4 Harmoni di Mata Kaum Muda
Pengantar Kepala Puslitbang Kebudayaan Apresiasi Budaya di Kalangan Pelajar P usat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan (Puslitbang Kebudayaan) merupakan unit eselon II di bawah Balitbang Kemdikbud yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis dan penelitian di bidang kebudayaan. Berbagai penelitian baik untuk kepentingan kebijakan pemerintah di bidang kebudayaan maupun penelitian untuk pengusulan warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) kepada UNESCO telah dilakukan oleh Puslitbang Kebudayaan. Penelitian tersebut antara lain mengenai alat musik Angklung (Jawa Barat), Tari Saman (Aceh), dan Kerajinan Noken (Papua) yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia. Sementara hasil penelitian lainnya yang sedang dalam proses pengajuan ke UNESCO adalah Kain Tenun Tradisional, Tari Tradisional Bali, dan Taman Mini Indonesia Indah. Di samping melakukan penelitian-penelitian guna diajukan ke UNESCO, Puslitbang Kebudayaan juga melaksanakan berbagai kegiatan penelitian, pengembangan, seminar, dan publikasi yang meliputi tema kearifan lokal, ketahanan budaya, dan peningkatan karakter bangsa. Puslitbang Kebudayaan juga menaruh perhatian untuk meningkatkan pemahaman generasi muda di bidang kebudayaan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggugah kesadaran dan pemahaman pelajar tentang persoalanpersoalan sosial budaya lewat lomba menulis esai. Melalui lomba ini diharapkan dapat terjaring pemahaman, gagasan, dan masukan dari generasi muda ihwal persoalan kebudayaan mutakhir. Sebagai generasi penerus bangsa, kaum muda khususnya para pelajar memiliki andil besar bagi pembangunan kebudayaan. Kemajuan pembangunan kebudayaan di tahun-tahun mendatang akan sangat bergantung kepada peran pelajar masa kini dalam mengapresiasi keragaman budaya Indonesia. Kondisi para pelajar dewasa ini dicirikan oleh masifnya pemanfaatan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Mereka umumnya sangat terbuka terhadap berbagai informasi, baik yang sifatnya lokal, nasional, maupun internasional. Mereka juga membangun jejaring sosial melalui berbagai media sosial di dunia maya, sehingga wawasannya tidak lagi terbatas pada tataran lokal atau negara, melainkan antar-negara. Pada titik ini, pelajar tidak hanya menjadi obyek dari globalisasi, melainkan subyek yang aktif mengambil peran dalam proses globalisasi tersebut. Di sisi lain, bersamaan dengan terbukanya kran demokrasi melalui otonomi daerah, muncul reaksi dari masyarakat berupa menguatnya nilai-nilai primordialisme, etnosentrisme, dan radikalisme. Gejala ini kerap kali menimbulkan dampak negatif berupa konflik sosial. Para pelajar tak hanya menjadi penonton, namun kerap kali ambil peran sebagai bagian dari persoalan. Hal ini terlihat dari keikutsertaan mereka dalam berbagai tindak kekerasan, seperti tawuan pelajar, kekerasan melalui kelompok geng motor, dan penyemaian bibit-bibit radikalisme hingga terorisme berlatar agama. Dari dua tegangan ini, nampak bahwa para pelajar seolah menjadi obyek dari perseteruan yang sifatnya “global” (melalui globalisasi) dan “lokal” (menguatnya primordialisme dan etnosentrisme). Dampaknya, ditengarai para pelajar kurang mengapresiasi keragaman budaya Indonesia yang terentang dari Sabang hingga Merauke. 5 Selusin Naskah Lomba Sosial Budaya 2013