Kaya & Bahagia cara Syariah by Iwan PP - Fortuga.com
Kaya & Bahagia cara Syariah by Iwan PP - Fortuga.com
Kaya & Bahagia cara Syariah by Iwan PP - Fortuga.com
Transform your PDFs into Flipbooks and boost your revenue!
Leverage SEO-optimized Flipbooks, powerful backlinks, and multimedia content to professionally showcase your products and significantly increase your reach.
<strong>Kaya</strong> dan <strong>Bahagia</strong><br />
Cara <strong>Syariah</strong><br />
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto
KAYA DAN BAHAGIA CARA SYARIAH<br />
Karya <strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Copyright ©<br />
All rights reserved<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Anggota IKAPI
Daftar Isi<br />
1. MENGAPA HARUS KAYA<br />
<br />
<br />
<br />
2. KAPAN MENJADI KAYA<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
v
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
4. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KAYA SECARA HALAL DAN <br />
<br />
<br />
Syarat <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
8. <br />
<br />
<br />
vi
DAFTAR ISI<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
9. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Mudharaba—<br />
<br />
<br />
<br />
10. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
vii
Mukadimah<br />
‘<strong>Kaya</strong>’ dan ‘bahagia’ adalah impian bagi sebagian besar<br />
manusia. Keduanya mempunyai hubungan yang khas. Kebahagia<br />
an rasanya akan lebih mudah dicapai bila sudah memiliki<br />
kekayaan. Namun kekayaan tidak selalu membawa kebahagiaan.<br />
Ba gaimana <strong>cara</strong> untuk ‘kaya’ dan ‘bahagia’ dengan <strong>cara</strong> yang<br />
se suai nurani, sesuai ketentuan agama, sesuai syariah. Adakah<br />
jurus kaya dan bahagia <strong>cara</strong> syariah<br />
Mungkin pertanyaan yang pertama sekali timbul adalah:<br />
”Apakah manusia berdosa bila bahagia karena kaya”<br />
”Apakah manusia yang rajin beribadah tidak boleh kaya”<br />
Teman saya yang taat beragama menyatakan dengan tegas<br />
bahwa:<br />
”kebahagiaan tidak selalu identik dengan kekayaan”.<br />
Namun se<strong>cara</strong> kritis teman saya tersebut juga mengakui<br />
bahwa:<br />
ix
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
”kekayaan tidak selalu identik dengan ketidakbahagiaan”.<br />
Sebagaimana halnya kebahagiaan tidak selalu identik dengan<br />
tidak kaya, maka kekayaan tidak selalu membuat orang tidak<br />
bahagia.<br />
Kebahagiaan dan Kekayaan<br />
Sebagian besar manusia akan merasa bahagia bila telah mencapai<br />
cita-cita hidupnya. Tetapi cita-cita hidup manusia tidak<br />
selalu sama. Sewaktu masih kecil, cita-cita saya dan teman-teman<br />
saya umumnya sederhana dan terkait dengan profesi tertentu,<br />
misalnya mau jadi dokter, jadi insinyur, jadi guru, jadi pilot,<br />
dsb. Memang ada juga teman saya yang bercita-cita ingin jadi<br />
presiden, ingin jadi gubernur, dan berbagai jabatan tinggi lainnya.<br />
Namun pada saat itu, hanya sedikit di antara teman saya<br />
yang bercita-cita ingin menjadi kaya.<br />
Setelah beranjak dewasa, apalagi setelah memasuki usia<br />
pro duktif dan telah berkeluarga, sebagian besar diantara kita<br />
mulai menyadari peran kekayaan dalam hidup. Peran uang<br />
dalam berkeluarga dan berusaha. Pentingnya mencari keuntungan<br />
dalam kegiatan usaha, bahkan termasuk dalam kegiatan<br />
pendidikan. Mulai dari sekedar untuk hidup, untuk tetap<br />
sehat, untuk tambah ilmu dan kemampuan, untuk menjaga<br />
tali silaturahmi dengan keluarga dan teman, sampai dengan<br />
untuk mengembangkan kegiatan usaha, untuk menyediakan<br />
ke sempatan kerja, untuk membantu mereka yang dalam<br />
kesulitan, untuk membangun sekolah, pelayanan kesehatan,<br />
dan tempat ibadah, serta untuk membangun jiwa yang beriman<br />
dan bertakwa—semua akan lebih mudah bila ada uang, ada<br />
kekayaan.<br />
x
MUKADIMAH<br />
Tetapi mencari uang, mencari keuntungan, mencapai keber<br />
hasilan tidaklah mudah. Dan dalam era di mana makin<br />
banyak orang-orang yang menjadi kaya dengan jalan korupsi<br />
dan semacamnya, banyak teman dan murid saya yang bertanya:<br />
”Apakah mungkin memperoleh keuntungan dengan jalan<br />
yang jujur”<br />
”Apakah mungkin jadi kaya dengan melakukan kegiatan<br />
usaha menurut aturan agama”<br />
Mungkin karena ada beberapa orang yang menjadi kaya,<br />
bahkan sangat kaya, dengan <strong>cara</strong> yang tidak jujur maka orang<br />
berpendapat bahwa sangat sulit untuk jadi kaya dengan <strong>cara</strong><br />
yang jujur. Sehingga muncul pendapat yang menyatakan bahwa:<br />
”Cari rejeki yang haram saja sudah susah, apalagi yang halal”<br />
. . . .<br />
“Jangan mencampuradukkan urusan agama dalam urusan<br />
bisnis.”<br />
“Jangan mengaitkan masalah agama dengan masalah dunia.”<br />
. . . . .<br />
Sebenarnya hati kecil saya dan semua manusia yang beriman<br />
pasti akan menjerit bila mendengar pernyataan-pernyataan itu.<br />
Orang tua dan guru-guru kita telah mengajarkan bahwa Tuhan<br />
pasti akan menyediakan rezeki yang halal bagi manusia yang<br />
beriman dan sungguh-sungguh dalam berusaha. Tetapi mengapa<br />
susah untuk mendapat rezeki yang halal Apa benar susah Atau<br />
kita yang tidak tahu <strong>cara</strong>nya Atau kita yang ‘banyak mau’nya<br />
Bila sudah tidak menemui jawaban atas pertanyaan yang<br />
saya hadapi, biasanya saya mencoba kembali ke ‘referensi utama’<br />
dalam hidup, yaitu Kitab Suci dan sabda Rasul Allah.<br />
xi
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci bahwa<br />
sesungguhnya harta manusia dan anak-anaknya adalah cobaan<br />
(fitnah) bagi manusia, namun sesungguhnya di sisi Allah pahala<br />
yang besar (QS Al Anfaal : 28). Dan mengenai kekayaan, Nabi<br />
Muhammad SAW pernah menyatakan bahwa:<br />
“Manusia beriman yang kuat lebih baik daripada manusia<br />
beriman yang lemah”<br />
“Lebih baik meninggalkan keturunanmu dalam keadaan<br />
sehat dan kaya daripada dalam keadaan miskin, sehingga harus<br />
meminta-minta”.<br />
“Pada satu sisi kelebihan kekayaan dapat membahayakan<br />
keimanan dan moral, dan pada sisi lain kemiskinan dapat menyeret<br />
kepada kekufuran”.<br />
Kita tahu bahwa beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW<br />
adalah pedagang-pedagang yang berhasil dan mempunyai<br />
kekayaan yang berlimpah. Dan mereka memperoleh kekayaannya<br />
dengan <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> yang sesuai dengan syariah, serta menggunakan<br />
kekayaannya di jalan yang benar. Sehingga jelaslah bahwa<br />
agama tidak melarang manusia untuk menjadi kaya. Namun<br />
kekayaan itu ibarat pisau bermata dua, bila tidak hati-hati bisa<br />
membahayakan keimanan. Tetapi apakah hal itu masih berlaku<br />
di era globalisasi ini<br />
Sebagai manusia yang beriman pasti kita percaya bahwa<br />
Tuhan Maka Kuasa. Semua yang terjadi adalah atas kehendak<br />
dan keputusan Tuhan Yang Mahakuasa. Namun tentu saja<br />
perilaku manusia akan terlibat di dalamnya dan menjadi sebab<br />
semua hal yang terjadi. Karena itu manusia harus berusaha<br />
dan berdoa kepada Tuhan agar ketentuan Tuhan sesuai dengan<br />
xii
MUKADIMAH<br />
harapannya. Hanya saja bila manusia merasa telah berusaha<br />
sekuat tenaga dan rajin beribadah, mengapa harapan-harapannya<br />
serta permintaan-permintaannya tidak dikabulkan Tuhan. Apa<br />
yang salah<br />
Bagaimana Jurus <strong>Kaya</strong> dan <strong>Bahagia</strong> Cara <strong>Syariah</strong><br />
Sejak saya mulai belajar tentang sistem keuangan dan sistem<br />
ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariah, banyak temanteman<br />
yang bertanya tentang bagaimana <strong>cara</strong> kaya dengan<br />
jalan yang halal. Apakah ada ’jurus’ untuk kaya dengan <strong>cara</strong><br />
yang sesuai syariah<br />
Saya beruntung pernah bekerja di berbagai jenis perusahaan,<br />
mulai dari perusahaan multi nasional, perusahaan swasta<br />
lokal, perusahaan semi BUMN, sampai dengan BUMN yang<br />
’murni’ maupun BUMN yang mirip perusahaan asing. Saya<br />
juga beruntung pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi,<br />
baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, di kota besar<br />
maupun di kota yang tidak terlalu besar, yang berbasis teknologi,<br />
keuangan maupun ilmu agama. Pengalaman tersebut memberi<br />
saya pandangan yang lebih luas mengenai kekayaan, kebahagiaan<br />
dan kejujuran.<br />
Buku ini saya tulis untuk semua orang—tanpa memandang<br />
jenis kelamin, keyakinan agama, maupun profesi- yang ingin<br />
mencari jurus-jurus untuk berhasil dalam kegiatan usaha dengan<br />
mengikuti prinsip-prinsip yang diajarkan oleh agama—yang<br />
sesuai dengan nurani. Berhasil menjadi kaya dan bahagia dengan<br />
<strong>cara</strong> yang sesuai ajaran agama.<br />
xiii
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Sebagaimana dalam semua kegiatan kita, bila ingin berhasil<br />
dalam kegiatan usaha dengan mengikuti prinsip syariah maka<br />
kita harus melatih diri sendiri. Mungkin seperti halnya bila<br />
ingin menjadi juara dalam kegiatan olahraga. Seperti bila ingin<br />
menjadi Tiger Wood di olahraga golf, menjadi Pele di sepakbola,<br />
menjadi Roger Federer di tenis. Semua membutuhkan latihan<br />
fisik, latihan dasar, dan latihan teknik.<br />
Buku ini memberikan latihan-latihan untuk menguasai<br />
jurus-jurus kaya dan bahagia dengan <strong>cara</strong> syariah. Bagian awal<br />
dari buku ini ditulis untuk melatih kemampuan internal manusia<br />
dalam memahami prinsip-prinsip syariah. Bagian selanjutnya<br />
dirancang untuk mempelajari dan menguasai prinsip-prinsip<br />
serta kaidah syariah dalam kegiatan usaha. Dan diikuti dengan<br />
kiat-kiat berusaha yang sesuai dengan prinsip dan kaidah syariah.<br />
Buku ini diakhiri dengan kesimpulan mengenai falsafah, tata<br />
nilai, prinsip dan kaidah yang sebaiknya dianut agar manusia<br />
dapat berhasil dalam mencapai tujuan dari keberadaannya.<br />
Pada bagian awal, buku ini seakan-akan memberikan latihan<br />
fisik agar Anda siap untuk menjadi kaya. Dimulai dengan<br />
membahas mengapa harus kaya yaitu dengan mengenal diri<br />
sendiri dan memahami kebutuhan yang sebenarnya sehingga<br />
faham mengapa harus kaya. Pembahasan kedua adalah untuk<br />
memahami kapan menjadi kaya, yaitu apa yang harus dipenuhi<br />
agar menjadi kaya.<br />
Pembahasan ketiga adalah untuk memahami modal<br />
untuk kaya, yaitu modal yang telah disediakan oleh Tuhan<br />
agar manusia bisa kaya. Diikuti dengan pembahasan keempat<br />
tentang berusaha untuk kaya, dengan memahami hubungan<br />
antara usaha manusia dengan balasan yang diterimanya yang<br />
xiv
MUKADIMAH<br />
diwarnai dengan hubungan antara kekayaan, kemaslahatan<br />
dan keadilan. Pembahasan terakhir adalah untuk memahami<br />
bagaimana seharusnya mengelola kekayaan yang sebenarnya<br />
merupakan amanah bagi manusia.<br />
Berikutnya buku ini akan memberikan latihan prinsip dasar<br />
dan jurus-jurus penerapannya. Dimulai dengan pembahasan<br />
mengenai bagaimana kaya se<strong>cara</strong> halal dan thoyib. Bagaimana<br />
<strong>cara</strong> memisahkan hasil yang halal dari yang haram maupun<br />
meragukan. Sehingga dapat menghindari kemunkaran dan<br />
kemudharatan guna memberikan manfaat yang membawa<br />
kearifan. Dalam bab ini disampaikan jurus kurma yang menjadi<br />
dasar dari jurus-jurus terkait uang, valuta asing, etika bisnis,<br />
dan mekanisme pasar.<br />
Latihan prinsip dasar kedua adalah latihan hindari riba<br />
yaitu dengan menolak berlaku zhalim dan menolak diperlakukan<br />
se<strong>cara</strong> zhalim sehingga tercipta kondisi saling ridha. Dalam bab<br />
ini diuraikan jurus-jurus terkait jual-beli, yaitu jurus mencari<br />
tambahan berazas manfaat, jurus simpan-bayar, jurus bayartertunda,<br />
jurus bayar-cicil.<br />
Latihan prinsip dasar ketiga membahas <strong>cara</strong> kendalikan<br />
risiko, yaitu untuk menghancurkan ketidakpastian yang<br />
merugikan dengan meningkatkan transparansi. Dalam bab ini<br />
diterangkan jurus-jurus nisbah hutang atas modal, jurus sewa<br />
manfaat, jurus SBSN, jurus DSN, jurus saling tolong dan saling<br />
jamin, jurus jaminan PHK, jurus lindung nilai, dan jurus risiko<br />
sistemik.<br />
Sedangkan latihan prinsip dasar keempat menekankan<br />
prinsip bersama kita bisa, yaitu bagaimana membangun ke bersamaan<br />
dan menciptakan sinergi. Dalam bab ini disampaikan<br />
xv
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
jurus sapi betina yang menjadi acuan dari jurus IDB Mudharaba-<br />
Murabaha, jurus reksa dana syariah, jurus obligasi Mudharaba,<br />
jurus Jakarta Islamic Index, jurus prinsip syariah di pasar modal<br />
dan jurus unit-link.<br />
Dan akhirnya, latihan prinsip dasar kelima adalah ciptakan<br />
kekayaan, yaitu bagaimana menciptakan nilai tambah berbasis<br />
objek riil dan peningkatan produktivitas. Dalam bab ini diterang<br />
kan jurus istishna untuk pembangunan infrastruktur,<br />
jurus ijarah yang kreatif, jurus penjaga kekayaan, jurus rumahku<br />
surga ku, jurus rusunawa-rusunami, dan jurus PNB-PNM.<br />
Dengan membaca buku ini, insya Allah akan diperoleh<br />
ins pirasi untuk menjadi kaya dan bahagia dengan <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong><br />
yang sesuai syariah. Jurus <strong>Kaya</strong> dan <strong>Bahagia</strong> Cara <strong>Syariah</strong>.<br />
xvi
Ilmu<br />
(Mu’adz bin Jabal)<br />
Pelajarilah ilmu, sebab mencari ilmu karena Allah adalah<br />
kebaikan, menuntut ilmu adalah ibadah, mempelajari ilmu adalah<br />
tasbih, mengkaji ilmu adalah jihad, me ngajar kan ilmu adalah<br />
sedekah, dan menyampaikan ilmu kepada yang berhak adalah<br />
qurbah (kedekatan). Ilmu adalah teman yang menghibur dalam<br />
kesendirian, sahabat dalam kesepian, petunjuk dalam suka dan<br />
duka, pem bantu di sisi karib dan teman di sisi kawan, penerang<br />
di jalan surga.<br />
Dengan ilmu, Allah mengangkat bangsa-bangsa, lalu Allah<br />
jadikannya pemimpin, penghulu, dan pemberi petunjuk pada<br />
kebaikan.<br />
Jejak mereka diikuti, perbuatan mereka diperhatikan.<br />
Ilmu menghidupkan hati dari kebutaan, memberi cahaya dari<br />
kezhaliman, memberi kekuatan dari kelemahan.<br />
Ilmu adalah pemimpin, amalan adalah pengikutnya.<br />
Ilmu diilhamkan kepada orang-orang yang berbahagia,<br />
diharamkan bagi orang-orang yang celaka.
Bab 1<br />
Mengapa Harus <strong>Kaya</strong><br />
Pada tahun 1978, setelah lulus dari ITB, saya mengawali karier<br />
sebagai marketing representative untuk IBM. Saat itu, IBM adalah<br />
perusahaan komputer terbesar di dunia. Suatu ketika, saya ada<br />
janji dengan Direktur Keuangan dari satu perusahaan swasta<br />
yang cukup besar. Direktur Keuangan itu seorang wanita—<br />
yang setahu saya adalah juga pemilik perusahaan itu. Janji<br />
untuk meeting pukul 08.30, pagi. Karena takut terlambat, saya<br />
datang pagi sekali. Saat itu kantor masih sepi, hanya ada seorang<br />
lelaki tua berkaos oblong yang sedang merawat tanaman hias<br />
dan merangkai bunga di ruangan tamu Direksi. Tanamannya<br />
memang bagus dan bunga yang dirangkainya indah sekali.<br />
Saya gunakan kesempatan itu untuk ’ngobrol’ dan mencari<br />
tambahan informasi tentang perusahaan tersebut, juga tentang<br />
Ibu Direktur Keuangan. Kebetulan, saya memang suka tanaman<br />
hias dan bunga.<br />
1
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Kemudian, Bapak Tua itu bercerita bahwa <strong>cara</strong> kita merawat<br />
tanaman adalah cermin dari <strong>cara</strong> kita memandang kehidupan.<br />
Tanaman akan tumbuh subur dan berkembang indah bila kita<br />
merawatnya dengan baik. Begitu pun halnya dengan kehidupan<br />
ini. Bila kita merawat atau menjaga kehidupan dengan baik,<br />
maka kehidupan akan memberi kita keindahan dan kebahagiaan.<br />
Setelah berbincang ringan dengan Bapak Tua itu sekitar<br />
setengah jam, Ibu Direktur Keuangan datang dan langsung<br />
mencium pipi si Bapak Tua perawat tanaman hias itu. Saya<br />
terkejut, bengong. Ternyata Bapak Tua yang begitu bersahaja<br />
adalah suami Ibu Direktur Keuangan, sekaligus pendiri dan<br />
pemilik perusahaan itu. Untung saja obrolan kami, sebelumnya,<br />
berjalan cukup akrab dan menarik. Wah, orangtua itu kaya<br />
sekali, tetapi sangat sederhana.<br />
Sewaktu keluar dari ruang meeting, saya bertemu dengan<br />
Bapak Tua itu lagi. Saat itu, dia sudah pakai baju batik kuno<br />
yang terlihat sangat indah. Dia bilang, ”Kamu akan merasa<br />
kaya bila kamu merasa bahagia. Rawatlah kehidupanmu.<br />
Baik itu kehidupan usaha, kehidupan ilmu, kehidupan<br />
sosial, ataupun kehidupan keluarga. Maka kehidupan<br />
akan memberimu kebahagiaan, dan kamu akan menjadi<br />
kaya.”<br />
Sekarang, tiga dasawarsa kemudian, saya semakin yakin<br />
bahwa kriteria atau ukuran ’kaya’ tergantung pada bagaimana<br />
kita memahami siapa sebenarnya diri kita dan hal-hal yang<br />
menjadi kebutuhan hidup kita. Sebagai umat beragama, saya<br />
yakin, jawaban atas siapa diri saya dan kebutuhan hidup saya<br />
sudah dijelaskan seterang-teraangnya dalam Kitab Suci dan<br />
sabda Rasul Tuhan.<br />
2
Siapakah Anda<br />
MENGAPA HARUS KAYA<br />
Siapa yang setiap hari Anda lihat sewaktu memandang pada<br />
cermin di rumah Anda Manusia yang Anda lihat di cermin itu<br />
tentu sangat Anda kenal: “Diri Anda sendiri!” Tetapi, siapakah<br />
Anda Apa yang Anda butuhkan di dunia ini Tahukah Anda<br />
kapan akan menjadi ‘kaya’<br />
Anda mungkin saja seorang suami, seorang istri, atau<br />
lajang yang hidup sendiri. Di samping sebagai suami, boleh<br />
jadi Anda juga seorang ayah. Sebaliknya, selain sebagai seorang<br />
istri, mungkin Anda juga seorang ibu. Atau, Anda masih<br />
punya orangtua yang berarti Anda masih berstatus seorang<br />
anak. Bahkan, mungkin saja Anda punya saudara, sehingga<br />
Anda bisa saja seorang kakak<br />
atau adik, ataupun seorang<br />
paman atau tante dari putraputri<br />
saudara Anda. Dari sisi<br />
status sosial, mungkin Anda<br />
memiliki jabatan manajer,<br />
pemimpin, direktur, atau<br />
wakil rakyat yang terhormat,<br />
Menteri, bahkan Presiden.<br />
Se<strong>cara</strong> profesi, bisa saja Anda<br />
seorang dokter, teknisi,<br />
pengemudi, pelayan, atau<br />
pemegang peran-peran lain<br />
dalam kehidupan.<br />
”Tanaman akan tumbuh<br />
subur dan berkembang<br />
indah bila kita<br />
merawatnya dengan baik.<br />
Begitu pun halnya dengan<br />
kehidupan ini. Bila kita<br />
merawat atau menjaga<br />
kehidupan dengan baik,<br />
maka kehidupan akan<br />
memberi kita keindahan<br />
dan kebahagiaan.”<br />
Keberagaman status, peran, dan profesi itu tergambar jelas<br />
dalam lagu Panggung Sandiwara yang dinyanyikan oleh Ahmad<br />
Albar. Salah satu syair pada bait dalam lagu itu mengungkap<br />
3
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
bahwa, “Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura.”<br />
Sebenarnya, syair lagu itu bukan sekadar menyampaikan pesan<br />
mengenai “kontradiksi keberagaman peran” yang dijadikan<br />
lelakon kehidupan manusia. Tetapi jauh lebih dalam lagi,<br />
mengandung pertanyaan besar tentang hakikat keberadaan<br />
manusia di dunia, termasuk ihwal mengapa dan untuk apa<br />
manusia diciptakan.<br />
Mengenai keberadaan manusia, firman Allah SWT dalam<br />
Kitab Suci (QS 51:56) dengan jelas menyatakan bahwa tujuan<br />
penciptaan manusia semata-mata untuk beribadah kepada-<br />
Nya. Artinya, Allah SWT menciptakan manusia tidak untuk<br />
tujuan selain beribadah kepada-Nya. Dalam hal ini, makna<br />
ibadah berarti mengabdi atau menjadi hamba-Nya. Istilah<br />
mengabdi berarti manusia adalah abdi Tuhan atau dalam bahasa<br />
sederhananya: hamba Allah.<br />
Jadi, saya dan Anda adalah abdi Tuhan atau hamba Allah,<br />
dan kebutuhan hidup kita telah ditentukan oleh Allah SWT,<br />
sebagaimana dijabarkan dalam Kitab-Nya. Dan menurut Imam<br />
Ghazali, tujuan utama dari hidup manusia adalah mencapai<br />
kecintaan semata-mata karena Allah SWT Sebagaimana<br />
dijelaskan dalam Kitab Suci (QS 2:165 dan 5:54) , orang-orang<br />
yang beriman sangat cinta kepada Allah, dan Allah mencintai<br />
mereka.<br />
Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa tidaklah<br />
seorang manusia beriman kecuali bila ia telah menjadikan Allah<br />
dan rasul-Nya lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya,<br />
dan manusia seluruhnya.<br />
4
MENGAPA HARUS KAYA<br />
Imam Ghazali juga mengajarkan bahwa terdapat empat<br />
tingkatan hamba Allah SWT Pertama, hamba yang mengenal<br />
syariat (hukum-hukum) Allah dan mulai menjalankannya.<br />
Kedua, hamba yang telah memahami syariat dan oleh karenanya<br />
bersungguh-sungguh berada dalam tarekat (jalan) Allah.<br />
Ketiga, hamba yang telah mendapatkan hasil dari tarekat yang<br />
dijalankannya sehingga menemukan hakikat dari syariat. Dan<br />
yang tertinggi, hamba yang telah mencapai ma’rifat (tingkat<br />
kecintaan) sehingga menjalankan syariat Allah semata-mata<br />
karena cinta kepada Allah dan rasul-Nya, serta semata-mata<br />
mengharapkan ridha Allah SWT<br />
Pelajaran dari Pengalaman Nabi Adam<br />
Setelah memahami bahwa manusia adalah hamba Allah, perlu<br />
dipahami pula apa sebenarnya yang dibutuhkan manusia untuk<br />
mencapai tujuan penciptaannya. Pelajaran pertama mengenai<br />
kebutuhan manusia tergambar pada takdir manusia pertama yang<br />
diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa, Adam. Dan istrinya,<br />
Hawa. Dalam Kitab Suci (QS 20:117-119) telah diterangkan<br />
oleh Allah SWT kepada Nabi Adam bahwa sesungguhnya iblis<br />
adalah musuh bagi mereka. Adam dan Hawa juga diingatkan<br />
agar jangan sampai iblis membuat mereka terusir dari surga.<br />
Karena, di dalam surga mereka tidak akan pernah merasakan<br />
tajuu’a, ta’roo, tazhma’u, dan tidak tadhhaa.<br />
Hikmah apa yang dapat kita petik dari kejadian ini<br />
Apa maksud firman Allah SWT dalam ayat ini<br />
Baiklah. Coba kita uraikan satu demi satu. Tajuu’a artinya<br />
lapar, tetapi se<strong>cara</strong> umum mengandung arti “tidak cukup<br />
5
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
ma kanan”. Sementara ta’roo berarti telanjang atau ”tidak berpakaian”.<br />
Adapun makna tazhma’u adalah dahaga, atau mengandung<br />
arti ”tidak terpuaskan”. Sedangkan tadhhaa artinya<br />
tidak duhaa, maksudnya “terkena panas matahari”.<br />
Se<strong>cara</strong> tersirat, kita dapat memahami bahwa maksud firman<br />
Allah SWT tersebut adalah: selama berada di surga, semua<br />
kebutuhan hidup Adam dan Hawa akan selalu terpenuhi.<br />
Kebutuhan hidup yang oleh Allah SWT digambarkan sebagai<br />
tidak tahuu’a, tidak ta’roo, tidak tazhma’u, dan tidak tadhhaa.<br />
Namun, apa yang terjadi, ternyata Adam dan Hawa tergoda<br />
setan, dan mencoba mencari sesuatu yang lebih dari yang telah<br />
ditentukan oleh Sang Pencipta.<br />
Manusia pertama yang diciptakan Tuhan telah tergoda setan<br />
untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Padahal, Tuhan<br />
telah menyediakan segalanya se<strong>cara</strong> sempurna di surga, sehingga<br />
dijamin bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan manusia,<br />
yang sesuai dengan aturan Tuhan, akan terpuaskan. Namun,<br />
”Rasulullah Saw.<br />
menjelaskan bahwa<br />
kebaikan datang dari<br />
kebaikan. Harta di dunia<br />
ibarat rumput hijau.<br />
Jika seekor binatang<br />
memakannya se<strong>cara</strong><br />
berlebihan, rumput itu<br />
dapat menciderai atau<br />
membunuhnya.”<br />
manusia—karena dorongan<br />
nafsunya—masih mencari<br />
“kelebihan” yang kemudian<br />
mendorongnya pada perilaku<br />
hidup berlebihan, boros, dan<br />
menyia-nyiakan (mubazir).<br />
Memang manusia diberi<br />
motivasi untuk memenuhi<br />
kebutuhan hidupnya dalam<br />
jumlah yang banyak, bahkan<br />
motivasi untuk berusaha<br />
menjadi kaya akan “hal-hal<br />
6
MENGAPA HARUS KAYA<br />
yang penting dalam hidupnya”. Namun, apa saja sebenarnya<br />
yang merupakan “hal-hal yang penting dalam hidup manusia”<br />
itu<br />
Sebagian manusia berpendapat, dengan memiliki banyak<br />
harta, manusia dapat memperoleh hal-hal yang penting dalam<br />
hidupnya. Karena itu, logikanya, siapa saja yang berniat ingin<br />
‘kaya’, berarti harus memiliki banyak harta. Sesungguhnya,<br />
perihal harta, Nabi Muhammad SAW telah menuturkan<br />
banyak rambu-rambu. Pada satu sisi, menurut Rasulullah SAW,<br />
kemiskinan dapat menyeret manusia kepada kekufuran. Namun<br />
di sisi lain, kelebihan harta dapat membahayakan keimanan<br />
dan moral.<br />
Lebih lanjut, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kebaikan<br />
datang dari kebaikan. Harta di dunia ibarat rumput hijau. Jika<br />
seekor binatang memakannya se<strong>cara</strong> berlebihan, rumput itu<br />
dapat menciderai atau membunuhnya. Yang paling baik adalah<br />
binatang yang makan rumput hijau, kemudian berjalan di bawah<br />
cahaya matahari seraya mencerna makanannya, dan kembali<br />
menikmati makan rumput.<br />
Begitu pula harta. Materi yang satu ini ibarat gula yang<br />
manis. Dalam jumlah sedikit dapat memberikan kekuatan,<br />
meskipun rasa manisnya sangat menggoda agar terus-menerus<br />
dinikmati. Namun, bila dikonsumsi se<strong>cara</strong> berlebihan, gula<br />
dapat memicu banyak penyakit. Nah, seperti itulah harta. Terlalu<br />
banyak harta dapat menimbulkan “penyakit”. Oleh karenanya,<br />
sebaik-baik manusia adalah mereka yang memperoleh harta<br />
se<strong>cara</strong> halal dalam jumlah yang cukup dan menafkahkannya di<br />
jalan yang benar. Kemudian berusaha lagi mencari tambahan<br />
7
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
yang kelak digunakan di jalan Tuhan. Karena harta yang kita<br />
miliki, kelak akan menjadi saksi di Hari Pembalasan.<br />
Jadi, berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami, berbeda<br />
dengan pendapat sebagian manusia yang menyatakan bahwa<br />
kebutuhan manusia tidak terbatas, ketentuan dari Sang Pencipta<br />
menyatakan bahwa kebutuhan manusia adalah tertentu atau<br />
terbatas. Karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan<br />
kemampuan yang terbatas untuk memakai atau menghabiskan<br />
sesuatu, baik berupa pakaian, makanan, maupun harta benda<br />
lainnya. Dalam memahami keterbatasan kebutuhan ini,<br />
Muhammad SAW telah mengajarkan agar jangan mencari<br />
pembenaran atas segala sesuatu yang tidak bisa dibenar<br />
kan.<br />
Ruang Lingkup Kebutuhan Manusia<br />
Firman Allah SWT dan ajaran Rasulullah SAW di atas<br />
menyiratkan pengertian tentang tingkatan kebutuhan manusia.<br />
Beberapa tingkatan kebutuhan manusia itu dapat kita uraikan<br />
sebagai berikut.<br />
Pertama, dengan memakai istilah tajuu’a, terkait dengan<br />
kecukupan makanan yang dibutuhkan manusia, sebagai mahluk,<br />
untuk hidup. Kedua, dengan menggunakan istilah ta’roo, terkait<br />
kebutuhan yang membedakan manusia dengan makhluk hidup<br />
lainnya, yaitu kebutuhan sebagai makhluk sosial untuk menutup<br />
aurat dan untuk tampil menarik. Ketiga, dengan memakai istilah<br />
tazhma’u, terkait dengan memenuhi dahaga atau dapat disebut<br />
sebagai kepuasan, yaitu sesuatu yang membuat manusia ingin<br />
mendapat lebih. Keempat, atau yang terakhir, dengan istilah<br />
tadhhaa, yang memakai panas sinar matahari sebagai analogi.<br />
8
MENGAPA HARUS KAYA<br />
Dalam jumlah yang cukup, panas sinar matahari akan sangat<br />
berguna dan menyehatkan. Tetapi bila terlalu banyak atau<br />
berlebihan, bisa membakar kulit dan menimbulkan masalah.<br />
”Pada satu sisi,<br />
menurut Rasulullah<br />
Saw., kemiskinan dapat<br />
menyeret manusia kepada<br />
kekufuran. Namun di<br />
sisi lain, kelebihan harta<br />
dapat membahayakan<br />
keimanan dan moral.”<br />
Dengan demikian,<br />
manusia seharusnya dapat<br />
memahami bahwa Allah<br />
SAW telah menunjukkan<br />
adanya pembedaan (differentiation)<br />
atas semua hal<br />
yang diperlukan dalam<br />
hidup manusia. Menurut<br />
pem bedaan itu, hal-hal<br />
yang diperlukan dalam<br />
hidup manusia dapat di kelompokkan<br />
sebagai keperluan (darurat), kebutuhan (haajat),<br />
keinginan (raghbat), dan hasrat (syahwat). Sebenarnya, istilah<br />
yang diadopsi dari bahasa Arab ini sudah diserap ke dalam bahasa<br />
Indonesia. Sayangnya, pengertian dari istilah-istilah tersebut<br />
banyak yang menyimpang jauh dari makna sebenarnya, bahkan<br />
sering kali menyesatkan.<br />
Darurat, dalam konteks kebutuhan, adalah segala sesuatu<br />
yang diperlukan manusia sebagai makhluk untuk tetap hidup.<br />
Sebut saja air, oksigen, dan makanan. Bila kebutuhan yang<br />
termasuk dalam golongan darurat tidak terpenuhi, manusia<br />
tidak dapat memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk—yang<br />
digambarkan dengan istilah tidak cukup makan (tajuu’a).<br />
Haajat, dalam konteks kebutuhan, adalah segala sesuatu<br />
yang se<strong>cara</strong> mendasar harus dipenuhi untuk mencapai fitrah<br />
sebagai manusia. Di antaranya, kebutuhan untuk berpakaian,<br />
9
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
berkomunikasi, berkeluarga, punya tempat tinggal yang layak,<br />
dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan-kebutuhan ini digambarkan<br />
dengan istilah tidak berpakaian atau ta’roo.<br />
Bila kebutuhan yang tergolong darurat dan haajat sudah<br />
terpenuhi, sebenarnya manusia sudah dapat menjalankan<br />
tugasnya sesuai dengan maksud dan tujuan Sang Pencipta, yaitu<br />
menjadi abdi Tuhan. Namun, Allah SWT menetapkan bahwa<br />
manusia harus diberi cobaan, diberi ujian, untuk kemudian<br />
dinilai: mana yang layak masuk surga dan mana yang<br />
tidak layak masuk surga.<br />
Raghbat, yaitu keinginan yang diharapkan dipenuhi untuk<br />
mencapai kepuasan yang lebih luas dari kebutuhan dasar, yang<br />
digolongkan sebagai darurat dan haajat. Keinginan ini layak<br />
menjadi motivasi untuk mencari fadhilah, kelebihan dari<br />
Allah SWT, sehingga manusia tidak melupakan haknya atas<br />
nikmat dunia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah<br />
ditetapkan-Nya. Keinginan jenis ini digambarkan sebagai dahaga<br />
atau tazhma’u.<br />
Syahwat, yaitu keinginan atau raghbat yang sebenarnya<br />
tidak diperlukan. Sehingga, bila dipenuhi, manfaatnya sangat<br />
kecil atau bahkan tidak ada, sedangkan mudharatnya lebih<br />
besar. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan syahwat bukanlah<br />
semata-mata berkaitan dengan masalah seksual, tetapi segala<br />
macam bentuk rangsangan atau hasrat untuk segera memenuhi<br />
keinginan. Sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan, atau<br />
belum saatnya untuk dipenuhi, sehingga menjadi kelebihan<br />
yang merugikan (tadhdha).<br />
10
MENGAPA HARUS KAYA<br />
Masalah utama dalam syahwat adalah bila manusia<br />
menyegerakan sesuatu yang dianggapnya sebagai kebutuhan,<br />
padahal sebenarnya tidak pernah menjadi haknya. Contoh<br />
paling sederhana adalah makan berlebihan hingga jatuh sakit,<br />
bahkan mungkin meninggal dunia. Contoh lainnya adalah<br />
keinginan untuk memiliki barang mewah yang berada di luar<br />
jangkauan kemampuan, baik kemampuan saat ini maupun<br />
di masa mendatang. Syahwat semacam ini sangat berbahaya,<br />
karena bisa memicu timbulnya pikiran “liar”—seperti menipu,<br />
mencuri, atau korupsi—untuk memenuhinya.<br />
Syahwat atau rangsangan untuk segera memenuhi keinginan—yang<br />
mungkin belum menjadi kebutuhan atau tidak<br />
pernah menjadi kebutuhan—terbukti telah menimbulkan berbagai<br />
kerusakan di muka bumi. Bukan hanya memicu timbulnya<br />
peperangan, tetapi juga dapat menjerumuskan manusia ke<br />
dalam khamar—seperti narkoba, maysir—seperti judi maupun<br />
spekulasi, hingga transaksi riba yang terbukti telah menciptakan<br />
resesi akibat krisis keuangan dunia.<br />
11
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
<strong>Kaya</strong> = Kebutuhan Manusia terjaga<br />
Manusia diciptakan untuk menjadi abdi Tuhan, menjadi hamba<br />
Allah Swr. Manusia diciptakan untuk mempunyai kebutuhan, di<br />
mana bila kebutuhan tersebut terpenuhi, manusia akan merasa<br />
‘kaya’. Kebutuhan manusia sebenarnya terbatas, dan hanya<br />
meliputi:<br />
Darurat adalah kebutuhan dasar manusia sebagai mahluk<br />
adalah setara dengan wajib, karena bila tidak dipenuhi maka<br />
manusia tidak bisa bertahan hidup sebagai mahluk. Bila dipenuhi<br />
maka manusia akan kaya se<strong>cara</strong> fisik.<br />
Haajat adalah kebutuhan manusia agar dapat memenuhi<br />
fitrahnya. Keadaannya mirip dengan hukum sunah. Bila tidak<br />
dipenuhi, manusia tetap akan hidup sebagai mahluk. Namun bila<br />
terpenuhi, manusia akan memenuhi fitrahnya sebagai manusia,<br />
menjadi kaya se<strong>cara</strong> intelektual dan finansial.<br />
Raghbat adalah keinginan manusia dapat disetarakan dengan<br />
mubah. Bila dipenuhi manusia akan lebih bahagia. Kalaupun tidak<br />
terpenuhi, manusia tetap dapat hidup sebagai hamba Allah. Bila<br />
manusia sudah bisa menjaga diri terhadap raghbat, maka manusia<br />
sudah kaya se<strong>cara</strong> emosional.<br />
Syahwat atau hasrat adalah dorongan hati yang minta dipenuhi<br />
tetapi bila dipenuhi mungkin sangat sedikit—atau bahkan tidak<br />
ada—manfaatnya, namun berpotensi menjadi dosa. Apabila sudah<br />
dapat menjaga diri dari syahwat, manusia sudah kaya se<strong>cara</strong><br />
spiritual.<br />
12
Bab 2<br />
Kapan Menjadi <strong>Kaya</strong><br />
Bujang, seorang pria tampan dan cerdas, berasal dari<br />
keluarga yang berkecukupan. Ia menikah dengan Dara yang cantik<br />
jelita dan luwes bergaul. Bujang bekerja di suatu perusahaan asing,<br />
sementara Dara bekerja di salah satu BUMN.<br />
Sebagaimana keluarga muda lainnya, mereka mulai membina<br />
kehidupan dengan membeli rumah dan mobil. Karena penghasilan<br />
masih terbatas, mereka mengambil KPR dan kredit kendaraan<br />
bermotor. Mereka juga memanfaatkan kartu kredit untuk membeli<br />
barang-barang yang relatif mahal dengan sistem pembayaran<br />
cicilan. Se<strong>cara</strong> umum mereka relatif bahagia, walaupun living<br />
dangerously karena besarnya kredit yang mereka ambil. Pepatah<br />
mengibaratkan, besar pasak dari tiangnya.<br />
Suatu ketika, bencana datang. Bujang terlibat ”silang-pendapat”<br />
yang sangat sengit dengan atasannya. Akibatnya, ia ”terlempar”<br />
ke posisi yang tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak<br />
disukainya. Bujang sangat terpukul. Ia pun ”ngambeg” dan memilih<br />
13
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
berhenti bekerja. Lalu, ia mencari kesibukan dengan melanjutkan<br />
kuliah untuk program MM. Guna memenuhi kebutuhan hidup<br />
sehari-hari, pasangan muda itu hanya mengandalkan penghasilan<br />
Dara. Akibatnya, mereka tidak sanggup membayar cicilan kredit<br />
dan mulai dikejar-kejar debt collector.<br />
Sementara itu, Jahil, seorang pengusaha yang sedang<br />
mengejar mega proyek di BUMN tempat Dara bekerja, berusaha<br />
memanfaatkan situasi. Jahil membujuk agar Dara mau bekerja<br />
sama dengannya. Dara diminta menggunakan kecantikan dan<br />
keluwesannya untuk ”mengatur” agar Jahil menang dalam tender<br />
dengan <strong>cara</strong> mengantar ”kemenyan” ke Panitia Tender. Sebagai<br />
upah dari jerih payahnya, Dara akan mendapat ”bagian” yang<br />
cukup besar.<br />
Pada mulanya, Dara bingung menghadapi indecent proposal<br />
yang disodorkan oleh Jahil. Karena itu, Dara meminta pendapat<br />
sahabat karibnya, Acuh. Setelah mendengar cerita Dara, Acuh<br />
mendorong agar Dara memanfaatkan peluang emas itu. ”Dara,<br />
bekerja di BUMN gajinya kecil. Kalau kamu nggak pinter-pinter,<br />
nggak bisa memanfaatkan situasi, kamu tidak akan pernah kaya.<br />
Lihat saja teman-teman dan bos kamu di BUMN. Dari mana mereka<br />
bisa hidup bergelimang kemewahan seperti itu kalau mereka nggak<br />
pinter-pinter” Begitu saran Acuh.<br />
Karena saran itulah Dara menerima tawaran Jahil. Dia berhasil<br />
menjalankan misi yang diembannya. Jahil menang tender,<br />
meskipun harga penawarannya di mark-up sedemikian rupa dan<br />
kualitas yang ditawarkan tidak memenuhi persyaratan. Tentu saja,<br />
Jahil sangat puas dan memberikan ”hadiah” fantastis bagi Dara.<br />
Dari uang pemberian Jahil itulah Dara melunasi utang kredit. Tentu<br />
saja, Bujang sangat bahagia karena istrinya mendapat penghasilan<br />
14
KAPAN MENJADI KAYA<br />
besar, dan mereka tidak dikejar-kejar debt collector lagi. Akan<br />
tetapi, Bujang tidak tahu bagaimana <strong>cara</strong>nya dan dari mana Dara<br />
mendapatkan uang tersebut.<br />
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Korupsi pada<br />
tender yang dimenangkan oleh Jahil itu tercium oleh KPK. Jahil<br />
dan pejabat BUMN ditangkap dan didakwa sebagai pelaku tindak<br />
pidana korupsi. Dara menjadi saksi dan berpotensi besar menjadi<br />
tersangka. Mendengar kabar yang sangat memalukan itu, Bujang<br />
marah besar. Tanpa pikir panjang, Bujang menceraikan Dara.<br />
Dara sangat bersedih hati karena niat baiknya berakhir dengan<br />
kepahitan. Dia pulang ke rumah orang tuanya. Ketika bertemu<br />
Sangar, kakaknya, dia tumpahkan segala rasa kecewa di hatinya.<br />
Men dengar cerita adiknya, Sangar naik pitam. Dia se gera mencari<br />
Bujang. Begitu bertemu, Sangar menghajar Bujang habis-habisan<br />
sampai Bujang harus dirawat di rumah sakit.<br />
Kisah di atas adalah cerita fiktif yang sering saya gunakan<br />
untuk memulai seminar atau pelatihan yang terkait dengan<br />
tata nilai di organisasi atau perusahaan. Pertanyaan yang saya<br />
ajukan kepada peserta seminar atau pelatihan adalah: ”Masingmasing<br />
orang dalam cerita ini mempunyai kesalahan. Menurut<br />
pendapat Anda, siapa yang paling bersalah Tolong beri urutan<br />
untuk kelima orang ini, dari yang paling salah sampai dengan<br />
yang paling sedikit kesalahannya.”<br />
Reaksi peserta seminar atau pelatihan setelah menyimak<br />
kisah di atas selalu beragam.<br />
15
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
”Dara pangkal segala bencana. Kalau saja dia punya keteguhan<br />
hati untuk menolak tawaran Jahil, dan mengabaikan saran Acuh,<br />
bencana ini tidak akan terjadi.”<br />
”Ya ampun, kok tega-teganya Bujang menceraikan Dara yang<br />
sudah berkorban besar. Seharusnya Bujang yang mencari nafkah<br />
untuk keluarga, bukannya Dara.”<br />
”Jahil penyebab semuanya. Dia sumber korupsi di BUMN,<br />
Dara hanya jadi korban karena terdesak dalam himpitan hutang.”<br />
”Gawat betul si Sangar. Mau jadi hakim sendiri padahal<br />
tidak tahu apa-apa.”<br />
”Acuh yang kurang ajar, dia yang menjerumuskan Dara.”<br />
Begitulah. Macam-macam pendapat yang mencuat.<br />
”Bagaimana dengan Anda”<br />
”Apakah Anda juga akan memberikan reaksi serupa, atau<br />
malah berbeda sama sekali, setelah membaca kisah di atas”<br />
Sebetulnya, apa pun reaksi Anda, yang paling penting adalah<br />
memahami hakikat cerita itu.<br />
Ya, kisah ini adalah cerita mengenai tata nilai. Bila Anda<br />
memilih Bujang sebagai pihak yang paling bersalah, maka<br />
Anda menempatkan tanggung jawab pribadi sebagai tata<br />
nilai tertinggi. Ketika Anda memilih Dara, berarti Anda<br />
menempatkan tanggung jawab moral sebagai tata nilai<br />
tertinggi. Apabila Anda memilih Jahil, itu pertanda Anda<br />
menempatkan etika usaha sebagai tata nilai tertinggi. Pada<br />
saat Anda memilih Acuh, berarti tanggung jawab sosial<br />
adalah tata nilai utama. Namun, bila Anda memilih Sangar,<br />
maka kepatuhan atau keteraturan menjadi tata nilai tertinggi.<br />
16
KAPAN MENJADI KAYA<br />
Saya kerap menggunakan cerita semacam ini untuk<br />
mengetahui tata nilai dalam seminar atau pelatihan di lembaga<br />
pemerintah, BUMN, perusahaan asing, perusahaan swasta,<br />
lembaga keuangan, organisasi profesi, organisasi sosial, bahkan di<br />
organisasi mahasiswa, OSIS, dan sekolah. Ternyata, urutan tata<br />
nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok tersebut memiliki<br />
perbedaan yang cukup besar.<br />
Tata nilai kita mempunyai hubungan timbal balik yang<br />
sangat erat dengan kebutuhan kita—atau lebih tepatnya:<br />
Hal-hal yang kita anggap<br />
se bagai kebutuhan kita.<br />
Namun, apakah pendapat<br />
atau pan dangan kita sudah<br />
sesuai dengan ajaran agama<br />
Inilah hal yang penting kita<br />
cermati.<br />
Lantas, bagaimana tata<br />
nilai menurut ajaran agama<br />
Hierarki Kebutuhan Manusia<br />
”Ternyata, jauh sebelum<br />
Maslow mengajukan teori<br />
Hierarchy of Needs, Imam<br />
Ghazali telah mempelajari<br />
kaidah-kaidah dasar<br />
hierarki kebutuhan<br />
manusia.”<br />
Sewaktu kuliah, dosen saya mengajarkan teori Hierarchy<br />
of Needs dari Maslow. Needs (berbagai kebutuhan manusia)<br />
memberi motivasi kepada manusia untuk berupaya dan<br />
bertindak. Maslow menyatakan, manusia mempunyai 3 jenis<br />
general needs yang dimulai dari physiological needs atau kebutuhan<br />
fisik, kemudian meningkat menjadi safety needs atau kebutuhan<br />
untuk mengamankan kebutuhan fisik tersebut. Dan, social needs<br />
pada tingkat ketiga, yaitu kebutuhan nonfisik sebagai manusia.<br />
Sementara, di atas general needs, Maslow menyatakan bahwa<br />
manusia juga mempunyai esteem needs, yaitu kebutuhan untuk<br />
17
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
diperhatikan, diakui, dan dihormati. Sedangkan kebutuhan<br />
tertinggi manusia, menurut Maslow, adalah self-actualization,<br />
yaitu kebutuhan untuk mewujudkan keberadaan dirinya.<br />
Namun, setelah saya mempelajari ekonomi syariah, saya<br />
menemukan informasi menarik. Ternyata, jauh sebelum<br />
Maslow mengajukan teori Hierarchy of Needs, Imam Ghazali<br />
telah mempelajari kaidah-kaidah dasar hierarki kebutuhan<br />
manusia. Dalam bukunya yang berjudul Al-Mustasyfa, Imam<br />
Ghazali mendefinisikan kaidah dasar hierarki kebutuhan<br />
