04.11.2014 Views

Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...

Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...

Kebijakan Desentralisasi Fiskal - Direktorat Jenderal Anggaran ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

5.1 Umum<br />

BAB V<br />

KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL<br />

Implementasi otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab beserta<br />

desentralisasi fiskal yang mengikutinya, saat ini telah memasuki dasawarsa kedua. Perlu<br />

dipahami bahwa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan<br />

instrumen yang digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan negara dan bukan tujuan<br />

bernegara itu sendiri. Instrumen ini digunakan agar pencapaian tujuan bernegara, yaitu<br />

kesejahteraan masyarakat, dapat lebih mudah dicapai. Oleh karena itu, otonomi daerah<br />

dan desentralisasi fiskal dilakukan dengan menempatkan motor penggerak pembangunan<br />

pada tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu pemerintah<br />

daerah. Dekatnya tingkat pemerintahan dengan masyarakatnya diharapkan dapat membuat<br />

kebijakan fiskal daerah akan benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas<br />

daerah.<br />

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, secara legal formal, dituangkan dalam Undang-<br />

Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang<br />

Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan<br />

Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini mengatur pokok-pokok penyerahan kewenangan<br />

kepada pemerintah daerah serta pendanaan bagi pelaksanaan kewenangan tersebut. Selain<br />

itu, terdapat juga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan<br />

Retribusi Daerah yang mengatur hal-hal mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam<br />

melakukan pemungutan kepada masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan<br />

bagi pembangunan daerah.<br />

Kedua UU pokok dan UU mengenai pajak daerah dan retribusi daerah tersebut di atas, pada<br />

dasarnya dihubungkan dalam suatu prinsip dasar yang sering disebut sebagai money follows<br />

function. Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan ke daerah melalui UU Nomor 32<br />

Tahun 2004 diikuti dengan pendanaan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi dimaksud.<br />

Namun, perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu mempunyai constraint<br />

(kendala), karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu, UU Nomor 33<br />

Tahun 2004 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas tersebut yang bisa<br />

digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di daerah itu sendiri maupun<br />

melalui transfer ke daerah.<br />

Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, instrumen utama yang digunakan adalah<br />

pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power)<br />

dan transfer ke daerah. Meskipun kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak<br />

daerah masih sangat terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat peningkatan peran<br />

pendapatan asli daerah (PAD) terhadap <strong>Anggaran</strong> Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).<br />

Secara nominal, pada tahun 2009 dan 2010 jumlah keseluruhan PAD untuk provinsi dan<br />

kabupaten/kota masing-masing sebesar Rp62,6 triliun (16,5 persen dari total pendapatan<br />

APBD) dan Rp71,8 triliun (17,9 persen dari total pendapatan APBD). UU Nomor 28 Tahun<br />

2009 yang baru saja dikeluarkan dan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 merupakan salah<br />

satu wujud upaya penguatan taxing power daerah, yaitu dengan perluasan basis pajak daerah<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-1


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah,<br />

peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan pemberian diskresi penetapan<br />

tarif pajak.<br />

Mengingat bahwa pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah<br />

sendiri masih sangat terbatas, maka Pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk<br />

mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah.<br />

Transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana<br />

Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Alokasi transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan<br />

pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001. Pada<br />

tahun 2005, alokasi transfer ke daerah sebesar Rp150,5 triliun dan terus meningkat hingga<br />

menjadi Rp344,6 triliun pada APBN-P tahun 2010.<br />

Apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, maka sebenarnya dana Pemerintah yang<br />

bergulir ke daerah pada dasarnya tidak hanya yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan<br />

desentralisasi. Di daerah, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program<br />

dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah dalam bentuk Dana<br />

Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Jumlah dana tersebut akan menjadi lebih<br />

besar lagi apabila ditambahkan dengan dana yang digulirkan ke daerah melalui program<br />

nasional yang menjadi Bagian <strong>Anggaran</strong> Kementerian Negara/Lembaga, seperti Program<br />

Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS),<br />

serta program nasional melalui subsidi yang sebagian besar juga dibelanjakan di daerah,<br />

seperti subsidi energi dan subsidi non-energi. Besarnya dana yang bergulir ke daerah, baik<br />

yang dikelola dalam APBD maupun APBN pada tahun 2010 mencapai hingga 60,62 persen<br />

dari total belanja dalam APBN-P Tahun 2010 (lihat Grafik V.1).<br />

Dalam konteks pendanaan desentralisasi, hal yang sangat krusial untuk dilihat adalah<br />

efektivitas dana yang semakin besar bergulir ke daerah dibelanjakan oleh daerah dan dampak<br />

kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam<br />

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, antara lain dipengaruhi oleh kebijakan belanja<br />

masing-masing pemerintah daerah. <strong>Kebijakan</strong> belanja pemerintah daerah dapat tercermin<br />

dari besaran alokasi belanja untuk tiap fungsi dan jenis belanja. Berdasarkan fungsi, pada<br />

tahun 2009 belanja daerah yang digunakan untuk melaksanakan fungsi pelayanan umum<br />

menempati urutan teratas yaitu 33,7 persen dari total belanja daerah, dan belanja daerah<br />

yang digunakan untuk mendanai fungsi pendidikan mencapai 26 persen, fungsi perumahan<br />

dan fasilitas umum 17,1 persen, dan fungsi kesehatan 8,8 persen. Sementara itu, berdasarkan<br />

jenis belanja, maka porsi belanja pegawai untuk kabupaten/kota masih menempati peringkat<br />

tertinggi yaitu mencapai 44,8 persen di tahun 2010, belanja modal mencapai 21,7 persen<br />

dan belanja barang 18,5 persen, serta sisanya sebesar 15,1 persen untuk jenis belanja lainnya.<br />

Seiring dengan peningkatan dana yang didesentralisasikan dan diikuti dengan upaya<br />

percepatan realisasi belanja dan peningkatan kualitas belanja, telah terjadi perbaikan dalam<br />

berbagai indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam dua tahun terakhir, tingkat<br />

kemiskinan telah menurun relatif signifikan pada sebagian besar provinsi. Demikian pula,<br />

tingkat pengangguran di sebagian besar daerah telah mengalami penurunan yang relatif<br />

cukup signifikan. Di samping itu, dalam lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan<br />

pemerataan pembangunan daerah yang tercermin dari semakin membaiknya indikator<br />

statistik pemerataan PDRB antarprovinsi.<br />

V-2 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> desentralisasi fiskal ke depan diarahkan pada upaya untuk melakukan penguatan<br />

taxing power daerah dan perbaikan kebijakan transfer. Penguatan taxing power ke daerah<br />

telah diawali dengan terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2009 dengan menyerahkan sebagian<br />

kewenangan perpajakan ke daerah, terutama dilakukan melalui penyiapan daerah untuk<br />

menghadapi transisi pengalihan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, baik<br />

melalui penguatan sistem di daerah maupun capacity building. Sementara itu, kebijakan<br />

anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan diantaranya untuk mendukung<br />

kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan ekonomi makro.<br />

Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai.<br />

GRAFIK V.1<br />

DANA KE DAERAH YANG DIKELOLA DALAM APBD DAN APBN TAHUN 2010<br />

Belanja APBN-P 2010<br />

(triliun rupiah)<br />

Sumber: APBN-P 2010<br />

Belanja Negara di Daerah<br />

126,37 (11,22%)<br />

Bantuan ke Masyarakat<br />

35,37 (3,14%) Subsidi<br />

176,33 (15,66%)<br />

Total Belanja = 1.126,15 T<br />

BelanjaNegaradiPusat<br />

443,46 (39,38%)<br />

Transfer ke Daerah<br />

344,61 (30,60%)<br />

Dana ke Daerah = 682,69 T (60,62%)<br />

Melalui Angg. K/L dan<br />

APP (Program Nasional)<br />

Melalui APP (Subsidi)<br />

Melalui Angg. Transfer ke Daerah<br />

(Masuk APBD)<br />

Melalui Angg. K/L<br />

- PNPM 10,42 0,93% - BBM 88,89 7,89% - DBH 89,62 7,96% - Dana Dekon 11,93 1,06%<br />

- BOS 19,84 1,76% - Listrik 55,10 4,89% - DAU 203,61 18,08% - Dana TP 7,64 0,68%<br />

- Jamkes 5,10 0,45% - Pangan 13,92 1,24% - DAK 21,14 1,88% - Dana Vertikal 106,80 9,48%<br />

- Pupuk 18,41 1,63% - Otsus 9,09 0,81%<br />

- Penyesuaian 21,15 1,88%<br />

*)<br />

APP = <strong>Anggaran</strong> Pembiayaan<br />

dan Perhitungan<br />

Total 35,37 (3,14%) Total 176,33 (15,66%) Total 344,61 (30,60%)<br />

Total 126,37 (11,22%)<br />

5.2 Perkembangan Pelaksanaan <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Tahun 2005 - 2010<br />

5.2.1 Perkembangan <strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Hakikat dari hubungan antara otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada dasarnya<br />

merupakan pengejawantahan dari prinsip money follows function, yang berarti bahwa<br />

pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan. Dalam implementasinya, seiring dengan<br />

penyerahan kewenangan kepada daerah, maka kepada daerah diberikan sumber-sumber<br />

pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Mekanisme pendanaan atas<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-3


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

pelaksanaan kewenangan yang telah diserahkan ke daerah tersebut dilakukan melalui azas<br />

desentralisasi. Di samping itu, untuk melaksanakan kewenangan yang masih dipegang oleh<br />

Pemerintah, karena alasan efisiensi dan efektivitas seringkali pelaksanaannya dilaksanakan<br />

di daerah melalui azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.<br />

Dalam konteks pelaksanaan azas desentralisasi, salah satu bentuk dukungan pendanaan<br />

kepada daerah dilakukan melalui pemberian sumber perpajakan daerah dan retribusi daerah<br />

yang dapat dipungut oleh daerah. Mengingat sumber tersebut sangat terbatas, maka kepada<br />

daerah diberikan dukungan pendanaan melalui transfer dari Pemerintah dalam bentuk Dana<br />

Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Selain sumber penerimaan dari<br />

daerah sendiri dan transfer dari Pemerintah, daerah juga diberi kewenangan untuk<br />

melakukan pinjaman dalam rangka pembiayaan pembangunan daerah, dan juga<br />

penerimaan dalam bentuk hibah baik yang berasal dari Pemerintah maupun pihak lain.<br />

Pemberian sumber penerimaan daerah sendiri terutama dilakukan melalui kewenangan<br />

perpajakan daerah dan retribusi daerah. <strong>Kebijakan</strong> mengenai perpajakan daerah dan retribusi<br />

daerah telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak<br />

Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010.<br />

Ada empat kebijakan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pertama<br />

adalah closed-list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah.<br />

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha<br />

tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar. Kedua adalah penguatan local taxing<br />

power. Hal ini dilakukan, antara lain melalui perluasan basis pajak daerah dan retribusi<br />

daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (seperti pajak rokok<br />

dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis<br />

pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak. Ketiga adalah perbaikan sistem<br />

pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi<br />

yang lebih ideal dan kebijakan earmarking jenis pajak daerah tertentu (seperti earmarking<br />

sebagian Pajak Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan jalan). Keempat adalah<br />

peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme<br />

pengawasan represif menjadi preventif dan korektif.<br />

Selain penerimaan sendiri, sumber pendanaan kebijakan transfer ke daerah tersebut dilakukan<br />

melalui alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dalam<br />

pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena<br />

masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya.<br />

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara<br />

Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan<br />

fiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu,<br />

instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan<br />

antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang<br />

relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuan<br />

dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik.<br />

Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain,<br />

melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH<br />

dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU<br />

melalui penerapan pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan<br />

kemampuan keuangan daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran.<br />

V-4 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Dalam rangka mendukung peningkatan kinerja daerah, mulai tahun 2010 kepada daerah<br />

diberikan Dana Insentif Daerah (DID), yang pada dasarnya merupakan penghargaan kepada<br />

daerah yang berprestasi dari segi pengelolaan keuangan dan perekonomian daerah. Dana<br />

tersebut dialokasikan berdasarkan capaian output dan outcome pembangunan daerah.<br />

Selanjutnya, untuk memperkuat pendanaan daerah dan sekaligus memacu percepatan<br />

pembangunan ekonomi daerah, maka daerah juga diberikan kesempatan untuk melakukan<br />

pinjaman daerah. Pelaksanaan pinjaman daerah harus dilakukan dengan hati-hati (prudent),<br />

mengingat bahwa penerimaan pinjaman harus dikembalikan dananya dan mengandung<br />

konsekuensi biaya, seperti bunga. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman yang ada sampai<br />

saat ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan mengatur batasan<br />

pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman,<br />

persyaratan pinjaman, prosedur pinjaman daerah, dan pelaporan pinjaman beserta sanksinya.<br />

Dalam pelaksanaannya, pinjaman daerah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh<br />

Pemerintah, seperti pemerintah daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak<br />

lain, pendapatan daerah tidak boleh dijadikan jaminan pinjaman daerah kecuali untuk proyek<br />

yang dibiayai dari obligasi daerah, pemerintah daerah tidak dapat melakukan pinjaman<br />

langsung ke luar negeri, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang<br />

akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun<br />

sebelumnya, Debt Service Coverage Ratio paling sedikit 2,5 (dua koma lima), dan tidak<br />

melampaui batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah yang dapat dibiayai dari<br />

pinjaman daerah.<br />

Dalam periode ini, hibah kepada daerah mengalami perkembangan yang signifikan, terutama<br />

setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2008 tentang<br />

Hibah Daerah dan PMK Nomor 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah Kepada<br />

Pemerintah Daerah. <strong>Kebijakan</strong> hibah kepada daerah sampai saat ini diarahkan pada<br />

peningkatan transparansi dan akuntabilitas dana hibah yang diterima oleh daerah dari<br />

Pemerintah, terutama yang bersumber dari penerusan hibah dari luar negeri.<br />

Di samping dukungan kebijakan dan pendanaan dalam bentuk dana desentralisasi, dalam<br />

upaya peningkatan sinergitas antara pusat dan daerah, Pemerintah juga mengalokasikan<br />

dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di<br />

daerah melalui Dana Dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan, dan dana untuk<br />

melaksanakan program dan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dana dekonsentrasi adalah<br />

dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah<br />

yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan<br />

dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.<br />

Sementara itu, Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang<br />

dilaksanakan oleh daerah dan desa, yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran<br />

dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan.<br />

Pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan<br />

kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan yang tersedia bagi penyelenggaraan<br />

dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7<br />

Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, proses perencanaan dan<br />

penganggaran dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan terhadap program dan kegiatan<br />

yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan<br />

keuangan negara, keseimbangan pendanaan di daerah, dan kebutuhan pembangunan di<br />

daerah. Ketiga parameter penyusunan perencanaan dan penganggaran itu mengandung<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-5


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

makna bahwa pengalokasian dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan disesuaikan dengan<br />

kemampuan APBN dalam mendanai urusan Pemerintah Pusat serta mempertimbangkan<br />

besarnya transfer belanja Pusat ke daerah dan kemampuan keuangan daerah, agar alokasi<br />

dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi lebih efektif, efisien, dan tidak<br />

terkonsentrasi di suatu daerah tertentu. Selain itu, penyusunan perencanaan dan<br />

penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan juga diarahkan agar sesuai dengan<br />

prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.<br />

5.2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah<br />

<strong>Desentralisasi</strong> fiskal telah dilaksanakan selama satu dasawarsa. Selama kurun waktu tersebut,<br />

perkembangan alokasi Transfer ke Daerah dari tahun ke tahun secara nominal terus<br />

meningkat. Dalam enam tahun terakhir dari tahun 2005 hingga 2010, secara lebih detail<br />

perkembangan Transfer ke Daerah dapat dilihat pada Grafik V.2 dan Tabel V.1.<br />

Pada tahun ke lima pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pada tahun 2005, transfer ke<br />

daerah masih sekitar Rp150,5 triliun, namun pada APBN-P tahun 2010 jumlah transfer ke<br />

daerah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat sehingga menjadi Rp344,6 triliun.<br />

Peningkatan tersebut terjadi<br />

merata pada semua jenis<br />

transfer ke daerah. DAU yang<br />

merupakan komponen<br />

terbesar dari transfer ke daerah<br />

meningkat dari Rp88,7 triliun<br />

pada tahun 2005 menjadi<br />

Rp203,6 triliun pada tahun<br />

2010, suatu peningkatan yang<br />

sangat signifikan karena<br />

meningkat hampir tiga kali<br />

lipat. Peningkatan terbesar<br />

terjadi pada DAK. Pada tahun<br />

2005 nilai DAK masih berada<br />

di bawah Rp4 triliun, tetapi<br />

triliun rupiah<br />

350<br />

300<br />

250<br />

200<br />

150<br />

100<br />

50<br />

0<br />

GRAFIK. V.2<br />

PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH<br />

(DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS, DAN DANA PENYESUAIAN)<br />

