Rangkaian Rangkaian Rangkaian Rangkaian Sistem ... - Ee-cafe.org
Rangkaian Rangkaian Rangkaian Rangkaian Sistem ... - Ee-cafe.org
Rangkaian Rangkaian Rangkaian Rangkaian Sistem ... - Ee-cafe.org
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Sudaryatno Sudirham<br />
Analisis Keadaan Mantap<br />
<strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong><br />
Tenaga<br />
Darpublic<br />
ii
Analisis Keadaan Mantap<br />
<strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
oleh<br />
Sudaryatno Sudirham<br />
i
Hak cipta pada penulis, 2011<br />
SUDIRHAM, SUDARYATNO<br />
Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
Oleh Sudaryatmo Sudirham<br />
Darpublic, Bandung<br />
arst-711<br />
edisi Juli 2011<br />
http://www.ee-<strong>cafe</strong>.<strong>org</strong><br />
Alamat pos: Kanayakan D-30, Bandung, 40135.<br />
Fax: (62) (22) 2534117<br />
ii
Daftar Isi<br />
Pengantar<br />
Daftar Isi<br />
Bab 1: <strong>Rangkaian</strong> Magnetik 1<br />
Hukum-Hukum. Perhitungan Pada <strong>Rangkaian</strong> Magnetik.<br />
Rugi-Rugi dalam <strong>Rangkaian</strong> Magnetik. Gaya Magnetik.<br />
Induktor.<br />
Bab 2: Transformator 25<br />
Transformator Satu Fasa. Teori Operasi Transformator.<br />
Diagram Fasor. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Impedansi Masukan.<br />
Penentuan Parameter Transformator. Efisiensi dan Regulasi<br />
Tegangan. Konstruksi Transformator. Transformator Pada<br />
<strong>Sistem</strong> Tiga Fasa.<br />
Bab 3: Mesin Sikron 45<br />
Mesin Kutub Menonjol. Mesin Sinkron Rotor Silindris.<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />
Bab 4: Motor Asinkron 65<br />
Konstruksi Dan Cara Kerja. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen.<br />
Penentuan Parameter <strong>Rangkaian</strong>. Torka.<br />
Bab 5: Pembebanan Seimbang – <strong>Sistem</strong> Polifasa 85<br />
Sumber Tiga Fasa Seimbang dan Sambungan ke Beban.<br />
Daya Pada <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa Seimbang. Model Satu Fasa<br />
<strong>Sistem</strong> Tiga Fasa Seimbang. <strong>Sistem</strong> Enam Fasa Seimbang.<br />
Bab 6: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Waktu) 99<br />
Sinyal Nonsinus. Elemen Linier Dengan Sinyal Nonsinus.<br />
Daya Pada Sinyal Nonsinus. Resonansi. Pembebanan<br />
Nonlinier Dilihat Dari Sisi Beban. Pembebenan Nonlinier<br />
Dilihat Dari Sisi Sumber. Kasus Penyearah Setengah<br />
Gelombang. Perambatan Harmonisa. Ukuran distorsi<br />
Harmonisa.<br />
Bab 7: Pembebanan Nonlinier (Analisis di Kawasan Fasor) 131<br />
Pernyataan Sinyal Sinus Dalam Fasor. Impedansi. Nilai<br />
Efektif. Sumber Tegangan Sinus Dengan Beban Nonlinier.<br />
Contoh-contoh Perhitrungan. Transfer Daya. Kompensasi<br />
Daya Reaktif.<br />
iii<br />
v<br />
iii
Bab 8: Pembebanan Nonlinier <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa dan Dampak<br />
Pada Piranti 163<br />
Komponen Harmonisa Pada <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa. Relasi<br />
Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral. Hubungan Sumber<br />
dan Beban. Sumber Bekerja Paralel. Penyaluran Energi ke<br />
Beban. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Untuk Analisis. Dampak<br />
Harmonisa Pada Piranti.<br />
Bab 9: Pembebanan Tak Seimbang 199<br />
Pernyataan Komponen Simetris. Mencari Komponen<br />
Simetris. Impedansi dan <strong>Rangkaian</strong> Urutan. Daya Pada<br />
<strong>Sistem</strong> Tak Seimbang. <strong>Sistem</strong> Per-Unit. <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa<br />
Dalam Per-Unit.<br />
Bab 10: Saluran Transmisi 215<br />
Resistansi. Induktansi. Impedansi dan Transposisi.<br />
Admitansi dan Transposisi.<br />
Bab 11: <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen 241<br />
Persamaan Saluran Transmisi. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen π.<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan. Kinerja saluran Transmisi.<br />
Pembebanan Saluran Transmisi. Batas Thermal. Tegangan<br />
dan Arus di Ujung Kirim. Pembebanan Maksimum.<br />
Diagram Lingkaran.<br />
Pustaka 267<br />
Indeks 269<br />
Biodata 271<br />
iv Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Pengantar<br />
Buku ini berisi analisis rangkaian piranti-piranti dalam sistem tenaga<br />
listrik yang berada dalam keadaan mantap, dengan pembebanan<br />
seimbang, non-linier, maupun pembebanan tak-seimbang. Pembahasan<br />
akan diawali dengan analisis rangkaian magnetik yang menjadi dasar<br />
dibangunnya mesin-mesin konversi energi elektrik. Analisis rangkaian<br />
magnetik ini disusul dengan pengenalan pada mesin-mesin konversi<br />
energi mencakup transformator, mesin sinkron, dan mesin asinkron.<br />
Setelah mesin-mesin konversi, pembahasan dilanjutkan dengan sistem<br />
banyak-fasa dengan pembebanan seimbang. Masih dalam keadaan<br />
seimbang, pembahasan berikutnya adalah mengenai pembebanan<br />
nonlinier; pokok bahasan pembebanan nonlinier mencakup tinjauan di<br />
kawasan waktu, tinjauan di kawasan fasor pada sistem satu fasa dan tiga<br />
fasa, serta dampak harmonisa pada piranti. Pembahasan berikutnya<br />
adalah mengenai pembebanan tak-seimbang yang diawali dengan<br />
bahasan tentang komponen simetris, rangkaian urutan, serta penggunaan<br />
sistem per-unit; selanjutnya adalah bahasan mengenai saluran transmisi<br />
yang mencakup parameter saluran transmisi seperti impedansi,<br />
admitansi, impedansi karakteristik, disusul dengan persamaan saluran<br />
transmisi, rangkaian ekivalen dan pembebanan saluran transmisi.<br />
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan<br />
usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya, sangat<br />
penulis harapkan.<br />
Bandung, 26 Juli 2011.<br />
Wassalam,<br />
Penulis.<br />
v
A. Schopenhauer, 1788 – 1860<br />
dari<br />
Mini-Encyclopédie, France Loisirs<br />
ISBN 2-7242-1551-6<br />
vi Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
BAB 1<br />
<strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />
<strong>Rangkaian</strong> magnetik merupakan basis dari sebagian terbesar peralatan<br />
listrik di industri maupun rumah tangga. Motor dan generator dari yang<br />
bekemampuan kecil sampai sangat besar, berbasis pada medan magnetik<br />
yang memungkinkan terjadinya konversi energi listrik. Di bab ini kita<br />
akan melihat hukum-hukum dasar, perhitungan dalam rangkaian<br />
magnetik, rugi-rugi dan gaya magnetik, induktor dan induktansi bersama.<br />
Seperti halnya analisis rangkaian listrik yang dilandasi oleh beberapa<br />
hukum saja, yaitu hukum Ohm dan Hukum Kirchhoff, analisis rangkaian<br />
magnetik juga dilandasi oleh hanya beberapa hukum saja, yaitu hukum<br />
Faraday dan hukum Ampère. Pembahasan kita akan diawali oleh kedua<br />
hukum tersebut dan setelah itu kita akan melihat rangkaian magnetik,<br />
yang sudah barang tentu melibatkan material magnetik. Walaupun<br />
demikian, kita tidak akan membahas mengenai material magnetik itu<br />
sendiri, melainkan hanya akan melihat pada hal-hal yang kita perlukan<br />
dalam kaitannya dengan pembahasan peralatan listrik. Kita juga hanya<br />
akan melibatkan beberapa jenis material saja yang telah sejak lama<br />
digunakan walaupun material jenis baru telah dikembangkan.<br />
1. 1. Hukum-Hukum<br />
Hukum Faraday. Pada 1831 Faraday (1791-1867) menunjukkan bahwa<br />
gejala listrik dapat dibangkitkan dari magnet. Dari kumpulan catatan<br />
hasil percobaan yang dilakukan oleh Faraday, suatu formulasi matematis<br />
telah diturunkan untuk menyatakan hukum Faraday, yaitu :<br />
dλ<br />
e = −<br />
(1.1)<br />
dt<br />
dengan e menunjukkan tegangan induksi [volt] pada suatu kumparan,<br />
dan λ adalah fluksi lingkup yang dicakup oleh kumparan. Jika kumparan<br />
mempunyai lilitan dan setiap lilitan mencakup fluksi magnit sebesar φ<br />
[weber], maka fluksi lingkup adalah λ = φ [weber-lilitan] dan (1.1)<br />
menjadi<br />
1
dφ<br />
e = −<br />
(1.2)<br />
dt<br />
Tanda negatif pada (1.1) diberikan oleh Emil Lenz, yang setelah<br />
melanjutkan percobaan Faraday menunjukkan bahwa arah arus induksi<br />
selalu sedemikian rupa sehingga terjadi perlawanan terhadap aksi yang<br />
menimbulkannya. Reaksi demikian ini disebut hukum Lenz.<br />
Hukum Ampère. André Marie Ampère (1775 – 1836), melakukan<br />
percobaan yang terkenal dalam kaitan kemagnitan, yaitu mengenai<br />
timbulnya gaya mekanis antara dua kawat paralel yang dialiri arus listrik.<br />
Besar gaya F dinyatakan secara matematis sebagai<br />
µ l<br />
F = I 1 I 2<br />
(1.3)<br />
2π<br />
r<br />
dengan I 1 dan I 2 adalah arus di masing-masing konduktor, l adalah<br />
panjang konduktor, dan r menunjukkan jarak antara sumbu kedua<br />
konduktor dan besaran µ merupakan besaran yang ditentukan oleh<br />
medium dimana kedua kawat tersebut berada.<br />
Arus I 2 dapat dipandang sebagai pembangkit suatu besaran medan magnit<br />
di sekeliling kawat yang dialirinya, yang besarnya adalah<br />
µ I 2<br />
B = (1.4)<br />
2 π r<br />
Hasil ini juga diamati oleh dua peneliti Perancis yaitu J.B. Biot dan F.<br />
Savart. Dengan (4), maka (3) menjadi lebih sederhana yaitu<br />
F = BlI 1<br />
(1.5)<br />
Persamaan (1.5) ini berlaku jika kedua kawat adalah sebidang. Jika<br />
kawat ke-dua membentuk sudut θ dengan kawat pertama maka (1.5)<br />
menjadi<br />
Secara umum (1.6) dapat ditulis<br />
F = BlI 1 sin θ<br />
(1.6)<br />
F = K B B I f (θ)<br />
(1.7)<br />
dengan f(θ) adalah suatu fungsi sudut antara medan B dan arus I , dan K B<br />
adalah suatu konstanta untuk memperhitungkan berbagai faktor, seperti<br />
2 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
misalnya panjang kawat. Besaran B mempunyai satuan [weber/meter 2 ];<br />
hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.<br />
Menurut (1.5), satuan B adalah :<br />
[ newton]<br />
[ B]<br />
=<br />
[ amp]<br />
× [ meter]<br />
sedangkan<br />
sehingga<br />
energi [ watt].[detik]<br />
[ volt][<br />
amp][detik]<br />
[ newton ] = =<br />
=<br />
panjang [ meter]<br />
[ meter]<br />
[ volt][amp][detik]<br />
[ volt][detik]<br />
[ weber]<br />
[ B ] = =<br />
= .<br />
2<br />
2<br />
2<br />
[ amp][<br />
meter ] [ meter ] [ meter ]<br />
Jadi B menunjukkan kerapatan fluksi magnetik dengan satuan<br />
[weber/m 2 ] atau [tesla]. Arah B ditentukan sesuai dengan kaidah tangan<br />
kanan yang menyatakan bahwa: jika kawat yang dialiri arus digenggam<br />
dengan tangan kanan dengan ibujari mengarah sejajar aliran arus maka<br />
arah B adalah sesuai dengan arah penunjukan jari-jari yang<br />
menggenggam kawat tersebut.<br />
Dalam persamaan (1.3), µ mewakili sifat medium tempat kedua<br />
konduktor berada; besaran ini disebut permeabilitas. Untuk ruang<br />
hampa, permeabilitas ini adalah<br />
dengan satuan<br />
[<br />
]<br />
[ meter]<br />
−7<br />
µ 0 = 4π × 10<br />
(1.8)<br />
henry . Hal ini dapat diturunkan sebagai berikut.<br />
]<br />
[ newton]<br />
[ volt][<br />
amp][detik]<br />
[ volt][detik]<br />
[ henry]<br />
[ µ 0]<br />
= =<br />
=<br />
=<br />
2<br />
2<br />
[ amp ] [ amp ][ meter]<br />
[ amp][<br />
meter]<br />
[ meter<br />
[ volt][detik]<br />
karena = [ henry]<br />
yaitu satuan induktansi.<br />
[ amp]<br />
Dalam hal mediumnya bukan vakum maka permeabilitasnya dinyatakan<br />
sebagai<br />
µ = µ r × µ 0<br />
(1.9)<br />
dengan µ r adalah permeabilitas relatif, yang merupakan perbandingan<br />
antara permeabilitas medium terhadap vakum.<br />
3
Intensitas Medan Magnet. Dalam perhitungan-perhitungan rangkaian<br />
magnetik, akan lebih mudah jika kita bekerja dengan besaran magnetik<br />
yang tidak tergantung dari medium. Hal ini terutama kita temui pada<br />
mesin-mesin listrik dimana fluksi magnetik menembus berbagai macam<br />
medium. Oleh karena itu didefinisikan besaran yang disebut intensitas<br />
medan magnetik , yaitu<br />
H ≡ B<br />
(1.10)<br />
µ<br />
dengan satuan<br />
[ newton]/[<br />
amp][<br />
meter]<br />
[ amp]<br />
[ H ] = = .<br />
2<br />
[ newton]/[<br />
amp ] [ meter]<br />
Dengan pendefinisian ini, H merupakan besaran yang tidak tergantung<br />
dari medium. Secara umum satuan H adalah [lilitan amper]/[meter] dan<br />
bukan [amp]/[meter] agar tercakup pembangkitan medan magnit oleh<br />
belitan yang terdiri dari banyak lilitan.<br />
Hukum <strong>Rangkaian</strong> Magnetik Ampère . Hukum rangkaian magnetik<br />
Ampère menyatakan bahwa integral garis tertutup dari intensitas medan<br />
magnit sama dengan jumlah arus (ampere turns) yang<br />
membangkitkannya. Hukum ini dapat dituliskan sebagai<br />
∫<br />
Hdl = F m<br />
(1.11)<br />
F m dipandang sebagai besaran pembangkit medan magnit dan disebut<br />
magnetomotive force yang disingkat mmf. Besaran ini sama dengan<br />
jumlah ampere-turn yang dilingkupi oleh garis fluksi magnit yang<br />
tertutup.<br />
Dari relasi di atas, diturunkan relasi-relasi yang sangat bermanfaat untuk<br />
perhitungan rangkaian magnetik. Jika panjang total dari garis fluksi<br />
magnit adalah L, maka total F m yang diperlukan untuk membangkitkan<br />
fluksi tersebut adalah<br />
B<br />
F m = H L = L<br />
(1.12)<br />
µ<br />
Apabila kerapatan fluksi adalah B dan fluksi menembus bidang yang<br />
luasnya A , maka fluksi magnetnya adalah<br />
φ = BA<br />
(1.13)<br />
4 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
dan jika (1.13) dimasukkan ke (1.12) akan diperoleh<br />
⎛ L ⎞<br />
F m = H L = φ⎜<br />
⎟<br />
(1.14)<br />
⎝ µ A ⎠<br />
Apa yang berada dalam tanda kurung pada (1.14) ini sangat menarik,<br />
karena sangat mirip dengan formula resistansi dalam rangkaian listrik.<br />
Persamaan (1.14) ini dapat kita tuliskan<br />
⎛ µ A ⎞ Fm<br />
φ = ⎜ ⎟ Fm<br />
=<br />
⎝ L ⎠ R<br />
(1.15)<br />
Pada (1.15) ini, F m merupakan besaran yang menyebabkan timbulnya<br />
fluksi magnit φ. Besar fluksi ini dibatasi oleh suatu besaran R yang kita<br />
sebut reluktansi dari rangkaian magnetik, dengan hubungan<br />
R =<br />
L (1.16)<br />
µA<br />
Persamaan (1.15) sering disebut sebagai hukum Ohm untuk rangkaian<br />
magnetik. Namun kita tetap harus ingat bahwa penurunan relasi ini<br />
dilakukan dengan pembatasan bahwa B adalah kostan dan A tertentu.<br />
Satuan dari reluktansi tidak diberi nama khusus.<br />
1.2. Perhitungan Pada <strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />
Perhitungan-perhitungan pada rangkaian magnetik pada umumnya<br />
melibatkan material ferromagnetik. Perhitungan ditujukan pada dua<br />
kelompok permasalahan, yaitu mencari mmf jika fluksi ditentukan<br />
(permasalahan ini kita jumpai pada perancangan) mencari fluksi φ<br />
apabila geometri dari rangkaian magnetik serta mmf diketahui<br />
(permasalahan ini kita jumpai dalam analisis, misalnya jika kita harus<br />
mengetahui fluksi gabungan dari suatu rangkaian magnetik yang<br />
dikendalikan oleh lebih dari satu belitan). Berikut ini kita akan melihat<br />
perhitungan-perhitungan rangkaian magnetik melalui beberapa contoh.<br />
5
COTOH-1.1 : Suatu toroid terdiri dari dua macam material<br />
ferromagnetik dengan belitan pembangkit medan magnet yang<br />
terdiri dari 100 lilitan, seperti terlihat pada gambar di samping ini.<br />
Material a adalah besi nikel<br />
(nickel iron) dengan panjang<br />
+<br />
−<br />
E<br />
R<br />
L a<br />
rata-rata L a = 0.4 m. Material b<br />
adalah baja silikon (medium<br />
silicon sheet steel) dengan<br />
panjang rata-rata L b = 0.2 m.<br />
Kedua bagian itu mempunyai<br />
luas penampang sama, yaitu 0.001 m 2 . a). Tentukan F m yang<br />
diperlukan untuk membangkitkan fluksi φ= 6×10 −4 weber. b).<br />
Hitung arus yang harus mengalir pada belitan agar nilai fluksi<br />
tersebut tercapai.<br />
Penyelesaian :<br />
Untuk memperoleh F m total yang diperlukan kita aplikasikan hukum<br />
rangkaian Ampère pada rangkaian magnetik ini.<br />
Fm<br />
total = Fm<br />
a + Fm<br />
b = HaL a + HbLb<br />
Fluksi yang diinginkan di kedua bagian toroid adalah 6×10 −4 weber,<br />
sedangkan kedua bagian itu mempunyai luas penampang sama. Jadi<br />
kerapatan fluksi di kedua bagian itu juga sama yaitu<br />
φ 0.0006<br />
Ba<br />
= Bb<br />
= = = 0.6 tesla<br />
A 0.001<br />
Untuk mencapai kerapatan fluksi tersebut, masing-masing material<br />
memerlukan intensitas medan yang berbeda. Besarnya intensitas<br />
medan yang diperlukan dapat dicari melalui kurva B-H dari masingmasing<br />
material, yang dapat dilihat di buku acuan. Salah satu kurva<br />
B-H yang dapat kita peroleh adalah seperti dikutip pada Gb.1.1 di<br />
halaman berikut.<br />
Dengan menggunakan kurva B-H ini, kita peroleh<br />
Material a : untuk Ba<br />
= 0.6 tesla diperlukan Ha<br />
= 10 AT/m<br />
Material b : untuk Bb<br />
= 0.6 tesla diperlukan Hb<br />
= 65 AT/m<br />
Dengan demikian F m total yang diperlukan adalah<br />
F m total = HaL a + HbLb<br />
= 10 × 0.4 + 65×<br />
0.2 = 17 AT<br />
6 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
L b
). Karena jumlah lilitan adalah 100, maka besar arus yang harus<br />
mengalir di belitan untuk memperoleh F m total sebesar 17 AT adalah<br />
1.75<br />
17 I = = 0.17<br />
100<br />
A<br />
1.5<br />
1.25<br />
Nickel-iron alloy , 47%<br />
B [tesla]<br />
1<br />
0.75<br />
0.5<br />
Medium silicon sheet<br />
steel<br />
Soft steel casting<br />
0.25<br />
Cast iron<br />
H [ampre-turn / meter]<br />
Gb.1.1. Kurva B − H beberapa material magnetik.<br />
Pemahaman :<br />
Dalam pemecahan persoalan di atas, karakteristik medium tidak<br />
dinyatakan oleh permeabilitas medium, melainkan oleh karakteristik<br />
B-H dari masing-masing material. Kita lihat dari kutipan<br />
kurva B-H Gb.1.1, bahwa hubungan antara B dan H adalah tidak<br />
linier. Apabila kita menginginkan gambaran mengenai besarnya<br />
permeabilitas masing-masing material, kita dapat menghitungnya<br />
sebagai berikut.<br />
Permeabilitas dari material a dan b masing-masing pada titik<br />
operasi ini adalah<br />
B 0.6<br />
µ 0.06<br />
µ = a = = 0.06 henry/meter → µ = a<br />
a<br />
r a = = 47740<br />
H 10<br />
µ<br />
−7<br />
a<br />
0 4π×<br />
10<br />
B 0.6<br />
µ 0.0092<br />
µ = b = = 0.0092 henry/meter → µ = b<br />
b<br />
r b = = 7340<br />
H 65<br />
µ<br />
−7<br />
4π × 10<br />
b<br />
0<br />
0 50 100 150 200 250 300 350 400<br />
0<br />
7
Reluktansi rangkaian magnetik pada bagian toroid dengan material a<br />
dan b masing-masing dapat juga kita hitung, yaitu<br />
Fm 4 13<br />
R = a<br />
F<br />
= ≈ 6670 ; R = m b<br />
a<br />
b = ≈ 21670<br />
φ 0.6 × 0.001<br />
φ 0.6×<br />
0.001<br />
Jadi walaupun bagian b dari toroid lebih pendek dari bagian a,<br />
reluktansinya jauh lebih besar. Kedua bagian rangkaian magnetik<br />
yang terhubung seri ini mempunyai reluktansi total sebesar<br />
Rtot = Ra<br />
+ Rb<br />
≈ 6670 + 21670 = 28340 .<br />
Untuk meyakinkan, kita hitung balik besarnya fluksi magnet<br />
φ =<br />
F m total<br />
Rtot<br />
17 −<br />
= = 6×<br />
10<br />
4<br />
28340<br />
weber<br />
dan ternyata hasilnya sesuai dengan apa yang diminta dalam<br />
persoalan ini. Hasil ini menunjukkan bahwa reluktansi magnet yang<br />
dihubungkan seri berperilaku seperti resistansi yang terhubung seri<br />
pada rangkaian listrik; reluktansi total sama dengan jumlah<br />
reluktansi yang diserikan.<br />
COTOH-1.2 : Pada rangkaian magnetik dalam contoh-1.1. di atas,<br />
berapakah fluksi magnet yang akan dibangkitkan bila arus pada<br />
belitan dinaikkan menjadi 0.35 A <br />
Penyelesaian :<br />
Dengan arus 0.35 A, F m total menjadi<br />
Untuk menghitung besarnya fluksi yang terbangkit, kita perlu<br />
mengetahui reluktansi total. Untuk itu perlu dihitung reluktansi dari<br />
masing-masing bagian toroid. Hal ini tidak dapat dilakukan karena<br />
untuk menghitung reluktansi tiap bagian perlu diketahui F m dan B<br />
untuk masing-masing bagian sedangkan untuk menghitungnya perlu<br />
diketahui besarnya fluksi φ yang justru ditanyakan.<br />
Dari apa yang diketahui, yaitu F m total dan ukuran toroid, kita<br />
dapatkan hubungan<br />
Fm<br />
total = HaLa<br />
+ HbLb<br />
= 0.4Ha<br />
+ 0.2Hb<br />
= 35<br />
F m total = 100 × 0.35 = 35 AT<br />
35 − 0.2H<br />
⇒ H<br />
b<br />
a =<br />
0.4<br />
Karena luas penampang di kedua bagian toroid sama, yaitu 0.001<br />
m 2 , maka kerapatan fluksi B juga sama. Dengan batasan ini, kita<br />
mencoba menyelesaikan persoalan dengan cara mengamati kurva B-<br />
8 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
H. Kita perkirakan suatu nilai H b dan menghitung H a , kemudian kita<br />
mengamati lagi kurva B-H apakah untuk nilai H a dan H b ini terdapat<br />
B a = B b . Jika tidak, kita koreksi nilai H b dan dihitung lagi H a dan<br />
dilihat lagi apakah B a = B b . Jika tidak dilakukan koreksi lagi, dan<br />
seterusnya sampai akhirnya diperoleh B a ≈ B b .<br />
Kita mulai dengan H b = 100 AT yang memberikan H a = 37.5. Kedua<br />
nilai ini terkait dengan B b = 0.75 dan B a = 0.9 tesla. Ternyata B a ≠<br />
B b . Kita perbesar H b agar H a mengecil dan akan menyebabkan B b<br />
bertambah dan B a berkurang. Pada nilai H b = 110 AT, maka H a =<br />
32.5; dan terdapat B b = 0.8 dan B a = 0.85 tesla. Kita lakukan koreksi<br />
lagi dan akan kita dapatkan B a ≈ B b ≈ 0.825 pada nilai H b = 125 dan<br />
H a = 25 AT. Dengan nilai ini maka besar fluksi adalah<br />
φ =<br />
−4<br />
B × A = 0.825×<br />
0.001 = 8.25×<br />
10<br />
weber.<br />
Perhitungan secara grafis ini tentu mengandung ketidak-telitian. Jika<br />
kesalahan yang terjadi adalah ± 5%, maka hasil perhitungan ini<br />
dapat dianggap memadai.<br />
Pemahaman :<br />
Jika kita bandingkan hasil pada contoh-1.1. dan 1.2. maka akan<br />
terlihat hal berikut.<br />
Contoh-1.1 :<br />
I = 0.17 A → B = 0.6<br />
tesla<br />
→ φ =<br />
−4<br />
6×<br />
10<br />
weber<br />
Contoh-1.2 :<br />
I = 0.35 A → B = 0.825 tesla<br />
→ φ =<br />
−4<br />
8.25×<br />
10<br />
weber<br />
Menaikkan arus belitan menjadi dua kali lipat tidak menghasilkan<br />
fluksi dua kali. Hal ini disebabkan oleh karakteristik magnetisasi<br />
material yang tidak linier.<br />
9
COTOH-1.3 : Pada rangkaian magnetik di bawah ini, tentukanlah mmf<br />
yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar 0.0014 weber<br />
di “kaki” sebelah kanan. <strong>Rangkaian</strong> magnetik ini mempunyai luas<br />
penampang sama yaitu 0.002 m 2 , kecuali “kaki” tengah yang<br />
luasnya 0.0008 m 2 . Material yang digunakan adalah medium silicon<br />
steel.<br />
a b c<br />
f<br />
e<br />
d<br />
0.15 m<br />
0.15 m 0.15 m<br />
Penyelesaian :<br />
<strong>Rangkaian</strong> magnetik ini mempunyai tiga cabang, yaitu<br />
efab dengan reluktansi R 1 ;<br />
be dengan reluktansi R 2 dan<br />
bcde dengan reluktansi R 3 .<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen dari rangkaian magnetik ini dapat digambarkan<br />
seperti di bawah ini.<br />
F m<br />
R 1<br />
R 2 R 3<br />
Fluksi yang diminta di kaki kanan adalah φ 3 = 0.0014 weber. Karena<br />
dimensi kaki ini diketahui maka kerapatan fluksi dapat dihitung,<br />
yaitu<br />
0.0014<br />
B 3 = = 0.7 tesla .<br />
0.002<br />
Berdasarkan kurva B-H dari material yang dipakai, kerapatan fluksi<br />
ini memerlukan H 3 sebesar 80 AT/m. Jadi mmf yang diperlukan<br />
adalah<br />
10 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
F m3 = H3<br />
× Lbcde<br />
= 80 × (3×<br />
0.15) = 36 AT<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen memperlihatkan bahwa R 2 terhubung paralel<br />
dengan R 3 . Hal ini berarti bahwa F m3 juga harus muncul pada R 2 ,<br />
yaitu reluktansi kaki tengah, dengan kata lain F m2 = F m3 . Dengan<br />
demikian kita dapat menghitung H 2 .<br />
F F 36<br />
H 2 m3<br />
2 = m = = = 240 AT/m<br />
Lbe<br />
Lbe<br />
0.15<br />
Melihat lagi kurva B-H, kita dapatkan untuk H 2 ini<br />
B 2 = 1.125 tesla .<br />
Luas penampang kaki tengah adalah 0.0008 m 2 . Maka<br />
φ2 = B 2 × 0.0008 = 1.125×<br />
0.0008 = 0.0009 weber<br />
Fluksi total yang harus dibangkitkan di kaki kiri adalah<br />
φ 1 = φ2<br />
+ φ3<br />
= 0.0014 + 0.0009 = 0.0023 weber<br />
Luas penampang kaki kiri adalah 0.002 m 2 , sama dengan kaki<br />
kanan. Kerapatan fluksinya adalah<br />
φ 0.0023<br />
B 1<br />
1 = = = 1.15 tesla<br />
0.002 0.002<br />
Dari kurva B-H, untuk B 1 ini diperlukan<br />
H 1 = 240 AT/m , sehingga<br />
F m1 = H1<br />
× Lefab<br />
= 240×<br />
(3×<br />
0.15) = 108 AT<br />
Jadi total mmf yang diperlukan untuk membangkitkan fluksi sebesar<br />
0.0014 weber di kaki kanan adalah<br />
F mtot = Fm<br />
1 + Fm<br />
2 + Fm3<br />
= 108 + 36 + 36 = 180 AT<br />
11
COTOH-1.4 : Berapakah mmf yang diperlukan pada Contoh-1.3. jika<br />
kaki tengah ditiadakan<br />
Penyelesaian :<br />
Dengan meniadakan kaki tengah maka fluksi di seluruh rangkaian<br />
magnetik sama dengan fluksi di kaki kanan, yaitu φ=φ 3 =0.0014<br />
weber. Kerapatan fluksi di seluruh rangkaian magnetik juga sama<br />
karena luas penampangnya sama, yaitu<br />
0.0014<br />
B = B3 = = 0.7 tesla<br />
0.002<br />
Dari kurva B-H diperoleh H = 80 AT/m, sehingga mmf yang<br />
diperlukan adalah<br />
F m = H × L abcdefa = 80×<br />
(6 × 0.15) = 72 AT<br />
Pemahaman :<br />
Dengan menghilangkan kaki tengah, mmf yang diperlukan menjadi<br />
lebih kecil. Bagaimanakah jika kaki tengah diperbesar luas<br />
penampangnya <br />
Memperbesar penampang kaki tengah tidak mempengaruhi<br />
kerapatan fluksi di kaki ini sebab F m3 tetap harus muncul di kaki<br />
tengah. H 2 tak berubah, yaitu H 2 = F m3 /L be = 240 AT/m dan B 2 juga<br />
tetap 1.125 tesla. Jika penampang kaki tengah diperbesar, φ 2 akan<br />
bertambah sehingga φ 1 juga bertambah. Hal ini menyebabkan naiknya<br />
B 1 yang berarti naiknya H 1 sehingga F m1 akan bertambah pula.<br />
Dengan demikian F m total akan lebih besar. Penjelasan ini<br />
menunjukkan seolah-olah kaki tengah berlaku sebagai “pembocor”<br />
fluksi. Makin besar kebocoran, makin besar mmf yang diperlukan.<br />
1.3. Rugi-Rugi Dalam <strong>Rangkaian</strong> Magnetik<br />
Rugi Histerisis. Dalam rekayasa, material ferromagnetik sering dibebani<br />
dengan medan magnit yang berubah secara periodik dengan batas positif<br />
dan negatif yang sama. Pada pembebanan seperti ini terdapat<br />
kecenderungan bahwa kerapatan fluksi, B, ketinggalan dari medan<br />
magnetnya, H. Kecenderungan ini kita sebut histerisis dan kurva B-H<br />
membentuk loop tertutup seperti terlihat pada Gb.1.2. dan kita sebut loop<br />
histerisis. Hal ini telah kita pelajari dalam fisika. Di sini kita akan<br />
membahas akibat dari karakteristik material seperti ini dalam rekayasa.<br />
12 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
B [tesla]<br />
d b<br />
c<br />
0<br />
H [AT/m]<br />
e<br />
a<br />
Loop histerisis ini menunjukkan bahwa untuk satu nilai H tertentu<br />
terdapat dua kemungkinan nilai B. Dalam memecahkan persoalan<br />
rangkaian magnetik pada contoh-contoh di sub-bab 1.2. kita<br />
menggunakan kurva B-H yang kita sebut kurva B-H normal atau kurva<br />
magnetisasi normal, dimana satu nilai H terkait dengan hanya satu nilai<br />
B, yaitu kurva B-H pada Gb.1.1. Itulah sebabnya kesalahan perhitungan<br />
sebesar ± 5 % masih dapat kita terima jika kita menggunakan kurva B-H<br />
normal karena sesungguhnya B tidak mempunyai nilai tunggal,<br />
melainkan tergantung dari riwayat magnetisasi material.<br />
Perhatikan integrasi :<br />
Bb<br />
Bc<br />
HdB = luas bidang abda ; HdB = luas bidang bdcb<br />
B<br />
∫B<br />
∫<br />
a<br />
dan satuan dari HB :<br />
Gb.1.2. Loop histerisis.<br />
ampere newton newton newto ⋅ meter joule<br />
[ HB ] = ×<br />
= =<br />
=<br />
meter ampre.<br />
meter 2<br />
3<br />
3<br />
meter meter meter<br />
Jelaslah bahwa HB mempunyai satuan kerapatan energi. Jadi luas bidang<br />
abda pada Gb.1.2. menyatakan kerapatan energi, yaitu energi magnetik.<br />
Karena luas abda diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu H dan B<br />
naik, atau dengan kata lain medan magnetik bertambah, maka ia<br />
menggambarkan kerapatan energi yang disimpan ke material. Luas<br />
bidang bdcb yang diperoleh dari integrasi ∫HdB pada waktu medan<br />
magnit berkurang, menggambarkan kerapatan energi yang dilepaskan.<br />
b<br />
13
Dari gambar loop histerisis jelas terlihat bahwa luas bdcb < luas abda.<br />
Ini berarti bahwa kerapatan energi yang dilepaskan lebih kecil dari<br />
kerapatan energi yang disimpan. Sisa energi yang tidak dapat dilepaskan<br />
digambarkan oleh luas bidang abca, dan ini merupakan energi yang<br />
diserap oleh material dan tidak keluar lagi (tidak termanfaatkan)<br />
sehingga disebut rugi energi histerisis.<br />
Analisis di atas hanya memperhatikan setengah siklus saja. Untuk satu<br />
siklus penuh, kerapatan rugi energi histerisis adalah luas bidang dari<br />
loop histerisis. Jika kerapatan rugi energi histerisis per siklus (= luas<br />
loop histerisis) kita sebut w h , dan jumlah siklus per detik (frekuensi)<br />
adalah f , maka untuk material dengan volume v m 3 besar rugi energi<br />
histerisis per detik atau rugi daya histerisis adalah<br />
⎡ joule⎤<br />
Ph = wh<br />
f v ⎢ = wh<br />
f v [watt]<br />
det ik<br />
⎥<br />
(1.17)<br />
⎣ ⎦<br />
Untuk menghindari perhitungan luas loop histerisis, Steinmetz<br />
memberikan formula empiris untuk rugi daya histerisis sebagai<br />
n<br />
P h = v f ( KhBm<br />
)<br />
(1.18)<br />
dengan B m adalah nilai maksimum kerapatan fluksi, n mempunyai nilai<br />
antara 1,5 sampai 2,5 tergantung dari jenis material. K h adalah konstanta<br />
yang juga tergantung dari jenis material; untuk cast steel 0,025; silicon<br />
sheet steel 0,001; permalloy 0,0001.<br />
Rugi Arus Pusar. Jika medan magnetik berubah terhadap waktu, selain<br />
rugi daya histerisis terdapat pula rugi daya yang disebut rugi arus pusar.<br />
Arus pusar timbul sebagai reaksi terhadap perubahan medan magnet.<br />
Jika material berbentuk balok pejal, resistansi material menjadi kecil dan<br />
rugi arus pusar menjadi besar. Untuk memperbesar resistansi agar arus<br />
pusar kecil, rangkaian magnetik disusun dari lembar-lembar material<br />
magnetik yang tipis (antara 0,3 ÷ 0,6 mm). Formula empiris untuk rugi<br />
arus pusar adalah<br />
2 2 2<br />
P e = Ke<br />
f Bm<br />
τ v watt<br />
(1.19)<br />
dengan K e = konstanta yang tergantung dari jenis material; f = frekuensi<br />
(Hz); B m = kerapatan fluksi maksimum; τ = tebal laminasi; v = volume<br />
material.<br />
Perhatikan bahwa rugi arus pusar sebanding dengan pangkat dua dari<br />
frekuensi, sedangkan rugi histerisis sebanding dengan pangkat satu<br />
14 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
frekuensi. Rugi histerisis dan rugi arus pusar secara bersama-sama<br />
disebut rugi-rugi inti. Rugi-rugi inti akan menaikkan temperatur<br />
rangkaian magnetik dan akan menurunkan efisiensi peralatan.<br />
1.4. Gaya Magnetik<br />
Energi yang tersimpan dalam B<br />
B<br />
medan magnetik dapat<br />
B 1 b a<br />
digunakan untuk melakukan<br />
kerja mekanik (misalnya<br />
menarik tuas rele). Untuk<br />
mempelajari bagaimana gaya<br />
ini dapat timbul, kurva B-H<br />
H 0 H 1 H<br />
normal yang tidak linier<br />
a) b)<br />
seperti terlihat pada Gb.1.3.a,<br />
kita dekati dengan suatu Gb.1.3. Linierisasi Kurva B-H.<br />
kurva linier seperti pada<br />
Gb.1.3.b. Jika kita menaikkan H dari 0 ke H 1 , maka B naik dari 0 ke B 1 .<br />
Luas bidang 0ab0 menyatakan kerapatan energi yang tersimpan dalam<br />
material, dan besarnya adalah<br />
w f =<br />
1<br />
2<br />
3<br />
B1H<br />
1 joule/m<br />
Secara umum, dengan medan magnetik sebesar H dalam suatu material<br />
akan terdapat kerapatan simpanan energi sebesar<br />
1 w<br />
3<br />
f = BH joule/m<br />
(1.20)<br />
2<br />
Perhatikan bahwa (1.20) kita peroleh setelah kita melakukan linierisasi<br />
kurva B-H.<br />
Karena (1.20) menunjukkan kerapatan energi, maka jika kita kalikan<br />
dengan volume dari rangkaian magnetik kita akan mendapatkan energi<br />
total yang tersimpan dalam rangkaian tersebut. Misalkan luas penampang<br />
rangkaian A dan panjangnya L, maka energi total menjadi<br />
1 1<br />
1<br />
W = BHAL<br />
= ( BA)(<br />
HL)<br />
= φF m joule (1.21)<br />
2 2<br />
2<br />
Antara fluksi φ dan F m terdapat hubungan φ = F m / R , sehingga (1.21)<br />
dapat juga dituliskan<br />
15
2<br />
1 1 Fm<br />
1 2<br />
W = φFm<br />
= = φ R joule<br />
(1.22)<br />
2 2 R 2<br />
Untuk memahami timbulnya gaya magnetik, kita lakukan percobaan<br />
dengan suatu rangkaian magnetik yang terdiri dari tiga bagian yaitu<br />
gandar, celah udara, dan jangkar, seperti terlihat pada Gb.1.4. <strong>Rangkaian</strong><br />
ini dicatu oleh sumber tegangan V s<br />
yang diserikan dengan resistor variabel<br />
R. Luas penampang gandar sama<br />
dengan luas penampang jangkar. Untuk<br />
suatu kedudukan jangkar tertentu,<br />
dengan V s dan R tertentu, terjadi<br />
eksitasi sebesar F m yang akan membuat<br />
simpanan energi dalam rangkaian<br />
magnetik ini sebesar<br />
W =<br />
1<br />
2<br />
2 2 2<br />
( φ R + φ R + φ R )<br />
g<br />
g<br />
u<br />
u<br />
j<br />
j<br />
(1.23)<br />
Indeks g, u, dan j berturut-turut<br />
menunjukkan gandar, udara dan<br />
jangkar. Karena ketiga bagian<br />
rangkaian terhubung seri maka jika penyebaran fluksi di bagian pinggir<br />
di celah udara diabaikan fluksi di ketiga bagian tersebut akan sama.<br />
Kerapatan fluksi juga akan sama di ketiga bagian tersebut. Dengan<br />
demikian maka persamaan (1.23) dapat kita tulis<br />
1 2<br />
W = φ<br />
2<br />
Besar reluktansi total adalah<br />
1 2<br />
( R g + Ru<br />
+ R j ) = φ Rtotal<br />
2<br />
(1.24)<br />
Lg<br />
L j L<br />
R<br />
u<br />
total = + +<br />
(1.25)<br />
µ A µ A µ A<br />
g<br />
j<br />
gandar<br />
jangkar<br />
Gb.1.4. <strong>Rangkaian</strong><br />
magnetik dengan jangkar<br />
Karena kita melakukan linierisasi kurva B-H, maka permeabilitas<br />
material menjadi konstan.<br />
Hal ini ditunjukkan oleh kemiringan kurva B-H. Jadi µ g dan µ j dianggap<br />
konstan sedangkan permeabilitas udara dapat dianggap sama dengan µ 0 .<br />
0<br />
V s<br />
+<br />
−<br />
L j<br />
R<br />
L g<br />
x<br />
16 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Percobaan pertama adalah memegang jangkar tetap pada tempatnya dan<br />
menambah eksitasi dengan menurunkan nilai resistor R sehingga arus<br />
catu naik. Eksitasi akan naik menjadi (F m +∆F m ) dan simpanan energi<br />
pada seluruh rangkaian magnetik akan naik pula. Artinya tambahan<br />
energi sebesar ∆W yang disebabkan oleh tambahan eksitasi sebesar ∆F m<br />
tersimpan sebagai tambahan energi di semua bagian rangkaian yaitu<br />
gandar, jangkar dan celah udara.<br />
Untuk percobaan kedua, kita kembalikan dulu eksitasi pada keadaan<br />
semula dengan mengembalikan R pada nilai semula sehingga eksitasi<br />
kembali menjadi F m dan kita jaga konstan. Jangkar kita lepaskan<br />
sehingga celah udara menjadi (x−∆x). Berkurangnya celah udara ini akan<br />
menyebabkan reluktansi R u menurun sehingga secara keseluruhan R tot<br />
juga menurun. Menurunnya R tot akan memperbesar fluksi karena eksitasi<br />
F m dipertahankan tetap. Ini berarti bahwa simpanan energi dalam<br />
rangkaian magnetik bertambah.<br />
Pertambahan simpanan energi yang terjadi pada percobaan ke-dua ini<br />
berbeda dengan pertambahan energi pada percobaan pertama. Pada<br />
percobaan pertama pertambahan energi berasal dari pertambahan<br />
masukan, yaitu ∆F m . Pada percobaan ke-dua, F m dipertahankan tetap.<br />
Oleh karena itu satu-satunya kemungkinan pertambahan energi adalah<br />
dari gerakan jangkar. Jadi perubahan posisi jangkar memberikan<br />
tambahan simpanan energi dalam rangkaian magnetik. Penafsiran kita<br />
dalam peristiwa ini adalah bahwa perubahan posisi jangkar telah<br />
menurunkan energi potensial jangkar. Penurunan energi potensial<br />
jangkar itu diimbangi oleh naiknya simpanan energi pada rangkaian<br />
magnetik sesuai dengan prinsip konservasi energi.<br />
Jika dx adalah perubahan posisi jangkar (∆x→0), F x adalah gaya mekanik<br />
pada jangkar pada posisi x, maka perubahan energi potensial jangkar<br />
adalah<br />
dW j = Fxdx<br />
(1.26)<br />
Perubahan energi tersimpan dalam rangkaian magnetik adalah dW.<br />
Karena tidak ada masukan energi dari luar (sumber listrik) maka<br />
dW<br />
j<br />
+ dW = F dx + dW = 0 → F dx = −dW<br />
(1.27)<br />
x<br />
Karena F m kita jaga konstan, kita dapat memasukkan persamaan (1.22)<br />
bentuk yang ke-dua ke (1.27) sehingga kita peroleh<br />
x<br />
17
1 2 −1<br />
Fxdx<br />
= −dW<br />
= − d(<br />
Fm<br />
Rtot<br />
)<br />
2<br />
1<br />
→ Fx<br />
= −<br />
2<br />
d<br />
dx<br />
2<br />
2 −1<br />
1 Fm<br />
dRtot<br />
1 2 dR<br />
( Fm<br />
Rtot<br />
) = −<br />
= − φ<br />
2 2 dx 2 dx<br />
Rtot<br />
tot<br />
(1.28)<br />
Dengan persamaan (1.28) ini kita dapat menghitung gaya mekanik pada<br />
jangkar rele elektromekanik, plunger, dan lain-lain peralatan listrik yang<br />
memanfaatkan gaya magnetik.<br />
1.5. Induktor<br />
Perhatikan rangkaian<br />
induktor (Gb.1.5).<br />
Apabila resistansi belitan<br />
dapat diabaikan, maka<br />
menurut hukum<br />
Kirchhoff<br />
+<br />
v 1<br />
−<br />
≈<br />
i f<br />
+<br />
e 1<br />
−<br />
1<br />
Gb.1.5. <strong>Rangkaian</strong> induktor.<br />
φ<br />
di f<br />
− v1 + e1<br />
= 0 → v1<br />
= e1<br />
= L<br />
(1.29)<br />
dt<br />
Persamaan (1.29) adalah persamaan rangkaian listrik yang terdiri dari<br />
sumber v 1 dan beban induktor L. Tegangan e 1 adalah tegangan jatuh<br />
pada induktor, sesuai dengan konvensi pasif pada dalam analisis<br />
rangkaian listrik.<br />
Sekarang kita lihat rangkaian magnetiknya dengan menganggap inti<br />
induktor ideal (luas kurva histerisis material inti sama dengan nol).<br />
Dalam rangkaian magnetik terdapat fluksi magnetik φ yang ditimbulkan<br />
oleh arus i f . Perubahan fluksi φ akan membangkitkan tegangan induksi<br />
pada belitan sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.<br />
dφ<br />
e t = −1 (1.30)<br />
dt<br />
Tanda “−” pada (1.30) mempunyai arti bahwa tegangan induksi e t harus<br />
mempunyai polaritas yang akan dapat memberikan arus pada rangkaian<br />
tertutup sedemikian rupa sehingga arus tersebut akan memberikan fluksi<br />
lawan terhadap fluksi pembangkitnya, yaitu φ. Menurut kaidah tangan<br />
kanan, polaritas tersebut adalah seperti polaritas e 1 pada Gb.1.5. Jadi<br />
18 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
tanda “−” pada (1.30) terpakai untuk menetapkan polaritas e t sedangkan<br />
nilai e t tentulah sama dengan tegangan jatuh e 1 . Jadi<br />
dφ<br />
di f<br />
et = 1 = e1<br />
= L<br />
(1.31)<br />
dt dt<br />
Persamaan (1.31) menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara<br />
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus<br />
i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.<br />
Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk<br />
sinus. Jadi dalam sistem ini baik tegangan, arus maupun fluksi<br />
mempunyai frekuensi sama dan dengan demikian konsep fasor dapat kita<br />
gunakan untuk melakukan analisis pada sistem ini, yang merupakan<br />
gabungan dari rangkaian listrik dan rangkaian magnetik. Jika resistansi<br />
belitan diabaikan, persamaan (1.29) dan (1.31) dapat kita tulis dalam<br />
bentuk fasor sebagai<br />
E1<br />
= jωLI<br />
f ; Et<br />
= jω1Φ = E1<br />
= jωLI<br />
f (1.32)<br />
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor.<br />
Dengan memperhatikan (1.32), diagram fasor tegangan , arus, dan fluksi<br />
dari induktor tanpa memperhitungkan rugi-rugi inti dan resistansi belitan<br />
adalah seperti pada Gb.1.6.a. dimana arus yang membangkitkan fluksi<br />
yaitu I φ sama dengan I f .<br />
Dalam praktek, inti induktor tidaklah bebas dari rugi-rugi. Pada<br />
pembebanan siklis (dalam hal ini secara sinus) rugi-rugi inti<br />
menyebabkan fluksi yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar<br />
γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.1.6.b.<br />
dimana arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Melihat kenyataan<br />
ini,<br />
I f<br />
Φ<br />
I f<br />
= I φ<br />
a). ideal<br />
E 1 = E t c E 1 = Et<br />
I c E 1 = Et<br />
I φ<br />
γ<br />
I<br />
Φ<br />
I f<br />
b). ada rugi-rugi inti<br />
θ<br />
I f<br />
Φ<br />
Gb.1.6. Diagram fasor induktor<br />
I f R1<br />
c). ada resistansi belitan<br />
dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu Iφ<br />
yang<br />
I φ<br />
V 1<br />
19
diperlukan untuk membangkitkan φ, dan Ic<br />
yang diperlukan untuk<br />
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = Ic<br />
+ Iφ<br />
.<br />
Komponen I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan E 1 akan<br />
memberikan rugi-rugi inti<br />
o<br />
c = c 1 1 f γ<br />
P I E = E I cos(90 − ) watt<br />
(1.33)<br />
Apabila resistansi belitan tidak dapat diabaikan, maka V 1 ≠ E 1 . Misalkan<br />
resistansi belitan adalah R 1 , maka<br />
V 1 = E1<br />
+ I f R1<br />
(1.34)<br />
Diagram fasor dari keadaan terakhir ini diperlihatkan oleh Gb.1.6.c.<br />
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain<br />
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya<br />
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu .<br />
Jadi<br />
P = P + P = P + I R = V I cos θ (1.35)<br />
in<br />
c<br />
20 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
cu<br />
dengan V 1 dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.<br />
COTOH-1.5: Sebuah reaktor dengan inti besi mempunyai 400 lilitan.<br />
Reaktor ini dihubungkan pada jaringan bertegangan 115 volt, 60 Hz.<br />
Dengan mengabaikan resistansi belitan, hitung nilai maksimum<br />
fluksi magnetnya. Jika fluksi maknit dibatasi tidak boleh lebih dari<br />
1,2 tesla, berapakah luas penampang intinya<br />
Penyelesaian: Dengan mengabaikan resistansi belitan maka<br />
E<br />
1<br />
= V<br />
1<br />
1ωΦ<br />
→<br />
2<br />
115 2<br />
⇒ Φ maks =<br />
= 0,00108 weber<br />
400×<br />
2π×<br />
60<br />
Agar kerapatan fluksi tidak lebih dari 1,2 tesla maka<br />
Φ<br />
maks<br />
A<br />
≤12<br />
⇒<br />
c<br />
maks<br />
Φ<br />
A ≥<br />
1,2<br />
maks<br />
2<br />
f<br />
1<br />
= 115<br />
=<br />
1<br />
0,00108<br />
1,2<br />
f<br />
m<br />
2 =<br />
Induktansi. Menurut (1.15) besarnya fluksi magnetik adalah<br />
⎛ µ A ⎞<br />
φ = ⎜ ⎟ F<br />
⎝ L ⎠<br />
m<br />
Fm<br />
= .<br />
R<br />
9 cm<br />
2<br />
.
