonan yang memiliki
dasar yang memadai namun tidak dapat dikasasikan
bisa disingkirkan berdasarkan pasal 81. 76 Hal ini
76 Catatan sejarah yang ada mengenai proses legislasi pasal 81 Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman (Organisasi) agak ambivalen mengenai masalah ini. Lihat
Parliamentary Papers II 1986-87, 19953, no. 3 (Memorandum Penjelasan), hal. 3, yang
berisi paragraf berikut: ‘Jika Mahkamah Agung berpendapat bahwa suatu permo-
honan akan berhasil, dasar/alasan yang dipakai tetap selalu harus disebutkan’, dan
Parliamentary Papers II 1987-88, 19953, no. 7 (Memorandum setelah Laporan Akhir),
hal. 2, yang berisi paragraf berikut: ‘Namun, jika suatu permohonan kasasi dinyatakan
memiliki dasar yang memadai, misalnya dasar yang dipakai adalah kesalahan hukum
acara (atas dasar ‘pelanggaran hak’ sebagaimana diatur dalam pasal 99 (dari Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi)) yang mengatur mengenai dasar-dasar
It has been established that the Supreme Court’s
caseload prevents it from performing its functions
adequately in all respects. Although cassation lawyers do
filter out some cases that are unsuitable for cassation, a
percentage still reach the Supreme Court.
Disposal under section 81 of the Judiciary
(Organisation) Act is no longer an adequate solution in
the civil and criminal sectors, although this instrument
could still perhaps be applied rather more broadly. Large
numbers of cases are already disposed of in all sectors
under section 81. The scope for further caseload savings
would therefore seem to be limited. A major factor
here is that section 81 permits the grounds for the
decision to be abridged only in respect of submissions
that cannot result in cassation. The criminal sector is
hampered by the way in which section 81 can be used,
since it is unclear from the present wording of this
provision whether submissions that are well-founded
but do not result in cassation are eligible for disposal
under section 81. 76 This creates unnecessary work and
jeopardises the proper performance of the court’s
functions. From the point of view of efficiency, it is also
76 The legislative history of section 81 of the (Organisation) Act is rather am- am-
bivalent about this. See Parliamentary Papers II 1986-87, 19953, no. 3 (Explanatory
Memorandum), p. 3, which includes the following passage: ‘If the Supreme Court
considers that an application will succeed, the relevant grounds must always be
stated’, and Parliamentary Papers II 1987-88, 19953, no. 7 (Memorandum following
Final Report), p. 2, which includes the following passage: ‘If, however, an application
is declared to be well-founded in cassation, for example on account of procedural
error (on the basis of ‘violation of the right’ as listed in the grounds of cassation
included in section 99 of the Judiciary (Organisation) Act), the Bill does not give the
Supreme Court the possibility of giving judgment with abridged grounds. This is
possible – but not obligatory – only if the decision of the appeal court is upheld.’

mengakibatkan timbulnya pekerjaan yang tidak perlu
dan berdampak negatif bagi pelaksanaan fungsi-fungsi
pengadilan secara memadai. Dari sudut pandang
efisiensi, juga tidaklah ideal bila pertanyaan apakah
pasal 81 dapat digunakan hanya bisa terjawab pada
akhir pemeriksaan kasas (walaupun berbagai sektor
telah berusaha menggunakan alasan ‘momen seleksi’).
Karena substansi suatu perkara dapat dikaji pada tahap
mana pun, bahkan dengan cara pengadilan bertindak
memeriksa secara ex proprio motu, tampaknya hal ini tidak
akan berhasil mengirimkan sinyal yang tepat kepada
mereka yang melakukan kasasi padahal tidak perlu. Oleh
karena itu lebih disarankan untuk menyatakan dengan
lebih jelas dan tegas bahwa kasasi ke Mahkamah Agung
hanya dimaksudkan untuk masalah hukum dan masalah-
masalah esensial menyangkut perlindungan hukum.
Peran yang terbatas ini harus tercermin juga dalam
sistem akses (masuknya perkara).
Masalah-masalah lain yang dipaparkan di atas tampaknya
lebih terkait dengan kekhususan masing-masing sektor.
Sebagai contoh, masalah-masalah utama di sektor
perdata adalah jenis-jenis perkara yang di dalamnya
Mahkamah Agung dapat memainkan peran lawmaking
namun tidak bisa melakukannya karena perkara
tersebut tidak mencapai meja Mahkamah Agung atau
perkara tersebut tidak tiba di Mahkamah Agung dalam
batas waktu yang semestinya, dan karena kenyataan
bahwa Mahkamah Agung kadang-kadang tidak dapat
membuat putusan mengenai sebuah isu yang melampaui
kepentingan perkara tersebut semata karena Mahkamah
Agung tidak memiliki informasi tertentu.
‘Fungsi lawmaking pengadilan mengharuskan
adanya implementasi yang tepat dan akurat,
khususnya oleh lembaga peradilan tertinggi.
Itulah sebabnya Dewan ini merekomendasikan
bahwa perlu dibuka ruang kemungkinan,
melalui instrumen hukum, bagi penyesuaian-
penyesuaian berikut terhadap hukum acara di
pengajuan permohonan kasasi), Rancangan Undang-undang ini tidak memberikan
kemungkinan bagi Mahkamah Agung untuk memberikan putusan dengan dasar per-
timbangan yang sumir. Hal ini hanya dimungkinkan – namun tidak wajib – bilamana
putusan pengadilan banding itu diperkuat.’
not ideal that the question of whether or not section
81 is applicable can be answered only at the end of the
cassation proceedings (although the various sectors have
attempted to bring forward the moment of selection).
As the substance of a case can be assessed at any stage,
even by the court acting ex proprio motu, this would
not seem to be sending the right signal to those who
institute cassation proceedings unnecessarily. It would
therefore be preferable to indicate more clearly that the
appeals to the Supreme Court are intended only for legal
issues and essential problems of legal protection. This
limited role should be reflected in the access system as well.
The other problems described above would seem to
be more closely connected with the peculiarities of
a particular sector. For example, major problems for
the civil sector are the category of cases in which the
Supreme Court could play a lawmaking role but is
unable to do so because the cases do not reach it or do
not reach it in time, and the fact that the Supreme Court
is sometimes unable to take a decision on an issue that
goes beyond the individual case because it is unable to
obtain certain information.
Komite Hammerstein
‘The lawmaking function of the courts
requires precise implementation, particularly
by the highest judicial bodies. This is why
the Council recommends that the following
adjustments to the procedure of these
bodies should be made possible by law: (a)
a division of responsibilities between the
highest courts (which should focus mainly on
judicial lawmaking and should not adjudicate
cases that are of no relevance to lawmaking)
and the other courts (which should work to
resolve disputes quickly and effectively); this
division of responsibilities may also help to
53

54 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
lembaga-lembaga peradilan ini: (a) pembagian
tanggung jawab antara lembaga peradilan
tertinggi (yang fokus utamanya haruslah hanya
pada judicial lawmaking dan harus tidak boleh
memeriksa dan memutus perkara yang tidak
memiliki nilai lawmaking) dengan lembaga-
lembaga peradilan lain (yang harus bekerja
memutus sengketa dengan cepat dan efektif);
pembagian tanggung jawab seperti ini juga
akan membantu meringankan beban jumlah
perkara di lembaga peradilan tertinggi yang
terus meningkat; (b) adanya ruang yang lebih
luas bagi masyarakat umum untuk memainkan
peran dalam lawmaking, misalnya dengan
membolehkan orang membuat pernyataan
sebagai amicus curiae (friends of the court); (c)
kesempatan yang lebih memadai bagi lembaga
peradilan tertinggi untuk memperoleh
informasi dari para ahli.’ 77
4. Rekomendasi Komite
Sebagaimana dikatakan dalam bab-bab sebelumnya, bila
kita hendak memperkuat peran normatif Mahkamah
Agung, Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office
harus diberikan kesempatan lebih besar daripada yang
ada saat ini untuk berkonsentrasi pada perkara-perkara
yang benar-benar memiliki nilai bagi pelaksanaan fungsi
mereka. Apa yang dimaksud Komite dengan pernyataan
ini sudah dijelaskan secara garis besar pada bab 2 dan
secara lebih rinci lagi untuk masing-masing sektor pada
bab 3. Perkara-perkara yang tidak membuat Mahkamah
Agung memainkan peran fungsinya atau yang tidak tepat
untuk dikasasikan harus disingkirkan dengan cara yang
sesederhana mungkin dan seefektif mungkin. Mengingat
fungsi-fungsi Mahkamah Agung, menyingkirkan perkara
hingga jumlah yang cukup juga lebih efektif daripada
menyingkirkan semua perkara dengan mempekerjakan
lebih dan lebih banyak lagi orang.
77 Rekomendasi dalam laporan Dewan Penasihat Kebijakan Pemerintah, De toekomst
van de nationale rechtstaat (Masa Depan Negara Konstitusional Nasional), Den Haag:
SdU Uitgevers 2002, hal. 271-272.
lighten the growing caseload of the highest
courts; (b) more scope for society at large to play
a role in lawmaking, for example by allowing
people to make a statement as amicus curiae; (c)
better opportunities for the highest courts to
obtain information from experts.’ 77
4. Recommendations of the Committee
As noted in the previous chapters, the Supreme Court
and the Procurator General’s Office must be given more
opportunities than at present to concentrate on cases
of real importance to their functions if the normative
role of the Supreme Court is to be strengthened. What
the Committee means by this has been explained in
outline in chapter 2 and in more detail for each sector in
chapter 3. Cases in which the Supreme Court is unable
to perform its functions or which are not suitable for
assessment in cassation must be disposed of as simply
and effectively as possible. In the light of the Supreme
Court’s functions, the adequate disposal of fewer cases
is also more effective than the disposal of all cases using
more and more people.
77 Recommendation in the report of the Advisory Council for Government Policy,
De toekomst van de nationale rechtstaat (The Future of the National Constitutional State),
The Hague: SdU Uitgevers 2002, pp. 271-272.

Intinya, dengan demikian Komite menyarankan
diadakannya sebuah mekanisme seleksi yang lebih
kuat lagi sebagai langkah lanjut dari apa yang sudah
dilakukan berdasarkan pasal 81 Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman (Organisasi). Ini mencakup
seleksi ‘langsung di pintu gerbang’, dengan cara
menerapkan kriteria yang didasarkan pada fungsi-fungsi
Mahkamah Agung dan, pada saat yang bersamaan,
melakukan perubahan terhadap pasal 81 Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman (Organisasi). Hal ini akan
dibahas pada sub-bab 4.1 di bawah. Sub-bab-sub-bab
berikutnya akan membahas rekomendasi-rekomendasi
Komite agar dimungkinkan diperluasnya penggunaan
upaya hukum luar biasa berupa kasasi ini untuk
kepentingan penyeragaman penerapan hukum (sub-bab
4.2), dan memberikan pertimbangan lebih lanjut atas
kemungkinan diperbolehkannya pengadilan-pengadilan
yang lebih rendah meminta Mahkamah Agung
melakukan preliminary ruling atas isu tertentu (sub-bab
4.3) dan meningkatkan dan memperbaiki komunikasi
dengan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah (sub-
bab 4.4). Dan akhirul kalam, Komite secara sekilas dan
ringkas akan membahas usul-usul yang telah diajukan
mengenai diberlakukannya kasasi ex proprio motu dalam
sektor perdata (sub-bab 4.5) dan diberlakukannya semakin
banyak lagi batasan atau larangan kasasi (sub-bab 4.6).
4.1. Diadakannya sebuah mekanisme seleksi yang lebih kuat lagi
Kamar seleksi dan kriteria seleksi
Komite berkeyakinan bahwa adalah penting
memberlakukan sebuah cara yang akan membuat semua
perkara melalui suatu proses seleksi substantif sedini
mungkin. Seleksi ini harus didasarkan pada fungsi-fungsi
Mahkamah Agung. Komite menjelaskan pemikiran
dasarnya mengenai hal ini pada bab 2. Perkara yang tidak
layak untuk diperiksa dan diputus oleh peradilan kasasi
mesti disingkirkan dari perkara yang putusannya nantinya
dapat menciptakan dan memberikan panduan hukum,
serta juga harus disingkirkan dari perkara yang memang
In essence, the Committee therefore proposes the
adoption of a more powerful selection mechanism as
a further step along the path already taken with such
measures as section 81 of the Judiciary (Organisation)
Act. This would involve selection ‘at the gate’ by
reference to a criterion geared to the functions of the
Supreme Court and, at the same time, modification of
section 81 of the Judiciary (Organisation) Act. This
is dealt with in section 4.1 below. The subsequent
sections deal with the Committee’s recommendations
for possibly extending the application of the
extraordinary remedy of cassation in the interests of
the uniform application of the law (section 4.2), giving
further consideration to the possibility of allowing
the lower courts to refer issues to the Supreme Court
for a preliminary ruling (section 4.3) and improving
communication with the lower courts (section
�.�). Finally, the Committee deals very briefly with
suggestions that have been put forward for introducing
cassation ex proprio motu in the civil sector (section 4.5) and
introducing more cassation prohibitions (section 4.6).
4.1. Introduction of a more powerful selection mechanism
Selection chamber and selection criterion
Komite Hammerstein
The Committee believes it is necessary to introduce an
instrument that will enable cases to undergo substantive
selection at the earliest possible opportunity. This
selection should be based on the functions of the
Supreme Court. The Committee explained its basic
thinking on this in chapter 2. Cases not suitable for
cassation proceedings should be separated from those in
which decisions providing legal guidance can be given,
as well as cases in which it is necessary to intervene in
order to ensure both an acceptable outcome and the
55

56 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
perlu diintervensi guna menjamin dapat diterimanya
putusan tersebut dan kualitas putusan tersebut, sehingga
mencegah terjadinya kerugian signifikan terhadap salah
satu pihak yang berperkara akibat kesalahan dalam
putusan yang dikasasikan tersebut. Seleksi ‘langsung
di pintu gerbang’ ini harus diselenggarakan dengan
sedemikian rupa sehingga perkara-perkara yang tidak
layak bisa ditolak. Dalam sistem yang berlaku saat ini,
langkah yang paling jelas bisa dilakukan adalah dengan
menyatakan permohonan-permohonan kasasi yang
demikian ini tidak dapat diterima atas dasar tidak adanya
kepentingan yang memadai untuk kasasi.
Pada bab 3, Komite memberikan garis besar jenis-jenis
perkara apa saja yang tidak perlu ditangani. Namun
garis besar ini tidaklah dimaksudkan sebagai daftar yang
limitatif. Dalam kenyataan praktik, akan ditemukan lagi
perlunya membuat kriteria yang baru dan yang lebih
ketat lagi berdasarkan fungsi-fungsi Mahkamah Agung.
Secara umum, Mahkamah Agung harus senantiasa
menangani permohonan kasasi yang memiliki isu hukum
yang perlu dijawab demi terciptanya keseragaman hukum
atau demi perkembangan hukum. Nantinya akan menjadi
semakin nyata dalam perkembangan praktik apa lagi
saja jenis perkara lain yang perlu ditolak dalam proses
seleksi. Satu aspek penting dari rekomendasi Komite ini
adalah kriteria seleksi yang diberlakukan haruslah kriteria
seleksi yang terbuka, yang dapat diinterpretasikan secara
berbeda menurut kebutuhan masing-masing sektor dan
perkembangan zaman dari waktu ke waktu. Sebagai
contoh, dapat dimengerti bahwa di sektor pidana,
seleksi dilakukan lebih ketat untuk perkara-perkara
yang disingkirkan oleh kamar-kamar khusus (termasuk
jenis-jenis putusan tertentu yang menyangkut bantuan
hukum internasional)—di mana pengesampingan yang
cepat kerap sangat diperlukan—daripada seleksi untuk
perkara-perkara biasa. Selain itu, kebijakan seleksi
haruslah membuka kemungkinan bagi adanya variasi
seiring dengan berjalannya waktu, misalnya sehubungan
dengan beban jumlah perkara yang ada dan sehubungan
dengan pandangan yang berkembang mengenai peran
Mahkamah Agung sebagai pemberi perlindungan hukum
quality of the decision and thereby prevent a situation
in which a party suffers significant disadvantage from
an error in the appealed judgment. This ‘at-the-gate’
selection must be such that unsuitable cases can be
refused. In the present system the most obvious course
of action is for these appeals in cassation to be declared
inadmissible for want of interest.
In chapter 3 the Committee outlined what types of
case should not be dealt with. This was not intended
to be an exhaustive list. In practice, it will be necessary
to apply a new, strict selection criterion based on the
functions of the Supreme Court. Broadly speaking, the
Supreme Court should always deal with submissions
that raise legal issues needing to be addressed in the
interests of legal uniformity or the development of
the law. What other cases should be ruled out in the
selection process will become apparent in practice. An
important aspect of the Committee’s recommendations
is that an open selection criterion should be adopted
which can be interpreted differently by each sector and
over time. For example, it is conceivable in the criminal
sector that selection is stricter in cases disposed of by
orders in chambers (including certain types of decision
concerning international legal assistance), where speedy
disposal is often more desirable, than in ordinary
cases. In addition, the selection policy should allow for
the possibility of variation over time, for example in
conjunction with the caseload and views on the role of
the Supreme Court as regards the provision of purely
individual legal protection: this is a topic over which
there can be much discussion and on which ideas may
change over time.

secara murni individual (bagi orang perorang): ini adalah
topik yang bisa panjang diperdebatkan dan dibahas dan
pendapat mengenai topik ini bisa terus berubah seiring
dengan berjalannya waktu.
Oleh karena itu, pasal 81 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman (Organisasi) haruslah diamandemen untuk
memasukkan kriteria yang lebih ketat itu. Kenyataan
praktik menunjukkan bahwa permohonan-permohonan
kasasi yang didasarkan pada satu atau lebih dalil yang
membutuhkan putusan Mahkamah Agung untuk
secara spesifik menjawab isu hukum bersangkutan
dapat juga mengandung satu atau lebih dalil yang tidak
layak diputus oleh Mahkamah Agung. Bila terjadi
permohonan kasasi semacam ini—hanya sebagian dalil
yang layak diperiksa dan diputus pada tingkat kasasi—
dalil-dalil yang tidak layak itu harus selalu disingkirkan
terlebih dahulu melalui sebuah pernyataan singkat
(brief statement) mengenai dasar-dasar putusan tersebut.
Harus pula dibuka kemungkinan bahwa hal ini cukup
dilakukan dengan sebuah pernyataan sumir (abridged
statement), sebagaimana dimungkinkan oleh pasal 81
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi), di
mana suatu hal yang didalilkan tidak perlu dikasasikan
karena tidak ada kerugian yang signifikan ataupun
tidak perlu diintervensi dengan alasan menjaga kualitas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Menyediakan ruang lingkup bagi penerapan (yang akan terus
berevolusi) oleh masing-masing sektor
Perubahan hukum ini harus mengandung sebuah
mekanisme seleksi yang dapat membuat Mahkamah
Agung mampu memecahkan masalah beban kerjanya
untuk jangka waktu yang panjang serta membuat
Mahkamah Agung memperoleh pengalaman baik dari
seleksi ‘langsung di pintu gerbang’ 78 untuk memilih
78 Laporan Akhir tentang Kajian Mendasar mengusulkan agar seorang anggota
Procurator General’s Office yang berpengalaman dan seorang anggota bagian perdata
Mahkamah Agung yang berpengalaman, memilih perkara-perkara yang layak untuk
disingkirkan berdasarkan ‘pasal 81 ganda’. Kedua orang ini bekerja berdasarkan
rekomendasi awal yang ringkas yang dibuat oleh seorang anggota pusat penelitian.
Komite sangat menyetujui ide adanya seleksi pada tahap sedini mungkin. Akan tetapi
It follows that section 81 of the Judiciary (Organisation)
Act should be amended to include the same stricter
criterion. Practice shows that cases with one or more
submissions that require a decision of the Supreme
Court specifically addressing the legal issues involved
may also include one or more other submissions for
which this does not apply. In cases where cassation
appeals of this kind include submissions that have to
be addressed, the unsuitable submissions should always
be disposed of by a brief statement of the grounds
for the decision. It must also be possible to make do
with an abridged statement, as provided for under
section 81 of the Judiciary (Organisation) Act, where a
submission need not result in cassation because there
is no significant disadvantage or any other need to
intervene in the interests of safeguarding the quality of
the administration of justice.
Komite Hammerstein
Providing scope for (evolving) application by sector
The change in the law should introduce a selection
mechanism that allows the Supreme Court to resolve the
problem of its workload for a lengthy period and enable
it to gain experience of both ‘at-the-gate’ selection 78
78 The Final Report on the Fundamental Review proposes that an experienced
member of the Procurator General’s Office and an experienced member of the civil
division, acting on the basis of a brief preliminary recommendation of a member of
the research centre, should select cases suitable for disposal by means of a ‘double
section 81’. The Committee is in very much in favour of selection at the earliest pos-
sible opportunity, but also considers that it is necessary to go a step further in order
to achieve the desired effect and that the time is also right for this. If, after selection,
unsuitable cases still have to be circulated among at least a 3-member panel, the sav-
ing in time and effort – both for the Court and for the parties – will not be enough.
57

58 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
perkara kasasi yang penting maupun dari berkembangnya
kriteria seleksi, sehingga dapat ‘mengawal’ pintu masuk
ke peradilan kasasi (dalam jangka panjang) dengan
cara yang paling efektif dan paling tidak menyita
tenaga. Tujuannya haruslah untuk memastikan bahwa
fungsi-fungsi dan hukum acara Mahkamah Agung
ditafsirkan dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga
memperkuat kemampuan Mahkamah Agung menjawab
isu-isu hukum secepat mungkin dan sejelas mungkin,
memberikan panduan yang meyakinkan mengenai
perkembangan hukum dan, bilamana perlu, menjaga
standar yang berlaku dalam hal kualitas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman.
Ketika rekomendasi-rekomendasi Komite ini
diterjemahkan ke dalam bahasa redaksional Rancangan
Undang-undang, harus diutamakan adanya reformasi
secara bertahap/gradual yang memungkinkan
Mahkamah Agung mendapatkan pengalaman
dari perubahan-perubahan hukum acara dan cara
pengesampingan, daripada perubahan-perubahan yang
sifatnya radikal dan tergesa-gesa. Langkah-langkah yang
diambil harus memungkinkan terbukanya ruang lingkup
bagi perkembangan secara bertahap/gradual. Juga
diharapkan bahwa sedapat mungkin skema bagi ketiga
bagian Mahkamah Agung tersebut dapat dibuat seidentik
mungkin. Agar dapat mengakomodasi perbedaan-
perbedaan yang ada antara perkara perdata, pidana, dan
pajak, skema yang dibuat haruslah sedemikian rupa
sehingga memungkinkan ruang lingkup penerapannya
berevolusi seiring dengan berjalannya waktu serta
memungkinkan ruang lingkup penerapan tersebut
berbeda dari sektor ke sektor. Hal ini sebenarnya berlaku
tidak hanya dalam hal ‘kebijakan seleksi’ yang akan
dibuat namun juga dalam hal struktur proses seleksi
itu sendiri. Kebijakan maupun struktur harus sanggup
beradaptasi dengan variasi yang ada berdasarkan
Komite juga berpendapat bahwa perlu juga melangkah selangkah lebih jauh guna
mendapatkan hasil yang diharapkan dan juga agar waktunya tepat untuk melakukan-
nya. Jika, setelah seleksi, perkara-perkara yang tidak layak masih harus dibahas oleh
sebuah majelis hakim yang terdiri dari sedikitnya tiga hakim, waktu dan tenaga yang
‘terhematkan’ – baik bagi Mahkamah Agung maupun bagi para pihak – tidaklah akan
cukup.
of important cassation cases and the development of
criteria for selection, thereby safeguarding access to the
cassation court (in the long run) in the least onerous
and most effective manner. The aim should be to ensure
that the functions and procedure of the Supreme
Court are interpreted and developed in such a way as
to enhance its ability to address legal issues as quickly
and clearly as possible, to provide convincing guidance
on the development of the law and, where necessary,
to maintain standards governing the quality of the
administration of justice.
When the recommendations of the Committee
are transformed into practical provisions in a Bill,
preference should be given to gradual reform that
enables the Court to gain experience of changes in
procedure and manner of disposal rather than to radical,
abrupt changes. The measures to be taken should
allow scope for gradual development. It would also be
desirable for the scheme for all three sectors of the
Supreme Court to be identical as far as possible. To
allow for the existing differences between civil, criminal
and tax cases a scheme should be devised that provides
scope for its application to evolve over time and to vary
from sector to sector. This applies in fact not only to the
‘selection policy’ to be adopted but also to the structure
of the selection process. Policy and structure must be
capable of variation both according to sector and type of
case and over time. In short, the system must be flexible.

sektor maupun jenis perkara ataupun seiring dengan
berjalannya waktu. Singkatnya, sistem tersebut haruslah
fleksibel.
Aspek-aspek praktis dari implementasi rekomendasi-rekomendasi
Komite
Komite berpendapat bahwa sangatlah mungkin
menyeleksi perkara yang layak dikasasikan sejak tahap
yang sangat awal. Kenyataan praktik menunjukkan
bahwa mempelajari seluruh berkas suatu kasasi
dengan saksama acapkali tidak perlu bila kita hendak
memastikan bahwa permohonan kasasi bersangkutan
tidak layak untuk mendapatkan putusan Mahkamah
Agung mengenai dasar pertimbangan putusan
(pengadilan lebih rendah) yang dikasasikan tersebut.
Komite mengusulkan agar dibentuk suatu kamar seleksi
yang terpisah untuk masing-masing sektor dan harus
berisikan tiga Hakim Agung (dibantu oleh sebuah
pusat penelitian dan, bilamana perlu, didukung oleh
sebuah pendapat yang disiapkan oleh Procurator General’s
Office). Kamar seleksi tersebut harus, pada prinsipnya,
membatasi diri hanya pada mempelajari surat panggilan
pengadilan atau permohonan kasasi dan jawaban
atas gugatan (yang mungkin saja terjadi bila terjadi
saling kasasi) dalam hal perkara perdata, mempelajari
memori kasasi tertulis dalam hal perkara pidana, dan
mempelajari permohonan kasasi dalam hal perkara
pajak. Bilamana perlu, kamar seleksi ini juga dapat
mempertimbangkan dokumen lain tertentu dalam berkas
perkara bersangkutan. Jika permohonan kasasi, yang
dengan sendirinya harus memenuhi standar yang lebih
tinggi dengan diterapkannya kriteria seleksi yang semakin
ketat, tidak lolos pengujian awal yang dilakukan oleh
kamar seleksi ini, Mahkamah Agung dapat menyatakan
permohonan kasasi bersangkutan tidak dapat diterima.
Pernyataan tidak dapat diterima semacam ini tidak
perlu dibarengi dengan pernyataan yang memuat alasan
putusan tersebut. Cukup kamar seleksi itu menyatakan
bahwa dalil-dalil permohonan kasasi bersangkutan
Practical aspects of implementation of the recommendations
The Committee considers that it would be perfectly
possible to select cases suitable for cassation hearing at
a very early stage. Practice shows that thorough study
of the entire cassation file is often unnecessary in order
to safely conclude that the submissions do not merit
a statement of the grounds for the decision of the
Supreme Court.
Komite Hammerstein
The Committee proposes that a selection chamber
should be established separately for each sector and
should consist of three members of the Supreme
Court (assisted by the research centre and, in so far as
necessary, supplied with an opinion prepared by the
Procurator General’s Office). The selection chamber
should, in principle, confine itself to studying the writ
of summons or petition for cassation and statement
of defence (possibly in any cross-appeal) in civil cases,
the written cassation pleadings in criminal cases and
the petition in tax cases. Where necessary, it could also
take note of certain case documents. If the cassation
submissions, which must naturally meet higher standards
owing to the stricter selection criteria, do not pass
the initial test applied by the selection chamber, the
Supreme Court may declare the appeal in cassation
to be inadmissible. A declaration of inadmissibility
of this kind need not be accompanied by a statement
of grounds for the decision. It is sufficient for the
chamber to state that the submissions do not raise legal
issues that need to be answered in the interests of legal
uniformity or the development of the law and also do
not contain arguments that would warrant cassation
in the interests of legal protection. No appeal would
59

60 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
tidak mengandung isu hukum yang perlu dijawab demi
kepentingan penyeragaman hukum atau perkembangan
hukum, serta juga tidak mengandung argumen
yang memerlukan adanya kasasi demi kepentingan
perlindungan hukum. Tidak ada lagi upaya hukum yang
tersedia atas putusan seperti ini yang dikeluarkan oleh
kamar seleksi tersebut. Dengan cara demikian, perkara-
perkara yang sama sekali tidak layak untuk diperiksa dan
diputus di lembaga peradilan kasasi dapat disingkirkan
dari daftar perkara (cause list) tanpa perlu ditunda-tunda
sama sekali.
Perubahan hukum yang diusulkan Komite ini dapat
dilakukan dengan menambahkan satu ayat lagi ke
dalam pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi) yang ada saat ini. Tambahan ini akan
menjadi ayat (1) dari pasal tersebut, sehingga bunyi
ketentuan pasal 81 yang sudah ada sekarang ini akan
menjadi ayat (2) dari pasal tersebut. Selain itu, perlu
dilakukan sedikit amandemen terhadap pasal 79 untuk
menekankan bahwa kewenangan untuk membatalkan
putusan adalah kewenangan yang bersifat diskresi.
Bunyi ketentuan-ketentuan dimaksud pun akan berubah
menjadi seperti ini (bagian-bagian yang berubah dicetak
miring):
Pasal 79
1. Mahkamah Agung membatalkan putusan
dapat membatalkan tindakan, putusan dan
perintah:
(a) atas dasar adanya cacat dalam penerapan
hukum acara, sepanjang suatu keadaan batal
demi hukum adalah akibat yang jelas dan
nyata dari cacat tersebut ataupun akibat dari
sifat suatu ketentuan hukum acara yang belum
dilaksanakan;
(b) atas dasar adanya pelanggaran hukum,
terkecuali hukum negara asing.
2. Dengan hanya didasarkan pada putusan
yang sedang disengketakan, keberadaan fakta-
fakta yang menjadi dasar diterapkan atau tidak
diterapkannya suatu norma hukum kebiasaan
lie against such decisions of the selection chamber.
In this way, cases that are completely unsuitable for
consideration by the cassation court could be removed
from the cause list without delay.
The proposed change in the law could be achieved by
adding a new subsection 1 to the present section 81
of the Judiciary (Organisation) Act. The present text
of section 81 would then become subsection 2. In
addition, a small amendment would be made to section
79 in order to emphasise the discretionary nature of the
power to set aside judgments. The provisions could then
take the following form (the amendments are italicised):
Section 79
1. The Supreme Court sets aside may set aside
acts, judgments and orders:
(a) on account of a procedural defect in so
far as nullity is the express consequence of
such defect or results from the nature of the
procedure that has not been observed;
(b) on account of an infringement of the law,
with the exception of the law of foreign states.
2. Facts from which the applicability or
otherwise of a rule of customary law is inferred
are assumed, in so far as they require proof, to
have been established only on the basis of the
disputed decision.

diasumsikan, bilamana fakta-fakta tersebut
memerlukan bukti, sudah mapan (established).
Pasal 81
1. Mahkamah Agung dapat menyatakan sebuah
permohonan kasasi tidak dapat diterima jika dalil-
dalil yang disampaikan tidak mengandung isu hukum
yang perlu dijawab demi kepentingan penyeragaman
penerapan hukum atau perkembangan hukum, dan
dalil-dalil tersebut juga tidak mengakibatkan suatu
perkara perlu diajukan ke lembaga peradilan kasasi
dari sudut pandang kepentingan perlindungan hukum.
2. Jika Mahkamah Agung berpendapat bahwa
suatu dalil yang disampaikan tidak perlu
diajukan ke lembaga peradilan kasasi dan tidak
mengandung isu hukum yang perlu dijawab
demi kepentingan penyeragaman penerapan
hukum atau perkembangan hukum, Mahkamah
Agung dapat membatasi diri dengan hanya
menyebut hal ini saja sebagai dasarnya ketika
membuat dasar pertimbangan putusannya.
Manfaat-manfaat dengan adanya mekanisme seleksi
Komite berpendapat bahwa diberlakukannya sebuah
mekanisme seleksi yang memungkinkan disingkirkannya
sejak awal perkara-perkara yang tidak layak untuk
diajukan ke meja kasasi dengan menerapkan kriteria
seleksi yang didasarkan pada fungsi-fungsi Mahkamah
Agung akan menghasilkan sejumlah manfaat penting
bagi sistem yang sedang berlaku saat ini. Pertama, hal itu
akan membantu para pihak dengan membuat mereka
menghemat usaha dan tenaga yang akan dikeluarkan
untuk menyerahkan berkas-berkas lebih lanjut ke
Mahkamah Agung, seperti penjelasan-penjelasan tertulis,
replik dan duplik, serta mungkin juga jawaban atas
pendapat Advocate General, yang toh akhirnya terbukti
tidak perlu. Kedua, dengan demikian dalam banyak
Section 81
1. The Supreme Court may declare a cassation appeal
to be inadmissible if the arguments submitted do not
require legal issues to be answered in the interests of the
uniform application or development of the law and the
arguments should also not result in cassation from the
point of view of legal protection.
2. If the Supreme Court holds that a submitted
argument need not result in cassation and does
not require legal issues to be answered in
the interests of the uniform application or
development of the law, it may confine itself
to this ruling when stating the grounds for its
decision.
Advantages of selection mechanism
Komite Hammerstein
The Committee considers that the introduction of a
selection mechanism that makes it possible to exclude
from the outset cases unsuitable for cassation by
applying selection criteria based on the functions of
the Supreme Court would have a number of important
advantages over the present system. First, it would help
the parties by saving them the effort and expense of
filing further documents such as written explanations,
replies and rejoinders and, possibly a reply to the
Advocate General’s opinion, which are later found to be
unnecessary. Second, the parties will in many cases then
learn the outcome of the case much sooner. Decisions
of the lower courts will become final and unappealable
more quickly. Another advantage in criminal cases is
61

