Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah - perpustakaan ...
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah - perpustakaan ...
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah - perpustakaan ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Volume 1, Nomor *Analisis 1, Maret Partisipatif 2010 Pembangunan di Kota Pekanbaru ISSN 1978 – 0689
1
Spesialisasi Disiplin Ilmu Administrasi Publik
Jurnal Kebijakan Publik sebagai spesialisasi Ilmu Administrasi Negara adalah artikel dan tulisan ilmiah
dalam bentuk hasil-hasil penelitian dan non penelitian, baik pada lembaga pemerintah atau dalam
masyarakat. Kebijakan Publik sebagai kajian teoritis dan praktis merupakan suatu proses mulai dari
perumusan, implementasi dan evaluasi kebijkan yang dilakukan Pemerintah dalam menghadapi
kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang selalu berubah. Oleh karena itu, penerbitan jurnal ini sebagai
media ilmiah berkenaan dengan masalah-masalah kebijakan publik, baik berupa peraturan perundangundangan,
PP, Perda, Kpts, maupun program dan tindakan-tindakan pemerintah, berusaha menyebar
luaskan keseluruh Perguruan Tinggi, Lembaga Pemerintah, non Pemerintah baik di tingkat pusat, Propinsi
maupun kota/kabupaten.
ISSN 1978 – 0689
Penanggung Jawab
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Ketua Penyunting
Zaili Rusli
Anggota Dewan Penyunting
Sujianto (Universitas Riau)
Chalid Sahuri (Universitas Riau)
Fachruddin (Universitas Riau)
Lafri Eldiny (Universitas Riau)
Raja Ilyas Aman (Universitas Riau)
Penyunting Pelaksana
Adianto
Dadang Mashur
Pelaksana Tata Usaha
Hasim As’ari
Mayarni
Abdul Sadad
Alamat Penyunting dan Tata Usaha : Laboraturium Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fisip
Unri Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Pekanbaru. Telp/Fax : (0761) 63277 E-mail :
jkp_ana@yahoo.co.id
JURNAL KEBIJAKAN PUBLIK diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Adminitrasi Negara Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Syaratsyarat,
format dan tata aturan tata tulis artikel dapat dilihat pada Petunjuk bagi penulis di sampul
belakang dalam jurnal ini. Data yang masuk ditelaah oleh para Mitra Bestari dan atau penyunting ahli
untuk dinilai kelayakannya. Penyunting dapat melakukan penyuntingan atas tulisan yang dimuat tanpa
mengubah maksud dan isinya.
Volume 1, Nomor
*Analisis
1, Maret
Partisipatif
2010
Pembangunan di Kota Pekanbaru
ISSN 1978 – 0689 2
DAFTAR ISI
Spesialisasi Disiplin Ilmu Administrasi Publik
Analisis Pembangunan Partisipatif di Kota Pekanbaru
Zaili Rusli (Universitas Riau) 1 – 9
Keberhasilan Implementasi Program Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
Adianto (Universitas Riau) 10 – 24
Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan MAsyarakat
(Jankesmas) Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
Kota Pekanbaru
Sofia Achnes (Universitas Riau) 25 – 34
Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan Pemerintah Daerah
Di Propinsi Riau
Yasir (Universitas Riau) 35 – 47
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Di Kabupaten Pasaman (Studi Kasus Pajak Hotel)
Hari Septiadi (Universitas Riau) 48 – 57
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
Miranda Ardi (Universitas Riau) 58 – 67
Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
Okta Karneli (Universitas Riau) 68 – 81
Jurnal
Kebijakan
Publik
Volume
1
Nomor
1
Hal. 1 – 81
Pekanbaru
Maret
2010
ISSN
1978 – 0680
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 3
Analisis Pembangunan Partisipatif di Kota Pekanbaru
ZAILI RUSLI. SD.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277
ABSTRAK : Pembangunan merupakan suatu usaha untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan yang
lebih baik. Ketika pembangunan itu dilaksanakan dari oleh dan untuk masyarakat maka pembangunan itu
dikatakan sebagai pembangunan partisipatif dan pembangunan partisipatif inilah yang dikehendaki oleh
otonomi daerah yaitu pembangunan kemandirian. Masyarakat yang merancang, mereka yang
melaksanakan dan dia pula yang mengawasi serta mereka pula yang memanfaatkannya. Pembangunan
partisipatif di kota pekanbaru sudah dilaksanakan melalui usaha Musrembang namun hasilnya belumlah
optimal dimana tidak semua hasil Musrembang dapat dilaksanakan. Kondisi ini disebabkan oleh 1)
komitmen pemerintah kota dan 2) Kondisi keuangan kota (APBD). Hasil kajian menunjukkan bahwa
pembangunan daerah dikota pekanbaru belum menunjukan sebagai pembangunan partisipatif hal ini dapat
dilihat dari 1) Rekstrukturisasi pemerintahan daerah 2) Pengelolaan keuangan daerah 3) Standar
pelayanan Pemerintah daerah dan 4) perencanaan pembangunan daerah . Kondisi ini dipengaruhi oleh
komitmen pemerintah kota yang kurang sesuai dengan kondisi yang diinginkan dan kondisi keuangan
pemerintah kota yang kurang memadai beerangkat dari kenyataan ini disarankan bahwa agar pemerintah
kota pekanbaru tetap komit untuk melaksanakan pembangunan partisipatif dan meningkat pendapatan
daerah guna menunjang APBD sehingga pembangunan partisipatif dapat terwujud.
Kata kunci : Pembangunan, Partisipatif, Keuangan, dan komitmen
Pembangunan merupakan pergeseran
dari suatu kondisi daerah yang satu
menuju kondisi daerah yang lainnya,
yang dipandang lebih baik dan lebih
berharga. Disamping itu, pembangunan
juga merupakan proses multidimensional
yang menyangkut dengan perubahanperubahan
penting dalam suatu struktur,
sistem sosial ekonomi, sikap
masayarakat dan lembaga-lembaga
daerah serta akselerasi pertumbuhan
ekonomi, pengangguran, kesenjangan
pemberantasan kemiskinan. Dari
pemahaman tersebut mengisyaratkan
bahwa pembangunan berarti menuju
perubahan-perubahan yang dimaksud
untuk memperbaiki kualitas kehidupan
masyarakat itu sendiri, baik kehidupan
pisik maupun non pisik.
Beberapa dekade belakangan ini
pembangunan dilaksanakan penuh
dengan nuansa campur tangan
pemerintah pusat terhadap berbagai
aspek pemerintah daerah dan kehidupan
masyarakat adalah sangat dominan,
sementara dilain pihak partisipasi
masyarakat lokal sangat kurang
diperhatikan. Akibat strategi sentralisasi
yang berlebihan ini muncullah berbagai
kesenjangan baik antara wilayah maupun
antara golongan masyarakat yang pada
puncaknya dalam jangka panjang dapat
mendorong disintegrasi bangsa dan
dalam jangka pendek dapat
menyebabkan tingginya biaya
pembangunan. Disamping itu manfaat
pembangunan menjadi tidak optimal
serta keberlanjutan, pembangunan sangat
rapuh dan rentan karena tidak sesuainya
pembangunan dengan keinginan
masyarakat daerah.
Ketika itu masalah tersebut
sebenarnya juga sudah disadari namun
karena sistem penganggaran kegiatan
pembangunan daerah pada subsidi pusat
masih sangat tinggi, maka bagian
terbesar dari program dan kegiatan
tahunan daerah ditentukan secara
1
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 2
sektoral dari pusat. Kondisi ini bias
mematikan daya kreasi daerah dalam
menentukan jenis-jenis program dan
kegiatan yang lebih sesuai dengan
kebutuhan setempat, dan melumpuhkan
fungsi rencana daerah sebagai koridor
perencanaan jangka menengah, karena
rencana daerah hampir tidak pernah
digunakan sebagai rujukan dalam
menentukan pilihan-pilihan program dan
kegiatan-kegiatan daerah.
Ketika era reformasi bergulir, maka
pola perencanaan pembangunan harus
sesuai dengan derap perubahan zaman
tersebut. Sejalan dengan UU No. 22
tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999,
yang sudah ditindak lanjuti melalui PP
No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah pusat dan propinsi sebagai
daerah otonomi, maka format
perencanaan pembangunan yang
dibayangkan adalah perencanaan yang
sesuai dengan batas-batas kewenangan
mereka melalui forum koordinasi
horizontal. Ini mengandung arti bahwa
seluruh tahapan pembangunan
perencanaan pada setiap tingkatan
pemerintahan harus dilakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip partisipatif.
Setiap stakeholder memiliki fungsi dan
peranan serta tanggung jawab masingmasing.
Pada saat yang sama, juga disadari
bahwa hak dan kewenangan setiap
tingkat pemerintahan untuk menyusun
perencanaan pembangunan setempat
melalui forum dialog dan konsolidasi
horizontal juga perlu diimbangi dengan
adanya forum komunikasi dan dialog
vertical antara tingkat-tingkat
pemerintahan yang berbeda. Tujuannya
adalah untuk melakukan sinergi
kebijakan serta sinkronisasi program dan
kegiatan dalam rangka menjamin
efesiensi, mencegah benturan
kepentingan dan vakum kegiatan.
Pengembangan otonomi daerah yang
semakin dititik beratkan kepada
kabupaten/kota akan membawa
konsekuensi dan tantangan yang cukup
berat bagi para pengelola administrasi
Negara di daerah, baik dalam tahap
perumusan kebijakan maupun
implementasinya program-program
pembangunan. Pasal 10 dan 11 pada UU
No. 22 tahun 1999 mengisyaratkan
tugas-tugas pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan yang dipikul
pemerintah daerah kabupaten/ kota
menjadi semakin luas dan kompleks.
Dengan demikian, model pembangunan
daerah dengan pendekatan tugas-tugas
pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan yang dipikul pemerintah
daerah kabupaten/ kota menjadi semakin
luas dan kompleks. Dengan demikian,
model pembangunan daerah dengan
pendekatan tricle down effect yang sudah
berlangsung tiga puluh tahun lebih perlu
ditinjau dan diganti sebab masih banyak
masalah-masalah ketimpangan perolehan
pendapatan dan keadilan sosial yang
sering terjadi dan sangat dirasakan oleh
masyarakat. Oleh karena itu model
pembangunan daerah dimasa kini dan
masa depan perlu difokuskan pada
pembangunan masyarakat lokal sebagai
sebuah economic entity. Model
pembangunan itu dilakukan melalui
perubahan paradigma pembangunan top
down ke pembangunan partisipatif.
Keadaan tersebut menimbulkan
pertanyaan, bagaimana pelaksanaan
pembangunan partisipatif dan faktor apa
yang mempengaruhi implementasinya di
lapangan .
Pembangunan partisipatif adalah
suatu proses pembangunan yang
memberdayakan masyarakat mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan hingga
pengawasan pembangunan. Disamping
itu diharapkan pula masyarakat dapat
menempati prioritas sebagai penikmat
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 3
hasil pembangunan. Namun untuk
mencapai keadaan itu kemandirian
masyarakat tidak cukup melainkan
diperlukan partisipasi aktif dari berbagai
stakeholder stakeholder bersama
masyarakat dan pemerintah diharapkan
dapat terlibat dalam memberikan
dukungan moril dan materil pada setiap
tahapan perencanaan pembangunan.
Tanpa upaya kearah itu maka paradigma
program perencanaan pembangunan
partisipatif sulit terwujud bahkan dapat
dinyatakan sebagai suatu cita-cita indah
yang tidak pernah tercapai. Keterlibatan
stakeholder pada era otonomi daerah
sangat penting karena mereka
diharapkan dapat tampil untuk
mengurangi terjadinya stagnasi
pembangunan yang dihadapi pemerintah
daerah dan masyarakat dalam menerima
proses pelimpahan kebijakan yang
bersifat sentralistik dan top down ke
desentralistik dan botton up. Partisipasi
para stakeholder sangat diperlukan untuk
membantu pemerintahan daerah dan
masyarakat untuk mengelola sumber
daya daerah secara optimal. Hal itu
dilakukan agar daerah dapat memperoleh
sumber pendapatan yang bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri
guna membiayai program pembangunan
daerah.
Secara teknis, penerjemahan dari
isyarat UU No. 22 tahun 1999 dan UU
No. 25 tahun 1999 ke dalam sebuah
sistem perencanaan partisipatif yang
bersifat desentralistik tidak terlalu sulit
untuk diwujudkan, terutama bila seluruh
instansi terkait mampu menggalang kata
sepakat tentang format, substansi,
mekanisme koordinasi dan pola-pola
pembiayaan termasuk rangkaian
dokumen yang diperlukan.
Dalam kenyataannya, kata sepakat
dimaksud belum tercapai hingga tingkat
yang paling mendasar, melainkan baru
pada tataran makro strategi. Ini
terejahwantahkan dalam dua kelompok
peraturan perundangan yang sudah
diterbitkan, yakni UU No. 25 tahun 2000
tentang Propenas di satu pihak dan PP
No. 108 tahun 2000 tentang tata cara
pertanggung jawaban kepada daerah
dipihak lain. Sekalipun keduanya
merupakan turunan dari UU No. 22/99
dan UU No. 25/99, serta memiliki satu
tujuan yang sama, yakni menghadirkan
sistem perencanaan partisipatif dalam
konteks desentralisasi kebijakan dan
fiskal.
Dalam rangka menjalankan
komitmen untuk pembangunan daerah di
era desentralisasi maka Pemerintahan
Indonesia telah menyetujui masuknya
bantuan pendanaan (hibah) dari USAID
untuk melaksanakan kegiatan bantuan
teknis Program Dasar Pembangunan
Partisipatif (PDPP). Tugas utama
program itu, yaitu :
a. Pengembangan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah
b. Pengelolaan keuangan daerah
c. Penyediaan pelayanan perkotaan
d. Perencanaan pembangunan daerah
yang partisipatif (participate
planning).
Kesemuanya dijabarkan dalam
rangka menyusun program
pembangunan daerah. Hal ini
dimaksudkan karena pada masa yang
lampau pendekatan perencanaan daerah
lebih banyak bersifat politis dari pada
operasional. Namun memasuki otonomi
daerah pendekatan itu tidak cukup
melainkan harus bersifat teknis
operasional dengan melibatkan berbagai
stakeholder untuk membentuk
kelembagaan berupa tim teknis tingkat
kabupaten dari unsur-unsur pemerintah,
masyarakat dan swasta. Tim teknis yang
pada pelaksanaannya telah dibentuk
Pokja-Pokja sebagai berikut :
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 4
1. Strategi Program Jangka Menengah
(SPJM)
2. Program Pengelolaan Pembiayaan
Rencana Tindak (P3RT)
3. Program Investasi Pembangunan
Perkotaan (PIPP)
4. Program Pengembangan
Institusional dan Rencana Tindak
(P2IRT)
Pada khususnya Program
Pengembangan Kelembagaan dalam
melakukan penyusunan Program
Pengembangan Instiusional dan Rencana
Tindak bagi setiap pemerintah
kabupaten/ kota dibagi dalam dua pokok
bahasan yaitu (1) Program
Pengembangan Aspek Kelembagaan
Pemerintah Daerah itu sendiri, yang ke
(2) Program Peningkatan Peran Serta
Masyarakat. Sedangkan ruang lingkup
dari program kelembagaan ini :
1. Melakukan penataan dan
penyempurnaan
struktur
(restrukturisasi) kelembagaan
pemerintahan kota.
2. Melakukan evaluasi dan penyusunan
kembali kebijakan publik, peraturan
dan ketentuan yang berkaitan dengan
pengelolaan pembangunan kota.
3. Melakukan analisis terhadap proses
managemen
(planning,
programming, organizing,
actualiting and controlling) dari
birokrasi pemerintah kota khususnya
dalam hal pelayanan umum dan
pembangunan kota.
4. Melakukan upaya peningkatan
kemampuan sumber daya aparat
pemerintah daerah, masyarakat dan
swasta serta lembaga lainnya.
Tentang konsep Program PDIPP,
arahnya yaitu terciptanya program
pembangunan yang murni dari bawah
(bottom up, dimana pemerintah harus
merelakan sebagian wewenangnya
sebagai pemegang monopoli
pembangunan kepada masyarakat mulai
dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan
pengelolaan serta evaluasinya. Upaya
mencapai hal demikian PDIPP
mempersiapkan masyarakat agar mereka
dapat terlibat dalam peran tersebut tidak
saja teknis tetapi juga dari segi
pemahaman tentang kebijakan arah dan
kebijakan pembangunan yang disepakati.
Oleh karena itu untuk menyikapi hal
demikian PDIPP mengajukan usulan
untuk membangun suatu consensus atau
penyamaan persepsi dari semua
stakeholder tentang bagaimana masingmasing
unsur membagi peran dan fungsi
untuk pembangunan daerah dan
masyarakat.
Kondisi saat ini, pada era penerapan
asa desentralisasi, kota menghadapi
suatu situasi yang kompleks dengan
kecenderungan sebagai berikut :
Sekitar 30% kota-kota menghadapi
permasalahan kemiskinan perkotaan dan
keamanan yang cukup serius.
1. Sekitar 60 – 70 % dari kota-kota,
terutama kota-kota besar dan
metropolitan memerlukan bantuan
mendesak bagi memperbaiki
pengem- bangan ekonomi lokal.
2. Hampir semua kota menghadapi
masalah degradasi kondisi
lingkungan yang serius.
3. Permasalahan kota yang dihadapi
semakin multi dimensional dimana
isu sosial, keamanan dan degradasi
kondisi sosial masyarakat merupakan
masalah utama yang menonjol
dihampir semua kota.
4. Kota-kota menghadapi masalah
urban sprawl dan ribbon
development yang semakin
mengancam degradasi lingkungan
kota-kota dan kesenjangan semakin
besar terhadap prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan,
(sustainable dvcelopment).
5. Kota menjalankan agenda
desentralisasi seperti reformasi
kebijakan, kewenangan, organisasi
dan kelembagaan secara signifikan,
sering kali tanpa disertai dengan visi,
misi, pemahaman yang jelas atas
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 5
permasalahan pengelolaan
perkotaan.
6. Penyelenggaraan pelayanan umum
belum sepenuhnya efisien dan
efektif.
7. Kota-kota pada umumnya belum
memiliki pengetahuan dan
pengelaman yang memadai untuk
mengembangkan pendekatan
kemitraan dan demokrasi yang
merupakan asas bagi menjalankan
desentralisasi yang efektif.
8. Belum adanya kerangka kerjasama
yang serasi dan kondusif antara
legislative dan eksekutif mengatasi
masalah-masalah pengembangan
perkotaan.
9. Penyesuaian kultur administrasi dan
birokrasi di pemerintahan dan
pemerintahan daerah untuk
melaksanakan transparansi dan
akuntabilitas belum seperti
diharapkan.
10. hampir semua kota memerlukan
pengembangan kemampuan untuk
dapat melembagakan secara efektif
good
governance
(Warpani,1984:27).
Kehadiran Program Dasar
Pembangunan Partisipatif (PDPP)
berhubungan dengan permasalahan yang
disebutkan diatas, khususnya
membangun kerangka kerjasama yang
kondusif diantara para pelaku
pembangunan di kota, baik pihak
eksekutif maupun legislative,
membenahi kultur birokrasi dan
penerapan akuntabilitas pelaksanaan
pembangunan dalam rangka
penyelenggaraan tata pemerintahan yang
baik (good governance).
Keadaan menunjukkan kebijakan
desentralisasi berupa pendelegasian
kewe- nangan lebih besar kepada
pemerintah kota tidak akan serta merta
dapat mengatasi permasalahan yang
semakin kompleks di atas. Kerjasama
pemerintah pusat provinsi kota mutlak
masih diperlukan terutama pada masa
transisi ini untuk mengorientasikan dan
mempersiapkan kota dapat menjalankan
peranan barunya secara efektif dalam era
desentralisasi. Pelaksanaan desentralisasi
yang efektif tidak mungkin terjadi tanpa
diimbangi peningkatan kemampuan
pengelolaan kota, desentralisasi dan
pengembangan kemampuan pengelolaan
kota berjalan seiring dalam suatu proses
yang saling mendukung (mutually
reinforcing).
Implementasi desentralisasi tidak
serta merta dapat mengatasi keterbatasan
kemampuan dalam mengatasi permasalahan
kota. Dukungan perlu terus
diberikan pada kota-kota untuk dapat
mengimplementasikan desentralisasi
secara efektif. Kerjasama pusat, provinsi
dan kota yang erat dan sistematis sangat
diperlukan pada masa transisi ini untuk
mensukseskan desentralisasi. Kota perlu
memiliki agenda jangka menengah yang
jelas bagaimana desentralisasi secara
sistematis diimplementasikan.
METODE
Penelitian ini tergolong kedalam
analisis deskriptif dalam arti kajian
pelaksanaan pembangunan partisipatif
lebih dijelaskan pada data yang ada pada
dokumen perenca- naan daerah.
Pembahasan diarahkan kepada
bagaimana implementasi kebijakan
pembangunan partisipatif dan ditekankan
pada musyawarah perencanaan
pembangunan. Sementara itu informasi
penelitian adalah tokoh masyarakat yang
terlibat dalam kegi-atan Musrembang,
dan informasi lainnya yang dapat
mendukung penjelasan.
HASIL
Dari hasil telaah dokumen
pembangunan di Kota Pekanbaru dan
hasil wawancara dengan beberapa orang
tokoh masyarakat diketahui bahwa
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 6
pelaksanaan pembangunan partisipatif
belumlah sesuai dengan kaidah-kaidah
pembangunan partisipatif. Hal ini dapat
dilihat dari : Pembangunan pemerintah
kota melalui penataan dan
penyempurnaan kelembagaan yang
belum mendukung orientasi
pembangunan partisipatif.
Disamping itu pengelolaan keuangan
kota atau APBD lebih diarahkan pada
belanja rutin bukan berorientasi pada
belanja pembangunan. Kemudian
kualitas dan standar pelayanan dari
birokrasi pemerintahan kota baru
berorientasi pada pelayanan umum
belum pada pelayanan partisipatif.
Selanjutnya perencanaan pembangunan
partisipatif melalui Musrembang masih
lemah atau boleh dikatakan lebih pada
sermonial.
Kegiatan yang menunjukkan kinerja
Program PDPP (Program Dasar
Pembangunan Partisipatif) adalah kinerja
peningkatan kemampuan sumber daya
aparat pemerintah kota yang meliputi
kegiatan identifikasi kebutuhan untuk
pengembangan kemampuan aparat
pemerintah kota. Penetapan program
untuk rasionalisasi kebutuhan aparat
pemerintah kota. Penyempurnaan sistem
dan standar kinerja aparat yang
mengelola pembangunan perkotaan
menuju sikap profesionalisme.
1. Restrukturisasi kelembagaan
pemerintah kota
Program pengembangan institusional
adalah salah aspek dari program dasar
pembangunan partisipatif (PDPP).
Tujuan program pengembangan
institusional adalah untuk mendukung
pemerintah kabupaten dan kota dalam
beberapa hal, yaitu :
1. Meningkatkan kinerja pelayanan
umum.
2. Mengembangkan kebijakan publik
yang lebih terbuka.
3. Memantapkan sistem organisasi dan
tata laksana pemerintahan daerah.
4. Meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia.
5. Mengembangkan lembaga
masyarakat.
6. Mengembangkan peraturan melalui
upaya regulasi dan deregulasi.
Tujuan program pengembangan
institusional ada dua aspek, yaitu
pertama, memberikan kontribusi untuk
mendukung aspek PDPP yang lain,
melalui strategi pembangunan,program
investasi, program pembiayaan,
perencanaan bersama masyarakat,
corporate planning dan pengembangan
ekonomi lokal. Kontribusi ini
menyangkut aspek pengembangan
kebijakan publik dan efektifitas
pelayanan umum serta peningkatan
kemampuan sumber daya manusia,
kedua, kontribusi memperbaiki kinerja
pemerintahan didaerah pada tiap
tingkatan pengelolaan pembangunan
untuk mencapai “pemerintahan yang
baik (good governance)” dan melibatkan
pelaku pembangunan pada setiap tahap
pengelolaan pembangunan.
Berdasar data yang diperoleh dari
dokumen kelembagaan pemerintah kota
yang dikaitkan dengan tanggapan tokoh
masyarakat kota diketahui bahwa
penataan kelembagaan kota pada
umumnya masih seperti kelembagaan
kota pada masa pemerintahan orde baru.
Pada hal sesungguhnya kelembagaan
kota yang perlu disempurnakan lagi
adalah kelembagaan yang mampu
menumbuh kembangkan keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan. Oleh
karena itu upaya yang harus dilakukan
dalam penataan kelembagaan tersebut
meliputi, susunan organisasi, tata
laksana organisasi dan pengetahuan
sumber daya manusia yang senantiasa
berorientasi pada kepentingan
masyarakat dalam arti bahwa rasa
memiliki masyarakat lebih baik.
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 7
2. Pengelolaan keuangan yang
berorientasi pada pembangunan
kota
Beberapa isu penting yang terkait
dengan kegiatan keuangan dan
pembangunan kota adalah : tuntutan
akan pelayanan publik yang lebih baik,
peningkatan kualitas proses
pembangunan, perlunya peningkatan
efektifitas pengelolaan dan mobilisasi
sumber-sumber
pembiayaan
pembangunan kota (PADS, provinsi,
nasional, bantuan luar negeri, maupun
swasta dan masyarakat) optimalisasi
pemanfaatan dana dengan pertimbangan
yang strategis, yang lebih mengarah
pada program pembangunan partisipatif.
Pengelolaan keuangan kota
sesungguhnya adalah bagaimana
anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) lebih bersinergi mulai dari
bagaimana cara memperoleh dana baik
yang bersumber dari PAD dan dana
lainnya sampai kepada bagaimana
memanfaatkan dana seefisien mungkin
sehingga masyarakat merasakan bahwa
dana mereka digunakan untuk
kepentingan mereka yang pada
gilirannya mereka merasa terlibat baik
langsung maupun tidak dalam kegiatan
pembangunan.
3. Pengelolaan pelayanan umum oleh
birokrasi pemerintah kota
Pada era globalisasi dan kemajuan
teknologi saat ini, maka elemen kualitas
pelayanan cenderung menjadi semakin
penting dalam menjelaskan kinerja
organisasi pelayanan publik. Kepuasan
masyarakat dapat dijadikan indikator
kinerja organisasi publik, dimana
keuntungannya adalah bahwa informasi
mengenai kepuasan terhadap kualitas
pelayanan seringkali dapat diperoleh dari
media masa atau diskusi publik.
Pelayanan publik ini merupakan
kerangka alasan dalam penentuan
pembangunan partisipatif. Apabila
pelayanan publik ini mantap diyakini
keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan kota baik langsung
maupun tidak akan menjadi lebih baik.
Disadari atau tidak bahwa aspek
pelayanan umumbersifat strategis
mendesak dan langsung. Oleh karena itu
penciptaan pelayanan umum akan lebih
baik ketika masyarakat merasakan
manfaat langsung seolah-olah mereka
sebagai tamu yang perlu dihormati dan
dilayani dan disegani. Apabila kondisi
ini yang dirasakan masyarakat maka
masyarakat tersebut merasa memiliki
kota ini dan ikut bertanggung jawab
terhadap kemajuan kotanya.
4. Perencanaan pembangunan
partisipatif
Kebijakan-kebijakan pembangunan
yang sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan masyarakat akan sangat
tergantung kepada siapa-siapa yang
menentukannya, siapa yang dapat
mempengaruhinya, serta bagaimana
implementasinya dilapangan, baik pada
tahap awal, tahap musyawarah maupun
pada tahap penjaringan aspirasi. Agar
masyarakat dapat membangun opini dan
menentukan keberpihakan publik, maka
diperlukan suatu mekanisme yang
memberikan ruang kepada masyarakat
untuk dapat berpartisipasi secara aktif
dalam proses pengambilan keputusan.
Untuk mewujudkan hal tersebut,
PDPP melalui serangkaian aktivitas
Perencanaan Bersama Masyarakat
berusaha menguatkan kapasitas
masyarakat sekaligus mengupayakan
kerjasama/ kemitraan yang lebih erat
antar berbagai pelaku pembangunan
(pemerintah daerah, DPRD, dan
masyarakat) dalam menghasilkan
kebijakan-kebijakan pembangunan yang
benar-benar dibutuhkan kota dan betulbetul
sesuai dengan potensi yang
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 8
dimiliki oleh masyarakat. Upaya
penciptaan perencanaan pembangunan
partisipatif sebagaimana yang sedang
digiatkan saat ini sesungguhnya sudah
tepat tetapi proses pelaksanaannya
terkadang kurang sesuai dengan
substansinya . Masyarakat sudah
berupaya sedemikian rupa dalam
Musrembang tapi hasil kesepakatan
masyarakat dalam Musrembang tersebut
kadang banyak yang tidak terwujud
sehingga banyak masyarakat yang
pesimis.
5. Faktor Komitmen Pemerintah
Kota
Program PDPP merupakan program
yang memiliki inovasi dalam
manajement pemerintahan kota dengan
tujuan memberdayakan aparatur dan
memberikan ruang bagi partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan.
Untuk itu dibutuhkan komitmen dari
aparatur untuk mau bekerja keras dalam
upaya mencapai tujuan program yang
dimaksud. Komitmentersebut lebih
mengarah pada pemberdayaan
masyarakat kota dalam menentukan
pembangunan. Agar komitmen
pemerintah kota ini dapat terwujud maka
perlu diciptakan :
a. Ketaatan prosedur sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku
Terciptanya good governance
merupakan persyaratan dari pengelolaan
pemerintahan yang efektif. Namun
pemerintahan yang sudah mampu
mewujudkan good governance belum
tentu memiliki kepedulian terhadap
aspek keberlanjutan pembangunan. Oleh
karena itu pemerintah yang telah
mengupayakan aktualisasi prinsipprinsip
good governance masih
memerlukan persyaratan tambahan yaitu
upaya mengaitkan seluruh kebijaksanaan
pembangunan dengan prinsip-prinsip
keberlanjutan ekologis (ecological
sustainability).
b. Keterlibatan pemerintah pada
program pembangunan yang sedang
dilakukan
Pada prakteknya keterlibatan
pemerintah dalam pembangunan pada
funsi regulative maupun sebagai
fasilator. Dengan adanya PDPP, maka
akan terlihat keterlibatan penuh dari
pemerintah, karena ada pemantauan
yang dilakukan secara intensif oleh
semua komponen masyarakat.
6. Faktor Dukungan Finansial
Pada pemaparan sebelumnya
telah dijelaskan bahwa dukungan
financial merupakan darah bagi
terselenggaranya PDPP. Pemberdayaan
aparatur pemerintah dan pelaku yang
lain dalam proses pembangunan tentu
membutuhkan dukungan finansial.
Dukungan financial ini meliputi :
a. Kemampuan keuangan daerah untuk
mendukung program pembangunan
yang sedang dilakukan
Beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk melihat sejauh mana
efesiensi pengeluaran pemerintah antara
lain adalah :
• Proposi pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan terhadap
produk domestik bruto
• Perbandinagn pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan
• Komposisi pengeluaran rutin
b. Pengelolaan keuangan daerah
secara proposional dan transparan
Dalam pembuatan atau penyusunan
APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah), maka tahapn ini
merupakan tahapan terpenting dalam
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 9
proses penganggaran, karena hasil
tahapan inilah yang akan mempengaruhi
proses dan hasil dalam tahapan
berikutnya. Penyusunan anggaran
dilakukan oleh eksekutif dan legislative,
dimana eksekutif menyusun rencana
anggaran pemerintah daerah yang
terdiridari rencana anggaran pendapatan
dan rencana anggaran belanja (belanja
rutin maupun belanja pembangunan).
Sedangkan legislative menyusun rencana
anggaran dewan yang kemudian
digabungkan dengan anggaran
pemerintah daerah dan ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah tentang
APBD.
SIMPULAN
1. Faktor komitmen pemerintah kota
menunjukan tingkat yang memadai
yang terindikasi dari pengetahuan
dan pelaksanaan kebijakan yang
sesuai prosedur, serta keterlibatan
langsung aparatur dalam kebijakan
pelaksanaan pembangunan bersama
komponen masyarakat, baik sektor
swasta maupun lembaga swadaya
masyarakat yang berkiprah dalam
pembangunan. Komitmen yang
tinggi dari aparatur pemerintah kota
mampu meningkatkan kinerja
program PDPP secara optimal.
2. Faktor dukungan financial sebagai
Faktor lain yang mempengaruhi
kenerja program dasar pembangunan
memperlihatkan pengaruh yang
cukup besar terhadap pencapaian
kinerja program PDPP.
DAFTAR RUJUKAN
Buku :
Dwijanto, Agus, 2000, Membangun
Sistem Pelayanan Publik Yang
Memihak Pada Rakyat. Seminar
Nasional Profesionalisasi dan
Peningkatan Kenerja Pelayanan
Publik, Jurusan Administrasi Negara,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Dwijanto, Agus dkk, 2002, Reformasi
Birokrasi di Indonesia, Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan,
Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Henry, Nicholas, 1988, Administrasi
Negara dan Masalah-Masalah
Kenegaraan, Rajawali Pers, Jakarta.
Kunarjo, 2002, Perencanaan dan
Pengendalian
Program
Pembangunan, UIP, Jakarta.
Tjokroamidjojo Bintoro, 1993,
Manajemen Pembangunan, PT.
Toko Gunung Agung, Jakarta.
Tjokrowinoto, Moelyarto, 1995, Politik
Pembangunan, Tiara Wacana,
Yogyakarta .
Warpani, S, 1984, Analisis Kota dan
Daerah, ITB, Bandung.