TAHUN 2005 - 2010<br />

143,22<br />

7,24 4,05 9,30<br />

2005<br />

LKPP<br />

222,13<br />

2006<br />

LKPP<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

243,97<br />

2007<br />

LKPP<br />

Dana Otsus dan Penyesuaian<br />

278,71 287,25<br />

13,72 21,33 30,25<br />

2008<br />

LKPP<br />

2009<br />

LKPP<br />

Dana Perimbangan<br />

314,36<br />

2010<br />

APBN-P<br />

TABEL V.1<br />

PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH, 2005 - 2010<br />

(miliar rupiah)<br />

LKPP Audited<br />

APBN-P<br />

Uraian<br />

2005<br />

%<br />

thd<br />

PDB<br />

2006<br />

%<br />

thd<br />

PDB<br />

2007<br />

% thd<br />

PDB<br />

2008<br />

%<br />

thd<br />

PDB<br />

2009<br />

%<br />

thd<br />

PDB<br />

2010<br />

% thd<br />

PDB<br />

I. Dana Perim bangan 143.221,3 5,1 222.130,6 6,7 243.967,1 6,2 278.714,7 5,6 287.251,5 5,1 314.363,3 5,0<br />

a. Dana Bagi Hasil 50.47 9,2 1,8 64.900,3 1 ,9 62.941,9 1 ,6 7 8.420,2 1,6 7 6.129,9 1,4 89.618,4 1,4<br />

b. Dana Alokasi Umum 88.7 65,4 3,2 145.664,2 4,4 164.787,4 4,2 17 9.507 ,1 3,6 186.414,1 3,3 203.606,5 3,3<br />

c. Dana Alokasi Khusus 3.97 6,7 0,1 11.566,1 0,3 16.237 ,8 0,4 20.7 87 ,3 0,4 24.7 07 ,4 0,4 21.138,4 0,3<br />

II. Dana Otsus dan Peny esuaian 7 .242,6 0,3 4.049,3 0,1 9.296,0 0,2 13.7 18,8 0,3 21.333,8 0,4 30.249,6 0,5<br />

a. Dana Otonomi Khusus 1.775,3 0,1 3.488,3 0,1 4.045,7 0,1 7 .510,3 0,2 9.526,6 0,2 9.099,6 0,1<br />

b. Dana Penyesuaian 5.467 ,3 0,2 561,1 0,0 5.250,3 0,1 6.208,5 0,1 11.807 ,2 0,2 21.150,0 0,3<br />

Jum lah 150.463,9 5,4 226.17 9,9 6,8 253.263,1 6,4 292.433,5 5,9 308.585,2 5,5 344.612,9 5,5<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

V-6 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp24,7 triliun, meskipun kemudian pada tahun 2010<br />

turun menjadi Rp21,1 triliun. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh<br />

komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga pendapatan<br />

negara senantiasa meningkat untuk turut mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal.<br />

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan<br />

persentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari<br />

penerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara<br />

yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak<br />

Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam<br />

Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah<br />

dan Bangunan (BPHTB).<br />

Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak<br />

bumi, gas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH<br />

SDA Kehutanan juga mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan<br />

dari Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Sejak tahun 2009, Pemerintah telah<br />

mengalokasikan DBH Cukai Hasil Tembakau yang merupakan amanat dari UU Nomor 39<br />

Tahun 2007 tentang Cukai. Selain itu, dalam APBN-P 2009 juga telah dialokasikan DBH<br />

Panas Bumi tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Adapun kebijakan pengalokasian dari<br />

tahun ke tahun adalah menyempurnakan proses perhitungan, penetapan alokasi dan<br />

ketepatan waktu penyaluran melalui peningkatan koordinasi dengan institusi pengelola<br />

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam rangka penyediaan data yang lebih akurat.<br />

Sejalan dengan peningkatan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan, realisasi DBH<br />

menunjukkan adanya peningkatan dari Rp50,5 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp76,1<br />

triliun pada tahun 2009, serta meningkat lagi menjadi Rp89,6 triliun pada tahun 2010, atau<br />

rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun.<br />

Selanjutnya, pada Grafik V.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah<br />

yang menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Timur, dengan<br />

proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar<br />

35,24 persen dan 34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut<br />

memang penyumbang utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera<br />

Selatan. Sedangkan daerah yang menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah<br />

daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun 2010 adalah daerah se-Provinsi DI Yogyakarta,<br />

dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA yang sama besar<br />

nya yaitu 0,004 persen.<br />

Sementara itu, pada Grafik V.4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah<br />

yang menerima DBH Pajak tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi<br />

penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50<br />

persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah<br />

daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan<br />

DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen.<br />

Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun juga terjadi pada DAU, yang terjadi karena<br />

peningkatan rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5<br />

persen pada tahun 2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun<br />

2006-2010. Sejalan dengan peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-7


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

GRAFIK. V.3<br />

PETA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA*)<br />

TAHUN 2009 − 2010<br />

14.000<br />

12.000<br />

10.000<br />

Uraian<br />

2009 2010<br />

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %<br />

Total 33 35.632,17 100 33 31.870,56 100<br />

Tertinggi Kaltim 12.555,56 35,24 Kaltim 10.853,70 34,06<br />

Terendah Bali 1,29 0,004 Yogyakarta 1,24 0,004<br />

Rata-Rata 33 1.079,76 - 33 965,77 -<br />

miliar rupiah<br />

8.000<br />

6.000<br />

4.000<br />

2.000<br />

2009<br />

2010<br />

0<br />

Yogyakarta<br />

Bali<br />

Banten<br />

NTT<br />

Gorontalo<br />

Sulbar<br />

Bengkulu<br />

Sulut<br />

Sumut<br />

Sulteng<br />

Sumbar<br />

Jateng<br />

Sultra<br />

Maluku<br />

Sulsel<br />

Kalbar<br />

DKI<br />

Malut<br />

NTB<br />

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi dan<br />

Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan<br />

Babel<br />

Lampung<br />

Kalteng<br />

Jatim<br />

Jabar<br />

Jambi<br />

NAD<br />

Papua<br />

Papua Barat<br />

Kepri<br />

Kalsel<br />

Sumsel<br />

Riau<br />

Kaltim<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

12.000<br />

10.000<br />

8.000<br />

GRAFIK. V.4<br />

PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH<br />

PER PROVINSI DI INDONESIA *)<br />

TAHUN 2009 - 2010<br />

Uraian<br />

2009 2010<br />

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %<br />

Total 33 39.271,24 100 33 45.997,51 100<br />

Tertinggi DKI 8.688,80 22,1% DKI 10.905,84 23,7%<br />

Terendah Gorontalo 132,21 0,34% Gorontalo 129,00 0,28%<br />

Rata-Rata 33 1.190,04 - 33 1.393,86 -<br />

miliar rupiah<br />

6.000<br />

4.000<br />

2009 2010<br />

2.000<br />

0<br />

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan Untuk Pemerintah Provinsi<br />

dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan<br />

Sumber : KementerianKeuangan<br />

V-8 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

rentang waktu 2005–2010, realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005,<br />

menjadi Rp186,4 triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada<br />

tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar 18,65 persen per tahun.<br />

Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan<br />

pada data dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua<br />

komponen utama, yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan<br />

fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai.<br />

Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006,<br />

komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiskal<br />

(CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan<br />

keuangan antardaerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas<br />

fiskal masing-masing daerah.<br />

Pada Grafik V.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU<br />

tertinggi adalah daerah se-Provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari<br />

total DAU. Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan<br />

fungsi DAU sebagai equalization grant dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:<br />

(1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU<br />

Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal.<br />

Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah<br />

100 persen.<br />

(2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi bahwa<br />

pemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan<br />

pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk<br />

wilayah.<br />

(3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk<br />

mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya<br />

Williamson Index.<br />

Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, jalan,<br />

irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih, serta pertanian.<br />

Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang lingkungan<br />

hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana<br />

(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu<br />

bidang perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang.<br />

Selanjutnya, pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK<br />

Air Minum dan DAK Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang.<br />

Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan<br />

menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran<br />

alokasi DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK,<br />

alokasi DAK juga terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun<br />

2005, menjadi Rp20,8 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat<br />

menjadi Rp24,7 triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010,<br />

alokasi DAK mengalami penurunan menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya<br />

kemampuan keuangan negara. Sementara itu, dengan semakin bertambahnya daerah<br />

otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah daerah yang menerima DAK. Hal<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-9


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

GRAFIK. V.5<br />

PETA DANA ALOKASI UMUM PER PROVINSI DI INDONESIA*)<br />

TAHUN 2009 - 2010<br />

25.000<br />

miliar rupiah<br />

20.000<br />

15.000<br />

10.000<br />

5.000<br />

Uraian<br />

2009 2010<br />

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %<br />

Total 33 186.414,10 100 33 192.490,34 100<br />

Tertinggi Jatim 20.854,97 11,19 Jatim 21.290,50 11,06<br />

Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00<br />

Rata-Rata 33 5.648,91 - 33 5.833,04 -<br />

2009 2010<br />

0<br />

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi<br />

dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu dari 377 kabupaten/<br />

kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32 provinsi pada<br />

tahun 2010.<br />

Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada<br />

Grafik V.6 di bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan<br />

2010, daerah yang menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan<br />

Jawa Tengah dengan proporsi masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen<br />

terhadap total penerimaan DAK seluruh daerah.<br />

Selain Dana Perimbangan, juga dialokasikan Dana Otsus dan Penyesuaian. Dana Otsus<br />

dialokasikan untuk Provinsi Papua dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional<br />

selama 20 tahun, yang diutamakan untuk mendanai pendidikan dan kesehatan. Selain itu,<br />

diberikan juga dana tambahan untuk pembangunan infrastruktur yang besarnya ditetapkan<br />

antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan provinsi setiap tahun. Sementara itu, Dana<br />

Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU<br />

nasional selama 15 tahun, untuk tahun ke-16 hingga ke-20 menjadi sebesar 1 persen dari<br />

pagu DAU nasional.<br />

Selanjutnya, Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa<br />

Dana Penyeimbang kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima<br />

tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima<br />

tahun sebelumnya. Pengalokasian Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan<br />

formula DAU tidak menimbulkan adanya daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari<br />

DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal dengan prinsip non-hold harmless. Dalam<br />

perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold harmless telah dihapuskan.<br />

V-10 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

GRAFIK .V.6<br />

PETA DANA ALOKASI KHUSUS PER PROVINSI DI INDONESIA*)<br />

TAHUN 2009 - 2010<br />

miliar rupiah<br />

2500<br />

2000<br />

1500<br />

1000<br />

500<br />

Uraian<br />

2009 2010<br />

Daerah Jumlah % Daerah Jumlah %<br />

Total 33 24.707,42 100 33 21.133,38 100<br />

Tertinggi Jatim 2.138,18 8,65 Jateng 1.969,34 9,32<br />

Terendah DKI 0,00 0,00 DKI 0,00 0,00<br />

Rata-Rata 33 748,71 - 33 640,41 -<br />

2009 2010<br />

0<br />

DKI<br />

Kepri<br />

Babel<br />

Sulbar<br />

Kaltim<br />

Gorontalo<br />

Riau<br />

Yogyakarta<br />

Malut<br />

Bali<br />

Banten<br />

Bengkulu<br />

Papua Barat<br />

Maluku<br />

Kalteng<br />

Jambi<br />

Sulteng<br />

NTB<br />

Sultra<br />

Kalsel<br />

Sumsel<br />

Sulut<br />

Kalbar<br />

Lampung<br />

NTT<br />

NAD<br />

Sumbar<br />

Sulsel<br />

Sumut<br />

Papua<br />

Jabar<br />

Jatim<br />

Jateng<br />

*) Akumulasi Jumlah Dana yang dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi<br />

dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bersangkutan<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentu<br />

untuk jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hingga<br />

tahun 2009 dengan sebutan Dana Penguatan <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong> dan Percepatan<br />

Pembangunan Daerah (DPDF & PPD). Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk<br />

meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi,<br />

besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12 bulan setahun. Dari alokasi<br />

anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009 sebesar Rp7,49 triliun<br />

hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen.<br />

Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu,<br />

pendanaan untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun<br />

juga dialokasikan Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi<br />

Guru tersebut merupakan pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan<br />

Nasional.<br />

Secara umum, Dana Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasi<br />

anggaran untuk mendanai kebijakan tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakan<br />

untuk mendorong atau menguatkan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan<br />

daerah. Perkembangan nomenklatur Dana Penyesuaian tahun 2005–2010 dapat dilihat<br />

pada Tabel V.2.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-11


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Dalam Grafik V.7, dapat dilihat<br />

bahwa realisasi Dana Otsus dan<br />

Penyesuaian dalam periode 2005–<br />

2010 mengalami peningkatan yang<br />

signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam<br />

tahun 2005, menjadi Rp21,3 triliun<br />

pada tahun 2009, dan meningkat lagi<br />

menjadi Rp30,2 triliun dalam APBN-<br />

P 2010. Peningkatan ini tidak terlepas<br />

dari kebijakan Pemerintah untuk<br />

lebih mendorong peran daerah dalam<br />

era otonomi daerah yang ditandai<br />

dengan makin beragamnya jenis<br />

Dana Penyesuaian dari tahun ke<br />

tahun.<br />

TABEL V.2<br />

PERKEMBANGAN NOMENKLATUR DANA PENYESUAIAN, TAHUN 2005 - 2010<br />

No. Nomenklatur 2005 2006 2007 2008 2009 2010<br />

1 Dana Penyesuaian Murni • •<br />

2 Dana Penyesuaian DAU •<br />

3 Dana Penyeimbang DAU •<br />

4 Dana Tunjangan Kependidikan • •<br />

5 Dana Tambahan DAU •<br />

6 Dana Penyesuaian Ad Hoc • •<br />

7 Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan •<br />

8 Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana<br />

dan Prasarana (DISP)<br />

•<br />

9 Dana Penguatan <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong> &<br />

Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF<br />

• •<br />

& PPD)<br />

10 Dana Penguatan Infrastruktur dan<br />

Prasarana Daerah (DPIPD)<br />

•<br />

11 Dana Percepatan Pembangunan<br />

Infrastruktur Pendidikan (DPPIP)<br />

•<br />

12 Dana Insentif Daerah •<br />

13 Dana Tambahan Penghasilan Guru • •<br />

14 Kurang Bayar DAK dan DISP • •<br />

Sumber: Kementerian Keuangan<br />

GRAFIK V.7<br />

PERKEMBANGAN DANA OTSUS DAN DANA PENYESUAIAN<br />

TAHUN 2005 - 2010<br />

35<br />

30<br />

25<br />

Dana Penyesuaian<br />

Dana Otonomi Khusus<br />

triliun rupiah<br />

20<br />

15<br />

11,8<br />

21,2<br />

10<br />

5<br />

0<br />

5,5 0,6<br />

1,8<br />

2005<br />

LKPP<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

3,5 4,0<br />

2006<br />

LKPP<br />

5,3<br />

2007<br />

LKPP<br />

6,2<br />

7,5<br />

2008<br />

LKPP<br />

9,5 9,1<br />

2009<br />

LKPP<br />

2010<br />

APBN-P<br />

5.2.3 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah<br />

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli<br />

Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan<br />

penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan<br />

perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan<br />

perkembangan keadaan.<br />

Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan perpajakan daerah dan<br />

retribusi daerah diarahkan untuk memberikan taxing power yang lebih besar kepada daerah.<br />

V-12 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut diharapkan pemerintah daerah<br />

dapat memungut sumber-sumber penerimaan potensial yang ada di masing-masing daerah<br />

untuk mendanai kebutuhan pemerintahan dan pembangunan daerah.<br />

Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah UU Nomor<br />

28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah<br />

dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.<br />

Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tersebut antara<br />

lain adalah:<br />

(1) Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, artinya<br />

pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum<br />

dalam UU dimaksud. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih<br />

dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan<br />

Pemerintah. <strong>Kebijakan</strong> ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan<br />

kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam UU<br />

Nomor 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang<br />

bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan<br />

jenis PDRD baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang<br />

pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam<br />

memenuhi kewajiban perpajakannya.<br />

(2) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas<br />

basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.<br />

Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak<br />

menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu<br />

lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan<br />

pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas<br />

basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis<br />

pajak baru.<br />

Upaya perluasan basis pajak yang sudah ada antara lain dilakukan dengan menambah<br />

objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (termasuk<br />

kendaraan Pemerintah/TNI/Polri). Sementara itu, terdapat 4 (empat) jenis pajak baru<br />

bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea<br />

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet, dan<br />

Pajak Rokok. PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB sebelumnya merupakan pajak<br />

pusat, kini dialihkan menjadi pajak kabupaten/kota, sementara Pajak Sarang Burung<br />

Walet sebagai pajak kabupaten/kota, dan Pajak Rokok sebagai Pajak Provinsi.<br />

