download - KontraS
download - KontraS
download - KontraS
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>KontraS</strong><br />
<strong>KontraS</strong> (Komisi Untuk Orang Hilang<br />
dan Korban Tindak Kekerasan)<br />
dibentuk untuk menangani persoalan<br />
penculikan beberapa aktivis yang<br />
diduga berhubungan dengan<br />
kegiatan politik yang mereka lakukan.<br />
Dalam perjalanannya <strong>KontraS</strong> tidak<br />
hanya menangani masalah<br />
penculikan dan penghilangan orang<br />
secara paksa tapi juga diminta oleh<br />
masyarakat korban untuk menangani<br />
berbagai bentuk kekerasan yang<br />
terjadi baik secara vertikal di Aceh dan<br />
Papua maupun secara horizontal<br />
seperti di Maluku, Sambas, Sampit<br />
dan Poso. Selanjutnya, ia<br />
berkembang menjadi organisasi yang<br />
independen dan banyak berpartisipasi<br />
dalam membongkar praktek<br />
kekerasan dan pelanggaran hak asasi<br />
manusia sebagai akibat dari<br />
penyalahgunaan kekuasaan.<br />
<strong>KontraS</strong> diprakarsai oleh beberapa<br />
organisasi non pemerintah dan satu<br />
organisasi mahasiswa, yakni: AJI,<br />
CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM,<br />
LPHAM, YLBHI dan PMII<br />
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri,<br />
Ndrie, Abu, Victor, Sinung , Alam,<br />
Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris,<br />
Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Guan<br />
Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.<br />
Federasi Kontras: Oslan P dan<br />
Bustami.<br />
Asiyah (Aceh), Diah (Sumatera Utara),<br />
Pieter Ell (Papua).<br />
Edmond LS (Kontras Sulawesi)<br />
Badan Pekerja Kontras dibantu oleh<br />
relawan-relawan yang tersebar<br />
di seluruh Indonesia<br />
Redaksi Berita <strong>KontraS</strong> menerima<br />
kritik, saran dan tulisan untuk Berita<br />
<strong>KontraS</strong><br />
SALAM DARI BOROBUDUR<br />
Salam redaksi<br />
Memasuki tahun 2008, berita meninggalnya mantan Presiden kedua RI, Soeharto,<br />
menjadi sebuah catatan panjang yang kami kupas menjadi berita utama. Diusianya<br />
yang sudah senja, Soeharto (86 thn), wafat dengan membawa segudang kasus<br />
pelanggaran hukum dan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum sempat<br />
ia pertanggungjawabkan.<br />
Belasungkawa pantasnya kita sampaikan pada keluarga yang ditinggalkan. Namun,<br />
kita tetap harus menyadari bahwa Soeharto pergi membawa setumpuk kasus hukum<br />
sekalipun negara juga menunjukkan keengganan untuk mengadili hingga ajal<br />
menjemputnya.<br />
Sehingga rasanya tidak sepantasnya negara memberi penghormatan kepada Alm.<br />
Soeharto secara berlebihan, apalagi menggunakan simbol-simbol negara, seperti<br />
pengibaran bendera setengah tiang. Mengingat di masa berkuasanya Soeharto banyak<br />
pula melahirkan kepedihan kepada rakyat yang seharusnya dilayani.<br />
Di tahun 2008 ini, persoalan kekerasan terutama yang menyangkut hak asasi manusia<br />
masih tetap memprihatinkan kita. Di sejumlah daerah tindak kekerasan masih terus<br />
terjadi. Begitu juga dengan kekerasan yang terjadi atas keyakinan beragama masih<br />
menjadi berita hitam dalam perjalanan bangsa ini. Yang lebih memprihatinkan<br />
bentrokan dan kekerasan Polri dan TNI kembali terulang (di Maluku), hingga<br />
menewaskan tiga orang serta mengakibatkan lainnya luka dan kerugian fisik yang<br />
tidak terkira.<br />
Mungkin, bila boleh dikatakan kita sedikit terhibur dengan vonis 20 tahun yang<br />
dijatuhkan majelis hakim untuk Pollycarpus dalam PK kasus Munir. Meski kita kecewa<br />
karena Indra Setiawan (diganjar hanya satu tahun), dan Rohainil Aini diputus bebas.<br />
Padahal, kasus Munir jelas merupakan kasus konspirasi yang melibatkan banyak<br />
pihak.<br />
Penting untuk mengingat dan terus menuntut keadilan juga juga disuarakan oleh<br />
para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat Talangsari Lampung 1989<br />
pada peringatan 19 tahun tragedi itu.<br />
Waktu terus berjalan, kita tak tahu kapan langkah terhenti. Tapi selagi masih bisa<br />
berbuat untuk negri dan kemanusiaan, tentu tidak ada yang sia-sia.<br />
Selamat tahun baru 2008<br />
Berita <strong>KontraS</strong><br />
Diterbitkan oleh: <strong>KontraS</strong> (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).<br />
Penanggung Jawab: Usman Hamid<br />
Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi<br />
Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati.<br />
Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri<br />
Suparyati.<br />
Design layout: BHOR_14 Production<br />
Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia.<br />
Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821<br />
Email: kontras_98@kontras.org. website: www.kontras.org<br />
<strong>KontraS</strong> berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan<br />
menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat<br />
dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan<br />
berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan<br />
dapat dikirimkan ke rekening atas nama <strong>KontraS</strong> di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196.<br />
Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi.<br />
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 021-3926983 atau<br />
kontras_98@kontras.org<br />
2<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
BERITA UTAMA<br />
Awal tahun ini tepatnya (4/01) mantan penguasa Orde Baru,<br />
Soeharto, kembali dilarikan ke rumah sakit. Presiden Kedua<br />
RI ini kembali kritis dan dirawat di Rumah Sakit Pusat<br />
Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan. Selama hampir sebulan<br />
sang jenderal besar ini dirawat oleh lebih 40 orang dokter<br />
spesialis berbagai bidang. Tim dokter<br />
ini bekerja keras tak henti siang<br />
malam, mengobati dan memberikan<br />
pengobatan terbaik bagi Soeharto.<br />
Diusianya yang sudah senja,<br />
Soeharto (86 thn) berjuang hampir<br />
sebulan melawan berbagai penyakit<br />
kronis yang dideritanya. Dan pada<br />
(27/01), presiden pada masa orde<br />
baru ini menghembuskan napas<br />
terakhirnya. Soeharto pun pergi<br />
dengan tetap menyisakan segala<br />
kontroversial terkait dengan harta<br />
yang dimilikinya maupun jumlah<br />
kasus pelanggaran berat HAM yang<br />
terjadi ketika ia berkuasa.<br />
Sebagai sesama mahluk Tuhan sudah sepantasnya kita<br />
menyampaikan belasungkawa pada keluarga yang<br />
ditinggalkan. Namun begitu, kita harus terus ingat dan<br />
menyadari bahwa Soeharto pergi membawa setumpuk kasus<br />
hukum atas dirinya yang tak pernah dipertanggung jawabkan<br />
hingga akhir hayatnya, lantaran Soeharto memang tak pernah<br />
diadili.<br />
Siapapun pasti akan kembali padaNya. Namun, pemerintah<br />
dan bangsa Indonesia harus jalan terus. Dan yang perlu<br />
diingat, Indonesia harus menyelesaikan warisan masa lalu<br />
dari Pemerintahan Soeharto. Mengapa Karena kita tak bisa<br />
melupakan masa lalu. Kita harus terus mengingatnya dan<br />
secara bersama menyelesaikan berbagai warisan masa lalu<br />
itu secara bermartabat, yaitu lewat proses hukum dan<br />
keadilan yang layak.<br />
Politisasi sakit<br />
Kematian Soeharto Tidak Matikan Tuntutan<br />
Sebelumnya, setiap Soeharto masuk rumah sakit, maka para<br />
pendukung Orde Baru terutama mereka kroni-kroni Soeharto,<br />
selalu mengeluarkan tuntutan agar nama Soeharto dicuci<br />
bersih, dari semua tuntutan atas kejahatan yang dilakukannya<br />
selama berkuasa selama 32 tahun. Bahkan, satu lapisan elit<br />
politik nasional yang dipelopori Partai Golkar, mendesak<br />
pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY dan Jaksa Agung<br />
Hendarman Supandji, untuk dapat segera menutup proses<br />
hukum terhadap Soeharto.<br />
Kita tentu amat menyayangkan, karena ada begitu banyak<br />
pihak memberi pernyataan dengan mengatasnamakan<br />
“kemanusiaan” meminta proses hukum terhadap Soeharto<br />
dihentikan. Padahal jelas, jati diri kemanusiaan adalah<br />
kebenaran dan keadilan. Tidak bisa kemanusiaan menutupi<br />
dirinya dari kebenaran dan keadilan. Kemanusiaan memang<br />
Dok. Kontras<br />
Aksi korban menuntut pengadilan untuk Soeharto<br />
mengajarkan kita untuk bersimpati pada siapapun yang sakit,<br />
termasuk terhadap Soeharto. Namun, kemanusiaan bukanlah<br />
ruang untuk menutup kebenaran dan keadilan yang harus<br />
ditegakkan di muka bumi ini. Kemanusian mengajarkan kita<br />
untuk mencari kebenaran dan keadilan atas segala kesakitan,<br />
luka dan derita yang korban terima.<br />
Bangsa ini mempunyai sejarah kelam.<br />
Dan sejarah kelam itu terjadi selama<br />
Soeharto berkuasa. Ada begitu banyak<br />
pelanggaran hak asasi manusia yang<br />
terjadi. Mulai dari peristiwa 1965,<br />
penembakan misterius 19981/1985,<br />
tragedi TanjungPriok 1984, kasus<br />
Talangsari 1989, DOM Aceh 1989-1998,<br />
Papua 1963-2003, kasus 27 Juli 1996,<br />
penculikan para aktivis pro demokrasi<br />
1997/1998, tragedi Mei dan Trisakti dan<br />
masih banyak peristiwa pelanggaran<br />
HAM lainya. Semuanya terjadi akibat<br />
dari praktek orde baru yang dipimpin<br />
oleh Soeharto yang dijalankan<br />
bersama kroninya. Semua tragedi tersebut telah<br />
memporakporandakan arti kemanusian<br />
Anak, ayah, suami, isteri, adik, kakak, saudara, teman kita<br />
dihilangkan. Dipenjarakan dengan segala penyiksaan,<br />
didiskriminasikan dengan segala cara oleh tangan kekuasaan<br />
Orde Baru Soeharto. Dan sampai hari ini tak satupun kebenaran<br />
dan keadilan dalam peristiwa pelanggaaran HAM ditegakkan<br />
di negeri ini. Termasuk pula kasus dugaan Korupsi, Kolusi dan<br />
Nepostisme (KKN) Soeharto. Sementara di tengah kesakitan<br />
Soeharto tersebut, banyak pihak yang tidak pernah merasakan<br />
luka dan derita kemanusiaan yang para korban alami, meminta<br />
proses hukum Soeharto dihentikan. Pendapat tersebut jelas<br />
adalah pendapat yang lebih mencerminkan kepentingan politis,<br />
ketimbang arti kemanusiaan yang hakiki.<br />
Keengganan dan pembiaran<br />
Dan ketika akhirnya Soeharto meninggal dunia kita patut<br />
kecewa kepada pemerintah. Hingga akhir hayat Soeharto,<br />
pemerintah belum juga mampu menyelesaikan berbagai<br />
warisan masa lalu, yakni korupsi massif dan pelanggaranpelanggaran<br />
HAM.<br />
Belum tuntasnya kasus hukum Soeharto menurut Ketua Komnas<br />
HAM, Ifdhal Kasim, menunjukkan keengganan dan pembiaran<br />
yang sengaja dilakukan pemerintah. “Lima tahun reformasi<br />
pemerintah seharusnya mampu menyelesaikan kasus hukum<br />
Soeharto, sehingga ketika Soeharto meninggal kita tidak perlu<br />
membicarakan kasusnya, “ ujar Ifdhal.<br />
Ifdhal menilai kelambanan pemerintah menyelesaikan kasus<br />
hukum Soeharto menunjukkan pelanggaran HAM pemerintah<br />
pada diri Soeharto. Lebih jauh Ifdhal melihat bahwa kasus<br />
hukum Soeharto akan selesai jika pemerintah memiliki<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 3
BERITA UTAMA<br />
kemauan. Ifdhal mengusulkan pemerintah membentuk komisi<br />
klarifikasi yang bertugas melakukan klarifikasi, penelaahan, dan<br />
pemeriksaan terhadap tuduhan pelanggaran HAM Orde Baru.<br />
Dengan demikian identifikasi pertanggung jawaban menjadi<br />
jelas dan tidak terkesan balas dendam.<br />
Hal senada diungkapkan oleh aktivis M.Fadjroel Rachman.<br />
Menurutnya, sekalipun mantan Presiden Soeharto sudah<br />
meninggal, negara tetap harus melanjutkan proses hukum<br />
terhadap keluarga, kroni, dan loyalisnya. “Ini untuk<br />
menunjukkan kepada publik bahwa ini negara hukum, bukan<br />
negara halalbihalal, “ ujarnya.<br />
Sementara muncul pula pandangan lain,<br />
komunitas HAM internasional dapat mengenang<br />
Soeharto sebagai diktator lantaran hingga<br />
Soeharto meninggal dunia, pemerintah gagal<br />
menyelesaikan berbagai kasus dugaan<br />
pelanggaran HAM yang diduga melibatkannya.<br />
“Karena tidak ada proses hukum untuk<br />
mengklarifikasi sejumlah kasus pelanggaran HAM<br />
yang diduga melibatkannya, Soeharto dapat<br />
dilihat seperti mantan orang kuat Cile, Jenderal<br />
Augusto Pinochet, atau PW Botha, Presiden Afrika<br />
Selatan, “ kata Rafendi Djamin dari Human Rights<br />
Working Group.<br />
Jika ada proses hukum saat Soeharto masih hidup, lanjut Rafendi,<br />
kemungkinan munculnya kenangan sebagai diktator dapat<br />
hilang. Sebab, duduk perkara dari kasus-kasus itu sudah jelas<br />
dan para korban akan berhenti menuntut.<br />
Penilaian negatif komunitas HAM internasional kepada Soeharto,<br />
menurut Rafendi, mulai muncul setelah peristiwa Santa Cruz di<br />
Dili Timor Timur, 12 November 1991. Peristiwa itu memancing<br />
dipersoalkannya kembali kasus lain, seperti peristiwa Tanjung<br />
Priuk, Talangsari, dan gerakan yang terjadi 30 September 1965.<br />
“Kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi pemerintah dengan<br />
menyelesaikan sejumlah kasus secepat mungkin, termasuk kasus<br />
yang diduga melibatkannya, “ kata Rafendi.<br />
Sedangkan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Nasional Aktivis<br />
98 Adian Napitupulu menambahkan, proses hukum terhadap<br />
kroni Soeharto harus dilanjutkan. Sebab, proses hukum punya<br />
empat tujuan, yaitu memberi efek jera kepada para pelaku,<br />
memulihkan hak-hak korban, mencegah terulangnya peristiwa<br />
serupa, dan mencari kebenaran tentang yang sebenarnya terjadi.<br />
“Jika sekarang Soeharto sudah meninggal, berarti masih ada tiga<br />
tujuan lain dari proses hukum atas kasus-kasus yang diduga<br />
melibatkannya, “ ujar Adian.<br />
Tidak surut<br />
“Kalau bicara<br />
korban, sudah<br />
banyak. Tapi kalau<br />
bicara pelaku, yang<br />
mana Mereka<br />
tidak ada yang<br />
ngaku, “ ujar<br />
Sumarsih.<br />
Sementara kematian Soeharto juga tidak menyurutkan<br />
perjuangan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.<br />
Mereka tetap yakin kejahatan HAM selama Soeharto berkuasa<br />
adalah kejahatan rezim dan bukan semata-mata kesalahan<br />
Soeharto sebagai individu. Meskipun demikian, kebijakan<br />
Soeharto semasa ia berkuasa terepresentasi dalam kebijakan<br />
negara yang represif.<br />
Direktur Eksekutif Agung Putri Astrid Kartika mengatakan,<br />
meskipun Soeharto meninggal dunia, masih banyak persoalan<br />
yang tertinggal. Menurut dia, kontruksi mesin kekuasaan<br />
Soeharto perlu dibongkar. Pembongkaran itu akan<br />
menampakkan siapa kroni-kroni Soeharto. Dengan demikian,<br />
mereka dapat dimintai pertanggung jawaban atas berbagai<br />
kasus pelanggaran HAM di masa lalu.<br />
Bagi para pejuang HAM dan korban, kematian Soeharto tidak<br />
memupuskan upaya mereka untuk mencari keadilan. Seperti<br />
yang diungkapkan oleh Sumarsih, Ibu BR Norma Irmawan,<br />
korban tragedi Semanggi, melihat upaya<br />
peradilan masih dapat ditempuh untuk itu.<br />
Meskipun hukum di Indonesia belum sepenuhnya<br />
menjamin keadilan. “Anak saya ditembak dari<br />
jarak dekat. Soal itu salah atau benar, itu harus<br />
diputuskan di pengadilan. Maaf-memaafkan pun<br />
harus dilakukan setelah ada proses pengadilan, “<br />
ujar Sumarsih.<br />
Sumarsih berharap pemerintah tetap membawa<br />
pelanggaran hak asasi manusia tersebut ke<br />
pengadilan. “Orang-orang yang harus<br />
bertanggung jawab pada peristiwa berdarah itu harus diadili,<br />
“ ujarnya.<br />
Demi perjuangan tersebut, meski pemerintah menetapkan<br />
hari berkabung nasional selama tujuh hari setelah wafatnya<br />
Soeharto, korban dan keluarga korban menggelar demo tujuh<br />
hari berturut-turut di depan Istana Merdeka, sebagai cara<br />
untuk menandai meninggalnya Soeharto. “Ini kami lakukan<br />
karena kematian Soeharto tidak diikuti dengan pemenuhan<br />
hak korban dan pelurusan sejarah, “ ujar Sumarsih.<br />
Langkah tersebut perlu ditempuh untuk mengingatkan<br />
pemerintahan Presiden SBY bahwa keadilan belum mereka<br />
dapatkan pasca wafatnya Soeharto. “Kalau bicara korban,<br />
sudah banyak. Tapi kalau bicara pelaku, yang mana Mereka<br />
tidak ada yang ngaku, “ ujar Sumarsih.<br />
Namun aksi tujuh hari ini digelar tanpa suara, apalagi caci<br />
maki. Korban dan kleuarga korban hanya berdiri,<br />
membentangkan poster dan mengenakan pakaian dan<br />
payung berwarna hitam.<br />
Kasus perdata dan gelar pahlawan<br />
Di sisi lain, kematian Soeharto juga masih menyisakan kasus<br />
hukum lainnya disamping sejumlah kasus pelanggaran berat<br />
HAM yang terjadi selama 32 tahun Soeharto berkuasa.<br />
Saat ini pemerintah tengah menggugat Soeharto dan Yayasan<br />
Supersemar Rp 11,5 triliun. Meski Soeharto telah meninggal<br />
Jaksa Agung, Hendarman Supandji, menegaskan, kasus<br />
perdata Soeharto tetap akan diteruskan.<br />
Senada dengan itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH)<br />
Jakarta, Asfinawati mendesak Kejaksaan Agung segera dan<br />
4<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
BERITA UTAMA<br />
tetap melanjutkan gugatan perdata terhadap sejumlah kasus<br />
korupsi yang dilakukan Soeharto. Dalam gugatan perdata itu,<br />
Kejagung, sebagai pengacara negara, harus mengajukan<br />
permohonan sita jaminan terhadap semua harta Soeharto<br />
yang diduga berasal dari hasil korupsi. “Kalau tidak segera<br />
dilakukan penyitaan jaminan, bisa saja harta-harta itu<br />
diklaim oleh anak-anak serta kroni-kroninya, “ ujarnya.<br />
Asfin menyayangkan Kejagung yang tidak dari dulu menyita<br />
harta Soeharto. Menurutnya, Kejagung akan berani<br />
menggugat dan menuntut Soeharto secara perdata, serta<br />
menuntut anak-anak serta kroni-kroninya secara pidana dan<br />
perdata, kalau ada dukungan penuh dari Presiden.<br />
Ironisnya ditengah persoalan hukum yang belum selesai<br />
dituntaskan, muncul wacana pemberian gelar pahlawan<br />
nasional terhadap Soeharto. Wacana yang digulirkan oleh<br />
sekelompok orang (terutama kroni-kroni) Soeharto sangatlah<br />
tidak tepat. Mengapa Karena wacana pemberian gelar<br />
pahlawan nasional terhadap Soeharto seharusnya digulirkan<br />
setelah ada kepastian hukum terhadap kasus Soeharto.<br />
Pemerintah juga harus terlebih dulu melaksanakan Ketetapan<br />
(Tap) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan<br />
Negara Yang Bersih dari KKN, Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001<br />
tentang Percepatan Kebijakan Penyelenggaraan Negara yang<br />
Bersih dari KKN, serta Tap MPR Nomor I/2003.<br />
Menurut Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, jika pemberian gelar<br />
pahlawan nasional dilakukan sebelum ada kepastian hukum,<br />
tidak sesuai dengan amanat Tap MPR tersebut. Semangat Tap<br />
MPR adalah menghadirkan penyelenggaraan negara yang<br />
bersih dari KKN. Persoalannya, sampai saat ini belum ada<br />
pernyataan hukum yang menyatakan Soeharto bersalah atau<br />
tidak.<br />
Di negara demokrasi memang tidak dilarang orang<br />
memunculkan usulan atau wacana apalagi untuk<br />
menghormati jasa-jasanya. “Kalau bertentangan (dengan Tap<br />
MPR), itu sesuatu yang belum kita bahas. Kalau ternyata<br />
Soeharto terbukti secara hukum, sesudah menghormati asas<br />
praduga tak bersalah, ternyata terbukti melakukan kesalahan,<br />
saya kira pemerintah akan sangat berhati-hati memberikan<br />
gelar kepahlawanan kepada pihak yang dinyatakan bersalah<br />
itu, “ ujarnya.<br />
Hidayat sangat menyayangkan wacana itu muncul tidak lama<br />
setelah Soeharto wafat karena dinilai justru menimbulkan<br />
kontroversi. Pasalnya, wacana itu dimunculkan saat kasus<br />
Soeharto masih berlanjut di persidangan dan belum ada<br />
kepastian hukum. Apalagi, saat ini kasus perdata tentang<br />
