29.01.2015 Views

ilmu hukum - perpustakaan universitas riau

ilmu hukum - perpustakaan universitas riau

ilmu hukum - perpustakaan universitas riau

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

I<br />

Jurnal<br />

ILMU<br />

HUKUM<br />

JURNAL ILMU HUKUM (JIH) adalah jurnal ilmiah berkala yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum<br />

Universitas Riau dua kali setahun pada bulan Februari dan Agustus. JIH memiliki visi menjadi jurnal<br />

ilmiah yang terdepan dalam pengembangan <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> serta harmonisasi <strong>hukum</strong> positif Indonesia.<br />

Redaksi JIH menerima naskah artikel laporan penelitian, artikel lepas dan resensi buku yang sesuai<br />

dengan visi JIH. Naskah yang dikirim terdiri dari 15 sampai 20 halaman kertas A4 dengan spasi ganda.<br />

Naskah dilengkapi dengan biodata penulis. ALAMAT REDAKSI: LABORATORIUM HUKUM, Fakultas<br />

<strong>hukum</strong> Universitas Riau Jalan Pattimura Nomor 9 Pekanbaru. Telp 0761-22539, Email:<br />

jurnal<strong>ilmu</strong><strong>hukum</strong>@gmail.com, jurnal<strong>ilmu</strong><strong>hukum</strong>@yahoo.com.<br />

PENANGGUNG JAWAB<br />

Firdaus<br />

KETUA PENYUNTING<br />

Erdianto<br />

WAKIL KETUA PENYUNTING<br />

Erdiansyah<br />

PENYUNTING PELAKSANA<br />

Rahmad Hendra<br />

Emilda Firdaus<br />

Mukhlis R<br />

Widia Edorita<br />

STAF PELAKSANA<br />

Editor : Davit Rahmadan<br />

Keuangan & Distribusi : Rezmia Febrina<br />

DESAIN & LAYOUT<br />

T. Andi Rinaldi<br />

PERCETAKAN<br />

Alaf Riau, Hp. 08127679365


VOLUME<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

II<br />

D A F T A R I S I<br />

HUKUM PERDATA/BISNIS<br />

HALAMAN 123<br />

HALAMAN 135<br />

HALAMAN 147<br />

HALAMAN 155<br />

HALAMAN 166<br />

HALAMAN 179<br />

HALAMAN 188<br />

Pemegang Polis Asuransi dan Kedudukan Hukumnya<br />

Sunarmi Jalan Bunga Cempaka IA No. 4 Medan<br />

Pengakuan dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat atas Tanah<br />

Ulayat dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional<br />

Hayatul Ismi Jalan Sirsak 3 Blok C-3 No. 21 Perum Pandau Permai Pekanbaru<br />

Arah Kebijakan Hukum Politik Ekonomi<br />

Mardalena Hanifah Jalan Thamrin III No. 4 Gobah Pekanbaru<br />

Hukum Waris Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender<br />

Maryati Bachtiar Jalan Cemara No. 59 Pekanbaru<br />

Sistem Hukum Perkawinan pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila<br />

Tengku Erwinsyahbana Asrama Singgasana I Kodam I/BB, Jl. Prasaja<br />

No. K-281 Medan<br />

Tinjauan Filosofis Kepastian Hukum Bagi Pemerintah Daerah dalam<br />

Implementasi Undang-undang Penanaman Modal<br />

Ramlan Jalan Subur I No. 14 Sari Reji Kec. Medan Polonia-Medan<br />

Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Otentik yang Penghadapnya<br />

Mempergunakan Identitas Palsu<br />

Rahmad Hendra Jalan Hang Jebat Gg Kadiran No. 5 Pekanbaru<br />

HALAMAN 201 Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No. 5<br />

Tahun 1960<br />

Ulfia Hasanah Jalan Garuda Tangkerang Tengah Marpoyan Damai Pekanbaru<br />

HALAMAN 213<br />

HALAMAN 228<br />

Penyelesaian Sengketa Lahan Hutan Melalui Proses Mediasi<br />

Riska Fitriani Jalan Durian Sukajadi Pekanbaru<br />

Analisis Yuridis Terhadap Hak-hak Atas Tanah yang Berada di Atas Hak<br />

Pengelolaan Pelabuhan<br />

Lovelly Dwina Dahen Perum. Palm Regency Blok C No.7 Panam-Pekanbaru


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

III<br />

PENGANTAR REDAKSI<br />

Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kepada Allah SWT, karena Jurnal Ilmu Hukum<br />

Fakultas Hukum Universitas Riau Edisi Keempat atau Volume 2 No. 2 bulan<br />

Februari 2012 berhasil diterbitkan pada waktunya. Hal tersebut tidak terlepas<br />

dari kebijakan Pimpinan Fakultas Universitas Riau yang mewajibkan setiap dosen<br />

yang melakukan penelitian dengan dana dari Fakultas untuk menyerahkan hasil<br />

penelitian dalam bentuk artikel ilmiah kepada Redaksi. Dengan kebijakan tersebut,<br />

Redaksi tidak akan mengalami hambatan dalam hal ketersediaan artikel yang<br />

akan diterbitkan, bahkan proses seleksi terhadap artikel yang masuk akan<br />

berlangsung ketat.<br />

Seperti edisi ketiga, maka di edisi keempat ini Redaksi mengalokasikan minimal<br />

40 % artikel yang masuk dari luar lingkungan FH UR. Untuk edisi ini artikel dari<br />

luar FH UR berasal dari Sunarmi (Guru Besar FH USU), Tengku Erwisyahbana<br />

(UMSU), Ramlan (UMSU), dan Lovelly Dwina Dahen (UIN Suska Riau).<br />

Adapun thema yang diangkat untuk jurnal edisi kali ini adalah Hukum Perdata/<br />

Bisnis. Tulisan yang diangkat sebagai tulisan pembuka adalah makalah yang ditulis<br />

Sunarmi dengan judul Pemegang Polis Asuransi dan Kedudukan Hukumnya,<br />

dan diikuti secara berturut-turut oleh Hayatul Ismi dengan Pengakuan dan<br />

Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat atas Tanah Ulayat dalam Upaya<br />

Pembaharuan Hukum Nasional, Hj. Mardalena Hanifah dengan judul Arah<br />

Kebijakan Politik Hukum Ekonomi, dan Maryati Bachtiar dengan judul Hukum<br />

Waris Islam dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender. Berikutnya<br />

adalah artikel dari Tengku Erwinsyahbana dengan judul Sistem Hukum<br />

Perkawinan pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila, Ramlan, dengan<br />

judul Tinjauan Filosofis Aspek Kepastian Hukum antara Pemerintah Dengan<br />

Pemerintah Daerah dalam Implementasi Undang-undang Penanaman Modal<br />

di Indonesia, Rahmad Hendra dengan judul Tanggungjawab Notaris Terhadap<br />

Akta Otentik yang Penghadapnya Mempergunakan Identitas Palsu di Kota<br />

Pekanbaru. Dan Ulfia Hasanah dengan judul Status Kepemilikan Tanah Hasil<br />

Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar<br />

Pokok-pokok Agraria dihubungkan dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang<br />

Pendaftaran Tanah.<br />

Sebagai penutup edisi ini diisi dengan artikel Penyelesaian Sengketa Lahan Hutan<br />

Melalui Proses Mediasi di Kabupaten Siak yang ditulis Riska Fitriani, dan<br />

Analisis Yuridis Terhadap Hak-hak Atas Tanah yang Berada di Atas Hak<br />

Pengelolaan Pelabuhan oleh Lovelly Dwina Dahen.


VOLUME<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

IV<br />

Atas kontribusi menyumbangkan tulisan, Redaksi mengucapkan terimakasih<br />

atas mereka yang telah sudi menyumbangkan tulisan untuk edisi kedua ini.<br />

Redaksi juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setingi-tingginya<br />

kepada para mitra bestari yang telah berkenan mensortir makalah yang dimuat<br />

pada edisi ini, dan juga pimpinan Fakultas Hukum Universitas Riau atas segala<br />

dukungan fasilitas dan dana hingga jurnal ini dapat diterbitkan.<br />

Akhir kata, dengan terbitnya Jurnal Ilmiah ini hendaknya sajian yang disuguhkan<br />

kepada pembaca menjadi sesuatu yang bermanfaat.<br />

Pekanbaru, Februari 2012


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

123<br />

PEMEGANG POLIS ASURANSI DAN<br />

KEDUDUKAN HUKUMNYA<br />

SUNARMI<br />

Jalan Bunga Cempaka IA No. 4 Medan<br />

Abstrak<br />

Asuransi memegang peranan penting, karena di<br />

samping memberikan perlindungan terhadap kemungkinan-kemungkinan<br />

kerugian yang akan terjadi,<br />

asuransi memberikan dorongan yang besar<br />

sekali ke arah perkembangan ekonomi lainnya.<br />

Sayangnya dalam praktik jaminan perlindungan<br />

<strong>hukum</strong> terhadap pemegang polis asuransi kurang<br />

terlindungi. Permasalahan yang selalu dialami oleh<br />

pemegang polis adalah sulitnya memperoleh pembayaran<br />

ganti kerugian ketika evenement terjadi.<br />

Adapun penyebab mengapa polis tidak dibayar oleh<br />

perusahaan asuransi adalah karena kurangnya pengetahuan<br />

masyarakat itu sendiri, selain juga karena<br />

faktor agen asuransi.<br />

Abstract<br />

Insurance plays an important role, because in addition<br />

to providing protection against the possibilities of<br />

losses that will happen, insurance gives a huge boost<br />

to the development of other economies. Unfortunately<br />

in practice guarantees legal protection of insurance<br />

policyholders are less protected. The problems experienced<br />

by the policyholder is always the difficulty<br />

of obtaining payment of compensation when evenement<br />

happen. The reason why the policy is not paid<br />

by insurance companies is due to a lack of knowledge<br />

of the community itself, but also because of the<br />

insurance agent.<br />

Kata kunci: Asuransi, polis, tertanggung.<br />

A. Pendahuluan<br />

Kurun waktu 1998–2003, pertumbuhan industri asuransi di Asia jauh lebih tinggi<br />

dibanding negara-negara maju yang dipengaruhi oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi<br />

dan suku bunga yang relatif rendah. Bahkan khusus untuk Indonesia, industri asuransi<br />

pada 2012 mendatang diprediksi akan mengalami pertumbuhan sekitar 25% hingga 30%.<br />

Kondisi ini mempengaruhi perusahaan-perusahaan asuransi untuk berlomba-lomba<br />

menawarkan berbagai produk terbaru yang diharapkan menjadi salah satu sarana investasi<br />

jangka panjang. Perkawinan antara dunia perbankan, asuransi dan investasi menciptakan<br />

trend inovasi produk-produk asuransi. Perusahaan asuransi bekerjasama dengan perbankan<br />

dalam menawarkan produk tersebut sehingga muncul bancassurance.<br />

Sarana investasi yang paling populer untuk menyiapkan dana investasi adalah asuransi.<br />

Ada faktor kepastian dan jaminan dalam asuransi. Permasalahan yang selalu dialami oleh<br />

pemegang polis adalah sulitnya memperoleh pembayaran ganti kerugian ketika evenement<br />

terjadi. Padahal tujuan utama seorang pemegang polis atau nasabah mengikatkan diri<br />

dalam perjanjian asuransi adalah untuk mengalihkan risiko sehingga akan menerima ganti<br />

kerugian bila terjadi suatu peristiwa yang tidak diduga yang menimpa objek asuransi.<br />

Dalam kegiatan ekonomi secara keseluruhan, asuransi memegang peranan penting,<br />

karena di samping memberikan perlindungan terhadap kemungkinan-kemungkinan<br />

kerugian yang akan terjadi, asuransi memberikan dorongan yang besar sekali ke arah<br />

perkembangan ekonomi lainnya.<br />

Asuransi telah menjadi bagian yang ensensial dari setiap perusahaan. Investment<br />

banker misalnya, akan merasa lebih yakin penilaiannya terhadap proyek-proyek tertentu


SUNARMI<br />

VOLUME 124<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

apabila semua risiko proyek itu telah dilindungi oleh asuransi. Dengan demikian,<br />

perusahaan-perusahaan asuransi yang tugas utamanya adalah memberikan perlindungan<br />

kepada perusahaan-perusahaan lain telah menjadi suatu institusi ekonomi yang mempunyai<br />

peranan yang tidak kecil.<br />

Saat ini perkembangan asuransi menunjukan perkembangan yang cukup signifikan.<br />

Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri jasa asuransi menawarkan berbagai<br />

macam produk asuransi mulai dari jasa asuransi kerugian, asuransi jiwa, asuransi<br />

kesehatan, asuransi tenaga kerja dan lain-lain sampai dengan asuransi yang memiliki unsur<br />

tabungan seperti asuransi jiwa unit link.<br />

Kurun waktu 1998–2003, pertumbuhan industri asuransi di Asia jauh lebih tinggi dibanding<br />

negara-negara maju. Menurut laporan Swiss Re Economic Research and<br />

Consulting, pada periode itu, pertumbuhan premi asuransi jiwa rata-rata 10,2 % setiap<br />

tahun. Negara maju hanya tumbuh 2,6 %. Negara-negara di Asia Tenggara, termasuk<br />

Indonesia mencatat pertumbuhan premi yang cukup signifikan didorong oleh peningkatan<br />

perumbuhan ekonomi dan suku bunga yang relatif rendah. Salah satu faktor pemicu<br />

pertumbuhan industri asuransi Asia, adalah masih rendahnya penetrasi polis asuransi<br />

dibanding negara maju, kesadaran akan proteksi terhadap perusahaan maupun keluarga<br />

sudah mature. Terjadi akumulasi dana yang cukup besar pada asuransi jiwa dan dana<br />

pensiun. 1<br />

Tampaknya industri asuransi tidak mau ketinggalan dengan lembaga finansial lainnya.<br />

Perusahaan-perusahaan asuransi berlomba-lomba menawarkan berbagai porduk terbaru.<br />

Asuransi diharapkan dapat menjadi salah satu sarana investasi jangka panjang. Perkawinan<br />

antara dunia perbankan, asuransi dan investasi menciptakan tren inovasi produk-produk<br />

asuransi. Kini asuransi mulai dilirik kaum berduit sebagai salah satu bentuk investasi<br />

yang menjanjikan plus proteksi atas risiko kematian. Dulu orang hanya mengenal asuransi<br />

jiwa dan asuransi ganti kerugian. Dana pendidikan anak, dana pensiun dan kebutuhan<br />

jangka panjang lain dapat disiapkan melalui produk-produk asuransi. Biasanya perusahaan<br />

asuransi bekerjasama dengan perbankan dalam menawarkan produk tersebut sehingga<br />

muncul bancassurance. Biasanya produk asuransi yang mengandung nilai investasi untuk<br />

kebutuhan jangka panjang ditujukan untuk masyarakat menengah ke atas. Karena selain<br />

untuk jangka panjang, juga menyangkut jumlah dana yang tidak sedikit. Sarana investasi<br />

yang paling populer untuk menyiapkan dana investasi adalah asuransi. Ada faktor kepastian<br />

dan jaminan dalam asuransi. Malah ada produk asuransi pendidikan anak dalam<br />

dollar Amerika.<br />

Terkait dengan bidang asuransi mencakup lapangan yang sangat luas, Pasal 247 Kitab<br />

Undang-Undang Hukum Dagang membagi jenis asuransi sebagai berikut:<br />

Pertanggungan itu antara lain dapat mengenai bahaya kebakaran, bahaya yang<br />

mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipaneni, jiwa satu atau beberapa orang,<br />

bahaya laut dan perbudakan, bahaya yang mengancam pengangkutan di daratan, di<br />

sungai, dan di perairan darat.<br />

Asuransi menurut pasal ini dapat terbagi menjadi:<br />

1<br />

“Äsuransi Global Kepincut Pesona Asia”, Investor Edisi 135, 15 – 28 Nopember 2005


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

125<br />

1. Asuransi Kerugian (Schade Verzekering), dimana Penanggung berjanji akan<br />

mengganti kerugian tertentu yang diderita tertanggung.<br />

2. Asuransi sejumlah Uang (Sommen Verzekering), dimana Penanggung berjanji akan<br />

membayar uang yang jumlahnya sudah ditentukan sebelumnya tanpa disandarkan<br />

pada suatu kerugian tertentu.<br />

Persamaannnya adalah, bahwa kedua jenis asuransi ini merupakan persetujuan untunguntungan.<br />

Yaitu Penanggung berjanji memenuhi prestasi keuangan apabila suatu peristiwa<br />

terjadi. Perbedaannya, pada Asuransi Kerugian ganti rugi yang dibayarkan penanggung<br />

sebesar kerugian yang diderita. Pada Asuransi Sejumlah uang, yang dibayarkan Penanggung<br />

adalah sejumlah yang sudah dijanjikan sebelumnya, dan tidak didasarkan kerugian yang<br />

diderita. Asuransi adalah sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan<br />

menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya. 2<br />

Usaha yang berkenaan dengan asuransi ada 2 (dua) jenis yaitu:<br />

a. Usaha di bidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi (insurance busines).<br />

Perusahaan yang menjalankan usaha asuransi disebut Perusahaan asuransi<br />

(insurance company).<br />

b. Usaha di bidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut usaha penunjang usaha<br />

asuransi (Complementary insurance business). Perusahaan yang menjalankan usaha<br />

penunjang usaha asuransi disebut Perusahaan Penunjang Asuransi (complementary<br />

insurance company). 3<br />

Usaha asuransi pada saat ini dapat dibagi ke dalam beberapa cabang yang berdiri<br />

sendiri. Yang paling umum dari semua pembagian ini adalah antara asuransi swasta dan<br />

asuransi pemerintah. Luasnya cakupan kegiatan asuransi cukup mempengaruhi meningkatnya<br />

jumlah pemegang polis di Indonesia. Apalagi saat ini perusahaan-perusahaan<br />

asuransi berlomba-lomba menawarkan berbagai produk-produk asuransi yang tujuannya<br />

untuk menarik minat masyarakat berasuransi.<br />

Maraknya berbagai produk yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi<br />

sayangnya tidak diikuti dengan jaminan perlindungan <strong>hukum</strong> terhadap pemegang polis<br />

asuransi. Permasalahan yang selalu dialami oleh pemegang polis adalah sulitnya memperoleh<br />

pembayaran ganti kerugian ketika evenement terjadi. Padahal tujuan utama<br />

seorang pemegang polis atau nasabah mengikatkan diri adalam perjanjian asuransi adalah<br />

untuk menerima ganti kerugian bila terjadi suatu peristiwa yang tidak diduga menimpa<br />

objek asuransi. Pasal 246 KUHD secara tegas menentukan bahwa :<br />

Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung<br />

mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi,<br />

untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau<br />

kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungin akan dideritanya karena suatu<br />

peristiwa yang tak tertentu.<br />

Berdasarkan definisi tersebut terlihat adanya unsur-unsur dari asuransi, yaitu:<br />

1. Penanggung dan Tertanggung sebagai para pihak.<br />

2<br />

http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi, diakses tgl 8 Maret 2007<br />

3<br />

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2002, hlm. 6.


SUNARMI<br />

VOLUME 126<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

2. Premi, yaitu sejumlah uang yang harus dibayar Tertanggung kepada Penanggung<br />

3. Peristiwa tertentu, yaitu peristiwa yang belum tentu terjadi.<br />

4. Ganti rugi, perjanjian asuransi memang diadakan untuk memberikan ganti rugi,<br />

namun ganti rugi hanya dikenal dalam Asuransi Kerugian. Dalam Asuransi Jiwa<br />

tidak dikenal ganti rugi, karena kehilangan nyawa seseorang tidak dapat dianggap<br />

sebagai suatu kerugian, tetapi merupakan suatu musibah yang pasti terjadi, hanya<br />

saja waktunya tidak diketahui.<br />

Keempat unsur di atas adalah unsur mutlak dalam asuransi, tanpa salah satu unsur<br />

di atas tidak dapat disebut sebagai Perjanjian Asuransi. Salah satu unsur penting dalam<br />

peristiwa asuransi dalam Pasal 246 KUHDagang adalah ganti kerugian yang objeknya<br />

adalah harta kekayaan. 4<br />

Sebetulnya tujuan dari semua asuransi ialah untuk menutup suatu kerugian yang<br />

diderita selaku akibat dari suatu peristiwa yang bersangkutan dan yang belum dapat<br />

ditentukan semula akan terjadi atau tidak. 5 Unsur ganti kerugian sebagai unsur penting<br />

dalam asuransi sayangnya belum berjalan sesuai dengan tujuan pemegang polis asuransi<br />

mengikatkan diri dalam perjanjian asuransi. Pemegang polis asuransi mengalami kesulitan<br />

ketika akan mengajukan klaim ganti kerugian. Perusahaan asuransi selaku penanggung<br />

selalu mengajukan berbagai macam alasan sebagai dasar untuk tidak membayar klaim<br />

ganti kerugian yang diajukan oleh pemegang polis. Hal ini menjadi salah satu sebab<br />

mengapa masih banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran untuk berasuransi.<br />

B. Sulitnya Pembayaran Klaim Ganti Kerugian<br />

Salah satu penyebab mengapa polis tidak dibayar oleh perusahaan asuransi adalah<br />

karena kurangnya pengetahuan masyarakat itu sendiri, selain juga karena faktor agen<br />

asuransi. Mira Amalia, Ketua Harian YLKI mengatakan dari catatan YLKI, pengaduan<br />

itu antara lain klaim ditolak, prosedur permohonan klaim dipersulit, perusahaan tidak<br />

memiliki dana untuk membayar klaim, atau perusahaan tidak jelas lagi rimbanya. 6 Banyak<br />

masyarakat lebih mempercayai omongan agen daripada fakta tertulis hitam di atas putih.<br />

Semestinya konsumen lebih mempercayai apa yang tertulis di atas kertas. Bila perlu melakukan<br />

konfirmasi ke perusahaan apakah brosur yang diberikan agen itu benar. Kenyataan<br />

bahwa ujung tombak penetrasi asuransi berada di agen membuat regulator dan<br />

asosiasi perlu melakukan berbagai pembenahan. Misalnya dengan mengharuskan agen<br />

memiliki lisensi atau sertifikasi keagenan. Ini merupakan salah satu cara menyaring agen<br />

agar tidak serampangan.<br />

Ketidaktahuan konsumen dan kurang profesionalnya agen kerap membuahkan persoalan<br />

di kemudian hari. Mereka yang terlanjur membeli polis tidak bisa lagi berbuat<br />

banyak ketika terjadi ketidaksesuaian antara yang dijanjikan dengan kenyataan yang diterima.<br />

7 Padahal konsumen asuransi mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi,<br />

4<br />

Ibid, hlm.9.<br />

5<br />

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, 1981, hlm. 4.<br />

6<br />

“Bila janji tidak ditepati”, Investor, Edisi 140, 7 – 20 Februari 2006.<br />

7<br />

Kontan No. 18 Tahun X, 6 Februari 2006.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

127<br />

ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai<br />

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 8<br />

Ketika terjadi komplain dari konsumen asuransi, apakah karena terjadi misseling,<br />

misrepresentasi, atau uang premi dibawa kabur agen, maka perusahaan asuransi harus<br />

bertanggung jawab secara moral dan <strong>hukum</strong> kepada konsumen, selama memang dibuktikan<br />

konsumen telah melakukan pembayaran resmi. Namun perusahaan asuransi juga<br />

tidak bisa selalu dipersalahkan karena yang dipercayai adalah apa yang dinyatakan dalam<br />

Surat Permintaan Asuransi Jiwa (SPAJ).<br />

Dalam parkteknya ada nasabah yang misalnya pernah mengidap penyakit tertentu,<br />

atau pernah menjalani opname, tapi tidak disebutkan dalam SPAJ. Sehingga ketika terjadi<br />

klaim, dan perusahaan asuransi melakukan investigasi ternyata berbeda dengan apa yang<br />

tertera di SPAJ, maka dia tidak mendapat klaim. Karena asuransi itu menganut asas itikad<br />

baik, dan saling percaya bahwa konsumen jujur dan perusahaan asuransi percaya.<br />

Kadang karena bisnis asuransi adalah bisnis kepercayaan, maka kadangkala nasabah yang<br />

justru melakukan penipuan.<br />

Terjadinya kesulitan perusahaan membayarkan kewajibannya bisa terjadi karena<br />

kesalahan dalam menghitung cadangan. Kesalahan ini ibarat bola salju yang makin lama<br />

makin besar. Akibatnya kewajiban perusahaan menjadi lebih besar dari aset yang dimiliki.<br />

Regulator mengalami kesulitan untuk bersikap karena menjadi dilematis. Kalau bertindak<br />

tegas nasib karyawan dan pemegang polis dikhawatirkan makin terlantar. Persoalannya,<br />

di industri asuransi belum ada lembaga penjamin polis seperti di perbankan yang sudah<br />

memiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jika perusahaan asuransi ditutup, tidak<br />

akan ada dana untuk mengganti hak-hak pemegang polis. Kesempatan yang diberikan<br />

egulator terhadap pemegang saham perusahaan asuransi yang bermasalah benar-benar<br />

bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kinerja. 9<br />

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya mengembalikan dana nasabah di bank yang<br />

tutup dalam bentuk Giro, Deposito dan Tabungan. Selain tiga bentuk simpanan itu, LPS<br />

tidak memberikan pengembalian dana nasabah yang disimpan di bank yang banknya tutup<br />

atau bankrut. Bentuk simpanan lain yaitu reksadana, obligasi dan asuransi tidak termasuk<br />

LPS. LPS akan membayar klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan dari bank yang<br />

dicabut izin usahanya. LPS akan menentukan simpanan yang layak bayar setelah melalui<br />

proses verifikasi selambat-lambatnya 90 hari kerja sejak izin usaha bank dicabut. 10<br />

Selain itu yang menjadi salah satu kelemahan yang merugikan kepentingan pemegang<br />

polis adalah bahwa isi kontrak asuransi di samping memuat bahasa-bahasa <strong>hukum</strong>, juga<br />

sangat teknis dan spesifik dimana pada umumnya sangat sulit untuk memahami isi polis<br />

asuransi. Jangankan pihak tertanggung, banyak pelaku dalam perusahaan perasuransian<br />

juga kurang memahami isi kontrak. 11 Perlu diketahui bahwa salah satu asas yang sangat<br />

penting dalam <strong>hukum</strong> perikatan di Indonesia adalah asas kebebasan berkontrak. Asas ini<br />

menjiwai semua perjanjian yang dilakukan termasuk perjanjian dalam polis asuransi yang<br />

8<br />

http://www.<strong>hukum</strong>online.com/klinik_detail.aspid=3250, diakses tgl 8 Maret 2007)<br />

9<br />

Investor Edisi 132, 27 September– 10 Oktober 2005<br />

10<br />

“LPS hanya Jamin Giro, Tabungan dan Deposito, Waspada, Sabtu 6 Mei 2006<br />

11<br />

“Kepercayaan Publik dan Kasus Dalam Perasuransian”, Kompas, 24 Juni 2004.


SUNARMI<br />

VOLUME 128<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

harus didasarkan pada prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang diatur<br />

dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Hal mana dalam prinsip ini tidak hanya memberikan<br />

kebebasan pada para pihak yang berkontrak untuk mengajukan klausul perikatan yang<br />

disepakati, tetapi juga memberikan kebebasan bagi para pihak tersebut untuk menyepakati<br />

penyelesaian sengketa di luar pengadilan (arbitrase/mediasi) sebagai alternatif penyelesaian<br />

sengketa bilamana atas permasalahan yang bersangkutan tidak dapat diselesaikan secara<br />

musyawarah oleh para pihak dalam melaksanakan klausul dalam kontrak tersebut. Selain<br />

itu kontrak asuransi harus dijelaskan dengan baik kepada calon tertanggung, bagaimana<br />

hak dan kewajiban tertanggung berkaitan dengan kontrak, apa akibatnya apabila tertanggung<br />

melanggar ketentuan yang ada dalam polis. Untuk dapat memahami polis atau<br />

kontrak, perlu dimengerti perjanjian pertanggungan dari polis asuransi itu sendiri. Oleh<br />

karena itu, ada baiknya diberi penjelasan perihal perjanjian asuransi ini. Dari kalimat<br />

permulaan sudah jelas bahwa ada dua hal yang penting dari polis ini adalah pembayaran<br />

premi tertentu dan disetujuinya pasal-pasal dan ketentuan-ketentuan selanjutnya. Kelalaian<br />

membayar premi atau tidak mematuhi ketentuan-ketentuan tersebut berarti melalaikan<br />

kewajiban dan dapat menyebabkan tidak berlakunya polis atau kontrak itu jika sampai<br />

perusahaan asuransi memberitahukan pembatalannya. 12<br />

Polis merupakan dokumen yang berisi kesepakatan antara pihak tertanggung dan<br />

penanggung (pihak asuransi) berkenaan dengan risiko yang hendak dipertanggungkan.<br />

Polis adalah bukti perjanjian penutupan asuransi tersebut. Standar polis biasanya terdiri<br />

atas:<br />

1. Schedule (ikhtisar pertanggungan). Berisi hal-hal pokok yang perlu diketahui oleh<br />

tertanggung<br />

2. Judul Polis<br />

3. Pembukaan<br />

4. Penjaminan (operative clause)<br />

5. Pengecualian<br />

6. Tanda tangan pihak penanggung<br />

7. Uraian<br />

Keterangan mengenai tertanggung dan obyek yang diasuransikan dapat dilihat pada<br />

dokumen asli maupun duplikat ikhtisar polis. Pihak asuransi menyarankan tertanggung<br />

meluangkan waktu untuk mempelajari isi polis yang telah diterima sehingga dapat diketahui<br />

secara jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak terutama pada saat terjadi klaim. 13<br />

Mengingat sulitnya memperoleh pembayaran ganti kerugian maka tertanggung sebelum<br />

membeli polis asuransi harus hati-hati. Mengonsumsi asuransi jangan hanya diukur dari<br />

rendahnya premi, adanya hubungan pertemanan, perusahaan asuransi yang selalu muncul<br />

di iklan. Mengukur kinerja perusahaan asuransi adalah sesuatu yang sulit karena banyak<br />

faktor tehnis yang harus diukur. Untuk memilih produk dan perusahaan asuransi yang<br />

baik, dapat diminta jasa konsultan asuransi atau menggunakan jasa broker asuransi.<br />

Meskipun broker asuransi tiak menanggung risiko atas klaim asuransi, sesuai dengan<br />

ketentuan peraturan/ketentuan perundang-undangan, maka broker asuransi tetap<br />

12<br />

A. Hasmy Ali, Bidang Usaha Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 42.<br />

13<br />

http://www.danamas.com/asuransi/edu_lifepolis.asp, diakses tgl 2 Oktober 2006.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

129<br />

memiliki potential liability atas penempatan asuransi yang dilakukannya kepada perusahaan<br />

asuransi.<br />

Apabila broker asuransi melakukan kesalahan dalam proses penutupan asuransi dan<br />

karena kesalahannya klaim asuransi yang diderita tertanggung ditolak oleh perusahaan<br />

asuransi, maka peraturan/undang-undang yang ada mengatakan broker asuransi harus<br />

bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita tertanggung.<br />

Permasalahan lain yang turut menyebabkan sulitnya pembayaran klaim ganti kerugian<br />

adalah terjadinya perubahan terhadap polis asuransi. Apabila obyek yang diasuransikan<br />

atau alamat tertanggung mengalami perubahan selama masa berlakunya polis<br />

sehingga terjadi, misalnya perubahan fungsi/okupasi, nilai atau kepemilikan, tertanggung<br />

wajib memberitahukan hal ini kepada pihak asuransi. Hal ini akan sangat membantu<br />

seandainya terjadi klaim.<br />

a. Perubahan risiko. Fungsi/okupasi obyek pertanggungan berubah, misalnya dari<br />

rumah tinggal menjadi gudang, atau dari mobil pribadi menjadi mobil sewaan.<br />

b. Perubahan nilai. Nilai obyek pertanggungan telah berubah, dan tertanggung ingin<br />

mendapatkan penggantian yang sesuai jika terjadi klaim.<br />

c. Pindah tempat dan pindah tangan<br />

1) Pindah tempat, maksudnya: Jika obyek pertanggungan mengalami perpindahan<br />

lokasi.<br />

2) Pindah tangan, maksudnya: Pertanggungan akan batal jika barang yang diasuransikan<br />

pindah tangan, baik berdasarkan suatu persetujuan atau karena<br />

tertanggung meninggal dunia. Kecuali jika penanggung setuju akan perubahan<br />

tersebut.<br />

Perubahan-perubahan tersebut akan dicatatkan pada lembaran kertas yang disebut<br />

dengan endorsemen. Endorsemen lazim digunakan karena menerbitkan suatu polis baru<br />

untuk menampung perubahan tersebut akan memakan biaya dan waktu.<br />

C. Tidak Diterapkannya Prinsip-Prinsip Asuransi<br />

Faktor penyebab lain yang menyebabkan tidak dibayarkannya klaim asuransi adalah<br />

tidak diterapkannya prinsip-prinsip asuransi. Dalam bisnis asuransi, ada beberapa prinsip<br />

asuransi yang harus diterapkan baik oleh perusahaan asuransi maupun oleh masyarakat<br />

tertanggung. Setidaknya prinsip dimaksud antara lain adalah prinsip insurable interest,<br />

prinsip utmost good faith, prinsip indemnity, prinsip proximate cause, dan prinsip kontribusi<br />

dan subrogasi.<br />

Prinsip insurable interest (prinsip kepetingan yang dapat diasuransikan) mensyaratkan<br />

adanya kepentingan dalam mengadakan perjanjian asuransi dengan akibat<br />

batalnya perjanjian asuransi apabila tidak dipenuhi. 14 Penanggung tidak diwajibkan untuk<br />

membayar ganti kerugian apabila asuransi itu diadakan tanpa adanya kepentingan dari si<br />

tertanggung terhadap objek yang diasuransikan. Dasar <strong>hukum</strong>nya dapat dilihat dalam<br />

Pasal 250 KUHDagang yang menyebutkan:<br />

14<br />

M. Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, Penerbit Alumni, Bandung, 1993, hlm. 55.


SUNARMI<br />

VOLUME 130<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Apabila seseorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila<br />

seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya<br />

pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan<br />

itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti kerugian.<br />

Harus ada insurable interest (kepentingan yang dapat diasuransikan) untuk mencegah<br />

sebuah kontrak polis diperjual-belikan atau sebagai bahan taruhan. Kalau tidak terdapat<br />

insurable interest pada sebuah kontrak asuransi, maka asuransi tersebut akan dianggap<br />

tidak sah (void). Oleh karena itu, pihak asuransi secara berkala akan meninjau penunjukan<br />

ahli waris apakah sesuai atau tidak. 15<br />

Prinsip Utmost Good Faith (UGF) menyebutkan bahwa si tertanggung harus memberitahukan<br />

semua fakta material dengan benar, lengkap, serta sukarela atas obyek pertanggungan,<br />

baik diminta maupun tidak diminta. Sebaliknya, perusahaan asuransi pun<br />

dituntut harus menunjukkan itikad baiknya kepada si tertanggung. Dasar <strong>hukum</strong> prinsip<br />

ini dapat dilihat dalam Pasal 251, 252, 276, 277 KUH Dagang. Sangat sering terjadi kesalah<br />

pahaman atas penerapan prinsip ini dalam bisnis asuransi. UGF seolah-olah hanya menjadi<br />

kewajiban si tertanggung, dimana si penanggung tidak perlu menunjukkan itikad baik<br />

kepada penanggung.<br />

Banyak penanggung mengklaim bahwa tertanggung tidak melaksanakan itikad baik<br />

(breach of utmost good faith) sehingga klaim asuransi yang diajukan ditolak oleh perusahaan<br />

asuransi. Dalam banyak kasus, seringkali niat baik tertanggung untuk melakukan<br />

sesuatu berkaitan dengan klaim asuransi menjadi bumerang karena ternyata tindakan<br />

itu melanggar ketentuan kontrak. Di sisi lain tertanggung tidak mengetahui bahwa niat<br />

baik itu ternyata menjadi tidak baik, yang pada akhirnya menjadi grey area timbulnya<br />

konflik dari tuntutan ganti kerugian.<br />

Dalam asuransi dikenal istilah cintra proferentem of rule. Artinya, apabila ada kalimat<br />

dalam kontrak yang menimbulkan keragu-raguan atas definisinya (ambiguity), maka yang<br />

bertanggung jawab adalah pihak yang membuat kontrak. Karena kontrak asuransi dibuat<br />

oleh perusahaan asuransi, maka akibat ambiguity perusahaan asuransi harus menjadi<br />

pihak yang bersalah dan yang bertanggung jawab.<br />

Prinsip indemnity (Prinsip keseimbangan) yang mengandung arti bahwa penggantian<br />

kerugian dari si penanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh<br />

diderita oleh tertanggung. Prinsip ini tidak dimuat secara tegas dalam KUH Dagang tetapi<br />

terkandung dalam beberapa pasal seperti Pasal 246, 250, 252, 253, 254, 271, 277, 278,<br />

280, 284 KUH Dagang.<br />

Prinsip proximate cause yang diartikan sebagai sebab dari kerugian itu adalah<br />

peristiwa yang mendahului kerugian itu secara urutan kronologis terletak terdekat pada<br />

kerugian itu. Prinsip proximate cause ini merupakan sebagian dari prinsip sebab akibat<br />

(causaliteit principle) yang menentukan bahwa timbulnya kewajiban penanggung untuk<br />

mengganti kerugiaan kepada tertanggung apabila peristiwa yang menjadi sebab timbulnya<br />

kerugian itu disebutkan dalam polis. Ada 3 pendapat untuk menentukan sebab timbulnya<br />

kerugian dalam perjanjian asuransi yaitu:<br />

15<br />

http://www.danamas.com/asuransi/edulifepolis.asp, diakses tgl 2 Oktober 2006.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

131<br />

a. Causa Proxima<br />

b. Tiap-tiap peristiwa yang dianggap sebagai conditio sine qua non terhadap kerugian<br />

c. Causa Remota bahwa peristiwa yang menjadi sebab dari timbulnya kerugian itu ialah<br />

peristiwa yang terjauh. Ajaran ini merupakan lanjutan dari pemecahan suatu ajaran<br />

yang disebut “sebab adequate” yang mengemukakan bahwa dipandang sebagai sebab<br />

yang menimbulkan kerugian itu ialah peristiwa yang pantas berdasarkan ukuran<br />

pengalaman harus menimbulkan kerugian itu.<br />

Prinsip kontribusi yang muncul dalam asuransi berganda (double insurance) yaitu<br />

bila polis ditandatangani oleh beberapa penanggung, maka masing-masing penanggung<br />

memberikan kontribusi menurut imbangan jumlah yang sudah mereka tandatangani dalam<br />

polis asuransi, memikul hanya harga yang sebenarnya dari kerugian yang diderita tertanggung.<br />

Prinsip subrogasi yaitu prinsip yang didasarkan pada Pasal 284 KUHDagang yang<br />

menentukan :<br />

Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan,<br />

menggantikan kedudukan si tertanggung dalam segala hak yang<br />

diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan timbulnya kerugian<br />

tersebut. Dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan<br />

yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga.<br />

Prinsip subrogasi ini didasarkan pada sifat perjanjian asuransi sebagai suatu perjanjian<br />

penggantian kerugian yang didasarkan asas indemniteit. Oleh karena itu pembentuk<br />

Undang-undang mencegah adanya penyelewengan dan menentukan di dalam Pasal 284<br />

KUHD, bahwa penanggung yang telah membayar kerugian dari suatu benda yang dipertanggungkan,<br />

mendapat semua hak-hak yang ada pada si tertanggung terhadap orang<br />

ketiga mengenai kerugian itu. Dan selanjutnya dalam anak kalimat ditentukan bahwa<br />

tertanggung bertanggung jawab untuk tiap perbuatan yang mungkin dapat merugikan<br />

hak dari penanggung terhadap orang-orang ketiga. 16<br />

Tidak dijalankannya prinsip-prinsip asuransi di atas turut menyebabkan sulitnya<br />

pembayaran ganti kerugian terhadap pemegang polis asuransi. Dalam rangka mencegah<br />

permasalahan di atas pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 412/<br />

KMK 06.2003 tentang Test Uji Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test), bagi<br />

pemegang saham, komisaris, dan direksi usaha perasuransian.<br />

Dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 412/KMK 06.2003 tentang Test<br />

Uji Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test), bagi pemegang saham, komisaris, dan<br />

direksi usaha perasuransian maka ada 2 aspek yang akan dinilai, yaitu kompetensi dan<br />

integritas. Adanya Test Uji Kepatutan dan Kelayakan (fit and proper test) diharapkan<br />

organ perusahaan asuransi dapat mengelola perusahaan sesuai dengan prinsip fiduciary<br />

duties yang pada akhirnya dapat memberikan jaminan perlindungan <strong>hukum</strong> bagi pemegang<br />

polis asuransi. Apalagi saat ini banya produk-produk asuransi yang selain memberikan<br />

ganti kerugian jika terjadi risiko juga sekaligus menawarkan investasi bagi pemegang polis<br />

16<br />

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum<br />

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, hlm. 75.


SUNARMI<br />

VOLUME 132<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

seperti asuransi unit link. Namun seperti produk asuransi yang lain kadangkala asuransi<br />

jenis ini juga merugikan nasabahnya disebabkan kurangnya pengetahuan pemegang polis.<br />

Asuransi yang menunjukkan perkembangan yang signifikan adalah asuransi unit link.<br />

Unit link adalah turunan produk asuransi yang memberikan manfaat investasi kepada<br />

pemegang polisnya. Ini terjadi karena penerbit unit link juga menginvestasikan sebagian<br />

uang premi asuransi ke berbagai instrumen investasi seperti obligasi. Jenis asuransi ini<br />

banyak diminati masyarakat disebabkan banyaknya keuntungan yang akan di dapat<br />

nasabah. Nasabah juga dapat menggelembungkan dananya alias berinvestasi melalui<br />

produk tersebut. Selain perlindungan diri, keuntungan yang bisa di dapat dari produk ini,<br />

yaitu bisa untuk pengembangan dana. Ada berbagai variant instrument investasi yang<br />

bisa dipilih nasabah, seperti cash fund rupiah, fixed income fund rupiah, balance fund<br />

rupiah, dan managed fund US dollar. Selain itu, nasabah dapat menambah cakupan<br />

perlindungan asuransi jiwa yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan.<br />

Namun para pemegang polis asuransi baru bisa menikmati laba dari hasil investasinya<br />

dalam jangka menengah ( 3 – 5 tahun) dan jangka panjang (diatas 5 tahun). Kalau mau<br />

investasi untuk satu tahun dan langsung mau diambil, sangat tidak disarankan untuk<br />

ambil unit link. Jika pemegang polis nekat menarik dananya sebelum jangka waktu itu,<br />

perusahaan asuransi biasanya akan mengenakan penalti (surrender penalty) yang lumayan<br />

besar. Surrende penalty baru hilang setelah 5 tahun. Penalti itu berturut-turut mulai<br />

dari tahun pertama 6 %, kemudian tahun berikutnya 5 %, 4 %, 3 % dan 2 %. Cuma dalam<br />

kondisi darurat, perusahaan-perusahaan asuransi tu biasanya juga menawarkan skema<br />

untuk melakukan perpindahan. Biasanya si agen penjual akan menawari nasabahnya<br />

melakukan switching (perpindahan dana) untuk menjaga kemungkinan kerugian yang<br />

lebih besar. Sebelum membeli sebuah produk unit link, sebaiknya ditanyakan seluk beluk<br />

produk itu secara detil. Soalnya, varian produk unit link sangat banyak.<br />

Menyangkut penyetoran premi, misalnya ada yang menentukan cukup sekali setor,<br />

ada pula yang menerapkan sistem setoran bertahap. Jenis asuransi yang diberikan juga,<br />

tidak melulu asuransi jiwa. Portofolio investasinya juga sudah pasti tidak sama. Harus<br />

juga ditanyakan cara membaca hasil kinerja unit link yang diumumkan di koran-koran.<br />

Pasalnya, para manajer investasi memang melaporkan perkembangan investasi mereka<br />

dalam bentuk harga unit link perunit – mirip nilai aktiva bersih (NAB) perunit reksadana.<br />

Tapi pengumumnya tidak standar. Ada yang mengumumkan harga perunit secara berkala<br />

mingguan, harian atau dua kali dalam seminggu.<br />

Metode pelaporan yang berbeda-beda ini membuat kita kebingungan pada saat ingin<br />

membandingkan hasil investasi unti link yang satu dengan yang lain. Tak ada salahnya<br />

menanyakan juga metode penghitungan investasinya jika dana pemegang polis diinvestasikan<br />

di obligasi. Pasalnya, pengelolaan portofoplio investasi unit link tidak setransparan<br />

reksadana. Akibatnya, tidak ada yang bisa menjamin penilaian portofolio<br />

obligasi mereka sudah mencerminkan nilai pasar (market to market). Ini memang<br />

tergantung manajer investasinya. Jadi kalau memilih produk unit link perhatikan juga<br />

siapa manajer investasinya. Produk unit link seperti Equity Protection merupakan solusi<br />

berinvestasi pada instrumen saham, dengan jaminan pengembalian investasi awal pada<br />

akhir kontrak. Investasi dana dalam equity protection ini akan ditempatkan dalam instru-


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

133<br />

men saham melalui Manulife Dana Ekuitas yang akan dikelola oleh Manajer investasi<br />

Manulife Aset Manajemen Indonesia.<br />

Pemegang polis selaku konsumen merasa dijanjikan hasil investasi yang cukup menarik<br />

bila membeli produk tersebut, nyatanya ketika terjadi gonjang-ganjing di pasar reksadana,<br />

produk ini ikut terkena dampaknya, sehingga dana investasi yang dimiliki konsumen malah<br />

turun. Konsumen kurang paham dan agen kurang menjelaskan lebih rinci risiko dari produk<br />

tersebut. Padahal unit link itu investasi yang ada proteksinya, bukan proteksi yang<br />

memiliki investasi. 17<br />

D. Peran Regulator<br />

Menghadapi permasalahan di bidang asuransi, regulator memiliki peranan penting.<br />

Dari segi pengawasan, ada dua pendekatan yang bisa dipakai oleh regulator yaitu<br />

compliance approach dan risk base supervisison (RBS). Bila dikaitkan dengan risiko maka<br />

RBS bisa dilakukan untuk mengukur tingkat risiko perusahaan, ukurannya, misalnya RBC.<br />

Juga bisa dilihat dari banyaknya pengaduan yang masuk terhadap perusahaan. Mesti<br />

dicermati perusahaan-perusahaan yang banyak menerima pengaduan dari tertanggungnya<br />

yang disebabkan dari agen atau staff internal perusahaan.<br />

Regulator belum cukup transparan untuk misalnya mengumumkan kepada masyarakat<br />

agar tidak membeli asuransi dari perusahaan X atau mengumumkan perusahaan X tidak<br />

boleh beroperasi lagi. Semestinya ada tindak lanjut setelah pencabutan izin, apa yang<br />

mesti dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.<br />

Perusahaan-perusahaan yang dalam pengawasan memang diberi kesempatan untuk<br />

memperbaiki kondisi perusahaannya. Bahkan regulator pun mencoba membantu menjembatani<br />

persoalan masing-masing perusahaan. Namun memang tidak mudah mencari<br />

investor bagi perusahaan yang kondisinya sedang sekarat. Untuk itu keberadaan Biro<br />

Mediasi diharapkan bisa menjembatani persoalan antara nasabah dan perusahaan.<br />

E. Penutup<br />

Beradasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara yuridis,<br />

kedudukan <strong>hukum</strong> pemegang polis asuransi adalah orang yang merupakan tertanggung<br />

yang berhak menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena<br />

suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungin<br />

akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.<br />

Perjanjian dalam polis asuransi yang harus didasarkan pada prinsip kebebasan<br />

berkontrak (freedom of contract) yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Hal mana<br />

dalam prinsip ini tidak hanya memberikan kebebasan pada para pihak yang berkontrak<br />

untuk mengajukan klausul perikatan yang disepakati, tetapi juga memberikan kebebasan<br />

bagi para pihak tersebut untuk menyepakati penyelesaian sengketa di luar pengadilan<br />

(arbitrase/mediasi) sebagai alternatif penyelesaian sengketa bilamana atas permasalahan<br />

yang bersangkutan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah oleh para pihak dalam<br />

melaksanakan klausul dalam kontrak tersebut.<br />

17<br />

“Bila Janji Tidak Ditepati”, Investor, Edisi 140, 7 – 20 Februari 2006


SUNARMI<br />

VOLUME 134<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Adapun penyebab mengapa polis tidak dibayar oleh perusahaan asuransi adalah karena<br />

kurangnya pengetahuan masyarakat itu sendiri, selain juga karena faktor agen asuransi.<br />

F. Daftar Pustaka<br />

1. Buku-buku<br />

A.Hasmy Ali, Bidang Usaha Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 1993.<br />

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2002.<br />

Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang Fakultas<br />

Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980.<br />

M. Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, Penerbit Alumni, Bandung, 1993.<br />

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, 1981.<br />

2. Media Massa<br />

Äsuransi Global Kepincut Pesona Asia”, Investor, Edisi 135, 15 – 28 Nopember 2005<br />

“Bila janji tidak ditepati”, Investor, Edisi 140, 7 – 20 Februari 2006<br />

Investor Edisi 132, 27 September – 10 Oktober 2005<br />

“Kepercayaan Publik dan Kasus Dalam Perasuransian”Kompas, 24 Juni 2004<br />

Kontan No. 18 Tahun X, 6 Februari 2006<br />

“LPS hanya Jamin Giro, Tabungan dan Deposito, Waspada, Sabtu 6 Mei 2006.<br />

3. Internet<br />

http://www.danamas.com/asuransi/edu_lifepolis.asp, diakses tgl 2 Oktober 2006.<br />

http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi, diakses tgl 8 Maret 2007.<br />

http://www.<strong>hukum</strong>online.com/klinik_detail.aspid=3250, diakses tgl 8 Maret 2007.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

135<br />

PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK<br />

MASYARAKAT ADAT ATAS TANAH ULAYAT DALAM<br />

UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM NASIONAL<br />

HAYATUL ISMI<br />

Jalan Sirsak 3 Blok C-3 No. 21 Perum Pandau Permai Pekanbaru<br />

Abstrak<br />

Tanah merupakan salah satu asset negara yang<br />

sangat mendasar, karena negara dan bangsa hidup<br />

dan berkembang di atas tanah. Masyarakat Indonesia<br />

memposisikan tanah pada kedudukan yang<br />

sangat penting, khususnya dalam masyarakat <strong>hukum</strong><br />

adat. Namun, hingga kini belum tersedia informasi<br />

lengkap tentang bentang dan batas-batas wilayah<br />

yang dicakup oleh berbagai <strong>hukum</strong> adat tersebut<br />

dalam hal ini hak ulayat. Tulisan ini menyimpulkan<br />

bahwa Hak Ulayat dalam tata <strong>hukum</strong> Indonesia<br />

diakui melalui Undang-Undang Pokok Agraria<br />

yaitu UU No. 5 Tahun 1960. Dalam hal ini pengakuan<br />

yang diberikan Negara bersifat bersyarat dan<br />

berlapis karena pengakuan yang diberikan terhadap<br />

masyarakat <strong>hukum</strong> adat dan hak ulayatnya.<br />

Abstract<br />

Land is represent one of very elementary asset state<br />

of Indonesia because state and nation live and expand<br />

above land. Society of Indonesia position land at<br />

dimiciling very important, specially in society customary<br />

law. But, up to now not yet been made available<br />

by a complete information about unfolding and<br />

boundary of region included by various customary<br />

law of mentioned in this matter is customary right for<br />

land rights. This handing out conclude that rights of<br />

customary right for land in law of Indonesia confessed<br />

by through fundamental code of agraria that is UU<br />

No. 5 year 1960. In this case the confession given by<br />

a state have the character of laminated and condtional<br />

because confession given to society of customary law<br />

and rights of its customary right for land.<br />

Kata kunci: Tanah adat, hak ulayat, agraria.<br />

.<br />

A. Pendahuluan<br />

Dalam salah satu perspektif <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> dikatakan bahwa <strong>hukum</strong> yang baik adalah<br />

<strong>hukum</strong> yang diciptakan berdasarkan <strong>hukum</strong> yang hidup di masyarakat (living law). Hal<br />

ini sebagaimana yang dikemukakan Von Savigny dengan Mahzab Sejarah-nya, bahwa<br />

<strong>hukum</strong> merupakan fenomena historis, sehingga keberadaan setiap <strong>hukum</strong> adalah berbeda,<br />

bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya <strong>hukum</strong>, serta <strong>hukum</strong> harus dipandang<br />

sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa. Mahzab ini diperkuat oleh Mahzab<br />

Sociological Jurisprudence yang mengetengahkan tentang pentingnya living law. 1 Maka<br />

dalam hal ini <strong>hukum</strong> adat yang dikenal di Indonesia merupakan pengaruh pandangan<br />

mahzab ini. Yang dilanjutkan oleh para pemikir-pemikir Belanda yang mengemukakan<br />

tentang teori-teori <strong>hukum</strong> adat seperti halnya Van Vollenhoven, Ter Haar, Holleman dan<br />

lainnya.<br />

Di Indonesia hal ini ditegaskan di dalam Konstitusi Negara yang mengakui keberadaan<br />

masyarakat <strong>hukum</strong> adat, yaitu di dalam Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 yang<br />

menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat<br />

<strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan<br />

perkembangan bangsa, masyarakat, dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik<br />

Indonesia yang diatur dalan undang-undang. Penghormatan dan pengakuan terhadap<br />

1<br />

Lili Rasjidi dan Ira Tahania, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,<br />

2004, hlm. 67.