62 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
perkara para pihak akan mendapatkan hasil akhir dari
perkara tersebut dengan jauh lebih cepat. Putusan
pengadilan yang lebih rendah akan lebih cepat menjadi
in kracht van gewijsde dan lebih cepat dipastikan tidak
dapat dilakukan upaya hukum terhadapnya lagi. Satu
manfaat lain lagi dalam hal perkara pidana adalah bahwa
mekanisme tersebut akan menyingkirkan godaan untuk
melakukan kasasi yang sebetulnya murni didasarkan pada
niat menunda-nunda pelaksanaan hukuman atau niat
mendapatkan pengurangan hukuman, karena syarat batas
waktu yang wajar sudah dilewati.
Seleksi ini juga akan mengirimkan pesan penting
tentang bagaimana Mahkamah Agung memandang
perannya. Mahkamah Agung tidak didirikan dengan
maksud untuk menguliti satu demi satu perkara – baik
atas kehendaknya sendiri maupun sebaliknya – untuk
mencari-cari keganjilan demi keganjilan. Mahkamah
Agung harus menjawab isu-isu hukum dan hanya
mengintervensi jika salah satu pihak mengalami kerugian
yang signifikan sebagai akibat kesalahan yang dilakukan
oleh pengadilan yang lebih rendah. Adanya mekanisme
seleksi berarti para anggota Organisasi Profesi Advokat
harus memenuhi standar yang lebih tinggi. Mereka
menjadi harus mampu membuat jelas dan tegas isu
hukum apa yang harus dijawab Mahkamah Agung
dalam perkara bersangkutan dan mengapa isu hukum
itu harus terjawab, dan/atau menunjukkan bahwa
klien mereka telah mengalami kerugian yang signifikan
lalu menjelaskan sifat kerugian tersebut. Hal ini akan
menciptakan iklim yang kondusif bagi dibangunnya
sistem spesialisasi di antara para anggota Organisasi
Profesi Advokat.
Sebuah mekanisme seleksi yang efektif akan dengan
sangat signifikan mengurangi masalah yang dihadapi
oleh terbatasnya kemampuan Mahkamah Agung dan
Procurator General’s Office akibat keberadaan perkara-
perkara yang sesungguhnya tidak layak diajukan ke
meja kasasi. Hal ini juga barangkali akan mendorong
berlangsungnya sebuah proses internal yang
menyebabkan dicurahkannya konsentrasi yang lebih
that it would remove the incentive to appeal in cassation
purely to postpone enforcement of the sentence or to
obtain a reduction in sentence because the reasonable
time requirement has been exceeded.
This selection would also send an important message
about how the Supreme Court views its role. It does
not exist in order to go through every case – either of
its own volition or otherwise – looking for irregularities.
The Supreme Court must address the legal issues
and otherwise intervene only if a party has suffered
a significant disadvantage as a consequence of errors
made by a lower court. The existence of a selection
mechanism would mean that members of the Bar
would have to meet higher standards. They would
then have to make clear what legal issue needs to be
addressed by the Supreme Court in the case concerned
and why, and/or show that their client has suffered a
significant disadvantage and explain the nature of this
disadvantage. This could be conducive to specialisation
among members of the Bar.
An effective selection mechanism could greatly reduce
the strain put on the limited capacity of the Supreme
Court and the Procurator General’s Office by cases
that are essentially unsuitable for cassation. This
might also encourage an internal process that leads to
greater concentration on important cases, as referred
to in chapter �. This could have a beneficial effect on
the authority (and usefulness) of the judgments of

esar pada perkara-perkara penting, sebagaimana
dimaksud pada bab 2. Hal ini akan memberikan
dampak yang menguntungkan bagi kewibawaan (dan
nilai manfaat) putusan-putusan Mahkamah Agung.
Diberlakukannya mekanisme seleksi bagaimanapun juga
akan membuat perhatian dan penekanan yang lebih
besar dicurahkan pada judicial lawmaking dan, bilamana
perlu, pemberian perlindungan hukum. Ini di antaranya
dikarenakan hal tersebut akan memberikan legitimasi
bagi hadirnya produk undang-undang yang diperlukan
untuk mengarah ke perkembangan demikian.
Dan terakhir, mekanisme seleksi akan membuat
Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office
mendapatkan pengalaman dari menyeleksi perkara-
perkara yang masuk, yang akan membuat mereka
siap dan tidak kelabakan bilamana sistem leave to appeal
diberlakukan suatu waktu di masa mendatang.
Untuk mengantisipasi diberlakukannya mekanisme
seleksi yang menerapkan kriteria yang ketat untuk
perkara-perkara yang murni hanya didasarkan pada
isu perlindungan hukum, Mahkamah Agung sudah
seharusnya memanfaatkan sebanyak dan seluas mungkin
skema yang berlaku berdasarkan undang-undang yang
berlaku saat ini. Jadi ini berarti, yang paling penting,
bahwa Mahkamah Agung harus menggali lebih luas lagi
mengenai apa saja yang mungkin dilakukan berdasarkan
ketentuan pasal 81 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman (Organisasi).
Hubungan dengan sistem leave-to-appeal tersamar berdasarkan
pasal 81
Pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi) terkadang disebut-sebut sebagai sistem leave
to appeal yang tersamar. 79
79 Lihat W.E. Haak, Naar een optimale beoordeling in cassatie van het straf(proces)recht
(Menuju assessment yang optimal mengenai hukum pidana dan hukum acara pidana
dalam proses kasasi), dalam Glijdende Schalen, Collection of essays in honour of J. de Hullu,
M.S. Groenhuijhsen (editor) dan J.B.H.M. Simmelink (editor), Wolf Legal Publishers
2003, hal. 207.
the Supreme Court. The introduction of a selection
mechanism would in any event allow greater emphasis
to be put on judicial lawmaking and, where necessary,
the provision of legal protection, partly because this
would provide the statutory legitimation required for
such a development.
Finally, it would enable the Supreme Court and the
Procurator General’s Office to gain experience of
selecting incoming cases, which would stand them in
good stead if a system of leave to appeal is introduced
at some point in the future.
In anticipation of the introduction of a selection
mechanism that applies a strict criterion to cases based
solely on legal protection issues, the Supreme Court
should already make as much use as possible of the
present statutory scheme. This means, above all, that
it should explore the outer limits of what is possible
under the provisions of section 81 of the Judiciary
(Organisation) Act.
Relationship with the disguised leave-to-appeal system of section 81
Section 81 of the Judiciary (Organisation) Act is sometimes
referred to as a disguised leave-to-appeal system. 79
79 See W.E. Haak, Naar een optimale beoordeling in cassatie van het straf(proces)recht
(Towards an optimal assessment of criminal law and criminal procedure in cassation
proceedings), in Glijdende Schalen, Collection of essays in honour of J. de Hullu,
eds. M.S. Groenhuijhsen and J.B.H.M. Simmelink, Wolf Legal Publishers 2003, p.
207.
Komite Hammerstein
63

64 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
Ada banyak bentuk sistem leave to appeal. Di satu
ujung spektrum ini adalah ‘sistem pilih dan ambil’
yang ditemukan di Amerika Serikat. Dalam sistem
ini, pengadilan memiliki diskresi yang sangat luas
untuk memilih perkara mana saja yang hendak mereka
persidangkan. Dalam sistem ini, sangat ditekankan
fungsi lawmaking lembaga peradilan tertinggi, dan hanya
ada secelah ruang yang sangat kecil untuk perlindungan
hukum dalam perkara individu. 80 Di ujung lain dari
spektrum ini adalah sistem leave to appeal yang tersamar.
Dalam sistem ini, pengadilan pada prinsipnya memeriksa
setiap perkara secara substantif, akan tetapi dalam
keadaan tertentu diperkenankan hanya cukup membuat
dasar yang sumir bagi putusannya, sebagaimana yang
diatur dalam Konvensi Hak-hak Asasi Manusia Eropa
dan pasal 81 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Organisasi). Di antara kedua ekstrim ini adalah sistem
yang di dalamnya lembaga peradilan tertinggi terikat
pada satu atau lebih kriteria leave yang didefinisikan
secara lebih sempit, seperti di Finlandia 81 dan Jerman.
Dalam sistem mereka, penerapan kriteria-kriteria ini
dalam kenyataan praktiknya membuat mereka menerima
lebih banyak perkara daripada Amerika Serikat. Hukum
Perancis juga memiliki pengaturan yang di dalamnya
suatu perkara dapat dinyatakan ‘tidak dapat diterima’
atas dasar ‘moyen non sérieux’. Berdasarkan laporan
tahunan tahun 2006, 57% perkara pidana dan 24%
perkara perdata berakhir dengan dinyatakan ‘tidak dapat
80 Mahkamah konstitusional tertinggi hanya meloloskan sekitar 1% dari 7.000
permohonan leave to appeal yang masuk setiap tahun.
81 Karena adanya kuasa hukum tidak diwajibkan di Finlandia, di mana sebuah
sistem leave diberlakukan sejak tahun 9��, tidak semua perkara bisa difilter oleh
para anggota Organisasi Profesi Advokat, dan permohonan leave to appeal yang
diloloskan berjumlah sekitar 7-10% dari total perkara. Pada tahun 2005 populasi
Finlandia adalah sekitar 5,2 juta. Ada 1.038 permohonan leave to appeal untuk perkara
perdata dan 1.184 permohonan leave to appeal untuk perkara pidana pada tahun 2005.
Bandingkan dengan 2.643 permohonan leave to appeal untuk perkara perdata dan
1.347 permohonan leave to appeal untuk perkara pidana pada tahun 1995. Pada tahun
2005, permohonan leave to appeal yang diluluskan untuk perkara perdata berjumlah 80
permohonan dan permohonan leave to appeal yang diluluskan untuk perkara pidana
berjumlah 81 permohonan. Bandingkan dengan 187 permohonan leave to appeal yang
diluluskan untuk perkara perdata dan 69 permohonan leave to appeal yang diluluskan
untuk perkara pidana pada tahun 1995. Jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah
Agung Finlandia berkurang hingga lebih dari sepertiga dalam rentang waktu tahun
1995 hingga 2005.
Systems of leave to appeal exist in many forms. At one
end of the spectrum are the ‘pick-and-choose systems’
found in the United States, where the courts have very
wide discretion to choose what cases they wish to
hear and in which the emphasis is very much on the
lawmaking function of the highest court, while little
scope exists for legal protection in individual cases. 80 At
the other end of the spectrum are disguised leave-to-
appeal systems, in which the courts, in principle, assess
each case substantively, but are permitted in certain
circumstances to make do with abridged grounds for
the decision, as under the European Convention on
Human Rights and under section 81 of the Judiciary
(Organisation) Act. Between these two extremes are the
systems in which the highest court is bound by one or
more narrowly defined leave criteria, as in Finland 81 and
Germany, where the application of these criteria leads in
practice to more cases being accepted than in the United
States. French law too has an arrangement under which
a ‘non-admission’ is pronounced in respect of a ‘moyen
non sérieux’. According to the 2006 annual report,
57% of criminal cases and 24% of civil cases ended in
a ‘non-admission’. 82 A system of leave to appeal exists
in some form in the highest courts of most European
countries.
80 The highest constitutional court grants only about 1% of the 7,000 applications
for leave to appeal filed each year.
81 As legal representation is not compulsory in Finland, where a leave system was
introduced in 9��, not all cases can be filtered by members of the Bar, and leave
is granted to appeal in about 7-10% of cases. In 2005 Finland had a population
of some 5.2 million. 1,038 applications for leave to appeal in civil cases and 1,184
applications for leave to appeal in criminal cases were filed in ����, compared with
2,643 and 1,347 respectively in 1995. Leave to appeal was granted in 80 civil cases
and 81 criminal cases in 2005, compared with 187 and 69 respectively in 1995. The
total number of cases filed before the Finnish Supreme Court declined by more than
a third in the period between 1995 and 2005.
82 See the 2006 Annual Report of the Cour de Cassation, which can be found at
www.courdecassation.fr.

diterima’. 82 Di lembaga peradilan tertinggi kebanyakan
negara Eropa, terdapat sejenis sistem leave to appeal dalam
berbagai varian bentuk.
Perbedaan antara sistem Finlandia, Jerman, dan Perancis
dengan sistem Belanda dan Konvensi Hak-hak Asasi
Manusia Eropa tidaklah sebesar yang terlihat bila
hanya dilihat sekilas mata. Pada akhirnya perbedaannya
mungkin hanyalah soal bagaimana fungsi-fungsi
lembaga peradilan tertinggi diejawantahkan dalam
ketentuan-ketentuan hukum acara. Peran yang serupa
dapat ditemukan pada lembaga peradilan tertinggi di
kedua-dua sistem tersebut. Di Jerman dan Finlandia,
lembaga peradilan tertinggi harus selalu memerhatikan
isi dari permohonan leave to appeal dan kemudian harus
memutuskan apakah hendak memeriksa atau menolak
perkara tersebut. Di Belanda dan dalam sistem Konvensi
Hak-hak Asasi Manusia Eropa, pengadilan tertinggi
harus selalu memerhatikan permohonan kasasi yang
masuk dan, ketika menolak sebuah permohonan, dalam
perkara tertentu boleh saja menolaknya hanya cukup
dengan sebuah pernyataan yang sumir mengenai dasar
pertimbangan putusan tersebut. Namun, dalam sistem
yang menganut seleksi ‘langsung di pintu gerbang’,
Mahkamah Agung tidak menyatakan pendapatnya
mengenai substansi permohonan kasasi tersebut bila
Mahkamah Agung menolak perkara tersebut. Sedangkan
dalam sistem yang didasarkan pada pasal 81 Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi), sebuah
pernyataan yang sumir mengenai dasar pertimbangan
putusan tersebut hanya dilakukan apabila permohonan
kasasi tersebut sebetulnya tidak dapat dikasasikan.
Putusan seperti ini dibuat setelah dilakukannya
pertimbangan penuh atas substansi perkara tersebut.
Tentu saja, fungsi pemberian perlindungan hukum
tetap ada dalam berbagai sistem yang ada di luar negeri.
Karakter sebuah sistem pada khususnya bergantung
pada kriteria diluluskannya permohonan leave to appeal
dan cara diimplementasikannya kriteria tersebut.
82 Lihat Laporan Tahunan the Cour de Cassation Tahun 2006, yang dapat diakses di
www.courdecassation.fr.
The difference between the systems in the latter
countries and the ECHR and Dutch systems is less great
than might be thought at first sight. It may ultimately
come down to a difference in how the functions of
the highest court are embodied in procedural rules.
A comparable role is provided for the highest court
in both systems. In Germany and Finland the highest
court must always take cognizance of the content
of the application for leave to appeal and must then
decide whether to hear the appeal. In the Netherlands
and under the ECHR, the highest court must always
take cognizance of the appeal(s) and, when dismissing
an application, may in some cases make do with an
abridged statement of the grounds for the decision.
However, in the systems in which selection is made
‘at the gate’, the Court does not express an opinion
on the substance of the appeals if it refuses a case,
whereas in the system under section 81 of the Judiciary
(Organisation) Act an abridged statement of the
grounds for the decision may be given only if the appeal
cannot result in cassation. Such a decision is reached
after full consideration of the substance of the case.
The provision of legal protection is certainly not
excluded in the different systems existing abroad.
The character of the system depends in particular on
the leave criteria and the manner in which they are
implemented.
Komite Hammerstein
65

66 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
Mekanisme seleksi yang diusulkan di sini dimaksudkan
sebagai pengembangan lebih lanjut dari mekanisme yang
saat ini sedang berlaku berdasarkan pasal 81 Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi), dan
dimaksudkan untuk memungkinkan Mahkamah Agung
memiliki dasar untuk bertindak dalam menyingkirkan
perkara berdasarkan penilaian atas isinya dan tingkat
kepentingannya. Mekanisme seleksi ini juga bisa
dipandang sebagai sebuah langkah yang hati-hati
menuju sistem leave to appeal, meskipun untuk saat ini
sistem leave to appeal itu masih kita praktikkan dalam
bentuk yang ‘paling lunak’. Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa perlindungan hukum individual
masih tetap memainkan peran penting, akan tetapi hanya
dalam perkara-perkara yang benar-benar perlu. Harus
digarisbawahi bahwa Komite tidak merekomendasikan
diberlakukannya sistem ‘pilih dan ambil’. Premis
dasarnya tetap adalah bahwa akses kepada penilaian
substantif kasasi harus tetap terbuka, walaupun
harus dimungkinkan bagi Mahkamah Agung untuk
menyingkirkan sedini mungkin perkara-perkara yang
tidak tepat untuk diajukan ke meja kasasi.
Komite melihat ada manfaat-manfaat penting sistem
seleksi ‘langsung di pintu gerbang’ bagi semua pihak
yang terkait dalam proses kasasi. Tujuan sistem ini adalah
memetik manfaat-manfaat tersebut tanpa membatasi
fungsi pemberian perlindungan hukum oleh Mahkamah
Agung untuk perkara-perkara yang memang perlu serta,
untuk saat ini, menciptakan kondisi yang membuat
Mahkamah Agung bisa lebih berkonsentrasi pada
perkara-perkara yang penting.
4.2. Lebih banyak kasasi untuk kepentingan penyeragaman
penerapan hukum
Umumnya, permohonan kasasi demi kepentingan
penyeragaman penerapan hukum 83 dilakukan terhadap
putusan-putusan yang menyangkut sebuah isu hukum
yang diperdebatkan yang diperkirakan tidak akan
83 Mengenai upaya hukum luar biasa ini, lihat juga W.H.B. den Hartog Jager, Cassatie
in het belang der wet (Kasasi demi kepentingan penyeragaman penerapan hukum),
disertasi, Gouda Quint Arnhem 1994.
The proposed selection mechanism is intended to
build on the existing procedure under section 81 of the
Judiciary (Organisation) Act, and enable the Supreme
Court to base the manner in which cases are disposed
of on its assessment of their content and importance.
It can also be seen as a cautious step in the direction of
a leave-to-appeal system, albeit for the time being in its
‘mildest’ form. The aim is to ensure that individual legal
protection continues to play an important role, but only
in those cases in which it is really necessary. It should
be noted that the Committee does not recommend
the introduction of a pick-and-choose system. The
basic premise remains that access to any substantive
assessment in cassation is available, although it must be
possible to filter out at the earliest possible opportunity
cases that are not suitable for cassation.
The Committee sees important advantages in ‘at-
the-gate’ selection for all concerned in cassation
proceedings. The intention is to benefit from the
advantages without limiting the provision of legal
protection in those cases in which this is necessary and,
in the meantime, to create more scope for concentrating
on the important cases.
4.2. More cassation in the interests of the uniform application of
the law
In general, applications for cassation in the interests
of the uniform application of the law 83 are instituted
against judicial decisions on a disputed legal issue which
are not expected to reach the Supreme Court within a
83 As regards this extraordinary remedy, see also W.H.B. den Hartog Jager, Cassatie
in het belang der wet (Cassation in the interests of the uniform application of the law),
dissertation, Gouda Quint Arnhem 1994.

mencapai meja Mahkamah Agung dalam batas waktu
yang wajar jika ada tidaknya kasasi diserahkan pada para
pihak, atau yang tidak akan mencapai meja Mahkamah
Agung karena para pihak tidak memiliki hak untuk
mengajukan permohonan kasasi.
Tidak semua isu hukum yang diperdebatkan layak untuk
dikasasikan demi kepentingan penyeragaman penerapan
hukum. Sebuah isu hukum yang diperdebatkan yang
memerlukan pertimbangan dari sudut pandang politik
adalah isu yang harus dijawab oleh lembaga legislatif.
Demikian pula isu-isu hukum menyangkut suatu skema
yang didasarkan pada undang-undang yang ingin
diubah oleh lembaga legislatif—yang demikian juga
tidak tepat untuk dikasasikan dengan menggunakan
dasar ‘kepentingan penyeragaman penerapan hukum’.
Umumnya, isu-isu hukum menyangkut undang-undang
yang masih cukup baru juga tidak begitu tepat untuk
dikasasikan dengan menggunakan dasar ‘kepentingan
penyeragaman penerapan hukum’, akan tetapi bisa saja
ada sejumlah pengecualian penting untuk hal ini. Kasasi
untuk kepentingan penyeragaman penerapan hukum
tidak dimaksudkan untuk ‘mencegat’ perkembangan-
perkembangan hukum yang lahir dari putusan-putusan
pengadilan yang lebih rendah, kecuali bila Mahkamah
Agung bisa segera memberikan sebuah jawaban yang
jelas. Satu contoh mengenai hal ini adalah penafsiran
mengenai suatu norma hukum yang masih bersifat
transisional atau perumusan suatu norma yudisial
(norma yang terbentuk/lahir dari putusan hakim) dari
sebuah hukum yang masih bersifat transisional.
Kasasi untuk kepentingan penyeragaman penerapan
hukum adalah sebuah sarana yang dapat digunakan
Mahkamah Agung untuk melakukan supervisi terhadap
judex factie. Karena tanggung jawab melakukan kasasi
yang satu ini adalah tanggung jawab eksklusif Procurator
General, kewenangan mengajukan permohonan kasasi
untuk kepentingan penyeragaman penerapan hukum
adalah kewenangan eksklusif Procurator General.
Hal ini berarti Procurator General tidak memerlukan
persetujuan (terlebih dahulu) untuk dapat melakukan
Komite Hammerstein
reasonable time if it is left to the parties to appeal in
cassation or which cannot reach the Supreme Court
because the parties have no right to appeal in cassation.
Not every disputed legal issue is suitable for cassation
in the interests of the uniform application of the law.
A disputed legal issue which requires consideration
of political views is a matter that should be resolved
by the legislature. Nor are legal issues relating to a
statutory scheme which the legislature intends to change
suitable for this form of cassation. In general, legal
issues concerning recent legislation are also less suitable
for such cassation, but important exceptions to this
may exist. Cassation in the interests of the uniform
application of the law is not intended to preclude
or pre-empt legal developments in the decisions of
the lower courts, unless the Supreme Court is able to
provide a clear answer immediately. An example of this
is the interpretation of a rule of transitional law or the
formulation of a judicial rule of transitional law.
Cassation in the interests of the uniform application
of the law is an instrument which the Supreme Court
can exercise in supervising the courts of fact. As this
responsibility is assigned exclusively to the Procurator
General, the power to file an application for cassation
in the interests of the uniform application of the law
is reserved exclusively to the Procurator General. This
means that the Procurator General does not require
(prior) consent for the institution of such an application,
including in particular the consent of either or both
67

68 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
permohonan kasasi ini, baik itu persetujuan salah satu
atau kedua belah pihak yang berperkara, pengadilan
yang menjatuhkan putusan tersebut, Menteri Kehakiman
maupun Mahkamah Agung. Dan, dengan alasan yang
sama, tidak ada seorang pun yang dapat mencegah
Procurator General mengajukan permohonan kasasi untuk
kepentingan penyeragaman penerapan hukum. Procurator
General memiliki independensi sepenuhnya untuk
melakukan kewenangan ini.
Berdasarkan premis-premis dasar ini dan dengan asumsi
premis-premis tersebut disetujui, maka hal berikut
ini harus dipertimbangkan. Jika kita menghendaki
semakin banyak dilakukannya kasasi untuk kepentingan
penyeragaman penerapan hukum, maka harus diadakan
penyempurnaan terhadap cara-cara yang membuat
Procurator General dapat mengidentifikasi adanya
putusan yang layak dibawa ke kasasi demi kepentingan
penyeragaman penerapan hukum. Cara-cara yang ada
sekarang (atas permintaan pihak ketiga serta, kadang-
kadang, kasasi yang dilakukan karena Procurator General
terdorong oleh diskusi yang berkembang di literatur-
literatur profesi hukum) mungkin dapat disempurnakan,
tetapi mengingat pengalaman kita di masa lalu, hal
ini tidaklah akan banyak membantu. Lebih baik kita
berharap lebih banyak pada dikembangkannya cara-cara
baru, khususnya didirikannya (sebagaimana diusulkan di
atas) sebuah komite yang memberikan nasihat kepada
Procurator General putusan mana saja yang layak untuk
dibawa ke kasasi demi kepentingan penyeragaman
penerapan hukum. Satu kelemahan cara ini—yakni
adanya nasihat yang diinstitusionalisasikan dan
diformalkan—adalah bahwa Procurator General bisa saja
jadi mendapat tekanan dari luar (bisa saja ada kelompok-
kelompok yang melobi komite penasihat tersebut) dan
bahwa proses pembuatan keputusan (decision making)-nya
bisa saja jadi obyek perdebatan publik (atau bahkan
politis).
Jika memang diputuskan untuk membentuk komite
penasihat seperti itu, Komite berpendapat, mengingat
premis-premis dasar yang diuraikan di atas (yakni
kewenangan eksklusif dan independensi Procurator
of the parties, the court which gave the decision, the
Minister of Justice or the Supreme Court and, by the
same token, no one can prevent the Procurator General
from filing an application for cassation in the interests
of the uniform application of the law. He exercises this
power completely independently.
In view of these basic premises and assuming that
they are not challenged, the following should be taken
into account. If greater use is to be made of cassation
in the interests of the uniform application of the law,
the instruments that enable the Procurator General
to take cognizance of judgments suitable for such
appeals in cassation must be improved. The existing
instruments (requests from third parties and sometimes
appeals prompted by discussions in the professional
literature) could possibly be improved, but this would
not be of much help in view of the experience gained
in the past. More can be expected from developing
new instruments, in particular the establishment (as
proposed previously) of a committee to advise the
Procurator General on judgments that would be suitable
for cassation in the interests of the uniform application
of the law. A drawback of providing institutionalised
and formalised advice in this way is that the Procurator
General might be exposed to external pressure (groups
lobbying the advisory committee) and that the decision-
making could become the subject of public (or even
political) debate.
If it is decided to appoint an advisory committee, the
Committee considers that it follows from the basic
premises described above (i.e. exclusive power and
independence of the Procurator General) that (i) the

General), bahwa (i) anggota komite penasihat tersebut
harus ditunjuk oleh Procurator General; (ii) yang
menetapkan prosedur kerja atau hukum acara komite
penasihat tersebut haruslah Procurator General; (iii)
rekomendasi komite penasihat tersebut tidak boleh
disebarluaskan ke publik serta tidak boleh bersifat
mengikat bagi Procurator General. Selain itu, lebih baik
para anggota dewan penasihat itu diambil dari kalangan
tokoh akademisi atau lembaga peradilan. Peran komite
penasihat tersebut haruslah hanya sebatas bersifat
melengkapi (supplementary). Procurator General juga harus
tetap memiliki kebebasan untuk menggunakan cara-
cara lain dalam mengidentifikasi putusan mana yang
layak dibawa ke kasasi demi kepentingan penyeragaman
penerapan hukum. Menurut pendapat Komite, salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah menjadikan topik ini
sebagai agenda tetap dalam pertemuan konsultasi dengan
pengadilan-pengadilan yang lebih rendah. Dengan cara
ini, perhatian Procurator General akan terfokus pada isu-isu
hukum yang bisa dikasasikan. Asosiasi-asosiasi advokat
spesialis juga dapat diberitahukan bahwa mereka dapat
mengusulkan kepada Procurator General isu-isu yang
menurut pandangan mereka layak dibawa ke kasasi
demi kepentingan penyeragaman penerapan hukum.
Harus dicatat di sini bahwa salah satu pekerjaan desk
kasasi Dinas Kejaksaan—yang sebetulnya merupakan
inisiatif desk itu sendiri—adalah mengajukan kepada
Procurator General, dalam perkara-perkara yang dirasakan
perlu oleh desk tersebut, permohonan agar Procurator
General mengajukan sebuah kasasi demi kepentingan
penyeragaman penerapan hukum. 84
Dalam pelaksanaan yang sedang berlaku saat ini, apa
yang dirasakan sebagai faktor-faktor yang membatasi
atau menghalangi ketika hendak memutuskan
apakah hendak mengajukan kasasi demi kepentingan
penyeragaman penerapan hukum atau tidak, khususnya
di sektor perdata, adalah tidak adanya dasar faktual
(fakta) yang jelas yang memadai dalam beberapa perkara
serta juga tidak adanya sarana atau cara yang memadai
untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut yang kadang-
kadang dibutuhkan (keterangan dari para pihak atau
84 Lihat Laporan Tahunan Desk Kasasi untuk kurun waktu April 2006 hingga July
2007, hal. 13.
advisory committee’s members should be appointed by
the Procurator General; (ii) the advisory committee’s
procedure should be determined by the Procurator
General; (iii) the recommendations of the advisory
committee should not be made public and should not
be binding on the Procurator General. In addition,
the advisory committee should preferably consist of
persons drawn from the ranks of the judiciary and
academia. The advisory committee’s role should be
supplementary. The Procurator General should also be
free to use other means of taking cognizance of court
judgments that could be eligible for cassation in the
interests of the uniform application of the law. In the
Committee’s opinion, one possibility would be to make
this subject a fixed topic on the agenda for consultation
with the lower courts. In this way, the attention of the
Procurator General could be drawn to legal issues that
can be appealed. Associations of specialist lawyers
could also be informed of the possibility of drawing the
attention of the Procurator General to issues which, in
their view, would be suitable for an appeal in cassation
in the interests of the uniform application of the law. It
should be noted here that one of the duties which the
cassation desk of the Public Prosecution Service has
taken upon itself is to request the Procurator General,
in cases where it considers it appropriate, to file an
application for cassation in the interests of the uniform
application of the law. 84
Komite Hammerstein
Factors experienced as limitations in present practice
when deciding whether or not to file an application
for admission in the interests of the uniformity of
the law, particularly in the civil sector, are the lack
of a sufficiently clear factual basis in some cases and
of means for obtaining the further information that
is sometimes required (from the parties or other
interested persons, for example in order to make a better
assessment of the relevance of a possible application). It
should be noted here that in a recent case the Supreme
84 See the Annual Report of the Cassation Desk for the period April 2006 to July
2007, p. 13.
69

70 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
pihak-pihak lain yang berkepentingan, misalnya agar
dapat membuat penilaian yang lebih baik mengenai
relevansi sebuah perkara untuk diajukan ke kasasi demi
kepentingan penyeragaman penerapan hukum). Harus
digarisbawahi di sini bahwa ada sebuah perkara baru-
baru ini di mana Mahkamah Agung memperkenankan
para advokat untuk memberikan respons melalui surat
atas permohonan kasasi yang diajukan oleh Procurator
General. 85 Ini adalah cara yang baik untuk melengkapi
informasi yang sampai ke tangan Mahkamah Agung, dan
dalam batas tertentu setidaknya dapat ‘mengompensasi’
tidak adanya adu argumen antara para pihak. Komite
menyarankan agar dipikirkan dengan sungguh-sungguh
bagaimana cara lebih memperbaiki lagi arus informasi
yang tiba di tangan Mahkamah Agung agar lebih lengkap
dan memadai, khususnya bagaimana agar Mahkamah
Agung bisa mengetahui apa yang diketahui oleh para
pihak yang berkepentingan (atau kelompok-kelompok
yang berkepentingan) dengan lebih memadai. Ini bisa
dilakukan dengan cara menulis surat kepada organisasi-
organisasi tertentu, yang isinya memberitahukan mereka
mengenai masuknya sebuah kasasi demi kepentingan
penyeragaman penerapan hukum ke Mahkamah
Agung. Atau hal ini juga bisa dilakukan dengan
cara menerbitkannya (bahwa ada suatu kasasi demi
kepentingan penyeragaman penerapan hukum yang
masuk ke Mahkamah Agung) di jurnal-jurnal profesi dan
memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk
memberikan komentar. Respons-respons mereka ini
akan diakomodasi dalam permohonan tersebut. Ini akan
membuat Mahkamah Agung bisa memiliki perspektif
dan pemahaman yang lebih memadai mengenai
implikasi-implikasi sosial dan hukum dari kasasi tersebut.
4.3. Penelitian mengenai ruang lingkup pemberlakuan sistem
putusan awal (preliminary ruling)
Analisis terhadap masalah-masalah di sektor perdata
menunjukkan bahwa ada beberapa isu hukum
yang tidak mencapai meja Mahkamah Agung atau
terlambat mencapai meja Mahkamah Agung. Hal ini
menyebabkan Mahkamah Agung menjadi tidak dapat
85 Lihat Mahkamah Agung 14 Desember 2007, LJN BB 3523.
Court allowed lawyers to respond by letter to the
application filed by the Procurator General. 85 This is
a good way of improving the information available to
the Supreme Court and can compensate to some extent
for the absence of legal argument between the parties.
In the Committee’s opinion, it would be advisable to
give further thought to ways of improving the supply
of information still further, in particular by tapping
into the knowledge of interested parties (or groups
of interested parties). This could be done by writing
to certain organisations drawing their attention to an
application already filed for cassation in the interests of
the uniformity of the law or publishing an intention to
this effect in professional journals and giving readers
the opportunity to comment. The reactions could be
incorporated in the application, which would put the
Supreme Court in a better position to form an opinion
on the social and legal implications.
4.3. Study of the scope for introducing a preliminary ruling
procedure
The analysis of the problems in the civil sector revealed
that some legal issues do not reach the Supreme
Court or do not reach it in time. This prevents it from
performing its judicial lawmaking function to the
full. As a result, the civil division is in some respects
85 See Supreme Court 14 December 2007, LJN BB 3523.

melaksanakan fungsi judicial lawmaking secara maksimal.
Sebagai akibatnya, bagian perdata Mahkamah Agung
dalam beberapa hal menjadi terpinggirkan, sehingga
berdampak buruk bagi keperluan penyeragaman hukum
dan kepastian hukum. Komite mengusulkan, salah satu
jalan keluar untuk masalah ini adalah bahwa pengadilan-
pengadilan yang lebih rendah harus diperkenankan
meminta putusan awal (preliminary ruling) dari Mahkamah
Agung atas pertanyaan hukum tertentu. Menurut
pendapat Komite, topik yang rumit ini layak untuk
dikaji, walaupun ini di luar lingkup kewenangan Komite.
Komite merekomendasikan bahwa kajian tersebut
dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Dokumentasi
Departemen Kehakiman.
Prosedur semacam itu akan menghasilkan manfaat-
manfaat sebagai berikut:
(i) tidak perlu lagi orang menunggu berlama-lama
menjalani proses kasasi ‘biasa’ demi mendapatkan
pendapat pengadilan kasasi; hal ini akan membuat judex
factie dapat memutus perkara tersebut berdasarkan
preliminary ruling Mahkamah Agung mengenai isu hukum
yang ditanyakan itu;
(ii) ketidakpastian yang berlangsung lama mengenai
bagaimana sebuah isu hukum yang penting akhirnya
akan terjawab bisa menjadi masalah bagi para pihak
maupun bagi pengadilan-pengadilan yang lebih
rendah, khususnya bila ada sangat banyak perkara yang
terkait dengan isu tersebut; ketidakpastian ini dapat
diminimalisasi dengan cara meminta Mahkamah Agung
menjatuhkan preliminary ruling pada waktu yang tepat;
(iii) Mahkamah Agung akan menjadi terlibat sangat
intens dengan judex-judex factie dan kehadiran Mahkamah
Agung akan menjadi terasa semakin relevan bagi
judex-judex factie, sebab dengan demikian Mahkamah
Agung memainkan peran yang penting dalam
proses harmonisasi penafsiran hukum dan proses
penyeragaman hukum.
marginalised, which is to the detriment of legal
uniformity and legal certainty. One of the remedies
proposed in this connection is that it should be possible
for the lower courts to refer a question of law to
the Supreme Court for a preliminary ruling. In the
Committee’s opinion this complex subject would be
worth studying, although this is beyond its own remit.
The Committee recommends that the study be carried
out by the Research and Documentation Centre of the
Ministry of Justice.
Such a procedure would have the following advantages:
(i) it would no longer be necessary to await the filing
of an ‘ordinary’ cassation appeal in order to obtain an
opinion from the cassation court; this would then allow
the court of fact to decide the case on the basis of the
ruling given by the Supreme Court on the issue referred
to it;
(ii) uncertainty over a long period about how an
important legal issue will be resolved can be a problem
both for the parties to legal proceedings and for the
courts, particularly if a large number of cases are
involved; this uncertainty could be allayed by requesting
the Supreme Court for a preliminary ruling in good
time;
Komite Hammerstein
(iii) the Supreme Court would become more closely
involved with the courts of fact and more relevant
to them, since it would play an important role in the
process of harmonisation and legal uniformity.
71

72 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
Kelemahan sistem seperti ini adalah bahwa proses
hukum akan menjadi tertunda dan menjadi rumit,
dan akhirnya beban kerja mungkin menjadi berpindah
dari pengadilan-pengadilan yang lebih rendah ke
Mahkamah Agung. Diperlukan sebuah kajian lebih
lanjut dan mendalam untuk mencapai sebuah pendapat
yang matang mengenai apakah tepat dan bermanfaat
diberlakukan sistem preliminary ruling; dan kalau ternyata
memang tepat dan bermanfaat, bagaimana sistem ini
harus disusun. Menjadi tak terhindarkan bahwa pertanyaan-
pertanyaan berikut bagaimanapun harus dijawab:
(a) Siapa yang boleh meminta preliminary ruling?
Apakah semua pengadilan yang bersifat judex factie,
dan barangkali para arbiter juga, atau hanya pengadilan
banding? Meski adanya pembatasan bisa membantu
mencegah bagian perdata kebanjiran permintaan
preliminary ruling hingga kewalahan, hal itu juga mungkin
dapat meniadakan manfaat yang diharapkan dari adanya
sistem ini, yakni ketika pertanyaan yang sama ditanyakan
terus menerus oleh pengadilan banyak tingkat pertama
yang berbeda-beda. 86
(b) Syarat apa saja yang harus dipenuhi sebuah
permintaan preliminary ruling? Permintaan preliminary
ruling haruslah mengandung pertanyaan yang dapat
berkontribusi bagi penyeragaman hukum dan
perkembangan hukum, dan harus ada kepentingan
yang cukup layak yang membuat pertanyaan itu harus
segera dijawab melalui sistem preliminary ruling dan
bukannya melalui proses hukum yang normal. Bila
melalui proses yang normal tentunya harus tunduk pada
doktrin acte claire dan acte éclairé yang dikembangkan dari
yurisprudensi Pengadilan Masyarakat Eropa Court of
Justice of the European Communities).
86 Di Perancis, tempat setiap pengadilan boleh meminta preliminary ruling kepada
Cour de Cassation atas isu-isu yang dihadapi, cara ini sangat amat jarang digunakan.
Pada tahun 2006
where every court is able to refer issues to the for preliminary ruling (see article 706-
64 CPP), only limited use is made of this possibility. Pada tahun 2006, hanya ada 4
permintaan preliminary ruling untuk perkara pidana dan 16 permintaan preliminary ruling
untuk perkara perdata. Lihat Laporan Tahunan Cour de Cassation tahun the 2006, yang
dapat diakses di www.courdecassation.fr.
The disadvantages of such a procedure are that legal
proceedings would be delayed and complicated and
that the workload might possibly be shifted. Further
study is needed in order to reach a considered opinion
on whether it would be desirable to introduce a
preliminary ruling procedure and, if so, how this should
be structured. The following questions will in any event
need to be answered:
(a) Who may make requests for a preliminary ruling?
All the courts of fact and perhaps arbitrators as well or
only appeal courts? Although a restriction could help
to prevent the civil division from being overwhelmed
by requests, it might perhaps also largely nullify the
advantages in cases where a given question is being
raised simultaneously in many different courts of first
instance. 86
(b) What criteria should requests for preliminary rulings
meet? They must be questions that are capable of
contributing to legal uniformity and the development
of the law, and a sufficient interest must be served by
referring the question in a preliminary procedure rather
than in the normal course of legal proceedings. The
obvious course would be to follow the doctrine of the
acte claire and acte éclairé developed in the case law of the
Court of Justice of the European Communities.
86 In France, where every court is able to refer issues to the Cour de Cassation
for preliminary ruling (see article 706-64 CPP), only limited use is made of this
possibility. in 2006 there were 4 requests in criminal cases and 16 in civil cases. See
the 2006 Annual Report of the Cour de Cassation, which can be found at www.
courdecassation.fr.

