29.01.2015 Views

Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah - perpustakaan ...

Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah - perpustakaan ...

Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah - perpustakaan ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Volume 1, Nomor *Analisis 1, Maret Partisipatif 2010 Pembangunan di Kota Pekanbaru ISSN 1978 – 0689<br />

1<br />

Spesialisasi Disiplin Ilmu Administrasi Publik<br />

Jurnal Kebijakan Publik sebagai spesialisasi Ilmu Administrasi Negara adalah artikel dan tulisan ilmiah<br />

dalam bentuk hasil-hasil penelitian dan non penelitian, baik pada lembaga pemerintah atau dalam<br />

masyarakat. Kebijakan Publik sebagai kajian teoritis dan praktis merupakan suatu proses mulai dari<br />

perumusan, implementasi dan evaluasi kebijkan yang dilakukan Pemerintah dalam menghadapi<br />

kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang selalu berubah. Oleh karena itu, penerbitan jurnal ini sebagai<br />

media ilmiah berkenaan dengan masalah-masalah kebijakan publik, baik berupa peraturan perundangundangan,<br />

PP, Perda, Kpts, maupun program dan tindakan-tindakan pemerintah, berusaha menyebar<br />

luaskan keseluruh Perguruan Tinggi, Lembaga Pemerintah, non Pemerintah baik di tingkat pusat, Propinsi<br />

maupun kota/kabupaten.<br />

ISSN 1978 – 0689<br />

Penanggung Jawab<br />

Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara<br />

Ketua Penyunting<br />

Zaili Rusli<br />

Anggota Dewan Penyunting<br />

Sujianto (Universitas Riau)<br />

Chalid Sahuri (Universitas Riau)<br />

Fachruddin (Universitas Riau)<br />

Lafri Eldiny (Universitas Riau)<br />

Raja Ilyas Aman (Universitas Riau)<br />

Penyunting Pelaksana<br />

Adianto<br />

Dadang Mashur<br />

Pelaksana Tata Usaha<br />

Hasim As’ari<br />

Mayarni<br />

Abdul Sadad<br />

Alamat Penyunting dan Tata Usaha : Laboraturium Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fisip<br />

Unri Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Pekanbaru. Telp/Fax : (0761) 63277 E-mail :<br />

jkp_ana@yahoo.co.id<br />

JURNAL KEBIJAKAN PUBLIK diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Adminitrasi Negara Fakultas<br />

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau<br />

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Syaratsyarat,<br />

format dan tata aturan tata tulis artikel dapat dilihat pada Petunjuk bagi penulis di sampul<br />

belakang dalam jurnal ini. Data yang masuk ditelaah oleh para Mitra Bestari dan atau penyunting ahli<br />

untuk dinilai kelayakannya. Penyunting dapat melakukan penyuntingan atas tulisan yang dimuat tanpa<br />

mengubah maksud dan isinya.


Volume 1, Nomor<br />

*Analisis<br />

1, Maret<br />

Partisipatif<br />

2010<br />

Pembangunan di Kota Pekanbaru<br />

ISSN 1978 – 0689 2<br />

DAFTAR ISI<br />

Spesialisasi Disiplin Ilmu Administrasi Publik<br />

Analisis Pembangunan Partisipatif di Kota Pekanbaru<br />

Zaili Rusli (Universitas Riau) 1 – 9<br />

Keberhasilan Implementasi Program Usaha <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong><br />

Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

Adianto (Universitas Riau) 10 – 24<br />

Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan MAsyarakat<br />

(Jankesmas) Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

Kota Pekanbaru<br />

Sofia Achnes (Universitas Riau) 25 – 34<br />

Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan Pemerintah <strong>Daerah</strong><br />

Di Propinsi Riau<br />

Yasir (Universitas Riau) 35 – 47<br />

<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD)<br />

Di Kabupaten Pasaman (Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

Hari Septiadi (Universitas Riau) 48 – 57<br />

Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

Miranda Ardi (Universitas Riau) 58 – 67<br />

Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

Okta Karneli (Universitas Riau) 68 – 81<br />

Jurnal<br />

Kebijakan<br />

Publik<br />

Volume<br />

1<br />

Nomor<br />

1<br />

Hal. 1 – 81<br />

Pekanbaru<br />

Maret<br />

2010<br />

ISSN<br />

1978 – 0680


*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 3<br />

Analisis Pembangunan Partisipatif di Kota Pekanbaru<br />

ZAILI RUSLI. SD.<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />

Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />

ABSTRAK : Pembangunan merupakan suatu usaha untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan yang<br />

lebih baik. Ketika pembangunan itu dilaksanakan dari oleh dan untuk masyarakat maka pembangunan itu<br />

dikatakan sebagai pembangunan partisipatif dan pembangunan partisipatif inilah yang dikehendaki oleh<br />

otonomi daerah yaitu pembangunan kemandirian. Masyarakat yang merancang, mereka yang<br />

melaksanakan dan dia pula yang mengawasi serta mereka pula yang memanfaatkannya. Pembangunan<br />

partisipatif di kota pekanbaru sudah dilaksanakan melalui usaha Musrembang namun hasilnya belumlah<br />

optimal dimana tidak semua hasil Musrembang dapat dilaksanakan. Kondisi ini disebabkan oleh 1)<br />

komitmen pemerintah kota dan 2) Kondisi keuangan kota (APBD). Hasil kajian menunjukkan bahwa<br />

pembangunan daerah dikota pekanbaru belum menunjukan sebagai pembangunan partisipatif hal ini dapat<br />

dilihat dari 1) Rekstrukturisasi pemerintahan daerah 2) Pengelolaan keuangan daerah 3) Standar<br />

pelayanan Pemerintah daerah dan 4) perencanaan pembangunan daerah . Kondisi ini dipengaruhi oleh<br />

komitmen pemerintah kota yang kurang sesuai dengan kondisi yang diinginkan dan kondisi keuangan<br />

pemerintah kota yang kurang memadai beerangkat dari kenyataan ini disarankan bahwa agar pemerintah<br />

kota pekanbaru tetap komit untuk melaksanakan pembangunan partisipatif dan meningkat pendapatan<br />

daerah guna menunjang APBD sehingga pembangunan partisipatif dapat terwujud.<br />

Kata kunci : Pembangunan, Partisipatif, Keuangan, dan komitmen<br />

Pembangunan merupakan pergeseran<br />

dari suatu kondisi daerah yang satu<br />

menuju kondisi daerah yang lainnya,<br />

yang dipandang lebih baik dan lebih<br />

berharga. Disamping itu, pembangunan<br />

juga merupakan proses multidimensional<br />

yang menyangkut dengan perubahanperubahan<br />

penting dalam suatu struktur,<br />

sistem sosial ekonomi, sikap<br />

masayarakat dan lembaga-lembaga<br />

daerah serta akselerasi pertumbuhan<br />

ekonomi, pengangguran, kesenjangan<br />

pemberantasan kemiskinan. Dari<br />

pemahaman tersebut mengisyaratkan<br />

bahwa pembangunan berarti menuju<br />

perubahan-perubahan yang dimaksud<br />

untuk memperbaiki kualitas kehidupan<br />

masyarakat itu sendiri, baik kehidupan<br />

pisik maupun non pisik.<br />

Beberapa dekade belakangan ini<br />

pembangunan dilaksanakan penuh<br />

dengan nuansa campur tangan<br />

pemerintah pusat terhadap berbagai<br />

aspek pemerintah daerah dan kehidupan<br />

masyarakat adalah sangat dominan,<br />

sementara dilain pihak partisipasi<br />

masyarakat lokal sangat kurang<br />

diperhatikan. Akibat strategi sentralisasi<br />

yang berlebihan ini muncullah berbagai<br />

kesenjangan baik antara wilayah maupun<br />

antara golongan masyarakat yang pada<br />

puncaknya dalam jangka panjang dapat<br />

mendorong disintegrasi bangsa dan<br />

dalam jangka pendek dapat<br />

menyebabkan tingginya biaya<br />

pembangunan. Disamping itu manfaat<br />

pembangunan menjadi tidak optimal<br />

serta keberlanjutan, pembangunan sangat<br />

rapuh dan rentan karena tidak sesuainya<br />

pembangunan dengan keinginan<br />

masyarakat daerah.<br />

Ketika itu masalah tersebut<br />

sebenarnya juga sudah disadari namun<br />

karena sistem penganggaran kegiatan<br />

pembangunan daerah pada subsidi pusat<br />

masih sangat tinggi, maka bagian<br />

terbesar dari program dan kegiatan<br />

tahunan daerah ditentukan secara<br />

1


*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 2<br />

sektoral dari pusat. Kondisi ini bias<br />

mematikan daya kreasi daerah dalam<br />

menentukan jenis-jenis program dan<br />

kegiatan yang lebih sesuai dengan<br />

kebutuhan setempat, dan melumpuhkan<br />

fungsi rencana daerah sebagai koridor<br />

perencanaan jangka menengah, karena<br />

rencana daerah hampir tidak pernah<br />

digunakan sebagai rujukan dalam<br />

menentukan pilihan-pilihan program dan<br />

kegiatan-kegiatan daerah.<br />

Ketika era reformasi bergulir, maka<br />

pola perencanaan pembangunan harus<br />

sesuai dengan derap perubahan zaman<br />

tersebut. Sejalan dengan UU No. 22<br />

tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999,<br />

yang sudah ditindak lanjuti melalui PP<br />

No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan<br />

pemerintah pusat dan propinsi sebagai<br />

daerah otonomi, maka format<br />

perencanaan pembangunan yang<br />

dibayangkan adalah perencanaan yang<br />

sesuai dengan batas-batas kewenangan<br />

mereka melalui forum koordinasi<br />

horizontal. Ini mengandung arti bahwa<br />

seluruh tahapan pembangunan<br />

perencanaan pada setiap tingkatan<br />

pemerintahan harus dilakukan sesuai<br />

dengan prinsip-prinsip partisipatif.<br />

Setiap stakeholder memiliki fungsi dan<br />

peranan serta tanggung jawab masingmasing.<br />

Pada saat yang sama, juga disadari<br />

bahwa hak dan kewenangan setiap<br />

tingkat pemerintahan untuk menyusun<br />

perencanaan pembangunan setempat<br />

melalui forum dialog dan konsolidasi<br />

horizontal juga perlu diimbangi dengan<br />

adanya forum komunikasi dan dialog<br />

vertical antara tingkat-tingkat<br />

pemerintahan yang berbeda. Tujuannya<br />

adalah untuk melakukan sinergi<br />

kebijakan serta sinkronisasi program dan<br />

kegiatan dalam rangka menjamin<br />

efesiensi, mencegah benturan<br />

kepentingan dan vakum kegiatan.<br />

Pengembangan otonomi daerah yang<br />

semakin dititik beratkan kepada<br />

kabupaten/kota akan membawa<br />

konsekuensi dan tantangan yang cukup<br />

berat bagi para pengelola administrasi<br />

Negara di daerah, baik dalam tahap<br />

perumusan kebijakan maupun<br />

implementasinya program-program<br />

pembangunan. Pasal 10 dan 11 pada UU<br />

No. 22 tahun 1999 mengisyaratkan<br />

tugas-tugas pemerintahan, pembangunan<br />

dan kemasyarakatan yang dipikul<br />

pemerintah daerah kabupaten/ kota<br />

menjadi semakin luas dan kompleks.<br />

Dengan demikian, model pembangunan<br />

daerah dengan pendekatan tugas-tugas<br />

pemerintahan, pembangunan dan<br />

kemasyarakatan yang dipikul pemerintah<br />

daerah kabupaten/ kota menjadi semakin<br />

luas dan kompleks. Dengan demikian,<br />

model pembangunan daerah dengan<br />

pendekatan tricle down effect yang sudah<br />

berlangsung tiga puluh tahun lebih perlu<br />

ditinjau dan diganti sebab masih banyak<br />

masalah-masalah ketimpangan perolehan<br />

pendapatan dan keadilan sosial yang<br />

sering terjadi dan sangat dirasakan oleh<br />

masyarakat. Oleh karena itu model<br />

pembangunan daerah dimasa kini dan<br />

masa depan perlu difokuskan pada<br />

pembangunan masyarakat lokal sebagai<br />

sebuah economic entity. Model<br />

pembangunan itu dilakukan melalui<br />

perubahan paradigma pembangunan top<br />

down ke pembangunan partisipatif.<br />

Keadaan tersebut menimbulkan<br />

pertanyaan, bagaimana pelaksanaan<br />

pembangunan partisipatif dan faktor apa<br />

yang mempengaruhi implementasinya di<br />

lapangan .<br />

Pembangunan partisipatif adalah<br />

suatu proses pembangunan yang<br />

memberdayakan masyarakat mulai dari<br />

tahap perencanaan, pelaksanaan hingga<br />

pengawasan pembangunan. Disamping<br />

itu diharapkan pula masyarakat dapat<br />

menempati prioritas sebagai penikmat


*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 3<br />

hasil pembangunan. Namun untuk<br />

mencapai keadaan itu kemandirian<br />

masyarakat tidak cukup melainkan<br />

diperlukan partisipasi aktif dari berbagai<br />

stakeholder stakeholder bersama<br />

masyarakat dan pemerintah diharapkan<br />

dapat terlibat dalam memberikan<br />

dukungan moril dan materil pada setiap<br />

tahapan perencanaan pembangunan.<br />

Tanpa upaya kearah itu maka paradigma<br />

program perencanaan pembangunan<br />

partisipatif sulit terwujud bahkan dapat<br />

dinyatakan sebagai suatu cita-cita indah<br />

yang tidak pernah tercapai. Keterlibatan<br />

stakeholder pada era otonomi daerah<br />

sangat penting karena mereka<br />

diharapkan dapat tampil untuk<br />

mengurangi terjadinya stagnasi<br />

pembangunan yang dihadapi pemerintah<br />

daerah dan masyarakat dalam menerima<br />

proses pelimpahan kebijakan yang<br />

bersifat sentralistik dan top down ke<br />

desentralistik dan botton up. Partisipasi<br />

para stakeholder sangat diperlukan untuk<br />

membantu pemerintahan daerah dan<br />

masyarakat untuk mengelola sumber<br />

daya daerah secara optimal. Hal itu<br />

dilakukan agar daerah dapat memperoleh<br />

sumber pendapatan yang bersumber dari<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) sendiri<br />

guna membiayai program pembangunan<br />

daerah.<br />

Secara teknis, penerjemahan dari<br />

isyarat UU No. 22 tahun 1999 dan UU<br />

No. 25 tahun 1999 ke dalam sebuah<br />

sistem perencanaan partisipatif yang<br />

bersifat desentralistik tidak terlalu sulit<br />

untuk diwujudkan, terutama bila seluruh<br />

instansi terkait mampu menggalang kata<br />

sepakat tentang format, substansi,<br />

mekanisme koordinasi dan pola-pola<br />

pembiayaan termasuk rangkaian<br />

dokumen yang diperlukan.<br />

Dalam kenyataannya, kata sepakat<br />

dimaksud belum tercapai hingga tingkat<br />

yang paling mendasar, melainkan baru<br />

pada tataran makro strategi. Ini<br />

terejahwantahkan dalam dua kelompok<br />

peraturan perundangan yang sudah<br />

diterbitkan, yakni UU No. 25 tahun 2000<br />

tentang Propenas di satu pihak dan PP<br />

No. 108 tahun 2000 tentang tata cara<br />

pertanggung jawaban kepada daerah<br />

dipihak lain. Sekalipun keduanya<br />

merupakan turunan dari UU No. 22/99<br />

dan UU No. 25/99, serta memiliki satu<br />

tujuan yang sama, yakni menghadirkan<br />

sistem perencanaan partisipatif dalam<br />

konteks desentralisasi kebijakan dan<br />

fiskal.<br />

Dalam rangka menjalankan<br />

komitmen untuk pembangunan daerah di<br />

era desentralisasi maka Pemerintahan<br />

Indonesia telah menyetujui masuknya<br />

bantuan pendanaan (hibah) dari USAID<br />

untuk melaksanakan kegiatan bantuan<br />

teknis Program Dasar Pembangunan<br />

Partisipatif (PDPP). Tugas utama<br />

program itu, yaitu :<br />

a. Pengembangan kapasitas<br />

kelembagaan pemerintah daerah<br />

b. Pengelolaan keuangan daerah<br />

c. Penyediaan pelayanan perkotaan<br />

d. Perencanaan pembangunan daerah<br />

yang partisipatif (participate<br />

planning).<br />

Kesemuanya dijabarkan dalam<br />

rangka menyusun program<br />

pembangunan daerah. Hal ini<br />

dimaksudkan karena pada masa yang<br />

lampau pendekatan perencanaan daerah<br />

lebih banyak bersifat politis dari pada<br />

operasional. Namun memasuki otonomi<br />

daerah pendekatan itu tidak cukup<br />

melainkan harus bersifat teknis<br />

operasional dengan melibatkan berbagai<br />

stakeholder untuk membentuk<br />

kelembagaan berupa tim teknis tingkat<br />

kabupaten dari unsur-unsur pemerintah,<br />

masyarakat dan swasta. Tim teknis yang<br />

pada pelaksanaannya telah dibentuk<br />

Pokja-Pokja sebagai berikut :


*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 4<br />

1. <strong>Strategi</strong> Program Jangka Menengah<br />

(SPJM)<br />

2. Program Pengelolaan Pembiayaan<br />

Rencana Tindak (P3RT)<br />

3. Program Investasi Pembangunan<br />

Perkotaan (PIPP)<br />

4. Program Pengembangan<br />

Institusional dan Rencana Tindak<br />

(P2IRT)<br />

Pada khususnya Program<br />

Pengembangan Kelembagaan dalam<br />

melakukan penyusunan Program<br />

Pengembangan Instiusional dan Rencana<br />

Tindak bagi setiap pemerintah<br />

kabupaten/ kota dibagi dalam dua pokok<br />

bahasan yaitu (1) Program<br />

Pengembangan Aspek Kelembagaan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> itu sendiri, yang ke<br />

(2) Program <strong>Peningkatan</strong> Peran Serta<br />

Masyarakat. Sedangkan ruang lingkup<br />

dari program kelembagaan ini :<br />

1. Melakukan penataan dan<br />

penyempurnaan<br />

struktur<br />

(restrukturisasi) kelembagaan<br />

pemerintahan kota.<br />

2. Melakukan evaluasi dan penyusunan<br />

kembali kebijakan publik, peraturan<br />

dan ketentuan yang berkaitan dengan<br />

pengelolaan pembangunan kota.<br />

3. Melakukan analisis terhadap proses<br />

managemen<br />

(planning,<br />

programming, organizing,<br />

actualiting and controlling) dari<br />

birokrasi pemerintah kota khususnya<br />

dalam hal pelayanan umum dan<br />

pembangunan kota.<br />

4. Melakukan upaya peningkatan<br />

kemampuan sumber daya aparat<br />

pemerintah daerah, masyarakat dan<br />

swasta serta lembaga lainnya.<br />

Tentang konsep Program PDIPP,<br />

arahnya yaitu terciptanya program<br />

pembangunan yang murni dari bawah<br />

(bottom up, dimana pemerintah harus<br />

merelakan sebagian wewenangnya<br />

sebagai pemegang monopoli<br />

pembangunan kepada masyarakat mulai<br />

dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan<br />

pengelolaan serta evaluasinya. Upaya<br />

mencapai hal demikian PDIPP<br />

mempersiapkan masyarakat agar mereka<br />

dapat terlibat dalam peran tersebut tidak<br />

saja teknis tetapi juga dari segi<br />

pemahaman tentang kebijakan arah dan<br />

kebijakan pembangunan yang disepakati.<br />

Oleh karena itu untuk menyikapi hal<br />

demikian PDIPP mengajukan usulan<br />

untuk membangun suatu consensus atau<br />

penyamaan persepsi dari semua<br />

stakeholder tentang bagaimana masingmasing<br />

unsur membagi peran dan fungsi<br />

untuk pembangunan daerah dan<br />

masyarakat.<br />

Kondisi saat ini, pada era penerapan<br />

asa desentralisasi, kota menghadapi<br />

suatu situasi yang kompleks dengan<br />

kecenderungan sebagai berikut :<br />

Sekitar 30% kota-kota menghadapi<br />

permasalahan kemiskinan perkotaan dan<br />

keamanan yang cukup serius.<br />

1. Sekitar 60 – 70 % dari kota-kota,<br />

terutama kota-kota besar dan<br />

metropolitan memerlukan bantuan<br />

mendesak bagi memperbaiki<br />

pengem- bangan ekonomi lokal.<br />

2. Hampir semua kota menghadapi<br />

masalah degradasi kondisi<br />

lingkungan yang serius.<br />

3. Permasalahan kota yang dihadapi<br />

semakin multi dimensional dimana<br />

isu sosial, keamanan dan degradasi<br />

kondisi sosial masyarakat merupakan<br />

masalah utama yang menonjol<br />

dihampir semua kota.<br />

4. Kota-kota menghadapi masalah<br />

urban sprawl dan ribbon<br />

development yang semakin<br />

mengancam degradasi lingkungan<br />

kota-kota dan kesenjangan semakin<br />

besar terhadap prinsip-prinsip<br />

pembangunan berkelanjutan,<br />

(sustainable dvcelopment).<br />

5. Kota menjalankan agenda<br />

desentralisasi seperti reformasi<br />

kebijakan, kewenangan, organisasi<br />

dan kelembagaan secara signifikan,<br />

sering kali tanpa disertai dengan visi,<br />

misi, pemahaman yang jelas atas


*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 5<br />

permasalahan pengelolaan<br />

perkotaan.<br />

6. Penyelenggaraan pelayanan umum<br />

belum sepenuhnya efisien dan<br />

efektif.<br />

7. Kota-kota pada umumnya belum<br />

memiliki pengetahuan dan<br />

pengelaman yang memadai untuk<br />

mengembangkan pendekatan<br />

kemitraan dan demokrasi yang<br />

merupakan asas bagi menjalankan<br />

desentralisasi yang efektif.<br />

8. Belum adanya kerangka kerjasama<br />

yang serasi dan kondusif antara<br />

legislative dan eksekutif mengatasi<br />

masalah-masalah pengembangan<br />

perkotaan.<br />

9. Penyesuaian kultur administrasi dan<br />

birokrasi di pemerintahan dan<br />

pemerintahan daerah untuk<br />

melaksanakan transparansi dan<br />

akuntabilitas belum seperti<br />

diharapkan.<br />

10. hampir semua kota memerlukan<br />

pengembangan kemampuan untuk<br />

dapat melembagakan secara efektif<br />

good<br />

governance<br />

(Warpani,1984:27).<br />

Kehadiran Program Dasar<br />

Pembangunan Partisipatif (PDPP)<br />

berhubungan dengan permasalahan yang<br />

disebutkan diatas, khususnya<br />

membangun kerangka kerjasama yang<br />

kondusif diantara para pelaku<br />

pembangunan di kota, baik pihak<br />

eksekutif maupun legislative,<br />

membenahi kultur birokrasi dan<br />

penerapan akuntabilitas pelaksanaan<br />

pembangunan dalam rangka<br />

penyelenggaraan tata pemerintahan yang<br />

baik (good governance).<br />

Keadaan menunjukkan kebijakan<br />

desentralisasi berupa pendelegasian<br />

kewe- nangan lebih besar kepada<br />

pemerintah kota tidak akan serta merta<br />

dapat mengatasi permasalahan yang<br />

semakin kompleks di atas. Kerjasama<br />

pemerintah pusat provinsi kota mutlak<br />

masih diperlukan terutama pada masa<br />

transisi ini untuk mengorientasikan dan<br />

mempersiapkan kota dapat menjalankan<br />

peranan barunya secara efektif dalam era<br />

desentralisasi. Pelaksanaan desentralisasi<br />

yang efektif tidak mungkin terjadi tanpa<br />

diimbangi peningkatan kemampuan<br />

pengelolaan kota, desentralisasi dan<br />

pengembangan kemampuan pengelolaan<br />

kota berjalan seiring dalam suatu proses<br />

yang saling mendukung (mutually<br />

reinforcing).<br />

Implementasi desentralisasi tidak<br />

serta merta dapat mengatasi keterbatasan<br />

kemampuan dalam mengatasi permasalahan<br />

kota. Dukungan perlu terus<br />

diberikan pada kota-kota untuk dapat<br />

mengimplementasikan desentralisasi<br />

secara efektif. Kerjasama pusat, provinsi<br />

dan kota yang erat dan sistematis sangat<br />

diperlukan pada masa transisi ini untuk<br />

mensukseskan desentralisasi. Kota perlu<br />

memiliki agenda jangka menengah yang<br />

jelas bagaimana desentralisasi secara<br />

sistematis diimplementasikan.<br />

METODE<br />

Penelitian ini tergolong kedalam<br />

analisis deskriptif dalam arti kajian<br />

pelaksanaan pembangunan partisipatif<br />

lebih dijelaskan pada data yang ada pada<br />

dokumen perenca- naan daerah.<br />

Pembahasan diarahkan kepada<br />

bagaimana implementasi kebijakan<br />

pembangunan partisipatif dan ditekankan<br />

pada musyawarah perencanaan<br />

pembangunan. Sementara itu informasi<br />

penelitian adalah tokoh masyarakat yang<br />

terlibat dalam kegi-atan Musrembang,<br />

dan informasi lainnya yang dapat<br />

mendukung penjelasan.<br />

HASIL<br />

Dari hasil telaah dokumen<br />

pembangunan di Kota Pekanbaru dan<br />

hasil wawancara dengan beberapa orang<br />

tokoh masyarakat diketahui bahwa


*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 6<br />

pelaksanaan pembangunan partisipatif<br />

belumlah sesuai dengan kaidah-kaidah<br />

pembangunan partisipatif. Hal ini dapat<br />

dilihat dari : Pembangunan pemerintah<br />

kota melalui penataan dan<br />

penyempurnaan kelembagaan yang<br />

belum mendukung orientasi<br />

pembangunan partisipatif.<br />

Disamping itu pengelolaan keuangan<br />

kota atau APBD lebih diarahkan pada<br />

belanja rutin bukan berorientasi pada<br />

belanja pembangunan. Kemudian<br />

kualitas dan standar pelayanan dari<br />

birokrasi pemerintahan kota baru<br />

berorientasi pada pelayanan umum<br />

belum pada pelayanan partisipatif.<br />

Selanjutnya perencanaan pembangunan<br />

partisipatif melalui Musrembang masih<br />

lemah atau boleh dikatakan lebih pada<br />

sermonial.<br />

Kegiatan yang menunjukkan kinerja<br />

Program PDPP (Program Dasar<br />

Pembangunan Partisipatif) adalah kinerja<br />

peningkatan kemampuan sumber daya<br />

aparat pemerintah kota yang meliputi<br />

kegiatan identifikasi kebutuhan untuk<br />

pengembangan kemampuan aparat<br />

pemerintah kota. Penetapan program<br />

untuk rasionalisasi kebutuhan aparat<br />

pemerintah kota. Penyempurnaan sistem<br />

dan standar kinerja aparat yang<br />

mengelola pembangunan perkotaan<br />

menuju sikap profesionalisme.<br />

1. Restrukturisasi kelembagaan<br />

pemerintah kota<br />

Program pengembangan institusional<br />

adalah salah aspek dari program dasar<br />

pembangunan partisipatif (PDPP).<br />

Tujuan program pengembangan<br />

institusional adalah untuk mendukung<br />

pemerintah kabupaten dan kota dalam<br />

beberapa hal, yaitu :<br />

1. Meningkatkan kinerja pelayanan<br />

umum.<br />

2. Mengembangkan kebijakan publik<br />

yang lebih terbuka.<br />

3. Memantapkan sistem organisasi dan<br />

tata laksana pemerintahan daerah.<br />

4. Meningkatkan kemampuan sumber<br />

daya manusia.<br />

5. Mengembangkan lembaga<br />

masyarakat.<br />

6. Mengembangkan peraturan melalui<br />

upaya regulasi dan deregulasi.<br />

Tujuan program pengembangan<br />

institusional ada dua aspek, yaitu<br />

pertama, memberikan kontribusi untuk<br />

mendukung aspek PDPP yang lain,<br />

melalui strategi pembangunan,program<br />

investasi, program pembiayaan,<br />

perencanaan bersama masyarakat,<br />

corporate planning dan pengembangan<br />

ekonomi lokal. Kontribusi ini<br />

menyangkut aspek pengembangan<br />

kebijakan publik dan efektifitas<br />

pelayanan umum serta peningkatan<br />

kemampuan sumber daya manusia,<br />

kedua, kontribusi memperbaiki kinerja<br />

pemerintahan didaerah pada tiap<br />

tingkatan pengelolaan pembangunan<br />

untuk mencapai “pemerintahan yang<br />

baik (good governance)” dan melibatkan<br />

pelaku pembangunan pada setiap tahap<br />

pengelolaan pembangunan.<br />

Berdasar data yang diperoleh dari<br />

dokumen kelembagaan pemerintah kota<br />

yang dikaitkan dengan tanggapan tokoh<br />

masyarakat kota diketahui bahwa<br />

penataan kelembagaan kota pada<br />

umumnya masih seperti kelembagaan<br />

kota pada masa pemerintahan orde baru.<br />

Pada hal sesungguhnya kelembagaan<br />

kota yang perlu disempurnakan lagi<br />

adalah kelembagaan yang mampu<br />

menumbuh kembangkan keterlibatan<br />

masyarakat dalam pembangunan. Oleh<br />

karena itu upaya yang harus dilakukan<br />

dalam penataan kelembagaan tersebut<br />

meliputi, susunan organisasi, tata<br />

laksana organisasi dan pengetahuan<br />

sumber daya manusia yang senantiasa<br />

berorientasi pada kepentingan<br />

masyarakat dalam arti bahwa rasa<br />

memiliki masyarakat lebih baik.


*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 7<br />

2. Pengelolaan keuangan yang<br />

berorientasi pada pembangunan<br />

kota<br />

Beberapa isu penting yang terkait<br />

dengan kegiatan keuangan dan<br />

pembangunan kota adalah : tuntutan<br />

akan pelayanan publik yang lebih baik,<br />

peningkatan kualitas proses<br />

pembangunan, perlunya peningkatan<br />

efektifitas pengelolaan dan mobilisasi<br />

sumber-sumber<br />

pembiayaan<br />

pembangunan kota (PADS, provinsi,<br />

nasional, bantuan luar negeri, maupun<br />

swasta dan masyarakat) optimalisasi<br />

pemanfaatan dana dengan pertimbangan<br />

yang strategis, yang lebih mengarah<br />

pada program pembangunan partisipatif.<br />

Pengelolaan keuangan kota<br />

sesungguhnya adalah bagaimana<br />

anggaran pendapatan dan belanja daerah<br />

(APBD) lebih bersinergi mulai dari<br />

bagaimana cara memperoleh dana baik<br />

yang bersumber dari PAD dan dana<br />

lainnya sampai kepada bagaimana<br />

memanfaatkan dana seefisien mungkin<br />

sehingga masyarakat merasakan bahwa<br />

dana mereka digunakan untuk<br />

kepentingan mereka yang pada<br />

gilirannya mereka merasa terlibat baik<br />

langsung maupun tidak dalam kegiatan<br />

pembangunan.<br />

3. Pengelolaan pelayanan umum oleh<br />

birokrasi pemerintah kota<br />

Pada era globalisasi dan kemajuan<br />

teknologi saat ini, maka elemen kualitas<br />

pelayanan cenderung menjadi semakin<br />

penting dalam menjelaskan kinerja<br />

organisasi pelayanan publik. Kepuasan<br />

masyarakat dapat dijadikan indikator<br />

kinerja organisasi publik, dimana<br />

keuntungannya adalah bahwa informasi<br />

mengenai kepuasan terhadap kualitas<br />

pelayanan seringkali dapat diperoleh dari<br />

media masa atau diskusi publik.<br />

Pelayanan publik ini merupakan<br />

kerangka alasan dalam penentuan<br />

pembangunan partisipatif. Apabila<br />

pelayanan publik ini mantap diyakini<br />

keterlibatan masyarakat dalam<br />

pembangunan kota baik langsung<br />

maupun tidak akan menjadi lebih baik.<br />

Disadari atau tidak bahwa aspek<br />

pelayanan umumbersifat strategis<br />

mendesak dan langsung. Oleh karena itu<br />

penciptaan pelayanan umum akan lebih<br />

baik ketika masyarakat merasakan<br />

manfaat langsung seolah-olah mereka<br />

sebagai tamu yang perlu dihormati dan<br />

dilayani dan disegani. Apabila kondisi<br />

ini yang dirasakan masyarakat maka<br />

masyarakat tersebut merasa memiliki<br />

kota ini dan ikut bertanggung jawab<br />

terhadap kemajuan kotanya.<br />

4. Perencanaan pembangunan<br />

partisipatif<br />

Kebijakan-kebijakan pembangunan<br />

yang sesuai dengan kebutuhan dan<br />

kepentingan masyarakat akan sangat<br />

tergantung kepada siapa-siapa yang<br />

menentukannya, siapa yang dapat<br />

mempengaruhinya, serta bagaimana<br />

implementasinya dilapangan, baik pada<br />

tahap awal, tahap musyawarah maupun<br />

pada tahap penjaringan aspirasi. Agar<br />

masyarakat dapat membangun opini dan<br />

menentukan keberpihakan publik, maka<br />

diperlukan suatu mekanisme yang<br />

memberikan ruang kepada masyarakat<br />

untuk dapat berpartisipasi secara aktif<br />

dalam proses pengambilan keputusan.<br />

Untuk mewujudkan hal tersebut,<br />

PDPP melalui serangkaian aktivitas<br />

Perencanaan Bersama Masyarakat<br />

berusaha menguatkan kapasitas<br />

masyarakat sekaligus mengupayakan<br />

kerjasama/ kemitraan yang lebih erat<br />

antar berbagai pelaku pembangunan<br />

(pemerintah daerah, DPRD, dan<br />

masyarakat) dalam menghasilkan<br />

kebijakan-kebijakan pembangunan yang<br />

benar-benar dibutuhkan kota dan betulbetul<br />

sesuai dengan potensi yang


*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 8<br />

dimiliki oleh masyarakat. Upaya<br />

penciptaan perencanaan pembangunan<br />

partisipatif sebagaimana yang sedang<br />

digiatkan saat ini sesungguhnya sudah<br />

tepat tetapi proses pelaksanaannya<br />

terkadang kurang sesuai dengan<br />

substansinya . Masyarakat sudah<br />

berupaya sedemikian rupa dalam<br />

Musrembang tapi hasil kesepakatan<br />

masyarakat dalam Musrembang tersebut<br />

kadang banyak yang tidak terwujud<br />

sehingga banyak masyarakat yang<br />

pesimis.<br />

5. Faktor Komitmen Pemerintah<br />

Kota<br />

Program PDPP merupakan program<br />

yang memiliki inovasi dalam<br />

manajement pemerintahan kota dengan<br />

tujuan memberdayakan aparatur dan<br />

memberikan ruang bagi partisipasi<br />

masyarakat dalam proses pembangunan.<br />

Untuk itu dibutuhkan komitmen dari<br />

aparatur untuk mau bekerja keras dalam<br />

upaya mencapai tujuan program yang<br />

dimaksud. Komitmentersebut lebih<br />

mengarah pada pemberdayaan<br />

masyarakat kota dalam menentukan<br />

pembangunan. Agar komitmen<br />

pemerintah kota ini dapat terwujud maka<br />

perlu diciptakan :<br />

a. Ketaatan prosedur sesuai dengan<br />

peraturan perundangan yang berlaku<br />

Terciptanya good governance<br />

merupakan persyaratan dari pengelolaan<br />

pemerintahan yang efektif. Namun<br />

pemerintahan yang sudah mampu<br />

mewujudkan good governance belum<br />

tentu memiliki kepedulian terhadap<br />

aspek keberlanjutan pembangunan. Oleh<br />

karena itu pemerintah yang telah<br />

mengupayakan aktualisasi prinsipprinsip<br />

good governance masih<br />

memerlukan persyaratan tambahan yaitu<br />

upaya mengaitkan seluruh kebijaksanaan<br />

pembangunan dengan prinsip-prinsip<br />

keberlanjutan ekologis (ecological<br />

sustainability).<br />

b. Keterlibatan pemerintah pada<br />

program pembangunan yang sedang<br />

dilakukan<br />

Pada prakteknya keterlibatan<br />

pemerintah dalam pembangunan pada<br />

funsi regulative maupun sebagai<br />

fasilator. Dengan adanya PDPP, maka<br />

akan terlihat keterlibatan penuh dari<br />

pemerintah, karena ada pemantauan<br />

yang dilakukan secara intensif oleh<br />

semua komponen masyarakat.<br />

6. Faktor Dukungan Finansial<br />

Pada pemaparan sebelumnya<br />

telah dijelaskan bahwa dukungan<br />

financial merupakan darah bagi<br />

terselenggaranya PDPP. Pemberdayaan<br />

aparatur pemerintah dan pelaku yang<br />

lain dalam proses pembangunan tentu<br />

membutuhkan dukungan finansial.<br />

Dukungan financial ini meliputi :<br />

a. Kemampuan keuangan daerah untuk<br />

mendukung program pembangunan<br />

yang sedang dilakukan<br />

Beberapa indikator yang dapat<br />

digunakan untuk melihat sejauh mana<br />

efesiensi pengeluaran pemerintah antara<br />

lain adalah :<br />

• Proposi pengeluaran rutin dan<br />

pengeluaran pembangunan terhadap<br />

produk domestik bruto<br />

• Perbandinagn pengeluaran rutin dan<br />

pengeluaran pembangunan<br />

• Komposisi pengeluaran rutin<br />

b. Pengelolaan keuangan daerah<br />

secara proposional dan transparan<br />

Dalam pembuatan atau penyusunan<br />

APBD (Anggaran <strong>Pendapatan</strong> dan<br />

Belanja <strong>Daerah</strong>), maka tahapn ini<br />

merupakan tahapan terpenting dalam


*Analisis Partisipatif Pembangunan di Kota Pekanbaru 9<br />

proses penganggaran, karena hasil<br />

tahapan inilah yang akan mempengaruhi<br />

proses dan hasil dalam tahapan<br />

berikutnya. Penyusunan anggaran<br />

dilakukan oleh eksekutif dan legislative,<br />

dimana eksekutif menyusun rencana<br />

anggaran pemerintah daerah yang<br />

terdiridari rencana anggaran pendapatan<br />

dan rencana anggaran belanja (belanja<br />

rutin maupun belanja pembangunan).<br />

Sedangkan legislative menyusun rencana<br />

anggaran dewan yang kemudian<br />

digabungkan dengan anggaran<br />

pemerintah daerah dan ditetapkan<br />

menjadi Peraturan <strong>Daerah</strong> tentang<br />

APBD.<br />

SIMPULAN<br />

1. Faktor komitmen pemerintah kota<br />

menunjukan tingkat yang memadai<br />

yang terindikasi dari pengetahuan<br />

dan pelaksanaan kebijakan yang<br />

sesuai prosedur, serta keterlibatan<br />

langsung aparatur dalam kebijakan<br />

pelaksanaan pembangunan bersama<br />

komponen masyarakat, baik sektor<br />

swasta maupun lembaga swadaya<br />

masyarakat yang berkiprah dalam<br />

pembangunan. Komitmen yang<br />

tinggi dari aparatur pemerintah kota<br />

mampu meningkatkan kinerja<br />

program PDPP secara optimal.<br />

2. Faktor dukungan financial sebagai<br />

Faktor lain yang mempengaruhi<br />

kenerja program dasar pembangunan<br />

memperlihatkan pengaruh yang<br />

cukup besar terhadap pencapaian<br />

kinerja program PDPP.<br />

DAFTAR RUJUKAN<br />

Buku :<br />

Dwijanto, Agus, 2000, Membangun<br />

Sistem Pelayanan Publik Yang<br />

Memihak Pada Rakyat. Seminar<br />

Nasional Profesionalisasi dan<br />

<strong>Peningkatan</strong> Kenerja Pelayanan<br />

Publik, Jurusan Administrasi Negara,<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu<br />

Politik, Universitas Gajah Mada,<br />

Yogyakarta.<br />

Dwijanto, Agus dkk, 2002, Reformasi<br />

Birokrasi di Indonesia, Pusat Studi<br />

Kependudukan dan Kebijakan,<br />

Universitas Gajah Mada,<br />

Yogyakarta.<br />

Henry, Nicholas, 1988, Administrasi<br />

Negara dan Masalah-Masalah<br />

Kenegaraan, Rajawali Pers, Jakarta.<br />

Kunarjo, 2002, Perencanaan dan<br />

Pengendalian<br />

Program<br />

Pembangunan, UIP, Jakarta.<br />

Tjokroamidjojo Bintoro, 1993,<br />

Manajemen Pembangunan, PT.<br />

Toko Gunung Agung, Jakarta.<br />

Tjokrowinoto, Moelyarto, 1995, Politik<br />

Pembangunan, Tiara Wacana,<br />

Yogyakarta .<br />

Warpani, S, 1984, Analisis Kota dan<br />

<strong>Daerah</strong>, ITB, Bandung.<br />

Peraturan-peraturan & Undang-<br />

Undang :<br />

Undang-Undang Republik Indonesia No.<br />

22 tahun 1999 : Tentang<br />

Pemerintahan <strong>Daerah</strong><br />

Undang-Undang Republik Indonesia No.<br />

25 tahun 1999 : Tentang<br />

Perimbangan Keuangan Untuk<br />

Pemerintah Pusat dan <strong>Daerah</strong>.


Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

ADIANTO<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />

Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />

Abstrak : Kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor yang rumit dan<br />

saling terkait erat satu dengan yang lainnya. Kondisi tersebut sering dikatakan sebagai suatu pola<br />

”lingkaran setan” yang sangat sulit untuk dipecahkan. Pola tersebut berlangsung secara terus menerus<br />

dan bahkan cenderung menimbulkan dampak yang semakin buruk. Faktor eksternal inilah yang<br />

memegang peran penting dan strategis dalam melakukan pemberdayaan (empowering) untuk<br />

meningkatkan kemampuan kelompok masyarakat miskin dan tertinggal dalam mengorganisir diri agar<br />

secara mandiri mampu melaksanakan program peningkatan ekonomi dan tingkat kesejahteraan hidup.<br />

Pola pemberdayaan masyarakat yang terkonsep, sistematis, terukur dan tepat sasaran merupakan upaya<br />

yang tepat dan efektif mendorong kemandirian masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan hidupnya.<br />

Inisiatif dan keterlibatan dari kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan, pengetahuan serta akses<br />

terhadap sumber-sumber informasi dan pendanaan adalah merupakan upaya terobosan untuk memecah<br />

”lingkaran setan” kemiskinan dan ketertinggalan serta sekaligus mendorong kemampuan agar secara<br />

mandiri mereka mampu meningkatkan taraf ekonomi dan kualitas hidupnya. Komitmen dan semangat<br />

kebersamaan tersebut diimplementasikan melalui berbagai program pengembangan masyarakat<br />

(community development) yang bertujuan untuk mendorong masyarakat agar lebih mandiri dalam<br />

meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya.<br />

Kata Kunci : Pemberdayaan Masyarakat dan Implementasi Kebijakan Publik<br />

Pelaksanaan otonomi daerah<br />

dihadapkan kepada beberapa tantangan,<br />

dimana tantangan tersebut diantaranya :<br />

Pertama, resutrukrisasi organisasi yang<br />

berarti penyesuaian aparatur, penataan<br />

sistem pendayagunaan dan pembinaan<br />

aparatur. Kedua, kompetisi yang sehat<br />

antar daerah dalam mendayagunakan<br />

potensi pembangunan yang berarti<br />

diperlukan sumber daya aparat yang<br />

memiliki kemampuan profesional yang<br />

dinamis dan berwawasan luas. Ketiga,<br />

tanggung jawab dan wewenang yang<br />

semakin besar bagi daerah untuk<br />

melaksanakan pembangunan yang<br />

berarti diperlukan kemampuan<br />

merancang program pembangunan yang<br />

sesuai dengan aspirasi rakyat serta secara<br />

strategik dapat mempertahankan<br />

kesuksesan daerah. Keempat, tuntutan<br />

yang semakin meningkat dari rakyat<br />

terhadap kualitas pelayanan dan<br />

peningkatan kesejahteraan. Kelima,<br />

tuntutan kemampuan yang lebih tinggi<br />

kepada aparatur daerah dalam cara-cara<br />

memberdayakan masyarakat dalam<br />

partisipasi pembangunan. Dari beberapa<br />

tantangan tersebut salah satunya adalah<br />

memberdayakan masyarakat didalam<br />

pembangunan daerah yang bertujuan<br />

untuk meningkatkan kesejahteraan<br />

masyarakat. Sebab realitanya manusia<br />

dan masyarakat merupakan faktor yang<br />

sangat penting dan menentukan<br />

keberhasilan suatu pembangunan.<br />

Pemberdayaan masyarakat didalam<br />

10


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

11<br />

pembangunan daerah merupakan upaya<br />

untuk memandirikan masyarakat melalui<br />

perwujudan potensi kemampuan yang<br />

mereka miliki. Dimana masyarakat<br />

diberikan kesempatan untuk menentukan<br />

pilihan kegiatan yang paling sesuai bagi<br />

kemajuan dan kesejahteraan mereka<br />

masing-masing. Sehingga tidak muncul<br />

keinginan yang hanya datang dari pihak<br />

pemberdaya saja, tetapi sebaliknya<br />

keinginan tersebut tumbuh dari pihak<br />

yang akan diberdayakan. Karena<br />

masyarakat akan diberikan kesempatan<br />

untuk memperoleh hidup yang lebih baik<br />

dengan kemampuan yang dimiliki, serta<br />

mengurangi jurang kesenjangan didalam<br />

masyarakat yang sudah tercipta selama<br />

ini.<br />

Pemberdayaan merupakan suatu<br />

proses peningkatan kondisi kehidupan<br />

dan penghidupan yang ditujukan kepada<br />

masyarakat miskin. Karena masyarakat<br />

miskin merupakan sumber daya manusia<br />

yang berpotensi untuk berfikir dan<br />

bertindak yang pada saat ini memerlukan<br />

penguatan agar mampu memanfaatkan<br />

daya (power) yang dimiliki. Oleh sebab<br />

itu langkah awal dalam penanganan<br />

masalah kemiskinan perlu dilakukan<br />

identifikasi potensi yang mereka miliki.<br />

Di wilayah perkotaan, sering timbul<br />

kemiskinan yang terselubung didalam<br />

kehidupan masyarakatnya, yang bisa saja<br />

disebabkan oleh para kaum urban atau<br />

masyarakatnya sendiri yang kurang<br />

memilikki kemampuan dan keahlian<br />

untuk bersaing. Kota Pekanbaru<br />

merupakan salah satu kota yang<br />

memiliki perkembangan yang cukup<br />

pesat, juga tidak luput dari keberadaan<br />

masyarakat miskin. Dari data yang<br />

diperoleh persentase keluarga miskin di<br />

Kota Pekabaru dapat dilihat pada grafik<br />

dibawah ini :<br />

Grafik 1.<br />

Frekuensi Keluarga Miskin di Kota<br />

Pekanbaru<br />

5000<br />

4500<br />

4000<br />

3500<br />

3000<br />

2500<br />

2000<br />

1500<br />

1000<br />

500<br />

0<br />

Keluarga<br />

miskin<br />

Sukajadi<br />

Payung<br />

Sekaki<br />

Sukajadi<br />

Pekanbaru Kota<br />

Sail<br />

Lima Puluh<br />

Senepalan<br />

Bukit Raya<br />

Marpoyan Damai<br />

Tenayan Raya<br />

Tampan<br />

Payung Sekaki<br />

Rumbai<br />

Rumbai Pesisir<br />

Dari grafik diatas terlihat bahwa<br />

jumlah keluarga miskin di Kota<br />

Pekanbaru masih sangat besar, dimana<br />

kecamatan yang paling banyak memiliki<br />

keluarga miskin adalah Kecamatan<br />

Rumbai yaitu sebanyak 3.975 keluarga<br />

miskin. Untuk itu dibutuhkan perhatian<br />

Pemerintah Kota Pekanbaru dalam<br />

mengurangi persentase kemiskinan<br />

dengan menerbitkan kebijakan tentang<br />

pengentasan kemiskinan. Salah satu<br />

kebijakan tentang pengentasan<br />

kemiskian yang dilaksanakan oleh<br />

Pemerintah Kota Pekanbaru adalah<br />

program usaha peningkatan pendapatan<br />

keluarga sejahtera (UPPKS). Program ini<br />

memiliki tujuan untuk meningkatkan<br />

kemampuan dan potensi diri masyarakat<br />

kota yang miskin dalam memenuhi<br />

kebutuhan diri dan keluarganya yang<br />

pada akhirnya masyarakat mampu<br />

berdiri sendiri atau tidak bergantung<br />

kepada pemerintah. Selain itu juga<br />

program ini memiliki sasaran<br />

diantaranya : Pertama, prinsip kemitraan<br />

melalui koordinasi dan kerjasama<br />

pemerintah, swasta dengan dukungan<br />

masyarakat. Kedua, meningkatkan<br />

kemampuan wanita dalam membangun<br />

fungsi ekonomi keluarga sehingga<br />

menjadi salah satu kekuatan ekonomi<br />

masyarakat. Ketiga, proses belajar bagi<br />

para anggota keluarga dalam rangka


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

12<br />

meningkatkan profesionalisme<br />

kewirausahaan. Keempat, memantapkan<br />

penerimaan norma keluarga kecil yang<br />

diprioritaskan untuk wilayah yang<br />

mempunyai institusi panguyuban<br />

keluarga sejahtera dengan berkategori<br />

berkembang dan mandiri. Kelima, untuk<br />

mendukung pengembangan usaha<br />

membangun keluarga modern. Keenam,<br />

untuk menurunkan jumlah keluarga pra<br />

sejahtera dan keluarga sejahtera I.<br />

Dalam upaya merealisasikan dan<br />

mewujudkan implementasi program<br />

UPPKS di Kota Pekanbaru yang sesuai<br />

dengan tujuan dan sasarannya masih<br />

menemukan beberapa kendala-kendala,<br />

diantaranya :<br />

1. Pemberian modal bantuan kepada<br />

masyarakat yang diharapkan<br />

berkembang tidak disertai dengan<br />

pembekalan secara teknis yang dapat<br />

membantu masyarakat bisa<br />

berkembang.<br />

2. Pemberian bantuan yang juga dalam<br />

rangka memperkuat potensi yang<br />

dimiliki masyarakat, kurang disertai<br />

dengan pengawasan dan sanksi yang<br />

tegas terhadap masyarakat yang<br />

diberdayakan.<br />

3. Kurangnya keinginan pemerintah<br />

untuk mengayomi dalam melindungi<br />

masyarakat yang dalam proses<br />

pemberdayaan, kerena biasanya<br />

pemerintah melepasa masyarakat<br />

untuk mandiri.<br />

4. Kurangnya akses akan peluang<br />

memperoleh pinjaman untuk<br />

berkembang dan kurangnya skill<br />

yang dimiliki, sehingga tidak mampu<br />

bersaing dengan yang lainnya.<br />

Berangkat dari kendala-kendala<br />

implemetasi program UPPKS yang<br />

ditemukan, maka permasalahan dalam<br />

penelitian ini adalah bagaimanakan<br />

keberhasilan implementasi program<br />

usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru .<br />

Sedangkan tujuan dari penelitian ini<br />

adalah untuk mengetahui dan<br />

menganalisis keberhasilan implementasi<br />

program usaha peningkatan pendapatan<br />

keluarga sejahtara (UPPKS) di Kota<br />

Pekanbaru.<br />

Kajian teori dari keberhasilan<br />

implementasi program usaha<br />

peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru,<br />

diawali dengan teori pemberdayaan<br />

masyarakat dan teori implementasi<br />

kebijakan. Menurut Menurut Naning<br />

Mardianah dalam Paulus Wirutomo dkk<br />

(2003 : 129) pemberdayaan dimaknai<br />

sebagai mendapatkan kekuatan (power)<br />

dan mengaitkan dengan kemampuan<br />

golongan miskin untuk mendapatkan<br />

akses ke sumber-sumber daya yang<br />

menjadi dasar dari kekuasaan dalam<br />

suatu sistem maupun organisasi.<br />

Sedangkan menurut Prianarka (1996 : 45<br />

– 47) pemberdayaan sebagai sebuah<br />

konsep yang lahir sebagai bagian dari<br />

perkembangan alam fikiran masyarakat<br />

tentang kemapanan, antisistem,<br />

antistruktur dan antideterminisme.<br />

Kemudian menurut Gunawan<br />

Sumodiningrat (1997 : 164)<br />

pemberdayaan masyarakat adalah<br />

kemampuan individu yang senyawa dan<br />

unsur-unsur yang memungkinkan suatu<br />

masyarakat bertahan serta membangun<br />

keberdayaan masyarakat yang<br />

bersangkutan. Beliau juga menjelaskan<br />

ada tiga jenis dalam upaya<br />

pemberdayaan masyarakat, yaitu :<br />

1. Menciptakan suasana atau iklim<br />

yang memungkinkan potensi<br />

masyarakat untuk berkembang (baik<br />

laki-laki atau perempuan). Titik<br />

tolaknya adalah pengenalan bahwa<br />

setiap manusia dan masyarakat<br />

memiliki potensi (daya) yang dapat<br />

dikembangkan. Pemberdayaan<br />

adalah upaya untuk membangun daya<br />

itu dengan mendorong, memberikan<br />

motivasi, dan membangkitkan<br />

kesadaran akan potensi yang<br />

dimilikinya serta berupaya untuk<br />

mengembangkannya.


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

13<br />

2. Memperkuat potensi atau daya yang<br />

dimiliki masyarakat (empowering).<br />

Dalam rangka ini diperlukan<br />

langkah-langkah lebih positif dan<br />

nyata, penyediaan berbagai masukan<br />

serta pembukaan akses kepada<br />

berbagai peluang yang akan<br />

membuat masyarakat menjadi<br />

semakin dalam berdaya<br />

memanfaatkan peluang.<br />

3. Memberdayakan mengandung arti<br />

melindungi. <strong>Strategi</strong> pengembangan<br />

harus berpusat pada upaya<br />

mendorong percepatan perubahan<br />

struktur ekonomi rakyat dalam<br />

perekonomian nasional. Perubahan<br />

struktur ini meliputi proses<br />

perubahan dari ekonomi tradisional<br />

ke ekonomi modern, dari ekonomi<br />

lemah ke ekonomi tangguh.<br />

Selanjutnya dalam melakukan<br />

pemberdayaan kepada masyarakat<br />

tidak terlepas dari permasalahan atau<br />

faktor penghambat. Ada beberapa<br />

faktor penghambat dalam melakukan<br />

pemberdayaan masyarakat menurut<br />

Lowe, yaitu :<br />

1. Ketakutan (fear)<br />

Banyak individu yang begitu<br />

sederhana takut akan pemberdayaan,<br />

hal ini diperlihatkan oleh : Pertama,<br />

individu pada level menengah dan<br />

junior takut akan hukuman jikalau<br />

membuat kesalahan. Dimana<br />

merupakan peninggalan dari gaya<br />

manajemen komando yang lebih<br />

menekankan kebebasan untuk<br />

mengambil resiko. Kedua, individu<br />

juga takut bahwa mereka tidak akan<br />

dapat dukungan yang dijanjikan<br />

apabila mereka melakukan<br />

kesalahan. Ketiga, individu juga<br />

memiliki ketakutan akan gagal.<br />

Keempat, individu juga takut akan<br />

kehilangan pekerjaan yang telah<br />

dilakukan sebelumnya.<br />

2. Ketidakyamanan (role clarity)<br />

Bagi masyarakat, ketidaknyamanan<br />

pekerjaan baru berasal dari<br />

kebingungan atau kurang senang<br />

dengan peran baru atau pekerjaan<br />

baru mereka setelah diberdayakan.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa :<br />

Pertama, pihak pemberdaya merasa<br />

dilangkahi oleh suatu kebijakan<br />

tentang pemberdayaan masyarakat<br />

yang menyerahkan kekuasaan dan<br />

wewenang atau membebankan<br />

sesuatu kepada masyarakat. Kedua,<br />

pihak pemberdaya kurang memahami<br />

dan mengenal apa yang diinginkan<br />

oleh masyarakat. Ketiga, pihak<br />

pemberdaya tidak mempunyai<br />

kekuatan dan merasa kalah dari<br />

masyarakat yang diberdayakan.<br />

Keempat, para masyarakat sulit<br />

menyesuaikan diri kepada pekerjaan<br />

yang baru, seperti yang selama ini<br />

pedagang tiba-tiba harus menjadi<br />

petani. Kelima, pihak pemberdaya<br />

kurang jelas akan tujuannya<br />

melakukan pemberdayaan kepada<br />

masyarakat.<br />

3. Kecenderungan implementasi<br />

kebijakan yang tidak berubah<br />

(resistance to change)<br />

Hal ini mengarah kepada<br />

kecenderungan oleh pihak<br />

pemberdaya (pemerintah, swasta atau<br />

pihak lainnya) untuk berpegang<br />

teguh kepada cara-cara yang sudah<br />

mapan dalam mengerjakan dan<br />

pengenalan proses pemberdayaan.<br />

Misalnya secara historis sistem yang<br />

digunakan disuatu tempat berhasil<br />

digunakan, tentunya akan tetap<br />

dicoba melaksanakan pada<br />

lingkungan yang berbeda. (Nyoman<br />

Sumaryadi, 2005 : 159 – 160)<br />

Setelah konsep pemberdayaan<br />

masyarakat dijelaskan, langkah<br />

berikutnya adalah menjelaskan konsep<br />

implementasi kebijakan. Untuk melihat


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

14<br />

keberhasilan suatu kebijakan, maka<br />

sangat bergantung pada implementasi<br />

kebijakan itu sendiri. Dimana,<br />

implementasi menyangkut tindakan<br />

seberapa jauh arah yang telah<br />

diprogramkan itu benar-benar<br />

memuaskan. Akhirnya pada tingkatan<br />

abstraksi tertinggi implementasi sebagai<br />

akibat ada beberapa perubahan yang<br />

dapat diukur dalam masalah-masalah<br />

besar yang menjadi sasaran program.<br />

Menurut Syaukani dkk (2002 : 295)<br />

implementasi merupakan suatu rangkain<br />

aktivitas dalam rangka menghantarkan<br />

kebijakan kepada masyarakat sehingga<br />

kebijakan tersebut dapat membawa hasil<br />

sebagaimana yang diharapkan.<br />

Rangkaian kegiatan tersebut mencakup,<br />

Pertama, persiapan seperangkat<br />

peraturan lanjutan yang merupakan<br />

interprestasi dari kebijakan tersebut.<br />

Kedua, menyiapkan sumber daya guna<br />

menggerakkan kegiatan implementasi<br />

termasuk didalamnya sarana dan<br />

prasarana, sumber daya keuangan dan<br />

tentu saja penetapan siapa yang<br />

bertanggung jawab melaksanakan<br />

kebijakan tersebut. Ketiga, bagaimana<br />

menghantarkan kebijakan secara<br />

kongkrit ke masyarakat.<br />

Menurut Hasel Nogi (2003 : 13)<br />

implementasi kebijakan merupakan<br />

rangkaian kegiatan setelah suatu<br />

kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu<br />

implementasi maka suatu kebijakan yang<br />

telah dirumuskan akan sia-sia.<br />

Sedangkan memurut Grindle (1980 : 18)<br />

implementasi kebijakan sesungguhnya<br />

bukan sekedar berhubungan dengan<br />

mekanisme penjabaran atau operasional<br />

dari keputusan politik ke dalam<br />

prosedur-prosedur rutin lewat saluran<br />

birokrasi melainkan lebih dari itu yaitu<br />

menyangkut masalah konflik, keputusan<br />

dan siapa yarg, akan memperoleh apa<br />

dan suatu kebijakan.Kemudian menurut<br />

Ripley (1985 : 58) implementasi<br />

merupakan suatu tahapan diantara<br />

pembuatan kebijakan dan konsekuensi<br />

dari kebijakan. Dimana ia menempatkan<br />

implementasi pada tabap ketiga dalam<br />

proses kebijakan. Tahap pertama<br />

penyusunan agenda, tahap kedua<br />

fomulasi kebijakan, tahap ketiga<br />

implementasi kebijakan dan tahap<br />

keempat dampak dari kebijakan.<br />

Selanjunya beliau menegaskan bahwa<br />

implementasi yang berhasil tidak hanya<br />

ada dua perspektif yaitu keberhasilan<br />

diukur melalui tingkat kepatuhan<br />

birokrasi level bawah terhadap<br />

birokarasi level atas dan keberhasilan<br />

impelementasi dicarikan oleh<br />

kelancaran rutinitas dan tidak adanya<br />

masalah. Sementara ada perspektif lain<br />

yang mengatakan bahwa implementasi<br />

yang berhasil mengarah pada kinerja<br />

yang diinginkan dari suatu program dan<br />

dampak dari program.<br />

Implementasi kebijakan pada<br />

prinsipnya adalah cara agar sebuah<br />

kebijakan dapat mencapai tujuannya<br />

(Nugroho, 2003 : 158). Tidak lebih dan<br />

tidak kurang. Untuk<br />

mengimplementasikan kebijakan publik<br />

maka ada dua pilihan langkah yang ada,<br />

yaitu langsung mengimplementasikan<br />

dalam bentuk program-program atau<br />

melalui formulasi kebijakan derivate<br />

atau turunan dari kebijakan publik<br />

tersebut. Pengertian kebijakan merujuk<br />

pada tiga hal yakni sudut pandang (point<br />

of view); rangkaian tindakan (series of<br />

actions) dan peraturan (regulations).<br />

Ketiga hal tersebut menjadi pedoman<br />

bagi para pengambil keputusan untuk<br />

menjalankan sebuah kebijakan, dari<br />

beberapa definisi mengenai kebijakan<br />

publik, ada satu definisi yang cukup<br />

komprehensif untuk menjelaskan apa itu<br />

kebijakan publik. Definisi tersebut<br />

berbunyi “respon dari sebuah sistem<br />

terhadap demands/claims dan support<br />

yang mengalir dari lingkungannya”.


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

15<br />

Definisi tersebut, merespon bisa dilihat<br />

sebagai isi dan implementasi serta<br />

analisis dampak kebijakan, sistem tentu<br />

saja merujuk pada aktor (pemerintah,<br />

parlemen, masyarakat, pressure groups<br />

dan aktor yang lain), demands dan claim<br />

bisa jadi merupakan tantangan dan<br />

permintaan dari aktor-aktor tadi,<br />

sedangkan support bisa merujuk pada<br />

dukungan baik SDM maupun<br />

infrastruktur yang ada, dan yang<br />

terakhir, lingkungan merujuk pada<br />

satuan wilayah tempat sebuah kebijakan<br />

diimplementasikan.<br />

Keberhasilan suatu kebijakan dalam<br />

implementasi kebijakan juga dipengaruhi<br />

oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :<br />

1. Dukungan dan penilaian dari<br />

lembaga eksternal. Jika lembaga<br />

eksternal mendukung, maka<br />

pelaksanaan kebijakan-kebijakan<br />

akan berhasil. Sebaliknya, jika<br />

menolak maka pelaksanaan<br />

kebijakan akan gagal. Oleh karena<br />

itu, agar sukses, pengambil kebijakan<br />

dan para pelaksananya harus<br />

melakukan penyamaan visi dan<br />

persepsi dalam kebijakan yang<br />

diambil.<br />

2. Ketersediaan waktu dan sumber daya<br />

yang cukup.<br />

3. Dukungan dari berbagai macam<br />

sumber daya yang ada. Makin<br />

banyak yang mendukung makin<br />

tinggi tingkat kesuksesannya.<br />

4. Kemampuan pelaksana kebijakan<br />

menganalisis kausalitas persoalan<br />

yang timbul dari pelaksanaan<br />

kebijakan. Makin mampu para<br />

pelaksana kebijakan menganalisis<br />

kausalitas antara satu kegiatan<br />

dengan kegiatan lain atau antara<br />

suatu kegiatan dengan dampaknya<br />

akan semakin tinggi tingkat<br />

keberhasilannya.<br />

5. Kepatuhan para pelaksana kebijakan<br />

terhadap kesepakatan dan tujuan<br />

yang telah diciptakan dalam tingkat<br />

koordinasi. (Hogwood dan Gunn<br />

dalam Sumaryadi, 2005 : 84)<br />

Van Meter dan Van Horn dalam<br />

Winarno (2007 : 146) mengemukakan<br />

implementasi kebijakan sebagai<br />

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh<br />

individu/kelompok pemerintah maupun<br />

swasta yang diarahkan untuk mencapai<br />

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan<br />

dalam keputusan-keputusan kebijakan<br />

sebelumnya. Menurut Budi Winarno<br />

(2007 : 160) mengemukakan adanya tiga<br />

unsur penting dalam proses<br />

implementasi yaitu : (i) adanya program<br />

atau kebijakan yang dilaksanakan, (ii)<br />

target group yaitu kelompok masyarakat<br />

yang menjadi sasaran dan diharapkan<br />

akan menerima manfaat dari program,<br />

perubahan atau peningkatan, (iii) unsur<br />

pelaksanaan (implementor) baik<br />

organisasi atau perorangan untuk<br />

bertanggung jawab dalam memperoleh<br />

pelaksanaan dan pengawasan dari proses<br />

implementasi tersebut. Implementasi<br />

kebijakan adalah suatu efektivitas atau<br />

kegiatan dalam rangka mewujudkan atau<br />

merealisasikan kebijakan yang telah<br />

ditetapkan sebelumnya, yang dilakukan<br />

oleh organisasi birokrasi pemerintahan<br />

atau badan pelaksanaan lain melalui<br />

proses administrasi dan manajemen<br />

dengan memanfaatkan segala sumber<br />

daya yang tersedia untuk mencapai<br />

tujuan tertentu.<br />

Ripley dan Franklin dalam Sujianto<br />

(2008 : 33) menegaskan implementasi<br />

yang berhasil tidak hanya ada dua<br />

perspektif saja. Pertama, keberhasilan<br />

diukur melalui tingkat kepatuhan<br />

birokrasi level bawah terhadap birokrasi<br />

level atas. Kedua, keberhasilan<br />

implementasi dicirikan oleh kelancaran<br />

rutinitas dan tidak adanya masalah.<br />

Keberhasilan suatu program dapat dilihat<br />

jika program itu berjalan sesuai dengan<br />

pola-pola yang telah ditetapkan. Faktorfaktor<br />

keberhasilan implementasi<br />

menurut Ripley dan Franklin dalam<br />

Sujianto (2008 : 46) adalah :


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

16<br />

• Kejelasan tujuan-tujuan program dan<br />

tingkat konsensus diantara pelaksana<br />

atas tujuan-tujuan tersebut.<br />

• Tingkat perubahan dari kebiasaankebiasaan<br />

lama yang dikehendaki<br />

program.<br />

• Tipe-tipe orang yang memperoleh<br />

manfaat dan klien terbatas, yaitu<br />

orang dan kelompok yang menjadi<br />

target implementasi.<br />

Menurut Riant Nugroho (2003 : 160)<br />

pada prinsipnya ada "empat tepat" yang<br />

perlu dipenuhi dalam hal keefektifan<br />

implementasi kebijakan, yaitu :<br />

1. Apakah kebijakan sendiri sudah tepat<br />

Ketepatan kebijakan ini dinilai dari<br />

sisi, Pertama, sejauh mana kebijakan<br />

yang ada telah bermuatan hal-hal<br />

yang memang memecahkan masalah<br />

yang hendak dipecahkan. Kedua,<br />

apakah kebijakan tersebut sudah<br />

dirumuskan sesuai dengan karakter<br />

masalah yang hendak dipecahkan<br />

mengenai perumusan kebijakan.<br />

Ketiga, apakah kebijakan dibuat oleh<br />

lembaga yang mempunyai<br />

wewenang (misi kelembagaan) yang<br />

sesuai dengan karakater<br />

kebijakannya.<br />

2. Tepat pelaksanaannya<br />

Aktor lmplemetasi kebijakan tidak<br />

hanya pemerintah, namun masih ada<br />

yang harus ikut berperan Serta yaitu<br />

masyarakat dan swasta. Dimana<br />

kebijakan yang sifatnya monopoli,<br />

seperti pembuatan kartu identitas<br />

penduduk sebaiknya diselenggarakan<br />

oleh pemerintah. Kebijakan Yang<br />

sifatnya<br />

memberdayakan<br />

masyarakat, seperti penanggulangan<br />

kemiskinan<br />

sebaiknya<br />

diselenggarakan oleh pemerintah<br />

bersama masyarakat. Kebijakan yang<br />

bertujuan mengarahkan kegiatan<br />

masyarakat, seperti pengelolaan<br />

pasar yang mana pemerintah kurang<br />

efektif untuk menyelenggarakannya<br />

sebaiknya dilaksanakan oleh<br />

pemerintah bersama swasta.<br />

3. Tepat target<br />

Ketepatan target berkenaan kepada<br />

tiga hal, yaitu: Pertama, apakah<br />

target yang diintervensi sesuai<br />

dengan yang direncanakan, apakah<br />

tidak, ada tumpang tindih dengan<br />

intervensi lain atau tidak,<br />

bertentangan dengan intervensi<br />

kebijakan lain. Kedua, apakah<br />

targetnya dalam kondisi siap untuk di<br />

intervensi ataukah tidak. Kesiapan<br />

bukan saja dalam arti secara alami.<br />

namun juga apakah kondisi target<br />

mendukung atau menolak. Ketiga,<br />

apakah intervensi implementasi<br />

kebijakan bersifat baru atau<br />

memperbaharui implementasi<br />

kebijakan sebelumnya. Terlalu<br />

banyak kebijakan yang tampaknya<br />

baru namun pada prinsipnya<br />

mengulang kebijakan lama dengan<br />

hasil yang sama tidak efektifnya<br />

dengan kebijakan sebelumnya.<br />

4. Tepat lingkungan<br />

Ada dua lingkungan yang<br />

menentukan dalam implementasi<br />

kebijakan. Yaitu Pertama<br />

lingkungan kebijakan yaitu<br />

lingkungan interaksi diantara<br />

lembaga perumusan kebijakan dan<br />

pelaksana kebijakan dengan lembaga<br />

lain yang berkaitan, kedua<br />

lingkungan eksternal kebijakan yang<br />

juga sebagai variabel eksogen yang<br />

terdiri dari publik opinion yaitu<br />

persepsi publik akan kebijakan dan<br />

implementasi<br />

kebijakan,<br />

interprective intutions yang<br />

berkenaan dengan interprestasi dari<br />

lembaga-lembaga strategis dalam<br />

masyarakat, seperti media massa,<br />

kelompok penekan dan kelompok<br />

kepentingan<br />

dalam<br />

menginterprestasikan kebijakan dan<br />

implementasi kebijakan dan<br />

individual yakni individu-Individu<br />

tertentu yang mampu memainkan<br />

peranan penting dalam<br />

menginterprestasikan kebijakan dan<br />

implementasi kebijakan. Selain itu<br />

juga tepat lingkungan membutuhkan<br />

tiga jenis dukungan, yaitu dukungan<br />

politik, dukungan strategi dan<br />

dukungan teknis.


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

17<br />

Sejalan dengan pendapat Jones<br />

Charles dalam Nashir Budiman (2001 :<br />

112) menetapkan ada enam variabel<br />

yang menentukan dalam keberhasilan<br />

implementasi kebijakan, antara lain :<br />

1) Standard dan tujuan kebijakan<br />

(policy standards obiectives)<br />

Ukuran atau standard dan tujuan<br />

kebijakan memberikan perhalian<br />

utama pada faktor-faktor yang<br />

menentulan hasil kerja, maka<br />

identifikasi indicator-indikator hasil<br />

kerja merupakan hal yang penting<br />

dalam analisis. Karena indikator ini<br />

menilai sejauhmana standard dan<br />

tujuan kebijakan keseluruhan<br />

kebijakan, ini terbukti karena mudah<br />

diukur dengan berbagai kasus.<br />

2) Sumber daya kebijakan (policy<br />

resources)<br />

Bukan hanya standard dan tujuan<br />

tetapi juga dalam menjelaskan<br />

implemetasi kebijakan juga<br />

membutukan sumber daya yang<br />

digunakan untuk memudahkan<br />

administrasi.<br />

3) Aktivitas pengamatan dan<br />

komunikasi inter organisasional<br />

Suatu implementasi yang efektif<br />

memerlukan standard dan tujuan<br />

program yang dipahami oleh masingmasing<br />

individu yang bertanggung<br />

jawab agar implementasi tercapai.<br />

Oleh sebab itu memerlukan<br />

komunikasi yang konsisten dengan<br />

tujuan mengumpulkan informasi<br />

yang dibutuhkan. Efektivitas<br />

komunikasi memerlukan mekanisme<br />

dan prosedur yang jelas dimana<br />

otoritas yang lebih tinggi dapat<br />

memungkinkan pelaksana akan<br />

bertindak dengan cara yang<br />

konsisten.<br />

4) Karakteristik pelaksana<br />

Komponen ini terjadi dari struktur<br />

formal organisasi dan atribut-atribut<br />

formal dari personil selain hubungan<br />

pelaksana dengan partisipan dalam<br />

sistem penyampian kebijakan. Lebih<br />

jelasnya karekteristik berhubungan<br />

dengan kemampuan dan kriteria staf<br />

tingkat pengawas hirarkis terhadap<br />

keputusan sub unit dalam proses<br />

implementasi.<br />

5) Kondisi ekonomi, sosial dan politik<br />

Didalam implementasi kebijakan<br />

dipengaruhi oleh beberapa aspek<br />

diantaranya adalah pengaruh<br />

ekonomi, sosial dan politik. Ada<br />

beberapa hal yang berhubungan<br />

dengan faktor ekonomi, sosial dan<br />

politik diantaranya<br />

- Apakah sumber daya ekonomi<br />

tersedia dalam organisasi<br />

pelaksana cukup memadai untuk<br />

menunjang keberhasilan<br />

pelaksanaan.<br />

- Sejauhmana kondisi sosial<br />

ekonomi yang akan<br />

mempengruhi pelaksanaan<br />

kebijakan.<br />

- Bagaimana sifat umum tentang<br />

seberapa jenis masalah kebijakan<br />

yang terkait<br />

- Apakah kelompok elit<br />

menyetujui atau menentang<br />

pelaksanan bebijakan.<br />

- Apakah karakteristik partisipan<br />

dan organisasi pelaksana ada<br />

oposisi atau dukungan partisipan<br />

untuk kebijakan tersebut.<br />

6) Disposisi atau sikap pelaksana<br />

Disposisi atau sikap pelaksana sangat<br />

menentukan<br />

keberhasilan<br />

implementasi, sebab hal ini berkaitan<br />

dengan persepsi pelaksana dalam<br />

yuridis dimana kebijakan<br />

disampaikan. Ada tiga unsur yang<br />

mempengaruhi pelaksana dalam<br />

mengimplementasi kebijakan, yaitu :<br />

- Kognisi (pemahaman dan<br />

pengetahuan) pelaksana terhadap<br />

kebijakan.<br />

- Arab respon pelaksana terhadap<br />

implementasi menerima atau<br />

menolak.<br />

- Intensitas dari respon pelaksana.


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

18<br />

Selanjutnya George C. Edward III<br />

mengidentifikasikan faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi<br />

keberhasilan<br />

implementasi kebijakan, yaitu :<br />

1. Komunikasi<br />

2. Sumber daya<br />

3. Sikap<br />

4. Struktur kelembagaan (Sujianto,<br />

2008 : 38 – 45)<br />

Maka dari beberapa penjelasan<br />

tentang implementasi yang telah<br />

dilakukan, disimpulkan bahwa<br />

implementasi kebijakan sebagai suatu<br />

proses melaksanakan keputusan<br />

kebijakan yang biasanya dalam bentuk<br />

undang–undang, peraturan- pemerintah,<br />

peraturan daerah dan program-program<br />

pemenintah. Dimana dalam aktivitas ini<br />

bertipa pemyataan tentang tujuan yang<br />

akan dicapai yang dirancang melalui<br />

kegiatan-kegiatan administratif yang<br />

nyata, seperti pendanaan, perencanaan<br />

dan pengorganisasian.<br />

METODE<br />

Pelaksanaan penelitian ini untuk<br />

pengumpulan data primer maupun data<br />

sekunder menggunakan metode<br />

penelitian survei sebagai salah satu jenis<br />

Scientific Research (penelitian ilmiah),<br />

terutama digunakan untuk<br />

menggambarkan (deskriptif) dan<br />

menjelaskan (explanatory atau<br />

confirmatory) tentang kondisi variabel<br />

penelitian. Populasi dalam penelitian ini<br />

adalah pihak pelaksana program yaitu<br />

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan<br />

Keluarga Berencana (BPMKB) Kota<br />

Pekanbaru, masyarakat yang<br />

diberdayakan yaitu masyarakat yang<br />

menerima program dan masyarakat<br />

independen yaitu masyarakat yang tidak<br />

menerima program. Dimana dalam<br />

melakukan pemilihan sampel dari<br />

populasi yang dimiliki, digunakan tehnik<br />

porposive sampling dan tehnik random<br />

sampling.<br />

Dalam tehnik pengukurannya<br />

penulis menggunakan skala likert, yaitu<br />

memberikan skor penilaian untuk<br />

masing-masing jalaban. Penelitian ini<br />

memberikan lima alternatif jalaban yaitu<br />

sangat baik skor 5, baik skor 4, cukup<br />

baik skor 3, kurang baik skor 2 dan tidak<br />

baik skor 1. Dari perhitungan yang<br />

dilakukan, maka rentang skor untuk<br />

menilai keberhasilan implementasi<br />

program usaha peningkatan pendapatan<br />

keluarga sejehatera (UPPKS) di Kota<br />

Pekanbaru, yaitu :<br />

a. Sangat baik apabila total skor yang<br />

diperoleh 6930 – 8250<br />

b. Baik apabila total skor yang<br />

diperoleh 5609 – 6929<br />

c. Cukup baik apabila total skor yang<br />

diperoleh 4288 – 5608<br />

d. Kurang baik apabila total skor yang<br />

diperoleh 2967 – 4287<br />

e. Tidak baik apabila total skor yang<br />

diperoleh 1646 – 2966<br />

HASIL<br />

Dalam penelitian ini, berfokus<br />

kepada lima variabel untuk menjelaskan<br />

keberhasilan implementasi program<br />

usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru,<br />

yaitu standart dan tujuan kebijakan,<br />

komunikasi, sumber daya, sikap dan<br />

struktur kelembagaan. Penelitian ini<br />

dilakukan dengan menggunakan analisis<br />

deskirptif yaitu suatu tehnik menganalisa<br />

data yang untuk menggambarkan secara<br />

utuh kenyataan mengenai permasalahan<br />

yang diteliti. Adapun yang menjadi<br />

responden dalam penelitian ini adalah<br />

aparatur pelaksana program UPPKS,<br />

kelompok masyarakat yang menerima<br />

program UPPKS dan masyarakat<br />

independen, yang diharapkan dapat<br />

memberikan penilaian terhadap<br />

keberhasilan implementasi program<br />

usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

19<br />

yang berjumlah 66 orang. Kemudian<br />

data diperoleh dengan cara memberikan<br />

daftar pertanyaan dalam bentuk<br />

kuisioner penelitian kepada 66<br />

responden terpilih. Kemudian dari hasil<br />

kuisioner tersebut diperoleh data tentang<br />

keberhasilan implementasi program<br />

usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru,<br />

selanjutnya akan didiskripsikan satu<br />

persatu sebagai berikut :<br />

A. Deskripsi variabel standart dan<br />

tujuan kebijakan<br />

Standart dan tujuan kebijakan<br />

adalah suatu ukuran yang diberikan<br />

terhadap kegiatan, pekerjaan, tindakan<br />

yang dilaksanakan dan memiliki fokus<br />

terhadap hasil kerja yang diperoleh.<br />

Pelaksanaan kegiatan atau pekerjaan<br />

tersebut harus didukung pengetahuan<br />

dan kemampuan yang dimiliki untuk<br />

dapat menghasilkan pekerjaan yang tepat<br />

waktu, memberikan pelayanan yang<br />

memuaskan dan menghasilkan pekerjaan<br />

yang efektivitas. Untuk itu dibutuhkan<br />

ukuran dan standart yang tepat, sehingga<br />

tujuan kebijakan yang dirumuskan dapat<br />

terwujud. Kemudian untuk melihat hasil<br />

tanggapan responden terhadap variabel<br />

standart dan tujuan kebijakan dapat<br />

dilihat pada tabel dibawah ini :<br />

Tabel 1.<br />

Hasil Tanggapan Responden tentang<br />

Variabel Standart dan Tujuan Kebijakan<br />

Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />

Pelaksana<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

penerima<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

independen<br />

SB B CB KB TB<br />

1<br />

(12,5<br />

%)<br />

3<br />

(6,2<br />

%)<br />

1<br />

(10,0<br />

%)<br />

5<br />

(62,5<br />

%)<br />

32<br />

(66,7<br />

%)<br />

5<br />

(50,0<br />

%)<br />

2<br />

(25,0<br />

%)<br />

10<br />

(20,8<br />

%)<br />

2<br />

(20,0<br />

%)<br />

- - 795<br />

1<br />

(2,1<br />

%)<br />

2<br />

(4,2<br />

%)<br />

- 2<br />

(20,0<br />

%)<br />

4400<br />

765<br />

Total skor 5960<br />

Sumber : Hasil penelitian lapangan<br />

Dari hasil penelitian ditemukan<br />

bahwa standart dan tujuan kebijakan<br />

yang diimplementasikan dalam program<br />

usaha peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

sudah berjalan dengan baik. Hal ini<br />

dibuktikan dengan total skor yang<br />

berjumlah 5960 termasuk didalam<br />

ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan<br />

bahwa pelaksana program UPPKS,<br />

masyarakat penerima program UPPKS<br />

dan masyarakat independen setuju<br />

bahwa implementasi program usaha<br />

peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

dalam penetapan standart dan tujuan<br />

sudah berhasil dilakukan. Dimana<br />

keberhasilan implementasi ini terlihat<br />

dari ketepatan waktu melaksanakan<br />

program UPPKS, pelayanan yang<br />

memuaskan dalam pelaksanaan program<br />

UPPKS, ketelitian kerja yang baik dalam<br />

pelaksanaan program UPPKS, tingkat<br />

efisiensi biaya yang baik dan tingkat<br />

efektivitas kerja yang baik dalam<br />

pelaksanaan program UPPKS. Dengan<br />

adanya keberhasilan implementasi ini<br />

tentunya akan menciptakan kelancaran<br />

dalam pelaksanaan program UPPKS<br />

yang telah ditetapkan oleh Pemerintah<br />

Kota Pekanbaru.<br />

B. Deskripsi variabel komunikasi<br />

Komunikasi adalah penyampaian<br />

informasi atau berita kepada orang lain<br />

dengan maksud dan tujuan tertentu.<br />

Sehingga komunikasi merupakan<br />

peristiwa dimana pemberi berita dan<br />

penerima berita memperoleh pandangan<br />

yang sama tentang suatu berita. Maka<br />

dari itu orang yang melakukan<br />

komunikasi akan memperoleh informasi,<br />

sebab informasi adalah segala sesuatu<br />

yang dikomunikasikan dalam hal ini<br />

pengetahuan tentang sesuatu. Selain itu<br />

juga informasi merupakan inti sistem<br />

komunikasi dan memberikan bahan<br />

dasar pengambilan keputusan. Untuk<br />

melihat hasil tanggapan responden<br />

terhadap variabel komunikasi dapat<br />

dilihat pada tabel dibawah ini :