Dengan mengabaikan fluksi bocor,<br />
dimasukkan ke (1.31) akan diperoleh<br />
F m<br />
= i dan jika φ ini<br />
<br />
1<br />
dφ<br />
= <br />
dt<br />
1<br />
d<br />
dt<br />
⎛ 1i<br />
⎜<br />
⎝ R<br />
f<br />
2<br />
⎞ <br />
⎟ 1<br />
=<br />
⎠ R<br />
di<br />
f<br />
dt<br />
di f<br />
= L<br />
dt<br />
sehingga<br />
2<br />
1 2 ⎛ µ A ⎞<br />
L = = 1<br />
⎜ ⎟ (1.36)<br />
R ⎝ L ⎠<br />
Induktansi Bersama. Jika pada induktor Gb.1.5. kita tambahkan belitan<br />
kedua, maka pada belitan kedua ini akan diimbaskan tegangan oleh φ<br />
seperti halnya pada belitan pertama. Besar tegangan imbas ini adalah<br />
dφ<br />
d ⎛ 1i<br />
f ⎞ di f<br />
e ⎜ ⎟ 2 1<br />
2 = 2 = 2 =<br />
dt dt<br />
(1.37)<br />
⎝ R ⎠ R dt<br />
Jika belitan kedua ini tidak dialiri arus (dalam keadaan terbuka), kita<br />
tahu dari pembahasan di bab terdahulu mengenai induktansi bersama<br />
bahwa<br />
e<br />
2<br />
= L<br />
2<br />
di di<br />
2 f<br />
+ M<br />
dt dt<br />
sehingga kita peroleh induktansi bersama<br />
di f<br />
= M<br />
dt<br />
21<br />
⎛ µ A ⎞<br />
M = = 21<br />
⎜ ⎟<br />
(1.38)<br />
R ⎝ L ⎠<br />
Pembahasan di atas memperlihatkan bahwa rangkaian induktor dapat<br />
kita analisis dari sudut pandang rangkaian listrik dengan<br />
mengaplikasikan hukum Kirchhoff yang kemudian menghasilkan<br />
persamaan (1.29). Kita dapat pula memandangnya sebagai rangkaian<br />
magnetik dan mengaplikasikan hukum Faraday dimana fluksi magnetik<br />
yang berubah terhadap waktu (dibangkitkan oleh arus magnetisasi i f )<br />
menimbulkan tegangan induksi pada belitan.<br />
21
COTOH-1.6: Hitunglah resistansi dan induktansi selenoida (inti<br />
udara) dengan diameter rata-rata 1 cm dan panjangnya 1 m dan<br />
dengan 1000 lilitan kawat tembaga berdiameter 0,5 mm.<br />
Penyelesaian :<br />
Induktansi:<br />
2<br />
−7<br />
−4<br />
1 2 ⎛ µ A ⎞ ⎛<br />
6 (4 10 ) ( 10 / 4) ⎞<br />
−6<br />
1 10 ⎜<br />
π× × π<br />
L = = ⎜ ⎟ =<br />
⎟ = 98,6 × 10 H<br />
R ⎝ L ⎠ ⎜ 1 ⎟<br />
⎝<br />
⎠<br />
Resistansi :<br />
R = ρ<br />
l<br />
A<br />
−2<br />
−6<br />
1000 × π × 10<br />
= 0,0173 × 10 [ Ω.m]<br />
−3<br />
2<br />
π × (0,5 × 10 )<br />
/ 4<br />
= 2,77<br />
Ω<br />
COTOH-1.6: Dua buah kumparan, masing-masing 1250 lilitan dan<br />
140 lilitan, digulung pada satu inti magnetik yang mempunyai<br />
reluktansi 160000. Hitung induktansi bersama, dengan mengabaikan<br />
fluksi bocor.<br />
Penyelesaian : Induktansi bersama :<br />
2 1<br />
1250×<br />
140<br />
M = = = 1,094 ≈ 1,1 H<br />
R 160000<br />
COTOH-1.7: Dua kumparan (inti udara) masing-masing mempunyai<br />
1000 lilitan diletakkan paralel sejajar sedemikian rupa sehingga 60%<br />
fluksi yang dibangkitkan oleh salah satu kumparan melingkupi<br />
kumparan yang lain. Arus sebesar 5 A di salah satu kumparan<br />
membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Hitunglah induktansi masingmasing<br />
kumparan dan induktansi bersama.<br />
Penyelesaian :<br />
Arus 5 A membangkitkan fluksi 0,05 mWb. Dengan jumlah lilitan<br />
1000 maka reluktansi dapat dihitung<br />
Induktansi masing-masing<br />
1000 × 5<br />
R =<br />
0,05×<br />
10<br />
−3<br />
= 10<br />
8<br />
22 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
2<br />
<br />
L =<br />
R<br />
2<br />
1000 −2<br />
= = 10<br />
8<br />
10<br />
H = 10 mH.<br />
Fluksi yang melingkupi kumparan yang lain 60% dari fluksi yang<br />
dibangkitkan di salah satu kumparan. Reluktansi bersama adalah<br />
Induktansi bersama<br />
1<br />
M =<br />
R<br />
M<br />
R M<br />
2<br />
8<br />
R 10<br />
= = = 1,667 × 10<br />
0.6 0,6<br />
1000×<br />
1000<br />
−2<br />
=<br />
= 0,6×<br />
10<br />
8<br />
1,667×<br />
10<br />
8<br />
H = 6 mH<br />
Catatan Tentang Diagram Fasor. Dalam menurunkan fasor tegangan<br />
induksi E , kita berangkat dari persamaan (1.30) dengan mengambil<br />
t<br />
tanda “−” sebagai penentu polaritas. Hasilnya adalah E merupakan<br />
tegangan jatuh pada belitan, sama dengan E 1 , dan hal ini<br />
ditunjukkan oleh persamaan (1.32). Kita dapat pula memandang<br />
tegangan terbangkit Et<br />
sebagai tegangan naik Et<br />
= −E1<br />
, dengan<br />
mengikut sertakan tanda “−” pada (1.30) dalam perhitungan dan<br />
bukan menggunakannya untuk menentukan polaritas. Jika ini kita<br />
lakukan maka<br />
t<br />
Et<br />
= − jω1 Φ = −E1<br />
= − jωLI<br />
f<br />
(1.39)<br />
Dengan memperhatikan (1.39), diagram fasor tegangan, arus, dan fluksi<br />
untuk induktor ideal adalah seperti pada Gb.1.7.a. Di sini fasor tegangan<br />
terbangkit E t berada 90 o dibelakang fluksi pembangkitnya yaitu Φ.<br />
Fasor Φ sefasa dengan I φ = I f dan tertinggal 90 o dari E 1 .<br />
Gb.1.7.b. dan Gb.1.7.c. adalah diagram fasor induktor dengan<br />
memperhitungkan rugi-rugi inti dan tembaga.<br />
23
E t<br />
E 1<br />
a). Induktor ideal.<br />
I f<br />
Φ<br />
= I φ<br />
E t<br />
b). ada rugi-rugi inti<br />
I φ<br />
Φ<br />
I c<br />
γ<br />
I f<br />
V L<br />
I c V L<br />
E t<br />
I<br />
θ φ<br />
V s<br />
I f<br />
c). ada resistansi belitan Φ<br />
Gb.1.7. Diagram fasor induktor riil.<br />
I f R 1<br />
24 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
BAB 2<br />
Transformator<br />
2.1. Transformator Satu Fasa<br />
Transformator banyak digunakan dalam teknik elektro. Dalam sistem<br />
komunikasi, transformator digunakan pada rentang frekuensi audio<br />
sampai frekuensi radio dan video, untuk berbagai keperluan. Kita<br />
mengenal misalnya input transformers, interstage transformers, output<br />
transformers pada rangkaian radio dan televisi. Transformator juga<br />
dimanfaatkan dalam sistem komunikasi untuk penyesuaian impedansi<br />
agar tercapai transfer daya maksimum.<br />
Dalam penyaluran daya listrik banyak digunakan transformator<br />
berkapasitas besar dan juga bertegangan tinggi. Dengan transformator<br />
tegangan tinggi ini penyaluran daya listrik dapat dilakukan dalam jarak<br />
jauh dan susut daya pada jaringan dapat ditekan. Di jaringan distribusi<br />
listrik banyak digunakan transformator penurun tegangan, dari tegangan<br />
menengah 20 kV menjadi 380 V untuk distribusi ke rumah-rumah dan<br />
kantor-kantor pada tegangan 220 V. Transformator daya tersebut pada<br />
umumnya merupakan transformator tiga fasa. Dalam pembahasan ini kita<br />
akan melihat transformator satu fasa lebih dulu.<br />
Kita telah mempelajari transformator ideal pada waktu membahas<br />
rangkaian listrik. Berikut ini kita akan melihat transformator tidak ideal<br />
sebagai piranti pemroses daya. Akan tetapi kita hanya akan membahas<br />
hal-hal yang fundamental saja, karena transformator akan dipelajari<br />
secara lebih mendalam pada pelajaran mengenai mesin-mesin listrik.<br />
Mempelajari perilaku transformator juga merupakan langkah awal untuk<br />
mempelajari konversi energi elektromekanik. Walaupun konversi energi<br />
elektromekanik membahas konversi energi antara sistem mekanik dan<br />
sistem listrik, sedangkan transformator merupakan piranti konversi<br />
energi listrik ke listrik, akan tetapi kopling antar sistem dalam kedua hal<br />
tersebut pada dasarnya sama yaitu kopling magnetik.<br />
25
2.2. Teori Operasi Transformator<br />
Transformator Dua Belitan Tak Berbeban. Jika pada induktor Gb.2.5.<br />
kita tambahkan belitan ke-dua, kita akan memperoleh transformator dua<br />
belitan seperti terlihat pada Gb.2.1. Belitan pertama kita sebut belitan<br />
primer dan yang ke-dua kita sebut belitan sekunder.<br />
I f<br />
φ<br />
V s<br />
+<br />
+<br />
≈ E 1 2<br />
1<br />
E2<br />
−<br />
−<br />
Jika fluksi di rangkaian magnetiknya adalah φ = Φ maks sin ωt<br />
, maka<br />
fluksi ini akan menginduksikan tegangan di belitan primer sebesar<br />
atau dalam bentuk fasor<br />
dφ<br />
e1 = 1<br />
= 1Φ<br />
maksωcos<br />
ωt<br />
(2.1)<br />
dt<br />
o 1ωΦ<br />
maks o<br />
E 1 = E1∠0 =<br />
∠0<br />
; E1<br />
= nilai efektif (2.2)<br />
2<br />
Karena ω = 2π f maka<br />
E<br />
2π<br />
f<br />
<br />
1<br />
1 = Φ maks = 4.44 f 1<br />
2<br />
maks<br />
Di belitan sekunder, fluksi tersebut menginduksikan tegangan sebesar<br />
Dari (2.3) dan (2.4) kita peroleh<br />
Gb.2.1. Transformator dua belitan.<br />
E<br />
E<br />
26 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
Φ<br />
(2.3)<br />
2 = 4 .44 f 2Φ<br />
maks<br />
(2.4)<br />
E<br />
1<br />
2<br />
1<br />
= ≡ a = rasio<br />
<br />
2<br />
transformasi<br />
(2.5)<br />
Perhatikan bahwa E 1 sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan oleh fluksi<br />
yang sama. Karena E 1 mendahului φ dengan sudut 90 o maka E 2 juga<br />
mendahului φ dengan sudut 90 o . Jika rasio transformasi a = 1, dan
esistansi belitan primer adalah R 1 , diagram fasor tegangan dan arus<br />
adalah seperti ditunjukkan oleh Gb.2.2.a. Arus I f adalah arus<br />
magnetisasi, yang dapat dipandang sebagai terdiri dari dua komponen<br />
yaitu I φ (90 o dibelakang E 1 ) yang menimbulkan φ dan I c (sefasa<br />
dengan E 1 ) guna mengatasi rugi inti. Resistansi belitan R 1 dalam<br />
diagram fasor ini muncul sebagai tegangan jatuh I f R1<br />
.<br />
I c<br />
E 1 = E 2<br />
I f R 1<br />
I<br />
V<br />
I<br />
φ<br />
φ<br />
1<br />
I<br />
I f<br />
I f R 1<br />
f<br />
φ<br />
φ<br />
a). tak ada fluksi bocor b). ada fluksi bocor<br />
Gb.2.2. Diagram fasor transformator tak berbeban<br />
Fluksi Bocor. Fluksi di belitan primer transformator dibangkitkan oleh<br />
arus yang mengalir di<br />
belitan primer. Dalam<br />
kenyataan, tidak semua<br />
fluksi magnit yang<br />
dibangkitkan tersebut akan<br />
melingkupi baik belitan<br />
primer maupun sekunder.<br />
Selisih antara fluksi yang<br />
dibangkitkan oleh belitan<br />
primer dengan fluksi<br />
bersama (yaitu fluksi yang<br />
V s<br />
≈<br />
melingkupi kedua belitan) disebut fluksi bocor. Fluksi bocor ini hanya<br />
melingkupi belitan primer saja dan tidak seluruhnya berada dalam inti<br />
transformator tetapi juga melalui udara. (Lihat Gb.2.3). Oleh karena itu<br />
reluktansi yang dihadapi oleh fluksi bocor ini praktis adalah reluktansi<br />
udara. Dengan demikian fluksi bocor tidak mengalami gejala histerisis<br />
sehingga fluksi ini sefasa dengan arus magnetisasi. Hal ini ditunjukkan<br />
dalam diagram fasor Gb.2.2.b.<br />
Fluksi bocor, secara tersendiri akan membangkitkan tegangan induksi di<br />
belitan primer (seperti halnya φ menginduksikan E 1 ). Tegangan induksi<br />
I f<br />
I c<br />
φ l<br />
E 1 = E 2<br />
φ l1<br />
φ<br />
V 1<br />
jI f X l<br />
Gb.2.3. Transformator tak berbeban.<br />
Fluksi bocor belitan primer.<br />
E 2<br />
27
ini 90 o mendahului φ l1 (seperti halnya E1<br />
90 o mendahului φ) dan dapat<br />
dinyatakan sebagai suatu tegangan jatuh ekivalen, E l1<br />
, di rangkaian<br />
primer dan dinyatakan sebagai<br />
E l 1 = jI f X 1<br />
(2.6)<br />
dengan X 1 disebut reaktansi bocor rangkaian primer. Hubungan tegangan<br />
dan arus di rangkaian primer menjadi<br />
1 = E1<br />
+ I1R1<br />
+ El1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
jI1X1<br />
(2.7)<br />
V +<br />
Diagram fasor dengan memperhitungkan adanya fluksi bocor ini adalah<br />
Gb.2.2.b.<br />
Transformator Berbeban. <strong>Rangkaian</strong> transformator berbeban resistif,<br />
R B , diperlihatkan oleh Gb.2.4. Tegangan induksi E 2 (yang telah timbul<br />
dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di<br />
rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini<br />
membangkitkan fluksi yang berlawanan arah dengan fluksi bersama φ<br />
dan sebagian akan bocor (kita sebut fluksi bocor sekunder).<br />
I 1<br />
φ I 2<br />
V s<br />
≈<br />
φ l1<br />
φ l2<br />
V 2<br />
R B<br />
Gb.2.4. Transformator berbeban.<br />
Fluksi bocor ini, φ l2 , sefasa dengan I 2 dan menginduksikan tegangan<br />
E l2 di belitan sekunder yang 90 o mendahului φ l2 . Seperti halnya untuk<br />
belitan primer, tegangan El2<br />
ini diganti dengan suatu besaran ekivalen<br />
yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor sekunder X 2 di<br />
rangkaian sekunder. Jika resistansi belitan sekunder adalah R 2 , maka<br />
untuk rangkaian sekunder kita peroleh hubungan<br />
2 = V2<br />
+ I 2 R2<br />
+ El2<br />
= V2<br />
+ I 2 R2<br />
jI<br />
2 X 2 (2.8)<br />
E +<br />
dengan V 2 adalah tegangan pada beban R B .<br />
28 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Sesuai dengan hukum Lenz, arus sekunder membangkitkan fluksi yang<br />
melawan fluksi bersama. Oleh karena itu fluksi bersama akan cenderung<br />
mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer<br />
juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung<br />
ke sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik.<br />
Jadi arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban<br />
hanyalah arus magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah<br />
transformator berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa<br />
sehingga fluksi bersama φ dipertahankan dan E1<br />
juga tetap seperti<br />
semula. Dengan demikian maka persamaan rangkaian primer (2.7) tetap<br />
terpenuhi.<br />
Pertambahan arus primer dari<br />
I f menjadi I 1<br />
adalah untuk<br />
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 sehingga φ<br />
dipertahankan. Jadi haruslah<br />
( I − I ) − ( I ) 0<br />
1 1 f 2 2 =<br />
(2.9)<br />
Pertambahan arus primer ( I 1 − I f ) disebut arus penyeimbang yang akan<br />
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus<br />
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.<br />
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Dari<br />
(2.9) kita peroleh arus magnetisasi<br />
2.3. Diagram Fasor<br />
I<br />
f<br />
( I )<br />
2 I 2<br />
= I1<br />
− 2 = I1<br />
−<br />
(2.10)<br />
<br />
a<br />
1<br />
Dengan persamaan (2.7) dan (2.8) kita dapat menggambarkan secara<br />
lengkap diagram fasor dari suatu transformator. Penggambaran kita<br />
mulai dari belitan sekunder dengan langkah-langkah:<br />
Gambarkan V2<br />
dan I 2 . Untuk beban resistif, I 2 sefasa dengan V 2 .<br />
Selain itu kita dapat gambarkan I ′ 2 = I 2 / a yaitu besarnya arus<br />
sekunder jika dilihat dari sisi primer.<br />
Dari 2 V dan 2 I kita dapat menggambarkan 2 E sesuai dengan<br />
persamaan (2.8) yaitu<br />
29
E 2 = V2<br />
+ I 2 R2<br />
+ El2<br />
= V2<br />
+ I 2 R2<br />
+ jI<br />
2 X 2<br />
Sampai di sini kita telah menggambarkan diagram fasor rangkaian<br />
sekunder.<br />
Untuk rangkaian primer, karena E1<br />
sefasa dengan E 2 maka E 1<br />
dapat kita gambarkan yang besarnya E1 = aE2<br />
.<br />
Untuk menggambarkan arus magnetisasi I f kita gambarkan lebih<br />
<br />
dulu φ yang tertinggal 90 o dari E 1 . Kemudian kita gambarkan<br />
yang mendahului φ dengan sudut histerisis γ. Selanjutnya arus<br />
'<br />
belitan primer adalah I 1 = I f + I 2 .<br />
Diagram fasor untuk rangkaian primer dapat kita lengkapi sesuai<br />
dengan persamaan (2.7), yaitu<br />
V 1 = E1<br />
+ I1R1<br />
+ El1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
+ jI1X<br />
Dengan demikian lengkaplah diagram fasor transformator berbeban.<br />
Gb.2.5. adalah contoh diagram fasor yang dimaksud, yang dibuat dengan<br />
mengambil rasio transformasi 1 / 2 = a > 1<br />
I f<br />
V 1<br />
φ γ<br />
I<br />
f<br />
'<br />
I 2<br />
I 1<br />
I 2<br />
V 2<br />
E 2<br />
I 2 R 2<br />
jI 2 X 2<br />
E 1<br />
I 1 R 1<br />
jI 1 X 1<br />
Gb.2.5. Diagram fasor lengkap,<br />
transformator berbeban resistif . a > 1<br />
COTOH-2.1 : Belitan primer suatu transformator yang dibuat untuk<br />
tegangan 220 V(rms) mempunyai jumlah lilitan 160. Belitan ini<br />
dilengkapi dengan titik tengah (center tap). a). Berapa persenkah<br />
besar fluksi maksimum akan berkurang jika tegangan yang kita<br />
terapkan pada belitan primer adalah 110 V(rms) b). Berapa<br />
persenkah pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 55 V<br />
(rms) pada setengah belitan primer c). Berapa persenkah<br />
pengurangan tersebut jika kita menerapkan tegangan 110 V (rms)<br />
pada setengah belitan primer d). Jika jumlah lilitan di belitan<br />
30 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
sekunder adalah 40, bagaimanakah tegangan sekunder dalam kasuskasus<br />
tersebut di atas<br />
Penyelesaian :<br />
a). Dengan mengabaikan resistansi belitan, fluksi maksimum Φ m<br />
adalah<br />
E1<br />
2 V1<br />
2 220 2<br />
Φ m = = =<br />
1ω<br />
1ω<br />
160ω<br />
Jika tegangan 110 V diterapkan pada belitan primer, maka<br />
V1′<br />
2 110 2<br />
Φ′ m = =<br />
1ω<br />
160ω<br />
Penurunan fluksi m aksimum adalah 50 %, Φ′ m = Φ m / 2.<br />
b). Jika tegangan 55 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />
V ′′<br />
Φ ′′ 1 2 55 2 110 2<br />
m = = =<br />
(1/ 2) 1ω<br />
80ω<br />
160ω<br />
Penurunan fluksi maksimum adalah 50 %, Φ″ m = Φ m / 2.<br />
c). Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan maka<br />
V ′′′<br />
Φ ′′ ′ 1 2 110 2 220 2<br />
m = = =<br />
(1/ 2) 1ω<br />
80ω<br />
160ω<br />
Tidak terjadi penurunan fluksi maksimum, Φ′″ m =Φ m .<br />
d). Dengan 1 / 2 = 160/40 = 4 maka jika tegangan primer 220 V,<br />
tegangan sekunder adalah 55 V. Jika tegangan primer 110 V,<br />
tegangan sekundernya 229.5 V. Jika tegangan 55 V diterapkan<br />
pada setengah belitan primer, tegangan sekunder adalah 27.5 V.<br />
Jika tegangan 110 V diterapkan pada setengah belitan primer,<br />
tegangan sekunder adalah 55 V.<br />
COTOH-2.2 : Sebuah transformator satu fasa mempunyai belitan<br />
primer dengan 400 lilitan dan belitan sekunder 1000 lilitan. Luas<br />
penampang inti efektif adalah 60 cm 2 . Jika belitan primer<br />
dihubungkan ke sumber 500 V (rms) yang frekuensinya 50 Hz,<br />
tentukanlah kerapatan fluksi maksimum dalam inti serta tegangan di<br />
belitan sekunder.<br />
Penyelesaian :<br />
31
Dengan mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor, maka<br />
1ωΦ<br />
m<br />
500 2<br />
V1<br />
= = 500 → Φ m =<br />
= 0.00563 weber<br />
2<br />
400 × 2π × 50<br />
0.00563<br />
→ Kerapatan fluksi maksimum : Bm<br />
= = 0.94 weber/m<br />
0.006<br />
1000<br />
Tegangan belitan sekunder adalah V 2 = × 500 = 1250 V<br />
400<br />
COTOH-2.3 : Dari sebuah transformator satu fasa diinginkan suatu<br />
perbandingan tegangan primer / sekunder dalam keadaan tidak<br />
berbeban 6000/250 V. Jika frekuensi kerja adalah 50 Hz dan fluksi<br />
dalam inti transformator dibatasi sekitar 0.06 weber, tentukan<br />
jumlah lilitan primer dan sekunder.<br />
Penyelesaian :<br />
Pembatasan fluksi di sini adalah fluksi maksimum. Dengan<br />
mengabaikan resistansi belitan dan reaktansi bocor,<br />
1ωΦ<br />
m<br />
6000 2<br />
V1<br />
= = 6000 → 1<br />
=<br />
= 450<br />
2<br />
2π × 50 × 0.06<br />
250<br />
⇒ 2 = × 450 = 18.75<br />
6000<br />
Pembulatan jumlah lilitan harus dilakukan. Dengan melakukan<br />
pembulatan ke atas, batas fluksi maksimum Φ m tidak akan<br />
terlampaui. Jadi dapat kita tetapkan<br />
6000<br />
⇒ 2 = 20 lilitan ⇒ 1<br />
= × 20 = 480 lilitan<br />
250<br />
2.4. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />
Transformator adalah piranti listrik. Dalam analisis, piranti-piranti listrik<br />
biasanya dimodelkan dengan suatu rangkaian listrik ekivalen yang<br />
sesuai. Secara umum, rangkaian ekivalen hanyalah penafsiran secara<br />
rangkaian listrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan<br />
perilaku suatu piranti. Untuk transformator, ada tiga persamaan yang<br />
menggambarkan perilakunya, yaitu persamaan (2.7), (2.8), dan (2.10),<br />
yang kita tulis lagi sebagai satu set persamaan (2.11).<br />
2<br />
32 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
V1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
+ jI1X1<br />
; E2<br />
= V2<br />
+ I2R2<br />
+ jI2X2<br />
'<br />
I1<br />
= I f + I2<br />
' <br />
dengan 2 I<br />
I<br />
2<br />
2 = I2<br />
=<br />
1<br />
a<br />
;<br />
(2.11)<br />
Dengan hubungan E 1 = aE 2 dan I′ 2 = I 2 /a maka persamaan ke-dua dari<br />
(2.11) dapat ditulis sebagai<br />
E<br />
a<br />
⇒ E<br />
1<br />
1<br />
= V<br />
2<br />
= aV<br />
2<br />
dengan<br />
+ a I′<br />
R<br />
+ I′<br />
( a<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
V ′ = aV<br />
+ ja I′<br />
X<br />
2<br />
2<br />
;<br />
2<br />
2<br />
R′<br />
2<br />
2<br />
R ) + j I′<br />
( a<br />
Dengan (2.12) maka (2.11) menjadi<br />
X<br />
= a<br />
2<br />
2<br />
) = V′<br />
+ I′<br />
R′<br />
+ j I′<br />
X ′ (2.12)<br />
R<br />
V1<br />
= E1<br />
+ I1R1<br />
+ jI1X1;<br />
E1<br />
= aV2<br />
+ I2′<br />
R2′<br />
+ j I2′<br />
X 2′<br />
;<br />
I1<br />
= I f + I2′<br />
2<br />
2<br />
;<br />
2<br />
X ′<br />
2<br />
2<br />
= a<br />
2<br />
X<br />
2<br />
2<br />
2<br />
(2.13)<br />
'<br />
I 2 , R′ 2 , dan X′ 2 adalah arus, resistansi, dan reaktansi sekunder yang<br />
dilihat oleh sisi primer. Dari persamaan (2.13) dibangunlah rangkaian<br />
ekivalen transformator seperti Gb.2.6. di bawah ini.<br />
I<br />
'<br />
1<br />
I 2<br />
∼<br />
V 1<br />
R 1<br />
jX 1<br />
E 1<br />
Z<br />
I<br />
f<br />
R′ 2<br />
jX′ 2<br />
B<br />
V<br />
'<br />
2 = aV2<br />
Gb.2.6. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen diturunkan dari persamaan (2.13).<br />
Pada diagram fasor Gb.2.5. kita lihat bahwa arus magnetisasi dapat<br />
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu I c dan I φ . I c sefasa<br />
dengan E 1 sedangkan I φ 90 o dibelakang E 1 . Dengan demikian maka<br />
impedansi Z pada rangkaian ekivalen Gb.2.6. dapat dinyatakan sebagai<br />
hubungan paralel antara suatu resistansi R c dan impedansi induktif jX φ<br />
sehingga rangkaian ekivalen transformator secara lebih detil menjadi<br />
seperti Gb.2.7.<br />
33
∼<br />
I 1<br />
'<br />
I 2<br />
R 1<br />
jX 1 I f R′ 2<br />
jX′ 2<br />
V 1 E 1<br />
I φ<br />
B V2′<br />
= aV2<br />
R I<br />
c c jX c<br />
Gb.2.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator lebih detil.<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Yang Disederhanakan. Pada transformator yang<br />
digunakan pada tegangan bolak-balik yang konstan dengan frekuensi<br />
yang konstan pula (seperti misalnya transformator pada sistem tenaga<br />
listrik), besarnya arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari<br />
arus beban penuh transformator. Keadaan ini bisa dicapai karena inti<br />
transformator dibangun dari material dengan permeabilitas magnetik<br />
yang tinggi. Oleh karena itu, jika I f diabaikan terhadap I 1 kesalahan yang<br />
terjadi dapat dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat<br />
rangkaian ekivalen menjadi lebih sederhana seperti terlihat pada Gb.2.8.<br />
'<br />
I 1 = I 2<br />
∼<br />
R e = R 1 +R′ 2<br />
jX e =j(X 1 + X′ 2 )<br />
V<br />
B V<br />
1<br />
2′<br />
2.5. Impedansi Masukan<br />
'<br />
jI 2 X e<br />
V 2′<br />
'<br />
I 2<br />
Gb.2.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator<br />
disederhanakan dan diagram fasornya.<br />
Resistansi beban B adalah R B = V 2 /I 2 . Dilihat dari sisi primer resistansi<br />
tersebut menjadi<br />
V 1<br />
34 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
V2′<br />
aV2<br />
V2<br />
RB′ 2 2<br />
= = = a = a R B<br />
(2.14)<br />
I 2′<br />
I 2 / a I 2<br />
Dengan melihat rangkaian ekivalen yang disederhanakan Gb.2.10,<br />
impedansi masukan adalah<br />
V1<br />
2<br />
Z in = = Re<br />
+ a RB<br />
+ jX<br />
I<br />
2.6. Penentuan Parameter Transformator<br />
1<br />
e<br />
(2.15)<br />
Dari rangkaian ekivalen lengkap Gb.2.7. terlihat ada enam parameter<br />
transformator yang harus ditentukan, R 1 , X 1 , R′ 2 , X′ 2 , R c , dan X φ .<br />
Resistansi belitan primer dan sekunder dapat diukur langsung<br />
menggunakan metoda jembatan. Untuk menentukan empat parameter<br />
yang lain kita memerlukan metoda khusus seperti diuraikan berikut ini.<br />
Uji Tak Berbeban ( Uji Beban ol ). Uji beban nol ini biasanya<br />
dilakukan pada sisi tegangan rendah karena catu tegangan rendah<br />
maupun alat-alat ukur tegangan rendah lebih mudah diperoleh. Sisi<br />
tegangan rendah menjadi sisi masukan yang dihubungkan ke sumber<br />
tegangan sedangkan sisi tegangan tinggi terbuka. Pada belitan tegangan<br />
rendah dilakukan pengukuran tegangan masukan V r , arus masukan I r , dan<br />
daya (aktif) masukan P r . Karena sisi primer terbuka, I r adalah arus<br />
magnetisasi yang cukup kecil sehingga kita dapat melakukan dua<br />
pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah mengabaikan tegangan<br />
jatuh di reaktansi bocor sehingga V r sama dengan tegangan induksi E r .<br />
Pendekatan yang kedua adalah mengabaikan kehilangan daya di<br />
resistansi belitan sehingga P r menunjukkan kehilangan daya pada R cr (R c<br />
dilihat dari sisi tegangan rendah) saja.<br />
Pr<br />
Pr<br />
Daya kompleks masukan : Sr<br />
= Vr<br />
I r ; cosθ = =<br />
S V I<br />
⇒<br />
⇒<br />
Icr<br />
= I r cosθ<br />
Vr<br />
Rcr<br />
=<br />
Icr<br />
;<br />
Vr<br />
=<br />
I r cosθ<br />
→ sin θ =<br />
I φr<br />
= I r sin θ<br />
;<br />
Vr<br />
X φr<br />
=<br />
I φr<br />
2 2<br />
Sr<br />
− Pr<br />
Sr<br />
r<br />
Vr<br />
=<br />
I r sin θ<br />
r<br />
r<br />
(2.16)<br />
35
Uji Hubung Singkat. Uji hubung singkat dilakukan di sisi tegangan<br />
tinggi dengan si`si tegangan rendah dihubung-singkat. Sisi tegangan<br />
tinggi menjadi sisi masukan yang dihubungkan dengan sumber tegangan.<br />
Tegangan masukan harus cukup rendah agar arus di sisi tegangan rendah<br />
masih dalam batas nominalnya. Pengukuran di belitan tegangan tinggi<br />
dilakukan seperti halnya pada uji beban nol, yaitu tegangan masukan V t ,<br />
arus masukan I t , dan daya (aktif) masukan P t . Tegangan masukan yang<br />
dibuat kecil mengakibatkan rugi-rugi inti menjadi kecil sehingga kita<br />
dapat membuat pendekatan dengan mengabaikan rugi-rugi inti. Dengan<br />
demikian kita dapat menggunakan rangkaian ekivalen yang<br />
disederhanakan Gb.2.9. Daya P t dapat dianggap sebagai daya untuk<br />
mengatasi rugi-rugi tembaga saja, yaitu rugi-rugi pada resistansi ekivalen<br />
yang dilihat dari sisi tegangan tinggi R et .<br />
t<br />
t<br />
2<br />
t<br />
P = I<br />
V = I<br />
t<br />
R<br />
Z<br />
et<br />
et<br />
→ R<br />
et<br />
→ Z<br />
P<br />
=<br />
I<br />
et<br />
t<br />
2<br />
t<br />
V<br />
=<br />
I<br />
t<br />
t<br />
;<br />
→ X<br />
e<br />
=<br />
Z<br />
2<br />
et<br />
− R<br />
2<br />
et<br />
(2.17)<br />
Dalam perhitungan ini kita memperoleh nilai R et = R 1 + R′ 2 . Nilai<br />
resistansi masing-masing belitan dapat diperoleh dengan pengukuran<br />
terpisah sebagaimana telah disebutkan di atas.<br />
Untuk reaktansi, kita memperoleh nilai X et = X 1 + X′ 2 . Kita tidak dapat<br />
memperoleh informasi untuk menentukan reaktansi masing-masing<br />
belitan. Jika sekiranya nilai reaktansi masing-masing belitan diperlukan<br />
kita dapat mengambil asumsi bahwa X 1 = X′ 2 . Kondisi ini sesungguhnya<br />
benar adanya jika transformator dirancang dengan baik.<br />
COTOH-2.5 : Pada sebuah transformator 25 KVA, 2400/240 volt, 50<br />
Hz, dilakukan uji beban nol dan uji hubung singkat.<br />
Uji beban nol pada sisi tegangan rendah memberikan hasil<br />
V r = 240 volt, I r = 1.6 amper, P r = 114 watt<br />
Uji hubung singkat yang dilakukan dengan menghubung-singkat<br />
belitan tegangan rendah memberikan hasil pengukuran di sisi<br />
tegangan tinggi<br />
V t = 55 volt, I t = 10.4 amper, P t = 360 watt<br />
36 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
a). Tentukanlah parameter transformator dilihat dari sisi tegangan<br />
tinggi. b). Berapakah rugi-rugi inti dan rugi-rugi tembaga pada<br />
beban penuh <br />
Penyelesaian :<br />
a). Uji beban nol dilakukan di sisi tegangan rendah. Jadi nilai R c dan<br />
X φ yang akan diperoleh dari hasil uji ini adalah dilihat dari tegangan<br />
rendah, kita sebut R cr dan X φr .<br />
2 2<br />
P 114<br />
(240×<br />
1.6) −114<br />
cos θ = = = 0.3; sin θ =<br />
= 0.95<br />
VI 240×<br />
1.6<br />
240×<br />
1.6<br />
V 240 240<br />
V 240<br />
Rcr<br />
= = = = 500 Ω ; X φ r = = = 158 Ω<br />
I c I cos θ 1.6×<br />
0.3<br />
I φ 1.6×<br />
0.95<br />
Jika dilihat dari sisi tegangan tinggi :<br />
R<br />
X<br />
ct<br />
φt<br />
2<br />
= a R<br />
= a<br />
2<br />
cr<br />
X<br />
⎛<br />
= ⎜<br />
⎝<br />
φr<br />
2<br />
2400 ⎞<br />
⎟<br />
240 ⎠<br />
= 15.8 kΩ<br />
× 500 = 50 kΩ<br />
Resistansi ekivalen dan reaktansi bocor ekivalen diperoleh dari uji<br />
hubung singkat. Uji hubung singkat yang dilakukan di sisi tegangan<br />
tinggi ini memberikan<br />
Pt<br />
360<br />
Ret<br />
= = = 3.33 Ω ;<br />
2 2<br />
It<br />
(10.4)<br />
Vt<br />
55<br />
Zet<br />
= = = 5.29 Ω →<br />
It<br />
10.4<br />
X et =<br />
2 2<br />
5.29 = 3.33<br />
= 4.1Ω<br />
b). Pada pembebanan penuh fluksi bersama dalam inti transformator<br />
hampir sama dengan fluksi dalam keadaan beban nol. Jadi rugi-rugi<br />
inti pada pembebanan penuh adalah 114 Watt. Rugi-rugi tembaga<br />
tergantung dari besarnya arus. Besarnya arus primer pada beban<br />
penuh adalah sama dengan arus sisi tegangan tinggi pada percobaan<br />
hubung singkat, yaitu<br />
S 25000 2<br />
I 1 = = = 10.4 A → Pcu<br />
= I1<br />
Ret<br />
= (10.4)<br />
2 × 3.33 = 360 W<br />
V 2400<br />
1<br />
37
Karena pada uji hubung singkat arus sisi tegangan tinggi dibuat<br />
sama dengan arus beban penuh, maka rugi-rugi tembaga adalah<br />
penunjukan wattmeter pada uji hubung singkat.<br />
2.7. Efisiensi dan Regulasi Tegangan<br />
Efisiensi suatu piranti didefinisikan sebagai<br />
daya keluaran [watt]<br />
η =<br />
(2.18)<br />
daya masukan [watt]<br />
Karena daya keluaran sama dengan daya masukan dikurangi rugi-rugi<br />
daya, maka efisiensi dapat dinyatakan sebagai<br />
rugi - rugi daya [watt]<br />
η =1 −<br />
(2.19)<br />
daya masukan [watt]<br />
Formulasi (2.19) ini lebih sering digunakan. Untuk transformator rugirugi<br />
daya dapat segera diperoleh melalui uji beban nol dan uji hubung<br />
singkat, yaitu jumlah rugi inti dan rugi tembaga.<br />
Regulasi tegangan transformator didefinisikan sebagai perubahan<br />
besarnya tegangan sekunder bila arus berubah dari beban penuh ke beban<br />
nol dengan tegangan primer dijaga tetap. Jadi<br />
V2 beban nol −V2 beban penuh<br />
Regulasi Tegangan =<br />
V2 beban penuh<br />
V1<br />
/ a − V2<br />
=<br />
V2<br />
V1<br />
− aV2<br />
=<br />
aV2<br />
V1<br />
− V2′<br />
=<br />
V2′<br />
Dengan memperhatikan diagram fasor Gb.2.9. maka (2.25) menjadi<br />
Regulasi Tegangan =<br />
V2 ′ + I′<br />
2 ( R e + jX e ) − V2′<br />
V2′<br />
(2.25)<br />
(2.26)<br />
COTOH-2.6 : Transformator pada Contoh-5. mencatu beban 25 KVA<br />
pada faktor daya 0.8. a). Hitunglah efisiensinya. b). Hitunglah<br />
regulasi tegangannya.<br />
Penyelesaian :<br />
38 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Total rugi daya : P c + cu = 114 + 360 = 474 W = 0.474 KW<br />
a). Daya keluaran : Po<br />
= 25000×<br />
0.8 = 20 KW<br />
0.474<br />
Efisiensi : η = 1−<br />
= 0.976 atau 97.6 %<br />
20<br />
b). Mengambil V 2 sebagai referensi : V′ 2 = 10×240 = 2400∠0 o V.<br />
′ −1<br />
o<br />
I 2 = I 2 / a = (25000 / 240) /10∠ − cos 0.8 = 10.4∠ − 36.8<br />
o<br />
o<br />
2400∠0<br />
+ 10.4∠ − 36.8 (3.33 + j4.1)<br />
− 2400<br />
Reg.Tegangan =<br />
2400<br />
0.022 atau 2.2 %<br />
2.8. Konstruksi Transformator<br />
Dalam pembahasan transformator, kita melihat transformator dengan<br />
satu inti dua belitan. Belitan primer digulung pada salah satu kaki inti<br />
dan belitan sekunder digulung pada kaki inti yang lain. Dalam kenyataan<br />
tidaklah demikian. Untuk mengurang fluksi bocor, belitan primer dan<br />
sekunder masing-masing dibagi menjadi dua bagian dan digulung di<br />
setiap kaki inti. Belitan primer dan sekunder digulung secara konsentris<br />
dengan belitan sekunder berada di dalam belitan primer. Dengan cara ini<br />
fluksi bocor dapat ditekan sampai hanya beberapa persen dari fluksi<br />
bersama. Pembagian belitan seperti ini masih mungkin dilanjutkan untuk<br />
lebih menekan fluksi bocor, dengan beaya yang sudah barang tentu lebih<br />
tinggi.<br />
R / 2 R / 2<br />
T /<br />
T /<br />
2<br />
2<br />
a). tipe inti.<br />
a). tipe sel.<br />
Gb.2.9. Dua tipe konstruksi transformator.<br />
T : jumlah lilitan tegangan tinggi<br />
R : jumlah lilitan tegangan rendah.<br />
R / 4<br />
T / 2<br />
R / 2<br />
T / 2<br />
R / 4<br />
39
Dua tipe konstruksi yang biasa digunakan pada transformator satu fasa<br />
adalah core type (tipe inti) dan shell type (tipe sel). Gb.2.9.a.<br />
memperlihatkan konstruksi tipe inti dengan belitan primer dan sekunder<br />
yang terbagi dua. Belitan tegangan rendah digulung dekat dengan inti<br />
yang kemudian dilingkupi oleh belitan tegangan tinggi. Konstruksi ini<br />
sesuai untuk tegangan tinggi karena masalah isolasi lebih mudah<br />
ditangani. Gb.2.9.b. memperlihatkan konstruksi tipe sel. Konstruksi ini<br />
sesuai untuk transformator daya dengan arus besar. Inti pada konstruksi<br />
ini memberikan perlindungan mekanis lebih baik pada belitan.<br />
2.9. Transformator Pada <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa<br />
Pada sistem tiga fasa, penaikan dan penurunan tegangan dapat dilakukan<br />
dengan dua cara yaitu :<br />
(a) menggunakan tiga unit transformator satu fasa,<br />
(b) menggunakan satu unit transformator tiga fasa.<br />
Transformator tiga fasa mempunyai inti dengan tiga kaki dan setiap kaki<br />
mendukung belitan primer dan sekunder. Untuk penyaluaran daya yang<br />
sama, penggunaan satu unit transformator tiga fasa akan lebih ringan,<br />
lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan tiga unit<br />
transformator satu fasa. Akan tetapi penggunaan tiga unit transformator<br />
satu fasa juga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan satu<br />
unit transformator tiga fasa. Misalnya beaya awal yang lebih rendah, jika<br />
untuk sementara beban dapat dilayani dengan dua unit saja dan unit<br />
ketiga ditambahkan jika penambahan beban telah terjadi. Terjadinya<br />
kerusakan pada salah satu unit tidak mengharuskan pemutusan seluruh<br />
penyaluran daya. Pemilihan cara mana yang lebih baik, tergantung dari<br />
berbagai pertimbangan keadaan-khusus. Pada dasarnya kedua cara adalah<br />
sama. Berikut ini kita akan melihat hubungan primer-sekunder<br />
transformator, dengan melihat pelayanan sistem tiga fasa melalui tiga<br />
unit transformator satu fasa.<br />
Hubungan ∆−∆. Pada waktu menghubungkan tiga transformator satu<br />
fasa untuk melayani sistem tiga fasa, hubungan sekunder harus<br />
diperhatikan agar sistem tetap seimbang. Diagram hubungan ini<br />
diperlihatkan pada Gb.2.10. Fasa primer disebut dengan fasa U-V-W<br />
sedangkan fasa sekunder disebut fasa X-Y-Z. Fasor tegangan fasa primer<br />
kita sebut V UO , V VO , V WO dengan nilai V FP , dan tegangan fasa sekunder<br />
kita sebut V XO , V YO , V ZO dengan nilai V FS . Nilai tegangan saluran<br />
(tegangan fasa-fasa) primer dan sekunder kita sebut V LP dan V LS . Nilai<br />
40 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
arus saluran primer dan sekunder masing-masing kita sebut I LP dan I LS<br />
sedang nilai arus fasanya I FP dan I FS . Rasio tegangan fasa primer<br />
terhadap sekunder V / V a . Dengan mengabaikan rugi-rugi untuk<br />
FP FS =<br />
hubungan ∆-∆ kita peroleh :<br />
U<br />
V<br />
W<br />
V UO<br />
V VO<br />
V WO<br />
VLP VFP<br />
I LP I FP 3 1<br />
= = a ; = =<br />
(2.27)<br />
VLS<br />
VFP<br />
I LS I FS 3 a<br />
V XO<br />
V YO<br />
V ZO<br />
X<br />
Y V UV = V UO<br />
V XY = V XO<br />
Z<br />
Gb.2.10. Hubungan ∆-∆.<br />
Hubungan ∆-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.11.<br />
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan tegangan fasa primer, sedangkan<br />
tegangan fasa-fasa sekunder sama dengan √3 kali tegangan fasa sekunder<br />
dengan perbedaan sudut fasa 30 o . Dengan mengabaikan rugi-rugi kita<br />
peroleh<br />
VLP VFP<br />
a I LP I FP 3 3<br />
= = ; = =<br />
(2.28)<br />
VLS<br />
VFS<br />
3 3 I LS I FS a<br />
Fasor tegangan fasa-fasa sekunder mendahului primer 30 o .<br />
U<br />
X<br />
V<br />
V UO<br />
V XO<br />
Y<br />
V UV = V UO<br />
V ZO<br />
V XY<br />
W<br />
V VO<br />
V YO<br />
Z<br />
V XO<br />
V WO<br />
V ZO<br />
Gb.2.11. Hubungan ∆-Y<br />
V YO<br />
41
Hubungan Y-Y. Hubungan ini diperlihatkan pada Gb.2.12.<br />
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer<br />
dengan perbedaan sudut fasa 30 o , tegangan fasa-fasa sekunder sama<br />
dengan √3 kali tegangan fasa sekunder dengan perbedaan sudut fasa 30 o .<br />
Perbandingan tegangan fasa-fasa primer dan sekunder adalah<br />
VLP VFP<br />
3 I LP I FP 1<br />
= = a ; = =<br />
(2.29)<br />
VLS<br />
V<br />
I LS I FS a<br />
FS 3<br />
Antara fasor tegangan fasa-fasa primer dan sekunder tidak terdapat<br />
perbedaan sudut fasa.<br />
U<br />
X<br />
V UO<br />
V XO<br />
V<br />
Y<br />
V VO<br />
V YO<br />
W<br />
Z<br />
V WO<br />
V ZO<br />
V WO<br />
V UV<br />
V ZO<br />
V XY<br />
V UO<br />
V XO<br />
V VO<br />
V YO<br />
Gb.2.12. Hubungan Y-Y<br />
42 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Hubungan Y-∆. Hubungan ini terlihat pada Gb.2.13.<br />
Tegangan fasa-fasa pimer sama dengan √3 kali tegangan fasa primer<br />
dengan perbedaan sudut fasa 30 o , sedangkan tegangan fasa-fasa sekunder<br />
sama dengan tegangan fasa sekunder. Dengan mengabaiakan rugi-rugi<br />
diperoleh<br />
VLP<br />
VLS<br />
VFP<br />
3<br />
I LP I FP 1<br />
= = a 3 ; = = (2.30)<br />
VFS<br />
I LS I FS 3 a 3<br />
Fasor tegangan fasa-fasa primer mendahului sekunder 30 o .<br />
U<br />
V<br />
W<br />
V UO<br />
V VO<br />
V WO<br />
V XO<br />
V YO<br />
V ZO<br />
X<br />
Y<br />
Z<br />
V WO<br />
V UV<br />
V XY = V XO<br />
V UO<br />
V ZO<br />
V YO<br />
V VO<br />
Gb.2.13. Hubungan Y-∆<br />
COTOH-2.7 : Sebuah transformator penurun tegangan 3 fasa,<br />
tegangan primernya dihubungkan pada sumber 6600 V dan<br />
mengambil arus 10 A. Jika rasio transformasi adalah 12, hitunglah<br />
tegangan saluran sekunder, arus saluran sekunder dan daya keluaran<br />
untuk hubungan-hubungan berikut : (a) ∆-∆ ; (b) Y-Y ; (c) ∆-Y ;<br />
(d) Y-∆ .<br />
43
Penyelesaian :<br />
a). Untuk hubungan ∆-∆ :<br />
VFP<br />
VLP<br />
6600<br />
VLS<br />
= VFS<br />
= = = = 550 V ;<br />
a a 12<br />
I LP<br />
I LS = I FS 3 = aI FP 3 = a 3 = 12 × 10 = 120 A.<br />
3<br />
b). Untuk hubungan Y-Y :<br />
VFP<br />
VLP<br />
3 6600<br />
VLS<br />
= VFS<br />
3 = 3 = = = 550 V ;<br />
a 3 a 12<br />
I LS == I FS = aI FP = aI LP = 12 × 10 = 120 A.<br />
c). Untuk hubungan ∆-Y :<br />
VFP<br />
VLP<br />
6600<br />
VLS<br />
= VFS<br />
3 = 3 = 3 = 3 = 953 V ;<br />
a a 12<br />
I LP 10<br />
I LS = I FS = aI FP = a = 12 = 69,3 A.<br />
3 3<br />
d) Untuk hubungan Y-∆ :<br />
V<br />
I<br />
LS<br />
LS<br />
= V<br />
= I<br />
FS<br />
FS<br />
V<br />
=<br />
a<br />
FP<br />
3 = aI<br />
1 VLP<br />
= =<br />
a 3<br />
FP<br />
3 = aI<br />
1<br />
12<br />
LP<br />
6600<br />
= 318 V ;<br />
3<br />
3 = 12 × 10 ×<br />
3 = 208 A .<br />
Dengan mengabaikan rugi-rugi daya keluaran sama dengan daya<br />
masukan.<br />
S keluaran<br />
= Smasukan<br />
= VLP<br />
I LP<br />
3 = 6,6 × 10 3 = 114,3 kVA.<br />
44 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
BAB 3<br />
Mesin Sinkron<br />
Kita telah melihat bahwa pada transformator terjadi alih energi dari<br />
sisi primer ke sisi sekunder. Energi di ke-dua sisi transformator<br />
tersebut sama bentuknya (yaitu energi listrik) akan tetapi mereka<br />
mempunyai peubah sinyal (yaitu tegangan dan arus) yang berbeda<br />
besarnya. Kita katakan bahwa transformator merupakan piranti<br />
konversi energi dari energi elektrik ke energi listrik.<br />
Kita perhatikan pula bahwa peubah-peubah sinyal di sisi sekunder<br />
transformator muncul karena fluksi di inti transformator merupakan<br />
fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu ini dibangkitkan oleh arus di sisi<br />
primer, yang juga merupakan fungsi waktu. Fluksi fungsi waktu<br />
dapat pula dibangkitkan dengan cara lain misalnya secara mekanis;<br />
cara inilah yang dilaksanakan pada piranti konversi energi dari<br />
energi mekanis ke energi elektrik atau disebut konversi energi<br />
elektromekanik. Konversi energi elektromekanik ini tidak hanya dari<br />
mekanis ke elektrik tetapi juga dari elektrik ke mekanis, dan<br />
dilandasi oleh dua hukum dasar yang kita kenal yaitu hukum<br />
Faraday dan hukum Ampere. Secara matematis kedua hukum ini<br />
dinyatakan dalam dua persamaan berikut<br />
dλ<br />
dφ<br />
e = − = −<br />
dan F = KB<br />
B i f (θ)<br />
dt dt<br />
Persamaan pertama menunjukkan bagaimana tegangan dibangkitkan<br />
dan persamaan ke-dua menunjukkan bagaimana gaya mekanis<br />
ditimbulkan.<br />
Berikut ini kita akan mempelajari mesin konversi energi yang sangat<br />
luas digunakan di pusat-pusat pembangkit listrik, yang disebut<br />
generator sinkron. Ada dua macam konstruksi yang akan kita lihat<br />
yaitu konstruksi kutub tonjol dan konstruksi rotor silindris.<br />
45
3.1. Mesin Kutub Menonjol<br />
Skema konstruksi mesin ini adalah seperti terlihat pada Gb.1.a.<br />
Mesin ini terdiri dari bagian stator yang mendukung belitan-belitan<br />
a 1 a 11 sampai c 2 c 22 pada alur-alurnya, dan bagian rotor yang berputar<br />
yang mendukung kutub-kutub magnit. Belitan pada stator tempat<br />
kita memperoleh energi disebut belitan jangkar. Belitan pada rotor<br />
yang dialiri arus eksitasi untuk menimbullkan medan magnit disebut<br />
belitan eksitasi. Pada gambar ini ada empat kutub magnit. Satu<br />
siklus kutub S-U pada rotor memiliki kisar sudut (yang kita sebut<br />
sudut magnetis atau sudut listrik) 360 o . Kisar sudut 360 o ini<br />
melingkupi tiga belitan di stator dengan posisi yang bergeser 120 o<br />
antara satu dengan lainnya. Misalnya belitan a 1 a 11 dan belitan b 1 b 11<br />
berbeda posisi 120 o , belitan b 1 b 11 dan c 1 c 11 berbeda posisi 120 o , dan<br />
mereka bertiga berada di bawah satu kisaran kutub S-U. Tiga belitan<br />
yang lain, yaitu a 2 a 22 , b 2 b 22 , dan c 2 c 22 berada dibawah satu kisaran<br />
kutub S-U yang lain dan mereka juga saling berbeda posisi 120 o .<br />
a<br />
b 11<br />
1 c1<br />
c 11 S b 11<br />
a 1 U U a 2<br />
b 22 S c 22<br />
c 2<br />
a 22<br />
b 2<br />
a 1 a 11<br />
180 o mekanis = 360 o<br />
φ<br />
φ<br />
φ<br />
a) b) c)<br />
konstruksi kutub tonjol belitan fluksi magnetik<br />
Gb.3.1. Mesin sinkron kutub tonjol<br />
Karena mesin yang tergambar ini merupakan mesin empat kutub<br />
(dua pasang kutub) maka satu perioda siklus mekanik (perputaran<br />
rotor) sama dengan dua perioda siklus magnetik. Jadi hubungan<br />
antara sudut kisaran mekanik dan sudut kisaran magnetik adalah<br />
atau secara umum<br />
θ magnetik [ derajat]<br />
= 2×<br />
θmekanik<br />
[ derajat]<br />
46 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
p<br />
θ magnetik [ derajat]<br />
= × θmekanik<br />
[ derajat]<br />
(3.1)<br />
2<br />
dengan p adalah jumlah kutub.<br />
Kecepatan sudut mekanik adalah<br />
dθmekanik<br />
ω mekanik = = 2π f mekanik<br />
(3.2)<br />
dt<br />
Frekuensi mekanik f mekanik adalah jumlah siklus mekanik per detik<br />
yang tidak lain adalah kecepatan perputaran rotor per detik.<br />
Biasanya kecepatan perputaran rotor dinyatakan dengan jumlah<br />
rotasi per menit (rpm). Jadi jika kecepatan perputaran rotor adalah n<br />
rpm, maka jumlah siklus per detik adalah<br />
n n<br />
atau f mekanis =<br />
60<br />
60<br />
siklus per detik.<br />
Kecepatan sudut magnetik adalah<br />
dθmagnetik<br />
ω magnetik = = 2π f magnetik<br />
(3.3)<br />
dt<br />
Dengan hubungan (3.1) maka (3.3) menjadi<br />
p<br />
p<br />
p n p n<br />
ω magnetik = ωmekanik<br />
= 2π<br />
f mekanik = 2π<br />
= 2π<br />
2<br />
2<br />
2 60 120<br />
yang berarti<br />
p n<br />
f magnetik = siklus per detik (3.4)<br />
120<br />
Perubahan fluksi magnetik akan membangkitkan tegangan induksi<br />
di setiap belitan. Karena fluksi magnetik mempunyai frekuensi<br />
p n<br />
f magnetik = Hz maka tegangan pada belitanpun akan<br />
120<br />
mempunyai frekuensi<br />
p n<br />
f tegangan = Hz<br />
(3.5)<br />
120<br />
47
Dengan (3.5) ini jelaslah bahwa untuk memperoleh frekuensi<br />
tertentu, kecepatan perputaran rotor harus sesuai dengan jumlah<br />
kutub. Jika diinginkan f = 50 Hz misalnya, untuk p = 2 maka n =<br />
3000 rpm; jika p = 4 maka n = 1500 rpm; jika p = 6 maka n = 1000<br />
rpm, dan seterusnya. Konstruksi mesin dengan kutub menonjol<br />
seperti pada Gb.1. sesuai untuk mesin putaran rendah tetapi tidak<br />
sesuai untuk mesin putaran tinggi karena kendala-kendala mekanis.<br />
Untuk mesin putaran tinggi digunakan rotor dengan konstruksi<br />
silindris.<br />
180 o mekanis = 360 o magnetik<br />
a 11<br />
φ s<br />
a θ<br />
1<br />
Gb.3.2. Perhitungan fluksi.<br />
Dengan pergeseran posisi belitan 120 o magnetik untuk setiap pasang<br />
kutub, maka kita mendapatkan tegangan sistem tiga fasa untuk<br />
setiap pasang kutub, yaitu e a1 pada belitan a 1 a 11 , e b1 pada b 1 b 11 , dan<br />
e c1 pada c 1 c 11 . Demikian pula kita memperoleh tegangan e a2 , e b2<br />
dan e c2 pada belitan-belitan di bawah pasangan kutub yang lain. Jadi<br />
setiap pasang kutub akan membangkitkan tegangan sistem tiga fasa<br />
pada belitan-belitan yang berada dibawah pengaruhnya. Tegangan<br />
yang sefasa, misalnya e a1 dan e a2 , dapat dijumlahkan untuk<br />
memperoleh tegangan yang lebih tinggi atau diparalelkan untuk<br />
memperoleh arus yang lebih besar.<br />
Tegangan yang terbangkit di belitan pada umumnya diinginkan<br />
berbentuk gelombang sinus v = Acos ωt<br />
, dengan pergeseran 120 o<br />
untuk belitan fasa-fasa yang lain. Tegangan sebagai fungsi waktu<br />
48 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
ini pada transformator dapat langsung diperoleh di belitan sekunder<br />
karena fluksinya merupakan fungsi waktu. Pada mesin sinkron,<br />
fluksi dibangkitkan oleh belitan eksitasi di rotor yang dialiri arus<br />
searah sehingga fluksi tidak merupakan fungsi waktu. Akan tetapi<br />
fluksi yang ditangkap oleh belitan stator harus merupakan fungsi<br />
waktu agar persamaan (3.1) dapat diterapkan untuk memperoleh<br />
tegangan. Fluksi sebagai fungsi waktu diperoleh melalui putaran<br />
rotor. Jika φ adalah fluksi yang dibangkitkan di rotor dan memasuki<br />
celah udara antara rotor dan stator dengan nilai konstan maka,<br />
dengan mengabaikan efek pinggir, laju pertambahan fluksi yang<br />
ditangkap oleh belitan stator adalah<br />
dφ<br />
dθ<br />
s magnetik<br />
= φ<br />
dt dt<br />
= φ ω magnetik<br />
p n<br />
Karena ω magnetik = 2π<br />
f magnetik = 2π<br />
, maka<br />
120<br />
d φ s = φ<br />
dt<br />
π<br />
p n<br />
60<br />
Dari (3.4) kita peroleh tegangan pada belitan, yaitu<br />
(3.6)<br />
(3.7)<br />
dφ<br />
s<br />
p n<br />
v = − = − φ π<br />
(3.8)<br />
dt<br />
60<br />
Jika φ bernilai konstan, tidaklah berarti (3.8) memberikan suatu t<br />
egangan konstan karena φ bernilai konstan positif untuk setengah<br />
perioda dan bernilai konstan negatif untuk setengah perioda<br />
berikutnya. Maka (3.8) memberikan tegangan bolak-balik yang<br />
tidak sinus. Untuk memperoleh tegangan berbentuk sinus, φ harus<br />
berbentuk sinus juga. Akan tetapi ia tidak dibuat sebagai fungsi<br />
sinus terhadap waktu, akan tetapi sebagai fungsi sinus posisi, yaitu<br />
terhadap θ maknetik . Jadi jika<br />
φ = φ m cos θ maknetik<br />
(3.9)<br />
maka laju pertambahan fluksi yang dilingkupi belitan adalah<br />
49
( φ cosθ<br />
)<br />
dφs<br />
dφ<br />
d<br />
dθmagnetik<br />
= = m magnetik = −φm<br />
sinθmagnetik<br />
dt dt dt<br />
dt<br />
⎛ p n ⎞<br />
= −φ m ω magnetik sin θ mmagnetik = −φ m⎜2<br />
π ⎟ sin θmagnetik<br />
⎝ 120 ⎠<br />
(3.10)<br />
sehingga tegangan belitan<br />
dφ<br />
s p n<br />
e = −<br />
= π φm<br />
sin θmagnetik<br />
dt 60 (3.11)<br />
= 2π<br />
f φm<br />
sin θmagnetik<br />
= ω φm<br />
sin ωt<br />
Persamaan (3.11) memberikan nilai sesaat dari dari tegangan yang<br />
dibangkitkan di belitan stator. Nilai maksimum dari tegangan ini<br />
adalah<br />
dan nilai efektifnya adalah<br />
Em<br />
= ω<br />
φm<br />
Volt<br />
(3.12)<br />
Em<br />
ω<br />
φm<br />
2π<br />
f<br />
Erms<br />
= = =<br />
2 2 2<br />
= 4,44 f φm<br />
Volt<br />
φm<br />
(3.13)<br />
Dalam menurunkan formulasi tegangan di atas, kita menggunakan<br />
perhitungan fluksi seperti diperlihatkan pada Gb.2. yang merupakan<br />
penyederhanaan dari konstruksi mesin seperti diperlihatkan pada<br />
Gb.1.a. Di sini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />
1. Belitan terdiri dari hanya satu gulungan, misalnya belitan<br />
a 1 a 11 , yang ditempatkan di sepasang alur stator, walaupun<br />
gulungan itu terdiri dari lilitan. Belitan semacam ini kita<br />
sebut belitan terpusat.<br />
2. Lebar belitan, yaitu kisar sudut antara sisi belitan a 1 dan a 11<br />
adalah 180 o magnetik. Lebar belitan semacam ini kita sebut<br />
kisar penuh.<br />
Dalam praktek lilitan setiap fasa tidak terpusat di satu belitan,<br />
melainkan terdistribusi di beberapa belitan yang menempati<br />
beberapa pasang alur stator. Belitan semacam ini kita sebut belitan<br />
terdistribusi, yang dapat menempati stator sampai 1/3 kisaran penuh<br />
50 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
(60 o magnetik). Selain dari pada itu, gulungan yang menempati<br />
sepasang alur secara sengaja dibuat tidak mempunyi lebar satu<br />
kisaran penuh; jadi lebarnya tidak 180 o akan tetapi hanya 80%<br />
sampai 85% dari kisaran penuh. Pemanfaatan belitan terdistribusi<br />
dan lebar belitan tidak satu kisar penuh dimaksudkan untuk<br />
menekan pengaruh harmonisa yang mungkin ada di kerapatan<br />
fluksi. Sudah barang tentu hal ini akan sedikit mengurangi<br />
komponen fundamental dan pengurangan ini dinyatakan dengan<br />
suatu faktor K w yang kita sebut faktor belitan. Biasanya K w<br />
mempunyai nilai antara 0,85 sampai 0,95. Dengan adanya faktor<br />
belitan ini formulasi tegangan (3.13) menjadi<br />
Erms = 4,44<br />
f K w φm<br />
Volt<br />
(3.14)<br />
Pada pengenalan ini kita hanya melihat mesin sinkron kutub tonjol<br />
dalam keadaan tak berbeban; analisis dalam keadaan berbeban akan<br />
kita pelajari lebih lanjut pada pelajaran khusus mengenai mesinmesin<br />
listrik. Selanjutnya kita akan melihat mesin sinkron rotor<br />
silindris.<br />
COTOH-3.1: Sebuah generator sinkron tiga fasa, 4 kutub, belitan<br />
jangkar terhubung Y, mempunyai 12 alur pada statornya dan<br />
setiap alur berisi 10 konduktor. Fluksi kutub terdistribusi secara<br />
sinus dengan nilai maksimumnya 0,03 Wb. Kecepatan<br />
perputaran rotor 1500 rpm. Carilah frekuensi tegangan jangkar<br />
dan nilai rms tegangan jangkar fasa-netral dan fasa-fasa.<br />
Penyelesaian :<br />
Frekuensi tegangan jangkar adalah<br />
p n 4×<br />
1500<br />
f = = = 50 Hz<br />
120 120<br />
12<br />
Jumlah alur per kutub adalah = 3 yang berarti setiap pasang<br />
4<br />
kutub terdapat 3 belitan yang membangun sistem tegangan tiga<br />
fasa. Jadi setiap fasa terdiri dari 1 belitan yang berisi 10 lilitan.<br />
Nilai rms tegangan jangkar per fasa per pasang kutub adalah<br />
E ak = 4 ,44 f φm<br />
= 4,44×<br />
50×<br />
10×<br />
0,03 = 66,6 V<br />
51
Karena ada dua pasang kutub maka tegangan per fasa adalah : 2<br />
× 66,6 = 133 V.<br />
Tegangan fasa-fasa adalah 133 √3 = 230 V.<br />
COTOH-3.2: Soal seperti pada Contoh-3.1. tetapi jumlah alur<br />
pada stator ditingkatkan menjadi 24 alur. Ketentuan yang lain<br />
tetap.<br />
Penyelesaian :<br />
Frekuensi tegangan jangkar tidak tergantung jumlah alur. oleh<br />
karena itu frekuensi tetap 50 Hz.<br />
24<br />
Jumlah alur per kutub adalah = 6 yang berarti setiap<br />
4<br />
pasang kutub terdapat 6 belitan yang membangun sistem<br />
tegangan tiga fasa. Jadi setiap fasa pada satu pasang kutub<br />
terdiri dari 2 belitan yang masing-masing berisi 10 lilitan. Nilai<br />
rms tegangan jangkar untuk setiap belitan adalah<br />
E a1 = 4,44 f φm<br />
V = 4,44×<br />
50×<br />
10×<br />
0,03 = 66,6 V .<br />
Karena dua belitan tersebut berada pada alur yang berbeda,<br />
maka terdapat beda fasa antara tegangan imbas di keduanya.<br />
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berurutan adalah<br />
360 o<br />
= o<br />
15 mekanik. Karena mesin mengandung 4 kutub atau<br />
24<br />
2 pasang kutub, maka 1 o mekanik setara dengan 2 o listrik. Jadi<br />
selisih sudut fasa antara tegangan di dua belitan adalah 30 o<br />
elektrik sehingga tegangan rms per fasa per pasang kutub<br />
adalah jumlah fasor tegangan di dua belitan yang berselisih fasa<br />
30 o tersebut.<br />
o<br />
o<br />
E ak = 66,6 + 66,6(cos 30 + j sin 30 ) = 124,8 + j33,3<br />
Karena ada 2 pasang kutub maka<br />
E a<br />
= 2×<br />
2 2<br />
(124,8) + (33,3)<br />
= 258<br />
V<br />
Tegangan fasa-fasa adalah 258 √3 = 447 V<br />
52 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
COTOH-3.3: Soal seperti pada Contoh-3.1. tetapi jumlah alur<br />
pada stator ditingkatkan menjadi 144 alur, jumlah kutub dibuat<br />
16 (8 pasang), kecepatan perputaran diturunkan menjadi 375<br />
rpm. Ketentuan yang lain tetap.<br />
Penyelesaian :<br />
Frekuensi tegangan jangkar :<br />
16×<br />
375<br />
f = = 50 Hz<br />
120<br />
144<br />
Jumlah alur per kutub = 9 yang berarti terdapat 9 belitan<br />
16<br />
per pasang kutub yang membangun sistem tiga fasa. Jadi tiap<br />
fasa terdapat 3 belitan. Tegangan di tiap belitan adalah<br />
E a1 = 4,44×<br />
50×<br />
10×<br />
0,03 = 66,6 V ; sama dengan tegangan per<br />
belitan pada contoh sebelumnya karena frekuensi, jumlah lilitan<br />
dan fluksi maksimum tidak berubah.<br />
Perbedaan sudut mekanis antara dua alur yang berturutan<br />
o<br />
o<br />
adalah<br />
360 = 2,5 mekanik. Karena mesin mengandung 16<br />
144<br />
kutub (8 pasang) maka 1 o mekanik ekivalen dengan 8 o listrik,<br />
sehingga beda fasa tegangan pada belitan-belitan adalah<br />
o<br />
2 ,5 × 8 = 20 listrik. Tegangan per fasa per pasang kutub adalah<br />
jumlah fasor dari tegangan belitan yang masing-masing<br />
berselisih fasa 20 o .<br />
E<br />
o<br />
o<br />
ak = 66,6 + 66,6∠20<br />
+ 66,6∠40<br />
= 66,61<br />
o o<br />
o o<br />
( + cos 20 + cos 40 + j(sin 20 + sin 40 ))<br />
= 180,2 + j65,6<br />
Karena ada 8 pasang kutub maka tegangan fasa adalah<br />
E a<br />
= 8×<br />
2 2<br />
(180,2) + (65,6)<br />
= 8×<br />
191,8 = 1534<br />
V<br />
Tegangan fasa-fasa adalah 1534 √3 = 2657 V<br />
53
3.2. Mesin Sinkron Rotor Silindris<br />
Sebagaimana telah disinggung di atas, mesin kutub tonjol sesuai<br />
untuk perputaran rendah. Untuk perputaran tinggi digunakan mesin<br />
rotor silindris yang skemanya diperlihatkan ada Gb.3.3.<br />
a<br />
b 1<br />
c<br />
U c 1<br />
S b<br />
a 1<br />
Gb.4.3. Mesin sinkron rotor silindris.<br />
Rotor mesin ini berbentuk silinder dengan alur-alur untuk<br />
menempatkan belitan eksitasi. Dengan konstruksi ini, reluktansi<br />
magnetik jauh lebih merata dibandingkan dengan mesin kutub<br />
tonjol. Di samping itu kendala mekanis untuk perputaran tinggi<br />
lebih mudah diatasi dibanding dengan mesin kutub tonjol. Belitan<br />
eksitasi pada gambar ini dialiri arus searah sehingga rotor<br />
membentuk sepasang kutub magnet U-S seperti terlihat pada<br />
gambar. Pada stator digambarkan tiga belitan terpusat aa 1 , bb 1 dan<br />
cc 1 masing-masing dengan lebar kisaran penuh agar tidak terlalu<br />
rumit, walaupun dalam kenyataan pada umumnya dijumpai belitanbelitan<br />
terdistribusi dengan lebar lebih kecil dari kisaran penuh.<br />
Karena reluktansi magnetik praktis konstan untuk berbagai posisi<br />
rotor (pada waktu rotor berputar) maka situasi yang kita hadapi<br />
mirip dengan tansformator. Perbedaannya adalah bahwa pada<br />
transformator kita mempunyai fluksi konstan, sedangkan pada mesin<br />
sinkron fluksi tergantung dari arus eksitasi di belitan rotor. Kurva<br />
magnetisasi dari mesin ini dapat kita peroleh melalui uji beban nol.<br />
Pada uji beban nol, mesin diputar pada perputaran sinkron (3000<br />
rpm) dan belitan jangkar terbuka. Kita mengukur tegangan keluaran<br />
pada belitan jangkar sebagai fungsi arus eksitasi (disebut juga arus<br />
medan) pada belitan eksitasi di rotor. Kurva tegangan keluaran<br />
54 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
sebagai fungsi arus eksitasi seperti terlihat pada Gb.3.4 disebut<br />
karakteristik beban nol. Bagian yang berbentuk garis lurus pada<br />
kurva itu disebut karakteristik celah udara dan kurva inilah (dengan<br />
ekstra-polasinya) yang akan kita gunakan untuk melakukan analisis<br />
mesin sinkron.<br />
Karakterik lain yang penting adalah karakteritik hubung singkat<br />
yang dapat kita peroleh dari uji hubung singkat. Dalam uji hubung<br />
singkat ini mesin diputar pada kecepatan perputaran sinkron dan<br />
terminal belitan jangkar dihubung singkat (belitan jangkar<br />
terhubung Y). Kita mengukur arus fasa sebagai fungsi dari arus<br />
eksitasi. Kurva yang akan kita peroleh akan terlihat seperti pada<br />
Gb.3.4. Kurva ini berbentuk garis lurus karena untuk mendapatkan<br />
arus beban penuh pada percobaan ini, arus eksitasi yang diperlukan<br />
tidak besar sehingga rangkaian magnetiknya jauh dari keadaan<br />
