implikasi dari globalisasi/perdagangan bebas ... - Kadin Indonesia
implikasi dari globalisasi/perdagangan bebas ... - Kadin Indonesia
implikasi dari globalisasi/perdagangan bebas ... - Kadin Indonesia
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
1<br />
IMPLIKASI DARI GLOBALISASI/PERDAGANGAN BEBAS DUNIA TERHADAP EKONOMI<br />
NASIONAL 1<br />
Pengertian<br />
Tulus Tambunan<br />
<strong>Kadin</strong> <strong>Indonesia</strong><br />
Tidak ada definisi yang baku atau standar mengenai <strong>globalisasi</strong>, tetapi secara sederhana <strong>globalisasi</strong> ekonomi dapat<br />
diartikan sebagai suatu proses dimana semakin banyak negara yang terlibat dalam kegiatan ekonomi dunia. Jadi, jika pada<br />
periode sejak perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi dunia didominasi oleh ekonomi Amerika Serikat<br />
(AS), sekarang ini walaupun produk domestik bruto (PDB) AS masih besar yakni sekitar 45% <strong>dari</strong> PDB dunia, peran <strong>dari</strong><br />
ekonomi Uni Eropa, Jepang dan negara-negara yang tergolong dalam newly industrialized countries (NICs), seperti Korea<br />
Selatan, Taiwan, dan Singapura, dan Cina jauh lebih kuat sebagai motor penggerak perekonomian dunia. Semakin<br />
mengglobalnya suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat <strong>dari</strong> misalnya peningkatan <strong>dari</strong> <strong>perdagangan</strong><br />
internasionalnya (ekspor dan impor) yang tercerminkan antara lain pada peningkatan pangsa ekspornya di pasar global dan<br />
peningkatan rasio impor terhadap PDB-nya; semakin aktif terlibat dalam proses produksi yang melibatkan banyak negara<br />
(misalnya dalam membuat pesawat Boeing lebih <strong>dari</strong> 50 negara terlibat yang masing-masing membuat bagian-bagian<br />
tertentu <strong>dari</strong> pesawat tersebut, atau dalam membuat pesawat Airbus, sejumlah negara Eropa terlibat dalam proses<br />
pembuatannya), dan semakin besar arus investasi asing yang masuk ke negara tersebut atau semakin besarnya investasi <strong>dari</strong><br />
negara tersebut ke negara-negara lain.<br />
Jadi, proses <strong>globalisasi</strong> <strong>dari</strong> sisi ekonomi adalah suatu perubahan di dalam perekonomian dunia yang bersifat mendasar<br />
atau struktural dan akan berlangsung terus dalam laju yang semakin pesat mengikuti kemajuan teknologi yang juga<br />
prosesnya semakin cepat. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan dan juga<br />
mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam <strong>perdagangan</strong> internasional tetapi juga dalam kegiatan investasi,<br />
finansial dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi atau pasar<br />
secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Dalam<br />
tingkat <strong>globalisasi</strong> yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi lintas negara atau regional akan selancar lintas kota<br />
di suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Kalimantan<br />
Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa ada halangan, baik halangan logistik maupun<br />
halangan birokrasi <strong>dari</strong> pihak pemerintah Malaysia atau Filipina maupun <strong>dari</strong> pemerintah <strong>Indonesia</strong> dalam urusan<br />
administrasi seperti izin dan sebagainya.<br />
Sekarang ini tidak relevan lagi mencantumkan nama negara asal <strong>dari</strong> suatu produk; orang hanya tau bahwa lampu itu<br />
adalah buatan Philips yang pabrik pembuatanya bukan di Belanda, tetapi misalnya di Tangerang. Banyak produk <strong>dari</strong><br />
Disney bukan buatan AS melainkan dibuat di Cina dengan memakai tenaga kerja, bahan baku dan modal <strong>dari</strong> negara<br />
1 Bahan diskusi dalam Seminar Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, Dep.PU, Jakarta, 1 Juli 2005.
2<br />
tersebut. Sekarang ini semakin banyak produk-produk yang komponennya di buat di lebih <strong>dari</strong> satu negara (seperti<br />
komputer, mobil, pesawat terbang, dll.), dan banyak perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kantor pusat bukan<br />
di negara asal melainkan di pusat-pusat keuangan di negara-negara lain seperti London dan New York.<br />
Semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional disebabkan oleh banyak hal,<br />
diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan murah, lalu lintas<br />
devisa yang semakin <strong>bebas</strong>, ekonomi negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan<br />
keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin<br />
efisien, dan semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu, penyebabpenyebab<br />
lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose akibat kemajuan teknologi (yang mengurangi<br />
pemakaian sumber daya alam), semakin tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita, semakin majunya tingkat<br />
pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang, dan semakin banyaknya jumlah penduduk<br />
dunia.<br />
Menurut Friedman (2002), <strong>globalisasi</strong> mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi ide atau ideologi yaitu<br />
“kapitalisme”. Dalam pengertian ini termasuk seperangkat nilai yang menyertainya, yakni falsafah individualisme,<br />
demokrasi dan HAM. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu pasar <strong>bebas</strong> yang artinya arus barang dan jasa antarnegara tidak<br />
dihalangi sedikitpun juga. Ketiga, dimensi teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas<br />
negara sehingga negara makin tanpa batas.<br />
Dalam ekonomi, secara garis besar fenomena <strong>globalisasi</strong> dapat dilihat <strong>dari</strong> pertumbuhan kegiatan ekonomi lintas<br />
negara dalam berbagai bentuk. Diantaranya, dua bentuk kegiatan ekonomi yang secara nyata semakin mengglobal, yakni<br />
arus <strong>perdagangan</strong> dan arus modal internasional. Oleh sebab itu, arus <strong>globalisasi</strong> dan arus <strong>perdagangan</strong> serta investasi dunia<br />
berlangsung bersamaan.<br />
Arus Perdagangan Internasional<br />
Pangsa <strong>dari</strong> pengeluaran konsumsi domestik terhadap barang dan jasa yang diimpor <strong>dari</strong> negara-negara lain meningkat, dan<br />
bagian <strong>dari</strong> produksi barang dan jasa di dalam negeri yang diekspor meningkat. Peningkatan ini membuat volume<br />
<strong>perdagangan</strong> antarnegara di dunia meningkat, baik secara absolut maupun relatif, yakni rasio <strong>dari</strong> <strong>perdagangan</strong><br />
internasional (ekspor + impor) terhadap PDB <strong>dari</strong> masing-masing negara secara individu atau dunia. Data <strong>dari</strong> Bank Dunia<br />
tahun 2000 misalnya menunjukkan bahwa di dalam kelompok negara-negara kaya/maju, pangsa <strong>dari</strong> <strong>perdagangan</strong><br />
internasional di dalam output total naik <strong>dari</strong> 27% ke 39% selama periode 1987-1998. Sedangkan di dalam kelompok<br />
negara-negara sedang berkembang, rasio <strong>perdagangan</strong> internasional terhadap PDB naik <strong>dari</strong> 10% ke 17% dalam periode<br />
yang sama (Bank Dunia, 2000a).
3<br />
Arus Modal Internasional.<br />
Arus modal internasional atau arus modal antarnegara terdiri <strong>dari</strong> modal swasta dan modal pemerintah. Arus modal swasta<br />
antarnegara bisa berbentuk investasi atau pinjaman; sedangkan arus modal asing pemerintah pada umumnya dalam bentuk<br />
pinjaman, misalnya pinjaman yang diterimah <strong>dari</strong> pemerintah <strong>dari</strong> negara-negara yang tergabung dalam CGI (Consultancy<br />
Group on <strong>Indonesia</strong>) atau dalam konteks bilateral dengan pemerintah negara-negara donor secara individual. Pengertian<br />
<strong>dari</strong> modal asing pemerintah juga termasuk pinjaman <strong>dari</strong> badan-badan dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF),<br />
Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).<br />
Arus modal asing dalam bentuk investasi bisa investasi investasi langsung atau jangka panjang, yang disebut foreign<br />
direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA), atau investasi tidak langsung atau jangka pendek, yang umum<br />
disebut investasi portofolio. Dalam hal PMA, dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak perusahaan-perusahaan<br />
yang berbasis di suatu negara melakukan investasi jangka panjang di negara-negara lain, yang dilandasi oleh berbagai<br />
motivasi seperti pasar yang luas dan ketersediaan sumber daya produksi di negara-negara tujuan investasi. Perkembangan<br />
ini dengan sendirinya meningkatkan arus PMA antarnegara, yang terefleksi dalam peningkatan pangsa <strong>dari</strong> PMA sebagai<br />
suatu persentase <strong>dari</strong> investasi total dunia.<br />
Menurut data Bank Dunia pada tahun 1975 PMA berjumlah hanya 23 miliar dollar AS, dan pada tahun 1997 jumlahnya<br />
meningkat menjadi 644 miliar dollar AS (Friedman, 2002). Juga data Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 1998<br />
jumlah investasi langsung <strong>dari</strong> perusahaan-perusahaan AS di banyak negara lain di dunia telah mencapai 133 miliar dollar<br />
AS, sedangkan PMA di AS pada tahun yang sama bernilai 193 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, arus PMA di dunia<br />
meningkat sangat signifikan selama periode 1988-1998 <strong>dari</strong> 192 miliar dollar AS ke 610 miliar dollar AS. Arus PMA <strong>dari</strong><br />
kelompok negara-negara maju ke kelompok negara-negara sedang berkembang juga meningkat tajam selama periode yang<br />
sama, termasuk <strong>Indonesia</strong>, terkecuali sejak krisis ekonomi arus PMA neto ke <strong>Indonesia</strong> mengalami suatu penurunan (Bank<br />
Dunia 2000b).<br />
Dalam hal investasi jangka pendek, juga dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak penabung-penabung,<br />
terutama di negara-negara maju yang mendiversifikasikan portofolio mereka ke berbagai macam aset-aset keuangan luar<br />
negeri seperti obligasi, saham, pinjaman atau deposito). Juga semakin banyak perusahaan-perusahaan terutama di negaranegara<br />
sedang berkembang yang membiayai kegiatan produksi mereka dengan memakai dana investasi <strong>dari</strong> sumbersumber<br />
luar negeri, selain <strong>dari</strong> kredit perbankan dan pasar modal domestik. <strong>Indonesia</strong> juga mengalami peningkatan arus<br />
modal asing jangka pendek yang pesat sejak deregulasi di sektor perbankan pada tahun 1980-an hingga tahun 1997, pada<br />
saat krisis rupiah mencuat. Bahkan dapat dikatakan bahwa penyebab utama rupiah mengalami depresiasi lebih <strong>dari</strong> 100%<br />
pada tahun 1998 adalah akibat larinya modal asing jangka pendek <strong>dari</strong> <strong>Indonesia</strong> (capital flight). Dalam kata lain, apabila<br />
selama periode orde baru ekonomi <strong>Indonesia</strong> tidak terlalu tergantung pada modal asing jangka pendek, kemungkinan besar<br />
rupiah tidak akan mengalami depresiasi, atau paling tidak persentase penurunan nilainya tidak sampai di atas 100%.