HAYATUL ISMI<br />

VOLUME 136<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

eksistensi hak ulayat sebagai hak asasi manusia secara implicit juga diatur dalam Pasal<br />

28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (hasil perubahan ke dua UUD 1945 yang<br />

ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000), bahwa identitas budaya dan hak masyarakat<br />

tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, selanjutnya<br />

pada hasil perubahan ke empat UUD 1945, dalam Pasal 32 ayat (1) bahwa Negara<br />

memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin<br />

kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.<br />

Oleh sebab itu Negara perlu mengelola kemajuan masyarakat agar menjadi potensi<br />

dalam pembangunan, bukan menjadi penyebab konflik. Fakta tentang terjadinya konflik<br />

disebabkan oleh kurang profesionalnya pemerintah dalam menata norma <strong>hukum</strong> sehingga<br />

menyebabkan terjadinya konflik dalam pengelolaan sumber daya alam di beberapa<br />

kawasan di Indonesia. 2 Selain konflik normative antara <strong>hukum</strong> adat dengan <strong>hukum</strong> Negara,<br />

juga mengenai penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam yang menjadi<br />

pendukung kehidupan manusia, ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelompok,<br />

kegiatan ekonomi masyarakat dan kepadatan penduduk. Oleh sebab itu hendaknya<br />

pemerintah merespon dan mengakomodasi prinsip-prinsip <strong>hukum</strong> lokal ke dalam tatanan<br />

<strong>hukum</strong> nasional, sebagaimana dimaksud oleh Philips Nonnet dan Selznick, dengan<br />

merespon prinsip-prinsip <strong>hukum</strong> adat yang diformulasikan dan dikemas dalam <strong>hukum</strong><br />

nasional.<br />

Tanah merupakan salah satu asset Negara Indonesia yang sangat mendasar, karena<br />

Negara dan bangsa hidup dan berkembang di atas tanah, masyarakat Indonesia memposisikan<br />

tanah pada kedudukan yang sangat penting, karena merupakan faktor utama<br />

dalam peningkatan produktivitas agraria.<br />

Tingginya konflik dalam pengelolaan sumber daya alam yang terjadi di Indonesia<br />

disebabkan oleh adanya ketimpangan penguasaan Sumber Daya Alam antara masyarakat<br />

yang menggantungkan hidup dari ekonomi berbasis sumber daya alam (tanah, hutan,<br />

perkebunan, jasa lingkungan, dan lainnya) dengan penguasaan oleh sector bisnis, khususnya<br />

sektor industri skala besar perkebunan,kehutanan dan pertambangan dan penguasaan<br />

oleh Negara yang masih menegasi adanya hak-hak masyarakat adat.<br />

Berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga yang bergerak di<br />

bidang isu pengelolaan sumber daya alam yang bernama Scale-Up diperoleh data bahwa<br />

sector perkebunan mendominasi konflik dibandingkan sector kehutanan ataupun<br />

pertambangan. Salah satu pemicu substansial konflik adalah pengabaian terhadap hakhak<br />

masyarakat adat terutama terkait dengan pengakuan terhadap tanah ulayat, masih<br />

terdapat kekacauan regulasi tentang pertanahan.<br />

Menyadari pentingnya manfaat tanah bagi manusia,sekaligus merupakan sumber<br />

daya alam yang tidak dapat diperbarui (unrenewable), maka dalam hal ini pemerintah<br />

dalam berbagai kebijakan telah berupaya untuk mengatur pemanfaatan, peruntukan dan<br />

penggunaan demi kemaslahatan umat manusia di Indonesia. Kebijakan tersebut selain<br />

ditetapkan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang dasar 1945, yang mengatakan bahwa<br />

2<br />

Husen Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas<br />

Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2010, hlm. vii.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

137<br />

bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya<br />

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,<br />

juga dipertegas dalam Pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria yang mengatakan bahwa<br />

Negara Sebagai Organisasi kekuasaan seluruh Rakyat memiliki hak menguasai atas tanahtanah<br />

yang berada di wilayah Republik Indonesia, di sebutkan pula bahwa hak menguasai<br />

ini memberikan kewenangan kepada Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan<br />

peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan hal-hal yang bersangkutan dengan<br />

agraria. Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa kewenangan pengaturan tanah<br />

seluruhnya diserahkan kepada Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan.<br />

Tanah di Indonesia diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria yang di dalamnya<br />

menyerap <strong>hukum</strong> adat, yaitu diakuinya hak ulayat sebagaimana yang tertuang dalam<br />

pasal 5 Undang-undang pokok Agraria yang menyatakan Hukum agraria yang berlaku<br />

atas bumi, air dan ruang angkasa adalah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan<br />

dengan kepentingan nasional dan negara yg berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan<br />

sosialisme indonesia serta dengan peraturan yg tercantum dalam undang-undang ini dan<br />

dengan peraturan-peraturan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur<br />

yang berdasarkan pada <strong>hukum</strong> agama.<br />

Walaupun Undang-Undang Pokok Agraria mengandung nilai-nilai luhur dalam<br />

membela kepentingan rakayat, namun pada tataran implementasi mengalami banyak<br />

hambatan secara politik, ekonomi maupun sosial. 3 Telah banyak peraturan yang secara<br />

hierarkhis ada di bawah undang-undang yang diterbitkan, namun belum terlihat<br />

keberhasilan dari harapan tersebut secara utuh. Bahkan peraturan pelaksana tentang<br />

keagrariaan selama ini belum memberikan jaminan kepastian hokum,perlindungan<br />

hokum,keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat setempat yang sumberdaya agrarian<br />

dan sumberdaya alamnya di eksploitasi pihak lain. Bahkan Achmad Sodiki, menyimpulkan<br />

bahwa meskipun kekayaan alam telah dikuras habis tetapi masyarakat setempat kurang<br />

mendapatkan manfaatnya.<br />

Berkaitan dengan tanah ulayat Undang-undang Pokok Agraria mengatur di dalam<br />

pasal 3 mengatakan bahwa dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2, yaitu<br />

pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hokum<br />

adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai<br />

dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta<br />

tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih<br />

tinggi.<br />

Mencermati hal ini disatu sisi ada pengakuan keberadaan <strong>hukum</strong> adat yang berlaku<br />

sebagai suatu norma yang lahir dan tumbuh dari masyarakat, sekaligus memenuhi perkembangan<br />

modernisasi suatu masyarakat. Namun disisi lain justru terdapat pembatasan<br />

oleh <strong>hukum</strong> pertanahan, karena lebih mewakili kepentingan penguasa dan pengusaha,<br />

Majelis Permusyawaratan Rakyat menganggap perlu melakukan pengkajian ulang<br />

terhadap pengelolaan sumberdaya alam dengan berdasarkan prinsip-prinsip desentralisasi<br />

3<br />

Achmad Sodiki, Penataan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupaten Malang (Studi<br />

tentang Dinamika Hukum). Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1994,<br />

hlm. 5.


HAYATUL ISMI<br />

VOLUME 138<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

serta penghormatan terhadap hak masyarakat adat. 4 Dan pada RPJMN (Rencana<br />

Pembangunan jangka Menegah nasional 2004-2009 melalui Peraturan Presiden No.7<br />

Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden No.39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah<br />

(RKP) Tahun 2006, menetapkan arah kebijakan pembangunan bidang pembinaan system<br />

dan politik <strong>hukum</strong> Indonesia dengan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan<br />

<strong>hukum</strong> adat untuk memperkaya system <strong>hukum</strong> nasional. 5<br />

Sejalan dengan hal tersebut diatas pengakuan hak masyarakat adat dan akses<br />

terhadap sumber daya alam (tanah) juga diakui secara internasional hal ini dapat dilihat<br />

pada hasil konvensi ILO (International Labour Organization) No.169 mengenai bangsa<br />

pribumi dan masyarakat adat di Negara-negara merdeka yang mulai berlaku tanggal 5<br />

September 1991, menetapkan bahwa pemerintah wajib menghormati kebudayaan dan<br />

nilai-nilai spiritual masyarakat asli yang dijunjung tinggi dalam hubungan mereka dengan<br />

lahan (tanah) yang mereka tempati atau gunakan.<br />

Dalam Kepmen Agraria/kepala BPN No.5 tahun 1999,Pasal (1) secara tegas mengatur<br />

bahwa:<br />

“Hak ulayat adalah wewenang yang menurut hokum adat dipunyai oleh masyarakat<br />

hokum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para<br />

warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam<br />

wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,yang timbuil dari<br />

hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara<br />

masyarakat hokum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.<br />

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa hak ulayat harus benar-benar masih ada dan<br />

tidak diberikan peluang untuk menimbulkan kembali hak-hak tersebut, jika secara factual<br />

dalam masyarakat sudah tidak ada lagi. Keberadaan hak ulayat harus diikuti dengan<br />

hubungan antara tanah dan masyarakat. 6 Dengan demikian, selama tanah ulayat tersebut<br />

ada harus dimanfaatkan oleh warga masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan. Tanah<br />

yang dimaksud adalah tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dan mempunyai<br />

hubungan erat antara tanah dengan masyarakat hokum adat. Sedangkan yang dimaksud<br />

masyarakat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan <strong>hukum</strong> adatnya sebagai<br />

warga bersama suatu persekutuan hokum karena kesamaan tempat tinggal atau karena<br />

keturunan yang dikenal dengan berbagai nama setiap daerah.<br />

4<br />

Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam<br />

Pasal 4 bahwa prinsip pengelolaan sumberdaya alam melalui: (a) mengakui, menghormati dan<br />

melindungi hak masyrakat <strong>hukum</strong> adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/<br />

sumber daya alam; (b) mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,<br />

daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;(c)<br />

melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi,<br />

kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya<br />

agrarian/sumber daya alam.<br />

5<br />

Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembanguna Jangka Menengah Nasional 2004-<br />

2009 pada lampiran I angka enam huruf (A0 Permasalahan Pembangunan Nasional menyebutkan<br />

bahwa sebelumnya, konflik (Poso, Maluku, dan Mamasa) tersebut tidak pernah berkembang berskala<br />

luas karena di dalam masyarakat sudah ada berbagai kearifan lokal dan adat istiadat yanga ada di<br />

masyarakat yang dapat menjadi wadah komunikasi dan konsultasi yang bersifat lintas wilayah, agama,<br />

dan lintas keanekaragaman suku bangsa.<br />

6<br />

Husen Alting, Op.Cit, hlm. 24.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

139<br />

Pengertian dan criteria hak ulayat di atas dirumuskan secara restriktif dalam bingkai<br />

hokum Negara, sehingga masyarakat yang sebenarnya menjadi objek pengaturan hak ulayat<br />

justru belum tentu terlibat dalam perumusan ketentuan. Dengan demikian dimungkinkan<br />

ada perbedaan konsepsional antara pengertian dan criteria yang ditetapkan oleh pemerintah,<br />

dengan apa yang ada dan berlaku si masyarakat adat selama ini. Pemahaman masyarakat<br />

yang dilatarbelakangi oleh sikap, nilai dan pandangan pasti mempunyai kriteria tersendiri<br />

menyangkut hak masyarakat adatnya. Untuk itu, perbedaan-perbedaan tersebut perlu<br />

diklarifikasi dan dikompromikan melalui penyelarasan melalui sikap saling terbuka bagi<br />

para pihak untuk menerima kondisi masing-masing secara arif. 7<br />

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa hingga akhir abad ke-20, di Indonesia<br />

masih banyak tersebar tanah-tanah, termasuk hutan yang penguasaannya berdasarkan<br />

aturan tradisional (<strong>hukum</strong> adat), walaupun atauran <strong>hukum</strong> “modern” yang mengatur<br />

pertanahan ini sudah ada sejak zaman penjajahan. Namun, hingga kini belum tersedia<br />

informasi lengkap tentang bentang dan batas-batas wilayah yang dicakup oleh berbagai<br />

<strong>hukum</strong> adat tersebut. Perlu singkronisasi antara <strong>hukum</strong> adat dengan <strong>hukum</strong> tertulis,<br />

sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara <strong>hukum</strong> adat dengan <strong>hukum</strong> tertulis lainnya.<br />

B. Identifikasi Masalah<br />

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang disertasi ini, maka dapat<br />

diidentifikasi masalah pokoknya adalah sebagai berikut:<br />

1. Bagaimana Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat Adat baik<br />

secara Nasional maupun Internasional<br />

2. Bagaimana kedudukan hak ulayat dalam tata <strong>hukum</strong> Indonesia dalam upaya<br />

pembaharuan <strong>hukum</strong> nasional<br />

C. Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak-hak Masyarakat Adat<br />

Secara Nasional dan Internasional<br />

Secara terminologis, “pengakuan” berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui,<br />

sedangkan kata “mengakui” berarti menyatakan berhak. Pengakuan dalam<br />

konteks <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> internasional, misalnya terhadap keberadaan suatu Negara/<br />

pemerintahan biasanya mengarah pada istilah pengakuan de facto dan de yure. Pengakuan<br />

yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan efektif pada<br />

suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto. Pengakuan de facto adalah pengakuan<br />

yang bersifat sementara, karena pengakuan ini ditunjukkan kepada kenyataan-kenyataan<br />

mengenai kedudukan pemerintahan yang baru, apakah ia didukung oleh rakyatnya dan<br />

apakah pemerintahannya efektif yang menyebabkan kedudukannya stabil. Jika kemudian<br />

bias dipertahankan terus dan makin bertambah maju, maka pengakuan de facto akan<br />

berubah dengan sendirinya menjadi pengakuan de jure. Pengakuan de jure bersifat tetap<br />

yang diikuti dengan tindakan tindakan <strong>hukum</strong> lainnya. 8 Sedangkan pengakuan secara<br />

7<br />

Husen Alting, Ibid, hal. 20.<br />

8<br />

Moh. Kusnadi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang<br />

Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, 1989, hlm. 82-83.


HAYATUL ISMI<br />

VOLUME 140<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

<strong>hukum</strong> (de jure) adalah pengakuan suatu Negara terhadap Negara lain yang diikuti dengan<br />

tindakan-tindakan <strong>hukum</strong> tertentu, misalnya pembukaan hubungan diplomatic dan<br />

pembuatan perjanjian antarkedua Negara.<br />

Dalam buku General Theory of Law and State, Hans Kelsen 9 menguraikan terminology<br />

“pengakuan” dalam kaitannya dengan keberadaan suatu Negara sebagai berikut:<br />

Terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan<br />

<strong>hukum</strong>. Tindakan politik mengakui suatu Negara berarti Negara mengakui<br />

berkehendak untuk mengadakan hubungan-hubungan politik dan hubunganhubungan<br />

lain dengan masyarakat yang diakuinya. Sedangkan tindakan <strong>hukum</strong> adalah<br />

prosedur yang dikemukakan diatas yang ditetapkan oleh <strong>hukum</strong> internasional untuk<br />

menetapkan fakta Negara (masyarakat adat) dalam suatu kasus kongrit.<br />

Berdasarkan rujukan diatas, dalam kaitannya dengan pengertian pengakuan dan<br />

perlindungan terhadap masyarakat <strong>hukum</strong> adat atas tanah, pengakuan terhadap<br />

masyarakat <strong>hukum</strong> adat atas tanah mengarah pada penegrtian pengakuan dari Negara/<br />

pemerintah baik secara politik maupun secara <strong>hukum</strong>, melalui pengaturan hak dan<br />

kewajiban pemerintah dalan memberikan penghormatan,kesempatan dan perlindungan<br />

bagi berkembangnya masyarakat <strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak tradisional yang dimiliki<br />

dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan tersebut menunjukkan<br />

bahwa Negara/pemerintah telah mengakui, menyatakan sah/benar atau menyatakan<br />

masyarakat <strong>hukum</strong> adat berhak atas sumberdaya alam yang dimiliki dan mewajibkan<br />

pemerintah untuk melinduingi hak-hak tersebut dari ancaman/gangguan pihak lain.<br />

Pengakuan tersebut merupakan pengakuan yang diformulasikan dalam bentuk <strong>hukum</strong><br />

Negara twerhadap hak masyarakat <strong>hukum</strong> adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya.<br />

Pengakuan melalui <strong>hukum</strong> Negara (<strong>hukum</strong> positif, menurut Austin diartikan<br />

sebagai <strong>hukum</strong> yang dibuat oleh orang atau lembaga lembaga yang memiliki kedaulatan,<br />

dan pengakuan tersebut diberlakukan terhadap anggota-anggota masyarakat politik yag<br />

merdeka (independet political society). Anggota masyarakat tersebut mengakui<br />

kedaulatan atau supremitas yang dimiliki orang atau lembaga-lembaga pembuat <strong>hukum</strong><br />

yang bersangkutan. Denga demikian, kebiasaan menurutnya hanya akan berlaku sebagai<br />

<strong>hukum</strong> jika undang-undang menghendaki atau menyatakan dengan tegas atas keberlakuan<br />

kebiasaan tersebut. 10<br />

Konsepsi Austin tentang penetapan melalui <strong>hukum</strong> Negara sebagai satu-satunya<br />

<strong>hukum</strong> yang mengatur kehidupan masyarakat, tersebut dikritik oleh para pengikut<br />

mazhab sejarah yang meyakini bahwa setiap masyarakat memiliki cirri khas masingmasing<br />

tergantung pada riwayat hidup dan struktur sosial yang hidup dan berkembang<br />

untuk mengatur kepentingan-kepentingan mereka. Menurut Friedrich Carl von Savigny<br />

(sebagai tokoh utama mazhab sejarah) bahwa <strong>hukum</strong> merupakan salah satu factor dalam<br />

kehidupan bersama suatu bangsa seperti bahasa, adat, moral, tata negara. Oleh karena<br />

itu, <strong>hukum</strong> adalah sesuatu yang bersifat supra individual, suatu gejala masyarakat. Tetapi<br />

9<br />

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, hlm. 222.<br />

10<br />

Austin, dalam Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,<br />

Bandung, 2002, hlm. 2.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

141<br />

suatu masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dengan sejarah dan lenyap dalam<br />

sejarah. Lepas dari perkembangan masyrakat tidak terdapat <strong>hukum</strong> sama sekali. 11<br />

Friedrich Carl Von Savugny melihat <strong>hukum</strong> sebagai fenomena historis, sehingga<br />

keberadaan setiap <strong>hukum</strong> adalah berbeda, bergantung kepada tempat dan waktu berlakunya<br />

<strong>hukum</strong>. Hukum harus dipandang sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu<br />

bangsa (volksgeist). 12<br />

Konsep <strong>hukum</strong> yang hidup di dalam jiwa masyarakat (volksgeist) dari Friedrich Carl<br />

Von Savigny, dipertegas oleh penggagas sosiologi <strong>hukum</strong> Eugene Ehrlich yang menyebutkan<br />

dengan fakta-fakta <strong>hukum</strong> (fact of law) dan <strong>hukum</strong> yang hidup dalam masyarakat (living<br />

law of people). Untuk itu, teori living law dari Eugene Ehrlich menyatakan dalam setiap<br />

masyarakat terdapat aturan-aturan <strong>hukum</strong> yang hidup (living law). Semua <strong>hukum</strong><br />

dianggap sebagai <strong>hukum</strong> sosial, dalam arti bahwa semua hubungan <strong>hukum</strong> ditandai oleh<br />

factor-faktor sosial ekonomi. Kenyataan <strong>hukum</strong> social yang melahirkan <strong>hukum</strong>,termasuk<br />

dunia pengalamn manusia, dan dengan demikian ditanggapi sebagai ide normatif. Terdapat<br />

empat jalan agar kenyataan-kenyataan yang anormatif menjadi normatif, yakni:<br />

1. Kebiasaan<br />

2. Kekuasaan efektif<br />

3. Milik efektif<br />

4. Pernyataan kehendak pribadi.<br />

Kenyataan social lebih dilihat dari aspek ekonomi,dimana ekonomi merupakan basis<br />

seluruh kehidupan manusia, maka ekonomi bersifat menentukan bagi aturan kehidupan.<br />

Dari kebutuhan ekonomi manusia menjadi sadar, lalu timbul <strong>hukum</strong> secara langsung,itulah<br />

<strong>hukum</strong> yang hidup, sebab <strong>hukum</strong> tidak merupakan suatu aturan diatas anggota-anggota<br />

masyarakat, melainkan diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. 13<br />

Ini merupakan teori Sociologikcal Jurisprudence,selain dipelopori oleh Eugen Ehhrlich<br />

juga oleh beberapa ahli yakni Roscoe Pound,Benyamin Cardozo, Kantorowics,Gurvitch<br />

dan lain-lain. Inti pemikiran mahzab ini yang berkembang di Amerika; “Hukum yang<br />

baik adalah <strong>hukum</strong> yang sesuai dengan <strong>hukum</strong> yang hidup di dalam masyarakat”. Artinya<br />

bahwa <strong>hukum</strong> itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Mahzab ini<br />

mengetengahkan tentang pentingnya Living –Law-<strong>hukum</strong> yang hidup di dalam<br />

masyarakat. Dan kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese<br />

dari thesenya, yaitu positivism <strong>hukum</strong> anthithesenya mazhab sejarah. 14<br />

Jadi pengakuan hak masyarakat <strong>hukum</strong> adat atas tanah tidak hanya terbatas pada<br />

bentuk pengakuan dalam <strong>hukum</strong> Negara, tetapi karena secara factual masyarakat<br />

Indonesia bersifat majemuk (plural) 15 . Maka pengakuan juga dapat diperoleh melalui<br />

11<br />

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 118<br />

12<br />

Otje Salman Soemadiningrat, Op.Cit, hlm. 3.<br />

13<br />

Theo Huijbers, Op.Cit, hlm. 213-214<br />

14<br />

Lili Rasjidi dan Ira Thania, Op.Cit, hlm. 66-67.<br />

15<br />

Menurut Moch. Munir, Op.cit, hlm. 3-4, bahwa kemajemukan masyarakat terjadi karena berbagai<br />

sebab yakni adanya berbagai macam suku bangsa dan agama yang dianut oleh masyarakat,adanya<br />

ikatan bersifat primordial dan pengalaman historis yang berbeda dari masyarakat yang bersangkutan.<br />

Kemajemukan masyarakat tersebut mengakibatkan terjadinya pluralism <strong>hukum</strong> dalam bidang social<br />

budaya dan <strong>hukum</strong> yang dapat berpengaruh terhadap perubahan-perubahan yang sedang berlangsung.


HAYATUL ISMI<br />

VOLUME 142<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

<strong>hukum</strong> yang hidup dalam masyarakat yaitu <strong>hukum</strong> adat. Hal ini selaras dengan pendapat<br />

Van Vollenhoven bahwa system pemberlakuan <strong>hukum</strong> adat tidak didasarkan pada<br />

peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau alat kekuasaan lainnya,yang<br />

menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda, melainkan pada tindakantindakan<br />

yang oleh adat dan oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat, disamping<br />

itu penduduk memiliki keyakinan yang sama menyatakan bahwa aturan-aturan adat harus<br />

dipertahankan oleh kepala adat dan petugas-petugas lainnya dan memiliki sanksi. 16<br />

Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh soedikno yaitu :<br />

1. Teori kekuatan (machtstheorie) <strong>hukum</strong> mempunyai kekuatan berlaku secara<br />

sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,terlepas dari diterima<br />

ataupun tidak oleh warga masyarakat.<br />

2. Teori Pengakuan (anerkennungstheorie) <strong>hukum</strong> mempunyai kekuatan berlaku<br />

sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat. 17<br />

Pengakuan tersebut ditetapkan juga dalam konstitusi Negara Indonesia yaitu dalam<br />

Pasal 18 B Undang-undang 1945 bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan<br />

masyarakat <strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup<br />

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan<br />

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, dan selanjutnya dalam Pasal 28 I<br />

ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras<br />

dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dan pada perubahan keempat UUD 1945<br />

ditetapkan juga di dalam Pasal 32 ayat (1) bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional<br />

Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam<br />

memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.<br />

Selain yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan nasional, pengakuan hakhak<br />

masyarakat adat secara Internnasional akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat.<br />

Salah satu puncak penghormatan terhadap keberadaan masyarakat <strong>hukum</strong> adat pada<br />

tahun 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang merupakan tindak lanjut dari<br />

rangkaian kesepakatan konvensi-konvensi dunia yang menekankan pentingnya pemerintah<br />

Negara-negara anggota PBB untuk segera melaksanakan pemebrdayaan<br />

masyarakat <strong>hukum</strong> adat.<br />

Bukan hanya peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur mengenai<br />

pengakuan akan hak-hak masyarakat adat,tetapi juga pengakuan dan dukungan dari<br />

masyarakat internasional. Ada sejumlah perjanjian internasional baik yang sifatnya<br />

mengikat maupun tidak yang mengaturnya. Sampai saat ini minimal ada 19 jenis dukungan<br />

internasional terhadap komunitas adat melalui perjanjian perjanjian internasional<br />

diantaranya, perlindungan terhadap hak-hak azasi, hak untuk berkumpul, hak ats atanah<br />

dan territorial, kebebasan beragama, kepemilikan intelektual, hak kepemilikan adat,<br />

pengakuan tat ruang adat dan lain sebagainya.<br />

16<br />

Van Vollenhoven,dalam Otje Salman, Op.Cit, hlm. 10.<br />

17<br />

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm. 87.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

143<br />

D. Kedudukan Hak Ulayat dalam Tata Hukum Indonesia<br />

Bentuk <strong>hukum</strong> penguasaan tanah oleh masyarakat adat atau dikenal dengan hak<br />

ulayat di Indonesia cukup beragam. Hak ulayat merupakan istilah yang digunakan secara<br />

yuridis dan umum, walaupun sesungguhnya pada setiap persekutuan masyarakat <strong>hukum</strong><br />

adat istilah yang digunakan berbeda-beda. Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim<br />

nengemukakan bahwa hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indonesia<br />

dapat dibedakan atas dua bentuk yaitu ‘hak ulayat’ dan ‘hak pakai’. Hak ulayat merupakan<br />

hak meramu atau mengu,mpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat<br />

bersifat komunal, pada hakikatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai<br />

sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu,seseorang<br />

berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi<br />

bkan beraryti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak<br />

ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat<br />

baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya<br />

atas tanah ulayat tersebut, sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai<br />

sebidang tanah bagi kepentingannya,biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang<br />

telah dibuka dan dikerjakan terus menerus dalam waktu yang lama. 18<br />

Berdasarkan kajian sejarah, ternyata eksistensi hak adat (hak ulayat) sudah lebih<br />

dahulu diakui dibandingkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Maria W Sumardjono<br />

menyatakan pengakuan hak ulayat adalah wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat<br />

<strong>hukum</strong> adat telah ada sebelum terbentuk Negara Republik Indonesia tanggal 17 agustus<br />

1945. 19 Menurut Maria W Sumardjono untuk menentukan ukuran hak ulayat perlu<br />

ditentukan tiga ciri pokok:<br />

1. adanya masyarakat <strong>hukum</strong> adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek<br />

hak ulayat<br />

2. tanah/wilayah dengan batasan-batasan tertentu yang merupakan subjek hak ulayat<br />

3. adanya kewenangan masyarakat <strong>hukum</strong> untuk melakukan tindakan-tindakan<br />

tertentu sebagaimana yang telah ditentukan.<br />

Pengakuan terhadap tanah ulayat juga terlihat pada Kongres Pemuda Indonesia pada<br />

tanggal 28 Oktober 1928 yang mencantumkan penghormatan terhadap <strong>hukum</strong> adat. Dalam<br />

perkembangannya bangsa Indonesia secara sadar telah melakukan pengaturan secara<br />

normatif terhadap eksistensi hak ulayat masyarakat <strong>hukum</strong> adat. Penghormatan eksistensi<br />

<strong>hukum</strong> adat dan hak ulayat sebagai hak asasi manusi, serta identitas budaya dan<br />

hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 20 Seperti<br />

yang terdapat dalam Pasal 6 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 sebagai berikut:<br />

1. Dalam rangka penegakan HAM,perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat <strong>hukum</strong><br />

adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh <strong>hukum</strong>,masyarakat dan pemerintah<br />

2. Indentitas budaya masyarakat <strong>hukum</strong> adat termasuk hak atas tanah ulayat<br />

dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.<br />

18<br />

Purbacaraka, Purnadi dan Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia, 1993<br />

19<br />

Maria.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan; Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001,<br />

hlm. 54.<br />

20<br />

Moh. Koesnoe, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya,<br />

1979, hlm. 102.


HAYATUL ISMI<br />

VOLUME 144<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Penegasan <strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak atas tanah ulayat pada masyarakat <strong>hukum</strong><br />

adat sebagai suatu hak dasar (asasi) manusia merupakan suatu kemajuan dari segi<br />

perlindungan yang diberikan oleh konstitusi maupun peraturan di bawahnya. Kemajuan<br />

ini diharapkan bukan hanya pada tataran perumusan kebijakan akan tetapi pada<br />

implementasi harus benar-benar dijalankan.<br />

Pengakuan <strong>hukum</strong> terhadap masyarakat adat di Indonesia, sejak pasca kemerdekaan<br />

sampai saat ini telah mengalami 4 fase pengakuan, pertama; setelah Indonesia merdeka<br />

tahun 1945, pendiri negara ini telah telah merumuskan dalam konstitusi negara (UUD<br />

1945) mengenai pengakuan terhadap masyarakat adat. Di dalam UUD 1945 dikatakan<br />

bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah dengan susunan asli<br />

(zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun dan nagari, hal ini<br />

merupakan bentuk pengakuan dari UUD 1945 yang tidak terdapat dalam kontitusikonstitusi<br />

yang pernah berlaku di Indonesia seperti UUD RIS dan UUDS.<br />

Kedua; pengakuan <strong>hukum</strong> terhadap masyarakat <strong>hukum</strong> adat terjadi pada tahun 1960<br />

dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang<br />

Pokok Agraria (UUPA). Pengakuan terhadap masyarakat <strong>hukum</strong> adat dan hak ulayat<br />

dilakukan sepanjang menurut kenyataan masih eksis serta sesuai dengan kepentingan<br />

nasional dan selaras dengan perundang-undangan diatasnya. Konsep pengakuan dalam<br />

UUPA berbeda dengan konsep pengakuan dalam UUD 1945 karena konsep pengakuan<br />

dalam UUPA adalah konsep pengakuan bersyarat.<br />

Ketiga; pada awal rejim Orde Baru dilakukan legislasi terhadap beberapa bidang<br />

yang terkait erat dengan Masyarakat Hukum Adat dan Hak-haknya atas tanah seperti,<br />

Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan Undang-undang No. 11 Tahun<br />

1966 Tentang Pertambangan. Dalam kedua undang-undang ini mengatur pengakuan<br />

terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih ada. Yang kemudian pada<br />

perkembangannya setiap peraturan perundang-undangan yang dilegislasi pada masa Orde<br />

Baru selalu mensyaratkan pengakuan apabila memenuhi unsur-unsur: (1) dalam<br />

kenyataan masih ada; (2) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; (3) tidak<br />

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (4) ditetapkan<br />

dengan peraturan daerah, konsep ini dikenal dengan nama konsep pengakuan bersyarat<br />

berlapis. Yang intinya untuk diakui eksistensinya suatu Masyarakat Hukum Adat harus<br />

memenuhi syarat sosiologis, politis, normatif yuridis dan prosedural (ditetapkan dengan<br />

Peraturan Daerah), dengan demikian pengakuan <strong>hukum</strong> tersebut tidak memberikan<br />

kebebasan bagi masyarakat adat melainkan memberikan batasan-batasan.<br />

Keempat; pasca reformasi UUD 1945 diamandemen, pada amandemen kedua tahun<br />

2000 dihasilkan pengaturan pengakuan masyarakat <strong>hukum</strong> adat dan hak-haknya.<br />

Berdasarkan ketentuan pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Amandemen Kedua, pasal 41 Tap.<br />

MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia II. Piagam HAM, pasal 6 Undangundang<br />

No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan ketentuan undang-undang lain yang terkait,<br />

maka dapat ditarik benang merah bahwa pengakuan terhadap masyarakat <strong>hukum</strong> adat<br />

dan hak-hak tradisionalnya pada masa reformasi masih menerapkan pola pengakuan yang<br />

sama dengan Orde Baru yaitu pengakuan bersyarat berlapis.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

145<br />

E. Penutup<br />

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat di Indonesia dipengaruhi<br />

oleh beberapa pandangan, yaitu pandangan dari mahzab sejarah yang mengatakan bahwa<br />

<strong>hukum</strong> itu merupakan fenomena historis, bahwa <strong>hukum</strong> merupakan salah satu faktor dalam<br />

kehidupan bersama suatu bangsa seperti bahasa, adat, moral, dan tata negara. Oleh karena<br />

itu, <strong>hukum</strong> adalah sesuatu yang bersifat supra individual,suatu gejala masyarakat, suatu<br />

masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dengan sejarah dan lenyap dalam sejarah.<br />

Lepas dari perkembangan masyarakat tidak terdapat <strong>hukum</strong> sama sekali, yang kemudian<br />

disempurnakan dengan teori sociological jurisprudence yang mengetengahkan pentingnya<br />

<strong>hukum</strong> yang hidup dalam masyarakat.<br />

Pasal 18 B UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati<br />

kesatuan-kesatuan masyarakat <strong>hukum</strong> adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang<br />

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara<br />

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal<br />

28 I ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati<br />

selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Secara internasional keberadaan<br />

masyarakat <strong>hukum</strong> adat diakui dalam beberapa konvensi internasional antara lain konvensi<br />

ILO 9International Labour Organization No. 169 Tahun 1989.<br />

Eksistensi masyarakat <strong>hukum</strong> adat beserta hak tradisionalnya sangat tergantung<br />

oleh syarat yang diberikan negara, yakni sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan<br />

zaman, dan sesuai dengan prinsip NKRI dan diatur oleh undang-undang. Hal<br />

ini menunjukkan bahwa <strong>hukum</strong> negara lebih superior dibandingkan dengan <strong>hukum</strong> adat,<br />

keberadaan <strong>hukum</strong> adat bergantung sekali dengan belas kasihan undang-undang. Di dalam<br />

konstitusi <strong>hukum</strong> adat beserta hak tradisionalnya dipandang sebagai hak konstitusional<br />

sekaligus sebagai hak asasi manusia, dengan demikian sebagai pembaharuan <strong>hukum</strong> nasional<br />

sepantasnya <strong>hukum</strong> adat ditempatkan pada kedudukan yang sejajar dengan undangundang.<br />

Kesejajaran ini akan memberikan alternatif bagi masyarakat <strong>hukum</strong> adat maupun<br />

pihak luar untuk melakukan pilihan <strong>hukum</strong> ketika terjadi suatu hubungan <strong>hukum</strong> yang<br />

mengatur kepentingan-kepentingan mereka.<br />

F. Daftar Pustaka<br />

Achmad Sodiki, Kebijakan Sumberdaya Alam dan Implikasi Juridisnya pasca-TAP MPR<br />

NO. IX/MPR/2001 dan Keppres No.34 Tahun 2003, makalah disampaikan dalam<br />

Seminar Nasional “Eksistensi dan Kewenangan BPN Pasca-Keputusan Presiden No.34<br />

Tahun 2003”. Malang.<br />

————————, Eksistensi Hukum Adat; Konseptualisasi, Politik Hukium dan<br />

Pengembangan Pikiran Hukum Sebagai upaya Perlindungan Hak Masyarakat Adat.<br />

Disampaikan pada “Seminar Eksistensi Hukum Adat dalam Politik Hukum di<br />

Indonesia”. Fakultas <strong>hukum</strong> Universitas Brawijaya, Malang, 2004.<br />

—————————, Masalah Konflik Peraturan Perundang-undangan dan Konflik di<br />

Lapangan Agraria dan Usulan Penanganannya (Mencari Format Penangan Konflik<br />

Agraria dalam rangka Implementasi TAP MPR No. IX/MPR/2001). Makalah<br />

disampaikan sebagai Penanggap Utama dalam “Seminar Nasional Strategi Pelaksanaan


HAYATUL ISMI<br />

VOLUME 146<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Pembaharuan Agraria”, 26 September 2002.<br />

—————————, Penataan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan<br />

Kabupaten Malang (Studi Tentang Dinamika Hukum). Disertasi Program Pasca<br />

Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1994<br />

B. Malinowski, Crime and costom in Sarage Society. Paterson N.J, Littlefield, 1959.<br />

Husen Alting, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat<br />

Hukum Adat Atas Tanah (Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), Yogyakarta:<br />

LaksBang PRESSindo, 2010<br />

Holleman, F.D. 1923. Het Adat Grondenrech van Ambon en de Deliasers, Dalam Soplantila,<br />

H.M et.al. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan tanah Secara Tradisional,<br />

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1992.<br />

Ikhsan Malik, Menyeimbang Kekuatan, Pilihan Strategis Menyelesaikan Konflik Atas<br />

Sumber Daya Alam. Jakarta: Yayasan Kemala, 2003.<br />

Lili Rasjidi dan Ira Tahania, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra<br />

Aditya Bakti., 2004.<br />

Maria S Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas,<br />

2008<br />

——————————, Kebijakan Pertanahan; Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta,<br />

Buku Kompas, 2001<br />

Moch. Munir, Penggunaan Pengadilan Negeri sebagai Lembaga Untuk Menyelesaikan<br />

Sengketa Dalam Masyasrakat, (Disertasi) Universitas Airlangga, Surabaya. 1997.<br />

Mochtar Kusumaatmadja, Kerangka Penegakan Hukum Nasional, Bandung: Alumni,1995.<br />

Moh.Koesnoe, Hukum Adat; Dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Soalannya<br />

Menghadapi Era Globalisasi, Surabaya: Ubara Press, 1996.<br />

Moh. Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini, Surabaya: Airlangga<br />

University Press, 1979.<br />

Moh. Kusnadi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem<br />

Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Gramedia,1989.<br />

Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung:<br />

Alumni, 2002.<br />

Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat dan masalah serta kelestarian lingkungan<br />

Hidup di Indonesia. Artikel utama dalam jurnal Wacana HAM, Media Pemajuan Hak<br />

Asasi Manusia, Nomor.10/Tahun II/12 Juni 2002, Jakarta.<br />

Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1978.<br />

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.<br />

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberti, 2002.<br />

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.<br />

W,Friedmann, Legal Theory, Steven & Sons Limited, London, 1960.<br />

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

147<br />

ARAH KEBIJAKAN HUKUM POLITIK EKONOMI<br />

MARDALENA HANIFAH<br />

Jalan Thamrin III No. 4 Gobah Pekanbaru<br />

Abstrak<br />

Hukum dan ekonomi merupakan penopang dari<br />

pembangunan sehingga keduanya harus bisa serasi<br />

dan disejajarkan demi kepentingan rakyat. Maka<br />

itu arah kebijakan <strong>hukum</strong> politik ekonomi harus<br />

merupakan sesuatu yang mempunyai nilai guna<br />

agar tujuan <strong>hukum</strong> dapat dicapai. Karena <strong>hukum</strong><br />

dibentuk dan dibangun untuk mengatur bagaimana<br />

<strong>hukum</strong> tersebut dapat mengatur prilaku<br />

bisnis yang dilakukan oleh investor agar kegiatan<br />

ekonomi yang mereka buat mendapat perlindungan<br />

oleh <strong>hukum</strong>, untuk menjamin terdapatnya<br />

perlindungan <strong>hukum</strong> maka dibentuklah sebuah<br />

kaedah <strong>hukum</strong> dalam bidang investasi dalam bentuk<br />

perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi,<br />

traktat, dan kesepakatan-kesepakatan lainnya untuk<br />

menentukan arah kebijakan <strong>hukum</strong> politik ekonomi.<br />

Abstract<br />

Law and economics are the pillars of development so<br />

that both must be matched and aligned with the interests<br />

of the people. Thus the legal policy direction of<br />

economic policy should be something that has value<br />

in order for legal purposes can be achieved. Since the<br />

law was established and developed to regulate how<br />

these laws can regulate business behavior by investors<br />

that the economic activities which they have given<br />

protection by law, to ensure the presence of legal protection<br />

will be established a rule of law in the areas of<br />

investment in the form of legislation, doctrine, jurisprudence,<br />

treaties and other agreements to determine<br />

the political direction of economic policy of the law.<br />

Kata kunci: Arah kenijakan, politik-ekonomi.<br />

A. Pendahuluan<br />

Interaksi pembangunan <strong>hukum</strong> dan pembangunan ekonomi dirasa perlu diserasikan.<br />

Ini berarti perkembangan kegiatan ekonomi dirasa perlu diserasikan. Ini berarti<br />

perkembangan kegiatan ekonomi yang relatif lebih pesat selama ini, perlu diikuti dengan<br />

perkembangan pengaturan <strong>hukum</strong>nya. Beberapa kegiatan ekonomi yang baru banyak<br />

yang belum ada peraturan perundang-undangannya yang ada tidak lagi memberi<br />

kepastian secara mantap. Pada dasarnya pengkajian <strong>hukum</strong> ekonomi diarahkan untuk<br />

meningkatkan daya dukung <strong>hukum</strong>/peraturan perundang-undangan yang mengatur<br />

kegiatan ekonomi. Kelengkapan perangkat <strong>hukum</strong> atau peraturan perundang-undangan<br />

ini akan memberi kepastian <strong>hukum</strong> bagi pelaksanaan hubungan <strong>hukum</strong> yang menciptakan<br />

hak dan kewajiban bagi para subjek <strong>hukum</strong>, pada umumnya, serta dalam hubungan<br />

kegiatan ekonomi pada khususnya. 1<br />

Hukum dan ekonomi harus berjalan dalam suatu wadah yang harmonisasi dan<br />

diarahkan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Penciptaan kebijakan deregulasi<br />

ekonomi sangat dipengaruhi suhu suatu negara, bagaimana negara saat itu, amankah,<br />

dipengaruhi bangsa lain atau bisa berpijak dalam aturan yang digariskan oleh suatu negara.<br />

Gerak ritme perekonomian suatu negara sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemuka<br />

negara membuat kebijaksanaan tentang arah ekonomi negaranya itu sendiri. Kalau<br />

dikatakan <strong>hukum</strong> ekonomi adalah hasil pemikiran pakar ekonomi, <strong>hukum</strong> dan politisi<br />

mungkin juga benar.<br />

Inilah yang menjadi bahan persandingan bahwa <strong>hukum</strong>, politik dan ekonomi bisa<br />

1<br />

Sumantoro, Hukum Ekonomi, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 23.