Peraturan-peraturan & Undang-
Undang :
Undang-Undang Republik Indonesia No.
22 tahun 1999 : Tentang
Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia No.
25 tahun 1999 : Tentang
Perimbangan Keuangan Untuk
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
ADIANTO
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277
Abstrak : Kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor yang rumit dan
saling terkait erat satu dengan yang lainnya. Kondisi tersebut sering dikatakan sebagai suatu pola
”lingkaran setan” yang sangat sulit untuk dipecahkan. Pola tersebut berlangsung secara terus menerus
dan bahkan cenderung menimbulkan dampak yang semakin buruk. Faktor eksternal inilah yang
memegang peran penting dan strategis dalam melakukan pemberdayaan (empowering) untuk
meningkatkan kemampuan kelompok masyarakat miskin dan tertinggal dalam mengorganisir diri agar
secara mandiri mampu melaksanakan program peningkatan ekonomi dan tingkat kesejahteraan hidup.
Pola pemberdayaan masyarakat yang terkonsep, sistematis, terukur dan tepat sasaran merupakan upaya
yang tepat dan efektif mendorong kemandirian masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan hidupnya.
Inisiatif dan keterlibatan dari kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan, pengetahuan serta akses
terhadap sumber-sumber informasi dan pendanaan adalah merupakan upaya terobosan untuk memecah
”lingkaran setan” kemiskinan dan ketertinggalan serta sekaligus mendorong kemampuan agar secara
mandiri mereka mampu meningkatkan taraf ekonomi dan kualitas hidupnya. Komitmen dan semangat
kebersamaan tersebut diimplementasikan melalui berbagai program pengembangan masyarakat
(community development) yang bertujuan untuk mendorong masyarakat agar lebih mandiri dalam
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya.
Kata Kunci : Pemberdayaan Masyarakat dan Implementasi Kebijakan Publik
Pelaksanaan otonomi daerah
dihadapkan kepada beberapa tantangan,
dimana tantangan tersebut diantaranya :
Pertama, resutrukrisasi organisasi yang
berarti penyesuaian aparatur, penataan
sistem pendayagunaan dan pembinaan
aparatur. Kedua, kompetisi yang sehat
antar daerah dalam mendayagunakan
potensi pembangunan yang berarti
diperlukan sumber daya aparat yang
memiliki kemampuan profesional yang
dinamis dan berwawasan luas. Ketiga,
tanggung jawab dan wewenang yang
semakin besar bagi daerah untuk
melaksanakan pembangunan yang
berarti diperlukan kemampuan
merancang program pembangunan yang
sesuai dengan aspirasi rakyat serta secara
strategik dapat mempertahankan
kesuksesan daerah. Keempat, tuntutan
yang semakin meningkat dari rakyat
terhadap kualitas pelayanan dan
peningkatan kesejahteraan. Kelima,
tuntutan kemampuan yang lebih tinggi
kepada aparatur daerah dalam cara-cara
memberdayakan masyarakat dalam
partisipasi pembangunan. Dari beberapa
tantangan tersebut salah satunya adalah
memberdayakan masyarakat didalam
pembangunan daerah yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Sebab realitanya manusia
dan masyarakat merupakan faktor yang
sangat penting dan menentukan
keberhasilan suatu pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat didalam
10
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
11
pembangunan daerah merupakan upaya
untuk memandirikan masyarakat melalui
perwujudan potensi kemampuan yang
mereka miliki. Dimana masyarakat
diberikan kesempatan untuk menentukan
pilihan kegiatan yang paling sesuai bagi
kemajuan dan kesejahteraan mereka
masing-masing. Sehingga tidak muncul
keinginan yang hanya datang dari pihak
pemberdaya saja, tetapi sebaliknya
keinginan tersebut tumbuh dari pihak
yang akan diberdayakan. Karena
masyarakat akan diberikan kesempatan
untuk memperoleh hidup yang lebih baik
dengan kemampuan yang dimiliki, serta
mengurangi jurang kesenjangan didalam
masyarakat yang sudah tercipta selama
ini.
Pemberdayaan merupakan suatu
proses peningkatan kondisi kehidupan
dan penghidupan yang ditujukan kepada
masyarakat miskin. Karena masyarakat
miskin merupakan sumber daya manusia
yang berpotensi untuk berfikir dan
bertindak yang pada saat ini memerlukan
penguatan agar mampu memanfaatkan
daya (power) yang dimiliki. Oleh sebab
itu langkah awal dalam penanganan
masalah kemiskinan perlu dilakukan
identifikasi potensi yang mereka miliki.
Di wilayah perkotaan, sering timbul
kemiskinan yang terselubung didalam
kehidupan masyarakatnya, yang bisa saja
disebabkan oleh para kaum urban atau
masyarakatnya sendiri yang kurang
memilikki kemampuan dan keahlian
untuk bersaing. Kota Pekanbaru
merupakan salah satu kota yang
memiliki perkembangan yang cukup
pesat, juga tidak luput dari keberadaan
masyarakat miskin. Dari data yang
diperoleh persentase keluarga miskin di
Kota Pekabaru dapat dilihat pada grafik
dibawah ini :
Grafik 1.
Frekuensi Keluarga Miskin di Kota
Pekanbaru
5000
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Keluarga
miskin
Sukajadi
Payung
Sekaki
Sukajadi
Pekanbaru Kota
Sail
Lima Puluh
Senepalan
Bukit Raya
Marpoyan Damai
Tenayan Raya
Tampan
Payung Sekaki
Rumbai
Rumbai Pesisir
Dari grafik diatas terlihat bahwa
jumlah keluarga miskin di Kota
Pekanbaru masih sangat besar, dimana
kecamatan yang paling banyak memiliki
keluarga miskin adalah Kecamatan
Rumbai yaitu sebanyak 3.975 keluarga
miskin. Untuk itu dibutuhkan perhatian
Pemerintah Kota Pekanbaru dalam
mengurangi persentase kemiskinan
dengan menerbitkan kebijakan tentang
pengentasan kemiskinan. Salah satu
kebijakan tentang pengentasan
kemiskian yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kota Pekanbaru adalah
program usaha peningkatan pendapatan
keluarga sejahtera (UPPKS). Program ini
memiliki tujuan untuk meningkatkan
kemampuan dan potensi diri masyarakat
kota yang miskin dalam memenuhi
kebutuhan diri dan keluarganya yang
pada akhirnya masyarakat mampu
berdiri sendiri atau tidak bergantung
kepada pemerintah. Selain itu juga
program ini memiliki sasaran
diantaranya : Pertama, prinsip kemitraan
melalui koordinasi dan kerjasama
pemerintah, swasta dengan dukungan
masyarakat. Kedua, meningkatkan
kemampuan wanita dalam membangun
fungsi ekonomi keluarga sehingga
menjadi salah satu kekuatan ekonomi
masyarakat. Ketiga, proses belajar bagi
para anggota keluarga dalam rangka
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
12
meningkatkan profesionalisme
kewirausahaan. Keempat, memantapkan
penerimaan norma keluarga kecil yang
diprioritaskan untuk wilayah yang
mempunyai institusi panguyuban
keluarga sejahtera dengan berkategori
berkembang dan mandiri. Kelima, untuk
mendukung pengembangan usaha
membangun keluarga modern. Keenam,
untuk menurunkan jumlah keluarga pra
sejahtera dan keluarga sejahtera I.
Dalam upaya merealisasikan dan
mewujudkan implementasi program
UPPKS di Kota Pekanbaru yang sesuai
dengan tujuan dan sasarannya masih
menemukan beberapa kendala-kendala,
diantaranya :
1. Pemberian modal bantuan kepada
masyarakat yang diharapkan
berkembang tidak disertai dengan
pembekalan secara teknis yang dapat
membantu masyarakat bisa
berkembang.
2. Pemberian bantuan yang juga dalam
rangka memperkuat potensi yang
dimiliki masyarakat, kurang disertai
dengan pengawasan dan sanksi yang
tegas terhadap masyarakat yang
diberdayakan.
3. Kurangnya keinginan pemerintah
untuk mengayomi dalam melindungi
masyarakat yang dalam proses
pemberdayaan, kerena biasanya
pemerintah melepasa masyarakat
untuk mandiri.
4. Kurangnya akses akan peluang
memperoleh pinjaman untuk
berkembang dan kurangnya skill
yang dimiliki, sehingga tidak mampu
bersaing dengan yang lainnya.
Berangkat dari kendala-kendala
implemetasi program UPPKS yang
ditemukan, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimanakan
keberhasilan implementasi program
usaha peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru .
Sedangkan tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui dan
menganalisis keberhasilan implementasi
program usaha peningkatan pendapatan
keluarga sejahtara (UPPKS) di Kota
Pekanbaru.
Kajian teori dari keberhasilan
implementasi program usaha
peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru,
diawali dengan teori pemberdayaan
masyarakat dan teori implementasi
kebijakan. Menurut Menurut Naning
Mardianah dalam Paulus Wirutomo dkk
(2003 : 129) pemberdayaan dimaknai
sebagai mendapatkan kekuatan (power)
dan mengaitkan dengan kemampuan
golongan miskin untuk mendapatkan
akses ke sumber-sumber daya yang
menjadi dasar dari kekuasaan dalam
suatu sistem maupun organisasi.
Sedangkan menurut Prianarka (1996 : 45
– 47) pemberdayaan sebagai sebuah
konsep yang lahir sebagai bagian dari
perkembangan alam fikiran masyarakat
tentang kemapanan, antisistem,
antistruktur dan antideterminisme.
Kemudian menurut Gunawan
Sumodiningrat (1997 : 164)
pemberdayaan masyarakat adalah
kemampuan individu yang senyawa dan
unsur-unsur yang memungkinkan suatu
masyarakat bertahan serta membangun
keberdayaan masyarakat yang
bersangkutan. Beliau juga menjelaskan
ada tiga jenis dalam upaya
pemberdayaan masyarakat, yaitu :
1. Menciptakan suasana atau iklim
yang memungkinkan potensi
masyarakat untuk berkembang (baik
laki-laki atau perempuan). Titik
tolaknya adalah pengenalan bahwa
setiap manusia dan masyarakat
memiliki potensi (daya) yang dapat
dikembangkan. Pemberdayaan
adalah upaya untuk membangun daya
itu dengan mendorong, memberikan
motivasi, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkannya.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
13
2. Memperkuat potensi atau daya yang
dimiliki masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini diperlukan
langkah-langkah lebih positif dan
nyata, penyediaan berbagai masukan
serta pembukaan akses kepada
berbagai peluang yang akan
membuat masyarakat menjadi
semakin dalam berdaya
memanfaatkan peluang.
3. Memberdayakan mengandung arti
melindungi. Strategi pengembangan
harus berpusat pada upaya
mendorong percepatan perubahan
struktur ekonomi rakyat dalam
perekonomian nasional. Perubahan
struktur ini meliputi proses
perubahan dari ekonomi tradisional
ke ekonomi modern, dari ekonomi
lemah ke ekonomi tangguh.
Selanjutnya dalam melakukan
pemberdayaan kepada masyarakat
tidak terlepas dari permasalahan atau
faktor penghambat. Ada beberapa
faktor penghambat dalam melakukan
pemberdayaan masyarakat menurut
Lowe, yaitu :
1. Ketakutan (fear)
Banyak individu yang begitu
sederhana takut akan pemberdayaan,
hal ini diperlihatkan oleh : Pertama,
individu pada level menengah dan
junior takut akan hukuman jikalau
membuat kesalahan. Dimana
merupakan peninggalan dari gaya
manajemen komando yang lebih
menekankan kebebasan untuk
mengambil resiko. Kedua, individu
juga takut bahwa mereka tidak akan
dapat dukungan yang dijanjikan
apabila mereka melakukan
kesalahan. Ketiga, individu juga
memiliki ketakutan akan gagal.
Keempat, individu juga takut akan
kehilangan pekerjaan yang telah
dilakukan sebelumnya.
2. Ketidakyamanan (role clarity)
Bagi masyarakat, ketidaknyamanan
pekerjaan baru berasal dari
kebingungan atau kurang senang
dengan peran baru atau pekerjaan
baru mereka setelah diberdayakan.
Hal ini menunjukkan bahwa :
Pertama, pihak pemberdaya merasa
dilangkahi oleh suatu kebijakan
tentang pemberdayaan masyarakat
yang menyerahkan kekuasaan dan
wewenang atau membebankan
sesuatu kepada masyarakat. Kedua,
pihak pemberdaya kurang memahami
dan mengenal apa yang diinginkan
oleh masyarakat. Ketiga, pihak
pemberdaya tidak mempunyai
kekuatan dan merasa kalah dari
masyarakat yang diberdayakan.
Keempat, para masyarakat sulit
menyesuaikan diri kepada pekerjaan
yang baru, seperti yang selama ini
pedagang tiba-tiba harus menjadi
petani. Kelima, pihak pemberdaya
kurang jelas akan tujuannya
melakukan pemberdayaan kepada
masyarakat.
3. Kecenderungan implementasi
kebijakan yang tidak berubah
(resistance to change)
Hal ini mengarah kepada
kecenderungan oleh pihak
pemberdaya (pemerintah, swasta atau
pihak lainnya) untuk berpegang
teguh kepada cara-cara yang sudah
mapan dalam mengerjakan dan
pengenalan proses pemberdayaan.
Misalnya secara historis sistem yang
digunakan disuatu tempat berhasil
digunakan, tentunya akan tetap
dicoba melaksanakan pada
lingkungan yang berbeda. (Nyoman
Sumaryadi, 2005 : 159 – 160)
Setelah konsep pemberdayaan
masyarakat dijelaskan, langkah
berikutnya adalah menjelaskan konsep
implementasi kebijakan. Untuk melihat
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
14
keberhasilan suatu kebijakan, maka
sangat bergantung pada implementasi
kebijakan itu sendiri. Dimana,
implementasi menyangkut tindakan
seberapa jauh arah yang telah
diprogramkan itu benar-benar
memuaskan. Akhirnya pada tingkatan
abstraksi tertinggi implementasi sebagai
akibat ada beberapa perubahan yang
dapat diukur dalam masalah-masalah
besar yang menjadi sasaran program.
Menurut Syaukani dkk (2002 : 295)
implementasi merupakan suatu rangkain
aktivitas dalam rangka menghantarkan
kebijakan kepada masyarakat sehingga
kebijakan tersebut dapat membawa hasil
sebagaimana yang diharapkan.
Rangkaian kegiatan tersebut mencakup,
Pertama, persiapan seperangkat
peraturan lanjutan yang merupakan
interprestasi dari kebijakan tersebut.
Kedua, menyiapkan sumber daya guna
menggerakkan kegiatan implementasi
termasuk didalamnya sarana dan
prasarana, sumber daya keuangan dan
tentu saja penetapan siapa yang
bertanggung jawab melaksanakan
kebijakan tersebut. Ketiga, bagaimana
menghantarkan kebijakan secara
kongkrit ke masyarakat.
Menurut Hasel Nogi (2003 : 13)
implementasi kebijakan merupakan
rangkaian kegiatan setelah suatu
kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu
implementasi maka suatu kebijakan yang
telah dirumuskan akan sia-sia.
Sedangkan memurut Grindle (1980 : 18)
implementasi kebijakan sesungguhnya
bukan sekedar berhubungan dengan
mekanisme penjabaran atau operasional
dari keputusan politik ke dalam
prosedur-prosedur rutin lewat saluran
birokrasi melainkan lebih dari itu yaitu
menyangkut masalah konflik, keputusan
dan siapa yarg, akan memperoleh apa
dan suatu kebijakan.Kemudian menurut
Ripley (1985 : 58) implementasi
merupakan suatu tahapan diantara
pembuatan kebijakan dan konsekuensi
dari kebijakan. Dimana ia menempatkan
implementasi pada tabap ketiga dalam
proses kebijakan. Tahap pertama
penyusunan agenda, tahap kedua
fomulasi kebijakan, tahap ketiga
implementasi kebijakan dan tahap
keempat dampak dari kebijakan.
Selanjunya beliau menegaskan bahwa
implementasi yang berhasil tidak hanya
ada dua perspektif yaitu keberhasilan
diukur melalui tingkat kepatuhan
birokrasi level bawah terhadap
birokarasi level atas dan keberhasilan
impelementasi dicarikan oleh
kelancaran rutinitas dan tidak adanya
masalah. Sementara ada perspektif lain
yang mengatakan bahwa implementasi
yang berhasil mengarah pada kinerja
yang diinginkan dari suatu program dan
dampak dari program.
Implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya
(Nugroho, 2003 : 158). Tidak lebih dan
tidak kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik
maka ada dua pilihan langkah yang ada,
yaitu langsung mengimplementasikan
dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivate
atau turunan dari kebijakan publik
tersebut. Pengertian kebijakan merujuk
pada tiga hal yakni sudut pandang (point
of view); rangkaian tindakan (series of
actions) dan peraturan (regulations).
Ketiga hal tersebut menjadi pedoman
bagi para pengambil keputusan untuk
menjalankan sebuah kebijakan, dari
beberapa definisi mengenai kebijakan
publik, ada satu definisi yang cukup
komprehensif untuk menjelaskan apa itu
kebijakan publik. Definisi tersebut
berbunyi “respon dari sebuah sistem
terhadap demands/claims dan support
yang mengalir dari lingkungannya”.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
15
Definisi tersebut, merespon bisa dilihat
sebagai isi dan implementasi serta
analisis dampak kebijakan, sistem tentu
saja merujuk pada aktor (pemerintah,
parlemen, masyarakat, pressure groups
dan aktor yang lain), demands dan claim
bisa jadi merupakan tantangan dan
permintaan dari aktor-aktor tadi,
sedangkan support bisa merujuk pada
dukungan baik SDM maupun
infrastruktur yang ada, dan yang
terakhir, lingkungan merujuk pada
satuan wilayah tempat sebuah kebijakan
diimplementasikan.
Keberhasilan suatu kebijakan dalam
implementasi kebijakan juga dipengaruhi
oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :
1. Dukungan dan penilaian dari
lembaga eksternal. Jika lembaga
eksternal mendukung, maka
pelaksanaan kebijakan-kebijakan
akan berhasil. Sebaliknya, jika
menolak maka pelaksanaan
kebijakan akan gagal. Oleh karena
itu, agar sukses, pengambil kebijakan
dan para pelaksananya harus
melakukan penyamaan visi dan
persepsi dalam kebijakan yang
diambil.
2. Ketersediaan waktu dan sumber daya
yang cukup.
3. Dukungan dari berbagai macam
sumber daya yang ada. Makin
banyak yang mendukung makin
tinggi tingkat kesuksesannya.
4. Kemampuan pelaksana kebijakan
menganalisis kausalitas persoalan
yang timbul dari pelaksanaan
kebijakan. Makin mampu para
pelaksana kebijakan menganalisis
kausalitas antara satu kegiatan
dengan kegiatan lain atau antara
suatu kegiatan dengan dampaknya
akan semakin tinggi tingkat
keberhasilannya.
5. Kepatuhan para pelaksana kebijakan
terhadap kesepakatan dan tujuan
yang telah diciptakan dalam tingkat
koordinasi. (Hogwood dan Gunn
dalam Sumaryadi, 2005 : 84)
Van Meter dan Van Horn dalam
Winarno (2007 : 146) mengemukakan
implementasi kebijakan sebagai
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu/kelompok pemerintah maupun
swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan-keputusan kebijakan
sebelumnya. Menurut Budi Winarno
(2007 : 160) mengemukakan adanya tiga
unsur penting dalam proses
implementasi yaitu : (i) adanya program
atau kebijakan yang dilaksanakan, (ii)
target group yaitu kelompok masyarakat
yang menjadi sasaran dan diharapkan
akan menerima manfaat dari program,
perubahan atau peningkatan, (iii) unsur
pelaksanaan (implementor) baik
organisasi atau perorangan untuk
bertanggung jawab dalam memperoleh
pelaksanaan dan pengawasan dari proses
implementasi tersebut. Implementasi
kebijakan adalah suatu efektivitas atau
kegiatan dalam rangka mewujudkan atau
merealisasikan kebijakan yang telah
ditetapkan sebelumnya, yang dilakukan
oleh organisasi birokrasi pemerintahan
atau badan pelaksanaan lain melalui
proses administrasi dan manajemen
dengan memanfaatkan segala sumber
daya yang tersedia untuk mencapai
tujuan tertentu.
Ripley dan Franklin dalam Sujianto
(2008 : 33) menegaskan implementasi
yang berhasil tidak hanya ada dua
perspektif saja. Pertama, keberhasilan
diukur melalui tingkat kepatuhan
birokrasi level bawah terhadap birokrasi
level atas. Kedua, keberhasilan
implementasi dicirikan oleh kelancaran
rutinitas dan tidak adanya masalah.
Keberhasilan suatu program dapat dilihat
jika program itu berjalan sesuai dengan
pola-pola yang telah ditetapkan. Faktorfaktor
keberhasilan implementasi
menurut Ripley dan Franklin dalam
Sujianto (2008 : 46) adalah :
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
16
• Kejelasan tujuan-tujuan program dan
tingkat konsensus diantara pelaksana
atas tujuan-tujuan tersebut.
• Tingkat perubahan dari kebiasaankebiasaan
lama yang dikehendaki
program.
• Tipe-tipe orang yang memperoleh
manfaat dan klien terbatas, yaitu
orang dan kelompok yang menjadi
target implementasi.
Menurut Riant Nugroho (2003 : 160)
pada prinsipnya ada "empat tepat" yang
perlu dipenuhi dalam hal keefektifan
implementasi kebijakan, yaitu :
1. Apakah kebijakan sendiri sudah tepat
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari
sisi, Pertama, sejauh mana kebijakan
yang ada telah bermuatan hal-hal
yang memang memecahkan masalah
yang hendak dipecahkan. Kedua,
apakah kebijakan tersebut sudah
dirumuskan sesuai dengan karakter
masalah yang hendak dipecahkan
mengenai perumusan kebijakan.
Ketiga, apakah kebijakan dibuat oleh
lembaga yang mempunyai
wewenang (misi kelembagaan) yang
sesuai dengan karakater
kebijakannya.
2. Tepat pelaksanaannya
Aktor lmplemetasi kebijakan tidak
hanya pemerintah, namun masih ada
yang harus ikut berperan Serta yaitu
masyarakat dan swasta. Dimana
kebijakan yang sifatnya monopoli,
seperti pembuatan kartu identitas
penduduk sebaiknya diselenggarakan
oleh pemerintah. Kebijakan Yang
sifatnya
memberdayakan
masyarakat, seperti penanggulangan
kemiskinan
sebaiknya
diselenggarakan oleh pemerintah
bersama masyarakat. Kebijakan yang
bertujuan mengarahkan kegiatan
masyarakat, seperti pengelolaan
pasar yang mana pemerintah kurang
efektif untuk menyelenggarakannya
sebaiknya dilaksanakan oleh
pemerintah bersama swasta.
3. Tepat target
Ketepatan target berkenaan kepada
tiga hal, yaitu: Pertama, apakah
target yang diintervensi sesuai
dengan yang direncanakan, apakah
tidak, ada tumpang tindih dengan
intervensi lain atau tidak,
bertentangan dengan intervensi
kebijakan lain. Kedua, apakah
targetnya dalam kondisi siap untuk di
intervensi ataukah tidak. Kesiapan
bukan saja dalam arti secara alami.
namun juga apakah kondisi target
mendukung atau menolak. Ketiga,
apakah intervensi implementasi
kebijakan bersifat baru atau
memperbaharui implementasi
kebijakan sebelumnya. Terlalu
banyak kebijakan yang tampaknya
baru namun pada prinsipnya
mengulang kebijakan lama dengan
hasil yang sama tidak efektifnya
dengan kebijakan sebelumnya.
4. Tepat lingkungan
Ada dua lingkungan yang
menentukan dalam implementasi
kebijakan. Yaitu Pertama
lingkungan kebijakan yaitu
lingkungan interaksi diantara
lembaga perumusan kebijakan dan
pelaksana kebijakan dengan lembaga
lain yang berkaitan, kedua
lingkungan eksternal kebijakan yang
juga sebagai variabel eksogen yang
terdiri dari publik opinion yaitu
persepsi publik akan kebijakan dan
implementasi
kebijakan,
interprective intutions yang
berkenaan dengan interprestasi dari
lembaga-lembaga strategis dalam
masyarakat, seperti media massa,
kelompok penekan dan kelompok
kepentingan
dalam
menginterprestasikan kebijakan dan
implementasi kebijakan dan
individual yakni individu-Individu
tertentu yang mampu memainkan
peranan penting dalam
menginterprestasikan kebijakan dan
implementasi kebijakan. Selain itu
juga tepat lingkungan membutuhkan
tiga jenis dukungan, yaitu dukungan
politik, dukungan strategi dan
dukungan teknis.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
17
Sejalan dengan pendapat Jones
Charles dalam Nashir Budiman (2001 :
112) menetapkan ada enam variabel
yang menentukan dalam keberhasilan
implementasi kebijakan, antara lain :
1) Standard dan tujuan kebijakan
(policy standards obiectives)
Ukuran atau standard dan tujuan
kebijakan memberikan perhalian
utama pada faktor-faktor yang
menentulan hasil kerja, maka
identifikasi indicator-indikator hasil
kerja merupakan hal yang penting
dalam analisis. Karena indikator ini
menilai sejauhmana standard dan
tujuan kebijakan keseluruhan
kebijakan, ini terbukti karena mudah
diukur dengan berbagai kasus.
2) Sumber daya kebijakan (policy
resources)
Bukan hanya standard dan tujuan
tetapi juga dalam menjelaskan
implemetasi kebijakan juga
membutukan sumber daya yang
digunakan untuk memudahkan
administrasi.
3) Aktivitas pengamatan dan
komunikasi inter organisasional
Suatu implementasi yang efektif
memerlukan standard dan tujuan
program yang dipahami oleh masingmasing
individu yang bertanggung
jawab agar implementasi tercapai.
Oleh sebab itu memerlukan
komunikasi yang konsisten dengan
tujuan mengumpulkan informasi
yang dibutuhkan. Efektivitas
komunikasi memerlukan mekanisme
dan prosedur yang jelas dimana
otoritas yang lebih tinggi dapat
memungkinkan pelaksana akan
bertindak dengan cara yang
konsisten.
4) Karakteristik pelaksana
Komponen ini terjadi dari struktur
formal organisasi dan atribut-atribut
formal dari personil selain hubungan
pelaksana dengan partisipan dalam
sistem penyampian kebijakan. Lebih
jelasnya karekteristik berhubungan
dengan kemampuan dan kriteria staf
tingkat pengawas hirarkis terhadap
keputusan sub unit dalam proses
implementasi.
5) Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Didalam implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh beberapa aspek
diantaranya adalah pengaruh
ekonomi, sosial dan politik. Ada
beberapa hal yang berhubungan
dengan faktor ekonomi, sosial dan
politik diantaranya
- Apakah sumber daya ekonomi
tersedia dalam organisasi
pelaksana cukup memadai untuk
menunjang keberhasilan
pelaksanaan.
- Sejauhmana kondisi sosial
ekonomi yang akan
mempengruhi pelaksanaan
kebijakan.
- Bagaimana sifat umum tentang
seberapa jenis masalah kebijakan
yang terkait
- Apakah kelompok elit
menyetujui atau menentang
pelaksanan bebijakan.
- Apakah karakteristik partisipan
dan organisasi pelaksana ada
oposisi atau dukungan partisipan
untuk kebijakan tersebut.
6) Disposisi atau sikap pelaksana
Disposisi atau sikap pelaksana sangat
menentukan
keberhasilan
implementasi, sebab hal ini berkaitan
dengan persepsi pelaksana dalam
yuridis dimana kebijakan
disampaikan. Ada tiga unsur yang
mempengaruhi pelaksana dalam
mengimplementasi kebijakan, yaitu :
- Kognisi (pemahaman dan
pengetahuan) pelaksana terhadap
kebijakan.
- Arab respon pelaksana terhadap
implementasi menerima atau
menolak.
- Intensitas dari respon pelaksana.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
18
Selanjutnya George C. Edward III
mengidentifikasikan faktor-faktor yang
mempengaruhi
keberhasilan
implementasi kebijakan, yaitu :
1. Komunikasi
2. Sumber daya
3. Sikap
4. Struktur kelembagaan (Sujianto,
2008 : 38 – 45)
Maka dari beberapa penjelasan
tentang implementasi yang telah
dilakukan, disimpulkan bahwa
implementasi kebijakan sebagai suatu
proses melaksanakan keputusan
kebijakan yang biasanya dalam bentuk
undang–undang, peraturan- pemerintah,
peraturan daerah dan program-program
pemenintah. Dimana dalam aktivitas ini
bertipa pemyataan tentang tujuan yang
akan dicapai yang dirancang melalui
kegiatan-kegiatan administratif yang
nyata, seperti pendanaan, perencanaan
dan pengorganisasian.
METODE
Pelaksanaan penelitian ini untuk
pengumpulan data primer maupun data
sekunder menggunakan metode
penelitian survei sebagai salah satu jenis
Scientific Research (penelitian ilmiah),
terutama digunakan untuk
menggambarkan (deskriptif) dan
menjelaskan (explanatory atau
confirmatory) tentang kondisi variabel
penelitian. Populasi dalam penelitian ini
adalah pihak pelaksana program yaitu
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Keluarga Berencana (BPMKB) Kota
Pekanbaru, masyarakat yang
diberdayakan yaitu masyarakat yang
menerima program dan masyarakat
independen yaitu masyarakat yang tidak
menerima program. Dimana dalam
melakukan pemilihan sampel dari
populasi yang dimiliki, digunakan tehnik
porposive sampling dan tehnik random
sampling.
Dalam tehnik pengukurannya
penulis menggunakan skala likert, yaitu
memberikan skor penilaian untuk
masing-masing jalaban. Penelitian ini
memberikan lima alternatif jalaban yaitu
sangat baik skor 5, baik skor 4, cukup
baik skor 3, kurang baik skor 2 dan tidak
baik skor 1. Dari perhitungan yang
dilakukan, maka rentang skor untuk
menilai keberhasilan implementasi
program usaha peningkatan pendapatan
keluarga sejehatera (UPPKS) di Kota
Pekanbaru, yaitu :
a. Sangat baik apabila total skor yang
diperoleh 6930 – 8250
b. Baik apabila total skor yang
diperoleh 5609 – 6929
c. Cukup baik apabila total skor yang
diperoleh 4288 – 5608
d. Kurang baik apabila total skor yang
diperoleh 2967 – 4287
e. Tidak baik apabila total skor yang
diperoleh 1646 – 2966
HASIL
Dalam penelitian ini, berfokus
kepada lima variabel untuk menjelaskan
keberhasilan implementasi program
usaha peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru,
yaitu standart dan tujuan kebijakan,
komunikasi, sumber daya, sikap dan
struktur kelembagaan. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan analisis
deskirptif yaitu suatu tehnik menganalisa
data yang untuk menggambarkan secara
utuh kenyataan mengenai permasalahan
yang diteliti. Adapun yang menjadi
responden dalam penelitian ini adalah
aparatur pelaksana program UPPKS,
kelompok masyarakat yang menerima
program UPPKS dan masyarakat
independen, yang diharapkan dapat
memberikan penilaian terhadap
keberhasilan implementasi program
usaha peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
19
yang berjumlah 66 orang. Kemudian
data diperoleh dengan cara memberikan
daftar pertanyaan dalam bentuk
kuisioner penelitian kepada 66
responden terpilih. Kemudian dari hasil
kuisioner tersebut diperoleh data tentang
keberhasilan implementasi program
usaha peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru,
selanjutnya akan didiskripsikan satu
persatu sebagai berikut :
A. Deskripsi variabel standart dan
tujuan kebijakan
Standart dan tujuan kebijakan
adalah suatu ukuran yang diberikan
terhadap kegiatan, pekerjaan, tindakan
yang dilaksanakan dan memiliki fokus
terhadap hasil kerja yang diperoleh.
Pelaksanaan kegiatan atau pekerjaan
tersebut harus didukung pengetahuan
dan kemampuan yang dimiliki untuk
dapat menghasilkan pekerjaan yang tepat
waktu, memberikan pelayanan yang
memuaskan dan menghasilkan pekerjaan
yang efektivitas. Untuk itu dibutuhkan
ukuran dan standart yang tepat, sehingga
tujuan kebijakan yang dirumuskan dapat
terwujud. Kemudian untuk melihat hasil
tanggapan responden terhadap variabel
standart dan tujuan kebijakan dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1.
Hasil Tanggapan Responden tentang
Variabel Standart dan Tujuan Kebijakan
Responden Kriteria Tanggapan Skor
Pelaksana
program
UPPKS
Masyarakat
penerima
program
UPPKS
Masyarakat
independen
SB B CB KB TB
1
(12,5
%)
3
(6,2
%)
1
(10,0
%)
5
(62,5
%)
32
(66,7
%)
5
(50,0
%)
2
(25,0
%)
10
(20,8
%)
2
(20,0
%)
- - 795
1
(2,1
%)
2
(4,2
%)
- 2
(20,0
%)
4400
765
Total skor 5960
Sumber : Hasil penelitian lapangan
Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa standart dan tujuan kebijakan
yang diimplementasikan dalam program
usaha peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
sudah berjalan dengan baik. Hal ini
dibuktikan dengan total skor yang
berjumlah 5960 termasuk didalam
ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan
bahwa pelaksana program UPPKS,
masyarakat penerima program UPPKS
dan masyarakat independen setuju
bahwa implementasi program usaha
peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
dalam penetapan standart dan tujuan
sudah berhasil dilakukan. Dimana
keberhasilan implementasi ini terlihat
dari ketepatan waktu melaksanakan
program UPPKS, pelayanan yang
memuaskan dalam pelaksanaan program
UPPKS, ketelitian kerja yang baik dalam
pelaksanaan program UPPKS, tingkat
efisiensi biaya yang baik dan tingkat
efektivitas kerja yang baik dalam
pelaksanaan program UPPKS. Dengan
adanya keberhasilan implementasi ini
tentunya akan menciptakan kelancaran
dalam pelaksanaan program UPPKS
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
Kota Pekanbaru.