4<br />
Sebagai suatu ilustrasi empiris, jumlah arus modal asing neto (swasta dan pemerintah) ke negara-negara sedang<br />
berkembang (LDCs) mengalami peningkatan yang signifikan <strong>dari</strong> 120,8 miliar dollar AS pada tahun 1990 ke 289,3 miliar<br />
dollar AS pada tahun 2000 (Tabel 1). Diantara negara-negara ASEAN, arus modal asing neto ke <strong>Indonesia</strong> paling besar;<br />
tetapi sejak 1998 arus yang keluar lebih besar <strong>dari</strong>pada yang masuk. Sedangkan, di Malaysia, Singapura dan bahkan<br />
Filipina yang juga terkena krisis ekonomi, netonya tetap positif. Tahun 1990, arus modal asing neto ke <strong>Indonesia</strong> tercatat<br />
sebesar 6,3 miliar dollar AS, atau sekitar 5% <strong>dari</strong> jumlah arus modal asing neto ke LDCs, tetapi turun terus dan tahun 1997<br />
sahamnya menjadi sekitar 3,2%.Negara Asia yang arus modal asingnya paling besar adalah Cina yang pada tahun 1998<br />
mencapai 45,8 miliar dollar AS dan pada tahun 2000 mencapai hampir 61,1 miliar dollar AS. Dengan masuknya Cina ke<br />
WTO, diperkirakan arus modal asing, khususnya swasta ke Cina akan tumbuh lebih pesat lagi, karena memang selama ini<br />
Cina termasuk negara eksportir besar di dunia, dan Cina sangat menarik bagi investor asing karena upah buruh murah, infra<br />
struktur cukup baik (terutama di wilayah pantai), dan pasar domestik sangat besar dengan jumlah penduduk lebih <strong>dari</strong> 1<br />
miliar orang.<br />
Tabel 1 Total Arus Modal Asing Neto <strong>dari</strong> Semua Sumber ke Beberapa Negara Asia (miliar dollar AS): 1990-2000<br />
Negara 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000<br />
Cina<br />
Hong Kong<br />
Korea<br />
Selatan<br />
Taiwan<br />
Thailand<br />
Vietnam<br />
<strong>Indonesia</strong><br />
Malaysia<br />
Filipina<br />
Singapura<br />
10,5<br />
3,5<br />
1,5<br />
0,5<br />
4,9<br />
0,1<br />
6,3<br />
1,3<br />
2,2<br />
3,2<br />
10,2<br />
2,5<br />
5,4<br />
-1,4<br />
5,6<br />
0,5<br />
7,4<br />
4,5<br />
1,8<br />
1,5<br />
120,8 142,9<br />
LDCs<br />
Sumber: ADB (database)<br />
24,4<br />
1,8<br />
7,9<br />
-1,3<br />
4,4<br />
1,0<br />
8,4<br />
6,2<br />
1,4<br />
3,3<br />
175,4<br />
44,9<br />
4,0<br />
8,8<br />
-1,1<br />
8,5<br />
1,2<br />
4,1<br />
11,1<br />
5,0<br />
3,5<br />
245,8<br />
48,3<br />
7,3<br />
12,4<br />
1,0<br />
5,1<br />
2,9<br />
10,0<br />
8,8<br />
4,7<br />
5,9<br />
253,5<br />
Berbeda dengan negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan dan Singapura, sebagian besar <strong>dari</strong><br />
arus modal asing yang masuk ke <strong>Indonesia</strong> adalah modal resmi; walaupun porsinya bervariasi antar tahun. Hal ini<br />
menunjukkan bahwa peran modal asing resmi lebih dominan dibandingkan modal asing swasta sebagai sumber eksternal<br />
bagi pembiayaan pembangunan di <strong>Indonesia</strong>. Terutama sejak krisis ekonomi yang disusul dengan krisis politik dan sosial,<br />
peran modal asing resmi semakin penting terutama <strong>dari</strong> IMF, Bank Dunia dan CGI; sedangkan peran <strong>dari</strong> modal asing<br />
52,5<br />
3,7<br />
13,2<br />
0,4<br />
10,9<br />
3,5<br />
13,4<br />
10,7<br />
4,2<br />
4,3<br />
289,1<br />
55,3<br />
7,8<br />
19,5<br />
2,5<br />
14,5<br />
3,6<br />
16,0<br />
12,1<br />
5,5<br />
10,3<br />
348,1<br />
65,9<br />
14,6<br />
22,5<br />
1,9<br />
10,0<br />
3,3<br />
12,0<br />
0,3<br />
5,0<br />
5,1<br />
379,0<br />
swasta berkurang karena <strong>Indonesia</strong> menjadi tidak menarik lagi atau tidak aman bagi investasi.<br />
45,8<br />
9,6<br />
13,4<br />
0,8<br />
9,6<br />
2,8<br />
-0,1<br />
5,8<br />
4,0<br />
7,3<br />
371,0<br />
43,3<br />
11,7<br />
9,5<br />
2,6<br />
5,6<br />
1,9<br />
-4,4<br />
3,7<br />
5,7<br />
18,7<br />
322,0<br />
61,1<br />
3,1<br />
13,9<br />
0,6<br />
-0,3<br />
2,0<br />
-8,7<br />
3,5<br />
2,6<br />
8,5<br />
289,3<br />
Faktor-Faktor Pendorong<br />
Sebenarnya proses <strong>globalisasi</strong> telah terjadi <strong>dari</strong> sejak dahulu kala dan akan berlangsung terus, walaupun prosesnya<br />
berbeda: dulu sangat lambat sedangkan sekarang ini sangat pesat dan di masa depan akan jauh lebih pesat lagi. Perbedaan
5<br />
ini disebabkan terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan alat-alat komunikasi dan<br />
transportasi yang semakin canggih, aman dan murah. Jadi dapat dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan<br />
teknologi merupakan faktor pendorong atau kekuatan utama proses <strong>globalisasi</strong> ekonomi. Karena adanya satelit, hand<br />
phone, fax, Internet dan email maka komunikasi atau arus informasi antarnegara menjadi sangat lancar dan murah. Juga,<br />
adanya pesawat terbang yang semakin cepat lajunya membuat mobilitas <strong>dari</strong> pelaku-pelaku ekonomi (konsumen, produsen,<br />
investor, dan bankir) antarnegara menjadi semakin cepat dan murah. Ini semua meningkatkan arus transaksi ekonomi<br />
antarnegara dalam laju yang semakin pesat.<br />
Peran <strong>dari</strong> kemajuan teknologi terhadap proses <strong>globalisasi</strong> juga diakui oleh Friedman yang mendapat penghargaan atas<br />
bukunya mengenai <strong>globalisasi</strong> (2002) yang menyatakan berikut ini: era <strong>globalisasi</strong> dibangun seputar jatuhnya biaya<br />
telekomunikasi – berkat adanya mikrochip, satelit, serat optik dan internet/ Teknologi informasi yang baru ini mampu<br />
merajut dunia bersama-sama bahkan menjadi lebih erat. ……. Teknologi ini juga dapat memungkinkan perusahaan untuk<br />
menempatkan lokasi bagian produksi di negara yang berbeda, bagian riset dan pemasaran di negara yang berbeda, tetapi<br />
dapat mengikat mereka bersama melalui komputer dan komperensi jarak jauh seakan mereka berada disatu tempat.<br />
Demikian juga berkat kombinasi antara komputer dan telekomunikasi yang murah, masyarakat sekarang dapat<br />
menawarkan pelayanan <strong>perdagangan</strong> secara global - <strong>dari</strong> konsultasi medis sampai penulisan data perangkat lunak ke<br />
proses data – pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat diperdagangkan sebelumnya. Dan mengapa tidak<br />
Sambungan telepon untuk 3 menit pertama (dalam dolar, thn 1986) antara New York dan London biayanya adalah 300<br />
dolar di tahun 1930. Sekarang hal itu hampir <strong>bebas</strong> biaya melalui Internet (20a). Friedman mengatakan bahwa <strong>globalisasi</strong><br />
memiliki definisi teknologi sendiri: komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi, komunikasi satelit, serat optik dan internet.<br />
Friedman juga melihat bahwa sistem <strong>globalisasi</strong> yang terjadi di dunia saat ini mempunyai ciri istimewa yakni integrasi.<br />
Berkat kemajuan teknologi seperti yang disebut di atas, semua manusia dimanapun berada bisa saling berhubungan satu<br />
dengan lainnya lewat jaringan: Dunia menjadi tempat untuk menjalin hubungan, dan hari ini, apakah Anda suatu negara<br />
atau perusahaan, ancaman dan peluang anda semakin tergantung <strong>dari</strong> kepada siapa anda dihubungkan. Globalisasi ini<br />
juga digambarkan dalam satu kata: Jaringan (Web). Jadi dalam penalaran yang lebih luas, kita telah berangkat <strong>dari</strong><br />
sistem yang dibangun seputar divisi dan tembok ke sistem yang dibangun secara bertahap seputar integrasi dan jaringan.<br />
(halaman 8).<br />
Besarnya pengaruh <strong>dari</strong> kemajuan teknologi terhadap perubahan kehidupan manusia di dunia yang mendorong proses<br />
<strong>globalisasi</strong> semakin pesat seperti yang sedang terjadi saat ini sebenarnya sudah diduga sebelumnya oleh sejumlah orang,<br />
diantaranya adalah Alvin Toffler (1980). Menurutnya, akibat progres teknologi, akan terjadi kejutan-kejutan masa depan<br />
yang melahirkan revolusi baru. kehidupan atau kegiatan ekonomi dunia tidak lagi dipimpin oleh industri, namun informasi<br />
akan muncul sebagai penggerak pendulum. Revolusi informasi yang sarat dengan teknologi akan membawa perubahanperubahan<br />
di dalam kehidupan sehari-hari yang jauh lebih radikal <strong>dari</strong>pada revolusi industri yang memerlukan waktu,<br />
biaya, lahan, dan pasar yang besar. Toffler mengatakan bahwa revolusi informasi yang dipicuh oleh kemajuan teknologi,
6<br />
khususnya teknologi informasi, akan membawa wajah baru, yakni masyarakat global lantaran kaburnya batas-batas<br />
wilayah dan negara.<br />
Pada tahun 1990-an, muncu seorang futurolog baru bernama John Naisbitt yang lebih rinci dalam memetakan wajah<br />
dunia ke depan dalam publikasinya yang sangat terkenal: Megatrend Asia 2000. Naisbitt meramalkan bahwa akibat<br />
perubahan-perubahan super cepat di Asia, yang didorong oleh kemajuan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) di<br />
kawasan tersebut, pada abad ke 21 akan terjadi pergeseran dalam pusat kegiatan ekonomi dunia <strong>dari</strong> AS dan Eropa ke Asia,<br />
khususnya Asia Tenggara dan Timur. Walaupun dalam kenyataannya, pergeseran tersebut tidak terjadi, atau paling tidak<br />
tertunda untuk sementara waktu akibat terjadinya krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997/98.<br />
Secara garis besar, Toffler dan Naisbitt mempunyai beberapa kesamaan dalam meramal dunia di masa depan,<br />
diantaranya adalah bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahun merupakan motor penggerak utama proses <strong>globalisasi</strong>.<br />
Perubahan radikal pada teknologi juga telah menciptakan perubahan pada ekonomi, politik, sosial hingga budaya. Mereka<br />
juga sependapat bahwa masyarakat dunia dewasa ini sedang memasuki era masyarakat informasi yang beralih <strong>dari</strong><br />
masyarakat industri. Artinya adalah bahwa masyarakat tidak bisa lagi menutup diri <strong>dari</strong> luar karena teknologi informasi<br />
mampu menembus batas-batas wilayah kekuatan negara (Halwani, 2002).<br />
Pengaruh radikal <strong>dari</strong> kemajuan teknologi terhadap kehidupan masyarakat saat ini terutama sangat ketara sekali pada<br />
kegiatan bisnis sehari-hari atau produk-produk yang dihasilkan. Misalnya, fitur hand phone (HP) hampir setiap saat<br />
berganti sehingga HP menjelma menjadi alat bertukar informasi melalui teknologi Internet ataupun SMS, berfungsi sebagai<br />
games, kamera digital dan fungsi-fungsi lainnya. Kemampuan komputer beserta program-programnya semakin canggih.<br />
Perubahan teknologi yang sangat pesat sekarang ini juga telah mempengaruhi agro industri yang semakin tumbuh kencang<br />
dengan varian-varian hasil produk, baik melalui rekayasa genetika maupun akibat penemuan-penemuan varietas unggul.<br />
Demikian juga dalam sektor kesehatan, produk-produknya juga mengalami revolusi dengan banyak ditemukan jenis-jenis<br />
obat (supplement) baru yang memungkinkan manusia lebih sehat atau lebih panjang usianya.<br />
Pada gilirannya, perubahan di sisi suplai (produksi) tersebut telah membuat perubahan di sisi permintaan: perilaku<br />
konsumen semakin bervariatif mengikuti pilihan produk yang semakin kompetitif. Perubahan pola konsumen telah terjadi<br />
tidak hanya di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara sedang berkembang; tidak hanya di daerah perkotaan tetapi<br />
juga di daerah perdesaan atau pedalaman. Walaupun belum ada data yang bisa mendukung, tetapi dapat diduga bahwa<br />
jumlah penduduk di perdesaan di <strong>Indonesia</strong> yang sudah pernah minum coca cola sekarang ini jauh lebih banyak<br />
dibandingkan pada awal tahun 1970an; demikian juga jumlah penduduk di perdesaan yang memiliki HP saat ini jauh lebih<br />
banyak dibandingkan pada awal tahun 1990-an. Bahkan banyak orang yang membeli HP atau rutin menggantikannya<br />
dengan seri baru bukan karena perlu tetapi mengikuti trend yang sangat dipengaruhi oleh reklame dan pergaulan. Jadi<br />
benar apa yang dikatakan oleh Anthony Giddens (2001) bahwa <strong>globalisasi</strong> saat ini telah menjadi wacana baru yang<br />
menelusup ke seluruh wilayah kehidupan baik di perkotaan maupun perdesaan. Globalisasi telah memberi perubahan yang<br />
radikal dalam semua aspek kehidupan, mulai <strong>dari</strong> sosial, budaya, politik, ekonomi, hingga gaya hidup sehari-hari.