Selain perluasan basis pajak, perluasan juga dilakukan terhadap beberapa objek retribusi<br />

dan penambahan jenis retribusi, misalnya Retribusi Izin Gangguan yang diperluas<br />

sehingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus<br />

untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,<br />

memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan<br />

kerja.<br />

Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif, daerah hanya dapat<br />

menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam UU PDRD<br />

dimaksud untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-13


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

beban bagi masyarakat secara berlebihan. Selain penetapan batas maksimum, ditetapkan<br />

pula ketentuan tarif minimum untuk menghindari terjadinya perang tarif antardaerah<br />

terutama untuk objek pajak yang mudah bergerak seperti kendaraan bermotor.<br />

(3) Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada<br />

kabupaten/kota, insentif pemungutan PDRD, dan earmarking penerimaan pajak daerah.<br />

<strong>Kebijakan</strong> earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan<br />

pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai<br />

kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Sebagai contoh, sebagian penerimaan<br />

Pajak Penerangan Jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit<br />

10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dialokasikan untuk pembangunan<br />

dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.<br />

(4) Dalam rangka mengefektifkan pengawasan PDRD, mekanisme pengawasan diubah dari<br />

represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang PDRD sebelum dilaksanakan<br />

harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap daerah<br />

yang menetapkan kebijakan di bidang PDRD yang melanggar ketentuan peraturan<br />

perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/<br />

atau pemotongan DAU dan/atau DBH atau restitusi.<br />

UU Nomor 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 (enam belas) jenis pajak yang menjadi<br />

kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis<br />

pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah<br />

meliputi 14 (empat belas) jenis retribusi jasa umum, 11 (sebelas) jenis retribusi jasa usaha<br />

dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu.<br />

Penetapan jenis PDRD tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis PDRD tersebut<br />

secara umum dipungut hampir disemua daerah dan secara teori maupun praktik merupakan<br />

jenis pungutan yang baik serta memenuhi kriteria sebagai pungutan daerah. Pemerintah<br />

daerah boleh tidak memungut jenis PDRD sebagaimana yang tercantum dalam UU tersebut<br />

dengan pertimbangan, antara lain, apabila potensi jenis PDRD di daerah tersebut tidak<br />

memadai. Jenis pajak daerah dan retribusi<br />

daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun<br />

2009 masing-masing dapat dilihat pada<br />

Tabel V.3 dan Tabel V.4.<br />

Sama halnya dengan pajak daerah,<br />

pemerintah daerah juga tidak<br />

diperkenankan untuk memungut jenis<br />

retribusi selain yang telah diatur dalam<br />

UU Nomor 28 Tahun 2009. Namun<br />

demikian, untuk mengantisipasi<br />

perkembangan keadaan, maka<br />

dimungkinkan untuk menambah jenis<br />

retribusi sepanjang memenuhi kriteria<br />

yang ditetapkan dalam UU dimaksud<br />

dengan menerbitkan Peraturan<br />

Pemerintah.<br />

TABEL V.3<br />

JENIS PAJAK DAERAH<br />

Provinsi<br />

Kabupaten/Kota<br />

1. Pajak Kendaraan Bermotor 1. Pajak Hotel<br />

2. Bea Balik Nama<br />

2. Pajak Restoran<br />

Kendaraan Bermotor<br />

3. Pajak Bahan Bakar 3. Pajak Hiburan<br />

Kendaraan Bermotor<br />

4. Pajak Air Permukaan 4. Pajak Reklame<br />

5. Pajak Rokok 5. Pajak Penerangan Jalan<br />

6. Pajak Parkir<br />

7. Pajak Mineral Bukan Logam dan<br />

Batuan<br />

8. Pajak Air Tanah<br />

9. Pajak Sarang Burung Walet<br />

10. PBB Perdesaan dan Perkotaan<br />

11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah<br />

dan Bangunan<br />

Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009<br />

V-14 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

TABEL V.4<br />

JENIS RETRIBUSI DAERAH<br />

Jasa Umum Jasa Usaha Perizinan Tertentu<br />

1 Retribusi Pelayanan Kesehatan 1 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 1 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan<br />

2 Retribusi Kebersihan 2 Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan 2 Retribusi Izin Tempat Penjualan<br />

Minuman Beralkohol<br />

3 Retribusi KTP dan Akte Capil 3 Retribusi Tempat Pelelangan 3 Retribusi Izin Gangguan<br />

4 Retribusi Pemakaman/ Pengabuan 4 Retribusi Terminal 4 Retribusi Izin Trayek<br />

Mayat<br />

5 Retribusi Parkir di Tepi<br />

5 Retribusi Tempat Khusus Parkir 5 Retribusi Izin Usaha Perikanan<br />

Jalan Umum<br />

6 Retribusi Pelayanan Dasar 6 Retribusi Tempat Penginapan/<br />

Pesanggrahan/Villa<br />

7 Retribusi Pengujian Kendaraan 7 Retribusi Rumah Potong Hewan<br />

Bermotor<br />

8 Retribusi Pemeriksaan Alat<br />

8 Retribusi Pelayanan Kepelabuhan<br />

Pemadam Kebakaran<br />

9 Retribusi Penggantian Biaya<br />

9 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga<br />

Cetak Peta<br />

10 Retribusi Pelayanan Tera/<br />

10 Retribusi Penyeberangan di Air<br />

Tera Ulang<br />

11 Retribusi Penyedotan Kakus 11 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah<br />

12 Retribusi Pengolahan Limbah Cair<br />

13 Retribusi Pelayanan Pendidikan<br />

14 Retribusi Pengendalian Menara<br />

Telekomunikasi<br />

Sumber: UU Nomor 28 Tahun 2009<br />

Penentuan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu yang dapat dipungut<br />

oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan pada<br />

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan masing-masing daerah sesuai peraturan<br />

perundang-undangan, sedangkan untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada siapa yang<br />

menyediakan jasa. Pemanfaatan hasil penerimaan masing-masing jenis retribusi daerah<br />

diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bersangkutan dengan tujuan agar pelayanan<br />

yang disediakan dapat senantiasa ditingkatkan.<br />

Lebih lanjut dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah melakukan<br />

pengawasan secara preventif dan korektif terhadap Perda-perda tentang PDRD yang<br />

ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengawasan preventif dilakukan dengan mengevaluasi<br />

raperda sebelum ditetapkan menjadi perda, sedangkan pengawasan korektif dilakukan<br />

dengan mengevaluasi perda tentang PDRD yang telah ditetapkan oleh kepala daerah.<br />

Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan dengan kepentingan<br />

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah dapat<br />

melakukan pembatalan atas perda bermasalah tersebut. Sejak tahun 2001 sampai dengan<br />

2010, terdapat 13.623 perda tentang PDRD yang diterima dan telah dievaluasi sebanyak<br />

13.252 perda. Dari jumlah yang dievaluasi tersebut, 4.885 perda (37 persen) diantaranya<br />

direkomendasikan untuk dibatalkan karena tidak sesuai dengan kepentingan umum dan/<br />

atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk raperda, dari 2.765 yang<br />

diterima, sejumlah 2.754 diantaranya telah dievaluasi dengan hasil 352<br />

(13 persen) raperda ditolak dan 1.522 (55 persen) raperda direkomendasikan untuk direvisi.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-15


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Terkait dengan kepatuhan hukum, Pemerintah dapat mengenakan sanksi kepada daerah<br />

yang tetap melakukan pemungutan PDRD walaupun telah diberikan ketetapan pembatalan<br />

atas perda PDRD tersebut. Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009, pelanggaran terhadap<br />

ketentuan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau<br />

DBH atau restitusi, dengan ketentuan sebagai berikut:<br />

(1) Pelanggaran terhadap prosedur penetapan raperda menjadi perda adalah berupa<br />

penundaan DAU atau DBH Pajak Penghasilan bagi daerah yang tidak memperoleh DAU<br />

sebesar 10 persen untuk setiap periode penyaluran;<br />

(2) Pelanggaran terhadap daerah yang tetap melaksanakan pemungutan PDRD berdasarkan<br />

perda yang dibatalkan adalah berupa pemotongan DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan<br />

sebesar perkiraan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dipungut<br />

untuk setiap periode penyaluran DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan atau 5 persen<br />

dari jumlah DAU dan/atau DBH Pajak Penghasilan yang disalurkan untuk setiap periode<br />

penyaluran.<br />

Selanjutnya, beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah<br />

sebagai berikut:<br />

(1) Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah mulai berlaku efektif pada<br />

tanggal 1 Januari 2011, sehingga penerimaan BPHTB tidak lagi dianggarkan dalam<br />

APBN tahun 2011;<br />

(2) Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah<br />

dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 2014. Dengan demikian,<br />

penerimaan PBB sektor perdesaan dan perkotaan tidak lagi dianggarkan dalam APBN<br />

apabila perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan sudah berlaku di daerah;<br />

(3) Penerimaan terhadap jenis pungutan yang tidak terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun<br />

2009 tidak dianggarkan lagi dalam APBD tahun 2011;<br />

(4) Untuk perda tentang PDRD yang berlaku saat ini dan masih tercantum sebagai jenis<br />

PDRD menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, maka ketentuan pemungutannya harus<br />

disesuaikan dengan UU dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012;<br />

(5) Terkait dengan PBB Perdesaan dan Perkotaan, Pemerintah perlu melakukan konsultasi/<br />

koordinasi/sosialisasi dengan instansi terkait dan mempersiapkan sarana dan prasarana<br />

serta sumber daya manusia, khususnya tenaga administrator, pendataan, penilaian,<br />

dan penetapan.<br />

5.2.4 Pinjaman dan Hibah Daerah<br />

5.2.4.1 Pinjaman Daerah<br />

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara<br />

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun<br />

2005 tentang Pinjaman Daerah, diamanatkan bahwa Pemerintah menetapkan batas<br />

maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan<br />

keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif<br />

dimaksud adalah 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun anggaran yang<br />

V-16 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

bersangkutan. Dalam rangka menjaga batas tersebut, setiap tahun Pemerintah menetapkan<br />

batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah,<br />

dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah.<br />

Untuk menutup defisit APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang<br />

bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga<br />

keuangan bukan bank, dan masyarakat dalam bentuk obligasi daerah. Grafik V.8<br />

menggambarkan perkembangan kontribusi pinjaman daerah terhadap pembiayaan defisit<br />

APBD. Kontribusi tersebut dihitung dari besarnya penarikan pinjaman daerah dibandingkan<br />

dengan besarnya defisit pada<br />

APBD. Berdasarkan grafik<br />

tersebut, dari tahun 2007 sampai<br />

dengan tahun 2010, kontribusi<br />

pinjaman daerah terhadap<br />

pembiayaan defisit APBD sangat<br />

kecil dan berfluktuasi antara 4<br />

persen sampai dengan 7 persen.<br />

Defisit APBD pada umumnya<br />

ditutup dari Sisa Lebih<br />

Pembiayaan <strong>Anggaran</strong> (SILPA)<br />

tahun sebelumnya masingmasing<br />

Pemerintah Daerah.<br />

Dalam era otonomi daerah, sebagian besar pinjaman daerah yang digunakan untuk menutup<br />

defisit bersumber dari Pemerintah dan lembaga keuangan bank. Pemerintah dapat<br />

memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya bersumber dari pendapatan<br />

APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri maupun luar negeri.<br />

Pengadaan pinjaman luar negeri dikelola melalui mekanisme penerusan pinjaman luar negeri<br />

(Subsidiary Loan Agreement/SLA). Penerusan pinjaman luar negeri pada umumnya<br />

merupakan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk mendanai proyek investasi<br />

yang menghasilkan penerimaan. Beberapa sumber pinjaman luar negeri tersebut adalah<br />

pinjaman yang bersumber dari badan-badan yang sifatnya multilateral seperti Bank Dunia<br />

(World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Bank Pembangunan<br />

Islam (Islamic Development Bank), dan negara-negara lain secara bilateral. Di samping<br />

itu, Pemerintah terus berupaya mendorong pemerintah daerah untuk mengoptimalkan<br />

sumber pinjaman dalam negeri berupa obligasi daerah yang diperdagangkan di pasar modal<br />

domestik.<br />

5.2.4.2 Hibah Daerah<br />

7%<br />

6%<br />

5%<br />

4%<br />

3%<br />

2%<br />

1%<br />

0%<br />

GRAFIK. V.8<br />

PERKEMBANGAN KONTRIBUSI PINJAMAN DAERAH<br />

TERHADAP PEMBIAYAAN DEFISIT APBD TAHUN 2007-2010<br />

Pemberian hibah kepada pemerintah daerah merupakan wujud pelaksanaan hubungan<br />

keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang merupakan suatu sistem<br />

pendanaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan sebagaimana diamanatkan<br />

dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selanjutnya,<br />

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara memberikan<br />

kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat memberikan hibah kepada pemerintah daerah.<br />

<strong>Kebijakan</strong> pemberian hibah kepada daerah tersebut kemudian dipertegas dalam Undang-<br />

Undang Nomor 33 Tahun 2004. Peraturan-peraturan tersebut mengatur secara tegas bahwa<br />

pemberian hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari<br />

5,32<br />

Sumber: KementerianKeuangan<br />

6,13<br />

4,63<br />

4,21<br />

2007 2008 2009 2010<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-17


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

penerimaan dalam negeri, pinjaman dalam negeri serta penerusan pinjaman luar negeri<br />

dan hibah luar negeri dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.<br />

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan pemberian hibah kepada pemerintah<br />

daerah adalah sebagai berikut:<br />

(1) Hibah dari Pemerintah kepada pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka<br />

hubungan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah.<br />

(2) Hibah dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah,<br />

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.<br />

(3) Hibah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah berdasarkan<br />

peta kapasitas fiskal daerah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br />

(4) Hibah bersifat bantuan untuk melaksanakan kegiatan urusan pemerintahan yang<br />

merupakan kewenangan pemerintah daerah.<br />

Hibah kepada daerah dalam kerangka hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan<br />

pemerintah daerah, mulai dilaksanakan pada tahun 2009 dengan ditandatanganinya Naskah<br />

Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI<br />

Jakarta untuk kegiatan Mass Rapid Transit (MRT). Hibah ini bersumber dari pinjaman<br />

luar negeri yang berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Proyek MRT<br />

merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta<br />

yang menjadi prioritas pembangunan nasional dan telah tercantum dalam Rencana<br />

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan dilaksanakan oleh<br />

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hibah ini dilakukan secara bertahap dan direncanakan<br />

mulai direalisasikan pada tahun 2010.<br />

Pada APBN tahun 2009 telah dialokasikan dana hibah kepada daerah sebesar Rp31,6 miliar<br />

yang merupakan kegiatan penerusan hibah untuk kegiatan Local Basic Education Capacity<br />

(L-BEC) dan Support to Community Health Services (SCHS). L-BEC adalah kegiatan<br />

penerusan hibah yang bersumber dari hibah Uni Eropa dan Pemerintah Kerajaan Belanda<br />

(dikelola oleh Bank Dunia) untuk kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam<br />

bidang pendidikan dasar. Hibah L-BEC diteruskan kepada 50 kabupaten/kota. Sementara<br />

itu, hibah SCHS bersumber dari bantuan Uni Eropa (dikelola oleh WHO) ditujukan untuk<br />

peningkatan fasilitas ruang isolasi pasien flu burung yang diberikan kepada 10 rumah sakit<br />

yang dimiliki oleh pemerintah daerah.<br />

Selanjutnya pada tahun 2010, APBN mengalokasikan dana hibah kepada daerah sebesar<br />

Rp243,21 miliar. Dana tersebut merupakan penerusan hibah untuk 5 kegiatan. Hibah untuk<br />

kegiatan MRT merupakan rencana realisasi hibah yang penandatanganan NPPH-nya sudah<br />

dilakukan pada tahun 2009. Kegiatan L-BEC merupakan lanjutan dari tahun 2009 dan<br />

direncanakan berakhir pada tahun 2012. Selain dua kegiatan tersebut, APBN 2010 juga<br />

mengalokasikan hibah yang bersumber dari AusAID dan Bank Dunia. AusAID memberikan<br />

hibah untuk kegiatan Hibah Air Minum dan Hibah Air Limbah. Hibah Air Minum tersebut<br />

ditujukan untuk peningkatan akses penyediaan air minum bagi masyarakat yang belum<br />

memiliki akses sambungan air minum perpipaan. Sedangkan Hibah Air Limbah ditujukan<br />

untuk peningkatan akses sistem air limbah perpipaan bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam<br />

kegiatan WASAP-D, Bank Dunia memberikan hibah yang ditujukan untuk pembangunan<br />

sarana pengelolaan air limbah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (lihat Tabel V.5)<br />