B. Deskripsi variabel komunikasi
Komunikasi adalah penyampaian
informasi atau berita kepada orang lain
dengan maksud dan tujuan tertentu.
Sehingga komunikasi merupakan
peristiwa dimana pemberi berita dan
penerima berita memperoleh pandangan
yang sama tentang suatu berita. Maka
dari itu orang yang melakukan
komunikasi akan memperoleh informasi,
sebab informasi adalah segala sesuatu
yang dikomunikasikan dalam hal ini
pengetahuan tentang sesuatu. Selain itu
juga informasi merupakan inti sistem
komunikasi dan memberikan bahan
dasar pengambilan keputusan. Untuk
melihat hasil tanggapan responden
terhadap variabel komunikasi dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
20
Tabel 2.
Hasil Tanggapan Responden tentang
Variabel Komunikasi
Responden Kriteria Tanggapan Skor
Pelaksana
program
UPPKS
Masyarakat
penerima
program
UPPKS
Masyarakat
independen
SB B CB KB TB
- 6
2
(4,2
%)
(75,0
%)
28
(58,3
%)
- 5
(50,0
%)
2
(25,0
%
17
(35,4
%)
4
(40,0
%)
- - 755
1
(2,1)
1
(10,0
%)
- 4320
- 875
Total skor 5950
Sumber : Hasil penelitian lapangan
Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa komunikasi yang
diimplementasikan dalam program usaha
peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
sudah berjalan dengan baik. Hal ini
dibuktikan dengan total skor yang
berjumlah 5950 termasuk didalam
ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan
bahwa pelaksana program UPPKS,
masyarakat penerima program UPPKS
dan masyarakat independen setuju
bahwa implementasi program usaha
peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
yang dikomunikasikan sudah berhasil
dilakukan. Dimana keberhasilan
implementasi ini terlihat dari informasi
yang disampaikan dalam pelaksanaan
program UPPKS, kemampuan pelaksana
dalam memehami program UPPKS,
kejelasan pelaksanaan program UPPKS,
kelancaran penyampaian informasi
pelaksanaan program UPPKS dan
konsistensi pelaksana dalam
mengkomunikasi program UPPKS.
Dengan adanya keberhasilan
mengkomunikasi program yang
dilaksanakan tentunya akan tercipta
kerjasama yang timbal balik antara
pelaksana program dan masyarakat
penerima program. Sehingga
keberhasilan implementasi program juga
akan lebih mudah diwujudkan apabila
kedua belah pihak saling berkoordinasi
dan berpartisipasi dalam pelaksanaan
program.
C. Deskripsi variabel sumber daya
Secara makro, sumber daya manusia
adalah kualitas atau kemampuan orang
atau manusia untuk mengelola sumber
daya alam, sehingga dapat dipergunakan
bagi kesejahteraan masyarakat sebagai
tujuan akhir pembangunan itu sendiri.
Secara mikro, sumber daya manusia
adalah tenaga kerja, baik yang berupa
pimpinan, staf atau karyawan biasa. Oleh
karenanya tingkat efektivitas dan
produktivitas organisasi akan sangat
tergantung pada kualitas sumber daya
manusia yang dimilikinya. Walaupun
suatu organisasi memiliki peralatan atau
fasilitas kerja yang modern, namun jika
tidak ditunjang oleh kualitas sumber
daya manusia yang memadai, maka akan
sulit untuk mencapai kinerja yang
diinginkan. Untuk melihat hasil
tanggapan responden terhadap variabel
sumber daya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 3.
Hasil Tanggapan Responden tentang
Variabel Sumber Daya
Responden Kriteria Tanggapan Skor
Pelaksana
program
UPPKS
Masyarakat
penerima
program
UPPKS
Masyarakat
independen
SB B CB KB TB
- 8
1
(2,1
%)
(100,0
%)
29
(60,4
%)
- 5
(50,0
%)
- - - 800
14
(29,1
%)
4
(40,0
%)
3
(6,3
%)
1
(10,0
%)
1
(2,1
%)
4230
- 830
Total skor 5860
Sumber : Hasil penelitian lapangan
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
21
Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa sumber daya yang
diimplementasikan dalam program usaha
peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
sudah berjalan dengan baik. Hal ini
dibuktikan dengan total skor yang
berjumlah 5860 termasuk didalam
ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan
bahwa, pelaksana program UPPKS,
masyarakat penerima program UPPKS
dan masyarakat independent setuju
bahwa program ini telah
diimplementasikan dengan berhasil
berdasarkan sumber daya yang dimiliki.
Dimana keberhasilan ini terlihat dari
kemampuan aparatur pelaksana program,
fasilitas yang disediakan dalam
melaksanakan program, adanya
pembagian pertanggungjawaban yang
jelas, adanya teknologi dan sistem
informasi yang baik dan adanya insentif
yang diberikan kepada pelaksana
program. Dengan memiliki sumber daya
yang memenuhi standart akan
memberikan dorongan dan motivasi bagi
para pelaksana program UPPKS kepada
masyarakat. Oleh karena itu salah satu
kunci keberhasilan dalam implementasi
program UPPKS adalah memiliki
sumber daya yang unggul, sehingga
proses pelaksanaan dapat lebih mudah
menuju kesuksesan.
D. Deskripsi variabel sikap
Sikap adalah kecenderungan
seseorang yang bersifat menetap
terhadap sesuatu objek, orang, kejadian
atau hal lainnya baik secara negatif
maupun positif. Dalam memahami
pergetian sikap, dimaknai terdiri dari
tiga komponen dasar, yakni komponen
kognitif atau evaluatif, komponen
evektif atau perasaan, komponen aksi
atau sikromotorik. Pendekatan teoritis
yang dianggap tradisional tentang sikap
dikenal dengan pendekatan belajar.
Pendekatan belajar ini memandang sikap
sebagai kebiasaan sebagaimana halnya
dengan hal-hal lain yang dipelajari.
Pendekatan lain, seperti teori insentif
mengambil sikap terhadap sesuatu maka
terdapat kecenderungan untuk
memaksimalkan keuntungan yang akan
diperolehnya. Setiap suatu masalah
memiliki keuntungan dan kerugian,
dimana setiap individu akan mengambil
sisi yang memberikan keuntungan yang
lebih besar. Pendekatan kognitif di pihak
lain keselarasan dan kesesuaian dalam
mereka dan antara sikap dan perilaku.
Pendekatan kognitif ini terutama
menekankan penerimaan sikap yang
sesuai dengan keseluruhan struktur
kognitif seseorang. Jadi dalam kerja
yang diminta adalah penerimaan sikap
yang sesuai dengan keseluruhan struktur.
Untuk melihat hasil tanggapan
responden terhadap variabel sikap dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.
Hasil Tanggapan Responden tentang
Variabel Sikap
Responden Kriteria Tanggapan Skor
Pelaksana
program
UPPKS
Masyarakat
penerima
program
UPPKS
Masyarakat
independen
SB B CB KB TB
- 6
1
(2,1
%)
(75,0
%)
29
(60,4
%)
- 5
(50,0
%)
2
(25,0
%)
16
(33,3
%)
4
(40,0
%)
- - 760
2
(4,2
%)
1
(10,0
%)
- 4245
- 845
Total skor 5850
Sumber : Hasil penelitian lapangan
Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa sikap yang diimplementasikan
dalam program usaha peningkatan
pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS)
di Kota Pekanbaru sudah berjalan
dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
22
total skor yang berjumlah 5850 termasuk
didalam ketegori baik. Kondisi ini
menjelaskan bahwa, pelaksana program
UPPKS, masyarakat penerima program
UPPKS dan masyarakat independent
setuju bahwa program ini telah
diimplementasikan dengan berhasil
berdasarkan sikap yang ditunjukkan.
Dimana keberhasilan ini terlihat dari
pengetahuan yang dimiliki aparatur
dalam memgimplementasikan program
UPPKS, respon yang ditunjukan
pelaksana program UPPKS, adanya
insentif yang diberikan bagi para
pelaksana program UPPKS, adanya
penghargaan yang diberikan kepada
pelaksana program UPPKS dan adanya
intensitas tinggi yang ditunjukkan dari
para pelaksana program UPPKS. Untuk
itu dengan memiliki sikap yang baik
dalam mengimplementasikan program
UPPKS, akan lebih mempermudah
memperoleh keberhasilan pelaksanaan
program. Oleh karenanya keberhasilan
implementasi program UPPKS juga
harus didukung oleh sikap yang
responsif dan kondusif dari para
pelaksana program tersebut.
E. Deskripsi variabel struktur
kelembagaan
Kelembagaan adalah bagian dari
kelengkapan negara atau daerah yang
membenahi pelaksanaan keputusankeputusan
politik yang dibuat oleh
lembaga legislatif dan eksekutif. Dalam
melaksanakan keputusan-keputusan itu,
pemerintah bergantung kepada birokrasi.
Demikian pula pada waktu proses
pengambilan keputusan, pemerintah
harus mendasarkan diri pada informasi
yang diterima melalui birokrasi. Oleh
karena itu, kelembagaan yang berjalan
baik merupakan syarat mutlak untuk
kebijakan pemerintahan yang efektif,
terutama bagi pemerintahan di negaranegara
sedang berkembang. Dalam
kelembagaan terdapat unsur birokrasi
dalam bentuk tipe ideal, yang merupakan
cerminan dari tahap rasionalisasi
manusia modern. Secara umum
digambarkan bahwa ciri-ciri birokrasi
adalah pengambilan keputusan secara
rasional, hubungan-hubungan sosial
yang bersifat impersonal, tugas-tugas
yang dijadikan rutin dan sentralisasi
kekuasaan. Untuk melihat hasil
tanggapan responden terhadap variabel
struktur kelembagaan dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 5.
Hasil Tanggapan Responden tentang
Variabel Struktur Kelembagaan
Responden Kriteria Tanggapan Skor
Pelaksana
program
UPPKS
Masyarakat
penerima
program
UPPKS
Masyarakat
independen
SB B CB KB TB
- 7
1
(2,1
%)
1
(10,0)
(87,5
%)
32
(66,7
%)
3
(30,0
%)
1
(12,5
%)
11
(22,9
%)
5
(50,0
%)
- - 765
4
(8,3
%)
1
(10,0
%)
- 4315
830
Total skor 5910
Sumber : Hasil penelitian lapangan
Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa struktur kelembagaan yang
diimplementasikan dalam program usaha
peningkatan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
sudah berjalan dengan baik. Hal ini
dibuktikan dengan total skor yang
berjumlah 5910 termasuk didalam
ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan
bahwa, pelaksana program UPPKS,
masyarakat penerima program UPPKS
dan masyarakat independent setuju
bahwa program ini telah
diimplementasikan dengan berhasil
berdasarkan struktur kelembagaan yang
dimiliki. Dimana keberhasilan ini terlihat
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
23
dari dukungan yang diberikan oleh
Pemerintah Kota Pekanbaru, adanya
penerapan standart dalam pelaksanaan
program UPPKS, adanya pembagian
pelaksanaan tugas dalam program
UPPKS, adanya komitmen yang
ditunjukkan dalam pelaksanaan program
UPPKS dan adanya keinginan yang kuat
dalam melaksanakan program UPPKS.
Oleh karenanya apabila struktur
kelembagaan sudah memiliki dukungan
dan komitmen yang tinggi dalam
melaksanakan program yang sudah
ditetapkan, maka tingkat keberhasilan
akan lebih mudah diwujudkan. Untuk itu
struktur kelembagaan memiliki peranan
yang penting dalam upaya
merealisasikan program yang ditetapkan,
sebab struktur kelembagaan ini bisa
dijadikan wadah bagi menjaring
dukungan, komitmen dan kemauan dari
pelaksana dan penerima program.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa : Pertama,
keberhasilan implementasi kebijakan
program usaha peningkatan pendapatan
keluarga sejahtera (UPPKS) di Kota
Pekanbaru yang ditinjau dari standartd
dan tujuan kebijakan, komunikasi,
sumber daya, sikap dan struktur
kelembagaan telah berhasil
diimplementasikan dengan baik. Kedua,
dari hasil penelitian juga menjelaskan
bahwa indikator yang paling dominan
dalam mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan program usaha
peningkatan pendapatan keluarga
sejahatera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
adalah indikator standart dan tujuan.
Artinya dalam mengimplementasikan
standart dan tujuan pada program usaha
peningkatan dan pendapatan keluarga
sejahtera (UPPKS), pihak pelaksana
kebijakan menetapkan standart dan
tujuannya berdasarkan hasil keputusan
bersama dari semua pihak. Sehingga
dalam pelaksanaannya semua pihak yang
terlibat ikut memberikan partisipasinya
dalam upaya mensukseskan program
yang diimplementasikan. Standart dan
tujuan yang dirumuskan diantaranya
standart ketepatan waktu pelaksanaan
program, standart pelayanan dalam
pelaksanaan program, standart ketelitian
pelaksanaan program serta standart
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
program.
DAFTAR RUJUKAN
Grindle Merike S., 1980., Policy Content
and Context in Implementation
Princeton., University Press., New
Jersey.
Gunawan Sumodiningrat., 1997.,
Pembagunan Daerah dan
Pemberdayaan Masyarakat., Bina
Rena Parawira., Jakarta.
Nugroho Riat., 2003., Kebijakan Publik
Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi., PT. Alex Media
Komputindo., Jakarta.
Paulus Wirutomo dkk., 2003.,
Paradigma Pembangunan di Era
Otonomi Daerah., Penerbit Cipruy.,
Jakarta.
Pranarka dan Onny S. Prijono., 1996.,
Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan
dan Implementasi., CSIS., Jakarta.
Ripley Randel., 1985., Politic Analysis
in Political Science., Nellson Hall.,
Chicago.
Sumaryadi Nyoman., 2005.,
Perencanaan Pembangunan Daerah
Otonom dan Pemberdayaan
Masyarakat., Penerbit Citra Utama.,
Jakarta.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
24
Sujianto., 2008., Implementasi
Kebijakan Publik., Penerbit Alaf
Riau., Pekanbaru.
Syaukani., 2002., Kebijakan Publik :
Menggapai Masarakat Madani.,
Mida Pustaka., Yogyakarta.
Tangkilisan Hassel Nogi., 2003.,
Evaluasi Kebijakan Publik,
Penjelasan Analisis dan
Transformasi Pikiran Nagel,
Balairung & Co., Yogyakarta.
Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
SOFIA ACHNES
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277
Abstrak : Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat. Sedangkan
sehat adalah suatu keadaan dimana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun
tanda-tanda penyakit/kelainan. Oleh karena itu dalam mewujudkan kesehatan masyarakat dalam
menjalankan kehidupannya, pemerintah berupaya melaksanakan program-program kesehatan masyarakat.
Pembangunan di bidang kesehatan Kota Pekanbaru selama lima tahun terakhir ini mengalami
peningkatan yang sangat pesat dengan tersedianya sarana kesehatan yang memadai. Jenis pelayanan yang
diberikan juga bertambah serta akses ke sarana kesehatan dasar sudah dijamin oleh pemerintah Kota
Pekanbaru melalui program pengobatan gratis ke puskesmas. Oleh karena itu, puskesmas menjadi salah
satu sarana pelayanan kesehatan yang menjadi pilihan bagi masyarakat terutama dari masyarakat
golongan ekonomi lemah.
Kata kunci : Implementasi, Pelayanan Kesehatan dan Program Jankesmas
Kesehatan adalah investasi dan hak
fundamental seluruh penduduk, untuk itu
dibutuhkan suatu sistem yang mengatur
pelaksanaan bagi upaya pemenuhan hak
warga negara untuk tetap hidup sehat
dengan mengutamakan pada pelayanan
kesehatan bagi masyarakat yang tidak
mampu. Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah untuk menjamin akses
penduduk miskin terhadap pelayanan
kesehatan. Program pelayanan
kesehatan bagi penduduk miskin telah
dijalankan pemerintah sejak tahun 1998
hingga tahun 2004 yang dikenal sebagai
Jaring Pengaman Sosial Bidang
Kesehatan. Selanjutnya pada Tahun
2005 program tersebut diganti menjadi
Program Asuransi Kesehatan Bagi
Masyarakat Miskin (Askeskin).
Perbedaannya, pada Program Askeskin
bantuan pendanaan tidak salurkan
langsung kepada pihak rumah sakit,
namun memakai pengelola dana yakni
PT.Askes yang membayar rumah sakit
berdasarkan klaim.
Mulai 1 September 2008, nama
Program Askeskin berubah menjadi
Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas). Perubahan mendasar dari
sistem Askeskin ke Jamkesmas antara
lain dana langsung disalurkan dari
Kantor Pusat Kas Negara (KPKN) ke
rekening setiap Puskesmas/Rumah Sakit.
Proses penyaluran dana Jamkesmas
tersebut yaitu dari Kas Negara (KPKN)
ke Puskesmas dan jaringannya melalui
PT. Pos Indonesia atau langsung ke
rekening Rumah Sakit. Anggaran untuk
Program Jaminan untuk Tahun 2008
sebesar Rp 4,6 triliun untuk 76,4 juta
masyarakat miskin dan hampir miskin
25
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
26
berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Tahun 2006.
Pembangunan di bidang kesehatan
Kota Pekanbaru selama lima tahun
terakhir ini mengalami peningkatan yang
sangat pesat dengan tersedianya sarana
kesehatan yang memadai. Jenis
pelayanan yang diberikan juga
bertambah serta akses ke sarana
kesehatan dasar sudah dijamin oleh
pemerintah Kota Pekanbaru melalui
program pengobatan gratis ke
puskesmas. Oleh karena itu, puskesmas
menjadi salah satu sarana pelayanan
kesehatan yang menjadi pilihan bagi
masyarakat terutama dari masyarakat
golongan ekonomi lemah.
Puskesmas Rejosari merupakan
salah satu unit kesehatan yang ada di
Kecamatan Tenayan Raya, Kota
Pekanbaru. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Kota Pekanbaru Tahun 2007,
dalam wilayah Kota Pekanbaru terdapat
sebanyak 14 unit puskesmas. Diantara
puskesmas yang terdapat di wilayah
Kota Pekanbaru, Puskesmas Rejosari
mempunyai jumlah peserta Jamkesmas
relatif tinggi dengan kunjungan rawat
jalan terendah.
Berdasarkan data Profil Dinas
Kesehatan Kota Pekanbaru tahun 2005,
jumlah penduduk yang berada di
Kecamatan Tenayan Raya sebanyak
91.431 jiwa, yang terdiri atas 12.468
KK dimana sebesar 3.126 KK (25,07 %)
merupakan penduduk miskin dengan
kunjungan rawat jalan bagi peserta
Jamkesmas sebanyak 1.808 KK per
tahun dan rata-rata 4,82 % per bulan.
Pada tahun 2006 jumlah penduduk
miskin di Kecamatan Rejosari
meningkat menjadi 4.382 KK dan
kunjungan rawat jalan peserta
Jamkesmas sebanyak 2.441 KK per
tahun dengan kunjungan rata-rata 4,64 %
per bulan Selanjutnya pada tahun 2007
jumlah penduduk miskin menjadi 4.755
KK dan kunjungan rawat jalan 2.635 KK
dengan kunjungan rata-rata per bulan
4,62 % per bulan.
Dari data jumlah kunjungan rawat
jalan peserta Jamkesmas di wilayah kerja
Puskesmas Rejosari di Kecamatan
Tenayan Raya menunjukkan bahwa
rata-rata kunjungan peserta Jamkesmas
masih relatif rendah, karena berdasarkan
program Jamkesmas yang dicanangkan
pemerintah diharapkan rata-rata angka
kunjungan rawat jalan peserta
Jamkesmas sebesar 15 % per bulan.
Untuk melihat keberhasilan suatu
kebijakan, maka sangat bergantung pada
implementasi kebijakan itu sendiri.
Dimana, implementasi menyangkut
tindakan seberapa jauh arah yang telah
diprogramkan itu benar-benar
memuaskan. Akhirnya pada tingkatan
abstraksi tertinggi implementasi sebagai
akibat ada beberapa perubahan yang
dapat diukur dalam masalah-masalah
besar yang menjadi sasaran program.
Perlu diketahui bahwa mempelajari
masalah implementasi kebijakan berarti
berusaha untuk memahami apa yang
senyatanya terjadi sesudah suatu
kebijakan diberlakukan. Menurut
Syaukani dkk (2002 : 295) implementasi
merupakan suatu rangkain aktivitas
dalam rangka menghantarkan
kebijaksanaan kepada masyarakat
sehingga kebijaksanaan tersebut dapat
membawa basil sebagaimana
diharapkan. Rangkaian kegiatan tersebut
mencakup, Pertama, persiapan
seperangkat peraturan lanjutan yang
merupakan interprestasi dari kebijakan
tersbut. Kedua, menyiapkan sumber
daya guna menggerakan kegiatan
implementasi termasuk didalamnya
sarana dan prasarana, sumber daya
keuangan dan tentu saja penetapan siapa
yang bertanggung jawab melaksanakan
kebijaksanaan tersebut. Ketiga,
bagaimana
menghantarkan
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
27
kebijaksanaan secara kongkrit ke
masyarakat.
Implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya,
tidak lebih dan tidak kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik,
maka ada dua pilihan langkah yang ada
yaitu langsung mengimplementasikan
dalam betuk, program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivate
atau turunan dan kebijakan publik
tersebut. (Riant Nugroho, 2003 : 158)
Selanjutnya George C. Edward III
mengidentifikasikan faktor-faktor yang
mempengaruhi
keberhasilan
implementasi kebijakan, yaitu :
1. Komunikasi
2. Sumber daya
3. Sikap para pelaksana (disposisi)
4. Struktur birokrasi (Sujianto, 2008 :
38 – 45)
Maka dari beberapa penjelasan
tentang implementasi yang telah
dilakukan, disimpulkan bahwa
implementasi kebijakan sebagai suatu
proses melaksanakan keputusan
kebijakan yang biasanya dalam bentuk
undang–undang, peraturan- pemerintah,
peraturan daerah dan program-program
pemenintah. Dimana dalam aktivitas ini
bertipa pemyataan tentang tujuan yang
akan dicapai yang dirancang melalui
kegiatan-kegiatan administratif yang
nyata, seperti pendanaan, perencanaan
dan pengorganisasian.
Dalam melaksanakan Program
Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jankesmas) yang merupakan suatu
kebijakan, diibutuhkan keseriusan pihak
pelaksana program dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pelayanan adalah suatu usaha yang
dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang atau instansi tertentu
untuk memberikan bantuan dan
kemudahan pada masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan tertentu ( Thoha,
2001).
Menurut Moenir (1995) pelayanan
adalah kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang
dengan landasan faktor-faktor material
melalui sistem prosedur dan metode
tertentu dalam rangka usaha memenuhi
kebutuhan orang lain sesuai dengan
haknya. Selanjutnya Simorangkir (1997)
mengemukakan bahwa pelayanan
meliputi segala apa yang dapat membuat
para pelanggan senang dan tertarik pada
suatu organisasi atau perusahaan yang
bersangkutan, dimana pelayanan tersebut
antara lain :
1. Menghormati langganan dengan
ramah
2. Menghormati tiap kepentingan
dengan serius dan turut
mengembangkan pemikiran untuk
pemecahannya , jika perlu diberikan
bantuan-bantuan yang nyata.
Sianipar (1999) mengemukakan
bahwa pelayanan adalah cara melayani,
membantu, menyiapkan, mengurus,
menyelesaikan keperluan, kebutuhan
sseorang atau kelompok. Artinya, yang
dilayani adalah masyarakat yang terdiri
dari individu, golongan, organisasi
(sekelompok organisasi).. Pelayanan
dapat diartikan pula sebagai suatu cara
atau teknik memenuhi, menanggapi
kepentingan kebutuhan dan keluhan
orang lain.
Bentuk dan jenis pelayanan
kesehatan banyak macamnya, namun
jika disederhanakan secara umum
dibedakan atas dua macam pelayanan,
yaitu :
1. Pelayanan Kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk
dalam kelompok pelayanan
kedokteran (medical services)
ditandai dengan pengorganisasian
yang dapat bersifat sendiri (solo
practice) tau secara bersama-sama
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
28
dalam suatu organisasi (institution),
tujuan utamanya untuk
menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan, serta sasaran
terutama untuk perorangan dan
keluarga.
2. Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk
dalam kelompok pelayanan
kesehatan masyarakat (public health
service) ditandai dengan cara
pengorganisasian yang umumnya
secara bersama-sama dalam suatu
organisasi , tujuan utamanya untuk
memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit
serta sasarannya terutama untuk
kelompok dan masyarakat (Depkes
RI, 2003)
Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) adalah suatu kesatuan
organisasi fungsional yang langsung
memberikan pelayanan secara
menyeluruh kepada masyarakat dalam
suatu wilayah kerja tertentu dalam
bentuk usaha-usaha kesehatan pokok
(Azwar dalam Effendy, 1996).
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
bertanggungjawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja (Depkes RI, 2004)
Effendy (1998) mengemukakan
bahwa ada tiga fungsi pokok puskesmas,
yaitu :
a) Sebagai pusat pembangunan
kesehatan masyarakat di wilayahnya
b) Membina peran serta masyarakat di
wilayah kerjanya dalam rangka
meningkatkan kemampuan untuk
hidup sehat
c) Memberikan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh dan terpadu
kepada masyarakat di wilayah
kerjanya.
Notoatmodjo (2003) mengemukakan
bahwa pencarian pengobatan di
masyarakat terutama di negara sedang
berkembang sangat bervariasi, hal ini
dapat dilihat sebagai usaha untuk
mengobati sendiri penyakit atau mencari
pengobatan ke fasilitas-fasilitas
pelayanan kesehatan modern seperti ke
puskesmas, perawat, dokter prakrek,
rumah sakit maupun ke pengobatan
tradisional seperti dukun, sinshe dan
lain-lain.
Program Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (Program JPKM)
adalah suatu program jaminan sosial
yang diberikan kepada masyarakat
miskin tanpa adanya kewajiban bagi
masyarakat miskin untuk memberikan
kontribusi premi atau iuran, dimana
dalam menentukannya diperlukan seleksi
atau mean test.
Program JPKM mulai tahun 2005
sampai sekarang dilaksanakan melalui
mekanisme asuransi sosial yang dikelola
oleh PT.Askes (Persero) yang mulai
tahun 2006 dikenal dengan Program
Jamkesmas (Depkes, 2006). Tujuan
Program Jamkesmas adalah untuk
meningkatkan akses dan mutu pelayanan
kesehatan kepada seluruh masyarakat
miskin dan tidak mampu agar tercapai
derajat kesehatan masyarakat yang
optimal secara efektif dan efisien.
Sasaran program ini adalah masyarakat
miskin dan tidak mampu di seluruh
Indonesia yang diperkirakan berjumlah
60.000.000 jiwa berdasarkan data BPS
tahun 2006 (Depkes, 2006).
Manfaat yang disediakan untuk
peserta Askeskin bersifat komprehensif
sesuai dengan indikasi medis. Pelayanan
kesehatan komprehensif tersebut
menurut Depkes (2006) meliputi :
a. Pelayanan kesehatan di Puskesmas
dan jaringannya.
b. Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit
Peserta program Jamkesmas adalah
setiap orang miskin dan tidak mampu
(masyarakat miskin) yang terdaftar dan
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
29
memiliki kartu Jamkesmas dan berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan
(Depkes, 2006). Dimana tingkat
pengetahuan masyarakat akan kesehatan
akan memberikan dampak bagi
kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan. Tingkat pengetahuan
seseorang akan mempengaruhi tingkah
laku seseorang, apabila tingkat
pengetahuan meningkat, maka
meningkat pula kesadaran untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan
kebutuhannya (Pusat Promkes, 2002).
Menurut Notoatmodjo (2001),
pengetahuan merupakan kognitif,
domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang.
Pengetahuan yang mencakup domain
kognitif mempunyai enam tingkatan
yaitu :
1) Tahu (Know) yang diartikan sebagai
pengikat suatu materi yang dipelajari
sebelumnya, ini adalah tingkat
pengethauan yang paling rendah.
2) Memahami (Comprehension) yang
diartikan sebagai kemampuan
menjelaskan secara besar tentang
objek yang diketahui, dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut
secara benar
3) Aplikasi (Aplication) diartikan
senagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah
dipelajari pad ituasi dean kondisi riil
(sebenarnya).
4) Analisis adalah suatu kemampuan
untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalm komponen-komponen,
tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih
berkaitan satu sama lain.
5) Sintesis menunjuk kepada suatu
kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di
dalam keseluruhan yang baru.
6) Evaluasi berkaitan dengan
kemampuam untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau
objek. Pengukuran pengetahuan
dapat dilakukan dengan
menggunakan angket yang
menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subjek penelitian
atau responden.
Menurut Notoadmodjo (2003) sikap
merupakan reaksi atau respon seseorang
yang masih tertutup terhadap stimulus
atau objek. Sikap belum merupakan
tindakan akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku.
Sikap merupakan reaksi tertutup. Sikap
mempunyai tiga komponen yaitu :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan
konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi
terhadap objek
c. Kecendrungan untuk bertindak.
Lebih lanjut Notoadmodjo (2003)
mengemukakan bahwa ke tiga
komponen tersebut secara bersama-sama
membentuk sikap utuh. Sikap terdiri
dari berbagai tingkatan, yaitu :
• Menerima, diartikan bahwa orang
(objek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek)
• Merespon, yaitu memberikan
jawaban bila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang
diberikan adalah suatu indikasi dari
sikap.
• Menghargai, yaitu mengajak orang
lain mengerjakan atau mendiskusikan
suatu masalah adalah suatu indikasi
sikap tingkat tiga.
• Tanggungjawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling
tinggi.
Akses terhadap pelayanan diartikan
sebagai pelayanan yang diberikan tidak
terhalang oleh keadaan geografis, sosial,
ekonomi, budaya dan bahasa. Akses
geografis dapat diukur dengan
transportasi, jarak, waktu perjalanan dan
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
30
hambatan fisik lain yang yang
menghalangi seseorang untuk
memperoleh pelayanan kesehatan.
Akses ekonomi berkaitan dengan
kemampuan memberikan pelayanan
kesehatan yang pembiayaannya
terjangkau oleh pasien. Akses sosial
budaya berkaitan dengan diterimanya
pelayanan yang dikaitkan dengan nilai
budaya, kepercayan dan perilaku.
Aklses bahasa berarti bahwa pelayann
yang diberikan dalam dialek setempat
dan dipahami pasien (Depkes,2006).
Petugas kesehatan mempunyai
peranan sangat penting dalam
membverikan pelayanan kepada
masyarakat khususnya di puskesmas.
Peranan petugas mencakup dalam upaya
preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif (Depkes, 2002).
Peran petugas kesehatan yang
terwujud dalam sikap dan perilaku
kesehatan yang merupakan kelompok
referensi dan perilaku masyarakat yang
juga mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku (Notoadmodjo,
2003). Pelayanan petugas merupakan
proses dari semua kegiatan yang
dilaksanakan secara professional oleh
tenaga kesehatan (dokter, perawat dan
profesi lainnya) dan interaksinya dengan
pasien. baik atau tidaknya pelayanan
yang diberikan dapat diukur dengan
berbagai cara dan salah satunya adalah
dengan dinilai dengan kepuasan pasien
(Wijono,2002).
METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada
Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan Raya , Kota Pekanbaru pada
bulan Juni 2009 dengan menggunakan
metoda survei. Responden dalam
penelitian ini adalah peserta Jamkesmas
yang datang ke Puskesmas Rejosari
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
Data penelitian bersumber dari 50
responden .
Data yang dikumpulkan berupa data
primer dan data sekunder. Data primer
yang dikumpulkan meliputi : variabel
umur, pendidikan, pengetahuan, sikap,
akses pelayanan , pelayanan petugas
kesehatan serta pemanfaatan pelayanan
rawat jalan dari responden di Puskesmas
Rejosari. Data sekunder dikumpulkan
dari Puskesmas Rejosari, meliputi
jumlah pegawai dan struktur organisasi
Puskesmas Rejosari serta data yang
relevan dengan penelitian.
Analisis yang digunakan berupa
analisis deskriptif. Untuk pengujian
hipotesa penelitian, digunakan tabulasi
silang (cross tabulation). Untuk
menentukan pelaksanaan program
Jamkesmas dalam meningkatkan
pelayanan kesehatan keluarga miskin
digunakan indikator keberhasilan dari
Program Jamkesmas yang dtentukan
oleh Departemen Kesehatan RI Tahun
2008 sebagai berikut :
1. Penerbitan dan Pendistribusian Kartu
Peserta Jamkesmas 100 %.
2. Angka utilisasi (visit rate) rata-rata
15 % per bulan.
3. Angka rujukan dari PPK I rata-rata
12 % per bulan.
4. Rata-rata lama perawatan di Rumah
Sakit (LOS) 7 hari.
5. Tingkat kepuasan konsumen minimal
70 %.
6. Cakupan pemeriksaan kehamilan K4
(90 %), persalinan Nakes (90%) dan
perawatan bayi baru lahis KN2
(90%) oleh petugas kesehatan.
HASIL
Berdasarkan indikator keberhasilan
dari Program Jamkesmas yang
ditentukan oleh Departemen Kesehatan
RI, pada Tabel 1 disajikan data tentang
pelaksanaan program Jamkesmas di
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
31
wilayah kerja Puskesmas Rejosari,
Kecamatan Tenayan Raya.