(c) Pada tahap apa permintaan preliminary ruling baru
boleh dibuat? Fakta-faktanya sudah harus diketahui
dengan pasti terlebih dahulu sebelum permintaan
preliminary ruling dilakukan. Mahkamah Agung tidak
boleh dibebani dengan keharusan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang kemudian belakangan baru diketahui
bahwa ternyata tidak relevan.
(d) Apakah pengadilan harus mendengarkan para
pihak terlebih dahulu sebelum melakukan permintaan
preliminary ruling ke Mahkamah Agung? Walaupun
tampaknya lebih baik tidak membuat kaget para pihak
dan lebih baik mencegah ditanyakannya pertanyaan
yang tidak tepat, bila diharuskan mendengar para pihak
terlebih dahulu hal itu juga akan membuat prosedurnya
menjadi makin rumit. Lagipula, acara mendengarkan
para pihak terlebih dahulu itu dapat secara kasar
dilakukan bersamaan dengan acara-acara lain yang
mirip, seperti permintaan atas informasi mengenai
hukum asing (pasal 68 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Perdata) dan pengajuan pertanyaan kepada ahli
(pasal 194 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara
Perdata).
(e) Apakah Mahkamah Agung harus selalu wajib
memberikan jawaban yang rinci? Satu alasan mengapa
lebih baik tidak diwajibkan demikian adalah karena
Mahkamah Agung jadinya bisa dihadapkan pada terlalu
banyak (kebanjiran) pertanyaan dari judex factie (dan
dengan demikian menjadi memindahkan masalah
kepada pengadilan kasasi). Akan tetapi, di sisi lain,
apabila Mahkamah diwajibkan harus selalu memberikan
jawaban yang rinci, maka hal itu akan meningkatkan
kredibilitas sistem ini dan juga akan memaksa
Mahkamah Agung selalu memberikan kejelasan, meski
tetap perlu disediakan ruang bagi pengecualian untuk
Mahkamah Agung kalau pertanyaannya sudah terlalu
banyak atau terlalu salah. Untuk saat ini, tampaknya
solusi yang paling mungkin dapat dilakukan adalah
memberikan Mahkamah Agung kewenangan menolak
suatu pertanyaan tanpa perlu menyebutkan alasannya
sama sekali.
(c) At what stage should requests for preliminary
rulings be made? The facts must have been sufficiently
established before a preliminary ruling is requested. The
Supreme Court should not be burdened with answering
questions that are later found to be irrelevant.
(d) Should the court hear the parties before requesting
a preliminary ruling? Although it would seem desirable
to avoid surprising the parties and prevent the wrong
questions from being asked, hearing the parties first
would also complicate the procedure. The hearing
of the parties could, incidentally, roughly coincide
with other similar procedures such as requests for
information about foreign law (article 68 of the Code
of Civil Procedure) and the submission of questions to
experts (article 194, paragraph 2 of the Code of Civil
Procedure).
Komite Hammerstein
(e) Should the Supreme Court always be obliged to
give a detailed answer? A reason for not making this
obligatory would be that the Supreme Court could
be confronted with too many (superfluous) questions
by the courts of fact (which would thereby shift the
problem to the cassation court). However, an affirmative
answer would improve the credibility of the procedure
and compel the Supreme Court to provide clarity,
although it would be necessary to provide for an
escape clause in the event of superfluous or erroneous
questions. For the time being, the most workable
solution would seem to be to grant the Supreme Court
the power to refuse a question without stating grounds.
73

74 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
(f) Haruskah Mahkamah Agung mendengarkan terlebih
dahulu para pihak? Secara logis, kelihatannya memang
Mahkamah Agung harus mendengarkan terlebih dahulu
para pihak. Akan tetapi, mendengarkan para pihak akan
memperlambat sistem ini. Oleh karena itu, batas waktu
perlu diperhatikan.
(g) Bila sudah pernah ada preliminary ruling atas suatu
perkara, apakah permohonan kasasi masih dibolehkan?
Di sini juga, jawabannya barangkali harus “ya, masih”,
akan tetapi hal itu dapat menimbulkan duplikasi
pekerjaan. Namun sebetulnya ini bukan sesuatu yang
jarang terjadi. Hukum acara yang membuat kasasi dapat
terjadi berulang-ulang bukanlah suatu hal yang aneh.
(h) Apakah dalam proses kasasi berikutnya nanti
Mahkamah Agung terikat pada preliminary ruling-nya
sendiri? Kelihatannya hampir tidak mungkin Mahkamah
Agung beralih ke jawaban berbeda pada saat proses
kasasi, tentu saja apabila selama proses pemeriksaan
kasasi tidak ada muncul fakta yang muncul setelah
dijatuhkannya preliminary ruling yang dapat mengubah
pendekatan Mahkamah Agung terhadap pertanyaan
tersebut. Namun tampaknya tidak tepat bagi sistem
kita bila Mahkamah Agung mutlak wajib mengikuti
pendapatnya sendiri dalam preliminary ruling. Dalam
keadaan yang sangat eksepsional, Mahkamah Agung
harus diberi kebebasan untuk berubah pikiran.
(i) Sebaiknya dalam bidang hukum apa sajakah sistem
preliminary ruling diberlakukan? Sebagaimana terlihat
dari penjelasan di bab 3, sebetulnya masalah adanya
kebutuhan menyempurnakan sistem bagaimana perkara
tertentu masuk ke Mahkamah Agung hanya terjadi di
sektor perdata.
Singkatnya, ada banyak isu yang harus dijawab untuk
memutuskan apakah tepat dan bermanfaat diberlakukan
sistem preliminary ruling; dan kalau ternyata memang tepat
dan bermanfaat, bagaimana implementasinya. Akan
(f) Should the Supreme Court hear the parties? An
affirmative answer to this question would seem logical.
However, hearing the parties will slow down the
procedure and it will therefore be necessary to monitor
the time limits.
(g) Should appeal in cassation be possible after a
preliminary ruling? Here too, the answer must probably
be in the affirmative, but it could result in duplication of
work. In fact, this is not uncommon. Repeat cassation
procedures are no longer exceptional.
(h) Would the Supreme Court be bound in any
subsequent cassation proceedings by its preliminary
ruling? It is unlikely that the Supreme Court would
arrive at a different answer in the cassation proceedings,
certainly if nothing has occurred in the proceedings on
the facts to change the approach to the question since
the completion of the preliminary ruling procedure.
However, a situation in which the Supreme Court is
strictly bound by the preliminary ruling would not
seem appropriate in our system. In very exceptional
circumstances the Supreme Court should be free to
change its mind.
(i) In what fields of law would the introduction of a
preliminary ruling procedure be desirable? It was seen
in chapter 3 that the need to improve the procedure by
which certain cases come before the Supreme Court in
fact exists only in the civil sector.
In short, there are many issues to be resolved in
deciding whether a preliminary ruling procedure is
desirable and, if so, how it should be implemented in
practice, but the subject certainly seems to merit study. 87
87 This is notwithstanding the fact that the Supreme Court has in the past rejected

tetapi tentu saja topik ini layak dikaji. 87 Namun harus
digarisbawahi bahwa penggunaan lebih luas atas kasasi
demi kepentingan penyeragaman penerapan hukum
tidak akan memecahkan semua aspek dari masalah tidak
bisanya suatu perkara mencapai meja Mahkamah Agung
atau tidak tibanya suatu perkara di Mahkamah Agung
dalam batas waktu yang semestinya. Pertama-tama,
kasasi untuk kepentingan penyeragaman penerapan
hukum hanya bisa dilakukan bila tidak ada lagi upaya
hukum lain yang tersedia bagi para pihak, dan proses
kasasi untuk kepentingan penyeragaman penerapan
hukum tidak boleh merugikan hak-hak yang diperoleh
para pihak (pasal 78, ayat (6). Dengan kata lain, tidak
seperti preliminary ruling, kasasi demi kepentingan
penyeragaman penerapan hukum tidak ada untungnya
bagi para pihak. Dalam kasasi demi kepentingan
penyeragaman penerapan hukum, para pihak juga
sama sekali tidak dapat memengaruhi proses kasasi
yang demikian. Kebutuhan akan diperkenankannya
meminta preliminary ruling dari Mahkamah Agung
terutama akan dirasakan oleh judex factie- judex factie
ketika memeriksa perkara. Dan keunggulan sistem
preliminary ruling, dibandingkan dengan kasasi demi
kepentingan penyeragaman penerapan hukum, adalah
bahwa para pihak dapat membuat Mahkamah Agung
mengetahui pandangan mereka mengenai isu hukum
tersebut. Pada akhirnya, tentu saja tujuannya adalah agar
dalam sebagian besar perkara tidak perlu lagi dilakukan
permohonan kasasi, apalagi yang menyangkut fakta,
karena isu-isu hukum tersebut sudah dijawab oleh
Mahkamah Agung dalam preliminary ruling-nya.
4.4. Ruang bagi lebih banyak informasi dan konsultasi
Dalam laporan akhirnya, Komite Deetman—yang
mengaji kualitas pengadilan dan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman—membuat rekomendasi berikut:
87 Topik ini tetap patut dikaji meskipun dulu Mahkamah Agung penah menolak
kemungkinan memberlakukan sistem preliminary ruling dikarenakan kelemahan-
kelemahan inherennya sendirif. Lihat Advisory Report Ketua dan Procurator General
Mahkamah Agung Belanda mengenai Laporan Interim tentang Kajian Mendasar
atas Hukum Acara Perdata yang dibuat oleh W.D.H. Asser, H.A. Groen dan J.B.M.
Vranken, dengan bantuan I.N. Tzankova, yang dapat diakses di www.hogeraad.nl, dan
advisory report-advisory report negatif yang dirujuk dalam advisory report ini.
It should be noted, however, that broader application
of cassation in the interests of the uniform application
of the law would not resolve all aspects of the problem
of cases being unable to reach the Supreme Court or
reach it in time. First of all, cassation in the interests
of the uniform application of the law can be instituted
only if no further legal remedy is available to the parties
and such cassation proceedings may not prejudice the
rights acquired by the parties (section 78, subsection 6
of the Judiciary (Organisation) Act). In other words,
it is of no benefit to the parties, unlike a preliminary
ruling. Nor can the parties exercise any influence over
cassation proceedings in the interests of the uniform
application of the law. The need to be able to refer
questions for a preliminary ruling will be felt mainly
by courts of fact during the trial of a case, and a
preliminary ruling procedure would have the advantage,
in comparison with cassation in the interests of the
uniform application of the law, that the parties could
inform the Supreme Court of their views on the legal
issue concerned. Finally, the intention is naturally that
in most cases there would be no point in instituting an
appeal, in any event as regards the point of fact, since
the legal issues would already have been addressed by
the Supreme Court in the preliminary ruling.
4.4. Scope for more information and consultation
In its final report the Deetman Committee on the
quality of the courts and the administration of justice
made the following recommendation:
Komite Hammerstein
the possibility of a preliminary ruling procedure owing to its inherent drawbacks. See
the Advisory Report of the President and the Procurator General to the Supreme
Court of the Netherlands on the Interim Report on the Fundamental Review of
Dutch Civil Procedure of W.D.H. Asser, H.A. Groen and J.B.M. Vranken, with as-
sistance from I.N. Tzankova, which can be found at www.hogeraad.nl, and the previ-
ous negative advisory reports to which reference is made in this advisory report.
75

76 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
‘Dari perspektif penyeragaman hukum,
Komisi Yudisial harus berkonsultasi dengan
Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan
administratif tertinggi mengenai sifat dan
isi dari kesepakatan-kesepakatan yudisial
(judicial agreements) yang dilakukan untuk
penyeragaman penerapan hukum. Untuk
membantu Mahkamah Agung dan pengadilan-
pengadilan administratif tertinggi dalam
memonitor kualitas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, kesalahan-kesalahan yang umum dan
praktik-praktik peradilan yang tidak baik harus
disebutkan dalam laporan tahunan.’
Komite Deetman membuat rekomendasi ini karena
fungsi Komite Yudisial adalah memberikan dukungan
bagi kegiatan pengadilan-pengadilan yang ditujukan
untuk mencapai keseragaman penerapan hukum dan
mendukung fungsi Mahkamah Agung memonitor
keseragaman hukum. Komite kami mengadopsi intisari
dan pokok-pokok pikiran dari rekomendasi Komite
Deetman dan mengusulkan agar diimplementasikan
dengan cara sebagai berikut.
Mahkamah Agung harus mencoba menciptakan
hubungan kerja yang sebaik mungkin dengan semua
judex factie. Semua ketiga bagian Mahkamah Agung
harus menyelenggarakan konsultasi secara rutin dengan
pengadilan-pengadilan banding dan harus menentukan
sendiri agendanya apa saja yang hendak didiskusikan,
serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
umum, asalkan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak
terkait dengan perkara secara spesifik. Kegiatan konsultasi
seperti ini akan sangat bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Ketua Mahkamah Agung mengadakan kegiatan konsultasi
secara periodik dengan Komisi Yudisial, Menteri
Kehakiman, dan Organisasi Profesi Advokat. Konsultasi
ini dapat dilengkapi dengan membuat semacam magang
di Mahkamah Agung dan di Procurator General’s Office bagi
para hakim dan pejabat pengadilan. Dalam magang itu
mereka akan ditempatkan di posisi yang sesuai bagi mereka.
Hal ini akan meningkatkan pemahaman mereka mengenai
‘From the perspective of legal uniformity the
Council for the Judiciary should consult with the
Supreme Court and the highest administrative
courts about the nature and content of judicial
agreements for the uniform application of the
law. To assist the Supreme Court and the highest
administrative courts in monitoring the quality
of the administration of justice, common errors
and undesirable practices of the courts should
be mentioned in the annual reports.’
The Deetman Committee made this recommendation
as it is the function of the Council for the Judiciary to
provide support for activities of the courts designed to
achieve uniform application of the law and the function
of the Supreme Court to monitor legal uniformity. The
Committee adopts the broad thrust of the Deetman
Committee’s recommendation and proposes that it be
implemented in the following way.
The Supreme Court should try to establish the best
possible working relationship with the courts of fact.
All three divisions of the Supreme Court should
hold regular consultations with the courts of appeal
and should themselves put items on the agenda for
discussion and answer general questions, provided they
do not relate to specific cases. Such consultations are
regarded as valuable by both sides. The presidency of
the Supreme Court holds periodic consultations with
the Council for the Judiciary, the Ministry of Justice and
the Bar. These consultations could be supplemented
by seconding judges and trainee judicial officers to the
Supreme Court and the Procurator General’s Office
to work in suitable positions. This would improve
their understanding of the administration of justice
in cassation and provide the Supreme Court and the
Procurator General’s Office with more information
about how the courts of fact operate in practice.

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam hal kasasi
dan sekaligus memberikan gambaran atau masukan bagi
Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office mengenai
bagaimana para judex factie bekerja dalam kenyataan di
lapangan. Para hakim dan pejabat pengadilan yang magang
itu akan ditempatkan di pusat penelitian selama jangka
waktu tertentu (sekitar enam bulan sampai satu tahun),
menghadiri rapat permusyawaratan hakim Mahkamah Agung,
dan membuat draft memorandum untuk Mahkamah Agung
dan Procurator General’s Office, sehingga mereka tidak hanya akan
membantu tetapi juga mendapatkan pengalaman yang relevan.
Kemungkinan lain adalah diadakannya periode tertentu untuk
pelatihan praktis bagi hakim-hakim berpengalaman. Komite
kami merekomendasikan agar hal ini dibahas oleh Ketua
Mahkamah Agung dan Procurator General
dengan Komisi Yudisial.
Mahkamah Agung juga memiliki tugas memberikan
informasi. Putusan-putusan yang menyangkut isu-
isu sosial yang penting atau yang dapat memiliki
konsekuensi bagi masyarakat atau berbagai kelompok
dalam masyarakat harus diumumkan tidak hanya
melalui penerbitan di jurnal-jurnal profesi akan tetapi
juga melalui cara-cara lain. Jadi cara penyampaiannya
ditentukan oleh pesan yang hendak disampaikan dan
kelompok sasaran yang dituju.
Hal ini berarti Mahkamah Agung harus terus
melakukan kebijakannya saat ini, yakni memberikan
informasi yang jelas kepada masyarakat umum dan
media. Bagi Komite, Laporan Tahunan Mahkamah
Agung Tahun 2005-2006 dan cara Mahkamah Agung
mengomunikasikan putusannya ke media dalam
perkara ABN-AMRO adalah contoh-contoh bagaimana
komunikasi ini dapat dilakukan dengan baik dan
memadai. Website www.hogeraad.nl dapat diakses
dan memberikan informasi yang disesuaikan dengan
kebutuhan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda
yang mengunjungi situs tersebut (yakni masyarakat
umum, wartawan, dan advokat). Penjelasan mengenai
putusan-putusan Mahkamah Agung di bagian “berita”
cocok bagi konsumsi masyarakat umum. Adanya
Judges and trainee judicial officers could work for a
given period (six months to one year) in the research
centre, attend deliberations in chambers and draft
memorandums for the Supreme Court and the
Procurator General’s Office, thereby not only providing
assistance but also gaining relevant experience. Another
possibility would be periods of practical training
for experienced judges and justices. The Committee
recommends that this be discussed by the President of
the Supreme Court and the Procurator General with the
Council for the Judiciary.
Komite Hammerstein
The Supreme Court also has a duty to provide
information. Decisions which relate to important
social issues or may have consequences for society
or groups in society should be made known not only
through publication in professional journals but also
in other ways. The manner of communication should be
determined according to the message and the target group.
This means that the Supreme Court should continue
its present policy of providing clear information to the
general public and the media. The 2005-2006 Annual
Report of the Supreme Court and the manner in which
the Supreme Court communicated its judgment in the
ABN-AMRO case to the media are, in the opinion of
the Committee, examples of how this can be done in
an adequate manner. The www.hogeraad.nl website
is accessible and provides information tailored to the
needs of the different groups who visit the website
(i.e. the general public, journalists and lawyers). The
account given of the judgments in the news item
section is suitable for the general public. The use of
briefing judges is a step in the right direction as well.
It would also be possible for the Supreme Court to
77

78 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
hakim yang memberi penjelasan ringkas (briefing judges)
juga merupakan suatu langkah ke arah yang tepat.
Mahkamah Agung sebetulnya juga dapat menambahkan
satu bab lagi dalam laporan tahunannya, yakni bab
mengenai kebijakan dan implementasi kebijakan. Di
bab itu Mahkamah Agung dapat menjelaskan, misalnya,
bagaimana Mahkamah Agung menerapkan pasal 81
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi). Pada
kesempatan lain, Mahkamah Agung juga dapat memberikan
informasi umum mengenai perkembangan-perkembangan
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
4.5. Tidak ada kasasi ex proprio motu untuk sektor perdata
Diberlakukannya kemungkinan kasasi yang dilakukan
atas inisiatif Mahkamah Agung sendiri (kasasi ex proprio
motu) telah diusulkan sebagai cara untuk memastikan
bahwa bagian perdata Mahkamah Agung memiliki ruang
untuk membuat putusan-putusan yang memberikan
panduan yang lebih jelas. Usul ini didasarkan
pada asumsi bahwa bagian perdata menganggap
ketergantungannya pada adanya permohonan kasasi
dari para pihak sebagai suatu pembatasan yang tidak
semestinya. Akan tetapi kenyataannya dalam kenyataan
praktik tidaklah demikian. Mahkamah Agung membuka
ruang kemungkinan bagi dirinya untuk menafsirkan
dalil-dalil permohonan kasasi, dan dalam beberapa tahun
terakhir Mahkamah Agung cukup jarang memanfaatkan
ruang geraknya untuk membuat penjelasan yang agak
longgar daripada yang secara ketat disyaratkan oleh dalil-
dalil permohonan kasasi tersebut. Di samping itu, adanya
ruang untuk melakukan kasasi ex proprio motu tidak
begitu sejalan dengan sistem bahwa beracara di kasasi
wajib menggunakan kuasa hukum (dan harus advokat
yang memiliki spesialisasi untuk itu). Oleh karena itu,
bahkan telah ada seruan-seruan agar kasasi ex proprio
motu juga dihapuskan saja untuk sektor pidana. 88 Terlebih
lagi, otonomi para pihak juga menjadi salah satu aspek
dalam sistem kita, yang dengan sendirinya tidak mudah
88 Sebagai contoh, lihat W.A.M. van Schendel, Cassatie in strafzaken (Nederlands recht)
(Kasasi dalam perkara pidana (hukum Belanda)), Laporan Awal Asosiasi Kajian
Hukum Perbandingan Belgia dan Belanda, Den Haag: Boom Juridische uitgevers
2007, hal. 127.
include a section in its annual report on policy and
policy implementation, describing, for example, how
it applies section 81 of the Judiciary (Organisation)
Act in its decisions. On other occasions, it could also
provide general information about developments in the
administration of justice.
4.5. No cassation ex proprio motu for the civil sector
Introduction of the possibility of cassation proceedings
instituted on the initiative of the Supreme Court
(cassation ex proprio motu) has been proposed as a means
of ensuring that the civil division is in a position to give
decisions that provide more guidance. This proposal was
based on the assumption that the civil division regards
its dependence on the submissions of the parties as
unduly restrictive. In practice, this is not really the
case. The Supreme Court allows itself some scope in
interpreting submissions, and has in recent years made
fairly regular use of its scope for providing a rather
broader explanation than is strictly required by the
submissions. In addition, the possibility of cassation
ex proprio motu is not really in keeping with the system
of compulsory (and specialised) legal representation
in cassation proceedings. Consequently, there have
even been calls for its abolition in the criminal sector. 88
Furthermore, the autonomy of the parties is also
an aspect of the system that is in itself not easily
compatible with the introduction of cassation ex proprio
motu. It is fairly unlikely that a manifestly incorrect
ruling of a lower court on an essential point would
not be adequately challenged in cassation proceedings,
and cassation ex proprio motu would not seem to be
the appropriate remedy for redressing other rulings.
88 See, for example, W.A.M. van Schendel, Cassatie in strafzaken (Nederlands recht)
(Cassation in criminal cases (Dutch law)), Preliminary Report for the Association
for the Comparative Study of the Law of Belgium and the Netherlands, The Hague:
Boom Juridische uitgevers 2007, pp. 127.

untuk dibuat menjadi sejalan dengan diberlakukannya
kasasi ex proprio motu. Cukup kecil kemungkinan bahwa
sebuah putusan pengadilan yang lebih rendah yang
mengandung kekhilafan yang nyata dalam hal atau
isu yang esensial tidak akan dapat di-challenge (digugat)
dengan memadai dalam proses kasasi. Kasasi ex proprio
motu juga kelihatannya bukan upaya hukum yang tepat
untuk mengoreksi putusan-putusan yang lain selain
yang mengandung kekhilafan yang nyata. Dan terakhir,
dibukanya kemungkinan kasasi ex proprio motu bisa-bisa
akan membawa konsekuensi harus diterapkannya aturan-
aturan ex proprio motu dalam hukum Eropa selain untuk
merespons dalil-dalil kasasi. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi-komplikasi yang serius. 89 Atas dasar alasan-
alasan inilah Komite tidak menyetujui ide ini.
4.6. Evaluasi pada saat yang tepat terhadap larangan-larangan
melakukan kasasi
Beban kerja Mahkamah Agung dapat diringankan
dengan cara memperluas larangan-larangan melakukan
kasasi, entah apakah hasil dari langkah tersebut dapat
diimpasi oleh ditunjuknya sebuah pengadilan banding
tunggal sebagai otoritas tertinggi (guna mengawal
keseragaman hukum) yang dibarengi dengan dibukanya
kemungkinan kasasi demi kepentingan penyeragaman
penerapan hukum (sebagai sarana bagi Mahkamah
Agung untuk melakukan pemeriksaan yang saksama).
Namun, secara sepintas Komite cenderung tidak setuju
dengan ide memperluas larangan-larangan melakukan
kasasi. Larangan seperti ini akan mengakibatkan
berkurangnya kemampuan Mahkamah Agung melakukan
pemeriksaan yang saksama atas perkara-perkara yang
89 Lihat A.S. Hartkamp, Ambtshalve aanvullen van rechtsgronden naar Europees en naar
Nederlands recht (Suplementasi dasar hukum secara ex officio berdasarkan hukum Eropa
dan hukum Belanda), pidato pelantikan, Nijmegen, 2007; dan Ambtshalve toetsing van
algemene voorwaarden in consumentenovereenkomsten. Heeft de Hoge Raad de jurispridentie van
het Hof van Justitie gemist? (Pengujian ex officio terhadap ketentuan-ketentuan kontrak
standar dalam kontrak konsumen: apakah Mahkamah Agung Belanda telah mengang-
gap remeh yurisprudensi ECJ (Pengadilan Eropa)?), WPNR 6736 (2007), hal. 1055 ff;
H.L. van der Beek, Europees consumentenrecht en de verplichting tot ambtshalve toetsing door de
rechter (Hukum konsumen Eropa dan kewajiban pengadilan menerapkan peninjauan
secara ex officio), dalam: Vergelijkender Wijs, Himpunan esai sebagai penghormatan
terhadap E. Hondius, Kluwer 2007.
Finally, the possibility of cassation ex proprio motu could
necessitate the application of rules of European law
ex proprio motu other than in response to submissions,
which could cause serious complications. 89 For these
reasons the Committee is not in favour of this idea.
4.6. Evaluation of cassation prohibitions in due course
The workload of the Supreme Court could be lightened
by extending the cassation prohibitions, whether or
not the impact of such a measure is offset by the
designation of a single court of appeal as the highest
authority (to safeguard legal uniformity) in combination
with the possibility of cassation in the interests of the
uniform application of the law (as a means for the
Supreme Court to exercise scrutiny). However, at first
sight the Committee would be against an extension of
the cassation prohibitions. Such an extension would
mean that the Supreme Court would be less able to
scrutinise cases barred from cassation. The Committee
would therefore prefer to maintain the present range of
cases since it believes that introduction of the proposed
selection mechanism will enable the Supreme Court to
concentrate to a greater extent on cases of real importance.
89 See A.S. Hartkamp, Ambtshalve aanvullen van rechtsgronden naar Europees en naar
Nederlands recht (Ex officio supplementation of legal grounds under European and
Dutch law), inaugural lecture, Nijmegen, 2007; and Ambtshalve toetsing van algemene
voorwaarden in consumentenovereenkomsten. Heeft de Hoge Raad de jurispridentie van het
Hof van Justitie gemist? (Ex officio testing of standard contract terms in consumer
contracts: has the Dutch Supreme Court overlooked the ECJ’s case law?), WPNR
6736 (2007), p. 1055 ff; H.L. van der Beek, Europees consumentenrecht en de verplichting
tot ambtshalve toetsing door de rechter (European consumer law and the obligation of the
courts to apply ex officio review), in: Vergelijkender Wijs, Collection of essays in
honour of E. Hondius, Kluwer 2007.
Komite Hammerstein
79

80 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
tidak boleh dikasasikan. Oleh karena itu Komite
lebih setuju tetap dipertahankannya range (cakupan)
jenis perkara yang berlaku saat ini. Sebab, Komite
berkeyakinan bahwa bila mekanisme seleksi yang
diusulkan di atas diberlakukan, hal itu akan membuat
Mahkamah Agung dapat lebih berkonsentrasi lagi pada
perkara-perkara yang benar-benar penting.
Namun demikian, barangkali tetap saja tak ada salahnya
untuk secara hati-hati membuat daftar dan menganalisis
sekali lagi semua jenis perkara yang bisa dibawa ke
meja kasasi (termasuk yurisprudensi yang ada tentang
menolak banding dan larangan-larangan melakukan
kasasi), 90 asalkan kemungkinan mengajukan kasasi ini
bisa dipertimbangkan ulang lagi untuk bidang-bidang
khusus tertentu. Komite berkeyakinan bahwa saat yang
tepat untuk melakukan evaluasi seperti ini adalah setelah
adanya pengalaman melaksanakan mekanisme seleksi di
atas selama beberapa tahun. Dalam laporan ini, Komite
telah mendorong dan menganjurkan adanya mekanisme
seleksi tersebut. Komite sama sekali tidak menolak
kemungkinan bahwa bahkan bisa saja nantinya ada ruang
untuk memberlakukan kemungkinan kasasi bagi jenis-
jenis perkara tertentu, bila dirasakan adanya kebutuhan
akan hal itu.
4.7. Kesimpulan
(i) Tindakan konkret paling utama yang menurut
Komite perlu dilakukan dalam waktu dekat guna
membuat Mahkamah Agung mampu meningkatkan
kinerjanya dalam melakukan peran normatifnya adalah
diberlakukannya suatu mekanisme seleksi ‘langsung di
pintu gerbang’. Untuk itu, diperlukan adanya perubahan
dalam hukum sehingga ada landasan hukum untuk
langkah ini. Harus dibuat landasan hukumnya berupa
undang-undang, yakni landasan hukum bagi Mahkamah
Agung untuk memutuskan tidak menerima suatu
perkara, entah dengan mengikuti atau tidak pendapat
yang mengarah ke tidak diterimanya suatu perkara.
90 Tentang hal ini, lihat, misalnya, I.F. Dam, Doorbreking van wettelijke appèl- en cas-
satieverboden (Penolakan terhadap banding yang dilakukan berdasarkan undang-undang
dan larangan-larangan melakukan kasasi), TCR 1994, hal. 25-29.
Nonetheless, it might still be worthwhile to carefully list
and analyse once again all the different kinds of cases in
which cassation proceedings can be instituted (including
the case law on overturning appeal and cassation
prohibitions), 90 provided that this possibility of
instituting cassation proceedings could be reconsidered
for certain specific fields. The Committee believes that
a good time to conduct such an evaluation would be
once some years’ experience have been gained with the
operation of the selection mechanism, the introduction
of which it has advocated in this report. The Committee
by no means excludes the possibility that there might
even then be scope for introducing the possibility of
cassation in certain types of cases, if there is found to
be a need for this.
4.7. Conclusion
(i) The main concrete measure which the Committee
considers necessary in the near future to enable
the Supreme Court to improve performance of its
normative role is the introduction of a mechanism for
selection ‘at the gate’. This will require a change in the
law. A statutory basis must be created for the decision to
be taken by the Supreme Court not to deal with a case,
whether or not following an opinion to this effect.
90 On this point see, for example, I.F. Dam, Doorbreking van wettelijke appèl- en cas-
satieverboden (Overturning statutory appeal and cassation prohibitions), TCR 1994,
pp. 25-29.

Sebuah mekanisme seleksi yang efisien akan memperkuat
wibawa Mahkamah Agung dan membuat para pihak
dapat ‘menghemat’ banyak biaya dan tenaga yang akan
terbuang sia-sia, sebab perkara yang tidak memiliki
peluang berhasil dapat ditolak pada tahap awal. Manfaat
lainnya adalah bahwa dalam banyak perkara putusan
yang dipersoalkan ke jenjang kasasi itu dapat lebih cepat
menjadi in kracht van gewijsde dan lebih cepat dipastikan
tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadapnya lagi
sehingga memberikan kepastian kepada para pihak
pada tahap yang lebih dini, serta, dalam hal perkara
pidana, godaan untuk melakukan kasasi yang sebetulnya
didasarkan pada niat menunda-nunda pelaksanaan
hukuman akan berkurang. Mekanisme seleksi ini juga
akan membuat Mahkamah Agung dan Procurator General’s
Office ‘menghemat’ sangat banyak waktu dan tenaga
karena mereka tidak lagi harus menyingkirkan banyak
perkara yang tidak layak untuk dibawa ke meja kasasi.
Diberlakukannya mekanisme seleksi dan kriteria seleksi
yang ketat berdasarkan fungsi-fungsi Mahkamah
Agung harus dibarengi dengan amandemen pasal 81
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Organisasi)
agar dapat memasukkan kriteria yang ketat tersebut.
Permohonan kasasi yang memenuhi kriteria tersebut
harus dapat disingkirkan berdasarkan pasal 81 hasil
amandemen tersebut.
Komite merekomendasikan pada Menteri Kehakiman
agar perubahan hukum ini dilakukan secepat mungkin.
Komite juga merekomendasikan kepada Mahkamah
Agung dan Procurator General’s Office bahwa mereka harus,
bilamana memungkinkan, mengantisipasi perubahan
hukum ini dengan cara menafsirkan pasal 81 ini seluas
mungkin.
(ii) Komite juga merekomendasikan penerapan yang
lebih luas atas kasasi demi kepentingan penyeragaman
penerapan hukum. Hal ini dapat memperkuat peran
Mahkamah Agung dalam memberikan pedoman atau
panduan bagi para praktisi hukum dan dalam memonitor
kualitas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
Komite Hammerstein
An efficient selection mechanism could strengthen the
authority of the Supreme Court and save the parties
pointless (and costly) work, as cases that do not stand
a chance of success could be dismissed as an early
stage. Other benefits are that decisions challenged
in cassation could in many cases become final and
unappealable more quickly, thereby providing the parties
with certainty at an earlier stage, and the incentive to
appeal in cassation in criminal cases due to the stay
in enforcement of sentence would be reduced. The
selection mechanism would also provide a considerable
saving of time and effort for the Supreme Court and
the Procurator General’s Office as they would no longer
have to dispose of many cases unsuitable for cassation.
The introduction of the selection mechanism and a
strict selection criterion based on the functions of the
Supreme Court would have to be accompanied by an
amendment to section 81 of the Judiciary (Organisation)
Act to incorporate the same strict criterion. Submissions
in cases that meet the criterion must be capable of being
disposed of in accordance with the modified section � .
The Committee recommends to the Minister of Justice
that this change in the law be introduced at the earliest
possible opportunity and recommends to the Supreme
Court and the Procurator General’s Office that they
should, wherever possible, anticipate this change in the
law by interpreting section 81 as broadly as possible.
(ii) The Committee also recommends broader
application of cassation in the interests of the
uniform application of the law. This could strengthen
the Supreme Court’s role of providing guidance to
legal practitioners and monitoring the quality of
81

82 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure
khususnya apabila keberatan yang ada saat ini (seperti
tidak adanya adu argumen hukum oleh para pihak yang
berlawanan dalam suatu perkara) dapat diatasi dengan
memberlakukan kemungkinan bagi para pihak untuk
memberikan komentar atas permohonan kasasi Procurator
General dan memberikan informasi mengenai masalah
yang menjadi subyek permohonan kasasi itu. Komite
merekomendasikan agar Procurator General Mahkamah
Agung mengambil langkah-langkah guna tercapainya hal ini.
(iii) Komite memandang penting adanya kajian mengenai
kemungkinan diberlakukannya sistem preliminary ruling,
khususnya untuk bagian perdata. Hal ini akan menjadi
cara untuk memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan
yang saat ini tidak mencapai meja Mahkamah Agung
atau tidak tiba di Mahkamah Agung dalam batas waktu
yang semestinya bagaimanapun juga dapat diajukan
ke meja kasasi. Komite merekomendasikan agar
Menteri Kehakiman menugaskan Pusat Penelitian dan
Dokumentasi untuk melakukan kajian ini.
(iv) Komite juga berpendapat bahwa adanya semacam
magang di posisi yang sesuai di Mahkamah Agung
dan Procurator General’s Office bagi hakim yang belum
berpengalaman dan pejabat pengadilan serta adanya
pelatihan praktis selama jangka waktu tertentu di
Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office bagi
hakim-hakim berpengalaman dari pengadilan banding
dapat semakin meningkatkan kesepahaman bersama
satu sama lain, khususnya karena dengan demikian
Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office akan
mendapatkan informasi yang lebih memadai mengenai
bagaimana para judex factie bekerja dalam kenyataan
di lapangan. Komite merekomendasikan agar hal ini
dibahas oleh Ketua Mahkamah Agung dan Procurator
General dengan Komisi Yudisial.
(v) Komite berpandangan tidak ada gunanya memperke-
nankan bagian perdata Mahkamah Agung melakukan
kasasi atas inisiatifnya sendiri (kasasi ex proprio motu).
the administration of justice, particularly if existing
objections (such as the absence of legal argument
between opposing parties) could be overcome by
introducing the possibility of commenting on the
application of the Procurator General and providing
information about the subject of the cassation appeal.
The Committee recommends that the Procurator
General at the Supreme Court take measures for this
purpose.
(iii) The Committee considers it important to study
the possibility of introducing a preliminary ruling
procedure, particularly for the civil division. This would
be a way of ensuring that questions which do not
currently reach the Supreme Court or reach it in time
could nonetheless be raised in cassation proceedings.
The Committee recommends that the Minister of
Justice commission the Research and Documentation
Centre to carry out this study.
(iv) The Committee also considers that secondment of
inexperienced judges and trainee judicial officers to the
Supreme Court and the Procurator General’s Office in
suitable positions as well as periods of practical training
there for experienced judges and justices of the courts
of appeal could foster better mutual understanding,
particularly since the Supreme Court and the Procurator
General’s Office would then be better informed
about how the courts of fact operate in practice. The
Committee recommends that the President of the
Supreme Court and the Procurator General discuss the
subject with the Council for the Judiciary.
(v) The Committee sees no advantage in allowing the
civil division to institute cassation proceedings on its
own initiative (cassation ex proprio motu).