jenuh. Fluksi magnetik yang dibutuhkan hanya sebatas yang<br />
diperlukan untuk membangkitkan tegangan untuk mengatasi<br />
tegangan jatuh di impedansi belitan jangkar.<br />
12000<br />
11000<br />
10000<br />
9000<br />
Tegangan Fasa-Netral [V]<br />
8000<br />
7000<br />
6000<br />
5000<br />
4000<br />
3000<br />
2000<br />
1000<br />
celah<br />
udara<br />
V=kI<br />
beban-nol<br />
V=V(I f )| I =0<br />
hubung singkat<br />
I = I (I f ) | V=0<br />
0<br />
0<br />
50 100 150 Arus 200medan 250 300[A]<br />
350 400 450 500<br />
Arus fasa [A]<br />
Gb.3.4. Karakteristik beban-nol dan hubung<br />
singkat.<br />
55
Perhatikanlah bahwa karakteristik beban-nol dan hubung singkat<br />
memberikan tegangan maupun arus jangkar sebagai fungsi arus<br />
medan. Sesungguhnya arus medan berperan memberikan mmf<br />
(lilitan ampere) untuk menghasilkan fluksi dan fluksi inilah yang<br />
mengimbaskan tegangan pada belitan jangkar. Jadi dengan<br />
karakteristik ini kita dapat menyatakan pembangkit fluksi tidak<br />
dengan mmf akan tetapi dengan arus medan ekivalennya dan hal<br />
inilah yang akan kita lakukan dalam menggambarkan diagram fasor<br />
yang akan kita pelajari beikut ini.<br />
Diagram Fasor. Reaktansi Sinkron. Kita ingat bahwa pada<br />
transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya<br />
merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap<br />
waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan<br />
menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan<br />
dan arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor,<br />
walaupun ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu<br />
tetapi terhadap posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya.<br />
Menurut konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke<br />
dalam fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan<br />
berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang<br />
dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini<br />
mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai<br />
dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar.<br />
Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia<br />
dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar<br />
melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru<br />
karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai<br />
dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi tegangan<br />
imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi yang dilihat<br />
oleh belitan jangkar.<br />
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga<br />
arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.<br />
56 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
a<br />
U<br />
θ<br />
U<br />
a<br />
S<br />
sumbu<br />
e maks<br />
S<br />
sumbu<br />
i maks<br />
a 1<br />
sumbu<br />
magnet<br />
(a)<br />
Gb.3.5. Posisi rotor pada saat e maks dan i maks .<br />
Gb.3.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di aa 1<br />
maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu<br />
kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a 1 adalah<br />
maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang<br />
dilingkupi oleh belitan aa 1 adalah minimum. Sementara itu arus di<br />
belitan aa 1 belum maksimum karena beban induktif. Pada saat arus<br />
mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat<br />
pada Gb.3.5.b.<br />
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut<br />
magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama<br />
dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ. Arus jangkar memberikan<br />
mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang<br />
akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini<br />
maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan<br />
keluaran mesin dipertahankan.<br />
Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami<br />
reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor.<br />
Hal ini berbeda dengan mesin kutub tonjol yang akan membuat<br />
analisis mesin kutub tonjol memerlukan cara khusus sehingga kita<br />
tidak melakukannya dalam bab pengenalan ini.<br />
Diagram fasor (Gb.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut<br />
(b)<br />
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.<br />
a 1<br />
sumbu<br />
magnet<br />
57
2. Tegangan terminal V a dan arus jangkar<br />
nominal.<br />
I a adalah<br />
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi<br />
tegangan imbas tertinggal 90 o dari fluksi yang<br />
membangkitkannya.<br />
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor X l dan resistansi<br />
R a .<br />
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen.<br />
Dengan mengambil tegangan terminal jangkar V a sebagai referensi,<br />
arus jangkar I a tertinggal dengan sudut θ dari V a (beban induktif).<br />
Tegangan imbas pada jangkar adalah<br />
( R + jX )<br />
E a = Va<br />
+ Ia<br />
a l<br />
(3.15)<br />
Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara<br />
Φ a yang dinyatakan dengan arus ekivalen I fa mendahului E a 90 o .<br />
Arus jangkar<br />
dengan arus ekivalen<br />
I a memberikan fluksi jangkar Φ a yang dinyatakan<br />
. Jadi fluksi dalam celah udara merupakan<br />
I φa<br />
jumlah dari fluksi rotor Φ f<br />
I f dan fluksi jangkar. Jadi<br />
yang dinyatakan dengan arus ekivalen<br />
I fa = I f + Iφa<br />
atau I f = I fa − Iφa<br />
(3.16)<br />
Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor<br />
I f haruslah cukup untuk<br />
membangkitkan fluksi celah udara untuk membangkitkan E a dan<br />
mengatasi fluksi jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat<br />
dipertahankan. Perhatikan Gb.3.6. I f membangkitkan tegangan<br />
E aa 90 o di belakang I f dan lebih besar dari E a .<br />
58 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
E aa<br />
I f<br />
= I fa − I φa<br />
I fa<br />
γ<br />
E a<br />
− I φa<br />
I φa<br />
θ<br />
I a<br />
V a<br />
I a R a<br />
jI a X l<br />
Gb.3.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.<br />
Hubungan antara nilai<br />
E a dan<br />
celah udara, sedangkan antara nilai<br />
I fa diperoleh dari karakteristik<br />
I a dan<br />
I φa<br />
diperoleh dari<br />
karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti<br />
terlihat pada Gb.3.6., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan<br />
E a = kv<br />
I fa dan I a = ki<br />
Iφa<br />
atau I fa = Ea<br />
/ kv<br />
dan<br />
I φ a = I a / ki<br />
(3.17)<br />
dengan k v dan k i adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan<br />
kurva. Dari (3.7) dan Gb.3.6. kita peroleh<br />
I<br />
Ea<br />
o I a o<br />
f = I fa − Iφa<br />
= ∠(90<br />
+ γ)<br />
+ ∠(180<br />
− θ)<br />
kv<br />
ki<br />
Ea<br />
I a<br />
= j ∠γ − ∠ − θ<br />
kv<br />
ki<br />
Dari (3.18) kita peroleh<br />
E aa yaitu<br />
⎛ Ea<br />
I a ⎞<br />
Eaa<br />
= − jkvI<br />
f = − jkv<br />
⎜ j<br />
⎟<br />
∠γ − ∠ − θ<br />
kv<br />
k<br />
⎝<br />
i ⎠<br />
kv<br />
kv<br />
= Ea∠γ + j I a∠ − θ = Ea<br />
+ j I a<br />
ki<br />
ki<br />
(3.18)<br />
(3.19)<br />
59
Suku kedua (3.19) dapat kita tulis sebagai<br />
jX φa<br />
I a dengan<br />
kv<br />
X φ a =<br />
(3.20)<br />
ki<br />
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat<br />
adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (3.19) dapat ditulis<br />
E<br />
E<br />
( R + jX )<br />
a<br />
a<br />
( R + jX )<br />
aa = a + jX φa<br />
a = a + a a l + jX φa<br />
= Va<br />
+ Ia<br />
I<br />
V<br />
I<br />
I<br />
a<br />
(3.21)<br />
dengan<br />
X a = X l + X φa<br />
yang disebut reaktansi sinkron.<br />
Diagram fasor Gb.3.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.3.7.<br />
untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi<br />
sinkron.<br />
E aa<br />
I<br />
f = I fa − Iφa<br />
− I φa<br />
I<br />
fa<br />
I φa<br />
θ<br />
I a<br />
γ<br />
V a<br />
jI a X l<br />
j Ia X φa<br />
jI a X a<br />
Gb.3.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris;<br />
reaktansi reaksi jangkar (X φa ) dan reaktansi sinkron (X a ).<br />
Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan<br />
dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik<br />
linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh<br />
karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak<br />
jenuh.<br />
E a<br />
I a R a<br />
60 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
3.3. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />
Dengan pengertian<br />
I a<br />
reaktansi sinkron<br />
dan memperhatikan<br />
persamaan (3.21)<br />
R<br />
+ a jX a +<br />
Beban<br />
kita dapat<br />
− E<br />
Va<br />
aa<br />
−<br />
menggambarkan<br />
rangkaian ekivalen<br />
mesin sinkron Gb.3.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen mesin sinkron.<br />
dengan beban<br />
seperti terlihat pada Gb.3.8. Perhatikanlah bahwa rangkaian<br />
ekivalen ini adalah rangkaian ekivalen per fasa. Tegangan V a<br />
adalah tegangan fasa-netral dan I a adalah arus fasa.<br />
COTOH-3.11 : Sebuah generator sinkron tiga fasa 10 MVA,<br />
terhubung Y, 50 Hz, Tegangan fasa-fasa 13,8 kV, mempunyai<br />
karakteristik celah udara yang dapat dinyatakan sebagai<br />
E a = 53,78<br />
I f V dan karakteristik hubung singkat<br />
I a = 2,7<br />
I f A (I f dalam ampere). Resistansi jangkar per fasa<br />
adalah 0,08 Ω dan reaktansi bocor per fasa 1,9 Ω. Tentukanlah<br />
arus eksitasi (arus medan) yang diperlukan untuk<br />
membangkitkan tegangan terminal nominal jika generator<br />
dibebani dengan beban nominal seimbang pada faktor daya 0,8<br />
lagging.<br />
Penyelesaian :<br />
Tegangan per fasa adalah<br />
13800<br />
V a = = 7967,4 V .<br />
3<br />
Arus jangkar per fasa :<br />
6<br />
10 × 10<br />
I a =<br />
= 418,4 A .<br />
13800×<br />
3<br />
Reaktansi reaksi jangkar :<br />
Reaktansi sinkron :<br />
kv<br />
X φ a =<br />
ki<br />
=<br />
53,78<br />
= 19,92 Ω<br />
2,7<br />
X a = X l + X φ a = 1,9 + 19,92 = 21,82 Ω<br />
61
Dengan mengambil V a sebagai referensi, maka V a = 7967,4<br />
∠0 o V dan I a = 418,4∠−36,87, dan tegangan terbangkit :<br />
E aa = V a + I a ( R a + jXa)<br />
o<br />
= 7967,4∠0<br />
+ 418,4∠ − 36,87(0.08 + j21.82)<br />
o<br />
o<br />
≈ 7967,4∠0<br />
+ 9129,5∠53,13<br />
= 13445,1 + j7303,6<br />
E aa<br />
=<br />
(13445,1)<br />
2<br />
+ (7303,6)<br />
Arus eksitasi yang diperlukan adalah<br />
I<br />
E<br />
=<br />
aa<br />
f<br />
kv<br />
15300 = = 284,5 A<br />
53,78<br />
2<br />
= 15300 V<br />
Daya. Daya per fasa yang diberikan ke beban adalah<br />
P = V I cos θ<br />
(3.22)<br />
f<br />
a<br />
a<br />
Pada umumnya pengaruh resistansi jangkar sangat kecil<br />
dibandingkan dengan pengaruh reaktansi sinkron. Dengan<br />
mengabaikan resistansi jangkar maka diagram fasor mesin sinkron<br />
menjadi seperti Gb.3.9.<br />
E aa<br />
θ<br />
jI a X a<br />
θ<br />
δ<br />
I a<br />
V a<br />
Gb.3.9. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris; resistansi<br />
jangkar diabaikan.<br />
62 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Gb.3.9. memperlihatkan bahwa<br />
Eaa<br />
E aa sin δ = Ia<br />
X a cosθ<br />
atau I a cos θ = sin δ .<br />
X a<br />
Dengan demikian maka (3.22) dapat ditulis sebagai<br />
Va<br />
Eaa<br />
P f = sin δ<br />
(3.23)<br />
X a<br />
Persamaan (3.23) ini memberikan formulasi daya per fasa dan sudut<br />
δ menentukan besarnya daya; oleh karena itu sudut δ disebut sudut<br />
daya (power angle).<br />
Daya P f merupakan fungsi sinus dari sudut daya δ seperti terlihat<br />
pada Gb.3.10.<br />
P1.1<br />
f<br />
generator<br />
0<br />
-180 -90 0 90 180<br />
motor<br />
-1.1<br />
δ ( o<br />
listrik)<br />
Gb.3.10. Daya fungsi sudut daya.<br />
Untuk 0 < δ < 180 o daya bernilai positif, mesin beroperasi sebagai<br />
generator yang memberikan daya. (Jangan dikacaukan oleh<br />
konvensi pasif karena dalam menggambarkan diagram fasor untuk<br />
mesin ini kita menggunakan ketentuan tegangan naik dan bukan<br />
tegangan jatuh). Untuk 0 > δ > −180 o mesin beroperasi sebagai<br />
motor, mesing menerima daya.<br />
Dalam pengenalan mesin-mesin elektrik ini, pembahasan mengenai<br />
mesin sikron kita cukupkan sampai di sini. Pembahasan lebih lanjut<br />
akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin<br />
listrik.<br />
63
64 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
4.1. Konstruksi Dan Cara Kerja<br />
Motor merupakan<br />
piranti konversi dari<br />
energi elektrik ke energi<br />
mekanik. Salah satu<br />
jenis yang banyak<br />
dipakai adalah motor<br />
asinkron atau motor<br />
induksi. Di sini kita<br />
hanya akan melihat<br />
motor asinkron tiga fasa.<br />
Stator memiliki alur-alur<br />
untuk memuat belitanbelitan<br />
yang akan<br />
terhubung pada sistem<br />
tiga fasa. Gb.4.1. hanya<br />
memperlihatkan tiga<br />
BAB 4<br />
Motor Asinkron<br />
belitan pada stator sebagai belitan terpusat, yaitu belitan aa 1 , bb 1<br />
dan cc 1 yang berbeda posisi 120 o mekanik. Susunan belitan ini sama<br />
dengan susunan belitan pada stator generator sinkron. Ketiga belitan<br />
ini dapat dihubungkan Y ataupun ∆ untuk selanjutnya<br />
disambungkan ke sumber tiga fasa. Rotor mempunyai alur-alur yang<br />
berisi konduktor dan semua konduktor pada rotor ini dihubung<br />
singkat di ujung-ujungnya. Inilah salah satu konstruksi rotor yang<br />
disebut rotor sangkar (susunan konduktor-konduktor itu berbentuk<br />
sangkar).<br />
Untuk memahami secara fenomenologis cara kerja motor ini, kita<br />
melihat kembali bagaimana generator sinkron bekerja. Rotor<br />
generator yang mendukung kutub magnetik konstan berputar pada<br />
porosnya. Magnet yang berputar ini mengimbaskan tegangan pada<br />
belitan stator yang membangun sistem tegangan tiga fasa. Apabila<br />
rangkaian belitan stator tertutup, misalnya melalui pembebanan,<br />
akan mengalir arus tiga fasa pada belitan stator. Sesuai dengan<br />
b 1<br />
c<br />
a<br />
c 1<br />
b<br />
a 1<br />
Gb.4.1. Motor asinkron.<br />
65
hukum Lenz, arus tiga fasa ini akan membangkitkan fluksi yang<br />
melawan fluksi rotor; kejadian ini kita kenal sebagai reaksi jangkar.<br />
Karena fluksi rotor adalah konstan tetapi berputar sesuai perputaran<br />
rotor, maka fluksi reaksi jangkar juga harus berputar sesuai<br />
perputaran fluksi rotor karena hanya dengan jalan itu hukum Lenz<br />
dipenuhi. Jadi mengalirnya arus tiga fasa pada belitan rotor<br />
membangkitkan fluksi konstan yang berputar. Sekarang, jika pada<br />
belitan stator motor asinkron diinjeksikan arus tiga fasa (belitan<br />
stator dihubungkan pada sumber tiga fasa) maka akan timbul fluksi<br />
konstan berputar seperti layaknya fluksi konstan berputar pada<br />
reaksi jangkar generator sinkron. Demikianlah bagaimana fluksi<br />
berputar timbul jika belitan stator motor asikron dihubungkan ke<br />
sumber tiga fasa.<br />
Kita akan melihat pula secara skematis, bagaimana timbulnya fluksi<br />
berputar. Untuk itu hubungan belitan stator kita gambarkan sebagai<br />
tiga belitan terhubung Y yang berbeda posisi 120 o mekanis satu<br />
sama lain seperti terlihat pada Gb.4.2.a. Belitan-belitan itu masingmasing<br />
dialiri arus i a , i b , dan i c yang berbeda fasa 120 o elektrik<br />
seperti ditunjukkan oleh Gb.4.2.b. Masing-masing belitan itu akan<br />
membangkitkan fluksi yang berubah terhadap waktu sesuai dengan<br />
arus yang mengalir padanya. Kita perhatikan situasi yang terjadi<br />
pada beberapa titik waktu.<br />
Perhatikan Gb.4.2. Pada t 1 arus i a maksimum negatif dan arus i b = i c<br />
positif. Ke-tiga arus ini masing-masing membangkitkan fluksi φ a , φ b<br />
dan φ c yang memberikan fluksi total φ tot . Kejadian ini berubah pada<br />
t 2 , t 3 , t 4 dan seterusnya yang dari Gb.4.2. terlihat bahwa fluksi total<br />
berputar seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa.<br />
Peristiwa ini dikenal sebagai medan putar pada mesin asinkron.<br />
Kecepatan perputaran dari medan putar harus memenuhi relasi<br />
antara jumlah kutub, frekuensi tegangan, dan kecepatan perputaran<br />
sinkron sebagaimana telah kita kenal pada mesin sinkron yaitu<br />
p n s<br />
120 f<br />
f 1 = Hz atau n 1<br />
s = rpm (4.1)<br />
120<br />
p<br />
dengan f 1 adalah frekuensi tegangan stator, n s adalah kecepatan<br />
perputaran medan putar yang kita sebut perputaran sinkron. Jumlah<br />
kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada belitan stator<br />
66 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
seperti pada contoh konstruksi mesin pada Gb.4.1. jumlah kutub<br />
adalah 2, sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran<br />
sinkron adalah 3000 rpm. Untuk mempuat jumlah kutub menjadi 4,<br />
belitan stator disusun seperti pada stator mesin sinkron pada Gb.4.1.<br />
b<br />
c<br />
b 1<br />
c 1<br />
a 1<br />
a).<br />
a<br />
1.1<br />
0<br />
-1.1<br />
-180 -135 -90 -45 0 45 90 135 180<br />
i a i b i c<br />
t<br />
b). t 1 t 2 t 3 t 4<br />
i b<br />
φ b<br />
φ c<br />
i a<br />
φ a<br />
φ tot<br />
i b<br />
φ b<br />
t 2<br />
i a<br />
φc<br />
φ tot<br />
i b<br />
i c<br />
t 3<br />
i a<br />
φ tot<br />
i c<br />
i b<br />
φ a<br />
φ b<br />
φ c<br />
t 4<br />
i a<br />
i c<br />
t 1<br />
φ a<br />
i c<br />
φ a<br />
φ tot<br />
φ b<br />
φ c<br />
Gb.4.2. Terbentuknya fluksi magnetik yang berputar.<br />
Arus positif menuju titik netral, arus negatif meninggalkan titik<br />
netral. Fluksi total φ tot tetap dan berputar.<br />
Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator<br />
akan mengimbaskan tegangan pada konduktor rotor. Karena<br />
konduktor rotor merupakan rangkaian tertutup, maka akan mengalir<br />
arus yang kemudian berinteraksi dengan medan magnetik yang<br />
berputar dan timbullah gaya sesuai dengan hukum Ampere. Dengan<br />
gaya inilah terbangun torka yang akan membuat rotor berputar<br />
dengan kecepatan perutaran n. Perhatikanlah bahwa untuk terjadi<br />
67
torka, harus ada arus mengalir di konduktor rotor dan untuk itu<br />
harus ada tegangan imbas pada konduktor rotor. Agar terjadi<br />
tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n harus lebih kecil<br />
dari kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu kecepatan<br />
perputaran sinkron n s ) sebab jika kecepatannya sama tidak akan ada<br />
fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain harus terjadi<br />
beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip<br />
yang besarnya adalah :<br />
n<br />
− n<br />
s<br />
s =<br />
ns<br />
(4.2)<br />
Nilai s terletak antara 0 dan 1.<br />
Rotor Belitan. Pada awal perkenalan kita dengan mesin asinkron,<br />
kita melihat pada konstruksi yang disebut mesin asinkron dengan<br />
rotor sangkar. Jika pada rotor mesin asinkron dibuat alur-alur untuk<br />
meletakkan susunan belitan yang sama dengan susunan belitan<br />
stator maka kita mempunyai mesin asinkron rotor belitan. Terminal<br />
belitan rotor dapat dihubungkan dengan cincin geser (yang berputar<br />
bersama rotor) dan melalui cincin geser ini dapat dihubungkan pada<br />
resistor untuk keperluan pengaturan perputaran. Skema hubungan<br />
belitan stator dan rotor diperlihatkan pada Gb.4.3; pada waktu<br />
operasi normal belitan rotor dihubung singkat. Hubungan seperti ini<br />
mirip dengan transformator. Medan putar akan mengimbaskan<br />
tegangan baik pada belitan stator maupun rotor.<br />
E 1<br />
E 2<br />
belitan stator<br />
belitan rotor<br />
Gb.4.3. Skema hubungan belitan stator dan rotor<br />
mesin asinkron rotor belitan. Garis putus-putus<br />
menunjukkan hubung singkat pada operasi normal.<br />
68 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Tegangan imbas pada stator adalah :<br />
E<br />
1 = 4 ,44 f 1K w 1φm<br />
(4.3)<br />
p ns<br />
dengan K w1 adalah faktor belitan stator, f = = frekuensi<br />
120<br />
tegangan stator, φ m adalah fluksi maksimum di celah udara, 1<br />
adalah jumlah lilitan belitan stator.<br />
Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan<br />
imbas pada belitan rotor adalah<br />
E<br />
2 = 4 ,44 f 2K w 2φm<br />
(4.4)<br />
p ns<br />
dengan K w2 adalah faktor belitan rotor, f = = frekuensi<br />
120<br />
tegangan stator (karena rotor tidak berputar), φ m adalah fluksi<br />
maksimum di celah udara sama dengan fluksi yang mengibaskan<br />
tegangan pada belitan stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.<br />
Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka<br />
terdapat slip seperti ditunjukkan oleh (4.2). Frekuensi tegangan<br />
imbas pada rotor menjadi<br />
f<br />
p ( ns<br />
− n)<br />
p s ns<br />
= = = s Hz<br />
(4.5)<br />
120 120<br />
2 f<br />
Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan<br />
frekuensi stator dengan slip s; oleh karena itu ia sering disebut<br />
frekuensi slip. Tegangan imbas pada belitan rotor dalam keadaan<br />
berputar menjadi<br />
E 22 = sE 2<br />
(4.6)<br />
Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (4.5) dan<br />
(4.6) kita peroleh<br />
E1<br />
1K<br />
=<br />
E K<br />
2<br />
2<br />
w 1<br />
=<br />
w2<br />
Situasi ini mirip dengan transformator tanpa beban.<br />
a<br />
(4.7)<br />
69
COTOH-4.1 : Tegangan seimbang tiga fasa 50 Hz diberikan<br />
kepada motor asinkron tiga fasa , 4 kutub. Pada waktu motor<br />
melayani beban penuh, diketahui bahwa slip yang terjadi adalah<br />
0,05. Tentukanlah : (a) kecepatan perputaran medan putar relatif<br />
terhadap stator; (b) frekuensi arus rotor; (c) kecepatan<br />
perputaran medan rotor relatif terhadap rotor; (d) kecepatan<br />
perputaran medan rotor relatif terhadap stator; (e) kecepatan<br />
perputaran medan rotor relatif terhadap medan rotor.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Relasi antara kecepatan medan putar relatif terhadap stator<br />
(kecepatan sinkron) dengan frekuensi dan jumlah kutub<br />
p n<br />
adalah f = s<br />
. Jadi kecepatan perputaran medan putar<br />
120<br />
adalah<br />
n s<br />
120 f<br />
=<br />
p<br />
120 × 50<br />
= = 1500 rpm<br />
4<br />
(b) Frekuensi arus rotor adalah f 2 = sf1<br />
= 0,05 × 50 = 2, 5 Hz.<br />
(c) Karena belitan rotor adalah juga merupakan belitan tiga<br />
fasa dengan pola seperti belitan stator, maka arus rotor<br />
akan menimbulkan pula medan putar seperti halnya arus<br />
belitan stator menimbulkan medan putar. Kecepatan<br />
perputaran medan putar rotor relatif terhadap rotor adalah<br />
n<br />
120 f 2 120 × 2,5<br />
= =<br />
p 4<br />
2 =<br />
75 Hz<br />
(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor<br />
harus sama dengan kecepatan perputaran medan stator,<br />
yaitu kecepatan sinkron 1500 rpm.<br />
(e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan<br />
kecepatan perputaran medan stator, kecepatan perputaran<br />
relatifnya adalah 0.<br />
70 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
4.2. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen yang akan kita pelajari adalah<br />
ekivalen per fasa.<br />
rangkaian<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa<br />
adalah R 1 dan reaktansinya adalah X 1 , sedangkan rugi-rugi inti<br />
dinyatakan dengan rangkaian paralel suatu resistansi R c dan<br />
reaktansi X φ seperti halnya pada transformator. Jika V 1 adalah<br />
tegangan masuk per fasa pada belitan stator motor dan E 1 adalah<br />
tegangan imbas pada belitan stator oleh medan putar seperti<br />
diberikan oleh (4.3), maka kita akan mendapatkan hubungan fasor<br />
( 1 + 1 ) 1<br />
V +<br />
1 = I1<br />
R jX E<br />
(4.8)<br />
Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan ini<br />
adalah pada frekuensi sinkron ω s = 2π f 1 . <strong>Rangkaian</strong> ekivalen stator<br />
menjadi seperti pada Gb.3.4. yang mirip rangkaian primer<br />
transformator. Perbedaan terletak pada besarnya I f yang pada<br />
transformator berkisar antara 2 − 5 persen dari arus nominal,<br />
sedangkan pada motor asinkron arus ini antara 25 − 40 persen arus<br />
nominal, tergantung dari besarnya motor.<br />
I 1<br />
V1<br />
R 1<br />
jX 1 I f<br />
I<br />
I<br />
c<br />
φ<br />
jX c<br />
A<br />
R c<br />
E 1<br />
B<br />
Gb.4.4. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen stator.<br />
Selain itu reaktansi bocor X 1 pada motor jauh lebih besar karena<br />
adanya celah udara dan belitan stator terdistribusi pada permukaan<br />
dalam stator sedangkan pada transformator belitan terpusat pada<br />
intinya. Tegangan E 1 pada terminal AB pada rangkaian ekivalen ini<br />
haruslah merefleksikan peristiwa yang terjadi di rotor.<br />
71
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Rotor. Jika rotor dalam keadaan berputar<br />
maka tegangan imbas pada rotor adalah E 22 . Jika resistansi rotor<br />
adalah R 22 dan reaktansinya adalah X 22 maka arus rotor adalah:<br />
E22<br />
I 22 =<br />
(4.9)<br />
( R 22 + jX 22 )<br />
Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai<br />
reaktansi pada persamaan (4.9) ini adalah pada frekuensi rotor ω 2 =<br />
2π f 2 , berbeda dengan persamaan fasor (4.8). Kita gambarkan<br />
rangkaian untuk persamaan (4.9) ini seperti pada Gb.4.5.a.<br />
I22<br />
I 2<br />
A′<br />
A′<br />
R 22<br />
jX 22<br />
E 22<br />
sE 2<br />
R 2<br />
jsX 2<br />
B′<br />
A′<br />
B′<br />
E 2<br />
I 2<br />
a)<br />
R 2<br />
jX 2<br />
s<br />
c)<br />
Menurut (4.6) E 22 = sE 2 dimana E 2 adalah tegangan rotor dengan<br />
frekuensi sinkron ω s . Reaktansi rotor X 22 dapat pula dinyatakan<br />
dengan frekuensi sinkron; jika L 2 adalah induktansi belitan rotor<br />
(yang merupakan besaran konstan karena ditentukan oleh<br />
konstruksinya) maka kita mempunyai hubungan<br />
X =<br />
22 = ω2L2<br />
= sω1L2<br />
sX 2<br />
(4.10)<br />
Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron<br />
X 2 = ω1L2<br />
. Karena Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita<br />
nyatakan resistansi rotor sebagai R 2 = R 22 . Dengan demikian maka<br />
arus rotor menjadi<br />
I 2<br />
E 2<br />
Gb.5.5. Pengembangan rangkaian ekivalen rotor.<br />
B′<br />
A′<br />
B′<br />
R 2<br />
b)<br />
d)<br />
jX 2<br />
R 1−<br />
s<br />
2<br />
s<br />
72 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
sE<br />
2<br />
I 2 =<br />
(4.11)<br />
R2<br />
+ jsX 2<br />
Persamaan fasor tegangan dan arus rotor sekarang ini adalah pada<br />
frekuensi sinkron dan persamaan ini adalah dari rangkaian yang<br />
terlihat pada Gb.4.5.b. Tegangan pada terminal rotor A´B´ adalah<br />
tegangan karena ada slip yang besarnya adalah sE 2 . Dari rangkaian<br />
ini kita dapat menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor<br />
per fasa, yaitu<br />
P I 2<br />
cr = 2 R 2<br />
(4.12)<br />
Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (4.11) kita bagi<br />
dengan s kita akan mendapatkan<br />
2<br />
I 2 =<br />
(4.13)<br />
R 2 + jX 2<br />
s<br />
E<br />
Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I 2 dan rangkaian<br />
dari persamaan ini adalah seperti pada Gb.4.5.c. Walaupun<br />
demikian ada perbedaan penafsiran secara fisik. Tegangan pada<br />
terminal rotor A´B´ sekarang adalah tegangan imbas pada belitan<br />
rotor dalam keadaan rotor tidak berputar dengan nilai seperti<br />
diberikan oleh (4.14) dan bukan tegangan karena ada slip. Jika pada<br />
Gb.4.5.b. kita mempunyai rangkaian riil rotor dengan resistansi<br />
konstan R dan tegangan terminal rotor yang tergantung dari slip,<br />
maka pada Gb.4.28.c. kita mempunyai rangkaian ekivalen rotor<br />
dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi yang<br />
tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir<br />
ini kita sebut tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya<br />
yang diserap rotor kita sebut daya celah udara, yaitu :<br />
= 2 R<br />
I 2<br />
s<br />
(4.14)<br />
P g<br />
2<br />
Daya ini jauh lebih besar dari P cr pada (4.12). Pada mesin besar nilai<br />
s adalah sekitar 0,02 sehingga P g sekitar 50 kali P cr . Perbedaan<br />
antara (4.14) dan (4.12) terjadi karena kita beralih dari tegangan<br />
73
otor riil yang berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan<br />
frekuensi sinkron. Daya nyata P g tidak hanya mencakup daya hilang<br />
pada resistansi belitan saja tetapi mencakup daya mekanis dari<br />
motor. Daya mekanis dari rotor ini sendiri mencakup daya keluaran<br />
dari poros motor untuk memutar beban ditambah daya untuk<br />
mengatasi rugi-rugi rotasi yaitu rugi-rugi akibat adanya gesekan dan<br />
angin. Oleh karena itu daya P g kita sebut daya celah udara artinya<br />
daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara yang<br />
meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan<br />
daya mekanis rotor. Dua komponen daya ini dapat kita pisahkan jika<br />
kita menuliskan<br />
R 2 ⎛ − s ⎞<br />
= R + R ⎜<br />
1<br />
2 2 ⎟<br />
s ⎝ s ⎠<br />
(4.15)<br />
Suku pertama (4.15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor<br />
(per fasa) P I 2<br />
cr = 2 R 2 dan suku kedua memberikan daya keluaran<br />
mekanik ekivalen<br />
2 ⎛1<br />
− s ⎞<br />
P m = I 2 R2⎜<br />
⎟<br />
(4.16)<br />
⎝ s ⎠<br />
Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor<br />
seperti pada Gb.4.5.d.<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian<br />
ekivalen untuk mesin asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar<br />
dapat menghubungkan rangkaian rotor dengan rangkaian stator, kita<br />
harus melihat tegangan rotor E 2 dari sisi stator yang memberikan<br />
E 1 = aE 2 . Jika E 2 pada Gb.4.5.d. kita ganti dengan E1 = aE2<br />
,<br />
yaitu tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor dan<br />
semua parameter rotor harus pula dilihat dari sisi stator menjadi<br />
' '<br />
'<br />
I 2 , R2<br />
dan X 2 . Dengan demikian kita dapat menghubungkan<br />
terminal rotor A´B´ ke terminal AB dari rangkaian stator pada<br />
Gb.4.4. dan mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat<br />
pada Gb.4.6.<br />
74 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
I 1<br />
A<br />
'<br />
I 2<br />
V 1<br />
I f<br />
R c jX c<br />
R 1<br />
jX 1<br />
'<br />
R 2<br />
'<br />
jX 2<br />
'<br />
R 1−<br />
s<br />
2<br />
s<br />
B<br />
Gb.4.6. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen lengkap motor asikron.<br />
Aliran Daya. Aliran daya per fasa dalam motor asinkron dapat kita<br />
baca dari rangkaian ekivalen sebagai berikut. Daya (riil) yang masuk<br />
ke stator motor melalui tegangan V 1 dan arus I 1 digunakan untuk :<br />
• mengatasi rugi tembaga stator : P I 2<br />
cs = 1 R 1<br />
• mengatasi rugi-rugi inti stator : P inti<br />
• daya masuk ke rotor, disebut daya celah udara<br />
R<br />
= ( I '<br />
2 ) 2 , yang digunakan untuk<br />
s<br />
• mengatasi rugi-rugi tembaga rotor :<br />
P g<br />
'<br />
2<br />
P ' 2 '<br />
cr = ( 2 ) 2<br />
• memberikan daya mekanis rotor<br />
' 2 ' ⎛1<br />
− s ⎞<br />
P m = ( I 2 ) R2<br />
⎜ ⎟ , yang terdiri dari :<br />
⎝ s ⎠<br />
• daya untuk mengatasi rugi rotasi<br />
(gesekan dan angin) : P rotasi<br />
• daya keluaran di poros rotor : P o .<br />
Jadi urutan aliran daya secara singkat adalah :<br />
P<br />
= P m − P rotasi<br />
= P − P ;<br />
o ; m g cr<br />
P<br />
P<br />
g = Pin<br />
− Pinti<br />
− P<br />
cs<br />
75
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor<br />
asinkron kita sering menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan<br />
yang lebih sederhana seperti pada Gb.4.7. Dalam rangkaian ini rugirugi<br />
tembaga stator dan rotor disatukan menjadi ( ' 2<br />
I2 ) Re<br />
.<br />
I 1<br />
'<br />
jX e = jX 1 + jX 2<br />
V 1<br />
R c<br />
I f<br />
'<br />
R e = R 1 + R 2<br />
jX c<br />
'<br />
R 1−<br />
s<br />
2<br />
s<br />
Gb.4.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan.<br />
Bagaimana R e dan X e ditentukan akan kita bahas berikut ini.<br />
4.3. Penentuan Parameter <strong>Rangkaian</strong><br />
Pengukuran Resistansi. Resistansi belitan stator maupun belitan<br />
rotor dapat diukur. Namun perlu diingat bahwa jika pengukuran<br />
dilakukan dengan menggunakan metoda pengukuran arus searah dan<br />
pengukuran dilakukan pada temperatur kamar, harus dilakukan<br />
koreksi-koreksi. Dalam pelajaran lebih lanjut kita akan melihat<br />
bahwa resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dibandingkan<br />
dengan resistansi pada arus searah karena adanya gejala yang<br />
disebut efek kulit. Selain dari itu, pada kondisi kerja normal,<br />
temperatur belitan lebih tinggi dari temperatur kamar yang berarti<br />
nilai resistansi akan sedikit lebih tinggi.<br />
Uji Beban ol. Dalam uji beban nol stator diberikan tegangan<br />
nominal sedangkan rotor tidak dibebani dengan beban mekanis.<br />
Pada uji ini kita mengukur daya masuk dan arus saluran. Daya<br />
masuk yang kita ukur adalah daya untuk mengatasi rugi tembaga<br />
pada beban nol, rugi inti, dan daya celah udara untuk mengatasi rugi<br />
rotasi pada beban nol. Dalam uji ini slip sangat kecil, arus rotor<br />
cukup kecil untuk diabaikan sehingga biasanya arus eksitasi<br />
dianggap sama dengan arus uji beban nol yang terukur.<br />
Uji Rotor Diam. Uji ini analog dengan uji hubng singkat pada<br />
transformator. Dalam uji ini belitan rotor di hubung singkat tetapi<br />
76 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
otor ditahan untuk tidak berputar. Karena slip s = 1, maka daya<br />
mekanis keluaran adalah nol. Tegangan masuk pada stator dibuat<br />
cukup rendah untuk membatasi arus rotor pada nilai yang tidak<br />
melebihi nilai nominal. Selain itu, tegangan stator yang rendah<br />
(antara 10 – 20 % nominal) membuat arus magnetisasi sangat kecil<br />
sehingga dapat diabaikan. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen dalam uji ini adalah<br />
seperti pada Gb.4.8. Perhatikan bahwa kita mengambil tegangan<br />
fasa-netral dalam rangkaian ekivalen ini.<br />
I 0<br />
'<br />
jX e = jX 1 + jX 2<br />
'<br />
R e = R 1 + R 2<br />
V fn<br />
Gb.4.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen motor asikron pada uji rotor diam.<br />
Jika P d adalah daya tiga fasa yang terukur dalam uji rotor diam, I d<br />
adalah arus saluran dan V d adalah tegangan fasa-fasa yang terukur<br />
dalam uji ini, maka<br />
' Pd<br />
Re<br />
= X1<br />
+ jX 2 =<br />
2<br />
3I<br />
d<br />
Vd<br />
Ze<br />
=<br />
(4.17)<br />
I d 3<br />
X e ==<br />
2 2<br />
'<br />
Ze<br />
− Re<br />
= X1<br />
+ X 2<br />
Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan<br />
antara X 1 dan X 2´ tidak diperlukan dan kita langsung memanfaatkan<br />
X e .<br />
COTOH-4.2 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga<br />
fasa 50 Hz adalah 75 kW. Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugirugi<br />
inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga stator adalah<br />
2700 W. Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A..<br />
Hitunglah efisiensi motor jika diketahui slip s = 3,75%.<br />
77
Penyelesaian:<br />
Dari rangkaian ekivalen, daya mekanik ekivalen adalah<br />
' 2 ' ⎛1<br />
− s ⎞<br />
P m = ( I 2 ) R2<br />
⎜ ⎟ .<br />
⎝ s ⎠<br />
P m dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor<br />
dan rugi rotasi. Daya keluaran 75 kW yang diketahui, adalah<br />
daya keluaran pada poros rotor sedangkan rugi rotasi diketahui<br />
900 W sehingga<br />
P m = 75000 + 900 = 75900 W<br />
dan rugi-rugi tembaga rotor adalah<br />
' 2 ' Pm<br />
s 75900 × 0,0375<br />
Pcr<br />
= ( I 2 ) R2<br />
= =<br />
= 2957<br />
1−<br />
s 1 − 0,0375<br />
Efisiensi motor adalah<br />
Pkeluaran<br />
η =<br />
× 100%<br />
Pkeluaran<br />
+ rugi − rugi<br />
75000<br />
=<br />
× 100%<br />
75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957<br />
= 87,45%<br />
COTOH-4.3 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga<br />
fasa rotor belitan, 200 HP, 380 V, hubungan Y, memberikan data<br />
berikut: daya masuk P d = 10 kW, arus saluran I d = 250 A, V d =<br />
65 Vdan pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R 1<br />
= 0,02 Ω per fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.<br />
Penyelesaian :<br />
Menurut (4.17) kita dapat menghitung<br />
Pd<br />
10000<br />
R e = = = 0,0533 Ω per fasa<br />
2<br />
2<br />
3I<br />
d 3×<br />
(250)<br />
'<br />
R2 = Re − R1<br />
= 0,0533 − 0,02 = 0,0333 Ω per fasa<br />
W<br />
78 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
COTOH-4.4 : Pada sebuah motor asinkron tiga fasa 10 HP, 4<br />
kutub, 220 V, 50 Hz, hubungan Y, dilakukan uji beban nol dan<br />
uji rotor diam.<br />
Beban nol : V 0 = 220 V; I 0 = 9,2 A; P 0 = 670 W<br />
Rotor diam : V d = 57 V; I d = 30 A; P d = 950 W.<br />
Pengukuran resistansi belitan stator menghasilkan nilai 0,15 Ω<br />
per fasa. Rugi-rugi rotasi sama dengan rugi inti stator. Hitung:<br />
(a) parameter-parameter yang diperlukan untuk<br />
menggambarkan rangkaian ekivalen (pendekatan); (b) arus<br />
eksitasi dan rugi-rugi inti.<br />
Penyelesaian :<br />
a). Karena terhubung Y, tegangan per fasa adalah<br />
220<br />
V 1 = = 127 V .<br />
3<br />
Uji rotor diam memberikan :<br />
Pd<br />
950<br />
R e = = = 0,35 Ω ;<br />
2<br />
2<br />
3( I d ) 3×<br />
(30)<br />
'<br />
R2 = Re<br />
− R1<br />
= 0,35 − 0,15 = 0,2 Ω<br />
Vd<br />
57<br />
Z e = = = 1,1 Ω ;<br />
3 × I d 3 × 30<br />
X e =<br />
2 2<br />
Z e − Re<br />
=<br />
2 2<br />
(1,1) − (0,35)<br />
= 3,14 Ω<br />
b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan;<br />
jadi arus yang mengalir pada uji beban nol dapat dianggap<br />
arus eksitasi I f .<br />
Daya pada uji beban nol P 0 = 670 = V0I<br />
f cos θ 3<br />
670<br />
⇒ cos θ =<br />
= 0, 19 lagging.<br />
220 3 × 9,2<br />
o<br />
Jadi : I f = 9,2∠θ = 9,2∠<br />
− 79 .<br />
79
Rugi inti :<br />
2<br />
2<br />
P inti = P0<br />
− 3×<br />
I0<br />
R1<br />
= 670 − 3×<br />
9,2 × 0,15 = 632<br />
W<br />
I 1<br />
jX e =<br />
j3,14<br />
127∠0 o<br />
V<br />
R c<br />
I f<br />
R e = 0,35<br />
jX c<br />
1− s<br />
0,2<br />
s<br />
COTOH-4.5 : Motor pada Contoh-4.3. dikopel dengan suatu<br />
beban mekanik, dan pengukuran pada belitan stator memberikan<br />
data : daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82. Tentukanlah<br />
: (a) arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip<br />
yang terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika<br />
diketahui rugi rotasi 500 W.<br />
Penyelesaian :<br />
a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data<br />
pengukuran dapat kita ketahui fasor arus stator, yaitu:<br />
o<br />
I 1 = 28∠<br />
− 35 . Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah :<br />
'<br />
I 2 = I1<br />
− I f<br />
= 28<br />
( 0,82 − j0,57) − 9,2( 0,19 − j0,98)<br />
o<br />
= 22,3∠ −18<br />
o<br />
o<br />
= 28∠ − 35 − 9,2∠ − 79<br />
A<br />
b). Daya mekanik rotor adalah :<br />
= 21,2 − j6,94<br />
Pm<br />
= Pin<br />
− Pi<br />
nti − Pcs<br />
− Pcr<br />
2<br />
2<br />
= 9150 − 632 − 3×<br />
28 × 0,15 − 3×<br />
22,3 × 0,2 = 7867<br />
c). Slip dapat dicari dari formulasi<br />
' 2 '<br />
3× ( I 2 ) R2<br />
Pg<br />
= Pin<br />
− Pinti<br />
− Pcs<br />
=<br />
.<br />
s<br />
' 2 '<br />
2<br />
3( I 2 ) R2<br />
3×<br />
22,3 × 0,2<br />
s = =<br />
= 0,0365<br />
P 2<br />
g 9150 − 632 − 3×<br />
28 × 0,15<br />
W<br />
80 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
e). Rugi rotasi = 500 W.<br />
atau 3,65 %<br />
Daya keluaran sumbu rotor :<br />
P o = P m − Protasi<br />
= 7867 − 500 = 7367 W<br />
Po<br />
7367<br />
Efisiensi motor : η = × 100% = × 100% = 80%<br />
P in 9150<br />
4.4. Torka<br />
Pada motor asinkron terjadi alih daya dari daya elektrik di stator<br />
menjadi daya mekanik di rotor. Sebelum dikurangi rugi-tembaga<br />
rotor, alih daya tersebut adalah sebesar daya celah udara P g dan ini<br />
memberikan torka yang kita sebut torka elektromagnetik dengan<br />
perputaran sinkron. Jadi jika T adalah torka elektromagnetik maka<br />
P g<br />
Pg<br />
= Tωs<br />
atau T = (4.18)<br />
ωs<br />
Torka Asut. Torka asut (starting torque) adalah torka yang<br />
dibangkitkan pada saat s = 1, yaitu pada saat perputaran masih nol.<br />
Besarnya arus rotor ekivalen berdasarkan rangkaian ekivalen<br />
Gb.4.7. dengan s = 1 adalah<br />
I<br />
'<br />
1<br />
2 = (4.19)<br />
Besar torka asut adalah<br />
T<br />
a<br />
P<br />
=<br />
ω<br />
' 2<br />
'<br />
( R + R ) + ( X + X ) 2<br />
g<br />
s<br />
1<br />
2<br />
V<br />
1<br />
= × 3<br />
ω<br />
s<br />
'<br />
( I )<br />
1<br />
2<br />
2<br />
'<br />
2<br />
R<br />
×<br />
s<br />
2<br />
1<br />
=<br />
ω<br />
s<br />
'<br />
2<br />
'<br />
( R + R ) + ( X + X ) 2<br />
1<br />
2<br />
3V<br />
2<br />
1<br />
R<br />
'<br />
2<br />
1<br />
2<br />
(4.20)<br />
Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi<br />
besar. Oleh karena itu pada waktu pengasutan tegangan direduksi<br />
dengan menggunakan cara-cara tertentu untuk membatasinya arus.<br />
Sudah barang tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka<br />
asut. Persamaan (4.20) menunjukkan bahwa jika tegangan<br />
dturunkan setengahnya, torka asut akan turun menjadi<br />
seperempatnya.<br />
81
Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi<br />
pertimbangan awal pada waktu perancangan mesin dilakukan. Torka<br />
ini biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka nominal dan merupakan<br />
kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan<br />
motor melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa<br />
saat saja. Perlu diingat bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan<br />
secara kontinyu<br />
sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak isolasi.<br />
I 1<br />
V 1<br />
'<br />
j ( X 1 + X 2 )<br />
I f R 1<br />
R c<br />
jX c<br />
R 2<br />
' s<br />
Karena torka sebanding dengan daya celah udara P g , maka torka<br />
maksimum terjadi jika alih daya ke rotor mencapai nilai maksimum.<br />
Dari rangkaian ekivalen pendekatan Gb.4.9., teorema alih daya<br />
maksimum mensyaratkan bahwa alih daya ke<br />
jika<br />
s<br />
'<br />
( X + X ) 2<br />
'<br />
2 2<br />
= R1<br />
+ 1 2 atau<br />
m<br />
R<br />
Gb.4.9. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan.<br />
R 2 ' akan maksimum<br />
s<br />
'<br />
R2<br />
= (4.21)<br />
2<br />
'<br />
R ( ) 2<br />
1 + X1<br />
X 2<br />
s m<br />
+<br />
Persamaan (4.21) memperlihatkan bahwa s m dapat diperbesar<br />
'<br />
dengan memperbesar R 2 . Suatu motor dapat dirancang agar torka<br />
asut mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan nilai<br />
resistansi rotor.<br />
Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah<br />
82 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
'<br />
I2<br />
=<br />
=<br />
V1<br />
2<br />
⎛ '<br />
R ⎞<br />
⎜ 2<br />
R1<br />
+ ⎟ +<br />
⎜ s ⎟<br />
⎝ m ⎠<br />
2<br />
2R1<br />
+ 2R1<br />
2<br />
2 ⎛ 2<br />
' 2 ⎞<br />
'<br />
'<br />
( X + X ) ⎜ R1<br />
+ R1<br />
+ ( X1<br />
+ X 2) ⎟ + ( X1<br />
+ X2<br />
)<br />
1<br />
2<br />
R1<br />
+<br />
Torka maksimum adalah<br />
'<br />
( I )<br />
V1<br />
' 2<br />
'<br />
( X + X ) + 2( X + X )<br />
1<br />
2<br />
2<br />
=<br />
⎜<br />
⎝<br />
1<br />
2<br />
2<br />
V1<br />
⎟<br />
⎠<br />
(4.22)<br />
'<br />
2<br />
1 2 R2<br />
1<br />
3V1<br />
Tm = × 3 2 =<br />
(4.23)<br />
ωs<br />
sm<br />
ωs<br />
⎛<br />
2 ⎞<br />
⎜ 2<br />
'<br />
2 R + + ( + ) ⎟<br />
1 R1<br />
X1<br />
X 2<br />
⎝<br />
⎠<br />
Persamaan (4.23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak<br />
tergantung dari besarnya resistansi rotor. Akan tetapi menurut (4.21)<br />
slip maksimum s m berbanding lurus dengan resistansi rotor. Jadi<br />
mengubah resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan<br />
memberikan torka maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya<br />
torka maksimum itu sendiri.<br />
Karakteristik Torka – Perputaran. Gb.4.10. memperlihatkan<br />
bagaimana torka berubah terhadap perputaran ataupun terhadap slip.<br />
Pada gambar ini diperlihatkan pula pengaruh resistansi belitan rotor<br />
terhadap karakterik torka-perputaran. Makin tinggi resistansi belitan<br />
rotor, makin besar slip tanpa mengubah besarnya torka maksimum.<br />
torka dalam % nominal<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
1<br />
0<br />
s m1<br />
resistansi rotor tinggi<br />
s m 0<br />
n s<br />
resistansi rotor rendah<br />
Gb.4.10. Karakteristik torka – perputaran<br />
slip<br />
perputaran<br />
2<br />
83
Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut<br />
karakteristik spesifiknya sesuai dengan kemampuan dalam<br />
penggunaannya. Berikut ini data motor yang secara umum<br />
digunakan, untuk keperluan memutar beban dengan kecepatan<br />
konstan dimana tidak diperlukan torka asut yang terlalu tinggi.<br />
Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas angin, blower,<br />
alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan<br />
tertentu diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan<br />
jenis motor ini tidak boleh dibebani lebih secara berkepanjangan<br />
karena akan terjadi pemanasan.<br />
Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan<br />
pengendaliannya. Pengendalian berfungsi untuk melakukan asut<br />
dan menghentikan motor secara benar, membalik perputaran tanpa<br />
merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung<br />
pada sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu<br />
diperhatikan dalam pengendalian adalah : (a) pembatasan torka asut<br />
(agar beban tidak rusak); (b) pembatasan arus asut; (c) proteksi<br />
terhadap pembebanan lebih; (d) proteksi terhadap penurunan<br />
tegangan; (e) proteksi terhadap terputusnya salah satu fasa (yang<br />
dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan sampai di sini<br />
pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan lebih lanjut<br />
akan kita peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin<br />
listrik.<br />
Tabel-4.1. Motor Dalam Aplikasi<br />
HP<br />
0,5<br />
s/d<br />
200<br />
2p<br />
T a<br />
[%]<br />
T maks<br />
[%]<br />
2<br />
4<br />
6<br />
150<br />
150<br />
135<br />
200<br />
s/d<br />
250<br />
8 125<br />
10 120<br />
12 115<br />
14 110<br />
16 105<br />
I a<br />
[%]<br />
500<br />
s/d<br />
1000<br />
s<br />
[%]<br />
3<br />
s/d<br />
5<br />
f.d.<br />
0,87<br />
s/d<br />
0,89<br />
η<br />
[%]<br />
87<br />
s/d<br />
89<br />
2p : jumlah kutub; T a : torka asut; T maks : torka maks<br />
I a : arus asut; s : slip; f.d. : faktor daya; η : efisiensi.<br />
84 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
BAB 5<br />
Pembebanan Seimbang<br />
<strong>Sistem</strong> Polifasa<br />
5.1. Sumber Tiga Fasa Seimbang dan Sambungan ke Beban<br />
Suatu sumber tiga fasa membangkitkan tegangan tiga fasa, yang dapat<br />
digambarkan sebagai tiga sumber tegangan yang terhubung Y (bintang)<br />
seperti terlihat pada Gb.5.1.a. Tiga sumber tegangan ini dibangkitkan<br />
oleh satu mesin sinkron. Titik hubung antara ketiga tegangan itu disebut<br />
titik netral, . Antara satu tegangan dengan tegangan yang lain berbeda<br />
fasa 120 o . Jika kita mengambil tegangan V A sebagai referensi, maka kita<br />
dapat menggambarkan diagram fasor tegangan dari sistem tiga fasa ini<br />
seperti terlihat pada Gb.5.1.b. Urutan fasa dalam gambar ini disebut<br />
urutan positif. Bila fasor tegangan V B dan V C dipertukarkan, kita<br />
akan memperoleh urutan fasa negatif.<br />
Sumber tiga fasa pada umumnya dihubungkan Y karena jika<br />
dihubungkan ∆ akan terbentuk suatu rangkaian tertutup yang apabila<br />
ketiga tegangan tidak tepat berjumlah nol akan terjadi arus sirkulasi yang<br />
merugikan. Sumber tegangan tiga fasa ini dihubungkan ke beban tiga<br />
fasa yang terdiri dari tiga impedansi yang dapat terhubung Y ataupun ∆<br />
seperti terlihat pada Gb.5.2. Dalam kenyataan, beban tiga fasa dapat<br />
berupa satu piranti tiga fasa, misalnya motor asinkron, ataupun tiga<br />
piranti satu fasa yang dihubungkan secara Y atau ∆, misalnya resistor<br />
pemanas.<br />
C<br />
V B<br />
B<br />
+<br />
−<br />
<br />
−<br />
+<br />
V C<br />
− +<br />
V A<br />
A<br />
a). Sumber terhubung Y<br />
V B<br />
VC<br />
120 o<br />
120 o<br />
V A<br />
b). Diagram fasor.<br />
Gb.5.1. Sumber tiga fasa.<br />
85
C<br />
A<br />
C<br />
≈<br />
VAB<br />
A<br />
C<br />
A<br />
B<br />
B<br />
B<br />
N<br />
Gb.5.2. Sumber dan beban tiga fasa.<br />
Dengan mengambil tegangan fasa-netral V A sebagai tegangan referensi,<br />
maka hubungan antara fasor-fasor tegangan tersebut adalah:<br />
o<br />
VA<br />
= V fn∠0<br />
V<br />
V<br />
B<br />
C<br />
= V<br />
= V<br />
fn<br />
fn<br />
V A<br />
∠ −120<br />
o<br />
∠ − 240<br />
Tegangan fasa-fasa yaitu V AB , V BC , dan V CA yang fasor-fasornya adalah<br />
o<br />
(5.1)<br />
VAB<br />
= VA<br />
+ VB<br />
= VA<br />
− VB<br />
VBC<br />
= VB<br />
+ VC<br />
= VB<br />
− VC<br />
VCA<br />
= VC<br />
+ VA<br />
= VC<br />
− VA<br />
(5.2)<br />
5.2. Daya Pada <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa Seimbang<br />
Daya kompleks yang diserap oleh beban 3 fasa adalah jumlah dari daya<br />
yang diserap oleh masing-masing fasa, yaitu:<br />
* * *<br />
S3 f = VAIA<br />
+ VB<br />
IB<br />
+ VC<br />
IC<br />
o<br />
o o<br />
= ( V fn)<br />
∠0<br />
( I f ∠θ)<br />
+ ( V fn)<br />
∠ −120<br />
( I f ∠120<br />
+ θ)<br />
o o<br />
+ ( V fn)<br />
∠ − 240 ( I f ∠240<br />
+ θ)<br />
= 3V<br />
fnI<br />
f ∠θ = 3V<br />
fnI<br />
A∠θ<br />
(5.3)<br />
86 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Karena hubungan antara tegangan fasa-netral dan tegangan fasa-fasa<br />
adalah V ff = V fn √3, maka kita dapat menyatakan daya kompleks dalam<br />
tegangan fasa-fasa, yaitu<br />
Daya nyata dan daya reaktif adalah<br />
S = V I 3∠θ<br />
(5.4)<br />
3 f ff A<br />
P<br />
3 f<br />
Q<br />
3 f<br />
= V<br />
= V<br />
ff<br />
ff<br />
I<br />
I<br />
A<br />
A<br />
3 cos θ = S<br />
3 sin θ = S<br />
3 f<br />
3 f<br />
cos θ<br />
sin θ<br />
(5.5)<br />
Formulasi daya kompleks (5.4) berlaku untuk beban terhubung Y<br />
maupun ∆. Jadi tanpa melihat bagaimana hubungan beban, daya<br />
kompleks yang diberikan ke beban adalah<br />
S 3 f = V ff I A 3<br />
(5.6)<br />
COTOH-5.1: Sebuah beban terhubung ∆ mempunyai impedansi di<br />
setiap fasa sebesar Z = 4 + j3 Ω. Beban ini dicatu oleh sumber tiga<br />
fasa dengan tegangan fasa-fasa V ff = 80 V (rms). Dengan<br />
menggunakan V A sebagai fasor tegangan referensi, tentukanlah:<br />
a). Tegangan fasa-fasa dan arus saluran; b). Daya kompleks, daya<br />
rata-rata, daya reaktif.<br />
Penyelesaian :<br />
a). Dalam soal ini kita diminta untuk menggunakan tegangan V A<br />
sebagai referensi. Titik netral pada hubungan ∆ merupakan titik<br />
fiktif; namun perlu kita ingat bahwa sumber mempunyai titik<br />
netral yang nyata. Untuk memudahkan mencari hubungan fasorfasor<br />
tegangan, kita menggambarkan hubungan beban sesuai<br />
dengan tegangan referensi yang diambil yaitu V A. .<br />
Dengan menggambil V A sebagai referensi maka tegangan fasanetral<br />
adalah<br />
380 o<br />
o<br />
VA<br />
= ∠0<br />
= 220∠0<br />
;<br />
3<br />
o<br />
VC<br />
= 220∠ − 240<br />
o<br />
VB<br />
= 220∠ −120<br />
;<br />
87
I B<br />
V C<br />
I CA<br />
Im<br />
− V B<br />
V AB<br />
I AB<br />
θ<br />
I A<br />
I C<br />
I CA<br />
I BC<br />
I BC<br />
θ<br />
θ<br />
I AB<br />
V A<br />
Re<br />
V B<br />
Tegangan-tegangan fasa-fasa adalah<br />
V<br />
V<br />
V<br />
3<br />
AB = V A ∠ θ A<br />
o<br />
BC = 380∠ − 90<br />
o<br />
CA = 380∠ − 210<br />
Arus-arus fasa adalah<br />
(<br />
o<br />
+ 30 ) = 380∠30<br />
o<br />
VAB<br />
I AB =<br />
Z<br />
o<br />
380∠30<br />
=<br />
4 + j3<br />
o<br />
380∠30<br />
=<br />
o<br />
5∠36,8<br />
o o<br />
o<br />
I BC = 76∠ − 6,8 −120<br />
= 76∠ −126,8<br />
o o<br />
o<br />
ICA<br />
= 76∠ − 6,8 − 240 = 76∠ − 246,8<br />
dan arus-arus saluran adalah<br />
o<br />
= 76∠ − 6,8<br />
A<br />
A<br />
A<br />
o o<br />
o<br />
o<br />
IA = I AB 3∠(<br />
−6,8<br />
− 30 ) = 76 3∠ − 36,8 = 131.6∠ − 36,8<br />
o o<br />
o<br />
IB<br />
= 131.6∠(<br />
−36,8<br />
−120<br />
) = 131,6∠ −156,8<br />
A<br />
o o<br />
o<br />
IC<br />
= 131.6∠(<br />
−36,8<br />
− 240 ) = 131,6∠ − 276.8 A<br />
A<br />
b). Daya kompleks 3 fasa adalah<br />
S3<br />
f<br />
*<br />
= 3VABI<br />
AB<br />
o<br />
= 86.64∠36.8<br />
o<br />
o<br />
= 3×<br />
380∠30<br />
× 76∠ + 6.8<br />
= 69,3 + j52<br />
kVA<br />
88 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Jika kita mengkaji ulang nilai P 3f dan Q 3f , dengan menghitung daya<br />
yang diserap resistansi dan reaktansi beban, akan kita peroleh:<br />
P3<br />
f<br />
Q3<br />
f<br />
2<br />
2<br />
= 3×<br />
R × I AB = 3×<br />
4×<br />
(76) = 69,3 kW<br />
2<br />
2<br />
= 3×<br />
X × I AB = 3×<br />
3×<br />
(76) = 52 kVAR<br />
COTOH-5.2: Sebuah beban 100 kW dengan faktor daya 0,8 lagging,<br />
dihubungkan ke jala-jala tiga fasa dengan tegangan fasa-fasa 4800 V<br />
rms. Impedansi saluran antara sumber dan beban per fasa adalah 2 +<br />
j20 Ω . Berapakah daya kompleks yang harus dikeluarkan oleh<br />
sumber dan pada tegangan berapa sumber harus bekerja <br />
≈<br />
Is<br />
V s<br />
Z = 2+j20 Ω<br />
I B<br />
V B<br />
b<br />
e<br />
b<br />
a<br />
n<br />
100 kW<br />
4800 V<br />
cosϕ = 0,9 lag<br />
Penyelesaian :<br />
Dalam persoalan ini, beban 100 kW dihubungkan pada jala-jala<br />
4800 V, artinya tegangan beban harus 4800 V. Karena saluran antara<br />
sumber dan beban mempunyai impedansi, maka sumber tidak hanya<br />
memberikan daya ke beban saja, tetapi juga harus mengeluarkan<br />
daya untuk mengatasi rugi-rugi di saluran. Sementara itu, arus yang<br />
dikeluarkan oleh sumber harus sama dengan arus yang melalui<br />
saluran dan sama pula dengan arus yang masuk ke beban, baik<br />
beban terhubung Y ataupun ∆.<br />
Daya beban :<br />
PB<br />
= 100 kW = S B<br />
cos ϕ →<br />
S B<br />
QB<br />
= S B sin ϕ = 125 × 0,6 = 75 kVAR<br />
⇒ S B = PB<br />
+ jQB<br />
= 100 + j75<br />
kVA<br />
100<br />
= = 125<br />
0,8<br />
kVA<br />
Besarnya arus yang mengalir ke beban dapat dicari karena tegangan<br />
beban diharuskan 4800 V :<br />
89
100<br />
PB<br />
= VB<br />
I B cos ϕ 3 → I B =<br />
= 15<br />
4800 × 0,8 × 3<br />
A<br />
Daya kompleks yang diserap saluran adalah tiga kali (karena ada<br />
tiga kawat saluran) tegangan jatuh di saluran kali arus saluran<br />
konjugat, atau tiga kali impedansi saluran kali pangkat dua besarnya<br />
arus :<br />
Jadi<br />
2<br />
*<br />
*<br />
2<br />
S sal = 3V<br />
sal I sal = 3ZI<br />
sal I sal = 3Z<br />
I sal = 3ZI<br />
sal<br />
2<br />
S sal = 3×<br />
(2 + j20)<br />
× 15 = 1350 + j13500<br />
= 1,35 + j13,5<br />
kVA<br />
VA<br />
Daya total yang harus dikeluarkan oleh sumber adalah<br />
S S = S B + Ssal<br />
= 100 + j75<br />
+ 1,35 + j13,5<br />
= 101,35 + j88,5<br />
2 2<br />
S S = 101,35 + 88,5 = 134,5 kVA<br />
kVA<br />
Dari daya total yang harus dikeluarkan oleh sumber ini kita dapat<br />
menghitung tegangan sumber karena arus yang keluar dari sumber<br />
harus sama dengan arus yang melalui saluran.<br />
S S<br />
⇒<br />
= VS<br />
I S 3 = VS<br />
I B 3<br />
SS<br />
134,5×<br />
1000<br />
VS<br />
= =<br />
= 5180<br />
I B 3 15 3<br />
V rms<br />
5.3. Model Satu Fasa <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa Seimbang<br />
Sebagaimana terlihat dalam pembahasan di atas, perhitungan daya<br />
ke beban tidak tergantung pada hubungan beban, apakah Y atau ∆.<br />
Hal ini berarti bahwa kita memiliki pilihan untuk memandang beban<br />
sebagai terhubung Y walaupun sesungguhnya ia terhubung ∆,<br />
selama kita berada pada sisi sumber. Hubungan daya, tegangan, dan<br />
arus sistem tiga fasa adalah:<br />
90 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
S3φ<br />
= 3S<br />
f<br />
V ff = V fn<br />
3<br />
I L = I f (beban terhubung Y)<br />
dengan<br />
S 3 φ = daya 3 fasa, S f = daya satu fasa, V ff = tegangan fasa ke fasa<br />
V fn = tegangan fasa ke netral, I L = arus saluran, I f = arus fasa.<br />
(5.7)<br />
Dengan mengingat relasi (5.7), kita dapat melakukan analisis sistem<br />
tiga fasa seimbang dengan menggunakan model satu fasa. Hasil<br />
perhitungan model satu fasa digunakan untuk menghitung besaranbesaran<br />
tiga fasa. Akan kita lihat dalam bab berikutnya bahwa model<br />
satu fasa memberi jalan kepada kita untuk melakukan analisis<br />
sistem tiga fasa tidak seimbang, yaitu dengan menguraikan besaran<br />
tiga fasa yang tidak seimbang menjadi komponen-komponen<br />
simetris; komponen simetris merupakan sistem fasa seimbang<br />
sehingga dapat dimodelkan dengan sistem satu fasa.<br />
Berikut ini adalah contoh penggunaan model satu fasa.<br />
CONTOH-5.3: Sebuah sumber tiga fasa, dengan tegangan fasa-fasa<br />
2400 V, mencatu dua beban parallel. Beban pertama 300 kVA<br />
dengan factor daya 0,8 lagging, dan beban ke-dua 240 kVA<br />
dengan factor daya 0,6 leading.<br />
a). Gambarkan rangkaian ekivalen (model) satu fasa.<br />
b). Hitunglah arus-arus saluran.<br />
Penyelesaian:<br />
Perhatikanlah bahwa beban dinyatakan sebagai daya yang<br />
diserapnya dan bukan impedansi yang dimilikinya. Cara<br />
pernyataan beban semacam inilah yang biasa digunakan dalam<br />
analisis sistem tenaga listrik.<br />
a) Kita ambil salah satu fasa misalnya fasa A sebagai referensi<br />
V A<br />
2400 = =<br />
3<br />