Dapat dilihat pada tabel 1
pelaksanaan Program Jamkesmas di
Puskesmas Rejosari, dimana dari 6
indikator untuk menentukan
keberhasilan dari Program Jamkesmas,
hanya satu indikator yang mencapai
target Progam Jamkesmas yaitu tingkat
kepuasan konsumen (pasien jamkesmas)
yang ternyata mencapai 84 %,
sedangkan target program Jamkesmas
adalah minimal 70 %.
Tabel 1 Pelaksanaan Program
Jamkesmas di Wilayah Kerja
Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan Raya
Indikator Pelaksanaan Target
74 % 100 %
1. Penerbitan dan
Pendistribusian
Kartu Jamkesmas
2. Angka Utilisasi
(visit rate) rata-rata
per bulan.
3. Angka rujukan dari
Puskesmas rata-rata
per bulan
4. Rata-rata lama
perawatan di Rumah
Sakit
5. Tingkat Kepuasan
Pasien (Konsumen)
6. Cakupan
Pemeriksaan
Kehamilan (K4)
7. Cakupan Persalinan
8. Cakupan
Pemeriksaan Bayi
Baru Lahir (KN2)
5,11 %
10 %
5 hari
84 %
80,83 %
76,87 %
66,53 %
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan
15 %
12 %
7 hari
minimal
70 %
90 %
90 %
90 %
Pemanfaatan pelayanan rawat jalan
yaitu hasil dari proses pencarian
pelayanan kesehatan yang dilakukan
pasien Jamkesmas untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan secara gratis di
Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan Raya. Variabel pemanfaatan
pelayanan rawat jalan dijabarkan ke
dalam 5 pertanyaan, masing-masing
pertanyaan diukur dengan 3 pilihan
jawaban. Distribusi responden menurut
kategori pemanfaatan pelayanan rawat
jalan di Puskesmas Rejosari dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Distribusi Responden Menurut
Kategori Pemanfaatan Pelayanan
Rawat Jalan di Puskesmas
Rejosari, Kecamatan Tenayan
Raya, Tahun 2009
No.
1.
2.
3.
Kategori
Pemanfaatan
Pelayanan
Rawat Jalan
Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
Jumlah
Responden
(orang)
12
29
9
Persentase
(%)
24,00
58,00
18,00
Jumlah 50 100,00
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan
Berdasarkan data pada Tabel 2. dapat
dilihat bahwa responden yang
pemanfaatan pelayanan rawat jalan
kategori baik sebanyak 12 orang (24 %),
yang pemanfaatan pelayanan rawat jalan
kategori cukup baik sebanyak 29 orang
(58,00 %) dan yang pemanfaatan
pelayanan rawat jalan kategori kurang
baik sebanyak 9 orang (18,00 %).
Berdasarkan nilai persentase yang
tertinggi, maka dari data pada Tabel 2
kategori responden dalam pemanfaatan
pelayanan rawat jalan di wilayah kerja
Puskesmas Rejosari ternyata termasuk
ke dalam kategori cukup baik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan pelayanan rawat jalan di
Puskesmas Rejosari dilihat dari lima
variabel yaitu : 1). Pengetahuan , 2).
Sikap, 3). Akses dan 4). Pelayanan
petugas. Berikut ini rekapitulasi dari
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
32
No.
1.
2.
3.
4.
faktor-faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan pelayanan kesehatan
responden di Puskesmas Rejosari dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel
Faktor-faktor
Yang
Mempengaruhi
Pemanfaatan
Pelayanan
Rawat Jalan
Pengetahuan
Sikap
Akses
Pelayanan
Petugas
3 Rekapitulasi Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pemanfaatan
Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan
di Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan Raya, Tahun 2009
Baik
16
(32,00)
15
(30,00)
34
(68,00)
12
(24,00)
Kategori
Cukup
Baik
28
(56,00)
31
(62,00)
11
(22,00)
33
(66,00)
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan
Kurang
Baik
6
(12,00)
4
(8,00)
5
(10,00)
5
(10,00)
Total 77 103 20 200
Rata-rata 19
(38,00)
26
(52,00)
5
(10,00)
Jumlah
50
(100,00)
50
(100,00)
50
(100,00)
50
(100,00)
50
(100,00)
Berdasarkan data pada Tabel 3. dapat
dilihat bahwa sebanyak 19 orang (38,00
%) dari responden tergolong kategori
baik faktor-faktor yang mempengaruhi
pemanfaatan pelayanan rawat jalan di
Puskesmas Rejosari. Sebanyak 26 orang
(52,00 %) dari responden tergolong
cukup baik faktor-faktor yang
mempengaruhi pemanfaatan pelayanan
rawat jalan, dan sebanyak 5 orang (10,00
%) dari responden tergolong kurang baik
faktor-faktor yang mempengaruhi
pelayanan rawat jalan. Berdasarkan
nilai persentase yang tertinggi, maka dari
data pada Tabel 3. kategori faktor-faktor
yang mempengaruhi pelayanan rawat
jalan dari responden dalam pemanfaatan
pelayanan kesehatan rawat jalan di
wilayah kerja Puskesmas Rejosari
ternyata termasuk ke dalam kategori
cukup baik.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan tentang Kajian Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
di Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
a. Pelaksanaan Program Jamkesmas di
Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan Raya belum terlaksana
sesuai dengan target yang ditetapkan
oleh Departemen Kesehatan RI.
Pelaksanaan Program Jamkesmas di
Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan Raya, dikaji berdasarkan 6
indikator yang ditetapkan oleh
Departemen Kesehatan RI, dengan
hasil sebagai berikut :
1. Penerbitan dan Pendistribusian
Kartu Jamkesmas sebesar 74 %
2. Angka Utilisasi (visit rate) ratarata
per bulan sebesar 5,11 % .
3. Angka rujukan dari Puskesmas
rata-rata per bulan sebesar 10,00
%.
4. Rata-rata lama perawatan di
Rumah Sakit adalah 5 hari.
5. Tingkat Kepuasan Pasien
(Konsumen) sebesar 84 %.
6. Cakupan Pemeriksaan
Kehamilan (K4) sebesar 80,83
%, Cakupan Persalinan sebesar
76,97 % dan Cakupan Perawatan
Bayi Baru Lahir (KN2) sebesar
66,53 %.
Berdasarkan target yang ditetapkan
Departemen Kesehattan RI, ternyata
hanya indikator tingkat kepuasan
Konsumen (pasien) yang mencapai
target, sedangkan lima indikator lainnya
belum mencapai target.
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
33
b. Pemanfaatan pelayanan kesehatan
rawat jalan pasien Jamkesmas di
wilayah kerja Puskesmas Rejosari,
Kecamatan Tenayan Raya ternyata
berada dalam kategori cukup baik.
c. Variabel yang digunakan untuk
melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi pelayanan rawat jalan
dari pasien Jamkesmas di Puskesmas
Rejosari terdiri dari faktor
pengetahuan, sikap, akses terhadap
pelayanan petugas. Dari ke
empat faktor-faktor yang
mempengaruhi pelayanan rawat jalan
bagi pasien Jamkesmas, ternyata
faktor pengetahuan, sikap dan
pelayanan petugas berada dalam
kategori cukup baik, sedangkan
factor akses terhadap pelayanan
rawat jalan berada dalam kategori
baik.
d. Faktor-faktor yang dominan
mempengaruhi pelayanan rawat jalan
bagi pasien Jamkesmas di
Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan Raya adalah factor sikap
dari pasien Jamkesmas dan faktor
akses dari pasien Jamkesmas
terhadap pelayanan rawat jalan.
e. Hasil analisis tabulasi silang
menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara faktor-faktor yang
mempengaruhi pelayanan rawat jalan
dengan pemanfaatan pelayanan rawat
jalan dari pasien Jamkesmas di
Puskesmas Rejosari. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pelayanan rawat
jalan dari pasien Jamkesmas di
Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan Raya berada dalam kategori
cukup baik dan pemanfaatan
pelayanan rawat jalan dari pasien
Jamkesmas di wilayah kerja
Puskesmas Rejosari, Kecamatan
Tenayan Raya, juga berada dalam
kategori cukup baik.
DAFTAR RUJUKAN
Azwar, A. 1997. Pengantar
Administrasi Negara. Penerbit
PT.Binarupa Aksara. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2003. Pedoman
Penyelenggaraan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan
Keluarga Miskin. Ditjen Bina
Kemas. Jakarta.
_____________. 2004. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Tentang Kebijakan
Dasar Pusat kesehatan
Masyarakat. Jakarta.
_____________. 2006. Pedoman
Pelaksanaan Pemeliharaan
Kesehatan masyarakat miskin.
Jakarta.
Effendi, N. 1998. Dasar-Dasar
Keperawatan Kesehatan
Masyarakat. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Gosperz, V. 1998. Manajemen Kualitas
Dalam Industri. Penerbit
PT.Gramedia. Jakarta.
Kotler, P. 1998. Analisa Perencanaan
Dan Pengendalian. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Ilyas. Y, 2001. Asuransi Kesehatan :
Utilisasi Manajemen Klain dan
Fraud. PT. Gramedia Pustaka
Utama Jakarta.
Moenir, A.S. 1995. Manajemen
Pelayanan Umum. Penerbit
Gunung Agung. Jakarta.
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya
34
Mueller, D. J. 1990. Mengkur Sikap-
Sikap Sosial. Ditrejemahkan oleh
C. Syarifuddin. Fisp Press
Universitas Pasundan Bandung.
Notoadmojo. S. 2003. Pengantar
Pendidikan Kesehatan dan Ilmu
Perilaku Kesehatan PT. Rineka
Cipta. Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S. 1995. Kamus
Umum Bahasa Indonesia.
Penerbit Balai Pustaka. Jakarta.
Prasetio. B. dan Lina M,J. 2005. Metode
Penelitian Kuatitatif. PT. Askes
Raja Grafindo persada. Jakarta.
Sianipar, J.R.G. 1999. Manajemen
Pelayanan Masyarakat. LAN
Republik Indonesia. Jakarta.
Simorangkir. 1997. Etiket Perbankan.
Penerbit Idhil. Jakarta.
Sugiono. 2005. Metode Penelitian
Administrasi. Penerbit
CV.Alfabeta. Bandung.
Sukirno, H.E. 1998. Pelaksanan
Pelayanan Jasa. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Thoha, M. 2001. Perilaku Organisasi.
Penerbit Grafindo Persada.
Jakarta.
Tjiptono, F. 2002. Total Quality
Manajemen. Penerbit Andy
Offset. Yogyakarta.
Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
YASIR
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277
Abstrak : Tujuan dari penilitian ini adalah untuk meneliti perencanaan komunikasi iklan yang bidang
pemerintahan di Propinsi Riau. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui
suatu studi kasus. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan tehnik porposive
sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara
mendalam, observasi dan dokumentasi. Semua aktivitas komunikasi dari pemerintah Propinsi Riau
ditangani oleh Bagian Hubungan Masyarakat. Iklan-iklan itu digunakan untuk mempromosikan kebijakan
di bidang pemerintahan, program kerja dan juga beberapa kejadian yang dikerjakan oleh pemerintah.
Iklan-iklan di bidang pemerintahan dapat ditemukan di dalam papan reklame dan media massa seperti
televisi, radio, surat kabar, suara pembaca, situs web dan sebagainya. Iklan-iklan di bidang pemerintahan
tidak dirancang sembarangan karena iklan tersebut banyak memberikan aspek pengaruh kepada
lingkungan masyarakat. Pengaruh utama dalam perencanaan iklan adalah pola-pola kerja dari aparatur
dan program kerja kepala daerah. Oleh karena itu, masih terlihat kebanyakan masyarakat yang kurang
menghiraukan media iklan yang disampaikan oleh pemerintah dalam upaya memberikan informasi
kepada masyarakat.
Kata kunci : Perencanaan Komunikasi, Media, Iklan, dan Pemerintah
Komunikasi merupakan suatu aspek
yang sangat penting bagi keberhasilan
suatu organisasi untuk mencapai
tujuannya. Bila perusahaan swasta
melakukan komunikasi untuk promosi
produk-produk atau jasa-jasa yang
dihasilkan, pemerintah juga melakukan
komunikasi untuk promosi kebijakan
agar dapat diketahui dan diterapkan di
masyarakat. Keduanya mempunyai
prinsip yang sama yaitu agar segala
produk yang dihasilkan dapat diketahui
oleh masyarakat dan khalayak sebagai
target dari proses komunikasi yang
dilakukan, dan selanjutnya dapat
dikonsumsi ataupun diadopsi.
Produk kebijakan pemerintah yang
sangat besar dari pemerintah Provinsi
Riau adalah kebijakan, program
pembangunan dan visi Riau 2020. Usaha
yang dilakukan untuk
mengomunikasikan visi tersebut di
antaranya dengan menggunakan media
komunikasi, seperti: televisi, koran, dan
juga papan pengumuman (billboard)
yang banyak ditemui di persimpangan
jalan, pinggiran jalan-jalan utama
maupun di tempat umum lainnya. Di
samping itu, saluran komunikasi lainnya
juga dilakukan seperti penggunaan
metode humas (pers release, periklanan,
pameran dll), komunikasi publik ,
seminar, workshop, dan lain sebagainya.
Pemilihan media dan saluran komunikasi
tersebut adalah upaya yang dilakukan
pemerintah untuk menyampaikan
kebijakan dan program-program
pembangunan.
Umumnya media komunikasi iklan
yang dipilih dan dibuat oleh pemerintah
Provinsi Riau tersebut tidak banyak
menarik perhatian masyarakat. Hal ini
sangat berbeda bila dibandingkan
dengan iklan swasta secara umumnya
yang bersifat komersil yang memiliki
35
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
36
daya tarik di kalangan khalayak.
Sebaliknya, iklan-iklan yang dibuat dan
milik pemerintah sangat kontras dengan
iklan swasta. Kebanyakan iklan produk
pemerintah cenderung kurang menarik,
banyak memakai kata-kata, pilihan
warna yang tidak menarik perhatian,
lebih banyak menampilkan tokoh
pemimpinnya dan umumnya penempatan
media iklan tersebut kurang tepat sama
sekali. Tampilan media iklan pemerintah
tersebut dapat terlihat dari sosialisasi
program-program pembangunan
pemerintah dalam media billboard. Iklan
pemerintah lebih kompleks
dibandingkan dengan iklan swasta yang
komersil. Kompleksitas media iklan
layanan masyarakat milik pemerintah
mencerminkan banyaknya kepentingan
politik, minimnya kreatifitas
pengembangan ide iklan, dan
keterbatasan sumber daya manusia yang
berkeahlian.
Realitas media iklan pemerintah
tidak hanya didasarkan pada iklan
billboard di atas saja, akan tetapi juga
pada beberapa penggunaan media-media
lain yang banyak dijumpai baik media
cetak maupun media elektronik. Ada
banyak hambatan dalam proses
komunikasi untuk menyampaikan pesan
tersebut sehingga komunikasi tidak
efektif. Bila media komunikasi tidak
efektif, tujuan yang diharapkan dari
sebuah komunikasi pasti tidak akan
tercapai.
Komunikasi pemerintah ke
masyarakat sangat tergantung pada
kemampuan pemerintah dalam
mengelola komunikasi dan menagkap
aspirasi masyarakatnya. Tentunya dalam
hal ini termasuk pengelolaan iklan-iklan
pemerintah. Bentuk dan pesan media
komunikasi pemerintah dalam
memasarkan ide atau gagasan kebijakan
patut menjadi perhatian masyarakat.
Karena itu semua menyangkut
kepentingan publik dan kepentingan
masyarakat. Dana masyarakat yang
dipakai akan sia-sia saja untuk
pembuatan iklan dan proses komunikasi
tersebut jika tidak mendatangkan hasil
nyata perubahan di masyarakat.
Proses perencanaan periklanan
adalah sebuah proses tersendiri dalam
fungsi pemasaran produk atau jasa
bahkan tentang kebijakan. Terkait
dengan ini, Lee dan Jhonson (2004 :
156) menguraikan enam langkah
perencanaan periklanan. Pertama,
mengulas rencana pemasaran. Kedua,
analisis situasi internal dan eksternal
perusahaan (organisasi). Ketiga,
menentukan tujuan periklanan. Keempat,
mengembangkan dan melaksanakan
strategi periklanan atau kreatif yang
mencakup : khalayak sasaran, konsep
produk atau jasa, media periklanan dan
pesan periklanan. Kelima,
mengembangkan dan melaksanakan
strategi media; dan keenam,
mengevaluasi efektifitas periklanan.
Masalah utama penelitian ini adalah
bagaimana memaksimalkan perencanaan
komunikasi iklan Pemerintah Provinsi
Riau. Oleh karena itu, penelitian ini
mempunyai beberapa tujuan. Pertama,
untuk mengetahui perencanaan
komunikasi iklan-iklan pemerintah
Provinsi Riau. Kedua, untuk
menganalisis media-media komunikasi
iklan yang digunakan pemerintah
Provinsi Riau dalam mempromosikan
program pembangunan. Ketiga, untuk
menjelaskan efektifitas media
komunikasi iklan yang digunakan oleh
pemerintah Provinsi Riau dalam
menyosialisasikan
program
pembangunan.
Urgensi penelitian ini adalah agar
dapat memberikan sumbangan berupa
temuan-temuan baru bagi ilmu
komunikasi khususnya bidang
manajemen komunikasi. Penelitian ini
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
37
diharapkan berguna untuk memberikan
kontribusi dan bahan rekomendasi dalam
setiap proses pengambilan keputusan
dan penetapan strategi, kebijakan, dan
tindakan komunikasi yang tepat,
khususnya dalam memperbaiki
perencanaan komunikasi dalam
pembuatan media komunikasi iklan
pemerintah.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Menurut Bodgan
dan Taylor (dalam Moleong, 2000 : 3)
metode kualitatif ini merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. Pendekatan ini
diarahkan pada latar individu tersebut
secara holistik (utuh atau menyeluruh).
Selain itu, penelitian ini
menggunakan penelitian kualitatif
dengan tradisi penelitian studi kasus.
Creswell (1998 : 61) dan Yin (1981 : 23)
menjelaskan bahwa studi kasus
merupakan penelitian empiris yang
menyelidiki dan menguraikan fenomena
kontemporer dalam konteks kehidupan
nyata, ketika batasan antara fenomena
dan konteks tidak terbukti secara jelas,
dengan menggunakan berbagai sumber
termasuk observasi, wawancara, materi
audio-visual, dan dokumen atau laporan.
Dalam hal ini, peneliti studi kasus
berupaya menelaah sebanyak mungkin
data mengenai subjek yang diteliti
melalui sumber-sumber tersebut.
Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan interaksi simbolik. Meskipun
interaksionisme simbolik merupakan
perspektif teoritis, namun ia bisa
sekaligus menjadi orientasi metodologis.
Mulyana (2001 : 148) mengatakan
bahwa interaksionisme simbolik
termasuk ke dalam salah satu dari
sejumlah tradisi penelitian kualitatif
yang berasumsi bahwa penelitian
sistematik harus dilakukan dalam suatu
lingkungan yang alamiah alih-alih
lingkungan yang artifisial seperti
eksperimen.
Subjek penelitian ini adalah pegawai
pemerintah yang berada di bagian
kehumasan dan bagian yang terkait
dengan komunikasi pemerintah, serta
beberapa masyarakat dan wartawan.
Pemilihan informan dilakukan dengan
menggunakan teknik sampel purposif.
Sedangkan objek penelitian ini adalah
optimasi perencanaan komunikasi iklan
pemerintah Provinsi Riau.
Terkait dengan ini, adapun teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah wawancara, observasi dan
dokumentasi. Dalam upaya memperoleh
data yang akurat tentang penelitian ini,
peneliti melakukan wawancara dengan
informan. Dalam penelitian ini
wawancara yang digunakan adalah
wawancara mendalam (in-depth
interview) atau wawancara tak
tersetruktur. Wawancara tak terstruktur
ini mirip dengan percakapan informal
(Mulyana, 2002 : 180 - 181). Maksud
mengadakan wawancara menurut di sini
antara lain: mengkontruksikan mengenai
orang, kejadian, kegiatan, organisasi,
perasaan, tuntunan, kepedulian, dan lainlain.
Wawancara juga dilakukan dengan
maksud untuk memverifikasikan dan
khususnya untuk menentukan keabsahan
data dari apa yang telah dan akan
diobservasi. Untuk medukung dan
memperkuat, peneliti juga menggunakan
teknik dokumentasi, ini dilalukan dengan
menganalisis beberapa dokumen seperti
berita koran, artikel majalah, brosur,
buletin, dan foto-foto.
Analisis dan pembahasan dilakukan
dengan menggunakan metode
komparatif atas hasil wawancara dengan
informan, analisis dokumen serta
sekaligus membandingkan dengan hasil
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
38
observasi yang dilakukan. Menurut
Miles dan Huberman (1992 : 16) bahwa
analisis kualitatif tetap menggunakan
kata-kata, yang biasanya disusun
kedalam teks yang diperluas. Data yang
diperoleh dari lapangan dilakukan
analisis melalui tahap-tahap :
kategorisasi dan mereduksi data, data
yang dikelompokkan selanjutnya disusun
dalam bentuk narasi-narasi, melakukan
interpretasi pada data dan pengambilan
kesimpulan berdasarkan narasi. Metode
penelitian ini didasarkan pada analisis
data kualitatif yang merupakan upaya
yang berlanjut, berulang dan terusmenerus.
Untuk mendapatkan keabsahan data
(data trustworthiness) maka diperlukan
teknik pemeriksaan sesuai kondisi yang
ada. Pelaksanaan teknik pemeriksaan
didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu
antara lain adalah adanya derajat
kepercayaan / kredibilitas (Moleong,
2000 : 173). Teknik untuk memeriksa
atau mengukur tingkat kredibilitas
penelitian ini maka peneliti
menggunakan beberapa hal: 1)
ketekunan pengamatan; 2) triangulasi;
dan 3) pengecekan sejawat, melalui
diskusi dengan tim peneliti.
HASIL
1. Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Provinsi Riau
Sebagian besar kegiatan komunikasi
Pemerintah Provinsi Riau lebih banyak
dilakukan dengan pendekatan
kehumasan dan beberapa kegiatan
komunikasi dengan melalui periklanan.
Pesan-pesan yang disampaikan
pemerintah melalui iklan umumnya
adalah adalah promosi kebijakan tentang
visi Riau 2020, program pembangunan,
kasus penaggulangan kebakaran hutan,
ketahanan pangan, kasus penanganan
narkoba, kasus Flu burung, termasuk
promosi kegiatan-kegiatan seperti
Sukseskan PON XVIII di Riau, Riau
Expo, atau ucapan selamat gubernur
ketika Ulang Tahun Riau atau Republik
Indonesia, Idul Fitri atau Idul Adha, dan
lain sebagainya. Pilihan media
komunikasi iklan yang dibuat oleh
pemerintah Provinsi Riau untuk
menyampaikan program-program
tersebut adalah dengan melalui media
luar ruang dan hanya beberapa dengan
media televisi atau radio lokal.
Hampir semua kegiatan komunikasi
yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
Riau dipusatkan pada bagian hubungan
masyarakat. Memang ada dinas-dinas
atau satuan kerja Pemerintah Provinsi
Riau yang membuat iklan, namun
umumnya selalu dilakukan koordinasi
dengan bagian Humas di pemerintahan
provinsi. Seperti Dinas Perikanan
Pewmprov. Riau membuat iklan ”Makan
Ikan” dengan sasaran komunikasi anakanak
yang diperankan oleh Fahri
Semekot. Iklan lainnya adalah promosi
pemerintah melalui Dinas Pemuda dan
Olah Raga Provinsi Riau tentang
Sukseskan PON ke XVIII di Provinsi
Riau, dan lain-lainnya.
Dalam hal ini, sebagai institusi yang
banyak berperan dalam menangani
sebagian besar komunikasi pemerintah
provinsi, bagian humas selalu
berhubungan dengan dinas dan satuan
kerja lainnya. Bila ada dinas yang mau
berencana membuat iklan sesuai
kebutuhannya, bagian humas ini hanya
menambahi beberapa pesan atau bahkan
cukup sekedar berkoordinasi saja.
Keberadaan bagian ini didasarkan pada
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005
tentang pembentukan, susunan
organisasi dan tata kerja Sekretariat
Daerah Provinsi Riau. Bagian ini
mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan, pekerjaan dan kegiatan
penyediaan dukungan dan bantuan
dalam rangka membina hubungan
pemerintah daerah dengan masyarakat,
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
39
hubungan dengan pers, publikasi dan
dokumentasi, menciptakan komunikasi
dua arah dan kerjasama yang serasi dan
dinamis dengan masyarakat, memantau
dan menampung aspirasi dan opini yang
berkembang dalam masyarakat,
memberikan keterangan pers sesuai.
Dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya, bagian humas mempunyai
beberapa subbagian lebih kecil yaitu:
subbagian hubungan masyarakat,
subbagian hubungan pers, subbagian
publikasi dan dokumentasi, dan
subbagian khusus. Sub-bagian khusus ini
juga sering melakukan kegiatan lelang
berkaitan proyek yang ada di Biro
Pemerintahan dan Humas. Pelelangan ini
terkait dengan kegiatan dan proyek yang
dilakukan oleh Bagian Humas
Sekretariat Daerah Provinsi Riau.
Kegiatan dan proyek ini adalah terkait
dengan pembuatan even-even atau media
komunikasi atau iklan yang diperlukan
pemerintah provinsi.
Sebagai ujung tombak, bagian humas
paling bertanggung jawab dan berperan
untuk mengkomunikasikan semua pesanpesan
termasuk memilih medianya.
Namun kenyataanya adalah pilihan
saluran dan media pemerintah tidak
memiliki daya tarik masyarakat. Hal ini
tentu sangat berbeda bila dibandingkan
dengan iklan-iklan swasta yang secara
umumnya yang bersifat komersil yang
memiliki daya tarik di kalangan
khalayak. Iklan produksi perusahaan
swasta kebanyakan menggunakan
billboard didesain dalam bentuk warna
yang menarik, isi pesan padat,
menggunakan sedikit kata, ditulis
dengan huruf berukuran besar, sehingga
mudah dibaca dari jarak jauh dan
ditempatkan di lokasi yang sangat
strategis.
Ini sangat berbeda dengan iklan
pemerintah yang kurang menarik
tampilannya. Oleh karena itu, iklan-iklan
pemerintah sangat kontras dengan iklan
swasta. Kebanyakan iklan-iklan produk
pemerintah apakah media luar ruang atau
media dalam ruang memiliki desainnya
kurang menarik, pesannya tidak jelas,
memakai bayak kata-kata, terkadang
tulisan dibuat dengan ukuran kecil,
pilihan warna kurang menarik perhatian,
lebih banyak menampilkan pemimpin
daerah dengan foto yang besar, dan
tempat media iklan tersebut kurang
strategis.
Diantara contoh iklan pemerintah
yang bisa ditemukan adalah billboard
besar yang memiliki pesan “Mari
Sukseskan Pekan Olahraga Nasional
(PON) XVIII tahun 2012 di Provinsi
Riau. Iklan ini memiliki dua versi
dengan dominasi gambar Gubernur Riau
Rusli Zainal yaitu versi gubernur berbaju
putih dengan mengangkat dua tangan
dan gubernur berbaju kuning dengan
mengepalkan tangan. Kedua-duanya
lebih terkesan menonjolkan ketokohan
sang gubernur dibanding penonjolah
terhadap pesan PON itu sendiri. Nama
Gubernur HM Rusli Zainal di bawah
fotonya ditulis dengan warna yang
sangat jelas.
Tegasnya, keberadaan dan
kemunculan media iklan-iklan
pemerintah tersebut lebih mencerminkan
banyaknya kepentingan dan pengaruh
yang terkandung di dalamnya. Media
iklan minim kreatifitas pengembangan
ide, staf humas dan sumber daya
manusia yang berkeahlian atau mahir
dalam merancang dan membuat iklan
sangat terbatas. Sehingga tidak heran
iklan yang dibuat tampil dengan apa
adanya. Oleh karena itu, berbagai faktor
tersebut sepertinya membuat media iklan
pemerintah sedikit lebih kompleks dalam
produksinya dibandingkan milik swasta.
Berkaitan dengan ini, iklan-iklan
komunikasi atau promosi pemerintah
Provinsi Riau tentang kebijakan dan
program pembangunan lebih cenderung
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
40
bermuatan pesan politis. Ini banyak
ditemukan terutama pada masa-masa
akhir priode pertama kepemimpinan
Gubernur Rusli Zainal. Kebijakan
pemerintah terlihat dari banyaknya dana
yang mengucur di bagian Humas
Pemerintah Provinsi Riau, dan juga di
bagian humas di masing-masing satuan
kerja di Pemerintah Provinsi Riau.
Dalam hal ini, Kepala Biro Humas dan
Pemerintahan Provinsi Riau menjelaskan
bahwa bila pada era Rusli Zainal
anggaran untuk Biro Humas saja dalam
setahun sekitar 18 miliar rupiah, namun
pada masa peralihan ke Wan Abu Bakar
Cuma dianggarkan 5,4 miliar saja
(wawancara, Zulkarnain, 23 September
2009).
Tidak heran bila pada masa-masa
periode menjelang pencalonan Rusli
Zainal menjadi gubernur untuk priode
kedua, banyak bertebaran media-media
komunikasi yang umumnya banyak
menampilkan gambar sang gubernur,
namun intensitas media ini sangat
berkurang jumlahnya ketika Wan Abu
Bakar menggantikan dan saat Rusli
Zainal sudah terpilih sekarang ini.
Sehingga banyak sekali pada waktu itu
media iklan-iklan seperti billboard atau
baliho dapat ditemukan di persimpangan,
pinggir jalan, dan tempat-tempat umum
lainnya. Begitu juga dengan media
massa yang ada di Riau baik yang di
media cetak maupun yang elektronik
semuanya memberitakan kegiatan sang
gubernur.
Kegiatan komunikasi ini sangat
terstruktur dan kadang tanpa disadari
oleh pegawai di humas maupun di
masyarakat. Untuk menjelaskan ini, ada
struktur dan pola pengaruh antara
pegawai dan pembuat iklan dengan sang
gubernur, yang nantinya mempengaruhi
iklan yang dihasilkan. Pertama, pola
hubungan yang bersifat untuk mencari
perhatian atau mencari muka, bawahan
memiliki inisiatif. Bawahan lebih aktif
daripada atasan. Kedua, pola kebiasaan
dan mengikuti aturan sebagai pelayan
pemimpin. Pegawai melakukan karena
sebuah kewajiban atau merupakan tugas
yang harus dilaksanakan. Jadi
hubungannya adalah memberikan
pelayanan terhadap atasan atau
pemimpin. Bawahan berbuat karena
permintaan pemimpin, maka ia harus
melakukan pekerjaan seperti apa adanya.
Oleh karena itu, pola hubungan
antara atasan (gubernur) dengan
pembuat iklan mempengaruhi iklan-iklan
yang dihasilkan. Implikasinya adalah ke
proses perencanaan kegiatan komunikasi
atau periklanan yang dilakukan oleh
pemerintah Provinsi Riau. Secara
struktural, disadari atau tidak, pengaruh
institusi dan pemimpin sangat
mendominasi semua bentuk komunikasi
yang dihasilkan oleh bawahannya.
Termasuk dalam hal ini adalah iklaniklan
yang dihasilkan dan dibuat oleh
pegawai pemerintah. Bahkan yang
dibuat biro iklan atau media massa pun
banyak diintervensi oleh kepentingan
kekuasaan, seperti halnya dominasi
gambar Gubernur Provinsi Riau yaitu
Rusli Zainal dalam semua media yang
ada.
Di sisi yang lain, iklan-iklan
produksi pemerintah sering juga muncul
di stasiun televisi swasta lokal RTv dan
televisi publik lokal TVRI Pekanbaru.
Seperti halnya iklan Dinas Perikanan
yang menampilkan model Fakhri
Semekot yang berperan sebagai anak
kecil. Pesan iklan tersebut adalah untuk
mengajak anak-anak untuk rajin makan
ikan. Padahal pesan iklannya adalah
dengan makan ikan membuat anak
tumbuh sehat dan pintar. Namun bintang
atau modelnya adalah seorang yang
memiliki tubuh kecil dan pendek yang
hanya memiliki tinggi semester kotor
(SemeKot). Sehingga iklan ini sering
dimaknai masyarakat, orang yang rajin
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
41
makan ikan saja tubuhnya tidak mau jadi
lebih besar.
Dalam hal ini, Biryanto Staff Humas
Provinsi Riau, menjelaskan bahwa kami
jarang bahkan tidak pernah melakukan
analisis sampai begitu mendalam hanya
untuk pembuatan iklan-iklan tertentu
atau penyampaian pesan untuk kegiatankegiatan
khusus. Lagi pula media iklan
yang dibuat oleh dinas-dinas yang ada di
provinsi umumnya hanya untuk
mengkoordinasikan dan meminta
persetujuan saja (wawancara Biryanto,
20Agustus 2009).
Proses komunikasi dalam pembuatan
iklan umumnya tidak dengan melakukan
analisis masalah dan khalayak dengan
disertai pengumpulan data dengan baik.
Sehingga terlihat hasil media iklan yang
dibuat terkesan asal-asalan. Memang
iklan di billboard umumnya tidak
berlangsung lama, pemajangannya
sekitar dua mingggu yaitu seminggu
sebelum acara dan seminggu sesudah
acara. Paling lama rata-rata 3 bulan
untuk beberapa baliho-baliho tertentu.
Namun demikian sebenarnya ada yang
lebih dari setahun media yang dipajang,
seperti yang dapat ditemukan di
persimpangan jalan Garuda Sakti.