(vi) Akhir kata, Komite cenderung tidak setuju dengan ide
memperluas larangan-larangan melakukan kasasi untuk
saat ini, dan merekomendasikan agar dilakukan suatu
kajian mengenai apakah larangan-larangan melakukan
kasasi yang sedang berlaku saat ini konsisten satu sama
lain dan apakah lebih baik bila itu pembatasan itu dibatasi
ataukah lebih baik bila pembatasan itu diperluas (dan,
bila memang demikian baiknya, dalam bidang apa saja).
Komite juga merekomendasikan bahwa kajian tersebut
harus dilakukan begitu efek dari mekanisme seleksi yang
direkomendasikan di atas sudah terlihat jelas. Komite
merekomendasikan agar Menteri Kehakiman menugaskan
Pusat Penelitian dan Dokumentasi untuk melakukan
kajian ini pada saatnya yang tepat nanti.
(vi) Finally, the Committee would be against extending
cassation prohibitions at present and recommends that
a study of whether the existing cassation prohibitions
are consistent with one another and whether it would
be desirable to limit or extend them (and, if so, in what
area) should be carried out once the effects of the
recommended selection mechanism become clear. The
Committee recommends that the Minister of Justice
commission the Research and Documentation Centre to
carry out this study in due course.
Komite Hammerstein
83

84 Menyempurnakan Hukum Acara Kasasi | Improving Cassation Procedure

Pengantar kepada
Mahkamah Agung
Belanda
(Hoge Raad der Nederlanden)
1. Pendahuluan
Sebagai pengadilan tertinggi dalam ranah hukum
perdata, pidana dan pajak di Belanda, Mahkamah Agung
mempunyai tanggung jawab untuk mengadili perkara
kasasi dan berbagai tugas yang khusus yang diwajibkan
oleh hukum.
Tugas utama dari Procurator General dari Mahkamah
Agung adalah memberikan saran dan pertimbangan yang
independen kepada para Hakim Agung – juga dikenal
dengan istilah ‘advisory opinion’- tentang bagaimana cara
memutus dalam perkara kasasi yang dihadapkan kepada
mereka.
Direktur Operasi dan anggotanya ditugaskan untuk
memfasilitasi tugas-tugas dari Mahkamah Agung dan
departemen Procurator General.
Mahkamah Agung, Procurator General dan departemennya
dan Direktur Operasi bersama-sama membentuk satu
organisasi.
2. Gambaran Sistem Pengadilan Belanda
Umum
Sebagian besar Hukum Belanda termaktub dalam
berbagai perjanjian internasional, Konstitusi, kitab
undang-undang, undang-undang, dan ordonansi daerah
tingkat I (provinsi) maupun II (kabupaten/kotamadya).
Sebagaimana didefinisikan oleh Konsitusi, Undang-
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
An Introduction to
the Supreme Court of
the Netherlands
(Hoge Raad der Nederlanden)
1. Introduction
As the highest court in the fields of civil, criminal
and tax law in the Netherlands, the Supreme Court is
responsible for hearing appeals in cassation and for a
number of specific tasks with which it is charged by law.
The main task of the Procurator General of the
Supreme Court is to provide the members of the
Supreme Court with independent advice – known as
an ‘advisory opinion’ - on how to rule in the cassation
proceedings before them.
The Director of Operations and his staff are charged
wIth facilitating the tasks of the Supreme Court and the
office of the Procurator General.
The Supreme Court, the Procurator General and his
office and the Director of Operations form a single
organisation.
2. Outline of the Dutch judicial system
General
A large proportion of Dutch law is laid down in
international agreements, the Constitution, legal codes,
acts and municipal and provincial ordinances. As defined
by the Constitution, the Judiciary (Organization) Act
and other acts, the role of the courts in applying the law
85

86 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Undang (Organisasi) Kehakiman dan undang-undang
lainnya, peran dari pengadilan dalam menerapkan hukum
adalah untuk menciptakan ketertiban dan membentuk
perkembangan hukum tersebut.
Dalam kasus-kasus yang diajukan kepada berbagai
pengadilan, bisa saja muncul sengketa mengenai arti/
makna dari suatu peraturan atau regulasi. Pengadilan
tidak boleh menolak untuk mengadili kasus tersebut.
Perbedaan antara putusan pengadilan yang satu
dengan pengadilan yang lain harus dihindarkan. Untuk
memastikan keseragaman hukum dan yurisprudensi,
suatu badan tertinggi (paling berwenang) harus
mengawasi putusan-putusan yang dibuat oleh pengadilan
di bawahnya dan juga mengawasi pembentukan
hukum baru. Dalam ranah perdata, pidana, dan pajak,
Mahkamah Agung mengisi peran ini karena Mahkamah
Agung mempunyai kewenangan untuk membatalkan
putusan-putusan dari pengadilan di bawahnya jika
pengadilan-pengadilan di bawahnya tersebut tidak
memperhatikan hukum yang bersifat prosedural atau jika
putusan-putusan pengadilan tersebut tidak sesuai dengan
hukum yang berlaku. Hal ini dikenal dengan istilah kasasi
dan merupakan tugas paling penting dari Mahkamah
Agung.
Peradilan di Belanda
Undang-Undang (Organisasi) Kehakiman tahun 1827
mengatur bahwa pengadilan biasa harus terdiri dari
19 (sembilan belas) pengadilan daerah (pengadilan
tingkat pertama), 5 (lima) pengadilan tingkat banding
dan Mahkamah Agung. Pengadilan-pengadilan ini
menanagani, secara umum, semua perkara yang terkait
dengan hukum perdata, hukum pidana, dan hukum
pajak.
Dalam hukum administrasi, otoritas legislatif boleh
menuntut baik pengadilan biasa maupun tribunal khusus
atas pelanggaran keadilan administrasi. Kedua pilihan
tersebut pernah dilaksanakan. Pengadilan daerah,
pengadilan tingkat banding, dan Mahkamah Agung
merupakan badan yang bertanggung jawab untuk
is to create order and shape its development.
In the cases submitted to the courts, disputes may arise
as to the meaning of a particular rule or regulation in a
specific case. A court may not refuse to give judgment.
Discrepancies between the judgments of different
courts must be avoided. To ensure the uniformity of
law and case law, a single supreme body must monitor
decisions by the lower courts and the formation of
new law. In the fields of civil, criminal and tax law,
the Supreme Court fills this role, as it has the power
to quash the decisions of lower courts if they do not
give due consideration to procedural rules or if their
judgments are not in accordance with the applicable law.
This is known as cassation and is the most important
task of the Supreme Court.
The judiciary in the Netherlands
The Judiciary (Organization) Act of 1827 provides that
the ordinary courts shall comprise 19 district courts (the
courts of first instance), 5 courts of appeal and the
Supreme Court. These courts deal with, in general, civil
law, criminal law and tax law.
In administrative law the legislative authorities may
charge either the ordinary courts or special tribunals
with the administration of justice. Both options have
been exercised.

perkara-perkara terkait hukum pajak.
Pengadilan daerah dalam tingkat pertama dan tribunal
khusus, pada umumnya, mempunyai tanggung jawab
dalam ranah hukum administrasi. Tribunal ini termasuk:
- Dewan Banding Pusat (atau The Central Ap-
peals Council) (keamanan sosial dan hukum
tentang pegawai negeri sipil)
- Divisi Yurisdiksi Administratif dari Dewan
Pusat (atau the Administrative Jurisdiction Division
of the Council of State) (hukum administrasi
secara umum)
- Badan Banding untuk Masalah Perdagangan-
dan Perindustrian (atau the Trade and Industry
Affairs Appeal College) (hukum publik ekonomi)
3. Tugas-tugas manajerial dan operasional yang
terkait dengan peradilan di Belanda
Dewan Peradilan diberikan tanggung jawab atas
sejumlah tugas dalam lapangan ini. Dewan Peradilan
adalah bagian dari sistem peradilan, namun tidak
melaksanakan proses peradilan. Pada tahun 2002, Dewan
Peradilan telah mengambil alih kewajiban dari Menteri
Kehakiman atas sejumlah tugas peradilan. Tugas-tugas
ini bersifat operasional dan termasuk dalam alokasi
anggaran, pengawasan manajemen finansial, kebijakan
staf/anggota (termasuk seleksi dan pelatihan para
hakim), ICT dan akomodasi (tempat tinggal). Dewan ini
mendukung pengadilan-pengadilan dalam melaksanakan
berbagai tugas mereka dalam lapangan ini. Tugas penting
lain Dewan ini adalah untuk meningkatkan kualitas
dalam sistem peradilan dan memberikan saran atas
produk legislasi baru yang mempunyai dampak terhadap
kegiatan administrasi peradilan.
Namun, Dewan Peradilan tidak mempunyai tanggung
jawab atas tugas-tugas ini sepanjang mengenai Divisi
Yurisdiksi Administratif dari Dewan Pusat (atau the
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
The district courts, courts of appeal and the Supreme
Court are responsible for tax law.
The district courts of first instance and special
tribunals are generally responsible for other areas of
administrative law. These special tribunals include
- the Central Appeals Council (social secrurity
and public servants law)
- the Administrative Jurisdiction Division of
the Council of State (administrative law in
general)
- the Trade and Industry Affairs Appeal
College(economic public law)
3. The managerial and operational tasks related to
the judiciary in the Netherlands
The Council for the Judiciary is charged with a number
of tasks in this field. The Council for the Judiciary is
part of the judiciary system, but does not administer
justice itself. In 2002 it has taken over responsibility
from the ministry of Justice for a number of tasks
concerning the judiciary. These tasks are operational
in nature and include the allocation of budgets,
supervision of financial management, personnel policy
(including selection and training of the judiciary),
ICT and housing. The Council supports the courts in
executing their tasks in these areas. Another central task
of the Council is to promote quality within the judiciary
system and to advise on new legislation which has
implications for the administration of justice.
However, the Council for the Judiciary has no
responsibility for these tasks as far as the Administrative
Jurisdiction Division of the Council of State and the
87

88 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Administrative Jurisdiction Division of the Council of State)
dan Mahkamah Agung.
4. Tugas-tugas manajerial dan operasional yang
terkait dengan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung bertanggung jawab atas tugas-
tugas manajerial dan operasionalnya sendiri. Seperti
yang telah disebutkan di atas, Mahkamah Agung,
Procurator General dan Direktur Operasi membentuk
suatu organisasi. Direktur Operasi dan staf/anggotanya
diberikan tanggung jawab untuk memfasilitasi tugas-
tugas dari Mahkamah Agung dan departemen Procurator
General. Alokasi untuk dana Pengadilan-pengadilan
sedang didiskusikan berdasarkan dasar pengucuran
dana per tahun dengan Menteri Kehakiman. Organisasi
Pengadilan sendiri menangani pengawasan atas
manajemen finansial, kebijakan staf/anggota (termasuk
seleksi Hakim), ICT, dokumen-dokumen pengadilan dan
akomodasi dan bantuan administrasi.
Dalam rangka mengurangi kuantitas tugas utama dari
Pengadilan, melaksanakan proses peradilan, pekerjaan
sehari-hari diorganisasikan dalam tiga divisi sesuai
dengan tiga lapangan hukum utama: divisi perdata,
pidana, dan pajak. Setiap divisi terdiri dari: 2 orang wakil
presiden dan sekitar 10 (sepuluh) hakim, 5 (lima) sampai
10 (sepuluh) Advocates General, sekitar 35 anggota pejabat
peneliti hukum dan bantuan administrasi.
Bagaimana cara menangani perkara yang bertambah
jumlahnya di Mahkamah Agung?
Dua usaha (langkah) telah diperkenalkan pada masa lalu
untuk mengurangi jumlah perkara yang harus ditangani
oleh Mahkamah Agung.
Pertama, harus dimungkinkan sebuah majelis yang
terdiri dari 3 (tiga) orang hakim dibandingkan 5 (lima)
hakim untuk mengadili suatu kasus. Yang kedua adalah
dengan memperkenalkan Bagian 81 Undang-Undang
(Organisasi) Kehakiman.
Supreme Court are concerned.
4. The managerial and operational tasks related to
the Supreme Court
The Supreme Court is responsible for its own
managerial and operational tasks. As mentioned above,
the Supreme Court, the Procurator General and the
Director of Operations form a single organization. The
Director of Operations and his staff are charged with
facilitating the tasks of the Supreme Court and the ffice
of the Procurator General. The allocation of the Courts
budget is being discussed on a year to year basis with
the ministry of Justice. The Court organization itself
takes care of supervision of financial management,
personnel policy (including selection of the members of
the Court) , ICT, registries and administrative support
and housing.
In order to streamline the primary task of the Court,
administrating justice, the day to day work is organized
in three divisions in accordance with the three main
legal areas: a civil, a criminal and a tax division. Each
division consists of: 2 vice-presidents and approximately
10 judges, 5 to 10 advocates general, approximately 35
members of the legal research office and administrative
support.
How to cope with the growing caseload of the Supreme
Court?
Two measures have been introduced in the past in order
to reduce the growing workload of the Supreme Court.
The first made it possible for a panel of three
instead of five judges to hear cases. The second
was the introduction of section 81 of the Judiciary
(Organization) Act.

Untuk informasi lebih lanjut, lihat annex 1: Ketentuan Undang-
Undang yang diperkenalkan untuk mengembangkan sistem
pengurangan perkara kasasi yang efisien, Pasal 75 dan 81
Undang-Undang (Organisasi) Kehakiman.
Walaupun 2 (dua) langkah ini membantu, faktanya adalah
bahwa jumlah perkara yang harus ditangani Mahkamah
Agung terus bertambah beberapa tahun belakangan ini.
Strategi baru sedang dipertimbangkan, khususnya
pengenalan suatu sistem untuk menyeleksi kasus-kasus
pada tahap sedini mungkin, terutama perkara yang
tidak pantas untuk diadili pada tingkat kasasi, agar
memungkinkan penanganan perkara-perkara (kasus)
dengan cepat dan dengan efisien.
Untuk informasi lebih lanjut, lihat annex 2: Laporan ringkasan
komite Hammerstein.
5. Kasasi: tugas utama Mahkamah Agung
Tugas Mahkamah Agung yang paling penting adalah
kasasi. Tujuan kasasi adalah untuk memelihara
keseragaman hukum, untuk mengendalikan
perkembangan hukum, dan untuk menjaga perlindungan
hukum. Kasasi merupakan bentuk pengawasan atas
kualitas putusan-putusan yang ditentang dan yang
diberikan oleh pengadilan tingkat banding terkait dengan
penerapan hukum dan pertimbangan (alasan) hukum
yang mendasari putusan tersebut. Mahkamah Agung
juga diberikan tugas kasasi atas putusan-putusan dari
Hakim Pengadilan Gabungan (Joint Court of Justice)
Netherland Antilles dan Arubi dalam lapangan hukum
pidana dan perdata.
Putusan-putusan dalam perkara administratif tidak
dimungkinkan untuk dimohonkan kasasinya, kecuali
untuk putusan-putusan Dewan Banding Pusat (the Central
Appeals Council) berdasarkan pada dasar yang spesifik dan
limitatif.
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
For more information see annex 1: Statutory provisions
introduced to promote the efficient disposal of appeals in cassation,
articles 75 and 81 of the Judiciary (Organization) Act.
Although these two measures were helpful, the fact is
that the workload has continued to grow in recent years.
New strategies are now being considered, in particular
the introduction of a system to select cases in a very
early stage, in order to be able to cope quickly and
efficiently with cases unfit for cassation.
For more information see annex 2: Summary of the report of the
Hammerstein committee.
5. Cassation: the main task of the Supreme Court
The most important task of the Supreme Court is
cassation. The aim of cassation is to preserve legal
uniformity, to steer the development of law and to
safeguard legal protection. Cassation is a check on the
quality of contested judgments given by the courts of
appeal as regards both the application of law and the
legal reasoning behind it. The Supreme Court is also
charged with cassation in judgments of the Joint Court
of Justice of the Netherlands Antilles and Aruba in the
fields of criminal and civil law.
Judgments in administrative cases are not open to
appeal in cassation, except for judgments of the Central
Appeals Council on specific and limited grounds.
89

90 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Sifat perkara kasasi
Terdapat perbedaan yang esensial antara kasasi dan
banding biasa. Pada umumnya, ketika terhadap suatu
kasus diajukan banding, semua aspek kasus tersebut
dipertimbangkan kembali dan pemeriksaan baru
atas fakta-fakta bisa saja dilakukan jika dipandang
perlu. Namun, pengadilan tingkat kasasi mempunyai
kebebasan yang terbatas, khususnya ketika fakta-fakta
kasus tersebut dipermasalahkan. Mahkamah Agung
dipersyaratkan oleh hukum untuk mendasarkan
pertimbangannya (analisisnya) atas fakta-fakta hukum
yang sudah ditentukan oleh pengadilan di bawahnya.
Kasasi berarti membatalkan putusan pengadilan
berdasarkan pertimbangan hukum, termasuk hukum
prosedural. Mahkamah Agung juga mengawasi apakah
pengadilan di bawahnya telah memenuhi persyaratan
prosedur yang adil (due process).
Setelah kasasi, Mahkamah Agung umumnya merujuk
kasus tersebut kepada pengadilan tingkat banding untuk
menangani kasus tersebut lebih lanjut. Mahkamah
Agung hanya akan memberikan putusan terakhir jika
tidak ada pertanyaan penting tentang fakta yang tersisa
untuk dijawab (ditentukan).
Secara umum, proses peradilan di Mahkamah Agung
berlangsung hampir keseluruhannya dalam bentuk
tulisan. Kasasi, sama halnya dengan upaya hukum yang
tersedia di pengadilan lain, diatur oleh batas waktu
dan ketentuan formal berdasarkan undang-undang.
Karena terdapat perbedaan peraturan perundang-
undangan tentang batas waktu, tidak ada batas waktu
yang bisa ditentukan secara umum untuk perkara kasasi.
Ketentuan formal termasuk prinsip perwakilan hukum
yang wajib.
Perwakilan yang wajib
Dalam kasus-kasus perdata, para pihak tidak boleh
mengajukan kasasi sendiri atau bertindak atas namanya
sendiri dalam titik waktu manapun dalam perkara kasasi.
Ketentuan undang-undang mempersyaratkan mereka
Nature of cassation proceedings
There is an essential difference between cassation and
ordinary appeals. Ordinarily, when a case is appealed
every aspect of it is reconsidered and a new examination
of the facts may take place if necessary. However,
a court of cassation has limited freedom, especially
where the facts are concerned. The Supreme Court is
required by law to base its deliberations on the facts as
established by the lower court.
Cassation means quashing a judicial decision on a point
of law, including procedural law. The Supreme Court
also monitors whether the lower court satisfied the
requirements of due process.
After cassation the Supreme Court usually refers the
case to a court of appeal in order to deal with the case
further, since the Supreme Court itself is prohibited
from considering questions of fact. The Supreme Court
only passes final judgment if no significant questions of
fact remain to be decided.
In general, proceedings before the Supreme Court take
place almost entirely in writing. Appeal in cassation, like
other legal remedies available at other courts, is subject
to statutory time limits and formal provisions. Because
different regulations set different time limits, no time
limits for appeals in cassation in general can be given.
Formal provisions include the principle of mandatory
legal representation.
Mandatory representation
In civil cases parties may not lodge an appeal in
cassation themselves or indeed act on their own
behalf at any point in cassation proceedings. Statutory
provisions require them to be represented by a lawyer

untuk diwakili oleh seorang pengacara yang terdaftar
dalam Hague Bar, perhimpunan advokat ini memonopoli
kasus-kasus perdata dalam tingkat kasasi.
Dalam kasus-kasus pidana, para terdakwa boleh
mengajukan kasasi sendiri, namun dipersyaratkan
oleh hukum untuk memiliki seorang pengacara
yang mengajukan dasar kasasi dalam bentuk tertulis.
Kejaksaan juga tidak diizinkan untuk mengajukan kasasi.
Pengacara yang mewakili para terdakwa dalam kasus-
kasus pidana tidak harus terdaftar dalam Hague bar.
Dalam kasus-kasus pajak, pembayar pajak atau badan
yang menuntut pembayaran boleh mengajukan kasasi
dan mengajukan dasar kasasi, namun juga boleh
menggunakan perwakilan hukum.
Dalam semua kasus, pengacara hanya diizinkan untuk
menyampaikan petitumnya dan dasarnya secara lisan di
Mahkamah Agung.
Bagaimana cara Mahkamah Agung bekerja
Pada prinsipnya, kombinasi dari 5 (lima) hakim
Mahkamah Agung yang memutuskan. Beberapa kasus,
tergantung pada sifat kasus tersebut, bisa diputuskan
dengan kombinasi 3 (tiga) hakim. Sistem konsultasi
dalam kamar-kamar yang diadopsi oleh Pengadilan
berarti dalam banyak kasus, para hakim yang tidak
duduk dalam majelis tertentu dalam kasus tertentu, bisa
memberikan pendapat mereka terkait dengan kasus yang
sedang diadili dalam kamar-kamar tersebut. Konsultasi-
konsultasi dalam kamar-kamar ini dilakukan 1 kali per
minggu.
Kamar-Kamar Mahkamah Agung
Kamar pertama bertanggung jawab atas kasus-kasus
perdata, termasuk hukum perdagangan dan keluarga.
Divisi ini juga menangani banyak kasus yang tidak jatuh
dalam ranah hukum perdata secara kaku, seperti halnya
kasus-kasus yang berdasarkan pada Undang-Undang
(Penerimaan Paksa) Rumah Sakit Psikiatris (Psychiatric
Hospitals (Compulsory Admission) Act).
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
registered with the Hague bar, this bar has a monopoly
on cassation in civil cases.
In criminal cases defendants may lodge appeals in
cassation themselves but are required by law to have a
lawyer submit the grounds for cassation in writing. The
Public Prosecution Service is also allowed to appeal in
cassation. Lawyers representing defendants in criminal
cases need not be registered with the Hague bar.
In tax cases, the taxpayer or the body demanding
payment may both lodge appeals in cassation and
submit grounds for cassation, but may also use legal
representation.
In all cases lawyers only are entitled to oral pleadings in
the Supreme Court.
How the Supreme Court works
In principle a combination of five judges of the
Supreme Court rules. Some cases, depending on their
nature, may be ruled by a combintion of three judges.
The system of consultations in chambers adopted by
the Court means that in many cases judges who are not
sitting on a particular panel in a particular case, can give
their views on the matter at issue in chambers. These
consultations in chambers take place on a weekly basis.
The Chambers of the Supreme Court
The first chamber is responsible for civil cases, including
commercial law and family law. This division also deals
with many cases that do not fall under civil law in the
strictest sense, like those pursuant to the Psychiatric
Hospitals (Compulsory Admission) Act.
91

92 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Kasus-kasus pidana dan ekstradisi merupakan tanggung
jawab kamar kedua, yang juga menangani pengajuan
peninjauan kembali kasus-kasus pidana.
Kamar ketiga berkutat dengan kasus-kasus pajak.
Hakim-hakim Mahkamah Agung dari berbagai latar
belakang profesional, namun prioritasnya dari peradilan
(kehakiman), profesi hukum dan universitas. Beberapa
adalah spesialis, sementara yang lainnya adalah generalis
(dengan pengetahuan hukum yang merata dalam
berbagai bidang).
Untuk informasi lebih lanjut tentang seleksi dan nominasi
hakim-hakim Mahkamah Agung, lihat Annex 3.
Mahkamah Agung menerbitkan peraturan internalnya
sendiri “reglementen”, yang menggambarkan kasus-kasus
dan subyek-subyek yang sedang ditangani oleh kamar
perdata, pidana, atau pajak.
Peraturan perundang-undangan terkait hukum
prosedural per kamar “rolreglementen” juga diterbitkan.
Oleh karena itu, pengacara-pengacara mengetahui cara
untuk mengajukan kasasi dan aturan-aturan prosedural
yang berlaku.
Tugas-tugas lain Mahkamah Agung
Pengadilan juga menangani aplikasi (pengajuan
permohonan) Procurator General untuk memberhentikan
sementara atau memberhentikan para hakim. Karena
hakim harus independen untuk melaksanakan kewajiban-
kewajibannya secara baik, hakim-hakim ditunjuk
(diangkat) untuk seumur hidup, dengan umur pensiun
wajib pada umur 70 tahun. Oleh karena itu, hakim-
hakim tersebut tidak bisa diberhentikan sementara
atau diberhentikan secara melawan kehendak mereka
oleh pemerintah atau parlemen (legislatif). Mahkamah
Agung mempunyai kewenangan untuk memberhentikan
atau memberhentikan sementara hakim-hakim yang
secara jelas tidak cocok (sehat) untuk menjabat
atau telah dihukum atas pelanggaran hukum yang
serius. Mahkamah Agung jarang sekali perlu untuk
Criminal cases and extradition are the responsibility of
the second chamber, which also handles applications for
review in criminal cases.
The third chamber is concerned with tax cases.
The judges of the Supreme Court come from a variety
of professional backgrounds, but primarily from the
judiciary, the legal profession and universities. Some are
specialists, others are generalists.
For more information on selection and nomination of Supreme
Court judges, see annex 3.
The Supreme Court publishes its own internal
regulations “reglementen”, describing which cases and
subjects are being dealt with by the civil, or criminal or
tax chamber.
Regulations on procedural law per chamber
“rolreglementen” are being published as well. Thus
lawyers know how to lodge their appeals in cassation
and the applicable procedural rules.
Other tasks of the Supreme Court
The Court also deals with the Procurator General’s
applications to suspend or dismiss members of the
judiciary. Because the judiciary must be independent
in order to carry out its duties properly, judges are
appointed for life, with a mandatory retirement age of
70. They cannot therefore be suspended or dismissed
against their will by the government or parliament.
The Supreme Court does have the power to dismiss or
suspend judges who are clearly unfit to serve or have
been convicted of a serious offence. The court rarely
needs to exercise this power, not only because such
cases are rare, but also because the judge in question
generally resigns rather than waits to be dismissed.

melaksanakan kewenangan ini, bukan hanya karena
kasus-kasus yang demikian itu langka, namun juga karena
hakim-hakim tersebut, pada umumnya, mengundurkan
diri daripada menunggu diberhentikan.
Mahkamah Agung juga bertanggung jawab untuk
menyidik hakim-hakim yang terhadapnya komplain
(keluhan) telah disampaikan kepada Procurator General.
6. Pelarangan atas peninjauan kembali
konstitusional
Konstitusi Belanda melarang pengadilan-pengadilan
untuk meninjau kembali konstitusionalitas Undang-
Undang yang dibuat oleh Parlemen, walaupun mereka
diwajibkan untuk memeriksa apakah peraturan
perundang-undangan sudah sesuai dengan perjanjian-
perjanjian internasional. Pelarangan atas peninjauan
kembali konstitusional ditentukan dalam Pasal 120
Konstitusi.
Hal ini tidak berarti bahwa jenis legislasi semacam
ini tidak akan pada suatu waktu ditinjau kembali
berdasarkan konstitusi. Pada faktanya, hal ini dilakukan
dalam tahap persiapan oleh badan-badan yang terlibat
dalam pembuatan legislasi (Dewan Negara (the Council
of State) dalam peran pemberi saran (advisory role), dan
legislator. Dengan kata lain, pemerintah dan kedua
kamar parlemen (both Houses of Parliament). Pada
dasarnya, tugas ini merupakan tanggung jawab paling
penting dari badan-badan ini untuk memastikan bahwa
tidak ada legislasi yang diundangkan yang bertentangan
dengan Konstitusi.
7. Tanggung Jawab Procurator General
7.1 Tugas Utama: Pendapat Saran (Advisory opinions)
Tugas terpenting Procurator General dan Advocates
General Mahkamah Agung adalah untuk memberi
saran yang independen kepada Mahkamah Agung,
yang dikenal sebagai advisory opinion, tentang cara untuk
memutuskan suatu kasus yang diajukan kepada mereka.
Pendapat-pendapat ini merepresentasikan kontribusi
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
The Supreme Court is also responsible for investigating
judges about whom the Procurator General has received
complaints.
6. The ban on constitutional review
The Dutch Constitution prohibits the courts from
reviewing the constitutionality of Acts of Parliament,
although they are obliged to assess whether statutory
regulations are compatible with international treaties.
The ban on constitutional review is laid down in article
120 of the Constitution.
This does not mean that this type of legislation is at no
point reviewed in the light of the Constitution. This is
in fact done during the preparatory stage by the bodies
involved in enacting legislation (the Council of State
in its advisory role, and the legislature, in other words,
the government and both Houses of Parliament). It is
first and foremost the responsibility of these bodies
to ensure that no legislation is passed that is in conflict
with the Constitution.
7. Responsibilities of the Procurator General
7.1 Main task: Advisory opinions
The most important task of the Procurator General
and the advocates general of the Supreme Court
is to provide the Court with independent advice,
known as an advisory opinion, on how to rule in the
proceedings before them. These opinions represent a
substantial, indeed indispensable, contribution to the
93

94 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
yang substansial, dan sangat penting, kepada tugas
Mahkamah Agung dan oleh karenanya kepada kualitas
dari administrasi hakim dan evolusinya, perlindungan
hukumnya, dan keseragaman hukumnya. Sebuah advisory
opinion meninjau kembali fakta-fakta yang mana harus
didasarkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya,
pertanyaan-pertanyaan hukum yang harus dijawab
Pengadilan, putusan pengadilan yang terhadapnya sedang
diajukan kasasi, pendapat sarjana dan yurisprudensi
yang ada. Sebagai tambahan, sejumlah solusi yang
memungkinkan kadang tersedia. Dalam kasus-kasus
perdata dan kebanyakan kasus pidana, advisory opinion
tersebut dipersyaratkan. Tidak ada persyaratan yang
demikian dalam kasus-kasus pajak. Mahkamah Agung
bebas untuk menyetujui atau menyatakan perbedaan
pendapat dengan advisory opinion dan tidak diwajibkan
untuk bertanggungjawab terkait hal ini. Advisory opinion
dipubllikasikan bersama-sama dengan putusan-putusan
dalam jurnal-jurnal hukum dan di internet. Mahkamah
Agung mempublikasikan putusan-putusan dalam
website: www.rechtspraak.nl. Untuk melindungi privasi,
semua nama individu telah dihapus sebelum publikasi
ini.
7.2 Kewajiban khusus Procurator General:
Keluhan-keluhan terhadap para hakim
Keluhan-keluhan bahwa pejabat publik telah bersikap
secara tidak pantas secara umum bisa diajukan ke
ombudsman nasional. Namun, karena independensi
peradilan, keluhan-keluhan atas sikap tidak pantas dari
para hakim harus diajukan ke Board dari Pengadilan
tempat Hakim yang bersangkutan bertugas. Dalam hal
terjadi ketidaksetujuan dengan prosedur dalam Board
ini, keluhan lanjutan bisa diajukan dengan Procurator
General Mahkamah Agung. Putusan-putusan pengadilan
dikecualikan dari prosedur ini karena terhadap putusan-
putusan tersebut masih bisa diajukan banding dan
mungkin kasasi
Untuk informasi lebih lanjut: Tindakan-tindakan dan
keluhan-keluhan disipliner terhadap para hakim, annex 4
Supreme Court’s work and thereby to the quality of
the administration of justice and its evolution, legal
protection and legal uniformity. An advisory opinion
generally reviews the facts upon which the Supreme
Court must base its judgment, the legal questions the
Court must answer, the decision of the court whose
judgment is being appealed in cassation, scholarly
opinion and existing case law. In addition, a number
of possible solutions are sometimes presented. In civil
cases and most criminal cases an advisory opinion is
required. There is no such requirement in tax cases. The
Supreme Court is free to concur with or differ from the
advisory opinion and is not obliged to account for itself
in this respect. The advisory opinions are published
together with the judgments in legal journals and on the
internet. The Supreme Court publishes its rulings on a
website: www.rechtspraak.nl. In order to protect their
privacy all names of private individuals have been erased
before publication.
7.2 Special responsibilities of the Procurator General:
Complaints against members of the judiciary
Complaints that a public official has behaved improperly
may generally be submitted to the national ombudsman.
However, because of the independence of the judiciary,
complaints of improper behaviour on the part of judges
must be submitted to the Board of the judge’s court. In
case of disagreement with the procedures at this Board,
a further complaint can be lodged with the Procurator
General of the Supreme Court. Court decisions are
excluded from this procedure, since they are open to
appeal and possibly to appeal in cassation.
See for more information: Disciplinary measures and complaints
against judges, annex 4

Pemberhentian sementara dan pemberhentian para
hakim
Karena independensi kehakiman dan Procurator
General Mahkamah Agung adalah esensial bagi rule of
law, Konstitusi menyatakan bahwa mereka ditunjuk
(diangkat) untuk seumur hidup. Procurator General dan
Advocates General Mahkamah Agung juga ditunjuk
(diangkat) untuk seumur hidup. Undang-Undang
(Organisasi) Kehakiman menentukan umur pensiun
wajib yaitu 70 tahun. Para hakim bisa saja tidak
diberhentikan sementara atau diberhentikan oleh
pemerintah atau parlemen.
Walaupun demikian, situasi masih bisa saja
muncul (terjadi) dimana dipandang penting untuk
memberhentikan sementara atau memberhentikan
seorang hakim, contohnya jika hakim bersangkutan
tidak lagi secara fisik maupun mental mampu untuk
menjalankan tugas-tugasnya atau jika dia telah dihukum
atas pelanggaran serius. Dalam situasi tersebut, Procurator
General diberikan kewenangan oleh hukum untuk
mengajukan aplikasi untuk pemberhentian sementara
atau pemberhentian kepada Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung memutuskan apakah menerima
atau menolak pengajuan aplikasi untuk pemberhentian
sementara atau pemberhentian tersebut. Seorang hakim
yang sedang menunggu untuk dihukum atas pelanggaran
serius pada umumnya akan mengundurkan diri kemudian
menunggu proses pemberhentian.
Mahkamah Agung juga bertanggung jawab atas
pemberhentian sementara dan pemberhentian para
hakim pada sebagian besar tribunal khusus, sekali
lagi dengan pengecualian atas the Council of State’s
Administrative Jurisdiction Division, yang sudah
mempunyai prosedurnya sendiri.
Kasasi demi kepentingan keseragaman penerapan
hukum
Putusan-putusan kasasi penting baik dalam hal
pengawasan atas penerapan hukum yang tepat dalam
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Suspension and dismissal of judges
Because the independence of the judiciary and of the
Procurator General of the Supreme Court is essential
to the rule of law, the Constitution stipulates that they
are to be appointed for life. The Procurator General
and the advocates general of the Supreme Court are
also appointed for life. The Judiciary (Organization)
Act sets a compulsory retirement age of 70. Judges may
not be suspended or dismissed by the government or
parliament.
Still, situations may arise in which it is necessary to
suspend or dismiss a judge, for instance if the judge
in question is no longer physically or mentally capable
of performing his duties or if he has been convicted
of a serious offence. In such situations, the Procurator
General is empowered by law to submit an application
for suspension or dismissal to the Supreme Court.
The Supreme Court decides on applications for
suspension or dismissal. Such cases rarely reach this
stage. A judge who anticipates being convicted of a
serious offence will generally resign rather than await
dismissal proceedings.
The Supreme Court is also responsible for suspension
and dismissal of judges at most special tribunals, once
again with the exception of the Council of State’s
Administrative Jurisdiction Division, which has a similar
arrangement of its own.
Cassation in the interest of the uniform application of
the law
Cassation decisions are important both in terms of
monitoring the correct application of the law in given
95

96 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
kasus tertentu maupun dalam hal membuat hukum
baru. Kerap kali Mahkamah Agung, yang mempunyai
kewenangan tertinggi menjawab pertanyaan-pertanyaan
hukum yang mempunyai kepentingan sosial yang paling
besar. Walaupun demikian, seringkali pertanyaan-
pertanyaan hukum yang begitu penting tersebut tetap
berada di luar kewenangan Mahkamah Agung. Hal ini
dikarenakan sifat perkara kasasi yang unik: yang menjadi
taruhannya adalah keseragaman dan perkembangan
peradilan, namun apakah aplikasi untuk banding
tersebut akan dilakukan sangat tergantung kepentingan-
kepentingan individual. Hanya jika pihak yang kalah
dalam sebuah kasus meyakini bahwa perkara kasasi
bisa dimenangkan dan oleh karena itu siap untuk
mendedikasikan waktu dan uang untuk mengajukan
permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung bisa
mengadili dan memberikan putusan. Jika tidak ada
perkara kasasi yang diajukan, Mahkamah Agung tidak
bisa memeriksa pertanyaan hukum yang terkait di dalam
kasus tersebut, seberapapun pentingnya pertanyaan
hukum tersebut.
Kasasi demi kepentingan keseragaman penerapan
hukum dimaksudkan untuk mengatasi masalah ini.
Ketika hal itu menyangkut kepentingan umum untuk
menjawab pertanyaan hukum tertentu, Procurator General
diberikan kewenangan oleh hukum untuk mengajukan
perkara kasasi kepada Mahkamah Agung. Procurator
General menerima permintaan dari kejaksaan,
pengadilan-pengadilan lain, pemerintah dan agen-agen
semi-pemerintah, pelaku-pelaku usaha, individu-individu,
dan para pengacara. Apa yang sering kali gagal disadari
oleh pihak-pihak yang mengajukan permohonan tersebut
adalah bahwa dalam kasus-kasus dimana Mahkamah
Agung membatalkan suatu putusan demi kepentingan
keseragaman penerapan hukum, hak-hak dan posisi para
pihak, seperti yang sudah ditentukan dalam putusan yang
telah dibatalkan, tidak berubah. Pihak yang tidak berhasil
tetap berada dalam kondisi tidak berhasil dan pihak yang
berhasil tetap berada dalam kondisi berhasil.
cases and in terms of creating new law. It is often the
Supreme Court which has the final say in legal questions
of the utmost social importance. Sometimes, however,
such urgent legal questions remain outside the terms
of reference of the Supreme Court. This is because
of the peculiar nature of appeals in cassation: it is the
uniformity and development of justice as a whole which
is at stake, yet whether an application for such an appeal
is made depends on individual interests. Only if the
losing party in a case believes that an appeal in cassation
can be won and is therefore prepared to devote time and
money to lodging such an appeal can the Supreme Court
pass judgment. If no appeal in cassation is lodged it
cannot assess the legal question involved, no matter how
important it may be.
Cassation in the interest of the uniform application of
the law is intended to solve this problem. When it is in
the public interest to address a particular legal question,
the Procurator General is empowered by law to lodge
such an appeal in cassation to the Supreme Court. The
Procurator General receives requests from the public
prosecution service, other courts, government and
semi-government agencies, businesses, individuals and
lawyers. What those making the request often fail to
realize is that even in those cases where the Supreme
Court quashes a judgment in the interest of the uniform
application of the law, the rights and the position of
the parties, as established in the judgment that has been
quashed, do not change. The unsuccessful party remains
unsuccessful and the successful party successful.

