Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah - perpustakaan ...
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah - perpustakaan ...
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah - perpustakaan ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Volume 1, Nomor *Analisis 1, Maret Partisipatif 2010 Pembangunan di Kota Pekanbaru ISSN 1978 – 0689<br />
1<br />
Spesialisasi Disiplin Ilmu Administrasi Publik<br />
Jurnal Kebijakan Publik sebagai spesialisasi Ilmu Administrasi Negara adalah artikel dan tulisan ilmiah<br />
dalam bentuk hasil-hasil penelitian dan non penelitian, baik pada lembaga pemerintah atau dalam<br />
masyarakat. Kebijakan Publik sebagai kajian teoritis dan praktis merupakan suatu proses mulai dari<br />
perumusan, implementasi dan evaluasi kebijkan yang dilakukan Pemerintah dalam menghadapi<br />
kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang selalu berubah. Oleh karena itu, penerbitan jurnal ini sebagai<br />
media ilmiah berkenaan dengan masalah-masalah kebijakan publik, baik berupa peraturan perundangundangan,<br />
PP, Perda, Kpts, maupun program dan tindakan-tindakan pemerintah, berusaha menyebar<br />
luaskan keseluruh Perguruan Tinggi, Lembaga Pemerintah, non Pemerintah baik di tingkat pusat, Propinsi<br />
maupun kota/kabupaten.<br />
ISSN 1978 – 0689<br />
Penanggung Jawab<br />
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara<br />
Ketua Penyunting<br />
Zaili Rusli<br />
Anggota Dewan Penyunting<br />
Sujianto (Universitas Riau)<br />
Chalid Sahuri (Universitas Riau)<br />
Fachruddin (Universitas Riau)<br />
Lafri Eldiny (Universitas Riau)<br />
Raja Ilyas Aman (Universitas Riau)<br />
Penyunting Pelaksana<br />
Adianto<br />
Dadang Mashur<br />
Pelaksana Tata Usaha<br />
Hasim As’ari<br />
Mayarni<br />
Abdul Sadad<br />
Alamat Penyunting dan Tata Usaha : Laboraturium Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fisip<br />
Unri Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Pekanbaru. Telp/Fax : (0761) 63277 E-mail :<br />
jkp_ana@yahoo.co.id<br />
JURNAL KEBIJAKAN PUBLIK diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Adminitrasi Negara Fakultas<br />
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau<br />
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Syaratsyarat,<br />
format dan tata aturan tata tulis artikel dapat dilihat pada Petunjuk bagi penulis di sampul<br />
belakang dalam jurnal ini. Data yang masuk ditelaah oleh para Mitra Bestari dan atau penyunting ahli<br />
untuk dinilai kelayakannya. Penyunting dapat melakukan penyuntingan atas tulisan yang dimuat tanpa<br />
mengubah maksud dan isinya.
Volume 1, Nomor<br />
*Analisis<br />
1, Maret<br />
Partisipatif<br />
2010<br />
Pembangunan di Kota Pekanbaru<br />
ISSN 1978 – 0689 2<br />
DAFTAR ISI<br />
Spesialisasi Disiplin Ilmu Administrasi Publik<br />
Analisis Pembangunan Partisipatif di Kota Pekanbaru<br />
Zaili Rusli (Universitas Riau) 1 – 9<br />
Keberhasilan Implementasi Program Usaha <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong><br />
Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
Adianto (Universitas Riau) 10 – 24<br />
Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan MAsyarakat<br />
(Jankesmas) Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
Kota Pekanbaru<br />
Sofia Achnes (Universitas Riau) 25 – 34<br />
Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan Pemerintah <strong>Daerah</strong><br />
Di Propinsi Riau<br />
Yasir (Universitas Riau) 35 – 47<br />
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD)<br />
Di Kabupaten Pasaman (Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
Hari Septiadi (Universitas Riau) 48 – 57<br />
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
Miranda Ardi (Universitas Riau) 58 – 67<br />
Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
Okta Karneli (Universitas Riau) 68 – 81<br />
Jurnal<br />
Kebijakan<br />
Publik<br />
Volume<br />
1<br />
Nomor<br />
1<br />
Hal. 1 – 81<br />
Pekanbaru<br />
Maret<br />
2010<br />
ISSN<br />
1978 – 0680
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 3<br />
Analisis Pembangunan Partisipatif di Kota Pekanbaru<br />
ZAILI RUSLI. SD.<br />
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />
ABSTRAK : Pembangunan merupakan suatu usaha untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan yang<br />
lebih baik. Ketika pembangunan itu dilaksanakan dari oleh dan untuk masyarakat maka pembangunan itu<br />
dikatakan sebagai pembangunan partisipatif dan pembangunan partisipatif inilah yang dikehendaki oleh<br />
otonomi daerah yaitu pembangunan kemandirian. Masyarakat yang merancang, mereka yang<br />
melaksanakan dan dia pula yang mengawasi serta mereka pula yang memanfaatkannya. Pembangunan<br />
partisipatif di kota pekanbaru sudah dilaksanakan melalui usaha Musrembang namun hasilnya belumlah<br />
optimal dimana tidak semua hasil Musrembang dapat dilaksanakan. Kondisi ini disebabkan oleh 1)<br />
komitmen pemerintah kota dan 2) Kondisi keuangan kota (APBD). Hasil kajian menunjukkan bahwa<br />
pembangunan daerah dikota pekanbaru belum menunjukan sebagai pembangunan partisipatif hal ini dapat<br />
dilihat dari 1) Rekstrukturisasi pemerintahan daerah 2) Pengelolaan keuangan daerah 3) Standar<br />
pelayanan Pemerintah daerah dan 4) perencanaan pembangunan daerah . Kondisi ini dipengaruhi oleh<br />
komitmen pemerintah kota yang kurang sesuai dengan kondisi yang diinginkan dan kondisi keuangan<br />
pemerintah kota yang kurang memadai beerangkat dari kenyataan ini disarankan bahwa agar pemerintah<br />
kota pekanbaru tetap komit untuk melaksanakan pembangunan partisipatif dan meningkat pendapatan<br />
daerah guna menunjang APBD sehingga pembangunan partisipatif dapat terwujud.<br />
Kata kunci : Pembangunan, Partisipatif, Keuangan, dan komitmen<br />
Pembangunan merupakan pergeseran<br />
dari suatu kondisi daerah yang satu<br />
menuju kondisi daerah yang lainnya,<br />
yang dipandang lebih baik dan lebih<br />
berharga. Disamping itu, pembangunan<br />
juga merupakan proses multidimensional<br />
yang menyangkut dengan perubahanperubahan<br />
penting dalam suatu struktur,<br />
sistem sosial ekonomi, sikap<br />
masayarakat dan lembaga-lembaga<br />
daerah serta akselerasi pertumbuhan<br />
ekonomi, pengangguran, kesenjangan<br />
pemberantasan kemiskinan. Dari<br />
pemahaman tersebut mengisyaratkan<br />
bahwa pembangunan berarti menuju<br />
perubahan-perubahan yang dimaksud<br />
untuk memperbaiki kualitas kehidupan<br />
masyarakat itu sendiri, baik kehidupan<br />
pisik maupun non pisik.<br />
Beberapa dekade belakangan ini<br />
pembangunan dilaksanakan penuh<br />
dengan nuansa campur tangan<br />
pemerintah pusat terhadap berbagai<br />
aspek pemerintah daerah dan kehidupan<br />
masyarakat adalah sangat dominan,<br />
sementara dilain pihak partisipasi<br />
masyarakat lokal sangat kurang<br />
diperhatikan. Akibat strategi sentralisasi<br />
yang berlebihan ini muncullah berbagai<br />
kesenjangan baik antara wilayah maupun<br />
antara golongan masyarakat yang pada<br />
puncaknya dalam jangka panjang dapat<br />
mendorong disintegrasi bangsa dan<br />
dalam jangka pendek dapat<br />
menyebabkan tingginya biaya<br />
pembangunan. Disamping itu manfaat<br />
pembangunan menjadi tidak optimal<br />
serta keberlanjutan, pembangunan sangat<br />
rapuh dan rentan karena tidak sesuainya<br />
pembangunan dengan keinginan<br />
masyarakat daerah.<br />
Ketika itu masalah tersebut<br />
sebenarnya juga sudah disadari namun<br />
karena sistem penganggaran kegiatan<br />
pembangunan daerah pada subsidi pusat<br />
masih sangat tinggi, maka bagian<br />
terbesar dari program dan kegiatan<br />
tahunan daerah ditentukan secara<br />
1
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 2<br />
sektoral dari pusat. Kondisi ini bias<br />
mematikan daya kreasi daerah dalam<br />
menentukan jenis-jenis program dan<br />
kegiatan yang lebih sesuai dengan<br />
kebutuhan setempat, dan melumpuhkan<br />
fungsi rencana daerah sebagai koridor<br />
perencanaan jangka menengah, karena<br />
rencana daerah hampir tidak pernah<br />
digunakan sebagai rujukan dalam<br />
menentukan pilihan-pilihan program dan<br />
kegiatan-kegiatan daerah.<br />
Ketika era reformasi bergulir, maka<br />
pola perencanaan pembangunan harus<br />
sesuai dengan derap perubahan zaman<br />
tersebut. Sejalan dengan UU No. 22<br />
tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999,<br />
yang sudah ditindak lanjuti melalui PP<br />
No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan<br />
pemerintah pusat dan propinsi sebagai<br />
daerah otonomi, maka format<br />
perencanaan pembangunan yang<br />
dibayangkan adalah perencanaan yang<br />
sesuai dengan batas-batas kewenangan<br />
mereka melalui forum koordinasi<br />
horizontal. Ini mengandung arti bahwa<br />
seluruh tahapan pembangunan<br />
perencanaan pada setiap tingkatan<br />
pemerintahan harus dilakukan sesuai<br />
dengan prinsip-prinsip partisipatif.<br />
Setiap stakeholder memiliki fungsi dan<br />
peranan serta tanggung jawab masingmasing.<br />
Pada saat yang sama, juga disadari<br />
bahwa hak dan kewenangan setiap<br />
tingkat pemerintahan untuk menyusun<br />
perencanaan pembangunan setempat<br />
melalui forum dialog dan konsolidasi<br />
horizontal juga perlu diimbangi dengan<br />
adanya forum komunikasi dan dialog<br />
vertical antara tingkat-tingkat<br />
pemerintahan yang berbeda. Tujuannya<br />
adalah untuk melakukan sinergi<br />
kebijakan serta sinkronisasi program dan<br />
kegiatan dalam rangka menjamin<br />
efesiensi, mencegah benturan<br />
kepentingan dan vakum kegiatan.<br />
Pengembangan otonomi daerah yang<br />
semakin dititik beratkan kepada<br />
kabupaten/kota akan membawa<br />
konsekuensi dan tantangan yang cukup<br />
berat bagi para pengelola administrasi<br />
Negara di daerah, baik dalam tahap<br />
perumusan kebijakan maupun<br />
implementasinya program-program<br />
pembangunan. Pasal 10 dan 11 pada UU<br />
No. 22 tahun 1999 mengisyaratkan<br />
tugas-tugas pemerintahan, pembangunan<br />
dan kemasyarakatan yang dipikul<br />
pemerintah daerah kabupaten/ kota<br />
menjadi semakin luas dan kompleks.<br />
Dengan demikian, model pembangunan<br />
daerah dengan pendekatan tugas-tugas<br />
pemerintahan, pembangunan dan<br />
kemasyarakatan yang dipikul pemerintah<br />
daerah kabupaten/ kota menjadi semakin<br />
luas dan kompleks. Dengan demikian,<br />
model pembangunan daerah dengan<br />
pendekatan tricle down effect yang sudah<br />
berlangsung tiga puluh tahun lebih perlu<br />
ditinjau dan diganti sebab masih banyak<br />
masalah-masalah ketimpangan perolehan<br />
pendapatan dan keadilan sosial yang<br />
sering terjadi dan sangat dirasakan oleh<br />
masyarakat. Oleh karena itu model<br />
pembangunan daerah dimasa kini dan<br />
masa depan perlu difokuskan pada<br />
pembangunan masyarakat lokal sebagai<br />
sebuah economic entity. Model<br />
pembangunan itu dilakukan melalui<br />
perubahan paradigma pembangunan top<br />
down ke pembangunan partisipatif.<br />
Keadaan tersebut menimbulkan<br />
pertanyaan, bagaimana pelaksanaan<br />
pembangunan partisipatif dan faktor apa<br />
yang mempengaruhi implementasinya di<br />
lapangan .<br />
Pembangunan partisipatif adalah<br />
suatu proses pembangunan yang<br />
memberdayakan masyarakat mulai dari<br />
tahap perencanaan, pelaksanaan hingga<br />
pengawasan pembangunan. Disamping<br />
itu diharapkan pula masyarakat dapat<br />
menempati prioritas sebagai penikmat
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 3<br />
hasil pembangunan. Namun untuk<br />
mencapai keadaan itu kemandirian<br />
masyarakat tidak cukup melainkan<br />
diperlukan partisipasi aktif dari berbagai<br />
stakeholder stakeholder bersama<br />
masyarakat dan pemerintah diharapkan<br />
dapat terlibat dalam memberikan<br />
dukungan moril dan materil pada setiap<br />
tahapan perencanaan pembangunan.<br />
Tanpa upaya kearah itu maka paradigma<br />
program perencanaan pembangunan<br />
partisipatif sulit terwujud bahkan dapat<br />
dinyatakan sebagai suatu cita-cita indah<br />
yang tidak pernah tercapai. Keterlibatan<br />
stakeholder pada era otonomi daerah<br />
sangat penting karena mereka<br />
diharapkan dapat tampil untuk<br />
mengurangi terjadinya stagnasi<br />
pembangunan yang dihadapi pemerintah<br />
daerah dan masyarakat dalam menerima<br />
proses pelimpahan kebijakan yang<br />
bersifat sentralistik dan top down ke<br />
desentralistik dan botton up. Partisipasi<br />
para stakeholder sangat diperlukan untuk<br />
membantu pemerintahan daerah dan<br />
masyarakat untuk mengelola sumber<br />
daya daerah secara optimal. Hal itu<br />
dilakukan agar daerah dapat memperoleh<br />
sumber pendapatan yang bersumber dari<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) sendiri<br />
guna membiayai program pembangunan<br />
daerah.<br />
Secara teknis, penerjemahan dari<br />
isyarat UU No. 22 tahun 1999 dan UU<br />
No. 25 tahun 1999 ke dalam sebuah<br />
sistem perencanaan partisipatif yang<br />
bersifat desentralistik tidak terlalu sulit<br />
untuk diwujudkan, terutama bila seluruh<br />
instansi terkait mampu menggalang kata<br />
sepakat tentang format, substansi,<br />
mekanisme koordinasi dan pola-pola<br />
pembiayaan termasuk rangkaian<br />
dokumen yang diperlukan.<br />
Dalam kenyataannya, kata sepakat<br />
dimaksud belum tercapai hingga tingkat<br />
yang paling mendasar, melainkan baru<br />
pada tataran makro strategi. Ini<br />
terejahwantahkan dalam dua kelompok<br />
peraturan perundangan yang sudah<br />
diterbitkan, yakni UU No. 25 tahun 2000<br />
tentang Propenas di satu pihak dan PP<br />
No. 108 tahun 2000 tentang tata cara<br />
pertanggung jawaban kepada daerah<br />
dipihak lain. Sekalipun keduanya<br />
merupakan turunan dari UU No. 22/99<br />
dan UU No. 25/99, serta memiliki satu<br />
tujuan yang sama, yakni menghadirkan<br />
sistem perencanaan partisipatif dalam<br />
konteks desentralisasi kebijakan dan<br />
fiskal.<br />
Dalam rangka menjalankan<br />
komitmen untuk pembangunan daerah di<br />
era desentralisasi maka Pemerintahan<br />
Indonesia telah menyetujui masuknya<br />
bantuan pendanaan (hibah) dari USAID<br />
untuk melaksanakan kegiatan bantuan<br />
teknis Program Dasar Pembangunan<br />
Partisipatif (PDPP). Tugas utama<br />
program itu, yaitu :<br />
a. Pengembangan kapasitas<br />
kelembagaan pemerintah daerah<br />
b. Pengelolaan keuangan daerah<br />
c. Penyediaan pelayanan perkotaan<br />
d. Perencanaan pembangunan daerah<br />
yang partisipatif (participate<br />
planning).<br />
Kesemuanya dijabarkan dalam<br />
rangka menyusun program<br />
pembangunan daerah. Hal ini<br />
dimaksudkan karena pada masa yang<br />
lampau pendekatan perencanaan daerah<br />
lebih banyak bersifat politis dari pada<br />
operasional. Namun memasuki otonomi<br />
daerah pendekatan itu tidak cukup<br />
melainkan harus bersifat teknis<br />
operasional dengan melibatkan berbagai<br />
stakeholder untuk membentuk<br />
kelembagaan berupa tim teknis tingkat<br />
kabupaten dari unsur-unsur pemerintah,<br />
masyarakat dan swasta. Tim teknis yang<br />
pada pelaksanaannya telah dibentuk<br />
Pokja-Pokja sebagai berikut :
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 4<br />
1. <strong>Strategi</strong> Program Jangka Menengah<br />
(SPJM)<br />
2. Program Pengelolaan Pembiayaan<br />
Rencana Tindak (P3RT)<br />
3. Program Investasi Pembangunan<br />
Perkotaan (PIPP)<br />
4. Program Pengembangan<br />
Institusional dan Rencana Tindak<br />
(P2IRT)<br />
Pada khususnya Program<br />
Pengembangan Kelembagaan dalam<br />
melakukan penyusunan Program<br />
Pengembangan Instiusional dan Rencana<br />
Tindak bagi setiap pemerintah<br />
kabupaten/ kota dibagi dalam dua pokok<br />
bahasan yaitu (1) Program<br />
Pengembangan Aspek Kelembagaan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> itu sendiri, yang ke<br />
(2) Program <strong>Peningkatan</strong> Peran Serta<br />
Masyarakat. Sedangkan ruang lingkup<br />
dari program kelembagaan ini :<br />
1. Melakukan penataan dan<br />
penyempurnaan<br />
struktur<br />
(restrukturisasi) kelembagaan<br />
pemerintahan kota.<br />
2. Melakukan evaluasi dan penyusunan<br />
kembali kebijakan publik, peraturan<br />
dan ketentuan yang berkaitan dengan<br />
pengelolaan pembangunan kota.<br />
3. Melakukan analisis terhadap proses<br />
managemen<br />
(planning,<br />
programming, organizing,<br />
actualiting and controlling) dari<br />
birokrasi pemerintah kota khususnya<br />
dalam hal pelayanan umum dan<br />
pembangunan kota.<br />
4. Melakukan upaya peningkatan<br />
kemampuan sumber daya aparat<br />
pemerintah daerah, masyarakat dan<br />
swasta serta lembaga lainnya.<br />
Tentang konsep Program PDIPP,<br />
arahnya yaitu terciptanya program<br />
pembangunan yang murni dari bawah<br />
(bottom up, dimana pemerintah harus<br />
merelakan sebagian wewenangnya<br />
sebagai pemegang monopoli<br />
pembangunan kepada masyarakat mulai<br />
dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan<br />
pengelolaan serta evaluasinya. Upaya<br />
mencapai hal demikian PDIPP<br />
mempersiapkan masyarakat agar mereka<br />
dapat terlibat dalam peran tersebut tidak<br />
saja teknis tetapi juga dari segi<br />
pemahaman tentang kebijakan arah dan<br />
kebijakan pembangunan yang disepakati.<br />
Oleh karena itu untuk menyikapi hal<br />
demikian PDIPP mengajukan usulan<br />
untuk membangun suatu consensus atau<br />
penyamaan persepsi dari semua<br />
stakeholder tentang bagaimana masingmasing<br />
unsur membagi peran dan fungsi<br />
untuk pembangunan daerah dan<br />
masyarakat.<br />
Kondisi saat ini, pada era penerapan<br />
asa desentralisasi, kota menghadapi<br />
suatu situasi yang kompleks dengan<br />
kecenderungan sebagai berikut :<br />
Sekitar 30% kota-kota menghadapi<br />
permasalahan kemiskinan perkotaan dan<br />
keamanan yang cukup serius.<br />
1. Sekitar 60 – 70 % dari kota-kota,<br />
terutama kota-kota besar dan<br />
metropolitan memerlukan bantuan<br />
mendesak bagi memperbaiki<br />
pengem- bangan ekonomi lokal.<br />
2. Hampir semua kota menghadapi<br />
masalah degradasi kondisi<br />
lingkungan yang serius.<br />
3. Permasalahan kota yang dihadapi<br />
semakin multi dimensional dimana<br />
isu sosial, keamanan dan degradasi<br />
kondisi sosial masyarakat merupakan<br />
masalah utama yang menonjol<br />
dihampir semua kota.<br />
4. Kota-kota menghadapi masalah<br />
urban sprawl dan ribbon<br />
development yang semakin<br />
mengancam degradasi lingkungan<br />
kota-kota dan kesenjangan semakin<br />
besar terhadap prinsip-prinsip<br />
pembangunan berkelanjutan,<br />
(sustainable dvcelopment).<br />
5. Kota menjalankan agenda<br />
desentralisasi seperti reformasi<br />
kebijakan, kewenangan, organisasi<br />
dan kelembagaan secara signifikan,<br />
sering kali tanpa disertai dengan visi,<br />
misi, pemahaman yang jelas atas
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 5<br />
permasalahan pengelolaan<br />
perkotaan.<br />
6. Penyelenggaraan pelayanan umum<br />
belum sepenuhnya efisien dan<br />
efektif.<br />
7. Kota-kota pada umumnya belum<br />
memiliki pengetahuan dan<br />
pengelaman yang memadai untuk<br />
mengembangkan pendekatan<br />
kemitraan dan demokrasi yang<br />
merupakan asas bagi menjalankan<br />
desentralisasi yang efektif.<br />
8. Belum adanya kerangka kerjasama<br />
yang serasi dan kondusif antara<br />
legislative dan eksekutif mengatasi<br />
masalah-masalah pengembangan<br />
perkotaan.<br />
9. Penyesuaian kultur administrasi dan<br />
birokrasi di pemerintahan dan<br />
pemerintahan daerah untuk<br />
melaksanakan transparansi dan<br />
akuntabilitas belum seperti<br />
diharapkan.<br />
10. hampir semua kota memerlukan<br />
pengembangan kemampuan untuk<br />
dapat melembagakan secara efektif<br />
good<br />
governance<br />
(Warpani,1984:27).<br />
Kehadiran Program Dasar<br />
Pembangunan Partisipatif (PDPP)<br />
berhubungan dengan permasalahan yang<br />
disebutkan diatas, khususnya<br />
membangun kerangka kerjasama yang<br />
kondusif diantara para pelaku<br />
pembangunan di kota, baik pihak<br />
eksekutif maupun legislative,<br />
membenahi kultur birokrasi dan<br />
penerapan akuntabilitas pelaksanaan<br />
pembangunan dalam rangka<br />
penyelenggaraan tata pemerintahan yang<br />
baik (good governance).<br />
Keadaan menunjukkan kebijakan<br />
desentralisasi berupa pendelegasian<br />
kewe- nangan lebih besar kepada<br />
pemerintah kota tidak akan serta merta<br />
dapat mengatasi permasalahan yang<br />
semakin kompleks di atas. Kerjasama<br />
pemerintah pusat provinsi kota mutlak<br />
masih diperlukan terutama pada masa<br />
transisi ini untuk mengorientasikan dan<br />
mempersiapkan kota dapat menjalankan<br />
peranan barunya secara efektif dalam era<br />
desentralisasi. Pelaksanaan desentralisasi<br />
yang efektif tidak mungkin terjadi tanpa<br />
diimbangi peningkatan kemampuan<br />
pengelolaan kota, desentralisasi dan<br />
pengembangan kemampuan pengelolaan<br />
kota berjalan seiring dalam suatu proses<br />
yang saling mendukung (mutually<br />
reinforcing).<br />
Implementasi desentralisasi tidak<br />
serta merta dapat mengatasi keterbatasan<br />
kemampuan dalam mengatasi permasalahan<br />
kota. Dukungan perlu terus<br />
diberikan pada kota-kota untuk dapat<br />
mengimplementasikan desentralisasi<br />
secara efektif. Kerjasama pusat, provinsi<br />
dan kota yang erat dan sistematis sangat<br />
diperlukan pada masa transisi ini untuk<br />
mensukseskan desentralisasi. Kota perlu<br />
memiliki agenda jangka menengah yang<br />
jelas bagaimana desentralisasi secara<br />
sistematis diimplementasikan.<br />
METODE<br />
Penelitian ini tergolong kedalam<br />
analisis deskriptif dalam arti kajian<br />
pelaksanaan pembangunan partisipatif<br />
lebih dijelaskan pada data yang ada pada<br />
dokumen perenca- naan daerah.<br />
Pembahasan diarahkan kepada<br />
bagaimana implementasi kebijakan<br />
pembangunan partisipatif dan ditekankan<br />
pada musyawarah perencanaan<br />
pembangunan. Sementara itu informasi<br />
penelitian adalah tokoh masyarakat yang<br />
terlibat dalam kegi-atan Musrembang,<br />
dan informasi lainnya yang dapat<br />
mendukung penjelasan.<br />
HASIL<br />
Dari hasil telaah dokumen<br />
pembangunan di Kota Pekanbaru dan<br />
hasil wawancara dengan beberapa orang<br />
tokoh masyarakat diketahui bahwa
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 6<br />
pelaksanaan pembangunan partisipatif<br />
belumlah sesuai dengan kaidah-kaidah<br />
pembangunan partisipatif. Hal ini dapat<br />
dilihat dari : Pembangunan pemerintah<br />
kota melalui penataan dan<br />
penyempurnaan kelembagaan yang<br />
belum mendukung orientasi<br />
pembangunan partisipatif.<br />
Disamping itu pengelolaan keuangan<br />
kota atau APBD lebih diarahkan pada<br />
belanja rutin bukan berorientasi pada<br />
belanja pembangunan. Kemudian<br />
kualitas dan standar pelayanan dari<br />
birokrasi pemerintahan kota baru<br />
berorientasi pada pelayanan umum<br />
belum pada pelayanan partisipatif.<br />
Selanjutnya perencanaan pembangunan<br />
partisipatif melalui Musrembang masih<br />
lemah atau boleh dikatakan lebih pada<br />
sermonial.<br />
Kegiatan yang menunjukkan kinerja<br />
Program PDPP (Program Dasar<br />
Pembangunan Partisipatif) adalah kinerja<br />
peningkatan kemampuan sumber daya<br />
aparat pemerintah kota yang meliputi<br />
kegiatan identifikasi kebutuhan untuk<br />
pengembangan kemampuan aparat<br />
pemerintah kota. Penetapan program<br />
untuk rasionalisasi kebutuhan aparat<br />
pemerintah kota. Penyempurnaan sistem<br />
dan standar kinerja aparat yang<br />
mengelola pembangunan perkotaan<br />
menuju sikap profesionalisme.<br />
1. Restrukturisasi kelembagaan<br />
pemerintah kota<br />
Program pengembangan institusional<br />
adalah salah aspek dari program dasar<br />
pembangunan partisipatif (PDPP).<br />
Tujuan program pengembangan<br />
institusional adalah untuk mendukung<br />
pemerintah kabupaten dan kota dalam<br />
beberapa hal, yaitu :<br />
1. Meningkatkan kinerja pelayanan<br />
umum.<br />
2. Mengembangkan kebijakan publik<br />
yang lebih terbuka.<br />
3. Memantapkan sistem organisasi dan<br />
tata laksana pemerintahan daerah.<br />
4. Meningkatkan kemampuan sumber<br />
daya manusia.<br />
5. Mengembangkan lembaga<br />
masyarakat.<br />
6. Mengembangkan peraturan melalui<br />
upaya regulasi dan deregulasi.<br />
Tujuan program pengembangan<br />
institusional ada dua aspek, yaitu<br />
pertama, memberikan kontribusi untuk<br />
mendukung aspek PDPP yang lain,<br />
melalui strategi pembangunan,program<br />
investasi, program pembiayaan,<br />
perencanaan bersama masyarakat,<br />
corporate planning dan pengembangan<br />
ekonomi lokal. Kontribusi ini<br />
menyangkut aspek pengembangan<br />
kebijakan publik dan efektifitas<br />
pelayanan umum serta peningkatan<br />
kemampuan sumber daya manusia,<br />
kedua, kontribusi memperbaiki kinerja<br />
pemerintahan didaerah pada tiap<br />
tingkatan pengelolaan pembangunan<br />
untuk mencapai “pemerintahan yang<br />
baik (good governance)” dan melibatkan<br />
pelaku pembangunan pada setiap tahap<br />
pengelolaan pembangunan.<br />
Berdasar data yang diperoleh dari<br />
dokumen kelembagaan pemerintah kota<br />
yang dikaitkan dengan tanggapan tokoh<br />
masyarakat kota diketahui bahwa<br />
penataan kelembagaan kota pada<br />
umumnya masih seperti kelembagaan<br />
kota pada masa pemerintahan orde baru.<br />
Pada hal sesungguhnya kelembagaan<br />
kota yang perlu disempurnakan lagi<br />
adalah kelembagaan yang mampu<br />
menumbuh kembangkan keterlibatan<br />
masyarakat dalam pembangunan. Oleh<br />
karena itu upaya yang harus dilakukan<br />
dalam penataan kelembagaan tersebut<br />
meliputi, susunan organisasi, tata<br />
laksana organisasi dan pengetahuan<br />
sumber daya manusia yang senantiasa<br />
berorientasi pada kepentingan<br />
masyarakat dalam arti bahwa rasa<br />
memiliki masyarakat lebih baik.
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 7<br />
2. Pengelolaan keuangan yang<br />
berorientasi pada pembangunan<br />
kota<br />
Beberapa isu penting yang terkait<br />
dengan kegiatan keuangan dan<br />
pembangunan kota adalah : tuntutan<br />
akan pelayanan publik yang lebih baik,<br />
peningkatan kualitas proses<br />
pembangunan, perlunya peningkatan<br />
efektifitas pengelolaan dan mobilisasi<br />
sumber-sumber<br />
pembiayaan<br />
pembangunan kota (PADS, provinsi,<br />
nasional, bantuan luar negeri, maupun<br />
swasta dan masyarakat) optimalisasi<br />
pemanfaatan dana dengan pertimbangan<br />
yang strategis, yang lebih mengarah<br />
pada program pembangunan partisipatif.<br />
Pengelolaan keuangan kota<br />
sesungguhnya adalah bagaimana<br />
anggaran pendapatan dan belanja daerah<br />
(APBD) lebih bersinergi mulai dari<br />
bagaimana cara memperoleh dana baik<br />
yang bersumber dari PAD dan dana<br />
lainnya sampai kepada bagaimana<br />
memanfaatkan dana seefisien mungkin<br />
sehingga masyarakat merasakan bahwa<br />
dana mereka digunakan untuk<br />
kepentingan mereka yang pada<br />
gilirannya mereka merasa terlibat baik<br />
langsung maupun tidak dalam kegiatan<br />
pembangunan.<br />
3. Pengelolaan pelayanan umum oleh<br />
birokrasi pemerintah kota<br />
Pada era globalisasi dan kemajuan<br />
teknologi saat ini, maka elemen kualitas<br />
pelayanan cenderung menjadi semakin<br />
penting dalam menjelaskan kinerja<br />
organisasi pelayanan publik. Kepuasan<br />
masyarakat dapat dijadikan indikator<br />
kinerja organisasi publik, dimana<br />
keuntungannya adalah bahwa informasi<br />
mengenai kepuasan terhadap kualitas<br />
pelayanan seringkali dapat diperoleh dari<br />
media masa atau diskusi publik.<br />
Pelayanan publik ini merupakan<br />
kerangka alasan dalam penentuan<br />
pembangunan partisipatif. Apabila<br />
pelayanan publik ini mantap diyakini<br />
keterlibatan masyarakat dalam<br />
pembangunan kota baik langsung<br />
maupun tidak akan menjadi lebih baik.<br />
Disadari atau tidak bahwa aspek<br />
pelayanan umumbersifat strategis<br />
mendesak dan langsung. Oleh karena itu<br />
penciptaan pelayanan umum akan lebih<br />
baik ketika masyarakat merasakan<br />
manfaat langsung seolah-olah mereka<br />
sebagai tamu yang perlu dihormati dan<br />
dilayani dan disegani. Apabila kondisi<br />
ini yang dirasakan masyarakat maka<br />
masyarakat tersebut merasa memiliki<br />
kota ini dan ikut bertanggung jawab<br />
terhadap kemajuan kotanya.<br />
4. Perencanaan pembangunan<br />
partisipatif<br />
Kebijakan-kebijakan pembangunan<br />
yang sesuai dengan kebutuhan dan<br />
kepentingan masyarakat akan sangat<br />
tergantung kepada siapa-siapa yang<br />
menentukannya, siapa yang dapat<br />
mempengaruhinya, serta bagaimana<br />
implementasinya dilapangan, baik pada<br />
tahap awal, tahap musyawarah maupun<br />
pada tahap penjaringan aspirasi. Agar<br />
masyarakat dapat membangun opini dan<br />
menentukan keberpihakan publik, maka<br />
diperlukan suatu mekanisme yang<br />
memberikan ruang kepada masyarakat<br />
untuk dapat berpartisipasi secara aktif<br />
dalam proses pengambilan keputusan.<br />
Untuk mewujudkan hal tersebut,<br />
PDPP melalui serangkaian aktivitas<br />
Perencanaan Bersama Masyarakat<br />
berusaha menguatkan kapasitas<br />
masyarakat sekaligus mengupayakan<br />
kerjasama/ kemitraan yang lebih erat<br />
antar berbagai pelaku pembangunan<br />
(pemerintah daerah, DPRD, dan<br />
masyarakat) dalam menghasilkan<br />
kebijakan-kebijakan pembangunan yang<br />
benar-benar dibutuhkan kota dan betulbetul<br />
sesuai dengan potensi yang
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 8<br />
dimiliki oleh masyarakat. Upaya<br />
penciptaan perencanaan pembangunan<br />
partisipatif sebagaimana yang sedang<br />
digiatkan saat ini sesungguhnya sudah<br />
tepat tetapi proses pelaksanaannya<br />
terkadang kurang sesuai dengan<br />
substansinya . Masyarakat sudah<br />
berupaya sedemikian rupa dalam<br />
Musrembang tapi hasil kesepakatan<br />
masyarakat dalam Musrembang tersebut<br />
kadang banyak yang tidak terwujud<br />
sehingga banyak masyarakat yang<br />
pesimis.<br />
5. Faktor Komitmen Pemerintah<br />
Kota<br />
Program PDPP merupakan program<br />
yang memiliki inovasi dalam<br />
manajement pemerintahan kota dengan<br />
tujuan memberdayakan aparatur dan<br />
memberikan ruang bagi partisipasi<br />
masyarakat dalam proses pembangunan.<br />
Untuk itu dibutuhkan komitmen dari<br />
aparatur untuk mau bekerja keras dalam<br />
upaya mencapai tujuan program yang<br />
dimaksud. Komitmentersebut lebih<br />
mengarah pada pemberdayaan<br />
masyarakat kota dalam menentukan<br />
pembangunan. Agar komitmen<br />
pemerintah kota ini dapat terwujud maka<br />
perlu diciptakan :<br />
a. Ketaatan prosedur sesuai dengan<br />
peraturan perundangan yang berlaku<br />
Terciptanya good governance<br />
merupakan persyaratan dari pengelolaan<br />
pemerintahan yang efektif. Namun<br />
pemerintahan yang sudah mampu<br />
mewujudkan good governance belum<br />
tentu memiliki kepedulian terhadap<br />
aspek keberlanjutan pembangunan. Oleh<br />
karena itu pemerintah yang telah<br />
mengupayakan aktualisasi prinsipprinsip<br />
good governance masih<br />
memerlukan persyaratan tambahan yaitu<br />
upaya mengaitkan seluruh kebijaksanaan<br />
pembangunan dengan prinsip-prinsip<br />
keberlanjutan ekologis (ecological<br />
sustainability).<br />
b. Keterlibatan pemerintah pada<br />
program pembangunan yang sedang<br />
dilakukan<br />
Pada prakteknya keterlibatan<br />
pemerintah dalam pembangunan pada<br />
funsi regulative maupun sebagai<br />
fasilator. Dengan adanya PDPP, maka<br />
akan terlihat keterlibatan penuh dari<br />
pemerintah, karena ada pemantauan<br />
yang dilakukan secara intensif oleh<br />
semua komponen masyarakat.<br />
6. Faktor Dukungan Finansial<br />
Pada pemaparan sebelumnya<br />
telah dijelaskan bahwa dukungan<br />
financial merupakan darah bagi<br />
terselenggaranya PDPP. Pemberdayaan<br />
aparatur pemerintah dan pelaku yang<br />
lain dalam proses pembangunan tentu<br />
membutuhkan dukungan finansial.<br />
Dukungan financial ini meliputi :<br />
a. Kemampuan keuangan daerah untuk<br />
mendukung program pembangunan<br />
yang sedang dilakukan<br />
Beberapa indikator yang dapat<br />
digunakan untuk melihat sejauh mana<br />
efesiensi pengeluaran pemerintah antara<br />
lain adalah :<br />
• Proposi pengeluaran rutin dan<br />
pengeluaran pembangunan terhadap<br />
produk domestik bruto<br />
• Perbandinagn pengeluaran rutin dan<br />
pengeluaran pembangunan<br />
• Komposisi pengeluaran rutin<br />
b. Pengelolaan keuangan daerah<br />
secara proposional dan transparan<br />
Dalam pembuatan atau penyusunan<br />
APBD (Anggaran <strong>Pendapatan</strong> dan<br />
Belanja <strong>Daerah</strong>), maka tahapn ini<br />
merupakan tahapan terpenting dalam
*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 9<br />
proses penganggaran, karena hasil<br />
tahapan inilah yang akan mempengaruhi<br />
proses dan hasil dalam tahapan<br />
berikutnya. Penyusunan anggaran<br />
dilakukan oleh eksekutif dan legislative,<br />
dimana eksekutif menyusun rencana<br />
anggaran pemerintah daerah yang<br />
terdiridari rencana anggaran pendapatan<br />
dan rencana anggaran belanja (belanja<br />
rutin maupun belanja pembangunan).<br />
Sedangkan legislative menyusun rencana<br />
anggaran dewan yang kemudian<br />
digabungkan dengan anggaran<br />
pemerintah daerah dan ditetapkan<br />
menjadi Peraturan <strong>Daerah</strong> tentang<br />
APBD.<br />
SIMPULAN<br />
1. Faktor komitmen pemerintah kota<br />
menunjukan tingkat yang memadai<br />
yang terindikasi dari pengetahuan<br />
dan pelaksanaan kebijakan yang<br />
sesuai prosedur, serta keterlibatan<br />
langsung aparatur dalam kebijakan<br />
pelaksanaan pembangunan bersama<br />
komponen masyarakat, baik sektor<br />
swasta maupun lembaga swadaya<br />
masyarakat yang berkiprah dalam<br />
pembangunan. Komitmen yang<br />
tinggi dari aparatur pemerintah kota<br />
mampu meningkatkan kinerja<br />
program PDPP secara optimal.<br />
2. Faktor dukungan financial sebagai<br />
Faktor lain yang mempengaruhi<br />
kenerja program dasar pembangunan<br />
memperlihatkan pengaruh yang<br />
cukup besar terhadap pencapaian<br />
kinerja program PDPP.<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
Buku :<br />
Dwijanto, Agus, 2000, Membangun<br />
Sistem Pelayanan Publik Yang<br />
Memihak Pada Rakyat. Seminar<br />
Nasional Profesionalisasi dan<br />
<strong>Peningkatan</strong> Kenerja Pelayanan<br />
Publik, Jurusan Administrasi Negara,<br />
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu<br />
Politik, Universitas Gajah Mada,<br />
Yogyakarta.<br />
Dwijanto, Agus dkk, 2002, Reformasi<br />
Birokrasi di Indonesia, Pusat Studi<br />
Kependudukan dan Kebijakan,<br />
Universitas Gajah Mada,<br />
Yogyakarta.<br />
Henry, Nicholas, 1988, Administrasi<br />
Negara dan Masalah-Masalah<br />
Kenegaraan, Rajawali Pers, Jakarta.<br />
Kunarjo, 2002, Perencanaan dan<br />
Pengendalian<br />
Program<br />
Pembangunan, UIP, Jakarta.<br />
Tjokroamidjojo Bintoro, 1993,<br />
Manajemen Pembangunan, PT.<br />
Toko Gunung Agung, Jakarta.<br />
Tjokrowinoto, Moelyarto, 1995, Politik<br />
Pembangunan, Tiara Wacana,<br />
Yogyakarta .<br />
Warpani, S, 1984, Analisis Kota dan<br />
<strong>Daerah</strong>, ITB, Bandung.<br />
Peraturan-peraturan & Undang-<br />
Undang :<br />
Undang-Undang Republik Indonesia No.<br />
22 tahun 1999 : Tentang<br />
Pemerintahan <strong>Daerah</strong><br />
Undang-Undang Republik Indonesia No.<br />
25 tahun 1999 : Tentang<br />
Perimbangan Keuangan Untuk<br />
Pemerintah Pusat dan <strong>Daerah</strong>.
Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
ADIANTO<br />
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />
Abstrak : Kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor yang rumit dan<br />
saling terkait erat satu dengan yang lainnya. Kondisi tersebut sering dikatakan sebagai suatu pola<br />
”lingkaran setan” yang sangat sulit untuk dipecahkan. Pola tersebut berlangsung secara terus menerus<br />
dan bahkan cenderung menimbulkan dampak yang semakin buruk. Faktor eksternal inilah yang<br />
memegang peran penting dan strategis dalam melakukan pemberdayaan (empowering) untuk<br />
meningkatkan kemampuan kelompok masyarakat miskin dan tertinggal dalam mengorganisir diri agar<br />
secara mandiri mampu melaksanakan program peningkatan ekonomi dan tingkat kesejahteraan hidup.<br />
Pola pemberdayaan masyarakat yang terkonsep, sistematis, terukur dan tepat sasaran merupakan upaya<br />
yang tepat dan efektif mendorong kemandirian masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan hidupnya.<br />
Inisiatif dan keterlibatan dari kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan, pengetahuan serta akses<br />
terhadap sumber-sumber informasi dan pendanaan adalah merupakan upaya terobosan untuk memecah<br />
”lingkaran setan” kemiskinan dan ketertinggalan serta sekaligus mendorong kemampuan agar secara<br />
mandiri mereka mampu meningkatkan taraf ekonomi dan kualitas hidupnya. Komitmen dan semangat<br />
kebersamaan tersebut diimplementasikan melalui berbagai program pengembangan masyarakat<br />
(community development) yang bertujuan untuk mendorong masyarakat agar lebih mandiri dalam<br />
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya.<br />
Kata Kunci : Pemberdayaan Masyarakat dan Implementasi Kebijakan Publik<br />
Pelaksanaan otonomi daerah<br />
dihadapkan kepada beberapa tantangan,<br />
dimana tantangan tersebut diantaranya :<br />
Pertama, resutrukrisasi organisasi yang<br />
berarti penyesuaian aparatur, penataan<br />
sistem pendayagunaan dan pembinaan<br />
aparatur. Kedua, kompetisi yang sehat<br />
antar daerah dalam mendayagunakan<br />
potensi pembangunan yang berarti<br />
diperlukan sumber daya aparat yang<br />
memiliki kemampuan profesional yang<br />
dinamis dan berwawasan luas. Ketiga,<br />
tanggung jawab dan wewenang yang<br />
semakin besar bagi daerah untuk<br />
melaksanakan pembangunan yang<br />
berarti diperlukan kemampuan<br />
merancang program pembangunan yang<br />
sesuai dengan aspirasi rakyat serta secara<br />
strategik dapat mempertahankan<br />
kesuksesan daerah. Keempat, tuntutan<br />
yang semakin meningkat dari rakyat<br />
terhadap kualitas pelayanan dan<br />
peningkatan kesejahteraan. Kelima,<br />
tuntutan kemampuan yang lebih tinggi<br />
kepada aparatur daerah dalam cara-cara<br />
memberdayakan masyarakat dalam<br />
partisipasi pembangunan. Dari beberapa<br />
tantangan tersebut salah satunya adalah<br />
memberdayakan masyarakat didalam<br />
pembangunan daerah yang bertujuan<br />
untuk meningkatkan kesejahteraan<br />
masyarakat. Sebab realitanya manusia<br />
dan masyarakat merupakan faktor yang<br />
sangat penting dan menentukan<br />
keberhasilan suatu pembangunan.<br />
Pemberdayaan masyarakat didalam<br />
10
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
11<br />
pembangunan daerah merupakan upaya<br />
untuk memandirikan masyarakat melalui<br />
perwujudan potensi kemampuan yang<br />
mereka miliki. Dimana masyarakat<br />
diberikan kesempatan untuk menentukan<br />
pilihan kegiatan yang paling sesuai bagi<br />
kemajuan dan kesejahteraan mereka<br />
masing-masing. Sehingga tidak muncul<br />
keinginan yang hanya datang dari pihak<br />
pemberdaya saja, tetapi sebaliknya<br />
keinginan tersebut tumbuh dari pihak<br />
yang akan diberdayakan. Karena<br />
masyarakat akan diberikan kesempatan<br />
untuk memperoleh hidup yang lebih baik<br />
dengan kemampuan yang dimiliki, serta<br />
mengurangi jurang kesenjangan didalam<br />
masyarakat yang sudah tercipta selama<br />
ini.<br />
Pemberdayaan merupakan suatu<br />
proses peningkatan kondisi kehidupan<br />
dan penghidupan yang ditujukan kepada<br />
masyarakat miskin. Karena masyarakat<br />
miskin merupakan sumber daya manusia<br />
yang berpotensi untuk berfikir dan<br />
bertindak yang pada saat ini memerlukan<br />
penguatan agar mampu memanfaatkan<br />
daya (power) yang dimiliki. Oleh sebab<br />
itu langkah awal dalam penanganan<br />
masalah kemiskinan perlu dilakukan<br />
identifikasi potensi yang mereka miliki.<br />
Di wilayah perkotaan, sering timbul<br />
kemiskinan yang terselubung didalam<br />
kehidupan masyarakatnya, yang bisa saja<br />
disebabkan oleh para kaum urban atau<br />
masyarakatnya sendiri yang kurang<br />
memilikki kemampuan dan keahlian<br />
untuk bersaing. Kota Pekanbaru<br />
merupakan salah satu kota yang<br />
memiliki perkembangan yang cukup<br />
pesat, juga tidak luput dari keberadaan<br />
masyarakat miskin. Dari data yang<br />
diperoleh persentase keluarga miskin di<br />
Kota Pekabaru dapat dilihat pada grafik<br />
dibawah ini :<br />
Grafik 1.<br />
Frekuensi Keluarga Miskin di Kota<br />
Pekanbaru<br />
5000<br />
4500<br />
4000<br />
3500<br />
3000<br />
2500<br />
2000<br />
1500<br />
1000<br />
500<br />
0<br />
Keluarga<br />
miskin<br />
Sukajadi<br />
Payung<br />
Sekaki<br />
Sukajadi<br />
Pekanbaru Kota<br />
Sail<br />
Lima Puluh<br />
Senepalan<br />
Bukit Raya<br />
Marpoyan Damai<br />
Tenayan Raya<br />
Tampan<br />
Payung Sekaki<br />
Rumbai<br />
Rumbai Pesisir<br />
Dari grafik diatas terlihat bahwa<br />
jumlah keluarga miskin di Kota<br />
Pekanbaru masih sangat besar, dimana<br />
kecamatan yang paling banyak memiliki<br />
keluarga miskin adalah Kecamatan<br />
Rumbai yaitu sebanyak 3.975 keluarga<br />
miskin. Untuk itu dibutuhkan perhatian<br />
Pemerintah Kota Pekanbaru dalam<br />
mengurangi persentase kemiskinan<br />
dengan menerbitkan kebijakan tentang<br />
pengentasan kemiskinan. Salah satu<br />
kebijakan tentang pengentasan<br />
kemiskian yang dilaksanakan oleh<br />
Pemerintah Kota Pekanbaru adalah<br />
program usaha peningkatan pendapatan<br />
keluarga sejahtera (UPPKS). Program ini<br />
memiliki tujuan untuk meningkatkan<br />
kemampuan dan potensi diri masyarakat<br />
kota yang miskin dalam memenuhi<br />
kebutuhan diri dan keluarganya yang<br />
pada akhirnya masyarakat mampu<br />
berdiri sendiri atau tidak bergantung<br />
kepada pemerintah. Selain itu juga<br />
program ini memiliki sasaran<br />
diantaranya : Pertama, prinsip kemitraan<br />
melalui koordinasi dan kerjasama<br />
pemerintah, swasta dengan dukungan<br />
masyarakat. Kedua, meningkatkan<br />
kemampuan wanita dalam membangun<br />
fungsi ekonomi keluarga sehingga<br />
menjadi salah satu kekuatan ekonomi<br />
masyarakat. Ketiga, proses belajar bagi<br />
para anggota keluarga dalam rangka
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
12<br />
meningkatkan profesionalisme<br />
kewirausahaan. Keempat, memantapkan<br />
penerimaan norma keluarga kecil yang<br />
diprioritaskan untuk wilayah yang<br />
mempunyai institusi panguyuban<br />
keluarga sejahtera dengan berkategori<br />
berkembang dan mandiri. Kelima, untuk<br />
mendukung pengembangan usaha<br />
membangun keluarga modern. Keenam,<br />
untuk menurunkan jumlah keluarga pra<br />
sejahtera dan keluarga sejahtera I.<br />
Dalam upaya merealisasikan dan<br />
mewujudkan implementasi program<br />
UPPKS di Kota Pekanbaru yang sesuai<br />
dengan tujuan dan sasarannya masih<br />
menemukan beberapa kendala-kendala,<br />
diantaranya :<br />
1. Pemberian modal bantuan kepada<br />
masyarakat yang diharapkan<br />
berkembang tidak disertai dengan<br />
pembekalan secara teknis yang dapat<br />
membantu masyarakat bisa<br />
berkembang.<br />
2. Pemberian bantuan yang juga dalam<br />
rangka memperkuat potensi yang<br />
dimiliki masyarakat, kurang disertai<br />
dengan pengawasan dan sanksi yang<br />
tegas terhadap masyarakat yang<br />
diberdayakan.<br />
3. Kurangnya keinginan pemerintah<br />
untuk mengayomi dalam melindungi<br />
masyarakat yang dalam proses<br />
pemberdayaan, kerena biasanya<br />
pemerintah melepasa masyarakat<br />
untuk mandiri.<br />
4. Kurangnya akses akan peluang<br />
memperoleh pinjaman untuk<br />
berkembang dan kurangnya skill<br />
yang dimiliki, sehingga tidak mampu<br />
bersaing dengan yang lainnya.<br />
Berangkat dari kendala-kendala<br />
implemetasi program UPPKS yang<br />
ditemukan, maka permasalahan dalam<br />
penelitian ini adalah bagaimanakan<br />
keberhasilan implementasi program<br />
usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru .<br />
Sedangkan tujuan dari penelitian ini<br />
adalah untuk mengetahui dan<br />
menganalisis keberhasilan implementasi<br />
program usaha peningkatan pendapatan<br />
keluarga sejahtara (UPPKS) di Kota<br />
Pekanbaru.<br />
Kajian teori dari keberhasilan<br />
implementasi program usaha<br />
peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru,<br />
diawali dengan teori pemberdayaan<br />
masyarakat dan teori implementasi<br />
kebijakan. Menurut Menurut Naning<br />
Mardianah dalam Paulus Wirutomo dkk<br />
(2003 : 129) pemberdayaan dimaknai<br />
sebagai mendapatkan kekuatan (power)<br />
dan mengaitkan dengan kemampuan<br />
golongan miskin untuk mendapatkan<br />
akses ke sumber-sumber daya yang<br />
menjadi dasar dari kekuasaan dalam<br />
suatu sistem maupun organisasi.<br />
Sedangkan menurut Prianarka (1996 : 45<br />
– 47) pemberdayaan sebagai sebuah<br />
konsep yang lahir sebagai bagian dari<br />
perkembangan alam fikiran masyarakat<br />
tentang kemapanan, antisistem,<br />
antistruktur dan antideterminisme.<br />
Kemudian menurut Gunawan<br />
Sumodiningrat (1997 : 164)<br />
pemberdayaan masyarakat adalah<br />
kemampuan individu yang senyawa dan<br />
unsur-unsur yang memungkinkan suatu<br />
masyarakat bertahan serta membangun<br />
keberdayaan masyarakat yang<br />
bersangkutan. Beliau juga menjelaskan<br />
ada tiga jenis dalam upaya<br />
pemberdayaan masyarakat, yaitu :<br />
1. Menciptakan suasana atau iklim<br />
yang memungkinkan potensi<br />
masyarakat untuk berkembang (baik<br />
laki-laki atau perempuan). Titik<br />
tolaknya adalah pengenalan bahwa<br />
setiap manusia dan masyarakat<br />
memiliki potensi (daya) yang dapat<br />
dikembangkan. Pemberdayaan<br />
adalah upaya untuk membangun daya<br />
itu dengan mendorong, memberikan<br />
motivasi, dan membangkitkan<br />
kesadaran akan potensi yang<br />
dimilikinya serta berupaya untuk<br />
mengembangkannya.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
13<br />
2. Memperkuat potensi atau daya yang<br />
dimiliki masyarakat (empowering).<br />
Dalam rangka ini diperlukan<br />
langkah-langkah lebih positif dan<br />
nyata, penyediaan berbagai masukan<br />
serta pembukaan akses kepada<br />
berbagai peluang yang akan<br />
membuat masyarakat menjadi<br />
semakin dalam berdaya<br />
memanfaatkan peluang.<br />
3. Memberdayakan mengandung arti<br />
melindungi. <strong>Strategi</strong> pengembangan<br />
harus berpusat pada upaya<br />
mendorong percepatan perubahan<br />
struktur ekonomi rakyat dalam<br />
perekonomian nasional. Perubahan<br />
struktur ini meliputi proses<br />
perubahan dari ekonomi tradisional<br />
ke ekonomi modern, dari ekonomi<br />
lemah ke ekonomi tangguh.<br />
Selanjutnya dalam melakukan<br />
pemberdayaan kepada masyarakat<br />
tidak terlepas dari permasalahan atau<br />
faktor penghambat. Ada beberapa<br />
faktor penghambat dalam melakukan<br />
pemberdayaan masyarakat menurut<br />
Lowe, yaitu :<br />
1. Ketakutan (fear)<br />
Banyak individu yang begitu<br />
sederhana takut akan pemberdayaan,<br />
hal ini diperlihatkan oleh : Pertama,<br />
individu pada level menengah dan<br />
junior takut akan hukuman jikalau<br />
membuat kesalahan. Dimana<br />
merupakan peninggalan dari gaya<br />
manajemen komando yang lebih<br />
menekankan kebebasan untuk<br />
mengambil resiko. Kedua, individu<br />
juga takut bahwa mereka tidak akan<br />
dapat dukungan yang dijanjikan<br />
apabila mereka melakukan<br />
kesalahan. Ketiga, individu juga<br />
memiliki ketakutan akan gagal.<br />
Keempat, individu juga takut akan<br />
kehilangan pekerjaan yang telah<br />
dilakukan sebelumnya.<br />
2. Ketidakyamanan (role clarity)<br />
Bagi masyarakat, ketidaknyamanan<br />
pekerjaan baru berasal dari<br />
kebingungan atau kurang senang<br />
dengan peran baru atau pekerjaan<br />
baru mereka setelah diberdayakan.<br />
Hal ini menunjukkan bahwa :<br />
Pertama, pihak pemberdaya merasa<br />
dilangkahi oleh suatu kebijakan<br />
tentang pemberdayaan masyarakat<br />
yang menyerahkan kekuasaan dan<br />
wewenang atau membebankan<br />
sesuatu kepada masyarakat. Kedua,<br />
pihak pemberdaya kurang memahami<br />
dan mengenal apa yang diinginkan<br />
oleh masyarakat. Ketiga, pihak<br />
pemberdaya tidak mempunyai<br />
kekuatan dan merasa kalah dari<br />
masyarakat yang diberdayakan.<br />
Keempat, para masyarakat sulit<br />
menyesuaikan diri kepada pekerjaan<br />
yang baru, seperti yang selama ini<br />
pedagang tiba-tiba harus menjadi<br />
petani. Kelima, pihak pemberdaya<br />
kurang jelas akan tujuannya<br />
melakukan pemberdayaan kepada<br />
masyarakat.<br />
3. Kecenderungan implementasi<br />
kebijakan yang tidak berubah<br />
(resistance to change)<br />
Hal ini mengarah kepada<br />
kecenderungan oleh pihak<br />
pemberdaya (pemerintah, swasta atau<br />
pihak lainnya) untuk berpegang<br />
teguh kepada cara-cara yang sudah<br />
mapan dalam mengerjakan dan<br />
pengenalan proses pemberdayaan.<br />
Misalnya secara historis sistem yang<br />
digunakan disuatu tempat berhasil<br />
digunakan, tentunya akan tetap<br />
dicoba melaksanakan pada<br />
lingkungan yang berbeda. (Nyoman<br />
Sumaryadi, 2005 : 159 – 160)<br />
Setelah konsep pemberdayaan<br />
masyarakat dijelaskan, langkah<br />
berikutnya adalah menjelaskan konsep<br />
implementasi kebijakan. Untuk melihat
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
14<br />
keberhasilan suatu kebijakan, maka<br />
sangat bergantung pada implementasi<br />
kebijakan itu sendiri. Dimana,<br />
implementasi menyangkut tindakan<br />
seberapa jauh arah yang telah<br />
diprogramkan itu benar-benar<br />
memuaskan. Akhirnya pada tingkatan<br />
abstraksi tertinggi implementasi sebagai<br />
akibat ada beberapa perubahan yang<br />
dapat diukur dalam masalah-masalah<br />
besar yang menjadi sasaran program.<br />
Menurut Syaukani dkk (2002 : 295)<br />
implementasi merupakan suatu rangkain<br />
aktivitas dalam rangka menghantarkan<br />
kebijakan kepada masyarakat sehingga<br />
kebijakan tersebut dapat membawa hasil<br />
sebagaimana yang diharapkan.<br />
Rangkaian kegiatan tersebut mencakup,<br />
Pertama, persiapan seperangkat<br />
peraturan lanjutan yang merupakan<br />
interprestasi dari kebijakan tersebut.<br />
Kedua, menyiapkan sumber daya guna<br />
menggerakkan kegiatan implementasi<br />
termasuk didalamnya sarana dan<br />
prasarana, sumber daya keuangan dan<br />
tentu saja penetapan siapa yang<br />
bertanggung jawab melaksanakan<br />
kebijakan tersebut. Ketiga, bagaimana<br />
menghantarkan kebijakan secara<br />
kongkrit ke masyarakat.<br />
Menurut Hasel Nogi (2003 : 13)<br />
implementasi kebijakan merupakan<br />
rangkaian kegiatan setelah suatu<br />
kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu<br />
implementasi maka suatu kebijakan yang<br />
telah dirumuskan akan sia-sia.<br />
Sedangkan memurut Grindle (1980 : 18)<br />
implementasi kebijakan sesungguhnya<br />
bukan sekedar berhubungan dengan<br />
mekanisme penjabaran atau operasional<br />
dari keputusan politik ke dalam<br />
prosedur-prosedur rutin lewat saluran<br />
birokrasi melainkan lebih dari itu yaitu<br />
menyangkut masalah konflik, keputusan<br />
dan siapa yarg, akan memperoleh apa<br />
dan suatu kebijakan.Kemudian menurut<br />
Ripley (1985 : 58) implementasi<br />
merupakan suatu tahapan diantara<br />
pembuatan kebijakan dan konsekuensi<br />
dari kebijakan. Dimana ia menempatkan<br />
implementasi pada tabap ketiga dalam<br />
proses kebijakan. Tahap pertama<br />
penyusunan agenda, tahap kedua<br />
fomulasi kebijakan, tahap ketiga<br />
implementasi kebijakan dan tahap<br />
keempat dampak dari kebijakan.<br />
Selanjunya beliau menegaskan bahwa<br />
implementasi yang berhasil tidak hanya<br />
ada dua perspektif yaitu keberhasilan<br />
diukur melalui tingkat kepatuhan<br />
birokrasi level bawah terhadap<br />
birokarasi level atas dan keberhasilan<br />
impelementasi dicarikan oleh<br />
kelancaran rutinitas dan tidak adanya<br />
masalah. Sementara ada perspektif lain<br />
yang mengatakan bahwa implementasi<br />
yang berhasil mengarah pada kinerja<br />
yang diinginkan dari suatu program dan<br />
dampak dari program.<br />
Implementasi kebijakan pada<br />
prinsipnya adalah cara agar sebuah<br />
kebijakan dapat mencapai tujuannya<br />
(Nugroho, 2003 : 158). Tidak lebih dan<br />
tidak kurang. Untuk<br />
mengimplementasikan kebijakan publik<br />
maka ada dua pilihan langkah yang ada,<br />
yaitu langsung mengimplementasikan<br />
dalam bentuk program-program atau<br />
melalui formulasi kebijakan derivate<br />
atau turunan dari kebijakan publik<br />
tersebut. Pengertian kebijakan merujuk<br />
pada tiga hal yakni sudut pandang (point<br />
of view); rangkaian tindakan (series of<br />
actions) dan peraturan (regulations).<br />
Ketiga hal tersebut menjadi pedoman<br />
bagi para pengambil keputusan untuk<br />
menjalankan sebuah kebijakan, dari<br />
beberapa definisi mengenai kebijakan<br />
publik, ada satu definisi yang cukup<br />
komprehensif untuk menjelaskan apa itu<br />
kebijakan publik. Definisi tersebut<br />
berbunyi “respon dari sebuah sistem<br />
terhadap demands/claims dan support<br />
yang mengalir dari lingkungannya”.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
15<br />
Definisi tersebut, merespon bisa dilihat<br />
sebagai isi dan implementasi serta<br />
analisis dampak kebijakan, sistem tentu<br />
saja merujuk pada aktor (pemerintah,<br />
parlemen, masyarakat, pressure groups<br />
dan aktor yang lain), demands dan claim<br />
bisa jadi merupakan tantangan dan<br />
permintaan dari aktor-aktor tadi,<br />
sedangkan support bisa merujuk pada<br />
dukungan baik SDM maupun<br />
infrastruktur yang ada, dan yang<br />
terakhir, lingkungan merujuk pada<br />
satuan wilayah tempat sebuah kebijakan<br />
diimplementasikan.<br />
Keberhasilan suatu kebijakan dalam<br />
implementasi kebijakan juga dipengaruhi<br />
oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :<br />
1. Dukungan dan penilaian dari<br />
lembaga eksternal. Jika lembaga<br />
eksternal mendukung, maka<br />
pelaksanaan kebijakan-kebijakan<br />
akan berhasil. Sebaliknya, jika<br />
menolak maka pelaksanaan<br />
kebijakan akan gagal. Oleh karena<br />
itu, agar sukses, pengambil kebijakan<br />
dan para pelaksananya harus<br />
melakukan penyamaan visi dan<br />
persepsi dalam kebijakan yang<br />
diambil.<br />
2. Ketersediaan waktu dan sumber daya<br />
yang cukup.<br />
3. Dukungan dari berbagai macam<br />
sumber daya yang ada. Makin<br />
banyak yang mendukung makin<br />
tinggi tingkat kesuksesannya.<br />
4. Kemampuan pelaksana kebijakan<br />
menganalisis kausalitas persoalan<br />
yang timbul dari pelaksanaan<br />
kebijakan. Makin mampu para<br />
pelaksana kebijakan menganalisis<br />
kausalitas antara satu kegiatan<br />
dengan kegiatan lain atau antara<br />
suatu kegiatan dengan dampaknya<br />
akan semakin tinggi tingkat<br />
keberhasilannya.<br />
5. Kepatuhan para pelaksana kebijakan<br />
terhadap kesepakatan dan tujuan<br />
yang telah diciptakan dalam tingkat<br />
koordinasi. (Hogwood dan Gunn<br />
dalam Sumaryadi, 2005 : 84)<br />
Van Meter dan Van Horn dalam<br />
Winarno (2007 : 146) mengemukakan<br />
implementasi kebijakan sebagai<br />
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh<br />
individu/kelompok pemerintah maupun<br />
swasta yang diarahkan untuk mencapai<br />
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan<br />
dalam keputusan-keputusan kebijakan<br />
sebelumnya. Menurut Budi Winarno<br />
(2007 : 160) mengemukakan adanya tiga<br />
unsur penting dalam proses<br />
implementasi yaitu : (i) adanya program<br />
atau kebijakan yang dilaksanakan, (ii)<br />
target group yaitu kelompok masyarakat<br />
yang menjadi sasaran dan diharapkan<br />
akan menerima manfaat dari program,<br />
perubahan atau peningkatan, (iii) unsur<br />
pelaksanaan (implementor) baik<br />
organisasi atau perorangan untuk<br />
bertanggung jawab dalam memperoleh<br />
pelaksanaan dan pengawasan dari proses<br />
implementasi tersebut. Implementasi<br />
kebijakan adalah suatu efektivitas atau<br />
kegiatan dalam rangka mewujudkan atau<br />
merealisasikan kebijakan yang telah<br />
ditetapkan sebelumnya, yang dilakukan<br />
oleh organisasi birokrasi pemerintahan<br />
atau badan pelaksanaan lain melalui<br />
proses administrasi dan manajemen<br />
dengan memanfaatkan segala sumber<br />
daya yang tersedia untuk mencapai<br />
tujuan tertentu.<br />
Ripley dan Franklin dalam Sujianto<br />
(2008 : 33) menegaskan implementasi<br />
yang berhasil tidak hanya ada dua<br />
perspektif saja. Pertama, keberhasilan<br />
diukur melalui tingkat kepatuhan<br />
birokrasi level bawah terhadap birokrasi<br />
level atas. Kedua, keberhasilan<br />
implementasi dicirikan oleh kelancaran<br />
rutinitas dan tidak adanya masalah.<br />
Keberhasilan suatu program dapat dilihat<br />
jika program itu berjalan sesuai dengan<br />
pola-pola yang telah ditetapkan. Faktorfaktor<br />
keberhasilan implementasi<br />
menurut Ripley dan Franklin dalam<br />
Sujianto (2008 : 46) adalah :
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
16<br />
• Kejelasan tujuan-tujuan program dan<br />
tingkat konsensus diantara pelaksana<br />
atas tujuan-tujuan tersebut.<br />
• Tingkat perubahan dari kebiasaankebiasaan<br />
lama yang dikehendaki<br />
program.<br />
• Tipe-tipe orang yang memperoleh<br />
manfaat dan klien terbatas, yaitu<br />
orang dan kelompok yang menjadi<br />
target implementasi.<br />
Menurut Riant Nugroho (2003 : 160)<br />
pada prinsipnya ada "empat tepat" yang<br />
perlu dipenuhi dalam hal keefektifan<br />
implementasi kebijakan, yaitu :<br />
1. Apakah kebijakan sendiri sudah tepat<br />
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari<br />
sisi, Pertama, sejauh mana kebijakan<br />
yang ada telah bermuatan hal-hal<br />
yang memang memecahkan masalah<br />
yang hendak dipecahkan. Kedua,<br />
apakah kebijakan tersebut sudah<br />
dirumuskan sesuai dengan karakter<br />
masalah yang hendak dipecahkan<br />
mengenai perumusan kebijakan.<br />
Ketiga, apakah kebijakan dibuat oleh<br />
lembaga yang mempunyai<br />
wewenang (misi kelembagaan) yang<br />
sesuai dengan karakater<br />
kebijakannya.<br />
2. Tepat pelaksanaannya<br />
Aktor lmplemetasi kebijakan tidak<br />
hanya pemerintah, namun masih ada<br />
yang harus ikut berperan Serta yaitu<br />
masyarakat dan swasta. Dimana<br />
kebijakan yang sifatnya monopoli,<br />
seperti pembuatan kartu identitas<br />
penduduk sebaiknya diselenggarakan<br />
oleh pemerintah. Kebijakan Yang<br />
sifatnya<br />
memberdayakan<br />
masyarakat, seperti penanggulangan<br />
kemiskinan<br />
sebaiknya<br />
diselenggarakan oleh pemerintah<br />
bersama masyarakat. Kebijakan yang<br />
bertujuan mengarahkan kegiatan<br />
masyarakat, seperti pengelolaan<br />
pasar yang mana pemerintah kurang<br />
efektif untuk menyelenggarakannya<br />
sebaiknya dilaksanakan oleh<br />
pemerintah bersama swasta.<br />
3. Tepat target<br />
Ketepatan target berkenaan kepada<br />
tiga hal, yaitu: Pertama, apakah<br />
target yang diintervensi sesuai<br />
dengan yang direncanakan, apakah<br />
tidak, ada tumpang tindih dengan<br />
intervensi lain atau tidak,<br />
bertentangan dengan intervensi<br />
kebijakan lain. Kedua, apakah<br />
targetnya dalam kondisi siap untuk di<br />
intervensi ataukah tidak. Kesiapan<br />
bukan saja dalam arti secara alami.<br />
namun juga apakah kondisi target<br />
mendukung atau menolak. Ketiga,<br />
apakah intervensi implementasi<br />
kebijakan bersifat baru atau<br />
memperbaharui implementasi<br />
kebijakan sebelumnya. Terlalu<br />
banyak kebijakan yang tampaknya<br />
baru namun pada prinsipnya<br />
mengulang kebijakan lama dengan<br />
hasil yang sama tidak efektifnya<br />
dengan kebijakan sebelumnya.<br />
4. Tepat lingkungan<br />
Ada dua lingkungan yang<br />
menentukan dalam implementasi<br />
kebijakan. Yaitu Pertama<br />
lingkungan kebijakan yaitu<br />
lingkungan interaksi diantara<br />
lembaga perumusan kebijakan dan<br />
pelaksana kebijakan dengan lembaga<br />
lain yang berkaitan, kedua<br />
lingkungan eksternal kebijakan yang<br />
juga sebagai variabel eksogen yang<br />
terdiri dari publik opinion yaitu<br />
persepsi publik akan kebijakan dan<br />
implementasi<br />
kebijakan,<br />
interprective intutions yang<br />
berkenaan dengan interprestasi dari<br />
lembaga-lembaga strategis dalam<br />
masyarakat, seperti media massa,<br />
kelompok penekan dan kelompok<br />
kepentingan<br />
dalam<br />
menginterprestasikan kebijakan dan<br />
implementasi kebijakan dan<br />
individual yakni individu-Individu<br />
tertentu yang mampu memainkan<br />
peranan penting dalam<br />
menginterprestasikan kebijakan dan<br />
implementasi kebijakan. Selain itu<br />
juga tepat lingkungan membutuhkan<br />
tiga jenis dukungan, yaitu dukungan<br />
politik, dukungan strategi dan<br />
dukungan teknis.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
17<br />
Sejalan dengan pendapat Jones<br />
Charles dalam Nashir Budiman (2001 :<br />
112) menetapkan ada enam variabel<br />
yang menentukan dalam keberhasilan<br />
implementasi kebijakan, antara lain :<br />
1) Standard dan tujuan kebijakan<br />
(policy standards obiectives)<br />
Ukuran atau standard dan tujuan<br />
kebijakan memberikan perhalian<br />
utama pada faktor-faktor yang<br />
menentulan hasil kerja, maka<br />
identifikasi indicator-indikator hasil<br />
kerja merupakan hal yang penting<br />
dalam analisis. Karena indikator ini<br />
menilai sejauhmana standard dan<br />
tujuan kebijakan keseluruhan<br />
kebijakan, ini terbukti karena mudah<br />
diukur dengan berbagai kasus.<br />
2) Sumber daya kebijakan (policy<br />
resources)<br />
Bukan hanya standard dan tujuan<br />
tetapi juga dalam menjelaskan<br />
implemetasi kebijakan juga<br />
membutukan sumber daya yang<br />
digunakan untuk memudahkan<br />
administrasi.<br />
3) Aktivitas pengamatan dan<br />
komunikasi inter organisasional<br />
Suatu implementasi yang efektif<br />
memerlukan standard dan tujuan<br />
program yang dipahami oleh masingmasing<br />
individu yang bertanggung<br />
jawab agar implementasi tercapai.<br />
Oleh sebab itu memerlukan<br />
komunikasi yang konsisten dengan<br />
tujuan mengumpulkan informasi<br />
yang dibutuhkan. Efektivitas<br />
komunikasi memerlukan mekanisme<br />
dan prosedur yang jelas dimana<br />
otoritas yang lebih tinggi dapat<br />
memungkinkan pelaksana akan<br />
bertindak dengan cara yang<br />
konsisten.<br />
4) Karakteristik pelaksana<br />
Komponen ini terjadi dari struktur<br />
formal organisasi dan atribut-atribut<br />
formal dari personil selain hubungan<br />
pelaksana dengan partisipan dalam<br />
sistem penyampian kebijakan. Lebih<br />
jelasnya karekteristik berhubungan<br />
dengan kemampuan dan kriteria staf<br />
tingkat pengawas hirarkis terhadap<br />
keputusan sub unit dalam proses<br />
implementasi.<br />
5) Kondisi ekonomi, sosial dan politik<br />
Didalam implementasi kebijakan<br />
dipengaruhi oleh beberapa aspek<br />
diantaranya adalah pengaruh<br />
ekonomi, sosial dan politik. Ada<br />
beberapa hal yang berhubungan<br />
dengan faktor ekonomi, sosial dan<br />
politik diantaranya<br />
- Apakah sumber daya ekonomi<br />
tersedia dalam organisasi<br />
pelaksana cukup memadai untuk<br />
menunjang keberhasilan<br />
pelaksanaan.<br />
- Sejauhmana kondisi sosial<br />
ekonomi yang akan<br />
mempengruhi pelaksanaan<br />
kebijakan.<br />
- Bagaimana sifat umum tentang<br />
seberapa jenis masalah kebijakan<br />
yang terkait<br />
- Apakah kelompok elit<br />
menyetujui atau menentang<br />
pelaksanan bebijakan.<br />
- Apakah karakteristik partisipan<br />
dan organisasi pelaksana ada<br />
oposisi atau dukungan partisipan<br />
untuk kebijakan tersebut.<br />
6) Disposisi atau sikap pelaksana<br />
Disposisi atau sikap pelaksana sangat<br />
menentukan<br />
keberhasilan<br />
implementasi, sebab hal ini berkaitan<br />
dengan persepsi pelaksana dalam<br />
yuridis dimana kebijakan<br />
disampaikan. Ada tiga unsur yang<br />
mempengaruhi pelaksana dalam<br />
mengimplementasi kebijakan, yaitu :<br />
- Kognisi (pemahaman dan<br />
pengetahuan) pelaksana terhadap<br />
kebijakan.<br />
- Arab respon pelaksana terhadap<br />
implementasi menerima atau<br />
menolak.<br />
- Intensitas dari respon pelaksana.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
18<br />
Selanjutnya George C. Edward III<br />
mengidentifikasikan faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi<br />
keberhasilan<br />
implementasi kebijakan, yaitu :<br />
1. Komunikasi<br />
2. Sumber daya<br />
3. Sikap<br />
4. Struktur kelembagaan (Sujianto,<br />
2008 : 38 – 45)<br />
Maka dari beberapa penjelasan<br />
tentang implementasi yang telah<br />
dilakukan, disimpulkan bahwa<br />
implementasi kebijakan sebagai suatu<br />
proses melaksanakan keputusan<br />
kebijakan yang biasanya dalam bentuk<br />
undang–undang, peraturan- pemerintah,<br />
peraturan daerah dan program-program<br />
pemenintah. Dimana dalam aktivitas ini<br />
bertipa pemyataan tentang tujuan yang<br />
akan dicapai yang dirancang melalui<br />
kegiatan-kegiatan administratif yang<br />
nyata, seperti pendanaan, perencanaan<br />
dan pengorganisasian.<br />
METODE<br />
Pelaksanaan penelitian ini untuk<br />
pengumpulan data primer maupun data<br />
sekunder menggunakan metode<br />
penelitian survei sebagai salah satu jenis<br />
Scientific Research (penelitian ilmiah),<br />
terutama digunakan untuk<br />
menggambarkan (deskriptif) dan<br />
menjelaskan (explanatory atau<br />
confirmatory) tentang kondisi variabel<br />
penelitian. Populasi dalam penelitian ini<br />
adalah pihak pelaksana program yaitu<br />
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan<br />
Keluarga Berencana (BPMKB) Kota<br />
Pekanbaru, masyarakat yang<br />
diberdayakan yaitu masyarakat yang<br />
menerima program dan masyarakat<br />
independen yaitu masyarakat yang tidak<br />
menerima program. Dimana dalam<br />
melakukan pemilihan sampel dari<br />
populasi yang dimiliki, digunakan tehnik<br />
porposive sampling dan tehnik random<br />
sampling.<br />
Dalam tehnik pengukurannya<br />
penulis menggunakan skala likert, yaitu<br />
memberikan skor penilaian untuk<br />
masing-masing jalaban. Penelitian ini<br />
memberikan lima alternatif jalaban yaitu<br />
sangat baik skor 5, baik skor 4, cukup<br />
baik skor 3, kurang baik skor 2 dan tidak<br />
baik skor 1. Dari perhitungan yang<br />
dilakukan, maka rentang skor untuk<br />
menilai keberhasilan implementasi<br />
program usaha peningkatan pendapatan<br />
keluarga sejehatera (UPPKS) di Kota<br />
Pekanbaru, yaitu :<br />
a. Sangat baik apabila total skor yang<br />
diperoleh 6930 – 8250<br />
b. Baik apabila total skor yang<br />
diperoleh 5609 – 6929<br />
c. Cukup baik apabila total skor yang<br />
diperoleh 4288 – 5608<br />
d. Kurang baik apabila total skor yang<br />
diperoleh 2967 – 4287<br />
e. Tidak baik apabila total skor yang<br />
diperoleh 1646 – 2966<br />
HASIL<br />
Dalam penelitian ini, berfokus<br />
kepada lima variabel untuk menjelaskan<br />
keberhasilan implementasi program<br />
usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru,<br />
yaitu standart dan tujuan kebijakan,<br />
komunikasi, sumber daya, sikap dan<br />
struktur kelembagaan. Penelitian ini<br />
dilakukan dengan menggunakan analisis<br />
deskirptif yaitu suatu tehnik menganalisa<br />
data yang untuk menggambarkan secara<br />
utuh kenyataan mengenai permasalahan<br />
yang diteliti. Adapun yang menjadi<br />
responden dalam penelitian ini adalah<br />
aparatur pelaksana program UPPKS,<br />
kelompok masyarakat yang menerima<br />
program UPPKS dan masyarakat<br />
independen, yang diharapkan dapat<br />
memberikan penilaian terhadap<br />
keberhasilan implementasi program<br />
usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
19<br />
yang berjumlah 66 orang. Kemudian<br />
data diperoleh dengan cara memberikan<br />
daftar pertanyaan dalam bentuk<br />
kuisioner penelitian kepada 66<br />
responden terpilih. Kemudian dari hasil<br />
kuisioner tersebut diperoleh data tentang<br />
keberhasilan implementasi program<br />
usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru,<br />
selanjutnya akan didiskripsikan satu<br />
persatu sebagai berikut :<br />
A. Deskripsi variabel standart dan<br />
tujuan kebijakan<br />
Standart dan tujuan kebijakan<br />
adalah suatu ukuran yang diberikan<br />
terhadap kegiatan, pekerjaan, tindakan<br />
yang dilaksanakan dan memiliki fokus<br />
terhadap hasil kerja yang diperoleh.<br />
Pelaksanaan kegiatan atau pekerjaan<br />
tersebut harus didukung pengetahuan<br />
dan kemampuan yang dimiliki untuk<br />
dapat menghasilkan pekerjaan yang tepat<br />
waktu, memberikan pelayanan yang<br />
memuaskan dan menghasilkan pekerjaan<br />
yang efektivitas. Untuk itu dibutuhkan<br />
ukuran dan standart yang tepat, sehingga<br />
tujuan kebijakan yang dirumuskan dapat<br />
terwujud. Kemudian untuk melihat hasil<br />
tanggapan responden terhadap variabel<br />
standart dan tujuan kebijakan dapat<br />
dilihat pada tabel dibawah ini :<br />
Tabel 1.<br />
Hasil Tanggapan Responden tentang<br />
Variabel Standart dan Tujuan Kebijakan<br />
Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />
Pelaksana<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
penerima<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
independen<br />
SB B CB KB TB<br />
1<br />
(12,5<br />
%)<br />
3<br />
(6,2<br />
%)<br />
1<br />
(10,0<br />
%)<br />
5<br />
(62,5<br />
%)<br />
32<br />
(66,7<br />
%)<br />
5<br />
(50,0<br />
%)<br />
2<br />
(25,0<br />
%)<br />
10<br />
(20,8<br />
%)<br />
2<br />
(20,0<br />
%)<br />
- - 795<br />
1<br />
(2,1<br />
%)<br />
2<br />
(4,2<br />
%)<br />
- 2<br />
(20,0<br />
%)<br />
4400<br />
765<br />
Total skor 5960<br />
Sumber : Hasil penelitian lapangan<br />
Dari hasil penelitian ditemukan<br />
bahwa standart dan tujuan kebijakan<br />
yang diimplementasikan dalam program<br />
usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
sudah berjalan dengan baik. Hal ini<br />
dibuktikan dengan total skor yang<br />
berjumlah 5960 termasuk didalam<br />
ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan<br />
bahwa pelaksana program UPPKS,<br />
masyarakat penerima program UPPKS<br />
dan masyarakat independen setuju<br />
bahwa implementasi program usaha<br />
peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
dalam penetapan standart dan tujuan<br />
sudah berhasil dilakukan. Dimana<br />
keberhasilan implementasi ini terlihat<br />
dari ketepatan waktu melaksanakan<br />
program UPPKS, pelayanan yang<br />
memuaskan dalam pelaksanaan program<br />
UPPKS, ketelitian kerja yang baik dalam<br />
pelaksanaan program UPPKS, tingkat<br />
efisiensi biaya yang baik dan tingkat<br />
efektivitas kerja yang baik dalam<br />
pelaksanaan program UPPKS. Dengan<br />
adanya keberhasilan implementasi ini<br />
tentunya akan menciptakan kelancaran<br />
dalam pelaksanaan program UPPKS<br />
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah<br />
Kota Pekanbaru.<br />
B. Deskripsi variabel komunikasi<br />
Komunikasi adalah penyampaian<br />
informasi atau berita kepada orang lain<br />
dengan maksud dan tujuan tertentu.<br />
Sehingga komunikasi merupakan<br />
peristiwa dimana pemberi berita dan<br />
penerima berita memperoleh pandangan<br />
yang sama tentang suatu berita. Maka<br />
dari itu orang yang melakukan<br />
komunikasi akan memperoleh informasi,<br />
sebab informasi adalah segala sesuatu<br />
yang dikomunikasikan dalam hal ini<br />
pengetahuan tentang sesuatu. Selain itu<br />
juga informasi merupakan inti sistem<br />
komunikasi dan memberikan bahan<br />
dasar pengambilan keputusan. Untuk<br />
melihat hasil tanggapan responden<br />
terhadap variabel komunikasi dapat<br />
dilihat pada tabel dibawah ini :
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
20<br />
Tabel 2.<br />
Hasil Tanggapan Responden tentang<br />
Variabel Komunikasi<br />
Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />
Pelaksana<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
penerima<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
independen<br />
SB B CB KB TB<br />
- 6<br />
2<br />
(4,2<br />
%)<br />
(75,0<br />
%)<br />
28<br />
(58,3<br />
%)<br />
- 5<br />
(50,0<br />
%)<br />
2<br />
(25,0<br />
%<br />
17<br />
(35,4<br />
%)<br />
4<br />
(40,0<br />
%)<br />
- - 755<br />
1<br />
(2,1)<br />
1<br />
(10,0<br />
%)<br />
- 4320<br />
- 875<br />
Total skor 5950<br />
Sumber : Hasil penelitian lapangan<br />
Dari hasil penelitian ditemukan<br />
bahwa komunikasi yang<br />
diimplementasikan dalam program usaha<br />
peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
sudah berjalan dengan baik. Hal ini<br />
dibuktikan dengan total skor yang<br />
berjumlah 5950 termasuk didalam<br />
ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan<br />
bahwa pelaksana program UPPKS,<br />
masyarakat penerima program UPPKS<br />
dan masyarakat independen setuju<br />
bahwa implementasi program usaha<br />
peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
yang dikomunikasikan sudah berhasil<br />
dilakukan. Dimana keberhasilan<br />
implementasi ini terlihat dari informasi<br />
yang disampaikan dalam pelaksanaan<br />
program UPPKS, kemampuan pelaksana<br />
dalam memehami program UPPKS,<br />
kejelasan pelaksanaan program UPPKS,<br />
kelancaran penyampaian informasi<br />
pelaksanaan program UPPKS dan<br />
konsistensi pelaksana dalam<br />
mengkomunikasi program UPPKS.<br />
Dengan adanya keberhasilan<br />
mengkomunikasi program yang<br />
dilaksanakan tentunya akan tercipta<br />
kerjasama yang timbal balik antara<br />
pelaksana program dan masyarakat<br />
penerima program. Sehingga<br />
keberhasilan implementasi program juga<br />
akan lebih mudah diwujudkan apabila<br />
kedua belah pihak saling berkoordinasi<br />
dan berpartisipasi dalam pelaksanaan<br />
program.<br />
C. Deskripsi variabel sumber daya<br />
Secara makro, sumber daya manusia<br />
adalah kualitas atau kemampuan orang<br />
atau manusia untuk mengelola sumber<br />
daya alam, sehingga dapat dipergunakan<br />
bagi kesejahteraan masyarakat sebagai<br />
tujuan akhir pembangunan itu sendiri.<br />
Secara mikro, sumber daya manusia<br />
adalah tenaga kerja, baik yang berupa<br />
pimpinan, staf atau karyawan biasa. Oleh<br />
karenanya tingkat efektivitas dan<br />
produktivitas organisasi akan sangat<br />
tergantung pada kualitas sumber daya<br />
manusia yang dimilikinya. Walaupun<br />
suatu organisasi memiliki peralatan atau<br />
fasilitas kerja yang modern, namun jika<br />
tidak ditunjang oleh kualitas sumber<br />
daya manusia yang memadai, maka akan<br />
sulit untuk mencapai kinerja yang<br />
diinginkan. Untuk melihat hasil<br />
tanggapan responden terhadap variabel<br />
sumber daya dapat dilihat pada tabel<br />
dibawah ini :<br />
Tabel 3.<br />
Hasil Tanggapan Responden tentang<br />
Variabel Sumber Daya<br />
Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />
Pelaksana<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