7<br />
Dalam komunikasi juga sangat nyata sekali pengaruh <strong>dari</strong> kemajuan teknologi yang jangkauannya sudah menyebar<br />
dan melewati batas-batas negara yang semakin mempersempit dunia. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi,<br />
semakin mudah pula masyarakat untuk mengaksesnya. Misalnya, dapat diduga bahwa saat ini jumlah orang di <strong>Indonesia</strong><br />
yang bisa akses ke siaran CNN atau FOX jauh lebih banyak dibandingkan pada akhir dekade 80-an. Jumlah orang yang<br />
bisa melihat siaran langsung perang Irak II diperkirakan jauh lebih banyak dibandingkan pada saat perang Irak I (Perang<br />
Teluk) pada awal tahun 1990-an. Contoh lainnya, menurut Giddens (2001), sebelum ada teknologi Internet, diperlukan<br />
waktu 40 tahun bagi radio di AS untuk mendapatkan 50 juta pendengar. Sedangkan dalam jumlah yang sama diraih oleh<br />
komputer pribadi (PC) dalam 15 tahun. Setelah ada teknologi Internet, hanya diperlukan waktu 4 tahun untuk menggaet 50<br />
juta warga AS.<br />
Faktor pendorong kedua yang membuat semakin kencangnya proses <strong>globalisasi</strong> adalah semakin terbukanya sistem<br />
perekonomian negara-negara di dunia baik dalam <strong>perdagangan</strong>, produksi maupun investasi/keuangan. Seperti yang dapat<br />
dikutip <strong>dari</strong> Friedman (2002), Ide dibelakang <strong>globalisasi</strong> yang mengendalikannya adalah kapitalisme <strong>bebas</strong> – semakin<br />
Anda membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin Anda membuka perekonomian Anda bagi <strong>perdagangan</strong> <strong>bebas</strong><br />
dan kompetisi, perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat. Globalisasi berarti penyebaran<br />
kapitalisme pasar <strong>bebas</strong> ke setiap negara di dunia. Karenanya <strong>globalisasi</strong> juga memiliki aturan perekonomian tersendiri –<br />
peraturan yang bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi perekonomian Anda, guna membuatnya lebih<br />
kompetitif dan atraktif bagi investasi luar negeri. (halaman 9).<br />
Fukuyama (1999) menegaskan bahwa dewasa ini baik negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang<br />
cenderung mengadopsi prinsip-prinsip liberal dalam menata ekonomi dan politik domestik mereka. Menurut catatan <strong>dari</strong><br />
Friedman (2002), pada tahun 1975, di puncak Perang Dingin, hanya 8% <strong>dari</strong> negara di seluruh dunia yang mempunyai<br />
rezim kapitalis pasar <strong>bebas</strong>. Sampai tahun 1997, jumlah negara dengan rezim perekonomian liberal menjadi 28%.<br />
Semakin terbukanya ekonomi suatu negara dapat dilihat <strong>dari</strong> perkembangan <strong>dari</strong> sejumlah indikator, misalnya<br />
peningkatan rasio <strong>perdagangan</strong> luar negerinya (ekspor dan impor) terhadap PDBnya, semakin pentingnya peran <strong>dari</strong><br />
perusahaan-perusahaan multinasional dalam kegiatan produksi di dalam negeri, dan semakin besarnya rasio investasi asing<br />
atau arus modal <strong>dari</strong> luar terhadap investasi total di dalam negeri. Atau, dilihat pada skala dunia adalah peningkatan rasio<br />
<strong>perdagangan</strong> dunia terhadap PDB dunia, rasio produksi <strong>dari</strong> perusahaan-perusahaan multinasional terhadap produksi dunia<br />
total, dan rasio arus modal antarnegara terhadap pembentukan modal dunia. Faktor pendorong kedua ini diperkuat oleh<br />
proses liberalisasi <strong>perdagangan</strong> dunia dalam konteks WTO atau pada tingkat regional seperti AFTA dan NAFTA. Dalam<br />
kata lain, liberalisasi <strong>perdagangan</strong> dunia mempercepat laju proses <strong>globalisasi</strong> ekonomi, dan sekaligus memperketat<br />
persaingan antarnegara dalam <strong>perdagangan</strong>, investasi, keuangan dan produksi.<br />
Faktor pendorong ketiga adalah mengglobalnya pasar finansial yang prosesnya berlangsung berbarengan dengan<br />
keterbukaan ekonomi <strong>dari</strong> negara-negara di dunia dan penerapan sistem <strong>perdagangan</strong> <strong>bebas</strong> dunia. Atau, dapat dikatakan<br />
bahwa faktor ketiga ini dan faktor kedua di atas saling mendorong satu sama lainnya: semakin mengglobal pasar finansial<br />
semakin mudah dan semakin besar volume kegiatan ekonomi (misalnya produksi dan investasi) antarnegara; sebaliknya
8<br />
semakin terbuka sistem perekonomian negara-negara di dunia semakin mempercepat proses <strong>globalisasi</strong> <strong>dari</strong> pasar finansial<br />
karena semakin besar kebutuhan akan pendanaan kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut.<br />
Semakin mengglobalnya pasar finansial dengan sendirinya menimbulkan persaingan yang ketat antarnegara dalam<br />
finansial atau investasi. Jadi dalam era <strong>globalisasi</strong>, setiap negara menghadapi persaingan yang semakin ketat di dua medan<br />
perang yakni <strong>perdagangan</strong> barang dan jasa dan investasi. Seperti yang dapat dikutip <strong>dari</strong> Tjager dan Pramadi (1997) dalam<br />
studi mereka mengenai perkembangan dan kesiapan pasar modal di <strong>Indonesia</strong> dalam menghadapi era <strong>globalisasi</strong>: Dalam<br />
gelombang era pasar <strong>bebas</strong> ditandai dengan kesepakatan GATT, dan deklarasi APEC serta kemajuan teknologi informasi,<br />
menjadikan dunia dengan ciri semakin terkikisnya hambatan-hambatan <strong>perdagangan</strong>, lalu lintas keuangan internasional,<br />
dan keluar masuknya arus modal dan investasi. Era <strong>globalisasi</strong> ini akan menimbulkan persaingan yang semakin ketat,<br />
sehingga hanya negara yang memiliki daya saing kuat saja yang akan mampu bertahan. Investasi dalam bentuk financial<br />
asset seperti saham, obligasi dan surat berharga lainnya tidak dapat diproteksi lagi, sehingga <strong>Indonesia</strong> harus dapat<br />
menciptakan iklim investasi yang efisien dan memberikan hasil yang lebih baik dan menarik dibandingkan dengan negara<br />
lainnya (hal.56).<br />
Semakin mengglobalnya pasar finansial tercerminkan oleh semakin besarnya sumber-sumber eksternal dalam<br />
pembiayaan kegiatan-kegiatan ekonomi domestik di banyak negara, tidak hanya di kelompok negara-negara maju tetapi<br />
juga di negara-negara sedang berkembang. Juga perkembangan pasar saham (modal) mencerminkan perubahan tersebut:<br />
semakin banyak saham-saham <strong>dari</strong> perusahaan-perusahaan asing yang tercatat di dalam pasar bursa di suatu negara. Selain<br />
itu, semakin mengglobalnya pasar finansial dipicuh oleh semakin maraknya <strong>perdagangan</strong> mata uang asing lintas negara;<br />
kalau dulu mata uang asing sebagai alat pembayaran, sekarang ini menjadi suatu komoditi yang diperdagangkan. Menurut<br />
catatan <strong>dari</strong> Lairson dan Skidmore (2000; dikutip <strong>dari</strong> Halwani, 2002), tingkat pertumbuhan <strong>dari</strong> <strong>perdagangan</strong> mata uang<br />
asing setiap hari jauh lebih tinggi <strong>dari</strong>pada total ekspor dunia. Pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1, maka pada tahun<br />
1995 rasionya mencapai 81:1, sedangkan pada tahun 2000 rasionya telah mencapai 107:1.<br />
Seperti halnya dengan faktor pendorong kedua di atas, faktor ketiga ini tidak lepas <strong>dari</strong> pengaruh teknologi. Seperti<br />
yang dikatakan oleh Giddins (2001), dalam ekonomi elektronik global, para manajer keuangan dan ribuan investor<br />
individual dapat memindahkan modalnya miliaran juta dollar <strong>dari</strong> belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang lain<br />
hanya dengan meng’klik’ sebuah mouse pada komputer. Adanya teknologi komputer, internet, email dan satelit yang terus<br />
berkembang dalam laju yang semakin pesat membuat arus finansial antarnegara semakin lancar dan sistem finansial dunia<br />
semakin mengglobal.<br />
Semakin mengglobalnya <strong>perdagangan</strong> dan keuangan dunia membuat saling ketergantungan dalam sistem<br />
perekonomian antarnegara semakin kuat. Hal ini menyebabkan sistem ekonomi nasional semakin menjadi bagian yang<br />
tidak terpisahkan <strong>dari</strong> sistem ekonomi global. Berbagai hambatan, seperti proteksionisme <strong>perdagangan</strong>, pembatasan<br />
investasi asing, dan kebijakan moneter yang mengekang arus modal/devisa jadi tidak relevan lagi. Namun, di sisi lain,<br />
semakin kuat ketergantungan ini juga memperbesar resiko terjadinya goncangan atau krisis ekonomi bagi setiap negara,<br />
seperti dalam kasus krisis keuangan di Asia Tenggara pada tahun 1997/98. Banyak yang berpendapat bahwa ulah para
9<br />
manajer keuangan dan investor individual yang mengakibatkan krisis Asia tersebut. Karena sistem keuangan internasional<br />
sudah sedemikian mengglobalnya membuat pemilik-pemilik modal besar setiap saat bisa memindahkan modalnya <strong>dari</strong> satu<br />
negara ke negara lain, seperti yang dialami oleh Thailand pada tahun 1997, awal <strong>dari</strong> krisis Asia tersebut. Melihat<br />
perekonomian negara tersebut sudah mulai memanas, para menanam modal asing (portofolio investasi) segera menarik<br />
uang mereka keluar, dan hal ini juga memicuh pemodal-pemodal asing di <strong>Indonesia</strong> untuk melakukan hal yang sama.<br />
Akibatnya, bath dan rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar lebih <strong>dari</strong> 100% pada tahun 1998. Won, uang Korea<br />
Selatan juga mendapat serangan yang sama <strong>dari</strong> para spekulan global yang akhirnya membuat tiga negara tersebut<br />
mengalami suatu krisis ekonomi yang besar, dan disusul oleh Filipina. Ekonomi Singapura juga terpukul walaupun tidak<br />
separah yang dialami ke empat negara di atas, akibat merosotnya secara drastis kunjungan warga <strong>Indonesia</strong> ke Singapura<br />
baik untuk berlibur, berobat maupun maksud lain, yang selama periode sebelum krisis termasuk negara besar dalam jumlah<br />
orang asing yang mengunjungi negara kecil itu setiap tahunnya.<br />
Karena kegiatan ekonomi dan keuangan di dunia sudah sangat mengglobal maka krisis di Asia Tenggara itu dalam<br />
waktu singkat juga mempengaruhi ekonomi <strong>dari</strong> banyak negara di luar Asia. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam<br />
beberapa bulan, resesi di Asia Tenggara akibat krisis tersebut mulai memberikan dampak terhadap berbagai harga<br />
komoditas di seluruh dunia. Asia, khususnya negara-negara di bagian Tenggara dan Timur yang ekonominya sebelum<br />
krisis tumbuh sangat pesat, merupakan motor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Negara-negara ini<br />
mengkonsumsi bahan mentah dalam jumlah yang sangat besar setiap tahunnya. Ketika motor tersebut mulai tersendatsendat,<br />
harga emas, tembaga, aluminium dan yang paling penting minyak mentah mulai jatuh. Kejatuhan harga komoditaskomoditas<br />
ini di pasar dunia ternyata menjadi mekanisme untuk transmisi penyebaran krisis <strong>dari</strong> Asia Tenggara ke Rusia,<br />
karena negara besar ini sangat tergantung pada ekspor minyak mentah, emas dan beberapa komoditas primer lainnya, yang<br />
sebagian besar masuk ke pasar di Asia.<br />
Akhirnya ekonomi Rusia runtuh dan memberi dampak negatif terhadap negara-negara lain seperti Brazil, yang<br />
mekanisme transmisi penyebarannya lewat sistem finansial dunia, yang dijelaskan oleh Friedman (2002) sebagai berikut:<br />
…runtuhnya perekonomian Rusia seharusnya tidak memiliki banyak dampak pada sistem global. Perekonomian Rusia<br />
lebih kecil <strong>dari</strong>pada Belanda. Akan tetapi sistem tersebut sekarang lebih global <strong>dari</strong> sebelumnya, dan seperti halnya<br />
minyak mentah yang merupakan mekanisme transmisi <strong>dari</strong> Asia Tenggara ke Rusiah, dana pencagar – cadangan investasi<br />
yang sangat besar <strong>dari</strong> modal swasta yang menjelajahi dunia untuk mencari tempat investasi terbaik – merupakan<br />
mekanisme penghubung <strong>dari</strong> Rusia kesemua pasar lainnya yang baru tumbuh di dunia. Khususnya di Brazil. Dana<br />
pencagar dan perusahaan <strong>perdagangan</strong> lainnya menumpuk kerugian besar di Rusia, beberapa <strong>dari</strong> mereka digandakan<br />
lima puluh kali lipat dengan menggunakan uang pinjaman, kini secara mendadak harus mengumpulkan uang tunai untuk<br />
membayar kembali para bankir mereka. Jadi mereka mulai menjual aset-aset yang bagus secara finansial untuk<br />
mengkompensasikan kerugian mereka di tempat yang buruk. Brazil misalnya, secara mendadak melihat semua saham dan<br />
obligasi dijual investor yang panik………..Mereka mencairkan saham dan obligasi mereka di Brazil, Korea, Mesir, Israel,<br />
dan Meksiko.(hal. 16a).