Beban dan arus beban:<br />
2386 V<br />
91
S3φ1<br />
300<br />
S f 1 = = = 100 kVA<br />
3 3<br />
−1<br />
o<br />
ϕ1<br />
= cos (0,8) = + 36,9<br />
(sudut fasa ini positif karena faktor daya lagging)<br />
∗<br />
⎡ S f 1 ⎤ 100∠36,9<br />
o<br />
I1<br />
= ⎢ ⎥ = = 72,2∠ − 36,9<br />
o<br />
o<br />
⎢⎣<br />
VAn∠0<br />
⎥⎦<br />
1386∠0<br />
S3φ2<br />
240<br />
S f 2 = = = 80 kVA<br />
3 3<br />
−1<br />
o<br />
ϕ2<br />
= cos (0,6) = −53,1<br />
(sudut fasa ini negatif karena faktor daya leading)<br />
S f 2<br />
I 2 =<br />
o<br />
V A ∠0<br />
Impedansi ekivalen<br />
o<br />
80∠ − 53,1<br />
=<br />
o<br />
1386∠0<br />
o<br />
= 57,7∠ + 53,1<br />
A<br />
A<br />
V<br />
o<br />
A 1386∠0<br />
Z1<br />
= =<br />
I<br />
o<br />
1 72,2∠<br />
-36,9<br />
= 15,36 + j11,52<br />
Ω<br />
= 19,2∠36,9<br />
Z 2<br />
V<br />
o<br />
A 1386∠0<br />
= =<br />
I<br />
o<br />
2 57,7∠ + 53,1<br />
= 14,4 − j19,2<br />
Ω<br />
= 24∠ − 53,1<br />
∼<br />
V A<br />
=<br />
1386 V<br />
15,36 Ω<br />
j11,52 Ω<br />
14,4 Ω<br />
− j19,2 Ω<br />
92 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
) Arus saluran<br />
I A = I1<br />
+ I 2 = 15,36 + j11,52<br />
+ 14,4 − j19,2<br />
o<br />
= 92,3 + j2,9<br />
= 92,4∠1,8<br />
Ω<br />
I B<br />
o o<br />
o<br />
= 92,4∠(1,8<br />
−120<br />
) = 92,4∠ −118,2<br />
Ω<br />
I C<br />
o o<br />
o<br />
= 92,4∠(1,8<br />
+ 120 ) = 92,4∠121,8<br />
Ω<br />
(urutan ABC)<br />
5.4. <strong>Sistem</strong> Polifasa<br />
Pada sistem polifasa (polyphase system), yang secara umum kita<br />
sebut N-fasa, kita mempunyai N penghantar fasa dan satu<br />
penghantar netral. Tegangan fasa-netral dan arus di pengahantar<br />
dapat kita nyatakan sebagai<br />
VA<br />
VB<br />
= VA<br />
= V A∠α<br />
A<br />
= VB<br />
= VB∠α<br />
B<br />
.... dst.<br />
I A = I A∠β<br />
A<br />
I B = I B∠β<br />
B<br />
.... dst.<br />
(5.8)<br />
Dalam system ini, jika I adalah arus penghantar netral, maka<br />
I A + I B + IC<br />
+ ⋅⋅⋅⋅ + I = 0<br />
(5.9)<br />
Daya kompleks total pada sistem N-fasa adalah jumlah daya dari<br />
setiap fasa, yaitu:<br />
S <br />
=<br />
∗<br />
∑ iIi<br />
; P<br />
= ∑ Pi<br />
; Q<br />
= ∑<br />
V Qi<br />
(5.10)<br />
<br />
<br />
<br />
dengan Vi<br />
adalah tegangan fasa-netral dari penghantar fasa ke-i<br />
dan I i adalah arus penghantar ke-i.<br />
Tegangan fasa-fasa adalah<br />
V ij = Vi<br />
− V j = Vi∠αi<br />
−V<br />
j∠α<br />
j (5.11)<br />
93
<strong>Sistem</strong> Seimbang. Jika sistem beroperasi seimbang maka<br />
VA<br />
= VB<br />
= VC<br />
....dst = V f<br />
I A = I B = IC<br />
.... dst = I L<br />
αi<br />
−βi<br />
= αi<br />
−βi<br />
.... dst = ϕ<br />
(5.12)<br />
di mana V f adalah tegangan fasa-netral, I L arus saluran, dan cosϕ<br />
adalah factor daya. Dalam kondisi seimbang<br />
S = V f I L ;<br />
P<br />
= V f I L cos ϕ;<br />
Q<br />
= V f I L sin ϕ<br />
(5.13)<br />
Jika beda sudut fasa antara dua fasa yang berturutan adalah θ maka<br />
o<br />
360<br />
θ =<br />
(5.14)<br />
<br />
Relasi antara tegangan fasa-fasa dan tegangan fasa adalah<br />
2 2 2<br />
V ij = 2V<br />
f − 2V<br />
f cos θ<br />
atau<br />
Vij<br />
V f<br />
=<br />
2(1<br />
− cos θ)<br />
(5.15)<br />
94 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Hubungan Beban. Beban terhubung bintang dan poligon terlihat<br />
pada Gb.5.8.<br />
I L<br />
I L<br />
Z Y<br />
I ∆<br />
Z Y<br />
Hubungan bintang.<br />
Hubungan poligon.<br />
Gb.5.8. Hubungan beban.<br />
Dalam pembebanan seimbang daya yang diserap setiap impedansi<br />
haruslah sama besar. Dengan demikian relasi antara impedansi Z Y<br />
dan Z ∆ dapat dicari.<br />
Z ∆<br />
Z Y<br />
Z ∆<br />
Z ∆<br />
Z ∆<br />
2<br />
Vij<br />
Z ∆<br />
2<br />
2(1 − cos θ)<br />
V f<br />
=<br />
Z ∆<br />
2<br />
V f<br />
=<br />
ZY<br />
Z ∆<br />
⇒<br />
ZY<br />
= 2(1 − cos θ)<br />
(5.16)<br />
Tabel-5.1 memuat nilai θ, rasio tegangan fasa-fasa terhadap<br />
tegangan fasa ( V ij / V f ), dan rasio impedansi hubungan polygon<br />
terhadap impedansi hubungan bintang ( Z ∆ / Z Y ).<br />
Tabel.5.1. θ, V ij / V f dan Z ∆ / Z Y<br />
θ [ o ] V ij / V f Z ∆ / Z Y<br />
2 180 2,000 4,0000<br />
3 120 1,732 3,0000<br />
6 60 1,000 1,0000<br />
9 40 0,684 0,4679<br />
12 30 0,518 0,2679<br />
95
5.4. <strong>Sistem</strong> Enam Fasa Seimbang<br />
Kita mengambil contoh sistem enam fasa seimbang. Pada sistem ini,<br />
perbedaan sudut fasa antara dua fasa yang berturutan adalah 60 o .<br />
Jika fasa A dipakai sebagai referensi dengan urutan ABC, maka enam<br />
fasa tersebut adalah<br />
V<br />
V<br />
V<br />
V<br />
V<br />
V<br />
A<br />
B<br />
C<br />
D<br />
E<br />
F<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
fn<br />
fn<br />
fn<br />
fn<br />
fn<br />
fn<br />
∠0<br />
o<br />
;<br />
∠ − 60<br />
o<br />
∠ −120<br />
∠ −180<br />
∠ − 240<br />
∠ − 300<br />
;<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
;<br />
;<br />
;<br />
;<br />
(5.17)<br />
Im<br />
V E<br />
V F<br />
V D<br />
Ν<br />
θ<br />
60 ο<br />
V A<br />
Re<br />
V C<br />
V B<br />
Gb.5.9. Fasor tegangan sistem enam fasa seimbang.<br />
Dalam diagram fasor ini hubungan tegangan fasa-fasa dan fasanetral<br />
adalah sebagai berikut:<br />
96 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
V<br />
V<br />
V<br />
V<br />
V<br />
V<br />
AB<br />
BC<br />
CD<br />
DE<br />
EF<br />
FA<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
f<br />
f<br />
A<br />
B<br />
C<br />
f<br />
− V<br />
− V<br />
B<br />
− V<br />
C<br />
D<br />
∠ −120<br />
∠ −180<br />
∠ − 240<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
o<br />
o<br />
o<br />
f<br />
f<br />
f<br />
∠0<br />
o<br />
−V<br />
∠ − 60<br />
o<br />
∠ −120<br />
f<br />
o<br />
∠ − 60<br />
−V<br />
f<br />
−V<br />
o<br />
= V<br />
∠ −120<br />
f<br />
o<br />
∠ −180<br />
f<br />
o<br />
∠60<br />
= V<br />
f<br />
= V<br />
o<br />
∠0<br />
f<br />
o<br />
∠ − 60<br />
o<br />
(5.18)<br />
CONTOH-5.9: Satu sumber enam fasa seimbang dengan<br />
o<br />
V A = 1000∠0 V, mencatu beban seimbang yang menyerap daya<br />
sebesar 900 kVA pada factor daya 0,8 lagging. Jika urutan fasa<br />
adalah ABC, hitunglah<br />
Penyelesaian:<br />
a). arus saluran;<br />
b). tegangan fasa-fasa<br />
a). Arus saluran:<br />
S f S6<br />
f / 6<br />
I L = = =<br />
VA<br />
1000<br />
V AE ;<br />
c). impedansi ekivalen untuk hubungan bintang;<br />
d). impedansi ekivalen untuk hubungan segi enam.<br />
900 / 6<br />
1<br />
= 150 A<br />
b). Tegangan fasa-fasa<br />
V<br />
AE = VA<br />
− VE<br />
o<br />
= 1732∠30<br />
V AE :<br />
= 1000∠0<br />
V<br />
o<br />
+ 1000∠ − 60<br />
c). Impedansi ekivalen untuk hubungan bintang<br />
V f 1000<br />
Z Y = = = 6,67 Ω<br />
I L 150<br />
−1<br />
o<br />
ϕ = cos (0,8) = + 36,9 ( factor daya lagging)<br />
→<br />
Z Y<br />
= 6,67∠36,9<br />
o<br />
Ω<br />
o<br />
= 2×<br />
500<br />
3∠ − 30<br />
o<br />
97
d). Impedansi ekivalen untuk hubungan segi-enam:<br />
Z ∆<br />
Z Y<br />
= 2(1<br />
− cos θ)<br />
Z ∆<br />
o<br />
= 2(1 − cos 60 ) Z Y = Z Y<br />
= 6,67∠36,9<br />
o<br />
Ω<br />
98 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
BAB 6<br />
Pembebanan Nonlinier<br />
(Analisis Di Kawasan Waktu)<br />
Penyediaan energi elektrik pada umumnya dilakukan dengan<br />
menggunakan sumber tegangan berbentuk gelombang sinus. Arus yang<br />
mengalir diharapkan juga berbentuk gelombang sinus. Namun<br />
perkembangan teknologi terjadi di sisi beban yang mengarah pada<br />
peningkatan efisiensi peralatan dalam penggunaan energi listrik. Alatalat<br />
seperti air conditioner, refrigerator, microwave oven, sampai ke<br />
mesin cuci dan lampu-lampu hemat energi makin banyak digunakan dan<br />
semua peralatan ini menggunakan daya secara intermittent. Peralatan<br />
elektronik, yang pada umumnya memerlukan catu daya arus searah juga<br />
semakin banyak digunakan sehingga diperlukan penyearahan arus.<br />
Pembebanan-pembebanan semacam ini membuat arus beban tidak lagi<br />
berbentuk gelombang sinus.<br />
Bentuk-bentuk gelombang arus ataupun tegangan yang tidak berbentuk<br />
sinus, namun tetap periodik, tersusun dari gelombang-gelombang sinus<br />
dengan berbagai frekuensi. Gelombang periodik nonsinus ini<br />
mengandung harmonisa.<br />
6.1. Sinyal onsinus<br />
Dalam pembahasan harmonisa kita akan menggunakan istilah sinyal<br />
nonsinus untuk menyebut secara umum sinyal periodik seperti sinyal gigi<br />
gergaji dan sebagainya, termasuk sinyal sinus terdistorsi yang terjadi di<br />
sistem tenaga.<br />
Dalam Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik kita telah membahas bagaimana<br />
mencari spektrum amplitudo dan sudut fasa dari bentuk sinyal nonsinus<br />
yang mudah dicari persamaannya [2]. Berikut ini kita akan membahas<br />
cara menentukan spektrum amplitudo sinyal nonsinus melalui<br />
pendekatan numerik. Cara ini digunakan jika kita menghadapi sinyal<br />
nonsinus yang tidak mudah dicari persamaannya. Cara pendekatan ini<br />
dapat dilakukan dengan bantuan komputer sederhana, terutama jika<br />
sinyal disajikan dalam bentuk kurva hasil dari suatu pengukuran analog.<br />
Dalam praktik, sinyal nonsinus diukur dengan menggunakan alat ukur<br />
99
elektronik yang dapat menunjukkan langsung spektrum amplitudo dari<br />
sinyal nonsinus yang diukur.<br />
Penafsiran Grafis Deret Fourier. Pencarian spektrum amplitudo suatu<br />
sinyal periodik y(t) dilakukan melalui penghitungan koefisien Fourier<br />
dengan formula seperti berikut ini.<br />
a<br />
a<br />
b<br />
0<br />
n<br />
n<br />
1<br />
=<br />
T<br />
0<br />
2<br />
=<br />
T<br />
0<br />
2<br />
=<br />
T<br />
0<br />
T0<br />
/ 2<br />
y(<br />
t)<br />
dt<br />
−T<br />
/ 2<br />
dengan T 0 adalah perioda sinyal.<br />
∫<br />
T0<br />
/ 2<br />
y(<br />
t) cos( nω0t)<br />
dt<br />
−T<br />
/ 2<br />
∫<br />
T0<br />
/ 2<br />
y(<br />
t)sin(<br />
nω0t)<br />
dt<br />
−T<br />
/ 2<br />
∫<br />
0<br />
0<br />
0<br />
;<br />
;<br />
n > 0<br />
n > 0<br />
T0<br />
/ 2<br />
Integral<br />
∫<br />
y ( t)<br />
dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva y(t)<br />
− T0<br />
/ 2<br />
dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika luas bidang dalam<br />
rentang satu perioda ini dikalikan dengan (1/T 0 ), yang berarti dibagi<br />
dengan T 0 , akan memberikan nilai rata-rata y(t) yaitu nilai komponen<br />
searah a 0 .<br />
T0<br />
/ 2<br />
Integral<br />
∫<br />
y ( t) cos( nω0t)<br />
dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh<br />
− T / 2<br />
0<br />
kurva y( t ) cos( n ω 0 t ) dengan sumbu-t dalam rentang satu perioda. Jika<br />
luas bidang ini dikalikan dengan (2/T 0 ), yang berarti dibagi (T 0 /2), akan<br />
diperoleh a n . Di sini T 0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T 0<br />
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω 0 .<br />
T0<br />
/ 2<br />
Integral<br />
∫<br />
y ( t) sin( nω0t)<br />
dt adalah luas bidang yang dibatasi oleh<br />
− T / 2<br />
0<br />
kurva y( t )sin( n ω 0 t ) dengan sumbu-x dalam rentang satu perioda. Jika<br />
luas ini dikalikan dengan (2/T 0 ) akan diperoleh b n . Seperti halnya<br />
penghitungan a n , T 0 harus dibagi dua karena dalam satu perioda T 0<br />
terdapat dua kali gelombang penuh berfrekuensi nω 0 .<br />
Dengan penafsiran hitungan integral sebagai luas bidang, maka<br />
pencarian koefisien Fourier dapat didekati dengan perhitungan luas<br />
100 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
idang. Hal ini sangat membantu karena perhitungan analitis hanya dapat<br />
dilakukan jika sinyal nonsinus yang hendak dicari komponenkomponennya<br />
diberikan dalam bentuk persamaan yang cukup mudah<br />
untuk diintegrasi.<br />
Prosedur Pendekatan umerik. Pendekatan numerik integral sinyal y(t)<br />
dalam rentang p ≤ t ≤ q dilakukan sebagai berikut.<br />
1. Kita bagi rentang p ≤ t ≤ q ke dalam m segmen dengan lebar<br />
masing-masing ∆t k ; ∆t k bisa sama untuk semua segmen bisa juga<br />
tidak, tergantung dari keperluan. Integral y(t) dalam rentang p ≤ t ≤<br />
q dihitung sebagai jumlah luas seluruh segmen dalam rentang<br />
tersebut. Setiap segmen dianggap sebagai trapesium; sisi kiri suatu<br />
segmen merupakan sisi kanan segmen di sebelah kirinya, dan sisi<br />
kanan suatu segmen menjadi sisi kiri segmen di sebelah kanannya.<br />
Jika sisi kanan segmen (trapesium) adalah A k maka sisi kirinya<br />
adalah A k-1 , maka luas segmen ke-k adalah<br />
L<br />
( A + A ) × ∆t<br />
/ 2<br />
k = k k− 1 k<br />
(6.1)<br />
Jadi integral f(t) dalam rentang p ≤ x ≤ q adalah<br />
q<br />
m<br />
f ( t)<br />
dt ≈∑<br />
Lk<br />
(6.2)<br />
p<br />
k=<br />
1<br />
∫<br />
2. Nilai ∆t k dipilih sedemikian rupa sehingga error yang terjadi masih<br />
berada dalam batas-batas toleransi yang kita terima. Jika sinyal<br />
diberikan dalam bentuk grafik, untuk mencari koefisien Fourier dari<br />
harmonisa ke-n, satu perioda dibagi menjadi tidak kurang dari 10×n<br />
segmen agar pembacaan cukup teliti dan error yang terjadi tidak<br />
lebih dari 5%. Untuk harmonisa ke-5 misalnya, satu perioda dibagi<br />
menjadi 50 segmen. Ketentuan ini tidaklah mutlak; kita dapat<br />
memilih jumlah segmen sedemikian rupa sehingga pembacaan<br />
mudah dilakukan namun cukup teliti.<br />
3. Relasi untuk memperoleh nilai koefisien Fourier menjadi seperti<br />
berikut:<br />
101
a<br />
a<br />
b<br />
0<br />
n<br />
n<br />
1<br />
=<br />
T<br />
2<br />
=<br />
T<br />
2<br />
=<br />
T<br />
m<br />
∑<br />
0 k=<br />
1<br />
m<br />
∑<br />
0 k=<br />
1<br />
m<br />
∑<br />
[ A + A ]<br />
k<br />
k−1<br />
∆t<br />
=<br />
∑<br />
[ A cos( nω<br />
t)<br />
+ A cos( nω<br />
t )]<br />
k<br />
k−1<br />
[ A sin( nω<br />
t)<br />
+ A sin( nω<br />
t )]<br />
k<br />
2<br />
0<br />
0<br />
k<br />
k−1<br />
2<br />
2<br />
ka0<br />
0 k−1<br />
0 k−1<br />
∆t<br />
∆t<br />
∑<br />
∑<br />
0 k=<br />
1 0<br />
4. Formula untuk sudut fasa adalah<br />
ϕ<br />
n<br />
T<br />
L<br />
0<br />
k<br />
k<br />
=<br />
=<br />
T<br />
T<br />
0<br />
L<br />
L<br />
kan<br />
/ 2<br />
kbn<br />
/ 2<br />
(6.3)<br />
−1<br />
⎛ b ⎞<br />
⎜<br />
n<br />
= tan ⎟<br />
(6.4)<br />
⎝ an<br />
⎠<br />
5. Perlu disadari bahwa angka-angka yang diperoleh pada pendekatan<br />
numerik bisa berbeda dengan nilai yang diperoleh secara analitis.<br />
Jika misalkan secara analitis seharusnya diperoleh a 1 = 0 dan b 1 =<br />
150, pada pendekatan numerik mungkin diperoleh angka yang<br />
sedikit menyimpang, misalnya a 1 = 0,01 dan b 1 = 150,2.<br />
2 2<br />
6. Amplitudo dari setiap komponen harmonisa adalah A n = an<br />
+ bn<br />
.<br />
Sudut fasa dihitung dalam satuan radian ataupun derajat dengan<br />
mengingat letak kuadran dari vektor amplitudo seperti telah dibahas<br />
pada waktu kita membahas spektrum sinyal. Persamaan sinyal<br />
nonsinus adalah<br />
2 2<br />
( ) 0 ∑ ∞ y t = a +<br />
⎡<br />
a + cos( ω0<br />
− ϕ )<br />
⎤<br />
n bn<br />
n t n (6.5)<br />
⎢⎣<br />
⎥⎦<br />
n=<br />
1<br />
Berikut ini kita lihat sinyal periodik yang diberikan dalam bentuk kurva<br />
yang tak mudah dicari persamaannya. Prosedur pendekatan numerik<br />
dilakukan dengan membaca kurva yang memerlukan kecermatan. Hasil<br />
pembacaan kita muatkan dalam suatu tabel seperti pada contoh berikut<br />
ini.<br />
102 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
COTOH-6.1:<br />
200<br />
y[volt]<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
-50<br />
0 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0,014 0,016 0,018 0,02<br />
t[detik]<br />
-100<br />
-150<br />
-200<br />
Carilah komponen searah, fundamental, dan harmonisa ke-3 sinyal<br />
periodik y(t) yang dalam satu perioda berbentuk seperti yang<br />
diperlihatkan dalam gambar di atas. Perhatikan bahwa gambar ini<br />
adalah gambar dalam selang satu periode yang berlangsung dalam<br />
0,02 detik, yang sesuai dengan frekuensi kerja 50 Hz.<br />
Penyelesaian: Perhitungan diawali dengan menetapkan nilai t<br />
dengan interval sebesar ∆t = 0,0004 detik, kemudian menentukan A k<br />
untuk setiap segmen. Sisi kiri segmen pertama terjadi pada t = 0 dan<br />
sisi kanannya menjadi sisi kiri segmen ke-dua; dan demikian<br />
selanjutnya dengan segmen-segmen berikutnya. Kita tentukan pula<br />
sisi kanan segmen terakhir pada t = T 0 . Hasil perhitungan yang<br />
diperoleh dimuatkan dalam Tabel-1.1 (hanya ditampilkan sebagian),<br />
dimana sudut fasa dinyatakan dalam satuan radian. Pembulatan<br />
sampai 2 angka di belakang koma.<br />
103
Tabel-6.1. Analisis Harmonisa Sinyal Nonsinus pada Contoh-6.1.<br />
T 0 = 0,02 s<br />
∆t k = 0,0004 s<br />
Komp.<br />
searah<br />
Fundamental<br />
f 0 = 1/T 0 = 50 Hz<br />
Harmonisa ke-3<br />
t A k L ka0 L ka1 L kb1 L ka3 L kb3<br />
0 50<br />
0,0004 75 0,025 0,025 0,002 0,024 0,006<br />
0,0008 100 0,035 0,034 0,007 0,029 0,019<br />
0,0012 120 0,044 0,042 0,014 0,025 0,035<br />
: : : : : : :<br />
0,0192 -5 -0,006 -0,006 0,002 -0,003 0,005<br />
0,0196 20 0,003 0,003 0,000 0,003 -0,001<br />
0,02 50 0,014 0,014 -0,001 0,014 -0,001<br />
Jumlah L k 0,398 0,004 1,501 -0,212 0,211<br />
a 0 19,90<br />
a 1 , b 1 0,36 150,05<br />
a 3 , b 3 −21,18 21,13<br />
Ampli-1, ϕ 1 150,05 1,57<br />
Ampli-3, ϕ 3 29,92 -0,78<br />
Tabel ini memberikan<br />
a<br />
a<br />
a<br />
0<br />
1<br />
3<br />
= 19,90<br />
= 0,36; b<br />
1<br />
= −21,18;<br />
b<br />
= 150,05 ⇒<br />
3<br />
= 21,13 ⇒<br />
A<br />
ϕ<br />
ϕ<br />
1<br />
1<br />
A<br />
3<br />
3<br />
=<br />
= tan<br />
=<br />
= tan<br />
0,36<br />
−1<br />
(150,05 / 0,36) = 1,57<br />
( −21,18)<br />
−1<br />
2<br />
+ 150,05<br />
2<br />
2<br />
+ 21,13<br />
= 150,05<br />
= 29,92<br />
(21,13/ − 21,18) = −0,78<br />
Sesungguhnya kurva yang diberikan mengandung pula harmonisa kedua.<br />
Apabila harmonisa ke-dua dihitung , akan memberikan hasil<br />
a 2 = 49,43 dan b 2 = −0, 36<br />
amplitudo A 2 = 49,43 dan ϕ 2 = −0, 01<br />
2<br />
104 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Dengan demikian uraian sampai dengan harmonisa ke-3 dari sinyal<br />
yang diberikan adalah<br />
y(<br />
t)<br />
= 19,90 + 150,05cos(2πf<br />
0t<br />
−1,57)<br />
+ 49,43cos(4πf<br />
0t<br />
+ 0,01)<br />
+ 29,92cos(6πf<br />
0t<br />
+ 0,78)<br />
6.2. Elemen Linier Dengan Sinyal onsinus<br />
Hubungan tegangan dan arus elemen-elemen linier R, L, C, pada sinyal<br />
sinus di kawasan waktu berlaku pula untuk sinyal periodik nonsinus.<br />
COTOH-6.2: Satu kapasitor C mendapatkan tegangan nonsinus<br />
v = 100 sin( ωt<br />
+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />
− 0,2) + 10sin(5ωt<br />
+ 1,5) V<br />
(a) Tentukan arus yang mengalir pada kapasitor. (b) Jika C = 30 µF,<br />
dan frekuensi f = 50 Hz, gambarkan (dengan bantuan komputer)<br />
kurva tegangan dan arus kapasitor.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Hubungan tegangan dan arus kapasitor adalah<br />
Oleh karena itu arus kapasitor adalah<br />
dv<br />
i C = C<br />
dt<br />
i C<br />
{ 100sin( ωt<br />
+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />
− 0,2) + 10sin(5ωt<br />
+ 1,5) }<br />
d<br />
= C<br />
dt<br />
= 100ωC<br />
cos( ωt<br />
+ 0,5) + 60ωC<br />
cos(3ωt<br />
− 0,2)<br />
+ 50ωC<br />
cos(5ωt<br />
+ 1,5)<br />
= 100ωC<br />
sin( ωt<br />
+ 2,07) + 60ωC<br />
sin(3ωt<br />
+ 1,37)<br />
+ 50ωC<br />
sin(5ωt<br />
+ 3,07) A<br />
(b) Kurva tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.<br />
150<br />
[V]<br />
100<br />
50<br />
0<br />
-50<br />
-100<br />
-150<br />
v C<br />
5 [A]<br />
i C<br />
2,5<br />
0 0.005 0.01<br />
0<br />
0.015 detik 0.02<br />
−2,5<br />
−5<br />
105
Kurva tegangan dan arus pada contoh ini merupakan fungsi-fungsi<br />
nonsinus yang simetris terhadap sumbu mendatar. Nilai rata-rata<br />
fungsi periodik demikian ini adalah nol. Pendekatan numerik<br />
memberikan nilai rata-rata<br />
vrr<br />
−14<br />
= 1,8 × 10 V dan<br />
−17<br />
irr<br />
= 5 × 10 A.<br />
ilai Rata-Rata. Sesuai dengan definisi untuk nilai rata-rata, nilai ratarata<br />
sinyal nonsinus y(t) dengan perioda T 0 adalah<br />
1<br />
Yrr<br />
=<br />
T0<br />
T<br />
y(<br />
t)<br />
dt<br />
0<br />
∫<br />
(6.6)<br />
Nilai rata-rata sinyal nonsinus adalah komponen searah dari sinyal<br />
tersebut.<br />
ilai Efektif. Definisi nilai efektif sinyal periodik y(t) dengan perioda T 0<br />
adalah<br />
Yrms<br />
=<br />
1<br />
T0<br />
T<br />
2<br />
y ( t)<br />
dt<br />
0<br />
∫<br />
(6.7)<br />
Dengan demikian maka nilai efektif sinyal sinus y 1 = Y m1 sin(ωt + θ)<br />
adalah<br />
1 T<br />
2 2<br />
Ym<br />
Y 1rms<br />
= Ym<br />
sin ( )<br />
1<br />
1 ωt<br />
+ θ dt =<br />
(6.8)<br />
T ∫<br />
0 0<br />
2<br />
Nilai efektif sinyal nonsinus ∑ ∞ y ( t)<br />
= Y0 + Ymn<br />
sin( nω0t<br />
+ θn<br />
) adalah<br />
n=<br />
1<br />
Yrms<br />
=<br />
1<br />
T0<br />
T ⎛<br />
∫ ⎜<br />
⎜ Y + ∑ ω + θ<br />
⎟ ⎟ 0 Ymn<br />
sin( n 0t<br />
n )<br />
0<br />
n=<br />
1<br />
⎠<br />
Jika ruas kiri dan kanan dikuadratkan, kita dapatkan<br />
⎝<br />
∞<br />
2<br />
⎞<br />
dt<br />
2 1<br />
Y rms =<br />
T0<br />
T ⎛<br />
∫ ⎜<br />
⎜ Y + ∑ ω + θ<br />
⎟ ⎟ 0 Ymn<br />
sin( n 0t<br />
n )<br />
0<br />
n=<br />
1<br />
⎠<br />
⎝<br />
∞<br />
2<br />
⎞<br />
dt<br />
atau<br />
106 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
2 1<br />
Y rms =<br />
T0<br />
1<br />
+<br />
T0<br />
∫<br />
T ⎛ ∞<br />
⎞<br />
⎜ 2 2 2<br />
Y<br />
⎟<br />
⎜ 0 + ∑Ymn<br />
sin ( nω0t<br />
+ θn<br />
) dt<br />
0<br />
⎟<br />
⎝ n=<br />
1<br />
⎠<br />
∫<br />
⎛ ∞<br />
⎞<br />
⎜2Y<br />
⎟<br />
⎜ 0∑Ymn<br />
sin( nω0t<br />
+ θn<br />
)<br />
⎟<br />
⎜ n=<br />
1<br />
⎟<br />
⎜<br />
∞<br />
⎟<br />
T ⎜+<br />
2Y<br />
ω + θ ∑ ω + θ ⎟<br />
m1<br />
sin( 0t<br />
1)<br />
Ymn<br />
sin( n 0t<br />
n )<br />
⎜<br />
⎟dt<br />
0<br />
n=<br />
2<br />
⎜<br />
⎟<br />
⎜<br />
∞<br />
⎟<br />
⎜+<br />
2Ym2<br />
sin(2ω0t<br />
+ θ2<br />
) ∑Ymn<br />
sin( nω0t<br />
+ θn<br />
) ⎟<br />
⎜<br />
n=<br />
3<br />
⎟<br />
⎜<br />
⎟<br />
⎝+<br />
.................................<br />
⎠<br />
(6.9)<br />
Melalui kesamaan trigonometri<br />
2 sin α sin β = cos( α − b ) − cos( α + β)<br />
dan karena Y 0 bernilai tetap maka suku ke-dua ruas kanan (6.8)<br />
merupakan penjumlahan nilai rata-rata fungsi sinus yang masing-masing<br />
memiliki nilai rata-rata nol, sehingga suku ke-dua ini bernilai nol. Oleh<br />
karena itu (6.9) dapat kita tulis<br />
atau<br />
2 1<br />
Y rms =<br />
T<br />
T ⎛<br />
∫ ⎜<br />
⎜ 2 2 2<br />
Y + ∑ ω + θ<br />
⎟ ⎟ 0 Ynm<br />
sin ( n 0t<br />
n )<br />
0<br />
n=<br />
1<br />
⎠<br />
⎝<br />
∞<br />
∞<br />
2 1 t<br />
2 1<br />
Y rms =<br />
∫<br />
Y0<br />
dt +<br />
T 0 T<br />
n=<br />
1<br />
∞<br />
2 2<br />
= Y0<br />
+ ∑Ynrms<br />
n=<br />
1<br />
∑ ∫<br />
⎞<br />
dt<br />
T<br />
2 2<br />
Ynm<br />
sin ( nω0t<br />
+ θn)<br />
dt<br />
0<br />
(6.10)<br />
(6.11)<br />
Persamaan (6.11) menunjukkan bahwa kuadrat nilai efektif sinyal non<br />
sinus sama dengan jumlah kuadrat komponen searah dan kuadrat semua<br />
nilai efektif konponen sinus. Kita perlu mencari formulasi yang mudah<br />
untuk menghitung nilai efektif ini. Kita bisa memandang sinyal nonsinus<br />
sebagai terdiri dari tiga macam komponen yaitu komponen searah (y 0 ),<br />
107
komponen fundamental (y 1 ), dan komponen harmonisa (y h ). Komponen<br />
searah adalah nilai rata-rata sinyal, komponen fundamental adalah<br />
komponen dengan frekuensi fundamental ω 0 , sedangkan komponen<br />
harmonisa merupakan jumlah dari seluruh komponen harmonisa yang<br />
memiliki frekuensi nω 0 dengan n > 1. Jadi sinyal nonsinus y dapat<br />
dinyatakan sebagai<br />
y = y0<br />
+ y1<br />
+ y h<br />
Akan tetapi kita juga dapat memandang sinyal nonsinus sebagai terdiri<br />
dari dua komponen saja, yaitu komponen fundamental dan komponen<br />
harmonisa total di mana komponen yang kedua ini mencakup komponen<br />
searah. Alasan untuk berbuat demikian ini adalah bahwa dalam proses<br />
transfer energi, komponen searah dan harmonisa memiliki peran yang<br />
sama; hal ini akan kita lihat kemudian. Dalam pembahasan selanjutnya<br />
kita menggunakan cara pandang yang ke-dua ini. Dengan cara pandang<br />
ini suatu sinyal nonsinus dinyatakan sebagai<br />
y = y 1 + y h<br />
(6.12)<br />
dengan y1 = Y1m<br />
sin( ω0t<br />
+ θ1)<br />
dan<br />
k<br />
yh<br />
= Y0 + ∑Ynm<br />
sin( nω0t<br />
+ θn<br />
) .<br />
n=<br />
2<br />
Dengan demikian maka relasi (1.11) menjadi<br />
2 2 2<br />
Y rms Y1rms<br />
+ Yhrms<br />
= (6.13)<br />
Dalam praktik, komponen harmonisa y h dihitung tidak melibatkan<br />
seluruh komponen harmonisa melainkan dihitung dalam lebar pita<br />
spektrum tertentu. Persamaan sinyal dijumlahkan sampai pada frekuensi<br />
tertinggi yang ditentukan yaitu kω 0 ; sinyal dengan frekuensi di atas batas<br />
frekuensi tertinggi ini dianggap memiliki amplitudo yang sudah cukup<br />
kecil untuk diabaikan.<br />
COTOH-6.2: Suatu tegangan berbentuk gelombang gigi gergaji<br />
memiliki nilai maksimum 20 volt, dengan frekuensi 20 siklus per<br />
detik. Hitunglah nilai tegangan efektif dengan: (a) relasi nilai efektif;<br />
(b) uraian harmonisa.<br />
Penyelesaian:<br />
108 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
(a) Perioda sinyal 0,05 detik dengan persamaan: v( t)<br />
= 400t<br />
.<br />
Nilai efektif:<br />
1 0,05<br />
0,05<br />
2 1 ⎡1600<br />
3 ⎤<br />
V rms = (400 )<br />
≈11,55 V<br />
0,05 ∫<br />
t dt =<br />
0<br />
0,05<br />
⎢ t<br />
3<br />
⎥<br />
⎣ ⎦0<br />
(b) Uraian sinyal ini sampai harmonisa ke-7 adalah diberikan dalam<br />
contoh di Bab-3, yaitu<br />
v(<br />
t)<br />
= 10 − 6,366sin ω0t<br />
− 3,183sin 2ω0t<br />
− 2,122sin 3ω0t<br />
−1,592sin 4ω0t<br />
−1,273sin 5ω0t<br />
−1,061sin 6ω0t<br />
− 0,909sin 7ω0t<br />
V<br />
Persamaan ini memberikan nilai efektif tegangan fundamental,<br />
tegangan harmonisa, dan tegangan total sebagai berikut.<br />
6,366<br />
V 1rms<br />
= ≈ 4,5 V<br />
2<br />
V hrms<br />
=<br />
2 2<br />
2 3,166 2,10<br />
10 + +<br />
2 2<br />
2<br />
2<br />
≈10,5<br />
V<br />
Vrms<br />
= V1rms<br />
+ Vhrms<br />
= 4,49 + 10,35 ≈11,4 V<br />
2<br />
2<br />
Contoh ini menunjukkan bahwa sinyal gigi gergaji memiliki nilai<br />
efektif harmonisa jauh lebih tinggi dari nilai efektif komponen<br />
fundamentalnya.<br />
COTOH-6.3: Uraian dari penyearahan setengah gelombang arus sinus<br />
i = sin ω 0 t A sampai dengan harmonisa ke-10 adalah:<br />
i(<br />
t)<br />
= 0,318 + 0,5cos( ω<br />
0<br />
+ 0,018cos(6ω<br />
t −1,57)<br />
+ 0,212cos(2ω<br />
0<br />
t)<br />
+ 0.010 cos(8ω<br />
0<br />
0<br />
t ) + 0,042 cos(4ω<br />
t)<br />
+ 0.007 cos(10ω<br />
Hitung nilai efektif komponen arus fundamental, arus harmonisa,<br />
dan arus total.<br />
Penyelesaian:<br />
Nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa dan arus total<br />
berturut-turut adalah<br />
0<br />
0<br />
t)<br />
t)<br />
A<br />
109
0,5<br />
I1 rms = = 0,354 A<br />
2<br />
I hrms<br />
2<br />
2 0,212<br />
= 0,318 +<br />
2<br />
= 0,354 A<br />
2<br />
0,042<br />
+<br />
2<br />
2<br />
0,018<br />
+<br />
2<br />
2<br />
0,01<br />
+<br />
2<br />
2<br />
0,007<br />
+<br />
2<br />
I rms<br />
2 2<br />
2 2<br />
= I1rms<br />
+ I hrms = 0,354 + 0,354 ≈<br />
0,5<br />
A<br />
Contoh-6.3 ini menunjukkan bahwa pada penyearah setengah gelombang<br />
nilai efektif komponen fundamental sama dengan nilai efektif komponen<br />
harmonisanya.<br />
COTOH-6.4: Tegangan pada sebuah kapasitor 20 µF terdiri dari dua<br />
komponen yaitu v1 = 200sin<br />
ωt<br />
dan v15 = 20sin15ωt<br />
. Jika<br />
diketahui frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitunglah: (a) nilai<br />
efektif arus yang diberikan oleh v 1 ; (b) nilai efektif arus yang<br />
diberikan oleh v 15 ; (c) arus efektif total; (d) gambarkan kurva ketiga<br />
arus tersebut sebagai fungsi waktu.<br />
Penyelesaian:<br />
a). Komponen tegangan pertama adalah v1 = 200sin(100πt)<br />
V. Arus<br />
yang diberikan oleh tegangan ini adalah<br />
−6<br />
−6<br />
i1<br />
= 20 × 10 dv1<br />
/ dt = 20 × 10 × 200 × 100πcos100πt<br />
= 1,257 cos100πt<br />
Nilai efektifnya adalah:<br />
1,257<br />
=<br />
2<br />
I 1 rms =<br />
0,89 A<br />
b). Komponen tegangan ke-dua adalah v15 = 20sin(1500πt)<br />
V. Arus<br />
yang diberikan oleh tegangan ini adalah<br />
−6<br />
−6<br />
i15<br />
= 20 × 10 dv15<br />
/ dt = 20 × 10 × 20 × 1500πsin1500πt<br />
= 1,885cos1500πt<br />
1,885<br />
Nilai efektifnya adalah: I 15 rms = = 1,33 A<br />
2<br />
c). Tegangan gabungan adalah<br />
v = 200sin(100πt)<br />
+ 20sin(1500πt)<br />
110 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Arus yang diberikan tegangan gabungan ini adalah<br />
−6<br />
−6<br />
d<br />
i = 20 × 10 dv / dt = 20 × 10 ( v1<br />
+ v15<br />
)<br />
dt<br />
= 1,257 cos100πt<br />
+ 1,885cos1500t<br />
Arus ini merupakan jumlah dari dua komponen arus yang<br />
berbeda frekuensi. Kurva arus ini pastilah berbentuk nonsinus.<br />
Nilai efektif masing-masing komponen telah dihitung di<br />
jawaban (a) dan (b). Nilai efektif sinyal non sinus ini adalah<br />
I<br />
2 2<br />
rms = rms rms<br />
I1 + I15<br />
= 0,89 + 1,33 = 1,60 A<br />
d). Kurva ketiga arus tersebut di atas adalah sebagai berikut.<br />
4<br />
A i i 1 i 15<br />
3<br />
2<br />
1<br />
0<br />
detik<br />
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06<br />
-1<br />
-2<br />
-3<br />
-4<br />
COTOH-6.5: Arus i = 2 sin ωt<br />
+ 0,2 sin 3ωt<br />
A, mengalir pada beban<br />
yang terdiri dari resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan<br />
induktor 0,5 H. Pada frekuensi 50 Hz: (a) gambarkan kurva<br />
tegangan dan arus beban; (b) tentukan nilai efektif tegangan beban<br />
dan arus beban.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Arus beban adalah<br />
adalah<br />
2<br />
i = 2 sin ωt<br />
+ 0,2sin 3ωt<br />
. Tegangan beban<br />
di<br />
v = vR<br />
+ vL<br />
= iR + L<br />
dt<br />
= 200sin<br />
ωt<br />
+ 20sin 3ωt<br />
+ ωcos<br />
ωt<br />
+ 0,3ω<br />
cos 3ωt<br />
Kurva tegangan dan arus beban dibuat dengan sumbu mendatar<br />
dalam detik. Karena frekuensi 50 Hz, satu perioda adalah 0,02<br />
detik.<br />
2<br />
V<br />
111
V<br />
600<br />
400<br />
200<br />
v<br />
i<br />
0<br />
0<br />
0 0.005 0.01 0.015 detik 0.02<br />
-200<br />
−2<br />
A<br />
4<br />
2<br />
-400<br />
−4<br />
-600<br />
(b). Nilai efektif arus beban adalah<br />
I<br />
2 2<br />
2 2<br />
rms = I1 rms + I3rms<br />
=<br />
=<br />
Tegangan beban adalah<br />
2 0,2<br />
+<br />
2 2<br />
1,42 A<br />
v = 200sin<br />
ωt<br />
+ 20 sin 3ωt<br />
+ ωcos<br />
ωt<br />
+ 0,3ω<br />
cos 3ωt<br />
Nilai efektif tegangan beban, dengan ω=100π, adalah<br />
V<br />
V rms<br />
=<br />
2 2<br />
200 + ω<br />
2<br />
2 2<br />
20 + (0,3ω)<br />
+<br />
2<br />
= 272<br />
V<br />
6.3. Daya Pada Sinyal onsinus<br />
Pengertian daya nyata dan daya reaktif pada sinyal sinus berlaku pula<br />
pada sinyal nonsinus. Daya nyata memberikan transfer energi netto,<br />
sedangkan daya reaktif tidak memberikan transfer energi netto.<br />
Kita tinjau resistor R b yang menerima arus berbentuk gelombang<br />
nonsinus<br />
i Rb = i 1 + i h<br />
Nilai efektif arus ini adalah<br />
2 2 2<br />
I Rbrms = I1rms<br />
+ I hrms<br />
Daya nyata yang diterima oleh R b adalah<br />
2<br />
2 2<br />
PRb<br />
= I Rbrms × Rb<br />
= I1rmsRb<br />
+ I hrmsRb<br />
(6.14)<br />
112 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Formulasi (6.14) tetap berlaku sekiranya resistor ini terhubung seri<br />
dengan induktansi, karena dalam bubungan seri demikian ini daya nyata<br />
diserap oleh resistor, sementara induktor menyerap daya reaktif.<br />
COTOH-6.6: Seperti pada contoh-1.5, arus i = 2 sinωt<br />
+ 0,2sin3ωt<br />
A mengalir pada resistor 100 Ω yang tersambung seri dengan<br />
induktor 0,5 H. Jika frekuensi fundamental 50 Hz: (a) gambarkan<br />
dalam satu bidang gambar, kurva daya yang mengalir ke beban<br />
sebagai perkalian tegangan total dan arus beban dan kurva daya<br />
yang diserap resistor sebagai perkalian resistansi dan kuadrat arus<br />
resistor; (b) hitung nilai daya rata-rata dari dua kurva daya pada<br />
pertanyaan b; (c) berikan ulasan tentang kedua kurva daya tersebut.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Daya masuk ke beban dihitung sebagai: p = v × i<br />
sedangkan daya nyata yang diserap resistor dihitung sebagai: p R =<br />
i 2 R = v R i R<br />
Kurva dari p dan p R terlihat pada gambar berikut.<br />
600<br />
400<br />
200<br />
W p = vi p R = i 2 R = v R i R<br />
detik<br />
0<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />
-200<br />
-400<br />
(b) Daya rata-rata merupakan daya nyata yang di transfer ke beban.<br />
Daya ini adalah daya yang diterima oleh resistor. Arus efektif<br />
yang mengalir ke beban telah dihitung pada contoh-3.5. yaitu<br />
1,42 A. Daya nyta yang diterima beban adalah<br />
2<br />
2<br />
PR = I rms R = (1,42) × 100 = 202 W.<br />
Teorema Tellegen mengharuskan daya ini sama dengan daya<br />
rata-rata yang diberikan oleh sumber, yaitu p = vi. Perhitungan<br />
dengan pendekatan numerik memberikan nilai rata-rata p adalah<br />
113
P rr = 202 W<br />
(c) Kurva p R selalu positif; nilai rata-rata juga positif sebesar 202 W<br />
yang berupa daya nyata. Pada kurva p ada bagian yang negatif<br />
yang menunjukkan adanya daya reaktif; nilai rata-rata kurva p<br />
ini sama dengan nilai rata-rata kurva p R yang menunjukkan<br />
bagian nyata dari daya tampak.<br />
COTOH-6.7: Tegangan nonsinus pada terminal resistor 20 Ω adalah<br />
v = 100 sin( ωt<br />
+ 0,5) + 20sin(3ωt<br />
− 0,2) + 10sin(5ωt<br />
+ 1,5) V<br />
Tentukan arus efektif yang mengalir dan daya nyata yang<br />
diserap resistor.<br />
Penyelesaian:<br />
Arus yang mengalir adalah<br />
v<br />
i = = 5 sin( ωt<br />
+ 0,5) + sin(3ωt<br />
− 0,2) + 0,5sin(5ωt<br />
+ 1,5) A<br />
R<br />
Nilai efektif masing-masing komponen arus adalah<br />
5<br />
1<br />
0,5<br />
I 1 rms = ; I3rms<br />
= ; I5rms<br />
=<br />
2<br />
2<br />
2<br />
Arus efektif yang mengalir adalah<br />
I rms<br />
=<br />
25<br />
2<br />
+<br />
1<br />
2<br />
+<br />
0,25<br />
2<br />
Daya nyata yang diserap resistor adalah<br />
2 ⎛ 25<br />
PR<br />
= I rms R = ⎜ +<br />
⎝ 2<br />
1<br />
2<br />
=<br />
0,25 ⎞<br />
+<br />
2<br />
26,25<br />
= 3,62 A<br />
2<br />
⎟ ×<br />
⎠<br />
20 = 262,5 W<br />
COTOH-6.8: Tegangan nonsinus v = 100 sin ωt<br />
+ 10 sin 3ωt<br />
V, terjadi<br />
pada terminal beban yang terdiri dari resistor 100 Ω tersambung<br />
paralel dengan kapasitor 50 µF. Jika frekuensi fundamental adalah<br />
50 Hz, (a) Tentukan persamaan arus total beban; (b) hitung daya<br />
nyata yang diserap beban.<br />
Penyelesaian:<br />
114 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
(a). Arus total (i) adalah jumlah arus yang melalui resistor (i R ) dan<br />
kapasitor (i C ).<br />
v<br />
i R = = sin ωt<br />
+ 0,1sin 3ωt<br />
R<br />
dv −6<br />
i C = C = 50 × 10 ( 100ωcos<br />
ωt<br />
+ 30ωcos3ωt<br />
)<br />
dt<br />
Arus total beban:<br />
i = sin ωt<br />
+ 0,1sin 3ωt<br />
+ 0,005cos ωt<br />
+ 0.0015ω<br />
cos 3ωt<br />
(b). Arus efektif melalui resistor<br />
I Rrms<br />
=<br />
2 2<br />
1 0,1<br />
+<br />
2 2<br />
= 0,71 A<br />
Daya nyata yang diserap beban adalah daya yang diserap<br />
resistor:<br />
2<br />
P R = 0,71 × 100 = 50 W<br />
6.4. Resonansi<br />
Karena sinyal nonsinus mengandung harmonisa dengan berbagai macam<br />
frekuensi, maka ada kemungkinan salah satu frekuensi harmonisa<br />
bertepatan dengan frekuensi resonansi dari rangkaian. Frekuensi<br />
resonansi telah kita bahas di bab sebelumnya. Berikut ini kita akan<br />
melihat gejala resonansi pada rangkaian karena adanya frekuensi<br />
harmonisa.<br />
COTOH-6.9: Suatu generator 50 Hz dengan induktansi internal 0,025<br />
H mencatu daya melalui kabel yang memiliki kapasitansi total<br />
sebesar 5 µF. Dalam keadaan tak ada beban tersambung di ujung<br />
kabel, tentukan frekuensi harmonisa sumber yang akan memberikan<br />
resonansi.<br />
Penyelesaian:<br />
Frekuensi resonansi adalah<br />
ωr<br />
=<br />
1<br />
=<br />
LC<br />
f r<br />
1<br />
−<br />
0,025 × 5 × 10<br />
6 =<br />
2828,4<br />
= = 450 Hz<br />
2π<br />
2828,4<br />
115
Inilah frekuensi harmonisa ke-9.<br />
COTOH-6.10: Sumber tegangan satu fasa 6 kV, 50 Hz, mencatu<br />
beban melalui kabel yang memiliki kapasitansi total 2,03 µF. Dalam<br />
keadaan tak ada beban terhubung di ujung kabel, induktansi total<br />
rangkaian ini adalah 0,2 H. Tentukan harmonisa ke berapa dari<br />
sumber yang akan membuat terjadinya resonansi pada keadaan tak<br />
ada beban tersebut.<br />
Penyelesaian:<br />
Frekuensi resonansi adalah<br />
ωr<br />
=<br />
1<br />
=<br />
LC<br />
1<br />
−<br />
0,02 × 2,03×<br />
10<br />
6 =<br />
1569,4 rad/det<br />
1569,4<br />
atau<br />
f r = = 249,78 Hz<br />
2π<br />
Resonansi akan terjadi jika sumber mengandung harmonisa ke-5.<br />
6.5. Pembebanan onlinier Dilihat Dari Sisi Beban<br />
<strong>Rangkaian</strong> yang akan kita tinjau terlihat pada Gb.6.1. Sebuah sumber<br />
tegangan sinus memberikan arus pada resistor R b melalui saluran dengan<br />
resistansi R s dan sebuah pengubah arus p.i., misalnya penyearah;<br />
pengubah arus inilah yang<br />
menyebabkan arus yang<br />
mengalir di R b berbentuk<br />
gelombang nonsinus.<br />
v s +<br />
−<br />
Menurut teorema Tellegen, Gb.6.1. Pembebanan nonlinier.<br />
transfer daya elektrik hanya bisa<br />
terjadi melalui tegangan dan arus. Namun dalam tinjauan dari sisi beban<br />
ini, R b hanya melihat bahwa ada arus yang diterima olehnya. Cara<br />
bagaimana arus ini sampai ke beban tidaklah penting bagi beban.<br />
R s<br />
i Rb = i 1 + i h<br />
(6.15)<br />
dengan i1 = I1m<br />
sin( ω0t<br />
+ θ1)<br />
k<br />
ih<br />
= I0 + ∑ I nm sin( nω0t<br />
+ θn<br />
)<br />
n=<br />
2<br />
Inilah arus yang diterima oleh R b .<br />
116 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
p.i.<br />
i nonsinus<br />
R b
Daya nyata yang diterima oleh R b adalah<br />
2 2<br />
PRb<br />
= I1 rmsRb<br />
+ I hrmsRb<br />
(6.16)<br />
6.6. Pembebanan onlinier Ditinjau Dari Sisi Sumber<br />
Tegangan sumber berbentuk gelombang sinus, yaitu vs = Vs<br />
sinω0t<br />
.<br />
Daya yang diberikan oleh sumber adalah tegangan sumber kali arus<br />
sumber yang besarnya sama dengan arus beban. Jadi daya keluar dari<br />
sumber adalah<br />
ps<br />
= vs<br />
( t)<br />
is<br />
( t)<br />
⎛ k<br />
⎞<br />
= V<br />
⎜<br />
⎟<br />
s I1 sin ω0t<br />
sin( ω0t<br />
+ θ1)<br />
+ Vs<br />
sin ω0t<br />
I + ω + θ<br />
⎜ 0 ∑ I n sin( n 0t<br />
n )<br />
⎟<br />
⎝ n=<br />
2<br />
⎠<br />
(6.17)<br />
Suku pertama (6.17) memberikan daya<br />
⎛ cosθ<br />
cos(2 )<br />
sin sin( )<br />
1 − ω0t<br />
+ θ1<br />
⎞<br />
ps1<br />
= VsI1<br />
ω0t<br />
ω0t<br />
+ θ1<br />
= VsI1⎜<br />
⎟<br />
⎝ 2 ⎠<br />
V<br />
= sI1<br />
V I<br />
cosθ<br />
1<br />
1 − s cos(2ω0t<br />
+ θ1)<br />
2 2<br />
(6.18)<br />
Walaupun suku ke-dua dari persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol<br />
akan tetapi suku pertama mempunyai nilai tertentu. Hal ini berarti p s1<br />
memberikan transfer energi netto.<br />
Suku kedua (6.17) memberikan daya<br />
p<br />
sh<br />
= V ∑ ∞<br />
=<br />
= p<br />
s0<br />
sh2<br />
[ I sin( nω<br />
t + θ ) ω t]<br />
s I 0 sin ω0t<br />
+ Vs<br />
n 0 n sin<br />
n 2<br />
+ p<br />
0<br />
(6.19)<br />
Suku pertama persamaan ini mempunyai nilai rata-rata nol. Suku kedua<br />
juga mempunyai nilai rata-rata nol karena yang berada dalam tanda<br />
kurung pada (6.19) berbentuk fungsi cosinus.<br />
∑ ∞ ⎡ I n<br />
⎤<br />
y = Vs<br />
⎢ { cos( ( n + 1) ω0 t + θn<br />
) − cos( ( n −1)<br />
ω0t<br />
+ θn<br />
)}<br />
⎥<br />
= 2 ⎣ 2<br />
n<br />
⎦<br />
yang memiliki nilai rata-rata nol. Hal ini berarti bahwa p sh tidak<br />
memberikan transfer energi netto.<br />
117
Jadi secara umum daya yang diberikan oleh sumber pada pembebanan<br />
nonlinier dapat kita tuliskan sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu<br />
p s = ps1 + psh<br />
(6.20)<br />
Dari dua komponen daya ini hanya komponen fundamental, p s1 , yang<br />
memberikan transfer energi netto. Dengan kata lain hanya p s1 yang<br />
memberikan daya nyata, yaitu sebesar<br />
Vs<br />
I1<br />
s1 = cos θ1<br />
= Vsrms<br />
I1rms<br />
cos θ1<br />
2<br />
P (6.21)<br />
dengan θ 1 adalah beda susut fasa antara v s dan i 1 . Sementara itu P sh<br />
merupakan daya reaktif.<br />
Menurut teorema Tellegen, daya nyata yang diberikan oleh sumber harus<br />
tepat sama dengan daya yang diterima oleh beban. Daya nyata yang<br />
diterima oleh R b adalah P Rb , jadi daya nyata yang diberikan oleh sumber,<br />
yaitu P s1 , haruslah diserap oleh R b dan R s .<br />
6.7. Kasus Penyearah Setengah Gelombang<br />
Sebagai contoh dalam pembahasan pembebanan nonlinier ini, kita akan<br />
mengamati penyearah setengah gelombang. Dengan penyearah ini, sinyal<br />
sinus diubah sehingga arus mengalir setiap setengah perioda. <strong>Rangkaian</strong><br />
penyearah yang kita tinjau terlihat pada Gb.6.2.a.<br />
V s<br />
a).<br />
v s R v R<br />
v<br />
v s<br />
s<br />
i s<br />
i R<br />
i R<br />
p R p R<br />
0 ωt [<br />
p o ]<br />
R 0 90 180 270 360 450 540 630 720<br />
b). −V s<br />
Gb.6.2. Penyearah setengah gelombang dengan beban resistif.<br />
118 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Arus penyearah setengah gelombang mempunyai nilai pada setengah<br />
perioda pertama (yang positif); pada setengah perioda ke-dua, ia bernilai<br />
nol. Uraian fungsi ini sampai dengan harmonisa ke-6adalah<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 0,212cos(2ω0t<br />
) ⎞<br />
i(<br />
t)<br />
= I m ×<br />
⎜<br />
V<br />
0,042cos(4 0 ) 0,018cos(6 0 )<br />
⎟ (6.22)<br />
⎝ + ω t + ω t ⎠<br />
Dalam rangkaian yang kita tinjau ini hanya ada satu sumber yang<br />
mencatu daya hanya kepada satu beban. Pada waktu dioda konduksi,<br />
arus sumber selalu sama dengan arus beban, karena mereka terhubung<br />
seri; tegangan beban juga sama dengan tegangan sumber karena dioda<br />
dianggap ideal sedangkan resistor memiliki karakteristik linier dan<br />
bilateral. Pada waktu dioda tidak konduksi arus beban maupun arus<br />
sumber sama dengan nol. Gb.6.2.b. memperlihatkan bahwa hanya kurva<br />
tegangan sumber yang merupakan fungsi sinus; kurva arus dan daya<br />
merupakan fungsi nonsinus.<br />
Pada persamaan (6.22) arus fundamental dinyatakan dalam fungsi<br />
cosinus yaitu<br />
i1 = 0,5I<br />
m cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
Fungsi ini tidak lain adalah pergeseran 1,57 rad atau 90 o ke arah positif<br />
dari fungsi cosinus yang ekivalen dengan fungsi sinus<br />
i1 = 0,5I<br />
m sin( ω0t)<br />
Pernyataan i 1 dalam fungsi sinus ini sesuai dengan pernyataan bentuk<br />
gelombang tegangan yang juga dalam fungsi sinus. Dengan pernyataan<br />
yang bersesuaian ini kita dapat melihat beda fasa antara keduanya;<br />
ternyata dalam kasus penyearah setengah gelombang ini, arus<br />
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.<br />
COTOH-6.11: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi<br />
internal yang dapat diabaikan mencatu beban resistif melalui<br />
penyearah setengah gelombang. Tegangan sumber adalah<br />
v s = 380sin<br />
ω0 t V dan resistansi beban R b adalah 3,8 Ω. Hitung<br />
daya nyata yang diterima oleh beban dan daya nyata yang diberikan<br />
oleh sumber.<br />
Penyelesaian:<br />
119
Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah 380/3,8 = 100 A.<br />
Persamaan arus sampai harmonisa ke-enam menjadi<br />
⎛31,8<br />
+ 50 cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 21,2cos(2ω0t<br />
) ⎞<br />
i ( t)<br />
=<br />
⎜<br />
A<br />
4,2 cos(4 0 ) 1,8cos(6 0 )<br />
⎟<br />
⎝ + ω t + ω t ⎠<br />
yang memberikan arus-arus efektif pada beban<br />
50<br />
Ib1rms<br />
= A;<br />
2<br />
Ibhrms<br />
=<br />
2<br />
2 21,2<br />
31,8 +<br />
2<br />
Daya yang diterima beban adalah<br />
2<br />
4,2<br />
+<br />
2<br />
2<br />
1,8<br />
+<br />
2<br />
= 35,31<br />
A;<br />
2<br />
( I + I ) × 3,8 = 9488 W ≈ 9,5 kW<br />
2 2<br />
P = I rmsRb<br />
= b 1 rms bhrms<br />
Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber adalah<br />
v s = 380sin<br />
ω 0 t . Komponen arus fundamental yang diberikan oleh<br />
sumber adalah sama dengan arus fundamental beban<br />
i1s = i1Rb<br />
= 50 cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
= 50sin<br />
ω0t<br />
A<br />
dengan nilai efektif I1 srms = 50 / 2 A<br />
Tak ada beda fasa antara tegangan sumber dan arus fundamentalnya.<br />
Daya dikeluarkan oleh sumber adalah<br />
380 50<br />
P s1 = Vs<br />
rms I1s<br />
rms = × = 9,5 kW<br />
2 2<br />
Hasil perhitungan dari kedua sisi tinjauan adalah sama. Daya yang<br />
diberikan oleh komponen fundamental sebagai fungsi waktu adalah<br />
Vs<br />
I1<br />
ps1<br />
=<br />
2<br />
380×<br />
50<br />
=<br />
2<br />
( 1−<br />
cos(2ω<br />
t)<br />
0<br />
( 1−<br />
cos(2ω<br />
t) = 19( 1−<br />
cos(2ω<br />
t) kW<br />
Gb.6.3 memperlihatkan kurva p s1 pada Contoh-2.1 di atas. Kurva p s1<br />
bervariasi sinusoidal namun selalu positif dengan nilai puncak 19 kW,<br />
0<br />
0<br />
120 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
dan nilai rata-rata (yang merupakan daya nyata) sebesar setengah dari<br />
nilai puncak yaitu 9,5 kW.<br />
Kurva daya yang dikontribusikan oleh komponen searah, p s0 yaitu suku<br />
pertama (6.19), dan komponen harmonisa p sh2 yaitu suku ke-dua<br />
persamaan (6.19), juga diperlihatkan dalam Gb.6.3. Kurva kedua<br />
komponen daya ini simetris terhadap sumbu waktu yang berarti memiliki<br />
nilai rata-rata nol. Dengan kata lain komponen searah dan komponen<br />
harmonisa tidak memberikan daya nyata.<br />
W<br />
20000<br />
15000<br />
10000<br />
5000<br />
0<br />
-5000<br />
-10000<br />
-15000<br />
Gb.6.3. Kurva komponen daya yang diberikan sumber.<br />
Konfirmasi logis kita peroleh sebagai berikut. Seandainya tidak ada<br />
penyearah antara sumber dan beban, arus pada resistor akan mengalir<br />
sefasa dan sebentuk dengan gelombang tegangan sumber. Daya yang di<br />
keluarkan oleh sumber dalam keadaan ini adalah<br />
2<br />
2<br />
ps<br />
= Vs<br />
I s sin ω0t<br />
= 38000sin ω0t<br />
cos 2ω0t<br />
+ cos 0<br />
= 38000<br />
= 38(1 + cos 2ω0t)<br />
kW<br />
2<br />
Dalam hal penyearahan setengah gelombang, arus hanya mengalir setiap<br />
setengah perioda. Oleh karena itu daya yang diberikan oleh sumber<br />
menjadi setengahnya, sehingga<br />
p setengah<br />
p s0<br />
p s1<br />
t [det]<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />
p sh2<br />
gel = 19(1<br />
+ cos 2ω0 t ) kW , dan inilah p s1 .<br />
COTOH-6.12: Sebuah sumber dengan resistansi dan induktansi<br />
internal yang diabaikan, mencatu beban resistif melalui kabel<br />
dengan resistansi 0,2 Ω dan penyearah setengah gelombang.<br />
Tegangan sumber adalah v s = 380sin<br />
ω0 t V dan resistansi beban R<br />
adalah 3,8 Ω. Hitung daya yang diterima oleh beban.<br />
121
Penyelesaian:<br />
<strong>Rangkaian</strong> sistem ini adalah seperti berikut<br />
v s =380sinω 0 t<br />
R s =0,2Ω<br />
R b =3,8Ω<br />
Tinjauan Di Sisi Beban. Nilai puncak arus adalah<br />
I m<br />
380<br />
= = 95 A<br />
3,8 + 0,2<br />
Persamaan arus sampai harmonisa ke-6 menjadi<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 0,212 cos(2ω0t<br />
) ⎞<br />
i(<br />
t)<br />
= 95 ×<br />
⎜<br />
0,042 cos(4 0t)<br />
0,018cos(6 0t)<br />
⎟<br />
⎝ + ω + ω ⎠<br />
= 30,21 + 47,5cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 20,14 cos(2ω0t)<br />
+ 4,09 cos(4ω0t)<br />
+ 1,71cos(6ω0t)<br />
A<br />
Nilai efektif arus fundamental dan arus harmonisa total adalah<br />
47.5<br />
I1rms<br />
= = 33,59 A;<br />
2<br />
I hrms =<br />
Daya yang diterima R b adalah<br />
2 2 2<br />
2 20,14 4,09 1,71<br />
30,21 + + +<br />
2 2 2<br />
= 33,54 A<br />
2<br />
2 2<br />
P Rb = I rmsRb<br />
= (33,59 + 33,54 ) × 3,8 = 8563<br />
W<br />
Tinjauan Di Sisi Sumber. Tegangan sumber dan arus fundamental<br />
sumber adalah<br />
v s = 380sin<br />
ω0 t<br />
V<br />
is1 = iRb<br />
= 47,5cos(<br />
ω0t<br />
−1,57)<br />
= 47,5sin ω0t<br />
A<br />
122 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Tidak ada beda fasa antara v s dan i s1 . Daya nyata yang diberikan oleh<br />
sumber adalah<br />
380 47,5<br />
P s = vsrmsi1 rms cos 0<br />
o = × = 9025 W<br />
2 2<br />
Daya ini diserap oleh beban dan saluran. Daya yang diserap saluran<br />
adalah<br />
2<br />
2 2<br />
Psaluran<br />
= 0,02 × isrms<br />
= 0,02 × ( i1rms<br />
+ ihrms<br />
)<br />
2 2<br />
= 0,02 × (33,6 + 33,55 ) = 450,7 W<br />
Perbedaan angka perhitungan P Rb dengan (P s – P saluran ) adalah<br />
sekitar 0,2%.<br />
6.8. Perambatan Harmonisa<br />
Dalam sistem tenaga, beban pada umumnya bukanlah beban tunggal,<br />
melainkan beberapa beban terparalel. Sebagian beban merupakan beban<br />
linier dan sebagian yang lain merupakan beban nonlinier. Dalam keadaan<br />
demikian ini, komponen harmonisa tidak hanya hadir di beban nonlinier<br />
saja melainkan terasa juga di beban linier; gejala ini kita sebut<br />
perambatan harmonisa. Berikut ini akan kita lihat gejala tersebut pada<br />
suatu rangkaian yang mendekati situasi nyata. Gb.6.4. memperlihatkan<br />
rangkaian yang dimaksud.<br />
i s A<br />
R s<br />
i a<br />
i b =i b1 +i bh<br />
v s<br />
R a<br />
B<br />
R b<br />
Gb.6.4. Sumber mencatu beban paralel linier dan nonlinier.<br />
Tegangan sumber berbentuk sinusoidal murni vs = Vsm<br />
sin ω0t<br />
.<br />
Sumber ini mencatu beban melalui saluran yang memiliki resistansi R s .<br />
Beban yang terhubung di terminal A-B (terminal bersama), terdiri dari<br />
beban linier R a dengan arus i a dan beban R b yang dialiri arus nonlinier i b<br />
= i b1 + i bh dengan i b1 adalah komponen fundamental dari i b dan i bh adalah<br />
komponen harmonisa total dari i b .<br />
123
Pada rangkaian sederhana ini, di sisi beban kita lihat bahwa aplikasi<br />
Hukum Arus Kirchhoff di simpul A, yaitu simpul bersama dari kedua<br />
beban, memberikan<br />
dan dari sini kita peroleh<br />
( v − v ) / R + v / R + ( i 1 + i ) = 0<br />
A<br />
s<br />
s<br />
124 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
A<br />
a<br />
Ra<br />
Rs<br />
Ra<br />
v A = vs<br />
− ( i b1<br />
+ i bh )<br />
(6.23)<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Jadi sebagai akibat pembebanan nonlinier di suatu beban menyebabkan<br />
tegangan di terminal-bersama juga mengandung harmonisa. Akibat<br />
selanjutnya adalah bahwa arus di beban lain yang terhubung ke terminalbersama<br />
ini juga mengandung harmonisa.<br />
v A vs<br />
Rs<br />
i a = = − ( i b1<br />
+ i bh )<br />
(6.24)<br />
Ra<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Sementara itu di sisi sumber, dengan tegangan sumber berbentuk sinus<br />
vs = Vsm<br />
sin ω0t<br />
, keluar arus yang mengandung harmonisa yaitu<br />
is<br />
= ia<br />
+ ib<br />
vs<br />
Rs<br />
= − ( ib1<br />
+ ibh<br />
) + ( ib1<br />
+ ibh<br />
)<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
Rs<br />
+ Ra<br />
vs<br />
⎛ Ra<br />
⎞<br />
= + ⎜ ⎟(<br />
ib1<br />
+ ibh<br />
)<br />
Rs<br />
+ R<br />
a Rs<br />
R<br />
⎝ + a ⎠<br />
b<br />
bh<br />
(6.25)<br />
Adanya komponen harmonisa pada arus sumber dan beban yang<br />
seharusnya merupakan beban linier dapat menyebabkan penambahan<br />
penyerapan daya pada saluran. Hal ini akan kita bahas kemudian.<br />
COTOH-6.13: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, v = 240sin<br />
ω 0 t V<br />
memiliki resistansi dan induktansi internal yang diabaikan. Sumber<br />
ini mencatu beban resistif R a = 5 Ω melalui saluran yang memiliki<br />
resistansi 1Ω. Sebuah beban resistif lain yaitu R b = 5 Ω dengan<br />
penyearah setengah gelombang dihubungkan paralel dengan R a .<br />
Hitunglah: (a) daya nyata yang diserap R a sebelum R b dan<br />
penyearah dihubungkan; (b) daya nyata yang diserap R b sesudah R b<br />
dan penyearah dihubungkan; (c) daya nyata yang diserap R a sesudah
R b dan penyearah dihubungkan; (d) daya nyata yang diserap saluran<br />
R s ; (e) daya nyata yang diberikan sumber; (f) bandingkan daya nyata<br />
yang diberikan oleh sumber dan daya nyata yang diserap oleh bagian<br />
rangkaian yang lain.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Sebelum R b dan penyearah dihubungkan, rangkaian adalah<br />
seperti di bawah ini.<br />
i s<br />
R s =1Ω<br />
A<br />
v s =<br />
240sinω 0 t<br />
B<br />
R a = 5Ω<br />
Arus efektif yang mengalir dari sumber, daya nyata yang<br />
diserap R a dan R s , serta daya nyata yang diberikan sumber<br />
adalah<br />
I Rarms<br />
= ( 240 / 2) /(5 + 1) = 28,28 A<br />
2<br />
2<br />
P Ra = 28,28 × 5 = 4000 W ; P Rs = 28,28 × 1 = 800 W<br />
P s = 28 ,28 × 240 / 2 = 4800 W = PRa<br />
+ PRs<br />
(b) Setelah R b dan penyearah dihubungkan, rangkaian menjadi<br />
i s A<br />
R s<br />
v s<br />
i a i Rb =<br />
i Rb1 +i Rbh<br />
R a<br />
B<br />
Untuk menghitung i Rb kita buat rangkaian ekivalen Thévenin<br />
terlebih dulu di terminal A-B.<br />
5<br />
v sTh = × 240sin ω0t<br />
= 200 sin ω0t<br />
V ;<br />
1 + 5<br />
1×<br />
5<br />
R sTh = = 0,833 Ω<br />
1 + 5<br />
Setelah R b dihubungkan pada rangkaian ekivalen Thévenin,<br />
rangkaian menjadi<br />
R b<br />
125
i sTh<br />
0,833Ω<br />
A<br />
v sTh =<br />
200sinω 0 t<br />
B<br />
5Ω<br />
i b =i b1 +i bh<br />
Nilai maksimum arus i Rb adalah<br />
200<br />
I Rbm = = 34,29<br />
0,833 + 5<br />
Arus yang melalui R b menjadi<br />
A<br />
i Rb<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 0,212 cos(2ω<br />
= 34,29 ×<br />
⎜<br />
⎝ + 0,042 cos(4ω0t)<br />
+ 0,018cos(6ω0t)<br />
= 10,9 + 17,14 cos( ω t −1,57)<br />
+ 7,27 cos(2ω<br />
t)<br />
+ 1,47 cos(4ω<br />
Dari sini kita peroleh<br />
17,14<br />
I Rb1rms<br />
= = 12,12 A<br />
2<br />
I Rbhrms =<br />
0<br />
0<br />
2 2<br />
10,9 + 7,27<br />
Daya yang diserap R b adalah<br />
t)<br />
+ 0,62 cos(6ω<br />
/ 2<br />
2<br />
+ 1,47<br />
0<br />
t)<br />
/ 2<br />
0<br />
2<br />
+ 0,62<br />
/ 2<br />
0<br />
t)<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎠<br />
= 12.1 A<br />
P Rb<br />
2 2<br />
= (12,12 + 12.1 ) × 5 ≈ 1470<br />
W<br />
(c) Untuk menghitung daya yang diserap R a setelah R b<br />
dihubungkan, kita kembali pada rangkaian semula. Hukum Arus<br />
Kischhoff untuk simpul A memberikan<br />
v A − vs<br />
v A<br />
⎛ 1 ⎞ vs<br />
+ + iRb<br />
= 0 ⇒ v A⎜<br />
⎟ =<br />
Rs<br />
R<br />
+<br />
1<br />
a<br />
Rs<br />
R<br />
⎝ a ⎠ Rs<br />
− iRb<br />
126 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
127<br />
( )<br />
Ah<br />
A<br />
bh<br />
bh<br />
bh<br />
b<br />
a<br />
s<br />
a<br />
s<br />
s<br />
a<br />
s<br />
a<br />
A<br />
v<br />
v<br />
i<br />
t<br />
i<br />
t<br />
t<br />
i<br />
i<br />
R<br />
R<br />
R<br />
R<br />
v<br />
R<br />
R<br />
R<br />
v<br />
−<br />
=<br />
−<br />
ω<br />
=<br />
+<br />
ω<br />
×<br />
×<br />
−<br />
ω<br />
×<br />
=<br />
+<br />
+<br />
−<br />
+<br />
=<br />
1<br />
0<br />
0<br />
0<br />
1<br />
V<br />
6<br />
5<br />
185,71sin<br />
17,14sin<br />
6<br />
1<br />
5<br />
240sin<br />
6<br />
5<br />
)<br />
(<br />
V<br />
131,32<br />
2<br />
185,71<br />
1 =<br />
=<br />
⇒<br />
rms<br />
A<br />
V<br />
)<br />
0,51cos(6<br />
)<br />
1,23cos(4<br />
)<br />
6,06cos(2<br />
9,09<br />
)<br />
0,62cos(6<br />
)<br />
1,47 cos(4<br />
)<br />
7,27 cos(2<br />
10,9<br />
6<br />
5<br />
6<br />
5<br />
0<br />
0<br />
0<br />
0<br />
0<br />
0<br />
t<br />
t<br />
t<br />
t<br />
t<br />
t<br />
i<br />
v<br />
bh<br />
Ah<br />
ω<br />
+<br />
ω<br />
+<br />
ω<br />
+<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
ω<br />
+<br />
ω<br />
+<br />
ω<br />
+<br />
×<br />
=<br />
×<br />
=<br />
V<br />
10,09<br />
2<br />
0,51<br />
2<br />
1.23<br />
2<br />
6,06<br />
9,09<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
=<br />
+<br />
+<br />
+<br />
=<br />
⇒<br />
Ahrms<br />
V<br />
Daya yang diserap R a adalah<br />
3469 W<br />
5<br />
10,09<br />
5<br />
131,32<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
1<br />
=<br />
+<br />
=<br />
+<br />
=<br />
a<br />
Ahrms<br />
a<br />
rms<br />
A<br />
Ra<br />
R<br />
V<br />
R<br />
V<br />
P<br />
(d) Tegangan jatuh di saluran adalah<br />
V<br />
54,29sin<br />
185,71sin<br />
sin<br />
240 0<br />
0<br />
0<br />
1<br />
1<br />
t<br />
t<br />
t<br />
v<br />
v<br />
v<br />
A<br />
s<br />
s<br />
ω<br />
=<br />
ω<br />
−<br />
ω<br />
=<br />
−<br />
=<br />
∆<br />
→<br />
V<br />
38,39<br />
2<br />
54,29<br />
1 =<br />
=<br />
∆<br />
rms<br />
s<br />
V<br />
→<br />
V<br />
=10,09<br />
=<br />
∆<br />
Ahrms<br />
shrms<br />
V<br />
V<br />
Daya yang diserap saluran adalah<br />
1575 W<br />
1<br />
10,09<br />
1<br />
38,39<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
1<br />
=<br />
+<br />
=<br />
∆<br />
+<br />
∆<br />
=<br />
s<br />
shrms<br />
s<br />
rms<br />
s<br />
Rs<br />
R<br />
V<br />
R<br />
V<br />
P
(e) Tegangan sumber adalah<br />
v = 240sin<br />
ω 0 t V<br />
Arus fundamental sumber adalah<br />
∆vs1<br />
is1 = = 54,29sin<br />
ω0t<br />
R<br />
Daya nyata yang diberikan sumber<br />
p<br />
s<br />
240 54,29<br />
= ×<br />
R2<br />
2<br />
s 1 = Vsrms<br />
I s1rms<br />