MARDALENA HANIFAH<br />

VOLUME 148<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

menjadi suatu produk <strong>hukum</strong> yang bernilai sebagai kebijakan yang harus ditaati oleh<br />

seluruh warga negaranya.Kedudukan politik <strong>hukum</strong> secara harfiah dalam ekonomi suatu<br />

negara seperti sebuah simbiosis mutualisme yang saling terkait. Jika politik <strong>hukum</strong><br />

dilakukan berarti secara tidak langsung akan terjadi pembaharuan kebijakan ekonomi.<br />

Pembangunan <strong>hukum</strong> harus menunjukkan bahwa pembangunan harus menjadi alat<br />

legitimasi dan pengaman bagi pembangunan ekonomi. 2 Hal itu terlihat dari pertumbuhan<br />

pranata <strong>hukum</strong>, nilai dan prosedur, perundang-undangan dan birokrasi penegak <strong>hukum</strong><br />

yang bukan hanya mencerminkan <strong>hukum</strong> sebagai kondisi-kondisi dari proses pembangunan<br />

melainkan juga menjadi penopang yang tangguh atas struktur politik, ekonomi<br />

dan sosial. 3<br />

B. Perumusan Masalah<br />

Dari latar belakang di atas dapat dikemukakan masalah:<br />

1. Bagaimanakah arah kebijakan politik <strong>hukum</strong> di bidang ekonomi<br />

2. Bagaimana konfigurasi politik <strong>hukum</strong> terhadap ekonomi<br />

C. Pembahasan<br />

1. Arah Kebijakan Politik Hukum di bidang Ekonomi<br />

Perkembangan <strong>hukum</strong> dan ekonomi sangat berkaitan dengan perkembangan dan<br />

usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Usaha manusia tersebut ditunjang<br />

dengan perkembangan teknologi, besarnya interaksi, dan ketersediaan sumber daya alam.<br />

Ilmu <strong>hukum</strong> dan <strong>ilmu</strong> ekonomi selalu dinamis dengan perubahan-perubahan yang<br />

diinginkan oleh pasar agar pasar dapat menerima dan menerapkannya untuk kebutuhan<br />

praktis. Dalam ajaran sosilogis yurisprodence dilihat besarnya pengaruh praktis dalam<br />

bidang ekonomi dalam melakukan pembentukan <strong>hukum</strong> seperti diperkenankannya<br />

diterapkan beberapa doktrin-doktrin, dan beberapa traktat dalam bidang ekonomi sebagai<br />

sumber <strong>hukum</strong> yang mengatur prilaku ekonomi.<br />

Menurut Pound, bahwa <strong>hukum</strong> secara fungsional bertujuan sebagai sarana untuk<br />

merekayasa sosial (“law as a tool social enginering”), ini dapat dibenarkan bahwa <strong>hukum</strong><br />

akan digunakan untuk maksud-maksud tertentu sesuai dengan tujuan <strong>hukum</strong> (teori<br />

fungsional <strong>hukum</strong>). Contohnya <strong>hukum</strong> dibentuk dan dibangun untuk mengatur bagaimana<br />

<strong>hukum</strong> tersebut dapat mengatur prilaku bisnis yang dilakukan oleh investor agar kegiatan<br />

ekonomi yang mereka buat mendapat perlindungan oleh <strong>hukum</strong>, untuk menjamin<br />

terdapatnya perlindungan <strong>hukum</strong> maka dibentuklah sebuah kaedah <strong>hukum</strong> dalam bidang<br />

investasi dalam bentuk perundang-undangan, doktrin, yurisprudensi, traktat, dan<br />

kesepakatan-kesepakatan lainnya.<br />

Teori rekonstruksi dapat dideskripsikan bahwa apabila bangunan (konstruksinya)<br />

tersebut berubah maka berubah pula fungsi dari bangunan tersebut. Perubahan konstruksi<br />

dapat terjadi terus-menerus karena usaha Pembangunan Ekonomi dan Hukum secara<br />

2<br />

Todung Mulya Lubis, “Perkembangan Hukum dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” Paper untuk Raker<br />

Peradin, November 1983.<br />

3<br />

Mulyana W.Kusumah, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 29.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

149<br />

fungsional. Seperti konstruksi bangunan <strong>hukum</strong> yang pada awalnya disusun dengan prinsip<br />

sosialis komunis dirombak dengan bangunan liberal, kapitaslis maka fungsi dari <strong>hukum</strong><br />

tersebut akan berubah secara ekstrim, sedangkan konstruksinya (pelakunya ekonominya<br />

tetap). Perubahan bangunan <strong>hukum</strong> ekonomi secara bertahap cendrung lamban mengantisipasi<br />

kebutuhan pelaku ekonomi dan pasar. Seperti di Indonesia telah dibuat beberapa<br />

deregulasi, yang bermaksud agar menyesuaikan diri peraturan dengan keadaan yang dapat<br />

diterima masyarakat.<br />

Persoalan Hukum Perdata dan Hukum Publik dan cara menentukan batas-batasnya<br />

memang merupakan bahan diskusi dan perselisihan. Di dalam literatur Belanda, pertentangan<br />

antara Hukum Perdata dan Hukum Publik sangat tajam. Dikatakan, bahwa<br />

Hukum Publik selalu merongrong Hukum Perdata, tetapi Hukum Perdata tidak dapat<br />

disampingkan. Hal ini harus dimengerti dalam kerangka pernikiran liberal, di mana pihak<br />

swasta mempunyai atau dianggap mempunyai kebebasan, yang selalu dibatasi oleh negara. 4<br />

Maka, juga menurut Kranenburg 5 , pembagian umum <strong>hukum</strong> Publik dan Hukum Privat<br />

dapat diterima selama dipergunakan sebagai pembagian bahan <strong>hukum</strong>. Demikian pula<br />

van Apeldorn menyetujui pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat didasarkan atas<br />

kepentingan yang diaturnya. Karena itu, sifat daripada kebijakan Ekonomi Indonesia harus<br />

dapat melindungi kepentingan-kepentingan umum, baik kepentingan sekarang ada,<br />

maupun kepentingan dalam waktu yang akan datang.<br />

Untuk pembinaan Hukum Ekonomi diperlukan keahlian-keahlian yang terpadu atau<br />

interdisipliner. Pendekatan interdisipliner yang membutuhkan toleransi. Di samping itu,<br />

untuk penelitian-penelitiannya diperlukan metodologi yang biasa dipergunakan dalam<br />

<strong>ilmu</strong>-<strong>ilmu</strong> pengetahuan sosial lainnya, baik secara kualitas maupun kuantitatif. Tentu saja<br />

tidak seluruh bidang <strong>hukum</strong> ekonomi dapat terbina. Maka langkah pertama yang harus<br />

diambil ialah mengadakan inventarisasi dari seluruh undang-undang yang menyangkut<br />

penghitungan ekonomi, lebih-lebih yang tersebut dalam Pasal 33 UUD 1945 yaitu:<br />

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.<br />

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup<br />

orang banyak dikuasai oleh negara.<br />

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara<br />

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.<br />

Dengan demikian lebih jelas, bahwa untuk sebagian dari bidang ekonomi, lebih-lebih<br />

yang menyangkut kepentingan orang banyak, diperlukan Hukum Publik yang menyangkut<br />

Hukum Ekonomi. Bidang-bidang yang perlu pembinaan ialah:<br />

(1) Tenaga kerja dan perlindungan tenaga kerja. Termasuk didalamnya transmigrasi,<br />

sesuai dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1072 Pasal 2 dan sesuai dengan Pasal<br />

16 termasuk dalam Hukum Publik.<br />

(2) Produksi dan perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang timbul selama produksi<br />

yang dapat membahayakan perseorangan atau masyarakat sekelilingnya, termasuk<br />

4<br />

Parlindungan , AP. (Ed), Bahan Diskusi untuk Pepunas Ristek, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1982,<br />

hlm. 10.<br />

5<br />

Kranenburg, R., De Grondslangen der Rechtsweteschap (Harlem: H.D, Tjeenk Willink, 1948), hlm. 92.


MARDALENA HANIFAH<br />

VOLUME 150<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

perlindungan terhadap lingkungan hidup. Lebih-lebih produksi bahan yang menyangkut<br />

hajat hidup orang banyak, misalnya hasil-hasil minyak dan gas bumi,<br />

atom, seperti terlihat dalam Undang-undang Pertamina dan yang menyangkut<br />

tenaga atom.<br />

(3) Perlindungan konsumen terhadap bahaya-bahaya yang mungkin timbul karena<br />

kesalahan produksi, penipuan dan bahan yang dapat membahayakan orang banyak.<br />

(4) Distribusi dan pemasaran bahan-bahan yang vital, seperti minyak bakar dan beras,<br />

yang masing-masing diatur secara langsung oleh negara lewat aparat-aparatnya.<br />

Dengan demikian jelas, bahwa kebijakan ekonomi membutuhkan pula keahlian dalam<br />

bidang-bidang lain, seperti perindustrian dan ahli ekonomi di samping sarjana-sarjana<br />

<strong>hukum</strong> yang ada. Hal ini tentu saja dapat diatur secara ad hoc atau secara permanen.<br />

Pembinaan Hukum Ekonomi meliputi :<br />

(1) Penelitian terhadap undang-undang yang ada, apakah lebih banyak ditujukan untuk<br />

keadaan sekarang, ataukah ditujukan pada waktu yang akan datang. Undang-undang<br />

yang hanya melihat keadaan sekarang akan segera usang dan akan merupakan<br />

penghambat terhadap perkembangan eko­nomi negara.<br />

(2) Penelitian terhadap indikator-indikator yang merupakan bagian dari Sistem Peringatan<br />

Dini. Undang-undang yang baik adalah undang-undang yang dapat merupakan<br />

pemberi peringatan tanda bahaya sebelum kejadian yang lebih parah terjadi.<br />

(3) Penelitian terhadap fungsi undang-undang untuk melindungi kepentingan umum dan<br />

kepentingan politik Negara Republik Indonesia, agar kita dapat tetap hidup sebagai<br />

negara yang merdeka dan berdaulat, khususnya ketidaktergantungan dalam bidang<br />

ekonomi kepada negara lain.<br />

(4) Pernbinaan <strong>hukum</strong> yang dapat mempercepat transformasi dari susunan masyarakat<br />

yang agraris menjadi negara industri. Harus diusahakan agar prasyarat penerimaan<br />

teknologi baru dapat diatur dan dipaksakan dengan undang-undang, seperti misalnya<br />

tindakan keamanan, ketelitian, disiplin dan spesialisasi.<br />

Arah kebijakan yang lebih signifikan pada perekonomian Indonesia ditaungkan dalam<br />

bentuk RPJM , digambarkan tentang kebijakan apakah yang diambil oleh pemerintah<br />

dalam rangka pencapaian sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.<br />

2. Konfigurasi Politik Hukum terhadap Ekonomi<br />

Antara politik dan <strong>hukum</strong> terdapat hubungan yang tarik menarik, dalam hal ini yang<br />

lebih dominan terpengaruh adalah <strong>hukum</strong> oleh politik, karena subsistem politik memiliki<br />

konsentrasi energi yang lebih besar daripada <strong>hukum</strong>. Sehingga jika harus berhadapan<br />

dengan politik, maka <strong>hukum</strong> berada dalam kedudukan yang lebih lemah. Istilah politik<br />

<strong>hukum</strong> merupakan terjemahan bahasa Indonesia dan terjemahan bahasa Belanda<br />

rechtpolitiek, prespektif etimologis ini memandang politik Hukum dari sisi tata Bahasa,<br />

di sini kita bisa mengetahui apakah konsep gramatikal akan mempengaruhi nilai<br />

pengertian. Politik Hukum berasal dari dua kata yaitu: Politik yang merupakan kosakata<br />

yang memiliki makna yang bemacam-macam yang menangandung makna system politik<br />

suatu Negara atau yang menyangkut tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan berpolitik


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

151<br />

itu sendiri. Politik identik dengan langlah yang diambil oleh suatu negara untuk membuat<br />

bentuk kebijaksanaan. 6<br />

Dalam kaitan ini Lev mengatakan untuk memahami sistem <strong>hukum</strong> di tengah-tengah<br />

tranformasi politik harus diamati dari bawah dan dilihat peran sosial politik yang diberikan<br />

orang kepadanya. 7 Karena kuatnya konsentrasi energi politik, makanya menjadi beralasan<br />

adanya konstatatasi bahwa kerapkali otonomi <strong>hukum</strong> di Indonesia diintervensi oleh politik,<br />

bukan hanya dalam proses pembuatannya juga dalam implementasinya.Hukum di<br />

Indonesia bisa dikatakan pencerminan dari kegiatan politik itu sendiri. 8 Sehubungan<br />

dengan kuatnya hubungan <strong>hukum</strong> dengan politik dalam berhubungan dengan <strong>hukum</strong><br />

seperti yang dikemukakan oleh Dahrendoff, dimana beliau menyatakan ada enam ciri<br />

kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik antara lain:<br />

1. Jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai<br />

2. Memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memeliihara dominasinya berupa<br />

kekayaan material, intelektual dan kehormatan moral.<br />

3. Dalam pertentangan selalu teroganisir lebih baik dari kelompok yang ditundukkan.<br />

4. Kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan<br />

dalam bidang politik sehingga elit penguasa diartikan sebagai elit penguasa dalam<br />

bidang politik<br />

5. Kelas penguasa selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya<br />

kepada kelas/kelompoknya sendiri.<br />

6. Ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.<br />

Bertolak dari teori sosial tentang Hukum, Phlip Nonet dan Phlip Zelnich membedakan<br />

tipe Hukum, yaitu Hukum represif yang bertujuan memelihara status quo, Hukum otonom<br />

yang bertujuan membatasi kewenangan-kewenangan tanpa mempersoalkan tatanan sosial<br />

yang secara legalitas kaku serta <strong>hukum</strong> responsive yang bersifat terbuka terhadap<br />

perubahan masyarakat dan mengabdi pada usaha-usaha untuk mencapai keadilan dan<br />

emansipasi sosial. 9<br />

Konfigurasi politik <strong>hukum</strong> pada dasarnya hampir sama dengan bentuk intervensi<br />

politik terhadap <strong>hukum</strong>. Banyak sekali peraturan <strong>hukum</strong> yang tumpul dan tidak mempan<br />

memotong wewenang-wewenang kekuasaan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak<br />

dapat menampilkan dirinya sebagai Pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan<br />

berbagai kasus bisa dijawab oleh <strong>hukum</strong>. Bahkan banyak produk <strong>hukum</strong> yang lebih banyak<br />

diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan.<br />

Mohammad Mahfud MD, telah berhasil mempertemukan dan membuktikan kaitan<br />

fungsional antara konfigurasi politik dengan karakter produk <strong>hukum</strong>, dengan memasang<br />

sutu hipotes, sejauh menyangkut distribusi hubungan kekuasaan: Konfigurasi politik<br />

mempengaruhi karakter produk <strong>hukum</strong> sehingga setiap perubahan konfigurasi politik<br />

akan mempengaruhi pula terhadap karakter produk <strong>hukum</strong>. Pola konfigurasi politik suatu<br />

6<br />

Kaelan MS, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2004, hlm. 95.<br />

7<br />

Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia, University Of California Press, Berkeley, 1972, hlm. 2.<br />

8<br />

Moh. Mahfud, MD, Poltik Hukum di Indonesia, PT. Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm. 14.<br />

9<br />

Mulyana Wahyu Kusuma, Hukum Politik dan Perubahan Sosial, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, hlm. 88.


MARDALENA HANIFAH<br />

VOLUME 152<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

negar pada suatu kurun waktu dapat mempengaruhi dan membentuk karakter produk<br />

<strong>hukum</strong> dinegeri tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratik dan<br />

non otoriter maka produk <strong>hukum</strong>nya akan berkarakrakter reponsif dan populistik,<br />

sebaliknya didalam negara yang konfigurasi politiknya otoriter dan non demokratis maka<br />

produk <strong>hukum</strong>nya akan berkarakter konservatif ortodok atau elite. Perubahan konfigurasi<br />

politik dari sisi demokratis ke otoriter atau sebaliknya akan berimplikasi pada perubahan<br />

karakter produk <strong>hukum</strong>. 10<br />

Berdasarkan teori dari politik <strong>hukum</strong> tadi spektrum lain yang mesti dicermati , adalah<br />

upaya pengembangan <strong>hukum</strong> dalam setiap masyarakat mesti dilihat dalam konteks<br />

prakteknya. Di dalam konfigurasi politik terdapat dua karakter yang mempengaruhi bentuk<br />

produk <strong>hukum</strong>, yaitu:<br />

a. Konfigurasi politik Responsif/demokrasi<br />

Dalam konfigurasi Politik Responsif/demokrasi adanya bentuk sikap yang<br />

berlawanan dimana menuntun adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah<br />

sehingga pemerintah tidak boleh turut campur dalam segi kehidupan<br />

masyarakat dan harus tunduk pada rule of law. Produk <strong>hukum</strong> ini mencerminkan<br />

rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat Darendorf mencatat bahwa<br />

demokrasi atau pluralisme pada masyarakat bebas didasarkan atas pengakuan<br />

pada penerimaan terhadap penentangan pengelompokan kepentingan yang akan<br />

menyebabkan munculnya pertentangan politik. 11<br />

b. Konfigurasi Politik Konservatif/ortodoks/elitis/Totaliter<br />

Produk Hukum yang isinya mencerminkan visi sosial elit politik lebih mencerminkan<br />

keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis yaitu menjadi alat dalam<br />

pelaksanaan ideology dan program negara.<br />

Dalam hal ini lebih mengacu kepada dorongan negara untuk memaksakan persatuan<br />

usaha, menghapus oposisi terbuka dengan suatu bentuk kepemimpinan yang dirasakan<br />

paling sempurna. Konfigurasi Politik pada suatu negara dapat bergerak sepanjang garis<br />

kontinu yang menghubungkan dua kutub dalam satu spektrum politik, yaitu kutub demokrasi<br />

dan kutub totaliter. 12 Karakter produk <strong>hukum</strong> diasumsikan sebagai watak dari<br />

produk <strong>hukum</strong> itu sendiri. Dalam studi tentang <strong>hukum</strong> banyak identifikasi yang dapat<br />

diberikan serbagai karakteristik dari <strong>hukum</strong> seperti memaksa, tidak berlaku surut dan<br />

umum. Kita dapat menganalisakan suatu produk <strong>hukum</strong> yang demokrasi atau totaliter<br />

dengan melihat dari produk <strong>hukum</strong>nya dalam bentuk perundang-undangan, besarnya<br />

presentase antara penguasa dengan masyarakat menentukan apakah produk <strong>hukum</strong><br />

dikategorikan dengan tipe konfigurasi represif/demokrasi dengan tipe konfigurasi totaliter<br />

atau ortodoks.<br />

Strategi pembangunan <strong>hukum</strong> ortodok mengandung ciri-ciri adanya peranan yang<br />

sangat dominan dari lembaga-lembaga negara, pemerintah dan parlemen dalam<br />

10<br />

Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Disertasi S3, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gajah<br />

Mada, Yogyakarta, 1993, hlm. 66.<br />

11<br />

Lihat dalam Gwendolen M. Charter, Demokrasi dan Totaliterisme, Dua Ujung dalam Spektrum Politik,<br />

dalam Miriam Budiardjo, PT. Gramedia Jakarta, cet. III, hlm. 88.<br />

12<br />

Mohtar Mas’oed, “Negara, Masyarakat dan Pembangunan Ekonomi Indonesia”, makalah Diskusi Panel<br />

Pembangunana Politik, Senat Mahasiswa Fisipol UGM, Yogyakarta, 12 April 1988.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

153<br />

menentukan arah perkembangan <strong>hukum</strong> dalam suatu masyarakat. Sedangkan strategi<br />

pembangunan <strong>hukum</strong> responsive menngandung ciri-ciri adanya peranan lembaga<br />

peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat<br />

dalam menentukan arah perkembangan <strong>hukum</strong>.<br />

Konfigurasi politik akan mempengaruhi kegiatan ekonomi apabila para pengambil<br />

kebijakan membuat suatu produk <strong>hukum</strong> yang mempengaruhi bidang ekonomi. Ketika<br />

para pembuat kebijakan membuat suatu aturan, alur fikiran akan dipengaruhi dan diintimidasi<br />

oleh pihak-pihak yang berkompenten dalam kegiatan ekonomi. Misalnya para<br />

pengusaha, para pengguna jasa ekonomi, masyarakat secara umum, negara dengan BUMN<br />

dan BUMDnya serta lembaga swadaya masyarakat, dengan melihat susasana kondusif<br />

politik saat itu, akan dibawa kemanakah Belum lagi kebijakan ekonomi sangat dipengaruhi<br />

oleh negara-negara internasional, karena kegiatan ekonomi mempunyai cakupan kegiatan<br />

yang sangat luas meliputi kegiatan didalam negeri dan kegitan luar negeri.<br />

Konfigurasi politik ekonomi akan terlihat dalam pembentukan aturan undang-undang.<br />

Berapa persen peranan stakeholder dalam membuat kebijakan, manakah yang lebih<br />

dominan kebijakan yang diambil apakah suara terbanyak pemerintah atau suara terbanyak<br />

rakyat dimana pada dasarnya kegiatan ekonomi diarahkan sepenuhnya untuk<br />

kepentingan rakyat. Atau dengan presentase masukan pendapat yang seimbang antara<br />

pemerintah dengan politiknya dan rakyat dengan kebutuhannya. Inilah cerminan karakter<br />

politik <strong>hukum</strong> responsif dan karakter <strong>hukum</strong> ortodok. Seperti ketika dibuat Rancangan<br />

Undang-undang Investasi, ada beberapa stake holder yang dipertimbangkan, yaitu:<br />

1. Kepentingan Internasional (TRIMs)<br />

2. Kepentingan pemerintah<br />

a. Pemerintah pusat<br />

b. Pemerintah daerah<br />

3. Kepentingan Masyarakat<br />

a. Masyarakat pada umumnya<br />

b. Pengusaha<br />

Adapun kebijakan investasi tetap akan mempertimbangkan:<br />

1. Legal (kepastian <strong>hukum</strong>)<br />

2. Labour (penyelesaian sengketa)<br />

3. Local (pemerintah daerah)<br />

D. Penutup<br />

Arah kebijakan politik <strong>hukum</strong> di bidang ekonomi di Indonesia merupakan pencerminan<br />

dari tujuan dari pembanguanan di Indonesia, yaitu diupayakan untuk mengarahkan sepenuhnya<br />

untuk kemakmuran rakyat. Konfigurasi politik <strong>hukum</strong> terhadap ekonomi tercermin<br />

dari produk <strong>hukum</strong> yang dihasilkan dan presentase peranan stakeholder dalam<br />

membuat produk <strong>hukum</strong>.


MARDALENA HANIFAH<br />

VOLUME 154<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

E. Daftar Pustaka<br />

Buku-buku<br />

Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia, University Of California Press, Berkeley, 1972.<br />

Gwendolen M. Charter, Demokrasi dan Totaliterisme, Dua Ujung Dalam Spektrum<br />

Politik, dalam Miriam Budiardjo, Gramedia, Jakarta.<br />

Kaelan MS, Pendidikan Pancasila, Paradigma Yogyakarta, 2004.<br />

Kranenburg, R., De Grondslangen der Rechtsweteschap, Harlem: H.D, Tjeenk Willink, 1948.<br />

Moh. Mahfud MD, Perkembangan politik Hukum, Disertasi pada Fakultas Pasca Sarjana,<br />

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1993.<br />

Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986.<br />

……………………….., Hukum Politik dan Perubahan social, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta<br />

Sumantoro, Hukum Ekonomi, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.<br />

Artikel/Makalah<br />

Mohtar Mas’oed, Negara, Masyarakat dan Pembangunan Ekonomi Indonesia, makalah<br />

diskusi panel tentang pembangunana politik, Senat mahasiswa Fisipol UGM,<br />

Yogyakarta, 12 April 1988.<br />

Parlindungan, AP. (Ed), Bahan Diskusi untuk Pepunas Ristek. Medan: Universitas<br />

Sumatera Utara, 1982.<br />

Todung Mulya Lubis, Perkembangan Hukum dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”,<br />

paper untuk Raker Peradin, November 1983.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

155<br />

HUKUM WARIS ISLAM DIPANDANG DARI<br />

PERSPEKTIF HUKUM BERKEADILAN GENDER<br />

MARYATI BACHTIAR<br />

Jalan Cemara No. 59 Pekanbaru<br />

Abstrak<br />

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya<br />

beragama Islam dimungkinkan banyak dari anggota<br />

masyarakat yang mengunakan sistem <strong>hukum</strong> Islam.<br />

Tetapi seiring dengan perkembangan zaman yang<br />

ditandai dengan kemajuan dan teknologi prinsipprinsip<br />

dalam <strong>hukum</strong> Islam terus mengalami kemajuan<br />

yang pesat dan selalu mengikuti perubahan<br />

zaman guna untuk kemaslahatan umat di dunia.<br />

Tanpa membedakan baik laki-laki maupun perempuan.<br />

Dari uraian pembahasan tersebut di atas<br />

dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hukum Waris<br />

Islam telah mengakomodir prinsip <strong>hukum</strong> yang<br />

berkeadilan gender.<br />

Abstract<br />

As state which its resident majority believe in Islam<br />

enabled by a lot of society member using Islam punish<br />

system. But along with the times marked by technological<br />

advances and the principles of Islamic law<br />

continues to progress rapidly and always follow the<br />

changing times in order to benefit people in the world.<br />

Without differentiating woman and men. from<br />

breakdown of the solution can pulled a conclusion that<br />

hereditary law of Islam have accomodated law<br />

principle which with justice gender.<br />

Kata kunci: Hukum waris Islam, gender.<br />

A. Pendahuluan<br />

Hukum Islam sebagai salah satu pranata sosial memiliki dua fungsi, fungsi pertama<br />

sebagai kontrol sosial, yaitu <strong>hukum</strong> Islam diletakkan sebagai <strong>hukum</strong> Tuhan, yang selain<br />

sebagai kontrol sosial sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu<br />

komunitas masyarakat. Sedang kontrol yang kedua adalah sebagai nilai dalam proses<br />

perubahan sosial yaitu <strong>hukum</strong> lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas<br />

tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan<br />

politik. 1 Sehingga dalam konteks ini <strong>hukum</strong> Islam dituntut untuk akomodatif terhadap<br />

persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.<br />

Dinamika <strong>hukum</strong> Islam terbentuk oleh interaksi antara wahyu dengan rasio.<br />

Kombinasi dua paradigma diataslah yang mendorong berkembangnya tradisi ijtihad. Dalam<br />

sejarah perkembangan <strong>hukum</strong> Islam terdapat dua aliran yang besar diantara para pendiri<br />

madhzab. Madzhab pertama adalah yang dikenal dengan al Ro,yu (yaitu madzhab yang<br />

mengedepankan rasio sebagai panglima dalam memahami Al-Qur’an), sedangkan<br />

madzhab yang kedua adalah al-Hadits, yaitu (mereka yang mengedepankan Hadis dalam<br />

memahami Al-Qur’an) kelompok yang mempertahankan idealitas wahyu tanpa adanya<br />

pemikiran rasional. 2 Pemahaman yang tidak proporsional dalam memandang <strong>hukum</strong> Islam<br />

tersebut misalnya yang dipahami hanya fikih saja, maka kesan yang akan diperoleh adalah<br />

<strong>hukum</strong> Islam mengalami stagnasi atau jumud dan tidak memiliki kesanggupan untuk<br />

menjawab tantangan zaman.<br />

Begitu juga dalam mensikapi perkembangan zaman kelompok Madzhab al-Hadits<br />

1<br />

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2001, Hlm. 98<br />

2<br />

Qurtubi Al Sumanto, Era Baru Figih Indonesia, Cermin, Yogyakarta, 1999, Hlm. 5


MARYATI BACHTIAR<br />

VOLUME 156<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

cenderung mempertahankan idealitas wahyu tanpa memberikan ruang bagi pemikiran<br />

lain. Artinya apa yang tersurat dalam kalam wahyu Illahi adalah sakral dan final serta<br />

tidak dapat dirubah disebabkan karena apapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun.<br />

Madzhab ini masih dianut untuk sebagian besar oleh umat Islam di Indonesia. Sehingga<br />

dalam melihat fikih pun masih diidentikkan dengan <strong>hukum</strong> Islam, sedang <strong>hukum</strong> Islam<br />

identik dengan <strong>hukum</strong> Allah. Sehingga konsekuensinya <strong>hukum</strong> fikih dipandang sebagai<br />

aturan yang paling benar. Dengan demikian kitab-kitab fikih tersebut bukan hanya disebut<br />

sebagai produk keagamaan, tetapi sebagai buku agama itu sendiri. Sehingga fikih dipandang<br />

sebagai bagian dari agama dan bukan dari produk dari pemikiran keagamaan. 3<br />

Lain halnya dengan kelompok Al Ra,yu, bagi mereka pemahaman akan suatu hal<br />

haruslah sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, apabila antara wahyu dengan<br />

rasio dapat berjalan seiring maka suatu keniscayaan bagi wahyu untuk dapat dibuka bagi<br />

segala kemungkinan penafsiran akal. Sebab pada dasarnya wahyu tidak dapat dipahami<br />

dengan tanpa adanya akal budi manusia. Sebab wahyu merupakan suatu bahasa yang<br />

tidak dapat dipahami menurut bahasanya saja. Sehingga peran akal manusia dibutuhkan<br />

dalam mengartikan bahasa wahyu.<br />

Allah maupun manusia menciptakan <strong>hukum</strong> bertujuan untuk mengendalikan<br />

perbuatan manusia agar manusia tidak masuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki<br />

oleh Allah maupun manusia. Adapun perbuatan itu adalah perbuatan yang membawa<br />

kerugian bagi umat manusia itu sendiri. Sehingga diciptakanlah <strong>hukum</strong> yang diakui dan<br />

ditegakkan bersama untuk melindungi kehidupan umat manusia, baik perorangan maupun<br />

kelompok. Sistem <strong>hukum</strong> di dalam kehidupan masyarakat mempunyai sifat dan ruang<br />

lingkupnya sendiri. Termasuk pula <strong>hukum</strong> Islam.<br />

Hukum Islam mempunyai dinamika dan karakter sendiri serta mempunyai ruang<br />

lingkupnya sendiri. Sistem <strong>hukum</strong> Islam mempunyai sistem yang tersendiri yang dikenal<br />

dengan <strong>hukum</strong> fikih. 4 Hukum fikih bukanlah <strong>hukum</strong> yang sempit tetapi <strong>hukum</strong> yang masih<br />

sangat luas. Hukum fikih ini mencakup semua aspek kehidupan umat manusia. Baik yang<br />

bersifat ibadah maupun muamalah. Ibadah adalah <strong>hukum</strong> mengenai bagaimana manusia<br />

berhubungan dengan Allah, sedang muamalah adalah <strong>hukum</strong> yang mengatur bagaimana<br />

hubungan antar sesama manusia.<br />

Hukum Islam dirumuskan sebagai sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur<br />

perilaku kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Baik yang bersifat pribadi maupun<br />

kelompok. Karena sifatnya yang serba mencakup inilah yang menempatkan agama Islam<br />

dalam tatanan kehidupan umat manusia yang belum pernah dicapai oleh agama atau<br />

kepercayaan lain sebelum Islam. Dengan demikian akan sangat sulit memahami Islam<br />

tanpa memahami <strong>hukum</strong> Islam dengan sepenuhnya. 5<br />

Adapun disyariatkannya <strong>hukum</strong> Islam adalah untuk merealisasikan <strong>hukum</strong> Islam<br />

guna melindungi umat manusia dari segala bentuk kemungkaran dan menciptakan<br />

kemaslahatan umat manusia di dunia ini. Kemaslahatan yang diinginkan dalam <strong>hukum</strong><br />

Islam adalah segala hal yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Terdorong<br />

3<br />

Ibid, Hlm. 5<br />

4<br />

Ahmad Qodri Azizy, Memahami Hukum, Wawasan, 13 Januari 1990<br />

5<br />

Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Moderenitas, Mizan, Bandung, 1994, Hlm. 33


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

157<br />

oleh maksud inilah ada bagian yang dinamakan siyasah sya’riah yaitu kebijakan untuk<br />

membuat manusia lebih dekat dengan kebijakan dan menghindari dari segala bentuk<br />

keburukan. 6<br />

Sejak awal kelahirannya Islam tidak mempunyai tujuan yang lain selain untuk mencapai<br />

kemaslahatan umat manusia, baik lahir maupun batin, baik selamat di dunia maupun<br />

di akhirat. Apabila semua <strong>hukum</strong> Islam selalu terikat dengan Teks (nash) yang selalu<br />

dikukuhi dengan pandangan yang sempit, maka konteks <strong>hukum</strong> Islam akan mengalami<br />

kemunduran sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup umat manusia. Pandangan<br />

yang ortodok inilah sebagai penghalang umat Islam untuk bisa sejajar dengan bangsabangsa<br />

lainnya dari percaturan kehidupan di dunia. Sehingga prinsip kemaslahatan umat<br />

akan menemui ruang kosong yang tidak ada manfaatnya.<br />

Kebenaran fikih yang dipersepsikan sebagai kebenaran yang mutlak dianggap telah<br />

membelenggu kreativitas intelektual umat Islam yang merupakan pintu gerbang kemajuan<br />

peradaban umat Islam. Pandangan yang tidak proporsional terhadap fikih ini disebabkan<br />

tidak adanya penelitian pengembangan secara serius. Padahal evolusi historical dari<br />

perkembangan fikih telah menyediakan semacam frame work bagi pemikiran <strong>hukum</strong><br />

Islam atau tepatnya actual working bagi karakteristik perkembangan <strong>hukum</strong> Islam itu<br />

sendiri termasuk pula dalam sistem <strong>hukum</strong> pewarisan Islam di Indonesia.<br />

Sampai saat ini di Indonesia belum terbentuk <strong>hukum</strong> kewarisan secara nasional yang<br />

dapat mengatur pewarisan secara nasional. Sehingga dalam <strong>hukum</strong> kewarisan di Indonesia<br />

dapat menggunakan berbagai macam sistem pewarisan antara lain: sistem <strong>hukum</strong><br />

kewarisan menurut KUH Perdata, sistem kewarisan menurut <strong>hukum</strong> adat dan sistem<br />

kewarisan menurut <strong>hukum</strong> Islam. 7 Ketiga sistem ini semua berlaku dikalangan masyarakat<br />

<strong>hukum</strong> di Indonesia. Terserah para pihak untuk memilih <strong>hukum</strong> apa yang akan digunakan<br />

dalam pembagian harta warisan yang dipandang cocok dan mencerminkan rasa keadilan.<br />

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dimungkinkan banyak<br />

dari anggota masyarakat yang mengunakan sistem <strong>hukum</strong> Islam. Tetapi seiring dengan<br />

perkembangangan zaman yang ditandai dengan kemajuan dan teknologi prinsip-prinsip<br />

dalam <strong>hukum</strong> Islam terus mengalami kemajuan yang pesat dan selalu mengikuti perubahan<br />

zaman guna untuk kemaslahatan umat di dunia. Tanpa membedakan baik laki-laki maupun<br />

perempuan.<br />

Asas <strong>hukum</strong> dalam pewarisan Islam tidak memandang perbedaan antara laki-laki<br />

dengan perempuan, semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak<br />

yang sama sebagai ahli waris. Tetapi hanyalah perbandingannya saja yang berbeda.<br />

Memang di dalam <strong>hukum</strong> waris Islam yang ditekankan adalah keadilan yang berimbang,<br />

bukanlah keadilan yang sama rata sebagai sesama ahli waris. Karena prinsip inilah yang<br />

sering menjadi polemik dan perdebatan yang kadang kala menimbulkan persengketaan<br />

diantara para ahli waris.<br />

Begitu pula gerakan wanita yang memperjuangkan haknya untuk setara dengan kaum<br />

laki-laki. Karena di zaman sekarang peran perempuan dan peran laki-laki hampir sama<br />

6<br />

Qurtubi Al Sumanto, op.cit, Hlm. 10<br />

7<br />

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005, Hlm. 12


MARYATI BACHTIAR<br />

VOLUME 158<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

dalam menjalankan roda perekonomian keluarga. Perempuan yang dahulu hanya dikotomikan<br />

sebagai konco winking yang hanya bertugas dalam urusan rumah tangga telah<br />

mengalami pergeseran nilai seiring dengan perubahan zaman.<br />

Seiring dengan pesatnya perkembangan industri selama kurun waktu tiga puluh lima<br />

tahun di Indonesia telah melahirkan berbagai perkembangan social, yang dahulu<br />

perempuan merupakan sebagai pendamping laki-laki di dalam rumah tangga telah<br />

mengalami perubahan yang mencolok. Semakin banyaknya peran perempuan dalam<br />

mencari nafkah di luar rumah mempengaruhi pola kehidupan dalam masyarakat.<br />

Dampak kapitalisme dan industri modern bagi perempuan diyakini juga ambigu.<br />

Kapitalisme maju melalui komersialisasi aktivitas-aktivitas produktif manusia. Ia<br />

melakukan rasionalisasi pasar pemisahan yang domestik dan pribadi dari yang publik<br />

dan sosial. Pada saat yang sama, dorongan kuat akan keberhasilan telah mengabaikan<br />

gagasan-gagasan tradisional tentang penghasilan keluarga yang bertumpu pada laki-laki<br />

serta memaksa perempuan dari kelas bawah dan selanjutnya sejumlah kaum perempuan<br />

kelas menengah untuk bekerja.<br />

Dengan majunya kapitalisme telah membuka kesempatan baru bagi perempuan<br />

termasuk kemungkinan untuk eksis di luar keluarga dan menentang dominasi laki-laki<br />

dengan budaya patriarki. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin laki-laki menjadi<br />

kontrol kemampuan produksi. Kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan akan<br />

tercapai penuh melalui tercapainya kemajuan teknologi dimana pekerjaan tidak harus<br />

mengunakan tenaga yang besar tetapi dapat dilaksanakan dengan kemampuan <strong>ilmu</strong> dan<br />

ketrampilan. 8<br />

Kapitalisme industri telah menghancurkan unit kerja suami dan istri, awalnya<br />

perempuan setidaknya telah menjadi lebih tergantung kepada laki-laki bagi keberlangsungan<br />

ekonominya. Pernikahan bagi perempuan, menurut Hamilton, telah menjadi<br />

tiket perempuan untuk memperoleh kehidupan walau kadang kala sama sekali tidak<br />

mencukupi. Kapitalisme dan patriarki merupakan dua sistem yang saling berkaitan.<br />

Karenanya, ada hubungan antara pembagian kerja dan upah dan kerja domestic.<br />

Pembagian kerja domestik yang hirarkis terus dihidupkan oleh keluarga telah mengenyampingkan<br />

peranan produktif tradisional bagi keberlangsungan dan kebaikan dalam<br />

masyarakat.<br />

Yang dahulu wanita hanya sebagai pendamping pria dalam mencari nafkah kini telah<br />

mengalami pergeseran. Kini perempuan tidak sedikit malah menjadi tulang punggung<br />

perekonomian keluarga. Perubahan inilah yang menjadikan perubahan sosial yang dahulu<br />

wanita merupakan sebagai makhluk kelas dua kini telah mensejajarkan kedudukannya<br />

dengan laki-laki, 9 begitu pula dalam tuntutan pembagian terhadap harta warisan. Sebab<br />

di dalam sistem <strong>hukum</strong> kewarisan Islam menempatkan pembagian yang tidak sama antara<br />

laki-laki dengan perempuan.<br />

Seiring dengan bias gender kaum feminis selalu meminta kedudukan yang sama<br />

dengan laki-laki, sebab pada prinsipnya <strong>hukum</strong> tidak membeda-bedakan jenis kelamin<br />

8<br />

Fakih Mansor, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, Hlm. 50<br />

9<br />

Herry Santoso, Idiologi Patriarki dalan Ilmu-Ilmu Sosial, Proyek Penelitian PSW UGM, Yogyakarta, 2001,<br />

Hlm. 78


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

159<br />

antara laki-laki dengan perempuan. Semakin banyaknya tuntutan kaum feminis terhadap<br />

kaum maskulin mempengaruhi pula terhadap sistem <strong>hukum</strong> yang berlaku dalam<br />

masyarakat. Arti keadilanpun mengalami perubahan yang sangat berarti, yang dahulu<br />

laki-laki merupakan sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap setiap permasalahan<br />

dalam rumah tangga, tetapi sekarang telah mengalami perubahan yang berarti. 10 Kini<br />

laki-laki tidak satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga.<br />

Sehingga tuntutan akan keadilan pun berubah pula, yang dahulu di zaman jahiliah<br />

wanita bukanlah sebagai ahli waris karena dahulu sistem kekeluargaan menganut sistem<br />

patrilinial dimana semua harta adalah milik suami atau laki-laki. Karena masyarakat pada<br />

zaman jahiliah berpendapat bahwa hanya laki-lakilah yang dapat mengumpulkan harta,<br />

maka semua harta menjadi hak laki-laki saja. Dengan diturunkanya Islam maka wanita<br />

mempunyai hak yang sama kuat di dalam hak untuk mendapatkan harta warisan, yaitu<br />

sejak diturunkanya surat an-Nisa ayat 7, yang artinya: laki-laki berhak memperoleh<br />

harta dari peninggalan ibu bapaknya dan wanita pun berhak memperoleh bagian dari<br />

harta peniggalan ibu, bapaknya dan kerabatnya.<br />

Pergeseran peran laki-laki dan perempuan inilah yang menjadi isu gender di<br />

masyarakat. Tuntutan kaum perempuan terhadap hak-haknya sesuai peran perempuan<br />

dalam keluarga, sehingga <strong>hukum</strong> waris Islam pun harus dapat pula mengakomodir<br />

kebutuhan masyarakat terhadap <strong>hukum</strong> yang dapat memberikan keadilan terhadap<br />

perempuan di masa sekarang ini. Dimana terjadi perbedaan perhitungan pembagian dalam<br />

<strong>hukum</strong> waris Islam. Dimana laki-laki mendapat bagian yang lebih banyak dari perempuan.<br />

Berdasarkan uraian di atas mengenai perbedaan perhitungan hak waris antara lakilaki<br />

dengan perempuan maka permasalahan yang diajukan adalah benarkah sistem <strong>hukum</strong><br />

kewarisan Islam telah mengakomodir sistem <strong>hukum</strong> yang berkeadilan gender<br />

B. Pembahasan<br />

1. Hukum Islam dan Keadilan<br />

Dalam pandangan filsafat tujuan akhir <strong>hukum</strong> adalah keadilan. Kaitannya dengan<br />

<strong>hukum</strong> Islam, keadilan yang harus dicapai mesti mengacu pada pokok agama yaitu Al-<br />

Our’an dan Hadis. Artinya tujuan keadilan melalui jalur <strong>hukum</strong> harus berawal dari dua<br />

segi, yaitu Al-Qur’an dan hadis di satu segi harus mampu menyatu dengan pedoman prinsip<br />

keadilan secara umum menurut pandangan manusia di lain segi. Tugas awal yang kemudian<br />

adalah upaya formulasi Al-Qur’an dan hadis khusus yang berkaitan dengan <strong>hukum</strong> agar<br />

mampu tampil sebagai prinsip keadilan umum. Perpaduan dua segi ini diharapkan menjadi<br />

produk standar panduan mencari keadilan lewat jalur <strong>hukum</strong>. Pada akhirnya pedoman<br />

tersebut mampu tampil menjadi standar <strong>hukum</strong> universal yang mampu tampil dimanapun<br />

dan kapanpun sesuai dengan fitrah diturunkanya Islam ke muka bumi.<br />

Maksud dari muara keadilan dari dua segi adalah tujuan akhir berupa keadilan yang<br />

harus dicapai oleh sebuah sistem <strong>hukum</strong> universal mesti berorientasi pada keadilan<br />

terhadap manusia dan keadilan kepada Allah. Keadilan bagi manusia mengarah kepada<br />

berbagai definisi keadilan yang bukan tidak mungkin antara satu masyarakat manusia<br />

10<br />

Bambang Sugiharto, Post Modern Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996, Hlm. 100


MARYATI BACHTIAR<br />

VOLUME 160<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

dengan masyarakat lainnya berbeda dalam mengartikan keadilan <strong>hukum</strong>. Artinya<br />

fleksibilitas produk keadilan mutlak diperlukan dalam heteronenitas manusia dan<br />

linngkungannya, sedangkan muara keadilan kepada Allah adalah produk <strong>hukum</strong> yang<br />

menempatkan keadilan sesuai dengan proporsinya.<br />

Pendapat ini sejalan dengan ungkapan Freidman, bahwa “selama standar prinsip<br />

keadilan tidak berpegang pada agama maka pedoman itu tidak akan mencapai ideal prinsip<br />

keadilan.” Padahal sebuah prinsip adalah standar yang tidak akan berubah. Perubahan<br />

hanya pada tataran operasional saja, sedangkan prinsip yang utama tidak akan berubah.<br />

Pengertian <strong>hukum</strong> Islam yang demikian luas dengan berbagai hal yang terkait dengan<br />

demikian luas dengan berbagai hal yang berkaitan dengan <strong>hukum</strong> menjadi singkat dalam<br />

ungkapan Mac Donald yang menyebut <strong>hukum</strong> Islam adalah ‘The Science of all things,<br />

human and devine”. 11 Pandangan Mac Donald tersebut merupakan kristalisasi dari sistem<br />

<strong>hukum</strong> yang mampu melihat pluralitas sebagai realitas empiris. Pluralitas disini bukan<br />

hanya manusia dalam bentuk hubungan garis horizontal, tetapi plural yang menyangkut<br />

hubungan horizontal dan vertikal.<br />

2. Keadilan Menurut Pemikiran Pemikir Hukum Adat<br />

Alam pemikiran masyarakat <strong>hukum</strong> adat pada umumnya dipengaruhi oleh alam<br />

sekitarnya yang bersifat magis-religius. Alam pikiran yang mempertautkan antara yang<br />

nyata dengan yang tidak nyata. Antara alam fana dengan alam baka, antara kekuatan<br />

manusia dengan kekuatan Tuhan, antara <strong>hukum</strong> manusia dengan <strong>hukum</strong> Tuhan. Alam<br />

pikiran yang demikian ini meliputi azas ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan kebersamaan<br />

kemasyarakatan, sehingga hokum adat dapat dikatakan sebagai <strong>hukum</strong> yang<br />

berfalsafah Pancasila. 12 Hukum adat dengan karakteristik falsafah Pancasila merupakan<br />

perwujudan dari kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sehingga <strong>hukum</strong> adat<br />

merupakan <strong>hukum</strong> yang sangat beragam tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh<br />

dalam bingkai (Bhineka Tunggal Ika).<br />

Pada umumnya masyarakat <strong>hukum</strong> adat sangat sukar berfikir secara rasional tetapi<br />

lebih dipengaruhi oleh pola pikir yang komunal magis-religius. Alam pikiran ini menempatkan<br />

kehidupan manusia merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari alam.<br />

Kehidupan manusia taut menaut dengan keadaan alam, apabila alam mengalami<br />

kegoncangan berarti manusia melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan <strong>hukum</strong><br />

alam. 13 Terjadinya bencana bencana merupakan ulah dari perbuatan manusia yang tidak<br />

mematuhi <strong>hukum</strong> telah ditetapkan Tuhan kepada manusia, sehingga manusia menerima<br />

laknat dari Tuhan. Baik buruknya keadan alam ditentukan oleh perbuatan manusia itu<br />

sendiri.<br />

Hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Holleman, <strong>hukum</strong> adat mempunyai<br />

empat ciri umum yang dipandang sebagai dari satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. 14<br />

11<br />

Mac Donald, Development of Muslem Theology, Jurisprudence and Constitusional Theory, Khayats Oriental<br />

Reprint, Beirut, 1965, Hlm. 66<br />

12<br />

Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1979, Hlm. 20-21<br />

13<br />

Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1981, Hlm. 117<br />

14<br />

Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1982, Hlm. 30-31


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

161<br />

Adapun empat ciri tersebut adalah pertama religius magis, yaitu perpaduan pikiran yang<br />

mengandung logika animisme yaitu pandangan yang berhubungan dengan alam gaib.<br />

Kedua adalah komunal yaitu sifat yang mementingkan kepentingan bersama daripada<br />

kepentingan pribadi. Sifat yang ketiga adalah tunai, yaitu kebiasaan dalam masyarakat<br />

dalam jual beli bersifat tunai yaitu hak dan kewajiban dilakukan dalam waktu yang sama.<br />

Yang keempat adalah konkrit, yaitu dalam melakukan perbuatan harus bersifat nyata.<br />

3. Keadilan dalam Konsep Kewarisan Bilateral<br />

Kewarisan bilateral dalam <strong>hukum</strong> Islam mengandung dua nilai keadilan, yaitu keadilan<br />

Tuhan dan keadilan manusia. Keadilan Tuhan adalah nilai keadilan yang mendasarkan<br />

pada pengertian bahwa keadilan yang berasal dari yang transendental. Artinya keadilan<br />

dapat tercapai apabila melalui penempatan Tuhan secara proporsional. Dalam pengertian<br />

ini Tuhan adalah titik sentral setiap gerak dan tingkah laku mahluk dari awal kejadian<br />

sampai peraturan yang menjadi standar tingkah laku makluk. Sedangkan keadilan manusia<br />

adalah keadilan yang mendasarkan prinsip-prinsip pada nilai keadilan manusiawi.<br />

Hukum kewarisan Islam hasil ijtihat Syafi’i oleh sebagian besar umat Islam telah<br />

dijadikan sebagai sumber <strong>hukum</strong> normatif dan harus diterima sebagai <strong>hukum</strong> yang<br />

mengikat dan terpancar dari perintah Allah dalam Al-Qur’an dan Hadis, sehingga layak<br />

bagi setiap muslim untuk merasakan tidak adil terhadap <strong>hukum</strong> kewarisan tersebut.<br />

Pemahaman semacam ini pada awalnya dianggap sebagai prinsip keadilan obyektif semata<br />

keluar dari penilaian keadilan subyektif, terutama bagi masyarakat dengan sistem<br />

kekeluargaan matrilineal dan bilateral sebab kewarisan Syafi’i bercorak patrilinial. Akan<br />

tetapi seiring dengan perjalanan waktu penilaian keadilan subyektif beradaptasi dengan<br />

penilaian keadilan obyektif sebagai warisan sesuai dengan keadilan dua segi sekaligus,<br />

yaitu keadilan obyektif dan keadilan subyektif.<br />

Persoalannya adalah, bagaimana jika dalam perjalanan selanjutnya terdapat<br />

kekeliruan konsep <strong>hukum</strong> Islam dalam menangkap pancaran hikmah Allah dalam Al-<br />

Qur’an berupa <strong>hukum</strong> kewarisan Islam. Jawabannya akan kembali pada sejauh mana<br />

argumentasi normatif konseptor kontemporer mampu menjabarkan konsep dengan norma<br />

dasar <strong>hukum</strong> Islam. Dalam hal ini bagaimana Al-Qur’an dan Hadis merestui konsep yang<br />

ditawarkan tersebut. Tentunya yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana penerima<br />

konsep bersedia untuk membuka diri terhadap norma dan rasio. 15<br />

Pola penafsiran yang demikian bermuara pada pengertian <strong>hukum</strong> adil dipandang dari<br />

dua segi sebagaimana konsep keadilan Kelsen, yaitu keadilan rasional dan keadilan<br />

metafisis. Keadilan rasional, konsep keadilan tercermin dari konsep yang ilmiah, sebab<br />

berangkat dari kesimpulan penelitian ilmiah. Disamping itu kewarisan bilateral terbentuk<br />

dari pola budaya dan perilaku serta pandangan empirik manusia tentang nilai keadilan<br />

secara umum, sedang keadilan metafisis yang ditawarkan adalah keadilan yang terpancar<br />

dari pedoman dasar sumber keadilan metafisis itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan Hadis.<br />

Kedua prinsip keadilan tersebut bukan lahir begitu saja tersebut tidak begitu saja<br />

bersama. Keadilan rasional adalah hasil dari evolusi dari prinsip keadilan metafisis. Keadilan<br />

15<br />

Abdul Ghofur Ansori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hlm. 160


MARYATI BACHTIAR<br />

VOLUME 162<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

metafisis berkembang pesat pada era klasik pra-Socrates dan Plato. Seiring perjalanan<br />

waktu dan perkembangan pemikiran manusia, Aristoteles mempelopori prinsip keadilan<br />

disamping metafisis juga intelektual rasional. Artinya dengan menjadikan sistem kewarisan<br />

Islam sebagai <strong>hukum</strong> yang bersandar pada prinsip nilai keadilan metafisis saja berarti<br />

menarik mundur <strong>hukum</strong> Islam ke arah prinsip keadilan era klasik yang sekarang bukan<br />

zamannya lagi.<br />

4. Keadilan Gender<br />

Konsep kewarisan bilateral adalah mawali. Konsep ini dipandang memenuhi standar<br />

keadilan gender. Mawali disebut sebagai pengurangan domonasi laki-laki dalam <strong>hukum</strong><br />

kewarisan Islam sebelumnya. Dalam kewarisan Syafi’i, anak perempuan menjadi asabah<br />

bukan atas kedudukan sendiri sebagai asabah tetapi disebabkan adanya anak laki-laki<br />

yang menariknya sebagai asabah, dalam bahasa Syafi’i disebut asabah bi al-ghairi.<br />

Konsep kewarisan model Syafi’i tersebut bertolak belakang dengan konsep yang<br />

ditawarkan Hazairin, dalam konsep Hazairin anak laki-laki dan perempuan mempunyai<br />

hak dan kedudukan yang sama sebagai ahli waris, keduanya berdiri sendiri tanpa adanya<br />

ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.<br />

Konsep mawali bila dibandingkan dengan prinsip Naminem Laederenya Soekanto<br />

akan menampakkan keserasian. Sebab mawali menjadikan cucu sebagai ash-habul faraidl,<br />

pada kewarisan Syafi’i yang dirugikan oleh saudara pewaris menjadi ahli waris yang<br />

mendapatkan bagian menggantikan kedudukan ayah atau ibunya.<br />

Demikian pula dengan prinsip Suum Cuique Tribuere. Bila anak laki-laki mempunyai<br />

kemampuan menghijab, maka berikanlah hak yang sama bagi anak perempuan. Hal ini<br />

sesuai dengan penggantian Suum Cuique Tribuere yaitu “apa yang anda boleh mendapatkannya”.<br />

Begitu juga dalam Al-Qur’an Allah tidak pernah membedakan laki-laki<br />

dengan perempuan.<br />

Di samping itu konsep kewarisan Syafi’i yang dinilai bias gender adalah perbedaan<br />

kemampuan menghijab antara laki-laki dengan perempuan. Anak laki-laki dapat menghijab<br />

para saudara dari segala jurusan, baik laki-laki maupun perempuan, kakek dan nenek<br />

dari pewaris mempunyai kemampuan untuk itu. Sedangkan dalam konsep kewarisan<br />

bilateral, anak laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama dalam urusan<br />

hajib-mahjub.<br />

Anehnya, bagi sebagian orang bentuk ketidaksetaraan laki-laki dengan perempuan<br />

dianggap sebagai sesuatu yang adil. Hal ini bukan saja ada dalam kewarisan Islam, bahkan<br />

beberapa peneliti ada yang menganggap hal itu sebagai bentuk keadilan. Crosby (1982),<br />

Feather (1990), Jacson dkk (1992) menemukan bahwa perempuan lebih mudah<br />

memberikan penilaian terhadap perbedaan derajat tersebut. Hal semacam ini cenderung<br />

menjadi false consciousness yang perlu perhatian dan usaha untuk memperbaikinya,<br />

sebab Al-Qur’an tidak pernah membedakan jenis kelamin dalam keadilan kewarisan.<br />

5. Prinsip Keadilan Berimbang dalam Hukum Kewarisan Islam<br />

Kata adil merupakan bahasa Indonesia yang berasalkan dari kata al-adlu, di dalam


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

163<br />

Al-Qur’an kata al-adlu atau turunannya disebut lebih dari 28 (dua puluh delapan) kali.<br />

Sebagian diantaranya diturunkan Allah dalam bentuk kalimat perintah dan sebagian dalam<br />

bentuk kalimat berita. Kata al-adlu itu dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan<br />

dalam arah yang berbeda pula. Sehingga akam memberikan definisi yang berbeda sesuai<br />

dengan konteks tujuan penggunaannya. 16 Dalam hubungan dengan hak yang menyangkut<br />

materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan kata tersebut dapat diartikan:<br />

keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan<br />

keperluan dan kegunaan.<br />

Atas dasar pengertian tersebut di atas terlihat jelas asas keadilan dalam pembagian<br />

harta warisan dalam <strong>hukum</strong> Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan<br />

gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya sebagaimana laki-laki dan<br />

perempuan mempunyai hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan warisan. Hal ini<br />

secara jelas disebut dalam Al-Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 7 yang menyamakan<br />

kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11-12,<br />

176 surat an-Nisa secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima warisan<br />

antara anak laki-laki, dan anak perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan istri (ayat<br />

12), saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12 dan 176).<br />

Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat dalam<br />

dua bentuk. Pertama: laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan;<br />

seperti ayah dengan ibu sama-sama mendapatkan seperenam dalam keadaan pewaris<br />

meninggalkan anak kandung, sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat 11 surat an-Nisa.<br />

Begitu pula dengan saudara laki-laki dengan saudara perempuan sama-sama mendapat<br />

seperenam. Apabila seorang pewaris tidak memiliki ahli waris langsung seperti suami/<br />

istri, anak, bapak dan ibu maka berlaku surat an-Nisa’ ayat 12. Kedua: laki-laki<br />

memperoleh bagian lebih banyak dua kali lipat dari yang di dapat oleh perempuan yaitu:<br />

anak laki-laki dengan anak perempuan, suami dengan isteri, sebagaimana tersebut dalam<br />

ayat 12 surat an-Nisa’.<br />

Ditinjau dari segi jumlah bagian saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan.<br />

Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam<br />

tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga<br />

dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum pria membutuhkan<br />

lebih banyak materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam<br />

ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap<br />

keluarganya termasuk para wanita; sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa’<br />

ayat 34.<br />

Bila dihubungkan dengan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggung jawab<br />

seperti disebutkan di atas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang dirasakan lakilaki<br />

sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya pria<br />

menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikan<br />

lagi kepada wanita, dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab<br />

atas wanita. Inilah konsep keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam.<br />

16<br />

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, Hlm. 24-27


MARYATI BACHTIAR<br />

VOLUME 164<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Walaupun kerabat garis ke atas, yaitu orang tua dan kerabat garis ke bawah yaitu<br />

anak sama-sama berhak atas harta warisan bahkan dalam surat An-Nisa ayat 11<br />

menyatakan bahwa keduanya mempunyai kedudukan yang sama, namun terdapat<br />

perbedaan dalam jumlah yang diterima. Anak rata-rata mendapatkan bagian yang lebih<br />

besar dibandingkan dengan apa yang diterima oleh orang tuanya. Adanya perbedaan ini<br />

dapat dikaji dari segi hak dan kewajiban, serta tanggung jawab, maka tanggung jawab<br />

orang tua terhadap anak lebih besar daripada tanggung jawab anak terhadap orang tua.<br />

Hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakekatnya merupakan kontinuitas<br />

tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya atau ahli waris berimbang dengan<br />

perbedaan tanggung jawab seseorang (yang kemudian menjadi pewaris) terhadap keluarga<br />

(yang kemudian menjadi ahli waris) bagi seorang laki-laki tanggung jawab yang utama<br />

adalah istri dan anak-anaknya merupakan kewajiban yang harus dipikulnya.<br />

Umur juga tidak menjadi faktor yang menentukan dalam pembagian harta warisan.<br />

Dilihat dari segi kebutuhan sesaat yaitu waktu menerima hak, terlihat bahwa kesamaan<br />

jumlah penerimaan antara yang besar dengan yang kecil tidaklah adil, tetapi tinjauan dari<br />

kebutuhan tidak bersifat saat dilangsungkannya pembagian harta warisan tetapi untuk<br />

jangka waktu yang lama sampai pada usia dewasa, yang kecil membutuhkan materi yang<br />

sama banyaknya dengan orang yang sudah dewasa. Bila dihubungkan dengan besarnya<br />

keperluan orang dewasa dengan lamanya keperluan bagi anak yang belum dewasa dan<br />

dikaitkan pula kepada perolehan yang sama dalam hak kewarisan, maka hasilnya<br />

keduanya akan mendapatkan kadar manfaat yang sama atas apa yang mereka terima.<br />

Inilah keadilan hakiki dalam pandangan Islam, yaitu keadilan berimbang dan bukan<br />

keadilan yang sama rata.<br />

C. Penutup<br />

Antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama kuat dalam mendapatkan<br />

harta warisan dari orang tuanya maupun dari saudaranya. Perempuan adalah ahli waris<br />

yang sangat dilindungi oleh <strong>hukum</strong> waris Islam. Anak perempuan sebagai dzawil furud<br />

apabila tidak ada anak laki-laki. Apabila ada anak laki-laki maka anak perempuan akan<br />

menjadi asobah bersama dengan anak laki-laki. Perbandingan antara suami dan istri<br />

dengan perbandingan (2:1), apabila suami sebagai satu-satunya orang yang bertanggung<br />

jawab ekonomi rumah tangga. Apabila suami bukan sebagai satu-satunya yang bertanggung<br />

jawab sebagai pencari nafkah, maka perbandingan ini bisa berubah. Hukum<br />

Waris Islam menetapkan laki-laki dan perempuan sebagai ahli waris terhadap orang tua<br />

laki-laki, orang tua perempuan dan terhadap saudaranya.<br />

Untuk dapat mencerminkan <strong>hukum</strong> kewarisan yang berkeadilan gender yaitu <strong>hukum</strong><br />

yang memperhatikan hak-hak laki-laki maupun perempuan, dengan tidak meninggalkan<br />

nilai-nilai keadilan Islam yaitu keadilan guna mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.<br />

Karena prinsip <strong>hukum</strong> Islam adalah untuk kemaslahatan umat atau “rahmatan lil alamin”<br />

yaitu rahmat untuk semua alam dengan mendahulukan musyawarah untuk mencapai<br />

mufakat dan tidak bersekutu dalam hal yang tidak diridhoi oleh Allah.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

165<br />

D. Daftar Pustaka<br />

Abdul Anshari Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2005.<br />

Adnan Taufik Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1994.<br />

Ahmad Azizi Qodri, Memahami Hukum, Wawasan, 13 Januari 1990.<br />

Amir Sarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004.<br />

Bambang Sugiharto, Post Modern Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996.<br />

Donald, Mac, Development of Muslim Theology, Jurisprudence Theory, Khayat Oriental<br />

Reprint, Beirut, 1965.<br />

Eman Suparman, Hukum Waris di Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005.<br />

Herry Santoso, Idiologi Patriarki dalam Ilmu-<strong>ilmu</strong> Sosial, Proyek Penelitian PSW UGM,<br />

Yogyakarta, 2001.<br />

Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1979.<br />

Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.<br />

—————————, Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1982.<br />

Kuhzari, Ahmad, Sistem Asobah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas harta Peninggalan,<br />

Dar Al-jail, Beirut, 1973.<br />

Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,<br />

1999.<br />

Qurtubi Sumanto, Al, Era Baru Figh Indonesia, Cermin, Yogyakarta, 1999.


VOLUME 166<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

SISTEM HUKUM PERKAWINAN PADA<br />

NEGARA HUKUM BERDASARKAN PANCASILA<br />

TENGKU ERWINSYAHBANA<br />

Asrama Singgasana I Kodam I/BB, Jl. Prasaja No. K-281 Medan<br />

Abstrak<br />

Perkawinan termasuk sebagai kebutuhan dasar<br />

(asasi) setiap manusia, yang tujuannya adalah untuk<br />

membentuk keluarga atau rumah tangga yang<br />

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang<br />

Maha Esa. Dimasukkannya unsur kalimat “Ketuhanan<br />

Yang Maha Esa” dalam pengertian perkawinan<br />

yang disebutkan pada Pasal 1 UU No. 1<br />

Tahun 1974, menunjukkan bahwa perkawinan<br />

tidak dapat dipandang hanya sebagai urusan yang<br />

bersifat pribadi (individual), melainkan harus juga<br />

dipandang sebagai hubungan <strong>hukum</strong> antara seorang<br />

pria dengan seorang wanita dalam satu<br />

rumah tangga yang memiliki nilai-nilai religius<br />

berdasarkan pada Pancasila sebagai falsafah hidup<br />

Bangsa Indonesia.<br />

Abstract<br />

Marriage is included as basic needs (rights) of every<br />

human being, whose goal is to establish a family or<br />

household who are happy and eternal by Belief in God<br />

Almighty. The inclusion of elements of the phrase “Belief<br />

in God Almighty” within the meaning of marriage<br />

mentioned in Article 1 of Law no. 1 of 1974, indicating<br />

that the marriage can not be viewed simply as a matter<br />

of personal (individual), but must also be viewed<br />

as the legal relationship between a man and a woman<br />

in a household that has religious values based on the<br />

Pancasila as a life philosophy of the Indonesian nation.<br />

Kata kunci: Perkawinan, negara <strong>hukum</strong>, Pancasila.<br />

A. Pendahuluan<br />

Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai berbagai macam<br />

kebutuhan dalam hidupnya dan setiap manusia tentu menginginkan pemenuhan<br />

kebutuhannya secara tepat untuk dapat hidup sebagai manusia yang sempurna, baik<br />

secara individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Maslow 1 mengatakan bahwa<br />

manusia akan selalu termotivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhankebutuhan<br />

ini memiliki tingkatan (hirarki). Maslow menyebutkan salah satu kebutuhan<br />

dasar manusia adalah kebutuhan untuk menyalurkan nafsu seksnya merupakan kebutuhan<br />

fisiologis (the physiological needs).<br />

Penyaluran nafsu seks dilakukan manusia dengan berbagai macam cara, ada dengan<br />

cara yang tidak lazim (misalnya hubungan kelamin sesama jenis) dan ada dengan cara<br />

yang lazim (sesuai norma-norma yang berlaku) yang dikenal dengan istilah perkawinan<br />

(pernikahan), tetapi perlu pula dimaklumi bahwa perkawinan tidak hanya untuk menyalurkan<br />

kebutuhan seks manusia, karena perkawinan mempunyai makna atau<br />

pengertian yang lebih luas lagi. Melalui perkawinan orang akan mendapat keturunan,<br />

maka perkawinan termasuk juga dalam kelompok kebutuhan akan rasa memiliki dan<br />

kasih sayang (the belongingness and love needs).<br />

Istilah kawin sebenarnya berasal dari bahasa Arab, disebut dengan kata nikah. 2 Alnikah<br />

yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Ada kalanya juga disebut<br />

1<br />

Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, Harper & Row Publishers, New York, 1970, hlm. 35-47.<br />

2<br />

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur’an,<br />

Jakarta, 1973, hlm. 468.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

167<br />

dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna<br />

bersetubuh, berkumpul dan akad. 3 Secara terminologi kawin atau nikah dalam bahasa<br />

Arab disebut juga “ziwaaj”, sehingga perkataan nikah mempunyai dua pengertian, yakni<br />

dalam arti yang sebenarnya (hakikat) dan dalam arti kiasan (majaaz). 4 Dalam pengertian<br />

sebenarnya nikah disebut dengan dham yang berarti “menghimpit”, “menindih”, atau<br />

“berkumpul”, sedangkan dalam pengertian kiasannya disebut dengan istilah “wathaa”<br />

yang berarti “setubuh”. Perkataan nikah dalam bahasa sehari-hari lebih banyak dipakai<br />

dalam arti kiasan daripada arti sebenarnya, bahkan nikah dalam arti sebenarnya jarang<br />

sekali dipakai pada saat ini. 5<br />

Wirjono Prodjodikoro, 6 mengatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama dari<br />

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dan<br />

jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat<br />

lahir dan bathin dengan dasar iman. Di antara yang berpendapat demikian mengatakan,<br />

bahwa kalau dipandang sepintas lalu saja, maka suatu perkawinan merupakan suatu<br />

persetujuan belaka dalam masyarakat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,<br />

seperti misalnya suatu persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain. Sayuti Thalib 7<br />

menganggap bahwa perkawinan sebagai perjanjian suci antara seorang laki-laki dan<br />

seorang perempuan untuk membentuk keluarga, sedang R. Subekti 8 mengatakan bahwa<br />

perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan<br />

untuk waktu yang lama.<br />

Perkawinan merupakan penjanjian (akad), tetapi makna penjanjian yang dimaksudkan<br />

di sini berbeda dengan perjanjian seperti yang di atur dalam Buku III KUH Perdata.<br />

Perkawinan merupakan perjanjian yang tujuannya adalah untuk mewujudkan kebahagiaan<br />

antara kedua belah pihak (pasangan suami dan isteri), tidak dibatasi dalam waktu tertentu<br />

dan mempunyai sifat religius (adanya aspek ibadah), bahkan Sidi Gazalba seperti yang<br />

dikutip Idris Ramulyo, 9 mengatakan bahwa tidak merupakan perkawinan jika ikatan lahir<br />

batin tersebut tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan<br />

Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama/<br />

kerohanian, dengan demikian perkawinan tidak hanya mempunyai unsur lahir/jasmani,<br />

tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting.<br />

3<br />

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan<br />

Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 38. Bandingkan<br />

juga dengan A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif,<br />

Surabaya, Cetakan Keduapuluh Lima, 2002, hlm. 1461. Lihat juga As-Shan’ani, Subulus Salam,<br />

Penerjemah Abu Bakar Muhammad, Al-Ikhlas, Surabaya, Cetakan Pertama, 1995, hlm. 393.<br />

4<br />

Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Juz. IV, Beirut, t.t, hlm. 1-3.<br />

Lihat juga Maghfirah, “Definisi Nikah dan Pengaruhnya terhadap Istimbath Hukum, Jurnal Hukum<br />

Islam, Vol. VIII-No, 6, Desember 2007, hlm. 648.<br />

5<br />

Rachmadi Usman (1), Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika,<br />

Jakarta, 2006, hlm. 268.<br />

6<br />

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1981, hlm. 7-8.<br />

7<br />

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia, UI-Press, Jakarta, Cetakan Kelima, 1986, hlm. 47.<br />

8<br />

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hlm. 23.<br />

9<br />

Mohd. Idris Ramulyo (1), Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan<br />

Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 44.


TENGKU ERWINSYAHBANA<br />

VOLUME 168<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

B. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai Dasar<br />

Hukum Keluarga Indonesia<br />

Hukum keluarga merupakan <strong>hukum</strong> yang paling tua dibandingkan jenis <strong>hukum</strong> lain,<br />

karena ketika berbicara keluarga maka yang perlu disepakati bahwa keluarga itu<br />

merupakan unit terkecil dalam masyarakat, yang minimal terdiri dari seorang suami dan<br />

seorang isteri. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, dan dengan memaknai adagium<br />

“ubi sociates ibi ius” (di mana ada masyarakat di situ ada <strong>hukum</strong>), maka dapat dikatakan<br />

bahwa bagian dari <strong>hukum</strong> keluarga yang paling tua adalah <strong>hukum</strong> perkawinan. Seperti<br />

yang dikatakan Muhammad Amin Summa 10 bahwa dari keluarga baru terbentuk<br />

masyarakat yang lebih banyak dan lebih luas, maka sejak saat itu baru mulai berkembang<br />

<strong>hukum</strong>-<strong>hukum</strong> publik seperti <strong>hukum</strong> tata negara, <strong>hukum</strong> administrasi negara, <strong>hukum</strong><br />

pidana dan bidang-bidang <strong>hukum</strong> lainnya.<br />

Berbicara mengenai <strong>hukum</strong> keluarga, maka tidak terlepas dari persoalan <strong>hukum</strong><br />

perkawinan, sebab keluarga terbentuk melalui perkawinan. Setelah terjadinya perkawinan<br />

maka terbentuk hubungan <strong>hukum</strong> antara isteri dengan suami, termasuk pula hubungan<br />

yang terkait dengan harta dalam perkawinan. Selanjutnya jika dari perkawinan itu lahir<br />

anak, maka terbentuk pula hubungan antara orang tua dengan anak/anak-anak. Secara<br />

sederhana maka dapat dikatakan bahwa <strong>hukum</strong> keluarga merupakan <strong>hukum</strong> yang<br />

mengatur hubungan suami dengan isteri, hubungan antara orang tua dengan anak-anak,<br />

serta hubungan yang terkait dengan harta benda perkawinan, atau aturan <strong>hukum</strong><br />

mengenai hubungan <strong>hukum</strong> yang terjadi karena adanya hubungan kekeluargaan, baik<br />

karena hubungan keluarga sedarah (pertalian keluarga dari leluhur yang sama), maupun<br />

hubungan keluarga yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan antara suami isteri<br />

(hubungan semenda).<br />

Melalui ikatan perkawinan, sebenarnya juga akan terjadi hubungan yang nantinya<br />

baru ada setelah meninggalnya salah satu anggota keluarga, yaitu terkait dengan hak<br />

untuk mewarisi terhadap harta dari pewaris (anggota keluarga yang meninggal dunia).<br />

Suatu pertanyaan yang muncul adalah: “apakah <strong>hukum</strong> waris merupakan bagian dari<br />

<strong>hukum</strong> keluarga” Kalau melihat sebab timbulnya hak untuk mewarisi karena ikatan<br />

perkawinan, maka <strong>hukum</strong> waris seharusnya juga termasuk bagian dari <strong>hukum</strong> keluarga,<br />

tetapi jika melihat sistematika <strong>hukum</strong> perdata menurut doktrin, maka sistematika <strong>hukum</strong><br />

keluarga dengan <strong>hukum</strong> waris dipisahkan.<br />

Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur <strong>hukum</strong> keluarga di<br />

Indonesia belum ada, tetapi secara subtansial terjelmakan dalam UU No. 1 Tahun 1974,<br />

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP No. 9 Tahun 1975) tentang Pelaksanaan<br />

UU No. 1 Tahun 1974, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi<br />

Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang<br />

Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. 11 Ketiga peraturan<br />

10<br />

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.<br />

4-5.<br />

11<br />

Ahmad Zaenal Fanani, “Membumikan Hukum Keluarga Berperspektif Keadilan Jender” Makalah, Bahan<br />

Penyuluhan Hukum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 1 Tahun 1974 tetang<br />

Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI<br />

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2002, hlm. 3.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

169<br />

perundang-undangan tersebut merupakan sumber <strong>hukum</strong> materiil yang menjadi rujukan<br />

utama <strong>hukum</strong> keluarga dalam lingkungan Peradilan Agama, 12 sebagai pengadilan yang<br />

salah satu kewenangannya adalah menangani masalah-masalah <strong>hukum</strong> keluarga bagi<br />

orang yang beragama Islam.<br />

Hukum keluarga yang berlaku di Indonesia masih terserak dalam beberapa aturan<br />

<strong>hukum</strong>, karena persoalan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, belum sepenuhnya<br />

dapat dikatakan sebagai bentuk unifikasi <strong>hukum</strong> dalam lapangan <strong>hukum</strong> keluarga.<br />

Sebagian aturan <strong>hukum</strong> keluarga lainnya masih terdapat dalam KUH Perdata dan masih<br />

berlaku sampai sekarang. Dasarnya bahwa ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata<br />

(BW) yang dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974, hanyalah terbatas<br />

pada ketentuan “perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan”.<br />

Pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1974 sebenarnya sekaligus merupakan upaya untuk<br />

melaksanakan unifikasi <strong>hukum</strong> keluarga, khususnya dalam bidang perkawinan dan aspek<br />

lain yang terkait dengan perkawinan, tetapi unifikasi yang dimaksudkan belum sesempurna<br />

seperti yang diharapkan. 13 Untuk mengatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 belum<br />

mengatur semua aspek-aspek yang terkait dengan <strong>hukum</strong> keluarga, maka perlu dilihat<br />

substansi UU No. 1 Tahun 1974, yang secara garis besarnya mengatur tentang: (1) dasar<br />

perkawinan; (2) syarat-syarat perkawinan; (3) pencegahan perkawinan; (4) batalnya<br />

perkawinan; (5) perjanjian perkawinan, (6) hak dan kewajiban suami isteri, (7) harta benda<br />

dalam perkawinan, (8) putusnya perkawinan serta akibatnya; (9) kedudukan anak; (10)<br />

hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, (11) perwalian, (12) pembuktian asal usul<br />

anak; (13) perkawinan di luar Indonesia; dan (14) perkawinan campuran.<br />

Melihat hal-hal diatur dalam UU No 1 Tahun 1974, yang jika dibandingkan dengan<br />

aturan <strong>hukum</strong> keluarga yang terdapat dalam KUH Perdata, maka ada beberapa hal yang<br />

tidak diatur dalam UU No 1 Tahun 1974, tetapi diatur dalam KUH Perdata, yaitu tentang:<br />

(1) anak angkat (adopsi), (2) orang yang hilang (tiada ditempat); dan (3) orang yang<br />

diletakkan di bawah pengampuan (curatele). Dengan demikian, apabila terjadi peristiwa<br />

<strong>hukum</strong> pengangkatan anak, orang hilang dan pengampuan, maka ketentuan yang terdapat<br />

di dalam KUH Perdata digunakan sebagai dasar <strong>hukum</strong>nya. Oleh sebab itu, walaupun<br />

secara garis besarnya UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan merupakan upaya unifikasi <strong>hukum</strong>,<br />

tetapi sesungguhnya unifikasi tersebut belum sempurna, kecuali hanya usaha unifikasi<br />

dalam bidang <strong>hukum</strong> perkawinan dan unifikasi dalam bidang <strong>hukum</strong> perkawinan ini juga<br />

belum sempurna seperti yang diharapkan.<br />

12<br />

Terkait kewenangan Peradilan Agama terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama<br />

jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo<br />

UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 7 tahun 1989. Dalam pasal 49, ada 9<br />

(sembilan) kewenangan Pengadilan Agama untuk menangani persoalan <strong>hukum</strong> umat Islam di bidang<br />

perkara tertentu yaitu (1) perkawinan, (2) waris, (3) wasiat, (4) hibah, (5) wakaf, (6) infaq, (7) shadaqah,<br />

(8) zakat dan (9) ekonomi syari’ah. Ulasan lengkap tentang Pengadilan Agama Lihat M. Yahya Harahap,<br />

Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi<br />

Kedua, 2007, hlm. 17. Lihat juga Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di<br />

Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 6.<br />

13<br />

Djuhaendah Hasan mengatakan bahwa ketentuan tentang <strong>hukum</strong> keluarga yang diatur dalam UU No.<br />

1 Tahun 1974 hanya secara garis besarnya saja, apabila terdapat kekurangan maka harus dicari pada<br />

<strong>hukum</strong> yang berlaku sebelumnya sesuai Pasal 66. Lihat Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah<br />

Berlakunya UU No. 1/1974 (Menuju ke Hukum Keluarga Nasional), Armico, Bandung, 1988, hlm. 18.


TENGKU ERWINSYAHBANA<br />

VOLUME 170<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

C. Perkawinan pada Negara Hukum yang Berdasarkan Pancasila<br />

Sistem <strong>hukum</strong> tidak dapat dimaknai hanya dalam pengertian hubungan antara aturan<br />

yang satu dengan aturan lainnya dalam jenjang hirarkis, tetapi juga mencakup pengertian<br />

lembaga (organinasi), diikuti dengan proses penegakan <strong>hukum</strong> yang dilaksanakan oleh<br />

suatu otoritas lembaga (organisasi) yang berwenang. Keberhasilan proses penegakan<br />

<strong>hukum</strong> sangat terkait dengan tercapainya rasa keadilan masyarakat sebagai elemen<br />

penting dalam sistem <strong>hukum</strong> yang demokratis. John Rawls 14 melihat pentingnya sistem<br />

<strong>hukum</strong> untuk melaksanakan prinsip kebebasan dan keadilan, oleh karena itu kehadiran<br />

sistem <strong>hukum</strong> merupakan suatu keharusan dalam suatu masyarakat. Menurut Rawls<br />

bahwa suatu sistem <strong>hukum</strong> adalah suatu perintah yang sifatnya memaksa yang dipayungi<br />

peraturan-peraturan bagi publik yang ditujukan untuk kepentingan individu warga<br />

masyarakat sebagai petunjuk demi tercapainya tertib sosial.<br />

Friedman mengatakan bahwa keberhasilan dalam penegakan <strong>hukum</strong> selalu<br />

menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem <strong>hukum</strong>, yang terdiri dari tiga<br />

komponen, yakni komponen struktur <strong>hukum</strong> (legal structure),komponen substansi <strong>hukum</strong><br />

(legal substance) dan komponen budaya <strong>hukum</strong> (legal culture). Struktur <strong>hukum</strong><br />

merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi <strong>hukum</strong><br />

aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga,<br />

kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur<br />

atau budaya <strong>hukum</strong> merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan,<br />

harapan-harapan dan pendapat tentang <strong>hukum</strong>, 15 dan dalam perkembangan berikutnya,<br />

Friedman menambahkan komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak<br />

<strong>hukum</strong> (legal impact). 16<br />

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam sistem <strong>hukum</strong> tidak<br />

hanya berbicara mengenai hubungan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya,<br />

tetapi termasuk juga di dalamnya lembaga atau organisasi yang mempunyai otorisasi<br />

untuk membentuk dan menjalankan sistem <strong>hukum</strong> tersebut. Sistem tersusun atas<br />

sejumlah sub sistem sebagai komponennya yang saling berkaitan dan berinteraksi.<br />

Menurut Mochtar Kusumaatmadja komponen sistem <strong>hukum</strong> itu terdiri atas: (1) asasasas<br />

dan kaidah-kaidah; (2) kelembagaan <strong>hukum</strong>; dan (3) proses-proses perwujudan<br />

kaidah-kaidah dalam kenyataan. 17<br />

Berbicara tentang sistem <strong>hukum</strong> perkawinan, maka perlu dipahami bahwa sistem<br />

<strong>hukum</strong> yang dimaksudkan di sini adalah sistem <strong>hukum</strong> nasional yang didasarkan pada<br />

landasan ideologi dan konstitusional negara (Pancasila dan UUD 1945), dengan kata lain<br />

merupakan sistem <strong>hukum</strong> yang dibangun di atas kreativitas dan aktivitas yang didasarkan<br />

14<br />

John Rawls, A Theory of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts,<br />

1971, hlm. 235.<br />

15<br />

Lawrence M. Friedman (1), Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc., New Jersey, 1977, hlm.<br />

6-7. Lihat juga dalam Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi,<br />

Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 11.<br />

16<br />

Lawrence M. Friedman (2), American Law: An invalueable Guide to The Many Faces of The Law, and How<br />

it Affects Our Daily Lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 16.<br />

17<br />

Bernard Arief Sidharta “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jurnal Hukum Jentera,<br />

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, Edisi 3-Tahun II, November 2004, hlm. 76-77.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

171<br />

pada cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri, tetapi pada sisi lain juga tidak terlepas dari<br />

sistem <strong>hukum</strong> perkawinan yang masih bercorak plurastik.<br />

Bangsa Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang diangkat dari nilai-nilai yang<br />

telah dimilikinya sebelum membentuk suatu negara moderen. Nilai-nilai tersebut berupa<br />

nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, serta nilai religius yang kemudian dikristalisasikan<br />

menjadi suatu sistem nilai yang disebut Pancasila. Dalam upaya untuk membentuk suatu<br />

persekutuan hidup yang disebut negara, maka bangsa Indonesia mendasarkannya pada<br />

suatu pandangan hidup yang telah dimilikinya yaitu Pancasila. Sesuai ciri khasnya ini dan<br />

proses pembentukan negara, maka bangsa Indonesia mendirikan negara yang memiliki<br />

karakteristik yang berbeda dengan negara lain, oleh sebab itu istilah negara <strong>hukum</strong><br />

Indonesia tentunya harus dibedakan dengan istilah negara <strong>hukum</strong> pada negara lain. Atas<br />

dasar ini pula ciri <strong>hukum</strong> di Indonesia tidak dapat disamakan dengan ciri <strong>hukum</strong> yang<br />

berlaku di negara lain, tetapi tidak berarti bahwa asas-asas <strong>hukum</strong> yang berlaku umum<br />

pada setiap negara yang ada di dunia dan diakui oleh bangsa-bangsa lain diabaikan<br />

(dikesampingkan).<br />

Hukum sebenarnya berakar dan terbentuk dari berbagai aspek kehidupan masyarakat,<br />

sehingga secara tidak langsung sebenarnya <strong>hukum</strong> itu sendiri ikut membentuk<br />

tatanan kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, sedapat mungkin dalam pembentukan<br />

<strong>hukum</strong> suatu negara hendaklah memperhatikan aspek dan nilai-nilai yang hidup dan<br />

berkembang dalam masyarakat, sehingga tidak menjadikan produk <strong>hukum</strong> itu sendiri<br />

berdampak negatif bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam<br />

masyarakat. Atas dasar ini, maka <strong>hukum</strong> yang dirumuskan dalam bentuk peraturan<br />

perundang-undangan harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam<br />

masyarakat, dan nilai-nilai yang dimaksud di Negara Indonesia adalah nilai-nilai yang<br />

telah terkristalisasi dalam Pancasila.<br />

Berbicara tentang <strong>hukum</strong> dan negara <strong>hukum</strong>, maka pertama kali yang muncul dalam<br />

pemikiran seseorang adalah terkait makna negara <strong>hukum</strong> itu sendiri. Jimly Asshiddiqie<br />

pernah mengatakan bahwa: 18<br />

“Gagasan negara <strong>hukum</strong> dibangun dengan mengembangkan perangkat <strong>hukum</strong><br />

sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata<br />

suprastruktur dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib<br />

dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran <strong>hukum</strong> yang<br />

rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.<br />

Oleh sebab itu, sistem <strong>hukum</strong> perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law<br />

enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai <strong>hukum</strong> yang<br />

paling tinggi kedudukannya. Jaminan tegaknya konstitusi sebagai <strong>hukum</strong> dasar yang<br />

berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah<br />

Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai “the guardian” dan sekaligus “the<br />

ultimate interpreter of the constitution”.<br />

18<br />

Jimly Asshiddiqie (1), “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, http://jimly.com, diakses tanggal 17 Oktober<br />

2 0 1 1 .


TENGKU ERWINSYAHBANA<br />

VOLUME 172<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Negara <strong>hukum</strong> sering disamakan dengan istilah “rechtsstaat” dan “the rule of law”.<br />

Istilah rechtsstaat dan the rule of law pada hakikatnya mempunyai makna berbeda.<br />

Istilah rechtsstaat banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu<br />

pada sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak dikembangkan di negara-negara<br />

Anglo Saxon yang bertumpu pada Common law. Civil law menitikberatkan pada<br />

administration law, sedangkan common law menitikberatkan pada judicial. 19<br />

Oemar Seno Adjie 20 mengemukakan tiga bentuk negara <strong>hukum</strong> yaitu: rechtstaat<br />

dan rule of law, socialist legality dan negara <strong>hukum</strong> Pancasila. Antara rechtstaat dan<br />

rule of law memiliki basis yang sama. Konsep rule of law hanya pengembangan semata<br />

dari konsep rechtstaats, sedangkan antara konsep rule of law dengan socialist legality<br />

mengalami perkembangan sejarah dan idiologi yang berbeda, di mana rechtstaats dan<br />

rule of law berkembang di negara Inggris, Eropa kontinental dan Amerika Serikat. Konsep<br />

socialist legality berkembang di negara-negara komunis dan sosialis. Ketiga konsep itu<br />

lahir dari akar sama, yaitu manusia sebagai titik sentral (antropocentric) yang<br />

menempatkan rasionalisme, humanisme serta sekularisme sebagai nilai dasar yang menjadi<br />

sumber nilai.<br />

UUD 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara <strong>hukum</strong>. Semula istilah<br />

negara <strong>hukum</strong> hanya dimuat pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara<br />

Indonesia berdasar atas <strong>hukum</strong> (rechtstaats), tidak berdasar atas kekuasaan belaka<br />

(machtstaat), tetapi maksud rechtstaat dalam konsepsi UUD 1945 dan cara<br />

implementasinya dalam kehidupan negara tidak ditemui penjelasan lebih lanjut. Oleh sebab<br />

itu, konsep negara <strong>hukum</strong> barat seperti yang dikemukakan oleh Julius Stahl dapat dijadikan<br />

standar (ukuran) untuk menentukan elemen penting dari negara <strong>hukum</strong> yang diistilahkan<br />

dengan rechtstaat, yaitu perlindungan hak asasi manusia (HAM), pembagian kekuasaan<br />

pemerintahan negara, pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang, serta<br />

peradilan tata usaha negara. 21 Demikian pula pandangan dari A.V. Dicey yang dianggap<br />

sebagai orang pertama yang mengembangkan istilah rule of law dalam tradisi sistem<br />

<strong>hukum</strong> Anglo-Amerika, yang menurutnya rule of law mengandung tiga elemen penting,<br />

yaitu: absolute supremacy of law, equality before the law dan due process of law, dan<br />

ketiga konsep ini sangat terkait dengan kebebasan individu serta hak-hak asasi manusia. 22<br />

Semua konsep negara <strong>hukum</strong> barat ini bermuara pada perlindungan atas hak-hak<br />

dan kebebasan individu yang dapat diringkas dalam istilah dignity of man dan pembatasan<br />

kekuasan, serta tindakan negara untuk menghormati hak-hak individu yang harus<br />

diperlakukan sama. Oleh sebab itu harus ada pemisahan kekuasaan negara untuk<br />

menghindari absolutisme dari satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya,<br />

serta perlunya lembaga peradilan yang independen untuk mengawasi dan jaminan<br />

dihormatinya aturan-aturan <strong>hukum</strong> yang berlaku, dan dalam praktik negara-negara Eropa<br />

19<br />

Lihat Azyumardi Azra dalam Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani,<br />

Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 117.<br />

20<br />

Oemar Seno Adjie, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 34.<br />

21<br />

Jimly Asshiddiqie (2), Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah<br />

Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 152.<br />

22<br />

A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law and the Constitution, MacMilland and Co., Ninth Edition,<br />

London, 1952, hlm. 202-203.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

173<br />

Kontinental memerlukan peradilan administrasi negara untuk mengawasi tindakan<br />

pemerintah agar tetap sesuai dan konsisten dengan ketentuan <strong>hukum</strong>. Atas dasar ini<br />

dapat dikatakan bahwa pandangan negara <strong>hukum</strong> barat didasari oleh semangat<br />

pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak individu.<br />

Setelah mengkaji perkembangan praktik negara-negara <strong>hukum</strong> moderen, Jimly<br />

Asshiddieqie, 23 akhirnya menyimpulkan bahwa ada duabelas prinsip pokok negara <strong>hukum</strong><br />

(rechtstaat) yang berlaku di zaman sekarang, yaitu supremasi <strong>hukum</strong> (supremacy of<br />

law), persamaan dalam <strong>hukum</strong> (equality before the law), asas legalitas (due process of<br />

law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan<br />

tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan HAM,<br />

bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara serta<br />

transparansi dan kontrol sosial. Keduabelas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama<br />

yang menyangga berdiri tegaknya satu negara <strong>hukum</strong> moderen dalam arti yang<br />

sebenarnya.<br />

Negara <strong>hukum</strong> Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara <strong>hukum</strong> Pancasila<br />

memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara <strong>hukum</strong> yang dikenal<br />

di barat, walaupun negara <strong>hukum</strong> sebagai genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan<br />

UUD 1945 terinspirasi dari konsep negara <strong>hukum</strong> yang dikenal di barat dan jika membaca<br />

dan memahami yang dibayangkan Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945 jelas<br />

merujuk pada konsep rechtstaat, karena negara <strong>hukum</strong> dipahami sebagai konsep barat. 24<br />

Terinspirasi dari konsep negara <strong>hukum</strong> barat dalam hal ini rechtstaat, maka UUD 1945<br />

menghendaki elemen-elemen rechtstaat maupun rule of law menjadi bagian dari prinsipprinsip<br />

Negara Hukum Indonesia.<br />

Berbeda dengan rechtstaat dan rule of law, serta socialist legality, maka dalam<br />

negara <strong>hukum</strong> yang berdasarkan Pancasila atau yang dapat diistilahkan sebagai Negara<br />

Hukum Pancasila, selain memiliki unsur-unsur elemen yang sama dengan elemen negara<br />

<strong>hukum</strong> dalam rechtstaat maupun rule of law, juga memiliki unsur-unsur yang spesifik<br />

yang menjadikan negara <strong>hukum</strong> Indonesia berbeda dengan konsep negara <strong>hukum</strong> yang<br />

dikenal secara umum. Menurut Hamdan Zoelva, 25 bahwa perbedaan ini terletak pada<br />

nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung<br />

Pancasila dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta tidak adanya pemisahan<br />

antara negara dan agama, prinsip musyawarah dalam pelaksanaan kekuasaan<br />

pemerintahan, prinsip keadilan sosial, kekeluargaan dan gotong royong serta <strong>hukum</strong> yang<br />

mengabdi pada keutuhan negara kesatuan Indonesia.<br />

23<br />

Jimly Asshiddiqie (2), Op. Cit., hlm. 151-162.<br />

24<br />

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa negara <strong>hukum</strong> adalah konsep modern yang tidak tumbuh dari<br />

dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara <strong>hukum</strong> adalah bangunan yang<br />

“dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses menjadi negara <strong>hukum</strong> bukan menjadi<br />

bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa, tetapi apa yang<br />

dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945,<br />

demikian juga rumusan terakhir negara <strong>hukum</strong> dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu<br />

yang berbeda dengan konsep negara <strong>hukum</strong> barat dalam arti rechtstaat maupun rule of law. Lihat dalam<br />

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 48.<br />

25<br />

Hamdan Zoelva, “Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila,” http://www.setneg.go.id., diakses tanggal<br />

2 November 2010.


TENGKU ERWINSYAHBANA<br />

VOLUME 174<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Pancasila sebagai dasar negara memberikan arti bahwa segala sesuatu yang<br />

berhubungan dengan kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia harus berdasarkan<br />

Pancasila. Peraturan yang berlaku di negara Republik Indonesia harus bersumber pada<br />

Pancasila, karena Pancasila adalah sumber dari segala sumber <strong>hukum</strong>. Oleh karena itu,<br />

semua tindakan kekuasaan atau kekuatan dalam masyarakat harus berdasarkan peraturan<br />

<strong>hukum</strong>, selanjutnya <strong>hukum</strong> juga yang berlaku sebagai norma di dalam negara, sehingga<br />

Negara Indonesia harus dibangun menjadi sebuah negara <strong>hukum</strong>.<br />

Sesuai dengan makna negara <strong>hukum</strong> yang berdasarkan Pancasila, maka bangsa<br />

Indonesia memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan, serta sifat religius dan dalam<br />

pengertian inilah maka bangsa Indonesia pada hakikatnya dikatakan sebagai bangsa yang<br />

ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana<br />

terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada Negara<br />

Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan antara agama<br />

dengan negara dan juga bukan merupakan negara agama yaitu negara yang mendasarkan<br />

atas agama tertentu. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa yang menunjukkan bahwa<br />

negara Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama, terlihat jelas dalam<br />

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, yang memberikan pengertian bahwa perkawinan ialah<br />

ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan<br />

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan<br />

Ketuhanan Yang Maha Esa.<br />

Sebenarnya perkawinan merupakan perbuatan <strong>hukum</strong> yang sangat erat kaitannya<br />

dengan nilai-nilai agama, tetapi mengingat adanya plurarisme agama di Indonesia, maka<br />

tidak mungkin membuat aturan <strong>hukum</strong> perkawinan yang semata-mata hanya didasarkan<br />

pada satu nilai-nilai agama tertentu dengan mengabaikan nilai-nilai yang terdapat pada<br />

agama lain. Oleh sebab itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa tujuan perkawinan<br />

adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan<br />

Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 angka 3<br />

disebutkan pula bahwa sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang<br />

Dasar 1945, maka undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsipprinsip<br />

yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di<br />

lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat<br />

dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur<br />

dan ketentuan-ketentuan <strong>hukum</strong> agamanya dan kepercayaannya itu dari yang<br />

bersangkutan.<br />

Sesuai dengan Penjelasan Umum tersebut, terlihat bahwa Indonesia juga bukan negara<br />

sekuler yang memisah antara agama dan negara. Bahkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.<br />

1 Tahun 1974 ditegaskan pula bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut<br />

<strong>hukum</strong> masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini menunjukkan bukti<br />

bahwa walaupun negara menginginkan adanya aturan <strong>hukum</strong> perkawinan yang<br />

merupakan produk negara (legislatif), tetapi tidak berarti aturan <strong>hukum</strong> yang terdapat<br />

dalam <strong>hukum</strong> agama ataupun kepercayaan seseorang dikesampingkan oleh negara,<br />

berhubung masalah perkawinan sangat erat kaitannya dengan agama. Oleh sebab itu,


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

175<br />

menurut Sution Usman Adji 26 dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 dengan<br />

pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyangkut berbagai<br />

aspek, antara lain: aspek sosial, aspek ekonomi, aspek budaya, aspek politik, aspek agama,<br />

aspek kejiwaan dan aspek <strong>hukum</strong>.<br />

Adanya rumusan kalimat “... dilakukan menurut <strong>hukum</strong> masing-masing agamanya<br />

dan kepercayaannya itu” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menunjukkan<br />

makna bahwa aspek agama tidak dapat diabaikan oleh para pihak yang akan<br />

melangsungkan perkawinan, dengan kata lain bahwa suatu perkawinan baru dianggap<br />

sah, jika pelaksanaannya telah sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh para pihak<br />

yang melangsungkan perkawinan. Berbeda misalnya dengan aturan <strong>hukum</strong> perkawinan<br />

yang terdapat dalam KUHPerdata yang di dalam Pasal 26 disebutkan bahwa undangundang<br />

memandang perkawinan dari hubungan keperdataan. Menurut Subekti 27 bahwa<br />

Pasal 26 ini hendak menyatakan sahnya perkawinan hanyalah perkawinan yang memenuhi<br />

syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUHPerdata, sedangkan syarat-syarat menurut<br />

<strong>hukum</strong> agama dikesampingkan. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 26 KUHPerdata<br />

tentunya tidak sesuai dengan negara <strong>hukum</strong> Indonesia yang berdasarkan Pancasila, karena<br />

Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara,<br />

sedangkan salah satu aspek dalam perkawinan adalah aspek agama.<br />

Berbeda dengan perkawinan dalam sistem Negara Hukum Pancasila, sebagaimana<br />

yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka perkawinan tidak lagi dapat dipandang<br />

hanya sebagai hubungan individual antara pria (suami) pada satu sisi dengan wanita (isteri)<br />

pada sisi lainnya (dalam pengertian hubungan yang hanya bersifat keperdataan), tetapi<br />

harus dipandang sebagai ikatan suci (ikatan lahir bathin) yang didasarkan Ketuhanan<br />

Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Sidi Gazalba sebagaimana yang<br />

dikutip oleh Mohd. Idris Ramulyo 28 bahwa tidak merupakan perkawinan jika ikatan lahir<br />

batin tersebut tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan “tidak berdasarkan<br />

Ketuhanan Yang Maha Esa”.<br />

D. Penutup<br />

Persoalan mendasar dalam bidang <strong>hukum</strong> pada masa sekarang terutama terkait<br />

dengan masalah ketidakpastian <strong>hukum</strong>, sehingga sering menjadi hambatan dalam kegiatan<br />

penyelenggaraan negara dan pembangunan. Hal ini terjadi karena peraturan perundangundangan<br />

yang masih tumpang tindih, tidak konsisten, tidak jelas atau multitafsir. Selain<br />

itu juga disebabkan oleh adanya peraturan perundang-undangan, baik pada tataran<br />

undang-undang maupun peraturan pelaksana di bawahnya yang merupakan produk<br />

kolonial masih berlaku di Indonesia yang sebenarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai yang<br />

terkandung dalam Pancasila.<br />

Ketidakpastian <strong>hukum</strong> juga terdapat dalam bidang <strong>hukum</strong> perkawinan, hal ini terjadi<br />

26<br />

Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 3.<br />

27<br />

R. Subekti, Op. Cit, 1985, hlm. 23.<br />

28<br />

Lihat dalam Mohd. Idris Ramulyo (1), Op. Cit., hlm. 44. Lihat juga dalam Mohd. Idris Ramulyo (2),<br />

Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum<br />

Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 2.


TENGKU ERWINSYAHBANA<br />

VOLUME 176<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

karena adanya ketentuan dalam Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan bahwa<br />

ketentuan <strong>hukum</strong> produk kolonial dinyatakan tidak berlaku, tetapi hanyalah terbatas<br />

pada ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang ini. Dapat ditafsirkan bahwa,<br />

jika suatu aturan yang terkait dengan perkawinan tidak ada diatur dalam UU No. 1 Tahun<br />

1974, maka dasar <strong>hukum</strong> yang dipergunakan tentunya dikembalikan pada aturan <strong>hukum</strong><br />

produk kolonial, padahal secara yuridis normatif aturan <strong>hukum</strong> tersebut tidak sesuai<br />

dengan Pancasila sebagai falsafah Bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan<br />

bahwa usaha unifikasi <strong>hukum</strong> dalam bidang perkawinan belum sempurna dan akibatnya<br />

tentu belum dapat menjamin adanya kepastian <strong>hukum</strong> dalam bidang <strong>hukum</strong> perkawinan.<br />

Semestinya <strong>hukum</strong> harus memberikan jaminan bagi terciptanya kepastian <strong>hukum</strong><br />

yang didukung oleh tiga hal yang saling terintegrasi satu sama lainnya, yaitu substansi<br />

<strong>hukum</strong> (legal subtance), struktur <strong>hukum</strong> (legal structur) dan budaya <strong>hukum</strong> (legal<br />

culture). Salah satu unsur saja tidak bisa terpenuhi, kepastian <strong>hukum</strong> akan menjadi sebuah<br />

wacana dan mimpi di siang bolong, dan untuk mewujudkan kepastian <strong>hukum</strong> pada sebuah<br />

negara yang berlandaskan <strong>hukum</strong>, harus didukung dengan keberadaan peraturan<br />

perundang-undangan yang memadai dan mengakomodir semua permasalahan dalam<br />

bidang <strong>hukum</strong>, inilah yang dimaksudkan oleh Friedman sebagai substansi <strong>hukum</strong>.<br />

E. Daftar Pustaka<br />

Buku/Kamus<br />

A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law and the Constitution, MacMilland and<br />

Co., London, Ninth Edition, 1952.<br />

A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif,<br />

Surabaya, Cetakan Keduapuluh Lima, 2002.<br />

Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Juz. IV, Beirut, t.t.<br />

Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, Harper & Row Publishers, New York, 1970.<br />

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi<br />

Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada<br />

Media, Jakarta, 2004.<br />

As-Shan’ani, Subulus Salam, Penerjemah Abu Bakar Muhammad, Al-Ikhlas, Surabaya,<br />

Cetakan Pertama, 1995.<br />

Dadan Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum<br />

Indonesia, UII-Press, Yogyakarta, Edisi Kedua, 1999.<br />

Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah Berlakunya UU No. 1/1974 (Menuju Ke<br />

Hukum Keluarga Nasional), Armico, Bandung, 1988.<br />

Eman Suparman, Hukum Waris Islam Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,<br />

Refika Aditama, Bandung, Cetakan Ketiga, 2011.<br />

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translators Anders Wedberg, Russel<br />

and Russel, New York, 1945.<br />

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kecana,<br />

Jakarta, 2008.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

177<br />

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal<br />

Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.<br />

Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable Guide to The Many Faces of The<br />

Law, and How it Affects Our Daily Lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984.<br />

Lawrence M. Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc., New York, 1977.<br />

Lili Rasjidi, “Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional,”<br />

dalam Butir-butir Pemikiran dalam Hukum: Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B.<br />

Arief Sidharta, SH, Penyunting Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Savitri, Refika<br />

Aditama, Bandung, Cetakan Pertama, 2008<br />

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7<br />

Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, 2007.<br />

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/<br />

Pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973.<br />

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan (Kumpulan<br />

Karya Tulis), Alumni, Bandung, Editor: R. Otje Salman S. dan Edi Damian, Cetakan<br />

Kedua, 2006.<br />

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,<br />

Bandung, Edisi Pertama, 2002.<br />

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang<br />

Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.<br />

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan<br />

Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.<br />

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, RajaGrafindo Persadak,<br />

Jakarta, 2004.<br />

Oemar Seno Adjie, Peradilan Bebas, Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980.<br />

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985.<br />

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,<br />

Sinar Grafika, Jakarta, 2006.<br />

Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik<br />

Hukum di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003.<br />

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.<br />

Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi,<br />

Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.<br />

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia,UI-Press, Jakarta, Cetakan Kelima, 1986.<br />

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002.<br />

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, UAJY, Yogyakarta, 2010.<br />

Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta, 1989.<br />

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1981.