Penuntutan atas penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan
Suatu ketentuan yang sudah lama terpatri dalam
Konstitusi menyatakan bahwa pejabat dari jabatan
tinggi (anggota parlemen, para menteri dan para
sekretaris negara) harus diadili oleh Mahkamah Agung
atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam
menjalankan tugas-tugas mereka. Pengadilan dengan
10 (sepuluh) orang hakim akan mengadili kasus-
kasus semacam itu. Dalam kasus-kasus semacam itu,
Mahkamah Agung adalah pengadilan tingkat pertama
dan terakhir. Hal ini berarti tidak ada permohonan
banding maupun permohonan kasasi yang bisa diajukan
terhadap putusan Mahkamah Agung. Procurator General
Mahkamah Agung bertanggung jawab untuk penuntutan
orang-orang yang didakwa menyalahgunakan jabatan
atau kekuasaan. Patut dicatat bahwa Procurator General
tidak bisa memulai (melaksanakan) proses pengadilan
pidana semacam ini. Sebaliknya, proses semacam
ini harus dimulai dari dekrit royal (royal decree) atau
berdasarkan keputusan (resolution) dari kamar bawah
(Lower House) parlemen. Hal ini belum pernah terjadi.
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Prosecution of public office offences
A longstanding provision of the Constitution stipulates
that occupants of high office (members of parliament,
ministers and state secretaries) are to be tried by the
Supreme Court for offences committed in the course of
their duties. A ten-judge court hears cases of this kind.
In such cases the Supreme Court is the court of first
and last instance. This means that no appeal, in cassation
or otherwise, from the Court’s decision is possible. The
Procurator General of the Supreme Court is responsible
for the prosecution of persons charged with public
office offences. It should be noted that the Procurator
General cannot institute criminal proceedings of this
kind. Rather, they must be instituted by royal decree or
by a resolution of the Lower House of parliament. This
has never yet taken place.
97

98 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Annex 1
Ketentuan undang-undang yang diperkenalkan
untuk penyelesaian perkara kasasi dengan efisien
(pasal 75, sub-bagian 3 dan Pasal 81 Undang-
Undang tentang (Organisasi) Kehakiman)
Mahkamah Agung menerima perkara kasasi yang
jumlahnya meningkat beberapa kali lipat sejak tahun
1980an. Dua undang-undang telah diperkenalkan
sebagai salah satu usaha untuk mengurangi beban
kerja yang terus meningkat dan tunggakan kasus yang
dihasilkannya.
Pasal 75, sub-bagian 3 Undang-undang tentang
(Organisasi) Kehakiman
Salah satu undang-undang yang dimaksud adalah
Undang-Undang tanggal 21 Juni 1986 (Buletin
tentang Undang-Undang dan Penetapan 285), yang
sejak keberlakuannya pada tanggal 1 September
1986, memungkinkan kasus-kasus untuk diadili oleh
tiga hakim dan bukan lima Hakim Agung (Pasal 75,
sub-bagian 3 Undang-Undang tentang (Organisasi)
Kehakiman). Ketentuan ini dibuat untuk perkara kasasi
yang bisa dikelompokkan sebagai kasus-kasus yang tidak
kompleks. Keputusan apakah sebuah kasus bisa diadili
oleh majelis tiga hakim ada di tangan ketua majelis dari
majelis lima hakim. Namun, jika satu dari tiga hakim
tersebut mempertimbangkan bahwa kasus tersebut
tidak harusnya diadili dan diselesaikan oleh majelis
tiga hakim, kasus tersebut harus diadili oleh majelis
lima hakim. Pilihan atas majelis tiga-hakim digunakan
secara ekstensif, dan kebanyakan kasus-kasus kriminal
dan perpajakan diadili oleh Mahkamah Agung dengan
cara tersebut. Dalam kasus-kasus perdata, proporsi dari
persidangan dengan majelis tiga hakim adalah jauh lebih
kecil jumlahnya, namun dalam kondisi demikianpun
jumlahnya masih lebih dari seperempat dari total jumlah
kasus.
Annex 1
Statutory provisions introduced to promote the
efficient disposal of appeals in cassation (article
75, subsection 3 and article 81 of the Judiciary
(Organization) Act)
The Supreme Court has seen incoming appeals in
cassation multiply since the 1980s. Two statutory
provisions have therefore been introduced, among other
measures, to help relieve the increasing workload and
reduce the resulting backlog of cases.
Article 75, subsection 3 of the Judiciary
(Organization) Act
One such piece of legislation is the Act of 21 June
1986 (Bulletin of Acts and Decrees 285), which, since
its entry into force on 1 September 1986, has made
it possible for cases to be heard and disposed of by
three instead of five Supreme Court justices (article
75, subsection 3 of the Judiciary (Organization) Act).
This provision was created for appeals in cassation in
cases that can be classified as uncomplicated. It is up to
the presiding justice of a five-member bench to decide
whether a case can be heard by three justices. However,
if one of the three considers that the case does not
lend itself to being heard and settled by a three-member
panel, it is heard by a bench of five justices instead. The
three-justice option is used extensively, and the majority
of criminal and taxation cases are dealt with by the
Supreme Court in this way. In civil cases, the proportion
of three-justice hearings is far lower, but even here it is
over one-quarter of the total.

Pasal 81 Undang-Undang tentang (Organisasi)
Kehakiman
Amandemen penting lainnya diperkenalkan oleh
Undang-Undang tanggal 16 Juni 1988 (Buletin tentang
Undang-Undang dan Penetapan 286). Sejak Undang-
Undang ini berlaku pada tanggal 1 Juli 1988, Mahkamah
Agung telah diberikan kewenangan oleh hukum untuk
mempersingkat (mengambil inti sari) penjelasan tentang
dasar putusannya dalam penolakan Mahkamah Agung
terhadap permohonan kasasi. Kewenangan ini diberikan
semata-mata kepada Mahkamah Agung, dan tidak
berlaku untuk badan-badan kehakiman lainnya.
81 Undang-Undang tentang (Organisasi) Kehakiman
menyatakan sebagai berikut:
“Jika Mahkamah Agung menemukan bahwa gugatan
yang diajukan kepadanya tidak bisa diadili di tingkat
kasasi dan tidak berkenaan dengan penyelesaian isu
hukum demi kepentingan kepastian/keseragaman
hukum atau perkembangan hukum, Mahkamah Agung
bisa membatasi dirinya pada putusan tersebut dalam
menjabarkan alasan/dasar putusannya.”
Pasal 81 Undang-Undang (Organisasi) Kehakiman oleh
karenanya mempunyai aplikasi yang terbatas: Undang-
Undang tersebut hanya bisa diaplikasikan setelah
ditentukan bahwa suatu banding telah ditolak (jika suatu
banding masuk ke tahap kasasi, dasar untuk menolak
(atau menyatakan kasus tersebut tidak bisa dimohonkan
kasasi) putusan pengadilan tinggi di tingkat kasasi harus
selalu diberikan kepada Mahkamah Agung). Aplikasi dari
penyederhanaan alasan ini dalam putusan Mahkamah
Agung, lebih lanjut, mempersyaratkan bahwa Mahkamah
Agung harus yakin bahwa Mahkamah Agung bisa
menolak permohonan kasasi tersebut tanpa keharusan
untuk memutuskan isu hukum demi kepentingan
kepastian/keseragaman hukum atau perkembangan
hukum. Kewenangan tersebut secara eksplisit telah
diberikan kepada Mahkamah Agung untuk memutuskan
apakah Pengadilan menggunakan kewenangan untuk
mengadopsi teknik penyederahanaan alasan ini.
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Article 81 of the Judiciary (Organization) Act
Another major amendment was introduced by Act of
16 June 1988 (Bulletin of Acts and Decrees 286). Since
this Act entered into force on 1 July 1988, the Supreme
Court has been empowered by law to condense its
explanation of the grounds on which its judgment is
based, when dismissing an appeal in cassation. This
power is vested solely in the Supreme Court, and does
not apply to other judicial bodies.
Article 81 of the Judiciary (Organization) Act reads as
follows:
“If the Supreme Court finds that a complaint submitted
to it cannot lead to cassation and does not call for the
resolution of points of law in the interests of legal
uniformity or the development of the law, it may
confine itself to this finding when giving the reasons for
its decision.”
Article 81 of the Judiciary (Organization) Act is hence
of limited application: it can only be applied when it has
been determined that an appeal is to be dismissed. (If an
appeal does lead to cassation, the grounds for quashing
the judgment disputed in cassation must always be given
in the Supreme Court judgment). Application of this
simplified reasoning in its decision further requires that
the Supreme Court must be satisfied that it can dismiss
the appeal without having to resolve points of law in
the interest of legal uniformity or the development of
the law. It has expressly been left to the Supreme Court
itself to decide if the Court uses its power to adopt this
simplified reasoning. There is no obligation whatever to
dispose of cases by applying article 81.
99

100 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Mahkamah Agung tidak mempunyai kewajiban apapun
untuk menyelesaikan kasus dengan menerapkan Pasal 81.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) telah
memutuskan beberapa kali bahwa suatu putusan yang
didasarkan pada Pasal 81 Undang-Undang tentang
(Organisasi) Kehakiman tidak melanggar Pasal 6 ECHR.
Dalam kasus Polman versus The Netherlands (ECHR
9 Juli 2002, nr. 48334/99), Pengadilan tersebut
menyatakan, contohnya:
“Adalah benar bahwa Pasal 6 mempersyaratkan suatu
tribunal untuk menjabarkan alasan-alasan putusannya
secara memadai. Namun, persyaratan ini tidak
mewajibkan pengadilan untuk menjabarkan secara detail
jawaban terhadap setiap argumen yang dikemukakan;
juga bukan merupakan kewajiban pengadilan untuk
memeriksa apakah setiap argumen dibuat secara
memadai (Lihat, contohnya, putusan the Van de Hurk v.
the Netherlands tanggal 19 April 1994, Series A no. 228,
p. 20 §61). Mahkamah Agung bahkan telah menerima
bahwa dalam menolak suatu banding, pengadilan tinggi
bisa, pada prinsipnya, hanya menyetujui/memperkuat
putusan dari pengadilan negeri (pengadilan di bawahnya)
(Lihat, di antara banyak rujukan otoritatif, Garcia Ruiz
v. Spain [GC], no. 30544/96, EHCR 1999-I; Kok v. the
Netherlands (dec.), no 43149/98, ECHR 2000-VI yang
berkaitan dengan aplikasi Pasal 101a (Pasal 81 sekarang)
dari Undang-Undang tentang (Organisasi) Kehakiman.”
Penerapan Pasal 81 Undang-Undang (Organisasi)
Kehakiman tidak terbatas pada jenis perkara kasasi
tertentu. Mahkamah agung bisa menggunakan ketentuan
ini dalam semua kasus yang diajukan kepadanya,
dan kenyataannya adalah Mahkamah Agung sering
menggunakan ketentuan tersebut. Secara umum, sekitar
50% dari kasus-kasus ditolak dengan menggunakan
prosedur yang disederhanakan ini. Keuntungannya
adalah semua permohonan kasasi masih diserahkan
kepada pengadilan tingkat kasasi, berbeda dengan
negara-negara yang menerapkan seleksi banding (a
certiorari system). Dalam certiorari system, seleksi diadakan
The European Court for Human Rights has ruled
several times that a decision based on article 81 of the
Judiciary (Organization) Act does not violate article 6
ECHR.
In the case Polman versus the Netherlands (ECHR 9
July 2002, nr. 48334/99) the Court states for example:
“It is true that Article 6 requires a tribunal to state
adequately the reasons on which its judgments are
based. However, this requirement does not go so far
as to require a detailed answer to every argument put
forward; nor is the Court called upon to examine
whether arguments are adequately met (see, for example,
the Van de Hurk v. the Netherlands judgment of 19
April 1994, Series A no. 228, p. 20 §61). The court has
even accepted that in dismissing an appeal an appellate
court may, in principle, simply endorse the reasons in
the lower court’s decision (see, among other authorities,
García Ruiz v. Spain [GC], no. 30544/96, EHCR 1999-
I; Kok v. the Netherlands (dec.), no. 43149/98, ECHR
2000-VI which concerns the application of Article
101a (present article 81) of the Judiciary (Organization)
Act).”
The application of article 81 of the Judiciary
(Organization) Act is not restricted to any particular
kind of appeal in cassation. The Supreme Court may
avail itself of this provision in all the cases brought
before it, and does in fact make ample use of it. In
general, about 50% of all cases are disposed of by
using this simplified procedure. The advantage is that
all appeals in cassation are still submitted to the court
of cassation, in contrast to countries applying leave to
appeal (a certiorari system). Under leave to appeal, a
selection is made of cases in which cassation is deemed
a possibility; cases that are not selected at this stage are

untuk kasus-kasus dimana kasasi atas banding kasus
tersebut dianggap sebuah kemungkinan; kasus-kasus
yang tidak terpilih pada tahap ini tidak akan pernah
diadili pada tingkat kasasi sama sekali.
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
never heard in cassation at all.
101

102 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Annex 2
Ringkasan dari Laporan Komite Hammerstein:
Meningkatkan kualitas prosedur kasasi
Mahkamah Agung mempunyai peran yang penting
dalam hal melahirkan hukum dari yurisprudensi (judicial
lawmaking) dan perlindungan hukum (legal protection),
peran yang tidak bisa dilihat secara terpisah dari satu
sama lain. Bagaimana cara Mahkamah Agung memenuhi
atau memainkan perannya harus dimodifikasi.
Dalam praktiknya, terlihat bahwa sebagian besar
permohonan kasasi sebenarnya tidaklah layak
untuk menyita perhatian Mahkamah Agung karena
permohonan-permohonan kasasi tersebut tidak
terkait dengan permasalahan yang perlu diselesaikan
sehubungan dengan kepentingan penyeragaman
penerapan hukum ataupun pengembangan hukum
serta tidak juga melibatkan aspek penting perlindungan
hukum. . Perkara-perkara yang tidak melibatkan peran
nyata Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office
ini harus disingkirkan pada tahap sedini mungkin
untuk mengurangi beban kedua institusi yang memiliki
keterbatasan kapasitas ini. Komite menilai bahwa
dalam pengajuan kasasi yang benar-benar melibatkan
perlindungan hak-hak pribadi seseorang, putusan
Mahkamah Agung baru diperlukan jika tanpa putusan
tersebut pihak bersangkutan akan menderita kerugian
signifikan akibat kesalahan-kesalahan pengadilan yang
lebih rendah.
Oleh karena itu, Komite mengusulkan agar dibuatkan
undang-undang yang mengatur suatu mekanisme seleksi
yang memberi kekuasaan kepada Mahkamah Agung
untuk memutus bahwa setiap perkara yang tidak layak
untuk dikasasikan tidaklah dapat diterima. Mekanisme
seleksi tersebut dapat dianggap sebagai suatu langkah
maju yang sejalan dengan kebijakan yang ditempuh
oleh pasal 81 Undang-undang (Organisasi) Kehakiman.
Kemudian suatu kamar seleksi harus melakukan
penyaringan terhadap perkara-perkara yang tidak layak
untuk diajukan kasasinya.
Annex 2
Summary of the Report of the Hammerstein
Committee: Improving cassation procedure
The Supreme Court plays an important role in the fields
of both judicial lawmaking and legal protection, roles
which cannot be viewed separately from each other.
How the Supreme Court fulfils its functions should be
modified.
Practice shows that a substantial proportion of cassation
appeals do not really merit the attention of the Supreme
Court because they do not contain issues that need to
be answered in the interests of the uniform application
or development of the law, nor do they involve an
important aspect of legal protection. These cases, in
which the Supreme Court and the Procurator General
have no real role to play, must be disposed of at the
earliest possible stage of the proceedings in order to
minimise the strain on the limited capacity of these
two institutions. The Committee considers that in
cassation appeals which mainly involve protection of an
individual’s rights a decision of the Supreme Court is
necessary only if the party concerned would otherwise
suffer a significant disadvantage as the result of errors
by the lower court.
The Committee therefore proposes that a selection
mechanism be introduced by law to enable the
Supreme Court to rule that a case which is unsuitable
for cassation proceedings is inadmissible. Such a
selection mechanism could be regarded as a further step
along the path adopted by section 81 of the Judiciary
(Organization) Act. A selection chamber would then
have to filter out cases that are unsuitable for cassation.

Mekanisme seleksi yang efektif dapat memperkuat
wibawa Mahkamah Agung karena dengan adanya
mekanisme ini, Mahkamah dan Procurator General’s
Office dapat memusatkan perhatian mereka pada
pokok-pokok permasalahan yang penting bagi kualitas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Komite
merekomendasikan kepada Menteri Kehakiman untuk
melakukan perubahan dalam undang-undang ini sesegera
mungkin dan merekomendasikan kepada Mahkamah
Agung dan Procurator General’s Office untuk mengantisipasi
perubahan dalam Undang-undang ini melalui penafsiran
pasal 81 tersebut secara lebih luas jika dimungkinkan.
Berbagai langkah harus diambil untuk memastikan
bahwa sarana berupa kasasi tersedia bagi setiap pihak
yang berperkara dan putusan-putusan dalam sidang
kasasi dikeluarkan pada saat yang tepat. Hal ini berarti
perlu dibuatkan peraturan, khususnya di bagian perdata,
yang bertujuan untuk mencegah perkara-perkara yang
melibatkan permasalahan-permasalahan hukum yang
dinilai perlu diputus oleh Mahkamah Agung demi
kepentingan publik gagal sampai ke Mahkamah Agung
atau terlambat sampai ke Mahkamah Agung. Oleh
karena itu, Komite berpendapat bahwa berbagai upaya
dapat dilakukan untuk memperluas pengajuan kasasi
demi kepentingan penyeragaman penerapan hukum.
Dengan demikian, Mahkamah Agung akan memiliki
kondisi yang lebih memadai untuk menjalankan
fungsinya menyediakan panduan bagi para praktisi
hukum dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman. Jika kasasi demi kepentingan
penyeragaman penerapan hukum hendak diterapkan
lebih luas lagi, maka keterbatasan-keterbatasan yang ada,
seperti tidak adanya alasan hukum di antara pihak-pihak
yang berperkara, perlu sejauh mungkin dihilangkan,
misalnya dengan membuka ruang untuk mengomentari
permohonan kasasi Procurator General dan menyediakan
informasi tentang pokok kasasi yang diajukan. Komite
merekomendasikan agar Procurator General Mahkamah
Agung mengambil langkah-langkah untuk tujuan ini.
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
An effective selection mechanism could strengthen the
authority of the Supreme Court since it would enable
both the court and the Procurator General’s Office to
concentrate their attention on subjects of importance
to the quality of the administration of justice. The
Committee recommends to the Minister of Justice
that this change in the law be introduced at the earliest
possible opportunity and recommends to the Supreme
Court and the Procurator General’s Office that they
should, wherever possible, anticipate this change in the
law by interpreting the present section 81 rather more
broadly.
Measures must be taken to ensure that the instrument
of cassation is available to litigants and that decisions
in cassation proceedings are taken in good time. This
means that provision must be made, particularly for
the civil division, to prevent cases involving legal issues
on which a landmark judgment of the Supreme Court
may reasonably be assumed to be required in the
public interest failing to reach the Supreme Court or
to reach it in time. In the Committee’s opinion, efforts
could therefore be made to expand the application of
cassation in the interest of uniform application of the
law. The Supreme Court would then be better placed
to perform its function of providing guidance for
legal practitioners and promoting the quality of the
administration of justice. If cassation in the interests
of the uniform application of the law is applied more
broadly, it would be desirable to remove as far as
possible the existing limitations such as the absence of
legal argument between opposing parties, for example
by introducing the possibility of commenting on the
application of the Procurator General and providing
information about the subject of the cassation appeal.
The Committee recommends that the Procurator
General at the Supreme Court take measures for this
purpose.
103

104 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Komite juga menilai bahwa perlu dipelajari kemungkinan
dibuatnya suatu hukum acara yang memungkinkan
para judex factie, khususnya di bagian perdata, meminta
putusan awal (preliminary ruling) dari Mahkamah Agung.
Hal ini akan menjadi salah satu jalan yang membuka
peluang kasasi bagi perkara-perkara yang saat ini tidak
dapat atau terlambat sampai ke Mahkamah Agung.
Komite merekomendasikan agar Menteri Kehakiman
menugaskan Pusat Penelitian dan Dokumentasi untuk
melakukan kajian ini.
Komite juga merekomendasikan agar Ketua Mahkamah
Agung dan Procurator General melakukan pembahasan
dengan Komisi Yudisial tentang kemungkinan
dilakukannya penempatan sementara, semacam magang,
di Mahkamah Agung dan Procurator General’s Office,
beserta adanya jangka waktu untuk pelatihan praktis, di
posisi-posisi yang sesuai bagi para hakim dan pejabat
pengadilan. Komite tidak setuju dengan gagasan yang
memperbolehkan bagian perdata melakukan kasasi atas
inisiatifnya sendiri. Terakhir, Komite merekomendasikan
agar pada suatu saat dilakukan kajian mengenai konsisten
tidaknya larangan-larangan kasasi yang ada satu dengan
lainnya dan perlu tidaknya larangan-larangan tersebut
dibatasi atau diperluas (dan di bidang apa saja jika perlu).
Komite merekomendasikan agar Menteri Kehakiman
menugaskan Pusat Penelitian dan Dokumentasi untuk
melakukan kajian ini pada saat yang tepat nanti.
Den Haag, Februari 2008
The Committee also considers that it would be
worthwhile studying the possibility of introducing
a procedure that would enable the courts of fact to
request the Supreme Court, in particular the civil
division, for preliminary rulings. This would be another
way in which cassation would become possible for cases
that at present either do not reach the Supreme Court
or do not reach it in time. The Committee recommends
that the Minister of Justice commission the Research
and Documentation Centre to carry out this study.
The Committee also recommends that the President of
the Supreme Court and the Procurator General should
discuss with the Council for the Judiciary the possibility
of secondment and periods of practical training in
suitable positions for judges and trainee judicial officers
at the Supreme Court and the Procurator General’s
Office. The Committee would be against the idea
of allowing the civil division to institute cassation
proceedings on its own initiative. Finally, the Committee
recommends that a study should be carried out at some
point into whether the existing cassation prohibitions
are consistent with one another and whether it would
be desirable to limit or extend them (and, if so, in what
area). The Committee recommends that the Minister of
Justice commission the Research and Documentation
Centre to carry out this study in due course.
The Hague, February 2008

Annex 3
Seleksi dan nominasi para hakim Mahkamah
Agung Belanda
1. Prosedur perekrutan para hakim
Dasar hukum penunjukkan dan prosedur seleksi para
hakim Mahkamah agung bisa ditemukan dalam Pasal
118 Konstitusi (Grondwet) dan pasal 1e-4 Wet rechtspositie
rechterlijke ambtenaren (Undang-undang tentang status
hukum kehakiman). Kedua pasal ini menyatakan bahwa
tidak ada hakim selain yang hakim-hakim Mahkamah
Agung yang ditunjuk oleh Dekrit Royal (Royal Decree)
berdasarkan prorposal dari kamar bawah (Lower House)
parlemen dan suatu nominasi boleh dipilih dari daftar
6 (enam) kandidat yang direkomendasikan, yang akan
disediakan oleh Mahkamah Agung. Bagaimana cara
kamar bawah (Lower House) membuat menetapkan
pilihannya dari daftar 6 (enam) kandidat yang
direkomendasikan dan bagaimana cara Mahkamah
Agung menetapkan daftar ini, tidak diatur.
Ketika sebuah jabatan (posisi) kosong, Mahkamah
Agung memberitahukan kamar bawah (Lower House),
dengan menyediakan daftar 6 (enam) kandidat yang
direkomendasikan. Nama yang berada pada urutan
pertama (yang disebutkan) dalam daftar tersebut adalah
kandidat yang dikehendaki oleh Mahkamah Agung untuk
ditunjuk, berdasarkan kebutuhan dan keinginannya
sendiri. Mahkamah Agung juga mengirim penjelasan
untuk memilih kandidat tertentu untuk jabatan tertentu,
dan curriculum vitae (riwayat hidup) yang ekstensif dari
para kandidat akan disertai dalam daftar rekomendasi
tersebut.
Sejak saat itu, daftar (dan nama) dari 6 (enam) kandidat
yang direkomendasikan tersebut informasi publik,
yang terbuka kepada para anggota parlemen, yang juga
terbuka kepada publik dan pers.
Presiden dan procurator general Mahkamah Agung
kemudian diundang oleh komite khusus untuk masalah-
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Annex 3
Selection and nomination of judges of the Supreme
Court of the Netherlands
1. Procedure for recruiting the judges
The legal basis for the appointment and selection
procedure of judges for the Supreme Court is to be
found in article 118 of the Constitution (Grondwet) and
article 1e-4 Wet rechtspositie rechterlijke ambtenaren
(Act concerning the legal status of the judiciary). Both
these articles say no more than that judges of the
Supreme Court are being appointed by Royal Decree on
proposal of the Lower House of parliament and that a
nominee can be chosen from a list of six recommended
candidates, to be provided by the Supreme Court. How
the Lower House makes its choice from this list of six
recommended candidates and how the Supreme Court
draws up this list, is not laid down.
When a seat is vacant, the Supreme Court notifies the
Lower House, providing this list of six recommended
candidates. Number one mentioned on this list is the
candidate the Supreme Court wishes to be appointed,
according to its own needs and wishes. The Supreme
Court also sends an explanation for chosing a
certain candidate for a certain vacancy, and extensive
curriculum vitae of the candidates accompany the list of
recommendation.
From this moment on the list (and names) of 6
recommended candidates is public information, open to
members of parliament, to the public in general and to
the press.
The president and the procurator general of the
Supreme Court are then being invited by the special
105

106 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
masalah kehakiman (yudisial) dari kamar bawah (Lower
house) untuk sebuah pemeriksaan (hearing), dimana
mereka menjelaskan alasan-alasan Mahkamah Agung
menyatakan kandidat tertentu sebagai kandidat
nomor wahid dalam daftarnya. Kandidat ini pada
umumnya merupakan kandidat yang namanya telah
dinyatakan sebelumnya dalam daftar kandidat yang
direkomendasikan untuk mengisi kekosongan jabatan
terdahulu, namun dalam posisi yang lebih rendah,
misalnya sebagai nomor 2 atau 3. Komite khusus untuk
hal-hal yang berhubungan dengan kehakiman dari kamar
bawah (Lower House) mewawancara para kandidat yang
baru dalam daftar tersebut dan kemudian menentukan
daftar tetap (mengikat) atas 3 (tiga) calon, yang biasanya
dikirimkan kepada kamar bawah (Lower House). Pada
daftar tetap dari 3 (tiga) kandidat ini, nomor urut
pertama biasanya merupakan kandidat yang dirujuk oleh
Mahkamah Agung sendiri. Kamar bawah (Lower house)
mengirimkan daftar tetap atas 3 (tiga) calon tersebut
kepada Menteri Kehakiman. Setelah berkonsultasi
dengan Council of Ministers (Pemerintah Belanda),
kandidat dari daftar 3 (tiga) calon akan dipilih, biasanya
kandidat nomor urut pertama dalam daftar tersebut.
Dekrit Royal (Royal Decree) akan kemudian dipersiapkan
untuk nominasi formal.
Secara umum, 5 (lima) kandidat tersisa lainnya dalam
daftar yang disediakan oleh Mahkamah Agung akan
disebutkan lagi dalam daftar yang akan datang, ketika
kekosongan jabatan terjadi.
2. Institusi/badan yang terlibat dalam seleksi dan
penunjukkan para hakim
Seleksi kandidat dilakukan oleh para Hakim Agung
sendiri. Mahkamah Agung, kamar bawah (Lower house)
parlemen dan pemerintah terlibat dalam penunjukkan
seorang hakim.
3. Persyaratan hukum yang harus dipenuhi oleh
seorang kandidat
Para kandidat harus mempunyai kewarganegaraan
Belanda. Seorang kandidat harus mempunyai gelar
committee for judicial matters of the Lower House for a
hearing, where they explain the reasons of the Supreme
Court to mention a certain candidate as number one
on the list. This almost always is a candidate that has
been mentioned before on the list of recommended
candidates for earlier vacancies, but in a lower position,
e.g. as number two or three.
The special committee for judicial matters of the Lower
House interviews the candidates which are new on the
list and then draws up a binding list of 3 nominees,
which is being sent to the Lower House. On this
binding list of 3 candidates the number one is usually
the candidate preferred by the Supreme Court itself.
The Lower House sends this binding list of 3 nominees
to the Minister of Justice. After consulting the Council
of Ministers (the Netherlands government) a candidate
from this list of 3 nominees is being chosen, usually the
number one on this list. A Royal Decree is then being
prepared for the formal nomination.
In general the remaining 5 candidates on the list
provided by the Supreme Court will be mentioned again
on the next list, when a new vacancy is due.
2. The institutions/bodies involved in the
selection and the appointment of the judges
The selection of candidates is being done by members
of the Supreme Court itself. The Supreme Court, the
Lower House of parliament and the government are
involved in the appointment of a judge.
3. The legal requirements to be fulfilled by a
candidate
Candidates must have Netherlands nationality. A
candidate has to have a university degree in law and

universitas di bidang hukum dan ketika dinominasikan,
ia tidak diizinkan untuk menjalankan praktik sebagai
advokat atau pengacara atau notaris publik dan ia juga
tidak diizinkan untuk menjadi anggota parlemen.
4. Kriteria yang digunakan untuk menyeleksi para
kandidat
Seleksi pada dasarnya ditentukan berdasarkan kualitas
dan keahlian hukum: kemampuan hukum yang kreatif
dan sangat baik dipersyaratkan. Para kandidat juga
harus mendemonstrasikan keterlibatan mereka dalam
masyarakat secara umum. Integritas merupakan isu yang
penting.
Haluan politik seorang kandidat bukan merupakan
pertimbangan karena nominasi tersebut bersifat non-
politis dan haluan politik dipandang, secara murni,
sebagai masalah pribadi (seperti halnya agama)
Mahkamah Agung berusaha menjaga rasio 50/50 antara
para ahli dan para pengacara yang berorientasi lebih
umum. Lebih lanjut, seorang kandidat memerlukan
keahlian tertentu (khusus) yang dipersyaratkan oleh divisi
dimana kandidat (hakim baru) tersebut diperlukan.
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
once nominated he is not allowed to practice as an
attorney at law or as a public notary and he is not
allowed to be a member of parliament.
4. Criteria used to select the candidates
Selection is mainly determined on legal qualities and
expertise: a creative and highly developed legal mind
is required. Candidates also have to have shown their
involvement in society in general. Integrity is an
important issue.
A candidate’s political preference is of no consideration
as the nomination is non-political and political
preference is seen as a purely private matter (as e.g.
religion).
The Supreme Court tries to maintain a 50/50 ratio
between specialists and more generally orientated
lawyers. Furthermore a candidate will need the specific
expertise required by the division in which the new
judge is needed.
107