=<br />
A<br />
6515 W<br />
(f) Bagian lain rangkaian yang menyerap daya nyata adalah R s ,<br />
R a , dan R b . Daya nyata yang diserap adalah<br />
P Rtotal = PRs<br />
+ PRa<br />
+ PRb<br />
= 1575 + 3469 + 1468 = 6512 W<br />
Hasil ini menunjukkan bahwa daya nyata yang diberikan<br />
sumber sama dengan daya nyata yang diserap oleh bagian lain<br />
dari rangkaian (perbedaan angka adalah karena pembulatanpembulatan).<br />
6.9. Ukuran Distorsi Harmonisa<br />
Hadirnya harmonisa dalam sistem, menimbulkan dampak negatif. Oleh<br />
karena itu kehadirannya perlu dibatasi. Untuk melakukan pembatasan<br />
diperlukan ukuran-ukuran kehadiran armonisa.<br />
Crest Factor. Crest factor didefinisikan sebagai<br />
crest<br />
nilai puncak<br />
factor =<br />
nilai efektif<br />
Total Harmonic Distortion (THD). THD digunakan sebagai ukuran<br />
untuk melihat berapa besar pengaruh keseluruhan adanya harmonisa<br />
terhadap sinyal sinus. Pengaruh keseluruhan harmonisa diperbandingkan<br />
terhadap komponen fundamental, karena komponen fundamental-lah<br />
yang memberikan transfer energi nyata.<br />
128 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Untuk tegangan nonsinus, THD didefinisikan sebagai<br />
THD<br />
Untuk arus nonsinus, THD didefinisikan sebagai<br />
THD<br />
V<br />
hrms<br />
V = (6.26)<br />
V1rms<br />
I<br />
hrms<br />
I = (6.27)<br />
I1rms<br />
COTOH-6.14: Arus penyearahan setengah gelombang dengan nilai<br />
puncak arus 100 A, memiliki sampai harmonisa ke-enam sebagi<br />
⎛31,8<br />
+ 50 cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 21,2cos(2ω<br />
i ( t)<br />
=<br />
⎜<br />
⎝ + 4,2 cos(4ω0t)<br />
+ 1,8cos(6ω0t)<br />
Hitunglah crest factor dan THD I .<br />
0<br />
t ) ⎞<br />
⎟<br />
⎠<br />
A<br />
Penyelesaian: Telah dihitung nilai efektif arus dalam contoh soal<br />
tersebut<br />
I<br />
b1rms<br />
=<br />
50<br />
A;<br />
2<br />
I<br />
bhrms<br />
=<br />
31,8<br />
2<br />
21,2<br />
+<br />
2<br />
2<br />
4,2<br />
+<br />
2<br />
2<br />
1,8<br />
+<br />
2<br />
2<br />
= 35,31<br />
A<br />
Nilai efektif arus adalah<br />
I rms<br />
=<br />
50<br />
2<br />
/ 2<br />
2<br />
+ 35,31<br />
= 49,7<br />
A<br />
100<br />
Crest factor adalah: c . f . = = 2 ;<br />
49,2<br />
I hrms 35,31<br />
THD I adalah: THD I = = ≈1<br />
atau 100%<br />
I1rms<br />
50 / 2<br />
Crest factor dan THD hanyalah tergantung bentuk dan tidak tergantung<br />
dari nilai mutlak arus. Angka yang sama akan kita peroleh jika nilai<br />
puncak arus hanya 1 ampere. Hal ini dapat dimengerti karena persamaan<br />
arus secara umum adalah<br />
129
⎛ n maks<br />
i(<br />
t)<br />
= I<br />
⎜<br />
m A +<br />
⎜ ∑ A<br />
⎝ n=<br />
1<br />
cos( nω<br />
t − ϕ<br />
0 n 0 n )<br />
sehingga dalam perhitungan I rms, I 1rms , dan I hrms faktor I m akan<br />
terhilangkan.<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
130 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
BAB 7<br />
Pembebanan Nonlinier<br />
(Analisis Di Kawasan Fasor)<br />
7.1. Pernyataan Sinyal Sinus Dalam Fasor<br />
Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, suatu sinyal sinus di<br />
kawasan waktu dinyatakan dengan menggunakan fungsi cosinus<br />
v( t)<br />
= VA<br />
cos[ ω0 t − φ]<br />
dengan V A adalah amplitudo sinyal, ω 0 adalah frekuensi sudut, dan φ<br />
adalah sudut fasa yang menunjukkan posisi puncak pertama fungsi<br />
cosinus. Pernyataan sinyal sinus menggunakan fungsi cosinus diambil<br />
sebagai pernyataan standar.<br />
Jika seluruh sistem bekerja pada satu frekuensi tertentu, ω, maka sinyal<br />
sinus dapat dinyatakan dalam bentuk fasor dengan mengambil besar dan<br />
sudut fasa-nya saja. Untuk suatu sinyal sinus yang di kawasan waktu<br />
dinyatakan sebagai v ( t)<br />
= Acos(<br />
ωt<br />
+ θ)<br />
maka di kawasan fasor ia<br />
jθ<br />
dituliskan dalam format kompleks sebagai V = Ae dengan A adalah<br />
nilai puncak sinyal. Karena kita hanya memperhatikan amplitudo dan<br />
sudut fasa saja, maka pernyataan sinyal dalam fasor biasa dituliskan<br />
sebagai<br />
V = A∠θ = Acos θ + jAsin<br />
θ<br />
yang dalam bidang kompleks digambarkan sebagai diagram fasor seperti<br />
pada Gb.7.1.a. Apabila sudut fasa θ = 0 o maka pernyataan sinyal di<br />
kawasan waktu menjadi v( t)<br />
= Acos(<br />
ωt)<br />
yang dalam bentuk fasor<br />
o<br />
menjadi V = A∠0 dengan diagram fasor seperti pada Gb.7.1.b. Suatu<br />
sinyal yang di kawasan waktu dinyatakan sebagai<br />
v ( t)<br />
= Asin(<br />
ωt)<br />
= Acos(<br />
ωt<br />
− π / 2) di kawasan fasor menjadi<br />
o<br />
V = A∠ − 90 dengan diagram fasor seperti Gb.7.1.c<br />
131
Im<br />
V = A∠θ<br />
θ<br />
Re<br />
a). b).<br />
Im<br />
Im<br />
o<br />
V = A∠0<br />
Re<br />
c).<br />
Gb.7.1. Diagram fasor fungsi:<br />
a) v ( t)<br />
= Acos(<br />
ωt<br />
+ θ)<br />
; b) v( t)<br />
= Acos(<br />
ωt)<br />
; c) v( t)<br />
= Asin(<br />
ωt)<br />
.<br />
Dalam meninjau sinyal nonsinus, kita tidak dapat menyatakan satu sinyal<br />
nonsinus dengan menggunakan satu bentuk fasor tertentu karena<br />
walaupun sistem yang kita tinjau beroperasi pada satu macam frekuensi<br />
(50 Hz misalnya) namun arus dan tegangan yang kita hadapi<br />
mengandung banyak frekuensi. Oleh karena itu satu sinyal nonsinus<br />
terpaksa kita nyatakan dengan banyak fasor; masing-masing komponen<br />
sinyal nonsinus memiliki frekuensi sendiri.<br />
Selain dari pada itu, uraian sinyal sinyal nonsinus ke dalam komponenkomponennya<br />
dilakukan melalui deret Fourier. Bentuk umum komponen<br />
sinus sinyal ini adalah<br />
yang dapat dituliskan sebagai<br />
i ( t)<br />
= a cos nωt<br />
+ b sin nωt<br />
n<br />
n<br />
2 2<br />
in<br />
( t)<br />
= an<br />
+ bn<br />
cos( nωt<br />
− θn<br />
)<br />
yang dalam bentuk fasor menjadi<br />
2 2<br />
I n = an<br />
+ bn<br />
∠ − θn<br />
dengan<br />
n<br />
θ = tan −1<br />
Mengacu pada Gb.7.1, diagram fasor komponen sinyal ini adalah seperti<br />
pada Gb.7.2.<br />
Re<br />
o<br />
V = A∠ − 90<br />
b<br />
a<br />
n<br />
n<br />
132 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Im<br />
θ<br />
a n<br />
Re<br />
b n<br />
I<br />
n<br />
=<br />
a<br />
2<br />
n<br />
2<br />
n<br />
+ b<br />
∠ − θ<br />
Gb.7.2. Fasor komponen arus nonsinus dengan a n > 0 dan b n > 0.<br />
Fasor I n pada Gb.7.2. adalah fasor komponen arus jika a n positif dan b n<br />
positif. Fasor ini leading terhadap sinyal sinus sebesar (90 o − θ). Gb.7.3<br />
berikut ini memperlihatkan kombinasi nilai a n dan b n yang lain.<br />
a n > 0, b n < 0<br />
I n leading (90 0 + θ)<br />
terhadap sinyal sinus<br />
Im<br />
b n<br />
θ<br />
a n<br />
In<br />
=<br />
Re<br />
2 2<br />
an<br />
+ bn<br />
∠θ<br />
Im<br />
a n<br />
θ<br />
b n<br />
2 2 o<br />
In<br />
= an<br />
+ bn<br />
∠(180<br />
+ θ)<br />
Re<br />
a n < 0, b n > 0<br />
I n lagging (90 0 − θ)<br />
terhadap sinyal sinus<br />
2 2 o<br />
In<br />
= an<br />
+ bn<br />
∠(180<br />
− θ)<br />
a n<br />
θ<br />
b n<br />
Im<br />
Re<br />
a n < 0, b n < 0<br />
I n lagging (90 0 + θ)<br />
terhadap sinyal sinus<br />
Gb.7.3. Fasor komponen arus nonsinus untuk berbagai kombinasi nilai<br />
a n dan b n .<br />
133
Perlu kita perhatikan bahwa pernyataan fasor dan diagram fasor yang<br />
dikemukakan di atas menggunakan nilai puncak sinyal sebagai besar<br />
fasor. Dalam analisis daya, diambil nilai efektif sebagai besar fasor. Oleh<br />
karena itu kita perlu memperhatikan apakah spektrum amplitudo sinyal<br />
nonsinus diberikan dalam nilai efektif atau nilai puncak.<br />
COTOH-7.1: Uraian di kawasan waktu arus penyearahan setengah<br />
gelombang dengan nilai maksimum I m A adalah<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5 cos( ω0t<br />
−1,57)<br />
+ 0,212cos(2ω0t<br />
)<br />
⎜<br />
( t)<br />
= I × ⎜+<br />
0,042 cos(4ω0t)<br />
+ 0,018cos(6ω0t)<br />
+ 0.010cos(8ω<br />
⎜<br />
⎝+<br />
0.007 cos(10ω0t)<br />
Nyatakanlah sinyal ini dalam bentuk fasor.<br />
i m<br />
0<br />
⎞<br />
⎟<br />
t)<br />
⎟ A<br />
⎟<br />
⎠<br />
Penyelesaian:<br />
Formulasi arus i(t) yang diberikan ini diturunkan dari uraian deret<br />
Fourier yang komponen fundamentalnya adalah<br />
i1 ( t)<br />
= 0 + 0,5 sin ω0t<br />
; jadi sesungguhnya komponen ini adalah<br />
fungsi sinus di kawasan waktu.<br />
Jika kita mengambil nilai efektif sebagai besar fasor, maka<br />
pernyataan arus dalam bentuk fasor adalah<br />
0,5I<br />
o 0,212 o 0,042 o<br />
0 = 0,318 ; 1 = m<br />
I<br />
∠ − 90 ; 2 = m<br />
I<br />
I I<br />
∠0<br />
; 4 = m<br />
m I<br />
I<br />
I<br />
∠0<br />
;<br />
2<br />
2<br />
2<br />
0,018I<br />
o 0,010 o 0,007 o<br />
6 = m<br />
I<br />
∠0<br />
; 8 = m<br />
I<br />
I<br />
I<br />
∠0<br />
; I10<br />
= m ∠0<br />
;<br />
2<br />
2<br />
2<br />
Diagram fasor arus-arus pada Contoh-7.1 di atas, dapat kita gambarkan<br />
(hanya mengambil tiga komponen) seperti terlihat pada Gb. 7.4.<br />
I 1<br />
I 2 I 4<br />
Gb.7.4. Diagram fasor arus fundamental,<br />
harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4<br />
134 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Persamaan arus pada Contoh-7.1 yang dinyatakan dalam fungsi cosinus<br />
dapat pula dinyatakan dalam fungsi sinus menjadi<br />
⎛0,318<br />
+ 0,5sin( ω0t)<br />
+ 0,212sin(2ω0t<br />
+ 1,57) ⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
i(<br />
t)<br />
= Im<br />
⎜+<br />
0,021sin(4ω0t<br />
+ 1,57) + 0,018sin(6ω0t<br />
+ 1,57) ⎟ A<br />
⎜<br />
0.010cos(8 0 ) 0.007cos(10 0 )<br />
⎟<br />
⎝+<br />
ω t +<br />
ω t ⎠<br />
Jika komponen sinus fundamental digunakan sebagai referensi<br />
o<br />
dengan pernyataan fasornya I 1 = I1<br />
rms ∠0<br />
, maka masing-masing<br />
komponen arus ini dapat kita nyatakan dalam fasor sebagai:<br />
0,5I<br />
o 0,212 o<br />
0 = 0,318 ; 1 = m<br />
I<br />
I I<br />
∠0<br />
; 2 = m<br />
m I<br />
I<br />
∠90<br />
;<br />
2<br />
2<br />
0,042I<br />
o 0,018 o<br />
4 = m<br />
I<br />
I<br />
∠90<br />
; I6<br />
= m ∠90<br />
;...........<br />
2<br />
2<br />
Diagram fasor-fasor arus ini dapat kita gambarkan seperti terlihat pada<br />
Gb.7.5.<br />
I 1<br />
I 2 I 4<br />
Gb.7.5. Diagram fasor arus fundamental,<br />
harmonisa ke-2, dan harmonisa ke-4<br />
Diagram fasor arus pada Gb.7.5 tidak lain adalah diagram fasor pada<br />
Gb.7.4 yang diputar 90 o ke arah positif karena fungsi sinus dijadikan<br />
referensi dengan sudut fasa nol. Nilai fasor dan selisih sudut fasa antar<br />
fasor tidak berubah. Pada Gb.7.5. ini, kita lihat bahwa komponen<br />
harmonisa ke-2 ‘leading’ 90 o dari komponen fundamental; demikian juga<br />
dengan komponen harmonisa ke-4. Namun fasor harmonisa ke-2<br />
berputar kearah positif dengan frekuensi dua kali lipat dibanding dengan<br />
komponen fundamental, dan fasor harmonisa ke-4 berputar kearah positif<br />
dengan frekuensi empat kali lipat dibanding komponen fundamental.<br />
Oleh karena itulah mereka tidak dapat secara langsung dijumlahkan.<br />
Dalam pembahasan selanjutnya kita akan menggunakan cara<br />
penggambaran fasor seperti pada Gb.7.4 dimana fasor referensi adalah<br />
fasor dari sinyal sinus yang dinyatakan dalam fungsi cosinus dan<br />
memiliki sudut fasa nol. Hal ini perlu ditegaskan karena uraian arus<br />
nonsinus ke dalam deret Fourier dinyatakan sebagai fungsi cosinus<br />
135
sedangkan tegangan sumber biasanya dinyatakan sebagai fungsi sinus.<br />
o<br />
Fasor tegangan sumber akan berbentuk V s = Vsrms∠ − 90 dan relasirelasi<br />
sudut fasa yang tertulis pada Gb.7.3 akan digunakan.<br />
Contoh-7.2: Gambarkan diagram fasor sumber tegangan dan arus-arus<br />
berkut ini<br />
vs<br />
= Vsrms<br />
sin ωt<br />
= 100sin ωt<br />
V , I 1 rms = 30 A 30 o lagging dari<br />
tegangan sumber dan I 2 rms = 50 A 90 o leading dari tegangan<br />
sumber.<br />
Penyelesaian:<br />
Im<br />
I 2<br />
I 1<br />
30<br />
o<br />
Re<br />
7.2. Impedansi<br />
Karena setiap komponen harmonisa memiliki frekuensi berbeda maka<br />
pada satu cabang rangkaian yang mengandung elemen dinamis akan<br />
terjadi impedansi yang berbeda untuk setiap komponen. Setiap<br />
komponen harmonisa dari arus nonsinus yang mengalir pada satu cabang<br />
rangkaian dengan elemen dinamis akan mengakibatkan tegangan<br />
berbeda.<br />
COTOH-7.3: Arus i = 200sin<br />
ω0t<br />
+ 70sin 3ω0t<br />
+ 30sin 5ω0t<br />
A<br />
mengalir melalui resistor 5 Ω yang terhubung seri dengan kapasitor<br />
20 µF. Jika frekuensi fundamental adalah 50 Hz, hitung tegangan<br />
puncak fundamental dan tegangan puncak setiap komponen<br />
harmonisa.<br />
(a) Reaktansi dan impedansi untuk frekuensi fundamental adalah<br />
X<br />
C<br />
−6<br />
1 = 1/(2π × 50 × 20 × 10 ) = 159,15 →<br />
2<br />
Z1 = 5 + 159,15 = 159,23Ω<br />
136 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
V s<br />
2
Tegangan puncak fundamental adalah<br />
V 1m<br />
= Z1<br />
× I1m<br />
= 159,23×<br />
200 ≈ 31,85<br />
kV<br />
(b) Impedansi untuk harmonisa ke-3 adalah<br />
X X / 3 53,05 → Z = 5 + 53,05 53, 29 Ω<br />
C 3 = C 1 =<br />
2 2<br />
3 =<br />
Tegangan puncak harmonisa ke-3 adalah<br />
V 3 m = Z3<br />
× I3m<br />
= 53,29 × 70 = 3,73 kV<br />
(c) Impedansi untuk harmonisa ke-5 adalah<br />
X X / 5 31,83 → Z = 5 + 31,83 32, 22 Ω<br />
C 5 = C 1 =<br />
2 2<br />
3 =<br />
Tegangan puncak harmonisa ke-5 adalah<br />
V 5 m = Z5<br />
× I5m<br />
= 32,22 × 30 = 0,97<br />
kV<br />
7.3. ilai Efektif<br />
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, sinyal nonsinus<br />
dipandang sebagai terdiri dari dua komponen, yaitu komponen<br />
fundamental dan komponen harmonisa total. Nilai efektif suatu sinyal<br />
periodik nonsinus y, adalah<br />
Y<br />
2 2<br />
rms = Y1rms<br />
Yhrms<br />
(7.1)<br />
Y +<br />
Y 1 rms<br />
dengan<br />
: nilai efektif komponen fundamental.<br />
hrms : nilai efektif komponen harmonisa total.<br />
Karena komponen ke-dua, yaitu komponen harmonisa total, merupakan<br />
gabungan dari seluruh harmonisa yang masih diperhitungkan, maka<br />
komponen ini tidak kita gambarkan diagram fasornya; kita hanya<br />
menyatakan nilai efektifnya saja walaupun kalau kita gambarkan<br />
kurvanya di kawasan waktu bisa terlihat perbedaan fasa yang mungkin<br />
terjadi antara tegangan fundamental dan arus harmonisa total.<br />
137
7.4. Sumber Tegangan Sinusiodal Dengan Beban onlinier<br />
Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, pembebanan nonlinier<br />
terjadi bila sumber dengan tegangan sinus mencatu beban dengan arus<br />
nonsinus. Arus nonsinus mengalir karena terjadi pengubahan arus oleh<br />
pengubah arus, seperti misalnya penyearah atau saklar sinkron. Dalam<br />
analisis di kawasan fasor pada pembebanan non linier ini kita perlu<br />
memperhatikan hal-hal berikut ini.<br />
7.4.1. Daya Kompleks<br />
Sisi Beban. Jika tegangan pada suatu beban memiliki nilai efektif V brms V<br />
dan arus nonsinus yang mengalir padanya memiliki nilai efektif I brms A,<br />
maka beban ini menyerap daya kompleks sebesar<br />
S b = Vbrms<br />
× Ibrms<br />
VA<br />
(7.2)<br />
Kita ingat pengertian mengenai daya kompleks yang didefinisikan pada<br />
persamaan (14.9) di Bab-14 sebagai S = VI . Definisi ini adalah untuk<br />
sinyal sinus murni. Dalam hal sinyal nonsinus kita tidak menggambarkan<br />
fasor arus harmonisa total sehingga mengenai daya kompleks hanya bisa<br />
menyatakan besarnya, yaitu persamaan (3.2), tetapi kita tidak<br />
menggambarkan segitiga daya. Segitiga daya dapat digambarkan hanya<br />
untuk komponen fundamental.<br />
Sisi Sumber. Daya kompleks |S s | yang diberikan oleh sumber tegangan<br />
sinus vs<br />
= Vsm<br />
sin ωt<br />
V yang mengeluarkan arus nonsinus bernilai<br />
efektif<br />
2 2<br />
s1rms<br />
shrms<br />
I = I + I A adalah<br />
srms<br />
Vsm<br />
S s = Vsrms<br />
× I srms = × I srms VA<br />
(7.3)<br />
2<br />
7.4.2. Daya yata<br />
Sisi Beban. Jika suatu beban memiliki resistansi R b , maka beban tersebut<br />
menyerap daya nyata sebesar<br />
2<br />
( I I ) R W<br />
2<br />
2<br />
b = IbrmsRb<br />
= b 1 rms bhrms b<br />
(7.4)<br />
P +<br />
di mana Ib<br />
1 rms adalah arus efektif fundamental dan I bhrms adalah arus<br />
efektif harmonisa total.<br />
*<br />
138 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Sisi Sumber. Dilihat dari sisi sumber, daya nyata dikirimkan melalui<br />
komponen fundamental. Komponen arus harmonisa sumber tidak<br />
memberikan transfer energi netto.<br />
P s 1 = VsrmsI<br />
1 rmscosϕ<br />
1 W<br />
(7.5)<br />
ϕ 1 adalah beda sudut fasa antara tegangan dan arus fundamental sumber,<br />
dan cosϕ 1 adalah faktor daya pada komponen fundamental yang disebut<br />
displacement power factor.<br />
7.4.3. Faktor Daya<br />
Sisi Beban. Dengan pengertian daya kompleks dan daya nyata seperti<br />
diuraikan di atas, maka faktor daya rangkaian beban dapat dihitung<br />
sebagai<br />
P<br />
b<br />
f.d. beban =<br />
(7.6)<br />
Sb<br />
Sisi Sumber. Faktor daya total, dilihat dari sisi sumber, adalah<br />
7.4.4. Impedansi Beban<br />
Ps<br />
f .d. 1<br />
s = (7.7)<br />
Ss<br />
Reaktansi beban tergantung dari frekuensi harmonisa, sehingga masingmasing<br />
harmonisa menghadapi nilai impedansi yang berbeda-beda.<br />
Namun demikian nilai impedansi beban secara keseluruhan dapat<br />
dihitung, sesuai dengan konsep tentang impedansi, sebagai<br />
Vbrms<br />
Z b = Ω<br />
(7.8)<br />
I<br />
brms<br />
Seperti halnya dengan daya kompleks, impedansi beban hanya dapat kita<br />
hitung besarnya dengan relasi (3.6) akan tetapi tidak dinyatakan dalam<br />
format kompleks seperti (a + jb).<br />
7.4.5. Teorema Tellegen<br />
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab-7, teorema ini menyatakan bahwa di<br />
setiap rangkaian elektrik harus ada perimbangan yang tepat antara daya<br />
yang diserap oleh elemen pasif dengan daya yang diberikan oleh elemen<br />
aktif. Hal ini sesuai dengan prinsip konservasi energi. Sebagaimana telah<br />
139
pula disebutkan teorema ini juga memberikan kesimpulan bahwa satusatunya<br />
cara agar energi dapat diserap dari atau disalurkan ke suatu<br />
bagian rangkaian adalah melalui tegangan dan arus di terminalnya.<br />
Teorema ini berlaku baik untuk rangkaian linier maupun non linier.<br />
Teorema ini juga berlaku baik di kawasan waktu maupun kawasan fasor<br />
untuk daya kompleks maupun daya nyata. Fasor tidak lain adalah<br />
pernyataan sinyal yang biasanya berupakan fungsi waktu, menjadi<br />
pernyataan di bidang kompleks. Oleh karena itu perhitungan daya yang<br />
dilakukan di kawasan fasor harus menghasilkan angka-angka yang sama<br />
dengan perhitungan di kawasan waktu.<br />
7.5. Contoh-Contoh Perhitungan<br />
COTOH-7.4: Di terminal suatu beban yang terdiri dari resistor R b =10<br />
Ω terhubung seri dengan induktor L b = 0,05 H terdapat tegangan<br />
nonsinus v s = 100 + 200 2 sin ω0 t V . Jika frekuensi fundamental<br />
adalah 50 Hz, hitunglah: (a) daya nyata yang diserap beban; (b)<br />
impedansi beban; (c) faktor daya beban;<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Tegangan pada beban terdiri dari dua komponen yaitu komponen<br />
searah dan komponen fundamental:<br />
V 0 =100 V dan o<br />
V 1 = 200∠<br />
− 90<br />
Arus komponen searah yang mengalir di beban adalah<br />
I b0 = V0<br />
/ Rb<br />
= 100 /10 = 10 A<br />
Arus efektif komponen fundamental di beban adalah<br />
I<br />
V<br />
10<br />
200<br />
1rms<br />
b1rms = =<br />
=<br />
Zb<br />
2<br />
2<br />
+ (100π × 0,05)<br />
Nilai efektif arus rangkaian total adalah<br />
I<br />
2<br />
brms = b b 1 rms<br />
10,74 A<br />
2 2<br />
I<br />
2 0 + I = 10 + 10,74 = 14,68 A<br />
Daya nyata yang diserap beban sama dengan daya yang diserap<br />
R b karena hanya R b yang menyerap daya nyata.<br />
140 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
P<br />
2<br />
Rb = Ibrms<br />
Rb<br />
=<br />
2<br />
14,68 × 10 = 2154<br />
W<br />
(b) Impedansi beban adalah rasio antara tegangan efektif dan arus<br />
efektif beban.<br />
V<br />
brms<br />
2 2<br />
= rms<br />
V0 + V1<br />
= 100 + 200 = 100<br />
2<br />
2<br />
5<br />
V<br />
Z<br />
beban<br />
V<br />
=<br />
I<br />
brms<br />
brms<br />
100<br />
=<br />
5<br />
14,68<br />
= 15,24 Ω<br />
(c) Faktor daya beban adalah rasio antara daya nyata dan daya<br />
kompleks yang diserap beban. Daya kompleks yang diserap<br />
beban adalah:<br />
S<br />
b<br />
= Vbrms<br />
× Ibrms<br />
= 100 5 × 14,68 = 3281 VA<br />
Sehingga faktor daya beban<br />
P 2154<br />
f.d. =<br />
b<br />
b = = 0,656<br />
S 3281<br />
COTOH-7.5: Suatu tegangan nonsinus yang terdeteksi pada terminal<br />
beban memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V<br />
dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki<br />
nilai puncak berturut-turut 30 V dan 5 V. Beban terdiri dari resistor<br />
5 Ω terhubung seri dengan induktor 4 mH. Hitung: (a) tegangan<br />
efektif, arus efektif, dan daya dari komponen fundamental; (b)<br />
tegangan efektif, arus efektif, dan daya dari setiap komponen<br />
harmonisa; (c) tegangan efektif beban, arus efektif beban, dan total<br />
daya kompleks yang disalurkan ke beban; (d) Bandingkan hasil<br />
perhitungan (a) dan (c).<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Tegangan efektif komponen fundamental<br />
Reaktansi pada frekuensi fundamental<br />
b<br />
V<br />
150<br />
=<br />
2<br />
1 rms<br />
=<br />
106 V<br />
X L1<br />
= 2π × 50 × 4 × 10<br />
−3<br />
= 1,26<br />
Ω<br />
141
Impedansi pada frekuensi fundamental adalah<br />
Z 1<br />
=<br />
5<br />
2<br />
+ 1,26<br />
2<br />
= 5,16 Ω<br />
Arus efektif fundamental<br />
V<br />
106<br />
=<br />
5,16<br />
1rms<br />
1 rms = =<br />
Z 1<br />
I<br />
20,57<br />
A<br />
Daya nyata yang diberikan oleh komponen fundamental<br />
2<br />
P rms<br />
1 = I1<br />
R = 20,57 × 5 = 2083<br />
Daya kompleks komponen fundamental<br />
2<br />
W<br />
S 1 = V1<br />
rms I1rms<br />
= 106 × 20,57 = 2182<br />
VA<br />
P1<br />
2083<br />
Faktor daya komponen fundamental f.d. 1 = = = 0, 97<br />
S 2182<br />
Daya reaktif komponen fundamental dapat dihitung dengan<br />
formulasi segitiga daya karena komponen ini adalah sinus<br />
murni.<br />
2<br />
2<br />
Q 1 = S1<br />
− P1<br />
= 2182 − 2083 = 531,9 VAR<br />
(b) Tegangan efektif harmonisa ke-3 dan ke-5<br />
30<br />
5<br />
V 3 rms = = 21,21 V ; V 5 rms = = 3,54 V<br />
2<br />
2<br />
Reaktansi pada frekuensi harmonisa ke-3 dan ke-5<br />
X = × X = 3×<br />
1,26 = 3,77 Ω ;<br />
X<br />
L3 3 L1<br />
L5 = 5 × X L1<br />
2<br />
2<br />
= 5×<br />
1,26 = 6,28 Ω<br />
Impedansi pada komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:<br />
2<br />
2<br />
Z = 5 + 3,77 = 6,26 Ω ; Z = 5 + 6,28 = 8,03 Ω<br />
3<br />
Arus efektif komponen harmonisa ke-3 dan ke-5:<br />
5<br />
2<br />
1<br />
2<br />
142 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
V 21,21<br />
I<br />
3<br />
3 =<br />
rms<br />
rms = = 3,39 A ;<br />
Z 6,26<br />
I<br />
V<br />
3<br />
3,54<br />
=<br />
8,03<br />
5rms<br />
5 rms = =<br />
Z 5<br />
0,44 A<br />
Daya nyata yang diberikan oleh harmonisa ke-3 dan ke-5<br />
2<br />
2<br />
3 3<br />
=<br />
2<br />
2<br />
P5 = I5rms<br />
R = 0,44 × 5 =<br />
P = I rms R = 3,39 × 5 57,4 W ;<br />
0,97<br />
(c) Daya nyata total yang diberikan ke beban adalah jumlah daya<br />
nyata dari masing-masing komponen harmonisa (kita ingat<br />
komponen-komponen harmonisa secara bersama-sama mewakili<br />
satu sumber)<br />
P = P + P +<br />
b<br />
=<br />
1 3<br />
2<br />
I1rms<br />
R<br />
+<br />
2 2 2<br />
P5<br />
= ( I1rms<br />
+ I3rms<br />
+ I5rms<br />
)<br />
2 2 2<br />
( I + I ) R = I R + I<br />
3rms<br />
Tegangan efektif beban<br />
5rms<br />
1rms<br />
W<br />
× R = 2174 W<br />
2<br />
hrms<br />
R<br />
V brms<br />
Arus efektif beban<br />
=<br />
150<br />
2<br />
2<br />
30<br />
+<br />
2<br />
2<br />
2<br />
5<br />
+<br />
2<br />
= 108,22<br />
V<br />
I brms<br />
=<br />
20,57<br />
Daya kompleks beban<br />
S<br />
b<br />
2<br />
= Vbrms<br />
× Ibrms<br />
+ 3,39<br />
2<br />
+ 0,44<br />
2<br />
= 20,86 A<br />
= 108 ,22 × 20,86 = 2257 VA<br />
Daya reaktif beban tidak dapat dihitung dengan menggunakan<br />
formula segitiga daya karena kita tak dapat menggambarkannya.<br />
(d) Perhitungan untuk komponen fundamental yang telah kita<br />
lakukan menghasilkan<br />
P 1 = 2083 W , S 1 = 2182 VA , dan<br />
2 2<br />
1 1 1 =<br />
Q = S − P 531,9 VAR .<br />
Sementara itu perhitungan daya total ke beban menghasilkan<br />
143
P b = 2174 W , dan S b = 2257 VA ; Q b = <br />
Perbedaan antara P 1 dan P b disebabkan oleh adanya harmonisa<br />
P 3 dan P 5 .<br />
2<br />
P1 = I1rmsR<br />
( sedang<br />
2 2 2 2<br />
Pb<br />
= P1 + P2<br />
+ P3<br />
= I1rms<br />
+ I3rms<br />
+ I5rms<br />
) R = IbrmsR<br />
.<br />
Daya reaktif beban Q b tidak bisa kita hitung dengan cara seperti<br />
menghitung Q 1 karena kita tidak bisa menggambarkan segitiga<br />
daya-nya. Oleh karena itu kita akan mencoba memperlakukan<br />
komponen harmonisa sama seperti kita memperlakukan<br />
komponen fundamental dengan menghitung daya reaktif<br />
2<br />
sebagai Qn<br />
= I nrms X n dan kemudian menjumlahkan daya<br />
reaktif Q n untuk memperoleh daya reaktif ke beban Q b .<br />
Dengan cara ini maka untuk beban akan berlaku:<br />
b<br />
2<br />
2<br />
2<br />
( I X + I X I X )<br />
Q = Q + Q + Q =<br />
+<br />
1 3 5 1rms<br />
L1<br />
3rms<br />
L3<br />
5rms<br />
L5<br />
Hasil perhitungan memberikan<br />
Q<br />
2<br />
2<br />
2<br />
b = Q1<br />
+ Q2<br />
+ Q3<br />
= I1rms<br />
X L1<br />
+ I3rms<br />
X L3<br />
+ I5rms<br />
X L5<br />
Perhatikan bahwa hasil perhitungan<br />
2<br />
1 = 1rms X L1<br />
=<br />
= 531,9 + 43,3 + 1,2 = 576,4<br />
Q I 531,9 VAR sama dengan<br />
2 2<br />
1 1 1 =<br />
Q = S − P 531,9 VAR .<br />
VAR<br />
Jika untuk menghitung Q b kita paksakan menggunakan<br />
formulasi segitiga daya, walaupun sesungguhnya kita tidak bisa<br />
menggambarkan segitiga daya dan daya reaktif total komponen<br />
hamonisa juga tidak didefinisikan, kita akan memperoleh<br />
Q<br />
2 2<br />
b = Sb<br />
− Pb<br />
=<br />
2257<br />
2<br />
− 2174<br />
2<br />
= 604 VAR<br />
lebih besar dari hasil yang diperoleh jika daya reaktif masingmasing<br />
komponen harmonisa dihitung dengan formula<br />
2<br />
Qn<br />
= I nrms X n .<br />
144 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
COTOH-7.6: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt<br />
V<br />
mencatu beban resistif R b = 10 Ω melalui dioda mewakili<br />
penyearah setengah gelombang. Carilah: (a) spektrum amplitudo<br />
arus; (b) nilai efektif setiap komponen arus; (c) daya kompleks<br />
sumber; (d) daya nyata yang diserap beban; (e) daya nyata yang<br />
berikan oleh sumber; (f) faktor daya yang dilihat sumber; (g)<br />
faktor daya komponen fundamental.<br />
Penyelesaian:<br />
a). Spektrum amplitudo arus penyearahan setengah gelombang ini<br />
adalah<br />
A<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
45.00<br />
70.71<br />
40<br />
30<br />
30.04<br />
20<br />
10<br />
0<br />
6.03<br />
01 12 23 4 65 68 10 7<br />
harmonisa<br />
Spektrum yang amplitudo ini dihitung sampai harmonisa ke-<br />
10, yang nilainya sudah mendekati 1% dari amplitudo arus<br />
fundamental. Diharapkan error yang terjadi dalam<br />
perhitungan tidak akan terlalu besar.<br />
b). Nilai efektif komponen arus dalam [A] adalah<br />
2.60 1.46 0.94<br />
I<br />
I<br />
0<br />
= 45; I<br />
6rms<br />
1rms<br />
= 1,8; I<br />
= 50; I<br />
8rms<br />
= 1; I<br />
2rms<br />
10rms<br />
= 21,2; I<br />
= 0.7<br />
4rms<br />
= 4,3;<br />
Nilai efektif arus fundamental<br />
I 1 rms = 50<br />
Nilai efektif komponen harmonisa total adalah:<br />
A<br />
I hrms<br />
=<br />
2 2 2 2 2 2<br />
2 × 31,8 + 21,2 + 4,3 + 1,8 + 1 + 0,7<br />
= 50<br />
A<br />
145
Nilai efektif arus total adalah<br />
I<br />
2 2<br />
rms = rms shrms<br />
I1 + I = 50 + 50 = 70,7<br />
c). Daya kompleks yang diberikan sumber adalah<br />
2<br />
2<br />
A<br />
S s<br />
= Vsrms<br />
× I rms = 1000 × 70,7 = 70,7<br />
kVA<br />
d). Daya nyata yang diserap beban adalah<br />
2<br />
P b = I rmsRb<br />
=<br />
2<br />
70,67 × 10 = 50 kW<br />
e). Sumber memberikan daya nyata melalui arus fundamental.<br />
Daya nyata yang diberikan oleh sumber adalah<br />
P s = Vsrms<br />
I1rms<br />
cos ϕ 1<br />
Kita anggap bahwa spektrum sudut fasa tidak tersedia,<br />
sehingga perbedaan sudut fasa antara tegangan sumber dan<br />
arus fundamental tidak diketahui dan cosϕ 1 tidak diketahui.<br />
Oleh karena itu kita coba memanfaatkan teorema Tellegen<br />
yang menyatakan bahwa daya yang diberikan sumber harus<br />
tepat sama dengan daya yang diterima beban, termasuk daya<br />
nyata. Jadi daya nyata yang diberikan sumber adalah<br />
P s = P b = 50 kW<br />
f). Faktor daya yang dilihat oleh sumber adalah<br />
f.d. s = Ps<br />
/ S s = Pb<br />
/ Ss<br />
= 50 / 70,7 = 0,7<br />
g). Faktor daya komponen fundamental adalah<br />
Ps<br />
50000<br />
cosϕ1 = = = 1<br />
VsrmsI1rms<br />
1000 × 50<br />
Nilai faktor daya ini menunjukkan bahwa arus fundamental<br />
sefasa dengan tegangan sumber.<br />
I hrms 50<br />
h). THD I = = = 1 atau 100%<br />
I1rms<br />
50<br />
Contoh-7.6 ini menunjukkan bahwa faktor daya yang dilihat sumber<br />
lebih kecil dari faktor daya fundamental. Faktor daya fundamental<br />
146 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
menentukan besar daya aktif yang dikirim oleh sumber ke beban,<br />
sementara faktor daya yang dilihat oleh sumber merupakan rasio daya<br />
nyata terhadap daya kompleks yang dikirim oleh sumber. Sekali lagi kita<br />
tekankan bahwa kita tidak dapat menggambarkan segitiga daya pada<br />
sinyal nonsinus.<br />
Sumber mengirimkan daya nyata ke beban melalui arus fundamental.<br />
Jika kita hitung daya nyata yang diserap resistor melalui arus<br />
fundamental saja, akan kita peroleh<br />
P Rb1 = I1<br />
2 rms Rb<br />
= 50 2 × 10 = 25 kW<br />
Jadi daya nyata yang diserap R b melalui arus fundamental hanya<br />
setengah dari daya nyata yang dikirim sumber (dalam kasus penyearah<br />
setengah gelombang ini). Hal ini terjadi karena daya nyata total yang<br />
diserap R b tidak hanya melalui arus fundamental saja tetapi juga arus<br />
harmonisa, sesuai dengan relasi<br />
2 2<br />
( I rms + Ibrms<br />
) Rb<br />
2<br />
P Rb = Ibrms<br />
Rb<br />
= 1 ×<br />
Kita akan mencoba menganalisis masalah ini lebih jauh setelah melihat<br />
lagi contoh yang lain. Berikut ini kita akan melihat contoh yang berbeda<br />
namun pada persoalan yang sama, yaitu sebuah sumber tegangan<br />
sinusoidal mengalami pembebanan nonlinier.<br />
COTOH-7.7: Seperti Contoh-7.6, sumber sinusoidal dengan nilai<br />
efektif 1000 V mencatu arus ke beban resistif R b =10 Ω, namun<br />
kali ini melalui saklar sinkron yang menutup setiap paruh ke-dua<br />
dari tiap setengah perioda. Tentukan : (a) spektrum amplitudo<br />
arus; (b) nilai efektif arus fundamental, arus harmonisa total, dan<br />
arus total yang mengalir ke beban; (c) daya kompleks yang<br />
diberikan sumber; (d) daya nyata yang diberikan sumber; (e)<br />
faktor daya yang dilihat sumber; (f) faktor daya komponen<br />
fundamental.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Diagram rangkaian adalah sebagai berikut:<br />
i s<br />
saklar sinkron<br />
v s<br />
∼<br />
V srms =1000 V<br />
R b<br />
i Rb<br />
10 Ω<br />
147
Bentuk gelombang tegangan sumber dan arus beban adalah<br />
[V]<br />
[A]<br />
300<br />
v s (t)/5<br />
200 i Rb (t)<br />
100<br />
[detik]<br />
0<br />
0 0,01 0,02<br />
-100<br />
-200<br />
-300<br />
Spektrum amplitudo arus, yang dibuat hanya sampai harmonisa<br />
ke-11 adalah seperti di bawah ini.<br />
A<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
0.00<br />
83.79<br />
44.96<br />
14.83 14.83<br />
8.71 8.71<br />
10 12 3 45 75 96 11 7 harmonisa<br />
Amplitudo arus harmonisa ke-11 masih cukup besar; masih di<br />
atas 10% dari amplitudo arus fundamental. Perhitunganperhitungan<br />
yang hanya didasarkan pada spektrum amplitudo<br />
ini tentu akan mengandung error yang cukup besar. Namun hal<br />
ini kita biarkan untuk contoh perhitungan manual ini mengingat<br />
amplitudo mencapai sekitar 1% dari amplitudo arus<br />
fundamental baru pada harmonisa ke-55.<br />
(b) Arus fundamental yang mengalir ke R b<br />
83,79<br />
I 1 rms = = 59,25<br />
2<br />
A<br />
148 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Arus harmonisa total<br />
I hrms<br />
44,96<br />
= 0 +<br />
2<br />
= 36,14 A<br />
2<br />
14,83<br />
+<br />
2<br />
2<br />
14,83<br />
+<br />
2<br />
2<br />
8,71<br />
+<br />
2<br />
2<br />
8,71<br />
+<br />
2<br />
2<br />
Arus total :<br />
I rms<br />
=<br />
2 2<br />
59,25 + 36,14 = 69,4 A<br />
(c) Daya kompleks yang diberikan sumber adalah<br />
S<br />
s<br />
= VsrmsI<br />
rms<br />
= 1000 × 69,4 = 69,4<br />
kVA<br />
(d) Daya nyata yang diberikan sumber harus sama dengan daya<br />
nyata yang diterima beban yaitu daya nyata yang diserap R b<br />
karena hanya R b yang menyerap daya nyata<br />
P s = Pb<br />
= I rms<br />
2 Rb<br />
= 69,4<br />
2 × 10 = 48,17 kW<br />
(e) Faktor daya yang dilihat sumber adalah<br />
f.d.<br />
s = Ps<br />
s<br />
/ S = 48,17 / 69,4 = 0,69<br />
(f) Daya nyata dikirim oleh sumber melalui arus komponen<br />
fundamental.<br />
P s = Vsrms<br />
I1rms<br />
cos ϕ 1<br />
Ps<br />
48170<br />
f . d.<br />
1 = cosϕ1<br />
= =<br />
= 0,813<br />
Vsrms<br />
I1rms<br />
1000 × 59,25<br />
I hrms 36,14<br />
(g) THD I = = = 0,61 atau 61%<br />
I1rms<br />
59,25<br />
Perhitungan pada Contoh-7.7 ini dilakukan dengan hanya mengandalkan<br />
spektrum amplitudo yang hanya sampai harmonisa ke-11. Apabila<br />
tersedia spektrum sudut fasa, koreksi perhitungan dapat dilakukan.<br />
149
Contoh-7.8: Jika pada Contoh-7.7 selain spektrum amplitudo diketahui<br />
pula bahwa persamaan arus fundamental dalam uraian deret Fourier<br />
adalah<br />
( − 0.5cos( ω t)<br />
+ 0,7sin( ))<br />
i1 ( t)<br />
= I m 0 ω0t<br />
Lakukan koreksi terhadap perhitungan yang telah dilakukan pada<br />
Contoh-7.7.<br />
Penyelesaian:<br />
Persamaan arus fundamental sebagai suku deret Fourier diketahui:<br />
Sudut<br />
( − 0.5cos( ω t)<br />
+ 0,7sin( ))<br />
i1 ( t)<br />
= I m 0 ω0t<br />
−1<br />
o<br />
θ = tan (0.7 / 0.5) = 57,6 . Mengacu ke Gb.3.3, komponen<br />
fundamental ini lagging sebesar (90 o −57,6 o ) = 32,4 o dari tegangan<br />
sumber yang dinyatakan sebagai fungsi sinus. Dengan demikian<br />
maka faktor daya komponen fundamental adalah<br />
o<br />
f . d.<br />
1 = cosϕ1<br />
= cos(32,4 ) = 0,844<br />
Dengan diketahuinya faktor daya fundamental, maka kita dapat<br />
menghitung ulang daya nyata yang diberikan oleh sumber dengan<br />
menggunakan nilai faktor daya ini, yaitu<br />
P s = Vsrms<br />
I 1 rms cos ϕ 1 = 1000 × 59,4 × 0.844 = 50 kW<br />
Daya nyata yang dikirim sumber ini harus sama dengan yang<br />
diterima resistor di rangkaian beban<br />
demikian arus total adalah<br />
I<br />
rms = Ps<br />
b<br />
/ R = 50000 /10 = 70,7 A<br />
P b = I rms<br />
2 Rb<br />
= Ps<br />
. Dengan<br />
Koreksi daya nyata tidak mengubah arus fundamental; yang<br />
berubah adalah faktor dayanya. Oleh karena itu terdapat koreksi<br />
arus harmonisa yaitu<br />
I<br />
2 2<br />
hrms = I rms − I1rms<br />
70,7<br />
− 59,25<br />
Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi<br />
= 38,63 A<br />
150 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
=<br />
S s = Vsrms<br />
I rms = 1000 × 70,7 = 70,7 kVA<br />
2<br />
2
Faktor daya total yang dilihat sumber menjadi<br />
THD I<br />
38,63<br />
= = 0,65 atau<br />
59,25<br />
f . d.<br />
s = Ps<br />
/ Ss<br />
= 50 / 70,7 = 0,7<br />
65%<br />
Perbedaan-perbedaan hasil perhitungan antara Contoh-7.8 (hasil koreksi)<br />
dan Contoh-7.7 telah kita duga sebelumnya sewaktu kita menampilkan<br />
spektrum amplitudo yang hanya sampai pada harmonisa ke-11. Tampilan<br />
spektrum ini berbeda dengan tampilan spektrum dalam kasus penyearah<br />
setengah gelombang pada Contoh-7.6, yang juga hanya sampai hrmonisa<br />
ke-10. Perbedaan antara keduanya terletak pada amplitudo harmonisa<br />
terakhir; pada kasus saklar sinkron amplitudo harmonisa ke-11 masih<br />
sekitar 10% dari amplitudo fundamentalnya, sedangkan pada kasus<br />
penyearah setengah gelombang amplitudo ke-10 sudah sekitar 1% dari<br />
ampltudo fundamentalnya.<br />
Pada Contoh-7.8, jika kita menghitung daya nyata yang diterima resistor<br />
hanya melalui komponen fundamental saja akan kita peroleh<br />
2<br />
2<br />
P Rb1 = I1rms<br />
Rb<br />
= 59,25 × 10 = 35,1 kW<br />
Perbedaan antara daya nyata yang dikirim oleh sumber melalui arus<br />
fundamental dengan daya nyata yang diterima resistor melalui arus<br />
fundamental disebabkan oleh adanya komponen harmonisa. Hal yang<br />
sama telah kita amati pada kasus penyearah setengah gelombang pada<br />
Contoh-7.6.<br />
7.6. Transfer Daya<br />
Dalam pembebanan nonlinier seperti Contoh-3.6 dan Contoh-3.7, daya<br />
nyata yang diserap beban melalui komponen fundamental selalu lebih<br />
kecil dari daya nyata yang dikirim oleh sumber yang juga melalui arus<br />
fundamental. Jadi terdapat kekurangan sebesar ∆P Rb ; kekurangan ini<br />
diatasi oleh komponen arus harmonisa karena daya nyata diterima oleh<br />
R b tidak hanya melalui arus fundamental tetapi juga melalui arus<br />
harmonisa, sesuai formula<br />
2 2<br />
P Rb = ( Ib<br />
1 rms + Ibhrms)<br />
Rb<br />
Padahal dilihat dari sisi sumber, komponen harmonisa tidak memberi<br />
transfer energi netto. Penafsiran yang dapat dibuat adalah bahwa<br />
151
sebagian daya nyata diterima secara langsung dari sumber oleh R b , dan<br />
sebagian diterima secara tidak langsung. Piranti yang ada di sisi beban<br />
selain resistor adalah saklar sinkron ataupun penyearah yang merupakan<br />
piranti-piranti pengubah arus; piranti pengubah arus ini tidak mungkin<br />
menyerap daya nyata sebab jika demikian halnya maka piranti ini akan<br />
menjadi sangat panas. Jadi piranti pengubah arus menyerap daya nyata<br />
yang diberikan sumber melalui arus fundamental dan segera<br />
meneruskannya ke resistor sehingga resistor menerima daya nyata total<br />
sebesar yang dikirimkan oleh sumber. Dalam meneruskan daya nyata<br />
tersebut, terjadi konversi arus dari frekuensi fundamental yang diberikan<br />
oleh sumber menjadi frekuensi harmonisa menuju ke beban. Hal ini<br />
dapat dilihat dari besar daya nyata yang diterima oleh R b melalui arus<br />
harmonisa sebesar<br />
2<br />
2 2<br />
P Rbh = IbhrmsR<br />
= ( I1rms<br />
+ Ibhrms<br />
) × Rb<br />
.<br />
Faktor daya komponen fundamental lebih kecil dari satu, f.d. 1 < 1,<br />
menunjukkan bahwa ada daya reaktif yang diberikan melalui arus<br />
fundamental. Resistor tidak menyerap daya reaktif. Piranti selain resistor<br />
hanyalah pengubah arus; oleh karena itu piranti yang harus menyerap<br />
daya reaktif adalah pengubah arus. Dengan demikian, pengubah arus<br />
menyerap daya reaktif dan daya nyata. Daya nyata diteruskan ke resistor<br />
dengan mengubahnya menjadi komponen harmonisa, daya reaktif<br />
ditransfer ulang-alik ke rangkaian sumber.<br />
7.7. Kompensasi Daya Reaktif<br />
Sekali lagi kita memperhatikan Contoh-7.6 dan Contoh-7.7 yang telah<br />
dikoreksi dalam Contoh 7.8. Telah diulas bahwa faktor daya komponen<br />
fundamental pada penyearah setengah gelombang f.d. 1 = 1 yang berarti<br />
arus fundamental sefasa dengan tegangan; sedangkan faktor daya<br />
komponen fundamental pada saklar sinkron f.d. 1 = 0,844. Nilai faktor<br />
daya komponen fundamental ini tergantung dari saat membuka dan<br />
menutup saklar yang dalam kasus penyearah setengah gelombang<br />
“saklar” menutup setiap tengah perioda pertama.<br />
Selain faktor daya komponen fundamental, kita melihat juga faktor daya<br />
total yang dilihat sumber. Dalam kasus penyearah setengah gelombang,<br />
meskipun f.d. 1 = 1, faktor daya total f.d. s = 0,7. Dalam kasus saklar<br />
sinkron f.d. 1 = 0.844 sedangkan faktor daya totalnya f.d. s = 0,7. Sebuah<br />
pertanyaan timbul: dapatkah upaya perbaikan faktor daya yang biasa<br />
152 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
dilakukan pada pembebanan linier, diterapkan juga pada pembebanan<br />
nonlinier<br />
Pada dasarnya perbaikan faktor daya adalah melakukan kompensasi daya<br />
reaktif dengan cara menambahkan beban pada rangkaian sedemikian<br />
rupa sehingga faktor daya, baik lagging maupun leading, mendekat ke<br />
nilai satu. Dalam kasus penyearah setengah gelombang f.d. 1 = 1, sudah<br />
mencapai nilai tertingginya; masih tersisa f.d. s yang hanya 0,7. Dalam<br />
kasus saklar sinkron f.d. 1 = 0,844 dan f.d. s = 0,7. Kita coba melihat kasus<br />
saklar sinkron ini terlebih dulu.<br />
COTOH-7.9: Operasi saklar sinkron pada Contoh-3.7 membuat arus<br />
fundamental lagging 32,4 o dari tegangan sumber yang sinusoidal.<br />
Arus lagging ini menandakan adanya daya rekatif yang dikirim oleh<br />
sumber ke beban melalui arus fundamental. (a) Upayakan<br />
pemasangan kapasitor paralel dengan beban untuk memberikan<br />
kompensasi daya reaktif ini. (b) Gambarkan gelombang arus yang<br />
keluar dari sumber.<br />
Penyelesaian:<br />
a). Upaya kompensasi dilakukan dengan memasangkan kapasitor<br />
paralel dengan beban untuk memberi tambahan pembebanan<br />
berupa arus leading untuk mengompensasi arus fundamental<br />
yang lagging 32,4 o . <strong>Rangkaian</strong> menjadi sebagai berikut:<br />
i s<br />
saklar sinkron<br />
v s<br />
∼<br />
i C<br />
C<br />
R b<br />
i Rb<br />
Sebelum pemasangan kapasitor:<br />
I 1 rms = 59,25 A ; I hrms = 38,63 A ; f . d.<br />
s = 0, 7<br />
S 1 = V srms I 1rms<br />
= 1000 × 59,25 = 59,25 kVA ;<br />
f.d. 1 = 0,844;<br />
P 1 = 59,25×<br />
0,844 = 50 kW<br />
2 2<br />
Q s 1 = S − P1<br />
= 31,75 kVAR<br />
153
Kita coba memasang kapasitor untuk memberi kompensasi daya<br />
reaktif komponen fundamental sebesar 31 kVAR<br />
Q<br />
s1<br />
2<br />
srms<br />
2<br />
srms<br />
= V × Z = V / ωC<br />
Qs1<br />
31000<br />
→ C = =<br />
= 99 µ F ; kita tetapkan 100 µF<br />
V ω 2<br />
srms 1000 × 100π<br />
Dengan C = 100 µF, daya reaktif yang bisa diberikan adalah<br />
Q C<br />
Arus kapasitor adalah<br />
C<br />
2<br />
−6<br />
= 1000 × 100π × 100 × 10 = 31,4 kVAR<br />
I<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
1000<br />
= = 31,4 A<br />
1/(100π)<br />
C<br />
Crms<br />
srms<br />
.<br />
C<br />
Arus ini leading 90 o dari tegangan sumber dan hampir sama<br />
dengan nilai<br />
o<br />
I 1 rms sin(32,4 ) = 31,75 A<br />
Diagram fasor tegangan dan arus adalah seperti di bawah ini.<br />
I 1 sin32,4 o<br />
Im<br />
I C<br />
Re<br />
I 1<br />
32,4 o I 1 cos32,4 o<br />
V s<br />
Dari diagram fasor ini kita lihat bahwa arus<br />
o<br />
I C dan I1 sin 32, 4 tidak saling meniadakan sehingga beban<br />
o<br />
akan menerima arus I 1rms cos(32,4 ) , akan tetapi beban tetap<br />
menerima arus seperti semula. Beban tidak merasakan adanya<br />
perubahan oleh hadirnya C karena ia tetap terhubung langsung<br />
ke sumber. Sementara itu sumber sangat merasakan adanya<br />
beban tambahan berupa arus kapasitif yang melalui C. Sumber<br />
yang semula mengeluarkan arus fundamental dan arus<br />
harmonisa total ke beban, setelah pemasangan kapasitor<br />
154 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
memberikan arus fundamental dan arus harmonisa ke beban<br />
ditambah arus kapasitif di kapasitor. Dengan demikian arus<br />
fundamental yang diberikan oleh sumber menjadi<br />
o<br />
I 1 rmsC ≈ I1<br />
rms cos(32,4 ) = 50 A<br />
turun sekitar 10% dari arus fundamental semula yang 59,25 A.<br />
Arus efektif total yang diberikan sumber menjadi<br />
I<br />
2 2<br />
srmsC = hrms<br />
I1 rmsC + I = 50 + 38,63 = 63,2<br />
Daya kompleks yang diberikan sumber menjadi<br />
S sC<br />
= 1000 × 63,2 = 63,2 kVA<br />
2<br />
2<br />
A<br />
Faktor daya yang dilihat sumber menjadi<br />
f . d.<br />
sC = 50 / 63,2 = 0,8<br />
sedikit lebih baik dari sebelum pemasangan kapasitor<br />
f . d.<br />
s = 0,7<br />
b). Arus sumber, i s , adalah jumlah dari arus yang melalui resistor<br />
seri dengan saklar sinkron dan arus arus kapasitor.<br />
- bentuk gelombang arus yang melalui resistor i Rb adalah<br />
seperti yang diberikan pada gambar Contoh-7.7;<br />
- gelombang arus kapasitor, i C , 90 o mendahului tegangan<br />
sumber.<br />
Bentuk gelonbang arus i s terlihat pada gambar berikut:<br />
[V]<br />
[A]<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
-100<br />
-200<br />
-300<br />
i Rb<br />
i s<br />
v s /5<br />
[detik]<br />
0 0.005 i C<br />
0.01 0.015 0.02<br />
155
Contoh-7.9 ini menunjukkan bahwa kompensasi daya reaktif komponen<br />
fundamental dapat meningkatkan faktor daya total yang dilihat oleh<br />
sumber. Berikut ini kita akan melihat kasus penyearah setengah<br />
gelombang.<br />
Dalam analisis rangkaian listrik [2], kita membahas filter kapasitor pada<br />
penyearah yang dihubungkan paralel dengan beban R dengan tujuan<br />
untuk memperoleh tegangan yang walaupun masih berfluktuasi namun<br />
fluktuasi tersebut ditekan sehingga mendekati tegangan searah. Kita akan<br />
mencoba menghubungkan kapasitor seperti pada Gb.7.6 dengan harapan<br />
akan memperbaiki faktor daya.<br />
i s<br />
v s<br />
i C<br />
C<br />
i R<br />
R<br />
Gb.7.6. Kapasitor paralel dengan beban.<br />
COTOH-7.10: Sumber tegangan sinusoidal v s = 1000 2sinωt<br />
V<br />
mencatu beban resistif R b = 10 Ω melalui penyearah setengah<br />
gelombang. Lakukan pemasangan kapasitor untuk<br />
“memperbaiki” faktor daya. Frekuensi kerja 50 Hz.<br />
Penyelesaian:<br />
Keadaan sebelum pemasangan kapasitor dari Contoh-3.5:<br />
tegangan sumber V srms =1000 V ;<br />
arus fundamental I 1 rms = 50 A ;<br />
arus harmonisa total I hrms = 50 A<br />
arus efektif total I rms = 70,7 A ;<br />
daya kompleks sumber S s = 70,7 kVA ;<br />
daya nyata P s = P 1 = 50 kW ;<br />
faktor daya sumber f . d.<br />
s = Ps<br />
/ Ss<br />
= 50 / 70,7 = 0, 7 ;<br />
faktor daya komponen fundamental f . d . 1 = 1 .<br />
Spektrum amplitudo arus maksimum adalah<br />
156 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
A<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
45.00<br />
70.71<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
30.04<br />
6.03<br />
2.60 1.46 0.94<br />
01 12 23 4 65 68 10 7 harmonisa<br />
Gambar perkiraan dibawah ini memperlihatkan kurva tegangan<br />
sumber v s /5 (skala 20%), arus penyearahan setengah gelombang<br />
i R , dan arus kapasitor i C seandainya dipasang kapasitor (besar<br />
kapasitor belum dihitung).<br />
400<br />
[V]<br />
[A]<br />
200<br />
v s /5<br />
i R<br />
0<br />
-200<br />
0 0.01 i 0.02 0.03<br />
C<br />
t [s]<br />
-400<br />
Dengan pemasangan kapasitor maka arus sumber akan merupakan<br />
jumlah i R + i C yang akan merupakan arus nonsinus dengan bentuk<br />
lebih mendekati gelombang sinusoidal dibandingkan dengan<br />
bentuk gelombang arus penyearahan setengah gelombang i R .<br />
Bentuk gelombang arus menjadi seperti di bawah ini.<br />
157
400<br />
[V]<br />
[A]<br />
200<br />
v s /5<br />
i R +i C<br />
i R<br />
0<br />
-200<br />
i R<br />
0 i C 0.01 0.02 0.03<br />
t [s]<br />
-400<br />
Kita akan mencoba menelaah dari beberapa sisi pandang.<br />
a). Pemasangan kapasitor seperti pada Gb.7.6 menyebabkan sumber<br />
mendapat tambahan beban arus kapasitif. Bentuk gelombang arus<br />
sumber menjadi lebih mendekati bentuk sinus. Tidak seperti<br />
dalam kasus saklar sinkron yang komponen fundamentalnya<br />
memiliki faktor daya kurang dari satu sehingga kita punya titiktolak<br />
untuk menghitung daya reaktif yang perlu kompensasi,<br />
dalam kasus penyerah setengah gelombang ini f.d. 1 = 1; arus<br />
fundamental sefasa dengan tegangan sumber.<br />
Sebagai perkiraan, daya reaktif akan dihitung dengan<br />
menggunakan formula segitiga daya pada daya kompleks total.<br />
2 2<br />
Q s = Ss<br />
− Ps<br />
=<br />
2 2<br />
70.7 − 50<br />
= 50 kVAR<br />
Jika diinginkan faktor daya 0,9 maka daya reaktif seharusnya<br />
sekitar<br />
Q<br />
s = S s<br />
sin(cos -1 0,9)<br />
≈ 30 kVAR<br />
Akan tetapi formula segitiga tidaklah akurat karena kita tidak<br />
dapat menggambarkan segitiga daya untuk arus harmonisa. Oleh<br />
karena itu kita perkirakan kapasitor yang akan dipasang mampu<br />
memberikan kompensasi daya reaktif Q C sekitar 25 kVAR. Dari<br />
sini kita menghitung kapasitansi C.<br />
QC<br />
2<br />
Vs<br />
2<br />
1000 6<br />
= = = 10 ωC<br />
= 25 kVAR<br />
ZC<br />
(1/ ωC)<br />
158 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Pada frekuensi 50 Hz<br />
Kita tetapkan 80 µF<br />
Arus kapasitor adalah<br />
25000<br />
C = = 79,6 µ F .<br />
6<br />
10 × 100π<br />
I<br />
C<br />
=<br />
V<br />
Z<br />
s<br />
1000<br />
=<br />
1/(100π×<br />
80×<br />
10<br />
−6<br />
= 25,13 A<br />
)<br />
yang leading 90 o dari tegangan sumber atau<br />
I C<br />
o<br />
= 25,13∠90<br />
Arus fundamental sumber adalah jumlah arus kapasitor dan arus<br />
fundamental semula, yaitu<br />
o<br />
o<br />
o<br />
I s1C<br />
= Is1semula<br />
+ IC<br />
= 50∠0<br />
+ 25,13∠90<br />
= 55,96∠21<br />
A<br />
Nilai efektif arus dengan frekuensi fundamental yang keluar dari<br />
sumber adalah<br />
I<br />
2<br />
2 2<br />
I<br />
2 1 + I = 55,96 + 50 = 75 A<br />
sCrms = s Crms hrms<br />
Jadi setelah pemasangan kapasitor, nilai-nilai efektif arus adalah:<br />
I s1 Crms<br />
= 55,96 A ; ini adalah arus pada frekuensi<br />
fundamental yang keluar dari sumber<br />
sementara arus ke beban tidak berubah<br />
I hrms<br />
I sCrms<br />
semula<br />
= 50 A ; tak berubah karena arus beban tidak berubah.<br />
= 75 A ; ini adalah arus yang keluar dari sumber yang<br />
I rms = 70,7 A .<br />
Daya kompleks sumber menjadi<br />
S sC<br />
= VsrmsI<br />
sCrms = 1000 × 75 = 75 kVA<br />
Faktor daya yang dilihat sumber menjadi<br />
f.d. sC = Ps<br />
/ SsC<br />
= 50 / 75 = 0,67<br />
Berikut ini adalah gambar bentuk gelombang tegangan dan arus<br />
serta spektrum amplitudo arus sumber.<br />
159
V<br />
A<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
-100<br />
i Rb<br />
v s /5<br />
0 0.005 i C 0.01 0.015 0.02<br />
i sC<br />
-200<br />
-300<br />
A<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
45.00<br />
79.14<br />
30.04<br />
6.03<br />
2.60 1.46 0.94<br />
01 12 32 4 65 68 10 7<br />
harmonisa<br />
Pemasangan kapasitor tidak memperbaiki faktor daya total<br />
bahkan arus efektif pembebanan pada sumber semakin tinggi.<br />
Apabila kita mencoba melakukan kompensasi bukan dengan arus<br />
kapasitif akan tetapi dengan arus induktif, bentuk gelombang arus<br />
dan spektrum amplitudo yang akan kita peroleh adalah seperti di<br />
bawah ini.<br />
160 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
V<br />
A<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
-100<br />
v s /5<br />
i Rb<br />
i C<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />
i sC<br />
-200<br />
-300<br />
A<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
45.00<br />
79.14<br />
30.04<br />
6.03<br />
2.60 1.46 0.94<br />
1 2 3 4 5 6 7<br />
0 1 2 4 6 8 10<br />
harmonisa<br />
Dengan membandingkan Contoh-7.9 dan Contoh-7.10 kita dapat melihat<br />
bahwa perbaikan faktor daya dengan cara kompensasi daya reaktif dapat<br />
dilakukan pada pembebanan dengan faktor daya komponen fundamental<br />
yang lebih kecil dari satu. Pada pembebanan di mana arus fundamental<br />
sudah sefasa dengan tegangan sumber, perbaikan faktor daya tidak<br />
terjadi dengan cara kompensasi daya reaktif; padahal faktor daya total<br />
masih lebih kecil dari satu. Daya reaktif yang masih ada merupakan<br />
akibat dari arus harmonisa. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan<br />
adalah menekan arus harmonisa melalui penapisan. Persoalan penapisan<br />
tidak dicakup dalam buku ini melainkan dalam Elektronika Daya.<br />
161
162 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Bab 8<br />
Pembebanan Nonlinier <strong>Sistem</strong> Tiga<br />
Fasa dan Dampak pada Piranti<br />
8.1. Komponen Harmonisa Dalam <strong>Sistem</strong> Tiga Fasa<br />
a 11<br />
b 1 c 1<br />
b 11<br />
Frekuensi Fundamental.<br />
Pada pembebanan seimbang,<br />
180 o mekanis = 360 o magnetik<br />
komponen fundamental<br />
berbeda fasa 120 o antara<br />
fasa ini timbul karena<br />
a 1 U U a 2<br />
masing-masing fasa.<br />
c 11 S<br />
medan magnet, yaitu sebesar<br />
c 2 b 2<br />
Perbedaan fasa 120 o antar<br />
perbedaan posisi kumparan<br />
jangkar terhadap siklus<br />
b 22 S c 22<br />
120 o sudut magnetik. Hal ini<br />
dijelaskan pada Gb.8.1.<br />
Gb.8.1. memperlihatkan<br />
Gb.8.1. Skema generator empat kutub<br />
skema generator empat kutub; 180 o sudut mekanis ekivalen dengan 360 o<br />
sudut magnetik. Dalam siklus magnetik yang pertama sebesar 360 o<br />
magnetik, yaitu dari kutub magnetik U ke U berikutnya, terdapat tiga<br />
kumparan yaitu kumparan fasa-a (a 1 -a 11 ), kumparan fasa-b (b 1 -b 11 ),<br />
kumparan fasa-c (c 1 -c 11 ) . Antara posisi kumparan fasa-a dan fasa-b<br />
terdapat pergeseran sudut magnetik 120 o ; antara posisi kumparan fasa-b<br />
dan fasa-c terdapat pergeseran sudut magnetik 120 o ; demikian pula<br />
halnya dengan kumparan fasa-c dan fasa-a. Perbedaan posisi inilah yang<br />
menimbulkan perbedaan sudut fasa antara tegangan di fasa-a, fasa-b,<br />
fasa-c.<br />
Harmonisa Ke-3. Hal yang sangat berbeda terjadi pada komponen<br />
harmonisa ke-3. Pada harmonisa ke-3 satu siklus komponen<br />
fundamental, atau 360 o , berisi 3 siklus harmonisa ke-3. Hal ini berarti<br />
bahwa satu siklus harmonisa ke-3 memiliki lebar 120 o dalam skala<br />
komponen fundamental; nilai ini tepat sama dengan beda fasa antara<br />
komponen fundamental fasa-a dan fasa-b. Oleh karena itu tidak ada<br />
163
perbedaan fasa antara harmonisa ke-3 di fasa-a dan fasa-b. Hal yang<br />
sama terjadi antara fasa-b dan fasa-c seperti terlihat pada Gb.8.2<br />
V<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
-100<br />
v 1a<br />
v 3a<br />
v 1b v 1c<br />
v 3b<br />
v 3c<br />
0 90 180 270 360 [ o ]<br />
-200<br />
-300<br />
Gb.8.2. Tegangan fundamental dan harmonisa ke-3<br />
pada fasa-a, fasa-b, dan fasa-c.<br />
Pada gambar ini tegangan v 1a , v 1b , v 1c , adalah tegangan fundamental dari<br />
fasa-a, -b, dan -c, yang saling berbeda fasa 120 o . Tegangan v 3a , v 3b , v 3c ,<br />
adalah tegangan harmonisa ke-3 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing<br />
digambarkan terpotong untuk memperlihatkan bahwa mereka sefasa.<br />
Diagram fasor harmonisa ke-3 digambarkan pada Gb.8.3. Jika V 3a , V 3b ,<br />
V 3c merupakan fasor tegangan fasa-netral maka tegangan fasa-fasa (line<br />
to line) harmonisa ke-3 adalah nol.<br />
V 3a<br />
V 3b<br />
V 3c<br />
Gb.8.3. Diagram fasor harmonisa ke-3.<br />
Hal serupa terjadi pada harmonisa kelipatan tiga yang lain seperti<br />
harmonisa ke-9. Satu siklus fundamental berisi 9 siklus harmonisa yang<br />
berarti lebar satu siklus adalah 40 o dalam skala fundamental. Jadi lebar 3<br />
siklus harmonisa ke-9 tepat sama dengan beda fasa antar fundamental,<br />
sehingga tidak ada perbedaan sudut fasa antara harmonisa ke-9 di fasa-a,<br />
fasa-b, dan fasa-c.<br />
Harmonisa ke-5. Gb.8.4. memperlihatkan kurva tegangan fundamental<br />
dan harmonisa ke-5. Tegangan v 1a , v 1b , v 1c , adalah tegangan fundamental<br />
dari fasa-a, -b, dan -c. Tegangan v 5a , v 5b , v 5c , adalah tegangan harmonisa<br />
ke-5 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing digambarkan terpotong untuk<br />
menunjukkan bahwa mereka berbeda fasa.<br />
164 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
V<br />
300<br />
200<br />
100<br />
v 1a<br />
v 1b<br />
v 1c<br />
0<br />
0 90 180 270 360<br />
-100<br />
-200<br />
-300<br />
Gb.8.4. Fundamental dan harmonisa ke-5<br />
Satu siklus fundamental berisi 5 siklus harmonisa atau satu siklus<br />
harmonisa mempunyai lebar 72 o dalam skala fundamental. Perbedaan<br />
fasa antara v 5a dan v 5b adalah (2 × 72 o − 120 o ) = 24 o dalam skala<br />
fundamental atau 120 o dalam skala harmonisa ke-5; beda fasa antara v 5b<br />
dan v 5c juga 120 o . Diagram fasor<br />
V 5b<br />
dari harmonisa ke-5 terlihat pada<br />
Gb.8.5. Jika V 5a , V 5b , V 5c<br />
merupakan fasor tegangan fasanetral<br />
maka tegangan fasa-fasa<br />
V 5a<br />
(line to line) harmonisa ke-5<br />
adalah 3 kali lebih besar dari<br />
tegangan fasa-netral-nya.<br />
Harmonisa Ke-7. Satu siklus harmonisa ke-7 memiliki lebar 51,43 o<br />
dalam skala fundamental. Perbedaan fasa antara v 7a dan v 7b adalah (3 ×<br />
51,43 o − 120 o ) = 34,3 o dalam skala fundamental atau 240 o dalam skala<br />
harmonisa ke-7; beda fasa antara v 7b dan v 7c juga 240 o . Diagram fasor<br />
dari harmonisa ke-7 terlihat<br />
V 7c<br />
pada Gb.8.6. Jika V 7a , V 7b , V 7c<br />
merupakan fasor tegangan<br />
fasa-netral maka tegangan<br />
V 7a<br />
fasa-fasa (line to line)<br />
harmonisa ke-7 adalah 3<br />
kali lebih besar dari tegangan<br />
fasa-netral-nya.<br />
v 5a v 5b v 5c<br />
[ o ]<br />
V 5c<br />
Gb.8.5. Diagram fasor harmonisa ke-5.<br />
V 7b<br />
Gb.8.6. Diagram fasor harmonisa ke-7.<br />
165
8.2. Relasi Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-etral<br />