manusia sebagai Maqashid asy-<strong>Syariah</strong>. Menurut Imam Ghazali,<br />
manusia akan sejahtera bila kebutuhannya terpenuhi. Hanya<br />
saja, kebutuhan itu harus sejalan dengan hierarki kebutuhan<br />
menurut syariah Islam, yakni kebutuhan utama untuk menjaga<br />
dien (keimanan), diikuti oleh kebutuhan untuk menjaga nafs<br />
(kehidupan), menjaga aql (akal), menjaga nasl (keturunan), dan<br />
terakhir untuk menjaga maal (harta).<br />
Menjaga Keimanan<br />
Dien atau iman artinya percaya, sedangkan makna “keimanan”<br />
adalah keyakinan terhadap suatu keberadaan atau<br />
yang dianggap benar. Manusia akan bertindak sesuai dengan<br />
keyakinannya. Bila ia yakin bahwa ada Tuhan yang menciptakan<br />
manusia dan alam semesta, serta yakin bahwa Rasul adalah<br />
pembawa firman Tuhan kepada manusia, maka ia pasti yakin<br />
akan kebenaran perintah-Nya, sebagaimana tersurat dan tersirat<br />
di dalam ayat-ayat Kitab Suci.<br />
Menurut syariah, untuk menjaga dien atau keimanan,<br />
manusia harus memenuhi Rukun Iman, yakni: percaya<br />
akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa;<br />
18
KAPAN MENJADI KAYA<br />
percaya bahwa Tuhan telah “kekayaan dapat<br />
menciptakan malaikat yang memutar-balik hati<br />
mengemban tugas-tugas manusia, dari baik hati<br />
tertentu dari Tuhan; percaya menjadi jahat atau buruk<br />
bahwa Tuhan me nyam paikan hati. Namun bukan hanya<br />
firman-Nya sebagaimana harta berlebihan yang<br />
termaktub dalam kitabkitab-Nya;<br />
percaya bahwa manusia, kekurangan<br />
dapat memutar-balik hati<br />
Tuhan telah mengutus para harta juga dapat<br />
Rasul untuk menyampaikan menyebabkan hal yang<br />
firman-Nya kepada manusia;<br />
sama.”<br />
percaya akan adanya akhirat<br />
yang abadi; dan percaya<br />
terhadap takdir Tuhan atas manusia.<br />
Manusia yang baik akan berusaha dengan sungguh-sungguh<br />
melaksanakan tugas pengabdian atau ibadah sebagaimana yang<br />
disampaikan dan diajarkan oleh rasul-rasul-Nya. Pada bagian<br />
lain, ia akan berupaya mencari ilmu untuk melaksanakan tugas<br />
pengabdiannya sebagai hamba Allah SWT dengan sebaikbaiknya.<br />
Menjaga Kehidupan<br />
Penjagaan kehidupan (nafs) menduduki peringkat kedua<br />
setelah penjagaan keimanan (dien). Mengapa demikian Dalam<br />
bahasa Arab, nafs dapat berarti jiwa, kehidupan, atau manusia.<br />
Selain itu, nafs juga digunakan untuk menunjukkan sesuatu<br />
yang berharga dan sangat tinggi nilainya sehingga tidak dapat<br />
dinilai dengan uang.<br />
19
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Jadi, manusia dan kehidupan adalah sesuatu yang sangat<br />
berharga. Mahakarya Tuhan yang tidak dapat dinilai dengan<br />
uang. Karena itu manusia harus menjaga kehidupan dengan<br />
menjaga keimanannya. Untuk menjaga kehidupan, manusia<br />
memerlukan hal-hal yang oleh Maslow dikategorikan sebagai<br />
general needs, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan,<br />
dan kebutuhan sosial. Kebutuhan untuk menjaga kehidupan<br />
sebenarnya sama bagi seluruh manusia, terlepas dari suku bangsa<br />
atau jenis kelamin.<br />
Hanya saja, tindakan yang akan diambil manusia untuk<br />
menjaga kehidupan dapat berbeda-beda, tergantung pada<br />
tingkat keimanannya.<br />
Menjaga Akal<br />
Penjagaan akal berada pada peringkat ketiga, setelah<br />
keimanan, dan kehidupan. Dalam bahasa Arab, aql —sebagai<br />
kata kerja—berarti menjaga, menganalisa, atau mengetahui.<br />
Sebagai kata sifat, aql berarti kecerdasan, kepandaian,<br />
kemampuan untuk mengetahui, atau intelektual. Itulah sebabnya<br />
penjagaan akal ditempatkan sesudah penjagaan manusia, setelah<br />
kehidupan (nafs). Karena manusia dan kehidupan adalah sesuatu<br />
yang paling berharga. Manusia, kehidupan, dan keimanan harus<br />
tetap terjaga sehingga akal harus dikembangkan untuk menjaga<br />
kehidupan. Bukan sebaliknya!<br />
Akal tidak boleh digunakan untuk menghilangkan kehidupan,<br />
mengekang kehidupan, dan juga tidak dapat digunakan<br />
untuk menciptakan jiwa. Akal harus dijaga dengan belajar. Itu<br />
pula sebabnya ayat pertama yang disampaikan melalui malaikat<br />
Jibril adalah iqra: “bacalah”. Maksudnya, manusia harus aktif<br />
20
KAPAN MENJADI KAYA<br />
membaca “ayat-ayat” Tuhan yang ada di alam, dan menggunakan<br />
akalnya untuk berpikir.<br />
Dengan berpegang teguh pada keyakinan—sebagaimana<br />
dijabarkan dalam Rukun Iman, manusia harus berusaha mencari<br />
kebenaran dan mengembangkan manfaat sehingga menjadi<br />
rahmat bagi seluruh alam.<br />
Menjaga Keturunan<br />
Penjagaan nasab atau nasl menempati urutan keempat<br />
setelah keimanan, kehidupan, dan akal. Dalam bahasa Arab,<br />
nasab berarti keturunan dari nenek moyang, sedangkan nasl<br />
berarti anak keturunan.<br />
Keturunan diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup<br />
manusia. Karena itulah agama memberikan ketentuan mengenai<br />
perkawinan, kelahiran, warisan, muhrim, dan ketentuan untuk<br />
menghormati orangtua, menghormati jenazah serta arwah<br />
orang yang telah meninggal dunia. Dalam upaya menjaga<br />
kelangsungan hidup manusia, juga telah ditetapkan ketentuan<br />
mengelola rezeki untuk kepentingan anak keturunan, atau<br />
generasi penerus. Menjaga keturunan atau keluarga diperlukan<br />
untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.<br />
Lalu timbul pertanyaan, mengapa menjaga keturunan<br />
berada di bawah tingkat menjaga akal Ternyata, penetapan<br />
menjaga keturunan atau keluarga ditempatkan setelah menjaga<br />
akal berdasarkan pertimbangan bahwa manusia tidak boleh<br />
kehilangan akal sehat karena suami, istri, atau anak. Bahkan<br />
dalam Kitab Suci, Tuhan telah mengingatkan manusia bahwa<br />
keturunan—suami, istri, dan anak—dan harta dapat menjadi<br />
21
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
cobaan berat bagi mereka. Keturunan dan harta, hakikatnya,<br />
adalah cobaan yang dapat membolak-balikkan hati manusia<br />
dan menyebabkan manusia kehilangan akal sehat.<br />
Menjaga Harta<br />
Kebutuhan untuk menjaga maal ditempatkan dalam hierarki<br />
paling bawah. Dalam bahasa Arab, maal dapat berarti harta,<br />
milik, atau kekayaan. Tetapi, istilah maal juga dapat berarti<br />
memutar-balik. Maksudnya, harta milik dan kekayaan dapat<br />
memutar-balik hati manusia, dari baik hati menjadi jahat atau<br />
buruk hati. Namun bukan hanya harta berlebihan yang dapat<br />
memutar-balik hati manusia, kekurangan harta juga dapat<br />
menyebabkan hal yang sama. Nabi Muhammad SAW telah<br />
menyatakan bahwa kafakiran atau kemiskinan lebih dekat<br />
dengan kekufuran, kehilangan iman.<br />
Dalam Kitab Suci (QS 91:09-10), Allah SWT menyatakan,<br />
sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang zakkaaha dan<br />
merugilah orang yang dassaha. Zakkaaha artinya berzakat,<br />
dan maksudnya untuk membersihkan diri. Sedangkan dassaha<br />
artinya menutupi, maksudnya adalah melindungi yang kotor<br />
atau salah. Jadi, harta adalah karunia sekaligus cobaan. Itulah<br />
sebabnya manusia dianjurkan untuk membersihkan harta<br />
dengan <strong>cara</strong> mengeluarkan zakat. Sebaliknya, manusia<br />
dilarang menyimpan atau tidak mengeluarkan bagian<br />
harta yang menjadi hak orang lain, karena hal itu akan<br />
mengotori harta yang telah menjadi haknya.<br />
Saya yakin, Maqashid asy <strong>Syariah</strong> yang diajukan oleh Imam<br />
Ghazali telah memberikan definisi yang sangat jelas tentang<br />
22
KAPAN MENJADI KAYA<br />
hierarki dari hal-hal yang dibutuhkan dalam hidup manusia<br />
untuk menjadi ‘kaya’.<br />
,l;mBagaimanapun, kekayaan yang baik adalah kekayaan<br />
yang membawa rahmat dan dapat dinikmati dalam waktu<br />
yang cukup lama. Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa<br />
kebersamaan (jama’ah) membawa rahmat dan panjang umur.<br />
Istilah jama’ah pada masa kini dapat disetarakan dengan teman<br />
atau mitra dan jejaring atau networking. Mungkin itu sebabnya,<br />
sewaktu saya masih kecil, ibu saya menuturkan kepada saya<br />
bahwa ‘seribu teman masih belum cukup, tetapi satu<br />
musuh sudah berlebihan’.<br />
Namun, teman atau sahabat seperti apa yang kita perlukan<br />
untuk menjadi kaya<br />
Seorang bijak pernah mengajarkan kepada anaknya:<br />
“Wahai anakku, jika engkau perlu bersahabat dengan seseorang,<br />
maka bersahabatlah dengan orang yang jika engkau<br />
ber khidmat kepadanya, ia memeliharamu. Jika engkau menemaninya,<br />
ia menghiasimu. Jika engkau kehilangan (sumber)<br />
peng hidupan, ia mengasihimu.<br />
Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau ulurkan<br />
tangan untuk kebaikan, ia menyambutmu. Jika ia melihat kebaikan<br />
padamu, ia menghitungnya. Jika ia melihat kejelekan<br />
padamu, ia menutupinya.<br />
Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau meminta<br />
padanya, ia memberi. Jika engkau diam, ia datang padamu.<br />
Jika engkau ditimpa musibah, ia menolongmu.<br />
Bersahabatlah dengan orang yang bila engkau berkata, ia<br />
men dukung perkataanmu. Jika engkau berusaha mencapai<br />
23
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
sesuatu dengan tipu daya, ia menasihatimu. Dan jika engkau<br />
berselisih dengannya, ia mendahulukan kepentingan bersama.”<br />
Hierarki Kekayaan Manusia<br />
Kebutuhan utama kita sebagai hamba Allah SWT adalah<br />
untuk menjaga keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang<br />
Maha Esa. Kemudian, demi niat menjaga keimanan, kita harus<br />
menjaga kehidupan yang sangat berharga. Karena itu, kita<br />
perlu menjaga akal dengan terus iqra (membaca tanda-tanda<br />
Allah SWT), tafakur (berfikir), serta mengamalkan ilmu.<br />
Untuk menunjang kebutuhan menjaga keimanan, kehidupan<br />
dan akal, maka kita perlu menjaga keturunan dan<br />
menjaga maal (harta, milik). Apabila berhasil memenuhi<br />
kebutuhan, kita akan “kaya”. Dan ”kekayaan” tertinggi adalah<br />
memiliki keimanan. Agar bisa ”kaya iman”, hidup kita perlu<br />
”kaya” akan hal-hal yang berguna. Untuk itu kita perlu ”kaya<br />
ilmu pengetahuan” yang bermanfaat dan ”kaya akan kasih<br />
sayang dari keluarga”, dan akhirnya untuk mempermudah<br />
itu semua kita perlu ”kaya harta yang digunakan untuk<br />
kemaslahatan”.<br />
Berdasarkan keyakinan tersebut, manusia adalah socially<br />
and economically responsible religious man. Mengingat<br />
religious menjadi tujuan utama, dan karena manusia harus<br />
mempunyai kehidupan yang berguna, ilmu yang bermanfaat<br />
dan keluarga yang mengasihi, maka manusia menjadi socially<br />
responsible. Akhirnya, dalam memenuhi tujuan religious dan<br />
tanggung jawab social, maka manusia harus pula menjadi<br />
economically responsible.---<br />
24
Modal untuk <strong>Kaya</strong><br />
Ketika bekerja di Lippo Group, saya mendapat banyak<br />
kesempatan untuk mempelajari berbagai hal dari Bapak Mochtar<br />
Riady, pendiri Lippo Group. Salah satu di antaranya mengenai<br />
peluang atau opportunity. Beliau mengatakan, terkait dengan<br />
peluang usaha, manusia terbagi empat.<br />
Kelompok pertama adalah mereka yang tidak bisa melihat<br />
peluang datang. Manusia yang tergolong dalam kelompok ini<br />
baru menyadari adanya peluang, setelah peluang itu diambil<br />
oleh orang lain dan mencapai keberhasilan.<br />
Kelompok kedua adalah orang-orang yang dapat melihat<br />
peluang sebelum datang sehingga bisa mempersiapkan diri<br />
untuk memanfaatkan peluang.<br />
Selanjutnya, manusia yang tergolong kelompok ketiga,<br />
ialah siapa saja yang bisa menciptakan peluang dari sesuatu<br />
yang dianggap bukan peluang dan karenanya selalu “selangkah<br />
di depan”. Mereka adalah orang-orang yang sukses.<br />
25
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
”modal tidaklah harus<br />
berupa uang, harta, atau<br />
aset. Fakta menunjukkan<br />
bahwa modal<br />
kemampuan, informasi,<br />
jejaring pertemanan, dan<br />
“modal dengkul” lainnya,<br />
mempunyai andil besar<br />
dalam keberhasilan<br />
usaha.”<br />
Yang menyedihkan<br />
adalah orang-orang yang<br />
ter golong dalam kelompok<br />
keempat, yaitu mereka yang<br />
sewaktu peluang datang dan<br />
pergi, tetap saja tidak tahu<br />
bahwa itu adalah peluang.<br />
Banyak orang berhasil<br />
atau memperoleh keuntungan<br />
karena mereka dapat mengenali,<br />
memanfaatkan, atau<br />
bahkan menciptakan peluang. Namun, peluang tetaplah peluang.<br />
Jika kita tidak punya modal yang cukup, kita tidak akan<br />
bisa memanfaatkan peluang itu. Yang perlu kita sadari, modal<br />
tidaklah harus berupa uang, harta, atau aset. Fakta menunjukkan<br />
bahwa modal kemampuan, informasi, jejaring pertemanan,<br />
dan “modal dengkul” lainnya, mempunyai andil besar dalam<br />
keberhasilan usaha.<br />
Lalu, modal apa saja yang dibutuhkan untuk “kaya” menurut<br />
prinsip syariah<br />
Modal Utama: Peran Manusia<br />
Modal utama bagi kita untuk menjadi “kaya” adalah diri kita<br />
sendiri. Karena itu, hal pertama yang perlu kita pahami adalah<br />
keadaan diri kita sendiri. Memahami peran kita di dunia, agar<br />
dapat mencapai hasil yang optimal dalam hidup.<br />
Manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta semata-mata<br />
untuk mengabdi atau menjadi hamba-Nya. Karena diciptakan<br />
26
MODAL UNTUK KAYA<br />
semata-mata untuk menjadi abdi-Nya, semua tindakan<br />
manusia—baik yang dilakukan demi kepentingan sendiri, demi<br />
hubungan antarmanusia, ataupun dilakukan terhadap bumi<br />
dan segala isinya—harus dilakukan dalam koridor hubungan<br />
antara manusia dengan Tuhan. Semata-mata mengikuti semua<br />
perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya.<br />
Bila mengacu pada konsep “pengabdian”, sebagaimana<br />
dinyatakan dalam Kitab Suci, maka sebenarnya semua yang<br />
dilakukan manusia, baik untuk urusan keluarga, urusan bisnis,<br />
urusan negara, maupun urusan politik, seharusnya sematamata<br />
dilakukan sebagai abdi Tuhan. Ini berarti, manusia harus<br />
mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.<br />
Pertanyaannya kemudian adalah, “Apa tugas manusia di<br />
dunia”<br />
Jawabannya telah dinyatakan dalam firman Tuhan yang<br />
disampaikan kepada rasul-rasul-Nya dan tercantum di berbagai<br />
Kitab Suci. Salah satu di antara jawaban tersebut tertuang dalam<br />
Kitab Suci (QS 02:30), tatkala Allah SWT berfirman kepada<br />
para malaikat:<br />
“Bahwa sesungguhnya Aku di atas bumi ciptakan<br />
khalifah.”<br />
Dan, malaikat pun bertanya:<br />
“Apakah Engkau akan jadikan di atas bumi ini orangorang<br />
yang merusak kepadanya dan menumpahkan<br />
darah, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan<br />
menyucikan-Mu”<br />
27
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Lalu, Allah SWT kembali berfirman:<br />
“Aku mengetahui apa-apa yang kalian (para malaikat)<br />
tidak ketahui.”<br />
Istilah khalifah mengandung maksud sebagai pihak yang<br />
diberi kewenangan untuk memutuskan sesuatu. Sebagai<br />
khalifah, manusia diberi wewenang—atas nama Allah—terhadap<br />
semua hal yang ada dan terjadi di dunia. Itu pula sebabnya,<br />
sebelum melakukan sesuatu, manusia diperintahkan untuk<br />
berikrar bahwa yang akan dilakukannya adalah semata atas<br />
nama Tuhan. Ikrar tersebut, dalam bahasa Kitab Suci, dilafalkan<br />
dengan bismillahir rahman nir rohim. Yang berarti, “Dengan<br />
nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Sekali<br />
lagi, semua tindakan manusia seharusnya dilakukan dengan<br />
mengatasnamakan Tuhan. Karena posisinya sebagai khalifah,<br />
manusia akan dan harus bertanggung-jawab kepada Tuhan Yang<br />
Mahakuasa atas semua tindakan yang dilakukannya di dunia.<br />
Bahwa sebagian ma nu sia adalah perusak bumi, sebagaimana<br />
yang di cemas kan para malaikat, benar adanya. Akan tetapi,<br />
Tuhan tetap memutuskan untuk meng angkat derajat manusia<br />
“Manusia dilimpahi<br />
kemampuan dan<br />
kewenangan untuk<br />
mengelola bumi dan<br />
segala isinya—yang<br />
dipusakakan Tuhan—guna<br />
menyebarluaskan rahmat ke<br />
seluruh alam.”<br />
sebagai khalifah di muka<br />
bumi. Mengapa demikian<br />
Apa kah manusia perlu mengetahuinya<br />
Ternyata Allah<br />
SWT telah menyatakan<br />
dalam Kitab Suci, bahwa<br />
hanya Dia yang Maha<br />
Mengetahui.<br />
28
MODAL UNTUK KAYA<br />
Lalu, apakah tugas utama manusia sebagai khalifah di muka<br />
bumi<br />
Menurut Kitab Suci (QS 21:107), telah dinyatakan bahwa<br />
tidaklah Allah SWT mengutus manusia sebagai rasul-Nya,<br />
melainkan agar menjadi “rahmat” bagi seluruh alam. Sementara<br />
itu, dalam Kitab Suci (QS 07:128), diceritakan bahwa Nabi<br />
Musa a.s. berkata kepada kaumnya:<br />
“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah.<br />
Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipusakakan<br />
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-<br />
Nya, untuk mencapai akhir yang baik bagi orang-orang<br />
yang bertakwa.”<br />
Jadi, jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa sangat sayang<br />
kepada manusia. Di samping telah mengangkat manusia sebagai<br />
khalifah, Tuhan juga telah memberi modal berupa bumi dan<br />
segala isinya. Manusia dilimpahi kemampuan dan kewenangan<br />
untuk mengelola bumi dan segala isinya—yang dipusakakan<br />
Tuhan—guna menyebarluaskan rahmat ke seluruh alam. Untuk<br />
mendapat akhir yang baik, manusia harus bertakwa dengan<br />
menjalankan semua perintah-Nya, menjauhi segala larangan-<br />
Nya, dan ridha menerima takdir-Nya.<br />
Apabila tugas itu dilaksanakan dengan semestinya, manusia<br />
akan mendapat akhir yang baik.<br />
Modal Kedua: Bumi Pusaka Allah SWT<br />
Sebagian di antara kita pernah berkunjung ke tempat yang<br />
sangat indah, mendaki gunung yang tinggi, menyelam ke dasar<br />
29
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
laut, atau masuk ke gua yang dalam. Sewaktu menyaksikan<br />
keindahan, kehebatan, dan kebesaran “mahakarya” Sang Maha<br />
Pencipta, tentu kita akan mengagumi keagungan Tuhan dan<br />
merasa betapa kita teramat kecil di tengah kebesaran-Nya.<br />
Namun, kita juga terperanjat dan terpana ketika melihat<br />
bencana mahadahsyat, seperti tsunami yang menimpa Aceh,<br />
banjir bandang, longsor, letusan gunung berapi, hingga<br />
meluapnya lumpur Lapindo. Pada saat-saat seperti itu, mungkin<br />
hati kita bertanya-tanya.<br />
“Mengapa hal ini bisa terjadi”<br />
“Mengapa takdir ini menimpa manusia”<br />
Jika mau bersikap lebih arif dan berpikir lebih kritis,<br />
pertanyaan-pertanyaan seperti itu takkan tumbuh di dalam<br />
hati. Bukankah semua itu merupakan bagian dari ciptaan Tuhan<br />
Yang Mahakuasa<br />
”manusia mestinya<br />
menghormati kemudahan<br />
yang diberikan Tuhan<br />
dan menerima hasil dari<br />
pengelolaan sumber daya<br />
alam sebagai nikmat lahir<br />
dan batin.”<br />
Telah dimaklumi bahwa<br />
banyak kerusakan di muka<br />
bumi yang terjadi akibat<br />
ulah manusia, di samping<br />
kerusakan yang terjadi tanpa<br />
campur tangan manusia.<br />
Bumi dan segala isinya telah<br />
dieskploitasi habis-habisan<br />
untuk memenuhi apa yang<br />
dianggap sebagai kebutuhan manusia. Itulah yang selama ini<br />
terjadi, “pemaksaan kehendak” manusia yang berdampak pada<br />
kerusakan di muka bumi.<br />
30
MODAL UNTUK KAYA<br />
Dalam Kitab Suci (QS 07:128), Allah SWT menegaskan<br />
bahwa:<br />
“Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipusakakan<br />
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dari hamba-hamba-<br />
Nya….”<br />
Dengan demikian, jelaslah bahwa bumi dan segala isinya<br />
adalah milik Sang Maha Pencipta, milik Allah SWT, yang<br />
kemudian dipusakakan kepada manusia sebagai modal untuk<br />
memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, manusia harus<br />
menjaga bumi dengan baik, agar Sang Pemilik tidak marah<br />
atau tidak kecewa, karena milik-Nya—yang diberikan kepada<br />
manusia sebagai modal—telah diperlakukan semena-mena oleh<br />
abdi-Nya, yang diangkat menjadi wakil-Nya dan ditugaskan<br />
sebagai khalifah di muka bumi.<br />
Dalam mengkaji bumi sebagai pusaka bagi manusia, saya<br />
ingin mengajak Anda untuk menyusuri hikmah yang tersaji<br />
dalam syair lagu Indonesia Pusaka.<br />
Indonesia tanah air beta<br />
pusaka abadi nan jaya<br />
Indonesia sejak dulu kala<br />
tetap dipuja-puja bangsa<br />
Di sana tempat lahir beta<br />
Dibuai dibesarkan bunda<br />
31
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Tempat berlindung di hari tua<br />
Sampai akhir menutup mata<br />
Syair lagu di atas dengan jelas menyatakan bahwa bagian<br />
bumi yang disebut sebagai Indonesia adalah tanah dan air<br />
yang dipusakakan bagi bangsa Indonesia. Tanah Air yang<br />
disediakan bagi bangsa Indonesia sejak lahir hingga menutup<br />
mata. Tanah Air yang harus dijaga agar sumber daya alamnya<br />
tetap mempunyai daya guna untuk memenuhi kebutuhan<br />
seluruh bangsa Indonesia. Dari masa ke masa. Dari generasi<br />
ke generasi. Hingga, pada akhirnya, menjadi Tanah Air yang<br />
abadi dan jaya.<br />
Perusakan dan penyalahgunaan atas sumber daya alam<br />
terjadi karena kesalahan dan ketidakmampuan manusia<br />
dalam menggunakan sumber daya se<strong>cara</strong> efektif, efisien, dan<br />
berkelanjutan. Salah satunya, merupakan efek atas anggapan<br />
bahwa sumber daya alam adalah terbatas, sedangkan kebutuhan<br />
manusia adalah tidak terbatas.<br />
Dengan asumsi seperti itu, tidak mengherankan jika manusia<br />
berlomba-lomba menguasai dan memanfaatkan sumber daya<br />
alam yang dianggap “terbatas”. Berlomba menguras habis sumber<br />
daya alam yang dipusakakan Tuhan kepada umat manusia.<br />
Masya Allah.<br />
Rumusan itu pula yang kemudian menimbulkan berbagai<br />
kerusakan dan memicu terjadinya bencana alam dan bencana<br />
ekonomi. Padahal, seharusnya, segala rumus buatan<br />
manusia seharusnya berpedoman pada aturan yang<br />
telah ditentukan oleh Sang Pemilik dunia dan segala<br />
32
MODAL UNTUK KAYA<br />
isinya. Aturan dari Sang Pencipta yang telah mengangkat<br />
manusia menjadi khalifah di muka bumi. Tatanan dan<br />
aturan yang telah ditetapkan Tuhan Yang Mahakuasa, terkait<br />
dengan peran manusia di dunia. Mulai dari pengelolaan<br />
keberadaan sumber daya yang dipusakakan-Nya kepada manusia,<br />
penguasaan, tujuan, hingga <strong>cara</strong> memanfaatkannya.<br />
Aturan Tuhan telah menyatakan dengan tegas bahwa Tuhan<br />
telah menyediakan sumber daya se<strong>cara</strong> seimbang bagi kebutuhan<br />
manusia. Pernyataan tersebut termaktub dalam Kitab Suci (QS<br />
15:19-22). Allah SWT menegaskan:<br />
“Allah SWT telah membentangkan bumi, dan padanya<br />
Allah SWT telah meletakkan gunung-gunung serta telah<br />
menumbuhkan segala sesuatu dengan seimbang (mizan).”<br />
“Allah SWT telah menjadikan pada bumi, termasuk<br />
makhluk-makhluk, untuk keperluan hidup manusia,<br />
di mana Allah SWT juga telah memberi kebutuhan<br />
hidup bagi makhluk-makhluk itu agar dapat memenuhi<br />
keperluan hidup manusia se<strong>cara</strong> berkesinambungan.”<br />
“Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi sematamata<br />
berasal dari perbendaharaan (khazanah) Allah<br />
SWT”<br />
“Allah SWT telah menurunkan segala sesuatu itu<br />
mengikuti ukuran (qadar) yang berlandaskan pada ilmu<br />
pengetahuan (ilm).”<br />
33
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
“Allah SWT telah menciptakan udara dan air, serta telah<br />
mengatur perputaran dan penyimpanan udara dan air,<br />
agar menjadi sumber kehidupan bagi manusia serta<br />
tumbuhan yang menjadi sumber hidup manusia.”<br />
Dalam firman-Nya di atas, Allah SWT menggunakan istilah<br />
mizan (seimbang) untuk bumi dan segala isinya, istilah khazanah<br />
(perbendaharaan) untuk menyatakan asal usul dari bumi dan<br />
segala isinya, istilah qadar (ukuran atau takaran), serta istilah<br />
alim atau ilm (mengetahui atau pengetahuan) untuk jumlah<br />
sumber daya yang disediakan bagi manusia.<br />
Dengan demikian, bumi dan segala isinya—yang merupakan<br />
sumber daya alam—telah disediakan oleh Allah SWT dalam<br />
jumlah yang cukup dan seimbang menurut ukuran yang<br />
berlandaskan pada ilmu pengetahuan. Falsafah yang akan<br />
berlaku bila perkembangan jumlah manusia dan pemanfaatan<br />
bumi dan segala isinya dilakukan dengan pertimbangan yang<br />
sesuai dengan ilmunya.<br />
Apalagi, dalam Kitab Suci (QS 31:20), Allah SWT telah<br />
menyatakan bahwa Dia telah memudahkan segala sesuatu yang<br />
ada di langit dan di bumi bagi kepentingan manusia. Lebih dari<br />
itu, sumber daya alam tersebut telah disempurnakan sebagai<br />
nikmat bagi manusia, baik nikmat lahir maupun batin. Karena<br />
itu, manusia mestinya menghormati kemudahan yang diberikan<br />
Tuhan dan menerima hasil dari pengelolaan sumber daya alam<br />
sebagai nikmat lahir dan batin.<br />
Jelaslah, bumi dan segala isinya telah diciptakan Tuhan<br />
sebagai “modal” bagi manusia untuk mencapai tujuan hidup<br />
dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Modal dengan jumlah<br />
34
MODAL UNTUK KAYA<br />
yang seimbang. Sehingga, kalau ada manusia yang berpandangan<br />
bahwa sumber daya alam terbatas, manusia tersebut sebenarnya<br />
belum mengetahui atau belum mempunyai ilmu pengetahuan<br />
yang memadai untuk memahami qadar (ukuran) dan mizan<br />
(keseimbangan). Karena itu pula, manusia tersebut belum pantas<br />
menjadi khalifah di muka bumi.<br />
Mengenal Pusaka Allah SWT<br />
Karena Allah Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha<br />
Penyayang, maka segala sesuatu yang ada di langit dan bumi<br />
dilimpahkan sebagai pusaka bagi kita, umat manusia. Pusaka<br />
yang—sejatinya—harus senantiasa kita jaga agar manfaatnya<br />
berkelanjutan dari generasi ke generasi, sehingga menjadi “pusaka<br />
yang abadi nan jaya”.<br />
Sumber daya alam yang dipusakakan Tuhan kepada kita<br />
sebenarnya telah disediakan se<strong>cara</strong> seimbang, dan dalam jumlah<br />
yang mengikuti ilmu pengetahuan. Tidak hanya itu, semua sumber<br />
daya alam yang ada di bumi telah dimudahkan untuk digunakan<br />
dan disempurnakan sebagai nikmat bagi kita—umat manusia,<br />
baik nikmat lahir maupun batin. Bila kita merasa bahwa sumber<br />
daya tersebut bersifat terbatas, hal itu merupakan kesalahan dan<br />
ketidakmampuan kita dalam menggunakan sumber daya se<strong>cara</strong><br />
efektif, efisien, dan berkelanjutan.<br />
Se<strong>cara</strong> jariah.---<br />
35
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Kepemilikan Modal dari Tuhan<br />
Ketika bekerja di Lippo Bank, saya pernah diajak seorang<br />
teman untuk meninjau kegiatan usahanya, karena ia ingin<br />
mendapat modal untuk membiayai kegiatan usahanya. Teman<br />
saya ini adalah seorang pengusaha yang menguasai tanah<br />
di pegunungan. Se<strong>cara</strong> kebetulan, di lokasi tanah miliknya,<br />
terpancar mata air yang sangat jernih dengan debit air yang<br />
cukup besar. Selain mutu airnya sangat bagus, mata air itu juga<br />
mengandung mineral yang menyehatkan. Dengan kualitas mata<br />
air sehebat itu, ia berniat membangun usaha pengadaan air<br />
mineral dalam kemasan. Usahanya itu pastilah akan menyedot<br />
sumber daya alam dari mata air yang dianggap sebagai “miliknya”<br />
itu.<br />
Sementara itu, di hilir, tak seberapa jauh dari lahan milik<br />
teman saya, tinggal ratusan penduduk yang mengandalkan<br />
sumber air dari sungai kecil di sana. Celakanya, sungai kecil<br />
tersebut berhulu pada mata air yang terletak di tanah sang<br />
teman. Perlahan-lahan debit air di sungai kecil itu menyusut<br />
dan akhirnya kering. Penduduk pun kesulitan air, baik untuk<br />
memenuhi kebutuhan pertanian maupun bagi kebutuhan hidup<br />
sehari-hari.<br />
“Apakah air mineral yang “memancur” dari mata air di<br />
lahan teman saya tersebut adalah “milik” teman saya”<br />
“Apakah usaha yang dijalankan teman saya sesuai<br />
dengan ajaran Tuhan”<br />
Baiklah. Sebelum kita mencari jawaban tepat dari pertanyaan<br />
di atas, coba kita luangkan waktu sejenak untuk tafakur, berpikir.<br />
36
MODAL UNTUK KAYA<br />
Dalam Kitab Suci, Allah SWT telah menegaskan bahwa bumi<br />
dan segala isinya telah diberikan Tuhan sebagai modal manusia<br />
untuk memenuhi tujuan hidupnya. Dalam bahasa keuangan,<br />
bumi dan segala isinya telah dihibahkan oleh Tuhan menjadi<br />
milik manusia. Tetapi, jumlah manusia banyak sekali, sementara<br />
bumi serta segala isinya juga luas sekali.<br />
“Bagaimana aturan Tuhan mengenai kepemilikan bumi dan<br />
segala isinya oleh—dan untuk—umat manusia”<br />
“Bagaimana aturan pemanfaatan, dan pengelolaan, bumi serta<br />
segala isinya untuk mencapai tujuan hidup manusia”<br />
“Bagaimana aturan Tuhan mengenai kepemilikan dan<br />
penguasaan bumi serta segala isinya”<br />
Sekarang, perlu saya tuturkan bahwa kisah teman saya di<br />
atas berkaitan erat dengan “rasa memiliki” yang kerap memicu<br />
lahirnya “rasa menguasai” atas bagian bumi dan segala isinya<br />
oleh sebagian umat manusia. Padahal memiliki dan menguasai<br />
adalah dua hal yang dapat berbeda jauh.<br />
Cerita-cerita semacam itu banyak terjadi di sekitar kita.<br />
Sebut saja, cerita tentang seorang Bupati yang menerbitkan ijin<br />
kegiatan penambangan atas lokasi yang menjadi tempat wisata.<br />
Padahal, sudah puluhan tahun lokasi itu diandalkan sebagai daya<br />
tarik wisata yang memberi “hidup” bagi masyarakat di sekitarnya.<br />
Lokasi wisata alam yang memiliki pantai serta terumbu karang<br />
yang indah itu, tiba-tiba akan dijadikan area penambangan emas.<br />
Meskipun, Bupati mengetahui bahwa tambang emas mengeluarkan<br />
limbah yang cukup berbahaya dan berpotensi merusak lingkungan<br />
37
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
hidup. Kegiatan penambangan emas itu, tentu saja, akan merusak<br />
keindahan objek wisata laut yang selama ini dinikmati oleh<br />
masyarakat.<br />
Nah, hasrat Bupati itu pun memicu pertanyaan-pertanyaan<br />
menarik.<br />
“Siapa sebenarnya pemilik alam yang indah dan bumi yang<br />
kaya dengan kandungan logam mulia di sana”<br />
“Siapa yang berhak menentukan apakah lokasi tersebut<br />
sebaiknya dijadikan lokasi wisata atau lokasi pertambangan”<br />
“Siapa yang harus bertanggung jawab bilamana keputusan yang<br />
diambil ternyata berdampak negatif”<br />
Cerita lain adalah tentang seorang pengusaha yang menguasai<br />
ratusan hektar lahan subur di daerah pegunungan. Sebelumnya,<br />
lahan tersebut adalah perkebunan yang cukup produktif. Tetapi<br />
karena usaha sang pengusaha besar ini sedang terpuruk, beberapa<br />
tahun kemudian, lahan tersebut tidak lagi digunakan sebagaimana<br />
mestinya. Bahkan, berubah menjadi lahan tidur. Ironisnya, di<br />
sekitar lahan tersebut dihuni oleh ratusan keluarga petani yang<br />
mempunyai kemampuan bercocok tanam, namun tidak memiliki<br />
lahan yang cukup.<br />
Cerita-cerita di atas menimbulkan pertanyaan mengenai<br />
siapa sebenarnya pemilik dan penguasa sumber daya alam, baik<br />
berupa pantai yang indah, kandungan emas di dalam bumi, lahan<br />
pertanian yang subur, maupun mata air sumber kehidupan.<br />
“Siapa”<br />
“Apa yang dimaksud dengan memiliki dan apa yang dimaksud<br />
dengan menguasai”<br />
38
MODAL UNTUK KAYA<br />
“Bagaimana kepemilikan atas sumber energi fosil—seperti<br />
minyak dan batubara; sumber energi alam lainnya—seperti gas<br />
bumi, panas bumi, arus air; ataupun mineral dan batu-batu<br />
mulia—seperti emas, nickel, bijih besi, berlian, dan sebagainya.<br />
Bagaimana kepemilikan atas hutan, ikan, dan mahluk yang ada<br />
di dalam lautan, bahkan atas keindahan karang di bawah laut”<br />
“Bagaimana seharusnya pembagian atas hasil yang diperoleh<br />
dari penguasaan sumber daya alam yang merupakan milik seluruh<br />
rakyat di negara tersebut”<br />
“Bagaimana syariah Tuhan mengenai hal ini”<br />
Nabi Muhammad SAW telah memberikan petunjuk bahwa<br />
semua tanah adalah milik Allah SWT, dan umat manusia<br />
adalah abdi-Nya yang telah diangkat menjadi khalifah-Nya<br />
di muka bumi. Karena itulah manusia memiliki kewenangan<br />
untuk mengelola bumi dan segala isinya. Barangsiapa yang<br />
dapat meningkatkan manfaat dari suatu tanah, maka tanah<br />
tersebut akan dapat dikuasainya. Batas waktu yang diterapkan<br />
untuk seseorang menguasai tanah sebelum berproduksi pada<br />
masa itu adalah tiga tahun. Kemudian, setelah batas waktu<br />
tersebut, bila tanah tidak digunakan se<strong>cara</strong> produktif, maka<br />
tanah tersebut dapat dialihkan pada pihak lain yang diyakini<br />
dapat memanfaatkannya se<strong>cara</strong> produktif.<br />
Banyak contoh dari penerapan prinsip dan kebijakan ini di<br />
masa lalu. Pada masa Nabi Muhammad SAW, Bilal bin Harris<br />
memperoleh hak untuk mengolah lahan di daerah Kadi Aqiq<br />
agar menjadi produktif. Namun setelah beberapa tahun, ternyata<br />
tidak seluruh tanah yang luas tersebut dapat dimanfaatkan<br />
dengan baik. Karena itu, diputuskan bahwa hak atas bagian<br />
39
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
tanah yang tidak dapat dimanfaatkan harus diberikan pada pihak<br />
lain yang tidak memiliki tanah, tetapi mampu memanfaatkannya<br />
untuk kegiatan produktif.<br />
Contoh lainnya, tanah di Maarib yang diberikan oleh<br />
Nabi Muhammad SAW kepada Abbaz bin Hamal. Kemudian<br />
diketahui bahwa pada tanah tersebut terdapat danau yang<br />
mengandung garam. Pada saat itu, garam adalah barang<br />
langka yang sangat dibutuhkan masyarakat, terutama di daerah<br />
pedalaman jazirah Arab yang relatif kering. Karena pertimbangan<br />
bahwa garam yang dihasilkan danau tersebut diperlukan oleh<br />
masyarakat, maka Nabi Muhammad SAW mengambil kembali<br />
tanah tersebut dari A<strong>by</strong>az bin Hamal, lantas memutuskan untuk<br />
menyerahkannya kepada negara untuk dikuasai dan dikelola<br />
bagi kepentingan masyarakat.<br />
Jelaslah bahwa semua sumber daya alam adalah<br />
ciptaan Tuhan, sehingga mutlak merupakan milik-Nya.<br />
Akan tetapi, semua sumber daya alam tersebut telah<br />
dipusakakan kepada manusia untuk digunakan bagi<br />
kemaslahatan seluruh alam. Kepemilikan tersebut meliputi<br />
sumber daya yang tersimpan baik di dalam bumi, maupun yang<br />
terdapat atau hidup di muka bumi.<br />
Pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana pengaturan<br />
kepemilikan bumi dan segala isinya”<br />
Tingkatan Kepemilikan<br />
Mengenai kepemilikan atas sumber daya alam, Rasulullah<br />
SAW telah menyatakan bahwa masyarakat berbagi kepemilikan<br />
bersama dalam tiga hal, yakni air, api, dan padang rumput.<br />
40
MODAL UNTUK KAYA<br />
Dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud air oleh Nabi<br />
Muhammad SAW adalah segala hal di alam yang menjadi<br />
sumber kehidupan. Sedangkan yang dimaksud dengan api<br />
adalah semua sumber energi dan sumber penerangan. Adapun<br />
yang dimaksud dengan padang rumput adalah seluruh tanaman<br />
yang tumbuh dengan sendirinya, termasuk hutan di pantai,<br />
daratan, dan pegunungan.<br />
Karena itu, dapat dipahami jika terdapat tingkatan<br />
kepemilikan atas semua sumber daya alam yang ada di dunia.<br />
Kepemilikan Negara<br />
Kepemilikan tertinggi atas sumber daya alam yang ada<br />
adalah kepemilikan negara yang digunakan untuk kepentingan<br />
seluruh rakyat di negera tersebut. Dalam praktiknya, semua<br />
sumber daya alam yang ada akan dikuasai dan dikelola oleh<br />
negara untuk kepentingan rakyat.<br />
Dengan berpedoman pada syarat-syarat tertentu, negara atau<br />
pemerintah dapat melakukan kerja sama pengelolaan sumber<br />
daya alamnya dengan pihak-pihak lain. Pihak tersebut dapat<br />
mewakili umat, masyarakat, atau bahkan perseorangan. Syarat<br />
utama yang harus dipenuhi adalah kepemilikan negara atas<br />
sumber daya alam tersebut tetap terjaga dan kepentingan rakyat<br />
atas manfaat dari sumber daya alam tersebut dapat terpenuhi.<br />
Jika negara melakukan kerja sama dengan pihak lain, maka<br />
sistem bagi hasil atas kerja sama tersebut harus diperhitungkan<br />
dengan seadil-adilnya.<br />
41
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Kepemilikan Publik<br />
Tingkatan kedua adalah kepemilikan publik, yang terdiri<br />
dari kepemilikan umat dan kepemilikan masyarakat. Pemerintah<br />
dapat mengalihkan sebagian dari kepemilikan negara untuk<br />
kepentingan publik sehingga menjadi kepemilikan publik.<br />
Dalam hal kepemilikan umat, semua manusia bebas memakainya<br />
sesuai dengan kebutuhannya. Tanpa batasan agama, bangsa,<br />
usia, dan kewarganegaraan. Karena itu, diperlukan pengaturan<br />
agar hak manusia tetap terjaga.<br />
Sedangkan dalam hal kepemilikan masyarakat, pengelolaan<br />
sumber daya alam diutamakan untuk kepentingan masyarakat<br />
atau umat tertentu di suatu daerah. Namun, kepemilikan<br />
sumber daya alam yang tergolong kepemilikan publik tidak<br />
dapat dialihkan kepada pihak lain. Penguasaan atas kepemilikan<br />
publik dapat diberikan kepada negara atau lembaga lain, seperti<br />
lembaga masyarakat maupun lembaga sosial.<br />
Kepemilikan Pribadi<br />
Tingkatan yang terakhir adalah penguasaan pribadi atau<br />
individu. Pemerintah dapat memberikan hak penguasaan atas<br />
sebagian dari kepemilikan negara kepada badan usaha atau<br />
individu, yang kemudian memberikan hak pribadi atau hak<br />
privat atas sumber daya alam tertentu dengan persyaratan<br />
tertentu. Persyaratan yang utama adalah, sumber daya alam<br />
tersebut harus digunakan untuk kegiatan produktif dengan hasil<br />
yang terbukti mampu memberikan manfaat kepada masyarakat.<br />
Hak penguasaan pribadi dapat dialihkan kepada pihak lain,<br />
baik dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemilik hak<br />
42
MODAL UNTUK KAYA<br />
dengan pihak lain, maupun karena pemilik hak ternyata tidak<br />
dapat menggunakan sumber daya alam tersebut se<strong>cara</strong> produktif.<br />
Jelas bahwa kepemilikan pribadi atas suatu sumber<br />
daya alam diijinkan selama manusia itu bisa me ningkat<br />
kan manfaat dari suatu sumber daya alam. Jika seseorang<br />
mendapat hak untuk menguasai suatu sumber<br />
daya alam tapi tidak dapat menggunakannya untuk<br />
ke giatan produktif, maka ia harus rela melepaskan<br />
haknya dan menyerahkan kembali untuk digunakan<br />
se<strong>cara</strong> produktif.<br />
Menurut syariah, sumber daya tersebut harus diambil alih<br />
oleh Pemerintah, dan penguasaannya diberikan kepada manusia<br />
lain yang diyakini mampu menggunakannya untuk kegiatan<br />
produktif.<br />
Redistribusi Hasil<br />
Atas penguasaan pribadi tersebut, disyaratkan adanya bagi<br />
hasil atau redistribusi hasil kepada masyarakat, khususnya<br />
masyarakat yang kurang mampu. Redistribusi dimaksud,<br />
dikenakan kepada pihak yang mendapat hak penguasaan dari<br />
Allah SWT Keadilan dalam proses bagi hasil dijunjung tinggi<br />
melalui instrumen yang dikenal sebagai zakat dan kharaj.<br />
Istilah zakat diartikan untuk membersihkan hasil atas<br />
bagian-bagian orang lain yang kurang mampu, yang dititipkan<br />
Allah SWT di dalam hasil tersebut. Sedangkan kharaj adalah<br />
bagi hasil untuk masyarakat yang dibagikan kepada masyarakat<br />
melalui pemerintah. Demi keadilan, terhadap sumber daya<br />
alam yang dikuasai dan digunakan untuk kegiatan produktif<br />
43
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
tidak dikenakan zakat. Namun, bila sumber daya alam yang<br />
dikuasai ternyata tidak digunakan untuk kegiatan produktif,<br />
maka tetap akan dikenakan zakat atas seluruh nilai sumber<br />
daya alam tersebut.<br />
Redistribusi hasil juga disesuaikan dengan kontribusi<br />
manusia dalam proses penciptaan hasil. Atas hasil hutan atau<br />
hasil alam yang hanya tinggal dipungut atau digali, sehingga<br />
usaha manusia hanya sedikit, maka dikenakan zakat yang lebih<br />
tinggi. Sedangkan atas hasil pertanian dan perkebunan di mana<br />
diperlukan usaha manusia yang lebih besar, dikenakan zakat<br />
yang lebih rendah.<br />
Lalu, atas hasil pertanian dan perkebunan yang memanfaatkan<br />
air untuk irigasi yang diperlukan upaya manusia yang lebih<br />
besar, dikenakan zakat lebih rendah lagi. Dan atas hasil yang<br />
sebagian besar adalah akibat usaha manusia, dikenakan zakat<br />
paling rendah.<br />
44
MODAL UNTUK KAYA<br />
Kepemilikan atas Bumi dan segala isinya<br />
Bumi dan segala isinya adalah milik bersama seluruh manusia.<br />
Tidak seorang pun yang menjadi pemilik mutlak atas bumi<br />
dan segala isinya. Kepemilikan rakyat atas bagian bumi dan<br />
segala isinya—yang ada dalam suatu negara—diwakilkan dalam<br />
kepemilikan negara, yang sebagian dapat dialihkan menjadi<br />
kepemilikan publik, dan kepemilikan pribadi.<br />
Manusia telah diangkat sebagai wakil Tuhan di dunia dan<br />
telah mendapat pusaka berupa bumi dan segala isinya yang telah<br />
diciptakaan se<strong>cara</strong> seimbang menurut qadar yang sesuai ilmu<br />
pengetahuan. Kemudian, bagian dari bumi dan segala isinya yang<br />
merupakan milik bersama seluruh rakyat, harus digunakan se<strong>cara</strong><br />
produktif, efektif dan efisien, baik dalam konteks kepemilikan<br />
negara, kepemilikan publik, maupun penguasaan badan usaha<br />
atau pribadi.---<br />
45
Bab 4<br />
Berusaha untuk <strong>Kaya</strong><br />
Selama lebih dari 30 tahun saya bekerja, baik di perusahaan<br />
asing, perusahaan swasta nasional, perusahaan ’semi’ BUMN,<br />
BUMN, maupun usaha milik sendiri, kadang-kadang usaha<br />
yang saya lakukan tidak memberikan hasil seperti yang saya<br />
harapkan. Bahkan, saya sering merasa hasil yang saya dapatkan<br />
lebih buruk dari hasil yang diperoleh orang lain. Padahal, saya<br />
merasa tidak kalah dari orang lain, baik dari segi kemampuan<br />
maupun usaha yang saya jalankan.<br />
Tetapi, mengapa hasil saya lebih buruk<br />
Sewaktu bekerja di Danareksa, saya pernah didatangi salah<br />