108 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Annex 4
Tindakan-tindakan dan keluhan-keluhan disipliner
terhadap para hakim
Konstitusi
Konstitusi mendefiniskan status hukum kehakiman
dalam ketentuannya yang memastikan independensi
peradilan (hakim).
Para hakim ditunjuk oleh dekrit royal (Royal Decree)
untuk seumur hidup. Mereka diberhentikan oleh dekrit
royal (royal decree) berdasarkan permintaannya sendiri
atau ketika mencapai umur 70 (tujuh puluh) tahun.
Mereka bisa diberhentikan sementara atau diberhentikan
oleh Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang
Parlemen dan dalam kondisi-kondisi (kasus-kasus) yang
ditentukan oleh Undang-Undang Parlemen.
Konstitusi juga menentukan status hukum dari para
hakim terkait hal lain yang diatur oleh Undang-Undang
Parlemen. Hal ini terkati dengan pertanyaan tentang
remunerasi, hari libur dan cuti.
Akhirnya, Konstitusi menyatakan bahwa pengawasan
para hakim diatur oleh Undang-Undang Parlemen dan
pengawasan tersebut akan dilaksanakan oleh para hakim.
Tindakan-tindakan disipliner: peringatan, pemberhentian
sementara dan pemberhentian para hakim
Ketentuan-ketentuan konstitusi dalam 3 (tiga) isu ini
diimplementasikan dalam legislasi sebagai berikut.
Hakim-hakim diatur oleh tindakan-tindakan berikut:
peringatan tertulis, pemberhentian sementara, dan
pemberhentian. Peringatan tertulis diberikan oleh
ketua pengadilan dimana hakim tersebut bertugas
(menjabat). Ketua tersebut diberikan kewenangan
untuk melakukan hal tersebut berdasarkan alasan bahwa
hakim telah meninggalkan tugas-tugasnya atau telah
melanggar aturan-aturan tertentu, seperti kerahasiaan
Annex 4
Disciplinary measures and complaints against
judges
The Constitution
The Constitution defines the legal status of the judiciary
in provisions which ensure judicial independence.
Judges are appointed by Royal Decree for life. They are
dismissed by Royal Decree at their own request or when
reaching the age of 70 years. They may be suspended or
dismissed by the Supreme Court according to an Act of
Parliament and in cases laid down by Act of Parliament.
The Constitution also sets out that the legal status
of judges in other respects is regulated by Act of
Parliament. This relates to questions of remuneration,
holidays and leave.
Finally, the Constitution states that supervision of
judges is regulated by Act of Parliament and that such
supervision is to be carried out by members of the
judiciary.
Disciplinary measures: warning, suspension and
dismissal of judges
The constitutional provisions on these three issues are
implemented in legislation as follows.
Judges are subject to the following measures: written
warning, suspension and dismissal. A written warning is
given by the president of the court in which the judge
serves. The president is vested with the power to do so
on the ground that the judge has neglected his duties or
has breached specific rules, such as the confidentiality
of proceedings in chambers or the prohibition against
out-of-court contact with parties. If a warning has been

proses pengadilan dalam kamar atau larangan terhadap
kontrak di luar pengadilan dengan para pihak. Jika suatu
peringatan telah diterbitkan (dibuat) dan hakim tersebut
kembali terlibat dalam perbuatan yang dilarang, hakim
tersebut bisa diberhentikan. Mahkamah Agung hanya
boleh memberhentikan sementara atau memberhentikan
seorang hakim.
Legislasi memuat ringkasan lengkap (exhaustive)
tentang dasar-dasar untuk pemberhentian. Terdapat
dasar-dasar yang bersifat opsional (optional) maupun
wajib (peremptory). Dasar-dasar opsional adalah vonis
(conviction) berdasarkan putusan yang final dan konklusif
atas pelanggaran serius, suatu putusan yang final dan
konklusif menyatakan kebangkrutan (pailit) atau
penunjukkan seorang pengampu untuk hakim tersebut,
ketidakmampuan untuk bekerja karena penyakit,
tindakan-tindakan yang secara serius membahayakan
administrasi peradilan (kehakiman) yang pantas (tepat),
dan residivis yang telah disebutkan di atas. Dasar-dasar
wajib adalah ketidakmampuan untuk bekerja atas alasan-
alasan lain selain penyakit, penerimaan (pengambilan)
jabatan tertentu yang dianggap hukum inkonsisten
dengan posisinya sebagai anggota kehakiman,
yaitu jabatan sebagai pengacara atau notaris, dan
kehilangannya kewarganegaraan Belanda.
Pemberhentian sementara adalah suatu perintah yang
diterbitkan (dibuat) yang bergantung pada putusan
yang definitif atas pemberhentian. Dasar-dasar untuk
pemberhentian sementara adalah terkait dengan alasan-
alasan untuk pemberhentian.
Undang-undang juga memuat ketentuan-ketentuan
prosedural. Mahkamah Agung mengambil keputusan-
keputusan atas pemberhentian sementara dan
pemberhentian sebagai respons terhadap aplikasi dari
Procurator General Mahkamah Agung. Dalam kasus
dimana Procurator General mempertimbangkan untuk
mengajukan suatu aplikasi, ia memberikan hakim terkait
kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya.
Alasan-alasan untuk aplikasi tersebut diajukan oleh
Procurator General secara tertulis. Kasus tersebut bisa
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
issued and the judge again engages in the prohibited
conduct, he may be dismissed. The Supreme Court only
may suspend or dismiss a judge.
The legislation contains an exhaustive summary of the
grounds for dismissal. There are optional and peremptory
grounds. Optional grounds are conviction by final and
conclusive judgment for a serious offence, a final and
conclusive decision declaring bankruptcy or appointing
a guardian for the judge, incapacity for work because
of illness, acts which seriously prejudice the proper
administration of justice, and the above-mentioned
recidivism. The peremptory grounds are incapacity for
work for reasons other than illness, acceptance of a
post which the law considers inconsistent with being a
member of the judiciary, namely a post as a lawyer or
notary, and the loss of Dutch nationality.
Suspension is an order issued pending a definitive decision
on dismissal. The grounds for suspension are related to
those for dismissal.
The Act also contains procedural provisions. The
Supreme Court takes decisions on suspension and
dismissal in response to an application by the Procurator
General of the Supreme Court. In case he considers
to submit an application, he gives the judge in question
the opportunity to express his views. The reasons for
the application are submitted by the Procurator General
in writing. The case is heard by the Supreme Court in
chambers, at which time the judge and any witnesses
may be heard. The Supreme Court hands down its
109

110 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
diadili (didengarkan) oleh Mahkamah Agung dalam
kamar, pada saat mana hakim tersebut dan para saksi
juga bisa dimintakan kesaksiannya (didengarkan).
Mahkamah Agung menyerahkan keputusannya dan
bentuk putusan (judgment) yang diumumkan kepada
publik.
Dalam kurun waktu 50 (lima puluh) tahun belakangan,
Mahkamah Agung sangat jarang memberhentikan
sementara seorang hakim dan hanya pernah
memberhentikan seorang hakim sebanyak 2 (dua)
kali. Pada tahun 2008, dikarenakan penyakit dari
hakim bersangkutan dan pada tahun 2009 dikarenakan
ketidakmampuan (incapacity) dari hakim bersangkutan
untuk bekerja, karena alasan-alasan lain selain
penyakit. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti
bahwa tidak ada dasar-dasar untuk pemberhentian
seorang hakim. Dalam kasus-kasus dimana terdapat
kemungkinan pemberhentian, ketidakmampuan
(incapacity) jangka panjang untuk bekerja karena
penyakit umumnya merupakan alasan pemberhentian
dan tidak berakibat Procurator General mengajukan
aplikasi untuk memberhentikan hakim tersebut karena
hakim bersangkutan umumnya memohon agar ia
dilepaskan dari tugas-tugasnya. Beberapa tahun yang
lalu ada sebuah kasus ketidakmampuan (incapacity)
untuk bekerja selain daripada alasan-alasan penyakit:
hakim bersangkutan kurang memiliki keahlian hakim
(yudisial) yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-
tugasnya. Procurator General mengajukan aplikasi untuk
pemberhentian kepada Mahkamah Agung, namun hakim
tersebut mengajukan permohonan agar ia diberhentikan
sebelum Mahkamah Agung bisa mengadili kasus
tersebut.
Penuntutan para hakim
Para hakim tidak mempunyai imunitas dari penuntutan.
Mereka juga tunduk pada aturan-aturan umum tentang
hukum pidana, namun dengan satu pengecualian.
Untuk menjamin (memastikan) bahwa penuntutan dan
pengadilan atas seorang hakim dilaksanakan dengan adil,
ada peraturan khusus untuk menentukan pengadilan
decision in a judgment pronounced in public.
In the past fifty years, the Supreme Court has rarely
suspended a judge and has dismissed a judge only twice.
In 2008 because of illness of the judge concerned and
in 2009, due to the incapacity of the concerned judge
for work, due to other reasons than illness. This does
not mean however that there have been no grounds
for dismissal of a judge. In cases of possible dismissal,
long-term incapacity for work because of illness is
usually the reason and does not result in the Procurator
General’s submitting an application because the judge
in question normally requests that he be relieved of his
duties. Several years ago, there was a case of incapacity
for work other than for reasons of illness: the judge in
question lacked the judicial skills needed to carry out his
duties. The Procurator General submitted an application
for dismissal to the Supreme Court, but the judge
himself requested dismissal before the Supreme Court
could hear the case.
Prosecution of judges
Members of the judiciary do not enjoy immunity from
prosecution. They are subject to the ordinary rules of
criminal law, but with one exception. To guarantee that
the prosecution and trial of a judge are fair, there is a
special statutory regulation for determining which court
is competent to judge such a case. The aim is to ensure

mana yang kompeten (mempunyai yurisdiksi) untuk
mengadili kasus tersebut. Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa hakim-hakim tersebut tidak diadili
oleh pengadilan tempat mereka bekerja (menjabat).
Jika seorang hakim diduga telah melakukan pelanggaran,
aturan-aturan umum tentang yurisdiksi bisa
mempersyaratkan bahwa ia dituntut dan diadili di muka
pengadilannya sendiri. Dalam kasus tersebut, Penuntut
Umum (Public Prosecutor) dalam pengadilan bersangkutan
harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Agung untuk menentukan pengaidlan yang berbeda
untuk penuntutan dan pengadilan. Penuntut Umum
(Public Prosecutor) harus mengajukan aplikasi tersebut
jika, dalam pendapatnya, kecurigaan tersebut beralasan.
Keputusan untuk menuntut hakim tersebut diambil oleh
Penuntut Umum (Public Prosecutor) di pengadilan yang
ditentukan oleh Mahkamah Agung.
Kasus-kasus penuntutan para hakim sangat jarang
terjadi. Dalam beberapa tahun belakangan, Mahkamah
Agung telah menerima beberapa permintaan untuk
menentukan pengadilan yang berbeda. Penuntutan
umumnya berkutat dengan pelanggaran aturan jalan
raya atau pelanggaran kesusilaan. Ada suatu kasus
dimana seorang hakim divonis karena mengemudi saat ia
berada di bawah pengaruh zat-zat penghilang kesadaran
(alkohol atau narkotika). Lebih dari 15 (lima belas) tahun
yang lalu, sebuah kasus lainnya melibatkan hakim nakal
(juvenile) yang dituntut atas pelecehan seksual terhadap
anak di bawah umur. Beberapa tahun yang lalu ada
sebuah kasus dimana seorang hakim tidak menghentikan
mobilnya setelah menyebabkan terjadinya kecelakaan
lalu lintas. Dan ada suatu kasus baru-baru ini dimana
seorang hakim divonis atas tindakan kasar terhadap
teman sejawatnya.
Sebuah kasus baru-baru ini telah menarik perhatian
pers Belanda. Kasus tersebut melibatkan seorang
hakim yang menjabat di Pengadilan Negeri Maastricht
(Maastricht District Court). Rekaman video dan disket-
disket komputer ditemukan di rumahnya dengan
foto-foto yang menunjukkan tindakan-tindakan asusila
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
that judges are not tried in the court in which they serve.
If a judge is suspected of committing an offence, the
ordinary rules on jurisdiction may require that he be
prosecuted and tried before his own court. In such a
case, the Public Prosecutor of the concerned court
must request the Supreme Court to designate a different
court for prosecution and trial. The Public Prosecutor
must submit such an application if, in his opinion, the
suspicion is reasonable. The decision on whether to
prosecute the judge is taken by the Public Prosecutor at
the court designated by the Supreme Court.
Cases of prosecution of judges seldom arise. Over
the last years, the Supreme Court has received e few
requests to designate a different court. Prosecution
usually involves a traffic violation or a sexual offence.
There was one case of a judge who was convicted
for driving while intoxicated. More than 15 years
ago, another case involved a juvenile’s judge who was
prosecuted for sexual abuse of minors. A few years
ago there was a case of a judge who did not stop his
car after having caused a traffic accident. And there has
been a recent case of a judge who has been convicted
for acts of violence against his partner.
One recent case has attracted a great deal of attention
in the Dutch press. It involved a judge serving in the
Maastricht District Court. Video tapes and computer
diskettes were found in his house with images of sexual
acts by minors under the age of 16. The judge was suspected
of possessing child pornography, a serious offence.
111

112 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
kepada anak di bawah umur 16. Hakim tersebut diduga
memiliki materi-materi yang berisi pornografi anak, yang
merupakan pelanggaran serius.
Penerapan aturan-aturan normal tentang yurisdiksi
akan mempersyaratkan hakim tersebut untuk dituntut
dan diadili di Pengadilan Negeri Maastrictht (Maastricht
District Court), yaitu, pengadilan tempat ia menjabat.
Namun, berdasarkan peraturan khusus, Penuntut Umum
(Public Prosecutor) di Pengadilan Negeri Maastrictht
(Maastricht District Court) mengajukan permohonan
kepada Mahkamah Agung untuk menentukan pengadilan
yang berbeda. Namun, sesegera setelah materi
pornografi anak tersebut ditemukan, hakim tersebut
mengajukan pengunduran dirinya kepada the Crown, yang
berarti ia telah berhenti menjabat sebagai seorang hakim.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah penentuan
pengadilan yang berbeda masih relevan. Mahkamah
Agung menentukan bahwa hal tersebut masih relevan
karena dalam kasus tersebut, penting untuk memastikan
penuntutan dan peradilan yang imparsial (adil dan tidak
berat sebelah). Mahkamah Agung memerintahkan
bahwa kasus tersebut diadili (didengarkan) di muka
Pengadilan Negeri Arnhem (Arnhem District Court).
Pengadilan Negeri Arnhem (Arnhem District Court)
menyatakan tuntutan terhadap hakim tersebut terbukti
dan menentukan hukuman pemberhentian hakim
tersebut dan denda atas kepemilikan materi yang berisi
pornografi anak.
Walaupun tidak ada ketentuan pidana khusus,
kecuali satu ketentuan yang berlaku terkait dengan
penentuan pengadilan yang berbeda, faktanya adalah
bahwa si tersangka adalah seorang hakim yang
bisa saja memainkan peranan dalam menentukan
hukumannya. Dalam kasus ini, ketika menentukan
hukuman pemberhentian bersama dengan denda,
Pengadilan Negeri Arnhem (Arnhem District Court)
mempertimbangkan fakta bahwa si tersangka memegang
suatu jabatan dimana ia seharusnya memberikan contoh
kepada orang lain. Fakta bahwa pers telah “memvonis”
dan melecehkannya juga merupakan kondisi dan situasi
yang dipertimbangkan.
Application of the normal rules on jurisdiction would
have required the judge to be prosecuted and tried at
Maastricht District Court, that is, the court in which he
served. On the basis of the special regulation, however,
the Public Prosecutor at Maastricht District Court
requested the Supreme Court to designate a different
court. Immediately after the child pornography had
been discovered, however, the judge submitted his
resignation to the Crown, which meant that he had
ceased to be a judge. The question arose as to whether
designation of a different court was still relevant. The
Supreme Court held that it was because in such a case
also it was necessary to ensure impartial prosecution and
trial. The Supreme Court ordered that the case be heard
before the Arnhem District Court. Arnhem District
Court considered the charge proved and handed down
a suspended sentence and a fine for possession of child
pornography.
Although no special criminal law provisions, except for
the one regarding the designation of a different court,
are in force, the fact that the accused is a judge may play
a role in determining the sentence. In this case, when
handing down a suspended sentence of imprisonment
together with a fine, the Arnhem District Court
considered the fact that the suspect had held a position
in which he should have set an example to others. The
fact that the press had already “convicted” and harassed
him was also a circumstance taken into account.

Keluhan-keluhan tentang perlakuan oleh hakim
Berdasarkan aturan undang-undang tentang keluhan,
siapapun yang mempunyai keluhan tentang cara ia telah
diperlakukan oleh seorang hakim bisa mengajukan
permohonan kepada the Procurator General di Mahkamah
Agung untuk mengajukan kepada Mahkamah Agung
permohonan untuk investigas (penyidikan dan
penyelidikan) atas perbuatan terkait.
Perbuatan tersebut harus telah dilakukan oleh seorang
hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya. Contohnya,
Mahkamah Agung telah menentukan perbuatan-
perbuatan tertentu yang dilakukan oleh briefing judge
dalam konferensi pers tentang kasus pidana merupakan
tindakan jabatan yang melanggar aturan sehingga
keluhan bisa diajukan, bahkan jika hakim tersebut tidak
mengadili kasusnya sendiri.
Jika Procurator General menentukan untuk mengajukan
suatu keluhan kepada Mahkamah Agung, kasus tersebut
ditangani oleh divisi khusus Mahkamah Agung. Kasus
tersebut akan diadili di kamar. Mahkamah Agung
mengadili keluhan dan hakim bersangkutan dan juga
bisa memeriksa (bertanya kepada) para saksi. Kemudian,
suatu putusan dibuat. Putusan tersebut memuat amar
tentang keluhan dan pendapatnya dalam perkara pokok
(merits). Aturan keluhan-keluhan tidak menentukan
sanksi.
Putusan tidak diberikan kepada publik. Putusan tersebut
dikirimkan kepada pengeluh, hakim bersangkutan,
pengadilan dimana ia menjabat, dan Menteri Kehakiman.
Sebuah versi putusan dengan semua nama yang dihapus
akan dipublikasikan.
Keluhan-keluhan tentang putusan-putusan pengadilan
dan dasar-dasar putusan tersebut secara eksplisit
dikecualikan oleh aturan tentang keluhan. Putusan-
putusan Pengadilan termasuk bukan hanya putusan-
putusan final, namun juga termasuk setiap putusan
tentang penanganan suatu kasus yang diambil oleh
seorang hakim dalam proses peradilan.
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Complaints about treatment by a judge
Under a statutory complaints regulation anyone who
has a complaint about the way he has been treated
by a judge can request the Procurator General at the
Supreme Court to apply to the Supreme Court for an
investigation of the act concerned.
The act must have been performed by a judge in the
course of his duties. For example, the Supreme Court
has ruled that certain actions of a briefing judge during
a press conference about a criminal case constitute an
official act against which a complaint can be lodged,
even if he did not hear the case himself.
If the Procurator General decides to submit a complaint
to the Supreme Court, the case is dealt with by a special
division of the Supreme Court. The case is heard in
chambers. The Supreme Court hears the complainant
and the judge concerned and may also question
witnesses. It then passes judgment. The judgment
contains its findings concerning the complaint and its
opinion on the merits. The complaints regulation does
not provide for sanctions.
The judgment is not given in public. It is sent to the
complainant, the judge in question, the court to which
he is attached and the minister of Justice. A version of
the judgment with all names deleted is published.
Complaints about court decisions and the grounds on
which they are based are expressly precluded by the
complaints regulation. Court decisions include not only
final judgments but also every decision concerning the
handling of a case that a judge takes in the course of the
proceedings.
113

114 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Namun, dalam praktiknya, kebanyakan keluhan terhadap
para hakim tidak berkaitan dengan putusan-putusan
pengadilan. Oleh karena itu, putusan-putusan tersebut
tidak bisa dianggap tunduk pada (atau merupakan
obyek dari) aturan tentang keluhan. Satu-satunya cara
untuk menyatakan keberatan terhadap putusan-putusan
tersebut adalah dengan memulai (institute) upaya hukum,
misalnya dengan banding.
Beberapa putusan pengadilan juga tidak terbuka untuk
banding, misalnya putusan hakim ketua untuk tidak
menetapkan seorang pengacara sebagai counsel kepada
seorang terdakwa. Si terdakwa harus menerima ini.
Oleh karena itu, aturan tersebut hanya meliputi keluhan-
keluhan tentang perlakuan oleh hakim. Procurator General
tidak mengajukan semua keluhan kepada Mahkamah
Agung. Perasaan tidak puas umumnya bisa dinetralisir
(diatasi) oleh ketua pengadilan bersangkutan dengan
membicarakannya dengan hakim tersebut dan si
pengeluh. Keluhan itu kemudian dikesampingkan
dengan dasar tidak terdapatnya alasan yang memuaskan
untuk melanjutkan pemeriksaan tersebut.
Suatu contoh terkait poin di atas adalah suatu keluhan
tentang hakim yang, pada permulaan pemeriksaan,
mendiskusikan tentang hasil pertandingan sepakbola
minggu lalu dengan pengacara pihak lain, sebagai
akibatnya pengeluh merasa ia telah diperlakukan secara
tidak adil (kemungkinan kedekatan hakim tersebut
dengan pengacara). Contoh lain, yaitu mengenai
penundaan yang lama antara waktu dimana seseorang
telah dipanggil oleh pengadilan untuk hadir dengan
waktu dimana kasus tersebut benar-benar diadili
(didengarkan).
Ketika standar (etika) perbuatan perlu dibuat, Procurator
General mengajukan keluhan kepada Mahkamah Agung.
Dalam satu kasus, contohnya, seseorang mengeluh
tentang seorang seorang hakim yang mengumumkan
bahwa ia akan melaporkan kepada polisi pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh para pihak dalam
kasus perdata. Pelanggaran-pelanggaran ini disadari
In practice, however, most complaints against judges
do relate to court decisions. Such complaints cannot
therefore be considered within the framework of the
regulation. The only way to challenge such decisions is
by instituting a legal remedy, such as an appeal.
Some court decisions are not open to appeal either, e.g.
the decision of a presiding judge not to assign a certain
lawyer to a defendant as counsel. The defendant will
simply have to accept this.
The regulation therefore covers only complaints about
treatment by a judge. The Procurator General does not
submit all complaints to the Supreme Court. Feelings of
dissatisfaction can usually be dispelled by the president
of the court in question having a talk with the judge
and the complainant. The complaint is then set aside
on the grounds that there are no satisfactory reasons to
proceed.
An example of this was a complaint about a judge
who, at the start of a session, discussed the previous
weekend’s football results with the other party’s lawyer,
as a result of which the complainant felt he had been
thrown off balance. Another example concerned the
long delay between the time at which a person had been
summoned to appear and the time at which the case was
actually heard.
When a standard of conduct needs to be established,
the Procurator General does submit the complaint to
the Supreme Court. In one case, for example, someone
complained about a judge who had announced that
he would report to the police offences committed by
the parties to a civil case. These offences had come
to his knowledge because one of the parties had told

hakim tersebut karena salah satu pihak memberitahukan
pelanggaran tersebut pada pemeriksaan umum (public
hearing) untuk mendukung posisi pihak tersebut.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa keluhan yang
diajukan oleh Procurator General beralasan. Mahkamah
Agung memutuskan bahwa para hakim tidak mempunyai
kebebasan untuk melaporkan pelanggaran karena hak
atas peradilan yang adil (fair) berarti para pihak harus
merasa bebas untuk mengutarakan (mengungkapkan)
kepada hakim semua fakta yang dianggap relevan dengan
kasus dan bisa mempengaruhi putusan hakim tersebut.
Situasi ini berbeda dengan kasus dimana seorang
hakim diwajibkan oleh hukum untuk melaporkan suatu
pelanggaran (contohnya penyalahgunaan jabatan).
Aturan tentang keluhan tersebut sudah ada sejak tahun
1982. Sejak diperkenalkannya aturan tersebut, Procurator
General telah mengajukan 8 (delapan) keluhan kepada
Mahkamah Agung. Jumlah keluhan tersebut telah
menurun (berkurang) dalam beberapa tahun belakangan.
Procurator General dulunya menerima secara rata-rata
100 (seratus) keluhan per tahun. Namun pada tahun
2004, jumlah keluhan tersebut hanya berjumlah 48
(empat puluh delapan). Hal ini dikarenakan pengenalan
aturan keluhan pada tingkat pertama (first-line complaints
regulation) yang meliputi pengadilan-pengadilan yang
lebih rendah –pengadilan negeri (district courts) dan
pengadilan banding—per tanggal 1 April 2002. Aturan
internal yang seragam ini memungkinkan para pelapor
untuk mempresentasikan sendiri keluhan mereka atas
manajemen pengadilan dimana hakim tersebut menjabat.
Hanya setelah menempuh upaya hukum ini, pelapor
tersebut bisa mendekati Procurator General.
Aturan baru tersebut lebih luas cakupannya dalam hal
memungkinkan keluhan-keluhan bukan hanya tentang
hakim-hakim, namun juga tentang pekerja (staf) lain
pengadilan.
Imparsialitas
Hakim harus selalu bertindak dan bersikap imparsial
(tidak berat sebelah). Bahkan dugaan tentang tidak
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
him about the offences at a public hearing to support
her position. The Supreme Court declared that the
complaint submitted by the Procurator General was
well founded. It ruled that judges were not at liberty to
report offences, because the right to a fair trial means
that parties must feel free to bring to the judge’s notice
all facts that they believe may be relevant to the decision.
The situation is different in the case of offences that the
judge is legally obliged to report (i.e. abuse of office).
The complaints regulation has existed since 1982. Since
the introduction of the regulation, the Procurator
General has submitted eight complaints to the Supreme
Court. The number of complaints has declined in recent
years. The Procurator General used to receive an average
of 100 complaints a year. But in 2004 the number was
48 only. This is due to the introduction of a first-line
complaints regulation covering the lower courts – the
district courts and appeal courts – as per 1 April 2001.
This uniform internal regulation allows complainants to
address themselves directly to the management of the
court to which the judge in question is attached. Only
after having exhausted this remedy they can approach
the Procurator General.
The new regulation is wider in scope in that it allows
complaints not only about judges but also about other
court employees.
Impartiality
Judges must always be impartial. Even the suspicion of
not being impartial must be avoided.
115

116 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
adilnya seorang hakim harus dihindari. Jika dalam suatu
gugatan seorang hakim menemukan bahwa terdapat
beberapa kondisi yang bisa merusak imparsialitasnya,
ia harus mengajukan permohonan untuk dilepaskan
dari (tidak mengadili) kasus tersebut. Namun,
penuntut umum (public prosecutor) dan tersangka atau
pihak dalam gugatan perdata juga bisa menyatakan
keberatan terhadap seorang hakim karena rasa ragu atas
imparsialitasnya.
Kemudian, majelis terpisah dari pengadilan akan
memutuskan apakah permohonan atau keberatan
tersebut masuk akal. Jika ya, hakim tersebut akan
digantikan oleh teman sejawatnya.
Hakim-hakim tentunya akan berusaha untuk mencegah
terjadinya situasi seperti ini. Jika seorang hakim
sebelumnya sudah merasa bahwa akan ada alasan untuk
meragukan imparsialitasnya, ia harus mengundurkan
diri dan tidak mengadili kasus tersebut. Dalam beberapa
dekade terakhir, keberatan terhadap sejumlah hakim
telah meningkat jumlahnya. Ini tidak serta-merta berarti
bahwa integritas kehakiman (peradilan) sedang menurun.
Pentingnya menghindari penampilan yang menunjukkan
keberpihakan telah ditegaskan oleh Pengadilan Hak
Asasi Manusia Eropa (European Court of Human Rights).
Kecenderungan ini mungkin juga disebabkan oleh
menurunnya tingkat penerimaan terhadap otoritas
(kewenangan) tradisional secara umum
If during a lawsuit a judge finds that there are
circumstances which could harm his impartiality, he
should request to be relieved of the case. But the public
prosecutor and the accused or a party in a civil lawsuit
can also challenge a judge because of doubts about his
impartiality.
A separate panel of the court will then have to decide
whether the request or the challenge is reasonable. If it
is, the judge will be replaced by a colleague.
Judges must of course try to prevent such situations
from occurring. If a judge beforehand senses that there
might be a reason for doubting his impartiality, he
should excuse himself and not take the case.
During the last decade, the number of judges being
challenged has increased. This does not necessarily
show that judicial integrity is on the decline. The
importance of even the appearance of partiality to be
avoided has been emphasized by the European Court of
Human Rights. The tendency is probably also due to a
decreasing acceptance of traditional authority in general.

Annex 5
Struktur kamar Mahkamah Agung (Hoge Raad)
secara umum
Dalam kurun waktu 80 (delapan puluh) tahun
keberadaannya –dari 1838 sampai 1918- Mahkamah
Agung Belanda (Hoge Raad) terdiri atas 2 (dua) balai/
kamar (chamber) atau divisi: balai/kamar perdata dan
balai/kamar pidana. Dalam kurun waktu tersebut, balai/
kamar perdata juga mengadili perkara-perkara fiskal
(fiscal). Akibat utama dari amandemen undang-undang
pada tahun 1914, jumlah perkara berkembang begitu
pesat sehingga balai/kamar ketiga harus didirikan. Balai/
kamar ketiga ini juga dikenal sekarang sebagai balai/
kamar fiskal atau pajak, namun awalnya balai/kamar ini
dikenal sebagai balai/kamar administratif.
Untuk melengkapi penjelasan ini, harus disebutkan
juga bahwa ada balai/kamar keempat. Kamar keempat
ini diadakan dengan dasar ad hoc (kasus per kasus) dan
menangani, contohnya keluhan terhadap para hakim;
bukan terkait dengan putusan-putusan mereka, namun
terkait dengan, singkatnya, tingkah laku dan sikap-tindak
para hakim tersebut di dalam pengadilan. Saya tidak akan
menjelaskan dengan panjang lebar tentang balai/kamar
keempat ini yang juga menangani berbagai perkara yang
bisa berakhir dengan pemberhentian atau pembubaran
anggota hakim.
Jadi, seperti yang telah saya sebutkan pagi tadi, Mahkamah
Agung (Hoge Raad), yang dibentuk berdasarkan contoh
the Pengadilan tingkat kasasi Perancis (French Cour de
Cassation), adalah pengadilan tertinggi terkait dengan
urusan perdata, pidana, dan fiskal. Untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang hal ini, sangat
penting bagi kita untuk mengetahui bahwa Mahkamah
Agung (Hoge Raad) bukan hanya merupakan “Pengadilan
Tertinggi”. Terlepas dari Mahkamah Agung (Hoge Raad),
kami juga mempunyai Dewan Banding Pusat (the Central
Appeals Council), Badan Badan untuk Urusan Industrial
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Annex 5
Hoge Raad chamber structure in bird’s-eye view
In the first eighty years of its existence – from 1838 till
1918 - the Supreme Court of The Netherlands (Hoge
Raad) consisted of two chambers or divisions: the civil
chamber and the criminal chamber. During that period
the civil chamber also heard fiscal cases. Mainly as a
result of an amendment of the law in 1914 however, the
number of these cases expanded so substantially that
a third chamber had to be established. This one is now
known as the fiscal or tax chamber, but originally it was
called administrative chamber.
For the sake of completeness it has to be mentioned
that there is also a fourth chamber. This chamber is
composed on an ad hoc (case by case) basis and deals
for example with complaints against judges; not with
respect to their decisions but with respect to, in short,
their conduct in court. I will not dwell on this fourth
chamber, that also takes care of cases that can end in
suspension or discharge of members of the judiciary,
So, as mentioned earlier this morning, the Hoge Raad,
created after the example of the French Cour de
Cassation, is our highest court with respect to civil,
criminal and fiscal affairs. For a clear understanding of
the matter it is important to know that the Hoge Raad is
not the only “highest court”. Apart from the Hoge Raad
we have the Central Appeals Council, the Trade and
Industrial Affairs Appeal College and, last but not least,
the Administrative Jurisdiction Division of the Council
of State. These three however are appelate courts, not a
court of cassation.
117

118 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
dan Perdagangan (the Trade and Industrial Affairs Appeal
College), dan yang terakhir, Divisi Yurisdiksi Administrasi
dari Dewan Negara (the Administrative Jurisdiction Division
of the Council of State). Namun, ketiganya merupakan
pengadilan banding, bukan pengadilan kasasi.
Dewan Banding Pusat (the Central Appeals Council)
menangani hal-hal yang berhubungan dengan
kesejahteraan sosial (social security) dan litigasi yang
melibatkan hubungan perekrutan pegawai negeri
sipil dengan pemerintah atau posisi pekerjaan mereka
sebagai pegawai negeri sipil, Badan Badan untuk Urusan
Industrial dan Perdagangan (the Trade and Industrial Affairs
Appeal College) mengadili hal-hal yang berhubungan
dengan sosial dan ekonomi, seperti misalnya perintah dari
Otoritas Persaingan Usaha Belanda (the Dutch Competition
Authority) atau Otoritas Pasar Financial (the Financial
Markets Authority). Divisi Yurisdiksi Administrasi dari
Dewan Negara (the Administrative Jurisdiction Division of
the Council of State) menangani, terutama, perkara-perkara
tentang hukum lingkungan hidup, hukum agraria,dan
hukum imigrasi yang dimintakan banding. Selain beberapa
pengecualian, semua hal atau perkara yang disebutkan di
atas, pada awalnya, merupakan yurisdiksi pengadilan-
pengadilan negeri (balai/kamar yurisdiksi administrasi).
Setelah perkenalan singkat ini, saya akan kembali kepada
topik tentang yurisdiksi reguler (regular) atau (ordinary)
umum (gewone rechtspraak).
Struktur balai/kamar perdata, pidana dan fiskal/pajak
terkait erat dengan struktur 19 (sembilan belas) - dalam
perkara yang berkaitan dengan pajak: lima-- pengadilan
negeri Belanda dan 5 (lima) pengadilan banding yang
reguler. Pada tingkat pengadilan yang lebih rendah, balai/
kamar perdata umumnya dibagi ke dalam kamar hukum
keluarga dan kamar hukum dagang. Suatu pengadilan
memiliki balai/kamar khusus untuk perkara-perkara
yang terkait dengan hukum kekayaan intelektual dan
industrial (The Hague), atau untuk litigasi korporasi
(balai korporasi dari pengadilan banding Amsterdam
atau Enterprise chamber of the Amsterdam court of appeal).
The Central Appeals Council deals with social
security matters and litigation involving civil servants’
employment relationship with the government or
their employment position as civil servants. The
Trade and Industrial Affairs Appeal College rules on
socio-economic matters, such as orders of the Dutch
Competition Authority or the Financial Markets
Authority. The Administrative Jurisdiction Division of
the Council of State deals mainly with appeal cases based
on environmental law, land planning law and immigration
law. Apart from a few exceptions all these subjects belong
in first instance to the jurisdiction of the district courts
(administrative jurisdiction chamber/section).
After this short introduction let me return back to
our so-called regular or ordinary jurisdiction (gewone
rechtspraak).
The structure, of a civil, criminal and fiscal/tax chamber
corresponds with the structure at our nineteen – in
the case of tax related matters: five - district courts
and our five regular courts of appeal. In these lower
courts the civil chambers usually are subdivided into
family chambers and commercial chambers. A single
court has a special chamber for intellecual and industrial
property cases (The Hague), or for corporate litigation
(Enterprise chamber of the Amsterdam court of
appeal). In the civil chamber of the Hoge Raad you
will not find such a subdivision, so this chamber deals
with a very wide range of subjects, some of them more

Dalam balai perdata Mahkamah Agung (Hoge Raad),
anda tidak akan menemukan subdivisi semacam ini, jadi
balai/kamar ini menangani perkara-perkara yang sangat
luas cakupannya dimana beberapa dari perkara-perkara
tersebut didominasi oleh hukum Uni Eropa, walaupun
perkembangan tertentu terlihat dalam hal hukum pajak.
Setiap Balai/kamar perdata, pidana, dan fiskal kami
memiliki 11 (sebelas) atau 12 (dua belas) orang anggota.
2 dari 5 atau 12 orang ini adalah wakil ketua. Wakil ketua
yang senior menjabat sebagai ketua.
Hanya balai/kamar fiskal yang dibagi menjadi 2 (dua)
bagian. Bagian A menangani perkara-perkara pajak yang
berhubungan dengan keuntungan, seperti pajak korporasi
dan pajak pertambahan nilai, cakupan kegiatan Bagian
B adalah terutama berkaitan dengan pajak penghasilan
dan pajak-pajak yang ditetapkan oleh badan-badan
pemerintahan yang lebih rendah, seperti kotamadya (city).
Untuk setiap balai/kamar, anggotanya terdiri dari spesialis
dan generalis. Sebagai suatu peraturannya adalah setiap
generalis adalah hakim karir. Dalam kelompok spesialis,
anda akan menemukan profesor hukum, advokat/
pengacara (Am: attorneys), konsultan pajak dan juga hakim
karir (kebanyakan hakim-hakim dari pengadilan tingkat
banding atau dari pengadilan negeri).
Setelah ditunjuk/diangkat untuk mengisi balai/kamar
perdata, pidana, atau fiskal, tidak serta-merta berarti para
hakim akan selalu ditempatkan di balai/kamar tersebut.
Bagi para generalis ada kemungkinan perubahan dan
perubahan ini, secara khusus dari balai/kamar pidana atau
fiskal ke balai/kamar perdata, umumnya dilakukan secara
reguler. Untuk menggambarkan ini dengan lebih baik: dari
11 (sebelas) anggota balai/kamar perdata sekarang, 3 (tiga)
dari mereka memulai karirnya di balai/kamar pidana, 4
(empat) memulai karirnya di balai/kamar fiskal.
Perkara-perkara yang fundamental dan kompleks
(contohnya: A) adalah kapal pengangkut/muatan atau
hanya terhadap kapal yang mentransportasikan barang-
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
and more dominated by E(uropean) U(nion) law, a
development though also to be seen in tax law.
Our civil, criminal and fiscal chamber each have eleven
or twelve members. Two of these eleven or twelve are
vice-president. The senior vice-president acts as chairman.
Only the fiscal chamber is divided in two sections.
Section A deals with profit related taxes, such as
corporate tax and value added tax; the sphere of activity
of Section B is mainly income tax and taxes imposed by
lower governmental entities, such as cities.
For each chamber applies that some of the members are
specialists, others generalists. As a rule the generalists
are career judges. In the group of the specialists you
will find law professors, lawyers (Am:attorneys), tax
consultants and also career judges (mostly judges from
courts of appeal or from disctrict courts).
Once appointed to the civil, criminal or fiscal chamber
doesn’t mean one always stays in that chamber. For
generalists there is the possibility of a change and these
changes, particularly from the criminal or the fiscal
chamber to the civil chamber, take place quite regularly.
To give you an idea: of the present eleven members of
the civil chamber three started in the criminal chamber,
four in the fiscal chamber.
Fundamental or complicated cases (for example: A) is
a sea container a part of the ship or is it just packing
of the goods transported in it, or B) is Aruba - being a
119