penerima<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
independen<br />
SB B CB KB TB<br />
- 8<br />
1<br />
(2,1<br />
%)<br />
(100,0<br />
%)<br />
29<br />
(60,4<br />
%)<br />
- 5<br />
(50,0<br />
%)<br />
- - - 800<br />
14<br />
(29,1<br />
%)<br />
4<br />
(40,0<br />
%)<br />
3<br />
(6,3<br />
%)<br />
1<br />
(10,0<br />
%)<br />
1<br />
(2,1<br />
%)<br />
4230<br />
- 830<br />
Total skor 5860<br />
Sumber : Hasil penelitian lapangan
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
21<br />
Dari hasil penelitian ditemukan<br />
bahwa sumber daya yang<br />
diimplementasikan dalam program usaha<br />
peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
sudah berjalan dengan baik. Hal ini<br />
dibuktikan dengan total skor yang<br />
berjumlah 5860 termasuk didalam<br />
ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan<br />
bahwa, pelaksana program UPPKS,<br />
masyarakat penerima program UPPKS<br />
dan masyarakat independent setuju<br />
bahwa program ini telah<br />
diimplementasikan dengan berhasil<br />
berdasarkan sumber daya yang dimiliki.<br />
Dimana keberhasilan ini terlihat dari<br />
kemampuan aparatur pelaksana program,<br />
fasilitas yang disediakan dalam<br />
melaksanakan program, adanya<br />
pembagian pertanggungjawaban yang<br />
jelas, adanya teknologi dan sistem<br />
informasi yang baik dan adanya insentif<br />
yang diberikan kepada pelaksana<br />
program. Dengan memiliki sumber daya<br />
yang memenuhi standart akan<br />
memberikan dorongan dan motivasi bagi<br />
para pelaksana program UPPKS kepada<br />
masyarakat. Oleh karena itu salah satu<br />
kunci keberhasilan dalam implementasi<br />
program UPPKS adalah memiliki<br />
sumber daya yang unggul, sehingga<br />
proses pelaksanaan dapat lebih mudah<br />
menuju kesuksesan.<br />
D. Deskripsi variabel sikap<br />
Sikap adalah kecenderungan<br />
seseorang yang bersifat menetap<br />
terhadap sesuatu objek, orang, kejadian<br />
atau hal lainnya baik secara negatif<br />
maupun positif. Dalam memahami<br />
pergetian sikap, dimaknai terdiri dari<br />
tiga komponen dasar, yakni komponen<br />
kognitif atau evaluatif, komponen<br />
evektif atau perasaan, komponen aksi<br />
atau sikromotorik. Pendekatan teoritis<br />
yang dianggap tradisional tentang sikap<br />
dikenal dengan pendekatan belajar.<br />
Pendekatan belajar ini memandang sikap<br />
sebagai kebiasaan sebagaimana halnya<br />
dengan hal-hal lain yang dipelajari.<br />
Pendekatan lain, seperti teori insentif<br />
mengambil sikap terhadap sesuatu maka<br />
terdapat kecenderungan untuk<br />
memaksimalkan keuntungan yang akan<br />
diperolehnya. Setiap suatu masalah<br />
memiliki keuntungan dan kerugian,<br />
dimana setiap individu akan mengambil<br />
sisi yang memberikan keuntungan yang<br />
lebih besar. Pendekatan kognitif di pihak<br />
lain keselarasan dan kesesuaian dalam<br />
mereka dan antara sikap dan perilaku.<br />
Pendekatan kognitif ini terutama<br />
menekankan penerimaan sikap yang<br />
sesuai dengan keseluruhan struktur<br />
kognitif seseorang. Jadi dalam kerja<br />
yang diminta adalah penerimaan sikap<br />
yang sesuai dengan keseluruhan struktur.<br />
Untuk melihat hasil tanggapan<br />
responden terhadap variabel sikap dapat<br />
dilihat pada tabel dibawah ini :<br />
Tabel 4.<br />
Hasil Tanggapan Responden tentang<br />
Variabel Sikap<br />
Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />
Pelaksana<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
penerima<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
independen<br />
SB B CB KB TB<br />
- 6<br />
1<br />
(2,1<br />
%)<br />
(75,0<br />
%)<br />
29<br />
(60,4<br />
%)<br />
- 5<br />
(50,0<br />
%)<br />
2<br />
(25,0<br />
%)<br />
16<br />
(33,3<br />
%)<br />
4<br />
(40,0<br />
%)<br />
- - 760<br />
2<br />
(4,2<br />
%)<br />
1<br />
(10,0<br />
%)<br />
- 4245<br />
- 845<br />
Total skor 5850<br />
Sumber : Hasil penelitian lapangan<br />
Dari hasil penelitian ditemukan<br />
bahwa sikap yang diimplementasikan<br />
dalam program usaha peningkatan<br />
pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS)<br />
di Kota Pekanbaru sudah berjalan<br />
dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
22<br />
total skor yang berjumlah 5850 termasuk<br />
didalam ketegori baik. Kondisi ini<br />
menjelaskan bahwa, pelaksana program<br />
UPPKS, masyarakat penerima program<br />
UPPKS dan masyarakat independent<br />
setuju bahwa program ini telah<br />
diimplementasikan dengan berhasil<br />
berdasarkan sikap yang ditunjukkan.<br />
Dimana keberhasilan ini terlihat dari<br />
pengetahuan yang dimiliki aparatur<br />
dalam memgimplementasikan program<br />
UPPKS, respon yang ditunjukan<br />
pelaksana program UPPKS, adanya<br />
insentif yang diberikan bagi para<br />
pelaksana program UPPKS, adanya<br />
penghargaan yang diberikan kepada<br />
pelaksana program UPPKS dan adanya<br />
intensitas tinggi yang ditunjukkan dari<br />
para pelaksana program UPPKS. Untuk<br />
itu dengan memiliki sikap yang baik<br />
dalam mengimplementasikan program<br />
UPPKS, akan lebih mempermudah<br />
memperoleh keberhasilan pelaksanaan<br />
program. Oleh karenanya keberhasilan<br />
implementasi program UPPKS juga<br />
harus didukung oleh sikap yang<br />
responsif dan kondusif dari para<br />
pelaksana program tersebut.<br />
E. Deskripsi variabel struktur<br />
kelembagaan<br />
Kelembagaan adalah bagian dari<br />
kelengkapan negara atau daerah yang<br />
membenahi pelaksanaan keputusankeputusan<br />
politik yang dibuat oleh<br />
lembaga legislatif dan eksekutif. Dalam<br />
melaksanakan keputusan-keputusan itu,<br />
pemerintah bergantung kepada birokrasi.<br />
Demikian pula pada waktu proses<br />
pengambilan keputusan, pemerintah<br />
harus mendasarkan diri pada informasi<br />
yang diterima melalui birokrasi. Oleh<br />
karena itu, kelembagaan yang berjalan<br />
baik merupakan syarat mutlak untuk<br />
kebijakan pemerintahan yang efektif,<br />
terutama bagi pemerintahan di negaranegara<br />
sedang berkembang. Dalam<br />
kelembagaan terdapat unsur birokrasi<br />
dalam bentuk tipe ideal, yang merupakan<br />
cerminan dari tahap rasionalisasi<br />
manusia modern. Secara umum<br />
digambarkan bahwa ciri-ciri birokrasi<br />
adalah pengambilan keputusan secara<br />
rasional, hubungan-hubungan sosial<br />
yang bersifat impersonal, tugas-tugas<br />
yang dijadikan rutin dan sentralisasi<br />
kekuasaan. Untuk melihat hasil<br />
tanggapan responden terhadap variabel<br />
struktur kelembagaan dapat dilihat pada<br />
tabel dibawah ini :<br />
Tabel 5.<br />
Hasil Tanggapan Responden tentang<br />
Variabel Struktur Kelembagaan<br />
Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />
Pelaksana<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
penerima<br />
program<br />
UPPKS<br />
Masyarakat<br />
independen<br />
SB B CB KB TB<br />
- 7<br />
1<br />
(2,1<br />
%)<br />
1<br />
(10,0)<br />
(87,5<br />
%)<br />
32<br />
(66,7<br />
%)<br />
3<br />
(30,0<br />
%)<br />
1<br />
(12,5<br />
%)<br />
11<br />
(22,9<br />
%)<br />
5<br />
(50,0<br />
%)<br />
- - 765<br />
4<br />
(8,3<br />
%)<br />
1<br />
(10,0<br />
%)<br />
- 4315<br />
830<br />
Total skor 5910<br />
Sumber : Hasil penelitian lapangan<br />
Dari hasil penelitian ditemukan<br />
bahwa struktur kelembagaan yang<br />
diimplementasikan dalam program usaha<br />
peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
sudah berjalan dengan baik. Hal ini<br />
dibuktikan dengan total skor yang<br />
berjumlah 5910 termasuk didalam<br />
ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan<br />
bahwa, pelaksana program UPPKS,<br />
masyarakat penerima program UPPKS<br />
dan masyarakat independent setuju<br />
bahwa program ini telah<br />
diimplementasikan dengan berhasil<br />
berdasarkan struktur kelembagaan yang<br />
dimiliki. Dimana keberhasilan ini terlihat
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
23<br />
dari dukungan yang diberikan oleh<br />
Pemerintah Kota Pekanbaru, adanya<br />
penerapan standart dalam pelaksanaan<br />
program UPPKS, adanya pembagian<br />
pelaksanaan tugas dalam program<br />
UPPKS, adanya komitmen yang<br />
ditunjukkan dalam pelaksanaan program<br />
UPPKS dan adanya keinginan yang kuat<br />
dalam melaksanakan program UPPKS.<br />
Oleh karenanya apabila struktur<br />
kelembagaan sudah memiliki dukungan<br />
dan komitmen yang tinggi dalam<br />
melaksanakan program yang sudah<br />
ditetapkan, maka tingkat keberhasilan<br />
akan lebih mudah diwujudkan. Untuk itu<br />
struktur kelembagaan memiliki peranan<br />
yang penting dalam upaya<br />
merealisasikan program yang ditetapkan,<br />
sebab struktur kelembagaan ini bisa<br />
dijadikan wadah bagi menjaring<br />
dukungan, komitmen dan kemauan dari<br />
pelaksana dan penerima program.<br />
SIMPULAN<br />
Dari hasil penelitian ini dapat<br />
ditarik kesimpulan bahwa : Pertama,<br />
keberhasilan implementasi kebijakan<br />
program usaha peningkatan pendapatan<br />
keluarga sejahtera (UPPKS) di Kota<br />
Pekanbaru yang ditinjau dari standartd<br />
dan tujuan kebijakan, komunikasi,<br />
sumber daya, sikap dan struktur<br />
kelembagaan telah berhasil<br />
diimplementasikan dengan baik. Kedua,<br />
dari hasil penelitian juga menjelaskan<br />
bahwa indikator yang paling dominan<br />
dalam mempengaruhi keberhasilan<br />
implementasi kebijakan program usaha<br />
peningkatan pendapatan keluarga<br />
sejahatera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
adalah indikator standart dan tujuan.<br />
Artinya dalam mengimplementasikan<br />
standart dan tujuan pada program usaha<br />
peningkatan dan pendapatan keluarga<br />
sejahtera (UPPKS), pihak pelaksana<br />
kebijakan menetapkan standart dan<br />
tujuannya berdasarkan hasil keputusan<br />
bersama dari semua pihak. Sehingga<br />
dalam pelaksanaannya semua pihak yang<br />
terlibat ikut memberikan partisipasinya<br />
dalam upaya mensukseskan program<br />
yang diimplementasikan. Standart dan<br />
tujuan yang dirumuskan diantaranya<br />
standart ketepatan waktu pelaksanaan<br />
program, standart pelayanan dalam<br />
pelaksanaan program, standart ketelitian<br />
pelaksanaan program serta standart<br />
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan<br />
program.<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
Grindle Merike S., 1980., Policy Content<br />
and Context in Implementation<br />
Princeton., University Press., New<br />
Jersey.<br />
Gunawan Sumodiningrat., 1997.,<br />
Pembagunan <strong>Daerah</strong> dan<br />
Pemberdayaan Masyarakat., Bina<br />
Rena Parawira., Jakarta.<br />
Nugroho Riat., 2003., Kebijakan Publik<br />
Formulasi, Implementasi dan<br />
Evaluasi., PT. Alex Media<br />
Komputindo., Jakarta.<br />
Paulus Wirutomo dkk., 2003.,<br />
Paradigma Pembangunan di Era<br />
Otonomi <strong>Daerah</strong>., Penerbit Cipruy.,<br />
Jakarta.<br />
Pranarka dan Onny S. Prijono., 1996.,<br />
Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan<br />
dan Implementasi., CSIS., Jakarta.<br />
Ripley Randel., 1985., Politic Analysis<br />
in Political Science., Nellson Hall.,<br />
Chicago.<br />
Sumaryadi Nyoman., 2005.,<br />
Perencanaan Pembangunan <strong>Daerah</strong><br />
Otonom dan Pemberdayaan<br />
Masyarakat., Penerbit Citra Utama.,<br />
Jakarta.
*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />
<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />
24<br />
Sujianto., 2008., Implementasi<br />
Kebijakan Publik., Penerbit Alaf<br />
Riau., Pekanbaru.<br />
Syaukani., 2002., Kebijakan Publik :<br />
Menggapai Masarakat Madani.,<br />
Mida Pustaka., Yogyakarta.<br />
Tangkilisan Hassel Nogi., 2003.,<br />
Evaluasi Kebijakan Publik,<br />
Penjelasan Analisis dan<br />
Transformasi Pikiran Nagel,<br />
Balairung & Co., Yogyakarta.
Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
SOFIA ACHNES<br />
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />
Abstrak : Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap<br />
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk<br />
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat. Sedangkan<br />
sehat adalah suatu keadaan dimana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun<br />
tanda-tanda penyakit/kelainan. Oleh karena itu dalam mewujudkan kesehatan masyarakat dalam<br />
menjalankan kehidupannya, pemerintah berupaya melaksanakan program-program kesehatan masyarakat.<br />
Pembangunan di bidang kesehatan Kota Pekanbaru selama lima tahun terakhir ini mengalami<br />
peningkatan yang sangat pesat dengan tersedianya sarana kesehatan yang memadai. Jenis pelayanan yang<br />
diberikan juga bertambah serta akses ke sarana kesehatan dasar sudah dijamin oleh pemerintah Kota<br />
Pekanbaru melalui program pengobatan gratis ke puskesmas. Oleh karena itu, puskesmas menjadi salah<br />
satu sarana pelayanan kesehatan yang menjadi pilihan bagi masyarakat terutama dari masyarakat<br />
golongan ekonomi lemah.<br />
Kata kunci : Implementasi, Pelayanan Kesehatan dan Program Jankesmas<br />
Kesehatan adalah investasi dan hak<br />
fundamental seluruh penduduk, untuk itu<br />
dibutuhkan suatu sistem yang mengatur<br />
pelaksanaan bagi upaya pemenuhan hak<br />
warga negara untuk tetap hidup sehat<br />
dengan mengutamakan pada pelayanan<br />
kesehatan bagi masyarakat yang tidak<br />
mampu. Berbagai upaya telah dilakukan<br />
pemerintah untuk menjamin akses<br />
penduduk miskin terhadap pelayanan<br />
kesehatan. Program pelayanan<br />
kesehatan bagi penduduk miskin telah<br />
dijalankan pemerintah sejak tahun 1998<br />
hingga tahun 2004 yang dikenal sebagai<br />
Jaring Pengaman Sosial Bidang<br />
Kesehatan. Selanjutnya pada Tahun<br />
2005 program tersebut diganti menjadi<br />
Program Asuransi Kesehatan Bagi<br />
Masyarakat Miskin (Askeskin).<br />
Perbedaannya, pada Program Askeskin<br />
bantuan pendanaan tidak salurkan<br />
langsung kepada pihak rumah sakit,<br />
namun memakai pengelola dana yakni<br />
PT.Askes yang membayar rumah sakit<br />
berdasarkan klaim.<br />
Mulai 1 September 2008, nama<br />
Program Askeskin berubah menjadi<br />
Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
(Jamkesmas). Perubahan mendasar dari<br />
sistem Askeskin ke Jamkesmas antara<br />
lain dana langsung disalurkan dari<br />
Kantor Pusat Kas Negara (KPKN) ke<br />
rekening setiap Puskesmas/Rumah Sakit.<br />
Proses penyaluran dana Jamkesmas<br />
tersebut yaitu dari Kas Negara (KPKN)<br />
ke Puskesmas dan jaringannya melalui<br />
PT. Pos Indonesia atau langsung ke<br />
rekening Rumah Sakit. Anggaran untuk<br />
Program Jaminan untuk Tahun 2008<br />
sebesar Rp 4,6 triliun untuk 76,4 juta<br />
masyarakat miskin dan hampir miskin<br />
25
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
26<br />
berdasarkan data Badan Pusat Statistik<br />
Tahun 2006.<br />
Pembangunan di bidang kesehatan<br />
Kota Pekanbaru selama lima tahun<br />
terakhir ini mengalami peningkatan yang<br />
sangat pesat dengan tersedianya sarana<br />
kesehatan yang memadai. Jenis<br />
pelayanan yang diberikan juga<br />
bertambah serta akses ke sarana<br />
kesehatan dasar sudah dijamin oleh<br />
pemerintah Kota Pekanbaru melalui<br />
program pengobatan gratis ke<br />
puskesmas. Oleh karena itu, puskesmas<br />
menjadi salah satu sarana pelayanan<br />
kesehatan yang menjadi pilihan bagi<br />
masyarakat terutama dari masyarakat<br />
golongan ekonomi lemah.<br />
Puskesmas Rejosari merupakan<br />
salah satu unit kesehatan yang ada di<br />
Kecamatan Tenayan Raya, Kota<br />
Pekanbaru. Berdasarkan data Dinas<br />
Kesehatan Kota Pekanbaru Tahun 2007,<br />
dalam wilayah Kota Pekanbaru terdapat<br />
sebanyak 14 unit puskesmas. Diantara<br />
puskesmas yang terdapat di wilayah<br />
Kota Pekanbaru, Puskesmas Rejosari<br />
mempunyai jumlah peserta Jamkesmas<br />
relatif tinggi dengan kunjungan rawat<br />
jalan terendah.<br />
Berdasarkan data Profil Dinas<br />
Kesehatan Kota Pekanbaru tahun 2005,<br />
jumlah penduduk yang berada di<br />
Kecamatan Tenayan Raya sebanyak<br />
91.431 jiwa, yang terdiri atas 12.468<br />
KK dimana sebesar 3.126 KK (25,07 %)<br />
merupakan penduduk miskin dengan<br />
kunjungan rawat jalan bagi peserta<br />
Jamkesmas sebanyak 1.808 KK per<br />
tahun dan rata-rata 4,82 % per bulan.<br />
Pada tahun 2006 jumlah penduduk<br />
miskin di Kecamatan Rejosari<br />
meningkat menjadi 4.382 KK dan<br />
kunjungan rawat jalan peserta<br />
Jamkesmas sebanyak 2.441 KK per<br />
tahun dengan kunjungan rata-rata 4,64 %<br />
per bulan Selanjutnya pada tahun 2007<br />
jumlah penduduk miskin menjadi 4.755<br />
KK dan kunjungan rawat jalan 2.635 KK<br />
dengan kunjungan rata-rata per bulan<br />
4,62 % per bulan.<br />
Dari data jumlah kunjungan rawat<br />
jalan peserta Jamkesmas di wilayah kerja<br />
Puskesmas Rejosari di Kecamatan<br />
Tenayan Raya menunjukkan bahwa<br />
rata-rata kunjungan peserta Jamkesmas<br />
masih relatif rendah, karena berdasarkan<br />
program Jamkesmas yang dicanangkan<br />
pemerintah diharapkan rata-rata angka<br />
kunjungan rawat jalan peserta<br />
Jamkesmas sebesar 15 % per bulan.<br />
Untuk melihat keberhasilan suatu<br />
kebijakan, maka sangat bergantung pada<br />
implementasi kebijakan itu sendiri.<br />
Dimana, implementasi menyangkut<br />
tindakan seberapa jauh arah yang telah<br />
diprogramkan itu benar-benar<br />
memuaskan. Akhirnya pada tingkatan<br />
abstraksi tertinggi implementasi sebagai<br />
akibat ada beberapa perubahan yang<br />
dapat diukur dalam masalah-masalah<br />
besar yang menjadi sasaran program.<br />
Perlu diketahui bahwa mempelajari<br />
masalah implementasi kebijakan berarti<br />
berusaha untuk memahami apa yang<br />
senyatanya terjadi sesudah suatu<br />
kebijakan diberlakukan. Menurut<br />
Syaukani dkk (2002 : 295) implementasi<br />
merupakan suatu rangkain aktivitas<br />
dalam rangka menghantarkan<br />
kebijaksanaan kepada masyarakat<br />
sehingga kebijaksanaan tersebut dapat<br />
membawa basil sebagaimana<br />
diharapkan. Rangkaian kegiatan tersebut<br />
mencakup, Pertama, persiapan<br />
seperangkat peraturan lanjutan yang<br />
merupakan interprestasi dari kebijakan<br />
tersbut. Kedua, menyiapkan sumber<br />
daya guna menggerakan kegiatan<br />
implementasi termasuk didalamnya<br />
sarana dan prasarana, sumber daya<br />
keuangan dan tentu saja penetapan siapa<br />
yang bertanggung jawab melaksanakan<br />
kebijaksanaan tersebut. Ketiga,<br />
bagaimana<br />
menghantarkan
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
27<br />
kebijaksanaan secara kongkrit ke<br />
masyarakat.<br />
Implementasi kebijakan pada<br />
prinsipnya adalah cara agar sebuah<br />
kebijakan dapat mencapai tujuannya,<br />
tidak lebih dan tidak kurang. Untuk<br />
mengimplementasikan kebijakan publik,<br />
maka ada dua pilihan langkah yang ada<br />
yaitu langsung mengimplementasikan<br />
dalam betuk, program-program atau<br />
melalui formulasi kebijakan derivate<br />
atau turunan dan kebijakan publik<br />
tersebut. (Riant Nugroho, 2003 : 158)<br />
Selanjutnya George C. Edward III<br />
mengidentifikasikan faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi<br />
keberhasilan<br />
implementasi kebijakan, yaitu :<br />
1. Komunikasi<br />
2. Sumber daya<br />
3. Sikap para pelaksana (disposisi)<br />
4. Struktur birokrasi (Sujianto, 2008 :<br />
38 – 45)<br />
Maka dari beberapa penjelasan<br />
tentang implementasi yang telah<br />
dilakukan, disimpulkan bahwa<br />
implementasi kebijakan sebagai suatu<br />
proses melaksanakan keputusan<br />
kebijakan yang biasanya dalam bentuk<br />
undang–undang, peraturan- pemerintah,<br />
peraturan daerah dan program-program<br />
pemenintah. Dimana dalam aktivitas ini<br />
bertipa pemyataan tentang tujuan yang<br />
akan dicapai yang dirancang melalui<br />
kegiatan-kegiatan administratif yang<br />
nyata, seperti pendanaan, perencanaan<br />
dan pengorganisasian.<br />
Dalam melaksanakan Program<br />
Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
(Jankesmas) yang merupakan suatu<br />
kebijakan, diibutuhkan keseriusan pihak<br />
pelaksana program dalam memberikan<br />
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.<br />
Pelayanan adalah suatu usaha yang<br />
dilakukan oleh seseorang atau<br />
sekelompok orang atau instansi tertentu<br />
untuk memberikan bantuan dan<br />
kemudahan pada masyarakat dalam<br />
rangka mencapai tujuan tertentu ( Thoha,<br />
2001).<br />
Menurut Moenir (1995) pelayanan<br />
adalah kegiatan yang dilakukan oleh<br />
seseorang atau sekelompok orang<br />
dengan landasan faktor-faktor material<br />
melalui sistem prosedur dan metode<br />
tertentu dalam rangka usaha memenuhi<br />
kebutuhan orang lain sesuai dengan<br />
haknya. Selanjutnya Simorangkir (1997)<br />
mengemukakan bahwa pelayanan<br />
meliputi segala apa yang dapat membuat<br />
para pelanggan senang dan tertarik pada<br />
suatu organisasi atau perusahaan yang<br />
bersangkutan, dimana pelayanan tersebut<br />
antara lain :<br />
1. Menghormati langganan dengan<br />
ramah<br />
2. Menghormati tiap kepentingan<br />
dengan serius dan turut<br />
mengembangkan pemikiran untuk<br />
pemecahannya , jika perlu diberikan<br />
bantuan-bantuan yang nyata.<br />
Sianipar (1999) mengemukakan<br />
bahwa pelayanan adalah cara melayani,<br />
membantu, menyiapkan, mengurus,<br />
menyelesaikan keperluan, kebutuhan<br />
sseorang atau kelompok. Artinya, yang<br />
dilayani adalah masyarakat yang terdiri<br />
dari individu, golongan, organisasi<br />
(sekelompok organisasi).. Pelayanan<br />
dapat diartikan pula sebagai suatu cara<br />
atau teknik memenuhi, menanggapi<br />
kepentingan kebutuhan dan keluhan<br />
orang lain.<br />
Bentuk dan jenis pelayanan<br />
kesehatan banyak macamnya, namun<br />
jika disederhanakan secara umum<br />
dibedakan atas dua macam pelayanan,<br />
yaitu :<br />
1. Pelayanan Kedokteran<br />
Pelayanan kesehatan yang termasuk<br />
dalam kelompok pelayanan<br />
kedokteran (medical services)<br />
ditandai dengan pengorganisasian<br />
yang dapat bersifat sendiri (solo<br />
practice) tau secara bersama-sama
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
28<br />
dalam suatu organisasi (institution),<br />
tujuan utamanya untuk<br />
menyembuhkan penyakit dan<br />
memulihkan kesehatan, serta sasaran<br />
terutama untuk perorangan dan<br />
keluarga.<br />
2. Pelayanan Kesehatan Masyarakat<br />
Pelayanan kesehatan yang termasuk<br />
dalam kelompok pelayanan<br />
kesehatan masyarakat (public health<br />
service) ditandai dengan cara<br />
pengorganisasian yang umumnya<br />
secara bersama-sama dalam suatu<br />
organisasi , tujuan utamanya untuk<br />
memelihara dan meningkatkan<br />
kesehatan serta mencegah penyakit<br />
serta sasarannya terutama untuk<br />
kelompok dan masyarakat (Depkes<br />
RI, 2003)<br />
Pusat Kesehatan Masyarakat<br />
(Puskesmas) adalah suatu kesatuan<br />
organisasi fungsional yang langsung<br />
memberikan pelayanan secara<br />
menyeluruh kepada masyarakat dalam<br />
suatu wilayah kerja tertentu dalam<br />
bentuk usaha-usaha kesehatan pokok<br />
(Azwar dalam Effendy, 1996).<br />
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis<br />
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang<br />
bertanggungjawab menyelenggarakan<br />
pembangunan kesehatan di suatu<br />
wilayah kerja (Depkes RI, 2004)<br />
Effendy (1998) mengemukakan<br />
bahwa ada tiga fungsi pokok puskesmas,<br />
yaitu :<br />
a) Sebagai pusat pembangunan<br />
kesehatan masyarakat di wilayahnya<br />
b) Membina peran serta masyarakat di<br />
wilayah kerjanya dalam rangka<br />
meningkatkan kemampuan untuk<br />
hidup sehat<br />
c) Memberikan pelayanan kesehatan<br />
secara menyeluruh dan terpadu<br />
kepada masyarakat di wilayah<br />
kerjanya.<br />
Notoatmodjo (2003) mengemukakan<br />
bahwa pencarian pengobatan di<br />
masyarakat terutama di negara sedang<br />
berkembang sangat bervariasi, hal ini<br />
dapat dilihat sebagai usaha untuk<br />
mengobati sendiri penyakit atau mencari<br />
pengobatan ke fasilitas-fasilitas<br />
pelayanan kesehatan modern seperti ke<br />
puskesmas, perawat, dokter prakrek,<br />
rumah sakit maupun ke pengobatan<br />
tradisional seperti dukun, sinshe dan<br />
lain-lain.<br />
Program Jaminan Pemeliharaan<br />
Kesehatan Masyarakat (Program JPKM)<br />
adalah suatu program jaminan sosial<br />
yang diberikan kepada masyarakat<br />
miskin tanpa adanya kewajiban bagi<br />
masyarakat miskin untuk memberikan<br />
kontribusi premi atau iuran, dimana<br />
dalam menentukannya diperlukan seleksi<br />
atau mean test.<br />
Program JPKM mulai tahun 2005<br />
sampai sekarang dilaksanakan melalui<br />
mekanisme asuransi sosial yang dikelola<br />
oleh PT.Askes (Persero) yang mulai<br />
tahun 2006 dikenal dengan Program<br />
Jamkesmas (Depkes, 2006). Tujuan<br />
Program Jamkesmas adalah untuk<br />
meningkatkan akses dan mutu pelayanan<br />
kesehatan kepada seluruh masyarakat<br />
miskin dan tidak mampu agar tercapai<br />
derajat kesehatan masyarakat yang<br />
optimal secara efektif dan efisien.<br />
Sasaran program ini adalah masyarakat<br />
miskin dan tidak mampu di seluruh<br />
Indonesia yang diperkirakan berjumlah<br />
60.000.000 jiwa berdasarkan data BPS<br />
tahun 2006 (Depkes, 2006).<br />
Manfaat yang disediakan untuk<br />
peserta Askeskin bersifat komprehensif<br />
sesuai dengan indikasi medis. Pelayanan<br />
kesehatan komprehensif tersebut<br />
menurut Depkes (2006) meliputi :<br />
a. Pelayanan kesehatan di Puskesmas<br />
dan jaringannya.<br />
b. Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit<br />
Peserta program Jamkesmas adalah<br />
setiap orang miskin dan tidak mampu<br />
(masyarakat miskin) yang terdaftar dan
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
29<br />
memiliki kartu Jamkesmas dan berhak<br />
mendapatkan pelayanan kesehatan<br />
(Depkes, 2006). Dimana tingkat<br />
pengetahuan masyarakat akan kesehatan<br />
akan memberikan dampak bagi<br />
kesadaran masyarakat terhadap<br />
kesehatan. Tingkat pengetahuan<br />
seseorang akan mempengaruhi tingkah<br />
laku seseorang, apabila tingkat<br />
pengetahuan meningkat, maka<br />
meningkat pula kesadaran untuk<br />
melakukan sesuatu sesuai dengan<br />
kebutuhannya (Pusat Promkes, 2002).<br />
Menurut Notoatmodjo (2001),<br />
pengetahuan merupakan kognitif,<br />
domain yang sangat penting untuk<br />
terbentuknya tindakan seseorang.<br />
Pengetahuan yang mencakup domain<br />
kognitif mempunyai enam tingkatan<br />
yaitu :<br />
1) Tahu (Know) yang diartikan sebagai<br />
pengikat suatu materi yang dipelajari<br />
sebelumnya, ini adalah tingkat<br />
pengethauan yang paling rendah.<br />
2) Memahami (Comprehension) yang<br />
diartikan sebagai kemampuan<br />
menjelaskan secara besar tentang<br />
objek yang diketahui, dan dapat<br />
menginterprestasikan materi tersebut<br />
secara benar<br />
3) Aplikasi (Aplication) diartikan<br />
senagai kemampuan untuk<br />
menggunakan materi yang telah<br />
dipelajari pad ituasi dean kondisi riil<br />
(sebenarnya).<br />
4) Analisis adalah suatu kemampuan<br />
untuk menjabarkan materi atau suatu<br />
objek ke dalm komponen-komponen,<br />
tetapi masih di dalam suatu struktur<br />
organisasi tersebut dan masih<br />
berkaitan satu sama lain.<br />
5) Sintesis menunjuk kepada suatu<br />
kemampuan untuk meletakkan atau<br />
menghubungkan bagian-bagian di<br />
dalam keseluruhan yang baru.<br />
6) Evaluasi berkaitan dengan<br />
kemampuam untuk melakukan<br />
penilaian terhadap suatu materi atau<br />
objek. Pengukuran pengetahuan<br />
dapat dilakukan dengan<br />
menggunakan angket yang<br />
menanyakan tentang isi materi yang<br />
ingin diukur dari subjek penelitian<br />
atau responden.<br />
Menurut Notoadmodjo (2003) sikap<br />
merupakan reaksi atau respon seseorang<br />
yang masih tertutup terhadap stimulus<br />
atau objek. Sikap belum merupakan<br />
tindakan akan tetapi merupakan<br />
predisposisi tindakan suatu perilaku.<br />
Sikap merupakan reaksi tertutup. Sikap<br />
mempunyai tiga komponen yaitu :<br />
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan<br />
konsep terhadap suatu objek.<br />
b. Kehidupan emosional atau evaluasi<br />
terhadap objek<br />
c. Kecendrungan untuk bertindak.<br />
Lebih lanjut Notoadmodjo (2003)<br />
mengemukakan bahwa ke tiga<br />
komponen tersebut secara bersama-sama<br />
membentuk sikap utuh. Sikap terdiri<br />
dari berbagai tingkatan, yaitu :<br />
• Menerima, diartikan bahwa orang<br />
(objek) mau dan memperhatikan<br />
stimulus yang diberikan (objek)<br />
• Merespon, yaitu memberikan<br />
jawaban bila ditanya, mengerjakan<br />
dan menyelesaikan tugas yang<br />
diberikan adalah suatu indikasi dari<br />
sikap.<br />
• Menghargai, yaitu mengajak orang<br />
lain mengerjakan atau mendiskusikan<br />
suatu masalah adalah suatu indikasi<br />
sikap tingkat tiga.<br />
• Tanggungjawab atas segala sesuatu<br />
yang telah dipilihnya dengan segala<br />
resiko merupakan sikap yang paling<br />
tinggi.<br />
Akses terhadap pelayanan diartikan<br />
sebagai pelayanan yang diberikan tidak<br />
terhalang oleh keadaan geografis, sosial,<br />
ekonomi, budaya dan bahasa. Akses<br />
geografis dapat diukur dengan<br />
transportasi, jarak, waktu perjalanan dan
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
30<br />
hambatan fisik lain yang yang<br />
menghalangi seseorang untuk<br />
memperoleh pelayanan kesehatan.<br />
Akses ekonomi berkaitan dengan<br />
kemampuan memberikan pelayanan<br />
kesehatan yang pembiayaannya<br />
terjangkau oleh pasien. Akses sosial<br />
budaya berkaitan dengan diterimanya<br />
pelayanan yang dikaitkan dengan nilai<br />
budaya, kepercayan dan perilaku.<br />
Aklses bahasa berarti bahwa pelayann<br />
yang diberikan dalam dialek setempat<br />
dan dipahami pasien (Depkes,2006).<br />
Petugas kesehatan mempunyai<br />
peranan sangat penting dalam<br />
membverikan pelayanan kepada<br />
masyarakat khususnya di puskesmas.<br />
Peranan petugas mencakup dalam upaya<br />
preventif, promotif, kuratif dan<br />
rehabilitatif (Depkes, 2002).<br />
Peran petugas kesehatan yang<br />
terwujud dalam sikap dan perilaku<br />
kesehatan yang merupakan kelompok<br />
referensi dan perilaku masyarakat yang<br />
juga mendukung dan memperkuat<br />
terbentuknya perilaku (Notoadmodjo,<br />
2003). Pelayanan petugas merupakan<br />
proses dari semua kegiatan yang<br />
dilaksanakan secara professional oleh<br />
tenaga kesehatan (dokter, perawat dan<br />
profesi lainnya) dan interaksinya dengan<br />
pasien. baik atau tidaknya pelayanan<br />
yang diberikan dapat diukur dengan<br />
berbagai cara dan salah satunya adalah<br />
dengan dinilai dengan kepuasan pasien<br />
(Wijono,2002).<br />
METODE<br />
Penelitian ini dilaksanakan pada<br />
Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan Raya , Kota Pekanbaru pada<br />
bulan Juni 2009 dengan menggunakan<br />
metoda survei. Responden dalam<br />
penelitian ini adalah peserta Jamkesmas<br />
yang datang ke Puskesmas Rejosari<br />
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan<br />
Data penelitian bersumber dari 50<br />
responden .<br />
Data yang dikumpulkan berupa data<br />
primer dan data sekunder. Data primer<br />
yang dikumpulkan meliputi : variabel<br />
umur, pendidikan, pengetahuan, sikap,<br />
akses pelayanan , pelayanan petugas<br />
kesehatan serta pemanfaatan pelayanan<br />
rawat jalan dari responden di Puskesmas<br />
Rejosari. Data sekunder dikumpulkan<br />
dari Puskesmas Rejosari, meliputi<br />
jumlah pegawai dan struktur organisasi<br />
Puskesmas Rejosari serta data yang<br />
relevan dengan penelitian.<br />
Analisis yang digunakan berupa<br />
analisis deskriptif. Untuk pengujian<br />
hipotesa penelitian, digunakan tabulasi<br />
silang (cross tabulation). Untuk<br />
menentukan pelaksanaan program<br />
Jamkesmas dalam meningkatkan<br />
pelayanan kesehatan keluarga miskin<br />
digunakan indikator keberhasilan dari<br />
Program Jamkesmas yang dtentukan<br />
oleh Departemen Kesehatan RI Tahun<br />
2008 sebagai berikut :<br />
1. Penerbitan dan Pendistribusian Kartu<br />
Peserta Jamkesmas 100 %.<br />
2. Angka utilisasi (visit rate) rata-rata<br />
15 % per bulan.<br />
3. Angka rujukan dari PPK I rata-rata<br />
12 % per bulan.<br />
4. Rata-rata lama perawatan di Rumah<br />
Sakit (LOS) 7 hari.<br />
5. Tingkat kepuasan konsumen minimal<br />
70 %.<br />
6. Cakupan pemeriksaan kehamilan K4<br />
(90 %), persalinan Nakes (90%) dan<br />
perawatan bayi baru lahis KN2<br />
(90%) oleh petugas kesehatan.<br />
HASIL<br />
Berdasarkan indikator keberhasilan<br />
dari Program Jamkesmas yang<br />
ditentukan oleh Departemen Kesehatan<br />
RI, pada Tabel 1 disajikan data tentang<br />
pelaksanaan program Jamkesmas di
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
31<br />
wilayah kerja Puskesmas Rejosari,<br />
Kecamatan Tenayan Raya.<br />
Dapat dilihat pada tabel 1<br />
pelaksanaan Program Jamkesmas di<br />
Puskesmas Rejosari, dimana dari 6<br />
indikator untuk menentukan<br />
keberhasilan dari Program Jamkesmas,<br />
hanya satu indikator yang mencapai<br />
target Progam Jamkesmas yaitu tingkat<br />
kepuasan konsumen (pasien jamkesmas)<br />
yang ternyata mencapai 84 %,<br />
sedangkan target program Jamkesmas<br />
adalah minimal 70 %.<br />
Tabel 1 Pelaksanaan Program<br />
Jamkesmas di Wilayah Kerja<br />
Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan Raya<br />
Indikator Pelaksanaan Target<br />
74 % 100 %<br />
1. Penerbitan dan<br />
Pendistribusian<br />
Kartu Jamkesmas<br />
2. Angka Utilisasi<br />
(visit rate) rata-rata<br />
per bulan.<br />
3. Angka rujukan dari<br />
Puskesmas rata-rata<br />
per bulan<br />
4. Rata-rata lama<br />
perawatan di Rumah<br />
Sakit<br />
5. Tingkat Kepuasan<br />
Pasien (Konsumen)<br />
6. Cakupan<br />
Pemeriksaan<br />
Kehamilan (K4)<br />
7. Cakupan Persalinan<br />
8. Cakupan<br />
Pemeriksaan Bayi<br />
Baru Lahir (KN2)<br />
5,11 %<br />
10 %<br />
5 hari<br />
84 %<br />
80,83 %<br />
76,87 %<br />
66,53 %<br />
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan<br />
15 %<br />
12 %<br />
7 hari<br />
minimal<br />
70 %<br />
90 %<br />
90 %<br />
90 %<br />
Pemanfaatan pelayanan rawat jalan<br />
yaitu hasil dari proses pencarian<br />
pelayanan kesehatan yang dilakukan<br />
pasien Jamkesmas untuk mendapatkan<br />
pelayanan kesehatan secara gratis di<br />
Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan Raya. Variabel pemanfaatan<br />
pelayanan rawat jalan dijabarkan ke<br />
dalam 5 pertanyaan, masing-masing<br />
pertanyaan diukur dengan 3 pilihan<br />
jawaban. Distribusi responden menurut<br />
kategori pemanfaatan pelayanan rawat<br />
jalan di Puskesmas Rejosari dapat<br />
dilihat pada tabel 2.<br />
Tabel 2 Distribusi Responden Menurut<br />
Kategori Pemanfaatan Pelayanan<br />
Rawat Jalan di Puskesmas<br />
Rejosari, Kecamatan Tenayan<br />
Raya, Tahun 2009<br />
No.<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Kategori<br />
Pemanfaatan<br />
Pelayanan<br />
Rawat Jalan<br />
Baik<br />
Cukup Baik<br />
Kurang Baik<br />
Jumlah<br />
Responden<br />
(orang)<br />
12<br />
29<br />
9<br />
Persentase<br />
(%)<br />
24,00<br />
58,00<br />
18,00<br />
Jumlah 50 100,00<br />
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan<br />
Berdasarkan data pada Tabel 2. dapat<br />
dilihat bahwa responden yang<br />
pemanfaatan pelayanan rawat jalan<br />
kategori baik sebanyak 12 orang (24 %),<br />
yang pemanfaatan pelayanan rawat jalan<br />
kategori cukup baik sebanyak 29 orang<br />
(58,00 %) dan yang pemanfaatan<br />
pelayanan rawat jalan kategori kurang<br />
baik sebanyak 9 orang (18,00 %).<br />
Berdasarkan nilai persentase yang<br />
tertinggi, maka dari data pada Tabel 2<br />
kategori responden dalam pemanfaatan<br />
pelayanan rawat jalan di wilayah kerja<br />
Puskesmas Rejosari ternyata termasuk<br />
ke dalam kategori cukup baik.<br />
Faktor-faktor yang mempengaruhi<br />
pemanfaatan pelayanan rawat jalan di<br />
Puskesmas Rejosari dilihat dari lima<br />
variabel yaitu : 1). Pengetahuan , 2).<br />
Sikap, 3). Akses dan 4). Pelayanan<br />
petugas. Berikut ini rekapitulasi dari
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
32<br />
No.<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
faktor-faktor yang mempengaruhi<br />
pemanfaatan pelayanan kesehatan<br />
responden di Puskesmas Rejosari dapat<br />
dilihat pada tabel 3.<br />
Tabel<br />
Faktor-faktor<br />
Yang<br />
Mempengaruhi<br />
Pemanfaatan<br />
Pelayanan<br />
Rawat Jalan<br />
Pengetahuan<br />
Sikap<br />
Akses<br />
Pelayanan<br />
Petugas<br />
3 Rekapitulasi Faktor-Faktor Yang<br />
Mempengaruhi Pemanfaatan<br />
Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan<br />
di Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan Raya, Tahun 2009<br />
Baik<br />
16<br />
(32,00)<br />
15<br />
(30,00)<br />
34<br />
(68,00)<br />
12<br />
(24,00)<br />
Kategori<br />
Cukup<br />
Baik<br />
28<br />
(56,00)<br />
31<br />
(62,00)<br />
11<br />
(22,00)<br />
33<br />
(66,00)<br />
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan<br />
Kurang<br />
Baik<br />
6<br />
(12,00)<br />
4<br />
(8,00)<br />
5<br />
(10,00)<br />
5<br />
(10,00)<br />
Total 77 103 20 200<br />
Rata-rata 19<br />
(38,00)<br />
26<br />
(52,00)<br />
5<br />
(10,00)<br />
Jumlah<br />
50<br />
(100,00)<br />
50<br />
(100,00)<br />
50<br />
(100,00)<br />
50<br />
(100,00)<br />
50<br />
(100,00)<br />
Berdasarkan data pada Tabel 3. dapat<br />
dilihat bahwa sebanyak 19 orang (38,00<br />
%) dari responden tergolong kategori<br />
baik faktor-faktor yang mempengaruhi<br />
pemanfaatan pelayanan rawat jalan di<br />
Puskesmas Rejosari. Sebanyak 26 orang<br />
(52,00 %) dari responden tergolong<br />
cukup baik faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi pemanfaatan pelayanan<br />
rawat jalan, dan sebanyak 5 orang (10,00<br />
%) dari responden tergolong kurang baik<br />
faktor-faktor yang mempengaruhi<br />
pelayanan rawat jalan. Berdasarkan<br />
nilai persentase yang tertinggi, maka dari<br />
data pada Tabel 3. kategori faktor-faktor<br />
yang mempengaruhi pelayanan rawat<br />
jalan dari responden dalam pemanfaatan<br />
pelayanan kesehatan rawat jalan di<br />
wilayah kerja Puskesmas Rejosari<br />
ternyata termasuk ke dalam kategori<br />
cukup baik.<br />
SIMPULAN<br />
Berdasarkan penelitian yang<br />
dilakukan tentang Kajian Pelaksanaan<br />
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
di Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan, dapat ditarik beberapa<br />
kesimpulan sebagai berikut :<br />
a. Pelaksanaan Program Jamkesmas di<br />
Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan Raya belum terlaksana<br />
sesuai dengan target yang ditetapkan<br />
oleh Departemen Kesehatan RI.<br />
Pelaksanaan Program Jamkesmas di<br />
Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan Raya, dikaji berdasarkan 6<br />
indikator yang ditetapkan oleh<br />
Departemen Kesehatan RI, dengan<br />
hasil sebagai berikut :<br />
1. Penerbitan dan Pendistribusian<br />
Kartu Jamkesmas sebesar 74 %<br />
2. Angka Utilisasi (visit rate) ratarata<br />
per bulan sebesar 5,11 % .<br />
3. Angka rujukan dari Puskesmas<br />
rata-rata per bulan sebesar 10,00<br />
%.<br />
4. Rata-rata lama perawatan di<br />
Rumah Sakit adalah 5 hari.<br />
5. Tingkat Kepuasan Pasien<br />
(Konsumen) sebesar 84 %.<br />
6. Cakupan Pemeriksaan<br />
Kehamilan (K4) sebesar 80,83<br />
%, Cakupan Persalinan sebesar<br />
76,97 % dan Cakupan Perawatan<br />
Bayi Baru Lahir (KN2) sebesar<br />
66,53 %.<br />
Berdasarkan target yang ditetapkan<br />
Departemen Kesehattan RI, ternyata<br />
hanya indikator tingkat kepuasan<br />
Konsumen (pasien) yang mencapai<br />
target, sedangkan lima indikator lainnya<br />
belum mencapai target.