Yayasan Supersemar masih digelar di Pengadilan Negeri<br />
Jakarta Selatan.<br />
Hidayat juga menegaskan, semua Tap MPR yang dikeluarkan<br />
terkait penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN,<br />
semuanya masih berlaku kendati Soeharto sudah wafat.<br />
“Tentu Tap ini tidak menjadi luluh, apalagi tercabut, dengan<br />
wafatnya Soeharto. Tap MPR ini tidak secara khusus hanya<br />
mengatur Soeharto. Beliau hanya satu dari sekian hal yang<br />
diatur dalam Tap itu sehingga harus dijalankan, “ tegasnya.<br />
Pengadilan rakyat<br />
Kegagalan negara untuk menuntut pertanggungjawaban<br />
Soeharto terhadap tindak pidana korupsi maupun pelanggaran<br />
HAM, tidak menyurutkan inisiatif dikalangan masyarakat sipil<br />
untuk membuat mekanisme alternatif. Salah satu cara yang bisa<br />
digunakan oleh masyarakat sipil adalah dengan melakukan<br />
pengadilan rakyat.<br />
Istilah pengadilan rakyat memang bisa dirasa asing. Kadang<br />
istilah pengadilan rakyat disamakan dengan istilah main hakim<br />
sendiri yang merupakan tindakan penghukuman masyarakat<br />
terhadap pelaku tindak pidana. Istilah pengadilan rakyat ini<br />
mengambil dari people tribunal yang pernah digelar oleh<br />
masyarakat sipil di Jepang maupun di Eropa Timur terhadap<br />
kejahatan rejim.<br />
Seperti di Burma, membentuk Mahkamah atau Pengadilan<br />
Rakyat yang menyelediki kasus kelangkaan pangan dan<br />
militerisme. Armenia, membentuk Pengadilan Rakyat untuk<br />
menyidangkan kasus pembunuhan massal atas penduduk sipil<br />
Armenia oleh pemerintah Turki. Dan di Jepang, mengadakan<br />
Mahkamah untuk mengadili kasus kejahatan perang mengenai<br />
perbudakan sexual yang dilakukan oleh pemerintah Jepang.<br />
Gerakan serupa juga dilakukan oleh gerakan masyarakat sipil<br />
di Indonesia tatkala sistem pengadilan saat ini enggan menguak<br />
berbagai peristiwa kejahatan masa lalau yang kian dilupakan.<br />
Tujuan diadakannya pengadilan rakyat ini untuk memberi<br />
kesempatan kepada korban/keluarga korban menyampaikan<br />
testimoni dihadapa publik terhadap peristiwa yang dialaminya.<br />
Testimoni dan keterangan saksi ahli terhadap peristiwa<br />
pelanggaran HAM itu diharapkan dapat menjadi pelajaran<br />
berharga bagi semua orang bahwa kejahatan yang pernah<br />
terjadi tidak dapat dilupakan begitu saja tanpa penghukuman.<br />
Dan peristiwa itu jangan kembali terulang dimasa datang.<br />
Sejak tanggal 12-13 Februari para aktivis yang tergabung dalam<br />
gerakan masyarakat Kesatuan Rakyat adili Soeharto (KERAS)<br />
melakukan pengadilan rakyat di Tugu Poklamasi. Dengan sistem<br />
yang menyerupai pengadilan di Indonesia, ada jaksa, majelis<br />
hakim dan sejumlah saksi pun dihadirkan. Dibawah patung<br />
Soekarno-Hatta, saksi-saksi yang dihadirkan korban<br />
pelanggaran HAM yang terjadi di era Orde baru: mulai peristiwa<br />
65, Tanjung Priok 1984, Penembakan Misterius 1983, Talangsari<br />
1989, Marsinah tahun 1993, penculikan aktivis 97-98, hingga<br />
peristiwa Trisakti dan Semanggi, digelar secara terbuka.<br />
Layaknya pengadilan pidana biasa, syarat-syasat formil dan<br />
materil hukum acaranya mengikuti sistem hukum acara yang<br />
berlaku. Dengan majelis hakim berjumlah tiga orang dan tiga<br />
jaksa penuntut umum, sidang diawali dengan pembacaan<br />
dakwaan dari jaksa penuntut. Dalam dakwaanya, Soeharto<br />
beserta kroninya , selama menjabat sebagai presiden sejak tahun<br />
1966-1998, telah melakukan pelanggaran HAM berat berupa<br />
kejahatan kemanusiaan dan melanggar Undang-undang No 26<br />
Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.<br />
Hari pertama sidang dimulai dengan pembacaan dakwaan dan<br />
dilanjutkan kesaksian. Saksi-saksi yang dimintai keterangan<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 5
BERITA UTAMA<br />
diantaranya: Tjasman (korban 65), Budi Mulyono (korban<br />
Penembakan Misterius 1983), Wanma Yety (keluarga korban<br />
Tanjung Priok 1984 ), Ruminah dan Darwin (keluarga korban<br />
Tragedi Mei 98), Sumarsih (keluarga korban Semanggi). Para<br />
korban menerangkan berbagai penderitaan, peristiwa yang<br />
dialami selama masa orde baru berkuasa<br />
Hari kedua dilanjutkan dengan kesaksian para ahli: Sri Bintang<br />
Pamungkas, Fadjroel Rahman, Muchtar Pakpahan, dan saksi<br />
ahli yang lain. Saksi-saksi ini menceritakan bagaimana parahnya<br />
kondisi politik, sosial, hukum, ekonomi dan budaya bangsa<br />
Indonesia pada saat Soeharto berkuasa sehingga bangsa ini<br />
mengalami krisis multidimensi.<br />
Selain keluarga korban dan mahasiswa yang menghadiri acara<br />
tersebut, seribu nisan disusun mengelilingi tempat pengadilan.<br />
Tenda-tenda keprihatinan sebagai tempat menginap para aktivis<br />
memanjang mengitari nisan. Kuburan manusia bertuliskan<br />
kasus-kasus yang terjadi selama Orde Baru berkuasa<br />
menyimbulkan banyaknya peristiwa pelanggaran HAM yang<br />
terjadi.<br />
Akhir dari impunitas<br />
Kontras yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Adili<br />
Soeharto (Gemas) melihat bahwa kematian Soeharto, sekali lagi<br />
tidaklah dilihat sebagai akhir dari sebuah impunitas. Artinya,<br />
bukan akhir dari kewajiban pemerintah Indonesia untuk<br />
menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM dan Korupsi.<br />
Kematian Soeharto harus menjadi momentum bagi<br />
pemerintah untuk terus bekerja keras mengungkap kebenaran<br />
dan mengadili pelaku-pelakunya<br />
Upaya mengungkap kebenaran dan mengadili pelaku (dalam<br />
hal ini Soeharto dan kroni-kroninya), tidak semata-mata<br />
merupakan kewajiban pemerintah, akan tetapi juga<br />
merupakan prasyarat perbaikan bangsa. Bangsa yang besar<br />
harus berani menghadapi kebenaran atas kesalahannya<br />
dimasa lalu. Karena dengan kesalahan tersebut sebuah<br />
bangsa bisa menghindari kesalahan yang sama, seperti<br />
kediktatoran pemerintah.<br />
Kematian Soeharto hanya menggugurkan kesempatan bagi<br />
almarhum untuk membela diri dan kewajiban untuk<br />
mempertanggungjawabkan kesalahan-kesalahannya secara<br />
individual. Lebih jauh, kematian tersebut tidak berimplikasi<br />
pada penghapusan pertanggung jawaban terhadap pejabatpejabat<br />
lain (kroni-kroni) yang terlibat dalam kejahatankejahatan<br />
yang sistematis.<br />
Karenanya, pengampunan atau pemaafan merupakan hak dari<br />
para korban dan keluarga korban. Pemaafan dan<br />
pengampunan hanya dapat diberikan kepada mereka yang<br />
dideritakan dan dirugikan oleh kebijakan dan perilaku orde<br />
baru. Pengampunan dan pemaafan kepada Soeharto tidak bisa<br />
diberikan oleh pemerintah karena kejahatan-kejahatan<br />
tersebut dilakukan dalam kapasitasnya sebagai Pemerintah<br />
(dimasa lalu). Jika pemaafan dan pengampunan diberikan<br />
maka akan terjadi pemaafan dan pengampunan bagi diri<br />
sendiri oleh pemerintah (self amnesty).***<br />
Keadilan Korban Harus Dikedepankan<br />
Keluarga Korban Peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari Lampung 1989, Mei 1998, penembakan mahasiswa Trisakti<br />
1998, penembakan mahasiswa Semanggi 1998-1999, penculikan aktivis pro demokrasi 1997/1998, peristiwa 1965,<br />
menyatakan turut belasungkawa atas meninggalnya mantan Presiden Soeharto.<br />
Namun, kami lebih prihatin dengan rendahnya ketegasan sikap Pemerintah dan DPR RI apalagi ditambah<br />
berkembangnya ide “memaafkan Soeharto” dari berbagai kalangan tanpa pertimbangan-pertimbangan yang seimbang<br />
antara kemanusiaan bagi Soeharto dan keadilan bagi korban.<br />
Pada dasarnya, jika memang Pemerintah berniat sungguh-sungguh ingin menghadirkan keadilan pada korban, maka<br />
bukanlah hal yang sulit pula bagi keluarga korban untuk memaafkan Soeharto.<br />
Persoalan yang menjadi perhatian korban adalah penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang menimpa<br />
pada korban, anak-anak & sanak keluarga korban. Penuntasan itu adalah pengungkapan kebenaran atas apa yang<br />
sesungguhnya terjadi pada korban sebagai rangkaian kekerasan politik Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.<br />
Keadilan harus lebih dimaknai lebih dari sekadar menghukum pelaku, baik di tingkat penanggungjawab maupun di<br />
tingkat lapangan. Keadilan juga penting mengembalikan hak-hak korban seoptimal mungkin seperti sediakala. Dan<br />
kewajiban menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu seperti digambarkan di atas menjadi tanggung jawab negara.<br />
Kita menyesalkan pula hingga saat ini tidak ada tindakan yang layak dari negara, terutama pemerintahan paska<br />
Soeharto, untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Padahal, hal inilah yang mengakibatkan<br />
perdebatan memaafkan Soeharto menjadi sulit diterima secara baik karena negara tak pernah secara resmi menjelaskan<br />
“dimaafkan atas kesalahan yang mana”.<br />
Karenanya, dalam momentum ini korban menuntut Pemerintahan SBY-JK memberikan pengakuan secara resmi dan<br />
terbuka atas kekeliruan-kekeliruan negara di masa lalu. Pengakuan negara menjadi penting sebagai niat awalan untuk<br />
menunjukkan keberpihakan pemerintahan saat ini pada persoalan kemanusiaan. Korban akan merasa semakin teraniaya,<br />
terdiskriminasi dan terjauhkan dari rasa keadilan jika kemanusiaan hanya ditujukan untuk Soeharto.***<br />
6<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
SUARA KORBAN<br />
In Memoriam Almarhum Jenderal Besar Soeharto<br />
Abdullah Bawi<br />
Korban Tragedi 1965<br />
Ketika kesalahan sulit dimaafkan dan dosa-dosa tak terampuni<br />
Segala kejahatan tidak dapat dihukum dan kemanusiaan terabaikan<br />
Walaupun para korban mencari keadilan<br />
Kau senyum di atas tahta dan singgasana<br />
Kau biarkan kroni dan penjahat menjarah negeri<br />
Kau lantunkan lagu<br />
Tentang sorga dan pembangunan tanpa makna<br />
Di atas derita dan derai air mata jutaan anak bangsa<br />
Kau ulurkan tangan persahabatan hampa<br />
Ketika berkuasa<br />
Kau biarkan tangan-tangan durjana merampas kemerdekaan<br />
Kau tindas mereka yang teraniaya<br />
Kau jebloskan mereka ke penjara tanpa dosa<br />
Dengan dalih demi keamanan dan ketertiban<br />
Tangan besi mendera<br />
Mereka yang disiksa<br />
Karena kau penguasa<br />
Ketika kau wafat<br />
Jutaan orang mengantar jasadmu<br />
Sebagai pahlawan pembangunan tanpa arti<br />
Di atas bayang-bayang surgawi<br />
Kau tinggalkan dunia yang fana ini<br />
Dengan kehancuran dan tangisan pilu<br />
Dengan rintihan pencari keadilan fatamargona jauh disana<br />
Ketika jasadmu terbukur kaku di Astana Giribangun<br />
Tinggallah kami<br />
Meniti lorong-lorong sempit keadilan dalam kegelapan<br />
Tanpa henti<br />
Banjarbaru, 1 Januari 2008<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 7
Penurunan Bendera Setengah Tiang<br />
Oleh : Usman Hamid<br />
Suatu hari saya dikirimi surat<br />
elektronik oleh seorang sahabat yang<br />
bertanya mengapa <strong>KontraS</strong> menolak<br />
menurunkan bendera setengah tiang<br />
selama 7 hari berkabung atas<br />
perginya mantan Presiden Soeharto.<br />
Pengibaran bendera 1/2 tiang selama<br />
7 hari memang dilakukan dengan<br />
merujuk Pasal 125 ayat (4) PP No.62/<br />
1990 yang ditetapkan 26 Desember<br />
1990. Namun jika kita menelusuri<br />
area-area pemukiman penduduk di<br />
sekitar kita, ada begitu banyak warga<br />
masyarakat yang tak menurunkan bendera setengah tiang<br />
sebagaimana diinstruksikan pemerintah. Apakah ini sebuah<br />
tanda ketidakpatuhan warga sipil atas kebijakan pemerintah<br />
(civil disobedience)<br />
Apapun jawabannya, instruksi pemerintah tersebut malah<br />
mencerminkan kepribadian ganda Negara. Di satu sisi<br />
menempatkan Soeharto sebagai terdakwa korupsi tujuh<br />
yayasan, tapi pada saat yang sama ingin menempatkannya<br />
sebagai prajurit terbaik dan negarawan sejati, lalu<br />
menempatkan kejahatan korupsi yang dituduhkan kepadanya<br />
dalam ruang lingkup kekhilafan di ranah privat. Ada dua alasan.<br />
Pertama, penurunan bendera sebagai act of obedience. Pengibaran<br />
bendera sebagai tindakan<br />
kepatuhan dalam sudut<br />
pandang legal institusional atau<br />
positivisme (formalisme<br />
hukum) meminta kita<br />
mematuhi instruksi Presiden/<br />
pemerintah atas kematian<br />
mantan penguasan rejim Orde<br />
Baru Soeharto.<br />
Instruksi negara perlu<br />
dipisahkan dari otonomi<br />
personal dan kemerdekaan<br />
berpikir, berkeyakinan dan cara<br />
bersikap warganya. Sebagai<br />
warga demokratik, kita<br />
berusaha tak terjebak ke dalam<br />
cara berpikir “Befehl is befehl”<br />
(instruksi adalah instruksi),<br />
apalagi menafsirkan peraturan<br />
sebagaimana pihak yang kuat (pemerintah yang berkuasa saat<br />
ini) menafsirkannya begitu saja.<br />
Sebagai ilustrasi, andai pemerintah mengesahkan peraturan<br />
wajib militer bagi setiap warga berusia 18-45 tahun untuk<br />
mempertahankan negara, apakah itu berarti semua warga harus<br />
patuh Apakah jika ada yang menolak kewajiban itu lalu kita<br />
anggap sama dengan menolak untuk mempertahankan<br />
negara/negeri/republik Jawaban atas dua pertanyaan ini<br />
adalah satu, tidak.<br />
Mempertahankan tanah air tempat kita dilahirkan adalah<br />
hak sekaligus kewajiban moral/etis. Tapi itu bisa lewat<br />
beragam cara. Wamil hanyalah satu di antara banyak cara.<br />
Mereka yang berkeyakinan untuk memegang teguh keyakinan<br />
ahimsa atau nir-kekerasan tentu menolak untuk mengikuti<br />
wamil karena dinilai mengandung unsur kekerasan. Mereka<br />
yakin bahwa hidup bersama dalam perdamaian bisa<br />
ditempuh dengan cara yang beradab/tanpa kekerasan. Jalan<br />
militer/perang terbukti memakan ongkos besar, persenjataan,<br />
uang hingga biaya kemanusiaan yang kerap menimbulkan<br />
kesedihan, derita dan kertelukaan.<br />
Adalah sah bila seorang warga menolak untuk ikut wamil<br />
demi mempertahankan negara. Sikap ini merupakan bagian<br />
dari hak seseorang atas kemerdekaannya dalam berpikir dan<br />
berkeyakinan. Hukum internasional/nasional tentang Hakhak<br />
Sipil dan Politik menjamin hak setiap orang yang menolak<br />
memenuhi panggilan wajib militer (consentious objectors).<br />
Komisi HAM PBB meminta tiap negara menyediakan<br />
alternatif bela negara selain wamil, seperti pemadam<br />
kebakaran, ahli teknologi dst.<br />
Di sini paham pertahanan tak sekadar dipahami sebagai<br />
military based defence tapi juga civilian based defence. Sebagian besar<br />
negara-negara kini telah menghapus wajib militer.<br />
Aksi menuntut pengadilan terhadap Soeharto<br />
Dok.Kontras<br />
Ada banyak ilustrasi yang<br />
dapat dikemukakan untuk<br />
melihat peraturan sebagai<br />
peraturan, perintah sebagai<br />
perintah. Misalnya,<br />
pandangan realisme hukum<br />
yang meyakini bahwa<br />
keputusan hakim boleh<br />
berbeda dengan teks hukum<br />
atau peraturan. Ini karena<br />
definisi hukum kerap<br />
menjadi kabur saat<br />
disandingkan dengan<br />
kenyataan. Demi kebenaran,<br />
demi keadilan, hakim bisa<br />
menembus normatifitas<br />
hukum di atas kertas.<br />
Saya tak hendak<br />
menyamakan sikap dan cara kita memandang peraturan,<br />
melainkan hendak meminta pemerintah memperlakukan<br />
mereka yang sama dengan cara yang sama, dan dengan cara<br />
berbeda untuk mereka yang berbeda. Itu agar adil/fair. Dan<br />
kita yakin, pemerintah tak sedang memaksakan kehendaknya,<br />
dan karena itu pula saya bisa mengerti dan tetap<br />
menghormati mereka yang mengibarkan bendera setengah<br />
8<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
tiang atas dasar hati sanubari sendiri ketimbang<br />
melakukannya sebagai sebuah kepatuhan belaka.<br />
Kedua, bendera sebagai act of recognition. Bendera adalah sebuah<br />
lambang tindakan pengakuan, bisa kepada kedaulatan sebuah<br />
bangsa atau lambang penghormatan kepada sesuatu yang<br />
mulia, seperti penghormatan pada orang terhormat yang mati<br />
dalam perjuangan.<br />
Benar bahwa Jenderal Soeharto telah diakui telah menduduki<br />
jabatan Presiden Republik Indonesia selama tiga dekade.<br />
Pengakuan itu tak lagi punya arti yang sama ketika proses<br />
perolehan jabatannya dulu ditempuh lewat kudetamerangkak<br />
atas kekuasaan Presiden RI Soekarno; terlebih lagi<br />
karena status terakhirnya sebagai seorang terdakwa perkara<br />
kejahatan serius, yaitu korupsi tujuh yayasan.<br />
Presiden Chile Michelle Bachelet menolak upacara kenegaraan<br />
untuk kematian mantan Presiden Chile Jenderal Augusto<br />
Pinochet. Alasannya sederhana, status hukum Pinochet<br />
sebagai terdakwa kejahatan korupsi serta skandal Pinochet<br />
menggulingkan pemerintahan sipil Salvador Allende lewat<br />
kudeta militer, mengepung dan membom istana Allende.<br />
Penolakan ini bukan tanpa kebijaksanaan. Meski menolak<br />
upacara kenegaraan, ia kemudian menyetujui upacara militer<br />
bagi kematian Pinochet. Selanjutnya, proses hukum atas dugaan<br />
korupsi yang dilakukan keluarga dan kroni-kroninya Pinochet<br />
tidak dihentikan.<br />
Lalu bagaimana menempatkan Soeharto dalam perjalanan<br />
sejarah Apakah benar ada jasanya atau sebaliknya, merusak<br />
cita-cita republik Indonesia Di sini, kita mungkin bisa berbeda.<br />
Selain hal di atas, penolakan aktivis HAM atas penurunan<br />
bendera ½ tiang lebih didasari pada sebuah bentuk solidaritas<br />
pada korban politik kekerasan Orde Baru. Sikap ini tentu “bukan<br />
sebuah kepercayaan filosofis dan agama …(melainkan) kepekaan memahami<br />
perasaan orang lain yang mampu membuat kita bersikap solider kepada<br />
orang lain (Richard Rorty).<br />
Siaran Pers mengenai status Soeharto paska<br />
kematiannya<br />
Aksi korban menuntut pengadilan atas Soeharto<br />
Koalisi melakukan kunjungan ke Gedung DPR/MPR, mereka diterima oleh Ketua MPR-RI Hidayat Nur<br />
Wahid, terkait dengan kasus Soeharto<br />
Dok. Kontras<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 9
JEJAK SANG PEJUANG<br />
Pollycarpus Diganjar Hukuman 20 Tahun Penjara<br />
Akhir Januari (25/1), majelis hakim mengabulkan permohonan PK kasus Munir. Polly<br />
mantan pilot Garuda itu terbukti bersalah dan divonis penjara 20 tahun. Sedang Indra<br />
Setiawan diganjar satu tahun penjara. Sayang, Rohainil Aini divonis bebas karena tak<br />
terbukti bersalah. Polisi berjanji akan menyidik kembali nama-nama (penjabat BIN), yang<br />
terlibat dalam konspirasi pembunuhan ini, berdasarkan fakta yang ada di persidangan.<br />
Memasuki 2008, Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM)<br />
menilai keseriusan Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan<br />
Pengadilan khususnya Mahkamah Agung (MA) untuk<br />
mengungkap kasus konspirasi pembunuhan pejuang HAM,<br />
Munir mengendur. Sehingga beberapa perkembangan<br />
pengungkapan fakta yang cukup menjanjikan di tahun 2007<br />
tereduksi.<br />
Berdasarkan perkembangan persidangan untuk tersangka Indra<br />
Setiawan (mantan Dirut Garuda) dan Rohainil Aini (Secretary<br />
Chief of Pilot Garuda), Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan<br />
Pengadilan belum sanggup menghadirkan saksi-saksi, yakni<br />
Agen BIN Budi Santoso, Mantan Deputi V BIN Muchdi<br />
Purwopranjono, Wakil Ketua BIN As’ad Ali Said, Mantan Ketua<br />
BIN Hendropriyono. Di sisi lain, dalam persidangan dengan<br />
terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, MA tak kunjung<br />
mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali (PK).<br />
KASUM juga menilai, hal penting yang harus segera dilakukan<br />
MA di awal 2008 adalah segera memutuskan PK bagi Polly.<br />
Putusan PK ini tidak hanya memutuskan Polly bersalah dengan<br />
membatalkan putusan majelis hakim MA sebelumnya, namun<br />