V-18 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

TABEL V.5<br />

ALOKASI HIBAH KEPADA DAERAH DALAM APBN, TAHUN 2009-2010<br />

2009 2010<br />

No. Kegiatan Sum ber Jum lah<br />

(miliar Rp)<br />

Da er a h<br />

Penerim a<br />

Jum lah<br />

(miliar Rp)<br />

Da er a h<br />

Penerim a<br />

1<br />

2<br />

3<br />

Mass Rapid Transit<br />

(MRT)<br />

Local Basic Education<br />

Capacity (L-BEC)<br />

Support to Community<br />

Health Serv ices (SCHS)<br />

Pinjaman dari JICA 34,38 1<br />

Hibah dari Pemerintah Belanda dan<br />

Uni Eropa (dikelola World Bank)<br />

Hibah dari Uni Eropa (dikelola World<br />

Health Organisation)<br />

22,5 25 80,08 50<br />

9,1 10<br />

4 Hibah Air Minum Hibah dari AusAid 106,15 22<br />

5 Hibah Air Limbah Hibah dari AusAid 10 1<br />

6 WASAP-D Hibah dari World Bank 12,6 6<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Pelaksanaan hibah kepada daerah, khususnya yang bersumber dari luar negeri, telah<br />

mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun, masih terbuka kemungkinankemungkinan<br />

upaya optimalisasi dalam kebijakan pemberian hibah kepada daerah sehingga<br />

diharapkan dapat memperkuat kapasitas fiskal daerah dan mewujudkan pemerataan<br />

antardaerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan<br />

potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.<br />

Upaya optimalisasi tersebut salah satunya dilakukan dengan mengidentifikasi terlebih dahulu<br />

permasalahan-permasalahan yang menyangkut hibah kepada daerah yang bersumber dari<br />

pinjaman luar negeri ataupun hibah luar negeri. Untuk itu, kebijakan yang akan diterapkan<br />

dalam pelaksanaan hibah ke depan antara lain:<br />

(1) Pelaksanaan hibah ke daerah, baik yang bersumber dari pinjaman luar negeri ataupun<br />

hibah luar negeri, harus dituangkan seluruhnya dalam suatu Naskah Perjanjian Hibah<br />

antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.<br />

(2) Penerusan hibah luar negeri kepada Pemerintah Daerah dilakukan melalui Menteri<br />

Keuangan, sehingga dicatat dalam APBN dan APBD.<br />

(3) Prosedur/aturan yang lebih fleksibel sehingga dapat mengakomodasi prosedur yang<br />

memudahkan bagi negara pemberi hibah.<br />

(4) Pengakuan, pencatatan, dan pelaporan hibah dalam APBD sesuai ketentuan yang berlaku.<br />

(5) Peningkatan koordinasi antarinstansi Pemerintah dalam mengelola hibah yang ditujukan<br />

kepada pemerintah daerah dengan melaksanakan peraturan perundang-undangan<br />

secara tertib.<br />

Hal lainnya adalah terkait dengan pemberian hibah kepada daerah yang bersumber dari<br />

penerimaan dalam negeri. Selain penerapan kebijakan-kebijakan di atas, upaya optimalisasi<br />

dapat dilakukan antara lain dengan penataan ulang atas dana APBN yang didesentralisasikan.<br />

Perlu adanya konsistensi dan ketegasan kriteria antar dana-dana yang dilaksanakan di daerah<br />

agar tercipta pola pendanaan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-19


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

5.2.5 Gambaran Pelaksanaan APBD<br />

Total realisasi pendapatan seluruh provinsi tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar<br />

35,1 persen dari tahun 2007, yang kenaikan terbesarnya disumbangkan oleh Dana<br />

Perimbangan sebesar 53,3 persen. Sementara itu, Lain-lain Pendapatan Daerah justru<br />

mengalami penurunan sebesar 1,7 persen (lihat Tabel V.6).<br />

Berbeda halnya dengan realisasi pendapatan<br />

provinsi, seluruh kelompok pendapatan<br />

kabupaten dan kota mengalami kenaikan.<br />

Kenaikan realisasi pendapatan kabupaten<br />

dan kota tersebut adalah sebesar 25,2 persen<br />

pada tahun 2008 (lihat Tabel V.7).<br />

Peningkatan pendapatan juga diikuti<br />

dengan pertumbuhan pada sisi belanja.<br />

Dalam empat tahun terakhir, belanja APBD<br />

provinsi mengalami pertumbuhan yang<br />

cukup tinggi. Setiap jenis belanja tumbuh,<br />

tak terkecuali belanja modal yang<br />

mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar<br />

20,13 persen. Pertumbuhan rata-rata<br />

tertinggi ada pada belanja barang dan jasa<br />

diikuti dengan belanja pegawai. Di lain<br />

pihak, pertumbuhan terendah adalah pada<br />

Belanja Lainnya. Belanja Lainnya<br />

merupakan gabungan dari belanja bunga,<br />

subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan<br />

keuangan, dan belanja tak terduga. (lihat<br />

Tabel V.8).<br />

Komposisi belanja pemerintah provinsi pada<br />

dasarnya tidak mengalami banyak<br />

perubahan. Berbeda halnya dengan<br />

pemerintah kabupaten dan kota. Jika pada<br />

tahun 2007 belanja pegawai mengambil<br />

porsi sebesar 40,91 persen dari total belanja,<br />

pada tahun 2010 porsi tersebut meningkat<br />

menjadi 50,74 persen. Sebaliknya, belanja<br />

modal dari total belanja turun dari 31,16<br />

persen pada tahun 2007 menjadi 21,90<br />

persen pada tahun 2010 (lihat Tabel V.9).<br />

Dilihat dari belanja per fungsi, alokasi<br />

belanja pada APBD provinsi mengalami<br />

perkembangan yang cukup menarik. Dari<br />

tahun 2007 ke tahun 2009, belanja untuk<br />

fungsi pendidikan mengalami pertumbuhan<br />

tertinggi hampir mendekati 53 persen.<br />

Tabel V.6<br />

REALISASI PENDAPATAN PROVINSI<br />

TAHUN 2007 dan 2008<br />

(miliar rupiah)<br />

Kelompok Pendapatan 2007 2008<br />

Perubahan<br />

(%)<br />

Pendapatan Asli Daerah 35.17 7 ,1 44.515,5 21,0<br />

Dana Perimbangan 22.196,6 47 .553,7 53,3<br />

Lain-lain Pendapatan Daerah 4.7 37 ,0 4.658,2 -1,7<br />

T otal 64.117 ,7 98.7 35,3 35,1<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Tabel V.7<br />

REALISASI PENDAPATAN KABUPATEN DAN KOTA<br />

TAHUN 2007 dan 2008<br />

(miliar rupiah)<br />

Kelompok Pendapatan 2007 2008<br />

TABEL V.8<br />

TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER JENIS<br />

TAHUN 2007 DAN 2010<br />

(miliar rupiah)<br />

Jenis Belanja 2007 2010<br />

Rasio (%)<br />

2007 2010<br />

Perubahan<br />

(%)<br />

Pendapatan Asli Daerah 16.727,3 20.230,4 20,9<br />

Dana Perimbangan 196.284,3 246.688,4 25,7<br />

Lain-lain Pendapatan Daerah 10.439,0 12.788,1 22,5<br />

Total<br />

223.450,6 279.706,9 25,2<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Pertumbuhan<br />

Rata-rata (%)<br />

Pegawai 14.648,7 29.838,3 24,08 26,37 26,76<br />

Barang dan Jasa 11.596,7 26.871,6 19,07 23,75 32,33<br />

Modal 15.174,8 26.307,2 24,95 23,25 20,13<br />

Lainnya 19.406,7 30.166,2 31,90 26,62 15,8<br />

Total 60.827,0 113.113,3 100,00 100,00 22,98<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

TABEL V.9<br />

TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER JENIS<br />

TAHUN 2007 DAN 2010<br />

(miliar rupiah)<br />

Jenis Belanja 2007 2010<br />

Pegawai 103.238,77 160.646,77 40,91 50,74 15,88<br />

Barang dan Jasa 42.984,31 53.213,50 17,03 16,81 7,38<br />

Modal 78.645,63 69.314,08 31,16 21,9 (4,12)<br />

Lainnya 27.502,20 33.406,31 10,90 10,55 6,7<br />

Total 252.370,90 316.580,67 100,00 100,00 7,85<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

2007<br />

Rasio (%)<br />

2010<br />

Pertumbuhan<br />

Rata-rata (%)<br />

V-20 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Urutan berikutnya ditempati<br />

masing-masing oleh fungsi kesehatan<br />

dan pelayanan umum. Urutan<br />

terakhir adalah fungsi lainnya yang<br />

merupakan gabungan dari fungsi<br />

ekonomi, lingkungan hidup,<br />

ketentraman dan ketertiban,<br />

perumahan dan fasilitas umum,<br />

pariwisata dan budaya, serta<br />

perlindungan sosial. Pertumbuhan<br />

total belanja APBD provinsi per fungsi<br />

dapat dilihat pada Tabel V.10.<br />

Belanja per fungsi pada total APBD<br />

kabupaten dan kota juga mengalami<br />

perkembangan serupa. Pertumbuhan<br />

rata-rata belanja untuk Fungsi<br />

Pendidikan hampir mendekati 21<br />

persen. Porsi belanja untuk total<br />

TABEL V. 10<br />

TOTAL ALOKASI BELANJA APBD PROVINSI PER FUNGSI<br />

TAHUN 2007 dan 2009<br />

(miliar rupiah)<br />

% thd Total<br />

No. Fungsi 2007 2009 Belanja Pertumbuhan<br />

Rata-rata (%)<br />

2007 2009<br />

1 Pelayanan Umum 32.251,6 51.088,5 53,0 56,8 25,9<br />

2 Pendidikan 4.524,6 10.551,6 7 ,4 11,7 52,7<br />

3 Kesehatan 4.055,0 8.099,1 6,7 9,0 41,3<br />

4 Lainnya 19.995,8 20.241,9 32,9 22,5 0,6<br />

Sumber: Kementerian Keuangan<br />

TABEL V. 11<br />

TOTAL ALOKASI BELANJA APBD KABUPATEN DAN KOTA PER FUNGSI<br />

TAHUN 2007 dan 2009<br />

(miliar rupiah)<br />

% thd Total<br />

No. Fungsi 2007 2009<br />

Belanja Pertumbuhan<br />

Rata-rata (%)<br />

2007 2009<br />

1 Pelayanan Umum 77.333,67 93.593,84 30,53 28,92 10.01<br />

2 Pendidikan 69.589,85 101.046,70 27,48 31,22 20.50<br />

3 Kesehatan 24.606,03 29.697,56 9,71 9,18 9.86<br />

4 Lainnya 81.754,56 99.292,18 32,28 30,68 10.21<br />

Sumber: Kementerian Keuangan<br />

Fungsi Pendidikan pada APBD kabupaten dan kota sudah sesuai dengan Undang-Undang<br />

bidang Pendidikan yang pada tahun 2007 sebesar 27,48 persen kemudian meningkat menjadi<br />

31,22 persen pada tahun 2009. Urutan berikutnya ditempati masing-masing oleh Fungsi<br />

Lainnya dan Fungsi Pelayanan Umum. Sementara itu, Fungsi Kesehatan mengalami<br />

pertumbuhan rata-rata sebesar 9,86 persen. Pertumbuhan total belanja APBD kabupaten<br />

dan kota per fungsi dapat dilihat pada Tabel V.11.<br />

5.2.6 Implikasi <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong> terhadap Perkembangan<br />

Ekonomi Daerah<br />

<strong>Desentralisasi</strong> fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang<br />

luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat dan penguatan local taxing power.<br />

<strong>Desentralisasi</strong> fiskal diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaran<br />

pemerintahan dan pelayanan publik di daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan<br />

pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga<br />

pemerintah daerah memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Selanjutnya,<br />

peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong semakin baiknya<br />

akses layanan publik dan pada akhirnya akan mendorong perekonomian daerah serta<br />

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.<br />

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah<br />

satu indikator outcome yang lazim digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor<br />

yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah adalah tingkat konsumsi, investasi,<br />

ketenagakerjaan, dan multiplier effect dari belanja pemerintah, serta kegiatan perdagangan<br />

daerah.<br />

Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi nasional adalah 6,1 persen. Pada Grafik V.9<br />

terlihat bahwa terdapat 14 provinsi yang tingkat pertumbuhan ekonominya di atas<br />

pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara itu, pada tahun 2009, dengan pertumbuhan<br />

ekonomi nasional sebesar 4,55 persen terdapat 22 provinsi yang berada di atas pertumbuhan<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-21


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi laju inflasi daerah. Hal ini dapat dilihat pada<br />

tren penurunan pertumbuhan ekonomi secara nasional pada tahun 2009 yang ternyata<br />

juga diikuti dengan penurunan inflasi. Berdasarkan data pantauan inflasi di 66 kota di<br />

Indonesia yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2009 terjadi<br />

penurunan laju inflasi daerah yang relatif cukup signifikan, salah satunya diakibatkan<br />

penurunan harga minyak dunia dan penurunan harga BBM di tahun 2009. Laju inflasi<br />

tertinggi terjadi di Kota Manokwari yang mencapai 7,4 persen, sedangkan yang paling rendah<br />

inflasinya adalah Kota Dumai hanya sebesar 0,8 persen. Dalam tahun 2010, laju inflasi<br />

diharapkan akan berada pada tingkat yang lebih rendah. Perkembangan laju inflasi selama<br />

periode 2005–2009 di 66 kota dapat dilihat dalam Tabel V.12.<br />

TABEL V.12<br />

LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA<br />

(dalam persen)<br />

No. Kota 2005 2006 2007 2008 2009 No. Kota 2005 2006 2007 2008 2009<br />

1 Lhokseumawe 17,6 1,9 4,2 15,0 3,9 34 Probolinggo 5,6 3,5<br />

2 Banda Aceh 41,1 9,5 11,0 12,0 3,5 35 Madiun 6,0 3,4<br />

3 Padang Sidempuan 18,5 10,0 5,9 10,7 1,9 36 Surabaya 14,1 6,7 6,3 10,4 3,3<br />

4 Sibolga 22,4 5,0 7,1 13,8 1,6 37 Serang/Cilegon 16,1 7,7 6,3 13,7 4,5<br />

5 Pematang Siantar 19,7 6,1 8,4 10,3 2,7 38 Tangerang 6,2 2,5<br />

6 Medan 22,9 6,0 6,4 9,9 2,7 39 Cilegon 4,6 3,1<br />

7 Padang 20,1 8,0 6,9 13,1 2,1 40 Denpasar 11,3 4,3 5,9 10,5 4,3<br />

8 Pekanbaru 17,1 6,3 7,5 10,5 1,9 41 Mataram 17,7 4,2 8,8 12,4 3,1<br />

9 Dumai 8,0 0,8 42 Bima 8,9 4,0<br />

10 Batam 14,8 4,6 4,8 8,6 1,9 43 Maumere 6,3 5,2<br />

11 Jambi 16,5 10,7 7,4 11,1 2,5 44 Kupang 15,2 9,7 8,4 10,5 6,3<br />

12 Palembang 19,9 8,4 8,2 13,3 1,8 45 Pontianak 14,4 6,3 8,6 11,6 4,9<br />

13 Bengkulu 25,2 6,5 5,0 14,5 2,9 46 Singkawang 5,7 1,2<br />

14 Bandar Lampung 21,2 6,0 6,6 14,4 4,2 47 Sampit 11,9 7,7 7,6 8,3 2,8<br />

15 Pangkal Pinang 17,4 6,4 2,6 18,4 2,2 48 Palangkaraya 12,1 7,7 8,0 12,2 1,4<br />

16 Tanjung Pinang 7,0 1,5 49 Banjarmasin 12,9 11,0 7,8 11,0 3,8<br />

17 DKI Jakarta 16,1 6,0 6,0 11,1 2,3 50 Balikpapan 17,3 5,5 7,3 11,1 3,5<br />

18 Bogor 4,0 2,1 51 Samarinda 16,6 6,5 9,2 12,8 4,0<br />

19 Sukabumi 7,5 3,4 52 Tarakan 8,8 7,0<br />

20 Tasikmalaya 20,8 8,4 7,7 11,7 4,1 53 Manado 18,7 5,1 10,1 9,0 2,3<br />

21 Bandung 19,6 5,3 5,3 9,9 2,1 54 Palu 16,3 8,7 8,1 10,7 5,6<br />

22 Cirebon 16,8 6,3 7,9 13,9 4,1 55 Watampone 10,1 6,7<br />

23 Bekasi 5,1 1,9 56 Makassar 15,2 7,2 5,7 12,2 3,2<br />

24 Depok 6,1 1,3 57 Parepare 7,4 1,4<br />

25 Purwokerto 14,5 8,4 6,1 12,3 2,8 58 Palopo 7,8 4,1<br />

26 Surakarta 13,9 6,2 3,3 8,3 2,6 59 Kendari 21,5 10,6 7,5 16,0 4,5<br />

27 Semarang 16,5 6,1 6,7 11,2 3,1 60 Gorontalo 18,6 7,5 7,0 7,9 4,3<br />

28 Tegal 18,4 7,7 8,9 8,6 5,7 61 Mamuju 8,5 1,8<br />

29 Yogyakarta 15,0 10,4 8,0 10,0 2,9 62 Ambon 16,7 4,8 5,8 10,1 6,4<br />

30 Jember 16,9 6,8 7,2 10,1 3,7 63 Ternate 19,4 5,1 10,4 12,2 3,8<br />

31 Sumenep 5,5 2,7 64 Manokwari 14,5 7,4<br />

32 Kediri 16,8 7,8 6,8 10,1 3,5 65 Sorong 11,0 3,3<br />

33 Malang 15,7 5,9 5,9 11,9 3,3 66 Jayapura 14,1 9,5 10,3 15,5 2,0<br />

Sumber : Badan Pusat Statistik<br />

Salah satu faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Terkait dengan<br />

investasi, pada dasarnya kewenangan daerah sangat besar karena kewenangan penanaman<br />

modal merupakan salah satu kewenangan yang didesentralisasikan sesuai dengan PP Nomor<br />

