ilmu hukum - perpustakaan universitas riau
ilmu hukum - perpustakaan universitas riau
ilmu hukum - perpustakaan universitas riau
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
I<br />
Jurnal<br />
ILMU<br />
HUKUM<br />
JURNAL ILMU HUKUM (JIH) adalah jurnal ilmiah berkala yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum<br />
Universitas Riau dua kali setahun pada bulan Februari dan Agustus. JIH memiliki visi menjadi jurnal<br />
ilmiah yang terdepan dalam pengembangan <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> serta harmonisasi <strong>hukum</strong> positif Indonesia.<br />
Redaksi JIH menerima naskah artikel laporan penelitian, artikel lepas dan resensi buku yang sesuai<br />
dengan visi JIH. Naskah yang dikirim terdiri dari 15 sampai 20 halaman kertas A4 dengan spasi ganda.<br />
Naskah dilengkapi dengan biodata penulis. ALAMAT REDAKSI: LABORATORIUM HUKUM, Fakultas<br />
<strong>hukum</strong> Universitas Riau Jalan Pattimura Nomor 9 Pekanbaru. Telp 0761-22539, Email:<br />
jurnal<strong>ilmu</strong><strong>hukum</strong>@gmail.com, jurnal<strong>ilmu</strong><strong>hukum</strong>@yahoo.com.<br />
PENANGGUNG JAWAB<br />
Firdaus<br />
KETUA PENYUNTING<br />
Erdianto<br />
WAKIL KETUA PENYUNTING<br />
Erdiansyah<br />
PENYUNTING PELAKSANA<br />
Rahmad Hendra<br />
Emilda Firdaus<br />
Mukhlis R<br />
Widia Edorita<br />
STAF PELAKSANA<br />
Editor : Davit Rahmadan<br />
Keuangan & Distribusi : Rezmia Febrina<br />
DESAIN & LAYOUT<br />
T. Andi Rinaldi<br />
PERCETAKAN<br />
Alaf Riau, Hp. 08127679365
VOLUME<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
II<br />
D A F T A R I S I<br />
HUKUM PERDATA/BISNIS<br />
HALAMAN 123<br />
HALAMAN 135<br />
HALAMAN 147<br />
HALAMAN 155<br />
HALAMAN 166<br />
HALAMAN 179<br />
HALAMAN 188<br />
Pemegang Polis Asuransi dan Kedudukan Hukumnya<br />
Sunarmi Jalan Bunga Cempaka IA No. 4 Medan<br />
Pengakuan dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat atas Tanah<br />
Ulayat dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional<br />
Hayatul Ismi Jalan Sirsak 3 Blok C-3 No. 21 Perum Pandau Permai Pekanbaru<br />
Arah Kebijakan Hukum Politik Ekonomi<br />
Mardalena Hanifah Jalan Thamrin III No. 4 Gobah Pekanbaru<br />
Hukum Waris Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender<br />
Maryati Bachtiar Jalan Cemara No. 59 Pekanbaru<br />
Sistem Hukum Perkawinan pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila<br />
Tengku Erwinsyahbana Asrama Singgasana I Kodam I/BB, Jl. Prasaja<br />
No. K-281 Medan<br />
Tinjauan Filosofis Kepastian Hukum Bagi Pemerintah Daerah dalam<br />
Implementasi Undang-undang Penanaman Modal<br />
Ramlan Jalan Subur I No. 14 Sari Reji Kec. Medan Polonia-Medan<br />
Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Otentik yang Penghadapnya<br />
Mempergunakan Identitas Palsu<br />
Rahmad Hendra Jalan Hang Jebat Gg Kadiran No. 5 Pekanbaru<br />
HALAMAN 201 Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No. 5<br />
Tahun 1960<br />
Ulfia Hasanah Jalan Garuda Tangkerang Tengah Marpoyan Damai Pekanbaru<br />
HALAMAN 213<br />
HALAMAN 228<br />
Penyelesaian Sengketa Lahan Hutan Melalui Proses Mediasi<br />
Riska Fitriani Jalan Durian Sukajadi Pekanbaru<br />
Analisis Yuridis Terhadap Hak-hak Atas Tanah yang Berada di Atas Hak<br />
Pengelolaan Pelabuhan<br />
Lovelly Dwina Dahen Perum. Palm Regency Blok C No.7 Panam-Pekanbaru
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
III<br />
PENGANTAR REDAKSI<br />
Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kepada Allah SWT, karena Jurnal Ilmu Hukum<br />
Fakultas Hukum Universitas Riau Edisi Keempat atau Volume 2 No. 2 bulan<br />
Februari 2012 berhasil diterbitkan pada waktunya. Hal tersebut tidak terlepas<br />
dari kebijakan Pimpinan Fakultas Universitas Riau yang mewajibkan setiap dosen<br />
yang melakukan penelitian dengan dana dari Fakultas untuk menyerahkan hasil<br />
penelitian dalam bentuk artikel ilmiah kepada Redaksi. Dengan kebijakan tersebut,<br />
Redaksi tidak akan mengalami hambatan dalam hal ketersediaan artikel yang<br />
akan diterbitkan, bahkan proses seleksi terhadap artikel yang masuk akan<br />
berlangsung ketat.<br />
Seperti edisi ketiga, maka di edisi keempat ini Redaksi mengalokasikan minimal<br />
40 % artikel yang masuk dari luar lingkungan FH UR. Untuk edisi ini artikel dari<br />
luar FH UR berasal dari Sunarmi (Guru Besar FH USU), Tengku Erwisyahbana<br />
(UMSU), Ramlan (UMSU), dan Lovelly Dwina Dahen (UIN Suska Riau).<br />
Adapun thema yang diangkat untuk jurnal edisi kali ini adalah Hukum Perdata/<br />
Bisnis. Tulisan yang diangkat sebagai tulisan pembuka adalah makalah yang ditulis<br />
Sunarmi dengan judul Pemegang Polis Asuransi dan Kedudukan Hukumnya,<br />
dan diikuti secara berturut-turut oleh Hayatul Ismi dengan Pengakuan dan<br />
Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat atas Tanah Ulayat dalam Upaya<br />
Pembaharuan Hukum Nasional, Hj. Mardalena Hanifah dengan judul Arah<br />
Kebijakan Politik Hukum Ekonomi, dan Maryati Bachtiar dengan judul Hukum<br />
Waris Islam dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender. Berikutnya<br />
adalah artikel dari Tengku Erwinsyahbana dengan judul Sistem Hukum<br />
Perkawinan pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila, Ramlan, dengan<br />
judul Tinjauan Filosofis Aspek Kepastian Hukum antara Pemerintah Dengan<br />
Pemerintah Daerah dalam Implementasi Undang-undang Penanaman Modal<br />
di Indonesia, Rahmad Hendra dengan judul Tanggungjawab Notaris Terhadap<br />
Akta Otentik yang Penghadapnya Mempergunakan Identitas Palsu di Kota<br />
Pekanbaru. Dan Ulfia Hasanah dengan judul Status Kepemilikan Tanah Hasil<br />
Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar<br />
Pokok-pokok Agraria dihubungkan dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang<br />
Pendaftaran Tanah.<br />
Sebagai penutup edisi ini diisi dengan artikel Penyelesaian Sengketa Lahan Hutan<br />
Melalui Proses Mediasi di Kabupaten Siak yang ditulis Riska Fitriani, dan<br />
Analisis Yuridis Terhadap Hak-hak Atas Tanah yang Berada di Atas Hak<br />
Pengelolaan Pelabuhan oleh Lovelly Dwina Dahen.
VOLUME<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
IV<br />
Atas kontribusi menyumbangkan tulisan, Redaksi mengucapkan terimakasih<br />
atas mereka yang telah sudi menyumbangkan tulisan untuk edisi kedua ini.<br />
Redaksi juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setingi-tingginya<br />
kepada para mitra bestari yang telah berkenan mensortir makalah yang dimuat<br />
pada edisi ini, dan juga pimpinan Fakultas Hukum Universitas Riau atas segala<br />
dukungan fasilitas dan dana hingga jurnal ini dapat diterbitkan.<br />
Akhir kata, dengan terbitnya Jurnal Ilmiah ini hendaknya sajian yang disuguhkan<br />
kepada pembaca menjadi sesuatu yang bermanfaat.<br />
Pekanbaru, Februari 2012
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
123<br />
PEMEGANG POLIS ASURANSI DAN<br />
KEDUDUKAN HUKUMNYA<br />
SUNARMI<br />
Jalan Bunga Cempaka IA No. 4 Medan<br />
Abstrak<br />
Asuransi memegang peranan penting, karena di<br />
samping memberikan perlindungan terhadap kemungkinan-kemungkinan<br />
kerugian yang akan terjadi,<br />
asuransi memberikan dorongan yang besar<br />
sekali ke arah perkembangan ekonomi lainnya.<br />
Sayangnya dalam praktik jaminan perlindungan<br />
<strong>hukum</strong> terhadap pemegang polis asuransi kurang<br />
terlindungi. Permasalahan yang selalu dialami oleh<br />
pemegang polis adalah sulitnya memperoleh pembayaran<br />
ganti kerugian ketika evenement terjadi.<br />
Adapun penyebab mengapa polis tidak dibayar oleh<br />
perusahaan asuransi adalah karena kurangnya pengetahuan<br />
masyarakat itu sendiri, selain juga karena<br />
faktor agen asuransi.<br />
Abstract<br />
Insurance plays an important role, because in addition<br />
to providing protection against the possibilities of<br />
losses that will happen, insurance gives a huge boost<br />
to the development of other economies. Unfortunately<br />
in practice guarantees legal protection of insurance<br />
policyholders are less protected. The problems experienced<br />
by the policyholder is always the difficulty<br />
of obtaining payment of compensation when evenement<br />
happen. The reason why the policy is not paid<br />
by insurance companies is due to a lack of knowledge<br />
of the community itself, but also because of the<br />
insurance agent.<br />
Kata kunci: Asuransi, polis, tertanggung.<br />
A. Pendahuluan<br />
Kurun waktu 1998–2003, pertumbuhan industri asuransi di Asia jauh lebih tinggi<br />
dibanding negara-negara maju yang dipengaruhi oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi<br />
dan suku bunga yang relatif rendah. Bahkan khusus untuk Indonesia, industri asuransi<br />
pada 2012 mendatang diprediksi akan mengalami pertumbuhan sekitar 25% hingga 30%.<br />
Kondisi ini mempengaruhi perusahaan-perusahaan asuransi untuk berlomba-lomba<br />
menawarkan berbagai produk terbaru yang diharapkan menjadi salah satu sarana investasi<br />
jangka panjang. Perkawinan antara dunia perbankan, asuransi dan investasi menciptakan<br />
trend inovasi produk-produk asuransi. Perusahaan asuransi bekerjasama dengan perbankan<br />
dalam menawarkan produk tersebut sehingga muncul bancassurance.<br />
Sarana investasi yang paling populer untuk menyiapkan dana investasi adalah asuransi.<br />
Ada faktor kepastian dan jaminan dalam asuransi. Permasalahan yang selalu dialami oleh<br />
pemegang polis adalah sulitnya memperoleh pembayaran ganti kerugian ketika evenement<br />
terjadi. Padahal tujuan utama seorang pemegang polis atau nasabah mengikatkan diri<br />
dalam perjanjian asuransi adalah untuk mengalihkan risiko sehingga akan menerima ganti<br />
kerugian bila terjadi suatu peristiwa yang tidak diduga yang menimpa objek asuransi.<br />
Dalam kegiatan ekonomi secara keseluruhan, asuransi memegang peranan penting,<br />
karena di samping memberikan perlindungan terhadap kemungkinan-kemungkinan<br />
kerugian yang akan terjadi, asuransi memberikan dorongan yang besar sekali ke arah<br />
perkembangan ekonomi lainnya.<br />
Asuransi telah menjadi bagian yang ensensial dari setiap perusahaan. Investment<br />
banker misalnya, akan merasa lebih yakin penilaiannya terhadap proyek-proyek tertentu
SUNARMI<br />
VOLUME 124<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
apabila semua risiko proyek itu telah dilindungi oleh asuransi. Dengan demikian,<br />
perusahaan-perusahaan asuransi yang tugas utamanya adalah memberikan perlindungan<br />
kepada perusahaan-perusahaan lain telah menjadi suatu institusi ekonomi yang mempunyai<br />
peranan yang tidak kecil.<br />
Saat ini perkembangan asuransi menunjukan perkembangan yang cukup signifikan.<br />
Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri jasa asuransi menawarkan berbagai<br />
macam produk asuransi mulai dari jasa asuransi kerugian, asuransi jiwa, asuransi<br />
kesehatan, asuransi tenaga kerja dan lain-lain sampai dengan asuransi yang memiliki unsur<br />
tabungan seperti asuransi jiwa unit link.<br />
Kurun waktu 1998–2003, pertumbuhan industri asuransi di Asia jauh lebih tinggi dibanding<br />
negara-negara maju. Menurut laporan Swiss Re Economic Research and<br />
Consulting, pada periode itu, pertumbuhan premi asuransi jiwa rata-rata 10,2 % setiap<br />
tahun. Negara maju hanya tumbuh 2,6 %. Negara-negara di Asia Tenggara, termasuk<br />
Indonesia mencatat pertumbuhan premi yang cukup signifikan didorong oleh peningkatan<br />
perumbuhan ekonomi dan suku bunga yang relatif rendah. Salah satu faktor pemicu<br />
pertumbuhan industri asuransi Asia, adalah masih rendahnya penetrasi polis asuransi<br />
dibanding negara maju, kesadaran akan proteksi terhadap perusahaan maupun keluarga<br />
sudah mature. Terjadi akumulasi dana yang cukup besar pada asuransi jiwa dan dana<br />
pensiun. 1<br />
Tampaknya industri asuransi tidak mau ketinggalan dengan lembaga finansial lainnya.<br />
Perusahaan-perusahaan asuransi berlomba-lomba menawarkan berbagai porduk terbaru.<br />
Asuransi diharapkan dapat menjadi salah satu sarana investasi jangka panjang. Perkawinan<br />
antara dunia perbankan, asuransi dan investasi menciptakan tren inovasi produk-produk<br />
asuransi. Kini asuransi mulai dilirik kaum berduit sebagai salah satu bentuk investasi<br />
yang menjanjikan plus proteksi atas risiko kematian. Dulu orang hanya mengenal asuransi<br />
jiwa dan asuransi ganti kerugian. Dana pendidikan anak, dana pensiun dan kebutuhan<br />
jangka panjang lain dapat disiapkan melalui produk-produk asuransi. Biasanya perusahaan<br />
asuransi bekerjasama dengan perbankan dalam menawarkan produk tersebut sehingga<br />
muncul bancassurance. Biasanya produk asuransi yang mengandung nilai investasi untuk<br />
kebutuhan jangka panjang ditujukan untuk masyarakat menengah ke atas. Karena selain<br />
untuk jangka panjang, juga menyangkut jumlah dana yang tidak sedikit. Sarana investasi<br />
yang paling populer untuk menyiapkan dana investasi adalah asuransi. Ada faktor kepastian<br />
dan jaminan dalam asuransi. Malah ada produk asuransi pendidikan anak dalam<br />
dollar Amerika.<br />
Terkait dengan bidang asuransi mencakup lapangan yang sangat luas, Pasal 247 Kitab<br />
Undang-Undang Hukum Dagang membagi jenis asuransi sebagai berikut:<br />
Pertanggungan itu antara lain dapat mengenai bahaya kebakaran, bahaya yang<br />
mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipaneni, jiwa satu atau beberapa orang,<br />
bahaya laut dan perbudakan, bahaya yang mengancam pengangkutan di daratan, di<br />
sungai, dan di perairan darat.<br />
Asuransi menurut pasal ini dapat terbagi menjadi:<br />
1<br />
“Äsuransi Global Kepincut Pesona Asia”, Investor Edisi 135, 15 – 28 Nopember 2005
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
125<br />
1. Asuransi Kerugian (Schade Verzekering), dimana Penanggung berjanji akan<br />
mengganti kerugian tertentu yang diderita tertanggung.<br />
2. Asuransi sejumlah Uang (Sommen Verzekering), dimana Penanggung berjanji akan<br />
membayar uang yang jumlahnya sudah ditentukan sebelumnya tanpa disandarkan<br />
pada suatu kerugian tertentu.<br />
Persamaannnya adalah, bahwa kedua jenis asuransi ini merupakan persetujuan untunguntungan.<br />
Yaitu Penanggung berjanji memenuhi prestasi keuangan apabila suatu peristiwa<br />
terjadi. Perbedaannya, pada Asuransi Kerugian ganti rugi yang dibayarkan penanggung<br />
sebesar kerugian yang diderita. Pada Asuransi Sejumlah uang, yang dibayarkan Penanggung<br />
adalah sejumlah yang sudah dijanjikan sebelumnya, dan tidak didasarkan kerugian yang<br />
diderita. Asuransi adalah sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan<br />
menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya. 2<br />
Usaha yang berkenaan dengan asuransi ada 2 (dua) jenis yaitu:<br />
a. Usaha di bidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi (insurance busines).<br />
Perusahaan yang menjalankan usaha asuransi disebut Perusahaan asuransi<br />
(insurance company).<br />
b. Usaha di bidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut usaha penunjang usaha<br />
asuransi (Complementary insurance business). Perusahaan yang menjalankan usaha<br />
penunjang usaha asuransi disebut Perusahaan Penunjang Asuransi (complementary<br />
insurance company). 3<br />
Usaha asuransi pada saat ini dapat dibagi ke dalam beberapa cabang yang berdiri<br />
sendiri. Yang paling umum dari semua pembagian ini adalah antara asuransi swasta dan<br />
asuransi pemerintah. Luasnya cakupan kegiatan asuransi cukup mempengaruhi meningkatnya<br />
jumlah pemegang polis di Indonesia. Apalagi saat ini perusahaan-perusahaan<br />
asuransi berlomba-lomba menawarkan berbagai produk-produk asuransi yang tujuannya<br />
untuk menarik minat masyarakat berasuransi.<br />
Maraknya berbagai produk yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi<br />
sayangnya tidak diikuti dengan jaminan perlindungan <strong>hukum</strong> terhadap pemegang polis<br />
asuransi. Permasalahan yang selalu dialami oleh pemegang polis adalah sulitnya memperoleh<br />
pembayaran ganti kerugian ketika evenement terjadi. Padahal tujuan utama<br />
seorang pemegang polis atau nasabah mengikatkan diri adalam perjanjian asuransi adalah<br />
untuk menerima ganti kerugian bila terjadi suatu peristiwa yang tidak diduga menimpa<br />
objek asuransi. Pasal 246 KUHD secara tegas menentukan bahwa :<br />
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung<br />
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi,<br />
untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau<br />
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungin akan dideritanya karena suatu<br />
peristiwa yang tak tertentu.<br />
Berdasarkan definisi tersebut terlihat adanya unsur-unsur dari asuransi, yaitu:<br />
1. Penanggung dan Tertanggung sebagai para pihak.<br />
2<br />
http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi, diakses tgl 8 Maret 2007<br />
3<br />
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2002, hlm. 6.
SUNARMI<br />
VOLUME 126<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
2. Premi, yaitu sejumlah uang yang harus dibayar Tertanggung kepada Penanggung<br />
3. Peristiwa tertentu, yaitu peristiwa yang belum tentu terjadi.<br />
4. Ganti rugi, perjanjian asuransi memang diadakan untuk memberikan ganti rugi,<br />
namun ganti rugi hanya dikenal dalam Asuransi Kerugian. Dalam Asuransi Jiwa<br />
tidak dikenal ganti rugi, karena kehilangan nyawa seseorang tidak dapat dianggap<br />
sebagai suatu kerugian, tetapi merupakan suatu musibah yang pasti terjadi, hanya<br />
saja waktunya tidak diketahui.<br />
Keempat unsur di atas adalah unsur mutlak dalam asuransi, tanpa salah satu unsur<br />
di atas tidak dapat disebut sebagai Perjanjian Asuransi. Salah satu unsur penting dalam<br />
peristiwa asuransi dalam Pasal 246 KUHDagang adalah ganti kerugian yang objeknya<br />
adalah harta kekayaan. 4<br />
Sebetulnya tujuan dari semua asuransi ialah untuk menutup suatu kerugian yang<br />
diderita selaku akibat dari suatu peristiwa yang bersangkutan dan yang belum dapat<br />
ditentukan semula akan terjadi atau tidak. 5 Unsur ganti kerugian sebagai unsur penting<br />
dalam asuransi sayangnya belum berjalan sesuai dengan tujuan pemegang polis asuransi<br />
mengikatkan diri dalam perjanjian asuransi. Pemegang polis asuransi mengalami kesulitan<br />
ketika akan mengajukan klaim ganti kerugian. Perusahaan asuransi selaku penanggung<br />
selalu mengajukan berbagai macam alasan sebagai dasar untuk tidak membayar klaim<br />
ganti kerugian yang diajukan oleh pemegang polis. Hal ini menjadi salah satu sebab<br />
mengapa masih banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran untuk berasuransi.<br />
B. Sulitnya Pembayaran Klaim Ganti Kerugian<br />
Salah satu penyebab mengapa polis tidak dibayar oleh perusahaan asuransi adalah<br />
karena kurangnya pengetahuan masyarakat itu sendiri, selain juga karena faktor agen<br />
asuransi. Mira Amalia, Ketua Harian YLKI mengatakan dari catatan YLKI, pengaduan<br />
itu antara lain klaim ditolak, prosedur permohonan klaim dipersulit, perusahaan tidak<br />
memiliki dana untuk membayar klaim, atau perusahaan tidak jelas lagi rimbanya. 6 Banyak<br />
masyarakat lebih mempercayai omongan agen daripada fakta tertulis hitam di atas putih.<br />
Semestinya konsumen lebih mempercayai apa yang tertulis di atas kertas. Bila perlu melakukan<br />
konfirmasi ke perusahaan apakah brosur yang diberikan agen itu benar. Kenyataan<br />
bahwa ujung tombak penetrasi asuransi berada di agen membuat regulator dan<br />
asosiasi perlu melakukan berbagai pembenahan. Misalnya dengan mengharuskan agen<br />
memiliki lisensi atau sertifikasi keagenan. Ini merupakan salah satu cara menyaring agen<br />
agar tidak serampangan.<br />
Ketidaktahuan konsumen dan kurang profesionalnya agen kerap membuahkan persoalan<br />
di kemudian hari. Mereka yang terlanjur membeli polis tidak bisa lagi berbuat<br />
banyak ketika terjadi ketidaksesuaian antara yang dijanjikan dengan kenyataan yang diterima.<br />
7 Padahal konsumen asuransi mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi,<br />
4<br />
Ibid, hlm.9.<br />
5<br />
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, 1981, hlm. 4.<br />
6<br />
“Bila janji tidak ditepati”, Investor, Edisi 140, 7 – 20 Februari 2006.<br />
7<br />
Kontan No. 18 Tahun X, 6 Februari 2006.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
127<br />
ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai<br />
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 8<br />
Ketika terjadi komplain dari konsumen asuransi, apakah karena terjadi misseling,<br />
misrepresentasi, atau uang premi dibawa kabur agen, maka perusahaan asuransi harus<br />
bertanggung jawab secara moral dan <strong>hukum</strong> kepada konsumen, selama memang dibuktikan<br />
konsumen telah melakukan pembayaran resmi. Namun perusahaan asuransi juga<br />
tidak bisa selalu dipersalahkan karena yang dipercayai adalah apa yang dinyatakan dalam<br />
Surat Permintaan Asuransi Jiwa (SPAJ).<br />
Dalam parkteknya ada nasabah yang misalnya pernah mengidap penyakit tertentu,<br />
atau pernah menjalani opname, tapi tidak disebutkan dalam SPAJ. Sehingga ketika terjadi<br />
klaim, dan perusahaan asuransi melakukan investigasi ternyata berbeda dengan apa yang<br />
tertera di SPAJ, maka dia tidak mendapat klaim. Karena asuransi itu menganut asas itikad<br />
baik, dan saling percaya bahwa konsumen jujur dan perusahaan asuransi percaya.<br />
Kadang karena bisnis asuransi adalah bisnis kepercayaan, maka kadangkala nasabah yang<br />
justru melakukan penipuan.<br />
Terjadinya kesulitan perusahaan membayarkan kewajibannya bisa terjadi karena<br />
kesalahan dalam menghitung cadangan. Kesalahan ini ibarat bola salju yang makin lama<br />
makin besar. Akibatnya kewajiban perusahaan menjadi lebih besar dari aset yang dimiliki.<br />
Regulator mengalami kesulitan untuk bersikap karena menjadi dilematis. Kalau bertindak<br />
tegas nasib karyawan dan pemegang polis dikhawatirkan makin terlantar. Persoalannya,<br />
di industri asuransi belum ada lembaga penjamin polis seperti di perbankan yang sudah<br />
memiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jika perusahaan asuransi ditutup, tidak<br />
akan ada dana untuk mengganti hak-hak pemegang polis. Kesempatan yang diberikan<br />
egulator terhadap pemegang saham perusahaan asuransi yang bermasalah benar-benar<br />
bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kinerja. 9<br />
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya mengembalikan dana nasabah di bank yang<br />
tutup dalam bentuk Giro, Deposito dan Tabungan. Selain tiga bentuk simpanan itu, LPS<br />
tidak memberikan pengembalian dana nasabah yang disimpan di bank yang banknya tutup<br />
atau bankrut. Bentuk simpanan lain yaitu reksadana, obligasi dan asuransi tidak termasuk<br />
LPS. LPS akan membayar klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan dari bank yang<br />
dicabut izin usahanya. LPS akan menentukan simpanan yang layak bayar setelah melalui<br />
proses verifikasi selambat-lambatnya 90 hari kerja sejak izin usaha bank dicabut. 10<br />
Selain itu yang menjadi salah satu kelemahan yang merugikan kepentingan pemegang<br />
polis adalah bahwa isi kontrak asuransi di samping memuat bahasa-bahasa <strong>hukum</strong>, juga<br />
sangat teknis dan spesifik dimana pada umumnya sangat sulit untuk memahami isi polis<br />
asuransi. Jangankan pihak tertanggung, banyak pelaku dalam perusahaan perasuransian<br />
juga kurang memahami isi kontrak. 11 Perlu diketahui bahwa salah satu asas yang sangat<br />
penting dalam <strong>hukum</strong> perikatan di Indonesia adalah asas kebebasan berkontrak. Asas ini<br />
menjiwai semua perjanjian yang dilakukan termasuk perjanjian dalam polis asuransi yang<br />
8<br />
http://www.<strong>hukum</strong>online.com/klinik_detail.aspid=3250, diakses tgl 8 Maret 2007)<br />
9<br />
Investor Edisi 132, 27 September– 10 Oktober 2005<br />
10<br />
“LPS hanya Jamin Giro, Tabungan dan Deposito, Waspada, Sabtu 6 Mei 2006<br />
11<br />
“Kepercayaan Publik dan Kasus Dalam Perasuransian”, Kompas, 24 Juni 2004.
SUNARMI<br />
VOLUME 128<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
harus didasarkan pada prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang diatur<br />
dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Hal mana dalam prinsip ini tidak hanya memberikan<br />
kebebasan pada para pihak yang berkontrak untuk mengajukan klausul perikatan yang<br />
disepakati, tetapi juga memberikan kebebasan bagi para pihak tersebut untuk menyepakati<br />
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (arbitrase/mediasi) sebagai alternatif penyelesaian<br />
sengketa bilamana atas permasalahan yang bersangkutan tidak dapat diselesaikan secara<br />
musyawarah oleh para pihak dalam melaksanakan klausul dalam kontrak tersebut. Selain<br />
itu kontrak asuransi harus dijelaskan dengan baik kepada calon tertanggung, bagaimana<br />
hak dan kewajiban tertanggung berkaitan dengan kontrak, apa akibatnya apabila tertanggung<br />
melanggar ketentuan yang ada dalam polis. Untuk dapat memahami polis atau<br />
kontrak, perlu dimengerti perjanjian pertanggungan dari polis asuransi itu sendiri. Oleh<br />
karena itu, ada baiknya diberi penjelasan perihal perjanjian asuransi ini. Dari kalimat<br />
permulaan sudah jelas bahwa ada dua hal yang penting dari polis ini adalah pembayaran<br />
premi tertentu dan disetujuinya pasal-pasal dan ketentuan-ketentuan selanjutnya. Kelalaian<br />
membayar premi atau tidak mematuhi ketentuan-ketentuan tersebut berarti melalaikan<br />
kewajiban dan dapat menyebabkan tidak berlakunya polis atau kontrak itu jika sampai<br />
perusahaan asuransi memberitahukan pembatalannya. 12<br />
Polis merupakan dokumen yang berisi kesepakatan antara pihak tertanggung dan<br />
penanggung (pihak asuransi) berkenaan dengan risiko yang hendak dipertanggungkan.<br />
Polis adalah bukti perjanjian penutupan asuransi tersebut. Standar polis biasanya terdiri<br />
atas:<br />
1. Schedule (ikhtisar pertanggungan). Berisi hal-hal pokok yang perlu diketahui oleh<br />
tertanggung<br />
2. Judul Polis<br />
3. Pembukaan<br />
4. Penjaminan (operative clause)<br />
5. Pengecualian<br />
6. Tanda tangan pihak penanggung<br />
7. Uraian<br />
Keterangan mengenai tertanggung dan obyek yang diasuransikan dapat dilihat pada<br />
dokumen asli maupun duplikat ikhtisar polis. Pihak asuransi menyarankan tertanggung<br />
meluangkan waktu untuk mempelajari isi polis yang telah diterima sehingga dapat diketahui<br />
secara jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak terutama pada saat terjadi klaim. 13<br />
Mengingat sulitnya memperoleh pembayaran ganti kerugian maka tertanggung sebelum<br />
membeli polis asuransi harus hati-hati. Mengonsumsi asuransi jangan hanya diukur dari<br />
rendahnya premi, adanya hubungan pertemanan, perusahaan asuransi yang selalu muncul<br />
di iklan. Mengukur kinerja perusahaan asuransi adalah sesuatu yang sulit karena banyak<br />
faktor tehnis yang harus diukur. Untuk memilih produk dan perusahaan asuransi yang<br />
baik, dapat diminta jasa konsultan asuransi atau menggunakan jasa broker asuransi.<br />
Meskipun broker asuransi tiak menanggung risiko atas klaim asuransi, sesuai dengan<br />
ketentuan peraturan/ketentuan perundang-undangan, maka broker asuransi tetap<br />
12<br />
A. Hasmy Ali, Bidang Usaha Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 42.<br />
13<br />
http://www.danamas.com/asuransi/edu_lifepolis.asp, diakses tgl 2 Oktober 2006.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
129<br />
memiliki potential liability atas penempatan asuransi yang dilakukannya kepada perusahaan<br />
asuransi.<br />
Apabila broker asuransi melakukan kesalahan dalam proses penutupan asuransi dan<br />
karena kesalahannya klaim asuransi yang diderita tertanggung ditolak oleh perusahaan<br />
asuransi, maka peraturan/undang-undang yang ada mengatakan broker asuransi harus<br />
bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita tertanggung.<br />
Permasalahan lain yang turut menyebabkan sulitnya pembayaran klaim ganti kerugian<br />
adalah terjadinya perubahan terhadap polis asuransi. Apabila obyek yang diasuransikan<br />
atau alamat tertanggung mengalami perubahan selama masa berlakunya polis<br />
sehingga terjadi, misalnya perubahan fungsi/okupasi, nilai atau kepemilikan, tertanggung<br />
wajib memberitahukan hal ini kepada pihak asuransi. Hal ini akan sangat membantu<br />
seandainya terjadi klaim.<br />
a. Perubahan risiko. Fungsi/okupasi obyek pertanggungan berubah, misalnya dari<br />
rumah tinggal menjadi gudang, atau dari mobil pribadi menjadi mobil sewaan.<br />
b. Perubahan nilai. Nilai obyek pertanggungan telah berubah, dan tertanggung ingin<br />
mendapatkan penggantian yang sesuai jika terjadi klaim.<br />
c. Pindah tempat dan pindah tangan<br />
1) Pindah tempat, maksudnya: Jika obyek pertanggungan mengalami perpindahan<br />
lokasi.<br />
2) Pindah tangan, maksudnya: Pertanggungan akan batal jika barang yang diasuransikan<br />
pindah tangan, baik berdasarkan suatu persetujuan atau karena<br />
tertanggung meninggal dunia. Kecuali jika penanggung setuju akan perubahan<br />
tersebut.<br />
Perubahan-perubahan tersebut akan dicatatkan pada lembaran kertas yang disebut<br />
dengan endorsemen. Endorsemen lazim digunakan karena menerbitkan suatu polis baru<br />
untuk menampung perubahan tersebut akan memakan biaya dan waktu.<br />
C. Tidak Diterapkannya Prinsip-Prinsip Asuransi<br />
Faktor penyebab lain yang menyebabkan tidak dibayarkannya klaim asuransi adalah<br />
tidak diterapkannya prinsip-prinsip asuransi. Dalam bisnis asuransi, ada beberapa prinsip<br />
asuransi yang harus diterapkan baik oleh perusahaan asuransi maupun oleh masyarakat<br />
tertanggung. Setidaknya prinsip dimaksud antara lain adalah prinsip insurable interest,<br />
prinsip utmost good faith, prinsip indemnity, prinsip proximate cause, dan prinsip kontribusi<br />
dan subrogasi.<br />
Prinsip insurable interest (prinsip kepetingan yang dapat diasuransikan) mensyaratkan<br />
adanya kepentingan dalam mengadakan perjanjian asuransi dengan akibat<br />
batalnya perjanjian asuransi apabila tidak dipenuhi. 14 Penanggung tidak diwajibkan untuk<br />
membayar ganti kerugian apabila asuransi itu diadakan tanpa adanya kepentingan dari si<br />
tertanggung terhadap objek yang diasuransikan. Dasar <strong>hukum</strong>nya dapat dilihat dalam<br />
Pasal 250 KUHDagang yang menyebutkan:<br />
14<br />
M. Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, Penerbit Alumni, Bandung, 1993, hlm. 55.
SUNARMI<br />
VOLUME 130<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Apabila seseorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila<br />
seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya<br />
pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan<br />
itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti kerugian.<br />
Harus ada insurable interest (kepentingan yang dapat diasuransikan) untuk mencegah<br />
sebuah kontrak polis diperjual-belikan atau sebagai bahan taruhan. Kalau tidak terdapat<br />
insurable interest pada sebuah kontrak asuransi, maka asuransi tersebut akan dianggap<br />
tidak sah (void). Oleh karena itu, pihak asuransi secara berkala akan meninjau penunjukan<br />
ahli waris apakah sesuai atau tidak. 15<br />
Prinsip Utmost Good Faith (UGF) menyebutkan bahwa si tertanggung harus memberitahukan<br />
semua fakta material dengan benar, lengkap, serta sukarela atas obyek pertanggungan,<br />
baik diminta maupun tidak diminta. Sebaliknya, perusahaan asuransi pun<br />
dituntut harus menunjukkan itikad baiknya kepada si tertanggung. Dasar <strong>hukum</strong> prinsip<br />
ini dapat dilihat dalam Pasal 251, 252, 276, 277 KUH Dagang. Sangat sering terjadi kesalah<br />
pahaman atas penerapan prinsip ini dalam bisnis asuransi. UGF seolah-olah hanya menjadi<br />
kewajiban si tertanggung, dimana si penanggung tidak perlu menunjukkan itikad baik<br />
kepada penanggung.<br />
Banyak penanggung mengklaim bahwa tertanggung tidak melaksanakan itikad baik<br />
(breach of utmost good faith) sehingga klaim asuransi yang diajukan ditolak oleh perusahaan<br />
asuransi. Dalam banyak kasus, seringkali niat baik tertanggung untuk melakukan<br />
sesuatu berkaitan dengan klaim asuransi menjadi bumerang karena ternyata tindakan<br />
itu melanggar ketentuan kontrak. Di sisi lain tertanggung tidak mengetahui bahwa niat<br />
baik itu ternyata menjadi tidak baik, yang pada akhirnya menjadi grey area timbulnya<br />
konflik dari tuntutan ganti kerugian.<br />
Dalam asuransi dikenal istilah cintra proferentem of rule. Artinya, apabila ada kalimat<br />
dalam kontrak yang menimbulkan keragu-raguan atas definisinya (ambiguity), maka yang<br />
bertanggung jawab adalah pihak yang membuat kontrak. Karena kontrak asuransi dibuat<br />
oleh perusahaan asuransi, maka akibat ambiguity perusahaan asuransi harus menjadi<br />
pihak yang bersalah dan yang bertanggung jawab.<br />
Prinsip indemnity (Prinsip keseimbangan) yang mengandung arti bahwa penggantian<br />
kerugian dari si penanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh<br />
diderita oleh tertanggung. Prinsip ini tidak dimuat secara tegas dalam KUH Dagang tetapi<br />
terkandung dalam beberapa pasal seperti Pasal 246, 250, 252, 253, 254, 271, 277, 278,<br />
280, 284 KUH Dagang.<br />
Prinsip proximate cause yang diartikan sebagai sebab dari kerugian itu adalah<br />
peristiwa yang mendahului kerugian itu secara urutan kronologis terletak terdekat pada<br />
kerugian itu. Prinsip proximate cause ini merupakan sebagian dari prinsip sebab akibat<br />
(causaliteit principle) yang menentukan bahwa timbulnya kewajiban penanggung untuk<br />
mengganti kerugiaan kepada tertanggung apabila peristiwa yang menjadi sebab timbulnya<br />
kerugian itu disebutkan dalam polis. Ada 3 pendapat untuk menentukan sebab timbulnya<br />
kerugian dalam perjanjian asuransi yaitu:<br />
15<br />
http://www.danamas.com/asuransi/edulifepolis.asp, diakses tgl 2 Oktober 2006.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
131<br />
a. Causa Proxima<br />
b. Tiap-tiap peristiwa yang dianggap sebagai conditio sine qua non terhadap kerugian<br />
c. Causa Remota bahwa peristiwa yang menjadi sebab dari timbulnya kerugian itu ialah<br />
peristiwa yang terjauh. Ajaran ini merupakan lanjutan dari pemecahan suatu ajaran<br />
yang disebut “sebab adequate” yang mengemukakan bahwa dipandang sebagai sebab<br />
yang menimbulkan kerugian itu ialah peristiwa yang pantas berdasarkan ukuran<br />
pengalaman harus menimbulkan kerugian itu.<br />
Prinsip kontribusi yang muncul dalam asuransi berganda (double insurance) yaitu<br />
bila polis ditandatangani oleh beberapa penanggung, maka masing-masing penanggung<br />
memberikan kontribusi menurut imbangan jumlah yang sudah mereka tandatangani dalam<br />
polis asuransi, memikul hanya harga yang sebenarnya dari kerugian yang diderita tertanggung.<br />
Prinsip subrogasi yaitu prinsip yang didasarkan pada Pasal 284 KUHDagang yang<br />
menentukan :<br />
Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan,<br />
menggantikan kedudukan si tertanggung dalam segala hak yang<br />
diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan timbulnya kerugian<br />
tersebut. Dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan<br />
yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga.<br />
Prinsip subrogasi ini didasarkan pada sifat perjanjian asuransi sebagai suatu perjanjian<br />
penggantian kerugian yang didasarkan asas indemniteit. Oleh karena itu pembentuk<br />
Undang-undang mencegah adanya penyelewengan dan menentukan di dalam Pasal 284<br />
KUHD, bahwa penanggung yang telah membayar kerugian dari suatu benda yang dipertanggungkan,<br />
mendapat semua hak-hak yang ada pada si tertanggung terhadap orang<br />
ketiga mengenai kerugian itu. Dan selanjutnya dalam anak kalimat ditentukan bahwa<br />
tertanggung bertanggung jawab untuk tiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan<br />
hak dari penanggung terhadap orang-orang ketiga. 16<br />
Tidak dijalankannya prinsip-prinsip asuransi di atas turut menyebabkan sulitnya<br />
pembayaran ganti kerugian terhadap pemegang polis asuransi. Dalam rangka mencegah<br />
permasalahan di atas pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 412/<br />
KMK 06.2003 tentang Test Uji Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test), bagi<br />
pemegang saham, komisaris, dan direksi usaha perasuransian.<br />
Dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 412/KMK 06.2003 tentang Test<br />
Uji Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test), bagi pemegang saham, komisaris, dan<br />
direksi usaha perasuransian maka ada 2 aspek yang akan dinilai, yaitu kompetensi dan<br />
integritas. Adanya Test Uji Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test) diharapkan<br />
organ perusahaan asuransi dapat mengelola perusahaan sesuai dengan prinsip fiduciary<br />
duties yang pada akhirnya dapat memberikan jaminan perlindungan <strong>hukum</strong> bagi pemegang<br />
polis asuransi. Apalagi saat ini banya produk-produk asuransi yang selain memberikan<br />
ganti kerugian jika terjadi risiko juga sekaligus menawarkan investasi bagi pemegang polis<br />
16<br />
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum<br />
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, hlm. 75.
SUNARMI<br />
VOLUME 132<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
seperti asuransi unit link. Namun seperti produk asuransi yang lain kadangkala asuransi<br />
jenis ini juga merugikan nasabahnya disebabkan kurangnya pengetahuan pemegang polis.<br />
Asuransi yang menunjukkan perkembangan yang signifikan adalah asuransi unit link.<br />
Unit link adalah turunan produk asuransi yang memberikan manfaat investasi kepada<br />
pemegang polisnya. Ini terjadi karena penerbit unit link juga menginvestasikan sebagian<br />
uang premi asuransi ke berbagai instrumen investasi seperti obligasi. Jenis asuransi ini<br />
banyak diminati masyarakat disebabkan banyaknya keuntungan yang akan di dapat<br />
nasabah. Nasabah juga dapat menggelembungkan dananya alias berinvestasi melalui<br />
produk tersebut. Selain perlindungan diri, keuntungan yang bisa di dapat dari produk ini,<br />
yaitu bisa untuk pengembangan dana. Ada berbagai variant instrument investasi yang<br />
bisa dipilih nasabah, seperti cash fund rupiah, fixed income fund rupiah, balance fund<br />
rupiah, dan managed fund US dollar. Selain itu, nasabah dapat menambah cakupan<br />
perlindungan asuransi jiwa yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan.<br />
Namun para pemegang polis asuransi baru bisa menikmati laba dari hasil investasinya<br />
dalam jangka menengah ( 3 – 5 tahun) dan jangka panjang (diatas 5 tahun). Kalau mau<br />
investasi untuk satu tahun dan langsung mau diambil, sangat tidak disarankan untuk<br />
ambil unit link. Jika pemegang polis nekat menarik dananya sebelum jangka waktu itu,<br />
perusahaan asuransi biasanya akan mengenakan penalti (surrender penalty) yang lumayan<br />
besar. Surrende penalty baru hilang setelah 5 tahun. Penalti itu berturut-turut mulai<br />
dari tahun pertama 6 %, kemudian tahun berikutnya 5 %, 4 %, 3 % dan 2 %. Cuma dalam<br />
kondisi darurat, perusahaan-perusahaan asuransi tu biasanya juga menawarkan skema<br />
untuk melakukan perpindahan. Biasanya si agen penjual akan menawari nasabahnya<br />
melakukan switching (perpindahan dana) untuk menjaga kemungkinan kerugian yang<br />
lebih besar. Sebelum membeli sebuah produk unit link, sebaiknya ditanyakan seluk beluk<br />
produk itu secara detil. Soalnya, varian produk unit link sangat banyak.<br />
Menyangkut penyetoran premi, misalnya ada yang menentukan cukup sekali setor,<br />
ada pula yang menerapkan sistem setoran bertahap. Jenis asuransi yang diberikan juga,<br />
tidak melulu asuransi jiwa. Portofolio investasinya juga sudah pasti tidak sama. Harus<br />
juga ditanyakan cara membaca hasil kinerja unit link yang diumumkan di koran-koran.<br />
Pasalnya, para manajer investasi memang melaporkan perkembangan investasi mereka<br />
dalam bentuk harga unit link perunit – mirip nilai aktiva bersih (NAB) perunit reksadana.<br />
Tapi pengumumnya tidak standar. Ada yang mengumumkan harga perunit secara berkala<br />
mingguan, harian atau dua kali dalam seminggu.<br />
Metode pelaporan yang berbeda-beda ini membuat kita kebingungan pada saat ingin<br />
membandingkan hasil investasi unti link yang satu dengan yang lain. Tak ada salahnya<br />
menanyakan juga metode penghitungan investasinya jika dana pemegang polis diinvestasikan<br />
di obligasi. Pasalnya, pengelolaan portofoplio investasi unit link tidak setransparan<br />
reksadana. Akibatnya, tidak ada yang bisa menjamin penilaian portofolio<br />
obligasi mereka sudah mencerminkan nilai pasar (market to market). Ini memang<br />
tergantung manajer investasinya. Jadi kalau memilih produk unit link perhatikan juga<br />
siapa manajer investasinya. Produk unit link seperti Equity Protection merupakan solusi<br />
berinvestasi pada instrumen saham, dengan jaminan pengembalian investasi awal pada<br />
akhir kontrak. Investasi dana dalam equity protection ini akan ditempatkan dalam instru-
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
133<br />
men saham melalui Manulife Dana Ekuitas yang akan dikelola oleh Manajer investasi<br />
Manulife Aset Manajemen Indonesia.<br />
Pemegang polis selaku konsumen merasa dijanjikan hasil investasi yang cukup menarik<br />
bila membeli produk tersebut, nyatanya ketika terjadi gonjang-ganjing di pasar reksadana,<br />
produk ini ikut terkena dampaknya, sehingga dana investasi yang dimiliki konsumen malah<br />
turun. Konsumen kurang paham dan agen kurang menjelaskan lebih rinci risiko dari produk<br />
tersebut. Padahal unit link itu investasi yang ada proteksinya, bukan proteksi yang<br />
memiliki investasi. 17<br />
D. Peran Regulator<br />
Menghadapi permasalahan di bidang asuransi, regulator memiliki peranan penting.<br />
Dari segi pengawasan, ada dua pendekatan yang bisa dipakai oleh regulator yaitu<br />
compliance approach dan risk base supervisison (RBS). Bila dikaitkan dengan risiko maka<br />
RBS bisa dilakukan untuk mengukur tingkat risiko perusahaan, ukurannya, misalnya RBC.<br />
Juga bisa dilihat dari banyaknya pengaduan yang masuk terhadap perusahaan. Mesti<br />
dicermati perusahaan-perusahaan yang banyak menerima pengaduan dari tertanggungnya<br />
yang disebabkan dari agen atau staff internal perusahaan.<br />
Regulator belum cukup transparan untuk misalnya mengumumkan kepada masyarakat<br />
agar tidak membeli asuransi dari perusahaan X atau mengumumkan perusahaan X tidak<br />
boleh beroperasi lagi. Semestinya ada tindak lanjut setelah pencabutan izin, apa yang<br />
mesti dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.<br />
Perusahaan-perusahaan yang dalam pengawasan memang diberi kesempatan untuk<br />
memperbaiki kondisi perusahaannya. Bahkan regulator pun mencoba membantu menjembatani<br />
persoalan masing-masing perusahaan. Namun memang tidak mudah mencari<br />
investor bagi perusahaan yang kondisinya sedang sekarat. Untuk itu keberadaan Biro<br />
Mediasi diharapkan bisa menjembatani persoalan antara nasabah dan perusahaan.<br />
E. Penutup<br />
Beradasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara yuridis,<br />
kedudukan <strong>hukum</strong> pemegang polis asuransi adalah orang yang merupakan tertanggung<br />
yang berhak menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena<br />
suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungin<br />
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.<br />
Perjanjian dalam polis asuransi yang harus didasarkan pada prinsip kebebasan<br />
berkontrak (freedom of contract) yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Hal mana<br />
dalam prinsip ini tidak hanya memberikan kebebasan pada para pihak yang berkontrak<br />
untuk mengajukan klausul perikatan yang disepakati, tetapi juga memberikan kebebasan<br />
bagi para pihak tersebut untuk menyepakati penyelesaian sengketa di luar pengadilan<br />
(arbitrase/mediasi) sebagai alternatif penyelesaian sengketa bilamana atas permasalahan<br />
yang bersangkutan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah oleh para pihak dalam<br />
melaksanakan klausul dalam kontrak tersebut.<br />
17<br />
“Bila Janji Tidak Ditepati”, Investor, Edisi 140, 7 – 20 Februari 2006
SUNARMI<br />
VOLUME 134<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Adapun penyebab mengapa polis tidak dibayar oleh perusahaan asuransi adalah karena<br />
kurangnya pengetahuan masyarakat itu sendiri, selain juga karena faktor agen asuransi.<br />
F. Daftar Pustaka<br />
1. Buku-buku<br />
A.Hasmy Ali, Bidang Usaha Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 1993.<br />
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2002.<br />
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang Fakultas<br />
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980.<br />
M. Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, Penerbit Alumni, Bandung, 1993.<br />
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, 1981.<br />
2. Media Massa<br />
Äsuransi Global Kepincut Pesona Asia”, Investor, Edisi 135, 15 – 28 Nopember 2005<br />
“Bila janji tidak ditepati”, Investor, Edisi 140, 7 – 20 Februari 2006<br />
Investor Edisi 132, 27 September – 10 Oktober 2005<br />
“Kepercayaan Publik dan Kasus Dalam Perasuransian”Kompas, 24 Juni 2004<br />
Kontan No. 18 Tahun X, 6 Februari 2006<br />
“LPS hanya Jamin Giro, Tabungan dan Deposito, Waspada, Sabtu 6 Mei 2006.<br />
3. Internet<br />
http://www.danamas.com/asuransi/edu_lifepolis.asp, diakses tgl 2 Oktober 2006.<br />
http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi, diakses tgl 8 Maret 2007.<br />
http://www.<strong>hukum</strong>online.com/klinik_detail.aspid=3250, diakses tgl 8 Maret 2007.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
135<br />
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK<br />
MASYARAKAT ADAT ATAS TANAH ULAYAT DALAM<br />
UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM NASIONAL<br />
HAYATUL ISMI<br />
Jalan Sirsak 3 Blok C-3 No. 21 Perum Pandau Permai Pekanbaru<br />
Abstrak<br />
Tanah merupakan salah satu asset negara yang<br />
sangat mendasar, karena negara dan bangsa hidup<br />
dan berkembang di atas tanah. Masyarakat Indonesia<br />
memposisikan tanah pada kedudukan yang<br />
sangat penting, khususnya dalam masyarakat <strong>hukum</strong><br />
adat. Namun, hingga kini belum tersedia informasi<br />
lengkap tentang bentang dan batas-batas wilayah<br />
yang dicakup oleh berbagai <strong>hukum</strong> adat tersebut<br />
dalam hal ini hak ulayat. Tulisan ini menyimpulkan<br />
bahwa Hak Ulayat dalam tata <strong>hukum</strong> Indonesia<br />
diakui melalui Undang-Undang Pokok Agraria<br />
yaitu UU No. 5 Tahun 1960. Dalam hal ini pengakuan<br />
yang diberikan Negara bersifat bersyarat dan<br />
berlapis karena pengakuan yang diberikan terhadap<br />
masyarakat <strong>hukum</strong> adat dan hak ulayatnya.<br />
Abstract<br />
Land is represent one of very elementary asset state<br />
of Indonesia because state and nation live and expand<br />
above land. Society of Indonesia position land at<br />
dimiciling very important, specially in society customary<br />
law. But, up to now not yet been made available<br />
by a complete information about unfolding and<br />
boundary of region included by various customary<br />
law of mentioned in this matter is customary right for<br />
land rights. This handing out conclude that rights of<br />
customary right for land in law of Indonesia confessed<br />
by through fundamental code of agraria that is UU<br />
No. 5 year 1960. In this case the confession given by<br />
a state have the character of laminated and condtional<br />
because confession given to society of customary law<br />
and rights of its customary right for land.<br />
Kata kunci: Tanah adat, hak ulayat, agraria.<br />
.<br />
A. Pendahuluan<br />
Dalam salah satu perspektif <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> dikatakan bahwa <strong>hukum</strong> yang baik adalah<br />
<strong>hukum</strong> yang diciptakan berdasarkan <strong>hukum</strong> yang hidup di masyarakat (living law). Hal<br />
ini sebagaimana yang dikemukakan Von Savigny dengan Mahzab Sejarah-nya, bahwa<br />
<strong>hukum</strong> merupakan fenomena historis, sehingga keberadaan setiap <strong>hukum</strong> adalah berbeda,<br />
bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya <strong>hukum</strong>, serta <strong>hukum</strong> harus dipandang<br />
sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa. Mahzab ini diperkuat oleh Mahzab<br />
Sociological Jurisprudence yang mengetengahkan tentang pentingnya living law. 1 Maka<br />
dalam hal ini <strong>hukum</strong> adat yang dikenal di Indonesia merupakan pengaruh pandangan<br />
mahzab ini. Yang dilanjutkan oleh para pemikir-pemikir Belanda yang mengemukakan<br />
tentang teori-teori <strong>hukum</strong> adat seperti halnya Van Vollenhoven, Ter Haar, Holleman dan<br />
lainnya.<br />
Di Indonesia hal ini ditegaskan di dalam Konstitusi Negara yang mengakui keberadaan<br />
masyarakat <strong>hukum</strong> adat, yaitu di dalam Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 yang<br />
menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat<br />
<strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan<br />
perkembangan bangsa, masyarakat, dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik<br />
Indonesia yang diatur dalan undang-undang. Penghormatan dan pengakuan terhadap<br />
1<br />
Lili Rasjidi dan Ira Tahania, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,<br />
2004, hlm. 67.