10<br />
Faktor keempat adalah semakin besarnya keinginan orang untuk melakukan perjalanan antarnegara atau pindah <strong>dari</strong><br />
satu negara ke negara lain, baik untuk tujuan bisnis maupun lainnya. Keinginan ini didorong oleh peningkatan pendapatan<br />
rata-rata masyarakat dunia ditambah dengan peningkatan kepadatan penduduk di suatu wilayah/negara, dan kemajuan<br />
teknologi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi orang antarnegara secara lebih cepat, aman dan lebih murah.<br />
Daya Saing Sejumlah Produk Industri <strong>Indonesia</strong><br />
Kemampuan <strong>Indonesia</strong> sebagai suatu negara atau daerah-daerah sebagai suatu kawasan menghadapi <strong>globalisasi</strong> dan<br />
<strong>perdagangan</strong> <strong>bebas</strong> sangat tergantung pada daya saing relatif <strong>dari</strong> sektor-sektor ekonomi di dalam negeri (daerah). Banyak<br />
cara yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat daya saing suatu industri atau sektor, diantaranya adalah yang umum<br />
disebut Revealed Comparative Advantage (RCA) Index sesuai formula <strong>dari</strong> Balassa. Indeks ini membandingkan pangsa<br />
<strong>dari</strong> suatu produk di ekspor suatu negara (misalnya <strong>Indonesia</strong> atau misalnya Jawa Barat dilihat pada tingkat regional)<br />
dengan pangsa <strong>dari</strong> produk tersebut didalam ekspor total dunia (pasar dunia). Nilai indeks = 1 menandakan bahwa<br />
<strong>Indonesia</strong> mempunyai keunggulan relatif (tingkat spesialisasinya tinggi) terhadap produk tersebut, dan sebaliknya jika<br />
nilainya lebih kecil <strong>dari</strong> 1 berarti daya saing <strong>Indonesia</strong> untuk produk tersebut rendah, dibawah rata-rata dunia.<br />
Seperti yang diperlihatkan di Tabel 2, hasil estimasi <strong>dari</strong> UNCTAD menunjukkan daya saing <strong>Indonesia</strong> untuk sejumlah<br />
produk-produk yang merupakan produk-produk eskpor terpenting <strong>Indonesia</strong> <strong>dari</strong> sektor industri manufaktur. Dapat dilihat<br />
bahwa <strong>Indonesia</strong> paling unggul di produk-produk kayu walaupun posisi <strong>Indonesia</strong> berada pada peringkat ke 18 di pasar<br />
dunia.<br />
Tabel 2 RCA <strong>Indonesia</strong>n untuk Sejumlah Produk Ekspor: 2003<br />
Produk Posisi di Pasar Dunia RCA<br />
Wood products<br />
Textiles<br />
IT & consumer electronics<br />
Leather products<br />
Electronic components<br />
Minerals<br />
Clothing<br />
Misc. manufacturing<br />
Chemicals<br />
Processed food<br />
Non-electronic machinery<br />
Basic manufactures<br />
Transport equipment<br />
Fresh food<br />
18<br />
20<br />
23<br />
37<br />
47<br />
49<br />
50<br />
61<br />
66<br />
68<br />
74<br />
77<br />
78<br />
97<br />
3,26<br />
1,89<br />
0,80<br />
1,65<br />
0,50<br />
2,62<br />
1,98<br />
0,60<br />
0,56<br />
1,62<br />
0,21<br />
0,64<br />
0,11<br />
1,74<br />
Sumber: UNCTAD/ITC<br />
Selanjutnya, berdasarkan RCA di atas, Indeks Spesialisasi untuk <strong>Indonesia</strong> untuk produk-produk tersebut dapat<br />
dihitung, seperti yang diilustrasikan di gambar di bawah. Walaupun indeks RCA <strong>Indonesia</strong> untuk produk-produk mineral<br />
jauh lebih besar <strong>dari</strong>pada RCA <strong>dari</strong> tekstil, pakaian jadi, IT dan barang-barang elektronik rumah tangga/konsumen dan<br />
komponen-komponen listrik, dilihat <strong>dari</strong> perspektif dunia (lintas negara), <strong>Indonesia</strong> mempunyai derajat spesialisasi (tingkat<br />
keunggulan) untuk empat jenis produk tersebut terakhir lebih tinggi dibandingkan produk-produk mineral.
11<br />
Indeks Spesialisasi <strong>dari</strong> <strong>Indonesia</strong>, 2003<br />
Sumber:Table 2.<br />
Tabel 3 di bawah menyajikan tren perkembangan <strong>dari</strong> RCA <strong>dari</strong> beberapa produk tekstil dan elektronik <strong>Indonesia</strong> untuk<br />
period 1996-2002, yang menunjukkan bahwa di dalam suatu kelompok produk, tingkat daya saing bervariasi antar jenis<br />
produk yang berbeda. Misalnya, RCA untuk pakaian jadi adalah 1,98 pada tahun 2003 (lihat Tabel 2); namun demikian,<br />
RCA berbeda antara jenis-jenis pakaian jadi yang berbeda (Tabel 3).<br />
SITC code<br />
(3 digit)<br />
651<br />
652<br />
653<br />
654<br />
655<br />
657<br />
658<br />
841<br />
842<br />
843<br />
845<br />
Table 3 RCA <strong>dari</strong> Beberapa Produk Tekstil dan Elektronik <strong>Indonesia</strong><br />
Produk<br />
Tahun<br />
19996 1997 1998 1999 2000 2001 2002<br />
Tekstil & produk-produknya<br />
Textile thread<br />
Cotton/weaving<br />
Weaving from fabricated fibre<br />
Other weaving<br />
Knitting embroiderry<br />
Special thread & textile & its products<br />
Other textile products<br />
Non-knitting cloth for man and boy<br />
Non-knitting cloth for woman and girl<br />
Knitting cloth for man and boy<br />
Other non-finished textile products<br />
3,51<br />
1,9<br />
4,13<br />
0,08<br />
0,45<br />
0,64<br />
1,63<br />
3,34<br />
2,89<br />
3,9<br />
1,82<br />
2,98<br />
1,78<br />
3,42<br />
0,07<br />
0,34<br />
0,63<br />
1,07<br />
2,74<br />
2,72<br />
2,64<br />
1,35<br />
3,94<br />
1,97<br />
4,12<br />
0,05<br />
0,24<br />
0,63<br />
0,94<br />
3,57<br />
2,52<br />
3,11<br />
1,52<br />
5,05<br />
2,41<br />
4,45<br />
0,05<br />
0,45<br />
0,81<br />
1,43<br />
3,89<br />
3,33<br />
4,42<br />
2,04<br />
4,54<br />
2,33<br />
4,08<br />
0,04<br />
0,64<br />
0,84<br />
1,52<br />
3,87<br />
3,46<br />
3,59<br />
2,09<br />
4,91<br />
2,26<br />
4,18<br />
0,03<br />
0,47<br />
0,76<br />
1,67<br />
3,84<br />
3,37<br />
3,4<br />
2,29<br />
4,88<br />
1,84<br />
3,7<br />
0,03<br />
0,37<br />
0,69<br />
1,36<br />
3,36<br />
3,03<br />
2,64<br />
2,04<br />
774<br />
Elektronik<br />
Electronic equipment for medical treatment<br />
0,0<br />
0,05<br />
0,06<br />
0,06<br />
0,11<br />
0,14<br />
0,17
12<br />
775 Household electronics<br />
778 Others<br />
Sumber: Deprind dan UNIDO.<br />
0,06<br />
0,63<br />
0,10<br />
0,58<br />
0,16<br />
0,58<br />
0,15<br />
0,65<br />
0,15<br />
0,63<br />
0,17<br />
0,67<br />
0,16<br />
0,75<br />
Secara teori, daya saing berkorelasi positif dengan volume ekspor, atau secara hipotesis, dapat diasumsikan bahwa<br />
semakin tinggi daya saing semakin besar volume ekspor. Namun demikian, data <strong>dari</strong> Bank Dunia atau WTO menunjukkan<br />
bahwa semakin banyak negara yang melakukan ekspor dan impor untuk jenis atau kelompok barang yang sama, yang<br />
menunjukkan bahwa semakin penting intra-trade (<strong>perdagangan</strong> di dalam kelompok barang/sektor yang sama)<br />
dibandingkan inter-trade (<strong>perdagangan</strong> antara kelompok barang/sektor yang berbeda) antara negara. Implikasinya adalah<br />
bahwa walaupun <strong>Indonesia</strong> mempunyai daya saing yang tinggi untuk suatu jenis produk, tidak selalu berarti <strong>Indonesia</strong><br />
merupakan suatu negara pengekspor neto atas produk tersebut. Jadi, pertanyaan sekarang: apakah <strong>Indonesia</strong> cenderung<br />
menjadi suatu negara pengekspor neto terhadap produk-produk yang mana <strong>Indonesia</strong> memiliki RCA di atas 1<br />
Table 4 menunjukkan suatu indeks yang disebut Indeks Spesialisasi Produk (ISP) <strong>dari</strong> produk-produk di Tabel 3 di<br />
atas. Indeks ini bias memberi suatu gambaran mengenai kecenderungan <strong>Indonesia</strong> dalam arah <strong>perdagangan</strong> dunia <strong>dari</strong><br />
produk-produk tersebut. Indeks ini membandingkan neraca <strong>perdagangan</strong> (ekspor neto atau ekspor-impor) <strong>dari</strong> <strong>Indonesia</strong><br />
<strong>dari</strong> suatu produk dengan total <strong>perdagangan</strong> (ekspor + impor) <strong>dari</strong> <strong>Indonesia</strong> untuk produk tersebut. Jika nilainya di atas 0,5<br />
hingga 1 menandakan bahwa <strong>Indonesia</strong> cenderung menjadi suatu negara pengekspor neto (ekspor>impor) untuk produk<br />
bersangkutan, dan jika nilainya di bawah 0,50 hingga mendekati -1 berarti <strong>Indonesia</strong> cenderung menjadi suatu negara<br />
pengimpor neto (ekspor
13<br />
Dampak <strong>dari</strong> Globalisasi Ekonomi<br />
Jenis Dampak<br />
Dampak <strong>dari</strong> <strong>globalisasi</strong> ekonomi terhadap perekonomian suatu negara bisa positif atau negatif, tergantung pada<br />
kesiapan negara tersebut dalam menghadapi peluang-peluang maupun tantangan-tantangan yang muncul <strong>dari</strong> proses<br />
tersebut. Secara umum, ada empat (4) wilayah yang pasti akan terpengaruh, yakni :<br />
1. Ekspor. Dampak positifnya adalah ekspor atau pangsa pasar dunia <strong>dari</strong> suatu negara meningkat; sedangkan efek<br />
negatifnya adalah kebalikannya: suatu negara kehilangan pangsa pasar dunianya yang selanjutnya berdampak negatif<br />
terhadap volume produksi dalam negeri dan pertumbuhan PDB serta meningkatkan jumlah pengangguran dan tingkat<br />
kemiskinan. Dalam beberapa tahun belakangan ini ada kecenderungan bahwa peringkat <strong>Indonesia</strong> di pasar dunia untuk<br />
sejumlah produk tertentu yang selama ini diunggulkan <strong>Indonesia</strong>, baik barang-barang manufaktur seperti tekstil,<br />
pakaian jadi dan sepatu, maupun pertanian (termasuk perkebunan) seperti kopi, cokelat dan biji-bijian, terus menurun<br />
relatif dibandingkan misalnya Cina dan Vietnam. Ini tentu suatu pertanda buruk yang perlu segera ditanggapi serius<br />
oleh dunia usaha dan pemerintah <strong>Indonesia</strong>. Jika tidak, bukan suatu yang mustahil bahwa pada suatu saat di masa<br />
depan <strong>Indonesia</strong> akan tersepak <strong>dari</strong> pasar dunia untuk produk-produk tersebut.<br />
2. Impor. Dampak negatifnya adalah peningkatan impor yang apabila tidak dapat dibendung karena daya saing yang<br />
rendah <strong>dari</strong> produk-produk serupa buatan dalam negeri, maka tidak mustahil pada suatu saat pasar domestik<br />
sepenuhnya akan dikuasai oleh produk-produk <strong>dari</strong> luar negeri. Dalam beberapa tahun belakangan ini ekspansi <strong>dari</strong><br />
produk-produk Cina ke pasar domestik <strong>Indonesia</strong>, mulai <strong>dari</strong> kunci inggris, jam tangan tiruan hingga sepeda motor,<br />
semakin besar. Ekspansi <strong>dari</strong> barang-barang Cina tersebut tidak hanya ke pertokoan-pertokoan moderen tetapi juga<br />
sudah masuk ke pasar-pasar rakyat dipingir jalan.<br />
3. Investasi. Liberalisasi pasar uang dunia yang membuat <strong>bebas</strong>nya arus modal antarnegara juga sangat berpengaruh<br />
terhadap arus investasi neto ke <strong>Indonesia</strong>. Jika daya saing investasi <strong>Indonesia</strong> rendah, dalam arti iklim berinvestasi di<br />
dalam negeri tidak kondusif dibandingkan di negara-negara lain, maka bukan saja arus modal ke dalam negeri akan<br />
berkurang tetapi juga modal investasi domestik akan lari <strong>dari</strong> <strong>Indonesia</strong> yang pada aknirnya membuat saldo neraca<br />
modal di dalam neraca pembayaran <strong>Indonesia</strong> negatif. Pada gilirannya, kurangnya investasi juga berpengaruh negatif<br />
terhadap pertumbuhan produksi dalam negeri dan ekspor. Seperti telah di bahas sebelumnya, sejak krisis ekonomi<br />
1997/98, arus PMA ke <strong>Indonesia</strong> relatif berkurang dibandingkan ke negara-negara tetangga; bahkan di dalam<br />
kelompok ASEAN, <strong>Indonesia</strong> menjadi negara yang paling tidak menarik untuk PMA karena berbagai hal, mulai <strong>dari</strong><br />
kondisi perburuan yang tidak lagi menarik investor asing, masalah keamanan dan kepastian hukum, hingga kurangnya<br />
insentif, terutama insentif fiskal bagi investasi-investasi baru. Sebaliknya, Vietnam, sebagai suatu contoh, menjadi<br />
sangat menarik bagi investor asing karena tidak hanya tenaga kerjanya sangat disiplin dan murah, juga pemerintah<br />
Vietnam memberikan tax holiday bagi investasi-investasi baru.