Billboard ini berbentuk segi tiga,
memiliki warna kusam dengan isi pesan
tentang Visi Riau 2020. Billboard yang
dipersimpanan seperti ini mestinya lebih
besar, atau kalau ingin menarik perhatian
mestinya harus dengan warna yang
menarik. Bila melihat billboard ini
terkesan pemerintah, dalam hal ini
Humas tidak melakukan proses evaluasi
untuk meperbaiki iklan dan media yang
telah digunakan. Padahal media iklan
seperti ini memiliki pesan yang sifatnya
jangka panjang dan berkelanjutan.
Iklan yang memiliki misi untuk
jangka panjang, mestinya lebih ditangani
dan dikelola dengan baik dari pada
iklan-ilan yang bersifat temporer untuk
acara atau even-even khusus saja. Iklan
di media massa pun sangat standar dan
biasa. Seperti di media massa cetak
umumnya menggunakan prosedur yaitu:
Humas buat surat order ke media massa
cetak terkait, kemudian media memuat
pesan iklan dan/atau memberitakannya,
setelah itu baru media bersangkutan
memberikan tagihan ke Humas
Pemerintah Provinsi Riau yang
prosesnya dengan mengajukan bukti
nota pembayaran ke bapak Sekretaris
Daerah (Sekda).
2. Media-media Komunikasi Iklan
Pemerintah Provinsi Riau
Media komunikasi yang digunakan
oleh pemerintah Provinsi Riau sangat
bervariasi namun masih sangat terbatas.
Dominasi media iklan pemerintah adalah
dengan media luar ruang , menggunakan
bilboard yang umumnya dipajang di
jalan-jalan utama ataupun di beberapa
tempat yang sesuai berdasarkan
wewenang yang dimiliki. Dalam hal ini,
banyak media komunikasi yang bisa
digunakan sebagai media alternatif
(media kecil dan sederhana) seperti:
bros, baju kaos, brosur, pin, stiker dan
lain sebagainya. Intinya pesan iklan atau
komunikasi yang akan disampaikan
dapat mudah diterima karena perbedaan
media yang digunakan. Media-media
seperti ini ini dapat diberikan setelah
kegiatan acara-acara khusus pemerintah
untuk dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat sesuai tema-tema
pembangunan yang ada.
3. Media Luar Ruang
Media luar ruang yang digunakan
Pemerintah Daerah Provinsi Riau untuk
iklan yaitu billboard atau baliho.
Umumnya billboard atau baliho tersebut
didesain oleh subbagian publikasi dan
dokumentasi yang dalam mencetaknya
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
42
diserahkan pada percetakan. Baliho dan
spanduk yang dibuat Humas Sekretariat
Daerah Provinsi Riau berisi kebijakan
dan program-program Pemerintah
Provinsi Riau, akan tetapi dalam
kenyataanya baliho yang dibuat lebih
banyak menampilkan profil gubernur
dibandingkan pesan utamanya. Humas
Sekretariat Daerah Provinsi Riau
memang lebih cenderung
mengkomunikasikan profil gubernur,
karena Sekretariat Daerah Provinsi Riau
bertugas untuk membantu gubernur
dalam menjalankan pemerintahan dari
atasan.
Lokasi pemasangan baliho banyak
ditemukan antara lain di halaman
pelataran parkir kantor gubernur, di
samping Balai Dang Merdu, di Jalan
Diponegoro, di Sekitar jalan Sudirman,
pertigaan menuju bandara, dan masih
banyak lagi. Baliho ini akan banyak
ditemukan khususnya pada even-even
khusus yang diselenggarakan Pemerintah
Provinsi Riau seperti pada Riau Expo
atau acara dan program khusus lainnya.
Pemasangan baliho atau bilboard
umumnya bersifat sementara, setelah
kegiatan selesai dilakukan maka baliho
akan dilepas kembali. Hanya sedikit
baliho atau bilboard yang bersifat
permanen, seperti yang berisikan Visi
Riau 2020 dan himbauan-himbauan
penting yang dipasang untuk menjaga
area kehutanan, anti narkoba dsb. Baliho
yang dibuat oleh Humas Sekretariat
Daerah Provinsi Riau selain
menampilkan kebijakan pemerintah juga
menampilkan kegiatan yang
dilaksanakan Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Provinsi Riau.
4. Media Massa (televisi, radio dan
koran)
Sebagian dari iklan-iklan pemerintah
ada yang dimuat di beberapa media lokal
seperti di RTv dan TVRI Riau atau
radio-radio lokal. Sebagian besar iklan
yang disiarkan oleh media-media
tersebut dibuat sendiri oleh Humas
Sekretariat Daerah Provinsi Riau.
Namun demikian ada yang dibuat
dengan cara menjalin hubungan
kemitraan dengan media massa, baik
media cetak dan media elektronik
bahkan dalam lingkup media nasional.
Seperti Iklan Dinas Kehutanan Provinsi
Riau mempercayakan iklannya kepada
Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 1
Pekanbaru, dan untuk pembuatannya
diserahkan kepada Radio 90,1 FM
tersebut.
Hubungan kemitraan yang dijalin
Humas Sekretariat Daerah Provinsi Riau
dengan pihak pers dilaksanakan agar
media massa dapat menyebarluaskan
informasi mengenai aktivitas, kebijakan,
dan program Pemerintah Provinsi Riau
kepada masyarakat. Humas memberikan
data dan informasi berupa agenda
gubernur dan wakil gubernur, release
kegiatan gubernur, pidato gubernur,
dokumentasi berupa foto dan video
kegiatan yang dilaksanakan. Bentuk
Iklan seperti ini dibayar dalam bentuk
kontrak sesuai waktu, seperti ditemukan
di ”Pro Riau” dalam Riau Pos.
Pemerintah tidak banyak membuat
media iklan untuk mengkomunikasikan
kebijakan, melainkan lebih banyak
dengan menjalin kerjasama dengan
wartawan sebagai mitra kerja dari
Pemerintah Provinsi Riau. Sehingga
mereka juga sering mendapatkan
fasilitas seperti uang saku dan
penyediaan transportasi untuk kegiatan
peliputan. Berkaitan dengan dengan ini,
pemerintah menganggarkan dana yang
cukup besar untuk kegiatan-kegiatan
yang berguna menjalin hubungan baik
dengan media pers.
5. Website
Humas Sekretariat Daerah Provinsi
Riau pada awal tahun 2008 membuat
sebuah website yaitu
www.humasriau.com yang berisi release
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
43
mengenai kegiatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Riau, galeri foto, pidato
gubernur, peraturan daerah dan
tanggapan masyarakat. Release dan
galeri foto yang ada pada website humas
tersebut berisi informasi mengenai
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Provinsi Riau terutama
Gubernur Riau. Dalam hal ini isi pesan
pemerintah tidak hanya dalam bentuk
iklan, namun lebih banyak memuat
dalam bentuk berita dan release.
6. Efektifitas dan Optimasi Media
Komunikasi Iklan Pemerintah
Provinsi Riau
Media memiliki kekuatan yang
sangat besar dalam mempengaruhi citra
dan pola pikir masyarakat. Pemilihan
dan pengguaan media iklan dalam
penyampaian pesan-pesan pembangunan
dan promosi kebijakan pemerintah akan
lebih efektif jika disampaikan dengan
benar. Realitas keberadaan iklan
pemerintah tidak banyak menarik
perhatian masyarakat apalagi untuk
membangkitkan kesadaran masyarakat.
Dengan kata lain, iklan pemerintah tidak
dibuat secara maksimal.
Kurang optimalnya media iklan
pemerintah ini mengindikasikan ada
banyak hambatan dalam proses
perencanaan komunikasi iklan. Otomatis
komunikasi yang disampaikan menjadi
tidak efektif. Bila media tidak efektif,
tentu tujuan yang diharapkan dari sebuah
rencana komunikasi pasti tidak akan
efektif. Tempat tidak pada lokasi yang
strategis dan pesan kurang didesain
dengan baik juga akan mempengaruhi
keberhasilan iklan. Selain itu, iklan tidak
akan efektif jika tidak pernah dilakukan
evaluasi.
Minimnya dampak yang ditimbulkan
media komunikasi iklan pemerintah di
masyarakat merupakan indikasi kurang
efektifnya iklan pemerintah. Banyak
media seperti iklan pemerintah hanya
sekedar proyek, terkesan dibuat asalasalan.
Media iklan pemerintah ini
adalah menyangkut kepentingan publik
dan kepentingan masyarakat. Dana yang
digunakan adalah dana negara yang
jumlahnya cukup besar. Jika hanya
untuk sosialisasi kegiatan-kegiatan yang
bersifat temporer atau kepentingan
sesaat, tentu mubazir dan sia-sia. Oleh
karenanya, iklan pemerintah sudah
semestinya dapat mendatangkan hasil
nyata bagi perubahan kesadaran dan
perilaku di masyarakat.
Pesan iklan bilboard mestinya
singkat dan disampaikan secara jelas.
Harus dapat dibaca setidaknya dalam
tujuh detik. Menggunakan huruf yang
mudah terbaca dari jarak yang relatif
jauh, serta menggunakan warna yang
tepat sebagai pendukung. Abdul Ghafur
yang berprofesi sebagai dosen di UIN
Suska, memiliki komentar ”menurut
saya iklan-iklan pemerintah Provinsi
Riau agak buruk. Bagaimana tidak,
beberapa iklan kurang menarik untuk
dilihat bahkan ada yang sudah rusak.
Kalau adapun yang baru cepat sekali
diganti-ganti, hanya untuk sesaat saja.
Terkadang tulisannya terlalu banyak
untuk dibaca, ya kurang menariklah”
(wawancara, 2 Oktober 2009).
Umumnya iklan pemerintah dinilai
oleh sebagian masyarakat sangat buruk,
dari pilihan warna, pilihan lokasi, pilihan
model iklan, hingga pilihan pesan yang
disampaikan. Iklan pemerintah memang
kurang menarik untuk dibaca, disamping
itu terkesan hanya membuang-buang
uang karena sifatnya hanya untuk
promosi sesaat seperti pada acara-acara
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
44
Pimpinan/
atasan dan
struktur/hubung
an dengan
atasan
khusus saja. Padahal uang yang sudah
dibelanjakan cukup banyak jumlahnya.
Sementara iklan yang permanen dengan
jangka waktu lama, umumnya tidak
menarik untuk dilihat seperti pada iklan
visi Riau 2020.
Pemerintah Provinsi Riau terlihat
kurang memperhatikan bentuk-bentuk
komunikasi untuk promosi kebijakankebijakan
atau program pemerintah yang
berjangka panjang. Media-media yang
digunakan untuk promosi tidak memiliki
efektifitas dan dampak yang jelas. Hal
ini disebabkan kurang menarik bagi
masyarakat, karena didesain dalam
bentuk yang kurang maksimal. Dalam
hal ini, Humas sebagai penyampai pesan
dan yang mengkoordinasikan semua
komunikasi pemerintah provinsi tidak
memaksimalkan fungsinya untuk
merencanakan dan mengevaluasi
komunikasi dan pilihan media-media
yang digunakan.
Gambar 1
Model komunikasi Iklan
Pemerintah Provinsi Riau
Kebijakan dan program
Pemerintah Provinsi Riau
serta even-even khusus
lainnya
Efek iklan sangat tergantung pada
banyak hal, semakin iklan
memperhatikan aspek yang
mempengaruhi maka semangkin
efektiflah komunikasinya. Namun
demikian iklan Pemerintah Provinsi Riau
memiliki realitas yang sangat kompleks,
karena memiliki dimensi politis.
Dimensi inilah yang sering menghambat
pesan komunikasi. Iklan pemerintah di
sisi lain memiliki efektivitas.
Efektifitasnya dapat diukur dari pesan
yang ada di sebalik media tersebut, yaitu
dominasi pemimpinnya untuk tampil
disetiap gambar atau iklannya. Secara
otomatis semakin gencar media yang
dipakai dengan memakai berbagai media
dan saluran komunikasi, semakin
berpengaruh pesannya politisnya.
Pemerintah melalui humas sebelum
melakukan kegiatan komunikasi harus
membuat perencanaan komunikasi yang
baik. Proses perencanaan harus
berorientasi pada khalayak, bukan
berorientasi pada pemimpin atau
pemerintah. Sehingga pesannya adalah
pesan untuk kepentingan masyarakat
luas bukan untuk kepentingan pemimpin
atau sekelompok orang saja. Dengan
membuat evaluasi secara menyeluruh
terhadap proses komunikasi; pengaruh
komunikator, pesan, media dan
perubahan sikap atau perilaku
masyarakat, tentu akan menghasilkan
iklan yang baik.
Iklan dibuat
Humas/dinas
Pemerintah
Provinsi Riau
Evaluasi kerja
melalui
kliping
Iklan melalui
Billboard, baliho,
spanduk, televisi
dan radio lokal,
koran, website, dll.
Respons
dari
masyarakat
Publik/
masyarakat
SIMPULAN
Komunikasi Pemerintah Provinsi
Riau tentang kebijakan dan program
pembangunan melalui iklan adalah pesan
yang baik. Namun desain medianya
kurang maksimal, sehingga jarang
mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Selain itu pesan juga kurang
tersampaikan dengan baik karena pesan
lebih banyak bermuatan politis. Iklan
pemerintah seperti ini umumnya
menonjolkan ketokohan sang gubernur
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
45
dibandingkan penonjolan pesan utama
yang ingin disampaikan. Ini terjadi
terutama pada masa-masa akhir priode
pertama kepemimpinan Gubernur Rusli
Zainal.
Ada dua pola hubungan antara
pegawai atau pembuat iklan dengan
gubernur atau pemimpinnya. Pola
hubungan ini mempengaruhi proses
pembuatan iklan dan seperti apa iklan
yang dihasilkan. Pertama, pola mencari
perhatian atau mencari muka, berkerja
dan berbuat sesuatu karena ingin
menyenangkan orang atasan. Kedua,
pola mengikuti aturan sebagai pelayan
pemimpin, umumnya memang orang
atasan yang menginginkan hal tersebut.
Bawahan melakukan karena pemimpin
meminta untuk melaksanakan.
Iklan untuk mengomunikasikan
pesan-pesan kebijakan dan program
pembangunan pemerintah atau kegiatankegiatan
khusus lainnya umumnya
menggunakan dan memilih media
komunikasi seperti: media luar ruang
(billboard, baliho), televisi lokal, radioradio
lokal, koran, dan juga saluran
komunikasi lainnya. Media periklanan
pemerintah Provinsi Riau yang utama
adalah melalui media papan
pengumuman (billboard) yang banyak
ditemui di persimpangan jalan, pinggirpingir
jalan utama maupun di tempat
umum lainnya.
Keberadaan iklan pemerintah tidak
banyak menarik perhatian masyarakat
apalagi untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat. Dengan kata lain, iklan
pemerintah tidak dibuat secara
maksimal, sehingga iklannya tidak
efektif. Ketidakefektifan iklan
pemerintah ini disebabkan oleh tidak
adanya proses perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi. Bila media tidak
direncanakan dengan baik, tentu tujuan
tidak jelas, maka efek yang diharapkan
dari sebuah rencana komunikasi pasti
tidak akan efektif.
Oleh karena itu, pemerintah melalui
humas sebelum melakukan kegiatan
komunikasi harus membuat perencanaan
komunikasi yang baik terlebih dahulu
dengan cara menganalisis masalah,
khalayak dan tujuan komunikasi,
memilih pesan dan media yang tepat,
dan melakukan evaluasi atau audit
komunikasi. Selain itu media yang
dipilih tidak hanya itu-itu saja namun
menggunakan media-media alternatif
seperti: pin, brosur, baju kaos, sticker,
dan lain-lain. Dengan kata lain, harus
ada dilakukan bauran media dan saluran
komunikasi sehingga dapat
mendesiminasikan pesan ke masyarakat.
Optimasi media iklan atau
komunikasi pemerintah sulit untuk
diwujudkan bila manajemen komunikasi
pemerintah sendiri tidak diperbaiki.
Keberhasilan mengkomunikasikan visi
dan program-program pembangunan
pemerintah ke masyarakat sangat
tergantung pada keberhasilan dalam
menangkap kebutuhan dan aspirasi
masyarakatnya serta cara
mengkomunikasikannya. Masyarakat
menginginkan informasi yang baik dan
menarik, tidak hanya berguna. Bila
pesan baik tetapi tidak dibuat secara
maksimal, maka ia akan diacuhkan.
DAFTAR RUJUKAN
Abrar, Ana Nadhya, 2008, Kebijakan
Komunikasi; Konsep, Hakekat
dan Praktek, Gava Media,
Yogyakarta.
Budiharsono, Suyuti S., 2003, Politik
Komunikasi, Grasindo, Jakarta.
Cresswell, Jhon, W., 1998, Qualitative
Inquiry and Research Design;
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan
Pemerintah Daerah Propinsi Riau
46
Choosing Among Five Tradition,
Sage Publication, California.
Iriantara, Yosal, 2004, Manajemen
Strategis Public Relations,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Kuo, Edie C.Y. & Peter S.J. Chen, 1994,
Kebijakan dan Perencanaan
Komunikasi; Pengalaman
Singapura, LP3Es, Jakarta.
Lee, Monle & Carla Johnson, 2004,
Prinsip-prinsip Pokok Periklanan
dalam Perspektif Global, Prenada
Media, Jakarta.
Littlejohn, Stephen W., 1999, Theories
of Human Communication, 6 th
Edition, Wadsworth Publishing
Company, Belmont, USA.
Miles, Mathew B., & A Micheal
Huberman, 1992, Analisis Data
Kualitatif; Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru, Penerj.
Tjetjep Rohendi Rohidi, UI
Press, Jakarta.
Moleong, Lexy J., 2000, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Morissan, 2007, Periklanan: Komunikasi
Pemasaran Terpadu, Ramdina
Perkasa, Jakarta.
Muhadjir, Neong, 2000, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Edisi IV,
Rake Sarasin, Yogyakarta.
Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi
Penelitian Kualitatif; Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Nasution, Zulkarimein, 2000,
Perencanaan Program
Komunikasi; Buku Materi Pokok,
Universitas Terbuka, Jakarta.
Shimp, Terence A., 2003, Periklanan
Promosi; Komunikasi Pemasaran
Terpadu, Erlangga, Jakarta.
Suhandang, K., 2005, Periklanan,
Nuansa, Bandung.
Yin, Robert K., 1981, Case Study
Research: Design and Methods,
Sage Publication, London
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan
di Perkotaan (P2KP) di Kabupaten Pelalawan
MIRANDA ARDI
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277
Abstrak : Kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses sarana dan prasarana dan sarana
dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah standar
kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu. Kondisi seperti ini telah membuka mata kita
semua bahwa perlu adanya paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan. Paradigma
penanggulangan kemiskinan harus dipersepsikan oleh masyarakat miskin untuk membangun kesadaran
internal masyarakat miskin bahwa kemiskinan bukanlah takdir tetapi nasib yang harus di rubah. Motivasi
seperti ini sangatlah perlu dilakukan agar program-program penanggulangan kemiskinan dapat dirasakan
oleh masyarakat miskin demi perubahan nasib yang lebih baik dalam menjalani hidupnya, sehingga
dengan demikian peran pemerintah dan stakeholders untuk tidak lebih hanya berperan sebagai fasilitator
dan pendamping masyarakat miskin dalam memotivasi diri dan lingkungannya. Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang merupakan salah satu upaya penanganan kemiskinan yang
memiliki misi membangun masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi dengan
Pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif dan
mampu mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang lestari, sehat, produktif, dan
berkelanjutan.
Kata kunci : Kebijakan, Implementasi Kebijakan dan Program P2KP
Salah satu ciri umum dari kondisi
fisik masyarakat miskin adalah tidak
memiliki akses sarana dan prasarana dan
sarana dasar lingkungan yang memadai
dengan kualitas perumahan dan
pemukiman yang jauh di bawah standar
kelayakan serta mata pencaharian yang
tidak menentu. Kondisi seperti ini telah
membuka mata kita semua bahwa perlu
adanya paradigma baru dalam
penanggulangan kemiskinan. Paradigma
penanggulangan kemiskinan harus
dipersepsikan oleh masyarakat miskin
untuk membangun kesadaran internal
masyarakat miskin bahwa kemiskinan
bukanlah takdir tetapi nasib yang harus
di rubah. Motivasi seperti ini sangatlah
perlu dilakukan agar program-program
penanggulangan kemiskinan dapat
dirasakan oleh masyarakat miskin demi
perubahan nasib yang lebih baik dalam
menjalani hidupnya, sehingga dengan
demikian peran pemerintah dan
stakeholders untuk tidak lebih hanya
berperan sebagai fasilitator dan
pendamping masyarakat miskin dalam
memotivasi diri dan lingkungannya.
Dengan paradigma demikian,
prakarsa dan kreativitas tentang
program-program penanggulangan
kemiskinan (Pronangkis) tumbuh dari
lingkungan masyarakat itu sendiri. Dan
paradigma inilah yang dipakai oleh
Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) yang merupakan
program pemberdayaan masyarakat,
yang mana program ini memberdayakan
masyarakat dengan kegiatan ekonomi
kerakyatan atau ekonomi rakyat.
Membahas mengenai Program
Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) yang merupakan salah
47
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
48
satu upaya penanganan kemiskinan
melalui Departemen Pekerjaan Umum
(PU) yang dilaksanakan sejak tahun
1999, yang mana motto dari P2KP ini
yakni “bersama membangun
kemandirian“. P2KP pertama kali
dilaksanakan di Pulau Jawa Bagian
Selatan . P2KP ini ditetapkan oleh
Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional dan Kepala
Bappenas melalui Surat Keputusan
tentang Tim Pengarah dan Tim
Pelaksana Inter Departemen Program
Penanggulangan Kemiskinan (P2KP).
Tim pengarah P2KP diketuai oleh
Deputi Bidang Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan,
Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil dan
Menengah, serta Wakilnya Deputi VI
Menko Kesra dan Direktur Jenderel
Cipta Karya Departemen PU. Tim
Pengarah beranggotakan seperti dari
Bappenas, Menko Kesra, Departeman
PU, Depdagri, Departemen Keuangan,
Koperasi, dan UKM, Deperindag, Biro
Pusat Statistik dan Komite
Penanggulangan Kemiskinan (KPK)
Nasional.
Dalam menjalankan programnya,
P2KP mempunyai Visi, Misi dan Tujuan
yang hendak dicapai. Adapun Visi dari
P2KP adalah terwujudnya masyarakat
madani, yang maju, mandiri dan
sejahtera dalam lingkungan permukiman
sehat, produktif dan lestari. Sedangkan
misi P2KP adalah membangun
masyarakat mandiri yang mampu
menjalin kebersamaan dan sinergi
dengan Pemerintah maupun kelompok
peduli setempat dalam menanggulangi
kemiskinan secara efektif dan mampu
mewujudkan terciptanya lingkungan
permukiman yang lestari, sehat,
produktif, dan berkelanjutan.
Berdasarkan Petunjuk Teknis P2KP,
adapun tujuan P2KP Provinsi Riau
adalah ”Dapat menggurangi kemiskinan
di Indonesia khususnya di Provinsi Riau
dengan melibatkan masyarakat
(partipasi masyarakat) seluruh
masyarakat, termasuk masyarakat
miskin, kelompok perempuan, komunitas
adat terpencil, dan kelompok
masyarakat lainnya yang rentan dan
sering terpinggirkan ke dalam proses
pengambilan keputusan dan pengelolaan
pembangunan”.
Untuk tercapainya tujuan tersebut,
maka langkah-langkah pelaksanaan
program yang akan lalui sesuai dengan
Petunjuk Teknis P2KP adalah :
a. Tahap Persiapan
b. Tahap Pelaksanaan
c. Tahap-Tahap Yang Menerus atau
Berkala
d. Tahap Penyiapan Keberlanjutan
Program
Dalam menjalankan P2KP ini,
komponen program yang dilalui sesuai
dengan Petunjuk Teknis P2KP, antara
lain :
a) Pengembangan masyarakat dan
mengedepankan peran pemerintah
daerah.
b) Penyediaan dana bantuan langsung
masyarakat (BLM), termasuk
stimulan pembangunan lingkungan
permukiman kelurahan terpadu.
c) Penyediaan dana penanggulangan
kemiskinan terpadu (PAKET).
Kabupaten Pelalawan merupakan
pemekaran dari Kabupaten Kampar yang
pembentukannya berdasrkan UU No. 53
tahun 1999. Sebagai Kabupaten yang
baru dibangun sudah sewajarnya
Kabupaten ini menjadi sasaran dalam
pelaksanaan P2KP di Provinsi Riau.
Selain itu masih banyaknya masyarakat
miskin yang ada di Pelalawan yang
mesti di berdayakan. Hal lain yang
membuat Pelalawan menjadi sasaran
adalah adanya keinginan Pemerintah
Kabupaten Pelalawan dalam upaya
mengurangi kemiskinan yang dapat kita
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
49
No Kecamatan Desa/
Kel
lihat dari visi dan misi Kabupaten
Pelalawan tahun 2006-2010. Adapun visi
dari Pelalawan adalah terwujudnya
Kabupaten Pelalawan yang maju dan
sejahtera melalui pemberdayaan
ekonomi kerakyatan yang didukung oleh
pertanian yang unggul dan industri yang
tangguh dalam masyarakat yang beradat,
beriman, bertaqwa dan berbudaya
melayu pada tahun 2020. Untuk melihat
kemiskinan di Kabupaten Pelalawan,
berikut data yang tertuang dalam
Rencana Program Penanggulangan
Jangka Panjang (RPJM) Kabupaten
Pelalawan tahun 2006-2010, jumlah
rumah tangga miskin Kabupaten
pelalawan sebanyak 10.064 rumah
tangga dari 40.631 penduduk miskin
yang tersebar di tiap-tiap Kecamatan.
Tabel 1
Persentase Penduduk Miskin di
Kabupaten Pelalawan
Tahun 2007
Rumah
Tangga
Miskin
Jumlah
Penduduk
Miskin
Jumlah
Ruta
Jumlah
Penduduk
%
Ruta
Miskin
%
Pendudu
k
Miskin
1 Ukui 14 1.421 5.594 4.983 25.750 28,52 25,46
2 Pangkalan
7 1.685 7.230 13.00 55.902 12,96 12,93
Kerinci
3 Pangkalan 16 1.046 4.126 8.078 32.896 12,95 12,55
Kuras
4 Pangkalan
8 807 2.954 4.754 18.548 16,98 15,93
Lesung
5 Langgam 7 538 2.258 3.021 13.301 17,81 16,98
6 Pelalawan 9 592 2.386 2.745 10.917 21,57 21,86
7 Kerumutan 8 698 2.723 3.326 13.638 20,99 19,97
8 Bunut 8 1.507 5.768 4.733 19.203 31,84 30,04
9 Teluk Meranti 9 831 3.379 2.932 16.483 28,34 20,50
10 Kuala Kampar 9 939 4.213 3.748 18.028 25,05 23,37
11 Bandar
5 0 0 0 0 0 0
Sekijang
12 Bandar
8 0 0 0 0 0 0
Petalangan
Jumlah 108 10.064 40.631 51.320 224.666 19,61 18,39
Sumber: Biro Pusat Statistik 2007
Masalah diatas merupakan
masalah yang sangat membutuhkan
perhatian besar, tidak hanya bagi
pemerintah tapi juga dari masyarakat dan
pihak swasta. Dalam hal ini di harapkan
P2KP benar-benar berperan dalam
mengurangi jumlah kemiskinan di
Indonesia khususnya Kecamatan Ukui
Kabupaten Pelalawan.
Perlu diketahui bahwa dalam
mempelajari masalah implementasi
kebijakan berarti berusaha untuk
memahami apa yang senyatanya terjadi
sesudah suatu kebijakan diberlakukan.
Menurut Syaukani dkk (2002 : 295)
implementasi merupakan suatu
rangkaian aktivitas dalam rangka
menghantarkan kebijaksanaan kepada
masyarakat sehingga kebijakan tersebut
dapat membawa hasil sebagaimana yang
diharapkan.
Menurut George C. Edward dalam
Implementing Public Policy (1980 :
111), ada empat faktor yang
berpengaruh terhadap keberhasilan
atau kegagalan implementasi suatu
kebijakan, yaitu faktor sumber daya,
birokrasi, komunikasi, dan disposisi.
Menurut Briant W. Hoogwood dan
Lewis A. Gun (1978) untuk melakukan
implementasi kebijakan, diperlukan
beberapa syarat diantaranya:
a. Berkenaan dengan jaminan bahwa
kondisi eksternal yang dihadapi oleh
lembaga atau badan pelaksana, tidak
akan menimbulkan masalah yang
besar.
b. Tersedianya sumber daya yang
memadai termasuk sumber daya
waktu.
c. Perpaduan sumber-sumber yang
diperlukan benar-benar ada, baik
dalam konteks sumber daya maupun
sumber aktor.
d. Kebijakan yang akan
diimplementasikan, didasari
hubungan kausal yang andal.
Kebijakan tersebut dapat
menyelesaikan masalah yang hendak
ditanggulangi.
e. Banyaknya hubungan kausalitas
yang terjadi.
f. Adanya hubungan saling
ketergantungan yang tinggi.
g. Pemahaman yang mendalam dan
kesepakatan terhadap tujuan.
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
50
h. Tugas-tugas yang telah dirinci dan
ditempatkan dalam urutan yang
benar.
Sebagai organisasi yang bertugas
untuk mengentaskan kemiskinan, P2KP
mendefinisikan kemiskinan, sebagai:
1. Suatu kondisi dimana seseorang tidak
mampu memenuhi akan kebutuhan
dasarnya sehari-hari.
2. Suatu kondisi dimana masyarakat
tidak mampu mengakses bidang
ekonomi, sosial dan lingkungan.
Mudrajat Kuncoro (2004 : 157)
mencoba melakukan identifikasi
penyebab kemiskinan yang dipandang
dari sisi ekonomi yaitu :
1. Secara makro kemiskinan muncul
karena adanya ketidaksamaan pola
pemilikan sumber daya yang
menimbulkan distribusi pedapatan
yang timpang. Penduduk miskin
hanya memiliki sumber daya dalam
jumlah yang terbatas dan kualitas
yang rendah.
2. b.Kemiskinan muncul akibat
perbedaan kualitas SDM. Kualitas
SDM yang tinggi berarti
produktifitas rendah yang pada
gilirannya menyebabkan upah
rendah.
3. Kemiskinan muncul akibat
perbedaan akses dan modal.
Kebijakan penanggulangan
kemiskinan telah dicanangkan sejak
2001, yaitu meningkatkan pendapatan
kelompok miskin dan menurunkan
pengeluaran kaum miskin. Strategi yang
digunakan tidaklah lagi semata-mata
dengan subsidi. Pendekatan income
generating seyogyanya tidak lagi
dilakukan oleh lembaga pemerintah,
melainkan oleh lembaga perbankan atau
lembaga non-pemerintahan yang tidak
menggunakan dana APBN/D (Riant
Nugroho D, 2003:227).
Kemiskinan merupakan masalah utama
yang harus ditangani dalam proses
pembangunan. Kemiskinan merupakan
situasi serba kekurangan yang terjadi
bukan karena di kehendaki oleh si
miskin melainkan karena tidak bisa
dihindarkan dengan kekuatan yang apa
adanya. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya nilai tukar hasil produkasi si
miskin, rendahnya produktivitas,
terbatasnya modal kerja dan rendahnya
pendapatan. Kesemuanya ini
mengakibatkan terbatasnya kesempatan
mereka untuk berpartisipasi dalanm
pembangunan, Bappenas Depdagri
(1993 : 2)
Program
Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
merupakan suatu proses pemberdayaan
masyarakat, dimana proses
pemberdayaan merupakan suatu cara
pembangunan dalam upaya
pengembangan masyarakat. Menurut
Naning Mardiarah dalam Paulus
Wirutomo dkk (2003 : 129),
pemberdayaan dimaknai sebagai
mendapatkan kekuatan dan
meningkatkan kemampuan golongan
miskin utuk mendapatkan akses sumber
daya yang menjadi dasar dari kekuasaan
dalam suatu sistem maupun organisasi.
Pengertian pemberdayaan dalam
penelitian ini berkaitan dengan proses
pemberdayaan dan memberdayakan baik
dalam pengertian pertama maupun
kedua.
Pemberdayaan pada prinsipnya
merupakan upaya aktualisasi eksistensi
dari kelompok “powerless” dengan cara
memberikan power (kekuatan) pada
powerless, sehingga semua dapat
mempunyai kekuatan untuk memegang
sistem dan kekuasaan, Pranarka &
Moeljanto (1996 : 54). Sedangkan
Ginanjar Kartasasmita (1995 : 96),
melihat pemberdayaan dengan titik tolak
bahwa setiap manusia dan masyarakat
memiliki potensi (daya) yang dapat
dikembangkan, sehingga dengan
demikian pemberdayaan merupakan
upaya untuk membangun daya itu
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
51
dengan mendorong, memberikan
motivasi, dan membangkitkan kesadaran
akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya.
Berdasarkan kajian teoritis tersebut,
maka 2 (dua) faktor utama yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat
(Jurnal Administrasi Negara Vol 1,
2001: 34) yaitu :
1. Faktor eksternal masyarakat yang
meliputi :
- Dinamika organisasi program
- Komunikasi
2. Faktor internal masyarakat yang
meliputi :
- Umur
- Kesejahteraan
- Pendidikan masyarakat.