HAYATUL ISMI<br />
VOLUME 136<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
eksistensi hak ulayat sebagai hak asasi manusia secara implicit juga diatur dalam Pasal<br />
28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (hasil perubahan ke dua UUD 1945 yang<br />
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000), bahwa identitas budaya dan hak masyarakat<br />
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, selanjutnya<br />
pada hasil perubahan ke empat UUD 1945, dalam Pasal 32 ayat (1) bahwa Negara<br />
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin<br />
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.<br />
Oleh sebab itu Negara perlu mengelola kemajuan masyarakat agar menjadi potensi<br />
dalam pembangunan, bukan menjadi penyebab konflik. Fakta tentang terjadinya konflik<br />
disebabkan oleh kurang profesionalnya pemerintah dalam menata norma <strong>hukum</strong> sehingga<br />
menyebabkan terjadinya konflik dalam pengelolaan sumber daya alam di beberapa<br />
kawasan di Indonesia. 2 Selain konflik normative antara <strong>hukum</strong> adat dengan <strong>hukum</strong> Negara,<br />
juga mengenai penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam yang menjadi<br />
pendukung kehidupan manusia, ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelompok,<br />
kegiatan ekonomi masyarakat dan kepadatan penduduk. Oleh sebab itu hendaknya<br />
pemerintah merespon dan mengakomodasi prinsip-prinsip <strong>hukum</strong> lokal ke dalam tatanan<br />
<strong>hukum</strong> nasional, sebagaimana dimaksud oleh Philips Nonnet dan Selznick, dengan<br />
merespon prinsip-prinsip <strong>hukum</strong> adat yang diformulasikan dan dikemas dalam <strong>hukum</strong><br />
nasional.<br />
Tanah merupakan salah satu asset Negara Indonesia yang sangat mendasar, karena<br />
Negara dan bangsa hidup dan berkembang di atas tanah, masyarakat Indonesia memposisikan<br />
tanah pada kedudukan yang sangat penting, karena merupakan faktor utama<br />
dalam peningkatan produktivitas agraria.<br />
Tingginya konflik dalam pengelolaan sumber daya alam yang terjadi di Indonesia<br />
disebabkan oleh adanya ketimpangan penguasaan Sumber Daya Alam antara masyarakat<br />
yang menggantungkan hidup dari ekonomi berbasis sumber daya alam (tanah, hutan,<br />
perkebunan, jasa lingkungan, dan lainnya) dengan penguasaan oleh sector bisnis, khususnya<br />
sektor industri skala besar perkebunan,kehutanan dan pertambangan dan penguasaan<br />
oleh Negara yang masih menegasi adanya hak-hak masyarakat adat.<br />
Berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga yang bergerak di<br />
bidang isu pengelolaan sumber daya alam yang bernama Scale-Up diperoleh data bahwa<br />
sector perkebunan mendominasi konflik dibandingkan sector kehutanan ataupun<br />
pertambangan. Salah satu pemicu substansial konflik adalah pengabaian terhadap hakhak<br />
masyarakat adat terutama terkait dengan pengakuan terhadap tanah ulayat, masih<br />
terdapat kekacauan regulasi tentang pertanahan.<br />
Menyadari pentingnya manfaat tanah bagi manusia,sekaligus merupakan sumber<br />
daya alam yang tidak dapat diperbarui (unrenewable), maka dalam hal ini pemerintah<br />
dalam berbagai kebijakan telah berupaya untuk mengatur pemanfaatan, peruntukan dan<br />
penggunaan demi kemaslahatan umat manusia di Indonesia. Kebijakan tersebut selain<br />
ditetapkan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang dasar 1945, yang mengatakan bahwa<br />
2<br />
Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas<br />
Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2010, hlm. vii.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
137<br />
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya<br />
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,<br />
juga dipertegas dalam Pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria yang mengatakan bahwa<br />
Negara Sebagai Organisasi kekuasaan seluruh Rakyat memiliki hak menguasai atas tanahtanah<br />
yang berada di wilayah Republik Indonesia, di sebutkan pula bahwa hak menguasai<br />
ini memberikan kewenangan kepada Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan<br />
peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan hal-hal yang bersangkutan dengan<br />
agraria. Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa kewenangan pengaturan tanah<br />
seluruhnya diserahkan kepada Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan.<br />
Tanah di Indonesia diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria yang di dalamnya<br />
menyerap <strong>hukum</strong> adat, yaitu diakuinya hak ulayat sebagaimana yang tertuang dalam<br />
pasal 5 Undang-undang pokok Agraria yang menyatakan Hukum agraria yang berlaku<br />
atas bumi, air dan ruang angkasa adalah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan<br />
dengan kepentingan nasional dan negara yg berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan<br />
sosialisme indonesia serta dengan peraturan yg tercantum dalam undang-undang ini dan<br />
dengan peraturan-peraturan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur<br />
yang berdasarkan pada <strong>hukum</strong> agama.<br />
Walaupun Undang-Undang Pokok Agraria mengandung nilai-nilai luhur dalam<br />
membela kepentingan rakayat, namun pada tataran implementasi mengalami banyak<br />
hambatan secara politik, ekonomi maupun sosial. 3 Telah banyak peraturan yang secara<br />
hierarkhis ada di bawah undang-undang yang diterbitkan, namun belum terlihat<br />
keberhasilan dari harapan tersebut secara utuh. Bahkan peraturan pelaksana tentang<br />
keagrariaan selama ini belum memberikan jaminan kepastian hokum,perlindungan<br />
hokum,keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat setempat yang sumberdaya agrarian<br />
dan sumberdaya alamnya di eksploitasi pihak lain. Bahkan Achmad Sodiki, menyimpulkan<br />
bahwa meskipun kekayaan alam telah dikuras habis tetapi masyarakat setempat kurang<br />
mendapatkan manfaatnya.<br />
Berkaitan dengan tanah ulayat Undang-undang Pokok Agraria mengatur di dalam<br />
pasal 3 mengatakan bahwa dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2, yaitu<br />
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hokum<br />
adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai<br />
dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta<br />
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih<br />
tinggi.<br />
Mencermati hal ini disatu sisi ada pengakuan keberadaan <strong>hukum</strong> adat yang berlaku<br />
sebagai suatu norma yang lahir dan tumbuh dari masyarakat, sekaligus memenuhi perkembangan<br />
modernisasi suatu masyarakat. Namun disisi lain justru terdapat pembatasan<br />
oleh <strong>hukum</strong> pertanahan, karena lebih mewakili kepentingan penguasa dan pengusaha,<br />
Majelis Permusyawaratan Rakyat menganggap perlu melakukan pengkajian ulang<br />
terhadap pengelolaan sumberdaya alam dengan berdasarkan prinsip-prinsip desentralisasi<br />
3<br />
Achmad Sodiki, Penataan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupaten Malang (Studi<br />
tentang Dinamika Hukum). Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1994,<br />
hlm. 5.
HAYATUL ISMI<br />
VOLUME 138<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
serta penghormatan terhadap hak masyarakat adat. 4 Dan pada RPJMN (Rencana<br />
Pembangunan jangka Menegah nasional 2004-2009 melalui Peraturan Presiden No.7<br />
Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden No.39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah<br />
(RKP) Tahun 2006, menetapkan arah kebijakan pembangunan bidang pembinaan system<br />
dan politik <strong>hukum</strong> Indonesia dengan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan<br />
<strong>hukum</strong> adat untuk memperkaya system <strong>hukum</strong> nasional. 5<br />
Sejalan dengan hal tersebut diatas pengakuan hak masyarakat adat dan akses<br />
terhadap sumber daya alam (tanah) juga diakui secara internasional hal ini dapat dilihat<br />
pada hasil konvensi ILO (International Labour Organization) No.169 mengenai bangsa<br />
pribumi dan masyarakat adat di Negara-negara merdeka yang mulai berlaku tanggal 5<br />
September 1991, menetapkan bahwa pemerintah wajib menghormati kebudayaan dan<br />
nilai-nilai spiritual masyarakat asli yang dijunjung tinggi dalam hubungan mereka dengan<br />
lahan (tanah) yang mereka tempati atau gunakan.<br />
Dalam Kepmen Agraria/kepala BPN No.5 tahun 1999,Pasal (1) secara tegas mengatur<br />
bahwa:<br />
“Hak ulayat adalah wewenang yang menurut hokum adat dipunyai oleh masyarakat<br />
hokum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para<br />
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam<br />
wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,yang timbuil dari<br />
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara<br />
masyarakat hokum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.<br />
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa hak ulayat harus benar-benar masih ada dan<br />
tidak diberikan peluang untuk menimbulkan kembali hak-hak tersebut, jika secara factual<br />
dalam masyarakat sudah tidak ada lagi. Keberadaan hak ulayat harus diikuti dengan<br />
hubungan antara tanah dan masyarakat. 6 Dengan demikian, selama tanah ulayat tersebut<br />
ada harus dimanfaatkan oleh warga masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan. Tanah<br />
yang dimaksud adalah tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dan mempunyai<br />
hubungan erat antara tanah dengan masyarakat hokum adat. Sedangkan yang dimaksud<br />
masyarakat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan <strong>hukum</strong> adatnya sebagai<br />
warga bersama suatu persekutuan hokum karena kesamaan tempat tinggal atau karena<br />
keturunan yang dikenal dengan berbagai nama setiap daerah.<br />
4<br />
Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam<br />
Pasal 4 bahwa prinsip pengelolaan sumberdaya alam melalui: (a) mengakui, menghormati dan<br />
melindungi hak masyrakat <strong>hukum</strong> adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/<br />
sumber daya alam; (b) mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,<br />
daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;(c)<br />
melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi,<br />
kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya<br />
agrarian/sumber daya alam.<br />
5<br />
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembanguna Jangka Menengah Nasional 2004-<br />
2009 pada lampiran I angka enam huruf (A0 Permasalahan Pembangunan Nasional menyebutkan<br />
bahwa sebelumnya, konflik (Poso, Maluku, dan Mamasa) tersebut tidak pernah berkembang berskala<br />
luas karena di dalam masyarakat sudah ada berbagai kearifan lokal dan adat istiadat yanga ada di<br />
masyarakat yang dapat menjadi wadah komunikasi dan konsultasi yang bersifat lintas wilayah, agama,<br />
dan lintas keanekaragaman suku bangsa.<br />
6<br />
Husen Alting, Op.Cit, hlm. 24.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
139<br />
Pengertian dan criteria hak ulayat di atas dirumuskan secara restriktif dalam bingkai<br />
hokum Negara, sehingga masyarakat yang sebenarnya menjadi objek pengaturan hak ulayat<br />
justru belum tentu terlibat dalam perumusan ketentuan. Dengan demikian dimungkinkan<br />
ada perbedaan konsepsional antara pengertian dan criteria yang ditetapkan oleh pemerintah,<br />
dengan apa yang ada dan berlaku si masyarakat adat selama ini. Pemahaman masyarakat<br />
yang dilatarbelakangi oleh sikap, nilai dan pandangan pasti mempunyai kriteria tersendiri<br />
menyangkut hak masyarakat adatnya. Untuk itu, perbedaan-perbedaan tersebut perlu<br />
diklarifikasi dan dikompromikan melalui penyelarasan melalui sikap saling terbuka bagi<br />
para pihak untuk menerima kondisi masing-masing secara arif. 7<br />
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa hingga akhir abad ke-20, di Indonesia<br />
masih banyak tersebar tanah-tanah, termasuk hutan yang penguasaannya berdasarkan<br />
aturan tradisional (<strong>hukum</strong> adat), walaupun atauran <strong>hukum</strong> “modern” yang mengatur<br />
pertanahan ini sudah ada sejak zaman penjajahan. Namun, hingga kini belum tersedia<br />
informasi lengkap tentang bentang dan batas-batas wilayah yang dicakup oleh berbagai<br />
<strong>hukum</strong> adat tersebut. Perlu singkronisasi antara <strong>hukum</strong> adat dengan <strong>hukum</strong> tertulis,<br />
sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara <strong>hukum</strong> adat dengan <strong>hukum</strong> tertulis lainnya.<br />
B. Identifikasi Masalah<br />
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang disertasi ini, maka dapat<br />
diidentifikasi masalah pokoknya adalah sebagai berikut:<br />
1. Bagaimana Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat Adat baik<br />
secara Nasional maupun Internasional<br />
2. Bagaimana kedudukan hak ulayat dalam tata <strong>hukum</strong> Indonesia dalam upaya<br />
pembaharuan <strong>hukum</strong> nasional<br />
C. Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak-hak Masyarakat Adat<br />
Secara Nasional dan Internasional<br />
Secara terminologis, “pengakuan” berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui,<br />
sedangkan kata “mengakui” berarti menyatakan berhak. Pengakuan dalam<br />
konteks <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> internasional, misalnya terhadap keberadaan suatu Negara/<br />
pemerintahan biasanya mengarah pada istilah pengakuan de facto dan de yure. Pengakuan<br />
yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan efektif pada<br />
suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto. Pengakuan de facto adalah pengakuan<br />
yang bersifat sementara, karena pengakuan ini ditunjukkan kepada kenyataan-kenyataan<br />
mengenai kedudukan pemerintahan yang baru, apakah ia didukung oleh rakyatnya dan<br />
apakah pemerintahannya efektif yang menyebabkan kedudukannya stabil. Jika kemudian<br />
bias dipertahankan terus dan makin bertambah maju, maka pengakuan de facto akan<br />
berubah dengan sendirinya menjadi pengakuan de jure. Pengakuan de jure bersifat tetap<br />
yang diikuti dengan tindakan tindakan <strong>hukum</strong> lainnya. 8 Sedangkan pengakuan secara<br />
7<br />
Husen Alting, Ibid, hal. 20.<br />
8<br />
Moh. Kusnadi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang<br />
Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, 1989, hlm. 82-83.
HAYATUL ISMI<br />
VOLUME 140<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
<strong>hukum</strong> (de jure) adalah pengakuan suatu Negara terhadap Negara lain yang diikuti dengan<br />
tindakan-tindakan <strong>hukum</strong> tertentu, misalnya pembukaan hubungan diplomatic dan<br />
pembuatan perjanjian antarkedua Negara.<br />
Dalam buku General Theory of Law and State, Hans Kelsen 9 menguraikan terminology<br />
“pengakuan” dalam kaitannya dengan keberadaan suatu Negara sebagai berikut:<br />
Terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan<br />
<strong>hukum</strong>. Tindakan politik mengakui suatu Negara berarti Negara mengakui<br />
berkehendak untuk mengadakan hubungan-hubungan politik dan hubunganhubungan<br />
lain dengan masyarakat yang diakuinya. Sedangkan tindakan <strong>hukum</strong> adalah<br />
prosedur yang dikemukakan diatas yang ditetapkan oleh <strong>hukum</strong> internasional untuk<br />
menetapkan fakta Negara (masyarakat adat) dalam suatu kasus kongrit.<br />
Berdasarkan rujukan diatas, dalam kaitannya dengan pengertian pengakuan dan<br />
perlindungan terhadap masyarakat <strong>hukum</strong> adat atas tanah, pengakuan terhadap<br />
masyarakat <strong>hukum</strong> adat atas tanah mengarah pada penegrtian pengakuan dari Negara/<br />
pemerintah baik secara politik maupun secara <strong>hukum</strong>, melalui pengaturan hak dan<br />
kewajiban pemerintah dalan memberikan penghormatan,kesempatan dan perlindungan<br />
bagi berkembangnya masyarakat <strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak tradisional yang dimiliki<br />
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan tersebut menunjukkan<br />
bahwa Negara/pemerintah telah mengakui, menyatakan sah/benar atau menyatakan<br />
masyarakat <strong>hukum</strong> adat berhak atas sumberdaya alam yang dimiliki dan mewajibkan<br />
pemerintah untuk melinduingi hak-hak tersebut dari ancaman/gangguan pihak lain.<br />
Pengakuan tersebut merupakan pengakuan yang diformulasikan dalam bentuk <strong>hukum</strong><br />
Negara twerhadap hak masyarakat <strong>hukum</strong> adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya.<br />
Pengakuan melalui <strong>hukum</strong> Negara (<strong>hukum</strong> positif, menurut Austin diartikan<br />
sebagai <strong>hukum</strong> yang dibuat oleh orang atau lembaga lembaga yang memiliki kedaulatan,<br />
dan pengakuan tersebut diberlakukan terhadap anggota-anggota masyarakat politik yag<br />
merdeka (independet political society). Anggota masyarakat tersebut mengakui<br />
kedaulatan atau supremitas yang dimiliki orang atau lembaga-lembaga pembuat <strong>hukum</strong><br />
yang bersangkutan. Denga demikian, kebiasaan menurutnya hanya akan berlaku sebagai<br />
<strong>hukum</strong> jika undang-undang menghendaki atau menyatakan dengan tegas atas keberlakuan<br />
kebiasaan tersebut. 10<br />
Konsepsi Austin tentang penetapan melalui <strong>hukum</strong> Negara sebagai satu-satunya<br />
<strong>hukum</strong> yang mengatur kehidupan masyarakat, tersebut dikritik oleh para pengikut<br />
mazhab sejarah yang meyakini bahwa setiap masyarakat memiliki cirri khas masingmasing<br />
tergantung pada riwayat hidup dan struktur sosial yang hidup dan berkembang<br />
untuk mengatur kepentingan-kepentingan mereka. Menurut Friedrich Carl von Savigny<br />
(sebagai tokoh utama mazhab sejarah) bahwa <strong>hukum</strong> merupakan salah satu factor dalam<br />
kehidupan bersama suatu bangsa seperti bahasa, adat, moral, tata negara. Oleh karena<br />
itu, <strong>hukum</strong> adalah sesuatu yang bersifat supra individual, suatu gejala masyarakat. Tetapi<br />
9<br />
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, hlm. 222.<br />
10<br />
Austin, dalam Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,<br />
Bandung, 2002, hlm. 2.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
141<br />
suatu masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dengan sejarah dan lenyap dalam<br />
sejarah. Lepas dari perkembangan masyrakat tidak terdapat <strong>hukum</strong> sama sekali. 11<br />
Friedrich Carl Von Savugny melihat <strong>hukum</strong> sebagai fenomena historis, sehingga<br />
keberadaan setiap <strong>hukum</strong> adalah berbeda, bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya<br />
<strong>hukum</strong>. Hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu<br />
bangsa (volksgeist). 12<br />
Konsep <strong>hukum</strong> yang hidup di dalam jiwa masyarakat (volksgeist) dari Friedrich Carl<br />
Von Savigny, dipertegas oleh penggagas sosiologi <strong>hukum</strong> Eugene Ehrlich yang menyebutkan<br />
dengan fakta-fakta <strong>hukum</strong> (fact of law) dan <strong>hukum</strong> yang hidup dalam masyarakat (living<br />
law of people). Untuk itu, teori living law dari Eugene Ehrlich menyatakan dalam setiap<br />
masyarakat terdapat aturan-aturan <strong>hukum</strong> yang hidup (living law). Semua <strong>hukum</strong><br />
dianggap sebagai <strong>hukum</strong> sosial, dalam arti bahwa semua hubungan <strong>hukum</strong> ditandai oleh<br />
factor-faktor sosial ekonomi. Kenyataan <strong>hukum</strong> social yang melahirkan <strong>hukum</strong>,termasuk<br />
dunia pengalamn manusia, dan dengan demikian ditanggapi sebagai ide normatif. Terdapat<br />
empat jalan agar kenyataan-kenyataan yang anormatif menjadi normatif, yakni:<br />
1. Kebiasaan<br />
2. Kekuasaan efektif<br />
3. Milik efektif<br />
4. Pernyataan kehendak pribadi.<br />
Kenyataan social lebih dilihat dari aspek ekonomi,dimana ekonomi merupakan basis<br />
seluruh kehidupan manusia, maka ekonomi bersifat menentukan bagi aturan kehidupan.<br />
Dari kebutuhan ekonomi manusia menjadi sadar, lalu timbul <strong>hukum</strong> secara langsung,itulah<br />
<strong>hukum</strong> yang hidup, sebab <strong>hukum</strong> tidak merupakan suatu aturan diatas anggota-anggota<br />
masyarakat, melainkan diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. 13<br />
Ini merupakan teori Sociologikcal Jurisprudence,selain dipelopori oleh Eugen Ehhrlich<br />
juga oleh beberapa ahli yakni Roscoe Pound,Benyamin Cardozo, Kantorowics,Gurvitch<br />
dan lain-lain. Inti pemikiran mahzab ini yang berkembang di Amerika; “Hukum yang<br />
baik adalah <strong>hukum</strong> yang sesuai dengan <strong>hukum</strong> yang hidup di dalam masyarakat”. Artinya<br />
bahwa <strong>hukum</strong> itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Mahzab ini<br />
mengetengahkan tentang pentingnya Living –Law-<strong>hukum</strong> yang hidup di dalam<br />
masyarakat. Dan kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese<br />
dari thesenya, yaitu positivism <strong>hukum</strong> anthithesenya mazhab sejarah. 14<br />
Jadi pengakuan hak masyarakat <strong>hukum</strong> adat atas tanah tidak hanya terbatas pada<br />
bentuk pengakuan dalam <strong>hukum</strong> Negara, tetapi karena secara factual masyarakat<br />
Indonesia bersifat majemuk (plural) 15 . Maka pengakuan juga dapat diperoleh melalui<br />
11<br />
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 118<br />
12<br />
Otje Salman Soemadiningrat, Op.Cit, hlm. 3.<br />
13<br />
Theo Huijbers, Op.Cit, hlm. 213-214<br />
14<br />
Lili Rasjidi dan Ira Thania, Op.Cit, hlm. 66-67.<br />
15<br />
Menurut Moch. Munir, Op.cit, hlm. 3-4, bahwa kemajemukan masyarakat terjadi karena berbagai<br />
sebab yakni adanya berbagai macam suku bangsa dan agama yang dianut oleh masyarakat,adanya<br />
ikatan bersifat primordial dan pengalaman historis yang berbeda dari masyarakat yang bersangkutan.<br />
Kemajemukan masyarakat tersebut mengakibatkan terjadinya pluralism <strong>hukum</strong> dalam bidang social<br />
budaya dan <strong>hukum</strong> yang dapat berpengaruh terhadap perubahan-perubahan yang sedang berlangsung.
HAYATUL ISMI<br />
VOLUME 142<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
<strong>hukum</strong> yang hidup dalam masyarakat yaitu <strong>hukum</strong> adat. Hal ini selaras dengan pendapat<br />
Van Vollenhoven bahwa system pemberlakuan <strong>hukum</strong> adat tidak didasarkan pada<br />
peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau alat kekuasaan lainnya,yang<br />
menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda, melainkan pada tindakantindakan<br />
yang oleh adat dan oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat, disamping<br />
itu penduduk memiliki keyakinan yang sama menyatakan bahwa aturan-aturan adat harus<br />
dipertahankan oleh kepala adat dan petugas-petugas lainnya dan memiliki sanksi. 16<br />
Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh soedikno yaitu :<br />
1. Teori kekuatan (machtstheorie) <strong>hukum</strong> mempunyai kekuatan berlaku secara<br />
sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,terlepas dari diterima<br />
ataupun tidak oleh warga masyarakat.<br />
2. Teori Pengakuan (anerkennungstheorie) <strong>hukum</strong> mempunyai kekuatan berlaku<br />
sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat. 17<br />
Pengakuan tersebut ditetapkan juga dalam konstitusi Negara Indonesia yaitu dalam<br />
Pasal 18 B Undang-undang 1945 bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan<br />
masyarakat <strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup<br />
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan<br />
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, dan selanjutnya dalam Pasal 28 I<br />
ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras<br />
dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dan pada perubahan keempat UUD 1945<br />
ditetapkan juga di dalam Pasal 32 ayat (1) bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional<br />
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam<br />
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.<br />
Selain yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan nasional, pengakuan hakhak<br />
masyarakat adat secara Internnasional akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat.<br />
Salah satu puncak penghormatan terhadap keberadaan masyarakat <strong>hukum</strong> adat pada<br />
tahun 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang merupakan tindak lanjut dari<br />
rangkaian kesepakatan konvensi-konvensi dunia yang menekankan pentingnya pemerintah<br />
Negara-negara anggota PBB untuk segera melaksanakan pemebrdayaan<br />
masyarakat <strong>hukum</strong> adat.<br />
Bukan hanya peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur mengenai<br />
pengakuan akan hak-hak masyarakat adat,tetapi juga pengakuan dan dukungan dari<br />
masyarakat internasional. Ada sejumlah perjanjian internasional baik yang sifatnya<br />
mengikat maupun tidak yang mengaturnya. Sampai saat ini minimal ada 19 jenis dukungan<br />
internasional terhadap komunitas adat melalui perjanjian perjanjian internasional<br />
diantaranya, perlindungan terhadap hak-hak azasi, hak untuk berkumpul, hak ats atanah<br />
dan territorial, kebebasan beragama, kepemilikan intelektual, hak kepemilikan adat,<br />
pengakuan tat ruang adat dan lain sebagainya.<br />
16<br />
Van Vollenhoven,dalam Otje Salman, Op.Cit, hlm. 10.<br />
17<br />
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm. 87.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
143<br />
D. Kedudukan Hak Ulayat dalam Tata Hukum Indonesia<br />
Bentuk <strong>hukum</strong> penguasaan tanah oleh masyarakat adat atau dikenal dengan hak<br />
ulayat di Indonesia cukup beragam. Hak ulayat merupakan istilah yang digunakan secara<br />
yuridis dan umum, walaupun sesungguhnya pada setiap persekutuan masyarakat <strong>hukum</strong><br />
adat istilah yang digunakan berbeda-beda. Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim<br />
nengemukakan bahwa hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indonesia<br />
dapat dibedakan atas dua bentuk yaitu ‘hak ulayat’ dan ‘hak pakai’. Hak ulayat merupakan<br />
hak meramu atau mengu,mpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat<br />
bersifat komunal, pada hakikatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai<br />
sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu,seseorang<br />
berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi<br />
bkan beraryti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak<br />
ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat<br />
baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya<br />
atas tanah ulayat tersebut, sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai<br />
sebidang tanah bagi kepentingannya,biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang<br />
telah dibuka dan dikerjakan terus menerus dalam waktu yang lama. 18<br />
Berdasarkan kajian sejarah, ternyata eksistensi hak adat (hak ulayat) sudah lebih<br />
dahulu diakui dibandingkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Maria W Sumardjono<br />
menyatakan pengakuan hak ulayat adalah wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat<br />
<strong>hukum</strong> adat telah ada sebelum terbentuk Negara Republik Indonesia tanggal 17 agustus<br />
1945. 19 Menurut Maria W Sumardjono untuk menentukan ukuran hak ulayat perlu<br />
ditentukan tiga ciri pokok:<br />
1. adanya masyarakat <strong>hukum</strong> adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek<br />
hak ulayat<br />
2. tanah/wilayah dengan batasan-batasan tertentu yang merupakan subjek hak ulayat<br />
3. adanya kewenangan masyarakat <strong>hukum</strong> untuk melakukan tindakan-tindakan<br />
tertentu sebagaimana yang telah ditentukan.<br />
Pengakuan terhadap tanah ulayat juga terlihat pada Kongres Pemuda Indonesia pada<br />
tanggal 28 Oktober 1928 yang mencantumkan penghormatan terhadap <strong>hukum</strong> adat. Dalam<br />
perkembangannya bangsa Indonesia secara sadar telah melakukan pengaturan secara<br />
normatif terhadap eksistensi hak ulayat masyarakat <strong>hukum</strong> adat. Penghormatan eksistensi<br />
<strong>hukum</strong> adat dan hak ulayat sebagai hak asasi manusi, serta identitas budaya dan<br />
hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 20 Seperti<br />
yang terdapat dalam Pasal 6 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 sebagai berikut:<br />
1. Dalam rangka penegakan HAM,perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat <strong>hukum</strong><br />
adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh <strong>hukum</strong>,masyarakat dan pemerintah<br />
2. Indentitas budaya masyarakat <strong>hukum</strong> adat termasuk hak atas tanah ulayat<br />
dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.<br />
18<br />
Purbacaraka, Purnadi dan Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia, 1993<br />
19<br />
Maria.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan; Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001,<br />
hlm. 54.<br />
20<br />
Moh. Koesnoe, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya,<br />
1979, hlm. 102.
HAYATUL ISMI<br />
VOLUME 144<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Penegasan <strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak atas tanah ulayat pada masyarakat <strong>hukum</strong><br />
adat sebagai suatu hak dasar (asasi) manusia merupakan suatu kemajuan dari segi<br />
perlindungan yang diberikan oleh konstitusi maupun peraturan di bawahnya. Kemajuan<br />
ini diharapkan bukan hanya pada tataran perumusan kebijakan akan tetapi pada<br />
implementasi harus benar-benar dijalankan.<br />
Pengakuan <strong>hukum</strong> terhadap masyarakat adat di Indonesia, sejak pasca kemerdekaan<br />
sampai saat ini telah mengalami 4 fase pengakuan, pertama; setelah Indonesia merdeka<br />
tahun 1945, pendiri negara ini telah telah merumuskan dalam konstitusi negara (UUD<br />
1945) mengenai pengakuan terhadap masyarakat adat. Di dalam UUD 1945 dikatakan<br />
bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah dengan susunan asli<br />
(zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun dan nagari, hal ini<br />
merupakan bentuk pengakuan dari UUD 1945 yang tidak terdapat dalam kontitusikonstitusi<br />
yang pernah berlaku di Indonesia seperti UUD RIS dan UUDS.<br />
Kedua; pengakuan <strong>hukum</strong> terhadap masyarakat <strong>hukum</strong> adat terjadi pada tahun 1960<br />
dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang<br />
Pokok Agraria (UUPA). Pengakuan terhadap masyarakat <strong>hukum</strong> adat dan hak ulayat<br />
dilakukan sepanjang menurut kenyataan masih eksis serta sesuai dengan kepentingan<br />
nasional dan selaras dengan perundang-undangan diatasnya. Konsep pengakuan dalam<br />
UUPA berbeda dengan konsep pengakuan dalam UUD 1945 karena konsep pengakuan<br />
dalam UUPA adalah konsep pengakuan bersyarat.<br />
Ketiga; pada awal rejim Orde Baru dilakukan legislasi terhadap beberapa bidang<br />
yang terkait erat dengan Masyarakat Hukum Adat dan Hak-haknya atas tanah seperti,<br />
Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan Undang-undang No. 11 Tahun<br />
1966 Tentang Pertambangan. Dalam kedua undang-undang ini mengatur pengakuan<br />
terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih ada. Yang kemudian pada<br />
perkembangannya setiap peraturan perundang-undangan yang dilegislasi pada masa Orde<br />
Baru selalu mensyaratkan pengakuan apabila memenuhi unsur-unsur: (1) dalam<br />
kenyataan masih ada; (2) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; (3) tidak<br />
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (4) ditetapkan<br />
dengan peraturan daerah, konsep ini dikenal dengan nama konsep pengakuan bersyarat<br />
berlapis. Yang intinya untuk diakui eksistensinya suatu Masyarakat Hukum Adat harus<br />
memenuhi syarat sosiologis, politis, normatif yuridis dan prosedural (ditetapkan dengan<br />
Peraturan Daerah), dengan demikian pengakuan <strong>hukum</strong> tersebut tidak memberikan<br />
kebebasan bagi masyarakat adat melainkan memberikan batasan-batasan.<br />
Keempat; pasca reformasi UUD 1945 diamandemen, pada amandemen kedua tahun<br />
2000 dihasilkan pengaturan pengakuan masyarakat <strong>hukum</strong> adat dan hak-haknya.<br />
Berdasarkan ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Amandemen Kedua, pasal 41 Tap.<br />
MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia II. Piagam HAM, pasal 6 Undangundang<br />
No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan ketentuan undang-undang lain yang terkait,<br />
maka dapat ditarik benang merah bahwa pengakuan terhadap masyarakat <strong>hukum</strong> adat<br />
dan hak-hak tradisionalnya pada masa reformasi masih menerapkan pola pengakuan yang<br />
sama dengan Orde Baru yaitu pengakuan bersyarat berlapis.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
145<br />
E. Penutup<br />
Pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat di Indonesia dipengaruhi<br />
oleh beberapa pandangan, yaitu pandangan dari mahzab sejarah yang mengatakan bahwa<br />
<strong>hukum</strong> itu merupakan fenomena historis, bahwa <strong>hukum</strong> merupakan salah satu faktor dalam<br />
kehidupan bersama suatu bangsa seperti bahasa, adat, moral, dan tata negara. Oleh karena<br />
itu, <strong>hukum</strong> adalah sesuatu yang bersifat supra individual,suatu gejala masyarakat, suatu<br />
masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dengan sejarah dan lenyap dalam sejarah.<br />
Lepas dari perkembangan masyarakat tidak terdapat <strong>hukum</strong> sama sekali, yang kemudian<br />
disempurnakan dengan teori sociological jurisprudence yang mengetengahkan pentingnya<br />
<strong>hukum</strong> yang hidup dalam masyarakat.<br />
Pasal 18 B UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati<br />
kesatuan-kesatuan masyarakat <strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang<br />
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara<br />
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal<br />
28 I ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati<br />
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Secara internasional keberadaan<br />
masyarakat <strong>hukum</strong> adat diakui dalam beberapa konvensi internasional antara lain konvensi<br />
ILO 9International Labour Organization No. 169 Tahun 1989.<br />
Eksistensi masyarakat <strong>hukum</strong> adat beserta hak tradisionalnya sangat tergantung<br />
oleh syarat yang diberikan negara, yakni sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan<br />
zaman, dan sesuai dengan prinsip NKRI dan diatur oleh undang-undang. Hal<br />
ini menunjukkan bahwa <strong>hukum</strong> negara lebih superior dibandingkan dengan <strong>hukum</strong> adat,<br />
keberadaan <strong>hukum</strong> adat bergantung sekali dengan belas kasihan undang-undang. Di dalam<br />
konstitusi <strong>hukum</strong> adat beserta hak tradisionalnya dipandang sebagai hak konstitusional<br />
sekaligus sebagai hak asasi manusia, dengan demikian sebagai pembaharuan <strong>hukum</strong> nasional<br />
sepantasnya <strong>hukum</strong> adat ditempatkan pada kedudukan yang sejajar dengan undangundang.<br />
Kesejajaran ini akan memberikan alternatif bagi masyarakat <strong>hukum</strong> adat maupun<br />
pihak luar untuk melakukan pilihan <strong>hukum</strong> ketika terjadi suatu hubungan <strong>hukum</strong> yang<br />
mengatur kepentingan-kepentingan mereka.<br />
F. Daftar Pustaka<br />
Achmad Sodiki, Kebijakan Sumberdaya Alam dan Implikasi Juridisnya pasca-TAP MPR<br />
NO. IX/MPR/2001 dan Keppres No.34 Tahun 2003, makalah disampaikan dalam<br />
Seminar Nasional “Eksistensi dan Kewenangan BPN Pasca-Keputusan Presiden No.34<br />
Tahun 2003”. Malang.<br />
————————, Eksistensi Hukum Adat; Konseptualisasi, Politik Hukium dan<br />
Pengembangan Pikiran Hukum Sebagai upaya Perlindungan Hak Masyarakat Adat.<br />
Disampaikan pada “Seminar Eksistensi Hukum Adat dalam Politik Hukum di<br />
Indonesia”. Fakultas <strong>hukum</strong> Universitas Brawijaya, Malang, 2004.<br />
—————————, Masalah Konflik Peraturan Perundang-undangan dan Konflik di<br />
Lapangan Agraria dan Usulan Penanganannya (Mencari Format Penangan Konflik<br />
Agraria dalam rangka Implementasi TAP MPR No. IX/MPR/2001). Makalah<br />
disampaikan sebagai Penanggap Utama dalam “Seminar Nasional Strategi Pelaksanaan
HAYATUL ISMI<br />
VOLUME 146<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Pembaharuan Agraria”, 26 September 2002.<br />
—————————, Penataan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan<br />
Kabupaten Malang (Studi Tentang Dinamika Hukum). Disertasi Program Pasca<br />
Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1994<br />
B. Malinowski, Crime and costom in Sarage Society. Paterson N.J, Littlefield, 1959.<br />
Husen Alting, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat<br />
Hukum Adat Atas Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), Yogyakarta:<br />
LaksBang PRESSindo, 2010<br />
Holleman, F.D. 1923. Het Adat Grondenrech van Ambon en de Deliasers, Dalam Soplantila,<br />
H.M et.al. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan tanah Secara Tradisional,<br />
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1992.<br />
Ikhsan Malik, Menyeimbang Kekuatan, Pilihan Strategis Menyelesaikan Konflik Atas<br />
Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Kemala, 2003.<br />
Lili Rasjidi dan Ira Tahania, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra<br />
Aditya Bakti., 2004.<br />
Maria S Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas,<br />
2008<br />
——————————, Kebijakan Pertanahan; Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta,<br />
Buku Kompas, 2001<br />
Moch. Munir, Penggunaan Pengadilan Negeri sebagai Lembaga Untuk Menyelesaikan<br />
Sengketa Dalam Masyasrakat, (Disertasi) Universitas Airlangga, Surabaya. 1997.<br />
Mochtar Kusumaatmadja, Kerangka Penegakan Hukum Nasional, Bandung: Alumni,1995.<br />
Moh.Koesnoe, Hukum Adat; Dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Soalannya<br />
Menghadapi Era Globalisasi, Surabaya: Ubara Press, 1996.<br />
Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Surabaya: Airlangga<br />
University Press, 1979.<br />
Moh. Kusnadi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem<br />
Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Gramedia,1989.<br />
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung:<br />
Alumni, 2002.<br />
Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat dan masalah serta kelestarian lingkungan<br />
Hidup di Indonesia. Artikel utama dalam jurnal Wacana HAM, Media Pemajuan Hak<br />
Asasi Manusia, Nomor.10/Tahun II/12 Juni 2002, Jakarta.<br />
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1978.<br />
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.<br />
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberti, 2002.<br />
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.<br />
W,Friedmann, Legal Theory, Steven & Sons Limited, London, 1960.<br />
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
147<br />
ARAH KEBIJAKAN HUKUM POLITIK EKONOMI<br />
MARDALENA HANIFAH<br />
Jalan Thamrin III No. 4 Gobah Pekanbaru<br />
Abstrak<br />
Hukum dan ekonomi merupakan penopang dari<br />
pembangunan sehingga keduanya harus bisa serasi<br />
dan disejajarkan demi kepentingan rakyat. Maka<br />
itu arah kebijakan <strong>hukum</strong> politik ekonomi harus<br />
merupakan sesuatu yang mempunyai nilai guna<br />
agar tujuan <strong>hukum</strong> dapat dicapai. Karena <strong>hukum</strong><br />
dibentuk dan dibangun untuk mengatur bagaimana<br />
<strong>hukum</strong> tersebut dapat mengatur prilaku<br />
bisnis yang dilakukan oleh investor agar kegiatan<br />
ekonomi yang mereka buat mendapat perlindungan<br />
oleh <strong>hukum</strong>, untuk menjamin terdapatnya<br />
perlindungan <strong>hukum</strong> maka dibentuklah sebuah<br />
kaedah <strong>hukum</strong> dalam bidang investasi dalam bentuk<br />
perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi,<br />
traktat, dan kesepakatan-kesepakatan lainnya untuk<br />
menentukan arah kebijakan <strong>hukum</strong> politik ekonomi.<br />
Abstract<br />
Law and economics are the pillars of development so<br />
that both must be matched and aligned with the interests<br />
of the people. Thus the legal policy direction of<br />
economic policy should be something that has value<br />
in order for legal purposes can be achieved. Since the<br />
law was established and developed to regulate how<br />
these laws can regulate business behavior by investors<br />
that the economic activities which they have given<br />
protection by law, to ensure the presence of legal protection<br />
will be established a rule of law in the areas of<br />
investment in the form of legislation, doctrine, jurisprudence,<br />
treaties and other agreements to determine<br />
the political direction of economic policy of the law.<br />
Kata kunci: Arah kenijakan, politik-ekonomi.<br />
A. Pendahuluan<br />
Interaksi pembangunan <strong>hukum</strong> dan pembangunan ekonomi dirasa perlu diserasikan.<br />
Ini berarti perkembangan kegiatan ekonomi dirasa perlu diserasikan. Ini berarti<br />
perkembangan kegiatan ekonomi yang relatif lebih pesat selama ini, perlu diikuti dengan<br />
perkembangan pengaturan <strong>hukum</strong>nya. Beberapa kegiatan ekonomi yang baru banyak<br />
yang belum ada peraturan perundang-undangannya yang ada tidak lagi memberi<br />
kepastian secara mantap. Pada dasarnya pengkajian <strong>hukum</strong> ekonomi diarahkan untuk<br />
meningkatkan daya dukung <strong>hukum</strong>/peraturan perundang-undangan yang mengatur<br />
kegiatan ekonomi. Kelengkapan perangkat <strong>hukum</strong> atau peraturan perundang-undangan<br />
ini akan memberi kepastian <strong>hukum</strong> bagi pelaksanaan hubungan <strong>hukum</strong> yang menciptakan<br />
hak dan kewajiban bagi para subjek <strong>hukum</strong>, pada umumnya, serta dalam hubungan<br />
kegiatan ekonomi pada khususnya. 1<br />
Hukum dan ekonomi harus berjalan dalam suatu wadah yang harmonisasi dan<br />
diarahkan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Penciptaan kebijakan deregulasi<br />
ekonomi sangat dipengaruhi suhu suatu negara, bagaimana negara saat itu, amankah,<br />
dipengaruhi bangsa lain atau bisa berpijak dalam aturan yang digariskan oleh suatu negara.<br />
Gerak ritme perekonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemuka<br />
negara membuat kebijaksanaan tentang arah ekonomi negaranya itu sendiri. Kalau<br />
dikatakan <strong>hukum</strong> ekonomi adalah hasil pemikiran pakar ekonomi, <strong>hukum</strong> dan politisi<br />
mungkin juga benar.<br />
Inilah yang menjadi bahan persandingan bahwa <strong>hukum</strong>, politik dan ekonomi bisa<br />
1<br />
Sumantoro, Hukum Ekonomi, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 23.