seorang anak buah saya. Ia seorang muslim yang taat, dan<br />
karyawan yang rajin. Selama ini, saya melihat ia cukup rajin<br />
bekerja dan sungguh-sungguh dalam berusaha. Namun, hasil<br />
kerjanya, pada saat itu, memang masih kalah dibandingkan<br />
beberapa rekan kerjanya yang lain. Sehingga kenaikan pangkat<br />
dan gajinya masih kalah dibandingkan beberapa temannya.<br />
47
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
“Dia Yang Mahakuasa<br />
akan memberikan<br />
kesenangan yang<br />
hasanah (baik) pada<br />
waktu yang tertentu.<br />
Bahkan diberikan fadhilah<br />
(tambahan) kepada setiap<br />
manusia yang beramal<br />
lebih baik.”<br />
Karyawan ini bertanya<br />
kepada saya, apa yang salah<br />
pada dirinya. Saya jawab,<br />
tidak ada yang salah pada<br />
dirinya dan saya juga merasa<br />
senang bekerja bersamanya.<br />
Hanya saja, pada saat itu,<br />
Direksi memang belum<br />
merasa bahwa ia pantas<br />
mendapat promosi atau<br />
kenaikan gaji sebagaimana yang diharapkannya. Ia mengucapkan<br />
terima kasih atas jawaban saya yang lugas, jujur, dan berterus<br />
terang. Keesokan harinya, ia mengajukan surat pengunduran<br />
diri. Saya sedih karena ia memilih pindah kerja dan tidak lagi<br />
bersama saya di Danareksa. Namun, saya yakin, suatu ketika ia<br />
akan mendapat balasan yang layak atas usaha dan ibadahnya.<br />
Ternyata, beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi<br />
Direktur Utama di salah satu perusahaan terkemuka. Lebih<br />
membahagiakan lagi, sampai sekarang ia masih sangat sopan<br />
dan hormat bila bertemu dengan saya. Alhamdulillah. Rencana<br />
Tuhan Yang Mahakuasa memang tidak selalu bisa dimengerti<br />
oleh manusia.<br />
Balasan atas Usaha Manusia<br />
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengadakan perniagaan<br />
untuk memperoleh imbalan atau balasan atas sesuatu yang telah<br />
diberikan kepada orang lain. Baik itu berupa barang ataupun<br />
jasa. Kadangkala kita untung, kadangkala kita rugi. Namun,<br />
kadangkala kedua belah pihak sama-sama untung atau bahkan<br />
48
BERUSAHA UNTUK KAYA<br />
sama-sama rugi. Dasar utama dari perniagaan yang saling<br />
menguntungkan adalah “saling percaya”. Dalam istilah<br />
Kitab Suci, perniagaan adalah tijarotan, yang akar kata kerjanya<br />
adalah tijara dan akar kata bendanya adalah ujroh (upah) atau<br />
ajrun (pahala).<br />
Hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta dapat<br />
pula dianalogikan sebagai perniagaan atau tijarotan. Tuhan<br />
menentukan hukum-hukum atau aturannya, lalu manusia<br />
melakukan dan mengusahakan sesuatu, kemudian Allah SWT<br />
memberikan upah atau balasan atas usaha tersebut. Istilah lain<br />
yang digunakan sebagai balasan atas tindakan manusia adalah<br />
fadhilah dan rahmah.<br />
Fadhilah berasal dari kata fadhl dan Allah, di mana fadhl<br />
artinya kelebihan, sehingga istilah fadhilah berarti kelebihan<br />
dari Allah SWT, atau memperoleh tambahan imbalan dari-Nya.<br />
Sedangkan rahmah (rahmat) adalah sesuatu yang diberikan<br />
sebagai tanda rasa kasih Allah SWT kepada manusia.<br />
Dalam Kitab Suci (QS 06:165), Allah SWT menyatakan<br />
telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi<br />
dan meninggikan derajat sebagian manusia di atas sebagian<br />
lainnya untuk menguji manusia. Dengan kata lain, Tuhan<br />
telah mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi dan<br />
memberi sebagian manusia kemampuan yang lebih dari sebagian<br />
lainnya. Hal itu dimaksudkan sebagai ujian, baik bagi sebagian<br />
manusia yang telah ditinggikan derajatnya, maupun kepada<br />
sebagian manusia lain yang tidak ditinggikan. Sebagaimana<br />
layaknya ujian, yang lulus ujian akan mendapat balasan<br />
yang setimpal. Yang tidak lulus, ya harus mengulang!<br />
49
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Allah SWT juga berfirman kepada orang-orang beriman<br />
dalam Kitab Suci (QS 61:10-11) dengan menyatakan bahwa<br />
Dia telah menunjukkan kepada mereka tijarotan (perniagaan)<br />
yang dapat menyelamatkan mereka dari azab yang sangat,<br />
yaitu dengan <strong>cara</strong> beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.<br />
Kemudian juhud (bersungguh-sungguh) di jalan Allah dengan<br />
harta dan jiwa mereka. Allah SWT juga menegaskan bahwa<br />
yang demikian itu lebih baik bagi manusia, jika saja mereka<br />
mengetahuinya.<br />
Kemudian, dalam Kitab Suci (QS 16:95-97), Allah SWT<br />
memperingatkan agar manusia tidak menukar perjanjian kepada-<br />
Nya dengan perjanjian atau hal lain yang sebenarnya tidak ada<br />
harganya. Karena sesungguhnya hanyalah yang berasal dari<br />
Allah yang lebih baik bagi manusia. Apa yang berasal dari<br />
manusia akan lenyap dan apa yang berasal dari Allah<br />
SWT akan kekal. Dan, Allah SWT akan memberi balasan<br />
kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik<br />
dari apa yang mereka kerjakan. Tuhan menjanjikan kehidupan<br />
yang lebih baik kepada siapa pun yang mengerjakan amal saleh—<br />
baik laki-laki maupun perempuan—dan akan memberikan<br />
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa<br />
yang mereka kerjakan.<br />
Jadi, jelaslah bahwa Tuhan telah mengangkat manusia<br />
menjadi khalifah di muka bumi dan telah meninggikan sebagian<br />
manusia dari sebagian lainnya dengan maksud untuk menguji<br />
manusia. Ujian tersebut bukanlah seperti antara guru dan<br />
murid, tetapi lebih tepat diibaratkan sebagai perniagaan antara<br />
Tuhan dengan manusia. Agar dapat berhasil atau memperoleh<br />
50
BERUSAHA UNTUK KAYA<br />
keuntungan dalam perniagaan dengan Tuhan, manusia harus<br />
bersungguh-sungguh di jalan-Nya, dengan harta dan jiwanya.<br />
Allah SWT telah memperingatkan manusia agar perjanjian<br />
dengan-Nya tidak ditukar dengan perjanjian oleh pihak lain.<br />
Karena Dia telah menjanjikan apa yang berasal dari-Nya<br />
pasti lebih baik dan akan kekal. Sayangnya, kita lebih sering<br />
mengabaikan perintah ini. Padahal, Tuhan akan memberi<br />
imbalan kepada manusia yang sabar dengan balasan yang lebih<br />
baik dari apa yang mereka kerjakan.<br />
Bagi orang yang pada<br />
awalnya tidak mengetahui<br />
hal itu, tetapi kemudian<br />
mengetahui dan berniat<br />
untuk melakukan perniagaan<br />
yang baik dengan Tuhan,<br />
maka dalam Kitab Suci<br />
(QS 11:03), Allah SWT<br />
“Menurut Imam Ghazali,<br />
mashlahah adalah<br />
istilah bagi upaya untuk<br />
menciptakan kebaikan<br />
dan menghindari<br />
kemudharatan.”<br />
menyatakan bahwa hendaknya manusia memohon ampun<br />
kepada-Nya, kemudian bertaubatlah. Dia Yang Mahakuasa akan<br />
memberikan kesenangan yang hasanah (baik) pada waktu yang<br />
tertentu. Bahkan diberikan fadhilah (tambahan) kepada setiap<br />
manusia yang beramal lebih baik.<br />
Dalam hal perniagaan, baik antara sesama manusia maupun<br />
dengan Tuhan, dengan tegas dinyatakan bahwa manusia tidak<br />
akan memperoleh kecuali yang diusahakannya. Dan, atas semua<br />
usaha manusia, akan diberikan balasan yang sempurna. Firman<br />
Allah SWT dalam Kitab Suci (QS 53:39-41) menyatakan bahwa<br />
manusia tiada memperoleh kecuali apa yang diusahakannya.<br />
Dan atas usaha manusia, kelak akan diperlihatkan penilaian<br />
51
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
untuk kemudian diberi balasan dengan jazaa’a (balasan) yang<br />
sempurna dari-Nya.<br />
Balasan tersebut dapat berupa ujroh (upah) di dunia, ajrun<br />
(pahala di akhirat), dan dapat pula diberikan tambahan fadhilah<br />
(tambahan), atau pemberian sebagai tanda kasih dari Allah<br />
berupa rahmah (rahmat).<br />
“Dan kekayaan yang<br />
maslahat hanya dapat<br />
diperoleh melalui<br />
keuntungan yang<br />
berkeadilan. Jadi,<br />
kekayaan haruslah<br />
berkeadilan.”<br />
Sebagaimana dinyatakan<br />
dalam Kitab Suci (QS 35:02),<br />
segala sesuatu yang Allah<br />
SWT berikan kepada manusia<br />
sebagai suatu rahmat, maka<br />
tidak ada seorang atau sesuatu<br />
pun yang bisa menahannya.<br />
Sebaliknya, segala yang Tuhan<br />
tahan untuk diberikan kepada<br />
manusia sebagai suatu rahmat, maka tidak akan ada yang bisa<br />
melepaskannya. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.<br />
Ukuran kesempurnaan dari balasan atas usaha manusia—<br />
berupa upah (ujrah), pahala (ajrun), kelebihan (fadhilah),<br />
dan (rahmah)—semuanya ditentukan oleh Allah SWT<br />
Kesempurnaan tersebut juga meliputi cakupan dari balasan,<br />
besaran dari balasan, kapan saja balasan diberikan, dan berapa<br />
lama balasan diberikan.<br />
52
BERUSAHA UNTUK KAYA<br />
Balasan yang Sempurna<br />
Dalam perjalanan hidup, kita dapat “berniaga” dengan<br />
Tuhan, di mana kita melakukan sesuatu tindakan, yang<br />
dalam istilah Kitab Suci adalah amal, artinya perbuatan<br />
untuk memenuhi harapan Allah SWT. Kemudian, Tuhan<br />
akan membalasnya dengan memberikan imbalan di dunia<br />
berupa ujroh (upah) dan imbalan di akhirat berupa ajrun<br />
(pahala). Allah SWT juga memberikan fadhilah (kelebihan),<br />
dan rahmah (rahmat).<br />
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang telah diangkat<br />
menjadi khalifah di muka bumi, maka harus dipahami bahwa<br />
esensi keadilan dalam perniagaan dengan-Nya adalah percaya<br />
atau beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Bersungguhsungguh<br />
mengikuti aturan-Nya, menjalankan perintah-Nya,<br />
dan meninggalkan larangan-Nya. Kemudian, percaya bahwa<br />
Tuhan pasti akan memberikan balasan yang sempurna, dengan<br />
<strong>cara</strong> menerima keputusan atau takdir-Nya.---<br />
Kekayaan dan Kemashlahatan<br />
Pada awal tahun 2010, Michael Ruslim meninggal dunia.<br />
Almarhum adalah Direktur Utama PT. Astra International Tbk.<br />
Sebelum beliau wafat, sudah banyak pimpinan perusahaan besar<br />
lain yang meninggal dunia. Namun jumlah liputan berita dan<br />
iklan belasungkawa atas berpulangnya Michael Ruslim sangat<br />
mencengangkan. Mengapa<br />
53
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
PT. Astra International Tbk. adalah perusahaan besar<br />
dengan kegiatan usaha di bidang otomotif, jasa keuangan, alat<br />
berat, pertambangan dan energi, teknologi informasi dan solusi<br />
dokumen, agribisnis, serta infrastruktur. Pada tahun 2010 Astra<br />
memiliki 153 anak perusahaan dengan 126.000 karyawan.<br />
Astra juga menjadi perusahaan berkapitalisasi pasar terbesar di<br />
antara 400-an perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek<br />
Indonesia. Tetapi bukan itu yang menyebabkan banyaknya orang<br />
yang turut berduka cita atas berpulangnya Michael Ruslim.<br />
Ternyata, banyaknya orang yang berduka cita disebabkan<br />
karena selama dipimpin oleh Michael Ruslim, Astra telah<br />
membawa banyak maslahat bagi masyarakat di Indonesia.<br />
Selain itu, almarhum dikenal sebagai pengusaha yang sangat<br />
kuat memegang prinsip dan etika bisnis, sangat memerhatikan<br />
karyawan dan mitra bisnis, serta berjiwa sosial.<br />
Mengapa kemaslahatan yang dibawakan Astra memberi<br />
‘kekayaan’ kepada Michael Ruslim<br />
Mashlahah berasal dari bahasa Arab. Artinya, kebaikan<br />
dan kemanfaatan. Lawan kata maslahah adalah mafsadah, yang<br />
berarti kerusakan. Akar kata maslahah adalah al-shalah yang<br />
berarti baik dan manfaat. Menurut Imam Ghazali, mashlahah<br />
adalah istilah bagi upaya untuk menciptakan kebaikan dan<br />
menghindari kemudharatan. Esensi mashlahah adalah kebaikan<br />
dan kemanfaatan yang dikehendaki Allah untuk hamba-Nya,<br />
bukan kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki manusia<br />
untuk dirinya sendiri. Karena, manfaat dalam pandangan<br />
manusia, belum tentu baik menurut Allah.<br />
54
BERUSAHA UNTUK KAYA<br />
Untuk lebih memahami makna kemaslahatan, para ahli<br />
telah memberikan tiga rumusan. Rumusan pertama adalah<br />
mashlahah yang diakui, yaitu mashlahah yang keberadaannya<br />
telah dijabarkan dalam Kitab Suci dan yang telah diajarkan atau<br />
dicontohkan oleh para nabi dan rasul Allah.<br />
Rumusan kedua adalah<br />
mashlahah yang dilarang,<br />
yaitu hal-hal yang oleh<br />
sebagian manusia dianggap<br />
baik atau bermanfaat, tetapi<br />
sebenarnya menyalahi<br />
kemaslahatan yang telah<br />
dijabarkan dalam Kitab<br />
Suci ataupun ajaran nabi<br />
“Nabi Muhammad SAW<br />
mengajarkan bahwa<br />
manusia yang paling baik<br />
adalah yang paling baik<br />
dalam mengembalikan<br />
pinjaman yang<br />
diterimanya.”<br />
dan rasul. Salah satu contoh adalah firman Allah SWT dalam<br />
Kitab Suci (QS 02:219) mengenai khamar (minuman yang<br />
memabukkan) dan maysir (mengambil risiko berlebihan atau<br />
judi). Telah dinyatakan, bahwa pada keduanya terdapat dosa<br />
besar dan manfaat yang sangat sedikit bagi manusia. Dosa<br />
keduanya lebih besar dari manfaatnya. Jadi, meskipun dalam<br />
minuman khamar dan tindakan maysir terdapat beberapa<br />
manfaat bagi manusia, tetapi karena dosa yang menyertai<br />
keduanya lebih besar, maka manusia dilarang untuk minum<br />
khamar, dan melakukan maysir.<br />
Sedangkan rumusan ketiga adalah mashlahah yang<br />
dibolehkan, yaitu segala hal yang baik dan bermanfaat walaupun<br />
tidak dijabarkan se<strong>cara</strong> eksplisit dalam Kitab Suci maupun<br />
dalam ajaran nabi dan rasul—baik untuk mewujudkannya,<br />
meninggalkannya, atau bahkan mengabaikannya. Misalnya,<br />
55
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
menentukan suatu mata uang sebagai alat pertukaran nilai yang<br />
sah dari suatu negara. Atau, mewajibkan kepada warganegara<br />
yang mampu agar ikut memikul beban pembangunan ketika<br />
keuangan negara tidak mencukupi. Dalam Kitab Suci ataupun<br />
ajaran nabi dan rasul, tidak terdapat ketentuan-ketentuan<br />
yang memerintahkan, menganjurkan, memerhatikan, atau<br />
mengabaikan hal-hal yang terkait penentuan mata uang maupun<br />
kewajiban warganegara dalam pembangunan.<br />
Hierarki Kemaslahatan<br />
Di samping memahami rumusan kemaslahatan, kita juga<br />
perlu memahami hierarki kemaslahatan. Dalam Kitab Suci<br />
(QS 42:20), Allah SWT menyatakan bahwa barangsiapa<br />
menghendaki harsa (keuntungan) di akhirat, maka Tuhan akan<br />
menambahkan baginya harsa (keuntungan) di akhirat dan<br />
di dunia. Sedangkan bagi yang menghendaki keuntungan di<br />
dunia saja, Allah SWT hanya akan memberikan keuntungan di<br />
dunia, tanpa bagian keuntungan di akhirat. Padahal, kita faham<br />
dan percaya (beriman) bahwa kehidupan di dunia hanyalah<br />
sementara, sedangkan kehidupan di akhirat adalah kekal.<br />
Abadi, selama-lamanya. Dengan demikian, manusia yang hanya<br />
menghendaki keuntungan di dunia—yang bersifat sementara,<br />
pastilah akan merugi.<br />
Tuhan juga telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 28:77)<br />
agar manusia mencari bagiannya berupa kebahagiaan di akhirat,<br />
namun tidak melupakan bagiannya dari kenikmatan duniawi.<br />
Firman itu juga menyebutkan bahwa manusia diperintahkan<br />
untuk berbuat baik, sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik<br />
56
BERUSAHA UNTUK KAYA<br />
kepadanya. Dan, tidak membuat kerusakan di bumi, karena<br />
Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.<br />
Jelaslah bahwa menurut syariah, kemaslahatan yang utama<br />
bagi manusia adalah keuntungan atau kebahagiaan di akhirat.<br />
Namun pada saat yang sama, manusia juga diperintahkan untuk<br />
tidak melupakan bagiannya atas keuntungan atau kenikmatan<br />
di dunia. Karena itu, dalam Kitab Suci (QS 02:201), Allah<br />
SWT telah menuntun manusia untuk berdoa agar Allah SWT<br />
memberi hasanah atau kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat,<br />
sekaligus meminta agar dijauhkan dari api neraka.<br />
Dengan mengacu pada Kitab Suci serta ajaran nabi dan<br />
rasul, Ibnu Khaldun menjabarkan hierarki kemaslahatan sebagai<br />
berikut:<br />
“Hierarki yang paling rendah adalah keuntungan<br />
individu, karena manusia memang harus berjuang untuk<br />
mencari keuntungan bagi dirinya dan keluarganya.<br />
Namun, manusia tidak boleh hanya memikirkan<br />
dirinya ataupun keluarganya, karena manusia adalah<br />
hamba-hamba Allah yang diperintahkan untuk hidup<br />
bermasyarakat.<br />
Kumpulan dari keuntungan individu tersebut harus<br />
dapat menciptakan keuntungan bersama. Keuntungan<br />
berserikat yang sering disebut sebagai keuntungan usaha.<br />
Dengan demikian, akan timbul persatuan yang dapat<br />
menciptakan sinergi, sehingga keuntungan berserikat<br />
atau keuntungan usaha mempunyai hierarki yang lebih<br />
tinggi dari keuntungan individu.<br />
57
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Selanjutnya, keuntungan berserikat atau keuntungan<br />
usaha harus dapat terakumulasi menjadi keuntungan<br />
ekonomi bagi masyarakat atau negara. Dengan adanya<br />
keuntungan ekonomi, akan tercipta kesejahteraan<br />
masyarakat, baik masyarakat yang tergabung dalam<br />
suatu usaha maupun masyarakat lainnya. Dengan<br />
meningkatnya kesejahteraan masyarakat, diharapkan<br />
akan meningkatkan kemampuan berproduksi, daya beli,<br />
dan meningkatnya permintaan akan barang dan jasa.<br />
Keuntungan ekonomi dalam suatu negara harus dapat<br />
memberikan keuntungan kemanusiaan di dunia.<br />
Karena, tujuan dari pengelolaan bumi dan segala isinya<br />
oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah<br />
menyebar-luaskan rahmat Tuhan bagi seluruh alam.<br />
Rahmatan lil alamin.”<br />
Jelas bahwa kekayaan yang kita miliki harus diperoleh<br />
dengan <strong>cara</strong> yang dapat memberikan keuntungan se<strong>cara</strong><br />
bertingkat. Dari keuntungan individu, keuntungan usaha,<br />
keuntungan ekonomi, dan puncaknya adalah keuntungan bagi<br />
seluruh umat manusia.<br />
Memahami Kemaslahatan<br />
Sebagai hamba Allah SWT dan khalifah di muka bumi, kita<br />
harus menggunakan bagian dari bumi dan segala isinya se<strong>cara</strong><br />
produktif, efektif, efisien, dan berkelanjutan. Semua itu ditujukan<br />
untuk menciptakan kemasalahatan yang bisa dinikmati se<strong>cara</strong><br />
adil. Dari generasi ke generasi.<br />
58
BERUSAHA UNTUK KAYA<br />
Kemaslahatan yang utama adalah harsa (keuntungan) dan<br />
hasanah (kebaikan) di akhirat, namun kita diperintahkan untuk<br />
tidak melupakan hak kita atas kenikmatan di dunia. Hierarki<br />
kemasalahatan dimulai dengan keuntungan bagi individu, yang<br />
kemudian harus dapat menciptakan keuntungan dalam berserikat,<br />
dan menciptakan keuntungan usaha. Kemudian, keuntungan<br />
usaha harus terakumulasi menjadi keuntungan ekonomi di suatu<br />
negara. Seterusnya, keuntungan ekonomi suatu negara harus<br />
menciptakan keuntungan bagi seluruh umat manusia di dunia.<br />
Dengan demikian, akan tercipta kemaslahatan dari pusaka<br />
Allah SWT yang dikelola manusia, di mana rahmat Allah akan<br />
terdistribusikan ke seluruh umat manusia dan seluruh alam.<br />
Rahmatan lil alamin.---<br />
Kekayaan dan Keadilan<br />
Tidak lama setelah Michael Ruslim meninggal dunia,<br />
William Soeryadjaya juga berpulang ke sisi-Nya. Michael<br />
Ruslim lama menjadi pimpinan di PT. Astra International Tbk.,<br />
sedangkan William Soeryadjaya adalah pendiri sekaligus yang<br />
pimpinan yang membesarkan perusahan itu.<br />
Jelas bahwa William Soeryadjaya adalah orang yang kaya<br />
dalam segi harta. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa<br />
perusahaan yang dibesarkannya, Astra International, pada tahun<br />
2009 telah memberikan kemaslahatan kepada karyawan berupa<br />
gaji dan upah di sebesar Rp.1,5 triliun, membawa kemaslahatan<br />
kepada pemegang saham berupa pertumbuhan aset Rp.9 triliun<br />
dan dividen Rp.4,5 triliun, memberi kemaslahatan kepada<br />
59
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
masyarakat berupa produk dan jasa serta perniagaan senilai Rp.<br />
100 triliun, serta membayar pajak sebesar Rp.4,5 triliun.<br />
Menurut Jusuf Kalla, mendiang William Soeryadjaya adalah<br />
pengusaha yang selalu menekankan persahabatan, kekeluargaan,<br />
kebersamaan, dan harus sama-sama untung. Selain itu, beliau<br />
juga sangat terbuka, jujur, dan memegang prinsip dan etika<br />
bisnis. Pandai menjaga jarak dengan pemerintah, tidak terlalu<br />
dekat dan tidak terlalu jauh. Prinsip bisnisnya menanamkan<br />
nilai-nilai agama yang bersifat universal, seperti kejujuran, kerja<br />
keras, saling bantu, dan ramah.<br />
Tetapi yang paling menonjol adalah ketika Bank Summa—<br />
yang dimiliki oleh anaknya—mengalami kesulitan. Ketika,<br />
pada 1993, Pemerintah memutuskan untuk menutup Bank<br />
Summa, William Soeryadjaya menjual saham Astra yang<br />
dimiliknya untuk membayar semua kewajiban Bank Summa<br />
kepada nasabahnya. William berpendapat bahwa dalam berbisnis<br />
haruslah adil. Ketika untung berhak menikmati hasilnya,<br />
tetapi bila rugi harus bertanggung jawab memenuhi semua<br />
kewajibannya.<br />
Hal serupa diutarakan Arifin Panigoro dalam bukunya,<br />
Berbisnis itu (tidak) Mudah. Berlaku adil dengan prinsip pantang<br />
ambil rezeki orang lain, transparansi usaha, dan menghormati<br />
mitra usaha dan karyawan, telah membuat Arifin Panigoro<br />
membesarkan PT. Meta Epsi Pribumi Drilling Company<br />
menjadi PT. Medco Energi Internasional Tbk. Tetapi—mirip<br />
seperti pengalaman William Soeryadjaya—prinsip “utang<br />
mesti dibayar” yang diyakini oleh Arifin Panigoro berdasarkan<br />
pengalaman orangtuanya, diterapkan dengan konsisten ketika<br />
Medco mengalami masalah keuangan akibat krisis moneter<br />
60
BERUSAHA UNTUK KAYA<br />
1997-1998. Medco terpaksa meminta restrukturisasi utang,<br />
dan Arifin terpaksa menjual saham Medco yang dimilikinya.<br />
Berbeda dengan William yang tidak berhasil memiliki kembali<br />
Astra, hanya dalam waktu 5 tahun, Arifin berhasil membeli lagi<br />
saham Medco dan kembali menjadi pemegang saham mayoritas.<br />
Baik cerita di atas maupun hierarki kemaslahatan,<br />
menunjukkan bahwa harus tercipta keadilan dalam proses<br />
penciptaan keuntungan. Dan kekayaan yang maslahat hanya<br />
dapat diperoleh melalui keuntungan yang berkeadilan. Jadi,<br />
kekayaan haruslah berkeadilan.<br />
Adil adalah kata singkat yang mudah diucapkan, tetapi<br />
sangat sulit diterapkan. Namun, kita tidak perlu bingung.<br />
Apalagi, khawatir. Dalam Kitab Suci (QS 57:25), Allah SWT<br />
menyatakan bahwa sesungguhnya Dia telah mengutus para<br />
rasul-Nya dengan membawa kejelasan, dan telah diturunkan<br />
melalui mereka Kitab Suci dan al-mizan, agar manusia dapat<br />
menegakkan keadilan. Dan kepada manusia telah diturunkan<br />
pula al-hadiid—yang padanya terdapat kekuatan, dan syadiid—<br />
dengan berbagai manfaat bagi manusia.<br />
Dalam Kitab Suci (QS 02:143), Tuhan menegaskan bahwa<br />
Dia telah menjadikan manusia yang menjadi hamba-Nya sebagai<br />
umat pilihan yang adil, agar manusia dapat menjadi saksi atas<br />
perbuatan manusia. Allah SWT juga menjadikan rasul sebagai<br />
saksi atas perbuatan manusia yang menjadi umat rasul tersebut.<br />
Jadi, Tuhan sebenarnya telah memberikan bekal dan<br />
kemampuan kepada kita untuk berlaku adil. Namun, apakah kita<br />
bisa memakai kemampuan tersebut sesuai petunjuk-Nya Mengapa<br />
kita sering berpendapat bahwa sangat manusiawi untuk rajin<br />
61
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
menuntut hak, namun lambat dalam menjalankan kewajiban<br />
Padahal, Tuhan telah memerintahkan manusia untuk berlaku<br />
adil dalam mencatat perjanjian atas kewajiban-kewajibannya.<br />
Allah SWT memerintahkan—sebagaimana termaktub dalam<br />
Kitab Suci (QS 02-282)—kepada semua orang yang beriman<br />
kepada-Nya agar bila melakukan tadaayan (berniaga), di mana<br />
seseorang mempunyai kewajiban sampai waktu yang tertentu,<br />
dan hendaklah kewajiban tersebut dicatat dengan baik. Untuk<br />
itu, harus ditunjuk suatu pihak yang bertindak sebagai kaatib<br />
atau penulis (mungkin sekarang disebut sebagai notaris) yang<br />
akan mencatat dengan berlaku adil.<br />
Tuhan juga telah memerintahkan kepada orang yang<br />
mempunyai kewajiban untuk menyatakan kepada penulis atas<br />
hak orang yang berhutang. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah<br />
SWT, dan janganlah mengurangi kewajiban sedikit pun, baik<br />
kecil atau besar, hingga sampai waktunya atau jatuh tempo.<br />
Perlu dicatat, Tuhan memberikan pengecualian pada<br />
hubungan perniagaan yang tijarotan haadirotan (perniagaan<br />
se<strong>cara</strong> tunai), sehingga perniagaan se<strong>cara</strong> tunai tidak perlu dibuat<br />
catatan karena tidak ada kewajiban yang belum ditunaikan.<br />
Tuhan juga telah menetapkan bahwa manusia harus<br />
mengambil keputusan dengan adil bila terjadi perbedaan<br />
pendapat. Dalam Kitab Suci (QS 03:58), Allah SWT telah<br />
meminta kepada manusia untuk menyampaikan amanat<br />
kepada yang berhak. Dan, apabila menetapkan hukum<br />
di antara manusia, hendaklah ditetapkan dengan adil.<br />
Tuhan telah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada<br />
manusia, dan sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha<br />
Melihat.<br />
62
BERUSAHA UNTUK KAYA<br />
Keadilan tersebut juga berlaku dalam takaran dan<br />
timbangan, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci (QS<br />
07:85), bahwa Nabi Syuaib telah berkata kepada penduduk<br />
Madyan untuk menyembah Allah SWT karena tidak ada bagi<br />
mereka Tuhan selain dari Dia. Bahwa sesungguhnya telah datang<br />
kepada penduduk Madyan bukti yang nyata dari Tuhan. Karena<br />
itu takaran dan timbangan harus disempurnakan, dan dilarang<br />
mengurangi segala hak manusia. Dan dilarang melakukan<br />
kerusakan di bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, karena<br />
yang demikian itu lebih baik bagi kaum yang beriman.<br />
Menegakkan Keadilan<br />
Sebagai hamba Allah SWT, kita juga harus selalu teguh<br />
atau istiqomah dalam menegakkan keadilan. Bahkan dalam<br />
menegakkan keadilan terhadap diri sendiri dan keluarga, baik<br />
pihak yang kaya maupun yang miskin. Bila kita merasa menjadi<br />
orang yang beriman, Allah SWT berfirman dalam Kitab Suci<br />
(QS 03:135) agar kita menjadi orang-orang yang menegakkan<br />
keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT, walaupun terhadap<br />
diri sendiri, terhadap ibu-bapak, dan terhadap kerabat, baik<br />
yang kaya ataupun yang miskin.<br />
Sesungguhnya Tuhan lebih dekat dengan ibu-bapak atau<br />
kerabat tersebut, sehingga manusia tidak perlu berpihak<br />
dalam mengambil keputusan. Tuhan juga melarang manusia<br />
mengikuti hawa nafsu untuk tidak berbuat adil. Dan jika<br />
menusia memutar-balikkan kebenaran atau enggan berlaku<br />
adil, perlu diingat bahwa Allah Maha Mengetahui atas semua<br />
yang manusia kerjakan.<br />
63
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Dalam suka-duka kehidupan, manusia terkadang masuk<br />
dalam suatu golongan. Celakanya, entah karena pengalaman<br />
masa lalu atau hal-hal lain, dapat terjadi satu golongan cenderung<br />
membenci golongan yang lainnya. Padahal, dalam Kitab Suci<br />
(QS 05:8), Allah SWT telah berfirman kepada manusia yang<br />
beriman untuk menjadi orang-orang yang selalu menegakkan<br />
kebenaran karena-Nya, dan menjadi saksi dengan adil, walaupun<br />
terhadap golongan yang membencinya.<br />
Tuhan juga melarang orang-orang yang beriman menjadi<br />
berdosa dengan berlaku tidak adil karena kebenciannya terhadap<br />
suatu kaum. Tuhan menyuruh manusia berlaku adil, karena<br />
berbuat adil lebih dekat dengan takwa. Sesungguhnya Allah<br />
Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang kita kerjakan.<br />
Dalam hidup saat ini, kadangkala kita terpaksa berhubungan<br />
dengan orang-orang yang suka berbohong, korupsi, atau<br />
memeras. Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk menjalankan<br />
perintah-Nya. Khususnya karena tahu dengan pasti bahwa<br />
orang-orang itu suka berbohong dan mengambil yang haram.<br />
Namun, Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci (QS<br />
05:42) bahwa jika orang-orang yang suka berbohong dan banyak<br />
mengambil yang haram datang untuk meminta keputusan, maka<br />
putuskanlah dengan adil di antara mereka, atau berpalinglah<br />
dari mereka. Allah SWT menjamin, jika manusia berpaling dari<br />
mereka, maka mereka tidak akan memberikan mudharat sedikit<br />
pun, karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang<br />
yang berlaku adil.<br />
Adil juga harus berlaku dalam pinjam-meminjam. Ketika<br />
kita memiliki kewajiban mengembalikan pinjaman, syariah<br />
64
BERUSAHA UNTUK KAYA<br />
mewajibkan kita untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Nabi<br />
Muhammad SAW mengajarkan bahwa manusia yang paling<br />
baik adalah yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman<br />
yang diterimanya. Akan tetapi, berlaku adil bukan sematamata<br />
kewajiban bagi yang meminjam, melainkan juga bagi<br />
yang meminjamkan. Allah SWT telah berfirman dalam Kitab<br />
Suci (QS 02:282) bahwa jika seseorang mempunyai kewajiban<br />
(mengembalikan pinjaman) kepada kita dan ia mengalami<br />
kesulitan, kita dianjurkan untuk memberi kelonggaran. Dan<br />
bila kesulitan berlanjut, maka bila kita sedekahkan sebagian atau<br />
seluruh dari kewajiban itu, itu akan lebih baik bagi kita—bila<br />
saja kita mengetahuinya.<br />
Oleh karena itu, penjadwalan kembali hutang (debtrescheduling),<br />
perubahan struktur hutang (debt-restructuring),<br />
pengurangan pokok hutang (debt ‘hair-cut’), bahkan<br />
penghapusan hutang (write-off) adalah langkah-langkah keadilan<br />
bila peminjam terbukti telah bersungguh-sungguh mencoba<br />
memenuhi kewajibannya namun takdir berkata lain.<br />
Allah Yang Maha Bijaksana akan membela dan melindungi<br />
orang-orang yang berlaku adil.<br />
65
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Memahami Keadilan<br />
Esensi adil adalah penciptaan keseimbangan antara<br />
kemaslahatan seseorang dengan kemaslahatan umat. Adil<br />
memerlukan keimanan yang tinggi, sehingga kita harus bersedia<br />
dan bersungguh-sungguh mendahulukan kepentingan umat<br />
di atas kepentingan pribadi. Keseimbangan ini adalah prinsip<br />
hakiki yang tidak berubah. Sebagai hamba Allah SWT yang telah<br />
diangkat menjadi wakil-Nya di dunia, maka prinsip hakiki ini harus<br />
didasarkan atas perintah-Nya, sebagaimana yang telah dinyatakan<br />
dalam Kitab Suci dan dijabarkan melalui ajaran nabi dan rasul.<br />
Kitab Suci (QS 02:278) menyatakan dengan jelas bahwa<br />
manusia tidak boleh berlaku zhalim dan tidak boleh pula<br />
diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim. Nabi Muhammad SAW juga telah<br />
menjabarkan bahwa janganlah merugikan orang lain, dan jangan<br />
pula bersedia dirugikan oleh orang lain. Dengan berpegang teguh<br />
pada pedoman tersebut, insya Allah manusia dapat menempuh<br />
jalan yang adil.---<br />
66
Mengelola Kekayaan<br />
Sewaktu bekerja di Lippo Bank, Bank Papan Sejahtera, dan<br />
Danareksa, saya melihat banyak orang yang mendadak jadi kaya<br />
raya karena melakukan kegiatan usaha di pasar modal. Namun,<br />
saya juga mengetahui banyak orang yang sekonyong-konyong<br />
jatuh miskin karena pasar modal.<br />
Di masa lalu, saya juga mengenal beberapa orang yang<br />
mempunyai harta berlimpah, rumah di mana-mana, mobil<br />
mewah dan berbagai ”tanda-tanda” kekayaan lainnya. Namun<br />
pada hari tuanya, mereka terpaksa hidup sangat sederhana karena<br />
hartanya sudah habis terpakai—baik untuk hidup, maupun<br />
karena kegagalan dalam berbisnis atau berinvestasi.<br />
Guru saya pernah mengajarkan bahwa kita perlu mengenal<br />
hubungan antara hasil yang kita peroleh dengan sebab utama kita<br />
memperoleh hasil tersebut. Karena kriteria ”kaya” atau ”belum<br />
kaya” tergantung pada kemampuan kita memahami bagaimana<br />
seharusnya mengelola hasil yang kita peroleh se<strong>cara</strong> optimal.<br />
67
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Hidup hanya sementara, dan masa produktif dalam hidup kita<br />
”lebih sementara” lagi.<br />
Lantas, bagaimana <strong>cara</strong> mengelola balasan yang telah<br />
diberikan Allah SWT kepada kita<br />
”Sebaik-baik manusia<br />
adalah mereka yang<br />
senantiasa ber-zikir dan<br />
banyak-banyak mengingat<br />
Allah SWT.”<br />
Itulah sebabnya setelah<br />
putri saya yang pertama, Prita<br />
Hapsari, lulus dari Fakultas<br />
Ekonomi UI dan kuliah S2 di<br />
Sydney, saya anjurkan untuk<br />
mengambil keahlian financial<br />
planning. Tujuannya jelas,<br />
agar dia bisa membantu orangtuanya dan orang-orang lain<br />
yang membutuhkan jalan untuk mengelola kekayaan yang telah<br />
diamanahkan kepada mereka. Sehingga bisa menolong orang<br />
untuk hidup lebih bahagia di hari tua. Dan mudah-mudahan<br />
diterima oleh Allah SWT sebagai amal yang saleh.<br />
Rezeki adalah Modal Ibadah<br />
Walaupun telah mendapat gelar doktor, saya merasa<br />
bahwa saya tidak mempunyai kecerdasan, pengetahuan,<br />
dan kemampuan yang memadai untuk memahami ukuran<br />
kesempurnaan dari balasan yang diberikan Tuhan atas segala<br />
jerih payah saya. Sehingga bila cakupan, besaran, serta waktu<br />
dan lama balasan yang ditentukan oleh Allah SWT ternyata<br />
melebihi dari yang saya harapkan, saya akan merasa beruntung.<br />
Sedangkan bila balasan tersebut tidak sesuai dengan harapan,<br />
baik dari segi cakupan, besaran, waktu dan lama balasan yang<br />
diterima, maka sering kali saya merasa kecewa, merasa tidak<br />
beruntung, bahkan merasa diperlakukan se<strong>cara</strong> tidak adil.<br />
68
MENGELOLA KEKAYAAN<br />
Padahal, sebagai orang yang beriman, seharusnya saya yakin<br />
bahwa segala sesuatu yang saya peroleh adalah balasan yang<br />
sempurna atas usaha saya sendiri.<br />
Melalui firman-Nya, dalam Kitab Suci (QS 02:172), Allah<br />
SWT memerintahkan kepada semua orang yang beriman untuk<br />
hanya mengambil yang thoyib (baik). Jika itu diwujudkan, Allah<br />
SWT akan memberikan rezeki kepada mereka. Manusia juga<br />
diperintahkan untuk bersyukur, berterima kasih kepada-Nya,<br />
karena hanya kepada-Nya mereka mengabdi. Maka, sebaik-baik<br />
manusia adalah mereka yang senantiasa ber-zikir dan banyakbanyak<br />
mengingat Allah SWT Melalui firman-Nya dalam Kitab<br />
Suci (QS 61:10), diperintahkan juga kepada manusia untuk<br />
bertebaran di muka bumi setelah selesai menjalankan ibadah salat<br />
Jumat, guna mencari fadhillah atau kelebihan dari Allah SWT<br />
Meskipun sesungguhnya manusia tidak akan memperoleh<br />
kecuali apa yang diusahakannya, tetapi karena Allah Mahakaya<br />
dan Mahakuasa, maka Dia dapat memberikan tambahan balasan<br />
kepada manusia sesuai kehendak-Nya. Oleh karena itu, dalam<br />
Kitab Suci (QS 14:07), Allah SWT telah menyampaikan bahwa<br />
jika manusia bersyukur atau berterima kasih atas nikmat<br />
yang telah dianugerahkan kepadanya, maka Dia akan<br />
me nambahkan nikmat-Nya. Namun, jika manusia<br />
meng ingkari bahwa nikmat itu berasal dari-Nya, sesungguhnya<br />
Allah SWT akan menurunkan azab-Nya<br />
yang sangat pedih.<br />
Jadi, sebenarnya Tuhan telah memudahkan manusia dalam<br />
mendapat rezeki, dalam mendapat balasan yang menyenangkan<br />
dari-Nya. Manusia diperintahkan untuk mengabdi kepada-<br />
Nya karena manusia memang diciptakan sebagai abdi-Nya.<br />
69
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Kemudian, diperintahkan untuk selalu mengingat-Nya. Dan<br />
ketika sudah menerima nikmat, manusia diperintahkan untuk<br />
berterima kasih atas semua yang telah diperoleh. Bila hal itu<br />
dilakukan, Allah SWT berjanji akan memberikan tambahan<br />
balasan yang menyenangkan, tambahan rezeki dari arah yang<br />
tak terduga.<br />
”Di dalam rezeki yang<br />
dilimpahkan kepada<br />
manusia, terdapat<br />
hak untuk orang lain<br />
yang dititipkan kepada<br />
manusia, hak dirinya dan<br />
anak keturunannya serta<br />
masa depannya, dan juga<br />
hak untuk masyarakat.”<br />
Di samping sematamata<br />
hidup untuk mengabdi<br />
kepada Tuhan, selalu<br />
ingat kepada-Nya, dan<br />
berterima kasih atas segala<br />
balasan dari-Nya, manusia<br />
juga diingatkan untuk<br />
menggunakan rezeki yang<br />
diterimanya untuk kebaikan.<br />
Dalam Kitab Suci (QS<br />
24:22), telah diperingatkan<br />
kepada orang-orang yang mempunyai fadhil (kelebihan) dan<br />
sa’at (kelapangan) agar jangan bersumpah bahwa mereka tidak<br />
akan memberi bantuan kepada kerabatnya, kepada orangorang<br />
miskin, maupun kepada orang-orang yang berhijrah di<br />
jalan Allah. Bila orang-orang yang mempunyai kelebihan dan<br />
kelapangan itu memberi bantuan, maka dosa mereka akan<br />
diampuni. Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia adalah<br />
Maha Pengampun dan Maha Penyayang.<br />
Se<strong>cara</strong> logika, memberi akan mengurangi apa yang telah<br />
manusia miliki. Akan tetapi, apabila memberi se<strong>cara</strong> ikhlas<br />
kepada yang berhak, milik Anda bukannya susut atau berkurang,<br />
malah semakin bertambah. Karena dengan memberi se<strong>cara</strong><br />
70
MENGELOLA KEKAYAAN<br />
ikhlas, maka berarti Anda telah bersyukur dan karena itu<br />
Tuhan akan memberi tambahan. Tuhan juga menyatakan<br />
bahwa tindakan manusia untuk memberikan bantuan kepada<br />
manusia lainnya yang memerlukan, dipandang sebagai memberi<br />
pinjaman kepada-Nya.<br />
Tuhan adalah penerima pinjaman yang paling baik,<br />
dan akan mengembalikan pinjaman dengan balasan-Nya<br />
yang berlipat ganda.<br />
Allah SWT menyatakan, sebagaimana tertera dalam Kitab<br />
Suci (QS 02:245), barangsiapa memberi pinjaman kepada-<br />
Nya—dengan pinjaman untuk kebaikan, maka Dia akan<br />
melipatgandakan pengembalian pinjaman tersebut dengan<br />
adh’aafan—dengan berlipat ganda. Masih dalam kutipan firman-<br />
Nya di atas, ditegaskan pula bahwa Dia dapat menyempitkan<br />
atau melapangkan rezeki seseorang, dan kemudian mengingatkan<br />
manusia bahwa hanya kepada-Nya manusia akan kembali.<br />
Namun, jika manusia yang telah menerima rezeki ternyata<br />
tidak mengikuti ketentuan-Nya, bahkan bermewah-mewahan<br />
dengan rezeki yang dititipkan kepada mereka, maka Allah SWT<br />
akan menghukum mereka. Hal ini ditegaskan melalui firman-<br />
Nya dalam Kitab Suci (QS 17:16), yang menyatakan bahwa<br />
diperintahkan kepada orang-orang yang bermewah-mewah<br />
dalam suatu negeri untuk taat kepada-Nya. Tetapi bila mereka<br />
durhaka dan tidak mengikuti perintah-Nya, maka atas mereka<br />
akan berlaku hukum-Nya. Allah SWT akan menghancurkan<br />
negeri itu dengan sehancur-hancurnya.<br />
Mengenai rezeki, Nabi Muhammad SAW telah memberikan<br />
banyak pelajaran kepada manusia, baik dalam bentuk perbuatan,<br />
nasihat, ataupun pernyataan.<br />
71
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
“Yang terbaik di antara manusia ialah mereka yang<br />
tidak meninggalkan dunia untuk akhirat, dan tidak<br />
meninggalkan akhirat untuk dunia, dan juga tidak<br />
menjadi beban bagi orang lain.”<br />
“Manusia dianjurkan untuk bekerja guna mendapatkan<br />
balasan di dunia seolah-olah mereka akan hidup selamalamanya<br />
dan untuk beribadat guna mendapat pahala di<br />
akhirat seolah-olah mereka akan mati esok hari.”<br />
“Dalam bekerja maupun beribadat, manusia harus<br />
mengupayakan agar segala yang mereka kerjakan hari<br />
ini lebih baik dari hari-hari yang lalu, dan agar apa pun<br />
yang mereka kerjakan hari esok lebih baik dari hari ini.”<br />
Kekayaan = Rezeki<br />
Tuhan Yang Mahakuasa pasti akan memberi balasan yang<br />
sempurna atas semua usaha kita. Baik berupa balasan di dunia<br />
(ujroh), balasan di akhirat (ajrun), dan tambahan (fadillah), maupun<br />
rahmat tanda kasih dari Allah SWT Bila balasan dari-Nya melebihi<br />
harapan, maka kita akan merasa senang dan menerimanya sebagai<br />
rezeki. Namun, bila balasan tersebut tidak sesuai dengan harapan,<br />
kita dapat tergoda untuk merasa kecewa, bahkan tidak bersyukur<br />
atas balasan yang telah diperoleh.<br />
Bila kita bersyukur, Allah SWT berjanji akan memberi tambahan<br />
balasan yang mungkin akan memenuhi, bahkan melebihi harapan<br />
kita. Tuhan telah memberikan kemudahan bagi kita agar dapat<br />
menerima rezeki, yaitu cukup dengan bersungguh-sungguh<br />
mengabdi kepada-Nya, selalu ingat, dan bersyukur atas semua<br />
rezeki yang dilimpahkan-Nya.---<br />
72
Kekayaan adalah Amanah<br />
MENGELOLA KEKAYAAN<br />
Kekayaan yang kita terima sebenarnya adalah amanah yang<br />
harus digunakan atau dinafkahkan sesuai dengan ketentuan-Nya.<br />
Nabi Muhammad SAW mengajarkan:<br />
“Setiap manusia akan ditanya tentang hartanya, dengan<br />
<strong>cara</strong> apa dia memperolehnya dan bagaimana dia<br />
menafkahkannya.”<br />
“Harta yang sedikit tetapi cukup untuk memenuhi<br />
kebutuhan adalah lebih baik daripada harta yang<br />
banyak tetapi dapat menyesatkan manusia.”<br />
“Manusia yang kuat lebih baik daripada manusia yang<br />
lemah, karena bila diperlukan oleh orang lain akan<br />
dapat berguna, dan bila tidak diperlukan oleh orang lain,<br />
setidaknya ia dapat mengurus dirinya sendiri.”<br />
Amanah I: Hak Orang Lain<br />
Pertama-tama, yang perlu diingat bahwa di dalam kekayaan<br />
yang diberikan Allah SWT kepada kita terdapat bagian<br />
yang wajib dinafkahkan kepada orang lain. Sebagaimana<br />
firman-Nya dalam Kitab Suci (QS 57:07, 51:19, 70:24-<br />
25), kita diperintahkan untuk percaya atau beriman kepada<br />
Allah SWT dan rasul-Nya. Karena itu, kita diperintahkan<br />
untuk menafkahkan apa pun yang Allah SWT jadikan kita<br />
menguasainya.<br />
73
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Allah SWT juga berjanji bahwa kepada orang-orang yang<br />
beriman dan menafkahkan sebagian hartanya akan mendapat<br />
pahala (ajrun) yang besar. Mengapa demikian Karena telah<br />
dinyatakan bahwa di dalam harta mereka terdapat hak tertentu<br />
untuk orang miskin atau kekurangan, baik yang meminta<br />