38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah<br />

Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peran besar daerah dalam<br />

meningkatkan investasi berupa Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal<br />

Dalam Negeri (PMDN) saat ini sudah diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun<br />

2007 tentang Penanaman Modal. Dukungan Pemerintah Pusat terlihat pada upaya menarik<br />

investor dari luar negeri yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi dan Penanaman Modal<br />

(BKPM). Kemudahan dan fasilitas telah disediakan oleh Pemerintah maupun pemerintah<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-23


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

daerah dalam rangka menarik para investor untuk lebih banyak menanamkan modalnya<br />

dan hal tersebut juga sudah didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008<br />

tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di<br />

Daerah.<br />

Salah satu upaya mempermudah investor adalah ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor<br />

27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal dimana<br />

daerah berkoordinasi dengan BKPM membentuk unit tersendiri yang tugas utamanya<br />

menyediakan kemudahan perizinan bagi investor. Upaya lain yang dilakukan diantaranya<br />

adalah (1) meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang memadai, baik kualitas maupun<br />

kuantitas, (2) adanya kepastian hukum, (3) jaminan keamanan, (4) kondisi persaingan<br />

usaha yang sehat, dan (5) transparansi kebijakan pemerintah daerah. Belum seluruh<br />

pemerintah daerah secara optimal melaksanakan upaya-upaya tersebut, hal ini dikarenakan<br />

terjadinya krisis ekonomi dunia yang berpengaruh pada minat investor asing berinvestasi di<br />

Indonesia, akan tetapi di lain pihak data pertumbuhan investasi di beberapa daerah<br />

menunjukkan kecenderungan peningkatan investasi khususnya untuk PMDN.<br />

Berdasarkan data BKPM, pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang relatif signifikan pada<br />

PMDN, tetapi terjadi penurunan pada PMA. Kegiatan investasi secara umum masih<br />

terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Hal ini terutama disebabkan oleh kurang<br />

memadainya infrastruktur di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Perkembangan realisasi<br />

investasi di Indonesia tahun 2006–2009 dapat dilihat dalam Tabel V.13.<br />

TABEL V.13<br />

PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA<br />

TAHUN 2006 – 2009<br />

Provinsi<br />

PMA (Juta US$)<br />

PMDN (Rp. Miliar)<br />

2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009<br />

SUMATERA 898,2 1.398,5 1.009,9 776,2 4.504,9 10.754,5 4.840,1 7.819,6<br />

JAWA 4.416,4 8.503,5 13.566,8 9.370,6 13.030,8 18.668,9 12.230,7 25.766,5<br />

BALI DAN NUSA TENGGARA 106,2 56,7 95,5 233,8 104,9 15,7 29,0 50,8<br />

KALIMANTAN 534,8 300,6 115,2 284,4 2.536,1 1.558,0 1.821,4 2.934,4<br />

SULAWESI 15,5 79,6 65,4 141,6 68,6 3.881,6 1.147,5 1.187,4<br />

MALUKU 20,0 - - 5,9 0,2 - - -<br />

PAPUA 0,6 2,5 18,7 2,8 403,5 - 294,7 41,0<br />

JUMLAH 5.991,7 10.341,4 14.871,4 10.815,2 20.649,0 34.878,7 20.363,4 37.799,8<br />

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)<br />

Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, besarnya peningkatan jumlah investasi yang<br />

terealisasi tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 yang<br />

turun sebesar 1.46 persen. Hal ini wajar terjadi karena investasi yang ditanamkan pada<br />

tahun 2009 belum menimbulkan efek pada peningkatan PDRB. Oleh karena itu, perlu dilihat<br />

dari indikator lain untuk mengetahui besarnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah<br />

satu indikator yang terkait langsung dengan investasi dan pembangunan ekonomi adalah<br />

rendahnya tingkat pengangguran.<br />

Secara nasional, tingkat pengangguran senantiasa menunjukkan penurunan, yaitu turun<br />

dari 11,2 persen di tahun 2005 dan berturut-turut turun menjadi 10,3 persen di tahun 2006,<br />

9,1 persen di tahun 2007, 8,4 persen di tahun 2008, dan turun lagi menjadi 7,87 persen di<br />

tahun 2009. Tingkat pengangguran di Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta, Banten, Jawa<br />

Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan Sulawesi Utara relatif lebih tinggi dibandingkan<br />

kawasan lain, yaitu mencapai lebih dari 10 persen pada tahun 2008 dan 2009. Perkembangan<br />

tingkat pengangguran per provinsi dari tahun 2008–2009 dapat dilihat dalam Grafik V.11.<br />

V-24 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

16<br />

GRAFIK V.11<br />

TINGKAT PENGANGGURAN PER PROVINSI<br />

TAHUN 2008 – 2009<br />

14<br />

2008 2009<br />

12<br />

Tingkat Pengangguran (%)<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

BALI<br />

NTT<br />

PAPUA<br />

SULBAR<br />

KALTENG<br />

SULTRA<br />

BENGKULU<br />

JATIM<br />

SULTENG<br />

KALBAR<br />

JAMBI<br />

GORONTALO<br />

DIY<br />

BABEL<br />

NTB<br />

KALSEL<br />

LAMPUNG<br />

MALUT<br />

JATENG<br />

PAPUA BARAT<br />

SUMSEL<br />

SUMBAR<br />

KEP. RIAU<br />

SUMUT<br />

RIAU<br />

NAD<br />

SULSEL<br />

SULUT<br />

MALUKU<br />

KALTIM<br />

JABAR<br />

JAKARTA<br />

BANTEN<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Bergeraknya roda perekonomian dan banyaknya tenaga kerja yang terserap dalam industri<br />

yang didanai dari investasi dalam dan luar negeri seharusnya bisa menimbulkan dampak<br />

pada indikator tingkat kemiskinan, secara nasional juga terjadi penurunan yang relatif<br />

signifikan. Apabila dibandingkan dengan tahun 2006, maka pada tahun 2009 sebagian besar<br />

daerah di Indonesia menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin. Pada tahun<br />

2006, persentase penduduk miskin mencapai 17,75 persen dan turun menjadi 14,15 persen<br />

pada tahun 2009. Berbeda dengan indikator tingkat pengangguran, untuk indikator tingkat<br />

kemiskinan, DKI Jakarta, Banten, dan Jabar justru menunjukkan tingkat kemiskinan yang<br />

rendah, bahkan tingkat kemiskinan DKI Jakarta adalah yang terendah. Sebagaimana terlihat<br />

pada Grafik V.12, daerah yang tingkat kemiskinannya tertinggi adalah Papua dan Papua<br />

Barat yang mencapai lebih dari 35 persen di tahun 2008 maupun 2009, diikuti dengan<br />

Provinsi Maluku dan NTT.<br />

Untuk mengetahui keberhasilan pembangunan ekonomi dalam pemerataan pembangunan<br />

antardaerah maka dapat digunakan indikator pemerataan, yang salah satunya dapat dilihat<br />

melalui Indeks Williamson. Berdasarkan angka Indeks Williamson tahun 2006–2009 terlihat<br />

bahwa tingkat pemerataan aktivitas perekonomian yang tercermin dari nilai PDRB<br />

antarprovinsi (tidak termasuk Provinsi DKI Jakarta) masih belum terlalu baik, tetapi<br />

perkembangannya menunjukkan ke arah<br />

kondisi yang lebih baik. Pada Tabel V.14,<br />

dapat dilihat bahwa pada tahun 2006<br />

Indeks Williamson untuk aktivitas<br />

perekonomian sebesar 0,59, turun<br />

menjadi 0,47 pada tahun 2009.<br />

Penurunan Indeks Williamson tersebut<br />

menunjukkan bahwa perkembangan<br />

aktivitas perekonomian antarprovinsi<br />

menjadi semakin berimbang.<br />

TABEL V.14<br />

INDEKS WILLIAMSON UNTUK PDRB,<br />

TAHUN 2006 – 2009<br />

2006 2007 2008 2009<br />

Indonesia 0,59 0,49 0,48 0,47<br />

Sumatera 0,55 0,52 0,52 0,51<br />

Jawa 0,17 0,17 0,17 0,17<br />

Bali dan Nusa Tenggara 0,41 0,42 0,43 0,43<br />

Kalimantan 0,85 0,82 0,82 0,80<br />

Sulawesi 0,19 0,20 0,19 0,19<br />

Maluku dan Papua 0,57 0,52 0,50 0,53<br />

Sumber : Badan Pusat Statistik<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-25


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

yaitu sebesar 2,37 persen dan Nanggroe Aceh Darussalam yang menurun hingga 1,75 persen.<br />

Kedua, peningkatan transfer diiringi juga dengan pengurangan tingkat pengangguran,<br />

namun tidak semua daerah mengalami penurunan. Terdapat 20 daerah mengalami<br />

penurunan tingkat pengangguran. Penurunan tingkat pengangguran tertinggi terjadi di Jawa<br />

Timur dan Jawa Barat yang mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,34 persen<br />

dan 1,12 persen.<br />

Dari Tabel V.15 juga dapat dilihat bahwa pendapatan APBD per kapita yang tinggi terdapat<br />

di daerah Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Timur. Pendapatan APBD per kapita di<br />

Papua bahkan mencapai lebih dari 10 kali lipat pendapatan APBD per kapita di Jawa Timur.<br />

Tingginya pendapatan APBD per kapita diharapkan dapat mempercepat pembangunan di<br />

wilayah tersebut, terutama untuk mendanai investasi awal di bidang infrastruktur.<br />

Selanjutnya, hal yang perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah dan pemerintah daerah<br />

adalah upaya untuk menyelaraskan pola alokasi dana ke daerah dengan target pertumbuhan<br />

ekonomi dan target kesejahteraan masyarakat.<br />

5.3 <strong>Kebijakan</strong> <strong>Anggaran</strong> ke Daerah Tahun 2011<br />

5.3.1 <strong>Kebijakan</strong> <strong>Anggaran</strong> Transfer ke Daerah<br />

Berdasarkan peraturan perundang-undangan serta mengacu pada hasil pembahasan antara<br />

DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan APBN tahun<br />

2011, kebijakan anggaran transfer ke daerah pada tahun 2011 akan diarahkan untuk<br />

(1) meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat<br />

dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance);<br />

(2) menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sejalan dengan pembagian urusan<br />

pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; (3) meningkatkan kualitas<br />

pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah;<br />

(4) mendukung kesinambungan fiskal nasional (fiscal sustainability) dalam rangka kebijakan<br />

ekonomi makro; (5) meningkatkan daya saing daerah; (6) meningkatkan kemampuan<br />

daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah; (7) meningkatkan efisiensi pemanfaatan<br />

sumber daya nasional; dan (8) meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan<br />

nasional dengan rencana pembangunan daerah.<br />

Sementara itu, sejalan dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam<br />

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun <strong>Anggaran</strong> 2009, terutama yang terkait<br />

dengan Bagian <strong>Anggaran</strong> Transfer ke Daerah mengenai konsistensi penggunaan akun<br />

transfer, dalam tahun 2011 akan dilakukan beberapa kebijakan, diantaranya yaitu adanya<br />

reklasifikasi anggaran sesuai dengan jenis transfer dan tujuan pembentukan akun transfer.<br />

Hal ini ditujukan juga untuk menjaga momentum atas penilaian BPK terhadap pelaksanaan<br />

<strong>Anggaran</strong> Transfer ke Daerah Tahun 2009 berupa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)<br />

dari tahun sebelumnya dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). <strong>Kebijakan</strong><br />

reklasifikasi anggaran akan dimulai dengan penguatan konsep Dana Penyesuaian, yang<br />

meliputi definisi, tujuan, dan ruang lingkup. Selanjutnya, juga akan dilakukan pengelompokan<br />

jenis transfer yang sejenis/serumpun sesuai dengan kejadian saat transaksi, sehingga<br />

memudahkan dalam pencatatan dan pelaporannya.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-27


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Guna mendukung arah kebijakan transfer ke daerah tersebut, dalam RAPBN 2011 alokasi<br />

anggaran Transfer ke Daerah direncanakan sebesar Rp378,4 triliun, atau 5,4 persen terhadap<br />

PDB. Secara nominal, jumlah tersebut berarti mengalami kenaikan Rp33,8 triliun, atau 9,8<br />

persen dari alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp344,6<br />

triliun. Kenaikan anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN 2011 tersebut selain disebabkan<br />

adanya kenaikan Dana Perimbangan, juga disebabkan oleh adanya peningkatan Dana Otsus<br />

dan Penyesuaian terutama adanya komponen baru pada pos Dana Penyesuaian, yaitu<br />

bantuan operasional sekolah (BOS) yang merupakan realokasi dari Belanja Pemerintah<br />

Pusat ke Transfer ke Daerah. Dari jumlah alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam RAPBN<br />

2011 tersebut, sekitar 87,0 persen merupakan alokasi Dana Perimbangan, dan sisanya sekitar<br />

13,0 persen merupakan alokasi Dana Otsus dan Penyesuaian.<br />

5.3.1.1 <strong>Kebijakan</strong> Dana Perimbangan<br />

Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Perimbangan direncanakan sebesar Rp329,1 triliun, atau<br />

4,7 persen terhadap PDB. Secara nominal, jumlah tersebut berarti mengalami peningkatan<br />

sebesar Rp14,7 triliun, atau 4,7 persen dari alokasi Dana Perimbangan dalam APBN-P tahun<br />

2010 sebesar Rp314,4 triliun. Dari jumlah alokasi Dana Perimbangan tersebut, sebesar 24,9<br />

persen merupakan DBH, sebesar 67,4 persen merupakan DAU, dan sebesar 7,7 persen<br />

merupakan DAK.<br />

5.3.1.1.1 Dana Bagi Hasil (DBH)<br />

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada daerah<br />

berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka<br />

pelaksanaan desentralisasi. <strong>Kebijakan</strong> pelaksanaan alokasi DBH tahun 2011 mengacu kepada<br />

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan<br />

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 2006<br />

tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor<br />

1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus<br />

bagi Provinsi Papua menjadi Undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang<br />

Perubahan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang<br />

Dana Perimbangan.<br />

Sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari daerah dibagi antara Pemerintah<br />

dan daerah dengan prinsip by origin, dengan proporsi yang lebih besar bagi daerah penghasil,<br />

serta memperhitungkan porsi pemerataan di wilayah provinsi yang bersangkutan.<br />

Berdasarkan jenis penerimaannya, DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya<br />

Alam (SDA). Adapun mekanisme penetapan dan penyaluran DBH ke tiap-tiap daerah yang<br />

berhak menerima diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam tahun 2011,<br />

arah kebijakan DBH diarahkan untuk: (1) lebih meningkatkan akurasi data melalui koordinasi<br />

dengan institusi pengelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP); (2) menyempurnakan<br />

proses penghitungan dan penetapan alokasi DBH secara lebih transparan dan akuntabel;<br />

(3) menyempurnakan sistem penyaluran DBH tepat waktu dan tepat jumlah; dan<br />

(4) penyelesaian kurang bayar DBH SDA dan DBH Pajak. Dari arah kebijakan tersebut,<br />

diharapkan penyelesaian dokumen transfer yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan<br />

penyaluran DBH ke daerah dapat dipercepat, sehingga akuntabilitas dan efektifitas<br />

penggunaannya dapat dilaksanakan dengan baik.<br />

V-28 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Dalam RAPBN 2011, alokasi DBH direncanakan mencapai Rp82,0 triliun, atau 1,4 persen<br />

terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp7,6 triliun atau 8,5<br />

persen dari alokasi DBH dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp89,6 triliun. Penurunan DBH<br />

dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya alokasi DBH Pajak karena<br />

adanya pengalihan BPHTB menjadi pajak kabupaten/kota, serta lebih rendahnya alokasi<br />

DBH SDA terutama karena menurunnya target penerimaan minyak bumi dan gas bumi<br />

yang dibagihasilkan. Alokasi DBH tahun 2011 tersebut terdiri dari alokasi DBH Pajak sebesar<br />

49,4 persen dan alokasi DBH SDA sebesar 50,6 persen.<br />

DBH Pajak<br />

DBH Pajak terdiri atas 4 jenis yaitu DBH dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan PPh<br />

Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan<br />

Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Cukai Hasil<br />

Tembakau (CHT). Dengan diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak<br />