MARDALENA HANIFAH<br />
VOLUME 148<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
menjadi suatu produk <strong>hukum</strong> yang bernilai sebagai kebijakan yang harus ditaati oleh<br />
seluruh warga negaranya.Kedudukan politik <strong>hukum</strong> secara harfiah dalam ekonomi suatu<br />
negara seperti sebuah simbiosis mutualisme yang saling terkait. Jika politik <strong>hukum</strong><br />
dilakukan berarti secara tidak langsung akan terjadi pembaharuan kebijakan ekonomi.<br />
Pembangunan <strong>hukum</strong> harus menunjukkan bahwa pembangunan harus menjadi alat<br />
legitimasi dan pengaman bagi pembangunan ekonomi. 2 Hal itu terlihat dari pertumbuhan<br />
pranata <strong>hukum</strong>, nilai dan prosedur, perundang-undangan dan birokrasi penegak <strong>hukum</strong><br />
yang bukan hanya mencerminkan <strong>hukum</strong> sebagai kondisi-kondisi dari proses pembangunan<br />
melainkan juga menjadi penopang yang tangguh atas struktur politik, ekonomi<br />
dan sosial. 3<br />
B. Perumusan Masalah<br />
Dari latar belakang di atas dapat dikemukakan masalah:<br />
1. Bagaimanakah arah kebijakan politik <strong>hukum</strong> di bidang ekonomi<br />
2. Bagaimana konfigurasi politik <strong>hukum</strong> terhadap ekonomi<br />
C. Pembahasan<br />
1. Arah Kebijakan Politik Hukum di bidang Ekonomi<br />
Perkembangan <strong>hukum</strong> dan ekonomi sangat berkaitan dengan perkembangan dan<br />
usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Usaha manusia tersebut ditunjang<br />
dengan perkembangan teknologi, besarnya interaksi, dan ketersediaan sumber daya alam.<br />
Ilmu <strong>hukum</strong> dan <strong>ilmu</strong> ekonomi selalu dinamis dengan perubahan-perubahan yang<br />
diinginkan oleh pasar agar pasar dapat menerima dan menerapkannya untuk kebutuhan<br />
praktis. Dalam ajaran sosilogis yurisprodence dilihat besarnya pengaruh praktis dalam<br />
bidang ekonomi dalam melakukan pembentukan <strong>hukum</strong> seperti diperkenankannya<br />
diterapkan beberapa doktrin-doktrin, dan beberapa traktat dalam bidang ekonomi sebagai<br />
sumber <strong>hukum</strong> yang mengatur prilaku ekonomi.<br />
Menurut Pound, bahwa <strong>hukum</strong> secara fungsional bertujuan sebagai sarana untuk<br />
merekayasa sosial (“law as a tool social enginering”), ini dapat dibenarkan bahwa <strong>hukum</strong><br />
akan digunakan untuk maksud-maksud tertentu sesuai dengan tujuan <strong>hukum</strong> (teori<br />
fungsional <strong>hukum</strong>). Contohnya <strong>hukum</strong> dibentuk dan dibangun untuk mengatur bagaimana<br />
<strong>hukum</strong> tersebut dapat mengatur prilaku bisnis yang dilakukan oleh investor agar kegiatan<br />
ekonomi yang mereka buat mendapat perlindungan oleh <strong>hukum</strong>, untuk menjamin<br />
terdapatnya perlindungan <strong>hukum</strong> maka dibentuklah sebuah kaedah <strong>hukum</strong> dalam bidang<br />
investasi dalam bentuk perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi, traktat, dan<br />
kesepakatan-kesepakatan lainnya.<br />
Teori rekonstruksi dapat dideskripsikan bahwa apabila bangunan (konstruksinya)<br />
tersebut berubah maka berubah pula fungsi dari bangunan tersebut. Perubahan konstruksi<br />
dapat terjadi terus-menerus karena usaha Pembangunan Ekonomi dan Hukum secara<br />
2<br />
Todung Mulya Lubis, “Perkembangan Hukum dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” Paper untuk Raker<br />
Peradin, November 1983.<br />
3<br />
Mulyana W.Kusumah, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 29.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
149<br />
fungsional. Seperti konstruksi bangunan <strong>hukum</strong> yang pada awalnya disusun dengan prinsip<br />
sosialis komunis dirombak dengan bangunan liberal, kapitaslis maka fungsi dari <strong>hukum</strong><br />
tersebut akan berubah secara ekstrim, sedangkan konstruksinya (pelakunya ekonominya<br />
tetap). Perubahan bangunan <strong>hukum</strong> ekonomi secara bertahap cendrung lamban mengantisipasi<br />
kebutuhan pelaku ekonomi dan pasar. Seperti di Indonesia telah dibuat beberapa<br />
deregulasi, yang bermaksud agar menyesuaikan diri peraturan dengan keadaan yang dapat<br />
diterima masyarakat.<br />
Persoalan Hukum Perdata dan Hukum Publik dan cara menentukan batas-batasnya<br />
memang merupakan bahan diskusi dan perselisihan. Di dalam literatur Belanda, pertentangan<br />
antara Hukum Perdata dan Hukum Publik sangat tajam. Dikatakan, bahwa<br />
Hukum Publik selalu merongrong Hukum Perdata, tetapi Hukum Perdata tidak dapat<br />
disampingkan. Hal ini harus dimengerti dalam kerangka pernikiran liberal, di mana pihak<br />
swasta mempunyai atau dianggap mempunyai kebebasan, yang selalu dibatasi oleh negara. 4<br />
Maka, juga menurut Kranenburg 5 , pembagian umum <strong>hukum</strong> Publik dan Hukum Privat<br />
dapat diterima selama dipergunakan sebagai pembagian bahan <strong>hukum</strong>. Demikian pula<br />
van Apeldorn menyetujui pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat didasarkan atas<br />
kepentingan yang diaturnya. Karena itu, sifat daripada kebijakan Ekonomi Indonesia harus<br />
dapat melindungi kepentingan-kepentingan umum, baik kepentingan sekarang ada,<br />
maupun kepentingan dalam waktu yang akan datang.<br />
Untuk pembinaan Hukum Ekonomi diperlukan keahlian-keahlian yang terpadu atau<br />
interdisipliner. Pendekatan interdisipliner yang membutuhkan toleransi. Di samping itu,<br />
untuk penelitian-penelitiannya diperlukan metodologi yang biasa dipergunakan dalam<br />
<strong>ilmu</strong>-<strong>ilmu</strong> pengetahuan sosial lainnya, baik secara kualitas maupun kuantitatif. Tentu saja<br />
tidak seluruh bidang <strong>hukum</strong> ekonomi dapat terbina. Maka langkah pertama yang harus<br />
diambil ialah mengadakan inventarisasi dari seluruh undang-undang yang menyangkut<br />
penghitungan ekonomi, lebih-lebih yang tersebut dalam Pasal 33 UUD 1945 yaitu:<br />
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.<br />
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup<br />
orang banyak dikuasai oleh negara.<br />
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara<br />
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.<br />
Dengan demikian lebih jelas, bahwa untuk sebagian dari bidang ekonomi, lebih-lebih<br />
yang menyangkut kepentingan orang banyak, diperlukan Hukum Publik yang menyangkut<br />
Hukum Ekonomi. Bidang-bidang yang perlu pembinaan ialah:<br />
(1) Tenaga kerja dan perlindungan tenaga kerja. Termasuk didalamnya transmigrasi,<br />
sesuai dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1072 Pasal 2 dan sesuai dengan Pasal<br />
16 termasuk dalam Hukum Publik.<br />
(2) Produksi dan perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang timbul selama produksi<br />
yang dapat membahayakan perseorangan atau masyarakat sekelilingnya, termasuk<br />
4<br />
Parlindungan , AP. (Ed), Bahan Diskusi untuk Pepunas Ristek, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1982,<br />
hlm. 10.<br />
5<br />
Kranenburg, R., De Grondslangen der Rechtsweteschap (Harlem: H.D, Tjeenk Willink, 1948), hlm. 92.
MARDALENA HANIFAH<br />
VOLUME 150<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
perlindungan terhadap lingkungan hidup. Lebih-lebih produksi bahan yang menyangkut<br />
hajat hidup orang banyak, misalnya hasil-hasil minyak dan gas bumi,<br />
atom, seperti terlihat dalam Undang-undang Pertamina dan yang menyangkut<br />
tenaga atom.<br />
(3) Perlindungan konsumen terhadap bahaya-bahaya yang mungkin timbul karena<br />
kesalahan produksi, penipuan dan bahan yang dapat membahayakan orang banyak.<br />
(4) Distribusi dan pemasaran bahan-bahan yang vital, seperti minyak bakar dan beras,<br />
yang masing-masing diatur secara langsung oleh negara lewat aparat-aparatnya.<br />
Dengan demikian jelas, bahwa kebijakan ekonomi membutuhkan pula keahlian dalam<br />
bidang-bidang lain, seperti perindustrian dan ahli ekonomi di samping sarjana-sarjana<br />
<strong>hukum</strong> yang ada. Hal ini tentu saja dapat diatur secara ad hoc atau secara permanen.<br />
Pembinaan Hukum Ekonomi meliputi :<br />
(1) Penelitian terhadap undang-undang yang ada, apakah lebih banyak ditujukan untuk<br />
keadaan sekarang, ataukah ditujukan pada waktu yang akan datang. Undang-undang<br />
yang hanya melihat keadaan sekarang akan segera usang dan akan merupakan<br />
penghambat terhadap perkembangan ekonomi negara.<br />
(2) Penelitian terhadap indikator-indikator yang merupakan bagian dari Sistem Peringatan<br />
Dini. Undang-undang yang baik adalah undang-undang yang dapat merupakan<br />
pemberi peringatan tanda bahaya sebelum kejadian yang lebih parah terjadi.<br />
(3) Penelitian terhadap fungsi undang-undang untuk melindungi kepentingan umum dan<br />
kepentingan politik Negara Republik Indonesia, agar kita dapat tetap hidup sebagai<br />
negara yang merdeka dan berdaulat, khususnya ketidaktergantungan dalam bidang<br />
ekonomi kepada negara lain.<br />
(4) Pernbinaan <strong>hukum</strong> yang dapat mempercepat transformasi dari susunan masyarakat<br />
yang agraris menjadi negara industri. Harus diusahakan agar prasyarat penerimaan<br />
teknologi baru dapat diatur dan dipaksakan dengan undang-undang, seperti misalnya<br />
tindakan keamanan, ketelitian, disiplin dan spesialisasi.<br />
Arah kebijakan yang lebih signifikan pada perekonomian Indonesia ditaungkan dalam<br />
bentuk RPJM , digambarkan tentang kebijakan apakah yang diambil oleh pemerintah<br />
dalam rangka pencapaian sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.<br />
2. Konfigurasi Politik Hukum terhadap Ekonomi<br />
Antara politik dan <strong>hukum</strong> terdapat hubungan yang tarik menarik, dalam hal ini yang<br />
lebih dominan terpengaruh adalah <strong>hukum</strong> oleh politik, karena subsistem politik memiliki<br />
konsentrasi energi yang lebih besar daripada <strong>hukum</strong>. Sehingga jika harus berhadapan<br />
dengan politik, maka <strong>hukum</strong> berada dalam kedudukan yang lebih lemah. Istilah politik<br />
<strong>hukum</strong> merupakan terjemahan bahasa Indonesia dan terjemahan bahasa Belanda<br />
rechtpolitiek, prespektif etimologis ini memandang politik Hukum dari sisi tata Bahasa,<br />
di sini kita bisa mengetahui apakah konsep gramatikal akan mempengaruhi nilai<br />
pengertian. Politik Hukum berasal dari dua kata yaitu: Politik yang merupakan kosakata<br />
yang memiliki makna yang bemacam-macam yang menangandung makna system politik<br />
suatu Negara atau yang menyangkut tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan berpolitik
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
151<br />
itu sendiri. Politik identik dengan langlah yang diambil oleh suatu negara untuk membuat<br />
bentuk kebijaksanaan. 6<br />
Dalam kaitan ini Lev mengatakan untuk memahami sistem <strong>hukum</strong> di tengah-tengah<br />
tranformasi politik harus diamati dari bawah dan dilihat peran sosial politik yang diberikan<br />
orang kepadanya. 7 Karena kuatnya konsentrasi energi politik, makanya menjadi beralasan<br />
adanya konstatatasi bahwa kerapkali otonomi <strong>hukum</strong> di Indonesia diintervensi oleh politik,<br />
bukan hanya dalam proses pembuatannya juga dalam implementasinya.Hukum di<br />
Indonesia bisa dikatakan pencerminan dari kegiatan politik itu sendiri. 8 Sehubungan<br />
dengan kuatnya hubungan <strong>hukum</strong> dengan politik dalam berhubungan dengan <strong>hukum</strong><br />
seperti yang dikemukakan oleh Dahrendoff, dimana beliau menyatakan ada enam ciri<br />
kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik antara lain:<br />
1. Jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai<br />
2. Memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memeliihara dominasinya berupa<br />
kekayaan material, intelektual dan kehormatan moral.<br />
3. Dalam pertentangan selalu teroganisir lebih baik dari kelompok yang ditundukkan.<br />
4. Kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan<br />
dalam bidang politik sehingga elit penguasa diartikan sebagai elit penguasa dalam<br />
bidang politik<br />
5. Kelas penguasa selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya<br />
kepada kelas/kelompoknya sendiri.<br />
6. Ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.<br />
Bertolak dari teori sosial tentang Hukum, Phlip Nonet dan Phlip Zelnich membedakan<br />
tipe Hukum, yaitu Hukum represif yang bertujuan memelihara status quo, Hukum otonom<br />
yang bertujuan membatasi kewenangan-kewenangan tanpa mempersoalkan tatanan sosial<br />
yang secara legalitas kaku serta <strong>hukum</strong> responsive yang bersifat terbuka terhadap<br />
perubahan masyarakat dan mengabdi pada usaha-usaha untuk mencapai keadilan dan<br />
emansipasi sosial. 9<br />
Konfigurasi politik <strong>hukum</strong> pada dasarnya hampir sama dengan bentuk intervensi<br />
politik terhadap <strong>hukum</strong>. Banyak sekali peraturan <strong>hukum</strong> yang tumpul dan tidak mempan<br />
memotong wewenang-wewenang kekuasaan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak<br />
dapat menampilkan dirinya sebagai Pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan<br />
berbagai kasus bisa dijawab oleh <strong>hukum</strong>. Bahkan banyak produk <strong>hukum</strong> yang lebih banyak<br />
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan.<br />
Mohammad Mahfud MD, telah berhasil mempertemukan dan membuktikan kaitan<br />
fungsional antara konfigurasi politik dengan karakter produk <strong>hukum</strong>, dengan memasang<br />
sutu hipotes, sejauh menyangkut distribusi hubungan kekuasaan: Konfigurasi politik<br />
mempengaruhi karakter produk <strong>hukum</strong> sehingga setiap perubahan konfigurasi politik<br />
akan mempengaruhi pula terhadap karakter produk <strong>hukum</strong>. Pola konfigurasi politik suatu<br />
6<br />
Kaelan MS, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2004, hlm. 95.<br />
7<br />
Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia, University Of California Press, Berkeley, 1972, hlm. 2.<br />
8<br />
Moh. Mahfud, MD, Poltik Hukum di Indonesia, PT. Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm. 14.<br />
9<br />
Mulyana Wahyu Kusuma, Hukum Politik dan Perubahan Sosial, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, hlm. 88.
MARDALENA HANIFAH<br />
VOLUME 152<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
negar pada suatu kurun waktu dapat mempengaruhi dan membentuk karakter produk<br />
<strong>hukum</strong> dinegeri tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratik dan<br />
non otoriter maka produk <strong>hukum</strong>nya akan berkarakrakter reponsif dan populistik,<br />
sebaliknya didalam negara yang konfigurasi politiknya otoriter dan non demokratis maka<br />
produk <strong>hukum</strong>nya akan berkarakter konservatif ortodok atau elite. Perubahan konfigurasi<br />
politik dari sisi demokratis ke otoriter atau sebaliknya akan berimplikasi pada perubahan<br />
karakter produk <strong>hukum</strong>. 10<br />
Berdasarkan teori dari politik <strong>hukum</strong> tadi spektrum lain yang mesti dicermati , adalah<br />
upaya pengembangan <strong>hukum</strong> dalam setiap masyarakat mesti dilihat dalam konteks<br />
prakteknya. Di dalam konfigurasi politik terdapat dua karakter yang mempengaruhi bentuk<br />
produk <strong>hukum</strong>, yaitu:<br />
a. Konfigurasi politik Responsif/demokrasi<br />
Dalam konfigurasi Politik Responsif/demokrasi adanya bentuk sikap yang<br />
berlawanan dimana menuntun adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah<br />
sehingga pemerintah tidak boleh turut campur dalam segi kehidupan<br />
masyarakat dan harus tunduk pada rule of law. Produk <strong>hukum</strong> ini mencerminkan<br />
rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat Darendorf mencatat bahwa<br />
demokrasi atau pluralisme pada masyarakat bebas didasarkan atas pengakuan<br />
pada penerimaan terhadap penentangan pengelompokan kepentingan yang akan<br />
menyebabkan munculnya pertentangan politik. 11<br />
b. Konfigurasi Politik Konservatif/ortodoks/elitis/Totaliter<br />
Produk Hukum yang isinya mencerminkan visi sosial elit politik lebih mencerminkan<br />
keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis yaitu menjadi alat dalam<br />
pelaksanaan ideology dan program negara.<br />
Dalam hal ini lebih mengacu kepada dorongan negara untuk memaksakan persatuan<br />
usaha, menghapus oposisi terbuka dengan suatu bentuk kepemimpinan yang dirasakan<br />
paling sempurna. Konfigurasi Politik pada suatu negara dapat bergerak sepanjang garis<br />
kontinu yang menghubungkan dua kutub dalam satu spektrum politik, yaitu kutub demokrasi<br />
dan kutub totaliter. 12 Karakter produk <strong>hukum</strong> diasumsikan sebagai watak dari<br />
produk <strong>hukum</strong> itu sendiri. Dalam studi tentang <strong>hukum</strong> banyak identifikasi yang dapat<br />
diberikan serbagai karakteristik dari <strong>hukum</strong> seperti memaksa, tidak berlaku surut dan<br />
umum. Kita dapat menganalisakan suatu produk <strong>hukum</strong> yang demokrasi atau totaliter<br />
dengan melihat dari produk <strong>hukum</strong>nya dalam bentuk perundang-undangan, besarnya<br />
presentase antara penguasa dengan masyarakat menentukan apakah produk <strong>hukum</strong><br />
dikategorikan dengan tipe konfigurasi represif/demokrasi dengan tipe konfigurasi totaliter<br />
atau ortodoks.<br />
Strategi pembangunan <strong>hukum</strong> ortodok mengandung ciri-ciri adanya peranan yang<br />
sangat dominan dari lembaga-lembaga negara, pemerintah dan parlemen dalam<br />
10<br />
Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Disertasi S3, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gajah<br />
Mada, Yogyakarta, 1993, hlm. 66.<br />
11<br />
Lihat dalam Gwendolen M. Charter, Demokrasi dan Totaliterisme, Dua Ujung dalam Spektrum Politik,<br />
dalam Miriam Budiardjo, PT. Gramedia Jakarta, cet. III, hlm. 88.<br />
12<br />
Mohtar Mas’oed, “Negara, Masyarakat dan Pembangunan Ekonomi Indonesia”, makalah Diskusi Panel<br />
Pembangunana Politik, Senat Mahasiswa Fisipol UGM, Yogyakarta, 12 April 1988.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
153<br />
menentukan arah perkembangan <strong>hukum</strong> dalam suatu masyarakat. Sedangkan strategi<br />
pembangunan <strong>hukum</strong> responsive menngandung ciri-ciri adanya peranan lembaga<br />
peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat<br />
dalam menentukan arah perkembangan <strong>hukum</strong>.<br />
Konfigurasi politik akan mempengaruhi kegiatan ekonomi apabila para pengambil<br />
kebijakan membuat suatu produk <strong>hukum</strong> yang mempengaruhi bidang ekonomi. Ketika<br />
para pembuat kebijakan membuat suatu aturan, alur fikiran akan dipengaruhi dan diintimidasi<br />
oleh pihak-pihak yang berkompenten dalam kegiatan ekonomi. Misalnya para<br />
pengusaha, para pengguna jasa ekonomi, masyarakat secara umum, negara dengan BUMN<br />
dan BUMDnya serta lembaga swadaya masyarakat, dengan melihat susasana kondusif<br />
politik saat itu, akan dibawa kemanakah Belum lagi kebijakan ekonomi sangat dipengaruhi<br />
oleh negara-negara internasional, karena kegiatan ekonomi mempunyai cakupan kegiatan<br />
yang sangat luas meliputi kegiatan didalam negeri dan kegitan luar negeri.<br />
Konfigurasi politik ekonomi akan terlihat dalam pembentukan aturan undang-undang.<br />
Berapa persen peranan stakeholder dalam membuat kebijakan, manakah yang lebih<br />
dominan kebijakan yang diambil apakah suara terbanyak pemerintah atau suara terbanyak<br />
rakyat dimana pada dasarnya kegiatan ekonomi diarahkan sepenuhnya untuk<br />
kepentingan rakyat. Atau dengan presentase masukan pendapat yang seimbang antara<br />
pemerintah dengan politiknya dan rakyat dengan kebutuhannya. Inilah cerminan karakter<br />
politik <strong>hukum</strong> responsif dan karakter <strong>hukum</strong> ortodok. Seperti ketika dibuat Rancangan<br />
Undang-undang Investasi, ada beberapa stake holder yang dipertimbangkan, yaitu:<br />
1. Kepentingan Internasional (TRIMs)<br />
2. Kepentingan pemerintah<br />
a. Pemerintah pusat<br />
b. Pemerintah daerah<br />
3. Kepentingan Masyarakat<br />
a. Masyarakat pada umumnya<br />
b. Pengusaha<br />
Adapun kebijakan investasi tetap akan mempertimbangkan:<br />
1. Legal (kepastian <strong>hukum</strong>)<br />
2. Labour (penyelesaian sengketa)<br />
3. Local (pemerintah daerah)<br />
D. Penutup<br />
Arah kebijakan politik <strong>hukum</strong> di bidang ekonomi di Indonesia merupakan pencerminan<br />
dari tujuan dari pembanguanan di Indonesia, yaitu diupayakan untuk mengarahkan sepenuhnya<br />
untuk kemakmuran rakyat. Konfigurasi politik <strong>hukum</strong> terhadap ekonomi tercermin<br />
dari produk <strong>hukum</strong> yang dihasilkan dan presentase peranan stakeholder dalam<br />
membuat produk <strong>hukum</strong>.
MARDALENA HANIFAH<br />
VOLUME 154<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
E. Daftar Pustaka<br />
Buku-buku<br />
Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia, University Of California Press, Berkeley, 1972.<br />
Gwendolen M. Charter, Demokrasi dan Totaliterisme, Dua Ujung Dalam Spektrum<br />
Politik, dalam Miriam Budiardjo, Gramedia, Jakarta.<br />
Kaelan MS, Pendidikan Pancasila, Paradigma Yogyakarta, 2004.<br />
Kranenburg, R., De Grondslangen der Rechtsweteschap, Harlem: H.D, Tjeenk Willink, 1948.<br />
Moh. Mahfud MD, Perkembangan politik Hukum, Disertasi pada Fakultas Pasca Sarjana,<br />
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1993.<br />
Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986.<br />
……………………….., Hukum Politik dan Perubahan social, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta<br />
Sumantoro, Hukum Ekonomi, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.<br />
Artikel/Makalah<br />
Mohtar Mas’oed, Negara, Masyarakat dan Pembangunan Ekonomi Indonesia, makalah<br />
diskusi panel tentang pembangunana politik, Senat mahasiswa Fisipol UGM,<br />
Yogyakarta, 12 April 1988.<br />
Parlindungan, AP. (Ed), Bahan Diskusi untuk Pepunas Ristek. Medan: Universitas<br />
Sumatera Utara, 1982.<br />
Todung Mulya Lubis, Perkembangan Hukum dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”,<br />
paper untuk Raker Peradin, November 1983.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
155<br />
HUKUM WARIS ISLAM DIPANDANG DARI<br />
PERSPEKTIF HUKUM BERKEADILAN GENDER<br />
MARYATI BACHTIAR<br />
Jalan Cemara No. 59 Pekanbaru<br />
Abstrak<br />
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya<br />
beragama Islam dimungkinkan banyak dari anggota<br />
masyarakat yang mengunakan sistem <strong>hukum</strong> Islam.<br />
Tetapi seiring dengan perkembangan zaman yang<br />
ditandai dengan kemajuan dan teknologi prinsipprinsip<br />
dalam <strong>hukum</strong> Islam terus mengalami kemajuan<br />
yang pesat dan selalu mengikuti perubahan<br />
zaman guna untuk kemaslahatan umat di dunia.<br />
Tanpa membedakan baik laki-laki maupun perempuan.<br />
Dari uraian pembahasan tersebut di atas<br />
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hukum Waris<br />
Islam telah mengakomodir prinsip <strong>hukum</strong> yang<br />
berkeadilan gender.<br />
Abstract<br />
As state which its resident majority believe in Islam<br />
enabled by a lot of society member using Islam punish<br />
system. But along with the times marked by technological<br />
advances and the principles of Islamic law<br />
continues to progress rapidly and always follow the<br />
changing times in order to benefit people in the world.<br />
Without differentiating woman and men. from<br />
breakdown of the solution can pulled a conclusion that<br />
hereditary law of Islam have accomodated law<br />
principle which with justice gender.<br />
Kata kunci: Hukum waris Islam, gender.<br />
A. Pendahuluan<br />
Hukum Islam sebagai salah satu pranata sosial memiliki dua fungsi, fungsi pertama<br />
sebagai kontrol sosial, yaitu <strong>hukum</strong> Islam diletakkan sebagai <strong>hukum</strong> Tuhan, yang selain<br />
sebagai kontrol sosial sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu<br />
komunitas masyarakat. Sedang kontrol yang kedua adalah sebagai nilai dalam proses<br />
perubahan sosial yaitu <strong>hukum</strong> lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas<br />
tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan<br />
politik. 1 Sehingga dalam konteks ini <strong>hukum</strong> Islam dituntut untuk akomodatif terhadap<br />
persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.<br />
Dinamika <strong>hukum</strong> Islam terbentuk oleh interaksi antara wahyu dengan rasio.<br />
Kombinasi dua paradigma diataslah yang mendorong berkembangnya tradisi ijtihad. Dalam<br />
sejarah perkembangan <strong>hukum</strong> Islam terdapat dua aliran yang besar diantara para pendiri<br />
madhzab. Madzhab pertama adalah yang dikenal dengan al Ro,yu (yaitu madzhab yang<br />
mengedepankan rasio sebagai panglima dalam memahami Al-Qur’an), sedangkan<br />
madzhab yang kedua adalah al-Hadits, yaitu (mereka yang mengedepankan Hadis dalam<br />
memahami Al-Qur’an) kelompok yang mempertahankan idealitas wahyu tanpa adanya<br />
pemikiran rasional. 2 Pemahaman yang tidak proporsional dalam memandang <strong>hukum</strong> Islam<br />
tersebut misalnya yang dipahami hanya fikih saja, maka kesan yang akan diperoleh adalah<br />
<strong>hukum</strong> Islam mengalami stagnasi atau jumud dan tidak memiliki kesanggupan untuk<br />
menjawab tantangan zaman.<br />
Begitu juga dalam mensikapi perkembangan zaman kelompok Madzhab al-Hadits<br />
1<br />
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2001, Hlm. 98<br />
2<br />
Qurtubi Al Sumanto, Era Baru Figih Indonesia, Cermin, Yogyakarta, 1999, Hlm. 5
MARYATI BACHTIAR<br />
VOLUME 156<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
cenderung mempertahankan idealitas wahyu tanpa memberikan ruang bagi pemikiran<br />
lain. Artinya apa yang tersurat dalam kalam wahyu Illahi adalah sakral dan final serta<br />
tidak dapat dirubah disebabkan karena apapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun.<br />
Madzhab ini masih dianut untuk sebagian besar oleh umat Islam di Indonesia. Sehingga<br />
dalam melihat fikih pun masih diidentikkan dengan <strong>hukum</strong> Islam, sedang <strong>hukum</strong> Islam<br />
identik dengan <strong>hukum</strong> Allah. Sehingga konsekuensinya <strong>hukum</strong> fikih dipandang sebagai<br />
aturan yang paling benar. Dengan demikian kitab-kitab fikih tersebut bukan hanya disebut<br />
sebagai produk keagamaan, tetapi sebagai buku agama itu sendiri. Sehingga fikih dipandang<br />
sebagai bagian dari agama dan bukan dari produk dari pemikiran keagamaan. 3<br />
Lain halnya dengan kelompok Al Ra,yu, bagi mereka pemahaman akan suatu hal<br />
haruslah sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, apabila antara wahyu dengan<br />
rasio dapat berjalan seiring maka suatu keniscayaan bagi wahyu untuk dapat dibuka bagi<br />
segala kemungkinan penafsiran akal. Sebab pada dasarnya wahyu tidak dapat dipahami<br />
dengan tanpa adanya akal budi manusia. Sebab wahyu merupakan suatu bahasa yang<br />
tidak dapat dipahami menurut bahasanya saja. Sehingga peran akal manusia dibutuhkan<br />
dalam mengartikan bahasa wahyu.<br />
Allah maupun manusia menciptakan <strong>hukum</strong> bertujuan untuk mengendalikan<br />
perbuatan manusia agar manusia tidak masuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki<br />
oleh Allah maupun manusia. Adapun perbuatan itu adalah perbuatan yang membawa<br />
kerugian bagi umat manusia itu sendiri. Sehingga diciptakanlah <strong>hukum</strong> yang diakui dan<br />
ditegakkan bersama untuk melindungi kehidupan umat manusia, baik perorangan maupun<br />
kelompok. Sistem <strong>hukum</strong> di dalam kehidupan masyarakat mempunyai sifat dan ruang<br />
lingkupnya sendiri. Termasuk pula <strong>hukum</strong> Islam.<br />
Hukum Islam mempunyai dinamika dan karakter sendiri serta mempunyai ruang<br />
lingkupnya sendiri. Sistem <strong>hukum</strong> Islam mempunyai sistem yang tersendiri yang dikenal<br />
dengan <strong>hukum</strong> fikih. 4 Hukum fikih bukanlah <strong>hukum</strong> yang sempit tetapi <strong>hukum</strong> yang masih<br />
sangat luas. Hukum fikih ini mencakup semua aspek kehidupan umat manusia. Baik yang<br />
bersifat ibadah maupun muamalah. Ibadah adalah <strong>hukum</strong> mengenai bagaimana manusia<br />
berhubungan dengan Allah, sedang muamalah adalah <strong>hukum</strong> yang mengatur bagaimana<br />
hubungan antar sesama manusia.<br />
Hukum Islam dirumuskan sebagai sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur<br />
perilaku kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Baik yang bersifat pribadi maupun<br />
kelompok. Karena sifatnya yang serba mencakup inilah yang menempatkan agama Islam<br />
dalam tatanan kehidupan umat manusia yang belum pernah dicapai oleh agama atau<br />
kepercayaan lain sebelum Islam. Dengan demikian akan sangat sulit memahami Islam<br />
tanpa memahami <strong>hukum</strong> Islam dengan sepenuhnya. 5<br />
Adapun disyariatkannya <strong>hukum</strong> Islam adalah untuk merealisasikan <strong>hukum</strong> Islam<br />
guna melindungi umat manusia dari segala bentuk kemungkaran dan menciptakan<br />
kemaslahatan umat manusia di dunia ini. Kemaslahatan yang diinginkan dalam <strong>hukum</strong><br />
Islam adalah segala hal yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Terdorong<br />
3<br />
Ibid, Hlm. 5<br />
4<br />
Ahmad Qodri Azizy, Memahami Hukum, Wawasan, 13 Januari 1990<br />
5<br />
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Moderenitas, Mizan, Bandung, 1994, Hlm. 33
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
157<br />
oleh maksud inilah ada bagian yang dinamakan siyasah sya’riah yaitu kebijakan untuk<br />
membuat manusia lebih dekat dengan kebijakan dan menghindari dari segala bentuk<br />
keburukan. 6<br />
Sejak awal kelahirannya Islam tidak mempunyai tujuan yang lain selain untuk mencapai<br />
kemaslahatan umat manusia, baik lahir maupun batin, baik selamat di dunia maupun<br />
di akhirat. Apabila semua <strong>hukum</strong> Islam selalu terikat dengan Teks (nash) yang selalu<br />
dikukuhi dengan pandangan yang sempit, maka konteks <strong>hukum</strong> Islam akan mengalami<br />
kemunduran sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup umat manusia. Pandangan<br />
yang ortodok inilah sebagai penghalang umat Islam untuk bisa sejajar dengan bangsabangsa<br />
lainnya dari percaturan kehidupan di dunia. Sehingga prinsip kemaslahatan umat<br />
akan menemui ruang kosong yang tidak ada manfaatnya.<br />
Kebenaran fikih yang dipersepsikan sebagai kebenaran yang mutlak dianggap telah<br />
membelenggu kreativitas intelektual umat Islam yang merupakan pintu gerbang kemajuan<br />
peradaban umat Islam. Pandangan yang tidak proporsional terhadap fikih ini disebabkan<br />
tidak adanya penelitian pengembangan secara serius. Padahal evolusi historical dari<br />
perkembangan fikih telah menyediakan semacam frame work bagi pemikiran <strong>hukum</strong><br />
Islam atau tepatnya actual working bagi karakteristik perkembangan <strong>hukum</strong> Islam itu<br />
sendiri termasuk pula dalam sistem <strong>hukum</strong> pewarisan Islam di Indonesia.<br />
Sampai saat ini di Indonesia belum terbentuk <strong>hukum</strong> kewarisan secara nasional yang<br />
dapat mengatur pewarisan secara nasional. Sehingga dalam <strong>hukum</strong> kewarisan di Indonesia<br />
dapat menggunakan berbagai macam sistem pewarisan antara lain: sistem <strong>hukum</strong><br />
kewarisan menurut KUH Perdata, sistem kewarisan menurut <strong>hukum</strong> adat dan sistem<br />
kewarisan menurut <strong>hukum</strong> Islam. 7 Ketiga sistem ini semua berlaku dikalangan masyarakat<br />
<strong>hukum</strong> di Indonesia. Terserah para pihak untuk memilih <strong>hukum</strong> apa yang akan digunakan<br />
dalam pembagian harta warisan yang dipandang cocok dan mencerminkan rasa keadilan.<br />
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dimungkinkan banyak<br />
dari anggota masyarakat yang mengunakan sistem <strong>hukum</strong> Islam. Tetapi seiring dengan<br />
perkembangangan zaman yang ditandai dengan kemajuan dan teknologi prinsip-prinsip<br />
dalam <strong>hukum</strong> Islam terus mengalami kemajuan yang pesat dan selalu mengikuti perubahan<br />
zaman guna untuk kemaslahatan umat di dunia. Tanpa membedakan baik laki-laki maupun<br />
perempuan.<br />
Asas <strong>hukum</strong> dalam pewarisan Islam tidak memandang perbedaan antara laki-laki<br />
dengan perempuan, semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak<br />
yang sama sebagai ahli waris. Tetapi hanyalah perbandingannya saja yang berbeda.<br />
Memang di dalam <strong>hukum</strong> waris Islam yang ditekankan adalah keadilan yang berimbang,<br />
bukanlah keadilan yang sama rata sebagai sesama ahli waris. Karena prinsip inilah yang<br />
sering menjadi polemik dan perdebatan yang kadang kala menimbulkan persengketaan<br />
diantara para ahli waris.<br />
Begitu pula gerakan wanita yang memperjuangkan haknya untuk setara dengan kaum<br />
laki-laki. Karena di zaman sekarang peran perempuan dan peran laki-laki hampir sama<br />
6<br />
Qurtubi Al Sumanto, op.cit, Hlm. 10<br />
7<br />
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005, Hlm. 12
MARYATI BACHTIAR<br />
VOLUME 158<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
dalam menjalankan roda perekonomian keluarga. Perempuan yang dahulu hanya dikotomikan<br />
sebagai konco winking yang hanya bertugas dalam urusan rumah tangga telah<br />
mengalami pergeseran nilai seiring dengan perubahan zaman.<br />
Seiring dengan pesatnya perkembangan industri selama kurun waktu tiga puluh lima<br />
tahun di Indonesia telah melahirkan berbagai perkembangan social, yang dahulu<br />
perempuan merupakan sebagai pendamping laki-laki di dalam rumah tangga telah<br />
mengalami perubahan yang mencolok. Semakin banyaknya peran perempuan dalam<br />
mencari nafkah di luar rumah mempengaruhi pola kehidupan dalam masyarakat.<br />
Dampak kapitalisme dan industri modern bagi perempuan diyakini juga ambigu.<br />
Kapitalisme maju melalui komersialisasi aktivitas-aktivitas produktif manusia. Ia<br />
melakukan rasionalisasi pasar pemisahan yang domestik dan pribadi dari yang publik<br />
dan sosial. Pada saat yang sama, dorongan kuat akan keberhasilan telah mengabaikan<br />
gagasan-gagasan tradisional tentang penghasilan keluarga yang bertumpu pada laki-laki<br />
serta memaksa perempuan dari kelas bawah dan selanjutnya sejumlah kaum perempuan<br />
kelas menengah untuk bekerja.<br />
Dengan majunya kapitalisme telah membuka kesempatan baru bagi perempuan<br />
termasuk kemungkinan untuk eksis di luar keluarga dan menentang dominasi laki-laki<br />
dengan budaya patriarki. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin laki-laki menjadi<br />
kontrol kemampuan produksi. Kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan akan<br />
tercapai penuh melalui tercapainya kemajuan teknologi dimana pekerjaan tidak harus<br />
mengunakan tenaga yang besar tetapi dapat dilaksanakan dengan kemampuan <strong>ilmu</strong> dan<br />
ketrampilan. 8<br />
Kapitalisme industri telah menghancurkan unit kerja suami dan istri, awalnya<br />
perempuan setidaknya telah menjadi lebih tergantung kepada laki-laki bagi keberlangsungan<br />
ekonominya. Pernikahan bagi perempuan, menurut Hamilton, telah menjadi<br />
tiket perempuan untuk memperoleh kehidupan walau kadang kala sama sekali tidak<br />
mencukupi. Kapitalisme dan patriarki merupakan dua sistem yang saling berkaitan.<br />
Karenanya, ada hubungan antara pembagian kerja dan upah dan kerja domestic.<br />
Pembagian kerja domestik yang hirarkis terus dihidupkan oleh keluarga telah mengenyampingkan<br />
peranan produktif tradisional bagi keberlangsungan dan kebaikan dalam<br />
masyarakat.<br />
Yang dahulu wanita hanya sebagai pendamping pria dalam mencari nafkah kini telah<br />
mengalami pergeseran. Kini perempuan tidak sedikit malah menjadi tulang punggung<br />
perekonomian keluarga. Perubahan inilah yang menjadikan perubahan sosial yang dahulu<br />
wanita merupakan sebagai makhluk kelas dua kini telah mensejajarkan kedudukannya<br />
dengan laki-laki, 9 begitu pula dalam tuntutan pembagian terhadap harta warisan. Sebab<br />
di dalam sistem <strong>hukum</strong> kewarisan Islam menempatkan pembagian yang tidak sama antara<br />
laki-laki dengan perempuan.<br />
Seiring dengan bias gender kaum feminis selalu meminta kedudukan yang sama<br />
dengan laki-laki, sebab pada prinsipnya <strong>hukum</strong> tidak membeda-bedakan jenis kelamin<br />
8<br />
Fakih Mansor, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, Hlm. 50<br />
9<br />
Herry Santoso, Idiologi Patriarki dalan Ilmu-Ilmu Sosial, Proyek Penelitian PSW UGM, Yogyakarta, 2001,<br />
Hlm. 78
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
159<br />
antara laki-laki dengan perempuan. Semakin banyaknya tuntutan kaum feminis terhadap<br />
kaum maskulin mempengaruhi pula terhadap sistem <strong>hukum</strong> yang berlaku dalam<br />
masyarakat. Arti keadilanpun mengalami perubahan yang sangat berarti, yang dahulu<br />
laki-laki merupakan sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap setiap permasalahan<br />
dalam rumah tangga, tetapi sekarang telah mengalami perubahan yang berarti. 10 Kini<br />
laki-laki tidak satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga.<br />
Sehingga tuntutan akan keadilan pun berubah pula, yang dahulu di zaman jahiliah<br />
wanita bukanlah sebagai ahli waris karena dahulu sistem kekeluargaan menganut sistem<br />
patrilinial dimana semua harta adalah milik suami atau laki-laki. Karena masyarakat pada<br />
zaman jahiliah berpendapat bahwa hanya laki-lakilah yang dapat mengumpulkan harta,<br />
maka semua harta menjadi hak laki-laki saja. Dengan diturunkanya Islam maka wanita<br />
mempunyai hak yang sama kuat di dalam hak untuk mendapatkan harta warisan, yaitu<br />
sejak diturunkanya surat an-Nisa ayat 7, yang artinya: laki-laki berhak memperoleh<br />
harta dari peninggalan ibu bapaknya dan wanita pun berhak memperoleh bagian dari<br />
harta peniggalan ibu, bapaknya dan kerabatnya.<br />
Pergeseran peran laki-laki dan perempuan inilah yang menjadi isu gender di<br />
masyarakat. Tuntutan kaum perempuan terhadap hak-haknya sesuai peran perempuan<br />
dalam keluarga, sehingga <strong>hukum</strong> waris Islam pun harus dapat pula mengakomodir<br />
kebutuhan masyarakat terhadap <strong>hukum</strong> yang dapat memberikan keadilan terhadap<br />
perempuan di masa sekarang ini. Dimana terjadi perbedaan perhitungan pembagian dalam<br />
<strong>hukum</strong> waris Islam. Dimana laki-laki mendapat bagian yang lebih banyak dari perempuan.<br />
Berdasarkan uraian di atas mengenai perbedaan perhitungan hak waris antara lakilaki<br />
dengan perempuan maka permasalahan yang diajukan adalah benarkah sistem <strong>hukum</strong><br />
kewarisan Islam telah mengakomodir sistem <strong>hukum</strong> yang berkeadilan gender<br />
B. Pembahasan<br />
1. Hukum Islam dan Keadilan<br />
Dalam pandangan filsafat tujuan akhir <strong>hukum</strong> adalah keadilan. Kaitannya dengan<br />
<strong>hukum</strong> Islam, keadilan yang harus dicapai mesti mengacu pada pokok agama yaitu Al-<br />
Our’an dan Hadis. Artinya tujuan keadilan melalui jalur <strong>hukum</strong> harus berawal dari dua<br />
segi, yaitu Al-Qur’an dan hadis di satu segi harus mampu menyatu dengan pedoman prinsip<br />
keadilan secara umum menurut pandangan manusia di lain segi. Tugas awal yang kemudian<br />
adalah upaya formulasi Al-Qur’an dan hadis khusus yang berkaitan dengan <strong>hukum</strong> agar<br />
mampu tampil sebagai prinsip keadilan umum. Perpaduan dua segi ini diharapkan menjadi<br />
produk standar panduan mencari keadilan lewat jalur <strong>hukum</strong>. Pada akhirnya pedoman<br />
tersebut mampu tampil menjadi standar <strong>hukum</strong> universal yang mampu tampil dimanapun<br />
dan kapanpun sesuai dengan fitrah diturunkanya Islam ke muka bumi.<br />
Maksud dari muara keadilan dari dua segi adalah tujuan akhir berupa keadilan yang<br />
harus dicapai oleh sebuah sistem <strong>hukum</strong> universal mesti berorientasi pada keadilan<br />
terhadap manusia dan keadilan kepada Allah. Keadilan bagi manusia mengarah kepada<br />
berbagai definisi keadilan yang bukan tidak mungkin antara satu masyarakat manusia<br />
10<br />
Bambang Sugiharto, Post Modern Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996, Hlm. 100
MARYATI BACHTIAR<br />
VOLUME 160<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
dengan masyarakat lainnya berbeda dalam mengartikan keadilan <strong>hukum</strong>. Artinya<br />
fleksibilitas produk keadilan mutlak diperlukan dalam heteronenitas manusia dan<br />
linngkungannya, sedangkan muara keadilan kepada Allah adalah produk <strong>hukum</strong> yang<br />
menempatkan keadilan sesuai dengan proporsinya.<br />
Pendapat ini sejalan dengan ungkapan Freidman, bahwa “selama standar prinsip<br />
keadilan tidak berpegang pada agama maka pedoman itu tidak akan mencapai ideal prinsip<br />
keadilan.” Padahal sebuah prinsip adalah standar yang tidak akan berubah. Perubahan<br />
hanya pada tataran operasional saja, sedangkan prinsip yang utama tidak akan berubah.<br />
Pengertian <strong>hukum</strong> Islam yang demikian luas dengan berbagai hal yang terkait dengan<br />
demikian luas dengan berbagai hal yang berkaitan dengan <strong>hukum</strong> menjadi singkat dalam<br />
ungkapan Mac Donald yang menyebut <strong>hukum</strong> Islam adalah ‘The Science of all things,<br />
human and devine”. 11 Pandangan Mac Donald tersebut merupakan kristalisasi dari sistem<br />
<strong>hukum</strong> yang mampu melihat pluralitas sebagai realitas empiris. Pluralitas disini bukan<br />
hanya manusia dalam bentuk hubungan garis horizontal, tetapi plural yang menyangkut<br />
hubungan horizontal dan vertikal.<br />
2. Keadilan Menurut Pemikiran Pemikir Hukum Adat<br />
Alam pemikiran masyarakat <strong>hukum</strong> adat pada umumnya dipengaruhi oleh alam<br />
sekitarnya yang bersifat magis-religius. Alam pikiran yang mempertautkan antara yang<br />
nyata dengan yang tidak nyata. Antara alam fana dengan alam baka, antara kekuatan<br />
manusia dengan kekuatan Tuhan, antara <strong>hukum</strong> manusia dengan <strong>hukum</strong> Tuhan. Alam<br />
pikiran yang demikian ini meliputi azas ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan kebersamaan<br />
kemasyarakatan, sehingga hokum adat dapat dikatakan sebagai <strong>hukum</strong> yang<br />
berfalsafah Pancasila. 12 Hukum adat dengan karakteristik falsafah Pancasila merupakan<br />
perwujudan dari kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sehingga <strong>hukum</strong> adat<br />
merupakan <strong>hukum</strong> yang sangat beragam tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh<br />
dalam bingkai (Bhineka Tunggal Ika).<br />
Pada umumnya masyarakat <strong>hukum</strong> adat sangat sukar berfikir secara rasional tetapi<br />
lebih dipengaruhi oleh pola pikir yang komunal magis-religius. Alam pikiran ini menempatkan<br />
kehidupan manusia merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari alam.<br />
Kehidupan manusia taut menaut dengan keadaan alam, apabila alam mengalami<br />
kegoncangan berarti manusia melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan <strong>hukum</strong><br />
alam. 13 Terjadinya bencana bencana merupakan ulah dari perbuatan manusia yang tidak<br />
mematuhi <strong>hukum</strong> telah ditetapkan Tuhan kepada manusia, sehingga manusia menerima<br />
laknat dari Tuhan. Baik buruknya keadan alam ditentukan oleh perbuatan manusia itu<br />
sendiri.<br />
Hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Holleman, <strong>hukum</strong> adat mempunyai<br />
empat ciri umum yang dipandang sebagai dari satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 14<br />
11<br />
Mac Donald, Development of Muslem Theology, Jurisprudence and Constitusional Theory, Khayats Oriental<br />
Reprint, Beirut, 1965, Hlm. 66<br />
12<br />
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1979, Hlm. 20-21<br />
13<br />
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1981, Hlm. 117<br />
14<br />
Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1982, Hlm. 30-31
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
161<br />
Adapun empat ciri tersebut adalah pertama religius magis, yaitu perpaduan pikiran yang<br />
mengandung logika animisme yaitu pandangan yang berhubungan dengan alam gaib.<br />
Kedua adalah komunal yaitu sifat yang mementingkan kepentingan bersama daripada<br />
kepentingan pribadi. Sifat yang ketiga adalah tunai, yaitu kebiasaan dalam masyarakat<br />
dalam jual beli bersifat tunai yaitu hak dan kewajiban dilakukan dalam waktu yang sama.<br />
Yang keempat adalah konkrit, yaitu dalam melakukan perbuatan harus bersifat nyata.<br />
3. Keadilan dalam Konsep Kewarisan Bilateral<br />
Kewarisan bilateral dalam <strong>hukum</strong> Islam mengandung dua nilai keadilan, yaitu keadilan<br />
Tuhan dan keadilan manusia. Keadilan Tuhan adalah nilai keadilan yang mendasarkan<br />
pada pengertian bahwa keadilan yang berasal dari yang transendental. Artinya keadilan<br />
dapat tercapai apabila melalui penempatan Tuhan secara proporsional. Dalam pengertian<br />
ini Tuhan adalah titik sentral setiap gerak dan tingkah laku mahluk dari awal kejadian<br />
sampai peraturan yang menjadi standar tingkah laku makluk. Sedangkan keadilan manusia<br />
adalah keadilan yang mendasarkan prinsip-prinsip pada nilai keadilan manusiawi.<br />
Hukum kewarisan Islam hasil ijtihat Syafi’i oleh sebagian besar umat Islam telah<br />
dijadikan sebagai sumber <strong>hukum</strong> normatif dan harus diterima sebagai <strong>hukum</strong> yang<br />
mengikat dan terpancar dari perintah Allah dalam Al-Qur’an dan Hadis, sehingga layak<br />
bagi setiap muslim untuk merasakan tidak adil terhadap <strong>hukum</strong> kewarisan tersebut.<br />
Pemahaman semacam ini pada awalnya dianggap sebagai prinsip keadilan obyektif semata<br />
keluar dari penilaian keadilan subyektif, terutama bagi masyarakat dengan sistem<br />
kekeluargaan matrilineal dan bilateral sebab kewarisan Syafi’i bercorak patrilinial. Akan<br />
tetapi seiring dengan perjalanan waktu penilaian keadilan subyektif beradaptasi dengan<br />
penilaian keadilan obyektif sebagai warisan sesuai dengan keadilan dua segi sekaligus,<br />
yaitu keadilan obyektif dan keadilan subyektif.<br />
Persoalannya adalah, bagaimana jika dalam perjalanan selanjutnya terdapat<br />
kekeliruan konsep <strong>hukum</strong> Islam dalam menangkap pancaran hikmah Allah dalam Al-<br />
Qur’an berupa <strong>hukum</strong> kewarisan Islam. Jawabannya akan kembali pada sejauh mana<br />
argumentasi normatif konseptor kontemporer mampu menjabarkan konsep dengan norma<br />
dasar <strong>hukum</strong> Islam. Dalam hal ini bagaimana Al-Qur’an dan Hadis merestui konsep yang<br />
ditawarkan tersebut. Tentunya yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana penerima<br />
konsep bersedia untuk membuka diri terhadap norma dan rasio. 15<br />
Pola penafsiran yang demikian bermuara pada pengertian <strong>hukum</strong> adil dipandang dari<br />
dua segi sebagaimana konsep keadilan Kelsen, yaitu keadilan rasional dan keadilan<br />
metafisis. Keadilan rasional, konsep keadilan tercermin dari konsep yang ilmiah, sebab<br />
berangkat dari kesimpulan penelitian ilmiah. Disamping itu kewarisan bilateral terbentuk<br />
dari pola budaya dan perilaku serta pandangan empirik manusia tentang nilai keadilan<br />
secara umum, sedang keadilan metafisis yang ditawarkan adalah keadilan yang terpancar<br />
dari pedoman dasar sumber keadilan metafisis itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan Hadis.<br />
Kedua prinsip keadilan tersebut bukan lahir begitu saja tersebut tidak begitu saja<br />
bersama. Keadilan rasional adalah hasil dari evolusi dari prinsip keadilan metafisis. Keadilan<br />
15<br />
Abdul Ghofur Ansori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hlm. 160
MARYATI BACHTIAR<br />
VOLUME 162<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
metafisis berkembang pesat pada era klasik pra-Socrates dan Plato. Seiring perjalanan<br />
waktu dan perkembangan pemikiran manusia, Aristoteles mempelopori prinsip keadilan<br />
disamping metafisis juga intelektual rasional. Artinya dengan menjadikan sistem kewarisan<br />
Islam sebagai <strong>hukum</strong> yang bersandar pada prinsip nilai keadilan metafisis saja berarti<br />
menarik mundur <strong>hukum</strong> Islam ke arah prinsip keadilan era klasik yang sekarang bukan<br />
zamannya lagi.<br />
4. Keadilan Gender<br />
Konsep kewarisan bilateral adalah mawali. Konsep ini dipandang memenuhi standar<br />
keadilan gender. Mawali disebut sebagai pengurangan domonasi laki-laki dalam <strong>hukum</strong><br />
kewarisan Islam sebelumnya. Dalam kewarisan Syafi’i, anak perempuan menjadi asabah<br />
bukan atas kedudukan sendiri sebagai asabah tetapi disebabkan adanya anak laki-laki<br />
yang menariknya sebagai asabah, dalam bahasa Syafi’i disebut asabah bi al-ghairi.<br />
Konsep kewarisan model Syafi’i tersebut bertolak belakang dengan konsep yang<br />
ditawarkan Hazairin, dalam konsep Hazairin anak laki-laki dan perempuan mempunyai<br />
hak dan kedudukan yang sama sebagai ahli waris, keduanya berdiri sendiri tanpa adanya<br />
ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.<br />
Konsep mawali bila dibandingkan dengan prinsip Naminem Laederenya Soekanto<br />
akan menampakkan keserasian. Sebab mawali menjadikan cucu sebagai ash-habul faraidl,<br />
pada kewarisan Syafi’i yang dirugikan oleh saudara pewaris menjadi ahli waris yang<br />
mendapatkan bagian menggantikan kedudukan ayah atau ibunya.<br />
Demikian pula dengan prinsip Suum Cuique Tribuere. Bila anak laki-laki mempunyai<br />
kemampuan menghijab, maka berikanlah hak yang sama bagi anak perempuan. Hal ini<br />
sesuai dengan penggantian Suum Cuique Tribuere yaitu “apa yang anda boleh mendapatkannya”.<br />
Begitu juga dalam Al-Qur’an Allah tidak pernah membedakan laki-laki<br />
dengan perempuan.<br />
Di samping itu konsep kewarisan Syafi’i yang dinilai bias gender adalah perbedaan<br />
kemampuan menghijab antara laki-laki dengan perempuan. Anak laki-laki dapat menghijab<br />
para saudara dari segala jurusan, baik laki-laki maupun perempuan, kakek dan nenek<br />
dari pewaris mempunyai kemampuan untuk itu. Sedangkan dalam konsep kewarisan<br />
bilateral, anak laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama dalam urusan<br />
hajib-mahjub.<br />
Anehnya, bagi sebagian orang bentuk ketidaksetaraan laki-laki dengan perempuan<br />
dianggap sebagai sesuatu yang adil. Hal ini bukan saja ada dalam kewarisan Islam, bahkan<br />
beberapa peneliti ada yang menganggap hal itu sebagai bentuk keadilan. Crosby (1982),<br />
Feather (1990), Jacson dkk (1992) menemukan bahwa perempuan lebih mudah<br />
memberikan penilaian terhadap perbedaan derajat tersebut. Hal semacam ini cenderung<br />
menjadi false consciousness yang perlu perhatian dan usaha untuk memperbaikinya,<br />
sebab Al-Qur’an tidak pernah membedakan jenis kelamin dalam keadilan kewarisan.<br />
5. Prinsip Keadilan Berimbang dalam Hukum Kewarisan Islam<br />
Kata adil merupakan bahasa Indonesia yang berasalkan dari kata al-adlu, di dalam
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
163<br />
Al-Qur’an kata al-adlu atau turunannya disebut lebih dari 28 (dua puluh delapan) kali.<br />
Sebagian diantaranya diturunkan Allah dalam bentuk kalimat perintah dan sebagian dalam<br />
bentuk kalimat berita. Kata al-adlu itu dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan<br />
dalam arah yang berbeda pula. Sehingga akam memberikan definisi yang berbeda sesuai<br />
dengan konteks tujuan penggunaannya. 16 Dalam hubungan dengan hak yang menyangkut<br />
materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan kata tersebut dapat diartikan:<br />
keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan<br />
keperluan dan kegunaan.<br />
Atas dasar pengertian tersebut di atas terlihat jelas asas keadilan dalam pembagian<br />
harta warisan dalam <strong>hukum</strong> Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan<br />
gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya sebagaimana laki-laki dan<br />
perempuan mempunyai hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan warisan. Hal ini<br />
secara jelas disebut dalam Al-Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 7 yang menyamakan<br />
kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11-12,<br />
176 surat an-Nisa secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima warisan<br />
antara anak laki-laki, dan anak perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan istri (ayat<br />
12), saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12 dan 176).<br />
Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat dalam<br />
dua bentuk. Pertama: laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan;<br />
seperti ayah dengan ibu sama-sama mendapatkan seperenam dalam keadaan pewaris<br />
meninggalkan anak kandung, sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat 11 surat an-Nisa.<br />
Begitu pula dengan saudara laki-laki dengan saudara perempuan sama-sama mendapat<br />
seperenam. Apabila seorang pewaris tidak memiliki ahli waris langsung seperti suami/<br />
istri, anak, bapak dan ibu maka berlaku surat an-Nisa’ ayat 12. Kedua: laki-laki<br />
memperoleh bagian lebih banyak dua kali lipat dari yang di dapat oleh perempuan yaitu:<br />
anak laki-laki dengan anak perempuan, suami dengan isteri, sebagaimana tersebut dalam<br />
ayat 12 surat an-Nisa’.<br />
Ditinjau dari segi jumlah bagian saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan.<br />
Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam<br />
tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga<br />
dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum pria membutuhkan<br />
lebih banyak materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam<br />
ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap<br />
keluarganya termasuk para wanita; sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa’<br />
ayat 34.<br />
Bila dihubungkan dengan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggung jawab<br />
seperti disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang dirasakan lakilaki<br />
sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya pria<br />
menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikan<br />
lagi kepada wanita, dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab<br />
atas wanita. Inilah konsep keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam.<br />
16<br />
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, Hlm. 24-27
MARYATI BACHTIAR<br />
VOLUME 164<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Walaupun kerabat garis ke atas, yaitu orang tua dan kerabat garis ke bawah yaitu<br />
anak sama-sama berhak atas harta warisan bahkan dalam surat An-Nisa ayat 11<br />
menyatakan bahwa keduanya mempunyai kedudukan yang sama, namun terdapat<br />
perbedaan dalam jumlah yang diterima. Anak rata-rata mendapatkan bagian yang lebih<br />
besar dibandingkan dengan apa yang diterima oleh orang tuanya. Adanya perbedaan ini<br />
dapat dikaji dari segi hak dan kewajiban, serta tanggung jawab, maka tanggung jawab<br />
orang tua terhadap anak lebih besar daripada tanggung jawab anak terhadap orang tua.<br />
Hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakekatnya merupakan kontinuitas<br />
tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya atau ahli waris berimbang dengan<br />
perbedaan tanggung jawab seseorang (yang kemudian menjadi pewaris) terhadap keluarga<br />
(yang kemudian menjadi ahli waris) bagi seorang laki-laki tanggung jawab yang utama<br />
adalah istri dan anak-anaknya merupakan kewajiban yang harus dipikulnya.<br />
Umur juga tidak menjadi faktor yang menentukan dalam pembagian harta warisan.<br />
Dilihat dari segi kebutuhan sesaat yaitu waktu menerima hak, terlihat bahwa kesamaan<br />
jumlah penerimaan antara yang besar dengan yang kecil tidaklah adil, tetapi tinjauan dari<br />
kebutuhan tidak bersifat saat dilangsungkannya pembagian harta warisan tetapi untuk<br />
jangka waktu yang lama sampai pada usia dewasa, yang kecil membutuhkan materi yang<br />
sama banyaknya dengan orang yang sudah dewasa. Bila dihubungkan dengan besarnya<br />
keperluan orang dewasa dengan lamanya keperluan bagi anak yang belum dewasa dan<br />
dikaitkan pula kepada perolehan yang sama dalam hak kewarisan, maka hasilnya<br />
keduanya akan mendapatkan kadar manfaat yang sama atas apa yang mereka terima.<br />
Inilah keadilan hakiki dalam pandangan Islam, yaitu keadilan berimbang dan bukan<br />
keadilan yang sama rata.<br />
C. Penutup<br />
Antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama kuat dalam mendapatkan<br />
harta warisan dari orang tuanya maupun dari saudaranya. Perempuan adalah ahli waris<br />
yang sangat dilindungi oleh <strong>hukum</strong> waris Islam. Anak perempuan sebagai dzawil furud<br />
apabila tidak ada anak laki-laki. Apabila ada anak laki-laki maka anak perempuan akan<br />
menjadi asobah bersama dengan anak laki-laki. Perbandingan antara suami dan istri<br />
dengan perbandingan (2:1), apabila suami sebagai satu-satunya orang yang bertanggung<br />
jawab ekonomi rumah tangga. Apabila suami bukan sebagai satu-satunya yang bertanggung<br />
jawab sebagai pencari nafkah, maka perbandingan ini bisa berubah. Hukum<br />
Waris Islam menetapkan laki-laki dan perempuan sebagai ahli waris terhadap orang tua<br />
laki-laki, orang tua perempuan dan terhadap saudaranya.<br />
Untuk dapat mencerminkan <strong>hukum</strong> kewarisan yang berkeadilan gender yaitu <strong>hukum</strong><br />
yang memperhatikan hak-hak laki-laki maupun perempuan, dengan tidak meninggalkan<br />
nilai-nilai keadilan Islam yaitu keadilan guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.<br />
Karena prinsip <strong>hukum</strong> Islam adalah untuk kemaslahatan umat atau “rahmatan lil alamin”<br />
yaitu rahmat untuk semua alam dengan mendahulukan musyawarah untuk mencapai<br />
mufakat dan tidak bersekutu dalam hal yang tidak diridhoi oleh Allah.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
165<br />
D. Daftar Pustaka<br />
Abdul Anshari Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2005.<br />
Adnan Taufik Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1994.<br />
Ahmad Azizi Qodri, Memahami Hukum, Wawasan, 13 Januari 1990.<br />
Amir Sarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004.<br />
Bambang Sugiharto, Post Modern Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996.<br />
Donald, Mac, Development of Muslim Theology, Jurisprudence Theory, Khayat Oriental<br />
Reprint, Beirut, 1965.<br />
Eman Suparman, Hukum Waris di Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005.<br />
Herry Santoso, Idiologi Patriarki dalam Ilmu-<strong>ilmu</strong> Sosial, Proyek Penelitian PSW UGM,<br />
Yogyakarta, 2001.<br />
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1979.<br />
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.<br />
—————————, Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1982.<br />
Kuhzari, Ahmad, Sistem Asobah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas harta Peninggalan,<br />
Dar Al-jail, Beirut, 1973.<br />
Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,<br />
1999.<br />
Qurtubi Sumanto, Al, Era Baru Figh Indonesia, Cermin, Yogyakarta, 1999.