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
33<br />
b. Pemanfaatan pelayanan kesehatan<br />
rawat jalan pasien Jamkesmas di<br />
wilayah kerja Puskesmas Rejosari,<br />
Kecamatan Tenayan Raya ternyata<br />
berada dalam kategori cukup baik.<br />
c. Variabel yang digunakan untuk<br />
melihat faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi pelayanan rawat jalan<br />
dari pasien Jamkesmas di Puskesmas<br />
Rejosari terdiri dari faktor<br />
pengetahuan, sikap, akses terhadap<br />
pelayanan petugas. Dari ke<br />
empat faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi pelayanan rawat jalan<br />
bagi pasien Jamkesmas, ternyata<br />
faktor pengetahuan, sikap dan<br />
pelayanan petugas berada dalam<br />
kategori cukup baik, sedangkan<br />
factor akses terhadap pelayanan<br />
rawat jalan berada dalam kategori<br />
baik.<br />
d. Faktor-faktor yang dominan<br />
mempengaruhi pelayanan rawat jalan<br />
bagi pasien Jamkesmas di<br />
Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan Raya adalah factor sikap<br />
dari pasien Jamkesmas dan faktor<br />
akses dari pasien Jamkesmas<br />
terhadap pelayanan rawat jalan.<br />
e. Hasil analisis tabulasi silang<br />
menunjukkan bahwa terdapat<br />
hubungan antara faktor-faktor yang<br />
mempengaruhi pelayanan rawat jalan<br />
dengan pemanfaatan pelayanan rawat<br />
jalan dari pasien Jamkesmas di<br />
Puskesmas Rejosari. Faktor-faktor<br />
yang mempengaruhi pelayanan rawat<br />
jalan dari pasien Jamkesmas di<br />
Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan Raya berada dalam kategori<br />
cukup baik dan pemanfaatan<br />
pelayanan rawat jalan dari pasien<br />
Jamkesmas di wilayah kerja<br />
Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />
Tenayan Raya, juga berada dalam<br />
kategori cukup baik.<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
Azwar, A. 1997. Pengantar<br />
Administrasi Negara. Penerbit<br />
PT.Binarupa Aksara. Jakarta.<br />
Departemen Kesehatan Republik<br />
Indonesia. 2003. Pedoman<br />
Penyelenggaraan Jaminan<br />
Pemeliharaan Kesehatan<br />
Keluarga Miskin. Ditjen Bina<br />
Kemas. Jakarta.<br />
_____________. 2004. Keputusan<br />
Menteri Kesehatan Republik<br />
Indonesia Tentang Kebijakan<br />
Dasar Pusat kesehatan<br />
Masyarakat. Jakarta.<br />
_____________. 2006. Pedoman<br />
Pelaksanaan Pemeliharaan<br />
Kesehatan masyarakat miskin.<br />
Jakarta.<br />
Effendi, N. 1998. Dasar-Dasar<br />
Keperawatan Kesehatan<br />
Masyarakat. Penerbit Buku<br />
Kedokteran EGC. Jakarta.<br />
Gosperz, V. 1998. Manajemen Kualitas<br />
Dalam Industri. Penerbit<br />
PT.Gramedia. Jakarta.<br />
Kotler, P. 1998. Analisa Perencanaan<br />
Dan Pengendalian. Penerbit<br />
Erlangga. Jakarta.<br />
Ilyas. Y, 2001. Asuransi Kesehatan :<br />
Utilisasi Manajemen Klain dan<br />
Fraud. PT. Gramedia Pustaka<br />
Utama Jakarta.<br />
Moenir, A.S. 1995. Manajemen<br />
Pelayanan Umum. Penerbit<br />
Gunung Agung. Jakarta.
*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />
Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />
34<br />
Mueller, D. J. 1990. Mengkur Sikap-<br />
Sikap Sosial. Ditrejemahkan oleh<br />
C. Syarifuddin. Fisp Press<br />
Universitas Pasundan Bandung.<br />
Notoadmojo. S. 2003. Pengantar<br />
Pendidikan Kesehatan dan Ilmu<br />
Perilaku Kesehatan PT. Rineka<br />
Cipta. Jakarta.<br />
Poerwadarminta, W.J.S. 1995. Kamus<br />
Umum Bahasa Indonesia.<br />
Penerbit Balai Pustaka. Jakarta.<br />
Prasetio. B. dan Lina M,J. 2005. Metode<br />
Penelitian Kuatitatif. PT. Askes<br />
Raja Grafindo persada. Jakarta.<br />
Sianipar, J.R.G. 1999. Manajemen<br />
Pelayanan Masyarakat. LAN<br />
Republik Indonesia. Jakarta.<br />
Simorangkir. 1997. Etiket Perbankan.<br />
Penerbit Idhil. Jakarta.<br />
Sugiono. 2005. Metode Penelitian<br />
Administrasi. Penerbit<br />
CV.Alfabeta. Bandung.<br />
Sukirno, H.E. 1998. Pelaksanan<br />
Pelayanan Jasa. Penerbit<br />
Erlangga. Jakarta.<br />
Thoha, M. 2001. Perilaku Organisasi.<br />
Penerbit Grafindo Persada.<br />
Jakarta.<br />
Tjiptono, F. 2002. Total Quality<br />
Manajemen. Penerbit Andy<br />
Offset. Yogyakarta.
Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
YASIR<br />
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />
Abstrak : Tujuan dari penilitian ini adalah untuk meneliti perencanaan komunikasi iklan yang bidang<br />
pemerintahan di Propinsi Riau. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui<br />
suatu studi kasus. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan tehnik porposive<br />
sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara<br />
mendalam, observasi dan dokumentasi. Semua aktivitas komunikasi dari pemerintah Propinsi Riau<br />
ditangani oleh Bagian Hubungan Masyarakat. Iklan-iklan itu digunakan untuk mempromosikan kebijakan<br />
di bidang pemerintahan, program kerja dan juga beberapa kejadian yang dikerjakan oleh pemerintah.<br />
Iklan-iklan di bidang pemerintahan dapat ditemukan di dalam papan reklame dan media massa seperti<br />
televisi, radio, surat kabar, suara pembaca, situs web dan sebagainya. Iklan-iklan di bidang pemerintahan<br />
tidak dirancang sembarangan karena iklan tersebut banyak memberikan aspek pengaruh kepada<br />
lingkungan masyarakat. Pengaruh utama dalam perencanaan iklan adalah pola-pola kerja dari aparatur<br />
dan program kerja kepala daerah. Oleh karena itu, masih terlihat kebanyakan masyarakat yang kurang<br />
menghiraukan media iklan yang disampaikan oleh pemerintah dalam upaya memberikan informasi<br />
kepada masyarakat.<br />
Kata kunci : Perencanaan Komunikasi, Media, Iklan, dan Pemerintah<br />
Komunikasi merupakan suatu aspek<br />
yang sangat penting bagi keberhasilan<br />
suatu organisasi untuk mencapai<br />
tujuannya. Bila perusahaan swasta<br />
melakukan komunikasi untuk promosi<br />
produk-produk atau jasa-jasa yang<br />
dihasilkan, pemerintah juga melakukan<br />
komunikasi untuk promosi kebijakan<br />
agar dapat diketahui dan diterapkan di<br />
masyarakat. Keduanya mempunyai<br />
prinsip yang sama yaitu agar segala<br />
produk yang dihasilkan dapat diketahui<br />
oleh masyarakat dan khalayak sebagai<br />
target dari proses komunikasi yang<br />
dilakukan, dan selanjutnya dapat<br />
dikonsumsi ataupun diadopsi.<br />
Produk kebijakan pemerintah yang<br />
sangat besar dari pemerintah Provinsi<br />
Riau adalah kebijakan, program<br />
pembangunan dan visi Riau 2020. Usaha<br />
yang dilakukan untuk<br />
mengomunikasikan visi tersebut di<br />
antaranya dengan menggunakan media<br />
komunikasi, seperti: televisi, koran, dan<br />
juga papan pengumuman (billboard)<br />
yang banyak ditemui di persimpangan<br />
jalan, pinggiran jalan-jalan utama<br />
maupun di tempat umum lainnya. Di<br />
samping itu, saluran komunikasi lainnya<br />
juga dilakukan seperti penggunaan<br />
metode humas (pers release, periklanan,<br />
pameran dll), komunikasi publik ,<br />
seminar, workshop, dan lain sebagainya.<br />
Pemilihan media dan saluran komunikasi<br />
tersebut adalah upaya yang dilakukan<br />
pemerintah untuk menyampaikan<br />
kebijakan dan program-program<br />
pembangunan.<br />
Umumnya media komunikasi iklan<br />
yang dipilih dan dibuat oleh pemerintah<br />
Provinsi Riau tersebut tidak banyak<br />
menarik perhatian masyarakat. Hal ini<br />
sangat berbeda bila dibandingkan<br />
dengan iklan swasta secara umumnya<br />
yang bersifat komersil yang memiliki<br />
35
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
36<br />
daya tarik di kalangan khalayak.<br />
Sebaliknya, iklan-iklan yang dibuat dan<br />
milik pemerintah sangat kontras dengan<br />
iklan swasta. Kebanyakan iklan produk<br />
pemerintah cenderung kurang menarik,<br />
banyak memakai kata-kata, pilihan<br />
warna yang tidak menarik perhatian,<br />
lebih banyak menampilkan tokoh<br />
pemimpinnya dan umumnya penempatan<br />
media iklan tersebut kurang tepat sama<br />
sekali. Tampilan media iklan pemerintah<br />
tersebut dapat terlihat dari sosialisasi<br />
program-program pembangunan<br />
pemerintah dalam media billboard. Iklan<br />
pemerintah lebih kompleks<br />
dibandingkan dengan iklan swasta yang<br />
komersil. Kompleksitas media iklan<br />
layanan masyarakat milik pemerintah<br />
mencerminkan banyaknya kepentingan<br />
politik, minimnya kreatifitas<br />
pengembangan ide iklan, dan<br />
keterbatasan sumber daya manusia yang<br />
berkeahlian.<br />
Realitas media iklan pemerintah<br />
tidak hanya didasarkan pada iklan<br />
billboard di atas saja, akan tetapi juga<br />
pada beberapa penggunaan media-media<br />
lain yang banyak dijumpai baik media<br />
cetak maupun media elektronik. Ada<br />
banyak hambatan dalam proses<br />
komunikasi untuk menyampaikan pesan<br />
tersebut sehingga komunikasi tidak<br />
efektif. Bila media komunikasi tidak<br />
efektif, tujuan yang diharapkan dari<br />
sebuah komunikasi pasti tidak akan<br />
tercapai.<br />
Komunikasi pemerintah ke<br />
masyarakat sangat tergantung pada<br />
kemampuan pemerintah dalam<br />
mengelola komunikasi dan menagkap<br />
aspirasi masyarakatnya. Tentunya dalam<br />
hal ini termasuk pengelolaan iklan-iklan<br />
pemerintah. Bentuk dan pesan media<br />
komunikasi pemerintah dalam<br />
memasarkan ide atau gagasan kebijakan<br />
patut menjadi perhatian masyarakat.<br />
Karena itu semua menyangkut<br />
kepentingan publik dan kepentingan<br />
masyarakat. Dana masyarakat yang<br />
dipakai akan sia-sia saja untuk<br />
pembuatan iklan dan proses komunikasi<br />
tersebut jika tidak mendatangkan hasil<br />
nyata perubahan di masyarakat.<br />
Proses perencanaan periklanan<br />
adalah sebuah proses tersendiri dalam<br />
fungsi pemasaran produk atau jasa<br />
bahkan tentang kebijakan. Terkait<br />
dengan ini, Lee dan Jhonson (2004 :<br />
156) menguraikan enam langkah<br />
perencanaan periklanan. Pertama,<br />
mengulas rencana pemasaran. Kedua,<br />
analisis situasi internal dan eksternal<br />
perusahaan (organisasi). Ketiga,<br />
menentukan tujuan periklanan. Keempat,<br />
mengembangkan dan melaksanakan<br />
strategi periklanan atau kreatif yang<br />
mencakup : khalayak sasaran, konsep<br />
produk atau jasa, media periklanan dan<br />
pesan periklanan. Kelima,<br />
mengembangkan dan melaksanakan<br />
strategi media; dan keenam,<br />
mengevaluasi efektifitas periklanan.<br />
Masalah utama penelitian ini adalah<br />
bagaimana memaksimalkan perencanaan<br />
komunikasi iklan Pemerintah Provinsi<br />
Riau. Oleh karena itu, penelitian ini<br />
mempunyai beberapa tujuan. Pertama,<br />
untuk mengetahui perencanaan<br />
komunikasi iklan-iklan pemerintah<br />
Provinsi Riau. Kedua, untuk<br />
menganalisis media-media komunikasi<br />
iklan yang digunakan pemerintah<br />
Provinsi Riau dalam mempromosikan<br />
program pembangunan. Ketiga, untuk<br />
menjelaskan efektifitas media<br />
komunikasi iklan yang digunakan oleh<br />
pemerintah Provinsi Riau dalam<br />
menyosialisasikan<br />
program<br />
pembangunan.<br />
Urgensi penelitian ini adalah agar<br />
dapat memberikan sumbangan berupa<br />
temuan-temuan baru bagi ilmu<br />
komunikasi khususnya bidang<br />
manajemen komunikasi. Penelitian ini
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
37<br />
diharapkan berguna untuk memberikan<br />
kontribusi dan bahan rekomendasi dalam<br />
setiap proses pengambilan keputusan<br />
dan penetapan strategi, kebijakan, dan<br />
tindakan komunikasi yang tepat,<br />
khususnya dalam memperbaiki<br />
perencanaan komunikasi dalam<br />
pembuatan media komunikasi iklan<br />
pemerintah.<br />
METODE<br />
Penelitian ini menggunakan metode<br />
penelitian kualitatif. Menurut Bodgan<br />
dan Taylor (dalam Moleong, 2000 : 3)<br />
metode kualitatif ini merupakan<br />
prosedur penelitian yang menghasilkan<br />
data deskriptif berupa kata-kata tertulis<br />
atau lisan dari orang-orang dan perilaku<br />
yang dapat diamati. Pendekatan ini<br />
diarahkan pada latar individu tersebut<br />
secara holistik (utuh atau menyeluruh).<br />
Selain itu, penelitian ini<br />
menggunakan penelitian kualitatif<br />
dengan tradisi penelitian studi kasus.<br />
Creswell (1998 : 61) dan Yin (1981 : 23)<br />
menjelaskan bahwa studi kasus<br />
merupakan penelitian empiris yang<br />
menyelidiki dan menguraikan fenomena<br />
kontemporer dalam konteks kehidupan<br />
nyata, ketika batasan antara fenomena<br />
dan konteks tidak terbukti secara jelas,<br />
dengan menggunakan berbagai sumber<br />
termasuk observasi, wawancara, materi<br />
audio-visual, dan dokumen atau laporan.<br />
Dalam hal ini, peneliti studi kasus<br />
berupaya menelaah sebanyak mungkin<br />
data mengenai subjek yang diteliti<br />
melalui sumber-sumber tersebut.<br />
Penelitian ini juga menggunakan<br />
pendekatan interaksi simbolik. Meskipun<br />
interaksionisme simbolik merupakan<br />
perspektif teoritis, namun ia bisa<br />
sekaligus menjadi orientasi metodologis.<br />
Mulyana (2001 : 148) mengatakan<br />
bahwa interaksionisme simbolik<br />
termasuk ke dalam salah satu dari<br />
sejumlah tradisi penelitian kualitatif<br />
yang berasumsi bahwa penelitian<br />
sistematik harus dilakukan dalam suatu<br />
lingkungan yang alamiah alih-alih<br />
lingkungan yang artifisial seperti<br />
eksperimen.<br />
Subjek penelitian ini adalah pegawai<br />
pemerintah yang berada di bagian<br />
kehumasan dan bagian yang terkait<br />
dengan komunikasi pemerintah, serta<br />
beberapa masyarakat dan wartawan.<br />
Pemilihan informan dilakukan dengan<br />
menggunakan teknik sampel purposif.<br />
Sedangkan objek penelitian ini adalah<br />
optimasi perencanaan komunikasi iklan<br />
pemerintah Provinsi Riau.<br />
Terkait dengan ini, adapun teknik<br />
pengumpulan data dalam penelitian ini<br />
adalah wawancara, observasi dan<br />
dokumentasi. Dalam upaya memperoleh<br />
data yang akurat tentang penelitian ini,<br />
peneliti melakukan wawancara dengan<br />
informan. Dalam penelitian ini<br />
wawancara yang digunakan adalah<br />
wawancara mendalam (in-depth<br />
interview) atau wawancara tak<br />
tersetruktur. Wawancara tak terstruktur<br />
ini mirip dengan percakapan informal<br />
(Mulyana, 2002 : 180 - 181). Maksud<br />
mengadakan wawancara menurut di sini<br />
antara lain: mengkontruksikan mengenai<br />
orang, kejadian, kegiatan, organisasi,<br />
perasaan, tuntunan, kepedulian, dan lainlain.<br />
Wawancara juga dilakukan dengan<br />
maksud untuk memverifikasikan dan<br />
khususnya untuk menentukan keabsahan<br />
data dari apa yang telah dan akan<br />
diobservasi. Untuk medukung dan<br />
memperkuat, peneliti juga menggunakan<br />
teknik dokumentasi, ini dilalukan dengan<br />
menganalisis beberapa dokumen seperti<br />
berita koran, artikel majalah, brosur,<br />
buletin, dan foto-foto.<br />
Analisis dan pembahasan dilakukan<br />
dengan menggunakan metode<br />
komparatif atas hasil wawancara dengan<br />
informan, analisis dokumen serta<br />
sekaligus membandingkan dengan hasil
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
38<br />
observasi yang dilakukan. Menurut<br />
Miles dan Huberman (1992 : 16) bahwa<br />
analisis kualitatif tetap menggunakan<br />
kata-kata, yang biasanya disusun<br />
kedalam teks yang diperluas. Data yang<br />
diperoleh dari lapangan dilakukan<br />
analisis melalui tahap-tahap :<br />
kategorisasi dan mereduksi data, data<br />
yang dikelompokkan selanjutnya disusun<br />
dalam bentuk narasi-narasi, melakukan<br />
interpretasi pada data dan pengambilan<br />
kesimpulan berdasarkan narasi. Metode<br />
penelitian ini didasarkan pada analisis<br />
data kualitatif yang merupakan upaya<br />
yang berlanjut, berulang dan terusmenerus.<br />
Untuk mendapatkan keabsahan data<br />
(data trustworthiness) maka diperlukan<br />
teknik pemeriksaan sesuai kondisi yang<br />
ada. Pelaksanaan teknik pemeriksaan<br />
didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu<br />
antara lain adalah adanya derajat<br />
kepercayaan / kredibilitas (Moleong,<br />
2000 : 173). Teknik untuk memeriksa<br />
atau mengukur tingkat kredibilitas<br />
penelitian ini maka peneliti<br />
menggunakan beberapa hal: 1)<br />
ketekunan pengamatan; 2) triangulasi;<br />
dan 3) pengecekan sejawat, melalui<br />
diskusi dengan tim peneliti.<br />
HASIL<br />
1. Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah Provinsi Riau<br />
Sebagian besar kegiatan komunikasi<br />
Pemerintah Provinsi Riau lebih banyak<br />
dilakukan dengan pendekatan<br />
kehumasan dan beberapa kegiatan<br />
komunikasi dengan melalui periklanan.<br />
Pesan-pesan yang disampaikan<br />
pemerintah melalui iklan umumnya<br />
adalah adalah promosi kebijakan tentang<br />
visi Riau 2020, program pembangunan,<br />
kasus penaggulangan kebakaran hutan,<br />
ketahanan pangan, kasus penanganan<br />
narkoba, kasus Flu burung, termasuk<br />
promosi kegiatan-kegiatan seperti<br />
Sukseskan PON XVIII di Riau, Riau<br />
Expo, atau ucapan selamat gubernur<br />
ketika Ulang Tahun Riau atau Republik<br />
Indonesia, Idul Fitri atau Idul Adha, dan<br />
lain sebagainya. Pilihan media<br />
komunikasi iklan yang dibuat oleh<br />
pemerintah Provinsi Riau untuk<br />
menyampaikan program-program<br />
tersebut adalah dengan melalui media<br />
luar ruang dan hanya beberapa dengan<br />
media televisi atau radio lokal.<br />
Hampir semua kegiatan komunikasi<br />
yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi<br />
Riau dipusatkan pada bagian hubungan<br />
masyarakat. Memang ada dinas-dinas<br />
atau satuan kerja Pemerintah Provinsi<br />
Riau yang membuat iklan, namun<br />
umumnya selalu dilakukan koordinasi<br />
dengan bagian Humas di pemerintahan<br />
provinsi. Seperti Dinas Perikanan<br />
Pewmprov. Riau membuat iklan ”Makan<br />
Ikan” dengan sasaran komunikasi anakanak<br />
yang diperankan oleh Fahri<br />
Semekot. Iklan lainnya adalah promosi<br />
pemerintah melalui Dinas Pemuda dan<br />
Olah Raga Provinsi Riau tentang<br />
Sukseskan PON ke XVIII di Provinsi<br />
Riau, dan lain-lainnya.<br />
Dalam hal ini, sebagai institusi yang<br />
banyak berperan dalam menangani<br />
sebagian besar komunikasi pemerintah<br />
provinsi, bagian humas selalu<br />
berhubungan dengan dinas dan satuan<br />
kerja lainnya. Bila ada dinas yang mau<br />
berencana membuat iklan sesuai<br />
kebutuhannya, bagian humas ini hanya<br />
menambahi beberapa pesan atau bahkan<br />
cukup sekedar berkoordinasi saja.<br />
Keberadaan bagian ini didasarkan pada<br />
Peraturan <strong>Daerah</strong> Nomor 2 Tahun 2005<br />
tentang pembentukan, susunan<br />
organisasi dan tata kerja Sekretariat<br />
<strong>Daerah</strong> Provinsi Riau. Bagian ini<br />
mempunyai tugas menyelenggarakan<br />
urusan, pekerjaan dan kegiatan<br />
penyediaan dukungan dan bantuan<br />
dalam rangka membina hubungan<br />
pemerintah daerah dengan masyarakat,
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
39<br />
hubungan dengan pers, publikasi dan<br />
dokumentasi, menciptakan komunikasi<br />
dua arah dan kerjasama yang serasi dan<br />
dinamis dengan masyarakat, memantau<br />
dan menampung aspirasi dan opini yang<br />
berkembang dalam masyarakat,<br />
memberikan keterangan pers sesuai.<br />
Dalam melaksanakan tugas dan<br />
fungsinya, bagian humas mempunyai<br />
beberapa subbagian lebih kecil yaitu:<br />
subbagian hubungan masyarakat,<br />
subbagian hubungan pers, subbagian<br />
publikasi dan dokumentasi, dan<br />
subbagian khusus. Sub-bagian khusus ini<br />
juga sering melakukan kegiatan lelang<br />
berkaitan proyek yang ada di Biro<br />
Pemerintahan dan Humas. Pelelangan ini<br />
terkait dengan kegiatan dan proyek yang<br />
dilakukan oleh Bagian Humas<br />
Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau.<br />
Kegiatan dan proyek ini adalah terkait<br />
dengan pembuatan even-even atau media<br />
komunikasi atau iklan yang diperlukan<br />
pemerintah provinsi.<br />
Sebagai ujung tombak, bagian humas<br />
paling bertanggung jawab dan berperan<br />
untuk mengkomunikasikan semua pesanpesan<br />
termasuk memilih medianya.<br />
Namun kenyataanya adalah pilihan<br />
saluran dan media pemerintah tidak<br />
memiliki daya tarik masyarakat. Hal ini<br />
tentu sangat berbeda bila dibandingkan<br />
dengan iklan-iklan swasta yang secara<br />
umumnya yang bersifat komersil yang<br />
memiliki daya tarik di kalangan<br />
khalayak. Iklan produksi perusahaan<br />
swasta kebanyakan menggunakan<br />
billboard didesain dalam bentuk warna<br />
yang menarik, isi pesan padat,<br />
menggunakan sedikit kata, ditulis<br />
dengan huruf berukuran besar, sehingga<br />
mudah dibaca dari jarak jauh dan<br />
ditempatkan di lokasi yang sangat<br />
strategis.<br />
Ini sangat berbeda dengan iklan<br />
pemerintah yang kurang menarik<br />
tampilannya. Oleh karena itu, iklan-iklan<br />
pemerintah sangat kontras dengan iklan<br />
swasta. Kebanyakan iklan-iklan produk<br />
pemerintah apakah media luar ruang atau<br />
media dalam ruang memiliki desainnya<br />
kurang menarik, pesannya tidak jelas,<br />
memakai bayak kata-kata, terkadang<br />
tulisan dibuat dengan ukuran kecil,<br />
pilihan warna kurang menarik perhatian,<br />
lebih banyak menampilkan pemimpin<br />
daerah dengan foto yang besar, dan<br />
tempat media iklan tersebut kurang<br />
strategis.<br />
Diantara contoh iklan pemerintah<br />
yang bisa ditemukan adalah billboard<br />
besar yang memiliki pesan “Mari<br />
Sukseskan Pekan Olahraga Nasional<br />
(PON) XVIII tahun 2012 di Provinsi<br />
Riau. Iklan ini memiliki dua versi<br />
dengan dominasi gambar Gubernur Riau<br />
Rusli Zainal yaitu versi gubernur berbaju<br />
putih dengan mengangkat dua tangan<br />
dan gubernur berbaju kuning dengan<br />
mengepalkan tangan. Kedua-duanya<br />
lebih terkesan menonjolkan ketokohan<br />
sang gubernur dibanding penonjolah<br />
terhadap pesan PON itu sendiri. Nama<br />
Gubernur HM Rusli Zainal di bawah<br />
fotonya ditulis dengan warna yang<br />
sangat jelas.<br />
Tegasnya, keberadaan dan<br />
kemunculan media iklan-iklan<br />
pemerintah tersebut lebih mencerminkan<br />
banyaknya kepentingan dan pengaruh<br />
yang terkandung di dalamnya. Media<br />
iklan minim kreatifitas pengembangan<br />
ide, staf humas dan sumber daya<br />
manusia yang berkeahlian atau mahir<br />
dalam merancang dan membuat iklan<br />
sangat terbatas. Sehingga tidak heran<br />
iklan yang dibuat tampil dengan apa<br />
adanya. Oleh karena itu, berbagai faktor<br />
tersebut sepertinya membuat media iklan<br />
pemerintah sedikit lebih kompleks dalam<br />
produksinya dibandingkan milik swasta.<br />
Berkaitan dengan ini, iklan-iklan<br />
komunikasi atau promosi pemerintah<br />
Provinsi Riau tentang kebijakan dan<br />
program pembangunan lebih cenderung
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
40<br />
bermuatan pesan politis. Ini banyak<br />
ditemukan terutama pada masa-masa<br />
akhir priode pertama kepemimpinan<br />
Gubernur Rusli Zainal. Kebijakan<br />
pemerintah terlihat dari banyaknya dana<br />
yang mengucur di bagian Humas<br />
Pemerintah Provinsi Riau, dan juga di<br />
bagian humas di masing-masing satuan<br />
kerja di Pemerintah Provinsi Riau.<br />
Dalam hal ini, Kepala Biro Humas dan<br />
Pemerintahan Provinsi Riau menjelaskan<br />
bahwa bila pada era Rusli Zainal<br />
anggaran untuk Biro Humas saja dalam<br />
setahun sekitar 18 miliar rupiah, namun<br />
pada masa peralihan ke Wan Abu Bakar<br />
Cuma dianggarkan 5,4 miliar saja<br />
(wawancara, Zulkarnain, 23 September<br />
2009).<br />
Tidak heran bila pada masa-masa<br />
periode menjelang pencalonan Rusli<br />
Zainal menjadi gubernur untuk priode<br />
kedua, banyak bertebaran media-media<br />
komunikasi yang umumnya banyak<br />
menampilkan gambar sang gubernur,<br />
namun intensitas media ini sangat<br />
berkurang jumlahnya ketika Wan Abu<br />
Bakar menggantikan dan saat Rusli<br />
Zainal sudah terpilih sekarang ini.<br />
Sehingga banyak sekali pada waktu itu<br />
media iklan-iklan seperti billboard atau<br />
baliho dapat ditemukan di persimpangan,<br />
pinggir jalan, dan tempat-tempat umum<br />
lainnya. Begitu juga dengan media<br />
massa yang ada di Riau baik yang di<br />
media cetak maupun yang elektronik<br />
semuanya memberitakan kegiatan sang<br />
gubernur.<br />
Kegiatan komunikasi ini sangat<br />
terstruktur dan kadang tanpa disadari<br />
oleh pegawai di humas maupun di<br />
masyarakat. Untuk menjelaskan ini, ada<br />
struktur dan pola pengaruh antara<br />
pegawai dan pembuat iklan dengan sang<br />
gubernur, yang nantinya mempengaruhi<br />
iklan yang dihasilkan. Pertama, pola<br />
hubungan yang bersifat untuk mencari<br />
perhatian atau mencari muka, bawahan<br />
memiliki inisiatif. Bawahan lebih aktif<br />
daripada atasan. Kedua, pola kebiasaan<br />
dan mengikuti aturan sebagai pelayan<br />
pemimpin. Pegawai melakukan karena<br />
sebuah kewajiban atau merupakan tugas<br />
yang harus dilaksanakan. Jadi<br />
hubungannya adalah memberikan<br />
pelayanan terhadap atasan atau<br />
pemimpin. Bawahan berbuat karena<br />
permintaan pemimpin, maka ia harus<br />
melakukan pekerjaan seperti apa adanya.<br />
Oleh karena itu, pola hubungan<br />
antara atasan (gubernur) dengan<br />
pembuat iklan mempengaruhi iklan-iklan<br />
yang dihasilkan. Implikasinya adalah ke<br />
proses perencanaan kegiatan komunikasi<br />
atau periklanan yang dilakukan oleh<br />
pemerintah Provinsi Riau. Secara<br />
struktural, disadari atau tidak, pengaruh<br />
institusi dan pemimpin sangat<br />
mendominasi semua bentuk komunikasi<br />
yang dihasilkan oleh bawahannya.<br />
Termasuk dalam hal ini adalah iklaniklan<br />
yang dihasilkan dan dibuat oleh<br />
pegawai pemerintah. Bahkan yang<br />
dibuat biro iklan atau media massa pun<br />
banyak diintervensi oleh kepentingan<br />
kekuasaan, seperti halnya dominasi<br />
gambar Gubernur Provinsi Riau yaitu<br />
Rusli Zainal dalam semua media yang<br />
ada.<br />
Di sisi yang lain, iklan-iklan<br />
produksi pemerintah sering juga muncul<br />
di stasiun televisi swasta lokal RTv dan<br />
televisi publik lokal TVRI Pekanbaru.<br />
Seperti halnya iklan Dinas Perikanan<br />
yang menampilkan model Fakhri<br />
Semekot yang berperan sebagai anak<br />
kecil. Pesan iklan tersebut adalah untuk<br />
mengajak anak-anak untuk rajin makan<br />
ikan. Padahal pesan iklannya adalah<br />
dengan makan ikan membuat anak<br />
tumbuh sehat dan pintar. Namun bintang<br />
atau modelnya adalah seorang yang<br />
memiliki tubuh kecil dan pendek yang<br />
hanya memiliki tinggi semester kotor<br />
(SemeKot). Sehingga iklan ini sering<br />
dimaknai masyarakat, orang yang rajin
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
41<br />
makan ikan saja tubuhnya tidak mau jadi<br />
lebih besar.<br />
Dalam hal ini, Biryanto Staff Humas<br />
Provinsi Riau, menjelaskan bahwa kami<br />
jarang bahkan tidak pernah melakukan<br />
analisis sampai begitu mendalam hanya<br />
untuk pembuatan iklan-iklan tertentu<br />
atau penyampaian pesan untuk kegiatankegiatan<br />
khusus. Lagi pula media iklan<br />
yang dibuat oleh dinas-dinas yang ada di<br />
provinsi umumnya hanya untuk<br />
mengkoordinasikan dan meminta<br />
persetujuan saja (wawancara Biryanto,<br />
20Agustus 2009).<br />
Proses komunikasi dalam pembuatan<br />
iklan umumnya tidak dengan melakukan<br />
analisis masalah dan khalayak dengan<br />
disertai pengumpulan data dengan baik.<br />
Sehingga terlihat hasil media iklan yang<br />
dibuat terkesan asal-asalan. Memang<br />
iklan di billboard umumnya tidak<br />
berlangsung lama, pemajangannya<br />
sekitar dua mingggu yaitu seminggu<br />
sebelum acara dan seminggu sesudah<br />
acara. Paling lama rata-rata 3 bulan<br />
untuk beberapa baliho-baliho tertentu.<br />
Namun demikian sebenarnya ada yang<br />
lebih dari setahun media yang dipajang,<br />
seperti yang dapat ditemukan di<br />
persimpangan jalan Garuda Sakti.<br />
Billboard ini berbentuk segi tiga,<br />
memiliki warna kusam dengan isi pesan<br />
tentang Visi Riau 2020. Billboard yang<br />
dipersimpanan seperti ini mestinya lebih<br />
besar, atau kalau ingin menarik perhatian<br />
mestinya harus dengan warna yang<br />
menarik. Bila melihat billboard ini<br />
terkesan pemerintah, dalam hal ini<br />
Humas tidak melakukan proses evaluasi<br />
untuk meperbaiki iklan dan media yang<br />
telah digunakan. Padahal media iklan<br />
seperti ini memiliki pesan yang sifatnya<br />
jangka panjang dan berkelanjutan.<br />
Iklan yang memiliki misi untuk<br />
jangka panjang, mestinya lebih ditangani<br />
dan dikelola dengan baik dari pada<br />
iklan-ilan yang bersifat temporer untuk<br />
acara atau even-even khusus saja. Iklan<br />
di media massa pun sangat standar dan<br />
biasa. Seperti di media massa cetak<br />
umumnya menggunakan prosedur yaitu:<br />