Pada tegangan sinus murni, relasi antara tegangan fasa-fasa dan fasanetral<br />
dalam pembebanan seimbang adalah<br />
V ff<br />
= V fn<br />
3 =1,732V<br />
fn<br />
di mana V ff tegangan fasa-fasa dan V f-n tegangan fasa-netral. Apakah<br />
relasi masih berlaku jika tegangan berbentuk gelombang nonsinus. Kita<br />
akan melihat melalui contoh berikut.<br />
COTOH-8.1: Tegangan fasa-netral suatu generator 3 fasa terhubung<br />
bintang mengandung komponen fundamental dengan nilai puncak<br />
200 V, serta harmonisa ke-3, 5, 7, dan 9 dengan nilai puncak<br />
berturut-turut 40, 25, 20, 10 V. Hitung rasio tegangan fasa-fasa<br />
terhadap tegangan fasa-netral.<br />
Penyelesaian:<br />
Dalam soal ini harmonisa tertinggi yang diperhitungkan adalah<br />
harmonisa ke-9, walaupun nilai puncak harmonisa tertinggi ini<br />
masih 5% dari nilai puncak komponen fundamental.<br />
Nilai efektif tegangan fasa-netral fundamental sampai harmonisa<br />
ke-9 berturut-turut adalah nilai puncak dibagi 2 :<br />
V 1 f −n =141,42 V ; V 3 f −n = 28,28 V ; V 5 f −n =17,68 V<br />
V 7 f −n =14,14 V ; V 9 f −n = 7,07 V<br />
Nilai efektif tegangan fasa-netral total<br />
V f −n<br />
=<br />
2 2 2 2 2<br />
141,42 + 28,28 + 17,68 + 14,14 + 7,07<br />
= 146,16<br />
V<br />
Nilai efektif tegangan fasa-fasa setiap komponen adalah<br />
V 1 f − f = 244,95 V ; V 3 f − f = 0 V ; V 5 f − f = 26,27 V<br />
V 7 f − f = 22,11 V ; V 9 f − f = 0 V<br />
Nilai efektif tegangan fasa-fasa total<br />
166 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
V f − f<br />
=<br />
2<br />
2 2<br />
244,95 + 0 + 26,27 + 22,11 + 0 = 247,35<br />
Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral<br />
V f − f 247,35<br />
= = 1,70<br />
V f −n<br />
146,16<br />
V<br />
Perbedaan nilai perhitungan tegangan efektif fasa-netral dan tegangan<br />
efektif fasa-fasa terlatak pada adanya harmonisa kelipatan tiga; tegangan<br />
fasa-fasa harmonisa ini bernilai nol.<br />
8.3. Hubungan Sumber Dan Beban<br />
Generator Terhubung Bintang. Jika belitan jangkar generator terhubung<br />
bintang, harmonisa kelipatan tiga yang terkandung pada tegangan fasanetral<br />
tidak muncul pada tegangan fasa-fasa-nya. Kita akan melihatnya<br />
pada contoh berikut.<br />
COTOH-8.2: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung bintang<br />
membangkitkan tegangan fasa-netral yang berbentuk gelombang<br />
nonsinus yang dinyatakan dengan persamaan<br />
v = 800sin<br />
ω0t<br />
+ 200sin 3ω0t<br />
+ 100sin 5ω0t<br />
V<br />
Generator ini mencatu tiga induktor terhubung segi-tiga yang<br />
masing-masing mempunyai resistansi 20 Ω dan induktansi 0,1 H.<br />
Hitung daya nyata yang diserap beban dan faktor daya beban.<br />
Penyelesaian:<br />
Nilai efektif komponen tegangan fasa-netral adalah<br />
V fn1 rms = 800 / 2 V ; V fn3 rms = 200 / 2 V ;<br />
V fn5 rms = 100 / 2 V .<br />
Tegangan fasa-fasa sinyal nonsinus tidak sama dengan 3 kali<br />
tegangan fasa-netralnya. Akan tetapi masing-masing komponen<br />
merupakan sinyal sinus; oleh karena itu tegangan fasa-fasa masingmasing<br />
komponen adalah<br />
3 kali tegangan fasa-netral-nya.<br />
( 800 / 2) 3 800 3/2 V<br />
V ff 1 rms =<br />
=<br />
; V ff 3 rms = 0 V ;<br />
V ff 5 rms = 100<br />
3 / 2<br />
V<br />
167
V ffrms<br />
=<br />
2<br />
2<br />
800 (3/ 2) + 100 (3/ 2) = 987,4<br />
V<br />
Reaktansi beban per fasa untuk tiap komponen<br />
X 1 = 2π × 50 × 0,1 = 31,42 Ω ; X 3 = 3X<br />
1 = 94,25 Ω ;<br />
X 5 = 5X<br />
1 = 157,08 Ω<br />
Impedansi beban per fasa untuk tiap komponen<br />
Z f 1<br />
=<br />
2 2<br />
20 + 31,42<br />
= 37,24 Ω<br />
Z f 3<br />
=<br />
2 2<br />
20 + 94,25<br />
= 96,35 Ω<br />
Z f 5<br />
=<br />
2 2<br />
20 + 157,08<br />
= 158,35 Ω<br />
Arus fasa:<br />
V ff 1rms<br />
800 3 / 2<br />
I f 1 rms = = = 26,3 A<br />
Z 37,24<br />
f 1<br />
V ff 3rms<br />
I f 3 rms = = 0 A<br />
Z f 1<br />
V ff 5rms<br />
100 3 / 2<br />
I f 5 rms = = = 0,77 A<br />
Z 158,35<br />
f 5<br />
I frms =<br />
2 2<br />
26,3 + 0,77<br />
= 26,32<br />
A<br />
Daya nyata diserap beban<br />
P b<br />
2<br />
= 3×<br />
I frms × 20 = 41566 W ≈ 41,6 kW<br />
Daya kompleks beban<br />
S b<br />
= 3×<br />
V ff × I f = 3×<br />
987,4×<br />
26,32 = 77967 W ≈ 78 kW<br />
Faktor daya beban<br />
Pb<br />
41,6<br />
f . d.<br />
= = = 0,53<br />
S 78<br />
b<br />
168 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Generator Terhubung Segitiga. Jika belitan jangkar generator terhubung<br />
segitiga, maka tegangan harmonisa kelipatan tiga akan menyebabkan<br />
terjadinya arus sirkulasi pada belitan jangkar generator tersebut.<br />
COTOH-8.3: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung segitiga.<br />
Resistansi dan induktansi per fasa adalah 0,06 Ω dan 0,9 mH. Dalam<br />
keadaan tak berbeban tegangan fasa-fasa mengandung harmonisa<br />
ke-3, -7, dan -9, dan -15 dengan amplitudo berturut-turut 4%, 3%,<br />
2% dan 1% dari amplitudo tegangan fundamental. Hitunglah arus<br />
sirkulasi dalam keadaan tak berbeban, jika eksitasi diberikan<br />
sedemikian rupa sehingga amplitudo tegangan fundamental 1500 V.<br />
Penyelesaian:<br />
Arus sirkulasi di belitan jangkar yang terhubung segitiga timbul oleh<br />
adanya tegangan harmonisa kelipatan tiga, yang dalam hal ini adalah<br />
harmonisa ke-3, -9, dan -15. Tegangan puncak dan tegangan efektif<br />
masing-masing komponen harmonisa ini di setiap fasa adalah<br />
V 3 m = 4% × 1500 = 60 V ; V 3 rms = 60 / 2 V<br />
V 9 m = 2% × 1500 = 30 V ; V 9 rms = 30 / 2 V<br />
V 15 m = 1% × 1500 = 15 V ; V 15 rms =15 / 2 V<br />
Reaktansi untuk masing-masing komponen adalah<br />
X 1<br />
X<br />
= 2π × 50 × 0,9 × 10<br />
3 = 3×<br />
X1<br />
= 0,85 Ω<br />
X 9 = 9 × X1<br />
= 2,55 Ω<br />
X 15 = 15×<br />
X1<br />
= 4,24 Ω<br />
−<br />
3<br />
= 0,283 Ω<br />
Impedansi di setiap fasa untuk komponen harmonisa<br />
Z 3<br />
Z 9<br />
Z 15<br />
Arus sirkulasi adalah<br />
=<br />
=<br />
=<br />
0,06<br />
0,06<br />
2<br />
2<br />
0,06<br />
2<br />
+ 0,85<br />
+ 2,54<br />
2<br />
2<br />
+ 4,24<br />
2<br />
= 0,85 Ω<br />
= 2,55 Ω<br />
= 4,24 Ω<br />
169
I<br />
I<br />
I<br />
60 / 2<br />
=<br />
0,85<br />
3 rms =<br />
30 / 2<br />
=<br />
2,55<br />
9 rms =<br />
15 / 2<br />
=<br />
4,24<br />
15 rms =<br />
49,89 A<br />
8,33 A<br />
2,5 A<br />
2 2 2<br />
I sirkulasi( rms)<br />
= 48,89 + 8,33 + 2,5 = 50,6<br />
A<br />
<strong>Sistem</strong> Empat Kawat. Pada sistem empat kawat, di mana titik netral<br />
sumber terhubung ke titik netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan<br />
mengalir melalui penghantar netral. Arus di penghantar netral ini<br />
merupakan jumlah dari ketiga arus di setiap fasa; jadi besarnya tiga kali<br />
lipat dari arus di setiap fasa.<br />
COTOH-8.4: Tiga kumparan dihubungkan bintang; masing-masing<br />
kumparan mempunyai resistansi 25 Ω dan induktansi 0,05 H.<br />
Beban ini dihubungkan ke generator 3 fasa, 50Hz, dengan<br />
kumparan jangkar terhubung bintang. Tegangan fasa-netral<br />
mempunyai komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan ke-5<br />
dengan nilai puncak berturut-turut 360 V, 60 V, dan 50 V.<br />
Penghantar netral menghubungkan titik netral generator dan beban.<br />
Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b) tegangan fasa-fasa;<br />
(c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap beban.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Tegangan fasa-netral efektif setiap komponen<br />
Reaktansi per fasa<br />
V fn1rms<br />
= 254,6 V;<br />
V fn3rms<br />
= 42,4 V;<br />
V fn5rms<br />
= 35,4 V<br />
X 1<br />
X<br />
X<br />
= 2π × 50 × 0,05 = 15,70 Ω<br />
= 3×<br />
1 = 47,12 Ω<br />
= × = 78,54 Ω<br />
3 X<br />
5 5 X1<br />
170 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Impedansi per fasa<br />
Z 1<br />
=<br />
2 2<br />
25 + 15,70<br />
= 29,53<br />
Ω<br />
Z 3<br />
=<br />
2 2<br />
25 + 47,12<br />
= 53,35<br />
Ω<br />
Z 5<br />
=<br />
25<br />
2<br />
+ 78,54<br />
2<br />
= 82,42<br />
Ω<br />
Arus saluran<br />
254,6<br />
I 1 rms = = 8,62 A<br />
29,53<br />
42,4<br />
I 3 rms = = 0,795 A<br />
53,35<br />
35,4<br />
I 5 rms = = 0,43 A<br />
82,42<br />
I saluran<br />
rms =<br />
2 2 2<br />
8.62 + 0,795 + 0,43<br />
(b) Tegangan fasa-fasa setiap komponen<br />
= 8,67<br />
V 1 f − f = 440,9<br />
V; V3<br />
f − f = 0 V; V5<br />
f − f = 61,24 V<br />
Tegangan fasa-fasa<br />
A<br />
V f − f<br />
=<br />
440,9<br />
2<br />
+ 0 + 61,2<br />
2<br />
= 445<br />
V<br />
Arus di penghantar netral ditimbulkan oleh harmonisa ke-3,<br />
yang merupakan arus urutan nol.<br />
I<br />
netral = rms<br />
3×<br />
I3 = 3×<br />
0,795 = 2,39 A<br />
(c) Daya yang diserap beban adalah daya yang diserap elemen<br />
2<br />
resistif 25 Ω, yaitu P = 3 × I f −n<br />
× R . Arus beban terhubung<br />
bintang sama dengan arus saluran. Jadi daya yang diserap<br />
beban adalah<br />
2<br />
2<br />
P b = 3×<br />
I × R = 3×<br />
8,67 × 25 = 5636 W<br />
= 5,64 kW<br />
171
<strong>Sistem</strong> Tiga Kawat. Pada sistem ini tidak ada hubungan antara titik<br />
netral sumber dan titik netral beban. Arus harmonisa kelipatan tiga tidak<br />
mengalir. Kita akan melihat kondisi ini dengan menggunakan contoh<br />
berikut.<br />
COTOH-8.5: Persoalan seperti pada contoh-29-4 akan tetapi<br />
penghantar netral yang menghubungkan titik netral generator dan<br />
beban diputus. Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b)<br />
tegangan fasa-fasa; (c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap<br />
beban.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Karena penghantar netral diputus, arus harmonisa ke-3 tidak<br />
mengalir. Arus fundamental dan harmonisa ke-5 telah dihitung<br />
pada contoh-6.4. yaitu<br />
Arus saluran menjadi<br />
I<br />
I<br />
254,6<br />
29,53<br />
35,4<br />
82,42<br />
1 rms = =<br />
5 rms = =<br />
I saluran<br />
rms =<br />
8,62 A<br />
0,43 A<br />
2 2<br />
8,62 + 0,43 = 8,63 A<br />
(b) Walaupun arus harmonisa ke-3 tidak mengalir, tegangan fasanetral<br />
harmonisa ke-3 tetap hadir namun tegangan ini tidak<br />
muncul pada tegangan fasa-fasa. Keadaan ini seperti keadaan<br />
sebelum penghantar netral diputus<br />
V f − f<br />
=<br />
2<br />
2<br />
440,9 + 0 + 61,2<br />
= 445<br />
V<br />
(c) Arus di penghantar netral = 0 A<br />
(d) Daya yang diserap beban<br />
8.4. Sumber Bekerja Paralel<br />
2<br />
P b = 3×<br />
I × R = 3×<br />
8,63 × 25 = 5589 W = 5,59 kW<br />
Untuk mencatu beban yang besar sumber-sumber pada sistem tenaga<br />
harus bekerja paralel. Jika sumber terhubung bintang dan titik netral<br />
masing-masing sumber ditanahkan, maka akan mengalir arus sirkulasi<br />
melalui pentanahan apabila terdapat tegangan harmonisa kelipatan tiga.<br />
172 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
2
COTOH-8.6: Dua generator tiga fasa, 20 000 kVA, 10 000 V,<br />
terhubung bintang, masing-masing mempunyai reaktansi jangkar<br />
20% tiap fasa. Tegangan terbangkit mengandung harmonisa ke-3<br />
dengan amplitudo 10% dari amplitudo fundamental. Kedua<br />
generator bekerja paralel, dan titik netral masing-masing<br />
ditanahkan melalui reaktansi 10%. Hitunglah arus sirkulasi di<br />
pentanahan karena adanya harmonisa ke-3.<br />
Penyelesaian:<br />
Tegangan kedua generator adalah<br />
V ffrms<br />
=10000 V<br />
V fnrms<br />
10000 = = 5774<br />
3<br />
V<br />
Reaktansi jangkar 20% :<br />
X a<br />
Reaktansi pentanahan 10% :<br />
3×<br />
5774<br />
= 20% ×<br />
= 1 Ω<br />
20 000 × 1000<br />
X g<br />
Reaktansi pentanahan untuk urutan nol :<br />
3×<br />
5774<br />
= 10% ×<br />
= 0,5 Ω<br />
20 000 × 1000<br />
X 0<br />
2<br />
2<br />
= 3×<br />
0,5 = 1,5 Ω<br />
Tegangan harmonisa ke-3 adalah 10% dari tegangan fundamental :<br />
V fn3 rms = 577,4<br />
Kedua generator memiliki X a dan X g yang sama besar dengan<br />
tegangan harmonisa ke-3 yang sama besar pula. Arus sirkulasi<br />
akibat tegangan harmonisa ke-3 adalah<br />
I<br />
sirkulasi<br />
8.5. Penyaluran Energi ke Beban<br />
=<br />
V<br />
fn3rms<br />
( X + X )<br />
a<br />
0<br />
=<br />
V<br />
577,4<br />
= 231 A<br />
2,5<br />
Dalam jaringan distribusi, untuk menyalurkan energi ke beban digunakan<br />
penyulang tegangan menengah yang terhubung ke transformator dan dari<br />
transformator ke beban. Suatu kapasitor dihubungkan paralel dengan<br />
beban guna memperbaiki faktor daya. Dalam analisis harmonisa kita<br />
menggunakan model satu fasa dari jaringan tiga fasa.<br />
173
Penyulang. Dalam model satu fasa, penyulang diperhitungkan sebagai<br />
memiliki resistansi, induktansi, kapasitansi. Dalam hal tertentu elemen<br />
ini bisa diabaikan.<br />
Transformator. Perilaku transformator dinyatakan dengan persamaan<br />
1 = E1<br />
+ I1R1<br />
jI1X1<br />
V +<br />
2 = V2<br />
+ I2R2<br />
jI2X2<br />
E +<br />
2<br />
I<br />
I 2<br />
1 = I f + I2′<br />
dengan I2′<br />
= I2<br />
=<br />
1<br />
a<br />
V 1 , I1,<br />
E1,<br />
R1<br />
, X1<br />
berturut turut adalah tegangan terminal, arus, tegangan<br />
induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian primer.<br />
V 2 , I2,<br />
E2,<br />
R2,<br />
X2<br />
berturut-turut adalah tegangan terminal, arus,<br />
tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian<br />
sekunder; V 2 sama dengan tegangan pada beban. E 1 sefasa dengan E 2<br />
karena dibangkitkan (diinduksikan) oleh fluksi yang sama, sehingga nilai<br />
masing-masing sebanding dengan jumlah lilitan, 1 dan 2 . Jika<br />
a = 1 / 2 maka dilihat dari sisi sekunder nilai E 1 menjadi<br />
E 1 ' = E1<br />
/ a , I 1 menjadi I 1 ' = aI 1 , R 1 menjadi R 1 /a 2 , X 1 menjadi X 1 /a 2 .<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator berbeban menjadi seperti pada<br />
Gb.5.7.a. Dengan mengabaikan arus eksitasi I f dan menggabungkan<br />
resistansi dan reaktansi menjadi R T = R 1 ′ + R2<br />
dan X T = X 1 ′ + X 2<br />
maka rangkaian ekivalen menjadi seperti pada Gb.8.7.b.<br />
(a)<br />
R′<br />
X′ 1 I f<br />
1<br />
R X 2 2<br />
V∼<br />
1 E<br />
B V 2<br />
1<br />
X c<br />
R c<br />
I c<br />
B<br />
(b)<br />
Gb.8.7. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator berbeban.<br />
174 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
R T<br />
X T<br />
∼ V 1<br />
V 2
8.6. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Untuk Analisis<br />
Karena resistansi dan reaktansi transformator diposisikan di sisi<br />
sekunder, maka untuk menambahkan penyulang dan sumber harus pula<br />
diposisikan di sisi sekunder. Tegangan sumber V s menjadi V s /a, resistansi<br />
penyulang menjadi R p /a 2 , reaktansi penyulang menjadi X p /a 2 . Jika<br />
resistansi penyulang R p /a 2 maupun resistansi transformator R T diabaikan,<br />
maka rangkaian sumber–penyulang–transformator–beban menjadi<br />
seperti pada Gb.8.8. Bentuk rangkaian yang terakhir ini cukup sederhana<br />
untuk melakukan analisis lebih lanjut. V s /a adalah tegangan sumber.<br />
X T<br />
V s /a B V 2<br />
X p /a 2 X C<br />
B<br />
Gb.8.8. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen penyaluran energi dari sumber ke<br />
beban dengan mengabaikan semua resistansi dalam rangkaian<br />
serta arus eksitasi transformator.<br />
Apabila kita menggunakan rangkaian ekivalen dengan hanya<br />
memandang arus nonlinier, maka sumber tegangan menjadi bertegangan<br />
nol atau merupakan hubung singkat seperti terlihat pada Gb.8.9.<br />
X p /a 2<br />
X T<br />
i beban<br />
X C<br />
Gb.8.9. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen pada pembebanan nonlinier.<br />
Jika kita hanya meninjau komponen harmonisa, dan tetap memandang<br />
bahwa arus harmonisa mengalir ke beban, arah arus harmonisa<br />
digambarkan menuju sisi beban. Namun komponen harmonisa tidak<br />
memberikan transfer energi neto dari sumber ke beban; justru sebaliknya<br />
komponen harmonisa memberikan dampak yang tidak menguntungkan<br />
pada sistem pencatu daya. Oleh karena itu sistem pencatu daya “bisa<br />
melihat” bahwa di arah beban ada sumber arus harmonisa yang mencatu<br />
sistem pencatu daya dan sistem pencatu daya harus memberi tanggapan<br />
terhadap fungsi pemaksa (driving function) ini. Dalam hal terakhir ini<br />
175
sumber arus harmonisa digambarkan sebagai sumber arus yang mencatu<br />
sistem seperti terlihat pada Gb.8.10.<br />
X p /a 2<br />
X T<br />
X C<br />
sumber arus<br />
harmonisa<br />
Gb.8.10. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen untuk analisis arus harmonisa.<br />
8.7 Dampak Harmonisa Pada Piranti<br />
Dalam analisis rangkaian linier, elemen-elemen rangkaian seperti R, L,<br />
dan C, merupakan idealisasi piranti-piranti nyata yang nonlinier. Dalam<br />
bab ini kita akan mempelajari pengaruh adanya komponen harmonisa,<br />
baik arus maupun tegangan, terhadap piranti-piranti sebagai benda nyata.<br />
Pengaruh ini dapat kita klasifikasi dalam dua kategori yaitu:<br />
a). Dampak langsung yang merupakan peningkatan susut energi yaitu<br />
energi “hilang” yang tak dapat dimanfaatkan, yang secara<br />
alamiah berubah menjadi panas. [5,6].<br />
b). Dampak taklangsung yang merupakan akibat lanjutan dari<br />
terjadinya dampak langsung. Peningkatan temperatur pada<br />
konduktor kabel misalnya, menuntut penurunan pengaliran arus<br />
melalui kabel agar temperatur kerja tak terlampaui. Demikian<br />
pula peningkatan temperatur pada kapasitor, induktor, dan<br />
transformator, akan berakibat pada derating dari alat-alat ini dan<br />
justru derating ini membawa kerugian (finansial) yang lebih<br />
besar dibandingkan dengan dampak langsung yang berupa susut<br />
energi.<br />
Dampak taklangsung bukan hanya derating piranti tetapi juga<br />
umur ekonomis piranti. Pembebanan nonlinier tidaklah selalu<br />
kontinyu, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu pada selang<br />
waktu tertentu piranti terpaksa bekerja pada batas tertinggi<br />
temperatur kerjanya bahkan mungkin terlampaui pada saat-saat<br />
tertentu. Kenaikan tegangan akibat adanya harmonisa dapat<br />
menimbulkan micro-discharges bahkan partial-discharges dalam<br />
piranti yang memperpendek umur, bahkan mal-function bisa<br />
terjadi pada piranti.<br />
176 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
8.7.1. Konduktor<br />
Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan<br />
daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan<br />
temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita<br />
sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus<br />
dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan<br />
kuadrat THD arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur.<br />
Misalkan arus efektif nonsinus I rms mengalir melalui konduktor yang<br />
memiliki resistansi R s , maka susut daya di konduktor ini adalah<br />
2 2 2<br />
2<br />
2<br />
P s I rms Rs<br />
= ( I1rms<br />
+ I hrms ) Rs<br />
= I1rms<br />
Rs<br />
( 1 + THDI<br />
)<br />
2<br />
Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor ( THD )<br />
= (8.1)<br />
1+ I pada<br />
(8.1) menunjukkan seberapa besar peningkatan susut daya di konduktor.<br />
Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THD I<br />
tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. Dalam contoh-contoh persoalan<br />
yang diberikan di Bab-4, THD I besar terjadi misalnya pada arus<br />
penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus<br />
melalui saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap<br />
setengah perioda yang mencapai 61%.<br />
COTOH-8.7: Konduktor kabel yang memiliki resistansi total 80 mΩ,<br />
menyalurkan arus efektif 100 A, pada frekuensi 50 Hz. Kabel ini<br />
beroperasi normal pada temperatur 70 o C sedangkan temperatur<br />
sekitarnya adalah 25 o C. Perubahan pembebanan di ujung kabel<br />
menyebabkan munculnya harmonisa pada frekuensi 350 Hz dengan<br />
nilai efektif 40 A. Hitung (a) perubahan susut daya dan (b)<br />
perubahan temperatur kerja pada konduktor.<br />
(a) Susut daya semula pada konduktor adalah<br />
P 1 = 100 2 × 0,08 = 800<br />
Susut daya tambahan karena arus harmonisa adalah<br />
W<br />
Susut daya berubah menjadi<br />
P 7 = 40 2 × 0,08 = 128 W<br />
P kabel<br />
= 800 + 128 = 928 W<br />
177
Dibandingkan dengan susut daya semula, terjadi kenaikan susut<br />
daya sebesar 16%.<br />
(b) Kenaikan temperatur kerja di atas temperatur sekitar semula<br />
adalah (70 o − 25 o ) = 45 o C. Perubahan kenaikan temperatur<br />
adalah<br />
∆T = 0,16 × 45<br />
o =<br />
7,2<br />
Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah<br />
o<br />
T = 45 C + 7,2<br />
o<br />
o<br />
C ≈ 52<br />
dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah<br />
T ′ =<br />
25<br />
o<br />
+ 52<br />
10% di atas temperatur kerja semula.<br />
o<br />
= 77<br />
o<br />
o<br />
C<br />
C<br />
C<br />
COTOH-8.8: Suatu kabel yang memiliki resistansi total 0,2 Ω<br />
digunakan untuk mencatu beban resistif R b yang tersambung di<br />
ujung kabel dengan arus sinusoidal bernilai efektif 20 A. Tanpa<br />
pengubah resistansi beban, ditambahkan penyearah setengah<br />
gelombang (ideal) di depan R b . (a) Hitunglah perubahan susut daya<br />
pada kabel jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tak<br />
berubah. (b) Hitunglah daya yang disalurkan ke beban dengan<br />
mempertahankan arus total pada 20 A; (c) berikan ulasan.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Sebelum pemasangan penyearah, susut daya di kabel adalah<br />
P k<br />
= 20 2 × 0,2 = 80 W<br />
Dengan mempertahankan besar daya tersalur ke beban tidak<br />
berubah, berarti nilai efektif arus fundamental dipertahankan 20<br />
A. THD I pada penyearah setengah gelombang adalah 100%.<br />
Susut daya pada kabel menjadi<br />
P<br />
*<br />
k<br />
= 20<br />
2<br />
× 0,21<br />
Susut daya menjadi dua kali lipat.<br />
2<br />
( + 1 ) = 160 W<br />
178 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
(b) Jika arus efektif total dipertahankan 20 A, maka susut daya di<br />
kabel sama seperti sebelum pemasangan penyearah yaitu<br />
P<br />
k<br />
= 20 2 × 0,2 = 80<br />
Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental<br />
yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total,<br />
yaitu<br />
I<br />
2<br />
rms<br />
2<br />
1ms<br />
2<br />
hms<br />
2<br />
1ms<br />
W<br />
= I + I = I (1 + THD<br />
Dengan THD 100%, maka I 1 2 rms = 20 2 /2<br />
jadi<br />
I<br />
1 rms<br />
= 20/ 2 = 14,14 A<br />
2<br />
) = 20<br />
Jadi jika arus efektif total dipertahankan 20 A, arus fundamental<br />
turun menjadi 70% dari semula. Susut daya di kabel tidak<br />
berubah, tetapi daya yang disalurkan ke beban menjadi<br />
0,7<br />
2 ≈ 0,5 dari daya semula atau turun menjadi 50%-nya.<br />
(c) Jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tetap, susut pada<br />
saluran menjadi dua kali lipat, yang berarti kenaikan temperatur<br />
dua kali lipat. Jika temperatur kerja semula 65 o C pada<br />
temperatur sekitar 25 o , maka temperatur kerja yang baru bisa<br />
mencapai lebih dari 100 o C.<br />
8.7.2. Kapasitor<br />
Jika susut daya pada saluran tidak diperkenankan meningkat<br />
maka penyaluran daya ke beban harus diturunkan sampai<br />
menjadi 50% dari daya yang semula disalurkan; gejala ini dapat<br />
diartikan sebagai derating kabel.<br />
Ulas Ulang Tentang Kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki<br />
permitivitas relatif ε r disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki<br />
luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang<br />
semula (tanpa bahan dielektrik)<br />
A<br />
C 0 = ε 0 d<br />
berubah menjadi<br />
C = C 0 ε r<br />
Jadi kapasitansi meningkat sebesar ε r kali.<br />
2<br />
179
Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor diperlihatkan pada Gb.8.11.<br />
Arus kapasitor terdiri dari dua komponen yaitu arus kapasitif I C ideal<br />
yang 90 o mendahului tegangan kapasitor V C , dan arus ekivalen losses<br />
pada dielektrik I Rp yang sefasa dengan tegangan.<br />
im<br />
IC<br />
δ<br />
I tot<br />
Gb.8.11. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor.<br />
Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah<br />
P = V I = V I tan δ<br />
(8.2)<br />
C<br />
Rp<br />
C<br />
atau<br />
2<br />
0 0<br />
0 r<br />
C<br />
P = ε V ωC<br />
V tan δ = 2πf<br />
V C ε tan δ (8.3)<br />
r<br />
I Rp<br />
tanδ disebut faktor desipasi (loss tangent)<br />
ε r tanδ disebut faktor kerugian (loss factor)<br />
Pengaruh Frekuensi Pada Dielektrik. Nilai ε r tergantung dari frekuensi,<br />
yang secara umum digambarkan seperti pada Gb.8.12.<br />
VC<br />
re<br />
ε r<br />
ε r<br />
loss factor<br />
ε r tanδ<br />
power audio<br />
frekuensi listrik<br />
radio<br />
frekuensi<br />
frekuensi optik<br />
Gb.8.12. ε r dan loss factor sebagai fungsi frekuensi.<br />
Dalam analisis rangkaian, reaktansi kapasitor dituliskan sebagai<br />
180 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
1<br />
X C = 2 πfC<br />
Gb.8.12. memperlihatkan bahwa ε r menurun dengan naiknya frekuensi<br />
yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun<br />
perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi<br />
dibanding dengan penurunan ε r ; oleh karena itu dalam analisis kita<br />
menganggap kapasitansi konstan.<br />
Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam<br />
dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, ε r juga tergantung<br />
dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun<br />
tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena<br />
itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam<br />
dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor<br />
konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi<br />
panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan<br />
kuadrat tegangan.<br />
Tegangan onsinus. Pada tegangan nonsinus, bentuk gelombang<br />
tegangan pada kapasitor berbeda dari bentuk gelombang arusnya. Hal ini<br />
disebabkan oleh perbedaan tanggapan kapasitor terhadap komponen<br />
fundamental dengan tanggapannya terhadap komponen harmonisa.<br />
Situasi ini dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan pada terminal<br />
kapasitor terdapat tegangan nonsinus yang berbentuk:<br />
vC ( t)<br />
= vC1 ( t)<br />
+ vC3(<br />
t)<br />
+ vC5<br />
( t)<br />
+ .........<br />
(8.4)<br />
Arus kapasitor akan berbentuk<br />
iC ( t)<br />
= ω0 CvC1(<br />
t)<br />
+ 3ω0CvC3(<br />
t)<br />
+ 5ω0CvC5<br />
( t)<br />
+ ......... (8.5)<br />
Dengan memperbandingkan (8.4) dan (8.5) dapat dimengerti bahwa<br />
bentuk gelombang tegangan kapasitor berbeda dengan bentuk gelombang<br />
arusnya.<br />
COTOH-8.9: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen<br />
fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta<br />
harmonisa ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V.<br />
Sebuah kapasitor 500 µF dihubungkan pada sumber tegangan ini.<br />
Gambarkan bentuk gelombang tegangan dan arus kapasitor.<br />
181
Penyelesaian:<br />
Jika persamaan tegangan<br />
maka persamaan arus adalah<br />
i C<br />
v C = 150 sin100πt<br />
+ 30sin 300πt<br />
V<br />
= 150×<br />
500×<br />
10<br />
+ 30×<br />
500×<br />
10<br />
−6<br />
−6<br />
× 100π<br />
cos100πt<br />
× 500π<br />
cos 500πt<br />
Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada<br />
Gb.8.13.<br />
200<br />
[V]<br />
[A]<br />
100<br />
-100<br />
0<br />
i C<br />
v C<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02<br />
t [detik]<br />
-200<br />
Gb.8.3. Gelombang tegangan dan arus pada Contoh-8.9.<br />
COTOH-8.10: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen<br />
fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz,<br />
serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki nilai puncak<br />
berturut-turut 30 V dan 5 V. Sebuah kapasitor 500 µF (110 V rms,<br />
50 Hz) dihubungkan pada sumber tegangan ini. Hitung: (a) arus<br />
efektif komponen fundamental; (b) THD arus kapasitor; (c) THD<br />
tegangan kapasitor; (d) jika kapasitor memiliki losses dielektrik<br />
0,6 W pada tegangan sinus rating-nya, hitunglah losses dielektrik<br />
dalam situasi ini.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Reaktansi untuk komponen fundamental adalah<br />
X C1<br />
1<br />
=<br />
2π×<br />
50×<br />
500×<br />
10<br />
= 6,37 Ω<br />
182 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
−6
Arus efektif untuk komponen fundamental<br />
150 / 2<br />
I C1 rms = = 16,7 A<br />
6,37<br />
(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut<br />
adalah<br />
(c)<br />
X<br />
= C1<br />
X<br />
X C3<br />
= 2,12 Ω ; X = C1<br />
C5<br />
= 1,27 Ω<br />
3<br />
5<br />
Arus efektif harmonisa<br />
THD<br />
V<br />
30 / 2<br />
I C3 rms = = 10 A<br />
2,12<br />
I C<br />
V<br />
=<br />
V<br />
5 / 2<br />
=<br />
1,27<br />
5 rms =<br />
THD<br />
I<br />
hrms<br />
1rms<br />
I<br />
=<br />
I<br />
=<br />
hrms<br />
C1rms<br />
30<br />
2<br />
2<br />
150 /<br />
=<br />
2,8 A<br />
5<br />
+<br />
2<br />
2<br />
2<br />
10<br />
2<br />
+ 2,8<br />
16,7<br />
2<br />
= 0,62 atau<br />
62%<br />
21,5<br />
= = 0,20 atau 20 %<br />
106<br />
(d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan<br />
kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V,<br />
losses adalah 0,6 watt.<br />
P 50 Hz,110V =<br />
0,6<br />
W<br />
150 ⎛ 30 ⎞<br />
P 150 Hz,30V = × ⎜ ⎟ × 0,6 = 0,134 W<br />
50 ⎝110<br />
⎠<br />
250 ⎛ 5 ⎞<br />
P 250 Hz,5V = × ⎜ ⎟ × 0,6 = 0,006 W<br />
50 ⎝110<br />
⎠<br />
Losses dielektrik total:<br />
P total<br />
= 0 ,6 + 0,134 + 0,006 = 0,74<br />
2<br />
2<br />
W<br />
183
8.7.3. Induktor<br />
Induktor Ideal. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan<br />
sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik.<br />
Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita<br />
melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan<br />
satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai<br />
tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila<br />
resistansi belitan dapat diabaikan, relasi tegangan-arus induktor untuk<br />
gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi<br />
di f<br />
v = L<br />
dt<br />
dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan i f adalah arus eksitasi.<br />
Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding<br />
dengan i f dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor<br />
sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.<br />
dφ<br />
e i = −<br />
dt<br />
Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v,<br />
sehingga nilai e i sama dengan v.<br />
dφ<br />
di f<br />
e = ei = = L<br />
dt dt<br />
Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara<br />
bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus<br />
i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa.<br />
Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk<br />
sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai<br />
frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk<br />
fasor<br />
V = E i = jωΦ = jωLI<br />
f<br />
dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan<br />
2π<br />
Vrms<br />
= fφmaks<br />
= 4, 44 f φmaks<br />
2<br />
184 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
2π<br />
Vrms<br />
= fLi fmaks = 4, 44 fL i<br />
2<br />
fmaks<br />
Relasi ideal memberikan diagram fasor seperti di<br />
samping ini dimana arus yang membangkitkan<br />
fluksi yaitu I φ sama dengan I f .<br />
I f<br />
Φ<br />
= I φ<br />
V = E i<br />
COTOH-8.11: Melalui sebuah kumparan mengalir arus nonsinus yang<br />
mengandung komponen fundamental 50 Hz, harmonisa ke-3, dan<br />
harmonisa ke-5 dengan amplitudo berturut-turut 50, 10, dan 5 A.<br />
Jika daya input pada induktor diabaikan, dan tegangan pada induktor<br />
adalah 75 V rms, hitung induktansi induktor.<br />
Penyelesaian:<br />
Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen<br />
fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah<br />
V L 1 rms = 4,44×<br />
50×<br />
L×<br />
50 = 11100×<br />
L V<br />
V L 3 rms = 4,44×<br />
150×<br />
L × 10 = 6660×<br />
L V<br />
V L 5 rms = 4,44 × 250 × L × 5 = 5550 × L V<br />
sedangkan<br />
2 2 2<br />
Lrms = V1rms<br />
+ V3rms<br />
V5rms<br />
. Jadi<br />
V +<br />
2<br />
75 = L × 11100 + 6660 + 5550 = 14084, 3× L<br />
Induktansi kumparan adalah<br />
L =<br />
75<br />
14084,3<br />
2<br />
2<br />
= 0,0053 H<br />
Fluksi Dalam Inti. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif V rms dan<br />
frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam<br />
inti dihitung dengan formula<br />
φm<br />
V<br />
= rms<br />
4,44×<br />
f × <br />
185
φ m adalah nilai puncak fluksi, dan adalah jumlah lilitan. Melalui<br />
contoh berikut ini kita akan melihat fluksi dalam inti induktor bila<br />
tegangan yang diterapkan berbentuk nonsinus.<br />
COTOH-8.12: Sebuah induktor dengan 1200 lilitan mendapat<br />
tegangan nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental dengan<br />
nilai efektif V 1rms = 150 V dan harmonisa ke-3 dengan nilai efektif<br />
V 3rms = 50 V yang tertinggal 135 o dari komponen fundamental.<br />
Gambarkan kurva tegangan dan fluksi.<br />
Penyelesaian:<br />
Persamaan tegangan adalah<br />
v L = 150 2 sin ω0t<br />
+ 50 2 sin(5ω0t<br />
−135<br />
Nilai puncak fluksi fundamental<br />
150<br />
φ1 m =<br />
= 563 µ Wb<br />
4,44×<br />
50×<br />
1200<br />
Fluksi φ 1m tertinggal 90 o dari tegangan (lihat Gb.4.4). Persamaan<br />
gelombang fluksi fundamental menjadi<br />
Nilai puncak fluksi harmonisa ke-3<br />
φ1 = 563sin( ω0t<br />
− 90 ) µ Wb<br />
50<br />
3 =<br />
= 62,6 µ Wb<br />
4,44 × 3×<br />
50 × 1200<br />
φ m<br />
Fluksi φ 3m juga tertinggal 90 o dari tegangan harmonisa ke-3;<br />
sedangkan tegangan harmonisa ke-3 tertinggal 135 o dari tegangan<br />
fundamental. Jadi persamaan fluksi harmonisa ke-3 adalah<br />
o<br />
o<br />
φ3 = 62,6sin(3ω0t<br />
−135<br />
− 90 ) = 62,6sin(3ω0t<br />
− 225 ) µ Wb<br />
o<br />
o<br />
)<br />
o<br />
Persamaan fluksi total menjadi<br />
186 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
o<br />
φ = 563sin(<br />
ω0 t − 90 ) + 62,6sin(3ω0t<br />
− 225) µ Wb<br />
Kurva tegangan dan fluksi terlihat pada Gb.8.14.
600<br />
[V]<br />
400<br />
[µWb]<br />
200<br />
0<br />
-200<br />
v L<br />
φ<br />
t [detik]<br />
0 0.01 0.02 0.03 0.04<br />
-400<br />
-600<br />
Gb.8.14. Kurva tegangan dan fluksi.<br />
Rugi-Rugi Inti. Dalam induktor nyata, rugi inti menyebabkan fluksi<br />
magnetik yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar γ yang<br />
disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.8.15. dimana<br />
arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ. Diagram fasor ini digambar<br />
dengan memperhitungkan rugi hiterisis<br />
Ic<br />
V = Ei<br />
Iφ<br />
γ<br />
Φ<br />
I f<br />
Gb.8.15. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)<br />
Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti<br />
transformator, I f dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ<br />
yang diperlukan untuk membangkitkan φ, dan I c yang diperlukan untuk<br />
mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I φ + I c .<br />
Komponen I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan<br />
memberikan rugi-rugi inti<br />
o<br />
Pc<br />
= IcV<br />
= VI f cos(90 − γ)<br />
watt (8.6)<br />
Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus<br />
pusar. Rugi histerisis dinyatakan dengan<br />
Ph = whvf<br />
(8.7)<br />
187
P h rugi histerisis [watt], w h luas loop kurva histerisis dalam<br />
[joule/m 3 .siklus], v volume, f frekuensi. Untuk frekuensi rendah,<br />
Steinmetz memberikan formulasi empiris<br />
n<br />
( K B )<br />
P h = vf h m<br />
(8.8)<br />
di mana B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, n tergantung dari<br />
jenis bahan dengan nilai yang terletak antara 1,5 sampai 2,5 dan K h yang<br />
juga tergantung jenis bahan (untuk silicon sheet steel misalnya, K h =<br />
0,001). Nilai-nilai empiris ini belum didapatkan untuk frekuensi<br />
harmonisa.<br />
Demikian pula halnya dengan persamaan empiris untuk rugi arus pusar<br />
dalam inti<br />
P e = Ke<br />
f Bm τ v<br />
(8.9)<br />
188 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
2<br />
di mana K e konstanta yang tergantung material, f frekuensi perubahan<br />
fluksi [Hz], B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, τ ketebalan<br />
laminasi inti, dan v adalah volume material inti.<br />
Rugi Tembaga. Apabila resistansi belitan tidak diabaikan, V ≠ E 1 .<br />
Misalkan resistansi belitan adalah R 1 , maka<br />
2<br />
V E + I<br />
2<br />
= 1 f R 1<br />
(8.10)<br />
Diagram fasor dari keadaan terakhir, yaitu dengan memperhitungkan<br />
resistansi belitan, diperlihatkan pada Gb.8.16.<br />
Gb.8.16. Diagram fasor induktor (ada rugi tembaga).<br />
Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain<br />
untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya<br />
pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu . Jadi<br />
2<br />
f<br />
P = P + P = P + I R = VI cosθ<br />
(8.11)<br />
in<br />
I φ<br />
c<br />
Φ<br />
I c<br />
θ<br />
I<br />
cu<br />
f<br />
dengan V dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cosθ adalah faktor daya.<br />
c<br />
E i<br />
I f R 1<br />
V<br />
1<br />
f
8.7.4. Transformator<br />
Ulas Ulang Transformator Berbeban. <strong>Rangkaian</strong> transformator<br />
berbeban dengan arus beban I 2 , diperlihatkan oleh Gb.8.17. Tegangan<br />
induksi E 2 (yang telah timbul dalam keadaan tranformator tidak<br />
berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian sekunder dan memberikan<br />
arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini membangkitkan fluksi magnetik yang<br />
melawan fluksi bersama φ (sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian<br />
akan bocor, φ l2 ; φ l2 yang sefasa dengan I 2 menginduksikan tegangan<br />
E l2 di belitan sekunder yang 90 o mendahului φ l2 .<br />
I 1<br />
V 1<br />
φ<br />
I2<br />
φ l1 φ l2<br />
V 2<br />
Gb.8.17. Transformator berbeban.<br />
Dengan adanya perlawanan fluksi yang dibangkitkan oleh arus di belitan<br />
sekunder itu, fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan<br />
menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung<br />
mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang<br />
tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer<br />
yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanya berupa arus<br />
magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator berbeban.<br />
Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama<br />
φ dipertahankan dan E 1 juga tetap seperti semula. Dengan demikian<br />
maka persamaan rangkaian di sisi primer tetap terpenuhi.<br />
Karena pertambahan arus primer sebesar<br />
I1 − I f adalah untuk<br />
mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 agar φ<br />
dipertahankan, maka haruslah<br />
Pertambahan arus primer<br />
( I − I ) − I 0<br />
1 1 f 2 2 =<br />
(8.12)<br />
I1 − I f disebut arus penyeimbang yang akan<br />
mempertahankan φ. Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus<br />
189
penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin besar pula arus primer.<br />
Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder.<br />
Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer,<br />
φ l1 , yang menginduksikan tegangan E l1 . Tegangan induksi yang<br />
dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu E l1 dan E l2 , dinyatakan<br />
dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada<br />
reaktansi bocor ekivalen, X 1 dan X 2 , masing-masing di rangkaian primer<br />
dan sekunder. Jika resistansi belitan primer adalah R 1 dan belitan<br />
sekunder adalah R 2 , maka kita peroleh hubungan<br />
untuk rangkaian di sisi primer<br />
V E I R El E I + I<br />
1 = 1 + 1 1 + 1 = 1 + 1R1<br />
j 1X1<br />
(8.13)<br />
untuk rangkaian di sisi sekunder<br />
E R l R + jˆ I X<br />
2 = V2<br />
+ I2<br />
2 + E 2 = V2<br />
+ I2<br />
2 2 2 (8.14)<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen. Secara umum, rangkaian ekivalen adalah<br />
penafsiran secara rangkaian elektrik dari suatu persamaan matematik<br />
yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator,<br />
rangkaian ekivalen diperoleh dari tiga persamaan yang diperoleh di atas.<br />
Dengan relasi E 2 = E1<br />
/ a = E1<br />
′ dan I 2 = a I1<br />
= I1<br />
′ di mana<br />
a = 1 / 2 , tiga persamaan tersebut di atas dapat kita tulis kembali<br />
sebagai satu set persamaan sebagai berikut.<br />
Untuk rangkaian di sisi sekunder, (8.14) kita tuliskan<br />
E1<br />
E 2 = = V2<br />
+ I2R2<br />
+ jI<br />
2 X 2<br />
a<br />
Dari persamaan untuk rangkaian sisi primer (4.13), kita peroleh<br />
E<br />
1 = V1<br />
− I1R1<br />
− jI1X1<br />
sehingga persamaan untuk rangkaian sekunder dapat kita tuliskan<br />
R − j<br />
E1<br />
V1<br />
I1<br />
1 I1<br />
1<br />
E 2 = =<br />
= V2<br />
+ I 2R2<br />
+ jI<br />
2 X 2<br />
a<br />
−<br />
a<br />
X<br />
190 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Karena<br />
I 2<br />
I 1 = maka persamaan ini dapat kita tuliskan<br />
a<br />
V<br />
a<br />
1<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
dengan<br />
2<br />
I R<br />
+ I 2 R2<br />
+ jI<br />
2 X 2 +<br />
a<br />
⎛ R1<br />
⎞ ⎛<br />
+<br />
⎜ R +<br />
⎟ I + j<br />
⎜ X<br />
2 1<br />
2<br />
jI<br />
X<br />
+<br />
a<br />
X1<br />
⎞<br />
+<br />
⎟ I<br />
2 1<br />
2<br />
2 2 2 2 2 2 2<br />
⎝ a ⎠ ⎝ a ⎠<br />
2 + ( R 2 + R 1 ′ ) I 2 + j ( X 2 + X 1 ′ ) I 2<br />
R1<br />
X<br />
R 1 ′ = ; X<br />
2 1′<br />
=<br />
a a<br />
1<br />
2<br />
(8.15)<br />
Persamaan (8.15) ini, bersama dengan persamaan (8.12) yang dapat kita<br />
tuliskan I 2 = aI1<br />
− aI<br />
f = I1<br />
′ − aI<br />
f , memberikan rangkaian ekivalen<br />
untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang<br />
digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar 2<br />
sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu,<br />
jika I f diabaikan terhadap I 1 maka kesalahan dalam menghitung I 2<br />
bisa dianggap cukup kecil.<br />
Pengabaian ini akan membuat I 2 = a I1<br />
= I1′<br />
. Dengan pendekatan ini,<br />
dan persamaan (8.15), kita memperoleh rangkaian ekivalen yang<br />
disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.4.8. memperlihatkan<br />
rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram fasornya.<br />
I 2 = I′ 1<br />
∼<br />
R e = R 2 +R′ 1 jX e = j(X 2 + X′ 1 )<br />
V 1 /a V 2<br />
V 2<br />
V 1 /a<br />
jI 2 X e<br />
I 2<br />
I 2 R e<br />
Gb.8.18. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen transformator dan diagram fasor.<br />
191
Fluksi Dan Rugi-Rugi Karena Fluksi. Seperti halnya pada induktor,<br />
transformator memiliki rugi-rugi inti, yang terdiri dari rugi hiterisis dan<br />
rugi arus pusar dalam inti. Fluksi magnetik, rugi-rugi histerisis, dan rugirugi<br />
arus pusar pada inti dihitung seperti halnya pada induktor.<br />
Selain rugi-rugi tembaga pada belitan sebesar P cu = I 2 R, pada belitan<br />
terjadi rugi-rugi tambahan arus pusar, P l , yang ditimbulkan oleh fluksi<br />
bocor. Sebagaimana telah dibahas, fluksi bocor ini menimbulkan<br />
tegangan induksi E l1 dan E l2 , karena fluksi ini melingkupi sebagian<br />
belitan; E l1 dan E l2 dinyatakan dengan suatu besaran ekivalen yaitu<br />
tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor ekivalen, X 1 dan X 2 . Selain<br />
melingkupi sebagian belitan, fluksi bocor ini juga menembus konduktor<br />
belitan dan menimbulkan juga arus pusar dalam konduktor belitan; arus<br />
pusar inilah yang menimbulkan rugi-rugi tambahan arus pusar, P l .<br />
Berbeda dengan rugi arus pusar yang terjadi dalam inti, yang dapat<br />
diperkecil dengan cara membangun inti dari lapisan lembar tipis material<br />
magnetik, rugi arus pusar pada konduktor tidak dapat ditekan dengan<br />
cara yang sama. Ukuran konduktor harus tetap disesuaikan dengan<br />
kebutuhan untuk mengalirkan arus; tidak dapat dibuat berpenampang<br />
kecil. Oleh karena itu rugi-rugi arus pusar ini perlu diperhatikan.<br />
Rugi arus pusar P l diperhitungkan sebagai proporsi tertentu dari rugi<br />
tembaga yang ditimbulkan oleh arus tersebut, dengan tetap mengingat<br />
bahwa rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat ferkuensi. Proporsi ini<br />
berkisar antara 2% sampai 15% tergantung dari ukuran transformator.<br />
Kita lihat dua contoh berikut.<br />
Contoh-8.13: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />
0,05 Ω mengalir arus sinusoidal murni bernilai efektif 40 A.<br />
Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar yang<br />
diakibatkan oleh arus ini adalah 5% dari rugi tembaga P cu = I 2 R.<br />
Penyelesaian:<br />
Rugi tembaga<br />
P cu<br />
= 40 2 × 0,05 = 80<br />
W<br />
Rugi arus pusar 5 % × P cu = 0.05×<br />
80 = 4 W<br />
Rugi daya total pada belitan 80 + 4 = 84 W.<br />
192 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Contoh-8.14: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi<br />
0,05 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen<br />
fundamental bernilai efektif 40 A, dan harmonisa ke-7 bernilai<br />
efektif 6 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus<br />
pusar diperhitungkan 10% dari rugi tembaga P cu = I 2 R.<br />
Penyelesaian:<br />
Rugi tembaga total adalah<br />
2<br />
Pcu<br />
= I rmsR = (40<br />
Rugi arus pusar komponen fundamental<br />
2<br />
2<br />
2<br />
+ 6 ) × 0,05 = 81,8 W<br />
Pl<br />
1 = 0,1 × I1rmsR<br />
= 0,1 × 40 × 0,05 = 8 W<br />
Rugi arus pusar harmonisa ke-7<br />
2<br />
2<br />
Pl<br />
7 = 0,1 × 7 × I 7rms<br />
R = 0,1 × 7 × 6 × 0,05 = 8,8 W<br />
Rugi daya total adalah<br />
P total = Pcu<br />
+ Pl<br />
1 + Pl<br />
7 = 81,8 + 8 + 8,8 = 98,6 W<br />
Contoh-8.14 ini menunjukkan bahwa walaupun arus harmonisa memiliki<br />
nilai puncak lebih kecil dari nilai puncak arus fundamental, rugi arus<br />
pusar yang ditimbulkannya bisa memiliki proporsi cukup besar. Hal ini<br />
bisa terjadi karena rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi.<br />
Faktor K. Faktor K digunakan untuk menyatakan adanya rugi arus pusar<br />
pada belitan. Ia menunjukkan berapa rugi-rugi arus pusar yang timbul<br />
secara keseluruhan.<br />
Nilai efektif total arus nonsinus yang dapat menimbulkan rugi arus pusar<br />
adalah<br />
2<br />
2<br />
k<br />
2<br />
I Trms = ∑ I nrms A<br />
(8.16)<br />
n=<br />
1<br />
dengan k adalah tingkat harmonisa tertinggi yang masih diperhitungkan.<br />
Dalam relasi (8.16) kita tidak memasukkan komponen searah karena<br />
komponen searah tidak menimbulkan rugi arus pusar.<br />
Rugi arus pusar total adalah jumlah dari rugi arus pusar yang<br />
ditimbulkan oleh tiap-tiap komponen arus dan tiap-tiap komponen arus<br />
2<br />
193
menimbulkan rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi dan<br />
kuadrat arus masing-masing.<br />
Jika arus nonsinus ini mengalir pada belitan yang memiliki resistansi R 0 ,<br />
dan rugi-rugi arus pusar tiap komponen arus dinyatakan dalam proporsi g<br />
terhadap rugi tembaga yang ditimbulkannya, maka rugi arus pusar total<br />
adalah<br />
k<br />
2 2<br />
P K = gR0∑<br />
n I nrms W<br />
(8.17)<br />
n=<br />
1<br />
Rugi tembaga total yang disebabkan oleh arus ini adalah<br />
k<br />
2 2<br />
P cu = R0∑<br />
I nrms = R0ITrms<br />
n=<br />
1<br />
W<br />
(8.18)<br />
Dengan (8.18) maka (8.17) dapat ditulis sebagai<br />
dengan<br />
2<br />
P K = gKR0ITrms<br />
W<br />
(8.19)<br />
K<br />
k<br />
2 2<br />
∑ n I nrms<br />
n=<br />
1<br />
= (8.20)<br />
2<br />
ITrms<br />
K disebut faktor rugi arus pusar (stray loss factor).<br />
Faktor K dapat dituliskan sebagai<br />
k 2 k<br />
2 I nrms 2 2<br />
K = ∑ n = ∑ n I<br />
2<br />
n(<br />
pu)<br />
n=<br />
1 ITrms<br />
n=<br />
1<br />
I nrms<br />
dengan I n(<br />
pu)<br />
=<br />
ITrms<br />
(8.21)<br />
Faktor K bukanlah karakteristik transformator melainkan karakteristik<br />
sinyal. Walaupun demikian suatu transformator harus dirancang untuk<br />
mampu menahan pembebanan nonsinus sampai batas tertentu.<br />
194 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
COTOH-8.15: Di belitan primer transformator yang memiliki<br />
resistansi 0,08 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari<br />
komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-11<br />
bernilai efektif berturut-turut 40 A, 15 A, dan 5 A. Hitung: (a) nilai<br />
efektif arus total; (b) faktor K; (c) rugi daya total pada belitan ini<br />
jika rugi arus pusar diperhitungkan 5% dari rugi tembaga.<br />
Penyelesaian:<br />
(a) Nilai efektif arus total adalah<br />
(b) Faktor K adalah<br />
I Trms<br />
=<br />
40<br />
2<br />
+ 15<br />
2<br />
+ 5<br />
2<br />
= 43 A<br />
40<br />
K =<br />
2<br />
+ 3<br />
2<br />
× 15<br />
43<br />
2<br />
2<br />
+ 11<br />
2<br />
× 5<br />
2<br />
= 3,59<br />
(c) Rugi daya total P tot , terdiri dari rugi tembaga P cu dan rugi arus<br />
pusar P l .<br />
P cu<br />
Pl<br />
= 43 2 × 0,08 = 148 W<br />
= gPcu<br />
K = 0 ,05 × 148×<br />
3,59 = 26,6<br />
P tot = 148 + 26,6 = 174,6 W<br />
W<br />
8.7.5. Tegangan Maksimum Pada Piranti<br />
Kehadiran komponen harmonisa dapat menyebabkan piranti<br />
mendapatkan tegangan lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini bisa<br />
terjadi pada piranti-piranti yang mengandung R, L, C, yang mengandung<br />
harmonisa sekitar frekuensi resonansinya. Berikut ini kita lihat sebuah<br />
contoh.<br />
COTOH-8.16: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai<br />
resistansi internal 1 Ω dan reaktansi internal 6,5 Ω. Sumber ini<br />
mencatu beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total<br />
2,9µF. Tegangan terbangkit di sumber adalah<br />
e = 17000sin<br />
ω0t<br />
+ 170sin13ω0t<br />
. Dalam keadaan tak ada beban<br />
terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada<br />
kabel.<br />
195
Penyelesaian:<br />
Tegangan mengandung harmonisa ke-13. Pada frekuensi<br />
fundamental terdapat impedansi internal<br />
Z ernal = 1+<br />
6,5 Ω ; Z = 1 + 6,5 = 6,58 Ω<br />
1int<br />
j<br />
1int<br />
Pada harmonisa ke-13 terdapat impedansi<br />
2<br />
2<br />
Z 13int<br />
= 1 + j13<br />
× 6,5 Ω ; Z 13int = 1 + (13×<br />
6,5) = 84,5 Ω<br />
Impedansi kapasitif kabel<br />
− j<br />
Z C 1 =<br />
= − 1097,6 Ω<br />
−6<br />
ω0<br />
× 2,9 × 10<br />
j ;<br />
− j<br />
Z C 13 =<br />
= − 84,4 Ω<br />
−6<br />
13 × ω0<br />
× 2,9 × 10<br />
j<br />
Impedansi total rangkaian seri R-L-C<br />
Z1 tot = 1 + j6,5<br />
− j1097,6<br />
Ω ; Z 1tot = 1091,1 Ω<br />
Z13 tot = 1 + j13×<br />
6,5 − j84,4<br />
Ω ; Z 13tot = 1,0 Ω<br />
Tegangan fundamental kabel untuk frekuensi fundamental<br />
ZC1<br />
1097,6<br />
V 1 m = × e1m<br />
= × 17000 = 17101 V<br />
Z1tot<br />
1091,1<br />
ZC13<br />
84,4<br />
V 13 m = × e13m<br />
= × 170 = 14315 V<br />
Z13tot<br />
1,0<br />
Nilai puncak V 1m dan V 13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada<br />
seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang<br />
penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam<br />
setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang<br />
diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental<br />
dantegangan maksimum harmonisa ke-13.<br />
V m = V1m<br />
+ V13m<br />
= 17101 + 14315 = 31416 V ≈ 31,4 kV<br />
Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum<br />
fundamental yang hanya 17 kV. Gambar berikut ini<br />
memperlihatkan bentuk gelombang tegangan.<br />
2<br />
2<br />
196 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
40<br />
[kV]<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-10<br />
-20<br />
-30<br />
-40<br />
8.7.6. Partial Discharge<br />
v 1 +v 13<br />
0 0.005 0.01 0.015 0.02 [detik]<br />
v 1<br />
Gb.8.19. Bentuk gelombang tegangan.<br />
Contoh-8.16 memberikan ilustrasi bahwa adanya hamonisa dapat<br />
menyebabkan tegangan maksimum pada suatu piranti jauh melebihi<br />
tegangan fundamentalnya. Tegangan lebih yang diakibatkan oleh adanya<br />
harmonisa seperti ini bisa menyebabkan terjadinya partial discharge<br />
pada piranti, walaupun sistem bekerja normal dalam arti tidak ada<br />
gangguan. Jika hal ini terjadi umur piranti akan sangat diperpendek yang<br />
akan menimbulkan kerugtian finansial besar.<br />
8.7.7. Alat Ukur Elektromekanik<br />
Daya sumber diperoleh dengan mengalikan tegangan sumber dan arus<br />
sumber. Proses ini dalam praktik diimplementasikan misalnya pada alat<br />
ukur tipe elektrodinamis dan tipe induksi. Pada wattmeter<br />
elektrodinamis, bagian pengukurnya terdiri dari dua kumparan, satu<br />
kumparan diam dan satu kumparan berputar. Satu kumparan<br />
dihubungkan ke tegangan dan satu kumparan dialiri arus beban. Jika<br />
masing-masing arus di kedua kumparan adalah iv<br />
= k1 Iv<br />
sin ωt<br />
dan<br />
ii<br />
= k2Ii<br />
sin( ωt<br />
+ ϕ)<br />
, maka kedua arus menimbulkan medan magnit<br />
yang sebanding dengan arus di kedua kumparan. Momen sesaat yang<br />
terjadi sebagai akibat interaksi medan magnetik kedua kumparan<br />
sebanding dengan perkalian kedua arus<br />
me<br />
= k3Iv<br />
sin ωt<br />
× Ii<br />
sin( ωt<br />
+ ϕ)<br />
Momen sesaat ini, melalui suatu mekanisme tertentu, menyebabkan<br />
defleksi jarum penunjuk (yang didukung oleh kumparan yang berputar) ζ<br />
yang menunjukkan besar daya pada sistem arus bolak balik.<br />
197
ζ =<br />
kI vrms I irms cosϕ<br />
Pada alat ukur tipe induksi, seperti kWh-meter elektromekanik yang<br />
masih banyak digunakan,<br />
kumparan tegangan<br />
dihubungkan pada<br />
tegangan sumber<br />
sementara kumparan arus<br />
dialiri arus beban. Bagan<br />
alat ukur ini terlihat pada<br />
Gb.8.20.<br />
S 1<br />
S 2 S 1<br />
S 2<br />
Gb.8.20. Bagan KWh-meter tipe induksi.<br />
Masing-masing kumparan menimbulkan fluksi magnetik bolak-balik<br />
yang menginduksikan arus bolak-balik di piringan aluminium. Arus<br />
induksi dari kumparan arus ber-interaksi dengan fluksi dari kumparan<br />
tegangan dan arus induksi dari kumparan tegangan berinteraksi dengan<br />
fluksi magnetik kumpran arus. Interaksi arus induksi dan fluksi magnetik<br />
tersebut menimbulkan momen putar pada piringan sebesar<br />
M e = kfΦ<br />
vΦi<br />
sin β<br />
piringan Al<br />
di mana f adalah frekuensi, Φ v dan Φ i fluksi magnetik efektif yang<br />
ditimbulkan oleh kumparan tegangan dan kumparan arus, β adalah<br />
selisih sudut fasa antara kedua fluksi magnetik bolak-balik tersebut, dan<br />
k adalah suatu konstanta. Momen putar ini dilawan oleh momen lawan<br />
yang diberikan oleh suatu magnet permanen sehingga piringan berputar<br />
dengan kecepatan tertentu pada keadaan keseimbangan antara kedua<br />
momen. Perputaran piringan menggerakkan suatu mekanisme<br />
penghitung.<br />
Hadirnya arus harmonisa di kumparan arus, akan muncul juga pada Φ i .<br />
Jika Φ v berbentuk sinus murni sesuai dengan bentuk tegangan maka M e<br />
akan berupa hasil kali tegangan dan arus komponen fundamental.<br />
Frekuensi harmonisa sulit untuk direspons oleh kWh meter tipe induksi.<br />
Pertama karena kelembaman sistem yang berputar, dan kedua karena<br />
kWh-meter ditera pada frekuensi f dari komponen fundamental, misalnya<br />
50 Hz. Dengan demikian penunjukkan alat ukur tidak mencakup<br />
kehadiran arus harmonisa, walaupun kehadiran harmonisa bisa<br />
menambah rugi-rugi pada inti kumparan arus.<br />
198 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
BAB 9<br />
Pembebanan Tak Seimbang<br />
Pada pembebanan seimbang, model satu fasa mempermudah<br />
analisis sistem tiga fasa. Apabila beban tidak seimbang, sistem<br />
akan mengandung fasor-fasor tidak seimbang, baik arus<br />
maupun tegangannya. Apabila fasor-fasor tidak seimbang<br />
tersebut dapat diuraikan kedalam komponen-komponen yang<br />
seimbang maka masing-masing komponen seimbang dapat<br />
dianalisis menggunakan model satu fasa. Jadi kita memandang<br />
sistem tak seimbang sebagai superpoisi dari sistem seimbang.<br />
Komponen-komponen seimbang itu disebut komponen simetris.<br />
Dalam pembahasan komponen simetris ini kita hanya akan<br />
melihat sistem tiga fasa.<br />
Bahwa fasor tegangan (ataupun arus) dalam sistem tak<br />
seimbang dapat dinyatakan sebagai jumlah dari fasor tegangan<br />
(atau arus-arus) yang seimbang dikemukakan oleh C.L.<br />
Fortesque memaparkan dalam papernya, pada 1918.<br />
9.1. Pernyataan Komponen Simetris<br />
Hanya ada tiga kemungkinan fasor tiga fasa seimbang yang<br />
dapat digunakan untuk menyatakan komponen-komponen dari<br />
fasor tiga fasa tak seimbang, yaitu:<br />
a) Fasor tiga fasa seimbang urutan positif, ABC.<br />
b) Fasor tiga fasa seimbang urutan negatif, CBA.<br />
c) Fasor tiga fasa tanpa beda sudut fasa yang disebut<br />
urutan nol<br />
Ketiga sistem fasor tersebut diperlihatkan pada Gb.9.1.<br />
199
a) Fasor urutan positif (ABC):<br />
V<br />
V<br />
V<br />
1A<br />
1B<br />
1C<br />
= V ∠0<br />
1<br />
1<br />
1<br />
o<br />
o<br />
= V ∠−120<br />
o<br />
= V ∠− 240<br />
V 1C<br />
V 1B<br />
Im<br />
o<br />
120<br />
o<br />
120<br />
V 1A<br />
Re<br />
b) Fasor urutan negatif (CBA)<br />
V<br />
V<br />
V<br />
2A<br />
2B<br />
2C<br />
2<br />
2<br />
2<br />
o<br />
= V ∠0<br />
o<br />
= V ∠+ 120<br />
o<br />