VOLUME 166<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
SISTEM HUKUM PERKAWINAN PADA<br />
NEGARA HUKUM BERDASARKAN PANCASILA<br />
TENGKU ERWINSYAHBANA<br />
Asrama Singgasana I Kodam I/BB, Jl. Prasaja No. K-281 Medan<br />
Abstrak<br />
Perkawinan termasuk sebagai kebutuhan dasar<br />
(asasi) setiap manusia, yang tujuannya adalah untuk<br />
membentuk keluarga atau rumah tangga yang<br />
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang<br />
Maha Esa. Dimasukkannya unsur kalimat “Ketuhanan<br />
Yang Maha Esa” dalam pengertian perkawinan<br />
yang disebutkan pada Pasal 1 UU No. 1<br />
Tahun 1974, menunjukkan bahwa perkawinan<br />
tidak dapat dipandang hanya sebagai urusan yang<br />
bersifat pribadi (individual), melainkan harus juga<br />
dipandang sebagai hubungan <strong>hukum</strong> antara seorang<br />
pria dengan seorang wanita dalam satu<br />
rumah tangga yang memiliki nilai-nilai religius<br />
berdasarkan pada Pancasila sebagai falsafah hidup<br />
Bangsa Indonesia.<br />
Abstract<br />
Marriage is included as basic needs (rights) of every<br />
human being, whose goal is to establish a family or<br />
household who are happy and eternal by Belief in God<br />
Almighty. The inclusion of elements of the phrase “Belief<br />
in God Almighty” within the meaning of marriage<br />
mentioned in Article 1 of Law no. 1 of 1974, indicating<br />
that the marriage can not be viewed simply as a matter<br />
of personal (individual), but must also be viewed<br />
as the legal relationship between a man and a woman<br />
in a household that has religious values based on the<br />
Pancasila as a life philosophy of the Indonesian nation.<br />
Kata kunci: Perkawinan, negara <strong>hukum</strong>, Pancasila.<br />
A. Pendahuluan<br />
Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai berbagai macam<br />
kebutuhan dalam hidupnya dan setiap manusia tentu menginginkan pemenuhan<br />
kebutuhannya secara tepat untuk dapat hidup sebagai manusia yang sempurna, baik<br />
secara individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Maslow 1 mengatakan bahwa<br />
manusia akan selalu termotivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhankebutuhan<br />
ini memiliki tingkatan (hirarki). Maslow menyebutkan salah satu kebutuhan<br />
dasar manusia adalah kebutuhan untuk menyalurkan nafsu seksnya merupakan kebutuhan<br />
fisiologis (the physiological needs).<br />
Penyaluran nafsu seks dilakukan manusia dengan berbagai macam cara, ada dengan<br />
cara yang tidak lazim (misalnya hubungan kelamin sesama jenis) dan ada dengan cara<br />
yang lazim (sesuai norma-norma yang berlaku) yang dikenal dengan istilah perkawinan<br />
(pernikahan), tetapi perlu pula dimaklumi bahwa perkawinan tidak hanya untuk menyalurkan<br />
kebutuhan seks manusia, karena perkawinan mempunyai makna atau<br />
pengertian yang lebih luas lagi. Melalui perkawinan orang akan mendapat keturunan,<br />
maka perkawinan termasuk juga dalam kelompok kebutuhan akan rasa memiliki dan<br />
kasih sayang (the belongingness and love needs).<br />
Istilah kawin sebenarnya berasal dari bahasa Arab, disebut dengan kata nikah. 2 Alnikah<br />
yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Ada kalanya juga disebut<br />
1<br />
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, Harper & Row Publishers, New York, 1970, hlm. 35-47.<br />
2<br />
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur’an,<br />
Jakarta, 1973, hlm. 468.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
167<br />
dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna<br />
bersetubuh, berkumpul dan akad. 3 Secara terminologi kawin atau nikah dalam bahasa<br />
Arab disebut juga “ziwaaj”, sehingga perkataan nikah mempunyai dua pengertian, yakni<br />
dalam arti yang sebenarnya (hakikat) dan dalam arti kiasan (majaaz). 4 Dalam pengertian<br />
sebenarnya nikah disebut dengan dham yang berarti “menghimpit”, “menindih”, atau<br />
“berkumpul”, sedangkan dalam pengertian kiasannya disebut dengan istilah “wathaa”<br />
yang berarti “setubuh”. Perkataan nikah dalam bahasa sehari-hari lebih banyak dipakai<br />
dalam arti kiasan daripada arti sebenarnya, bahkan nikah dalam arti sebenarnya jarang<br />
sekali dipakai pada saat ini. 5<br />
Wirjono Prodjodikoro, 6 mengatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama dari<br />
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dan<br />
jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat<br />
lahir dan bathin dengan dasar iman. Di antara yang berpendapat demikian mengatakan,<br />
bahwa kalau dipandang sepintas lalu saja, maka suatu perkawinan merupakan suatu<br />
persetujuan belaka dalam masyarakat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,<br />
seperti misalnya suatu persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain. Sayuti Thalib 7<br />
menganggap bahwa perkawinan sebagai perjanjian suci antara seorang laki-laki dan<br />
seorang perempuan untuk membentuk keluarga, sedang R. Subekti 8 mengatakan bahwa<br />
perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan<br />
untuk waktu yang lama.<br />
Perkawinan merupakan penjanjian (akad), tetapi makna penjanjian yang dimaksudkan<br />
di sini berbeda dengan perjanjian seperti yang di atur dalam Buku III KUH Perdata.<br />
Perkawinan merupakan perjanjian yang tujuannya adalah untuk mewujudkan kebahagiaan<br />
antara kedua belah pihak (pasangan suami dan isteri), tidak dibatasi dalam waktu tertentu<br />
dan mempunyai sifat religius (adanya aspek ibadah), bahkan Sidi Gazalba seperti yang<br />
dikutip Idris Ramulyo, 9 mengatakan bahwa tidak merupakan perkawinan jika ikatan lahir<br />
batin tersebut tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan<br />
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/<br />
kerohanian, dengan demikian perkawinan tidak hanya mempunyai unsur lahir/jasmani,<br />
tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting.<br />
3<br />
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan<br />
Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 38. Bandingkan<br />
juga dengan A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif,<br />
Surabaya, Cetakan Keduapuluh Lima, 2002, hlm. 1461. Lihat juga As-Shan’ani, Subulus Salam,<br />
Penerjemah Abu Bakar Muhammad, Al-Ikhlas, Surabaya, Cetakan Pertama, 1995, hlm. 393.<br />
4<br />
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Juz. IV, Beirut, t.t, hlm. 1-3.<br />
Lihat juga Maghfirah, “Definisi Nikah dan Pengaruhnya terhadap Istimbath Hukum, Jurnal Hukum<br />
Islam, Vol. VIII-No, 6, Desember 2007, hlm. 648.<br />
5<br />
Rachmadi Usman (1), Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika,<br />
Jakarta, 2006, hlm. 268.<br />
6<br />
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1981, hlm. 7-8.<br />
7<br />
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia, UI-Press, Jakarta, Cetakan Kelima, 1986, hlm. 47.<br />
8<br />
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hlm. 23.<br />
9<br />
Mohd. Idris Ramulyo (1), Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan<br />
Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 44.
TENGKU ERWINSYAHBANA<br />
VOLUME 168<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
B. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai Dasar<br />
Hukum Keluarga Indonesia<br />
Hukum keluarga merupakan <strong>hukum</strong> yang paling tua dibandingkan jenis <strong>hukum</strong> lain,<br />
karena ketika berbicara keluarga maka yang perlu disepakati bahwa keluarga itu<br />
merupakan unit terkecil dalam masyarakat, yang minimal terdiri dari seorang suami dan<br />
seorang isteri. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, dan dengan memaknai adagium<br />
“ubi sociates ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ ada <strong>hukum</strong>), maka dapat dikatakan<br />
bahwa bagian dari <strong>hukum</strong> keluarga yang paling tua adalah <strong>hukum</strong> perkawinan. Seperti<br />
yang dikatakan Muhammad Amin Summa 10 bahwa dari keluarga baru terbentuk<br />
masyarakat yang lebih banyak dan lebih luas, maka sejak saat itu baru mulai berkembang<br />
<strong>hukum</strong>-<strong>hukum</strong> publik seperti <strong>hukum</strong> tata negara, <strong>hukum</strong> administrasi negara, <strong>hukum</strong><br />
pidana dan bidang-bidang <strong>hukum</strong> lainnya.<br />
Berbicara mengenai <strong>hukum</strong> keluarga, maka tidak terlepas dari persoalan <strong>hukum</strong><br />
perkawinan, sebab keluarga terbentuk melalui perkawinan. Setelah terjadinya perkawinan<br />
maka terbentuk hubungan <strong>hukum</strong> antara isteri dengan suami, termasuk pula hubungan<br />
yang terkait dengan harta dalam perkawinan. Selanjutnya jika dari perkawinan itu lahir<br />
anak, maka terbentuk pula hubungan antara orang tua dengan anak/anak-anak. Secara<br />
sederhana maka dapat dikatakan bahwa <strong>hukum</strong> keluarga merupakan <strong>hukum</strong> yang<br />
mengatur hubungan suami dengan isteri, hubungan antara orang tua dengan anak-anak,<br />
serta hubungan yang terkait dengan harta benda perkawinan, atau aturan <strong>hukum</strong><br />
mengenai hubungan <strong>hukum</strong> yang terjadi karena adanya hubungan kekeluargaan, baik<br />
karena hubungan keluarga sedarah (pertalian keluarga dari leluhur yang sama), maupun<br />
hubungan keluarga yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan antara suami isteri<br />
(hubungan semenda).<br />
Melalui ikatan perkawinan, sebenarnya juga akan terjadi hubungan yang nantinya<br />
baru ada setelah meninggalnya salah satu anggota keluarga, yaitu terkait dengan hak<br />
untuk mewarisi terhadap harta dari pewaris (anggota keluarga yang meninggal dunia).<br />
Suatu pertanyaan yang muncul adalah: “apakah <strong>hukum</strong> waris merupakan bagian dari<br />
<strong>hukum</strong> keluarga” Kalau melihat sebab timbulnya hak untuk mewarisi karena ikatan<br />
perkawinan, maka <strong>hukum</strong> waris seharusnya juga termasuk bagian dari <strong>hukum</strong> keluarga,<br />
tetapi jika melihat sistematika <strong>hukum</strong> perdata menurut doktrin, maka sistematika <strong>hukum</strong><br />
keluarga dengan <strong>hukum</strong> waris dipisahkan.<br />
Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur <strong>hukum</strong> keluarga di<br />
Indonesia belum ada, tetapi secara subtansial terjelmakan dalam UU No. 1 Tahun 1974,<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP No. 9 Tahun 1975) tentang Pelaksanaan<br />
UU No. 1 Tahun 1974, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi<br />
Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang<br />
Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. 11 Ketiga peraturan<br />
10<br />
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.<br />
4-5.<br />
11<br />
Ahmad Zaenal Fanani, “Membumikan Hukum Keluarga Berperspektif Keadilan Jender” Makalah, Bahan<br />
Penyuluhan Hukum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 1 Tahun 1974 tetang<br />
Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI<br />
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2002, hlm. 3.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
169<br />
perundang-undangan tersebut merupakan sumber <strong>hukum</strong> materiil yang menjadi rujukan<br />
utama <strong>hukum</strong> keluarga dalam lingkungan Peradilan Agama, 12 sebagai pengadilan yang<br />
salah satu kewenangannya adalah menangani masalah-masalah <strong>hukum</strong> keluarga bagi<br />
orang yang beragama Islam.<br />
Hukum keluarga yang berlaku di Indonesia masih terserak dalam beberapa aturan<br />
<strong>hukum</strong>, karena persoalan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, belum sepenuhnya<br />
dapat dikatakan sebagai bentuk unifikasi <strong>hukum</strong> dalam lapangan <strong>hukum</strong> keluarga.<br />
Sebagian aturan <strong>hukum</strong> keluarga lainnya masih terdapat dalam KUH Perdata dan masih<br />
berlaku sampai sekarang. Dasarnya bahwa ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata<br />
(BW) yang dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974, hanyalah terbatas<br />
pada ketentuan “perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan”.<br />
Pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1974 sebenarnya sekaligus merupakan upaya untuk<br />
melaksanakan unifikasi <strong>hukum</strong> keluarga, khususnya dalam bidang perkawinan dan aspek<br />
lain yang terkait dengan perkawinan, tetapi unifikasi yang dimaksudkan belum sesempurna<br />
seperti yang diharapkan. 13 Untuk mengatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 belum<br />
mengatur semua aspek-aspek yang terkait dengan <strong>hukum</strong> keluarga, maka perlu dilihat<br />
substansi UU No. 1 Tahun 1974, yang secara garis besarnya mengatur tentang: (1) dasar<br />
perkawinan; (2) syarat-syarat perkawinan; (3) pencegahan perkawinan; (4) batalnya<br />
perkawinan; (5) perjanjian perkawinan, (6) hak dan kewajiban suami isteri, (7) harta benda<br />
dalam perkawinan, (8) putusnya perkawinan serta akibatnya; (9) kedudukan anak; (10)<br />
hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, (11) perwalian, (12) pembuktian asal usul<br />
anak; (13) perkawinan di luar Indonesia; dan (14) perkawinan campuran.<br />
Melihat hal-hal diatur dalam UU No 1 Tahun 1974, yang jika dibandingkan dengan<br />
aturan <strong>hukum</strong> keluarga yang terdapat dalam KUH Perdata, maka ada beberapa hal yang<br />
tidak diatur dalam UU No 1 Tahun 1974, tetapi diatur dalam KUH Perdata, yaitu tentang:<br />
(1) anak angkat (adopsi), (2) orang yang hilang (tiada ditempat); dan (3) orang yang<br />
diletakkan di bawah pengampuan (curatele). Dengan demikian, apabila terjadi peristiwa<br />
<strong>hukum</strong> pengangkatan anak, orang hilang dan pengampuan, maka ketentuan yang terdapat<br />
di dalam KUH Perdata digunakan sebagai dasar <strong>hukum</strong>nya. Oleh sebab itu, walaupun<br />
secara garis besarnya UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan merupakan upaya unifikasi <strong>hukum</strong>,<br />
tetapi sesungguhnya unifikasi tersebut belum sempurna, kecuali hanya usaha unifikasi<br />
dalam bidang <strong>hukum</strong> perkawinan dan unifikasi dalam bidang <strong>hukum</strong> perkawinan ini juga<br />
belum sempurna seperti yang diharapkan.<br />
12<br />
Terkait kewenangan Peradilan Agama terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama<br />
jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo<br />
UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 7 tahun 1989. Dalam pasal 49, ada 9<br />
(sembilan) kewenangan Pengadilan Agama untuk menangani persoalan <strong>hukum</strong> umat Islam di bidang<br />
perkara tertentu yaitu (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah,<br />
(8) zakat dan (9) ekonomi syari’ah. Ulasan lengkap tentang Pengadilan Agama Lihat M. Yahya Harahap,<br />
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi<br />
Kedua, 2007, hlm. 17. Lihat juga Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di<br />
Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 6.<br />
13<br />
Djuhaendah Hasan mengatakan bahwa ketentuan tentang <strong>hukum</strong> keluarga yang diatur dalam UU No.<br />
1 Tahun 1974 hanya secara garis besarnya saja, apabila terdapat kekurangan maka harus dicari pada<br />
<strong>hukum</strong> yang berlaku sebelumnya sesuai Pasal 66. Lihat Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah<br />
Berlakunya UU No. 1/1974 (Menuju ke Hukum Keluarga Nasional), Armico, Bandung, 1988, hlm. 18.
TENGKU ERWINSYAHBANA<br />
VOLUME 170<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
C. Perkawinan pada Negara Hukum yang Berdasarkan Pancasila<br />
Sistem <strong>hukum</strong> tidak dapat dimaknai hanya dalam pengertian hubungan antara aturan<br />
yang satu dengan aturan lainnya dalam jenjang hirarkis, tetapi juga mencakup pengertian<br />
lembaga (organinasi), diikuti dengan proses penegakan <strong>hukum</strong> yang dilaksanakan oleh<br />
suatu otoritas lembaga (organisasi) yang berwenang. Keberhasilan proses penegakan<br />
<strong>hukum</strong> sangat terkait dengan tercapainya rasa keadilan masyarakat sebagai elemen<br />
penting dalam sistem <strong>hukum</strong> yang demokratis. John Rawls 14 melihat pentingnya sistem<br />
<strong>hukum</strong> untuk melaksanakan prinsip kebebasan dan keadilan, oleh karena itu kehadiran<br />
sistem <strong>hukum</strong> merupakan suatu keharusan dalam suatu masyarakat. Menurut Rawls<br />
bahwa suatu sistem <strong>hukum</strong> adalah suatu perintah yang sifatnya memaksa yang dipayungi<br />
peraturan-peraturan bagi publik yang ditujukan untuk kepentingan individu warga<br />
masyarakat sebagai petunjuk demi tercapainya tertib sosial.<br />
Friedman mengatakan bahwa keberhasilan dalam penegakan <strong>hukum</strong> selalu<br />
menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem <strong>hukum</strong>, yang terdiri dari tiga<br />
komponen, yakni komponen struktur <strong>hukum</strong> (legal structure),komponen substansi <strong>hukum</strong><br />
(legal substance) dan komponen budaya <strong>hukum</strong> (legal culture). Struktur <strong>hukum</strong><br />
merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi <strong>hukum</strong><br />
aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga,<br />
kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur<br />
atau budaya <strong>hukum</strong> merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan,<br />
harapan-harapan dan pendapat tentang <strong>hukum</strong>, 15 dan dalam perkembangan berikutnya,<br />
Friedman menambahkan komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak<br />
<strong>hukum</strong> (legal impact). 16<br />
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam sistem <strong>hukum</strong> tidak<br />
hanya berbicara mengenai hubungan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya,<br />
tetapi termasuk juga di dalamnya lembaga atau organisasi yang mempunyai otorisasi<br />
untuk membentuk dan menjalankan sistem <strong>hukum</strong> tersebut. Sistem tersusun atas<br />
sejumlah sub sistem sebagai komponennya yang saling berkaitan dan berinteraksi.<br />
Menurut Mochtar Kusumaatmadja komponen sistem <strong>hukum</strong> itu terdiri atas: (1) asasasas<br />
dan kaidah-kaidah; (2) kelembagaan <strong>hukum</strong>; dan (3) proses-proses perwujudan<br />
kaidah-kaidah dalam kenyataan. 17<br />
Berbicara tentang sistem <strong>hukum</strong> perkawinan, maka perlu dipahami bahwa sistem<br />
<strong>hukum</strong> yang dimaksudkan di sini adalah sistem <strong>hukum</strong> nasional yang didasarkan pada<br />
landasan ideologi dan konstitusional negara (Pancasila dan UUD 1945), dengan kata lain<br />
merupakan sistem <strong>hukum</strong> yang dibangun di atas kreativitas dan aktivitas yang didasarkan<br />
14<br />
John Rawls, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts,<br />
1971, hlm. 235.<br />
15<br />
Lawrence M. Friedman (1), Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc., New Jersey, 1977, hlm.<br />
6-7. Lihat juga dalam Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi,<br />
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 11.<br />
16<br />
Lawrence M. Friedman (2), American Law: An invalueable Guide to The Many Faces of The Law, and How<br />
it Affects Our Daily Lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 16.<br />
17<br />
Bernard Arief Sidharta “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jurnal Hukum Jentera,<br />
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, Edisi 3-Tahun II, November 2004, hlm. 76-77.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
171<br />
pada cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri, tetapi pada sisi lain juga tidak terlepas dari<br />
sistem <strong>hukum</strong> perkawinan yang masih bercorak plurastik.<br />
Bangsa Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang diangkat dari nilai-nilai yang<br />
telah dimilikinya sebelum membentuk suatu negara moderen. Nilai-nilai tersebut berupa<br />
nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, serta nilai religius yang kemudian dikristalisasikan<br />
menjadi suatu sistem nilai yang disebut Pancasila. Dalam upaya untuk membentuk suatu<br />
persekutuan hidup yang disebut negara, maka bangsa Indonesia mendasarkannya pada<br />
suatu pandangan hidup yang telah dimilikinya yaitu Pancasila. Sesuai ciri khasnya ini dan<br />
proses pembentukan negara, maka bangsa Indonesia mendirikan negara yang memiliki<br />
karakteristik yang berbeda dengan negara lain, oleh sebab itu istilah negara <strong>hukum</strong><br />
Indonesia tentunya harus dibedakan dengan istilah negara <strong>hukum</strong> pada negara lain. Atas<br />
dasar ini pula ciri <strong>hukum</strong> di Indonesia tidak dapat disamakan dengan ciri <strong>hukum</strong> yang<br />
berlaku di negara lain, tetapi tidak berarti bahwa asas-asas <strong>hukum</strong> yang berlaku umum<br />
pada setiap negara yang ada di dunia dan diakui oleh bangsa-bangsa lain diabaikan<br />
(dikesampingkan).<br />
Hukum sebenarnya berakar dan terbentuk dari berbagai aspek kehidupan masyarakat,<br />
sehingga secara tidak langsung sebenarnya <strong>hukum</strong> itu sendiri ikut membentuk<br />
tatanan kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, sedapat mungkin dalam pembentukan<br />
<strong>hukum</strong> suatu negara hendaklah memperhatikan aspek dan nilai-nilai yang hidup dan<br />
berkembang dalam masyarakat, sehingga tidak menjadikan produk <strong>hukum</strong> itu sendiri<br />
berdampak negatif bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam<br />
masyarakat. Atas dasar ini, maka <strong>hukum</strong> yang dirumuskan dalam bentuk peraturan<br />
perundang-undangan harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam<br />
masyarakat, dan nilai-nilai yang dimaksud di Negara Indonesia adalah nilai-nilai yang<br />
telah terkristalisasi dalam Pancasila.<br />
Berbicara tentang <strong>hukum</strong> dan negara <strong>hukum</strong>, maka pertama kali yang muncul dalam<br />
pemikiran seseorang adalah terkait makna negara <strong>hukum</strong> itu sendiri. Jimly Asshiddiqie<br />
pernah mengatakan bahwa: 18<br />
“Gagasan negara <strong>hukum</strong> dibangun dengan mengembangkan perangkat <strong>hukum</strong><br />
sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata<br />
suprastruktur dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib<br />
dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran <strong>hukum</strong> yang<br />
rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.<br />
Oleh sebab itu, sistem <strong>hukum</strong> perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law<br />
enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai <strong>hukum</strong> yang<br />
paling tinggi kedudukannya. Jaminan tegaknya konstitusi sebagai <strong>hukum</strong> dasar yang<br />
berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah<br />
Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai “the guardian” dan sekaligus “the<br />
ultimate interpreter of the constitution”.<br />
18<br />
Jimly Asshiddiqie (1), “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, http://jimly.com, diakses tanggal 17 Oktober<br />
2 0 1 1 .
TENGKU ERWINSYAHBANA<br />
VOLUME 172<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Negara <strong>hukum</strong> sering disamakan dengan istilah “rechtsstaat” dan “the rule of law”.<br />
Istilah rechtsstaat dan the rule of law pada hakikatnya mempunyai makna berbeda.<br />
Istilah rechtsstaat banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu<br />
pada sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak dikembangkan di negara-negara<br />
Anglo Saxon yang bertumpu pada Common law. Civil law menitikberatkan pada<br />
administration law, sedangkan common law menitikberatkan pada judicial. 19<br />
Oemar Seno Adjie 20 mengemukakan tiga bentuk negara <strong>hukum</strong> yaitu: rechtstaat<br />
dan rule of law, socialist legality dan negara <strong>hukum</strong> Pancasila. Antara rechtstaat dan<br />
rule of law memiliki basis yang sama. Konsep rule of law hanya pengembangan semata<br />
dari konsep rechtstaats, sedangkan antara konsep rule of law dengan socialist legality<br />
mengalami perkembangan sejarah dan idiologi yang berbeda, di mana rechtstaats dan<br />
rule of law berkembang di negara Inggris, Eropa kontinental dan Amerika Serikat. Konsep<br />
socialist legality berkembang di negara-negara komunis dan sosialis. Ketiga konsep itu<br />
lahir dari akar sama, yaitu manusia sebagai titik sentral (antropocentric) yang<br />
menempatkan rasionalisme, humanisme serta sekularisme sebagai nilai dasar yang menjadi<br />
sumber nilai.<br />
UUD 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara <strong>hukum</strong>. Semula istilah<br />
negara <strong>hukum</strong> hanya dimuat pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara<br />
Indonesia berdasar atas <strong>hukum</strong> (rechtstaats), tidak berdasar atas kekuasaan belaka<br />
(machtstaat), tetapi maksud rechtstaat dalam konsepsi UUD 1945 dan cara<br />
implementasinya dalam kehidupan negara tidak ditemui penjelasan lebih lanjut. Oleh sebab<br />
itu, konsep negara <strong>hukum</strong> barat seperti yang dikemukakan oleh Julius Stahl dapat dijadikan<br />
standar (ukuran) untuk menentukan elemen penting dari negara <strong>hukum</strong> yang diistilahkan<br />
dengan rechtstaat, yaitu perlindungan hak asasi manusia (HAM), pembagian kekuasaan<br />
pemerintahan negara, pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang, serta<br />
peradilan tata usaha negara. 21 Demikian pula pandangan dari A.V. Dicey yang dianggap<br />
sebagai orang pertama yang mengembangkan istilah rule of law dalam tradisi sistem<br />
<strong>hukum</strong> Anglo-Amerika, yang menurutnya rule of law mengandung tiga elemen penting,<br />
yaitu: absolute supremacy of law, equality before the law dan due process of law, dan<br />
ketiga konsep ini sangat terkait dengan kebebasan individu serta hak-hak asasi manusia. 22<br />
Semua konsep negara <strong>hukum</strong> barat ini bermuara pada perlindungan atas hak-hak<br />
dan kebebasan individu yang dapat diringkas dalam istilah dignity of man dan pembatasan<br />
kekuasan, serta tindakan negara untuk menghormati hak-hak individu yang harus<br />
diperlakukan sama. Oleh sebab itu harus ada pemisahan kekuasaan negara untuk<br />
menghindari absolutisme dari satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya,<br />
serta perlunya lembaga peradilan yang independen untuk mengawasi dan jaminan<br />
dihormatinya aturan-aturan <strong>hukum</strong> yang berlaku, dan dalam praktik negara-negara Eropa<br />
19<br />
Lihat Azyumardi Azra dalam Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani,<br />
Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 117.<br />
20<br />
Oemar Seno Adjie, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 34.<br />
21<br />
Jimly Asshiddiqie (2), Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah<br />
Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 152.<br />
22<br />
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law and the Constitution, MacMilland and Co., Ninth Edition,<br />
London, 1952, hlm. 202-203.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
173<br />
Kontinental memerlukan peradilan administrasi negara untuk mengawasi tindakan<br />
pemerintah agar tetap sesuai dan konsisten dengan ketentuan <strong>hukum</strong>. Atas dasar ini<br />
dapat dikatakan bahwa pandangan negara <strong>hukum</strong> barat didasari oleh semangat<br />
pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak individu.<br />
Setelah mengkaji perkembangan praktik negara-negara <strong>hukum</strong> moderen, Jimly<br />
Asshiddieqie, 23 akhirnya menyimpulkan bahwa ada duabelas prinsip pokok negara <strong>hukum</strong><br />
(rechtstaat) yang berlaku di zaman sekarang, yaitu supremasi <strong>hukum</strong> (supremacy of<br />
law), persamaan dalam <strong>hukum</strong> (equality before the law), asas legalitas (due process of<br />
law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan<br />
tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan HAM,<br />
bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara serta<br />
transparansi dan kontrol sosial. Keduabelas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama<br />
yang menyangga berdiri tegaknya satu negara <strong>hukum</strong> moderen dalam arti yang<br />
sebenarnya.<br />
Negara <strong>hukum</strong> Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara <strong>hukum</strong> Pancasila<br />
memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara <strong>hukum</strong> yang dikenal<br />
di barat, walaupun negara <strong>hukum</strong> sebagai genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan<br />
UUD 1945 terinspirasi dari konsep negara <strong>hukum</strong> yang dikenal di barat dan jika membaca<br />
dan memahami yang dibayangkan Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945 jelas<br />
merujuk pada konsep rechtstaat, karena negara <strong>hukum</strong> dipahami sebagai konsep barat. 24<br />
Terinspirasi dari konsep negara <strong>hukum</strong> barat dalam hal ini rechtstaat, maka UUD 1945<br />
menghendaki elemen-elemen rechtstaat maupun rule of law menjadi bagian dari prinsipprinsip<br />
Negara Hukum Indonesia.<br />
Berbeda dengan rechtstaat dan rule of law, serta socialist legality, maka dalam<br />
negara <strong>hukum</strong> yang berdasarkan Pancasila atau yang dapat diistilahkan sebagai Negara<br />
Hukum Pancasila, selain memiliki unsur-unsur elemen yang sama dengan elemen negara<br />
<strong>hukum</strong> dalam rechtstaat maupun rule of law, juga memiliki unsur-unsur yang spesifik<br />
yang menjadikan negara <strong>hukum</strong> Indonesia berbeda dengan konsep negara <strong>hukum</strong> yang<br />
dikenal secara umum. Menurut Hamdan Zoelva, 25 bahwa perbedaan ini terletak pada<br />
nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung<br />
Pancasila dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta tidak adanya pemisahan<br />
antara negara dan agama, prinsip musyawarah dalam pelaksanaan kekuasaan<br />
pemerintahan, prinsip keadilan sosial, kekeluargaan dan gotong royong serta <strong>hukum</strong> yang<br />
mengabdi pada keutuhan negara kesatuan Indonesia.<br />
23<br />
Jimly Asshiddiqie (2), Op. Cit., hlm. 151-162.<br />
24<br />
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa negara <strong>hukum</strong> adalah konsep modern yang tidak tumbuh dari<br />
dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara <strong>hukum</strong> adalah bangunan yang<br />
“dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses menjadi negara <strong>hukum</strong> bukan menjadi<br />
bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa, tetapi apa yang<br />
dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945,<br />
demikian juga rumusan terakhir negara <strong>hukum</strong> dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu<br />
yang berbeda dengan konsep negara <strong>hukum</strong> barat dalam arti rechtstaat maupun rule of law. Lihat dalam<br />
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 48.<br />
25<br />
Hamdan Zoelva, “Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila,” http://www.setneg.go.id., diakses tanggal<br />
2 November 2010.
TENGKU ERWINSYAHBANA<br />
VOLUME 174<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Pancasila sebagai dasar negara memberikan arti bahwa segala sesuatu yang<br />
berhubungan dengan kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia harus berdasarkan<br />
Pancasila. Peraturan yang berlaku di negara Republik Indonesia harus bersumber pada<br />
Pancasila, karena Pancasila adalah sumber dari segala sumber <strong>hukum</strong>. Oleh karena itu,<br />
semua tindakan kekuasaan atau kekuatan dalam masyarakat harus berdasarkan peraturan<br />
<strong>hukum</strong>, selanjutnya <strong>hukum</strong> juga yang berlaku sebagai norma di dalam negara, sehingga<br />
Negara Indonesia harus dibangun menjadi sebuah negara <strong>hukum</strong>.<br />
Sesuai dengan makna negara <strong>hukum</strong> yang berdasarkan Pancasila, maka bangsa<br />
Indonesia memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan, serta sifat religius dan dalam<br />
pengertian inilah maka bangsa Indonesia pada hakikatnya dikatakan sebagai bangsa yang<br />
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana<br />
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada Negara<br />
Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan antara agama<br />
dengan negara dan juga bukan merupakan negara agama yaitu negara yang mendasarkan<br />
atas agama tertentu. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa yang menunjukkan bahwa<br />
negara Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama, terlihat jelas dalam<br />
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, yang memberikan pengertian bahwa perkawinan ialah<br />
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan<br />
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan<br />
Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />
Sebenarnya perkawinan merupakan perbuatan <strong>hukum</strong> yang sangat erat kaitannya<br />
dengan nilai-nilai agama, tetapi mengingat adanya plurarisme agama di Indonesia, maka<br />
tidak mungkin membuat aturan <strong>hukum</strong> perkawinan yang semata-mata hanya didasarkan<br />
pada satu nilai-nilai agama tertentu dengan mengabaikan nilai-nilai yang terdapat pada<br />
agama lain. Oleh sebab itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa tujuan perkawinan<br />
adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan<br />
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 angka 3<br />
disebutkan pula bahwa sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang<br />
Dasar 1945, maka undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsipprinsip<br />
yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di<br />
lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat<br />
dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur<br />
dan ketentuan-ketentuan <strong>hukum</strong> agamanya dan kepercayaannya itu dari yang<br />
bersangkutan.<br />
Sesuai dengan Penjelasan Umum tersebut, terlihat bahwa Indonesia juga bukan negara<br />
sekuler yang memisah antara agama dan negara. Bahkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.<br />
1 Tahun 1974 ditegaskan pula bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut<br />
<strong>hukum</strong> masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini menunjukkan bukti<br />
bahwa walaupun negara menginginkan adanya aturan <strong>hukum</strong> perkawinan yang<br />
merupakan produk negara (legislatif), tetapi tidak berarti aturan <strong>hukum</strong> yang terdapat<br />
dalam <strong>hukum</strong> agama ataupun kepercayaan seseorang dikesampingkan oleh negara,<br />
berhubung masalah perkawinan sangat erat kaitannya dengan agama. Oleh sebab itu,
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
175<br />
menurut Sution Usman Adji 26 dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 dengan<br />
pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyangkut berbagai<br />
aspek, antara lain: aspek sosial, aspek ekonomi, aspek budaya, aspek politik, aspek agama,<br />
aspek kejiwaan dan aspek <strong>hukum</strong>.<br />
Adanya rumusan kalimat “... dilakukan menurut <strong>hukum</strong> masing-masing agamanya<br />
dan kepercayaannya itu” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menunjukkan<br />
makna bahwa aspek agama tidak dapat diabaikan oleh para pihak yang akan<br />
melangsungkan perkawinan, dengan kata lain bahwa suatu perkawinan baru dianggap<br />
sah, jika pelaksanaannya telah sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh para pihak<br />
yang melangsungkan perkawinan. Berbeda misalnya dengan aturan <strong>hukum</strong> perkawinan<br />
yang terdapat dalam KUHPerdata yang di dalam Pasal 26 disebutkan bahwa undangundang<br />
memandang perkawinan dari hubungan keperdataan. Menurut Subekti 27 bahwa<br />
Pasal 26 ini hendak menyatakan sahnya perkawinan hanyalah perkawinan yang memenuhi<br />
syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUHPerdata, sedangkan syarat-syarat menurut<br />
<strong>hukum</strong> agama dikesampingkan. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 26 KUHPerdata<br />
tentunya tidak sesuai dengan negara <strong>hukum</strong> Indonesia yang berdasarkan Pancasila, karena<br />
Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara,<br />
sedangkan salah satu aspek dalam perkawinan adalah aspek agama.<br />
Berbeda dengan perkawinan dalam sistem Negara Hukum Pancasila, sebagaimana<br />
yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka perkawinan tidak lagi dapat dipandang<br />
hanya sebagai hubungan individual antara pria (suami) pada satu sisi dengan wanita (isteri)<br />
pada sisi lainnya (dalam pengertian hubungan yang hanya bersifat keperdataan), tetapi<br />
harus dipandang sebagai ikatan suci (ikatan lahir bathin) yang didasarkan Ketuhanan<br />
Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Sidi Gazalba sebagaimana yang<br />
dikutip oleh Mohd. Idris Ramulyo 28 bahwa tidak merupakan perkawinan jika ikatan lahir<br />
batin tersebut tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan “tidak berdasarkan<br />
Ketuhanan Yang Maha Esa”.<br />
D. Penutup<br />
Persoalan mendasar dalam bidang <strong>hukum</strong> pada masa sekarang terutama terkait<br />
dengan masalah ketidakpastian <strong>hukum</strong>, sehingga sering menjadi hambatan dalam kegiatan<br />
penyelenggaraan negara dan pembangunan. Hal ini terjadi karena peraturan perundangundangan<br />
yang masih tumpang tindih, tidak konsisten, tidak jelas atau multitafsir. Selain<br />
itu juga disebabkan oleh adanya peraturan perundang-undangan, baik pada tataran<br />
undang-undang maupun peraturan pelaksana di bawahnya yang merupakan produk<br />
kolonial masih berlaku di Indonesia yang sebenarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang<br />
terkandung dalam Pancasila.<br />
Ketidakpastian <strong>hukum</strong> juga terdapat dalam bidang <strong>hukum</strong> perkawinan, hal ini terjadi<br />
26<br />
Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 3.<br />
27<br />
R. Subekti, Op. Cit, 1985, hlm. 23.<br />
28<br />
Lihat dalam Mohd. Idris Ramulyo (1), Op. Cit., hlm. 44. Lihat juga dalam Mohd. Idris Ramulyo (2),<br />
Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum<br />
Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 2.
TENGKU ERWINSYAHBANA<br />
VOLUME 176<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
karena adanya ketentuan dalam Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa<br />
ketentuan <strong>hukum</strong> produk kolonial dinyatakan tidak berlaku, tetapi hanyalah terbatas<br />
pada ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang ini. Dapat ditafsirkan bahwa,<br />
jika suatu aturan yang terkait dengan perkawinan tidak ada diatur dalam UU No. 1 Tahun<br />
1974, maka dasar <strong>hukum</strong> yang dipergunakan tentunya dikembalikan pada aturan <strong>hukum</strong><br />
produk kolonial, padahal secara yuridis normatif aturan <strong>hukum</strong> tersebut tidak sesuai<br />
dengan Pancasila sebagai falsafah Bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan<br />
bahwa usaha unifikasi <strong>hukum</strong> dalam bidang perkawinan belum sempurna dan akibatnya<br />
tentu belum dapat menjamin adanya kepastian <strong>hukum</strong> dalam bidang <strong>hukum</strong> perkawinan.<br />
Semestinya <strong>hukum</strong> harus memberikan jaminan bagi terciptanya kepastian <strong>hukum</strong><br />
yang didukung oleh tiga hal yang saling terintegrasi satu sama lainnya, yaitu substansi<br />
<strong>hukum</strong> (legal subtance), struktur <strong>hukum</strong> (legal structur) dan budaya <strong>hukum</strong> (legal<br />
culture). Salah satu unsur saja tidak bisa terpenuhi, kepastian <strong>hukum</strong> akan menjadi sebuah<br />
wacana dan mimpi di siang bolong, dan untuk mewujudkan kepastian <strong>hukum</strong> pada sebuah<br />
negara yang berlandaskan <strong>hukum</strong>, harus didukung dengan keberadaan peraturan<br />
perundang-undangan yang memadai dan mengakomodir semua permasalahan dalam<br />
bidang <strong>hukum</strong>, inilah yang dimaksudkan oleh Friedman sebagai substansi <strong>hukum</strong>.<br />
E. Daftar Pustaka<br />
Buku/Kamus<br />
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law and the Constitution, MacMilland and<br />
Co., London, Ninth Edition, 1952.<br />
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif,<br />
Surabaya, Cetakan Keduapuluh Lima, 2002.<br />
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Juz. IV, Beirut, t.t.<br />
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, Harper & Row Publishers, New York, 1970.<br />
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi<br />
Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada<br />
Media, Jakarta, 2004.<br />
As-Shan’ani, Subulus Salam, Penerjemah Abu Bakar Muhammad, Al-Ikhlas, Surabaya,<br />
Cetakan Pertama, 1995.<br />
Dadan Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum<br />
Indonesia, UII-Press, Yogyakarta, Edisi Kedua, 1999.<br />
Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah Berlakunya UU No. 1/1974 (Menuju Ke<br />
Hukum Keluarga Nasional), Armico, Bandung, 1988.<br />
Eman Suparman, Hukum Waris Islam Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,<br />
Refika Aditama, Bandung, Cetakan Ketiga, 2011.<br />
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translators Anders Wedberg, Russel<br />
and Russel, New York, 1945.<br />
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kecana,<br />
Jakarta, 2008.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
177<br />
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal<br />
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.<br />
Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable Guide to The Many Faces of The<br />
Law, and How it Affects Our Daily Lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984.<br />
Lawrence M. Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc., New York, 1977.<br />
Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional,”<br />
dalam Butir-butir Pemikiran dalam Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B.<br />
Arief Sidharta, SH, Penyunting Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Refika<br />
Aditama, Bandung, Cetakan Pertama, 2008<br />
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7<br />
Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, 2007.<br />
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/<br />
Pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973.<br />
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan (Kumpulan<br />
Karya Tulis), Alumni, Bandung, Editor: R. Otje Salman S. dan Edi Damian, Cetakan<br />
Kedua, 2006.<br />
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,<br />
Bandung, Edisi Pertama, 2002.<br />
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang<br />
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.<br />
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan<br />
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.<br />
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, RajaGrafindo Persadak,<br />
Jakarta, 2004.<br />
Oemar Seno Adjie, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980.<br />
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985.<br />
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,<br />
Sinar Grafika, Jakarta, 2006.<br />
Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik<br />
Hukum di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003.<br />
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.<br />
Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi,<br />
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.<br />
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia,UI-Press, Jakarta, Cetakan Kelima, 1986.<br />
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002.<br />
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, UAJY, Yogyakarta, 2010.<br />
Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta, 1989.<br />
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1981.