Humas buat surat order ke media massa<br />
cetak terkait, kemudian media memuat<br />
pesan iklan dan/atau memberitakannya,<br />
setelah itu baru media bersangkutan<br />
memberikan tagihan ke Humas<br />
Pemerintah Provinsi Riau yang<br />
prosesnya dengan mengajukan bukti<br />
nota pembayaran ke bapak Sekretaris<br />
<strong>Daerah</strong> (Sekda).<br />
2. Media-media Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah Provinsi Riau<br />
Media komunikasi yang digunakan<br />
oleh pemerintah Provinsi Riau sangat<br />
bervariasi namun masih sangat terbatas.<br />
Dominasi media iklan pemerintah adalah<br />
dengan media luar ruang , menggunakan<br />
bilboard yang umumnya dipajang di<br />
jalan-jalan utama ataupun di beberapa<br />
tempat yang sesuai berdasarkan<br />
wewenang yang dimiliki. Dalam hal ini,<br />
banyak media komunikasi yang bisa<br />
digunakan sebagai media alternatif<br />
(media kecil dan sederhana) seperti:<br />
bros, baju kaos, brosur, pin, stiker dan<br />
lain sebagainya. Intinya pesan iklan atau<br />
komunikasi yang akan disampaikan<br />
dapat mudah diterima karena perbedaan<br />
media yang digunakan. Media-media<br />
seperti ini ini dapat diberikan setelah<br />
kegiatan acara-acara khusus pemerintah<br />
untuk dapat meningkatkan kesadaran<br />
masyarakat sesuai tema-tema<br />
pembangunan yang ada.<br />
3. Media Luar Ruang<br />
Media luar ruang yang digunakan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau untuk<br />
iklan yaitu billboard atau baliho.<br />
Umumnya billboard atau baliho tersebut<br />
didesain oleh subbagian publikasi dan<br />
dokumentasi yang dalam mencetaknya
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
42<br />
diserahkan pada percetakan. Baliho dan<br />
spanduk yang dibuat Humas Sekretariat<br />
<strong>Daerah</strong> Provinsi Riau berisi kebijakan<br />
dan program-program Pemerintah<br />
Provinsi Riau, akan tetapi dalam<br />
kenyataanya baliho yang dibuat lebih<br />
banyak menampilkan profil gubernur<br />
dibandingkan pesan utamanya. Humas<br />
Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau<br />
memang lebih cenderung<br />
mengkomunikasikan profil gubernur,<br />
karena Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau<br />
bertugas untuk membantu gubernur<br />
dalam menjalankan pemerintahan dari<br />
atasan.<br />
Lokasi pemasangan baliho banyak<br />
ditemukan antara lain di halaman<br />
pelataran parkir kantor gubernur, di<br />
samping Balai Dang Merdu, di Jalan<br />
Diponegoro, di Sekitar jalan Sudirman,<br />
pertigaan menuju bandara, dan masih<br />
banyak lagi. Baliho ini akan banyak<br />
ditemukan khususnya pada even-even<br />
khusus yang diselenggarakan Pemerintah<br />
Provinsi Riau seperti pada Riau Expo<br />
atau acara dan program khusus lainnya.<br />
Pemasangan baliho atau bilboard<br />
umumnya bersifat sementara, setelah<br />
kegiatan selesai dilakukan maka baliho<br />
akan dilepas kembali. Hanya sedikit<br />
baliho atau bilboard yang bersifat<br />
permanen, seperti yang berisikan Visi<br />
Riau 2020 dan himbauan-himbauan<br />
penting yang dipasang untuk menjaga<br />
area kehutanan, anti narkoba dsb. Baliho<br />
yang dibuat oleh Humas Sekretariat<br />
<strong>Daerah</strong> Provinsi Riau selain<br />
menampilkan kebijakan pemerintah juga<br />
menampilkan kegiatan yang<br />
dilaksanakan Pemerintah Pusat dengan<br />
Pemerintah Provinsi Riau.<br />
4. Media Massa (televisi, radio dan<br />
koran)<br />
Sebagian dari iklan-iklan pemerintah<br />
ada yang dimuat di beberapa media lokal<br />
seperti di RTv dan TVRI Riau atau<br />
radio-radio lokal. Sebagian besar iklan<br />
yang disiarkan oleh media-media<br />
tersebut dibuat sendiri oleh Humas<br />
Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau.<br />
Namun demikian ada yang dibuat<br />
dengan cara menjalin hubungan<br />
kemitraan dengan media massa, baik<br />
media cetak dan media elektronik<br />
bahkan dalam lingkup media nasional.<br />
Seperti Iklan Dinas Kehutanan Provinsi<br />
Riau mempercayakan iklannya kepada<br />
Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 1<br />
Pekanbaru, dan untuk pembuatannya<br />
diserahkan kepada Radio 90,1 FM<br />
tersebut.<br />
Hubungan kemitraan yang dijalin<br />
Humas Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau<br />
dengan pihak pers dilaksanakan agar<br />
media massa dapat menyebarluaskan<br />
informasi mengenai aktivitas, kebijakan,<br />
dan program Pemerintah Provinsi Riau<br />
kepada masyarakat. Humas memberikan<br />
data dan informasi berupa agenda<br />
gubernur dan wakil gubernur, release<br />
kegiatan gubernur, pidato gubernur,<br />
dokumentasi berupa foto dan video<br />
kegiatan yang dilaksanakan. Bentuk<br />
Iklan seperti ini dibayar dalam bentuk<br />
kontrak sesuai waktu, seperti ditemukan<br />
di ”Pro Riau” dalam Riau Pos.<br />
Pemerintah tidak banyak membuat<br />
media iklan untuk mengkomunikasikan<br />
kebijakan, melainkan lebih banyak<br />
dengan menjalin kerjasama dengan<br />
wartawan sebagai mitra kerja dari<br />
Pemerintah Provinsi Riau. Sehingga<br />
mereka juga sering mendapatkan<br />
fasilitas seperti uang saku dan<br />
penyediaan transportasi untuk kegiatan<br />
peliputan. Berkaitan dengan dengan ini,<br />
pemerintah menganggarkan dana yang<br />
cukup besar untuk kegiatan-kegiatan<br />
yang berguna menjalin hubungan baik<br />
dengan media pers.<br />
5. Website<br />
Humas Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi<br />
Riau pada awal tahun 2008 membuat<br />
sebuah website yaitu<br />
www.humasriau.com yang berisi release
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
43<br />
mengenai kegiatan Gubernur dan Wakil<br />
Gubernur Riau, galeri foto, pidato<br />
gubernur, peraturan daerah dan<br />
tanggapan masyarakat. Release dan<br />
galeri foto yang ada pada website humas<br />
tersebut berisi informasi mengenai<br />
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan<br />
oleh Pemerintah Provinsi Riau terutama<br />
Gubernur Riau. Dalam hal ini isi pesan<br />
pemerintah tidak hanya dalam bentuk<br />
iklan, namun lebih banyak memuat<br />
dalam bentuk berita dan release.<br />
6. Efektifitas dan Optimasi Media<br />
Komunikasi Iklan Pemerintah<br />
Provinsi Riau<br />
Media memiliki kekuatan yang<br />
sangat besar dalam mempengaruhi citra<br />
dan pola pikir masyarakat. Pemilihan<br />
dan pengguaan media iklan dalam<br />
penyampaian pesan-pesan pembangunan<br />
dan promosi kebijakan pemerintah akan<br />
lebih efektif jika disampaikan dengan<br />
benar. Realitas keberadaan iklan<br />
pemerintah tidak banyak menarik<br />
perhatian masyarakat apalagi untuk<br />
membangkitkan kesadaran masyarakat.<br />
Dengan kata lain, iklan pemerintah tidak<br />
dibuat secara maksimal.<br />
Kurang optimalnya media iklan<br />
pemerintah ini mengindikasikan ada<br />
banyak hambatan dalam proses<br />
perencanaan komunikasi iklan. Otomatis<br />
komunikasi yang disampaikan menjadi<br />
tidak efektif. Bila media tidak efektif,<br />
tentu tujuan yang diharapkan dari sebuah<br />
rencana komunikasi pasti tidak akan<br />
efektif. Tempat tidak pada lokasi yang<br />
strategis dan pesan kurang didesain<br />
dengan baik juga akan mempengaruhi<br />
keberhasilan iklan. Selain itu, iklan tidak<br />
akan efektif jika tidak pernah dilakukan<br />
evaluasi.<br />
Minimnya dampak yang ditimbulkan<br />
media komunikasi iklan pemerintah di<br />
masyarakat merupakan indikasi kurang<br />
efektifnya iklan pemerintah. Banyak<br />
media seperti iklan pemerintah hanya<br />
sekedar proyek, terkesan dibuat asalasalan.<br />
Media iklan pemerintah ini<br />
adalah menyangkut kepentingan publik<br />
dan kepentingan masyarakat. Dana yang<br />
digunakan adalah dana negara yang<br />
jumlahnya cukup besar. Jika hanya<br />
untuk sosialisasi kegiatan-kegiatan yang<br />
bersifat temporer atau kepentingan<br />
sesaat, tentu mubazir dan sia-sia. Oleh<br />
karenanya, iklan pemerintah sudah<br />
semestinya dapat mendatangkan hasil<br />
nyata bagi perubahan kesadaran dan<br />
perilaku di masyarakat.<br />
Pesan iklan bilboard mestinya<br />
singkat dan disampaikan secara jelas.<br />
Harus dapat dibaca setidaknya dalam<br />
tujuh detik. Menggunakan huruf yang<br />
mudah terbaca dari jarak yang relatif<br />
jauh, serta menggunakan warna yang<br />
tepat sebagai pendukung. Abdul Ghafur<br />
yang berprofesi sebagai dosen di UIN<br />
Suska, memiliki komentar ”menurut<br />
saya iklan-iklan pemerintah Provinsi<br />
Riau agak buruk. Bagaimana tidak,<br />
beberapa iklan kurang menarik untuk<br />
dilihat bahkan ada yang sudah rusak.<br />
Kalau adapun yang baru cepat sekali<br />
diganti-ganti, hanya untuk sesaat saja.<br />
Terkadang tulisannya terlalu banyak<br />
untuk dibaca, ya kurang menariklah”<br />
(wawancara, 2 Oktober 2009).<br />
Umumnya iklan pemerintah dinilai<br />
oleh sebagian masyarakat sangat buruk,<br />
dari pilihan warna, pilihan lokasi, pilihan<br />
model iklan, hingga pilihan pesan yang<br />
disampaikan. Iklan pemerintah memang<br />
kurang menarik untuk dibaca, disamping<br />
itu terkesan hanya membuang-buang<br />
uang karena sifatnya hanya untuk<br />
promosi sesaat seperti pada acara-acara
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
44<br />
Pimpinan/<br />
atasan dan<br />
struktur/hubung<br />
an dengan<br />
atasan<br />
khusus saja. Padahal uang yang sudah<br />
dibelanjakan cukup banyak jumlahnya.<br />
Sementara iklan yang permanen dengan<br />
jangka waktu lama, umumnya tidak<br />
menarik untuk dilihat seperti pada iklan<br />
visi Riau 2020.<br />
Pemerintah Provinsi Riau terlihat<br />
kurang memperhatikan bentuk-bentuk<br />
komunikasi untuk promosi kebijakankebijakan<br />
atau program pemerintah yang<br />
berjangka panjang. Media-media yang<br />
digunakan untuk promosi tidak memiliki<br />
efektifitas dan dampak yang jelas. Hal<br />
ini disebabkan kurang menarik bagi<br />
masyarakat, karena didesain dalam<br />
bentuk yang kurang maksimal. Dalam<br />
hal ini, Humas sebagai penyampai pesan<br />
dan yang mengkoordinasikan semua<br />
komunikasi pemerintah provinsi tidak<br />
memaksimalkan fungsinya untuk<br />
merencanakan dan mengevaluasi<br />
komunikasi dan pilihan media-media<br />
yang digunakan.<br />
Gambar 1<br />
Model komunikasi Iklan<br />
Pemerintah Provinsi Riau<br />
Kebijakan dan program<br />
Pemerintah Provinsi Riau<br />
serta even-even khusus<br />
lainnya<br />
Efek iklan sangat tergantung pada<br />
banyak hal, semakin iklan<br />
memperhatikan aspek yang<br />
mempengaruhi maka semangkin<br />
efektiflah komunikasinya. Namun<br />
demikian iklan Pemerintah Provinsi Riau<br />
memiliki realitas yang sangat kompleks,<br />
karena memiliki dimensi politis.<br />
Dimensi inilah yang sering menghambat<br />
pesan komunikasi. Iklan pemerintah di<br />
sisi lain memiliki efektivitas.<br />
Efektifitasnya dapat diukur dari pesan<br />
yang ada di sebalik media tersebut, yaitu<br />
dominasi pemimpinnya untuk tampil<br />
disetiap gambar atau iklannya. Secara<br />
otomatis semakin gencar media yang<br />
dipakai dengan memakai berbagai media<br />
dan saluran komunikasi, semakin<br />
berpengaruh pesannya politisnya.<br />
Pemerintah melalui humas sebelum<br />
melakukan kegiatan komunikasi harus<br />
membuat perencanaan komunikasi yang<br />
baik. Proses perencanaan harus<br />
berorientasi pada khalayak, bukan<br />
berorientasi pada pemimpin atau<br />
pemerintah. Sehingga pesannya adalah<br />
pesan untuk kepentingan masyarakat<br />
luas bukan untuk kepentingan pemimpin<br />
atau sekelompok orang saja. Dengan<br />
membuat evaluasi secara menyeluruh<br />
terhadap proses komunikasi; pengaruh<br />
komunikator, pesan, media dan<br />
perubahan sikap atau perilaku<br />
masyarakat, tentu akan menghasilkan<br />
iklan yang baik.<br />
Iklan dibuat<br />
Humas/dinas<br />
Pemerintah<br />
Provinsi Riau<br />
Evaluasi kerja<br />
melalui<br />
kliping<br />
Iklan melalui<br />
Billboard, baliho,<br />
spanduk, televisi<br />
dan radio lokal,<br />
koran, website, dll.<br />
Respons<br />
dari<br />
masyarakat<br />
Publik/<br />
masyarakat<br />
SIMPULAN<br />
Komunikasi Pemerintah Provinsi<br />
Riau tentang kebijakan dan program<br />
pembangunan melalui iklan adalah pesan<br />
yang baik. Namun desain medianya<br />
kurang maksimal, sehingga jarang<br />
mendapatkan perhatian dari masyarakat.<br />
Selain itu pesan juga kurang<br />
tersampaikan dengan baik karena pesan<br />
lebih banyak bermuatan politis. Iklan<br />
pemerintah seperti ini umumnya<br />
menonjolkan ketokohan sang gubernur
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
45<br />
dibandingkan penonjolan pesan utama<br />
yang ingin disampaikan. Ini terjadi<br />
terutama pada masa-masa akhir priode<br />
pertama kepemimpinan Gubernur Rusli<br />
Zainal.<br />
Ada dua pola hubungan antara<br />
pegawai atau pembuat iklan dengan<br />
gubernur atau pemimpinnya. Pola<br />
hubungan ini mempengaruhi proses<br />
pembuatan iklan dan seperti apa iklan<br />
yang dihasilkan. Pertama, pola mencari<br />
perhatian atau mencari muka, berkerja<br />
dan berbuat sesuatu karena ingin<br />
menyenangkan orang atasan. Kedua,<br />
pola mengikuti aturan sebagai pelayan<br />
pemimpin, umumnya memang orang<br />
atasan yang menginginkan hal tersebut.<br />
Bawahan melakukan karena pemimpin<br />
meminta untuk melaksanakan.<br />
Iklan untuk mengomunikasikan<br />
pesan-pesan kebijakan dan program<br />
pembangunan pemerintah atau kegiatankegiatan<br />
khusus lainnya umumnya<br />
menggunakan dan memilih media<br />
komunikasi seperti: media luar ruang<br />
(billboard, baliho), televisi lokal, radioradio<br />
lokal, koran, dan juga saluran<br />
komunikasi lainnya. Media periklanan<br />
pemerintah Provinsi Riau yang utama<br />
adalah melalui media papan<br />
pengumuman (billboard) yang banyak<br />
ditemui di persimpangan jalan, pinggirpingir<br />
jalan utama maupun di tempat<br />
umum lainnya.<br />
Keberadaan iklan pemerintah tidak<br />
banyak menarik perhatian masyarakat<br />
apalagi untuk membangkitkan kesadaran<br />
masyarakat. Dengan kata lain, iklan<br />
pemerintah tidak dibuat secara<br />
maksimal, sehingga iklannya tidak<br />
efektif. Ketidakefektifan iklan<br />
pemerintah ini disebabkan oleh tidak<br />
adanya proses perencanaan, pelaksanaan<br />
dan evaluasi. Bila media tidak<br />
direncanakan dengan baik, tentu tujuan<br />
tidak jelas, maka efek yang diharapkan<br />
dari sebuah rencana komunikasi pasti<br />
tidak akan efektif.<br />
Oleh karena itu, pemerintah melalui<br />
humas sebelum melakukan kegiatan<br />
komunikasi harus membuat perencanaan<br />
komunikasi yang baik terlebih dahulu<br />
dengan cara menganalisis masalah,<br />
khalayak dan tujuan komunikasi,<br />
memilih pesan dan media yang tepat,<br />
dan melakukan evaluasi atau audit<br />
komunikasi. Selain itu media yang<br />
dipilih tidak hanya itu-itu saja namun<br />
menggunakan media-media alternatif<br />
seperti: pin, brosur, baju kaos, sticker,<br />
dan lain-lain. Dengan kata lain, harus<br />
ada dilakukan bauran media dan saluran<br />
komunikasi sehingga dapat<br />
mendesiminasikan pesan ke masyarakat.<br />
Optimasi media iklan atau<br />
komunikasi pemerintah sulit untuk<br />
diwujudkan bila manajemen komunikasi<br />
pemerintah sendiri tidak diperbaiki.<br />
Keberhasilan mengkomunikasikan visi<br />
dan program-program pembangunan<br />
pemerintah ke masyarakat sangat<br />
tergantung pada keberhasilan dalam<br />
menangkap kebutuhan dan aspirasi<br />
masyarakatnya serta cara<br />
mengkomunikasikannya. Masyarakat<br />
menginginkan informasi yang baik dan<br />
menarik, tidak hanya berguna. Bila<br />
pesan baik tetapi tidak dibuat secara<br />
maksimal, maka ia akan diacuhkan.<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
Abrar, Ana Nadhya, 2008, Kebijakan<br />
Komunikasi; Konsep, Hakekat<br />
dan Praktek, Gava Media,<br />
Yogyakarta.<br />
Budiharsono, Suyuti S., 2003, Politik<br />
Komunikasi, Grasindo, Jakarta.<br />
Cresswell, Jhon, W., 1998, Qualitative<br />
Inquiry and Research Design;
*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />
46<br />
Choosing Among Five Tradition,<br />
Sage Publication, California.<br />
Iriantara, Yosal, 2004, Manajemen<br />
<strong>Strategi</strong>s Public Relations,<br />
Ghalia Indonesia, Jakarta.<br />
Kuo, Edie C.Y. & Peter S.J. Chen, 1994,<br />
Kebijakan dan Perencanaan<br />
Komunikasi; Pengalaman<br />
Singapura, LP3Es, Jakarta.<br />
Lee, Monle & Carla Johnson, 2004,<br />
Prinsip-prinsip Pokok Periklanan<br />
dalam Perspektif Global, Prenada<br />
Media, Jakarta.<br />
Littlejohn, Stephen W., 1999, Theories<br />
of Human Communication, 6 th<br />
Edition, Wadsworth Publishing<br />
Company, Belmont, USA.<br />
Miles, Mathew B., & A Micheal<br />
Huberman, 1992, Analisis Data<br />
Kualitatif; Buku Sumber Tentang<br />
Metode-Metode Baru, Penerj.<br />
Tjetjep Rohendi Rohidi, UI<br />
Press, Jakarta.<br />
Moleong, Lexy J., 2000, Metodologi<br />
Penelitian Kualitatif, Remaja<br />
Rosdakarya, Bandung.<br />
Morissan, 2007, Periklanan: Komunikasi<br />
Pemasaran Terpadu, Ramdina<br />
Perkasa, Jakarta.<br />
Muhadjir, Neong, 2000, Metodologi<br />
Penelitian Kualitatif, Edisi IV,<br />
Rake Sarasin, Yogyakarta.<br />
Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi<br />
Penelitian Kualitatif; Paradigma<br />
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu<br />
Sosial Lainnya, Remaja<br />
Rosdakarya, Bandung.<br />
Nasution, Zulkarimein, 2000,<br />
Perencanaan Program<br />
Komunikasi; Buku Materi Pokok,<br />
Universitas Terbuka, Jakarta.<br />
Shimp, Terence A., 2003, Periklanan<br />
Promosi; Komunikasi Pemasaran<br />
Terpadu, Erlangga, Jakarta.<br />
Suhandang, K., 2005, Periklanan,<br />
Nuansa, Bandung.<br />
Yin, Robert K., 1981, Case Study<br />
Research: Design and Methods,<br />
Sage Publication, London
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan<br />
di Perkotaan (P2KP) di Kabupaten Pelalawan<br />
MIRANDA ARDI<br />
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />
Abstrak : Kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses sarana dan prasarana dan sarana<br />
dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah standar<br />
kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu. Kondisi seperti ini telah membuka mata kita<br />
semua bahwa perlu adanya paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan. Paradigma<br />
penanggulangan kemiskinan harus dipersepsikan oleh masyarakat miskin untuk membangun kesadaran<br />
internal masyarakat miskin bahwa kemiskinan bukanlah takdir tetapi nasib yang harus di rubah. Motivasi<br />
seperti ini sangatlah perlu dilakukan agar program-program penanggulangan kemiskinan dapat dirasakan<br />
oleh masyarakat miskin demi perubahan nasib yang lebih baik dalam menjalani hidupnya, sehingga<br />
dengan demikian peran pemerintah dan stakeholders untuk tidak lebih hanya berperan sebagai fasilitator<br />
dan pendamping masyarakat miskin dalam memotivasi diri dan lingkungannya. Program Penanggulangan<br />
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang merupakan salah satu upaya penanganan kemiskinan yang<br />
memiliki misi membangun masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi dengan<br />
Pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif dan<br />
mampu mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang lestari, sehat, produktif, dan<br />
berkelanjutan.<br />
Kata kunci : Kebijakan, Implementasi Kebijakan dan Program P2KP<br />
Salah satu ciri umum dari kondisi<br />
fisik masyarakat miskin adalah tidak<br />
memiliki akses sarana dan prasarana dan<br />
sarana dasar lingkungan yang memadai<br />
dengan kualitas perumahan dan<br />
pemukiman yang jauh di bawah standar<br />
kelayakan serta mata pencaharian yang<br />
tidak menentu. Kondisi seperti ini telah<br />
membuka mata kita semua bahwa perlu<br />
adanya paradigma baru dalam<br />
penanggulangan kemiskinan. Paradigma<br />
penanggulangan kemiskinan harus<br />
dipersepsikan oleh masyarakat miskin<br />
untuk membangun kesadaran internal<br />
masyarakat miskin bahwa kemiskinan<br />
bukanlah takdir tetapi nasib yang harus<br />
di rubah. Motivasi seperti ini sangatlah<br />
perlu dilakukan agar program-program<br />
penanggulangan kemiskinan dapat<br />
dirasakan oleh masyarakat miskin demi<br />
perubahan nasib yang lebih baik dalam<br />
menjalani hidupnya, sehingga dengan<br />
demikian peran pemerintah dan<br />
stakeholders untuk tidak lebih hanya<br />
berperan sebagai fasilitator dan<br />
pendamping masyarakat miskin dalam<br />
memotivasi diri dan lingkungannya.<br />
Dengan paradigma demikian,<br />
prakarsa dan kreativitas tentang<br />
program-program penanggulangan<br />
kemiskinan (Pronangkis) tumbuh dari<br />
lingkungan masyarakat itu sendiri. Dan<br />
paradigma inilah yang dipakai oleh<br />
Program Penanggulangan Kemiskinan di<br />
Perkotaan (P2KP) yang merupakan<br />
program pemberdayaan masyarakat,<br />
yang mana program ini memberdayakan<br />
masyarakat dengan kegiatan ekonomi<br />
kerakyatan atau ekonomi rakyat.<br />
Membahas mengenai Program<br />
Penanggulangan Kemiskinan di<br />
Perkotaan (P2KP) yang merupakan salah<br />
47
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
48<br />
satu upaya penanganan kemiskinan<br />
melalui Departemen Pekerjaan Umum<br />
(PU) yang dilaksanakan sejak tahun<br />
1999, yang mana motto dari P2KP ini<br />
yakni “bersama membangun<br />
kemandirian“. P2KP pertama kali<br />
dilaksanakan di Pulau Jawa Bagian<br />
Selatan . P2KP ini ditetapkan oleh<br />
Menteri Negara Perencanaan<br />
Pembangunan Nasional dan Kepala<br />
Bappenas melalui Surat Keputusan<br />
tentang Tim Pengarah dan Tim<br />
Pelaksana Inter Departemen Program<br />
Penanggulangan Kemiskinan (P2KP).<br />
Tim pengarah P2KP diketuai oleh<br />
Deputi Bidang Koordinasi<br />
Penanggulangan Kemiskinan,<br />
Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil dan<br />
Menengah, serta Wakilnya Deputi VI<br />
Menko Kesra dan Direktur Jenderel<br />
Cipta Karya Departemen PU. Tim<br />
Pengarah beranggotakan seperti dari<br />
Bappenas, Menko Kesra, Departeman<br />
PU, Depdagri, Departemen Keuangan,<br />
Koperasi, dan UKM, Deperindag, Biro<br />
Pusat Statistik dan Komite<br />
Penanggulangan Kemiskinan (KPK)<br />
Nasional.<br />
Dalam menjalankan programnya,<br />
P2KP mempunyai Visi, Misi dan Tujuan<br />
yang hendak dicapai. Adapun Visi dari<br />
P2KP adalah terwujudnya masyarakat<br />
madani, yang maju, mandiri dan<br />
sejahtera dalam lingkungan permukiman<br />
sehat, produktif dan lestari. Sedangkan<br />
misi P2KP adalah membangun<br />
masyarakat mandiri yang mampu<br />
menjalin kebersamaan dan sinergi<br />
dengan Pemerintah maupun kelompok<br />
peduli setempat dalam menanggulangi<br />
kemiskinan secara efektif dan mampu<br />
mewujudkan terciptanya lingkungan<br />
permukiman yang lestari, sehat,<br />
produktif, dan berkelanjutan.<br />
Berdasarkan Petunjuk Teknis P2KP,<br />
adapun tujuan P2KP Provinsi Riau<br />
adalah ”Dapat menggurangi kemiskinan<br />
di Indonesia khususnya di Provinsi Riau<br />
dengan melibatkan masyarakat<br />
(partipasi masyarakat) seluruh<br />
masyarakat, termasuk masyarakat<br />
miskin, kelompok perempuan, komunitas<br />
adat terpencil, dan kelompok<br />
masyarakat lainnya yang rentan dan<br />
sering terpinggirkan ke dalam proses<br />
pengambilan keputusan dan pengelolaan<br />
pembangunan”.<br />
Untuk tercapainya tujuan tersebut,<br />
maka langkah-langkah pelaksanaan<br />
program yang akan lalui sesuai dengan<br />
Petunjuk Teknis P2KP adalah :<br />
a. Tahap Persiapan<br />
b. Tahap Pelaksanaan<br />
c. Tahap-Tahap Yang Menerus atau<br />
Berkala<br />
d. Tahap Penyiapan Keberlanjutan<br />
Program<br />
Dalam menjalankan P2KP ini,<br />
komponen program yang dilalui sesuai<br />
dengan Petunjuk Teknis P2KP, antara<br />
lain :<br />
a) Pengembangan masyarakat dan<br />
mengedepankan peran pemerintah<br />
daerah.<br />
b) Penyediaan dana bantuan langsung<br />
masyarakat (BLM), termasuk<br />
stimulan pembangunan lingkungan<br />
permukiman kelurahan terpadu.<br />
c) Penyediaan dana penanggulangan<br />
kemiskinan terpadu (PAKET).<br />
Kabupaten Pelalawan merupakan<br />
pemekaran dari Kabupaten Kampar yang<br />
pembentukannya berdasrkan UU No. 53<br />
tahun 1999. Sebagai Kabupaten yang<br />
baru dibangun sudah sewajarnya<br />
Kabupaten ini menjadi sasaran dalam<br />
pelaksanaan P2KP di Provinsi Riau.<br />
Selain itu masih banyaknya masyarakat<br />
miskin yang ada di Pelalawan yang<br />
mesti di berdayakan. Hal lain yang<br />
membuat Pelalawan menjadi sasaran<br />
adalah adanya keinginan Pemerintah<br />
Kabupaten Pelalawan dalam upaya<br />
mengurangi kemiskinan yang dapat kita
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
49<br />
No Kecamatan Desa/<br />
Kel<br />
lihat dari visi dan misi Kabupaten<br />
Pelalawan tahun 2006-2010. Adapun visi<br />
dari Pelalawan adalah terwujudnya<br />
Kabupaten Pelalawan yang maju dan<br />
sejahtera melalui pemberdayaan<br />
ekonomi kerakyatan yang didukung oleh<br />
pertanian yang unggul dan industri yang<br />
tangguh dalam masyarakat yang beradat,<br />
beriman, bertaqwa dan berbudaya<br />
melayu pada tahun 2020. Untuk melihat<br />
kemiskinan di Kabupaten Pelalawan,<br />
berikut data yang tertuang dalam<br />
Rencana Program Penanggulangan<br />
Jangka Panjang (RPJM) Kabupaten<br />
Pelalawan tahun 2006-2010, jumlah<br />
rumah tangga miskin Kabupaten<br />
pelalawan sebanyak 10.064 rumah<br />
tangga dari 40.631 penduduk miskin<br />
yang tersebar di tiap-tiap Kecamatan.<br />
Tabel 1<br />
Persentase Penduduk Miskin di<br />
Kabupaten Pelalawan<br />
Tahun 2007<br />
Rumah<br />
Tangga<br />
Miskin<br />
Jumlah<br />
Penduduk<br />
Miskin<br />
Jumlah<br />
Ruta<br />
Jumlah<br />
Penduduk<br />
%<br />
Ruta<br />
Miskin<br />
%<br />
Pendudu<br />
k<br />
Miskin<br />
1 Ukui 14 1.421 5.594 4.983 25.750 28,52 25,46<br />
2 Pangkalan<br />
7 1.685 7.230 13.00 55.902 12,96 12,93<br />
Kerinci<br />
3 Pangkalan 16 1.046 4.126 8.078 32.896 12,95 12,55<br />
Kuras<br />
4 Pangkalan<br />
8 807 2.954 4.754 18.548 16,98 15,93<br />
Lesung<br />
5 Langgam 7 538 2.258 3.021 13.301 17,81 16,98<br />
6 Pelalawan 9 592 2.386 2.745 10.917 21,57 21,86<br />
7 Kerumutan 8 698 2.723 3.326 13.638 20,99 19,97<br />
8 Bunut 8 1.507 5.768 4.733 19.203 31,84 30,04<br />
9 Teluk Meranti 9 831 3.379 2.932 16.483 28,34 20,50<br />
10 Kuala Kampar 9 939 4.213 3.748 18.028 25,05 23,37<br />
11 Bandar<br />
5 0 0 0 0 0 0<br />
Sekijang<br />
12 Bandar<br />
8 0 0 0 0 0 0<br />
Petalangan<br />
Jumlah 108 10.064 40.631 51.320 224.666 19,61 18,39<br />
Sumber: Biro Pusat Statistik 2007<br />
Masalah diatas merupakan<br />
masalah yang sangat membutuhkan<br />
perhatian besar, tidak hanya bagi<br />
pemerintah tapi juga dari masyarakat dan<br />
pihak swasta. Dalam hal ini di harapkan<br />
P2KP benar-benar berperan dalam<br />
mengurangi jumlah kemiskinan di<br />
Indonesia khususnya Kecamatan Ukui<br />
Kabupaten Pelalawan.<br />
Perlu diketahui bahwa dalam<br />
mempelajari masalah implementasi<br />
kebijakan berarti berusaha untuk<br />
memahami apa yang senyatanya terjadi<br />
sesudah suatu kebijakan diberlakukan.<br />
Menurut Syaukani dkk (2002 : 295)<br />
implementasi merupakan suatu<br />
rangkaian aktivitas dalam rangka<br />
menghantarkan kebijaksanaan kepada<br />
masyarakat sehingga kebijakan tersebut<br />
dapat membawa hasil sebagaimana yang<br />
diharapkan.<br />
Menurut George C. Edward dalam<br />
Implementing Public Policy (1980 :<br />
111), ada empat faktor yang<br />
berpengaruh terhadap keberhasilan<br />
atau kegagalan implementasi suatu<br />
kebijakan, yaitu faktor sumber daya,<br />
birokrasi, komunikasi, dan disposisi.<br />
Menurut Briant W. Hoogwood dan<br />
Lewis A. Gun (1978) untuk melakukan<br />
implementasi kebijakan, diperlukan<br />
beberapa syarat diantaranya:<br />
a. Berkenaan dengan jaminan bahwa<br />
kondisi eksternal yang dihadapi oleh<br />
lembaga atau badan pelaksana, tidak<br />
akan menimbulkan masalah yang<br />
besar.<br />
b. Tersedianya sumber daya yang<br />
memadai termasuk sumber daya<br />
waktu.<br />
c. Perpaduan sumber-sumber yang<br />
diperlukan benar-benar ada, baik<br />
dalam konteks sumber daya maupun<br />
sumber aktor.<br />
d. Kebijakan yang akan<br />
diimplementasikan, didasari<br />
hubungan kausal yang andal.<br />
Kebijakan tersebut dapat<br />
menyelesaikan masalah yang hendak<br />
ditanggulangi.<br />
e. Banyaknya hubungan kausalitas<br />
yang terjadi.<br />
f. Adanya hubungan saling<br />
ketergantungan yang tinggi.<br />
g. Pemahaman yang mendalam dan<br />
kesepakatan terhadap tujuan.