14<br />
4. Tenaga kerja. Dampak negatifnya adalah membanjirnya tenaga ahli <strong>dari</strong> luar di <strong>Indonesia</strong>, dan kalau kualitas SDM<br />
<strong>Indonesia</strong> tidak segera ditingkatkan untuk dapat menyaingi kualitas SDM <strong>dari</strong> negara-negara lain, tidak mustahil pada<br />
suatu ketika pasar tenaga kerja atau peluang kesempatan kerja di dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh orang asing.<br />
Sementara itu, tenaga kerja <strong>Indonesia</strong> (TKI) semakin kalah bersaing dengan tenaga kerja <strong>dari</strong> negara-negara lain di luar<br />
negeri. Juga tidak mustahil pada suatu ketika TKI tidak lagi diterima di Malaysia, Singapura atau Taiwan dan<br />
digantikan oleh tenaga kerja <strong>dari</strong> negara-negara lain seperti Filipina, India dan Vietnam yang memiliki keahlian lebih<br />
tinggi dan tingkat kedisiplinan serta etos kerja yang lebih baik dibandingkan TKI.<br />
Keempat jenis dampak tersebut secara bersamaan akan menciptakan suatu efek yang sangat besar <strong>dari</strong> <strong>globalisasi</strong><br />
ekonomi dunia terhadap perekonomian dan kehidupan sosial di setiap negara yang ikut berpartisipasi di dalam prosesnya,<br />
termasuk <strong>Indonesia</strong>. Lebih banyak pihak yang berpendapat bahwa <strong>globalisasi</strong> ekonomi akan lebih merugikan <strong>dari</strong>pada<br />
menguntungkan NSB. Seperti misalnya pendapat yang pesimis mengenai <strong>globalisasi</strong> <strong>dari</strong> Khor (2002) sebagai berikut:<br />
Globalisasi adalah suatu proses yang sangat tidak adil dengan distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak<br />
adil. Ketidakseimbangan ini tentu saja akan menyebabkan pengkutuban antara segelintir negara dan kelompok yang<br />
memperoleh keuntungan, dan negara-negara maupun kelompok yang kalah atau termajinalisasi. Dengan demikian,<br />
<strong>globalisasi</strong>, pengkutuban, pemusatan kesejahteraan dan marjinalisasi merupakan rentetan peristiwa menjadi saling terkait<br />
melalui proses yang sama. Dalam proses ini, sumber-sumber investasi, pertumbuhan dan teknologi moderen terpusat pada<br />
sebagian kecil (terutama negara-negara Amerika Utara, Eropa, Jepang dan negara-negara industri baru (NICs) di Asia<br />
Timur). Majoritas NSB tidak tercakup dalam proses <strong>globalisasi</strong> atau ikut berpartisipasi namun dalam porsi yang sangat<br />
kecil dan acapkali berlawanan dengan kepentingannya, misalnya liberalisasi impor dapat menjadi ancaman bagi<br />
produsen-produsen domestik mereka dan liberalisasi moneter dapat menyebabkan instabilitas moneter dalam negeri<br />
(hal.18). Masih menurut Khor, Manfaat dan biaya liberalisasi <strong>perdagangan</strong> bagi NSB menimbulkan persoalan yang kian<br />
kontroversial. Pandangan kontroversial bahwa liberalisasi <strong>perdagangan</strong> merupakan sesuatu yang penting dan secara<br />
otomatif atau pada umumnya memiliki dampak-dampak positif bagi pembangunan dipertanyakan kembali secara empiris<br />
maupun analitis. Kini saatnya meneliti sejarahnya dan merumuskan berbagai pendekatan yang tepat bagi kebijakan<br />
<strong>perdagangan</strong> di NSB. (hal.32).<br />
Dengan demikian, Khor (2002) berpendapat bahwa <strong>globalisasi</strong> ekonomi mempengaruhi berbagai kelompok negara<br />
secara berbeda. Secara umum, menurutnya, dampak <strong>dari</strong> proses ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup negara. Grup<br />
pertama adalah sejumlah kecil negara yang mempelopori atau yang terlibat secara penuh dalam proses ini mengalami<br />
pertumbuhan dan perluasan kegiatan ekonomi yang pesat, yang pada umumnya adalah negara-negara maju. Grup kedua<br />
adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sedang dan fluktuatif, yakni negara-negara yang<br />
berusaha menyesuaikan diri dengan kerangka <strong>globalisasi</strong> ekonomi atau liberalisasi <strong>perdagangan</strong> dan investasi. Misalnya<br />
negara-negara <strong>dari</strong> kelompok NSB yang tingkat pembangunan/kemajuan industrinnya sudah mendekati tingkat <strong>dari</strong> negaranegara<br />
industri maju, seperti NICs. Grup ketiga adalah negara-negara yang termarjinalisasikan atau yang sangat dirugikan
15<br />
karena ketidakmampuan mengatasi tantangan-tantangan yang muncul <strong>dari</strong> proses tersebut dan persoalan-persoalan pelik<br />
yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan <strong>globalisasi</strong> ekonomi seperti harga-harga komoditas primer yang<br />
rendah dan fluktuatif serta hutang luar negeri. Grup ini didominasi oleh NSB terutama di Afrika, Asia Selatan (terkecuali<br />
India) dan beberapa negara di Amerika Latin (tidak termasuk negara-negara yang cukup berhasil seperti Brazil, Argentina,<br />
Chile dan Meksiko).<br />
Perkiraan bahwa sebagian besar <strong>dari</strong> NSB, terutama di tiga wilayah tersebut di atas termarjinalisasikan dalam proses<br />
<strong>globalisasi</strong> ekonomi bukan sesuatu tanpa alasan kuat. Data deret waktu <strong>dari</strong> UNCTAD menunjukkan bahwa dalam empat<br />
(4) dekade terakhir, pangsa NSB di dalam ekspor dunia menurun secara konstan <strong>dari</strong> 3,06% pada tahun 1954 ke 0,42%<br />
pada tahun 1998. Laju penurunannya lebih dalam periode 1960-an dan 1970-an Data UNCTAD tidak hanya membedakan<br />
antara negara-negara maju (developed countries) dengan NSB, tetapi di dalam kelompok NSB itu sendiri dibedakan antara<br />
yang sudah maju (developing countries) seperti NICs, Thailand, Malaysia, <strong>Indonesia</strong>, India, Cina, Pakistan, Israel di Asia<br />
dan Brasil, Argentina, Chile dan Meksiko di Amerika Latin, dan negara-negara yang terbelakang dalam tingkat<br />
pembangunan/industrialisasinya (least developed countries) yang didominasi terutama oleh negara-negara miskin di Afrika<br />
dan Asia Selatan. NSB <strong>dari</strong> katetori least developed countries paling kecil pangsa pasar dunianya, dan dalam 4 dekade<br />
terakhir ini menunjukkan suatu tren yang menurun yang mengindikasikan bahwa kelompok ini semakin<br />
termarjinalisasikan.<br />
Perkiraan dampak terhadap <strong>Indonesia</strong>: Beberapa hasil simulasi<br />
Sudah banyak laporan mengenai ketidakmerataan pendapatan antarnegara yang dikaitkan dengan proses <strong>globalisasi</strong><br />
ekonomi. Diantaranya adalah laporan pembangunan dan <strong>perdagangan</strong> <strong>dari</strong> UNCTAD tahun 1997. Di dalam laporan<br />
tersebut ditunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan antara NSB, khususnya <strong>dari</strong> kategori least developed countries, yang<br />
sering disebut negara-negara Selatan dengan negara-negara maju, atau negara-negara Utara (terutama negara-negara<br />
industri yang tergabung dalam kelompok G-7, yakni AS, Kanada, Australia, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang)<br />
meningkat secara signifikan sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per kapita <strong>dari</strong> negara-negara<br />
G-7 tersebut mencapai 20 kali lebih tinggi <strong>dari</strong> tujuh (7) negara termiskin di dunia; dan pada pertengahan dekade 90-an<br />
perbandingannya meningkat menjadi 39 kalinya. Menurut laporan tersebut, ketimpangan itu berakar pada seperangkat<br />
kekuatan yang ditimbulkan oleh pesatnya liberalisasi <strong>perdagangan</strong> dunia yang akhirnya mengarah pada semakin besarnya<br />
ketimpangan pendapatan karena hanya negara-negara yang lebih kuat atau lebih siap yang menikmati keuntungan <strong>dari</strong> era<br />
tersebut, sedangkan NSB yang pada umumnya masih sangat lemah dalam segala bidang terutama pendidikan dan teknologi<br />
adalah pihak yang dirugikan.<br />
Di dalam laporan UNCTAD tahun 1999 dikatakan bahwa liberalisasi <strong>perdagangan</strong> dunia menyebabkan peningkatan<br />
yang tajam dalam impor NSB yang tidak diimbangi oleh peningkatan ekspor mereka dalam laju yang sama. Struktur <strong>dari</strong><br />
pertumbuhan <strong>perdagangan</strong> luar negeri ini tidak saja membuat banyak NSB mengalami defisit yang besar <strong>dari</strong> saldo<br />
transaksi berjalan mereka, tetapi juga membuat tingkat ketergantungan NSB terhadap impor <strong>dari</strong> negara-negara Utara
16<br />
semakin tinggi. Terkecuali beberapa negara seperti Cina, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang pertumbuhan<br />
ekspornya rata-rata per tahun tinggi. 2<br />
Gambaran yang sama juga dijumpai oleh Nayyar (1997) <strong>dari</strong> penelitiannya mengenai fenomena pembangunan yang<br />
tidak adil antara NSB dan negara-negara maju yang disebabkan oleh <strong>globalisasi</strong> ekonomi dunia. Menurut hasil studinya,<br />
keuntungan-keuntungan <strong>dari</strong> liberalisasi <strong>perdagangan</strong> menumpuk hanya di sebagian kecil NSB, yakni <strong>dari</strong> kategori<br />
developing countries.. Hanya terdapat sebelas (11) NSB yang menjadi bagian integral <strong>dari</strong> <strong>globalisasi</strong> ekonomi di akhir<br />
abad ke-20. Negara-negara tersebut mencakup sekitar 60% <strong>dari</strong> total ekspor NSB di awal 1990-an, yang meningkat sekitar<br />
100% <strong>dari</strong> 30% selama 1970-an; dan sekitar 66% <strong>dari</strong> PMA yang mengalir ke NSB pada tahun 1981-1991.<br />
Menurutnya, kelemahan <strong>dari</strong> NSB berakar <strong>dari</strong> sejumlah faktor. Posisi NSB secara ekonomi lemah untuk memulai<br />
integrasi dengan pasar dunia karena rendahnya kapasitas ekonomi dalam negeri dan infrastruktur sosial yang belum<br />
berkembang baik sebagai warisan masa penjajahan. Negara-negara tersebut yang sangat tergantung pada ekspor komoditikomoditi<br />
primer semakin diperlemah oleh harga dunia <strong>dari</strong> komoditi-komoditi tersebut yang rendah dan berfluktuatif serta<br />
dasar tukar <strong>perdagangan</strong> (ToT) <strong>dari</strong> ekspor mereka yang terus menurun yang membuat negara-negara tersebut kekurangan<br />
devisa yang berbuntut pada krisis utang luar negeri. Perkembangan <strong>dari</strong> rasio antara indeks harga <strong>dari</strong> komoditi-komoditi<br />
primer (terdiri <strong>dari</strong> bahan-bahan makanan, bahan-bahan baku pertanian, karet, minyak <strong>dari</strong> tumbuh-tumbuhan termasuk<br />
<strong>dari</strong> kelapa sawit, rami, biji tambang dan logam) terhadap indeks harga <strong>dari</strong> produk-produk manufaktur (ToT)<br />
menunjukkan suatu tren yang menurun sejak awal 1970-an hingga akhir 1990-an.<br />
Selain itu, Nayyar berpendapat bahwa kelemahan NSB juga dikarenakan lemahnya daya tawar dan kemampuan<br />
negosiasi mereka dalam hubungan internasional. Dengan jumlah utang luar negeri yang besar, dan tingginya<br />
ketergantungan mereka pada bantuan donor bilateral dan organisasi-organisasi dunia pemberi pinjaman multilateral seperti<br />
Bank Dunia dan IMF, ditambah lagi dengan ketergantungan impor yang juga tinggi, NSB kehilangan kemampuan untuk<br />
bernegosiasi. Akhirnya, NSB hanya bisa menerima apa saja yang dituntut oleh negara-negara maju yang berkaitan dengan<br />
tata cara <strong>perdagangan</strong> internasional seperti penghapusan tarif impor dan subsidi ekspor terhadap komoditi-komoditi<br />
pertanian, yang bagi sebagian NSB masih merupakan komoditi-komoditi ‘sensitif’. 3<br />
Hingga saat ini sudah cukup banyak penelitian empiris dengan pendekatan simulasi mengenai dampak <strong>dari</strong> liberalisasi<br />
<strong>perdagangan</strong> terhadap negara-negara yang terlibat, misalnya terhadap perubahan output (PDB) dan ekspor. Diantaranya<br />
yang menarik untuk dibahas di sini secara garis besar adalah <strong>dari</strong> Satriawan (1997), Ingco (1997), UNCTAD (1999),<br />
Scollay dan Gilbert (1999a,b, 2000, 2001), Gilbert dkk (1999), Feridhanusetyawan (1997), Feridhanusetyawan dkk. (2002),<br />
dan Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003). 4 Satriawan (1997) melakukan suatu simulasi mengenai pengaruh <strong>dari</strong><br />
penghapusan/pengurangan tarif impor terhadap sektor pertanian di negara-negara ASEAN. Dengan menggunakan suatu<br />
2 Komentar-komentar mengenai kesenjangan yang semakin membesar antara kelompok Selatan dan kelompok Utara yang didorong oleh proses liberalisasi <strong>perdagangan</strong><br />
dunia yang semakin kencang dapat dibaca di laporan-laporan tahunan lainnya <strong>dari</strong> UNCTAD.<br />
3 Lihat juga seperti Raghavan (1990), Rodrik (1999) dan Shavaeddin (1994) yang juga memberi komentar-komentar mengenai distribusi yang tidak adil <strong>dari</strong> keuntungan<br />
<strong>dari</strong> liberalisasi <strong>perdagangan</strong> dunia terhadap NSB. Selain itu, lihat juga literatur yang memperdebatkan manfaat <strong>dari</strong> <strong>globalisasi</strong> misalnya terhadap kaum miskin di dunia,<br />
diantaranya Mander dkk. (2003), dan terhadap pembangunan berkelanjutan, misalnya Khor (2002).<br />
4 Studi-studi lain yang juga menarik untuk dilihat diantaranya adalah <strong>dari</strong> APEC (1997, 1999), Anderson dkk. (1997), Young dan Huff (1997), dan Bora dkk. (2002)..