maupun yang tidak meminta.<br />
Di dalam harta yang diterima oleh manusia, terdapat hakhak<br />
orang lain yang dititipkan kepadanya. Hak-hak tertentu<br />
yang merupakan ”bagian” dari orang lain yang diberikan<br />
melalui manusia itu harus diserahkan kepada yang berhak.<br />
Dengan menafkahkan sebagian ”kelebihan” kepada orang yang<br />
berhak, maka harta yang dikaruniakan kepadanya telah<br />
dibersihkan dari bagian yang bukan haknya.<br />
Allah SWT juga memberikan petunjuk mengenai <strong>cara</strong><br />
menafkahkan kelebihan yang telah diberikan kepada kita.<br />
Salah satu petunjuk itu terdapat dalam Kitab Suci (QS 02:219,<br />
02:267). Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa yang perlu<br />
dinafkahkan oleh orang-orang yang mendapat kelebihan<br />
dan kelapangan adalah dari apa yang menjadi kelebihan dari<br />
keperluan. Petunjuk sederhana ini diberikan kepada manusia<br />
sebagai keterangan atas ayat-ayat-Nya, supaya manusia mau<br />
berpikir.<br />
Petunjuk lain terdapat pada firman Allah SWT, (QS<br />
02:267), yang menyatakan kepada orang-orang yang beriman<br />
agar menafkahkan bagian yang baik dari apa yang mereka<br />
usahakan dan dari apa yang telah dikeluarkan untuk mereka<br />
dari bumi. Allah SWT juga memperingatkan agar dalam<br />
menafkahkan, mereka tidak memilih yang buruk-buruk dari<br />
apa yang mereka peroleh. Apalagi, hanya karena mereka tidak<br />
74
MENGELOLA KEKAYAAN<br />
mau mengambil, bahkan tidak mau melihat yang buruk-buruk<br />
itu. Tuhan telah menegaskan bahwa Dia Maha <strong>Kaya</strong> lagi Maha<br />
Terpuji.<br />
Amanah II: Hak Hidup Masa Kini<br />
Setelah membersihkan kekayaan kita dari hak orang lain<br />
dengan mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah, maka bagian<br />
kedua adalah hak hidup masa kini. Tuhan telah berfirman agar<br />
manusia mencari kebahagiaan di akhirat, namun diperintahkan<br />
untuk tidak melupakan haknya untuk memperoleh kenikmatan<br />
duniawi. Guna memperoleh kenikmatan duniawi, manusia<br />
diperintahkan berbuat baik dan dilarang berbuat kerusakan. Baik<br />
kerusakan atas dunia, makhluk, orang lain, maupun diri sendiri.<br />
Allah SWT telah menyatakan bahwa tidak semua manusia<br />
akan memperoleh rezeki yang banyak. Pada saat yang sama, juga<br />
diingatkan bahwa Tuhan tidak akan memikulkan beban melebihi<br />
kemampuan seseorang. Allah SWT juga mengisyaratkan bahwa<br />
setelah setiap satu kesukaran, akan diberikan banyak kemudahan,<br />
bila manusia mau mengikuti perintah-Nya.<br />
Dalam Kitab Suci (QS 65:07), Allah SWT berfirman<br />
bahwa orang yang mempunyai keleluasaan diperintahkan untuk<br />
menafkahkan dari kemampuannya. Sementara, bagi orang<br />
yang disempitkan rezekinya, maka hendaklah memberi nafkah<br />
dari rezeki yang diberikan kepadanya. Kemudian, ditegaskan<br />
bahwa Tuhan tidak memikulkan beban kepada seseorang<br />
kecuali menurut apa yang Dia berikan padanya, dan<br />
berjanji akan menjadikan banyak kemudahan sesudah<br />
setiap satu kesukaran.<br />
75
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Amanah III: Hak Masa Sulit<br />
Dalam kehidupan manusia selalu terdapat masa senang<br />
dan masa sulit. Karena itulah, Allah SWT menyatakan bahwa<br />
manusia yang baik adalah mereka yang dalam menafkahkan<br />
hartanya tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak kikir. Manusia<br />
yang baik akan berlaku di antara keduanya, yaitu menafkahkan<br />
lebih banyak dari yang kikir, tetapi menafkahkan lebih<br />
sedikit dari yang berlebih-lebihan.<br />
Allah SWT juga memperingatkan agar janganlah orangorang<br />
bakhil (kikir) dari kelebihan yang telah diberikan<br />
kepadanya. Jangan pula mereka mengira bahwa hal itu adalah<br />
baik bagi mereka, karena bakhil itu sebenarnya buruk bagi<br />
mereka. Allah SWT menegaskan bahwa sebenarnya semua yang<br />
ada di langit dan bumi adalah kepunyaan-Nya yang dipusakakan<br />
kepada manusia. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang manusia<br />
kerjakan (QS 03:180). Dia juga melarang manusia untuk<br />
tubazzir (menyia-nyiakan) harta mereka dengan boros, karena<br />
sesungguhnya orang-orang yang mubazzirin (menyia-nyiakan)<br />
adalah teman setan (QS 17:27).<br />
Nabi Muhammad SAW juga telah mengingatkan bahwa<br />
Allah SWT akan memberikan rahmat kepada manusia yang<br />
membelanjakan harta dengan hemat, serta menyisihkan<br />
kelebihan untuk menghadapi hari kefakiran.<br />
Amanah IV: Hak Masa Depan<br />
Allah SWT telah memberi pelajaran mengenai menghadapi<br />
masa depan, salah satunya melalui kisah Nabi Yusuf yang<br />
bermimpi tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk<br />
76
MENGELOLA KEKAYAAN<br />
dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus. Dalam<br />
mimpi tersebut, Nabi Yusuf juga memegang tujuh bulir gandum<br />
yang hijau dan tujuh bulir gandum kering (QS 12:46-48).<br />
Mimpi itu ditafsirkan oleh Nabi Yusuf sebagai perintah<br />
untuk menyimpan kelebihan dari tujuh masa panen yang sangat<br />
baik untuk digunakan pada tujuh masa yang sulit. Penafsiran itu<br />
memberi ilham kepada Nabi Yusuf untuk melakukan persiapan<br />
agar di akhir masa-masa sulit mereka masih mempunyai sedikit<br />
simpanan hasil panen untuk memulai kembali kehidupan<br />
mereka.<br />
Yang menarik, jumlah masa panen dan masa sulit dalam<br />
pelajaran ini adalah tujuh, bukan enam atau lima atau bahkan<br />
tiga. Hal ini bukan kebetulan, melainkan untuk menegaskan<br />
bahwa walaupun terjadi berulang-ulang, tidak ada jaminan<br />
bahwa hal itu akan berkelanjutan. Setelah sesuatu yang baik<br />
terjadi untuk pertama kali, umumnya kita akan sangat bersyukur.<br />
Bila terjadi kedua kalinya, biasanya kita tetap bersyukur. Setelah<br />
terjadi se<strong>cara</strong> terus menerus, apalagi sampai lebih dari lima<br />
kali, kita dapat tergoda untuk merasa bahwa hal yang baik itu<br />
terjadi semata-mata karena usaha kita sendiri. Buktinya setiap<br />
kita berusaha, kita berhasil. Akibatnya, kita bisa ingkar bahwa<br />
hasil tersebut sebenarnya adalah nikmat Tuhan.<br />
Pelajaran lain dari kisah Nabi Yusuf di atas adalah<br />
menyerukan kepada orang-orang yang beriman agar bertakwa<br />
kepada-Nya, dan hendaklah setiap manusia memerhatikan apa<br />
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS 59:18).<br />
Pelajaran-pelajaran di atas mengarahkan manusia untuk<br />
menyimpan sebagian dari rezeki masa kini untuk<br />
77
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
kehidupan masa depan, baik masa depan untuk diri sendiri<br />
maupun masa depan keluarga dan keturunannya.<br />
Nabi Muhammad SAW juga telah menyatakan bahwa:<br />
“Adalah lebih baik kamu meninggalkan keturunanmu<br />
dalam keadaan sehat dan kaya daripada meninggalkannya<br />
dalam keadaan miskin sehingga harus memintaminta.”<br />
Amanah V: Hak Masyarakat<br />
Di dalam rezeki yang dilimpahkan kepada manusia, terdapat<br />
hak untuk orang lain yang dititipkan kepada manusia, hak<br />
dirinya dan anak keturunannya serta masa depannya, dan juga<br />
hak untuk masyarakat. Karena itu, kelebihan rezeki dan harta<br />
harus digunakan untuk kegiatan produktif, sehingga dapat<br />
menyebar-luaskan kemasalahatan bagi masyarakat. Contohnya<br />
adalah pada harta emas dan perak.<br />
Pada masa Nabi Muhammad SAW, uang dibuat dari<br />
emas dan perak. Hal itu terutama disebabkan, pada masa itu,<br />
hubungan perdagangan dan hubungan informasi masih sangat<br />
terbatas oleh kondisi fisik. Sementara itu, menurut syariah,<br />
Pemerintah harus menetapkan uang sebagai alat pembayaran<br />
yang sah dan harus menjamin nilai dari uang tersebut. Karena<br />
itu, jaminan nilai yang terbaik pada saat itu adalah jaminan<br />
intrinsik pada materi uang itu sendiri.<br />
Fungsi utama dari emas dan perak pada saat itu adalah<br />
sebagai uang. Sehingga bila ada manusia yang menyimpan<br />
78
MENGELOLA KEKAYAAN<br />
atau mengumpulkan emas dan perak, maka berarti manusia<br />
tersebut menimbun uang. Tindakan ini menimbulkan<br />
dampak berkurangnya jumlah uang dalam peredaran, sehingga<br />
mengurangi kemungkinan masyarakat melakukan transaksi<br />
perniagaan. Tindakan menimbun emas dan perak dianggap<br />
perilaku asosial. Allah SWT berfirman bahwa orang-orang yang<br />
menyembunyikan, atau tidak menggunakan emas dan perak<br />
di jalan Allah, maka mereka akan menerima azab yang paling<br />
menyiksa (QS 09:34).<br />
Rezeki dari Allah SWT dapat pula dilimpahkan melalui<br />
kegiatan usaha manusia dalam bentuk keuntungan berusaha.<br />
Dalam menjalankan usaha, manusia dianjurkan untuk bekerja<br />
sama dengan manusia lain, baik dalam bentuk perserikatan<br />
maupun dengan mempekerjakan manusia lain.<br />
Melalui firman-Nya dalam Kitab Suci (QS 16:71) telah<br />
diingatkan bahwa Allah SWT melebihkan sebagian dari manusia<br />
atas sebagian yang lain. Bagi orang-orang yang memperoleh<br />
“kelebihan” juga telah diingatkan agar memberi rezeki kepada<br />
orang-orang yang bekerja padanya. Apabila mereka tidak mau<br />
melakukan hal itu, maka mereka telah mengingkari nikmat-Nya,<br />
dan akan menerima azab yang sangat pedih.<br />
79
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Mengelola Kekayaan<br />
Kekayaan yang dilimpahkan kepada kita bukanlah semata-mata<br />
untuk diri kita sendiri. Dalam kekayaan juga terdapat amanah<br />
berupa hak pihak lain yang diberikan melalui manusia kita. Amanah<br />
tersebut adalah amanah untuk orang lain, untuk masa kini, untuk<br />
masa sulit, untuk masa depan, serta amanah untuk masyarakat<br />
yang harus dikelola.<br />
Pertama, hal yang penting dilakukan dalam mengelola harta<br />
adalah membersihkan harta dengan mengeluarkan zakat, infaq,<br />
dan sedekah. Kedua, menafkahkan harta untuk hidup masa kini<br />
sesuai dengan keleluasaan atau kesempitan, serta tidak melupakan<br />
hak atas kenikmatan yang halal di dunia.<br />
Ketiga, membelanjakan harta dengan hemat dan menyisihkan<br />
kelebihan untuk masa-masa sulit. Keempat, mempersiapkan untuk<br />
masa depan agar dapat hidup bahagia setelah tidak produktif, serta<br />
dapat meninggalkan keturunan dalam keadaan sehat dan kaya.<br />
Kelima, atau yang terakhir, mengembangkan harta untuk<br />
meningkatkan penyebarluasan kemaslahatan bagi masyarakat.---<br />
80
<strong>Kaya</strong> Se<strong>cara</strong> Halal<br />
dan Thoyib<br />
Pada 1984, saya bekerja di IBM Asia Corporation yang<br />
berlokasi di Hongkong. Waktu itu, saya bekerja sebagai Program<br />
Manager untuk Market Research dengan tim yang terdiri dari<br />
5 orang, masing-masing dari Malaysia, Taiwan, Philippines,<br />
Hongkong, dan saya dari Indonesia. Sebagai seorang Muslim,<br />
saya tidak boleh makan makanan yang mengandung babi. Teman<br />
saya dari Malaysia adalah keturunan India yang tidak makan<br />
daging sapi. Sisanya ada yang alergi seafood, ada yang tidak suka<br />
makan sayuran, ada juga yang tidak doyan ayam. Kami berlima<br />
kompak sekali dan sering makan bersama. Masalahnya adalah<br />
bagaimana <strong>cara</strong> kami memesan makanan agar semua dapat<br />
menikmatinya dengan adil.<br />
Saya telah menceritakan masalah ini dalam berbagai<br />
kesempatan, dan tentunya menanyakan tentang makanan apa<br />
yang dapat kami pesan agar semua dapat menikmati dengan adil.<br />
Ada yang menyarankan memesan masakan daging kambing, ada<br />
81
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
yang menyarankan pesan bakmi atau burung dara (mungkin<br />
karena di Hongkong), dan sebagainya. Tetapi bukan itu yang<br />
kami lakukan.<br />
“Di samping menghindari<br />
hal-hal yang se<strong>cara</strong><br />
dzat adalah syubhat<br />
atau haram, <strong>cara</strong><br />
memperolehnya juga<br />
tidak boleh melalui <strong>cara</strong><br />
yang dilarang oleh Allah<br />
SWT.”<br />
Kami selalu berusaha<br />
memesan 1 masakan dengan<br />
daging babi, 1 masakan<br />
daging sapi, 1 masakan ayam,<br />
1 seafood, dan 1 sayuran.<br />
Dengan demikian semua<br />
dapat menikmati 4 dari 5<br />
masakan yang kami pesan.<br />
Adil, bukan<br />
Untuk makanan, halal<br />
atau haram adalah menurut<br />
keyakinan masing-masing. Tetapi menurut hemat saya, halal atau<br />
haram untuk hasil usaha atau kegiatan keuangan akan berlaku<br />
se<strong>cara</strong> universal. Mengapa Karena hasil usaha yang halal pasti<br />
akan membawa kemaslahatan. Anda tidak sependapat Silakan<br />
baca lebih lanjut.<br />
Mengapa Hanya yang Halal dan Thoyib<br />
Dalam melakukan kegiatan ekonomi untuk mencapai hasil<br />
tertentu, baik berupa keuntungan ataupun hasil-hasil lainnya,<br />
manusia tetap harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan<br />
oleh Allah SWT Dalam hal kegiatan ekonomi, Allah SWT<br />
berfirman dalam Kitab Suci (QS 02:168), yang menyatakan<br />
agar manusia hanya mengambil dari bumi apa saja yang halal<br />
dan thoyib, serta agar manusia tidak mengikuti jalan-jalan setan<br />
82
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi<br />
manusia.<br />
Jadi, jelas bahwa Allah SWT telah memerintahkan manusia<br />
untuk hanya mengambil yang halal dan thoyib dari bumi dan<br />
segala isinya. Lebih lanjut, Allah SWT menyatakan bahwa bila<br />
tidak mengikuti perintah ini, berarti manusia telah mengikuti<br />
jalan-jalan setan, musuh nyata bagi manusia.<br />
Sekarang, bagaimana <strong>cara</strong> memilih yang halal dan mem bedakannya<br />
dengan yang tidak halal<br />
Perihal yang halal, Nabi Muhammad SAW telah mem berikan<br />
pelajaran yang sangat jelas melalui sabda-sabdanya.<br />
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang<br />
haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang<br />
syubhat yang tidak diketahui banyak orang. Maka, bila takut<br />
(maksudnya: menghindar dari) pada syubhat, maka ia terbebas<br />
dari kecaman atas pribadinya dan agamanya. Dan barangsiapa<br />
yang jatuh ke dalam syubhat, maka ia akan jatuh pada yang<br />
haram.<br />
Seperti roin (gembala/pemimpin) yang memimpin di<br />
sekitar batas daerah syubhat, dapat diduga akan jatuh<br />
ke dalam daerah syubhat dan oleh karenanya akan jatuh<br />
ke dalam daerah yang haram.<br />
Ingat! Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada<br />
sebuah gumpalan, apabila ia baik, maka baik pula seluruh<br />
tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh,<br />
gumpalan itu adalah hati.”<br />
83
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa se sungguhnya<br />
yang halal maupun yang haram itu jelas. Dan, di antara<br />
yang halal dan yang haram, terdapat hal-hal yang syubhat yang<br />
tidak diketahui banyak orang. Manusia sebaiknya menghindar<br />
dari yang syubhat, karena hampir dipastikan ia akan jatuh kepada<br />
yang haram. Jadi, bukan hanya harus meninggalkan yang haram,<br />
tetapi juga harus menghindari yang syubhat, yang meragukan.<br />
Karena wajib menghindari yang syubhat, berarti manusia<br />
harus pula meninggalkan hal yang lebih besar mudharatnya<br />
dibandingkan dengan manfaatnya, lebih besar potensi ruginya<br />
dibandingkan peluang untungnya.<br />
“Nabi Muhammad SAW<br />
mengajarkan melakukan<br />
transaksi pada harga<br />
pasar yang wajar.<br />
Berapa pun harga yang<br />
terjadi, transaksi akan<br />
saling ridha karena<br />
penjual-pembeli sepakat<br />
bertransaksi setelah<br />
mengetahui harga pasar<br />
yang wajar.”<br />
Allah SWT juga memerintahkan<br />
kepada manusia<br />
agar jangan saling mengambil<br />
harta di antara manusia<br />
dengan jalan atau <strong>cara</strong> yang<br />
batil. Dia pun melarang<br />
manusia untuk membawa<br />
urusan harta kepada hakim<br />
dengan maksud agar dapat<br />
mengambil harta dari orang<br />
lain dengan jalan berbuat<br />
dosa, yaitu jalan yang dilarang<br />
Allah SWT, padahal<br />
mereka mengetahui bahwa jalan itu dilarang (QS 02:188).<br />
Berarti, di samping menghindari hal-hal yang se<strong>cara</strong> zat adalah<br />
syubhat atau haram, <strong>cara</strong> memperolehnya juga tidak boleh<br />
melalui <strong>cara</strong> yang dilarang oleh Allah SWT<br />
84
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
Setelah membahas <strong>cara</strong> membedakan yang halal dari yang<br />
haram serta yang syubhat, maka perlu dibahas bagaimana <strong>cara</strong><br />
memilih yang halal dan juga thoyib.<br />
Sebelum mengetahui <strong>cara</strong> memilih yang thoyib, tentunya<br />
perlu dipahami apa itu thoyib Ternyata, Allah SWT telah<br />
berfirman dalam Kitab Suci (QS 07:157) bahwa Nabi<br />
telah diperintahkan Allah SWT untuk menyuruh manusia<br />
mengerjakan yang ma’ruf dan melarang yang munkar,<br />
serta menghalalkan bagi manusia hal-hal yang thoyib dan<br />
mengharamkan atas manusia hal-hal yang khobaais.<br />
Dalam bahasa Arab, kata thoyib se<strong>cara</strong> umum berarti baik.<br />
Tetapi apakah hanya sekadar baik Karena sebagaimana halnya<br />
kata ridha, kata thoyib membawa pengertian yang berkaitan<br />
dengan perasaan dan kesungguhan hati. Dari firman tersebut<br />
dapat kita perkirakan bahwa hal-hal yang thoyib tentunya<br />
akan ma’ruf, tidak akan munkar dan bukan khobaais. Ma’ruf<br />
maksudnya adalah arif, bijak, dan oleh karenanya menjadi<br />
benar. Munkar berarti ingkar terhadap ketentuan dan perintah<br />
Allah, dan karenanya tidak benar atau bahkan merusak.<br />
Sedangkan khobaais artinya buruk atau rusak. Oleh karena<br />
itu, istilah thoyib mempunyai pengertian akan hal-hal<br />
yang dilakukan se<strong>cara</strong> arif dan bijaksana, tidak ingkar<br />
terhadap ketentuan dan perintah Allah, tidak merusak,<br />
serta tidak buruk. Sehingga thoyib sejalan dengan arif,<br />
bijak, benar, dan membawa kebaikan.<br />
Jadi, Allah SWT menghendaki dalam mengelola bumi<br />
dan segala isinya, serta dalam menjalankan kegiatan yang<br />
berhubungan dengan sesamanya, hamba-hamba-Nya<br />
85
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
melakukannya dengan arif dan bijaksana sehingga menghasilkan<br />
hal-hal yang benar serta membawa kebaikan.<br />
Syarat Kehalalan<br />
Maka, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang harus<br />
dipenuhi untuk mencapai kehalalan, yaitu kehalalan dari zat<br />
atau barangnya, kehalalan dari <strong>cara</strong> perolehannya, dan kehalalan<br />
dari <strong>cara</strong> penggunaannya.<br />
Untuk kehalalan zat-nya, contoh yang paling lazim adalah<br />
minuman, makanan, atau obat-obat yang dalam jumlah atau<br />
kadar tertentu akan memabukkan. Minuman atau makanan<br />
tersebut bisa membuat manusia kehilangan kesadaran. Dan<br />
dalam keadaan tidak sadar, manusia dapat saja melakukan halhal<br />
yang tidak baik, yang dalam keadaan sadar tidak mungkin<br />
dilakukannya.<br />
Jadi, dapat disimpulkan bahwa barang-barang yang<br />
halal se<strong>cara</strong> zat adalah barang-barang yang bermanfaat, tidak<br />
membawa mudharat, serta memenuhi ketentuan Allah SWT<br />
dan tidak dilarang untuk dimiliki, dipakai, atau dikonsumsi.<br />
Kemudian, walaupun sudah pasti kehalalan atas zatnya, juga<br />
harus dipastikan kehalalan dari <strong>cara</strong> perolehan dan tidak<br />
boleh melanggar ketentuan Allah SWT Karena bila diperoleh<br />
dengan <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> yang batil—seperti mencuri, menipu, korupsi,<br />
dan semacamnya, barang yang halal se<strong>cara</strong> zat jadi haram bagi<br />
yang memperolehnya serta bagi keluarganya. Se<strong>cara</strong> zat, uang itu<br />
halal, Namun bila diperoleh melalui transaksi se<strong>cara</strong> riba akan<br />
menjadi haram. Jadi, se<strong>cara</strong> umum dapat disimpulkan bahwa<br />
di samping kehalalan dari zat, harus pula dipastikan kehalalan<br />
86
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
dari <strong>cara</strong> perolehan, yaitu <strong>cara</strong> yang tidak bathil, tidak curang,<br />
tidak zhalim, atau tidak merugikan orang lain.<br />
Akhirnya, kehalalan <strong>cara</strong> pemakaian, karena barang yang<br />
se<strong>cara</strong> zat dan <strong>cara</strong> perolehan dapat diyakini kehalalannya hanya<br />
boleh digunakan untuk hal-hal yang tidak bertentangan dengan<br />
perintah Allah SWT Karena bila digunakan untuk berbuat<br />
zhalim, untuk merusak milik sendiri maupun milik orang lain,<br />
untuk membunuh, atau tujuan lain yang tergolong dosa, maka<br />
zat yang halal dan telah diperoleh dengan <strong>cara</strong> yang halal akan<br />
menjadi haram. Contohnya, beberapa jenis obat yang tergolong<br />
penghilang rasa sakit atau narkotika, bila digunakan untuk<br />
mengurangi rasa sakit pada korban kecelakaan adalah halal.<br />
Namun bila disalahgunakan untuk menghilangkan kesadaran<br />
dari orang yang tidak sakit akan menjadi haram.<br />
Prinsip Kehalalan<br />
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas,<br />
di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat. Dengan<br />
mempunyai hati yang baik, maka yang halal, yang haram, maupun<br />
yang syubhat dapat kita lihat dengan jelas.<br />
Kehalalan harus memenuhi kehalalan dari zatnya, dari <strong>cara</strong><br />
perolehannya, dan dari <strong>cara</strong> penggunaannya. Esensi dari kehalalan<br />
adalah memberikan manfaat dan menghindari mudarat bagi<br />
manusia, sehingga akan menghilangkan kebathilan, kecurangan,<br />
ke-zhalim-an, dan kerugian. Karena itu, perintah Allah SWT untuk<br />
hanya mengambil yang halal serta menghindari yang haram<br />
maupun syubhat, pada hakikatnya adalah dalam rangka menyebarluaskan<br />
kemaslahatan bagi umat manusia.---<br />
87
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Syarat Thoyib<br />
Allah SWT telah berfirman kepada orang-orang yang<br />
beriman untuk tidak saling mengambil harta di antara manusia<br />
dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku<br />
se<strong>cara</strong> saling ridha di antara manusia. Kemudian Allah SWT<br />
menegaskan agar manusia tidak mematikan dirinya sendiri,<br />
karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada manusia<br />
(QS 04:29).<br />
Dari firman ini dapat dipahami bahwa hal yang halal dan<br />
thoyib tentu tidak diperoleh dengan <strong>cara</strong> yang batil, melainkan<br />
dengan jalan perniagaan yang berlaku se<strong>cara</strong> saling ridha.<br />
Perniagaan yang baik tentunya yang saling memberi manfaat<br />
bagi semua pihak yang terlibat dalam perniagaan tersebut.<br />
Sedangkan yang dapat diperoleh dengan saling ridha berarti<br />
keputusan diambil dengan hati yang ikhlas. Dengan demikian,<br />
tentunya para pihak tidak berlaku zhalim dan juga tidak mau<br />
diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim. Sementara bila diperoleh dengan<br />
<strong>cara</strong> yang batil, sama saja seperti manusia membunuh dirinya<br />
sendiri.<br />
Kemudian di samping berfirman agar manusia tidak<br />
mengambil harta sesamanya dengan <strong>cara</strong> yang batil, Allah SWT<br />
juga telah berfirman agar manusia tidak mengambil harta dari<br />
orang lain dengan jalan berbuat dosa, yaitu jalan yang dilarang<br />
Allah SWT (QS 02:188). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa<br />
hal-hal yang halal dan thoyib tidak mungkin diperoleh dengan<br />
jalan berbuat dosa.<br />
Dengan kata lain, hal-hal yang halal dan thoyib hanya akan<br />
diperoleh melalui jalan-jalan yang tidak melanggar ketentuan<br />
88
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
Allah SWT Dalam hal ini, dapat dikaji pendapat yang<br />
disampaikan oleh para pakar bahwa kaidah yang digunakan<br />
dalam melakukan ibadah vertikal ke hadirat Allah SWT adalah,<br />
“Semuanya tidak boleh kecuali yang telah diperintahkan<br />
Allah SWT”. Sedangkan kaidah dalam melakukan ibadah<br />
horizontal melalui hubungan antarmanusia adalah, “Semuanya<br />
boleh kecuali yang telah dilarang Allah SWT”. Perintah-Nya<br />
disampaikan melalui firman-Nya, pelajaran dari nabi dan rasul-<br />
Nya, maupun disampaikan melalui ilham.<br />
Prinsip Ke-thoyib-an<br />
Thoyib terkait dengan kehalusan hati dan memiliki nilai<br />
yang lebih tinggi dari baik. Karena selain baik, yang thoyib juga<br />
memenuhi aspek menunjang yang ma’ruf, menghindari yang<br />
munkar, bersikap ramah dengan lembut dan murah hati, serta<br />
saling ridha dan saling memberi manfaat. Sikap ramah, lembut<br />
dan murah hati membuat hubungan menjadi semakin baik dan<br />
menunjang saling ridha.<br />
Kondisi saling ridha mengakibatkan para pihak yang terkait<br />
akan ikhlas menerima hasil yang diberikan. Karena ikhlas, maka<br />
akan saling memberi manfaat dan para pihak yang terkait merasa<br />
diperlakukan se<strong>cara</strong> adil. Sehingga segala yang thoyib itu akan<br />
memberikan kepuasan lahir dan bathin, baik di dunia maupun<br />
kelak di akhirat.---<br />
89
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Jurus Halal 1: Kurma dan Uang<br />
Salah satu pelajaran yang menarik dari Nabi Muhammad<br />
SAW tentang halal-haram adalah hadis yang saya sebut sebagai<br />
hadis kurma.<br />
Abu Said mengatakan bahwa suatu hari Bilal datang<br />
menghadap Rasulullah SAW dengan membawa kurma yang<br />
baik. Beliau bertanya, “Dari mana engkau mendapat kurma<br />
ini” Bilal menjawab, “Kami mempunyai kurma yang bermutu<br />
rendah, karena itu kami berikan 2 keranjang kurma tersebut<br />
untuk ditukar dengan 1 keranjang kurma yang baik ini, dengan<br />
maksud untuk dihadiahkan kepada Rasulullah”.<br />
Setelah mendengar penjelasan itu Beliau bersabda, “Ini jelas<br />
riba. Jangan ulangi perbuatan ini. Jika kamu menginginkan<br />
kurma yang bermutu baik, pertama-tama engkau jual kurma<br />
yang bermutu rendah itu, lalu dengan hasil penjualannya engkau<br />
beli kurma yang berkualitas baik.”<br />
Bilal dikenal sebagai orang yang jujur dan baik. Pastilah<br />
Bilal hanya akan berhubungan dengan orang-orang yang jujur<br />
dan baik. Apalagi bila terkait dengan kurma yang hendak ia<br />
hadiahkan kepada Rasulullah SAW Oleh karena itu, tentunya<br />
mereka akan bertransaksi dengan jujur dan saling ridha.<br />
Termasuk dalam hal tukar-menukar kurma.<br />
“Akan tetapi, mengapa Nabi Muhammad SAW melarangnya”<br />
“Apa yang berbeda bila kurma tersebut dijual terlebih dahulu<br />
ke pasar”<br />
“Apa perbedaan antara membeli kurma di pasar dengan<br />
menukar kurma”<br />
90
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
Pedagang kurma di pasar adalah orang-orang yang seharihari<br />
melakukan jual-beli kurma. Sepatutnya mereka paham betul<br />
jenis-jenis kurma dan sangat mengerti harga pasar dari kurmakurma<br />
tersebut. Karena itu, penjualan kurma Bilal pasti akan<br />
ditakar dengan harga yang layak untuk kurma jenis atau kualitas<br />
tersebut. Demikian pula pembelian kurma yang baik oleh Bilal<br />
akan dihitung dengan harga yang layak. Sehingga, mungkin saja<br />
perbandingan harga kurma-kurma yang ditransaksikan oleh Bilal<br />
bukanlah 2 : 1. Mungkin saja 2,2 : 1,0 atau 1,8 : 1,0. Selisih<br />
yang mungkin terjadi dapat saja membuat Bilal atau pemilik<br />
kurma yang bagus menjadi tidak ridha. Akibatnya, transaksi<br />
menjadi batil.<br />
Jadi, sebenarnya Nabi Muhammad SAW mengajarkan<br />
melakukan transaksi pada harga pasar yang wajar. Berapa pun<br />
harga yang terjadi, transaksi akan saling ridha karena penjualpembeli<br />
sepakat bertransaksi setelah mengetahui harga pasar<br />
yang wajar.<br />
Inilah salah satu jurus syariah untuk mendapatkan<br />
hasil yang halal.<br />
Dalam kasus “tukar kurma” tersebut, Nabi Muhammad<br />
SAW sebenarnya juga mengajarkan tentang peran uang.<br />
Ketika itu, Bilal diajarkan untuk menjual kurma yang bermutu<br />
rendah ke pasar. Kemudian dengan “hasil penjualan” itu, Bilal<br />
membeli kurma yang bermutu baik. Dalam hal ini, akan timbul<br />
kebutuhan akan alat pertukaran nilai yang disebut sebagai “hasil<br />
penjualan”. Alat pertukaran nilai atau alat pembayaran tersebut<br />
kita kenal sebagai uang.<br />
91
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Bila terdapat jarak waktu antara saat Bilal menjual kurma<br />
yang bermutu rendah dan menerima uang hasil penjualan<br />
dengan saat Bilal membeli kurma bermutu baik dan membayar<br />
uang sebanyak harga pembelian, akan timbul kebutuhan untuk<br />
menjamin nilai dari uang tersebut. Itulah sebabnya Ibnu<br />
Khaldun menyatakan syarat uang adalah telah ditetapkan oleh<br />
pihak yang berwajib sebagai alat pembayaran yang sah dan<br />
terdapat jaminan yang dapat dipercaya dari nilai dari uang<br />
tersebut.<br />
Jaminan nilai uang tersebut dapat berbentuk jaminan<br />
se<strong>cara</strong> intrinsik (uang berupa koin emas atau perak), jaminan<br />
berdasarkan harta dengan nilai yang stabil (jaminan emas dan<br />
perak), atau jaminan lainnya. Karena itu, Pemerintah harus<br />
menentukan uang sebagai<br />
alat pembayaran yang sah<br />
serta harus menjamin nilai<br />
uang tersebut. Bila hal ini<br />
dipenuhi, maka uang sebagai<br />
“zat” sudah memenuhi syarat<br />
kehalalan.<br />
“Suatu ketika, salah satu<br />
dari mitra usaha tersebut<br />
ingin mengirim hadiah<br />
sebagai tanda apresiasi<br />
kepada saya. Namun,<br />
karena hal tersebut<br />
dilarang, saya minta mitra<br />
usaha tersebut mengirim<br />
hadiah dalam bentuk lain<br />
kepada badan sosial.”<br />
Bila nilai uang tidak<br />
di jamin oleh pemerintah<br />
atau tidak dapat dijaga nilainya,<br />
maka masyarakat yang<br />
menyimpan hartanya dalam<br />
bentuk simpanan uang (semisal<br />
deposito, obligasi) akan menderita kerugian. Maka, pada<br />
saat itu, “zat” uang yang bersangkutan tidak lagi memenuhi<br />
syarat kehalalan.<br />
92
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
Karena uang adalah alat pembayaran yang sangat diperlukan<br />
untuk perniagaan dan mengingat hukum penawaran-permintaan<br />
(supply-demand), Pemerintah harus mengatur jumlah uang<br />
yang beredar. Tujuannya adalah untuk menjaga nilai dari uang<br />
tersebut. Karena itu, masyarakat dilarang menyimpan atau<br />
menyembunyikan uang, sebab dapat mengganggu perniagaan.<br />
Mungkin itu sebabnya dalam Kitab Suci Allah SWT juga<br />
melarang manusia untuk menyimpan emas dan perak,<br />
sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran dalam<br />
perdagangan (QS 06:34). Karena pada masa Nabi Muhammad<br />
SAW, uang dibuat dari emas dan perak. Sehingga bila emas atau<br />
perak disimpan, maka jumlah material untuk membuat uang<br />
akan berkurang dan akan mengganggu perniagaan.<br />
Inilah pelajaran yang sangat berharga mengenai kehalalan.<br />
Walaupun se<strong>cara</strong> zat, uang rupiah telah memenuhi syarat<br />
kehalalan dan diperoleh dengan <strong>cara</strong> yang halal, namun bila<br />
digunakan untuk menimbulkan kerugian bagi masyarakat, akan<br />
menjadi haram.<br />
Jurus Halal 2: Valas yang Fals<br />
Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998<br />
membawa pengalaman yang tak terlupakan bagi saya. Ketika<br />
itu, saya sedang memimpin Danareksa Investment Management<br />
dan sedang getol-getolnya mengembangkan reksa dana. Jumlah<br />
investor maupun jumlah dana yang kami kelola berkembang<br />
pesat. Hasil investasi juga sangat menggembirakan. Tetapi,<br />
setelah “krismon” menghantam, harga saham hancur lebur,<br />
harga obligasi apalagi—turun ke tingkat yang paling tidak masuk<br />
akal. Bayangkan, ada obligasi yang baru diterbitkan kurang<br />
93
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
dari 12 bulan, ternyata harganya turun sampai tinggal 10%<br />
dari nilai nominal. Jadi, bila Anda membeli obligasi tersebut<br />
senilai Rp.100 miliar, dalam waktu kurang dari 12 bulan nilai<br />
pasarnya tinggal Rp.10 miliar. Aduh biyung…<br />
Ternyata “krismon” terjadi karena banyaknya orang yang<br />
berspekulasi dengan valuta asing. Selama bertahun-tahun,<br />
Pemerintah Orde Baru “menjaga” nilai tukar (kurs) rupiah<br />
agar “stabil” sehingga praktis tidak ada risiko akibat penurunan<br />
nilai kurs. Sementara itu, suku bunga pinjaman dalam rupiah<br />
sekitar 5% di atas suku bunga pinjaman dalam US$. Bahkan,<br />
bunga pinjaman US$ masih lebih rendah dari bunga deposito<br />
rupiah. Tidak heran kalau banyak orang nekad mengambil<br />
pinjaman dalam valas untuk membiayai usaha yang memberikan<br />
pendapatan rupiah. Perbankan juga seakan-akan “tutup mata”<br />
atas praktik yang sangat berisiko ini.<br />
Setelah “krismon” berlalu, dalam berbagai kesempatan, saya<br />
sering menerima pertanyaan.<br />
“Apakah investasi dalam valas itu halal”<br />
“Apakah investasi di luar negeri—yang tentunya dalam<br />
valas—itu halal<br />
“Apakah usaha tukar uang valas itu halal”<br />
“Apakah pasar uang valas itu halal”<br />
“Apa sih yang salah dari valas itu”<br />
Wah, pertanyaan-pertanyaan di atas, sesungguhnya, bagus<br />
sekali. Akan tetapi, untuk memahami valas dengan bijak, baiklah<br />
kita kaji lebih dahulu apa itu uang.<br />
Pada zaman dulu, dulu sekali, tentu uang—apalagi uang<br />
kertas—belum dikenal. Perdagangan masih dilakukan dengan<br />
94
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
barter—padahal zaman dulu juga belum ada komputer,<br />
handphone, atau internet. Uang diciptakan manusia untuk<br />
memudahkan transaksi dengan memudahkan pembayaran.<br />
Sehingga, pada awalnya, uang adalah alat pembayaran.<br />
Kemudian dengan adanya perbedaan nilai transaksi serta<br />
nilai objek transaksi maka uang menjadi alat ukur nilai. Dan<br />
berikutnya karena terdapat jangka waktu antara penerimaan<br />
dan pemakaian uang maka uang harus disimpan dan menjadi<br />
alat simpan nilai. Tentu tidak ada yang salah dari ketiga<br />
peran uang ini.<br />
Untuk memastikan bahwa uang menjadi alat pembayaran<br />
yang sah dan memastikan nilai uang, maka uang harus<br />
diatur oleh Pemerintah. Namun, tidak berarti bahwa uang<br />
harus diterbitkan oleh Pemerintah. Buktinya, pada zaman<br />
Nabi Muhammad SAW, pemerintahan Beliau tidak pernah<br />
menerbitkan uang, tetapi menetapkan uang logam yang<br />
diterbitkan oleh pemerintahan lain sebagai alat pembayaran<br />
yang sah di daerah pemerintahan Beliau.<br />
Jadi, suatu jenis uang berlaku untuk daerah pemerintahan<br />
yang menetapkan uang tersebut sebagai alat pembayaran yang<br />
sah. Bank Indonesia atas nama Pemerintah RI menerbitkan uang<br />
rupiah dan menyatakan, “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha<br />
Esa, Bank Indonesia menerbitkan uang sebagai alat pembayaran<br />
yang sah dengan nilai ……..” Begitu pun dengan Pemerintah<br />
Amerika Serikat yang menetapkan US$ sebagai “legal tender” di<br />
daerah yang mengakui US$ sebagai alat pembayaran yang sah.<br />
Lalu, bagaimana nilai tukarnya<br />
95
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Se<strong>cara</strong> rasional, nilai tukar antara dua macam uang (valuta)<br />
akan ditentukan oleh kondisi perdagangan antarnegara yang<br />
bersangkutan. Bila ada orang Indonesia yang menjual produknya<br />
ke Amerika Serikat, mungkin akan menerima pembayaran dalam<br />
US$. Karena dia ingin memakai uangnya di Indonesia, maka<br />
seharusnya dia mencari orang di Indonesia yang ingin membeli<br />
produk dari Amerika Serikat dan membutuhkan US$ untuk<br />
membayar pembelian tersebut. Demikian seterusnya, sehingga<br />
atas penawaran-permintaan akan penukaran uang tersebut akan<br />
terbentuk “harga” kurs yang wajar. Di sini jelas bahwa usaha<br />
tukar uang valas akan banyak membantu pihak-pihak yang<br />
terkait dalam jual-beli antarnegara, sehingga usaha itu halal.<br />
Tetapi timbul godaan bila ternyata nilai tukar bisa berubah<br />
dengan tajam dalam waktu yang relatif singkat. Muncul pula<br />
godaan untuk menukar uang rupiah dengan US$, karena mengharapkan<br />
adanya penurunan nilai rupiah. Dengan demikian,<br />
ketika US$ ditukar kembali dengan rupiah akan diperoleh<br />
jumlah rupiah yang lebih besar. Makin besar selisih yang pernah<br />
terjadi, makin besar godaannya.<br />
Lantas, di mana letak kesalahannya<br />
Pertama, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Imam Ghazali<br />
maupun Ibnu Khaldun, uang diperlukan untuk alat pembayaran<br />
guna mempermudah perdagangan. Bila uang disimpan, maka<br />
jumlah uang yang tersedia untuk perdagangan jadi berkurang.<br />
Dalam firman Allah SWT (QS 06:34), hal ini dilarang—<br />
istilahnya, kanzul maal. Tindakan ini mengakibatkan jumlah<br />
US$ yang tersedia untuk membeli produk dari luar negeri yang<br />
memakai harga US$ akan berkurang. Sesuai dengan hukum<br />
96
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
penawaran-permintaan, maka nilai rupiah akan berkurang,<br />
masyarakat umum dirugikan. Maka ini akan haram.<br />
Kemudian, perubahan “harga” nilai tukar seharusnya terjadi<br />
mengikuti kondisi perdagangan (ekspor-impor). Manfaat yang<br />
dihasilkan dalam perdagangan ini akan dibagikan di antara<br />
pihak-pihak yang terkait—termasuk manfaat akibat perubahan<br />
nilai tukar yang mempunyai hubungan sebab-akibat dengan<br />
perdagangan. Bila ada orang yang menyimpan US$ padahal ia<br />
tidak terlibat dalam perdagangan antarnegara sehingga tentunya<br />
tidak berperan dalam perubahan kurs tersebut. Sehingga bila ia<br />
ingin mendapat hasil, maka ia mengambil risiko yang berlebihan.<br />
Hasil ini akan haram.<br />
Dapat disimpulkan, “investasi” dalam uang US$ atau valas<br />
lainnya adalah tidak benar dan tidak dibenarkan. Tetapi bila<br />
menempatkan uang dalam aset atau usaha di luar negeri—<br />
yang diukur dan dibukukan dalam valas—maka hal ini serupa<br />
dengan investasi di dalam negeri. Hanya kondisinya dan jenis<br />
uangnya berbeda. Jadi, selama dilakukan dengan ikatan yang<br />
benar, investasi ini akan halal.<br />
Kemudian, bagaimana kalau kita menyimpan valas untuk<br />
berjaga-jaga Jawabannya, tentu saja boleh. Tetapi, kemudian<br />
akan muncul pertanyaan-pertanyaan baru.<br />
“Berjaga-jaga terhadap risiko apa”<br />
“Apakah karena mau membeli barang atau jasa dari luar<br />
negeri”<br />
“Apakah karena akan bepergian ke luar negeri”<br />
Selanjutnya, dari pertanyaan-pertanyaan di atas bermunculan<br />
pertanyaan lain.<br />
97
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
“Kapan valas tersebut akan diperlukan”<br />
“Apakah pada saat diperlukan valas tersebut akan sulit<br />
didapat”<br />
“Atau malah kurs akan naik”<br />
Apabila sudah jelas jumlah nilai valas yang diperlukan,<br />
sudah jelas kapan valas tersebut akan diperlukan, dan sudah<br />
jelas bahwa valas tersebut akan sulit diperoleh, maka tentu saja<br />
boleh memiliki valas sebagai simpanan.<br />
Namun, bagaimana kalau meminjam uang dalam valas<br />
untuk dipakai dalam usaha yang memberikan hasil dalam rupiah<br />
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan menerima<br />
pembiayaan dalam valas, selama ikatannya benar dan<br />
perhitungan (pembukuan) juga dalam valas. Tetapi kalau<br />
pendapatan dalam rupiah dan pembukuan dalam valas, akan<br />
terdapat risiko selisih kurs. Risiko ini menjadi besar bila<br />
mayoritas pendapatan dalam rupiah. Sehingga, sebaiknya pembukuan<br />
mengikuti valuta yang digunakan dalam pendapatan.<br />
Bila tidak, akan timbul risiko yang berlebihan. Artinya, haram.<br />
Jadi, kenapa sih cari risiko yang berlebihan. Bukankah<br />
Tuhan Yang Mahakuasa telah menyatakan bahwa semua<br />
manusia akan mendapat balasan yang sempurna atas semua<br />
yang diusahakannya—tentunya usaha yang halal dan thoyib<br />
Karena itu, ikuti saja <strong>cara</strong> syariah, semua akan kaya, semua<br />
akan bahagia.<br />
Betul, kan<br />
98
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
Sudah bertahun-tahun Transparency International menempat<br />
kan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia.<br />
“Prestasi” yang—sesungguhnya—tidak layak dibanggakan.<br />
Menurut hemat saya, salah satu penyebabnya adalah toleransi<br />
yang salah mengenai penyimpangan etika dalam berusaha.<br />
Salah satu di antaranya adalah mengenai hadiah atau ongkos<br />
administrasi.<br />
Saya beruntung karena memulai karier tahun 1978 di sebuah<br />
perusahaan yang sangat menjunjung tinggi etika usaha. Pada saat<br />
itu, belum banyak orang yang bi<strong>cara</strong> tentang gratifikasi, tetapi<br />
IBM dengan tegas melarang karyawannya menerima gratifikasi.<br />
Ketika bekerja untuk IBM, saya pernah bertanggung jawab atas<br />
penjualan produk IBM melalui mitra usaha yang disebut sebagai<br />
dealer, value-added remarketer, maupun system integrator. Tugas<br />
tim saya adalah membina kemampuan mitra usaha, baik dari<br />
segi teknologi, pemasaran, bahkan manajemen. Saat itu, banyak<br />
mitra usaha yang mendapat keuntungan dan merasa bahwa tim<br />
saya berperan besar dalam keberhasilan mereka.<br />
Suatu ketika, salah satu dari mitra usaha tersebut ingin<br />
me ngirim hadiah sebagai tanda apresiasi kepada saya. Namun,<br />
karena hal tersebut dilarang, saya minta mitra usaha ter sebut<br />
mengirim hadiah dalam bentuk lain kepada badan sosial.<br />
Hasilnya, mitra usaha saya gembira karena tetap bisa me nyampaikan<br />
rasa terima kasih, sekaligus beramal. Sedangkan badan<br />
sosial gembira karena mendapat bantuan. Saya juga gembira<br />
karena semua bisa diselesaikan tanpa harus melanggar peraturan<br />
perusahaan.<br />
99
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Praktik ini saya coba lanjutkan di berbagai perusahaan lain<br />
tempat saya bekerja. Salah satunya, ketika saya mengelola reksa<br />
dana syariah. Karena aktivitas transaksi efek, terkadang dana<br />
tunai dari reksa dana syariah mengendap di bank kustodian.<br />
Oleh karena saat itu tidak ada bank kustodian, kami terpaksa<br />
memakai bank umum konvensional sebagai bank kustodian.<br />
Sehingga atas pengendapan dana tunai tersebut, bank kustodian<br />
biasanya memberikan jasa giro. Jelas saja saya menghadapi<br />
dilema. Jasa giro tidak boleh dibukukan dalam reksa dana<br />