Daerah dan Retribusi Daerah, dalam tahun anggaran 2011, BPHTB tidak lagi termasuk<br />

dalam DBH, karena jenis pajak ini telah dialihkan menjadi Pajak Daerah. Selain itu, sebagian<br />

objek PBB, yaitu sektor perdesaan dan perkotaan mulai tahun 2014 juga akan dialihkan<br />

menjadi Pajak Daerah.<br />

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004, serta Pasal 8 PP Nomor 55<br />

Tahun 2005, DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN, yang merupakan bagian<br />

daerah adalah sebesar 20 persen. DBH dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29<br />

WPOPDN yang diserahkan kepada daerah tersebut, dibagi dengan imbangan sebesar 12<br />

persen untuk kabupaten/kota dan 8 persen untuk provinsi. Bagian kabupaten/kota tersebut,<br />

dibagi 8,4 persen untuk daerah penghasil dan 3,6 persen dibagi secara merata untuk seluruh<br />

kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Daerah penghasil ditentukan berdasarkan<br />

tempat wajib pajak terdaftar.<br />

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 33 Tahun 2004 serta<br />

Pasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah atas PBB ditetapkan sebesar<br />

90 persen dengan rincian 64,8 persen untuk kabupaten/kota, 16,2 persen untuk provinsi,<br />

dan 9 persen untuk Biaya Pemungutan (BP), sedangkan sisanya sebesar 10 persen merupakan<br />

bagian Pemerintah Pusat. Biaya Pemungutan sebesar 9 persen tersebut dibagi antara pusat,<br />

provinsi dan kabupaten/kota dengan persentase yang berbeda-beda untuk setiap sektor PBB.<br />

Bagian Pusat sebesar 10 persen tersebut dibagi lagi ke daerah secara merata sebesar 6,5<br />

persen dan sebagai insentif sebesar 3,5 persen. Berdasarkan rencana penerimaan PBB yang<br />

ditetapkan dalam APBN, DBH PBB untuk masing-masing daerah ditetapkan dengan<br />

Peraturan Menteri Keuangan.<br />

Selanjutnya, Sesuai ketentuan Pasal 66A UU Nomor 39 Tahun 2007 dan Keputusan<br />

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 54/PUU-VI/2008 tanggal 14 April 2009,<br />

DBH CHT dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau dan provinsi penghasil<br />

tembakau sebesar 2 persen dari penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. Penerimaan<br />

DBH CHT tersebut dibagi kepada Kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut, dengan<br />

imbangan 30 persen untuk provinsi dan 70 persen untuk kabupaten/kota. Bagian kabupaten/<br />

kota, dibagi dengan imbangan 40 persen untuk kabupaten/kota penghasil dan 30 persen<br />

untuk kabupaten/kota lainnya.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-29


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Berbeda dengan DBH Pajak yang bersifat block grant, DBH CHT bersifat specific grant,<br />

yang berarti penggunaannya ditetapkan untuk membiayai pengeluaran tertentu. DBH CHT<br />

tersebut digunakan untuk mendanai: (1) peningkatan kualitas bahan baku; (2) pembinaan<br />

industri; (3) pembinaan lingkungan sosial; (4) sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/<br />

atau (5) pemberantasan barang kena cukai ilegal.<br />

Berdasarkan pada rencana penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan, dan memperhatikan<br />

ketentuan-ketentuan mengenai DBH Pajak yang berlaku, maka alokasi DBH Pajak dalam<br />

RAPBN 2011 direncanakan mencapai Rp40,5 triliun, atau 0,6 persen terhadap PDB. Jumlah<br />

tersebut berarti secara nominal lebih rendah Rp4,0 triliun, atau 9,0 persen dari DBH Pajak<br />

dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp44,5 triliun. Lebih rendahnya alokasi DBH Pajak<br />

dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh adanya pengalihkan BPHTB menjadi pajak<br />

kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak<br />

Daerah dan Retribusi Daerah.<br />

Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut telah memperhitungkan kurang bayar DBH<br />

PPh tahun 2009 sebesar Rp2,5 miliar dan kurang bayar DBH PBB tahun 2009 sebesar<br />

Rp16,5 miliar. Alokasi DBH Pajak dalam RAPBN 2011 tersebut, terdiri atas: (i) DBH PPh<br />

sebesar Rp13,1 triliun, atau lebih rendah Rp43,7 miliar (0,3 persen) dari DBH PPh dalam<br />

APBN-P tahun 2010 sebesar Rp13,2 triliun; (ii) DBH PBB sebesar Rp26,2 triliun, atau lebih<br />

tinggi Rp3,2 triliun (13,7 persen) dari DBH PBB dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp23,1<br />

triliun; dan (iii) DBH Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp1,2 triliun, atau lebih tinggi Rp43,8<br />

miliar (3,9 persen) dari DBH Cukai Hasil Tembakau dalam APBN-P tahun 2010 sebesar<br />

Rp1,1 triliun.<br />

DBH Sumber Daya Alam (SDA)<br />

DBH SDA, terdiri dari SDA pertambangan minyak bumi, SDA pertambangan gas bumi,<br />

SDA kehutanan, SDA pertambangan umum, SDA perikanan, dan SDA panas bumi. Sesuai<br />

dengan ketentuan Pasal 14 huruf e dan huruf f, dan Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 33 Tahun<br />

2004, mulai tahun 2009 alokasi untuk daerah dari bagi hasil minyak bumi dan gas bumi<br />

ditetapkan masing-masing 15,5 persen dan 30,5 persen dari penerimaannya setelah dikurangi<br />

komponen pajak dan pungutan lainnya. Porsi sebesar 0,5 persen dari DBH SDA Migas tersebut<br />

diarahkan sebagai tambahan anggaran pendidikan dasar, kecuali bagi daerah provinsi dan<br />

kabupaten/kota berdasarkan undang-undang otonomi khusus telah diatur tersendiri.<br />

Dalam rangka melaksanakan amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah<br />

dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 11<br />

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam RAPBN 2011 dialokasikan tambahan DBH<br />

SDA Migas untuk Propinsi Papua Barat dan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).<br />

Adapun rincian tambahan tersebut adalah minyak bumi sebesar 55 persen dan gas bumi<br />

sebesar 40 persen, sehingga proporsi migas untuk ketiga daerah tersebut masing-masing<br />

menjadi sebesar 70 persen.<br />

UU Nomor 33 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa realisasi penyaluran DBH yang berasal<br />

dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130 persen dari asumsi dasar harga<br />

minyak bumi dan gas bumi yang telah ditetapkan dalam APBN tahun berjalan, yang berlaku<br />

mulai tahun 2009. Selanjutnya, dalam hal bagi hasil minyak dan gas bumi melebihi 130<br />

persen dari asumsi APBN, maka selisih kelebihan dimaksud akan dihitung dengan pendekatan<br />

kesenjangan fiskal (Fiscal Gap) dalam formula DAU dan disalurkan melalui mekanisme<br />

APBN Perubahan.<br />

V-30 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Memenuhi amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian<br />

daerah dari SDA Pertambangan Umum, Kehutanan, Panas Bumi, serta Perikanan ditetapkan<br />

sebesar 80 persen dari penerimaannya. DBH SDA Pertambangan Umum berupa royalti dan<br />

landrent, bersumber dari kegiatan: (1) Kontrak Karya (KK); (2) Perjanjian Karya<br />

Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B); dan (3) Kuasa Pertambangan (KP).<br />

Penetapan alokasi DBH SDA dimulai dengan perkiraan alokasi yang dihitung berdasarkan<br />

rencana penerimaan yang dimuat dalam UU APBN. Dalam rangka pelaksanaan penyaluran<br />

ke daerah, perhitungannya dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran<br />

berjalan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antarinstansi pusat terkait<br />

dan antara pusat dengan daerah penghasil.<br />

Sejalan dengan penerimaan yang berasal dari SDA minyak bumi dan gas bumi, SDA<br />

pertambangan umum, SDA kehutanan, SDA Panas Bumi, dan SDA perikanan, serta dengan<br />

memperhatikan ketentuan pembagian DBH SDA tersebut, maka dalam RAPBN 2011, alokasi<br />

DBH SDA direncanakan sebesar Rp41,5 triliun, atau lebih rendah Rp3,6 triliun atau 8,0<br />

persen dari realisasi DBH SDA dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp45,1 triliun. Lebih<br />

rendahnya alokasi DBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya<br />

target penerimaan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan. Secara rinci, alokasi<br />

DBH SDA dalam RAPBN 2011 tersebut terdiri atas DBH SDA minyak bumi sebesar Rp16,7<br />

triliun, DBH SDA gas bumi sebesar Rp12,7 triliun, DBH SDA pertambangan umum sebesar<br />

Rp8,3 triliun, DBH SDA kehutanan sebesar Rp1,4 triliun, DBH SDA perikanan sebesar Rp83,7<br />

miliar, DBH SDA panas bumi sebesar Rp351,0 miliar, serta kurang bayar DBH SDA sebesar<br />

Rp2,5 triliun, dengan rincian kurang bayar DBH SDA migas tahun 2008 sebesar Rp2,0<br />

triliun, kurang bayar DBH SDA pertambangan umum tahun 2007–2009 sebesar Rp0,4<br />

triliun, kurang bayar DBH SDA perikanan tahun 2009 sebesar Rp3,7 miliar, dan DBH SDA<br />

pertambangan panas bumi tahun 2006–2008 sebesar Rp66,1 miliar.<br />

5.3.1.1.2 Dana Alokasi Umum (DAU)<br />

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan<br />

pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam<br />

rangka pelaksanaan desentralisasi. Besaran DAU Nasional sangat tergantung dari besaran<br />

Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto dalam APBN.<br />

Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004, PDN neto adalah penerimaan negara yang berasal dari<br />

pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan<br />

kepada daerah. Selanjutnya jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang kurangnya 26<br />

persen dari PDN neto yang ditetapkan dalam APBN.<br />

Pada APBN tahun 2007 dan 2008, PDN neto merupakan hasil pengurangan antara<br />

pendapatan dalam negeri yang merupakan hasil penjumlahan antara penerimaan perpajakan<br />

dan penerimaan negara bukan pajak, dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada<br />

daerah yaitu DBH, serta belanja yang sifatnya earmarked (penggunaannya diarahkan) dan<br />

anggaran yang sifatnya in-out (pencatatan anggaran dengan jumlah yang sama pada<br />

penerimaan dan belanja). Pada tahun 2009, dalam rangka sharing the pain beban APBN<br />

dan dengan mempertimbangkan bahwa sebagian subsidi juga diperuntukkan bagi daerah,<br />

PDN neto juga memperhitungkan antara lain besaran subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi<br />

pupuk, dan subsidi pangan sebagai faktor pengurang. Untuk 2010, kebijakan PDN Neto<br />

masih dipertimbangkan dengan tetap menjaga peningkatan secara riil alokasi DAU setiap<br />

tahun. Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, maka mulai tahun 2008 terdapat<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-31


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

perubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU, yaitu perhitungan alokasi<br />

DAU didasarkan pada formula murni. Dalam APBN 2008, kebijakan tersebut belum dapat<br />

dilaksanakan secara murni, tetapi mulai APBN 2009, kebijakan tersebut telah dilaksanakan,<br />

dan tetap dilanjutkan pada APBN 2010. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka<br />

dalam tahun 2011 akan dihasilkan alternatif alokasi DAU kepada daerah sebesar nol (tidak<br />

mendapatkan DAU), lebih kecil, sama dengan, atau lebih besar dari DAU tahun 2010.<br />

Selanjutnya, besaran DAU yang didistribusikan kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam<br />

RAPBN 2011, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya akan dibagikan kepada setiap provinsi<br />

dan kabupaten/kota dengan mengacu kepada formula yang telah ditetapkan dalam UU<br />

Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005. DAU yang akan didistribusikan<br />

untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota dihitung berdasarkan pada: (1) alokasi dasar,<br />

yang dihitung atas dasar jumlah gaji PNSD, antara lain meliputi gaji pokok ditambah dengan<br />

tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai<br />

negeri sipil; dan (2) celah fiskal, yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.<br />

Kebutuhan fiskal tercermin dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan<br />

konstruksi, indeks pembangunan manusia, dan PDRB per kapita, sedangkan kapasitas fiskal<br />

diwakili oleh variabel PAD, DBH Pajak, dan DBH SDA tidak termasuk DBH SDA Dana<br />

Reboisasi.<br />

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan pemerataan alokasi dana antardaerah, dan<br />

mengatasi kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah, maka akan terus dilakukan<br />

langkah-langkah untuk meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU, yang meliputi<br />

variabel kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, serta data alokasi dasar. Untuk mengukur<br />

tingkat ekualisasi terbaik antardaerah, digunakan indikator Williamson Index (WI) dan<br />

Coefficient of Variation (CV) yang merupakan parameter standar pengukuran tingkat<br />

pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Hal ini berarti bahwa semakin kecil angka<br />

indikator CV dan WI, maka tingkat variasi atau kesenjangan fiskal antardaerah semakin<br />

kecil dan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah akan semakin baik.<br />

Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan fungsi DAU sebagai alat untuk meminimalkan<br />

kesenjangan fiskal antardaerah, diformulasikan analisis terhadap tingkat kesenjangan fiskal<br />

antardaerah melalui penentuan proporsi komponen DAU, yang salah satunya, dapat<br />

ditempuh dengan mengurangi proporsi AD dibandingkan dengan CF. Semakin kecil peran<br />

AD dalam formula DAU, maka semakin besar peran formula berdasarkan CF yang memiliki<br />

fleksibilitas dalam mengoreksi kesenjangan fiskal antardaerah. Adanya penguatan peran<br />

CF dalam formula DAU dengan membatasi AD, dapat menghasilkan tingkat pemerataan<br />

yang lebih baik dengan penggunaan tolok ukur kesenjangan fiskal melalui indikator ekualisasi.<br />

Untuk menyempurnakan tingkat ekualisasi antardaerah, penerapan formula DAU<br />

memungkinkan daerah memperoleh DAU lebih kecil daripada DAU yang diterimanya pada<br />

tahun sebelumnya, karena daerah tersebut mengalami peningkatan kapasitas fiskal secara<br />

signifikan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar DAU sebagai equalizing grant, agar<br />

penerimaan DAU secara proporsional dapat seimbang dengan penerimaan DBH dan PAD<br />

yang merupakan tolok ukur kemampuan keuangan suatu daerah. Konsekuensi penerapan<br />

formula DAU bagi daerah yang memiliki potensi penerimaan daerah yang relatif tinggi<br />

adalah kemungkinan penurunan dalam penerimaan DAU, sehingga distribusi alokasi DAU<br />

dari segi pemerataaan keuangan akan memberikan manfaat bagi daerah marjinal/miskin<br />

lainnya (pro-poor). <strong>Kebijakan</strong> non-hold harmless tersebut sejalan dengan tujuan untuk<br />

memperkecil ketimpangan fiskal antardaerah.<br />

V-32 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Untuk mendukung pelaksanaan atas formula DAU tersebut dalam RAPBN 2011, DAU akan<br />

tetap diarahkan untuk: (1) mendukung fungsi DAU sebagai alat pemerataan kemampuan<br />

keuangan antardaerah; (2) meningkatkan akurasi data dasar perhitungan DAU yang<br />

bersumber dari lembaga/instansi yang berwenang; (3) Alokasi Dasar memperhitungkan<br />

kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kenaikan gaji pokok, formasi CPNSD, dan kebijakankebijakan<br />

lainnya yang terkait dengan penggajian; (4) proporsi DAU sebesar 10 persen untuk<br />

semua provinsi dan 90 persen untuk semua kabupaten/kota dari besaran DAU nasional;<br />

(5) tetap melanjutkan penerapan kebijakan non-hold harmless; (6) DAU untuk daerah<br />

otonom baru hasil pemekaran tahun 2008, penghitungannya dilakukan secara proporsional<br />

antara daerah induk dan daerah anak berdasarkan data luas wilayah, jumlah penduduk,<br />

dan jumlah PNSD; dan (7) DAU untuk 14 daerah pemekaran baru yang pada tahun 2010<br />

dihitung secara proporsional, dalam RAPBN 2011 akan dihitung secara mandiri.<br />

Berdasarkan arah kebijakan tersebut, serta target pendapatan dalam negeri dalam RAPBN<br />

2011 sebesar Rp1.082,6 triliun, dikurangi dengan rencana penerimaan negara yang<br />

dibagihasilkan kepada daerah berupa DBH sebesar Rp79,5 triliun (tidak termasuk kurang<br />

bayar DBH sebesar Rp2,5 triliun), rencana PNBP yang akan digunakan kembali oleh<br />

kementerian/lembaga penghasil PNBP sebesar Rp27,4 triliun, subsidi pajak sebesar Rp14,8<br />

triliun, dan bagian 65 persen dari beberapa subsidi lainnya, yaitu subsidi listrik sebesar Rp41,0<br />

triliun, subsidi BBM sebesar Rp92,8 triliun, subsidi pupuk sebesar Rp16,4 triliun, subsidi<br />

pangan sebesar Rp15,3 triliun, dan subsidi benih sebesar Rp120,3 miliar, sehingga beberapa<br />

subsidi lainnya tersebut yang diperhitungkan dalam penetapan PDN neto adalah sebesar<br />