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

20<br />

Tabel 2.<br />

Hasil Tanggapan Responden tentang<br />

Variabel Komunikasi<br />

Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />

Pelaksana<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

penerima<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

independen<br />

SB B CB KB TB<br />

- 6<br />

2<br />

(4,2<br />

%)<br />

(75,0<br />

%)<br />

28<br />

(58,3<br />

%)<br />

- 5<br />

(50,0<br />

%)<br />

2<br />

(25,0<br />

%<br />

17<br />

(35,4<br />

%)<br />

4<br />

(40,0<br />

%)<br />

- - 755<br />

1<br />

(2,1)<br />

1<br />

(10,0<br />

%)<br />

- 4320<br />

- 875<br />

Total skor 5950<br />

Sumber : Hasil penelitian lapangan<br />

Dari hasil penelitian ditemukan<br />

bahwa komunikasi yang<br />

diimplementasikan dalam program usaha<br />

peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

sudah berjalan dengan baik. Hal ini<br />

dibuktikan dengan total skor yang<br />

berjumlah 5950 termasuk didalam<br />

ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan<br />

bahwa pelaksana program UPPKS,<br />

masyarakat penerima program UPPKS<br />

dan masyarakat independen setuju<br />

bahwa implementasi program usaha<br />

peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

yang dikomunikasikan sudah berhasil<br />

dilakukan. Dimana keberhasilan<br />

implementasi ini terlihat dari informasi<br />

yang disampaikan dalam pelaksanaan<br />

program UPPKS, kemampuan pelaksana<br />

dalam memehami program UPPKS,<br />

kejelasan pelaksanaan program UPPKS,<br />

kelancaran penyampaian informasi<br />

pelaksanaan program UPPKS dan<br />

konsistensi pelaksana dalam<br />

mengkomunikasi program UPPKS.<br />

Dengan adanya keberhasilan<br />

mengkomunikasi program yang<br />

dilaksanakan tentunya akan tercipta<br />

kerjasama yang timbal balik antara<br />

pelaksana program dan masyarakat<br />

penerima program. Sehingga<br />

keberhasilan implementasi program juga<br />

akan lebih mudah diwujudkan apabila<br />

kedua belah pihak saling berkoordinasi<br />

dan berpartisipasi dalam pelaksanaan<br />

program.<br />

C. Deskripsi variabel sumber daya<br />

Secara makro, sumber daya manusia<br />

adalah kualitas atau kemampuan orang<br />

atau manusia untuk mengelola sumber<br />

daya alam, sehingga dapat dipergunakan<br />

bagi kesejahteraan masyarakat sebagai<br />

tujuan akhir pembangunan itu sendiri.<br />

Secara mikro, sumber daya manusia<br />

adalah tenaga kerja, baik yang berupa<br />

pimpinan, staf atau karyawan biasa. Oleh<br />

karenanya tingkat efektivitas dan<br />

produktivitas organisasi akan sangat<br />

tergantung pada kualitas sumber daya<br />

manusia yang dimilikinya. Walaupun<br />

suatu organisasi memiliki peralatan atau<br />

fasilitas kerja yang modern, namun jika<br />

tidak ditunjang oleh kualitas sumber<br />

daya manusia yang memadai, maka akan<br />

sulit untuk mencapai kinerja yang<br />

diinginkan. Untuk melihat hasil<br />

tanggapan responden terhadap variabel<br />

sumber daya dapat dilihat pada tabel<br />

dibawah ini :<br />

Tabel 3.<br />

Hasil Tanggapan Responden tentang<br />

Variabel Sumber Daya<br />

Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />

Pelaksana<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

penerima<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

independen<br />

SB B CB KB TB<br />

- 8<br />

1<br />

(2,1<br />

%)<br />

(100,0<br />

%)<br />

29<br />

(60,4<br />

%)<br />

- 5<br />

(50,0<br />

%)<br />

- - - 800<br />

14<br />

(29,1<br />

%)<br />

4<br />

(40,0<br />

%)<br />

3<br />

(6,3<br />

%)<br />

1<br />

(10,0<br />

%)<br />

1<br />

(2,1<br />

%)<br />

4230<br />

- 830<br />

Total skor 5860<br />

Sumber : Hasil penelitian lapangan


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

21<br />

Dari hasil penelitian ditemukan<br />

bahwa sumber daya yang<br />

diimplementasikan dalam program usaha<br />

peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

sudah berjalan dengan baik. Hal ini<br />

dibuktikan dengan total skor yang<br />

berjumlah 5860 termasuk didalam<br />

ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan<br />

bahwa, pelaksana program UPPKS,<br />

masyarakat penerima program UPPKS<br />

dan masyarakat independent setuju<br />

bahwa program ini telah<br />

diimplementasikan dengan berhasil<br />

berdasarkan sumber daya yang dimiliki.<br />

Dimana keberhasilan ini terlihat dari<br />

kemampuan aparatur pelaksana program,<br />

fasilitas yang disediakan dalam<br />

melaksanakan program, adanya<br />

pembagian pertanggungjawaban yang<br />

jelas, adanya teknologi dan sistem<br />

informasi yang baik dan adanya insentif<br />

yang diberikan kepada pelaksana<br />

program. Dengan memiliki sumber daya<br />

yang memenuhi standart akan<br />

memberikan dorongan dan motivasi bagi<br />

para pelaksana program UPPKS kepada<br />

masyarakat. Oleh karena itu salah satu<br />

kunci keberhasilan dalam implementasi<br />

program UPPKS adalah memiliki<br />

sumber daya yang unggul, sehingga<br />

proses pelaksanaan dapat lebih mudah<br />

menuju kesuksesan.<br />

D. Deskripsi variabel sikap<br />

Sikap adalah kecenderungan<br />

seseorang yang bersifat menetap<br />

terhadap sesuatu objek, orang, kejadian<br />

atau hal lainnya baik secara negatif<br />

maupun positif. Dalam memahami<br />

pergetian sikap, dimaknai terdiri dari<br />

tiga komponen dasar, yakni komponen<br />

kognitif atau evaluatif, komponen<br />

evektif atau perasaan, komponen aksi<br />

atau sikromotorik. Pendekatan teoritis<br />

yang dianggap tradisional tentang sikap<br />

dikenal dengan pendekatan belajar.<br />

Pendekatan belajar ini memandang sikap<br />

sebagai kebiasaan sebagaimana halnya<br />

dengan hal-hal lain yang dipelajari.<br />

Pendekatan lain, seperti teori insentif<br />

mengambil sikap terhadap sesuatu maka<br />

terdapat kecenderungan untuk<br />

memaksimalkan keuntungan yang akan<br />

diperolehnya. Setiap suatu masalah<br />

memiliki keuntungan dan kerugian,<br />

dimana setiap individu akan mengambil<br />

sisi yang memberikan keuntungan yang<br />

lebih besar. Pendekatan kognitif di pihak<br />

lain keselarasan dan kesesuaian dalam<br />

mereka dan antara sikap dan perilaku.<br />

Pendekatan kognitif ini terutama<br />

menekankan penerimaan sikap yang<br />

sesuai dengan keseluruhan struktur<br />

kognitif seseorang. Jadi dalam kerja<br />

yang diminta adalah penerimaan sikap<br />

yang sesuai dengan keseluruhan struktur.<br />

Untuk melihat hasil tanggapan<br />

responden terhadap variabel sikap dapat<br />

dilihat pada tabel dibawah ini :<br />

Tabel 4.<br />

Hasil Tanggapan Responden tentang<br />

Variabel Sikap<br />

Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />

Pelaksana<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

penerima<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

independen<br />

SB B CB KB TB<br />

- 6<br />

1<br />

(2,1<br />

%)<br />

(75,0<br />

%)<br />

29<br />

(60,4<br />

%)<br />

- 5<br />

(50,0<br />

%)<br />

2<br />

(25,0<br />

%)<br />

16<br />

(33,3<br />

%)<br />

4<br />

(40,0<br />

%)<br />

- - 760<br />

2<br />

(4,2<br />

%)<br />

1<br />

(10,0<br />

%)<br />

- 4245<br />

- 845<br />

Total skor 5850<br />

Sumber : Hasil penelitian lapangan<br />

Dari hasil penelitian ditemukan<br />

bahwa sikap yang diimplementasikan<br />

dalam program usaha peningkatan<br />

pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS)<br />

di Kota Pekanbaru sudah berjalan<br />

dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

22<br />

total skor yang berjumlah 5850 termasuk<br />

didalam ketegori baik. Kondisi ini<br />

menjelaskan bahwa, pelaksana program<br />

UPPKS, masyarakat penerima program<br />

UPPKS dan masyarakat independent<br />

setuju bahwa program ini telah<br />

diimplementasikan dengan berhasil<br />

berdasarkan sikap yang ditunjukkan.<br />

Dimana keberhasilan ini terlihat dari<br />

pengetahuan yang dimiliki aparatur<br />

dalam memgimplementasikan program<br />

UPPKS, respon yang ditunjukan<br />

pelaksana program UPPKS, adanya<br />

insentif yang diberikan bagi para<br />

pelaksana program UPPKS, adanya<br />

penghargaan yang diberikan kepada<br />

pelaksana program UPPKS dan adanya<br />

intensitas tinggi yang ditunjukkan dari<br />

para pelaksana program UPPKS. Untuk<br />

itu dengan memiliki sikap yang baik<br />

dalam mengimplementasikan program<br />

UPPKS, akan lebih mempermudah<br />

memperoleh keberhasilan pelaksanaan<br />

program. Oleh karenanya keberhasilan<br />

implementasi program UPPKS juga<br />

harus didukung oleh sikap yang<br />

responsif dan kondusif dari para<br />

pelaksana program tersebut.<br />

E. Deskripsi variabel struktur<br />

kelembagaan<br />

Kelembagaan adalah bagian dari<br />

kelengkapan negara atau daerah yang<br />

membenahi pelaksanaan keputusankeputusan<br />

politik yang dibuat oleh<br />

lembaga legislatif dan eksekutif. Dalam<br />

melaksanakan keputusan-keputusan itu,<br />

pemerintah bergantung kepada birokrasi.<br />

Demikian pula pada waktu proses<br />

pengambilan keputusan, pemerintah<br />

harus mendasarkan diri pada informasi<br />

yang diterima melalui birokrasi. Oleh<br />

karena itu, kelembagaan yang berjalan<br />

baik merupakan syarat mutlak untuk<br />

kebijakan pemerintahan yang efektif,<br />

terutama bagi pemerintahan di negaranegara<br />

sedang berkembang. Dalam<br />

kelembagaan terdapat unsur birokrasi<br />

dalam bentuk tipe ideal, yang merupakan<br />

cerminan dari tahap rasionalisasi<br />

manusia modern. Secara umum<br />

digambarkan bahwa ciri-ciri birokrasi<br />

adalah pengambilan keputusan secara<br />

rasional, hubungan-hubungan sosial<br />

yang bersifat impersonal, tugas-tugas<br />

yang dijadikan rutin dan sentralisasi<br />

kekuasaan. Untuk melihat hasil<br />

tanggapan responden terhadap variabel<br />

struktur kelembagaan dapat dilihat pada<br />

tabel dibawah ini :<br />

Tabel 5.<br />

Hasil Tanggapan Responden tentang<br />

Variabel Struktur Kelembagaan<br />

Responden Kriteria Tanggapan Skor<br />

Pelaksana<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

penerima<br />

program<br />

UPPKS<br />

Masyarakat<br />

independen<br />

SB B CB KB TB<br />

- 7<br />

1<br />

(2,1<br />

%)<br />

1<br />

(10,0)<br />

(87,5<br />

%)<br />

32<br />

(66,7<br />

%)<br />

3<br />

(30,0<br />

%)<br />

1<br />

(12,5<br />

%)<br />

11<br />

(22,9<br />

%)<br />

5<br />

(50,0<br />

%)<br />

- - 765<br />

4<br />

(8,3<br />

%)<br />

1<br />

(10,0<br />

%)<br />

- 4315<br />

830<br />

Total skor 5910<br />

Sumber : Hasil penelitian lapangan<br />

Dari hasil penelitian ditemukan<br />

bahwa struktur kelembagaan yang<br />

diimplementasikan dalam program usaha<br />

peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

sudah berjalan dengan baik. Hal ini<br />

dibuktikan dengan total skor yang<br />

berjumlah 5910 termasuk didalam<br />

ketegori baik. Kondisi ini menjelaskan<br />

bahwa, pelaksana program UPPKS,<br />

masyarakat penerima program UPPKS<br />

dan masyarakat independent setuju<br />

bahwa program ini telah<br />

diimplementasikan dengan berhasil<br />

berdasarkan struktur kelembagaan yang<br />

dimiliki. Dimana keberhasilan ini terlihat


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

23<br />

dari dukungan yang diberikan oleh<br />

Pemerintah Kota Pekanbaru, adanya<br />

penerapan standart dalam pelaksanaan<br />

program UPPKS, adanya pembagian<br />

pelaksanaan tugas dalam program<br />

UPPKS, adanya komitmen yang<br />

ditunjukkan dalam pelaksanaan program<br />

UPPKS dan adanya keinginan yang kuat<br />

dalam melaksanakan program UPPKS.<br />

Oleh karenanya apabila struktur<br />

kelembagaan sudah memiliki dukungan<br />

dan komitmen yang tinggi dalam<br />

melaksanakan program yang sudah<br />

ditetapkan, maka tingkat keberhasilan<br />

akan lebih mudah diwujudkan. Untuk itu<br />

struktur kelembagaan memiliki peranan<br />

yang penting dalam upaya<br />

merealisasikan program yang ditetapkan,<br />

sebab struktur kelembagaan ini bisa<br />

dijadikan wadah bagi menjaring<br />

dukungan, komitmen dan kemauan dari<br />

pelaksana dan penerima program.<br />

SIMPULAN<br />

Dari hasil penelitian ini dapat<br />

ditarik kesimpulan bahwa : Pertama,<br />

keberhasilan implementasi kebijakan<br />

program usaha peningkatan pendapatan<br />

keluarga sejahtera (UPPKS) di Kota<br />

Pekanbaru yang ditinjau dari standartd<br />

dan tujuan kebijakan, komunikasi,<br />

sumber daya, sikap dan struktur<br />

kelembagaan telah berhasil<br />

diimplementasikan dengan baik. Kedua,<br />

dari hasil penelitian juga menjelaskan<br />

bahwa indikator yang paling dominan<br />

dalam mempengaruhi keberhasilan<br />

implementasi kebijakan program usaha<br />

peningkatan pendapatan keluarga<br />

sejahatera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

adalah indikator standart dan tujuan.<br />

Artinya dalam mengimplementasikan<br />

standart dan tujuan pada program usaha<br />

peningkatan dan pendapatan keluarga<br />

sejahtera (UPPKS), pihak pelaksana<br />

kebijakan menetapkan standart dan<br />

tujuannya berdasarkan hasil keputusan<br />

bersama dari semua pihak. Sehingga<br />

dalam pelaksanaannya semua pihak yang<br />

terlibat ikut memberikan partisipasinya<br />

dalam upaya mensukseskan program<br />

yang diimplementasikan. Standart dan<br />

tujuan yang dirumuskan diantaranya<br />

standart ketepatan waktu pelaksanaan<br />

program, standart pelayanan dalam<br />

pelaksanaan program, standart ketelitian<br />

pelaksanaan program serta standart<br />

efisiensi dan efektivitas pelaksanaan<br />

program.<br />

DAFTAR RUJUKAN<br />

Grindle Merike S., 1980., Policy Content<br />

and Context in Implementation<br />

Princeton., University Press., New<br />

Jersey.<br />

Gunawan Sumodiningrat., 1997.,<br />

Pembagunan <strong>Daerah</strong> dan<br />

Pemberdayaan Masyarakat., Bina<br />

Rena Parawira., Jakarta.<br />

Nugroho Riat., 2003., Kebijakan Publik<br />

Formulasi, Implementasi dan<br />

Evaluasi., PT. Alex Media<br />

Komputindo., Jakarta.<br />

Paulus Wirutomo dkk., 2003.,<br />

Paradigma Pembangunan di Era<br />

Otonomi <strong>Daerah</strong>., Penerbit Cipruy.,<br />

Jakarta.<br />

Pranarka dan Onny S. Prijono., 1996.,<br />

Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan<br />

dan Implementasi., CSIS., Jakarta.<br />

Ripley Randel., 1985., Politic Analysis<br />

in Political Science., Nellson Hall.,<br />

Chicago.<br />

Sumaryadi Nyoman., 2005.,<br />

Perencanaan Pembangunan <strong>Daerah</strong><br />

Otonom dan Pemberdayaan<br />

Masyarakat., Penerbit Citra Utama.,<br />

Jakarta.


*Keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Usaha <strong>Peningkatan</strong><br />

<strong>Pendapatan</strong> Keluarga Sejahtera (UPPKS) di Kota Pekanbaru<br />

24<br />

Sujianto., 2008., Implementasi<br />

Kebijakan Publik., Penerbit Alaf<br />

Riau., Pekanbaru.<br />

Syaukani., 2002., Kebijakan Publik :<br />

Menggapai Masarakat Madani.,<br />

Mida Pustaka., Yogyakarta.<br />

Tangkilisan Hassel Nogi., 2003.,<br />

Evaluasi Kebijakan Publik,<br />

Penjelasan Analisis dan<br />

Transformasi Pikiran Nagel,<br />

Balairung & Co., Yogyakarta.


Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

SOFIA ACHNES<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />

Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />

Abstrak : Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap<br />

orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk<br />

memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat. Sedangkan<br />

sehat adalah suatu keadaan dimana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun<br />

tanda-tanda penyakit/kelainan. Oleh karena itu dalam mewujudkan kesehatan masyarakat dalam<br />

menjalankan kehidupannya, pemerintah berupaya melaksanakan program-program kesehatan masyarakat.<br />

Pembangunan di bidang kesehatan Kota Pekanbaru selama lima tahun terakhir ini mengalami<br />

peningkatan yang sangat pesat dengan tersedianya sarana kesehatan yang memadai. Jenis pelayanan yang<br />

diberikan juga bertambah serta akses ke sarana kesehatan dasar sudah dijamin oleh pemerintah Kota<br />

Pekanbaru melalui program pengobatan gratis ke puskesmas. Oleh karena itu, puskesmas menjadi salah<br />

satu sarana pelayanan kesehatan yang menjadi pilihan bagi masyarakat terutama dari masyarakat<br />

golongan ekonomi lemah.<br />

Kata kunci : Implementasi, Pelayanan Kesehatan dan Program Jankesmas<br />

Kesehatan adalah investasi dan hak<br />

fundamental seluruh penduduk, untuk itu<br />

dibutuhkan suatu sistem yang mengatur<br />

pelaksanaan bagi upaya pemenuhan hak<br />

warga negara untuk tetap hidup sehat<br />

dengan mengutamakan pada pelayanan<br />

kesehatan bagi masyarakat yang tidak<br />

mampu. Berbagai upaya telah dilakukan<br />

pemerintah untuk menjamin akses<br />

penduduk miskin terhadap pelayanan<br />

kesehatan. Program pelayanan<br />

kesehatan bagi penduduk miskin telah<br />

dijalankan pemerintah sejak tahun 1998<br />

hingga tahun 2004 yang dikenal sebagai<br />

Jaring Pengaman Sosial Bidang<br />

Kesehatan. Selanjutnya pada Tahun<br />

2005 program tersebut diganti menjadi<br />

Program Asuransi Kesehatan Bagi<br />

Masyarakat Miskin (Askeskin).<br />

Perbedaannya, pada Program Askeskin<br />

bantuan pendanaan tidak salurkan<br />

langsung kepada pihak rumah sakit,<br />

namun memakai pengelola dana yakni<br />

PT.Askes yang membayar rumah sakit<br />

berdasarkan klaim.<br />

Mulai 1 September 2008, nama<br />

Program Askeskin berubah menjadi<br />

Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

(Jamkesmas). Perubahan mendasar dari<br />

sistem Askeskin ke Jamkesmas antara<br />

lain dana langsung disalurkan dari<br />

Kantor Pusat Kas Negara (KPKN) ke<br />

rekening setiap Puskesmas/Rumah Sakit.<br />

Proses penyaluran dana Jamkesmas<br />

tersebut yaitu dari Kas Negara (KPKN)<br />

ke Puskesmas dan jaringannya melalui<br />

PT. Pos Indonesia atau langsung ke<br />

rekening Rumah Sakit. Anggaran untuk<br />

Program Jaminan untuk Tahun 2008<br />

sebesar Rp 4,6 triliun untuk 76,4 juta<br />

masyarakat miskin dan hampir miskin<br />

25


*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

26<br />

berdasarkan data Badan Pusat Statistik<br />

Tahun 2006.<br />

Pembangunan di bidang kesehatan<br />

Kota Pekanbaru selama lima tahun<br />

terakhir ini mengalami peningkatan yang<br />

sangat pesat dengan tersedianya sarana<br />

kesehatan yang memadai. Jenis<br />

pelayanan yang diberikan juga<br />

bertambah serta akses ke sarana<br />

kesehatan dasar sudah dijamin oleh<br />

pemerintah Kota Pekanbaru melalui<br />

program pengobatan gratis ke<br />

puskesmas. Oleh karena itu, puskesmas<br />

menjadi salah satu sarana pelayanan<br />

kesehatan yang menjadi pilihan bagi<br />

masyarakat terutama dari masyarakat<br />

golongan ekonomi lemah.<br />

Puskesmas Rejosari merupakan<br />

salah satu unit kesehatan yang ada di<br />

Kecamatan Tenayan Raya, Kota<br />

Pekanbaru. Berdasarkan data Dinas<br />

Kesehatan Kota Pekanbaru Tahun 2007,<br />

dalam wilayah Kota Pekanbaru terdapat<br />

sebanyak 14 unit puskesmas. Diantara<br />

puskesmas yang terdapat di wilayah<br />

Kota Pekanbaru, Puskesmas Rejosari<br />

mempunyai jumlah peserta Jamkesmas<br />

relatif tinggi dengan kunjungan rawat<br />

jalan terendah.<br />

Berdasarkan data Profil Dinas<br />

Kesehatan Kota Pekanbaru tahun 2005,<br />

jumlah penduduk yang berada di<br />

Kecamatan Tenayan Raya sebanyak<br />

91.431 jiwa, yang terdiri atas 12.468<br />

KK dimana sebesar 3.126 KK (25,07 %)<br />

merupakan penduduk miskin dengan<br />

kunjungan rawat jalan bagi peserta<br />

Jamkesmas sebanyak 1.808 KK per<br />

tahun dan rata-rata 4,82 % per bulan.<br />

Pada tahun 2006 jumlah penduduk<br />

miskin di Kecamatan Rejosari<br />

meningkat menjadi 4.382 KK dan<br />

kunjungan rawat jalan peserta<br />

Jamkesmas sebanyak 2.441 KK per<br />

tahun dengan kunjungan rata-rata 4,64 %<br />

per bulan Selanjutnya pada tahun 2007<br />

jumlah penduduk miskin menjadi 4.755<br />

KK dan kunjungan rawat jalan 2.635 KK<br />

dengan kunjungan rata-rata per bulan<br />

4,62 % per bulan.<br />

Dari data jumlah kunjungan rawat<br />

jalan peserta Jamkesmas di wilayah kerja<br />

Puskesmas Rejosari di Kecamatan<br />

Tenayan Raya menunjukkan bahwa<br />

rata-rata kunjungan peserta Jamkesmas<br />

masih relatif rendah, karena berdasarkan<br />

program Jamkesmas yang dicanangkan<br />

pemerintah diharapkan rata-rata angka<br />

kunjungan rawat jalan peserta<br />

Jamkesmas sebesar 15 % per bulan.<br />

Untuk melihat keberhasilan suatu<br />

kebijakan, maka sangat bergantung pada<br />

implementasi kebijakan itu sendiri.<br />

Dimana, implementasi menyangkut<br />

tindakan seberapa jauh arah yang telah<br />

diprogramkan itu benar-benar<br />

memuaskan. Akhirnya pada tingkatan<br />

abstraksi tertinggi implementasi sebagai<br />

akibat ada beberapa perubahan yang<br />

dapat diukur dalam masalah-masalah<br />

besar yang menjadi sasaran program.<br />

Perlu diketahui bahwa mempelajari<br />

masalah implementasi kebijakan berarti<br />

berusaha untuk memahami apa yang<br />

senyatanya terjadi sesudah suatu<br />

kebijakan diberlakukan. Menurut<br />

Syaukani dkk (2002 : 295) implementasi<br />

merupakan suatu rangkain aktivitas<br />

dalam rangka menghantarkan<br />

kebijaksanaan kepada masyarakat<br />

sehingga kebijaksanaan tersebut dapat<br />

membawa basil sebagaimana<br />

diharapkan. Rangkaian kegiatan tersebut<br />

mencakup, Pertama, persiapan<br />

seperangkat peraturan lanjutan yang<br />

merupakan interprestasi dari kebijakan<br />

tersbut. Kedua, menyiapkan sumber<br />

daya guna menggerakan kegiatan<br />

implementasi termasuk didalamnya<br />

sarana dan prasarana, sumber daya<br />

keuangan dan tentu saja penetapan siapa<br />

yang bertanggung jawab melaksanakan<br />

kebijaksanaan tersebut. Ketiga,<br />

bagaimana<br />

menghantarkan


*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

27<br />

kebijaksanaan secara kongkrit ke<br />

masyarakat.<br />

Implementasi kebijakan pada<br />

prinsipnya adalah cara agar sebuah<br />

kebijakan dapat mencapai tujuannya,<br />

tidak lebih dan tidak kurang. Untuk<br />

mengimplementasikan kebijakan publik,<br />

maka ada dua pilihan langkah yang ada<br />

yaitu langsung mengimplementasikan<br />

dalam betuk, program-program atau<br />

melalui formulasi kebijakan derivate<br />

atau turunan dan kebijakan publik<br />

tersebut. (Riant Nugroho, 2003 : 158)<br />

Selanjutnya George C. Edward III<br />

mengidentifikasikan faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi<br />

keberhasilan<br />

implementasi kebijakan, yaitu :<br />

1. Komunikasi<br />

2. Sumber daya<br />

3. Sikap para pelaksana (disposisi)<br />

4. Struktur birokrasi (Sujianto, 2008 :<br />

38 – 45)<br />

Maka dari beberapa penjelasan<br />

tentang implementasi yang telah<br />

dilakukan, disimpulkan bahwa<br />

implementasi kebijakan sebagai suatu<br />

proses melaksanakan keputusan<br />

kebijakan yang biasanya dalam bentuk<br />

undang–undang, peraturan- pemerintah,<br />

peraturan daerah dan program-program<br />

pemenintah. Dimana dalam aktivitas ini<br />

bertipa pemyataan tentang tujuan yang<br />

akan dicapai yang dirancang melalui<br />

kegiatan-kegiatan administratif yang<br />

nyata, seperti pendanaan, perencanaan<br />

dan pengorganisasian.<br />

Dalam melaksanakan Program<br />

Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

(Jankesmas) yang merupakan suatu<br />

kebijakan, diibutuhkan keseriusan pihak<br />

pelaksana program dalam memberikan<br />

pelayanan kesehatan kepada masyarakat.<br />

Pelayanan adalah suatu usaha yang<br />

dilakukan oleh seseorang atau<br />

sekelompok orang atau instansi tertentu<br />

untuk memberikan bantuan dan<br />

kemudahan pada masyarakat dalam<br />

rangka mencapai tujuan tertentu ( Thoha,<br />

2001).<br />

Menurut Moenir (1995) pelayanan<br />

adalah kegiatan yang dilakukan oleh<br />

seseorang atau sekelompok orang<br />

dengan landasan faktor-faktor material<br />

melalui sistem prosedur dan metode<br />

tertentu dalam rangka usaha memenuhi<br />

kebutuhan orang lain sesuai dengan<br />

haknya. Selanjutnya Simorangkir (1997)<br />

mengemukakan bahwa pelayanan<br />

meliputi segala apa yang dapat membuat<br />

para pelanggan senang dan tertarik pada<br />

suatu organisasi atau perusahaan yang<br />

bersangkutan, dimana pelayanan tersebut<br />

antara lain :<br />

1. Menghormati langganan dengan<br />

ramah<br />

2. Menghormati tiap kepentingan<br />

dengan serius dan turut<br />

mengembangkan pemikiran untuk<br />

pemecahannya , jika perlu diberikan<br />

bantuan-bantuan yang nyata.<br />

Sianipar (1999) mengemukakan<br />

bahwa pelayanan adalah cara melayani,<br />

membantu, menyiapkan, mengurus,<br />

menyelesaikan keperluan, kebutuhan<br />

sseorang atau kelompok. Artinya, yang<br />

dilayani adalah masyarakat yang terdiri<br />

dari individu, golongan, organisasi<br />

(sekelompok organisasi).. Pelayanan<br />

dapat diartikan pula sebagai suatu cara<br />

atau teknik memenuhi, menanggapi<br />

kepentingan kebutuhan dan keluhan<br />

orang lain.<br />

Bentuk dan jenis pelayanan<br />

kesehatan banyak macamnya, namun<br />

jika disederhanakan secara umum<br />

dibedakan atas dua macam pelayanan,<br />

yaitu :<br />

1. Pelayanan Kedokteran<br />

Pelayanan kesehatan yang termasuk<br />

dalam kelompok pelayanan<br />

kedokteran (medical services)<br />

ditandai dengan pengorganisasian<br />

yang dapat bersifat sendiri (solo<br />

practice) tau secara bersama-sama


*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

28<br />

dalam suatu organisasi (institution),<br />

tujuan utamanya untuk<br />

menyembuhkan penyakit dan<br />

memulihkan kesehatan, serta sasaran<br />

terutama untuk perorangan dan<br />

keluarga.<br />

2. Pelayanan Kesehatan Masyarakat<br />

Pelayanan kesehatan yang termasuk<br />

dalam kelompok pelayanan<br />

kesehatan masyarakat (public health<br />

service) ditandai dengan cara<br />

pengorganisasian yang umumnya<br />

secara bersama-sama dalam suatu<br />

organisasi , tujuan utamanya untuk<br />

memelihara dan meningkatkan<br />

kesehatan serta mencegah penyakit<br />

serta sasarannya terutama untuk<br />

kelompok dan masyarakat (Depkes<br />

RI, 2003)<br />

Pusat Kesehatan Masyarakat<br />

(Puskesmas) adalah suatu kesatuan<br />

organisasi fungsional yang langsung<br />

memberikan pelayanan secara<br />

menyeluruh kepada masyarakat dalam<br />

suatu wilayah kerja tertentu dalam<br />

bentuk usaha-usaha kesehatan pokok<br />

(Azwar dalam Effendy, 1996).<br />

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis<br />

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang<br />

bertanggungjawab menyelenggarakan<br />

pembangunan kesehatan di suatu<br />

wilayah kerja (Depkes RI, 2004)<br />

Effendy (1998) mengemukakan<br />

bahwa ada tiga fungsi pokok puskesmas,<br />

yaitu :<br />

a) Sebagai pusat pembangunan<br />

kesehatan masyarakat di wilayahnya<br />

b) Membina peran serta masyarakat di<br />

wilayah kerjanya dalam rangka<br />

meningkatkan kemampuan untuk<br />

hidup sehat<br />

c) Memberikan pelayanan kesehatan<br />

secara menyeluruh dan terpadu<br />

kepada masyarakat di wilayah<br />

kerjanya.<br />

Notoatmodjo (2003) mengemukakan<br />

bahwa pencarian pengobatan di<br />

masyarakat terutama di negara sedang<br />

berkembang sangat bervariasi, hal ini<br />

dapat dilihat sebagai usaha untuk<br />

mengobati sendiri penyakit atau mencari<br />

pengobatan ke fasilitas-fasilitas<br />

pelayanan kesehatan modern seperti ke<br />

puskesmas, perawat, dokter prakrek,<br />

rumah sakit maupun ke pengobatan<br />

tradisional seperti dukun, sinshe dan<br />

lain-lain.<br />

Program Jaminan Pemeliharaan<br />

Kesehatan Masyarakat (Program JPKM)<br />

adalah suatu program jaminan sosial<br />

yang diberikan kepada masyarakat<br />

miskin tanpa adanya kewajiban bagi<br />

masyarakat miskin untuk memberikan<br />

kontribusi premi atau iuran, dimana<br />

dalam menentukannya diperlukan seleksi<br />

atau mean test.<br />

Program JPKM mulai tahun 2005<br />

sampai sekarang dilaksanakan melalui<br />

mekanisme asuransi sosial yang dikelola<br />

oleh PT.Askes (Persero) yang mulai<br />

tahun 2006 dikenal dengan Program<br />

Jamkesmas (Depkes, 2006). Tujuan<br />

Program Jamkesmas adalah untuk<br />

meningkatkan akses dan mutu pelayanan<br />

kesehatan kepada seluruh masyarakat<br />

miskin dan tidak mampu agar tercapai<br />

derajat kesehatan masyarakat yang<br />

optimal secara efektif dan efisien.<br />

Sasaran program ini adalah masyarakat<br />

miskin dan tidak mampu di seluruh<br />

Indonesia yang diperkirakan berjumlah<br />

60.000.000 jiwa berdasarkan data BPS<br />

tahun 2006 (Depkes, 2006).<br />

Manfaat yang disediakan untuk<br />

peserta Askeskin bersifat komprehensif<br />

sesuai dengan indikasi medis. Pelayanan<br />

kesehatan komprehensif tersebut<br />

menurut Depkes (2006) meliputi :<br />

a. Pelayanan kesehatan di Puskesmas<br />

dan jaringannya.<br />

b. Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit<br />

Peserta program Jamkesmas adalah<br />

setiap orang miskin dan tidak mampu<br />

(masyarakat miskin) yang terdaftar dan


*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

29<br />

memiliki kartu Jamkesmas dan berhak<br />

mendapatkan pelayanan kesehatan<br />

(Depkes, 2006). Dimana tingkat<br />

pengetahuan masyarakat akan kesehatan<br />

akan memberikan dampak bagi<br />

kesadaran masyarakat terhadap<br />

kesehatan. Tingkat pengetahuan<br />

seseorang akan mempengaruhi tingkah<br />

laku seseorang, apabila tingkat<br />

pengetahuan meningkat, maka<br />

meningkat pula kesadaran untuk<br />

melakukan sesuatu sesuai dengan<br />

kebutuhannya (Pusat Promkes, 2002).<br />

Menurut Notoatmodjo (2001),<br />

pengetahuan merupakan kognitif,<br />

domain yang sangat penting untuk<br />

terbentuknya tindakan seseorang.<br />

Pengetahuan yang mencakup domain<br />

kognitif mempunyai enam tingkatan<br />

yaitu :<br />

1) Tahu (Know) yang diartikan sebagai<br />

pengikat suatu materi yang dipelajari<br />

sebelumnya, ini adalah tingkat<br />

pengethauan yang paling rendah.<br />

2) Memahami (Comprehension) yang<br />

diartikan sebagai kemampuan<br />

menjelaskan secara besar tentang<br />

objek yang diketahui, dan dapat<br />

menginterprestasikan materi tersebut<br />

secara benar<br />

3) Aplikasi (Aplication) diartikan<br />

senagai kemampuan untuk<br />

menggunakan materi yang telah<br />

dipelajari pad ituasi dean kondisi riil<br />

(sebenarnya).<br />

4) Analisis adalah suatu kemampuan<br />

untuk menjabarkan materi atau suatu<br />

objek ke dalm komponen-komponen,<br />

tetapi masih di dalam suatu struktur<br />

organisasi tersebut dan masih<br />

berkaitan satu sama lain.<br />

5) Sintesis menunjuk kepada suatu<br />

kemampuan untuk meletakkan atau<br />

menghubungkan bagian-bagian di<br />

dalam keseluruhan yang baru.<br />

6) Evaluasi berkaitan dengan<br />

kemampuam untuk melakukan<br />

penilaian terhadap suatu materi atau<br />

objek. Pengukuran pengetahuan<br />

dapat dilakukan dengan<br />

menggunakan angket yang<br />

menanyakan tentang isi materi yang<br />

ingin diukur dari subjek penelitian<br />

atau responden.<br />

Menurut Notoadmodjo (2003) sikap<br />

merupakan reaksi atau respon seseorang<br />

yang masih tertutup terhadap stimulus<br />

atau objek. Sikap belum merupakan<br />

tindakan akan tetapi merupakan<br />

predisposisi tindakan suatu perilaku.<br />

Sikap merupakan reaksi tertutup. Sikap<br />

mempunyai tiga komponen yaitu :<br />

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan<br />

konsep terhadap suatu objek.<br />

b. Kehidupan emosional atau evaluasi<br />

terhadap objek<br />

c. Kecendrungan untuk bertindak.<br />

Lebih lanjut Notoadmodjo (2003)<br />

mengemukakan bahwa ke tiga<br />

komponen tersebut secara bersama-sama<br />

membentuk sikap utuh. Sikap terdiri<br />

dari berbagai tingkatan, yaitu :<br />

• Menerima, diartikan bahwa orang<br />

(objek) mau dan memperhatikan<br />

stimulus yang diberikan (objek)<br />

• Merespon, yaitu memberikan<br />

jawaban bila ditanya, mengerjakan<br />

dan menyelesaikan tugas yang<br />

diberikan adalah suatu indikasi dari<br />

sikap.<br />

• Menghargai, yaitu mengajak orang<br />

lain mengerjakan atau mendiskusikan<br />

suatu masalah adalah suatu indikasi<br />

sikap tingkat tiga.<br />

• Tanggungjawab atas segala sesuatu<br />

yang telah dipilihnya dengan segala<br />

resiko merupakan sikap yang paling<br />

tinggi.<br />

Akses terhadap pelayanan diartikan<br />

sebagai pelayanan yang diberikan tidak<br />

terhalang oleh keadaan geografis, sosial,<br />

ekonomi, budaya dan bahasa. Akses<br />

geografis dapat diukur dengan<br />

transportasi, jarak, waktu perjalanan dan


*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

30<br />

hambatan fisik lain yang yang<br />

menghalangi seseorang untuk<br />

memperoleh pelayanan kesehatan.<br />

Akses ekonomi berkaitan dengan<br />

kemampuan memberikan pelayanan<br />

kesehatan yang pembiayaannya<br />

terjangkau oleh pasien. Akses sosial<br />

budaya berkaitan dengan diterimanya<br />

pelayanan yang dikaitkan dengan nilai<br />

budaya, kepercayan dan perilaku.<br />

Aklses bahasa berarti bahwa pelayann<br />

yang diberikan dalam dialek setempat<br />

dan dipahami pasien (Depkes,2006).<br />

Petugas kesehatan mempunyai<br />

peranan sangat penting dalam<br />

membverikan pelayanan kepada<br />

masyarakat khususnya di puskesmas.<br />

Peranan petugas mencakup dalam upaya<br />

preventif, promotif, kuratif dan<br />

rehabilitatif (Depkes, 2002).<br />

Peran petugas kesehatan yang<br />

terwujud dalam sikap dan perilaku<br />

kesehatan yang merupakan kelompok<br />

referensi dan perilaku masyarakat yang<br />

juga mendukung dan memperkuat<br />

terbentuknya perilaku (Notoadmodjo,<br />

2003). Pelayanan petugas merupakan<br />

proses dari semua kegiatan yang<br />

dilaksanakan secara professional oleh<br />

tenaga kesehatan (dokter, perawat dan<br />

profesi lainnya) dan interaksinya dengan<br />

pasien. baik atau tidaknya pelayanan<br />

yang diberikan dapat diukur dengan<br />

berbagai cara dan salah satunya adalah<br />

dengan dinilai dengan kepuasan pasien<br />

(Wijono,2002).<br />

METODE<br />

Penelitian ini dilaksanakan pada<br />

Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan Raya , Kota Pekanbaru pada<br />