TENGKU ERWINSYAHBANA<br />

VOLUME 178<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Jurnal/Makalah<br />

Ahmad Zaenal Fanani, “Membumikan Hukum Keluarga Berperspektif Keadilan Jender”<br />

Makalah, Bahan Penyuluhan Hukum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,<br />

UU No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang<br />

Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal<br />

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2002.<br />

Bernard Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jurnal Hukum<br />

Jentera, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Edisi 3-Tahun II,<br />

November 2004.<br />

Maghfirah, “Definisi Nikah dan Pengaruhnya terhadap Istimbath Hukum, Jurnal Hukum<br />

Islam, Vol. VIII-No, 6, Desember 2007.<br />

Soetandyo Wignjosoebroto, “Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran Dan Kebijakan<br />

Perkembangan Hukum Nasional (Pengalaman Indonesia)”, Makalah, disampaikan<br />

pada acara Seminar Nasional Pluralisme Hukum Pluralisme Hukum: Perkembangan<br />

di Beberapa Negara, Sejarah Pemikirannya di Indonesia dan Pergulatannya dalam<br />

Gerakan Pembaharuan Hukum, Jakarta: Universitas Al Azhar, 21 November 2006.<br />

Internet<br />

Farizal Nuh, “Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional (Tinjauan<br />

Perspektif dan Prospektif)” http://pabondowoso.com, diakses tanggal 17 November<br />

2011.<br />

Hamdan Zoelva, “Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila,” http://www. setneg.go.id.,<br />

diakses tanggal 2 November 2010.<br />

Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, http://jimly.com, diakses tanggal<br />

17 Oktober 2011.<br />

26<br />

Sumber lain menyebutkan bahwa kedudukan Onderafdeling Tungkal berada di Taman Raja Tungkal<br />

Ulu. Lihat Anonim, Op.Cit, hal. 109.<br />

27<br />

Ibid


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

179<br />

TINJAUAN FILOSOFIS KEPASTIAN HUKUM BAGI<br />

PEMERINTAH DAERAH DALAM IMPLEMENTASI<br />

UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL<br />

RAMLAN<br />

Jalan Subur I No. 14 Sari Reji Kec. Medan Polonia-Medan<br />

Abstrak<br />

Tugas negara untuk memajukan kesejahteraan<br />

umum rakyatnya. Untuk itu, salah satu kebijakan<br />

yang ditempuh Pemerintah adalah memberikan<br />

kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk<br />

melaksanakan kegiatan dan menjalankan pembangunan<br />

serta kewenangan yang lebih luas dalam<br />

mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, dengan<br />

cara melimpahkan kewenangan penanaman modal<br />

pada Pemerintah Daerah. Karena urusan wajib<br />

Pemerintah Daerah dalam bidang penanaman<br />

modal hanya pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas,<br />

dan efisiensi, apa yang dimaksud dengan<br />

kriteria tersebut tidak jelas dalam penjabarannya.<br />

Abstract<br />

State duty to promote the general welfare of its people.<br />

For that, one of the policies pursued by the Government<br />

is giving authority to local governments to implement<br />

and execute development activities as well as<br />

greater authority in obtaining sources of financing,<br />

by way of delegated authority on local government<br />

investments. Due to matters concerning local government<br />

in the field of investment only on the criteria of<br />

externality, accountability, and efficiency, what is<br />

meant by these criteria are not clear in its elaboration.<br />

Kata kunci : Kepastian <strong>hukum</strong>, UUPM.<br />

A. Pendahuluan<br />

Peran negara yang utama dalam suatu negara adalah mewujudkan cita-cita dari<br />

bangsa itu sendiri yang tercantum disetiap konstitusi atau Undang-undang Dasar negara<br />

yang bersangkutan. Cita-cita bangsa Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Dasar<br />

1945 sebagai dasar Konstitusi Negara Republik Indonesia, baik sebelum maupun sesudah<br />

diamandemen, mempunyai semangat yang kuat akan kesejahteraan warga negara<br />

Indonesia dan membentuk negara kesejahteraan. 1<br />

Bagi Indonesia, salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk<br />

memajukan kesejahteraan warga negara Indonesia dan membentuk negara kesejahteraan,<br />

sebagaimana termaktub dalam alinea ke II dan ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar<br />

1945, yang menentukan; Alinea II “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia<br />

telah sampai kepada saat yang berbahagia... yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan<br />

makmur”. Alinea IV “…membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang<br />

melindungi segenap bangsa Indonesia… untuk memajukan kesejahteraan umum,<br />

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan<br />

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”.<br />

Penjabaran lebih lanjut dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam membentuk<br />

negara kesejahteraan diatur dalam Pasal 33 yang menentukan:<br />

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.<br />

1<br />

An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional<br />

dan Hukum Penanaman Modal, Alumni, Bandung, 2011, hlm. 15.


RAMLAN<br />

VOLUME 180<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup<br />

orang banyak dikuasai oleh negara.<br />

(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan<br />

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.<br />

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan<br />

prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,<br />

kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi<br />

nasional.<br />

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.<br />

Pasal 33 tersebut menempatkan peranan negara dalam posisi sangat strategis untuk<br />

menyusun perekonomian dan menguasai cabang-cabang produksi yang penting, serta<br />

menjamin kekayaan alam untuk digunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat<br />

dengan berlandaskan demokrasi ekonomi. Oleh sebab itu, penguatan ekonomi nasional<br />

merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kemakmuran<br />

rakyat.<br />

Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat<br />

di daerah adalah melalui pemberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk<br />

melaksanakan kegiatan dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih<br />

luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, baik yang berasal dari daerah itu<br />

sendiri maupun dana yang berasal dari APBN. 2<br />

Kewenangan Pemerintah Daerah tersebut, selanjutnya diatur dalam Undang-undang<br />

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25<br />

Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan<br />

Daerah, namun undang-undang tersebut hanya berlaku lebih kurang 5 (lima) tahun,<br />

kemudian dipandang tidak relevan lagi dengan perkembangan otonomi daerah itu sendiri,<br />

sehingga pada tanggal 15 Oktober 2004 secara resmi diganti dengan Undang-undang<br />

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 3<br />

Semakin besar keleluasaan daerah dalam menggali potensi yang ada di daerah, maka<br />

semakin besar pula kesempatan daerah mendapat-kan pendapatan untuk membiayai<br />

pembangunan di daerahnya. NP. Hepworth dalam “Public Expenditure Controls and Local<br />

Goverment” memandang bahwa semakin indenpenden suatu daerah, akan makin<br />

memungkinkan daerah tersebut untuk memperoleh pendapatan yang besar. Sehingga,<br />

posisinya akan semakin baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (public<br />

service) yang berkualitas. 4<br />

Keleluasaan Pemerintah Daerah dalam menjalankan aktivitasnya dapat dirumuskan<br />

2<br />

Bacrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Universitas Indonesia Pres, Jakarta,<br />

2002, hlm. 45.<br />

3<br />

UUPD ini juga sudah mengalami dua kali perubahan, perubahan pertama diatur dalam Undang-undang<br />

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-<br />

Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang<br />

disahkan pada tanggal 19 Oktober 2005, dan perubahan kedua diatur dalam Undang-undang Republik<br />

Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 yang disahkan pada tanggal 28 April 2008.<br />

4<br />

Edyanus Herman Halim, Menangkap Momentum Otonomi Daerah Menepis Ego Kedaerahan, Memacu<br />

Kemandirian Ekonomi Rakyat, Unri Press, Pekanbaru, 2002, hlm. 89.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

181<br />

dalam lima aspek, yaitu: 5<br />

1. Self regulating power, yaitu kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah.<br />

2. Self modifying power, yaitu kemampuan untuk melakukan penyesuaian dari tatanan<br />

<strong>hukum</strong> normatif yang berlaku secara nasional sesuai dengan kondisi daerah.<br />

3. Local political support, yaitu menyelenggarakan kegiatan pemerintahan yang<br />

mempunyai legitimasi luas, baik dari unsur eksekutif maupun legislatif.<br />

4. Financial resources, yaitu mengembangkan kemampuan dalam mengelola sumbersumber<br />

penerimaan daerah sebagai sumber pembiayaan kegiatan pemerintahan.<br />

5. Developing brain power, yaitu membangun sumber daya manusia aparatur pemerintah<br />

yang bertumpu pada kapabilitas intelektual.<br />

Kelima aspek tersebut di atas bersifat saling mendukung dan saling melengkapi, sehingga<br />

konsep badan keuangan daerah yang didasarkan atas aspek keempat, yaitu financial<br />

resources harus didukung oleh keempat aspek yang lainnya.<br />

B. Instrumen Hukum Penanaman Modal<br />

Setelah memasuki Pemerintahan Orde Baru, pada tahun 1966, Pemerintah Indonesia<br />

mengadakan pendekatan baru dalam kebijaksanaan ekonomi, antara lain mengundang<br />

kembali masuknya modal asing. 6 Pemerintah Indonesia berupaya meyakinkan para<br />

pemilik modal. Langkah pertama yang dilakukan adalah, Pemerintah Indonesia akan<br />

mengembalikan semua perusahaan dan asset bukan Belanda kepada pemiliknya yang<br />

sah dan akan memberikan ganti rugi kepada pemilik yang menolak mengambil kembali<br />

perusahaan yang sudah rusak. Langkah ini diikuti dengan telah dipersiapkannya suatu<br />

undang-undang mengenai Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, 7<br />

yang kemudian diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang<br />

Penanaman Modal Asing yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun<br />

1970 8 . Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri<br />

yang telah direvisi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970.<br />

Upaya Pemerintah meyakinkan para investor asing membawa hasil yang menggembirakan,<br />

bahkan hanya dalam waktu satu dekade lebih, Indonesia dielu-elukan sebagai<br />

contoh sukses dari Asia. Di penghujung dekade 1980-an, Indonesia digolongkan ke dalam<br />

kelompok negara berkembang terpilih yang diramalkan akan segera menjadi negara<br />

industri baru, mengikuti jejak negara-negara industri di Asia yang berorientasi ekspor<br />

(outward-looking). 9<br />

Perkembangan berikutnya bahwa pada tahun 1997-1998 Indonesia dilanda krisis<br />

moneter. Untuk memperbaiki keadaan akibat krisis tersebut, Indonesia harus mengadakan<br />

5<br />

Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah,Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hlm. 82.<br />

6<br />

Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 1.<br />

7<br />

A. Jeffery Winters, Power in Motion; Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan,<br />

Jakarta, 1999, hlm. 83.<br />

8<br />

Lihat Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia, Mandar Maju,<br />

Bandung, 1999, hlm. 6.<br />

9<br />

Lihat Sritua Arief, et.al., Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, Universitas<br />

Indonesia Press, Jakarta, 1987, hlm. 8.


RAMLAN<br />

VOLUME 182<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

perubahan dalam bidang pembangunan. Sebagaimana dikatakan Mochtar Kusumaatmadja 10<br />

bahwa <strong>hukum</strong> merupakan sarana pembaharuan masyarakat yang didasarkan atas keteraturan<br />

atau ketertiban dalam usaha pembangunan, karena pembaharuan itu merupakan<br />

sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu. Selanjutnya Mochtar<br />

juga mengatakan bahwa <strong>hukum</strong> diperlukan sebagai proses perubahan termasuk proses<br />

perubahan yang cepat yang biasanya diharapkan oleh masyarakat yang sedang membangun,<br />

apabila perubahan itu hendak dilakukan dengan teratur dan tertib. 11 Sehubungan<br />

hal ini, maka pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan<br />

pertumbuhan ekonomi, yang salah satu di antaranya adalah membenahi peraturanperaturan<br />

penanaman modal yang berkaitan langsung dengan kegiatan penanaman modal.<br />

Upaya-upaya tersebut dilakukan melalui serangkaian deregulasi baik di sektor<br />

perdagangan maupun di sektor penanaman modal. Kebijakan yang ditempuh dalam rangka<br />

deregulasi meliputi pemberian kemudahan bagi para investor, yaitu dengan dikeluarkannya<br />

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). UUPM ini<br />

didukung dengan Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan<br />

Penyusunan Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di<br />

Bidang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang<br />

Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang<br />

Penanaman Modal, yang telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 dan<br />

saat ini telah diganti dengan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010.<br />

Tujuan UUPM adalah untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang<br />

merosot sejak terjadinya krisis moneter. Secara normatif diharapkan dapat menarik<br />

masuknya investor ke Indonesia. Disebut demikian, karena dalam undang-undang ini<br />

tidak dibedakan lagi perlakuan antara penanam modal asing maupun penanam modal<br />

dalam negeri. Hal ini sejalan dengan adanya perjanjian multilateral Agreement on Trade<br />

Related Investment Measures (TRIMs) yang melarang adanya diskriminasi terhadap<br />

investor asing dan lokal. 12<br />

Sasaran utama UUPM menciptakan iklim investasi yang kondusif, dengan memberikan<br />

kepastian <strong>hukum</strong> bagi para investor dan adanya kejelasan dari Pemerintah untuk<br />

melimpahkan kewenangan penyelenggaraan penanaman modal kepada Pemerintah<br />

Daerah, khususnya wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal.<br />

C. Sinkronisasi Undang-undang Pemerintahan Daerah dengan Undangundang<br />

Penanaman Modal<br />

Peranan Pemerintah untuk mendorong penanaman modal, salah satunya dengan<br />

melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal pada<br />

Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf n, dan<br />

Pasal 14 ayat (1) huruf n, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan<br />

Daerah (UUPD), yang menentukan urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan<br />

10<br />

H.R. Otje Salman S., dan Eddy Damian (ed), Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan; Kumpulan<br />

Karya Tulis Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 88.<br />

11<br />

Ibid.<br />

12<br />

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nusa Aulia, Bandung, 2007, hlm. 105.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

183<br />

Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota merupakan urusan dalam skala Propinsi dan<br />

Kabupaten/Kota yang meliputi di antaranya pelayanan administrasi penanaman modal<br />

termasuk lintas Kabupaten/Kota.<br />

Sebagai tindak lanjut dari pembagian kewenangan tersebut Pemerintah menerbitkan<br />

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah<br />

Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.<br />

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan (2) huruf i bahwa urusan wajib yang diselenggarakan<br />

oleh Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, meliputi di<br />

antaranya adalah penanaman modal.<br />

UUPD telah memberikan peluang besar bagi setiap daerah untuk menarik investor<br />

dalam mempercepat pembangunan di daerah. Namun dalam faktanya, Pemerintah Pusat<br />

masih setengah hati dalam memberikan kewenangan di bidang penanaman modal. Hal ini<br />

dapat dilihat dari Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004, yang menentukan bahwa<br />

setiap pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka<br />

PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPM, berdasarkan pelimpahan kewenangan dari<br />

Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membina bidang-bidang<br />

usaha penanaman modal yang bersangkutan melalui sistem pelayanan satu atap. Begitu<br />

juga bagi Gubernur, Bupati atau Walikota yang sesuai dengan kewenangannya dapat<br />

melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman<br />

modal kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal melalui sistem pelayanan satu atap 13 .<br />

Kewenangan Pemerintah Daerah dalam pemberian izin penanaman modal kembali<br />

menjadi tidak pasti dengan keluarnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang<br />

Penanaman Modal (UUPM). Dalam Pasal 30 ayat (3) dinyatakan bahwa urusan<br />

pemerintahan bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib Pemerintah Daerah<br />

didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan penanaman<br />

modal. Apa yang dimaksud dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi tidak<br />

ada penjabaran yang jelas untuk itu. Selanjutnya Pasal 30 ayat (7) UUPM menentukan<br />

bahwa urusan penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah adalah:<br />

1. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan<br />

tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi.<br />

2. Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala<br />

nasional.<br />

3. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah<br />

atau ruang lingkupnya lintas propinsi.<br />

4. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan<br />

nasional.<br />

5. Penanaman modal asing dan penanaman modal yang menggunakan modal asing, yang<br />

berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh<br />

pemerintah dan pemerintah negara lain.<br />

13<br />

Pasal 1 angka 5 Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal<br />

dalam Rangka PMA dan PMDN Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap menentukan sistem pelayanan satu<br />

atap adalah suatu sistem pelayanan pemberian penanaman modal dan perizinan pelaksana-annya pada<br />

satu instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal.


RAMLAN<br />

VOLUME 184<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Pasal 30 ayat (7) tersebut semakin memperjelas pembatasan penanaman modal yang<br />

diberikan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Adanya ketentuan ini, menunjukkan<br />

ketidakrelaan Pemerintah dalam memberikan kewenangan penanaman modal kepada<br />

Pemerintah Daerah. Padahal berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri<br />

Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu,<br />

disebutkan bahwa tugas penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu meliputi<br />

pemberian pelayanan atas semua bentuk pelayanan perizinan dan non-perizinan yang<br />

menjadi kewenangan Kabupaten/Kota.<br />

Bila dilihat uraian di atas, berdasarkan amanat UUPD dan Peraturan Menteri Dalam<br />

Negeri Nomor 24 Tahun 2006, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan dalam bidang<br />

penanaman modal, tetapi kewenangan ini tidak dapat dilaksanakan bila dikaitkan dengan<br />

Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tersebut. Padahal suatu peraturan perundangundangan<br />

sudah menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia (basic needs) dalam upaya<br />

menggapai keadilan (justice), kedamaian (peacefull) dan kepastian <strong>hukum</strong> (legal certainty). 14<br />

Besarnya peranan peraturan perundang-undangan sebagai <strong>hukum</strong> tertulis, menurut<br />

Bagir Manan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 15<br />

1. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah <strong>hukum</strong> yang mudah dikenali<br />

(diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah<br />

<strong>hukum</strong> tertulis, bentuk, jenis, dan tempatnya jelas.<br />

2. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian <strong>hukum</strong> yang lebih nyata<br />

karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali.<br />

3. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga<br />

memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji, baik dari segi formal maupun materi<br />

muatannya.<br />

4. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat<br />

direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi Negara-negara yang sedang membangun,<br />

termasuk membangun sistem <strong>hukum</strong> baru yang sesuai dengan kebutuhan dan<br />

perkembangan masyarakat.<br />

Ketidak pastian Pemerintah dalam memberikan kewenangan pengurusan penanam<br />

modal kepada Pemerintah Daerah jelas ber-tentangan dengan tujuan <strong>hukum</strong> itu sendiri.<br />

Roscoe Pound mengatakan tujuan <strong>hukum</strong> meliputi ketertiban guna mencapai keadilan,<br />

kepastian <strong>hukum</strong>, kedamaian, kebahagian. Jeremy Bentham mengatakan tujuan <strong>hukum</strong><br />

harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagian sebesar-besarnya. 16 Dalam<br />

konstalasi negara modern, <strong>hukum</strong> dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law<br />

as a tool of social engineering). 17 Roscoe Pound menekankan arti pentingnya <strong>hukum</strong><br />

sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh<br />

14<br />

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia,<br />

Alumni, Bandung, 2008, hlm. 1.<br />

15<br />

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm. 7-8.<br />

16<br />

H.R. Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung,<br />

2010, hlm. 8, 10.<br />

17<br />

Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1978, hlm. 7. Lihat juga Lili Rasjidi, Dasar-Dasar<br />

Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 43.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

185<br />

badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini<br />

adalah masyarakat dan badan peradilan di Amerika Serikat.<br />

Dalam konteks Indonesia, fungsi <strong>hukum</strong> demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja<br />

diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat. Sebagai sarana mendorong<br />

pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan<br />

perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas<br />

konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan<br />

peraturan perundang-undangan itu.<br />

Bila beranjak dari pendapat Roscoe Pound, Jeremy Bentham dan Mochtar Kusumaatmadja<br />

di atas, seharusnya dengan lahirnya UUPM, terjadi perubahan di masyarakat.<br />

Artinya ketika kewenangan penanaman modal itu benar-benar sepenuhnya diberikan<br />

kepada Pemerintah Daerah, maka masyarakat di daerah akan merasakan manfaatnya,<br />

bahkan dapat dikatakan makmur, karena investor (pemodal) langsung berinvestasi ke<br />

daerah, tidak lagi harus melalui Pemerintah yang notebene akan banyak mengeluarkan<br />

cost. Seharusnya Pemerintah cukup sebagai pengontrol atau pemantau kepada Pemerintah<br />

Daerah.<br />

Menurut aliran normatif-dogmatik yang dianut oleh John Austin dan van Kan,<br />

menganggap bahwa pada asasnya <strong>hukum</strong> adalah semata-mata untuk menciptakan<br />

kepastian <strong>hukum</strong>. Bahwa <strong>hukum</strong> sebagai sesuatu yang otonom atau <strong>hukum</strong> dalam bentuk<br />

peraturan tertulis. Artinya, karena <strong>hukum</strong> itu otonom sehingga tujuan <strong>hukum</strong> sematamata<br />

untuk kepastian <strong>hukum</strong> dalam melegalkan kepastian hak dan kewajian seseorang. 18<br />

Dalam hal ini, maka jelas kepastian <strong>hukum</strong> bagi Pemerintah Daerah untuk menjalankan<br />

hak dan kewajibannya dalam pemberian persetujuan dan perijinan penanaman modal di<br />

daerah tidak terwujud seperti yang diamanatkan dalam UUPD.<br />

Lebih lanjut Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan <strong>hukum</strong><br />

selalu mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem <strong>hukum</strong>. Sistem <strong>hukum</strong> dalam<br />

pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur <strong>hukum</strong> (legal<br />

structure), komponen substansi <strong>hukum</strong> (legal substance) dan komponen budaya <strong>hukum</strong><br />

(legal culture). Struktur <strong>hukum</strong> (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka,<br />

bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi <strong>hukum</strong> (legal substance) aturan-aturan dan<br />

norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk<br />

perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya <strong>hukum</strong><br />

(legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapanharapan<br />

dan pendapat tentang <strong>hukum</strong>. 19 Dalam perkembangan selanjutnya, Friedman<br />

bahkan menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak<br />

<strong>hukum</strong> (legal impact). 20<br />

Beranjak dari pendapat Friedman di atas, bahwa substansi <strong>hukum</strong> yang merupakan<br />

aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Termasuk<br />

ke dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada<br />

18<br />

Lihat Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 74.<br />

19<br />

Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977, hlm. 6-7.<br />

20<br />

Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects<br />

our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 16.


RAMLAN<br />

VOLUME 186<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

di dalam sistem <strong>hukum</strong> itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka<br />

susun. 21 Bila dikaitkan dengan Pasal 13 ayat (1) huruf n, dan Pasal 14 ayat (1) huruf n,<br />

UUPD dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007<br />

tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi,<br />

dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah memberikan peluang penuh bagi setiap Daerah<br />

untuk menarik penanam modal ke daerahnya. Ironisnya kewenangan ini menjadi tidak<br />

berarti bila dikaitkan dengan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004, karena setiap<br />

pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan<br />

PMDN dilaksanakan oleh BKPM, begitu juga Gubernur, Bupati atau Walikota dapat<br />

melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman<br />

modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap.<br />

Hukum seharusnya bertujuan untuk menciptakan <strong>hukum</strong> yang lebih adil, bermanfaat<br />

dan memberikan kepastian <strong>hukum</strong> dan bila dikaitkan kembali kepada pendapat Mochtar<br />

bahwa <strong>hukum</strong> berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat, 22 sekaligus<br />

berfungsi untuk membangun masyarakat dalam segala aspek, termasuk percepatan<br />

pembangunan daerah melalui pemberian otonomi yang luas kepada daerah, antara lain<br />

dengan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menarik penanam<br />

modal, yang secara luas telah diatur dalam UUPD, namun kewenangan ini dibatasi kembali<br />

oleh Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 dengan sistem pelayanan satu atap.<br />

Keberadaan Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tersebut, telah menyebabkan<br />

terjadinya ketidakpastian <strong>hukum</strong> dalam pemberian persetujuan perizinan penanaman<br />

modal oleh Pemerintah Daerah, sedangkan <strong>hukum</strong> seharusnya memberikan jaminan<br />

kepastian <strong>hukum</strong>. Oleh sebab itu, aturan-aturan <strong>hukum</strong> yang berkaitan dengan penanaman<br />

modal, khususnya bagi daerah belum dapat memberikan jaminan kepastian <strong>hukum</strong><br />

terhadap upaya percepatan pembangunan di daerah.<br />

D. Penutup<br />

Sistem penegakan <strong>hukum</strong> yang baik terkait kepada tiga pilar utama yakni substansi<br />

<strong>hukum</strong>, struktur <strong>hukum</strong> dan kultur <strong>hukum</strong>, yang membawa pengaruh kepada tercapainya<br />

kepastian <strong>hukum</strong>. Terciptanya kepastian <strong>hukum</strong> diharapkan dapat meningkatkan<br />

pertumbuhan penanaman modal di Indonesia, khususnya di daerah.<br />

Kehadiran penanam modal di suatu daerah diharapkan dapat membuka lapangan<br />

pekerjaan di daerah tersebut, sehingga masyarakatnya tidak harus berbondong-bondong<br />

mencari pekerjaan ke kota lain. Dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri<br />

khususnya di daerah sebagai bahan baku. Bila hasil produksinya diekspor akan<br />

memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal, di<br />

samping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara khususnya<br />

Pemerintah Daerah dalam mempercepat pembangunan di daerah.<br />

21<br />

Eman Suparman, “Persepsi Tentang Keadilan Dan Budaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa” http:/<br />

/resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/1I%20Persepsi%20ttg%20Keadilan.pdf,<br />

diakses pada tanggal 30 Oktober 2010.<br />

22<br />

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989, hlm. 51. Lihat juga H.R. Otje Salman<br />

S., dan Eddy Damian (ed), Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan; Kumpulan Karya Tulis Prof. Dr.<br />

Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Bandung, 2006, hlm.11.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

187<br />

Kehadiran penanam modal di suatu daerah untuk menanamkan modalnya akan<br />

terwujud bila kepastian <strong>hukum</strong> terjamin. Sehingga antara kepastian <strong>hukum</strong> dengan<br />

pertumbuhan penanaman modal merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan<br />

dalam mewujudkan pembangunan di daerah.<br />

E. Daftar Pustaka<br />

A. Jeffery Winters, Power in Motion; Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia, Pustaka<br />

Sinar Harapan, Jakarta, 1999.<br />

An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum<br />

Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, Alumni, Bandung, 2011.<br />

Bacrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, Universitas Indonesia<br />

Perss, Jakarta, 2002.<br />

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992.<br />

Edyanus Herman Halim, Menangkap Momentum Otonomi Daerah Menepis Ego<br />

Kedaerahan, Memacu Kemandirian Ekonomi Rakyat, Unri Press, Pekanbaru, 2002.<br />

Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.<br />

Eman Suparman, “Persepsi Tentang Keadilan Dan Budaya Hukum Dalam Penyelesaian<br />

Sengketa” http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/<br />

1I%20Persepsi%20ttg%20Keadilan.pdf, diakses pada tanggal 30 Oktober 2010.<br />

H.R. Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika<br />

Aditama, Bandung, 2010.<br />

H.R. Otje Salman S., dan Eddy Damian (ed), Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan;<br />

Kumpulan Karya Tulis Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Alumni, 2006.<br />

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan<br />

di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008.<br />

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, 1992.<br />

Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide to the many faces of the<br />

law, and how it affects our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984.<br />

————————, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977.<br />

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.<br />

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989.<br />

————————, Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1978.<br />

Soekarwo, Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah, Airlangga University Press,<br />

Surabaya, 2003.<br />

Soedjono Dirdjosiswono, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia,<br />

Mandar Maju, Bandung, 1999.<br />

Sritua Arief, (et.al.), Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia,<br />

Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1987.<br />

Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nusa Aulia, Bandung, 2007.


VOLUME 188<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK<br />

YANG PENGHADAPNYA MEMPERGUNAKAN<br />

IDENTITAS PALSU<br />

RAHMAD HENDRA<br />

Jalan Hang Jebat Gg Kadiran No. 5 Pekanbaru<br />

Abstrak<br />

Notaris adalah pembela kebenaran dan keadilan<br />

sehingga para penegak <strong>hukum</strong> harus menjalankan<br />

dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga profesi<br />

<strong>hukum</strong> merupakan profesi terhormat dan luhur<br />

(officium nobile). Banyaknya notaris membuat<br />

persaingan antar notaris semakin ketat dan terkadang<br />

membuat notaris kurang berhati-hati dalam<br />

menjalankan profesinya. Makalah ini menyimpulkan<br />

bahwa Notaris bertanggungjawab atas apa<br />

yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan<br />

juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat<br />

umum di dalam menjalankan jabatannya. Notaris<br />

tidak bertanggung jawab jika ada keterangan dan<br />

dokumen yang tidak benar dari penghadap.<br />

Abstract<br />

Notary is a defender of truth and justice so that law<br />

enforcement should be run in good faith and sincerity,<br />

so that the legal profession is an honorable and noble<br />

profession (officium nobile). The number of notaries<br />

create tighter competition between notaries and notary<br />

sometimes make less careful in their profession.<br />

The paper concludes that the notary is responsible for<br />

what he saw, that they have seen, heard and done by<br />

the notary as a public official in the run position. Notaries<br />

are not responsible if any information and documents<br />

from a client that is not true.<br />

Kata kunci: Notaris, akta, identitas.<br />

A. Pendahuluan<br />

Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat<br />

manusia sehingga di dalam masyarakat selalu ada sistem <strong>hukum</strong>, ada masyarakat ada<br />

norma <strong>hukum</strong> (ubi societas ibi ius). Hal tersebut dimaksudkan oleh Cicero bahwa tata<br />

<strong>hukum</strong> harus mengacu pada penghormatan dan perlindungan bagi keluhuran martabat<br />

manusia. Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara kepentingan<br />

atau hasrat individu yang egoistis dan kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik.<br />

Kehadiran <strong>hukum</strong> justru mau menegakkan keseimbangan perlakuan antara hak perorangan<br />

dan hak bersama. Oleh karena itu, secara hakiki <strong>hukum</strong> haruslah pasti dan adil<br />

sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.<br />

Hal tersebut menunjukkan pada hakikatnya para penegak <strong>hukum</strong> (hakim, jaksa,<br />

Notaris, dan polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga para penegak <strong>hukum</strong><br />

harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga profesi <strong>hukum</strong> merupakan<br />

profesi terhormat dan luhur (officium nobile). Oleh karena mulia dan terhormat, profesional<br />

<strong>hukum</strong> sudah semestinya merasakan profesi ini sebagai pilihan dan sekaligus<br />

panggilan hidupnya untuk melayani sesama di bidang <strong>hukum</strong>. 1<br />

Begitu juga dengan profesi Notaris yang memerlukan suatu tanggung jawab baik<br />

individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-norma <strong>hukum</strong> positif dan<br />

kesediaan untuk tunduk pada kode etik profesi, bahkan merupakan suatu hal yang wajib<br />

sehingga akan memperkuat norma <strong>hukum</strong> positif yang sudah ada. 2<br />

1<br />

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 145.<br />

2<br />

Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, PT. Bayu Indra Grafika,<br />

Yogyakarta, 1995, hlm. 4.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

189<br />

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting<br />

dalam setiap hubungan <strong>hukum</strong> dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan<br />

bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan<br />

akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan<br />

berkembangnya tuntutan akan kepastian <strong>hukum</strong> dalam berbagai hubungan ekonomi dan<br />

sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang<br />

menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian <strong>hukum</strong>, dan sekaligus<br />

diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak<br />

dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang<br />

merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi<br />

penyelesaian perkara secara murah dan cepat. 3<br />

Suatu akta adalah otentik, bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi<br />

karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum. Otentisitas dari akta Notaris<br />

bersumber dari Pasal 1 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris<br />

(selanjutnya disebut UUJN), di mana Notaris dijadikan sebagai “pejabat umum”, sehingga<br />

akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta<br />

otentik. Dengan perkataan lain, akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai sifat otentik,<br />

bukan oleh karena undang-undang menetapkan sedemikian, akan tetapi oleh akta itu<br />

dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868<br />

KUHPerdata.<br />

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata adalah sebagai<br />

berikut:<br />

1. Bahwa akta itu dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut <strong>hukum</strong>;<br />

2. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;<br />

3. Bahwa akta itu dibuat dihadapan yang berwenang untuk membuatnya di tempat<br />

dimana dibuat.<br />

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh<br />

pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan<br />

akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam<br />

rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan <strong>hukum</strong>. Selain akta otentik<br />

yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan<br />

perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan<br />

untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan<br />

perlindungan <strong>hukum</strong> bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara<br />

keseluruhan. 4<br />

Dalam melaksanakan tugasnya membuat akta otentik, seorang notaris wajib menjalankan<br />

ketentuan dalam UUJN. Notaris diwajibkan untuk bertindak jujur, saksama,<br />

mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan<br />

<strong>hukum</strong>, sesuai dengan Pasal 16 UUJN. Karenanya Notaris harus bertindak hati-hati dan<br />

cermat serta teliti dalam menjalankan proswedur untuk membuat akta otentik.<br />

3<br />

Republik Indonesia, Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, TLNRI<br />

Nomor 4432.<br />

4<br />

Ibid.


RAHMAD HENDRA<br />

VOLUME 190<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Prosedur yang harus dijalankan oleh notaris dan proses pembuatan akta adalah<br />

meminta dokumen-dokuman atau surat-menyurat yang diperlukan untuk dituangkan<br />

di dalam akta. Dokumen yang wajib diminta oleh notaris untuk dilekatkan fotocopinya<br />

dalam Minuta Akta (asli Akta Notaris ) adalah tanda pengenal atau Kartu Tanda Penduduk<br />

(KTP). Notaris harus memastikan penghadap sudah cakap untuk melakukan perbuatan<br />

<strong>hukum</strong> dlam akta yang akan dibuat.<br />

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penghadap diatur dalam Pasal 39 UUJN yaitu<br />

sebagai berikut:<br />

Pasal 39<br />

(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:<br />

a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan<br />

b. cakap melakukan perbuatan <strong>hukum</strong>.<br />

(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua)<br />

orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau<br />

telah menikah dan cakap melakukan perbuatan <strong>hukum</strong> atau diperkenalkan oleh<br />

2 (dua) penghadap lainnya.<br />

(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam<br />

akta.<br />

Notaris di Kota Pekanbaru pada saat ini berdasarkan data dari Kementerian Hukum<br />

dan Hak Asasi Manusia Pekanbaru sudah memenuhi bahkan melebihi kuota atau formasi<br />

yang ditetapkan untuk kota Pekanbaru yaitu sebanyak 123 orang. 5<br />

Banyaknya notaris membuat persaingan antar notaris semakin ketat dan terkadang<br />

membuat notaris kurang berhati-hati dalam menjalankan profesinya. Diantaranya<br />

kekurang hati-hatian tersebut yaitu notaris sangat memudahkan penghadap dalam hal<br />

identitas. Penghadap yang ingin mempergunakan jasa notaris haruslah memberikan bukti<br />

identitas yang benar dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang asli dan<br />

memberikan fotokopinya kepada notaris. Namun dalam beberapa kasus yang terjadi<br />

penghadap langsung memberikan fotokopi tanpa menunjukkan identitas asli dan notaris<br />

juga tidak memeriksa kecocokan fotokopi tersebut dengan yang asli. Karenanya banyak<br />

penghadap yang menggunakan identitas yang tidak sesuai dengan aslinya atau identitas<br />

palsu. Akibatnya bermunculan permasalahan-permasalahan akibat akta yang dibuat oleh<br />

notaris berdasarkan KTP palsu tersebut.<br />

Berkaitan dengan hal tersebut, bagaimanakah tanggungjawab notaris terhadap Akta<br />

Otentik yang penghadapnya mempergunakan identitas palsu Bagaimanakah pula<br />

kedudukan Akta Otentik yang penghadapnya mempergunakan identitas palsu tersebut<br />

B. Pembahasan<br />

Notariat seperti yang dikenal di Zaman Republik der Verenigde Naderlanden, mulai<br />

masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Indische<br />

Compagnie di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkat notaris pertama di<br />

5<br />

Wawancara dengan Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Pekanbaru, Ibu Tien Sulasmi


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

191<br />

Indonesia, yaitu Melchione Kerchem yang berkedudukan dijakarta, setelah pengangkatan<br />

Notaris yang pertama jumlah Notaris di Indonesia making berkembang dan pada tahun<br />

1650 di Batavia hanya dua Notaris yang diangkat Notariat di Indonesia sampai pada tahun<br />

1822 hanya diatur oleh dua buah reglement yaitu tahun 1625 dan tahun 1765.<br />

Berdasarkan Asas Konkordansi lahirlah Peraturan Jabatan Notaris yaitu dengan<br />

Ordonansi 11 Januari 1860 Staatblad Nomor 3 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli<br />

1860, Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia mengalami perubahan yaitu undang-undang<br />

tanggal 13 November 2004 Nomor 33, Lembaran Negara 1954 dan terakhir Lahirlah<br />

Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) pada tanggal 6 oktober 2004 yaitu Undangundang<br />

Nomor 30 Tahun 2004.<br />

Pengertian Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30<br />

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris adalah sebagai berikut :<br />

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan<br />

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini.<br />

Dari pengertian di atas mengandung makna bahwa sepanjang tidak ditentukan pejabat<br />

lain untuk membuat akta otentik, maka hanya notaris satu-satunya sebagai pejabat umum<br />

yang berwenang membuat akta otentik. Kedudukan dan fungsi notaris dalam dunia usaha<br />

sangat strategis, karena untuk membuat akta otentik bila tidak ada pejabat lain yang<br />

ditunjuk oleh undang-undang, maka hanya notaris yang berwenang membuat akta otentik.<br />

Menurut Pohan (1996) bahwa: 6<br />

Notaris Indonesia tergolong pada notaris latin yang menurut Blacks yang lain adalah<br />

melaksanakan tugas melayani kebutuhan masyarakat dalam ruang lingkup privat<br />

atau perdata, dan karena notaris adalah amaneunsis, hanya mengkonstatir apa yang<br />

dikatakan Notarius in Roman Law adalah Draughtsman, an amneunsis yaitu orang<br />

yang mencatat apa yang dilakukan oleh orang lain atau mengakui apa yang telah<br />

ditulis oleh orang lain. Ciri notaris latin orang atau pihak mana sikap dan kedudukan<br />

notaris adalah netral dan tegas.<br />

Notaris tidak boleh membuat akta kalau tidak diminta. Akta notaris harus ditulis<br />

dan dapat dibaca serta harus memenuhi ketentuan dan undang-undang yang berlaku.<br />

Bahkan untuk melindungi agar akta notaris tidak mudah dipalsukan dalam rangka untuk<br />

menjamin kepastian <strong>hukum</strong> tersebar dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 30<br />

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yakni diantaranya dalam Pasal 38 sampai dengan<br />

Pasal 56 yang berisikan peraturan-peraturan yang mengatur perihal bentuk dari akta<br />

notaris. Pengertian Notaris menurut Sarman Hadi secara tegas diungkapkan bahwa: 7<br />

Notaris bukanlah pihak dalam akta yang dibuat di hadapannya, karena tidak memihak.<br />

Notaris tidak mempunyai pihak, namun dapat memberikan jalan dalam jalur <strong>hukum</strong><br />

yang berlaku, agar maksud para pihak yang meminta bukti tertulis akan terjadinya<br />

hubungan <strong>hukum</strong> diantara para pihak, dapat dibantu melaliu jalan <strong>hukum</strong> yang benar.<br />

6<br />

Partomuan A. Pohan, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang, makalah disajikan<br />

pada Seminar Nasional Profesi Notaris Menjelang Tahun 200, tanggal 15 Juni 1996, di Yogyakarta.<br />

7<br />

Koesbiono Sarman Hadi, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang, Makalah<br />

disampaikan pada Seminar Nasional Profesi Notaris Menjelang Tahun 200, Tanggal 15 Juni 1996, di<br />

Yogyakarta, hlm. 7


RAHMAD HENDRA<br />

VOLUME 192<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Dengan demikian maksud para pihak tercapai sesuai dengan kehendak para pihak,<br />

disinilah dituntut pengetahuan <strong>hukum</strong> yang luas dari seorang notaris untuk dapat<br />

meletakkan hak dan kewajiban para pihak secara proporsional.<br />

Kesimpulannya kedudukan dan fungsi notaris berdasarkan sifat akta yang dibuatnya<br />

adalah:<br />

a. Memberikan bukti otentik adanya keterangan yang telah diberikan para pihak<br />

kepada notaris dan dituangkan dalam akta-akta tersebut. Di dalam partis akta<br />

ini notaris memastikan bahwa benar para pihak telah memberikan keteranganketerangan<br />

tersebut yang telah dituangkan dalam akta yang bersangkutan.<br />

b. Memberikan bukti otentik, yaitu bukan tentang apa yang diterangkan kepada<br />

notaris, namun bukti otentik tentang perbuatan atau kenyataan yang terjadi di<br />

hadapan notaris sewaktu pembuatan akta dilakukan.<br />

Tugas dan wewenang notaris jika dilihat dari jabatannya, maka seorang notaris<br />

bertugas menjalankan sebagian kewibawaan pemerintah, karena notaris menurut<br />

Peraturan Jabatan Notaris selaku Pejabat Umum yang ditunjuk oleh undang-undang untuk<br />

membuat akta otentik yang sebenarnya menurut hemat peneliti pekerjaan membuat akta<br />

otentik itu adalah pekerjaan pemerintah. Sedangkan wewenang notaris adalah membuat<br />

akta otentik sebagaimana yang diperintahkan oleh pasal 1868 Kitab Undang-Undang<br />

Hukum Perdata, yaitu akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut <strong>hukum</strong><br />

(undang-undang), dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, dan ditempat dimana akta<br />

itu dibuat. Selain dari pada itu juga mengacu dan berkaitan dengan pasal 1870 Kitab<br />

Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang<br />

Jabatan Notaris.<br />

Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,<br />

menyatakan secara tegas bahwa notaris adalah satu-satunya pejabat umum (openbaar<br />

ambtenaar) yang berwenang untuk membuat akta otentik, kecuali jika undang-undang<br />

menentukan lain. Intisari dari tugas dan wewenang notaris bila dilihat dari Peraturan<br />

Jabatan Notaris hanyalah membuat akta, melegalisasi akta di bawah tangan dan membuat<br />

grosse akta serta berhak mengeluarkan salinan atau turunan akta kepada pihak yang<br />

berkepentingan. Padahal dalam praktek tugas dan wewenang notaris leibh luas dari apa<br />

yang diatur dalam undang-undang. Notaris dalam praktek, yaitu antara lain sebagai ahli<br />

penemuan <strong>hukum</strong> dan penasehat <strong>hukum</strong>.<br />

Selain kewenangannya untuk membuat akta otentik dalam arti “verlijden” (menyusun,<br />

membacakan dan menanda-tangani), akan tetapi juga berdasarkan dalam pasal 16 huruf<br />

d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Notaris wajib untuk<br />

membuatnya, kecuali terdapat alasan yang mempunyai dasar untuk menolak pembuatannya. 8<br />

Tanggung jawab notaris bila dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004<br />

Tentang Jabatan Notaris adalah sangat erat kaitannya dengan tugas dan pekerjaan notaris.<br />

Dikatakan demikian oleh karena selain untuk membuat akta otentik, notaris juga ditugaskan<br />

dan bertanggung jawab untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan (waarmerken<br />

dan legalisasi) surat-surat/akta-akta yang dibuat di bawah tangan.<br />

8<br />

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 32


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

193<br />

Pasal 1 UUJN dan Pasal 15 UUJN telah menegaskan, bahwa tugas pokok dari Notaris<br />

adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada pihak-pihak<br />

yang membuatnya suatu pembuktian yang sempurna. Hal ini dapat dilihat sebagaimana<br />

yang tercantum dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu akta<br />

otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orangorang<br />

yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa<br />

yang dimuat di dalamnya. Disinilah letaknya arti yang penting dari profesi Notaris ialah<br />

bahwa ia karena undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang<br />

sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam otentik itu pada pokoknya<br />

dianggap benar.<br />

Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk<br />

sesuatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu<br />

usaha. 9 Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti Verlijden,<br />

yaitu menyusun, membacakan dan menandatangani dan Verlijkden dalam arti membuat<br />

akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang sebagaimana yang dimaksud<br />

oleh Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga berdasarkan ketentuan terdapat dalam Pasal<br />

16 ayat (1) huruf d UUJN, yaitu adanya kewajiban terhadap Notaris untuk memberi<br />

pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk<br />

menolaknya. Notaris juga memberikan nasehat <strong>hukum</strong> dan penjelasan mengenai ketentuan<br />

undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan.<br />

Tugas Notaris bukan hanya membuat akta, tapi juga menyimpannya dan menerbitkan<br />

grosse, membuat salinan dan ringkasannya. Notaris hanya mengkonstantir apa yang<br />

terjadi dan apa yang dilihat, didalamnya serta mencatatnya dalam akta (Pasal 1 Peraturan<br />

Jabatan Notaris, S.1860 Nomor 3). 10<br />

Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris hanya diperkenankan<br />

untuk menjalankan jabatannya di daerah yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam<br />

UUJN dan di dalam daerah <strong>hukum</strong> tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila ketentuan<br />

itu tidak diindahkan, akta yang dibuat oleh Notaris menjadi tidak sah. Adapun<br />

wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi empat (4) hal yaitu sebagai berikut:<br />

a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;<br />

b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan<br />

siapa akta itu dibuat;<br />

c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;<br />

d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. 11<br />

Perbuatan <strong>hukum</strong> yang tertuang dalam suatu akta Notaris bukanlah perbuatan <strong>hukum</strong><br />

dari Notaris, melainkan perbuatan <strong>hukum</strong> yang memuat perbuatan, perjanjian dan<br />

penetapan dari pihak yang meminta atau menghendaki perbuatan <strong>hukum</strong> mereka<br />

dituangkan pada suatu akta otentik. Jadi pihak-pihak dalam akta itulah yang terikat pada<br />

9<br />

Soegondo R. Notodisorjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo Persada, Jakarta,<br />

1993, hlm. 9.<br />

10<br />

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 123<br />

11<br />

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hlm. 49-50.