Rp107,6 triliun, maka besaran PDN neto dalam RAPBN 2011 adalah sebesar Rp853,4 triliun.<br />

Selanjutnya, dengan memperhatikan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004 dan mengacu<br />

pada hasil pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Tingkat<br />

I/Pembahasan RUU tentang APBN Tahun <strong>Anggaran</strong> 2011, maka besaran alokasi DAU dalam<br />

RAPBN 2011 direncanakan sebesar 26 persen dari PDN neto, atau mencapai Rp221,9 triliun<br />

(3,2 persen terhadap PDB). Jumlah tersebut, secara nominal lebih tinggi Rp29,4 triliun jika<br />

dibandingkan dengan alokasi DAU murni dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp192,5 triliun.<br />

Alokasi DAU dalam RAPBN 2011 tersebut, sebesar Rp22,2 triliun (10 persen dari total DAU<br />

nasional) akan didistribusikan untuk provinsi dan sebesar Rp199,7 triliun (90 persen dari<br />

total DAU nasional) akan didistribusikan kepada kabupaten/kota. Alokasi DAU tahun 2011<br />

akan ditransfer ke kas daerah setiap awal bulan sebesar 1/12 dari besaran alokasi.<br />

Alokasi DAU yang didistribusikan<br />

kepada kabupaten/kota tersebut,<br />

telah memperhitungkan alokasi DAU<br />

daerah pemekaran. Pada tahun 2010<br />

telah dialokasikan DAU untuk 14<br />

daerah pemekaran yang<br />

pembentukannya telah ditetapkan<br />

dengan undang-undang dalam<br />

rentang waktu bulan September<br />

2008 sampai dengan bulan februari<br />

2009 (Tabel V.16). Perhitungan<br />

DAU ke-14 daerah pemekaran<br />

tersebut pada APBN 2010 belum<br />

berdasarkan basis data yang<br />

TABEL V.16<br />

DAERAH PEMEKARAN YANG AKAN MENDAPAT DAU 2011<br />

DENGAN PERHITUNGAN BERDASARKAN BASIS DATA SECARA MANDIRI<br />

No Daerah Pemekaran Daerah Induk Provinsi<br />

1 Kota Tangerang Selatan Kab. Tangerang Banten<br />

2 Kab Tambrauw Kab. Sorong Papua Barat<br />

3 Kab Maybrat Kab. Sorong Papua Barat<br />

4 Kab Pulau Morotai Kab.Halmahera Utara Maluku Utara<br />

5 Kab Intan Jaya Kab. Paniai Papua<br />

6 Kab Deiyai Kab. Paniai Papua<br />

7 Kab Sabu Raijua Kab. Kupang NTT<br />

8 Kab Pringsewu Kab. Tanggamus Lampung<br />

9 Kota Gunung Sitoli Kab. Nias Sumut<br />

10 Kab Nias Utara Kab. Nias Sumut<br />

11 Kab Nias Barat Kab. Nias Sumut<br />

12 Kab Tulang Bawang Barat Kab. Tulang Bawang Lampung<br />

13 Kab Mesuji Kab. Tulang Bawang Lampung<br />

14 Kab Meranti Kab. Bengkalis Riau<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-33


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

mandiri, melainkan masih menggunakan data sebelum pemekaran, yang kemudian<br />

diperhitungkan secara proporsional berdasarkan data penduduk, data luas wilayah, dan<br />

jumlah PNSD dari daerah induk dan daerah pemekaran. Pada tahun 2011, daerah pemekaran<br />

tersebut akan mendapatkan DAU dengan perhitungan sesuai dengan basis data perhitungan<br />

secara mandiri.<br />

5.3.1.1.3 Dana Alokasi Khusus (DAK)<br />

DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu<br />

untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai<br />

dengan prioritas nasional. Sementara itu, DAK dimaksudkan untuk membantu daerah<br />

tertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat<br />

dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran<br />

prioritas nasional.<br />

Arah kebijakan umum DAK tahun 2011 ditujukan untuk:<br />

(1) mendukung program yang menjadi prioritas nasional sesuai kerangka pengeluaran<br />

jangka menengah (medium term expenditure framework) dan penganggaran berbasis<br />

kinerja (performance based budgeting);<br />

(2) membantu daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah dalam<br />

membiayai pelayanan publik sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam rangka<br />

pemerataan pelayanan dasar publik; dan<br />

(3) meningkatkan penyediaan data-data teknis, koordinasi pengelolaan DAK secara utuh<br />

dan terpadu di pusat dan daerah, sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan lain yang<br />

didanai APBN dan APBD, serta meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan<br />

kegiatan DAK di daerah.<br />

Berdasarkan identifikasi kebutuhan DAK untuk mendukung pencapaian prioritas nasional<br />

2011, serta dengan memperhatikan kebijakan DAK dalam RPJMN 2010-2014 dan RKP 2011,<br />

maka bidang yang direncanakan untuk didanai dari DAK Tahun 2011 adalah sebagai berikut:<br />

(1) Pendidikan; (2) Kesehatan; (3) Keluarga Berencana; (4) Infrastruktur Jalan; (5)<br />

Infrastruktur Irigasi; (6) Infrastruktur Air Minum; (7) Infrastruktur Sanitasi; (8) Prasarana<br />

Pemerintahan Daerah; (9) Kelautan dan Perikanan; (10) Pertanian; (11) Lingkungan Hidup;<br />

(12) Kehutanan; (13) Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal; (14) Sarana Perdagangan;<br />

(15) Transportasi Perdesaan; (16) Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan; (17) Listrik<br />

Perdesaan; (18) Perumahan dan Permukiman; serta (19) Keselamatan Transportasi Darat.<br />

Sejalan dengan arah kebijakan umum DAK, kebijakan dan ruang lingkup kegiatan DAK<br />

untuk masing-masing bidang diarahkan antara lain untuk:<br />

1. Pendidikan, diarahkan untuk meningkatkan pelaksanaan Program Wajib Belajar<br />

Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, untuk memastikan semua anak Indonesia dapat<br />

mengikuti pendidikan dasar yang bermutu, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar<br />

melalui penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan yang lebih baik dan<br />

lengkap untuk memenuhi SPM, serta secara bertahap memenuhi Standar Nasional<br />

Pendidikan. Lingkup kegiatannya diprioritaskan untuk rehabilitasi ruang kelas SD/SDLB<br />

dan SMP/SMPLB yang rusak sedang dan berat.<br />

2. Kesehatan, diarahkan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan<br />

primer, sekunder, dan tersier dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu<br />

V-34 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

dan anak, perbaikan status gizi masyarakat, pengendalian penyakit, penyehatan<br />

lingkungan, melalui peningkatan sarana dan prasarana di Puskesmas dan jaringannya<br />

termasuk Poskesdes, rumah sakit dan laboratorium kesehatan provinsi/kabupaten/kota,<br />

serta penyediaan dan pengelolaan obat generik dan perbekalan kesehatan, terutama<br />

untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal,<br />

terpencil, perbatasan dan kepulauan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) Pelayanan<br />

Kesehatan Dasar, yang meliputi: (i) pembangunan, peningkatan, dan perbaikan<br />

Puskesmas dan jaringannya; (ii) pembangunan pos kesehatan desa; (iii) pengadaan<br />

peralatan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya;<br />

(iv) pengadaan peralatan promosi kesehatan; (b) Pelayanan Kesehatan Rujukan,<br />

meliputi: (i) peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III rumah sakit; (ii) pembangunan,<br />

perbaikan Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) dan peralatan Unit Transfusi Darah (UTD);<br />

(iii) pembangunan dan pengadaan peralatan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit<br />

(IGDRS); (iv) pembangunan dan pengadaan peralatan Pelayanan Obstetri dan Neonatal<br />

Emergensi Komprehensif Rumah Sakit (PONEK RS); (v) pemenuhan peralatan di<br />

laboratorium kesehatan daerah dan rumah sakit provinsi/kabupaten/kota; (vi) Instalasi<br />

Pengolahan Air Limbah (IPAL); dan (c) Pelayanan Kefarmasian, meliputi: (i)<br />

penyediaan obat generik dan perbekalan kesehatan; (ii) pembangunan dan perbaikan<br />

instalasi farmasi di provinsi/kabupaten/kota; dan (iii) pengadaan sarana pendukung<br />

instalasi farmasi di provinsi/kabupaten/kota.<br />

3. Keluarga Berencana, diarahkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang merupakan<br />

bagian dari program prioritas nasional yang telah menjadi urusan daerah dan tetap<br />

disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dalam rangka: (a) meningkatkan<br />

komitmen pemerintah daerah tentang pentingnya keluarga berencana; (b) membantu<br />

pemerintah daerah dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana fisik kepada<br />

masyarakat; (c) meneguhkan kembali pelaksanaan Program KB Nasional beserta sarana<br />

dan prasarana fisik pendukungnya dalam rangka pengendalian jumlah penduduk dan<br />

peningkatan kesejahteraan keluarga; (d) meningkatkan akses dan kualitas informasi<br />

dan pelayanan kontrasepsi, terutama bagi keluarga prasejahtera (Pra-KS) dan keluarga<br />

sejahtera I (KS-I); dan (e) menunjang percepatan pencapaian program KB di daerah<br />

dengan tingkat fertilitas yang masih tinggi, angka pemakaian kontrasepsi/contraceptive<br />

prevalence rate (CPR) yang masih rendah, serta proporsi keluarga prasejahtera dan<br />

keluarga sejahtera I yang masih besar. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan<br />

kendaraan bermotor roda dua dan sarana kerja bagi Penyuluh Keluarga Berencana<br />

(PKB)/Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB)/Pengawas Petugas Lapangan<br />

Keluarga Berencana (PPLKB); (b) penyediaan sarana pelayanan KB di klinik KB (statis)<br />

berupa Intra Uterine Device (IUD) kit/sterilisator, obgyn bed, dan implant kit; (c)<br />

pembangunan/renovasi balai penyuluhan KB kecamatan; (d) pembangunan gudang<br />

penyimpanan alokon di kab/kota; (e) penyediaan Laparascopy; (f) penyediaan Bina<br />

Keluarga Balita (BKB) kit; dan (g) penyediaan Mobil Unit Penerangan (MUPEN) KB,<br />

pengadaan public address, serta pengadaan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)<br />

kit.<br />

4. Infrastruktur Jalan, diarahkan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan<br />

fiskal rendah atau sedang dalam rangka mendanai kegiatan pemeliharaan berkala,<br />

peningkatan dan pembangunan jalan provinsi, jalan kabupaten/kota yang telah menjadi<br />

urusan daerah, mempertahankan dan meningkatkan tingkat pelayanan prasarana jalan<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-35


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

provinsi, kabupaten dan kota dalam rangka memperlancar distribusi penumpang, barang<br />

jasa, serta hasil produksi yang diprioritaskan untuk mendukung sektor pertanian,<br />

industri, dan pariwisata sehingga dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi regional,<br />

dan menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana jalan. Lingkup<br />

kegiatannya adalah: pemeliharaan berkala/periodik jalan dan jembatan provinsi/<br />

kabupaten/kota dan peningkatan prasana jalan dan jembatan provinsi/kabupaten/kota.<br />

5. Infrastruktur Irigasi, diarahkan untuk mempertahankan tingkat layanan,<br />

mengoptimalkan fungsi, dan membangun prasarana sistem irigasi, termasuk jaringan<br />

reklamasi rawa dan jaringan irigasi desa yang menjadi kewenangan kabupaten/kota<br />

dan provinsi khususnya daerah lumbung pangan nasional dalam rangka mendukung<br />

program prioritas pemerintah bidang ketahanan pangan. Lingkup kegiatannya adalah:<br />

peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi, sedangkan dana untuk<br />

Operasional dan Pemeliharaan (OP) jaringan irigasi dialokasikan dari APBD masingmasing<br />

pemerintah daerah penerima DAK bidang irigasi.<br />

6. Infrastruktur Air Minum, diarahkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air<br />

minum, meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, dan memenuhi SPM penyediaan<br />

air minum. Lingkup kegiatannya adalah pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum<br />

(SPAM) baru dan peningkatan SPAM untuk masyarakat berpenghasilan rendah.<br />

7. Infrastruktur Sanitasi, diarahkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan sanitasi<br />

(air limbah, persampahan, dan drainase), serta meningkatkan kualitas kesehatan<br />

masyarakat dan memenuhi SPM penyediaan sanitasi. Lingkup kegiatannya adalah:<br />

(a) pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal; (b) pengembangan<br />

fasilitas pengurangan sampah dengan pola 3R (reduce, reuse, dan recycle); dan (c)<br />

pengembangan prasarana dan sarana drainase mandiri yang berwawasan lingkungan,<br />

yang diutamakan bagi pengembangan prasarana dan sarana air limbah komunal. Jika<br />

daerah kabupaten/kota tersebut sudah bebas dari kondisi buang air besar sembarangan<br />

(BABS), maka kabupaten/kota dapat menggunakan alokasi DAK untuk membiayai<br />

pengembangan fasilitas pengurangan sampah dan pengembangan prasarana dan sarana<br />

drainase mandiri.<br />

8. Prasarana Pemerintahan Daerah, diarahkan untuk meningkatkan kinerja<br />

pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah pemekaran<br />

dan daerah yang terkena dampak pemekaran sampai dengan tahun 2009 dan daerah<br />

lainnya yang prasarana pemerintahannya sudah tidak layak. Prioritas diberikan kepada<br />

daerah pemekaran tahun 2008 dan 2009. Lingkup kegiatannya adalah: pembangunan/<br />

perluasan/rehabilitasi kantor Gubernur, Bupati dan/atau Walikota, kantor DPRD,<br />

gedung kantor SKPD di daerah otonom baru/pemekaran dan yang mengalami dampak<br />

pemekaran sampai dengan tahun 2009, serta pada daerah-daerah lainnya yang<br />

prasarana pemerintahannya seperti kantor Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD dan<br />

kantor SKPD-nya sudah tidak layak lagi, khususnya pada daerah-daerah yang belum<br />

mendapat alokasi DAK Prasarana Pemerintahan pada tahun sebelumnya.<br />

9. Kelautan dan Perikanan, diarahkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana<br />

produksi, pengolahan, peningkatan mutu, pemasaran, pengawasan perikanan, serta<br />

penyediaan sarana prasarana pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir dan pulaupulau<br />

kecil yang terkait dengan peningkatan produksi perikanan, terutama pada daerah<br />

V-36 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

yang memiliki potensi dan sudah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan perikanan<br />

(minapolitan), yang didukung dengan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan<br />

dan penguatan statistik perikanan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan sarana<br />

dan rehabilitasi prasarana produksi perikanan tangkap; (b) penyediaan sarana dan<br />

rehabilitasi prasarana produksi perikanan budidaya; (c) penyediaan dan rehabilitasi<br />

sarana dan prasarana pengolahan, peningkatan mutu dan pemasaran hasil perikanan;<br />

(d) penyediaan dan rehabilitasi infrastruktur dasar dan sarana prasarana pemberdayaan<br />

masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil serta kawasan konservasi perairan, yang<br />

terkait dengan wisata bahari dan pengembangan perikanan; (e) penyediaan dan<br />

rehabilitasi prasarana Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan<br />

Bakar Nelayan (SPBN); (f) penyediaan sarana dan prasarana pengawasan; (g)<br />

penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan; dan (h) penyediaan sarana<br />

dan prasarana pengembangan statistik perikanan.<br />

10. Pertanian, diarahkan untuk meningkatkan produksi bahan pangan dalam negeri guna<br />

mendukung pencapaian prioritas nasional ketahanan pangan melalui perluasan areal<br />

pertanian dan penyediaan sarana dan prasarana pertanian di tingkat usaha tani dan<br />

perdesaan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) perluasan areal pertanian, meliputi:<br />

pencetakan sawah, pembukaan lahan kering/perluasan areal untuk tanaman pangan,<br />

holtikultura, perkebunan dan peternakan; (b) penyediaan sarana dan prasarana<br />

pengelolaan air, antara lain: pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha<br />

tani, jaringan irigasi tersier desa, tata air mikro, irigasi air permukaan, irigasi tanah<br />

dangkal, irigasi tanah dalam, pompanisasi, dam, parit, dan embung; (c) pengelolaan<br />

lahan melalui pembangunan/rehabilitasi jalan usaha tani dan jalan produksi, optimasi<br />

lahan, peningkatan kesuburan tanah, konservasi lahan, serta penyediaan Unit<br />

Pengolahan Pupuk Organik (UPPO); (d) pembangunan/rehabilitasi Balai Penyuluhan<br />