syariah, namun sayang juga bila jasa giro tersebut dikembalikan<br />
ke bank kustodian.<br />
Atas persetujuan DPS, kami membentuk dana sosial dengan<br />
nama Danareksa <strong>Syariah</strong> Peduli. Jasa giro dan hasil-hasil lain<br />
yang tidak dapat dibukukan ke dalam reksa dana syariah kami<br />
tampung dalam dana sosial tersebut. Dana tersebut kemudian<br />
kami gunakan dalam berbagai kegiatan sosial. Namun, sesuai<br />
dengan arahan dari DPS, dana tersebut tidak bisa diberikan<br />
sebagai zakat maupun dalam bentuk makanan atau pakaian.<br />
Pertanyaan lain yang sering saya terima adalah mengenai<br />
uang administrasi atau pungutan tidak resmi. Misalnya,<br />
bila kita sedang mengurus surat tanpa pengenal atau surat ijin,<br />
kadangkala kita merasa mengalami kesulitan. Kemudian, dengan<br />
alasan “gaji kecil” atau “fasilitas tidak cukup” atau “anggaran<br />
terbatas”, kita diminta untuk membayar “pungutan tidak resmi”.<br />
Bagaimana seharusnya kita bersikap<br />
Guru saya mengajarkan bahwa bila Anda terpaksa membayar<br />
lebih dari yang seharusnya untuk mendapatkan hak Anda, maka<br />
itu bukan salah Anda. Situasinya darurat. Tetapi bila Anda<br />
100
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
membayar lebih untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak<br />
Anda, maka Anda bersalah.<br />
Mungkin ada baiknya kita mengambil pelajaran dari penga<br />
laman Arifin Panigoro. Suatu ketika, ada perusahaan asing<br />
yang mencari mitra usaha di Indonesia. Arifin mempersiapkan<br />
pro posal untuk menjadi mitra. Tanpa sepengetahuan Arifin,<br />
ternyata sudah ada kesepakatan awal antara perusahaan asing<br />
dengan perusahaan lokal. Namun karena proposal Arifin sangat<br />
menarik dan perusahaan asing itu juga sudah mengenal Arifin,<br />
maka perusahaan asing tersebut membatalkan kesepakatan awal<br />
dan menunjuk perusahaan Arifin sebagai mitra.<br />
Apa yang Arifin lakukan<br />
Ternyata nurani Arifin terusik. Hanya saja, tidak mungkin<br />
untuk membatalkan perjanjian dengan perusahaan asing tersebut.<br />
Karena itu, tanpa sepengetahuan perusahaan asing<br />
tersebut, Arifin mengikutsertakan perusahaan lokal tadi sebagai<br />
bagian dari perusahaan Arifin. Dan yang mengejutkan, setelah<br />
pekerjaan kemitraan tersebut selesai, Arifin memutuskan untuk<br />
memberikan bagian keuntungannya kepada perusahaan lokal<br />
yang menjadi mitranya.<br />
Apakah Arifin rugi<br />
Tidak. Selain perusahaan lokal tadi sangat berterima kasih<br />
dan menyebarluaskan etika dan kebaikan Arifin, jangan lupa<br />
bahwa Allah SWT menjanjikan balasan yang sempurna atas<br />
semua tindakan Arifin.<br />
Pertanyaan lain yang sering saya terima terkait dengan<br />
nasabah yang mengalami kesulitan dalam mengembalikan<br />
pinjaman. Dalam Kitab Suci (QS 02:282), Allah SWT telah<br />
101
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
memberikan panduan mengenai penanganan masalah dalam<br />
pengembalian pinjaman—yang sekarang dikenal sebagai debt<br />
rescheduling, debt restructuring, debt hair-cut, dan debt write-off.<br />
Jadi, apabila Anda menjadi nasabah debitur dan mengalami<br />
kesulitan dalam mengembalikan pinjaman, Anda berhak<br />
mendapat kelonggaran. Tetapi pertanyaannya, apakah Anda<br />
sudah bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban Anda<br />
Apakah Anda melakukan perencanaan dengan baik dan tidak<br />
mengambil risiko yang berlebihan Apakah Anda menjalankan<br />
kegiatan usaha dengan cermat dan kreatif Dan apakah Anda<br />
sudah teliti dan hemat dalam mengelola keuangan kegiatan<br />
usaha tersebut Apakah Anda memakai uang sesuai dengan<br />
ketentuan dan kesepakatan<br />
Jika salah satu jawabannya adalah tidak, mungkin Anda<br />
tidak berhak mendapat kelonggaran.<br />
Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan tentang<br />
berniaga dengan thoyib. Nabi Muhammad SAW telah<br />
ber kata bahwa Beliau mendoakan agar Allah SWT<br />
mem berikan ampunan dan rahmat-Nya kepada orangorang<br />
yang lembut dan murah hati dalam niaganya<br />
dan bersikap ramah dalam menagih kewajiban orang<br />
ke padanya.<br />
Ada dua pelajaran berharga yang dapat ditarik dari ajaran<br />
Rasulullah ini. Pertama, harus lembut dan murah hati dalam<br />
berniaga. Artinya hal-hal yang halal dan thoyib akan diperoleh<br />
melalui kelembutan dan kemurahan hati, bukan dengan <strong>cara</strong><br />
niaga yang keras dan kejam.<br />
102
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
Kedua, walaupun kewajiban orang kepada kita adalah hak<br />
kita, tetapi Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar tetap<br />
bersikap ramah dalam menagih hak tersebut kepada mitra usaha<br />
kita. Keramahan tersebut akan menyentuh hati mitra usaha,<br />
sehingga mereka akan bersungguh-sungguh dalam memenuhi<br />
kewajibannya. Tentunya, harus bersikap tegas bila mitra usaha<br />
tersebut kurang baik. Dan, bahkan, bila mitra usaha terbukti<br />
tidak baik, maka harus ditinggalkan.<br />
Jurus Thoyib 2: Mekanisme Pasar yang Wajar<br />
Hakikat dari firman Allah SWT dalam Kitab Suci (QS<br />
04:29) agar manusia jangan saling mengambil harta sesamanya<br />
dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku<br />
se<strong>cara</strong> saling ridha. Dan hakikat dari hadis tentang menukar<br />
kurma adalah bahwa kehalalan juga ditentukan oleh ke-thoyib-an<br />
dari transaksi. Dan untuk kegiatan perniagaan haruslah melalui<br />
mekanisme pasar yang wajar.<br />
Namun, bagaimana <strong>cara</strong> penerapannya<br />
Saya sering menerima pertanyaan dan pernyataan bahwa<br />
investasi di bursa efek itu sama halnya dengan judi.<br />
Per tanyaan dan pernyataan tersebut muncul karena adanya<br />
tindakan spekulasi di bursa efek. Tetapi, perlu disadari bahwa<br />
tindakan spekulasi juga terjadi di mana-mana. Bahkan, di jalan<br />
raya banyak pengemudi yang berspekulasi dalam mengemudikan<br />
sepeda motor, mobil, bus, atau truknya dengan risiko kehilangan<br />
nyawa—bukan hanya nyawanya sendiri, tetapi juga nyawa orang<br />
lain yang tidak bersalah.<br />
103
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Akan tetapi, apakah berarti berada di jalan raya sama dengan<br />
berjudi dengan maut Tentu saja tidak.<br />
Salah satu pilar dari bentuk pasar modal ideal adalah adanya<br />
infrastruktur informasi Bursa Efek yang transparan, tepat waktu<br />
dan merata di publik, ditunjang oleh mekanisme pasar yang<br />
wajar. Mekanisme Bursa Efek yang wajar juga menyangkut<br />
kewajaran permintaan dan penawaran serta menyangkut niat<br />
investor dalam melakukan transaksi.<br />
Nabi Muhammad SAW melarang suatu pihak untuk<br />
menjual barang yang belum dimiliki. Akibatnya praktik<br />
short-selling dengan menjual efek yang belum dimiliki, untuk<br />
kemudian (berusaha) membeli efek yang sama pada hari yang<br />
sama untuk memenuhi kewajiban yang terbentuk pada saat<br />
menjual efek, menjadi dilarang. Demikian juga short-selling<br />
dengan meminjam efek dari pihak lain (share lending). Hal<br />
ini dilarang karena efek yang menjadi objek penjualan tidak<br />
benar-benar dimiliki atau dikuasai oleh pihak penjual. Yang ada<br />
hanyalah jaminan dari pihak lain untuk meminjamkan efek yang<br />
sama bila penjual tersebut tidak bisa mendapatkannya di pasar.<br />
Namun, hal ini dibolehkan bila pihak yang akan menjual<br />
membeli dahulu efek yang dimaksud dari pihak ketiga tersebut<br />
sebelum menjualnya kembali, dan pihak ketiga tersebut berjanji<br />
akan membelinya kembali efek tersebut pada harga tertentu dan<br />
hari yang sama bila pihak penjual tersebut dapat membeli efek<br />
yang dimaksud melalui mekanisme pasar.<br />
Nabi Muhammad SAW juga melarang gangguan pada<br />
penawaran yang dicontohkan dengan praktik menimbun<br />
barang dan praktik membeli hasil pertanian dari petani sebelum<br />
104
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
petani tersebut sampai di pasar. Dalam hal mekanisme bursa<br />
efek, kondisi penawaran dalam pasar adalah fungsi dari jumlah<br />
efek yang beredar (free float), distribusi kepemilikan, jumlah<br />
investor dan likuiditas perdagangan. Oleh karena itu, praktik<br />
yang mengganggu penawaran, misalnya kepemilikan oleh pihak<br />
terafiliasi yang terselubung dan praktik cornering, tentunya<br />
dilarang.<br />
Selain itu, Rasulullah SAW juga melarang suatu pihak<br />
membeli atau mengajukan permintaan untuk membeli tanpa<br />
memiliki kebutuhan dan daya beli. Karena itu, transaksi marjin<br />
dilarang karena pihak pembeli sebenarnya tidak memiliki uang<br />
yang cukup untuk membeli efek tersebut. Memang ada pihak<br />
ketiga yang berjanji memberikan pembiayaan untuk melunasi<br />
kewajiban (dengan menimbulkan kewajiban baru), sehingga<br />
berarti pembeli tersebut mengambil risiko yang berlebihan.<br />
Karena takdir yang terjadi atas harga efek berada di tangan<br />
Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kalau atas pinjaman tersebut<br />
dikenakan beban yang tidak sesuai dengan manfaat yang timbul,<br />
misalnya dikenakan bunga.<br />
Demikian juga halnya dengan praktik short-buying, karena<br />
pada saat membeli kemungkinan besar pihak pembeli tidak<br />
memiliki dana yang cukup untuk melakukan pembelian.<br />
Atau karena tujuan (niat) melakukan pembelian adalah bukan<br />
untuk melakukan investasi yang wajar dan berhati-hati. Praktik<br />
gangguan pada permintaan juga dilarang, misalnya dengan<br />
menempatkan permintaan beli pada suatu harga tertentu, namun<br />
kemudian segera menarik kembali permintaan beli tersebut<br />
ketika harga sudah mendekati harga yang diajukan.<br />
105
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Pasar yang wajar akan menghasilkan harga transaksi yang<br />
wajar sehingga disebut sebagai harga pasar wajar. Oleh karena itu,<br />
prinsip syariah menginginkan adanya kegiatan pasar yang wajar,<br />
termasuk dalam hal likuiditas perdagangan. Sehingga harga yang<br />
terbentuk dalam transaksi di Bursa Efek merefleksikan kekuatan<br />
tawar menawar pasar yang sebenarnya. Karena itu, harga pasar<br />
yang diakui sebagai acuan harus memenuhi persyaratan likuditas<br />
tertentu.<br />
Melakukan investasi dengan tujuan untuk memperoleh<br />
capital gain tidaklah dilarang. Karena hal itu adalah konsekuensi<br />
yang wajar atas suatu investasi. Namun, bagaimana kalau kita<br />
membeli saham dan kemudian kita jual lagi pada hari yang<br />
sama dengan memperoleh keuntungan (capital gain) Bolehkah<br />
Itu semua tergantung pada niatnya. Sebelum melakukan<br />
investasi, investor tentu sebaiknya melakukan analisa dan<br />
menentukan batas harga jual dan batas harga beli atas efek<br />
yang menjadi objek investasi. Katakanlah, Anda membeli<br />
saham perusahaan X pada harga Rp.1.000 per saham dan<br />
berpendapat bahwa harga tertinggi yang wajar adalah Rp.1.200<br />
per saham. Tiba-tiba pada hari yang sama, harga saham X naik<br />
pesat sehingga telah melampaui batas harga jual (Rp.1.200 per<br />
saham). Maka, Anda dapat saja menjual saham X yang telah<br />
Anda miliki itu sehingga memperoleh keuntungan (capital<br />
gain). Bila pada keesokan harinya, harga saham X ternyata jatuh<br />
sehingga berada di bawah batas harga beli (Rp.1.000 per saham),<br />
sementara Anda tidak merasa adanya perubahan fundamental<br />
dari sisi perusahaan X, maka Anda dapat saja membeli kembali<br />
saham X tersebut.<br />
106
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
Infrastruktur informasi Bursa Efek yang transparan, tepat<br />
waktu dan merata di publik harus juga mencakup kewajaran<br />
dari informasi. Kewajaran informasi ini akan ikut menentukan<br />
proses pembentukan harga dan pada akhirnya akan menentukan<br />
kewajaran dari harga yang terjadi.<br />
Pasar yang wajar harus didukung oleh informasi<br />
yang wajar. Investor harus mempunyai kemampuan<br />
untuk memahami peluang hasil dan kemungkinan<br />
risiko, sehingga tidak mengambil risiko yang berlebihan.<br />
Untuk itu, Bursa Efek harus memastikan agar investor dapat<br />
memperoleh informasi yang diperlukan se<strong>cara</strong> wajar. Sedangkan<br />
perusahaan yang menerbitkan efek (dalam istilah pasar modal<br />
disebut emiten) bertanggung jawab sepenuhnya atas informasi<br />
yang dipublikasikan.<br />
Dalam kelaziman prinsip syariah, suatu pihak dapat<br />
membatalkan transaksi dalam waktu tiga hari. Dengan<br />
mengambil analogi ini, bila emiten mengetahui adanya<br />
atau menerbitkan informasi yang salah atau menyesatkan,<br />
maka emiten hanya mempunyai waktu tiga hari untuk<br />
memperbaikinya. Bila dalam waktu tiga hari tidak ada koreksi,<br />
maka informasi tersebut dianggap valid dan emiten sepenuhnya<br />
bertanggung jawab dan tidak bisa menyatakan kesalahan sebagai<br />
keteledoran. Di lain pihak, apabila setelah menerbitkan suatu<br />
informasi yang benar ternyata telah terjadi kejadian berikutnya<br />
yang berakibat besar, maka emiten wajib menerbitkan laporan<br />
keuangan baru dengan segera dan menyatakan dengan spesifik<br />
kejadian tersebut, serta dampaknya pada laporan keuangan.<br />
Se<strong>cara</strong> umum, investor akan memakai informasi harga<br />
harian untuk mengetahui kondisi efek yang menjadi sasaran<br />
107
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
investasinya. Prinsip syariah menginginkan agar harga tersebut<br />
menunjukkan kekuatan pasar yang sebenarnya. Di sini terdapat<br />
perbedaan yang cukup mendasar. Dalam penerapan prinsip<br />
<strong>Syariah</strong>, harga yang dicatatkan sebagai indikasi harga pada suatu<br />
hari perdagangan adalah bukan harga penutupan, melainkan<br />
harga rata-rata tertimbang. Sehingga transaksi dalam nilai yang<br />
relatif kecil pada detik-detik terakhir dari hari perdagangan tidak<br />
akan dapat memengaruhi nilai rata-rata tertimbang. Pasar hanya<br />
akan mendapat informasi mengenai kekuatan tawar-menawar<br />
pasar yang sesungguhnya.<br />
“Hakikat dari hadis<br />
tentang menukar kurma<br />
adalah bahwa kehalalan<br />
juga ditentukan oleh kethoyib-an<br />
dari transaksi.<br />
Dan untuk kegiatan<br />
perniagaan haruslah<br />
melalui mekanisme pasar<br />
yang wajar.”<br />
Prinsip syariah menginginkan<br />
agar terdapat harga<br />
pasar yang wajar. Oleh sebab<br />
itu, sebaiknya investor memiliki<br />
analisa valuasi harga<br />
efek sehingga dapat menetapkan<br />
batas harga beli dan<br />
jual yang wajar. Maka, sebagai<br />
pihak yang memfasilitasi perdagangan<br />
sebaiknya Bursa<br />
Efek juga harus memberi<br />
in formasi mengenai valuasi atas suatu efek sehingga investor<br />
dapat memperoleh pandangan yang fair.<br />
Bursa Efek dapat menentukan beberapa analis untuk setiap<br />
efek yang dicatatkan sebagai Efek <strong>Syariah</strong>. Konsensus dari para<br />
analis tersebut dapat dipublikasikan. Kemudian, bila terjadi<br />
transaksi pada harga di luar konsensus tersebut, Bursa Efek<br />
dapat meminta analis untuk melihat apakah ada informasi<br />
yang mendukung justifikasi harga yang terbentuk. Sebagai<br />
108
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB<br />
konsekuensinya, maka dalam Bursa yang memperdagangkan<br />
Efek <strong>Syariah</strong>, batas kisaran harga yang diperbolehkan untuk<br />
Efek <strong>Syariah</strong> bisa berbeda-beda, sehingga batas suspensi untuk<br />
Efek <strong>Syariah</strong> tersebut bisa berbeda dengan batas suspensi untuk<br />
efek lainnya.<br />
Bila kebersamaan antara investor, analis, emiten, dan bursa<br />
efek dapat dibina dengan baik, maka investor akan menerima<br />
dengan baik apa pun hasil investasi yang diperolehnya. Tercipta<br />
kondisi saling ridha, sehingga keuntungan yang diperoleh—baik<br />
oleh emiten, investor, bursa efek, dan analis—akan menjadi<br />
hasil yang halal lagi thoyib.<br />
Semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan <strong>cara</strong><br />
syariah.<br />
109
Hindari Riba<br />
1992. Itulah tahun untuk pertama kalinya saya mengenal sistem<br />
keuangan syariah. Waktu itu, saya masih bekerja di Lippo<br />
Bank dan mendapat tugas untuk mengelola kerja sama antara<br />
Lippo dengan <strong>PP</strong> Muhammadiyah dalam agribisnis. Ketika itu,<br />
Bank Muamalat baru berdiri dan di mana-mana orang sibuk<br />
membi<strong>cara</strong>kan bank syariah. Karena kegiatan yang saya kelola<br />
adalah kerja sama antara bank umum konvensional dengan<br />
ormas Islam, tentu saja banyak pertanyaan mengenai penerapan<br />
prinsip syariah dalam kerja sama tersebut. Saat itu, semua<br />
orang berbi<strong>cara</strong> tentang bank syariah sebagai bank yang tidak<br />
menerima ataupun memberikan bunga, melainkan bagi hasil.<br />
Se<strong>cara</strong> sederhana, aksioma yang dipakai saat itu bank<br />
syariah adalah bank tanpa bunga, karena bunga bank<br />
adalah riba. Apakah aksioma ini benar<br />
Pada masa itu, saya bertemu dengan banyak tokoh Islam<br />
dan praktisi perbankan. Ada yang menyatakan, menerima bunga<br />
bank bagi nasabah tabungan dan deposito bukanlah riba karena<br />
111
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
dibayarkan bukan atas permintaan nasabah. Jadi, dianggap<br />
sebagai hadiah. Ada juga yang menyatakan, kalau nilainya masih<br />
di bawah nilai inflasi, maka itu bukan riba melainkan ganti rugi<br />
terhadap inflasi. Ada juga yang menyatakan bahwa bank umum<br />
konvensional itu membawa manfaat bagi umat, maka bunga<br />
bank yang dibayarkan menjadi halal. Tetapi apakah benar begitu<br />
Ada suatu kejadian yang sangat menarik.<br />
Ada kenalan saya yang ingin membeli mobil dengan<br />
kredit. Ia mencari informasi ke bank umum konvensional dan<br />
bank syariah. Tak lama berselang, ia mengatakan kepada saya<br />
bahwa—ternyata—<strong>cara</strong> perhitungan keduanya sama. Bedanya,<br />
yang syariah pakai istilah marjin, sedangkan yang konvensional<br />
menggunakan istilah bunga. Tetapi nilai marjin yang syariah<br />
sama dengan nilai bunga yang konvesional. Persyaratan lainnya<br />
juga mirip sekali.<br />
”Kalau begitu, apa bedanya”<br />
”Mengapa yang satu halal dan yang lain haram”<br />
Konsep Riba<br />
Memang sering terjadi kesalahpahaman tentang konsep riba.<br />
Se lain disebabkan penjelasannya yang tidak terlalu mudah—<br />
karena “bunga” sudah sedemikian memasyarakat, juga harus<br />
di akui bahwa banyak petugas di lembaga keuangan syariah<br />
yang tidak menjelaskan konsep marjin dalam pembiayaan<br />
sya riah se<strong>cara</strong> terstruktur. Memang lebih cepat dan mudah<br />
mem bandingkan marjin dengan bunga, dan kalau nasabah<br />
yang meminta pembiayaan sudah setuju, toh akadnya akan<br />
112
HINDARI RIBA<br />
dijalankan. Mungkin mereka berpendapat bahwa salah paham<br />
sedikit, “biarlah”.<br />
Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 04:29)<br />
agar semua orang yang beriman tidak mengambil keuntungan<br />
dari sesama manusia dengan jalan yang batil, tetapi harus<br />
dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridha. Dan Allah<br />
SWT telah memperingatkan manusia untuk tidak melanggar<br />
aturan itu, karena sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang.<br />
Salah satu <strong>cara</strong> terbaik untuk mencapai saling ridha<br />
adalah dengan tidak berlaku zhalim, maupun tidak mau<br />
diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim. Dan, ternyata, salah satu bentuk<br />
kezhaliman yang terbesar adalah riba.<br />
Firman Allah SWT yang pertama tentang riba, sebagaimana<br />
termaktub dalam Kitab Suci (QS 02:275), menyatakan bahwa<br />
orang-orang yang bertransaksi dengan riba, tidak dapat berdiri<br />
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena<br />
sentuhan atau menyentuh setan. Keadaan yang demikian itu<br />
terjadi disebabkan mereka berpendapat bahwa sesungguhnya<br />
jual beli itu hanyalah sama seperti riba. Padahal, Allah SWT<br />
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.<br />
Nabi Muhammad SAW pun telah memberi pelajaran<br />
mengenai hal ini. Suatu ketika, seorang sahabat menyatakan<br />
bahwa temannya pernah menjual perak dengan pembayaran<br />
yang ditangguhkan sampai musim haji. Nabi Muhammad<br />
SAW menyatakan bahwa untuk jual beli perak, selama langsung<br />
diserahterimakan, tidak apa-apa. Namun bila ditangguhkan<br />
penyelesaian kewajibannya, maka menjadi riba.<br />
Memang contoh tersebut terjadi pada masa lalu.<br />
113
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Lantas, bagaimana penerapannya pada era globalisasi seperti<br />
masa kini<br />
Kalau kita perlu suatu barang modal—misalnya mobil--dan<br />
ada penjual yang mau menjual mobil yang kita perlukan dengan<br />
harga yang pantas, tetapi dana kita tidak cukup se<strong>cara</strong> tunai,<br />
apakah kita tidak boleh membeli mobil dengan <strong>cara</strong> mencicil<br />
Padahal, dengan memiliki mobil tersebut dapat berusaha lebih<br />
baik dan lebih hemat. Hasilnya akan memberi kita tambahan<br />
penghasilan yang dapat membayar kembali harga mobil<br />
ditambah dengan keuntungan. Dan bila penjual tidak punya<br />
cukup dana untuk menjual dengan <strong>cara</strong> mencicil, sementara ada<br />
lembaga keuangan yang mau meminjamkan uangnya, apakah<br />
kita tidak boleh mengadakan kerja sama tiga pihak.<br />
“Di mana salahnya”<br />
“Di mana haramnya”<br />
Jual-Beli versus Riba<br />
Tambahan yang diperoleh sebagai keuntungan dari transaksi<br />
jual beli suatu objek adalah halal karena terdapat kejelasan objek<br />
maupun manfaat, sedangkan tambahan yang diperoleh dari riba<br />
adalah haram.<br />
Tambahan karena Penangguhan<br />
Melalui firman-Nya, Allah SWT dengan tegas menyatakan<br />
bahwa jual-beli berbeda dengan riba. Dalam bahasa Arab, riba<br />
mempunyai arti tambahan. Dengan demikian, dapat ditafsirkan<br />
114
HINDARI RIBA<br />
bahwa tambahan yang diperoleh dari jual-beli bukanlah riba.<br />
Atau dengan kata lain, tambahan yang berupa riba berbeda<br />
dengan tambahan yang diterima dari transaksi jual beli.<br />
Bagaimana penjelasannya<br />
Ternyata ada perbedaan yang besar antara jual beli dengan<br />
riba. Pada jual beli, penjual tidak akan mau menjual sesuatu<br />
apabila ia tidak merasa akan mendapatkan keuntungan kalau<br />
menjual objek jual beli tersebut. Di lain pihak, pembeli juga<br />
tidak akan membeli bila ia tidak merasa ada untungnya membeli<br />
objek jual beli tersebut. Apa pun bentuk keuntungan, bagi<br />
penjual maupun pembeli, adalah hak penjual ataupun pembeli<br />
untuk menentukannya.<br />
Pada jual beli se<strong>cara</strong><br />
tunai, objek jual beli dan<br />
pem bayaran langsung di serahte<br />
rima kan se<strong>cara</strong> seketika.<br />
Pen jual langsung menerima<br />
pem bayaran harga barang<br />
atau jasa yang diberikan<br />
(di jual). Pembeli langsung<br />
me nerima barang atau jasa<br />
yang dibeli. Dalam keadaan<br />
normal, penjual memperoleh<br />
“Transaksi se<strong>cara</strong> riba<br />
ternyata membuat<br />
orang tidak bisa berpikir<br />
dengan jernih atau<br />
waras, sehingga seakanakan<br />
“kesetanan”<br />
dan cenderung akan<br />
mengambil risiko yang<br />
berlebihan.”<br />
tam bahan berupa selisih antara biaya perolehan dengan harga<br />
transaksi—yang lazim disebut marjin penjualan. Sedangkan<br />
pembeli memperoleh tambahan berupa perubahan nilai dari<br />
uang menjadi barang atau jasa.<br />
Namun, jual beli juga dapat dilaksanakan tidak se<strong>cara</strong> tunai.<br />
Mungkin karena objek jual beli tidak langsung diserahkan,<br />
115
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
ataupun karena pembayaran tidak langsung ditunaikan. Dalam<br />
hal ini, ada salah satu pihak yang menerima manfaat walaupun<br />
belum menunaikan seluruh kewajibannya. Misalnya, pembeli<br />
menerima barang atau jasa yang merupakan objek transaksi<br />
walaupun belum melunasi pembayarannya. Atau penjual<br />
menerima pembayaran, walaupun belum menyerahkan barang<br />
atau jasa yang menjadi objek transaksi.<br />
Akibatnya, manfaat yang diterima oleh pihak lain akan<br />
berkurang. Oleh karena itu, harus ada kompensasi atau<br />
tambahan yang diberikan kepadanya oleh pihak yang menerima<br />
objek jual beli atau pembayaran sebelum menunaikan seluruh<br />
kewajibannya. Kompensasi atau tambahan tersebut harus<br />
dinyatakan dengan jelas pada saat transaksi. Masalah akan<br />
timbul bila kompensasi atau tambahan tersebut tidak dinyatakan<br />
se<strong>cara</strong> jelas. Hal ini dapat memicu terjadinya kesalahpahaman,<br />
khususnya dari pihak yang harus memberi kompensasi atau<br />
tambahan. Kesalahpahaman akan berakibat negatif bila pihak<br />
yang memberi tambahan merasa bahwa tambahan yang harus<br />
diberikan ternyata lebih besar dari manfaat yang diterima.<br />
Sehingga pihak yang memberi tambahan merasa dipaksa, dan<br />
dia telah diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim.<br />
Tambahan karena Penangguhan versus Riba<br />
Penangguhan pembayaran maupun penyerahan objek dalam<br />
transaksi jual-beli adalah fasilitas pinjaman, karena itu tambahan<br />
karena penangguhan ini adalah riba kecuali: (1) terdapat kejelasan<br />
manfaat bagi pihak yang menerima penangguhan; (2) tambahan<br />
lebih kecil dari manfaat tersebut; dan (3) jumlah tambahan<br />
disepakati di muka dan bersifat tetap.<br />
116
Bahaya Riba<br />
HINDARI RIBA<br />
“Bila sebenarnya tambahan karena penangguhan pembayaran<br />
adalah halal dan mudah dilakukan, mengapa masih ada orang<br />
yang mau bertransaksi dengan riba”<br />
“Mengapa tambahan berasas manfaat berbeda dengan riba”<br />
“Apabila fasilitas atau kemudahan tersebut bukan diberikan<br />
oleh penjual, melainkan oleh pihak ketiga (misalnya bank), apakah<br />
prinsip tambahan ini masih berlaku”<br />
“Bagaimana jika ternyata manfaat yang terjadi berbeda dengan<br />
manfaat yang diperkirakan”<br />
Ternyata, kemudahan yang diberikan dengan memberi<br />
penangguhan pembayaran bisa membuat pihak yang mendapat<br />
kemudahan merasa mendapatkan keuntungan hingga<br />
membuatnya lupa akan kewajiban yang menjadi konsekuensi<br />
dari penerimaan penangguhan tersebut. Demikian juga<br />
dengan pihak yang menerima tambahan dengan memberikan<br />
kemudahan (pinjaman) merasa beruntung mendapat tambahan<br />
yang besar, sehingga lupa bahwa pinjaman yang diberikan<br />
mungkin tidak terbayar kembali.<br />
Transaksi se<strong>cara</strong> riba ternyata membuat orang tidak bisa<br />
berpikir dengan jernih atau waras, sehingga seakan-akan “kesetanan”<br />
dan cenderung akan mengambil risiko yang berlebihan.<br />
Persis seperti ungkapan dalam firman Allah SWT, (QS 02:275),<br />
yang menyatakan bahwa orang-orang yang bertransaksi dengan<br />
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang<br />
kemasukan setan, karena “sentuhan” atau “menyentuh” setan.<br />
Mereka “kesetanan riba” dan tidak dapat berpikir dengan waras.<br />
117
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Dengan demikian, jelas bahwa tambahan yang diberikan<br />
harus didasarkan pada manfaat yang diterima oleh pihak yang<br />
mendapat keuntungan (manfaat) dari penundaan pembayaran<br />
atau penyerahan tersebut.<br />
Ada kemungkinan bahwa penjual tidak mempunyai kemampuan<br />
keuangan untuk memberikan fasilitas penundaan<br />
pembayaran. Dan pembeli tidak mempunyai cukup dana untuk<br />
membeli se<strong>cara</strong> tunai. Tetapi baik pembeli maupun penjual<br />
sangat ingin melaksanakan transaksi ini karena melihat adanya<br />
peluang keuntungan yang rasional—bukan berspekulasi atau<br />
membawa risiko yang tinggi.<br />
Dalam hal ini, bisa saja ada pihak ketiga yang mempunyai<br />
kemampuan keuangan—misalnya bank—untuk ikut berperan<br />
serta membantu penjual-pembeli dengan memberikan fasilitas<br />
pinjaman. Pihak ketiga tersebut membantu pihak penjual untuk<br />
memberikan fasilitas penangguhan pembayaran, dengan <strong>cara</strong><br />
pihak ketiga membayar pelunasan harga barang atau jasa yang<br />
menjadi objek transaksi kepada penjual. Kemudian, pihak ketiga<br />
tersebut menerima pengalihan hak tagih dari pihak penjual<br />
untuk menagih cicilan atau angsuran pembayaran dari pihak<br />
pembeli.<br />
Dalam sistem keuangan syariah, ikatan jual-beli dengan<br />
fasilitas penangguhan pembayaran disebut sebagai Akad<br />
Murabaha. Adapun ikatan jual-beli dengan fasilitas pe nangguhan<br />
penyerahan objek jual-beli disebut sebagai Akad Salam.<br />
Bila di kemudian hari, manfaat yang diterima oleh pihak<br />
yang mendapat fasilitas atau kemudahan tersebut ternyata lebih<br />
kecil daripada yang diperkirakan, maka pihak tersebut dapat<br />
118
HINDARI RIBA<br />
mengajukan permohonan keringanan. Namun, hak untuk<br />
memberikan keringanan tetap ada pada pihak yang memberikan<br />
fasilitas, bukan pada pihak yang menerima fasilitas.<br />
Bahaya Riba<br />
Pihak yang memberi pinjaman atau penangguhan menerima<br />
hasil yang umumnya lebih besar dari hasil yang biasa diperolehnya<br />
sehingga “kesetanan” lupa akan risiko. Pihak yang menerima<br />
pinjaman atau penangguhan “kesetanan” karena dapat memiliki<br />
objek sebelum mempunyai cukup uang untuk melunasi, sehingga<br />
lupa akan risiko bila ternyata tidak sanggup melunasi kewajibannya.<br />
Beda Riba dengan Hadiah atau Sedekah<br />
Riba yang paling berbahaya adalah riba (tambahan) yang<br />
berkaitan dengan peminjaman uang. Khususnya peminjaman<br />
uang tanpa ada kejelasan penggunaan uang pinjaman tersebut,<br />
sehingga manfaat yang diterima oleh pihak yang meminjam<br />
juga tidak jelas. Dengan demikian, sulit menentukan jumlah<br />
tambahan yang wajar dan adil berdasarkan manfaat yang<br />
ada. Karena itu, akan terjadi kondisi zhalim dari pihak yang<br />
memberikan pinjaman kepada pihak yang menerima pinjaman.<br />
Apalagi bila pihak yang meminjam berada dalam kesulitan atau<br />
sedang terkena “sentuhan” atau godaan setan.<br />
“Sentuhan” atau godaan setan juga bisa terjadi pada pihak<br />
yang memiliki uang. Godaan lain adalah pendapat bahwa<br />
tambahan tersebut bukan karena terpaksa, melainkan adalah<br />
hadiah atau sedekah sebagai tanda terima kasih atas bantuan<br />
119
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
(pinjaman) yang diberikan. Namun, godaan ini mudah<br />
dipatahkan. Jika memang tambahan itu adalah hadiah atau<br />
sedekah, seharusnya pihak yang memiliki uang harus rela bisa<br />
pihak yang meminjam uang ternyata tidak memberikan hadiah<br />
atau sedekah. Namanya hadiah atau sedekah tidak boleh dipaksa<br />
atau terpaksa. Harus sesuai kerelaan yang memberi hadiah atau<br />
sedekah itu.<br />
“bahwa akan sia-sia<br />
mencoba “menipu” Allah<br />
SWT. dengan menyatakan<br />
bahwa riba tersebut<br />
adalah sedekah, karena<br />
sesungguhnya Allah Maha<br />
Mengetahui apa saja yang<br />
manusia kerjakan.”<br />
Allah SWT telah berfirman<br />
dalam Kitab Suci<br />
(QS 02:276), bahwa Allah<br />
SWT menghapuskan riba<br />
sedikit demi sedikit dan<br />
menyuburkan sedekah. Dan,<br />
Allah SWT menegaskan<br />
bahwa Dia tidak menyukai<br />
setiap orang yang berulangulang<br />
melakukan kekufuran<br />
dan banyak berbuat dosa.<br />
Firman ini menganjurkan bahwa tambahan yang diberikan<br />
atau diterima akibat pinjaman, yang merupakan riba, akan<br />
dihapuskan. Tambahan itu tidak akan bermanfaat bagi semua<br />
pihak. Sedangkan tambahan yang diberikan benar-benar se<strong>cara</strong><br />
ikhlas tanpa ikatan apa pun—dalam bentuk sedekah—akan<br />
berkembang dengan subur. Tambahan itu akan memberi manfaat<br />
berkelanjutan bagi semua pihak.<br />
Jadi, jelas bahwa akan sia-sia mencoba “menipu” Allah SWT<br />
dengan menyatakan bahwa riba tersebut adalah sedekah, karena<br />
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa saja yang manusia<br />
kerjakan. Di samping itu, perlu diingat bahwa Allah SWT juga<br />
120
HINDARI RIBA<br />
memberikan kebijaksanaan dalam meninggalkan riba, yaitu bisa<br />
dilakukan se<strong>cara</strong> bertahap atau sedikit demi sedikit.<br />
Riba Versus Sedekah<br />
Riba dibayar oleh pihak yang menerima pinjaman atau<br />
penangguhan karena terpaksa atau terperdaya. Riba diterima<br />
oleh pihak yang memberi pinjaman atau penangguhan karena<br />
keserakahan. Yang terjadi adalah kezhaliman, bukan keridhaan.<br />
Sedekah atau hadiah diberikan dengan ikhlas tanpa paksaan,<br />
karena mengharapkan ridha Allah SWT Hasilnya, akan tumbuh<br />
saling tolong-menolong, saling mengasihi, dan Tuhan adalah Maha<br />
Pengasih lagi Maha Penyayang.<br />
<br />
Godaan lain dapat timbul melalui pendapat yang terkait<br />
dengan nilai atau daya beli dari uang adalah inflasi. Karena bila<br />
terjadi inflasi, maka nilai atau daya beli uang akan menurun.<br />
Sementara sebagian besar manusia yang mencari nafkah dengan<br />
bekerja pada Pemerintah, organisasi, perusahaan, atau orang lain,<br />
umumnya tidak memiliki kemampuan untuk ‘memutarkan’<br />
uangnya pada kegiatan usaha. Akibatnya, mereka menyimpan<br />
kelebihan harta dalam bentuk uang. Dan inflasi menurunkan<br />
nilai dari uang simpanan mereka. Karena itu timbul pendapat,<br />
apabila tambahan yang diterima lebih kecil atau sama dengan<br />
inflasi, maka tambahan tersebut bukan riba. Walaupun tambahan<br />
tersebut diterima tanpa kejelasan manfaat. Lebih lanjut, mereka<br />
berpendapat bahwa tambahan akan menjadi riba hanya bila<br />
121
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
tambahan itu berlipat ganda. Selama masih sedikit, tambahan<br />
itu bukan riba.<br />
Pendapat tersebut mungkin kesalahpahaman atas firman<br />
Allah SWT (QS 03:130) yang memerintahkan kepada orangorang<br />
yang beriman agar jangan mengambil untung dengan<br />
riba yang lipat ganda yang berlipat ganda dan mereka dipe<br />
rintahkan untuk bertakwa kepada Allah supaya beruntung.<br />
Istilah yang dipakai untuk pengertian lipat ganda yang berlipat<br />
ganda adalah adh’afan mudhaa’afatan.<br />
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita simak firman Allah SWT<br />
lainnya yang berkaitan dengan riba dan berlipat ganda. Allah<br />
SWT telah berfirman (QS 30:39) bahwa riba yang manusia<br />
peroleh dengan maksud untuk menambah pada harta manusia,<br />
tidak menambah pada sisi Allah. Tetapi, segala yang manusia<br />
berikan dari zakat dengan maksud untuk memperoleh ridha<br />
Allah SWT, maka mereka yang berbuat demikian itu akan<br />
menjadi orang-orang yang memperoleh hasil se<strong>cara</strong> berlipat<br />
ganda. Istilahnya adalah mudh’ifuuna, artinya orang-orang yang<br />
mudhaa’afatan.<br />
Jadi, jelas bahwa riba yang besar maupun yang kecil, tetap<br />
saja riba. Dan, tentu saja, tetap haram.<br />
Riba bersifat “memabukkan”. Orang yang mengambil<br />
riba akan “kesetanan” dan berusaha me lipat gandakan<br />
keuntungan. Padahal, yang diperoleh dari riba tidak<br />
akan menambah kekayaan seseorang di dunia ataupun<br />
di akhirat. Berbeda dengan sedekah atau zakat yang diberikan<br />
se mata-mata karena mengharap ridha Allah, akan dibalas dengan<br />
pahala berlipat ganda, di dunia dan akhirat.<br />
122
HINDARI RIBA<br />
Sebagai ilustrasi, mungkin kita bisa mengambil hikmah<br />
dari kisah Robin Hood. Dalam kisah ini, Robin Hood menjadi<br />
pahlawan karena membela rakyat kecil. Namun <strong>cara</strong>nya cukup<br />
“menarik”, yaitu dengan mencuri harta dari orang kaya yang<br />
zhalim. Niatnya baik, hasilnya juga bermanfaat bagi rakyat<br />
kecil. Tetapi <strong>cara</strong> memperolehnya dilakukan dengan melanggar<br />
hukum, baik hukum positif maupun prinsip agama (syariah).<br />
Karena itu, yang dilakukan oleh Robin Hood tetap saja salah,<br />
tetap saja berdosa, dan tetap saja haram. Demikian pula halnya<br />
dengan korupsi.<br />
Apa pun yang dilakukan dengan menggunakan harta hasil<br />
korupsi, meskipun digunakan untuk beramal, disedekahkan<br />
kepada rakyat miskin, membangun rumah-rumah ibadah, tetap<br />
saja korupsi itu haram.<br />
<br />
Ibnu Khaldun menyatakan.<br />
“Bila pekerjaan penduduk sebuah daerah (negara) dibagibagikan<br />
semua sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan<br />
penduduk itu (spesialisasi atau fokus), maka (jumlah)<br />
hasilnya akan lebih banyak daripada bila masing-masing<br />
penduduk berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri.<br />
Kelebihan (produksi) tersebut akan dikeluarkan untuk<br />
memenuhi keinginan serta hasrat penduduk daerah itu,<br />
dan kelebihan berikutnya untuk memenuhi kebutuhan<br />
penduduk daerah-daerah lain. Para penduduk akan saling<br />
mengambil barang-barang yang mereka butuhkan dan<br />
yang mereka kehendaki dari penduduk yang memiliki<br />
123
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
surplus, melalui tukar-menukar atau jual-beli. Maka,<br />
penduduk yang memiliki surplus akan mendapat bagian<br />
yang baik dari kekayaan (mendapat keuntungan).”<br />
Pernyataan Ibnu Khaldun tersebut mengusung pengertian<br />
bahwa penduduk harus terus mencari jalan untuk<br />
mengetahui tingkat kebutuhan yang optimal, begitu pun<br />
<strong>cara</strong> mendistribusikan hasil produksi se<strong>cara</strong> optimal. Karena<br />
hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan se<strong>cara</strong> penuh, maka<br />
di beberapa tempat akan terjadi ketidakseimbangan antara<br />
penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga harga<br />
akan naik—bila permintaan lebih besar, atau harga akan turun—<br />
bila penawaran lebih besar.<br />
Apabila penduduk yang memiliki surplus barang/jasa<br />
memperoleh keuntungan, maka daya belinya akan meningkat.<br />
Akibatnya permintaan akan meningkat, bukan hanya atas<br />
kebutuhan pokok tetapi juga atas kebutuhan sekunder<br />
atau kemewahan. Sehingga harga-harga se<strong>cara</strong> umum akan<br />
meningkat. Akan timbul inflasi. Namun karena kemampuan<br />
dan kekayaan juga meningkat, maka inflasi merupakan dampak<br />
yang logis atas pertumbuhan ekonomi.<br />
Lebih lanjut Ibnu Khaldun menyatakan:<br />
“Kekayaan (harta/aset) tidak akan berkembang bila<br />
dana yang terhimpun (tabungan) hanya ditimbun atau<br />
ditumpuk (istilahnya, kanzul maal) sehingga tidak<br />
dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi. Dana suatu<br />
masyarakat akan tumbuh dan bertambah bila digunakan<br />
seluruhnya untuk kesejahteraan masyarakat, memenuhi<br />
124
HINDARI RIBA<br />
hak-hak masyarakat, serta mengurangi penderitaan<br />
masyarakat. Penggunaan dana yang demikian akan<br />
membuat masyarakat makin baik, pada gilirannya akan<br />
membuat negara makin kuat dan makmur sehingga<br />
dapat mencapai kedaulatannya.”<br />
Oleh karena itu, Pemerintah harus menyediakan sarana agar<br />
dana (kekayaan) masyarakat dapat digunakan dengan aman dan<br />
baik, guna mencapai hasil yang optimal. Sehingga pertumbuhan<br />
hasil produksi serta tingkat keuntungan yang dicapai oleh<br />
masyarakat akan lebih tinggi dari tingkat kenaikan harga<br />
(inflasi) akibat peningkatan keuntungan dan ketidakseimbangan<br />
distribusi barang dan jasa.<br />
Dengan demikian, jelas bahwa inflasi merupakan konsekuensi<br />
logis dari pertumbuhan ekonomi, selama pertumbuhan<br />
produksi lebih tinggi dari inflasi serta tersebar dengan baik dan<br />
wajar, maka masyarakat tetap akan menikmati hasilnya. Dalam<br />
hal ini, kesalahpahaman mengenai riba—yang lebih kecil dari<br />
inflasi adalah halal—tidak perlu terjadi.<br />
Perintah Meninggalkan Riba<br />
Allah SWT telah berfirman kepada orang-orang yang<br />
beriman agar mereka bertakwa kepada Allah dan meninggalkan<br />
apa yang tersisa dari riba yang belum dipungut, jika memang<br />
beriman (QS 02:278). Karena itu, sebagai manusia yang beriman,<br />
kita harus mulai meninggalkan transaksi dengan riba,<br />
walau pun hanya dilakukan se<strong>cara</strong> bertahap, dan percaya kepada<br />
Allah bahwa kita akan tetap memperoleh hasil yang baik dan<br />
halal dengan meninggalkan riba.<br />
125
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Allah SWT juga telah memperingatkan bahwa barangsiapa<br />
yang telah menerima pengetahuan atau peringatan dari Tuhannya<br />
menyangkut riba, lalu berhenti melakukan transaksi riba,<br />
maka baginya apa yang telah lalu yaitu yang telah diambilnya<br />
sebelum datang larangan. Dan, Allah SWT menegaskan bahwa<br />
kebijakan maupun perhitungan atas apa yang telah lalu adalah<br />
menjadi hak prerogatif dari Allah SWT Namun, Allah SWT<br />
juga memperingatkan bahwa siapa saja yang kembali melakukan<br />
transaksi dengan riba walaupun sudah mendapat peringatan,<br />
maka mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka<br />
akan kekal di dalam neraka (QS 02:275).<br />
Kemudian, Allah SWT<br />
men deklarasikan dalam<br />
Kitab Suci (QS 02:279)<br />
bahwa jika manusia tidak<br />
mau meninggalkan transaksi<br />
dengan riba, akan ada pernyataan<br />
perang dari Allah<br />
SWT dan rasul-Nya. Namun,<br />
“Dana suatu masyarakat<br />
akan tumbuh dan<br />
bertambah bila<br />
digunakan seluruhnya<br />
untuk kesejahteraan<br />
masyarakat”<br />
jika manusia bertobat dari bertransaksi dengan riba, maka<br />
baginya pokok hartanya.<br />
Pada akhirnya, Allah SWT memberikan pedoman pokok<br />
tentang riba, bahwa manusia yang tidak bertransaksi dengan<br />
riba adalah manusia yang tidak berlaku zhalim dan tidak pula<br />
mau diperlakukan zhalim. Karenanya, manusia tersebut akan<br />
bertransaksi melalui perniagaan yang berlaku se<strong>cara</strong> saling ridha.<br />
Pedoman ini juga berarti bahwa larangan riba berlaku baik bagi<br />
manusia yang menerima riba, maupun yang membayar atau<br />
memberi riba, baik se<strong>cara</strong> sukarela maupun karena terpaksa.<br />
126
HINDARI RIBA<br />
Pada 1985, ketika kembali dari tugas kerja di Hongkong,<br />
saya mengambil kredit pemilikan mobil di suatu bank.<br />
Sewaktu mengadakan pengikatan perjanjian kredit, pejabat<br />
bank mengatakan bahwa perhitungan bunga mengikuti sistem<br />