bulan Juni 2009 dengan menggunakan<br />

metoda survei. Responden dalam<br />

penelitian ini adalah peserta Jamkesmas<br />

yang datang ke Puskesmas Rejosari<br />

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan<br />

Data penelitian bersumber dari 50<br />

responden .<br />

Data yang dikumpulkan berupa data<br />

primer dan data sekunder. Data primer<br />

yang dikumpulkan meliputi : variabel<br />

umur, pendidikan, pengetahuan, sikap,<br />

akses pelayanan , pelayanan petugas<br />

kesehatan serta pemanfaatan pelayanan<br />

rawat jalan dari responden di Puskesmas<br />

Rejosari. Data sekunder dikumpulkan<br />

dari Puskesmas Rejosari, meliputi<br />

jumlah pegawai dan struktur organisasi<br />

Puskesmas Rejosari serta data yang<br />

relevan dengan penelitian.<br />

Analisis yang digunakan berupa<br />

analisis deskriptif. Untuk pengujian<br />

hipotesa penelitian, digunakan tabulasi<br />

silang (cross tabulation). Untuk<br />

menentukan pelaksanaan program<br />

Jamkesmas dalam meningkatkan<br />

pelayanan kesehatan keluarga miskin<br />

digunakan indikator keberhasilan dari<br />

Program Jamkesmas yang dtentukan<br />

oleh Departemen Kesehatan RI Tahun<br />

2008 sebagai berikut :<br />

1. Penerbitan dan Pendistribusian Kartu<br />

Peserta Jamkesmas 100 %.<br />

2. Angka utilisasi (visit rate) rata-rata<br />

15 % per bulan.<br />

3. Angka rujukan dari PPK I rata-rata<br />

12 % per bulan.<br />

4. Rata-rata lama perawatan di Rumah<br />

Sakit (LOS) 7 hari.<br />

5. Tingkat kepuasan konsumen minimal<br />

70 %.<br />

6. Cakupan pemeriksaan kehamilan K4<br />

(90 %), persalinan Nakes (90%) dan<br />

perawatan bayi baru lahis KN2<br />

(90%) oleh petugas kesehatan.<br />

HASIL<br />

Berdasarkan indikator keberhasilan<br />

dari Program Jamkesmas yang<br />

ditentukan oleh Departemen Kesehatan<br />

RI, pada Tabel 1 disajikan data tentang<br />

pelaksanaan program Jamkesmas di


*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

31<br />

wilayah kerja Puskesmas Rejosari,<br />

Kecamatan Tenayan Raya.<br />

Dapat dilihat pada tabel 1<br />

pelaksanaan Program Jamkesmas di<br />

Puskesmas Rejosari, dimana dari 6<br />

indikator untuk menentukan<br />

keberhasilan dari Program Jamkesmas,<br />

hanya satu indikator yang mencapai<br />

target Progam Jamkesmas yaitu tingkat<br />

kepuasan konsumen (pasien jamkesmas)<br />

yang ternyata mencapai 84 %,<br />

sedangkan target program Jamkesmas<br />

adalah minimal 70 %.<br />

Tabel 1 Pelaksanaan Program<br />

Jamkesmas di Wilayah Kerja<br />

Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan Raya<br />

Indikator Pelaksanaan Target<br />

74 % 100 %<br />

1. Penerbitan dan<br />

Pendistribusian<br />

Kartu Jamkesmas<br />

2. Angka Utilisasi<br />

(visit rate) rata-rata<br />

per bulan.<br />

3. Angka rujukan dari<br />

Puskesmas rata-rata<br />

per bulan<br />

4. Rata-rata lama<br />

perawatan di Rumah<br />

Sakit<br />

5. Tingkat Kepuasan<br />

Pasien (Konsumen)<br />

6. Cakupan<br />

Pemeriksaan<br />

Kehamilan (K4)<br />

7. Cakupan Persalinan<br />

8. Cakupan<br />

Pemeriksaan Bayi<br />

Baru Lahir (KN2)<br />

5,11 %<br />

10 %<br />

5 hari<br />

84 %<br />

80,83 %<br />

76,87 %<br />

66,53 %<br />

Sumber : Hasil Penelitian Lapangan<br />

15 %<br />

12 %<br />

7 hari<br />

minimal<br />

70 %<br />

90 %<br />

90 %<br />

90 %<br />

Pemanfaatan pelayanan rawat jalan<br />

yaitu hasil dari proses pencarian<br />

pelayanan kesehatan yang dilakukan<br />

pasien Jamkesmas untuk mendapatkan<br />

pelayanan kesehatan secara gratis di<br />

Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan Raya. Variabel pemanfaatan<br />

pelayanan rawat jalan dijabarkan ke<br />

dalam 5 pertanyaan, masing-masing<br />

pertanyaan diukur dengan 3 pilihan<br />

jawaban. Distribusi responden menurut<br />

kategori pemanfaatan pelayanan rawat<br />

jalan di Puskesmas Rejosari dapat<br />

dilihat pada tabel 2.<br />

Tabel 2 Distribusi Responden Menurut<br />

Kategori Pemanfaatan Pelayanan<br />

Rawat Jalan di Puskesmas<br />

Rejosari, Kecamatan Tenayan<br />

Raya, Tahun 2009<br />

No.<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Kategori<br />

Pemanfaatan<br />

Pelayanan<br />

Rawat Jalan<br />

Baik<br />

Cukup Baik<br />

Kurang Baik<br />

Jumlah<br />

Responden<br />

(orang)<br />

12<br />

29<br />

9<br />

Persentase<br />

(%)<br />

24,00<br />

58,00<br />

18,00<br />

Jumlah 50 100,00<br />

Sumber : Hasil Penelitian Lapangan<br />

Berdasarkan data pada Tabel 2. dapat<br />

dilihat bahwa responden yang<br />

pemanfaatan pelayanan rawat jalan<br />

kategori baik sebanyak 12 orang (24 %),<br />

yang pemanfaatan pelayanan rawat jalan<br />

kategori cukup baik sebanyak 29 orang<br />

(58,00 %) dan yang pemanfaatan<br />

pelayanan rawat jalan kategori kurang<br />

baik sebanyak 9 orang (18,00 %).<br />

Berdasarkan nilai persentase yang<br />

tertinggi, maka dari data pada Tabel 2<br />

kategori responden dalam pemanfaatan<br />

pelayanan rawat jalan di wilayah kerja<br />

Puskesmas Rejosari ternyata termasuk<br />

ke dalam kategori cukup baik.<br />

Faktor-faktor yang mempengaruhi<br />

pemanfaatan pelayanan rawat jalan di<br />

Puskesmas Rejosari dilihat dari lima<br />

variabel yaitu : 1). Pengetahuan , 2).<br />

Sikap, 3). Akses dan 4). Pelayanan<br />

petugas. Berikut ini rekapitulasi dari


*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

32<br />

No.<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

faktor-faktor yang mempengaruhi<br />

pemanfaatan pelayanan kesehatan<br />

responden di Puskesmas Rejosari dapat<br />

dilihat pada tabel 3.<br />

Tabel<br />

Faktor-faktor<br />

Yang<br />

Mempengaruhi<br />

Pemanfaatan<br />

Pelayanan<br />

Rawat Jalan<br />

Pengetahuan<br />

Sikap<br />

Akses<br />

Pelayanan<br />

Petugas<br />

3 Rekapitulasi Faktor-Faktor Yang<br />

Mempengaruhi Pemanfaatan<br />

Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan<br />

di Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan Raya, Tahun 2009<br />

Baik<br />

16<br />

(32,00)<br />

15<br />

(30,00)<br />

34<br />

(68,00)<br />

12<br />

(24,00)<br />

Kategori<br />

Cukup<br />

Baik<br />

28<br />

(56,00)<br />

31<br />

(62,00)<br />

11<br />

(22,00)<br />

33<br />

(66,00)<br />

Sumber : Hasil Penelitian Lapangan<br />

Kurang<br />

Baik<br />

6<br />

(12,00)<br />

4<br />

(8,00)<br />

5<br />

(10,00)<br />

5<br />

(10,00)<br />

Total 77 103 20 200<br />

Rata-rata 19<br />

(38,00)<br />

26<br />

(52,00)<br />

5<br />

(10,00)<br />

Jumlah<br />

50<br />

(100,00)<br />

50<br />

(100,00)<br />

50<br />

(100,00)<br />

50<br />

(100,00)<br />

50<br />

(100,00)<br />

Berdasarkan data pada Tabel 3. dapat<br />

dilihat bahwa sebanyak 19 orang (38,00<br />

%) dari responden tergolong kategori<br />

baik faktor-faktor yang mempengaruhi<br />

pemanfaatan pelayanan rawat jalan di<br />

Puskesmas Rejosari. Sebanyak 26 orang<br />

(52,00 %) dari responden tergolong<br />

cukup baik faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi pemanfaatan pelayanan<br />

rawat jalan, dan sebanyak 5 orang (10,00<br />

%) dari responden tergolong kurang baik<br />

faktor-faktor yang mempengaruhi<br />

pelayanan rawat jalan. Berdasarkan<br />

nilai persentase yang tertinggi, maka dari<br />

data pada Tabel 3. kategori faktor-faktor<br />

yang mempengaruhi pelayanan rawat<br />

jalan dari responden dalam pemanfaatan<br />

pelayanan kesehatan rawat jalan di<br />

wilayah kerja Puskesmas Rejosari<br />

ternyata termasuk ke dalam kategori<br />

cukup baik.<br />

SIMPULAN<br />

Berdasarkan penelitian yang<br />

dilakukan tentang Kajian Pelaksanaan<br />

Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

di Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan, dapat ditarik beberapa<br />

kesimpulan sebagai berikut :<br />

a. Pelaksanaan Program Jamkesmas di<br />

Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan Raya belum terlaksana<br />

sesuai dengan target yang ditetapkan<br />

oleh Departemen Kesehatan RI.<br />

Pelaksanaan Program Jamkesmas di<br />

Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan Raya, dikaji berdasarkan 6<br />

indikator yang ditetapkan oleh<br />

Departemen Kesehatan RI, dengan<br />

hasil sebagai berikut :<br />

1. Penerbitan dan Pendistribusian<br />

Kartu Jamkesmas sebesar 74 %<br />

2. Angka Utilisasi (visit rate) ratarata<br />

per bulan sebesar 5,11 % .<br />

3. Angka rujukan dari Puskesmas<br />

rata-rata per bulan sebesar 10,00<br />

%.<br />

4. Rata-rata lama perawatan di<br />

Rumah Sakit adalah 5 hari.<br />

5. Tingkat Kepuasan Pasien<br />

(Konsumen) sebesar 84 %.<br />

6. Cakupan Pemeriksaan<br />

Kehamilan (K4) sebesar 80,83<br />

%, Cakupan Persalinan sebesar<br />

76,97 % dan Cakupan Perawatan<br />

Bayi Baru Lahir (KN2) sebesar<br />

66,53 %.<br />

Berdasarkan target yang ditetapkan<br />

Departemen Kesehattan RI, ternyata<br />

hanya indikator tingkat kepuasan<br />

Konsumen (pasien) yang mencapai<br />

target, sedangkan lima indikator lainnya<br />

belum mencapai target.


*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

33<br />

b. Pemanfaatan pelayanan kesehatan<br />

rawat jalan pasien Jamkesmas di<br />

wilayah kerja Puskesmas Rejosari,<br />

Kecamatan Tenayan Raya ternyata<br />

berada dalam kategori cukup baik.<br />

c. Variabel yang digunakan untuk<br />

melihat faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi pelayanan rawat jalan<br />

dari pasien Jamkesmas di Puskesmas<br />

Rejosari terdiri dari faktor<br />

pengetahuan, sikap, akses terhadap<br />

pelayanan petugas. Dari ke<br />

empat faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi pelayanan rawat jalan<br />

bagi pasien Jamkesmas, ternyata<br />

faktor pengetahuan, sikap dan<br />

pelayanan petugas berada dalam<br />

kategori cukup baik, sedangkan<br />

factor akses terhadap pelayanan<br />

rawat jalan berada dalam kategori<br />

baik.<br />

d. Faktor-faktor yang dominan<br />

mempengaruhi pelayanan rawat jalan<br />

bagi pasien Jamkesmas di<br />

Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan Raya adalah factor sikap<br />

dari pasien Jamkesmas dan faktor<br />

akses dari pasien Jamkesmas<br />

terhadap pelayanan rawat jalan.<br />

e. Hasil analisis tabulasi silang<br />

menunjukkan bahwa terdapat<br />

hubungan antara faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi pelayanan rawat jalan<br />

dengan pemanfaatan pelayanan rawat<br />

jalan dari pasien Jamkesmas di<br />

Puskesmas Rejosari. Faktor-faktor<br />

yang mempengaruhi pelayanan rawat<br />

jalan dari pasien Jamkesmas di<br />

Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan Raya berada dalam kategori<br />

cukup baik dan pemanfaatan<br />

pelayanan rawat jalan dari pasien<br />

Jamkesmas di wilayah kerja<br />

Puskesmas Rejosari, Kecamatan<br />

Tenayan Raya, juga berada dalam<br />

kategori cukup baik.<br />

DAFTAR RUJUKAN<br />

Azwar, A. 1997. Pengantar<br />

Administrasi Negara. Penerbit<br />

PT.Binarupa Aksara. Jakarta.<br />

Departemen Kesehatan Republik<br />

Indonesia. 2003. Pedoman<br />

Penyelenggaraan Jaminan<br />

Pemeliharaan Kesehatan<br />

Keluarga Miskin. Ditjen Bina<br />

Kemas. Jakarta.<br />

_____________. 2004. Keputusan<br />

Menteri Kesehatan Republik<br />

Indonesia Tentang Kebijakan<br />

Dasar Pusat kesehatan<br />

Masyarakat. Jakarta.<br />

_____________. 2006. Pedoman<br />

Pelaksanaan Pemeliharaan<br />

Kesehatan masyarakat miskin.<br />

Jakarta.<br />

Effendi, N. 1998. Dasar-Dasar<br />

Keperawatan Kesehatan<br />

Masyarakat. Penerbit Buku<br />

Kedokteran EGC. Jakarta.<br />

Gosperz, V. 1998. Manajemen Kualitas<br />

Dalam Industri. Penerbit<br />

PT.Gramedia. Jakarta.<br />

Kotler, P. 1998. Analisa Perencanaan<br />

Dan Pengendalian. Penerbit<br />

Erlangga. Jakarta.<br />

Ilyas. Y, 2001. Asuransi Kesehatan :<br />

Utilisasi Manajemen Klain dan<br />

Fraud. PT. Gramedia Pustaka<br />

Utama Jakarta.<br />

Moenir, A.S. 1995. Manajemen<br />

Pelayanan Umum. Penerbit<br />

Gunung Agung. Jakarta.


*Analisis Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat<br />

Di Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya<br />

34<br />

Mueller, D. J. 1990. Mengkur Sikap-<br />

Sikap Sosial. Ditrejemahkan oleh<br />

C. Syarifuddin. Fisp Press<br />

Universitas Pasundan Bandung.<br />

Notoadmojo. S. 2003. Pengantar<br />

Pendidikan Kesehatan dan Ilmu<br />

Perilaku Kesehatan PT. Rineka<br />

Cipta. Jakarta.<br />

Poerwadarminta, W.J.S. 1995. Kamus<br />

Umum Bahasa Indonesia.<br />

Penerbit Balai Pustaka. Jakarta.<br />

Prasetio. B. dan Lina M,J. 2005. Metode<br />

Penelitian Kuatitatif. PT. Askes<br />

Raja Grafindo persada. Jakarta.<br />

Sianipar, J.R.G. 1999. Manajemen<br />

Pelayanan Masyarakat. LAN<br />

Republik Indonesia. Jakarta.<br />

Simorangkir. 1997. Etiket Perbankan.<br />

Penerbit Idhil. Jakarta.<br />

Sugiono. 2005. Metode Penelitian<br />

Administrasi. Penerbit<br />

CV.Alfabeta. Bandung.<br />

Sukirno, H.E. 1998. Pelaksanan<br />

Pelayanan Jasa. Penerbit<br />

Erlangga. Jakarta.<br />

Thoha, M. 2001. Perilaku Organisasi.<br />

Penerbit Grafindo Persada.<br />

Jakarta.<br />

Tjiptono, F. 2002. Total Quality<br />

Manajemen. Penerbit Andy<br />

Offset. Yogyakarta.


Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

YASIR<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />

Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />

Abstrak : Tujuan dari penilitian ini adalah untuk meneliti perencanaan komunikasi iklan yang bidang<br />

pemerintahan di Propinsi Riau. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif melalui<br />

suatu studi kasus. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan tehnik porposive<br />

sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara<br />

mendalam, observasi dan dokumentasi. Semua aktivitas komunikasi dari pemerintah Propinsi Riau<br />

ditangani oleh Bagian Hubungan Masyarakat. Iklan-iklan itu digunakan untuk mempromosikan kebijakan<br />

di bidang pemerintahan, program kerja dan juga beberapa kejadian yang dikerjakan oleh pemerintah.<br />

Iklan-iklan di bidang pemerintahan dapat ditemukan di dalam papan reklame dan media massa seperti<br />

televisi, radio, surat kabar, suara pembaca, situs web dan sebagainya. Iklan-iklan di bidang pemerintahan<br />

tidak dirancang sembarangan karena iklan tersebut banyak memberikan aspek pengaruh kepada<br />

lingkungan masyarakat. Pengaruh utama dalam perencanaan iklan adalah pola-pola kerja dari aparatur<br />

dan program kerja kepala daerah. Oleh karena itu, masih terlihat kebanyakan masyarakat yang kurang<br />

menghiraukan media iklan yang disampaikan oleh pemerintah dalam upaya memberikan informasi<br />

kepada masyarakat.<br />

Kata kunci : Perencanaan Komunikasi, Media, Iklan, dan Pemerintah<br />

Komunikasi merupakan suatu aspek<br />

yang sangat penting bagi keberhasilan<br />

suatu organisasi untuk mencapai<br />

tujuannya. Bila perusahaan swasta<br />

melakukan komunikasi untuk promosi<br />

produk-produk atau jasa-jasa yang<br />

dihasilkan, pemerintah juga melakukan<br />

komunikasi untuk promosi kebijakan<br />

agar dapat diketahui dan diterapkan di<br />

masyarakat. Keduanya mempunyai<br />

prinsip yang sama yaitu agar segala<br />

produk yang dihasilkan dapat diketahui<br />

oleh masyarakat dan khalayak sebagai<br />

target dari proses komunikasi yang<br />

dilakukan, dan selanjutnya dapat<br />

dikonsumsi ataupun diadopsi.<br />

Produk kebijakan pemerintah yang<br />

sangat besar dari pemerintah Provinsi<br />

Riau adalah kebijakan, program<br />

pembangunan dan visi Riau 2020. Usaha<br />

yang dilakukan untuk<br />

mengomunikasikan visi tersebut di<br />

antaranya dengan menggunakan media<br />

komunikasi, seperti: televisi, koran, dan<br />

juga papan pengumuman (billboard)<br />

yang banyak ditemui di persimpangan<br />

jalan, pinggiran jalan-jalan utama<br />

maupun di tempat umum lainnya. Di<br />

samping itu, saluran komunikasi lainnya<br />

juga dilakukan seperti penggunaan<br />

metode humas (pers release, periklanan,<br />

pameran dll), komunikasi publik ,<br />

seminar, workshop, dan lain sebagainya.<br />

Pemilihan media dan saluran komunikasi<br />

tersebut adalah upaya yang dilakukan<br />

pemerintah untuk menyampaikan<br />

kebijakan dan program-program<br />

pembangunan.<br />

Umumnya media komunikasi iklan<br />

yang dipilih dan dibuat oleh pemerintah<br />

Provinsi Riau tersebut tidak banyak<br />

menarik perhatian masyarakat. Hal ini<br />

sangat berbeda bila dibandingkan<br />

dengan iklan swasta secara umumnya<br />

yang bersifat komersil yang memiliki<br />

35


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

36<br />

daya tarik di kalangan khalayak.<br />

Sebaliknya, iklan-iklan yang dibuat dan<br />

milik pemerintah sangat kontras dengan<br />

iklan swasta. Kebanyakan iklan produk<br />

pemerintah cenderung kurang menarik,<br />

banyak memakai kata-kata, pilihan<br />

warna yang tidak menarik perhatian,<br />

lebih banyak menampilkan tokoh<br />

pemimpinnya dan umumnya penempatan<br />

media iklan tersebut kurang tepat sama<br />

sekali. Tampilan media iklan pemerintah<br />

tersebut dapat terlihat dari sosialisasi<br />

program-program pembangunan<br />

pemerintah dalam media billboard. Iklan<br />

pemerintah lebih kompleks<br />

dibandingkan dengan iklan swasta yang<br />

komersil. Kompleksitas media iklan<br />

layanan masyarakat milik pemerintah<br />

mencerminkan banyaknya kepentingan<br />

politik, minimnya kreatifitas<br />

pengembangan ide iklan, dan<br />

keterbatasan sumber daya manusia yang<br />

berkeahlian.<br />

Realitas media iklan pemerintah<br />

tidak hanya didasarkan pada iklan<br />

billboard di atas saja, akan tetapi juga<br />

pada beberapa penggunaan media-media<br />

lain yang banyak dijumpai baik media<br />

cetak maupun media elektronik. Ada<br />

banyak hambatan dalam proses<br />

komunikasi untuk menyampaikan pesan<br />

tersebut sehingga komunikasi tidak<br />

efektif. Bila media komunikasi tidak<br />

efektif, tujuan yang diharapkan dari<br />

sebuah komunikasi pasti tidak akan<br />

tercapai.<br />

Komunikasi pemerintah ke<br />

masyarakat sangat tergantung pada<br />

kemampuan pemerintah dalam<br />

mengelola komunikasi dan menagkap<br />

aspirasi masyarakatnya. Tentunya dalam<br />

hal ini termasuk pengelolaan iklan-iklan<br />

pemerintah. Bentuk dan pesan media<br />

komunikasi pemerintah dalam<br />

memasarkan ide atau gagasan kebijakan<br />

patut menjadi perhatian masyarakat.<br />

Karena itu semua menyangkut<br />

kepentingan publik dan kepentingan<br />

masyarakat. Dana masyarakat yang<br />

dipakai akan sia-sia saja untuk<br />

pembuatan iklan dan proses komunikasi<br />

tersebut jika tidak mendatangkan hasil<br />

nyata perubahan di masyarakat.<br />

Proses perencanaan periklanan<br />

adalah sebuah proses tersendiri dalam<br />

fungsi pemasaran produk atau jasa<br />

bahkan tentang kebijakan. Terkait<br />

dengan ini, Lee dan Jhonson (2004 :<br />

156) menguraikan enam langkah<br />

perencanaan periklanan. Pertama,<br />

mengulas rencana pemasaran. Kedua,<br />

analisis situasi internal dan eksternal<br />

perusahaan (organisasi). Ketiga,<br />

menentukan tujuan periklanan. Keempat,<br />

mengembangkan dan melaksanakan<br />

strategi periklanan atau kreatif yang<br />

mencakup : khalayak sasaran, konsep<br />

produk atau jasa, media periklanan dan<br />

pesan periklanan. Kelima,<br />

mengembangkan dan melaksanakan<br />

strategi media; dan keenam,<br />

mengevaluasi efektifitas periklanan.<br />

Masalah utama penelitian ini adalah<br />

bagaimana memaksimalkan perencanaan<br />

komunikasi iklan Pemerintah Provinsi<br />

Riau. Oleh karena itu, penelitian ini<br />

mempunyai beberapa tujuan. Pertama,<br />

untuk mengetahui perencanaan<br />

komunikasi iklan-iklan pemerintah<br />

Provinsi Riau. Kedua, untuk<br />

menganalisis media-media komunikasi<br />

iklan yang digunakan pemerintah<br />

Provinsi Riau dalam mempromosikan<br />

program pembangunan. Ketiga, untuk<br />

menjelaskan efektifitas media<br />

komunikasi iklan yang digunakan oleh<br />

pemerintah Provinsi Riau dalam<br />

menyosialisasikan<br />

program<br />

pembangunan.<br />

Urgensi penelitian ini adalah agar<br />

dapat memberikan sumbangan berupa<br />

temuan-temuan baru bagi ilmu<br />

komunikasi khususnya bidang<br />

manajemen komunikasi. Penelitian ini


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

37<br />

diharapkan berguna untuk memberikan<br />

kontribusi dan bahan rekomendasi dalam<br />

setiap proses pengambilan keputusan<br />

dan penetapan strategi, kebijakan, dan<br />

tindakan komunikasi yang tepat,<br />

khususnya dalam memperbaiki<br />

perencanaan komunikasi dalam<br />

pembuatan media komunikasi iklan<br />

pemerintah.<br />

METODE<br />

Penelitian ini menggunakan metode<br />

penelitian kualitatif. Menurut Bodgan<br />

dan Taylor (dalam Moleong, 2000 : 3)<br />

metode kualitatif ini merupakan<br />

prosedur penelitian yang menghasilkan<br />

data deskriptif berupa kata-kata tertulis<br />

atau lisan dari orang-orang dan perilaku<br />

yang dapat diamati. Pendekatan ini<br />

diarahkan pada latar individu tersebut<br />

secara holistik (utuh atau menyeluruh).<br />

Selain itu, penelitian ini<br />

menggunakan penelitian kualitatif<br />

dengan tradisi penelitian studi kasus.<br />

Creswell (1998 : 61) dan Yin (1981 : 23)<br />

menjelaskan bahwa studi kasus<br />

merupakan penelitian empiris yang<br />

menyelidiki dan menguraikan fenomena<br />

kontemporer dalam konteks kehidupan<br />

nyata, ketika batasan antara fenomena<br />

dan konteks tidak terbukti secara jelas,<br />

dengan menggunakan berbagai sumber<br />

termasuk observasi, wawancara, materi<br />

audio-visual, dan dokumen atau laporan.<br />

Dalam hal ini, peneliti studi kasus<br />

berupaya menelaah sebanyak mungkin<br />

data mengenai subjek yang diteliti<br />

melalui sumber-sumber tersebut.<br />

Penelitian ini juga menggunakan<br />

pendekatan interaksi simbolik. Meskipun<br />

interaksionisme simbolik merupakan<br />

perspektif teoritis, namun ia bisa<br />

sekaligus menjadi orientasi metodologis.<br />

Mulyana (2001 : 148) mengatakan<br />

bahwa interaksionisme simbolik<br />

termasuk ke dalam salah satu dari<br />

sejumlah tradisi penelitian kualitatif<br />

yang berasumsi bahwa penelitian<br />

sistematik harus dilakukan dalam suatu<br />

lingkungan yang alamiah alih-alih<br />

lingkungan yang artifisial seperti<br />

eksperimen.<br />

Subjek penelitian ini adalah pegawai<br />

pemerintah yang berada di bagian<br />

kehumasan dan bagian yang terkait<br />

dengan komunikasi pemerintah, serta<br />

beberapa masyarakat dan wartawan.<br />

Pemilihan informan dilakukan dengan<br />

menggunakan teknik sampel purposif.<br />

Sedangkan objek penelitian ini adalah<br />

optimasi perencanaan komunikasi iklan<br />

pemerintah Provinsi Riau.<br />

Terkait dengan ini, adapun teknik<br />

pengumpulan data dalam penelitian ini<br />

adalah wawancara, observasi dan<br />

dokumentasi. Dalam upaya memperoleh<br />

data yang akurat tentang penelitian ini,<br />

peneliti melakukan wawancara dengan<br />

informan. Dalam penelitian ini<br />

wawancara yang digunakan adalah<br />

wawancara mendalam (in-depth<br />

interview) atau wawancara tak<br />

tersetruktur. Wawancara tak terstruktur<br />

ini mirip dengan percakapan informal<br />

(Mulyana, 2002 : 180 - 181). Maksud<br />

mengadakan wawancara menurut di sini<br />

antara lain: mengkontruksikan mengenai<br />

orang, kejadian, kegiatan, organisasi,<br />

perasaan, tuntunan, kepedulian, dan lainlain.<br />

Wawancara juga dilakukan dengan<br />

maksud untuk memverifikasikan dan<br />

khususnya untuk menentukan keabsahan<br />

data dari apa yang telah dan akan<br />

diobservasi. Untuk medukung dan<br />

memperkuat, peneliti juga menggunakan<br />

teknik dokumentasi, ini dilalukan dengan<br />

menganalisis beberapa dokumen seperti<br />

berita koran, artikel majalah, brosur,<br />

buletin, dan foto-foto.<br />

Analisis dan pembahasan dilakukan<br />

dengan menggunakan metode<br />

komparatif atas hasil wawancara dengan<br />

informan, analisis dokumen serta<br />

sekaligus membandingkan dengan hasil


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

38<br />

observasi yang dilakukan. Menurut<br />

Miles dan Huberman (1992 : 16) bahwa<br />

analisis kualitatif tetap menggunakan<br />

kata-kata, yang biasanya disusun<br />

kedalam teks yang diperluas. Data yang<br />

diperoleh dari lapangan dilakukan<br />

analisis melalui tahap-tahap :<br />

kategorisasi dan mereduksi data, data<br />

yang dikelompokkan selanjutnya disusun<br />

dalam bentuk narasi-narasi, melakukan<br />

interpretasi pada data dan pengambilan<br />

kesimpulan berdasarkan narasi. Metode<br />

penelitian ini didasarkan pada analisis<br />

data kualitatif yang merupakan upaya<br />

yang berlanjut, berulang dan terusmenerus.<br />

Untuk mendapatkan keabsahan data<br />

(data trustworthiness) maka diperlukan<br />

teknik pemeriksaan sesuai kondisi yang<br />

ada. Pelaksanaan teknik pemeriksaan<br />

didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu<br />

antara lain adalah adanya derajat<br />

kepercayaan / kredibilitas (Moleong,<br />

2000 : 173). Teknik untuk memeriksa<br />

atau mengukur tingkat kredibilitas<br />

penelitian ini maka peneliti<br />

menggunakan beberapa hal: 1)<br />

ketekunan pengamatan; 2) triangulasi;<br />

dan 3) pengecekan sejawat, melalui<br />

diskusi dengan tim peneliti.<br />

HASIL<br />

1. Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah Provinsi Riau<br />

Sebagian besar kegiatan komunikasi<br />

Pemerintah Provinsi Riau lebih banyak<br />

dilakukan dengan pendekatan<br />

kehumasan dan beberapa kegiatan<br />

komunikasi dengan melalui periklanan.<br />

Pesan-pesan yang disampaikan<br />

pemerintah melalui iklan umumnya<br />

adalah adalah promosi kebijakan tentang<br />

visi Riau 2020, program pembangunan,<br />

kasus penaggulangan kebakaran hutan,<br />

ketahanan pangan, kasus penanganan<br />

narkoba, kasus Flu burung, termasuk<br />

promosi kegiatan-kegiatan seperti<br />

Sukseskan PON XVIII di Riau, Riau<br />

Expo, atau ucapan selamat gubernur<br />

ketika Ulang Tahun Riau atau Republik<br />

Indonesia, Idul Fitri atau Idul Adha, dan<br />

lain sebagainya. Pilihan media<br />

komunikasi iklan yang dibuat oleh<br />

pemerintah Provinsi Riau untuk<br />

menyampaikan program-program<br />

tersebut adalah dengan melalui media<br />

luar ruang dan hanya beberapa dengan<br />

media televisi atau radio lokal.<br />

Hampir semua kegiatan komunikasi<br />

yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi<br />

Riau dipusatkan pada bagian hubungan<br />

masyarakat. Memang ada dinas-dinas<br />

atau satuan kerja Pemerintah Provinsi<br />

Riau yang membuat iklan, namun<br />

umumnya selalu dilakukan koordinasi<br />

dengan bagian Humas di pemerintahan<br />

provinsi. Seperti Dinas Perikanan<br />

Pewmprov. Riau membuat iklan ”Makan<br />

Ikan” dengan sasaran komunikasi anakanak<br />

yang diperankan oleh Fahri<br />

Semekot. Iklan lainnya adalah promosi<br />

pemerintah melalui Dinas Pemuda dan<br />

Olah Raga Provinsi Riau tentang<br />

Sukseskan PON ke XVIII di Provinsi<br />

Riau, dan lain-lainnya.<br />

Dalam hal ini, sebagai institusi yang<br />

banyak berperan dalam menangani<br />

sebagian besar komunikasi pemerintah<br />

provinsi, bagian humas selalu<br />

berhubungan dengan dinas dan satuan<br />

kerja lainnya. Bila ada dinas yang mau<br />

berencana membuat iklan sesuai<br />

kebutuhannya, bagian humas ini hanya<br />

menambahi beberapa pesan atau bahkan<br />

cukup sekedar berkoordinasi saja.<br />

Keberadaan bagian ini didasarkan pada<br />

Peraturan <strong>Daerah</strong> Nomor 2 Tahun 2005<br />

tentang pembentukan, susunan<br />

organisasi dan tata kerja Sekretariat<br />

<strong>Daerah</strong> Provinsi Riau. Bagian ini<br />

mempunyai tugas menyelenggarakan<br />

urusan, pekerjaan dan kegiatan<br />

penyediaan dukungan dan bantuan<br />

dalam rangka membina hubungan<br />

pemerintah daerah dengan masyarakat,


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

39<br />

hubungan dengan pers, publikasi dan<br />

dokumentasi, menciptakan komunikasi<br />

dua arah dan kerjasama yang serasi dan<br />

dinamis dengan masyarakat, memantau<br />

dan menampung aspirasi dan opini yang<br />

berkembang dalam masyarakat,<br />

memberikan keterangan pers sesuai.<br />

Dalam melaksanakan tugas dan<br />

fungsinya, bagian humas mempunyai<br />

beberapa subbagian lebih kecil yaitu:<br />

subbagian hubungan masyarakat,<br />

subbagian hubungan pers, subbagian<br />

publikasi dan dokumentasi, dan<br />

subbagian khusus. Sub-bagian khusus ini<br />

juga sering melakukan kegiatan lelang<br />

berkaitan proyek yang ada di Biro<br />

Pemerintahan dan Humas. Pelelangan ini<br />

terkait dengan kegiatan dan proyek yang<br />

dilakukan oleh Bagian Humas<br />

Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau.<br />

Kegiatan dan proyek ini adalah terkait<br />

dengan pembuatan even-even atau media<br />

komunikasi atau iklan yang diperlukan<br />

pemerintah provinsi.<br />

Sebagai ujung tombak, bagian humas<br />

paling bertanggung jawab dan berperan<br />

untuk mengkomunikasikan semua pesanpesan<br />

termasuk memilih medianya.<br />

Namun kenyataanya adalah pilihan<br />

saluran dan media pemerintah tidak<br />

memiliki daya tarik masyarakat. Hal ini<br />

tentu sangat berbeda bila dibandingkan<br />

dengan iklan-iklan swasta yang secara<br />

umumnya yang bersifat komersil yang<br />

memiliki daya tarik di kalangan<br />

khalayak. Iklan produksi perusahaan<br />

swasta kebanyakan menggunakan<br />

billboard didesain dalam bentuk warna<br />

yang menarik, isi pesan padat,<br />

menggunakan sedikit kata, ditulis<br />

dengan huruf berukuran besar, sehingga<br />

mudah dibaca dari jarak jauh dan<br />

ditempatkan di lokasi yang sangat<br />

strategis.<br />

Ini sangat berbeda dengan iklan<br />

pemerintah yang kurang menarik<br />

tampilannya. Oleh karena itu, iklan-iklan<br />

pemerintah sangat kontras dengan iklan<br />

swasta. Kebanyakan iklan-iklan produk<br />

pemerintah apakah media luar ruang atau<br />

media dalam ruang memiliki desainnya<br />

kurang menarik, pesannya tidak jelas,<br />

memakai bayak kata-kata, terkadang<br />

tulisan dibuat dengan ukuran kecil,<br />

pilihan warna kurang menarik perhatian,<br />

lebih banyak menampilkan pemimpin<br />

daerah dengan foto yang besar, dan<br />

tempat media iklan tersebut kurang<br />

strategis.<br />

Diantara contoh iklan pemerintah<br />

yang bisa ditemukan adalah billboard<br />

besar yang memiliki pesan “Mari<br />

Sukseskan Pekan Olahraga Nasional<br />

(PON) XVIII tahun 2012 di Provinsi<br />

Riau. Iklan ini memiliki dua versi<br />

dengan dominasi gambar Gubernur Riau<br />

Rusli Zainal yaitu versi gubernur berbaju<br />

putih dengan mengangkat dua tangan<br />

dan gubernur berbaju kuning dengan<br />

mengepalkan tangan. Kedua-duanya<br />

lebih terkesan menonjolkan ketokohan<br />

sang gubernur dibanding penonjolah<br />

terhadap pesan PON itu sendiri. Nama<br />

Gubernur HM Rusli Zainal di bawah<br />

fotonya ditulis dengan warna yang<br />

sangat jelas.<br />

Tegasnya, keberadaan dan<br />

kemunculan media iklan-iklan<br />

pemerintah tersebut lebih mencerminkan<br />

banyaknya kepentingan dan pengaruh<br />

yang terkandung di dalamnya. Media<br />

iklan minim kreatifitas pengembangan<br />

ide, staf humas dan sumber daya<br />

manusia yang berkeahlian atau mahir<br />

dalam merancang dan membuat iklan<br />

sangat terbatas. Sehingga tidak heran<br />

iklan yang dibuat tampil dengan apa<br />

adanya. Oleh karena itu, berbagai faktor<br />

tersebut sepertinya membuat media iklan<br />

pemerintah sedikit lebih kompleks dalam<br />

produksinya dibandingkan milik swasta.<br />

Berkaitan dengan ini, iklan-iklan<br />

komunikasi atau promosi pemerintah<br />

Provinsi Riau tentang kebijakan dan<br />

program pembangunan lebih cenderung


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

40<br />

bermuatan pesan politis. Ini banyak<br />

ditemukan terutama pada masa-masa<br />

akhir priode pertama kepemimpinan<br />

Gubernur Rusli Zainal. Kebijakan<br />

pemerintah terlihat dari banyaknya dana<br />

yang mengucur di bagian Humas<br />

Pemerintah Provinsi Riau, dan juga di<br />

bagian humas di masing-masing satuan<br />

kerja di Pemerintah Provinsi Riau.<br />

Dalam hal ini, Kepala Biro Humas dan<br />

Pemerintahan Provinsi Riau menjelaskan<br />

bahwa bila pada era Rusli Zainal<br />

anggaran untuk Biro Humas saja dalam<br />

setahun sekitar 18 miliar rupiah, namun<br />

pada masa peralihan ke Wan Abu Bakar<br />

Cuma dianggarkan 5,4 miliar saja<br />

(wawancara, Zulkarnain, 23 September<br />

2009).<br />

Tidak heran bila pada masa-masa<br />

periode menjelang pencalonan Rusli<br />

Zainal menjadi gubernur untuk priode<br />

kedua, banyak bertebaran media-media<br />

komunikasi yang umumnya banyak<br />

menampilkan gambar sang gubernur,<br />

namun intensitas media ini sangat<br />

berkurang jumlahnya ketika Wan Abu<br />

Bakar menggantikan dan saat Rusli<br />

Zainal sudah terpilih sekarang ini.<br />

Sehingga banyak sekali pada waktu itu<br />

media iklan-iklan seperti billboard atau<br />

baliho dapat ditemukan di persimpangan,<br />

pinggir jalan, dan tempat-tempat umum<br />

lainnya. Begitu juga dengan media<br />

massa yang ada di Riau baik yang di<br />

media cetak maupun yang elektronik<br />

semuanya memberitakan kegiatan sang<br />

gubernur.<br />

Kegiatan komunikasi ini sangat<br />

terstruktur dan kadang tanpa disadari<br />

oleh pegawai di humas maupun di<br />

masyarakat. Untuk menjelaskan ini, ada<br />

struktur dan pola pengaruh antara<br />

pegawai dan pembuat iklan dengan sang<br />

gubernur, yang nantinya mempengaruhi<br />

iklan yang dihasilkan. Pertama, pola<br />

hubungan yang bersifat untuk mencari<br />

perhatian atau mencari muka, bawahan<br />

memiliki inisiatif. Bawahan lebih aktif<br />

daripada atasan. Kedua, pola kebiasaan<br />

dan mengikuti aturan sebagai pelayan<br />

pemimpin. Pegawai melakukan karena<br />

sebuah kewajiban atau merupakan tugas<br />

yang harus dilaksanakan. Jadi<br />

hubungannya adalah memberikan<br />

pelayanan terhadap atasan atau<br />

pemimpin. Bawahan berbuat karena<br />

permintaan pemimpin, maka ia harus<br />

melakukan pekerjaan seperti apa adanya.<br />

Oleh karena itu, pola hubungan<br />

antara atasan (gubernur) dengan<br />

pembuat iklan mempengaruhi iklan-iklan<br />

yang dihasilkan. Implikasinya adalah ke<br />

proses perencanaan kegiatan komunikasi<br />

atau periklanan yang dilakukan oleh<br />

pemerintah Provinsi Riau. Secara<br />

struktural, disadari atau tidak, pengaruh<br />

institusi dan pemimpin sangat<br />

mendominasi semua bentuk komunikasi<br />

yang dihasilkan oleh bawahannya.<br />

Termasuk dalam hal ini adalah iklaniklan<br />

yang dihasilkan dan dibuat oleh<br />

pegawai pemerintah. Bahkan yang<br />

dibuat biro iklan atau media massa pun<br />

banyak diintervensi oleh kepentingan<br />

kekuasaan, seperti halnya dominasi<br />

gambar Gubernur Provinsi Riau yaitu<br />

Rusli Zainal dalam semua media yang<br />

ada.<br />

Di sisi yang lain, iklan-iklan<br />

produksi pemerintah sering juga muncul<br />

di stasiun televisi swasta lokal RTv dan<br />

televisi publik lokal TVRI Pekanbaru.<br />

Seperti halnya iklan Dinas Perikanan<br />

yang menampilkan model Fakhri<br />

Semekot yang berperan sebagai anak<br />

kecil. Pesan iklan tersebut adalah untuk<br />

mengajak anak-anak untuk rajin makan<br />

ikan. Padahal pesan iklannya adalah<br />

dengan makan ikan membuat anak<br />

tumbuh sehat dan pintar. Namun bintang<br />

atau modelnya adalah seorang yang<br />

memiliki tubuh kecil dan pendek yang<br />

hanya memiliki tinggi semester kotor<br />

(SemeKot). Sehingga iklan ini sering<br />

dimaknai masyarakat, orang yang rajin


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

41<br />

makan ikan saja tubuhnya tidak mau jadi<br />

lebih besar.<br />

Dalam hal ini, Biryanto Staff Humas<br />

Provinsi Riau, menjelaskan bahwa kami<br />

jarang bahkan tidak pernah melakukan<br />

analisis sampai begitu mendalam hanya<br />

untuk pembuatan iklan-iklan tertentu<br />

atau penyampaian pesan untuk kegiatankegiatan<br />

khusus. Lagi pula media iklan<br />

yang dibuat oleh dinas-dinas yang ada di<br />

provinsi umumnya hanya untuk<br />

mengkoordinasikan dan meminta<br />

persetujuan saja (wawancara Biryanto,<br />

20Agustus 2009).<br />

Proses komunikasi dalam pembuatan<br />

iklan umumnya tidak dengan melakukan<br />

analisis masalah dan khalayak dengan<br />

disertai pengumpulan data dengan baik.<br />

Sehingga terlihat hasil media iklan yang<br />

dibuat terkesan asal-asalan. Memang<br />

iklan di billboard umumnya tidak<br />

berlangsung lama, pemajangannya<br />

sekitar dua mingggu yaitu seminggu<br />

sebelum acara dan seminggu sesudah<br />

acara. Paling lama rata-rata 3 bulan<br />

untuk beberapa baliho-baliho tertentu.<br />

Namun demikian sebenarnya ada yang<br />

lebih dari setahun media yang dipajang,<br />

seperti yang dapat ditemukan di<br />

persimpangan jalan Garuda Sakti.<br />

Billboard ini berbentuk segi tiga,<br />

memiliki warna kusam dengan isi pesan<br />

tentang Visi Riau 2020. Billboard yang<br />

dipersimpanan seperti ini mestinya lebih<br />

besar, atau kalau ingin menarik perhatian<br />

mestinya harus dengan warna yang<br />

menarik. Bila melihat billboard ini<br />

terkesan pemerintah, dalam hal ini<br />

Humas tidak melakukan proses evaluasi<br />

untuk meperbaiki iklan dan media yang<br />

telah digunakan. Padahal media iklan<br />

seperti ini memiliki pesan yang sifatnya<br />

jangka panjang dan berkelanjutan.<br />

Iklan yang memiliki misi untuk<br />

jangka panjang, mestinya lebih ditangani<br />

dan dikelola dengan baik dari pada<br />

iklan-ilan yang bersifat temporer untuk<br />

acara atau even-even khusus saja. Iklan<br />

di media massa pun sangat standar dan<br />

biasa. Seperti di media massa cetak<br />

umumnya menggunakan prosedur yaitu:<br />

Humas buat surat order ke media massa<br />

cetak terkait, kemudian media memuat<br />

pesan iklan dan/atau memberitakannya,<br />

setelah itu baru media bersangkutan<br />

memberikan tagihan ke Humas<br />

Pemerintah Provinsi Riau yang<br />

prosesnya dengan mengajukan bukti<br />

nota pembayaran ke bapak Sekretaris<br />

<strong>Daerah</strong> (Sekda).<br />

2. Media-media Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah Provinsi Riau<br />

Media komunikasi yang digunakan<br />

oleh pemerintah Provinsi Riau sangat<br />

bervariasi namun masih sangat terbatas.<br />

Dominasi media iklan pemerintah adalah<br />

dengan media luar ruang , menggunakan<br />

bilboard yang umumnya dipajang di<br />

jalan-jalan utama ataupun di beberapa<br />

tempat yang sesuai berdasarkan<br />

wewenang yang dimiliki. Dalam hal ini,<br />

banyak media komunikasi yang bisa<br />

digunakan sebagai media alternatif<br />

(media kecil dan sederhana) seperti:<br />

bros, baju kaos, brosur, pin, stiker dan<br />

lain sebagainya. Intinya pesan iklan atau<br />

komunikasi yang akan disampaikan<br />

dapat mudah diterima karena perbedaan<br />

media yang digunakan. Media-media<br />

seperti ini ini dapat diberikan setelah<br />

kegiatan acara-acara khusus pemerintah<br />

untuk dapat meningkatkan kesadaran<br />

masyarakat sesuai tema-tema<br />

pembangunan yang ada.<br />

3. Media Luar Ruang<br />

Media luar ruang yang digunakan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau untuk<br />