Kecamatan; (e) penyediaan lumbung/gudang pangan masyarakat/pemerintah; (f)<br />

penyediaan sarana dan prasarana Balai Perbenihan/Perbibitan Kabupaten untuk<br />

tanaman pangan/holtikultura/perkebunan; dan (g) pembangunan/rehabilitasi pusat/<br />

pos pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan.<br />

11. Lingkungan Hidup, diarahkan untuk mendukung pencapaian target prioritas nasional,<br />

yaitu penurunan beban pencemaran dan penurunan tingkat polusi sebesar 50 persen<br />

dengan mendukung pelaksanaan pengendalian pencemaran air, udara dan limbah padat<br />

di daerah serta memperkuat pelaksanaan SPM bidang lingkungan hidup daerah. Di<br />

samping itu, kegiatan bidang Lingkungan Hidup diarahkan untuk mendukung<br />

penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Lingkup kegiatannya adalah: (a)<br />

pemantauan kualitas air melalui kegiatan: (i) pembangunan gedung laboratorium; (ii)<br />

penyediaan sarana prasarana pemantauan kualitas air; dan (iii) pembangunan<br />

laboratorium lingkungan bergerak; (b) pengendalian pencemaran air melalui kegiatan:<br />

penerapan teknologi sederhana untuk pengurangan limbah (seperti biogas, 3R, Ruang<br />

Terbuka Hijau (RTH), Particulate Matter (PM10), taman kahati, Instalasi Pengolahan<br />

Air Limbah (IPAL) medik dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM); dan c) pengendalian<br />

polusi udara melalui kegiatan: i) pengadaan alat pemantau kualitas udara; ii) penerapan<br />

teknologi tepat guna/sederhana untuk mengurangi polusi udara (alat pembuatan asap<br />

cair, briket arang, dan lain-lain).<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-37


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

12. Kehutanan, diarahkan untuk meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam<br />

rangka mempertahankan dan meningkatkan daya dukung sumber daya hutan, tanah<br />

dan air, serta mendukung mitigasi perubahan iklim. <strong>Kebijakan</strong> tersebut dicapai dengan<br />

mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap sumber daya hutan, tanah, dan air yang<br />

berada dalam DAS dengan melaksanakan rehabilitasi lahan kritis, pengelolaan kawasan<br />

hutan yang menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota/provinsi, termasuk<br />

pengembangan kebun bibit desa dan konservasi lahan gambut. Lingkup kegiatannya<br />

adalah: (a) kegiatan RHL yang terdiri dari kegiatan vegetatif dan konservasi tanah dan<br />

air; (b) pengembangan sarana prasarana keamanan hutan; dan (c) pengembangan<br />

sarana prasarana penyuluhan kehutanan.<br />

13. Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal, diarahkan untuk melakukan percepatan<br />

pembangunan daerah tertinggal dengan meningkatkan pengembangan perekonomian<br />

daerah dan kualitas sumberdaya manusia yang didukung oleh kelembagaan dan<br />

ketersediaan infrastruktur perekonomian dan pelayanan dasar, sehingga daerah<br />

tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar<br />

ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain yang sudah relatif lebih maju. Daerah<br />

tertinggal yang dimaksud tidak termasuk daerah tertinggal yang memiliki kawasan<br />

perbatasan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) penyediaan moda transportasi perairan/<br />

kepulauan; (b) penyediaan moda transportasi darat; (c) pembangunan dan rehabilitasi<br />

jalan di luar jalan provinsi dan kabupaten/kota; (d) pembangunan dan rehabilitasi<br />

dermaga kecil atau tambatan perahu, khususnya dermaga kecil atau tambatan perahu<br />

di wilayah pesisir yang tidak ditangani Kementerian Perhubungan; dan (e) penyediaan/<br />

pembangunan pembangkit energi listrik perdesaan yang memanfaatkan sumber energi<br />

mikrohidro dan pikohidro.<br />

14. Sarana Perdagangan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan sarana<br />

perdagangan untuk memperlancar arus barang antar wilayah dan meningkatkan<br />

ketersediaan dan kestabilan harga bahan pokok, meningkatkan tertib ukur dalam upaya<br />

perlindungan konsumen di daerah serta memberikan alternatif pembiayaan bagi petani<br />

dan UKM melalui Sistem Resi Gudang. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan<br />

dan pengembangan pasar tradisional; (b) pembangunan dan peningkatan sarana<br />

metrologi legal; dan (c) pembangunan gudang komoditas pertanian dalam rangka<br />

penerapan Sistem Resi Gudang.<br />

15. Transportasi Perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan dan<br />

kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan transportasi, serta pengembangan<br />

sarana dan prasarana transportasi perdesaan yang diprioritaskan untuk mendukung<br />

pusat-pusat pertumbuhan. Lingkup kegiatannya adalah: (a) pembangunan jalan poros<br />

desa; dan (b) penyediaan angkutan perdesaan (pemberian bantuan sarana transportasi<br />

angkutan barang yang sesuai dengan karakteristik daerah).<br />

16. Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan, diarahkan untuk mengurangi<br />

keterisolasian kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara dan pintu gerbang<br />

aktivitas ekonomi-perdagangan dengan negara tetangga dalam rangka mewujudkan<br />

kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional. Lingkup<br />

kegiatannya adalah: (a) pembangunan/rehabilitasi jaringan jalan di luar jalan provinsi<br />

dan kabupaten/kota; (b) pembangunan/rehabilitasi dermaga kecil atau tambatan perahu<br />

di kecamatan perbatasan atau kawasan pulau kecil terluar berpenduduk; dan (c) moda<br />

V-38 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

transportasi perairan/kepulauan untuk mendukung mobilisasi angkutan orang dan<br />

barang.<br />

17. Listrik Perdesaan, diarahkan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan dengan<br />

memberikan prioritas pada pemanfaatan energi terbarukan setempat untuk memperluas<br />

jangkauan pelayanan energi dan ketenagalistrikan sekaligus mengoptimalkan<br />

pemanfaatan energi alternatif selain BBM (terutama energi terbarukan) serta<br />

pemanfaatan secara optimal tenaga kerja, barang dan jasa produksi dalam negeri untuk<br />

memberikan nilai tambah (value added) bagi perekonomian dalam negeri, terutama<br />

untuk mendorong pengembangan industri dan teknologi dalam negeri untuk daerah<br />

yang tidak termasuk daerah tertinggal dan kawasan perbatasan. Lingkup kegiatannya<br />

adalah: pembangunan pembangkit energi baru terbarukan untuk penyediaan energi<br />

listrik dengan memanfaatkan potensi energi lokal yang berasal dari Energi Baru<br />

Terbarukan (EBT), yaitu konstruksi pembangkit skala kecil EBT berbasis surya (solar<br />

cell), mikro hidro, atau pembangkit EBT lainnya.<br />

18. Keselamatan Transportasi Darat, diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan<br />

terutama keselamatan bagi pengguna transportasi jalan di kabupaten/kota guna<br />

menurunkan tingkat kecelakaan pada lalu lintas angkutan jalan dalam rangka<br />

melaksanakan rencana aksi road map to zero accident. Lingkup kegiatannya adalah:<br />

pengadaan dan pemasangan fasilitas dan peralatan keselamatan jalan, antara lain: (a)<br />

rambu jalan; (b) marka jalan; dan (c) pagar pengaman jalan.<br />

19. Perumahan dan Permukiman, diarahkan untuk meningkatkan penyediaan<br />

Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) kawasan perumahan dan permukiman sebagai<br />

stimulan untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi Masyarakat<br />

Berpenghasilan Menengah dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di daerah.<br />

Lingkup kegiatannya adalah: pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU)<br />

kawasan perumahan dan permukiman yaitu: (a) penyediaan jaringan pipa air minum;<br />

(b) septik tank komunal; (c) jaringan distribusi listrik; dan (d) penerangan jalan umum.<br />

Untuk mendukung pencapaian arah kebijakan umum dan arah kebijakan masing-masing<br />

bidang tersebut, alokasi DAK dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp25,2 triliun atau<br />

0,4 persen terhadap PDB. Jumlah tersebut berarti mengalami peningkatan sebesar Rp4,1<br />

triliun atau 19,4 persen dari alokasi DAK yang direncanakan dalam APBN-P 2010 sebesar<br />

Rp21,1 triliun.<br />

Selanjutnya, perhitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu :<br />

(1) Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK, dengan memperhatikan kriteria umum,<br />

kriteria khusus, dan kriteria teknis.<br />

(2) Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah, yang dilakukan dengan<br />

perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.<br />

Penjelasan atas penggunaan kriteria pengalokasian DAK tahun 2011 tersebut adalah sebagai<br />

berikut :<br />

(1) Kriteria Umum, yang ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan<br />

daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja<br />

pegawai negeri sipil daerah.<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-39


Bab V<br />

<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

(2) Kriteria Khusus, yang dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang<br />

mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah, yaitu :<br />

a. Peraturan Perundangan, dimana daerah-daerah yang menurut ketentuan<br />

peraturan perundangan diprioritaskan mendapat alokasi DAK, serta seluruh<br />

daerah tertinggal diberikan kebijakan untuk mendapatkan alokasi DAK.<br />

b. Karakteristik daerah, yang meliputi daerah pesisir dan kepulauan, daerah<br />

perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang<br />

termasuk dalam kategori daerah ketahanan pangan, daerah rawan bencana, dan<br />

daerah pariwisata.<br />

(3)Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat<br />

menggambarkan kondisi sarana dan prasarana yang akan didanai dari DAK.<br />

5.3.1.2 Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian<br />

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian merupakan amanat dari UU Nomor 35 Tahun<br />

2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor<br />

21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang dan<br />

UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam APBN 2011 dialokasikan<br />

Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU nasional untuk Provinsi Papua dan Papua<br />

Barat, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pendidikan dan kesehatan.<br />

<strong>Kebijakan</strong> pemberian Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU nasional tersebut<br />

juga berlaku untuk Provinsi NAD, yang penggunaannya diarahkan untuk mendanai<br />

pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,<br />

pengentaskan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Di samping<br />

itu, dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua<br />

Barat juga dialokasikan dana tambahan untuk infrastruktur, yang besarannya disepakati<br />

antara Pemerintah dengan DPR, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan<br />

pembangunan infrastruktur.<br />

Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Otonomi Khusus direncanakan sebesar Rp10,3 triliun,<br />

dengan rincian sebagai berikut:<br />

(1) Dana Otonomi Khusus untuk Papua sebesar Rp4,4 triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35<br />

Tahun 2008, Dana Otonomi Khusus untuk Papua tersebut dibagikan kepada Provinsi<br />

Papua dan Provinsi Papua Barat.<br />

(2) Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD sebesar Rp4,4 triliun.<br />

(3) Dana Tambahan Otsus Infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp1,4<br />

triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2008, Dana Tambahan Infrastruktur Papua<br />

dan Papua Barat tersebut dibagikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.<br />

Selanjutnya, dalam RAPBN 2011, dialokasikan dana penyesuaian berupa dana tambahan<br />

penghasilan guru PNSD sebesar Rp3,7 triliun, Dana Insentif Daerah sebesar Rp1,4 triliun,<br />

dana tambahan untuk tunjangan profesi guru (TPG) sebesar Rp17,1 triliun, dan bantuan<br />

operasional sekolah (BOS) sebesar Rp16,8 triliun. Dana Insentif Daerah terutama ditujukan<br />

kepada daerah berprestasi yang memiliki kriteria keuangan dan kriteria kinerja ekonomi<br />

dan kesejahteraan yang baik, serta tetap mengupayakan terwujudnya tata kelola<br />

pemerintahan yang baik.<br />

V-40 Nota Keuangan dan RAPBN 2011


<strong>Kebijakan</strong> <strong>Desentralisasi</strong> <strong>Fiskal</strong><br />

Bab V<br />

Sementara itu, dana tambahan untuk TPG sejalan dengan telah ditetapkan PP Nomor 41<br />

tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen, yang dialokasikan mulai tahun 2010.<br />

Dana tersebut diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai<br />

penghargaan atas profesionalitasnya, sesuai dengan kewenangannya.<br />

TABEL V.17<br />

TRANSFER KE DAERAH, 2010 - 2011<br />

(miliar rupiah)<br />

2010 2011<br />

APBN-P<br />

% thd<br />

PDB<br />

RAPBN<br />

% thd<br />

PDB<br />

I. DANA PERIMBANGAN 314.363,3 5,0 329.099,3 4,7<br />

A. DANA BAGI HASIL 89.618,4 1,5 81.994,3 1,4<br />

1. Pajak 44.513,5 0,7 40.514,0 0,6<br />

a. Pajak Penghasilan 13.177,3 0,2 13.133,5 0,2<br />

i. Pasal 21 12.314,7 0,2 12.415,9 0,2<br />

ii. Pasal 25/29 orang pribadi 859,2 0,0 715,1 0,0<br />

iii. Kurang bayar PPh TA 2009 3,4 0,0 2,5 0,0<br />

b. PBB 23.063,4 0,4 26.219,3 0,4<br />

i DBH PBB 23.061,0 0,4 26.202,8 0,4<br />

ii. Kurang bayar DBH PBB TA 2009 2,3 0,0 16,5 0,0<br />

c. BPHTB 7.155,5 0,1 - -<br />

d. Cukai 1.117,3 0,0 1.161,1 0,0<br />

2. Sumber Daya Alam 45.104,9 0,7 41.480,3 0,6<br />

a. Migas 35.196,4 0,6 31.339,3 0,4<br />

i. Minyak Bumi 17.143,1 0,3 16.650,6 0,2<br />

ii. Gas Bumi 11.925,2 0,2 12.688,8 0,2<br />

iii. kurang bayar migas tahun 2008 6.128,1 0,1 2.000,0 0,0<br />

b. Pertambangan Umum 7.790,4 0,1 8.334,7 0,1<br />

i. Iuran Tetap 124,4 0,0 130,9 0,0<br />

ii. Royalti 7.666,0 0,1 7.796,4 0,1<br />

iii. Kurang bayar DBH pertambangan umum TA 2007-2009 - - 407,4 0,0<br />

c. Kehutanan 1.802,6 0,0 1.371,6 0,0<br />

i. Provisi Sumber Daya Hutan 898,4 0,0 773,0 0,0<br />

ii. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan 15,8 0,0 72,3 0,0<br />

iii. Dana Reboisasi 652,7 0,0 526,2 0,0<br />

iv. Kurang bayar SDA kehutanan 235,8 0,0 - -<br />

d. Perikanan 120,0 0,0 83,7 0,0<br />

i DBH Perikanan - - 80,0 -<br />

ii Kurang bayar perikanan TA 2009 - - 3,7 -<br />

e. Pertambangan Panas Bumi (PPB) 195,5 0,0 351,0 0,0<br />

i. DBH PPB 195,5 0,0 284,9 0,0<br />

ii. Kurang bayar DBH PPB TA 2006-2008<br />

- - 66,1 0,0<br />

B. DANA ALOKASI UMUM 203.606,5 3,3 221.872,2 3,2<br />

1. DAU Murni 192.490,3 3,1 221.872,2 3,2<br />

2. Tambahan untuk tunjangan profesi guru 10.994,9 0,2 - -<br />

3. Koreksi alokasi DAU Kab. Indramayu 121,3 0,0 - -<br />

C. DANA ALOKASI KHUSUS 21.138,4 0,3 25.232,8 0,4<br />

II. DANA OTONOMI KHUSUS DAN PENYESUAIAN 30.249,6 0,5 49.319,9 0,7<br />

A. DANA OTONOMI KHUSUS 9.099,6 0,1 10.274,9 0,1<br />

1. Dana Otsus 7.699,6 0,1 8.874,9 0,1<br />

a. Dana Otsus Prov. Papua dan Papua Barat 3.849,8 0,1 4.437,4 0,1<br />

- Provinsi Papua 2.694,9 0,0 3.106,2 0,0<br />

- Provinsi Papua Barat 1.154,9 0,0 1.331,2 0,0<br />

b. Dana Otsus Aceh 3.849,8 0,1 4.437,4 0,1<br />

2. Dana tambahan Otsus Infrastruktur Prov Papua 1.400,0 0,0 1.400,0 0,0<br />

a. Papua 800,0 0,0 800,0 0,0<br />

b. Papua Barat 600,0 0,0 600,0 0,0<br />

B. DANA PENYESUAIAN 21.150,0 0,3 39.045,0 0,6<br />

1. Dana Tambahan Tunjangan Profesi Guru - - 17.149,0 0,2<br />

2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) - - 16.812,0 0,2<br />

3. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD 5.800,0 0,1 3.696,2 0,1<br />

4. Dana insentif daerah 1.387,8 0,0 1.387,8 0,0<br />

5. Kurang bayar DAK Tahun 2008 80,2 0,0 - -<br />

6. Kurang bayar DISP Tahun 2008 32,0 0,0 - -<br />

7. Dana penguatan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah<br />

7.100,0 0,1 - -<br />

8. Dana penguatan infrastruktur dan prasarana daerah (DPIPD) 5.500,0 0,1 - -<br />

9. Dana percepatan pembangunan infrastruktur pendidikan (DPPIP) 1.250,0 0,0 - -<br />

J U M L A H 344.612,9 5,5 378.419,2 5,4<br />

Sumber : Kementerian Keuangan<br />

Nota Keuangan dan RAPBN 2011<br />

V-41

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!