juga harus menggambarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam<br />
persidangan yang memberikan gambaran dan bukti bahwa<br />
pembunuhan ini tidak hanya melibatkan Polly, namun juga<br />
beberapa pejabat penting yang ada dalam BIN. Demikian pula<br />
MA harus berani mengambil fakta persidangan yang muncul<br />
dalam sidang Indra Setiawan dan Rohainil Aini, terutama fakta<br />
yang berkaitan dengan para pejabat BIN.<br />
Sedangkan Jaksa Agung dengan timnya harus segera<br />
menghadirkan Budi Santoso di persidangan dan meminta Kepala<br />
BIN bekerjasama dalam proses hukum ini. Usaha ini merupakan<br />
bentuk dari keseriusan pihak kejaksaan untuk mengungkap<br />
konpirasi pembunuhan ini.<br />
Disamping kedua hal diatas, pemeriksaan oleh kepolisian<br />
terhadap As’ad Ali Said, Hendropriyono dan Muchdi PR menjadi<br />
penting. Terutama, setelah proses persidangan pada 2007 lalu<br />
berhasil mengungkap adanya benang merah upaya sistematis<br />
yang dilakukan oleh para pejabat BIN dalam menghilangkan<br />
nyawa Munir.<br />
Sekadar mengingatkan, pada proses persidangan 2007 tercatat<br />
beberapa fakta penting peranan Polly dan Muchdi PR yang tidak<br />
ditolak dan tidak terungkap pada sidang-sidang sebelumnya,<br />
yaitu bahwa penerbangan Polly (6 September 2004) dengan GA<br />
974 adalah kemauannya sendiri. Hal ini terungkap dalam sidang<br />
Indra Setiawan dengan agenda konfrontasi yang dihadiri oleh<br />
Rohainil Aini, Karmel Sembiring dan Ramelgia Anwar. Dengan<br />
demikian telah terjadi penyalahgunaan prosedur yang ada.<br />
Terungkap pula keterkaitan Polly dengan BIN dengan<br />
pengakuan bahwa penugasan Polly menjadi Aviation Security<br />
atas permintaan BIN. Terungkap pula keterkaitan Polly<br />
dengan Muchdi PR selaku Deputi V BIN serta keterlibatan<br />
beberapa pejabat dan agen BIN lainnya dalam pembunuhan<br />
ini.<br />
Berdasarkan evaluasi KASUM, di tahun 2007 lalu tim<br />
kepolisian yang baru telah menunjukkan kerja yang lebih<br />
baik dari tim sebelumnya, walaupun sampai saat ini belum<br />
ditunjukkan bukti konkret akan upaya penegakan hukum<br />
yang serius kepada pejabat BIN yang diduga kuat terlibat<br />
dalam pembunuhan ini.<br />
Tahun lalu juga membuktikan bahwa BIN yang dikepalai oleh<br />
Syamsir Siregar belum menunjukkan langkah yang kooperatif<br />
dalam penegakan hukum. Hal ini dibuktikan dengan “tidak<br />
bersedianya” anggota BIN Budi Santoso dipanggil kejaksaan<br />
untuk bersaksi.<br />
Atas dasar kemajuan dan hambatan di tahun 2007, KASUM<br />
mendesak Presiden SBY untuk memerintahkan Kepala BIN<br />
agar bekerjasama dalam penegakan hukum pengungkapan<br />
pembunuhan Munir dan memerintahkan Kejagung serta<br />
Kepolisian agar bersungguh-sungguh menggungkap fakta<br />
dan menghadirkan dalam persidangan. KASUM berharap<br />
Pengadilan dapat bekerja atas dasar keadilan dan kebenaran<br />
yang tidak hanya dilahirkan dalam dokument formal namun<br />
juga fakta yang berkembang di masyarakat dan publik luas.<br />
BIN harus umumkan<br />
Mengamati perkembangan tersebut, pengamat intelijen<br />
Suripto mengatakan bahwa BIN harus mengumumkan secara<br />
terbuka mengenai siapa orang atau pihak yang patut diduga<br />
membunuh Munir. “Di polisi kan ada intelijennya. Ya, harus<br />
mengumumkan secara terbuka, “ ujar Suripto.<br />
Yang dimaksudkan diumumkan secara terbuka adalah<br />
sejumlah bukti yang mengarah kepada terbunuhnya Munir,<br />
katanya. Suripto memberi contoh, kontak telepon yang<br />
intensif antara Polly dengan penjabat BIN Muchdi PR adalah<br />
bukti kunci untuk menguak tabir siapa yang bertanggung<br />
jawab di balik kematian Munir. “Isi percakapan tersebut<br />
adalah bukti kunci adanya konspirasi di balik kematian<br />
Munir, “ ujar Suripto.<br />
Kontak intensif antara Muchdi dan Polly tertuang dalam<br />
putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat (20/12/2005). Kontak<br />
ini berlangsung selama 41 kali sambungan telepon antara<br />
telepon seluler milik Muchdi dan nomor telepon rumah dan<br />
telepon seluler Polly.<br />
10<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
JEJAK SANG PEJUANG<br />
Sedang isu keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir<br />
mencuat lagi berdasarkan pengakuan agen BIN Budi Santoso<br />
dalam BAP (berita acara pemeriksaan) kepolisian. Dalam BAPnya,<br />
Budi Santoso menyatakan adanya hubungan dekat antara<br />
Polly dan Muchdi PR.<br />
dalam BAP. “Keterangannya di bawah sumpah, itu nilainya<br />
sama dengan ketika dia datang ke persidangan. Tapi, baiknya<br />
memang saksi datang langsung, “ tambahnya.<br />
Muchdi beri uang Polly<br />
Suripto menyatakan, meski Polri dan Kejagung<br />
mengaku tidak bisa melacak rekaman<br />
pembicaraan Muchdi dan Polly karena<br />
keterbatasan teknologi informasi, namun<br />
seharusnya keterbatasan teknologi informasi<br />
tidak menghalangi pengungkapan secara tuntas<br />
kasus Munir.<br />
Pernyataan senada juga meluncur dari<br />
pengamat intelijen Wawan H Purwanto.<br />
Menurut Wawan, FBI (Biro Penyidik Federasi)<br />
sudah dilibatkan untuk menggusut kasus<br />
pembunuhan Munir termasuk meneliti isi<br />
percakapan Muchdi PR dan Polly. Wawan mengungkapkan<br />
sudah lebih dari enam bulan rekaman pembicaraan Polly dan<br />
Muchdh PR sudah ditangani FBI. “FBI harus terbuka, bukanlah<br />
peralatannya sudah sedemikian canggih Apa pun hasilnya<br />
harus diungkapkan ke publik yang sudah menunggu<br />
sedemikian lama, “ desaknya. Ia menegaskan bahwa<br />
persidangan kasus Munir selama ini memang berputar-putar<br />
pada asumsi karena ketiadaan bukti.<br />
“ Budi Santoso sangat<br />
menyesal tidak dapat<br />
menghadiri<br />
persidangan. Yang<br />
bersangkutan sedang<br />
melaksanakan tugas<br />
negara tertutup di luar<br />
negeri,” Keterangan<br />
Kepala BIN<br />
Keterkaitan Polly dan Muchdi pada akhirnya<br />
terkuak juga. Keduanya diakui berteman. Fakta<br />
itu terungkap saat JPU Didik Farhan,<br />
membacakan BAP Budi Santoso, di PN Jakpus (15/<br />
1). BAP Budi ini dibacakan setelah jaksa gagal<br />
menghadirkan Budi sebagai saksi meski tiga kali<br />
melayangkan panggilan. Jaksa kembali menerima<br />
surat dari Kepala BIN Syamsir Siregar, yang<br />
menerangkan, Budi masih berada di luar negeri<br />
menjalankan tugas negara secara tertutup.<br />
Pembacaan BAP disetujui baik oleh hakim<br />
maupun penasehat hukum terdakwa Indra<br />
Setiawan. Keterangan itu diambil di bawah sumpah. Dalam BAP<br />
itu, Budi mengaku mengenal Polly pada pertengahan 2004. Polly<br />
datang ke ruang kerjanya dan memperkenalkan diri sebagai<br />
pilot. Agen madya di bawah kendali Deputi I Urusan Luar Negeri<br />
BIN itu mengungkapkan bahwa Polly tidak memiliki jabatan<br />
struktural di BIN, namun merupakan anggota jaringan BIN.<br />
Polly menemui Budi atas referensi Muchdi dan meminta tolong<br />
agar Budi mengoreksi surat yang dikonsep dan diketiknya.<br />
Budi Santoso kembali absen<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan kesempatan<br />
sekali lagi kepada jaksa penuntut umum untuk memanggil<br />
ulang Budi Santoso, anggota BIN. Meski kesempatan<br />
menghadirkan saksi fakta sudah habis dan terbatasnya waktu<br />
untuk memeriksa perkara itu, hakim merasa perlu<br />
memberikan kesempatan lagi kepada jaksa mengingat<br />
pentingnya saksi Budi. “Kalau yang bersangkutan memang<br />
tidak bisa hadir, kita akan memikirkan bersama, “ ujar Ketua<br />
Majelis Hakim Heru Pramono, Selasa (8/1).<br />
Budi Santoso telah dipanggil ke persidangan untuk kedua<br />
kalinya. Jaksa pernah memanggil Budi Santoso pada 18<br />
Desember 2007. Namun, Kepala BIN Syamsir Siregar<br />
menyampaikan, Budi tidak dapat hadir karena melakukan<br />
tugas ke luar negeri. “Keterangan surat dari Kepala BIN<br />
Syamsir Siregar menyatakan anggota BIN Budi Santoso sangat<br />
menyesal tidak dapat menghadiri persidangan. Yang<br />
bersangkutan sedang melaksanakan tugas negara tertutup di<br />
luar negeri,” jelas Heru Pramono.<br />
Panggilan kedua pun dilayangkan. Budi Santoso diminta hadir<br />
pada 8 Januari kemarin. Namun, yang bersangkutan tetap<br />
tidak hadir. Jaksa pun siap melayangkan panggilan ketiga.<br />
Meski Budi tidak datang, JPU tidak serta merta membacakan<br />
BAP-nya. Namun, JPU minta kesempatan sekali lagi untuk<br />
menghadirkan agen madya BIN yang berdinas di Direktorat<br />
5.1 itu. Menurut JPU Didik Farkhan, keterangan Budi Santoso<br />
sangat penting. Jika Budi Santoso tidak hadir juga, Didik<br />
mengungkapkan pihaknya akan membacakan kesaksiannya<br />
Menurut Budi, surat itu berisi rekomendasi agar Polly<br />
ditempatkan pada bagian corporate security. Ia mengaku<br />
mengoreksi beberapa hal, seperti tata letak dan kalimat yang<br />
janggal atau tidak sesuai dengan bahasa yang sering digunakan<br />
BIN. Surat itu dalam BAP juga menyediakan kolom untuk<br />
ditandatangani Wakil Kepala BIN M As’ad.<br />
Setelah dikoreksi, surat itu dikembalikan kepada Polly.<br />
Selanjutnya, Budi mengaku tak mengetahui bagaimana surat<br />
itu dinomori dan distempel. Hal itu bisa dilakukan Biro Umum<br />
BIN atau dengan cara bon nomor dan meminjam stempel.<br />
Budi dalam BAP juga menyebutkan, ia pernah diminta<br />
menyerahkan uang Rp 10 juta kepada Polly pada 14 Juni 2004.<br />
Penyerahan uang dilakukan di ruang tamu Muchdi. Ia juga<br />
diperintahkan Muchdi agar memberikan uang antara Rp 3 juta<br />
dan Rp 4 juta beberapa minggu setelah Polly mulai menjalankan<br />
pemeriksaan di kepolisian terkait dengan kematian Munir. Budi<br />
mengaku tidak mengetahui pemakaian uang itu.<br />
Anggota BIN itu juga mengaku pernah beberapa kali menerima<br />
telepon dari Polly, baik dari telepon rumah maupun telepon<br />
genggam, misalnya pada 23 Agustus 2004, 7 September 2004,<br />
atau 9 September 2004. telepon terus berlanjut pada bulan<br />
September (15 kali), Oktober dan November 2004. Polly<br />
kebanyakan menanyakan keberadaan Muchdi. Budi juga<br />
menerangkan dalam BAP, bahwa ia juga diminta Muchdi untuk<br />
mengecek keberadaan Polly. “Jadi, semacam penghubung antara<br />
keduanya, “ ujar jaksa.<br />
Namun, semua keterangan itu dibantah Polly, yang juga<br />
diperiksa sebagai saksi. Ia mengaku tak mengenal Budi, tak<br />
mengonsep surat BIN, tidak mengenal dekat Muchdi, tidak<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 11
JEJAK SANG PEJUANG<br />
menerima uang dan tak pernah menelepon Budi. Ia justru<br />
menduga Budi Santoso merupakan tokoh fiktif yang diciptakan<br />
jaksa.<br />
Muchdi PR patut dijadikan tersangka<br />
Mencermati proses sidang yang memaparkan pengakuan Budi<br />
Santoso dalam BAP yang dibacakan oleh JPU diatas, jelas bahwa<br />
Polly dan Muchdi memang berteman. Padahal, dalam<br />
persidangan terdahulu, Polly dan Muchdi selalu membantah<br />
saling kenal. Bahkan saat ditanyakan langsung, Polly tetap<br />
membantah.<br />
Untuk itu KASUM dalam siaran persnya mengatakan bahwa<br />
keterangan yang diungkapkan Budi Santoso dapat memperkuat<br />
fakta sidang terdahulu, di mana hubungan Polly dan Muchdi<br />
juga teridentifikasi melalui hubungan nomor telepon genggam<br />
yang digunakan keduanya. Selain telepon genggam, hubungan<br />
keduanya telah terekam dalam komunikasi telepon dari telepon<br />
rumah Polly dan kantor Muchdi.<br />
Semula, KASUM sebenarnya mengharapkan Jaksa Penuntut<br />
Umum dapat menghadirkan saksi Budi Santoso secara fisik.<br />
Kehadiran saksi tersebut dapat digunakan majelis hakim,<br />
penuntut umum, maupun juga pengacara terdakwa Indra<br />
Setiawan untuk menggali fakta lebih dalam yang tak dibatasi<br />
oleh keterangan tertulis dalam BAP. Penggalian ini sudah barang<br />
tentu dapat menyempurnakan keterangan dalam BAP yang baru<br />
merupakan hasil penggalian pihak penyidik.<br />
Namun demikian, KASUM tetap menghormati JPU yang<br />
membacakan BAP yang berisi keterangan Budi Santoso. KASUM<br />
berpegang pada ketentuan hukum Pasal 162 ayat (2) KUHAP<br />
yang menyatakan, “jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di<br />
bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan<br />
saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.”<br />
Selanjutnya, KASUM berpendapat bahwa keterangan saksi Budi<br />
Santoso sebaiknya dapat mendorong pihak Penyidik Polri untuk<br />
menjadikan Muchdi PR sebagai tersangka. Guna menghindari<br />
kemungkinan terjadinya kejahatan lain yang ditimbulkan atas<br />
status baru bagi Muchdi PR, pihak penyidik juga diharapkan<br />
melakukan penahanan. Ini sesuai dengan UU 8 tahun 1981<br />
tentang KUHAP Pasal 106 yang mewajibkan pada penyidik untuk<br />
mengambil tindakan penyidikan yang diperlukan.<br />
Kewajiban hukum penyidik untuk menjadikan mantan Deputi<br />
V BIN Muchdi PR sebagai tersangka bahkan sebenarnya dapat<br />
dilakukan secara hukum sejak awal, tanpa menunggu<br />
pembacaan BAP Budi Santoso dalam sidang yang lalu. Hal ini<br />
dikarenakan penyidik telah mengetahui fakta tentang peran<br />
Muchdi PR dalam konspirasi pembunuhan Munir, setelah<br />
mendapat kesaksian di bawah sumpah oleh Budi Santoso.<br />
Langkah penyidik Polisi untuk menjadikan Muchdi sebagai<br />
tersangka adalah langkah yang amat penting untuk<br />
mengungkapkan lebih jauh pihak-pihak yang terlibat sebagai<br />
konspirator pembunuhan Munir. Hal ini tidak hanya<br />
mengungkapkan siapa dalang pelaku pembunuhan tapi juga<br />
siapa yang secara tidak langsung harus bertanggungjawab,<br />
karena paling memiliki kepentingan atas pembunuhan ini.<br />
Selain menetapkan status tersangka dan melakukan<br />
penahanan terhadap Muchdi, kesaksian Budi Santoso<br />
dibawah sumpah dapat menjadi pijakan bagi penyidik untuk<br />
mulai melakukan penyidikan terhadap mantan Kepala BIN<br />
Hendropriono. Ada beberapa alasan yang patut<br />
dipertimbangkan. Yakni, fakta sidang mengungkap bahwa<br />
perencanaan kejahatan berada di dalam kantor BIN, termasuk<br />
menggunakan fasilitas yang ada. Lalu, fakta sidang<br />
mengungkap bahwa ada wewenang institusional atau<br />
kelembagaan BIN juga disalahgunakan, dengan<br />
terungkapnya dokumen surat yang memakai identitas BIN<br />
dan ditandatangani oleh pejabat BIN untuk meminta<br />
Presiden Direktur Garuda agar mengangkat Polly di luar<br />
prosedur normal Garuda. Dan pada akhirnya fakta sidang<br />
semakin mengungkap benang merah pembunuhan,<br />
bagaimana pola dan sistematika perencanaannya.<br />
Indra yakin Polly orang BIN<br />
Sementara itu, mantan Direktur Garuda Indra Setiawan yakin<br />
bahwa Polly adalah orang BIN. Keyakinan itu muncul ketika<br />
Indra menerima surat dari BIN yang dibawa sendiri oleh<br />
Polly dan kemampuan mengatur pertemuan antara dirinya<br />
dengan Wakil Kepala BIN M As’ad.<br />
Hal tersebut dikemukakan Indra dalam sidang (18/01). Indra<br />
menjelaskan, surat itu diberikan sekitar Juni atau Juli 2004<br />
langsung oleh Polly. “Saya kaget waktu pertama kali<br />
menerima surat itu. Surat itu surat resmi yang<br />
ditandatangani Wakil Kepala BIN, “ ujarnya.<br />
Ditanya apakah ia mengorfirmasikan isi surat kepada pejabat<br />
yang bersangkutan, Indra mengaku tidak melakukannya. Ia<br />
juga tidak menanyakan untuk kepentingan apa atau misi<br />
intelijen apa yang dilaksanakan BIN di perusahaan yang<br />
dipimpinnya. Saat itu, ia hanya berpikir bahwa surat tersebut<br />
berasal dari institusi negara yang wajib dilaksanakan. “Saya<br />
punya kewajiban untuk melaksanakannya. Ini surat resmi,<br />
ada nomornya,” ujar Indra.<br />
Indra mengaku minta dipertemukan dengan pemberi surat<br />
atau M As’ad pada sekitar Oktober atau November 2004, atau<br />
setelah peristiwa kematian Munir di pesawat. Ia meminta<br />
Polly memfasilitasi pertemuan tersebut. “Ternyata dia bisa<br />
menelepon. Kemudian Polly katakan, Bapak (Indra) bisa<br />
diterima. Dia oke, “ ujar Indra.<br />
Akhirnya pertemuan itupun terjadi di kantor BIN. Menurut<br />
Indra, dalam pertemuan itu tidak dibicarakan surat BIN atau<br />
kematian Munir. Mereka membicarakan tentang hal-hal yang<br />
bersifat umum. Dalam pertemuan itu pula, Indra mengaku<br />
pertama kali bertemu dengan Muchdi PR. Indra juga dicerca<br />
mengapa keterangannya tidak diungkap sejak awal ketika<br />
menjadi saksi dalam perkara Polly. Indra mengaku tidak<br />
pernah berpikir bahwa surat itu ada hubungannya dengan<br />
kematian Munir.<br />
Sementara itu, Rizal Ramli yang hadir sebagai saksi<br />
meringankan untuk Indra mengatakan, permintaan untuk<br />
menempatkan orang di posisi tertentu merupakan hal yang<br />
lazim dilakukan oleh instansi negara seperti BIN.<br />
12<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
JEJAK SANG PEJUANG<br />
Menurutnya, BIN sebagai agen intelijen sering meminta<br />
bantuan untuk menempatkan orang demi kepentingan<br />
intelijen dan keamanan. Tidak tertutup kemungkinan juga<br />
penjabat direkrut menjadi agen BIN dan sering melaporkan<br />
hal-hal yang dianggap penting.<br />
Polly dihukum 20 tahun<br />
Pada akhirnya setelah proses persidangan yang cukup<br />
panjang, MA menghukum Pollycarpus 20 tahun penjara<br />
karena terbukti secara sah melakukan pembunuhan<br />
berencana terhadap aktivis HAM Munir (25/1). Dalam putusan<br />
tersebut, MA menduga ada muatan politis dalam kasus<br />
pembunuhan Munir tersebut.<br />
“Tidak bisa dipastikan. Tapi diduga<br />
bermuatan politik. Munir itu kan<br />
orangnya banyak melakukan kritik<br />
terhadap kebijakan pemerintah dan<br />
mungkin dianggap berbahaya bagi<br />
kepentingan pemerintah, “ ujar Djoko<br />
Sarwoko, anggota Majelis Hakim PK<br />
MA.<br />
Putusan yang dibuat secara aklamasi<br />
oleh Majelis Hakim PK yang diketuai<br />
Bagir Manan tertuang dalam putusan<br />
bernomor 109/PK/PID/2007,<br />
mengabulkan permohonan PK yang<br />
diajukan kejaksaan. “Pollycarpus<br />
terbukti secara sah melakukan tindak<br />
pidana melakukan pembunuhan<br />
berencana dan pemalsuan surat. Menghukum terpidana<br />
dengan pidana penjara selama 20 tahun dikurangi masa<br />
tahanan yang sudah dijalani,” kata Kepala Biro Hukum dan<br />
Humas Nurhadi membacakan putusan PK itu.<br />
Dalam pertimbangannya, MA berpendapat alasan pengajuan<br />
PK oleh kejaksaan dapat dibenarkan. “Pertama, terjadi<br />
kekeliruan yang nyata dari hakim dalam memutus dan kedua<br />
adanya novum (bukti baru)” kata Djoko lagi. Ia juga<br />
menjelaskan pembunuhan terhadap Munir tidak dilakukan<br />
dalam penerbangan Jakarta-Singapura, tetapi di Bandara<br />
Changi, Singapura.<br />
Putusan PK tersebut jauh berbeda dengan putusan kasasi MA<br />
yang diputus 3 Oktober 2006. Dalam putusan kasasi, MA<br />
menyatakan Pollycarpus tidak terbukti membunuh Munir,<br />
tetapi hanya memalsukan surat tugas dan hanya divonis dua<br />
tahun penjara. Kasasi itu menggugurkan putusan PT DKI<br />
Jakarta yang menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. PT DKI<br />
Jakarta pada 27 Maret 2006 memvonis Pollycarpus 14 tahun<br />
penjara.<br />
Atas putusan tersebut, Pollycarpus, malam harinya dijemput<br />
paksa aparat kejaksaan dan langsung ditahan di Lembaga<br />
Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Polly dibawa dari<br />
rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang. Sesaat sebelum<br />
memasuki mobil Toyota Kijang warna perak milik kejaksaan,<br />
di depan puluhan wartawan yang mengerumuninya, Polly<br />
sempat mengibas-ngibaskan bendera Merah-Putih yang<br />
digenggamnya sambil berteriak, “Merdeka. Demi Merah-Putih,<br />
demi negara.” Sambil mengatakan bahwa dirinya tak bersalah,<br />
Polly juga akan memastikan menempuh upaya hukum yang<br />