RAHMAD HENDRA<br />

VOLUME 194<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

isi dari suatu akta otentik. Notaris bukan tukang membuat akta atau orang yang<br />

mempunyai pekerjaan membuat akta, tetapi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya<br />

didasari atau dilengkapi berbagai <strong>ilmu</strong> pengetahuan <strong>hukum</strong> dan <strong>ilmu</strong>-<strong>ilmu</strong> lainnya yang<br />

harus dikuasai secara terintegrasi oleh notaris dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh<br />

Notaris mempunyai kedudukan sebagai alat bukti. 12<br />

Suatu akta otentik dapat dibuat atas permintaan para pihak yang berkepentingan<br />

untuk membuat suatu perjanjian. Sebagai suatu perjanjian maka akta notaris tunduk pada<br />

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu:<br />

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri<br />

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan<br />

c. Suatu hal tertentu<br />

d. Suatu sebab yang halal<br />

Akta sebagai alat bukti yang identik kata akta yang dipersamakan dengan surat<br />

menurut Pitlo dalam buku M.Isa Arief ditegaskan bahwa: 13<br />

Suatu surat adalah pembawa tanda-tanda bacaan, yang berarti yang menerjemahkan<br />

suatu isi pikiran. Atas bahan apa dicantumkannya tanda bacaan ini, atas kertas, karton,<br />

kayu atau kain adalah tidak penting. Juga tidak penting apakah tanda bacaan itu<br />

terdiri dari huruf yang kita kenal atau dari huruf cina sekalian, tanda stenografi atau<br />

dari tulisan rahasia yang disusun sendiri. Hal ini tidak termasuk dalam kata surat,<br />

adalah foto dan peta. Barang-barang ini tidak memuat tanda bacaan.<br />

Dari pemikiran Pitlo yang dialihbahasakan oleh M.Isa Arief tersebut menunjukkan<br />

bahwa apa saja yang tercantum dalam sutau benda, asalkan mengandung pesan atau<br />

buah pikiran yang tersurat adalah merupakan bukti. Tetapi tidak semua bukti dapat<br />

dijadikan alat bukti. Perihal pembuktian tertulis sebagaimana tercantum dalam Pasal 1904<br />

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi antara akta otentik dan akta di bawah<br />

tangan. Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat menurut bentuk dan tata cara<br />

yang ditetapkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yakni<br />

dibuat oleh atau di hadapan notaris, kecuali ditentukan lain oleh undang.undang.<br />

Menurut Pitlo dalam buku M. Isa Arief bahwa akta mempunyai bermacam-macam<br />

fungsi di dalam <strong>hukum</strong>. Fungsi ini dapat berupa: 14<br />

1. Syarat menyatakan adanya suatu perbuatan <strong>hukum</strong><br />

2. Sebagai alat pembuktian<br />

3. Alat pembuktian satu-satunya<br />

Jadi fungsi dari dibuatkannya akta itu adalah untuk membuktikan bahwa memang<br />

bahwa ada hal/peristiwa yang disebutkan dalam akta. Hal mana untuk membedakan<br />

antara akta otentik dan akta dibawah tangan. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa<br />

fungsi dari pada fakta itu adalah: 15<br />

12<br />

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 31<br />

13<br />

Pitlo dalam buku M. Isa Arief, Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata<br />

Belanda, PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 51<br />

14<br />

Pitlo dalam buku M.Isa Arief…, Op.Cit., hlm. 54<br />

15<br />

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 126


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

195<br />

a) Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa), yang berarti bahwa<br />

untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan<br />

<strong>hukum</strong>, haruslah dibuat suatu fakta, sehingga disini kita merupakan syarat formil<br />

untuk adanya suatu perbuatan <strong>hukum</strong>.<br />

b) Akta juga mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa). Jadi jelas<br />

bahwa itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian<br />

hari. Sedangkan sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta tu tidak<br />

membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat<br />

bukti di kemudian hari.<br />

Pada umumnya akta itu adalah suatu surat yang ditanda tangani, memuat<br />

keterangan tentang kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari suatu<br />

perjanjian, dapat dikatakan bahwa akta itu adalah suatu tulisan dengan mana dinyatakan<br />

sesuatu perbuatan <strong>hukum</strong>, Pasal 1867 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan:<br />

16<br />

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan<br />

tulisan-tulisan di bawah tangan.<br />

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat dua macam akta yaitu akta<br />

yang sifatnya otentik dan ada yang sifatnya di bawah tangan, dalam Pasal 1868 Kitab<br />

Undang-undang Hukum Perdata yang dimaksud akta otentik adalah: 17<br />

Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undangundang<br />

dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk<br />

itu ditempat dimana akta itu dibuatnya.<br />

Pegawai umum yang dimaksud di sini ialah pegawai-pegawai yang dinyatakan dengan<br />

undang-undang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik, salah satunya<br />

notaris. Akta yang dibuat dengan tidak memenuhi Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum<br />

Perdata bukanlah akta otentik atau disebut juga akta dibawah tangan, perbedaan terbesar<br />

antara akta otentik dan akta yang dibuat dibawah tangan ialah: 18<br />

1. Akta Otentik<br />

Merupakan alat bukti yang sempurna sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870<br />

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ia memberikan diantara para pihak<br />

termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu<br />

suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan dalam akta<br />

ini, ini berarti mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap<br />

melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi<br />

hakim itu merupakan “Bukti wajib/keharusan” (Verplicht Bewijs). Dengan<br />

demikian barang siapa yang menyatakan bahwa akta otentik itu palsu maka ia<br />

harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu, oleh karena itulah maka akta<br />

otentik mempunyai kekuatan pembuktian baik lahiriah, formil maupun materiil.<br />

16<br />

R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XXIV, PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hlm. 475.<br />

17<br />

Ibid, hlm 475.<br />

18<br />

N.G.Yudara, Pokok-pokok Pemikiran, disekitar kedudukan dan fungsi notaris serta akta Notaris Menurut<br />

Sistem Hukum Indonesia, Renvoi, Nomor.10.34.III, Tanggal 3 Maret 2006, hlm. 74.


RAHMAD HENDRA<br />

VOLUME 196<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

2. Akta di bawah tangan<br />

Akta dibawah tangan bagi Hakim merupakan “Bukti Bebas” (VRU Bewijs) karena<br />

akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan bukti materiil setelah dibuktikan<br />

kekuatan formilnya sedangkan kekuatan pembuktian formilnya baru terjadi, bila<br />

pihak-pihak yang bersangkutan mengetahui akan kebenaran isi dan cara<br />

pembuatan akta itu, dengan demikian akta dibawah tangan berlainan dengan<br />

akta otentik, sebab bilamana satu akta di bawah tangan dinyatakan palsu, maka<br />

yang menggunakan akta dibawah tangan itu sebagai bukti haruslah membuktikan<br />

bahwa akta itu tidak palsu.<br />

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka akta yang dibuat secara otentik dengan akta<br />

yang dibuat secara dibawah tangan, mempunyai nilai pembuktian suatu akta yang meliputi: 19<br />

1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (uitvendige bewijskracht)<br />

Kekuatan pembuktian lahiriah artinya akta itu sendiri mempunyai kemampuan<br />

untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik. 20<br />

2. Kekuatan Pembuktian Formal (formele bewijskracht)<br />

Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu,<br />

kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang<br />

yang hadir (comparanten), demikian juga tempat dimana akta itu dibuat dan<br />

sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang<br />

diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri<br />

hanya pasti antara pihak-pihak itu sendiri. 21<br />

3. Kekuatan Pembuktian Materiil (Materiele bewijskracht)<br />

Isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar, isinya<br />

itu mempunyai kepastian sebagaimana yang sebenarnya, menjadi alat bukti dengan<br />

sah diantara pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka, dengan<br />

pengertian :<br />

a. bahwa akta itu, apabila dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup dan bahwa<br />

hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya disamping<br />

itu;<br />

b. bahwa pembuktian sebaliknya senantiasa diperkenankan dengan alat-alat<br />

pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-undang. 22<br />

Tujuan dari dibuatkan akta dibawah tangan atau akta otentik (yang didalamnya<br />

termasuk akta para pihak dan akta berita acara) adalah untuk pembuktian, sebagaimana<br />

dikemukakan oleh Soebekti bahwa “membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang<br />

kebenaran atas dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 23 Pembuktian<br />

baru ada setelah ada persengketaan yang diajukan ke pengadilan“. Sudikno Mertokusumo<br />

memberikan defenisi dalam 3 (tiga) pengertian pembuktian, yaitu dalam arti logis, dalam<br />

arti konvensional dan dalam arti yuridis. 24<br />

19<br />

Ibid<br />

20<br />

G.S. Lumban Tobing, Op.Cit. hlm. 55<br />

21<br />

Ibid. hlm. 57<br />

22<br />

Ibid. hlm 60.<br />

23<br />

Soebekti, Hukum Perjanjian,PT. Internusa, Jakarta, 1980, hlm.5<br />

24<br />

Sudikno Mertokusumo…, Op. Cit., hlm.103


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

197<br />

Akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli<br />

warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak daripadanya. Dengan demikian ini<br />

berarti bahwa isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar selama ketidakbenarannya<br />

tidak dapat dibuktikan. 25<br />

Akta otentik tidak memerlukan pengakuan dari pihak yang bersangkutan agar<br />

mempunyai kekuatan pembuktian. Terhadap pihak ketiga, akta tersebut tidak mempunyai<br />

kekuatan bukti yang sempurna, melainkan hanya bersifat alat pembuktian yang<br />

penilaiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. 26<br />

Sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) notaris berwenang membuat akta<br />

otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut notaris dapat dibebani tanggung<br />

jawab atas perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat akta oetentik. Tanggung jawab<br />

notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang<br />

berhubungan dengan akta, diantaranya: 27<br />

a. Tanggung jawab notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya, dalam hal ini<br />

adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi<br />

perbuatan melawan <strong>hukum</strong>. Perbuatan melawan <strong>hukum</strong> disini dalam sifat aktif<br />

maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan<br />

kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan<br />

perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian.<br />

Jadi unsur dari perbuatan melawan <strong>hukum</strong> disini yaitu adanya perbuatan<br />

melawan <strong>hukum</strong>, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.<br />

Perbuatan melawan <strong>hukum</strong> disini diartikan luas, yaitu suatu pebuatan tidak saja<br />

melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak<br />

orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan<br />

melawan <strong>hukum</strong> apabila perbuatan tersebut:<br />

1) Melanggar hak orang lain;<br />

2) Bertentangan dengan aturan <strong>hukum</strong>;<br />

3) Bertentangan dengan kesusilaan;<br />

4) Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan<br />

harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.<br />

b. Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya. Pidana dalam<br />

hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang notaris dalam kapasitasnya<br />

sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam<br />

konteks individu sebagai warga negara pada umumnya. Unsur-unsur dalam<br />

perbuatan pidana meliputi:<br />

1) Perbuatan manusia;<br />

2) Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas<br />

legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada<br />

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak<br />

atau belum dinyatakan dalam undang-undang);<br />

25<br />

M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 38<br />

26<br />

Ibid.<br />

27<br />

Ibid, hal. 35-49


RAHMAD HENDRA<br />

VOLUME 198<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

3) Bersifat melawan <strong>hukum</strong>.<br />

4) Tanggung jawab notaris berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN).<br />

5) Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan<br />

kode etik notaris. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 UUJN tentang sumpah<br />

jabatan notaris.<br />

Notaris harus menjalankan jabatannya sesuai dengan Kode Etik Notaris, yang mana<br />

dalam melaksanakan tugasnya Notaris itu diwajibkan:<br />

a. Senantiasa menjunjung tinggi <strong>hukum</strong> dan asas negara serta bertindak sesuai<br />

dengan makna sumpah jabatannya.<br />

b. Mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan negara. 28<br />

Untuk itu Notaris harus berhati-hati dalam membuat akta agar tidak terjadi kesalahan<br />

atau cacat <strong>hukum</strong>. Karena akta yang dibuat Notaris harus dipertanggung-jawabkan kepada<br />

masyarakat dan tidak luput dari penilaian Hakim. Namun dalam prakteknya terkadang<br />

Notaris tidak bertindak seksama dan berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya membuat<br />

akta. Prosedur yang semestinya dijalankan untuk melindungi kepentingan para pihak<br />

dan Notaris sendiri, ternyata tidak dilakukan.<br />

Kota Pekanbaru yang berusia lebih dari seratus duapuluh tahun memiliki perkembangan<br />

penduduk yang cukup tinggi sehingga kebutuhan akan jasa notaris juga tinggi.<br />

Pada tahun 2011 di Kota Pekanbaru terdapat lebih dari 120 orang Notaris. Jumlah yang<br />

sebenarnya telah melampaui kuota atau batasan jumlah notaris yang ditetapkan oleh<br />

Kementerian Hukum dan HAM.<br />

Kelebihan jumlah Notaris tersebut juga menyebabkan persaingan di kalangan Notaris<br />

juga semakin ketat dengan pelayanan yang juga lebih ditingkatkan. Namun pelayanan<br />

dan kemudahan yang dilakukan oleh Notaris kerap menimbulkan celah-celah <strong>hukum</strong> yang<br />

membuka peluang terjadinya perbuatan melawan <strong>hukum</strong>. Kemudahan yang ditawarkan<br />

Notaris terkadang dimanfaatkan oleh penghadap yang mempunyai itikad buruk untuk<br />

kepentingannya sendiri.<br />

Permasalahan yang berkaitan dengan profesi Notaris terus meningkat setiap tahun.<br />

Tahun 2008 jumlah kasus hanya 6, jumlah tersebut bertambah pada tahun 2009 menjadi<br />

18 kasus. Pada tahun 2010 ada 41 kasus dan pada bulan November 2011 jumlah kasus<br />

yang tercatat adalah 24 kasus. Selama kurun waktu 4 tahun terdapat 89 kasus yang<br />

diperiksa oleh Majelis Pengawas Notaris Daerah Pekanbaru. Pada tahun 2009 terdapat 1<br />

kasus penghadap yang mempergunakan identitas palsu. Tahun 2011 ada 2 kasus<br />

penghadap yang memakai identitas palsu.<br />

Berdasarkan wawancara dengan beberapa orang Notaris Kota Pekanbaru didapatkan<br />

data bahwa notaris tidak bertanggungjawab atas isi akta bila ada penghadap yang<br />

menggunakan identitas palsu, karena notaris hanya menuangkan keterangan dan keinginan<br />

penghadap dalam akta. Tentang identitas bukan kewenangan notaris untuk menilai<br />

keaslian tanda pengenal penghadap. Meskipun begitu notaris harus berhati-hati dalam<br />

menjalankan tugasnya untuk mencegah terjadinya perbuatan melawan <strong>hukum</strong> yang akan<br />

merugikan pihak yang beritikad baik dan notaris sendiri.<br />

28<br />

Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, 1981, Ps. 1, hlm. 158.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

199<br />

Rumusan pasal dalam UUJN tidak menjelaskan tentang tanggungjawab notaris<br />

terhadap akta yang dibuatnya. Namun dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dikatakan bahwa<br />

dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban bertindak jujur, saksama, mandiri,<br />

tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan <strong>hukum</strong>.<br />

Dari ketentuan pasal tersebut diatas tergambar kewajiban notaris untuk bertindak<br />

seksama dalam arti berhati-hati dan teliti dalam menjalankan tugasnya. Menjaga<br />

kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan <strong>hukum</strong> mewajibkan notaris<br />

mengjalankan prosedur yang semestinya dalam proses pembuatan akta agar tidak ada<br />

pihak yang dirugikan atas akta tersebut.<br />

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan, berisi buah pikiran seseorang<br />

yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti Dengan kata lain surat adalah tulisan yang<br />

dapat dipergunakan sebagai alat bukti. 29 Selanjutnya surat sebagai alat bukti dibagi menjadi:<br />

1) Akta Otentik, yang terdiri dari:<br />

a) Acte Partij<br />

b) Acte ambtelijk<br />

2) Akta dibawah tangan<br />

3) Bukan Akta/Surat Biasa<br />

Wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa notaris di Kota Pekanbaru,<br />

kekuatan pembuktian akta tersebut tetap akta otentik. Berdasarkan UUJN Akta Otentik<br />

adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang<br />

ditetapkan dalam UUJN. Jadi selama bentuk dan tata caranya telah memenuhi UUJN<br />

maka akta tersebut tetap otentik. Identitas palsu yang dipergunakan penghadap tidak<br />

membuat akta otentik serta merta menjadi akta di bawah tangan Akta tersebut dapat<br />

dibatalkan tapi melalui proses pengadilan dan hanya hakim yang berwenang memutuskan<br />

akta otentik batal atau dapat dibatalkan.<br />

C. Penutup<br />

Notaris bertanggungjawab atas apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan<br />

juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan<br />

jabatannya. Menjamin akta yang dibuatnya kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu,<br />

kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang<br />

hadir (comparanten), demikian juga tempat dimana akta itu dibuat, sedang kebenaran<br />

dari keterangan-keterangan atau dokumen-dokumen itu sendiri hanya pasti antara pihakpihak<br />

itu sendiri, Notaris tidak bertanggung jawab jika ada keterangan dan komumen<br />

yang tidak benar dari penghadap.<br />

Kekuatan pembuktian akta otentik yang penghadapnya menggunakan identitas palsu<br />

tetap sebagai akta otentik. Hanya hakim yang dapat membatalkan akta tersebut. Namun<br />

jika penghadap yang menggunakan identitas palsu tidak cakap untuk melakukan perbuatan<br />

<strong>hukum</strong>, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di<br />

bawah tangan.<br />

29<br />

Sudikno Mertokusuma, Op.cit, Hlm 115.


RAHMAD HENDRA<br />

VOLUME 200<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Hendaknya Notaris dalam membuat akta lebih memperhatikan dan menjalankan<br />

pasal 16 UUJN. Tidak perlu terburu-buru membuat akta dan tidak perlu terlalu memberi<br />

kemudahan bagi penghadap dengan alasan pelayanan. Selalu berhati-hati dan teliti serta<br />

cermat dalam membuat akta. Ketentuan UUJN yang mengatur tentang sebab-sebab<br />

berubahnya kekuatan pembuktian akta otentik menjadi akta dibawah tangan hendaknya<br />

terus diingat dan dipelajari terus oleh notaris.<br />

D. Daftar Pustaka<br />

G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999<br />

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung,2008<br />

Koesbiono Sarman Hadi, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang,<br />

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Profesi Notaris Menjelang Tahun 200,<br />

Tanggal 15 Juni 1996, di Yogyakarta.<br />

Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, 1981<br />

Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, PT. Bayu<br />

Indra Grafika, Yogyakarta, 1995<br />

M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005<br />

M.Isa Arief, Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata<br />

Belanda, PT. Intermasa, Jakarta, 1986<br />

N.G.Yudara, Pokok-pokok Pemikiran, di sekitar kedudukan dan fungsi notaris serta akta Notaris<br />

Menurut Sistem Hukum Indonesia, Renvoi, Nomor.10.34.III, Tanggal 3 Maret 2006<br />

Partomuan A. Pohan, Profesi Notaris Dalam Era Globalisasi, Tantangan dan Peluang,<br />

makalah disajikan pada Seminar Nasional Profesi Notaris Menjelang Tahun tanggal<br />

15 Juni 1996 di Yogyakarta.<br />

R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XXIV, PT.Intermasa, Jakarta, 1986<br />

Soebekti, Hukum Perjanjian, PT. Internusa, Jakarta, 1980<br />

Soegondo R. Notodisorjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Raja Grafindo<br />

Persada, Jakarta, 1993<br />

Sudikno Mertokusumo , Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta<br />

———————————— , Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1985.<br />

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1990.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

201<br />

STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL KONVERSI<br />

HAK BARAT BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1960<br />

ULFIA HASANAH<br />

Jalan Garuda Tangkerang Tengah Marpoyan Damai Pekanbaru<br />

Abstrak<br />

Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1960<br />

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria<br />

terjadi perubahan fundamental terhadap <strong>hukum</strong><br />

agraria di Indonesia terutama di bidang pertanahan.<br />

Adapun yang menjadi landasan <strong>hukum</strong> bagi<br />

pelaksanaan konversi hak atas tanah adalah bagian<br />

kedua UUPA tentang ketentuan-ketentuan konversi<br />

yang terdiri atas sembilan pasal yang mengatur<br />

tiga jenis konversi yaitu; konversi hak atas tanah<br />

yang bersumber dari hak-hak Indonesia, konversi<br />

hak atas tanah bekas Swapraja dan konversi hak<br />

atas tanah yang berasal dari hak-hak barat.<br />

Abstract<br />

With the enactment of Law No. 5 of 1960 concerning<br />

the Basic Agrarian fundamental changes to the agrarian<br />

law in Indonesia, especially in the area of land.<br />

As for the legal basis for the conversion of land rights<br />

is the second part of the Act concerning the provisions<br />

of the conversion consists of nine chapters that govern<br />

the conversion of three types, namely: the conversion<br />

of land resulting from Indonesia’s rights, conversion<br />

rights to land former Autonomous and conversion<br />

of land rights from the rights of the west.<br />

Kata kunci: Konversi, hak tanah.<br />

A. Pendahuluan<br />

Kebutuhan akan tanah dewasa ini meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah<br />

penduduk dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Tanah tidak<br />

saja sebagai tempat bermukim, tempat untuk bertani tetapi juga dipakai sebagai jaminan<br />

mendapatkan pinjaman di bank, untuk keperluan jual beli, sewa menyewa. Begitu<br />

pentingnya, kegunaan tanah bagi kepentingan umum bagi orang atau badan <strong>hukum</strong><br />

menuntut adanya jaminan kepastian <strong>hukum</strong> atas tanah tersebut. 1<br />

Sebelum tahun 1960, di Indonesia berlaku dualisme <strong>hukum</strong> pertanahan. Disatu sisi<br />

berlaku <strong>hukum</strong>-<strong>hukum</strong> tanah hak kolonial belanda, tanah yang tunduk dan diatur Hukum<br />

Perdata Barat yang sering disebut Tanah Barat atau Tanah Eropa misalnya tanah hak<br />

eigendom, hak opstall, hak erfpacht dan lain-lainnya. Penguasaan tanah dengan hak<br />

penduduk asli atau bumi putera yang tunduk pada Hukum Adat yang tidak mempunyai<br />

bukti tertulis, yang dipunyai penduduk setempat sering disebut tanah adat misalnya tanah<br />

hak ulayat, tanah milik adat, tanah Yasan, tanah gogolan dan lainnya.<br />

Tanggal 24 September 1960, yang merupakan hari bersejarah karena pada tanggal<br />

tersebut telah diundangkan dan dinyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun<br />

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bagi seluruh wilayah Indonesia.<br />

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar<br />

Pokok-pokok Agraria (selanjutnya di sebut UUPA) terjadi perubahan fundamental pada<br />

Hukum Agraria di Indonesia, terutama di bidang pertanahan. 2 Maka berakhirlah dualisme<br />

<strong>hukum</strong> tanah dan terselenggaranya unifikasi yaitu kesatuan <strong>hukum</strong> dilapangan <strong>hukum</strong><br />

pertanahan di Indonesia. Ketentuan ini sekaligus mencabut Hukum Agraria yang berlaku<br />

1<br />

Florianus, S.P Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi Media, Jakarta, 2008, hlm. 1<br />

2<br />

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia jilid I Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, Jakarta,<br />

2007, hlm. 1


ULFIA HASANAH<br />

VOLUME 202<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

pada zaman penjajahan antara lain yaitu Agrarische Wet (Stb. 1870 Nomor 55), Agrarische<br />

Besluit dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya Buku II tentang Kebendaan,<br />

salah satunya yang mengatur tentang masalah hak atas tanah.<br />

Dengan adanya Hukum Pertanahan Nasional diharapkan terciptanya kepastian <strong>hukum</strong><br />

di Indonesia. Untuk tujuan tersebut oleh pemerintah ditindaklanjuti dengan penyediaan<br />

perangkat <strong>hukum</strong> tertulis berupa peraturan-peraturan lain dibidang <strong>hukum</strong> pertanahan<br />

nasional yang mendukung kepastian <strong>hukum</strong> serta selanjutnya lewat perangkat peraturan<br />

yang ada dilaksanakan penegakan <strong>hukum</strong> berupa penyelenggaraan pendaftaran tanah<br />

yang efektif.<br />

Menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran<br />

Tanah, yang bisa menjadi objek pendaftaran tanah adalah :<br />

a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna<br />

bangunan dan hak pakai;<br />

b. tanah hak pengelolaan;<br />

c. tanah wakaf;<br />

d. hak milik atas satuan rumah susun;<br />

e. hak tanggungan;<br />

f. tanah negara;<br />

Pada kenyataannya ternyata didalam masyarakat masih terdapat hak eigendom, hak<br />

opstal, hak erfpacht serta hak penduduk asli atau bumi putera yang tunduk pada Hukum<br />

Adat yang tidak mempunyai bukti tertulis, yang dipunyai penduduk setempat sering<br />

disebut tanah adat misalnya tanah hak ulayat, tanah milik adat, tanah Yasan, tanah gogolan<br />

dan lainnya.<br />

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 tersebut di atas, maka jelas tanah-tanah yang berasal<br />

dari hak-hak barat tidak bisa didaftar. Jika tanah-tanah ini tidak bisa didaftarkan tentukan<br />

akan merugikan para pemilik tanah, karena mereka tentu akan kehilangan haknya. Oleh<br />

karena itu diperlukan suatu cara agar tanah ini dapat didaftarkan, maka cara yang dapat<br />

dilakukan adalah dengan melakukan konversi terhadap tanah yang bersumber dari hak<br />

barat tersebut. Dengan adanya konversi tanah dari hak-hak barat diharapkan masyarakat<br />

tidak ada yang dirugikan haknya karena setelah dikonversikan hak tersebut akan dapat<br />

didaftarkan.<br />

Konversi bekas hak-hak atas tanah merupakan salah satu instrumen untuk memenuhi<br />

asas unifikasi <strong>hukum</strong> melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Peraturan Menteri<br />

Pertanahan dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 mengatur ketentuan mengenai<br />

penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia atas tanah secara normatif.<br />

Peraturan konversi tersebut merupakan implementasi ketentuan peralihan Undangundang<br />

Nomor 5 Tahun 1960.<br />

Tujuan pendaftaran konversi tanah untuk memberikan kepastian <strong>hukum</strong>, perlindungan<br />

<strong>hukum</strong> kepada pemegang hak atas tanah atau menghasilkan Surat Tanda Bukti<br />

Hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3<br />

3<br />

Agung Raharjo, Pendaftaran Konversi Tanah Hak Milik Adat oleh Ahli Waris, Tesis, Universitas Diponegoro,<br />

Semarang, 2010, Hlm. 14


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

203<br />

B. Perumusan Masalah<br />

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan beberapa perumusan masalah yang<br />

menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini yang meliputi:<br />

1. Bagaimanakah klasifikasi hak atas tanah bekas hak barat setelah dilakukan<br />

konversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960<br />

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria<br />

2. Bagaimanakah status kepemilikan tanah hasil konversi hak barat sebagaimana<br />

diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar<br />

Pokok-Pokok Agraria dihubungkan dengan PP No.24 Tahun 1997 Tentang<br />

Pendaftaran Tanah<br />

C. Klasifikasi Hak Atas Tanah Bekas Hak Barat Setelah Dilakukan Konversi<br />

Sebagaimana Diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960<br />

Setelah berlakunya UUPA, maka semua hak-hak barat yang belum dibatalkan sesuai<br />

ketentuan sebagaimana tersebut diatas, dan masih berlaku tidak serta merta hapus dan<br />

tetap diakui, akan tetapi untuk dapat menjadi hak milik atas tanah sesuai dengan sistem<br />

yang diatur oleh UUPA, harus terlebih dahulu dikonversi menurut dan sesuai dengan<br />

ketentuan-ketentuan konversi dan aturan pelaksanaannya. Dalam Pelaksanaan konversi<br />

tersebut ada beberapa prinsip, yaitu :<br />

1. Prinsip Nasionalitas<br />

Dalam Pasal 9 UUPA, secara jelas menyebutkan bahwa hanya Warga Negara<br />

Indonesia saja yang boleh mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan<br />

ruang angkasa. Badan-badan <strong>hukum</strong> Indonesia juga mempunyai hak-hak atas tanah,<br />

tetapi untuk mempunyai hak milik hanya badan-badan <strong>hukum</strong> yang ditunjuk oleh<br />

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum<br />

yang dapat mempunyai hak Milik atas Tanah, antara lain : Bank-bank yang didirikan<br />

oleh Oleh Negara, Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan<br />

berdasarkan Undang-undang Nomor 79 Tahun 1963, badan-badan keagamaan yang<br />

ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria setelah mendengar pendapat Menteri Agama,<br />

dan badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian atau mendengar Menteri<br />

Sosial.<br />

2. Pengakuan Hak-hak tanah terdahulu<br />

Ketentuan-konversi di Indonesia mengambil sikap yang human atas masalah hakhak<br />

atas tanah sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak-hak yang pernah tunduk kepada<br />

Hukum Barat maupun Hukum Adat yang kesemuanya akan masuk melalui Lembaga<br />

Konversi ke dalam sistem dari UUPA.<br />

3. Penyesuaian pada ketentuan Konversi<br />

Sesuai dengan Pasal 2 dari Ketentuan Konversi maupun Surat Keputusan Menteri<br />

Agraria maupun dari Edaran-edaran yang diterbitkan, maka hak-hak atas tanah yang<br />

pernah tunduk kepada Hukum Barat dan Hukum Adat harus disesuaikan dengan hakhak<br />

yang diatur oleh UUPA.


ULFIA HASANAH<br />

VOLUME 204<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

4. Status Quo Hak-hak Tanah terdahulu<br />

Dengan berlakunya UUPA, maka tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak baru atas<br />

tanah-tanah yang akan tunduk kepada Hukum Barat. Setelah diseleksi menurut ketentuanketentuan<br />

Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan pelaksanaannya maka<br />

terhadap hak-hak atas tanah bekas hak barat dapat menjadi :<br />

a. Tanah Negara karena terkena ketentuan asas nasionalitas atau karena tidak<br />

dikonversi menjadi hak menurut Undang-undang Pokok Agraria.<br />

b. Dikonversi menjadi hak yang diatur menurut Undang-undang Pokok Agraria<br />

seperti Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.<br />

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya macam-macam hak atas tanah<br />

hak-hak Barat adalah :<br />

1. Hak Eigendom (Recht van Eigendom)<br />

Dalam pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyebutkan bahwa hak<br />

eigendom adalah hak untuk menikmati suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk<br />

berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak<br />

bertentangan dengan undang-undanga tau peraturan umum yang ditetapkan oleh<br />

suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak<br />

orang lain, kesemuanya itu tidak mengurangi akan pencabutan atas kebenda hak<br />

itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang-Undang dan<br />

dengan pembayaran ganti rugi.<br />

2. Hak Erfpacht (Recht van Erfpacht)<br />

Hak Erfacht, menurut Pasal 720 KUHPerdata adalah suatu hak kebendaan untuk<br />

menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain,<br />

dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada sipemilik sebagai<br />

pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang maupun pendapatan lainnya.<br />

3. Hak Opstal (Recht van Opstal)<br />

Hak Opstal adalah suatu hak kebendaan (zakelijk recht) untuk mempunyai rumahrumah,<br />

bangunan-bangunan dan tanaman diatas tanah milik orang lain. Hak Opstal<br />

menurut Pasal 711 KUHPerdata merupakan hak numpang karang yaitu suatu hak<br />

kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan<br />

penanaman diatas pekarangan orang lain.<br />

Bagi pemegang Hak Opstal, mempunyai kewajiban, antara lain :<br />

a. Membayar Canon (uang yang wajib dibayar pemegang hak opstal setiap<br />

tahunnya kepada negara)<br />

b. Memelihara tanah opstal itu sebaik-baiknya<br />

c. Opstaller dapat membebani haknya kepada hipotik<br />

d. Opstaller dapat membebani tanah itu dengan pembebanan pekarangan selama<br />

hak opstall itu berjalan<br />

e. Opstaller dapat mengasingkan hak opstall itu kepada orang lain.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

205<br />

5. Hak Van Gebruik<br />

Menurut Pasal 756 KUHPerdata, Recht van Gebruik adalah suatu hak<br />

kebendaan, dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil dari sesuatu<br />

kebendaan milik orang lain, sehingga seolah-olah dia sendiri pemilik kebendaan<br />

itu, dan dengan kewajiban memeliharanya.<br />

Konversi hak-hak atas tanah adalah penyesuaian hak lama atas tanah menjadi hak<br />

baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. 4 Sedangkan menurut A.P Parlindungan,<br />

konversi hak-hak atas tanah adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang<br />

ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem UUPA. 5<br />

Dalam UUPA terdapat 3 (tiga) jenis konversi:<br />

· Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak barat<br />

· Konversi hak atas tanah, berasal dari hak Indonesia<br />

· Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja<br />

Khusus konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat terdapat 3 (tiga )<br />

hak yang dikonversi ke dalam UUPA, yaitu; Hak Eigendom, Hak Erfpacht, Hak Opstall.<br />

Apabila kita cermati arti konversi diatas, bahwa ada suatu peralihan atau perubahan dari<br />

hak tanah tertentu kepada hak tanah yang lain, yaitu perubahan hak lama yang secara<br />

yuridis adalah hak-hak sebelum adanya UUPA menjadi hak-hak baru atas tanah<br />

sebagaimana dimaksud dalam rumusan UUPA, khususnya sebagaimana diatur dalam pasal<br />

16 ayat (1) antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.<br />

Berikut ini akan diuraiakan landasan <strong>hukum</strong> konversi terhadap hak atas tanah yang<br />

berasal dari tanah hak barat, sebagaimana diuraikan dalam ketentuan konversi<br />

UUPAseperti:<br />

PASAL I:<br />

(1) Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini<br />

sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak<br />

memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.<br />

(2) Hak Eigendom kepunyaan pemerintah asing yang dipergunakan untuk keperluan<br />

rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya<br />

Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam Pasal 41 ayat 1, yang akan<br />

berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.<br />

(3) Hak Eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara yang disamping<br />

kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badanbadan<br />

<strong>hukum</strong>, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam Pasal<br />

21 ayat 2 sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak-guna-bangunan<br />

tersebut dalam Pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu 20 Tahun.<br />

4<br />

Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 1, Prestasi Pustaka Raya, Jakarta,<br />

2004, hlm. 80<br />

5<br />

A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 21


ULFIA HASANAH<br />

VOLUME 206<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

(4) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal<br />

atau hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya<br />

Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 35 ayat (1),<br />

yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau<br />

hak erfacht tersebut diatas, tetapi selama-lamanya 20 Tahun.<br />

(5) Jika hak eigendom tersebut dalam ayat 3 Pasal ini dibebani dengan hak opstal<br />

atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut<br />

dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut<br />

pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.<br />

(6) Hak-hak Hypotheek, Servituut, Vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membebani<br />

hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna bangunan tersebut dalam<br />

ayat (1) dan ayat (3) pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut<br />

Undang-Undang ini.<br />

PASAL III:<br />

(1) Hak Erfpacht untuk perusahaan perkebunan besar, yang ada pada mulai<br />

berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna usaha<br />

tersebut dalam Pasal 28 ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak<br />

erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 Tahun<br />

(2) Hak Erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang<br />

ini, sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuanketentuan<br />

yang diadakan oleh Menteri Agraria.<br />

PASAL V:<br />

Hak Opstall dan hak Erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya<br />

Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna bangunan tersebut dalam<br />

Pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstall dan erfpacht<br />

tersebut, tetapi selama-lamanya.<br />

PASAL VIII:<br />

(1) Terhadap hak-guna-bangunan tersebut dalam Pasal I ayat 3 dan 4, Pasal II ayat 2<br />

dan Pasal V berlaku ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2.<br />

(2) Terhadap Hak-guna-usaha tersebut Pasal II ayat 2, Pasal III ayat 1 dan 2 dan<br />

Pasal IV Ayat 1 berlaku ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2.<br />

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan mengenai penggolongan konversi hak<br />

atas tanah yang bersumber dari hak barat sebagai berikut:<br />

1) Hak-hak yang dikonversi menjadi hak milik meliputi: hak eigendom atas tanah<br />

(Pasal I ayat 1 ).<br />

2) Hak-hak yang dikonversi menjadi hak guna usaha meliputi:<br />

a. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar ( Pasal III ayat 1 )<br />

b. Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar (Pasal IV<br />

ayat 1)<br />

3) Hak-hak yang dikonversi menjadi hak guna bangunan meliputi:


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

207<br />

a. Hak eigendom kepunyaan orang/ badan <strong>hukum</strong> asing ( Pasal I ayat 3 ).<br />

b. Hak opstall atau hak erfpacht yang membebani hak eigendom ( Pasal I ayat 4).<br />

c. Hak opstall dan hak erfpacht untuk perumahan ( Pasal V ).<br />

4) Hak-hak yang dikonversi menjadi hak pakai meliputi: hak eigendom kepunyaan<br />

pemerintahan negara asing yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman<br />

kepala perwakilan dan gedung kedutaan ( Pasal I ayat 2 ).<br />

5) Hak-hak yang setelah dikonversi menjadi hapus meliputi: hak erfpacht untuk<br />

pertanian kecil ( Pasal III ayat 2 ).<br />

D. Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No.<br />

5 Tahun 1960 Dihubungkan dengan Pendaftaran Tanah<br />

Pasal 19 UUPA mengamanahkan bahwa untuk menjamin adanya kepastian <strong>hukum</strong>,<br />

pemerintah wajib melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia, hal ini<br />

dilakukan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat serta keperluan lalu lintas<br />

sosial ekonomis masyarakat. Secara legal formal pendaftaran tanah menjadi dasar bagi<br />

status/kepemilikan tanah bagi individu atau badan <strong>hukum</strong> selaku pemegang hak yang<br />

sah secara <strong>hukum</strong>.<br />

Bachtiar Effendi menyatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan recht cadaster<br />

yang bertujuan memberikan kepastian hak, yakni untuk memungkinkan orang-orang<br />

yang mempunyai tanah dengan mudah membuktikan bahwa dialah yang berhak atas<br />

sebidang tanah, apa hak yang dipunyainya, letak dan luas tanah. Serta memungkinkan<br />

kepada siapapun guna mengetahui hal-hal yang ia ketahui berkenaan dengan sebidang<br />

tanah, misalnya calon pembeli, calon kreditur, dan sebagainya. 6<br />

Berkaitan dengan pelaksanaan konversi hak atas tanah, khususnya yang berasal dari<br />

hak barat sebagaimana diatur dalam UUPA, pendaftarn tanah menjadi dasar bagi<br />

terselenggaranya konversi, karena konversi bukan peralihan hak secara otomatis, tetapi<br />

harus dimohonkan dan didaftarkan ke Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ( BPN ).<br />

Jika dilihat ketentuan konversi, maka jelas bahwa prinsipnya hak-hak atas tanah<br />

sepanjang pemegang haknya pada saat ketentuan konversi berlaku adalah Warga Negara<br />

Indonesia tunggal maka hak itu akan dikonversikan menjadi hak milik menurut UUPA.<br />

Konsekuensi dari berlakunya ketentuan konversi ( UUPA ) mengharuskan semua bukti<br />

kepemilikan sebelum berlakunya UUPA harus diubah status hak atas tanah menurut<br />

ketentuan konversi yang diatur dalam UUPA. Cara mengubah status hak atas tanah tersebut<br />

yaitu dengan mendaftarkan tanah tersebut untuk diberikan bukti kepemilikan yang baru,<br />

yaitu sertifikat hak atas tanah, dengan catatan hal itu dilakukan sebelum jangka waktu<br />

yang ditetapkan yakni sampai 24 september 1980, jika permohonan atau pendaftaran hak<br />

atas tanah tidak dilakukan maka hak atas tanah akan dikuasai langsung negara.<br />

Cara melakukan pendaftaran tanah untuk mengubah status hak atas tanahdapat<br />

dibagi atas 2 (dua) cara yaitu:<br />

6<br />

Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1983,<br />

hlm. 7


ULFIA HASANAH<br />

VOLUME 208<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

1) Jika pemohon memiliki bukti hak atas tanah yang diakui berdasarkan Pasal 23 dan<br />

24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka dapat ditempuh proses<br />

Konversi langsung yaitu dengan cara mengajukan permohonan dan menyerahkan<br />

bukti kepemilikan hak atas tanah kepada Kantor Pertanahan.<br />

2) Jika pemohon tidak memiliki atau kehilangan bukti kepemilikan hak atas tanah,<br />

maka carra yang ditempuh adalah melalui Penegasan Konversi atau melalui<br />

Pengakuan Hak.<br />

Terdapat 3 ( tiga ) bukti tertulis yang dapat diajukan oleh pemilik tanah, yaitu:<br />

1. Bukti tertulisnya lengkap.<br />

2. Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi.<br />

3. Bukti tertulisnya semua tidak ada lagi.<br />

Dalam kondisi bukti tertulisnya lengkap, maka tidak lagi memerlukan tambahan alat<br />

bukti, jika buktinya sebagian maka harus diperkuat dengan keterangan saksi atau<br />

pernyataan yang bersangkutan. Sedangkan jika bukti tertulisnya senuanya tidak ada lagi<br />

maka harus diganti keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan.<br />

Penegasan konversi dilakukan jika ada surat pernyataan kepemilikan tanah dari<br />

pemohon dan dikuatkan oleh keterangan saksi tentang kepemilikan tanah tersebut, tapi<br />

juga tergantung pada lamanya penguasaan fisik tanah tersebut oleh pemohon.<br />

Pengakuan hak sangat bergantung dengan lamanya penguasaan fisik, yaitu selama<br />

20 tahun demikian disebutkan didalam pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor<br />

24 Tahun 1997. Persyaratan pengakuan hak tersebut dapat dirincikan sebagai berikut:<br />

1) Bahwa pemohon telah menguasai tanah tersebut selama 20 tahun atau lebih secara<br />

berturut-turut atau dari pihak lain yang telah menguasainya.<br />

2) Penguasaan itu telah dilakukan dengan itikad baik.<br />

3) Penguasaan tanah itu tidak pernah diganggu gugat dan diakui serta dibenarkan<br />

oleh masyarakat di kelurahan atau tempat objek hak tersebut.<br />

4) Bahwa tanah tersebut sekarang tidak dalam sengketa.<br />

5) Bahwa jika pernyataan tersebut memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan<br />

kenyataan maka pemohon dapat dituntut secara pidana maupun perdata dimuka<br />

pengadilan karena memberikan keterangan palsu.<br />

Penegasan konversi, pengakuan hak dan pemberian hak diatur didalam pasal 56<br />

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun<br />

1997, yaitu sebagai berikut:<br />

1) Berdasarkan berita acara pengesahan data fisik data yuridis sebagaimana dimaksud<br />

dalam pasal 64 ayat (1) dilaksanakan kegiatan sebagai berikut:<br />

a. Hak atas sebidang tanah yang alat bukti tertulisnya lengkap sebagaimana<br />

dimaksud dalam pasal 60 ayat (2) dan yang alat bukti tertulisnya tidak lengkat<br />

tapi ada keterangan saksi maupun pernyataan yang bersangkutan sebagaimana<br />

yang dimaksud pasal 60 ayat (3) oleh Ketua Panitia Ajudikasi ditegaskan<br />

konversinya menjadi hak milik atas nama pemegang hak yang terakhir.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

209<br />

b. Hak atas tanah yang bukti kepemilikannya tidak ada tetapi telah dibuktikan<br />

kenyataan penguasaan fisiknya selama 20 tahun sebagaimana dimaksud<br />

pasal 61 oleh Ketua Ajudikasi diakui sebagai hak milik.<br />

2) Untuk pengakuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tidak<br />

diperlukan penerbitan surat keputusan pengakuan hak.<br />

Sementara terhadap pelaksanaan konversi dapat dilakukan dalam 2 (dua) kondisi<br />

dan dilengkapi dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:<br />

1. Bagi konversi langsung, maka dokumen yang dibutuhkan adalah:<br />

a. Surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan.<br />

b. Bukti pemilikan/ penguasaan tanah; berupa surat bukti seperti, girik/ letter<br />

c, pipit, verponding Indonesia ( jika dimiliki ). Bukti tersebut harus juga<br />

dilakukan dengan bukti lain:<br />

i. Surat-surat asli jual beli, tukar menukar, hibah atau akta waris.<br />

ii. Pernyataan dari pemohon atas penguasaan tanah tersebut, bahwa<br />

tanah tersebut tidak dalam sengketa.<br />

c. Foto copy KTP pemohon yang masih berlaku.<br />

d. Kartu keluarga.<br />

e. Surat tanda bukti pelunasan SPPT PBB ( Pajak Bumi dan Bangunan ) yang<br />

terakhir.<br />

f. Surat berkewarganegaraan Republik Indonesia dan atau surat pernyataan<br />

Ganti Nama ( apabila warga keturunan ).<br />

g. Surat ukur/ gambar situasi ( bila sudah ada dan masih dapat digunakan ).<br />

2. Bagi penegasan konversi/ pengakuan hak, dokumen yang dibutuhkan adalah:<br />

a. Surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan bukti penguat<br />

pemilikan penguasaan tanah;<br />

i. Pernyataan dan permohonan.<br />

ii. Keterangan dari kelurahan dan keterangan dari sekurang-kurangnya<br />

2 (dua) saksi atau lebih yang dapat dipercaya serta telah menjadi<br />

penduduk setempat dan tidak memiliki hubungan kekeluargaan dan<br />

kekerabatan dengan pemohon.<br />

b. Foto copy KTP pemohon<br />

c. Kartu Keluarga.<br />

d. Bukti pelunasan PBB terakhir.<br />

e. Surat kuasa ( bila dikuasainya ).<br />

f. Surat Berkewarganegaraan Republik Indonesia ( SKBRI ) dan surat<br />

pernyataan ganti nama ( apabila warga keturunan ).<br />

g. Surat ukur/ gambar situasi ( apabila sudah ada dan masih dapat digunakan).<br />

Permohonan hak atas tanah dapat dilakukan terhadap:<br />

a. Tanah negara bebas; belum pernah melekat sesuatu hak diatasnya.<br />

b. Tanah negara asalnya masih melekat sesuatu hak dan jangka waktunya belum<br />

berakhir, namun dimintakan perpanjangannya.