17<br />
model yang disebut Computable General Equilibrium (CGE), hasilnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negaranegara<br />
ASEAN lainnya, sektor pertanian <strong>Indonesia</strong> menderita kerugian yang sangat besar dalam bentuk penurunan volume<br />
produksi sebesar 332,83%, dan khususnya produksi beras berkurang hampir 30%. Hasil simulasinya menunjukkan bahwa<br />
dampak awal pada ASEAN sendiri sebagai suatu wilayah ekonomi di dunia sebenarnya tidak terlalu besar. Namun karena<br />
produksi <strong>dari</strong> komoditi-komoditi pertanian di <strong>Indonesia</strong> memainkan suatu peran yang sangat besar, tidak hanya di dalam<br />
perekonomian <strong>Indonesia</strong> sendiri tetapi juga di dalam perekonomian ASEAN secara keseluruhan, maka dampak (negatif)<br />
terhadap <strong>Indonesia</strong> menjadi paling besar di dalam ASEAN. Selain itu, penerapan liberalisasi <strong>perdagangan</strong>, baik dalam<br />
lingkup AFTA maupun pada tingkat dunia (WTO), mempunyai suatu efek negatif yang sangat besar terhadap pertumbuhan<br />
ekspor <strong>dari</strong> komoditi-komoditi pertanian <strong>Indonesia</strong>, yakni lebih <strong>dari</strong> 800%. Efek ini paling besar dibandingkan efek<br />
terhadap ekspor <strong>dari</strong> komoditi-komoditi pertanian <strong>dari</strong> negara-negara ASEAN lainnya. Di antaranya, ekspor beras<br />
<strong>Indonesia</strong> diestimasikan turun hampir 70%, dibandingkan misalnya Malaysia yang turun hanya 2,8%. Hanya untuk ekspor<br />
ternak hidup, baik di <strong>Indonesia</strong> maupun di negara-negara ASEAN lainnya diproyeksikan tumbuh positif.<br />
Ingco (1997) menghasilkan suatu estimasi yang sedikit berbeda dengan hasil simulasi <strong>dari</strong> Satriawan di atas. Dengan<br />
memakai dasar tukar <strong>perdagangan</strong> (ToT) sebagai indikatornya, hasil analisanya menunjukkan bahwa<br />
penurunan/penghapusan tarif impor sesuai Putaran Uruguay (WTO) membuat subsektor makanan mengalami suatu<br />
kerugian yang diestimasikan berkisar antara 17 juta dollar AS (skenario I) hingga 45 juta dollar AS (skenario II) (Tabel 5).<br />
Tetapi, untuk sektor pertanian secara keseluruhan, <strong>Indonesia</strong> diprediksikan akan mendapat keuntungan sebesar 10 juta<br />
dollar AS (skenario I) hingga 12 juta dollar AS lebih (skenario II) (Tabel 6). Hasil estimasi ini memberi suatu kesan bahwa<br />
jumlah komoditi pertanian <strong>Indonesia</strong> yang mengalami kenaikan ToT (atau yang daya saing globalnya relatif bagus) lebih<br />
banyak <strong>dari</strong>pada jumlah komoditi yang mengalami penurunan ToT, termasuk bahan-bahan makanan, sehingga secara neto<br />
sektor pertanian lebih diuntungkan <strong>dari</strong>pada dirugikan oleh liberalisasi <strong>perdagangan</strong>.<br />
Tabel 5 Dampak <strong>dari</strong> Putaran Uruguay terhadap ToT Makanan <strong>dari</strong> Sejumlah NSB<br />
Negara<br />
Efek ToT (juta dollar AS)<br />
Skenario I-II<br />
% <strong>dari</strong> PDB<br />
Skenario I-II<br />
Bangladesh<br />
Benin<br />
Bhutan<br />
Botswana<br />
Burkina Faso<br />
Burundi<br />
Chad<br />
Kambodia<br />
RRC<br />
Comoros<br />
Mesir<br />
Ethiopia<br />
Gambia<br />
Ghana<br />
Haiti<br />
Honduras<br />
India<br />
<strong>Indonesia</strong><br />
Kenya<br />
-1,75 - -24,14<br />
-0,53 - -3,60<br />
-0,07 - -0,48<br />
0,30-1,42<br />
-0,21 - -3,13<br />
-0,59 - -0,51<br />
-0,83 - -0,79<br />
0,07- -0,75<br />
-71,77 – 14,60<br />
-0,16- -0,84<br />
-35,88 - -111,49<br />
-4,71 - -8,22<br />
-0,34 - -3,77<br />
-5,13 - -7,20<br />
-1,30 - -9,60<br />
-5,92 – 5,79<br />
-1,83-20,63<br />
-17,94- -45,00<br />
-3,75- -3,09<br />
-0,01- -0,10<br />
-0,03- -0,18<br />
-0,03- -0,18<br />
0,01-0,04<br />
-0,01- -0,11<br />
-0,05- -0,04<br />
-0,07- -0,06<br />
0,01- -0,07<br />
-0,01-0,00<br />
-0,06- -0,34<br />
-0,10- -0,32<br />
-0,07- -0,13<br />
-0,10- -1,12<br />
-0,08- -0,11<br />
-0,07- -0,53<br />
-0,19-0,19<br />
0,00-0,01<br />
-0,02- -0,04<br />
-0,05- -0,04
18<br />
Liberia<br />
Madagaskar<br />
Malawi<br />
Myanmar<br />
Namibia<br />
Nepal<br />
Nicaragua<br />
Pakistan<br />
Sierra Leone<br />
Somalia<br />
Sri Lanka<br />
Sudan<br />
Tanzania<br />
Uganda<br />
Vietnam<br />
Yemen<br />
Zaire<br />
Zambia<br />
Zimbabwe<br />
Sumber: Ingco (1997)<br />
0,44- -2,68<br />
-0,37-0,77<br />
-0,50-1,87<br />
-0,57-1,51<br />
-1,15- -0,58<br />
-0,06- -1,43<br />
0,52-3,49<br />
-8,58- -25,15<br />
0,46- -3,42<br />
-0,99- -3,55<br />
-6,25- -21,65<br />
-4,39- -5,62<br />
-0,85- -1,42<br />
-1,01-0,30<br />
-4,53-10,41<br />
-8,05- -40,24<br />
-2,10- -6,74<br />
-0,86- -0,70<br />
-1,10-1,55<br />
0,04- -0,24<br />
-0,01-0,03<br />
-0,03-0,09<br />
0,00-0,00<br />
-0,05- -0,03<br />
0,00- -0,05<br />
0,03-0,20<br />
-0,02- -0,06<br />
0,06- -0,44<br />
-0,11- -0,39<br />
-0,07- -0,24<br />
-0,06- -0,08<br />
-0,03- -0,05<br />
-0,03-0,01<br />
-0,05-0,12<br />
-0,09- -0,47<br />
-0,02-0,08<br />
-0,03- -0,02<br />
-0,03-0,05<br />
Tabel 6 Dampak <strong>dari</strong> Putaran Uruguay terhadap ToT Pertanian secara total <strong>dari</strong> Sejumlah NSB<br />
Negara<br />
Efek ToT (juta dollar AS)<br />
Skenario I-II<br />
% <strong>dari</strong> PDB<br />
Skenario I-II<br />
Bangladesh<br />
Benin<br />
Bhutan<br />
Botswana<br />
Burkina Faso<br />
Burundi<br />
Chad<br />
Kambodia<br />
RRC<br />
Comoros<br />
Mesir<br />
Ethiopia<br />
Gambia<br />
Ghana<br />
Haiti<br />
Honduras<br />
India<br />
<strong>Indonesia</strong><br />
Kenya<br />
Liberia<br />
Madagaskar<br />
Malawi<br />
Myanmar<br />
Namibia<br />
Nepal<br />
Nicaragua<br />
Pakistan<br />
Sierra Leone<br />
Somalia<br />
Sri Lanka<br />
Sudan<br />
Tanzania<br />
Uganda<br />
Vietnam<br />
Yemen<br />
Zaire<br />
Zambia<br />
Zimbabwe<br />
-1,47- -19,88<br />
-1,94- -2,22<br />
-0,08- -0,49<br />
0,10-1,35<br />
-1,82- -0,11<br />
0,06-1,79<br />
-1,96-1,09<br />
0,19- -0,30<br />
-46,89-78,24<br />
-0,16- -0,73<br />
-39,09- -113,10<br />
-3,22- -03,08<br />
-0,51- -4,01<br />
-5,05- -7,01<br />
-1,13- -8,03<br />
-4,51-11,01<br />
8,90-78,44<br />
10,80-12,45<br />
0,73-11,69<br />
0,67- -1,83<br />
0,22-3,16<br />
2,46-12,35<br />
-0,20-3,33<br />
-1,18- -0,81<br />
-0,13- -1,41<br />
0,56-6,84<br />
-16,61- -19,16<br />
0,56- -2,89<br />
-0,92- -3,16<br />
-1,70- -4,69<br />
-5,78-0,92<br />
-0,87-4,29<br />
-0,01-4,38<br />
-1,05-15,88<br />
-8,34- -36,84<br />
-1,61- -0,05<br />
-0,91- -0,57<br />
1,87-15,55<br />
-0,02- -0,05<br />
-0,10- -0,11<br />
-0,03- -0,19<br />
0,00-0,04<br />
-0,07-0,00<br />
0,01-0,16<br />
-0,15-0,09<br />
0,02- -0,03<br />
-0,01-0,02<br />
-0,06- -0,29<br />
-0,11- -0,33<br />
-0,05- -0,05<br />
-0,15- -1,19<br />
-0,08- -0,10<br />
-0,06- -0,45<br />
-0,15-0,36<br />
0,00-0,03<br />
0,01-0,01<br />
0,01-0,14<br />
0,06- -0,16<br />
0,01-0,11<br />
0,13-0,63<br />
0,00-0,01<br />
-0,05- -0,04<br />
0,00- -0,04<br />
0,03-0,40<br />
-0,04- -0,04<br />
0,07- -0,38<br />
-0,10- -0,34<br />
-0,02- -0,05<br />
-0,08-0,01<br />
-0,03-0,15<br />
0,00-0,15<br />
-0,01-0,18<br />
-0,10- -0,43<br />
-0,02- -0,06<br />
-0,03- -0,02<br />
0,06-0,47
19<br />
Sumber: lihat Tabel 5.<br />
Sedangkan, hasil simulasi <strong>dari</strong> UNCTAD (1999) menunjukkan bahwa diantara sejumlah negara di Asia yang masuk di<br />
dalam sampel penelitiannya, pengaruh positif <strong>dari</strong> penerapan sistem <strong>perdagangan</strong> <strong>bebas</strong> terhadap pertumbuhan ekspor<br />
<strong>Indonesia</strong> adalah paling kecil setelah Turkey (Tabel 7). Walaupun, penelitian ini tidak terlalu spesifik mengenai<br />
dampaknya terhadap ekspor secara sektoral, hasilnya memberi suatu indikasi bahwa <strong>Indonesia</strong> mempunyai banyak<br />
masalah, baik <strong>dari</strong> sisi suplai (seperti keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur), maupun <strong>dari</strong> sisi permintaan<br />
(persaingan), yang membuat <strong>Indonesia</strong> tidak (belum) bisa mengoptimalisasikan keuntungan <strong>dari</strong> liberalisasi <strong>perdagangan</strong><br />
dunia. Dari sisi suplai, keterbatasan kapasitas produksi untuk mencapai suatu skala ekonomi dan infrastruktur terutama<br />
fisik seperti jalan raya, alat-alat transportasi dan komunikasi, pelabuhan dan pergudangan sangat berpengaruh negatif<br />
terhadap harga produk yang dengan senidirinya akan menurunkan daya saing harga <strong>dari</strong> produk-produk ekspor <strong>Indonesia</strong>.<br />
Sedangkan <strong>dari</strong> sisi permintaan, dalam 10 tahun belakangan ini banyak produk-produk ekspor unggulan <strong>Indonesia</strong>, yang<br />
mana <strong>Indonesia</strong> mempunyai keunggulan komparatif seperti upah buruh murah dan bahan baku berlimpah, menghadapi<br />
persaingan yang semakin ketat seperti <strong>dari</strong> Cina dan Vietnam.<br />
Tabel 7 Pertumbuhan Ekpor Setelah Liberalisasi Perdagangan Luar Negeri (PLN) di <strong>Indonesia</strong> dan Beberapa<br />
Negara Asia Lainnya (%)<br />
Negara<br />
Tahun <strong>dari</strong><br />
liberalisasi PLN<br />
Dua Tahun Pertama setelah<br />
liberalisasi PLN<br />
Sepuluh Tahun Berikutnya<br />
Setelah Liberalisasi PLN<br />
<strong>Indonesia</strong><br />
Malaysia<br />
Filipina<br />
Thailand<br />
Turkey<br />
1986<br />
1988<br />
1986<br />
1986<br />
1989<br />
2<br />
18<br />
15<br />
31<br />
5<br />
13<br />
18<br />
15<br />
17<br />
11<br />
Sumber: UNCTAD (1999).<br />
Juga dengan memakai kerangka model CGE, Scollay dan Gilbert (1999a,b, 2000, 2001) melakukan sebuah simulasi<br />