masih tersedia. “PK milik saya, “ ujarnya sedikit berteriak.<br />
Tangkap Muchdi PR<br />
Persidangan terdakwa Indra Setiawan<br />
Menanggapi putusan tersebut, KASUM kembali mendesak<br />
Pemerintah khususnya aparat kepolisian untuk segera<br />
menangkap eks Deputi V BIN Muchdi Pr dan mengusut peran<br />
tersangka lainnya menyusul putusan MA (25/1).<br />
KASUM menilai, putusan MA adalah produk nyata dari kerja<br />
keras Polri dan Jaksa Agung dalam menemukan bukti-bukti<br />
baru. Meski belum puas, KASUM<br />
mengapresiasi kemajuan-kemajuan<br />
positif selama ini. Bagi KASUM, proses<br />
hukum tak boleh berhenti dengan<br />
dihukumnya kembali Polly. Proses<br />
hukum harus terus berjalan sampai<br />
tuntas dengan menyeret dan<br />
menghukum dalangnya.<br />
Putusan MA memperkuat kesimpulan<br />
Tim Pencari Fakta pimpinan Brigjen Pol.<br />
Marsudhi Hanafi yang dibentuk Presiden<br />
SBY pada Desember 2004. TPF<br />
Dok.Kontras menegaskan bahwa pembunuhan Munir<br />
adalah pembunuhan konspirasi atau<br />
persekongkolan jahat dari orang-orang<br />
yang ada di lingkungan Garuda Indonesia<br />
dan BIN. Searah dengan temuan TPF, MA<br />
menegaskan motif politik di balik pembunuhan Munir.<br />
Karena itu KASUM meminta agar putusan MA segera dijadikan<br />
fakta hukum baru untuk menyidik aktor-aktor lainnya, seperti<br />
Muchdi PR dan Hendropriono. Rujukannya adalah beberapa<br />
bukti baru (novum) yang menjadi dasar pertimbangan PK. Antara<br />
lain adalah keterangan Indra Setiawan (eks Dirut Garuda), Raden<br />
Padma Anwar alias Ucok (agen BIN) dan eks Direktur 51 BIN<br />
Budi Santoso.<br />
Indra Setiawan mengakui adanya permintaan As’ad Said Ali<br />
yang menjabat Wakil Kepala BIN saat itu dalam pengangkatan<br />
Polly sebagai Aviation Security. Indra Setiawan juga mengakui<br />
adanya arahan Muchdi Purwopranjono (eks Deputi V BIN).<br />
Dari keterangan Ucok terungkap perencanaan membunuh Munir<br />
yang melibatkan Sentot Waluyo (Agen BIN), Johanes Wahyu<br />
Saronto (Deputi IV BIN) dan Manunggal Maladi (Deputi II BIN).<br />
Dan yang paling jelas adalah terungkapnya peran eks Deputi V<br />
BIN Muchdi PR berdasarkan keterangan Budi Santoso, Indra<br />
Setiawan maupun hubungan telepon Muchdi Pr dengan Polly.<br />
Tuntutan tidak maksimal<br />
Di luar putusan MA, KASUM menilai tuntutan Jaksa Penuntut<br />
Umum untuk terdakwa Indra Setiawan (1,6 thn) dan Rohanil<br />
Aini (1 thn) pada sidang PN Jakarta Pusat (25/1) tidak optimal.<br />
Dari sisi keluarga Munir sebagai korban, tuntutan pidana ini<br />
tak mencerminkan rasa keadilan dan keseriusan JPU sebagai<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 13
JEJAK SANG PEJUANG<br />
wakil kepentingan umum dan wakil kepentingan korban.<br />
Suciwati merasa, tanpa peran Indra Setiawan, maka<br />
pembunuhan terhadap suaminya hampir mustahil bisa terjadi.<br />
Bahkan secara yuridis, tuntutan JPU di bawah standar minimal.<br />
KASUM juga berharap Presiden SBY segera mengambil<br />
tindakan-tindakan lebih lanjut agar Polri terus bekerjasama<br />
dengan BIN, untuk membongkar konspirasi pembunuhan Munir<br />
dengan menghukum semua orang yang terlibat di dalam<br />
kejahatan ini, dan membuktikan kelulusan pemerintah dalam a<br />
test of our history yang pernah dikatakan oleh Presiden.<br />
Ungkap perencana<br />
Sementara itu, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur),<br />
menilai Pollycarpus hanya pelaku yang dikorbankan dalam<br />
perkara pembunuhan Munir. Adapun perencana<br />
pembunuhannya malah tidak diungkap. “Pemerintah sudah<br />
biasa bohong kepada rakyatnya. Yang kasihan Polly dihukum<br />
20 tahun, tapi yang sesungguhnya merencanakan pembunuhan<br />
Munir malah bebas lepas dan bahkan menjadi menteri. Lha, terus<br />
piye, “ tutur Gus Dur.<br />
Menurut Gus Dur, kunci satu-satunya dan saksi paling utama,<br />
yakni personel BIN Budi Santoso, malah tidak dilepas untuk<br />
bersaksi dengan dalih sedang bertugas di luar negeri.<br />
“Semestinya masalah diungkap tuntas. Dengan demikian, bisa<br />
dilakukan perbaikan ke depan, “ ujar Gus Dur.<br />
Sedangkan Brigjen Marsudi Hanafi (Wakapolda Sumsel),<br />
mengatakan bahwa dijatuhkannya hukuman penjara 20 tahun<br />
atas Polly menunjukkan bahwa supremasi hukum dan keadilan<br />
di Indonesia belum mati. Hal ini tentunya sangat membesarkan<br />
hati karena hasil kerja TPF kasus Munir yang ketika itu menjadi<br />
perpanjangan tangan dari Presiden SBY telah membuahkan<br />
hasil. Lebih dari itu, karena kasus ini merupakan kasus<br />
konspirasi, maka Hanafi meyakini proses hukum akan<br />
dilanjutkan. Bentuknya adalah pemberian sanksi terhadap para<br />
pelaku lainnya.<br />
Tanggapan lainnya diutarakan oleh Asmara Nababan (Mantan<br />
Wakil Ketua TPF Munir), mengatakan putusan atas PK yang<br />
diajukan Kejaksaan Agung ke MA merupakan hal yang penting.<br />
Hal itu berarti penerimaan MA atas novum yang diajukan.<br />
Diantaranya bahwa Polly memiliki hubungan dengan BIN dalam<br />
kapasitasnya sebagai agen serta adanya rapat-rapat di BIN yang<br />
terkait dengan rencana eksekusi Munir. Itu semua sudah menjadi<br />
bukti hukum, sehingga sekarang jugalah waktunya bagi polisi<br />
untuk meningkatkan penyelidikan terhadap orang-orang yang<br />
menjadi pimpinan BIN ketika peristiwa terjadi.<br />
Sedangkan ihwal tidak disebutkannya keterlibatan BIN secara<br />
institusional dalam perencanaan pembunuhan Munir, hal itu<br />
sangatlah bisa dipahami. Tapi itu seharusnya menjadi tugas<br />
kepolisian untuk segera menemukan bukti hukum bahwa<br />
keterlibatan BIN bukan sebatas individu, tapi institusional.<br />
Terlebih mengingat banyaknya individu di BIN yang terkait<br />
dengan kasus ini.<br />
Suciwati, isteri Munir, juga menegaskan, putusan MA harus<br />
segera ditindaklanjuti dengan menyelidiki sejumlah pihak yang<br />
juga diduga terlibat dalam kasus ini. “Kasus (Munir) ini harus<br />
diusut sampai tuntas, jangan berhenti hanya pada aktor<br />
lapangan. Sebab, kasus ini sudah menjadi salah satu ukuran<br />
penegakan HAM di Indonesia. Kasus ini menjadi bagian dari<br />
ukuran, sejauh mana kebenaran dan keadilan ditegakkan di<br />
negara ini, “ ujar Suciwati.<br />
Suciwati juga menghargai sikap Kepala BIN Syamsir Siregar<br />
yang telah membantu mengungkap pembunuhan Munir<br />
dengan mengizinkan anak buahnya memberi kesaksian<br />
kepada polisi.<br />
Sementara Usman Hamid menambahkan, apresiasi juga<br />
diberikan kepada polisi, kejaksaan, serta MA. “Saya agak<br />
suprised dengan MA karena putusan mereka di atas putusan<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis Polly 14<br />
tahun penjara. Namun MA memang punya kewenangan<br />
untuk melakukan hal itu, “ ujarnya.<br />
Sampai sekarang memang belum ada bukti bahwa<br />
Pollycarpus yang memasukkan racun ke dalam minuman<br />
Munir. Meski demikian, Usman tidak melihat adanya nuansa<br />
politik dalam putusan MA tersebut.<br />
Polri usut dalang pembunuhan<br />
Polri akan segera memeriksa kembali Polly untuk<br />
mengungkap dalang pembunuhan Munir. Kadiv Humas Polri<br />
Irjen Sisno Adiwinoto menegaskan dalam berkas pemeriksaan<br />
baru itu Polly akan diperiksa penyidik Polri dengan status<br />
sebagai saksi. Selain memeriksa Pollycarpus, penyidik<br />
Bareskrim juga akan memeriksa nama-nama yang terungkap<br />
di pengadilan dan mendalami petunjuk yang terungkap di<br />
persidangan. Namun, Sisno enggan menyebutkan namanama<br />
yang akan diperiksa itu.<br />
“Yang jelas, kita akan mendalami hasil di persidangan sebagai<br />
petunjuk untuk menggali informasi yang menjurus kepada<br />
kasus, adakah pihak lain yang membantu pembunuhan<br />
Munir atau bahkan ada pihak yang menyuruh Polly<br />
membunuh Munir, “ ujarnya.<br />
Soal adanya dua nama agen BIN yang terungkap dalam<br />
pengadilan sebagai orang yang pernah berencana membunuh<br />
Munir, sebelum terjadinya pembunuhan Munir di Changi<br />
Singapura, Sisno enggan berkomentar. “Saya tidak menyebut<br />
nama. Yang jelas, semua saksi dan petunjuk yang terungkap<br />
di persidangan akan disidik dan diperiksa polisi, “ tegasnya.<br />
Sedangkan salah satu pengacara Polly, M Assegaf memastikan<br />
akan mengajukan PK. “PK itu hak saya. Saya kan belum<br />
pernah mengajukan, “ kata Assegaf menirukan kata-kata<br />
kliennya setelah bertemu sekitar satu jam di LP Cipinang<br />
(26/1).<br />
Indra bantah terlibat<br />
Indra Setiawan menolak dituding terlibat dalam tindak<br />
pidana pembunuhan berencana terhadap Munir. Meskipun<br />
Indra menindaklanjuti surat Wakil Kepala BIN untuk<br />
menempatkan Pollycarpus di Bagian Corporate Security, hal itu<br />
14<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
JEJAK SANG PEJUANG<br />
tidak berarti Indra telah membantu melaksanakan operasi<br />
intelijen.<br />
Demikian rangkuman pleidoi yang diajukan Indra Setiawan<br />
dan pengacaranya, Antarwirya, dalam persidangan (1/2).<br />
Dalam pembelaannya yang dibacakan sendiri, Indra mengaku<br />
tidak tahu apakah surat BIN yang diterimanya pada Juni atau<br />
Juli 2004 itu bagian dari rencana pembunuhan atau bukan.<br />
Yang ia pahami adalah bahwa surat tersebut merupakan<br />
surat resmi dari lembaga negara yang salah satunya bertugas<br />
mencegah ancaman teror.<br />
Lagi pula, ujar Indra, memenuhi permintaan BIN<br />
menempatkan Pollycarpus tidak bertentangan dengan<br />
hukum dan prosedur yang berlaku di PT Garuda. Pollycarpus<br />
selaku penerbang senior sudah layak diperbantukan di<br />
Bagian Corporate Security. Menurutnya, adanya surat tugas dari<br />
direktur utama tidak lantas membuat Polly bisa berlaku<br />
seenaknya. “Jadi, di dalam surat tersebut kekuasaan Polly<br />
juga dibatasi,” ujar Indra. Ia menambahkan, “Kalau ada yang<br />
dilanggar, itu adalah salah Polly, bukan yang membuat surat.”<br />
Sementara itu, Senin (4/2), sejumlah mantan anggota TPF<br />
pembunuhan Munir bertemu dengan Kepala Bareskrim<br />
Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Bekas anggota<br />
TPF itu adalah Hendardi, Asmara Nababan, Usman Hamid<br />
dan Kamala Chandra Kirana.<br />
Seusai pertemuan itu, Usman mengatakan, pihaknya sangat<br />
menghargai dan mengapresiasi upaya Polri dalam<br />
membongkar kasus itu, khususnya dalam perkara PK putusan<br />
MA terhadap Pollycarpus. Ketika ditanya apakah<br />
perkembangan yang dijanjikan polisi akan muncul sebelum<br />
bulan Juni yaitu adanya tersangka baru, Usman<br />
membenarkan, “Ya, dalam waktu dekat. Tidak akan lama.”<br />
Ia menegaskan bahwa polisi berjanji akan menindaklanjuti<br />
fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan PK terhadap<br />
Pollycarpus. Fakta-fakta tersebut kini menjadi sasaran dalam<br />
kelanjutan penyidikan membongkar pelaku utama pembunuh<br />
Munir. “Nama-nama yang muncul di persidangan pasti akan<br />
dipertimbangkan Bareskrim untuk pemeriksaan lebih jauh.<br />
Mudah-mudahan kita bisa segera menyaksikan hasil yang<br />
lebih konkret,” kata Usman.<br />
Awasi BIN<br />
Tuntutan agar BIN diselidiki tak hanya disuarakan oleh<br />
aktivis dalam negeri. Peneliti asing juga ikut “berteriak”.<br />
Pengusutan kasus kematian Munir dianggap sebagai<br />
momentum terbaik untuk melakukan reformasi lembaga<br />
intelijen di Indonesia.<br />
“Selama ini tidak ada budaya demokrasi di tubuh intelijen.<br />
Mereka berprinsip melakukan tugas negara, jadi lebih mudah<br />
jika tetap tidak diketahui oleh siapapun, “ Prof Dr Peter Gill,<br />
peneliti Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces<br />
(DCAF). Padahal, kata professor spesialis ilmu pertahanan<br />
dan intelijen di Salford University, Inggris itu, seorang agen<br />
tetap harus tunduk pada konstitusi negara. Jika sebuah negara<br />
berfaham demokrasi, maka mata-mata juga harus siap<br />
transparan dan berani mempertanggung jawabkan operasinya<br />
pada lembaga yang ditunjuk.<br />
“Jika Polly bukan orang BIN mungkin dia dibayar sebagai agen<br />
lepas, maka investigasi lanjutan penting untuk pembuktian,”<br />
ujar Peter. Proses itu bisa terhambat karena kepentingan politik<br />
dan kekuasaan yang saling melindungi. Dia mencontohkan<br />
pengalaman Argentina yang masih berdebat soal pengawasan<br />
lembaga intelijen sejak tahun 1983.<br />
Menurut Peter, mengawasi lembaga intelijen perlu aturan<br />
hukum yang tegas dan spesifik. “LSM dan unsur masyarakat<br />
sipil harus bekrejasama dengan parlemen untuk segera<br />
mewujudkan undang-undang pengawasan itu,” katanya. Dia<br />
mencontohkan, di negara-negara maju, seseorang yang merasa<br />
menjadi korban operasi intelijen dapat melapor pada parlemen.<br />
Misalnya, seorang yang diculik, ditangkap atau diinterogasi<br />
paksa.<br />
“Nanti ada komite atau surat dari para anggota parlemen yang<br />
memverifikasi laporan itu dengan memanggil pihak terkait,”<br />
katanya. Di Indonesia, praktek itu belum terjadi. Selama ini,<br />
pertanggung jawaban BIN hanya dilakukan dalam rapat dengar<br />
pendapat secara tertutup di Komisi I DPR.<br />
Polisi sita surat penugasan BIN<br />
Polri menyita surat penugasan BIN untuk Pollycarpus. Dalam<br />
surat itu, BIN meminta Polly diberi kesempatan berada dalam<br />
penerbangan bersama Munir. Penyitaan surat itu diungkapkan<br />
seorang pejabat di lingkungan kepolisian. “Dalam surat itu, dia<br />
meminta agar Polly diberikan kesempatan terbang sesuai<br />
tanggal yang diminta Polly, “ ujarnya.<br />
Surat itu dalam sejumlah persidangan kasus pembunuhan<br />
Munir, diakui Indra Setiawan hilang sejak Desember 2004. Walau<br />
demikian, Indra, , mengakui bahwa surat itu diterimanya<br />
langsung dari Pollycarpus pada pertengahan 2004.<br />
Saat menanggapi penyitaan surat itu, Kepala Bareskrim Komjen<br />
Bambang Hendarso menolak berkomentar. “Kita lihat ke depan<br />
saja. Yang jelas kalau ada bukti yang perlu ditindaklanjuti akan<br />
kita tindaklanjuti, “ ujarnya. Sementara itu, Asmara Nababan<br />
mengatakan lewat surat yang kini telah berada di tangan polisi<br />
itu terlihat bagaimana BIN mengatur agar Polly dapat naik<br />
pesawat yang sama dengan Munir. “Surat itu memperkuat bukti<br />
Polly bekerja untuk BIN dan BIN juga telah membuka peluang<br />
Polly untuk melakukan pembunuhan, “ tegasnya.<br />
Terkait dengan pernyataan pengacara Pollycarpus yang<br />
menampik keberadaan surat itu, Asmara menyatakan penyitaan<br />
dan temuan Polri itu menunjukkan rontoknya kebohongan yang<br />
dibuat selama ini. “Ini menjadi harapan baru untuk<br />
mengungkap tuntas siapa dalang dan otak pembunuhan Munir,<br />
“ katanya.<br />
Indra divonis setahun<br />
PN Jakarta, pada sidang Senin (12/2), majelis hakim<br />
menjatuhkan hukuman penjara satu tahun terhadap Indra<br />
Setiawan. Apabila hukuman tersebut masa penahanan yang<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 15
JEJAK SANG PEJUANG<br />
sudah dijalani (301 hari), Indra akan bebas sekitar dua bulan<br />
lagi.<br />
Meskipun demikian, Indra tidak puas dengan putusan itu. Ia<br />
menyatakan akan mengajukan banding atas putusan tersebut.<br />
“Saya banding. Insya Allah, saya tidak bersalah, “ ujar Indra.<br />
Majelis hakim yang dipimpin Heru Pramono dengan hakim<br />
anggota Makassau dan Iva Sudewi menyatakan Indra terbukti<br />
bersalah membantu pembunuhan berencana.<br />
Ia membantu dengan menerbitkan surat penempatan Polly ke<br />
Bagian Corporate Security. Penempatan Polly ke Bagian Corporate<br />
Security dilakukan setelah Indra menerima surat resmi dari BIN<br />
yang ditandatangani Wakil Kepala BIN. Meski surat tersebut<br />
hilang, keberadaannya diperkuat oleh keterangan saksi Budi<br />
Santoso, personel BIN yang diminta mengoreksi konsep surat<br />
yang dibuat Pollycarpus.<br />
Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat, Indra<br />
seharusnya mengonfirmasikan isi surat tersebut ke BIN dan<br />
meminta penjelasan kepada BIN sebelum memenuhi permintaan<br />
tersebut, tetapi hal itu tidak dilakukan. Hakim juga menilai<br />
langkah Indra tidak tepat karena tidak membicarakan hal itu<br />
dengan atasan langsung Pollycarpus, Kapten Kamal F Sembiring,<br />
dan Manajer Corporate Security Ramelgia Anwar.<br />
“Terdakwa dianggap telah mengetahui maksud penempatan<br />
Polly ke Bagian Corporate Security. Apalagi, juga diakui di dalam<br />
pembelaan terdakwa bahwa ia memperkirakan BIN memiliki<br />
misi intelijen, “ ujarnya. Indra Setiawan, seharusnya<br />
mempertimbangkan perlu atau tidaknya permintaan tersebut<br />
dikabulkan. Dengan demikian, surat tugas yang dikeluarkannya<br />
pada 11 Agustus 2004 itu tidak digunakan untuk melakukan<br />
kejahatan.<br />
Dalam putusannya, majelis hakim juga mempertimbangkan<br />
posisi terdakwa yang berada di simpang jalan, yakni di satu sisi<br />
terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pembantuan, tetapi<br />
sisi lain Indra adalah korban konspirasi tingkat tinggi.<br />
“Meskipun terdakwa mengetahui, tetapi tidak tergapai oleh daya<br />
apalagi pemikiran terdakwa yang sederhana dan lugu, “ kata<br />
Heru.<br />
Seusai persidangan, pengacara Indra, Antawirya, mengatakan<br />
pihaknya tidak dapat menerima putusan tersebut. Ia menilai<br />
dakwaan jaksa tidak terbukti. “Bagaimana dia tahu bahwa itu<br />
tugas dari BIN. Yang ia tahu kan bahwa surat BIN itu untuk<br />
melindungi demi menjalankan tugas keamanan. Ya dijalankan.<br />
Kenapa waktu menjalankan tugas dari BIN dalam rangka<br />
keamanan ia harus dipersalahkan membantu melakukan<br />
pembunuhan. Ini kontradiksi, “ujarnya.<br />
Rohainil Aini bebas<br />
PN Jakarta pada (12/2) juga memutuskan Rochainil Aini,<br />
Secretary Chief Pilot Airbus 330 Garuda Indonesia, bebas dari<br />
tuntutan hukum. Ketua majelis hakim Makasau menyatakan<br />
Rohainil tak terbukti membantu membunuh Munir seperti<br />
dakwaan jaksa. Rohainil juga tak terbukti memalsukan surat<br />
tugas yang memungkinkan Polly berada satu pesawat dengan<br />
Munir.<br />
Dari fakta persidangan, kata Makasau, Rohainil mengeluarkan<br />
surat nota perubahan pada 6 September 2004 atas permintaan<br />
Polly. Nota itu berisi perubahan tugas penerbangan Polly<br />
dari Cina ke Singapura.<br />
Hakim menilai surat yang dikeluarkan Rohainil sudah sesuai<br />
dengan job description, sebagai sekretaris kepala pilot. Rohainil<br />
juga dianggap tak memiliki wewenang mengklarifikasi<br />
permintaan Polly itu. “Tidak ada sarana dari terdakwa untuk<br />
membunuh Munir, “ kata Eli Maryani, salah satu anggota<br />
majelis hakim. Pembuatan surat oleh terdakwa, kata Eli, tidak<br />
dapat dikategorikan pemalsuan surat. “Itu sudah sesuai<br />
dengan tugas yang diatur oleh Anggaran Dasar dan Anggaran<br />
Rumah Tangga Garuda, “ ujarnya.<br />
Sebelumnya, jaksa menuntut Rohainil hukuman satu tahun<br />
penjara. Dia dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 340 jo<br />
Pasal 56 ayat 2 KUHP tentang membantu pembunuhan<br />
berencana dan Pasal 263 ayat 1 KUHP tentang pembuatan<br />
surat palsu.<br />
Ketua LBH Jakarta, Asfinawati, menyesalkan putusan bebas<br />
ini. Dia menilai hakim tidak mempertimbangkan kesaksian<br />
Karmel Fauza Sembiring, Chief Pilot Airbus 330 Garuda<br />
Indonesia. “Karmel bilang Rohainil tidak berwenang<br />
mengeluarkan surat itu.”<br />
Sementara Jaksa Penuntut Umum, akan mengajukan kasasi<br />
atas putusan tersebut. “Sesuai dengan aturan, kami akan<br />
pelajari dulu putusan hakim. Tapi yang jelas kami akan kasasi,<br />
“ ujar JPU Edy Saputra.<br />
Segera sidik Muchdi PR<br />
Berakhirnya sidang eks Dirut Garuda, Indra Setiawan (11/2)<br />
dan Secretary Chief of Pilot, Rohainil Aini (12/2) dalam konspirasi<br />