ULFIA HASANAH<br />

VOLUME 210<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

c. Tanah negara asalnya pernah melekat sesuatu hak dan jangka waktunya telah<br />

berakhir untuk dimintakan pembaharuannya, termasuk tanah-tanah Hak Barat,<br />

sebagai mana dijelaskan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32<br />

tahun1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru<br />

atas tanah asal konversi hak barat, pasal 1 ayat (1); “Tanah Hak Guna Usaha, Hak<br />

Guna Bangunan, dan hak pakai asal konversi hak barat, yangg jangka waktunya<br />

akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980. sebagaimana<br />

yang dimaksud dalam UUPA, pada saat berakhirnya hak, yang bersangkutan<br />

menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara“ maupun tanah-tanah yang<br />

telah terdaftar menurut Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ).<br />

Selanjutnya terkait dengan pendaftaran SK pemberian hak untuk mendapatkan<br />

sertifikat tanda bukti hak diperlukan dokumen berikut ini:<br />

a. Surat permohonan pendaftaran.<br />

b. Surat pengantar.<br />

c. SK pemberian hak untuk keperluan pendaftaran.<br />

d. Bukti pelunasan uang pemasukan atau BPHTB apabila dipersyaratkan.<br />

e. Identitas pemohon.<br />

Hak milik dapat diberikan kepada; warga negara Indonesia, badan-badan <strong>hukum</strong><br />

yang ditetapkan pemerintah, misalnya Bank Pemerintah, Badan Keagamaan, dan Badan<br />

Sosial yang ditunjuk pemerintah. Hak ini bersifat turun temurun, terkuat, dan terpenuh<br />

yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial tanah, maka jangka<br />

waktu berlakunya hak milik dalah untuk waktu yang tidak ditentukan. Terhadap hak ini<br />

juga dapat hapus, apabila; (1) Karena pencabutan hak, (2) Karena penyerahan dengan<br />

sukarela oleh pemiliknya, (3) Karena ditelantarkan, (4) Beralih kepada orang asing, (5)<br />

Tanahnya musnah. 7<br />

Sementara ittu terhadap hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai dapat<br />

diuraikan sebagai berikut:<br />

a. Warga Negara Indonesia, badan <strong>hukum</strong> yang didirikan menurut <strong>hukum</strong> Indonesia<br />

dan berkedudukan di Indonesia dapat memperoleh HGU. HGU adalah hak untuk<br />

mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian,<br />

perikanan, atau peternakan. Jangka waktu berlakunya HGU adalah 5 tahun dan<br />

dapat diperpanjang paling lam 25 tahun, dan apabila waktu tersebut berakhir maka<br />

kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HGU diatas tanah yang sama.<br />

b. Hak guna Bangunan (HGB) diberikan kepada WNI, badan <strong>hukum</strong> yang didirikan<br />

menurut <strong>hukum</strong> dan berkedudukan di Indonesia. HGB adalah hak untuk mendirikan<br />

dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Jangka<br />

waktunya 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun, setelah berakhir maka<br />

kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HGB diatas tanah yang<br />

sama. 8<br />

7<br />

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.<br />

8<br />

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Dan<br />

Hak Pakai Atas Tanah.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

211<br />

c. Hak pakai dapat diberikan kepada WNI, orang asing yang berkedudukan di<br />

Indonesia, instansi pemerintah, badan <strong>hukum</strong> yang didirikan menurut <strong>hukum</strong><br />

Indonesia, badan <strong>hukum</strong> asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Hak pakai<br />

adalah hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai<br />

langsung oleh negara atau milik orang lain, jangka waktu berlakunya adalah 25 tahun<br />

dan diperpanjang selama 20 tahun atau untuk jangka waktu yang tidak ditentukan<br />

dengan syarat selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, setelah<br />

jangka waktu hak dan perpanjangan berakhir, maka kepada pemegang hak dapat<br />

diberikan pembaharuan hak pakai atas tanah yang sama.<br />

d. Hak pengelolaan diberikan kepada; instansi pemerintah termasuk pemerintah<br />

daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, PT Persero, badan<br />

otorita, badan <strong>hukum</strong> pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah. Jangka<br />

waktunya tidak ditentukan tetapi bergantung selama tanahnya dipergunakan untuk<br />

keperluan tertentu.<br />

e. Hak milik atas satuan rumah susun; hak milik ini diberikan atas pemilikan rumah<br />

susun. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu<br />

lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional<br />

dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing<br />

dapat dimiliki dan dibangun secara terpisah, terutama untuk tempat hunian<br />

atau bukan hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama dan tanah bersama.<br />

E. Kesimpulan<br />

Konversi merupakan pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya<br />

UUPA untuk masuk kedalam sistem dari UUPA, atau dengan kata lain adanya peralihan,<br />

perubahan ( omzetting ) dari suatu hak kapada suatu hak lain. Adapun yang menjadi<br />

landasan <strong>hukum</strong> bagi pelaksanaan konversi hak atas tanah adalah bagian kedua UUPA<br />

tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri atas 9 ( sembilan ) pasal yang<br />

mengatur tiga jenis konversi yaitu; konversi hak atas tanah yang bersumber dari hakhak<br />

Indonesia,konversi hak atas tanah bekas Swapraja dan konversi hak atas tanah yang<br />

berasal dari hak-hak barat. Khusus mengenai hak atas tanah yang berasal dari hak-hak<br />

barat seperti, hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht, dengan berlakunya ketentuan<br />

konversi akan mengalami perubahan atau peralihan. Dalam ketentuan konversi,<br />

sebagaimana dimaksud pada bagian kedua UUPA dinyatakan bahwa semua hak yang<br />

ada sebelum berlakunya UUPA beralih menjadi hak milik, hak guna usaha, hak guna<br />

bangunan, dan hak pakai. Dengan pemberlakuan ketentuan konversi ini berarti pengakuan<br />

dan penegasan terhadap hak-hak lama, juga sebagai maksud penyederhanaan <strong>hukum</strong><br />

dan upaya untuk menciptakan kepastian <strong>hukum</strong>.<br />

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979, ketentuan konversi bagi<br />

hak-hak barat telah berakhir sejak tanggal 24 September 1980, berarti telah diberikan<br />

jangka waktu yang relatif lama sampai 20 tahun sejak diberlakukannya ketentuan konversi<br />

sebagaimana diatur dalam UUPA, yang dimaksudkan untuk mengakhiri sisa-sisa hak barat<br />

atas tanah di Indonesia dengan segala sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan<br />

UUD 1945. Dengan demikian setiap hak atas tanah barat hanya dapat dikonversi sesuai


ULFIA HASANAH<br />

VOLUME 212<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

jangka waktu yang telah ditetapkan, apabila lewat jangka waktu tersebut maka hak atas<br />

tanah tersebut akan dibawah kekuasaan negara. Selanjutnya bukti hak atas tanah yang<br />

muncul setelah jangka waktu tersebut, maka kepada pemegang hak diharuskan mengajukan<br />

permohonan langsung ke Kepala Kantor Pertanahan, dengan melengkapi syarat<br />

sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Untuk<br />

selanjutnya akan di proses sebagai pemegang hak yang sah atas tanah. Pemberlakuan<br />

ketentuan konversi terhadap hak-hak atas tanah yang berasal dari hak barat meliputi 2<br />

kondisi yakni; (1) hak-hak yang dapat dikonversi langsung, (2) pengakuan hak/ penegasan<br />

konversi, jadi setiap hak-hak atas tanah perlu dilakukan legalisasi kepemilikan hak baik<br />

secara fisik maupun yuridis, melalui mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan<br />

yang berlaku guna terciptanya kepastian hak dan kepastian <strong>hukum</strong>.<br />

E. Daftar Pustaka<br />

Agung Raharjo, Pendaftaran Konversi Tanah Hak Milik Adat oleh Ahli Waris, Tesis,<br />

Universitas Diponegoro, Semarang, 2010<br />

Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria ( Pertanahan ) Indonesia Jilid 1, Prestasi Pustaka<br />

Raya, Jakarta, 2004 )<br />

A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1990<br />

——————————, Komentar Atas UUPA, Mandar Maju, Bandung, 2001 )<br />

Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya,<br />

Alumni, Bandung, 1983<br />

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok<br />

Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005<br />

—————————, Hukum Agraria Indonesia jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan,<br />

Jakarta, 2007<br />

Florianus, S.P Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Visi Media, Jakarta, 2008)


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

213<br />

PENYELESAIAN SENGKETA LAHAN HUTAN<br />

MELALUI PROSES MEDIASI<br />

RISKA FITRIANI<br />

Jalan Durian Sukajadi Pekanbaru<br />

Abstrak<br />

Penyelesian sengketa di luar pengadilan disebut juga<br />

Alternatve Dispute Resolution (ADR). Salah satu<br />

sengketa yang terjadi adalah antara investor dengan<br />

masyarakat Kabupaten Siak di Kecamatan Kerinci<br />

Kanan. Penyelesaian dilakukan dengan upaya negosiasi,<br />

yaitu dengan proses perundingan atau tawar<br />

menawar suatu konsesi, dalam permasalahan<br />

yang timbul di tengah masyarakat.<br />

Abstract<br />

Disputes out of court settlement is also called Alternative<br />

Dispute Resolution (ADR). One dispute is<br />

between the investor and the community in the District<br />

of Kerinci Siak Kanan. Settlement is done by negotiation<br />

efforts, that is the process of negotiating or<br />

bargaining a concession, on the problems that arise<br />

in the community.<br />

Kata kunci: Mediasi, sengketa, ADR.<br />

A. Pendahuluan<br />

Perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia selalu berhadapan dengan<br />

konflik yang mewarnai kehidupan, berawal dari permasalahan yang mengiringi setiap<br />

aktivitas dalam kehidupan manusia. Bervariasinya permasalahan yang menimbulkan<br />

konflik tentunya tidak selalu dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya<br />

dengan hasil dari pemecahan masalah yang dapat diterima bagi para pihak yang berselisih<br />

bahkan tidak jarang berujung pada munculnya sengketa. Namun sebagai makhluk ciptaan<br />

Tuhan yang sempurna, manusia tentunya senantiasa mengusahakan dan berupaya dengan<br />

berbagai cara terbaik untuk tercapainya solusi yang diinginkan, sehingga terciptanya<br />

keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan manusia. Oleh Karena itu diharapkan<br />

bukan hanya adanya pihak yang menang atau kalah namun lebih diupayakan dapat<br />

melahirkan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa dengan mufakat dirasakan<br />

dapat memenuhi keinginan para pihak tersebut (win-win solution).<br />

Tindak lanjut dari sengketa yang timbul dalam masyarakat tentunya ada upaya<br />

untuk dapat diselesaikan melalui suatu wadah yang ditentukan oleh masyarakat itu senfiri<br />

yang berawal dari kelompok yang terkecil dalam masyarakat (seperti halnya keluarga)<br />

sampai dengan lembaga Negara yang dilengkapi dengan seperangkat aturan <strong>hukum</strong> sebagai<br />

pedoman dalam pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti adanya hakim<br />

perdamaian desa sudah sejak lama terbentuk dalam lingkungan masyarakat <strong>hukum</strong> adat<br />

yang biasanya menyelesaikan sengketa-sengketa adat melalui kelembagaan tradisional<br />

tersebut. Pada peradilan desa, kepala rakyat, bahkan ada juga yang sekaligus merupakan<br />

tokoh adat dan agama. Dalam hubungan dengan tugas kepala sebagai hakim perdamaian,<br />

Soepomo menyatakan:<br />

“Kepala rakyat bertugas memelihara hidup <strong>hukum</strong> di dalam persekutuan, menjaga<br />

supaya <strong>hukum</strong> itu dapat berjalan dengan selayaknya. Aktivitas kepala rakyat seharihari<br />

meliputi seluruh lapangan masyarakat. Bahkan saja ia dengan para pembantunya<br />

menyelenggarakan segala hal yang langsung mengenai tata usaha badan persekutuan,


RISKA FITRIANI<br />

VOLUME 214<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

bukan saja ia memelihara keperluan-keperluan rumah tangga persekutuan, seperti<br />

urusan jalan-jalan desa, gawe desa, pengairan, lumbung desa, urusan tanah yang dikuasai<br />

oleh hak pertuanan desa, dan sebagainya, melahirkan kepala rakyat bercampur tangan<br />

pula dalam menyelesaikan soal-soal perkawinan, soal warisan, soal pemeliharaan anak<br />

yatim, dan sebaginya. Dengan pendek kata, tidak ada 1 (satu) lapangan pergaulan hidup<br />

di dalam badan persekutuan yang tertutup bagi kepala rakyat untuk ikut campur<br />

bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman, perdamian, keseimbangan lahir<br />

dan batin untuk menegakkan <strong>hukum</strong> 1 .“<br />

Penyelesaian sengketa dihadapkan pada proses yang dijalani oleh para pihak tanpa<br />

dibantu oleh pihak-pihak lain yang tidak mempunyai kepentingan terhadap berlanjutnya<br />

sengketa yang ada. Menurut teori dari Cochrane hadap yang mengatakan bahwa yang<br />

mengontrol hubungan-hubungan sosial itu adalah masyarakat itu sendiri, artinya bahwa<br />

pada dasarnya masyarakat itu sendiri yang aktif menemukan, memilih, dan menentukan<br />

<strong>hukum</strong> sendiri 2 . Namun adakalanya diselesaikan oleh pihak lain di luar sengketa secara<br />

damai, Jika tidak teratasi melalui proses di luar pengadilan, maka sengketa ini dilakukan<br />

melalui proses litigasi di dalam pengadilan atau sengketa ini dibawa ke “meja hijau”. Adapun<br />

mengenai penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui kerjasama (kooperatif) di luar<br />

pengadilan biasanya disebut juga dengan alternatve dispute Resolution (ADR).<br />

Penyelesian sengketa di luar pengadilan ini pertama kali muncul dengan istilah alternatve<br />

dispute Resolution (ADR) ini di Amerika Serikat. Hal ini muncul karena masyarakat<br />

Amerika Serikat merasa penyelesaian sengketa melalui proses litigasi (badan peradilan)<br />

tidak dapat memenuhi rasa keadilan dan ketidakpuasan atas system peradilan (dissatisfied<br />

with the judicial system) bagi masyarakat yang menjadi para pihak yang bersengketa.<br />

Adapun mengenai bentuk-bentuk alternatve dispute Resolution (ADR) yang digemari<br />

dan populer di Amerika Serikat 3 :<br />

1. Arbitrase<br />

2. Compulsory arbitrase system<br />

3. Mediasi (Mediation)<br />

4. Konsiliasi (concilliation)<br />

5. Summary jury trial<br />

6. Settlement conference<br />

Perbedaan penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini merupakan alternatif yang<br />

dapat dipilih dalam penyelesaian sengketa yang muncul akibat berkembangnya konflik<br />

yang ada. Cara inipun terus berkembang di berbagai Negara belahan dunia yang akhirnya<br />

sampai di Indonesia juga berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi yang<br />

terus merambat dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya kemudahan dan<br />

keuntungan yang dapat dirasakan para pihak yang bersengketa tentunya akan diminati<br />

oleh para pencari keadilan. Dalam Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun<br />

1<br />

R.Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1984, hlm.65-66<br />

2<br />

Ade Saptomo, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Sebuah Kajian Alternative Dispute Resolution,<br />

Fakultas Hukum kultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumbar, 2001, hlm. 5.<br />

3<br />

Diringkas oleh M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,<br />

P.T.Citra Aditya Bakti, bandung, 1997, hlm. 280-281


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

215<br />

1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa “alternatif penyelesaian<br />

sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui<br />

prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara<br />

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi, atau penilaian ahli”.<br />

Secara umum pranata penyelesian sengketa alternatif dapat digolongkan ke dalam 4 :<br />

1. Mediasi<br />

2. Konsiliasi<br />

3. Arbitrase<br />

Penyelesaian sengketa yang biasa digunakan bagi para pihak yang bersengketa salah<br />

satu cara dilakukan melalui mediasi yang merupakan cara pemecahan masalah dengan<br />

tujuan untuk mencapai kesepakan para pihak yang bersengketa sesuai dengan apa yang<br />

diharapkan tanpa adanya pihak yang dirugikan, melalui pihak penengah yang juga<br />

merupakan penasehat bagi para pihak tersebut yang lazimnya disebut dangan mediator,<br />

dan dilakukan di luar pengadilan (non litigasi) 5 .<br />

Perkara yang ada di tengah masyarakat ini tidak hanya dalam hal masalah keluarga<br />

tetapi juga terjadi bagi pelaku usaha dan masyarakat bahkan bisa melibatkan pemerintah.<br />

Begitu juga halnya di Kabupaten Siak yang merupakan daerah pengembangan usaha<br />

melalui investasi dalam berbagai bidang. Seperti adanya peluang investasi di bidang<br />

pertambangan, pada area industri di Pelabuhan Tanjung Buton serta di bidang perkebunan<br />

yang berdampak positif dalam perkembangan ekonomi di Kabupaten Siak. Salah satu<br />

daerah pengahasilan minyak yakni Kecamatan Minas dan Kecamatan Sungai Apit. Di<br />

bidang perkebunan Kabupaten Siak sangat berpotensi dalam pengembangan komoditi<br />

perkebunan, yakni kelapa sawit, karet, kelapa , sagu, pinang, dan kopi. Area perkebunan<br />

kelapa sawit pada tahun 2009 luasnya sebesar 418.300 Ha (Hektar), dan perkebunan<br />

karet dengan luas 14.766 Ha, serta perkebunan kelapa 3.326 Ha, sagu 6.182 Ha, dan<br />

pinang 1.303 Ha, Kopi 370 Ha 6 .<br />

Khusus di Kabupaten Siak, pada tahun 2008 perkembangan nilai investasi untuk<br />

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Rp 362,5 Milyar dan Penanaman Modal Asing<br />

(PMA) 25 juta US $ sedangkan untuk tahun 2009 perkembangan nilai investasi tidak ada<br />

dengan arti lain tidak ada yang terealisasi pada tahun 2009. Peningkatan jumlah investasi<br />

ini berbagai regulasi telah dibuat oleh pemerintah. Salah satu regulasi, Pemerintah telah<br />

menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing<br />

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang<br />

Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman<br />

Modal Asing. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam<br />

Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang<br />

4<br />

Bandingankan dengan Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Rajawali Pers, Jakarta, 2002,<br />

hlm. 2-4<br />

5<br />

Penyelesaian sengketa biasanya dapat dilakukan melalui 2 macam proses, yaitu proses penyelesaian<br />

sengketa yang tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, yang selanjutnya berkembang pada<br />

proses penyelelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan, Rachmadi Usman,<br />

Op.Cit. hlm. 3<br />

6<br />

Penanaman Modal Kabupaten Siak, Potensi dan Peluang Investasi Siak, Kabupaten Siak, 2010, hlm. 5


RISKA FITRIANI<br />

VOLUME 216<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman<br />

Modal Dalam Negeri. Perkembangannya, kesemua peraturan perundang-undangan<br />

tersebut di atas telah digantikan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun<br />

2007 tentang Penanaman Modal.<br />

Pekebunan Kelapa sawit sebagai salah satu investasi yang paling besar di bidang<br />

perkebunan di Kabupaten Siak yang luasnya sekitar 418.300 Ha merupakan potensi untuk<br />

pengembangan industri hilir, dengan jumlah pabrik kelapa sawit di Kabupaten Siak tercatat<br />

11 unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan penghasilan per bulannya sebanyak 257.850<br />

ton Crude Palm Oil (CPO) 7 . Namun dalam pengembangan usaha perkebunan sawit ini<br />

menimbulkan sengketa lahan antara investor selaku pemegang izin HGU (Hak Guna<br />

Usaha) dengan masyarakat setempat. Investor dengan adanya HGU yang diberikan oleh<br />

pemerintah dengan adanya izin yang diberikan oleh Menteri Kehutanan, sehingga investor<br />

diberikan mengelola hutan dengan adanya pelepasan kawasan huta dari Menteri<br />

Kehutanan 8 . Pengelolaan hutan oleh investor ini berhimpitan dengan masyarakat<br />

setempat, seperti yang terjadinya kasus di Kabupaten Siak antara investor dengan<br />

masyarakat yaitu PT Maridan Sejati Surya Plantation (MSSP) dengan masyarakat di<br />

Kecamatan Kerinci Kanan, lahan yang menjadi sengketa seluas 2794 Ha (Hektar).<br />

Masyarakat mengklaim bahwa itu merupakan lahan tersebut adalah lahan mereka,<br />

sementara itu perusahan memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dalam penggunaan lahan<br />

tersebut 9 . Terjadinya sengketa lahan Hak Guna Usaha tersebut disebabkan masyarakat<br />

Kerinci Kanan merasa dirugikan dan tidak mendapatkan ganti rugi atas tanah yang<br />

dimilikinya dari pihak perusahaan.<br />

Kelanjutan kasus ini di upayakan penyelesaian agar pengembangan pemanfaatan alam<br />

serta adanya hubungan baik antara investor dengan masyarakat setempat sehingga tidak<br />

ada pihak yang merasa dirugikan atau diupayakan agar lancarnya aktifitas masyarakat<br />

setempat dan investor sebagai pengelola hutan disekitarnya yang merupakan hak<br />

masyarakat setempat seharusnya. Perkara ini diupayakan penyelesaiannya melalui proses<br />

mediasi melalui pertemuan dengan bantuan mediatornya pihak Kantor Pertanahan<br />

Sekretariat Daerah Kabupaten Siak dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Siak dalam<br />

hal pencapaian kesepakatan (win-win solution) 10 .<br />

Penyelesaian kasus yang terjadi antara pihak PT Maridan Sejati Surya Plantation<br />

dan masyarakat diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi ini menimbulkan<br />

permasalahan bagi pengembangan usaha di Kabupaten Siak. Seperti apa permasalahan<br />

yang bekembang serta hasil dari penyelesaian sengketa secara mediasi dapat membawa<br />

pengaruh baik bagi kedua belah pihak dan pemerintah setempat seperti apa yang<br />

diharapkan para pihak saling sepakat (win-win solution). Adapun Mediator dalam<br />

sengketa lahan yang terjadi antara pihak PT. Maridan Sejati Surya Plantation dan<br />

masyarakat diawali dengan adanya mediator pemuka masyarakat adat setempat atau<br />

disebut juga dengan tokoh masyarakat, namun hasil kesepakatan juga belum tercapai<br />

7<br />

Ibid<br />

8<br />

KTSP & BPN, 2011<br />

9<br />

www.Siakjuguljaya.com<br />

10<br />

Bagian Pertanahan Sekretaris Daerah Kabupaten Siak, 2011.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

217<br />

dan akhirnya dibantu oleh mediator lain dari perwakilan kantor Pertanahan Setda Siak,<br />

Zulkifli M, SH. Dalam kelanjutan sampai saat ini sengketa lahan ini pun sudah mereda,<br />

namun sampai saat ini masih saja terjadi gejolak dalam masyarakat.<br />

B. Rumusan Masalah<br />

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana Penyelesaian<br />

Sengketa lahan hutan melalui proses mediasi di Kabupaten Siak.<br />

1. Bagaimanakah sengketa yang terjadi antara PT. Maridan Sejati Surya Plantation<br />

dan masyarakat di Kabupaten Siak<br />

2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa melalui mediasi antara PT Maridan Sejati<br />

Surya Plantation dan masyarakat di Kabupaten Siak<br />

C. Pembahasan<br />

Kabupaten Siak merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Riau, dan<br />

merupakan salah satu daerah yang sangat potensial. Kabupaten Siak ditetapkan menjadi<br />

kabupaten pada tanggal 12 oktober 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 Tahun<br />

1999, dan Keputusan Gubernur Riau No. 253/U/1999. Kabupaten Siak merupakan salah<br />

satu daerah pemekaran dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Bengkalis.<br />

Salah satu hasil bumi Kabupaten Siak ini adalah merupakan daerah pengahasil minyak<br />

tepatnya di Kecamatan Minas dan Kecamatan Sungai Apit. Pada tanggal 8 Agustus 2002<br />

pengelolaan CPP blok resmi dilakukan oleh konsorsium PT.Bumi Siak Pusako dan<br />

Pertamina Hulu dengan membentuk Badan Operasi Bersama (BOB), dengan adanya serah<br />

terima CPP Blok dari Pihak Caltex Pacific Indonesia kepada pemerintah Kabupaten Siak,<br />

maka. Kapasitas terpasang produksi harian dari CPP blok saat ini berkisar antara 38-39<br />

ribu bhp (barel per-hari). Perusahaan minyak ini tentunya telah membawa pengaruh<br />

besar bagi pertumbuhan perekonomian penduduk Riau khusunya Kabupaten Siak, salah<br />

satunya bisa mengembangkan atau peningkatan lapangan kerja bagi masyarakat. Di<br />

samping itu terdapat peluang bagi investor dalam proyek pendirian pembangkit listrik<br />

di kecamatan-kecamatan.<br />

Kabupaten Siak ini memiliki perusahan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang<br />

bergerak pada pengembangan kawasan industri yaitu PT. Kawasan Industri Tanjung Buton<br />

dan mendirikan PT. Tanjung Buton Makmur Sejahtera khusus menangani pengelolaan<br />

Pelabuhan Tanjung Buton. Adapun Peluang investasinya yaitu di dalam kawasan industri<br />

tanjung buton seperti membangun pabrik-pabrik dan diareal pelabuhan yaitu terbuka<br />

luas bagi investor yang akan menanamkan modalnya untuk membangun infrastruktur<br />

pendukung. membangun pabrik-pabrik dan diareal pelabuhan yaitu terbuka luas bagi<br />

investor yang menanamkan modalnya untuk membangun infrastruktur pendukung.<br />

Investasi di bidang perkebunan Kabupaten Siak sangat potensial untuk mengembangkan<br />

perkembangan komoditi perkebunan. Tanaman perkebunan yang dikembangkan antara<br />

lain kelapa sawit, karet, kelapa , sagu, pinang, dan kopi. luas areal perkebunan kelapa<br />

sawit pada tahun 2009 sebesar 413.000 Ha (Hektar), Kelapa 14.766 Ha, Kelapa 3.326<br />

Ha, sagu 6.182 Ha, dan Pinang 1.303 Ha, Kopi 370 Ha.


RISKA FITRIANI<br />

VOLUME 218<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit masih memberi peluang besar di<br />

kabupaten ini. Pola yang dilaksanakan dalam pengembangan komoditi perkebunan antara<br />

lain, pola perusahaan swasta, pola kemitraan, pola swadaya dan pola inti plasma.<br />

Peningkatan nilai tambah diperlukan industri hilir Crude Palm Oil (CPO) sehingga dapat<br />

dihasilkan margarine, minyak goreng, sabun dan sebagainya. Kegiatan industri hilir Crude<br />

Palm Oil (CPO) dapat dikembangkan secara integral dalam kawasan industri Tanjung<br />

Buton. Sangat berpulang ditawarkan kepada para investor untuk membangun industri<br />

hilir. Investasi yang terus meningkat di Kabupaten Siak ini dari tahun ke tahun bagi<br />

investor adalah di bidang perkebunan kelapa sawit, karena lahan yang mendukung dan<br />

letak daerah yang strategis, sehingga hampir setiap lahan yang kosong ataupun hutan<br />

digunakan untuk membangun perkebunan.<br />

Perkembangan investasi bidang perkembangan investasi bidang perkebunan<br />

Sdiuraikan mulai tahun 2000-2010. Dapat dilihat dalam tabel berikut ini:<br />

Tabel. 1<br />

Perkembangan investasi di Kabupaten Siak tahun 2000-2010<br />

No Tahun Investasi Jumlah<br />

Nilai Investasi<br />

Perusahaan<br />

1. 2000 1 Rp. 48.000.000.000<br />

2. 2001 1 Rp. 29.000.000.000<br />

3 2002 - -<br />

4. 2003 1 $ 3.385.333<br />

5. 2004 1 Rp. 81. 156. 925.000<br />

6. 2005 1 Rp. 95. 105. 995.516<br />

7. 2006 1 Rp. 449. 160. 130. 296<br />

8. 2007 1 Rp. 55.500.000.000<br />

9. 2008 2 Rp. 188.000.000.000<br />

$ 7.500.000<br />

10. 2009 - -<br />

11. Jumlah 11 Rp.1.065.423.050.812<br />

$ 10.885.333<br />

Sumber Data: Kantor Penanaman Modal Kabupaten Siak, 2011<br />

Berdasarkan tabel di atas menjelaskan bahwa jumlah investasi bidang perkebunan<br />

kelapa sawit di Kabupaten Siak di tahun 2000 mencapai Rp. 48 milyar dilakukan oleh PT.<br />

Sawit Bumi Minas. Pada tahun 2001 mengalami penurunan, dengan nilai investasinya<br />

sebesar Rp.29 milyar yang dilakukan oleh PT. Sinar Mas Agro Resources & Tecnology Tbk.<br />

Tahun 2002 mengalami kenaikan selanjutnya mengalami penurunan. Nilai investasi<br />

yang terbesar terhadap Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) terjadi pada tahun 2006


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

219<br />

yaitu sebesar Rp.449.160.130.296 diinvestasikan oleh PT.Ivo Mas Tunggal dan untuk<br />

Penanam Modal Asing (PMA) dengan nilai investasi sebesar $ 7.500.000 yang dilakukan<br />

oleh PT Siak Prima Sakti. Dalam perkembangan investasi tersebut sampai tahun 2010<br />

terdapat sebelas perusahaan perkebunan kelapa sawit diKabupaten Siak. Pada tahun<br />

berikutnya juga mengalami hal Kenaikan dan penurunan. Upaya merealisasikan nilai<br />

investasinya tersebut perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit mengupayakan<br />

mendapatkan hak pemegang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh<br />

Badan Pertanahan Nasional (BPN), hal ini agar perusahaan lebih dapat mengembangkan<br />

usahanya di lingkungan daerah Kabupaten Siak, namun tidak semua perusahaan yang<br />

mempunyai ada yang masih memegang HGU, hanya memiliki sertifikat izin lokasi, yang<br />

masa berlaku dan harus diperpanjang sampai pada saat perusahaan mendapatkan<br />

sertifikat Hak Guna Usaha. Perkembagan izin pengelolaan usaha perusahaan perkebunan<br />

sawit di kabupaten Siak antara lain:<br />

Tabel. 2<br />

Perusahaan sebagai investor dan izin yang diperoleh untuk<br />

pengelolaan usaha perkebunan di Kabupaten Siak<br />

No Nama Perusahaan Jenis Izin<br />

1 PT Siak Prima Nusa Lima Izin Lokasi<br />

2. PT Berlian Inti Mekar Izin Lokasi<br />

3. PT Duta Swakarya Indah Izin Lokasi<br />

4. PT Siak Prima Sakti Izin Lokasi<br />

5. PT Maridan Sejati Surya Plantation HGU<br />

6. PT Ivo Mas Tunggal HGU<br />

7. PT Aneka Inti Persada HGU<br />

8. PT Era Sawit Perkasa Izin lokasi<br />

9. PT Bina Pitri Jaya HGU<br />

10. PT Smart. Tbk Izin lokasi<br />

11. PT Sawit Bumi Minas HGU<br />

Sumber Data : Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kab.Siak, 2011<br />

Tabel di atas menjelaskan izin yang telah dipegang oleh investor perusahaan perkebunan<br />

kelapa sawit dalam melaksanakan usaha investasinya, upaya meningkatkan<br />

investasinya salah satu cara dengan memperluas lahan perkebunan sedikit demi sedikit,<br />

sehingga satu perusahaan dapat memiliki lebih dari satu izin lokasi ataupun Hak Guna<br />

Usaha. Pemindahan hak dan mengunakan tanah tersebut sangat diperlukan untuk<br />

pengembangan usaha. Sedangkan hak guna usaha adalah lanjutan dari izin lokasi yang<br />

lahannya telah dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan.


RISKA FITRIANI<br />

VOLUME 220<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

1. Sengketa yang Terjadi antara PT. Maridan Sejati Surya Plantation dan<br />

Masyarakat di Kabupaten Siak<br />

Perkembangan usaha yang dilakukan oleh perusahaan di Kabupaten Siak terdapat<br />

sebelas perusahaan swasta yang mendirikan usaha di bidang perkebunan kelapa sawit.<br />

Usaha tersebut dijalankan dengan memegang izin, perusahaan yang memegang izin lokasi<br />

adalah enam perusahaan dan lima perusahaan yang memegang Hak Guna Usaha. Untuk<br />

mendapatkan sertifikat Hak Guna Usaha dan jaminan yang diberikan kepada pemegang<br />

sertifikat Hak Guna Usaha dalam mengembangkan nilai investasi dilakukan dengan<br />

berbagai prosedur atau tahap yang harus dilalui dan merupakan hal yang sulit jika dikaji<br />

dari aturan administrasinya. Hal ini tentunya agar dapar membatasi jumlah perusahaan<br />

yang mempunyai Hak Guna Usaha, dan ini sangat penting dibatasi untuk menjamin hak<br />

pengelolaan tanah bagi masyarakat sekitarnya agar tidak dirugikan oleh pihak investor.<br />

Prosedur Perizinan Pada Perusahaan Kelapa Sawit Sebelum pengimplementasi<br />

undang-undang penanaman modal mengenai kepastian <strong>hukum</strong> yang dijaminkan kepada<br />

investor terkait Hak Guna Usaha perkebunan. Namun dalam praktiknya sangat merugikan<br />

masyarakat sekitar karena terganggu dengan aktifitas perusahaan dan bahkan ada<br />

perusahaan yang mengelola perkebunan di tanah masyarakat dan menggabaikan hakhak<br />

masyarakat sekitar khususnya. Untuk mendapatkannya ada beberapa syarat-syarat<br />

yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kantor Penanaman Modal, Kantor<br />

Pelayanan Terpadu Satu pintu, dan Badan Pertahanahan Provinsi. Satu pintu, dan Badan<br />

Pertahanahan Provinsi. Mengenai prosedur dan syarat-syarat mendapat sertifikat Hak<br />

Guna Usaha harus melalui beberapa tahap. Adapun yang menjadi prosedur atau<br />

langkahlangkah hingga pada mendapatkan hak guna usaha adalah sebagai berikut 11 :<br />

1. Perusahaan–perusahaan yang memerlukan tanah untuk keperluan usahanya harus<br />

Mengajukan permohonan arahan lokasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan<br />

kepada kepala kantor Pertanahan, Kepala Dinas Perkebunan dan Kepala Dinas<br />

Kehutanan Kabupaten/Kota dengan melampirkan rekanan akte pendirian<br />

perusahaan yang telah disahkan oleh menteri Kehakiman dan HAM.<br />

2. Sebelum mengurus izin prinsip maka penanam modal harus mengurus surat<br />

rekomendasi atau persetujuan dari kantor penanaman modal.<br />

3. Surat Persetujuan itulah yang digunakan untuk mengurus Izin Prinsip akan dikeluarkan<br />

oleh Bupati/walikota untuk jangka waktu selama 1 tahun. Selamaperiode tersebut,<br />

pengusaha harus melakukan kegiatan/penguasaan atas tanah dan mengajukan izin<br />

prinsip.<br />

4. Permohonan izin lokasi di ajukan kepada Bupati/Walikota dengan lampiranstatus<br />

penguasaan tanah yang telah dilakukan. Izin lokasi biasanya berlaku 2 tahun.<br />

5. Setelah mendapatkan izin lokasi, Perusahaan harus melakukan AMDAL sebagai<br />

syarat untuk mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Setelah IUP diterbitkan,<br />

perusahaan harus mengajukan Izin pembukaan lahan (LC) dan dapat segera<br />

beroperasi sejalan dengan permohonan HGU kepada BPN.<br />

11<br />

75 Pasal 1 Angka 1 Peratuan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999<br />

Tentang Izin Lokasi


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

221<br />

Praktik pengembangan investasi di daerah ini mengalami kendala sehingga hal ini<br />

bisa menimbulkan tidak sinergisnya antara kebutuhan pengusaha untuk mengembangkan<br />

perusahaannya dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Adapun kendala pengembangan<br />

investasi ini antara lain pada Badan Koordinasi Penanaman Modal dicatat, paling tidak<br />

ada dua faktor yang menjadi kendala investasi di Indonesia yakni faktor internal dan<br />

eksternal. Adapun kendala internal dalam pegembangan investasi meliputi 12 :<br />

a. Kesulitan perusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek<br />

b. Kesulitan memperoleh bahan baku<br />

c. Kesulitan dana pembiyaan<br />

d. Kesulitan pemasaran<br />

e. Sengketa perselisihan diantara pemegang saham<br />

Kendala eksternal meliputi:<br />

a. Faktor lingkungan bisnis baik nasional, regional, dan global yang tidak mendukung<br />

serta menarik insentif atau fasilitas investasi yang diberikan oleh pemerintah<br />

b. Masalah <strong>hukum</strong><br />

c. Keamanan, maupun stabilitas politik yang merupakan faktor eksternal ternyata<br />

menjadi faktor penting bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia<br />

d. Adanya peraturan daerah, keputusan menteri, undang-undang yang turut<br />

mendistorsi kegiatan penanaman modal<br />

e. Adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menimbulkan<br />

ketidakpastian dalam pemanfaatan areal hutan bagi industri pertambangan<br />

Investor yang telah memegang izin lokasi berarti investor telah bisa menjalankan<br />

usaha perkebunannya, izin lokasi tersebut memiliki masa berlaku yaitu 13 :<br />

a. Izin lokasi pada lahan kurang dari 25 Ha (50) masa berlakunya 3 tahun<br />

Izin lokasi hanya dapat diperpanjang sebanyak 1 kali dengan syarat investor telah<br />

menguasai lahan perkebunan lebih dari 50% (lima puluh persen). Setelah ituinvestor harus<br />

segera mengurus berkas-berkas untuk mengajukan permohonan penerbitan Hak Guna<br />

Usaha. Untuk mendapatkan izin, banyak yang harus diurus oleh investor sesuai dengan<br />

prosedur dan menyiapkan berkas-berkas menurut langkah-langkah yang telah ditetapkan<br />

sehingga membutuhkan waktu yang lama.<br />

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal<br />

dinyatakan bahwa investor diberikan hak untuk menggunakan hak atas tanah diwilayah<br />

Indonesia. Hak atas tanah yang dapat diberikan kepada investor untuk kegiatan<br />

investasinya adalah:<br />

a. Hak Guna Usaha (HGU)<br />

b. Hak Guna Bangunan (HGB)<br />

c. Hak Pakai<br />

12<br />

Salim HS dan Budi Sutrisno, Op.Cit, hlm. 4<br />

13<br />

Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Siak


RISKA FITRIANI<br />

VOLUME 222<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Pasal 28 UUPA, yang dimaksud dengan hak guna usaha adalah untuk menguasakan<br />

tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan jangka waktu paling lama 35 tahun dan<br />

dapat diperpajang paling lama 25 tahun. Hak guna usaha digunakan untuk perusahaan<br />

pertanian, peternakan dan perikanan. Tanah-tanah yang dapat diberikan izin HGU diatur<br />

didalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun1996 tentang Hak Guna Usaha,<br />

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Adapun tanah yang diberikan izin dengan<br />

Hak Guna Usaha adalah tanah negara dan tanah hak milik.<br />

Berdasarkan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 dinyatakan<br />

mengenai luas minimum tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah lima<br />

hektar dan luas maksimum yang diberikan kepada badan usaha ditetapkan oleh Menteri<br />

dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang dibidang usaha<br />

bersangkutan. Di lokasi penelitian tanah-tanah yang digunakan untuk lahan Hak Guna<br />

Usaha perkebunan kelapa sawit adalah tanah-tanah statusnya milik negara dan tanah<br />

milik masyarakat. Untuk tanah milik masyarakat oleh investor dibebaskan dari tangan<br />

masyarakat yang menguasainya dengan ganti rugi secara sporadis 14 .<br />

Hak guna usaha tertera mengenai luas lahan yang dipergunakan serta batas-batas<br />

lahan yang dikuasai tersebut sehingga menjadi jelas mengenai pengguasaan lahan. Dengan<br />

demikian investor memiliki jaminan untuk melakukan usahanya/berinvestasi dengan kata<br />

lain dengan adanya hak guna usaha maka perusahaan merasa aman. perusahaan merasa<br />

aman. Pelaksanaanya mengenai hak investor masih ada yang tidak terpenuhi yaitu hak<br />

mendapat kepastian <strong>hukum</strong> yang dikaitkan dengan telah diterbitkannya hak guna usaha.<br />

Hak Guna Usaha ataupun izin yang telah dipegang investor kemudian digugat kembali<br />

atau diklaim dari pihak masyarakat yang ada disekitar perusahaan tersebut. Berikut adalah<br />

daftar permasalahan pertanahan antara investor dengan masyarakat di Kabupaten Siak.<br />

masyarakat di Kabupaten Siak.<br />

Tabel. 3<br />

Daftar Permasalahan Pertanahan Masyarakat dengan Investor<br />

No Pihak Yang bersengketa Lokasi<br />

1 Masyarakat dengan PT Duta Kecamatan Mempura<br />

Swakarya Indah<br />

Kecamatan Dayun<br />

Kecamatan Koto Gasip<br />

2 Masyarakat dengan PT Maridan Kecamatan Kerinci Kanan<br />

Sejati Surya Plantation (PT MSSP)<br />

3 Masyarakat dengan PT Riau Andalan Kecamatan Sungai Mandau<br />

Pulp and Paper<br />

4 Masyarakat dengan PT Aneka Inti Kecamatan Kerinci Kanan<br />

Persada<br />

5 Masyarakat dengan PT Arara Abadi<br />

Kecamatan Sungai Apit<br />

Kecamatan Tualang<br />

Kecamatan Sungai Apit<br />

Sumber : Kantor Pertahanahan Sekretariat Daerah Kabupaten Siak, 2011<br />

14<br />

Wawancara dengan Zulkifli, Kasubag Permasalahan Lahan Kantor Pertanahan Sekretariat Daerah<br />

Kabupaten Siak.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

223<br />

Berdasarkan tabel di atas ada lima kasus sengketa lahan yang terjadi antara<br />

perusahaan/investor dengan masyarakat dan masih di usahakan penyelesaiannya oleh<br />

pemerintah. Perusahaan-perusahaan ini termasuk perusahaan yang nilai investasinya<br />

besar. Sengketa ini tidak hanya terjadi di satu tempat, seperti Kasus PT .Duta Swakarya<br />

Indah (DSI) yang sengketa lahannya terdapat di tiga kecamatan sehingga sulit dan<br />

membutuhkan waktu lama untuk penyelesaiannya. Mengenai hak guna usaha, berdasarkan<br />

daftar kasus diatas yang hak guna usahanya bermasalah adalah PT Maridan Sejati<br />

Surya Plantation.<br />

Kasus PT Maridan Sejati Surya Plantation (PT MSSP), perusahaan ini merupakan<br />

penanaman modal yang dilakukan investor asing yang bergerak dibidang perkebunanan<br />

kelapa sawit dengan total luas lahan 9.328,050 Ha dan melaksanakan investasinya dengan<br />

memegang empat sertifikat hak guna usaha yaitu sebagai berikut: merupakan penanaman<br />

modal yang dilakukan investor asing yang bergerak dibidang perkebunanan kelapa sawit<br />

dengan total luas lahan 9.328,050 Ha dan melaksanakan investasinya dengan memegang<br />

empat sertifikat hak guna usaha yaitu sebagai berikut:<br />

1. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05.02.01.062.001 tanggal 18 Oktober<br />

1993 seluas 4.416 Ha<br />

2. Serifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05.05.12.09.2.00002 tanggal 18 Oktoberr<br />

1993 Seluas 55 Ha 3. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05.02.01.<br />

06.2.00006 tanggal 18 Oktober 1995 seluas 600 Ha<br />

3. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05.02.01.16.2.00006 tanggal 24 Februari<br />

1999 seluas 4.257,050 Ha 15 .<br />

Total lahan yang menjadi sengketa adalah seluas 2.794 yang terletak sekitar<br />

kecamatan kerinci kanan kabupaten siak, adapun uraian sebagai berikut:<br />

1. Tanah garapan kelompok tani tunas jaya seluas 212 Ha yang terkena hak guna<br />

usaha PT MSSP desa kerinci kanan<br />

2. Tanah Perkampungan penduduk seluas 100 Ha berada dipinggiran sungai hitam,<br />

sungai gasip, sungai matang paup<br />

3. Hutan kampung sialang seluas 1.582 Ha di kuasai oleh Datuk Batin Gasip yaitu<br />

Datuk layap sari dan Baharudin 16 .<br />

Masyarakat melakukan klaim terhadap lahan tersebut karena lahan tersebut belum<br />

diganti rugi oleh pihak perusahaan yaitu PT Maridan Sejati Surya Plantation sehingga<br />

masyarakat merasa hal itu tidak adil. Kasus yang telah diuraikan jelas investor tidak<br />

mendapat jaminan kepastian <strong>hukum</strong> hak guna usaha yang dipegangnya sehingga investor<br />

merasa tidak aman dan terganggu. Sedangkan pihak perusahaan mengatakan bahwa<br />

terjadinya sengketa lahan jelas banyak akibatnya terhadap perusahaan yaitu, menambah<br />

cost/uang pengeluaran untuk penyelesaian <strong>hukum</strong> sengketa tersebut, mempengaruhi<br />

15<br />

Kantor Pertanahan Sekretariat Daerah Kabupaten Siak<br />

16<br />

Wawancara dengan pihak masyarakat yang diwakili Sumaryo, Kepala Desa Kerinci Kanan.


RISKA FITRIANI<br />

VOLUME 224<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

nama baik perusahaan, dan berpengaruh pada penurunan laba perusahaan walaupun tidak<br />

terlalu signifikan.<br />

Mengenai kewajiban investor atau penanam modal, berikut adalah uraiannya sebagaimana<br />

dalam Pasal 15 Undang-Undang Penanaman Modal, yaitu:<br />

a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik<br />

b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaannya, yaitu tanggung jawab sosial<br />

perusahaannya, yaitu tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan<br />

penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan<br />

sesuai dengan lingkungan, nilai, norma,dan budaya setempat.<br />

c. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya<br />

kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, di mana lapoan merupakan laporan<br />

kegiatan penanaman modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan<br />

kendala yang dihadapi penanam modal yang disampaikan berkala kepada BKPM<br />

dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab dibidang penanaman modal<br />

d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman<br />

modal<br />

e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />

Berdasarkan hasil penelitian penulis, kewajiban dari investor yaitu tanggungjawab<br />

sosial perusahaan belum terlaksana. Di lokasi penelitian, terlihat akses jalan yang masih<br />

sulit dilalui, banyak masyarakat yang kurang mampu dan tidak bersekolah serta<br />

perkampungan yang belum merasakan penerangan, sehingga tidak tercipta hubungan<br />

yang serasi, seimbang dengan lingkungan masyarakat sekitar perusahaan.<br />

Ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, dalam hal ini pihak investor telah<br />

yang telah menggunakan atupun berusaha di lingkungan tempat tinggal masyarakat<br />

setempat sehingga masyarakat juga merasakan dari dampak-dampak yang berasal dari<br />

berjalannya aktivitas perusahaan tersebut. Oleh karena itulah masyarakat berhak<br />

mendapatkan perhatian dari pihak investor/perusahaan yang merupakan perwujudan<br />

tanggung jawab dari investor tersebut. Mengenai masyarakat yang bersengketa dengan<br />

investor, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sumaryo, Kepala Desa Kerinci<br />

Kanan, masyarakat tidak mendapatkan keadilan selain tidak adanya tanggung jawab sosial<br />

perusahaan terhadap masyarakat disekitar perusahaan dan jelas lahan tersebut belum<br />

diganti rugi oleh pihak perusahaan namun hak guna usaha telah diterbitkan, begitu juga<br />

apabila dilaksanakan penyelesaian melalui jalur <strong>hukum</strong>, masyarakat pasti dikalahkan.<br />

Adanya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat disekitar perusahaan<br />

dan jelas lahan tersebut belum diganti rugi oleh pihak perusahaan namun hak guna usaha<br />

telah diterbitkan, begitu juga apabila dilaksanakan penyelesaian melalui jalur <strong>hukum</strong>,<br />

masyarakat pasti dikalahkan. Investasi perkebunan ini ada hal-hal yang harus diperhatikan<br />

yaitu mengenai jaminan kepastian <strong>hukum</strong> hak guna usaha yang diberikan oleh pemerintah<br />

kepada Investor, dan hal ini juga berkaitan dengan keadilan tehadap masyarakat yang<br />

ada disekitar perusahaan, masih mempunyai hak perdata di dalam lahan hak guna usaha<br />

tersebut.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

225<br />

2. Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi antara PT Maridan Sejati<br />

Surya Plantation dan Masyarakat di Kabupaten Siak<br />

Upaya Penyelesaian sengketa sengketa antara masyarakat dengan perusahaan<br />

dilakukan dengan berbagai cara, serta ditempuh dengan bantuan pihak-pihak yang bisa<br />

menfasilitasi tercapainya kesepakatan dengan para pihak yang bersengketa. Begitu juga<br />

halnya dengan sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Maridan Sejati<br />

Surya Plantation di kabupaten siak, dilakukan dengan upaya negosiaisi, yaitu dengan proses<br />

perundingan atau tawar menawar suatu konsesi, dalam permasalahan yang timbul di<br />

tengah masyarakat di Kabupaten Siak dengan pihak perusahaan, yaitu tokoh masyarakat<br />

yang diwakili oleh Kepala Desa di kerinci kanan Bapak Sumaryo, dengan perwakilan<br />

pengusaha Bapak Robi Susanto. Hasil dari negosiasi ini ternyata tidak membawa pengaruh<br />

pada kesepakatan yang diinginkan para pihak, sehingga sengketa lahan ini terus berlanjut<br />

bahkan sampai pada konflik dengan tindakan anarkhis, seperti pengrusakan lahan yang<br />

dikelola perusahaan tersebut.<br />

Tahap selanjutnya diupayakan proses penyelesaian sengketa melalui mediasi, dengan<br />

bantuan mediator bapak Bapak Zulkifli, yang merupakan Kasubag. Permasalahan Lahan<br />

Kantor PertanahanSekretariat Daerah Kabupaten Siak. Adapun teknik mediasi yang<br />

dilakukan dengan mengandung unsure-unsur:<br />

a. Proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan para pihak menempuh<br />

mediasi ini<br />

b. Adanya pihak ketiga yang bersifat netral sebagai penengah terlibat dan diterima<br />

oleh kedua belah pihak<br />

c. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari<br />

penyelesaian atas masalah–masalah sengketa.<br />

d. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama proses<br />

perdamaian berlangsung<br />

e. Proses ini bertujuan agar sengketa lahan antara masyarakat dengan PT. Maridan<br />

Sejati Surya Plantation di kabupaten siak segera terselesaikan.<br />

Adapun Peranan mediator yakni bapak Zulkifli.M antara lain:<br />

a. Sebagai katalisator atau pendorong lahirnya suasana damai dan memberi<br />

pengertian dan solusi atas masalah yang ada.<br />

b. Sebagai pendidik atau dengan memahami keinginan masing-masing pihak dan<br />

menyampaikan keinginan tersebut dengan cara penyampaian yang baik<br />

c. Sebagai penterjemah usulan baik yang tersirat maupun tersurat.<br />

Adapun tahap yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa lahan antara PT. Maridan<br />

Sejati Surya Plantation di kabupaten siak dengan masyarakat ini antara lain:<br />

a. Adanya upaya menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa<br />

b. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi<br />

c. Mengumpulkan dan menganalisa informasi latar belakang sengketa<br />

d. Menyusun rencana mediasi<br />

e. Membangun kepercayaan dan kerjasama diantara para pihak<br />

f. Memulai sidang mediasi


RISKA FITRIANI<br />

VOLUME 226<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

g. Merumusan masalah dan menyusun agenda<br />

h. Mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak<br />

i. Membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa<br />

j. Proses tawar-menawar akhir<br />

k. Mencapai kesepakatan formal yang dituangkan nantinya dalam akta perdamaian<br />

Proses mediasi ini dilakukan dengan tahapan:<br />

a. Pertemuan terpisah (separate sessions)<br />

1) Pertemuan dengan pihak PT. Maridan Sejati Surya Plantation di Kabupaten Siak<br />

2) Pertemuan dengan pihak perwakilan masyarakat atau tokoh masyarakat<br />

b. Pertemuan bersama (Join meeting)<br />

1) Mediator melakuakn penilaian dengan cara terbaik untuk melanjutkan proses<br />

Persiapan untuk melakukan pertemuan bersama<br />

2) Mengatur suasana PT. Maridan Sejati Surya Plantation di kabupaten siak dan<br />

mendengarkan issu<br />

3) Mengembangkan kesepakatan.<br />

D. Penutup<br />

Tanah-tanah yang digunakan untuk lahan Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit<br />

adalah tanah-tanah statusnya milik negara dan tanah milik masyarakat. Untuk tanah<br />

milik masyarakat oleh investor dibebaskan dari tangan masyarakat yang menguasainya<br />

dengan ganti rugi secara sporadis. Hak guna usaha tertera mengenai luas lahan yang<br />

dipergunakan serta batas-batas lahan yang dikuasai tersebut sehingga menjadi jelas mengenai<br />

pengguasaan lahan. Dengan demikian investor memiliki jaminan untuk melakukan<br />

usahanya/berinvestasi dengan kata lain dengan adanya hak guna usaha maka perusahaan<br />

merasa aman. perusahaan merasa aman. Pelaksanaanya mengenai hak investor masih<br />

ada yang tidak terpenuhi yaitu hak mendapat kepastian <strong>hukum</strong> yang dikaitkan dengan<br />

telah diterbitkannya hak guna usaha. Hak Guna Usaha ataupun izin yang telah dipegang<br />

investor kemudian digugat kembali atau diklaim dari pihak masyarakat yang ada disekitar<br />

perusahaan tersebut. Berikut adalah daftar permasalahan pertanahan antara investor<br />

dengan masyarakat di Kabupaten Siak. masyarakat di Kabupaten Siak.<br />

Upaya penyelesaian sengketa sengketa antara masyarakat dengan perusahaan<br />

dilakukan dengan berbagai cara, serta ditempuh dengan bantuan pihak-pihak yang bisa<br />

menfasilitasi tercapainya kesepakatan dengan para pihak yang bersengketa. Begitu juga<br />

halnya dengan sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Maridan Sejati Surya<br />

Plantation di kabupaten siak, dilakukan dengan upaya negosiasi, yaitu dengan proses<br />

perundingan atau tawar menawar suatu konsesi, dalam permasalahan yang timbul di<br />

tengah masyarakat di Kabupaten Siak dengan pihak perusahaan, yaitu tokoh masyarakat<br />

yang diwakili oleh Kepala Desa di kerinci kanan Bapak Sumaryo, dengan perwakilan<br />

pengusaha Bapak Robi Susanto. Hasil dari negosiasi ini ternyata tidak membawa pengaruh<br />

pada kesepakatan yang diinginkan para pihak, sehingga sengketa lahan ini terus berlanjut<br />

bahkan sampai pada konflik dengan tindakan anarkhis, seperti pengrusakan lahan yang<br />

dikelola perusahaan tersebut.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

227<br />

E. Daftar Pustaka<br />

Ade Saptomo, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Sebuah Kajian Alternative<br />

Dispute Resolution, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumbar, 2001<br />

Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Rajawali Pers, Jakarta, 2002<br />

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian<br />

Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997<br />

Penanaman Modal Kabupaten Siak, Potensi dan Peluang Investasi Siak, Kabupaten Siak,<br />

2010<br />

R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1984.