120 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
barang yang dimuat ke dalam kapal tersebut, atau B)
yaitu Aruba- yang merupakan bagian dari Kerajaan
Belanda- yang diwajibkan untuk mengakui pernikahan
sesama jenis yang diizinkan oleh Hukum Belanda, atau
terakhir C) apakah mungkin untuk mendapatkan hak
cipta terkait dengan parfum?) diputuskan oleh kombinasi
dari 5 (lima) hakim. Sejak tahun 1986, semua kasus
lain, yang merupakan tumpukan semua kasus yang
sedang ditinjau, diputuskan oleh kombinasi dari 3 (tiga),
kecuali jika salah satu dari mereka berpendapat bahwa
putusan dari kombinasi 5 (lima) hakim diperlukan/
dipersyaratkan. Kemungkinan suatu majelis yang terdiri
dari 3 (tiga) hakim telah diperkenalkan kemudian untuk
mengurangi muatan pekerjaan dari Mahkamah Agung
(Hoge Raad). Untuk alasan yang jelas (menghindari
pengaruh penyalahgunaan posisi yang menguntungkan
(undue influence)) kombinasi tersebut tidak dibuat oleh
balai/kamar atau ketuanya melainkan, lebih kurang,
secara acak oleh panitera pengadilan. Kombinasi tersebut
diputuskan melalui pengambilan suara mayoritas. Namun,
anggota lain dari balai/kamar (yang dinamakan reserves)
juga mempunyai pengaruh dalam proses pengambilan
keputusan. Hal tersebut terbuka bagi mereka untuk
melontarkan komentar/pendapat, terutama demi
kepentingan keseragaman dan konsistensi penerapan
hukum. Pendapat/komentar ini bisa dibuat secara lisan
atau melalui sistem email internal, ketika perkara tersebut
sedang didiskusikan. Sistem yang canggih ini hanya bisa
diakses oleh anggota-anggota balai/kamar dan juga
merupakan bagian dari bantuan hukum dan administrasi
bagi hakim-hakim tersebut.
Balai/kamar akan menangani perkara setelah proses
persidangan tersebut, sejak tahun 80an abad lalu, yang
pada kenyataannya dilakukan secara ekslusif dengan
tulisan. Pengajuan argumen secara lisan (oral hearings) pada
masa sekarang ini adalah pengecualian terhadap peraturan
tersebut.
Walaupun setiap balai/kamar mempunyai lapangan
kegiatan sendiri yang ditentukan dengan jelas dan baik,
teradapat beberapa jenis kerjasama.
part of the Kingdom of The Netherlands - obliged to
recognize a same sex marriage made under Dutch law,
or finally C) is it possible to obtain copyright with regard
to a perfume?) are decided by a combination (chair) of
five justices. Since 1986 all other cases, which is the bulk
of all cases under review, are decided by a combination
of three, unless one of them is of the opinion that
a judgment by a combination of five is required. The
possibility of a chair of three has been introduced
then to decrease the workload of the Hoge Raad. For
obvious reasons (avoidance of any undue influence)
the combinations are not made by the chamber or its
chairman but more or less at random by its clerk’s office.
The combination decides with a majority vote. But the
other members of the chamber (the so-called reserves)
also have some influence in the decision-making process.
It is open to them to make remarks, especially in the
interest of a uniform and consistent application of the
law. These remarks can be made orally or via the internal
e-mail system, while the case is under discussion. That
rather sophisticated system by the way is only accessible
for members of the chamber and partly also for their
legal and administrative assistants.
The chamber will deal with a case after proceedings that,
since the eighties of last century,
are in fact exclusively in writing. Oral hearings nowadays
are an exeption to the rule.
Although each chamber has its own well defined field of
activity, there are several types of cooperation.
An example of the most frequent one is this: the

Contoh yang paling lumrah adalah: balai/kamar fiskal
harus memutuskan apakah kapal-rumah tertentu
(houseboat) merupakan barang tidak bergerak dalam
konteks Undang-Undang Pajak Kebendaan. Konsep
“tidak bergerak” dikatakan terkait erat dengan konsep
“tidak bergerak” dalam Pasal 3 Buku Ke-3 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Baru kami. Balai/kamar fiskal,
seperti yang mungkin anda pahami, tentunya berkehendak
untuk menyampaikan putusan yang konsisten dan sesuai
dengan yurisprudensi yang dibangun sejak tahun 1992
oleh balai/kamar perdata and untuk alasan tersebut,
hakim tersebut menanyakan pendapat balai/kamar
tentang putusan yang dimaksudkan ia (hakim tersebut)
untuk dinyatakan.
Dalam bentuk kerjasama yang lain, spesialis dari,
contohnya balai/kamar pidana, bertindak karena
pengetahuan khususnya tentang aspek penting (vital)
suatu kasus khusus sebagai anggota dari kombinasi balai/
kamar perdata.
Bentuk ketiga dan terakhir dari kerjasama dan koordinasi
diwujudkan secara jelas pada pertengahan tahun
1990 ketika balai/kamar fiskal, pidana, dan perdata,
dalam urutan tersebut, menentukan bahwa ketepatan
interpretasi dari aturan kebijakan tertulis dan dalam cara
yang mencukupi (adequate) yang digunakan oleh otoritas
pemerintah adalah masalah yang terkait dengan hukum
(point of law), dan untuk alasan tersebut bisa diverifikasi
oleh Mahkamah Agung (Hoge Raad).
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
fiscal chamber has to decide wether a certain kind
of houseboat is an immovable good in terms of the
Property taxes act. The concept of “immovable” in
said act corresponds with the concept of “immovable”
in art. 3 of Book 3 of our New Civil Code. The fiscal
chamber, as you may understand, of course wants to
stay in line with the jurisprudence developed since
1992 by the civil chamber and for that reason asks the
opinion of that chamber about the judgment it intends
to pronounce.
In another form of cooperation a specialist of, for
example, the criminal chamber acts because of his
special knowlegde of vital aspects of a specific case as a
member of a combination of the civil chamber.
A third and last form of cooperation and coordination
manifested itself most explicitly in the first half
of 1990 when the fiscal, the criminal and the civil
chamber, in that order, held that the correctness of
the interpretation of written and in an adequate way
published policy rules used by governmental authorities
is a point of law, and for that reason can be verified by
the Hoge Raad.
121

122 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Annex 6
Precedent dan peran Procurator General
Konsep precedent, seperti yang pada umumnya dikenal,
terkait sangat erat dengan sistem hukum Inggris dan
sistem-sistem hukum lain yang termasuk dalam keluarga
common law, seperti sistem hukum Amerika. Sistem
hukum Belanda, seperti halnya sistem-sistem utama
Eropa, tidak termasuk dalam keluarga tersebut namun
termasuk dalam sistem Romano-Germanic. Di Britania
Raya, sejak tahun 1898, putusan-putusan pengadilan-
pengadilan yang lebih tinggi tentang poin hukum (point
of law) adalah mengikat bagi pengadilan-pengadilan di
bawahnya, dan lebih jauh: pengadilan (namun, menurut
pernyataan praktik tahun 1966, House of Lords dan
penerusnya sejak tahun 2009: Mahkamah Agung Britania
Raya) terikat oleh putusan-putusan mereka terdahulu,
tidak perduli seberapa tuanya putusan tersebut. Konsep
yang dinamakan precedent mengikat (binding precedent) (“stare
decisis atau” atau “menjaga/meneruskan apa yang telah
diputuskan”), tidak sekaku seperti kelihatannya. Teknik
yang terkenal seringkali digunakan untuk menghindari
sifat mengikat dari precedent adalah “pembedaan”
(distinguishing): menunjukkan bahwa fakta-fakta yang
relevan dari precedent yang dikutip di hadapan pengadilan
berbeda dengan kasus yang sedang diadili sekarang.
Selain itu, untuk beberapa tahun belakangan, kami juga
dihadapkan dengan pengaruh yang kuat dan semakin
menguat dari hukum Uni Eropa (traktat-traktat, peraturan
dan directives). Contohnya: putusan provisi (preliminary
rulings) Pengadilan Uni Eropa di Luxemburg (the Court of
Justice of the European Union) 1 (article 267 tentang Traktat
Pelaksanaan Fungsi Uni Eropa atau Treaty on the Functioning
of the European Union)- putusan tentang subyek interpretasi
Hukum Eropa yang sedang dimohonkan ke pengadilan
nasional- mengikat terhadap kasus yang sedang diadili.
Jadi, pengadilan yang mengajukan permohonan dan
pengadilan-pengadilan nasional lainnya yang menangani
kasus tersebut diwajibkan untuk mengadopsi interpretasi
1 Lebih dari 50% muatan kerja Pengadilan
Annex 6
Precedent and the role of the Procurator General
The concept of precedence is, as is well-known, strongly
connected with the English legal system and other legal
systems belonging to the common law family, such as
the American law system. The Dutch legal system, like
most European mainland systems, does not belong to
that family but to the Romano-Germanic system. As
far as the United Kingdom is concerned, since 1898
the decisions of higher courts about a point of law
are binding on lower courts, and furthermore: courts
(but, according to a practice statement of 1966, not
the House of Lords and its successor since 2009: the
Supreme Court of the United Kingdom) are bound
by their own previous decisions, no matter how old.
This concept of binding precedent (“stare decisis” or
“maintain what has been decided”), by the way, is not
as rigid as it seems to be. The well-known technique
often used to escape from the authority of a precedent
is “distinguishing” : pointing out that the facts of the
presumed precedent or precedents cited before the court
differ in a relevant way from the facts of the case at hand.
Besides that there is for many years now the strong
and ever-increasing influence of European Union
law (treaties, regulations and directives). For example:
preliminary rulings of the Court of Justice of the
European Union in Luxemburg 1 (art. 267 Treaty on
the Functioning of the European Union) - rulings on
the subject of interpretation of European Law at the
request of a national court - are binding in the case
concerned. So the requesting court and other national
courts dealing with the case are obliged to adopt the
interpretation given by the Court of Justice, in spite
of the existence of a diverging national precedent.
1 More than 50% of the Court’s workload.

yang diberikan Court of Justice, walaupun terdapat
perbedaan-perbedaan dalam precedent nasional. Hal yang
sama juga berlaku bagi putusan-putusan yang dibuat
oleh pengadilan Eropa lain yang sangat berpengaruh,
Pengadilan Hak Asasi Manusia (the European Court of
Human Rights) di Strasbourg.
Dalam sistem hukum Belanda, dalam batas tertentu
walaupun dipengaruhi oleh Hukum Eropa, konsep
precedent yang juga diaplikasikan di Britania Raya tidak
dikenal. Dalam teorinya, suatu pengadilan hanya terikat
oleh putusan-putusan dari pengadilan yang lebih tinggi
dalam kasus yang sedang diadili. Jadi, jika, misalnya,
Mahkamah Agung (Hoge raad) menentukan bahwa
kontrak tertentu bukan merupakan kontrak buruh seperti
yang dimaksud dalam Pasal 7:610 KUHPerdata baru kami
dan untuk alasan tersebut putusan pengadilan banding
dibatalkan dan kasus tersebut dialihkan (dirujuk) ke
pengadilan banding lain untuk diadili, maka hanya putusan
dari pengadilan banding baru itu yang terikat oleh putusan
ini. Namun seperti yang saya katakan tadi, teori.
Dalam teori, precedents dalam sistem hukum kami tidak
mempunyai kewenangan lebih dari persuasi, namun fakta
dan situasinya ternyata cukup berbeda. Yurisprudensi
Mahkamah Agung (Hoge Raad) tentunya mempunyai
status yang lebih tinggi. Anda harus menyadari bahwa
salah satu fungsi utama, jika bukan fungsi paling
utama, Mahkamah Agung (Hoge Raad) adalah untuk
mengembangkan penerapan hukum yang seragam (legal
uniformity). Ini merupakan suatu keharusan yaitu bahwa
suatu pelaksanaan tugas yang pantas dan cukup diperlukan
untuk menciptakan yurisprudensi yang konsistensi di
Mahkamah Agung (Hoge Raad). Pada saat yang sama, hal
tersebut mempersyaratkan kerjasama yang teliti namun tidak
submisif (submissive) dari pengadilan-pengadilan di bawahnya.
Dan hal itu adalah apa yang dilakukan pengadilan yang
lebih rendah;terlepas dari pengecualian-pengecualian
yang langka/jarang, mereka dengan hati-hati mengikuti
yurisprudensi Mahkamah Agung (Hoge raad), pada
masa sekarang secara instan mempublikasikannya
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
The same goes for the decisions of that other highly
influential European court, the European Court of
Human Rights in Strasbourg.
In the Dutch legal system, to the same extent though
influenced by European law, a concept of precedence
as applied in the United Kingdom does not exist. In
theory a court is only bound by decisions of a higher
court given in the case at hand. So if, for instance, the
Hoge Raad rules that a specific contract is not a labour
contract as meant in art. 7:610 of our New Civil Code
and for that reason quashes the judgment of the court
of appeal and refers the case to another court of appeal,
only that court in that case is bound by this decision.
But that is, as I said, theory.
In theory precedents in our legal system have no more than
persuasive power, but in fact the situation is quite different.
Hoge Raad case law definitely has a higher status.
You must realize that one of the main tasks, if not: the
main task, of the Hoge Raad is promoting the uniform
application of the law (legal uniformity). It goes without
saying that a proper and adequate performance of this
task compels to a consistent jurisprudence of the Hoge
Raad. At the same time it requires the scrupulous but
not submissive cooperation of the lower courts.
And that is what the lower courts do; apart from a rare
exception they carefully follow the jurisprudence of
the Hoge Raad, nowadays instantly published on the
website Rechtspraak.nl. They carefully follow, at least
they have the intention to do so. In general a judgment
123

124 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
dalam website Rechtspraak.nl. Mereka dengan hati-hati
mengikuti, setidaknya mereka mempunyai niat untuk
melakukan hal tersebut. Secara umum, suatu putusan dari
pengadilan yang lebih rendah yang bertentangan dengan
yurisprudensi yang ada tidak mempunyai kegunaan
(tujuan) apapun, kecuali jika yurisprudensi ini telah
ketinggalan jaman atau tidak sesuai dengan yurisprudensi
dari pengadilan Luxemburg atau Strasbourg. Putusan
semacam ini melemahkan kepastian hukum dan membuat
para pihak yang terkait harus membayar pengeluaran-
pengeluaran yang sebenarnya tidak diperlukan. 2 Tentunya,
kami sekali-kali melihat penyimpangan dari yurisprudensi
kami, terutama yurisprudensi yang sudah lebih tua, dan
masih dikritik oleh pengamat-pengamat Mahkamah
Agung (Hoge Raad) yang terpandang. Penyimpangan
semacam ini diterima; karena hal tersebut menstimulasi
perkembangan hukum.
Di antara perkembangan hukum dalam satu sisi dan
konsisten yurisprudensi di sisi lainnya, terdapat konflik
yang tidak bisa dihindarkan. Saya cenderung berpikir
bahwa ketika terjadi konflik, konsistensi yang harus
menang/dipertahankan. Demi kepastian hukum, dan oleh
karena itu prediktabilitas dari putusan-putusan peradilan,
Mahkamah Agung (Hoge Raad) sangat jarang dan – sejauh
hukum substansi terkait- hampir tidak pernah dalam
kurun waktu setidaknya 5 (lima) tahun, memodifikasi
yurisprudensinya. Modifikasi semacam itu (omgaan;
swing-over) tidak terjadi secara rahasia (diam-diam)
namun secara terbuka. Alasan-alasan yang dipakai sering
merujuk pada keberatan-keberatan yang dibuat dalam
literatur hukum, terhadap akibat-akibat yang tidak bisa
diprediksikan (unforeseen) dan tidak diiginkan (undesirable)
dari yurisprudensi yang sedang dipertentangkan atau
perubahan-perubahan penting dalam masyarakat.
Dalam proses menemukan hukum, ada peran besar dari
Procurator General, atau dalam kebanyakan kasus untuk
2 Untuk orang perseorangan yang tidak mempunyai asuransi
biaya hukum dan tidak diberikan hak untuk berlitigasi tanpa biaya
perkara, biaya litigasi hampir pasti sangat mahal buat orang tersebut.
of a lower court that conflicts with recent or standing
jurisprudence serves no useful purpose, unless this
jurisprudence is obsolete or not in line with the case
law of the Luxemburg or Strasbourg court. Such a
judgment undermines legal certainty and puts the parties
concerned to needless expenses. 2 Of course we now and
again see deviations from our jurisprudence, specifically
older jurisprudence that has been, and still is criticised
by reputed Hoge Raad watchers. This kind of deviation
is welcome; it stimulates the development of the law.
Between development of the law on the one side
and consistency of jurisprudence on the other there
inevitably is a certain tension. I am inclined to think that
when it comes to the crunch consistency prevails. For
the sake of legal certainty, and hence the predictability
of judicial decisions, the Hoge Raad very rarely, and
- as far as substantive law is concerned - almost never
within a period of at least five years, modifies its case
law. Such a modification (omgaan; swing-over) does not
take place secretly but openly. The reasons often refer
to objections made in legal literature, to unforseen and
undesirable effects of the disputed jurisprudence or to
important changes in society.
In this process of finding of law there is a major role
for the Procurator General, or in most cases for his
2 For a private person that has no legal expenses insurance
and is not entitled to litigate free of charge the costs of litigation are
almost prohibitive.

penggantinya, the Advocates General). Tugas utama dari
Procurator General, ketua dari departemen independen di
Mahkamah Agung (Hoge Raad) ditentukan dalam Pasal 111
dan 121 3 Undang-Undang (Organisasi) Peradilan (Wer op
de rechterlijke organisatie). Berdasarkan pasal 121, Procurator
General, sama halnya dengan para hakim ditunjuk seumur
hidup oleh dekrit Royal (Royal Decree), secara khusus
mengawasi pelaksanaan dan penerapan ketentuan-
ketentuan undang-undang di Mahkamah Agung (Hoge
raad), pengadilan banding dan pengadilan negeri.
Sebenarnya, tugas utama dari Advocate General adalah
untuk menyediakan Mahkamah Agung (Hoge Raad)
dengan advisory opinion (Bahasa Belandanya: conclusie).
Pendapat-pendapat ini wajib diikuti dalam perkara-
perkara perdata dan di kebanyakan perkara pidana. Dalam
perkara pajak, Advocates General bebas untuk menuliskan
advisory opinion hanya untuk perkara-perkara yang lebih
signifikan dan kontroversial.
Dengan bantuan yang sangat bermanfaat dan diperlukan
dari anggota departemen riset hukum, Advocate
General menganalisis perkara terhadap latar belakang
dari yurisprudensi yang relevan dan literatur hukum
(doktrin). Bukan hanya berasal dari Belanda tentunya;
jumlah perkara dengan nuansa dan aspek Eropa sedang
berkembang. Dan jika masalah yang menjadi isu adalah
interpretasi atas konvensi internasional, contohnya:
Aturan Visby Hague (the hague Visby Rules) (tentang
pengangkutan barang melalui jalur laut) atau Konvensi
Hague tentang penculikkan anak internasional (Hague
Convention on international child abduction), advocate General
akan menyediakan studi hukum komparatif, yang terutama
terhadap yurisprudensi dan literatur Inggris, Jerman, dan
Perancis. Pada akhirnya, ia mengungkapkan validitas
dari tiap keberatan yang diajukan dalam cara kasasi
(cassatiemiddelen): apakah mereka seharusnya membatalkan
putusan dari pengadilan banding atau tidak?
3 Contohnya: penuntutan atas perbuatan salah (misconduct)
yang dilakukan oleh pejabat tinggi pemerintah
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
substitutes, the Advocates General. The tasks of the
Procurator General, head of an independent office at
the Hoge Raad, are expressed in art. 111 and 121 3 of
our Judiciary (Organization) Act (Wet op de rechterlijke
organisatie). According to art. 121 the Procurator
General, just like judges appointed “for life” by Royal
decree, in particular watches over the maintenance and
enforcement of statutory regulations at the Hoge Raad,
the courts of appeal and the district courts.
In real terms it is the main task of an Advocate General
to provide the Hoge Raad with an advisory opinion
(Dutch: conclusie). These opinions are obligatory in
civil cases and in most criminal cases. In tax cases the
Advocates General are free to write advisory opinions in
more significant or controversial cases only.
With the indispensable assistance of a member of
our legal research department an Advocate General
analyses the case against the background of relevant
jurisprudence and legal literature (doctrine). Not only
of Dutch origin of course; the number of cases with
European aspects is growing all the time. And if the
point at issue is the interpretation of an international
convention, for instance: the Hague Visby Rules (on
carriage of goods by sea) or the Hague Convention
on international child abduction, the Advocate General
will provide for a comparative law study, mainly focused
on English, German and French jurisprudence and
literature. Finally he expounds his opinion about the
validity of each of the objections expressed in the means
of cassation (cassatiemiddelen): should they lead to
quashing of the judgment of the court of appeal or not?
3 For example: prosecution of misconduct perpetrated by
high government officials
125

126 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Advocate general adalah pemandu kami yang paling
dihormati dan dipercaya. Dan bukan hanya kami.
Pendapat-pendapatnya, dipublikasikan pada waktu yang
sama, atau bahkan sebelum, putusan-putusan kami, juga
dihargai dan merupakan kontribusi yang bermakna bagi
debat hukum. Untuk alasan-alasan yang baik: karena,
Advocate General seringkali merupakan ahli yang terhormat
dalam bidang tertentu: hukum perburuhan, perbuatan
melawan hukum, hukum pidana internasional, hukum
perdata internasional, pajak pertambahan nilai, hukum
kekayaan intelektual dan industrial dsb. Pendapat, yang
terhadapnya para pihak bisa mengajukan respon tertentu
dalam kurun waktu 14 (empat belas) hari, biasanya
merupakan roda penggerak diskusi. Terkadang kami
menyimpang (melenceng) namun kebanyakan putusan-
putusan kami sesuai dengan pendapat dari Advocate General.
The Advocate General is our highly respected and
trusted guide. And not only ours. His or her opinions,
published at the same time as, or even before, our
judgments, are appreciated and useful contributions
to the juridical debate. For good reasons: because, the
Advocate General often is a reputed expert in a certain
field: labour law, tort, international criminal law, private
international law, v.a.t., industrial and intellectual propery
law etc. etc. The opinion, on which the parties can
react within fourteen days, usually is the pivot of our
discussion. Sometimes we deviate, but a large majority
of our judgments is in line with the opinion of the
Advocate General.

Annex 7
Memastikan konsistensi penjatuhan sanksi dalam
perkara-perkara pidana yang sebanding (comparable)
dalam lingkungan peradilan
Ini merupakan isu yang sangat menarik yang pada sekarang
ini menjadi pusat perhatian di Belanda, seperti halnya
di kebanyakan negara. Demi kepentingan persamaan
hukum, kita harus mencegah pengadilan pidana yang
berbeda menjatuhkan sanksi yang berbeda untuk perkara-
perkara yang sebanding (comparable). Hukuman tertentu
yang dijatuhkan dalam perkara tertentu tidak seharusnya
bergantung pada pengadilan yang bersangkutan.
Sebelum menilik lebih jauh (dalam) tentang apa yang
dilakukan Belanda untuk mengembangkan penjatuhan
hukuman yang konsisten, saya ingin menyampaikan
beberapa hal tentang sistem hukum Beanda. Hukum
pidana membatasi pilihan hakim dalam konteks penjatuhan
hukuman kepada seorang terdakwa. Contohnya, hukum
pidana menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan
pembunuhan tanpa niat (manslaughter) bisa dijatuhkan
hukum penjara tidak lebih dari 15 (lima belas) tahun atau
denda kategori kelima, yang berarti denda sebesar 74.000
euros.
Ini menunjukkan bahwa hukum pidana menentukan
batas atas dari hukuman-hukuman tersebut, yang
dimana pengadilan-pengadilan tidak diizinkan untuk
menjatuhkan hukuman yang melebihi batas atas tersebut.
Tidak terdapat konsep batas sanksi bawah (minimum).
Namun beberapa politisi Belanda mulai memperhatikan
hal terkait sanksi bawah tersebut.
Oleh karena itu, pengadilan-pengadilan pidana Belanda
mempunyai kebebasan yang besar dalam menentukan
hukuman apa yang dijatuhkan. Namun, kebebasan
ini meningkatkan resiko inkonsistensi. Jadi, 2 (dua)
instrumen yang telah dikembangkan untuk membuat
penjatuhan sanksi lebih konsisten. Yang pertama adalah
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Annex 7
Ensuring consistency in imposing sanctions in
comparable criminal cases within the judiciary
This is a very interesting issue which is currently a focus
of attention in the Netherlands, as in other countries.
In the interests of legal equality, we need to prevent
different criminal courts imposing different sanctions in
comparable cases. The sentence imposed in a particular
case should not depend on the court concerned.
Before taking a closer look at what the Netherlands
is doing to promote consistent sentencing, I want to
say a few words about the Dutch legal system. The
criminal law limits a judge’s options when it comes to
sentencing defendants. For example, it says that anyone
who commits manslaughter is liable to a term of
imprisonment not exceeding 15 years or a fifth-category
fine, which means a fine of 74,000 euros.
This shows that the criminal law sets upper limits on
sentences, which courts are not allowed to exceed.
Dutch law does not set lower limits. There is no such
thing as minimum sanctions. But some Dutch politicians
are beginning to call for their introduction.
Dutch criminal courts therefore enjoy a large degree
of freedom in deciding what sentence to impose. But
this freedom increases the risk of inconsistency. So two
instruments have been developed to make sentencing
more consistent. The first is a set of ‘orientation points’
drawn up by a committee of criminal judges for a
127

128 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
serangkaian “batas-batas orientasi “ (orientation points) yang
telah digariskan oleh komite hakim-hakim pidana untuk
sejumlah pelanggaran tertentu yang sudah lazim terjadi.
Orientation points terdiri dari gambaran umum tentang
kasus ‘standar’ dan pedoman-pedoman khusus tentang
hukuman yang dijatuhkan. Pelanggaran-pelanggaran
tersebut adalah pelanggaran yang hukuman penjatuhan
hukumnnya adalah sampai 4 (empat) tahun, misalnya
pencurian, penganiayaan (assault), dan pelanggaran-
pelanggaran terkait obat-obatan terlarang yang tidak ada
faktor-faktor pemberatnya (non-aggravated drug offences).
Batas-batas orientasi (orientation points) mencerminkan
praktik umum. Dan ketika hal-hal tersebut ada,
hakim-hakim hampir selalu menggunakannya sebagai
pertimbangan awal.
Instrumen kedua adalah pusat data (database) yang
diciptakan oleh peradilan yang memuat putusan-putusan
pengadilan banding yang menjatuhkan hukuman penjara
setidaknya 4 (empat) tahun. Database tersebut meliputi
rincian tentang hukuman-hukuman, pelanggaran-
pelanggaran, dan para pelanggar. Tujuan utamanya
adalah untuk menyediakan informasi tentang hukuman-
hukuman yang dijatuhkan dalam kasus-kasus sebanding
(comparable) sebelumnya. Para hakim kemudian bisa
mengkonsultasikan perkara-perkara yang sama dalam
database menggunakan informasi ini dalam menentukan
hukuman. Satu masalah yang muncul adalah bahwa para
hakim sangat jarang menggunakan database tersebut. Hal
ini karena mereka tidak terbiasa melakukannya dan hal
tersebut tidak cocok dengan cara-cara kerja mereka. Cara-
cara untuk membuat database tersebut lebih menarik
sedang dipelajari dan dikaji. Saya merasa sangat senang
tentang hal ini, karena saya merasa yakin bahwa hal
tersebut bisa dan mungkin harus menjadi kunci utama.
Para hakim jelas perlu membiasakan diri bekerja dengan
sistem yang demikian. Namun, seketika hal tersebut
sudah terjadi dan sistem tersebut telah diisi penuh
dengan informasi yang berharga dan teratur dengan baik,
pentingnya sistem database tersebut akan seketika itu
menjadi jelas.
number of fairly common offences. They consist of
a brief description of a ‘standard’ case and specific
guidelines on the sentence to be imposed. The offences
concerned are those in which a term of imprisonment
of up to four years is generally imposed, such as theft,
assault and non-aggravated drug offences. The orientation
points reflect common practice. And where they exist,
judges nearly always use them as their starting point.
The second instrument is a database created by the
judiciary containing appeal court judgments imposing
a prison sentence of at least four years. It includes
details of sentences, offences and offenders. Its main
purpose is to provide information on sentences passed
in previous, comparable cases. Judges can then consult
similar cases in the database and use this information
when determining a sentence. One problem is that
judges hardly ever use the database. This is because
they are not accustomed to it and it does not fit in with
their working methods. Ways of making the database
more attractive are being studied. I’m pleased about this,
because I’m convinced that it can and perhaps must play
a key role. Judges clearly need to get used to working
with such a system. But once that has happened and the
system is full of valuable, well-organised information, its
importance will quickly become clear.

Sebagai catatan, poin penting untuk diperhatikan adalah
bahwa di Belanda, para hakim bisa mengakses hampir
semua putusan dari pengadilan manapun melalui
sistem komputer. Namun, database tersebut mempunyai
keuntungan dimana putusan-putusan dikategorisasikan
dengan lebih jelas dalam konteks faktor-faktor yang
mempengaruhi hukuman yang dijatuhkan.
Sebagai tambahan kepada kedua instrumen ini, saya juga
harus menyebutkan bahwa hukuman-hukuman yang
dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (the Public Prosecution
Service). Dalam setiap kasus, penuntutan mempersyaratkan
hukuman yang spesifik. Dan walaupun hal tersebut
tidak mengikat para hakim, hukuman yang dituntut
Jaksa Penuntut Umum sering tidak berbeda banyak dari
hukuman dari hakim yang akhirnya dijatuhkan. Untuk
kebanyakan pelanggaran kecil, jaksa penuntut umum
umumnya menggunakan pedoman-pedoman untuk
menentukan tuntutan yang pantas. Walaupun pedoman-
pedoman tersebut dirancang untuk mengembangkan
praktik dimana tuntutan jaksa konsisten, hal tersebut tidak
akan mengejutkan saya jika pedoman-pedoman tersebut
juga mempunyai dampak positif terhadap konsistensi
hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh para hakim.
Secara formal, pengadilan-pengadilan terikat oleh batas
hukuman atas atau hukuman maksimum yang ditentukan
oleh hukum, bukan oleh batas-batas orientasi (orientation
points) dan pusat data (database). Pusat data merupakan
alat yang sangat penting, namun tidak lebih dari itu.
Yang menentukan hukuman dalam koridor hukum
adalah para hakim itu sendiri. Sistem tersebut secara
alami memungkinkan orang untuk mengajukan banding
terhadap hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepadanya.
Contohnya, jika seseorang percaya bahwa hukuman mereka
terlalu berat, ia bisa mengajukan banding di pengadilan
banding, dan kemudian mengajukan permohonan kasasi
ke Mahkamah Agung jika diperlukan. Pengadilan banding
tersebut memeriksa secara independen hukuman apa
yang harus dijatuhkan. Pengadilan kasasi mempunyai
tugas yang lebih terbatas: pengadilan kasasi memeriksa
apakah hukuman tersebut sudah sesuai dengan hukuman
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
For the record, it is worth pointing out that in the
Netherlands judges can access nearly all court decisions via
a computer system. But the database has the advantage that
judgments are categorised much more clearly in terms of
the factors influencing the sentence imposed.
In addition to these two instruments, I should also
mention the sentences demanded by the Public
Prosecution Service. In every case, the prosecution
demands a specific sentence. And although it is not
binding on judges, it often does not differ much
from the sentence ultimately handed down. For many
common minor offences, the public prosecutor uses
guidelines to determine the appropriate demand.
Although the guidelines are designed to promote
consistent demands, it would not surprise me if they
also had a positive effect on the consistency of the
sentences imposed by judges.
Formally, courts are bound only by the maximum
sentence laid down by law, not by the orientation points
and database. The latter are important tools, but no
more than that. It is the judges who determine the
sentence within the framework of the law. The system
naturally allows people to appeal against the sentences
they have received. For example, if a person believes
that their sentence is too harsh, they can lodge an
appeal with an appeal court, and later lodge an appeal
in cassation with the Supreme Court if necessary. The
appeal court decides independently what sentence
should be imposed. The court of cassation has a more
limited task: it assesses whether the sentence is in line with
the maximum sentence laid down by law and whether it is
reasonable given the circumstances of the case.
129

130 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
maksimum yang ditentukan oleh hukum dan apakah
hukuman tersebut masuk akal mengingat kondisi-kondisi
dalam kasus tersebut.
Untuk menyimpulkan, Belanda telah mengambil langkah-
langkah untuk membuat penghukuman lebih konsisten,
namun jalan tersebut masih panjang dan jauh. Masalahnya
adalah walaupun kami perlu memastikan bahwa sanksi-
sanksi yang sama dijatuhkan untuk kasus-kasus yang sama,
para hakim harus terus memiliki kebebasan yang besar
dalam memutuskan hukuman apa yang dijatuhkan. Karena
hanya dengan itulah, para hakim bisa mempertimbangkan
kondisi-kondisi khusus suatu kasus dan memastikan bahwa
hukuman tersebut pantas dan adil.
Saya sangat tertarik untuk mempelajari bagaimana cara
masalah ini diatasi di Indonesia. Karena untuk suatu negara
sebesar negara anda, pasti tidak mudah untuk memastikan
penghukuman yang konsisten di tingkat nasional.
To sum up: the Netherlands is already taking measures
to make sentencing more consistent, but still has a
long way to go. The problem is that although we need
to ensure that similar sanctions are imposed in similar
cases, judges must continue to have a large degree of
freedom in deciding what sentence to impose. For only
then can they take account of the specific circumstances
of a case and ensure that the sentence is fitting and just.
I am very interested to learn how you are tackling this
problem in Indonesia. For in a country as large as yours,
it cannot be easy to ensure consistent sentencing at
national level.