dengan memfokuskan pada sejumlah komoditi pertanian tertentu. Proses simulasi mereka didasarkan pada 3 skenario yang<br />
berbeda, yakni liberalisasi most-favoured-nation (MFN) tanpa keharusan timbal balik (non-diskriminasi non-kondisional)<br />
(A), preferential APEC free trade area (B), dan liberalisasi MFN dengan keharusan timbal balik (non-diskriminasi<br />
kondisional) (C). Hasilnya menunjukkan bahwa untuk tiga skenario tersebut liberalisasi <strong>perdagangan</strong> dunia (WTO)<br />
maupun regional (APEC) berdampak negatif terhadap perekonomian <strong>Indonesia</strong>; sedangkan negara-negara tetangga seperti<br />
Thailand and Malaysia menikmati keuntungan positif (Tabel 8).<br />
Tabel 8 Estimasi Dampak Kesejahteraan <strong>dari</strong> Liberalisasi Perdagangan Pertanian, basis variasi ekuivalen<br />
(deviasi <strong>dari</strong> baseline 2005 (miliar US$ 1995) dan persentase <strong>dari</strong> baseline 2005 PDB riil).<br />
Wilayah/Negara<br />
A B C<br />
US$ % US$ % US$ %<br />
Australia<br />
Selandia Baru<br />
Jepang<br />
Korea Selatan<br />
<strong>Indonesia</strong><br />
5,2<br />
1,8<br />
40,5<br />
8,0<br />
-0,3<br />
1,1<br />
2,5<br />
0,7<br />
0,9<br />
-0,1<br />
7,5<br />
4,7<br />
30,6<br />
3,3<br />
-0,4<br />
1,7<br />
6,5<br />
0,5<br />
0,4<br />
-0,1<br />
8,6<br />
7,5<br />
35,7<br />
6,2<br />
-0,4<br />
1,9<br />
10,3<br />
0,6<br />
0,7<br />
-0,1
20<br />
Malaysia<br />
Filipina<br />
Thailand<br />
RRC<br />
Kanada<br />
AS<br />
Meksiko<br />
Negara APEC lainnya<br />
Eropa<br />
Sisa <strong>dari</strong> dunia<br />
Negara Berkembang APEC<br />
Negara Maju APEC<br />
6,2<br />
1,7<br />
11,7<br />
8,2<br />
1,7<br />
9,8<br />
-0,1<br />
11,8<br />
-12,7<br />
13,0<br />
47,1<br />
59,0<br />
3,6<br />
1,9<br />
2,8<br />
0,5<br />
0,3<br />
0,1<br />
0,0<br />
1,3<br />
-0,1<br />
0,2<br />
1,0<br />
0,4<br />
4,0<br />
1,2<br />
10,8<br />
-6,5<br />
1,4<br />
13,4<br />
-0,3<br />
9,3<br />
-10,7<br />
7,7<br />
21,4<br />
57,7<br />
2,3<br />
1,3<br />
2,5<br />
-0,4<br />
0,2<br />
0,2<br />
-0,1<br />
1,0<br />
-0,1<br />
0,1<br />
0,4<br />
0,4<br />
11,3<br />
1,6<br />
15,4<br />
4,1<br />
2,5<br />
29,5<br />
-0,3<br />
30,6<br />
24,1<br />
16,2<br />
68,5<br />
83,8<br />
6,5<br />
1,7<br />
3,6<br />
0,3<br />
0,4<br />
0,3<br />
-0,1<br />
3,4<br />
0,2<br />
0,3<br />
1,4<br />
0,5<br />
Total APEC<br />
106,1<br />
Non APEC<br />
0,3<br />
Sumber: Scollay dan Gilbert (1999,2000,2001).<br />
-<br />
0,0<br />
79,1<br />
-3,0<br />
Dengan memakai tiga skenario yang sama, Gilbert dkk (1999) memprediksi pengaruh <strong>dari</strong> liberalisasi <strong>perdagangan</strong><br />
khusus terhadap subsektor makanan. Pengaruh tersebut diukur tidak hanya dalam nilai absolut (dollar AS) tetapi juga<br />
dengan suatu persentase <strong>dari</strong> baseline PDB riil untuk tahun 2005 untuk memberi suatu indikasi mengenai besarnya efek<br />
kesejahteraan <strong>dari</strong> liberalisasi tersebut (Tabel 9). Estimasi keuntungan total untuk semua negara di wilayah APEC berkisar<br />
antara US$55 hingga US$112 miliar, dengan keuntungan yang paling besar adalah <strong>dari</strong> skenario A. Untuk semua skenario<br />
tersebut, hasil estimasi menunjukkan bahwa liberalisasi <strong>perdagangan</strong> makanan tidak menguntungkan <strong>Indonesia</strong>, sedangkan<br />
-<br />
0,0<br />
152,3<br />
40,3<br />
tiga negara ASEAN lainnya yakni Malaysia, Filipina dan Thailand mendapat keuntungan.<br />
-<br />
0,2<br />
Tabel 9 Estimasi Dampak Kesejahteraan <strong>dari</strong> Liberalisasi Perdagangan Makanan, basis variasi ekuivalen<br />
(deviasi <strong>dari</strong> baseline 2005 (miliar US$ 1995) dan persentase <strong>dari</strong> baseline 2005 PDB riil).<br />
Wilayah/Negara<br />
A B C<br />
US$ % US$ % US$ %<br />
Australia<br />
Selandia Baru<br />
Jepang<br />
Korea Selatan<br />
<strong>Indonesia</strong><br />
Malaysia<br />
Filipina<br />
Thailand<br />
RRC<br />
Kanada<br />
AS<br />
Meksiko<br />
Negara APEC lainnya<br />
Eropa<br />
Sisa <strong>dari</strong> dunia<br />
Negara Berkembang APEC<br />
Negara Maju APEC<br />
3,91<br />
1,60<br />
34,02<br />
-1,42<br />
-0,40<br />
3,85<br />
1,66<br />
6,66<br />
7,46<br />
1,09<br />
7,81<br />
0,60<br />
4,44<br />
-11,53<br />
9,68<br />
24,27<br />
47,01<br />
0,91<br />
2,29<br />
0,57<br />
-0,23<br />
-0,12<br />
2,80<br />
1,84<br />
2,09<br />
0,61<br />
0,17<br />
0,10<br />
0,16<br />
0,70<br />
-0,12<br />
0,17<br />
0,78<br />
0,30<br />
6,00<br />
3,82<br />
22,39<br />
-2,24<br />
-0,38<br />
2,41<br />
1,22<br />
6,61<br />
-0,90<br />
0,86<br />
11,64<br />
0,45<br />
3,72<br />
-8,51<br />
4,21<br />
13,13<br />
42,47<br />
1,39<br />
5,48<br />
0,38<br />
-0,37<br />
-0,11<br />
1,75<br />
1,35<br />
2,08<br />
-0,07<br />
0,13<br />
0,14<br />
0,12<br />
0,59<br />
-0,09<br />
0,07<br />
0,42<br />
0,27<br />
6,35<br />
5,89<br />
29,72<br />
-1,83<br />
-0,35<br />
8,69<br />
1,47<br />
9,67<br />
6,89<br />
1,66<br />
25,80<br />
0,40<br />
18,23<br />
16,47<br />
5,51<br />
45,00<br />
67,59<br />
1,47<br />
8,44<br />
0,50<br />
-0,30<br />
-0,10<br />
6,33<br />
1,63<br />
3,04<br />
0,56<br />
0,26<br />
0,32<br />
0,10<br />
2,89<br />
0,17<br />
0,10<br />
1,44<br />
0,43<br />
Total APEC<br />
Dunia<br />
Sumber: Gilbert dkk (1999).<br />
71,28<br />
69,43<br />
0,38<br />
0,20<br />
55,60<br />
51,30<br />
0,29<br />
0,15<br />
112,59<br />
134,57<br />
0,59<br />
0,39<br />
Terakhir, sebuah simulasi <strong>dari</strong> Feridhanusetyawan dkk. (2000) terhadap sejumlah sektor dan subsektor di <strong>Indonesia</strong>;<br />
yang kemudian disempurnakan oleh Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003). Dengan menggunakan suatu model yang
21<br />
disebut Global Trade Analysis Project, yang pada prinsipnya adalah model CGE, mereka mengevaluasi bentuk-bentuk<br />
liberalisasi <strong>perdagangan</strong> yang berbeda yang dilakukan oleh <strong>Indonesia</strong> sejak tahun 1980-an. Tujuan <strong>dari</strong> studi mereka adalah<br />
untuk melihat besarnya efek <strong>dari</strong> masing-masing bentuk liberalisasi tersebut terhadap pertumbuhan output dan ekspor<br />
<strong>Indonesia</strong>, dan mengkaji bentuk yang mana yang memberikan keuntungan paling optimal bagi <strong>Indonesia</strong>. Di dalam<br />
penelitian ini, ekonomi dunia dibagi ke dalam 19 wilayah dan 12 sektor seperti yang dapat dilihat di Tabel 6 dan Tabel 7.<br />
Dasar teorinya adalah bahwa liberalisasi <strong>perdagangan</strong> membuat realokasi <strong>dari</strong> semua sumber daya produksi yang ada<br />
(seperti tenaga kerja, sumber daya alam dan modal) lebih baik, yang terrefleksikan di dalam perubahan-perubahan <strong>dari</strong> pola<br />
produksi dan ekspor sektoral, yang selanjutnya akan menurunkan biaya produksi per satu unit output (atau menaikan<br />
tingkat daya saing harga), dan di sisi lain, meningkatkan pertumbuhan output dan ekspor, dan pada akhirnya meningkatkan<br />
kesejahteraan (pendapatan).<br />
Tabel 10 menyajikan estimasi dampak <strong>dari</strong> liberalisasi <strong>perdagangan</strong> terhadap komposisi output, yang dinyatakan dalam<br />
perbedaan-perbedaan persentase <strong>dari</strong> hasil-hasil tanpa liberalisasi. Sedangkan, Tabel 11 memperlihatkan perkiraan dampak<br />
<strong>dari</strong> liberalisasi <strong>perdagangan</strong> terhadap nilai ekspor. Secara umum, hasil simulasi mereka menunjukkan bahwa dalam semua<br />
skenario liberalisasi <strong>perdagangan</strong>, sumber daya produksi pindah menuju industri tekstil dan pakaian jadi, yang mana<br />
outputnya diproyeksikan naik 100% atau lebih. Ekspor <strong>dari</strong> produk-produk ini diestimasikan naik senilai US$12-14 miliar,<br />
yang kurang lebih sama dengan semua kenaikan <strong>dari</strong> ekspor total <strong>Indonesia</strong>.<br />
Tabel 10 Dampak <strong>dari</strong> Bentuk-Bentuk Liberalisasi Perdagangan terhadap Output <strong>Indonesia</strong> (% Perubahan)*<br />
Komoditas<br />
Hanya putaran<br />
UR +<br />
Uruguay (UR) Unilateral oleh AFTA<br />
APEC<br />
<strong>Indonesia</strong><br />
Skenario I<br />
TP**<br />
Sk.2a<br />
DP**<br />
Sk.2b<br />
TP<br />
Sk.3a<br />
DP<br />
Sk.3b<br />
Beras<br />
Biji-bijian<br />
Bukan biji-bijian<br />
Hewan<br />
Kehutanan<br />
Perikanan<br />
Pertambangan<br />
Makanan<br />
Tekstil & pakaian jadi<br />
Olahan lainnya<br />
Minyak, batu bara & kimia<br />
Jasa-jasa<br />
-1,5<br />
-0,9<br />
-2,5<br />
0,6<br />
-7,2<br />
-5,0<br />
-18,8<br />
-1,5<br />
117,6<br />
-8,8<br />
-2,1<br />
0,1<br />
-0,9<br />
0,9<br />
-2,7<br />
1,0<br />
-6,8<br />
-4,6<br />
-17,9<br />
-1,0<br />
106,7<br />
-8,5<br />
-1,0<br />
0,2<br />
-1,5<br />
-0,9<br />
-2,5<br />
0,6<br />
-7,4<br />
-2,1<br />
-19,1<br />
-1,5<br />
117,8<br />
-9,0<br />
-2,2<br />
0,1<br />
-1,8<br />
27,9<br />
-3,3<br />
1,0<br />
-7,6<br />
-2,3<br />
-19,2<br />
-1,9<br />
117,0<br />
-9,3<br />
-2,4<br />
0,0<br />
-1,0<br />
-0,4<br />
-2,1<br />
0,8<br />
-7,2<br />
-4,0<br />
-16,1<br />
-1,0<br />
100,3<br />
-9,2<br />
-0,8<br />
0,2<br />
-1,3<br />
1,3<br />
-2,1<br />
0,9<br />
-7,0<br />
-3,9<br />
-16,0<br />
-1,3<br />
99,7<br />
-9,0<br />
-0,8<br />
0,2<br />
Keterangan: *: hasil yang merefleksikan dampak dengan penghapusan the Multi Fibre Arrangement (MFA); ** TP = tanpa pertanian; DP<br />
= dengan pertanian<br />
Sumber: Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).