effective annual rest. Terus terang, saya tidak terlalu paham sistem<br />
tersebut, tetapi saya malu bertanya. Akibatnya, saya “sesat di<br />
jalan”. Ternyata yang dimaksud dengan annual rest adalah bunga<br />
dibebankan di awal tahun. Misalnya, saya pinjam Rp.50 juta<br />
dengan bunga 25%, maka sehari setelah saya tandatangani<br />
pinjaman, saldo hutang saya menjadi Rp.62,5 juta, yaitu pokok<br />
Rp.50 juta ditambah bunga (untuk setahun) Rp.12,5 juta.<br />
Kalau saya mau melunasi di pertengahan tahun, tetap saja saya<br />
harus membayar bunga untuk satu tahun. Wah, saya merasa<br />
dizhalimi. Tapi, salah sendiri, kenapa mau!<br />
Ternyata perasaan saya pada pertengahan 1980-an itu<br />
tergambar dalam firman-firman Allah SWT mengenai riba.<br />
Mungkin perasaan yang sama dialami oleh orang-orang yang<br />
belanja berlebihan dengan kartu kredit dan ternyata tidak<br />
sanggup membayar kewajibannya. Atau, nasabah bank yang<br />
mengambil kredit untuk kegiatan yang spekulatif, namun tetap<br />
mendapat kredit karena menyodorkan jaminan yang bagus.<br />
Setelah usaha yang dijalankannya tidak berhasil karena spekulatif<br />
dan akhirnya kredit macet, lalu jaminan disita. Sedih sekali!<br />
Dalam kasus saya di tahun 1985, bila terjadi jual-beli atas<br />
mobil tersebut, di mana penjual sudah menyerahkan mobil<br />
tapi saya belum melunasi pembayaran, maka saya beruntung<br />
sudah bisa mendapatkan mobil walaupun belum membayar<br />
lunas. Sedangkan keuntungan penjual berkurang karena<br />
127
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
tidak menerima pembayaran se<strong>cara</strong> lengkap, padahal sudah<br />
menyerahkan mobil. Oleh karena itu, harus ada kompensasi<br />
atau tambahan yang saya diberikan kepada penjual. Namun,<br />
kompensasi atau tambahan tersebut harus lebih kecil dari<br />
manfaat yang akan saya terima karena sudah menerima mobil<br />
walaupun belum melunasi pembayarannya. Kompensasi ini harus<br />
dinyatakan di muka dan disepakati oleh saya dan penjual mobil.<br />
Berapa besar kompensasi yang selayaknya saya berikan<br />
Kompensasi atau tambahan tersebut saya berikan karena<br />
saya mendapat manfaat, yaitu sudah menerima mobil meskipun<br />
belum melunasi pembayaran. Nilai manfaat tersebut merupakan<br />
fungsi dari pemakaian mobil oleh saya dan jangka waktu<br />
pelunasan. Untuk itu, saya dan penjual harus bernegosiasi untuk<br />
mencapai kesepakatan nilai tambahan dan <strong>cara</strong> pembayarannya.<br />
Kesepakatan tersebut harus berada dalam koridor manfaat yang<br />
saya terima. Kalau penjual tidak sepakat, tentunya transaksi batal.<br />
Kemudian, ternyata penjual tidak memiliki kemampuan<br />
keuangan untuk memberikan fasilitas penundaan tersebut.<br />
Dalam hal ini, penjual dapat mencari pihak lain—bank—untuk<br />
membantu memberikan fasilitas penundaan. Motivasi utama<br />
penjual tentunya adalah agar mobil terjual dan penjual mendapat<br />
untung. Apabila saya dan pihak lain tersebut dapat mencapai<br />
kesepakatan atas nilai tambahan dan <strong>cara</strong> pembayaran, barulah<br />
transaksi dapat dijalankan.<br />
Penjual menyerahkan mobil dan menerima pembayaran<br />
total harga tunai atas mobil tersebut dari saya (berupa “uang<br />
muka”) dan dari pihak lain (bank). Saya menerima mobil<br />
dan mempunyai kewajiban membayar cicilan atau angsuran<br />
128
HINDARI RIBA<br />
kepada pihak lain (bank) tersebut. Dan pihak lain (bank) yang<br />
membayar pelunasan harga tunai atas mobil akan mempunyai<br />
hak menerima pembayaran cicilan atau angsuran dari saya sesuai<br />
dengan kesepakatan.<br />
Bila saya jujur dan berhati-hati dalam menghitung perkiraan<br />
manfaat yang saya terima, serta saya menjalankan kewajiban saya<br />
kepada pihak lain tersebut, maka semua pihak akan bahagia,<br />
dan bertambah kaya, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
Tetapi, dalam kasus saya sewaktu menerima pinjaman<br />
dengan bunga effective annual rest, saya menerima manfaat<br />
karena bisa memakai mobil walaupun belum membayar lunas.<br />
Karena itu saya wajib memberi tambahan. Namun, tambahan<br />
yang berupa besarnya bunga tidak dikaitkan atau dibandingkan<br />
dengan manfaat yang saya terima. Ditambah lagi, sebenarnya<br />
syarat dan kondisinya tidak jelas bagi saya, sehingga saya<br />
diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim. Akibatnya, tambahan yang saya<br />
bayar menjadi riba. Bank mungkin bahagia, penjual mobil juga<br />
bahagia, tetapi saya akan tersenyum “kecut” karena terpaksa<br />
membayar riba.<br />
<br />
Dalam suatu seminar, saya pernah ditanya, apakah mengambil<br />
uang dari ATM bank konvensional itu halal Penanya ini<br />
kemudian mengambil ilustrasi tentang memasak makanan yang<br />
zatnya halal, tetapi karena memakai alat masak yang sama dengan<br />
alat masak yang baru saja dipakai untuk memasak makanan<br />
haram, maka makanan yang zatnya halal tadi menjadi haram.<br />
Alasannya, ada kemungkinan bahan masakan yang haram tadi<br />
129
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
masih melekat di alat masak tersebut sehingga mencemari<br />
makanan yang zatnya halal itu.<br />
Saya teringat peristiwa tahun 2003 sewaktu ikut rombongan<br />
Bapak BJ Habibie ke kantor pusat Islamic Development Bank<br />
di Jeddah. Pada saat itu, B<strong>PP</strong>N sedang mengadakan tender<br />
untuk menjual Bank BCA yang sudah direkapitalisasi. BCA jelas<br />
bukan bank syariah, tetapi BCA memiliki sistem pembayaran<br />
yang terbaik pada saat itu. Selain itu, BCA juga ditunjang oleh<br />
jaringan ATM, EDC, merchant dan sistem kartu yang paling<br />
luas dan paling banyak pemakainya pada saat itu.<br />
Karena itu, saya mengusulkan kepada Pak Habibie untuk<br />
meminta dukungan IDB untuk membeli BCA. Bukan untuk<br />
dijadikan bank syariah, karena komposisi nasabah BCA pada<br />
saat itu dirasakan belum cocok untuk jasa perbankan syariah.<br />
Tetapi usulan saya adalah untuk spin-off sistem pembayaran<br />
BCA dan dijadikan unit usaha terpisah. Kemudian unit usaha<br />
ini akan menyediakan jasa pelayanan ATM dan merchant untuk<br />
seluruh bank umum syariah, BPR syariah, dan semua lembaga<br />
keuangan syariah—termasuk BMT, Koperasi, dan sebagainya.<br />
Saya bayangkan, bila semua lembaga keuangan syariah—besar,<br />
kecil, maupun yang mikro—bisa terlayani dengan sistem ini,<br />
lembaga keuangan syariah bisa tumbuh pesat.<br />
Usulan ini diterima oleh Pak Habibie. Kemudian karena<br />
keahlian Pak Habibie bernegoisasi, usulan ini diterima oleh<br />
Presiden IDB. Tapi sayang, tim kami di Indonesia tidak berhasil<br />
menjalankan rencana ini sehingga usulan ini—dan dukungan<br />
IDB—hanya menjadi cerita belaka. Sayang sekali!<br />
130
HINDARI RIBA<br />
Pertanyaannya sekarang, apakah ada perbedaan antara sistem<br />
pembayaran yang sesuai syariah dengan sistem pembayaran yang<br />
berlaku di bank umum di Indonesia<br />
Sistem pembayaran mempunyai dua kegiatan pokok,<br />
yaitu sistem bayar dari simpanan—yang lazim disebut sebagai<br />
sistem bayar debit, dan sistem bayar atas transaksi yang telah<br />
dilaksanakan di muka atau sistem bayar tertunda—yang lazim<br />
disebut sebagai sistem kredit.<br />
Sistem simpan-bayar untuk mengambil uang melalui<br />
ATM adalah suatu mekanisasi dari proses pengambilan uang<br />
di kantor cabang suatu bank. Karena melalui mekanisasi, maka<br />
di perlukan sarana identifikasi. Sarana identifikasi pada masa kini<br />
umumnya berupa kartu seperti kartu penduduk atau paspor.<br />
Untuk transaksi keuangan, sarana tersebut umumnya berupa<br />
kartu plastik dengan fasilitas pengecekan data.<br />
Dulu, pengecekan data dilakukan dengan tanda tangan,<br />
kemudian dilakukan dengan menggunakan data magnetis,<br />
data grafis (bar-code), dan foto. Sekarang, sebagian besar menggunakan<br />
data digital. Dengan memakai kartu tersebut—yang<br />
untuk ATM disebut sebagai kartu ATM, maka nasabah bisa<br />
mengambil uang yang disimpan di bank yang bersangkutan<br />
melalui ATM.<br />
Pada masa lalu, ATM yang dapat digunakan hanyalah<br />
ATM dari bank di mana nasabah menyimpan uangnya. Tetapi<br />
dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,<br />
saat ini nasabah dapat pula mengambil uang dari ATM bank<br />
lain. Karena uang adalah uang, tidak ada perbedaan antara uang<br />
yang dipakai di bank konvensional dengan bank syariah. Dan<br />
131
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
karena selama uang dinyatakan sebagai alat pembayaran yang<br />
sah dan dijamin nilainya. Maka uang tersebut adalah halal.<br />
Sehingga tidak ada tindakan yang melanggar prinsip syariah<br />
dalam mengambil uang dari ATM bank konvensional selama<br />
seluruh syarat administrasi terpenuhi.<br />
Kartu identitas untuk transaksi keuangan, yang dikenal<br />
dengan nama kartu ATM dan kartu kredit, telah berkembang<br />
dengan cukup pesat. Saat ini kartu identitas dapat memuat<br />
data digital, menjadi store-card, dan menjadi kartu pintar (smart<br />
card) dengan chip yang dapat diprogram untuk memuat data<br />
dan transaksi. Karena dapat memuat data dan transaksi, maka<br />
kartu identitas tadi dapat pula berfungsi seperti buku-tabungan.<br />
Bank Muamalat telah menjadi pelopor penggunaan storecard<br />
untuk menjadi bukti penyimpanan uang—seperti buku<br />
tabungan—yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran<br />
pada tempat-tempat yang terhubung dengan bank. Kartu<br />
tersebut diberi nama ‘Shar-e’. Dengan menggunakan perangkat<br />
penerima data se<strong>cara</strong> elektronik (electronic data capture atau<br />
EDC), penjual dapat menerima pembayaran dari nasabah Bank<br />
Muamalat dengan mendebet dana nasabah melalui transaksi<br />
atas data yang tersimpan dalam kartu Shar-e. Jika dananya telah<br />
habis, nasabah dapat melakukan setoran dana melalui tempattempat<br />
yang telah ditentukan, dan data di dalam kartu Shar-e<br />
akan di’up-date’ untuk merefleksikan saldo dana yang baru.<br />
Produk kartu simpan-bayar (store card), seperti Shar-e,<br />
sekarang sudah diterbitkan oleh banyak bank. Termasuk Bank<br />
BCA dengan kartu Flash, dan Bank Mandiri dengan e-Toll.<br />
Karena pada dasarnya kartu tersebut adalah semacam buku<br />
tabungan, maka dana yang disimpan sebenarnya dapat pula<br />
132
HINDARI RIBA<br />
diperlakukan seperti tabungan. Oleh sebab itu, bank dapat<br />
memberikan bagi hasil atas saldo dana yang mengendap di<br />
kartu simpan-bayar tersebut. Hasilnya, nasabah merasa bahagia<br />
karena memperoleh kemudahan dalam simpan-bayar dan tetap<br />
memperoleh bagi hasil. Penjual produk atau jasa juga berbahagia<br />
karena bisa menerima pembayaran se<strong>cara</strong> digital, bank juga<br />
bahagia bisa memperoleh dana simpanan dan fee.<br />
Semua bahagia, semua kaya—dan sesuai syariah.<br />
<br />
Di samping sistem simpan-bayar, bank dan lembaga<br />
keuangan bisa memberikan jasa pembayaran untuk transaksi<br />
jual-beli. Sistem pembayaran untuk transaksi jual-beli sebenarnya<br />
sederhana, yaitu sistem untuk melaksanakan pembayaran dari<br />
suatu pihak yang menerima suatu barang atau jasa (disebut<br />
pembeli) kepada pihak lain yang memberikan barang atau jasa<br />
tersebut (disebut penjual).<br />
Tetapi, kadangkala pembeli dan penjual tidak bertemu di<br />
suatu tempat, mungkin karena memang lokasi atau domisilinya<br />
berbeda, sehingga pembeli harus mengirim uang tersebut ke<br />
alamat penjual. Mungkin juga karena pembeli adalah suatu<br />
perusahaan atau organisasi, sehingga pembayaran harus<br />
melalui suatu proses untuk administrasi yang baik. Mungkin<br />
juga pembeli tidak mau repot-repot membawa uang, sehingga<br />
perlu proses untuk membuktikan bahwa transaksi telah terjadi,<br />
barang atau jasa telah diterima, sehingga penjual bisa yakin akan<br />
memperoleh pembayaran di kemudian hari.<br />
133
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Perkembangan proses tersebut memerlukan empat sarana,<br />
yaitu (1) sarana identifikasi penjual dan pembeli, (2)<br />
sarana untuk membuktikan hak penjual untuk mendapatkan<br />
pembayaran, (3) sarana penjaminan bahwa pembeli akan<br />
melakukan pembayaran kepada penjual dalam waktu tertentu,<br />
dan (4) sarana untuk membuktikan bahwa pembeli sudah<br />
melakukan pembayaran.<br />
Sarana identifikasi serupa dengan sarana identifikasi untuk<br />
ATM. Sarana pembuktian hak penjual untuk mendapatkan<br />
pembayaran umumnya diberikan dalam bentuk pernyataan<br />
pembeli bahwa pembeli telah menerima barang/jasa dan akan<br />
melakukan pembayaran, yang umumnya diperkuat dengan<br />
tanda tangan pembeli.<br />
Tantangan terbesar adalah pada sarana penjaminan pembayaran.<br />
Pihak yang paling lazim memberikan jaminan semacam<br />
ini adalah pihak bank umum. Ikatan untuk memberi jaminan<br />
atas kewajiban suatu pihak kepada pihak lain dalam istilah<br />
syariah disebut Akad Kafala.<br />
Pada masa lalu, jaminan ini diberikan dalam bentuk cek atau<br />
giro yang diterbitkan oleh bank, kemudian diisi oleh pembeli dan<br />
dilengkapi dengan tanda tangan. Sekarang, jaminan diberikan<br />
melalui perangkat eletronik yang merupakan kombinasi dari<br />
kartu identifikasi pembeli dan perangkat EDC. Dengan ikatan<br />
penjaminan (akad kafala) antara bank dengan pembeli, maka<br />
penjual akan mendapat kepastian bahwa pembayaran akan<br />
diterima, tentunya bila persyaratan administratif dipenuhi.<br />
Untuk kemudahan, biasanya penjual telah melakukan perikatan<br />
dengan suatu bank atau lembaga keuangan untuk memastikan<br />
diterimanya pembayaran dari pembeli.<br />
134
HINDARI RIBA<br />
Dalam istilah perbankan, pembeli adalah pemegang kartu<br />
(cardholder), bank yang memberikan jaminan atas nama pembeli<br />
dengan menerbitkan kartu adalah penerbit kartu (issuer), penjual<br />
adalah pedagang (merchant), dan bank yang memberikan<br />
jaminan kepada penjual dan akan mewakili penjual menagih<br />
pem bayaran ke bank penjamin adalah penerima tagihan<br />
(acquirer).<br />
Setelah terjadi transaksi, penjual akan menagih ke bank<br />
(acquirer). Bila syarat lengkap maka bank (acquirer) akan melakukan<br />
pembayaran kepada penjual. Kemudian bank (acquirer)<br />
akan mewakili penjual untuk menagih ke bank (issuer). Jika<br />
syarat lengkap, maka bank (issuer) akan membayar ke bank<br />
(acquirer). Dan akhirnya bank (issuer) akan menagih ke pembeli,<br />
dan pembeli membayar ke bank (issuer). Tentunya akan ada<br />
persyaratan mengenai waktu pembayaran, baik dari bank<br />
(acquirer) ke penjual, dari bank (issuer) ke bank (acquirer), dan<br />
dari pembeli ke bank (issuer).<br />
Ikatan antara pembeli (cardholder) dengan bank (issuer)<br />
adalah ikatan penjaminan—dengan Akad Kafala. Ikatan<br />
antara penjual dengan bank (acquirer) adalah ikatan pengalihan<br />
hak tagih—dengan Akad Hawala. Dan ikatan antara bank<br />
penjamin pembeli (issuer) dengan bank wakil penjual (acquirer)<br />
adalah ikatan pengalihan hak tagih—dengan Akad Hawala.<br />
Ikatan-ikatan tersebut memberi hak kepada bank untuk<br />
me nerima imbal jasa (fee). Dalam istilah perbankan, imbal<br />
jasa yang diterima bank (acquirer) dari penjual disebut sebagai<br />
merchant discount, nilainya menurut syariah dapat merupakan<br />
bagian (prosentase) dari nilai tagihan. Imbal jasa yang diterima<br />
bank (issuer) dari bank (acquirer) disebut interbank fee, nilainya<br />
135
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
menurut syariah dapat merupakan bagian (prosentase) dari<br />
nilai tagihan. Dan akhirnya, imbal jasa yang diterima bank<br />
(issuer) dari pembeli (cardholder) adalah imbal jasa pengelolaan<br />
pembayaran yang nilainya tetap dan dapat dipungut se<strong>cara</strong><br />
periodik yang biasa disebut annual fee, dan imbal jasa<br />
penjaminan pembayaran yang menurut syariah nilainya dapat<br />
merupakan bagian (prosentase) dari nilai tagihan.<br />
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, selama tidak ada<br />
beban biaya atau imbal jasa yang dikaitkan dengan nilai dan<br />
jangka waktu penundaan pembayaran, maka tidak ada hal-hal<br />
yang bertentangan dengan prinsip syariah dan tidak ada pihak<br />
yang berlaku atau diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim.<br />
Tentunya, tidak diharapkan penjual menaikkan harga untuk<br />
transaksi dengan sistem ini. Tetapi hal ini tidak dilarang, selama<br />
pembeli tidak berkeberatan. Bila jumlah transaksi dengan sistem<br />
ini cukup dominan, maka tentunya penjual dapat menyesuaikan<br />
sistim penentuan harga.<br />
Terlepas dari nama atau istilah yang dipakai, sistem pembayaran<br />
untuk transaksi jual-beli ini adalah halal, tidak ada riba.<br />
Semua pihak akan bahagia, dan bertambah kaya<br />
dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
<br />
“Bagaimana kalau kita mau membeli barang atau bahkan<br />
jasa yang sangat kita perlukan, tetapi saat itu kita tidak memiliki<br />
dana cukup untuk membayar se<strong>cara</strong> tunai”<br />
“Bila barang atau jasa tersebut sangat kita perlukan dan<br />
bermanfaat bagi kita, serta dengan memiliki barang atau jasa<br />
136
HINDARI RIBA<br />
tersebut kita bisa makin produktif, dapatkah kita membeli barang<br />
tersebut dengan sistem bayar cicil”<br />
Contohnya ketika seseorang jatuh sakit atau ada keluarganya<br />
yang sakit dan memerlukan pengobatan tetapi tidak memiliki<br />
uang tunai untuk membayar lunas. Bila tidak diobati maka<br />
kehidupan orang tersebut akan terganggu, dan produktivitas<br />
berkurang.<br />
Contoh lain adalah bila seseorang mendapat peluang<br />
pekerjaan yang membutuhkan peralatan tertentu, misalnya<br />
komputer, kamera atau lainya, di mana dengan keahliannya<br />
maka keuntungan dari pekerjaan itu akan cukup untuk<br />
membayar harga peralatan tersebut.<br />
Dapatkah sistem pembayaran membantu untuk bayar cicil<br />
Jawabannya, tentu bisa!<br />
Ikatan yang digunakan dalam transaksi ini adalah Akad<br />
Murabaha, yaitu membeli dengan fasilitas penundaan pembayaran—termasuk<br />
cicilan. Ikatan ini lazimnya diadakan antara<br />
penjual dengan pembeli yang dalam sistem pembayaran kita<br />
disebut merchant dan cardholder. Tetapi bila penjual (merchant)<br />
tidak mempunyai kemampuan keuangan atau administrasi untuk<br />
member fasilitas bayar cicil, maka dapat saja bank (issuer) yang<br />
membantu. Hanya saja, <strong>cara</strong>nya harus sesuai agar terhindar dari<br />
keadaan zhalim (riba).<br />
Fasilitas ini mirip dengan fasilitas yang diberikan oleh bank<br />
umum konvensional dengan memakai kartu identitas yang<br />
disebut “kartu kredit”. Dalam hal ini, pembeli (cardholder)<br />
yang memiliki kartu kredit bisa membeli barang di penjual<br />
(merchant) dengan otorisasi dari bank (issuer). Kemudian bank<br />
137
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
(issuer) memberi fasilitas kredit sehingga pembeli (cardholder)<br />
bisa membayar dengan <strong>cara</strong> mencicil.<br />
Namun, ada kondisi yang bisa membuat keadaan zhalim.<br />
Dalam skim yang diberikan oleh bank umum konvensional,<br />
pembeli bisa menentukan jumlah cicilan selama lebih tinggi<br />
dari nilai pembayaran minimum yang ditentukan oleh bank<br />
(issuer). Kelihatannya menarik bukan<br />
Tapi, tunggu dulu, bank (issuer) berhak meminta tambahan<br />
yang besarnya ditentukan se<strong>cara</strong> sepihak oleh bank (issuer)<br />
menurut sisa harga yang belum dibayar dengan besar tambahan<br />
tidak ditentukan dimuka. Akibatnya, jumlah pembayaran<br />
bisa membesar tanpa disepakati terlebih dahulu oleh pembeli<br />
(cardholder). Karena fasilitas terlihat “sangat menarik”, maka<br />
pembeli (cardholder) tidak bisa berfikir dengan jernih atau<br />
waras sehingga seakan-akan “kesetanan” dan cenderung akan<br />
mengambil risiko yang berlebihan.<br />
Persis seperti ungkapan dalam firman Tuhan (QS 02:275)<br />
yang menyatakan bahwa orang-orang yang bertransaksi dengan<br />
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang<br />
yang kemasukan setan karena sentuhan atau menyentuh setan.<br />
Mereka “kesetanan riba” dan tidak dapat berfikir dengan waras.<br />
Dalam sistem pembayaran yang antiriba, sebelum memberi<br />
fasilitas bayar cicil bank (issuer) harus memastikan bahwa<br />
pembeli memiliki kemampuan untuk membayar cicil. Banyak<br />
<strong>cara</strong> untuk memastikan hal ini, termasuk dengan melihat data<br />
pendapatan bulanan dan sejarah transaksi. Kemudian, bank<br />
(issuer) harus memberi penawaran dimuka atas fasilitas bayar<br />
cicil ini dengan memberi rincian jumlah tambahan (marjin)<br />
138
HINDARI RIBA<br />
yang diminta serta jumlah dan jadwal cicilan. Pembeli harus<br />
mengetahui tawaran bank sebelum mengambil keputusan untuk<br />
menerima tawaran dan terikat dalam akad murabaha.<br />
Mekanisme pelaksanaannya tidak terlalu sulit karena<br />
kemajuan dari teknologi informasi dan telekomunikasi.<br />
Contohnya, kita bisa “membeli” pulsa telepon dengan mengirim<br />
pesan SMS, kemudian operator telepon menambah pulsa kita<br />
dan bank mendebit dana kita. Mengikuti <strong>cara</strong> tersebut, salah<br />
satu alternatif adalah setelah pembeli (cardholder) menentukan<br />
akan membeli barang atau jasa yang akan dibayar cicil dari<br />
penjual (merchant), maka melalui perangkat EDC, penjual<br />
(merchant) akan memberitahu bank (acquirer dan issuer) bahwa<br />
pembeli (cardholder) meminta fasilitas bayar cicil selama waktu<br />
tertentu. Kemudian, melalui data dan fasilitas telekomunikasi<br />
yang dimiliki, bank (issuer) mengirim penawaran bayar cicil<br />
melalui pesan SMS kepada pembeli (cardholder). Bila pembeli<br />
(cardholder) setuju, pembeli (cardholder) mengirim pesan SMS<br />
ke bank (issuer). Setelah kesepakatan dicapai, bank (issuer)<br />
memberikan otorisasi kepada penjual (merchant) untuk<br />
melakukan transaksi. Penjual menerima pembayaran, pembeli<br />
menerima barang atau jasa, dan bank menerima imbal jasa.<br />
Semua bahagia, semua kaya.<br />
“Apa bedanya dengan kartu kredit biasa” “Mengapa tidak<br />
menjadi riba”<br />
Jawabannya sederhana, bank harus mengetahui kemampuan<br />
pembeli sebelum memberikan fasilitas bayar cicil. Fasilitas hanya<br />
diberikan untuk barang atau jasa yang bersifat barang modal<br />
usaha kecil atau untuk keadaan darurat. Pembeli mengetahui<br />
139
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
pasti tambahan (marjin) serta jumlah dan jadual pembayaran.<br />
Bila terjadi masalah, bank tidak boleh meminta tambahan<br />
(marjin) lagi—apalagi yang dikaitkan dengan waktu. Semua<br />
sesuai Akad Murabaha, kondisi zhalim dapat dihindari.<br />
Insya Allah halal, insya Allah kaya dan bahagia,<br />
dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
140
Bab 8<br />
Kendalikan Risiko<br />
Dubai adalah salah satu dari tujuh emirat di Uni Emirat Arab.<br />
Pada 1999, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke<br />
Dubai, sewaktu diajak oleh Dirjen Hubungan Ekonomi Luar<br />
Negeri untuk menjajaki kerja sama investasi di Indonesia. Wah,<br />
waktu itu saja saya sudah tercengang melihat bandara Dubai,<br />
lapangan golf, dan pembangunan menara-menara komersial.<br />
Apalagi sekarang, pastilah sudah jauh berbeda dibanding tahun<br />
1999.<br />
Dubai World adalah salah satu BUMN Dubai yang bergerak<br />
dalam pembangunan infrastruktur. Melalui anak perusahaannya<br />
bernama Al Nakheel, Dubai World mengembangkan properti<br />
wisata yang mewah, seperti The Palm Island—konsep<br />
perumahan megah yang teletak di tengah laut berbentuk pohon<br />
kurma, The Dubai Mall—salah satu Mall terbaik di dunia, dan<br />
Burj Dubai—gedung tertinggi di dunia yang memiliki ketinggian<br />
sekitar 800 meter.<br />
141
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Proyek-proyek Al Nakheel dibiayai dengan modal dan<br />
utang. Salah satu di antaranya adalah dengan menerbitkan sukuk<br />
(obligasi syariah) dengan akad ijarah (sewa) pada Desember<br />
2006. Sukuk Al Nakheel memegang rekor sebagai sukuk ijarah<br />
terbesar di dunia, nilainya mencapai US$3,52 miliar (lebih dari<br />
Rp.30 triliun), dengan jangka waktu tiga tahun dan memberikan<br />
imbal hasil berupa sewa dengan besaran 6,345% per tahun.<br />
Sukuknya disebut sebagai ”Pre-QPO Equity-link Sukuk Ijarah”.<br />
Pre-QPO adalah Pre Qualified Public Offering. Maksudnya, bila<br />
Al Nakheel atau Dubai World atau anak perusahaan Dubai<br />
World akan menawarkan saham kepada publik, maka pemegang<br />
sukuk berhak untuk membeli saham pada harga diskon sebelum<br />
penawaran umum. Bingung, ya!<br />
“Istilah yang digunakan<br />
<br />
berkaitan dengan prinsip<br />
kehati-hatian dalam<br />
pengambilan risiko, yaitu<br />
gharar, khamar, dan<br />
maysir. Gharar adalah<br />
ketidakjelasan yang<br />
merugikan.”<br />
Sukuk diterbitkan pada<br />
Desember 2006 dan akan<br />
jatuh tempo Desember 2009.<br />
Pada Oktober-November<br />
2008 terjadi krisis keuangan<br />
dunia yang dipicu oleh<br />
masalah pembiayaan properti<br />
di Amerika Serikat. Proyek<br />
Al Nakheel adalah properti<br />
mewah untuk kegiatan<br />
wisata. Pada November 2009,<br />
setahun setelah krisis keuangan global dan sebulan sebelum jatuh<br />
tempo, sukuk Al Nakheel dinyatakan tidak dapat dibayarkan<br />
pada saat jatuh tempo. Alamak!<br />
142
KENDALIKAN RISIKO<br />
Dubai salah satu ”keajaiban” zaman modern, pembiayaan<br />
dengan <strong>cara</strong> syariah. Pertanyaannya, kok bisa macet Kenapa<br />
bisa gagal bayar Apa yang salah<br />
Konsep Risiko<br />
Dalam kehidupan, manusia memang selalu menghadapi<br />
ketidakpastian. Perubahan atau ketidakpastian hasil selain dapat<br />
menguntungkan, juga dapat merugikan. Karena itu, manusia<br />
harus berupaya mengelola dampak negatif dari perubahan atau<br />
ketidakpastian. Nabi Muhammad SAW pernah mengajarkan.<br />
“Manfaatkan masa sehatmu sebelum datang masa<br />
sakitmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu,<br />
masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, masa<br />
lapangmu sebelum datang masa sempitmu, masa<br />
hidupmu sebelum datang kematianmu. Karena kamu<br />
tidak tahu apa yang akan menimpamu esok hari.”<br />
Dalam dunia ekonomi, terdapat faktor-faktor penyebab dari<br />
sesuatu kejadian yang membawa kerugian, seperti pendapatan<br />
yang lebih kecil dari pengeluaran, terlambat atau bahkan tidak<br />
diterimanya pembayaran, tidak ada uang tunai pada saat harus<br />
melakukan pembayaran, dan sebagainya. Ada risiko yang melekat<br />
dalam sistem ekonomi, yang disebut sebagai risiko sistemik.<br />
Ada pula risiko yang terkait dengan kondisi industri, kondisi<br />
persaingan, atau bahkan kondisi internal perusahaan.<br />
Di samping faktor-faktor yang se<strong>cara</strong> langsung menjadi<br />
penyebab—yang sering disebut sebagai peril, juga terdapat suatu<br />
hal atau kondisi yang meningkatkan kemungkinan terjadinya<br />
143
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
kerugian. Misalnya kelalaian administrasi, pemakaian yang<br />
tidak semestinya, mengabaikan aturan, dan sebagainya. Hal<br />
atau kondisi itu disebut sebagai hazard. Kombinasi hazard dan<br />
peril umumnya menjadi risiko, di mana risiko atas kemungkinan<br />
terjadinya kerugian bisa menjadi masalah bila tingkat kepastian<br />
terjadinya risiko semakin tinggi. Karena kerugian yang tidak<br />
diperkirakan akan memberi dampak negatif yang lebih tinggi.<br />
Boleh jadi Anda bertanya, “Apakah hazard dan peril itu”<br />
Se<strong>cara</strong> umum, hazard<br />
atau hal dan kondisi yang<br />
meningkatkan risiko menderita<br />
kerugian terbagi<br />
dua. Pertama, kondisi yang<br />
ditimbulkan oleh karak teristik<br />
dari suatu objek yang<br />
dapat menimbulkan risiko.<br />
Kedua, kondisi yang di timbulkan<br />
oleh perilaku atau<br />
sudut pandang seseorang<br />
“Setelah berhasil<br />
meluncurkan tiga reksa<br />
dana di tahun 1996, maka<br />
pada tahun 1997 mulai<br />
mencoba mewujudkan<br />
mimpi saya dengan<br />
meluncurkan reksa dana<br />
syariah.”<br />
yang dapat menimbulkan tingkah laku yang merugikan atau<br />
meningkatkan risiko, baik se<strong>cara</strong> sengaja (direncanakan) ataupun<br />
tidak. Dalam bahasa bisnis, kelompok pertama disebut physical<br />
harazd, sedangkan kelompok kedua dinamakan moral hazard.<br />
Cuaca buruk yang mengganggu jarak pandang meningkatkan<br />
kemungkinan terjadinya kecelakaan, baik kecelakaan<br />
di jalan raya, di udara, maupun di laut. Cuaca buruk adalah<br />
physical hazard, sedangkan kecelakaan yang terjadi adalah peril.<br />
Pengusaha yang berani mengambil pinjaman dalam valas untuk<br />
kegiatan usaha dengan pendapatan rupiah, maupun spekulasi<br />
144
KENDALIKAN RISIKO<br />
dalam investasi serta pembiayaan rumah yang digunakan untuk<br />
spekulasi adalah moral hazard. Sedangkan krisis moneter tahun<br />
1997/1998 dan krisis keuangan tahun 2008 yang terjadi akibat<br />
moral hazard tersebut adalah peril.<br />
Biaya atau kerugian yang timbul akibat peristiwa peril yang<br />
disebabkan oleh kedua moral hazards tersebut, bukanlah sekadar<br />
kerugian langsung yang diderita oleh pengusaha, investor,<br />
maupun lembaga keuangan yang melakukan kesalahan tersebut.<br />
Tetapi juga menimpa pihak-pihak lain yang se<strong>cara</strong> sadar maupun<br />
tidak sadar—atau bahkan terpaksa—terkait dengan pengusaha,<br />
investor, lembaga keuangan, maupun sistem keuangan yang<br />
bersangkutan.<br />
Padahal, perilaku atau mental yang tidak berhati-hati, tanpa<br />
peduli akan risiko yang mungkin ditimbulkan, sangat dilarang<br />
oleh syariah.<br />
Pengendalian Risiko<br />
Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk mencari<br />
kebahagiaan di akhirat, namun tidak boleh melupakan bagiannya<br />
atas kenikmatan dunia yang halal dan thoyib (QS 28:77). Nabi<br />
Muhammad SAW juga telah mengajarkan bahwa:<br />
“Ibadah itu sepuluh bagian, dan sembilan bagian di<br />
antaranya adalah mencari rezeki yang halal.”<br />
“Dunia adalah sebaik-baik kendaraan, dengannya<br />
orang dapat meraih kebaikan dan dapat selamat dari<br />
kejahatan.”<br />
“Dunia adalah ladang akhirat.”<br />
145
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Jadi, jelas bahwa manusia diperintahkan juga untuk mencari<br />
kebahagiaan di dunia. Artinya tingkah laku, keberhasilan, dan<br />
kebaikan di dunia akan menjadi investasi yang akan dinikmati<br />
di akhirat. Dan, untuk itu manusia harus berusaha.<br />
Sementara itu, tidak ada manusia yang mengetahui dengan<br />
pasti apa yang akan terjadi di kemudian hari. Oleh karenanya,<br />
manusia harus mengambil keputusan di dalam ketidakpastian.<br />
Bagaimana pedoman untuk memegang prinsip kehati-hatian<br />
dalam pengambilan keputusan di tengah ketidakpastian<br />
Dalam firman-Nya (QS 35:05), Allah SWT telah<br />
menegaskan bahwa janji-Nya adalah benar, oleh karena itu Allah<br />
SWT memerintahkan agar dalam menjalani hidup, manusia<br />
tidak boleh tertipu atau terpedaya oleh kehidupan dunia.<br />
Kemudian Dia juga menegaskan agar manusia jangan tertipu<br />
atau terpedaya tentang Allah SWT<br />
Se<strong>cara</strong> umum, kita tertipu karena masuk ke dalam<br />
kondisi yang memberikan informasi yang tidak benar atau<br />
menyesatkan. Akibatnya, kita salah pengertian dan sering<br />
mengambil keputusan yang salah. Kondisi seperti itu sering<br />
disebut sebagai physical hazard. Keputusan yang salah tersebut<br />
tidak akan kita ambil bila kita mendapat informasi yang<br />
benar. Sehingga dapat dikatakan kita tertipu oleh kondisi<br />
physical hazard dan mengambil keputusan yang salah sehingga<br />
mengalami kerugian.<br />
Dalam melakukan transaksi, pihak yang menawarkan<br />
seharusnya memberikan informasi yang jelas sehingga tidak<br />
menimbulkan kondisi yang membuat pihak lain terperdaya.<br />
Istilah yang dipakai dalam Kitab Suci untuk terperdaya adalah<br />
146
KENDALIKAN RISIKO<br />
taghararan. Sedangkan istilah untuk keadaan yang memperdaya<br />
atau physical hazard adalah gharar. Bila ada pihak yang dengan<br />
sengaja memberikan informasi yang tidak jelas atau tidak lengkap<br />
atau salah sehingga menimbulkan kondisi yang merugikan atau<br />
meningkatkan risiko—kondisi gharar, maka pihak tersebut<br />
berdosa.<br />
Seharusnya manusia mengambil keputusan hanya apabila<br />
telah mempunyai informasi yang memadai, serta mempunyai<br />
keyakinan atas informasi yang dimilikinya. Namun seringkali<br />
manusia berani mengambil keputusan walaupun sebenarnya<br />
belum mempunyai informasi yang memadai atau belum<br />
mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengambil<br />
keputusan tersebut. Akibatnya jelas, mengalami kerugian.<br />
Bila manusia harus mengambil keputusan di tengah<br />
ketidakpastian, berarti harus berani mengambil risiko.<br />
Bagaimana prinsip kehati-hatian dalam pengambilan risiko<br />
Allah SWT telah berfirman tentang meminum khamar dan<br />
melakukan maysir. Dikatakan bahwa khamar, maysir dan zalamu<br />
adalah perbuatan keji yang berasal dari perbuatan setan (QS<br />
05:90). Menjelaskan hal ini, Allah SWT menyatakan bahwa pada<br />
khamar dan maysir terdapat beberapa manfaat dan dosa yang<br />
besar. Tetapi karena dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya,<br />
karena itu Allah SWT melarang manusia untuk melakukannya<br />
(QS 02:219).<br />
Khamar adalah minuman yang memabukkan, maysir adalah<br />
mengambil risiko yang berlebihan, dan zalamu adalah mengundi<br />
nasib dengan anak panah. Maysir dan zalamu tergolong judi.<br />
Lebih lanjut diperintahkan untuk menjauhi perbuatan ini karena<br />
setan memperdaya manusia untuk melakukan perbuatan itu<br />
147
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
dengan maksud agar timbul permusuhan dan kebencian di antara<br />
manusia, yang akan menghalangi manusia dari zikir dan shalat,<br />
dari mengingat dan menyembah Tuhan (QS 05:91). Karena<br />
itu, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman<br />
untuk menjauhi perbuatan-perbuatan itu agar mendapatkan<br />
keberuntungan (QS 05:90).<br />
Jadi, untuk mencapai kehati-hatian, manusia tidak boleh<br />
mengambil risiko yang kemungkinan mendapat kerugian lebih<br />
besar dari kemungkinan mendapat manfaat. Dengan demikian,<br />
manusia akan mendapat keberuntungan.<br />
Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari adalah mengendarai<br />
mobil. Apakah mengemudi mobil di jalan raya dengan<br />
kecepatan 140 km per jam adalah mengambil risiko yang<br />
berlebihan Jawabannya tergantung. Maksudnya tergantung<br />
pada kondisi. Setidaknya tergantung pada kondisi mobil, jalan,<br />
lalu lintas, cuaca, dan pengemudi. Bila mobil yang dikendarai<br />
adalah mobil Formula-1, di jalan raya yang bernama sirkuit<br />
balap, lalu lintas yang hanya boleh dilalui oleh mobil Formula-1<br />
untuk mengikuti balapan, dengan kondisi cuaca baik, dan<br />
pengemudinya sekelas Michael Schumacher, bahkan kecepatan<br />
lebih dari 200 km per jam pun masih dianggap dalam risiko<br />
yang terkendali, masih memenuhi prinsip kehati-hatian.<br />
Istilah yang digunakan dalam firman Allah SWT berkaitan<br />
dengan prinsip kehati-hatian dalam pengambilan risiko, yaitu<br />
gharar, khamar, dan maysir. Gharar adalah ketidakjelasan yang<br />
merugikan. Khamar adalah minuman yang memabukkan,<br />
sehingga orang yang meminumnya mungkin mengambil<br />
keputusan di luar kesadarannya. Maysir adalah mengambil<br />
risiko yang melebihi kemampuan menanggulangi akibat dari<br />
148
KENDALIKAN RISIKO<br />
risiko tersebut. Nabi Muhammad SAW menguraikan masalah<br />
ini dengan menggunakan tamsil tentang larangan jual-beli ikan<br />
yang masih berada di dalam air (laut).<br />
Di Indonesia, jual-beli ikan dalam air sama seperti<br />
analogi membeli kucing dalam karung.<br />
Bagaimana penjelasan menjual atau membeli ikan dalam<br />
air<br />
Dalam ilmu fisika dijelaskan bahwa air membiaskan<br />
cahaya. Karena itu, sesuatu yang masih ada di dalam air bisa<br />
tampak berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. Informasi<br />
yang diterima mengenai objek transaksi melalui penglihatan<br />
kita, bisa memperdaya. Artinya bila terjadi transaksi jual-beli<br />
sesuatu, penjual tidak boleh memberikan informasi yang<br />
sengaja dibuat atau diketahui sebagai “tidak jelas” atau bahkan<br />
yang menyesatkan. Ibarat ikan di dalam air. Jika hal seperti ini<br />
terjadi, berarti penjual menciptakan kondisi gharar. Dalam hal<br />
ini penjual yang bersalah, sementara pembeli akan tertipu atau<br />
terperdaya.<br />
Begitu juga dengan sesuatu<br />
yang ada di dalam<br />
karung, misalnya kucing,<br />
hanya dapat diketahui ke beradaannya<br />
melalui perubahan<br />
bentuk karung, mungkin<br />
juga lewat bunyi (suara),<br />
atau baunya. Maka, tidak<br />
“Dalam Akad Salam,<br />
petani dan pembeli harus<br />
mempunyai bukti dan<br />
keyakinan akan kuantitas<br />
dan kualitas hasil panen.”<br />
mungkin seseorang mengetahui dengan jelas spesifikasi dari<br />
se suatu yang ada di dalam karung tersebut. Kalau pembeli tetap<br />
149
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
melakukan transaksi jual-beli, padahal ia tidak mempunyai<br />
informasi yang memadai mengenai objek transaksi, maka<br />
pembeli telah mengambil risiko yang berlebihan. Pembeli<br />
telah melakukan maysir. Pembeli yang bersalah, bukan penjual.<br />
Walaupun tentunya itikad baik penjual diragukan, karena<br />
menjual sesuatu yang masih ada di dalam karung, dan tidak<br />
bisa diketahui dengan jelas spesifikasinya.<br />
Oleh karena itu, untuk memegang prinsip kehati-hatian<br />
dalam kegiatan ekonomi, manusia harus terlebih dahulu memahami<br />
manfaat dan risiko dari pilihan-pilihan yang tersedia<br />
sebelum mengambil keputusan, terutama bila memasuki situasi<br />
yang merupakan “zero-sum game”.<br />
Jurus Tolak Risiko I: Nisbah Hutang Atas Modal<br />
Salah satu masalah utama dalam kegiatan usaha adalah<br />
mencari dana untuk membiayai usaha tersebut. Sumber<br />
dana utama adalah dari pemilik atau pendiri atau dalam hal<br />
perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas disebut sebagai<br />
pemegang saham. Menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia,<br />
dana setoran modal tersebut dibukukan sebagai saham.<br />
Tetapi sering kali—hampir selalu—modal disetor tidak<br />
cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan dana hingga manajemen<br />
perusahaan lalu mengambil utang. Sesuai dengan ikatan<br />
yang dibuat, modal (saham) adalah dana yang ditempatkan<br />
ke dalam perusahaan dan tidak direncanakan untuk ditarik<br />
kem bali dari perusahaan, sampai perusahaan tersebut dibubarkan.<br />
Sedangkan dana yang dibukukan sebagai utang,<br />
harus dikembalikan pada waktu tertentu, sesuai dengan ikatan<br />
150
KENDALIKAN RISIKO<br />
(kesepakatan) yang dibuat pada saat dana tersebut ditempatkan<br />
sebagai utang.<br />
Kemudian, sebagai imbalannya, dana yang disetorkan<br />
sebagai modal (saham) akan mendapat bagi hasil dari ke untungan<br />
usaha setelah dipotong pajak, yaitu dalam bentuk<br />
dividen. Sedangkan dana yang ditempatkan untuk jangka<br />
waktu tertentu dan dibukukan sebagai utang akan mendapat<br />
im balan sesuai dengan kesepakatan. Di sini timbul peluang<br />
untuk terjadinya kondisi zhalim yang membawa risiko.<br />
Coba kita simak pertanyaan-pertanyaan berikut.<br />
“Apakah kesepakatan pemberian imbalan atas penempatan<br />
dana tersebut sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari<br />
penggunaan dana tersebut”<br />
“Bagaimana penggunaan dana tersebut”<br />
“Apakah ada ketentuan tertentu mengenai penggunaan dana<br />
tersebut”<br />
“Apakah dana tersebut hanya boleh digunakan untuk membiayai<br />
aset tertentu atau kegiatan tertentu”<br />
“Bila hanya untuk membiayai aset tertentu atau kegiatan<br />
tertentu, bagaimana manfaat yang diperoleh dari aset atau kegiatan<br />
ter tentu tersebut”<br />
“Bila imbalan dihitung bukan berdasarkan manfaat, bagaimana<br />
bila imbalan tersebut lebih besar dari manfaat yang<br />
diperoleh”<br />
Kemudian, masalah hak yang terkait dengan pengembalian<br />
dana yang ditempatkan. Dana modal (saham) jelas haknya,<br />
yaitu berhak atas seluruh kekayaan (aset) perusahaan dikurangi<br />
dengan kewajiban (utang) perusahaan—yang terdiri dari<br />
151
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
kewajiban lancar (jangka kurang dari 12 bulan) dan kewajiban<br />
jangka panjang. Bila kekayaan dikurangi kewajiban lebih kecil<br />
dari jumlah dana modal yang telah disetor—maka pemegang<br />
saham rugi. Sedangkan kalau selisihnya positif, pemegang<br />
saham untung.<br />
Dana yang ditempatkan untuk jangka waktu tertentu dan<br />
dibukukan sebagai utang mempunyai hak atas kekayaan perusahaan<br />
sesuai dengan nilai kewajibannya. Namun, bila ternyata<br />
kekayaan perusahaan lebih kecil dari kewajibannya, maka pihak<br />
yang menempatkan dana tersebut mengalami kerugian.<br />
Pertanyaan yang penting dikemukakan adalah:<br />
“Apakah pada waktu penempatan, pihak pemilik dana<br />
menyadari dan siap untuk mengalami kerugian”<br />
“Bagaimana jaminan atas pengembalian dana sebagaimana<br />
telah disepakati”<br />
Dari kedua hal tersebut di atas, yaitu imbalan atas penempatan<br />
dana dan jaminan untuk pengembalian dana, jelas<br />
terdapat risiko akan terjadinya kondisi zhalim, yaitu zhalim atas<br />
perusahaan bila imbalan lebih besar dari manfaat dan zhalim<br />
kepada pemilik dana bila ternyata dana tersebut tidak bisa<br />
dikembalikan sesuai kesepakatan.<br />
Karena itu, Nabi Muhammad SAW menganjurkan batasan<br />
tertentu atas nisbah (rasio) uang orang lain terhadap modal<br />
pemilik usaha. Dalam konteks pembukuan modern, batasan itu<br />
adalah rasio kewajiban (utang) atas modal atau debt-to-equity<br />