iklan yaitu billboard atau baliho.<br />

Umumnya billboard atau baliho tersebut<br />

didesain oleh subbagian publikasi dan<br />

dokumentasi yang dalam mencetaknya


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

42<br />

diserahkan pada percetakan. Baliho dan<br />

spanduk yang dibuat Humas Sekretariat<br />

<strong>Daerah</strong> Provinsi Riau berisi kebijakan<br />

dan program-program Pemerintah<br />

Provinsi Riau, akan tetapi dalam<br />

kenyataanya baliho yang dibuat lebih<br />

banyak menampilkan profil gubernur<br />

dibandingkan pesan utamanya. Humas<br />

Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau<br />

memang lebih cenderung<br />

mengkomunikasikan profil gubernur,<br />

karena Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau<br />

bertugas untuk membantu gubernur<br />

dalam menjalankan pemerintahan dari<br />

atasan.<br />

Lokasi pemasangan baliho banyak<br />

ditemukan antara lain di halaman<br />

pelataran parkir kantor gubernur, di<br />

samping Balai Dang Merdu, di Jalan<br />

Diponegoro, di Sekitar jalan Sudirman,<br />

pertigaan menuju bandara, dan masih<br />

banyak lagi. Baliho ini akan banyak<br />

ditemukan khususnya pada even-even<br />

khusus yang diselenggarakan Pemerintah<br />

Provinsi Riau seperti pada Riau Expo<br />

atau acara dan program khusus lainnya.<br />

Pemasangan baliho atau bilboard<br />

umumnya bersifat sementara, setelah<br />

kegiatan selesai dilakukan maka baliho<br />

akan dilepas kembali. Hanya sedikit<br />

baliho atau bilboard yang bersifat<br />

permanen, seperti yang berisikan Visi<br />

Riau 2020 dan himbauan-himbauan<br />

penting yang dipasang untuk menjaga<br />

area kehutanan, anti narkoba dsb. Baliho<br />

yang dibuat oleh Humas Sekretariat<br />

<strong>Daerah</strong> Provinsi Riau selain<br />

menampilkan kebijakan pemerintah juga<br />

menampilkan kegiatan yang<br />

dilaksanakan Pemerintah Pusat dengan<br />

Pemerintah Provinsi Riau.<br />

4. Media Massa (televisi, radio dan<br />

koran)<br />

Sebagian dari iklan-iklan pemerintah<br />

ada yang dimuat di beberapa media lokal<br />

seperti di RTv dan TVRI Riau atau<br />

radio-radio lokal. Sebagian besar iklan<br />

yang disiarkan oleh media-media<br />

tersebut dibuat sendiri oleh Humas<br />

Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau.<br />

Namun demikian ada yang dibuat<br />

dengan cara menjalin hubungan<br />

kemitraan dengan media massa, baik<br />

media cetak dan media elektronik<br />

bahkan dalam lingkup media nasional.<br />

Seperti Iklan Dinas Kehutanan Provinsi<br />

Riau mempercayakan iklannya kepada<br />

Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 1<br />

Pekanbaru, dan untuk pembuatannya<br />

diserahkan kepada Radio 90,1 FM<br />

tersebut.<br />

Hubungan kemitraan yang dijalin<br />

Humas Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi Riau<br />

dengan pihak pers dilaksanakan agar<br />

media massa dapat menyebarluaskan<br />

informasi mengenai aktivitas, kebijakan,<br />

dan program Pemerintah Provinsi Riau<br />

kepada masyarakat. Humas memberikan<br />

data dan informasi berupa agenda<br />

gubernur dan wakil gubernur, release<br />

kegiatan gubernur, pidato gubernur,<br />

dokumentasi berupa foto dan video<br />

kegiatan yang dilaksanakan. Bentuk<br />

Iklan seperti ini dibayar dalam bentuk<br />

kontrak sesuai waktu, seperti ditemukan<br />

di ”Pro Riau” dalam Riau Pos.<br />

Pemerintah tidak banyak membuat<br />

media iklan untuk mengkomunikasikan<br />

kebijakan, melainkan lebih banyak<br />

dengan menjalin kerjasama dengan<br />

wartawan sebagai mitra kerja dari<br />

Pemerintah Provinsi Riau. Sehingga<br />

mereka juga sering mendapatkan<br />

fasilitas seperti uang saku dan<br />

penyediaan transportasi untuk kegiatan<br />

peliputan. Berkaitan dengan dengan ini,<br />

pemerintah menganggarkan dana yang<br />

cukup besar untuk kegiatan-kegiatan<br />

yang berguna menjalin hubungan baik<br />

dengan media pers.<br />

5. Website<br />

Humas Sekretariat <strong>Daerah</strong> Provinsi<br />

Riau pada awal tahun 2008 membuat<br />

sebuah website yaitu<br />

www.humasriau.com yang berisi release


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

43<br />

mengenai kegiatan Gubernur dan Wakil<br />

Gubernur Riau, galeri foto, pidato<br />

gubernur, peraturan daerah dan<br />

tanggapan masyarakat. Release dan<br />

galeri foto yang ada pada website humas<br />

tersebut berisi informasi mengenai<br />

kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan<br />

oleh Pemerintah Provinsi Riau terutama<br />

Gubernur Riau. Dalam hal ini isi pesan<br />

pemerintah tidak hanya dalam bentuk<br />

iklan, namun lebih banyak memuat<br />

dalam bentuk berita dan release.<br />

6. Efektifitas dan Optimasi Media<br />

Komunikasi Iklan Pemerintah<br />

Provinsi Riau<br />

Media memiliki kekuatan yang<br />

sangat besar dalam mempengaruhi citra<br />

dan pola pikir masyarakat. Pemilihan<br />

dan pengguaan media iklan dalam<br />

penyampaian pesan-pesan pembangunan<br />

dan promosi kebijakan pemerintah akan<br />

lebih efektif jika disampaikan dengan<br />

benar. Realitas keberadaan iklan<br />

pemerintah tidak banyak menarik<br />

perhatian masyarakat apalagi untuk<br />

membangkitkan kesadaran masyarakat.<br />

Dengan kata lain, iklan pemerintah tidak<br />

dibuat secara maksimal.<br />

Kurang optimalnya media iklan<br />

pemerintah ini mengindikasikan ada<br />

banyak hambatan dalam proses<br />

perencanaan komunikasi iklan. Otomatis<br />

komunikasi yang disampaikan menjadi<br />

tidak efektif. Bila media tidak efektif,<br />

tentu tujuan yang diharapkan dari sebuah<br />

rencana komunikasi pasti tidak akan<br />

efektif. Tempat tidak pada lokasi yang<br />

strategis dan pesan kurang didesain<br />

dengan baik juga akan mempengaruhi<br />

keberhasilan iklan. Selain itu, iklan tidak<br />

akan efektif jika tidak pernah dilakukan<br />

evaluasi.<br />

Minimnya dampak yang ditimbulkan<br />

media komunikasi iklan pemerintah di<br />

masyarakat merupakan indikasi kurang<br />

efektifnya iklan pemerintah. Banyak<br />

media seperti iklan pemerintah hanya<br />

sekedar proyek, terkesan dibuat asalasalan.<br />

Media iklan pemerintah ini<br />

adalah menyangkut kepentingan publik<br />

dan kepentingan masyarakat. Dana yang<br />

digunakan adalah dana negara yang<br />

jumlahnya cukup besar. Jika hanya<br />

untuk sosialisasi kegiatan-kegiatan yang<br />

bersifat temporer atau kepentingan<br />

sesaat, tentu mubazir dan sia-sia. Oleh<br />

karenanya, iklan pemerintah sudah<br />

semestinya dapat mendatangkan hasil<br />

nyata bagi perubahan kesadaran dan<br />

perilaku di masyarakat.<br />

Pesan iklan bilboard mestinya<br />

singkat dan disampaikan secara jelas.<br />

Harus dapat dibaca setidaknya dalam<br />

tujuh detik. Menggunakan huruf yang<br />

mudah terbaca dari jarak yang relatif<br />

jauh, serta menggunakan warna yang<br />

tepat sebagai pendukung. Abdul Ghafur<br />

yang berprofesi sebagai dosen di UIN<br />

Suska, memiliki komentar ”menurut<br />

saya iklan-iklan pemerintah Provinsi<br />

Riau agak buruk. Bagaimana tidak,<br />

beberapa iklan kurang menarik untuk<br />

dilihat bahkan ada yang sudah rusak.<br />

Kalau adapun yang baru cepat sekali<br />

diganti-ganti, hanya untuk sesaat saja.<br />

Terkadang tulisannya terlalu banyak<br />

untuk dibaca, ya kurang menariklah”<br />

(wawancara, 2 Oktober 2009).<br />

Umumnya iklan pemerintah dinilai<br />

oleh sebagian masyarakat sangat buruk,<br />

dari pilihan warna, pilihan lokasi, pilihan<br />

model iklan, hingga pilihan pesan yang<br />

disampaikan. Iklan pemerintah memang<br />

kurang menarik untuk dibaca, disamping<br />

itu terkesan hanya membuang-buang<br />

uang karena sifatnya hanya untuk<br />

promosi sesaat seperti pada acara-acara


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

44<br />

Pimpinan/<br />

atasan dan<br />

struktur/hubung<br />

an dengan<br />

atasan<br />

khusus saja. Padahal uang yang sudah<br />

dibelanjakan cukup banyak jumlahnya.<br />

Sementara iklan yang permanen dengan<br />

jangka waktu lama, umumnya tidak<br />

menarik untuk dilihat seperti pada iklan<br />

visi Riau 2020.<br />

Pemerintah Provinsi Riau terlihat<br />

kurang memperhatikan bentuk-bentuk<br />

komunikasi untuk promosi kebijakankebijakan<br />

atau program pemerintah yang<br />

berjangka panjang. Media-media yang<br />

digunakan untuk promosi tidak memiliki<br />

efektifitas dan dampak yang jelas. Hal<br />

ini disebabkan kurang menarik bagi<br />

masyarakat, karena didesain dalam<br />

bentuk yang kurang maksimal. Dalam<br />

hal ini, Humas sebagai penyampai pesan<br />

dan yang mengkoordinasikan semua<br />

komunikasi pemerintah provinsi tidak<br />

memaksimalkan fungsinya untuk<br />

merencanakan dan mengevaluasi<br />

komunikasi dan pilihan media-media<br />

yang digunakan.<br />

Gambar 1<br />

Model komunikasi Iklan<br />

Pemerintah Provinsi Riau<br />

Kebijakan dan program<br />

Pemerintah Provinsi Riau<br />

serta even-even khusus<br />

lainnya<br />

Efek iklan sangat tergantung pada<br />

banyak hal, semakin iklan<br />

memperhatikan aspek yang<br />

mempengaruhi maka semangkin<br />

efektiflah komunikasinya. Namun<br />

demikian iklan Pemerintah Provinsi Riau<br />

memiliki realitas yang sangat kompleks,<br />

karena memiliki dimensi politis.<br />

Dimensi inilah yang sering menghambat<br />

pesan komunikasi. Iklan pemerintah di<br />

sisi lain memiliki efektivitas.<br />

Efektifitasnya dapat diukur dari pesan<br />

yang ada di sebalik media tersebut, yaitu<br />

dominasi pemimpinnya untuk tampil<br />

disetiap gambar atau iklannya. Secara<br />

otomatis semakin gencar media yang<br />

dipakai dengan memakai berbagai media<br />

dan saluran komunikasi, semakin<br />

berpengaruh pesannya politisnya.<br />

Pemerintah melalui humas sebelum<br />

melakukan kegiatan komunikasi harus<br />

membuat perencanaan komunikasi yang<br />

baik. Proses perencanaan harus<br />

berorientasi pada khalayak, bukan<br />

berorientasi pada pemimpin atau<br />

pemerintah. Sehingga pesannya adalah<br />

pesan untuk kepentingan masyarakat<br />

luas bukan untuk kepentingan pemimpin<br />

atau sekelompok orang saja. Dengan<br />

membuat evaluasi secara menyeluruh<br />

terhadap proses komunikasi; pengaruh<br />

komunikator, pesan, media dan<br />

perubahan sikap atau perilaku<br />

masyarakat, tentu akan menghasilkan<br />

iklan yang baik.<br />

Iklan dibuat<br />

Humas/dinas<br />

Pemerintah<br />

Provinsi Riau<br />

Evaluasi kerja<br />

melalui<br />

kliping<br />

Iklan melalui<br />

Billboard, baliho,<br />

spanduk, televisi<br />

dan radio lokal,<br />

koran, website, dll.<br />

Respons<br />

dari<br />

masyarakat<br />

Publik/<br />

masyarakat<br />

SIMPULAN<br />

Komunikasi Pemerintah Provinsi<br />

Riau tentang kebijakan dan program<br />

pembangunan melalui iklan adalah pesan<br />

yang baik. Namun desain medianya<br />

kurang maksimal, sehingga jarang<br />

mendapatkan perhatian dari masyarakat.<br />

Selain itu pesan juga kurang<br />

tersampaikan dengan baik karena pesan<br />

lebih banyak bermuatan politis. Iklan<br />

pemerintah seperti ini umumnya<br />

menonjolkan ketokohan sang gubernur


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

45<br />

dibandingkan penonjolan pesan utama<br />

yang ingin disampaikan. Ini terjadi<br />

terutama pada masa-masa akhir priode<br />

pertama kepemimpinan Gubernur Rusli<br />

Zainal.<br />

Ada dua pola hubungan antara<br />

pegawai atau pembuat iklan dengan<br />

gubernur atau pemimpinnya. Pola<br />

hubungan ini mempengaruhi proses<br />

pembuatan iklan dan seperti apa iklan<br />

yang dihasilkan. Pertama, pola mencari<br />

perhatian atau mencari muka, berkerja<br />

dan berbuat sesuatu karena ingin<br />

menyenangkan orang atasan. Kedua,<br />

pola mengikuti aturan sebagai pelayan<br />

pemimpin, umumnya memang orang<br />

atasan yang menginginkan hal tersebut.<br />

Bawahan melakukan karena pemimpin<br />

meminta untuk melaksanakan.<br />

Iklan untuk mengomunikasikan<br />

pesan-pesan kebijakan dan program<br />

pembangunan pemerintah atau kegiatankegiatan<br />

khusus lainnya umumnya<br />

menggunakan dan memilih media<br />

komunikasi seperti: media luar ruang<br />

(billboard, baliho), televisi lokal, radioradio<br />

lokal, koran, dan juga saluran<br />

komunikasi lainnya. Media periklanan<br />

pemerintah Provinsi Riau yang utama<br />

adalah melalui media papan<br />

pengumuman (billboard) yang banyak<br />

ditemui di persimpangan jalan, pinggirpingir<br />

jalan utama maupun di tempat<br />

umum lainnya.<br />

Keberadaan iklan pemerintah tidak<br />

banyak menarik perhatian masyarakat<br />

apalagi untuk membangkitkan kesadaran<br />

masyarakat. Dengan kata lain, iklan<br />

pemerintah tidak dibuat secara<br />

maksimal, sehingga iklannya tidak<br />

efektif. Ketidakefektifan iklan<br />

pemerintah ini disebabkan oleh tidak<br />

adanya proses perencanaan, pelaksanaan<br />

dan evaluasi. Bila media tidak<br />

direncanakan dengan baik, tentu tujuan<br />

tidak jelas, maka efek yang diharapkan<br />

dari sebuah rencana komunikasi pasti<br />

tidak akan efektif.<br />

Oleh karena itu, pemerintah melalui<br />

humas sebelum melakukan kegiatan<br />

komunikasi harus membuat perencanaan<br />

komunikasi yang baik terlebih dahulu<br />

dengan cara menganalisis masalah,<br />

khalayak dan tujuan komunikasi,<br />

memilih pesan dan media yang tepat,<br />

dan melakukan evaluasi atau audit<br />

komunikasi. Selain itu media yang<br />

dipilih tidak hanya itu-itu saja namun<br />

menggunakan media-media alternatif<br />

seperti: pin, brosur, baju kaos, sticker,<br />

dan lain-lain. Dengan kata lain, harus<br />

ada dilakukan bauran media dan saluran<br />

komunikasi sehingga dapat<br />

mendesiminasikan pesan ke masyarakat.<br />

Optimasi media iklan atau<br />

komunikasi pemerintah sulit untuk<br />

diwujudkan bila manajemen komunikasi<br />

pemerintah sendiri tidak diperbaiki.<br />

Keberhasilan mengkomunikasikan visi<br />

dan program-program pembangunan<br />

pemerintah ke masyarakat sangat<br />

tergantung pada keberhasilan dalam<br />

menangkap kebutuhan dan aspirasi<br />

masyarakatnya serta cara<br />

mengkomunikasikannya. Masyarakat<br />

menginginkan informasi yang baik dan<br />

menarik, tidak hanya berguna. Bila<br />

pesan baik tetapi tidak dibuat secara<br />

maksimal, maka ia akan diacuhkan.<br />

DAFTAR RUJUKAN<br />

Abrar, Ana Nadhya, 2008, Kebijakan<br />

Komunikasi; Konsep, Hakekat<br />

dan Praktek, Gava Media,<br />

Yogyakarta.<br />

Budiharsono, Suyuti S., 2003, Politik<br />

Komunikasi, Grasindo, Jakarta.<br />

Cresswell, Jhon, W., 1998, Qualitative<br />

Inquiry and Research Design;


*Implementasi Pola Perencanaan Komunikasi Iklan<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> Propinsi Riau<br />

46<br />

Choosing Among Five Tradition,<br />

Sage Publication, California.<br />

Iriantara, Yosal, 2004, Manajemen<br />

<strong>Strategi</strong>s Public Relations,<br />

Ghalia Indonesia, Jakarta.<br />

Kuo, Edie C.Y. & Peter S.J. Chen, 1994,<br />

Kebijakan dan Perencanaan<br />

Komunikasi; Pengalaman<br />

Singapura, LP3Es, Jakarta.<br />

Lee, Monle & Carla Johnson, 2004,<br />

Prinsip-prinsip Pokok Periklanan<br />

dalam Perspektif Global, Prenada<br />

Media, Jakarta.<br />

Littlejohn, Stephen W., 1999, Theories<br />

of Human Communication, 6 th<br />

Edition, Wadsworth Publishing<br />

Company, Belmont, USA.<br />

Miles, Mathew B., & A Micheal<br />

Huberman, 1992, Analisis Data<br />

Kualitatif; Buku Sumber Tentang<br />

Metode-Metode Baru, Penerj.<br />

Tjetjep Rohendi Rohidi, UI<br />

Press, Jakarta.<br />

Moleong, Lexy J., 2000, Metodologi<br />

Penelitian Kualitatif, Remaja<br />

Rosdakarya, Bandung.<br />

Morissan, 2007, Periklanan: Komunikasi<br />

Pemasaran Terpadu, Ramdina<br />

Perkasa, Jakarta.<br />

Muhadjir, Neong, 2000, Metodologi<br />

Penelitian Kualitatif, Edisi IV,<br />

Rake Sarasin, Yogyakarta.<br />

Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi<br />

Penelitian Kualitatif; Paradigma<br />

Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu<br />

Sosial Lainnya, Remaja<br />

Rosdakarya, Bandung.<br />

Nasution, Zulkarimein, 2000,<br />

Perencanaan Program<br />

Komunikasi; Buku Materi Pokok,<br />

Universitas Terbuka, Jakarta.<br />

Shimp, Terence A., 2003, Periklanan<br />

Promosi; Komunikasi Pemasaran<br />

Terpadu, Erlangga, Jakarta.<br />

Suhandang, K., 2005, Periklanan,<br />

Nuansa, Bandung.<br />

Yin, Robert K., 1981, Case Study<br />

Research: Design and Methods,<br />

Sage Publication, London


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan<br />

di Perkotaan (P2KP) di Kabupaten Pelalawan<br />

MIRANDA ARDI<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />

Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />

Abstrak : Kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses sarana dan prasarana dan sarana<br />

dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah standar<br />

kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu. Kondisi seperti ini telah membuka mata kita<br />

semua bahwa perlu adanya paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan. Paradigma<br />

penanggulangan kemiskinan harus dipersepsikan oleh masyarakat miskin untuk membangun kesadaran<br />

internal masyarakat miskin bahwa kemiskinan bukanlah takdir tetapi nasib yang harus di rubah. Motivasi<br />

seperti ini sangatlah perlu dilakukan agar program-program penanggulangan kemiskinan dapat dirasakan<br />

oleh masyarakat miskin demi perubahan nasib yang lebih baik dalam menjalani hidupnya, sehingga<br />

dengan demikian peran pemerintah dan stakeholders untuk tidak lebih hanya berperan sebagai fasilitator<br />

dan pendamping masyarakat miskin dalam memotivasi diri dan lingkungannya. Program Penanggulangan<br />

Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang merupakan salah satu upaya penanganan kemiskinan yang<br />

memiliki misi membangun masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi dengan<br />

Pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif dan<br />

mampu mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang lestari, sehat, produktif, dan<br />

berkelanjutan.<br />

Kata kunci : Kebijakan, Implementasi Kebijakan dan Program P2KP<br />

Salah satu ciri umum dari kondisi<br />

fisik masyarakat miskin adalah tidak<br />

memiliki akses sarana dan prasarana dan<br />

sarana dasar lingkungan yang memadai<br />

dengan kualitas perumahan dan<br />

pemukiman yang jauh di bawah standar<br />

kelayakan serta mata pencaharian yang<br />

tidak menentu. Kondisi seperti ini telah<br />

membuka mata kita semua bahwa perlu<br />

adanya paradigma baru dalam<br />

penanggulangan kemiskinan. Paradigma<br />

penanggulangan kemiskinan harus<br />

dipersepsikan oleh masyarakat miskin<br />

untuk membangun kesadaran internal<br />

masyarakat miskin bahwa kemiskinan<br />

bukanlah takdir tetapi nasib yang harus<br />

di rubah. Motivasi seperti ini sangatlah<br />

perlu dilakukan agar program-program<br />

penanggulangan kemiskinan dapat<br />

dirasakan oleh masyarakat miskin demi<br />

perubahan nasib yang lebih baik dalam<br />

menjalani hidupnya, sehingga dengan<br />

demikian peran pemerintah dan<br />

stakeholders untuk tidak lebih hanya<br />

berperan sebagai fasilitator dan<br />

pendamping masyarakat miskin dalam<br />

memotivasi diri dan lingkungannya.<br />

Dengan paradigma demikian,<br />

prakarsa dan kreativitas tentang<br />

program-program penanggulangan<br />

kemiskinan (Pronangkis) tumbuh dari<br />

lingkungan masyarakat itu sendiri. Dan<br />

paradigma inilah yang dipakai oleh<br />

Program Penanggulangan Kemiskinan di<br />

Perkotaan (P2KP) yang merupakan<br />

program pemberdayaan masyarakat,<br />

yang mana program ini memberdayakan<br />

masyarakat dengan kegiatan ekonomi<br />

kerakyatan atau ekonomi rakyat.<br />

Membahas mengenai Program<br />

Penanggulangan Kemiskinan di<br />

Perkotaan (P2KP) yang merupakan salah<br />

47


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

48<br />

satu upaya penanganan kemiskinan<br />

melalui Departemen Pekerjaan Umum<br />

(PU) yang dilaksanakan sejak tahun<br />

1999, yang mana motto dari P2KP ini<br />

yakni “bersama membangun<br />

kemandirian“. P2KP pertama kali<br />

dilaksanakan di Pulau Jawa Bagian<br />

Selatan . P2KP ini ditetapkan oleh<br />

Menteri Negara Perencanaan<br />

Pembangunan Nasional dan Kepala<br />

Bappenas melalui Surat Keputusan<br />

tentang Tim Pengarah dan Tim<br />

Pelaksana Inter Departemen Program<br />

Penanggulangan Kemiskinan (P2KP).<br />

Tim pengarah P2KP diketuai oleh<br />

Deputi Bidang Koordinasi<br />

Penanggulangan Kemiskinan,<br />

Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil dan<br />

Menengah, serta Wakilnya Deputi VI<br />

Menko Kesra dan Direktur Jenderel<br />

Cipta Karya Departemen PU. Tim<br />

Pengarah beranggotakan seperti dari<br />

Bappenas, Menko Kesra, Departeman<br />

PU, Depdagri, Departemen Keuangan,<br />

Koperasi, dan UKM, Deperindag, Biro<br />

Pusat Statistik dan Komite<br />

Penanggulangan Kemiskinan (KPK)<br />

Nasional.<br />

Dalam menjalankan programnya,<br />

P2KP mempunyai Visi, Misi dan Tujuan<br />

yang hendak dicapai. Adapun Visi dari<br />

P2KP adalah terwujudnya masyarakat<br />

madani, yang maju, mandiri dan<br />

sejahtera dalam lingkungan permukiman<br />

sehat, produktif dan lestari. Sedangkan<br />

misi P2KP adalah membangun<br />

masyarakat mandiri yang mampu<br />

menjalin kebersamaan dan sinergi<br />

dengan Pemerintah maupun kelompok<br />

peduli setempat dalam menanggulangi<br />

kemiskinan secara efektif dan mampu<br />

mewujudkan terciptanya lingkungan<br />

permukiman yang lestari, sehat,<br />

produktif, dan berkelanjutan.<br />

Berdasarkan Petunjuk Teknis P2KP,<br />

adapun tujuan P2KP Provinsi Riau<br />

adalah ”Dapat menggurangi kemiskinan<br />

di Indonesia khususnya di Provinsi Riau<br />

dengan melibatkan masyarakat<br />

(partipasi masyarakat) seluruh<br />

masyarakat, termasuk masyarakat<br />

miskin, kelompok perempuan, komunitas<br />

adat terpencil, dan kelompok<br />

masyarakat lainnya yang rentan dan<br />

sering terpinggirkan ke dalam proses<br />

pengambilan keputusan dan pengelolaan<br />

pembangunan”.<br />

Untuk tercapainya tujuan tersebut,<br />

maka langkah-langkah pelaksanaan<br />

program yang akan lalui sesuai dengan<br />

Petunjuk Teknis P2KP adalah :<br />

a. Tahap Persiapan<br />

b. Tahap Pelaksanaan<br />

c. Tahap-Tahap Yang Menerus atau<br />

Berkala<br />

d. Tahap Penyiapan Keberlanjutan<br />

Program<br />

Dalam menjalankan P2KP ini,<br />

komponen program yang dilalui sesuai<br />

dengan Petunjuk Teknis P2KP, antara<br />

lain :<br />

a) Pengembangan masyarakat dan<br />

mengedepankan peran pemerintah<br />

daerah.<br />

b) Penyediaan dana bantuan langsung<br />

masyarakat (BLM), termasuk<br />

stimulan pembangunan lingkungan<br />

permukiman kelurahan terpadu.<br />

c) Penyediaan dana penanggulangan<br />

kemiskinan terpadu (PAKET).<br />

Kabupaten Pelalawan merupakan<br />

pemekaran dari Kabupaten Kampar yang<br />

pembentukannya berdasrkan UU No. 53<br />

tahun 1999. Sebagai Kabupaten yang<br />

baru dibangun sudah sewajarnya<br />

Kabupaten ini menjadi sasaran dalam<br />

pelaksanaan P2KP di Provinsi Riau.<br />

Selain itu masih banyaknya masyarakat<br />

miskin yang ada di Pelalawan yang<br />

mesti di berdayakan. Hal lain yang<br />

membuat Pelalawan menjadi sasaran<br />

adalah adanya keinginan Pemerintah<br />

Kabupaten Pelalawan dalam upaya<br />

mengurangi kemiskinan yang dapat kita


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

49<br />

No Kecamatan Desa/<br />

Kel<br />

lihat dari visi dan misi Kabupaten<br />

Pelalawan tahun 2006-2010. Adapun visi<br />

dari Pelalawan adalah terwujudnya<br />

Kabupaten Pelalawan yang maju dan<br />

sejahtera melalui pemberdayaan<br />

ekonomi kerakyatan yang didukung oleh<br />

pertanian yang unggul dan industri yang<br />

tangguh dalam masyarakat yang beradat,<br />

beriman, bertaqwa dan berbudaya<br />

melayu pada tahun 2020. Untuk melihat<br />

kemiskinan di Kabupaten Pelalawan,<br />

berikut data yang tertuang dalam<br />

Rencana Program Penanggulangan<br />

Jangka Panjang (RPJM) Kabupaten<br />

Pelalawan tahun 2006-2010, jumlah<br />

rumah tangga miskin Kabupaten<br />

pelalawan sebanyak 10.064 rumah<br />

tangga dari 40.631 penduduk miskin<br />

yang tersebar di tiap-tiap Kecamatan.<br />

Tabel 1<br />

Persentase Penduduk Miskin di<br />

Kabupaten Pelalawan<br />

Tahun 2007<br />

Rumah<br />

Tangga<br />

Miskin<br />

Jumlah<br />

Penduduk<br />

Miskin<br />

Jumlah<br />

Ruta<br />

Jumlah<br />

Penduduk<br />

%<br />

Ruta<br />

Miskin<br />

%<br />

Pendudu<br />

k<br />

Miskin<br />

1 Ukui 14 1.421 5.594 4.983 25.750 28,52 25,46<br />

2 Pangkalan<br />

7 1.685 7.230 13.00 55.902 12,96 12,93<br />

Kerinci<br />

3 Pangkalan 16 1.046 4.126 8.078 32.896 12,95 12,55<br />

Kuras<br />

4 Pangkalan<br />

8 807 2.954 4.754 18.548 16,98 15,93<br />

Lesung<br />

5 Langgam 7 538 2.258 3.021 13.301 17,81 16,98<br />

6 Pelalawan 9 592 2.386 2.745 10.917 21,57 21,86<br />

7 Kerumutan 8 698 2.723 3.326 13.638 20,99 19,97<br />

8 Bunut 8 1.507 5.768 4.733 19.203 31,84 30,04<br />

9 Teluk Meranti 9 831 3.379 2.932 16.483 28,34 20,50<br />

10 Kuala Kampar 9 939 4.213 3.748 18.028 25,05 23,37<br />

11 Bandar<br />

5 0 0 0 0 0 0<br />

Sekijang<br />

12 Bandar<br />

8 0 0 0 0 0 0<br />

Petalangan<br />

Jumlah 108 10.064 40.631 51.320 224.666 19,61 18,39<br />

Sumber: Biro Pusat Statistik 2007<br />

Masalah diatas merupakan<br />

masalah yang sangat membutuhkan<br />

perhatian besar, tidak hanya bagi<br />

pemerintah tapi juga dari masyarakat dan<br />

pihak swasta. Dalam hal ini di harapkan<br />

P2KP benar-benar berperan dalam<br />

mengurangi jumlah kemiskinan di<br />

Indonesia khususnya Kecamatan Ukui<br />

Kabupaten Pelalawan.<br />

Perlu diketahui bahwa dalam<br />

mempelajari masalah implementasi<br />

kebijakan berarti berusaha untuk<br />

memahami apa yang senyatanya terjadi<br />

sesudah suatu kebijakan diberlakukan.<br />

Menurut Syaukani dkk (2002 : 295)<br />

implementasi merupakan suatu<br />

rangkaian aktivitas dalam rangka<br />

menghantarkan kebijaksanaan kepada<br />

masyarakat sehingga kebijakan tersebut<br />

dapat membawa hasil sebagaimana yang<br />

diharapkan.<br />

Menurut George C. Edward dalam<br />

Implementing Public Policy (1980 :<br />

111), ada empat faktor yang<br />

berpengaruh terhadap keberhasilan<br />

atau kegagalan implementasi suatu<br />

kebijakan, yaitu faktor sumber daya,<br />

birokrasi, komunikasi, dan disposisi.<br />

Menurut Briant W. Hoogwood dan<br />

Lewis A. Gun (1978) untuk melakukan<br />

implementasi kebijakan, diperlukan<br />

beberapa syarat diantaranya:<br />

a. Berkenaan dengan jaminan bahwa<br />

kondisi eksternal yang dihadapi oleh<br />

lembaga atau badan pelaksana, tidak<br />

akan menimbulkan masalah yang<br />

besar.<br />

b. Tersedianya sumber daya yang<br />

memadai termasuk sumber daya<br />

waktu.<br />

c. Perpaduan sumber-sumber yang<br />

diperlukan benar-benar ada, baik<br />

dalam konteks sumber daya maupun<br />

sumber aktor.<br />

d. Kebijakan yang akan<br />

diimplementasikan, didasari<br />

hubungan kausal yang andal.<br />

Kebijakan tersebut dapat<br />

menyelesaikan masalah yang hendak<br />

ditanggulangi.<br />

e. Banyaknya hubungan kausalitas<br />

yang terjadi.<br />

f. Adanya hubungan saling<br />

ketergantungan yang tinggi.<br />

g. Pemahaman yang mendalam dan<br />

kesepakatan terhadap tujuan.