TENGKU ERWINSYAHBANA<br />
VOLUME 178<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Jurnal/Makalah<br />
Ahmad Zaenal Fanani, “Membumikan Hukum Keluarga Berperspektif Keadilan Jender”<br />
Makalah, Bahan Penyuluhan Hukum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,<br />
UU No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang<br />
Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal<br />
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2002.<br />
Bernard Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jurnal Hukum<br />
Jentera, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Edisi 3-Tahun II,<br />
November 2004.<br />
Maghfirah, “Definisi Nikah dan Pengaruhnya terhadap Istimbath Hukum, Jurnal Hukum<br />
Islam, Vol. VIII-No, 6, Desember 2007.<br />
Soetandyo Wignjosoebroto, “Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran Dan Kebijakan<br />
Perkembangan Hukum Nasional (Pengalaman Indonesia)”, Makalah, disampaikan<br />
pada acara Seminar Nasional Pluralisme Hukum Pluralisme Hukum: Perkembangan<br />
di Beberapa Negara, Sejarah Pemikirannya di Indonesia dan Pergulatannya dalam<br />
Gerakan Pembaharuan Hukum, Jakarta: Universitas Al Azhar, 21 November 2006.<br />
Internet<br />
Farizal Nuh, “Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional (Tinjauan<br />
Perspektif dan Prospektif)” http://pabondowoso.com, diakses tanggal 17 November<br />
2011.<br />
Hamdan Zoelva, “Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila,” http://www. setneg.go.id.,<br />
diakses tanggal 2 November 2010.<br />
Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, http://jimly.com, diakses tanggal<br />
17 Oktober 2011.<br />
26<br />
Sumber lain menyebutkan bahwa kedudukan Onderafdeling Tungkal berada di Taman Raja Tungkal<br />
Ulu. Lihat Anonim, Op.Cit, hal. 109.<br />
27<br />
Ibid
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
179<br />
TINJAUAN FILOSOFIS KEPASTIAN HUKUM BAGI<br />
PEMERINTAH DAERAH DALAM IMPLEMENTASI<br />
UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL<br />
RAMLAN<br />
Jalan Subur I No. 14 Sari Reji Kec. Medan Polonia-Medan<br />
Abstrak<br />
Tugas negara untuk memajukan kesejahteraan<br />
umum rakyatnya. Untuk itu, salah satu kebijakan<br />
yang ditempuh Pemerintah adalah memberikan<br />
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk<br />
melaksanakan kegiatan dan menjalankan pembangunan<br />
serta kewenangan yang lebih luas dalam<br />
mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, dengan<br />
cara melimpahkan kewenangan penanaman modal<br />
pada Pemerintah Daerah. Karena urusan wajib<br />
Pemerintah Daerah dalam bidang penanaman<br />
modal hanya pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas,<br />
dan efisiensi, apa yang dimaksud dengan<br />
kriteria tersebut tidak jelas dalam penjabarannya.<br />
Abstract<br />
State duty to promote the general welfare of its people.<br />
For that, one of the policies pursued by the Government<br />
is giving authority to local governments to implement<br />
and execute development activities as well as<br />
greater authority in obtaining sources of financing,<br />
by way of delegated authority on local government<br />
investments. Due to matters concerning local government<br />
in the field of investment only on the criteria of<br />
externality, accountability, and efficiency, what is<br />
meant by these criteria are not clear in its elaboration.<br />
Kata kunci : Kepastian <strong>hukum</strong>, UUPM.<br />
A. Pendahuluan<br />
Peran negara yang utama dalam suatu negara adalah mewujudkan cita-cita dari<br />
bangsa itu sendiri yang tercantum disetiap konstitusi atau Undang-undang Dasar negara<br />
yang bersangkutan. Cita-cita bangsa Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Dasar<br />
1945 sebagai dasar Konstitusi Negara Republik Indonesia, baik sebelum maupun sesudah<br />
diamandemen, mempunyai semangat yang kuat akan kesejahteraan warga negara<br />
Indonesia dan membentuk negara kesejahteraan. 1<br />
Bagi Indonesia, salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk<br />
memajukan kesejahteraan warga negara Indonesia dan membentuk negara kesejahteraan,<br />
sebagaimana termaktub dalam alinea ke II dan ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar<br />
1945, yang menentukan; Alinea II “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia<br />
telah sampai kepada saat yang berbahagia... yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan<br />
makmur”. Alinea IV “…membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang<br />
melindungi segenap bangsa Indonesia… untuk memajukan kesejahteraan umum,<br />
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan<br />
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”.<br />
Penjabaran lebih lanjut dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam membentuk<br />
negara kesejahteraan diatur dalam Pasal 33 yang menentukan:<br />
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.<br />
1<br />
An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional<br />
dan Hukum Penanaman Modal, Alumni, Bandung, 2011, hlm. 15.
RAMLAN<br />
VOLUME 180<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup<br />
orang banyak dikuasai oleh negara.<br />
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan<br />
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.<br />
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan<br />
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,<br />
kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi<br />
nasional.<br />
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.<br />
Pasal 33 tersebut menempatkan peranan negara dalam posisi sangat strategis untuk<br />
menyusun perekonomian dan menguasai cabang-cabang produksi yang penting, serta<br />
menjamin kekayaan alam untuk digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat<br />
dengan berlandaskan demokrasi ekonomi. Oleh sebab itu, penguatan ekonomi nasional<br />
merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kemakmuran<br />
rakyat.<br />
Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat<br />
di daerah adalah melalui pemberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk<br />
melaksanakan kegiatan dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih<br />
luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, baik yang berasal dari daerah itu<br />
sendiri maupun dana yang berasal dari APBN. 2<br />
Kewenangan Pemerintah Daerah tersebut, selanjutnya diatur dalam Undang-undang<br />
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25<br />
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan<br />
Daerah, namun undang-undang tersebut hanya berlaku lebih kurang 5 (lima) tahun,<br />
kemudian dipandang tidak relevan lagi dengan perkembangan otonomi daerah itu sendiri,<br />
sehingga pada tanggal 15 Oktober 2004 secara resmi diganti dengan Undang-undang<br />
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 3<br />
Semakin besar keleluasaan daerah dalam menggali potensi yang ada di daerah, maka<br />
semakin besar pula kesempatan daerah mendapat-kan pendapatan untuk membiayai<br />
pembangunan di daerahnya. NP. Hepworth dalam “Public Expenditure Controls and Local<br />
Goverment” memandang bahwa semakin indenpenden suatu daerah, akan makin<br />
memungkinkan daerah tersebut untuk memperoleh pendapatan yang besar. Sehingga,<br />
posisinya akan semakin baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (public<br />
service) yang berkualitas. 4<br />
Keleluasaan Pemerintah Daerah dalam menjalankan aktivitasnya dapat dirumuskan<br />
2<br />
Bacrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Universitas Indonesia Pres, Jakarta,<br />
2002, hlm. 45.<br />
3<br />
UUPD ini juga sudah mengalami dua kali perubahan, perubahan pertama diatur dalam Undang-undang<br />
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-<br />
Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang<br />
disahkan pada tanggal 19 Oktober 2005, dan perubahan kedua diatur dalam Undang-undang Republik<br />
Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 yang disahkan pada tanggal 28 April 2008.<br />
4<br />
Edyanus Herman Halim, Menangkap Momentum Otonomi Daerah Menepis Ego Kedaerahan, Memacu<br />
Kemandirian Ekonomi Rakyat, Unri Press, Pekanbaru, 2002, hlm. 89.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
181<br />
dalam lima aspek, yaitu: 5<br />
1. Self regulating power, yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah.<br />
2. Self modifying power, yaitu kemampuan untuk melakukan penyesuaian dari tatanan<br />
<strong>hukum</strong> normatif yang berlaku secara nasional sesuai dengan kondisi daerah.<br />
3. Local political support, yaitu menyelenggarakan kegiatan pemerintahan yang<br />
mempunyai legitimasi luas, baik dari unsur eksekutif maupun legislatif.<br />
4. Financial resources, yaitu mengembangkan kemampuan dalam mengelola sumbersumber<br />
penerimaan daerah sebagai sumber pembiayaan kegiatan pemerintahan.<br />
5. Developing brain power, yaitu membangun sumber daya manusia aparatur pemerintah<br />
yang bertumpu pada kapabilitas intelektual.<br />
Kelima aspek tersebut di atas bersifat saling mendukung dan saling melengkapi, sehingga<br />
konsep badan keuangan daerah yang didasarkan atas aspek keempat, yaitu financial<br />
resources harus didukung oleh keempat aspek yang lainnya.<br />
B. Instrumen Hukum Penanaman Modal<br />
Setelah memasuki Pemerintahan Orde Baru, pada tahun 1966, Pemerintah Indonesia<br />
mengadakan pendekatan baru dalam kebijaksanaan ekonomi, antara lain mengundang<br />
kembali masuknya modal asing. 6 Pemerintah Indonesia berupaya meyakinkan para<br />
pemilik modal. Langkah pertama yang dilakukan adalah, Pemerintah Indonesia akan<br />
mengembalikan semua perusahaan dan asset bukan Belanda kepada pemiliknya yang<br />
sah dan akan memberikan ganti rugi kepada pemilik yang menolak mengambil kembali<br />
perusahaan yang sudah rusak. Langkah ini diikuti dengan telah dipersiapkannya suatu<br />
undang-undang mengenai Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, 7<br />
yang kemudian diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang<br />
Penanaman Modal Asing yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun<br />
1970 8 . Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri<br />
yang telah direvisi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970.<br />
Upaya Pemerintah meyakinkan para investor asing membawa hasil yang menggembirakan,<br />
bahkan hanya dalam waktu satu dekade lebih, Indonesia dielu-elukan sebagai<br />
contoh sukses dari Asia. Di penghujung dekade 1980-an, Indonesia digolongkan ke dalam<br />
kelompok negara berkembang terpilih yang diramalkan akan segera menjadi negara<br />
industri baru, mengikuti jejak negara-negara industri di Asia yang berorientasi ekspor<br />
(outward-looking). 9<br />
Perkembangan berikutnya bahwa pada tahun 1997-1998 Indonesia dilanda krisis<br />
moneter. Untuk memperbaiki keadaan akibat krisis tersebut, Indonesia harus mengadakan<br />
5<br />
Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah,Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hlm. 82.<br />
6<br />
Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 1.<br />
7<br />
A. Jeffery Winters, Power in Motion; Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan,<br />
Jakarta, 1999, hlm. 83.<br />
8<br />
Lihat Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia, Mandar Maju,<br />
Bandung, 1999, hlm. 6.<br />
9<br />
Lihat Sritua Arief, et.al., Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Universitas<br />
Indonesia Press, Jakarta, 1987, hlm. 8.
RAMLAN<br />
VOLUME 182<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
perubahan dalam bidang pembangunan. Sebagaimana dikatakan Mochtar Kusumaatmadja 10<br />
bahwa <strong>hukum</strong> merupakan sarana pembaharuan masyarakat yang didasarkan atas keteraturan<br />
atau ketertiban dalam usaha pembangunan, karena pembaharuan itu merupakan<br />
sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu. Selanjutnya Mochtar<br />
juga mengatakan bahwa <strong>hukum</strong> diperlukan sebagai proses perubahan termasuk proses<br />
perubahan yang cepat yang biasanya diharapkan oleh masyarakat yang sedang membangun,<br />
apabila perubahan itu hendak dilakukan dengan teratur dan tertib. 11 Sehubungan<br />
hal ini, maka pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan<br />
pertumbuhan ekonomi, yang salah satu di antaranya adalah membenahi peraturanperaturan<br />
penanaman modal yang berkaitan langsung dengan kegiatan penanaman modal.<br />
Upaya-upaya tersebut dilakukan melalui serangkaian deregulasi baik di sektor<br />
perdagangan maupun di sektor penanaman modal. Kebijakan yang ditempuh dalam rangka<br />
deregulasi meliputi pemberian kemudahan bagi para investor, yaitu dengan dikeluarkannya<br />
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). UUPM ini<br />
didukung dengan Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan<br />
Penyusunan Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di<br />
Bidang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang<br />
Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang<br />
Penanaman Modal, yang telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 dan<br />
saat ini telah diganti dengan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010.<br />
Tujuan UUPM adalah untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang<br />
merosot sejak terjadinya krisis moneter. Secara normatif diharapkan dapat menarik<br />
masuknya investor ke Indonesia. Disebut demikian, karena dalam undang-undang ini<br />
tidak dibedakan lagi perlakuan antara penanam modal asing maupun penanam modal<br />
dalam negeri. Hal ini sejalan dengan adanya perjanjian multilateral Agreement on Trade<br />
Related Investment Measures (TRIMs) yang melarang adanya diskriminasi terhadap<br />
investor asing dan lokal. 12<br />
Sasaran utama UUPM menciptakan iklim investasi yang kondusif, dengan memberikan<br />
kepastian <strong>hukum</strong> bagi para investor dan adanya kejelasan dari Pemerintah untuk<br />
melimpahkan kewenangan penyelenggaraan penanaman modal kepada Pemerintah<br />
Daerah, khususnya wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal.<br />
C. Sinkronisasi Undang-undang Pemerintahan Daerah dengan Undangundang<br />
Penanaman Modal<br />
Peranan Pemerintah untuk mendorong penanaman modal, salah satunya dengan<br />
melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal pada<br />
Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf n, dan<br />
Pasal 14 ayat (1) huruf n, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan<br />
Daerah (UUPD), yang menentukan urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan<br />
10<br />
H.R. Otje Salman S., dan Eddy Damian (ed), Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan; Kumpulan<br />
Karya Tulis Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 88.<br />
11<br />
Ibid.<br />
12<br />
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nusa Aulia, Bandung, 2007, hlm. 105.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
183<br />
Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota merupakan urusan dalam skala Propinsi dan<br />
Kabupaten/Kota yang meliputi di antaranya pelayanan administrasi penanaman modal<br />
termasuk lintas Kabupaten/Kota.<br />
Sebagai tindak lanjut dari pembagian kewenangan tersebut Pemerintah menerbitkan<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah<br />
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.<br />
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan (2) huruf i bahwa urusan wajib yang diselenggarakan<br />
oleh Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, meliputi di<br />
antaranya adalah penanaman modal.<br />
UUPD telah memberikan peluang besar bagi setiap daerah untuk menarik investor<br />
dalam mempercepat pembangunan di daerah. Namun dalam faktanya, Pemerintah Pusat<br />
masih setengah hati dalam memberikan kewenangan di bidang penanaman modal. Hal ini<br />
dapat dilihat dari Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004, yang menentukan bahwa<br />
setiap pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka<br />
PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPM, berdasarkan pelimpahan kewenangan dari<br />
Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membina bidang-bidang<br />
usaha penanaman modal yang bersangkutan melalui sistem pelayanan satu atap. Begitu<br />
juga bagi Gubernur, Bupati atau Walikota yang sesuai dengan kewenangannya dapat<br />
melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman<br />
modal kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal melalui sistem pelayanan satu atap 13 .<br />
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam pemberian izin penanaman modal kembali<br />
menjadi tidak pasti dengan keluarnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang<br />
Penanaman Modal (UUPM). Dalam Pasal 30 ayat (3) dinyatakan bahwa urusan<br />
pemerintahan bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib Pemerintah Daerah<br />
didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan penanaman<br />
modal. Apa yang dimaksud dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi tidak<br />
ada penjabaran yang jelas untuk itu. Selanjutnya Pasal 30 ayat (7) UUPM menentukan<br />
bahwa urusan penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah adalah:<br />
1. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan<br />
tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi.<br />
2. Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala<br />
nasional.<br />
3. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah<br />
atau ruang lingkupnya lintas propinsi.<br />
4. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan<br />
nasional.<br />
5. Penanaman modal asing dan penanaman modal yang menggunakan modal asing, yang<br />
berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh<br />
pemerintah dan pemerintah negara lain.<br />
13<br />
Pasal 1 angka 5 Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal<br />
dalam Rangka PMA dan PMDN Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap menentukan sistem pelayanan satu<br />
atap adalah suatu sistem pelayanan pemberian penanaman modal dan perizinan pelaksana-annya pada<br />
satu instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal.
RAMLAN<br />
VOLUME 184<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Pasal 30 ayat (7) tersebut semakin memperjelas pembatasan penanaman modal yang<br />
diberikan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Adanya ketentuan ini, menunjukkan<br />
ketidakrelaan Pemerintah dalam memberikan kewenangan penanaman modal kepada<br />
Pemerintah Daerah. Padahal berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri<br />
Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu,<br />
disebutkan bahwa tugas penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu meliputi<br />
pemberian pelayanan atas semua bentuk pelayanan perizinan dan non-perizinan yang<br />
menjadi kewenangan Kabupaten/Kota.<br />
Bila dilihat uraian di atas, berdasarkan amanat UUPD dan Peraturan Menteri Dalam<br />
Negeri Nomor 24 Tahun 2006, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam bidang<br />
penanaman modal, tetapi kewenangan ini tidak dapat dilaksanakan bila dikaitkan dengan<br />
Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tersebut. Padahal suatu peraturan perundangundangan<br />
sudah menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia (basic needs) dalam upaya<br />
menggapai keadilan (justice), kedamaian (peacefull) dan kepastian <strong>hukum</strong> (legal certainty). 14<br />
Besarnya peranan peraturan perundang-undangan sebagai <strong>hukum</strong> tertulis, menurut<br />
Bagir Manan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 15<br />
1. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah <strong>hukum</strong> yang mudah dikenali<br />
(diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah<br />
<strong>hukum</strong> tertulis, bentuk, jenis, dan tempatnya jelas.<br />
2. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian <strong>hukum</strong> yang lebih nyata<br />
karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali.<br />
3. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga<br />
memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji, baik dari segi formal maupun materi<br />
muatannya.<br />
4. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat<br />
direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi Negara-negara yang sedang membangun,<br />
termasuk membangun sistem <strong>hukum</strong> baru yang sesuai dengan kebutuhan dan<br />
perkembangan masyarakat.<br />
Ketidak pastian Pemerintah dalam memberikan kewenangan pengurusan penanam<br />
modal kepada Pemerintah Daerah jelas ber-tentangan dengan tujuan <strong>hukum</strong> itu sendiri.<br />
Roscoe Pound mengatakan tujuan <strong>hukum</strong> meliputi ketertiban guna mencapai keadilan,<br />
kepastian <strong>hukum</strong>, kedamaian, kebahagian. Jeremy Bentham mengatakan tujuan <strong>hukum</strong><br />
harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagian sebesar-besarnya. 16 Dalam<br />
konstalasi negara modern, <strong>hukum</strong> dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law<br />
as a tool of social engineering). 17 Roscoe Pound menekankan arti pentingnya <strong>hukum</strong><br />
sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh<br />
14<br />
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia,<br />
Alumni, Bandung, 2008, hlm. 1.<br />
15<br />
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm. 7-8.<br />
16<br />
H.R. Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung,<br />
2010, hlm. 8, 10.<br />
17<br />
Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1978, hlm. 7. Lihat juga Lili Rasjidi, Dasar-Dasar<br />
Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 43.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
185<br />
badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini<br />
adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat.<br />
Dalam konteks Indonesia, fungsi <strong>hukum</strong> demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja<br />
diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat. Sebagai sarana mendorong<br />
pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan<br />
perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas<br />
konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan<br />
peraturan perundang-undangan itu.<br />
Bila beranjak dari pendapat Roscoe Pound, Jeremy Bentham dan Mochtar Kusumaatmadja<br />
di atas, seharusnya dengan lahirnya UUPM, terjadi perubahan di masyarakat.<br />
Artinya ketika kewenangan penanaman modal itu benar-benar sepenuhnya diberikan<br />
kepada Pemerintah Daerah, maka masyarakat di daerah akan merasakan manfaatnya,<br />
bahkan dapat dikatakan makmur, karena investor (pemodal) langsung berinvestasi ke<br />
daerah, tidak lagi harus melalui Pemerintah yang notebene akan banyak mengeluarkan<br />
cost. Seharusnya Pemerintah cukup sebagai pengontrol atau pemantau kepada Pemerintah<br />
Daerah.<br />
Menurut aliran normatif-dogmatik yang dianut oleh John Austin dan van Kan,<br />
menganggap bahwa pada asasnya <strong>hukum</strong> adalah semata-mata untuk menciptakan<br />
kepastian <strong>hukum</strong>. Bahwa <strong>hukum</strong> sebagai sesuatu yang otonom atau <strong>hukum</strong> dalam bentuk<br />
peraturan tertulis. Artinya, karena <strong>hukum</strong> itu otonom sehingga tujuan <strong>hukum</strong> sematamata<br />
untuk kepastian <strong>hukum</strong> dalam melegalkan kepastian hak dan kewajian seseorang. 18<br />
Dalam hal ini, maka jelas kepastian <strong>hukum</strong> bagi Pemerintah Daerah untuk menjalankan<br />
hak dan kewajibannya dalam pemberian persetujuan dan perijinan penanaman modal di<br />
daerah tidak terwujud seperti yang diamanatkan dalam UUPD.<br />
Lebih lanjut Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan <strong>hukum</strong><br />
selalu mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem <strong>hukum</strong>. Sistem <strong>hukum</strong> dalam<br />
pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur <strong>hukum</strong> (legal<br />
structure), komponen substansi <strong>hukum</strong> (legal substance) dan komponen budaya <strong>hukum</strong><br />
(legal culture). Struktur <strong>hukum</strong> (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka,<br />
bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi <strong>hukum</strong> (legal substance) aturan-aturan dan<br />
norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk<br />
perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya <strong>hukum</strong><br />
(legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapanharapan<br />
dan pendapat tentang <strong>hukum</strong>. 19 Dalam perkembangan selanjutnya, Friedman<br />
bahkan menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak<br />
<strong>hukum</strong> (legal impact). 20<br />
Beranjak dari pendapat Friedman di atas, bahwa substansi <strong>hukum</strong> yang merupakan<br />
aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Termasuk<br />
ke dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada<br />
18<br />
Lihat Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 74.<br />
19<br />
Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977, hlm. 6-7.<br />
20<br />
Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects<br />
our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 16.
RAMLAN<br />
VOLUME 186<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
di dalam sistem <strong>hukum</strong> itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka<br />
susun. 21 Bila dikaitkan dengan Pasal 13 ayat (1) huruf n, dan Pasal 14 ayat (1) huruf n,<br />
UUPD dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007<br />
tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi,<br />
dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah memberikan peluang penuh bagi setiap Daerah<br />
untuk menarik penanam modal ke daerahnya. Ironisnya kewenangan ini menjadi tidak<br />
berarti bila dikaitkan dengan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004, karena setiap<br />
pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan<br />
PMDN dilaksanakan oleh BKPM, begitu juga Gubernur, Bupati atau Walikota dapat<br />
melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman<br />
modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap.<br />
Hukum seharusnya bertujuan untuk menciptakan <strong>hukum</strong> yang lebih adil, bermanfaat<br />
dan memberikan kepastian <strong>hukum</strong> dan bila dikaitkan kembali kepada pendapat Mochtar<br />
bahwa <strong>hukum</strong> berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat, 22 sekaligus<br />
berfungsi untuk membangun masyarakat dalam segala aspek, termasuk percepatan<br />
pembangunan daerah melalui pemberian otonomi yang luas kepada daerah, antara lain<br />
dengan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menarik penanam<br />
modal, yang secara luas telah diatur dalam UUPD, namun kewenangan ini dibatasi kembali<br />
oleh Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 dengan sistem pelayanan satu atap.<br />
Keberadaan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tersebut, telah menyebabkan<br />
terjadinya ketidakpastian <strong>hukum</strong> dalam pemberian persetujuan perizinan penanaman<br />
modal oleh Pemerintah Daerah, sedangkan <strong>hukum</strong> seharusnya memberikan jaminan<br />
kepastian <strong>hukum</strong>. Oleh sebab itu, aturan-aturan <strong>hukum</strong> yang berkaitan dengan penanaman<br />
modal, khususnya bagi daerah belum dapat memberikan jaminan kepastian <strong>hukum</strong><br />
terhadap upaya percepatan pembangunan di daerah.<br />
D. Penutup<br />
Sistem penegakan <strong>hukum</strong> yang baik terkait kepada tiga pilar utama yakni substansi<br />
<strong>hukum</strong>, struktur <strong>hukum</strong> dan kultur <strong>hukum</strong>, yang membawa pengaruh kepada tercapainya<br />
kepastian <strong>hukum</strong>. Terciptanya kepastian <strong>hukum</strong> diharapkan dapat meningkatkan<br />
pertumbuhan penanaman modal di Indonesia, khususnya di daerah.<br />
Kehadiran penanam modal di suatu daerah diharapkan dapat membuka lapangan<br />
pekerjaan di daerah tersebut, sehingga masyarakatnya tidak harus berbondong-bondong<br />
mencari pekerjaan ke kota lain. Dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri<br />
khususnya di daerah sebagai bahan baku. Bila hasil produksinya diekspor akan<br />
memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal, di<br />
samping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara khususnya<br />
Pemerintah Daerah dalam mempercepat pembangunan di daerah.<br />
21<br />
Eman Suparman, “Persepsi Tentang Keadilan Dan Budaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa” http:/<br />
/resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/1I%20Persepsi%20ttg%20Keadilan.pdf,<br />
diakses pada tanggal 30 Oktober 2010.<br />
22<br />
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989, hlm. 51. Lihat juga H.R. Otje Salman<br />
S., dan Eddy Damian (ed), Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan; Kumpulan Karya Tulis Prof. Dr.<br />
Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Bandung, 2006, hlm.11.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
187<br />
Kehadiran penanam modal di suatu daerah untuk menanamkan modalnya akan<br />
terwujud bila kepastian <strong>hukum</strong> terjamin. Sehingga antara kepastian <strong>hukum</strong> dengan<br />
pertumbuhan penanaman modal merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan<br />
dalam mewujudkan pembangunan di daerah.<br />
E. Daftar Pustaka<br />
A. Jeffery Winters, Power in Motion; Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia, Pustaka<br />
Sinar Harapan, Jakarta, 1999.<br />
An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum<br />
Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, Alumni, Bandung, 2011.<br />
Bacrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Universitas Indonesia<br />
Perss, Jakarta, 2002.<br />
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992.<br />
Edyanus Herman Halim, Menangkap Momentum Otonomi Daerah Menepis Ego<br />
Kedaerahan, Memacu Kemandirian Ekonomi Rakyat, Unri Press, Pekanbaru, 2002.<br />
Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.<br />
Eman Suparman, “Persepsi Tentang Keadilan Dan Budaya Hukum Dalam Penyelesaian<br />
Sengketa” http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/<br />
1I%20Persepsi%20ttg%20Keadilan.pdf, diakses pada tanggal 30 Oktober 2010.<br />
H.R. Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika<br />
Aditama, Bandung, 2010.<br />
H.R. Otje Salman S., dan Eddy Damian (ed), Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan;<br />
Kumpulan Karya Tulis Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Alumni, 2006.<br />
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan<br />
di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008.<br />
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1992.<br />
Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the<br />
law, and how it affects our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984.<br />
————————, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977.<br />
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.<br />
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989.<br />
————————, Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1978.<br />
Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah, Airlangga University Press,<br />
Surabaya, 2003.<br />
Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia,<br />
Mandar Maju, Bandung, 1999.<br />
Sritua Arief, (et.al.), Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia,<br />
Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1987.<br />
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nusa Aulia, Bandung, 2007.
VOLUME 188<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK<br />
YANG PENGHADAPNYA MEMPERGUNAKAN<br />
IDENTITAS PALSU<br />
RAHMAD HENDRA<br />
Jalan Hang Jebat Gg Kadiran No. 5 Pekanbaru<br />
Abstrak<br />
Notaris adalah pembela kebenaran dan keadilan<br />
sehingga para penegak <strong>hukum</strong> harus menjalankan<br />
dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga profesi<br />
<strong>hukum</strong> merupakan profesi terhormat dan luhur<br />
(officium nobile). Banyaknya notaris membuat<br />
persaingan antar notaris semakin ketat dan terkadang<br />
membuat notaris kurang berhati-hati dalam<br />
menjalankan profesinya. Makalah ini menyimpulkan<br />
bahwa Notaris bertanggungjawab atas apa<br />
yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan<br />
juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat<br />
umum di dalam menjalankan jabatannya. Notaris<br />
tidak bertanggung jawab jika ada keterangan dan<br />
dokumen yang tidak benar dari penghadap.<br />
Abstract<br />
Notary is a defender of truth and justice so that law<br />
enforcement should be run in good faith and sincerity,<br />
so that the legal profession is an honorable and noble<br />
profession (officium nobile). The number of notaries<br />
create tighter competition between notaries and notary<br />
sometimes make less careful in their profession.<br />
The paper concludes that the notary is responsible for<br />
what he saw, that they have seen, heard and done by<br />
the notary as a public official in the run position. Notaries<br />
are not responsible if any information and documents<br />
from a client that is not true.<br />
Kata kunci: Notaris, akta, identitas.<br />
A. Pendahuluan<br />
Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat<br />
manusia sehingga di dalam masyarakat selalu ada sistem <strong>hukum</strong>, ada masyarakat ada<br />
norma <strong>hukum</strong> (ubi societas ibi ius). Hal tersebut dimaksudkan oleh Cicero bahwa tata<br />
<strong>hukum</strong> harus mengacu pada penghormatan dan perlindungan bagi keluhuran martabat<br />
manusia. Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara kepentingan<br />
atau hasrat individu yang egoistis dan kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik.<br />
Kehadiran <strong>hukum</strong> justru mau menegakkan keseimbangan perlakuan antara hak perorangan<br />
dan hak bersama. Oleh karena itu, secara hakiki <strong>hukum</strong> haruslah pasti dan adil<br />
sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.<br />
Hal tersebut menunjukkan pada hakikatnya para penegak <strong>hukum</strong> (hakim, jaksa,<br />
Notaris, dan polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga para penegak <strong>hukum</strong><br />
harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga profesi <strong>hukum</strong> merupakan<br />
profesi terhormat dan luhur (officium nobile). Oleh karena mulia dan terhormat, profesional<br />
<strong>hukum</strong> sudah semestinya merasakan profesi ini sebagai pilihan dan sekaligus<br />
panggilan hidupnya untuk melayani sesama di bidang <strong>hukum</strong>. 1<br />
Begitu juga dengan profesi Notaris yang memerlukan suatu tanggung jawab baik<br />
individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-norma <strong>hukum</strong> positif dan<br />
kesediaan untuk tunduk pada kode etik profesi, bahkan merupakan suatu hal yang wajib<br />
sehingga akan memperkuat norma <strong>hukum</strong> positif yang sudah ada. 2<br />
1<br />
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 145.<br />
2<br />
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, PT. Bayu Indra Grafika,<br />
Yogyakarta, 1995, hlm. 4.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
189<br />
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting<br />
dalam setiap hubungan <strong>hukum</strong> dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan<br />
bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan<br />
akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan<br />
berkembangnya tuntutan akan kepastian <strong>hukum</strong> dalam berbagai hubungan ekonomi dan<br />
sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang<br />
menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian <strong>hukum</strong>, dan sekaligus<br />
diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak<br />
dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang<br />
merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi<br />
penyelesaian perkara secara murah dan cepat. 3<br />
Suatu akta adalah otentik, bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi<br />
karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum. Otentisitas dari akta Notaris<br />
bersumber dari Pasal 1 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris<br />
(selanjutnya disebut UUJN), di mana Notaris dijadikan sebagai “pejabat umum”, sehingga<br />
akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta<br />
otentik. Dengan perkataan lain, akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai sifat otentik,<br />
bukan oleh karena undang-undang menetapkan sedemikian, akan tetapi oleh akta itu<br />
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868<br />
KUHPerdata.<br />
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai<br />
berikut:<br />
1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut <strong>hukum</strong>;<br />
2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;<br />
3. Bahwa akta itu dibuat dihadapan yang berwenang untuk membuatnya di tempat<br />
dimana dibuat.<br />
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh<br />
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan<br />
akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam<br />
rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan <strong>hukum</strong>. Selain akta otentik<br />
yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan<br />
perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan<br />
untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan<br />
perlindungan <strong>hukum</strong> bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara<br />
keseluruhan. 4<br />
Dalam melaksanakan tugasnya membuat akta otentik, seorang notaris wajib menjalankan<br />
ketentuan dalam UUJN. Notaris diwajibkan untuk bertindak jujur, saksama,<br />
mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan<br />
<strong>hukum</strong>, sesuai dengan Pasal 16 UUJN. Karenanya Notaris harus bertindak hati-hati dan<br />
cermat serta teliti dalam menjalankan proswedur untuk membuat akta otentik.<br />
3<br />
Republik Indonesia, Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, TLNRI<br />
Nomor 4432.<br />
4<br />
Ibid.
RAHMAD HENDRA<br />
VOLUME 190<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Prosedur yang harus dijalankan oleh notaris dan proses pembuatan akta adalah<br />
meminta dokumen-dokuman atau surat-menyurat yang diperlukan untuk dituangkan<br />
di dalam akta. Dokumen yang wajib diminta oleh notaris untuk dilekatkan fotocopinya<br />
dalam Minuta Akta (asli Akta Notaris ) adalah tanda pengenal atau Kartu Tanda Penduduk<br />
(KTP). Notaris harus memastikan penghadap sudah cakap untuk melakukan perbuatan<br />
<strong>hukum</strong> dlam akta yang akan dibuat.<br />
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penghadap diatur dalam Pasal 39 UUJN yaitu<br />
sebagai berikut:<br />
Pasal 39<br />
(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:<br />
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan<br />
b. cakap melakukan perbuatan <strong>hukum</strong>.<br />
(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua)<br />
orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau<br />
telah menikah dan cakap melakukan perbuatan <strong>hukum</strong> atau diperkenalkan oleh<br />
2 (dua) penghadap lainnya.<br />
(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam<br />
akta.<br />
Notaris di Kota Pekanbaru pada saat ini berdasarkan data dari Kementerian Hukum<br />
dan Hak Asasi Manusia Pekanbaru sudah memenuhi bahkan melebihi kuota atau formasi<br />
yang ditetapkan untuk kota Pekanbaru yaitu sebanyak 123 orang. 5<br />
Banyaknya notaris membuat persaingan antar notaris semakin ketat dan terkadang<br />
membuat notaris kurang berhati-hati dalam menjalankan profesinya. Diantaranya<br />
kekurang hati-hatian tersebut yaitu notaris sangat memudahkan penghadap dalam hal<br />
identitas. Penghadap yang ingin mempergunakan jasa notaris haruslah memberikan bukti<br />
identitas yang benar dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang asli dan<br />
memberikan fotokopinya kepada notaris. Namun dalam beberapa kasus yang terjadi<br />
penghadap langsung memberikan fotokopi tanpa menunjukkan identitas asli dan notaris<br />
juga tidak memeriksa kecocokan fotokopi tersebut dengan yang asli. Karenanya banyak<br />
penghadap yang menggunakan identitas yang tidak sesuai dengan aslinya atau identitas<br />
palsu. Akibatnya bermunculan permasalahan-permasalahan akibat akta yang dibuat oleh<br />
notaris berdasarkan KTP palsu tersebut.<br />
Berkaitan dengan hal tersebut, bagaimanakah tanggungjawab notaris terhadap Akta<br />
Otentik yang penghadapnya mempergunakan identitas palsu Bagaimanakah pula<br />
kedudukan Akta Otentik yang penghadapnya mempergunakan identitas palsu tersebut<br />
B. Pembahasan<br />
Notariat seperti yang dikenal di Zaman Republik der Verenigde Naderlanden, mulai<br />
masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Indische<br />
Compagnie di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkat notaris pertama di<br />
5<br />
Wawancara dengan Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Pekanbaru, Ibu Tien Sulasmi
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
191<br />
Indonesia, yaitu Melchione Kerchem yang berkedudukan dijakarta, setelah pengangkatan<br />
Notaris yang pertama jumlah Notaris di Indonesia making berkembang dan pada tahun<br />
1650 di Batavia hanya dua Notaris yang diangkat Notariat di Indonesia sampai pada tahun<br />
1822 hanya diatur oleh dua buah reglement yaitu tahun 1625 dan tahun 1765.<br />
Berdasarkan Asas Konkordansi lahirlah Peraturan Jabatan Notaris yaitu dengan<br />
Ordonansi 11 Januari 1860 Staatblad Nomor 3 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli<br />
1860, Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia mengalami perubahan yaitu undang-undang<br />
tanggal 13 November 2004 Nomor 33, Lembaran Negara 1954 dan terakhir Lahirlah<br />
Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) pada tanggal 6 oktober 2004 yaitu Undangundang<br />
Nomor 30 Tahun 2004.<br />
Pengertian Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30<br />
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris adalah sebagai berikut :<br />
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan<br />
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini.<br />
Dari pengertian di atas mengandung makna bahwa sepanjang tidak ditentukan pejabat<br />
lain untuk membuat akta otentik, maka hanya notaris satu-satunya sebagai pejabat umum<br />
yang berwenang membuat akta otentik. Kedudukan dan fungsi notaris dalam dunia usaha<br />
sangat strategis, karena untuk membuat akta otentik bila tidak ada pejabat lain yang<br />
ditunjuk oleh undang-undang, maka hanya notaris yang berwenang membuat akta otentik.<br />
Menurut Pohan (1996) bahwa: 6<br />
Notaris Indonesia tergolong pada notaris latin yang menurut Blacks yang lain adalah<br />
melaksanakan tugas melayani kebutuhan masyarakat dalam ruang lingkup privat<br />
atau perdata, dan karena notaris adalah amaneunsis, hanya mengkonstatir apa yang<br />
dikatakan Notarius in Roman Law adalah Draughtsman, an amneunsis yaitu orang<br />
yang mencatat apa yang dilakukan oleh orang lain atau mengakui apa yang telah<br />
ditulis oleh orang lain. Ciri notaris latin orang atau pihak mana sikap dan kedudukan<br />
notaris adalah netral dan tegas.<br />
Notaris tidak boleh membuat akta kalau tidak diminta. Akta notaris harus ditulis<br />
dan dapat dibaca serta harus memenuhi ketentuan dan undang-undang yang berlaku.<br />
Bahkan untuk melindungi agar akta notaris tidak mudah dipalsukan dalam rangka untuk<br />
menjamin kepastian <strong>hukum</strong> tersebar dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 30<br />
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yakni diantaranya dalam Pasal 38 sampai dengan<br />
Pasal 56 yang berisikan peraturan-peraturan yang mengatur perihal bentuk dari akta<br />
notaris. Pengertian Notaris menurut Sarman Hadi secara tegas diungkapkan bahwa: 7<br />
Notaris bukanlah pihak dalam akta yang dibuat di hadapannya, karena tidak memihak.<br />
Notaris tidak mempunyai pihak, namun dapat memberikan jalan dalam jalur <strong>hukum</strong><br />
yang berlaku, agar maksud para pihak yang meminta bukti tertulis akan terjadinya<br />
hubungan <strong>hukum</strong> diantara para pihak, dapat dibantu melaliu jalan <strong>hukum</strong> yang benar.<br />
6<br />
Partomuan A. Pohan, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang, makalah disajikan<br />
pada Seminar Nasional Profesi Notaris Menjelang Tahun 200, tanggal 15 Juni 1996, di Yogyakarta.<br />
7<br />
Koesbiono Sarman Hadi, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang, Makalah<br />
disampaikan pada Seminar Nasional Profesi Notaris Menjelang Tahun 200, Tanggal 15 Juni 1996, di<br />
Yogyakarta, hlm. 7
RAHMAD HENDRA<br />
VOLUME 192<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Dengan demikian maksud para pihak tercapai sesuai dengan kehendak para pihak,<br />
disinilah dituntut pengetahuan <strong>hukum</strong> yang luas dari seorang notaris untuk dapat<br />
meletakkan hak dan kewajiban para pihak secara proporsional.<br />
Kesimpulannya kedudukan dan fungsi notaris berdasarkan sifat akta yang dibuatnya<br />
adalah:<br />
a. Memberikan bukti otentik adanya keterangan yang telah diberikan para pihak<br />
kepada notaris dan dituangkan dalam akta-akta tersebut. Di dalam partis akta<br />
ini notaris memastikan bahwa benar para pihak telah memberikan keteranganketerangan<br />
tersebut yang telah dituangkan dalam akta yang bersangkutan.<br />
b. Memberikan bukti otentik, yaitu bukan tentang apa yang diterangkan kepada<br />
notaris, namun bukti otentik tentang perbuatan atau kenyataan yang terjadi di<br />
hadapan notaris sewaktu pembuatan akta dilakukan.<br />
Tugas dan wewenang notaris jika dilihat dari jabatannya, maka seorang notaris<br />
bertugas menjalankan sebagian kewibawaan pemerintah, karena notaris menurut<br />
Peraturan Jabatan Notaris selaku Pejabat Umum yang ditunjuk oleh undang-undang untuk<br />
membuat akta otentik yang sebenarnya menurut hemat peneliti pekerjaan membuat akta<br />
otentik itu adalah pekerjaan pemerintah. Sedangkan wewenang notaris adalah membuat<br />
akta otentik sebagaimana yang diperintahkan oleh pasal 1868 Kitab Undang-Undang<br />
Hukum Perdata, yaitu akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut <strong>hukum</strong><br />
(undang-undang), dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, dan ditempat dimana akta<br />
itu dibuat. Selain dari pada itu juga mengacu dan berkaitan dengan pasal 1870 Kitab<br />
Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang<br />
Jabatan Notaris.<br />
Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,<br />
menyatakan secara tegas bahwa notaris adalah satu-satunya pejabat umum (openbaar<br />
ambtenaar) yang berwenang untuk membuat akta otentik, kecuali jika undang-undang<br />
menentukan lain. Intisari dari tugas dan wewenang notaris bila dilihat dari Peraturan<br />
Jabatan Notaris hanyalah membuat akta, melegalisasi akta di bawah tangan dan membuat<br />
grosse akta serta berhak mengeluarkan salinan atau turunan akta kepada pihak yang<br />
berkepentingan. Padahal dalam praktek tugas dan wewenang notaris leibh luas dari apa<br />
yang diatur dalam undang-undang. Notaris dalam praktek, yaitu antara lain sebagai ahli<br />
penemuan <strong>hukum</strong> dan penasehat <strong>hukum</strong>.<br />
Selain kewenangannya untuk membuat akta otentik dalam arti “verlijden” (menyusun,<br />
membacakan dan menanda-tangani), akan tetapi juga berdasarkan dalam pasal 16 huruf<br />
d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Notaris wajib untuk<br />
membuatnya, kecuali terdapat alasan yang mempunyai dasar untuk menolak pembuatannya. 8<br />
Tanggung jawab notaris bila dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004<br />
Tentang Jabatan Notaris adalah sangat erat kaitannya dengan tugas dan pekerjaan notaris.<br />
Dikatakan demikian oleh karena selain untuk membuat akta otentik, notaris juga ditugaskan<br />
dan bertanggung jawab untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan (waarmerken<br />
dan legalisasi) surat-surat/akta-akta yang dibuat di bawah tangan.<br />
8<br />
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 32
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
193<br />
Pasal 1 UUJN dan Pasal 15 UUJN telah menegaskan, bahwa tugas pokok dari Notaris<br />
adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada pihak-pihak<br />
yang membuatnya suatu pembuktian yang sempurna. Hal ini dapat dilihat sebagaimana<br />
yang tercantum dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu akta<br />
otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orangorang<br />
yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa<br />
yang dimuat di dalamnya. Disinilah letaknya arti yang penting dari profesi Notaris ialah<br />
bahwa ia karena undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang<br />
sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam otentik itu pada pokoknya<br />
dianggap benar.<br />
Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk<br />
sesuatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu<br />
usaha. 9 Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti Verlijden,<br />
yaitu menyusun, membacakan dan menandatangani dan Verlijkden dalam arti membuat<br />
akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana yang dimaksud<br />
oleh Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga berdasarkan ketentuan terdapat dalam Pasal<br />
16 ayat (1) huruf d UUJN, yaitu adanya kewajiban terhadap Notaris untuk memberi<br />
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk<br />
menolaknya. Notaris juga memberikan nasehat <strong>hukum</strong> dan penjelasan mengenai ketentuan<br />
undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan.<br />
Tugas Notaris bukan hanya membuat akta, tapi juga menyimpannya dan menerbitkan<br />
grosse, membuat salinan dan ringkasannya. Notaris hanya mengkonstantir apa yang<br />
terjadi dan apa yang dilihat, didalamnya serta mencatatnya dalam akta (Pasal 1 Peraturan<br />
Jabatan Notaris, S.1860 Nomor 3). 10<br />
Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris hanya diperkenankan<br />
untuk menjalankan jabatannya di daerah yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam<br />
UUJN dan di dalam daerah <strong>hukum</strong> tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila ketentuan<br />
itu tidak diindahkan, akta yang dibuat oleh Notaris menjadi tidak sah. Adapun<br />
wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi empat (4) hal yaitu sebagai berikut:<br />
a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;<br />
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan<br />
siapa akta itu dibuat;<br />
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;<br />
d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. 11<br />
Perbuatan <strong>hukum</strong> yang tertuang dalam suatu akta Notaris bukanlah perbuatan <strong>hukum</strong><br />
dari Notaris, melainkan perbuatan <strong>hukum</strong> yang memuat perbuatan, perjanjian dan<br />
penetapan dari pihak yang meminta atau menghendaki perbuatan <strong>hukum</strong> mereka<br />
dituangkan pada suatu akta otentik. Jadi pihak-pihak dalam akta itulah yang terikat pada<br />
9<br />
Soegondo R. Notodisorjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo Persada, Jakarta,<br />
1993, hlm. 9.<br />
10<br />
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 123<br />
11<br />
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hlm. 49-50.