ratio, yang juga dikenal sebagai struktur modal (capital structure).<br />
Tahun 1999, saya memimpin Danareksa. Pada saat menerbitkan<br />
Reksa Dana <strong>Syariah</strong>, K.H. Ma’ruf Amin yang<br />
152
KENDALIKAN RISIKO<br />
bertindak sebagai Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong> meminta usulan<br />
saya tentang nisbah utang atas modal ini. Mungkin karena<br />
beliau memandang bahwa nisbah yang berlaku pada masa kini<br />
harus disesuaikan dengan kondisi aktual yang berlaku. Saya<br />
kemudian meminta teman-teman di Danareksa untuk memilih<br />
100 emiten saham yang tercatat di BEJ menurut criteria screening<br />
yang ditetapkan oleh Pak Kiai. Kemudian, kami menghitung<br />
rata-rata rasio struktur modal dari 100 emiten tersebut. Data<br />
rasio tersebut kemudian saya sampaikan ke Pak Kiai.<br />
Tahun 2001, DSN MUI menerbitkan fatwa tentang Reksa<br />
Dana <strong>Syariah</strong> dengan ketetapan batas maksimum nisbah utang<br />
terhadap modal adalah 82%.<br />
Kemudian, tahun 2003, Bapepam mencanangkan penerapan<br />
Prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal. Batas nisbah tersebut kemudian<br />
dicantumkan dalam Keputusan Bapepam.<br />
Selanjutnya, tahun 2007, ketika saya menyelesaikan program<br />
S-3 di Unpad, saya mengadakan penelitian atas struktur modal<br />
optimal untuk perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya<br />
di bursa dan telah menerbitkan obligasi. Hasil penelitian<br />
tersebut menjadi disertasi doktor saya, dan hasilnya telah saya<br />
sampaikan ke Dewan <strong>Syariah</strong> Nasional (DSN) dan Bapepam-LK.<br />
Alhamdulillah, berarti DSN dan Bapepam-LK telah mengetahui<br />
<strong>cara</strong> yang ilmiah berdasarkan data empiris untuk menghitung<br />
nisbah utang terhadap modal yang optimal. Bila diterapkan,<br />
ketentuan nisbah utang terhadap modal ini dapat mengurangi<br />
risiko terjadinya kondisi zhalim dan risiko yang berlebihan. Bila<br />
diterapkan dalam kasus Al Nakheel, Dubai World, mungkin<br />
malapetaka yang terjadi dapat dihindari. Bila diterapkan, insya<br />
Allah dapat menjadi jurus tolak risiko.<br />
153
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Hasilnya, semua akan bahagia, semua akan kaya<br />
dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
<br />
Ikatan (akad) yang dipakai dalam sukuk (obligasi) yang<br />
diterbitkan oleh Al Nakheel, sebagaimana diceritakan di bagian<br />
awal bab ini, adalah Akad Ijarah. Akad ini adalah akad syariah.<br />
Hanya saja, ada beberapa hal yang mengganjal.<br />
“Mengapa terjadi gagal bayar”<br />
“Siapa yang salah”<br />
“Apakah akadnya ataukah <strong>cara</strong> penerapannya”<br />
Kegiatan usaha lazimnya memerlukan aset tertentu untuk<br />
menjalankan usahanya. Usaha produksi memerlukan pabrik<br />
atau sarana produksi. Usaha jasa transportasi memerlukan alat<br />
transportasi, seperti kapal, pesawat terbang, bus, truk atau<br />
mobil. Usaha penjualan atau ritel memerlukan toko atau tempat<br />
menjajakan produk yang dijualnya. Usaha jasa telekomunikasi<br />
memerlukan perangkat telekomunikasi. Begitu pula dengan<br />
jenis usaha lainnya.<br />
Perusahaan dapat memiliki sendiri aset produktif tersebut<br />
kalau memiliki cukup dana untuk itu. Bila tidak, perusahaan<br />
bisa mencari pembiayaan untuk memiliki aset produktif itu.<br />
Atau dapat juga perusahaan menyewa aset produktif itu. Yang<br />
penting bagi perusahaan adalah dapat memakai manfaat atau<br />
kemampuan dari aset produktif tersebut.<br />
Bila menyewa, maka pada hakikatnya terjadi kerja sama<br />
antara pemilik atau penguasa aset dengan perusahaan yang<br />
memerlukan manfaat atau kemampuan dari aset tersebut. Agar<br />
154
KENDALIKAN RISIKO<br />
tercapai keadilan, perlu diadakan bagi hasil atas pemanfaatan aset<br />
atau kemampuan produksi dari aset. Sistemnya bagi hasil yang<br />
dilakukan atas pemanfaatan aset ataupun kemampuan produksi<br />
dari aset, setara dengan sewa atas manfaat atau aset tersebut.<br />
Bagi hasil dapat dianggap sebagai upah atas pemanfaatan aset.<br />
Dalam istilah syariah, upah adalah ujroh dan akadnya<br />
disebut ijarah.<br />
Esensi dari kerja sama ini adalah adanya manfaat atau<br />
kemampuan dari suatu aset. Atas pemakaian manfaat atau<br />
kemampuan tersebut dikenakan upah (ujroh) atau sewa.<br />
Dan untuk menghindari keadaan gharar atau keraguan yang<br />
merugikan, harus jelas keberadaan dan penguasaan aset tersebut,<br />
dan jelas manfaat atau kemampuan yang menjadi objek kerja<br />
sama. Kemudian, untuk menghindari kondisi maysir atau<br />
pengambilan risiko yang berlebihan, maka bagi pihak pemakai<br />
(penyewa) harus jelas hasil yang dapat diperoleh dari penggunaan<br />
manfaat atau kemampuan tersebut. Besaran hasil ini menjadi<br />
batasan dari besaran nilai upah atau sewa (ujroh) yang akan<br />
dikenakan.<br />
Dalam kasus Al Nakheel, ternyata aset yang memberikan<br />
manfaat atau kemampuan tersebut belum dibangun. Bahkan<br />
untuk membangun aset yang dimaksud akan digunakan<br />
dana US$3,52 miliar yang diperoleh dari penerbitan sukuk<br />
ijarah. Dana lebih dari Rp.30 triliun adalah dana yang sangat<br />
besar. Untuk membangun aset senilai US$3,52 miliar, tentu<br />
memerlukan waktu yang cukup lama. Sementara jangka<br />
waktu sukuk ijarah hanya 3 tahun, tidak memadai untuk bisa<br />
membangun dan memperoleh hasil sewa yang diperlukan.<br />
155
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Apalagi mengingat aset yang dimaksud adalah aset wisata yang<br />
mewah.<br />
Imbal hasil (sewa) yang dijanjikan adalah 6,345% per tahun<br />
atau dalam 3 tahun berarti 19,035%. Jika untuk membangunnya<br />
saja membutuhkan waktu 12 bulan untuk membangun—ini<br />
juga cukup mustahil, dan seluruh aset mewah tersebut disewa<br />
selama 18 bulan, maka nilai keuntungan dari sewa—dipotong<br />
biaya operasi dan biaya lainnya—harus lebih dari 1% per bulan.<br />
Hal yang sangat sulit dilaksanakan. Jadi, salah akadnya atau salah<br />
yang menerapkan akad Belum lagi opsi membeli saham sebelum<br />
IPO pada harga diskon, membawa peluang kondisi keraguan<br />
yang merugikan (gharar) dan godaan untuk mengambil risiko<br />
yang berlebihan (maysir).<br />
Yang jelas, kerja sama antara pemilik atau penguasa aset<br />
dengan pihak atau perusahaan yang memerlukan manfaat atau<br />
kemampuan dari aset tersebut adalah kerja sama yang akan<br />
saling menguntungkan. Bila dijalankan sesuai dengan ketentuan,<br />
jurus sewa manfaat akan membuat semua pihak kaya, semua<br />
pihak bahagia.<br />
Jurus Tolak Risiko III: SBSN<br />
Instrumen pembiayaan jangka panjang yang lazim di pasar<br />
modal adalah obligasi. Menurut ketentuan Bapepam-LK, obligasi<br />
adalah surat pengakuan utang jangka panjang yang diterbitkan<br />
oleh suatu pihak atas pinjaman uang dari masyarakat dengan<br />
imbalan bunga tertentu dan pembayaran se<strong>cara</strong> berkala. Bila<br />
yang menerbitkan surat pengakuan utang tersebut adalah<br />
Pemerintah (atas nama Negara), namanya menjadi Surat Utang<br />
Negara (SUN). Dan menurut ketentuan Undang-undang, SUN<br />
156
KENDALIKAN RISIKO<br />
adalah surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun<br />
valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya<br />
oleh Negara Republik Indonesia.<br />
“Bank Century harus<br />
memberikan informasi<br />
yang memadai kepada<br />
nasabah—Bank Century<br />
harus menghindari<br />
kondisi gharar.”<br />
Dalam dunia keuangan,<br />
imbal hasil yang diberikan<br />
oleh efek yang diterbitkan<br />
oleh negara disebut sebagai<br />
risk-free return. Maksudnya,<br />
imbal hasil yang bebas risiko.<br />
Sebenarnya bukan benarbenar<br />
bebas risiko, tetapi<br />
risiko yang terkandung di dalamnya adalah risiko yang akan<br />
dihadapi oleh semua efek di negara itu. Jadi, karena semua<br />
menghadapi hal yang sama, maka risiko tersebut menjadi titik<br />
acuan, alias dianggap tidak ada, sehingga SUN menjadi acuan<br />
untuk semua efek utang yang konvensional. Tetapi, bagaimana<br />
untuk efek yang syariah Adakah efek yang dapat dipakai sebagai<br />
acuan untuk efek syariah<br />
Sejak UU tentang Surat Utang Negara ditetapkan pada<br />
tahun 2002, saya telah beberapa kali bertemu dengan Pak<br />
Fuad Rachmany, Pak Rahmat Waluyanto, dan Pak Dahlan<br />
Siamat untuk menyampaikan usulan penerbitan SUN <strong>Syariah</strong>.<br />
Mengingat obligasi syariah dapat diterbitkan dengan memakai<br />
ketentuan UU mengenai obligasi (konvensional), maka saya<br />
usulkan bagaimana kalau diterbitkan SUN <strong>Syariah</strong> dengan<br />
memakai ketentuan mengenai SUN. Pada prinsipnya, Pak Fuad<br />
dan teman-teman di PMON sangat mendukung diterbitkannya<br />
SUN <strong>Syariah</strong>, tetapi karena UU tentang SUN sangat spesifik<br />
sehingga se<strong>cara</strong> hukum kurang tepat bila dipakai untuk<br />
157
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
menerbitkan SUN <strong>Syariah</strong>. Di samping itu, banyak pertanyaan<br />
mengenai struktur (ikatan/akad) dan nama dari efek tersebut.<br />
Istilah surat utang dirasa kurang tepat. Selain itu, penerbitan<br />
SUN tidak harus didukung oleh suatu aset tertentu, sedangkan<br />
sukuk ijarah harus didukung oleh suatu aset tertentu. Bagaimana<br />
seharusnya<br />
Obligasi adalah istilah Indonesia yang berasal dari bahasa<br />
Inggris, obligation. Artinya, kewajiban. Namun istilah yang<br />
dipakai untuk obligasi dalam bahasa Inggris adalah bond. Arti<br />
kata bond adalah ikatan. Sedangkan padanan kata ikatan dalam<br />
bahasa Arab adalah akad.<br />
Pada awal penerbitan obligasi yang sesuai dengan prinsip<br />
syariah, digunakan istilah obligasi syariah. Tetapi kemudian<br />
istilah “obligasi syariah” diganti dengan istilah sukuk, yakni<br />
dari istilah bahasa Arab yang padanan katanya dalam bahasa<br />
Indonesia adalah surat berharga. Sedangkan istilah yang dipakai<br />
dalam UU Pasar Modal untuk surat berharga adalah efek.<br />
Jadi, obligasi adalah kewajiban adalah bond adalah<br />
ikatan adalah akad adalah sukuk adalah surat berharga<br />
adalah efek.<br />
Seru juga, ya<br />
Sementara itu, dalam kaidah syariah dinyatakan bahwa<br />
tidak boleh membayar utang dengan mengambil utang baru.<br />
Istilah dalam dunia perbankan untuk praktik tersebut adalah<br />
evergreen loan. Maksudnya, utang yang tidak pernah terbayar<br />
lunas. Mungkin istilah umum yang lumrah di Indonesia adalah<br />
gali lubang (untuk) tutup lubang. Lalu, kapan beresnya<br />
158
KENDALIKAN RISIKO<br />
Mengapa istilah obligasi atau bond dihindari Ternyata<br />
mirip dengan istilah pinjaman atau kredit yang juga dihindari.<br />
Obligasi atau bond, se<strong>cara</strong> umum dikenal sebagai surat<br />
utang, dan umumnya memberi hasil berupa bunga. Karena<br />
ada kaidah tidak boleh membayar utang dengan utang,<br />
yang kemudian diartikan bahwa tidak boleh berinvestasi pada<br />
utang. Dan juga, karena pinjaman dalam bahasa Arab adalah<br />
qard, dan istilah qard umumnya bersambungan dengan hasanah<br />
menjadi qard al hasan. Maknanya, pinjaman untuk kebaikan.<br />
Pada qard al hasan tidak boleh ada tambahan atau bagi hasil.<br />
Oleh karena istilah pinjaman atau kredit dihindari, mestinya<br />
istilah obligasi dan bond juga dihindari.<br />
Dengan demikian, untuk penempatan dana yang harus<br />
dikembalikan kembali dan berhak mendapat bagi-hasil atau<br />
marjin atau sewa, istilah yang tepat untuk digunakan adalah<br />
pembiayaan. Dan digunakan istilah sukuk yang berarti sertifikat<br />
atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian<br />
penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: 1)<br />
kepemilikan aset berwujud tertentu; 2) nilai manfaat dan jasa<br />
atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu; atau<br />
3) kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi<br />
tertentu. Dengan definisi tersebut, tentunya instrumen seperti<br />
yang diterbitkan tanpa ada kejelasan nilai manfaat atau proyek<br />
atau aset tertentu tidak bisa dinamakan sukuk.<br />
Bagaimana dengan yang diterbitkan oleh Al Nakheel seperti<br />
yang dituturkan di atas<br />
Silakan analisa sendiri.<br />
159
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Akhirnya, pada 2008, lebih dari lima tahun sejak saya<br />
presentasikan SUN <strong>Syariah</strong> ke Pak Fuad Rachmany dan temanteman,<br />
UU tentang Surat Berharga <strong>Syariah</strong> Negara (SBSN)<br />
ditetapkan oleh Presiden. Menurut UU tersebut, SBSN atau<br />
Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan<br />
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti penyertaan dalam<br />
aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.<br />
Oleh karena harus jelas adanya penyertaan dalam aset<br />
tertentu, diharapkan SBSN akan membuat semua bahagia,<br />
semua kaya, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
Jurus Tolak Risiko IV: DSN<br />
Tahun 1995, waktu saya bersama Glenn Yusuf, Agus<br />
Prodjosasmito, dan Edgar Ekaputra Suyanto diangkat menjadi<br />
Direksi di Danareksa, masing-masing mengajukan “mimpi”<br />
yang akan kita wujudkan di Danareksa. Mimpi saya adalah<br />
mengembangkan Islamic mutual fund, walaupun waktu itu<br />
sebenarnya saya belum tahu apa itu Islamic mutual fund.<br />
Alhamdulillah, rupanya Allah SWT sudah menentukan<br />
bahwa tahun itu diterbitkan UU tentang Pasar Modal yang<br />
juga mengatur tentang reksa dana berbentuk kontrak investasi<br />
kolektif (KIK)—yang merupakan implementasi mutual fund<br />
dalam sistem hukum di Indonesia.<br />
Setelah berhasil meluncurkan tiga reksa dana di tahun 1996,<br />
maka pada tahun 1997 mulai mencoba mewujudkan mimpi<br />
saya dengan meluncurkan reksa dana syariah. Waktu itu, kami<br />
tidak bisa menemukan pakar di Indonesia yang faham tentang<br />
Islamic mutual fund atau reksa dana syariah.<br />
160
KENDALIKAN RISIKO<br />
Teringat amar pepatah malu bertanya sesat di jalan,<br />
kami mencoba mencari informasi dan pendapat dari para<br />
ulama serta teman-teman di bank syariah dan asuransi syariah.<br />
Beruntunglah karena saat itu sudah banyak lembaga perbankan<br />
syariah yang membentuk Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong>, seperti di<br />
Bank Muamalat, Syarikat Takaful, dan Bank <strong>Syariah</strong> Mandiri.<br />
Ibarat gayung bersambut, kami segera menghubungi beliaubeliau<br />
yang duduk di Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong>. Ternyata, banyak<br />
di antara mereka yang belum memahami pasar modal—apalagi<br />
reksa dana—dan tidak ada referensi yang jelas mengenai pasar<br />
modal dan reksa dana dari sudut pandang syariah. Alhamdulillah,<br />
K.H. Ma’ruf Amien bersedia mempelajari lebih lanjut, sehingga<br />
kami ajukan nama beliau ke Bapepam. Lebih bersyukur lagi,<br />
karena ajuan kami diterima oleh Bapepam sehingga reksa dana<br />
syariah yang pertama dapat diluncurkan.<br />
Namun, tidak berarti masalahnya selesai. Kenapa Karena,<br />
berani memakai nama “syariah” berarti harus pula siap<br />
bertanggung jawab atas “kehalalan” reksa dana tersebut. Kami,<br />
di Danareksa, jelas tidak memiliki kemampuan untuk itu.<br />
Tetapi, kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi<br />
Kemudian, mencuat ide untuk meminta para ulama<br />
berkumpul dan membahas perihal pasar modal. Tetapi karena<br />
cakupan pasar modal cukup luas—sehingga mungkin jadi tidak<br />
efektif, maka diputuskan untuk membatasi pembahasan hanya<br />
pada reksa dana. Aries Mufti—waktu itu menjabat Direktur<br />
Bank Muamalat—bersedia membantu. Maka, Danareksa<br />
menjadi sponsor bagi Bank Muamalat untuk mengadakan<br />
Lokakarya Ulama tentang Reksa Dana <strong>Syariah</strong>.<br />
161
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Lucu juga ya, Bank Muamalat tidak ada urusan dengan reksa<br />
dana, tetapi mengadakan lokakarya ulama tentang reksa dana.<br />
Segala hajat baik selalu diberkahi. Begitulah. Allah SWT<br />
meridhai niat baik kami. Lokakarya ulama yang membahas<br />
pandangan syariah tentang Reksa Dana ternyata bahkan<br />
mengajukan rekomendasi untuk membentuk Dewan <strong>Syariah</strong><br />
Nasional (DSN) guna mengawasi dan mengarahkan lembagalembaga<br />
keuangan syariah se<strong>cara</strong> nasional, serta menjadi rujukan<br />
bagi Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong> pada semua lembaga keuangan<br />
syariah.<br />
Dengan demikian, akan terbentuk kesatuan pendapat dan<br />
fatwa ulama yang akan mengurangi peluang perbedaan pendapat<br />
yang mungkin berpeluang “membingungkan”. Tentu saja, buah<br />
dari semua itu, risiko melakukan kesalahan dalam mengikuti<br />
prinsip syariah dapat dikurangi, karena ada DSN yang se<strong>cara</strong><br />
nasional menerbitkan fatwa-fatwa yang diperlukan. Selain itu,<br />
fatwa-fatwa DSN dapat digunakan sebagai rujukan atau acuan<br />
sehingga kondisi gharar dan maysir dapat dihindari.<br />
Akhirnya, di tahun yang sama, 1999, MUI membentuk<br />
DSN. Lalu, pada April 2000, ditentukan pedoman dasar<br />
dan pedoman pelaksanaan DSN. Kemudian, pada Juni<br />
2003, diterbitkan SK tentang pengembangan organisasi dan<br />
keanggotaan DSN untuk periode 2000-2005. Alhamdulillah,<br />
saya mendapat amanah untuk ikut dalam Badan Pelaksana<br />
Harian dari DSN.<br />
Sungguh, banyak ilmu dan pengalaman yang saya peroleh<br />
selama “terjun” dalam kegiatan DSN. Ilmu tersebut kemudian<br />
berkembang dan sebagian saya paparkan dalam buku yang<br />
162
KENDALIKAN RISIKO<br />
sedang Anda baca ini. Mudah-mudahan bisa menambah amal<br />
ibadah kita.<br />
Dan, insya Allah, semua bahagia dan semua ‘kaya’<br />
akan amal ibadah.<br />
Jurus Tolak Risiko V: Saling Tolong, Saling Jamin<br />
Salah satu jurus mengendalikan risiko adalah mengalihkan<br />
risiko, yang dikenal sebagai asuransi. Menurut ketentuan<br />
undang-undang, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak<br />
atau lebih, di mana salah satu pihak menjadi penanggung dan<br />
mengikat diri kepada pihak lain yang menjadi tertanggung,<br />
dengan menerima premi asuransi untuk memberikan<br />
penggantian atau pembayaran tertentu karena terjadinya<br />
suatu risiko pada pihak tertanggung yang timbul dari suatu<br />
peristiwa yang tidak pasti. Risiko yang ditanggung meliputi<br />
risiko karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan<br />
yang diharapkan, atau karena tanggung jawab hukum kepada<br />
pihak ketiga, atau karena meninggalnya seseorang yang<br />
dipertanggungkan. Tetapi, tertanggung tetap menghadapi suatu<br />
risiko, yaitu bila penanggung terjadi tidak dapat atau tidak<br />
mau memberikan penggantian atau pembayaran sebagaimana<br />
disepakati.<br />
Bagaimana <strong>cara</strong> mengelola risiko dengan adil<br />
Allah SWT telah berfiman (QS 5:2) agar manusia saling<br />
tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa. Dalam firman<br />
ini, Tuhan mengggabungkan kebajikan dan takwa. Ada<br />
pelajaran yang penting dalam firman ini. Manusia diperintahkan<br />
untuk saling tolong menolong dalam kebajikan, yaitu dengan<br />
163
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
saling memberikan kebaikan. Namun, dalam usaha saling<br />
memberikan kebajikan, manusia diingatkan untuk bertakwa—<br />
untuk menerima takdir Allah SWT Yaitu, bila ternyata usaha<br />
mereka untuk saling tolong menolong tidak memberikan hasil<br />
sebagaimana yang mereka harapkan.<br />
Pertama, saling tolong menolong melalui Akad Ta’awun<br />
dengan membentuk suatu dana kumpulan untuk kepentingan<br />
bersama. Kedua, saling melindungi melalui Akad Takaful untuk<br />
memberikan perlindungan (santunan, penggantian, pembayaran)<br />
atas terjadinya suatu risiko sebagaimana yang telah disepakati<br />
bersama. Hal ini disebut ta’awun wa takafuli.<br />
Karena niatnya adalah saling tolong menolong, maka dana<br />
kumpulan adalah dana yang dimaksudkan untuk mendapat<br />
berkah dari Allah SWT Dana yang terkumpul disebut<br />
sebagai dana tabarru’. Dan karena niatnya untuk menolong,<br />
peserta saling tolong ini memberikan dana melalui Akad Hibah<br />
atau Akad Tabarru’ sehingga peserta seharusnya tidak boleh<br />
mengambil kembali (sisa) uangnya yang diberikan ke dalam<br />
dana kumpulan itu.<br />
Agar perlindungan dapat diberikan sesuai dengan hara pan<br />
peserta, tentunya diperlukan kemampuan untuk meng hitung<br />
risiko—kemampuan aktuaria, kemampuan untuk mengad<br />
ministrasikan dana—mulai dari penagihan, pencatatan,<br />
pembukuan, sampai pembayaran, serta kemampuan mengelola<br />
sebagai dana investasi—agar diperoleh hasil pengembangan.<br />
Yang perlu dipahami, tujuannya adalah untuk saling tolong<br />
menolong dan saling melindungi sesuai dengan kemampuan<br />
yang ada. Jadi bila ternyata kemampuannya terbatas, maka<br />
164
KENDALIKAN RISIKO<br />
perlindungan yang diberikan mungkin tidak sesuai harapan.<br />
Mungkin saja dana tabarru’ tidak cukup untuk memberikan<br />
perlindungan kepada peserta yang mengalami risiko yang<br />
terakhir. Tetapi selama tetap mengingat firman Tuhan untuk<br />
saling tolong menolong dalam kebajikan dan takwa, apa pun<br />
yang terjadi, semua akan merasa bahagia—dan merasa<br />
kaya.<br />
Jurus Tolak Risiko VI: Jaminan PHK<br />
Bagi sebagian besar kita yang tidak punya bakat, nyali, dan<br />
kemampuan untuk berwirausaha, maka pilihan yang paling<br />
aman adalah bekerja di suatu perusahaan. Namun, pilihan yang<br />
paling aman itupun mempunyai risiko yang cukup besar. Salah<br />
satu yang paling menakutkan adalah pemutusan hubungan<br />
kerja (PHK) karena kegiatan usaha menurun (downsizing) atau<br />
bahkan perusahaan terancam ditutup, baik karena masalah<br />
internal maupun karena kondisi pasar atau ekonomi.<br />
Bagaimana solusinya<br />
Sebenarnya, Pemerintah berkewajiban mengupayakan<br />
kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Salah satu upaya yang utama<br />
adalah mengusahakan lapangan kerja bagi seluruh rakyat yang<br />
mampu dan mau bekerja. Dan, bila ada yang kehilangan<br />
pekerjaan, seharusnya Pemerintah memberi santunan atau<br />
bantuan agar dapat hidup layak selama mencari pekerjaan<br />
lain—misalnya selama 6 bulan.<br />
Akan tetapi, bagaimana bila Pemerintah tidak mempunyai<br />
anggaran yang cukup untuk memberi santunan atau bantuan<br />
tersebut (unemployment social security)<br />
165
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia memuat<br />
ketentuan mengenai jaminan pasca hubungan kerja yang lazim<br />
disebut sebagai uang pesangon (PHK) dan uang penghargaan<br />
masa kerja. Jaminan tersebut dihitung berdasarkan masa kerja<br />
dan gaji terakhir. Semua pemberi kerja wajib menyisihkan<br />
sebagian dari hartanya untuk jaminan pasca hubungan kerja<br />
ini, yang dibukukan sebagai kewajiban manfaat karyawan.<br />
Masalahnya, perusahaan yang mengalami penurunan kegiatan<br />
usaha, apalagi yang akan bangkrut, umumnya tidak memiliki<br />
cukup dana untuk memenuhi kewajiban manfaat karyawan<br />
tersebut. Bahkan, seringkali tidak cukup punya uang untuk bayar<br />
gaji, apalagi pesangon. Yang lebih gawat lagi, ada perusahaan<br />
yang berjalan baik tetapi direksi perusahaan tersebut “lupa”<br />
menyisihkan dana jaminan pesangon (PHK), dan komisaris<br />
atau serikat pekerjanya tidak mempersoalkan “kelupaan” ini.<br />
Gawat juga, ya!<br />
Ketika saya memimpin PT. Jamsostek di tahun 2005-2007,<br />
saya menghadapi masalah serupa. Banyak pemberi kerja dan<br />
tenaga kerja yang mengalami masalah dalam pembayaran uang<br />
pesangon (PHK). Umumnya karena perusahaan tidak membuat<br />
cadangan pesangon (PHK) sesuai ketentuan. Bahkan, saya<br />
menemukan data bahwa cadangan uang pesangon (PHK) untuk<br />
karyawan PT. Jamsostek sendiri masih kurang. Alhamdulillah,<br />
tahun 2006, kami berhasil mendapat laba usaha yang jauh<br />
lebih besar dari sasaran yang ditentukan oleh pemegang saham<br />
(Pemerintah), sehingga kami dapat menggunakan sebagian dari<br />
laba usaha (sekitar Rp.200 miliar) untuk memenuhi kekurangan<br />
yang sebenarnya harus dipenuhi oleh direksi sebelum kami<br />
menjabat.<br />
166
KENDALIKAN RISIKO<br />
Tetapi, bagaimana dengan perusahaan yang tidak memperoleh<br />
keuntungan<br />
Salah satu tindakan yang dilakukan adalah “menyalah gunakan”<br />
Jaminan Hari Tua (JHT). Sesuai ketentuan yang berlaku,<br />
pemberi kerja dan tenaga kerja harus ikut program JHT. Program<br />
ini dirancang untuk mempersiapkan tabungan untuk digunakan<br />
setelah peserta mencapai hari tua—yaitu usia 55 tahun. Namun,<br />
kemudian ditambah ketentuan bahwa “tabungan” JHT dapat<br />
diambil setelah peserta tidak lagi bekerja—berarti bukan lagi<br />
memenuhi syarat sebagai tenaga kerja. Tambahan ketentuan<br />
ini lalu “diplesetkan” menjadi dapat diambil setelah 6 bulan<br />
berhenti bekerja. Plesetan ini membuat JHT seakan-akan serupa<br />
dengan jaminan pesangon. Ketika pemberi kerja melakukan<br />
PHK dan tidak dapat membayar pesangon, maka tenaga kerja<br />
yang terkena PHK bisa meminta agar JHT mereka “dicairkan”.<br />
Konsekuensinya, mereka tidak lagi punya tabungan untuk hari<br />
tua. Umumnya para pekerja tersebut berkilah bahwa mereka<br />
membutuhkan uang tersebut untuk meneruskan hidup. Tanpa<br />
uang tersebut mereka tidak bisa mencapai usia 55 tahun.<br />
Bagaimana sebaiknya<br />
Pada awal tahun 2007, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengusulkan<br />
untuk membuat program Jaminan Pesangon dengan<br />
prinsip asuransi. Tetapi dari segi asuransi, program ini termasuk<br />
program manfaat pasti (defined benefit), karena manfaat yang<br />
diberikan ditentukan oleh UU bukan berdasarkan iuran yang<br />
dibayarkan. Akibatnya, setelah dihitung se<strong>cara</strong> aktuaria, ternyata<br />
premi/iuran yang harus dibayar menjadi besar sekali. Pengusaha<br />
yang menjadi pemberi kerja keberatan dengan nilai premi/iuran<br />
yang harus dibayar. Jadi, bagaimana penyelesaiannya<br />
167
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Pada kenyataannya, masalah pesangon PHK umumnya<br />
menimpa karyawan atau buruh dengan gaji atau upah yang<br />
kecil. Dan, pada umumnya terjadi pada perusahaan yang<br />
pembukuannya tidak baik—sehingga kekurangan cadangan<br />
dana pesangon tidak diketahui dan dilaporkan dengan baik.<br />
Kalau cadangan dana pesangon mencukupi, tentunya tidak ada<br />
masalah dalam pembayaran pesangon.<br />
Jadi, yang sangat memerlukan perlindungan atau jaminan<br />
adalah tenaga kerja (karyawan/buruh) dengan gaji atau upah<br />
yang di bawah nilai tertentu—katakanlah lebih kecil dari 3x<br />
pendapatan tidak kena pajak, atau PTKP. Dalam hal ini, bisa<br />
dibuat program Jaminan Pesangon (PHK) dengan prinsip<br />
ta’awun dan takafuli. Namun, perlu diingat bahwa menurut<br />
UU yang berlaku, pembayaran uang pesangon adalah kewajiban<br />
pemberi kerja. Jadi, program Jaminan Pesangon (PHK) bukan<br />
menggantikan kewajiban pemberi kerja, melainkan program<br />
untuk membantu tenaga kerja tertentu untuk mendapatkan<br />
haknya berupa uang pesangon.<br />
Dalam program Jaminan Pesangon (PHK), dana ta’awun<br />
di kumpulkan dari pemberi kerja berupa dana amanah yang<br />
dititipkan kepada Penyelenggara program Jaminan Pesangon<br />
(PHK). Dana amanah tersebut merupakan bagian dari<br />
cadangan dana pesangon yang merupakan kewajiban pemberi<br />
kerja. Besarnya ditentukan berdasarkan perhitungan aktuaria.<br />
Selisihnya—sisa dana pesangon—tetap dikelola oleh pemberi<br />
kerja. Penerima manfaat dari dana amanah adalah tenaga kerja<br />
dengan gaji atau upah tertentu yang bekerja pada pemberi kerja<br />
tersebut.<br />
168
KENDALIKAN RISIKO<br />
Penyelenggara harus memiliki sistem informasi mengenai<br />
tenaga kerja yang ikut program Jaminan Pesangon (PHK), di<br />
mana tenaga kerja tersebut harus dapat mengakses data mengenai<br />
keikutsertaannya pada program dan haknya atas uang pesangon.<br />
Penyelenggara memberikan jaminan (takafuli) atas pembayaran<br />
uang pesangon. Sehingga, bila terjadi PHK atas tenaga<br />
kerja yang ikut program ini, sementara dana amanah<br />
yang dititipkan oleh pemberi kerja ternyata tidak mencukupi,<br />
maka penyelenggara harus menalangi kekurangannya. Dengan<br />
de mikian, tenaga kerja tersebut mendapat jaminan akan memperoleh<br />
uang pesangon yang menjadi haknya. Kemudian, penyelenggara<br />
akan menagih kekurangan dana tersebut kepada<br />
pemberi kerja. Kewajiban pembayaran uang pesangon ditentukan<br />
oleh UU. Oleh karena itu, bila perusahaan pemberi kerja tidak<br />
dapat membayar kekurangan tersebut, maka kewajiban tersebut<br />
beralih kepada pemegang saham.<br />
Pada tahun 2006-2007, kami mengimplementasikan sistem<br />
informasi untuk pelayanan terpadu di PT. Jamsostek. Kami<br />
juga telah memperbaiki aturan akuntansi Jamsostek sehingga<br />
dapat mengelola dana amanah se<strong>cara</strong> terpisah dari aset milik<br />
Jamsostek. Kami juga telah mendapatkan sertifikasi ISO 2001<br />
untuk kegiatan operasi dan investasi di Jamsostek. Dan, pada<br />
saat itu, saldo dana cadangan teknis untuk program JKK, JK,<br />
dan JPK telah lebih besar dari total santunan untuk 3 tahun.<br />
Artinya bila dalam waktu 3 tahun jumlah klaim santunan tidak<br />
bertambah, maka Jamsostek dapat membayar santunan walaupun<br />
peserta tidak membayar iuran.<br />
Mengingat Jamsostek memiliki kompetensi teknologi,<br />
operasional, dan investasi, serta memiliki kekuatan keuangan,<br />
169
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
maka kami usulkan kepada Pemerintah agar program Jaminan<br />
Pesangon (PHK) tersebut diterapkan dengan menunjuk PT.<br />
Jamsostek sebagai penyelenggara. Insya Allah, bila terkena<br />
musibah PHK, tenaga kerja dengan penghasilan di bawah<br />
3x PTKP akan memperoleh haknya berupa uang pesangon<br />
sesuai dengan ketentuan UU. Risiko masalah sosial bisa lebih<br />
terkendali.<br />
Hanya sayangnya, pada saat itu usulan kami belum diterima<br />
oleh Pemerintah.<br />
Jurus Tolak Risiko VII: Lindung Nilai<br />
Salah satu tantangan terbesar bagi petani dan pengusaha<br />
yang bergerak dalam bidang pertanian adalah modal kerja<br />
serta kepastian harga jual. Demikian juga bagi pengrajin<br />
dan pengusaha yang mengekspor produksinya ataupun yang<br />
mengimpor bahan baku untuk produksi. Salah satu tantangan<br />
terbesar adalah modal kerja, kepastian pembayaran ekspor dan<br />
penyerahan impor, serta nilai tukar pada saat pembayaran. Oleh<br />
karena itu, baik petani, pengrajin maupun pengusaha, berusaha<br />
melakukan lindung nilai.<br />
Petani dan pengusaha pertanian memerlukan modal<br />
untuk berproduksi. Masa produksi pertanian memakan waktu<br />
yang cukup lama, hingga kadang-kadang mereka kehabisan<br />
dana. Bahkan, kadang-kadang tidak lagi memiliki uang untuk<br />
melanjutkan hidup dan bekerja, padahal belum masa panen.<br />
Bila dalam kondisi sulit itu mereka tidak mendapat dukungan<br />
pembiayaan, mereka dapat tergoda untuk menjual hasil panen<br />
dengan <strong>cara</strong> ijon. Padahal, ada <strong>cara</strong> lain yang lebih baik.<br />
170
KENDALIKAN RISIKO<br />
Cara yang saya maksud adalah menjual hasil panen<br />
dengan Akad Salam. Pada akad ini, pembeli dapat memberi<br />
pembayaran di muka, baik sebagian maupun seluruhnya,<br />
kemudian menerima penyerahan hasil produksi setelah panen.<br />
Loh, kok sama dengan ijon<br />
Oh, tidak sama!<br />
Dalam akad ijon, pembeli membayar untuk seluruh panen.<br />
Karena itu, tidak jelas kuantitas, kualitas, dan waktu, serta <strong>cara</strong><br />
penyerahan produk pertanian yang menjadi objek jual-beli.<br />
Bila hasil panen lebih banyak atau lebih baik dari perkiraan,<br />
berarti petani akan rugi. Dan, memang pada umumnya petani<br />
terpaksa menerima harga dan perkiraan jumlah yang rendah<br />
karena sangat memerlukan uang untuk terus bertahan hidup<br />
dan berproduksi.<br />
Dalam Akad Salam, petani dan pembeli harus mempunyai<br />
bukti dan keyakinan akan kuantitas dan kualitas hasil panen.<br />
Tentunya dibuat berdasarkan data dan bukti hasil panen<br />
sebelumnya. Kemudian, berdasarkan prakiraan tersebut,<br />
ditentukan kuantitas, kualitas dan waktu serta <strong>cara</strong> penyerahan.<br />
Lalu, ditentukan harga jual-beli.<br />
Bedanya dengan Akad Ijon, bila hasil panen lebih baik dari<br />
perkiraan, maka petani cukup menyerahkan dalam kuantitas<br />
dan kualitas yang telah disepakati. Kelebihannya menjadi<br />
hak—dan keuntungan—petani. Tetapi, bila hasil panen<br />
lebih buruk dari perkiraan, dan kuantitas atau kualitas tidak<br />
sesuai dengan kesepakatan, maka petani harus memenuhi<br />
kekurangannya dengan membeli dari petani lain atau dari pasar.<br />
Jadi, keuntungan petani akan lebih kecil dari yang diharapkan.<br />
171
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Namun, <strong>cara</strong> dengan Akad Salam lebih adil. Pembeli akan<br />
mendapat objek jual-beli sesuai dengan kesepakatan, dan petani<br />
akan mendapat sesuai dengan hasil panen. Dengan kata lain, for<br />
better, for worse semua akan mendapat bagian sesuai takdirnya.<br />
Bagaimana dengan pengrajin atau pengusaha yang melakukan<br />
ekspor-impor<br />
Untuk yang mengekspor, biaya umumnya dalam rupiah,<br />
sedangkan pendapatan dalam valuta asing. Untuk yang<br />
mengimpor, sebagian biaya dalam valuta asing sedangkan<br />
pendapatan dalam rupiah. Dalam titik tertentu, hal seperti ini<br />
akan membawa risiko dan menimbulkan kekhawatiran.<br />
“Bagaimana bila kurs tukar rupiah-valas berubah sehingga<br />
merugikan”<br />
“Apakah ada jurus tolak risiko yang halal”<br />
Jurus yang sama dapat digunakan. Tentunya dengan sedikit<br />
variasi. Tergantung pada situasi yang menimbulkan risiko.<br />
Apakah risiko timbul bila kurs rupiah-valas lebih tinggi dari<br />
perkiraan, atau lebih rendah dari perkiraan. Pengrajin atau<br />
pengusaha dapat mengadakan Akad Salam dengan bank—atau<br />
pihak lain—untuk tukar valas. Pada waktu yang ditentukan,<br />
pengrajin atau pengusaha akan membayar rupiah dengan jumlah<br />
tertentu dan akan menerima valas menurut kurs tukar yang<br />
ditentukan di muka. Atau sebaliknya, membayar valas dengan<br />
jumlah tertentu dan akan menerima rupiah menurut kurs tukar<br />
yang ditentukan di muka.<br />
Sesuai dengan Akad Salam, pengrajin atau pengusaha<br />
harus membayar sebagian dari rupiah (atau valas) di muka.<br />
Dan atas pembayaran uang muka tersebut, bank terikat untuk<br />
172
KENDALIKAN RISIKO<br />
menyerahkan valas (atau rupiah) pada waktu tertentu, bila<br />
pengrajin atau pengusaha melunasi pembayaran. Dan, Akad<br />
Salam juga memungkinkan bank memberi hak kepada pengrajin<br />
atau pengusaha untuk membatalkan pertukaran dengan tidak<br />
melakukan pelunasan. Tetapi, uang muka tetap menjadi hak<br />
bank. Tercipta kondisi win-win karena semua beruntung, dalam<br />
sudut pandang masing-masing.<br />
Jurus Tolak Risiko VIII: Risiko Sistemik<br />
Pada awal tahun 1980-an, saya bekerja di IBM yang<br />
berkantor di Wisma Metropolitan, Jakarta. Pada suatu hari,<br />
ketika sedang memimpin rapat, tiba-tiba terdengar suara<br />
ledakan keras. Rupanya, ada bom mobil—mungkin bom mobil<br />
pertama di Jakarta. Kebetulan saya sedang memandang ke arah<br />
jendela sehingga saya melihat—dan mendengar—ledakan itu.<br />
Kebetulan juga, mobil saya diparkir di dekat tempat terjadinya<br />
ledakan. Saya pun segera turun dan ternyata memang lokasi<br />
mobil saya sangat dekat dengan mobil yang meledak itu. Saya<br />
segera memindahkan mobil saya dan membantu mendorong<br />
mobil-mobil yang ada di sekitar lokasi ledakan. Ternyata ada<br />
satu mobil yang tidak bisa didorong karena rem parkir terpasang.<br />
Setelah ditunggu beberapa lama, sang pemilik mobil tidak juga<br />
datang. Saya khawatir mobil itu ikut terbakar dan akan membuat<br />
situasi tambah berbahaya. Karena itu, saya mengambil batu dan<br />
memecahkan kaca jendela mobil itu. Akhirnya saya berhasil<br />
melepaskan rem parkir, dan bersama-sama kami memindahkan<br />
mobil tersebut.<br />
Setelah kebakaran reda, pemilik mobil datang. Tentu saja ia<br />
kaget melihat mobilnya sudah dipindahkan dan kaca jendelanya<br />
173
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
pecah. Ia marah dan bertanya siapa yang telah memecahkan<br />
kaca mobilnya. Dengan tenang saya sampaikan bahwa sayalah<br />
yang memecahkan kaca jendela mobilnya dan mengutarakan<br />
alasan mengapa melakukannya.<br />
Ternyata pemilik mobil itu tidak bisa menerima penjelasan<br />
saya, dan masih marah. Karena tidak mau ribut-ribut, saya<br />
berikan kartu nama saya dan mempersilakan pemilik mobil<br />
untuk menemui saya guna meminta ganti kerugian. Keesokan<br />
harinya, pemilik mobil datang bersama istrinya. Ternyata, ia<br />
sudah tidak marah lagi, bahkan meminta maaf karena telah<br />
memarahi saya di muka umum. Saya katakan tidak apa, saya<br />
paham, yang penting sekarang kita jadi saling kenal dan mudahmudahan<br />
di lain waktu bisa saling bantu.<br />
Cerita tersebut sering saya pakai untuk membuka diskusi<br />
ketika orang bertanya mengenai kasus Bank Century. Cerita<br />
itu saya pakai sebagai analogi untuk menjelaskan tentang risiko<br />
sistemik.<br />
Sewaktu saya dan pemilik mobil itu memarkir mobil di<br />
tempat parkir, kita tidak tahu bahwa ada mobil yang akan<br />
diledakkan—dan tentunya kita tidak tahu mobil mana yang<br />
akan diledakkan. Jadi, kita memilih tempat parkir yang paling<br />
memudahkan di antara tempat parkir yang ada. Ketika bom<br />
mobil itu diledakkan, otomatis semua mobil yang ada di sekitar<br />
bom mobil tersebut mempunyai risiko ikut terbakar. Terlepas<br />
siapa pemilik mobil tersebut, atau bagus tidaknya mobil tersebut.<br />
Dan bila mobil tersebut berisi bahan bakar yang cukup banyak<br />
dan pada gilirannya turut terbakar, tentu saja akan memperbesar<br />
dampak kebakaran. Itulah ilustrasi dari dampak sistemik.<br />
174
KENDALIKAN RISIKO<br />
Contoh lain adalah masalah Yunani dan Masyarakat<br />
Eropa. Yunani adalah negara kecil di bagian Selatan Eropa<br />
dengan GDP tahun 2009 hanya US$350 miliar. Sementara,<br />
GDP semua negara yang menggunakan mata uang Euro<br />
sekitar US$14 triliun. Artinya, kontribusi GDP Yunani hanya<br />
2,5% dari total GDP Masyarakat Eropa. Dari sudut pandang<br />
perdagangan, ekspor Yunani tahun 2009 hanya US$19 miliar,<br />
dan impor US$63 miliar. Berarti, defisit perdagangan Yunani<br />
sekitar US$43 miliar. Padahal cadangan devisa Yunani hanya<br />
US$4 miliar. Total perdagangan luar negeri Masyarakat Eropa<br />
sekitar US$ triliun, di mana sekitar 60% adalah perdagangan<br />
intra Masyarakat Eropa. Tetapi, kenapa Eropa dan IMF merasa<br />
perlu menyelamatkan Yunani<br />
Rata-rata rasio defisit fiskal negara-negara Eropa adalah<br />
80% dan Yunani yang tertinggi dengan rasio 115%. Defisit<br />
fiskal Yunani terhadap GDP sudah mencapai 14%, sementara<br />
rata-rata negara Eropa mendekati 8%. Berarti, sumber utama<br />
pembiayaan anggaran negara-negara Eropa adalah dengan<br />
menerbitkan obligasi pemerintah. Nah, bila Yunani tidak<br />
dibantu, imbal hasil yang harus dibayarkan oleh Pemerintah<br />
Yunani atas obligasi yang telah diterbitkannya akan meningkat.<br />
Mau tidak mau, hal ini akan menular ke negara-negara Eropa<br />
lainnya. Akibatnya, Pemerintah negara -negara Eropa akan<br />
kesulitan menerbitkan obligasi.<br />
Cerita bom mobil dan kasus Yunani dapat digunakan<br />
dalam membahas masalah yang dihadapi oleh Pemerintah<br />
terkait masalah Bank Century. Ada kaitan hubungan yang tidak<br />
dapat dielakkan. Pertama, masyarakat cenderung bereaksi se<strong>cara</strong><br />
berlebihan atas suatu (berita) risiko yang berpotensi merugikan.<br />
175
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Kedua, kenyataan bahwa sebagian besar aset bank di Indonesia<br />
adalah dalam bentuk Surat Utang Negara. Apabila terjadi<br />
penarikan dana yang besar, maka instrumen yang paling mudah<br />
untuk dilikuidasi adalah SUN. Akibat besarnya penawaran jual<br />
SUN, maka harga pasar SUN akan turun. Berarti imbal hasil<br />
SUN akan naik. Siapa yang harus membayar kenaikan imbal<br />
hasil SUN tersebut Tentu saja seluruh rakyat Indonesia melalui<br />
Pemerintah.<br />
Sebenarnya di mana masalah utamanya<br />
Menurut hemat saya, masalah utama adalah kezhaliman.<br />
Mungkin Anda bertanya, “Apa maksudnya”<br />
Begini, nasabah yang menempatkan dana di Bank Century<br />
sebenarnya cukup mengetahui situasi Bank Century, karena<br />
sudah cukup banyak berita di media massa mengenai Bank<br />
Century. Jadi, kalau mereka tidak mau mengambil risiko, maka<br />
kemungkinan besar mereka akan menempatkan dana mereka<br />
di bank yang lebih kecil risikonya.<br />
Persoalannya, mengapa mereka tetap mau menempatkan<br />
dana di Bank Century<br />
Pertama, karena mereka mengharapkan mendapatkan imbal<br />
hasil yang lebih besar—karena Bank Century menjanjikan<br />
bunga yang lebih besar. Apakah mungkin kita mendapatkan<br />
imbal hasil yang lebih besar, namun tetap aman Se<strong>cara</strong> teoritis,<br />
mungkin saja—walaupun se<strong>cara</strong> pribadi saya kurang setuju—<br />
yaitu menempatkan dana dalam batasan yang ditentukan<br />
oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Sehingga bila<br />
terjadi masalah dengan bank tersebut, setidaknya kita masih<br />
mendapatkan kembali pokok dana yang ditempatkan tersebut.<br />
176
KENDALIKAN RISIKO<br />
Masalahnya, LPS memberikan batasan jumlah simpanan<br />
serta batasan bunga untuk mendapatkan jaminan LPS.<br />
Kalau simpanan kita lebih besar, terpaksa kita mengandalkan<br />
kemampuan bank mengembalikan dana simpanan kita.<br />
Kedua, ada penempatan yang dialihkan ke “reksa dana”<br />
yang dipasarkan oleh staf yang berkantor di kantor cabang Bank<br />
Century. Apakah nasabah tahu dan faham mengenai reksa dana<br />