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

50<br />

h. Tugas-tugas yang telah dirinci dan<br />

ditempatkan dalam urutan yang<br />

benar.<br />

Sebagai organisasi yang bertugas<br />

untuk mengentaskan kemiskinan, P2KP<br />

mendefinisikan kemiskinan, sebagai:<br />

1. Suatu kondisi dimana seseorang tidak<br />

mampu memenuhi akan kebutuhan<br />

dasarnya sehari-hari.<br />

2. Suatu kondisi dimana masyarakat<br />

tidak mampu mengakses bidang<br />

ekonomi, sosial dan lingkungan.<br />

Mudrajat Kuncoro (2004 : 157)<br />

mencoba melakukan identifikasi<br />

penyebab kemiskinan yang dipandang<br />

dari sisi ekonomi yaitu :<br />

1. Secara makro kemiskinan muncul<br />

karena adanya ketidaksamaan pola<br />

pemilikan sumber daya yang<br />

menimbulkan distribusi pedapatan<br />

yang timpang. Penduduk miskin<br />

hanya memiliki sumber daya dalam<br />

jumlah yang terbatas dan kualitas<br />

yang rendah.<br />

2. b.Kemiskinan muncul akibat<br />

perbedaan kualitas SDM. Kualitas<br />

SDM yang tinggi berarti<br />

produktifitas rendah yang pada<br />

gilirannya menyebabkan upah<br />

rendah.<br />

3. Kemiskinan muncul akibat<br />

perbedaan akses dan modal.<br />

Kebijakan penanggulangan<br />

kemiskinan telah dicanangkan sejak<br />

2001, yaitu meningkatkan pendapatan<br />

kelompok miskin dan menurunkan<br />

pengeluaran kaum miskin. <strong>Strategi</strong> yang<br />

digunakan tidaklah lagi semata-mata<br />

dengan subsidi. Pendekatan income<br />

generating seyogyanya tidak lagi<br />

dilakukan oleh lembaga pemerintah,<br />

melainkan oleh lembaga perbankan atau<br />

lembaga non-pemerintahan yang tidak<br />

menggunakan dana APBN/D (Riant<br />

Nugroho D, 2003:227).<br />

Kemiskinan merupakan masalah utama<br />

yang harus ditangani dalam proses<br />

pembangunan. Kemiskinan merupakan<br />

situasi serba kekurangan yang terjadi<br />

bukan karena di kehendaki oleh si<br />

miskin melainkan karena tidak bisa<br />

dihindarkan dengan kekuatan yang apa<br />

adanya. Hal ini disebabkan oleh<br />

rendahnya nilai tukar hasil produkasi si<br />

miskin, rendahnya produktivitas,<br />

terbatasnya modal kerja dan rendahnya<br />

pendapatan. Kesemuanya ini<br />

mengakibatkan terbatasnya kesempatan<br />

mereka untuk berpartisipasi dalanm<br />

pembangunan, Bappenas Depdagri<br />

(1993 : 2)<br />

Program<br />

Penanggulangan<br />

Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

merupakan suatu proses pemberdayaan<br />

masyarakat, dimana proses<br />

pemberdayaan merupakan suatu cara<br />

pembangunan dalam upaya<br />

pengembangan masyarakat. Menurut<br />

Naning Mardiarah dalam Paulus<br />

Wirutomo dkk (2003 : 129),<br />

pemberdayaan dimaknai sebagai<br />

mendapatkan kekuatan dan<br />

meningkatkan kemampuan golongan<br />

miskin utuk mendapatkan akses sumber<br />

daya yang menjadi dasar dari kekuasaan<br />

dalam suatu sistem maupun organisasi.<br />

Pengertian pemberdayaan dalam<br />

penelitian ini berkaitan dengan proses<br />

pemberdayaan dan memberdayakan baik<br />

dalam pengertian pertama maupun<br />

kedua.<br />

Pemberdayaan pada prinsipnya<br />

merupakan upaya aktualisasi eksistensi<br />

dari kelompok “powerless” dengan cara<br />

memberikan power (kekuatan) pada<br />

powerless, sehingga semua dapat<br />

mempunyai kekuatan untuk memegang<br />

sistem dan kekuasaan, Pranarka &<br />

Moeljanto (1996 : 54). Sedangkan<br />

Ginanjar Kartasasmita (1995 : 96),<br />

melihat pemberdayaan dengan titik tolak<br />

bahwa setiap manusia dan masyarakat<br />

memiliki potensi (daya) yang dapat<br />

dikembangkan, sehingga dengan<br />

demikian pemberdayaan merupakan<br />

upaya untuk membangun daya itu


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

51<br />

dengan mendorong, memberikan<br />

motivasi, dan membangkitkan kesadaran<br />

akan potensi yang dimilikinya serta<br />

berupaya untuk mengembangkannya.<br />

Berdasarkan kajian teoritis tersebut,<br />

maka 2 (dua) faktor utama yang<br />

mempengaruhi partisipasi masyarakat<br />

(Jurnal Administrasi Negara Vol 1,<br />

2001: 34) yaitu :<br />

1. Faktor eksternal masyarakat yang<br />

meliputi :<br />

- Dinamika organisasi program<br />

- Komunikasi<br />

2. Faktor internal masyarakat yang<br />

meliputi :<br />

- Umur<br />

- Kesejahteraan<br />

- Pendidikan masyarakat.<br />

Ada beberapa alasan mengapa<br />

kegiatan partisipasi masyarakat sangat<br />

penting dalam pembangunan, While<br />

(1986 : 18) mengemukakan sebagai<br />

berikut :<br />

a) Dengan partisipasi masyarakat akan<br />

lebih banyak hasil kerja yang dicapai.<br />

b) Dengan partisipasi masyarakat<br />

pelayanan atau service dapat<br />

diberikan dengan biaya murah.<br />

c) Partisipasi masyarakat memiliki nilai<br />

dasar yang sangat berarti dalam<br />

menjalin persatuan dan kesatuan<br />

serta kebersamaan dalam masyarakat.<br />

d) Partisipasi masyarakat merupakan<br />

katalisator untuk kelangsungan<br />

pembangunan selanjutnya.<br />

e) Partisipasi masyarakat dapat<br />

menghimpun dan memanfaatkan<br />

berbagai pengetahuan di masyarakat.<br />

f) Partisipasi masyarakat lebih<br />

menyadarkan masyarakat itu sendiri<br />

terhadap penyebab kemiskinan<br />

sehingga menimbulkan kesadaran<br />

untuk mengatasinya.<br />

METODE<br />

Metode penelitian adalah suatu<br />

totalitas cara yang dipakai untuk<br />

melakukan penelitian dalam rangka<br />

menentukan kebenaran ilmiah. Disebut<br />

totalitas cara karena di dalamnya<br />

meliputi metode penelitian yang<br />

digunakan, tempat dan waktu penelitian,<br />

penentuan populasi, tekhnik<br />

pengambilan sampel, teknik<br />

pengumpulan data, cara penyusunan dan<br />

pengujian instrumen penelitian, serta<br />

cara yang akan digunakan untuk<br />

melakukan analisa terhadap data yang<br />

diperoleh dari hasil penelitian.<br />

Penelitian ini dilakukan di<br />

Kecamatan Ukui, karena menurut<br />

pantauan P2KP Kecamatan ini berhak<br />

dilakukan pemberdayaan dan P2KP di<br />

Kecamatan Ukui bisa di kategori sukses.<br />

Populasi adalah wilayah generalisasi<br />

yang terdiri atas: objek/subjek yang<br />

mempunyai kualitas dan karakteristik<br />

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti<br />

utuk dipelajari dan kemudian ditarik<br />

kesimpulannya. Sedangkan Sampel<br />

adalah bagian dari jumlah dan<br />

karakteristik yang dimiliki oleh populasi<br />

tersebut. Adapun yang menjadi populasi<br />

dalam penelitian ini adalah semua orang<br />

yang tergabung dalam pelaksanaan<br />

P2KP khususnya di Kecamatan Ukui.<br />

Namun peneliti menggunakan metode<br />

purposive sampling, yaitu peneliti<br />

menetapkan sampel dari tim P2KP<br />

adalah seluruh tim Pelaksana P2KP di<br />

Kecamatan Ukui sebagai yang<br />

menjalankan dan mengawasi kegiatan<br />

P2KP.<br />

Untuk penerima bantuan fisik,<br />

maupun non fisik maka peneliti<br />

menggunakan metode purposive<br />

sampling, dimana peneliti sampel<br />

masyarakat dari 4 Desa di Kecamatan<br />

Ukui (Lubuk Kembang Bunga, Air<br />

Hitam, Silikuan Hulu, dan Lubuk<br />

Kembang Sari) sebagai orang yang<br />

benar-benar tahu pelaksanaan P2KP dan<br />

sebagai orang yang menikmati hasil<br />

pembangunan baik fisik maupun non


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

52<br />

fisik. Di sini peneliti menetapkan<br />

persentase 2% dengan alasan karena<br />

jumlah populasi sangat besar, dan<br />

kemudian ditentukan dengan cara<br />

Random Sampling, yaitu pengambilan<br />

secara acak. Ha ini dimaksudkan<br />

memudahkan peneliti untuk<br />

mendapatkan informasi atau data dari<br />

masyarakat.<br />

Sampel pada penelitian ini<br />

berjumlah orang, yaitu dari tim<br />

pelaksana P2KP sebanyak 3 orang dan<br />

ditambah dengan penerima bantuan baik<br />

itu bantuan bidang lingkungan, sosial<br />

dan ekonomi dari 4 desa sebanyak 78<br />

orang, jadi jumlah keseluruhan sampel<br />

adalah sebanyak 81 orang.<br />

Data primer adalah data yang<br />

diperoleh secara langsung dari<br />

responden yang menjadi objek penelitian<br />

berupa informasi yang relevan dan<br />

masalah-masalah yang sudah<br />

dirumuskan dalam penelitian. Data yang<br />

dibutuhkan dalam penelitian ini<br />

mengenai bagaimana pelaksanaan P2KP<br />

di Kecamatan Ukui Kabupaten<br />

Pelalawan. Data primer ini meliputi<br />

antara lain: tanggapan responden baik<br />

melalui catatan tertulis maupun melalui<br />

wawancara.<br />

Sedangkan data sekunder adalah data<br />

tidak secara langsung diperoleh dari<br />

hasil penelitian, tapi diperoleh dari datadata<br />

berupa laporan dan kebijakankebijakan<br />

yang berhubungan dengan<br />

penelitian, seperti profil berdirinya<br />

P2KP, data struktur organisasi P2KP,<br />

data jumlah penerima bantuan dari P2KP<br />

dan data masyarakat miskin di<br />

Kabupaten Pelalawan.<br />

Untuk mendapatkan data dalam<br />

penelitian ini, maka peneliti<br />

menggunakan teknik pengumpulan data<br />

melalui :<br />

1. Studi Kepustakaan, studi ini<br />

dilakukan untuk memperoleh data<br />

sekunder yang berguna dalam<br />

perumusan teori dan landasan bagi<br />

penganalisaan data primer, serta<br />

untuk menelaah data melalui literatur<br />

yang tersedia, karya ilmiah dan<br />

berbagai dokumen yang<br />

berhubungan dengan objek dan<br />

masalah penelitian.<br />

2. Studi Lapangan, dimaksudkan untuk<br />

mendapatkan data primer dengan<br />

cara:<br />

a. Wawancara, yaitu tekik<br />

pengumpulan data yang<br />

dilakukan dengan cara tanya<br />

jawab langsung dengan<br />

responden secara mendalam<br />

mengenai pelaksanaan P2KP<br />

dalam partisipasi masyarakat.<br />

b. Angket, yaitu teknik<br />

pengumpulan data yang<br />

dilakukan dengan cara<br />

memberikan seperangkat<br />

pertanyaan tertulis kepada<br />

responden untuk di jawab dan<br />

pertanyaan tersebut yang<br />

berhubungan dengan<br />

pelaksanaan P2KP dalam<br />

partisipasi masyarakat.<br />

c. Observasi, yaitu teknik<br />

pengumpulan data dengan<br />

melakukan pengamatan<br />

terhadap objek yang akan<br />

diteliti.<br />

Analisa data yang dilakukan secara<br />

deskriptif kualitatif, dimana data yang<br />

diperoleh akan dideskripsikan,<br />

diinterpretasikan dan kemudian<br />

dianalisis dengan menggunakan statistik<br />

yang meliputi: mean, median dan modus.<br />

Menurut Sugiyono (2006 : 170), yang<br />

termasuk dalam statistik deskriptif antara<br />

lain adalah penyajian data melalui tabel,<br />

grafik, diagram lingkaran, pictogram,<br />

perhitungan modus, median, mean<br />

(pengukuran tendensi sentral),<br />

perhitungan desil, persentil, perhitungan<br />

penyebaran data melalui perhitungan<br />

rata-rata standar deviasi, perhitungan


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

53<br />

presentase. Deskripsi dari hasil<br />

penelitian dijelaskan secara kualitatif,<br />

dan diberi penjelasan berdasarkan data<br />

yang diperoleh dilapangan.<br />

HASIL<br />

1. Keterlibatan Masyarakat dalam<br />

Proses Program<br />

Usaha yang dilakukan oleh Program<br />

Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan<br />

(P2KP) untuk melibatkan masyarakat<br />

dalam proses pelaksanaan program<br />

hampir memenuhi target yang<br />

diinginkan karena selisih antara baik<br />

dengan cukup baik tidak terlalu besar.<br />

Selama ini pemerintah dalam<br />

menjalankan program jarang atau<br />

bahkan tidak pernah melibatkan<br />

masyarakat dalam pelaksanaan program,<br />

sehingga masyarakat tidak tahu apa<br />

sebenarnya tujuan dari program<br />

pemerintah tersebut dan biaya yang<br />

dikeluarkan dalam pelaksanaan program<br />

tidak tahu kemana karena tidak adanya<br />

trasnparansi dan sekarang P2KP<br />

merubah itu semua sehingga masyarakat<br />

merasa bahwa dia dibutuhkan,<br />

mempunyai andil dan kemampuan untuk<br />

menjalankan sebuah program.<br />

Untuk membawa masyarakat<br />

dalam suatu kegiatan memang sulit,<br />

karena masyarakat mempunyai<br />

kepentingan yang berbeda, apabila<br />

masyarakat miskin yang untuk<br />

memenuhi kebutuhan hidupnya saja sulit<br />

apalagi untuk mengikuti suatu kegiatan.<br />

Tetapi apabila ada semangat dan<br />

kesadaran dalam diri untuk<br />

berpartisipasi, maka apapun kendala<br />

akan bisa diatasi, terutama adanya<br />

sosialisasi yang bagus dari tim<br />

pelaksanaan program, dalam hal ini tim<br />

P2KP. Untuk itu diharapkan adanya<br />

relawan-relawan dari masyarakat desa<br />

itu sendiri untuk mau mengorbankan<br />

waktu, tenaga bahkan uang untuk<br />

menjalankan program yang nantinya<br />

akan dinikmati bersama.<br />

2. Keterlibatan Masyarakat dalam<br />

Memikul Beban dan Bertanggung<br />

Jawab dalam Pelaksanaan<br />

Kegiatan Program<br />

Keterlibatan masyarakat dalam<br />

memikul beban dan bertanggung jawab<br />

dalam pelaksanaan kegiatan dalam suatu<br />

program termasuk P2KP sangat perlu<br />

sekali, tanpa adanya kerja sama,<br />

kekompakkan dan tanggung jawab<br />

masyarakat maka P2KP ini tidak akan<br />

berjalan baik karena tim P2KP hanya<br />

memfasilitasi yang dibutuhkan<br />

masyarakat kemudian masyarakatlah<br />

yang menjalankan program secara<br />

bersama yang diketahui dari hasil survei<br />

dilapangan.<br />

3. Keterlibatan Masyarakat Dalam<br />

Memetik Hasil dan Manfaat<br />

Program Secara Adil dan Merata<br />

Untuk mewujudkan keadilan dan<br />

pemerataan pembangunan memang<br />

cukup sulit, apalagi dengan dana yang<br />

terbatas. Tetapi di sini diharapkannya<br />

keinginan kita untuk mau berbagi<br />

dengan orang lain dan tidak adanya<br />

kecemburuan sosial. Tidak semua<br />

masyarakat yang menerima bantuan<br />

karena adanya kriteria yang harus<br />

dipenuhi dalam penerimaan bantuan dan<br />

terbatasnya dana yang ada baik itu untuk<br />

bantuan bidang sosial, ekonomi maupun<br />

bidang lingkungan dalam P2KP.<br />

Berbicara mengenai P2KP, banyak<br />

hambatan yang dirasakan baik dalam<br />

perencanaan maupun pelaksanaan<br />

program. Selain karena alasan diatas<br />

yaitu terbatasnya dana yang tersedia,<br />

alasan lain adalah sosialisasi awal<br />

kepada masyarakat cukup sulit apalagi di<br />

desa yang banyak konflik, adanya


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

54<br />

oknum yang mengambil kesempatan<br />

dalam pelaksanaan program, sulitnya<br />

membawa masyarakat kearah perubahan<br />

yang lebih baik dan adanya<br />

kecemburuan sosial. Hal ini dikarenakan<br />

faktor pendidikan yang masih rendah<br />

pada masyarakat termasuk di Kecamatan<br />

Ukui. Selain itu, selama ini masyarakat<br />

terbiasa dimanjakan (hanya menerima)<br />

untuk menikmati program yang ada<br />

tanpa tahu apa tujuan dari program dan<br />

bagaimana pelaksanaannya.<br />

Krisis ekonomi yang berkepanjangan<br />

membuat masyarakat sulit untuk bangkit<br />

dan berjuang bahkan lebih buruk dari<br />

sebelumnya. Ini terbukti semakin<br />

banyaknya rakyat Indonesia yang<br />

dibawah garis kemiskinan dan sebagai<br />

organisasi yang bertujuan untuk<br />

mengguranggi kemiskinan di Indonesia<br />

inilah yang diupayakan oleh P2KP agar<br />

masyarakat Indonesia bisa terlepas dari<br />

belenggu kemiskinan. Memang tugas ini<br />

tidak mudah, tetapi jika adanya kerja<br />

sama, baik dari pemerintah, masyarakat,<br />

dan pihak swasta maka penyakit dari<br />

kemiskinan akan ada obatnya dan akan<br />

terwujudnya kesejahteraan sosial bagi<br />

seluruh rakyat Indonesia.<br />

4. Faktor Penghambat Implementasi<br />

Program Penanggulangan<br />

Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

Dalam pelaksanaan suatu program,<br />

seperti yang kita ketahui bersama bahwa<br />

tidak semua program dapat berjalan<br />

dengan baik, sama halnya dalam<br />

pelaksanaan Program Penanggulangan<br />

Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang<br />

mempunyai hambatan dalam<br />

pelaksanaan programnya.<br />

Adapun hambatan yang dirasakan<br />

dalam pelaksanaan P2KP ini antara lain :<br />

a. Dana atau Modal<br />

Salah satu faktor penting yang<br />

mempengaruhi pelaksanaan suatu<br />

program adalah tersedianya sumber<br />

daya dimana salah satu sumber daya<br />

itu adalah dana (sumber daya nonmanusia)<br />

(George C. Edward,<br />

1980:111).<br />

b. Kurangnya kesadaran masyarakat<br />

untuk mau terlibat atau<br />

berpartisipasi aktif dalam<br />

pelaksanaan P2KP ini yang dilihat<br />

dari :<br />

- Sedikitnya masyarakat yang<br />

ikut dalam kegiatan<br />

musyawarah perencanaan dan<br />

pelaksanaan P2KP.<br />

- Sedikitnya masyarakat yang<br />

mau menjadi anggota Badan<br />

Keswadayaan Masyarakat yang<br />

bertugas sebagai pelaksanaan<br />

kegiatan program secara<br />

sukarela.<br />

- Masih rendahnya partisipasi<br />

masyarakat<br />

dalam<br />

menyumbangkan bantuan<br />

dalam bentuk uang untuk<br />

kegiatan dalam bidang sarana<br />

dan prasarana lingkungan.<br />

- Adanya oknum atau aparat<br />

perangkat desa yang meminta<br />

imbalan dalam pelaksanaan<br />

program P2KP ini, pada hal<br />

P2KP dalam menjalankan<br />

program bersifat sukarela.<br />

SIMPULAN<br />

Program<br />

Penanggulangan<br />

Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Di<br />

Kabupaten Pelalawan dikategorikan<br />

”Baik”. Dalam Implementasi Program<br />

Penanggulangan Kemiskinan Di<br />

Perkotaaan (P2KP) terdapat faktorfaktor<br />

yang menghambat pelaksanaan<br />

program ini. Adapun yang menghambat<br />

pelaksanaan program ini adalah<br />

terbatasnya dana yang sehingga belum<br />

meratanya bantuan yang diberikan<br />

terutama bantuan bidang sarana dan<br />

prasarana lingkungan, kurangnya<br />

kesadaran masyarakat untuk mau terlibat<br />

atau berpartisipasi dalam pelaksanaan


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

55<br />

program ini yang dilihat dari masih<br />

rendahnya partisipasi masyarakat baik<br />

dalam musyawarah, yang menjadi<br />

anggota BKM dan partisipasi dalam<br />

bentuk uang. Kurangnya kesaadaran<br />

masyarakat untuk berpartisipasi dalam<br />

program ini dikarenakan masih<br />

rendahnya SDM masyarakat dan<br />

kurangnya sosialisasi dari P2KP itu<br />

sendiri.<br />

DAFTAR RUJUKAN<br />

Abdul Wahab, Solichin, 2005, Analisa<br />

Kebijaksanaan, Edisi 5, Bumi<br />

Aksara, Jakarta.<br />

Budiman Nashir, 1991, Pengantar<br />

Kebijakan Pubik (Pubic Policy),<br />

Rajawali, Jakarta.<br />

Dunn N William, 2003, Pengantar<br />

Analisis Kebijakan Publik, Edisi II,<br />

Gajah Mada University Press,<br />

Yogyakarta.<br />

Dunn N William,2003, Analisis<br />

Kebijaksanaan Publik, Hanindita<br />

Graha Widya, Yogyakarta.<br />

Hassel Nogi, 2003, Evaluasi Kebijakan<br />

Publik, Edisi II, Gajah Mada<br />

University Press, Yogyakarta.<br />

Hidayat Wisnu, dkk, 2002,<br />

Pembangunan Partisipatif, YPAPI,<br />

Yogyakarta.<br />

Hikmat Harry, 2004, <strong>Strategi</strong><br />

Pemberdayaan Masyarakat,Edisi 2,<br />

Humaniora Utama, Bandung.<br />

Irfan Islamy, 1998, Pengantar Analisis<br />

Kebijaksanaan Negara, Rineka<br />

Cipta, Jakarta.<br />

Lilik Ekowati Mas Roro, 2005,<br />

Perencanaan, Implementasi dan<br />

Evaluasi Kebijakan atau Program,<br />

Pustaka Cakra, Surakarta.<br />

Mudiyono, 2005, Dimensi-dimensi<br />

Sosial dan Pemberdayaan<br />

Masyarakat, APMD Press, Jakarta.<br />

Nugroho Riant, 2003, Reinventing<br />

Pembangunan, PT Alex Media<br />

Komputindo, Jakarta.<br />

Nugroho Riant, 2004, Kebijakan Publik:<br />

Formulasi, Implementasi dan<br />

Evaluasi, PT, Alex Media<br />

Komputindo, Yakarta.<br />

Paulus Wirutomo dkk, 2003, Paradigma<br />

Pembangunan di Era Otonomi<br />

<strong>Daerah</strong>, Cipruy, Jakarta.<br />

Pranarka dan Onny S, Prijono, 1996,<br />

Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan,<br />

dan Implementasi, CSIS, Jakarta.<br />

Riyadi dkk, 2005, Perencanaan<br />

Pembangunan <strong>Daerah</strong>, Gramedia<br />

Pustaka Utama, Jakarta.<br />

Siagian SP, 2000, Administrasi<br />

Pembangunan, Bumi Aksara, Jakarta.<br />

Sudriamunawar Haryono, 2006,<br />

Kepemimpinan, Peran Serta dan<br />

Produktivitas, Mandar Maju,<br />

Bandung.<br />

Sugiyono, 1998, Metode Penelitian<br />

Admistrasi, Alfabeta, Bandung.<br />

Suharto Edi, 2005, Analisis Kebijakan<br />

Publik, Alfabeta, Bandung.<br />

Sumaryadi I Nyoman, 2005, Efektifitas<br />

Implementasi Kebijakan Otonomi<br />

<strong>Daerah</strong>, Citra Utama, Jakarta.


Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)<br />

Di Kabupaten Pelalawan<br />

56<br />

Sumaryadi I Nyoman, 2005,<br />

Perencanaan Pembangunan <strong>Daerah</strong><br />

Otonom dan Pemberdayaan<br />

Masyarakat, Citra Utama, Jakarta.<br />

Sumodingrat<br />

Gunawan,1997,<br />

Pembanguanan <strong>Daerah</strong> dan<br />

Pemberdayaan Masyarakat, Bena<br />

Rena Pariwara, Yokyakarta.<br />

Usman Suntoyo, 2004, Pembangunan<br />

dan Pemberdayaan Masyarakat,<br />

Pustaka Pelajar, Yokyakarta.<br />

Widi Putranti Kristine Sri, 2005,<br />

Pemberdayaan Kaum Marginal,<br />

APMD Press, Yogyakarta.<br />

Wignyo Soebroto Soetandoyo, 2005,<br />

Dakwah Pemberdayaan Masyarakat,<br />

Pustaka Pesantren, Yokyakarta.<br />

Wrihadnolo Randi R, dkk, 2007,<br />

Manajemen Pemberdayaan,<br />

Gramedia, Jakarta.<br />

Winarno Budi, 2002, Teori dan Proses<br />

Kebijakan Publik, Media Pressindo,<br />

Yogyakarta.<br />

Dokument :<br />

Buku Pedoman P2KP, Vol II, Oktober<br />

2005, Jakarta.<br />

http:www//Teori Pembangunan/google,<br />

co,id)<br />

Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Vol, 1,<br />

Juli 2001, Pekanbaru.<br />

Laporan Badan Keswadayaan<br />

Masyarakat (BKM) P2KP,<br />

November 2006, Pelalawan.


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD)<br />

di Kabupaten Pasaman ( Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

HERIE SEPTIADI<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />

Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />

Abstrak : Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi <strong>Daerah</strong> menyebabkan setiap daerah harus mampu<br />

mengatur rumah tangganya sendiri termasuk masalah keuangan. <strong>Daerah</strong> harus bisa menggali potensipotensi<br />

yang dimiliki daerah untuk dapat meningkatkan <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD). Salah satu<br />

pendapatan daerah yang potensial adalah pajak hotel. Selama ini pendapatan pajak hotel yang di terima<br />

Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Kabupaten Pasaman hanya berdasarkan hasil<br />

kesepakatan antara pihak DPPK dengan pemilik hotel, seberapa sanggup pihak hotel membayar pajak<br />

tersebut. Pada hal mengenai pajak sudah diatur dalam PERDA No.14 tahun 2003 yaitu pajak hotel<br />

sebesar 10% dari pembayaran yang dikalakukan kepada pihak hotel. Penelitian ini bertujuan untuk<br />

memberikan strategi-strategi baru kepada DPPK Kabupaten Pasaman untuk dapat meningkatkan<br />

pendapatan pajak hotel. <strong>Strategi</strong> itu antara lain optimalisasi potensi kepariwisataan, memberikan<br />

pendidikan dan pelatihan kepada pegawai terkait, melengkapi sarana dan prasarana yang mendukung<br />

serta pemberian sangsi yang tegas kepada pihak hotel yang tidak mau mengikuti aturan yang berlaku.<br />

Kata Kunci : <strong>Strategi</strong>, Otonomi <strong>Daerah</strong>, Pembangunan, <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong>.<br />

Pembangunan adalah merupakan<br />

suatu konsep perubahan sosial yang<br />

berlangsung terus-menerus menuju<br />

kearah perkembangan dan memerlukan<br />

masukan-masukan uang menyeluruh dan<br />

berkesinambungan dan merupakan usaha<br />

yang dilakukan oleh pemerintah dan<br />

masyarakat untuk mencapai tujuan<br />

negara. (Sudriamunawar, 2002 : 17 )<br />

Filosofi otonomi daerah adalah<br />

mewujudkan kemandirian daerah di<br />

segala segi kehidupan, yang diukur<br />

melalui elemen <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong><br />

(PAD). Di harapkan dengan otonomi,<br />

semua daerah di Indonesia mampu<br />

melaksanakan semua urusan<br />

pemerintahan dan pembangunan dengan<br />

bertumpu pada <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong><br />

(PAD) yang di milikinya.<br />

<strong>Daerah</strong> di tuntut untuk lebih berperan<br />

aktif dalam perkembangan dan<br />

pembangunan serta pengembangan<br />

potensi daerahnya. Hal ini tidak terlepas<br />

dari sumber dana yang diperlukan untuk<br />

mendukung terciptanya pembangunan<br />

tersebut. Oleh sebab itu daerah sangat<br />

perlu menggali sumber-sumber<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD), karena<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD)<br />

merupakan modal dasar bagi suatu<br />

daerah untuk menjalankan roda<br />

pemerintahan dan pembangunan.<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) pada<br />

hakikatnya mempunyai peranan yang<br />

sangat penting dalam pelaksanaan<br />

otonomi daerah karena semakin besar<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) yang<br />

diperoleh diharapkan percepatan<br />

pembangunan dan pertumbuhan<br />

ekonomi masyarakat akan semakin<br />

meningkat.<br />

Konsekuensi dari pelaksanaan<br />

otonomi daerah ini adalah seberapa<br />

jauhkah <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD)<br />

memberikan kontribusi terhadap<br />

pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri<br />

yang tergambar dalam Anggaran<br />

<strong>Pendapatan</strong> dan Belanja <strong>Daerah</strong><br />

(APBD). APBD merupakan faktor<br />

penentu jalannya roda pemerintahan<br />

daerah.<br />

57


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />

(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

58<br />

Pelaksanaan otonomi daerah<br />

menyebabkan terjadinya perubahan pada<br />

pemerintahan daerah khususnya di<br />

Kabupaten Pasaman, Pemerintah<br />

Kabupaten Pasaman harus bisa<br />

menjalankan roda pemerintahan dan<br />

proses pembangunannya sendiri. Oleh<br />

karena itu, dibutuhkan dana yang<br />

memadai untuk membiayai semua<br />

kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh<br />

Pemerintah Kabupeten Pasaman.<br />

Perkembangan PAD Kabupaten<br />

Pasaman dari tahun ke tahun masih<br />

belum dapat diandalkan bila<br />

dibandingkan dengan kebutuhan yang<br />

terus menerus meningkat. Hal ini dapat<br />

dilihat dari APBD Kab Pasaman tahun<br />

2008, sebesar Rp.419 milyar yang<br />

sebagian kecil berasal dari <strong>Pendapatan</strong><br />

<strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD), sebesar Rp. 24<br />

milyar atau hanya 5,7 % dari APBD dan<br />

sisanya sebesar 94,3 % berasal dari<br />

Pemerintah Pusat, sementara selama 5<br />

tahun terakhir realisasi PAD terhadap<br />

APBD rata-rata masih sekitar 4.37%.<br />

Kabupaten Pasaman memiliki luas<br />

wilayah sekitar 5000 kilometer persegi,<br />

sebenarnya Pasaman merupakan<br />

kabupaten yang kaya karena memiliki<br />

wilayah yang kaya akan potensi yang<br />

terpendam seperti bijih besi, batu bara,<br />

emas dan timah hitam cuma potensi<br />

tersebut belum bisa di maksimalkan<br />

karena berada di wilayah hutan lindung<br />

karena 82 persen wilayah Pasaman<br />

merupakan hutan lindung. Hal<br />

tersebutlah yang menyebabkan selama<br />

ini Pasaman terkenal dengan kabupaten<br />

yang miskin dan tertinggal.<br />

Kabupaten Pasaman adalah sebuah<br />

kabupaten yang bisa di katakan salah<br />

satu kabupaten yang miskin diSumatera<br />

Barat, hal tersebut di karenakan lebih<br />

kurang 85% wilayah Kabupeten<br />

Pasaman adalah hutan lindung, jadi<br />

sangat sulit untuk dapat meningkatkan<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) seperti<br />

dari bidang pertanian, perkebunan,<br />

perikanan, pertambangan hal ini<br />

dikarenakan wilayah yang bisa di olah<br />

cuma tinggal 15% saja itupun sudah<br />

masuk untuk perumahan, perkantoran,<br />

jalan dan lain-lain. Untuk itu pemerintah<br />

kabupaten pasaman harus dapat<br />

memaksimalkan potensi pendapatan<br />

yang ada. Diantaranya memaksimalkan<br />

pajak daerah, salah satu pajak daerah<br />

yang cukup potensial adalah pajak hotel.<br />

Kabupaten Pasaman memiliki potensi<br />

pajak hotel yang cukup besar disbanding<br />

dengan pajak daerah lainnya dengan<br />

jumlah hotel ada sebanyak 10 buah.<br />

Untuk itu Pemerintah Kabupaten<br />

Pasaman mengeluarkan Peraturan<br />

<strong>Daerah</strong> (PERDA ) No.14 Tahun 2003<br />

yang mengatur tentang pajak hotel.<br />

Tabel dibawah ini memuat perhitungan<br />

peneliti terhadap besarnya omset sebuah<br />

hotel yang ada di kabupaten Pasaman.<br />

Tabel 1. Potensi Pajak Hotel Berdasarkan Omset<br />

Dari Hasil Perhitungan Peneliti dan<br />

Besarnya Pajak Yang Dibayarkan<br />

tahun 2008<br />

No Nama Hotel Omet/tahun<br />

Pajak<br />

( 10% x omset)<br />

Sumber : data olahan peneliti tahun 2009<br />

Pajak yang<br />

dibayar<br />

1. Hotel Merpati 153.300.000 15.330.000 1.260.000 8.2%<br />

2. Pasaman Saiyo 318.645.000 31.864.500 1.020.000 3.2%<br />

3. Hotel Hamco 194.910.000 19.491.000 1.200.000 6.2%<br />

4. Hotel Sari Rasa 267.180.000 26.718.000 900.000 3.4%<br />

5. Hotel Mawar 498.225.000 49.822.500 1.440.000 2.9%<br />

6. Wisma Andriani 306.600.000 30.660.000 600.000 1.9%<br />

7. Penginapan<br />

214.620.000 21.462.000 120.000 0.6%<br />

Pardomuan<br />

8. Penginapan<br />

85.410.000 8.541.000 180.000 2.1%<br />

Purnama<br />

9. Penginapan Yanti 164.250.000 16.425.000 240.000 1.5%<br />

10. Penginapan Ajo 65.700.000 6.570.000 60.000 0.9%<br />

Jumlah 2.268.840.000 226.884.000 7.020.000 3.1%<br />

Perhitungan tersebut penulis hitung<br />

dengan rata-rata tingkat hunian kamar<br />

dalam setahun cuma 60 % yang terisi.<br />

Rumus adalah sebagai berikut :<br />

Potensi = Jumlah Kamar X Harga Per<br />

Kamar X 360 Hari<br />

%


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />

(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

59<br />

Potensi = Jumlah Kamar X Harga Per Kamar X 360 Hari<br />

Omset = Jumlah Kamar X Harga Per Kamar X Tingkat Hunian<br />

Sumber : PERDA No.14 Tahun 2003 Kabupaten Pasaman<br />

Dari penjelasan diatas, maka tujuan<br />

dari penelitian ini adalah untuk<br />

mendapatkan strategi yang dapat<br />

meningkatkan <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong><br />

(PAD) Kabupaten Pasaman khususya<br />

pendapatan pajak hotel yang bisa<br />

diterapkan di Kabupaten Pasaman.<br />

Menurut Ferd R. David dalam<br />

<strong>Strategi</strong>c Manajemen, strategi adalah<br />

rencana yang disatukan, menyeluruh dan<br />

terpadu yang mengaitkan keunggulan<br />

strategi perusahaan dengan tantangan<br />

lingkungan dan yang direncanakan untuk<br />

memastikan bahwa tujuan utama<br />

perusahaan dapat dicapai melalui<br />

pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan.<br />

<strong>Strategi</strong> adalah sarana yang<br />

digunakan untuk mencapai tujuan akhir<br />

(sasaran). Tetapi, strategi bukanlah<br />

sekedar suatu rencana. <strong>Strategi</strong> ialah<br />

rencana yang disatukan: strategi<br />

mengikat semua bagian perusahaan<br />

menjadi satu. <strong>Strategi</strong> itu menyeluruh:<br />

strategi meliputi semua aspek penting<br />

dalam perusahaan. <strong>Strategi</strong> itu terpadu:<br />

semua bagian rencana serasi satu sama<br />

lain dan bersesuaian.<br />

Hamel dan Prahalad (1995) dalam<br />

Rangkuti (1997 : 4) <strong>Strategi</strong> merupakan<br />

tindakan yang bersifat incremental<br />

(senantiasa meningkat) dan terus<br />

menerus dan dilakukan berdasarkan<br />

sudut pandang tentang apa yang<br />

diharapkan oleh para pelanggan dimasa<br />

depan. Dengan demikian perencanaan<br />

strategis hampir selalu dimulai dari “apa<br />

yang dapat terjadi, bukan dimulai<br />

dariapa yang terjadi“. Terjadinya<br />

kecepatan inovasi pasar baru dan<br />

peurbahan pola konsumen memerlukan<br />

kompetensi inti (core competencies).<br />

Perusahaan perlu mencari kompetensi<br />

inti dalam bisnis yang dilakukan.<br />

Menurut Rangkuti (1997 : 7) pada<br />

prinsipnya strategi dapat dikelompokkan<br />

berdasarkan tiga tipe strategi, yaitu :<br />

1) <strong>Strategi</strong> Manajemen<br />

<strong>Strategi</strong> manajemen meliputi strategi<br />

yang dapat dilakukan oleh<br />

manajemen dengan orientasi<br />

pengembangan strategi secara makro<br />

misalnya, strategi pengembangan<br />

produk, strategi penetapan harga,<br />

strategi akuisisi, strategi<br />

pengembangan pasar, strategi<br />

mengenai keuangan dan sebagainya.<br />

2) <strong>Strategi</strong> Investasi<br />

<strong>Strategi</strong> ini merupakan kegiatan yang<br />

beroriantasi pada investasi. Misalnya<br />

apakan perusahaan ingin melakukan<br />

strategi pertumbuhan yang agresif<br />

atau perusahaan melakukan penetrasi<br />

pasar, strategi bertahan, strategi<br />

pembangunan kembali suatu visi<br />

baru atau strategi divestasi, dan<br />

sebagainya.<br />

3) <strong>Strategi</strong> Bisnis<br />

<strong>Strategi</strong> bisnis ini sering juga disebut<br />

strategi bisnis secara fungsional<br />

karena strategi ini beroriantasi pada<br />

fungsi-fungsi kegiatan manajemen,<br />

misalnya strategi pemasaran, strategi<br />

produksi atau operasional, strategi<br />

distribusi, strategi organisasi dan<br />

strategi - strategi yang berhubungan<br />

dengan keuangan.<br />

Menurut Salusu (1996 : 101) ada<br />

empat tingka-tingkat strategi.<br />

Keseluruhannya di sebut Master <strong>Strategi</strong><br />

yaitu :<br />

a) Enterprise Strategy<br />

<strong>Strategi</strong> ini berkaitan dengan respon<br />

masyarakat. Setiap organisasi<br />

mempunyai hubungan dengan<br />

masyarakat. Masyarakat adalah<br />

kelompok yang berada diluar<br />

organisasi yang tidak dapat dikontrol<br />

b) Corporate Strategy<br />

<strong>Strategi</strong> ini berkaitan dengan misi<br />

organisasi, sehingga sering disebut


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />

(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

60<br />

grand strategy yang meliputi bidang<br />

yang digeluti oleh organisasi.<br />

c) Business Strategy<br />

<strong>Strategi</strong> pada tingkat ini menjabarkan<br />

bagaimana merebut pasaran di<br />

tengah masyarakat. Bagaimana<br />

menempatkan organisasi dihati para<br />

penguasa, para pengusaha, para<br />

anggota legslatif, para politisi dan<br />

sebagainya.<br />

d) Functional Strategy<br />

<strong>Strategi</strong> ini merupakan strategi<br />

pendukung dan untuk menunjang<br />

sukses nya strategi lain. Ada tiga<br />

jenis strategi fungsional yaitu :<br />

1. <strong>Strategi</strong> fungsional ekonomi<br />

yaitu mencakup fungsi-fungsi<br />

yang memungkinkan organisasi<br />

hidup sebagai suatu kesatuan<br />

ekonomi yang sehat antara lain<br />

yang berkaitan dengan keuangan,<br />

pemasaran,sumberdaya,<br />

penelitian dan pengembangan.<br />

2. <strong>Strategi</strong> fungsional manajemen<br />

yaitu mencakup fungsi-fungsi<br />

manajemen yaitu planning,<br />

organizing, implementing,<br />

controlling, staffing, motivating,<br />

comunicating, decision making,<br />

representing dan integrating.<br />

3. <strong>Strategi</strong> isu stratejik, fungsi<br />

utamanya adalah mengontrol<br />

lingkungan, baik situasi<br />

lingkungan yang sudah diketahui<br />

maupun situasi yang belum<br />

diketahui atau yang selalu<br />

berubah.<br />

Perencanaan strategis sebagai upaya<br />

yang didisiplinkan untuk membuat<br />

keputusan dan tindakan penting ang<br />

membentuk dan memandu bagaimana<br />

menjadi organisasi, apa yang dikerjakan<br />

organisasi, dan mengapa organisasi<br />

mengerjakan hal seperti itu. Yang<br />

terbaik, perencanaan strategis<br />

mensyaratkan pengumpulan informasi<br />

secara secara luas, eksplorasi alternatif,<br />

dan menekankan implementasi masa<br />

depan keputusan sekarang (Bryson : 4).<br />

Perencanaan strategis dapat<br />

membantu suatu organisasi dalam :<br />

1. Berpikir secara strategis dan<br />

mengembangkan stretegi-strategi<br />

yang efektif<br />

2. Memperjelas arah masa depan<br />

3. Menciptakan prioritas<br />

4. Membuat keputusan sekarang<br />

dengan mengingat kosekuensi masa<br />

depan.<br />

5. Mengembangkan landasan yang<br />

koheren dan kokoh bagi pembuat<br />

keputusan<br />

6. Menggunakan keleluasaan yang<br />

maksimum dalam bidang-bidang<br />

yang berada dibawah control<br />

organisasi<br />

7. Membuat keputusan yang melintasi<br />

tingkat dan fungsi<br />

8. Memecahkan masalah utama<br />

organisasi<br />

9. Menangani keadaan yang berubah<br />

dengan cepat secara afektif<br />

10. Membangun kerja kelompok dan<br />

keahlian.<br />

Menurut Undang-undang No. 34<br />

tahun 2000 pasal 2 ayat 2 a, pajak hotel<br />

adalah pajak atas pelayanan hotel.<br />

Sedangkan yang dimaksud dengan hotel<br />

adalah bangunan yang khusus disediakan<br />

bagi orang untuk dapat<br />

menginap/istirahat, memperoleh<br />

pelayanan, dan/atau fasilitas lainnya<br />

dengan dipungut bayaran, termasuk<br />

bangunan lainnya yang menyatu,<br />

dikelola dan dimiliki oleh pihak yang<br />

sama, kecuali untuk pertokoan dan<br />

perkantoran.<br />

Marihot (2005 : 245) mengatakan<br />

bahwa pajak hotel adalah punutan yang<br />

dilakuan oleh daerah atas pembayaran<br />

kepada hotel. Jadi jelas bahwa pajak<br />

hotel merupakan salah satu sumber pajak<br />

yang berkompeten dalan meningkatkan<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong>.