RAHMAD HENDRA<br />
VOLUME 194<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
isi dari suatu akta otentik. Notaris bukan tukang membuat akta atau orang yang<br />
mempunyai pekerjaan membuat akta, tetapi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya<br />
didasari atau dilengkapi berbagai <strong>ilmu</strong> pengetahuan <strong>hukum</strong> dan <strong>ilmu</strong>-<strong>ilmu</strong> lainnya yang<br />
harus dikuasai secara terintegrasi oleh notaris dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh<br />
Notaris mempunyai kedudukan sebagai alat bukti. 12<br />
Suatu akta otentik dapat dibuat atas permintaan para pihak yang berkepentingan<br />
untuk membuat suatu perjanjian. Sebagai suatu perjanjian maka akta notaris tunduk pada<br />
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu:<br />
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri<br />
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan<br />
c. Suatu hal tertentu<br />
d. Suatu sebab yang halal<br />
Akta sebagai alat bukti yang identik kata akta yang dipersamakan dengan surat<br />
menurut Pitlo dalam buku M.Isa Arief ditegaskan bahwa: 13<br />
Suatu surat adalah pembawa tanda-tanda bacaan, yang berarti yang menerjemahkan<br />
suatu isi pikiran. Atas bahan apa dicantumkannya tanda bacaan ini, atas kertas, karton,<br />
kayu atau kain adalah tidak penting. Juga tidak penting apakah tanda bacaan itu<br />
terdiri dari huruf yang kita kenal atau dari huruf cina sekalian, tanda stenografi atau<br />
dari tulisan rahasia yang disusun sendiri. Hal ini tidak termasuk dalam kata surat,<br />
adalah foto dan peta. Barang-barang ini tidak memuat tanda bacaan.<br />
Dari pemikiran Pitlo yang dialihbahasakan oleh M.Isa Arief tersebut menunjukkan<br />
bahwa apa saja yang tercantum dalam sutau benda, asalkan mengandung pesan atau<br />
buah pikiran yang tersurat adalah merupakan bukti. Tetapi tidak semua bukti dapat<br />
dijadikan alat bukti. Perihal pembuktian tertulis sebagaimana tercantum dalam Pasal 1904<br />
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi antara akta otentik dan akta di bawah<br />
tangan. Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat menurut bentuk dan tata cara<br />
yang ditetapkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yakni<br />
dibuat oleh atau di hadapan notaris, kecuali ditentukan lain oleh undang.undang.<br />
Menurut Pitlo dalam buku M. Isa Arief bahwa akta mempunyai bermacam-macam<br />
fungsi di dalam <strong>hukum</strong>. Fungsi ini dapat berupa: 14<br />
1. Syarat menyatakan adanya suatu perbuatan <strong>hukum</strong><br />
2. Sebagai alat pembuktian<br />
3. Alat pembuktian satu-satunya<br />
Jadi fungsi dari dibuatkannya akta itu adalah untuk membuktikan bahwa memang<br />
bahwa ada hal/peristiwa yang disebutkan dalam akta. Hal mana untuk membedakan<br />
antara akta otentik dan akta dibawah tangan. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa<br />
fungsi dari pada fakta itu adalah: 15<br />
12<br />
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 31<br />
13<br />
Pitlo dalam buku M. Isa Arief, Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata<br />
Belanda, PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 51<br />
14<br />
Pitlo dalam buku M.Isa Arief…, Op.Cit., hlm. 54<br />
15<br />
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 126
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
195<br />
a) Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa), yang berarti bahwa<br />
untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan<br />
<strong>hukum</strong>, haruslah dibuat suatu fakta, sehingga disini kita merupakan syarat formil<br />
untuk adanya suatu perbuatan <strong>hukum</strong>.<br />
b) Akta juga mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa). Jadi jelas<br />
bahwa itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian<br />
hari. Sedangkan sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta tu tidak<br />
membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat<br />
bukti di kemudian hari.<br />
Pada umumnya akta itu adalah suatu surat yang ditanda tangani, memuat<br />
keterangan tentang kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari suatu<br />
perjanjian, dapat dikatakan bahwa akta itu adalah suatu tulisan dengan mana dinyatakan<br />
sesuatu perbuatan <strong>hukum</strong>, Pasal 1867 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan:<br />
16<br />
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan<br />
tulisan-tulisan di bawah tangan.<br />
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat dua macam akta yaitu akta<br />
yang sifatnya otentik dan ada yang sifatnya di bawah tangan, dalam Pasal 1868 Kitab<br />
Undang-undang Hukum Perdata yang dimaksud akta otentik adalah: 17<br />
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undangundang<br />
dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk<br />
itu ditempat dimana akta itu dibuatnya.<br />
Pegawai umum yang dimaksud di sini ialah pegawai-pegawai yang dinyatakan dengan<br />
undang-undang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik, salah satunya<br />
notaris. Akta yang dibuat dengan tidak memenuhi Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum<br />
Perdata bukanlah akta otentik atau disebut juga akta dibawah tangan, perbedaan terbesar<br />
antara akta otentik dan akta yang dibuat dibawah tangan ialah: 18<br />
1. Akta Otentik<br />
Merupakan alat bukti yang sempurna sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870<br />
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ia memberikan diantara para pihak<br />
termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu<br />
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan dalam akta<br />
ini, ini berarti mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap<br />
melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi<br />
hakim itu merupakan “Bukti wajib/keharusan” (Verplicht Bewijs). Dengan<br />
demikian barang siapa yang menyatakan bahwa akta otentik itu palsu maka ia<br />
harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu, oleh karena itulah maka akta<br />
otentik mempunyai kekuatan pembuktian baik lahiriah, formil maupun materiil.<br />
16<br />
R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XXIV, PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 475.<br />
17<br />
Ibid, hlm 475.<br />
18<br />
N.G.Yudara, Pokok-pokok Pemikiran, disekitar kedudukan dan fungsi notaris serta akta Notaris Menurut<br />
Sistem Hukum Indonesia, Renvoi, Nomor.10.34.III, Tanggal 3 Maret 2006, hlm. 74.
RAHMAD HENDRA<br />
VOLUME 196<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
2. Akta di bawah tangan<br />
Akta dibawah tangan bagi Hakim merupakan “Bukti Bebas” (VRU Bewijs) karena<br />
akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan bukti materiil setelah dibuktikan<br />
kekuatan formilnya sedangkan kekuatan pembuktian formilnya baru terjadi, bila<br />
pihak-pihak yang bersangkutan mengetahui akan kebenaran isi dan cara<br />
pembuatan akta itu, dengan demikian akta dibawah tangan berlainan dengan<br />
akta otentik, sebab bilamana satu akta di bawah tangan dinyatakan palsu, maka<br />
yang menggunakan akta dibawah tangan itu sebagai bukti haruslah membuktikan<br />
bahwa akta itu tidak palsu.<br />
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka akta yang dibuat secara otentik dengan akta<br />
yang dibuat secara dibawah tangan, mempunyai nilai pembuktian suatu akta yang meliputi: 19<br />
1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (uitvendige bewijskracht)<br />
Kekuatan pembuktian lahiriah artinya akta itu sendiri mempunyai kemampuan<br />
untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik. 20<br />
2. Kekuatan Pembuktian Formal (formele bewijskracht)<br />
Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu,<br />
kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang<br />
yang hadir (comparanten), demikian juga tempat dimana akta itu dibuat dan<br />
sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang<br />
diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri<br />
hanya pasti antara pihak-pihak itu sendiri. 21<br />
3. Kekuatan Pembuktian Materiil (Materiele bewijskracht)<br />
Isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar, isinya<br />
itu mempunyai kepastian sebagaimana yang sebenarnya, menjadi alat bukti dengan<br />
sah diantara pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka, dengan<br />
pengertian :<br />
a. bahwa akta itu, apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup dan bahwa<br />
hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya disamping<br />
itu;<br />
b. bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alat-alat<br />
pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-undang. 22<br />
Tujuan dari dibuatkan akta dibawah tangan atau akta otentik (yang didalamnya<br />
termasuk akta para pihak dan akta berita acara) adalah untuk pembuktian, sebagaimana<br />
dikemukakan oleh Soebekti bahwa “membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang<br />
kebenaran atas dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 23 Pembuktian<br />
baru ada setelah ada persengketaan yang diajukan ke pengadilan“. Sudikno Mertokusumo<br />
memberikan defenisi dalam 3 (tiga) pengertian pembuktian, yaitu dalam arti logis, dalam<br />
arti konvensional dan dalam arti yuridis. 24<br />
19<br />
Ibid<br />
20<br />
G.S. Lumban Tobing, Op.Cit. hlm. 55<br />
21<br />
Ibid. hlm. 57<br />
22<br />
Ibid. hlm 60.<br />
23<br />
Soebekti, Hukum Perjanjian,PT. Internusa, Jakarta, 1980, hlm.5<br />
24<br />
Sudikno Mertokusumo…, Op. Cit., hlm.103
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
197<br />
Akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli<br />
warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak daripadanya. Dengan demikian ini<br />
berarti bahwa isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar selama ketidakbenarannya<br />
tidak dapat dibuktikan. 25<br />
Akta otentik tidak memerlukan pengakuan dari pihak yang bersangkutan agar<br />
mempunyai kekuatan pembuktian. Terhadap pihak ketiga, akta tersebut tidak mempunyai<br />
kekuatan bukti yang sempurna, melainkan hanya bersifat alat pembuktian yang<br />
penilaiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. 26<br />
Sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) notaris berwenang membuat akta<br />
otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut notaris dapat dibebani tanggung<br />
jawab atas perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta oetentik. Tanggung jawab<br />
notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang<br />
berhubungan dengan akta, diantaranya: 27<br />
a. Tanggung jawab notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya, dalam hal ini<br />
adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi<br />
perbuatan melawan <strong>hukum</strong>. Perbuatan melawan <strong>hukum</strong> disini dalam sifat aktif<br />
maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan<br />
kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan<br />
perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian.<br />
Jadi unsur dari perbuatan melawan <strong>hukum</strong> disini yaitu adanya perbuatan<br />
melawan <strong>hukum</strong>, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.<br />
Perbuatan melawan <strong>hukum</strong> disini diartikan luas, yaitu suatu pebuatan tidak saja<br />
melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak<br />
orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan<br />
melawan <strong>hukum</strong> apabila perbuatan tersebut:<br />
1) Melanggar hak orang lain;<br />
2) Bertentangan dengan aturan <strong>hukum</strong>;<br />
3) Bertentangan dengan kesusilaan;<br />
4) Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan<br />
harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.<br />
b. Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya. Pidana dalam<br />
hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang notaris dalam kapasitasnya<br />
sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam<br />
konteks individu sebagai warga negara pada umumnya. Unsur-unsur dalam<br />
perbuatan pidana meliputi:<br />
1) Perbuatan manusia;<br />
2) Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas<br />
legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada<br />
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak<br />
atau belum dinyatakan dalam undang-undang);<br />
25<br />
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 38<br />
26<br />
Ibid.<br />
27<br />
Ibid, hal. 35-49
RAHMAD HENDRA<br />
VOLUME 198<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
3) Bersifat melawan <strong>hukum</strong>.<br />
4) Tanggung jawab notaris berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN).<br />
5) Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan<br />
kode etik notaris. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 UUJN tentang sumpah<br />
jabatan notaris.<br />
Notaris harus menjalankan jabatannya sesuai dengan Kode Etik Notaris, yang mana<br />
dalam melaksanakan tugasnya Notaris itu diwajibkan:<br />
a. Senantiasa menjunjung tinggi <strong>hukum</strong> dan asas negara serta bertindak sesuai<br />
dengan makna sumpah jabatannya.<br />
b. Mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan negara. 28<br />
Untuk itu Notaris harus berhati-hati dalam membuat akta agar tidak terjadi kesalahan<br />
atau cacat <strong>hukum</strong>. Karena akta yang dibuat Notaris harus dipertanggung-jawabkan kepada<br />
masyarakat dan tidak luput dari penilaian Hakim. Namun dalam prakteknya terkadang<br />
Notaris tidak bertindak seksama dan berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya membuat<br />
akta. Prosedur yang semestinya dijalankan untuk melindungi kepentingan para pihak<br />
dan Notaris sendiri, ternyata tidak dilakukan.<br />
Kota Pekanbaru yang berusia lebih dari seratus duapuluh tahun memiliki perkembangan<br />
penduduk yang cukup tinggi sehingga kebutuhan akan jasa notaris juga tinggi.<br />
Pada tahun 2011 di Kota Pekanbaru terdapat lebih dari 120 orang Notaris. Jumlah yang<br />
sebenarnya telah melampaui kuota atau batasan jumlah notaris yang ditetapkan oleh<br />
Kementerian Hukum dan HAM.<br />
Kelebihan jumlah Notaris tersebut juga menyebabkan persaingan di kalangan Notaris<br />
juga semakin ketat dengan pelayanan yang juga lebih ditingkatkan. Namun pelayanan<br />
dan kemudahan yang dilakukan oleh Notaris kerap menimbulkan celah-celah <strong>hukum</strong> yang<br />
membuka peluang terjadinya perbuatan melawan <strong>hukum</strong>. Kemudahan yang ditawarkan<br />
Notaris terkadang dimanfaatkan oleh penghadap yang mempunyai itikad buruk untuk<br />
kepentingannya sendiri.<br />
Permasalahan yang berkaitan dengan profesi Notaris terus meningkat setiap tahun.<br />
Tahun 2008 jumlah kasus hanya 6, jumlah tersebut bertambah pada tahun 2009 menjadi<br />
18 kasus. Pada tahun 2010 ada 41 kasus dan pada bulan November 2011 jumlah kasus<br />
yang tercatat adalah 24 kasus. Selama kurun waktu 4 tahun terdapat 89 kasus yang<br />
diperiksa oleh Majelis Pengawas Notaris Daerah Pekanbaru. Pada tahun 2009 terdapat 1<br />
kasus penghadap yang mempergunakan identitas palsu. Tahun 2011 ada 2 kasus<br />
penghadap yang memakai identitas palsu.<br />
Berdasarkan wawancara dengan beberapa orang Notaris Kota Pekanbaru didapatkan<br />
data bahwa notaris tidak bertanggungjawab atas isi akta bila ada penghadap yang<br />
menggunakan identitas palsu, karena notaris hanya menuangkan keterangan dan keinginan<br />
penghadap dalam akta. Tentang identitas bukan kewenangan notaris untuk menilai<br />
keaslian tanda pengenal penghadap. Meskipun begitu notaris harus berhati-hati dalam<br />
menjalankan tugasnya untuk mencegah terjadinya perbuatan melawan <strong>hukum</strong> yang akan<br />
merugikan pihak yang beritikad baik dan notaris sendiri.<br />
28<br />
Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, 1981, Ps. 1, hlm. 158.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
199<br />
Rumusan pasal dalam UUJN tidak menjelaskan tentang tanggungjawab notaris<br />
terhadap akta yang dibuatnya. Namun dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dikatakan bahwa<br />
dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban bertindak jujur, saksama, mandiri,<br />
tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan <strong>hukum</strong>.<br />
Dari ketentuan pasal tersebut diatas tergambar kewajiban notaris untuk bertindak<br />
seksama dalam arti berhati-hati dan teliti dalam menjalankan tugasnya. Menjaga<br />
kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan <strong>hukum</strong> mewajibkan notaris<br />
mengjalankan prosedur yang semestinya dalam proses pembuatan akta agar tidak ada<br />
pihak yang dirugikan atas akta tersebut.<br />
Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan, berisi buah pikiran seseorang<br />
yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti Dengan kata lain surat adalah tulisan yang<br />
dapat dipergunakan sebagai alat bukti. 29 Selanjutnya surat sebagai alat bukti dibagi menjadi:<br />
1) Akta Otentik, yang terdiri dari:<br />
a) Acte Partij<br />
b) Acte ambtelijk<br />
2) Akta dibawah tangan<br />
3) Bukan Akta/Surat Biasa<br />
Wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa notaris di Kota Pekanbaru,<br />
kekuatan pembuktian akta tersebut tetap akta otentik. Berdasarkan UUJN Akta Otentik<br />
adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang<br />
ditetapkan dalam UUJN. Jadi selama bentuk dan tata caranya telah memenuhi UUJN<br />
maka akta tersebut tetap otentik. Identitas palsu yang dipergunakan penghadap tidak<br />
membuat akta otentik serta merta menjadi akta di bawah tangan Akta tersebut dapat<br />
dibatalkan tapi melalui proses pengadilan dan hanya hakim yang berwenang memutuskan<br />
akta otentik batal atau dapat dibatalkan.<br />
C. Penutup<br />
Notaris bertanggungjawab atas apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan<br />
juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan<br />
jabatannya. Menjamin akta yang dibuatnya kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu,<br />
kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang<br />
hadir (comparanten), demikian juga tempat dimana akta itu dibuat, sedang kebenaran<br />
dari keterangan-keterangan atau dokumen-dokumen itu sendiri hanya pasti antara pihakpihak<br />
itu sendiri, Notaris tidak bertanggung jawab jika ada keterangan dan komumen<br />
yang tidak benar dari penghadap.<br />
Kekuatan pembuktian akta otentik yang penghadapnya menggunakan identitas palsu<br />
tetap sebagai akta otentik. Hanya hakim yang dapat membatalkan akta tersebut. Namun<br />
jika penghadap yang menggunakan identitas palsu tidak cakap untuk melakukan perbuatan<br />
<strong>hukum</strong>, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di<br />
bawah tangan.<br />
29<br />
Sudikno Mertokusuma, Op.cit, Hlm 115.
RAHMAD HENDRA<br />
VOLUME 200<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Hendaknya Notaris dalam membuat akta lebih memperhatikan dan menjalankan<br />
pasal 16 UUJN. Tidak perlu terburu-buru membuat akta dan tidak perlu terlalu memberi<br />
kemudahan bagi penghadap dengan alasan pelayanan. Selalu berhati-hati dan teliti serta<br />
cermat dalam membuat akta. Ketentuan UUJN yang mengatur tentang sebab-sebab<br />
berubahnya kekuatan pembuktian akta otentik menjadi akta dibawah tangan hendaknya<br />
terus diingat dan dipelajari terus oleh notaris.<br />
D. Daftar Pustaka<br />
G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999<br />
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung,2008<br />
Koesbiono Sarman Hadi, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang,<br />
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Profesi Notaris Menjelang Tahun 200,<br />
Tanggal 15 Juni 1996, di Yogyakarta.<br />
Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, 1981<br />
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, PT. Bayu<br />
Indra Grafika, Yogyakarta, 1995<br />
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005<br />
M.Isa Arief, Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata<br />
Belanda, PT. Intermasa, Jakarta, 1986<br />
N.G.Yudara, Pokok-pokok Pemikiran, di sekitar kedudukan dan fungsi notaris serta akta Notaris<br />
Menurut Sistem Hukum Indonesia, Renvoi, Nomor.10.34.III, Tanggal 3 Maret 2006<br />
Partomuan A. Pohan, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang,<br />
makalah disajikan pada Seminar Nasional Profesi Notaris Menjelang Tahun tanggal<br />
15 Juni 1996 di Yogyakarta.<br />
R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XXIV, PT.Intermasa, Jakarta, 1986<br />
Soebekti, Hukum Perjanjian, PT. Internusa, Jakarta, 1980<br />
Soegondo R. Notodisorjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo<br />
Persada, Jakarta, 1993<br />
Sudikno Mertokusumo , Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta<br />
———————————— , Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1985.<br />
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
201<br />
STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL KONVERSI<br />
HAK BARAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1960<br />
ULFIA HASANAH<br />
Jalan Garuda Tangkerang Tengah Marpoyan Damai Pekanbaru<br />
Abstrak<br />
Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1960<br />
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria<br />
terjadi perubahan fundamental terhadap <strong>hukum</strong><br />
agraria di Indonesia terutama di bidang pertanahan.<br />
Adapun yang menjadi landasan <strong>hukum</strong> bagi<br />
pelaksanaan konversi hak atas tanah adalah bagian<br />
kedua UUPA tentang ketentuan-ketentuan konversi<br />
yang terdiri atas sembilan pasal yang mengatur<br />
tiga jenis konversi yaitu; konversi hak atas tanah<br />
yang bersumber dari hak-hak Indonesia, konversi<br />
hak atas tanah bekas Swapraja dan konversi hak<br />
atas tanah yang berasal dari hak-hak barat.<br />
Abstract<br />
With the enactment of Law No. 5 of 1960 concerning<br />
the Basic Agrarian fundamental changes to the agrarian<br />
law in Indonesia, especially in the area of land.<br />
As for the legal basis for the conversion of land rights<br />
is the second part of the Act concerning the provisions<br />
of the conversion consists of nine chapters that govern<br />
the conversion of three types, namely: the conversion<br />
of land resulting from Indonesia’s rights, conversion<br />
rights to land former Autonomous and conversion<br />
of land rights from the rights of the west.<br />
Kata kunci: Konversi, hak tanah.<br />
A. Pendahuluan<br />
Kebutuhan akan tanah dewasa ini meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah<br />
penduduk dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Tanah tidak<br />
saja sebagai tempat bermukim, tempat untuk bertani tetapi juga dipakai sebagai jaminan<br />
mendapatkan pinjaman di bank, untuk keperluan jual beli, sewa menyewa. Begitu<br />
pentingnya, kegunaan tanah bagi kepentingan umum bagi orang atau badan <strong>hukum</strong><br />
menuntut adanya jaminan kepastian <strong>hukum</strong> atas tanah tersebut. 1<br />
Sebelum tahun 1960, di Indonesia berlaku dualisme <strong>hukum</strong> pertanahan. Disatu sisi<br />
berlaku <strong>hukum</strong>-<strong>hukum</strong> tanah hak kolonial belanda, tanah yang tunduk dan diatur Hukum<br />
Perdata Barat yang sering disebut Tanah Barat atau Tanah Eropa misalnya tanah hak<br />
eigendom, hak opstall, hak erfpacht dan lain-lainnya. Penguasaan tanah dengan hak<br />
penduduk asli atau bumi putera yang tunduk pada Hukum Adat yang tidak mempunyai<br />
bukti tertulis, yang dipunyai penduduk setempat sering disebut tanah adat misalnya tanah<br />
hak ulayat, tanah milik adat, tanah Yasan, tanah gogolan dan lainnya.<br />
Tanggal 24 September 1960, yang merupakan hari bersejarah karena pada tanggal<br />
tersebut telah diundangkan dan dinyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun<br />
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bagi seluruh wilayah Indonesia.<br />
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar<br />
Pokok-pokok Agraria (selanjutnya di sebut UUPA) terjadi perubahan fundamental pada<br />
Hukum Agraria di Indonesia, terutama di bidang pertanahan. 2 Maka berakhirlah dualisme<br />
<strong>hukum</strong> tanah dan terselenggaranya unifikasi yaitu kesatuan <strong>hukum</strong> dilapangan <strong>hukum</strong><br />
pertanahan di Indonesia. Ketentuan ini sekaligus mencabut Hukum Agraria yang berlaku<br />
1<br />
Florianus, S.P Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi Media, Jakarta, 2008, hlm. 1<br />
2<br />
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, Jakarta,<br />
2007, hlm. 1
ULFIA HASANAH<br />
VOLUME 202<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
pada zaman penjajahan antara lain yaitu Agrarische Wet (Stb. 1870 Nomor 55), Agrarische<br />
Besluit dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya Buku II tentang Kebendaan,<br />
salah satunya yang mengatur tentang masalah hak atas tanah.<br />
Dengan adanya Hukum Pertanahan Nasional diharapkan terciptanya kepastian <strong>hukum</strong><br />
di Indonesia. Untuk tujuan tersebut oleh pemerintah ditindaklanjuti dengan penyediaan<br />
perangkat <strong>hukum</strong> tertulis berupa peraturan-peraturan lain dibidang <strong>hukum</strong> pertanahan<br />
nasional yang mendukung kepastian <strong>hukum</strong> serta selanjutnya lewat perangkat peraturan<br />
yang ada dilaksanakan penegakan <strong>hukum</strong> berupa penyelenggaraan pendaftaran tanah<br />
yang efektif.<br />
Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran<br />
Tanah, yang bisa menjadi objek pendaftaran tanah adalah :<br />
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna<br />
bangunan dan hak pakai;<br />
b. tanah hak pengelolaan;<br />
c. tanah wakaf;<br />
d. hak milik atas satuan rumah susun;<br />
e. hak tanggungan;<br />
f. tanah negara;<br />
Pada kenyataannya ternyata didalam masyarakat masih terdapat hak eigendom, hak<br />
opstal, hak erfpacht serta hak penduduk asli atau bumi putera yang tunduk pada Hukum<br />
Adat yang tidak mempunyai bukti tertulis, yang dipunyai penduduk setempat sering<br />
disebut tanah adat misalnya tanah hak ulayat, tanah milik adat, tanah Yasan, tanah gogolan<br />
dan lainnya.<br />
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 tersebut di atas, maka jelas tanah-tanah yang berasal<br />
dari hak-hak barat tidak bisa didaftar. Jika tanah-tanah ini tidak bisa didaftarkan tentukan<br />
akan merugikan para pemilik tanah, karena mereka tentu akan kehilangan haknya. Oleh<br />
karena itu diperlukan suatu cara agar tanah ini dapat didaftarkan, maka cara yang dapat<br />
dilakukan adalah dengan melakukan konversi terhadap tanah yang bersumber dari hak<br />
barat tersebut. Dengan adanya konversi tanah dari hak-hak barat diharapkan masyarakat<br />
tidak ada yang dirugikan haknya karena setelah dikonversikan hak tersebut akan dapat<br />
didaftarkan.<br />
Konversi bekas hak-hak atas tanah merupakan salah satu instrumen untuk memenuhi<br />
asas unifikasi <strong>hukum</strong> melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Peraturan Menteri<br />
Pertanahan dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 mengatur ketentuan mengenai<br />
penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah secara normatif.<br />
Peraturan konversi tersebut merupakan implementasi ketentuan peralihan Undangundang<br />
Nomor 5 Tahun 1960.<br />
Tujuan pendaftaran konversi tanah untuk memberikan kepastian <strong>hukum</strong>, perlindungan<br />
<strong>hukum</strong> kepada pemegang hak atas tanah atau menghasilkan Surat Tanda Bukti<br />
Hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3<br />
3<br />
Agung Raharjo, Pendaftaran Konversi Tanah Hak Milik Adat oleh Ahli Waris, Tesis, Universitas Diponegoro,<br />
Semarang, 2010, Hlm. 14
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
203<br />
B. Perumusan Masalah<br />
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan beberapa perumusan masalah yang<br />
menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini yang meliputi:<br />
1. Bagaimanakah klasifikasi hak atas tanah bekas hak barat setelah dilakukan<br />
konversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960<br />
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria<br />
2. Bagaimanakah status kepemilikan tanah hasil konversi hak barat sebagaimana<br />
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar<br />
Pokok-Pokok Agraria dihubungkan dengan PP No.24 Tahun 1997 Tentang<br />
Pendaftaran Tanah<br />
C. Klasifikasi Hak Atas Tanah Bekas Hak Barat Setelah Dilakukan Konversi<br />
Sebagaimana Diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960<br />
Setelah berlakunya UUPA, maka semua hak-hak barat yang belum dibatalkan sesuai<br />
ketentuan sebagaimana tersebut diatas, dan masih berlaku tidak serta merta hapus dan<br />
tetap diakui, akan tetapi untuk dapat menjadi hak milik atas tanah sesuai dengan sistem<br />
yang diatur oleh UUPA, harus terlebih dahulu dikonversi menurut dan sesuai dengan<br />
ketentuan-ketentuan konversi dan aturan pelaksanaannya. Dalam Pelaksanaan konversi<br />
tersebut ada beberapa prinsip, yaitu :<br />
1. Prinsip Nasionalitas<br />
Dalam Pasal 9 UUPA, secara jelas menyebutkan bahwa hanya Warga Negara<br />
Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan<br />
ruang angkasa. Badan-badan <strong>hukum</strong> Indonesia juga mempunyai hak-hak atas tanah,<br />
tetapi untuk mempunyai hak milik hanya badan-badan <strong>hukum</strong> yang ditunjuk oleh<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum<br />
yang dapat mempunyai hak Milik atas Tanah, antara lain : Bank-bank yang didirikan<br />
oleh Oleh Negara, Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan<br />
berdasarkan Undang-undang Nomor 79 Tahun 1963, badan-badan keagamaan yang<br />
ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria setelah mendengar pendapat Menteri Agama,<br />
dan badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian atau mendengar Menteri<br />
Sosial.<br />
2. Pengakuan Hak-hak tanah terdahulu<br />
Ketentuan-konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atas masalah hakhak<br />
atas tanah sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada<br />
Hukum Barat maupun Hukum Adat yang kesemuanya akan masuk melalui Lembaga<br />
Konversi ke dalam sistem dari UUPA.<br />
3. Penyesuaian pada ketentuan Konversi<br />
Sesuai dengan Pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan Menteri<br />
Agraria maupun dari Edaran-edaran yang diterbitkan, maka hak-hak atas tanah yang<br />
pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hakhak<br />
yang diatur oleh UUPA.
ULFIA HASANAH<br />
VOLUME 204<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
4. Status Quo Hak-hak Tanah terdahulu<br />
Dengan berlakunya UUPA, maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas<br />
tanah-tanah yang akan tunduk kepada Hukum Barat. Setelah diseleksi menurut ketentuanketentuan<br />
Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan pelaksanaannya maka<br />
terhadap hak-hak atas tanah bekas hak barat dapat menjadi :<br />
a. Tanah Negara karena terkena ketentuan asas nasionalitas atau karena tidak<br />
dikonversi menjadi hak menurut Undang-undang Pokok Agraria.<br />
b. Dikonversi menjadi hak yang diatur menurut Undang-undang Pokok Agraria<br />
seperti Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.<br />
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya macam-macam hak atas tanah<br />
hak-hak Barat adalah :<br />
1. Hak Eigendom (Recht van Eigendom)<br />
Dalam pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyebutkan bahwa hak<br />
eigendom adalah hak untuk menikmati suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk<br />
berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak<br />
bertentangan dengan undang-undanga tau peraturan umum yang ditetapkan oleh<br />
suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak<br />
orang lain, kesemuanya itu tidak mengurangi akan pencabutan atas kebenda hak<br />
itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang-Undang dan<br />
dengan pembayaran ganti rugi.<br />
2. Hak Erfpacht (Recht van Erfpacht)<br />
Hak Erfacht, menurut Pasal 720 KUHPerdata adalah suatu hak kebendaan untuk<br />
menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain,<br />
dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada sipemilik sebagai<br />
pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang maupun pendapatan lainnya.<br />
3. Hak Opstal (Recht van Opstal)<br />
Hak Opstal adalah suatu hak kebendaan (zakelijk recht) untuk mempunyai rumahrumah,<br />
bangunan-bangunan dan tanaman diatas tanah milik orang lain. Hak Opstal<br />
menurut Pasal 711 KUHPerdata merupakan hak numpang karang yaitu suatu hak<br />
kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan<br />
penanaman diatas pekarangan orang lain.<br />
Bagi pemegang Hak Opstal, mempunyai kewajiban, antara lain :<br />
a. Membayar Canon (uang yang wajib dibayar pemegang hak opstal setiap<br />
tahunnya kepada negara)<br />
b. Memelihara tanah opstal itu sebaik-baiknya<br />
c. Opstaller dapat membebani haknya kepada hipotik<br />
d. Opstaller dapat membebani tanah itu dengan pembebanan pekarangan selama<br />
hak opstall itu berjalan<br />
e. Opstaller dapat mengasingkan hak opstall itu kepada orang lain.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
205<br />
5. Hak Van Gebruik<br />
Menurut Pasal 756 KUHPerdata, Recht van Gebruik adalah suatu hak<br />
kebendaan, dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil dari sesuatu<br />
kebendaan milik orang lain, sehingga seolah-olah dia sendiri pemilik kebendaan<br />
itu, dan dengan kewajiban memeliharanya.<br />
Konversi hak-hak atas tanah adalah penyesuaian hak lama atas tanah menjadi hak<br />
baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. 4 Sedangkan menurut A.P Parlindungan,<br />
konversi hak-hak atas tanah adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang<br />
ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem UUPA. 5<br />
Dalam UUPA terdapat 3 (tiga) jenis konversi:<br />
· Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak barat<br />
· Konversi hak atas tanah, berasal dari hak Indonesia<br />
· Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja<br />
Khusus konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat terdapat 3 (tiga )<br />
hak yang dikonversi ke dalam UUPA, yaitu; Hak Eigendom, Hak Erfpacht, Hak Opstall.<br />
Apabila kita cermati arti konversi diatas, bahwa ada suatu peralihan atau perubahan dari<br />
hak tanah tertentu kepada hak tanah yang lain, yaitu perubahan hak lama yang secara<br />
yuridis adalah hak-hak sebelum adanya UUPA menjadi hak-hak baru atas tanah<br />
sebagaimana dimaksud dalam rumusan UUPA, khususnya sebagaimana diatur dalam pasal<br />
16 ayat (1) antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.<br />
Berikut ini akan diuraiakan landasan <strong>hukum</strong> konversi terhadap hak atas tanah yang<br />
berasal dari tanah hak barat, sebagaimana diuraikan dalam ketentuan konversi<br />
UUPAseperti:<br />
PASAL I:<br />
(1) Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini<br />
sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak<br />
memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.<br />
(2) Hak Eigendom kepunyaan pemerintah asing yang dipergunakan untuk keperluan<br />
rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya<br />
Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat 1, yang akan<br />
berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.<br />
(3) Hak Eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara yang disamping<br />
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badanbadan<br />
<strong>hukum</strong>, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam Pasal<br />
21 ayat 2 sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak-guna-bangunan<br />
tersebut dalam Pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu 20 Tahun.<br />
4<br />
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 1, Prestasi Pustaka Raya, Jakarta,<br />
2004, hlm. 80<br />
5<br />
A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 21
ULFIA HASANAH<br />
VOLUME 206<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
(4) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal<br />
atau hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya<br />
Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 35 ayat (1),<br />
yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau<br />
hak erfacht tersebut diatas, tetapi selama-lamanya 20 Tahun.<br />
(5) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat 3 Pasal ini dibebani dengan hak opstal<br />
atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut<br />
dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut<br />
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.<br />
(6) Hak-hak Hypotheek, Servituut, Vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membebani<br />
hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam<br />
ayat (1) dan ayat (3) pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut<br />
Undang-Undang ini.<br />
PASAL III:<br />
(1) Hak Erfpacht untuk perusahaan perkebunan besar, yang ada pada mulai<br />
berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha<br />
tersebut dalam Pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak<br />
erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 Tahun<br />
(2) Hak Erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang<br />
ini, sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuanketentuan<br />
yang diadakan oleh Menteri Agraria.<br />
PASAL V:<br />
Hak Opstall dan hak Erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya<br />
Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam<br />
Pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstall dan erfpacht<br />
tersebut, tetapi selama-lamanya.<br />
PASAL VIII:<br />
(1) Terhadap hak-guna-bangunan tersebut dalam Pasal I ayat 3 dan 4, Pasal II ayat 2<br />
dan Pasal V berlaku ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2.<br />
(2) Terhadap Hak-guna-usaha tersebut Pasal II ayat 2, Pasal III ayat 1 dan 2 dan<br />
Pasal IV Ayat 1 berlaku ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2.<br />
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan mengenai penggolongan konversi hak<br />
atas tanah yang bersumber dari hak barat sebagai berikut:<br />
1) Hak-hak yang dikonversi menjadi hak milik meliputi: hak eigendom atas tanah<br />
(Pasal I ayat 1 ).<br />
2) Hak-hak yang dikonversi menjadi hak guna usaha meliputi:<br />
a. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar ( Pasal III ayat 1 )<br />
b. Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar (Pasal IV<br />
ayat 1)<br />
3) Hak-hak yang dikonversi menjadi hak guna bangunan meliputi:
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
207<br />
a. Hak eigendom kepunyaan orang/ badan <strong>hukum</strong> asing ( Pasal I ayat 3 ).<br />
b. Hak opstall atau hak erfpacht yang membebani hak eigendom ( Pasal I ayat 4).<br />
c. Hak opstall dan hak erfpacht untuk perumahan ( Pasal V ).<br />
4) Hak-hak yang dikonversi menjadi hak pakai meliputi: hak eigendom kepunyaan<br />
pemerintahan negara asing yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman<br />
kepala perwakilan dan gedung kedutaan ( Pasal I ayat 2 ).<br />
5) Hak-hak yang setelah dikonversi menjadi hapus meliputi: hak erfpacht untuk<br />
pertanian kecil ( Pasal III ayat 2 ).<br />
D. Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No.<br />
5 Tahun 1960 Dihubungkan dengan Pendaftaran Tanah<br />
Pasal 19 UUPA mengamanahkan bahwa untuk menjamin adanya kepastian <strong>hukum</strong>,<br />
pemerintah wajib melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia, hal ini<br />
dilakukan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat serta keperluan lalu lintas<br />
sosial ekonomis masyarakat. Secara legal formal pendaftaran tanah menjadi dasar bagi<br />
status/kepemilikan tanah bagi individu atau badan <strong>hukum</strong> selaku pemegang hak yang<br />
sah secara <strong>hukum</strong>.<br />
Bachtiar Effendi menyatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan recht cadaster<br />
yang bertujuan memberikan kepastian hak, yakni untuk memungkinkan orang-orang<br />
yang mempunyai tanah dengan mudah membuktikan bahwa dialah yang berhak atas<br />
sebidang tanah, apa hak yang dipunyainya, letak dan luas tanah. Serta memungkinkan<br />
kepada siapapun guna mengetahui hal-hal yang ia ketahui berkenaan dengan sebidang<br />
tanah, misalnya calon pembeli, calon kreditur, dan sebagainya. 6<br />
Berkaitan dengan pelaksanaan konversi hak atas tanah, khususnya yang berasal dari<br />
hak barat sebagaimana diatur dalam UUPA, pendaftarn tanah menjadi dasar bagi<br />
terselenggaranya konversi, karena konversi bukan peralihan hak secara otomatis, tetapi<br />
harus dimohonkan dan didaftarkan ke Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ( BPN ).<br />
Jika dilihat ketentuan konversi, maka jelas bahwa prinsipnya hak-hak atas tanah<br />
sepanjang pemegang haknya pada saat ketentuan konversi berlaku adalah Warga Negara<br />
Indonesia tunggal maka hak itu akan dikonversikan menjadi hak milik menurut UUPA.<br />
Konsekuensi dari berlakunya ketentuan konversi ( UUPA ) mengharuskan semua bukti<br />
kepemilikan sebelum berlakunya UUPA harus diubah status hak atas tanah menurut<br />
ketentuan konversi yang diatur dalam UUPA. Cara mengubah status hak atas tanah tersebut<br />
yaitu dengan mendaftarkan tanah tersebut untuk diberikan bukti kepemilikan yang baru,<br />
yaitu sertifikat hak atas tanah, dengan catatan hal itu dilakukan sebelum jangka waktu<br />
yang ditetapkan yakni sampai 24 september 1980, jika permohonan atau pendaftaran hak<br />
atas tanah tidak dilakukan maka hak atas tanah akan dikuasai langsung negara.<br />
Cara melakukan pendaftaran tanah untuk mengubah status hak atas tanahdapat<br />
dibagi atas 2 (dua) cara yaitu:<br />
6<br />
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1983,<br />
hlm. 7
ULFIA HASANAH<br />
VOLUME 208<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
1) Jika pemohon memiliki bukti hak atas tanah yang diakui berdasarkan Pasal 23 dan<br />
24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka dapat ditempuh proses<br />
Konversi langsung yaitu dengan cara mengajukan permohonan dan menyerahkan<br />
bukti kepemilikan hak atas tanah kepada Kantor Pertanahan.<br />
2) Jika pemohon tidak memiliki atau kehilangan bukti kepemilikan hak atas tanah,<br />
maka carra yang ditempuh adalah melalui Penegasan Konversi atau melalui<br />
Pengakuan Hak.<br />
Terdapat 3 ( tiga ) bukti tertulis yang dapat diajukan oleh pemilik tanah, yaitu:<br />
1. Bukti tertulisnya lengkap.<br />
2. Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi.<br />
3. Bukti tertulisnya semua tidak ada lagi.<br />
Dalam kondisi bukti tertulisnya lengkap, maka tidak lagi memerlukan tambahan alat<br />
bukti, jika buktinya sebagian maka harus diperkuat dengan keterangan saksi atau<br />
pernyataan yang bersangkutan. Sedangkan jika bukti tertulisnya senuanya tidak ada lagi<br />
maka harus diganti keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan.<br />
Penegasan konversi dilakukan jika ada surat pernyataan kepemilikan tanah dari<br />
pemohon dan dikuatkan oleh keterangan saksi tentang kepemilikan tanah tersebut, tapi<br />
juga tergantung pada lamanya penguasaan fisik tanah tersebut oleh pemohon.<br />
Pengakuan hak sangat bergantung dengan lamanya penguasaan fisik, yaitu selama<br />
20 tahun demikian disebutkan didalam pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor<br />
24 Tahun 1997. Persyaratan pengakuan hak tersebut dapat dirincikan sebagai berikut:<br />
1) Bahwa pemohon telah menguasai tanah tersebut selama 20 tahun atau lebih secara<br />
berturut-turut atau dari pihak lain yang telah menguasainya.<br />
2) Penguasaan itu telah dilakukan dengan itikad baik.<br />
3) Penguasaan tanah itu tidak pernah diganggu gugat dan diakui serta dibenarkan<br />
oleh masyarakat di kelurahan atau tempat objek hak tersebut.<br />
4) Bahwa tanah tersebut sekarang tidak dalam sengketa.<br />
5) Bahwa jika pernyataan tersebut memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan<br />
kenyataan maka pemohon dapat dituntut secara pidana maupun perdata dimuka<br />
pengadilan karena memberikan keterangan palsu.<br />
Penegasan konversi, pengakuan hak dan pemberian hak diatur didalam pasal 56<br />
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun<br />
1997, yaitu sebagai berikut:<br />
1) Berdasarkan berita acara pengesahan data fisik data yuridis sebagaimana dimaksud<br />
dalam pasal 64 ayat (1) dilaksanakan kegiatan sebagai berikut:<br />
a. Hak atas sebidang tanah yang alat bukti tertulisnya lengkap sebagaimana<br />
dimaksud dalam pasal 60 ayat (2) dan yang alat bukti tertulisnya tidak lengkat<br />
tapi ada keterangan saksi maupun pernyataan yang bersangkutan sebagaimana<br />
yang dimaksud pasal 60 ayat (3) oleh Ketua Panitia Ajudikasi ditegaskan<br />
konversinya menjadi hak milik atas nama pemegang hak yang terakhir.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
209<br />
b. Hak atas tanah yang bukti kepemilikannya tidak ada tetapi telah dibuktikan<br />
kenyataan penguasaan fisiknya selama 20 tahun sebagaimana dimaksud<br />
pasal 61 oleh Ketua Ajudikasi diakui sebagai hak milik.<br />
2) Untuk pengakuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tidak<br />
diperlukan penerbitan surat keputusan pengakuan hak.<br />
Sementara terhadap pelaksanaan konversi dapat dilakukan dalam 2 (dua) kondisi<br />
dan dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:<br />
1. Bagi konversi langsung, maka dokumen yang dibutuhkan adalah:<br />
a. Surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan.<br />
b. Bukti pemilikan/ penguasaan tanah; berupa surat bukti seperti, girik/ letter<br />
c, pipit, verponding Indonesia ( jika dimiliki ). Bukti tersebut harus juga<br />
dilakukan dengan bukti lain:<br />
i. Surat-surat asli jual beli, tukar menukar, hibah atau akta waris.<br />
ii. Pernyataan dari pemohon atas penguasaan tanah tersebut, bahwa<br />
tanah tersebut tidak dalam sengketa.<br />
c. Foto copy KTP pemohon yang masih berlaku.<br />
d. Kartu keluarga.<br />
e. Surat tanda bukti pelunasan SPPT PBB ( Pajak Bumi dan Bangunan ) yang<br />
terakhir.<br />
f. Surat berkewarganegaraan Republik Indonesia dan atau surat pernyataan<br />
Ganti Nama ( apabila warga keturunan ).<br />
g. Surat ukur/ gambar situasi ( bila sudah ada dan masih dapat digunakan ).<br />
2. Bagi penegasan konversi/ pengakuan hak, dokumen yang dibutuhkan adalah:<br />
a. Surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan bukti penguat<br />
pemilikan penguasaan tanah;<br />
i. Pernyataan dan permohonan.<br />
ii. Keterangan dari kelurahan dan keterangan dari sekurang-kurangnya<br />
2 (dua) saksi atau lebih yang dapat dipercaya serta telah menjadi<br />
penduduk setempat dan tidak memiliki hubungan kekeluargaan dan<br />
kekerabatan dengan pemohon.<br />
b. Foto copy KTP pemohon<br />
c. Kartu Keluarga.<br />
d. Bukti pelunasan PBB terakhir.<br />
e. Surat kuasa ( bila dikuasainya ).<br />
f. Surat Berkewarganegaraan Republik Indonesia ( SKBRI ) dan surat<br />
pernyataan ganti nama ( apabila warga keturunan ).<br />
g. Surat ukur/ gambar situasi ( apabila sudah ada dan masih dapat digunakan).<br />
Permohonan hak atas tanah dapat dilakukan terhadap:<br />
a. Tanah negara bebas; belum pernah melekat sesuatu hak diatasnya.<br />
b. Tanah negara asalnya masih melekat sesuatu hak dan jangka waktunya belum<br />
berakhir, namun dimintakan perpanjangannya.