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
50<br />
h. Tugas-tugas yang telah dirinci dan<br />
ditempatkan dalam urutan yang<br />
benar.<br />
Sebagai organisasi yang bertugas<br />
untuk mengentaskan kemiskinan, P2KP<br />
mendefinisikan kemiskinan, sebagai:<br />
1. Suatu kondisi dimana seseorang tidak<br />
mampu memenuhi akan kebutuhan<br />
dasarnya sehari-hari.<br />
2. Suatu kondisi dimana masyarakat<br />
tidak mampu mengakses bidang<br />
ekonomi, sosial dan lingkungan.<br />
Mudrajat Kuncoro (2004 : 157)<br />
mencoba melakukan identifikasi<br />
penyebab kemiskinan yang dipandang<br />
dari sisi ekonomi yaitu :<br />
1. Secara makro kemiskinan muncul<br />
karena adanya ketidaksamaan pola<br />
pemilikan sumber daya yang<br />
menimbulkan distribusi pedapatan<br />
yang timpang. Penduduk miskin<br />
hanya memiliki sumber daya dalam<br />
jumlah yang terbatas dan kualitas<br />
yang rendah.<br />
2. b.Kemiskinan muncul akibat<br />
perbedaan kualitas SDM. Kualitas<br />
SDM yang tinggi berarti<br />
produktifitas rendah yang pada<br />
gilirannya menyebabkan upah<br />
rendah.<br />
3. Kemiskinan muncul akibat<br />
perbedaan akses dan modal.<br />
Kebijakan penanggulangan<br />
kemiskinan telah dicanangkan sejak<br />
2001, yaitu meningkatkan pendapatan<br />
kelompok miskin dan menurunkan<br />
pengeluaran kaum miskin. <strong>Strategi</strong> yang<br />
digunakan tidaklah lagi semata-mata<br />
dengan subsidi. Pendekatan income<br />
generating seyogyanya tidak lagi<br />
dilakukan oleh lembaga pemerintah,<br />
melainkan oleh lembaga perbankan atau<br />
lembaga non-pemerintahan yang tidak<br />
menggunakan dana APBN/D (Riant<br />
Nugroho D, 2003:227).<br />
Kemiskinan merupakan masalah utama<br />
yang harus ditangani dalam proses<br />
pembangunan. Kemiskinan merupakan<br />
situasi serba kekurangan yang terjadi<br />
bukan karena di kehendaki oleh si<br />
miskin melainkan karena tidak bisa<br />
dihindarkan dengan kekuatan yang apa<br />
adanya. Hal ini disebabkan oleh<br />
rendahnya nilai tukar hasil produkasi si<br />
miskin, rendahnya produktivitas,<br />
terbatasnya modal kerja dan rendahnya<br />
pendapatan. Kesemuanya ini<br />
mengakibatkan terbatasnya kesempatan<br />
mereka untuk berpartisipasi dalanm<br />
pembangunan, Bappenas Depdagri<br />
(1993 : 2)<br />
Program<br />
Penanggulangan<br />
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
merupakan suatu proses pemberdayaan<br />
masyarakat, dimana proses<br />
pemberdayaan merupakan suatu cara<br />
pembangunan dalam upaya<br />
pengembangan masyarakat. Menurut<br />
Naning Mardiarah dalam Paulus<br />
Wirutomo dkk (2003 : 129),<br />
pemberdayaan dimaknai sebagai<br />
mendapatkan kekuatan dan<br />
meningkatkan kemampuan golongan<br />
miskin utuk mendapatkan akses sumber<br />
daya yang menjadi dasar dari kekuasaan<br />
dalam suatu sistem maupun organisasi.<br />
Pengertian pemberdayaan dalam<br />
penelitian ini berkaitan dengan proses<br />
pemberdayaan dan memberdayakan baik<br />
dalam pengertian pertama maupun<br />
kedua.<br />
Pemberdayaan pada prinsipnya<br />
merupakan upaya aktualisasi eksistensi<br />
dari kelompok “powerless” dengan cara<br />
memberikan power (kekuatan) pada<br />
powerless, sehingga semua dapat<br />
mempunyai kekuatan untuk memegang<br />
sistem dan kekuasaan, Pranarka &<br />
Moeljanto (1996 : 54). Sedangkan<br />
Ginanjar Kartasasmita (1995 : 96),<br />
melihat pemberdayaan dengan titik tolak<br />
bahwa setiap manusia dan masyarakat<br />
memiliki potensi (daya) yang dapat<br />
dikembangkan, sehingga dengan<br />
demikian pemberdayaan merupakan<br />
upaya untuk membangun daya itu
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
51<br />
dengan mendorong, memberikan<br />
motivasi, dan membangkitkan kesadaran<br />
akan potensi yang dimilikinya serta<br />
berupaya untuk mengembangkannya.<br />
Berdasarkan kajian teoritis tersebut,<br />
maka 2 (dua) faktor utama yang<br />
mempengaruhi partisipasi masyarakat<br />
(Jurnal Administrasi Negara Vol 1,<br />
2001: 34) yaitu :<br />
1. Faktor eksternal masyarakat yang<br />
meliputi :<br />
- Dinamika organisasi program<br />
- Komunikasi<br />
2. Faktor internal masyarakat yang<br />
meliputi :<br />
- Umur<br />
- Kesejahteraan<br />
- Pendidikan masyarakat.<br />
Ada beberapa alasan mengapa<br />
kegiatan partisipasi masyarakat sangat<br />
penting dalam pembangunan, While<br />
(1986 : 18) mengemukakan sebagai<br />
berikut :<br />
a) Dengan partisipasi masyarakat akan<br />
lebih banyak hasil kerja yang dicapai.<br />
b) Dengan partisipasi masyarakat<br />
pelayanan atau service dapat<br />
diberikan dengan biaya murah.<br />
c) Partisipasi masyarakat memiliki nilai<br />
dasar yang sangat berarti dalam<br />
menjalin persatuan dan kesatuan<br />
serta kebersamaan dalam masyarakat.<br />
d) Partisipasi masyarakat merupakan<br />
katalisator untuk kelangsungan<br />
pembangunan selanjutnya.<br />
e) Partisipasi masyarakat dapat<br />
menghimpun dan memanfaatkan<br />
berbagai pengetahuan di masyarakat.<br />
f) Partisipasi masyarakat lebih<br />
menyadarkan masyarakat itu sendiri<br />
terhadap penyebab kemiskinan<br />
sehingga menimbulkan kesadaran<br />
untuk mengatasinya.<br />
METODE<br />
Metode penelitian adalah suatu<br />
totalitas cara yang dipakai untuk<br />
melakukan penelitian dalam rangka<br />
menentukan kebenaran ilmiah. Disebut<br />
totalitas cara karena di dalamnya<br />
meliputi metode penelitian yang<br />
digunakan, tempat dan waktu penelitian,<br />
penentuan populasi, tekhnik<br />
pengambilan sampel, teknik<br />
pengumpulan data, cara penyusunan dan<br />
pengujian instrumen penelitian, serta<br />
cara yang akan digunakan untuk<br />
melakukan analisa terhadap data yang<br />
diperoleh dari hasil penelitian.<br />
Penelitian ini dilakukan di<br />
Kecamatan Ukui, karena menurut<br />
pantauan P2KP Kecamatan ini berhak<br />
dilakukan pemberdayaan dan P2KP di<br />
Kecamatan Ukui bisa di kategori sukses.<br />
Populasi adalah wilayah generalisasi<br />
yang terdiri atas: objek/subjek yang<br />
mempunyai kualitas dan karakteristik<br />
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti<br />
utuk dipelajari dan kemudian ditarik<br />
kesimpulannya. Sedangkan Sampel<br />
adalah bagian dari jumlah dan<br />
karakteristik yang dimiliki oleh populasi<br />
tersebut. Adapun yang menjadi populasi<br />
dalam penelitian ini adalah semua orang<br />
yang tergabung dalam pelaksanaan<br />
P2KP khususnya di Kecamatan Ukui.<br />
Namun peneliti menggunakan metode<br />
purposive sampling, yaitu peneliti<br />
menetapkan sampel dari tim P2KP<br />
adalah seluruh tim Pelaksana P2KP di<br />
Kecamatan Ukui sebagai yang<br />
menjalankan dan mengawasi kegiatan<br />
P2KP.<br />
Untuk penerima bantuan fisik,<br />
maupun non fisik maka peneliti<br />
menggunakan metode purposive<br />
sampling, dimana peneliti sampel<br />
masyarakat dari 4 Desa di Kecamatan<br />
Ukui (Lubuk Kembang Bunga, Air<br />
Hitam, Silikuan Hulu, dan Lubuk<br />
Kembang Sari) sebagai orang yang<br />
benar-benar tahu pelaksanaan P2KP dan<br />
sebagai orang yang menikmati hasil<br />
pembangunan baik fisik maupun non
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
52<br />
fisik. Di sini peneliti menetapkan<br />
persentase 2% dengan alasan karena<br />
jumlah populasi sangat besar, dan<br />
kemudian ditentukan dengan cara<br />
Random Sampling, yaitu pengambilan<br />
secara acak. Ha ini dimaksudkan<br />
memudahkan peneliti untuk<br />
mendapatkan informasi atau data dari<br />
masyarakat.<br />
Sampel pada penelitian ini<br />
berjumlah orang, yaitu dari tim<br />
pelaksana P2KP sebanyak 3 orang dan<br />
ditambah dengan penerima bantuan baik<br />
itu bantuan bidang lingkungan, sosial<br />
dan ekonomi dari 4 desa sebanyak 78<br />
orang, jadi jumlah keseluruhan sampel<br />
adalah sebanyak 81 orang.<br />
Data primer adalah data yang<br />
diperoleh secara langsung dari<br />
responden yang menjadi objek penelitian<br />
berupa informasi yang relevan dan<br />
masalah-masalah yang sudah<br />
dirumuskan dalam penelitian. Data yang<br />
dibutuhkan dalam penelitian ini<br />
mengenai bagaimana pelaksanaan P2KP<br />
di Kecamatan Ukui Kabupaten<br />
Pelalawan. Data primer ini meliputi<br />
antara lain: tanggapan responden baik<br />
melalui catatan tertulis maupun melalui<br />
wawancara.<br />
Sedangkan data sekunder adalah data<br />
tidak secara langsung diperoleh dari<br />
hasil penelitian, tapi diperoleh dari datadata<br />
berupa laporan dan kebijakankebijakan<br />
yang berhubungan dengan<br />
penelitian, seperti profil berdirinya<br />
P2KP, data struktur organisasi P2KP,<br />
data jumlah penerima bantuan dari P2KP<br />
dan data masyarakat miskin di<br />
Kabupaten Pelalawan.<br />
Untuk mendapatkan data dalam<br />
penelitian ini, maka peneliti<br />
menggunakan teknik pengumpulan data<br />
melalui :<br />
1. Studi Kepustakaan, studi ini<br />
dilakukan untuk memperoleh data<br />
sekunder yang berguna dalam<br />
perumusan teori dan landasan bagi<br />
penganalisaan data primer, serta<br />
untuk menelaah data melalui literatur<br />
yang tersedia, karya ilmiah dan<br />
berbagai dokumen yang<br />
berhubungan dengan objek dan<br />
masalah penelitian.<br />
2. Studi Lapangan, dimaksudkan untuk<br />
mendapatkan data primer dengan<br />
cara:<br />
a. Wawancara, yaitu tekik<br />
pengumpulan data yang<br />
dilakukan dengan cara tanya<br />
jawab langsung dengan<br />
responden secara mendalam<br />
mengenai pelaksanaan P2KP<br />
dalam partisipasi masyarakat.<br />
b. Angket, yaitu teknik<br />
pengumpulan data yang<br />
dilakukan dengan cara<br />
memberikan seperangkat<br />
pertanyaan tertulis kepada<br />
responden untuk di jawab dan<br />
pertanyaan tersebut yang<br />
berhubungan dengan<br />
pelaksanaan P2KP dalam<br />
partisipasi masyarakat.<br />
c. Observasi, yaitu teknik<br />
pengumpulan data dengan<br />
melakukan pengamatan<br />
terhadap objek yang akan<br />
diteliti.<br />
Analisa data yang dilakukan secara<br />
deskriptif kualitatif, dimana data yang<br />
diperoleh akan dideskripsikan,<br />
diinterpretasikan dan kemudian<br />
dianalisis dengan menggunakan statistik<br />
yang meliputi: mean, median dan modus.<br />
Menurut Sugiyono (2006 : 170), yang<br />
termasuk dalam statistik deskriptif antara<br />
lain adalah penyajian data melalui tabel,<br />
grafik, diagram lingkaran, pictogram,<br />
perhitungan modus, median, mean<br />
(pengukuran tendensi sentral),<br />
perhitungan desil, persentil, perhitungan<br />
penyebaran data melalui perhitungan<br />
rata-rata standar deviasi, perhitungan
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
53<br />
presentase. Deskripsi dari hasil<br />
penelitian dijelaskan secara kualitatif,<br />
dan diberi penjelasan berdasarkan data<br />
yang diperoleh dilapangan.<br />
HASIL<br />
1. Keterlibatan Masyarakat dalam<br />
Proses Program<br />
Usaha yang dilakukan oleh Program<br />
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan<br />
(P2KP) untuk melibatkan masyarakat<br />
dalam proses pelaksanaan program<br />
hampir memenuhi target yang<br />
diinginkan karena selisih antara baik<br />
dengan cukup baik tidak terlalu besar.<br />
Selama ini pemerintah dalam<br />
menjalankan program jarang atau<br />
bahkan tidak pernah melibatkan<br />
masyarakat dalam pelaksanaan program,<br />
sehingga masyarakat tidak tahu apa<br />
sebenarnya tujuan dari program<br />
pemerintah tersebut dan biaya yang<br />
dikeluarkan dalam pelaksanaan program<br />
tidak tahu kemana karena tidak adanya<br />
trasnparansi dan sekarang P2KP<br />
merubah itu semua sehingga masyarakat<br />
merasa bahwa dia dibutuhkan,<br />
mempunyai andil dan kemampuan untuk<br />
menjalankan sebuah program.<br />
Untuk membawa masyarakat<br />
dalam suatu kegiatan memang sulit,<br />
karena masyarakat mempunyai<br />
kepentingan yang berbeda, apabila<br />
masyarakat miskin yang untuk<br />
memenuhi kebutuhan hidupnya saja sulit<br />
apalagi untuk mengikuti suatu kegiatan.<br />
Tetapi apabila ada semangat dan<br />
kesadaran dalam diri untuk<br />
berpartisipasi, maka apapun kendala<br />
akan bisa diatasi, terutama adanya<br />
sosialisasi yang bagus dari tim<br />
pelaksanaan program, dalam hal ini tim<br />
P2KP. Untuk itu diharapkan adanya<br />
relawan-relawan dari masyarakat desa<br />
itu sendiri untuk mau mengorbankan<br />
waktu, tenaga bahkan uang untuk<br />
menjalankan program yang nantinya<br />
akan dinikmati bersama.<br />
2. Keterlibatan Masyarakat dalam<br />
Memikul Beban dan Bertanggung<br />
Jawab dalam Pelaksanaan<br />
Kegiatan Program<br />
Keterlibatan masyarakat dalam<br />
memikul beban dan bertanggung jawab<br />
dalam pelaksanaan kegiatan dalam suatu<br />
program termasuk P2KP sangat perlu<br />
sekali, tanpa adanya kerja sama,<br />
kekompakkan dan tanggung jawab<br />
masyarakat maka P2KP ini tidak akan<br />
berjalan baik karena tim P2KP hanya<br />
memfasilitasi yang dibutuhkan<br />
masyarakat kemudian masyarakatlah<br />
yang menjalankan program secara<br />
bersama yang diketahui dari hasil survei<br />
dilapangan.<br />
3. Keterlibatan Masyarakat Dalam<br />
Memetik Hasil dan Manfaat<br />
Program Secara Adil dan Merata<br />
Untuk mewujudkan keadilan dan<br />
pemerataan pembangunan memang<br />
cukup sulit, apalagi dengan dana yang<br />
terbatas. Tetapi di sini diharapkannya<br />
keinginan kita untuk mau berbagi<br />
dengan orang lain dan tidak adanya<br />
kecemburuan sosial. Tidak semua<br />
masyarakat yang menerima bantuan<br />
karena adanya kriteria yang harus<br />
dipenuhi dalam penerimaan bantuan dan<br />
terbatasnya dana yang ada baik itu untuk<br />
bantuan bidang sosial, ekonomi maupun<br />
bidang lingkungan dalam P2KP.<br />
Berbicara mengenai P2KP, banyak<br />
hambatan yang dirasakan baik dalam<br />
perencanaan maupun pelaksanaan<br />
program. Selain karena alasan diatas<br />
yaitu terbatasnya dana yang tersedia,<br />
alasan lain adalah sosialisasi awal<br />
kepada masyarakat cukup sulit apalagi di<br />
desa yang banyak konflik, adanya
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
54<br />
oknum yang mengambil kesempatan<br />
dalam pelaksanaan program, sulitnya<br />
membawa masyarakat kearah perubahan<br />
yang lebih baik dan adanya<br />
kecemburuan sosial. Hal ini dikarenakan<br />
faktor pendidikan yang masih rendah<br />
pada masyarakat termasuk di Kecamatan<br />
Ukui. Selain itu, selama ini masyarakat<br />
terbiasa dimanjakan (hanya menerima)<br />
untuk menikmati program yang ada<br />
tanpa tahu apa tujuan dari program dan<br />
bagaimana pelaksanaannya.<br />
Krisis ekonomi yang berkepanjangan<br />
membuat masyarakat sulit untuk bangkit<br />
dan berjuang bahkan lebih buruk dari<br />
sebelumnya. Ini terbukti semakin<br />
banyaknya rakyat Indonesia yang<br />
dibawah garis kemiskinan dan sebagai<br />
organisasi yang bertujuan untuk<br />
mengguranggi kemiskinan di Indonesia<br />
inilah yang diupayakan oleh P2KP agar<br />
masyarakat Indonesia bisa terlepas dari<br />
belenggu kemiskinan. Memang tugas ini<br />
tidak mudah, tetapi jika adanya kerja<br />
sama, baik dari pemerintah, masyarakat,<br />
dan pihak swasta maka penyakit dari<br />
kemiskinan akan ada obatnya dan akan<br />
terwujudnya kesejahteraan sosial bagi<br />
seluruh rakyat Indonesia.<br />
4. Faktor Penghambat Implementasi<br />
Program Penanggulangan<br />
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
Dalam pelaksanaan suatu program,<br />
seperti yang kita ketahui bersama bahwa<br />
tidak semua program dapat berjalan<br />
dengan baik, sama halnya dalam<br />
pelaksanaan Program Penanggulangan<br />
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang<br />
mempunyai hambatan dalam<br />
pelaksanaan programnya.<br />
Adapun hambatan yang dirasakan<br />
dalam pelaksanaan P2KP ini antara lain :<br />
a. Dana atau Modal<br />
Salah satu faktor penting yang<br />
mempengaruhi pelaksanaan suatu<br />
program adalah tersedianya sumber<br />
daya dimana salah satu sumber daya<br />
itu adalah dana (sumber daya nonmanusia)<br />
(George C. Edward,<br />
1980:111).<br />
b. Kurangnya kesadaran masyarakat<br />
untuk mau terlibat atau<br />
berpartisipasi aktif dalam<br />
pelaksanaan P2KP ini yang dilihat<br />
dari :<br />
- Sedikitnya masyarakat yang<br />
ikut dalam kegiatan<br />
musyawarah perencanaan dan<br />
pelaksanaan P2KP.<br />
- Sedikitnya masyarakat yang<br />
mau menjadi anggota Badan<br />
Keswadayaan Masyarakat yang<br />
bertugas sebagai pelaksanaan<br />
kegiatan program secara<br />
sukarela.<br />
- Masih rendahnya partisipasi<br />
masyarakat<br />
dalam<br />
menyumbangkan bantuan<br />
dalam bentuk uang untuk<br />
kegiatan dalam bidang sarana<br />
dan prasarana lingkungan.<br />
- Adanya oknum atau aparat<br />
perangkat desa yang meminta<br />
imbalan dalam pelaksanaan<br />
program P2KP ini, pada hal<br />
P2KP dalam menjalankan<br />
program bersifat sukarela.<br />
SIMPULAN<br />
Program<br />
Penanggulangan<br />
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Di<br />
Kabupaten Pelalawan dikategorikan<br />
”Baik”. Dalam Implementasi Program<br />
Penanggulangan Kemiskinan Di<br />
Perkotaaan (P2KP) terdapat faktorfaktor<br />
yang menghambat pelaksanaan<br />
program ini. Adapun yang menghambat<br />
pelaksanaan program ini adalah<br />
terbatasnya dana yang sehingga belum<br />
meratanya bantuan yang diberikan<br />
terutama bantuan bidang sarana dan<br />
prasarana lingkungan, kurangnya<br />
kesadaran masyarakat untuk mau terlibat<br />
atau berpartisipasi dalam pelaksanaan
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
55<br />
program ini yang dilihat dari masih<br />
rendahnya partisipasi masyarakat baik<br />
dalam musyawarah, yang menjadi<br />
anggota BKM dan partisipasi dalam<br />
bentuk uang. Kurangnya kesaadaran<br />
masyarakat untuk berpartisipasi dalam<br />
program ini dikarenakan masih<br />
rendahnya SDM masyarakat dan<br />
kurangnya sosialisasi dari P2KP itu<br />
sendiri.<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
Abdul Wahab, Solichin, 2005, Analisa<br />
Kebijaksanaan, Edisi 5, Bumi<br />
Aksara, Jakarta.<br />
Budiman Nashir, 1991, Pengantar<br />
Kebijakan Pubik (Pubic Policy),<br />
Rajawali, Jakarta.<br />
Dunn N William, 2003, Pengantar<br />
Analisis Kebijakan Publik, Edisi II,<br />
Gajah Mada University Press,<br />
Yogyakarta.<br />
Dunn N William,2003, Analisis<br />
Kebijaksanaan Publik, Hanindita<br />
Graha Widya, Yogyakarta.<br />
Hassel Nogi, 2003, Evaluasi Kebijakan<br />
Publik, Edisi II, Gajah Mada<br />
University Press, Yogyakarta.<br />
Hidayat Wisnu, dkk, 2002,<br />
Pembangunan Partisipatif, YPAPI,<br />
Yogyakarta.<br />
Hikmat Harry, 2004, <strong>Strategi</strong><br />
Pemberdayaan Masyarakat,Edisi 2,<br />
Humaniora Utama, Bandung.<br />
Irfan Islamy, 1998, Pengantar Analisis<br />
Kebijaksanaan Negara, Rineka<br />
Cipta, Jakarta.<br />
Lilik Ekowati Mas Roro, 2005,<br />
Perencanaan, Implementasi dan<br />
Evaluasi Kebijakan atau Program,<br />
Pustaka Cakra, Surakarta.<br />
Mudiyono, 2005, Dimensi-dimensi<br />
Sosial dan Pemberdayaan<br />
Masyarakat, APMD Press, Jakarta.<br />
Nugroho Riant, 2003, Reinventing<br />
Pembangunan, PT Alex Media<br />
Komputindo, Jakarta.<br />
Nugroho Riant, 2004, Kebijakan Publik:<br />
Formulasi, Implementasi dan<br />
Evaluasi, PT, Alex Media<br />
Komputindo, Yakarta.<br />
Paulus Wirutomo dkk, 2003, Paradigma<br />
Pembangunan di Era Otonomi<br />
<strong>Daerah</strong>, Cipruy, Jakarta.<br />
Pranarka dan Onny S, Prijono, 1996,<br />
Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan,<br />
dan Implementasi, CSIS, Jakarta.<br />
Riyadi dkk, 2005, Perencanaan<br />
Pembangunan <strong>Daerah</strong>, Gramedia<br />
Pustaka Utama, Jakarta.<br />
Siagian SP, 2000, Administrasi<br />
Pembangunan, Bumi Aksara, Jakarta.<br />
Sudriamunawar Haryono, 2006,<br />
Kepemimpinan, Peran Serta dan<br />
Produktivitas, Mandar Maju,<br />
Bandung.<br />
Sugiyono, 1998, Metode Penelitian<br />
Admistrasi, Alfabeta, Bandung.<br />
Suharto Edi, 2005, Analisis Kebijakan<br />
Publik, Alfabeta, Bandung.<br />
Sumaryadi I Nyoman, 2005, Efektifitas<br />
Implementasi Kebijakan Otonomi<br />
<strong>Daerah</strong>, Citra Utama, Jakarta.
Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />
Di Kabupaten Pelalawan<br />
56<br />
Sumaryadi I Nyoman, 2005,<br />
Perencanaan Pembangunan <strong>Daerah</strong><br />
Otonom dan Pemberdayaan<br />
Masyarakat, Citra Utama, Jakarta.<br />
Sumodingrat<br />
Gunawan,1997,<br />
Pembanguanan <strong>Daerah</strong> dan<br />
Pemberdayaan Masyarakat, Bena<br />
Rena Pariwara, Yokyakarta.<br />
Usman Suntoyo, 2004, Pembangunan<br />
dan Pemberdayaan Masyarakat,<br />
Pustaka Pelajar, Yokyakarta.<br />
Widi Putranti Kristine Sri, 2005,<br />
Pemberdayaan Kaum Marginal,<br />
APMD Press, Yogyakarta.<br />
Wignyo Soebroto Soetandoyo, 2005,<br />
Dakwah Pemberdayaan Masyarakat,<br />
Pustaka Pesantren, Yokyakarta.<br />
Wrihadnolo Randi R, dkk, 2007,<br />
Manajemen Pemberdayaan,<br />
Gramedia, Jakarta.<br />
Winarno Budi, 2002, Teori dan Proses<br />
Kebijakan Publik, Media Pressindo,<br />
Yogyakarta.<br />
Dokument :<br />
Buku Pedoman P2KP, Vol II, Oktober<br />
2005, Jakarta.<br />
http:www//Teori Pembangunan/google,<br />
co,id)<br />
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Vol, 1,<br />
Juli 2001, Pekanbaru.<br />
Laporan Badan Keswadayaan<br />
Masyarakat (BKM) P2KP,<br />
November 2006, Pelalawan.
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD)<br />
di Kabupaten Pasaman ( Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
HERIE SEPTIADI<br />
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />
Abstrak : Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi <strong>Daerah</strong> menyebabkan setiap daerah harus mampu<br />
mengatur rumah tangganya sendiri termasuk masalah keuangan. <strong>Daerah</strong> harus bisa menggali potensipotensi<br />
yang dimiliki daerah untuk dapat meningkatkan <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD). Salah satu<br />
pendapatan daerah yang potensial adalah pajak hotel. Selama ini pendapatan pajak hotel yang di terima<br />
Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Kabupaten Pasaman hanya berdasarkan hasil<br />
kesepakatan antara pihak DPPK dengan pemilik hotel, seberapa sanggup pihak hotel membayar pajak<br />
tersebut. Pada hal mengenai pajak sudah diatur dalam PERDA No.14 tahun 2003 yaitu pajak hotel<br />
sebesar 10% dari pembayaran yang dikalakukan kepada pihak hotel. Penelitian ini bertujuan untuk<br />
memberikan strategi-strategi baru kepada DPPK Kabupaten Pasaman untuk dapat meningkatkan<br />
pendapatan pajak hotel. <strong>Strategi</strong> itu antara lain optimalisasi potensi kepariwisataan, memberikan<br />
pendidikan dan pelatihan kepada pegawai terkait, melengkapi sarana dan prasarana yang mendukung<br />
serta pemberian sangsi yang tegas kepada pihak hotel yang tidak mau mengikuti aturan yang berlaku.<br />
Kata Kunci : <strong>Strategi</strong>, Otonomi <strong>Daerah</strong>, Pembangunan, <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong>.<br />
Pembangunan adalah merupakan<br />
suatu konsep perubahan sosial yang<br />
berlangsung terus-menerus menuju<br />
kearah perkembangan dan memerlukan<br />
masukan-masukan uang menyeluruh dan<br />
berkesinambungan dan merupakan usaha<br />
yang dilakukan oleh pemerintah dan<br />
masyarakat untuk mencapai tujuan<br />
negara. (Sudriamunawar, 2002 : 17 )<br />
Filosofi otonomi daerah adalah<br />
mewujudkan kemandirian daerah di<br />
segala segi kehidupan, yang diukur<br />
melalui elemen <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong><br />
(PAD). Di harapkan dengan otonomi,<br />
semua daerah di Indonesia mampu<br />
melaksanakan semua urusan<br />
pemerintahan dan pembangunan dengan<br />
bertumpu pada <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong><br />
(PAD) yang di milikinya.<br />
<strong>Daerah</strong> di tuntut untuk lebih berperan<br />
aktif dalam perkembangan dan<br />
pembangunan serta pengembangan<br />
potensi daerahnya. Hal ini tidak terlepas<br />
dari sumber dana yang diperlukan untuk<br />
mendukung terciptanya pembangunan<br />
tersebut. Oleh sebab itu daerah sangat<br />
perlu menggali sumber-sumber<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD), karena<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD)<br />
merupakan modal dasar bagi suatu<br />
daerah untuk menjalankan roda<br />
pemerintahan dan pembangunan.<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) pada<br />
hakikatnya mempunyai peranan yang<br />
sangat penting dalam pelaksanaan<br />
otonomi daerah karena semakin besar<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) yang<br />
diperoleh diharapkan percepatan<br />
pembangunan dan pertumbuhan<br />
ekonomi masyarakat akan semakin<br />
meningkat.<br />
Konsekuensi dari pelaksanaan<br />
otonomi daerah ini adalah seberapa<br />
jauhkah <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD)<br />
memberikan kontribusi terhadap<br />
pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri<br />
yang tergambar dalam Anggaran<br />
<strong>Pendapatan</strong> dan Belanja <strong>Daerah</strong><br />
(APBD). APBD merupakan faktor<br />
penentu jalannya roda pemerintahan<br />
daerah.<br />
57
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />
(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
58<br />
Pelaksanaan otonomi daerah<br />
menyebabkan terjadinya perubahan pada<br />
pemerintahan daerah khususnya di<br />
Kabupaten Pasaman, Pemerintah<br />
Kabupaten Pasaman harus bisa<br />
menjalankan roda pemerintahan dan<br />
proses pembangunannya sendiri. Oleh<br />
karena itu, dibutuhkan dana yang<br />
memadai untuk membiayai semua<br />
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh<br />
Pemerintah Kabupeten Pasaman.<br />
Perkembangan PAD Kabupaten<br />
Pasaman dari tahun ke tahun masih<br />
belum dapat diandalkan bila<br />
dibandingkan dengan kebutuhan yang<br />
terus menerus meningkat. Hal ini dapat<br />
dilihat dari APBD Kab Pasaman tahun<br />
2008, sebesar Rp.419 milyar yang<br />
sebagian kecil berasal dari <strong>Pendapatan</strong><br />
<strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD), sebesar Rp. 24<br />
milyar atau hanya 5,7 % dari APBD dan<br />
sisanya sebesar 94,3 % berasal dari<br />
Pemerintah Pusat, sementara selama 5<br />
tahun terakhir realisasi PAD terhadap<br />
APBD rata-rata masih sekitar 4.37%.<br />
Kabupaten Pasaman memiliki luas<br />
wilayah sekitar 5000 kilometer persegi,<br />
sebenarnya Pasaman merupakan<br />
kabupaten yang kaya karena memiliki<br />
wilayah yang kaya akan potensi yang<br />
terpendam seperti bijih besi, batu bara,<br />
emas dan timah hitam cuma potensi<br />
tersebut belum bisa di maksimalkan<br />
karena berada di wilayah hutan lindung<br />
karena 82 persen wilayah Pasaman<br />
merupakan hutan lindung. Hal<br />
tersebutlah yang menyebabkan selama<br />
ini Pasaman terkenal dengan kabupaten<br />
yang miskin dan tertinggal.<br />
Kabupaten Pasaman adalah sebuah<br />
kabupaten yang bisa di katakan salah<br />
satu kabupaten yang miskin diSumatera<br />
Barat, hal tersebut di karenakan lebih<br />
kurang 85% wilayah Kabupeten<br />
Pasaman adalah hutan lindung, jadi<br />
sangat sulit untuk dapat meningkatkan<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) seperti<br />
dari bidang pertanian, perkebunan,<br />
perikanan, pertambangan hal ini<br />
dikarenakan wilayah yang bisa di olah<br />
cuma tinggal 15% saja itupun sudah<br />
masuk untuk perumahan, perkantoran,<br />
jalan dan lain-lain. Untuk itu pemerintah<br />
kabupaten pasaman harus dapat<br />
memaksimalkan potensi pendapatan<br />
yang ada. Diantaranya memaksimalkan<br />
pajak daerah, salah satu pajak daerah<br />
yang cukup potensial adalah pajak hotel.<br />
Kabupaten Pasaman memiliki potensi<br />
pajak hotel yang cukup besar disbanding<br />
dengan pajak daerah lainnya dengan<br />
jumlah hotel ada sebanyak 10 buah.<br />
Untuk itu Pemerintah Kabupaten<br />
Pasaman mengeluarkan Peraturan<br />
<strong>Daerah</strong> (PERDA ) No.14 Tahun 2003<br />
yang mengatur tentang pajak hotel.<br />
Tabel dibawah ini memuat perhitungan<br />
peneliti terhadap besarnya omset sebuah<br />
hotel yang ada di kabupaten Pasaman.<br />
Tabel 1. Potensi Pajak Hotel Berdasarkan Omset<br />
Dari Hasil Perhitungan Peneliti dan<br />
Besarnya Pajak Yang Dibayarkan<br />
tahun 2008<br />
No Nama Hotel Omet/tahun<br />
Pajak<br />
( 10% x omset)<br />
Sumber : data olahan peneliti tahun 2009<br />
Pajak yang<br />
dibayar<br />
1. Hotel Merpati 153.300.000 15.330.000 1.260.000 8.2%<br />
2. Pasaman Saiyo 318.645.000 31.864.500 1.020.000 3.2%<br />
3. Hotel Hamco 194.910.000 19.491.000 1.200.000 6.2%<br />
4. Hotel Sari Rasa 267.180.000 26.718.000 900.000 3.4%<br />
5. Hotel Mawar 498.225.000 49.822.500 1.440.000 2.9%<br />
6. Wisma Andriani 306.600.000 30.660.000 600.000 1.9%<br />
7. Penginapan<br />
214.620.000 21.462.000 120.000 0.6%<br />
Pardomuan<br />
8. Penginapan<br />
85.410.000 8.541.000 180.000 2.1%<br />
Purnama<br />
9. Penginapan Yanti 164.250.000 16.425.000 240.000 1.5%<br />
10. Penginapan Ajo 65.700.000 6.570.000 60.000 0.9%<br />
Jumlah 2.268.840.000 226.884.000 7.020.000 3.1%<br />
Perhitungan tersebut penulis hitung<br />
dengan rata-rata tingkat hunian kamar<br />
dalam setahun cuma 60 % yang terisi.<br />
Rumus adalah sebagai berikut :<br />
Potensi = Jumlah Kamar X Harga Per<br />
Kamar X 360 Hari<br />
%
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />
(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
59<br />
Potensi = Jumlah Kamar X Harga Per Kamar X 360 Hari<br />
Omset = Jumlah Kamar X Harga Per Kamar X Tingkat Hunian<br />
Sumber : PERDA No.14 Tahun 2003 Kabupaten Pasaman<br />
Dari penjelasan diatas, maka tujuan<br />
dari penelitian ini adalah untuk<br />
mendapatkan strategi yang dapat<br />
meningkatkan <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong><br />
(PAD) Kabupaten Pasaman khususya<br />
pendapatan pajak hotel yang bisa<br />
diterapkan di Kabupaten Pasaman.<br />
Menurut Ferd R. David dalam<br />
<strong>Strategi</strong>c Manajemen, strategi adalah<br />
rencana yang disatukan, menyeluruh dan<br />
terpadu yang mengaitkan keunggulan<br />
strategi perusahaan dengan tantangan<br />
lingkungan dan yang direncanakan untuk<br />
memastikan bahwa tujuan utama<br />
perusahaan dapat dicapai melalui<br />
pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan.<br />
<strong>Strategi</strong> adalah sarana yang<br />
digunakan untuk mencapai tujuan akhir<br />
(sasaran). Tetapi, strategi bukanlah<br />
sekedar suatu rencana. <strong>Strategi</strong> ialah<br />
rencana yang disatukan: strategi<br />
mengikat semua bagian perusahaan<br />
menjadi satu. <strong>Strategi</strong> itu menyeluruh:<br />
strategi meliputi semua aspek penting<br />
dalam perusahaan. <strong>Strategi</strong> itu terpadu:<br />
semua bagian rencana serasi satu sama<br />
lain dan bersesuaian.<br />
Hamel dan Prahalad (1995) dalam<br />
Rangkuti (1997 : 4) <strong>Strategi</strong> merupakan<br />
tindakan yang bersifat incremental<br />
(senantiasa meningkat) dan terus<br />
menerus dan dilakukan berdasarkan<br />
sudut pandang tentang apa yang<br />
diharapkan oleh para pelanggan dimasa<br />
depan. Dengan demikian perencanaan<br />
strategis hampir selalu dimulai dari “apa<br />
yang dapat terjadi, bukan dimulai<br />
dariapa yang terjadi“. Terjadinya<br />
kecepatan inovasi pasar baru dan<br />
peurbahan pola konsumen memerlukan<br />
kompetensi inti (core competencies).<br />
Perusahaan perlu mencari kompetensi<br />
inti dalam bisnis yang dilakukan.<br />
Menurut Rangkuti (1997 : 7) pada<br />
prinsipnya strategi dapat dikelompokkan<br />
berdasarkan tiga tipe strategi, yaitu :<br />
1) <strong>Strategi</strong> Manajemen<br />
<strong>Strategi</strong> manajemen meliputi strategi<br />
yang dapat dilakukan oleh<br />
manajemen dengan orientasi<br />
pengembangan strategi secara makro<br />
misalnya, strategi pengembangan<br />
produk, strategi penetapan harga,<br />
strategi akuisisi, strategi<br />
pengembangan pasar, strategi<br />
mengenai keuangan dan sebagainya.<br />
2) <strong>Strategi</strong> Investasi<br />
<strong>Strategi</strong> ini merupakan kegiatan yang<br />
beroriantasi pada investasi. Misalnya<br />
apakan perusahaan ingin melakukan<br />
strategi pertumbuhan yang agresif<br />
atau perusahaan melakukan penetrasi<br />
pasar, strategi bertahan, strategi<br />
pembangunan kembali suatu visi<br />
baru atau strategi divestasi, dan<br />
sebagainya.<br />
3) <strong>Strategi</strong> Bisnis<br />
<strong>Strategi</strong> bisnis ini sering juga disebut<br />
strategi bisnis secara fungsional<br />
karena strategi ini beroriantasi pada<br />
fungsi-fungsi kegiatan manajemen,<br />
misalnya strategi pemasaran, strategi<br />
produksi atau operasional, strategi<br />
distribusi, strategi organisasi dan<br />
strategi - strategi yang berhubungan<br />
dengan keuangan.<br />
Menurut Salusu (1996 : 101) ada<br />
empat tingka-tingkat strategi.<br />
Keseluruhannya di sebut Master <strong>Strategi</strong><br />
yaitu :<br />
a) Enterprise Strategy<br />
<strong>Strategi</strong> ini berkaitan dengan respon<br />
masyarakat. Setiap organisasi<br />
mempunyai hubungan dengan<br />
masyarakat. Masyarakat adalah<br />
kelompok yang berada diluar<br />
organisasi yang tidak dapat dikontrol<br />
b) Corporate Strategy<br />
<strong>Strategi</strong> ini berkaitan dengan misi<br />
organisasi, sehingga sering disebut
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />
(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
60<br />
grand strategy yang meliputi bidang<br />
yang digeluti oleh organisasi.<br />
c) Business Strategy<br />
<strong>Strategi</strong> pada tingkat ini menjabarkan<br />
bagaimana merebut pasaran di<br />
tengah masyarakat. Bagaimana<br />
menempatkan organisasi dihati para<br />
penguasa, para pengusaha, para<br />
anggota legslatif, para politisi dan<br />
sebagainya.<br />
d) Functional Strategy<br />
<strong>Strategi</strong> ini merupakan strategi<br />
pendukung dan untuk menunjang<br />
sukses nya strategi lain. Ada tiga<br />
jenis strategi fungsional yaitu :<br />
1. <strong>Strategi</strong> fungsional ekonomi<br />
yaitu mencakup fungsi-fungsi<br />
yang memungkinkan organisasi<br />
hidup sebagai suatu kesatuan<br />
ekonomi yang sehat antara lain<br />
yang berkaitan dengan keuangan,<br />
pemasaran,sumberdaya,<br />
penelitian dan pengembangan.<br />
2. <strong>Strategi</strong> fungsional manajemen<br />
yaitu mencakup fungsi-fungsi<br />
manajemen yaitu planning,<br />
organizing, implementing,<br />
controlling, staffing, motivating,<br />
comunicating, decision making,<br />
representing dan integrating.<br />
3. <strong>Strategi</strong> isu stratejik, fungsi<br />
utamanya adalah mengontrol<br />
lingkungan, baik situasi<br />
lingkungan yang sudah diketahui<br />
maupun situasi yang belum<br />
diketahui atau yang selalu<br />
berubah.<br />
Perencanaan strategis sebagai upaya<br />
yang didisiplinkan untuk membuat<br />
keputusan dan tindakan penting ang<br />
membentuk dan memandu bagaimana<br />
menjadi organisasi, apa yang dikerjakan<br />
organisasi, dan mengapa organisasi<br />
mengerjakan hal seperti itu. Yang<br />
terbaik, perencanaan strategis<br />
mensyaratkan pengumpulan informasi<br />
secara secara luas, eksplorasi alternatif,<br />
dan menekankan implementasi masa<br />
depan keputusan sekarang (Bryson : 4).<br />
Perencanaan strategis dapat<br />
membantu suatu organisasi dalam :<br />
1. Berpikir secara strategis dan<br />
mengembangkan stretegi-strategi<br />
yang efektif<br />
2. Memperjelas arah masa depan<br />
3. Menciptakan prioritas<br />
4. Membuat keputusan sekarang<br />
dengan mengingat kosekuensi masa<br />
depan.<br />
5. Mengembangkan landasan yang<br />
koheren dan kokoh bagi pembuat<br />
keputusan<br />
6. Menggunakan keleluasaan yang<br />
maksimum dalam bidang-bidang<br />
yang berada dibawah control<br />
organisasi<br />
7. Membuat keputusan yang melintasi<br />
tingkat dan fungsi<br />
8. Memecahkan masalah utama<br />
organisasi<br />
9. Menangani keadaan yang berubah<br />
dengan cepat secara afektif<br />
10. Membangun kerja kelompok dan<br />
keahlian.<br />
Menurut Undang-undang No. 34<br />
tahun 2000 pasal 2 ayat 2 a, pajak hotel<br />
adalah pajak atas pelayanan hotel.<br />
Sedangkan yang dimaksud dengan hotel<br />
adalah bangunan yang khusus disediakan<br />
bagi orang untuk dapat<br />
menginap/istirahat, memperoleh<br />
pelayanan, dan/atau fasilitas lainnya<br />
dengan dipungut bayaran, termasuk<br />
bangunan lainnya yang menyatu,<br />
dikelola dan dimiliki oleh pihak yang<br />
sama, kecuali untuk pertokoan dan<br />
perkantoran.<br />
Marihot (2005 : 245) mengatakan<br />
bahwa pajak hotel adalah punutan yang<br />
dilakuan oleh daerah atas pembayaran<br />
kepada hotel. Jadi jelas bahwa pajak<br />
hotel merupakan salah satu sumber pajak<br />
yang berkompeten dalan meningkatkan<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong>.