pembunuhan berencana terhadap Munir di PN Jakarta Pusat<br />
serta putusan PK terhadap Pollycarpus (25/1), menjadi titik<br />
awal penyidikan kepolisian ke struktur konspirasi yang lebih<br />
tinggi.<br />
Fakta-fakta persidangan ketiga pelaku tersebut dapat<br />
dijadikan jendela bagi aparat kepolisian untuk<br />
mengembangkan penyidikannya ke pejabat BIN yang<br />
disebut-sebut terkait seperti eks Deputi V BIN Muchdi PR,<br />
Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali dan eks Kepala BIN<br />
Hendropriyono.<br />
Khusus yang menyangkut keterlibatan Muchdi, KASUM<br />
mencatat, bahwa dalam persidangan yang digelar beberapa<br />
waktu lalu telah membuka mata publik bahwa ia terlibat<br />
dalam perencanaan. Fakta itu terungkap dari berbagai<br />
kesaksian baik itu Indra Setiawan, Direktur 5.1. BIN Budi<br />
Santoso dan kesaksian agen BIN Raden Padma Anwar alias<br />
Ucok alias Empe. (lihat tabel).<br />
Atas dasar fakta-fakta yang terungkap diatas maka KASUM<br />
menilai bahwa sudah saatnya eks Deputi V BIN, Muchdi<br />
ditangkap, ditahan dan dijadikan tersangka dalam kasus<br />
pembunuhan Munir. Selain karena ia terlibat turut serta<br />
16<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
JEJAK SANG PEJUANG<br />
melakukan pembunuhan yang dilakukan oleh terpidana<br />
Pollycarpus BP. Muchdi juga banyak memberikan keterangan<br />
yang palsu dan menyesatkan.<br />
Berdasarkan hasil monitoring proses persidangan dengan<br />
terdakwa Pollycarpus, Indra Setiawan dan Rohainil Aini,<br />
KASUM mencatat ada beberapa hal penting antara lain; baik<br />
Pollycarpus BP, Indra setiawan, Rohainil Aini, ketiganya<br />
terlibat (dengan peran yang berbeda) dalam kasus<br />
pembunuhan Munir, oleh karenanya sudah selayaknya<br />
bertanggungjawab secara hukum.<br />
Selanjutnya, misteri konspirasi pembunuhan Munir dengan<br />
melibatkan BIN sudah mulai gamblang, dengan tergambarnya<br />
alur inter-relasi dan komunikasi, baik antar pelaku maupun<br />
antara lembaga BIN dengan Garuda. Temuan fakta penting yang<br />
patut menjadi petunjuk untuk beranjak kepada tersangka lain,<br />
khususnya Muchdi, antara lain seperti tergambar di bawah<br />
ini:<br />
Keterangan Muchdi PR<br />
Mengakui nomor handphone<br />
yang tertera dalam print out<br />
tapi membantah berhubungan<br />
telepon dan kenal dengan<br />
Pollycarpus BP<br />
Keterangan Pihak lain<br />
1. Pengakuan Indra Setiawan bahwa ada surat<br />
permintaan dari BIN yang diantar langsung<br />
oleh Pollycarpus sekitar bulan Juni/Juli untuk<br />
pengangkatan Polly sebagai Aviation Security<br />
dan surat yang bersifat rahasia tersebut hilang<br />
dicuri orang di pelataran Hotel Sahid.<br />
2. Pengakuan Indra bahwa pernah bertemu<br />
Muchdi saat pertama kali ketemu As’ad di<br />
kantor BIN untuk mengetahui pemberi surat<br />
tersebut dan pertemuan difasilitasi oleh Polly.<br />
3. Pengakuan Indra Setiawan bahwa orang BIN<br />
yang dikenal oleh Polly adalah As’ad dan<br />
Muchdi.<br />
4. Dalam rekaman pembicaraan Indra dengan<br />
Polly disebutkan nama sandi Bu Asmini (untuk<br />
As’ad), Bu Avi (Muchdi PR) dan Joker<br />
(Hendropriyono).<br />
5. Kesaksian Direktur 51 BIN, Budi Santoso yang<br />
mengatakan bahwa kenal Pollycarpus BP<br />
pertama kali di ruangan Muchdi PR, saat<br />
diperintah untuk membawa uang Rp.10 juta<br />
untuk tamunya.<br />
6. Kesaksian Budi Santoso yang mengatakan<br />
bahwa posisi dia sebagai penghubung antara<br />
Polly dan Muchdi. Muchdi pernah memintanya<br />
untuk mengecek keberadaan Polly, begitupun<br />
Polly sering menyakan apakah Muchdi ada di<br />
kantor, sebelum Polly datang ke kantor BIN.<br />
Mengatakan bahwa Munir<br />
bukan orang yang<br />
membahayakan, walaupun<br />
termasuk orang yang vokal<br />
terhadap pemerintah<br />
1. Kesaksian Raden Padma Anwar alias Ucok<br />
(agen BIN) yang mengatakan adanya<br />
perencanaan pembunuhan Munir yang<br />
melibatkan Sentot Waluyo (Agen BIN), Johanes<br />
Wahyu Saronto (Deputi IV BIN) dan<br />
Manunggal Maladi (Deputi II BIN).<br />
Sementara itu, Suciwati yang tak pernah lelah berjuang atas<br />
kebenaran dan keadilan bagi suaminya ini, kembali<br />
menegaskan dan mendesak Persiden SBY untuk segera<br />
menetapkan status Muchdi sebagai tersangka. “Saya secara<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 17
JEJAK SANG PEJUANG<br />
pribadi mendorong Presiden untuk memerintahkan adanya<br />
penyelidikan terhadap Muchdi, kalau perlu langsung<br />
menangkapnya, “ ujar Suciwati<br />
Menurut Suciwati, misteri kasus pembunuhan suaminya yang<br />
diracun dengan arsenik pada 2004 itu kini semakin gablang.<br />
Keterangan dari tersangka mantan Dirut Garuda Indra Setiawan<br />
dan Budi Santoso sebagai saksi di persidangan kasus Munir<br />
semakin menguatkan keterlibatan Muchdi. “Dukungan Presiden<br />
bisa memperkuat kekuatan Polri untuk bisa memeriksa dia,”<br />
tegas Suciwati.<br />
Choirul Anam dari divisi hukum KASUM menambahkan,<br />
penyelidikan terhadap Muchdi harus segera dilakukan. Sebagai<br />
seorang mantan perwira tinggi, tidak tertutup kemungkinan<br />
bahwa Muchdi akan melakkan lobi-lobi tingkat elite untuk<br />
menghambat penetapan dirinya sebagai tersangka. “Persoalan<br />
disini adalah koneksi Muchdi yang kuat bisa menghentikan<br />
aturan hukum yang ada di tingkat lapangan, “ ujar Choirul.<br />
Sidang Dewan HAM PBB<br />
Selanjutnya, Anam juga mengatakan bahwa kasus Munir akan<br />
menjadi salah satu materi laporan tahunan penegakan HAM di<br />
Indonesia ke sidang Dewan HAM PBB di Genewa, Swiss, April<br />
2008. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk<br />
mempercepat penyelesaian kasus tersebut.<br />
Anam menuturkan pula, Dewan HAM PBB akan membahas<br />
laporan tahunan dari Indonesia pada 15 April. Selain laporan<br />
Novum (bukti baru) kasus pembunuhan Munir<br />
pemerintah, saat itu Dewan HAM juga akan melihat laporan<br />
dari sejumlah LSM sebagai pembanding. “Untuk laporan dari<br />
LSM, kami akan memasukkan perkembangan kasus<br />
pembunuhan Munir sebagai salah satu laporan utama, “ ujar<br />
Choirul Anam.<br />
Kasus Munir ini, lanjut Anam, juga akan menjadi bagian dari<br />
isi laporan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk<br />
Pembela HAM Hina Jilani yang datang ke Indonesia pada Juni<br />
2007.<br />
Ketika ada di Indonesia, Hina pernah mengatakan, selama<br />
pembunuhan Munir belum terungkap, pembela HAM di<br />
Indonesia tak akan pernah merasa aman. Kasus ini juga telah<br />
menjadi perhatian masyarakat internasional sehingga dia<br />
menyarankan pemerintah Indonesia dapat memastikan<br />
hukum diberlakukan sebagaimana mestinya dalam kasus ini.<br />
Sedang Suciwati menambahkan, dia dan anggota Parlemen<br />
Eropa, Ana Maria Gomes, juga sedang menggalang<br />
tandatangan dukungan penyelesaian kasus pembunuhan<br />
Munir diParlemen Eropa. “Saya masih mengumpulkan<br />
sejumlah fakta. Diharapkan, setidaknya ada 200 tanda tangan<br />
untuk Munir, “ ujarnya.<br />
Sementara itu, Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto, mengatakan,<br />
penyidikan lanjutan mengenai kasus Munir terus dilakukan.<br />
Setelah Pollycarpus, Susanto mengatakan akan lebih gencar<br />
membuka kemungkinan pihak-pihak lain yang diduga<br />
terlibat. Iamenolak jika dikatakan membedakan pemeriksaan<br />
pada orang-orang tertentu yang diduga terlibat.***<br />
1. Saksi Ongen melihat Pollycarpus berjalan dari gerai pemesanan minuman membawa dua gelas,<br />
selanjutnya Polly dan Munir terlihat berbincang-bincang sambil minum.<br />
2. Agen BIN bernama Sentot dan M Patma Anwar mendapat tugas membunuh Munir menggunakan<br />
santet maupun racun<br />
3. Sekitar minggu pertama Agustus 2004 Agen BIN M Patma Anwar pernah ditelepon Sentot yang<br />
menyatakan bahwa dia memiliki cairan yang bisa digunakan untuk membunuh Munir<br />
4. Agen BIN Patma Anwar pernah melihat Polly di parkiran BIN sebelum kematian Munir<br />
5. Sekitar Juni/Juli 2004 Indra Setiawan, Dirut Garuda, menerbitkan surat penugasan Polly sebagai<br />
staf perbantuan (aviation security) atas permintaan tertulis M.As’sd, Wakil Kepala BIN<br />
6. 4 September 2004 Polly menelepon HP Munir yang diterima Suciwati untuk memastikan<br />
keberangkatan Munir ke Amsterdam<br />
7. 6 September 2004 Polly meminta Rohainil Aini via telepon untuk mengubah jadwal terbang<br />
Polly agar dapat terbang bersama Munir<br />
8. Ketika pesawat transit di Bandara Changi, Polly tidak langsung ke hotel seperti kru lainnya.<br />
Bahkan Polly terlihat membawa dua gelas minuman masing-masing untuk Munir dan dirinya<br />
9. Delapan hingga sembilan jam sebelum Munir meninggal, posisi Munir berada di Bandara Changi<br />
sehingga dipastikan Munir diracun dengan menggunakan arsenik<br />
10. Orang yang meracun Munir adalah Polly, mengingat orang yang paling dekat dengan Munir saat<br />
itu dan yang memberi minum kepada Munir adalah Polly. Sumber : PK Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat<br />
18<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
KABAR DAERAH<br />
Kekerasan Meningkat, Kontrol Perdamaian Melemah<br />
<strong>KontraS</strong> Aceh mencatat sepanjang tahun 2007 telah terjadi<br />
peningkatan angka kekerasan dibandingkan tahun<br />
sebelumnya, yaitu sebanyak 51 kasus tindak kekerasan.<br />
Diantaranya 12 kasus diduga kuat dilakukan oleh anggota<br />
polisi, 4 kasus diduga kuat dilakukan oleh anggota TNI, 2 kasus<br />
diduga kuat dilakukan oleh mantan GAM dan 33 kasus tidak<br />
teridentifikasi pelakunya.<br />
Sementara jumlah korban jiwa keseluruhan sebanyak 79<br />
orang, yaitu 10 korban pembunuhan, 9 korban penembakan<br />
yang tidak mengakibatkan kematian dan 60 korban<br />
penyiksaan. Di luar itu, 9 kasus pembakaran dan 12 kasus<br />
peledakan/teror bom dan atau granat yang pelakunya sama<br />
sekali tidak terungkap. Tercatat juga aksi kriminalitas dengan<br />
menggunakan senjata api sebanyak 31 kali dengan korban<br />
penembakan sebanyak 2 tewas dan 4 luka tembak, kemudian<br />
penembakan misterius terjadi sebanyak 5 kali dengan korban<br />
3 tewas dan 7 luka tembak.<br />
Ada lima penyebab yang mengakibatkan kekerasan<br />
meningkat, mulai dari melemahnya kontrol para pihak dalam<br />
menjaga perdamaian, tidak adanya early warning system (sistem<br />
peringatan dini) untuk mencegah konflik berulang, proses<br />
penegakkan hukum yang tidak fair dan masih diskriminatif,<br />
dan desain konsep reintegrasi yang sudah salah sejak awal,<br />
terakhir lemahnya peran kepolisian.<br />
Kemudian FKK (Forum Komunikasi dan Koordinasi) yang<br />
dibentuk dibawah Menkopolkam sebagai pengganti mandat<br />
CoSA dalam AMM, tidak berfungsi efektif dalam mencegah<br />
terjadinya konflik di Aceh setelah AMM meninggalkan Aceh.<br />
FKK terkesan hanya menjadi pemadam kebakaran yang<br />
bekerja ketika terjadi suatu peristiwa kekerasan dan tidak<br />
mampu menghentikan meluasnya kekerasan. Mandat FKK<br />
yang sangat luas juga dikhawatirkan bisa memperlemah<br />
peran dan fungsi pemerintahan Aceh dan mengancam<br />
kemandirian masyarakat Aceh dalam melanggengkan<br />
perdamaian.<br />
Kepastian penegakkan hukum<br />
Dalam penegakkan HAM, tahun 2007 merupakan tahun yang<br />
masih mempertanyakan kepastian penegakkan hukum dan<br />
pemenuhan HAM. Tidak kunjung dibentuknya KKR (Komisi<br />
Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan Pengadilan HAM yang<br />
merupakan mandat perdamaian, menunjukkan bahwa hingga<br />
saat ini belum ada jaminan terwujudnya keadilan dan<br />
pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM di Aceh.<br />
Padahal, desakan korban konflik dan korban pelanggaran<br />
HAM atas proses hukum dan keadilan semakin gencar dan<br />
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang peduli dengan<br />
penegakan HAM di Aceh mendesak DPR agar segera<br />
pemerintah mengkonkritkan agenda penuntasan<br />
penegakkan HAM di Aceh. Hal ini merupakan mandat<br />
Yuridiksi dari UU Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006.<br />
Desak DPR Bentuk KKR Aceh<br />
menguat. Desakan ini kian diperkuat dengan adanya sejumlah<br />
peringatan-peringatan tragedi pelanggaran HAM yang terjadi<br />
di Aceh pada masa lalu, untuk mengingatkan kembali<br />
pemerintah bahwa kejahatan masa lalu tidak bisa dilupakan<br />
begitu saja dan harus segera diselesaikan. Dukungan nyata dari<br />
pemerintah, dalam hal ini baru sebatas retorika dan terkesan<br />
saling lempar handuk antara otoritas pemerintah pusat dan<br />
daerah.<br />
Selain itu, di luar keberhasilan polisi dalam mengungkap<br />
sejumlah aksi-aksi kriminalitas bersenjata, polisi juga masih<br />
belum mampu meninggalkan cara-cara kekerasan dalam<br />
menjalankan tugasnya, seperti yang terjadi pada kasus<br />
pemukulan di Tanjong Beuridi dan penembakan di Lhoksukon<br />
dan Tiro. Demikian halnya dengan TNI yang masih mencampuri<br />
urusan sosial politik di Aceh dengan mengeluarkan pernyataanpernyataan<br />
politik dan di luar koridor kerangka pertahanan,<br />
seperti pernyataan tentang penyerahan senjata illegal, pen-DPOan<br />
pelaku kasus Alue Dua, tentang simbol partai GAM dan perlu<br />
tidaknya partai lokal. Dalam kasus Alue Dua terlihat jelas<br />
intervensi TNI terhadap penegakan hukum sehingga polisi tidak<br />
bisa bekerja secara independen.<br />
Sementara itu, keterbukaan pemerintah dalam menerima<br />
kunjungan Hina Jilani, Utusan Khusus PBB untuk Para Pembela<br />
HAM dan Louis Arbour, Kepala Komisi HAM PBB merupakan<br />
nilai tersendiri bagi pemerintah. Sayangnya, keterbukaan itu<br />
dijadikan pemerintah hanya sebatas tanggung jawab<br />
formalitas belaka. Karena pada prakteknya pemerintah masih<br />
tidak sensitif dengan persoalan HAM yang terjadi. Tuduhan<br />
kriminalisasi terhadap delapan pekerja LBH Banda Aceh yang<br />
sedang mengadvokasi kasus penyerobotan tanah rakyat oleh<br />
PT Bumi Flora di Aceh Timur, menunjukkan inkonsistensi<br />
jajaran pemerintah terhadap penghormatan HAM dan<br />
perlindungan terhadap para pembela HAM yang dijamin dalam<br />
perundang-undangan atau pemerintah hanya menjalankan<br />
fungsinya karena ada tekanan PBB.<br />
Pada tahun 2008, komitmen penegakan HAM pemerintah akan<br />
diuji dalam menghadirkan institusi KKR dan Pengadilan HAM<br />
di Aceh. Ancaman kekerasan juga masih potensial terjadi<br />
apabila komitmen para pihak dalam menjaga perdamaian<br />
hanya menjadi inisiatif-inisiatif parsial, yang tidak disertai<br />
dengan desain proses reintegrasi yang matang dan pemanfaatan<br />
early warning system berikut penegakan hukum dan kepastian<br />
pemecahan masalah secara fair dan terbuka. Karena reintegrasi<br />
dan juga pemecahan masalah merupakan sebuah tuntutan<br />
sekaligus tantangan bagi terciptanya kondisi Aceh yang lebih<br />
kondusif di masa mendatang. ***<br />
Perjanjian damai antara Indonesia dengan GAM pada 15<br />
Agustus 2005 merupakan perjanjian damai dengan semanga<br />
menghentikan kekerasan di Aceh yang telah berjalan<br />
bertahun-tahun dan mengakibatkan penderitaan yang<br />
Bersambung ke hal 20<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 19
KABAR DAERAH<br />
Peringatan 19 Tahun Peristiwa Talangsari Lampung 1989<br />
Perjuangan Menggapai Keadilan yang Tak Kunjung Berkeadilan<br />
Sudah 19 tahun dusun Talangsari tetap tidak tersentuh pembangunan dan terkesan dibiarkan<br />
terbengkalai. Tidak ada listrik, fasilitas kesehatan, akses jalan desa sangat buruk dan sulit<br />
mendapatkan air bersih. Setiap kami mengajukan ke kepala Desa tidak pernah mendapat<br />
tanggapan serius. Kami sering mendapat jawaban akan dibantu kalau tidak mengungkit lagi<br />
kasus Talangsari. Sementara dusun-dusun yang lain kondisinya sudah jauh lebih baik dari<br />
dusun kami. Kami jadi bingung apa hubungannya peningkatan kesejahteraan warga dusun<br />
dengan kasus Talangsari<br />
Demikian disampaikan oleh<br />
Suroso salah satu korban<br />
tentang kondisi dusun<br />
Talangsari III disela-sela<br />
peringatan 19 tahun<br />
peristiwa Talangsari tepat<br />
dilokasi terjadinya<br />
peristiwa. Sebuah situasi<br />
yang sangat sulit bagi<br />
keluarga korban ditengah<br />
himpitan persoalan ekonomi<br />
dan penantian panjang yang<br />
melelahkan untuk<br />
menggapai keadilan.<br />
Peristiwa Talangsari terjadi<br />
akibat dari penyerbuan<br />
pasukan gabungan dibawah<br />
komando Korem 043 Garuda<br />
Hitam Lampung pada<br />
tanggal 7 februari 1989 kepada Jama’ah pengajian di dusun<br />
Talangsari III kelurahan Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara<br />
Lampung Timur. Penyerbuan tersebut dipimpin oleh Komandan<br />
Korem Kolonel AM Hendropriyono. Akibat dari penyerangan<br />
tersebut jatuh banyak korban. Dari data sementara yang kami<br />
kumpulkan korban meninggal 47 orang, penculikan 5 orang,<br />
penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan<br />
rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenangwenang<br />
175 orang. Hingga sekarang kasus ini masih dalam<br />
proses penyelidikan proyustisia Komnas HAM sesuai Undang-<br />
Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.<br />
Tahun yang ke-19 ini sekaligus untuk pertama kalinya peringatan<br />
kasus Talangsari digelar tepat dilokasi. Hal ini memberi arti<br />
penting bagi keluarga korban dan masyarakat sekitar yang lama<br />
terkurung dalam dusun terpencil dan jauh dari kesejahteraan.<br />
Spirit peringatan 19 tahun kasus Talangsari tidak hanya bersifat<br />
seremonial belaka, keluarga korban menjadikan momentum ini<br />
untuk terus membangun ingatan kolektif bahkan pada entitas<br />
yang paling dekat dengan mereka.<br />
AJI Bandar Lampung.<br />
Dalam siaran pers tersebut<br />
korban menolak rencana<br />
pemerintah memberikan<br />
maaf kepada Alm HM<br />
Soeharto.<br />
Salah satu keluarga korban<br />
Azwar<br />
Kaili<br />
menyampaikani “ketika<br />
Soeharto meninggal kami<br />
menolak ajakan pemerintah<br />
memasang bendera setengah<br />
tiang dan mendesak pemerintah<br />
mencabut gelar pahlawan yang<br />
diberikan kepadanya, tidak<br />
Peringatan 19 tahun tragedi Talangsari Lampung<br />
pantas menjadi pahlawan”.<br />
Dok. Kontras Kemudian malamnya<br />
keluarga korban bersama<br />
masyarakat sekitar<br />
menggelar Tahlilan dan doa bersama di lokasi untuk<br />
mengucap syukur atas segala nikmat dan karunia yang<br />
diberikan oleh Allah SWT. Mereka pun memohon agar Tuhan<br />
memudahkan langkah mereka memperjuangkan keadilan<br />
atas peristiwa Talangsari.<br />
Pada tanggal 6 Maret 2008 keluarga korban menggelar<br />
pengajian dengan penceramah Drs. Ratono, Mag yang juga<br />
menjadi korban dalam peristiwa Tanjung Priok. Pengajian<br />
ini diikuti oleh masyarakat dari sekitar dusun Talangsari III<br />
diantaranya Kelahang, Pakuan Aji dan dusun-dusun<br />
sekitarnya.<br />
Pada tanggal 7 Maret 2008 digelar pengajian dan penyuluhan<br />
hukum dengan penceramah Kabul Supriyadi. Acara<br />
berlangsung cukup meriah, warga yang hadir cukup beragam<br />
dan antusias. Dalam ceramahnya Kabul menyatakan<br />
“seharusnya aparat kampung, kecamatan dan kabupaten tidak lagi<br />
melakukan diskriminasi terhadap warga Talangsari serta harus<br />
memperlakukan mereka sama seperti warga masyarakat lainnya.”<br />
Rangkaian acara<br />
Tanggal 5 Februari 2008 keluarga korban Talangsari, besama<br />
pendamping yang terdiri dari <strong>KontraS</strong>, Tehnokra UNILA dan<br />
AJI Bandar Lampung melakukan siaran pers bersama di kantor<br />
Kemudian sore harinya dilanjutkan dengan pemutaran film<br />
tepat di lokasi pembantaian Jema’ah Talangsari. Nampak<br />