ULFIA HASANAH<br />
VOLUME 210<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
c. Tanah negara asalnya pernah melekat sesuatu hak dan jangka waktunya telah<br />
berakhir untuk dimintakan pembaharuannya, termasuk tanah-tanah Hak Barat,<br />
sebagai mana dijelaskan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32<br />
tahun1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru<br />
atas tanah asal konversi hak barat, pasal 1 ayat (1); “Tanah Hak Guna Usaha, Hak<br />
Guna Bangunan, dan hak pakai asal konversi hak barat, yangg jangka waktunya<br />
akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980. sebagaimana<br />
yang dimaksud dalam UUPA, pada saat berakhirnya hak, yang bersangkutan<br />
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara“ maupun tanah-tanah yang<br />
telah terdaftar menurut Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ).<br />
Selanjutnya terkait dengan pendaftaran SK pemberian hak untuk mendapatkan<br />
sertifikat tanda bukti hak diperlukan dokumen berikut ini:<br />
a. Surat permohonan pendaftaran.<br />
b. Surat pengantar.<br />
c. SK pemberian hak untuk keperluan pendaftaran.<br />
d. Bukti pelunasan uang pemasukan atau BPHTB apabila dipersyaratkan.<br />
e. Identitas pemohon.<br />
Hak milik dapat diberikan kepada; warga negara Indonesia, badan-badan <strong>hukum</strong><br />
yang ditetapkan pemerintah, misalnya Bank Pemerintah, Badan Keagamaan, dan Badan<br />
Sosial yang ditunjuk pemerintah. Hak ini bersifat turun temurun, terkuat, dan terpenuh<br />
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial tanah, maka jangka<br />
waktu berlakunya hak milik dalah untuk waktu yang tidak ditentukan. Terhadap hak ini<br />
juga dapat hapus, apabila; (1) Karena pencabutan hak, (2) Karena penyerahan dengan<br />
sukarela oleh pemiliknya, (3) Karena ditelantarkan, (4) Beralih kepada orang asing, (5)<br />
Tanahnya musnah. 7<br />
Sementara ittu terhadap hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai dapat<br />
diuraikan sebagai berikut:<br />
a. Warga Negara Indonesia, badan <strong>hukum</strong> yang didirikan menurut <strong>hukum</strong> Indonesia<br />
dan berkedudukan di Indonesia dapat memperoleh HGU. HGU adalah hak untuk<br />
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian,<br />
perikanan, atau peternakan. Jangka waktu berlakunya HGU adalah 5 tahun dan<br />
dapat diperpanjang paling lam 25 tahun, dan apabila waktu tersebut berakhir maka<br />
kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HGU diatas tanah yang sama.<br />
b. Hak guna Bangunan (HGB) diberikan kepada WNI, badan <strong>hukum</strong> yang didirikan<br />
menurut <strong>hukum</strong> dan berkedudukan di Indonesia. HGB adalah hak untuk mendirikan<br />
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Jangka<br />
waktunya 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun, setelah berakhir maka<br />
kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HGB diatas tanah yang<br />
sama. 8<br />
7<br />
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.<br />
8<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Dan<br />
Hak Pakai Atas Tanah.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
211<br />
c. Hak pakai dapat diberikan kepada WNI, orang asing yang berkedudukan di<br />
Indonesia, instansi pemerintah, badan <strong>hukum</strong> yang didirikan menurut <strong>hukum</strong><br />
Indonesia, badan <strong>hukum</strong> asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Hak pakai<br />
adalah hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai<br />
langsung oleh negara atau milik orang lain, jangka waktu berlakunya adalah 25 tahun<br />
dan diperpanjang selama 20 tahun atau untuk jangka waktu yang tidak ditentukan<br />
dengan syarat selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, setelah<br />
jangka waktu hak dan perpanjangan berakhir, maka kepada pemegang hak dapat<br />
diberikan pembaharuan hak pakai atas tanah yang sama.<br />
d. Hak pengelolaan diberikan kepada; instansi pemerintah termasuk pemerintah<br />
daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, PT Persero, badan<br />
otorita, badan <strong>hukum</strong> pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah. Jangka<br />
waktunya tidak ditentukan tetapi bergantung selama tanahnya dipergunakan untuk<br />
keperluan tertentu.<br />
e. Hak milik atas satuan rumah susun; hak milik ini diberikan atas pemilikan rumah<br />
susun. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu<br />
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional<br />
dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing<br />
dapat dimiliki dan dibangun secara terpisah, terutama untuk tempat hunian<br />
atau bukan hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama dan tanah bersama.<br />
E. Kesimpulan<br />
Konversi merupakan pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya<br />
UUPA untuk masuk kedalam sistem dari UUPA, atau dengan kata lain adanya peralihan,<br />
perubahan ( omzetting ) dari suatu hak kapada suatu hak lain. Adapun yang menjadi<br />
landasan <strong>hukum</strong> bagi pelaksanaan konversi hak atas tanah adalah bagian kedua UUPA<br />
tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri atas 9 ( sembilan ) pasal yang<br />
mengatur tiga jenis konversi yaitu; konversi hak atas tanah yang bersumber dari hakhak<br />
Indonesia,konversi hak atas tanah bekas Swapraja dan konversi hak atas tanah yang<br />
berasal dari hak-hak barat. Khusus mengenai hak atas tanah yang berasal dari hak-hak<br />
barat seperti, hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht, dengan berlakunya ketentuan<br />
konversi akan mengalami perubahan atau peralihan. Dalam ketentuan konversi,<br />
sebagaimana dimaksud pada bagian kedua UUPA dinyatakan bahwa semua hak yang<br />
ada sebelum berlakunya UUPA beralih menjadi hak milik, hak guna usaha, hak guna<br />
bangunan, dan hak pakai. Dengan pemberlakuan ketentuan konversi ini berarti pengakuan<br />
dan penegasan terhadap hak-hak lama, juga sebagai maksud penyederhanaan <strong>hukum</strong><br />
dan upaya untuk menciptakan kepastian <strong>hukum</strong>.<br />
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979, ketentuan konversi bagi<br />
hak-hak barat telah berakhir sejak tanggal 24 September 1980, berarti telah diberikan<br />
jangka waktu yang relatif lama sampai 20 tahun sejak diberlakukannya ketentuan konversi<br />
sebagaimana diatur dalam UUPA, yang dimaksudkan untuk mengakhiri sisa-sisa hak barat<br />
atas tanah di Indonesia dengan segala sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan<br />
UUD 1945. Dengan demikian setiap hak atas tanah barat hanya dapat dikonversi sesuai
ULFIA HASANAH<br />
VOLUME 212<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
jangka waktu yang telah ditetapkan, apabila lewat jangka waktu tersebut maka hak atas<br />
tanah tersebut akan dibawah kekuasaan negara. Selanjutnya bukti hak atas tanah yang<br />
muncul setelah jangka waktu tersebut, maka kepada pemegang hak diharuskan mengajukan<br />
permohonan langsung ke Kepala Kantor Pertanahan, dengan melengkapi syarat<br />
sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Untuk<br />
selanjutnya akan di proses sebagai pemegang hak yang sah atas tanah. Pemberlakuan<br />
ketentuan konversi terhadap hak-hak atas tanah yang berasal dari hak barat meliputi 2<br />
kondisi yakni; (1) hak-hak yang dapat dikonversi langsung, (2) pengakuan hak/ penegasan<br />
konversi, jadi setiap hak-hak atas tanah perlu dilakukan legalisasi kepemilikan hak baik<br />
secara fisik maupun yuridis, melalui mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan<br />
yang berlaku guna terciptanya kepastian hak dan kepastian <strong>hukum</strong>.<br />
E. Daftar Pustaka<br />
Agung Raharjo, Pendaftaran Konversi Tanah Hak Milik Adat oleh Ahli Waris, Tesis,<br />
Universitas Diponegoro, Semarang, 2010<br />
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria ( Pertanahan ) Indonesia Jilid 1, Prestasi Pustaka<br />
Raya, Jakarta, 2004 )<br />
A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1990<br />
——————————, Komentar Atas UUPA, Mandar Maju, Bandung, 2001 )<br />
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya,<br />
Alumni, Bandung, 1983<br />
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok<br />
Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005<br />
—————————, Hukum Agraria Indonesia jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan,<br />
Jakarta, 2007<br />
Florianus, S.P Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi Media, Jakarta, 2008)
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
213<br />
PENYELESAIAN SENGKETA LAHAN HUTAN<br />
MELALUI PROSES MEDIASI<br />
RISKA FITRIANI<br />
Jalan Durian Sukajadi Pekanbaru<br />
Abstrak<br />
Penyelesian sengketa di luar pengadilan disebut juga<br />
Alternatve Dispute Resolution (ADR). Salah satu<br />
sengketa yang terjadi adalah antara investor dengan<br />
masyarakat Kabupaten Siak di Kecamatan Kerinci<br />
Kanan. Penyelesaian dilakukan dengan upaya negosiasi,<br />
yaitu dengan proses perundingan atau tawar<br />
menawar suatu konsesi, dalam permasalahan<br />
yang timbul di tengah masyarakat.<br />
Abstract<br />
Disputes out of court settlement is also called Alternative<br />
Dispute Resolution (ADR). One dispute is<br />
between the investor and the community in the District<br />
of Kerinci Siak Kanan. Settlement is done by negotiation<br />
efforts, that is the process of negotiating or<br />
bargaining a concession, on the problems that arise<br />
in the community.<br />
Kata kunci: Mediasi, sengketa, ADR.<br />
A. Pendahuluan<br />
Perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia selalu berhadapan dengan<br />
konflik yang mewarnai kehidupan, berawal dari permasalahan yang mengiringi setiap<br />
aktivitas dalam kehidupan manusia. Bervariasinya permasalahan yang menimbulkan<br />
konflik tentunya tidak selalu dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya<br />
dengan hasil dari pemecahan masalah yang dapat diterima bagi para pihak yang berselisih<br />
bahkan tidak jarang berujung pada munculnya sengketa. Namun sebagai makhluk ciptaan<br />
Tuhan yang sempurna, manusia tentunya senantiasa mengusahakan dan berupaya dengan<br />
berbagai cara terbaik untuk tercapainya solusi yang diinginkan, sehingga terciptanya<br />
keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan manusia. Oleh Karena itu diharapkan<br />
bukan hanya adanya pihak yang menang atau kalah namun lebih diupayakan dapat<br />
melahirkan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa dengan mufakat dirasakan<br />
dapat memenuhi keinginan para pihak tersebut (win-win solution).<br />
Tindak lanjut dari sengketa yang timbul dalam masyarakat tentunya ada upaya<br />
untuk dapat diselesaikan melalui suatu wadah yang ditentukan oleh masyarakat itu senfiri<br />
yang berawal dari kelompok yang terkecil dalam masyarakat (seperti halnya keluarga)<br />
sampai dengan lembaga Negara yang dilengkapi dengan seperangkat aturan <strong>hukum</strong> sebagai<br />
pedoman dalam pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti adanya hakim<br />
perdamaian desa sudah sejak lama terbentuk dalam lingkungan masyarakat <strong>hukum</strong> adat<br />
yang biasanya menyelesaikan sengketa-sengketa adat melalui kelembagaan tradisional<br />
tersebut. Pada peradilan desa, kepala rakyat, bahkan ada juga yang sekaligus merupakan<br />
tokoh adat dan agama. Dalam hubungan dengan tugas kepala sebagai hakim perdamaian,<br />
Soepomo menyatakan:<br />
“Kepala rakyat bertugas memelihara hidup <strong>hukum</strong> di dalam persekutuan, menjaga<br />
supaya <strong>hukum</strong> itu dapat berjalan dengan selayaknya. Aktivitas kepala rakyat seharihari<br />
meliputi seluruh lapangan masyarakat. Bahkan saja ia dengan para pembantunya<br />
menyelenggarakan segala hal yang langsung mengenai tata usaha badan persekutuan,
RISKA FITRIANI<br />
VOLUME 214<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
bukan saja ia memelihara keperluan-keperluan rumah tangga persekutuan, seperti<br />
urusan jalan-jalan desa, gawe desa, pengairan, lumbung desa, urusan tanah yang dikuasai<br />
oleh hak pertuanan desa, dan sebagainya, melahirkan kepala rakyat bercampur tangan<br />
pula dalam menyelesaikan soal-soal perkawinan, soal warisan, soal pemeliharaan anak<br />
yatim, dan sebaginya. Dengan pendek kata, tidak ada 1 (satu) lapangan pergaulan hidup<br />
di dalam badan persekutuan yang tertutup bagi kepala rakyat untuk ikut campur<br />
bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamian, keseimbangan lahir<br />
dan batin untuk menegakkan <strong>hukum</strong> 1 .“<br />
Penyelesaian sengketa dihadapkan pada proses yang dijalani oleh para pihak tanpa<br />
dibantu oleh pihak-pihak lain yang tidak mempunyai kepentingan terhadap berlanjutnya<br />
sengketa yang ada. Menurut teori dari Cochrane hadap yang mengatakan bahwa yang<br />
mengontrol hubungan-hubungan sosial itu adalah masyarakat itu sendiri, artinya bahwa<br />
pada dasarnya masyarakat itu sendiri yang aktif menemukan, memilih, dan menentukan<br />
<strong>hukum</strong> sendiri 2 . Namun adakalanya diselesaikan oleh pihak lain di luar sengketa secara<br />
damai, Jika tidak teratasi melalui proses di luar pengadilan, maka sengketa ini dilakukan<br />
melalui proses litigasi di dalam pengadilan atau sengketa ini dibawa ke “meja hijau”. Adapun<br />
mengenai penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui kerjasama (kooperatif) di luar<br />
pengadilan biasanya disebut juga dengan alternatve dispute Resolution (ADR).<br />
Penyelesian sengketa di luar pengadilan ini pertama kali muncul dengan istilah alternatve<br />
dispute Resolution (ADR) ini di Amerika Serikat. Hal ini muncul karena masyarakat<br />
Amerika Serikat merasa penyelesaian sengketa melalui proses litigasi (badan peradilan)<br />
tidak dapat memenuhi rasa keadilan dan ketidakpuasan atas system peradilan (dissatisfied<br />
with the judicial system) bagi masyarakat yang menjadi para pihak yang bersengketa.<br />
Adapun mengenai bentuk-bentuk alternatve dispute Resolution (ADR) yang digemari<br />
dan populer di Amerika Serikat 3 :<br />
1. Arbitrase<br />
2. Compulsory arbitrase system<br />
3. Mediasi (Mediation)<br />
4. Konsiliasi (concilliation)<br />
5. Summary jury trial<br />
6. Settlement conference<br />
Perbedaan penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini merupakan alternatif yang<br />
dapat dipilih dalam penyelesaian sengketa yang muncul akibat berkembangnya konflik<br />
yang ada. Cara inipun terus berkembang di berbagai Negara belahan dunia yang akhirnya<br />
sampai di Indonesia juga berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi yang<br />
terus merambat dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya kemudahan dan<br />
keuntungan yang dapat dirasakan para pihak yang bersengketa tentunya akan diminati<br />
oleh para pencari keadilan. Dalam Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun<br />
1<br />
R.Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1984, hlm.65-66<br />
2<br />
Ade Saptomo, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Sebuah Kajian Alternative Dispute Resolution,<br />
Fakultas Hukum kultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumbar, 2001, hlm. 5.<br />
3<br />
Diringkas oleh M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,<br />
P.T.Citra Aditya Bakti, bandung, 1997, hlm. 280-281
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
215<br />
1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa “alternatif penyelesaian<br />
sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui<br />
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara<br />
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi, atau penilaian ahli”.<br />
Secara umum pranata penyelesian sengketa alternatif dapat digolongkan ke dalam 4 :<br />
1. Mediasi<br />
2. Konsiliasi<br />
3. Arbitrase<br />
Penyelesaian sengketa yang biasa digunakan bagi para pihak yang bersengketa salah<br />
satu cara dilakukan melalui mediasi yang merupakan cara pemecahan masalah dengan<br />
tujuan untuk mencapai kesepakan para pihak yang bersengketa sesuai dengan apa yang<br />
diharapkan tanpa adanya pihak yang dirugikan, melalui pihak penengah yang juga<br />
merupakan penasehat bagi para pihak tersebut yang lazimnya disebut dangan mediator,<br />
dan dilakukan di luar pengadilan (non litigasi) 5 .<br />
Perkara yang ada di tengah masyarakat ini tidak hanya dalam hal masalah keluarga<br />
tetapi juga terjadi bagi pelaku usaha dan masyarakat bahkan bisa melibatkan pemerintah.<br />
Begitu juga halnya di Kabupaten Siak yang merupakan daerah pengembangan usaha<br />
melalui investasi dalam berbagai bidang. Seperti adanya peluang investasi di bidang<br />
pertambangan, pada area industri di Pelabuhan Tanjung Buton serta di bidang perkebunan<br />
yang berdampak positif dalam perkembangan ekonomi di Kabupaten Siak. Salah satu<br />
daerah pengahasilan minyak yakni Kecamatan Minas dan Kecamatan Sungai Apit. Di<br />
bidang perkebunan Kabupaten Siak sangat berpotensi dalam pengembangan komoditi<br />
perkebunan, yakni kelapa sawit, karet, kelapa , sagu, pinang, dan kopi. Area perkebunan<br />
kelapa sawit pada tahun 2009 luasnya sebesar 418.300 Ha (Hektar), dan perkebunan<br />
karet dengan luas 14.766 Ha, serta perkebunan kelapa 3.326 Ha, sagu 6.182 Ha, dan<br />
pinang 1.303 Ha, Kopi 370 Ha 6 .<br />
Khusus di Kabupaten Siak, pada tahun 2008 perkembangan nilai investasi untuk<br />
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Rp 362,5 Milyar dan Penanaman Modal Asing<br />
(PMA) 25 juta US $ sedangkan untuk tahun 2009 perkembangan nilai investasi tidak ada<br />
dengan arti lain tidak ada yang terealisasi pada tahun 2009. Peningkatan jumlah investasi<br />
ini berbagai regulasi telah dibuat oleh pemerintah. Salah satu regulasi, Pemerintah telah<br />
menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing<br />
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang<br />
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman<br />
Modal Asing. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam<br />
Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang<br />
4<br />
Bandingankan dengan Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Rajawali Pers, Jakarta, 2002,<br />
hlm. 2-4<br />
5<br />
Penyelesaian sengketa biasanya dapat dilakukan melalui 2 macam proses, yaitu proses penyelesaian<br />
sengketa yang tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, yang selanjutnya berkembang pada<br />
proses penyelelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan, Rachmadi Usman,<br />
Op.Cit. hlm. 3<br />
6<br />
Penanaman Modal Kabupaten Siak, Potensi dan Peluang Investasi Siak, Kabupaten Siak, 2010, hlm. 5
RISKA FITRIANI<br />
VOLUME 216<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman<br />
Modal Dalam Negeri. Perkembangannya, kesemua peraturan perundang-undangan<br />
tersebut di atas telah digantikan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun<br />
2007 tentang Penanaman Modal.<br />
Pekebunan Kelapa sawit sebagai salah satu investasi yang paling besar di bidang<br />
perkebunan di Kabupaten Siak yang luasnya sekitar 418.300 Ha merupakan potensi untuk<br />
pengembangan industri hilir, dengan jumlah pabrik kelapa sawit di Kabupaten Siak tercatat<br />
11 unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan penghasilan per bulannya sebanyak 257.850<br />
ton Crude Palm Oil (CPO) 7 . Namun dalam pengembangan usaha perkebunan sawit ini<br />
menimbulkan sengketa lahan antara investor selaku pemegang izin HGU (Hak Guna<br />
Usaha) dengan masyarakat setempat. Investor dengan adanya HGU yang diberikan oleh<br />
pemerintah dengan adanya izin yang diberikan oleh Menteri Kehutanan, sehingga investor<br />
diberikan mengelola hutan dengan adanya pelepasan kawasan huta dari Menteri<br />
Kehutanan 8 . Pengelolaan hutan oleh investor ini berhimpitan dengan masyarakat<br />
setempat, seperti yang terjadinya kasus di Kabupaten Siak antara investor dengan<br />
masyarakat yaitu PT Maridan Sejati Surya Plantation (MSSP) dengan masyarakat di<br />
Kecamatan Kerinci Kanan, lahan yang menjadi sengketa seluas 2794 Ha (Hektar).<br />
Masyarakat mengklaim bahwa itu merupakan lahan tersebut adalah lahan mereka,<br />
sementara itu perusahan memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dalam penggunaan lahan<br />
tersebut 9 . Terjadinya sengketa lahan Hak Guna Usaha tersebut disebabkan masyarakat<br />
Kerinci Kanan merasa dirugikan dan tidak mendapatkan ganti rugi atas tanah yang<br />
dimilikinya dari pihak perusahaan.<br />
Kelanjutan kasus ini di upayakan penyelesaian agar pengembangan pemanfaatan alam<br />
serta adanya hubungan baik antara investor dengan masyarakat setempat sehingga tidak<br />
ada pihak yang merasa dirugikan atau diupayakan agar lancarnya aktifitas masyarakat<br />
setempat dan investor sebagai pengelola hutan disekitarnya yang merupakan hak<br />
masyarakat setempat seharusnya. Perkara ini diupayakan penyelesaiannya melalui proses<br />
mediasi melalui pertemuan dengan bantuan mediatornya pihak Kantor Pertanahan<br />
Sekretariat Daerah Kabupaten Siak dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Siak dalam<br />
hal pencapaian kesepakatan (win-win solution) 10 .<br />
Penyelesaian kasus yang terjadi antara pihak PT Maridan Sejati Surya Plantation<br />
dan masyarakat diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi ini menimbulkan<br />
permasalahan bagi pengembangan usaha di Kabupaten Siak. Seperti apa permasalahan<br />
yang bekembang serta hasil dari penyelesaian sengketa secara mediasi dapat membawa<br />
pengaruh baik bagi kedua belah pihak dan pemerintah setempat seperti apa yang<br />
diharapkan para pihak saling sepakat (win-win solution). Adapun Mediator dalam<br />
sengketa lahan yang terjadi antara pihak PT. Maridan Sejati Surya Plantation dan<br />
masyarakat diawali dengan adanya mediator pemuka masyarakat adat setempat atau<br />
disebut juga dengan tokoh masyarakat, namun hasil kesepakatan juga belum tercapai<br />
7<br />
Ibid<br />
8<br />
KTSP & BPN, 2011<br />
9<br />
www.Siakjuguljaya.com<br />
10<br />
Bagian Pertanahan Sekretaris Daerah Kabupaten Siak, 2011.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
217<br />
dan akhirnya dibantu oleh mediator lain dari perwakilan kantor Pertanahan Setda Siak,<br />
Zulkifli M, SH. Dalam kelanjutan sampai saat ini sengketa lahan ini pun sudah mereda,<br />
namun sampai saat ini masih saja terjadi gejolak dalam masyarakat.<br />
B. Rumusan Masalah<br />
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana Penyelesaian<br />
Sengketa lahan hutan melalui proses mediasi di Kabupaten Siak.<br />
1. Bagaimanakah sengketa yang terjadi antara PT. Maridan Sejati Surya Plantation<br />
dan masyarakat di Kabupaten Siak<br />
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa melalui mediasi antara PT Maridan Sejati<br />
Surya Plantation dan masyarakat di Kabupaten Siak<br />
C. Pembahasan<br />
Kabupaten Siak merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Riau, dan<br />
merupakan salah satu daerah yang sangat potensial. Kabupaten Siak ditetapkan menjadi<br />
kabupaten pada tanggal 12 oktober 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun<br />
1999, dan Keputusan Gubernur Riau No. 253/U/1999. Kabupaten Siak merupakan salah<br />
satu daerah pemekaran dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Bengkalis.<br />
Salah satu hasil bumi Kabupaten Siak ini adalah merupakan daerah pengahasil minyak<br />
tepatnya di Kecamatan Minas dan Kecamatan Sungai Apit. Pada tanggal 8 Agustus 2002<br />
pengelolaan CPP blok resmi dilakukan oleh konsorsium PT.Bumi Siak Pusako dan<br />
Pertamina Hulu dengan membentuk Badan Operasi Bersama (BOB), dengan adanya serah<br />
terima CPP Blok dari Pihak Caltex Pacific Indonesia kepada pemerintah Kabupaten Siak,<br />
maka. Kapasitas terpasang produksi harian dari CPP blok saat ini berkisar antara 38-39<br />
ribu bhp (barel per-hari). Perusahaan minyak ini tentunya telah membawa pengaruh<br />
besar bagi pertumbuhan perekonomian penduduk Riau khusunya Kabupaten Siak, salah<br />
satunya bisa mengembangkan atau peningkatan lapangan kerja bagi masyarakat. Di<br />
samping itu terdapat peluang bagi investor dalam proyek pendirian pembangkit listrik<br />
di kecamatan-kecamatan.<br />
Kabupaten Siak ini memiliki perusahan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang<br />
bergerak pada pengembangan kawasan industri yaitu PT. Kawasan Industri Tanjung Buton<br />
dan mendirikan PT. Tanjung Buton Makmur Sejahtera khusus menangani pengelolaan<br />
Pelabuhan Tanjung Buton. Adapun Peluang investasinya yaitu di dalam kawasan industri<br />
tanjung buton seperti membangun pabrik-pabrik dan diareal pelabuhan yaitu terbuka<br />
luas bagi investor yang akan menanamkan modalnya untuk membangun infrastruktur<br />
pendukung. membangun pabrik-pabrik dan diareal pelabuhan yaitu terbuka luas bagi<br />
investor yang menanamkan modalnya untuk membangun infrastruktur pendukung.<br />
Investasi di bidang perkebunan Kabupaten Siak sangat potensial untuk mengembangkan<br />
perkembangan komoditi perkebunan. Tanaman perkebunan yang dikembangkan antara<br />
lain kelapa sawit, karet, kelapa , sagu, pinang, dan kopi. luas areal perkebunan kelapa<br />
sawit pada tahun 2009 sebesar 413.000 Ha (Hektar), Kelapa 14.766 Ha, Kelapa 3.326<br />
Ha, sagu 6.182 Ha, dan Pinang 1.303 Ha, Kopi 370 Ha.
RISKA FITRIANI<br />
VOLUME 218<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit masih memberi peluang besar di<br />
kabupaten ini. Pola yang dilaksanakan dalam pengembangan komoditi perkebunan antara<br />
lain, pola perusahaan swasta, pola kemitraan, pola swadaya dan pola inti plasma.<br />
Peningkatan nilai tambah diperlukan industri hilir Crude Palm Oil (CPO) sehingga dapat<br />
dihasilkan margarine, minyak goreng, sabun dan sebagainya. Kegiatan industri hilir Crude<br />
Palm Oil (CPO) dapat dikembangkan secara integral dalam kawasan industri Tanjung<br />
Buton. Sangat berpulang ditawarkan kepada para investor untuk membangun industri<br />
hilir. Investasi yang terus meningkat di Kabupaten Siak ini dari tahun ke tahun bagi<br />
investor adalah di bidang perkebunan kelapa sawit, karena lahan yang mendukung dan<br />
letak daerah yang strategis, sehingga hampir setiap lahan yang kosong ataupun hutan<br />
digunakan untuk membangun perkebunan.<br />
Perkembangan investasi bidang perkembangan investasi bidang perkebunan<br />
Sdiuraikan mulai tahun 2000-2010. Dapat dilihat dalam tabel berikut ini:<br />
Tabel. 1<br />
Perkembangan investasi di Kabupaten Siak tahun 2000-2010<br />
No Tahun Investasi Jumlah<br />
Nilai Investasi<br />
Perusahaan<br />
1. 2000 1 Rp. 48.000.000.000<br />
2. 2001 1 Rp. 29.000.000.000<br />
3 2002 - -<br />
4. 2003 1 $ 3.385.333<br />
5. 2004 1 Rp. 81. 156. 925.000<br />
6. 2005 1 Rp. 95. 105. 995.516<br />
7. 2006 1 Rp. 449. 160. 130. 296<br />
8. 2007 1 Rp. 55.500.000.000<br />
9. 2008 2 Rp. 188.000.000.000<br />
$ 7.500.000<br />
10. 2009 - -<br />
11. Jumlah 11 Rp.1.065.423.050.812<br />
$ 10.885.333<br />
Sumber Data: Kantor Penanaman Modal Kabupaten Siak, 2011<br />
Berdasarkan tabel di atas menjelaskan bahwa jumlah investasi bidang perkebunan<br />
kelapa sawit di Kabupaten Siak di tahun 2000 mencapai Rp. 48 milyar dilakukan oleh PT.<br />
Sawit Bumi Minas. Pada tahun 2001 mengalami penurunan, dengan nilai investasinya<br />
sebesar Rp.29 milyar yang dilakukan oleh PT. Sinar Mas Agro Resources & Tecnology Tbk.<br />
Tahun 2002 mengalami kenaikan selanjutnya mengalami penurunan. Nilai investasi<br />
yang terbesar terhadap Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) terjadi pada tahun 2006
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
219<br />
yaitu sebesar Rp.449.160.130.296 diinvestasikan oleh PT.Ivo Mas Tunggal dan untuk<br />
Penanam Modal Asing (PMA) dengan nilai investasi sebesar $ 7.500.000 yang dilakukan<br />
oleh PT Siak Prima Sakti. Dalam perkembangan investasi tersebut sampai tahun 2010<br />
terdapat sebelas perusahaan perkebunan kelapa sawit diKabupaten Siak. Pada tahun<br />
berikutnya juga mengalami hal Kenaikan dan penurunan. Upaya merealisasikan nilai<br />
investasinya tersebut perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit mengupayakan<br />
mendapatkan hak pemegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh<br />
Badan Pertanahan Nasional (BPN), hal ini agar perusahaan lebih dapat mengembangkan<br />
usahanya di lingkungan daerah Kabupaten Siak, namun tidak semua perusahaan yang<br />
mempunyai ada yang masih memegang HGU, hanya memiliki sertifikat izin lokasi, yang<br />
masa berlaku dan harus diperpanjang sampai pada saat perusahaan mendapatkan<br />
sertifikat Hak Guna Usaha. Perkembagan izin pengelolaan usaha perusahaan perkebunan<br />
sawit di kabupaten Siak antara lain:<br />
Tabel. 2<br />
Perusahaan sebagai investor dan izin yang diperoleh untuk<br />
pengelolaan usaha perkebunan di Kabupaten Siak<br />
No Nama Perusahaan Jenis Izin<br />
1 PT Siak Prima Nusa Lima Izin Lokasi<br />
2. PT Berlian Inti Mekar Izin Lokasi<br />
3. PT Duta Swakarya Indah Izin Lokasi<br />
4. PT Siak Prima Sakti Izin Lokasi<br />
5. PT Maridan Sejati Surya Plantation HGU<br />
6. PT Ivo Mas Tunggal HGU<br />
7. PT Aneka Inti Persada HGU<br />
8. PT Era Sawit Perkasa Izin lokasi<br />
9. PT Bina Pitri Jaya HGU<br />
10. PT Smart. Tbk Izin lokasi<br />
11. PT Sawit Bumi Minas HGU<br />
Sumber Data : Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kab.Siak, 2011<br />
Tabel di atas menjelaskan izin yang telah dipegang oleh investor perusahaan perkebunan<br />
kelapa sawit dalam melaksanakan usaha investasinya, upaya meningkatkan<br />
investasinya salah satu cara dengan memperluas lahan perkebunan sedikit demi sedikit,<br />
sehingga satu perusahaan dapat memiliki lebih dari satu izin lokasi ataupun Hak Guna<br />
Usaha. Pemindahan hak dan mengunakan tanah tersebut sangat diperlukan untuk<br />
pengembangan usaha. Sedangkan hak guna usaha adalah lanjutan dari izin lokasi yang<br />
lahannya telah dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan.
RISKA FITRIANI<br />
VOLUME 220<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
1. Sengketa yang Terjadi antara PT. Maridan Sejati Surya Plantation dan<br />
Masyarakat di Kabupaten Siak<br />
Perkembangan usaha yang dilakukan oleh perusahaan di Kabupaten Siak terdapat<br />
sebelas perusahaan swasta yang mendirikan usaha di bidang perkebunan kelapa sawit.<br />
Usaha tersebut dijalankan dengan memegang izin, perusahaan yang memegang izin lokasi<br />
adalah enam perusahaan dan lima perusahaan yang memegang Hak Guna Usaha. Untuk<br />
mendapatkan sertifikat Hak Guna Usaha dan jaminan yang diberikan kepada pemegang<br />
sertifikat Hak Guna Usaha dalam mengembangkan nilai investasi dilakukan dengan<br />
berbagai prosedur atau tahap yang harus dilalui dan merupakan hal yang sulit jika dikaji<br />
dari aturan administrasinya. Hal ini tentunya agar dapar membatasi jumlah perusahaan<br />
yang mempunyai Hak Guna Usaha, dan ini sangat penting dibatasi untuk menjamin hak<br />
pengelolaan tanah bagi masyarakat sekitarnya agar tidak dirugikan oleh pihak investor.<br />
Prosedur Perizinan Pada Perusahaan Kelapa Sawit Sebelum pengimplementasi<br />
undang-undang penanaman modal mengenai kepastian <strong>hukum</strong> yang dijaminkan kepada<br />
investor terkait Hak Guna Usaha perkebunan. Namun dalam praktiknya sangat merugikan<br />
masyarakat sekitar karena terganggu dengan aktifitas perusahaan dan bahkan ada<br />
perusahaan yang mengelola perkebunan di tanah masyarakat dan menggabaikan hakhak<br />
masyarakat sekitar khususnya. Untuk mendapatkannya ada beberapa syarat-syarat<br />
yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kantor Penanaman Modal, Kantor<br />
Pelayanan Terpadu Satu pintu, dan Badan Pertahanahan Provinsi. Satu pintu, dan Badan<br />
Pertahanahan Provinsi. Mengenai prosedur dan syarat-syarat mendapat sertifikat Hak<br />
Guna Usaha harus melalui beberapa tahap. Adapun yang menjadi prosedur atau<br />
langkahlangkah hingga pada mendapatkan hak guna usaha adalah sebagai berikut 11 :<br />
1. Perusahaan–perusahaan yang memerlukan tanah untuk keperluan usahanya harus<br />
Mengajukan permohonan arahan lokasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan<br />
kepada kepala kantor Pertanahan, Kepala Dinas Perkebunan dan Kepala Dinas<br />
Kehutanan Kabupaten/Kota dengan melampirkan rekanan akte pendirian<br />
perusahaan yang telah disahkan oleh menteri Kehakiman dan HAM.<br />
2. Sebelum mengurus izin prinsip maka penanam modal harus mengurus surat<br />
rekomendasi atau persetujuan dari kantor penanaman modal.<br />
3. Surat Persetujuan itulah yang digunakan untuk mengurus Izin Prinsip akan dikeluarkan<br />
oleh Bupati/walikota untuk jangka waktu selama 1 tahun. Selamaperiode tersebut,<br />
pengusaha harus melakukan kegiatan/penguasaan atas tanah dan mengajukan izin<br />
prinsip.<br />
4. Permohonan izin lokasi di ajukan kepada Bupati/Walikota dengan lampiranstatus<br />
penguasaan tanah yang telah dilakukan. Izin lokasi biasanya berlaku 2 tahun.<br />
5. Setelah mendapatkan izin lokasi, Perusahaan harus melakukan AMDAL sebagai<br />
syarat untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Setelah IUP diterbitkan,<br />
perusahaan harus mengajukan Izin pembukaan lahan (LC) dan dapat segera<br />
beroperasi sejalan dengan permohonan HGU kepada BPN.<br />
11<br />
75 Pasal 1 Angka 1 Peratuan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999<br />
Tentang Izin Lokasi
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
221<br />
Praktik pengembangan investasi di daerah ini mengalami kendala sehingga hal ini<br />
bisa menimbulkan tidak sinergisnya antara kebutuhan pengusaha untuk mengembangkan<br />
perusahaannya dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Adapun kendala pengembangan<br />
investasi ini antara lain pada Badan Koordinasi Penanaman Modal dicatat, paling tidak<br />
ada dua faktor yang menjadi kendala investasi di Indonesia yakni faktor internal dan<br />
eksternal. Adapun kendala internal dalam pegembangan investasi meliputi 12 :<br />
a. Kesulitan perusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek<br />
b. Kesulitan memperoleh bahan baku<br />
c. Kesulitan dana pembiyaan<br />
d. Kesulitan pemasaran<br />
e. Sengketa perselisihan diantara pemegang saham<br />
Kendala eksternal meliputi:<br />
a. Faktor lingkungan bisnis baik nasional, regional, dan global yang tidak mendukung<br />
serta menarik insentif atau fasilitas investasi yang diberikan oleh pemerintah<br />
b. Masalah <strong>hukum</strong><br />
c. Keamanan, maupun stabilitas politik yang merupakan faktor eksternal ternyata<br />
menjadi faktor penting bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia<br />
d. Adanya peraturan daerah, keputusan menteri, undang-undang yang turut<br />
mendistorsi kegiatan penanaman modal<br />
e. Adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menimbulkan<br />
ketidakpastian dalam pemanfaatan areal hutan bagi industri pertambangan<br />
Investor yang telah memegang izin lokasi berarti investor telah bisa menjalankan<br />
usaha perkebunannya, izin lokasi tersebut memiliki masa berlaku yaitu 13 :<br />
a. Izin lokasi pada lahan kurang dari 25 Ha (50) masa berlakunya 3 tahun<br />
Izin lokasi hanya dapat diperpanjang sebanyak 1 kali dengan syarat investor telah<br />
menguasai lahan perkebunan lebih dari 50% (lima puluh persen). Setelah ituinvestor harus<br />
segera mengurus berkas-berkas untuk mengajukan permohonan penerbitan Hak Guna<br />
Usaha. Untuk mendapatkan izin, banyak yang harus diurus oleh investor sesuai dengan<br />
prosedur dan menyiapkan berkas-berkas menurut langkah-langkah yang telah ditetapkan<br />
sehingga membutuhkan waktu yang lama.<br />
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal<br />
dinyatakan bahwa investor diberikan hak untuk menggunakan hak atas tanah diwilayah<br />
Indonesia. Hak atas tanah yang dapat diberikan kepada investor untuk kegiatan<br />
investasinya adalah:<br />
a. Hak Guna Usaha (HGU)<br />
b. Hak Guna Bangunan (HGB)<br />
c. Hak Pakai<br />
12<br />
Salim HS dan Budi Sutrisno, Op.Cit, hlm. 4<br />
13<br />
Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Siak
RISKA FITRIANI<br />
VOLUME 222<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Pasal 28 UUPA, yang dimaksud dengan hak guna usaha adalah untuk menguasakan<br />
tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan jangka waktu paling lama 35 tahun dan<br />
dapat diperpajang paling lama 25 tahun. Hak guna usaha digunakan untuk perusahaan<br />
pertanian, peternakan dan perikanan. Tanah-tanah yang dapat diberikan izin HGU diatur<br />
didalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun1996 tentang Hak Guna Usaha,<br />
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Adapun tanah yang diberikan izin dengan<br />
Hak Guna Usaha adalah tanah negara dan tanah hak milik.<br />
Berdasarkan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 dinyatakan<br />
mengenai luas minimum tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah lima<br />
hektar dan luas maksimum yang diberikan kepada badan usaha ditetapkan oleh Menteri<br />
dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang dibidang usaha<br />
bersangkutan. Di lokasi penelitian tanah-tanah yang digunakan untuk lahan Hak Guna<br />
Usaha perkebunan kelapa sawit adalah tanah-tanah statusnya milik negara dan tanah<br />
milik masyarakat. Untuk tanah milik masyarakat oleh investor dibebaskan dari tangan<br />
masyarakat yang menguasainya dengan ganti rugi secara sporadis 14 .<br />
Hak guna usaha tertera mengenai luas lahan yang dipergunakan serta batas-batas<br />
lahan yang dikuasai tersebut sehingga menjadi jelas mengenai pengguasaan lahan. Dengan<br />
demikian investor memiliki jaminan untuk melakukan usahanya/berinvestasi dengan kata<br />
lain dengan adanya hak guna usaha maka perusahaan merasa aman. perusahaan merasa<br />
aman. Pelaksanaanya mengenai hak investor masih ada yang tidak terpenuhi yaitu hak<br />
mendapat kepastian <strong>hukum</strong> yang dikaitkan dengan telah diterbitkannya hak guna usaha.<br />
Hak Guna Usaha ataupun izin yang telah dipegang investor kemudian digugat kembali<br />
atau diklaim dari pihak masyarakat yang ada disekitar perusahaan tersebut. Berikut adalah<br />
daftar permasalahan pertanahan antara investor dengan masyarakat di Kabupaten Siak.<br />
masyarakat di Kabupaten Siak.<br />
Tabel. 3<br />
Daftar Permasalahan Pertanahan Masyarakat dengan Investor<br />
No Pihak Yang bersengketa Lokasi<br />
1 Masyarakat dengan PT Duta Kecamatan Mempura<br />
Swakarya Indah<br />
Kecamatan Dayun<br />
Kecamatan Koto Gasip<br />
2 Masyarakat dengan PT Maridan Kecamatan Kerinci Kanan<br />
Sejati Surya Plantation (PT MSSP)<br />
3 Masyarakat dengan PT Riau Andalan Kecamatan Sungai Mandau<br />
Pulp and Paper<br />
4 Masyarakat dengan PT Aneka Inti Kecamatan Kerinci Kanan<br />
Persada<br />
5 Masyarakat dengan PT Arara Abadi<br />
Kecamatan Sungai Apit<br />
Kecamatan Tualang<br />
Kecamatan Sungai Apit<br />
Sumber : Kantor Pertahanahan Sekretariat Daerah Kabupaten Siak, 2011<br />
14<br />
Wawancara dengan Zulkifli, Kasubag Permasalahan Lahan Kantor Pertanahan Sekretariat Daerah<br />
Kabupaten Siak.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
223<br />
Berdasarkan tabel di atas ada lima kasus sengketa lahan yang terjadi antara<br />
perusahaan/investor dengan masyarakat dan masih di usahakan penyelesaiannya oleh<br />
pemerintah. Perusahaan-perusahaan ini termasuk perusahaan yang nilai investasinya<br />
besar. Sengketa ini tidak hanya terjadi di satu tempat, seperti Kasus PT .Duta Swakarya<br />
Indah (DSI) yang sengketa lahannya terdapat di tiga kecamatan sehingga sulit dan<br />
membutuhkan waktu lama untuk penyelesaiannya. Mengenai hak guna usaha, berdasarkan<br />
daftar kasus diatas yang hak guna usahanya bermasalah adalah PT Maridan Sejati<br />
Surya Plantation.<br />
Kasus PT Maridan Sejati Surya Plantation (PT MSSP), perusahaan ini merupakan<br />
penanaman modal yang dilakukan investor asing yang bergerak dibidang perkebunanan<br />
kelapa sawit dengan total luas lahan 9.328,050 Ha dan melaksanakan investasinya dengan<br />
memegang empat sertifikat hak guna usaha yaitu sebagai berikut: merupakan penanaman<br />
modal yang dilakukan investor asing yang bergerak dibidang perkebunanan kelapa sawit<br />
dengan total luas lahan 9.328,050 Ha dan melaksanakan investasinya dengan memegang<br />
empat sertifikat hak guna usaha yaitu sebagai berikut:<br />
1. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05.02.01.062.001 tanggal 18 Oktober<br />
1993 seluas 4.416 Ha<br />
2. Serifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05.05.12.09.2.00002 tanggal 18 Oktoberr<br />
1993 Seluas 55 Ha 3. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05.02.01.<br />
06.2.00006 tanggal 18 Oktober 1995 seluas 600 Ha<br />
3. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05.02.01.16.2.00006 tanggal 24 Februari<br />
1999 seluas 4.257,050 Ha 15 .<br />
Total lahan yang menjadi sengketa adalah seluas 2.794 yang terletak sekitar<br />
kecamatan kerinci kanan kabupaten siak, adapun uraian sebagai berikut:<br />
1. Tanah garapan kelompok tani tunas jaya seluas 212 Ha yang terkena hak guna<br />
usaha PT MSSP desa kerinci kanan<br />
2. Tanah Perkampungan penduduk seluas 100 Ha berada dipinggiran sungai hitam,<br />
sungai gasip, sungai matang paup<br />
3. Hutan kampung sialang seluas 1.582 Ha di kuasai oleh Datuk Batin Gasip yaitu<br />
Datuk layap sari dan Baharudin 16 .<br />
Masyarakat melakukan klaim terhadap lahan tersebut karena lahan tersebut belum<br />
diganti rugi oleh pihak perusahaan yaitu PT Maridan Sejati Surya Plantation sehingga<br />
masyarakat merasa hal itu tidak adil. Kasus yang telah diuraikan jelas investor tidak<br />
mendapat jaminan kepastian <strong>hukum</strong> hak guna usaha yang dipegangnya sehingga investor<br />
merasa tidak aman dan terganggu. Sedangkan pihak perusahaan mengatakan bahwa<br />
terjadinya sengketa lahan jelas banyak akibatnya terhadap perusahaan yaitu, menambah<br />
cost/uang pengeluaran untuk penyelesaian <strong>hukum</strong> sengketa tersebut, mempengaruhi<br />
15<br />
Kantor Pertanahan Sekretariat Daerah Kabupaten Siak<br />
16<br />
Wawancara dengan pihak masyarakat yang diwakili Sumaryo, Kepala Desa Kerinci Kanan.
RISKA FITRIANI<br />
VOLUME 224<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
nama baik perusahaan, dan berpengaruh pada penurunan laba perusahaan walaupun tidak<br />
terlalu signifikan.<br />
Mengenai kewajiban investor atau penanam modal, berikut adalah uraiannya sebagaimana<br />
dalam Pasal 15 Undang-Undang Penanaman Modal, yaitu:<br />
a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik<br />
b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaannya, yaitu tanggung jawab sosial<br />
perusahaannya, yaitu tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan<br />
penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan<br />
sesuai dengan lingkungan, nilai, norma,dan budaya setempat.<br />
c. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya<br />
kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, di mana lapoan merupakan laporan<br />
kegiatan penanaman modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan<br />
kendala yang dihadapi penanam modal yang disampaikan berkala kepada BKPM<br />
dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab dibidang penanaman modal<br />
d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman<br />
modal<br />
e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />
Berdasarkan hasil penelitian penulis, kewajiban dari investor yaitu tanggungjawab<br />
sosial perusahaan belum terlaksana. Di lokasi penelitian, terlihat akses jalan yang masih<br />
sulit dilalui, banyak masyarakat yang kurang mampu dan tidak bersekolah serta<br />
perkampungan yang belum merasakan penerangan, sehingga tidak tercipta hubungan<br />
yang serasi, seimbang dengan lingkungan masyarakat sekitar perusahaan.<br />
Ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, dalam hal ini pihak investor telah<br />
yang telah menggunakan atupun berusaha di lingkungan tempat tinggal masyarakat<br />
setempat sehingga masyarakat juga merasakan dari dampak-dampak yang berasal dari<br />
berjalannya aktivitas perusahaan tersebut. Oleh karena itulah masyarakat berhak<br />
mendapatkan perhatian dari pihak investor/perusahaan yang merupakan perwujudan<br />
tanggung jawab dari investor tersebut. Mengenai masyarakat yang bersengketa dengan<br />
investor, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sumaryo, Kepala Desa Kerinci<br />
Kanan, masyarakat tidak mendapatkan keadilan selain tidak adanya tanggung jawab sosial<br />
perusahaan terhadap masyarakat disekitar perusahaan dan jelas lahan tersebut belum<br />
diganti rugi oleh pihak perusahaan namun hak guna usaha telah diterbitkan, begitu juga<br />
apabila dilaksanakan penyelesaian melalui jalur <strong>hukum</strong>, masyarakat pasti dikalahkan.<br />
Adanya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat disekitar perusahaan<br />
dan jelas lahan tersebut belum diganti rugi oleh pihak perusahaan namun hak guna usaha<br />
telah diterbitkan, begitu juga apabila dilaksanakan penyelesaian melalui jalur <strong>hukum</strong>,<br />
masyarakat pasti dikalahkan. Investasi perkebunan ini ada hal-hal yang harus diperhatikan<br />
yaitu mengenai jaminan kepastian <strong>hukum</strong> hak guna usaha yang diberikan oleh pemerintah<br />
kepada Investor, dan hal ini juga berkaitan dengan keadilan tehadap masyarakat yang<br />
ada disekitar perusahaan, masih mempunyai hak perdata di dalam lahan hak guna usaha<br />
tersebut.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
225<br />
2. Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi antara PT Maridan Sejati<br />
Surya Plantation dan Masyarakat di Kabupaten Siak<br />
Upaya Penyelesaian sengketa sengketa antara masyarakat dengan perusahaan<br />
dilakukan dengan berbagai cara, serta ditempuh dengan bantuan pihak-pihak yang bisa<br />
menfasilitasi tercapainya kesepakatan dengan para pihak yang bersengketa. Begitu juga<br />
halnya dengan sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Maridan Sejati<br />
Surya Plantation di kabupaten siak, dilakukan dengan upaya negosiaisi, yaitu dengan proses<br />
perundingan atau tawar menawar suatu konsesi, dalam permasalahan yang timbul di<br />
tengah masyarakat di Kabupaten Siak dengan pihak perusahaan, yaitu tokoh masyarakat<br />
yang diwakili oleh Kepala Desa di kerinci kanan Bapak Sumaryo, dengan perwakilan<br />
pengusaha Bapak Robi Susanto. Hasil dari negosiasi ini ternyata tidak membawa pengaruh<br />
pada kesepakatan yang diinginkan para pihak, sehingga sengketa lahan ini terus berlanjut<br />
bahkan sampai pada konflik dengan tindakan anarkhis, seperti pengrusakan lahan yang<br />
dikelola perusahaan tersebut.<br />
Tahap selanjutnya diupayakan proses penyelesaian sengketa melalui mediasi, dengan<br />
bantuan mediator bapak Bapak Zulkifli, yang merupakan Kasubag. Permasalahan Lahan<br />
Kantor PertanahanSekretariat Daerah Kabupaten Siak. Adapun teknik mediasi yang<br />
dilakukan dengan mengandung unsure-unsur:<br />
a. Proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan para pihak menempuh<br />
mediasi ini<br />
b. Adanya pihak ketiga yang bersifat netral sebagai penengah terlibat dan diterima<br />
oleh kedua belah pihak<br />
c. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari<br />
penyelesaian atas masalah–masalah sengketa.<br />
d. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama proses<br />
perdamaian berlangsung<br />
e. Proses ini bertujuan agar sengketa lahan antara masyarakat dengan PT. Maridan<br />
Sejati Surya Plantation di kabupaten siak segera terselesaikan.<br />
Adapun Peranan mediator yakni bapak Zulkifli.M antara lain:<br />
a. Sebagai katalisator atau pendorong lahirnya suasana damai dan memberi<br />
pengertian dan solusi atas masalah yang ada.<br />
b. Sebagai pendidik atau dengan memahami keinginan masing-masing pihak dan<br />
menyampaikan keinginan tersebut dengan cara penyampaian yang baik<br />
c. Sebagai penterjemah usulan baik yang tersirat maupun tersurat.<br />
Adapun tahap yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa lahan antara PT. Maridan<br />
Sejati Surya Plantation di kabupaten siak dengan masyarakat ini antara lain:<br />
a. Adanya upaya menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa<br />
b. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi<br />
c. Mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang sengketa<br />
d. Menyusun rencana mediasi<br />
e. Membangun kepercayaan dan kerjasama diantara para pihak<br />
f. Memulai sidang mediasi
RISKA FITRIANI<br />
VOLUME 226<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
g. Merumusan masalah dan menyusun agenda<br />
h. Mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak<br />
i. Membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa<br />
j. Proses tawar-menawar akhir<br />
k. Mencapai kesepakatan formal yang dituangkan nantinya dalam akta perdamaian<br />
Proses mediasi ini dilakukan dengan tahapan:<br />
a. Pertemuan terpisah (separate sessions)<br />
1) Pertemuan dengan pihak PT. Maridan Sejati Surya Plantation di Kabupaten Siak<br />
2) Pertemuan dengan pihak perwakilan masyarakat atau tokoh masyarakat<br />
b. Pertemuan bersama (Join meeting)<br />
1) Mediator melakuakn penilaian dengan cara terbaik untuk melanjutkan proses<br />
Persiapan untuk melakukan pertemuan bersama<br />
2) Mengatur suasana PT. Maridan Sejati Surya Plantation di kabupaten siak dan<br />
mendengarkan issu<br />
3) Mengembangkan kesepakatan.<br />
D. Penutup<br />
Tanah-tanah yang digunakan untuk lahan Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit<br />
adalah tanah-tanah statusnya milik negara dan tanah milik masyarakat. Untuk tanah<br />
milik masyarakat oleh investor dibebaskan dari tangan masyarakat yang menguasainya<br />
dengan ganti rugi secara sporadis. Hak guna usaha tertera mengenai luas lahan yang<br />
dipergunakan serta batas-batas lahan yang dikuasai tersebut sehingga menjadi jelas mengenai<br />
pengguasaan lahan. Dengan demikian investor memiliki jaminan untuk melakukan<br />
usahanya/berinvestasi dengan kata lain dengan adanya hak guna usaha maka perusahaan<br />
merasa aman. perusahaan merasa aman. Pelaksanaanya mengenai hak investor masih<br />
ada yang tidak terpenuhi yaitu hak mendapat kepastian <strong>hukum</strong> yang dikaitkan dengan<br />
telah diterbitkannya hak guna usaha. Hak Guna Usaha ataupun izin yang telah dipegang<br />
investor kemudian digugat kembali atau diklaim dari pihak masyarakat yang ada disekitar<br />
perusahaan tersebut. Berikut adalah daftar permasalahan pertanahan antara investor<br />
dengan masyarakat di Kabupaten Siak. masyarakat di Kabupaten Siak.<br />
Upaya penyelesaian sengketa sengketa antara masyarakat dengan perusahaan<br />
dilakukan dengan berbagai cara, serta ditempuh dengan bantuan pihak-pihak yang bisa<br />
menfasilitasi tercapainya kesepakatan dengan para pihak yang bersengketa. Begitu juga<br />
halnya dengan sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Maridan Sejati Surya<br />
Plantation di kabupaten siak, dilakukan dengan upaya negosiasi, yaitu dengan proses<br />
perundingan atau tawar menawar suatu konsesi, dalam permasalahan yang timbul di<br />
tengah masyarakat di Kabupaten Siak dengan pihak perusahaan, yaitu tokoh masyarakat<br />
yang diwakili oleh Kepala Desa di kerinci kanan Bapak Sumaryo, dengan perwakilan<br />
pengusaha Bapak Robi Susanto. Hasil dari negosiasi ini ternyata tidak membawa pengaruh<br />
pada kesepakatan yang diinginkan para pihak, sehingga sengketa lahan ini terus berlanjut<br />
bahkan sampai pada konflik dengan tindakan anarkhis, seperti pengrusakan lahan yang<br />
dikelola perusahaan tersebut.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
227<br />
E. Daftar Pustaka<br />
Ade Saptomo, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Sebuah Kajian Alternative<br />
Dispute Resolution, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumbar, 2001<br />
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Rajawali Pers, Jakarta, 2002<br />
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian<br />
Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997<br />
Penanaman Modal Kabupaten Siak, Potensi dan Peluang Investasi Siak, Kabupaten Siak,<br />
2010<br />
R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1984.