Ada beberapa alasan mengapa
kegiatan partisipasi masyarakat sangat
penting dalam pembangunan, While
(1986 : 18) mengemukakan sebagai
berikut :
a) Dengan partisipasi masyarakat akan
lebih banyak hasil kerja yang dicapai.
b) Dengan partisipasi masyarakat
pelayanan atau service dapat
diberikan dengan biaya murah.
c) Partisipasi masyarakat memiliki nilai
dasar yang sangat berarti dalam
menjalin persatuan dan kesatuan
serta kebersamaan dalam masyarakat.
d) Partisipasi masyarakat merupakan
katalisator untuk kelangsungan
pembangunan selanjutnya.
e) Partisipasi masyarakat dapat
menghimpun dan memanfaatkan
berbagai pengetahuan di masyarakat.
f) Partisipasi masyarakat lebih
menyadarkan masyarakat itu sendiri
terhadap penyebab kemiskinan
sehingga menimbulkan kesadaran
untuk mengatasinya.
METODE
Metode penelitian adalah suatu
totalitas cara yang dipakai untuk
melakukan penelitian dalam rangka
menentukan kebenaran ilmiah. Disebut
totalitas cara karena di dalamnya
meliputi metode penelitian yang
digunakan, tempat dan waktu penelitian,
penentuan populasi, tekhnik
pengambilan sampel, teknik
pengumpulan data, cara penyusunan dan
pengujian instrumen penelitian, serta
cara yang akan digunakan untuk
melakukan analisa terhadap data yang
diperoleh dari hasil penelitian.
Penelitian ini dilakukan di
Kecamatan Ukui, karena menurut
pantauan P2KP Kecamatan ini berhak
dilakukan pemberdayaan dan P2KP di
Kecamatan Ukui bisa di kategori sukses.
Populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas: objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
utuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Sedangkan Sampel
adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Adapun yang menjadi populasi
dalam penelitian ini adalah semua orang
yang tergabung dalam pelaksanaan
P2KP khususnya di Kecamatan Ukui.
Namun peneliti menggunakan metode
purposive sampling, yaitu peneliti
menetapkan sampel dari tim P2KP
adalah seluruh tim Pelaksana P2KP di
Kecamatan Ukui sebagai yang
menjalankan dan mengawasi kegiatan
P2KP.
Untuk penerima bantuan fisik,
maupun non fisik maka peneliti
menggunakan metode purposive
sampling, dimana peneliti sampel
masyarakat dari 4 Desa di Kecamatan
Ukui (Lubuk Kembang Bunga, Air
Hitam, Silikuan Hulu, dan Lubuk
Kembang Sari) sebagai orang yang
benar-benar tahu pelaksanaan P2KP dan
sebagai orang yang menikmati hasil
pembangunan baik fisik maupun non
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
52
fisik. Di sini peneliti menetapkan
persentase 2% dengan alasan karena
jumlah populasi sangat besar, dan
kemudian ditentukan dengan cara
Random Sampling, yaitu pengambilan
secara acak. Ha ini dimaksudkan
memudahkan peneliti untuk
mendapatkan informasi atau data dari
masyarakat.
Sampel pada penelitian ini
berjumlah orang, yaitu dari tim
pelaksana P2KP sebanyak 3 orang dan
ditambah dengan penerima bantuan baik
itu bantuan bidang lingkungan, sosial
dan ekonomi dari 4 desa sebanyak 78
orang, jadi jumlah keseluruhan sampel
adalah sebanyak 81 orang.
Data primer adalah data yang
diperoleh secara langsung dari
responden yang menjadi objek penelitian
berupa informasi yang relevan dan
masalah-masalah yang sudah
dirumuskan dalam penelitian. Data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini
mengenai bagaimana pelaksanaan P2KP
di Kecamatan Ukui Kabupaten
Pelalawan. Data primer ini meliputi
antara lain: tanggapan responden baik
melalui catatan tertulis maupun melalui
wawancara.
Sedangkan data sekunder adalah data
tidak secara langsung diperoleh dari
hasil penelitian, tapi diperoleh dari datadata
berupa laporan dan kebijakankebijakan
yang berhubungan dengan
penelitian, seperti profil berdirinya
P2KP, data struktur organisasi P2KP,
data jumlah penerima bantuan dari P2KP
dan data masyarakat miskin di
Kabupaten Pelalawan.
Untuk mendapatkan data dalam
penelitian ini, maka peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data
melalui :
1. Studi Kepustakaan, studi ini
dilakukan untuk memperoleh data
sekunder yang berguna dalam
perumusan teori dan landasan bagi
penganalisaan data primer, serta
untuk menelaah data melalui literatur
yang tersedia, karya ilmiah dan
berbagai dokumen yang
berhubungan dengan objek dan
masalah penelitian.
2. Studi Lapangan, dimaksudkan untuk
mendapatkan data primer dengan
cara:
a. Wawancara, yaitu tekik
pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara tanya
jawab langsung dengan
responden secara mendalam
mengenai pelaksanaan P2KP
dalam partisipasi masyarakat.
b. Angket, yaitu teknik
pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara
memberikan seperangkat
pertanyaan tertulis kepada
responden untuk di jawab dan
pertanyaan tersebut yang
berhubungan dengan
pelaksanaan P2KP dalam
partisipasi masyarakat.
c. Observasi, yaitu teknik
pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan
terhadap objek yang akan
diteliti.
Analisa data yang dilakukan secara
deskriptif kualitatif, dimana data yang
diperoleh akan dideskripsikan,
diinterpretasikan dan kemudian
dianalisis dengan menggunakan statistik
yang meliputi: mean, median dan modus.
Menurut Sugiyono (2006 : 170), yang
termasuk dalam statistik deskriptif antara
lain adalah penyajian data melalui tabel,
grafik, diagram lingkaran, pictogram,
perhitungan modus, median, mean
(pengukuran tendensi sentral),
perhitungan desil, persentil, perhitungan
penyebaran data melalui perhitungan
rata-rata standar deviasi, perhitungan
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
53
presentase. Deskripsi dari hasil
penelitian dijelaskan secara kualitatif,
dan diberi penjelasan berdasarkan data
yang diperoleh dilapangan.
HASIL
1. Keterlibatan Masyarakat dalam
Proses Program
Usaha yang dilakukan oleh Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP) untuk melibatkan masyarakat
dalam proses pelaksanaan program
hampir memenuhi target yang
diinginkan karena selisih antara baik
dengan cukup baik tidak terlalu besar.
Selama ini pemerintah dalam
menjalankan program jarang atau
bahkan tidak pernah melibatkan
masyarakat dalam pelaksanaan program,
sehingga masyarakat tidak tahu apa
sebenarnya tujuan dari program
pemerintah tersebut dan biaya yang
dikeluarkan dalam pelaksanaan program
tidak tahu kemana karena tidak adanya
trasnparansi dan sekarang P2KP
merubah itu semua sehingga masyarakat
merasa bahwa dia dibutuhkan,
mempunyai andil dan kemampuan untuk
menjalankan sebuah program.
Untuk membawa masyarakat
dalam suatu kegiatan memang sulit,
karena masyarakat mempunyai
kepentingan yang berbeda, apabila
masyarakat miskin yang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya saja sulit
apalagi untuk mengikuti suatu kegiatan.
Tetapi apabila ada semangat dan
kesadaran dalam diri untuk
berpartisipasi, maka apapun kendala
akan bisa diatasi, terutama adanya
sosialisasi yang bagus dari tim
pelaksanaan program, dalam hal ini tim
P2KP. Untuk itu diharapkan adanya
relawan-relawan dari masyarakat desa
itu sendiri untuk mau mengorbankan
waktu, tenaga bahkan uang untuk
menjalankan program yang nantinya
akan dinikmati bersama.
2. Keterlibatan Masyarakat dalam
Memikul Beban dan Bertanggung
Jawab dalam Pelaksanaan
Kegiatan Program
Keterlibatan masyarakat dalam
memikul beban dan bertanggung jawab
dalam pelaksanaan kegiatan dalam suatu
program termasuk P2KP sangat perlu
sekali, tanpa adanya kerja sama,
kekompakkan dan tanggung jawab
masyarakat maka P2KP ini tidak akan
berjalan baik karena tim P2KP hanya
memfasilitasi yang dibutuhkan
masyarakat kemudian masyarakatlah
yang menjalankan program secara
bersama yang diketahui dari hasil survei
dilapangan.
3. Keterlibatan Masyarakat Dalam
Memetik Hasil dan Manfaat
Program Secara Adil dan Merata
Untuk mewujudkan keadilan dan
pemerataan pembangunan memang
cukup sulit, apalagi dengan dana yang
terbatas. Tetapi di sini diharapkannya
keinginan kita untuk mau berbagi
dengan orang lain dan tidak adanya
kecemburuan sosial. Tidak semua
masyarakat yang menerima bantuan
karena adanya kriteria yang harus
dipenuhi dalam penerimaan bantuan dan
terbatasnya dana yang ada baik itu untuk
bantuan bidang sosial, ekonomi maupun
bidang lingkungan dalam P2KP.
Berbicara mengenai P2KP, banyak
hambatan yang dirasakan baik dalam
perencanaan maupun pelaksanaan
program. Selain karena alasan diatas
yaitu terbatasnya dana yang tersedia,
alasan lain adalah sosialisasi awal
kepada masyarakat cukup sulit apalagi di
desa yang banyak konflik, adanya
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
54
oknum yang mengambil kesempatan
dalam pelaksanaan program, sulitnya
membawa masyarakat kearah perubahan
yang lebih baik dan adanya
kecemburuan sosial. Hal ini dikarenakan
faktor pendidikan yang masih rendah
pada masyarakat termasuk di Kecamatan
Ukui. Selain itu, selama ini masyarakat
terbiasa dimanjakan (hanya menerima)
untuk menikmati program yang ada
tanpa tahu apa tujuan dari program dan
bagaimana pelaksanaannya.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan
membuat masyarakat sulit untuk bangkit
dan berjuang bahkan lebih buruk dari
sebelumnya. Ini terbukti semakin
banyaknya rakyat Indonesia yang
dibawah garis kemiskinan dan sebagai
organisasi yang bertujuan untuk
mengguranggi kemiskinan di Indonesia
inilah yang diupayakan oleh P2KP agar
masyarakat Indonesia bisa terlepas dari
belenggu kemiskinan. Memang tugas ini
tidak mudah, tetapi jika adanya kerja
sama, baik dari pemerintah, masyarakat,
dan pihak swasta maka penyakit dari
kemiskinan akan ada obatnya dan akan
terwujudnya kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
4. Faktor Penghambat Implementasi
Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
Dalam pelaksanaan suatu program,
seperti yang kita ketahui bersama bahwa
tidak semua program dapat berjalan
dengan baik, sama halnya dalam
pelaksanaan Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang
mempunyai hambatan dalam
pelaksanaan programnya.
Adapun hambatan yang dirasakan
dalam pelaksanaan P2KP ini antara lain :
a. Dana atau Modal
Salah satu faktor penting yang
mempengaruhi pelaksanaan suatu
program adalah tersedianya sumber
daya dimana salah satu sumber daya
itu adalah dana (sumber daya nonmanusia)
(George C. Edward,
1980:111).
b. Kurangnya kesadaran masyarakat
untuk mau terlibat atau
berpartisipasi aktif dalam
pelaksanaan P2KP ini yang dilihat
dari :
- Sedikitnya masyarakat yang
ikut dalam kegiatan
musyawarah perencanaan dan
pelaksanaan P2KP.
- Sedikitnya masyarakat yang
mau menjadi anggota Badan
Keswadayaan Masyarakat yang
bertugas sebagai pelaksanaan
kegiatan program secara
sukarela.
- Masih rendahnya partisipasi
masyarakat
dalam
menyumbangkan bantuan
dalam bentuk uang untuk
kegiatan dalam bidang sarana
dan prasarana lingkungan.
- Adanya oknum atau aparat
perangkat desa yang meminta
imbalan dalam pelaksanaan
program P2KP ini, pada hal
P2KP dalam menjalankan
program bersifat sukarela.
SIMPULAN
Program
Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Di
Kabupaten Pelalawan dikategorikan
”Baik”. Dalam Implementasi Program
Penanggulangan Kemiskinan Di
Perkotaaan (P2KP) terdapat faktorfaktor
yang menghambat pelaksanaan
program ini. Adapun yang menghambat
pelaksanaan program ini adalah
terbatasnya dana yang sehingga belum
meratanya bantuan yang diberikan
terutama bantuan bidang sarana dan
prasarana lingkungan, kurangnya
kesadaran masyarakat untuk mau terlibat
atau berpartisipasi dalam pelaksanaan
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
55
program ini yang dilihat dari masih
rendahnya partisipasi masyarakat baik
dalam musyawarah, yang menjadi
anggota BKM dan partisipasi dalam
bentuk uang. Kurangnya kesaadaran
masyarakat untuk berpartisipasi dalam
program ini dikarenakan masih
rendahnya SDM masyarakat dan
kurangnya sosialisasi dari P2KP itu
sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Wahab, Solichin, 2005, Analisa
Kebijaksanaan, Edisi 5, Bumi
Aksara, Jakarta.
Budiman Nashir, 1991, Pengantar
Kebijakan Pubik (Pubic Policy),
Rajawali, Jakarta.
Dunn N William, 2003, Pengantar
Analisis Kebijakan Publik, Edisi II,
Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Dunn N William,2003, Analisis
Kebijaksanaan Publik, Hanindita
Graha Widya, Yogyakarta.
Hassel Nogi, 2003, Evaluasi Kebijakan
Publik, Edisi II, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta.
Hidayat Wisnu, dkk, 2002,
Pembangunan Partisipatif, YPAPI,
Yogyakarta.
Hikmat Harry, 2004, Strategi
Pemberdayaan Masyarakat,Edisi 2,
Humaniora Utama, Bandung.
Irfan Islamy, 1998, Pengantar Analisis
Kebijaksanaan Negara, Rineka
Cipta, Jakarta.
Lilik Ekowati Mas Roro, 2005,
Perencanaan, Implementasi dan
Evaluasi Kebijakan atau Program,
Pustaka Cakra, Surakarta.
Mudiyono, 2005, Dimensi-dimensi
Sosial dan Pemberdayaan
Masyarakat, APMD Press, Jakarta.
Nugroho Riant, 2003, Reinventing
Pembangunan, PT Alex Media
Komputindo, Jakarta.
Nugroho Riant, 2004, Kebijakan Publik:
Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi, PT, Alex Media
Komputindo, Yakarta.
Paulus Wirutomo dkk, 2003, Paradigma
Pembangunan di Era Otonomi
Daerah, Cipruy, Jakarta.
Pranarka dan Onny S, Prijono, 1996,
Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan,
dan Implementasi, CSIS, Jakarta.
Riyadi dkk, 2005, Perencanaan
Pembangunan Daerah, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Siagian SP, 2000, Administrasi
Pembangunan, Bumi Aksara, Jakarta.
Sudriamunawar Haryono, 2006,
Kepemimpinan, Peran Serta dan
Produktivitas, Mandar Maju,
Bandung.
Sugiyono, 1998, Metode Penelitian
Admistrasi, Alfabeta, Bandung.
Suharto Edi, 2005, Analisis Kebijakan
Publik, Alfabeta, Bandung.
Sumaryadi I Nyoman, 2005, Efektifitas
Implementasi Kebijakan Otonomi
Daerah, Citra Utama, Jakarta.
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Di Kabupaten Pelalawan
56
Sumaryadi I Nyoman, 2005,
Perencanaan Pembangunan Daerah
Otonom dan Pemberdayaan
Masyarakat, Citra Utama, Jakarta.
Sumodingrat
Gunawan,1997,
Pembanguanan Daerah dan
Pemberdayaan Masyarakat, Bena
Rena Pariwara, Yokyakarta.
Usman Suntoyo, 2004, Pembangunan
dan Pemberdayaan Masyarakat,
Pustaka Pelajar, Yokyakarta.
Widi Putranti Kristine Sri, 2005,
Pemberdayaan Kaum Marginal,
APMD Press, Yogyakarta.
Wignyo Soebroto Soetandoyo, 2005,
Dakwah Pemberdayaan Masyarakat,
Pustaka Pesantren, Yokyakarta.
Wrihadnolo Randi R, dkk, 2007,
Manajemen Pemberdayaan,
Gramedia, Jakarta.
Winarno Budi, 2002, Teori dan Proses
Kebijakan Publik, Media Pressindo,
Yogyakarta.
Dokument :
Buku Pedoman P2KP, Vol II, Oktober
2005, Jakarta.
http:www//Teori Pembangunan/google,
co,id)
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Vol, 1,
Juli 2001, Pekanbaru.
Laporan Badan Keswadayaan
Masyarakat (BKM) P2KP,
November 2006, Pelalawan.
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
di Kabupaten Pasaman ( Studi Kasus Pajak Hotel)
HERIE SEPTIADI
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277
Abstrak : Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah menyebabkan setiap daerah harus mampu
mengatur rumah tangganya sendiri termasuk masalah keuangan. Daerah harus bisa menggali potensipotensi
yang dimiliki daerah untuk dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Salah satu
pendapatan daerah yang potensial adalah pajak hotel. Selama ini pendapatan pajak hotel yang di terima
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Kabupaten Pasaman hanya berdasarkan hasil
kesepakatan antara pihak DPPK dengan pemilik hotel, seberapa sanggup pihak hotel membayar pajak
tersebut. Pada hal mengenai pajak sudah diatur dalam PERDA No.14 tahun 2003 yaitu pajak hotel
sebesar 10% dari pembayaran yang dikalakukan kepada pihak hotel. Penelitian ini bertujuan untuk
memberikan strategi-strategi baru kepada DPPK Kabupaten Pasaman untuk dapat meningkatkan
pendapatan pajak hotel. Strategi itu antara lain optimalisasi potensi kepariwisataan, memberikan
pendidikan dan pelatihan kepada pegawai terkait, melengkapi sarana dan prasarana yang mendukung
serta pemberian sangsi yang tegas kepada pihak hotel yang tidak mau mengikuti aturan yang berlaku.
Kata Kunci : Strategi, Otonomi Daerah, Pembangunan, Pendapatan Asli Daerah.
Pembangunan adalah merupakan
suatu konsep perubahan sosial yang
berlangsung terus-menerus menuju
kearah perkembangan dan memerlukan
masukan-masukan uang menyeluruh dan
berkesinambungan dan merupakan usaha
yang dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat untuk mencapai tujuan
negara. (Sudriamunawar, 2002 : 17 )
Filosofi otonomi daerah adalah
mewujudkan kemandirian daerah di
segala segi kehidupan, yang diukur
melalui elemen Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Di harapkan dengan otonomi,
semua daerah di Indonesia mampu
melaksanakan semua urusan
pemerintahan dan pembangunan dengan
bertumpu pada Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang di milikinya.
Daerah di tuntut untuk lebih berperan
aktif dalam perkembangan dan
pembangunan serta pengembangan
potensi daerahnya. Hal ini tidak terlepas
dari sumber dana yang diperlukan untuk
mendukung terciptanya pembangunan
tersebut. Oleh sebab itu daerah sangat
perlu menggali sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
merupakan modal dasar bagi suatu
daerah untuk menjalankan roda
pemerintahan dan pembangunan.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada
hakikatnya mempunyai peranan yang
sangat penting dalam pelaksanaan
otonomi daerah karena semakin besar
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
diperoleh diharapkan percepatan
pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi masyarakat akan semakin
meningkat.
Konsekuensi dari pelaksanaan
otonomi daerah ini adalah seberapa
jauhkah Pendapatan Asli Daerah (PAD)
memberikan kontribusi terhadap
pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri
yang tergambar dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). APBD merupakan faktor
penentu jalannya roda pemerintahan
daerah.
57
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pasaman
(Studi Kasus Pajak Hotel)
58
Pelaksanaan otonomi daerah
menyebabkan terjadinya perubahan pada
pemerintahan daerah khususnya di
Kabupaten Pasaman, Pemerintah
Kabupaten Pasaman harus bisa
menjalankan roda pemerintahan dan
proses pembangunannya sendiri. Oleh
karena itu, dibutuhkan dana yang
memadai untuk membiayai semua
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah Kabupeten Pasaman.
Perkembangan PAD Kabupaten
Pasaman dari tahun ke tahun masih
belum dapat diandalkan bila
dibandingkan dengan kebutuhan yang
terus menerus meningkat. Hal ini dapat
dilihat dari APBD Kab Pasaman tahun
2008, sebesar Rp.419 milyar yang
sebagian kecil berasal dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD), sebesar Rp. 24
milyar atau hanya 5,7 % dari APBD dan
sisanya sebesar 94,3 % berasal dari
Pemerintah Pusat, sementara selama 5
tahun terakhir realisasi PAD terhadap
APBD rata-rata masih sekitar 4.37%.
Kabupaten Pasaman memiliki luas
wilayah sekitar 5000 kilometer persegi,
sebenarnya Pasaman merupakan
kabupaten yang kaya karena memiliki
wilayah yang kaya akan potensi yang
terpendam seperti bijih besi, batu bara,
emas dan timah hitam cuma potensi
tersebut belum bisa di maksimalkan
karena berada di wilayah hutan lindung
karena 82 persen wilayah Pasaman
merupakan hutan lindung. Hal
tersebutlah yang menyebabkan selama
ini Pasaman terkenal dengan kabupaten
yang miskin dan tertinggal.
Kabupaten Pasaman adalah sebuah
kabupaten yang bisa di katakan salah
satu kabupaten yang miskin diSumatera
Barat, hal tersebut di karenakan lebih
kurang 85% wilayah Kabupeten
Pasaman adalah hutan lindung, jadi
sangat sulit untuk dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti
dari bidang pertanian, perkebunan,
perikanan, pertambangan hal ini
dikarenakan wilayah yang bisa di olah
cuma tinggal 15% saja itupun sudah
masuk untuk perumahan, perkantoran,
jalan dan lain-lain. Untuk itu pemerintah
kabupaten pasaman harus dapat
memaksimalkan potensi pendapatan
yang ada. Diantaranya memaksimalkan
pajak daerah, salah satu pajak daerah
yang cukup potensial adalah pajak hotel.
Kabupaten Pasaman memiliki potensi
pajak hotel yang cukup besar disbanding
dengan pajak daerah lainnya dengan
jumlah hotel ada sebanyak 10 buah.
Untuk itu Pemerintah Kabupaten
Pasaman mengeluarkan Peraturan
Daerah (PERDA ) No.14 Tahun 2003
yang mengatur tentang pajak hotel.
Tabel dibawah ini memuat perhitungan
peneliti terhadap besarnya omset sebuah
hotel yang ada di kabupaten Pasaman.
Tabel 1. Potensi Pajak Hotel Berdasarkan Omset
Dari Hasil Perhitungan Peneliti dan
Besarnya Pajak Yang Dibayarkan
tahun 2008
No Nama Hotel Omet/tahun
Pajak
( 10% x omset)
Sumber : data olahan peneliti tahun 2009
Pajak yang
dibayar
1. Hotel Merpati 153.300.000 15.330.000 1.260.000 8.2%
2. Pasaman Saiyo 318.645.000 31.864.500 1.020.000 3.2%
3. Hotel Hamco 194.910.000 19.491.000 1.200.000 6.2%
4. Hotel Sari Rasa 267.180.000 26.718.000 900.000 3.4%
5. Hotel Mawar 498.225.000 49.822.500 1.440.000 2.9%
6. Wisma Andriani 306.600.000 30.660.000 600.000 1.9%
7. Penginapan
214.620.000 21.462.000 120.000 0.6%
Pardomuan
8. Penginapan
85.410.000 8.541.000 180.000 2.1%
Purnama
9. Penginapan Yanti 164.250.000 16.425.000 240.000 1.5%
10. Penginapan Ajo 65.700.000 6.570.000 60.000 0.9%
Jumlah 2.268.840.000 226.884.000 7.020.000 3.1%
Perhitungan tersebut penulis hitung
dengan rata-rata tingkat hunian kamar
dalam setahun cuma 60 % yang terisi.
Rumus adalah sebagai berikut :
Potensi = Jumlah Kamar X Harga Per
Kamar X 360 Hari
%
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pasaman
(Studi Kasus Pajak Hotel)
59
Potensi = Jumlah Kamar X Harga Per Kamar X 360 Hari
Omset = Jumlah Kamar X Harga Per Kamar X Tingkat Hunian
Sumber : PERDA No.14 Tahun 2003 Kabupaten Pasaman
Dari penjelasan diatas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah untuk
mendapatkan strategi yang dapat
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kabupaten Pasaman khususya
pendapatan pajak hotel yang bisa
diterapkan di Kabupaten Pasaman.
Menurut Ferd R. David dalam
Strategic Manajemen, strategi adalah
rencana yang disatukan, menyeluruh dan
terpadu yang mengaitkan keunggulan
strategi perusahaan dengan tantangan
lingkungan dan yang direncanakan untuk
memastikan bahwa tujuan utama
perusahaan dapat dicapai melalui
pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan.
Strategi adalah sarana yang
digunakan untuk mencapai tujuan akhir
(sasaran). Tetapi, strategi bukanlah
sekedar suatu rencana. Strategi ialah
rencana yang disatukan: strategi
mengikat semua bagian perusahaan
menjadi satu. Strategi itu menyeluruh:
strategi meliputi semua aspek penting
dalam perusahaan. Strategi itu terpadu:
semua bagian rencana serasi satu sama
lain dan bersesuaian.
Hamel dan Prahalad (1995) dalam
Rangkuti (1997 : 4) Strategi merupakan
tindakan yang bersifat incremental
(senantiasa meningkat) dan terus
menerus dan dilakukan berdasarkan
sudut pandang tentang apa yang
diharapkan oleh para pelanggan dimasa
depan. Dengan demikian perencanaan
strategis hampir selalu dimulai dari “apa
yang dapat terjadi, bukan dimulai
dariapa yang terjadi“. Terjadinya
kecepatan inovasi pasar baru dan
peurbahan pola konsumen memerlukan
kompetensi inti (core competencies).
Perusahaan perlu mencari kompetensi
inti dalam bisnis yang dilakukan.
Menurut Rangkuti (1997 : 7) pada
prinsipnya strategi dapat dikelompokkan
berdasarkan tiga tipe strategi, yaitu :
1) Strategi Manajemen
Strategi manajemen meliputi strategi
yang dapat dilakukan oleh
manajemen dengan orientasi
pengembangan strategi secara makro
misalnya, strategi pengembangan
produk, strategi penetapan harga,
strategi akuisisi, strategi
pengembangan pasar, strategi
mengenai keuangan dan sebagainya.
2) Strategi Investasi
Strategi ini merupakan kegiatan yang
beroriantasi pada investasi. Misalnya
apakan perusahaan ingin melakukan
strategi pertumbuhan yang agresif
atau perusahaan melakukan penetrasi
pasar, strategi bertahan, strategi
pembangunan kembali suatu visi
baru atau strategi divestasi, dan
sebagainya.
3) Strategi Bisnis
Strategi bisnis ini sering juga disebut
strategi bisnis secara fungsional
karena strategi ini beroriantasi pada
fungsi-fungsi kegiatan manajemen,
misalnya strategi pemasaran, strategi
produksi atau operasional, strategi
distribusi, strategi organisasi dan
strategi - strategi yang berhubungan
dengan keuangan.
Menurut Salusu (1996 : 101) ada
empat tingka-tingkat strategi.
Keseluruhannya di sebut Master Strategi
yaitu :
a) Enterprise Strategy
Strategi ini berkaitan dengan respon
masyarakat. Setiap organisasi
mempunyai hubungan dengan
masyarakat. Masyarakat adalah
kelompok yang berada diluar
organisasi yang tidak dapat dikontrol
b) Corporate Strategy
Strategi ini berkaitan dengan misi
organisasi, sehingga sering disebut
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pasaman
(Studi Kasus Pajak Hotel)
60
grand strategy yang meliputi bidang
yang digeluti oleh organisasi.
c) Business Strategy
Strategi pada tingkat ini menjabarkan
bagaimana merebut pasaran di
tengah masyarakat. Bagaimana
menempatkan organisasi dihati para
penguasa, para pengusaha, para
anggota legslatif, para politisi dan
sebagainya.
d) Functional Strategy
Strategi ini merupakan strategi
pendukung dan untuk menunjang
sukses nya strategi lain. Ada tiga
jenis strategi fungsional yaitu :
1. Strategi fungsional ekonomi
yaitu mencakup fungsi-fungsi
yang memungkinkan organisasi
hidup sebagai suatu kesatuan
ekonomi yang sehat antara lain
yang berkaitan dengan keuangan,
pemasaran,sumberdaya,
penelitian dan pengembangan.
2. Strategi fungsional manajemen
yaitu mencakup fungsi-fungsi
manajemen yaitu planning,
organizing, implementing,
controlling, staffing, motivating,
comunicating, decision making,
representing dan integrating.
3. Strategi isu stratejik, fungsi
utamanya adalah mengontrol
lingkungan, baik situasi
lingkungan yang sudah diketahui
maupun situasi yang belum
diketahui atau yang selalu
berubah.
Perencanaan strategis sebagai upaya
yang didisiplinkan untuk membuat
keputusan dan tindakan penting ang
membentuk dan memandu bagaimana
menjadi organisasi, apa yang dikerjakan
organisasi, dan mengapa organisasi
mengerjakan hal seperti itu. Yang
terbaik, perencanaan strategis
mensyaratkan pengumpulan informasi
secara secara luas, eksplorasi alternatif,
dan menekankan implementasi masa
depan keputusan sekarang (Bryson : 4).
Perencanaan strategis dapat
membantu suatu organisasi dalam :
1. Berpikir secara strategis dan
mengembangkan stretegi-strategi
yang efektif
2. Memperjelas arah masa depan
3. Menciptakan prioritas
4. Membuat keputusan sekarang
dengan mengingat kosekuensi masa
depan.
5. Mengembangkan landasan yang
koheren dan kokoh bagi pembuat
keputusan
6. Menggunakan keleluasaan yang
maksimum dalam bidang-bidang
yang berada dibawah control
organisasi
7. Membuat keputusan yang melintasi
tingkat dan fungsi
8. Memecahkan masalah utama
organisasi
9. Menangani keadaan yang berubah
dengan cepat secara afektif
10. Membangun kerja kelompok dan
keahlian.
Menurut Undang-undang No. 34
tahun 2000 pasal 2 ayat 2 a, pajak hotel
adalah pajak atas pelayanan hotel.
Sedangkan yang dimaksud dengan hotel
adalah bangunan yang khusus disediakan
bagi orang untuk dapat
menginap/istirahat, memperoleh
pelayanan, dan/atau fasilitas lainnya
dengan dipungut bayaran, termasuk
bangunan lainnya yang menyatu,
dikelola dan dimiliki oleh pihak yang
sama, kecuali untuk pertokoan dan
perkantoran.
Marihot (2005 : 245) mengatakan
bahwa pajak hotel adalah punutan yang
dilakuan oleh daerah atas pembayaran
kepada hotel. Jadi jelas bahwa pajak
hotel merupakan salah satu sumber pajak
yang berkompeten dalan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah.
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pasaman
(Studi Kasus Pajak Hotel)
61
METODE
Menurut Rangkuti (1997 : 18)
analisis SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi organisasi atau
perusahaan. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (Strengths) dan peluang
(opportunities) namun secara bersamaan
dapat namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (Weaknesses)
serta ancaman (Thrests).
Peneliti menetapkan informan dalam
penelitian ini adalah Kepala Dinas
Pendapatan Dan Pengelolaan Keuangan
Daerah Kabupaten Pasaman. Informan
tersebut dijadikan pangkal informan, dari
informan akan diperoleh informan
susulan yaitu Kepala Bidang
Pendapatan, dari Kepala Bidang
Pendapatan di peroleh lagi informan
susulan yaitu Kasi Perencanaa
Pendapatan dan Penetapan dan Kasi
penagihan, Pembukuan dan Evaluasi,
dari Kasi penagihan, Pembukuan dan
Evaluasi diperoleh lagi informan susulan
yaitu Petugas PAD. Petugas PAD yang
dipilih Peneliti adalah petugas PAD yang
ada diKecamatan Lubuk Sikaping karena
di Kecamatan Lubuk Sikaping terdapat
banyak hotel. Dan dalam menentukan
informan selanjutnya ini ditentukan
dengan metode snowball sampling atau
bola salju.
Untuk memperoleh data yang
diinginkan dalan penelitian ini, maka
pengumpulan data dilakukan dengan
cara, yaitu: Wawancara dan Studi
kepustakaan. Analisa dilakukan secara
kualitatif terhadap analisis
SWOT(Strength,
Weakness,
Opportunity, Threats). Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan
kekuatan
(STRENGTHS) dan peluang
(OPPORTUNITIES), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (WEAKNESSES) serta
ancaman (THRESTS).
HASIL
Berdasarkan hasil penelitian
lapangan yang dilakukan penulis telah
terkumpul beberapa parameter dan dapat
diidentifikasikan bahwa permasalaha
yang terjadi dalam pemungutan pajak
hotel di Kabupaten Pasaman adalah
rendahnya target yang ditetapkan oleh
bagian Penetapan di Dinas Pendapatan
dan Pengelolaan Keuangan (DPPK)
Kabupaten Pasaman serta realisasi pajak
hotel bila dibandingkan dengan potensi
dari pajak hotel tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
informan susulan tersebut di ketahui
bahwa pendapatan dari pajak hotel
tersebut hanya diperoleh melalui hasil
kesepakatan dengan pihak hotel,
kesepakatan yang dimaksud adalah
kesepakatan seberapa sanggupnya pihak
hotel membayar pajak kepada Pemda
Pasaman yang dalam hal ini adalah
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan (DPPK). Pihak hotel tidak
sanggup membayar besarnya pajak yang
sudah ditetapkan oleh PERDA Kab.