22<br />
Tabel 11 Dampak <strong>dari</strong> Liberalisasi Perdagangan terhadap Ekspor <strong>Indonesia</strong> (juta US$)*<br />
Komoditas<br />
Hanya putaran<br />
UR +<br />
Uruguay (UR) Unilateral oleh AFTA<br />
APEC<br />
<strong>Indonesia</strong> TP** DP** TP DP<br />
Beras<br />
Biji-bijian<br />
Bukan biji-bijian<br />
Hewan<br />
Kehutanan<br />
Perikanan<br />
Pertambangan<br />
Makanan<br />
Tekstil & pakaian jadi<br />
Olahan lainnya<br />
Minyak, batu bara & kimia<br />
Jasa-jasa<br />
0<br />
4<br />
703<br />
27<br />
-2<br />
-162<br />
-2.636<br />
-106<br />
14.108<br />
1.601<br />
318<br />
-174<br />
0<br />
3<br />
678<br />
23<br />
-2<br />
-167<br />
-2.669<br />
-136<br />
12.817<br />
841<br />
93<br />
-209<br />
0<br />
4<br />
697<br />
27<br />
-2<br />
-58<br />
-2.280<br />
-98<br />
14.138<br />
1.557<br />
307<br />
-181<br />
0<br />
271<br />
642<br />
47<br />
-2<br />
-61<br />
-2.691<br />
-143<br />
14.066<br />
1.512<br />
287<br />
-186<br />
0<br />
4<br />
703<br />
26<br />
1<br />
-144<br />
-2.404<br />
-147<br />
12.216<br />
698<br />
136<br />
-159<br />
0<br />
4<br />
738<br />
26<br />
2<br />
-137<br />
-2.393<br />
-178<br />
12.192<br />
725<br />
140<br />
-157<br />
Perubahan total dalam<br />
ekspor (juta US$)<br />
13.682<br />
11.272<br />
13.711<br />
13.743<br />
10.930<br />
10.963<br />
Perubahan saham <strong>dari</strong><br />
ekspor total (%)<br />
36,7<br />
30,2<br />
36,8<br />
36,9<br />
29,3<br />
29,4<br />
Perubahan dalam neraca<br />
<strong>perdagangan</strong> (juta US$)<br />
434,5<br />
427,7 447,9 517,8 433,2 453,5<br />
Keterangan: *: hasil yang merefleksikan dampak dengan penghapusan the Multi Fibre Arrangement (MFA); ** TP = tanpa pertanian; DP<br />
= dengan pertanian<br />
Sumber: Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).<br />
Di sektor pertanian, output <strong>dari</strong> padi/beras dan komoditi pertanian non-biji-bijian diproyeksi turun sebesar 0,9%<br />
(padi/beras, skenario 1) ke 3,3% (non-biji-bijian, skenario 2b). Di sisi lain, dengan memasukkan pertanian di dalam AFTA,<br />
<strong>Indonesia</strong> menjadi suatu negara penting penghasil biji-bijian di ASEAN, dan outputnya diestimasikan naik sekitar 28%.<br />
Dalam skim liberalisasi ini (skenario 2b), ekspor biji-bijian <strong>Indonesia</strong> rata-rata per tahun diperkirakan naik sebesar US$271<br />
juta. Ekspor <strong>dari</strong> komoditi-komoditi pertanian ke ASEAN <strong>dari</strong> negara-negara eksportir tradisional seperti Australia dan AS<br />
diperkirakan turun jika tarif impor untuk ekspor pertanian <strong>dari</strong> negara-negara ASEAN lainnya diturunkan (dalam konteks<br />
AFTA). Walaupun tidak terlalu nyata, output <strong>dari</strong> hewan hidup juga diperkirakan naik 0,6% hingga 1,0%. Ekspornya<br />
diestimasikan naik dengan US47 juta dalam skenario 2b dan dengan US$23-27 juta dalam skenario-skenario lainnya.<br />
Hasil-hasil untuk semua skenario di Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa output <strong>dari</strong> sektor pertambangan turun<br />
16% atau lebih dengan liberalisasi <strong>perdagangan</strong>, sedangkan ekspornya turun dengan nilai US2,4-2,7 miliar.<br />
Tentu semua hasil-hasil <strong>dari</strong> simulasi di atas hanya merupakan perkiraan-perkiraan yang didasarkan pada kondisi<br />
sebenarnya pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan di run melalui suatu model ekonomi global (CGE). Hasil-hasil<br />
tersebut bisa berbeda tetapi juga bisa sama seperti yang akan terjadi dalam kenyataan, tergantung pada apakah asumsiasumsi<br />
yang digunakan di dalam analisa-analisa tersebut memang sesuai dengan realitas, misalnya mengenai nilai-nilai <strong>dari</strong><br />
elastisitas tarif <strong>dari</strong> impor dan koefisien output agregat-impor, khususnya untuk periode jangka panjang, di mana banyak<br />
faktor-faktor yang sangat berpengaruh yang berubah terus sepanjang waktu seperti teknologi, cuaca, dan selera masyarakat<br />
Meskipun demikian, hasil <strong>dari</strong> suatu simulasi seperti di atas bisa memberikan suatu perkiraan yang mungkin sekali bisa<br />
menjadi suatu kenyataan mengenai pengaruh <strong>dari</strong> liberalisasi <strong>perdagangan</strong> dunia terhadap ekspor dan produksi dalam
23<br />
negeri suatu negara. Misalnya, hasil-hasil simulasi di atas menunjukkan bahwa <strong>Indonesia</strong> tidak termasuk kelompok negara<br />
yang sangat diuntungkan oleh liberalisasi <strong>perdagangan</strong>, dan ini memberi suatu kesan bahwa daya saing global <strong>Indonesia</strong><br />
tergolong rendah.<br />
Daftar Pustaka<br />
APEC (1997), The Impact of Trade Liberalization in APEC, Economic Committee of APEC, APEC Secretary, Singapore.<br />
APEC (1999), The Impact of Trade Liberalization on Labor Markets in the Asia Pacific Region, Report by the Network for<br />
Economic Development Management, Human Resource Development Working Group, APEC Secretary, Singapore.<br />
Anderson, Kym, Betina Dimaranan, Tom Hertel dan Will Martin (1997), “Economic Growth and Policy Reform in the<br />
APEC Region: Trade and Welfare Implications by 2005”, Asia Pacific Economic Review, 3(1).<br />
Bank Dunia (2000a), Development Indicators 2000, Washington, D.C.<br />
Bank Dunia (2000b), Global Economic Prospects and the Developing Countries 2000, Washington, D.C.<br />
Bank Dunia (2003), Development Indicators 2003, Washington, D.C.<br />
Bora, Bijit, Lucian Cernat dan Alessandro Turrini (2002), “Duty and Quota-Free Access for LDCs: Further Evidence from<br />
CGE Modelling”, Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.14, New York dan Geneva:<br />
UNCTAD.<br />
Feridhanusetyawan, Tubagus (2001), “<strong>Indonesia</strong>’s Trade Policy and Performance: An Overview”, makalah dalam Seminar<br />
on “<strong>Indonesia</strong>n Economic Institution Building in a Global Economy: Promoting Competition Based Trade Policies”,<br />
13 November, PEG, CSIS dan USAID, Jakarta.<br />
Feridhanusetyawan, Tubagus dan Mari Pangestu (2003), “<strong>Indonesia</strong>n Trade Liberalisation: Estimating The Gains”, Bulletin<br />
of <strong>Indonesia</strong>n Economic Studies, 39(1).<br />
Feridhanusetyawan, Tubagus, Mari Pangestu, dan Erwidodo (2002), “Effects of AFTA and APEC Trade Policy Reforms<br />
on <strong>Indonesia</strong> Agriculture”, dalam Randy Stringer, Erwidodo, Tubagus Feridhanusetyawan, dan Kym Anderson (ed.),<br />
<strong>Indonesia</strong> in a Reforming World Economy: Effects on Agriculture, Trade and the Environment, Centre for<br />
International Economic Studies, University of Adelaide, Adelaide.<br />
Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi. Lexus dan Pohon Zaitun, Penerbit ITB.<br />
Giddens, Anthony (2001), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka<br />
Utama.<br />
Gilbert, J., R. Scollay dan T. Wahl (1999), “An APEC Food System: Implications for Welfare and Income Distribution by<br />
2005”, APEC Study Centre, Mimeo, New Zealand.<br />
Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Ghalia <strong>Indonesia</strong>.<br />
Ingco, Merlinda D. (1997), “Has Agricultural Trade Liberalization Improved Welfare in the Least-Developed Countries<br />
Yes”, Policy Research Working Paper No.1748, April, Washington, D.C.: The World Bank.<br />
Khor, Martin (2002), “Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan”, Seri Kajian Global, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka<br />
Rakyat Cerdas.<br />
Naisbitt, John (1997), Megatrends Asia 2000, London: Nicholas Brealey Publishing.<br />
Nayyar, D. (1997), Globalization: The Past in Our Future, Penang, Malaysia, Third World Network.<br />
Raghavan, Chakravarty (1990), Recolonization: The Uruguay Round, GATT and the South, Penang, Malaysia, Third World<br />
Network.<br />
Rodrik, D. (1999), The Global Economy and Developing Countries: Making Openness Work, Washington, DC, Overseas<br />
Development Council.<br />
Satriawan, Elan (1997), “Prospek Sektor Pertanian <strong>Indonesia</strong> pada Era Pemanasan Global”, Media Ekonomi, 4(2).<br />
Scollay, R. dan J. Gilbert (1999a), “Measuring the Gains from APEC Trade Liberalisation: An Overview of CGE<br />
Assessments”, APEC Study Centre, New Zealand, Memeo.<br />
Scollay, R. dan J. Gilbert (1999b), “An APEC Food System: Trade and Welfare Implications by 2005”, APEC Study<br />
Centre, New Zealand, Memeo.
24<br />
Scollay, R. dan J. Gilbert (2000), “.Measuring the Gains from APEC Trade Liberalisation: An Overview of CGE<br />
Assessments”, World Economy, 23(2).<br />
Scollay, R. dan J. Gilbert (2001), “.An Integrated Approach to Agricultural Trade and Development Issues: Exploring The<br />
Welfare and Distribution Issues”, Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.11,<br />
UNCTAD, New York dan Geneva.<br />
Shavaeddin, S.M. (1994), “The Impact of Trade Liberalization on Export and GDP Growth in Least Developed Countries”,<br />
Discussion Paper No.85, Geneva: UNCTAD.<br />
Tjager, I Nyoman dan Yudi Pramadi (1997), “Pasar Modal Dalam Menghadapi Persaingan Internasional Pada Era<br />
Globalisasi”, dalam Marzuki Usman, Singgih Riphat dan Syahrir Ika (editor), Peluang dan Tantangan Pasar Modal<br />
<strong>Indonesia</strong> Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Penerbit Institut Bankir <strong>Indonesia</strong> Bekerjasama dengan<br />
Jurnal Keuangan dan Moneter.<br />
Toffler, Alvin (1980), Future Shock, London: Pan Book Ltd.<br />
UNCTAD (1997), Trade and Development Report, 1997, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development<br />
UNCTAD (1999), Trade and Development Report, 1999, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development<br />
Young, Linda M. dan Karen M. Huff (1997), “Free Trade in the Pacific Rim: On What Basis”, dalam Thomas W. Hertel (ed.), Global<br />
Trade Analysis: Modelling and Applications, Cambridge University Press, Cambridge.