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />

(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

61<br />

METODE<br />

Menurut Rangkuti (1997 : 18)<br />

analisis SWOT adalah identifikasi<br />

berbagai faktor secara sistematis untuk<br />

merumuskan strategi organisasi atau<br />

perusahaan. Analisis ini didasarkan pada<br />

logika yang dapat memaksimalkan<br />

kekuatan (Strengths) dan peluang<br />

(opportunities) namun secara bersamaan<br />

dapat namun secara bersamaan dapat<br />

meminimalkan kelemahan (Weaknesses)<br />

serta ancaman (Thrests).<br />

Peneliti menetapkan informan dalam<br />

penelitian ini adalah Kepala Dinas<br />

<strong>Pendapatan</strong> Dan Pengelolaan Keuangan<br />

<strong>Daerah</strong> Kabupaten Pasaman. Informan<br />

tersebut dijadikan pangkal informan, dari<br />

informan akan diperoleh informan<br />

susulan yaitu Kepala Bidang<br />

<strong>Pendapatan</strong>, dari Kepala Bidang<br />

<strong>Pendapatan</strong> di peroleh lagi informan<br />

susulan yaitu Kasi Perencanaa<br />

<strong>Pendapatan</strong> dan Penetapan dan Kasi<br />

penagihan, Pembukuan dan Evaluasi,<br />

dari Kasi penagihan, Pembukuan dan<br />

Evaluasi diperoleh lagi informan susulan<br />

yaitu Petugas PAD. Petugas PAD yang<br />

dipilih Peneliti adalah petugas PAD yang<br />

ada diKecamatan Lubuk Sikaping karena<br />

di Kecamatan Lubuk Sikaping terdapat<br />

banyak hotel. Dan dalam menentukan<br />

informan selanjutnya ini ditentukan<br />

dengan metode snowball sampling atau<br />

bola salju.<br />

Untuk memperoleh data yang<br />

diinginkan dalan penelitian ini, maka<br />

pengumpulan data dilakukan dengan<br />

cara, yaitu: Wawancara dan Studi<br />

kepustakaan. Analisa dilakukan secara<br />

kualitatif terhadap analisis<br />

SWOT(Strength,<br />

Weakness,<br />

Opportunity, Threats). Analisis ini<br />

didasarkan pada logika yang dapat<br />

memaksimalkan<br />

kekuatan<br />

(STRENGTHS) dan peluang<br />

(OPPORTUNITIES), namun secara<br />

bersamaan dapat meminimalkan<br />

kelemahan (WEAKNESSES) serta<br />

ancaman (THRESTS).<br />

HASIL<br />

Berdasarkan hasil penelitian<br />

lapangan yang dilakukan penulis telah<br />

terkumpul beberapa parameter dan dapat<br />

diidentifikasikan bahwa permasalaha<br />

yang terjadi dalam pemungutan pajak<br />

hotel di Kabupaten Pasaman adalah<br />

rendahnya target yang ditetapkan oleh<br />

bagian Penetapan di Dinas <strong>Pendapatan</strong><br />

dan Pengelolaan Keuangan (DPPK)<br />

Kabupaten Pasaman serta realisasi pajak<br />

hotel bila dibandingkan dengan potensi<br />

dari pajak hotel tersebut.<br />

Berdasarkan hasil wawancara dengan<br />

informan susulan tersebut di ketahui<br />

bahwa pendapatan dari pajak hotel<br />

tersebut hanya diperoleh melalui hasil<br />

kesepakatan dengan pihak hotel,<br />

kesepakatan yang dimaksud adalah<br />

kesepakatan seberapa sanggupnya pihak<br />

hotel membayar pajak kepada Pemda<br />

Pasaman yang dalam hal ini adalah<br />

Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />

Keuangan (DPPK). Pihak hotel tidak<br />

sanggup membayar besarnya pajak yang<br />

sudah ditetapkan oleh PERDA Kab.<br />

Pasaman yaitu PERDA no 14 tahun<br />

2003 pasal 7 yang menyebutkan tarif<br />

pajak hotel sebesar 10% dari<br />

pembayaran yang dilakukan kepada<br />

pihak hotel. Pihak hotel beralasan bahwa<br />

selama ini pendapatan yang diterimanya<br />

sudah sangat kecil dan jika dikenakan<br />

pajak sesuai tarif yang sudah ditetapkan<br />

PERDA maka pendapatan mereka akan<br />

semakin kecil. Sebenarnya, jika pemilik<br />

hotel mengerti tentang ini PERDA<br />

tersebut maka pembayaran pajak hotel<br />

tidak akan terasa berat karena pajak<br />

hotel yang di pungut bukanlah dibayar<br />

oleh pemilik hotel, tetapi pengguna jasa<br />

hotel lah yang membayar pajak tersebut,<br />

apabila setiap pembayaran kepada pihak<br />

hotel di tambahkan 10% untuk pajak


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />

(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

62<br />

maka tidak akan mengganggu<br />

pendapatan mereka dan pajak hotel pun<br />

akan lancar dibayarkan.<br />

Dari hasil penelitian yang selama ini<br />

penulis lakukan potensi pajak hotel<br />

sangatlah basar, namun pajak yang di<br />

bayarkan kepada Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan<br />

Pengelolaan Keuangan (DPPK)<br />

Kabupaten Pasaman sangatlah kecil.<br />

Perbandingan antara jumlah pajak yang<br />

di bayarkan dengan jumlah pajak yang<br />

sudah ditetapkan oleh PERDA sangat<br />

jauh sekali bedanya.<br />

Dengan demikian penulis akan<br />

memaparkan beberapa hasil penelitian<br />

yang disajikan dalam bentuk matriks<br />

SWOT (Strengths, Weakness,<br />

Opportunitties, Threats) dan dengan<br />

analisa yang mengarah untuk<br />

menciptakan alternatif - alternatif yang<br />

mungkin tidak terpikirkan selama ini.<br />

Matriks SWOT ini akan disajikan<br />

dengan memasukkan faktor-faktor<br />

internal (IFAS) yaitu kekuatan<br />

(strengths) dan kelemahan (weakness)<br />

serta faktor-faktor eksternal (EFAS)<br />

yaitu terdiri dari peluang (oppoetunitties)<br />

dan ancaman (threats). Matriks ini dapat<br />

menggambarkan secara jelas bagaimana<br />

peluang dan ancaman yang datang dari<br />

eksternal dihadapi dengan kekautan dan<br />

kelemahan yang dimiliki.<br />

Analisis SWOT Dalam Penentuan<br />

<strong>Strategi</strong> Untuk Meningkatkan<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> Kabupaten<br />

Pasaman ( Studi Kasus Pajak Hotel )<br />

Faktor Internal<br />

Strengths<br />

1. Perda yang mengatur tentang pajak<br />

hotel.<br />

2. Adanya petugas PAD yang bertugas<br />

disetiap kecamatan.<br />

3. Tersedianya data yang lengkap<br />

mengenai hotel.<br />

4. Sosialisasi yang diberikan kepada<br />

pemilik/pengelola hotel tentang<br />

pajak hotel.<br />

Weekness<br />

1. Sedikitnya jumlah SDM yang<br />

berkualitas di kantor Dinas<br />

<strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />

Keuangan (DPPK) Kabupaten<br />

Pasaman.<br />

2. Kurangnya insentif untuk petugas<br />

pemungut pajak dilapangan.<br />

3. Kurangnya sarana dan prasarana yang<br />

mendukung pemungutan pajak hotel.<br />

4. Tidak adanya sangsi yang tegas yang<br />

di berikan kepada wajib pajak yang<br />

tidak membayar pajak.<br />

Faktor Eksternal<br />

Opportunity<br />

1. Cukup besarnya potensi pajak hotel<br />

2. Potensi kepariwisataan yang cukup<br />

tinggi.<br />

3. Koordinasi yang baik dengan pihakpihak<br />

yang terkait dengan<br />

pemungutan pajak hotel.<br />

4. Cendrung stabilnya tingkat<br />

perekonomian mengakibatkan<br />

lancarnya pendistribusian barangbarang<br />

hasil produksi<br />

Threat<br />

1. Kurangnya kesadaran dari wajib<br />

pajak untuk membayar pajak sesuai<br />

dengan perda.<br />

2. Rendahnya SDM pemilik hotel.<br />

3. Kurang optimalnya pengelolaan<br />

bidang kepariwisataan.<br />

4. Lambannya perkembangan<br />

pembangunan di Kabupaten<br />

Pasaman.<br />

<strong>Strategi</strong> S-O<br />

1. Optimalisasi potensi kepariwisataan<br />

akan banyak mendatangkan<br />

wisatawan yang akan menggunakan<br />

jasa hotel.<br />

2. Adanya petugas PAD di setiap<br />

kecamatan akan memberikan


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />

(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

63<br />

kemudahan bagi wajib pajak untuk<br />

membayar pajak.<br />

3. Lengkapnya data mengenai<br />

perhotelan memudahkan dalam<br />

perhitungan pajak.<br />

<strong>Strategi</strong> W-O<br />

1. Berikan pendidikan dan pelatihan<br />

yang memadai kepada pegawai yang<br />

berhubungan dengan pajak hotel.<br />

2. Tambah personil yang akan<br />

memungut pajak hotel sehingga bisa<br />

di optimalkan potensi pajak hotel<br />

tersebut.<br />

3. Lengkapi sarana dan prasarana yang<br />

mendukung untuk meningkatkan<br />

pendapatan pajak hotel.<br />

4. Berikan sangsi yang tegas kepada<br />

wajib pajak yang tidak membayarkan<br />

pajak sesuai dengan tarif yang di<br />

tetapkan perda.<br />

Stretegi S-T<br />

1. Dengan adanya Perda yang mengatur<br />

tentang pemungutan pajak hotel<br />

tersebut maka petugas harus bisa<br />

memberikan sangsi yang tegas kepada<br />

wajib pajak yang terlambat atau tidak<br />

membayar pajak.<br />

2. Percepat pembangunan di Kabupaten<br />

Pasaman sehingga Kabupeten<br />

Pasaman memiliki sesuatu yang bisa<br />

menarik wisatawan datang.<br />

3. Pemberian sosialisasi dan pelatihan<br />

kepada pihak hotel tentang pajak hotel<br />

<strong>Strategi</strong> W-T<br />

1. Sulitnya menjalankan Perda,<br />

kurangnya kesadaran wajib pajak dan<br />

lambannya perkembangan Kabupeten<br />

Pasaman merupakan tantangan yang<br />

harus di atasi tidak hanya oleh<br />

eksekutif atau legislatif tapi juga oleh<br />

seluruh masyarakat Pasaman.<br />

2. Tidak adanya pemberian sangsi yang<br />

tegas menyebabkan hilang nya<br />

kesadaran wajibp pajak untuk<br />

membayar pajak.<br />

3. Rendahnya SDM kantor DPPK<br />

Pasaman menyebabkan Perda sulit<br />

dijalankan.<br />

Ketersediaan peraturan perundangundangan<br />

yang mengatur tentang<br />

pemungutan pajak hotel tersebut<br />

merupakan sebuah kekuatan bagi<br />

pemerintah Kab. Pasaman yang dalam<br />

hal ini di jalankan oleh Dinas<br />

<strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan Keuangan<br />

(DPPK) Kabupaten Pasaman, peraturan<br />

tersebut adalah PERDA no 14 tahun<br />

2003. di dalam PERDA ini sangat jelas<br />

disebutkan bahwa tarif pajak hotel<br />

sebesar 10 % dari pembayaran yang<br />

dilakukan kepada pihak hotel. Item ini<br />

bisa dijadikan sebagai strategi untuk<br />

memanfaatkan peluang (oppoetunitties)<br />

yang ada maupun untuk mengatasi<br />

kelemahan (weakness) dan ancaman<br />

(threats) yang terjadi.<br />

Selain tersedianya peraturan yang<br />

mengatur tentang pajak hotel, adanya<br />

data yang lengkap mengenai perhotelan<br />

di Kabupaten Pasaman akan<br />

mempermudah untuk menghitung<br />

seberapa besar potensi yang akan di gali<br />

dan juga mempermudah penetapan<br />

target. Adanya petugas PAD yang<br />

tersebar di setiap kecamatan yang ada di<br />

Kabupaten Pasaman juga akan<br />

mempermudah dalam penagihan pajak<br />

kepada pihak hotel. Namun kenyataan<br />

yang terjadi di lapangan dirasakan masih<br />

kurang karena disetiap kecamatan hanya<br />

ada satu orang petugas PAD yang<br />

mengurus masalah pajak di<br />

kecamatannya, satu orang ini mengurusi<br />

semua masalah pajak yang ada di<br />

kecamatannya kecuali PBB. Selain itu<br />

insentif atau upah pungut yang di<br />

berikan sangat lah kecil yaitu sebesar Rp<br />

100.000 per bulan itu pun di bayarkan<br />

tidak perbulan.<br />

Kekurangan personil juga dirasakan<br />

di dalam Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan<br />

Pengelolaan Keuangan (DPPK)


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />

(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

64<br />

Kabupaten Pasaman khusus nya pada<br />

bagian <strong>Pendapatan</strong>. Pada bagian<br />

pendapatan ini di bagi menjadi tiga seksi<br />

yaitu Seksi Perencanaan dan Penetapan,<br />

Seksi Dana Perimbangan dan Bagi Hasil<br />

dan Seksi Penagihan, pembukuan dan<br />

Evaluasi. Masing-masing seksi di<br />

kepalai oleh seorang pegawai eselon III<br />

dengan tiga orang staf, jadi jumlah<br />

semua pegawai yang ada di bagian<br />

pendapatan ada 13 orang dengan rincian<br />

satu orang kepala bagian, tiga orang<br />

kepala sub bidang dan sembilan orang<br />

staf. Ini dirasakan masih sangan kurang<br />

karena bagian ini mempunyai tugas yang<br />

berat salah satu nya mengurusi masalah<br />

pajak. Jika berbicara masalah pajak pasti<br />

akan berhubungan langsung dengan<br />

masyarakat, untuk itu diperlukan banyak<br />

personil untuk dapat langsung terjun ke<br />

masyarakat.<br />

Masalah lain yang dihadapi oleh<br />

Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />

Keuangan (DPPK) Kabupaten Pasaman<br />

adalah susahnya memungut pajak sesuai<br />

dengan tarif yang sudah ditetapkan oleh<br />

perda, ini adalah ancaman yang selama<br />

ini dihadapi oleh dinas <strong>Pendapatan</strong> dan<br />

Pengelolaan kab Pasaman. Wajib pajak<br />

beralasan bahwa pendapatannya selama<br />

ini sudah sangat kecil, jika dipungut juga<br />

pajak sesuai dengan yang telah<br />

ditetapkan oleh Perda yaitu sebanyak<br />

10% dari pendapatan hotel maka<br />

pendapatan mereka akan semakin<br />

berkurang. Hal ini di sebabkan oleh<br />

rendah nya pengetahuan wajib pajak<br />

mengenai pajak hotel.<br />

Hal tersebut bisa diatasi dengan<br />

pemberian pengetahuan kepada wajib<br />

pajak bagai mana cara untuk dapat<br />

membayar pajak hotel tanpa harus<br />

mengurangi pendapatan mereka. Mereka<br />

harus diberikan pelatihan untuk dapat<br />

mengelola keuangan dengan baik.<br />

Berdasarkan hasil penelitian penulis,<br />

selama ini pihak Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan<br />

Pengelolaan Keuangan (DPPK)<br />

Kabupaten Pasaman hanya memberikan<br />

sosialisasi mengenai pajak hotel tanpa<br />

adanya pelatihan lebih dalam mengenai<br />

pengelolaan keuangan untuk dapat<br />

membayar pajak sesuai dengan yang<br />

sudah ditetapkan PERDA.<br />

Kurang menariknya Pasaman untuk<br />

di kunjungi para wisatawan juga sangat<br />

berpengaruh pada bisnis perhotelan yang<br />

ada di Pasaman. Menurut hasil<br />

wawancara penulis dengan beberapa<br />

pemilik hotel, bahwa selama ini<br />

pengguna jasa hotel yang ada di<br />

Pasaman adalah distributor-distributor<br />

yang datang dari Padang untuk<br />

mendistribusikan hasil produksi<br />

perusahaan mereka, mereka menginap<br />

paling kurang 4 hari dalam seminggu<br />

dan kembali ke Padang dan begitulah<br />

setiap minggunya, kadang - kadang ada<br />

tamu yang cuma istirahat sebentar untuk<br />

melanjutkan perjalanan dari Padang ke<br />

Medan dan sebaliknya, itu pun sangat<br />

jarang.<br />

Tetapi walaupun begitu, menurut<br />

hasil perhitungan peneliti potensi untuk<br />

pajak hotel masih sangat besar, karena<br />

hotel-hotel yang ada di Pasaman<br />

umumnya sudah memiliki langganan<br />

tetap dari para ditributor tersebut, jadi<br />

pendapatan mereka bisa dikatakan sudah<br />

jelas.<br />

Besarnya potensi kepariwisataan di<br />

Kabupaten Pasaman merupakan peluang<br />

besar di bidang perhotelan, namun<br />

sayang nya sampai sekarang bidang<br />

kepariwisataan ini nampaknya masih<br />

belum dapat dikelola secara maksimal,<br />

banyak objek-objek wisata yang ada di<br />

Pasaman belum dikelola dengan baik.<br />

Padahal jika bidang kepariwisataan<br />

dapat berjalan dengan baik pasti juga<br />

akan membawa perubahan kepada<br />

bidang perhotelan.<br />

Dari hasil analisis SWOT diatas di<br />

peroleh beberapa strategi yang bisa


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />

(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

65<br />

digunakan oleh DPPK Kabupaten<br />

Pasaman dalam meningkatkan<br />

pendapatan pajak hotel. <strong>Strategi</strong> itu<br />

antara lain :<br />

1. Berikan pendidikan dan pelatihan<br />

kepada pagawai yang mengurus<br />

pajak hotel.<br />

2. Lengkapi sarana dan prasarana yang<br />

menudukung pemungutan pajak<br />

hotel.<br />

3. Berikan insentif yang memadai<br />

untuk setiap petugas pemungut<br />

pajak.<br />

4. Mengelola potensi kepariwisataan<br />

sehingga akan mendatangkan banyak<br />

wisatawan yang menggunakan jasa<br />

hotel.<br />

5. Berikan sangsi yang tegas kepada<br />

pihak hotel yang tidak mematuhi<br />

peraturan yang berlaku.<br />

Faktor Internal Dan Faktor Eksternal<br />

Tabel. 2<br />

Perhitungan Bobot (Pembobotan) Faktor Internal<br />

Faktor<br />

pendukung/Internal<br />

Kekuatan(strengths)<br />

1. Perda yang<br />

mengatur tentang<br />

pajak hotel.<br />

2. Adanya petugas<br />

PAD yang<br />

bertugas disetiap<br />

kecamatan.,<br />

3. Tersedianya data<br />

yang lengkap<br />

mengenai hotel,<br />

4. Sosialisasi yang<br />

diberikan kepada<br />

pemilik/pengelola<br />

hotel tentang<br />

pajak hotel<br />

Kelemahan(Weakness)<br />

1. Sedikitnya<br />

jumlah SDM<br />

yang berkualitas<br />

di kantor Dinas<br />

<strong>Pendapatan</strong> dan<br />

Pengelolaan<br />

Keuangan (<br />

DPPK )<br />

Kabupaten<br />

Pasaman<br />

2. Kurangnya<br />

insentif untuk<br />

petugas<br />

pemungut<br />

dilapangan.<br />

3 Kurangnya sarana<br />

dan prasarana<br />

yang mendukung<br />

pemungutan<br />

pajak hotel.<br />

Bobot Rating Skor Keterangan<br />

0.20 4 0.80<br />

0.15 4 0.60<br />

0.05 2 0.10<br />

0.10 3 0.30<br />

0.15 2 0.30<br />

0.10 2 0.20<br />

0.15 2 0.30<br />

4. Tidak adanya 0.10 3 0.30<br />

sangsi yang tegas<br />

yang di berikan<br />

kepada wajib<br />

pajak yang tidak<br />

membayar pajak.<br />

Total 1.00 2.90<br />

Sumber : Hasil Penelitian lapangan :2009<br />

Tabel. 2 dapat di ketahui bahwa item<br />

kekuatan (strengths ) yang paling tinggi<br />

skor nya adalah tersedianya peraturan<br />

perundang-undangan yang mengatur<br />

tentang pajak hotel. Peraturan<br />

perundang-undangan ini adalah dasar<br />

bagi DPPK dalam membuat suatu<br />

strategi dan akhirnya menjadi sebuah<br />

kebijakan yang akan direalisasikan<br />

melalui program-program.<br />

Tabel. 3<br />

Perhitungan Bobot (Pembobotan) Faktor<br />

Eksternal<br />

Faktor Pendukung/Eksternal Bobot Rating Skor Keterangan<br />

Peluang(Opportunities)<br />

1. Cukup besarnya potensi<br />

pajak hotel.<br />

2. Potensi kepariwisataan<br />

yang tinggi<br />

3. Koordinasi yang baik<br />

dengan pihak-pihak yang<br />

terkait dengan<br />

pemungutan pajak hotel<br />

4. Cenderung stabilnya<br />

tingkat perekonomian<br />

mengakibatkan lancarnya<br />

pendistribusian barangbarang<br />

hasil produksi.<br />

Sumber : Hasil Penelitian lapangan :2009<br />

0.15 4 0.60<br />

0.15 4 0.60<br />

0.15 3 0.45<br />

0.10 2 0.20<br />

Ancaman (Threats)<br />

1. Kurangnya kesadaran dari 0.10 2 0.20<br />

wajib pajak untuk<br />

membayar pajak sesuai<br />

dengan perda.<br />

2. Rendahnya SDM pemilik 0.10 3 0.30<br />

hotel.<br />

3. Kurang optimalnya<br />

0.15 2 0.30<br />

pengelolaan bidang<br />

kepariwisataan.<br />

4. Lambannya<br />

0.10 4 0.40<br />

perkembangan<br />

pembangunan di<br />

Kabupaten Pasaman.<br />

Total 1.00 3.05<br />

Tabel. 3 dapat diketahui bahwa yang<br />

paling tinggi skornya adalah tingginya<br />

potensi pajak hotel dan tingginya potensi<br />

kepariwisataan di Kabupaten Pasaman.<br />

Tingginya potensi pajak hotel ini<br />

merupakan titik tolak atau titik awal<br />

pembuatan strategi-strategi untuk dapat<br />

mengoptimalkan tingginya potensi<br />

tersebut agar menjadi pendapatan yang<br />

akan menambah <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong><br />

( PAD ). Selain itu tingginya potensi<br />

kepariwisataan juga memiliki andil yang<br />

besar dalam perkembangan perhotelan.<br />

Jika bidang kepariwisataan dikelola<br />

dengan baik maka dengan sendirinya


<strong>Strategi</strong> <strong>Peningkatan</strong> <strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> (PAD) Kabupaten Pasaman<br />

(Studi Kasus Pajak Hotel)<br />

66<br />

bidang perhotelan juga akan berkembang<br />

dan akhirnya akan menambah<br />

pendapatan bidang pajak hotel. Dengan<br />

item-item ini di harapkan DPPK<br />

Kabupaten Pasaman bisa<br />

memaksimalkan semua peluang yang<br />

ada untuk dapat meningkatkan<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> ( PAD ).<br />

Grafik. 1<br />

Pembobotan SWOT<br />

Grafik. 1 diatas diketatui bahwa<br />

koordinat berada jauh dari sumbu<br />

weakness-opportunities, strengthsthreats,<br />

weakness-threats, tapi titik<br />

koordinat bertemu di sumbu strengthsopportunities.<br />

Ini berarti DPPK<br />

Kabupaten Pasaman dalam mengambil<br />

kebijakan mengenai pajak hotel<br />

mempunyai potensi kekuatan (strengths)<br />

dan peluang (Opportunities) yang lebih<br />

besar jika dibandingkan dengan<br />

kelemahan (Weakness) dan ancaman<br />

(Threats) yang ada. Namun pihak DPPK<br />

Kabupaten Pasaman harus tetap<br />

mempertimbangkan kelemahan dan<br />

ancaman yang ada.<br />

SIMPULAN<br />

Disimpulkan bahwa selama ini Perda<br />

no.14 tahun 2003 tentang pajak hotel<br />

tidak bisa dijalankan dengan baik,<br />

selama ini pajak hotel yang diterima oleh<br />

Pemerintah <strong>Daerah</strong> adalah jumlah pajak<br />

berdasarkan hasil kesepakatan antara<br />

Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />

Keuangan <strong>Daerah</strong> (DPPK) dengan pihak<br />

hotel seberapa sanggup pihak hotel<br />

untuk membayarkannya sehingga<br />

pendapatan dari pajak hotel yang<br />

diteriman sangat lah kecil jika dibanding<br />

dengan potensi yang ada. Hendaknya<br />

Dinas <strong>Pendapatan</strong> dan Pengelolaan<br />

Keuangan <strong>Daerah</strong> (DPPK) Kabupaten<br />

Pasaman menghitung kembali seberapa<br />

besar potensi pajak hotel yang dimiliki<br />

Kabupaten Pasaman. Sehingga bisa<br />

ditetapkan seberapa besar target yang<br />

harus ducapai agar dapat meningkatkan<br />

<strong>Pendapatan</strong> <strong>Asli</strong> <strong>Daerah</strong> ( PAD ).<br />

DAFTAR RUJUKAN<br />

David, Fred.R. terjemahan Paulyn<br />

Sulistio dan Harryadin Mahardika.<br />

<strong>Strategi</strong>c Manajement. Salemba<br />

Empat. Jakarta. 2006.<br />

Rangkuti, Freddy. Analisis SWOT Teknik<br />

Pembedah<br />

Kasus<br />

Bisnis.GramediaPustakan Utama.<br />

Jakarata. 1997.<br />

Salusu,J. Pengambilan Keptusan<br />

Stratejik Untuk Organisasi Public<br />

dan Organisasi Nonprofit. PT<br />

Grasendo Widiasarana Indonesia.<br />

Jakarta. 1996.<br />

Siahaan, Marihot. P. Pajak <strong>Daerah</strong> &<br />

Retribusi <strong>Daerah</strong>. PT Raja Grafindo<br />

Persada. Jakarta. 2006.<br />

Sudriamunawar, Haryono.Pengantar<br />

Studi<br />

Administrasi<br />

Pembangunan.Mandar Maju.<br />

Bandung. 2002.


Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

OKTA KARNELI<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5<br />

Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293, Telp/Fax (0761) 63277<br />

Abstrak : Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan<br />

di Indonesia jauh sebelum Negara ini terbentuk. Struktur sosial desa, masyarakat adat dan lain<br />

sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai potensi sangat penting dan otonom dengan<br />

tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Kemandirian desa menuntut adanya<br />

otonomi desa yang telah didukung oleh Undang-Undang No 32 thm 2004 tentang pemerintahan daerah.<br />

Untuk mewujudkan desa yang otonom, maka segenap potensi desa baik kelembagaan, sumber daya alam<br />

dan manusia harus dapat dioptimalkan. Sehingga penekanan dari kajian ini adalah melihat bagaimana<br />

persiapan pemerintah dalam menuju desa otonomi yang meliputi penguatan kelembagaan, pelimpahan<br />

wewenang kepada desa dan pengalokasian dana desa. Kajian ini dilakukan di desa/kelurahan yang<br />

tersebar di 5 (lima) kecamatan di kabupaten Kuansing. Sebanyak 10 % dari jumlah desa yang berada di<br />

wilayah kecamatan terpilih akan diambil sebagai responden penelitian adalah pimpinan dan aparatur<br />

pemerintahan desa serta para tokoh masyarakat setempat. Hasil kajian ternyata menunjukan bahwa<br />

kelembagaan desa sebagai organisasi formla diwilayah penelitian belum optimal dalam menjalankan<br />

kewenangan, tugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundangan yang<br />

ada. Sehingga diperlukan adanya peningkatan kapasitas tata kepemimpinan pemerintahan desa dengan<br />

berbagai arah kebijakan, seperti meningkatkan kapabilitas kepala desa dan aparatur desa beserta BPD<br />

serta meningkatkan kematangan dan kedewasaan masyarakat baik oleh pemerintah desa maupun oleh<br />

pemerintah Kabupaten Kuansing.<br />

Kata kunci : Otonomi Desa, Penguatan Kelembagaan, Pelimpahan Wewenang dan Alokasi Dana Desa<br />

Undang-undang No 32 tahun 2004<br />

tentang Pemerintahan <strong>Daerah</strong>, telah<br />

membarikan peluang dan kesempatan<br />

bagi desa dalam memberdayakn<br />

masyarakat desa beserta desanya. Untuk<br />

mewujudkan peluang menjadi desa<br />

otonomi tersebut maka segenap potensi<br />

desa baik berupa kelembagaan, sumber<br />

daya alam dan sumber daya manusia<br />

harus dapat dioptimalkan. Pemerintah<br />

Kabupaten Kuantan Singingi telah<br />

membuka wacana untuk menghidupkan<br />

kembali system pemerintahan adat yang<br />

selama diyakini telah dapat<br />

menggerakan masyarakat untuk ikut<br />

berpartisipasi dalam pembangunan.<br />

Sistem pemerintahan adat sesuai dengan<br />

Undang-Undang No 22 tahun 1999<br />

tentang pemerintahan daerah dimana<br />

daerah mempunyai peluang untuk<br />

menciptakan system pemerintahan yang<br />

bersifat desentralisasi yang<br />

berimplikasi pada demokratisasi dan<br />

otonomi dalam masyarakat. Khususnya<br />

masyarakat yang berada didesa atau<br />

nagori/kenegerian atau sebutan lainnya.<br />

Sehubungan dengan percepatan<br />

pencapaian cita-cita otonomi desa maka<br />

beberapa perangkat perlu disiapkan<br />

untuk mendukung pencapaian<br />

pelaksanaan otonomi desa tersebut.<br />

Perangkat tersebut berupa penguatan<br />

kelembagaan, pelimpahan wewenang<br />

67


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

68<br />

kepada desa dan pengalokasian dana<br />

desa.<br />

Adapun tujuan dalam penelitian ini<br />

adalah :<br />

1. Melakukan kajian terhadap<br />

persiapan kearah otonomi desa di<br />

Kabupaten Kuantan Singingi,<br />

meliputi penguatan kelembagaan,<br />

pelimpahan wewenang kepada desa<br />

dan pengalokasian dana desa.<br />

2. Melakukan kajian terhadap<br />

kemungkinan pengembalian system<br />

pemerintahan desa sesuai dengan<br />

pemerintahan adat di Kabupaten<br />

Kuantan Singingi.<br />

Otonomi desa yang semestinya<br />

diikuti dengan otonomi dalam bidang<br />

keuangan atau otonomi fiscal, sekarang<br />

ini sudah mulai mendapat perhatian dari<br />

pemerintah, pemerintah propinsi dan<br />

pemerintah kabupaten. Hal ini dapat<br />

dilihat sekarang dari pemerintah<br />

kabupaten telah menganggarkan alokasi<br />

dana desa (ADD) untuk setiap desanya,<br />

minimal 10% dalam APBD Kabupaten.<br />

Hal ini diharapkan membawa dampak<br />

bagi penyelenggaraan pemerintah,<br />

pembangunan dan kemasyarakatan.<br />

Namun yang perlu diperhatikan adalah<br />

agar dana tersebut dapat dimanfaatkan<br />

secara maksimal. Pemerintah desa harus<br />

membuat perencanaan penggunaan dan<br />

laporan alokasi dana tersebut, sehingga<br />

dana tersebut idak memberi manfaat<br />

kepada masyarakat.<br />

Standard dan norma yang harus<br />

diikuti dalam penyelenggaran<br />

pemerintahan desa menuju otonomi<br />

adalah sebagai berikut : Pertama, Agar<br />

penyelenggaraan pemerintahan desa<br />

dapat lebih peka dalam memahami<br />

adpirasi dan permasalahan yang<br />

dihadapi masyarakat. Sehubungan<br />

dengan hal ini ada 7 azas<br />

penyelenggaraan pemerintahan desa<br />

yang ditekankan yaitu azas kepastian<br />

hukum, azas tertib kepentingan umum,<br />

azas keterbukaan, profesionalitas, azas<br />

akuntabilitas, efesiensi dan azas<br />

efektifitas. Kedua, penyelenggaraan<br />

pemerintahan desa dilakukan oleh<br />

badan permusyawaratan desa,<br />

pemerintahan desa dan musyawarah<br />

desa. Ketiga, badan perwakilan desa<br />

atau disebut dengan nama lain adalah<br />

lembaga perwakilan rakyat desa yang<br />

menjalankan fungsi artikulasi dan<br />

agregasi kepentingan warga desa, fungsi<br />

legilasi (pengaturan), fungsi budgeting<br />

dan fungsi pengawasan. Keanggotaan<br />

badan perwakilan desa dapat dipilih<br />

atau berdasarkan musyawarah secara<br />

berjenjang sesuai dengan adat istiadat<br />

dan tradisi setempat. BPD<br />

mencerminkan perwakilan unsur-unsur<br />

atau kelompok-kelompok dalam<br />

masyarakat desa, termasuk kuota 30 %<br />

untuk kaum perempuan. Kedudukan,<br />

mekanisme pemilihan, persyaratan,<br />

jumlah, fungsi control, wewenang,<br />

kewajiban, hak, larangan, mekanisme<br />

rapat, penghasilan tetap atau tunjangan<br />

dari BPD selanjutnya diatur dalam<br />

peraturan daerah. Keempat,<br />

Musyawarah desa merupakan<br />

perwujudan<br />

demokrasi<br />

permusyawaratan (deliberative<br />

democracy), yakni model pengambilan<br />

keputusan dengan menggunakan<br />

musyawarah untnuk mencapai mufakat<br />

secara klektif, seperti halnya bentuk<br />

rembug desa atau musyawarah adat ;<br />

musyawarah desa merupakan forum<br />

tertinggi dalam mengambil keputusan<br />

atas masalah-masalah strategis di desa.<br />

Ketujuh, kepala desa di bantu oleh<br />

unsur pemerintah desa yang meliputi<br />

sekretaris desa dan perangkat desa.<br />

Kelembagaan desa yang bersifat<br />

formal di sebut pemerintahan desa<br />

merupakan kelembagaan desa yang<br />

bertanggung jawab untuk<br />

mendinamisasi masyarakat dalam aspek<br />

pembangunan, kemasyarakatan dan


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

69<br />

pemerintahan senagaimana juga fungsifungsi<br />

tersebut dilakukan oleh<br />

pemerintah diatasnya.<br />

Rekonmendasi yang dapat di<br />

berikan terhadap pengutan kelembagaan<br />

desa sesuai dengan pengkajian lapangan<br />

yaitu perlu dilakukan pengisian jabatan<br />

kelembagaan desa tersebut dengan<br />

melakukan rekrutmen dengan selektif<br />

diman harus di pilih oleh orang-orang<br />

yang mempunyai kemampuan dan yang<br />

relevan dengan persoalan-persoalan<br />

pemerintah.<br />

Namun dalam perkembangannya,<br />

Chester I. Barnard menyarankan bahwa<br />

dalam membahas kewenangan harus<br />

memperhatikan apakah kewenangan itu<br />

di terima oleh yang menjalankan<br />

(“whether orders are accepted by those<br />

mho receive them”). Biasanya desa<br />

hanya melaksanakan kewenangan<br />

melekat seperti pembuatan KTP, kartu<br />

keluarga dan lain-lain. Sedangkan<br />

kewenagan asal usul seperti mengolola<br />

aset desa kurang optimal, termasuk<br />

kurangnyapengelolaan pasar desa dan<br />

asset lain-lain yang bisa menjadi<br />

sumber pendapatan desa. Selain itu, ada<br />

suatu jenis kewenangan (urusan) yang<br />

bersifat tambahan, yakni kewenangan<br />

dalam tugas pembantuan (delegasi)<br />

yang di berikan oleh pemerintah dan<br />

pembanguna yang di berikan oleh<br />

pemerintah. Prinsip dasarnya, dalam<br />

tugas pembantuan ini desa hanya<br />

menjalankan tugas-tugas administratif<br />

(mengurus) di bidang pemeritahan dan<br />

pembangunan yang diberikan<br />

pemerintah. Tugas pembantuan di sertai<br />

dengan dana, personil dan fasilitas.<br />

Desa berhak menolak tugas pembantuan<br />

jika tidak di sertai dengan dana, personil<br />

dan fasilitas.<br />

Sebagai konsekuensi dari<br />

keberagaman desa berdasarkan optional<br />

village maka kewenangan desa pun<br />

disesuaikan dengan desa yang dipilih :<br />

Pilihan Model<br />

Desa Integrated<br />

Desa<br />

Koeksistensi<br />

Tabel 1<br />

Kewenangan Desa<br />

Kewenangan<br />

- Kewenangan asal-usul<br />

- Kewenangan Atributif<br />

- Tugas Pembantuan<br />

- Kewenangan atributif<br />

- Tugas pembantuan<br />

Desa integrated memiliki tiga<br />

kewenangan, sedangkan Desa<br />

koekstensi dengan masyarakat adat,<br />

kewenangan asal usul menjadi<br />

kewenangan masyarakat adat.<br />

Desa mendapat dana operasional<br />

desa sebesar Rp 12.000.000,- per tahun<br />

yan dialokasikan secara merata untuk<br />

seluruh desa di Kabupaten Kuantan<br />

Singingi. Selain itu juga ada ADD<br />

(Alokasi Dana Desa ) Rp 50.000.000,-<br />

per tahun, tetapi pembagian dana<br />

tersebut dianggap belum proporsional<br />

menurut kebutuhan desa. Ada lagi dana<br />

yang dapat diperoleh desa berupa dana<br />

bergulir berdasarkan kriteria yang<br />

disyaratkan oleh pemerintah Kabupaten<br />

Kuantan Singingi untuk<br />

mendapatkannya sehingga ada<br />

kompetisi dari desa-desa.<br />

Sebagaiman dipahami bahwa esensi<br />

pemerintahan adalah pelayanan kepada<br />

masyarakat oleh karena itu pemerintah<br />

tidak diadakan untuk dirinya sendiri<br />

tetapi untuk melayani masyarakat serta<br />

menciptakan kondisi yang<br />

memungkinkan setiap anggota<br />

masyarakat mengembangkan<br />

kemampuan dan kreativitasnya demi


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

70<br />

mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998<br />

: 139).<br />

Pemerintahan sebagai pelayan<br />

masyarakat (publik service) sudah<br />

seharusnya memberikan pelayanan yang<br />

berkualitas kepada masyarakat.<br />

Pelayanan yang berkualitas selaian<br />

bermanfaat bagi masyarakat juga<br />

bermanfaat terhadap citra aparat<br />

pemerintah itu sendiri. Dalam info PAN<br />

(1990 : 35) dikatakan bahwa: Kualitas<br />

pelayanan aparatur pemerintah kepada<br />

masyarakat merupakan tingkat efisiensi,<br />

efektivitas dan produktivitas dari sistem<br />

kemampuan<br />

kelembagaan,<br />

kepegawaian, dan ketatalaksanaan<br />

dalam mendorong, menumbuhkan serta<br />

memberikan pengayoman terhadap<br />

prakarsa dan pemenuhan kebutuhan<br />

pelaksanaan hak dan kewajiban<br />

masyarakat.<br />

Adanya perubahan dari desa<br />

menjadi kelurahan menuntut adanya<br />

penyesuaian perangkat dari perangkat<br />

desa menjadi perangkat kelurahan<br />

karena dalam kedua sistem<br />

pemerintahan itu walaupun setara tetapi<br />

komponen-komponen yang ada dalam<br />

birokrasinya berbeda. Satu masalah<br />

yang dapat muncul dalam pemberian<br />

pelayanan kepada masyarakat adalah<br />

kurang mampunya perangkat kelurahan<br />

yang baru untuk melayani masyarakat<br />

dengan baik. Padahal adanya perubahan<br />

status dari desa menjadi kelurahan<br />

membawa konsekuensi adanya<br />

peningkatan kualitas pelayanan yang<br />

diberikan kepada masyarakat.<br />

Menurut Widodo (2001 : 75),<br />

pelayanan yang diharapkan dan menjadi<br />

tuntutan pelayanan publik oleh<br />

organisasi publik yaitu pemerintah lebih<br />

mengarah pada pemberian layanan<br />

publik yang lebih professional, efektif,<br />

efesien, sederhana, transparan, terbuka,<br />

tepat waktu, responsive dan adatif.<br />

Pelayanan publik yang professional<br />

artinya pelayanan yang memiliki<br />

akuntabilitas dan responsibilitas dari<br />

pemberi layanan (aparatur pemerintah).<br />

Efektif, lebih mengutamakan pada<br />

pencapaian tujuan dan sasaran.<br />

Sederhana, mengandung arti prosedur<br />

tata cara pelayanan diselenggarakan<br />

secara mudah, cepat, tepat, tidak<br />

berbelit-belit, mudah dipahami dan<br />

mudah dilaksanakan oleh masyarakat<br />

yang meminta pelayanan. Kejelasan dan<br />

kepastian (transparan), mengandung<br />

arti adanya kejelasan dan kepastian<br />

mengenai prosedur tata cara pelayanan,<br />

persayaratan pelayanan baik secara<br />

teknis maupun administratif, unit kerja<br />

dan atau pejabat yang berwenang dan<br />

bertanggung jawab dalam memberikan<br />

pelayanan, rincian biaya atau tarif<br />

pelayanan dan tata cara pembayaran<br />

serta jadwal waktu penyelesaian<br />

pelayanan. Keterbukaan, mengandung<br />

arti semua proses pelayanan wajib<br />

diinformasikan secara terbuka agar<br />

mudah diketahui dan dipahami<br />

masyarakat baik diminta ataupun tidak.<br />

Efesiensi, mengandung arti persyaratan<br />

pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal<br />

yang berkaitan langsung dengan<br />

pencapaian sasaran pelayanan dengan<br />

tetap memperhatikan keterpaduan<br />

antara persyaratan dengan produk<br />

pelayanan, mencegah adanya<br />

pengulangan pemenuhan persyaratan.<br />

Ketepatan waktu mengandung arti<br />

pelaksanaan pelayanan masyarakat<br />

dapat diselesaikan dalam waktu yang<br />

telah ditentukan. Responsif lebih<br />

mengarah pada daya tanggap dan cepat<br />

menanggapi apa yang menjadi masalah,<br />

kebutuhan dan aspirasi yang dilayani.<br />

Adatif mengandung arti cepat<br />

menyesuaikan tuntutan apa yang<br />

tumbuh dan berkembang di lingkungan<br />

sekitarnya.