Pasaman yaitu PERDA no 14 tahun
2003 pasal 7 yang menyebutkan tarif
pajak hotel sebesar 10% dari
pembayaran yang dilakukan kepada
pihak hotel. Pihak hotel beralasan bahwa
selama ini pendapatan yang diterimanya
sudah sangat kecil dan jika dikenakan
pajak sesuai tarif yang sudah ditetapkan
PERDA maka pendapatan mereka akan
semakin kecil. Sebenarnya, jika pemilik
hotel mengerti tentang ini PERDA
tersebut maka pembayaran pajak hotel
tidak akan terasa berat karena pajak
hotel yang di pungut bukanlah dibayar
oleh pemilik hotel, tetapi pengguna jasa
hotel lah yang membayar pajak tersebut,
apabila setiap pembayaran kepada pihak
hotel di tambahkan 10% untuk pajak
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pasaman
(Studi Kasus Pajak Hotel)
62
maka tidak akan mengganggu
pendapatan mereka dan pajak hotel pun
akan lancar dibayarkan.
Dari hasil penelitian yang selama ini
penulis lakukan potensi pajak hotel
sangatlah basar, namun pajak yang di
bayarkan kepada Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Keuangan (DPPK)
Kabupaten Pasaman sangatlah kecil.
Perbandingan antara jumlah pajak yang
di bayarkan dengan jumlah pajak yang
sudah ditetapkan oleh PERDA sangat
jauh sekali bedanya.
Dengan demikian penulis akan
memaparkan beberapa hasil penelitian
yang disajikan dalam bentuk matriks
SWOT (Strengths, Weakness,
Opportunitties, Threats) dan dengan
analisa yang mengarah untuk
menciptakan alternatif - alternatif yang
mungkin tidak terpikirkan selama ini.
Matriks SWOT ini akan disajikan
dengan memasukkan faktor-faktor
internal (IFAS) yaitu kekuatan
(strengths) dan kelemahan (weakness)
serta faktor-faktor eksternal (EFAS)
yaitu terdiri dari peluang (oppoetunitties)
dan ancaman (threats). Matriks ini dapat
menggambarkan secara jelas bagaimana
peluang dan ancaman yang datang dari
eksternal dihadapi dengan kekautan dan
kelemahan yang dimiliki.
Analisis SWOT Dalam Penentuan
Strategi Untuk Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten
Pasaman ( Studi Kasus Pajak Hotel )
Faktor Internal
Strengths
1. Perda yang mengatur tentang pajak
hotel.
2. Adanya petugas PAD yang bertugas
disetiap kecamatan.
3. Tersedianya data yang lengkap
mengenai hotel.
4. Sosialisasi yang diberikan kepada
pemilik/pengelola hotel tentang
pajak hotel.
Weekness
1. Sedikitnya jumlah SDM yang
berkualitas di kantor Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan (DPPK) Kabupaten
Pasaman.
2. Kurangnya insentif untuk petugas
pemungut pajak dilapangan.
3. Kurangnya sarana dan prasarana yang
mendukung pemungutan pajak hotel.
4. Tidak adanya sangsi yang tegas yang
di berikan kepada wajib pajak yang
tidak membayar pajak.
Faktor Eksternal
Opportunity
1. Cukup besarnya potensi pajak hotel
2. Potensi kepariwisataan yang cukup
tinggi.
3. Koordinasi yang baik dengan pihakpihak
yang terkait dengan
pemungutan pajak hotel.
4. Cendrung stabilnya tingkat
perekonomian mengakibatkan
lancarnya pendistribusian barangbarang
hasil produksi
Threat
1. Kurangnya kesadaran dari wajib
pajak untuk membayar pajak sesuai
dengan perda.
2. Rendahnya SDM pemilik hotel.
3. Kurang optimalnya pengelolaan
bidang kepariwisataan.
4. Lambannya perkembangan
pembangunan di Kabupaten
Pasaman.
Strategi S-O
1. Optimalisasi potensi kepariwisataan
akan banyak mendatangkan
wisatawan yang akan menggunakan
jasa hotel.
2. Adanya petugas PAD di setiap
kecamatan akan memberikan
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pasaman
(Studi Kasus Pajak Hotel)
63
kemudahan bagi wajib pajak untuk
membayar pajak.
3. Lengkapnya data mengenai
perhotelan memudahkan dalam
perhitungan pajak.
Strategi W-O
1. Berikan pendidikan dan pelatihan
yang memadai kepada pegawai yang
berhubungan dengan pajak hotel.
2. Tambah personil yang akan
memungut pajak hotel sehingga bisa
di optimalkan potensi pajak hotel
tersebut.
3. Lengkapi sarana dan prasarana yang
mendukung untuk meningkatkan
pendapatan pajak hotel.
4. Berikan sangsi yang tegas kepada
wajib pajak yang tidak membayarkan
pajak sesuai dengan tarif yang di
tetapkan perda.
Stretegi S-T
1. Dengan adanya Perda yang mengatur
tentang pemungutan pajak hotel
tersebut maka petugas harus bisa
memberikan sangsi yang tegas kepada
wajib pajak yang terlambat atau tidak
membayar pajak.
2. Percepat pembangunan di Kabupaten
Pasaman sehingga Kabupeten
Pasaman memiliki sesuatu yang bisa
menarik wisatawan datang.
3. Pemberian sosialisasi dan pelatihan
kepada pihak hotel tentang pajak hotel
Strategi W-T
1. Sulitnya menjalankan Perda,
kurangnya kesadaran wajib pajak dan
lambannya perkembangan Kabupeten
Pasaman merupakan tantangan yang
harus di atasi tidak hanya oleh
eksekutif atau legislatif tapi juga oleh
seluruh masyarakat Pasaman.
2. Tidak adanya pemberian sangsi yang
tegas menyebabkan hilang nya
kesadaran wajibp pajak untuk
membayar pajak.
3. Rendahnya SDM kantor DPPK
Pasaman menyebabkan Perda sulit
dijalankan.
Ketersediaan peraturan perundangundangan
yang mengatur tentang
pemungutan pajak hotel tersebut
merupakan sebuah kekuatan bagi
pemerintah Kab. Pasaman yang dalam
hal ini di jalankan oleh Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan
(DPPK) Kabupaten Pasaman, peraturan
tersebut adalah PERDA no 14 tahun
2003. di dalam PERDA ini sangat jelas
disebutkan bahwa tarif pajak hotel
sebesar 10 % dari pembayaran yang
dilakukan kepada pihak hotel. Item ini
bisa dijadikan sebagai strategi untuk
memanfaatkan peluang (oppoetunitties)
yang ada maupun untuk mengatasi
kelemahan (weakness) dan ancaman
(threats) yang terjadi.
Selain tersedianya peraturan yang
mengatur tentang pajak hotel, adanya
data yang lengkap mengenai perhotelan
di Kabupaten Pasaman akan
mempermudah untuk menghitung
seberapa besar potensi yang akan di gali
dan juga mempermudah penetapan
target. Adanya petugas PAD yang
tersebar di setiap kecamatan yang ada di
Kabupaten Pasaman juga akan
mempermudah dalam penagihan pajak
kepada pihak hotel. Namun kenyataan
yang terjadi di lapangan dirasakan masih
kurang karena disetiap kecamatan hanya
ada satu orang petugas PAD yang
mengurus masalah pajak di
kecamatannya, satu orang ini mengurusi
semua masalah pajak yang ada di
kecamatannya kecuali PBB. Selain itu
insentif atau upah pungut yang di
berikan sangat lah kecil yaitu sebesar Rp
100.000 per bulan itu pun di bayarkan
tidak perbulan.
Kekurangan personil juga dirasakan
di dalam Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Keuangan (DPPK)
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pasaman
(Studi Kasus Pajak Hotel)
64
Kabupaten Pasaman khusus nya pada
bagian Pendapatan. Pada bagian
pendapatan ini di bagi menjadi tiga seksi
yaitu Seksi Perencanaan dan Penetapan,
Seksi Dana Perimbangan dan Bagi Hasil
dan Seksi Penagihan, pembukuan dan
Evaluasi. Masing-masing seksi di
kepalai oleh seorang pegawai eselon III
dengan tiga orang staf, jadi jumlah
semua pegawai yang ada di bagian
pendapatan ada 13 orang dengan rincian
satu orang kepala bagian, tiga orang
kepala sub bidang dan sembilan orang
staf. Ini dirasakan masih sangan kurang
karena bagian ini mempunyai tugas yang
berat salah satu nya mengurusi masalah
pajak. Jika berbicara masalah pajak pasti
akan berhubungan langsung dengan
masyarakat, untuk itu diperlukan banyak
personil untuk dapat langsung terjun ke
masyarakat.
Masalah lain yang dihadapi oleh
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan (DPPK) Kabupaten Pasaman
adalah susahnya memungut pajak sesuai
dengan tarif yang sudah ditetapkan oleh
perda, ini adalah ancaman yang selama
ini dihadapi oleh dinas Pendapatan dan
Pengelolaan kab Pasaman. Wajib pajak
beralasan bahwa pendapatannya selama
ini sudah sangat kecil, jika dipungut juga
pajak sesuai dengan yang telah
ditetapkan oleh Perda yaitu sebanyak
10% dari pendapatan hotel maka
pendapatan mereka akan semakin
berkurang. Hal ini di sebabkan oleh
rendah nya pengetahuan wajib pajak
mengenai pajak hotel.
Hal tersebut bisa diatasi dengan
pemberian pengetahuan kepada wajib
pajak bagai mana cara untuk dapat
membayar pajak hotel tanpa harus
mengurangi pendapatan mereka. Mereka
harus diberikan pelatihan untuk dapat
mengelola keuangan dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian penulis,
selama ini pihak Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Keuangan (DPPK)
Kabupaten Pasaman hanya memberikan
sosialisasi mengenai pajak hotel tanpa
adanya pelatihan lebih dalam mengenai
pengelolaan keuangan untuk dapat
membayar pajak sesuai dengan yang
sudah ditetapkan PERDA.
Kurang menariknya Pasaman untuk
di kunjungi para wisatawan juga sangat
berpengaruh pada bisnis perhotelan yang
ada di Pasaman. Menurut hasil
wawancara penulis dengan beberapa
pemilik hotel, bahwa selama ini
pengguna jasa hotel yang ada di
Pasaman adalah distributor-distributor
yang datang dari Padang untuk
mendistribusikan hasil produksi
perusahaan mereka, mereka menginap
paling kurang 4 hari dalam seminggu
dan kembali ke Padang dan begitulah
setiap minggunya, kadang - kadang ada
tamu yang cuma istirahat sebentar untuk
melanjutkan perjalanan dari Padang ke
Medan dan sebaliknya, itu pun sangat
jarang.
Tetapi walaupun begitu, menurut
hasil perhitungan peneliti potensi untuk
pajak hotel masih sangat besar, karena
hotel-hotel yang ada di Pasaman
umumnya sudah memiliki langganan
tetap dari para ditributor tersebut, jadi
pendapatan mereka bisa dikatakan sudah
jelas.
Besarnya potensi kepariwisataan di
Kabupaten Pasaman merupakan peluang
besar di bidang perhotelan, namun
sayang nya sampai sekarang bidang
kepariwisataan ini nampaknya masih
belum dapat dikelola secara maksimal,
banyak objek-objek wisata yang ada di
Pasaman belum dikelola dengan baik.
Padahal jika bidang kepariwisataan
dapat berjalan dengan baik pasti juga
akan membawa perubahan kepada
bidang perhotelan.
Dari hasil analisis SWOT diatas di
peroleh beberapa strategi yang bisa
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pasaman
(Studi Kasus Pajak Hotel)
65
digunakan oleh DPPK Kabupaten
Pasaman dalam meningkatkan
pendapatan pajak hotel. Strategi itu
antara lain :
1. Berikan pendidikan dan pelatihan
kepada pagawai yang mengurus
pajak hotel.
2. Lengkapi sarana dan prasarana yang
menudukung pemungutan pajak
hotel.
3. Berikan insentif yang memadai
untuk setiap petugas pemungut
pajak.
4. Mengelola potensi kepariwisataan
sehingga akan mendatangkan banyak
wisatawan yang menggunakan jasa
hotel.
5. Berikan sangsi yang tegas kepada
pihak hotel yang tidak mematuhi
peraturan yang berlaku.
Faktor Internal Dan Faktor Eksternal
Tabel. 2
Perhitungan Bobot (Pembobotan) Faktor Internal
Faktor
pendukung/Internal
Kekuatan(strengths)
1. Perda yang
mengatur tentang
pajak hotel.
2. Adanya petugas
PAD yang
bertugas disetiap
kecamatan.,
3. Tersedianya data
yang lengkap
mengenai hotel,
4. Sosialisasi yang
diberikan kepada
pemilik/pengelola
hotel tentang
pajak hotel
Kelemahan(Weakness)
1. Sedikitnya
jumlah SDM
yang berkualitas
di kantor Dinas
Pendapatan dan
Pengelolaan
Keuangan (
DPPK )
Kabupaten
Pasaman
2. Kurangnya
insentif untuk
petugas
pemungut
dilapangan.
3 Kurangnya sarana
dan prasarana
yang mendukung
pemungutan
pajak hotel.
Bobot Rating Skor Keterangan
0.20 4 0.80
0.15 4 0.60
0.05 2 0.10
0.10 3 0.30
0.15 2 0.30
0.10 2 0.20
0.15 2 0.30
4. Tidak adanya 0.10 3 0.30
sangsi yang tegas
yang di berikan
kepada wajib
pajak yang tidak
membayar pajak.
Total 1.00 2.90
Sumber : Hasil Penelitian lapangan :2009
Tabel. 2 dapat di ketahui bahwa item
kekuatan (strengths ) yang paling tinggi
skor nya adalah tersedianya peraturan
perundang-undangan yang mengatur
tentang pajak hotel. Peraturan
perundang-undangan ini adalah dasar
bagi DPPK dalam membuat suatu
strategi dan akhirnya menjadi sebuah
kebijakan yang akan direalisasikan
melalui program-program.
Tabel. 3
Perhitungan Bobot (Pembobotan) Faktor
Eksternal
Faktor Pendukung/Eksternal Bobot Rating Skor Keterangan
Peluang(Opportunities)
1. Cukup besarnya potensi
pajak hotel.
2. Potensi kepariwisataan
yang tinggi
3. Koordinasi yang baik
dengan pihak-pihak yang
terkait dengan
pemungutan pajak hotel
4. Cenderung stabilnya
tingkat perekonomian
mengakibatkan lancarnya
pendistribusian barangbarang
hasil produksi.
Sumber : Hasil Penelitian lapangan :2009
0.15 4 0.60
0.15 4 0.60
0.15 3 0.45
0.10 2 0.20
Ancaman (Threats)
1. Kurangnya kesadaran dari 0.10 2 0.20
wajib pajak untuk
membayar pajak sesuai
dengan perda.
2. Rendahnya SDM pemilik 0.10 3 0.30
hotel.
3. Kurang optimalnya
0.15 2 0.30
pengelolaan bidang
kepariwisataan.
4. Lambannya
0.10 4 0.40
perkembangan
pembangunan di
Kabupaten Pasaman.
Total 1.00 3.05
Tabel. 3 dapat diketahui bahwa yang
paling tinggi skornya adalah tingginya
potensi pajak hotel dan tingginya potensi
kepariwisataan di Kabupaten Pasaman.
Tingginya potensi pajak hotel ini
merupakan titik tolak atau titik awal
pembuatan strategi-strategi untuk dapat
mengoptimalkan tingginya potensi
tersebut agar menjadi pendapatan yang
akan menambah Pendapatan Asli Daerah
( PAD ). Selain itu tingginya potensi
kepariwisataan juga memiliki andil yang
besar dalam perkembangan perhotelan.
Jika bidang kepariwisataan dikelola
dengan baik maka dengan sendirinya
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pasaman
(Studi Kasus Pajak Hotel)
66
bidang perhotelan juga akan berkembang
dan akhirnya akan menambah
pendapatan bidang pajak hotel. Dengan
item-item ini di harapkan DPPK
Kabupaten Pasaman bisa
memaksimalkan semua peluang yang
ada untuk dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah ( PAD ).
Grafik. 1
Pembobotan SWOT
Grafik. 1 diatas diketatui bahwa
koordinat berada jauh dari sumbu
weakness-opportunities, strengthsthreats,
weakness-threats, tapi titik
koordinat bertemu di sumbu strengthsopportunities.
Ini berarti DPPK
Kabupaten Pasaman dalam mengambil
kebijakan mengenai pajak hotel
mempunyai potensi kekuatan (strengths)
dan peluang (Opportunities) yang lebih
besar jika dibandingkan dengan
kelemahan (Weakness) dan ancaman
(Threats) yang ada. Namun pihak DPPK
Kabupaten Pasaman harus tetap
mempertimbangkan kelemahan dan
ancaman yang ada.
SIMPULAN
Disimpulkan bahwa selama ini Perda
no.14 tahun 2003 tentang pajak hotel
tidak bisa dijalankan dengan baik,
selama ini pajak hotel yang diterima oleh
Pemerintah Daerah adalah jumlah pajak
berdasarkan hasil kesepakatan antara
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Daerah (DPPK) dengan pihak
hotel seberapa sanggup pihak hotel
untuk membayarkannya sehingga
pendapatan dari pajak hotel yang
diteriman sangat lah kecil jika dibanding
dengan potensi yang ada. Hendaknya
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Daerah (DPPK) Kabupaten
Pasaman menghitung kembali seberapa
besar potensi pajak hotel yang dimiliki
Kabupaten Pasaman. Sehingga bisa
ditetapkan seberapa besar target yang
harus ducapai agar dapat meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah ( PAD ).
DAFTAR RUJUKAN
David, Fred.R. terjemahan Paulyn
Sulistio dan Harryadin Mahardika.
Strategic Manajement. Salemba
Empat. Jakarta. 2006.
Rangkuti, Freddy. Analisis SWOT Teknik
Pembedah
Kasus
Bisnis.GramediaPustakan Utama.
Jakarata. 1997.
Salusu,J. Pengambilan Keptusan
Stratejik Untuk Organisasi Public
dan Organisasi Nonprofit. PT
Grasendo Widiasarana Indonesia.
Jakarta. 1996.
Siahaan, Marihot. P. Pajak Daerah &
Retribusi Daerah. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 2006.
Sudriamunawar, Haryono.Pengantar
Studi
Administrasi
Pembangunan.Mandar Maju.
Bandung. 2002.
Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
OKTA KARNELI
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277
Abstrak : Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan
di Indonesia jauh sebelum Negara ini terbentuk. Struktur sosial desa, masyarakat adat dan lain
sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai potensi sangat penting dan otonom dengan
tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Kemandirian desa menuntut adanya
otonomi desa yang telah didukung oleh Undang-Undang No 32 thm 2004 tentang pemerintahan daerah.
Untuk mewujudkan desa yang otonom, maka segenap potensi desa baik kelembagaan, sumber daya alam
dan manusia harus dapat dioptimalkan. Sehingga penekanan dari kajian ini adalah melihat bagaimana
persiapan pemerintah dalam menuju desa otonomi yang meliputi penguatan kelembagaan, pelimpahan
wewenang kepada desa dan pengalokasian dana desa. Kajian ini dilakukan di desa/kelurahan yang
tersebar di 5 (lima) kecamatan di kabupaten Kuansing. Sebanyak 10 % dari jumlah desa yang berada di
wilayah kecamatan terpilih akan diambil sebagai responden penelitian adalah pimpinan dan aparatur
pemerintahan desa serta para tokoh masyarakat setempat. Hasil kajian ternyata menunjukan bahwa
kelembagaan desa sebagai organisasi formla diwilayah penelitian belum optimal dalam menjalankan
kewenangan, tugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundangan yang
ada. Sehingga diperlukan adanya peningkatan kapasitas tata kepemimpinan pemerintahan desa dengan
berbagai arah kebijakan, seperti meningkatkan kapabilitas kepala desa dan aparatur desa beserta BPD
serta meningkatkan kematangan dan kedewasaan masyarakat baik oleh pemerintah desa maupun oleh
pemerintah Kabupaten Kuansing.
Kata kunci : Otonomi Desa, Penguatan Kelembagaan, Pelimpahan Wewenang dan Alokasi Dana Desa
Undang-undang No 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, telah
membarikan peluang dan kesempatan
bagi desa dalam memberdayakn
masyarakat desa beserta desanya. Untuk
mewujudkan peluang menjadi desa
otonomi tersebut maka segenap potensi
desa baik berupa kelembagaan, sumber
daya alam dan sumber daya manusia
harus dapat dioptimalkan. Pemerintah
Kabupaten Kuantan Singingi telah
membuka wacana untuk menghidupkan
kembali system pemerintahan adat yang
selama diyakini telah dapat
menggerakan masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam pembangunan.
Sistem pemerintahan adat sesuai dengan
Undang-Undang No 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah dimana
daerah mempunyai peluang untuk
menciptakan system pemerintahan yang
bersifat desentralisasi yang
berimplikasi pada demokratisasi dan
otonomi dalam masyarakat. Khususnya
masyarakat yang berada didesa atau
nagori/kenegerian atau sebutan lainnya.
Sehubungan dengan percepatan
pencapaian cita-cita otonomi desa maka
beberapa perangkat perlu disiapkan
untuk mendukung pencapaian
pelaksanaan otonomi desa tersebut.
Perangkat tersebut berupa penguatan
kelembagaan, pelimpahan wewenang
67
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
68
kepada desa dan pengalokasian dana
desa.
Adapun tujuan dalam penelitian ini
adalah :
1. Melakukan kajian terhadap
persiapan kearah otonomi desa di
Kabupaten Kuantan Singingi,
meliputi penguatan kelembagaan,
pelimpahan wewenang kepada desa
dan pengalokasian dana desa.
2. Melakukan kajian terhadap
kemungkinan pengembalian system
pemerintahan desa sesuai dengan
pemerintahan adat di Kabupaten
Kuantan Singingi.
Otonomi desa yang semestinya
diikuti dengan otonomi dalam bidang
keuangan atau otonomi fiscal, sekarang
ini sudah mulai mendapat perhatian dari
pemerintah, pemerintah propinsi dan
pemerintah kabupaten. Hal ini dapat
dilihat sekarang dari pemerintah
kabupaten telah menganggarkan alokasi
dana desa (ADD) untuk setiap desanya,
minimal 10% dalam APBD Kabupaten.
Hal ini diharapkan membawa dampak
bagi penyelenggaraan pemerintah,
pembangunan dan kemasyarakatan.
Namun yang perlu diperhatikan adalah
agar dana tersebut dapat dimanfaatkan
secara maksimal. Pemerintah desa harus
membuat perencanaan penggunaan dan
laporan alokasi dana tersebut, sehingga
dana tersebut idak memberi manfaat
kepada masyarakat.
Standard dan norma yang harus
diikuti dalam penyelenggaran
pemerintahan desa menuju otonomi
adalah sebagai berikut : Pertama, Agar
penyelenggaraan pemerintahan desa
dapat lebih peka dalam memahami
adpirasi dan permasalahan yang
dihadapi masyarakat. Sehubungan
dengan hal ini ada 7 azas
penyelenggaraan pemerintahan desa
yang ditekankan yaitu azas kepastian
hukum, azas tertib kepentingan umum,
azas keterbukaan, profesionalitas, azas
akuntabilitas, efesiensi dan azas
efektifitas. Kedua, penyelenggaraan
pemerintahan desa dilakukan oleh
badan permusyawaratan desa,
pemerintahan desa dan musyawarah
desa. Ketiga, badan perwakilan desa
atau disebut dengan nama lain adalah
lembaga perwakilan rakyat desa yang
menjalankan fungsi artikulasi dan
agregasi kepentingan warga desa, fungsi
legilasi (pengaturan), fungsi budgeting
dan fungsi pengawasan. Keanggotaan
badan perwakilan desa dapat dipilih
atau berdasarkan musyawarah secara
berjenjang sesuai dengan adat istiadat
dan tradisi setempat. BPD
mencerminkan perwakilan unsur-unsur
atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat desa, termasuk kuota 30 %
untuk kaum perempuan. Kedudukan,
mekanisme pemilihan, persyaratan,
jumlah, fungsi control, wewenang,
kewajiban, hak, larangan, mekanisme
rapat, penghasilan tetap atau tunjangan
dari BPD selanjutnya diatur dalam
peraturan daerah. Keempat,
Musyawarah desa merupakan
perwujudan
demokrasi
permusyawaratan (deliberative
democracy), yakni model pengambilan
keputusan dengan menggunakan
musyawarah untnuk mencapai mufakat
secara klektif, seperti halnya bentuk
rembug desa atau musyawarah adat ;
musyawarah desa merupakan forum
tertinggi dalam mengambil keputusan
atas masalah-masalah strategis di desa.
Ketujuh, kepala desa di bantu oleh
unsur pemerintah desa yang meliputi
sekretaris desa dan perangkat desa.
Kelembagaan desa yang bersifat
formal di sebut pemerintahan desa
merupakan kelembagaan desa yang
bertanggung jawab untuk
mendinamisasi masyarakat dalam aspek
pembangunan, kemasyarakatan dan
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
69
pemerintahan senagaimana juga fungsifungsi
tersebut dilakukan oleh
pemerintah diatasnya.
Rekonmendasi yang dapat di
berikan terhadap pengutan kelembagaan
desa sesuai dengan pengkajian lapangan
yaitu perlu dilakukan pengisian jabatan
kelembagaan desa tersebut dengan
melakukan rekrutmen dengan selektif
diman harus di pilih oleh orang-orang
yang mempunyai kemampuan dan yang
relevan dengan persoalan-persoalan
pemerintah.
Namun dalam perkembangannya,
Chester I. Barnard menyarankan bahwa
dalam membahas kewenangan harus
memperhatikan apakah kewenangan itu
di terima oleh yang menjalankan
(“whether orders are accepted by those
mho receive them”). Biasanya desa
hanya melaksanakan kewenangan
melekat seperti pembuatan KTP, kartu
keluarga dan lain-lain. Sedangkan
kewenagan asal usul seperti mengolola
aset desa kurang optimal, termasuk
kurangnyapengelolaan pasar desa dan
asset lain-lain yang bisa menjadi
sumber pendapatan desa. Selain itu, ada
suatu jenis kewenangan (urusan) yang
bersifat tambahan, yakni kewenangan
dalam tugas pembantuan (delegasi)
yang di berikan oleh pemerintah dan
pembanguna yang di berikan oleh
pemerintah. Prinsip dasarnya, dalam
tugas pembantuan ini desa hanya
menjalankan tugas-tugas administratif
(mengurus) di bidang pemeritahan dan
pembangunan yang diberikan
pemerintah. Tugas pembantuan di sertai
dengan dana, personil dan fasilitas.
Desa berhak menolak tugas pembantuan
jika tidak di sertai dengan dana, personil
dan fasilitas.
Sebagai konsekuensi dari
keberagaman desa berdasarkan optional
village maka kewenangan desa pun
disesuaikan dengan desa yang dipilih :
Pilihan Model
Desa Integrated
Desa
Koeksistensi
Tabel 1
Kewenangan Desa
Kewenangan
- Kewenangan asal-usul
- Kewenangan Atributif
- Tugas Pembantuan
- Kewenangan atributif
- Tugas pembantuan
Desa integrated memiliki tiga
kewenangan, sedangkan Desa
koekstensi dengan masyarakat adat,
kewenangan asal usul menjadi
kewenangan masyarakat adat.
Desa mendapat dana operasional
desa sebesar Rp 12.000.000,- per tahun
yan dialokasikan secara merata untuk
seluruh desa di Kabupaten Kuantan
Singingi. Selain itu juga ada ADD
(Alokasi Dana Desa ) Rp 50.000.000,-
per tahun, tetapi pembagian dana
tersebut dianggap belum proporsional
menurut kebutuhan desa. Ada lagi dana
yang dapat diperoleh desa berupa dana
bergulir berdasarkan kriteria yang
disyaratkan oleh pemerintah Kabupaten
Kuantan Singingi untuk
mendapatkannya sehingga ada
kompetisi dari desa-desa.
Sebagaiman dipahami bahwa esensi
pemerintahan adalah pelayanan kepada
masyarakat oleh karena itu pemerintah
tidak diadakan untuk dirinya sendiri
tetapi untuk melayani masyarakat serta
menciptakan kondisi yang
memungkinkan setiap anggota
masyarakat mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya demi
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
70
mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998
: 139).
Pemerintahan sebagai pelayan
masyarakat (publik service) sudah
seharusnya memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat.
Pelayanan yang berkualitas selaian
bermanfaat bagi masyarakat juga
bermanfaat terhadap citra aparat
pemerintah itu sendiri. Dalam info PAN
(1990 : 35) dikatakan bahwa: Kualitas
pelayanan aparatur pemerintah kepada
masyarakat merupakan tingkat efisiensi,
efektivitas dan produktivitas dari sistem
kemampuan
kelembagaan,
kepegawaian, dan ketatalaksanaan
dalam mendorong, menumbuhkan serta
memberikan pengayoman terhadap
prakarsa dan pemenuhan kebutuhan
pelaksanaan hak dan kewajiban
masyarakat.
Adanya perubahan dari desa
menjadi kelurahan menuntut adanya
penyesuaian perangkat dari perangkat
desa menjadi perangkat kelurahan
karena dalam kedua sistem
pemerintahan itu walaupun setara tetapi
komponen-komponen yang ada dalam
birokrasinya berbeda. Satu masalah
yang dapat muncul dalam pemberian
pelayanan kepada masyarakat adalah
kurang mampunya perangkat kelurahan
yang baru untuk melayani masyarakat
dengan baik. Padahal adanya perubahan
status dari desa menjadi kelurahan
membawa konsekuensi adanya
peningkatan kualitas pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat.
Menurut Widodo (2001 : 75),
pelayanan yang diharapkan dan menjadi
tuntutan pelayanan publik oleh
organisasi publik yaitu pemerintah lebih
mengarah pada pemberian layanan
publik yang lebih professional, efektif,
efesien, sederhana, transparan, terbuka,
tepat waktu, responsive dan adatif.
Pelayanan publik yang professional
artinya pelayanan yang memiliki
akuntabilitas dan responsibilitas dari
pemberi layanan (aparatur pemerintah).
Efektif, lebih mengutamakan pada
pencapaian tujuan dan sasaran.
Sederhana, mengandung arti prosedur
tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan
mudah dilaksanakan oleh masyarakat
yang meminta pelayanan. Kejelasan dan
kepastian (transparan), mengandung
arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai prosedur tata cara pelayanan,
persayaratan pelayanan baik secara
teknis maupun administratif, unit kerja
dan atau pejabat yang berwenang dan
bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan, rincian biaya atau tarif
pelayanan dan tata cara pembayaran
serta jadwal waktu penyelesaian
pelayanan. Keterbukaan, mengandung
arti semua proses pelayanan wajib
diinformasikan secara terbuka agar
mudah diketahui dan dipahami
masyarakat baik diminta ataupun tidak.
Efesiensi, mengandung arti persyaratan
pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal
yang berkaitan langsung dengan
pencapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keterpaduan
antara persyaratan dengan produk
pelayanan, mencegah adanya
pengulangan pemenuhan persyaratan.
Ketepatan waktu mengandung arti
pelaksanaan pelayanan masyarakat
dapat diselesaikan dalam waktu yang
telah ditentukan. Responsif lebih
mengarah pada daya tanggap dan cepat
menanggapi apa yang menjadi masalah,
kebutuhan dan aspirasi yang dilayani.
Adatif mengandung arti cepat
menyesuaikan tuntutan apa yang
tumbuh dan berkembang di lingkungan
sekitarnya.
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
71
Sebelum berlakunya Undangundang
Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, secara normatif
kelurahan hanya dapat dibentuk pada
ibu kota kecamatan pada pemerintah
Kabupaten dan kota. Namun dengan
berlakunya Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tersebut membawa beberapa
konsekuensi terhadap desa dalam hal
peningkatan status desa yang selama ini
masih terdapat pada ibu kota
kecamatan, dimana menurut pasal 200
ayat (3) dinyatakan bahwa desa di
Kabupaten/Kota secara bertahap dapat
dirubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai dengan usul
dan prakarsa Pemerintah Desa bersama,
Permusyawaratan Desa serta Badan
Permusyawaratan Desa yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
Persyaratan yang juga harus
diperhatikan untuk melakukan
perubahan status desa menjadi
kelurahan diatur pada Peraturan
Pemerintah yang sama, tepatnya pada
pasal 5 ayat (2) yang berbunyi :
Perubahan status Desa menjadi
kelurahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) memperhatikan persyaratan :
a. Luas wilayah
b. Jumlah penduduk
c. Prasarana dan sarana pemerintahan
d. Potensi ekonomi, dan
e. Kondisi sosial budaya masyarakat.
Memperhatikan uraian diatas secara
normatif bahwa proses dan mekanisme
perubahan status Desa dimana saja
termasuk Desa di Ibu kota Kecamatan
untuk menjadi Kelurahan adalah :
1. Usul dan inisiatif/prakarsa
Pemerintah Desa bersama Badan
Permusyawaratan Desa.
2. Usul dan inisiatif/prakarsa
masyarakat dimaksud dengan
memperhatikan saran dan pendapat
masyarakat setempat.
Agar perubahan status Desa menjadi
Kelurahan tersebut dapat berjalan
dengan baik, hendaknya selain
memenuhi ketentuan normatif yang
diatur dengan Peraturan Perundangundangan
yang berlaku, maka
hendaknya Pemerintah Daerah sebelum
membuat Draf Ranperda diperlukan
pembuatan pengkajian yang dalam
untuk studi kelayakan, sehingga dapat
memenuhi norma-norma akademis.