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />
(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
61<br />
METODE<br />
Menurut Rangkuti (1997 : 18)<br />
analisis SWOT adalah identifikasi<br />
berbagai faktor secara sistematis untuk<br />
merumuskan strategi organisasi atau<br />
perusahaan. Analisis ini didasarkan pada<br />
logika yang dapat memaksimalkan<br />
kekuatan (Strengths) dan peluang<br />
(opportunities) namun secara bersamaan<br />
dapat namun secara bersamaan dapat<br />
meminimalkan kelemahan (Weaknesses)<br />
serta ancaman (Thrests).<br />
Peneliti menetapkan informan dalam<br />
penelitian ini adalah Kepala Dinas<br />
<strong>Pendapatan</strong> Dan Pengelolaan Keuangan<br />
<strong>Daerah</strong> Kabupaten Pasaman. Informan<br />
tersebut dijadikan pangkal informan, dari<br />
informan akan diperoleh informan<br />
susulan yaitu Kepala Bidang<br />
<strong>Pendapatan</strong>, dari Kepala Bidang<br />
<strong>Pendapatan</strong> di peroleh lagi informan<br />
susulan yaitu Kasi Perencanaa<br />
<strong>Pendapatan</strong> dan Penetapan dan Kasi<br />
penagihan, Pembukuan dan Evaluasi,<br />
dari Kasi penagihan, Pembukuan dan<br />
Evaluasi diperoleh lagi informan susulan<br />
yaitu Petugas PAD. Petugas PAD yang<br />
dipilih Peneliti adalah petugas PAD yang<br />
ada diKecamatan Lubuk Sikaping karena<br />
di Kecamatan Lubuk Sikaping terdapat<br />
banyak hotel. Dan dalam menentukan<br />
informan selanjutnya ini ditentukan<br />
dengan metode snowball sampling atau<br />
bola salju.<br />
Untuk memperoleh data yang<br />
diinginkan dalan penelitian ini, maka<br />
pengumpulan data dilakukan dengan<br />
cara, yaitu: Wawancara dan Studi<br />
kepustakaan. Analisa dilakukan secara<br />
kualitatif terhadap analisis<br />
SWOT(Strength,<br />
Weakness,<br />
Opportunity, Threats). Analisis ini<br />
didasarkan pada logika yang dapat<br />
memaksimalkan<br />
kekuatan<br />
(STRENGTHS) dan peluang<br />
(OPPORTUNITIES), namun secara<br />
bersamaan dapat meminimalkan<br />
kelemahan (WEAKNESSES) serta<br />
ancaman (THRESTS).<br />
HASIL<br />
Berdasarkan hasil penelitian<br />
lapangan yang dilakukan penulis telah<br />
terkumpul beberapa parameter dan dapat<br />
diidentifikasikan bahwa permasalaha<br />
yang terjadi dalam pemungutan pajak<br />
hotel di Kabupaten Pasaman adalah<br />
rendahnya target yang ditetapkan oleh<br />
bagian Penetapan di Dinas <strong>Pendapatan</strong><br />
dan Pengelolaan Keuangan (DPPK)<br />
Kabupaten Pasaman serta realisasi pajak<br />
hotel bila dibandingkan dengan potensi<br />
dari pajak hotel tersebut.<br />
Berdasarkan hasil wawancara dengan<br />
informan susulan tersebut di ketahui<br />
bahwa pendapatan dari pajak hotel<br />
tersebut hanya diperoleh melalui hasil<br />
kesepakatan dengan pihak hotel,<br />
kesepakatan yang dimaksud adalah<br />
kesepakatan seberapa sanggupnya pihak<br />
hotel membayar pajak kepada Pemda<br />
Pasaman yang dalam hal ini adalah<br />
Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />
Keuangan (DPPK). Pihak hotel tidak<br />
sanggup membayar besarnya pajak yang<br />
sudah ditetapkan oleh PERDA Kab.<br />
Pasaman yaitu PERDA no 14 tahun<br />
2003 pasal 7 yang menyebutkan tarif<br />
pajak hotel sebesar 10% dari<br />
pembayaran yang dilakukan kepada<br />
pihak hotel. Pihak hotel beralasan bahwa<br />
selama ini pendapatan yang diterimanya<br />
sudah sangat kecil dan jika dikenakan<br />
pajak sesuai tarif yang sudah ditetapkan<br />
PERDA maka pendapatan mereka akan<br />
semakin kecil. Sebenarnya, jika pemilik<br />
hotel mengerti tentang ini PERDA<br />
tersebut maka pembayaran pajak hotel<br />
tidak akan terasa berat karena pajak<br />
hotel yang di pungut bukanlah dibayar<br />
oleh pemilik hotel, tetapi pengguna jasa<br />
hotel lah yang membayar pajak tersebut,<br />
apabila setiap pembayaran kepada pihak<br />
hotel di tambahkan 10% untuk pajak
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />
(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
62<br />
maka tidak akan mengganggu<br />
pendapatan mereka dan pajak hotel pun<br />
akan lancar dibayarkan.<br />
Dari hasil penelitian yang selama ini<br />
penulis lakukan potensi pajak hotel<br />
sangatlah basar, namun pajak yang di<br />
bayarkan kepada Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan<br />
Pengelolaan Keuangan (DPPK)<br />
Kabupaten Pasaman sangatlah kecil.<br />
Perbandingan antara jumlah pajak yang<br />
di bayarkan dengan jumlah pajak yang<br />
sudah ditetapkan oleh PERDA sangat<br />
jauh sekali bedanya.<br />
Dengan demikian penulis akan<br />
memaparkan beberapa hasil penelitian<br />
yang disajikan dalam bentuk matriks<br />
SWOT (Strengths, Weakness,<br />
Opportunitties, Threats) dan dengan<br />
analisa yang mengarah untuk<br />
menciptakan alternatif - alternatif yang<br />
mungkin tidak terpikirkan selama ini.<br />
Matriks SWOT ini akan disajikan<br />
dengan memasukkan faktor-faktor<br />
internal (IFAS) yaitu kekuatan<br />
(strengths) dan kelemahan (weakness)<br />
serta faktor-faktor eksternal (EFAS)<br />
yaitu terdiri dari peluang (oppoetunitties)<br />
dan ancaman (threats). Matriks ini dapat<br />
menggambarkan secara jelas bagaimana<br />
peluang dan ancaman yang datang dari<br />
eksternal dihadapi dengan kekautan dan<br />
kelemahan yang dimiliki.<br />
Analisis SWOT Dalam Penentuan<br />
<strong>Strategi</strong> Untuk Meningkatkan<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> Kabupaten<br />
Pasaman ( Studi Kasus Pajak Hotel )<br />
Faktor Internal<br />
Strengths<br />
1. Perda yang mengatur tentang pajak<br />
hotel.<br />
2. Adanya petugas PAD yang bertugas<br />
disetiap kecamatan.<br />
3. Tersedianya data yang lengkap<br />
mengenai hotel.<br />
4. Sosialisasi yang diberikan kepada<br />
pemilik/pengelola hotel tentang<br />
pajak hotel.<br />
Weekness<br />
1. Sedikitnya jumlah SDM yang<br />
berkualitas di kantor Dinas<br />
<strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />
Keuangan (DPPK) Kabupaten<br />
Pasaman.<br />
2. Kurangnya insentif untuk petugas<br />
pemungut pajak dilapangan.<br />
3. Kurangnya sarana dan prasarana yang<br />
mendukung pemungutan pajak hotel.<br />
4. Tidak adanya sangsi yang tegas yang<br />
di berikan kepada wajib pajak yang<br />
tidak membayar pajak.<br />
Faktor Eksternal<br />
Opportunity<br />
1. Cukup besarnya potensi pajak hotel<br />
2. Potensi kepariwisataan yang cukup<br />
tinggi.<br />
3. Koordinasi yang baik dengan pihakpihak<br />
yang terkait dengan<br />
pemungutan pajak hotel.<br />
4. Cendrung stabilnya tingkat<br />
perekonomian mengakibatkan<br />
lancarnya pendistribusian barangbarang<br />
hasil produksi<br />
Threat<br />
1. Kurangnya kesadaran dari wajib<br />
pajak untuk membayar pajak sesuai<br />
dengan perda.<br />
2. Rendahnya SDM pemilik hotel.<br />
3. Kurang optimalnya pengelolaan<br />
bidang kepariwisataan.<br />
4. Lambannya perkembangan<br />
pembangunan di Kabupaten<br />
Pasaman.<br />
<strong>Strategi</strong> S-O<br />
1. Optimalisasi potensi kepariwisataan<br />
akan banyak mendatangkan<br />
wisatawan yang akan menggunakan<br />
jasa hotel.<br />
2. Adanya petugas PAD di setiap<br />
kecamatan akan memberikan
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />
(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
63<br />
kemudahan bagi wajib pajak untuk<br />
membayar pajak.<br />
3. Lengkapnya data mengenai<br />
perhotelan memudahkan dalam<br />
perhitungan pajak.<br />
<strong>Strategi</strong> W-O<br />
1. Berikan pendidikan dan pelatihan<br />
yang memadai kepada pegawai yang<br />
berhubungan dengan pajak hotel.<br />
2. Tambah personil yang akan<br />
memungut pajak hotel sehingga bisa<br />
di optimalkan potensi pajak hotel<br />
tersebut.<br />
3. Lengkapi sarana dan prasarana yang<br />
mendukung untuk meningkatkan<br />
pendapatan pajak hotel.<br />
4. Berikan sangsi yang tegas kepada<br />
wajib pajak yang tidak membayarkan<br />
pajak sesuai dengan tarif yang di<br />
tetapkan perda.<br />
Stretegi S-T<br />
1. Dengan adanya Perda yang mengatur<br />
tentang pemungutan pajak hotel<br />
tersebut maka petugas harus bisa<br />
memberikan sangsi yang tegas kepada<br />
wajib pajak yang terlambat atau tidak<br />
membayar pajak.<br />
2. Percepat pembangunan di Kabupaten<br />
Pasaman sehingga Kabupeten<br />
Pasaman memiliki sesuatu yang bisa<br />
menarik wisatawan datang.<br />
3. Pemberian sosialisasi dan pelatihan<br />
kepada pihak hotel tentang pajak hotel<br />
<strong>Strategi</strong> W-T<br />
1. Sulitnya menjalankan Perda,<br />
kurangnya kesadaran wajib pajak dan<br />
lambannya perkembangan Kabupeten<br />
Pasaman merupakan tantangan yang<br />
harus di atasi tidak hanya oleh<br />
eksekutif atau legislatif tapi juga oleh<br />
seluruh masyarakat Pasaman.<br />
2. Tidak adanya pemberian sangsi yang<br />
tegas menyebabkan hilang nya<br />
kesadaran wajibp pajak untuk<br />
membayar pajak.<br />
3. Rendahnya SDM kantor DPPK<br />
Pasaman menyebabkan Perda sulit<br />
dijalankan.<br />
Ketersediaan peraturan perundangundangan<br />
yang mengatur tentang<br />
pemungutan pajak hotel tersebut<br />
merupakan sebuah kekuatan bagi<br />
pemerintah Kab. Pasaman yang dalam<br />
hal ini di jalankan oleh Dinas<br />
<strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan Keuangan<br />
(DPPK) Kabupaten Pasaman, peraturan<br />
tersebut adalah PERDA no 14 tahun<br />
2003. di dalam PERDA ini sangat jelas<br />
disebutkan bahwa tarif pajak hotel<br />
sebesar 10 % dari pembayaran yang<br />
dilakukan kepada pihak hotel. Item ini<br />
bisa dijadikan sebagai strategi untuk<br />
memanfaatkan peluang (oppoetunitties)<br />
yang ada maupun untuk mengatasi<br />
kelemahan (weakness) dan ancaman<br />
(threats) yang terjadi.<br />
Selain tersedianya peraturan yang<br />
mengatur tentang pajak hotel, adanya<br />
data yang lengkap mengenai perhotelan<br />
di Kabupaten Pasaman akan<br />
mempermudah untuk menghitung<br />
seberapa besar potensi yang akan di gali<br />
dan juga mempermudah penetapan<br />
target. Adanya petugas PAD yang<br />
tersebar di setiap kecamatan yang ada di<br />
Kabupaten Pasaman juga akan<br />
mempermudah dalam penagihan pajak<br />
kepada pihak hotel. Namun kenyataan<br />
yang terjadi di lapangan dirasakan masih<br />
kurang karena disetiap kecamatan hanya<br />
ada satu orang petugas PAD yang<br />
mengurus masalah pajak di<br />
kecamatannya, satu orang ini mengurusi<br />
semua masalah pajak yang ada di<br />
kecamatannya kecuali PBB. Selain itu<br />
insentif atau upah pungut yang di<br />
berikan sangat lah kecil yaitu sebesar Rp<br />
100.000 per bulan itu pun di bayarkan<br />
tidak perbulan.<br />
Kekurangan personil juga dirasakan<br />
di dalam Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan<br />
Pengelolaan Keuangan (DPPK)
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />
(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
64<br />
Kabupaten Pasaman khusus nya pada<br />
bagian <strong>Pendapatan</strong>. Pada bagian<br />
pendapatan ini di bagi menjadi tiga seksi<br />
yaitu Seksi Perencanaan dan Penetapan,<br />
Seksi Dana Perimbangan dan Bagi Hasil<br />
dan Seksi Penagihan, pembukuan dan<br />
Evaluasi. Masing-masing seksi di<br />
kepalai oleh seorang pegawai eselon III<br />
dengan tiga orang staf, jadi jumlah<br />
semua pegawai yang ada di bagian<br />
pendapatan ada 13 orang dengan rincian<br />
satu orang kepala bagian, tiga orang<br />
kepala sub bidang dan sembilan orang<br />
staf. Ini dirasakan masih sangan kurang<br />
karena bagian ini mempunyai tugas yang<br />
berat salah satu nya mengurusi masalah<br />
pajak. Jika berbicara masalah pajak pasti<br />
akan berhubungan langsung dengan<br />
masyarakat, untuk itu diperlukan banyak<br />
personil untuk dapat langsung terjun ke<br />
masyarakat.<br />
Masalah lain yang dihadapi oleh<br />
Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />
Keuangan (DPPK) Kabupaten Pasaman<br />
adalah susahnya memungut pajak sesuai<br />
dengan tarif yang sudah ditetapkan oleh<br />
perda, ini adalah ancaman yang selama<br />
ini dihadapi oleh dinas <strong>Pendapatan</strong> dan<br />
Pengelolaan kab Pasaman. Wajib pajak<br />
beralasan bahwa pendapatannya selama<br />
ini sudah sangat kecil, jika dipungut juga<br />
pajak sesuai dengan yang telah<br />
ditetapkan oleh Perda yaitu sebanyak<br />
10% dari pendapatan hotel maka<br />
pendapatan mereka akan semakin<br />
berkurang. Hal ini di sebabkan oleh<br />
rendah nya pengetahuan wajib pajak<br />
mengenai pajak hotel.<br />
Hal tersebut bisa diatasi dengan<br />
pemberian pengetahuan kepada wajib<br />
pajak bagai mana cara untuk dapat<br />
membayar pajak hotel tanpa harus<br />
mengurangi pendapatan mereka. Mereka<br />
harus diberikan pelatihan untuk dapat<br />
mengelola keuangan dengan baik.<br />
Berdasarkan hasil penelitian penulis,<br />
selama ini pihak Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan<br />
Pengelolaan Keuangan (DPPK)<br />
Kabupaten Pasaman hanya memberikan<br />
sosialisasi mengenai pajak hotel tanpa<br />
adanya pelatihan lebih dalam mengenai<br />
pengelolaan keuangan untuk dapat<br />
membayar pajak sesuai dengan yang<br />
sudah ditetapkan PERDA.<br />
Kurang menariknya Pasaman untuk<br />
di kunjungi para wisatawan juga sangat<br />
berpengaruh pada bisnis perhotelan yang<br />
ada di Pasaman. Menurut hasil<br />
wawancara penulis dengan beberapa<br />
pemilik hotel, bahwa selama ini<br />
pengguna jasa hotel yang ada di<br />
Pasaman adalah distributor-distributor<br />
yang datang dari Padang untuk<br />
mendistribusikan hasil produksi<br />
perusahaan mereka, mereka menginap<br />
paling kurang 4 hari dalam seminggu<br />
dan kembali ke Padang dan begitulah<br />
setiap minggunya, kadang - kadang ada<br />
tamu yang cuma istirahat sebentar untuk<br />
melanjutkan perjalanan dari Padang ke<br />
Medan dan sebaliknya, itu pun sangat<br />
jarang.<br />
Tetapi walaupun begitu, menurut<br />
hasil perhitungan peneliti potensi untuk<br />
pajak hotel masih sangat besar, karena<br />
hotel-hotel yang ada di Pasaman<br />
umumnya sudah memiliki langganan<br />
tetap dari para ditributor tersebut, jadi<br />
pendapatan mereka bisa dikatakan sudah<br />
jelas.<br />
Besarnya potensi kepariwisataan di<br />
Kabupaten Pasaman merupakan peluang<br />
besar di bidang perhotelan, namun<br />
sayang nya sampai sekarang bidang<br />
kepariwisataan ini nampaknya masih<br />
belum dapat dikelola secara maksimal,<br />
banyak objek-objek wisata yang ada di<br />
Pasaman belum dikelola dengan baik.<br />
Padahal jika bidang kepariwisataan<br />
dapat berjalan dengan baik pasti juga<br />
akan membawa perubahan kepada<br />
bidang perhotelan.<br />
Dari hasil analisis SWOT diatas di<br />
peroleh beberapa strategi yang bisa
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />
(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
65<br />
digunakan oleh DPPK Kabupaten<br />
Pasaman dalam meningkatkan<br />
pendapatan pajak hotel. <strong>Strategi</strong> itu<br />
antara lain :<br />
1. Berikan pendidikan dan pelatihan<br />
kepada pagawai yang mengurus<br />
pajak hotel.<br />
2. Lengkapi sarana dan prasarana yang<br />
menudukung pemungutan pajak<br />
hotel.<br />
3. Berikan insentif yang memadai<br />
untuk setiap petugas pemungut<br />
pajak.<br />
4. Mengelola potensi kepariwisataan<br />
sehingga akan mendatangkan banyak<br />
wisatawan yang menggunakan jasa<br />
hotel.<br />
5. Berikan sangsi yang tegas kepada<br />
pihak hotel yang tidak mematuhi<br />
peraturan yang berlaku.<br />
Faktor Internal Dan Faktor Eksternal<br />
Tabel. 2<br />
Perhitungan Bobot (Pembobotan) Faktor Internal<br />
Faktor<br />
pendukung/Internal<br />
Kekuatan(strengths)<br />
1. Perda yang<br />
mengatur tentang<br />
pajak hotel.<br />
2. Adanya petugas<br />
PAD yang<br />
bertugas disetiap<br />
kecamatan.,<br />
3. Tersedianya data<br />
yang lengkap<br />
mengenai hotel,<br />
4. Sosialisasi yang<br />
diberikan kepada<br />
pemilik/pengelola<br />
hotel tentang<br />
pajak hotel<br />
Kelemahan(Weakness)<br />
1. Sedikitnya<br />
jumlah SDM<br />
yang berkualitas<br />
di kantor Dinas<br />
<strong>Pendapatan</strong> dan<br />
Pengelolaan<br />
Keuangan (<br />
DPPK )<br />
Kabupaten<br />
Pasaman<br />
2. Kurangnya<br />
insentif untuk<br />
petugas<br />
pemungut<br />
dilapangan.<br />
3 Kurangnya sarana<br />
dan prasarana<br />
yang mendukung<br />
pemungutan<br />
pajak hotel.<br />
Bobot Rating Skor Keterangan<br />
0.20 4 0.80<br />
0.15 4 0.60<br />
0.05 2 0.10<br />
0.10 3 0.30<br />
0.15 2 0.30<br />
0.10 2 0.20<br />
0.15 2 0.30<br />
4. Tidak adanya 0.10 3 0.30<br />
sangsi yang tegas<br />
yang di berikan<br />
kepada wajib<br />
pajak yang tidak<br />
membayar pajak.<br />
Total 1.00 2.90<br />
Sumber : Hasil Penelitian lapangan :2009<br />
Tabel. 2 dapat di ketahui bahwa item<br />
kekuatan (strengths ) yang paling tinggi<br />
skor nya adalah tersedianya peraturan<br />
perundang-undangan yang mengatur<br />
tentang pajak hotel. Peraturan<br />
perundang-undangan ini adalah dasar<br />
bagi DPPK dalam membuat suatu<br />
strategi dan akhirnya menjadi sebuah<br />
kebijakan yang akan direalisasikan<br />
melalui program-program.<br />
Tabel. 3<br />
Perhitungan Bobot (Pembobotan) Faktor<br />
Eksternal<br />
Faktor Pendukung/Eksternal Bobot Rating Skor Keterangan<br />
Peluang(Opportunities)<br />
1. Cukup besarnya potensi<br />
pajak hotel.<br />
2. Potensi kepariwisataan<br />
yang tinggi<br />
3. Koordinasi yang baik<br />
dengan pihak-pihak yang<br />
terkait dengan<br />
pemungutan pajak hotel<br />
4. Cenderung stabilnya<br />
tingkat perekonomian<br />
mengakibatkan lancarnya<br />
pendistribusian barangbarang<br />
hasil produksi.<br />
Sumber : Hasil Penelitian lapangan :2009<br />
0.15 4 0.60<br />
0.15 4 0.60<br />
0.15 3 0.45<br />
0.10 2 0.20<br />
Ancaman (Threats)<br />
1. Kurangnya kesadaran dari 0.10 2 0.20<br />
wajib pajak untuk<br />
membayar pajak sesuai<br />
dengan perda.<br />
2. Rendahnya SDM pemilik 0.10 3 0.30<br />
hotel.<br />
3. Kurang optimalnya<br />
0.15 2 0.30<br />
pengelolaan bidang<br />
kepariwisataan.<br />
4. Lambannya<br />
0.10 4 0.40<br />
perkembangan<br />
pembangunan di<br />
Kabupaten Pasaman.<br />
Total 1.00 3.05<br />
Tabel. 3 dapat diketahui bahwa yang<br />
paling tinggi skornya adalah tingginya<br />
potensi pajak hotel dan tingginya potensi<br />
kepariwisataan di Kabupaten Pasaman.<br />
Tingginya potensi pajak hotel ini<br />
merupakan titik tolak atau titik awal<br />
pembuatan strategi-strategi untuk dapat<br />
mengoptimalkan tingginya potensi<br />
tersebut agar menjadi pendapatan yang<br />
akan menambah <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong><br />
( PAD ). Selain itu tingginya potensi<br />
kepariwisataan juga memiliki andil yang<br />
besar dalam perkembangan perhotelan.<br />
Jika bidang kepariwisataan dikelola<br />
dengan baik maka dengan sendirinya
<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />
(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />
66<br />
bidang perhotelan juga akan berkembang<br />
dan akhirnya akan menambah<br />
pendapatan bidang pajak hotel. Dengan<br />
item-item ini di harapkan DPPK<br />
Kabupaten Pasaman bisa<br />
memaksimalkan semua peluang yang<br />
ada untuk dapat meningkatkan<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> ( PAD ).<br />
Grafik. 1<br />
Pembobotan SWOT<br />
Grafik. 1 diatas diketatui bahwa<br />
koordinat berada jauh dari sumbu<br />
weakness-opportunities, strengthsthreats,<br />
weakness-threats, tapi titik<br />
koordinat bertemu di sumbu strengthsopportunities.<br />
Ini berarti DPPK<br />
Kabupaten Pasaman dalam mengambil<br />
kebijakan mengenai pajak hotel<br />
mempunyai potensi kekuatan (strengths)<br />
dan peluang (Opportunities) yang lebih<br />
besar jika dibandingkan dengan<br />
kelemahan (Weakness) dan ancaman<br />
(Threats) yang ada. Namun pihak DPPK<br />
Kabupaten Pasaman harus tetap<br />
mempertimbangkan kelemahan dan<br />
ancaman yang ada.<br />
SIMPULAN<br />
Disimpulkan bahwa selama ini Perda<br />
no.14 tahun 2003 tentang pajak hotel<br />
tidak bisa dijalankan dengan baik,<br />
selama ini pajak hotel yang diterima oleh<br />
Pemerintah <strong>Daerah</strong> adalah jumlah pajak<br />
berdasarkan hasil kesepakatan antara<br />
Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />
Keuangan <strong>Daerah</strong> (DPPK) dengan pihak<br />
hotel seberapa sanggup pihak hotel<br />
untuk membayarkannya sehingga<br />
pendapatan dari pajak hotel yang<br />
diteriman sangat lah kecil jika dibanding<br />
dengan potensi yang ada. Hendaknya<br />
Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />
Keuangan <strong>Daerah</strong> (DPPK) Kabupaten<br />
Pasaman menghitung kembali seberapa<br />
besar potensi pajak hotel yang dimiliki<br />
Kabupaten Pasaman. Sehingga bisa<br />
ditetapkan seberapa besar target yang<br />
harus ducapai agar dapat meningkatkan<br />
<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> ( PAD ).<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
David, Fred.R. terjemahan Paulyn<br />
Sulistio dan Harryadin Mahardika.<br />
<strong>Strategi</strong>c Manajement. Salemba<br />
Empat. Jakarta. 2006.<br />
Rangkuti, Freddy. Analisis SWOT Teknik<br />
Pembedah<br />
Kasus<br />
Bisnis.GramediaPustakan Utama.<br />
Jakarata. 1997.<br />
Salusu,J. Pengambilan Keptusan<br />
Stratejik Untuk Organisasi Public<br />
dan Organisasi Nonprofit. PT<br />
Grasendo Widiasarana Indonesia.<br />
Jakarta. 1996.<br />
Siahaan, Marihot. P. Pajak <strong>Daerah</strong> &<br />
Retribusi <strong>Daerah</strong>. PT Raja Grafindo<br />
Persada. Jakarta. 2006.<br />
Sudriamunawar, Haryono.Pengantar<br />
Studi<br />
Administrasi<br />
Pembangunan.Mandar Maju.<br />
Bandung. 2002.
Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
OKTA KARNELI<br />
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />
Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />
Abstrak : Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan<br />
di Indonesia jauh sebelum Negara ini terbentuk. Struktur sosial desa, masyarakat adat dan lain<br />
sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai potensi sangat penting dan otonom dengan<br />
tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Kemandirian desa menuntut adanya<br />
otonomi desa yang telah didukung oleh Undang-Undang No 32 thm 2004 tentang pemerintahan daerah.<br />
Untuk mewujudkan desa yang otonom, maka segenap potensi desa baik kelembagaan, sumber daya alam<br />
dan manusia harus dapat dioptimalkan. Sehingga penekanan dari kajian ini adalah melihat bagaimana<br />
persiapan pemerintah dalam menuju desa otonomi yang meliputi penguatan kelembagaan, pelimpahan<br />
wewenang kepada desa dan pengalokasian dana desa. Kajian ini dilakukan di desa/kelurahan yang<br />
tersebar di 5 (lima) kecamatan di kabupaten Kuansing. Sebanyak 10 % dari jumlah desa yang berada di<br />
wilayah kecamatan terpilih akan diambil sebagai responden penelitian adalah pimpinan dan aparatur<br />
pemerintahan desa serta para tokoh masyarakat setempat. Hasil kajian ternyata menunjukan bahwa<br />
kelembagaan desa sebagai organisasi formla diwilayah penelitian belum optimal dalam menjalankan<br />
kewenangan, tugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundangan yang<br />
ada. Sehingga diperlukan adanya peningkatan kapasitas tata kepemimpinan pemerintahan desa dengan<br />
berbagai arah kebijakan, seperti meningkatkan kapabilitas kepala desa dan aparatur desa beserta BPD<br />
serta meningkatkan kematangan dan kedewasaan masyarakat baik oleh pemerintah desa maupun oleh<br />
pemerintah Kabupaten Kuansing.<br />
Kata kunci : Otonomi Desa, Penguatan Kelembagaan, Pelimpahan Wewenang dan Alokasi Dana Desa<br />
Undang-undang No 32 tahun 2004<br />
tentang Pemerintahan <strong>Daerah</strong>, telah<br />
membarikan peluang dan kesempatan<br />
bagi desa dalam memberdayakn<br />
masyarakat desa beserta desanya. Untuk<br />
mewujudkan peluang menjadi desa<br />
otonomi tersebut maka segenap potensi<br />
desa baik berupa kelembagaan, sumber<br />
daya alam dan sumber daya manusia<br />
harus dapat dioptimalkan. Pemerintah<br />
Kabupaten Kuantan Singingi telah<br />
membuka wacana untuk menghidupkan<br />
kembali system pemerintahan adat yang<br />
selama diyakini telah dapat<br />
menggerakan masyarakat untuk ikut<br />
berpartisipasi dalam pembangunan.<br />
Sistem pemerintahan adat sesuai dengan<br />
Undang-Undang No 22 tahun 1999<br />
tentang pemerintahan daerah dimana<br />
daerah mempunyai peluang untuk<br />
menciptakan system pemerintahan yang<br />
bersifat desentralisasi yang<br />
berimplikasi pada demokratisasi dan<br />
otonomi dalam masyarakat. Khususnya<br />
masyarakat yang berada didesa atau<br />
nagori/kenegerian atau sebutan lainnya.<br />
Sehubungan dengan percepatan<br />
pencapaian cita-cita otonomi desa maka<br />
beberapa perangkat perlu disiapkan<br />
untuk mendukung pencapaian<br />
pelaksanaan otonomi desa tersebut.<br />
Perangkat tersebut berupa penguatan<br />
kelembagaan, pelimpahan wewenang<br />
67
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
68<br />
kepada desa dan pengalokasian dana<br />
desa.<br />
Adapun tujuan dalam penelitian ini<br />
adalah :<br />
1. Melakukan kajian terhadap<br />
persiapan kearah otonomi desa di<br />
Kabupaten Kuantan Singingi,<br />
meliputi penguatan kelembagaan,<br />
pelimpahan wewenang kepada desa<br />
dan pengalokasian dana desa.<br />
2. Melakukan kajian terhadap<br />
kemungkinan pengembalian system<br />
pemerintahan desa sesuai dengan<br />
pemerintahan adat di Kabupaten<br />
Kuantan Singingi.<br />
Otonomi desa yang semestinya<br />
diikuti dengan otonomi dalam bidang<br />
keuangan atau otonomi fiscal, sekarang<br />
ini sudah mulai mendapat perhatian dari<br />
pemerintah, pemerintah propinsi dan<br />
pemerintah kabupaten. Hal ini dapat<br />
dilihat sekarang dari pemerintah<br />
kabupaten telah menganggarkan alokasi<br />
dana desa (ADD) untuk setiap desanya,<br />
minimal 10% dalam APBD Kabupaten.<br />
Hal ini diharapkan membawa dampak<br />
bagi penyelenggaraan pemerintah,<br />
pembangunan dan kemasyarakatan.<br />
Namun yang perlu diperhatikan adalah<br />
agar dana tersebut dapat dimanfaatkan<br />
secara maksimal. Pemerintah desa harus<br />
membuat perencanaan penggunaan dan<br />
laporan alokasi dana tersebut, sehingga<br />
dana tersebut idak memberi manfaat<br />
kepada masyarakat.<br />
Standard dan norma yang harus<br />
diikuti dalam penyelenggaran<br />
pemerintahan desa menuju otonomi<br />
adalah sebagai berikut : Pertama, Agar<br />
penyelenggaraan pemerintahan desa<br />
dapat lebih peka dalam memahami<br />
adpirasi dan permasalahan yang<br />
dihadapi masyarakat. Sehubungan<br />
dengan hal ini ada 7 azas<br />
penyelenggaraan pemerintahan desa<br />
yang ditekankan yaitu azas kepastian<br />
hukum, azas tertib kepentingan umum,<br />
azas keterbukaan, profesionalitas, azas<br />
akuntabilitas, efesiensi dan azas<br />
efektifitas. Kedua, penyelenggaraan<br />
pemerintahan desa dilakukan oleh<br />
badan permusyawaratan desa,<br />
pemerintahan desa dan musyawarah<br />
desa. Ketiga, badan perwakilan desa<br />
atau disebut dengan nama lain adalah<br />
lembaga perwakilan rakyat desa yang<br />
menjalankan fungsi artikulasi dan<br />
agregasi kepentingan warga desa, fungsi<br />
legilasi (pengaturan), fungsi budgeting<br />
dan fungsi pengawasan. Keanggotaan<br />
badan perwakilan desa dapat dipilih<br />
atau berdasarkan musyawarah secara<br />
berjenjang sesuai dengan adat istiadat<br />
dan tradisi setempat. BPD<br />
mencerminkan perwakilan unsur-unsur<br />
atau kelompok-kelompok dalam<br />
masyarakat desa, termasuk kuota 30 %<br />
untuk kaum perempuan. Kedudukan,<br />
mekanisme pemilihan, persyaratan,<br />
jumlah, fungsi control, wewenang,<br />
kewajiban, hak, larangan, mekanisme<br />
rapat, penghasilan tetap atau tunjangan<br />
dari BPD selanjutnya diatur dalam<br />
peraturan daerah. Keempat,<br />
Musyawarah desa merupakan<br />
perwujudan<br />
demokrasi<br />
permusyawaratan (deliberative<br />
democracy), yakni model pengambilan<br />
keputusan dengan menggunakan<br />
musyawarah untnuk mencapai mufakat<br />
secara klektif, seperti halnya bentuk<br />
rembug desa atau musyawarah adat ;<br />
musyawarah desa merupakan forum<br />
tertinggi dalam mengambil keputusan<br />
atas masalah-masalah strategis di desa.<br />
Ketujuh, kepala desa di bantu oleh<br />
unsur pemerintah desa yang meliputi<br />
sekretaris desa dan perangkat desa.<br />
Kelembagaan desa yang bersifat<br />
formal di sebut pemerintahan desa<br />
merupakan kelembagaan desa yang<br />
bertanggung jawab untuk<br />
mendinamisasi masyarakat dalam aspek<br />
pembangunan, kemasyarakatan dan
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
69<br />
pemerintahan senagaimana juga fungsifungsi<br />
tersebut dilakukan oleh<br />
pemerintah diatasnya.<br />
Rekonmendasi yang dapat di<br />
berikan terhadap pengutan kelembagaan<br />
desa sesuai dengan pengkajian lapangan<br />
yaitu perlu dilakukan pengisian jabatan<br />
kelembagaan desa tersebut dengan<br />
melakukan rekrutmen dengan selektif<br />
diman harus di pilih oleh orang-orang<br />
yang mempunyai kemampuan dan yang<br />
relevan dengan persoalan-persoalan<br />
pemerintah.<br />
Namun dalam perkembangannya,<br />
Chester I. Barnard menyarankan bahwa<br />
dalam membahas kewenangan harus<br />
memperhatikan apakah kewenangan itu<br />
di terima oleh yang menjalankan<br />
(“whether orders are accepted by those<br />
mho receive them”). Biasanya desa<br />
hanya melaksanakan kewenangan<br />
melekat seperti pembuatan KTP, kartu<br />
keluarga dan lain-lain. Sedangkan<br />
kewenagan asal usul seperti mengolola<br />
aset desa kurang optimal, termasuk<br />
kurangnyapengelolaan pasar desa dan<br />
asset lain-lain yang bisa menjadi<br />
sumber pendapatan desa. Selain itu, ada<br />
suatu jenis kewenangan (urusan) yang<br />
bersifat tambahan, yakni kewenangan<br />
dalam tugas pembantuan (delegasi)<br />
yang di berikan oleh pemerintah dan<br />
pembanguna yang di berikan oleh<br />
pemerintah. Prinsip dasarnya, dalam<br />
tugas pembantuan ini desa hanya<br />
menjalankan tugas-tugas administratif<br />
(mengurus) di bidang pemeritahan dan<br />
pembangunan yang diberikan<br />
pemerintah. Tugas pembantuan di sertai<br />
dengan dana, personil dan fasilitas.<br />
Desa berhak menolak tugas pembantuan<br />
jika tidak di sertai dengan dana, personil<br />
dan fasilitas.<br />
Sebagai konsekuensi dari<br />
keberagaman desa berdasarkan optional<br />
village maka kewenangan desa pun<br />
disesuaikan dengan desa yang dipilih :<br />
Pilihan Model<br />
Desa Integrated<br />
Desa<br />
Koeksistensi<br />
Tabel 1<br />
Kewenangan Desa<br />
Kewenangan<br />
- Kewenangan asal-usul<br />
- Kewenangan Atributif<br />
- Tugas Pembantuan<br />
- Kewenangan atributif<br />
- Tugas pembantuan<br />
Desa integrated memiliki tiga<br />
kewenangan, sedangkan Desa<br />
koekstensi dengan masyarakat adat,<br />
kewenangan asal usul menjadi<br />
kewenangan masyarakat adat.<br />
Desa mendapat dana operasional<br />
desa sebesar Rp 12.000.000,- per tahun<br />
yan dialokasikan secara merata untuk<br />
seluruh desa di Kabupaten Kuantan<br />
Singingi. Selain itu juga ada ADD<br />
(Alokasi Dana Desa ) Rp 50.000.000,-<br />
per tahun, tetapi pembagian dana<br />
tersebut dianggap belum proporsional<br />
menurut kebutuhan desa. Ada lagi dana<br />
yang dapat diperoleh desa berupa dana<br />
bergulir berdasarkan kriteria yang<br />
disyaratkan oleh pemerintah Kabupaten<br />
Kuantan Singingi untuk<br />
mendapatkannya sehingga ada<br />
kompetisi dari desa-desa.<br />
Sebagaiman dipahami bahwa esensi<br />
pemerintahan adalah pelayanan kepada<br />
masyarakat oleh karena itu pemerintah<br />
tidak diadakan untuk dirinya sendiri<br />
tetapi untuk melayani masyarakat serta<br />
menciptakan kondisi yang<br />
memungkinkan setiap anggota<br />
masyarakat mengembangkan<br />
kemampuan dan kreativitasnya demi
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
70<br />
mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998<br />
: 139).<br />
Pemerintahan sebagai pelayan<br />
masyarakat (publik service) sudah<br />
seharusnya memberikan pelayanan yang<br />
berkualitas kepada masyarakat.<br />
Pelayanan yang berkualitas selaian<br />
bermanfaat bagi masyarakat juga<br />
bermanfaat terhadap citra aparat<br />
pemerintah itu sendiri. Dalam info PAN<br />
(1990 : 35) dikatakan bahwa: Kualitas<br />
pelayanan aparatur pemerintah kepada<br />
masyarakat merupakan tingkat efisiensi,<br />
efektivitas dan produktivitas dari sistem<br />
kemampuan<br />
kelembagaan,<br />
kepegawaian, dan ketatalaksanaan<br />
dalam mendorong, menumbuhkan serta<br />
memberikan pengayoman terhadap<br />
prakarsa dan pemenuhan kebutuhan<br />
pelaksanaan hak dan kewajiban<br />
masyarakat.<br />
Adanya perubahan dari desa<br />
menjadi kelurahan menuntut adanya<br />
penyesuaian perangkat dari perangkat<br />
desa menjadi perangkat kelurahan<br />
karena dalam kedua sistem<br />
pemerintahan itu walaupun setara tetapi<br />
komponen-komponen yang ada dalam<br />
birokrasinya berbeda. Satu masalah<br />
yang dapat muncul dalam pemberian<br />
pelayanan kepada masyarakat adalah<br />
kurang mampunya perangkat kelurahan<br />
yang baru untuk melayani masyarakat<br />
dengan baik. Padahal adanya perubahan<br />
status dari desa menjadi kelurahan<br />
membawa konsekuensi adanya<br />
peningkatan kualitas pelayanan yang<br />
diberikan kepada masyarakat.<br />
Menurut Widodo (2001 : 75),<br />
pelayanan yang diharapkan dan menjadi<br />
tuntutan pelayanan publik oleh<br />
organisasi publik yaitu pemerintah lebih<br />
mengarah pada pemberian layanan<br />
publik yang lebih professional, efektif,<br />
efesien, sederhana, transparan, terbuka,<br />
tepat waktu, responsive dan adatif.<br />
Pelayanan publik yang professional<br />
artinya pelayanan yang memiliki<br />
akuntabilitas dan responsibilitas dari<br />
pemberi layanan (aparatur pemerintah).<br />
Efektif, lebih mengutamakan pada<br />
pencapaian tujuan dan sasaran.<br />
Sederhana, mengandung arti prosedur<br />
tata cara pelayanan diselenggarakan<br />
secara mudah, cepat, tepat, tidak<br />
berbelit-belit, mudah dipahami dan<br />
mudah dilaksanakan oleh masyarakat<br />
yang meminta pelayanan. Kejelasan dan<br />
kepastian (transparan), mengandung<br />
arti adanya kejelasan dan kepastian<br />
mengenai prosedur tata cara pelayanan,<br />
persayaratan pelayanan baik secara<br />
teknis maupun administratif, unit kerja<br />
dan atau pejabat yang berwenang dan<br />
bertanggung jawab dalam memberikan<br />
pelayanan, rincian biaya atau tarif<br />
pelayanan dan tata cara pembayaran<br />
serta jadwal waktu penyelesaian<br />
pelayanan. Keterbukaan, mengandung<br />
arti semua proses pelayanan wajib<br />
diinformasikan secara terbuka agar<br />
mudah diketahui dan dipahami<br />
masyarakat baik diminta ataupun tidak.<br />
Efesiensi, mengandung arti persyaratan<br />
pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal<br />
yang berkaitan langsung dengan<br />
pencapaian sasaran pelayanan dengan<br />
tetap memperhatikan keterpaduan<br />
antara persyaratan dengan produk<br />
pelayanan, mencegah adanya<br />
pengulangan pemenuhan persyaratan.<br />
Ketepatan waktu mengandung arti<br />
pelaksanaan pelayanan masyarakat<br />
dapat diselesaikan dalam waktu yang<br />
telah ditentukan. Responsif lebih<br />
mengarah pada daya tanggap dan cepat<br />
menanggapi apa yang menjadi masalah,<br />
kebutuhan dan aspirasi yang dilayani.<br />
Adatif mengandung arti cepat<br />
menyesuaikan tuntutan apa yang<br />
tumbuh dan berkembang di lingkungan<br />
sekitarnya.