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

71<br />

Sebelum berlakunya Undangundang<br />

Nomor 32 tahun 2004 tentang<br />

Pemerintahan <strong>Daerah</strong>, secara normatif<br />

kelurahan hanya dapat dibentuk pada<br />

ibu kota kecamatan pada pemerintah<br />

Kabupaten dan kota. Namun dengan<br />

berlakunya Undang-undang Nomor 32<br />

tahun 2004 tersebut membawa beberapa<br />

konsekuensi terhadap desa dalam hal<br />

peningkatan status desa yang selama ini<br />

masih terdapat pada ibu kota<br />

kecamatan, dimana menurut pasal 200<br />

ayat (3) dinyatakan bahwa desa di<br />

Kabupaten/Kota secara bertahap dapat<br />

dirubah atau disesuaikan statusnya<br />

menjadi kelurahan sesuai dengan usul<br />

dan prakarsa Pemerintah Desa bersama,<br />

Permusyawaratan Desa serta Badan<br />

Permusyawaratan Desa yang ditetapkan<br />

dengan Peraturan <strong>Daerah</strong>.<br />

Persyaratan yang juga harus<br />

diperhatikan untuk melakukan<br />

perubahan status desa menjadi<br />

kelurahan diatur pada Peraturan<br />

Pemerintah yang sama, tepatnya pada<br />

pasal 5 ayat (2) yang berbunyi :<br />

Perubahan status Desa menjadi<br />

kelurahan sebagaimana dimaksud dalam<br />

ayat (1) memperhatikan persyaratan :<br />

a. Luas wilayah<br />

b. Jumlah penduduk<br />

c. Prasarana dan sarana pemerintahan<br />

d. Potensi ekonomi, dan<br />

e. Kondisi sosial budaya masyarakat.<br />

Memperhatikan uraian diatas secara<br />

normatif bahwa proses dan mekanisme<br />

perubahan status Desa dimana saja<br />

termasuk Desa di Ibu kota Kecamatan<br />

untuk menjadi Kelurahan adalah :<br />

1. Usul dan inisiatif/prakarsa<br />

Pemerintah Desa bersama Badan<br />

Permusyawaratan Desa.<br />

2. Usul dan inisiatif/prakarsa<br />

masyarakat dimaksud dengan<br />

memperhatikan saran dan pendapat<br />

masyarakat setempat.<br />

Agar perubahan status Desa menjadi<br />

Kelurahan tersebut dapat berjalan<br />

dengan baik, hendaknya selain<br />

memenuhi ketentuan normatif yang<br />

diatur dengan Peraturan Perundangundangan<br />

yang berlaku, maka<br />

hendaknya Pemerintah <strong>Daerah</strong> sebelum<br />

membuat Draf Ranperda diperlukan<br />

pembuatan pengkajian yang dalam<br />

untuk studi kelayakan, sehingga dapat<br />

memenuhi norma-norma akademis.<br />

METODE<br />

Penelitian ini menggunakan<br />

pendekatan kualitatif. Proses penelitian<br />

ini dilakukan secara partisipatif dengan<br />

melibatkan seluruh stakeholder. Lokasi<br />

penelitian adalah desa/kelurahan yang<br />

tersebar di 5 (lima) kecamatan (Kuantan<br />

Tengah, Kuantan M udik, Singingi<br />

Hilir, Benai dan Cerenti). Jumlah<br />

desa/kelurahan yang akan diambil<br />

sebagai daerah sample adalah sebesar<br />

10 % dari semua desa/kelurahan yang<br />

tersebar di 5 kecamatan tersebut. Dari<br />

setiap lokasi penelitian yang terpilih<br />

akan diambil sebagai responden adalah<br />

pimpinan dan aparatur pemerintahan<br />

desa.<br />

HASIL<br />

Hasil temuan dilokasi penelitian<br />

menunjukan bahwa secara kelembagaan<br />

pemerintahan desa telah mempunyai<br />

administrasi desa yang lebih baik.<br />

Namun secara operasional kegiatan<br />

pelaksanaan adminsitrasi desa belum<br />

dapat dilaksanakan dengan optimal. Ini<br />

terbukti dari seluruh jenis buku<br />

administrasi yang diserahkan atau<br />

didistribusikan oleh pemerintah kabuten<br />

kuantan singingi kepada setiap desa ada<br />

seluruhnya, tetapi 35% dari keseluruhan<br />

jenis buku administrasi belum<br />

dimanfaatkan atau belum diisi oleh<br />

aparatur pemerintah desa. Dengan<br />

belum tertibnya pengisian buku ini,<br />

berimplikasi terhadap tidak tersedianya


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

72<br />

database, baik bagi kebutuhan<br />

pemerintah desa itu sendiri maupun<br />

Pemerintah kecamatan.<br />

Dari hasil wawancara dengan kepala<br />

desa dan perangkat desa, hal ini<br />

disebabkan oleh beberapa faktor :<br />

1. Rendahnya kinerja aparatur desa,<br />

hal ini terkait dengan SDM yang<br />

ada.<br />

2. kurangnya pemberdayaan dan<br />

pembinaa dari supra desa<br />

{pemerintah kecamatan dan<br />

kabupaten} dalam bentuk<br />

pekatihan,kursus,sosialisasi,dsb.teru<br />

tama bagi aparatur pemerintah desa.<br />

3. Kurangnya sarana dan prasarana<br />

yang tersedia di kantor desa, hal<br />

kurang memotivasi bagi aparat<br />

untuk berkeja.<br />

4. Manejemen pemerintah desa yang<br />

belum dikelola dengan baik,<br />

terutama kepemimpinan kepala desa<br />

terhadap stfnya atau jajarannya.<br />

5. Insentif yang belum begitu memadai<br />

bagi aparatur pemerintah desa,<br />

karena sampai saat ini, pemerintah<br />

desa hanya menggantungkan<br />

tunjangan atau honor dari<br />

pemerintah kabupaten, sementara<br />

desa tidak memiliki sumber<br />

penghasilan tetap dan tambahan,<br />

seperti tanah kas atau kekayaan desa<br />

lainnya.<br />

Dari temuan lapangan, diketahui<br />

pemerintah desa tidak banyak<br />

megetahui apa yang menjadi<br />

kewenangan atau sekarang dengan<br />

istilah menurut UU Nomor 32 tahun<br />

2004. Sampai saat ini, merbagai urusan<br />

di atas tidak sertai landasan paying<br />

hokum, baik dalam bentuk Peraturan<br />

Derah (PERDA) maupun keputusan<br />

bupati dsb. Sehingga boleh dikatakan<br />

sejumlah urusan di atas masih kabur<br />

atau tidak jelas. Namun secara tersirat<br />

dan dalam prakteknya, pemerintah desa<br />

sedikit banyak mana urusan rumah<br />

tangga desa selama ni selalu<br />

dipraktekkan, seperti, pemilihan kepala<br />

desa dan perangkatnya , membuat<br />

peraturan desa, menyusun<br />

APBDes,menggali potensi dan<br />

kekayaan desa dan pelestarian adt<br />

istiadat yang berlaku dalam masyarakat.<br />

Sedangkan beberap urusan lainnya<br />

belum ada pelimpahan kewenangan<br />

secara jelas kepada desa. Dari kondisi<br />

diatas, suatu kewajaran apabila pada<br />

umumnya pemerintah desa tidak<br />

mengetahui banyak tentang sejumlah<br />

urusan seperti yang tertera dalam<br />

peraturan perundangan yang ada. Oleh<br />

karena itu upaya yang harus dilakukan<br />

oleh kabupaten adalah :<br />

a. Mengidentifikasi dan<br />

mengklasifikasi berbagai urusan<br />

yang menjadi kewenangan dari<br />

pemerintah desa sebagaimana yang<br />

dimaksud dalam undang-undang<br />

ataupun peraturan daerah.<br />

b. Perangkat legislasi dan paying<br />

hokum serta sosialisasi dari<br />

pemerintah kabupaten dengan<br />

kecanatan.<br />

c. Adanya pola pembinaan yang<br />

kontinu dan pengawasan dari<br />

pemerintah kecamatan sebagai<br />

Pembina pemerintahan .<br />

Hasil penelitian lapangan<br />

menyatakan bahwa dengan adanya dana<br />

Desa yang akan diberikan kepada<br />

pemerintah desa akan dapat<br />

memperkuat eksistensi Pemerintah Desa<br />

dari Badan Permusyawaratan Desa<br />

dalam melakukan tugas dan fungsinya.<br />

1. Hubungan Desa dengan<br />

Kecamatan<br />

Pada format dan pola yang diatur<br />

dalam Undang-undang Nomor 32 tahun<br />

2004 tentang Pemerintahan daerah<br />

ternyata desa yang dipahami selama ini<br />

kedudukan sebenarnya tidal jelas dan<br />

nyata, sehingga menimbulkan beberapa


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

73<br />

kendala dan hambatan dengan<br />

kecamatan. Ketidak jelasan kedudukan<br />

desa tersebut dapat menimbulkan multi<br />

tafsi baik dari pihak Pemerintah Desa<br />

maupun kecamatan. Hal ini dikarenakan<br />

selam berlakunya Undang-undang<br />

Nomor 5 tahun 1979 tentang<br />

Pemerintahan Desa, kedudukan desa<br />

berada langsung di bawah kecamatan<br />

secara hirarkhis.<br />

Perubahan pemerintahan desa menjadi<br />

pemerintahan adat<br />

<strong>Daerah</strong>-daerah di Indonesia<br />

memang mempunyai keragaman yang<br />

luar biasa baik dilihat dari sisi kultur<br />

maupun kondisi geografis dan basis<br />

ekonominya. Akan tetapi keragaman itu<br />

tidak terlalu mempersulit penentuan<br />

posisi dan bentuk daerah, sebab daerah<br />

secara keseluruhan sudah ditetapkan<br />

sebagai daerah otonom (local self<br />

government) secara baku. Perbedaan<br />

antara daerah cukup dijawab dengan<br />

teori desentralisasi.<br />

Ada beberapa pilihan yang bersifat<br />

optional village. Dalam optional<br />

village, karakteristik Desa meliputi :<br />

Pertama, adalah integrasi fungsi<br />

pemerintahan Desa ke dalam<br />

pemerintahan adat sebagaimana terjadi<br />

di Sumatera Barat. Forum diskusi<br />

bersama Dewan Perwakilan <strong>Daerah</strong><br />

(DPD) di Sulawesi Utara, Sulawesi<br />

Selatan dan Nusa Tenggara Timur<br />

tampaknya juga mengarah pada bentuk<br />

desa yang terintegrasi itu. Kedua,<br />

Perspektif peralihan sistem<br />

pemerintahan desa menjadi sistem<br />

pemerintahan adat. Peralihan dari<br />

sistem pemerintahan desa kepada sistem<br />

pemerintahan adat (kenegerian, atau<br />

sebutan lainnya). Tentu akan membawa<br />

suatu unit system sosial. Disini<br />

pemerintah merupakaan unit system<br />

yang mengeluarkan kebijakan,<br />

sedangkan rakyat/masyarakat<br />

merupakan unit yang menerima<br />

kebijakan tersebut, dalam artian<br />

pemerintah sebagai subyek, sedangkan<br />

masyarakat sebagai objek.<br />

Sebagai gambaran dahulu<br />

kenegerian atau berbagai sebutan<br />

lainnya dalam masyarakat Kuantan<br />

Singingi, mempunyai perangkat<br />

pemerintahan adat sendiri (adat besturr),<br />

tetapi sekarang sudah tidak dikenal lagi<br />

pemerintahan adat. Perangkat<br />

pemerintahan negeri terdiri dari :<br />

1. Orang-orang Godang, sebagai<br />

pemangku adat yang membawahi<br />

Penghulu suku.<br />

2. Penghulu, adalah pemimpin suku<br />

atau orang yang ditinggikan<br />

seranting didahulukan selangkah<br />

dan mewarisi pusaka dan<br />

mengawasi anak kemenakan dan<br />

orang kampong.<br />

3. Monti, adalah pemangku adat yang<br />

memelihara norma-norma adat serta<br />

nilai-nilainya dengan tugas<br />

menyelesaikan dan menghukum<br />

silang selisih atau sengketa yang<br />

timbul dikalangan adat negeri.<br />

4. Dubalang, adalah pemangku adat<br />

dengan tugas menghukum dan<br />

mengamankan negeri bila terjadi<br />

huru hara, keributan dan sebagainya.<br />

5. Malin, disebut dengan suluh<br />

bendang negeri, artinya penerang<br />

yaitu orang yang mempunyai ilmu<br />

tentang agama Islam. Dengan tugas<br />

menyelesaikan perselisihan<br />

sepanjang syara’.<br />

Dari temuan lapangan, dari 5 (lima)<br />

Kecamatan yang menjadi sampel, dari<br />

semua desa, kecuali desa eks<br />

Transmigrasi bahwa eksistensi<br />

(keberadaan) institusi adat masih ada<br />

dan terbentuk. Tetapi factual belum<br />

menyentuh eksistensi adat tersebut.<br />

Lembaga adat dalam kenyataan sebagai<br />

organisasi sosial kemasyarakatan<br />

lembaga adat


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

74<br />

Berdasarkan hasil wawancara<br />

dengan tokoh-tokoh adat bahwa<br />

eksistensi institusi adat sampai saat ini<br />

masih eksis di tengah masyarakat<br />

namun sudah sangat terbatas peran dan<br />

fungsi yang dijalankannya, artinya adat<br />

sekarang ini lebih banyak menjalankan<br />

fungsi menyelesaikan selang sengketa<br />

antara anak cucu kemenakana,<br />

disamping fungsi-fungsi seperti acara<br />

adat perkawinan dan fungsi adat<br />

lainnya. Namun dalam bidang yang<br />

berkaitan dengan aspek pemerintahan,<br />

peran adat hamper-hampir boleh<br />

dikatakan, tidak banyak lagi dilibatkan,<br />

namun keterwakilan unsur adat masih<br />

ada dalam keterwakilannya di Lembaga<br />

Badan Permusyawaratan Desa (BPD)<br />

dan itu proporsinya sangat kecil sekali.<br />

Berkaitan dengan untuk<br />

mengembalikan ke Kepemimpinan<br />

Adat, diakui melalui proses :<br />

a) Mendudukkan kembali “Tali Tigo<br />

Sapilin”, (Pemerintah, Adat dan<br />

Agama) dalam tatanan pemerintahan<br />

sekarang ini, sehingga ini tidak<br />

sebagai simbol yang selama ini kita<br />

agungkan, oleh karena itu katanya<br />

perlu duduk bersama dari semua<br />

komponen masyarakat, yang<br />

barangkali perlu difasilitasi oleh<br />

Pemerintah kabupaten.<br />

b) Berkaitan denga diatas, katanya adat<br />

kita sama, namun pemakainya agak<br />

berbeda, oleh karena itu memang<br />

ada kata sepakat, seperti apa model<br />

yang kita pakai untuk Kabupaten<br />

Singingi.<br />

c) Sumber daya manusia, juga masih<br />

menjadi persoalan, apalagi kondisi<br />

masyarakat dan pemerintahan<br />

sekarang sangat jauh berbeda dulu<br />

dan sekarang, apakah adat siap<br />

untuk menyesuaikan diri denga<br />

tuntutan tersebut.<br />

d) Khusus masyarakat Adat Rantau<br />

Singingi sudah merekomendasikan<br />

kemingkinan untuk kembali<br />

kepemerintahan adat tersebut pada<br />

“Musyawarah Besar (Mubes)<br />

Rantau Singingi pada tanggal 25-26<br />

November 2006 di kelurahan Muara<br />

Lembu. Beberapa waktu lalu.<br />

Dari beragam pendapat dari nara<br />

sumber utama (Orang godang dan<br />

Aparatur Pemerintahan Desa), dan<br />

kondisi empirik dapat dinyatakan:<br />

1. Bahwa institusi adat di masyarakat<br />

di Kabupaten Kuantan Singingi,<br />

keberadaannya masih ada dan di<br />

akui sebagai lembaga yang masih<br />

berperan dan dihormati meskipun<br />

peranan adat sekarang ini sangat<br />

terbatas dalam adat. Posisi institusi<br />

adat secara struktur bukan atau tidak<br />

termasuk dalam struktur<br />

Pemerintahan Desa dan posisinya<br />

sebagai institusi atau lembaga<br />

kemasyarakatan. Bagaimana model<br />

yang ingin kita buat, apakah<br />

institusi adat sebagai pemerintahan<br />

desa, atau sebagai insititusi yang<br />

terpisah dari pemerintah desa yang<br />

otonom, atau kombinasi itu<br />

berpeluang dari kesepakatan<br />

bersama.<br />

2. Ada beberapa alternatif model<br />

dalam memfungsikan lembaga adat:<br />

• Institusi tradisional (adat),<br />

dimasukkan kedalam struktur<br />

Pemerintahan Desa. Jadi adat<br />

merupakan bagian dari struktur<br />

pemerintahan desa itu sendiri.<br />

Dalam hal ini adat lebih cocok<br />

melaksanakan<br />

fungsi<br />

kelegislatifan dari pemerintahan<br />

desa.<br />

• Antara institusi adat dengan<br />

birokrasi<br />

dipisahkan<br />

berdasarkan ruang kewenangan<br />

yang bersifat hirarkis. Dalam<br />

hubungan ini ruang kewenangan<br />

dan tugas lembaga adat berada


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

75<br />

diantara masyarakat dengan<br />

pemerintahana desa.<br />

• Lembaga adat dan birokrasi desa<br />

berada secara terpisah dan<br />

memiliki kewenangan dan ruang<br />

aktivitas sendiri. Antara<br />

keduanya tidak perlu<br />

dihubungkan dengan garis<br />

organisatoris. Hanya perlu<br />

dipertegas mana kewenangan<br />

Pemerintahan Desa dan mana<br />

kewenangan adat (DR. R.<br />

Sofyan Samad ; 3)<br />

3. Pada prinsipnya, semua model atau<br />

pola yang di inginkan memiliki<br />

plus-minus (kelebihan dan<br />

kekurangan). Hal mana yang perlu<br />

dipertimbangkan adalah bagaimana<br />

memberikan warna baru dari sistem<br />

yang di inginkan dalam<br />

penyelenggaraan Pemerintahan<br />

Desa, dimana proporsi institusi adat<br />

dalam pemerintahan bisa lebih<br />

berperan dan memiliki<br />

keotonomian.<br />

4. Bahwa peran adat di birokrasi<br />

pemerintahan desa saat ini,<br />

terakomodir di Lembaga Badan<br />

Permusyawaratan Desa (BPD),<br />

sebelumnya perwakilan dan unsur<br />

adat pun sangat kecil proporsinya,<br />

karena pengisian dilembaga tersebut<br />

berdasarkan unsur keterwakilan dari<br />

komponen masyarakat dan jumlah<br />

penduduk, dan peranan adat bahkan<br />

semakin berkurang ketika<br />

dihilangkannya fungsi mengayomi<br />

adat istiadat.<br />

5. Kemungkinan untuk dikembalikan<br />

Sistem Pemerintahan Desa sekarang<br />

ini ke sistem pemerintahan<br />

Kenegerian (adat) memerlukan<br />

proses dan duduk bersama tigo tali<br />

sapilin. Kemauan adat tidak cukup<br />

tanpda ada dukungan politik dari<br />

pemerintahan kabupaten. Untuk itu<br />

perlu ada kajian mendalam baik dari<br />

sisi akademik (teoritik) maupun<br />

kajian empiriknya.<br />

6. Setelah proses dilalui maka<br />

pemerintah membuat aturan atau<br />

payung hokum dan pengaturan<br />

dalam bentuk Peraturan <strong>Daerah</strong><br />

(PERDA) tentang sistem<br />

pemerintahan kenegerian yang<br />

dimaksud, tentu aturan mendetil<br />

seperti tentang sistem yang akan<br />

kita bangun.<br />

7. Harus diakui adat sebagai satu<br />

diantara sistem nilai masyarakat dan<br />

lembaga adat sebagai suatu sistem<br />

sosial, adalah kekayaan buadya<br />

yang tidak ternilai maknanya. Oleh<br />

karena itu kedepan diperlukan<br />

penguatan (capacity building)<br />

lembaga adat supaya bermakna<br />

dalam<br />

penyelenggaraan<br />

pemerintahan desa atau struktur<br />

pemerintahan perlu langkah-langkah<br />

untuk menata kembali.<br />

Pengembalian pengaturan desa agar<br />

tidak uniformmitas (seragam) telah<br />

mempunyai dasar hukum yang kuat,<br />

karena itu telah dijamin dalam peraturan<br />

Perundang-undangan yang berlaku,<br />

terakhir dengan berlakunya Undangundang<br />

Nomor 32 tahun 2004 tentang<br />

Pemerintahan <strong>Daerah</strong>, dimana secara<br />

tegas dinyatakan bahwa pengaturan<br />

desa dapat dilakukan menurut dan<br />

berdasarkan asal usul dan adat istiadat<br />

setempat yang diakui dan dihormati<br />

dalam sistem pemerintahan Negara<br />

kesatuan Republik Indonesia.<br />

Peluang secara normatif untuk<br />

mengembalikan pemerintahan desa<br />

menjadi Pemerintahan Adat (<br />

kampong/nagari) telah dijamin untuk<br />

dapat dilaksanakan, namun secara<br />

kajian empiris hal itu perlu diperkuat<br />

dengan infrasturktur kultur masyarakat<br />

dan fungsionalisasi dari institusi<br />

cultural yang teradapat dalam<br />

masyarakat serta keharmonisan


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

76<br />

hubungan antara Lembaga Adat dengan<br />

Pemerintahan Desa.<br />

Dari hasil wawancara dengan<br />

beberapa tokoh masyarakat desa dan<br />

tokoh adat, berkatan dengan perubahan<br />

desa menjadi kelurahan, ternyata respon<br />

masyarakat tetap memilih desa dari<br />

pada kelurahan. Beberapa alasan kenapa<br />

desa lebih diminati dari pada kelurahan,<br />

antara lain :<br />

1. Konsep desa lebih familier dari pada<br />

kelurahan. Konsep desa identik<br />

dengan konsep ‘otonomi asli’,<br />

sedangkan kelurahan justru<br />

mematikan hak otonomi rakyat,<br />

budaya dan kearifan lokalnya.<br />

2. Desa sebagai organisasi komunitas<br />

lokal, mempunyai pemerintahan<br />

sendiri (self-governing community).<br />

Berarti komunikasi local dapat<br />

membentuk dan menyelenggarakan<br />

pemerintahan sendiri berdasarkan<br />

pranata local, bersifat swadaya dan<br />

otonom. Berarti, dengan status<br />

sebagai desa, maka pemerintahan<br />

adat (nagori) maish dapat<br />

dilaksanakan, tentunya beda dengan<br />

kelurahan.<br />

3. Pemerintaha desa mempunyai<br />

keleluasaan penuh dalam<br />

perencanaan pembangunan dan<br />

anggaran, menyelenggarakan<br />

perlayanan publik serta bertanggung<br />

jawab kepada rakyat desa setempat,<br />

hal ini tentunya berbeda dengan<br />

kelurahan. Sehingga para perangkat<br />

desa sepertinya sudah tidak antusias<br />

lagi membicarakan perubahan status<br />

menjadi kelurahan.<br />

4. Berubahnya desa menjadi kelurahan<br />

di ibukota kecamatan atau<br />

Kabupaten/kota, mengakibatkan<br />

kekayaan milik desa berubah<br />

menjadi milik kelurahan, hal ini<br />

tentunya menjadi pertimbangan<br />

tersendiri bagi masyarakat desa.<br />

5. Harapan warga desa sebenarnya<br />

sangat sederhana dan sangat<br />

manusiawi, yang penting kondisi<br />

dan suasana kehidupan masyarakat<br />

menjadi lebih baik, kondisi ini lebih<br />

dekat dengan desa dari pada<br />

menjadi kelurahan.<br />

Bahkan, jika kita mau berkaca<br />

dari Sumatera Barat, yang justru pernah<br />

mengusulkan agar di kota juga<br />

diberlakukan sistem pemerintahan<br />

terendah yang bernama nagari, bukan<br />

kelurahan. (Kompas, 11 Juni 2004)<br />

SIMPULAN<br />

Adapun kesimpulan dalam<br />

penelitian ini adalah :<br />

1. Penguatan Kelembagaan Desa<br />

Kelembagaan desa yang ada<br />

sekarang ini (Pemerintah Desa dan<br />

BPD) sebagai organisasi formal di<br />

wilayah sampel penelitian, dapat<br />

dikatakan belum optimal<br />

melaksanakan kewenangan, tugas<br />

pokok dan fungsinya sebagaimana<br />

yang diatur didalam peraturan<br />

perundang-undangan yang ada<br />

seperti :<br />

• Belum terlaksananya sejumlah<br />

urusan yang menjadi<br />

kewenangan pemerintah Desa<br />

dan belum optimalnya fungsi<br />

Badan Permusyawaratan Desa<br />

sebagai unsur penyelenggara<br />

pemerintahan desa.<br />

• Belum optimalnya pengisian<br />

buku administrasi desa dan<br />

ketatalaksanaan administrasi<br />

pemerintahan desa.<br />

• Belum terlaksananya dengan<br />

baik penataan personil<br />

pemerintahan desa<br />

• Belum optimalnya penerimaan<br />

dan pengelolaan keuangan desa.


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

77<br />

Dari kondisi di atas, ada beberapa<br />

faktor penyebab antara lain:<br />

a. Masih lemahnya kapabilitas<br />

Kepala Desa dan aparatur desa<br />

beserta BPD.<br />

b. Masih kurang jelasnya perangkat<br />

legisasi/perturan dari supra desa<br />

(kabupaten), baik mengenai<br />

penyerahan sejumlah urusan<br />

yang menjadi kewenangan desa<br />

dan perubahan-perubahan dalam<br />

penataan administrasi<br />

pemerintahan desa.<br />

c. Masih terbatasnya prasarana dan<br />

sarana desa dari Pemerintah<br />

Kabupaten.<br />

d. Masih terbatasnya dana dari<br />

pemerintah kabupaten untuk<br />

memberikan insentif kepada<br />

pemerintah desa.<br />

e. Masih lemahnya kompentensi<br />

dan budaya organisasi dari<br />

aparatur pemerintahan desa<br />

(kinerja, disiplin dan rasa<br />

memiliki dan tanggung jawab).<br />

2. Pengelolaan Dana Desa<br />

• Temuan lapangan, memberikan<br />

indikasi bahwa sebagian besar<br />

desa belum mampu menggali<br />

potensi-potensi yang dimiliki<br />

desa dan belum optimalnya<br />

penerimaan dan pengelolaan<br />

keuangan desa.<br />

• Dengan ini membawa implikasi<br />

desa tidak memiliki kas desa dan<br />

sangat tergantung dari subsidi<br />

dari pemerintah kabupaten<br />

seperti Alokasi Dana Desa<br />

(ADD), pemerintah provinsi dan<br />

berbagai jenis program bantuan<br />

pemerintah lainnya.<br />

• Pemerintah desa belum memiliki<br />

perencanaan yang baik dalam<br />

penyusunan perencanaan<br />

pembangunan desa, disamping<br />

desa juga belum memiliki<br />

perangkat legislasi/peraturan<br />

desa sebagai pedoman kerja.<br />

• Yang perlu menjadi<br />

pertimbangan pihak Pemerintah<br />

kabupaten dan Pemerintah Desa<br />

dalam menyikapi kondisi<br />

tersebut adalah :<br />

1. <strong>Peningkatan</strong> kompetensi<br />

pengelolaan keuangan desa<br />

bagi aparat desa, seperti,<br />

pelatihan, kursus, studi<br />

banding dsb.<br />

2. Pelimpahan kewenangan<br />

oleh pemerintah kabupaten<br />

kepada desa dalam hal pajak<br />

dan retribusi daerah sebagai<br />

sumber pemasukkan<br />

keuangan desa.<br />

3. Pengembangan badan usaha<br />

milik desa (BUMD)<br />

4. Perangkat peraturan dan<br />

petunjuk pelaksanaan<br />

pengelolaan dan pengawasan<br />

Alokasi Dana Desa.<br />

5. Manajemen dan sistem<br />

penganggaran serta<br />

pertanggung jawaban<br />

keuangan desa.<br />

6. Perlu adanya evaluasi<br />

kinerja Pemerintahan Desa<br />

oleh pemerintah Kabupaten<br />

yang selama ini boleh<br />

dikatakan kurang sama<br />

sekali.<br />

3. Hubungan Desa sebagai kecamatan<br />

Pada prinsipnya hubungan desa<br />

dengan kecamatan bukan hubungan<br />

yang bersifat hirarkis (atasanbawahan),<br />

karena desa bersifat<br />

otonom, seperti yang diatur di<br />

dalam UU Nomor 32 tahun 2004,<br />

maupun melalui Peraturan<br />

Pemerintah Nomor 27 tahun 2005<br />

tentang desa, khususnya pasal 1<br />

item 6.<br />

Namun demikian desa tetap<br />

merupakan bagian dari sistem


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

78<br />

pemerintahan di atasnya, pola<br />

hubungan dengan supra<br />

desa/kecamatan tetap ada, seperti<br />

menurut ketentuan pasal 126 ayat<br />

(3) huruf f UU Nomor 32 tahun<br />

2004, menentukan bahwa camat<br />

bertugas membina penyelenggaraan<br />

pemerintahan desa dan / atau<br />

kelurahan. Pola hubungannya<br />

bersifat koordinatif dan fasilitatif.<br />

Kondisi di lapangan bahwa<br />

pemerintah desa kurang melakukan<br />

koordinasi dengan pemerintah<br />

kecamatan dalam penyelenggaraan<br />

pemerintahan desa.<br />

4. Perspektif peralihan Sistem<br />

Pemerintahan Desa ke Adat<br />

(Kenegerian), yaitu :<br />

• Bahwa institusi adat di<br />

masyarakat di Kabupaten<br />

Kuantan Singingi keberadaannya<br />

masih eksis (ada) dan diakui<br />

sebagai lembaga yang masih<br />

berperan dan dihormati<br />

meskipun peranan adat sekarang<br />

ini sangat terbatas dalam internal<br />

adat saja.<br />

• Bahwa peranan adat di birokrasi<br />

pemerintahan desa saat ini,<br />

terakomodir di Lembaga Badan<br />

Permusyawaratan Desa (BPD)<br />

sebelumnya Perwakilan dari<br />

unsur adat pun sangat kecil<br />

proporsinya, karena pengisian di<br />

lembaga tersebut berdasarkan<br />

unsur keterwakilan dari<br />

komponen masyarakat dan<br />

jumlah penduduk dan fungsi<br />

Kelembagaan Permusyawaratan<br />

ini dalam melestarikan adat<br />

istiadat bahkan semakin<br />

berkurang.<br />

Dari temuan lapangan fakta<br />

menunjukkan, bahwa belum adanya<br />

keinginan kuat/prakarsa dari<br />

Pemerintah Desa bersama Badan<br />

Permusyawaratan Desa (BPD),<br />

terutama desa dalam ibukota<br />

kecamatan untuk diubah statusnya<br />

menjadi kelurahan. Ada beberapa<br />

pertimbangan yang mendasarinya :<br />

• Akan hilangnya keotonomian<br />

desa, (desa tidak lagi otonomi)<br />

ini berarti hilangnya<br />

karakteristik desa berdasarkan<br />

hak asal usul.<br />

• Konsekuensinya dengan<br />

sendirinya adat dan nilai-nilai<br />

adat akan hilang karena akan<br />

digantikan oleh Birokrasi<br />

Pemerintahan kelurahan yang<br />

nota bene adalah diisi oleh<br />

aparatur Pemerintahan (PNS).<br />

• Dengan sendirinya akan hilang<br />

kewenangan asli atau urusan<br />

yang menjadi kewenangan desa<br />

berdasarkan hak asal usul,<br />

termasuk di dalamnya<br />

kewenangan dalam mengolah<br />

keuangan sendiri dan<br />

sebagainya.<br />

• Bahkan untuk mewujudkan<br />

otonomi desa atau kemandirian<br />

desa perlu diwancanakan<br />

kelurahan yang ada dapat<br />

dirubah statusnya menjadi desa,<br />

dan peluang itu semakin terbuka<br />

melalui UU Nomor 32 tahun<br />

2004.<br />

Rekomendasi<br />

1. <strong>Peningkatan</strong> Kapasitas tata<br />

kepemimpinan pemerintahan desa<br />

dengan berbagai arah kebijakan.<br />

2. <strong>Peningkatan</strong> kapasitas tata<br />

pemerintahan desa, seperti<br />

meningkatkan<br />

kapasitas<br />

Pemerintahan desa (seperti<br />

optimaslisasi kewenangan,<br />

penguatan<br />

kelembagaan<br />

pemerintahan desa, pembinaan<br />

aparatur desa, peningkatan<br />

efektivitas fungsi pengawasan dan<br />

sebagainya).


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

79<br />

3. <strong>Peningkatan</strong> kapasitas tata<br />

kemasyarakatan,<br />

seperti<br />

peningkatan kapasitas sumber daya<br />

manusia (SDM), kapasitas sosial<br />

politik, ekonomi, sosial budaya dan<br />

sebagainya.<br />

4. Pelimpahan kewenangan desa tidak<br />

hanya kewenangan melekat<br />

(atributif) yang mengatur dan<br />

mengrus kepentingan masyarakat<br />

setempat, tetapi kewenangan asalusul<br />

berupa mengelola asset desa.<br />

5. Ada tiga model yang bisa<br />

dikembangkan oleh pemerintah<br />

kabupaten Kuantan Singingi, yaitu:<br />

Institusi adat dimasukkan kedalam<br />

struktur pemerintahan desa, institusi<br />

adat dan birokrasi dipisahkan<br />

berdasarkan kewenangan yang<br />

bersifat hirarkis, lembaga adat dan<br />

birokrasi desa secara terpisah<br />

memiliki kewenangan sendiri dan<br />

tidak dihubungkan secara<br />

organisatoris. Masing-masing model<br />

memiliki plus minus. Dalam hal ini<br />

model ketiga yaitu lembaga adat dan<br />

birokrasi secara terpisah dan<br />

memiliki kewenangan sendiri dan<br />

tidak dihubungkan secara<br />

organisatoris bisa diakomodir<br />

dengan catatan memperkuat<br />

infrastruktur cultural masyarakat<br />

dan fungsionalisasi dari institusi<br />

cultural yang terdapat dalam<br />

masyarakat serta keharmonisan<br />

hubungan antara lembaga adat<br />

dengan pemerintahan desa.<br />

6. Kedepan yang perlu lebih<br />

ditingkatkan dalam pola hubungan<br />

desa dengan kecamatan adalah:<br />

• Perlu ada kejelasan hubungan<br />

dalam bentuk aturan normative<br />

(Perda) antara kecamatan<br />

dengan desa oleh Pemerintah<br />

kabupaten serta kewenangan apa<br />

saja yang dilakukan oleh desa,<br />

supaya tidak terjadi tumpang<br />

tindih dengan kewenangan<br />

kecamatan.<br />

• Perlu lagi intensifitas pembinaan<br />

terhadap desa dari pihak<br />

kecamatan sesuai dengan ruang<br />

lingkup pola hubungan yang<br />

dimaksud. Dalam peraturan<br />

perundang-undangan maupun<br />

peraturan pemerintah.<br />

7. Sebagai catatan “Tim Kajian”,<br />

alternatif dan perspektif peralihan ke<br />

“Sistem pemerintahan adat, bukan<br />

berarti melakukan perombakan<br />

tatanan sistem pemerintahan yang<br />

ada diserahkan kepada adat, akan<br />

tetapi membangun suatu sistem<br />

yang sinerji antara Kelembagaan<br />

formal dengan institusi adat,<br />

sehingga konsep Tigo tali sapilin<br />

sebagai suatu kekuatan yang berakar<br />

dari budaya masyarakat bisa hidup<br />

kembali dalam berbagai aspek<br />

dimasyarakat.<br />

8. Untuk mengimplementasikan itu<br />

semua, perlu kemauan politik dan<br />

keseriusan, terutama dari<br />

pemerintah kabupaten, Dewan<br />

Perwakilan rakyat <strong>Daerah</strong> dengan<br />

dukungan semua komponen elemen<br />

masyarakat, termasuk lembaga adat<br />

dan unsur terkait dan diperlukan<br />

paying hokum dalam bentuk<br />

Peratutan <strong>Daerah</strong> (Perda) sebagai<br />

kekuatan hukum.<br />

9. Harus diakui adat sebagai satu<br />

diantara sistem nilai masyarakat dan<br />

lemabaga adat sebagai suatu sistem<br />

sosial, adalah kekayaan budaya<br />

yang tidak ternilai maknanya. Oleh<br />

karena itu kedepan diperlukan<br />

penguatan (capacity building)<br />

lembaga adat.<br />

Khusus desa yang berada dalam<br />

ibukota kecamatan, yang belum<br />

dimekarkan menjadi kelurahan, perlu<br />

pertimbangan yang matang untuk<br />

perubahan status keotonomiannya, baik


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

80<br />

dari sisi pemerintahan desa dan<br />

masyarakatnya maupun komitmen<br />

Pemerintah kabupaten, mengingat<br />

perubahan perturan perundangundangan<br />

yang sering berubah.<br />

1. Pertimbangan diatas didasari, kalau<br />

memang adanya wacana untuk<br />

kembali kesistem pemerintahan<br />

kenegerian yang berakar dari kultur<br />

budaya masyarakat kuantan<br />

singingi, seperti masa lalu.<br />

2. Pemerintahan kabupaten, kecamatan<br />

maupun pemerintahan desa itu<br />

sendiri perlu mensosialisasikan<br />

kepada masyarakat perlu tidaknya<br />

akselerasi perubahan status desa<br />

tersebut (manfaat dan kerugiannya).<br />

DAFTAR RUJUKAN<br />

Coralin Bryant & White Louise, 1987,<br />

Manajemen Pembanguna untuk<br />

Negara Berkembang, Jakarta :<br />

LP3ES<br />

Eko, Sutoro, 2006, Mempertegas Posisi<br />

Politik dan Kewenangan Desa,<br />

Forum<br />

Penembangan<br />

Pembaharuan Desa (FPPD) dan<br />

Democraic Reform Support<br />

Program (DRSP) USAID, Jakarta<br />

3 – 4 Juli 2006<br />

Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, 2004,<br />

Reclaiming Development: An<br />

Alternatif Economic Policy<br />

Manual, Zed Books, London<br />

Kompas, 11 Juni 2004<br />

Maschab, Mashuri 1992, Pemerintahan<br />

Desa di Indonesia, PAU Studi<br />

Ilmu Sosial, Yogyakarta.<br />

Pratikno, 2003, Desentralisasi, Pilihan<br />

yang tidak pernah Final, Program<br />

Studi Ilmu Politik UGM,<br />

Yogyakarta.<br />

Rondinelli, Dennis A and Cheema,<br />

Shabir G, 1998, Implementing<br />

Decentralixation Polecies, An<br />

Introduction, Sage Publikation,<br />

Beverly Hills, California.<br />

Yunus, Yasril, 2005, Pemerintahan<br />

Nagari Di Era Orde Baru<br />

Persepsi Aparatur Pemerintah<br />

dan Masyarakat Terhadap<br />

Pemerintahan Nagari dan<br />

Otoritas Tradisonal Minangkabau<br />

Dalam Kaitannya dengan Prospek<br />

Otonomi <strong>Daerah</strong> di Sumtera<br />

Barat, Tesis, Pascasarjana<br />

Universitas Brawijaya, Malang.<br />

Soemardjan, Selo, Otonomi Desa Adat,<br />

Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 2000<br />

Samad, R Syofyan, Konvergensi Antara<br />

Institusi Adat dan Birokrasi dalam<br />

Struktur Pemerintahan,<br />

Pekanbaru, 2000<br />

Hamidy, UU, Masyarakat Adat<br />

Kuantan Singing, UIR Press,<br />

2000.<br />

Pedoman Pemutakhiran Adat Kuantan<br />

Singingi, Badan Pemutakhiran<br />

Adat (BPA) Kuantan Singingi,<br />

2000<br />

Lauer, Robert, H.Perspektif Perubahan<br />

Sosial, Bina Aksara, Jakarta,<br />

1989.<br />

Undang-undang Nomor 5 tahun 1979,<br />

tentang Pemerintahan Desa<br />

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999<br />

tentang Pemerintahan <strong>Daerah</strong><br />

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004<br />

tentang Pemerintahan <strong>Daerah</strong><br />

Perturan Pemerintah nomor 72 tahun<br />

2005 tentang Desa<br />

Perturan Pemerintah nomor 73 tahun<br />

2005 tentang Kelurahan


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

81<br />

PETUNJUK BAGI PENULIS<br />

Macam dan Isi Artikel<br />

Artikel yang dipublikasi Jurnal<br />

Kebijakan Publik (JKP) meliputi hasil<br />

penelitian tentang masalah kebijakan<br />

administrasi publik, baik pada lembagalembaga<br />

pemerintah , swasta atau<br />

masyarakat. Artikel yang dimuat<br />

merupakan artikel hasil penelitian yang<br />

belum pernah diterbitkan dalam media<br />

cetak lain.<br />

Artikel diketik 1 spasi dalam bahasa<br />

Indonesia atau bahasa Inggris dengan<br />

ukuran kertas kuarto dengan jumlah<br />

minimal 10 halaman dan maksimal 20<br />

halaman dalam bentuk hard and soft<br />

copy sebanyak 2 eksamplar. Naskah<br />

(file) yang dibuat dalam bentuk soft copy<br />

dimasukan dalam program Microsoft<br />

word dilengkapi dengan nama penulis,<br />

judul artikel, alamat lembaga, kode pos,<br />

telepon dan fax. Naskah dapat dikirim<br />

lewat internet atau via pos sesuai dengan<br />

alamat publikasi Jurnal Kebijakan<br />

Publik (JKP). Naskah dikirim paling<br />

lambat 1 bulan sebelum penerbitan,<br />

yaitu bulan maret dan oktober pada<br />

setiap tahunnya.<br />

Alamat Penyunting dan Tata Usaha :<br />

Laboraturium Program Studi Ilmu<br />

Administrasi Negara Fisip Unri Kampus<br />

Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru<br />

Pekanbaru. Telp/Fax : (0761) 63277 E-<br />

mail : jkp_ana@yahoo.co.id<br />

Format<br />

• Judul. Maksimal 14 kata dalam<br />

bahasa Indonesia atau 10 kata dalam<br />

bahasa Inggris, lugas dan menarik.<br />

• Nama Penulis. Lengkapi dengan<br />

nama dan alamat lembaga tempat<br />

kegiatan penelitian, kode pos,<br />

telp/fax yang digunakan untuk<br />

korespondensi dengan penulis.<br />

• Abstrak. Merupakan miniatur isi<br />

keseluruhan tulisan meliputi latar<br />

belakang, masalah, tujuan, metode,<br />

hasil dan simpulan. Ditulis dalam<br />

bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.<br />

• Key Words. Memuat konsep yang<br />

terkandung dalam artikel, ditulis<br />

dalam bahasa Indonesia dan bahasa<br />

Inggris terdiri dari 3 – 5 konsep.<br />

• Pendahuluan. Memuat latar<br />

belakang, masalah penelitian, tujuan<br />

penelitian dan landasan teori<br />

penelitian yang dapat mendukung<br />

pemecahan masalah dan tujuan<br />

penelitian, dimana penulisannya<br />

tidak mencantumkan sub judul.<br />

• Metode. Menjelaskan bagaimana<br />

prosedur penelitian dilakukan<br />

meliputi : disaian penelitian,<br />

populasi, sampel, instrumen, skala<br />

pengukuran dan analisas data.<br />

• Hasil. Memuat pembahasan dari<br />

hasil penelitian yang dilengkapi<br />

dengan ilustrasi (grafik, tabel,<br />

gambar dan foto). Selain itu hasil ini<br />

merupakan penjelasan dan analisa<br />

yang mengkaitkan dengan konsep<br />

dasar dan membandingkan dengan<br />

hasil penelitian orang lain yang<br />

relevan.<br />

• Simpulan. Ditulis dalam bentuk<br />

essay yang memuat asensi dari hasil<br />

penelitian dan bukan rangkuman.<br />

• Daftar Rujukan. Daftar rujukan<br />

diharapkan 70 % bersumber dari<br />

pustaka primer (jurnal, hasil<br />

penelitian, skripsi, tesis dan<br />

desertasi) dan 30 % bersumber dari<br />

pustaka sekunder (buku dan<br />

makalah). Ditulis diurutkan<br />

berdasarkan alpabet dengan tahun<br />

terbitan 10 tahun terakhir.


*Pengkajian Penataan Administrasi Pemerintahan Desa<br />

Di Kabupaten Kuantan Singingi<br />

82

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!