METODE
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Proses penelitian
ini dilakukan secara partisipatif dengan
melibatkan seluruh stakeholder. Lokasi
penelitian adalah desa/kelurahan yang
tersebar di 5 (lima) kecamatan (Kuantan
Tengah, Kuantan M udik, Singingi
Hilir, Benai dan Cerenti). Jumlah
desa/kelurahan yang akan diambil
sebagai daerah sample adalah sebesar
10 % dari semua desa/kelurahan yang
tersebar di 5 kecamatan tersebut. Dari
setiap lokasi penelitian yang terpilih
akan diambil sebagai responden adalah
pimpinan dan aparatur pemerintahan
desa.
HASIL
Hasil temuan dilokasi penelitian
menunjukan bahwa secara kelembagaan
pemerintahan desa telah mempunyai
administrasi desa yang lebih baik.
Namun secara operasional kegiatan
pelaksanaan adminsitrasi desa belum
dapat dilaksanakan dengan optimal. Ini
terbukti dari seluruh jenis buku
administrasi yang diserahkan atau
didistribusikan oleh pemerintah kabuten
kuantan singingi kepada setiap desa ada
seluruhnya, tetapi 35% dari keseluruhan
jenis buku administrasi belum
dimanfaatkan atau belum diisi oleh
aparatur pemerintah desa. Dengan
belum tertibnya pengisian buku ini,
berimplikasi terhadap tidak tersedianya
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
72
database, baik bagi kebutuhan
pemerintah desa itu sendiri maupun
Pemerintah kecamatan.
Dari hasil wawancara dengan kepala
desa dan perangkat desa, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Rendahnya kinerja aparatur desa,
hal ini terkait dengan SDM yang
ada.
2. kurangnya pemberdayaan dan
pembinaa dari supra desa
{pemerintah kecamatan dan
kabupaten} dalam bentuk
pekatihan,kursus,sosialisasi,dsb.teru
tama bagi aparatur pemerintah desa.
3. Kurangnya sarana dan prasarana
yang tersedia di kantor desa, hal
kurang memotivasi bagi aparat
untuk berkeja.
4. Manejemen pemerintah desa yang
belum dikelola dengan baik,
terutama kepemimpinan kepala desa
terhadap stfnya atau jajarannya.
5. Insentif yang belum begitu memadai
bagi aparatur pemerintah desa,
karena sampai saat ini, pemerintah
desa hanya menggantungkan
tunjangan atau honor dari
pemerintah kabupaten, sementara
desa tidak memiliki sumber
penghasilan tetap dan tambahan,
seperti tanah kas atau kekayaan desa
lainnya.
Dari temuan lapangan, diketahui
pemerintah desa tidak banyak
megetahui apa yang menjadi
kewenangan atau sekarang dengan
istilah menurut UU Nomor 32 tahun
2004. Sampai saat ini, merbagai urusan
di atas tidak sertai landasan paying
hokum, baik dalam bentuk Peraturan
Derah (PERDA) maupun keputusan
bupati dsb. Sehingga boleh dikatakan
sejumlah urusan di atas masih kabur
atau tidak jelas. Namun secara tersirat
dan dalam prakteknya, pemerintah desa
sedikit banyak mana urusan rumah
tangga desa selama ni selalu
dipraktekkan, seperti, pemilihan kepala
desa dan perangkatnya , membuat
peraturan desa, menyusun
APBDes,menggali potensi dan
kekayaan desa dan pelestarian adt
istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Sedangkan beberap urusan lainnya
belum ada pelimpahan kewenangan
secara jelas kepada desa. Dari kondisi
diatas, suatu kewajaran apabila pada
umumnya pemerintah desa tidak
mengetahui banyak tentang sejumlah
urusan seperti yang tertera dalam
peraturan perundangan yang ada. Oleh
karena itu upaya yang harus dilakukan
oleh kabupaten adalah :
a. Mengidentifikasi dan
mengklasifikasi berbagai urusan
yang menjadi kewenangan dari
pemerintah desa sebagaimana yang
dimaksud dalam undang-undang
ataupun peraturan daerah.
b. Perangkat legislasi dan paying
hokum serta sosialisasi dari
pemerintah kabupaten dengan
kecanatan.
c. Adanya pola pembinaan yang
kontinu dan pengawasan dari
pemerintah kecamatan sebagai
Pembina pemerintahan .
Hasil penelitian lapangan
menyatakan bahwa dengan adanya dana
Desa yang akan diberikan kepada
pemerintah desa akan dapat
memperkuat eksistensi Pemerintah Desa
dari Badan Permusyawaratan Desa
dalam melakukan tugas dan fungsinya.
1. Hubungan Desa dengan
Kecamatan
Pada format dan pola yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan daerah
ternyata desa yang dipahami selama ini
kedudukan sebenarnya tidal jelas dan
nyata, sehingga menimbulkan beberapa
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
73
kendala dan hambatan dengan
kecamatan. Ketidak jelasan kedudukan
desa tersebut dapat menimbulkan multi
tafsi baik dari pihak Pemerintah Desa
maupun kecamatan. Hal ini dikarenakan
selam berlakunya Undang-undang
Nomor 5 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, kedudukan desa
berada langsung di bawah kecamatan
secara hirarkhis.
Perubahan pemerintahan desa menjadi
pemerintahan adat
Daerah-daerah di Indonesia
memang mempunyai keragaman yang
luar biasa baik dilihat dari sisi kultur
maupun kondisi geografis dan basis
ekonominya. Akan tetapi keragaman itu
tidak terlalu mempersulit penentuan
posisi dan bentuk daerah, sebab daerah
secara keseluruhan sudah ditetapkan
sebagai daerah otonom (local self
government) secara baku. Perbedaan
antara daerah cukup dijawab dengan
teori desentralisasi.
Ada beberapa pilihan yang bersifat
optional village. Dalam optional
village, karakteristik Desa meliputi :
Pertama, adalah integrasi fungsi
pemerintahan Desa ke dalam
pemerintahan adat sebagaimana terjadi
di Sumatera Barat. Forum diskusi
bersama Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) di Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan dan Nusa Tenggara Timur
tampaknya juga mengarah pada bentuk
desa yang terintegrasi itu. Kedua,
Perspektif peralihan sistem
pemerintahan desa menjadi sistem
pemerintahan adat. Peralihan dari
sistem pemerintahan desa kepada sistem
pemerintahan adat (kenegerian, atau
sebutan lainnya). Tentu akan membawa
suatu unit system sosial. Disini
pemerintah merupakaan unit system
yang mengeluarkan kebijakan,
sedangkan rakyat/masyarakat
merupakan unit yang menerima
kebijakan tersebut, dalam artian
pemerintah sebagai subyek, sedangkan
masyarakat sebagai objek.
Sebagai gambaran dahulu
kenegerian atau berbagai sebutan
lainnya dalam masyarakat Kuantan
Singingi, mempunyai perangkat
pemerintahan adat sendiri (adat besturr),
tetapi sekarang sudah tidak dikenal lagi
pemerintahan adat. Perangkat
pemerintahan negeri terdiri dari :
1. Orang-orang Godang, sebagai
pemangku adat yang membawahi
Penghulu suku.
2. Penghulu, adalah pemimpin suku
atau orang yang ditinggikan
seranting didahulukan selangkah
dan mewarisi pusaka dan
mengawasi anak kemenakan dan
orang kampong.
3. Monti, adalah pemangku adat yang
memelihara norma-norma adat serta
nilai-nilainya dengan tugas
menyelesaikan dan menghukum
silang selisih atau sengketa yang
timbul dikalangan adat negeri.
4. Dubalang, adalah pemangku adat
dengan tugas menghukum dan
mengamankan negeri bila terjadi
huru hara, keributan dan sebagainya.
5. Malin, disebut dengan suluh
bendang negeri, artinya penerang
yaitu orang yang mempunyai ilmu
tentang agama Islam. Dengan tugas
menyelesaikan perselisihan
sepanjang syara’.
Dari temuan lapangan, dari 5 (lima)
Kecamatan yang menjadi sampel, dari
semua desa, kecuali desa eks
Transmigrasi bahwa eksistensi
(keberadaan) institusi adat masih ada
dan terbentuk. Tetapi factual belum
menyentuh eksistensi adat tersebut.
Lembaga adat dalam kenyataan sebagai
organisasi sosial kemasyarakatan
lembaga adat
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
74
Berdasarkan hasil wawancara
dengan tokoh-tokoh adat bahwa
eksistensi institusi adat sampai saat ini
masih eksis di tengah masyarakat
namun sudah sangat terbatas peran dan
fungsi yang dijalankannya, artinya adat
sekarang ini lebih banyak menjalankan
fungsi menyelesaikan selang sengketa
antara anak cucu kemenakana,
disamping fungsi-fungsi seperti acara
adat perkawinan dan fungsi adat
lainnya. Namun dalam bidang yang
berkaitan dengan aspek pemerintahan,
peran adat hamper-hampir boleh
dikatakan, tidak banyak lagi dilibatkan,
namun keterwakilan unsur adat masih
ada dalam keterwakilannya di Lembaga
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
dan itu proporsinya sangat kecil sekali.
Berkaitan dengan untuk
mengembalikan ke Kepemimpinan
Adat, diakui melalui proses :
a) Mendudukkan kembali “Tali Tigo
Sapilin”, (Pemerintah, Adat dan
Agama) dalam tatanan pemerintahan
sekarang ini, sehingga ini tidak
sebagai simbol yang selama ini kita
agungkan, oleh karena itu katanya
perlu duduk bersama dari semua
komponen masyarakat, yang
barangkali perlu difasilitasi oleh
Pemerintah kabupaten.
b) Berkaitan denga diatas, katanya adat
kita sama, namun pemakainya agak
berbeda, oleh karena itu memang
ada kata sepakat, seperti apa model
yang kita pakai untuk Kabupaten
Singingi.
c) Sumber daya manusia, juga masih
menjadi persoalan, apalagi kondisi
masyarakat dan pemerintahan
sekarang sangat jauh berbeda dulu
dan sekarang, apakah adat siap
untuk menyesuaikan diri denga
tuntutan tersebut.
d) Khusus masyarakat Adat Rantau
Singingi sudah merekomendasikan
kemingkinan untuk kembali
kepemerintahan adat tersebut pada
“Musyawarah Besar (Mubes)
Rantau Singingi pada tanggal 25-26
November 2006 di kelurahan Muara
Lembu. Beberapa waktu lalu.
Dari beragam pendapat dari nara
sumber utama (Orang godang dan
Aparatur Pemerintahan Desa), dan
kondisi empirik dapat dinyatakan:
1. Bahwa institusi adat di masyarakat
di Kabupaten Kuantan Singingi,
keberadaannya masih ada dan di
akui sebagai lembaga yang masih
berperan dan dihormati meskipun
peranan adat sekarang ini sangat
terbatas dalam adat. Posisi institusi
adat secara struktur bukan atau tidak
termasuk dalam struktur
Pemerintahan Desa dan posisinya
sebagai institusi atau lembaga
kemasyarakatan. Bagaimana model
yang ingin kita buat, apakah
institusi adat sebagai pemerintahan
desa, atau sebagai insititusi yang
terpisah dari pemerintah desa yang
otonom, atau kombinasi itu
berpeluang dari kesepakatan
bersama.
2. Ada beberapa alternatif model
dalam memfungsikan lembaga adat:
• Institusi tradisional (adat),
dimasukkan kedalam struktur
Pemerintahan Desa. Jadi adat
merupakan bagian dari struktur
pemerintahan desa itu sendiri.
Dalam hal ini adat lebih cocok
melaksanakan
fungsi
kelegislatifan dari pemerintahan
desa.
• Antara institusi adat dengan
birokrasi
dipisahkan
berdasarkan ruang kewenangan
yang bersifat hirarkis. Dalam
hubungan ini ruang kewenangan
dan tugas lembaga adat berada
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
75
diantara masyarakat dengan
pemerintahana desa.
• Lembaga adat dan birokrasi desa
berada secara terpisah dan
memiliki kewenangan dan ruang
aktivitas sendiri. Antara
keduanya tidak perlu
dihubungkan dengan garis
organisatoris. Hanya perlu
dipertegas mana kewenangan
Pemerintahan Desa dan mana
kewenangan adat (DR. R.
Sofyan Samad ; 3)
3. Pada prinsipnya, semua model atau
pola yang di inginkan memiliki
plus-minus (kelebihan dan
kekurangan). Hal mana yang perlu
dipertimbangkan adalah bagaimana
memberikan warna baru dari sistem
yang di inginkan dalam
penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, dimana proporsi institusi adat
dalam pemerintahan bisa lebih
berperan dan memiliki
keotonomian.
4. Bahwa peran adat di birokrasi
pemerintahan desa saat ini,
terakomodir di Lembaga Badan
Permusyawaratan Desa (BPD),
sebelumnya perwakilan dan unsur
adat pun sangat kecil proporsinya,
karena pengisian dilembaga tersebut
berdasarkan unsur keterwakilan dari
komponen masyarakat dan jumlah
penduduk, dan peranan adat bahkan
semakin berkurang ketika
dihilangkannya fungsi mengayomi
adat istiadat.
5. Kemungkinan untuk dikembalikan
Sistem Pemerintahan Desa sekarang
ini ke sistem pemerintahan
Kenegerian (adat) memerlukan
proses dan duduk bersama tigo tali
sapilin. Kemauan adat tidak cukup
tanpda ada dukungan politik dari
pemerintahan kabupaten. Untuk itu
perlu ada kajian mendalam baik dari
sisi akademik (teoritik) maupun
kajian empiriknya.
6. Setelah proses dilalui maka
pemerintah membuat aturan atau
payung hokum dan pengaturan
dalam bentuk Peraturan Daerah
(PERDA) tentang sistem
pemerintahan kenegerian yang
dimaksud, tentu aturan mendetil
seperti tentang sistem yang akan
kita bangun.
7. Harus diakui adat sebagai satu
diantara sistem nilai masyarakat dan
lembaga adat sebagai suatu sistem
sosial, adalah kekayaan buadya
yang tidak ternilai maknanya. Oleh
karena itu kedepan diperlukan
penguatan (capacity building)
lembaga adat supaya bermakna
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan desa atau struktur
pemerintahan perlu langkah-langkah
untuk menata kembali.
Pengembalian pengaturan desa agar
tidak uniformmitas (seragam) telah
mempunyai dasar hukum yang kuat,
karena itu telah dijamin dalam peraturan
Perundang-undangan yang berlaku,
terakhir dengan berlakunya Undangundang
Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dimana secara
tegas dinyatakan bahwa pengaturan
desa dapat dilakukan menurut dan
berdasarkan asal usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara
kesatuan Republik Indonesia.
Peluang secara normatif untuk
mengembalikan pemerintahan desa
menjadi Pemerintahan Adat (
kampong/nagari) telah dijamin untuk
dapat dilaksanakan, namun secara
kajian empiris hal itu perlu diperkuat
dengan infrasturktur kultur masyarakat
dan fungsionalisasi dari institusi
cultural yang teradapat dalam
masyarakat serta keharmonisan
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
76
hubungan antara Lembaga Adat dengan
Pemerintahan Desa.
Dari hasil wawancara dengan
beberapa tokoh masyarakat desa dan
tokoh adat, berkatan dengan perubahan
desa menjadi kelurahan, ternyata respon
masyarakat tetap memilih desa dari
pada kelurahan. Beberapa alasan kenapa
desa lebih diminati dari pada kelurahan,
antara lain :
1. Konsep desa lebih familier dari pada
kelurahan. Konsep desa identik
dengan konsep ‘otonomi asli’,
sedangkan kelurahan justru
mematikan hak otonomi rakyat,
budaya dan kearifan lokalnya.
2. Desa sebagai organisasi komunitas
lokal, mempunyai pemerintahan
sendiri (self-governing community).
Berarti komunikasi local dapat
membentuk dan menyelenggarakan
pemerintahan sendiri berdasarkan
pranata local, bersifat swadaya dan
otonom. Berarti, dengan status
sebagai desa, maka pemerintahan
adat (nagori) maish dapat
dilaksanakan, tentunya beda dengan
kelurahan.
3. Pemerintaha desa mempunyai
keleluasaan penuh dalam
perencanaan pembangunan dan
anggaran, menyelenggarakan
perlayanan publik serta bertanggung
jawab kepada rakyat desa setempat,
hal ini tentunya berbeda dengan
kelurahan. Sehingga para perangkat
desa sepertinya sudah tidak antusias
lagi membicarakan perubahan status
menjadi kelurahan.
4. Berubahnya desa menjadi kelurahan
di ibukota kecamatan atau
Kabupaten/kota, mengakibatkan
kekayaan milik desa berubah
menjadi milik kelurahan, hal ini
tentunya menjadi pertimbangan
tersendiri bagi masyarakat desa.
5. Harapan warga desa sebenarnya
sangat sederhana dan sangat
manusiawi, yang penting kondisi
dan suasana kehidupan masyarakat
menjadi lebih baik, kondisi ini lebih
dekat dengan desa dari pada
menjadi kelurahan.
Bahkan, jika kita mau berkaca
dari Sumatera Barat, yang justru pernah
mengusulkan agar di kota juga
diberlakukan sistem pemerintahan
terendah yang bernama nagari, bukan
kelurahan. (Kompas, 11 Juni 2004)
SIMPULAN
Adapun kesimpulan dalam
penelitian ini adalah :
1. Penguatan Kelembagaan Desa
Kelembagaan desa yang ada
sekarang ini (Pemerintah Desa dan
BPD) sebagai organisasi formal di
wilayah sampel penelitian, dapat
dikatakan belum optimal
melaksanakan kewenangan, tugas
pokok dan fungsinya sebagaimana
yang diatur didalam peraturan
perundang-undangan yang ada
seperti :
• Belum terlaksananya sejumlah
urusan yang menjadi
kewenangan pemerintah Desa
dan belum optimalnya fungsi
Badan Permusyawaratan Desa
sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan desa.
• Belum optimalnya pengisian
buku administrasi desa dan
ketatalaksanaan administrasi
pemerintahan desa.
• Belum terlaksananya dengan
baik penataan personil
pemerintahan desa
• Belum optimalnya penerimaan
dan pengelolaan keuangan desa.
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
77
Dari kondisi di atas, ada beberapa
faktor penyebab antara lain:
a. Masih lemahnya kapabilitas
Kepala Desa dan aparatur desa
beserta BPD.
b. Masih kurang jelasnya perangkat
legisasi/perturan dari supra desa
(kabupaten), baik mengenai
penyerahan sejumlah urusan
yang menjadi kewenangan desa
dan perubahan-perubahan dalam
penataan administrasi
pemerintahan desa.
c. Masih terbatasnya prasarana dan
sarana desa dari Pemerintah
Kabupaten.
d. Masih terbatasnya dana dari
pemerintah kabupaten untuk
memberikan insentif kepada
pemerintah desa.
e. Masih lemahnya kompentensi
dan budaya organisasi dari
aparatur pemerintahan desa
(kinerja, disiplin dan rasa
memiliki dan tanggung jawab).
2. Pengelolaan Dana Desa
• Temuan lapangan, memberikan
indikasi bahwa sebagian besar
desa belum mampu menggali
potensi-potensi yang dimiliki
desa dan belum optimalnya
penerimaan dan pengelolaan
keuangan desa.
• Dengan ini membawa implikasi
desa tidak memiliki kas desa dan
sangat tergantung dari subsidi
dari pemerintah kabupaten
seperti Alokasi Dana Desa
(ADD), pemerintah provinsi dan
berbagai jenis program bantuan
pemerintah lainnya.
• Pemerintah desa belum memiliki
perencanaan yang baik dalam
penyusunan perencanaan
pembangunan desa, disamping
desa juga belum memiliki
perangkat legislasi/peraturan
desa sebagai pedoman kerja.
• Yang perlu menjadi
pertimbangan pihak Pemerintah
kabupaten dan Pemerintah Desa
dalam menyikapi kondisi
tersebut adalah :
1. Peningkatan kompetensi
pengelolaan keuangan desa
bagi aparat desa, seperti,
pelatihan, kursus, studi
banding dsb.
2. Pelimpahan kewenangan
oleh pemerintah kabupaten
kepada desa dalam hal pajak
dan retribusi daerah sebagai
sumber pemasukkan
keuangan desa.
3. Pengembangan badan usaha
milik desa (BUMD)
4. Perangkat peraturan dan
petunjuk pelaksanaan
pengelolaan dan pengawasan
Alokasi Dana Desa.
5. Manajemen dan sistem
penganggaran serta
pertanggung jawaban
keuangan desa.
6. Perlu adanya evaluasi
kinerja Pemerintahan Desa
oleh pemerintah Kabupaten
yang selama ini boleh
dikatakan kurang sama
sekali.
3. Hubungan Desa sebagai kecamatan
Pada prinsipnya hubungan desa
dengan kecamatan bukan hubungan
yang bersifat hirarkis (atasanbawahan),
karena desa bersifat
otonom, seperti yang diatur di
dalam UU Nomor 32 tahun 2004,
maupun melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 2005
tentang desa, khususnya pasal 1
item 6.
Namun demikian desa tetap
merupakan bagian dari sistem
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
78
pemerintahan di atasnya, pola
hubungan dengan supra
desa/kecamatan tetap ada, seperti
menurut ketentuan pasal 126 ayat
(3) huruf f UU Nomor 32 tahun
2004, menentukan bahwa camat
bertugas membina penyelenggaraan
pemerintahan desa dan / atau
kelurahan. Pola hubungannya
bersifat koordinatif dan fasilitatif.
Kondisi di lapangan bahwa
pemerintah desa kurang melakukan
koordinasi dengan pemerintah
kecamatan dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa.
4. Perspektif peralihan Sistem
Pemerintahan Desa ke Adat
(Kenegerian), yaitu :
• Bahwa institusi adat di
masyarakat di Kabupaten
Kuantan Singingi keberadaannya
masih eksis (ada) dan diakui
sebagai lembaga yang masih
berperan dan dihormati
meskipun peranan adat sekarang
ini sangat terbatas dalam internal
adat saja.
• Bahwa peranan adat di birokrasi
pemerintahan desa saat ini,
terakomodir di Lembaga Badan
Permusyawaratan Desa (BPD)
sebelumnya Perwakilan dari
unsur adat pun sangat kecil
proporsinya, karena pengisian di
lembaga tersebut berdasarkan
unsur keterwakilan dari
komponen masyarakat dan
jumlah penduduk dan fungsi
Kelembagaan Permusyawaratan
ini dalam melestarikan adat
istiadat bahkan semakin
berkurang.
Dari temuan lapangan fakta
menunjukkan, bahwa belum adanya
keinginan kuat/prakarsa dari
Pemerintah Desa bersama Badan
Permusyawaratan Desa (BPD),
terutama desa dalam ibukota
kecamatan untuk diubah statusnya
menjadi kelurahan. Ada beberapa
pertimbangan yang mendasarinya :
• Akan hilangnya keotonomian
desa, (desa tidak lagi otonomi)
ini berarti hilangnya
karakteristik desa berdasarkan
hak asal usul.
• Konsekuensinya dengan
sendirinya adat dan nilai-nilai
adat akan hilang karena akan
digantikan oleh Birokrasi
Pemerintahan kelurahan yang
nota bene adalah diisi oleh
aparatur Pemerintahan (PNS).
• Dengan sendirinya akan hilang
kewenangan asli atau urusan
yang menjadi kewenangan desa
berdasarkan hak asal usul,
termasuk di dalamnya
kewenangan dalam mengolah
keuangan sendiri dan
sebagainya.
• Bahkan untuk mewujudkan
otonomi desa atau kemandirian
desa perlu diwancanakan
kelurahan yang ada dapat
dirubah statusnya menjadi desa,
dan peluang itu semakin terbuka
melalui UU Nomor 32 tahun
2004.
Rekomendasi
1. Peningkatan Kapasitas tata
kepemimpinan pemerintahan desa
dengan berbagai arah kebijakan.
2. Peningkatan kapasitas tata
pemerintahan desa, seperti
meningkatkan
kapasitas
Pemerintahan desa (seperti
optimaslisasi kewenangan,
penguatan
kelembagaan
pemerintahan desa, pembinaan
aparatur desa, peningkatan
efektivitas fungsi pengawasan dan
sebagainya).
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
79
3. Peningkatan kapasitas tata
kemasyarakatan,
seperti
peningkatan kapasitas sumber daya
manusia (SDM), kapasitas sosial
politik, ekonomi, sosial budaya dan
sebagainya.
4. Pelimpahan kewenangan desa tidak
hanya kewenangan melekat
(atributif) yang mengatur dan
mengrus kepentingan masyarakat
setempat, tetapi kewenangan asalusul
berupa mengelola asset desa.
5. Ada tiga model yang bisa
dikembangkan oleh pemerintah
kabupaten Kuantan Singingi, yaitu:
Institusi adat dimasukkan kedalam
struktur pemerintahan desa, institusi
adat dan birokrasi dipisahkan
berdasarkan kewenangan yang
bersifat hirarkis, lembaga adat dan
birokrasi desa secara terpisah
memiliki kewenangan sendiri dan
tidak dihubungkan secara
organisatoris. Masing-masing model
memiliki plus minus. Dalam hal ini
model ketiga yaitu lembaga adat dan
birokrasi secara terpisah dan
memiliki kewenangan sendiri dan
tidak dihubungkan secara
organisatoris bisa diakomodir
dengan catatan memperkuat
infrastruktur cultural masyarakat
dan fungsionalisasi dari institusi
cultural yang terdapat dalam
masyarakat serta keharmonisan
hubungan antara lembaga adat
dengan pemerintahan desa.
6. Kedepan yang perlu lebih
ditingkatkan dalam pola hubungan
desa dengan kecamatan adalah:
• Perlu ada kejelasan hubungan
dalam bentuk aturan normative
(Perda) antara kecamatan
dengan desa oleh Pemerintah
kabupaten serta kewenangan apa
saja yang dilakukan oleh desa,
supaya tidak terjadi tumpang
tindih dengan kewenangan
kecamatan.
• Perlu lagi intensifitas pembinaan
terhadap desa dari pihak
kecamatan sesuai dengan ruang
lingkup pola hubungan yang
dimaksud. Dalam peraturan
perundang-undangan maupun
peraturan pemerintah.
7. Sebagai catatan “Tim Kajian”,
alternatif dan perspektif peralihan ke
“Sistem pemerintahan adat, bukan
berarti melakukan perombakan
tatanan sistem pemerintahan yang
ada diserahkan kepada adat, akan
tetapi membangun suatu sistem
yang sinerji antara Kelembagaan
formal dengan institusi adat,
sehingga konsep Tigo tali sapilin
sebagai suatu kekuatan yang berakar
dari budaya masyarakat bisa hidup
kembali dalam berbagai aspek
dimasyarakat.
8. Untuk mengimplementasikan itu
semua, perlu kemauan politik dan
keseriusan, terutama dari
pemerintah kabupaten, Dewan
Perwakilan rakyat Daerah dengan
dukungan semua komponen elemen
masyarakat, termasuk lembaga adat
dan unsur terkait dan diperlukan
paying hokum dalam bentuk
Peratutan Daerah (Perda) sebagai
kekuatan hukum.
9. Harus diakui adat sebagai satu
diantara sistem nilai masyarakat dan
lemabaga adat sebagai suatu sistem
sosial, adalah kekayaan budaya
yang tidak ternilai maknanya. Oleh
karena itu kedepan diperlukan
penguatan (capacity building)
lembaga adat.
Khusus desa yang berada dalam
ibukota kecamatan, yang belum
dimekarkan menjadi kelurahan, perlu
pertimbangan yang matang untuk
perubahan status keotonomiannya, baik
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
80
dari sisi pemerintahan desa dan
masyarakatnya maupun komitmen
Pemerintah kabupaten, mengingat
perubahan perturan perundangundangan
yang sering berubah.
1. Pertimbangan diatas didasari, kalau
memang adanya wacana untuk
kembali kesistem pemerintahan
kenegerian yang berakar dari kultur
budaya masyarakat kuantan
singingi, seperti masa lalu.
2. Pemerintahan kabupaten, kecamatan
maupun pemerintahan desa itu
sendiri perlu mensosialisasikan
kepada masyarakat perlu tidaknya
akselerasi perubahan status desa
tersebut (manfaat dan kerugiannya).
DAFTAR RUJUKAN
Coralin Bryant & White Louise, 1987,
Manajemen Pembanguna untuk
Negara Berkembang, Jakarta :
LP3ES
Eko, Sutoro, 2006, Mempertegas Posisi
Politik dan Kewenangan Desa,
Forum
Penembangan
Pembaharuan Desa (FPPD) dan
Democraic Reform Support
Program (DRSP) USAID, Jakarta
3 – 4 Juli 2006
Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, 2004,
Reclaiming Development: An
Alternatif Economic Policy
Manual, Zed Books, London
Kompas, 11 Juni 2004
Maschab, Mashuri 1992, Pemerintahan
Desa di Indonesia, PAU Studi
Ilmu Sosial, Yogyakarta.
Pratikno, 2003, Desentralisasi, Pilihan
yang tidak pernah Final, Program
Studi Ilmu Politik UGM,
Yogyakarta.
Rondinelli, Dennis A and Cheema,
Shabir G, 1998, Implementing
Decentralixation Polecies, An
Introduction, Sage Publikation,
Beverly Hills, California.
Yunus, Yasril, 2005, Pemerintahan
Nagari Di Era Orde Baru
Persepsi Aparatur Pemerintah
dan Masyarakat Terhadap
Pemerintahan Nagari dan
Otoritas Tradisonal Minangkabau
Dalam Kaitannya dengan Prospek
Otonomi Daerah di Sumtera
Barat, Tesis, Pascasarjana
Universitas Brawijaya, Malang.
Soemardjan, Selo, Otonomi Desa Adat,
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 2000
Samad, R Syofyan, Konvergensi Antara
Institusi Adat dan Birokrasi dalam
Struktur Pemerintahan,
Pekanbaru, 2000
Hamidy, UU, Masyarakat Adat
Kuantan Singing, UIR Press,
2000.
Pedoman Pemutakhiran Adat Kuantan
Singingi, Badan Pemutakhiran
Adat (BPA) Kuantan Singingi,
2000
Lauer, Robert, H.Perspektif Perubahan
Sosial, Bina Aksara, Jakarta,
1989.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1979,
tentang Pemerintahan Desa
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
Perturan Pemerintah nomor 72 tahun
2005 tentang Desa
Perturan Pemerintah nomor 73 tahun
2005 tentang Kelurahan
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
81
PETUNJUK BAGI PENULIS
Macam dan Isi Artikel
Artikel yang dipublikasi Jurnal
Kebijakan Publik (JKP) meliputi hasil
penelitian tentang masalah kebijakan
administrasi publik, baik pada lembagalembaga
pemerintah , swasta atau
masyarakat. Artikel yang dimuat
merupakan artikel hasil penelitian yang
belum pernah diterbitkan dalam media
cetak lain.
Artikel diketik 1 spasi dalam bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris dengan
ukuran kertas kuarto dengan jumlah
minimal 10 halaman dan maksimal 20
halaman dalam bentuk hard and soft
copy sebanyak 2 eksamplar. Naskah
(file) yang dibuat dalam bentuk soft copy
dimasukan dalam program Microsoft
word dilengkapi dengan nama penulis,
judul artikel, alamat lembaga, kode pos,
telepon dan fax. Naskah dapat dikirim
lewat internet atau via pos sesuai dengan
alamat publikasi Jurnal Kebijakan
Publik (JKP). Naskah dikirim paling
lambat 1 bulan sebelum penerbitan,
yaitu bulan maret dan oktober pada
setiap tahunnya.
Alamat Penyunting dan Tata Usaha :
Laboraturium Program Studi Ilmu
Administrasi Negara Fisip Unri Kampus
Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru
Pekanbaru. Telp/Fax : (0761) 63277 E-
mail : jkp_ana@yahoo.co.id
Format
• Judul. Maksimal 14 kata dalam
bahasa Indonesia atau 10 kata dalam
bahasa Inggris, lugas dan menarik.
• Nama Penulis. Lengkapi dengan
nama dan alamat lembaga tempat
kegiatan penelitian, kode pos,
telp/fax yang digunakan untuk
korespondensi dengan penulis.
• Abstrak. Merupakan miniatur isi
keseluruhan tulisan meliputi latar
belakang, masalah, tujuan, metode,
hasil dan simpulan. Ditulis dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
• Key Words. Memuat konsep yang
terkandung dalam artikel, ditulis
dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris terdiri dari 3 – 5 konsep.
• Pendahuluan. Memuat latar
belakang, masalah penelitian, tujuan
penelitian dan landasan teori
penelitian yang dapat mendukung
pemecahan masalah dan tujuan
penelitian, dimana penulisannya
tidak mencantumkan sub judul.
• Metode. Menjelaskan bagaimana
prosedur penelitian dilakukan
meliputi : disaian penelitian,
populasi, sampel, instrumen, skala
pengukuran dan analisas data.
• Hasil. Memuat pembahasan dari
hasil penelitian yang dilengkapi
dengan ilustrasi (grafik, tabel,
gambar dan foto). Selain itu hasil ini
merupakan penjelasan dan analisa
yang mengkaitkan dengan konsep
dasar dan membandingkan dengan
hasil penelitian orang lain yang
relevan.
• Simpulan. Ditulis dalam bentuk
essay yang memuat asensi dari hasil
penelitian dan bukan rangkuman.
• Daftar Rujukan. Daftar rujukan
diharapkan 70 % bersumber dari
pustaka primer (jurnal, hasil
penelitian, skripsi, tesis dan
desertasi) dan 30 % bersumber dari
pustaka sekunder (buku dan
makalah). Ditulis diurutkan
berdasarkan alpabet dengan tahun
terbitan 10 tahun terakhir.
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa
Di Kabupaten Kuantan Singingi
82