antusiasme warga dari sekitar dusun Talangsari III hadir<br />
memenuhi lokasi. Didahului dengan film Munir berjudul<br />
“Bunga Dibakar” setelah itu di selingi dengan orasi dari<br />
20<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
KABAR DAERAH<br />
Suciwati dan Usman Hamid. Warga berdesak-desakkan ingin<br />
menyaksikan mbak Suci. Dalam orasinya mbak Suci meminta<br />
keluarga korban Talangsari dan segenap warga tetap besatu<br />
dan gigih berjuang menggapai keadilan. Ditambahkan juga<br />
oleh Usman Hamid bahwa kegiatan seperti ini penting untuk<br />
memberikan informasi yang jelas tentang kasus Talangsari.<br />
Pada tanggal 8 Februari 2008 menggelar aksi disertai<br />
pembagian 2000 stiker bertuliskan “Penuntasan Kasus Talangsari<br />
Dijamin UUD 1945” di Bundaran Gajah Bandar Lampung dan<br />
kantor DPRD TK I Propinsi Lampung. Peserta aksi sekitar 200<br />
orang terdiri dari Paguyuban Keluarga Korban Talangsari (PKTL),<br />
<strong>KontraS</strong>, IKOHI, JSKK, FMN Lampung, LMND Lampung,<br />
Tehnokra Unila dan AJI Bandar Lampung. Aksi ini sebagai<br />
medium untuk sosialisasi ke publik di Lampung dan mendesak<br />
perhatian pemerintah daerah terhadap kondisi keluarga<br />
korban.<br />
Intimidasi<br />
Persiapan untuk menggelar peringatan<br />
19 tahun kasus Talangsari ternyata<br />
tidak berjalan lancar. Acara yang<br />
digagas dan dikerjakan sendiri oleh<br />
keluarga korban ini ternyata tidak<br />
mendapat ijin dari kepala Desa Raja Basa<br />
Lama yang bernama Rahmad. Hal ini<br />
terbukti ketika Suroto selaku ketua<br />
panitia akan mengajukan ijin<br />
pemberitahuan dikantor desa mendapat<br />
perlakuan yang tidak mengenakkan. Dia<br />
justru mendapat hujanan kata-kata<br />
kasar dari Kepala Desa Rahmad yang<br />
tidak sepantasnya dilontarkan. Suroto<br />
akhirnya pulang tanpa hasil dan<br />
diperintahkan oleh Kades Rahmad<br />
untuk membawa 10 orang perwakilan<br />
keluarga korban ke kantor desa.<br />
“Kalau acara tetap<br />
dilanjutkan, maka akan<br />
ada kelompok yang tidak<br />
suka kasus Talangsari<br />
diungkit-ungkit lagi akan<br />
membubarkan acara<br />
tersebut.”kata Kepala<br />
Desa Rahmad di depan 10<br />
orang perwakilan korban<br />
Talangsari.<br />
Keesokan harinya tanggal 2 Februari 2008 hadir menghadap<br />
ke kantor desa 10 orang perwakilan dari keluarga korban<br />
Talangsari. Namun ijin pemberitahuan yang hendak<br />
disampaikan juga tidak digubris oleh Kades Rahmad. Dia<br />
justru mempertanyakan maksud, tujuan dari acara tersebut<br />
dan siapa tamu dari Jakarta yang akan hadir. Kades Rahmad<br />
dengan suara keras sembari kacak pinggang didepan 10<br />
perwakilan keluarga korban menyatakan “kalian lagi kalian lagi,<br />
bagaimana saya mau bantu untuk memajukan dusun kalian kalau sedikitsedikit<br />
masuk TV dan sedikit-sedikit demo ke Jakarta”.<br />
Pernyataan kades tersebut sempat dijawab oleh salah satu<br />
perwakilan keluarga korban dengan menyatakan “apa<br />
hubungannya masuk TV dan ke Jakarta dengan pembangunan dusun”<br />
bukankah pembangunan adalah tanggungjawab pemerintah”<br />
Mendengar jawaban seperti itu Kades Rahmad semakin<br />
marah dan memaki-maki ke 10 perwakilan tersebut sambil<br />
mengancam “Kalau acara tetap dilanjutkan, maka akan ada kelompok<br />
yang tidak suka kasus Talangsari diungkit-ungkit lagi akan membubarkan<br />
acara tersebut.” Akhirnya mereka pulang tanpa hasil apapun.<br />
Karena tidak ada titik temu maka pada tanggal 4 Februari 2008<br />
perwakilan keluarga korban didampingi <strong>KontraS</strong> datang ke<br />
Polsek Labuhan Ratu dan Polres Lampung Timur. Di polres<br />
rombongan diterima oleh kasat Intelkam pak Gusti dan hasilnya<br />
polres akan mengawal rangkaian acara dan memberikan<br />
jaminan keamanan. Setelah itu kami teruskan hasil tersebut ke<br />
Polsek Labuhan Ratu, diterima langsung oleh Kapolsek.<br />
Sepanjang pelaksanaan acara peringatan nampak petugas<br />
polsek dan polres memberikan penjagaan dan pengamanan<br />
ditempat berlangsungnya kegiatan, sehingga tidak terjadi halhal<br />
yang tidak diinginkan.<br />
Mengharap penuntasan<br />
Sembilan belas tahun bukanlah waktu yang singkat bagi<br />
perjalanan keluarga korban. Sudah banyak upaya yang<br />
dilakukan namun belum mampu menghadirkan kado indah<br />
bagi pemenuhan keadilan dan hak-hak korban. Lebih dari lima<br />
tahun kasus ini terkatung-katung di<br />
Komnas HAM akibat ketidakjelasan proses<br />
pemantauan dan pengkajian sesuai<br />
Undang-Undang Nomot 39 tahun 1999<br />
tentang HAM. Dari hasil pemantauan dan<br />
pengkajian tersebut akhirnya Komnas HAM<br />
melalui rapat pleno memutuskan terdapat<br />
pelanggaran HAM berat dalam kasus<br />
Talangsari.<br />
Baru pada bulan Juni tahun 2006<br />
berdasarkan SK Ketua Komnas HAM Nomor<br />
15/KOMNAS HAM/ V/2007 kemudian<br />
diperpanjang dengan SK ketua Komnas<br />
HAM Nomor 28/ Komnas HAM/IX/2007<br />
Komnas HAM membentuk tim penyelidik<br />
proyustisia untuk kasus Talangsari.<br />
Capaian tersebut hanyalah sedikit kemajuan dari sekian<br />
rangkaian waktu yang sudah dilalui korban. Namun<br />
mampukah penyelidikan proyustisia Komnas HAM membuka<br />
fakta peristiwa dan kebenaran dibalik kasus ini Hal ini menjadi<br />
pertanyaan yang sering menghantui keluarga korban ditengah<br />
stagnasi beberapa kasus pelanggaran HAM berat lainnya.<br />
Kematian Soeharto seharusnya menjadi lonceng pengingat bagi<br />
semua pihak bahwa penting untuk segera membongkar tentang<br />
peran Soeharto dimasa lalu dan bagaimana mesin birokrasi,<br />
militer dan modal bekerja untuk mempertahankan kekuasan<br />
dengan segala cara termasuk memakan korban rakyat sendiri.<br />
Kasus Talangsari menjadi sebuah hutang yang harus dibongkar<br />
bagi siapapun yang memimpin bangsa ini. Menutupi kasus ini<br />
sama dengan menjerumuskan bangsa ini ke dalam kegelapan<br />
dalam menatap masa depan. Bangsa yang besar adalah bangsa<br />
yang tidak mengubur masa lalunya. Masa depan bisa diraih<br />
hanya dengan menyelesaikan persoalan dimasa lalu yang masih<br />
gelap. Jangan ada lagi kediktaktoran yang mengenyampingkan<br />
nilai-nilai kemanusiaan. (Cris B)<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 21
KABAR DAERAH<br />
Menentang Pemberian Bonus Pada Aparat Keamanan di Aceh Barat<br />
Kita patut memberikan apresiasi pada aparat Kepolisian Aceh<br />
Barat yang telah berhasil menangkap pelaku perampokan<br />
bersenjata api, yang terjadi pada (06/2), di Desa Putim,<br />
Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat.<br />
Namun, <strong>KontraS</strong> Aceh, GeRAK Aceh dan LBH Banda Aceh<br />
menentang keras sikap Pemerintah Kabupaten dan DPR<br />
Kabupaten Aceh Barat, yang menyatakan apresiasi tersebut<br />
dengan memberikan bonus berupa uang sebesar Rp. 40 juta pada<br />
pihak Kepolisian dan TNI. Bonus ini diberikan sebagai bentuk<br />
dukungan Pemkab dan DPRK setempat terhadap aparat<br />
keamanan, dalam membantu menindak pelaku tidak kriminal<br />
di wilayah tersebut. Pembiayaan bonus itu bersumber dari<br />
APBD Kabupaten Aceh Barat.<br />
Kita jelas menentang pemberian bonus ini. Karena, pemberian<br />
bonus pada aparat Kepolisian dan TNI telah mencederai<br />
profesionalisme aparat keamanan itu sendiri. Tindakan tersebut<br />
seharusnya tidak perlu dilakukan mengingat, menindak segala<br />
kejahatan kriminal yang terjadi di Aceh sudah menjadi fungsi<br />
dan tugas pokok Kepolisian sesuai dengan UU No. 02/2002<br />
tentang Polri, walaupun tanpa dukungan berupa bonus dari<br />
Pemerintah setempat.<br />
Sementara itu, upaya memotivasi masyarakat dalam menindak<br />
segala kejahatan merupakan tantangan tersendiri bagi pihak<br />
kepolisian yang bisa dilakukan dengan strategi Perpolisian<br />
Masyarakat (Polmas), demi menciptakan dukungan yang kuat<br />
dari masyarakat. Dimana, tindakan tersebut bertentangan dengan<br />
UU No. 02/2002 tentang Polri dan UU No. 34/2004, tentang TNI<br />
yang dengan tegas menyebutkan sumber pendanaan kedua<br />
instansi vertikal tersebut bersumber dari APBN.<br />
Mengejar material semata<br />
Dampak lainnya dari pemberian bonus tersebut adalah<br />
kekhawatiran akan penegakan hukum ke depan tidak lagi<br />
dilakukan atas dasar kesadaran dan tanggungjawab, tapi atas<br />
dasar mengejar material semata. Padahal, kepolisian<br />
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara<br />
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,<br />
serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan<br />
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan<br />
dalam negeri.<br />
Sedangkan, dari sisi anggaran tindakan pemberian bonus ini<br />
juga mengakibatkan terbebaninya anggaran untuk hal-hal<br />
yang bukan merupakan kebutuhan prioritas masyarakat<br />
Aceh Barat. Terlebih pula pemberian bonus tersebut tidak<br />
sesuai dengan peruntukkan yang telah ditetapkan oleh APBD.<br />
Hal lainnya adalah pemberian bonus ini berdampak pada<br />
Pemkab dan DPRK Aceh Barat telah mengembalikan polisi<br />
pada perpolisian konvensional (perpolisian tradisional) yang<br />
menekankan pada perpolisian yang bersifat reaktif (reactive<br />
policing) dalam rangka pencapaian kondisi keamanan dan<br />
ketertiban. Ini bertolak belakang dengan strategi perpolisian<br />
masyarakat saat ini, yaitu perpolisian modern yang<br />
mempraktekkan gaya perpolisian yang berorientasi atau<br />
menekankan pada penuntasan masalah (problem solving<br />
policing,) dan kegiatan yang sepenuhnya berorientasi pada<br />
pada pelayanan atau jasa-jasa publik (public service policing).<br />
Karena itu bentuk dukungan atau apresiasi terhadap<br />
keberhasilan kepolisian tidak seharusnya diberikan dalam<br />
bentuk bonus. Pemerintah Kabupaten dan DPRK Aceh Barat<br />
bisa memperjuangkan kebutuhan Kepolisian dan TNI dengan<br />
mendorong pemenuhan anggaran yang layak melalui DPR-<br />
RI, misalnya dengan meningkatkan gaji dan biaya operasional<br />
yang mencukupi. Sehingga APBD Aceh Barat dapat difokuskan<br />
pada otoritas daerah untuk menjawab keuangan dan otoritas<br />
Aceh Barat. Selain itu semua pihak juga seharusnya<br />
menghargai upaya reformasi dalam sistem keamanan dan<br />
pertahanan yang sedang dilakukan oleh Polri dan TNI,<br />
sehinggga tidak mencederai profesionalisme Polri dan TNI<br />
itu sendiri.***<br />
Sambungan dari hal 19<br />
meluas di kalangan masyarakat sipil, maka penuntasan kasuskasus<br />
pelanggaran HAM di Aceh menjadi penting untuk segera<br />
diupayakan.<br />
Hingga saat ini upaya pemerintah belum menunjukkan usaha<br />
penuntasan pelanggaran HAM di Aceh. Termasuk belum ada<br />
upaya optimal untuk mencegah berulangnya kekerasn yang<br />
meluas di Aceh. Padahal perjanjian Helsinki dan UUPA<br />
memandatkan pembentukan pengadilan HAM di Aceh dan<br />
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Bahkan batas<br />
akhirnya pun telah dilewati.<br />
DPR memiliki peran strategis dalam mendorong penuntasan<br />
pelanggaran HAM di masa lalu dan pencegahan kekerasan di<br />
Aceh. Hal ini mengingat DPR merupakan pihak yang<br />
merumuskan UUPA bersama sejumlah kalangan. DPR pula<br />
yang memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja<br />
pemerintah, sebagaimana yang diatur dalam UUPA.<br />
Selain latar belakang historis dan peran konstusionalnya,<br />
DPR harus pula berpihak pada usaha membongkar<br />
kebenaran atas apa yang terjadi di Aceh terutama di masa<br />
konflik, memperbaiki kondisi para korban seoptimal<br />
mungkin dan mengadili para pelaku kejahatan-kejahatan<br />
serius yang merusak harkat dan martabat kemanusiaan.<br />
Karenanya, DPR, melalui Komisi III, segera mempertanyakan<br />
ke pemerintah perihal usaha penuntasan pelanggaran berat<br />
HAM di Aceh. Secara substansial dan adil bagi korban<br />
masyarakat sipil, terutama perempuan dan anak-anak.<br />
Penundaan penuntasan merupakan tindakan yang<br />
memperpanjang penderitaan dan membiarkan pelaku<br />
kejahatan berkeliaran.***<br />
22<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
Pasca Meninggalnya Husaini<br />
Mempertanyakan Keabsahan Analisa Dokter dan Polisi<br />
KABAR DAERAH<br />
Kembali jatuh korban akibat penyiksaan oleh aparat kepolisian. Meski jelas terdapat sejumlah bekas luka<br />
akibat penyiksaan, aparat menyatakan korban meninggal karena sakit. Selama ditahanpun korban tidak boleh<br />
dikunjungi keluarga. Penyiksaan demi penyiksaan nyatanya terus terjadi<br />
Keabsahan hasil analisa dokter dan pernyataan polisi yang<br />
menyatakan bahwa Husaini meninggal karena mengalami sakit<br />
paru-paru, kiranya patut dipertanyakan. Mengapa Hasil tersebut<br />
jelas bertolak belakang dengan kesaksian keluarga dan warga<br />
yang turut mengurus jasad Husaini sebelum dikebumikan. Dimana<br />
pada jasadnya ditemukan beberapa bekas penyiksaan. <strong>KontraS</strong><br />
Aceh sendiri juga memiliki rekaman audio visual jasad Husaini<br />
yang gambarnya diambil beberapa saat sebelum jenazah<br />
dikebumikan. Pada jasad tersebut terlihat jelas bekas memar dan<br />
bekas luka akibat pemukulan di badan, kaki dan bagian mukanya.<br />
Kita juga menyayangkan proses pemeriksaan Husaini oleh<br />
Kepolisian yang tidak menyertai pengacara atau penasehat hukum<br />
sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan. Keluarga<br />
Husaini juga mengakui bahwa selama dalam tahanan kepolisian<br />
mereka tidak diizinkan untuk menjenguk Husaini. Dari beberapa<br />
fakta tersebut, maka patut diduga bahwa kepolisian telah<br />
melanggar prosedur hukum yang berlaku dalam proses<br />
pemeriksaan atau penyidikan terhadap Husaini. Pihak kepolisian<br />
juga diduga telah melakukan tindakan penyiksaan terhadap<br />
Husaini dalam proses pemeriksaan.<br />
Kategori penyiksaan<br />
Tanjong Beuridi, Indra Makmur, dll), dapat dikatakan bahwa telah<br />
terjadi kegagalan pihak kepolisian dalam menjalankan fungsinya,<br />
dan patut diduga polisi telah melakukan tindak pelanggaran berat<br />
HAM kategori penyiksaan.<br />
Kita juga masih mengingat kesaksian Utusan Khusus PBB untuk<br />
Penghapusan Penyiksaan, Manfred Nowak ketika melakukan<br />
kunjungan di Indonesia pada bulan November 2007. Sebuah media<br />
massa memberitakan bahwa Nowak tiba di kantor polisi ketika<br />
pemukulan sedang berlangsung. Dia mengaku prihatin dengan<br />
adanya beberapa bentuk intimidasi yang terjadi di tempat<br />
penahanan. Beberapa jenis penganiayaan yang dilaporkan kepada<br />
Nowak dan dikuatkan analisis dari ahli medis pun variatif. Antara<br />
lain, pemukulan dengan tangan kosong, tongkat rotan atau tongkat<br />
kayu, kabel, batang besi, dan palu<br />
Berdasarkan hal di atas, <strong>KontraS</strong> Aceh mendesak Komnas HAM<br />
sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan<br />
terhadap semua temuan kasus-kasus penyiksaan yang terjadi<br />
selama ini, terutama untuk kasus Husaini. Penyelidikan melalui<br />
mekanisme biasa tidak akan efektif karena selama ini kepolisian<br />
cenderung menutupi dan melindungi pelaku.***<br />
Mengingat kejadian serupa telah terjadi berulangkali sejak masa<br />
konflik sampai dengan dua tahun perdamaian berlangsung (kasus<br />
Sidang Lanjutan Delapan Staf LBH<br />
Pengadilan Negeri Langsa kembali melanjutkan persidangan<br />
delapan staf LBH Banda Aceh (pada 9/1) di Langsa, dengan agenda<br />
pembacaan putusan sela oleh majelis hakim. Persidangan tersebut<br />
terkait perkara tindak pidana menyiarkan, mempertontonkan,<br />
atau menempelkan tulisan yang isinya menghasut di muka umum<br />
dengan lisan atau tulisan, sebagaimana yang dimaksud dalam<br />
pasal 160 Jo 161 Jo 55 Jo 56 KUHPidana.<br />
Sebelumnya, 12 Desember 2007, persidangan telah dilakukan<br />
dengan agenda pembacaan eksepsi oleh kuasa hukum LBH Banda<br />
Aceh terhadap seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Imum Kejaksaan<br />
Negeri Kota Langsa. Dan pada 19 Desember persidangan<br />
dilanjutkan dengan jawaban Jaksa Penuntut Umum terhadap<br />
eksepsi kuasa hukum LBH Banda Aceh.<br />
Atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum, kuasa hukum LBH Banda<br />
Aceh dan delapan staf LBH Banda Aceh yang dijadikan terdakwa<br />
membacakan eksepsi yang pada pokoknya mengajukan keberatan<br />
atas dakwaan tersebut, yakni dakwaan dianggap kabur (Obcuur<br />
Libel) karena tidak memuat uraian yang cermat, jelas dan lengkap<br />
tentang tindak pidana yang didakwakan, dakwaan mengandung<br />
pertentangan hukum satu sama lainnya dan dakwaaan jaksa<br />
penuntut umum sangat bertentangan dengan semangat hukum<br />
dan penegakan hak asasi manusia, keadilan, perdamaian dan<br />
demokrasi yang selama ini dicita-citakan.<br />
Eksepsi juga menyatakan unsur penghasutan yang diatur dalam<br />
pasal 160 KUHP adalah ajakan untuk mendorong, mengajak,<br />
membangkitkan atau membakar semangat orang untuk<br />
melakukan perbuatan pidana atau melawan kekuasaan umum<br />
dengan kekerasan atau jangan mau menurut peraturan undangundang<br />
atau jangan mau mengikuti perintah yang sah menurut<br />
undang-undang. Unsur ini sama sekali tidak terlihat dalam uraian<br />
tindakan pidana yang didakwakan.<br />
Sedangkan, dakwaan jaksa justru berisikan ajakan para terdakwa<br />
agar siapapun yang membaca selebaran itu memperjuangkan hakhak<br />
rakyat dengan mengedepankan cara-cara jalur hukum dan tetap<br />
menjaga komitmen menjaga perdamaian. Tindakan para terdakwa<br />
merupakan upaya penegakan hukum dalam mengangkat kembali<br />
kasus penyerobotan tanah rakyat oleh PT Bumi Flora yang terjadi<br />
pada tahun 1991 yang selama ini tenggelam akibat konflik yang<br />
mendera Aceh.<br />
Karenanya, Aliansi Peduli Korban Bumi Flora (APKBF), meminta<br />
majelis hakim PN Langsa dapat melihat kasus ini secara objektif,<br />
mengingat tindakan yang dilakukan para terdakwa dalam kasus<br />
tersebut dengan semangat untuk menyelesaikan persoalan rakyat<br />
dalam rangka menjaga perdamaian di Aceh.<br />
Sebelumnya PT. Bumi Flora telah menunjukkan itikad baiknya dengan<br />
mencabut pengaduannya ke POLRES Langsa sehingga Pasal 335<br />
(Tindak Pidana Perbuatan Tidak Menyenangkan) yang merupakan<br />
delik aduan telah dicabut, namun oleh pihak Polres Langsa masih<br />
terus menindak lanjuti perkara tersebut terkait tindak pidana yang<br />
dimuat dalam pasal 160 dan 161.<br />
Ke delapan oranng staf LBH Banda Aceh tersebut adalah M. Jully<br />
Fuady SH, Kamaruddin SH, Mustiqal Syahputra SH, Mardiati SH,<br />
Sugiono, Juanda, Mukhsalmina SH, dan Yulisa Fitri SH.***<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 23
KABAR DAERAH<br />
Lagi TNI-POLRI Bentrok ! Tiga Orang Tewas<br />
Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), terasa mencekam sepanjang Sabtu (2/<br />
2). Situasi itu menyeruak menyusul insiden berdarah yang menewaskan dua anggota Polres<br />
setempat dan seorang anggota TNI. Lagi-lagi bentrokan ini hanya dipicu oleh masalah<br />
sepele dan salah paham. Sejumlah anggota Yonif 731/Karebosi Maluku Tengah menyerbu<br />
Mapolres Malteng lantaran mengira seorang temannya ditahan di polres tersebut<br />
Insiden tersebut terjadi pada Sabtu dini hari sekitar pukul 03.00<br />
Wib ketika sekelompok anggota Batalyon Infanteri (Yonif) 731/<br />
Kabaressy menyerang Markas Polres Malteng. Tiga korban<br />
adalah Bripka Michael Wattimena, Bripda Musri Siomlibona<br />
serta Prada Raymond Runtho dari Yonif 731. Bentrokan ini<br />
mengakibatkan rumah dinas Kapolres Malteng AKBP Jacub<br />
Parjogo terbakar. Sedang kantor Mapolres Malteng juga rusak.<br />
Bentrokan ini tidak hanya mengakibatkan rusaknya fasilitas<br />
negara, namun yang lebih disayangkan lumpuhnya<br />