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
71<br />
Sebelum berlakunya Undangundang<br />
Nomor 32 tahun 2004 tentang<br />
Pemerintahan <strong>Daerah</strong>, secara normatif<br />
kelurahan hanya dapat dibentuk pada<br />
ibu kota kecamatan pada pemerintah<br />
Kabupaten dan kota. Namun dengan<br />
berlakunya Undang-undang Nomor 32<br />
tahun 2004 tersebut membawa beberapa<br />
konsekuensi terhadap desa dalam hal<br />
peningkatan status desa yang selama ini<br />
masih terdapat pada ibu kota<br />
kecamatan, dimana menurut pasal 200<br />
ayat (3) dinyatakan bahwa desa di<br />
Kabupaten/Kota secara bertahap dapat<br />
dirubah atau disesuaikan statusnya<br />
menjadi kelurahan sesuai dengan usul<br />
dan prakarsa Pemerintah Desa bersama,<br />
Permusyawaratan Desa serta Badan<br />
Permusyawaratan Desa yang ditetapkan<br />
dengan Peraturan <strong>Daerah</strong>.<br />
Persyaratan yang juga harus<br />
diperhatikan untuk melakukan<br />
perubahan status desa menjadi<br />
kelurahan diatur pada Peraturan<br />
Pemerintah yang sama, tepatnya pada<br />
pasal 5 ayat (2) yang berbunyi :<br />
Perubahan status Desa menjadi<br />
kelurahan sebagaimana dimaksud dalam<br />
ayat (1) memperhatikan persyaratan :<br />
a. Luas wilayah<br />
b. Jumlah penduduk<br />
c. Prasarana dan sarana pemerintahan<br />
d. Potensi ekonomi, dan<br />
e. Kondisi sosial budaya masyarakat.<br />
Memperhatikan uraian diatas secara<br />
normatif bahwa proses dan mekanisme<br />
perubahan status Desa dimana saja<br />
termasuk Desa di Ibu kota Kecamatan<br />
untuk menjadi Kelurahan adalah :<br />
1. Usul dan inisiatif/prakarsa<br />
Pemerintah Desa bersama Badan<br />
Permusyawaratan Desa.<br />
2. Usul dan inisiatif/prakarsa<br />
masyarakat dimaksud dengan<br />
memperhatikan saran dan pendapat<br />
masyarakat setempat.<br />
Agar perubahan status Desa menjadi<br />
Kelurahan tersebut dapat berjalan<br />
dengan baik, hendaknya selain<br />
memenuhi ketentuan normatif yang<br />
diatur dengan Peraturan Perundangundangan<br />
yang berlaku, maka<br />
hendaknya Pemerintah <strong>Daerah</strong> sebelum<br />
membuat Draf Ranperda diperlukan<br />
pembuatan pengkajian yang dalam<br />
untuk studi kelayakan, sehingga dapat<br />
memenuhi norma-norma akademis.<br />
METODE<br />
Penelitian ini menggunakan<br />
pendekatan kualitatif. Proses penelitian<br />
ini dilakukan secara partisipatif dengan<br />
melibatkan seluruh stakeholder. Lokasi<br />
penelitian adalah desa/kelurahan yang<br />
tersebar di 5 (lima) kecamatan (Kuantan<br />
Tengah, Kuantan M udik, Singingi<br />
Hilir, Benai dan Cerenti). Jumlah<br />
desa/kelurahan yang akan diambil<br />
sebagai daerah sample adalah sebesar<br />
10 % dari semua desa/kelurahan yang<br />
tersebar di 5 kecamatan tersebut. Dari<br />
setiap lokasi penelitian yang terpilih<br />
akan diambil sebagai responden adalah<br />
pimpinan dan aparatur pemerintahan<br />
desa.<br />
HASIL<br />
Hasil temuan dilokasi penelitian<br />
menunjukan bahwa secara kelembagaan<br />
pemerintahan desa telah mempunyai<br />
administrasi desa yang lebih baik.<br />
Namun secara operasional kegiatan<br />
pelaksanaan adminsitrasi desa belum<br />
dapat dilaksanakan dengan optimal. Ini<br />
terbukti dari seluruh jenis buku<br />
administrasi yang diserahkan atau<br />
didistribusikan oleh pemerintah kabuten<br />
kuantan singingi kepada setiap desa ada<br />
seluruhnya, tetapi 35% dari keseluruhan<br />
jenis buku administrasi belum<br />
dimanfaatkan atau belum diisi oleh<br />
aparatur pemerintah desa. Dengan<br />
belum tertibnya pengisian buku ini,<br />
berimplikasi terhadap tidak tersedianya
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
72<br />
database, baik bagi kebutuhan<br />
pemerintah desa itu sendiri maupun<br />
Pemerintah kecamatan.<br />
Dari hasil wawancara dengan kepala<br />
desa dan perangkat desa, hal ini<br />
disebabkan oleh beberapa faktor :<br />
1. Rendahnya kinerja aparatur desa,<br />
hal ini terkait dengan SDM yang<br />
ada.<br />
2. kurangnya pemberdayaan dan<br />
pembinaa dari supra desa<br />
{pemerintah kecamatan dan<br />
kabupaten} dalam bentuk<br />
pekatihan,kursus,sosialisasi,dsb.teru<br />
tama bagi aparatur pemerintah desa.<br />
3. Kurangnya sarana dan prasarana<br />
yang tersedia di kantor desa, hal<br />
kurang memotivasi bagi aparat<br />
untuk berkeja.<br />
4. Manejemen pemerintah desa yang<br />
belum dikelola dengan baik,<br />
terutama kepemimpinan kepala desa<br />
terhadap stfnya atau jajarannya.<br />
5. Insentif yang belum begitu memadai<br />
bagi aparatur pemerintah desa,<br />
karena sampai saat ini, pemerintah<br />
desa hanya menggantungkan<br />
tunjangan atau honor dari<br />
pemerintah kabupaten, sementara<br />
desa tidak memiliki sumber<br />
penghasilan tetap dan tambahan,<br />
seperti tanah kas atau kekayaan desa<br />
lainnya.<br />
Dari temuan lapangan, diketahui<br />
pemerintah desa tidak banyak<br />
megetahui apa yang menjadi<br />
kewenangan atau sekarang dengan<br />
istilah menurut UU Nomor 32 tahun<br />
2004. Sampai saat ini, merbagai urusan<br />
di atas tidak sertai landasan paying<br />
hokum, baik dalam bentuk Peraturan<br />
Derah (PERDA) maupun keputusan<br />
bupati dsb. Sehingga boleh dikatakan<br />
sejumlah urusan di atas masih kabur<br />
atau tidak jelas. Namun secara tersirat<br />
dan dalam prakteknya, pemerintah desa<br />
sedikit banyak mana urusan rumah<br />
tangga desa selama ni selalu<br />
dipraktekkan, seperti, pemilihan kepala<br />
desa dan perangkatnya , membuat<br />
peraturan desa, menyusun<br />
APBDes,menggali potensi dan<br />
kekayaan desa dan pelestarian adt<br />
istiadat yang berlaku dalam masyarakat.<br />
Sedangkan beberap urusan lainnya<br />
belum ada pelimpahan kewenangan<br />
secara jelas kepada desa. Dari kondisi<br />
diatas, suatu kewajaran apabila pada<br />
umumnya pemerintah desa tidak<br />
mengetahui banyak tentang sejumlah<br />
urusan seperti yang tertera dalam<br />
peraturan perundangan yang ada. Oleh<br />
karena itu upaya yang harus dilakukan<br />
oleh kabupaten adalah :<br />
a. Mengidentifikasi dan<br />
mengklasifikasi berbagai urusan<br />
yang menjadi kewenangan dari<br />
pemerintah desa sebagaimana yang<br />
dimaksud dalam undang-undang<br />
ataupun peraturan daerah.<br />
b. Perangkat legislasi dan paying<br />
hokum serta sosialisasi dari<br />
pemerintah kabupaten dengan<br />
kecanatan.<br />
c. Adanya pola pembinaan yang<br />
kontinu dan pengawasan dari<br />
pemerintah kecamatan sebagai<br />
Pembina pemerintahan .<br />
Hasil penelitian lapangan<br />
menyatakan bahwa dengan adanya dana<br />
Desa yang akan diberikan kepada<br />
pemerintah desa akan dapat<br />
memperkuat eksistensi Pemerintah Desa<br />
dari Badan Permusyawaratan Desa<br />
dalam melakukan tugas dan fungsinya.<br />
1. Hubungan Desa dengan<br />
Kecamatan<br />
Pada format dan pola yang diatur<br />
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun<br />
2004 tentang Pemerintahan daerah<br />
ternyata desa yang dipahami selama ini<br />
kedudukan sebenarnya tidal jelas dan<br />
nyata, sehingga menimbulkan beberapa
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
73<br />
kendala dan hambatan dengan<br />
kecamatan. Ketidak jelasan kedudukan<br />
desa tersebut dapat menimbulkan multi<br />
tafsi baik dari pihak Pemerintah Desa<br />
maupun kecamatan. Hal ini dikarenakan<br />
selam berlakunya Undang-undang<br />
Nomor 5 tahun 1979 tentang<br />
Pemerintahan Desa, kedudukan desa<br />
berada langsung di bawah kecamatan<br />
secara hirarkhis.<br />
Perubahan pemerintahan desa menjadi<br />
pemerintahan adat<br />
<strong>Daerah</strong>-daerah di Indonesia<br />
memang mempunyai keragaman yang<br />
luar biasa baik dilihat dari sisi kultur<br />
maupun kondisi geografis dan basis<br />
ekonominya. Akan tetapi keragaman itu<br />
tidak terlalu mempersulit penentuan<br />
posisi dan bentuk daerah, sebab daerah<br />
secara keseluruhan sudah ditetapkan<br />
sebagai daerah otonom (local self<br />
government) secara baku. Perbedaan<br />
antara daerah cukup dijawab dengan<br />
teori desentralisasi.<br />
Ada beberapa pilihan yang bersifat<br />
optional village. Dalam optional<br />
village, karakteristik Desa meliputi :<br />
Pertama, adalah integrasi fungsi<br />
pemerintahan Desa ke dalam<br />
pemerintahan adat sebagaimana terjadi<br />
di Sumatera Barat. Forum diskusi<br />
bersama Dewan Perwakilan <strong>Daerah</strong><br />
(DPD) di Sulawesi Utara, Sulawesi<br />
Selatan dan Nusa Tenggara Timur<br />
tampaknya juga mengarah pada bentuk<br />
desa yang terintegrasi itu. Kedua,<br />
Perspektif peralihan sistem<br />
pemerintahan desa menjadi sistem<br />
pemerintahan adat. Peralihan dari<br />
sistem pemerintahan desa kepada sistem<br />
pemerintahan adat (kenegerian, atau<br />
sebutan lainnya). Tentu akan membawa<br />
suatu unit system sosial. Disini<br />
pemerintah merupakaan unit system<br />
yang mengeluarkan kebijakan,<br />
sedangkan rakyat/masyarakat<br />
merupakan unit yang menerima<br />
kebijakan tersebut, dalam artian<br />
pemerintah sebagai subyek, sedangkan<br />
masyarakat sebagai objek.<br />
Sebagai gambaran dahulu<br />
kenegerian atau berbagai sebutan<br />
lainnya dalam masyarakat Kuantan<br />
Singingi, mempunyai perangkat<br />
pemerintahan adat sendiri (adat besturr),<br />
tetapi sekarang sudah tidak dikenal lagi<br />
pemerintahan adat. Perangkat<br />
pemerintahan negeri terdiri dari :<br />
1. Orang-orang Godang, sebagai<br />
pemangku adat yang membawahi<br />
Penghulu suku.<br />
2. Penghulu, adalah pemimpin suku<br />
atau orang yang ditinggikan<br />
seranting didahulukan selangkah<br />
dan mewarisi pusaka dan<br />
mengawasi anak kemenakan dan<br />
orang kampong.<br />
3. Monti, adalah pemangku adat yang<br />
memelihara norma-norma adat serta<br />
nilai-nilainya dengan tugas<br />
menyelesaikan dan menghukum<br />
silang selisih atau sengketa yang<br />
timbul dikalangan adat negeri.<br />
4. Dubalang, adalah pemangku adat<br />
dengan tugas menghukum dan<br />
mengamankan negeri bila terjadi<br />
huru hara, keributan dan sebagainya.<br />
5. Malin, disebut dengan suluh<br />
bendang negeri, artinya penerang<br />
yaitu orang yang mempunyai ilmu<br />
tentang agama Islam. Dengan tugas<br />
menyelesaikan perselisihan<br />
sepanjang syara’.<br />
Dari temuan lapangan, dari 5 (lima)<br />
Kecamatan yang menjadi sampel, dari<br />
semua desa, kecuali desa eks<br />
Transmigrasi bahwa eksistensi<br />
(keberadaan) institusi adat masih ada<br />
dan terbentuk. Tetapi factual belum<br />
menyentuh eksistensi adat tersebut.<br />
Lembaga adat dalam kenyataan sebagai<br />
organisasi sosial kemasyarakatan<br />
lembaga adat
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
74<br />
Berdasarkan hasil wawancara<br />
dengan tokoh-tokoh adat bahwa<br />
eksistensi institusi adat sampai saat ini<br />
masih eksis di tengah masyarakat<br />
namun sudah sangat terbatas peran dan<br />
fungsi yang dijalankannya, artinya adat<br />
sekarang ini lebih banyak menjalankan<br />
fungsi menyelesaikan selang sengketa<br />
antara anak cucu kemenakana,<br />
disamping fungsi-fungsi seperti acara<br />
adat perkawinan dan fungsi adat<br />
lainnya. Namun dalam bidang yang<br />
berkaitan dengan aspek pemerintahan,<br />
peran adat hamper-hampir boleh<br />
dikatakan, tidak banyak lagi dilibatkan,<br />
namun keterwakilan unsur adat masih<br />
ada dalam keterwakilannya di Lembaga<br />
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)<br />
dan itu proporsinya sangat kecil sekali.<br />
Berkaitan dengan untuk<br />
mengembalikan ke Kepemimpinan<br />
Adat, diakui melalui proses :<br />
a) Mendudukkan kembali “Tali Tigo<br />
Sapilin”, (Pemerintah, Adat dan<br />
Agama) dalam tatanan pemerintahan<br />
sekarang ini, sehingga ini tidak<br />
sebagai simbol yang selama ini kita<br />
agungkan, oleh karena itu katanya<br />
perlu duduk bersama dari semua<br />
komponen masyarakat, yang<br />
barangkali perlu difasilitasi oleh<br />
Pemerintah kabupaten.<br />
b) Berkaitan denga diatas, katanya adat<br />
kita sama, namun pemakainya agak<br />
berbeda, oleh karena itu memang<br />
ada kata sepakat, seperti apa model<br />
yang kita pakai untuk Kabupaten<br />
Singingi.<br />
c) Sumber daya manusia, juga masih<br />
menjadi persoalan, apalagi kondisi<br />
masyarakat dan pemerintahan<br />
sekarang sangat jauh berbeda dulu<br />
dan sekarang, apakah adat siap<br />
untuk menyesuaikan diri denga<br />
tuntutan tersebut.<br />
d) Khusus masyarakat Adat Rantau<br />
Singingi sudah merekomendasikan<br />
kemingkinan untuk kembali<br />
kepemerintahan adat tersebut pada<br />
“Musyawarah Besar (Mubes)<br />
Rantau Singingi pada tanggal 25-26<br />
November 2006 di kelurahan Muara<br />
Lembu. Beberapa waktu lalu.<br />
Dari beragam pendapat dari nara<br />
sumber utama (Orang godang dan<br />
Aparatur Pemerintahan Desa), dan<br />
kondisi empirik dapat dinyatakan:<br />
1. Bahwa institusi adat di masyarakat<br />
di Kabupaten Kuantan Singingi,<br />
keberadaannya masih ada dan di<br />
akui sebagai lembaga yang masih<br />
berperan dan dihormati meskipun<br />
peranan adat sekarang ini sangat<br />
terbatas dalam adat. Posisi institusi<br />
adat secara struktur bukan atau tidak<br />
termasuk dalam struktur<br />
Pemerintahan Desa dan posisinya<br />
sebagai institusi atau lembaga<br />
kemasyarakatan. Bagaimana model<br />
yang ingin kita buat, apakah<br />
institusi adat sebagai pemerintahan<br />
desa, atau sebagai insititusi yang<br />
terpisah dari pemerintah desa yang<br />
otonom, atau kombinasi itu<br />
berpeluang dari kesepakatan<br />
bersama.<br />
2. Ada beberapa alternatif model<br />
dalam memfungsikan lembaga adat:<br />
• Institusi tradisional (adat),<br />
dimasukkan kedalam struktur<br />
Pemerintahan Desa. Jadi adat<br />
merupakan bagian dari struktur<br />
pemerintahan desa itu sendiri.<br />
Dalam hal ini adat lebih cocok<br />
melaksanakan<br />
fungsi<br />
kelegislatifan dari pemerintahan<br />
desa.<br />
• Antara institusi adat dengan<br />
birokrasi<br />
dipisahkan<br />
berdasarkan ruang kewenangan<br />
yang bersifat hirarkis. Dalam<br />
hubungan ini ruang kewenangan<br />
dan tugas lembaga adat berada
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
75<br />
diantara masyarakat dengan<br />
pemerintahana desa.<br />
• Lembaga adat dan birokrasi desa<br />
berada secara terpisah dan<br />
memiliki kewenangan dan ruang<br />
aktivitas sendiri. Antara<br />
keduanya tidak perlu<br />
dihubungkan dengan garis<br />
organisatoris. Hanya perlu<br />
dipertegas mana kewenangan<br />
Pemerintahan Desa dan mana<br />
kewenangan adat (DR. R.<br />
Sofyan Samad ; 3)<br />
3. Pada prinsipnya, semua model atau<br />
pola yang di inginkan memiliki<br />
plus-minus (kelebihan dan<br />
kekurangan). Hal mana yang perlu<br />
dipertimbangkan adalah bagaimana<br />
memberikan warna baru dari sistem<br />
yang di inginkan dalam<br />
penyelenggaraan Pemerintahan<br />
Desa, dimana proporsi institusi adat<br />
dalam pemerintahan bisa lebih<br />
berperan dan memiliki<br />
keotonomian.<br />
4. Bahwa peran adat di birokrasi<br />
pemerintahan desa saat ini,<br />
terakomodir di Lembaga Badan<br />
Permusyawaratan Desa (BPD),<br />
sebelumnya perwakilan dan unsur<br />
adat pun sangat kecil proporsinya,<br />
karena pengisian dilembaga tersebut<br />
berdasarkan unsur keterwakilan dari<br />
komponen masyarakat dan jumlah<br />
penduduk, dan peranan adat bahkan<br />
semakin berkurang ketika<br />
dihilangkannya fungsi mengayomi<br />
adat istiadat.<br />
5. Kemungkinan untuk dikembalikan<br />
Sistem Pemerintahan Desa sekarang<br />
ini ke sistem pemerintahan<br />
Kenegerian (adat) memerlukan<br />
proses dan duduk bersama tigo tali<br />
sapilin. Kemauan adat tidak cukup<br />
tanpda ada dukungan politik dari<br />
pemerintahan kabupaten. Untuk itu<br />
perlu ada kajian mendalam baik dari<br />
sisi akademik (teoritik) maupun<br />
kajian empiriknya.<br />
6. Setelah proses dilalui maka<br />
pemerintah membuat aturan atau<br />
payung hokum dan pengaturan<br />
dalam bentuk Peraturan <strong>Daerah</strong><br />
(PERDA) tentang sistem<br />
pemerintahan kenegerian yang<br />
dimaksud, tentu aturan mendetil<br />
seperti tentang sistem yang akan<br />
kita bangun.<br />
7. Harus diakui adat sebagai satu<br />
diantara sistem nilai masyarakat dan<br />
lembaga adat sebagai suatu sistem<br />
sosial, adalah kekayaan buadya<br />
yang tidak ternilai maknanya. Oleh<br />
karena itu kedepan diperlukan<br />
penguatan (capacity building)<br />
lembaga adat supaya bermakna<br />
dalam<br />
penyelenggaraan<br />
pemerintahan desa atau struktur<br />
pemerintahan perlu langkah-langkah<br />
untuk menata kembali.<br />
Pengembalian pengaturan desa agar<br />
tidak uniformmitas (seragam) telah<br />
mempunyai dasar hukum yang kuat,<br />
karena itu telah dijamin dalam peraturan<br />
Perundang-undangan yang berlaku,<br />
terakhir dengan berlakunya Undangundang<br />
Nomor 32 tahun 2004 tentang<br />
Pemerintahan <strong>Daerah</strong>, dimana secara<br />
tegas dinyatakan bahwa pengaturan<br />
desa dapat dilakukan menurut dan<br />
berdasarkan asal usul dan adat istiadat<br />
setempat yang diakui dan dihormati<br />
dalam sistem pemerintahan Negara<br />
kesatuan Republik Indonesia.<br />
Peluang secara normatif untuk<br />
mengembalikan pemerintahan desa<br />
menjadi Pemerintahan Adat (<br />
kampong/nagari) telah dijamin untuk<br />
dapat dilaksanakan, namun secara<br />
kajian empiris hal itu perlu diperkuat<br />
dengan infrasturktur kultur masyarakat<br />
dan fungsionalisasi dari institusi<br />
cultural yang teradapat dalam<br />
masyarakat serta keharmonisan
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
76<br />
hubungan antara Lembaga Adat dengan<br />
Pemerintahan Desa.<br />
Dari hasil wawancara dengan<br />
beberapa tokoh masyarakat desa dan<br />
tokoh adat, berkatan dengan perubahan<br />
desa menjadi kelurahan, ternyata respon<br />
masyarakat tetap memilih desa dari<br />
pada kelurahan. Beberapa alasan kenapa<br />
desa lebih diminati dari pada kelurahan,<br />
antara lain :<br />
1. Konsep desa lebih familier dari pada<br />
kelurahan. Konsep desa identik<br />
dengan konsep ‘otonomi asli’,<br />
sedangkan kelurahan justru<br />
mematikan hak otonomi rakyat,<br />
budaya dan kearifan lokalnya.<br />
2. Desa sebagai organisasi komunitas<br />
lokal, mempunyai pemerintahan<br />
sendiri (self-governing community).<br />
Berarti komunikasi local dapat<br />
membentuk dan menyelenggarakan<br />
pemerintahan sendiri berdasarkan<br />
pranata local, bersifat swadaya dan<br />
otonom. Berarti, dengan status<br />
sebagai desa, maka pemerintahan<br />
adat (nagori) maish dapat<br />
dilaksanakan, tentunya beda dengan<br />
kelurahan.<br />
3. Pemerintaha desa mempunyai<br />
keleluasaan penuh dalam<br />
perencanaan pembangunan dan<br />
anggaran, menyelenggarakan<br />
perlayanan publik serta bertanggung<br />
jawab kepada rakyat desa setempat,<br />
hal ini tentunya berbeda dengan<br />
kelurahan. Sehingga para perangkat<br />
desa sepertinya sudah tidak antusias<br />
lagi membicarakan perubahan status<br />
menjadi kelurahan.<br />
4. Berubahnya desa menjadi kelurahan<br />
di ibukota kecamatan atau<br />
Kabupaten/kota, mengakibatkan<br />
kekayaan milik desa berubah<br />
menjadi milik kelurahan, hal ini<br />
tentunya menjadi pertimbangan<br />
tersendiri bagi masyarakat desa.<br />
5. Harapan warga desa sebenarnya<br />
sangat sederhana dan sangat<br />
manusiawi, yang penting kondisi<br />
dan suasana kehidupan masyarakat<br />
menjadi lebih baik, kondisi ini lebih<br />
dekat dengan desa dari pada<br />
menjadi kelurahan.<br />
Bahkan, jika kita mau berkaca<br />
dari Sumatera Barat, yang justru pernah<br />
mengusulkan agar di kota juga<br />
diberlakukan sistem pemerintahan<br />
terendah yang bernama nagari, bukan<br />
kelurahan. (Kompas, 11 Juni 2004)<br />
SIMPULAN<br />
Adapun kesimpulan dalam<br />
penelitian ini adalah :<br />
1. Penguatan Kelembagaan Desa<br />
Kelembagaan desa yang ada<br />
sekarang ini (Pemerintah Desa dan<br />
BPD) sebagai organisasi formal di<br />
wilayah sampel penelitian, dapat<br />
dikatakan belum optimal<br />
melaksanakan kewenangan, tugas<br />
pokok dan fungsinya sebagaimana<br />
yang diatur didalam peraturan<br />
perundang-undangan yang ada<br />
seperti :<br />
• Belum terlaksananya sejumlah<br />
urusan yang menjadi<br />
kewenangan pemerintah Desa<br />
dan belum optimalnya fungsi<br />
Badan Permusyawaratan Desa<br />
sebagai unsur penyelenggara<br />
pemerintahan desa.<br />
• Belum optimalnya pengisian<br />
buku administrasi desa dan<br />
ketatalaksanaan administrasi<br />
pemerintahan desa.<br />
• Belum terlaksananya dengan<br />
baik penataan personil<br />
pemerintahan desa<br />
• Belum optimalnya penerimaan<br />
dan pengelolaan keuangan desa.
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
77<br />
Dari kondisi di atas, ada beberapa<br />
faktor penyebab antara lain:<br />
a. Masih lemahnya kapabilitas<br />
Kepala Desa dan aparatur desa<br />
beserta BPD.<br />
b. Masih kurang jelasnya perangkat<br />
legisasi/perturan dari supra desa<br />
(kabupaten), baik mengenai<br />
penyerahan sejumlah urusan<br />
yang menjadi kewenangan desa<br />
dan perubahan-perubahan dalam<br />
penataan administrasi<br />
pemerintahan desa.<br />
c. Masih terbatasnya prasarana dan<br />
sarana desa dari Pemerintah<br />
Kabupaten.<br />
d. Masih terbatasnya dana dari<br />
pemerintah kabupaten untuk<br />
memberikan insentif kepada<br />
pemerintah desa.<br />
e. Masih lemahnya kompentensi<br />
dan budaya organisasi dari<br />
aparatur pemerintahan desa<br />
(kinerja, disiplin dan rasa<br />
memiliki dan tanggung jawab).<br />
2. Pengelolaan Dana Desa<br />
• Temuan lapangan, memberikan<br />
indikasi bahwa sebagian besar<br />
desa belum mampu menggali<br />
potensi-potensi yang dimiliki<br />
desa dan belum optimalnya<br />
penerimaan dan pengelolaan<br />
keuangan desa.<br />
• Dengan ini membawa implikasi<br />
desa tidak memiliki kas desa dan<br />
sangat tergantung dari subsidi<br />
dari pemerintah kabupaten<br />
seperti Alokasi Dana Desa<br />
(ADD), pemerintah provinsi dan<br />
berbagai jenis program bantuan<br />
pemerintah lainnya.<br />
• Pemerintah desa belum memiliki<br />
perencanaan yang baik dalam<br />
penyusunan perencanaan<br />
pembangunan desa, disamping<br />
desa juga belum memiliki<br />
perangkat legislasi/peraturan<br />
desa sebagai pedoman kerja.<br />
• Yang perlu menjadi<br />
pertimbangan pihak Pemerintah<br />
kabupaten dan Pemerintah Desa<br />
dalam menyikapi kondisi<br />
tersebut adalah :<br />
1. <strong>Peningkatan</strong> kompetensi<br />
pengelolaan keuangan desa<br />
bagi aparat desa, seperti,<br />
pelatihan, kursus, studi<br />
banding dsb.<br />
2. Pelimpahan kewenangan<br />
oleh pemerintah kabupaten<br />
kepada desa dalam hal pajak<br />
dan retribusi daerah sebagai<br />
sumber pemasukkan<br />
keuangan desa.<br />
3. Pengembangan badan usaha<br />
milik desa (BUMD)<br />
4. Perangkat peraturan dan<br />
petunjuk pelaksanaan<br />
pengelolaan dan pengawasan<br />
Alokasi Dana Desa.<br />
5. Manajemen dan sistem<br />
penganggaran serta<br />
pertanggung jawaban<br />
keuangan desa.<br />
6. Perlu adanya evaluasi<br />
kinerja Pemerintahan Desa<br />
oleh pemerintah Kabupaten<br />
yang selama ini boleh<br />
dikatakan kurang sama<br />
sekali.<br />
3. Hubungan Desa sebagai kecamatan<br />
Pada prinsipnya hubungan desa<br />
dengan kecamatan bukan hubungan<br />
yang bersifat hirarkis (atasanbawahan),<br />
karena desa bersifat<br />
otonom, seperti yang diatur di<br />
dalam UU Nomor 32 tahun 2004,<br />
maupun melalui Peraturan<br />
Pemerintah Nomor 27 tahun 2005<br />
tentang desa, khususnya pasal 1<br />
item 6.<br />
Namun demikian desa tetap<br />
merupakan bagian dari sistem
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
78<br />
pemerintahan di atasnya, pola<br />
hubungan dengan supra<br />
desa/kecamatan tetap ada, seperti<br />
menurut ketentuan pasal 126 ayat<br />
(3) huruf f UU Nomor 32 tahun<br />
2004, menentukan bahwa camat<br />
bertugas membina penyelenggaraan<br />
pemerintahan desa dan / atau<br />
kelurahan. Pola hubungannya<br />
bersifat koordinatif dan fasilitatif.<br />
Kondisi di lapangan bahwa<br />
pemerintah desa kurang melakukan<br />
koordinasi dengan pemerintah<br />
kecamatan dalam penyelenggaraan<br />
pemerintahan desa.<br />
4. Perspektif peralihan Sistem<br />
Pemerintahan Desa ke Adat<br />
(Kenegerian), yaitu :<br />
• Bahwa institusi adat di<br />
masyarakat di Kabupaten<br />
Kuantan Singingi keberadaannya<br />
masih eksis (ada) dan diakui<br />
sebagai lembaga yang masih<br />
berperan dan dihormati<br />
meskipun peranan adat sekarang<br />
ini sangat terbatas dalam internal<br />
adat saja.<br />
• Bahwa peranan adat di birokrasi<br />
pemerintahan desa saat ini,<br />
terakomodir di Lembaga Badan<br />
Permusyawaratan Desa (BPD)<br />
sebelumnya Perwakilan dari<br />
unsur adat pun sangat kecil<br />
proporsinya, karena pengisian di<br />
lembaga tersebut berdasarkan<br />
unsur keterwakilan dari<br />
komponen masyarakat dan<br />
jumlah penduduk dan fungsi<br />
Kelembagaan Permusyawaratan<br />
ini dalam melestarikan adat<br />
istiadat bahkan semakin<br />
berkurang.<br />
Dari temuan lapangan fakta<br />
menunjukkan, bahwa belum adanya<br />
keinginan kuat/prakarsa dari<br />
Pemerintah Desa bersama Badan<br />
Permusyawaratan Desa (BPD),<br />
terutama desa dalam ibukota<br />
kecamatan untuk diubah statusnya<br />
menjadi kelurahan. Ada beberapa<br />
pertimbangan yang mendasarinya :<br />
• Akan hilangnya keotonomian<br />
desa, (desa tidak lagi otonomi)<br />
ini berarti hilangnya<br />
karakteristik desa berdasarkan<br />
hak asal usul.<br />
• Konsekuensinya dengan<br />
sendirinya adat dan nilai-nilai<br />
adat akan hilang karena akan<br />
digantikan oleh Birokrasi<br />
Pemerintahan kelurahan yang<br />
nota bene adalah diisi oleh<br />
aparatur Pemerintahan (PNS).<br />
• Dengan sendirinya akan hilang<br />
kewenangan asli atau urusan<br />
yang menjadi kewenangan desa<br />
berdasarkan hak asal usul,<br />
termasuk di dalamnya<br />
kewenangan dalam mengolah<br />
keuangan sendiri dan<br />
sebagainya.<br />
• Bahkan untuk mewujudkan<br />
otonomi desa atau kemandirian<br />
desa perlu diwancanakan<br />
kelurahan yang ada dapat<br />
dirubah statusnya menjadi desa,<br />
dan peluang itu semakin terbuka<br />
melalui UU Nomor 32 tahun<br />
2004.<br />
Rekomendasi<br />
1. <strong>Peningkatan</strong> Kapasitas tata<br />
kepemimpinan pemerintahan desa<br />
dengan berbagai arah kebijakan.<br />
2. <strong>Peningkatan</strong> kapasitas tata<br />
pemerintahan desa, seperti<br />
meningkatkan<br />
kapasitas<br />
Pemerintahan desa (seperti<br />
optimaslisasi kewenangan,<br />
penguatan<br />
kelembagaan<br />
pemerintahan desa, pembinaan<br />
aparatur desa, peningkatan<br />
efektivitas fungsi pengawasan dan<br />
sebagainya).
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
79<br />
3. <strong>Peningkatan</strong> kapasitas tata<br />
kemasyarakatan,<br />
seperti<br />
peningkatan kapasitas sumber daya<br />
manusia (SDM), kapasitas sosial<br />
politik, ekonomi, sosial budaya dan<br />
sebagainya.<br />
4. Pelimpahan kewenangan desa tidak<br />
hanya kewenangan melekat<br />
(atributif) yang mengatur dan<br />
mengrus kepentingan masyarakat<br />
setempat, tetapi kewenangan asalusul<br />
berupa mengelola asset desa.<br />
5. Ada tiga model yang bisa<br />
dikembangkan oleh pemerintah<br />
kabupaten Kuantan Singingi, yaitu:<br />
Institusi adat dimasukkan kedalam<br />
struktur pemerintahan desa, institusi<br />
adat dan birokrasi dipisahkan<br />
berdasarkan kewenangan yang<br />
bersifat hirarkis, lembaga adat dan<br />
birokrasi desa secara terpisah<br />
memiliki kewenangan sendiri dan<br />
tidak dihubungkan secara<br />
organisatoris. Masing-masing model<br />
memiliki plus minus. Dalam hal ini<br />
model ketiga yaitu lembaga adat dan<br />
birokrasi secara terpisah dan<br />
memiliki kewenangan sendiri dan<br />
tidak dihubungkan secara<br />
organisatoris bisa diakomodir<br />
dengan catatan memperkuat<br />
infrastruktur cultural masyarakat<br />
dan fungsionalisasi dari institusi<br />
cultural yang terdapat dalam<br />
masyarakat serta keharmonisan<br />
hubungan antara lembaga adat<br />
dengan pemerintahan desa.<br />
6. Kedepan yang perlu lebih<br />
ditingkatkan dalam pola hubungan<br />
desa dengan kecamatan adalah:<br />
• Perlu ada kejelasan hubungan<br />
dalam bentuk aturan normative<br />
(Perda) antara kecamatan<br />
dengan desa oleh Pemerintah<br />
kabupaten serta kewenangan apa<br />
saja yang dilakukan oleh desa,<br />
supaya tidak terjadi tumpang<br />
tindih dengan kewenangan<br />
kecamatan.<br />
• Perlu lagi intensifitas pembinaan<br />
terhadap desa dari pihak<br />
kecamatan sesuai dengan ruang<br />
lingkup pola hubungan yang<br />
dimaksud. Dalam peraturan<br />
perundang-undangan maupun<br />
peraturan pemerintah.<br />
7. Sebagai catatan “Tim Kajian”,<br />
alternatif dan perspektif peralihan ke<br />
“Sistem pemerintahan adat, bukan<br />
berarti melakukan perombakan<br />
tatanan sistem pemerintahan yang<br />
ada diserahkan kepada adat, akan<br />
tetapi membangun suatu sistem<br />
yang sinerji antara Kelembagaan<br />
formal dengan institusi adat,<br />
sehingga konsep Tigo tali sapilin<br />
sebagai suatu kekuatan yang berakar<br />
dari budaya masyarakat bisa hidup<br />
kembali dalam berbagai aspek<br />
dimasyarakat.<br />
8. Untuk mengimplementasikan itu<br />
semua, perlu kemauan politik dan<br />
keseriusan, terutama dari<br />
pemerintah kabupaten, Dewan<br />
Perwakilan rakyat <strong>Daerah</strong> dengan<br />
dukungan semua komponen elemen<br />
masyarakat, termasuk lembaga adat<br />
dan unsur terkait dan diperlukan<br />
paying hokum dalam bentuk<br />
Peratutan <strong>Daerah</strong> (Perda) sebagai<br />
kekuatan hukum.<br />
9. Harus diakui adat sebagai satu<br />
diantara sistem nilai masyarakat dan<br />
lemabaga adat sebagai suatu sistem<br />
sosial, adalah kekayaan budaya<br />
yang tidak ternilai maknanya. Oleh<br />
karena itu kedepan diperlukan<br />
penguatan (capacity building)<br />
lembaga adat.<br />
Khusus desa yang berada dalam<br />
ibukota kecamatan, yang belum<br />
dimekarkan menjadi kelurahan, perlu<br />
pertimbangan yang matang untuk<br />
perubahan status keotonomiannya, baik
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
80<br />
dari sisi pemerintahan desa dan<br />
masyarakatnya maupun komitmen<br />
Pemerintah kabupaten, mengingat<br />
perubahan perturan perundangundangan<br />
yang sering berubah.<br />
1. Pertimbangan diatas didasari, kalau<br />
memang adanya wacana untuk<br />
kembali kesistem pemerintahan<br />
kenegerian yang berakar dari kultur<br />
budaya masyarakat kuantan<br />
singingi, seperti masa lalu.<br />
2. Pemerintahan kabupaten, kecamatan<br />
maupun pemerintahan desa itu<br />
sendiri perlu mensosialisasikan<br />
kepada masyarakat perlu tidaknya<br />
akselerasi perubahan status desa<br />
tersebut (manfaat dan kerugiannya).<br />
DAFTAR RUJUKAN<br />
Coralin Bryant & White Louise, 1987,<br />
Manajemen Pembanguna untuk<br />
Negara Berkembang, Jakarta :<br />
LP3ES<br />
Eko, Sutoro, 2006, Mempertegas Posisi<br />
Politik dan Kewenangan Desa,<br />
Forum<br />
Penembangan<br />
Pembaharuan Desa (FPPD) dan<br />
Democraic Reform Support<br />
Program (DRSP) USAID, Jakarta<br />
3 – 4 Juli 2006<br />
Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, 2004,<br />
Reclaiming Development: An<br />
Alternatif Economic Policy<br />
Manual, Zed Books, London<br />
Kompas, 11 Juni 2004<br />
Maschab, Mashuri 1992, Pemerintahan<br />
Desa di Indonesia, PAU Studi<br />
Ilmu Sosial, Yogyakarta.<br />
Pratikno, 2003, Desentralisasi, Pilihan<br />
yang tidak pernah Final, Program<br />
Studi Ilmu Politik UGM,<br />
Yogyakarta.<br />
Rondinelli, Dennis A and Cheema,<br />
Shabir G, 1998, Implementing<br />
Decentralixation Polecies, An<br />
Introduction, Sage Publikation,<br />
Beverly Hills, California.<br />
Yunus, Yasril, 2005, Pemerintahan<br />
Nagari Di Era Orde Baru<br />
Persepsi Aparatur Pemerintah<br />
dan Masyarakat Terhadap<br />
Pemerintahan Nagari dan<br />
Otoritas Tradisonal Minangkabau<br />
Dalam Kaitannya dengan Prospek<br />
Otonomi <strong>Daerah</strong> di Sumtera<br />
Barat, Tesis, Pascasarjana<br />
Universitas Brawijaya, Malang.<br />
Soemardjan, Selo, Otonomi Desa Adat,<br />
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 2000<br />
Samad, R Syofyan, Konvergensi Antara<br />
Institusi Adat dan Birokrasi dalam<br />
Struktur Pemerintahan,<br />
Pekanbaru, 2000<br />
Hamidy, UU, Masyarakat Adat<br />
Kuantan Singing, UIR Press,<br />
2000.<br />
Pedoman Pemutakhiran Adat Kuantan<br />
Singingi, Badan Pemutakhiran<br />
Adat (BPA) Kuantan Singingi,<br />
2000<br />
Lauer, Robert, H.Perspektif Perubahan<br />
Sosial, Bina Aksara, Jakarta,<br />
1989.<br />
Undang-undang Nomor 5 tahun 1979,<br />
tentang Pemerintahan Desa<br />
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999<br />
tentang Pemerintahan <strong>Daerah</strong><br />
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004<br />
tentang Pemerintahan <strong>Daerah</strong><br />
Perturan Pemerintah nomor 72 tahun<br />
2005 tentang Desa<br />
Perturan Pemerintah nomor 73 tahun<br />
2005 tentang Kelurahan
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
81<br />
PETUNJUK BAGI PENULIS<br />
Macam dan Isi Artikel<br />
Artikel yang dipublikasi Jurnal<br />
Kebijakan Publik (JKP) meliputi hasil<br />
penelitian tentang masalah kebijakan<br />
administrasi publik, baik pada lembagalembaga<br />
pemerintah , swasta atau<br />
masyarakat. Artikel yang dimuat<br />
merupakan artikel hasil penelitian yang<br />
belum pernah diterbitkan dalam media<br />
cetak lain.<br />
Artikel diketik 1 spasi dalam bahasa<br />
Indonesia atau bahasa Inggris dengan<br />
ukuran kertas kuarto dengan jumlah<br />
minimal 10 halaman dan maksimal 20<br />
halaman dalam bentuk hard and soft<br />
copy sebanyak 2 eksamplar. Naskah<br />
(file) yang dibuat dalam bentuk soft copy<br />
dimasukan dalam program Microsoft<br />
word dilengkapi dengan nama penulis,<br />
judul artikel, alamat lembaga, kode pos,<br />
telepon dan fax. Naskah dapat dikirim<br />
lewat internet atau via pos sesuai dengan<br />
alamat publikasi Jurnal Kebijakan<br />
Publik (JKP). Naskah dikirim paling<br />
lambat 1 bulan sebelum penerbitan,<br />
yaitu bulan maret dan oktober pada<br />
setiap tahunnya.<br />
Alamat Penyunting dan Tata Usaha :<br />
Laboraturium Program Studi Ilmu<br />
Administrasi Negara Fisip Unri Kampus<br />
Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru<br />
Pekanbaru. Telp/Fax : (0761) 63277 E-<br />
mail : jkp_ana@yahoo.co.id<br />
Format<br />
• Judul. Maksimal 14 kata dalam<br />
bahasa Indonesia atau 10 kata dalam<br />
bahasa Inggris, lugas dan menarik.<br />
• Nama Penulis. Lengkapi dengan<br />
nama dan alamat lembaga tempat<br />
kegiatan penelitian, kode pos,<br />
telp/fax yang digunakan untuk<br />
korespondensi dengan penulis.<br />
• Abstrak. Merupakan miniatur isi<br />
keseluruhan tulisan meliputi latar<br />
belakang, masalah, tujuan, metode,<br />
hasil dan simpulan. Ditulis dalam<br />
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.<br />
• Key Words. Memuat konsep yang<br />
terkandung dalam artikel, ditulis<br />
dalam bahasa Indonesia dan bahasa<br />
Inggris terdiri dari 3 – 5 konsep.<br />
• Pendahuluan. Memuat latar<br />
belakang, masalah penelitian, tujuan<br />
penelitian dan landasan teori<br />
penelitian yang dapat mendukung<br />
pemecahan masalah dan tujuan<br />
penelitian, dimana penulisannya<br />
tidak mencantumkan sub judul.<br />
• Metode. Menjelaskan bagaimana<br />
prosedur penelitian dilakukan<br />
meliputi : disaian penelitian,<br />
populasi, sampel, instrumen, skala<br />
pengukuran dan analisas data.<br />
• Hasil. Memuat pembahasan dari<br />
hasil penelitian yang dilengkapi<br />
dengan ilustrasi (grafik, tabel,<br />
gambar dan foto). Selain itu hasil ini<br />
merupakan penjelasan dan analisa<br />
yang mengkaitkan dengan konsep<br />
dasar dan membandingkan dengan<br />
hasil penelitian orang lain yang<br />
relevan.<br />
• Simpulan. Ditulis dalam bentuk<br />
essay yang memuat asensi dari hasil<br />
penelitian dan bukan rangkuman.<br />
• Daftar Rujukan. Daftar rujukan<br />
diharapkan 70 % bersumber dari<br />
pustaka primer (jurnal, hasil<br />
penelitian, skripsi, tesis dan<br />
desertasi) dan 30 % bersumber dari<br />
pustaka sekunder (buku dan<br />
makalah). Ditulis diurutkan<br />
berdasarkan alpabet dengan tahun<br />
terbitan 10 tahun terakhir.
*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />
Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />
82