= V ∠+ 240<br />
V 2B<br />
V 2C<br />
Im<br />
o<br />
120<br />
o<br />
120<br />
V 2A<br />
Re<br />
c) Fasor urutan nol<br />
V<br />
V = V ∠θ<br />
0A<br />
= V0B<br />
= V0C<br />
= V0<br />
Im<br />
V<br />
V<br />
0A<br />
0B<br />
0C<br />
0<br />
= V ∠θ<br />
0<br />
= V ∠θ<br />
0<br />
Re<br />
Operator a. Untuk menyatakan komponen simetris kita<br />
menggunakan operator a yaitu<br />
o<br />
a = 1∠120<br />
(9.1)<br />
Operator semacam ini telah kita kenal yaitu operator j di mana<br />
o<br />
j = 1∠90 .<br />
Dengan menggunakan operator a maka fasor urutan positif<br />
dapat kita tuliskan<br />
V<br />
2<br />
1 A = V1<br />
; V1B<br />
= a V1<br />
; V1C<br />
= aV1<br />
(9.2)<br />
200 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
dan fasor urutan negatif sebagai<br />
V<br />
2<br />
2 A = V2<br />
; V2B<br />
= aV2<br />
; V2C<br />
= a V2<br />
(9.3)<br />
Fasor Tak Seimbang. Fasor tak seimbang merupakan jumlah<br />
dari komponen-komponen simetrisnya.<br />
V<br />
V<br />
V<br />
A<br />
B<br />
C<br />
= V<br />
= V<br />
= V<br />
0A<br />
0B<br />
0C<br />
+ V<br />
+ V<br />
+ V<br />
1A<br />
1B<br />
1C<br />
+ V<br />
+ V<br />
+ V<br />
2A<br />
2B<br />
2C<br />
= V<br />
0<br />
= V<br />
0<br />
= V<br />
0<br />
+ V + V<br />
1<br />
2<br />
+ aV<br />
1<br />
1<br />
2<br />
+ a V + aV<br />
yang dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks<br />
+ a<br />
2<br />
V<br />
2<br />
2<br />
(9.4)<br />
⎡VA<br />
⎤ ⎡1<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢VB<br />
⎥ ⎢<br />
1<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
VC<br />
⎦ ⎣1<br />
1<br />
2<br />
a<br />
a<br />
1 ⎤ ⎡V0<br />
⎤<br />
⎢ ⎥<br />
a<br />
⎥<br />
⎥ ⎢V1<br />
⎥<br />
2<br />
a ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎦ ⎣<br />
V2<br />
⎦<br />
(9.5)<br />
9.2. Mencari Komponen Simetris<br />
Komponen-komponen simetris adalah besaran-besaran hasil<br />
olah matematik. Ia tidak diukur dalam praktek. Yang terukur<br />
dalam praktek adalah besaran-besaran yang tak seimbang yaitu<br />
V A , VB<br />
, VC<br />
. Komponen simetris dapat kita cari dari (9.4)<br />
dengan menjumlahkan fasor-fasor dan dengan mengingat<br />
bahwa (1+a+a 2 ) = 0, yaitu<br />
V<br />
V<br />
V<br />
A<br />
B<br />
C<br />
= V<br />
0<br />
= V<br />
0<br />
= V<br />
0<br />
+ V + V<br />
1<br />
2<br />
+ aV<br />
( V + V V )<br />
1<br />
V = +<br />
3<br />
1<br />
1<br />
2<br />
+ a V + aV<br />
+ a<br />
2<br />
V<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
0 + (1 + a + a)<br />
V1<br />
+ (1 + a + ) V 3<br />
V + V + V = 3V<br />
a = V<br />
A<br />
B<br />
C<br />
+<br />
0 A B C<br />
(9.6)<br />
0<br />
201
Jika baris ke-dua (9.4) kita kalikan dengan a dan baris ke-tiga<br />
kita kalikan dengan a 2 , kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:<br />
V<br />
aV<br />
a<br />
A<br />
B<br />
2<br />
VC<br />
2<br />
V<br />
= V<br />
0<br />
= aV<br />
= a<br />
1<br />
3<br />
2<br />
( V + aV<br />
+ a V )<br />
1 = A B C<br />
(9.7)<br />
Jika baris ke-dua (9.4) kita kalikan dengan a 2 dan baris ke-tiga<br />
kita kalikan dengan a, kemudian kita jumlahkan, kita peroleh:<br />
2<br />
( V + a V aV<br />
)<br />
1<br />
V 2 = A B +<br />
3<br />
C<br />
(9.8)<br />
Relasi (9.6), (9.7), (9.8) kita kumpulkan dalam satu penulisan<br />
matriks:<br />
⎡V0<br />
⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎢V1<br />
⎥ =<br />
⎢ ⎥<br />
⎣<br />
V2<br />
⎦<br />
+ V + V<br />
0<br />
2<br />
1<br />
3<br />
V<br />
1<br />
+ a<br />
0<br />
⎡1<br />
⎢<br />
⎢<br />
1<br />
⎢⎣<br />
1<br />
3<br />
V<br />
+ a<br />
1<br />
3<br />
1<br />
2<br />
2<br />
a<br />
2<br />
a<br />
+ a<br />
V<br />
1 ⎤ ⎡VA<br />
⎤<br />
2 ⎢ ⎥<br />
a<br />
⎥<br />
⎥ ⎢VB<br />
⎥<br />
a ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎦ ⎣<br />
VC<br />
⎦<br />
(9.9)<br />
Dengan demikian kita mempunyai dua relasi antara besaran<br />
fasa dan komponen simetrisnya yaitu (9.5) dan (9.9) yang dapat<br />
kita tuliskan dengan lebih kompak sebagai berikut.<br />
1<br />
0<br />
2<br />
V<br />
+ a<br />
V + aV<br />
+ a V = ( 1 + a + a ) V + 3V<br />
+ (1 + a + a)<br />
V = 3V<br />
A<br />
2<br />
B<br />
V<br />
a<br />
aV<br />
C<br />
C<br />
= V<br />
A<br />
2<br />
VB<br />
0<br />
= a<br />
= aV<br />
+ V + V<br />
2<br />
0<br />
V<br />
1<br />
0<br />
+ a<br />
+ a<br />
2<br />
2<br />
V<br />
2<br />
4<br />
1<br />
V<br />
1<br />
3<br />
+ a<br />
+ a<br />
V + a V + aV<br />
= ( 1+<br />
a + a)<br />
V + (1 + a + a ) V + 3V<br />
= 3V<br />
A<br />
B<br />
C<br />
0<br />
V<br />
2<br />
4<br />
3<br />
2<br />
V<br />
1<br />
V<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
+<br />
+<br />
1<br />
2<br />
2<br />
1<br />
2<br />
202 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
dengan<br />
[ T]<br />
⎡1<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
1<br />
⎢⎣<br />
1<br />
1<br />
~<br />
V<br />
~<br />
V<br />
1 ⎤<br />
a<br />
⎥<br />
⎥<br />
2<br />
a ⎥⎦<br />
ABC<br />
012<br />
=<br />
=<br />
~<br />
[ T]<br />
V012<br />
−1<br />
~<br />
[ T] VABC<br />
(9.10)<br />
2<br />
−1<br />
2<br />
a dan [ T ] =<br />
⎢<br />
1 a a<br />
⎥<br />
(9.10.a)<br />
2<br />
a<br />
1<br />
3<br />
⎡1<br />
⎢<br />
⎢⎣<br />
1<br />
a<br />
1<br />
1 ⎤<br />
⎥<br />
a ⎥⎦<br />
Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh relasi untuk<br />
arus<br />
⎡I<br />
A ⎤ ⎡1<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢I<br />
B ⎥ ⎢<br />
1<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
IC<br />
⎦ ⎣1<br />
1<br />
2<br />
a<br />
a<br />
1 ⎤ ⎡I0<br />
⎤ ⎡I0<br />
⎤<br />
⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
a<br />
⎥ ⎢I1<br />
⎥ dan ⎢I1<br />
⎥ =<br />
2<br />
a ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎦ ⎣<br />
I ⎢ ⎥<br />
2 ⎦ ⎣<br />
I 2 ⎦<br />
1<br />
3<br />
⎡1<br />
⎢<br />
⎢<br />
1<br />
⎢⎣<br />
1<br />
1<br />
a<br />
2<br />
a<br />
1 ⎤ ⎡I<br />
A ⎤<br />
2 ⎢ ⎥<br />
a<br />
⎥<br />
⎥ ⎢I<br />
B ⎥ (9.11)<br />
a ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎦ ⎣<br />
IC<br />
⎦<br />
sehingga secara keseluruhan kita dapatkan relasi untuk<br />
tegangan dan arus:<br />
~<br />
V<br />
~<br />
I<br />
ABC<br />
ABC<br />
=<br />
=<br />
~<br />
~<br />
−1<br />
[ T] V012<br />
dan V012<br />
= [ T]<br />
V<br />
~ ~ −1<br />
~<br />
[ T] I012<br />
dan I012<br />
= [ T] IABC<br />
~<br />
ABC<br />
(9.12)<br />
CONTOH-9.1: Pada suatu pembebanan tak seimbang terukur<br />
arus-arus sebagai berikut:<br />
o<br />
I A = 90∠60<br />
A, I B = 60∠ − 60 A, IC<br />
Hitunglah arus-arus komponen simetrisnya.<br />
Penyelesaian:<br />
o<br />
= 0 A<br />
2<br />
( I A + aI<br />
B + a C )<br />
o o<br />
o<br />
( 90∠60<br />
+ 60∠60<br />
+ 0) = 50∠60<br />
= 25 + j43,3<br />
A<br />
1<br />
I1<br />
= I<br />
3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
203
I<br />
I<br />
2<br />
0<br />
2<br />
( I A + a I B + a C )<br />
o<br />
o<br />
( 90∠60<br />
+ 60∠180<br />
+ 0)<br />
1<br />
= I<br />
3<br />
1<br />
=<br />
= 30∠60<br />
3<br />
= 15 + j25,9<br />
− 20 = −5<br />
+ j25,9<br />
A<br />
( I + I + )<br />
1<br />
= A B IC<br />
3<br />
1 o<br />
o<br />
= ( 90∠60<br />
+ 60∠ − 60 + 0)<br />
= 30∠60<br />
3<br />
= 15 + j25,9<br />
+ 10 − j17,3<br />
= 25 + j8,6<br />
A<br />
o<br />
+ 20∠180<br />
o<br />
o<br />
+ 20∠ − 60<br />
Dalam Contoh-9.1 ini, I C = 0. Dengan diperolehnya nilai arus<br />
komponen simetris, kita dapat melakukan verifikasi dengan<br />
menghitung arus C<br />
o<br />
IC<br />
I . Dari (9.11) kita peroleh 2<br />
= I0<br />
+ aI1<br />
+ a I 2<br />
o<br />
o<br />
= 25 + j8,6<br />
+ 50∠180<br />
+ 30∠300<br />
+ 20∠60<br />
= 25 + j8,6<br />
− 50 + 15 − j25,98<br />
+ 10 + j17,32<br />
= 0 A<br />
Sesuai dengan yang diketahui.<br />
9.3. Impedansi Urutan<br />
Jika impedansi Z A, Z B , ZC<br />
merupakan impedansi seri dengan<br />
tegangan V A , VB<br />
, VC<br />
maka<br />
⎡VA<br />
⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎢VB<br />
⎥ =<br />
⎢V<br />
⎥<br />
⎣ B ⎦<br />
~<br />
V ABC =<br />
⎡I<br />
A ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
ABC ⎢I<br />
B ⎥<br />
⎢I<br />
⎥<br />
⎣ C ⎦<br />
[ Z ]<br />
~<br />
[ Z ABC ] I ABC<br />
atau<br />
(9.13)<br />
204 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
V ~ A adalah tegangan antar terminal impedansi dan I a adalah<br />
Z adalah matriks 3 × 3, yang<br />
arus yang melalui impedansi. [ ] ABC<br />
elemen-elemennya merupakan impedansi total yang terdiri dari<br />
impedansi sendiri dan bersama. Matriks ini belum tentu<br />
diagonal tetapi memiliki simetri tertentu. Simetri ini adalah<br />
sedemikian rupa sehingga matrik impedansi urutan, yaitu<br />
[ ] 012<br />
Z merupakan matriks diagonal atau hampir diagonal. Kita<br />
akan melihat sebuah contoh.<br />
CONTOH-9.2: Suatu saluran tiga fasa masing masing memiliki<br />
reaktansi sediri X s sedangkan antar fasa terdapat reaktansi<br />
bersama Xm. Tentukanlah impedansi urutan.<br />
Perhatikan bahwa X s adalah reaktansi sendiri dan X m adalah<br />
reaktansi bersama sehingga tegangan antara terminal<br />
impedansi adalah<br />
V<br />
V<br />
V<br />
A −<br />
B −<br />
C −<br />
V<br />
V<br />
V<br />
A′<br />
=<br />
B′<br />
=<br />
C′<br />
=<br />
jX<br />
jX<br />
jX<br />
I<br />
s A +<br />
mI<br />
A +<br />
mI<br />
A +<br />
jX<br />
jX<br />
jX<br />
I<br />
m B +<br />
s I B +<br />
mI<br />
B +<br />
yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks<br />
jX<br />
jX<br />
jX<br />
m<br />
m<br />
s<br />
I<br />
I<br />
I<br />
C<br />
C<br />
C<br />
⎡VA<br />
⎤ ⎡VA′<br />
⎤ ⎡ X s<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢VB<br />
⎥ − ⎢VB′<br />
⎥ ⎢<br />
X m<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
VC<br />
⎦ ⎣<br />
VB′<br />
⎦ ⎣X<br />
m<br />
X<br />
X<br />
X<br />
m<br />
s<br />
m<br />
X m ⎤ ⎡I<br />
A ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
X<br />
⎥<br />
m ⎥ ⎢I<br />
B ⎥<br />
X ⎥ ⎢ ⎥<br />
s ⎦ ⎣<br />
IC<br />
⎦<br />
205
dan dapat dituliskan dengan lebih kompak<br />
~ ~<br />
~<br />
V ABC − V ABC ′ = Z ABC I<br />
[ ] ABC<br />
Dari (9.12) kita turunkan<br />
~ ~<br />
VABC<br />
= [ T]<br />
V012<br />
~ ~<br />
VABC<br />
′ = [ T]<br />
V012<br />
′<br />
~ ~<br />
IABC<br />
= [ T] I 012<br />
sehingga<br />
~ ~<br />
T V012<br />
− T V012<br />
′ = Z ABC<br />
dan<br />
~ ~ −1<br />
V012<br />
− V012<br />
′ = T Z ABC<br />
[ ] [ ] [ ][ T]<br />
~<br />
I<br />
~<br />
012<br />
[ ] [ ][ T] I 012<br />
Pada relasi terakhir ini:<br />
⎡1<br />
1 1 ⎤ ⎡ X s X m X m ⎤ ⎡1<br />
1<br />
-1<br />
1<br />
[ ] [ ][ ]<br />
⎢ 2⎥<br />
⎢<br />
⎥ ⎢ 2<br />
T Z ABC T =<br />
⎢<br />
1 a a<br />
⎥<br />
j<br />
⎢<br />
X m X s X m ⎥ ⎢<br />
1 a<br />
3<br />
⎢ 2<br />
⎣1<br />
a a ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
X m X m X s ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
1 a<br />
⎡X<br />
s + 2X<br />
m X s + 2X<br />
m X s + 2X<br />
m ⎤ ⎡1<br />
j<br />
=<br />
⎢<br />
2 2<br />
⎥ ⎢<br />
⎢<br />
X s − X m aX s + (1 + a ) X m a X s + (1 + a)<br />
X m⎥<br />
⎢<br />
1<br />
3<br />
⎢<br />
2<br />
2<br />
⎣ X s − X m a X s + (1 + a)<br />
X m aX s + (1 + a ) X m ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
1<br />
⎡X<br />
s + 2X<br />
m 0 0 ⎤<br />
= j<br />
⎢<br />
⎥<br />
⎢<br />
0 X s − X m 0<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
0 0 X s − X m⎥⎦<br />
sehingga<br />
1 ⎤<br />
a<br />
⎥<br />
⎥<br />
2<br />
a ⎥⎦<br />
1<br />
2<br />
a<br />
a<br />
1 ⎤<br />
a<br />
⎥<br />
⎥<br />
2<br />
a ⎥⎦<br />
⎡V0<br />
⎤ ⎡V0′<br />
⎤ ⎡X<br />
s + 2X<br />
m 0<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥<br />
− =<br />
⎢<br />
⎢V1⎥<br />
⎢V1′<br />
⎥ j<br />
⎢<br />
0 X s − X m<br />
⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
V2<br />
⎦ ⎣<br />
V2′<br />
⎦ ⎣ 0 0<br />
yang dapat ditulis secara kompak<br />
~ ~<br />
~<br />
V012<br />
− V012<br />
′ = Z 012 I<br />
[ ] 012<br />
0 ⎤ ⎡I<br />
⎢<br />
0<br />
⎥<br />
⎥ ⎢I<br />
X − ⎥ ⎢<br />
s X m ⎦ ⎣<br />
I<br />
206 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
0<br />
1<br />
2<br />
⎤<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦
Untuk rangkaian dalam contoh di atas, dapat didefinisikan<br />
Impedansi urutan nol Z 0 = j(<br />
X s + 2X<br />
m )<br />
Impedeansi urutan positif Z1 = j(<br />
X s − X m )<br />
Impedansi urutan negatif Z 2 = j(<br />
X s − X m )<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen urutan dari rangkaian dalam ini<br />
digambarkan sebagai berikut:<br />
Z 0<br />
V0<br />
V 0′<br />
Z 1<br />
V1<br />
V 1′<br />
Z 2<br />
V2<br />
V 2′<br />
Urutan nol Urutan positif Urutan negatif<br />
Gb.9.1. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen urutan.<br />
9.3. Daya Pada <strong>Sistem</strong> Tak Seimbang<br />
Daya pada sistem tiga fasa adalah adalah jumlah daya setiap<br />
fasa.<br />
∗ ∗ ∗<br />
S3<br />
f = VAI<br />
A + VB<br />
I B + VC<br />
IC<br />
=<br />
[ V V V ]<br />
A<br />
B<br />
∗<br />
= VABCT<br />
I ABC<br />
Relasi (9.12) memberikan<br />
~ ~<br />
VABC<br />
= T V012<br />
~ ~<br />
I ABC = T I012<br />
sehingga (9.14) menjadi<br />
⎡ ∗<br />
I ⎤<br />
A<br />
⎢ ∗ ⎥<br />
C ⎢I<br />
B ⎥<br />
⎢ ∗ ⎥<br />
I<br />
⎣ C<br />
⎦<br />
~<br />
[ ] ⇒ VABCT<br />
= V012T<br />
[ T]<br />
~ ∗ ∗ ~ ∗<br />
[ ] ⇒ I = [ T] I<br />
ABC<br />
~<br />
012<br />
T<br />
(9.14)<br />
(9.15)<br />
~<br />
∗ ∗<br />
S 3 f = V012T<br />
[ T] T [ T] I012<br />
(9.16)<br />
207
Pada (9.16) ini kita hitung [ ] [ ] ∗ T T T<br />
[ T] [ T]<br />
T<br />
⎡1<br />
∗<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
1<br />
⎢⎣<br />
1<br />
1<br />
2<br />
a<br />
a<br />
1 ⎤ ⎡1<br />
a<br />
⎥ ⎢<br />
⎥ ⎢<br />
1<br />
2<br />
a ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
1<br />
1<br />
a<br />
2<br />
a<br />
1 ⎤ ⎡3<br />
2<br />
a<br />
⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎥ ⎢<br />
0<br />
a ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
0<br />
Dengan demikian (9.16) dapat dituliskan<br />
S3<br />
f<br />
~ ∗<br />
= 3V012<br />
T I012<br />
= 3<br />
0<br />
3<br />
0<br />
∗ ∗ ∗<br />
( V I + V I + V I )<br />
0<br />
0<br />
atau<br />
1 1<br />
2<br />
2<br />
0⎤<br />
⎡1<br />
0<br />
⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎥<br />
3<br />
⎢<br />
0<br />
3⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
0<br />
0 0⎤<br />
1 0<br />
⎥<br />
⎥<br />
0 1⎥⎦<br />
(9.17)<br />
CONTOH-9.3: Hitunglah daya tiga fasa pada kondisi tidak<br />
seimbang seperti berikut:<br />
⎡ 10 ⎤<br />
⎡ j10⎤<br />
V<br />
⎢<br />
10<br />
⎥<br />
kV dan<br />
⎢<br />
10<br />
⎥<br />
ABC =<br />
⎢<br />
−<br />
⎥<br />
I ABC =<br />
⎢<br />
−<br />
⎥<br />
A<br />
⎢⎣<br />
0 ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
−10⎥⎦<br />
Penyelesaian:<br />
⎡−<br />
j10⎤<br />
∗<br />
V [ ]<br />
⎢ ⎥<br />
ABCT = 10 −10<br />
0 dan I ABC =<br />
⎢<br />
−10<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
−10<br />
⎥⎦<br />
Kita akan memperoleh daya tiga fasa langsung dengan<br />
mengalikan kedua matriks kolom ini<br />
⎡−<br />
j10⎤<br />
[ ]<br />
⎢ ⎥<br />
S3<br />
f = 10 −10<br />
0<br />
⎢<br />
−10<br />
⎥<br />
= − j100<br />
+ 100 + 0<br />
⎢⎣<br />
−10<br />
⎥⎦<br />
= (100 − j100)<br />
kVA<br />
Hasil ini kita peroleh dengan mengaplikasikan langsung<br />
formulasi daya dengan mengambil nilai-nilai tegangan dan<br />
arus yang tiadak simetris. Berikut ini kita akan<br />
menyelesaikan soal ini melalui komponen simetris.<br />
Tegangan urutan adalah:<br />
208 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
~<br />
V 012 =<br />
[ T]<br />
−1<br />
~<br />
V ABC<br />
=<br />
⎡1<br />
1 ⎢<br />
⎢<br />
1<br />
3<br />
⎢⎣<br />
1<br />
1<br />
a<br />
2<br />
a<br />
1 ⎤ ⎡ 10 ⎤<br />
2<br />
a<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
⎥ ⎢<br />
−10<br />
⎥<br />
=<br />
a ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
0 ⎥⎦<br />
1<br />
3<br />
⎡ 0 ⎤<br />
⎢<br />
⎥<br />
⎢<br />
10 − a10<br />
+ 0<br />
⎥<br />
⎢ 2<br />
⎣10<br />
− a 10 + 0⎥⎦<br />
~<br />
Dari sini kita hitung V 012T<br />
~ 1<br />
2<br />
⇒ V 012T<br />
= 0 10 − a10<br />
10 − a 10<br />
3<br />
~ ∗<br />
⇒ I012<br />
=<br />
⎡ 0 ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎢<br />
− j10<br />
+ 10<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
− j10<br />
+ 10⎥⎦<br />
[ ]<br />
Arus urutan adalah:<br />
⎡1<br />
1 1 ⎤ ⎡ j10⎤<br />
~ −1<br />
~ 1<br />
[ ]<br />
⎢ 2<br />
I<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
012 = T I ABC =<br />
⎢<br />
1 a a<br />
⎥ ⎢<br />
−10<br />
3<br />
⎥<br />
⎢ 2<br />
⎣1<br />
a a ⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
−10⎥⎦<br />
⎡ 0 ⎤<br />
1<br />
=<br />
⎢<br />
2 ⎥<br />
⎢<br />
j10<br />
− a10<br />
− a 10<br />
⎥<br />
=<br />
3<br />
⎢ 2<br />
⎣ j10<br />
− a 10 − a10⎥⎦<br />
1<br />
3<br />
Daya tiga fasa adalah seperti dinyatakan oleh (9.17).<br />
S3<br />
f<br />
~ ∗<br />
= 3V012T<br />
I012<br />
1 1<br />
= 3×<br />
×<br />
3 3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
1<br />
=<br />
3<br />
2<br />
[ 0 10 - a10<br />
10 − a 10]<br />
2<br />
[ 0 + (10 − a10)(<br />
− j10<br />
+ 10) + (10 − a 10)( − j10<br />
+ 10) ]<br />
( 300 − j300) = (100 − j100)<br />
kVA<br />
⎡ 0 ⎤<br />
⎢<br />
j10<br />
10<br />
⎥<br />
⎢<br />
− +<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
− j10<br />
+ 10⎥⎦<br />
1<br />
3<br />
⎡ 0 ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎢<br />
j10<br />
+ 10<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
j10<br />
+ 10⎥⎦<br />
Hasil ini sama dengan yang diperoleh pada perkalian langsung.<br />
2<br />
(catatan: a + a = −1).<br />
209
9.4. <strong>Sistem</strong> Per-Unit<br />
<strong>Sistem</strong> per-unit sesungguhnya merupakan cara penskalaan atau<br />
normalisasi. Besaran-besaran sistem dalam satuan masing-masing,<br />
tegangan dalam volt – arus dalam ampere – impedansi dalam ohm,<br />
ditransformasikan ke dalam besaran tak berdimensi yaitu per-unit<br />
(disingkat pu). Pada mulanya transformasi ke dalam per-unit<br />
dimaksudkan untuk mempermudah perhitungan, namun dengan<br />
perkembangan penggunaan computer maksud penyederhanaan itu<br />
sudah tidak berarti lagi. Walaupun demikian, beberapa keuntungan<br />
yang terkandung dalam sistem per-unit (yang akan kita lihat<br />
kemudian) masih terasakan dan oleh karena itu kita akan pelajari.<br />
Nilai per-unit dari suatu besaran merupakan rasio dari besaran<br />
tersebut dengan suatu besaran basis. Besaran basis ini berdimensi<br />
sama dengan dimensi besaran aslinya sehingga nilai per-unit besaran<br />
itu menjadi tidak berdimensi<br />
nilai sesungguhnya<br />
Nilai per - unit =<br />
nilai basis<br />
Nilai sesungguhnya mungkin berupa bilangan kompleks, namun<br />
nilai basis yang ditetapkan adalah bilangan nyata. Oleh karena itu<br />
sudut fasa nilai dalam per-unit sama dengan sudut fasa<br />
sesungguhnya.<br />
Sebagai contoh kita ambil daya kompleks<br />
∗<br />
S = V I = VI∠( α − β)<br />
(9.18)<br />
di mana α adalah sudut fasa tegangan dan β adalah sudut fasa arus.<br />
Untuk menyatakan S dalam per-unit kita tetapkan S basis yang berupa<br />
bilangan nyata, sehingga<br />
Didefinisikan pula bahwa<br />
S∠(<br />
α − β)<br />
S pu = = S pu∠(<br />
α − β)<br />
(9.19)<br />
Sbasis<br />
S basis = Vbasis<br />
× Ibasis<br />
(9.20)<br />
210 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Nilai S basis dipilih secra bebas. Oleh karena itu, kita dapat memilih<br />
salah satu V basis atau I basis untuk ditentukan secara bebas, tetapi<br />
tidak kedua-duanya.<br />
Jika kita ambil rasio dari (9.18) dan (9.20) kita peroleh<br />
S V∠αI∠ −β ∗<br />
S pu = =<br />
= V pu I pu (9.21)<br />
Sbasis<br />
Vbasis<br />
Ibasis<br />
Nilai basis untuk impedansi ditentukan menggunakan relasi<br />
2<br />
Vbasis<br />
Vbasis<br />
Zbasis<br />
= =<br />
(9.22)<br />
Ibasis<br />
Sbasis<br />
Dengan Z basis ini relasi arus dan tegangan<br />
akan memberikan<br />
Karena Z = R + jX maka<br />
V<br />
V = Z I atau Z =<br />
I<br />
Z V / I<br />
= atau<br />
Zbasis<br />
Vbasis<br />
/ I basis<br />
Z pu = V pu I pu<br />
(9.23)<br />
Z<br />
Zbasis<br />
R + jX R X<br />
= = + j atau<br />
Z basis Z basis Zbasis<br />
Z pu = R pu + jX pu<br />
(9.24)<br />
Jadi tidaklah perlu menentukan nilai basis untuk R dan X secara<br />
sendiri-sendiri. Selain itu tidak pula diperlukan menentukan nilai<br />
basis untu P dan Q secara sendiri-sendiri.<br />
S P + jQ<br />
= atau<br />
Sbasis S basis<br />
S pu = Ppu<br />
+ Q pu<br />
(9.25)<br />
211
COTOH-9.4: Nyatakanlah besaran-besaran pada rangkaian satu<br />
fasa berikut dalam per-unit dengan mengambil S basis = 1000 VA<br />
dan V basis = 200 V.<br />
V = 200∠0<br />
o<br />
V<br />
4Ω<br />
− j4 Ω<br />
j8 Ω<br />
Penyelesaian:<br />
S basis = 1000 VA; Vbasis<br />
= 200<br />
S 1000 =<br />
basis<br />
I basis = = 5 A<br />
Vbasis<br />
200<br />
Vbasis<br />
200<br />
Z basis = = = 40 Ω<br />
Ibasis<br />
5<br />
o<br />
200∠0<br />
o<br />
Maka: V pu = = 1∠0<br />
pu<br />
200<br />
V<br />
4 4<br />
R pu = = 0,1 pu ; X Cpu = = 0,1 pu ;<br />
40<br />
40<br />
8<br />
X Lpu = = 0,2 pu<br />
40<br />
Transformasi rangkaian dalam per-unit menjadi<br />
1∠0<br />
o<br />
pu<br />
≈<br />
0,1pu<br />
− j0,1 pu<br />
j0,2 pu<br />
o<br />
Z pu = 0,1 − j0,1<br />
+ j0,2<br />
= 0,1 + j0,1<br />
= 0,1 2∠45<br />
pu<br />
V pu<br />
I pu =<br />
Z pu<br />
o<br />
1∠0<br />
o<br />
=<br />
= 5 2∠ − 45 pu<br />
o<br />
0,1 2∠45<br />
∗ o<br />
o<br />
o<br />
S pu = V pu I pu = 1∠0<br />
× 5 2∠45<br />
= 5 2∠45<br />
pu<br />
212 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
<strong>Sistem</strong> Tiga Fasa. <strong>Sistem</strong> tiga fasa sangat luas dipakai dalam<br />
penyediaan energy listrik. Oleh karena itu dikembangkan pengertian<br />
nilai basis tambahan sebagai berikut.<br />
Sbasis3<br />
f = 3Sbasis<br />
VLbasis<br />
= Vbasis<br />
3<br />
ZYbasis<br />
= Z basis<br />
Z ∆ basis = 3Z<br />
basis<br />
(9.26)<br />
I Lbasis = Ibasis<br />
IYbasis<br />
= I basis<br />
I ∆basis<br />
= Ibasis<br />
/<br />
Bagaimana implementasi dari nilai-nilai basis di atas, akan kita lihat<br />
pada contoh berikut ini.<br />
COTOH-9.5: Sebuah sumber tiga fasa dengan tegangan fasa-fasa<br />
6 kV mencatu dua beban seimbang yang tersambung parallel.<br />
Beban-A: 600 kVA, factor daya 0,8 lagging.<br />
Beban-B: 300 kVA, factor daya 0,6 leading.<br />
Tentukan nilai basis untuk sistem ini, hitung arus saluran dalam<br />
per-unit dan dalam ampere, dan impedansi beban A.<br />
Penyelesaian: Penentuan nilai basis adalah sembarang.<br />
Kita pilih S basis3f = 600 kVA dan V Lbasis = 6 kV, sehingga<br />
600<br />
Sbasis<br />
= = 200 kVA<br />
3<br />
6<br />
Vbasis<br />
= = 3464 V<br />
3<br />
S 200<br />
I = basis<br />
basis = = 57,74 A<br />
Vbasis<br />
6 / 3<br />
V 3464<br />
Z = basis<br />
basis = = 60 Ω<br />
Ibasis<br />
57,74<br />
Sumber ini terbebani seimbang sehingga hanya ada urutan<br />
positif. Besaran per fasa adalah:<br />
3<br />
213
214 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
Beban-A:<br />
0,6<br />
0,8<br />
36,9<br />
1<br />
36,9<br />
1<br />
0<br />
1<br />
36,9<br />
1<br />
;<br />
0<br />
1<br />
3<br />
6 /<br />
3<br />
6 /<br />
36,9<br />
1<br />
200<br />
36,9<br />
200<br />
kVA<br />
36,9<br />
200<br />
)<br />
(f.d.<br />
36,9<br />
(0,8)<br />
cos<br />
kVA;<br />
200<br />
3<br />
600<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
1<br />
j<br />
I<br />
V<br />
S<br />
I<br />
V<br />
S<br />
S<br />
S<br />
S<br />
lag<br />
S<br />
Apu<br />
Apu<br />
Apu<br />
Apu<br />
Apu<br />
basis<br />
A<br />
Apu<br />
A<br />
A<br />
A<br />
−<br />
=<br />
∠ −<br />
=<br />
⇒<br />
∠<br />
=<br />
∠<br />
∠<br />
=<br />
=<br />
∠<br />
=<br />
=<br />
∠<br />
=<br />
∠ +<br />
=<br />
=<br />
→<br />
∠<br />
=<br />
= +<br />
=<br />
ϕ<br />
=<br />
=<br />
∗<br />
−<br />
Beban-B:<br />
0,4<br />
0,3<br />
53,1<br />
0,5<br />
53,1<br />
0,5<br />
0<br />
1<br />
53,1<br />
0,5<br />
0<br />
1<br />
53,1<br />
0.5<br />
200<br />
53,1<br />
100<br />
kVA<br />
53,1<br />
100<br />
)<br />
(f.d.<br />
53,1<br />
cos(0,6)<br />
kVA;<br />
100<br />
3<br />
300<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
o<br />
j<br />
I<br />
V<br />
S<br />
I<br />
V<br />
V<br />
S<br />
S<br />
S<br />
S<br />
lead<br />
S<br />
Bpu<br />
Bpu<br />
Bpu<br />
Bpu<br />
Apu<br />
Bpu<br />
basis<br />
B<br />
Bpu<br />
B<br />
B<br />
B<br />
+<br />
=<br />
∠<br />
=<br />
⇒<br />
∠ −<br />
=<br />
∠<br />
∠ −<br />
=<br />
=<br />
∠<br />
=<br />
=<br />
∠ −<br />
=<br />
∠ −<br />
=<br />
=<br />
⇒<br />
∠ −<br />
=<br />
= −<br />
=<br />
ϕ<br />
=<br />
=<br />
∗<br />
Arus saluran:<br />
0,2<br />
1,1<br />
0,4<br />
0,3<br />
0,6<br />
.8<br />
0 j<br />
j<br />
j<br />
I<br />
I<br />
I<br />
Bpu<br />
Apu<br />
pu<br />
−<br />
=<br />
+<br />
+<br />
−<br />
=<br />
+<br />
=<br />
A<br />
10,3<br />
64,55<br />
11,55<br />
63,51<br />
57,74<br />
0,2)<br />
(1,1<br />
o<br />
∠ −<br />
=<br />
−<br />
=<br />
×<br />
−<br />
= j<br />
j<br />
I<br />
Impedansi beban-A:<br />
o<br />
o<br />
o<br />
36,9<br />
1<br />
36<br />
1<br />
0<br />
1<br />
∠<br />
=<br />
∠ −<br />
∠<br />
=<br />
=<br />
Apu<br />
Apu<br />
Apu<br />
I<br />
V<br />
Z<br />
Ω<br />
+<br />
=<br />
∠<br />
=<br />
⇒<br />
36)<br />
(48<br />
36,9<br />
60<br />
o<br />
j<br />
Z A
BAB 10<br />
Penyulang dan<br />
Saluran Transmisi<br />
Saluran transmisi penyulang merupakan koridor yang harus dilalui<br />
dalam penyaluran energi listrik Kita akan membahas saluran udara<br />
(dengan konduktor terbuka) dan pembahasan kita bagi dalam dua<br />
bab. Di bab ini kita membahas impedansi dan admitansi saluran<br />
transmisi, sedangkan di bab berikutnya akan kita bahas rangkaian<br />
ekivalen dan pembebanan.<br />
Walaupun rangkaian ekivalen saluran transmisi cukup sederhana,<br />
ada empat hal yang perlu kita perhatikan yaitu:<br />
• Resistansi konduktor,<br />
• Imbas tegangan di satu konduktor oleh arus yang mengalir<br />
di konduktor yang lain,<br />
• Arus kapasitif karena adanya medan listrik antar<br />
konduktor,<br />
• Arus bocor pada isolator<br />
Arus bocor pada isolator biasanya diabaikan karena cukup kecil<br />
dibandingkan dengan arus konduktor. Namun masalah arus bocor<br />
sangat penting dalam permbahasan isolator<br />
Karena saluran udara memanfaatkan udara sebagai bahan isolasi,<br />
perlu kita lihat besaran-besarn fisis udara yang akan masuk dalam<br />
perhitungan-perhitungan saluran transmisi, yaitu:<br />
Permeabilitas: permeabilitas magnetik udara dianggap sama dengan<br />
permeabilitas ruang hampa:<br />
µ = µ 0µ<br />
r<br />
≈ µ 0<br />
−7<br />
= 4π×<br />
10<br />
H/m<br />
Permitivitas: permitivitas elektrik udara dianggap sama dengan<br />
permitivitas ruang hampa:<br />
−<br />
10 9<br />
ε = εr<br />
ε0<br />
≈ ε0<br />
=<br />
36π<br />
F/m<br />
215
10.1. Resistansi<br />
Material yang biasa digunakan sebagai konduktor adalah tembaga<br />
atau aluminium. Untuk saluran transmisi banyak digunakan<br />
aluminium dan kita mengenal jenis-jenis konduktor aluminium,<br />
seperti:<br />
• Aluminium: AAL (all aluminium coductor)<br />
• Aloy aluminium: AAAL (all aluminium alloy conductor)<br />
• Dengan penguatan kawat baja: ACSR (aluminium<br />
conductor steel reinforced)<br />
Data mengenai ukuran, konstruksi, resistansi [Ω per km],<br />
radius [cm], GMR [cm] (Geometric Mean Radius), serta<br />
kemampuan mengalirkan arus [A], dapat kita peroleh dari standar /<br />
spesifikasi namun untuk sementara kita tidak membahasnya.<br />
Relasi resistansi untuk arus searah adalah<br />
ρl<br />
R AS = Ω<br />
(10.1)<br />
A<br />
dengan l panjang konduktor [m], A luas penampang konduktor [m 2 ],<br />
ρ adalah resistivitas bahan.<br />
ρ Al<br />
−8<br />
= 2,83×<br />
10<br />
ρCu<br />
−8<br />
= 1,77×<br />
10<br />
Resistansi tergantung dari temperature,<br />
o<br />
Ω.m<br />
[20 C]<br />
o<br />
Ω .m [20 C]<br />
T2<br />
+ T0<br />
ρ T 2 = ρT1<br />
(10.2)<br />
T1<br />
+ T0<br />
o<br />
T0<br />
= 228 C<br />
o<br />
= 241 C<br />
untuk aluminium<br />
untuk tembaga<br />
Resistansi untuk arus bolak-balik lebih besar dari resistansi untuk<br />
arus searah karena ada efek kulit yaitu kecenderungan arus bolakbalik<br />
untuk mengalir melalui daerah pinggiran penampang<br />
konduktor.<br />
216 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Selain daripada itu, kondukor saluran transmisi merupakan pilinan<br />
konduktor sehingga panjang konduktor sesungguhnya lebih dari<br />
panjang lateral yang kita ukur.<br />
10.2. Induktansi<br />
Arus pada suatu konduktor menimbulkan medan magnit di<br />
sekeliling konduktor dan juga di dalam konduktor walaupun tidak<br />
merata di seluruh penampang. Menurut hukum Ampere, jika arus<br />
yang mengalir pada konduktor adalah i maka medan magnet H di<br />
sekitar konduktor adalah<br />
∫<br />
Hdl = i . Di titik berjarak x di luar<br />
konduktor relasi ini menjadi<br />
l<br />
1<br />
H x = 2 πx<br />
(10.3)<br />
Jika konduktor kita anggap sangat panjang dan l adalah satu segmen<br />
dari padanya, maka fluksi magnet yang melingkupi segmen ini<br />
sampai jarak D x dari konduktor adalah<br />
Dx<br />
µ il µ il D<br />
λ<br />
x<br />
=<br />
∫<br />
dx = ln<br />
(10.4)<br />
r 2πx<br />
2π<br />
r<br />
dimana r adalah radius konduktor. Persamaan (10.4) ini adalah<br />
fluksi lingkup di luar konduktor. Masih ada fluksi di dalam<br />
konduktor yang harus diperhitungkan. Untuk mencakup fluksi di<br />
dalam konduktor itu didefinisikan suatu radius ekivalen yang<br />
disebut Geometric Mean Radius (GMR), r’, sehingga (10.4) menjadi<br />
µ il Dx<br />
λ′ = ln<br />
2π<br />
r′<br />
(10.5)<br />
<strong>Sistem</strong> Dua Konduktor. Kita perhatikan suatu saluran kirim dialiri<br />
arus i dengan saluran balik yang juga dialiri arus i tetapi dengan arah<br />
yang berlawanan seperti terlihat pada Gb.10.1. Kita pandang sistem<br />
dua konduktor ini sebagai satu segmen dari loop yang sangat<br />
panjang. Pada ujung-ujung segmen loop ini terdapat tegangan di<br />
antara kedua ujung konduktor, yaitu v A dan v′<br />
A .<br />
217
v A<br />
A<br />
N<br />
i A<br />
i A<br />
A′<br />
N′<br />
v′ A<br />
D<br />
r′<br />
: GMR<br />
A<br />
r′<br />
<br />
A<br />
: jarak A ke N<br />
konduktor A<br />
: GMR konduktor N<br />
Gb.10.1. Saluran kirim A dan saluran balik N.<br />
Jika panjang segmen ini adalah l maka arus i A di saluran A<br />
memberikan fluksi lingkup di bidang segmen loop ini sebesar<br />
µ i Al<br />
DA<br />
λ A1 = ln<br />
(10.6.a)<br />
2π<br />
rA′<br />
Arus i A di saluran balik N memberikan fluksi lingkup sebesar<br />
µ i Al<br />
DA<br />
λ A 2 = ln<br />
(10.6.b)<br />
2π<br />
r′<br />
Fluksi λ A1<br />
dan λ A 2 saling menguatkan di bidang segmen loop<br />
ini sehingga fluksi lingkup total menjadi<br />
λ A<br />
2<br />
µ i Al<br />
D A<br />
= λ A1 + λ A2<br />
= ln<br />
2π<br />
rA′<br />
r′<br />
(10.6.c)<br />
λ A adalah fluksi lingkup konduktor A-N yang ditimbulkan oleh<br />
i A , dan merupakan fluksi sendiri yang akan memberikan induktansi<br />
sendiri L AA .<br />
<strong>Sistem</strong> Tiga Konduktor. Kita lihat sekarang sistem tiga konduktor<br />
A-B-N seperti terlihat pada Gb.10.2 dengan arus i A dan i B yang<br />
masing-masing menglir di A dan B. Konduktor N adalah saluran<br />
balik yang mengalirkan arus balik ( i A + iB<br />
) . Kita akan menghitung<br />
fluksi lingkup segmen loop yang menjadi perhatian kita yaitu fluksi<br />
lingkup pada segmen loop A-N.<br />
218 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
A<br />
B<br />
i A<br />
i B<br />
A′<br />
B′<br />
N<br />
Gb.10.2. Saluran kirim A dan B, dan saluran balik N.<br />
Dalam situasi ini arus i A di konduktor A dan arus (i A +i B ) di N<br />
memberikan fluksi lingkup sebesar<br />
µ i Al<br />
D A µ ( i A + iB<br />
) l DA<br />
λ AB1 = ln + ln<br />
(10.7.a)<br />
2π<br />
rA′<br />
2π<br />
r′<br />
sedangkan arus i B di konduktor B memberikan<br />
µ iBl<br />
DAB<br />
µ iBl<br />
DB<br />
λ AB2 = ln + ln<br />
(10.7.b)<br />
2π<br />
rB′<br />
2π<br />
rB′<br />
Karena arus i B searah dengan i A maka suku pertama (10.7.b)<br />
memperlemah fluksi antara A dan B, sedangkan suku ke-dua<br />
memperkuat fluksi antara B dan N. Fluksi lingkup antara A dan N<br />
dengan kehadiran B menjadi<br />
λAB<br />
= λ AB1<br />
+ λAB2<br />
µ i ⎛<br />
⎞ µ ⎛<br />
⎞<br />
= Al<br />
D<br />
⎜ A D<br />
⎟ + ⎜<br />
⎟<br />
+ A iBl<br />
DA<br />
D<br />
− AB D<br />
ln ln<br />
ln ln + ln B<br />
2π<br />
π<br />
⎝ rA′<br />
r′<br />
⎠ 2 ⎝ r′<br />
rB′<br />
rB′<br />
⎠<br />
2<br />
µ i Al<br />
DA<br />
λ AB = ln<br />
2π<br />
rA′<br />
r′<br />
atau<br />
i A + i B<br />
µ iBl<br />
⎛ D ⎞<br />
⎜ A DB<br />
+<br />
⎟<br />
π<br />
ln<br />
2<br />
⎝ r′<br />
DAB<br />
⎠<br />
(10.7.c)<br />
λ AB adalah fluksi lingkup segmen loop A-N dengan kehadiran<br />
arus di konduktor B yang jika kita bandingkan dengan (10.6.c)<br />
terlihat bahwa suku ke-dua (10.6.c) adalah tambahan yang<br />
disebabkan oleh adanya arus i B ..<br />
N′<br />
219
Kita lihat sekarang fluksi lingkup segmen loop B-N antara<br />
konduktor B dan N. Fluksi lingkup yang ditimbulkan oleh arus di B<br />
dan arus di N adalah<br />
µ iBl<br />
DB<br />
µ ( iB<br />
+ i A ) l DB<br />
λ BA1 = ln + ln<br />
(10.8.a)<br />
2π<br />
rB′<br />
2π<br />
r′<br />
dan fluksi yang ditimbulkan oleh i A yang memperkuat fluksi λ BA1<br />
adalah<br />
µ i Al<br />
⎛ DA<br />
DAB<br />
⎞ µ i Al<br />
DA<br />
λ BA2<br />
= ln ln<br />
ln<br />
2<br />
⎜ − =<br />
rA<br />
r<br />
⎟<br />
(10.8.b)<br />
π ⎝ ′ A′<br />
⎠ 2π<br />
DAB<br />
sehingga fluksi lingkup konduktor B-N menjadi<br />
λ BA = λ BA1<br />
+ λ BA2<br />
2<br />
µ iBl<br />
DB<br />
µ i Al<br />
DB<br />
DA<br />
= ln + ln<br />
2π<br />
rB′<br />
r′<br />
2π<br />
DABr′<br />
Kita lihat bahwa formulai (10.8.c) mirip dengan (10.7.c)<br />
(10.8.c)<br />
<strong>Sistem</strong> Empat Konduktor. Dengan cara yang sama, kita menghitung<br />
fluksi-fluksi lingkup pada sistem empat konduktor dengan tiga<br />
konduktor A, B, dan C masing-masing dengan arus i A , i B , dan i C ,<br />
dan satu konduktor balik N dengan arus ( i A + iB<br />
+ iC<br />
) seperti<br />
terlihat pada Gb.10.3.<br />
A<br />
B<br />
C<br />
N<br />
v A<br />
v B<br />
v C<br />
D<br />
: jarak konduktor<br />
r′<br />
= GMR<br />
i<br />
ij<br />
i B<br />
i C<br />
i,<br />
j : A, B, C, N<br />
i + i + i<br />
A<br />
konduktor<br />
i dan j ;<br />
Gb.10.3. <strong>Sistem</strong> empat konduktor.<br />
B<br />
C<br />
v′ A<br />
v′ B<br />
v′ C<br />
A′<br />
B′<br />
C′<br />
N′<br />
220 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
221<br />
Fluksi lingkup konduktor A-N, B-N, dan C-N:<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+<br />
′<br />
+<br />
′<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+<br />
+<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
λ<br />
AC<br />
<br />
C<br />
A<br />
C<br />
AB<br />
<br />
B<br />
A<br />
B<br />
<br />
A<br />
A<br />
A<br />
C<br />
AC<br />
C<br />
C<br />
C<br />
C<br />
B<br />
AB<br />
B<br />
B<br />
B<br />
B<br />
<br />
A<br />
C<br />
B<br />
A<br />
A<br />
A<br />
A<br />
A<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
r<br />
r<br />
D<br />
i<br />
l<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
i<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
l<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
)ln<br />
(<br />
ln<br />
2<br />
2<br />
(10.9.a)<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+ +<br />
′<br />
′<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+<br />
+<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
λ<br />
BC<br />
<br />
C<br />
B<br />
C<br />
<br />
B<br />
B<br />
B<br />
AB<br />
<br />
A<br />
B<br />
A<br />
C<br />
BC<br />
C<br />
C<br />
C<br />
C<br />
A<br />
AB<br />
A<br />
A<br />
A<br />
A<br />
<br />
B<br />
C<br />
B<br />
A<br />
B<br />
B<br />
B<br />
B<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
r<br />
r<br />
D<br />
i<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
l<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
i<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
l<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
) ln<br />
(<br />
ln<br />
2<br />
2<br />
(10.9.b)<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
′<br />
+<br />
′<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
−<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
+<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
+<br />
+<br />
+<br />
′<br />
π<br />
µ<br />
=<br />
λ<br />
<br />
C<br />
C<br />
C<br />
BC<br />
<br />
B<br />
C<br />
B<br />
AC<br />
<br />
A<br />
C<br />
A<br />
B<br />
BC<br />
B<br />
B<br />
B<br />
B<br />
A<br />
AC<br />
A<br />
A<br />
A<br />
A<br />
<br />
C<br />
C<br />
B<br />
A<br />
A<br />
C<br />
C<br />
C<br />
r<br />
r<br />
D<br />
i<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
i<br />
l<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
i<br />
i<br />
r<br />
D<br />
i<br />
l<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
) ln<br />
(<br />
ln<br />
2<br />
(10.9.c)
Penurunan relasi (10.9) sudah barang tentu tidak terbatas hanya<br />
untuk empat konduktor. Akan tetapi kita mengaitkannya dengan<br />
keperluan kita untuk meninjau sistem tiga fasa. Oleh karena itu kita<br />
batasi tinjauan pada sistem empat konduktor. Dalam bentuk matriks,<br />
(10.9) dapat kita tuliskan<br />
⎡<br />
2<br />
µ D<br />
⎢ ln A<br />
⎢ 2π<br />
r′<br />
′<br />
⎡λ<br />
Ar<br />
A ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
⎢ µ D<br />
⎢<br />
λ<br />
⎥<br />
=<br />
B DA<br />
B l ⎢ ln<br />
⎢2π<br />
r′<br />
⎢⎣<br />
λ ⎥<br />
DAB<br />
C ⎦ ⎢ µ D<br />
⎢ C D<br />
ln A<br />
⎢⎣<br />
2π<br />
r′<br />
DAC<br />
µ DA<br />
D<br />
ln B<br />
2π<br />
r′<br />
DAB<br />
2<br />
µ D<br />
ln B<br />
2π<br />
rB′<br />
r′<br />
µ DC<br />
D<br />
ln B<br />
2π<br />
r′<br />
DBC<br />
µ D ⎤<br />
A D<br />
ln C<br />
⎥<br />
2π<br />
r′<br />
DAC<br />
⎥<br />
⎡i<br />
⎤<br />
⎥ A<br />
µ DB<br />
D<br />
ln C ⎢ ⎥<br />
⎥<br />
π ′ ⎢<br />
iB<br />
2 r<br />
⎥<br />
DBC<br />
⎥<br />
⎢⎣<br />
⎥<br />
2<br />
µ ⎥<br />
iC<br />
D<br />
⎦<br />
ln C ⎥<br />
2π<br />
rC′<br />
r′<br />
⎥⎦<br />
(10.10)<br />
Turunan terhadap waktu dari fluksi lingkup memberikan tegangan<br />
imbas<br />
⎡<br />
2<br />
µ D µ D D µ D D ⎤<br />
⎢ ln A ln A B ln A C<br />
⎥ ⎡ diA<br />
⎤<br />
⎢ 2π<br />
r′<br />
r′<br />
π r′<br />
D π r′<br />
D ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎡v<br />
A 2 AB 2 AC<br />
AA′<br />
⎤<br />
⎢<br />
2<br />
1 µ<br />
µ<br />
µ<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
⎢ ⎥ D D<br />
D<br />
D D di dt<br />
= ⎢<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
⎢<br />
v<br />
B A<br />
B<br />
B C B<br />
BB′<br />
⎥<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
l ⎢2π<br />
r′<br />
D π r′<br />
r′<br />
π r′<br />
D ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎢⎣<br />
′ ⎥<br />
AB 2 B 2 BC<br />
v ⎦ ⎢ µ<br />
µ<br />
µ ⎥ ⎢di dt<br />
CC<br />
2<br />
D D D D<br />
D<br />
C ⎥<br />
⎢ ln C A ln C B ln C ⎥ ⎢ ⎥<br />
⎣ ⎦<br />
⎢⎣<br />
π ′ π ′<br />
π ′ ′<br />
dt<br />
2 r<br />
DAC<br />
2 r<br />
DBC<br />
2 rC<br />
r<br />
⎥⎦<br />
(10.11)<br />
Jika tegangan dan arus adalah sinusoidal, persamaan matriks di atas<br />
dapat kita tuliskan dalam fasor<br />
⎡<br />
2<br />
µ D<br />
⎤<br />
A µ DA<br />
DB<br />
µ DA<br />
D<br />
⎢ ln<br />
ln<br />
ln C<br />
⎥<br />
⎢ 2π<br />
r′<br />
′ π ′ π ′<br />
⎡ ⎤<br />
Ar<br />
2 r<br />
DAB<br />
2 r<br />
D<br />
V<br />
AC ⎥<br />
AA′<br />
⎡I<br />
⎤<br />
⎢<br />
2<br />
µ<br />
µ<br />
µ<br />
⎥ A<br />
1 ⎢ ⎥<br />
D<br />
⎢ ⎥<br />
⎢ ⎥ = ω⎢<br />
B DA<br />
DB<br />
DB<br />
D<br />
V<br />
C<br />
BB′<br />
j ln<br />
ln<br />
ln ⎥ ⎢IB<br />
l<br />
⎥<br />
⎢ π ′<br />
π ′ ′ π ′<br />
⎢ ⎥<br />
2 r<br />
DAB<br />
2 rB<br />
r<br />
2 r<br />
DBC<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
⎣<br />
VCC<br />
′ ⎦ ⎢<br />
2<br />
µ<br />
µ<br />
µ ⎥ ⎣<br />
IC<br />
D<br />
⎦<br />
⎢ C DA<br />
DC<br />
DB<br />
D<br />
ln<br />
ln<br />
ln C ⎥<br />
⎢⎣<br />
2π<br />
r′<br />
DAC<br />
2π<br />
r′<br />
DBC<br />
2π<br />
rC<br />
′ r′<br />
⎥⎦<br />
(10.12)<br />
Persamaan ini memberikan tegangan imbas pada setiap konduktor.<br />
222 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
10.3. Impedansi<br />
Jika resistansi konduktor dimasukkan maka kita dapatkan matriks<br />
impedansi yang tidak hanya memberikan tegangan imbas tetapi<br />
tegangan jatuh di konduktor. Dalam memasukkan resistansi ini kita<br />
amati hal berikut:<br />
Semua arus fasa melalui masing-masing konduktor fasa, dan<br />
melalui konduktor netral secara bersama-sama. Oleh karena itu<br />
impedansi sendiri suatu fasa akan mengandung resistansi<br />
konduktor fasa dan resistansi konduktor netral, sedangkan<br />
impedansi bersama akan mengandung resistansi konduktor netral<br />
saja. Persamaan (10.12) berubah menjadi:<br />
dengan<br />
⎡VAA′<br />
⎤ ⎡Z<br />
AA<br />
1 ⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢VBB′<br />
⎥ ⎢<br />
Z BA<br />
l<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
VCC′<br />
⎦ ⎣Z<br />
CA<br />
Z AB<br />
Z BB<br />
ZCB<br />
Z AC ⎤ ⎡I<br />
A ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
Z<br />
⎥<br />
BC ⎥ ⎢I<br />
B ⎥<br />
Z ⎥ ⎢ ⎥<br />
CC ⎦ ⎣<br />
IC<br />
⎦<br />
(10.13.a)<br />
2<br />
ωµ DA<br />
ωµ DA<br />
D<br />
Z<br />
B<br />
AA = RA<br />
+ R<br />
+ j ln ; Z AB = R<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
rA′<br />
r′<br />
2π<br />
r′<br />
DAB<br />
ωµ DA<br />
D<br />
Z<br />
C<br />
AC = R<br />
+ j ln<br />
2π<br />
r′<br />
DAC<br />
2<br />
ωµ DB<br />
DA<br />
ωµ D<br />
Z<br />
B<br />
BA = R<br />
+ j ln ; ZBB<br />
= RB<br />
+ R<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
r′<br />
DAB<br />
2π<br />
rB′<br />
r′<br />
ωµ DB<br />
D<br />
Z<br />
C<br />
BC = R<br />
+ j ln<br />
2π<br />
r′<br />
DBC<br />
ωµ DC<br />
DA<br />
ωµ DC<br />
D<br />
Z<br />
B<br />
CA = R<br />
+ j ln ; ZCB<br />
= R<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
r′<br />
DAC<br />
2π<br />
r′<br />
DBC<br />
2<br />
ωµ D<br />
Z<br />
C<br />
CC = RC<br />
+ R<br />
+ j ln<br />
2π<br />
rC<br />
′ r′<br />
(10.13.b)<br />
Walaupun matriks impedansi pada (10.13.a) terlihat simetris namun<br />
tidak diagonal. Matrik impedansi urutan akan berbentuk diagonal<br />
jika konfigurasi konduktor memiliki kesimetrisan seperti pada<br />
konfigurasi ∆ atau dibuat simetris melalui transposisi.<br />
223
Konfigurasi ∆ (Segitiga Sama-sisi). Konfigurasi ini adalah<br />
konfigurasi segitiga sama-sisi di mana konduktor fasa berposisi di<br />
puncak-puncak segitiga; DAB = DBC<br />
= DAC<br />
= D . Konduktor<br />
netral berposisi di titik berat segitiga sehingga<br />
DA = DB<br />
= DC<br />
= D / 3 .<br />
D<br />
D<br />
D /<br />
D<br />
Gb.10.4 Konfigurasi ∆ (equilateral).<br />
Jika kita misalkan resistansi konduktor fasa sama besar yaitu R dan<br />
GMR-nya pun sama yaitu r maka jika kita masukkan besaranbesaran<br />
ini ke (10.13.b) kita peroleh<br />
3<br />
2<br />
ωµ D<br />
ωµ D<br />
Z AA = R + R<br />
+ j ln ; Z AB = R<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
3r′<br />
r′<br />
2π<br />
3r′<br />
ωµ D<br />
Z AC = R<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3r′<br />
2<br />
ωµ D<br />
ωµ D<br />
Z BA = R<br />
+ j ln ; Z BB = R + R<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
3r′<br />
2π<br />
3r′<br />
r′<br />
ωµ D<br />
Z BC = R<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3r′<br />
ωµ D<br />
ωµ D<br />
Z CA = R<br />
+ j ln ; Z CB = R<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
3r′<br />
2π<br />
3r′<br />
2<br />
ωµ D<br />
ZCC<br />
= R + R<br />
+ j ln<br />
2π<br />
3r′<br />
r′<br />
Pada (10.14) ini terlihat bahwa<br />
Z AB = Z BC = ZCA<br />
= Z m<br />
Z AA = Z BB = Z CC = Z s<br />
(10.14)<br />
224 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
225<br />
sehingga (10.13.a) dapat dituliskan:<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
=<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
′<br />
′<br />
′<br />
C<br />
B<br />
A<br />
s<br />
m<br />
m<br />
m<br />
s<br />
m<br />
m<br />
m<br />
s<br />
CC<br />
BB<br />
AA<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
l<br />
I<br />
I<br />
I<br />
V<br />
V<br />
V<br />
1<br />
(10.15.a)<br />
dengan<br />
/m<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
/m<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
2<br />
Ω<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
=<br />
Ω<br />
′<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
+<br />
=<br />
<br />
<br />
m<br />
<br />
<br />
s<br />
r<br />
D<br />
j<br />
R<br />
Z<br />
r<br />
r<br />
D<br />
j<br />
R<br />
R<br />
Z<br />
(10.15.b)<br />
Impedansi urutan dapat kita peroleh dengan cara seperti pada<br />
Contoh-9.2 di bab sebelumnya.<br />
[ ] [ ] [ ][ ]<br />
T<br />
T 1<br />
012 ABC<br />
Z<br />
Z<br />
−<br />
=<br />
[ ] [ ][ ]<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
−<br />
−<br />
+<br />
=<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
+<br />
+<br />
+<br />
+<br />
−<br />
+<br />
+<br />
+<br />
+<br />
−<br />
+<br />
+<br />
+<br />
=<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
=<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
s<br />
m<br />
m<br />
m<br />
s<br />
m<br />
m<br />
m<br />
s<br />
ABC<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
Z<br />
a<br />
aZ<br />
Z<br />
a<br />
Z<br />
a<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
a<br />
Z<br />
a<br />
Z<br />
a<br />
aZ<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
Z<br />
0<br />
0<br />
0<br />
0<br />
0<br />
0<br />
2<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
)<br />
(1<br />
)<br />
(1<br />
)<br />
(1<br />
)<br />
(1<br />
2<br />
2<br />
2<br />
3<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
1<br />
3<br />
1<br />
T<br />
T<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
-1<br />
Dengan memasukkan (10.15.b) kita peroleh<br />
/m<br />
ln<br />
2<br />
/m<br />
)<br />
(<br />
27<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
2<br />
2<br />
1<br />
3<br />
4<br />
0<br />
Ω<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
=<br />
−<br />
=<br />
=<br />
Ω<br />
′<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
+<br />
=<br />
+<br />
=<br />
r<br />
D<br />
j<br />
R<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
r<br />
r<br />
D<br />
j<br />
R<br />
R<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
m<br />
s<br />
<br />
<br />
m<br />
s<br />
(10.16)
COTOH-10.1: Penyulang tiga fasa, 20 kV, 50 Hz, panjang 20 km.<br />
Konduktor penyulang berpenampang 95 mm 2 dan memiliki<br />
radius efektif 6 mm. Resistivitas konduktor adalah 0,0286<br />
Ω.mm 2 /m dan penyulang dibangun dalam konfigurasi ∆ dengan<br />
jarak antar konduktor 1m. Hitunglah impedansi sendiri dan<br />
impedansi bersama serta impedansi urutan positif, dengan<br />
mengabaikan kapasitansi.<br />
Penyelesaian:<br />
ρl<br />
0,0286<br />
Resistansi konduktor: R A = = = 0,00031 Ω/m<br />
A 95<br />
Dengan konfigurasi ∆, impedansi sendiri dan impedansi<br />
bersama fasa A dihitung menggunakan formulasi (10.14):<br />
⎛0.00031+<br />
0,00031<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎟<br />
Z AA = ⎜<br />
−7<br />
2<br />
100π×<br />
4π×<br />
10<br />
1 ⎟×<br />
20000<br />
⎜+<br />
j<br />
ln<br />
⎟<br />
⎝ 2π<br />
3×<br />
0,006×<br />
0,006 ⎠<br />
o<br />
= 12,04 + j12,85<br />
= 17,61∠46,86<br />
Ω<br />
⎛<br />
−7<br />
2 ⎞<br />
Z ⎜ 100π×<br />
4π×<br />
10 1<br />
AB = 0,00031+<br />
j<br />
ln ⎟×<br />
20000<br />
⎜<br />
⎟<br />
⎝<br />
2π<br />
3×<br />
0,006<br />
⎠<br />
o<br />
= 6,02 + j5,05<br />
= 7,86∠39,96<br />
Ω<br />
Z AC = Z AB<br />
Impedansi urutan positif dihitung dengan relasi (10.16)<br />
Z1<br />
= Z s − Z m = Z AA − Z AB<br />
= 12,04 + j12,85<br />
− 6,02 + j5,05<br />
o<br />
= 6,02 + j7,8<br />
= 9,86∠52,35<br />
COTOH-10.2: Beban 5000 kW dengan factor daya 0,8 dicatu<br />
melalui penyulang tiga fasa, 20 kV, 50 Hz, sepanjang 20 km<br />
yang diberikan pada Contoh-10.1. Dengan mengabaikan<br />
kapasitansi antar konduktor, hitunglah tegangan di ujung kirim<br />
apabila tegangan di ujung terima (beban) ditetapkan 20 kV<br />
dengan cara: a) menggunakan besaran-besaran fasa; b)<br />
menggunakan besaran urutan.<br />
Ω<br />
226 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Penyelesaian:<br />
a) Karena kapasitansi diabaikan, maka perbedaan tegangan<br />
antara ujung kirim dan ujung terima hanya disebabkan oleh<br />
impedansi saluran. Dengan pembebanan seimbang,<br />
perhitungan dilakukan menggunakan model satu fasa. Kita<br />
amati fasa A. Impedansi sendiri dan impedansi bersama<br />
fasa A telah dihitung pada contoh-10.1:<br />
o<br />
Z AA = 12,04 + j12,85<br />
= 17,61∠46,86<br />
Ω<br />
o<br />
Z AB = Z AC = 6,02 + j5,05<br />
= 7,86∠39,96<br />
Dengan menggunakan tegangan fasa-netral ujung terima<br />
fasa A sebagai referensi, maka tegangan fasa-netral ujung<br />
terima fasa A, B, dan C adalah<br />
20 o<br />
o<br />
VrA<br />
= ∠0<br />
= 11,55∠0<br />
kV<br />
3<br />
VrB<br />
o<br />
= 11,55∠ −120<br />
kV<br />
VrC<br />
o<br />
= 11,55∠ − 240 kV<br />
Arus fasa A, B, dan C adalah<br />
5000 / 3<br />
o<br />
I A = = 180,4 A → I A = 180,4∠ − 36,87 A<br />
11,55×<br />
0,8<br />
V<br />
I<br />
I<br />
B<br />
C<br />
= 180,4∠ −156,87<br />
= 180,4∠ − 276,87<br />
o<br />
o<br />
A<br />
A<br />
Tegangan jatuh di fasa A adalah:<br />
Z<br />
Z<br />
AA′ = AAI<br />
A + ABI<br />
B + AC IC<br />
o<br />
= 17,61∠46,86<br />
+ 7,86∠39,96<br />
+ 7,86∠39,96<br />
= 3129,33+<br />
j551,34<br />
− 641,39 − j1263,93−<br />
773,90 + j1187,43<br />
= 1714,04 + j474,84<br />
× 180,4∠ − 36,87<br />
o<br />
o<br />
Z<br />
o<br />
× 180,4∠ −156,87<br />
× 180,4∠ − 276,87<br />
o<br />
o<br />
Ω<br />
227
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:<br />
V<br />
sA<br />
= V + V ′ = 11,55 + 1,71+<br />
j0,48<br />
= 13,2∠2<br />
rA<br />
AA<br />
o<br />
kV<br />
Tegangan fsa-fasa di ujung kirim:<br />
V s LL<br />
= 13 ,2 3 = 22,8<br />
kV<br />
b). Pada pembebanan seimbang, besaran urutan yang ada hanyalah<br />
urutan positif. Impedansi urutan positif telah dihitung pada<br />
contoh-10.1.<br />
Z 1 = 6,02 + j7,8<br />
= 9,86∠52,35<br />
Tegangan jatuh di fasa A adalah:<br />
V<br />
= Z ×<br />
AA′ 1 I A<br />
= 9,86∠52,35<br />
= 1778,59∠15,48<br />
o<br />
o<br />
o<br />
= 1,71+<br />
j0,48<br />
V<br />
Ω<br />
× 180,4∠ − 36,87<br />
o<br />
V<br />
sA<br />
= V + V ′ = 11,55 + 1,71+<br />
j0,48<br />
= 13,2∠2<br />
rA<br />
AA<br />
o<br />
kV<br />
Tegangan fasa-fasa di ujung kirim:<br />
V s LL<br />
= 13 ,2 3 = 22,8<br />
kV<br />
Transposisi. Suatu upaya untuk membuat konfigurasi menjadi<br />
simetris adalah melakukan transposisi, yaitu mempertukarkan posisi<br />
konduktor sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan transmisi<br />
mempunyai konfigurasi simetris ataupun hampir simetris seperti<br />
terlihat pada Gb.10.4. Panjang total saluran, d, dibagi dalam tiga<br />
seksi dan posisi konduktor fasa dipertukarkan secara berurutan.<br />
Kita misalkan ketiga konduktor fasa pada Gb.10.5 memiliki<br />
resistansi per satuan panjang sama besar dan demikian juga jari-jari<br />
serta GMR-nya; RA = RB<br />
= RC<br />
= R , rA = rB<br />
= rC<br />
= r dan<br />
rA ′ = rB′<br />
= rC′<br />
= r′<br />
. Kita dapat mencari formulasi impedansi fasa dan<br />
impedansi urutan dengan melihat seksi per seksi.<br />
228 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
229<br />
3<br />
2<br />
1<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
C<br />
B<br />
A<br />
=<br />
=<br />
=<br />
1<br />
3<br />
2<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
C<br />
B<br />
A<br />
=<br />
=<br />
=<br />
2<br />
1<br />
3<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
C<br />
B<br />
A<br />
=<br />
=<br />
=<br />
Gb.10.5. Transposisi.<br />
Kita lihat konduktor A di seksi pertama:<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
=<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
+<br />
=<br />
<br />
AC<br />
<br />
AC<br />
<br />
AB<br />
<br />
AB<br />
<br />
<br />
AA<br />
r<br />
D<br />
D D<br />
j<br />
R<br />
Z<br />
r<br />
D<br />
D D<br />
j<br />
R<br />
d<br />
Z<br />
r<br />
r<br />
D<br />
j<br />
R<br />
R<br />
d<br />
Z<br />
3<br />
1<br />
2<br />
1<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
1<br />
;<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
;<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
(10.17.a)<br />
Konduktor A di seksi ke-dua:<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
+<br />
=<br />
<br />
AC<br />
<br />
AC<br />
<br />
AB<br />
<br />
AB<br />
<br />
<br />
AA<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
j<br />
R<br />
Z<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
j<br />
R<br />
d<br />
Z<br />
r r<br />
D<br />
j<br />
R<br />
R<br />
d<br />
Z<br />
1<br />
2<br />
3<br />
2<br />
2<br />
2<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
1<br />
;<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
;<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
(10.17.b)<br />
Konduktor A di seksi ke-tiga<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
=<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
′<br />
′<br />
π<br />
ωµ<br />
+<br />
+<br />
=<br />
<br />
AC<br />
<br />
AC<br />
<br />
AB<br />
<br />
AB<br />
<br />
A<br />
<br />
AA<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
j<br />
R<br />
Z<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
j<br />
R<br />
d<br />
Z<br />
r<br />
r<br />
D<br />
j<br />
R<br />
R<br />
d<br />
Z<br />
2<br />
3<br />
1<br />
3<br />
2<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
1<br />
;<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
;<br />
ln<br />
2<br />
3<br />
(10.17.c)
Impedansi per satuan panjang konduktor A di seluruh seksi dapat<br />
dinyatakan sebagai:<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
AA<br />
AB<br />
AC<br />
= R + R<br />
= R<br />
= R<br />
<br />
<br />
<br />
Jika didefinisikan:<br />
2<br />
ωµ ⎛ ⎞<br />
1<br />
ln⎜<br />
D<br />
+ j<br />
⎟<br />
2π<br />
⎜ ′ ′ ⎟<br />
⎝<br />
r r<br />
⎠<br />
ωµ ⎛ D1<br />
D2<br />
⎞<br />
+ j ln⎜<br />
⎟<br />
2π<br />
⎝ DABr′<br />
⎠<br />
ωµ ⎛ D1D3<br />
⎞<br />
+ j ln⎜<br />
⎟<br />
2π<br />
⎝ DAC<br />
r′<br />
⎠<br />
1/ 3<br />
1/ 3<br />
1/ 3<br />
⎛<br />
⎜ D<br />
⎜ ′ ′<br />
⎝<br />
r r<br />
⎛ D<br />
⎜<br />
⎝ D<br />
2<br />
2<br />
2<br />
AB<br />
⎛ D<br />
⎜<br />
⎝ D<br />
<br />
2<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
1/ 3<br />
D3<br />
⎞<br />
⎟<br />
r′<br />
⎠<br />
AC<br />
1/ 3<br />
D1<br />
⎞<br />
⎟<br />
r′<br />
⎠<br />
⎛ 2<br />
⎜ D3<br />
⎜ r′<br />
r′<br />
⎝ <br />
1/ 3<br />
⎛ D<br />
⎜<br />
⎝ D<br />
1/ 3<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
3<br />
AB<br />
⎛ D<br />
⎜<br />
⎝ D<br />
D1<br />
⎞<br />
⎟<br />
r′<br />
⎠<br />
3<br />
AC<br />
1/ 3<br />
D2<br />
⎞<br />
⎟<br />
r′<br />
⎠<br />
1/ 3<br />
(10.18)<br />
D 3 h = D1D2<br />
D3<br />
dan D 3<br />
f = D AB DBC<br />
D AC (10.19)<br />
maka formulasi (10.18) menjadi<br />
⎛ 2<br />
ωµ<br />
⎞<br />
⎜ Dh<br />
Z<br />
⎟<br />
AA = R + R<br />
+ j ln ;<br />
2π<br />
⎜ r′<br />
r′<br />
⎟<br />
⎝ ⎠<br />
⎛ 2<br />
ωµ<br />
⎞<br />
⎜ Dh<br />
Z<br />
⎟<br />
AB = R<br />
+ j ln ; Z<br />
π ⎜ ′ ⎟ AC<br />
2 D<br />
⎝ f r<br />
⎠<br />
= R<br />
⎛ 2<br />
ωµ<br />
⎞<br />
⎜ Dh<br />
+ j ln<br />
⎟<br />
2π<br />
⎜ D ′ ⎟<br />
⎝ f r<br />
⎠<br />
(10.20)<br />
Fasa B dan C memiliki formula yang mirip dengan fasa A dan kita<br />
mendapatkan relasi<br />
⎡VAA′<br />
⎤ ⎡ Z s<br />
1 ⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢VBB′<br />
⎥ ⎢<br />
Z m<br />
l<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
VCC′<br />
⎦ ⎣Z<br />
m<br />
Z m<br />
Z s<br />
Z m<br />
Z m ⎤ ⎡I<br />
A ⎤<br />
⎢ ⎥<br />
Z<br />
⎥<br />
m ⎥ ⎢I<br />
B ⎥<br />
Z ⎥ ⎢ ⎥<br />
s ⎦ ⎣<br />
IC<br />
⎦<br />
(10.21.a)<br />
dengan<br />
230 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Impedansi urutan<br />
2<br />
ωµ<br />
⎛ ⎞<br />
ln<br />
⎜ Dh<br />
Z<br />
⎟<br />
s = R + R<br />
+ j<br />
2π<br />
⎜ r′<br />
r ⎟<br />
⎝ ′<br />
⎠<br />
Ω/m<br />
⎛ 2<br />
ωµ<br />
⎞<br />
= + ln<br />
⎜ Dh<br />
Z<br />
⎟<br />
m R<br />
j<br />
2π<br />
⎜ D ′ ⎟<br />
⎝ f r<br />
⎠<br />
Ω/m<br />
−<br />
[ Z ] = [ T] 1 [ Z ][ T]<br />
012 ABC<br />
dan dengan (10.21.b) kita peroleh:<br />
6<br />
ωµ Dh<br />
Z 0 = Z s + 2Z<br />
m = R + 3R<br />
+ j ln<br />
2π<br />
2<br />
D f r′<br />
r′<br />
3<br />
( )<br />
ωµ D f<br />
Z1<br />
= Z 2 = Z s − Z m = R + j ln<br />
2π<br />
r′<br />
(10.21.b)<br />
(10.22)<br />
COTOH-10.3: Hitunglah impedansi urutan positif pada frekuensi<br />
50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang<br />
mempunyai konfigurasi sebagai berikut:<br />
A<br />
4,2 m<br />
8,4 m<br />
B<br />
4,2 m<br />
C<br />
= r′<br />
= r′<br />
= 0.088 Ω / km<br />