perekonomian di Masohi akibat trauma masyarakat setempat<br />
paska kejadian ini.<br />
Penyerbuan tentara terhadap markas<br />
polisi di Masohi tersebut tidak hanya<br />
patut kita sesalkan. Tapi, itu juga<br />
merupakan tindakan yang naif. Ironi<br />
dan tragis. Mengapa Sebab, peristiwa<br />
semacam itu bukan kali pertama terjadi<br />
di daerah Maluku, meski bukan di<br />
Masohi.<br />
Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol<br />
Sisno Adiwinoto, membenarkan adanya<br />
insiden itu. Ia menyesalkan<br />
digunakannya mortir dan senjata api<br />
dalam insiden itu. “Mortir dan senjata<br />
api kan aset negara, mengapa dipakai<br />
untuk melakukan perusakan. Saya tidak<br />
mau menyebut apakah itu polisi, TNI,<br />
atau aparat lain. Yang jelas penggunaan<br />
aset negara itu tidak dibenarkan.<br />
Siapapun yang melakukannya harus ditindak tegas, “ ujarnya.<br />
Sementara itu, anggota Komisi Pertahanan DPR, Andreas<br />
Pareira, mengingatkan, saat ini rakyat sudah bosan dengan<br />
bentrokan anggota TNI dan Polri, yang kerap terjadi. Bentrokan<br />
itu, kata dia, justru menganggu rasa keamanan dan kenyamanan<br />
masyarakat. “Itu juga bisa mengurangi kepercayaan masyarakat<br />
terhadap dua institusi negara ini, “ katanya.<br />
Sedang anggota Komisi Pertahanan lainnya, Arief Mudatsir<br />
Mandan, meminta dua institusi ini memiliki political will untuk<br />
mencegah terjadinya bentrokan. “Keduanya perlu mendapat<br />
pembinaan gratis, “ kataya.<br />
Belum terimplementasikan<br />
“Mortir dan senjata api<br />
kan aset negara, mengapa<br />
dipakai untuk melakukan<br />
perusakan. Saya tidak mau<br />
menyebut apakah itu<br />
polisi, TNI, atau aparat<br />
lain. Yang jelas penggunaan<br />
aset negara itu tidak<br />
dibenarkan. Siapapun yang<br />
melakukannya harus<br />
ditindak tegas, “ ujar<br />
Kadiv Humas Polri , Irjen<br />
Pol Sisno Adiwinoto<br />
Bentrokan yang dilatarbelakangi oleh masalah pribadi ini<br />
menjadi cerminan bagaimana reformasi di tubuh TNI dan Polri<br />
yang diamanatkan oleh Tap MPR No.VI/2000 tentang pemisahan<br />
TNI dan Polisi serta Tap MPR No.VII/ 2000 tentang peran TNI<br />
dan Polisi belum diimplementasikan secara komprehensif.<br />
Sedangkan Penempatan TNI di tengah-tengah masyarakat<br />
kontraproduktif dengan agenda reformasi TNI tentang<br />
penghapusan komando teritorial (Koter). Karena seringkali<br />
simpul-simpul kekuatan TNI yang berada di tengah kota ini<br />
menjadi pemicu bentrokan antara TNI dengan Polri maupun<br />
dengan masyarakat sipil. Sesuai dengan fungsinya sebagai<br />
pertahanan keamanan, TNI seharusnya ditempatkan dalam<br />
barak khusus atau di pulau-pulau terluar untuk menjaga<br />
kedaulatan NKRI.<br />
Di sisi lain pemerintah juga harus segera<br />
menertibkan bisnis militer di kalangan<br />
TNI yang rentan terhadap kekerasan dan<br />
pelanggaran HAM. Sementara polisi<br />
sebagai jargon utama keamanan<br />
masyarakat pun tidak seharusnya<br />
menampilkan perilaku yang<br />
mengedepankan kekerasan. Jika<br />
masyarakat sering dipertontonkan adegan<br />
kekerasan maka akhirnya budaya<br />
kekerasanlah yang tumbuh di tengah<br />
masyarakat.<br />
Bentrokan ini jelas mencerminkan bahwa<br />
budaya kekerasan masih sangat melekat<br />
dalam keseharian TNI/Polri. Pemahaman<br />
menyelesaikan masalah dengan kekuatan<br />
senjata masih terdoktrinasi dalam pola<br />
pendidikan TNI/Polri yang akhirnya<br />
menghambat proses reformasi sektor<br />
keamanan (RSK) yang sedang berjalan. Maka tak ada kata<br />
lain, pelaku harus dituntut agar perilaku arogansi dan<br />
premanisme seperti ini harus segera dihentikan dan tidak<br />
boleh dibiarkan, apalagi ditoleransi. Karena dalam setiap<br />
perkelahian yang terjadi, masyarakat sipil selalu menjadi<br />
korban.<br />
Selain itu, Kontras juga meminta Kapolri dan Panglima TNI<br />
agar terus menjunjung tinggi profesionalisme dalam<br />
menjalankan tugasnya di lapangan. Kapolri dan Panglima<br />
TNI juga harus segera menidak tegas anggota TNI/Polri yang<br />
terlibat bentrokan dengan memecat dan menghukum pelaku<br />
sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Ukuran<br />
reformasi TNI/Polri yang paling mudah ialah berkurangnya<br />
penyalahgunaan senjata dan tindak kekerasan aparat,<br />
penegakan hukum pidana dan sanksi keprajuritan yang tegas<br />
bagi setiap pelanggaran. Termasuk berkonsentrasi hanya<br />
pada tugas pokok masing-masing. Pertanyaannya adakah hal<br />
tersebut telah menjadi komitmen dari TNI/Polri kita. ***<br />
24<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
Menyelamatkan Martarbat Bangsa :<br />
Menjaga Kebebasan Beragama & Bekeyakinan<br />
REMPAH-REMPAHH<br />
Tahun 2007 berakhir dengan catatan kelam dan duka mendalam bagi kehidupan<br />
berbangsa dan bernegara. Kekerasan atas nama agama merebak luas. Stasiun televisi<br />
berlomba menayangkan dengan gegap gempita mesjid dan tempat ibadah lain yang<br />
dibakar sekelompok orang. Dan seperti biasa, polisi bersiaga tanpa berbuat banyak<br />
Dengan jelas terlihat (di berbagai stasiun televisi), kelompok<br />
AI-Qiyadah digelandang ke kantor polisi, untuk kemudian<br />
ditobatkan dan sebagian lainnya dikriminalisasi. Masih jelas<br />
dalam ingatan, kasus kekerasan termuktahir terhadap kaum<br />
Ahmadiyah dan pembakaran masjid di Kuningan (18/12), dan<br />
Majalengka (23/12), Jawa Barat, menjadi bukti malangnya<br />
nasib mereka yang menjadi pengikut Ahmadiyah di Indonesia.<br />
Dikendalikan kelompok<br />
Karenanya, tak berlebihan bila kondisi ini terus dibiarkan,<br />
Indonesia akan dikendalikan oleh kekerasan segolongan<br />
kelompok yang merasa dirinya paling benar. Hukum-pun bisa<br />
jadi kian kehilangan wibawa dan kekuatannya. Dan peradaban<br />
serta demokrasi akan tinggal kenangan.<br />
Sebelumnya terekam pula bagaimana, sekitar seribu orang<br />
menyerbu perkampungan Ahmadiyah di Neglasari, Cianjur<br />
(19/9), malam hingga Selasa (20/9) dini hari. Penyerbuan<br />
mengakibatkan sedikitnya 70 rumah dan enam masjid rusak<br />
berat. Massa yang meneriakkan takbir saat menyerbu juga<br />
membakar satu rumah, dua mobil dan tiga<br />
motor.<br />
Sementara itu, atas nama “keamanan &<br />
agama” sejumlah gereja disatroni dan<br />
umatnya dipaksa menghentikan segala<br />
aktivitas keagamaannya. Ironinya,<br />
tindakan anarki yang dilakukan oleh<br />
sekelompok orang ini terus saja terjadi dan<br />
“dibenarkan”.<br />
Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI),<br />
malah terus mendaftar kelompok-kelompok<br />
minoritas dan mengidentifikasi mereka<br />
sebagai aliran sesat. Kata sesat-pun<br />
diproduksi dan dijadikan dasar<br />
pembenaran untuk menghilangkan<br />
keberagaman.<br />
“Negara dapat<br />
memberikan jaminan<br />
kebebasan beragama dan<br />
berkeyakinan kepada<br />
setiap warga negara,<br />
sesuai dengan mandat<br />
hukum HAM internasional<br />
yaitu melindungi (to<br />
protect), menghormati (to<br />
respect), dan memenuhi (to<br />
fullfil) hak-hak dasar<br />
warga”.<br />
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan<br />
Berkeyakinan (AKKBB) menyatakan dukungan kepada Presiden<br />
RI untuk menjaga keutuhan dan martabat bangsa dengan<br />
berpegang teguh pada amanat UUD 1945 dan Pancasila serta<br />
tidak tunduk kepada intervensi kelompok-kelompok agama<br />
tertentu yang menyatakan kelompok lain<br />
sesat dan melegitimasi tindak kekerasan atas<br />
nama agama.<br />
Sementara itu, negara dapat memberikan<br />
jaminan kebebasan beragama dan<br />
berkeyakinan kepada setiap warga negara,<br />
sesuai dengan mandat hukum HAM<br />
internasional yaitu melindungi (to protect),<br />
menghormati (to respect), dan memenuhi (to<br />
fullfil) hak-hak dasar warga.<br />
Sedangkan Kejaksaan Agung juga dapat<br />
memainkan perannya, untuk berpegang<br />
teguh pada prinsip penegakan hukum dan<br />
tidak mengkriminalkan, membekukan, dan<br />
melarang suatu aliran agama/kepercayaan<br />
tertentu berdasarkan Fatwa MUI.<br />
Padahal kita tahu dan sadar bahwa menafikan keberagaman<br />
dalam konteks Indonesia adalah suatu pengkhianatan<br />
terhadap cita-cita dan dasar negara. Pancasila dan UUD 1945<br />
dibentuk dengan kesadaran Indonesia sebagai wadah<br />
kesatuan bagi segala perbedaan dari Sabang hingga Merauke.<br />
Indonesia dibangun dengan kesepakatan tiadanya dominasi<br />
satu agama terhadap agama lain, lantaran dominasi tersebut<br />
jelas hanya akan menghancurkan kesatuan itu sendiri.<br />
Sejumlah fakta yang ada dan terjadi di berbagai daerah itu,<br />
tentunya tidak saja memprihatinkan. Mengapa Karena<br />
dengan jelas menunjukkan betapa kekerasan menjadi jalan<br />
keluar bagi masyarakat dan betapa toleransi beragama kian<br />
menipis. Celakanya, aparat keamanan terkesan tidak berdaya.<br />
Tak hukum yang berjalan ada sejumlah tindakan anarkis ini.<br />
Pada titik inilah, kita seakan “diarahkan” untuk melihat<br />
bagaimana polisi dan Jaksa telah bertindak tidak berdasarkan<br />
konstitusi dan hukum, namun “bertindak” atas desakan<br />
sekelompok lainnya.<br />
Termasuk pula tidak melanggar hak-hak konstitusioanal warga<br />
negara (hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan), yang<br />
berakibat pada merosotnya harkat dan martabat bangsa dalam<br />
pergaulan masyarakat internasional.<br />
Sementara itu, pihak keamanan khususnya kepolisian mampu<br />
memberikan perlindungan kepada warga negara dengan<br />
melakukan pencegahan terjadinya tindak kekerasan,<br />
pelarangan menjalankan agama dan keyakinannya oleh<br />
kelompok kelompok agama tertentu/kelompok milisi.termasuk<br />
menindak tegas pelaku tindak kriminal atas nama agama sesuai<br />
dengan hukum yang berlaku.<br />
Pada akhirnya kita berharap agar semua lapisan masyarakat<br />
dapat menghargai perbedaan agama dan keyakinan sesuai<br />
dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dan menghindari tindak<br />
kekerasan dan mengedepankan dialog jika menganggap ada<br />
perbedaan paham keagamaan dan keyakinan.***<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 25
REMPAH-REMPAHH<br />
Proyeksi Reformasi Sektor Keamanan 2008<br />
Reformasi sektor keamanan di Indonesia telah memasuki satu dasawarsa. Sayang, tetap<br />
belum terjadi perubahan signifikan di tingkat legislasi, institusi dan perilaku aktor-aktor di<br />
sektor keamanan. Hingga 2007 Otoritas Politik Sipil terkesan “cari aman” dalam membina<br />
relasi dan penataan sektor keamanan. Dampaknya kebijakan sektor keamanan berhenti<br />
pada pembentukan aturan semata-mata<br />
Menilik hal tersebut, maka ada beberapa capaian yang perlu<br />
diapresiasi dalam sektor keamanan seperti, dikeluarkannya TNI<br />
dan Polri dari lembaga legislatif, pemisahan secara kelembagaan<br />
TNI dan Polri, penetapan APBN sebagai satu-satunya sumber<br />
anggaran pertahanan dan penetapan Badan Pemeriksa<br />
Keuangan (BPK) sebagai lembaga yang berwenang melakukan<br />
audit, terakhir adalah penentuan batas waktu pengambialihan<br />
bisnis militer<br />
Sayangnya capaian-capaian tersebut, masih banyak yang<br />
berhenti pada tataran akomodasi dalam pasal-pasal peraturan<br />
perundang-undangan, dan miskin implementasi. Terbukti<br />
tenggat waktu yang diberikan undang-undang No 34 tahun 2004<br />
tentang TNI pasal 76 untuk pengambilalihan bisnis militer kian<br />
dekat, namun peraturan presiden yang akan menjadi panduan<br />
belum juga diterbitkan.<br />
Sedangkan APBN sebagai satu-satunya sumber anggaran<br />
pertahanan, belum direalisasikan. APBD-APBD dan BRR masih<br />
mengalokasikan dana untuk sektor keamanan. Hal ini termasuk<br />
masih berguritanya bisnis-bisnis militer, formal maupun non<br />
formal. Kemudian masalah penempatan Mabes TNI di bawah<br />
Dephan di counter dengan wacana penempatan Polri di bawah<br />
departemen dan tidak langsung di bawah presiden. Padahal,<br />
keterbatasan anggaran masih jadi kendala serius yang belum<br />
dapat komitmen penyelesaian.<br />
Karenanya ketika kesejahteraan prajurit komponen utama<br />
belum memadai, pemerintah sudah melirik pembentukan<br />
komponen cadangan yang notabene pasti akan membutuhkan<br />
alokasi sumberdaya yang sangat besar. Masaah lain, tidak<br />
kunjung dibentuknya Strategic Defense Review (SDR) dan Dewan<br />
Pertahanan Nasional, ketiadaan kemauan politik menyusun<br />
kebijakan intelijen negara dan masih tingginya kekerasan dan<br />
angka kriminal termasuk bentrok TNI-Polri.<br />
Kondisi geografis<br />
Seharusnya pertahanan negara disusun dengan memperhatikan<br />
kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Angkatan<br />
Laut yang kuat mampu menjadi ciri Indonesia sebagai negara<br />
kepulauan itu. Sayang, hingga kini orientasi pembangunan<br />
kapabilitas pertahanan yang demikian belum terlihat dengan<br />
jelas. Dengan dalih keterbatasan anggaran, orientasi<br />
pengembangan matra darat masih lebih kental. Beberapa<br />
komando teritorial baru di Papua dan di Ende Flores justru<br />
dibentuk kembali.<br />
Selain itu, dilanjutkannya tradisi pengangkatan menteri<br />
pertahanan dari tokoh sipil sejak jaman Presiden Gus Dur dan<br />
Presiden Megawati yang menjadi salah satu parameter<br />
diterapkannya prinsip supremasi sipil. Hal ini perlu ditingkat<br />
dengan integrasi Departemen Pertahanan dan Mabes TNI<br />
sebagaimana di tentukan dalam pasal 3 ayat (2) UU No 34<br />
tahun 2004 yang berbunyi: “Dalam kebijakan dan strategi<br />
pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah<br />
koordinasi Departemen Pertahanan.”<br />
Proyeksi 2008<br />
Berangkat dari setumpuk permasalah yang diungkapkan diatas,<br />
Kontras dan sejumlah LSM (INFID, Imparsial, HRWG, IDSPS,<br />
YLBHI, DEMOS, LBH Pers, ITP, JATAM, WALHI, ICW, Lespersi,<br />
Praxis, ELSAM , dan LBH Jakarta), menyampaikan sejumlah<br />
proyeksi sektor keamanan untuk tahun 2008, diantaranya,<br />
pertama, reformasi sektor keamanan harus menciptakan aktor<br />
aktor keamanan yang profesional, sesuai dengan tata nilai<br />
demokrasi dan berdasarkan pada prinsip good governance.<br />
Harapannya sistem keamanan dapat menjaga kemanan<br />
negara (state security) dan mampu memberikan rasa aman<br />
kepada warga negara (human security).<br />
Kedua, netralitas aktor keamanan ditengah upaya merebut<br />
dan atau mempertahankan kekuasaan oleh elit-elit politik<br />
mutlak harus ditegakkan.<br />
Ketiga, pemerintah harus segera menyusun grand strategi<br />
pertahanan Indonesia, sehingga proses pembangunan<br />
pertahanan dapat dilakukan secara terencana, terukur,<br />
berdasarkan prioritas dan kemampuan. Pembangunan<br />
Kapabilitas pertahanan yang tambal sulam menunjukkan<br />
pemerintah setengah dalam melakukan reformasi.<br />
Keempat, peningkatan bertahap anggaran pertahanan harus<br />
disertai dengan komitmen untuk mengurangi kebutuhan<br />
pertahanan yang tidak effektif dan tidak efisien secara<br />
sistematis. Pengurangan kebutuhan pertahanan ini bisa<br />
dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya perawatan<br />
persenjataan terutama dengan melakukan pemusnahan<br />
sistem persenjataan (arms disposal) yang sudah tidak layak<br />
pakai atau yang tidak lagi relevan dengan perkembangan<br />
teknologi militer terkini.<br />
Kelima, lembaga yang memiliki otoritas untuk melakukan<br />
audit terhadap TNI, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus<br />
memperluas lingkup wilayah auditnya, seperti dalam<br />
pengadaan alat utama system persenjataan yang kerapkali<br />
membutuhkan anggaran sangat besar. Kami juga mendesak<br />
agar Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan audit pada<br />
kegiatan TNI di wilayah konflik, untuk mengetahui adanya<br />
penyimpangan penggunaan dana APBN sektor pertahanan<br />
untuk tindak pelanggaran HAM. Peran Komisi<br />
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut korupsi dan<br />
26<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
REMPAH-REMPAHH<br />
kejahatan ekonomi yang melibatkan kalangan anggota TNI<br />
aktif juga hendaknya bisa muncul.<br />
Keenam, evaluasi menyeluruh terhadap kinerja kepolisian<br />
paska pemisahan dan konsistensi dalam formulasi kepolisian<br />
yang profesional dan bersifat adalah kemutlakan. Kedepan,<br />
sebaiknya polisi meninggalkan pengembangan yang<br />
berorientasi pada pemanfaatan proyek dan isu internasional<br />
dan kecenderungan berkompetisi dengan Polri.<br />
Ketujuh, penyusunan Regulasi untuk perbaikan kerja-kerja<br />
intelejen, melalui pembuatan payung hukum untuk Badan<br />
Intelijen Negara dan Mekanisme Koordinasi Unit-unit kerja<br />
intelijen tampaknya menjadi kebutuhan mendesak, untuk<br />
memutus mata rantai penyalahgunaan kewenangan intelejen<br />
dan peningkatan kemampuan dalam mengantisipasi<br />
kejahatan dan ancaman trans-nasional seperti dalam kasuskasus<br />
terorisme.<br />
Kedelapan, DPR hendaknya memaksimalisasi fungsi-fungsi<br />
pengawasannya(parliament oversight), terutama terkait dengan<br />
legislasi-legislasi dan penggunaan anggaran di sektor<br />
keamanan, terutama terkait sejauhmana keduanya secara efektif<br />
mempengaruhi profesionalitas dan perbaikan kinerja aktoraktor<br />
keamanan.<br />
Terakhir, penempatan aspirasi publik dalam pengambilan<br />
keputusan-keputusan strategis sektor keamanan hendaknya<br />
menjadi corak dari prosedur pebuatan kebijakan di sektor<br />
keamanan kedepan. Terlebih bahwa dimensi persoalan sektor<br />
keamanan tidak melulu terkait dengan isu-isu militer, kepolisian<br />
dan intelejen semata-mata, namun juga mencakup soal-soal lain<br />
seperti kemiskinan, ketahanan pangan, perubahan iklim dan<br />
bencana alam, dan lain-lain. ***<br />
Bila anda tertarik soal kasus kasus pelanggaran HAM<br />
termasuk perkembangan kasus pembunuhan Munir<br />
anda dapat mengunjungi www.kontras.org<br />
anda juga dapat men<strong>download</strong> terbitan kami<br />
seperti buletin, buku-buku, serta sejumlah data<br />
dan peraturan nasional, internasional terkait<br />
dengan Hak Asasi Manusia<br />
Website ini juga bisa dimanfaatkan untuk para<br />
Peneliti yang tengah mendalami issue seputar<br />
HAM dan demokrasi di Indonesia<br />
Bagi mereka yang suka “nakal” atau memantau kami<br />
melalui web ini akan memudahkan anda mengenal<br />
Lebih dalam tentang <strong>KontraS</strong><br />
Selamat Berkunjung !!!<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 27
REMPAH-REMPAHH<br />
Seleksi Hakim MK Dilakukan Bertahap<br />
Tiga orang hakim konstitusi akan mendekati usia pensiun.<br />
Mereka adalah Achmad Roestandi (pensiun Maret), serta Laica<br />
Marzuki (pensiun April) dan Soedarsono (yang akan pensiun<br />
Juni). Disamping itu, pada bulan Agustus 2008 para hakim<br />
konstitusi akan berakhir masa jabatan lima tahun pertama, dan<br />
kondisi ini mengharuskan pemilihan kembali seluruh hakim MK.<br />
DPR bersama Presiden dan Mahkamah Agung (MA), sebagai<br />
lembaga yang mempunyai wewenang konstitusional untuk<br />
mengajukan tiga orang hakim konstitusi, tengah bersiap<br />
melakukan proses seleksi. Dalam hal ini, DPR telah melakukan<br />
pembahasan apakah proses seleksi itu nantinya akan dilakukan<br />
sekaligus untuk memilih tiga orang hakim konstitusi, atau hanya<br />
difokuskan untuk mengganti hakim yang pensiun.<br />
Konstitusi UUD 1945 dan UU Mahkamah Konstitusi telah<br />
memberikan ketentuan penting, bahwa syarat hakim konstitusi<br />
harus seorang negarawan dan bukan anggota partai politik.<br />
Sedangkan tata cara seleksinya, diserahkan kepada masingmasing<br />
lembaga yang harus selesai dalam waktu 30 hari sejak<br />