VOLUME 228<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK-HAK ATAS TANAH<br />

YANG BERADA DI ATAS HAK PENGELOLAAN PELABUHAN<br />

LOVELLY DWINA DAHEN<br />

Perum. Palm Regency Blok C No.7 Panam- Pekanbaru<br />

Abstrak<br />

Peranan pelabuhan laut ke depan akan semakin<br />

penting, maka perlu peningkatan kualitas pelayanan<br />

(quality of services). Menurut aturan SK Direksi<br />

PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II No. HK.56/1/<br />

2/PI.II-2000 tanggal 3 Januari 2000 penyerahan<br />

penggunaan bagian-bagian tanah HPL pelabuhan<br />

dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan dan<br />

Hak Sewa atas bangunan. Hal ini bertentangan dengan<br />

Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun<br />

1977, di mana hak yang dapat diberikan atas tanah<br />

hak pengelolaan adalah Hak Guna Bangunan dan<br />

Hak Pakai.<br />

Abstract<br />

The role of sea ports in the future will be increasingly<br />

important, it is necessary to improve the quality of<br />

service (quality of services). According to the rules of<br />

the Decree of Directors. (Limited) II No Ports<br />

Indonesia. HK.56/1/2/PI.II-2000 dated January 3,<br />

2000 submission of the use of portions of land can be<br />

provided with a port HPL Broking and Right to Lease<br />

the building. This is contrary to the Regulation of the<br />

Minister of Interior No.1 of 1977, in which rights can<br />

be given to land management rights are Broking and<br />

Right to Use.<br />

Kata kunci: tanah, pelabuhan, hak pengelolaan.<br />

A. Pendahuluan<br />

Dewasa ini dunia usaha mengalami proses globalisasi ekonomi, yang wujud nyatanya<br />

adalah liberalisasi pasar yang terbuka dan bebas. Proses ini sudah tidak dapat dihindari<br />

lagi, karena efeknya semakin membesar bagaikan bola salju terutama bagi pelaku pasar<br />

itu sendiri yaitu para pengusaha. “Dan lebih dari 80% pangsa perdagangan internasional<br />

(seaborn trade international) tersebut dikapalkan melalui pelabuhan laut”. 1<br />

Hal ini berdasarkan faktor efisiensi dan efektivitas pendistribusian barang, yaitu dari<br />

segi kapasitas muatan yang lebih banyak dan adanya lahan bagi penumpukan barang<br />

ataupun gudang, maupun lahan untuk pengolahan bagi suatu perusahaan industri di lahan<br />

pelabuhan. Fasilitas tersebut merupakan suatu bidang usaha yang terdapat di pelabuhan,<br />

artinya pelabuhan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendistribusian barang berupa<br />

pengangkutan saja tetapi juga memiliki bidang usaha lain yang memanfaatkan areal lahan<br />

pelabuhan.<br />

Oleh karena peranan pelabuhan laut ke depan akan semakin penting, maka perlu<br />

peningkatan kualitas pelayanan (quality of services). Peningkatan kualitas pelayanan<br />

tentunya harus diimbangi dengan kemajuan teknologi kepelabuhanan yang dari waktu<br />

ke waktu mengalami perubahan yang sangat pesat. Hal ini perlu mendapat perhatian<br />

yang besar dari pemerintah Indonesia karena negara kesatuan Republik Indonesia dalam<br />

kenyataannya merupakan suatu negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia<br />

memiliki banyak pelabuhan-pelabuhan laut yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.<br />

Pelabuhan-pelabuhan laut tersebut dikelola oleh empat PT. (Persero) Pelabuhan<br />

Indonesia, diantaranya adalah Pelabuhan Teluk Bayur Padang.<br />

Pelabuhan ini merupakan salah satu pelabuhan besar di Indonesia dan satu-satunya<br />

1<br />

PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II, Pertanahan dan Perairan Perusahaan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia<br />

II Cabang Teluk Bayur, Jakarta, 1997, hlm. 1.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

229<br />

pelabuhan terbesar dan memiliki fasilitas cukup memadai di pantai barat Sumatera”. 2<br />

Sebagai akibatnya, pelabuhan ini mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting<br />

bukan saja untuk Propinsi Sumatera Barat, tetapi juga untuk propinsi disekitarnya dan<br />

salah satu pintu gerbang perekonomian Sumatera Barat.<br />

Keadaan tersebut menuntut Pelabuhan Teluk Bayur mutlak harus dikembangkan<br />

dan ditata dengan serius dan terus menerus. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan<br />

pengelolaan secara baik dan menyeluruh agar operasional pelabuhan secara keseluruhan<br />

yang meliputi semua bidang usahanya sejalan dengan perkembangan dan pembangunan<br />

di segala bidang.<br />

Pelabuhan ini dikelola oleh sebuah badan usaha yang berbadan <strong>hukum</strong>, yaitu PT<br />

(Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Teluk Bayur. Perusahaan ini memiliki aktiva<br />

yang cukup besar nilainya dan di antaranya dalam bentuk tanah dan perairan. Di samping<br />

itu, aktiva tanah dan perairan mempunyai peranan penting dan strategis yang dapat<br />

menjamin kelangsungan usaha perusahaan sesuai dengan peran dan fungsinya karena<br />

berlangsungnya kegiatan perusahaan mutlak dilaksanakan di atas lahan yang tersedia.<br />

Dengan demikian, faktor tanah di dalam kehidupan manusia mempunyai peranan<br />

yang sangat penting. Pada era pembangunan ini, arti penting tanah semakin disadari<br />

sebagai salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan pelaksanaan<br />

pembangunan. Sebagai wadah sumber kekayaan alam yang terdapat di darat, harus dapat<br />

dipahami bahwa tanah ialah wujud konkret dari salah satu modal dasar pembangunan<br />

nasional yang tercantum dalam GBHN. 3<br />

Fakta tentang adanya hubungan antara manusia dengan tanah dapat dipandang<br />

sebagai fakta <strong>hukum</strong>, yaitu fakta atau kenyataan yang diatur dan diberi akibat oleh <strong>hukum</strong>,<br />

sehingga dapat juga disebut dengan Rechtsfeiten”. “Rechtsfeiten diartikan sebagai<br />

peristiwa-peristiwa <strong>hukum</strong>, yaitu peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat yang diatur<br />

dan diberi akibat oleh <strong>hukum</strong>”. 4 Hubungan antara manusia dengan tanah, tidak terkecuali<br />

di Indonesia, selalu diatur oleh <strong>hukum</strong>. Hukum yang mengatur hubungan antara manusia<br />

dengan tanah di Indonesia sebelum kemerdekaan, pada satu pihak diatur oleh <strong>hukum</strong><br />

adat dan pada pihak lain diatur pula oleh <strong>hukum</strong> tanah kolonial Belanda yang berpangkal<br />

pada Agrarische Wet Staatsblad 1870 No. 55. 5 Semenjak kemerdekaan Republik<br />

Indonesia, hubungan antara manusia dengan tanah di Indonesia, prinsip dasarnya<br />

ditetapkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD), “Bumi, air dan<br />

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan<br />

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.<br />

Ketentuan tersebut semenjak tanggal 24 September 1960 dijabarkan lebih lanjut<br />

oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,<br />

yang dikenal dengan UUPA. Pasal 2 ayat (1) UUPA tersebut menyatakan, “Atas dasar<br />

2<br />

Ibid.<br />

3<br />

Soni Harsono, Hukum Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Praktek Pelaksanaannya.<br />

(Non Pub) Ceramah Pada Pembukaan Seminar Nasional Hukum Agraria ke III di Medan tanggal 20-21<br />

September 1990. Badan Pertanahan Nasional, hlm. 8.<br />

4<br />

Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 8.<br />

5<br />

Ibid, hlm. 9.


LOVELLY DWINA DAHEN<br />

VOLUME 230<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air<br />

dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamya pada tingkatan<br />

tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Ketentuan<br />

Pasal 2 ayat (1) tidak menempatkan negara sebagai pemilik, melainkan menetapkan hak<br />

menguasai dari negara. Dengan tidak ditempatkannya negara sebagai pemilik, melainkan<br />

hanya memberikan hak menguasai kepada negara, berarti asas domein yang dianut oleh<br />

<strong>hukum</strong> agraria kolonial Belanda telah ditinggalkan oleh <strong>hukum</strong> agraria nasional, karena<br />

bukan saja bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, melainkan juga tidak sesuai<br />

dengan keadaan masyarakat Indonesia.<br />

Begitu juga halnya dengan Pelabuhan yang memperoleh hak pengelolaan. Sebelum<br />

berlakunya UUPA pelabuhan diatur berdasarkan Stb. 1917 No. 464 mempunyai sesuatu<br />

hak yang diatur oleh perundang-undangan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal<br />

521 KUH Perdata, yaitu antara lain pantai, perairan dan pelabuhan adalah milik negara<br />

dan perusahaan pelabuhan diserahkan untuk mengelola pelabuhan, perairan dan pantaipantai<br />

yang ada. “Berdasarkan hak tersebut oleh penguasa atau pengelola pelabuhan dibuat<br />

perjanjian-perjanjian sewa-menyewa tanah ataupun hak lain pelabuhan”. 6<br />

Hal ini tentu akan bertentangan dengan prinsip hak menguasai dari negara, karena<br />

negara bukan pemilik tanah maka negara tidak dapat menyewakan tanah. Begitu juga<br />

bagi badan-badan negara yang mendapatkan sesuatu hak atas tanah yang pada hakikatnya<br />

merupakan delegasi wewenang dari pemerintah untuk memperoleh hak pengelolaan.<br />

Meskipun dalam perkembangan selanjutnya pengelola pelabuhan menyerahkan bagianbagian<br />

tanah itu kepada pihak ketiga dengan suatu hak atas tanah berupa hak pakai dengan<br />

mengadakan suatu perjanjian penggunaan tanah.<br />

Namun, hal tersebut masih dirasakan sebagai bentuk hak sewa atas tanah karena<br />

unsur esensial dalam perjanjian sewa terdapat dalam perjanjian penggunaan tanah, yaitu<br />

harga sewa yang dalam perjanjian penggunaan tanah disebut uang pemasukan dan jangka<br />

waktu. Hal ini tentunya tidak terlepas dari aturan-aturan dan hak yang timbul dari hak<br />

pengelolaan tersebut.<br />

Begitu juga halnya dengan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Teluk Bayur.<br />

Dalam kedudukannya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT. (Persero) Pelabuhan<br />

Indonesia II Cabang Teluk Bayur memberikan pelayanan atas bidang-bidang usahanya<br />

yang tidak terlepas dari perhitungan keuntungan yang akan diperoleh (profit oriented)<br />

melalui kerjasama dengan pihak lain sebagai mitra. Kerjasama tersebut di antaranya dalam<br />

hal penggunaan tanah oleh pihak ketiga yang dituangkan dalam perjanjian.<br />

Dengan adanya perjanjian yang telah disepakati berarti telah ada suatu hubungan<br />

<strong>hukum</strong> yang melahirkan hak dan kewajiban. Dalam arti hubungan yang diatur dan diakui<br />

oleh <strong>hukum</strong>. Didalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perikatan menganut<br />

sistem terbuka dan mengenal asas kebebasan, yang memberikan kebebasan kepada setiap<br />

orang untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian apa saja dan dengan siapa<br />

saja serta bebas pula untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian tersebut asal tidak<br />

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.<br />

6<br />

Ramli Zein, Op.Cit, hlm. 70.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

231<br />

Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini mendapatkan eksistensinya<br />

dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata yang memuat syarat sahnya perjanjian yaitu<br />

pada angka 4 ditentukan “suatu sebab yang tidak terlarang”. 7 Artinya, kita diperbolehkan<br />

membuat perjanjian apa saja sepanjang tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak<br />

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pembatasan terhadap kebebasan<br />

tersebut diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.<br />

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak<br />

sebagai <strong>hukum</strong> mengatur. Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada<br />

para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya<br />

untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut. 8 Di samping itu, para pihak juga dibolehkan<br />

mengenyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III KUH Perdata.<br />

Dengan kata lain peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Buku III KUH Perdata itu<br />

hanya disediakan dalam hal para pihak yang mengadakan perjanjian tidak membuat<br />

peraturan sendiri. Artinya, peraturan-peraturan dalam Buku III KUH Perdata pada<br />

umumnya hanya merupakan “<strong>hukum</strong> pelengkap” (aanvullend recht), bukan <strong>hukum</strong> keras<br />

atau <strong>hukum</strong> yang memaksa. 9 Dan selanjutnya perjanjian tersebut akan mengikat para<br />

pihak karena semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang<br />

bagi mereka yang membuatnya, seperti diatur pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.<br />

Demikian juga halnya dengan perjanjian penggunaan tanah PT. (Persero) Pelabuhan<br />

Indonesia II Cabang Teluk Bayur. Dengan asas kebebasan berkontrak dapat mengadakan<br />

suatu perjanjian dengan pihak ketiga sebagai mitra, di antaranya adalah perjanjian<br />

penggunaan tanah. Namun diperlukan pembatasan asas kebebasan berkontrak dalam<br />

perjanjian ini, karena menurut undang-undang pemegang hak pengelolaan tidak boleh<br />

menyewakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara karena ia bukan pemilik melainkan<br />

hanya sebagai pengelola. Bahkan negara sendiripun, karena negara bukan pemilik tanah<br />

melainkan hanya menguasai. Ketentuan ini sebagaimana terdapat dalam penjelasan Pasal<br />

44 dan Pasal 45 UUPA.<br />

B. Subjek Hak Pengelolaan<br />

Yang dapat menjadi pemegang Hak Pengelolaan menurut Pasal 67 ayat (1) Permenag/<br />

KBPN No 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara<br />

Dan Hak Pengelolaan adalah :<br />

1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;<br />

2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);<br />

3. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);<br />

4. PT. Persero;<br />

5. Badan Otorita;<br />

6. Badan-badan <strong>hukum</strong> pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.<br />

7<br />

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada,<br />

Jakarta, 2004, Hal. 46.<br />

8<br />

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hal.12.<br />

9<br />

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1993, hlm. 128.


LOVELLY DWINA DAHEN<br />

VOLUME 232<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Dalam Ayat (2) disebutkan bahwa :<br />

“Badan- badan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak<br />

pengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan<br />

pengelolaan tanah”<br />

C. Objek Hak Pengelolaan<br />

Merujuk pada Pasal 2 UUPA, maka obyek dari hak pengelolaan seperti juga hak-hak<br />

atas tanah lainnya, adalah tanah yang dikuasai oleh negara. Penjelasan umum II angka<br />

(2) UUPA menyatakan bahwa:<br />

“Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh<br />

seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman<br />

pada tujuan yang disebutkan diatas negara dapat memberikan tanah yang demikian<br />

itu kepada seseorang atau badan <strong>hukum</strong> dengan sesuatu hak menurut peruntukan<br />

dan keperluannya, misalnya, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau<br />

hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatau badan<br />

penguasa (departemen, jawatan atau daerah swatantra) untuk diperlukan bagi<br />

pelaksanaan tugasnya masing-masing.”<br />

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa obyek hak pengelolaan adalah tanah<br />

yang dikuasai langsung oleh negara. Kesimpulan yang sama juga akan diperoleh, apabila<br />

ditelusuri sejarah hak pengelolaan yang berasal dari hak penguasaan tanah negara yang<br />

diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953.<br />

D. Hak Menguasai Negara atas Tanah<br />

Prinsip “Hak Menguasai Negara” yang ditetapkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan<br />

Pasal 2 ayat (1) UUPA di atas, berisi kewenangan yang dijelaskan oleh Pasal 2 ayat (2)<br />

UUPA, yaitu:<br />

“Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang<br />

untuk:<br />

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan<br />

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;<br />

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan <strong>hukum</strong> antara orang-orang<br />

dengan bumi, air dan ruang angkasa;<br />

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan <strong>hukum</strong> antara orang-orang dan<br />

perbuatan-perbuatan <strong>hukum</strong> yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.<br />

“Dengan demikian kewenangan tersebut mengartikan negara sebagai personifikasi,<br />

dan seluruh rakyat mempunyai kewenangan pada tingkatan tertinggi untuk itu”. 10<br />

Negara sebagai organisasi kekuasaan mengatur dengan membuat peraturan,<br />

kemudian menyelenggarakan artinya melaksanakan (execution) atas penggunaan/<br />

peruntukan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaannya (maintenance) dari<br />

10<br />

Maria S.W. Sumardjono dikutip oleh Boedi Harsono, Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan<br />

Pengadilan (Suatu Tinjauan Yuridis), Mahkamah Agung RI, 1996, hlm. 88.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

233<br />

bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya. Juga untuk<br />

menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak<br />

apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai dari negara tersebut. Dan kemudian<br />

menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) bagaimana<br />

seharusnya hubungan antara orang atau badan <strong>hukum</strong> dengan bumi, air dan ruang angkasa<br />

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.<br />

Berdasarkan kepada hak menguasai dari negara, ditentukan bermacam-macam hak<br />

atas tanah yang dapat diberikan kepada orang atau badan <strong>hukum</strong> menurut undang-undang<br />

dan peraturan-peraturan <strong>hukum</strong> lainnya. 11 Dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA dinyatakan,<br />

hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah :<br />

a. hak milik<br />

b. hak guna usaha<br />

c. hak guna bangunan<br />

d. hak pakai<br />

e. hak sewa<br />

f. hak membuka tanah<br />

g. hak memungut hasil hutan<br />

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan<br />

dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara yang disebutkan<br />

dalam Pasal 53.<br />

Khusus mengenai hak pengelolaan telah ada semenjak sebelum berlakunya UUPA<br />

yang dikenal dengan hak penguasaan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun<br />

1953. Hak penguasaan ini kemudian oleh Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965<br />

dikonversi menjadi hak pengelolaan. Istilah “pengelolaan” disebut dalam Penjelasan Umum<br />

II angka (2) UUPA yang menyatakan bahwa negara dapat memberikan tanah kepada<br />

seseorang atau badan <strong>hukum</strong> dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya,<br />

misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atau<br />

memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa (departemen, jawatan<br />

atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.<br />

Bertitik tolak dari Penjelasan Umum II angka (2) di atas, maka dapat disimpulkan<br />

bahwa landasan <strong>hukum</strong> dari hak pengelolaan di dalam UUPA telah disinggung oleh<br />

Penjelasan Umum UUPA tersebut. Namun <strong>hukum</strong> materilnya berada di luar UUPA. 12<br />

Pasal 2 ayat (4) UUPA telah memberikan kemungkinan untuk memberikan suatu hak<br />

baru atas tanah asalkan hak tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,<br />

antara lain adalah hak pengelolaan. 13 Selain itu Pasal 16 ayat (1) huruf (h) UUPA<br />

menyatakan “hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut akan ditetapkan<br />

dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan<br />

dalam Pasal 53”. Artinya, walaupun hak pengelolaan tidak ada disebutkan secara tegas<br />

dalam UUPA, tetapi UUPA memberikan kemungkinan untuk diadakannya hak pengelolaan<br />

yang dasar <strong>hukum</strong>nya secara implisit terdapat dalam pasal di atas.<br />

11<br />

Lihat Pasal 4 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.<br />

12<br />

Ramli Zein, Op.Cit. hal. 9.<br />

13<br />

Lihat Pasal 2 ayat (4) Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.


LOVELLY DWINA DAHEN<br />

VOLUME 234<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

Pemerintah akan memberikan hak pengelolaan kepada suatu departemen, jawatan,<br />

instansi dan daerah swatantra, apabila tanah itu di samping akan dipergunakan untuk<br />

kepentingan pelaksanaan tugasnya, juga ada bagian-bagian tanah itu yang diserahkan<br />

kepada pihak ketiga dengan suatu hak penguasaan atas tanah. Jika tidak demikian, oleh<br />

pemerintah hanya akan diberikan hak pakai selama tanah itu diperlukan untuk<br />

pelaksanaan tugasnya. Hal ini diatur pada Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria<br />

No. 9 Tahun 1965.<br />

Prinsip hak menguasai negara di dalam peraturan perundang-undangan negara<br />

Republik Indonesia untuk pertama kali ditetapkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 14 Di<br />

dalam bidang agraria kemudian dikembangkan oleh UUPA pada Pasal 2 ayat (1) bahwa<br />

“atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang<br />

dimaksud dalam Pasal 1: bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang<br />

terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai<br />

organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.<br />

Dasar dari hak menguasai negara pada hakikatnya adalah tujuan yang hendak dicapai<br />

oleh bangsa dan negara seperti yang ditetapkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu<br />

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini diperjelas oleh Pasal 2 ayat (3) UUPA<br />

yang menyatakan bahwa “wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara<br />

tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran<br />

rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan<br />

negara <strong>hukum</strong> Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”. 15 Selanjutnya<br />

Penjelasan Umum II angka (2) UUPA menyatakan bahwa negara dapat memberikan<br />

tanah kepada seseorang atau badan <strong>hukum</strong> dengan sesuatu hak menurut peruntukan<br />

dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai<br />

atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa (departemen,<br />

jawatan atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masingmasing<br />

(Pasal 2 ayat 4 UUPA). Ketentuan inilah yang menjadi landasan <strong>hukum</strong> “hak<br />

pengelolaan” dalam UUPA sebagai pendelegasian wewenang atas prinsip hak menguasai<br />

negara meskipun secara eksplisit penyebutan hak pengelolaan tidak terdapat dalam<br />

undang-undang tersebut.<br />

E. Hak yang dapat diberikan oleh pemegang Hak Pengelolaan atas Tanah<br />

Negara kepada Pihak Ketiga<br />

Prosedur untuk mendapatkan hak atas bagian-bagian tanah hak pengelolaan seperti<br />

juga mendapatkan hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah melalui<br />

permohonan hak yang diajukan kepada pejabat yang berwenang sebagaimana yang diatur<br />

dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang<br />

Pemberian Hak Atas Tanah. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun<br />

1977, hak yang dapat diberikan kepada pihak ketiga atas hak pengelolaan adalah Hak<br />

Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, sesuai dengan rencana peruntukan dan<br />

penggunaan tanah yang telah dipersiapkan oleh pemegang hak pengelolaan.<br />

14<br />

Ramli Zein, Op.Cit., hlm. 44.<br />

15<br />

Ibid.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

235<br />

Pada Pasal 3 peraturan ini menyebutkan bahwa setiap penyerahan penggunaan tanah<br />

yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan, baik yang disertai ataupun tidak<br />

disertai dengan pendirian bangunan diatasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan<br />

perjanjian tertulis antara pemegang hak pengelolaan dan pihak ketiga yang bersangkutan.<br />

Perjanjian tersebut antara lain memuat :<br />

a. identitas para pihak.<br />

b. letak, batas-batas dan luas tanah tersebut.<br />

c. jenis penggunaannya.<br />

d. hak atas tanah yang akan dimintakan untuk diberikan kepada pihak ketiga tersebut<br />

dan keterangan mengenai jangka waktunya serta kemungkinan untuk memperpanjangnya.<br />

e. jenis-jenis bangunan yang akan didirikan diatasnya dan ketentuan mengenai pemilikan<br />

bangunan-bangunan tersebut jika berakhirnya hak atas tanah yang diberikan.<br />

f. jumlah uang pemasukan dan syarat-syarat pembayarannya.<br />

g. syarat-syarat lain yang dipandang perlu.<br />

Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 menyatakan :<br />

1. Permohonan Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai diajukan oleh<br />

pihak ketiga yang memperoleh penunjukan/penyerahan tersebut pada<br />

Pasal 2 dengan perantaraan pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan.<br />

2. Pemegang hak pengelolaan berkewajiban untuk melengkapi berkas-berkas<br />

permohonan tersebut dan meneruskan kepada Menteri Dalam Negeri/<br />

Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan, disertai usul-usul tentang<br />

syarat-syarat yang harus ditaati oleh penerima hak.<br />

3. Permohonan tersebut diajukan dan diselesaikan menurut tata cara dan<br />

wewenang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri<br />

No. 5 Tahun 1973 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972<br />

dengan memperhatikan peraturan-peraturan agraria yang berlaku.<br />

4. Selain memenuhi kewajibannya terhadap pemegang hak pengelolaan yang<br />

bersangkutan, penerima hak berkewajiban membayar administrasi kepada<br />

Kantor Bendahara Negara dan sumbangan kepada Yayasan Dana Landreform<br />

serta biaya pendaftaran tanah sebagai yang disebutkan didalam<br />

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1975.<br />

Permohonan hak atas tanah yang luasnya tidak melebihi 2.000 M/2, permohonan<br />

diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah. Jika luas tanah yang dimohonkan haknya melebihi<br />

2.000 M/2 maka permohonan diajukan kepada Menteri Dalam Negeri (sekarang Kepala<br />

Badan Pertanahan Nasional). Permohonan hak diajukan melalui kantor pertanahan<br />

kabupaten/kotamdya setempat untuk diproses dan diteruskan kepada kantor wilayah badan<br />

pertanahan nasional propinsi untuk diproses dan diteruskan kepada Kepala Badan<br />

Pertanahan Nasional. 16 Jika semua persyaratan telah dipenuhi, maka diterbitkanlah surat<br />

keputusan pemberian hak dan hak tersebut harus didaftarkan pada kantor badan pertanahan<br />

setempat guna memperoleh alat bukti hak yang kuat yang disebut dengan sertifikat.<br />

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hak atas tanah tersebut tidak dapat<br />

16<br />

Ramli Zein, op.cit., hlm. 123.


LOVELLY DWINA DAHEN<br />

VOLUME 236<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

diberikan sendiri oleh pemegang hak pengelolaan, melainkan harus diusulkan kepada<br />

instansi/pejabat yang berwenang menurut tata cara dan syarat-syarat yang sudah<br />

ditetapkan. Namun dalam prakteknya, pemegang hak pengelolaan melaksanakan sendiri<br />

pemberian hak kepada pihak ketiga tanpa adanya pendaftaran hak, bahkan pemberian<br />

hak tersebut berupa hak sewa sebagaimana yang terjadi dalam perjanjian penggunaan<br />

lahan pelabuhan. Padahal sebagaimana yang diatur, bahwa terhadap hak pengelolaan tidak<br />

dapat diberikan hak sewa atas tanah.<br />

Khusus mengenai hak pengelolaan pelabuhan, atas bagian-bagian tanah hak<br />

pengelolaan hanya dapat diserahkan kepada pihak ketiga dengan Hak Guna Bangunan<br />

dan Hak Pakai, sepanjang tanah itu telah terdaftar dan mempunyai sertifikat, sebagaimana<br />

yang diatur pada Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977. Pengertian<br />

Hak Guna Bangunan menurut Pasal 35 ayat (1) UUPA adalah sebagai berikut :<br />

“Hak Guna Bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan<br />

atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama<br />

30 (tiga puluh) tahun”.<br />

Sedangkan pengertian Hak Pakai terdapat pada Pasal 41 ayat (1) UUPA adalah sebagai<br />

berikut :<br />

“Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang<br />

dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang<br />

dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang<br />

berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang<br />

bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal<br />

tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang”.<br />

Hak Pakai dapat diberikan :<br />

1. selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan<br />

tertentu.<br />

“Namun dalam hal ini dipedomani ketentuan Pasal 5 (a) Peraturan Menteri Dalam<br />

Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas<br />

Tanah yang menyebutkan tidak melebihi 10 (sepuluh) tahun”. 17<br />

2. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.<br />

Dengan demikian pemberian hak pakai kepada pihak ketiga atas dasar hak pengelolaan<br />

bukanlah pemberian hak sewa, karena objek dari hak pengelolaan adalah tanah negara<br />

maka praktek pemberian hak sewa tidak dibolehkan”. 18 Namun prakteknya antara hak<br />

pakai dan hak sewa dirasakan tidak ada perbedaan, karena hak pakai tanah atas dasar<br />

hak pengelolaan tanpa adanya pendaftaran dan sertifikat maka dapat dikatakan hanya<br />

berupa pemberian hak sewa melalui perjanjian sewa-menyewa.<br />

UUPA bukan saja tidak mengenal persewaan tanah negara, bahkan justru menghapus<br />

sistem persewaan tanah negara yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda.<br />

Negara dan badan-badan negara tidak berwenang menyewakan tanah karena tanah bukan<br />

milik negara melainkan hanya dikuasai oleh negara. Dengan kata lain, negara bukan<br />

17<br />

Ramli Zein, op.cit., hlm. 62.<br />

18<br />

Ibid. hal. 122.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

237<br />

pemilik tanah. Hak pengelolaan yang pada hakikatnya merupakan delegasi wewenang<br />

dari hak menguasai negara, tidak menetapkan adanya kewenangan pemegang hak pengelolaan<br />

untuk menyewakan tanah kepada pihak ketiga.UUPA memang mengatur tentang<br />

hak sewa, namun merupakan hak sewa untuk mendirikan bangunan atas tanah milik<br />

orang lain dan bukan atas tanah negara, hak sewa tersebut bersifat personlijk. 19<br />

Dengan berpedoman pada aturan-aturan <strong>hukum</strong> yang berlaku dan memperhatikan<br />

asas-asas <strong>hukum</strong> dalam membuat suatu perjanjian maka praktek pemberian hak sewa<br />

atas tanah negara melalui perjanjian sewa-menyewa tidak akan terjadi. Dalam artian,<br />

para pihak tidak keliru dalam memaknai suatu aturan ataupun asas, misalnya dalam hal<br />

asas kebebasan berkontrak, undang-undang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya<br />

kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja dengan batasan bahwa<br />

perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatuhan<br />

dan ketertiban umum, sebagaimana yang diatur pada pasal 1337 KUH Perdata. Artinya,<br />

perjanjian tersebut harus memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur pada Pasal 1320<br />

KUH Perdata. Perlu dipahami bahwa asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh ramburambu<br />

<strong>hukum</strong>, yaitu: 20<br />

a) Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak<br />

b) Tidak dilarang oleh undang-undang<br />

c) Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku<br />

d) Harus dilaksanakan dengan itikad baik.<br />

F. Penyalahgunaan Hak Pengelolaan oleh PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia<br />

II Cabang Teluk Bayur<br />

Dalam praktek penerapan Hak Pengelolaan oleh PT.(Persero) Pelabuhan Indonesia<br />

II, diterbitkanlah SK Direksi PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II No. HK.56/1/2/PI.II-<br />

2000 tanggal 3 Januari 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyerahan Penggunaan<br />

Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan, Perairan, Bangunan dan Ruangan dilingkungan<br />

PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia.<br />

Dalam ketentuan SK Direksi PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II No. HK.56/1/2/<br />

PI.II-2000 tersebut mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pokok tata cara<br />

penyerahan penggunaan tanah HPL Pelabuhan sebagai berikut :<br />

a. Penyerahan penggunaan bagian-bagian tanah HPL dilakukan dengan cara :<br />

1. Dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan untuk jangka waktu paling lama<br />

30 (tiga puluh) tahun dan jika tidak digunakan perluasan pelabuhan dapat<br />

diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan<br />

mempertimbangkan:<br />

a. Lokasi tidak berada di lokasi pelayanan kapal dan barang.<br />

b. Sesuai dengan area peruntukannya.<br />

c. Pembayaran uang pemasukan penggunaan tanah dibayar sekaligus dimuka.<br />

19<br />

Ibid.<br />

20<br />

Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 11.


LOVELLY DWINA DAHEN<br />

VOLUME 238<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

d. Perjanjian harus didaftarkan di Kantor Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah<br />

atas beban pengguna.<br />

e. Rencana pemanfaatan lahan dan paket pelaksanaan pembangunan fasilitas<br />

pelabuhan.<br />

f. Rencana pemanfaatan lahan oleh pemohon.<br />

g. Kegiatan yang dilaksanakan tidak menimbulkan dampak lingkungan.<br />

2. Diberikan dengan hak sewa untuk bangunan dengan jangka waktu paling lama<br />

20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama<br />

10 (sepuluh) tahun atas persetujuan Direksi dengan pertimbangan Pasal 44-45<br />

UUPA No. 5 Tahun 1960.<br />

a. Luas tanah 5.000 M/2 keatas.<br />

b. Sesuai dengan area peruntukannya.<br />

c. Uang pemasukan penggunaan tanah dibayar sekaligus dimuka atau tahunan.<br />

d. Perjanjian harus didaftarkan di Kantor Notaris atas beban pengguna.<br />

e. Rencana pemanfaatan lahan dan paket pelaksanaan pembangunan fasilitas<br />

pelabuhan.<br />

f. Rencana pemanfaatan lahan oleh pemohon.<br />

g. Kegiatan yang dilaksanakan tidak menimbulkan dampak lingkungan.<br />

3. Diberikan dengan hak sewa untuk bangunan dengan jangka waktu paling lama<br />

maksimal 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling<br />

lama 5 (lima) tahun atas persetujuan General Manager dengan mempertimbangkan<br />

:<br />

a. Luas tanah sampai dengan 5.000 M/2.<br />

b. Sesuai dengan area peruntukannya.<br />

c. Uang pemasukan penggunaan tanah dibayar sekaligus dimuka atau tahunan.<br />

d. Kegiatan yang dilaksanakan tidak menimbulkan dampak lingkungan.<br />

b. Penyerahan penggunaan bagian-bagian tanah HPL dan non HPL harus dapat<br />

memberikan nilai tambah selain dari sewa tanah.<br />

c. Penyerahan penggunaan bagian-bagain tanah HPL dan non HPL kepada pihak kedua<br />

sewaktu-waktu dapat dibatalkan, apabila dalam masa berlakunya perjanjian<br />

diperlukan untuk kepentingan operasional/pengembangan pelabuhan dan atau dalam<br />

jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan tidak dimanfaatkan oleh pengguna.<br />

Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa hak yang diberikan oleh PT.<br />

(Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Teluk Bayur atas tanah negara dengan hak<br />

pengelolaan kepada pihak ketiga dalam hal ini adalah pihak pengguna tanah yaitu Hak<br />

Guna Bangunan dan Hak Sewa Untuk Bangunan. Hal ini jelas bertentangan dengan<br />

aturan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1977 tentang<br />

Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak<br />

Pengelolaan Serta Pendaftarannya, karena seharusnya hanya dapat diberikan berupa<br />

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. UUPA memang mengatur tentang hak sewa namun<br />

berupa hak sewa untuk mendirikan bangunan atas tanah hak milik orang lain, bukan atas


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

239<br />

tanah yang dikuasai negara. Hak sewa itu hanya bersifat personlijk, karena itu tidak ada<br />

keharusan mendaftarkannya. Akibatnya hanya berlaku bagi para pihak saja.<br />

Dalam prakteknya perjanjian penggunaan lahan oleh PT. (Persero) Pelabuhan<br />

Indonesia II Cabang Teluk Bayur memberikan hak kepada pihak ketiga berupa Hak Guna<br />

Bangunan dan Hak Sewa atas lahan pelabuhan yang dikelola. Hak Pakai seolah-olah<br />

dianggap sama dengan Hak Sewa, artinya uang pemasukan atau uang sewa yang diterima<br />

merupakan suatu bentuk pembayaran sewa atas lahan pelabuhan yang dipakai oleh pihak<br />

ketiga tersebut. Pemahaman ini jelas keliru seperti yang telah dijelaskan mengenai hak<br />

sewa diatas.<br />

Secara yuridis perjanjian ini akan mempunyai dampak yang sangat fatal bagi pemegang<br />

hak pengelolaan pelabuhan dengan pihak mitra kerjasama, berkaitan dengan perjanjian<br />

penggunaan tanah yang memberikan hak sewa kepada pihak pengguna tanah.<br />

Jika dilihat dari syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur pada Pasal<br />

1320, yaitu :<br />

a. Syarat subjektif :<br />

1. sepakat mereka yang mengikatkan diri.<br />

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan.<br />

Dalam hal ini para pihak telah memenuhi syarat subjektif dari suatu perjanjian.<br />

b. Syarat objektif :<br />

1. suatu hal tertentu.<br />

2. sebab yang halal.<br />

Dengan demikian, perjanjian penggunaan tanah ini dimana yang menjadi hal tertentu<br />

atau objek perjanjian adalah tanah negara yang disewakan maka hal tersebut tidak sesuai<br />

dengan aturan prinsip hak menguasai negara. Dan melihat kepada objek dari hak<br />

pengelolaan, yaitu tanah negara dan sifat dari hak pengelolaan yang publicrechtelijk, maka<br />

praktek pemberian hak sewa ini tidak dibolehkan. Pemegang hak pengelolaan atas tanah<br />

negara seharusnya tidak boleh menyewakan tanah, karena ia bukan pemilik melainkan<br />

hanya sebagai pengelola atas pendelegasian wewenang hak menguasai negara atas tanah.<br />

Bahkan negara sendiri juga bukan sebagai pemilik tanah melainkan hanya “menguasai”.<br />

Hak pengelolaan yang pada hakekatnya merupakan delegasi wewenang dari hak<br />

menguasai negara, tidak menetapkan adanya kewenangan pemegang hak pengelolaan<br />

untuk menyewakan tanah kepada pihak ketiga. Artinya, perjanjian penggunaan tanah<br />

oleh PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Pelabuhan Teluk Bayur yang memberikan<br />

hak sewa kepada pihak ketiga melalui perjanjian sewa penggunaan tanah atas tanah hak<br />

pengelolaan tersebut tidak memenuhi syarat objektif dari suatu perjanjian.<br />

Konsekuensi dari suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif perjanjian<br />

maka perjanjian tersebut “batal demi <strong>hukum</strong>” (nietig). Hal inilah yang seharusnya terjadi<br />

terhadap perjanjian penggunaan tanah oleh PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang<br />

Pelabuhan Teluk Bayur yang memberikan hak sewa kepada pihak ketiga, namun dalam<br />

kenyataannya perjanjian tersebut terus berlaku dan dilaksanakan tanpa menimbulkan<br />

masalah, baik antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian maupun dengan institusi<br />

pemerintah. Ini disimpulkan sebagai akibat tidak adanya peraturan perundang-undangan


LOVELLY DWINA DAHEN<br />

VOLUME 240<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

yang lebih jelas yang mengatur mengenai pelaksanaan dari kewenangan yang tersimpul<br />

dari hak pengelolaan, terutama mengenai larangan persewaan atas tanah negara yang<br />

diberikan kepada kepada subjek penerima hak pengelolaan.<br />

Dibutuhkan suatu tahapan dan dukungan peraturan baru agar perubahan paradigma<br />

pengelolaan pelabuhan dapat berjalan dengan baik. Peninjauan kembali peraturan yang<br />

mengatur tentang perjanjian bisnis di sektor kepelabuhanan mutlak dilaksanakan karena<br />

berhubungan dengan kepentingan negara dan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain,<br />

perlu adanya undang-undang yang mengatur mengenai hak pengelolaan, tidak saja hanya<br />

berupa peraturan setingkat peraturan menteri seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri<br />

No. 1 Tahun 1977.<br />

Perhatian pemerintah sangat diharapkan untuk meninjau kembali perjanjianperjanjian<br />

bisnis yang dilakukan oleh pelaku usaha bisnis kepelabuhanan. Apakah semua<br />

perjanjian tersebut sesuai dengan peraturan atau justru melanggar, jangan sampai akhirnya<br />

merugikan banyak pihak dengan tujuan untuk menguntungkan satu kelompok saja.<br />

G. Penutup<br />

Menurut aturan SK Direksi PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II No. HK.56/1/2/<br />

PI.II-2000 tanggal 3 Januari 2000 penyerahan penggunaan bagian-bagian tanah HPL<br />

pelabuhan dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Sewa atas bangunan. Hal<br />

ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1977, di mana hak<br />

yang dapat diberikan atas tanah hak pengelolaan adalah Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.<br />

Jika dikaji dan ditinjau secara yuridis perjanjian ini akan mempunyai dampak yang sangat<br />

fatal dan menjadi kendala terhadap kelangsungan kerjasama antara PT. (Persero) Pelabuhan<br />

Indonesia II Cabang Pelabuhan Teluk Bayur dengan pihak pengguna tanah tersebut. Hal<br />

ini berkaitan dengan objek dari perjanjian penggunaan tanah tersebut yaitu tanah yang<br />

dikuasai negara dimana atas tanah tersebut tidak boleh disewakan. Artinya syarat objektif<br />

suatu perjanjian berupa “suatu hal tertentu” tidak terpenuhi karena objeknya adalah tanah<br />

negara, konsekuensinya perjanjian tersebut “batal demi <strong>hukum</strong>” (nietig). Namun dalam<br />

kenyataannya perjanjian tersebut terus berlaku dan dilaksanakan tanpa menimbulkan<br />

masalah, baik antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian maupun dengan institusi<br />

pemerintah. Ini disimpulkan sebagai akibat tidak adanya peraturan perundang-undangan<br />

yang lebih jelas yang mengatur mengenai pelaksanaan dari kewenangan yang tersimpul<br />

dari hak pengelolaan, terutama mengenai larangan persewaan atas tanah negara yang<br />

diberikan kepada kepada subjek penerima hak pengelolaan.<br />

H. Daftar Pustaka<br />

Buku-Buku<br />

Boedi Harsono, Kasus-kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan (Suatu<br />

Tinjauan Yuridis), Mahkamah Agung RI, 1996.<br />

Hasanudin Rahman , Legal Drafting, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.<br />

Kartini Muljadi, dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT.<br />

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

241<br />

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.<br />

Parlindungan, A.P., Hak Pengelolaan Menurut Sistem Undang-undang Pokok Agraria,<br />

CV. Mandar Maju, Bandung, 1989.<br />

PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II, Pertanahan dan Perairan PT. (Persero) Pelabuhan<br />

Indonesia II Cabang Teluk Bayur, Jakarta.<br />

Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.<br />

Soni Harsono, Hukum Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Praktek<br />

Pelaksanaannya. (Non Pub) Ceramah Pada Pembukaan Seminar Nasional Hukum<br />

Agraria ke III di Medan tanggal 20-21 September 1990. Badan Pertanahan Nasional.<br />

Subekti, R. Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1993.<br />

Peraturan Perundang-undangan<br />

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar<br />

Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104.<br />

Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara.<br />

Peraturan Menteri Agraria R.I. Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi<br />

Hak Penguasaan Atas Tanah Negara Dan Ketentuan-ketentuan Tentang Kebijaksanaan<br />

Selanjutnya.<br />

Peraturan Menteri Agraria R.I. Nomor 1 Tahun 1966 Tentang Pendaftaran Hak Pakai<br />

Dan Hak Pengelolaan.<br />

Peraturan Menteri Dalam Negeri R.I. Nomor 6 Tahun 1972 Tentang Pelimpahan<br />

Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah.<br />

Peraturan Menteri Dalam Negeri R.I. Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara<br />

Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak<br />

Pengelolaan Serta Pendaftarannya.<br />

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri R.I. dan Menteri Perhubungan R.I. Nomor 191<br />

Tahun 1969 Tentang Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Pelabuhan.<br />

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999<br />

Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak<br />

Pengelolaan.


VOLUME 242<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

BIODATA PARA PENULIS<br />

1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., adalah Dosen Tetap di Fakultas Hukum USU<br />

Medan, dilahirkan di Pematang Siantar tanggal 15 Februari 1963. Pendidikan S1<br />

diselesaikan di Fakultas Hukum USU Tahun 1987, S2 di Pascasarjana USU Tahun<br />

2000 dan S3 Pascasarjana USU Tahun 2005 dengan bidang kajian Hukum Bisnis.<br />

Pernah menjabat Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana USU, dan saat<br />

ini menduduki jabatan sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau. Bertempat<br />

tinggal di Jalan Bunga Cempaka IA No. 4 Medan.<br />

2. Hayatul Ismi, SH. MH., adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau,<br />

dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 25 Mei 1979. Pendidikan Sarjana Hukum<br />

diselesaikan di Universitas Islam Riau, dan S2 di <strong>universitas</strong> yang sama pada tahun<br />

2005 dengan bidang kajian Hukum Bisnis. Saat ini sedang menyelesaikan S3 di<br />

Universitas Padjadjaran Bandung. Bertempat tinggal di Jalan Sirsak 3 Blok C-3 No. 2<br />

Perum Pandau Permai Pekanbaru.<br />

3. Hj. Mardalena Hanifah, SH,MH., adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas<br />

Riau, dilahirkan di Padang, tanggal 21 Maret 1967. Pendidikan S1 diselesaikan di<br />

Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tahun 1992, dan S2 diselesaikan di USU<br />

Medan pada tahun 2000 dengan bidang kajian Hukum Perdata. Bertempat tinggal di<br />

Jl. Thamrin III No. 4 Gobah Pekanbaru.<br />

4. Maryati Bachtiar, SH, M.Kn., adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas<br />

Riau, dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1978, menamatkan S1 Hukum di<br />

Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dan S2 Kenotariatan di Universitas Padjdjaran<br />

Bandung Tahun 2004. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Perdata<br />

FH UR dan sedang menempuh pendidikan S3 Hukum di Universitas Islam Bandung.<br />

Bertempat tinggal di Jl. Cemara No. 59 Pekanbaru.<br />

5. Tengku Erwinsyahbana, SH, M.Hum., adalah Dosen PNSD di Kopertis Wilayah I<br />

diperbantukan pada Universitas Muhammadiyah SUmatera Utara. Menyelesaikan<br />

S1 di Universitas Andalas tahun 1993 dan S2 di USU Medan tahun 2006. Saat ini<br />

sedang menyelesaikan Disertasi di Unpad Bandung. Bertempat tinggal di Asrama<br />

Singgasana I Kodam I/BB, Jl. Prasaja No. K-281 Medan 20122.<br />

6. Ramlan, SH,M.Hum, adalah Dosen Tetap Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah<br />

Sumatera Utara, dilahirkan di Sei Lama, tanggal 5 Mei 1971. Menyelesaikan S.1 pada<br />

Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan konsentrasi Hukum<br />

Keperdataan (1996), S.2 pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,<br />

dengan konsentrasi Hukum Bisnis (2005), saat ini sedang menempuh Program Doktor<br />

(S.3) Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.<br />

Bertempat tinggal di Jalan Subur I No. 14 Kecamatan Medan Polonia.<br />

7. Rahmad Hendra, SH,M.Kn., adalah Dosen Tetap Fak. Hukum Universitas Riau,<br />

dilahirkan di Pekanbaru, tanggal 5 September 1976. Menyelesaikan S1 pada Fak.<br />

Hukum UII Yogyakarta dan S2 di Magister Kenotariatan UGM Yogyakarta. Saat ini<br />

menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Perdata FH UR. Bertempat tinggal di Jalan


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

243<br />

Hang Jebat Gang Kadiran No. 5 Pekanbaru.<br />

8. Ulfia Hasanah, SH, M.Kn, adalah Dosen Tetap Fak. Hukum Universitas Riau,<br />

dilahirkan di Batu Rijal Hulu Indragiri Hulu pada tanggal 24 Oktober 1983. Menyelesaikan<br />

S.1 pada Fak. Hukum Universitas Bung Hatta Padang dan S2 Kenotariatan dari<br />

Universitas Padjadjaran. Bertempat tinggal di Jalan Garuda Tangkerang Tengah<br />

Marpoyan Damai Pekanbaru.<br />

9. Riska Fitriani, SH,MH, adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau,<br />

dilahirkan di Pesisir Selatan pada tanggal 16 Juni 1980.Menamatkan S1 dari Universitas<br />

Bung Hatta Padang dan S2 dari Universitas Andalas dengan bidang kajian Hukum<br />

Bisnis. Bertempat tinggal di Jalan Durian Sukajadi Pekanbaru<br />

10.Lovelly Dwina Dahen, SH.,MH adalah Dosen Tetap Fakultas Syariah dan Ilmu<br />

Hukum UIN Suska Riau Pekanbaru dilahirkan di Padang tanggal 22 Juni 1982.<br />

Pendidikan S1 diselesaikan di Fakultas Hukum Unand Tamat Tahun 2004, S2<br />

Pascasarjana Universitas Andalas tamat 2006. Bertempat tinggal di Perum. Palm<br />

Regency Blok C No. 7 Panam-Pekanbaru.


VOLUME 244<br />

2 No. 2 Februari 2012<br />

PEDOMAN PENULISAN<br />

1. Naskah berupa hasil penelitian kepustakaan, penelitian lapangan atau karya ilmiah<br />

lainnya dalam bidang <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> yang belum pernah dan tidak pernah<br />

dipublikasikan dalam media cetak lain.<br />

2. Setiap kutipan dalam sebuah artikel ilmiah harus dicantumkan sumber kutipannya<br />

dalam sebuah footnote sebagaimana contoh berikut ini: Erdianto Effendi, Hukum<br />

Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 64-65.<br />

3. Naskah ditulis dengan sistematika sebagai berikut:<br />

a. Penelitian Kepustakaan:<br />

Judul<br />

Nama Penulis<br />

Alamat<br />

Abstrak (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)<br />

Pendahuluan<br />

Perumusan Masalah (dapat dimuat dalam bab Pendahuluan)<br />

Pembahasan<br />

Penutup/Kesimpulan<br />

Daftar Pustaka<br />

Riwayat Hidup Singkat yang berisikan Pekerjaan, Tempat Tanggal Lahir,<br />

Riwayat Pendidikan dan Alamat<br />

b. Penelitian Lapangan<br />

Judul<br />

Nama Penulis<br />

Alamat<br />

Abstrak (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)<br />

Pendahuluan<br />

Perumusan Masalah (dapat dimuat dalam bab Pendahuluan)<br />

Metode Penelitian<br />

Hasil Penelitian<br />

Pembahasan<br />

Penutup/Kesimpulan<br />

Daftar Pustaka<br />

Riwayat Hidup Singkat yang berisikan Pekerjaan, Tempat Tanggal Lahir,<br />

Riwayat Pendidikan dan Alamat<br />

4. Penyusunan daftar pustaka harus sesuai dengan daftar abjad (nama penulis) secara<br />

alpabetis, nama ditulis secara manual tanpa harus dibalik, dan daftar pustaka yang<br />

ditulis harus tercantum dalam tubuh tulisan. Sistematika penulisan daftar pustaka<br />

adalah seperti contoh: Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar,<br />

Refika Aditama, Bandung, 2010.<br />

5. Naskah diketik dengan komputer ukuran A4 dengan jarak 1,5 spasi, minimal 15<br />

halaman dan maksimal 35 halaman.


JURNAL<br />

ILMU HUKUM<br />

245<br />

6. Naskah disusun dalam Bahasa Indonesia menurut Pedoman Ejaan bahasa Indonesia<br />

menurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).<br />

7. Redaksi berhak mengedit dan atau mengubah teks sesuai kepentingan penerbitan<br />

tanpa pemberitahuan terlebih dahulu tanpa mengubah substansi yang dkandung<br />

dalam naskah.<br />

8. Redaksi tidak bertanggungjawab atas isi dan substansi artikel yang dimuat dan<br />

tanggungjawab sepenuhnya dilimpahkan kepada penulis yang bersangkutan, dan<br />

dengan sendirinya semua penulis wajib menjamin bahwa tulisannya bebas dari<br />

plagiarisme.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!