= r = 1,350 cm<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
Kapasitas arus: 900 A<br />
Penyelesaian: (perhatikan bahwa R dinyatakan dalam Ω/km)<br />
r<br />
r′<br />
= R<br />
= r<br />
= R<br />
= r<br />
Untuk menggunakan relasi (10.22), kita hitung lebih dulu D f<br />
dengan menggunakan relasi (10.19):<br />
R<br />
A<br />
A<br />
A<br />
B<br />
B<br />
B<br />
C<br />
C<br />
C<br />
D f<br />
3<br />
= 4×<br />
4×<br />
8 = 5,29<br />
m<br />
Jadi:<br />
Z<br />
1<br />
2π×<br />
50×<br />
4π×<br />
10<br />
= 0,088+<br />
j<br />
2π<br />
= 0,088+<br />
j0,3896<br />
Ω/km<br />
−7<br />
× 1000<br />
ln<br />
5,29<br />
0,01073<br />
231
10.4. Admitansi<br />
Kita pandang satu konduktor lurus dengan panjang tak hingga dan<br />
mengandung muatan dengan kerapatan ρ per satual panjang. Pada<br />
konfigurasi sederhana ini, penerapan hukum Gauss untuk<br />
menghitung displacement D menjadi sederhana.<br />
∫<br />
S<br />
Dds = ρl<br />
dengan S adalah luas dinding silinder dengan sumbu pada konduktor<br />
sepanjang l. Bidang equipotensial di sekitar konduktor akan<br />
berbentuk silindris dengan sumbu pada konduktor tersebut. Kuat<br />
medan listrik di suatu titik berjarak x dari konduktor adalah:<br />
Untuk udara<br />
D ρl<br />
ρ<br />
E x = = =<br />
ε ε × 2πx<br />
× l 2πεx<br />
1 −<br />
ε = ε0<br />
= × 10<br />
9<br />
36π<br />
F/m<br />
Kuat medan listrik ini menyebabkan terjadinya perbedaan potensial<br />
antara dua titik di luar konduktor, seperti digambarkan pada<br />
Gb.10.5.<br />
A B<br />
x A<br />
x B<br />
Gb.10.5. Dua titik di luar konduktor.<br />
v<br />
AB<br />
ρ<br />
xB<br />
xB<br />
B<br />
∫<br />
Edx = dx = ln (10.23)<br />
xA<br />
xA<br />
2πεx<br />
2πε<br />
x A<br />
=<br />
∫<br />
ρ<br />
x<br />
v AB adalah penurunan potensial dari A ke B yang bernilai posistif<br />
jika x B > x A . Jika ρ adalah muatan negatif maka v AB adalah<br />
kenaikan potensial.<br />
Beda Potensial Dua Konduktor Tak Bermuatan. Kita lihat<br />
sekarang satu konduktor k dengan jari-jari r k dan bermuatan ρ k . Dua<br />
konduktor lain yang tidak bermuatan, i dan j, berjarak D ik dan D jk<br />
dari konduktor k seperti terlihat pada Gb.10.6.<br />
232 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
k,<br />
r k<br />
, ρ<br />
k<br />
i<br />
j<br />
D ik<br />
D jk<br />
Gb.10.6. Satu konduktor bermuatan dan dua konduktor tak<br />
bermuatan.<br />
Potensial konduktor i yang diakibatkan oleh adanya muatan di<br />
konduktor k adalah beda potensial antara titik di permukaan<br />
konduktor k dan posisi konduktor i. Sedangkan beda potensial antara<br />
konduktor k dan j adalah beda potensial antara permukaan<br />
konduktor k dan posisi konduktor j. Beda potensial antara konduktor<br />
i dan j adalah selisih antara keduanya.<br />
vij<br />
ρ<br />
k<br />
= vkj<br />
ρ<br />
k<br />
− vki<br />
ρ<br />
k<br />
ρk<br />
⎛ D D<br />
ik jk ⎞ ρk<br />
Dik<br />
= ⎜ln<br />
− ln ⎟ = ln<br />
2πε<br />
rk<br />
r<br />
⎝<br />
k ⎠ 2πε<br />
Dij<br />
(10.24.)<br />
Beda Potensial Tiga Konduktor Bermuatan. Tiga konduktor<br />
bermuatan A, B, C diperlihatkan pada Gb.10.7. Setiap muatan di<br />
setiap konduktor akan menyebabkan beda potensial di dua<br />
konduktor yang lain.<br />
D AC<br />
DAB<br />
DBC<br />
A,<br />
r<br />
Gb.10.7. Tiga konduktor bermuatan.<br />
v<br />
A<br />
, ρ<br />
BC<br />
A<br />
= v<br />
B,<br />
BC ρ<br />
A<br />
r<br />
B<br />
+ v<br />
, ρ<br />
B<br />
BC ρ<br />
B<br />
C, r<br />
+ v<br />
C<br />
, ρ<br />
BC ρ<br />
C<br />
C<br />
v<br />
BC<br />
ρ<br />
A<br />
ρ A D<br />
= ln<br />
2πε D<br />
AC<br />
AB<br />
233
v<br />
BC<br />
ρ<br />
B<br />
ρ B D<br />
= ln<br />
2πε r<br />
BC<br />
B<br />
v<br />
BC ρ<br />
c<br />
ρC<br />
r<br />
= ln<br />
2πε D<br />
C<br />
BC<br />
Jadi<br />
vBC<br />
1 ⎛ D<br />
⎜ AC<br />
=<br />
ρ A ln<br />
2πε<br />
⎝ DAB<br />
DBC<br />
+ ρ B ln<br />
rB<br />
rC<br />
⎞<br />
+ ρC<br />
ln ⎟<br />
D<br />
BC ⎠<br />
(10.25)<br />
Beda Potensial Empat Konduktor Bermuatan. Empat konduktor<br />
bermuatan terlihat pada Gb.10.8:<br />
A,<br />
r<br />
A<br />
, ρ<br />
A<br />
B,<br />
Gb. 10.8. <strong>Sistem</strong> empat konduktor.<br />
Kita akan meninjau sistem empat konduktor seperti terlihat pada<br />
gambar di atas dengan ketentuan konservasi muatan, yaitu<br />
1 ⎛ D<br />
⎜ A DB<br />
v A =<br />
ρ A ln + ρ B ln<br />
2πε<br />
⎝ rA<br />
DAB<br />
1 ⎛ D<br />
⎜ A DB<br />
vB<br />
=<br />
ρ A ln + ρ B ln<br />
2πε<br />
⎝ DAB<br />
rB<br />
1 ⎛ D<br />
⎜ A DB<br />
vC<br />
=<br />
ρ A ln + ρ B ln<br />
2πε<br />
⎝ DAC<br />
DBC<br />
1 ⎛ D<br />
⎜ A<br />
v = ln<br />
2<br />
ρ A<br />
πε ⎝ D A<br />
ρ A + ρ A + ρ A + ρ A = 0<br />
(10.26)<br />
DB<br />
+ ρ B ln<br />
DB<br />
DC<br />
+ ρC<br />
ln<br />
DAC<br />
DC<br />
+ ρC<br />
ln<br />
DBC<br />
DC<br />
+ ρC<br />
ln<br />
rC<br />
DC<br />
+ ρC<br />
ln<br />
DC<br />
Jika kita terapkan relasi konservasi muatan (10.26)<br />
r<br />
r<br />
⎞<br />
+ ρ ln ⎟<br />
D<br />
A ⎠<br />
r<br />
⎞<br />
+ ρ ln ⎟<br />
D<br />
B ⎠<br />
r<br />
⎞<br />
+ ρ ln ⎟<br />
D<br />
C ⎠<br />
D<br />
⎞<br />
+ ρ ln ⎟<br />
= 0<br />
D<br />
⎠<br />
ρa + ρb<br />
+ ρc<br />
+ ρn<br />
= 0 atau ρ n = −( ρa<br />
+ ρb<br />
+ ρc<br />
)<br />
maka ρ akan ter-eliminasi dari persamaan (10.27)<br />
B<br />
, ρ<br />
B<br />
C, r<br />
C<br />
, ρ<br />
C<br />
N, r<br />
<br />
, ρ<br />
<br />
(10.27)<br />
234 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
235<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
<br />
AC<br />
C<br />
A<br />
C<br />
<br />
AB<br />
B<br />
A<br />
B<br />
<br />
A<br />
A<br />
A<br />
A<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
r<br />
D<br />
v<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
2<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
<br />
BC<br />
C<br />
B<br />
C<br />
<br />
B<br />
B<br />
B<br />
<br />
AB<br />
B<br />
A<br />
A<br />
B<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
v<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
2<br />
⎟<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+ ρ<br />
+ ρ<br />
ρ<br />
πε<br />
=<br />
<br />
C<br />
C<br />
C<br />
<br />
BC<br />
B<br />
C<br />
B<br />
<br />
AC<br />
A<br />
C<br />
A<br />
C<br />
r<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
v<br />
2<br />
ln<br />
ln<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
(10.28.a)<br />
yang dalam bentuk matriks kita tuliskan:<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
ρ<br />
ρ<br />
ρ<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
=<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
C<br />
B<br />
A<br />
n<br />
c<br />
C<br />
n<br />
BCB<br />
B<br />
C<br />
n<br />
AC<br />
A<br />
C<br />
n<br />
BC<br />
C<br />
B<br />
n<br />
b<br />
B<br />
n<br />
AB<br />
A<br />
B<br />
n<br />
AC<br />
C<br />
A<br />
n<br />
AB<br />
B<br />
A<br />
n<br />
a<br />
A<br />
C<br />
B<br />
A<br />
r<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
r<br />
r<br />
D<br />
v<br />
v<br />
v<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
2<br />
(10.28.b)<br />
atau secara singkat<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
ρ<br />
ρ<br />
ρ<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
=<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
C<br />
A<br />
A<br />
CC<br />
CB<br />
CA<br />
BC<br />
BB<br />
AB<br />
AC<br />
AB<br />
AA<br />
C<br />
B<br />
A<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
v<br />
v<br />
v<br />
(10.28.c)<br />
atau<br />
[ ] ABC<br />
ABC<br />
ABC<br />
ρ<br />
F<br />
v<br />
~<br />
~<br />
= (10.28.d)<br />
dengan<br />
C<br />
B<br />
A<br />
j<br />
i<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
f<br />
n<br />
ij<br />
jn<br />
in<br />
ij<br />
,<br />
,<br />
,<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
=<br />
πε<br />
=<br />
(10.28.e)<br />
Untuk tegangan sinusoidal keadaan mantap, dapat kita tuliskan:
⎡VA<br />
⎤ ⎡ f AA<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢VB<br />
⎥ ⎢<br />
f BA<br />
⎢ ⎥ ⎢<br />
⎣<br />
VC<br />
⎦ ⎣ fCA<br />
f AB f AC ⎤ ⎡ρ<br />
A ⎤<br />
f<br />
⎥ ⎢ ⎥<br />
BB f BC ⎥ ⎢<br />
ρ B ⎥<br />
fCB<br />
fCC<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
ρC<br />
⎥⎦<br />
atau<br />
(10.29.a)<br />
⎡ρ<br />
A ⎤ ⎡ f AA<br />
⎢ ⎥<br />
=<br />
⎢<br />
⎢<br />
ρ B ⎥ ⎢<br />
f BA<br />
⎢⎣<br />
ρC<br />
⎥⎦<br />
⎢⎣<br />
fCA<br />
f AB<br />
f BB<br />
fCB<br />
atau<br />
−1<br />
f AC ⎤ ⎡VA<br />
⎤<br />
⎢ ⎥<br />
f<br />
⎥<br />
BC ⎥ ⎢VB<br />
⎥<br />
f ⎥ ⎢ ⎥<br />
CC ⎦ ⎣<br />
VC<br />
⎦<br />
(10.29.b)<br />
ρ<br />
~ -1 ~<br />
~<br />
ABC = [ FABC<br />
] VABC<br />
= [ C ABC ] VABC<br />
(10.29.c)<br />
Kita ingat relasi kapasitor<br />
dan kita peroleh admitansi<br />
Q = CV<br />
-1<br />
[ ] [ ] F/m<br />
. Dari (10.25.c) kita turunkan<br />
C ABC = F ABC<br />
(10.30)<br />
[ ] ω[ ] Ω/m<br />
Y ABC = j C ABC<br />
(10.31)<br />
Namun kita tidak menghitung [Y ABC ] dengan menggunakan (10.31)<br />
F dan sini<br />
melainkan dari (10.30) dengan menghitung [ ABC ]<br />
menghitung [ F 012 ] sehingga diperoleh [ C 012 ] dan [ 012 ]<br />
nilai urutannya adalah<br />
dan akan kita peroleh<br />
[ ]<br />
Y .<br />
⎡ f AA f AB f AC ⎤<br />
F =<br />
⎢<br />
⎥<br />
ABC ⎢<br />
f BA f BB f BC ⎥<br />
(10.32)<br />
⎢⎣<br />
fCA<br />
fCB<br />
fCC<br />
⎥⎦<br />
−1<br />
[ F ] [ T] [ F ][ T]<br />
012 = ABC<br />
(10.33)<br />
−<br />
[ C ] = [ F ] 1 sehingga [ Y ] ω[ ]<br />
012<br />
012<br />
012 = j C 012 (10.34)<br />
236 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
237<br />
Konfigurasi ∆.<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
AC<br />
BC<br />
AB =<br />
=<br />
= ; 3<br />
D /<br />
D<br />
D<br />
D<br />
C<br />
B<br />
A =<br />
=<br />
= .<br />
[ ]<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
=<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
πε<br />
=<br />
s<br />
m<br />
m<br />
m<br />
s<br />
m<br />
m<br />
m<br />
s<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
n<br />
ABC<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
rr<br />
D<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
rr<br />
D<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
r<br />
D<br />
rr<br />
D<br />
F<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
3<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
2<br />
(10.35)<br />
[ ] [ ] [ ]<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
−<br />
−<br />
+<br />
=<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
=<br />
−<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
m<br />
s<br />
s<br />
m<br />
m<br />
m<br />
s<br />
m<br />
m<br />
m<br />
s<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
f<br />
F<br />
0<br />
0<br />
0<br />
0<br />
0<br />
0<br />
2<br />
T<br />
T 1<br />
012<br />
(10.36)<br />
r<br />
D<br />
f<br />
f<br />
F<br />
F<br />
r<br />
r<br />
D<br />
f<br />
f<br />
F<br />
m<br />
s<br />
n<br />
m<br />
s<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
)<br />
(<br />
27<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
1<br />
3<br />
4<br />
0<br />
πε<br />
=<br />
−<br />
=<br />
=<br />
πε<br />
=<br />
+<br />
=<br />
(10.37)<br />
Kapasitansi<br />
)<br />
/<br />
ln(<br />
2<br />
1<br />
]<br />
)<br />
(<br />
27<br />
/<br />
ln[<br />
2<br />
1<br />
2<br />
1<br />
1<br />
3<br />
4<br />
0<br />
0<br />
r<br />
D<br />
C<br />
F<br />
C<br />
r<br />
r<br />
D<br />
F<br />
C<br />
<br />
πε<br />
=<br />
=<br />
=<br />
πε<br />
=<br />
=<br />
(10.38)
Admitansi<br />
Y<br />
Y<br />
0<br />
1<br />
= jωC<br />
= jωC<br />
1<br />
0<br />
= j<br />
ln[ D<br />
= Y<br />
2<br />
4<br />
2πεω<br />
/ 27r(<br />
r<br />
2πεω<br />
= j<br />
ln( D / r)<br />
<br />
)<br />
3<br />
]<br />
(10.39)<br />
Transposisi. Kita telah melihat bahwa jika transposisi dilakukan<br />
maka impedansi urutan dapat berbentuk matriks diagonal. Hal yang<br />
sama akan terjadi pada admitansi. Dengan transposisi matriks [F ABC ]<br />
berbentuk<br />
⎡ f s f m f m ⎤<br />
[ F ] =<br />
⎢<br />
⎥<br />
ABC ⎢<br />
f m f s f m ⎥<br />
(10.40)<br />
⎢⎣<br />
f m f m f s<br />
⎥⎦<br />
Pada tahap ini kita perlu mengingat kembali bahwa walaupun dalam<br />
analisis rangkaian listrik besaran resistansi, induktansi, impedansi,<br />
serta admitansi difahami sebagai konstanta proporsiaonalitas<br />
rangkaian linier, namun sesungguhnya mereka adalah besaranbesaran<br />
dimensional. Mereka merupakan besaran yang tergantung<br />
dari ukuran yang dimilikinya serta sifat-sifat fisis material yang<br />
membentuknya. Oleh karena itu, selama dimensinya sama,<br />
pengolahan aritmatika dapat dilakukan.<br />
Dalam kasus transposisi saluran transmisi, sebagaimana ditunjukkan<br />
oleh matriks [F ABC ] di atas, konduktor-konduktor memiliki nilai<br />
sama jika dilihat dalam selang saluran yang ditransposisikan yaitu<br />
yang terdiri dari tiga seksi. Dengan demikian maka admitansi dapat<br />
kita peroleh dengan mengambil nilai rata-rata dari admitansi per<br />
seksi.<br />
1<br />
fij<br />
=<br />
3<br />
dengan<br />
( f + f + f )<br />
ij seksi-1<br />
f<br />
f<br />
ij<br />
if<br />
= f<br />
s<br />
= f<br />
Kita memperoleh (lihat Gb.10.4.)<br />
m<br />
ij seksi-2<br />
jika i = j<br />
jika i ≠ j<br />
ij seksi-3<br />
(10.41)<br />
238 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
239<br />
3<br />
1<br />
3<br />
3<br />
2<br />
2<br />
1<br />
3<br />
3<br />
2<br />
3<br />
2<br />
2<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
6<br />
1<br />
ln<br />
6<br />
1<br />
<br />
AC<br />
BC<br />
AB<br />
m<br />
<br />
s<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D<br />
f<br />
r<br />
r<br />
D<br />
D<br />
D<br />
f<br />
πε<br />
=<br />
πε<br />
=<br />
(10.41)<br />
Dengan definisi (10.19)<br />
3<br />
3<br />
2<br />
1 D<br />
D<br />
D<br />
D h = dan 3<br />
AC<br />
BC<br />
AB<br />
f<br />
D<br />
D<br />
D<br />
D =<br />
kita peroleh<br />
<br />
f<br />
h<br />
m<br />
<br />
h<br />
s<br />
r<br />
D<br />
D<br />
f<br />
rr<br />
D<br />
f<br />
2<br />
2<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
πε<br />
=<br />
πε<br />
=<br />
(10.42)<br />
sehingga<br />
r<br />
D<br />
f<br />
f<br />
F<br />
F<br />
r<br />
r<br />
D<br />
D<br />
f<br />
f<br />
F<br />
f<br />
m<br />
s<br />
n<br />
f<br />
h<br />
m<br />
s<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
)<br />
(<br />
ln<br />
2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
1<br />
3<br />
2<br />
6<br />
0<br />
πε<br />
=<br />
−<br />
=<br />
=<br />
πε<br />
=<br />
+<br />
=<br />
(10.43<br />
Kapasitansi adalah<br />
F/m<br />
)<br />
/<br />
ln(<br />
2<br />
1<br />
F/m<br />
]<br />
)<br />
(<br />
/<br />
ln[<br />
2<br />
1<br />
2<br />
1<br />
1<br />
3<br />
2<br />
6<br />
0<br />
0<br />
r<br />
D<br />
C<br />
F<br />
C<br />
r<br />
r<br />
D<br />
D<br />
F<br />
C<br />
f<br />
<br />
f<br />
h<br />
πε<br />
=<br />
=<br />
=<br />
πε<br />
=<br />
=<br />
(10.44)<br />
Admitansi adalah<br />
S/m<br />
)<br />
/<br />
ln(<br />
2<br />
S/m<br />
)<br />
/<br />
ln(<br />
2<br />
2<br />
1<br />
3<br />
2<br />
6<br />
0<br />
0<br />
r<br />
D<br />
j<br />
Y<br />
Y<br />
rr<br />
D<br />
D<br />
j<br />
C<br />
j<br />
Y<br />
f<br />
<br />
f<br />
h<br />
πε<br />
ω<br />
=<br />
=<br />
πε<br />
ω<br />
=<br />
ω<br />
=<br />
(10.45)
COTOH-10.4: Hitunglah admitansi urutan positif pada frekuensi<br />
50 Hz dari suatu saluran transmisi dengan transposisi yang<br />
mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-10.3:<br />
A<br />
4,2 m<br />
8,4 m<br />
B<br />
4,2 m<br />
C<br />
RA<br />
= RB<br />
= RC<br />
= 0.088 Ω / km<br />
rA<br />
= rB<br />
= rC<br />
= r = 1,350 cm<br />
rA′<br />
= rB′<br />
= rC′<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
Kapasitas arus: 900 A<br />
Penyelesaian:<br />
Dengan menggunakan relasi (10.37), di mana D f sudah dihitung<br />
−9<br />
pada Contoh-10.2 dan ε = (1/ 36π)<br />
× 10 F/m maka:<br />
Y<br />
1<br />
−<br />
2πε<br />
2π×<br />
50×<br />
2π×<br />
(1/ 36π)<br />
× 10<br />
= jω<br />
= j<br />
ln( D / r)<br />
ln(5,29 / 0,01350)<br />
−<br />
= j2,923×<br />
10<br />
f<br />
9<br />
S/m = j2,923<br />
µ S/km<br />
Catatan: Formulasi untuk Y 0 pada (10.39) tidak terlalu cocok untuk<br />
menghitung admitansi urutan nol. Kopling kapasitif tidak<br />
hanya terjadi antar konduktor tetapi juga dengan tanah.<br />
9<br />
240 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
BAB 11<br />
<strong>Rangkaian</strong> Ekivalen<br />
Saluran Transmisi<br />
Di bab sebelumnya kita telah memperoleh formulasi impedansi dan<br />
admitansi per satuan panjang dari saluran transmisi. Selain itu kita<br />
telah melihat bahwa dengan transposisi saluran transmisi dibuat<br />
menjadi simetris dan memberikan matriks besaran urutan yang<br />
diagonal.<br />
Impedansi dan admitansi suatu saluran transmisi terdistribusi<br />
sepanjang saluran yang ratusan kilometer panjangnya. Dengan<br />
menggunakan model satu fasa, kita akan melihat bagaimana<br />
perubahan tegangan dan arus sepanjang saluran. Setelah itu kita<br />
akan melihat rangkaian ekivalen yang diperlukan dalam analisis jika<br />
saluran transmisi ini terhubung dengan peralatan lain, transformator<br />
misalnya.<br />
11.1. Persamaan Saluran Transmisi<br />
Karena impedansi dan admitansi terdistribusi sepanjang saluran<br />
maka dalam penyaluran daya akan terjadi perbedaan tegangan dan<br />
arus antara setiap posisi yang berbeda. Kita lihat saluran transmisi<br />
dua konduktor lebih dulu, seperti pada Gb.11.1.<br />
I s+<br />
∆x<br />
∆x<br />
Z∆xI<br />
x<br />
I x<br />
I r<br />
Vs<br />
Vs+<br />
∆x<br />
Y∆xV<br />
x<br />
V x<br />
Vr<br />
x<br />
Gb.11.1 Model satu fasa saluran transmisi.<br />
241
Saluran transmisi ini bertegangan<br />
V s di ujung kirim dan<br />
Vr<br />
di<br />
ujung terima. Kita tinjau satu posisi berjarak x dari ujung terima dan<br />
kita perhatikan suatu segmen kecil ∆x ke-arah ujung kirim. Pada<br />
segmen kecil ini terjadi hal-hal berikut:<br />
Tegangan<br />
V x di x.<br />
Tegangan<br />
∆ V<br />
x<br />
V x+<br />
∆x<br />
di (x + ∆x) karena terjadi tegangan jatuh<br />
= Z∆xI<br />
x (Z adalah impedansi per satuan panjang).<br />
Arus I x mengalir dari x menuju ujung terima.<br />
Arus ∆ I x = Y∆xVx<br />
mengalir di segmen ∆x (Y adalah admitansi<br />
per satuan panjang).<br />
Arus<br />
I<br />
x+<br />
∆x<br />
mengalir menuju titik (x + ∆x) dari arah ujung kirim.<br />
Vx+∆x<br />
I x+∆x<br />
−<br />
−<br />
Vx<br />
I x<br />
= Z∆x<br />
= Y∆x<br />
Jika ∆x mendekati nol, maka<br />
I x<br />
Vx<br />
atau<br />
atau<br />
Vx+∆x<br />
I x+∆x<br />
∆x<br />
−<br />
∆x<br />
−<br />
Vx<br />
I x<br />
= Z<br />
= Y<br />
Vx<br />
I x<br />
d<br />
d<br />
Vx<br />
I x<br />
= ZI<br />
x dan = YVx<br />
(11.1)<br />
dx<br />
Jika (11.1) kita turunkan sekali lagi terhadap x kita peroleh<br />
d<br />
2<br />
Vx<br />
2<br />
dx<br />
dI<br />
x<br />
= Z<br />
dx<br />
Substitusi (11.1) ke (11.2) memberikan<br />
dx<br />
2<br />
d I x dVx<br />
dan = Y<br />
(11.2)<br />
2<br />
dx dx<br />
d<br />
2<br />
Vx<br />
2<br />
dx<br />
= ZY<br />
Vx<br />
2<br />
d I x<br />
dan = ZYI<br />
2 x (11.3)<br />
dx<br />
242 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Konstanta Propagasi. Persamaan (11.3) ini telah menjadi sebuah<br />
persamaan di mana ruas kiri dan kanan berisi peubah yang sama<br />
sehingga solusi dapat dicari. Untuk mencari solusi tersebut<br />
didefinisikan<br />
γ<br />
2<br />
= ZY atau γ =<br />
ZY<br />
(11.4)<br />
γ disebut konstanta propagasi. Karena Z memiliki satuan Ω/m dan<br />
Y memiliki satuan S/m, maka γ memiliki satuan per meter. Selain itu<br />
karena Z dan Y merupakan bilangan kompleks maka γ juga<br />
merupakan bilangan kompleks yang dapat dituliskan sebagai<br />
γ = α + j β<br />
(11.5)<br />
α disebut konstanta redaman<br />
β disebut konstanta fasa<br />
Impedansi Karakteristik. Dengan menggunakan pengertian<br />
konstanta propagasi maka persamaan (11.3) dapat dituliskan<br />
menjadi<br />
atau<br />
d<br />
2<br />
2<br />
Vx<br />
2<br />
d I x 2<br />
= γ Vx<br />
dan = γ I<br />
2<br />
2 x (11.6.a)<br />
dx<br />
dx<br />
d<br />
2<br />
Vx<br />
2<br />
dx<br />
− γ<br />
2<br />
Vx<br />
= 0<br />
dan<br />
d<br />
2<br />
I x<br />
2<br />
dx<br />
− γ<br />
2<br />
I x<br />
= 0<br />
(11.6.b)<br />
Solusi persamaan (11.6.b) adalah (lihat bahasan analisis transien<br />
orde ke-dua di pustaka [3]):<br />
γx<br />
−γx<br />
γx<br />
−γx<br />
V x = kv1e<br />
+ kv2e<br />
dan Ix<br />
= ki1e<br />
+ ki2e<br />
(11.6.c)<br />
Kita lihat lebih dulu persamaan pertama (11.6.c) yaitu<br />
Persamaan (11.1) dan (11.7.a) memberikan<br />
x −γx<br />
V x = kv1<br />
e<br />
γ + kv1e<br />
(11.7.a)<br />
243
d<br />
Vx<br />
γx<br />
= ZI<br />
x = kv1<br />
γe<br />
− kv2<br />
dx<br />
Persamaan (11.7.a) dan (11.7.b serta definisi (11.4) memberikan<br />
k<br />
Z<br />
γe<br />
γx<br />
(11.7.b)<br />
γx<br />
γx<br />
v1 e − kv2e<br />
= I x = I x (11.7.c)<br />
ZY<br />
Perhatikan bahwa ruas paling kiri (11.7.c) adalah tegangan. Hal ini<br />
berarti bahwa ruas paling kanan juga berdimensi tegangan. Oleh<br />
karena itu<br />
Z di ruas paling kanan (11.7.c) haruslah berdimensi impedansi;<br />
Y<br />
impedansi ini disebut impedansi karakteristik, Z c .<br />
Z<br />
Y<br />
Z<br />
Z c = (11.8)<br />
Y<br />
Dengan pengertian impedansi karakteristik ini maka (11.7.c) kita<br />
tulis menjadi<br />
k<br />
γx<br />
γx<br />
v1 e − kv2e<br />
= Z cI<br />
x<br />
(11.9.a)<br />
sementara persamaan pertama (11.6.c) dapat kita tulis<br />
k<br />
γx<br />
−γx<br />
v1e<br />
+ kv2e<br />
= Vx<br />
Pada x = 0 persamaan (11.9.a) dan (11.9.b) memberikan<br />
(11.9.b)<br />
k<br />
k<br />
v1 v2<br />
c r<br />
sehingga diperoleh<br />
v1<br />
− k<br />
+ k<br />
v2<br />
= Z I<br />
= V<br />
r<br />
k<br />
v1<br />
k<br />
v2<br />
Z<br />
=<br />
=<br />
cI<br />
r<br />
Vr<br />
+<br />
2<br />
− Z<br />
2<br />
Vr<br />
cI<br />
r<br />
Dengan (11.9.c) ini maka persamaan pertama (11.6.c) menjadi<br />
(11.9.c)<br />
244 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
245<br />
)<br />
sinh(<br />
)<br />
cosh(<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
1<br />
x<br />
Z<br />
x<br />
e<br />
e<br />
Z<br />
e<br />
e<br />
e<br />
Z<br />
e<br />
Z<br />
e<br />
k<br />
e<br />
k<br />
r<br />
c<br />
r<br />
x<br />
x<br />
r<br />
c<br />
x<br />
x<br />
r<br />
x<br />
r<br />
c<br />
r<br />
x<br />
r<br />
r<br />
c<br />
x<br />
v<br />
x<br />
v<br />
x<br />
λ<br />
+<br />
γ<br />
=<br />
−<br />
+<br />
+<br />
=<br />
−<br />
+<br />
+<br />
=<br />
+<br />
=<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
I<br />
V<br />
I<br />
V<br />
I<br />
V<br />
V<br />
I<br />
V<br />
(11.9.d)<br />
Persamaan ke-dua (11.6.c) kita olah dengan cara yang sama.<br />
x<br />
c<br />
x<br />
i<br />
x<br />
i<br />
x<br />
x<br />
i<br />
x<br />
i<br />
x<br />
x<br />
i<br />
x<br />
i<br />
x<br />
Z<br />
e<br />
k<br />
e<br />
k<br />
Y<br />
e<br />
k<br />
e<br />
k<br />
dx<br />
d<br />
e<br />
k<br />
e<br />
k<br />
V<br />
V<br />
I<br />
I<br />
1<br />
2<br />
1<br />
2<br />
1<br />
2<br />
1<br />
=<br />
−<br />
→<br />
=<br />
γ<br />
−<br />
γ<br />
=<br />
→<br />
+<br />
=<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
(11.10.a)<br />
Untuk x = 0,<br />
r<br />
c<br />
i<br />
i<br />
r<br />
i<br />
i<br />
Z<br />
k<br />
k<br />
k<br />
k<br />
V<br />
I<br />
1<br />
2<br />
1<br />
2<br />
1<br />
=<br />
−<br />
=<br />
+<br />
dan diperoleh<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
2<br />
1<br />
c<br />
r<br />
r<br />
i<br />
c<br />
r<br />
r<br />
i<br />
Z<br />
k<br />
Z<br />
k<br />
V<br />
I<br />
V<br />
I<br />
−<br />
=<br />
+<br />
=<br />
(11.10.b)<br />
Dengan (11.11.c) ini kita peroleh<br />
)<br />
cosh(<br />
)<br />
sinh(<br />
2<br />
2<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
x<br />
x<br />
Z<br />
e<br />
e<br />
e<br />
e<br />
Z<br />
e<br />
Z<br />
e<br />
Z<br />
r<br />
c<br />
r<br />
x<br />
x<br />
r<br />
x<br />
x<br />
c<br />
r<br />
x<br />
c<br />
r<br />
r<br />
x<br />
c<br />
r<br />
r<br />
x<br />
γ<br />
+<br />
λ<br />
=<br />
+<br />
+<br />
−<br />
=<br />
−<br />
+<br />
+<br />
=<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
I<br />
V<br />
I<br />
V<br />
V<br />
I<br />
V<br />
I<br />
I<br />
(11.10.c)<br />
Jadi untuk saluran transmisi kita peroleh sepasang persamaan<br />
)<br />
cosh(<br />
)<br />
sinh(<br />
)<br />
sinh(<br />
)<br />
cosh(<br />
x<br />
x<br />
Z<br />
x<br />
Z<br />
x<br />
r<br />
c<br />
r<br />
x<br />
r<br />
c<br />
r<br />
x<br />
γ<br />
+<br />
γ<br />
=<br />
γ<br />
+<br />
γ<br />
=<br />
I<br />
V<br />
I<br />
I<br />
V<br />
V<br />
(11.11)
Persamaan (11.11) ini memberikan nilai tegangan di setiap posisi x<br />
pada saluran transmisi apabila tegangan dan arus di ujung terima<br />
diketahui. Dengan bantuan komputer tidaklah terlalu sulit untuk<br />
melakukan perhitungan untuk setiap nilai x. Parameter yang terlibat<br />
dalam perhitungan adalah konstanta propagasi γ dan impedansi<br />
karakteristik Z c . Konstanta propagasi mempunyai satuan per meter<br />
yang ditunjukkan oleh persamaan (11.4); impedansi karakteristik<br />
mempunyai satuan ohm (bukan ohm per meter) yang ditunjukkan<br />
oleh (11.8).<br />
11.2. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen π<br />
Jika panjang saluran adalah d, tegangan dan arus di ujung kirim<br />
adalah Vs<br />
dan I s maka dari (11.11) kita peroleh<br />
Vs<br />
= Vr<br />
cosh( γd)<br />
+ Z cI<br />
r sinh( γd)<br />
V<br />
(11.12)<br />
r<br />
I s = sinh( γd)<br />
+ I r cosh( γd)<br />
Z c<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen diperlukan dalam analisis saluran transmisi jika<br />
terhubung dengan piranti lain. Kita akan meninjau suatu rangkaian<br />
ekivalen yang disebut rangkaian ekivalen π seperti terlihat pada<br />
Gb.11.2.<br />
I<br />
s<br />
I r<br />
Z t<br />
Vs<br />
Y t<br />
2<br />
Y t<br />
2<br />
Vr<br />
Gb.11.2. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen π.<br />
Pada rangkaian ekivalen ini, impedansi dan admitansi yang<br />
terdistribusi sepanjang saluran dimodelkan sebagai impedansi dan<br />
admitansi tergumpal ekivalen. Aplikasi hukum Kirchhoff pada<br />
rangkaian ini memberikan:<br />
246 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
247<br />
r<br />
t<br />
r<br />
t<br />
t<br />
r<br />
t<br />
r<br />
t<br />
r<br />
s<br />
Z<br />
Y<br />
Z<br />
Y<br />
Z<br />
I<br />
V<br />
V<br />
I<br />
V<br />
V +<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎟ = ⎛ +<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+<br />
+<br />
=<br />
2<br />
1<br />
2<br />
(11.13.a)<br />
r<br />
t<br />
t<br />
r<br />
t<br />
t<br />
t<br />
r<br />
t<br />
r<br />
t<br />
t<br />
t<br />
r<br />
t<br />
r<br />
s<br />
t<br />
r<br />
t<br />
r<br />
s<br />
Y<br />
Z<br />
Y<br />
Y<br />
Z<br />
Z<br />
Y<br />
Z<br />
Y<br />
Y<br />
Y<br />
Y<br />
I<br />
V<br />
I<br />
V<br />
V<br />
I<br />
V<br />
V<br />
I<br />
I<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
+ ⎛ +<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+<br />
=<br />
⎥<br />
⎦<br />
⎤<br />
⎢<br />
⎣<br />
⎡<br />
+<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛ +<br />
+<br />
+<br />
= +<br />
+<br />
=<br />
2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
(11.13.b)<br />
Kita ringkaskan (11.3.a dan b) menjadi :<br />
r<br />
t<br />
t<br />
r<br />
t<br />
t<br />
t<br />
s<br />
t<br />
r<br />
t<br />
t<br />
s<br />
Y<br />
Z<br />
Y<br />
Y<br />
Z<br />
Z<br />
Y<br />
Z<br />
I<br />
V<br />
I<br />
I<br />
V<br />
V<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
+ ⎛ +<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+<br />
=<br />
+<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛ +<br />
= 2<br />
1<br />
2<br />
2<br />
2<br />
2<br />
1<br />
(11.14)<br />
Jika kita perbandingkan persamaan ini dengan persamaan (11.12),<br />
kita dapatkan<br />
)<br />
sinh(<br />
1<br />
2<br />
2<br />
2<br />
)<br />
sinh(<br />
)<br />
cosh(<br />
2<br />
1<br />
d<br />
Z<br />
Y<br />
Y<br />
Z<br />
d<br />
Z<br />
Z<br />
d<br />
Y<br />
Z<br />
c<br />
t<br />
t<br />
t<br />
c<br />
t<br />
t<br />
t<br />
γ<br />
=<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛<br />
+<br />
γ<br />
=<br />
γ<br />
=<br />
+<br />
(11.15)<br />
Substitusi persamaan pertama (11.15 ke persamaan ke-tiga<br />
memberikan<br />
( )<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎞<br />
⎜<br />
⎝<br />
⎛ γ<br />
=<br />
+<br />
−<br />
=<br />
+<br />
+<br />
×<br />
−<br />
=<br />
+<br />
+<br />
−<br />
=<br />
+<br />
γ<br />
γ<br />
=<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
−γ<br />
γ<br />
2<br />
tanh<br />
1<br />
)<br />
(<br />
)<br />
(<br />
)<br />
(<br />
)<br />
(<br />
)<br />
(<br />
2<br />
/<br />
2)<br />
(<br />
2<br />
/<br />
)<br />
(<br />
1<br />
)<br />
cosh(<br />
)<br />
sinh(<br />
2<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
2<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
2<br />
/<br />
d<br />
Z<br />
e<br />
e<br />
Z<br />
e<br />
e<br />
e<br />
e<br />
Z<br />
e<br />
e<br />
e<br />
e<br />
e<br />
e<br />
Z<br />
e<br />
e<br />
d<br />
Z<br />
d<br />
Y<br />
c<br />
d<br />
d<br />
c<br />
d<br />
d<br />
d<br />
d<br />
c<br />
d<br />
d<br />
d<br />
d<br />
d<br />
d<br />
c<br />
d<br />
d<br />
c<br />
t
Jadi dalam rangkaian ekivalen π<br />
Yt<br />
1 ⎛ γd<br />
⎞<br />
Zt<br />
= Zc<br />
sinh( γd)<br />
dan = tanh⎜<br />
⎟<br />
2 Z c ⎝ 2 ⎠<br />
d = jarak ujung terima dan ujung kirim<br />
Z c<br />
= impedansi karakteristik<br />
(11.16)<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen π diturunkan dari model satu fasa rangkaian tiga<br />
fasa seimbang. Untuk rangkaian tiga fasa tak-seimbang, fasor-fasor<br />
tak seimbang kita uraikan menjadi komponen-komponen simetris.<br />
Masing-masing komponen simetris merupakan fasa-fasa seimbang<br />
sehingga masing-masing komponen dapat di analisis menggunakan<br />
rangkaian ekivalen satu fasa. Dengan kata lain masing-masing<br />
komponen memiliki rangkaian ekivalen, yaitu rangkaian ekivalen<br />
urutan positif, urutan negatif, dan urutan nol, seperti terlihat pada<br />
Gb.11.3.<br />
Besaran rangkaian ekivalen adalah:<br />
Konstanta propagasi urutan:<br />
γ<br />
γ<br />
γ<br />
0<br />
1<br />
2<br />
=<br />
=<br />
=<br />
Z<br />
0<br />
Z Y<br />
1 1<br />
Z<br />
2<br />
Y<br />
Y<br />
0<br />
2<br />
(11.17)<br />
Impedansi karakteristik urutan:<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
c0<br />
c1<br />
c2<br />
=<br />
=<br />
=<br />
Z<br />
Z<br />
1<br />
0<br />
/ Y<br />
/ Y<br />
1<br />
Z 2 / Y<br />
0<br />
2<br />
(11.18)<br />
Impedansi urutan:<br />
Z<br />
Z<br />
Z<br />
0<br />
1<br />
2<br />
= Z<br />
= Z<br />
= Z<br />
c0<br />
c1<br />
c2<br />
sinh γ<br />
sinh γ<br />
1<br />
sinh γ<br />
0<br />
d<br />
2<br />
d<br />
d<br />
(11.19)<br />
248 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Admitansi urutan:<br />
Y0<br />
1<br />
=<br />
2 Z<br />
c0<br />
Y1<br />
1<br />
=<br />
2 Z<br />
c1<br />
Y2<br />
1<br />
=<br />
2 Z<br />
c2<br />
γ 0d<br />
tanh<br />
2<br />
γ1d<br />
tanh<br />
2<br />
γ 2d<br />
tanh<br />
2<br />
(11.20)<br />
I s0<br />
I r 0<br />
Z t0<br />
Y t0<br />
Y<br />
V t0<br />
s0<br />
V r 0<br />
2<br />
2<br />
<strong>Rangkaian</strong> Urutan Nol<br />
I s1<br />
I r 1<br />
Z t1<br />
Y t1<br />
Y<br />
V t1<br />
s1<br />
V r 1<br />
2<br />
2<br />
<strong>Rangkaian</strong> Urutan Positif<br />
I s2<br />
I r 2<br />
Z t 2<br />
Y t 2<br />
Y<br />
V t 2<br />
s2<br />
V r 2<br />
2<br />
2<br />
<strong>Rangkaian</strong> Urutan Negatif<br />
Gb.11.3. <strong>Rangkaian</strong> ekivalen urutan.<br />
249
COTOH-11.1: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi<br />
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-10.2, tentukan (a)<br />
impedansi karakteristik; (b) konstanta propagasi; (c) rangkaian<br />
ekivalen π.<br />
8,4 m<br />
RA<br />
= RB<br />
= RC<br />
= 0.088 Ω / km<br />
4,2 m 4,2 m rA<br />
= rB<br />
= rC<br />
= r = 1,350 cm<br />
rA′<br />
= rB′<br />
= rC′<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
A B C Kapasitas arus: 900 A<br />
Penyelesaian:<br />
Impedansi dan admitansi per satuan panjang saluran ini telah<br />
dihitung pada contoh-10.2 dan 10.3.<br />
Z 1 = 0,088+<br />
j0,3896<br />
Ω/km<br />
Y 1 = j2,923<br />
µ S/km<br />
a) Impedansi karakteristik adalah<br />
Z c<br />
=<br />
Z<br />
Y<br />
=<br />
= 369,67∠<br />
- 6,4<br />
0,088 + j0,3896<br />
j2,923×<br />
10<br />
o<br />
Ω<br />
3<br />
= 10 ×<br />
−6 j<br />
0,088 + j0,3896<br />
2,923<br />
b) Konstanta propagasi<br />
γ =<br />
ZY<br />
=<br />
(0,088 + j0,3896)(<br />
j2,923×<br />
10<br />
= (0,1198 + j1,074)<br />
× 10<br />
−3<br />
per km<br />
−6<br />
c) Untuk jarak antara ujung kirim dan ujung terima 100 km,<br />
elemen-elemen rangkaian ekivalen π adalah<br />
Z<br />
t<br />
= Z<br />
c<br />
sinh( γd)<br />
= (369,67∠ − 6,4<br />
= 8,77 + j38,89<br />
= 39.87∠77.3<br />
o<br />
) sinh[(0,1198+<br />
j1,074)<br />
× 10<br />
o<br />
Ω<br />
)<br />
−1<br />
]<br />
250 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Y<br />
t<br />
2<br />
1 ⎛ γd<br />
⎞<br />
= tanh⎜<br />
⎟<br />
Z ⎝ 2 ⎠<br />
c<br />
1<br />
=<br />
369,67∠ − 6,4<br />
= 3,14×<br />
10<br />
−8<br />
≈ j0,1463<br />
mS<br />
o<br />
⎛ −3<br />
(0,1207 j1,074)<br />
10 100 ⎞<br />
tanh⎜<br />
+ × ×<br />
⎟<br />
⎜<br />
2<br />
⎟<br />
⎝<br />
⎠<br />
+ j0,1463×<br />
10<br />
−3<br />
I s<br />
8.77<br />
+ j38,89<br />
I r<br />
V s<br />
j0,1463<br />
j0, 1463<br />
Vr<br />
11.3. <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan<br />
Apabila kita melakukan perhitungan-perhitungan dengan<br />
menggunakan komputer pendekatan ini sebenarnya tidak<br />
diperlukan. Namun untuk saluran pendek, perhitungan secara<br />
manual kadang-kadang diperlukan sehingga kita memerlukan<br />
besaran pendekatan.<br />
Pada saluran yang pendek, γd
COTOH-11.2: Tentukan rangkaian ekivan π pendekatan untuk<br />
saluran pada Contoh-11.1.<br />
Penyelesaian: Dengan menggunakan relasi (11.21) elemen<br />
rangkaian ekivalen pendekatan adalah:<br />
Z ′ = Z × 100 = 8,8 + j38,96<br />
Ω<br />
t<br />
1<br />
−6<br />
Yt′<br />
Y1<br />
j2,923×<br />
10<br />
= × 100 =<br />
2 2<br />
2<br />
= j0,1461<br />
mS<br />
× 100<br />
Lebih Lanjut Tentang <strong>Rangkaian</strong> Ekivalen Pendekatan. Kinerja<br />
saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (11.12) yaitu<br />
Vs<br />
I s<br />
=<br />
Vr<br />
V<br />
=<br />
Z<br />
r<br />
c<br />
cosh( γd)<br />
+ Z<br />
sinh( γd)<br />
+ I<br />
cI<br />
r<br />
r<br />
sinh( γd)<br />
cosh( γd)<br />
(11.12)<br />
Pada saluran yang pendek, γd
Vs<br />
I s<br />
=<br />
Vr<br />
= ( Yd)<br />
+ ( Zd )<br />
Vr<br />
+<br />
I r<br />
I r<br />
(11.22.c)<br />
Persamaan (11.22.c) ini memberikan diagram rangkaian ekivalen<br />
seperti tergambar terlihat pada Gb.11.4. di bawah ini, yang kita<br />
sebut rangkaian ekivalen pendekatan untuk saluran pendek<br />
I s<br />
Vs<br />
Zd<br />
Yd<br />
I r<br />
Vr<br />
Gb.11.4. Diagram rangkaian ekivalen pendekatan<br />
<strong>Rangkaian</strong> ekivalen pendekatan hanya kita pakai apabila kita<br />
perlukan. Dalam analisis selanjutnya kita akan menggunakan<br />
rangkaian ekivalen π yang sebenarnya<br />
11.4. Kinerja Saluran Transmisi<br />
Kinerja saluran transmisi dinyatakan oleh persamaan (11.12) yaitu<br />
Vs<br />
=<br />
Vr<br />
cosh( γd)<br />
+ Z<br />
cI<br />
r<br />
sinh( γd)<br />
V<br />
(11.12)<br />
r<br />
I s = sinh( γd)<br />
+ I r cosh( γd)<br />
Z c<br />
Persamaan ini dapat ditulis dengan dengan menggunakan konstanta<br />
A, B, C, D:<br />
dengan<br />
V s<br />
I s<br />
=<br />
=<br />
AVr<br />
C Vr<br />
+<br />
+<br />
B I r<br />
D I r<br />
A = cosh γx<br />
; B = Z c sinh γx<br />
sinh γx<br />
1<br />
C = = B ; D = cosh γx<br />
= A<br />
Z 2<br />
c Z c<br />
(11.23.a)<br />
(11.23.b)<br />
253
Konstanta-konstanta ini dapat dapat pula diturunkan dari rangkaian<br />
ekivalen π yang telah kita peroleh pada persamaan (11.14) yaitu<br />
⎛ Z Y ⎞ +<br />
t t<br />
Vs<br />
= ⎜1<br />
⎟Vr<br />
+ Z t I<br />
⎝ 2 ⎠<br />
⎛ Z tYt<br />
⎞ Yt<br />
⎛ ZtYt<br />
I s = ⎜2<br />
+ Vr<br />
+ ⎜1<br />
+<br />
2 2<br />
2<br />
⎝<br />
⎟<br />
⎠<br />
⎝<br />
⎞<br />
⎟<br />
⎠<br />
I r<br />
(11.14)<br />
yang jika kita perbandingkan dengan (11.23.a) kita dapatkan<br />
⎞<br />
A ⎜<br />
⎛ Z = + tYt<br />
1 ⎟ B = Z t<br />
⎝ 2 ⎠<br />
⎛ Z ⎞<br />
⎛ ⎞<br />
C = ⎜ +<br />
tYt<br />
Yt<br />
Z<br />
2 ⎟ D = ⎜1<br />
+<br />
tYt<br />
⎟ = A<br />
⎝ 2 ⎠ 2 ⎝ 2 ⎠<br />
(11.23.c)<br />
Memperbandingkan (11.23.c) dengan (11.23.b) akan kembali<br />
kita peroleh (11.15).<br />
Konstanta-konstanta A, B, C, D, adalah bilangan-bilangan<br />
kompleks karena Z t maupun Y t adalah bilangan kompleks yang<br />
nilainya ditentukan oleh ukuran, konfigurasi, dan panjang<br />
saluran. Kita lihat lagi Contoh-11.1. untuk memberi gambaran<br />
tentang nilai konstanta-konstanta ini.<br />
COTOH-11.3: Dari saluran transmisi 50 Hz dengan transposisi<br />
yang mempunyai konfigurasi seperti pada Contoh-11.1,<br />
tentukan konstanta A, B, C, D saluran transmisi ini.<br />
A<br />
4,2 m<br />
Penyelesaian:<br />
8,4 m<br />
B<br />
4,2 m<br />
γ dan Z c telah dihitung pada Contoh-11.1:<br />
C<br />
RA<br />
= RB<br />
= RC<br />
= 0.088 Ω / km<br />
rA<br />
= rB<br />
= rC<br />
= r = 1,350 cm<br />
rA′<br />
= rB′<br />
= rC′<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
Kapasitas arus: 900 A<br />
254 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Z c<br />
= 369,67∠<br />
- 6,4<br />
o<br />
Ω<br />
γ = (0,1198 + j 1,074) × 10<br />
−3<br />
per km<br />
Menggunakan formulasi (11.23.b), nilai konstanta adalah<br />
A = cosh γx<br />
= 0,9943∠0,07<br />
B = Z<br />
c<br />
sinh γx<br />
= 39,87∠77,30<br />
sinh γx<br />
1<br />
C = =<br />
Z c Z<br />
2<br />
c<br />
D = cosh γx<br />
= A = 0,9943∠0,07<br />
o<br />
o<br />
B = 0,0003∠90,02<br />
o<br />
o<br />
Dengan menggunakan konstanta-konstanta saluran, kita akan<br />
mecermati kinerja saluran.<br />
COTOH-11.4: Jika saluran transmisi pada soal-11.2 mencatu<br />
beban sebesar 250 MVA dengan factor daya 0.9 lagging pada<br />
tegangan 270 kV. Hitunglah tegangan di ujung kirim, arus di<br />
ujung kirim, tegangan jatuh di saluran, daya di ujung kirim,<br />
faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran.<br />
Penyelesaian:<br />
Dengan model satu fasa, tegangan beban 270 kV digunakan<br />
sebagai referensi. Tegangan fasa-netral adalah<br />
V r<br />
270 o<br />
= = 155,88 ∠0<br />
3<br />
kV<br />
Karena factor daya 0,9 lagging maka arus beban:<br />
I r<br />
250 o<br />
=<br />
= 0.53∠<br />
- 25,8<br />
270×<br />
0,9 × 3<br />
kA<br />
255
Tegangan fasa-netral di ujung kirim:<br />
V<br />
Arus di ujung kirim:<br />
I s<br />
s<br />
= 0,9943∠0,07<br />
o<br />
= 155 + j0.2<br />
+ 13.3+<br />
j16.7<br />
= 169.1∠5.7<br />
= 0.51∠<br />
- 21,2<br />
kV<br />
o<br />
V<br />
r<br />
+ 39,87∠77,30<br />
kV<br />
= CV + D I = -2×<br />
10 + j0.05<br />
+ 0.48 − j0.23<br />
r<br />
r<br />
o<br />
Tegangan jatuh di saluran adalah<br />
-5<br />
∆V<br />
= V s − V r = 169,1∠<br />
5,7<br />
= 12,4 + j16,9<br />
= 21∠53,7<br />
o<br />
kV<br />
o<br />
I<br />
−155,88∠0<br />
21<br />
atau × 100 ≈ 12% dari tegangan di ujung kirim.<br />
169,1<br />
Daya kompleks ujung kirim<br />
o<br />
o<br />
r<br />
S s<br />
= 3×<br />
V I<br />
s<br />
∗<br />
s<br />
= 3×<br />
169,1∠<br />
5,7 × 0,51∠21,2<br />
= 260∠27<br />
o<br />
MVA<br />
Faktor daya ujung kirim cos(27 o ) = 0.89<br />
Daya nyata ujung kirim<br />
Daya nyata ujung terima<br />
P s<br />
P r<br />
= 260 × 0,89 = 232 MW<br />
= 250 × 0.9 =<br />
Susut yang terjadi di saluran adalah<br />
225 MW<br />
Ps<br />
− Pr<br />
P saluran = ×100 % = 3.1% .<br />
P<br />
s<br />
256 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Pengaruh Pembebanan. Dalam Contoh-11.4 di atas,<br />
pembebanan 250 MVA dengan factor daya 0,9 menyebabkan<br />
tegangan jatuh 12% dan susut daya 3,12% sementara factor<br />
daya di ujung kirim 0,89. Berikut ini kita akan melihat akibat<br />
dari perubahan pembebanan<br />
COTOH-11.5: Dengan panjang tetap 100 km, saluran transmisi<br />
pada Contoh-11.4 dibebani 200, 250, 300 MVA dengan faktor<br />
daya tetap 0.9 lagging. Hitunglah tegangan jatuh di saluran,<br />
daya di ujung kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya<br />
di saluran.<br />
Penyelesaian:<br />
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada<br />
Contoh-11.4. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.<br />
Beban [MVA]<br />
200 250 300<br />
Panjang 100 km 100 km 100 km<br />
V r [kV] 155,88∠0 o 155,88∠0 o 155,88∠0 o<br />
I r [kA] 0.43∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o 0.64∠-25.8 o<br />
V s [kV] 166.2∠4.7 o 169.1∠5.7 o 172.1∠6.7 o<br />
I s [kA] 0.40∠-20 o 0.51∠-21.2 o 0.62∠-22 o<br />
∆ V [kV] 16.7∠54.3 o 21∠53.7 o 25.2∠53.3 o<br />
∆ V [%] 10 12 15<br />
S s [MVA] 203 260 320<br />
f.d. 0.9 0.89 0.88<br />
Susut [%] 2.5 3.1 3.75<br />
257
Pengaruh Panjang Saluran. Perubahan panjang saluran akan<br />
mengubah konstanta saluran. Kita lihat contoh berikut.<br />
COTOH-11.6: Dengan beban tetap 250 MVA dan factor daya 0,9<br />
lagging, hitunglah tegangan jatuh di saluran, daya di ujung<br />
kirim, faktor daya di ujung kirim, dan susut daya di saluran<br />
untuk panjang saluran 100, 150, 200 km<br />
Penyelesaian:<br />
Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama seperti pada<br />
Contoh-11.4. Hasil perhitungan dimuatkan dalam tabel berikut.<br />
Panjang Saluran<br />
100 150 200<br />
Beban 250 MVA 250 MVA 250 MVA<br />
A 0.9943∠0.07 o 0.9872∠0,17 o 0.9773∠0.3 o<br />
B [Ω] 39.867∠77.3 o 59.658 ∠77.3 o 79.28∠77.4 o<br />
C [mS] 0.2917∠90.02 o 0.4366 ∠90.06 o 0.5802∠90.1 o<br />
D 0.9943∠0.07 o 0.9872∠0.17 o 0.9773∠0.3 o<br />
V r [kV] 155.88∠0 o 155.88∠0 o 155.88∠0 o<br />
I r [kA] 0.53∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o 0.53∠-25.8 o<br />
V s [kV] 169.1∠5.7 o 175.6∠8.3 o 181.9∠10.8 o<br />
I s [kA] 0.51∠-21.2 o 0.50∠-18.7 o 0.49∠-16 o<br />
∆ V [kV] 21∠53.7 o 31∠54.9 o 41∠56.1 o<br />
∆ V [%] 12 18 22<br />
S s [MVA] 260 264 267<br />
f.d. 0.89 0.89 0.89<br />
Susut [%] 3.1 4.5 5.8<br />
258 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
11.5. Batas Pembebanan<br />
Kenaikan tegangan jatuh serta kenaikan susut daya seiring dengan<br />
peningkatan pembebanan sudah dapat kita duga. Pada pembebanan<br />
yang kita hitung pada contoh-11.5 sebesar 250 MVA, tegangan<br />
jatuh sudah mencapai 12% dan susut daya sudah 3,1%. Padahal jika<br />
kita mengingat kapasitas arus konduktor yang 900 A dan seandainya<br />
saluran kita bebani sesuai dengan kemampuan arus konduktornya,<br />
daya yang bisa diterima di ujung kirim adalah<br />
S r<br />
3fasa = 270×<br />
0,9 × 3 =<br />
420 MVA<br />
Jika pembebanan sebesar ini kita paksakan, maka tegangan jatuh di<br />
saluran akan mencapai 20% dan susut mencapai 5,2%.<br />
Batas Thermal. Sebagian energy yang melalui saluran transmisi<br />
terkonversi menjadi panas di saluran sebanding dengan kuadrat arus.<br />
saluran<br />
2<br />
fasa<br />
P = 3 × I × R<br />
saluran<br />
Batas thermal menentukan seberapa besar arus yang diperkenankan<br />
mengalir pada konduktor agar tidak terjadi pemanasan yang<br />
berlebihan di saluran. Kenaikan temperatur konduktor akan<br />
menyebabkan pemuaian; jika temperature meningkat maka<br />
andongan akan bertambah .<br />
Dari relasi daya tiga fasa<br />
S3 fasa = VI<br />
3<br />
kita dapat menghitung berapa daya yang dapat dipasok melalui<br />
suatu saluran transmisi. Saluran transmisi dengan tegangan fasa-fasa<br />
150 kV misalnya, setiap 10 amper arus berarti penyaluran daya<br />
sebesar 150 3 = 2,5 MVA ; pada transmisi 500 kV berarti<br />
penyaluran daya 85 MVA setiap 10 ampere arus. Namun bukan<br />
daya ini yang menjadi batas dalam menghitung pembebanan suatu<br />
saluran transmisi.<br />
259
Tegangan dan Arus di Ujung Kirim. Jika konstanta saluran kita<br />
misalkan A = A∠α<br />
dan B = B∠β<br />
, tegangan ujung terima<br />
o<br />
digunakan sebagai referensi V r = V r ∠0 , arus beban lagging<br />
o<br />
I r = I r ∠ − ϕ , maka persamaan pertama (11.23.a) menjadi:<br />
Sudut<br />
V<br />
s<br />
= AV<br />
= AV<br />
r<br />
r<br />
+ B I<br />
r<br />
∠( α + 0) + BI ∠(<br />
β − ϕ)<br />
r<br />
(11.24.a)<br />
A ∠α<br />
dan B ∠β<br />
adalah konstanta yang ditentukan hanya<br />
oleh parameter saluran, yang bernilai konstan selama saluran<br />
tidak berubah. Oleh karena itu jika factor daya beban<br />
dipertahankan pada nilai tertentu (ϕ konstan) fasor tegangan di<br />
ujung kirim ditentukan hanya oleh arus beban I r . Gb.11.5.<br />
memperlihatkan peristiwa tersebut.<br />
Im<br />
I r<br />
I′ r<br />
α<br />
Gb.11.5. Perubahan arus beban dari I r menjadi I′ r<br />
menyebabkan perubahan tegangan di ujung kirim dari<br />
Vs<br />
menjadi V′ s .<br />
Jika kita misalkan Z c = Z c ∠θ<br />
, maka persamaan ke-dua<br />
(11.23.a) menjadi:<br />
B<br />
I s = V<br />
2 r + A Ir<br />
Z c<br />
BVr<br />
= ∠(0<br />
− 2θ)<br />
+ AI ∠(<br />
α − ϕ)<br />
2<br />
r<br />
Z c<br />
(11.24.b)<br />
V r<br />
V s<br />
AV r<br />
BI r<br />
V′ s<br />
β − ϕ<br />
Re<br />
260 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Impedansi karakteristik Z c juga merupakan besaran konstan<br />
untuk satu saluran transmisi tertentu. Jika faktor daya beban<br />
dipertahankan konstan, beda susut fasa antara arus di ujung<br />
terima dan di ujung kirim hanya ditentukan oleh parameter<br />
saluran.<br />
Pembebanan. Peningkatan arus I r berarti peningkatan<br />
pembebanan. Selain batas thermal sebagaimana telah<br />
dikemukakan di atas, ada pembatasan lain yang akan kita lihat<br />
berikut ini.<br />
Jika δ adalah sudut antara<br />
V<br />
s<br />
dan<br />
V<br />
r<br />
Im<br />
V s<br />
α<br />
AV r<br />
BI r<br />
δ<br />
Re<br />
V r<br />
I r<br />
Gb.11.6. Perubahan sudut δ.<br />
maka dari relasi tegangan<br />
beban<br />
V<br />
s<br />
= AVr<br />
+ B I r kita peroleh arus<br />
I r<br />
Vs<br />
AVr<br />
= −<br />
B B<br />
Vs<br />
AVr<br />
= ∠( δ −β)<br />
− ∠(<br />
α −β)<br />
B<br />
B<br />
Daya per fasa di ujung terima adalah<br />
(11.25)<br />
S<br />
∗<br />
r 1fasa = Vr<br />
I r<br />
VrV<br />
=<br />
B<br />
s<br />
AV<br />
∠(<br />
β − δ)<br />
−<br />
B<br />
2<br />
r<br />
∠(<br />
β − α)<br />
(11.26)<br />
261
Jika kita menghendaki tegangan jatuh tidak melebihi nilai<br />
tertentu, kita dapat menetapkan tegangan di ujung terima dan di<br />
ujung kirim. Jika hal ini dilakukan maka V r V s dan 2<br />
V r pada<br />
persamaan daya (11.26) akan bernilai konstan. Persamaan ini<br />
akan menunjukkan bahwa hanya sudut δ yang akan bervariasi<br />
apabila terjadi perubahan penerimaan daya di ujung terima. Sudut<br />
ini, δ, disebut sudut daya.<br />
Diagram Lingkaran. Dari (11.26), daya tiga fasa di ujung<br />
terima adalah<br />
3V<br />
rVs<br />
3AVr<br />
Sr 3fasa = ∠(<br />
β − δ)<br />
− ∠(<br />
β − α)<br />
(11.27)<br />
B<br />
B<br />
Jika V r dan V s dipertahankan konstan, hanya sudut δ yang dapat<br />
bervariasi mengikuti perubahan daya. Karakteristik perubahan daya<br />
akan mengikuti bentuk kurva lingkaran. Kita akan mencoba<br />
menggambarkannya.<br />
Pada Contoh-11.2 kita amati bahwa sudut α jauh lebih kecil dari<br />
sudut β. Oleh karena itu sudut fasa suku ke-dua (12.4) akan berada<br />
di sekitar nilai β. Selain itu jika tegangan jatuh di saluran tidak lebih<br />
dari 10% seperti halnya hasil perhitungan pada Contoh-11.2, nilai<br />
2<br />
V r Vs di suku pertama tidak pula jauh berbeda dengan nilai V r di<br />
suku ke-dua. Pengamatan ini kita perlukan karena kita akan<br />
menggambarkan diagram lingkaran tanpa skala. Diagram lingkaran<br />
diperlihatkan pada Gb.11.7. dengan penjelasan sebagai berikut:<br />
2<br />
3AV 1. Pada bidang kompleks kita gambarkan fasor r<br />
∠(<br />
β − α)<br />
B<br />
2<br />
3AV yaitu OM kemudian kita gambar − r<br />
∠(<br />
β − α)<br />
yaitu<br />
O M′ .<br />
2<br />
B<br />
262 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
2. Pada fasor O M′ kita tambahkan fasor<br />
3V<br />
r V s<br />
∠(<br />
β − δ)<br />
yaitu<br />
B<br />
fasor M′ N<br />
3. Sudut antara M′ N dengan sumbu mendatar adalah ( β − δ)<br />
.<br />
4. Pada perubahan sudut δ fasor M′ N akan bergerak mengikuti<br />
lingkaran yang berpusat di M′ berjari-jari M′ N .<br />
5. Sudut δ sendiri adalah sudut antara fasor M′ N dengan garis<br />
M ′ M ′′ yaitu garis sejajar fasor OM seandainya α = 0.<br />
6. Daya nyata maksimum terjadi jika ( β − δ)<br />
= 0 yaitu pada<br />
waktu M′ N menjadi M ′ N′<br />
o<br />
7. Daya reaktif maksimum terjadi jika ( β − δ)<br />
= 90<br />
Im<br />
M ′<br />
N ′′<br />
M<br />
δ<br />
N<br />
β − α<br />
O<br />
β − δ<br />
Re<br />
M′<br />
N′<br />
Gb.11.7. Diagram lingkaran.<br />
263
Daya Maksimum di Ujung Terima. Dalam meninjau daya<br />
maksimum ini, kita akan menyederhanakan relasi (11.27) dengan<br />
melihat saluran transmisi pada tegangan pengenalnya yang kita<br />
sebut V, misalnya transmisi 70 kV atau 150 kV, dan tidak<br />
memperbedakan V r atau V s . Dengan pengertian ini maka (11.27)<br />
menjadi:<br />
2<br />
2<br />
V<br />
AV<br />
S r 1fasa = ∠(<br />
β − δ)<br />
− ∠(<br />
β − α)<br />
(11.28.a)<br />
3B<br />
3B<br />
Daya tiga fasa menjadi<br />
2<br />
V<br />
AV<br />
S r 3fasa = ∠(<br />
β − δ)<br />
− ∠(<br />
β − α)<br />
(11.28.b)<br />
B<br />
B<br />
Pada nilai δ = 0, kita tetap mendapatkan daya kompleks, bukan daya<br />
nyata. Daya nyata kita peroleh dengan mengambil bagian nyata dari<br />
relasi daya ini.<br />
P<br />
r 3fasa<br />
= Re S<br />
⎡ 2<br />
V<br />
= Re⎢<br />
⎢⎣<br />
B<br />
2<br />
V<br />
=<br />
B<br />
r 3fasa<br />
dan daya reaktif Q adalah<br />
Q<br />
r 3fasa<br />
= Im S<br />
⎡ 2<br />
V<br />
= Im⎢<br />
⎢⎣<br />
B<br />
2<br />
V<br />
=<br />
B<br />
AV<br />
∠(<br />
β − δ)<br />
−<br />
B<br />
AV<br />
cos( β − δ)<br />
−<br />
B<br />
r 3fasa<br />
AV<br />
sin( β − δ)<br />
−<br />
B<br />
2<br />
AV<br />
∠(<br />
β − δ)<br />
−<br />
B<br />
2<br />
2<br />
2<br />
⎤<br />
∠(<br />
β − α)<br />
⎥<br />
⎥⎦<br />
cos( β − α)<br />
2<br />
⎤<br />
∠(<br />
β − α)<br />
⎥<br />
⎥⎦<br />
sin( β − α)<br />
(11.29.a)<br />
(11.29.b)<br />
Daya nyata pada relasi (11.29.a) akan mencapai nilai maksimum<br />
pada waktu ( β − δ)<br />
= 0 atau δ = β . Daya nyata maksimum ini<br />
merupakan daya maksimum yang bisa dicapai dalam tinjauan<br />
keadaan mantap (steady state); besarnya adalah<br />
264 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
2<br />
V<br />
P r 3fasa maks mantap = [ 1 − A cos( β − α)<br />
] (11.30)<br />
B<br />
Pada waktu δ = β, yaitu pada waktu daya nyata mencapai nilai<br />
maksimum mantap, daya reaktif adalah<br />
AV<br />
Q r 3fasa maks mantap = − sin( β − α)<br />
(11.31)<br />
B<br />
Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap adalah<br />
S<br />
3fasa maks mantap<br />
=<br />
2 2<br />
P + Q<br />
2<br />
V<br />
=<br />
B<br />
2<br />
2<br />
1+<br />
A − 2A<br />
cos( β − α)<br />
(11.32)<br />
Ini merupakan daya kompleks tiga fasa maksimum yang bisa<br />
dibebankan pada suatu saluran transmisi. Jika konduktor yang<br />
digunakan dalam saluran ini mempunyai kapasitas arus sebesar<br />
I c, maka berdasarkan kapasitas arus ini daya yang bisa<br />
dibebankan pada saluran transmisi adalah<br />
S = VI 3<br />
(11.33)<br />
3 fasa saluran c<br />
Dan daya kompleks maksimum dalam keadaan mantap menjadi<br />
batas pembebanan saluran transmisi<br />
S < S<br />
3fasa maks mantap<br />
3 fasa saluran<br />
CONTOH-11.7: Tinjaulah batas pembebanan saluran transmisi<br />
pada Contoh-11.3. di mana saluran transmisi mencatu beban<br />
sebesar 100 MW dengan factor daya 0.9 lagging pada tegangan 270<br />
kV.<br />
8,4 m<br />
RA<br />
= RB<br />
= RC<br />
= 0.088 Ω / km<br />
4,2 m 4,2 m rA<br />
= rB<br />
= rC<br />
= r = 1,350 cm<br />
rA′<br />
= rB′<br />
= rC′<br />
= r′<br />
= 1,073 cm<br />
A B C Kapasitas arus: 900 A<br />
265
<strong>Sistem</strong> ini kita anggap memiliki tegangan penunjuk 275 kV.<br />
Beban beroperasi pada 270 kV dan tegangan di ujung kirim<br />
telah dihitung pada Contoh-11.3 sebesar 279 kV. Konstanta A<br />
dan B telah dihitung pada Contoh-11.2 yaitu<br />
o<br />
o<br />
A = 0,9943∠0,07<br />
dan B = 39,87∠77,30<br />
Daya maksimum yang dapat dibebankan pada saluran ini<br />
menurut (11.32) adalah<br />
2<br />
V 2<br />
S 3fasa maks mantap = 1 + A − 2A<br />
cos( β − α)<br />
B<br />
275<br />
= 1 + 0,9943 − 2 × 0,09943(cos(77,30 − 0,07)<br />
39,87<br />
= 417 MVA<br />
Dengan kapasitas arus sebesar 900 A, maka pembebanan<br />
saluran<br />
S 3 fasa saluran = VI c 3 = 275×<br />
0,9 × 3 = 428<br />
S < S<br />
3fasa maks mantap<br />
3 fasa saluran<br />
MVA<br />
Jadi 417 MVA merupakan batas pembebanan maksimum.<br />
266 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Pustaka<br />
1. Sudaryatno Sudirham, “Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Penerbit<br />
ITB, Bandung, 2002.<br />
2. Sudaryatno Sudirham, “Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik Jilid-1”, e-<br />
book, Darpublic, Bandung, 2010<br />
3. Sudaryatno Sudirham, “Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik Jilid-2”, e-<br />
book, Darpublic, Bandung, 2010<br />
4. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Harmonisa Dalam<br />
Permasalahan Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, ITB,<br />
Bandung, 2008.<br />
5. Vincent Del Toro : “Electric Power System”, Prentice-Hall<br />
International, Inc., 1992.<br />
6. Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey &<br />
Son, 1986.<br />
7. Turan Gönen: ”Electric Power Transmission System<br />
Engineering”, John Willey & Son, 1988.<br />
267
Daftar Simbol<br />
φ : fluksi magnet<br />
λ : fluksi lingkup<br />
γ : konstanta propagasi saluran transmisi<br />
ε : permitivitas<br />
µ : permeabilitas<br />
A, B, C, D : konstanta saluran transmisi<br />
Z c : impedansi karakteristik<br />
268 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
INDEKS<br />
a<br />
admitansi 336<br />
Ampère 2, 4<br />
arus pusar 13<br />
asinkron, motor 65, 71<br />
b<br />
batas pembebanan 263<br />
c<br />
Crest Factor 128<br />
d<br />
daya 138, 139, 151, 209<br />
diagram lingkaran 266<br />
f<br />
Faraday 1<br />
Fourier 100<br />
h<br />
harmonisa 123, 128, 163, 176<br />
histerisis 12<br />
n<br />
impedansi 206, 227<br />
impedansi karakteristik 247<br />
inductor 17, 184<br />
induktansi 221<br />
k<br />
kapasitor 179<br />
kompensasi 152<br />
komponen simetris 201, 203<br />
konduktor 177<br />
konstanta ABCD 257<br />
konstanta propagasi 247<br />
m<br />
magnetik 1, 14<br />
model satu fasa 90<br />
n<br />
nilai efektif 137<br />
nonlinier 99, 116, 117, 131,<br />
163<br />
nonsinus 99, 105, 112<br />
o<br />
operator a 202<br />
p<br />
partial discharge 197<br />
permeabilitas 3<br />
per unit 212, 215<br />
polifasa 85, 93<br />
r<br />
rangkaian ekivalen π 250<br />
resistansi 220<br />
resonansi 115<br />
s<br />
sinkron, mesin 45, 54, 56, 61<br />
t<br />
torka 81<br />
THD 128<br />
transformator 25, 26, 32, 35,<br />
39, 40, 189<br />
transmisi 209<br />
269
270 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga
Biodata<br />
Nama: Sudaryatno Sudirham<br />
Lahir: di Blora pada 26 Juli 1943<br />
Istri: Ning Utari<br />
Anak: Arga Aridarma<br />
Aria Ajidarma.<br />
1971 : Teknik Elektro – Institut Teknologi Bandung.<br />
1972 – 2008 : Dosen Institut Teknologi Bandung.<br />
1974 : Tertiary Education Research Center – UNSW − Australia.<br />
1979 : EDF – Paris Nord dan Fontainbleu − Perancis.<br />
1981 : INPT - Toulouse − Perancis; 1982 DEA; 1985 Doktor.<br />
Kuliah yang pernah diberikan: “Pengukuran Listrik”, “Pengantar<br />
Teknik Elektro”, “Pengantar <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, “Material<br />
Elektroteknik”, “Phenomena Gas Terionisasi”, “Dinamika Plasma”,<br />
“Dielektrika”, “Material Biomedika”.<br />
Buku: “Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik”, Penerbit ITB, Bandung, 2002;<br />
“Metoda Rasio TM/TR Untuk Estimasi Susut Energi Jaringan<br />
Distribusi”, Penerbit ITB, Bandung, 2009; “Fungsi dan Grafik,<br />
Diferensial Dan Integral”, Penerbit ITB, Bandung, 2009; “Analisis<br />
<strong>Rangkaian</strong> Listrik (1)”, Darpublic, e-Book, Bandung, 2010;<br />
“Analisis <strong>Rangkaian</strong> Listrik (2)”, Darpublic, e-Book, Bandung,<br />
2010; ”Mengenal Sifat Material (1)”, Darpublic, e-Book, Bandung,<br />
2010; “Analisis Keadaan Mantap <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga”,<br />
Darpublic, Bandung, 2011;<br />
271
Analisis Keadaan Mantap<br />
<strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga<br />
Pembebanan Seimbang<br />
Pebebanan Nonlinier<br />
Pembebanan Tak Seimbang<br />
272 Sudaryatno Sudirham, Analisis <strong>Rangkaian</strong> <strong>Sistem</strong> Tenaga