hakim konstitusi berhenti (karena pensiun atau habis masa<br />
jabatannya).<br />
Mencermati perkembangan dan kebutuhan dalam proses seleksi<br />
hakim konstitusi, maka seleksi hakim konstitusi hendaknya<br />
dilakukan bertahap, dan terlebih dahulu difokuskan untuk<br />
keperluan mengisi hakim konstitusi yang sudah pensiun.<br />
Kehendak untuk melakukan seleksi hakim konstitusi sekaligus,<br />
seperti yang akan dilakukan oleh DPR, jelas akan mengebiri hak<br />
dan kewenangan hakim yang belum selesai masa jabatannya.<br />
Lebih dari itu, proses penanganan perkara akan terganggu dan<br />
hak keadilan masyarakat menjadi terabaikan.<br />
Bukan anggota parpol<br />
Sementara, seleksi hakim konstitusi sudah semestinya diletakkan<br />
dalam semangat untuk terus membangun dan memperkuat<br />
kemandirian dan ‘kewibawaan’ Mahkamah Konstitusi. Oleh<br />
karena itu, kualifikasi syarat hakim konstitusi, terutama syarat<br />
negarawan dan bukan anggota partai politik, menjadi faktor<br />
yang sangat significant untuk dijabarkan dan ditegaskan<br />
lebih lanjut dalam proses seleksi.<br />
Selanjutnya, seorang calon hakim konstitusi sudah harus<br />
mampu melampui interest dan kepentingan politik (beyond<br />
politics). Dalam hal ini, seorang calon hakim konstitusi yang<br />
telah lama (3-5 tahun) tidak menjadi anggota atau pengurus<br />
partai politik, serta telah berusia diatas 50 tahun, dapat lebih<br />
mendekati kualifikasi persyaratan tersebut.<br />
Masing-masing lembaga DPR, Presiden dan Mahkamah<br />
Agung, dalam melakukan seleksi hakim MK, diharapkan<br />
dapat lebih menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip<br />
transparansi, partisipasi dan akuntabel. Untuk itu seorang<br />
calon hakim MK, tidaklah mesti berasal dari bagian atau unsur<br />
lembaga-lembaga tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan<br />
membuka ruang dan akses bagi masyarakat untuk ikut<br />
terlibat mengusulkan calon dan menilai proses seleksi hakim<br />
MK.<br />
Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan kualifikasi<br />
persyaratan dan proses/tahapan seleksi yang lebih baik,<br />
sebaiknya seleksi hakim konstitusi, khususnya bagi hakim<br />
konstitusi yang telah selesai masa jabatannya, dilakukan<br />
setelah revisi UU Mahkamah Konstitusi. Hal ini<br />
dimungkinkan, mengingat adanya kebutuhan yang mendesak<br />
dan pengalaman dari penyusunan UU MK dan UU Otonomi<br />
Khusus Pemerintahan Daerah Aceh, dapat dilakukan dalam<br />
waktu relatif cepat.<br />
Berdasarkan hal-hal tersebut, Aliansi Masyarakat Untuk<br />
Mahkamah Konstitusi meminta agar seleksi hakim konstitusi,<br />
khususnya yang akan dilakukan DPR, difokuskan terlebih<br />
dahulu untuk mengganti satu hakim MK yang akan pensiun.<br />
Dan, segera dilakukan revisi UU MK untuk menjamin proses<br />
seleksi dapat dilakukan secara transparan, partisipatif dan<br />
akuntabel.***<br />
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:<br />
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;<br />
b. adil;<br />
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan kenegaraaan.<br />
(Pasal 15 Undang-Undang No 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi)<br />
Hakim Konstitusi dilarang merangkap menjadi:<br />
a. pejabat negaran lainnya;<br />
b anggota partai politik;<br />
c. pengusaha;<br />
d. advokat; atau<br />
e. pegawai negeri<br />
(Pasal 17 Undang-Undang No 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi)<br />
28<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
KABAR DARI SEBERANG<br />
Horta sendiri sempat kritis setelah mengalami tiga luka tembak<br />
di bagian dada dan perut. Horta ditembak saat sedang berolah<br />
raga pagi bersama pengawalnya. Dua mobil datang dengan<br />
kecepatan tinggi dan menghujaninya dengan sederetan peluru.<br />
Horta ambruk setelah ditembus tiga peluru, satu di perut dan<br />
dua di dada. Horta-pun sempat sekarat<br />
hingga menjalani operasi dan dirawat di<br />
Royal Darwin Hospital, Australia. Sedang<br />
di tempat terpisah, hanya berselang satu<br />
jam setelah penyerangan Horta, mobil<br />
Perdana Menteri Timor Leste Xanana<br />
Gusmao juga dihujani peluru. Beruntung<br />
Xanana selamat dari hujanan peluru ini,<br />
meski dua orang pengawalnya dikabarkan<br />
hilang.<br />
Presiden Timor Leste, Ramos Horta, Ditembak<br />
Dunia mengecam keras serangan terhadap Presiden Timur Leste Jose Ramos Horta dan<br />
Perdana Menteri Xanana Gusmao (10/2). Serangan pemberontakan itu juga<br />
menunjukkan situasi keamanan di Timor Leste masih rawan. Sang komandan<br />
penyerang, Mayor Alfredo tewas dalam insiden tersebut<br />
Sehari setelah penembakan tesebut,<br />
pemerintah Timor Leste, menetapkan<br />
tersangka utama percobaan pembunuhan<br />
terhadap Presiden Jose Ramos Horta dan<br />
PM Xanana Gusmao. Penembakan ini<br />
didalangi oleh Mayor Alfredo Alves<br />
Rainardo dan anak buahnya. Dalam<br />
peristiwa tersebut Alfredo sendiri tewas akibat tembakan<br />
balik dari para pengawal Presiden Horta. Sementara Jaksa<br />
Agung Timor Leste Longinus Monteiro mengeluarkan surat<br />
perintah penangkapan terhadap 18 nama anak buah Alfredo<br />
yang kini berkeliaran di hutan.<br />
“Insiden ini adalah<br />
operasi yang<br />
direncanakan dengan baik<br />
dan dimaksudkan untuk<br />
melumpuhkan<br />
pemerintahan dan<br />
menciptakan<br />
ketidakstabilan.<br />
Pemerintah tidak akan<br />
jatuh karena (insiden) ini,<br />
“ kata Xanana.<br />
bawah hujan peluru yang menerjang mobilnya. Dia menerjang<br />
mobilnya. Dia menyebut serangan atas Horta dan dirinya<br />
sebagai “upaya kedeta yang gagal”.<br />
“Insiden ini adalah operasi yang direncanakan dengan baik dan<br />
dimaksudkan untuk melumpuhkan<br />
pemerintahan dan menciptakan<br />
ketidakstabilan. Pemerintah tidak akan<br />
jatuh karena (insiden) ini, “ kata Xanana.<br />
Xanana menyerukan agar rakyat Timor<br />
Leste tetap bersatu untuk mengatasi dan<br />
melewati masa berat ini. “Saya secara khusus<br />
berbicara kepada kaum muda, karena saya<br />
paham banyak di antara Anda yang masih<br />
memiliki dorongan untuk memberontak, “<br />
ujarnya.<br />
Mulai saat ini, kata Xanana, negara tidak<br />
akan menoleransi organisasi bersenjata apa<br />
pun atau kelompok yang akan<br />
menghancurkan Timor Leste. Sejumlah saksi<br />
mengatakan, jalan-jalan di kota Dili tampak<br />
tenang. Tentara pemerintah telah ditempatkan di berbagai titik<br />
untuk mengawasi tempat-tempat yang mungkin digunakan<br />
untuk membahayakan negara. Pemerintah dan parlemen Timor<br />
Leste telah bertemu untuk membicarakan langkah-langkah yang<br />
akan diambil.<br />
Reinardo memimpin lebih dari 500 tentara yang dipecat<br />
setelah menggelar demonstrasi menentang pemerintahan<br />
mantan PM Mari Alkatiri tahun 2006. Kelompok itu kemudian<br />
terlibat bentrok dengan pasukan pemerintah dan<br />
menyebabkan 37 orang tewas.<br />
Keadaan darurat<br />
Setelah persitiwa itu, di Dili, PM Xanana Gusmao menyatakan<br />
negara dalam keadaan darurat dan memberlakukan jam<br />
malam selama 48 jam ke depan di seluruh wilayah Timor Leste.<br />
Jam malam mulai berlaku pukul 20.00 waktu setempat hingga<br />
subuh.<br />
“Jam malam ini melarang orang-orang bergerak bergerak<br />
bebas, artinya, rakyat dilarang berjalan-jalan dan semua<br />
orang harus tetap tenang di rumah sejak pukul 20.00, “ kata<br />
Xanana.<br />
Xanana juga menjadi sasaran serangan kelompok<br />
pemberontak yang dipimpin Gustao Salsinha saat hendak<br />
berangkat menuju kantornya. Namun, dia berhasil selamat di<br />
Dunia mengecam<br />
Di markas besar PBB di New York, Sekretaris PBB Jenderal Ban<br />
Ki-moon mengeluarkan pernyataan yang mengecam keras<br />
serangan terhadap pemimpin Timor Leste. Ban meminta agar<br />
rakyat Timor Leste tetap tenang dan tidak terpancing<br />
menggunakan kekerasan.<br />
PM Australia Kevin Rudd sangat prihatin dengan terjadinya<br />
serangan yang dikoordinasi untuk membunuh pemimpin yang<br />
terpilih secara demokratis. Sedang dari Brussel, Uni Eropa juga<br />
mengecam serangan terhadap pemimpin Timor Leste. Presiden<br />
Komisi Eropa Jose Manuel Barroso menyebut serangan itu<br />
penghinaan atas demokrasi di Timor Leste. “Saya lega karena<br />
Presiden Ramos Horta selamat dalam serangan brutal terhadap<br />
dirinya dan terhadap demokrasi yang masih muda, “ kata<br />
Barroso. Uni Eropa juga menyatakan solidaritas terhadap<br />
rakyat dan Pemerintah Timor Leste.<br />
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda<br />
mengatakan, Pemerintah Indonesia menyatakan prihatin atas<br />
penyerangan kelompok bersenjata di kediaman Horta dan<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 29
KABAR DARI SEBERANG<br />
Xanana yang menyebabkan Horta menderita luka. “Hal itu<br />
menunjukkan masih ada kerawanan situasi keamanan Presiden<br />
dan PM Timor Leste meski ada kehadiran pasukan internasional<br />
di sana, “ kata Hasan.<br />
Sedangkan hal senada diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal<br />
Kongres Nasional Rekonstruksi Timor Leste (CNRT) Dionisio<br />
Babo yang dihubungi per telepon dari Jakarta mengatakan,<br />
situasi di Timor Leste masih terkendali. Pasukan keamanan telah<br />
disiagakan di berbagai daerah.<br />
Babo mengkritik longgarnya pengamanan pemimpin Timor Leste<br />
sehingga memberi kesempatan kepada pemberontak melakukan<br />
serangan.<br />
Terjadinya serangan itu, kata Babo, membuktikan keamanan<br />
dalam menjaga stabilitas Timor Leste. Menurut dia, evaluasi<br />
keamanan dan restrukturisasi militer sangat diperlukan untuk<br />
mengantisipasi insiden serupa di masa depan. Menurut dia,<br />
tindakan kelompok pemberoontak itu bukan upaya kudeta.<br />
“Barangkali bisa dikategorikan makar dan tindakan subvensif,<br />
tetapi tujuannya bukan pemberontakan. Mereka hanya<br />
menghendaki agar tuntutan mereka dikabulkan, dan tuntunan<br />
itu masih proposional, “ kata Babo. Sebelumnya, pasukan<br />
pemberontak pimpinan Mayor Reinado menuntut keluarnya<br />
pasukan keamanan internasional dari Timor Leste dan<br />
memperbolehkan mereka kembali.<br />
“Tewasnya Alfredo tidak begitu saja menyelesaikan persoalan.<br />
Kemungkinan bisa timbul masalah lain. Pemerintah telah<br />
berusaha mengakomodasi tuntutan mereka. Kami hanya ingin<br />
persoalan ini diselesaikan secara damai, “ ujar Babo.<br />
Skenario penculikan<br />
Sementara itu, penyidik dari polisi PBB menemukan fakta baru<br />
gerakan kelompok bersenjata yang dipimpin Mayor Alfredo (11/<br />
2) pagi itu. Salah satu tim investigator polisi PBB soal makar<br />
berdarah itu mengungkapkan, kelompok Alfredo sebetulnya<br />
berencana menculik, bukan membunuh dua pucuk pimpinan<br />
pemerintahan Timor Leste tersebut.<br />
Investigator yang keberatan disebut identitasnya itu,<br />
mengatakan, “Tujuh tentara dikirim ke rumah Xanana dengan<br />
tujuan menculik, bukan membunuh, “ ujarnya. Sama persis<br />
dengan kelompok bersenjata lain, yang mendatangi kediaman<br />
Persiden Horta, untuk menculik sang presiden. Namun, rencana<br />
yang telah disusun matang ini menjadi berantakan dan malah<br />
menyebabkan kematian Mayor Alfredo.<br />
Kondisi lainnya, beredar pula dokumen bahwa pimpinan Partai<br />
Fretilin menawarkan hadiah USD 10 juta (Rp 93 miliar) kepada<br />
Alfredo untuk membunuh Horta dan Xanana. Sekjen Partai<br />
Fretelin Mari Alkatiri membantah keras tuduhan itu. “Ini<br />
sudah menjadi budaya di Timor Leste, kalau ada masalah,<br />
orang selalu menuduh Mari Al Katiri, tetapi itu tidak apaapa.<br />
Makanya, saya tuntut supaya dibentuk suatu komisi<br />
investigasi internasional, “ tegas Lakatiri.<br />
Alkatiri juga menuntut United Nation Mission Integration<br />
in East Timor (UNMIT) dan pasukan stabilitas internasional<br />
yang bertugas di Timor Leste harus memberikan klarifikasi<br />
tentang lemahnya kapasitas mereka selama bertugas di<br />
Timor Leste, sehingga tidak mendeteksi akan adanya<br />
penyerangan tersebut.<br />
Versi lainnya, anak buah Alfredo, Sersan Satu Eduarde Jorge,<br />
mengatakan bahwa komandannya (Alfredo), datang ke<br />
kediaman Ramos Horta atas undangan tuan rumah. “Ia<br />
ditelepon oleh Presiden Horta sekitar pukul 10 malam, “ kata<br />
Jorge. Setelah itu, Alfredo berangkat dari tempat<br />
persembunyiannya di Same, Matufahi, bersama empat anak<br />
buahnya. Ia justru heran bagaimana penembakan bisa terjadi.<br />
Ia juga membantah jika dikatakan kelompoknya pulalah yang<br />
menyergap rombongan Xanana.<br />
Sersan Satu Brata, anak buah Alfredo yang lain, mengatakan<br />
kelompoknya tak pernah berniat meyerang Horta atau<br />
Xanana. “Kalau kami mau, sudah kami serang saat pemilu<br />
pemilu presiden. Kami ingin negara kami aman dan sejahtera,<br />
“ ujarnya.<br />
Tak lama setelah terjadinya insiden berdarah ini, Xanana<br />
sendiri membantah kabar bahwa Horta mengundang datang<br />
Alfedo datang ke rumahnya.<br />
Tantangan negara baru adalah tumbuhnya kelompokkelompok<br />
yang tidak puas dengan kebijakan pihak berkuasa.<br />
Memberi ruang untuk terjadi dialog dalam membahas<br />
perbedaan pandangan tersebut tetap merupakan langkah<br />
terbaik. Karena pilihan mengambil jalan kekerasan hanya<br />
makin mempersulit rakyat yang menjadi alas dari masingmasing<br />
pihak pada keyakinan politiknya.<br />
Timor Leste yang pernah menjadi bagian dari negara<br />
Indonesia, membuat pemerintah Indonesia tidak bisa berdiam<br />
diri. Indonesia yang memiliki posisi strategis di ASEAN tentu<br />
harus mengambil peran untuk penciptaan situasi kondusif<br />
di Timor Leste. Karena ketidakstabilan politik di Timor Leste<br />
sedikit banyak akan berpengaruh kepada Indonesia.<br />
Indonesia punya pengalaman dalam mediasi konflik di<br />
Kamboja tahun 1988-1989, tentu peran yang dimainkan<br />
Indonesia pada situasi perbaikan politik di Timor Leste tetap<br />
harus mempertimbangkan situasi psikologis terkait dengan<br />
sejarah kedua negara. ***<br />
Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat: hak ini termasuk kebebasan untuk mencari,<br />
menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan pembatasan secara lisan,<br />
tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.<br />
(Pasal 19 (ayat2) Konvensi Hak Sipil dan Politik)<br />
30<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008
KABAR DARI SEBERANG<br />
Komitmen politik pemerintah Amerika Serikat terhadap<br />
Reformasi Sektor Keamanan dan Penegakan Hak Asasi<br />
Manusia di Indonesia kiranya wajib kita pertanyakan. Hal ini<br />
terkait dengan permintaan Presiden George W. Bush untuk<br />
meningkatkan Anggara Bantuan Bilateral tahun 2009 menjadi<br />
186 Juta Dolar, dimana 16 juta Dolar diperuntukkan untuk<br />
pembiayaan militer Indonesia.<br />
Sebagaimana dikutip AP, pada tahun 2008, pemerintahan Bush<br />
telah meminta dana sebesar 15,7 juta untuk militer Indonesia<br />
yang dialokasikan membiayai “promosi reformasi militer dan<br />
peningkatan keamanan maritim, kontra-terorisme, mobilitas<br />
dan peningkatan kapasitas penanganan bencana alam.”<br />
Pernyataan ini disampaikan Kontras dan<br />
LSM lain (Imparsial, IDSPS, INFID,<br />
Elsam,Praxis, Pacivis), yang<br />
mempertanyakan dasar permintaan<br />
kembali peningkatan anggaran tahun<br />
2009. Mengingat bahwa sepanjang Tahun<br />
2007, sejumlah agenda reformasi sektor<br />
keamanan dan penegakan HAM masih<br />
dipertanyakan publik terkait kemajuan<br />
dan keberhasilannya.<br />
Dimana, laporan akhir tahun perbagai<br />
lembaga pemantau dan organisasi<br />
masyarakat sipil masih menyatakan<br />
euphoria pemerintah, parlemen dan aktor<br />
keamanan pada capaian normatif di<br />
tingkat legislasi, sementara pada tataran<br />
implementasi maupun perubahan<br />
fundamental pada struktur dan kultur<br />
cenderung stagnan, menyimpang bahkan<br />
masih tidak mampu mengatasi pelbagai<br />
pelanggaran yang terus terjadi. Salah<br />
contoh nyata adalah praktik bisnis<br />
militer yang masih terus berlangsung.<br />
Sementara, Pemerintah AS belum<br />
memberikan assessment terbuka atas capaian strategis, sistemik<br />
serta administratif melalui audit penggunaan dana dari<br />
reformasi sektor keamanan dan penegakan HAM paska<br />
pencabutan embargo militer pada 2005 lalu. Assessment ini<br />
menjadi penting untuk menilai relevansi dari kelanjutan<br />
kerjasama militer, proporsionalitas prioritas, dan agendaagenda<br />
pendukung untuk memastikan bahwa perbagai<br />
kerjasama tersebut memang didasarkan untuk mendukung<br />
reformasi dan transisi demokrasi di Indonesia.<br />
Semakin diabaikan<br />
Bantuan Militer AS Pada Militer Indonesia<br />
Sedangkan dalam pengamatan yang ada, kondisi HAM dan<br />
penyelesaian kasus-kasus kejahatan masa lalu atau yang<br />
terjadi paska 1998 cenderung semakin diabaikan dalam<br />
rancangan dan agenda kerjasama AS-Indonesia. Padahal<br />
komitmen tersebut penting bagi masyarakat sipil Indonesia,<br />
untuk memastikan bahwa perbagai kepentingan internasional<br />
yang masuk tidak akan kontra-produktif dengan upaya-upaya<br />
masyarakat sipil yang mendorong reformasi dan penegakan<br />
hukum serta memberikan efek positif perbaikan pendekatan<br />
politik pemerintah kepada masyarakat sipil yang tidak lagi<br />
bersifat represif dalam bentuk apapun.<br />
Di sisi lain, kepentingan-kepentingan politik-ekonomi yang kian<br />
menjadi faktor dominan kebijakan kerjasama bilateral AS-<br />
Indonesia cenderung bertumpu pada kepentingan AS sematamata,<br />
dengan mengabaikan<br />
implikasi serius terhadap dinamika<br />
politik dan perlindungan HAM yang<br />
Pada tahun 2008,<br />
pemerintahan Bush telah<br />
meminta dana sebesar 15,7<br />
juta untuk militer Indonesia<br />
yang dialokasikan<br />
membiayai “promosi<br />
reformasi militer dan<br />
peningkatan keamanan<br />
maritim, kontra-terorisme,<br />
mobilitas dan peningkatan<br />
kapasitas penanganan<br />
bencana alam.”<br />
Sebagaimana yang dikutip<br />
AP<br />
masih jauh dari prinsip-prinsip<br />
Negara Demokratis. Indikasi ini<br />
semakin kuat dengan adanya<br />
permintaan anggaran kerjasama<br />
bilateral AS-Myanmar 2009 dengan<br />
alokasi anggaran pembiayaan<br />
militer yang sama nilainya dengan<br />
Indonesia.<br />
Berangkat dari kondisi tersebut<br />
itulah, kita patut mempertanyakan<br />
komitmen pemerintah AS terhadap<br />
transisi demokrasi di Indonesia,<br />
khususnya terkait dengan<br />
dukungan AS terhadap reformasi<br />
sektor keamanan dan penegakan<br />
HAM. Kita juga berharap Kongres<br />
AS mempertimbangkan kembali<br />
perbagai rancangan kebijakan<br />
kerjasama biliateral pemerintah<br />
AS-Indonesia<br />
dengan<br />
memperhatikan persyaratan<br />
penting terkait demokratisasi,<br />
profesionalitas aktor keamanan dan<br />
penegakan HAM di Indonesia. Kita jelas tidak ingin pemerintah<br />
AS justru menjadi kontributor bagi kemunduran transisi<br />
demokrasi dan arus balik reformasi di Indonesia.<br />
Pada akhirnya, kita berharap elemen-elemen masyarakat sipil<br />
dan pemerintah AS-Indonesia tidak pernah melupakan dosa<br />
sejarah masa lalu sebagai impact dari perbagai kerjasama<br />
bilateral yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan<br />
politik-ekonomi semata-mata sehingga mengabaikan prinsipprinsip<br />
demokrasi dan HAM. Cukuplah pengalaman pada masa<br />
Orde Baru menjadi ruang terkelam dari kehidupan rakyat<br />
Indonesia dan pengalaman terburuk relasi-relasi bilateral yang<br />
pragmatis, korup dan membahayakan kehidupan jutaan rakyat<br />
dunia ketiga.***<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 31