VOLUME 228<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ATAS TANAH<br />
YANG BERADA DI ATAS HAK PENGELOLAAN PELABUHAN<br />
LOVELLY DWINA DAHEN<br />
Perum. Palm Regency Blok C No.7 Panam- Pekanbaru<br />
Abstrak<br />
Peranan pelabuhan laut ke depan akan semakin<br />
penting, maka perlu peningkatan kualitas pelayanan<br />
(quality of services). Menurut aturan SK Direksi<br />
PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II No. HK.56/1/<br />
2/PI.II-2000 tanggal 3 Januari 2000 penyerahan<br />
penggunaan bagian-bagian tanah HPL pelabuhan<br />
dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan dan<br />
Hak Sewa atas bangunan. Hal ini bertentangan dengan<br />
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun<br />
1977, di mana hak yang dapat diberikan atas tanah<br />
hak pengelolaan adalah Hak Guna Bangunan dan<br />
Hak Pakai.<br />
Abstract<br />
The role of sea ports in the future will be increasingly<br />
important, it is necessary to improve the quality of<br />
service (quality of services). According to the rules of<br />
the Decree of Directors. (Limited) II No Ports<br />
Indonesia. HK.56/1/2/PI.II-2000 dated January 3,<br />
2000 submission of the use of portions of land can be<br />
provided with a port HPL Broking and Right to Lease<br />
the building. This is contrary to the Regulation of the<br />
Minister of Interior No.1 of 1977, in which rights can<br />
be given to land management rights are Broking and<br />
Right to Use.<br />
Kata kunci: tanah, pelabuhan, hak pengelolaan.<br />
A. Pendahuluan<br />
Dewasa ini dunia usaha mengalami proses globalisasi ekonomi, yang wujud nyatanya<br />
adalah liberalisasi pasar yang terbuka dan bebas. Proses ini sudah tidak dapat dihindari<br />
lagi, karena efeknya semakin membesar bagaikan bola salju terutama bagi pelaku pasar<br />
itu sendiri yaitu para pengusaha. “Dan lebih dari 80% pangsa perdagangan internasional<br />
(seaborn trade international) tersebut dikapalkan melalui pelabuhan laut”. 1<br />
Hal ini berdasarkan faktor efisiensi dan efektivitas pendistribusian barang, yaitu dari<br />
segi kapasitas muatan yang lebih banyak dan adanya lahan bagi penumpukan barang<br />
ataupun gudang, maupun lahan untuk pengolahan bagi suatu perusahaan industri di lahan<br />
pelabuhan. Fasilitas tersebut merupakan suatu bidang usaha yang terdapat di pelabuhan,<br />
artinya pelabuhan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendistribusian barang berupa<br />
pengangkutan saja tetapi juga memiliki bidang usaha lain yang memanfaatkan areal lahan<br />
pelabuhan.<br />
Oleh karena peranan pelabuhan laut ke depan akan semakin penting, maka perlu<br />
peningkatan kualitas pelayanan (quality of services). Peningkatan kualitas pelayanan<br />
tentunya harus diimbangi dengan kemajuan teknologi kepelabuhanan yang dari waktu<br />
ke waktu mengalami perubahan yang sangat pesat. Hal ini perlu mendapat perhatian<br />
yang besar dari pemerintah Indonesia karena negara kesatuan Republik Indonesia dalam<br />
kenyataannya merupakan suatu negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia<br />
memiliki banyak pelabuhan-pelabuhan laut yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.<br />
Pelabuhan-pelabuhan laut tersebut dikelola oleh empat PT. (Persero) Pelabuhan<br />
Indonesia, diantaranya adalah Pelabuhan Teluk Bayur Padang.<br />
Pelabuhan ini merupakan salah satu pelabuhan besar di Indonesia dan satu-satunya<br />
1<br />
PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II, Pertanahan dan Perairan Perusahaan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia<br />
II Cabang Teluk Bayur, Jakarta, 1997, hlm. 1.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
229<br />
pelabuhan terbesar dan memiliki fasilitas cukup memadai di pantai barat Sumatera”. 2<br />
Sebagai akibatnya, pelabuhan ini mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting<br />
bukan saja untuk Propinsi Sumatera Barat, tetapi juga untuk propinsi disekitarnya dan<br />
salah satu pintu gerbang perekonomian Sumatera Barat.<br />
Keadaan tersebut menuntut Pelabuhan Teluk Bayur mutlak harus dikembangkan<br />
dan ditata dengan serius dan terus menerus. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan<br />
pengelolaan secara baik dan menyeluruh agar operasional pelabuhan secara keseluruhan<br />
yang meliputi semua bidang usahanya sejalan dengan perkembangan dan pembangunan<br />
di segala bidang.<br />
Pelabuhan ini dikelola oleh sebuah badan usaha yang berbadan <strong>hukum</strong>, yaitu PT<br />
(Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Teluk Bayur. Perusahaan ini memiliki aktiva<br />
yang cukup besar nilainya dan di antaranya dalam bentuk tanah dan perairan. Di samping<br />
itu, aktiva tanah dan perairan mempunyai peranan penting dan strategis yang dapat<br />
menjamin kelangsungan usaha perusahaan sesuai dengan peran dan fungsinya karena<br />
berlangsungnya kegiatan perusahaan mutlak dilaksanakan di atas lahan yang tersedia.<br />
Dengan demikian, faktor tanah di dalam kehidupan manusia mempunyai peranan<br />
yang sangat penting. Pada era pembangunan ini, arti penting tanah semakin disadari<br />
sebagai salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan pelaksanaan<br />
pembangunan. Sebagai wadah sumber kekayaan alam yang terdapat di darat, harus dapat<br />
dipahami bahwa tanah ialah wujud konkret dari salah satu modal dasar pembangunan<br />
nasional yang tercantum dalam GBHN. 3<br />
Fakta tentang adanya hubungan antara manusia dengan tanah dapat dipandang<br />
sebagai fakta <strong>hukum</strong>, yaitu fakta atau kenyataan yang diatur dan diberi akibat oleh <strong>hukum</strong>,<br />
sehingga dapat juga disebut dengan Rechtsfeiten”. “Rechtsfeiten diartikan sebagai<br />
peristiwa-peristiwa <strong>hukum</strong>, yaitu peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat yang diatur<br />
dan diberi akibat oleh <strong>hukum</strong>”. 4 Hubungan antara manusia dengan tanah, tidak terkecuali<br />
di Indonesia, selalu diatur oleh <strong>hukum</strong>. Hukum yang mengatur hubungan antara manusia<br />
dengan tanah di Indonesia sebelum kemerdekaan, pada satu pihak diatur oleh <strong>hukum</strong><br />
adat dan pada pihak lain diatur pula oleh <strong>hukum</strong> tanah kolonial Belanda yang berpangkal<br />
pada Agrarische Wet Staatsblad 1870 No. 55. 5 Semenjak kemerdekaan Republik<br />
Indonesia, hubungan antara manusia dengan tanah di Indonesia, prinsip dasarnya<br />
ditetapkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD), “Bumi, air dan<br />
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan<br />
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.<br />
Ketentuan tersebut semenjak tanggal 24 September 1960 dijabarkan lebih lanjut<br />
oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,<br />
yang dikenal dengan UUPA. Pasal 2 ayat (1) UUPA tersebut menyatakan, “Atas dasar<br />
2<br />
Ibid.<br />
3<br />
Soni Harsono, Hukum Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Praktek Pelaksanaannya.<br />
(Non Pub) Ceramah Pada Pembukaan Seminar Nasional Hukum Agraria ke III di Medan tanggal 20-21<br />
September 1990. Badan Pertanahan Nasional, hlm. 8.<br />
4<br />
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 8.<br />
5<br />
Ibid, hlm. 9.
LOVELLY DWINA DAHEN<br />
VOLUME 230<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air<br />
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamya pada tingkatan<br />
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Ketentuan<br />
Pasal 2 ayat (1) tidak menempatkan negara sebagai pemilik, melainkan menetapkan hak<br />
menguasai dari negara. Dengan tidak ditempatkannya negara sebagai pemilik, melainkan<br />
hanya memberikan hak menguasai kepada negara, berarti asas domein yang dianut oleh<br />
<strong>hukum</strong> agraria kolonial Belanda telah ditinggalkan oleh <strong>hukum</strong> agraria nasional, karena<br />
bukan saja bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, melainkan juga tidak sesuai<br />
dengan keadaan masyarakat Indonesia.<br />
Begitu juga halnya dengan Pelabuhan yang memperoleh hak pengelolaan. Sebelum<br />
berlakunya UUPA pelabuhan diatur berdasarkan Stb. 1917 No. 464 mempunyai sesuatu<br />
hak yang diatur oleh perundang-undangan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal<br />
521 KUH Perdata, yaitu antara lain pantai, perairan dan pelabuhan adalah milik negara<br />
dan perusahaan pelabuhan diserahkan untuk mengelola pelabuhan, perairan dan pantaipantai<br />
yang ada. “Berdasarkan hak tersebut oleh penguasa atau pengelola pelabuhan dibuat<br />
perjanjian-perjanjian sewa-menyewa tanah ataupun hak lain pelabuhan”. 6<br />
Hal ini tentu akan bertentangan dengan prinsip hak menguasai dari negara, karena<br />
negara bukan pemilik tanah maka negara tidak dapat menyewakan tanah. Begitu juga<br />
bagi badan-badan negara yang mendapatkan sesuatu hak atas tanah yang pada hakikatnya<br />
merupakan delegasi wewenang dari pemerintah untuk memperoleh hak pengelolaan.<br />
Meskipun dalam perkembangan selanjutnya pengelola pelabuhan menyerahkan bagianbagian<br />
tanah itu kepada pihak ketiga dengan suatu hak atas tanah berupa hak pakai dengan<br />
mengadakan suatu perjanjian penggunaan tanah.<br />
Namun, hal tersebut masih dirasakan sebagai bentuk hak sewa atas tanah karena<br />
unsur esensial dalam perjanjian sewa terdapat dalam perjanjian penggunaan tanah, yaitu<br />
harga sewa yang dalam perjanjian penggunaan tanah disebut uang pemasukan dan jangka<br />
waktu. Hal ini tentunya tidak terlepas dari aturan-aturan dan hak yang timbul dari hak<br />
pengelolaan tersebut.<br />
Begitu juga halnya dengan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Teluk Bayur.<br />
Dalam kedudukannya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT. (Persero) Pelabuhan<br />
Indonesia II Cabang Teluk Bayur memberikan pelayanan atas bidang-bidang usahanya<br />
yang tidak terlepas dari perhitungan keuntungan yang akan diperoleh (profit oriented)<br />
melalui kerjasama dengan pihak lain sebagai mitra. Kerjasama tersebut di antaranya dalam<br />
hal penggunaan tanah oleh pihak ketiga yang dituangkan dalam perjanjian.<br />
Dengan adanya perjanjian yang telah disepakati berarti telah ada suatu hubungan<br />
<strong>hukum</strong> yang melahirkan hak dan kewajiban. Dalam arti hubungan yang diatur dan diakui<br />
oleh <strong>hukum</strong>. Didalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perikatan menganut<br />
sistem terbuka dan mengenal asas kebebasan, yang memberikan kebebasan kepada setiap<br />
orang untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian apa saja dan dengan siapa<br />
saja serta bebas pula untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian tersebut asal tidak<br />
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.<br />
6<br />
Ramli Zein, Op.Cit, hlm. 70.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
231<br />
Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini mendapatkan eksistensinya<br />
dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata yang memuat syarat sahnya perjanjian yaitu<br />
pada angka 4 ditentukan “suatu sebab yang tidak terlarang”. 7 Artinya, kita diperbolehkan<br />
membuat perjanjian apa saja sepanjang tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak<br />
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pembatasan terhadap kebebasan<br />
tersebut diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.<br />
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak<br />
sebagai <strong>hukum</strong> mengatur. Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada<br />
para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya<br />
untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut. 8 Di samping itu, para pihak juga dibolehkan<br />
mengenyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III KUH Perdata.<br />
Dengan kata lain peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Buku III KUH Perdata itu<br />
hanya disediakan dalam hal para pihak yang mengadakan perjanjian tidak membuat<br />
peraturan sendiri. Artinya, peraturan-peraturan dalam Buku III KUH Perdata pada<br />
umumnya hanya merupakan “<strong>hukum</strong> pelengkap” (aanvullend recht), bukan <strong>hukum</strong> keras<br />
atau <strong>hukum</strong> yang memaksa. 9 Dan selanjutnya perjanjian tersebut akan mengikat para<br />
pihak karena semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang<br />
bagi mereka yang membuatnya, seperti diatur pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.<br />
Demikian juga halnya dengan perjanjian penggunaan tanah PT. (Persero) Pelabuhan<br />
Indonesia II Cabang Teluk Bayur. Dengan asas kebebasan berkontrak dapat mengadakan<br />
suatu perjanjian dengan pihak ketiga sebagai mitra, di antaranya adalah perjanjian<br />
penggunaan tanah. Namun diperlukan pembatasan asas kebebasan berkontrak dalam<br />
perjanjian ini, karena menurut undang-undang pemegang hak pengelolaan tidak boleh<br />
menyewakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara karena ia bukan pemilik melainkan<br />
hanya sebagai pengelola. Bahkan negara sendiripun, karena negara bukan pemilik tanah<br />
melainkan hanya menguasai. Ketentuan ini sebagaimana terdapat dalam penjelasan Pasal<br />
44 dan Pasal 45 UUPA.<br />
B. Subjek Hak Pengelolaan<br />
Yang dapat menjadi pemegang Hak Pengelolaan menurut Pasal 67 ayat (1) Permenag/<br />
KBPN No 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara<br />
Dan Hak Pengelolaan adalah :<br />
1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;<br />
2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);<br />
3. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);<br />
4. PT. Persero;<br />
5. Badan Otorita;<br />
6. Badan-badan <strong>hukum</strong> pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.<br />
7<br />
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada,<br />
Jakarta, 2004, Hal. 46.<br />
8<br />
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hal.12.<br />
9<br />
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1993, hlm. 128.
LOVELLY DWINA DAHEN<br />
VOLUME 232<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Dalam Ayat (2) disebutkan bahwa :<br />
“Badan- badan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak<br />
pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan<br />
pengelolaan tanah”<br />
C. Objek Hak Pengelolaan<br />
Merujuk pada Pasal 2 UUPA, maka obyek dari hak pengelolaan seperti juga hak-hak<br />
atas tanah lainnya, adalah tanah yang dikuasai oleh negara. Penjelasan umum II angka<br />
(2) UUPA menyatakan bahwa:<br />
“Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh<br />
seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman<br />
pada tujuan yang disebutkan diatas negara dapat memberikan tanah yang demikian<br />
itu kepada seseorang atau badan <strong>hukum</strong> dengan sesuatu hak menurut peruntukan<br />
dan keperluannya, misalnya, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau<br />
hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatau badan<br />
penguasa (departemen, jawatan atau daerah swatantra) untuk diperlukan bagi<br />
pelaksanaan tugasnya masing-masing.”<br />
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa obyek hak pengelolaan adalah tanah<br />
yang dikuasai langsung oleh negara. Kesimpulan yang sama juga akan diperoleh, apabila<br />
ditelusuri sejarah hak pengelolaan yang berasal dari hak penguasaan tanah negara yang<br />
diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953.<br />
D. Hak Menguasai Negara atas Tanah<br />
Prinsip “Hak Menguasai Negara” yang ditetapkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan<br />
Pasal 2 ayat (1) UUPA di atas, berisi kewenangan yang dijelaskan oleh Pasal 2 ayat (2)<br />
UUPA, yaitu:<br />
“Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang<br />
untuk:<br />
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan<br />
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;<br />
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan <strong>hukum</strong> antara orang-orang<br />
dengan bumi, air dan ruang angkasa;<br />
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan <strong>hukum</strong> antara orang-orang dan<br />
perbuatan-perbuatan <strong>hukum</strong> yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.<br />
“Dengan demikian kewenangan tersebut mengartikan negara sebagai personifikasi,<br />
dan seluruh rakyat mempunyai kewenangan pada tingkatan tertinggi untuk itu”. 10<br />
Negara sebagai organisasi kekuasaan mengatur dengan membuat peraturan,<br />
kemudian menyelenggarakan artinya melaksanakan (execution) atas penggunaan/<br />
peruntukan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaannya (maintenance) dari<br />
10<br />
Maria S.W. Sumardjono dikutip oleh Boedi Harsono, Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan<br />
Pengadilan (Suatu Tinjauan Yuridis), Mahkamah Agung RI, 1996, hlm. 88.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
233<br />
bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya. Juga untuk<br />
menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak<br />
apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai dari negara tersebut. Dan kemudian<br />
menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) bagaimana<br />
seharusnya hubungan antara orang atau badan <strong>hukum</strong> dengan bumi, air dan ruang angkasa<br />
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.<br />
Berdasarkan kepada hak menguasai dari negara, ditentukan bermacam-macam hak<br />
atas tanah yang dapat diberikan kepada orang atau badan <strong>hukum</strong> menurut undang-undang<br />
dan peraturan-peraturan <strong>hukum</strong> lainnya. 11 Dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA dinyatakan,<br />
hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah :<br />
a. hak milik<br />
b. hak guna usaha<br />
c. hak guna bangunan<br />
d. hak pakai<br />
e. hak sewa<br />
f. hak membuka tanah<br />
g. hak memungut hasil hutan<br />
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan<br />
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara yang disebutkan<br />
dalam Pasal 53.<br />
Khusus mengenai hak pengelolaan telah ada semenjak sebelum berlakunya UUPA<br />
yang dikenal dengan hak penguasaan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun<br />
1953. Hak penguasaan ini kemudian oleh Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965<br />
dikonversi menjadi hak pengelolaan. Istilah “pengelolaan” disebut dalam Penjelasan Umum<br />
II angka (2) UUPA yang menyatakan bahwa negara dapat memberikan tanah kepada<br />
seseorang atau badan <strong>hukum</strong> dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya,<br />
misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atau<br />
memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa (departemen, jawatan<br />
atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.<br />
Bertitik tolak dari Penjelasan Umum II angka (2) di atas, maka dapat disimpulkan<br />
bahwa landasan <strong>hukum</strong> dari hak pengelolaan di dalam UUPA telah disinggung oleh<br />
Penjelasan Umum UUPA tersebut. Namun <strong>hukum</strong> materilnya berada di luar UUPA. 12<br />
Pasal 2 ayat (4) UUPA telah memberikan kemungkinan untuk memberikan suatu hak<br />
baru atas tanah asalkan hak tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,<br />
antara lain adalah hak pengelolaan. 13 Selain itu Pasal 16 ayat (1) huruf (h) UUPA<br />
menyatakan “hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut akan ditetapkan<br />
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan<br />
dalam Pasal 53”. Artinya, walaupun hak pengelolaan tidak ada disebutkan secara tegas<br />
dalam UUPA, tetapi UUPA memberikan kemungkinan untuk diadakannya hak pengelolaan<br />
yang dasar <strong>hukum</strong>nya secara implisit terdapat dalam pasal di atas.<br />
11<br />
Lihat Pasal 4 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.<br />
12<br />
Ramli Zein, Op.Cit. hal. 9.<br />
13<br />
Lihat Pasal 2 ayat (4) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
LOVELLY DWINA DAHEN<br />
VOLUME 234<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
Pemerintah akan memberikan hak pengelolaan kepada suatu departemen, jawatan,<br />
instansi dan daerah swatantra, apabila tanah itu di samping akan dipergunakan untuk<br />
kepentingan pelaksanaan tugasnya, juga ada bagian-bagian tanah itu yang diserahkan<br />
kepada pihak ketiga dengan suatu hak penguasaan atas tanah. Jika tidak demikian, oleh<br />
pemerintah hanya akan diberikan hak pakai selama tanah itu diperlukan untuk<br />
pelaksanaan tugasnya. Hal ini diatur pada Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria<br />
No. 9 Tahun 1965.<br />
Prinsip hak menguasai negara di dalam peraturan perundang-undangan negara<br />
Republik Indonesia untuk pertama kali ditetapkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 14 Di<br />
dalam bidang agraria kemudian dikembangkan oleh UUPA pada Pasal 2 ayat (1) bahwa<br />
“atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang<br />
dimaksud dalam Pasal 1: bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang<br />
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai<br />
organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.<br />
Dasar dari hak menguasai negara pada hakikatnya adalah tujuan yang hendak dicapai<br />
oleh bangsa dan negara seperti yang ditetapkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu<br />
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini diperjelas oleh Pasal 2 ayat (3) UUPA<br />
yang menyatakan bahwa “wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara<br />
tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran<br />
rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan<br />
negara <strong>hukum</strong> Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”. 15 Selanjutnya<br />
Penjelasan Umum II angka (2) UUPA menyatakan bahwa negara dapat memberikan<br />
tanah kepada seseorang atau badan <strong>hukum</strong> dengan sesuatu hak menurut peruntukan<br />
dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai<br />
atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa (departemen,<br />
jawatan atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masingmasing<br />
(Pasal 2 ayat 4 UUPA). Ketentuan inilah yang menjadi landasan <strong>hukum</strong> “hak<br />
pengelolaan” dalam UUPA sebagai pendelegasian wewenang atas prinsip hak menguasai<br />
negara meskipun secara eksplisit penyebutan hak pengelolaan tidak terdapat dalam<br />
undang-undang tersebut.<br />
E. Hak yang dapat diberikan oleh pemegang Hak Pengelolaan atas Tanah<br />
Negara kepada Pihak Ketiga<br />
Prosedur untuk mendapatkan hak atas bagian-bagian tanah hak pengelolaan seperti<br />
juga mendapatkan hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah melalui<br />
permohonan hak yang diajukan kepada pejabat yang berwenang sebagaimana yang diatur<br />
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang<br />
Pemberian Hak Atas Tanah. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun<br />
1977, hak yang dapat diberikan kepada pihak ketiga atas hak pengelolaan adalah Hak<br />
Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan<br />
penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan.<br />
14<br />
Ramli Zein, Op.Cit., hlm. 44.<br />
15<br />
Ibid.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
235<br />
Pada Pasal 3 peraturan ini menyebutkan bahwa setiap penyerahan penggunaan tanah<br />
yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan, baik yang disertai ataupun tidak<br />
disertai dengan pendirian bangunan diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan<br />
perjanjian tertulis antara pemegang hak pengelolaan dan pihak ketiga yang bersangkutan.<br />
Perjanjian tersebut antara lain memuat :<br />
a. identitas para pihak.<br />
b. letak, batas-batas dan luas tanah tersebut.<br />
c. jenis penggunaannya.<br />
d. hak atas tanah yang akan dimintakan untuk diberikan kepada pihak ketiga tersebut<br />
dan keterangan mengenai jangka waktunya serta kemungkinan untuk memperpanjangnya.<br />
e. jenis-jenis bangunan yang akan didirikan diatasnya dan ketentuan mengenai pemilikan<br />
bangunan-bangunan tersebut jika berakhirnya hak atas tanah yang diberikan.<br />
f. jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya.<br />
g. syarat-syarat lain yang dipandang perlu.<br />
Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 menyatakan :<br />
1. Permohonan Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai diajukan oleh<br />
pihak ketiga yang memperoleh penunjukan/penyerahan tersebut pada<br />
Pasal 2 dengan perantaraan pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan.<br />
2. Pemegang hak pengelolaan berkewajiban untuk melengkapi berkas-berkas<br />
permohonan tersebut dan meneruskan kepada Menteri Dalam Negeri/<br />
Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan, disertai usul-usul tentang<br />
syarat-syarat yang harus ditaati oleh penerima hak.<br />
3. Permohonan tersebut diajukan dan diselesaikan menurut tata cara dan<br />
wewenang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri<br />
No. 5 Tahun 1973 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972<br />
dengan memperhatikan peraturan-peraturan agraria yang berlaku.<br />
4. Selain memenuhi kewajibannya terhadap pemegang hak pengelolaan yang<br />
bersangkutan, penerima hak berkewajiban membayar administrasi kepada<br />
Kantor Bendahara Negara dan sumbangan kepada Yayasan Dana Landreform<br />
serta biaya pendaftaran tanah sebagai yang disebutkan didalam<br />
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1975.<br />
Permohonan hak atas tanah yang luasnya tidak melebihi 2.000 M/2, permohonan<br />
diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah. Jika luas tanah yang dimohonkan haknya melebihi<br />
2.000 M/2 maka permohonan diajukan kepada Menteri Dalam Negeri (sekarang Kepala<br />
Badan Pertanahan Nasional). Permohonan hak diajukan melalui kantor pertanahan<br />
kabupaten/kotamdya setempat untuk diproses dan diteruskan kepada kantor wilayah badan<br />
pertanahan nasional propinsi untuk diproses dan diteruskan kepada Kepala Badan<br />
Pertanahan Nasional. 16 Jika semua persyaratan telah dipenuhi, maka diterbitkanlah surat<br />
keputusan pemberian hak dan hak tersebut harus didaftarkan pada kantor badan pertanahan<br />
setempat guna memperoleh alat bukti hak yang kuat yang disebut dengan sertifikat.<br />
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hak atas tanah tersebut tidak dapat<br />
16<br />
Ramli Zein, op.cit., hlm. 123.
LOVELLY DWINA DAHEN<br />
VOLUME 236<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
diberikan sendiri oleh pemegang hak pengelolaan, melainkan harus diusulkan kepada<br />
instansi/pejabat yang berwenang menurut tata cara dan syarat-syarat yang sudah<br />
ditetapkan. Namun dalam prakteknya, pemegang hak pengelolaan melaksanakan sendiri<br />
pemberian hak kepada pihak ketiga tanpa adanya pendaftaran hak, bahkan pemberian<br />
hak tersebut berupa hak sewa sebagaimana yang terjadi dalam perjanjian penggunaan<br />
lahan pelabuhan. Padahal sebagaimana yang diatur, bahwa terhadap hak pengelolaan tidak<br />
dapat diberikan hak sewa atas tanah.<br />
Khusus mengenai hak pengelolaan pelabuhan, atas bagian-bagian tanah hak<br />
pengelolaan hanya dapat diserahkan kepada pihak ketiga dengan Hak Guna Bangunan<br />
dan Hak Pakai, sepanjang tanah itu telah terdaftar dan mempunyai sertifikat, sebagaimana<br />
yang diatur pada Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977. Pengertian<br />
Hak Guna Bangunan menurut Pasal 35 ayat (1) UUPA adalah sebagai berikut :<br />
“Hak Guna Bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan<br />
atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama<br />
30 (tiga puluh) tahun”.<br />
Sedangkan pengertian Hak Pakai terdapat pada Pasal 41 ayat (1) UUPA adalah sebagai<br />
berikut :<br />
“Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang<br />
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang<br />
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang<br />
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang<br />
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal<br />
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang”.<br />
Hak Pakai dapat diberikan :<br />
1. selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan<br />
tertentu.<br />
“Namun dalam hal ini dipedomani ketentuan Pasal 5 (a) Peraturan Menteri Dalam<br />
Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas<br />
Tanah yang menyebutkan tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun”. 17<br />
2. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.<br />
Dengan demikian pemberian hak pakai kepada pihak ketiga atas dasar hak pengelolaan<br />
bukanlah pemberian hak sewa, karena objek dari hak pengelolaan adalah tanah negara<br />
maka praktek pemberian hak sewa tidak dibolehkan”. 18 Namun prakteknya antara hak<br />
pakai dan hak sewa dirasakan tidak ada perbedaan, karena hak pakai tanah atas dasar<br />
hak pengelolaan tanpa adanya pendaftaran dan sertifikat maka dapat dikatakan hanya<br />
berupa pemberian hak sewa melalui perjanjian sewa-menyewa.<br />
UUPA bukan saja tidak mengenal persewaan tanah negara, bahkan justru menghapus<br />
sistem persewaan tanah negara yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda.<br />
Negara dan badan-badan negara tidak berwenang menyewakan tanah karena tanah bukan<br />
milik negara melainkan hanya dikuasai oleh negara. Dengan kata lain, negara bukan<br />
17<br />
Ramli Zein, op.cit., hlm. 62.<br />
18<br />
Ibid. hal. 122.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
237<br />
pemilik tanah. Hak pengelolaan yang pada hakikatnya merupakan delegasi wewenang<br />
dari hak menguasai negara, tidak menetapkan adanya kewenangan pemegang hak pengelolaan<br />
untuk menyewakan tanah kepada pihak ketiga.UUPA memang mengatur tentang<br />
hak sewa, namun merupakan hak sewa untuk mendirikan bangunan atas tanah milik<br />
orang lain dan bukan atas tanah negara, hak sewa tersebut bersifat personlijk. 19<br />
Dengan berpedoman pada aturan-aturan <strong>hukum</strong> yang berlaku dan memperhatikan<br />
asas-asas <strong>hukum</strong> dalam membuat suatu perjanjian maka praktek pemberian hak sewa<br />
atas tanah negara melalui perjanjian sewa-menyewa tidak akan terjadi. Dalam artian,<br />
para pihak tidak keliru dalam memaknai suatu aturan ataupun asas, misalnya dalam hal<br />
asas kebebasan berkontrak, undang-undang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya<br />
kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja dengan batasan bahwa<br />
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatuhan<br />
dan ketertiban umum, sebagaimana yang diatur pada pasal 1337 KUH Perdata. Artinya,<br />
perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur pada Pasal 1320<br />
KUH Perdata. Perlu dipahami bahwa asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh ramburambu<br />
<strong>hukum</strong>, yaitu: 20<br />
a) Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak<br />
b) Tidak dilarang oleh undang-undang<br />
c) Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku<br />
d) Harus dilaksanakan dengan itikad baik.<br />
F. Penyalahgunaan Hak Pengelolaan oleh PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia<br />
II Cabang Teluk Bayur<br />
Dalam praktek penerapan Hak Pengelolaan oleh PT.(Persero) Pelabuhan Indonesia<br />
II, diterbitkanlah SK Direksi PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II No. HK.56/1/2/PI.II-<br />
2000 tanggal 3 Januari 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyerahan Penggunaan<br />
Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan, Perairan, Bangunan dan Ruangan dilingkungan<br />
PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia.<br />
Dalam ketentuan SK Direksi PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II No. HK.56/1/2/<br />
PI.II-2000 tersebut mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pokok tata cara<br />
penyerahan penggunaan tanah HPL Pelabuhan sebagai berikut :<br />
a. Penyerahan penggunaan bagian-bagian tanah HPL dilakukan dengan cara :<br />
1. Dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan untuk jangka waktu paling lama<br />
30 (tiga puluh) tahun dan jika tidak digunakan perluasan pelabuhan dapat<br />
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan<br />
mempertimbangkan:<br />
a. Lokasi tidak berada di lokasi pelayanan kapal dan barang.<br />
b. Sesuai dengan area peruntukannya.<br />
c. Pembayaran uang pemasukan penggunaan tanah dibayar sekaligus dimuka.<br />
19<br />
Ibid.<br />
20<br />
Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 11.
LOVELLY DWINA DAHEN<br />
VOLUME 238<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
d. Perjanjian harus didaftarkan di Kantor Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah<br />
atas beban pengguna.<br />
e. Rencana pemanfaatan lahan dan paket pelaksanaan pembangunan fasilitas<br />
pelabuhan.<br />
f. Rencana pemanfaatan lahan oleh pemohon.<br />
g. Kegiatan yang dilaksanakan tidak menimbulkan dampak lingkungan.<br />
2. Diberikan dengan hak sewa untuk bangunan dengan jangka waktu paling lama<br />
20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama<br />
10 (sepuluh) tahun atas persetujuan Direksi dengan pertimbangan Pasal 44-45<br />
UUPA No. 5 Tahun 1960.<br />
a. Luas tanah 5.000 M/2 keatas.<br />
b. Sesuai dengan area peruntukannya.<br />
c. Uang pemasukan penggunaan tanah dibayar sekaligus dimuka atau tahunan.<br />
d. Perjanjian harus didaftarkan di Kantor Notaris atas beban pengguna.<br />
e. Rencana pemanfaatan lahan dan paket pelaksanaan pembangunan fasilitas<br />
pelabuhan.<br />
f. Rencana pemanfaatan lahan oleh pemohon.<br />
g. Kegiatan yang dilaksanakan tidak menimbulkan dampak lingkungan.<br />
3. Diberikan dengan hak sewa untuk bangunan dengan jangka waktu paling lama<br />
maksimal 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling<br />
lama 5 (lima) tahun atas persetujuan General Manager dengan mempertimbangkan<br />
:<br />
a. Luas tanah sampai dengan 5.000 M/2.<br />
b. Sesuai dengan area peruntukannya.<br />
c. Uang pemasukan penggunaan tanah dibayar sekaligus dimuka atau tahunan.<br />
d. Kegiatan yang dilaksanakan tidak menimbulkan dampak lingkungan.<br />
b. Penyerahan penggunaan bagian-bagian tanah HPL dan non HPL harus dapat<br />
memberikan nilai tambah selain dari sewa tanah.<br />
c. Penyerahan penggunaan bagian-bagain tanah HPL dan non HPL kepada pihak kedua<br />
sewaktu-waktu dapat dibatalkan, apabila dalam masa berlakunya perjanjian<br />
diperlukan untuk kepentingan operasional/pengembangan pelabuhan dan atau dalam<br />
jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan tidak dimanfaatkan oleh pengguna.<br />
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa hak yang diberikan oleh PT.<br />
(Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Teluk Bayur atas tanah negara dengan hak<br />
pengelolaan kepada pihak ketiga dalam hal ini adalah pihak pengguna tanah yaitu Hak<br />
Guna Bangunan dan Hak Sewa Untuk Bangunan. Hal ini jelas bertentangan dengan<br />
aturan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1977 tentang<br />
Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak<br />
Pengelolaan Serta Pendaftarannya, karena seharusnya hanya dapat diberikan berupa<br />
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. UUPA memang mengatur tentang hak sewa namun<br />
berupa hak sewa untuk mendirikan bangunan atas tanah hak milik orang lain, bukan atas
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
239<br />
tanah yang dikuasai negara. Hak sewa itu hanya bersifat personlijk, karena itu tidak ada<br />
keharusan mendaftarkannya. Akibatnya hanya berlaku bagi para pihak saja.<br />
Dalam prakteknya perjanjian penggunaan lahan oleh PT. (Persero) Pelabuhan<br />
Indonesia II Cabang Teluk Bayur memberikan hak kepada pihak ketiga berupa Hak Guna<br />
Bangunan dan Hak Sewa atas lahan pelabuhan yang dikelola. Hak Pakai seolah-olah<br />
dianggap sama dengan Hak Sewa, artinya uang pemasukan atau uang sewa yang diterima<br />
merupakan suatu bentuk pembayaran sewa atas lahan pelabuhan yang dipakai oleh pihak<br />
ketiga tersebut. Pemahaman ini jelas keliru seperti yang telah dijelaskan mengenai hak<br />
sewa diatas.<br />
Secara yuridis perjanjian ini akan mempunyai dampak yang sangat fatal bagi pemegang<br />
hak pengelolaan pelabuhan dengan pihak mitra kerjasama, berkaitan dengan perjanjian<br />
penggunaan tanah yang memberikan hak sewa kepada pihak pengguna tanah.<br />
Jika dilihat dari syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur pada Pasal<br />
1320, yaitu :<br />
a. Syarat subjektif :<br />
1. sepakat mereka yang mengikatkan diri.<br />
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.<br />
Dalam hal ini para pihak telah memenuhi syarat subjektif dari suatu perjanjian.<br />
b. Syarat objektif :<br />
1. suatu hal tertentu.<br />
2. sebab yang halal.<br />
Dengan demikian, perjanjian penggunaan tanah ini dimana yang menjadi hal tertentu<br />
atau objek perjanjian adalah tanah negara yang disewakan maka hal tersebut tidak sesuai<br />
dengan aturan prinsip hak menguasai negara. Dan melihat kepada objek dari hak<br />
pengelolaan, yaitu tanah negara dan sifat dari hak pengelolaan yang publicrechtelijk, maka<br />
praktek pemberian hak sewa ini tidak dibolehkan. Pemegang hak pengelolaan atas tanah<br />
negara seharusnya tidak boleh menyewakan tanah, karena ia bukan pemilik melainkan<br />
hanya sebagai pengelola atas pendelegasian wewenang hak menguasai negara atas tanah.<br />
Bahkan negara sendiri juga bukan sebagai pemilik tanah melainkan hanya “menguasai”.<br />
Hak pengelolaan yang pada hakekatnya merupakan delegasi wewenang dari hak<br />
menguasai negara, tidak menetapkan adanya kewenangan pemegang hak pengelolaan<br />
untuk menyewakan tanah kepada pihak ketiga. Artinya, perjanjian penggunaan tanah<br />
oleh PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Pelabuhan Teluk Bayur yang memberikan<br />
hak sewa kepada pihak ketiga melalui perjanjian sewa penggunaan tanah atas tanah hak<br />
pengelolaan tersebut tidak memenuhi syarat objektif dari suatu perjanjian.<br />
Konsekuensi dari suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif perjanjian<br />
maka perjanjian tersebut “batal demi <strong>hukum</strong>” (nietig). Hal inilah yang seharusnya terjadi<br />
terhadap perjanjian penggunaan tanah oleh PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang<br />
Pelabuhan Teluk Bayur yang memberikan hak sewa kepada pihak ketiga, namun dalam<br />
kenyataannya perjanjian tersebut terus berlaku dan dilaksanakan tanpa menimbulkan<br />
masalah, baik antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian maupun dengan institusi<br />
pemerintah. Ini disimpulkan sebagai akibat tidak adanya peraturan perundang-undangan
LOVELLY DWINA DAHEN<br />
VOLUME 240<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
yang lebih jelas yang mengatur mengenai pelaksanaan dari kewenangan yang tersimpul<br />
dari hak pengelolaan, terutama mengenai larangan persewaan atas tanah negara yang<br />
diberikan kepada kepada subjek penerima hak pengelolaan.<br />
Dibutuhkan suatu tahapan dan dukungan peraturan baru agar perubahan paradigma<br />
pengelolaan pelabuhan dapat berjalan dengan baik. Peninjauan kembali peraturan yang<br />
mengatur tentang perjanjian bisnis di sektor kepelabuhanan mutlak dilaksanakan karena<br />
berhubungan dengan kepentingan negara dan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain,<br />
perlu adanya undang-undang yang mengatur mengenai hak pengelolaan, tidak saja hanya<br />
berupa peraturan setingkat peraturan menteri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri<br />
No. 1 Tahun 1977.<br />
Perhatian pemerintah sangat diharapkan untuk meninjau kembali perjanjianperjanjian<br />
bisnis yang dilakukan oleh pelaku usaha bisnis kepelabuhanan. Apakah semua<br />
perjanjian tersebut sesuai dengan peraturan atau justru melanggar, jangan sampai akhirnya<br />
merugikan banyak pihak dengan tujuan untuk menguntungkan satu kelompok saja.<br />
G. Penutup<br />
Menurut aturan SK Direksi PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II No. HK.56/1/2/<br />
PI.II-2000 tanggal 3 Januari 2000 penyerahan penggunaan bagian-bagian tanah HPL<br />
pelabuhan dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Sewa atas bangunan. Hal<br />
ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1977, di mana hak<br />
yang dapat diberikan atas tanah hak pengelolaan adalah Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.<br />
Jika dikaji dan ditinjau secara yuridis perjanjian ini akan mempunyai dampak yang sangat<br />
fatal dan menjadi kendala terhadap kelangsungan kerjasama antara PT. (Persero) Pelabuhan<br />
Indonesia II Cabang Pelabuhan Teluk Bayur dengan pihak pengguna tanah tersebut. Hal<br />
ini berkaitan dengan objek dari perjanjian penggunaan tanah tersebut yaitu tanah yang<br />
dikuasai negara dimana atas tanah tersebut tidak boleh disewakan. Artinya syarat objektif<br />
suatu perjanjian berupa “suatu hal tertentu” tidak terpenuhi karena objeknya adalah tanah<br />
negara, konsekuensinya perjanjian tersebut “batal demi <strong>hukum</strong>” (nietig). Namun dalam<br />
kenyataannya perjanjian tersebut terus berlaku dan dilaksanakan tanpa menimbulkan<br />
masalah, baik antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian maupun dengan institusi<br />
pemerintah. Ini disimpulkan sebagai akibat tidak adanya peraturan perundang-undangan<br />
yang lebih jelas yang mengatur mengenai pelaksanaan dari kewenangan yang tersimpul<br />
dari hak pengelolaan, terutama mengenai larangan persewaan atas tanah negara yang<br />
diberikan kepada kepada subjek penerima hak pengelolaan.<br />
H. Daftar Pustaka<br />
Buku-Buku<br />
Boedi Harsono, Kasus-kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan (Suatu<br />
Tinjauan Yuridis), Mahkamah Agung RI, 1996.<br />
Hasanudin Rahman , Legal Drafting, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.<br />
Kartini Muljadi, dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT.<br />
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
241<br />
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.<br />
Parlindungan, A.P., Hak Pengelolaan Menurut Sistem Undang-undang Pokok Agraria,<br />
CV. Mandar Maju, Bandung, 1989.<br />
PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II, Pertanahan dan Perairan PT. (Persero) Pelabuhan<br />
Indonesia II Cabang Teluk Bayur, Jakarta.<br />
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.<br />
Soni Harsono, Hukum Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Praktek<br />
Pelaksanaannya. (Non Pub) Ceramah Pada Pembukaan Seminar Nasional Hukum<br />
Agraria ke III di Medan tanggal 20-21 September 1990. Badan Pertanahan Nasional.<br />
Subekti, R. Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1993.<br />
Peraturan Perundang-undangan<br />
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar<br />
Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104.<br />
Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara.<br />
Peraturan Menteri Agraria R.I. Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi<br />
Hak Penguasaan Atas Tanah Negara Dan Ketentuan-ketentuan Tentang Kebijaksanaan<br />
Selanjutnya.<br />
Peraturan Menteri Agraria R.I. Nomor 1 Tahun 1966 Tentang Pendaftaran Hak Pakai<br />
Dan Hak Pengelolaan.<br />
Peraturan Menteri Dalam Negeri R.I. Nomor 6 Tahun 1972 Tentang Pelimpahan<br />
Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah.<br />
Peraturan Menteri Dalam Negeri R.I. Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara<br />
Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak<br />
Pengelolaan Serta Pendaftarannya.<br />
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri R.I. dan Menteri Perhubungan R.I. Nomor 191<br />
Tahun 1969 Tentang Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Pelabuhan.<br />
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999<br />
Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak<br />
Pengelolaan.
VOLUME 242<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
BIODATA PARA PENULIS<br />
1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., adalah Dosen Tetap di Fakultas Hukum USU<br />
Medan, dilahirkan di Pematang Siantar tanggal 15 Februari 1963. Pendidikan S1<br />
diselesaikan di Fakultas Hukum USU Tahun 1987, S2 di Pascasarjana USU Tahun<br />
2000 dan S3 Pascasarjana USU Tahun 2005 dengan bidang kajian Hukum Bisnis.<br />
Pernah menjabat Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana USU, dan saat<br />
ini menduduki jabatan sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau. Bertempat<br />
tinggal di Jalan Bunga Cempaka IA No. 4 Medan.<br />
2. Hayatul Ismi, SH. MH., adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau,<br />
dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 25 Mei 1979. Pendidikan Sarjana Hukum<br />
diselesaikan di Universitas Islam Riau, dan S2 di <strong>universitas</strong> yang sama pada tahun<br />
2005 dengan bidang kajian Hukum Bisnis. Saat ini sedang menyelesaikan S3 di<br />
Universitas Padjadjaran Bandung. Bertempat tinggal di Jalan Sirsak 3 Blok C-3 No. 2<br />
Perum Pandau Permai Pekanbaru.<br />
3. Hj. Mardalena Hanifah, SH,MH., adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas<br />
Riau, dilahirkan di Padang, tanggal 21 Maret 1967. Pendidikan S1 diselesaikan di<br />
Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tahun 1992, dan S2 diselesaikan di USU<br />
Medan pada tahun 2000 dengan bidang kajian Hukum Perdata. Bertempat tinggal di<br />
Jl. Thamrin III No. 4 Gobah Pekanbaru.<br />
4. Maryati Bachtiar, SH, M.Kn., adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas<br />
Riau, dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1978, menamatkan S1 Hukum di<br />
Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dan S2 Kenotariatan di Universitas Padjdjaran<br />
Bandung Tahun 2004. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Perdata<br />
FH UR dan sedang menempuh pendidikan S3 Hukum di Universitas Islam Bandung.<br />
Bertempat tinggal di Jl. Cemara No. 59 Pekanbaru.<br />
5. Tengku Erwinsyahbana, SH, M.Hum., adalah Dosen PNSD di Kopertis Wilayah I<br />
diperbantukan pada Universitas Muhammadiyah SUmatera Utara. Menyelesaikan<br />
S1 di Universitas Andalas tahun 1993 dan S2 di USU Medan tahun 2006. Saat ini<br />
sedang menyelesaikan Disertasi di Unpad Bandung. Bertempat tinggal di Asrama<br />
Singgasana I Kodam I/BB, Jl. Prasaja No. K-281 Medan 20122.<br />
6. Ramlan, SH,M.Hum, adalah Dosen Tetap Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah<br />
Sumatera Utara, dilahirkan di Sei Lama, tanggal 5 Mei 1971. Menyelesaikan S.1 pada<br />
Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan konsentrasi Hukum<br />
Keperdataan (1996), S.2 pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,<br />
dengan konsentrasi Hukum Bisnis (2005), saat ini sedang menempuh Program Doktor<br />
(S.3) Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.<br />
Bertempat tinggal di Jalan Subur I No. 14 Kecamatan Medan Polonia.<br />
7. Rahmad Hendra, SH,M.Kn., adalah Dosen Tetap Fak. Hukum Universitas Riau,<br />
dilahirkan di Pekanbaru, tanggal 5 September 1976. Menyelesaikan S1 pada Fak.<br />
Hukum UII Yogyakarta dan S2 di Magister Kenotariatan UGM Yogyakarta. Saat ini<br />
menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Perdata FH UR. Bertempat tinggal di Jalan
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
243<br />
Hang Jebat Gang Kadiran No. 5 Pekanbaru.<br />
8. Ulfia Hasanah, SH, M.Kn, adalah Dosen Tetap Fak. Hukum Universitas Riau,<br />
dilahirkan di Batu Rijal Hulu Indragiri Hulu pada tanggal 24 Oktober 1983. Menyelesaikan<br />
S.1 pada Fak. Hukum Universitas Bung Hatta Padang dan S2 Kenotariatan dari<br />
Universitas Padjadjaran. Bertempat tinggal di Jalan Garuda Tangkerang Tengah<br />
Marpoyan Damai Pekanbaru.<br />
9. Riska Fitriani, SH,MH, adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau,<br />
dilahirkan di Pesisir Selatan pada tanggal 16 Juni 1980.Menamatkan S1 dari Universitas<br />
Bung Hatta Padang dan S2 dari Universitas Andalas dengan bidang kajian Hukum<br />
Bisnis. Bertempat tinggal di Jalan Durian Sukajadi Pekanbaru<br />
10.Lovelly Dwina Dahen, SH.,MH adalah Dosen Tetap Fakultas Syariah dan Ilmu<br />
Hukum UIN Suska Riau Pekanbaru dilahirkan di Padang tanggal 22 Juni 1982.<br />
Pendidikan S1 diselesaikan di Fakultas Hukum Unand Tamat Tahun 2004, S2<br />
Pascasarjana Universitas Andalas tamat 2006. Bertempat tinggal di Perum. Palm<br />
Regency Blok C No. 7 Panam-Pekanbaru.
VOLUME 244<br />
2 No. 2 Februari 2012<br />
PEDOMAN PENULISAN<br />
1. Naskah berupa hasil penelitian kepustakaan, penelitian lapangan atau karya ilmiah<br />
lainnya dalam bidang <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> yang belum pernah dan tidak pernah<br />
dipublikasikan dalam media cetak lain.<br />
2. Setiap kutipan dalam sebuah artikel ilmiah harus dicantumkan sumber kutipannya<br />
dalam sebuah footnote sebagaimana contoh berikut ini: Erdianto Effendi, Hukum<br />
Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 64-65.<br />
3. Naskah ditulis dengan sistematika sebagai berikut:<br />
a. Penelitian Kepustakaan:<br />
Judul<br />
Nama Penulis<br />
Alamat<br />
Abstrak (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)<br />
Pendahuluan<br />
Perumusan Masalah (dapat dimuat dalam bab Pendahuluan)<br />
Pembahasan<br />
Penutup/Kesimpulan<br />
Daftar Pustaka<br />
Riwayat Hidup Singkat yang berisikan Pekerjaan, Tempat Tanggal Lahir,<br />
Riwayat Pendidikan dan Alamat<br />
b. Penelitian Lapangan<br />
Judul<br />
Nama Penulis<br />
Alamat<br />
Abstrak (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)<br />
Pendahuluan<br />
Perumusan Masalah (dapat dimuat dalam bab Pendahuluan)<br />
Metode Penelitian<br />
Hasil Penelitian<br />
Pembahasan<br />
Penutup/Kesimpulan<br />
Daftar Pustaka<br />
Riwayat Hidup Singkat yang berisikan Pekerjaan, Tempat Tanggal Lahir,<br />
Riwayat Pendidikan dan Alamat<br />
4. Penyusunan daftar pustaka harus sesuai dengan daftar abjad (nama penulis) secara<br />
alpabetis, nama ditulis secara manual tanpa harus dibalik, dan daftar pustaka yang<br />
ditulis harus tercantum dalam tubuh tulisan. Sistematika penulisan daftar pustaka<br />
adalah seperti contoh: Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar,<br />
Refika Aditama, Bandung, 2010.<br />
5. Naskah diketik dengan komputer ukuran A4 dengan jarak 1,5 spasi, minimal 15<br />
halaman dan maksimal 35 halaman.
JURNAL<br />
ILMU HUKUM<br />
245<br />
6. Naskah disusun dalam Bahasa Indonesia menurut Pedoman Ejaan bahasa Indonesia<br />
menurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).<br />
7. Redaksi berhak mengedit dan atau mengubah teks sesuai kepentingan penerbitan<br />
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu tanpa mengubah substansi yang dkandung<br />
dalam naskah.<br />
8. Redaksi tidak bertanggungjawab atas isi dan substansi artikel yang dimuat dan<br />
tanggungjawab sepenuhnya dilimpahkan kepada penulis yang bersangkutan, dan<br />
dengan sendirinya semua penulis wajib menjamin bahwa tulisannya bebas dari<br />
plagiarisme.