Annex 8
Kontribusi terhadap kelompok kerja dalam pengaruh
hukum internasional
Pertama, saya mau mengucapkan terima kasih atas
kesempatannya pada hari ini untuk mendiskusikan topik
yang sangat penting dan menarik. Terdapat pengakuan
yang sedang berkembang di kalangan internasional
tentang pentingnya hukum internasional. Hal ini terkait
erat dengan proses globalisasi yang sedang terjadi.
Batas-batas negara menjadi semakin kabur. Negara-
negara menjadi lebih dan lebih bergantung satu sama
lain (interdependent) dalam semua lapangan lain. Ekonomi
juga menjadi semakin terkait satu sama lain. Walaupun
demikian, merupakan musibah karena proses ini
dihadapkan dengan krisis finansial global, yang menyebar
ke ekonomi seluruh dunia seperti minyak yang licin.
Dunia yang semakin terglobalisasi mempersyaratkan
aturan-aturan internasional yang berlaku kepada semua
negara yang terlibat. Sistem hukum nasional tidak lagi
cukup untuk menangani isu-isu internasional.
Saya mau memulai diskusi hari ini dengan mengatakan
beberapa hal tentang pengaruh umum dari hukum
internasional terhadap hukum Belanda. Kemudian,
saya akan menjelaskan lebih dalam tentang pengaruh
traktat-traktat tentang hak asasi manusia terhadap sistem
peradilan pidana di Belanda.
Pengaruh hukum internasional terhadap hukum Belanda
Hukum internasional mempunyai pengaruh yang
sangat bervariasi terhadap hukum Belanda. Tentunya,
hukum internasional tidak hanya melibatkan kewajiban
hukum langsung yang muncul dari fakta bahwa Belanda
merupakan anggota dari traktat-traktat tertentu atau
diikat oleh putusan-putusan dari organisasi-organisasi
internasional dimana Belanda merupakan anggota.
Karena kewajiban internasional bisa secara bertahap
memberikan pengaruh-pengaruh yang jelas dan tidak
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Annex 8
Contribution to the working group on the influence
of international law
First I would like to thank you for the opportunity
to speak to you today on such an important and
interesting subject. There is growing recognition
worldwide of the importance of international law.
This is closely linked to ongoing globalisation. Borders
are becoming increasingly blurred. Countries are
becoming more and more interdependent in all kinds
of areas. Economies, too, are becoming increasingly
intermeshed. Unfortunately, this was underlined by
the recent economic crisis, which spread across the
world’s economies like an oil slick. A globalising world
requires international rules that apply to all the countries
involved. National legal systems are not sufficient for
dealing with international issues.
I want to begin by saying a few words about the general
influence of international law on Dutch law. Then I’ll
take a closer look at the influence of human rights
treaties on criminal justice in the Netherlands.
The influence of international law on Dutch law
International law has a highly varied influence on
Dutch law. It certainly does not just involve direct legal
obligations arising from the fact that the Netherlands
is party to certain treaties or is bound by decisions of
international organisations of which it is a member.
For international obligations can gradually give rise to
clear, indirect influences on our legal system. There is
also a potential political influence on Dutch law – for
example, if other states make it clear that they do not
131

132 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
langsung terhadap sistem hukum kami. Juga terdapat
potensi pengaruh politik terhadap hukum Belanda –
contohnya, jika negara-negara lain menyatakan dengan
jelas bahwa mereka tidak menghargai fakta bahwa Belanda
menjalankan hukum internasional dengan arah yang
berbeda atau jika Belanda memutuskan untuk mengikuti
trend internasional namun demi kepentingannya sendiri.
Hal ini tidak merubah fakta bahwa 2 (dua) dari instrumen
internasional yang paling penting untuk hukum
Belanda adalah Hukum Uni Eropa dan traktat-traktat
internasional. Saya akan membicarakan ini satu per satu
secara bergiliran.
Sejak Statuta Roma disepakati, sistem hukum Belanda
telah menjadi bagian dari sistem hukum supranasional
Uni Eropa. Seperti yang terbukti dari putusan yang
dibuat oleh Pengadilan Eropa (European Court of Justice),
kedaulatan Belanda telah dibatasi. Pembentukkan Uni
Eropa menciptakan sistem hukum yang mengikat baik
kepada negara-negara anggota maupun warga negaranya.
Hukum primer maupun sekunder dari Uni Eropa berlaku
secara cepat dan sesegera mungkin dalam sistem hukum
Belanda dan menjadi preseden terhadapnya (merupakan
rujukan utama atau lebih kuat), bahkan terhadap
Konstitusi Belanda. Jadi sistem hukum Belanda sangat
dipengaruhi oleh hukum Uni Eropa.
Sementara untuk traktat-traktat dan keputusan-keputusan
organisasi internasional, hal-hal tersebut berlaku dalam
sistem hukum domestik; tidak penting atau perlu untuk
mengubah norma-norma internasional menjad hukum
nasional. Hal ini berarti ada beberapa traktat dan
keputusan organisasi internasional yang bisa dianggap
sebagai hukum konstitusional. Hal ini terkait kasus dimana
mereka membatasi atau memperluas kewenangan otoritas
Belanda berdasarkan hukum konstitusional nasional.
Berbagai traktat terpenting untuk Belanda adalah mungkin
Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia
dan Kebebasan Fundamental (European Convention for the
Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms) dan
Konvensi Internasional untuk Hak Sipil dan Politik (the
appreciate the fact that the Netherlands is pursuing a
different course or if the Netherlands decides to follow
an international trend out of self-interest.
This does not alter the fact that two of the most
important international instruments for Dutch law
are the law of the European Union and international
treaties. Let me deal with each in turn.
Since the Treaty of Rome came into being, the Dutch
legal system has formed part of the EU’s supranational
system of law. As is evident from the rulings of
the European Court of Justice, the Netherlands
has had certain limits placed on its sovereignty. The
establishment of the EU brought about a system of
law that is binding on both the member states and their
citizens. Primary and secondary EU law takes immediate
effect in the Dutch system of law and takes precedence
over it, even over the Constitution. So the Dutch legal
system is profoundly influenced by EU law.
As for treaties and decisions of international
organisations, these automatically apply in the domestic
legal system; it is not necessary to first transpose
international norms into national law. This means
that certain treaties and decisions of international
organisations may even count as constitutional law. This
is the case where they either limit or extend the powers
of Dutch authorities based on national constitutional
law. The most important treaties for the Netherlands are
probably the European Convention for the Protection
of Human Rights and Fundamental Freedoms and the
International Covenant on Civil and Political Rights. The
latter has also been ratified by Indonesia.

International Covenant on Civil and Political Rights). Konvensi
terakhir juga sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Setelah saya memaparkan pengaruh umum hukum
internasional terhadap sistem hukum Belanda, saya ingin
membicarakan tentang bagaimana hak-hak asasi manusia
yang termaktub dalam berbagai traktat internasional bisa
mempengaruhi hukum pidana.
Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia
Seperti yang telah saya sebutkan, Belanda adalah anggota
Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia
dan Kebebasan Fundamental (European Convention for
the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms),
dan sama halnya dengan Indonesia, anggota Konvensi
Internasional untuk Hak Sipil dan Politik (the International
Covenant on Civil and Political Rights). Hak-hak asasi manusia
yang termaktub dalam traktat-traktat ini dengan jelas
mempengaruhi hukum pidana Belanda, termasuk hukum
prosedur pidana dan hukum substansi pidana.
Contohnya, budaya prosedur di Belanda secara bertahap
berubah sebagai respons kepada putusan-putusan
Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia (European
Court of Human Rights) (kasus the Kostovski dan Van
Mechelen contohnya). Para saksi harus lebih sering di
pengadilan; pemeriksaan secara privat ketika investigasi
tingkat permulaan (awal) di kantor panitera pemeriksa
tidak mencukupi lagi. Pengaruh Strasbourg terkait
sistem prosedural yang berbeda di berbagai negara
anggota Dewan Eropa (the Council of Europe) secara tidak
meragukan meningkatkan keseragaman sampai pada
batas tertentu. Aspek-aspek berbeda tertentu dari sistem
adversarial dan inquisitorial mulai melebur. Hal ini berlaku,
contohnya, kepada kecenderungan yang berkembang
untuk memeriksa para saksi pada sidang pengadilan di
sistem hukum perdata --- sesuatu yang sudah menjadi
praktik standar di sistem common law. Dengan kata lain, kita
bisa mengatakan bahwa harmonisasi budaya prosedural
telah dimulai.
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Now that I have outlined the general influence of
international law on the Dutch legal system, I want to
look at how the human rights enshrined in international
treaties influence criminal law.
Criminal law and human rights
As I have just mentioned, the Netherlands is party to
the European Convention on Human Rights and, like
Indonesia, the International Covenant on Civil and
Political Rights. The human rights enshrined in
these treaties clearly influence Dutch criminal law,
including both the law of criminal procedure and
substantive criminal law.
For instance, the procedural culture in the Netherlands
is gradually changing in response to judgments by the
European Court of Human Rights (the Kostovski
and Van Mechelen cases, for example). Witnesses
increasingly have to appear in court; merely examining
them privately during the preliminary judicial
investigation at the office of the examining magistrate
is no longer sufficient. Strasbourg’s influence on the
different procedural systems in the various member
states of the Council of Europe undoubtedly promotes
uniformity to some extent. Certain initially rather
divergent aspects of adversarial and inquisitorial systems
are beginning to converge. This applies, for example, to
the growing tendency to examine witnesses at trial in civil
law systems – something that is already standard practice
in common law systems. We might cautiously say that the
harmonisation of procedural cultures has begun.
133

134 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Hak asasi manusia yang termaktub dalam traktat-traktat
yang saya sebutkan juga memainkan peranan yang penting
dalam hukum pidana substansi. Terkadang, hak-hak
tersebut membatasi cakupan/dasar untuk menentukan
bahwa seseorang bertanggung jawab secara pidana.
Contohnya, untuk seorang pendeta yang telah membuat
pernyataan yang sangat negatif tentang pecinta sesama
jenis (homosexuals) bisa menggunakan dasar kebebasan
beragama. Dan pengadilan pidana Belanda sebentar
lagi harus memutuskan apakah kebebasan berekspresi
menghalangi penjatuhan vonis kepada politisi Belanda
karena ia membuat pernyataan yang menyinggung
(offensive) tentang agama tertentu. Hak untuk menghargai
hidup seorang individidu juga merupakan hal yang relevan
dan patut disinggung di sini.
Di sisi lain, hak asasi manusia dijadikan argumen
untuk mendukung penuntutan tanggung jawab pidana
seseorang, terutama terkait dengan kewajiban-kewajiban
positif yang oleh Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi
Manusia (European Court of Human Rights) diturunkan,
secara bertahap dan meningkat, dari Konvensi Eropa
tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on
Human Rights). Dalam kasus perkosaan gadis berumur
14 tahun, contohnya, Pengadilan Eropa (European Court)
menentukan bahwa pelarangan penyiksaan dalam Pasal
3 Konvensi tersebut juga menentukan kewajiban positif
(positive obligation) bagi negara untuk memberlakukan
ketentuan-ketentuan hukum pidana secara efektif yang
menghukum pelaku pemerkosaaan dan menerapkannya
di dalam praktik melalui investigasi dan penuntutan yang
efektif. Dan hal ini tentunya bukan merupakan satu-
satunya contohy kewajiban positif.
Kesimpulannya, hak asasi manusia mempunyai pengaruh
yang sangat signifikan terhadap hukum pidana substansi
di Belanda. Walaupun ada ruang bergerak tertentu (margin
of appreciation) yang sering ada terkait interpretasi, hak
asasi manusia telah mendapatkan tempat yang penting
dan permanen di dalam hukum pidana Belanda.
The human rights enshrined in the treaties I’ve
mentioned also play a role in substantive criminal law.
Sometimes these rights restrict the scope for holding
people criminally liable. For example, a priest who
had made very negative remarks about homosexuals
was able to invoke freedom of religion. And a Dutch
criminal court will soon have to decide whether
freedom of expression prevents a Dutch politician from
being convicted of making offensive remarks about a
particular religion. The right to respect for private life
can also be mentioned in this regard.
On the other hand, human rights sometimes provide
arguments in favour of holding people criminally liable,
especially in the light of the positive obligations that the
European Court of Human Rights increasingly derives
from the European Convention on Human Rights. In
a case about the rape of a 14-year-old girl, for example,
the European Court ruled that the prohibition of
torture in article 3 of the Convention entails a ‘positive
obligation [on states] to enact criminal-law provisions
effectively punishing rape and to apply them in practice
through effective investigations and prosecution’. And this
is certainly not the only example of a positive obligation.
All in all, human rights exercise a significant influence
on substantive criminal law in the Netherlands. Despite
the margin of appreciation that often exists in relation
to interpretation, human rights have cquired an
important and permanent place in Dutch criminal law.

Annex 9
Kewajaran (reasonableness) dan keadilan (fairness)
Dalam hukum banyak Negara Anggota Uni Eropa,
prinsip itikad baik (orig bona fides) diterima sebagai konsep
yang fundamental, namun tidak diberikan pengakuan
yang sama dalam sistem hukum di setiap negara Anggota
tersebut. Secara khusus, prinsip itikad baik tidak dikenal
sebagai aturan umum dengan penerapan langsung
dalam yurisdiksi common law. Memang benar bahwa
sistem Common law mempunyai banyak aturan tertentu
yang kelihatannya mempunyai fungsi yang ekuivalen
dengan prinsipi itikad baik, dalam artian tersebut bahwa
mereka dimaksudkan untuk mencegah para pihak untuk
bertindak dengan cara tertentu yang tidak sesuai dengan
prinsip itikad baik, namun tidak ada aturan umum.
Apa posisi prinsip itikad baik dalam hukum Belanda?
Terkait dengan kewajiban, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata lama kami membatasi penerapan
prinsip itikad baik (pasal 1374 BW) kepada kewajiban-
kewajiban yang muncul dari kontrak. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata baru kami, yang
mengganti istilah “good faith” untuk istilah “kewajaran
(reasonableness) dan keadilan (fairness)” (Bahasa Belandanya:
redelijkheid en billijkheid, abbr R&B), hal ini berbeda.
Pasal 2 Buku 6 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
baru yang diperkenalkan tahun 1992, menyatakan:
1. “ Seorang kreditor dan debitur harus, diantara
mereka, bertindak sesuai dengan persyaratan
kewajaran (reasonableness) dan keadilan
(fairness).” Dan
2. “Aturan yang mengikat mereka oleh karena
hukum, penggunaan atau perbuatan hukum
tidak berlaku sejauh,dalam situasi tertentu,tidak
bisa diterima oleh /tidak sesuai dengan kriteria
kewajaran (reasonableness) dan keadilan (fairness).”
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
Annex 9
Reasonableness and fairness
In the laws of many Member States of the European
Union the principle of good faith (orig bona fides) is
accepted as fundamental, but is not accorded the same
recognition in the laws of all these Member States. In
particular, it is not recognized as a general rule of direct
application in the Common Law jurisdictions. It is true that
even the Common Law systems contain many particular
rules that seem to be functionally equivalent to good
faith, in the sense that they are aimed at preventing the
parties from acting in ways that are incompatible with
good faith, but there is no general rule.
What is the position of good faith under Dutch law?
As far as obligations are concerned, our old Civil Code
restricted the application of “good faith” (art. 1374 BW)
to obligations arising from a contract. In our New Civil Code,
which substituted the term “good faith” for the expression
“reasonableness and fairness” (Dutch: redelijkheid en
billijkheid, abbr R&B) , this is different.
Art. 2 of Book 6 of the New Civil Code 1 , introduced in
1992, says
1. “A creditor and debtor must, as between themselves,
act in accordance with the requirements of
reasonableness and fairness.”
and
2. “A rule binding upon them by virtue of the law, usage
or a juridical act does not apply to the extent that, in the
circumstances, it is unacceptable according to criteria of
1 Art. 248 of Book 6 applies the principles expressed
in art. 2 of Book 6 to contracts; art. 258 of Book 6 to unforeseen
circumstances.
135

Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Sub-bagian kedua in pada kenyataannya merupakan
pernyataan kembali (restatement) dari yurisprudensi yang
tetap di Mahkamah Agung (Hoge Raad).
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan kriteria kewajaran
(reasonableness) dan keadilan (fairness), diputuskan oleh
hakim. Pasal 3:12 memerintahkan hanya dalam menentukan
apa yang dimaksud kewajaran (reasonableness) dan keadilan
(fairness), rujukan harus dibuat kepada prinsip-prinsip
hukum yang berlaku secara umum, terhadap pandangan-
pandangan hukum yang ada sekarang di Belanda
dan terhadap kepentingan masyarakat tertentu dan
kepentingan individu tertentu yang terlibat di dalamnya.
Singkatnya: R&B tidak hanya mampu melengkapi
kewajiban yang muncul dari kontrak atau sumber-
sumber lain, R&B juga mampu mematikan mereka
atau mengenyampingkan penerapannya. Namun, harus
ditekankan bahwa fungsi “restriktif ” kedua hanya berlaku
dalam kondisi-kondisi yang luar biasa. Pada mulanya,
yurisprudensi Mahkamah Agung (Hoge Raad) secara
khusus berlaku terhadap kasus-kasus dimana kreditor,
berdasarkan tindakan-tindakannya atau kelalaiannya
sendiri, melepaskan haknya untuk mengklaim terhadap
debitur. Kalimat “ tidak bisa diterima berdasarkan
kriterian kewajaran (reasonableness) dan keadilan (fairness),
“- penekanan jatuh pada kata “tidak bisa diterima”-
menunjukkan maksud dari legislator kami (pemerintah
dan parlemen secara bersama-sama) bahwa si hakim harus
menerapkan fungsi restriktif ini dengan pembatasan,
yang secara praktis berarti: hanya dalam kasus-kasus
yang susah. Dan yurisprudensi kami oleh karenanya.
Untuk memberikan anda sebuah contoh: kebijakan asuransi
tertentu menyatakan bahwa klaim hukum harus didaftarkan
dalam kurun waktu 1 (satu) tahun, jika tidak semua hak
dari pemegang polis terhadap perusahaan asuransi akan
kadaluwarsa. Perusahaan asuransi harus memberikan
peringatan secara eksplisit atas konsekuensi yang parah ini.
Jika it tidak melakukannya dengan baik/pantas, penggunaan
klausula bersangkutan tidak bisa diteriman berdasarkan
kriteria kewajaran (reasonableness) dan keadilan (fairness).
reasonableness and fairness.”
This subsection 2 in fact is a restatement of settled
jurisprudence of the Hoge Raad.
What these criteria of reasonableness and fairness in
a certain case exactly are, is left to the judge. Art. 3:12
commands only that in determining what reasonableness
and fairness require, reference must be made to
generally accepted principles of law, to current juridical
views in the Netherlands and to the particular societal
and private interests involved
In a nutshell: R&B not only can supplement obligations
arising from contract or other sources, it can also
extinguish them or exclude their application. But it
should be emphasized that this second “restrictive”
function only applies under exceptional circumstances.
At the beginning said jurisprudence of the Hoge Raad
primarily concerned cases where the creditor, by his
own acts or omissions, forfeits his claim against the
debtor. The phrasing “unacceptable according to criteria
of reasonableness and fairness”- the stress falls on the
word “unacceptable”- expresses the intention of our
legislator (government and parliament together) that
the judge should apply this restrictive function with
restraint, which practically speaking means: in hard cases
only. And our jurisprudence is accordingly.
To give you an example: an insurance policy stipulates
that a legal claim should be filed within a year, otherwise
all rights of the policyholder vis a vis the insurance company
will expire. The insurance company has to warn explicitely for
this severe consequence. If it does not act accordingly an
appeal to the clause concerned is unacceptable according
to criteria of reasonableness and fairness.

R7B juga memainkan peran kunci dalam hukum
perusahaan Belanda. Hukum Perusahaan kami pada
dasarnya bersifat undang-undang tertulis. Namun,
sumber-sumber undang-undang tersebut memuat
banyak ketentuan yang kabur, sehingga putusan-putusan
pengadilan yang akan menjelaskan dan mengisi ketentuan-
ketentuan undang-undang dengan sumber hukum
yang penting. Untuk menyebutkan satu yang penting:
berdasarkan pasal 2:350, balai/kamar korporasi (Enterprise
Chamber) di pengadilan banding Amsterdam mengizinkan
pertanyaan jika ada alasan-alasan yang berdasar untuk
meragukan ketepatan/kebenaran kebijakan bersangkutan
tentang perusahaan.
Pasal 8 buku 2, seperti yang akan anda lihat faktanya,
penulisan kembali pasal 2 Buku 6, menyatakan:
1. Orang-perseorangan hukum dan orang-orang
yang oleh karena hukum dan ketentuan anggara
dasar terkait dengan organisasi tersebut harus,
dalam kapasitas tersebut, bersikap-tindak dalam
hubungannya dengan satu sama lain sesuai
dengan persyaratan kewajaran (reasonableness)
dan keadilan (fairness).
Dan
2. Aturan yang mengikat mereka oleh karena
hukum, penggunaan, anggaran dasar,
berdasarkan hukum atau resolusi tidak berlaku
sejauh, dalam kondisi tertentu, mereka tidak
bisa diterima berdasarkan kriteria kewajaran
(reasonableness) dan keadilan (fairness).
Pasal 2:8 bisa dilihat sebagai pedoman untuk perilaku
orang-orang yang menjadi bagian dari organisasi
perusahaan. Hal-hal yang tidak diatur dalam hukum
perusahaan Belanda diputuskan berdasarkan standar
mengikat kewajaran (reasonableness) dan keadilan (fairness).
Sub-bagian 1 mempunyai hubungan langsung dengan
pasal 2:15 yang menyatakan bahwa resolusi apapun dari
direksi, badan pengawas atau rapat umum pemegang
saham, bisa dideklarasikan batal karena hukum (null and
void) jika ia tidak memenuhi standar yang ditentukan
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
R&B also plays a key role in Dutch company law. Our
company law is mainly statutory in nature. But these
statutory sources contain many vague provisions, making
court decisions that explain and fill in these provisions
an important source of law. To mention an important
one: according to art. 2:350 the Enterprise chamber of
the Amsterdam court of appeal allows an inquiry if
there appear to be well-founded reasons to doubt the
correctness of the policy of the company in question.
Art. 8 of Book 2, as you will see in fact a rewriting of
art. 2 of Book 6, reads:
1. A legal person and the persons who by virtue of
the law and its articles of association are concerned
with its organisation must, in such capacity, conduct
themselves in relation to each other in accordance with
the requirements of reasonableness and fairness.
and
2. A rule which binds them by virtue of the law, usage,
the articles of association, by-laws or a resolution shall
be inapplicable to the extent that, in the circumstances,
it is unacceptable according to criteria of reasonableness
and fairness.
Art. 2:8 can be seen as the guideline for behaviour
of those persons who form part of the organisation
of a company. Matters that are unregulated in Dutch
company legislation are decided on the basis of the
dictates of reasonableness and fairness. Subsection 1 has
a direct link with art. 2:15 that states that any resolution
of the board of directors, the supervisory board or
the general meeting of shareholders may be declared
null and void if it does not live up to the standard set
by the requirements of reasonableness and fairness.
137

138 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
oleh persyaratan kewajaran (reasonableness) dan keadilan
(fairness). Fungsi restriktif dari subbagian 2 membuat
hukum perusahaan Belanda menjadi fleksibel. Hukum
tersebut bisa diinterpretasikan sesuai dengan persyaratan
tertentu dalam suatu kasus.
The restrictive function of subsection 2 makes Dutch
company law flexible. It can be interpreted according to
the specific requirements of a case.

Annex 10
Statistik Perkara Mahkamah Agung Belanda
Statistik-statistik kamar perdata
Tabel Ia: perkara-perkara yang masuk dan diselesaikan
(termasuk perkara dari “Pengadilan Gabungan” dari Antillen Belanda dan Aruba)
2006 2007 2008 2009
masuk 542 582 585 569
ada konklusi* 448 479 514 556
ada putusan 463 475 530 527
ada penarikan/pencoretan 41 24 49 55
skorsing/pemberhentian sementara 4
2006 2007 2008 2009
Penolakan Psl. 81
RO
Penolakan Psl. 81
RO
Penolakan Psl. 81
RO
Penolakan Psl. 81
RO
perkara gugatan (rol) 198 109 170 87 218 138 223 137
perkara permohonan (rekest) 104 64 130 83 145 114 162 132
302 173 300 170 363 252 385 269
57% 57% 69% 70%
Putusan Psl. 81
RO
2006 2007 2008 2009
Putusan Psl. 81
RO
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
* konklusi = pendapat bersifat penasehat dari Procurator General . Tugas Utama dari Procurator General adalah untuk menyediakan
penasehat mandiri - pendapat bersifat penasehat - kepada anggota-anggota MA Belanda (Hoge Raad) tentang bagaimana
memutuskan dalam perkara kasasi tersebut. Peran Procurator General dijelaskan lebih lanjut dalam bab “Pengantar kepada Hoge
Raad, Mahkamah Agung Belanda”
Tabel IIa: Terapan Psl. 81 UU Organisasi Peradilan terhadap jumlah penolakan
permohonan kasasi
Tabel IIb: Terapan Psl. 81 UU Organisasi Peradilan terhadap jumlah putusan
Putusan Psl. 81
RO
Putusan Psl. 81
RO
perkara gugatan (rol) 314 109 268 87 314 138 319 137
perkara permohonan (rekest) 149 64 207 83 216 114 208 132
463 173 475 170 530 252 527 269
37% 36% 48% 51%
Psl. 81 UU Organisasi Peradilan berbunyi:
“Kalau Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) memutuskan bahwa permohonan tidak bisa mengakibatkan kasasi maupun mengakibatkan keperluan
untuk menjawab pertanyaan hukum (rechtsvragen) demi kepentingan kesatuan hukum atau perkembangan hukum, maka Hoge Raad dalam penyampaian
dasar putusan, dalam hal itu bisa membatasi diri dengan hanya menyebut keputusan itu (tanpa alasan-alasan lebih rinci).”
Dalam tabel hanya dimasukkan putusan-putusan di mana semua pengaduan-pengaduan yang diajuin diselesaikan dengan penjelasan (argumentasi )
singkat yang diperbolehkan (oleh Psl.81). Selain itu masih ada banyak perkara di mana bagian dari pengaduan –pengaduan ditolak dengan penjelasan/
argumentasi singkat tersebut.
139

140 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Tabel III: Hasil permohonan kasasi
2007
2006
Total Ditolak N.O. (Niet Ontvankelijk)
2006 2007 2008 2009
perkara gugatan (rol) 415 515 540 576
perkara permohonan (rekest) 379 313 299 323
Pembatalan Lain
perkara gugatan (rol) 314 68% 198 6 97 7
perkara permohonan (rekest) 149 32% 104 8 43 0
463 302 14 140 7
65% 3% 30% 2%
perkara gugatan (rol) 268 56% 156 5 84 22
perkara permohonan (rekest) 207 44% 120 14 64 10
2008
475 276 19 148 32
58% 4% 31% 7%
perkara gugatan (rol) 314 59% 218 6 89 7
perkara permohonan (rekest) 216 41% 145 14 48 3
2009
530 363 20 137 10
68% 4% 26% 2%
perkara gugatan (rol) 319 223 7 83 6
perkara permohonan (rekest) 208 162 17 28 1
527 385 24 111 7
73% 5% 21% 1%
Tabel IV: Jangka waktu perkara berlangsung (rata-rata dan diukur dalam hari kalender)

Statistik-statistik kamar pidana
Tabel Ia: Perkara-perkara yang masuk dan diselesaikan
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
A. 2006 2007 2008 2009
masuk 3599 3943 3683 3554
ada konklusi* 1340 1420 1392 1912
ada putusan 3137 3076 3074 3464
ada penarikan/pencoretan 233 343 296 231
total 3370 3419 3370 3695
masuk:
perkara terhadap putusan tingkat banding
("rolzaken") *
2006 2007 2008 2009
3312 3578 3401 3245
penetapan-penetapan ** 199 219 196 244
peninjauan kembali *** 88 146 86 65
putusan:
"rolzaken, niet-peken": permohonan kasasi terhadap
putusan tingkat banding (disertai alasan-alasan)
"rolzaken, peken": permohonan kasasi terhadap putusan
tingkat banding (tapi diajukan tanpa berkas
dengan alasan-alasan) ****:
Jumlah perkara yg disebut dalam sub A termasuk perkara dari
“Pengadilan Gabungan” dari Antillen Belanda dan Aruba
B. 2006 2007 2008 2009
putusan 58 43 56 58
* konklusi = pendapat bersifat penasehat dari Procurator General . Tugas Utama dari Procurator General adalah untuk menyediakan penasihat mandiri
- pendapat bersifat penasehat - kepada anggota-anggota MA Belanda (Hoge Raad) tentang bagaimana memutuskan dalam perkara kasasi tersebut.
Konklusi tertulis hanya akan dibuat oleh Procurator General dalam perkara di mana seorang advokat atas nama tersangka atau Penuntut Umum
mengajukan berkas dengan upaya-upaya (alasan-alasan) kasasi. Peran Procurator General dijelaskan lebih lanjut dalam bab “Pengantar kepada Hoge Raad,
Mahkamah Agung Belanda”
Tabel II: Pembagian berdasarkan tipe perkara
3599 3943 3683 3554
1264 1327 1338 1745
1803 1707 1633 1619
Total 3067 3034 2971 3364
peninjauan kembali 70 42 103 100
Total 3137 3076 3074 3464
*) Istilah “rolzaken” mencakupi perkara-perkara di mana diajukan kasasi terhadap putusan achir. Biasanya menyangkut putusan tingkat banding di mana
tersangka diputuskan salah (dijatuhkan hukuman) .
**) Permohonan kasasi terhadap “penetapan” hanya diperbolehkan secara terbatas. Kasasi semacam itu menyangkut penetapan-penetapan pidana yang
tidak ditujukan untuk menghukumi tersangka setelah melakukan peristiwa pidana (delik). Penetapan misalnya menyangkut penolakan (oleh pengadilan)
untuk mengembalikan barang-barang yang disita.
***) Selain kasasi, peninjauan kembali adalah sebuah upaya hukum tersendiri/terpisah terhadap putusan (bersalah) yang telah mempunyai kekuatan
tetap (tidak dapat dilakukan upaya banding) dan yang harus diajukan ke Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda). “Hoge Raad” kemudian bisa
menyatakan bahwa N.O (niet-ontvankelijk), menolak atau menyatakan “berdasar/beralasan” (pembatalan). Dalam situasi terakhir akan diajukan kembali
kepada pengadilan tinggi yang akan menangani ulang perkara (dari awal).
****) Istilah ‘peek’ mencakupi perkara di mana kasasi diajukan, tapi tanpa pengajuan berkas dengan alasan-alasan (pertimbangan-pertimbangan) oleh
pengacara atau oleh Penuntut Umum. Oleh karena sebuah amenden UU, mulai 1 Oktober 2000 tersangka atau Penuntut Umum akan dikatakan “N.O.
(niet ontvankelijk)” dalam pengajuan kasasi kalau pengajuan tidak disertai alasan-alasan (kecuali kalau peraturan “interim” bisa diterapkan) .
141

142 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Tabel II a Peninjauan Kembali
A. 2006 2007 2008 2009
Masuk 88 146 86 65
Diputuskan total 70 42 103 100
yang mana:
berdasar/beralasan (pembatalan) 16 11 22 44
ditolak 31 14 70 43
N.O. (niet-ontvankelijk) 23 17 11 13
Tabel IIIa: Terapan Psl.81 UU Organisasi Peradilan terhadap jumlah keputusan dalam permohonan
kasasi yang bukan “peken” (terhadap permohonan kasasi yg disertai berkas alasanalasan
dan pertimbangan-pertimbangan)
bukan "peek"
(peek = permohonan tanpa
alasan-alasan)
2006 2007 2008 2009
Putusan Psl. 81 RO Putusan Psl. 81 RO Putusan Psl. 81
RO
2006 2007 2008 2009
Penolakan Psl. 81 RO Penolakan Psl. 81 RO Penolakan Psl. 81
RO
Putusan Psl. 81
RO
perkara 1264 596 1327 696 1441 639 1745 596
47% 52% 44% 34%
Tabel IIIb: Terapan Psl.81 UU Organisasi Peradilan terhadap jumlah penolakan pengajuan
kasasi yang berbentuk bukan-”peek” ( terhadap permohonan kasasi yg disertai berkas alasanalasan
dan pertimbangan-pertimbangan)
Penolakan Psl. 81
RO
perkara 845 596 909 696 820 639 917 645
71% 77% 78% 70%
Artikel 81 UU Organisasi Peradilan berbunyi
“Kalau Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) memutuskan bahwa permohonan tidak bisa mengakibatkan kasasi maupun
mengakibatkan keperluan untuk menjawab pertanyaan hukum (rechtsvragen) demi kepentingan kesatuan hukum atau perkembangan
hukum, maka Hoge Raad dalam penyampaian dasar putusan, dalam hal itu bisa membatasi diri dengan hanya menyebut keputusan itu
(tanpa alasan-alasan lebih rinci).”
Dalam “perkara penetapan”, Psl. 81 jarang diterapkan.
Dalam “perkara peninjauan kembali”, Psl. 81 tidak bisa/boleh diterapkan
Dalam tabel hanya dimasukin putusan-putusan di mana semua pengaduan-pengaduan yang diajukan diselesaikan dengan penjelasan
(argumentasi) singkat yang diperbolehkan (oleh Psl.81). Selain itu masih ada banyak perkara di mana bagian dari pengaduan –pengaduan
ditolak dengan penjelasan/argumentasi singkat tersebut.

Tabel IV: Hasil pengajuan kasasi dalam perkara “rol”
(perkara terhadap putusan tingkat banding)
2006
peken (permohonan yang
tidak disertai berkas
motivasi)
niet-peken (permohonan
yang disertai berkas
alasan-alasan)
2007
total penolakan N.O.(niet
ontvankelijk)
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
pembatalan
+
pengacuan
oleh Hoge
Raad ke
pengadilan
tinggi
pembatalan
+
Hoge Raad
selesaikan
sendiri
1803 59% 0 1803 0 0 0
1264 41% 845 58 179 138 44
3067 845 1861 179 138 44
lain
28% 61% 6% 4% 1%
peken 1707 56% 0 1707 0 0 0
niet-peken 1327 44% 909 55 150 180 33
2008
3034 909 1762 150 180 33
30% 58% 5% 6% 1%
peken 1633 55% 0 1632 0 0 1
niet-peken 1338 45% 820 117 161 221 19
2009
2971 820 1749 161 221 20
28% 59% 5% 7% 1%
peken 1619 0 1612 0 1 6
niet-peken 1745 917 145 250 401 32
* peken (permohonan tidak disertai berkas alasan-alasan)
** niet-peken (permohonan tidak disertai berkas alasan-alasan)
3364 917 1757 250 402 38
27% 52% 7% 12% 1%
Tabel V: Jangka waktu perkara berlangsung (rata-rata dan diukur dalam hari kalender),
untuk perkara bukan “peek” (pengajuan yang disertai berkas motivasi)
2006 2007 2008 2009
perkara "rol" 334 304 445 534
penetapan 289 297 433 484
peninjauan kembali 164 237 371 392
143

144
Statistik-statistik kamar pajak
Tabel Ia: Perkara-perkara yang masuk dan diselesaikan
*) jumlah perkara yg masuk, (eksklusif 14 perkara “verzet”; verzet =
perkara “oposisi” yg sebelumnya diputuskan atau diberikan tanpa bantahan yg bersangkutan, tidak hadir atau tidak dikuasakan)
*) dictum sesuai Psl. 29 AWR jo. 8:70 Awb (UU TUN)
tidak berdasar = penolakan, berdasar = pembatalan
Pasal 81 UU Organisasi Peradilan berbunyi:
A. 2006 2007 2008 2009
masuk 922 760 749 867
ada konklusi* 169 152 143 168
ada putusan 978 863 941 999
ada penarikan/pencoretan 137 76 97 66
diselesaikan oleh panitera 13
Tabel IIa: Terapan Psl.81 UU Organisasi Peradilan dalam perkara pajak terhadap
pengajuan kasasi yang tidak berdasar/beralasan
2006 2007 2008 2009
tidak berdasar *) Psl. 81 RO tidak berdasar Psl. 81 RO tidak berdasar Psl. 81 RO tidak berdasar Psl. 81 RO
567 402 552 372 613 477 634 453
71% 67% 78% 71%
Tabel IIb: Terapan Psl.81 UU Organisasi Peradilan dalam perkara pajak terhadap
jumlah putusan
2006 2007 2008 2009
Putusan Psl. 81 RO Putusan Psl. 81 RO Putusan Psl. 81 RO Putusan Psl. 81 RO
944 412 863 372 941 477 999 453
44% 43% 51% 45%
“Kalau Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) memutuskan bahwa permohonan kasasi tidak bisa mengakibatkan kasasi maupun
mengakibatkan keperluan untuk menjawab pertanyaan hukum (rechtsvragen) demi kepentingan kesatuan hukum atau perkembangan
hukum, maka Hoge Raad dalam penyampaian dasar putusan, dalam hal itu bisa membatasi diri dengan hanya menyebutkan keputusan
tersebut (tanpa alasan-alasan lebih rinci).”
Dalam tabel hanya dimasukkan putusan-putusan di mana semua pengaduan-pengaduan yang diajuin diselesaikan dengan penjelasan
(argumentasi ) singkat yang diperbolehkan (oleh Psl.81). Selain itu masih ada banyak perkara di mana bagian dari pengaduan – pengaduan
ditolak dengan penjelasan/argumentasi singkat tersebut.

Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda
Tabel III: Hasil pengajuan kasasi di dalam perkara pajak
2006
total tidak berdasar * N.O. (nietontvankelijk)
An Introduction to the Supreme Court of the Netherlands
berdasar *
+ pengacuan
oleh Hoge Raad
ke pengadilan
tinggi
berdasar
+ Hoge Raad
selesaikan
sendiri
perkara pajak 978 592 200 119 64 3
2007
% 61% 20% 12% 7% 0%
perkara pajak 863 552 110 138 51 12
2008
% 64% 13% 16% 6% 1%
perkara pajak 941 613 133 132 48 15
2009
% 65% 14% 14% 5% 2%
perkara pajak 999 633 128 109 105 24
% 63% 13% 11% 11% 2%
*) dictum sesuai Psl. 29 AWR jo. 8:70 Awb (UU TUN)
tidak berdasar = penolakan, berdasar = pembatalan
Tabel IV: Jangka waktu perkara berlangsung (rata-rata dan diukur dalam hari kalender)
2006 2007 2008 2009
perkara pajak 500 646 654 662
perkara CRvB * 283 777 531 429
*) CRvB = Centrale Raad van Beroep = Pengadilan Tinggi untuk TUN
Pengadilan Tinggi TUN adalah pengadilan tingkat naik banding untuk bagian dari perselisihan/sengketa administratif (TUN) dan
mengadili/memutuskan perkara-perkara yang diatur oleh UU Umum untuk Tata Usaha Negara (Algemene Wet Bestuursrecht) di dalam
perkara yang menyangkut sistem jaminan sosial, dukungan/pendampingan sosial dan hukum pegawaian. Pengadilan Tinggi ini
juga adalah pengadilan untuk tingkat pertama dan terakhir untuk penegakan perselisihan/perkara yang menyangkut korban-korban
perang dan peraturan dan perundang-undang soal penindasan.
lain
145

146 Pengantar kepada Mahkamah Agung Belanda