ini Mungkin tahu dan paham, mungkin juga tidak. Kalau<br />
nasabah tahu dan paham, seharusnya mereka siap menanggung<br />
risiko. Bila tidak tahu dan tidak paham, mengapa mereka mau<br />
memindahkan simpanan mereka ke “reksa dana” tersebut Jadi,<br />
salah siapa<br />
Kemudian, bagaimana tanggung jawab Pemerintah sebagai<br />
otoritas dalam perbankan dan dalam pasar modal (reksa dana)<br />
Pertama, sebagai otoritas perbankan, sebenarnya Pemerintah<br />
sudah menerapkan jurus saling tolong-saling jamin. Pemerintah<br />
sudah mendirikan LPS, para nasabah—melalui bank tempat<br />
mereka menyimpan dana—telah membayar iuran. Dana<br />
tabarru hasil iuran para nasabah tersebut dikelola oleh LPS<br />
untuk memberikan jaminan kepada (bagian) dari para nasabah<br />
tersebut yang menderita akibat terjadinya risiko—bank tidak<br />
bisa mengembalikan simpanan mereka. Jadi, Pemerintah sudah<br />
menjalankan tugasnya.<br />
Mungkin ada pertanyaan, dapatkah jaminan tersebut<br />
ditingkatkan dengan menghilangkan batasan nilai yang<br />
dijamin—istilahnya, full guarantee Jawabannya, ya. Tentu saja<br />
dapat. Untuk itu, nilai premi perlu dihitung dan tetap saja akan<br />
ada persyaratan yang perlu dipenuhi oleh pihak bank.<br />
177
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Kemudian, mengenai peran Pemerintah terkait “reksa dana”<br />
yang dipasarkan oleh karyawan yang berkantor di Bank Century.<br />
Tentunya, Bank Century harus memberikan informasi yang<br />
memadai kepada nasabah—Bank Century harus menghindari<br />
kondisi gharar. Dan nasabah harus punya kesadaran. Nasabah<br />
harus bisa menghindari kondisi maysir. Pemerintah, melalui<br />
Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dan melalui Bapepam<br />
selaku otoritas pasar modal, harus mengupayakan agar jangan<br />
ada pihak yang memberikan informasi yang tidak benar. Bila hal<br />
itu terjadi, maka seharusnya pihak tersebut—yang memasarkan<br />
“reksa dana” di kantor Bank Century—dikenakan tuntutan<br />
sesuai peraturan UU yang berlaku.<br />
Dengan demikian, jelas bahwa risiko sistemik adalah<br />
risiko yang nyata, yang akan dihadapi oleh semua pihak yang<br />
bersentuhan dengan dunia keuangan. Ada “biaya” yang harus<br />
dibayar untuk mengatasi dampak risiko sistemik tersebut. Biaya<br />
yang harus ditanggung oleh pemilik dana—melalui pembayaran<br />
premi LPS—dan biaya yang ditanggung oleh rakyat. Ada pilihan<br />
biaya yang ditanggung oleh rakyat, yaitu melalui peningkatan<br />
imbal hasil SUN dan SBSN, atau melalui modal Pemerintah<br />
di LPS. Yang jelas, kalau semua pihak—otoritas, lembaga<br />
keuangan, pemilik dana—bersungguh-sungguh menghindari<br />
kondisi gharar dan maysir, serta menerapkan jurus saling tolong,<br />
saling jamin, seyogyanya risiko dapat dikendalikan. Sayangnya,<br />
godaan setan memang berat. Dengan keimanan yang memadai<br />
kita akan dapat mengatasinya. Insya Allah.<br />
Semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan <strong>cara</strong><br />
syariah.<br />
178
Bab 9<br />
Bersama Kita Bisa!<br />
Tersebutlah suatu negara antah berantah di sebuah pulau<br />
kecil yang hanya dihuni oleh sekelompok manusia. Pulau tersebut<br />
banyak ditumbuhi pohon kelapa sehingga menarik minat kawanan<br />
monyet untuk menetap di sana. Penduduk di pulau itu—kita sebut<br />
saja Pulau Monyet—hidup sederhana, namun cukup bahagia.<br />
Pohon kelapa memberikan berbagai hasil yang dapat memenuhi<br />
kebutuhan mereka, sementara monyet berperan untuk memetik<br />
kelapa, sekaligus dilatih sebagai hiburan.<br />
Pada suatu ketika, datang seorang investor asing bernama<br />
Mr. Ferry Greedy. Menurutnya, monyet-monyet di sana cocok<br />
untuk dijadikan skilled monkeys alias tenaga terlatih untuk<br />
membuat produk-produk khusus yang sangat berbahaya jika harus<br />
dikerjakan oleh manusia. Monyet-monyet itu juga dibutuhkan<br />
untuk mendukung kegiatan penelitian. Untuk kepentingan itulah, ia<br />
menemui pemuka masyarakat Pulau Monyet dan menyampaikan<br />
minatnya untuk mengekspor skilled monkeys ke luar negeri.<br />
179
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Guna membuktikan keseriusannya, Mr. Ferry Greedy menunjukkan<br />
beberapa brosur dan proposal tentang pusat pe nelitian<br />
dan konsep produksi yang membutuhkan tenaga skilled monkeys.<br />
Rencananya, ia akan mendirikan monkeys training camp (MTC)<br />
dan membeli monyet-monyet untuk dilatih terlebih dahulu.<br />
Rencana bisnis Mr. Greedy sontak mendapat persetujuan<br />
pemuka masyarakat dan warga Pulau Monyet. Sebagai bentuk<br />
awal penanaman modal asing di sana, ia mendirikan fasilitas MTC<br />
berbentuk beberapa kandang besar untuk monyet-monyet. Ia juga<br />
mengumumkan bahwa MTC akan membeli 2.000 ekor monyet<br />
dengan harga US$10 per ekor.<br />
Penduduk kaget, namun gembira mendengar pengumuman<br />
tersebut. Mereka pun berbondong-bondong menangkap monyet<br />
untuk dijual ke MTC. Tak heran, target Mr. Greedy membeli<br />
2.000 ekor monyet terpenuhi hanya dalam waktu satu minggu.<br />
Kemudian, Mr. Greedy menyatakan bahwa monyet-monyet<br />
ter sebut ternyata “bermutu tinggi”. Karena itulah, ia kembali<br />
bermaksud membeli 2.000 ekor monyet dengan harga lebih<br />
tinggi, US$15 per ekor.<br />
Bukan main. Permintaannya lagi-lagi terpenuhi hanya dalam<br />
waktu 2 minggu. Kemudian, dengan pertimbangan populasi<br />
monyet yang telah sangat menurun, ia kembali mengumumkan<br />
bahwa harga beli monyet telah meningkat menjadi US$20 per<br />
ekor. Namun, MTC tetap bersedia membeli semua monyet yang<br />
ditawarkan.<br />
Singkat cerita, hampir semua monyet yang ada di pulau itu,<br />
atau sebanyak 4.321 ekor telah ditangkap dan dijual ke MTC.<br />
Namun, menurut Mr Greedy, permintaan luar negeri terus<br />
meningkat. Karena itulah, ia kembali mengumumkan niatnya<br />
180
BERSAMA KITA BISA!<br />
untuk membeli monyet. Mr. Greedy menyebut angka US$45 per<br />
ekor. Tapi sayang, sudah tidak ada lagi monyet di sana. Dengan<br />
alasan itulah Mr. Greedy pergi mencari skilled monkeys di pulaupulau<br />
tetangga. Selama Mr. Greedy pergi, pengawasan MTC ia<br />
serahkan kepada asistennya, Pak Culas.<br />
Sepeninggal Mr. Greedy, Pak Culas menemui beberapa<br />
penduduk. Setengah berbisik ia menawarkan untuk menjual<br />
monyet yang ada di MTC dengan harga US$30 per ekor ke pada<br />
penduduk Pulau Monyet. Strateginya, Pak Culas akan berbohong<br />
kepada Mr. Greedy dengan mengatakan bahwa semua skilled<br />
monkeys di MTC telah kabur. Kandang-kandang di MTC jebol<br />
akibat serangan babi hutan ketika terjadi hujan lebat di suatu<br />
malam.<br />
Penduduk pun terbuai oleh tawaran Pak Culas. Maklum,<br />
terbayang keuntungan besar dari hasil penjualan monyet yang<br />
harganya telah membengkak menjadi US$45 per ekor, seperti<br />
tawaran Mr. Greedy. Dengan harga beli yang cuma US$30<br />
per ekor, mereka akan memperoleh keuntungan 50%. Jadi, tak<br />
usah heran jika dalam waktu singkat Pak Culas berhasil menjual<br />
4.000 ekor monyet di MTC kepada penduduk Pulau Monyet.<br />
Total jenderal, Pak Culas berhasil mengumpulkan dana sebesar<br />
US$120.000 dari hasil penjualan monyet-monyet yang selama<br />
ini ditampung di MTC.<br />
Keesokan harinya, Pak Culas minta ijin pada tetangga untuk<br />
pulang kampung. Menurutnya, ia baru menerima kabar bahwa<br />
istrinya sakit keras. Pak Culas memberikan honor US$100 kepada<br />
seorang tetangga untuk menjaga MTC selama seminggu. Tapi<br />
itulah, hingga berminggu-minggu penduduk menunggu di rumah<br />
yang penuh monyet, Pak Culas maupun Mr. Greedy tak pernah<br />
lagi kelihatan batang hidungnya di Pulau Monyet.<br />
181
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Apa yang sebenarnya terjadi<br />
Mari berhitung keuntungan yang berhasil diraup penipu<br />
ulung berkedok investor asing itu. Mr. Greedy dan Pak Culas<br />
menghabiskan dana sekitar US$70.000 untuk mendapatkan<br />
ijin penanaman modal asing, membangun MTC, membeli dan<br />
memelihara monyet. Tetapi mereka pergi dengan membawa<br />
US$120.000 atau meraup untung US$50.000 dalam waktu<br />
kurang dari 3 bulan. Fantastis!<br />
Tetapi, salah siapa<br />
Usaha adalah Risiko<br />
Agar berhasil dan menjadi kaya, kita harus berusaha.<br />
Dalam melakukan usaha, kita harus mengambil keputusan di<br />
tengah ketidakpastian hasil, harus berani mengambil risiko. Itu<br />
sebabnya dikenal pemeo, “Business is risk, if you don’t want to<br />
take any risk, don’t go to business”. Usaha adalah risiko, bila tidak<br />
berani mengambil risiko, maka jangan memulai suatu usaha.<br />
Sementara setiap usaha harus dibentuk berdasarkan suatu<br />
tujuan. Sebagai hamba Allah SWT, tentunya tujuan hidup adalah<br />
memenuhi perintah Allah SWT, dengan ukuran keberhasilan<br />
adalah mencapai akhir yang baik, husnul khotimah. Sehingga,<br />
usaha apa pun yang kita lakukan harus ditujukan untuk<br />
mencapai ukuran keberhasilan tersebut. Namun, bagaimana<br />
<strong>cara</strong>nya<br />
Allah SWT telah berfirman bahwa barangsiapa menghendaki<br />
keuntungan di akhirat, maka Allah SWT akan menambahkan<br />
keuntungan tersebut di dunia dan di akhirat. Sedangkan<br />
barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia, maka Allah<br />
182
BERSAMA KITA BISA!<br />
hanya akan memberikan keuntungan di dunia dan tidak<br />
sedikit pun keuntungan di akhirat (QS 42:20). Allah SWT<br />
juga menyatakan bahwa manusia harus mencari apa-apa yang<br />
telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya berupa kebahagiaan<br />
di akhirat, namun juga diperintahkan agar tidak melupakan<br />
bagiannya yang halal dari kenikmatan duniawi (QS 28:77).<br />
Di samping itu, Allah SWT juga menegaskan bahwa bagi<br />
manusia yang bertakwa, akhir lebih baik daripada awal,<br />
yang berarti hasil di akhirat lebih baik atau lebih utama daripada<br />
hasil di dunia (QS 93:04).<br />
Jadi, jelas bahwa hasil yang utama atau tujuan utama dari<br />
segala usaha dalam hidup kita sebagai hamba Allah SWT adalah<br />
memperoleh keuntungan atau kebahagiaan di akhirat. Tetapi<br />
kita diperintahkan untuk tidak melupakan hak atas hasil berupa<br />
kenikmatan yang halal di dunia.<br />
Sehingga dalam berusaha, kita harus mencari hasil atau<br />
kemaslahatan untuk diri sendiri, yang kemudian hasilnya harus<br />
dapat memberikan kemaslahatan untuk keluarga, kelompok,<br />
atau perusahaan tempat kita berada. Kemudian, hasil yang<br />
diberikan untuk keluarga, kelompok, atau perusahaan tersebut<br />
harus terakumulasi menjadi hasil ekonomi di negara kita. Dan<br />
seterusnya, hasil ekonomi di negara kita harus menciptakan<br />
hasil atau keuntungan bagi seluruh umat manusia di dunia.<br />
Hanya saja, praktiknya tidaklah semudah itu.<br />
“Bagaimana <strong>cara</strong> mencari keseimbangan antara keuntungan<br />
individu, keuntungan usaha, keuntungan ekonomi, dan keuntungan<br />
umat manusia”<br />
183
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
“Dan, bagaimana mencari keseimbangan antara keuntungan<br />
di dunia dan kebahagiaan di akhirat”<br />
Allah SWT berfirman bahwa manusia tidak boleh<br />
melakukan sesuatu yang risiko berbuat dosanya lebih besar<br />
daripada peluang mendapatkan manfaat (QS 02:219). Karena<br />
itu, jelas bahwa dalam berusaha, manusia dianjurkan untuk<br />
mengutamakan perolehan hasil dengan Asas Manfaat. Untuk<br />
menciptakan manfaat yang berpotensi memberikan hasil<br />
keuntungan, usaha harus mengeluarkan biaya. Dan, walaupun<br />
sudah berusaha dan sudah mengeluarkan biaya, terdapat<br />
risiko bahwa hasil yang diperoleh bisa lebih kecil dari usaha<br />
dan biaya yang telah dikeluarkan. Kenyataan ini menegaskan<br />
bahwa manusia tidak boleh mengharapkan hasil, bila tidak<br />
mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan biaya dan tidak<br />
punya kemampuan untuk memahami risiko yang terkait dengan<br />
usaha dan pengeluaran biaya tersebut.<br />
Allah SWT juga telah memerintahkan semua orang yang<br />
beriman untuk tidak mengambil harta antara sesama dengan<br />
<strong>cara</strong> yang bathil, tetapi harus dengan jalan perniagaan yang<br />
berlaku se<strong>cara</strong> saling ridha (QS 4:29).<br />
Esensi dari perintah ini, manusia harus mengejar manfaat<br />
dengan <strong>cara</strong> yang thoyib, <strong>cara</strong> yang baik dan dengan pemahaman<br />
akan risiko yang diambil, sehingga akan saling ridha atas<br />
hasil yang diperoleh. Itulah sebabnya, akad-akad yang sesuai<br />
dengan ketentuan Allah SWT akan mengutamakan Asas<br />
Manfaat. Karena itu, dikenal kaidah hasil adalah fungsi dari<br />
pengeluaran biaya atau istilahnya al kharaj bi al dhaman, serta<br />
kaidah hasil adalah fungsi dari risiko yang telah diambil,<br />
atau istilahnya alghunmu bi al ghumi.<br />
184
BERSAMA KITA BISA!<br />
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang sahabat<br />
yang menempatkan dana untuk digunakan dalam kegiatan usaha<br />
yang dikelola oleh seorang sahabat yang lain. Pada masa itu,<br />
risiko usaha cukup tinggi karena infrastruktur pengangkutan dan<br />
sarana pembayaran antardaerah masih sangat terbatas. Untuk<br />
membatasi risiko atas dana yang dimilikinya, sahabat pemilik<br />
dana memberi syarat atau batasan tertentu kepada sahabat<br />
pemilik usaha. Syaratnya, aset yang dibeli dengan dananya<br />
tidak boleh dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah<br />
yang berbahaya, atau untuk membeli ternak. Nabi Muhammad<br />
SAW menyetujui adanya syarat atau batasan ini, karena dengan<br />
demikian modal yang dimiliki oleh sahabat pemilik dana dapat<br />
menjadi produktif dan bermanfaat bagi masyarakat, sementara<br />
risiko masih dalam batas yang dapat diterima.<br />
Dalam hubungan kerja<br />
sama antara pemilik modal<br />
dengan pemilik usaha, di<br />
mana pemilik modal menye<br />
diakan seluruh modal<br />
untuk usaha, terdapat kaidah<br />
khusus. Kaidah tersebut menen<br />
tukan bahwa sebelum<br />
kerja sama dimulai, pemilik<br />
“Yang lebih<br />
membanggakan, ternyata<br />
IDB “belajar” dari<br />
Danareksa mengenai<br />
pengelolaan portofolio<br />
pembiayaan.”<br />
modal dan pemilik usaha harus sepakat atas rasio atau nisbah<br />
pembagian hasil keuntungan yang akan diperoleh. Namun,<br />
bila ternyata terjadi kerugian, maka kerugian harus ditanggung<br />
sepenuhnya oleh pemilik modal.<br />
Ketentuan ini dibuat mengingat pemilik usaha tidak ikut<br />
menyetor modal, melainkan hanya memberi kontribusi berupa<br />
185
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
tenaga, kemampuan, pengalaman, dan jaringan. Jadi, bila terjadi<br />
kerugian dan pemilik usaha harus ikut menanggung kerugian,<br />
maka pemilik usaha akan mempunyai utang kepada pemilik<br />
modal karena pemilik usaha tidak menyetor modal yang dapat<br />
dipakai untuk mengganti kerugian. Kondisi ini tidak diharapkan<br />
terjadi karena akan merusak hubungan kerja sama. Bila terjadi<br />
kerugian, pemilik usaha sudah kehilangan tenaga, waktu, dan<br />
reputasi. Tetapi lain halnya bila pemilik usaha tidak amanah,<br />
maka pemilik usaha harus bertanggung jawab.<br />
Contoh lain tentang sahabat yang mempunyai suatu barang<br />
dan ingin menjualnya ke pasar. Ternyata dalam perjalanan ke<br />
pasar, sahabat pemilik barang bertemu dengan sahabat lain yang<br />
ingin membeli barang tersebut. Kemudian mereka bernegosiasi<br />
dan sepakat melakukan transaksi jual beli sebelum si penjual<br />
sampai ke pasar. Namun karena ketentuan yang melarang<br />
pembelian barang sebelum penjual sampai ke pasar, maka mereka<br />
sepakat bahwa penjual mendapat hak khiyar, yaitu hak untuk<br />
meneruskan jual-beli atau membatalkan transaksi bila ternyata<br />
harga di pasar lebih tinggi daripada harga transaksi.<br />
Jelas bahwa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, manusia<br />
telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan manfaat<br />
dari kegiatan usaha, dengan mengendalikan biaya dan risiko<br />
melalui ketentuan-ketentuan tertentu atas akad-akad yang<br />
dibuat.<br />
<br />
Salah satu <strong>cara</strong> menciptakan manfaat adalah melalui akad<br />
kerja sama untuk saling memperkuat sehingga dapat memperoleh<br />
186
BERSAMA KITA BISA!<br />
hasil yang lebih besar dari jumlah hasil se<strong>cara</strong> sendiri-sendiri,<br />
dan dapat menciptakan sinergi.<br />
Allah SWT telah berfirman bahwa Dia telah menjadikan<br />
sebagian manusia lebih baik dari sebagian yang lain, agar dapat<br />
berguna bagi yang lain (QS 43:32). Dengan kata lain, manusia<br />
memang diciptakan untuk dapat berbeda, sebagian diciptakan<br />
untuk lebih baik dari sebagian yang lain supaya dapat berguna<br />
bagi sebagian yang lain tersebut. Sebaliknya, sebagian yang lain<br />
diciptakan untuk membutuhkan sebagian lain yang diciptakan<br />
lebih baik dari mereka. Namun, jarang sekali ada manusia yang<br />
diciptakan lebih baik dalam segala hal dari manusia yang lain,<br />
sehingga tidak pernah memerlukan manusia yang lain.<br />
Karena itu, Ibnu Khaldun menyatakan:<br />
“Setiap individu tidak dapat dengan sendirinya memperoleh<br />
atau memenuhi kebutuhan hidupnya. Semua<br />
harus saling bekerja sama untuk memperoleh kebutuhan<br />
hidup dalam peradabannya. Hasil kerja sama sejumlah<br />
ma nusia dapat menutupi kebutuhan beberapa kali lipat<br />
dari jumlah mereka sendiri. Bila pekerjaan penduduk<br />
sebuah kota dibagi-bagikan sesuai dengan kepentingan<br />
dan kebutuhan penduduk itu, maka hasilnya akan lebih<br />
banyak dari yang dibutuhkan (oleh seluruh penduduk<br />
itu).”<br />
Bekerja sama atau berserikat dengan tujuan untuk menggabungkan<br />
kemampuan yang diberikan oleh Allah SWT kepada<br />
manusia merupakan hal yang sangat dianjurkan.<br />
187
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Bahkan, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Allah<br />
SWT telah berfirman:<br />
“Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat,<br />
selama salah satu pihak tidak mengkhianati yang<br />
lain. Jika salah satu pihak berkhianat, Aku keluar dari<br />
(perserikatan) mereka.”<br />
Di samping menganjurkan kerja sama melalui serikat<br />
atau kongsi atau bentuk-bentuk kerja sama ekonomi lainnya,<br />
Allah SWT menegaskan bahwa modal utama dari kerja sama<br />
adalah kejujuran dan kemampuan memegang amanah.<br />
Sedangkan musuh utama kerja sama adalah pengkhianatan.<br />
Dapat dipahami bahwa persekutuan yang paling baik adalah<br />
persekutuan dengan pihak yang paling bermodal dan paling<br />
berkuasa. Dan Allah SWT adalah Yang Maha <strong>Kaya</strong> dan<br />
Mahakuasa. Sehingga dengan menyatakan bahwa Allah SWT<br />
akan menjadi sekutu dari semua manusia yang berserikat,<br />
selama tidak ada di antara mereka yang berkhianat. Itu adalah<br />
endorsement atau dukungan yang paling tinggi yang dapat<br />
diterima oleh manusia, oleh hamba Allah SWT Bila saja manusia<br />
dapat memahaminya.<br />
Pada masa Nabi Muhammad SAW, beliau menetapkan<br />
bahwa tanah-tanah yang mengandung air, baik untuk air minum,<br />
air pertanian maupun air garam, serta padang rumput dan hutan<br />
adalah milik bersama, milik seluruh umat manusia. Namun,<br />
Nabi Muhammad SAW juga pernah memberikan kepada orang<br />
Yahudi hak untuk mengelola tanah di Khaibar dengan prinsip<br />
bagi hasil tertentu. Kebijakan ini menandaskan, walaupun<br />
188
BERSAMA KITA BISA!<br />
sumber daya yang menyangkut kepentingan masyarakat harus<br />
dikuasai negara sebagai aset negara. Namun aset negara dapat<br />
pula dikelola melalui kontrak kerja sama untuk meningkatkan<br />
produktivitasnya. Dan, semua manusia—tanpa memandang<br />
agama atau golongan—mempunyai kesempatan yang sama<br />
menjadi mitra negara dalam mengelola aset negara tersebut.<br />
kerja sama antara badan atau lembaga umumnya dilakukan<br />
melalui suatu perjanjian atau ikatan (akad).<br />
Dalam akad kerja sama antara badan usaha ataupun lembaga<br />
Pemerintah, harus ditetapkan bagi hasil atau imbal jasa<br />
bagi badan atau lembaga yang menjadi mitra sesuai dengan<br />
kon tribusinya dalam peningkatan nilai. Bila bagi hasil dilakukan<br />
atas hasil produksi, baik bagi hasil pendapatan maupun bagi<br />
hasil keuntungan, maka akad yang berlaku tergantung pada<br />
hubungan dan kontribusi para pihak yang bekerja sama.<br />
Pada masa Khalifah Umar ditetapkan bahwa bagi hasil atas<br />
penggunaan tanah pemerintah adalah 50% dari hasil produksi,<br />
sedangkan bila seluruh modal dan biaya dibebankan kepada<br />
negara maka hasil untuk pengelola adalah sepertiga (33%).<br />
Kalau semua pihak sama-sama memberikan kontribusi<br />
modal atau aset dan kontribusi kemampuan usaha, akad kerja<br />
sama yang terjadi disebut Akad Musyarakah atau Shirkah.<br />
Mirip dengan kerja sama melalui badan hukum berbentuk perseroan<br />
terbatas. Perbedaannya terdapat pada penentuan bagi<br />
hasil (dividen). Karena dalam hal musyarakah, rasio pembayaran<br />
dividen (dividend payout ratio) atau nisbah bagi hasil harus<br />
ditentukan di muka (awal tahun anggaran). Sedangkan pada<br />
per seroan terbatas umumnya ditentukan pada setelah periode<br />
pem bukuan berakhir.<br />
189
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Bila ada satu pihak yang memberikan harta atau aset<br />
dan ada pihak lain yang menjadi pengelola atau pengusaha,<br />
dalam istilah syariah, pemilik harta adalah shahibul maal dan<br />
pengusaha adalah ‘mudharib’. Ada pun akadnya disebut Akad<br />
mudharabah. Pada akad ini, kerugian menjadi tanggung jawab<br />
pemilik harta, sedangkan keuntungan dibagi antara pemilik<br />
harta dan pengusaha menurut nisbah bagi hasil yang ditentukan<br />
di muka. Di samping itu, pemilik harta berhak sewaktu-waktu<br />
menarik penempatan dana atau hartanya.<br />
Mengapa ikatan musyarakah dan mudharaba lebih adil<br />
Baiklah, kita kaji jurus-jurus berikut ini.<br />
<br />
Saya sering mendapat pertanyaan maupun pernyataan yang<br />
menyatakan bahwa investasi dalam bentuk saham maupun<br />
obligasi di pasar modal adalah haram. Karena saham maupun<br />
obligasi hanyalah secarik kertas. Juga jual beli saham di bursa<br />
efek sama saja dengan judi. Bahkan, yang lebih menarik, banyak<br />
orang yang tidak bisa membedakan antara pasar modal dengan<br />
bursa saham.<br />
Firman-firman Allah SWT mengenai riba sebagian besar<br />
terdapat dalam surat Al Baqarah. Dalam bahasa Arab, al baqarah<br />
berarti sapi betina. Oleh karena itu, saya sering memakai cerita<br />
tentang sapi betina untuk menjelaskan mengenai perserikatan<br />
dan saham.<br />
Coba kita simak tamsil yang tersirat dari cerita berikut ini.<br />
Ada tiga orang sahabat: Ahmad, Benny, dan Cecep. Mereka<br />
sepakat untuk menjalin usaha bersama. Untuk menjalankan<br />
190
BERSAMA KITA BISA!<br />
usaha itu, mereka sepakat membeli seekor sapi betina yang akan<br />
mereka pelihara di mana susunya akan dijual, kotorannya akan<br />
dibuat pupuk, dan mudah-mudahan bisa melahirkan anak sapi.<br />
Mereka membeli seekor sapi dengan harga Rp.9 juta. Masingmasing<br />
menyeahkan modal Rp.3 juta, sehingga masing-masing<br />
memiliki sepertiga dari sapi betina tersebut.<br />
Sembilan bulan kemudian, sapi semakin gemuk. Selama<br />
jangka sembilan bulan itu pula, sapi peliharaan mereka telah<br />
menghasilkan susu yang banyak. Kotorannya pun telah diolah<br />
menjadi pupuk dan diperjual-belikan. Tiga sekawan itu sangat<br />
gembira karena mendapat hasil yang baik. Lebih-lebih setelah<br />
sapi betina itu bunting. Meeka semakin girang, karena alamat<br />
usaha menjanjikan banyak keuntungan.<br />
“Menerbitkan reksa dana<br />
syariah adalah salah<br />
satu mimpi saya sewaktu<br />
diangkat menjadi Direktur<br />
di Danareksa.”<br />
Tiba-tiba ada masalah<br />
pelik yang pelu mereka atasi.<br />
Cecep mendapat berita dari<br />
kampungnya. Orangtuanya<br />
meminta Cecep segera pulang<br />
kampung, karena orangtua<br />
nya berharap Cecep bisa<br />
me neruskan usaha keluarga di kampung. Karena itu, Cecep<br />
ingin mengambil haknya atas sapi betina tersebut. Bagaimana<br />
<strong>cara</strong>nya Tentu saja, Cecep memiliki hak sepertiga dari sapi<br />
betina itu. Tetapi ada masalah.<br />
“Apa yang harus dilakukan agar modal Cecep bisa di kembalikan,<br />
dan usaha bisa tetap dijalankan”<br />
“Apakah sapi betina harus dipotong dan diambil sepertiganya”<br />
191
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Tentu <strong>cara</strong> yang terbaik bukanlah dengan memotong sapi<br />
betina yang sedang bunting, tetapi adalah mencari orang lain<br />
yang mau menggantikan Cecep dalam investasi di sapi betina<br />
tersebut. Tentunya Ahmad atau Benny juga boleh.<br />
Pertanyaan berikut yang tak kalah pelik.<br />
“Berapa nilai penggantian modal Cecep”<br />
“Apakah tetap Rp.3 juta sesuai modal setoran awal”<br />
“Ataukah pada nilai lain”<br />
Sebenarnya, solusinya tidaklah sepelik yang dibayangkan.<br />
Jawabannya adalah mengikuti “nilai pasar”, persis seperti yang<br />
telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang<br />
terjadi pada kasus kurma Bilal.<br />
Tiga sekawan itu hanya perlu mencari tahu berapa harga sapi<br />
betina itu bila dijual di pasar. Katakanlah, sekarang harganya<br />
naik menjadi Rp.12 juta. Maka, nilai hak Cecep adalah sepertiga<br />
dari Rp.12 juta, yaitu Rp.4 juta. Berapa harga yang terjadi<br />
Terserah Cecep dan “investor” yang mau mengambil alih hak<br />
Cecep. Untuk bukti hak atas sapi betina tersebut, bisa saja<br />
tiga sekawan membuat sertifikat kepemilikan atas sapi. Bisa<br />
dibuat tiga lembar, masing-masing menyatakan kepemilikan<br />
atas sepertiga dari sapi betina tersebut. Nilai sertifikat berubah<br />
sesuai dengan nilai atau harga pasar dari sapi betina itu.<br />
Sejatinya, kisah sapi betina di atas hanyalah analogi,<br />
semacam tamsil yang dapat kita hubungkan dengan usaha lain<br />
di era mutakhir ini.<br />
Misalnya, ganti saja sapi betina dengan jenis usaha lain,<br />
seperti foto copy, usaha penyewaan mobil, atau dengan<br />
perusahaan seperti Astra International atau Medco Energi.<br />
192
BERSAMA KITA BISA!<br />
Dengan demikian, sertifikat kepemilikan sapi dapat kita sebut<br />
sebagai saham. Nah, sekarang menjadi lebih mudah. Apakah<br />
jual beli hak atas sepertiga sapi betina yang dinyatakan dengan<br />
sertifikat tadi dinyatakan sebagai jual beli kertas Tentu<br />
jawaban yang tepat, tidak. Dan, apakah akan dikatakan haram<br />
Jawabannya masih sama, tidak. Lalu, apakah mau dikatakan judi<br />
Karena “asset”-nya dan nilai pasar dari “asset” tersebut sangat<br />
jelas, tentu tidak bisa dikategorikan sebagai judi.<br />
Itulah analogi pasar modal.<br />
Pasar adalah pertemuan antara pihak yang saling memerlukan<br />
dan siap untuk menukarkan dengan sesuatu yang dimilikinya.<br />
Pasar ikan adalah pertemuan antara pihak yang punya<br />
ikan dan perlu uang, bertemu dengan pihak yang punya uang<br />
tapi perlu ikan. Demikian pula pasar burung, pasar buah, dan<br />
lain sebagainya. Pasar modal adalah pertemuan antara pihak<br />
yang punya peluang usaha atau investasi dan perlu modal<br />
bertemu dengan pihak yang punya modal tapi perlu peluang<br />
usaha atau investasi.<br />
Sertifikat atau saham yang dibi<strong>cara</strong>kan sebelumnya, dalam<br />
istilah keuangan disebut sebagai surat berharga dan dalam<br />
istilah pasar modal disebut sebagai ‘efek’. Jadi saham, obligasi,<br />
dan beberapa instrumen keuangan lainnya disebut sebagai efek.<br />
Karena itu, pasar modal menurut ketentuan Undang-undang<br />
adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan efek,<br />
penawaran efek kepada masyarakat, dan perdagangan efek,<br />
serta tentunya lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.<br />
Sedangkan bursa efek adalah suatu pihak atau lembaga yang<br />
menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana<br />
193
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
untuk mempertemukan penawaran jual dan permintaan beli<br />
dari pihak-pihak yang ingin memperdagangkan efek di antara<br />
mereka. Jadi, bursa efek adalah salah satu lembaga di<br />
pasar modal, sedangkan pasar modal itu tidak ada<br />
bentuk fisiknya. Tidak seperti Pasar Baru atau Pasar<br />
Senen.<br />
Pasar modal akan memungkinkan orang-orang yang<br />
memiliki usaha ataupun peluang usaha untuk mendapat modal<br />
bagi usahanya—baik yang dibukukan sebagai modal ataupun<br />
kewajiban jangka panjang. Pasar modal juga memungkinkan<br />
orang-orang yang mempunyai dana yang tidak terlalu besar<br />
untuk ikut memiliki suatu perusahaan yang besar dan ikut<br />
menikmati hasilnya. Tentunya seperti yang telah diajarkan oleh<br />
Nabi Muhammad SAW, selama tidak ada yang berkhianat—<br />
misalnya dengan memberikan informasi yang menyesatkan atau<br />
dengan menipu atau dengan korupsi, maka Tuhan akan selalu<br />
bersama mereka. Dan bila disertai oleh Tuhan Yang Mahakuasa,<br />
kebersamaan dalam usaha tersebut akan memberikan hasil yang<br />
baik dan halal. Karena itu, bila tidak ada yang khianat, usaha<br />
bersama akan memberikan keuntungan.<br />
Semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan <strong>cara</strong><br />
sesuai syariah.<br />
<br />
Pada tahun 1997, saat mengikuti seminar di Jogjakarta, saya<br />
berkenalan dengan Bapak M. Siddik, waktu itu Direktur IDB<br />
untuk kawasan Asia Tenggara. Seusai seminar, beliau mengirim<br />
beberapa buku dan jurnal terbitan Islamic Research and Training<br />
194
BERSAMA KITA BISA!<br />
Institute—IDB, yang kemudian saya share ke Ibu Sri Mulyani<br />
Indrawati, dosen FE-UI.<br />
Lalu, setelah terjadi krisis moneter di Indonesia, Menteri<br />
Keuangan, Bapak Mar’ie Muhammad, mengimbau IDB untuk<br />
membantu Indonesia. Delegasi IDB, dipimpin oleh Mr. D.<br />
M. Qureshi, Treasurer, datang ke Jakarta untuk me ngatur<br />
pelaksanaan dukungan IDB dalam pasar keuangan. Sebenarnya,<br />
saat itu, delegasi IDB dijadwalkan hanya bertemu dengan<br />
kalangan perbankan. Tetapi karena salah satu masalah besar<br />
adalah terkait dengan pasar modal, maka Pak Siddik mengusulkan<br />
saya untuk membawa proposal Danareksa ke dele gasi<br />
IDB. Waktu itu, saya belum mengenal IDB. Tetapi karena kami<br />
di Danareksa cukup paham masalah di pasar modal, maka kami<br />
ajukan proposal dalam pertemuan dengan IDB di Departemen<br />
Keuangan.<br />
Alhamdulillah, setelah a<strong>cara</strong> pertemuan di Departemen<br />
Keuangan selesai, D.M. Qureshi memutuskan untuk mengubah<br />
jadwal dan berkunjung ke kantor Danareksa yang berlokasi tepat<br />
di sebelah Bursa Efek Jakarta. Pertemuan siang itu berlanjut<br />
dengan pertemuan sampai malam di hotel tempat delegasi<br />
IDB menginap. Dan, pada akhir kunjungan, delegasi IDB<br />
menyatakan akan menempatkan dana sebesar US$ 100 juta dari<br />
Treasury IDB melalui Danareksa untuk jangka waktu 3 tahun.<br />
Tantangan yang dihadapi tidak mudah karena IDB belum<br />
pernah menempatkan dana dalam portofolio saham—apalagi di<br />
Indonesia yang sedang krisis moneter. Sementara itu, Danareksa<br />
juga belum pernah mengelola portofolio saham se<strong>cara</strong> syariah—<br />
apalagi dana IDB. Apalagi dana treasury IDB tidak boleh<br />
mencatatkan kerugian—dan harus dibukukan dalam US$ atau<br />
195
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Islamic Dinar. Oleh karena itu, IDB meminta adanya proteksi<br />
dana awal (capital protection).<br />
Waktu itu, nilai tukar rupiah sedang merosot dahsyat,<br />
harga saham anjlok tajam, tidak ada lembaga keuangan yang<br />
berani memberi jaminan nilai tukar. Menurut aturan IMF,<br />
Pe merintah Indonesia tidak boleh memberikan jaminan atas<br />
risiko penurunan nilai. Dan BI tidak bisa memberikan jaminan<br />
nilai tukar valuta.<br />
Bagaimana solusinya<br />
Pak Siddik mengajarkan kepada saya, M. Hanif dan Kanny<br />
Hidaya mengenai akad Mudharaba dan Murabaha. Pada akad<br />
Mudharaba, IDB sebagai pemilik dana akan menempatkan<br />
dana melalui Danareksa untuk dikelola dalam portofolio efek.<br />
Kalau untung, Danareksa akan mendapat bagi hasil. Kalau<br />
rugi, IDB yang akan menanggung semua kerugian. Tetapi IDB<br />
dapat sewaktu-waktu—tanpa pemberitahuan terlebih dahulu—<br />
menarik sebagian atau seluruh dana itu. Sedangkan dalam akad<br />
Murabaha, IDB akan membeli saham, kemudian menjual saham<br />
tersebut ke Danareksa dengan menambahkan marjin, karena<br />
Danareksa diberi waktu tiga tahun untuk melunasi pembayaran<br />
saham tersebut. Selama tiga tahun, tentunya, Danareksa bisa<br />
mengelola saham tersebut dan mendapatkan keuntungan kalau<br />
harga saham meningkat.<br />
Jelas lebih baik bagi Danareksa bila memakai akad Mudharabah,<br />
karena Danareksa tidak menanggung risiko. Namun, IDB<br />
keberatan karena IDB tidak bisa menanggung risiko. Bagi IDB,<br />
lebih baik memakai akad Murabaha karena ada kepastian marjin<br />
(dalam rupiah) dan bila dapat dikelola dengan baik tentunya<br />
196
BERSAMA KITA BISA!<br />
Danareksa bisa mendapat keuntungan. Itu kalau kondisi pasar<br />
uang membaik, bagaimana kalau tidak membaik<br />
Setelah bolak-balik Jakarta-Jeddah untuk negosiasi, akhirnya<br />
IDB setuju untuk mengadakan akad Mudharaba dan Murabaha.<br />
Berdasarkan perhitungan Danareksa, untuk jangka waktu 3<br />
tahun, peluang untuk memperoleh hasil minimal 0% (alias<br />
tidak rugi, alias kembali modal) adalah bila 30% dana dalam<br />
akad Mudharaba dan 70% dalam akad Murabaha. Dengan<br />
demikian, IDB tidak memerlukan jaminan Pemerintah atas<br />
hasil pengelolaan. Tetapi, agar Pemerintah tetap memberikan<br />
perhatian atas pengelolaan dana IDB oleh Danareksa, maka<br />
IDB meminta Pemerintah qq Kementerian Negara BUMN dan<br />
Bapepam untuk memberikan <strong>com</strong>fort letter yang menyatakan<br />
bahwa pengelolaan Danareksa memenuhi GCG.<br />
“Portofolio reksa dana<br />
syariah hanya boleh berisi<br />
efek syariah, sehingga<br />
‘zat’-nya juga sudah<br />
halal.”<br />
Akan tetapi, bagaimana<br />
dengan kepastian hasil dalam<br />
US$ Karena BI tidak bisa<br />
memberikan jaminan nilai<br />
tukar, maka Danareksa meminta<br />
Bank BUMN untuk<br />
memberikan stand<strong>by</strong> letter of<br />
credit. Kemudian Danareksa<br />
meminta BI untuk memberikan surat kepada IDB yang<br />
menyatakan bahwa BI mengetahui adanya stand<strong>by</strong> letter of<br />
credit tersebut. Dengan demikian, pengendalian risiko kerugian<br />
diatasi dengan kombinasi 30% dana Mudharaba dan 70% dana<br />
Murabaha. Sedangkan pengendalian risiko nilai tukar diatasi<br />
dengan penerbitan stand<strong>by</strong> letter of credit. Keduanya diperkuat<br />
dengan pernyataan dari Pemerintah sebagai pemilik Danareksa—<br />
197
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
melalui Meneg BUMN, otoritas pasar modal—melalui Bapepam,<br />
dan otoritas moneter—melalui BI.<br />
Wah, lumayan juga solusinya!<br />
Ada negosiasi yang menarik mengenai ketentuan akad<br />
Mudharaba yang menyatakan bahwa pemilik dana (IDB)<br />
dapat sewaktu-waktu menarik dananya. Sesuai kelaziman di<br />
pasar modal, lawyer Danareksa mengajukan klausul bahwa<br />
IDB dapat sewaktu-waktu menarik dana Mudharaba dengan<br />
pemberitahuan 40 hari kerja di muka (40 working days<br />
prior notice). Tetapi lawyer IDB menyatakan bahwa kontrak<br />
Mudharaba yang dipakai IDB selalu menyatakan bahwa IDB<br />
dapat sewaktu-waktu menarik dananya without prior notice<br />
(tanpa pemberitahuan di muka). Namun Danareksa diberi<br />
waktu 40 hari kerja untuk mencairkan dana tersebut ke dalam<br />
US$.<br />
Sebenarnya masalahnya sederhana. Dana Mudharaba dari<br />
IDB digunakan untuk investasi di saham dengan valuasi menurut<br />
harga pasar wajar pada hari yang bersangkutan. Karena jumlah<br />
dana cukup besar, sedangkan pasar saham di Jakarta tidak selalu<br />
“likuid”, maka apabila Danareksa harus segera menjual saham<br />
pada satu hari dikhawatirkan harga saham tersebut akan turun.<br />
Hal yang logis karena keseimbangan penawaran-permintaan akan<br />
terganggu. Lalu, siapa yang harus menanggung risiko turunnya<br />
harga saham Belum lagi adanya risiko perubahan nilai tukar<br />
dari Rupiah ke US$.<br />
Ternyata proses negosiasi ini sangat merepotkan, karena baik<br />
lawyer Danareksa maupun lawyer IDB sama-sama bersikeras<br />
dengan klausul yang mereka ajukan. Negosiasi melalui telepon<br />
198
BERSAMA KITA BISA!<br />
dan e-mail tidak membuahkan hasil. Lalu, saya nekad terbang<br />
ke Jeddah untuk bertemu lawyer IDB. Sesampai di Jeddah,<br />
saya langsung umroh dulu ke Mekkah, baru keesokan harinya<br />
ke kantor IDB. Dengan keyakinan, insya Allah, kalau niat baik<br />
akan ada jalan yang baik.<br />
Lawyer IDB kaget juga sewaktu saya muncul di<br />
kantornya. Lawyer asal Mesir ini cukup senior, badannya<br />
besar, penampilannya sangat berwibawa. Saya ajak ngobrol<br />
dulu agar lebih santai. Rupanya ia belum pernah ke Indonesia.<br />
Alkisah, sewaktu saya berikan oleh-oleh lukisan batik berisi<br />
peta Indonesia, kami bisa berbincang banyak hal tentang<br />
Indonesia. Kemudian, saya jelaskan tentang kondisi pasar modal<br />
di Indonesia, dan masalah likuiditas pasar yang memengaruhi<br />
harga saham. Alhamdulillah, lebih membahagiakan lagi, ia<br />
memahami penjelasan saya. Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa<br />
dana Mudharaba adalah aset IDB dan nilai yang dilaporkan<br />
adalah nilai pembukuan. Jadi sewaktu IDB menarik kembali<br />
dana Mudharaba, maka yang diserahkan ke IDB adalah aset<br />
Mudharaba dengan nilai buku dalam Rupiah yang dikonversikan<br />
ke US$ menurut nilai tukar hari tersebut. Nah, setelah serah<br />
terima, IDB akan meminta Danareksa untuk menjual aset<br />
IDB tersebut dalam waktu 40 hari kerja. Berapa pun hasilnya,<br />
IDB akan menerima. Meskipun, tentu saja, IDB berharap agar<br />
Danareksa berusaha dengan baik.<br />
Wah, rupanya telah terjadi kesalahpahaman. Danareksa<br />
khawatir atas risiko penurunan harga saham dan risiko nilai<br />
tukar, karena itu lawyer Danareksa meminta proteksi dalam<br />
bentuk 40 working days prior notice. Padahal, IDB sudah siap<br />
menanggung risiko tersebut dengan memberi klausul 40 working<br />
199
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
days to liquidate the Mudharaba asset. Dengan klausul ini, maka<br />
risiko penurunan harga saham dan risiko nilai tukar akan<br />
ditanggung IDB, Danareksa tidak perlu menanggung risiko<br />
itu. Jadi, masalahnya adalah masalah kemampuan komunikasi.<br />
Sudah diberi klausul yang bagus, kok malah ‘ngotot’.<br />
Ada kejadian yang menegangkan sewaktu akad dimulai.<br />
Hari Jumat adalah hari libur bagi IDB, sedang hari Sabtu dan<br />
Minggu adalah hari libur untuk Jakarta. Maka, untuk memulai<br />
pembelian saham, sebaiknya Danareksa membeli pada hari<br />
Kamis-Jumat dan laporan dikirim ke IDB pada hari Jumat<br />
malam dengan harapan IDB akan memproses pada hari Sabtu-<br />
Minggu sehingga pada hari Senin Danareksa dapat menerima<br />
dana pembayaran pembelian saham.<br />
Setelah semua dokumen selesai ditandatangani, kami mulai<br />
membeli saham pada hari Kamis-Jumat. Pada hari Senin, kami<br />
menunggu kiriman dana IDB di rekening Danareksa. Karena<br />
sampai siang hari dana belum sampai, maka kami menghubungi<br />
IDB. Ternyata IDB menyatakan bahwa ada satu dokumen<br />
yang belum diterima, padahal data kurir menunjukkan bahwa<br />
dokumen sudah sampai di kantor IDB, Jeddah.<br />
Kami panik, karena pada hari Rabu, Danareksa harus<br />
membayar pembelian saham-saham tersebut, sementara kami<br />
belum terbiasa menyelesaikan masalah seperti ini dengan IDB.<br />
Padahal, nilai pembelian lumayan besar. Kami putuskan untuk<br />
menjual kembali saham tersebut. Alhamdulillah, mungkin<br />
karena Danareksa banyak membeli saham, maka harga saham<br />
se<strong>cara</strong> umum naik. Hasilnya, sampai hari Rabu, saham-saham<br />
yang kami beli tersebut dapat kami jual dengan harga lebih<br />
200
BERSAMA KITA BISA!<br />
tinggi dari harga pembelian. Untuk sementara kami lega karena<br />
ternyata untung.<br />
Tiba-tiba treasury kami, Pak Evy Firmansyah mengabarkan<br />
bahwa hari Rabu itu ada dana masuk dari IDB, dengan nilai<br />
sama dengan nilai pembelian awal yang telah kami laporkan ke<br />
IDB. Berarti dokumen sudah diterima lengkap oleh IDB dan<br />
kontrak sudah berlaku. Tetapi masalahnya saham-saham itu<br />
sudah dijual dan harga sudah naik. Bagaimana pula ini<br />
Allah SWT memang sangat baik kepada kami, sewaktu<br />
kami berupaya membeli kembali saham pada<br />
hari Kamis-Jumat, ternyata harga saham turun menjadi<br />
se perti harga pada Kamis-Jumat minggu sebelumnya.<br />
Jadi, kami bisa membeli kembali saham-saham tersebut pada<br />
harga yang setara dengan dana yang dikirim IDB, berdasarkan<br />
laporan kami minggu sebelumnya. Alhamdulillah!!<br />
Untuk menjaga transparansi dan mengurangi kesalahpahaman,<br />
walaupun tidak diminta oleh IDB, Danareksa mengajukan<br />
investment guidelines dan trading guidelines yang akan<br />
menjadi aturan tambahan dalam pengelolaan portofolio saham<br />
tersebut. Baik atas saham yang se<strong>cara</strong> hukum memang milik<br />
IDB—yaitu dana Mudharaba, ataupun yang se<strong>cara</strong> hukum<br />
sebenarnya sudah milik Danareksa—yaitu portofolio Murabaha.<br />
IDB meminta laporan bulanan, Danareksa memberikan laporan<br />
mingguan. Dan setiap tiga bulan sekali, Danareksa datang ke<br />
kantor IDB untuk memberikan presentasi ke Treasury dan<br />
Risk Management IDB. Mereka senang sekali, Danareksa<br />
dipandang sebagai manajer investasi yang profesional setara<br />
manajer investasi global.<br />
201
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Yang lebih membanggakan, ternyata IDB “belajar” dari<br />
Danareksa mengenai pengelolaan portofolio pembiayaan.<br />
Kemudian IDB menggunakan komposisi portofolio pembiayaan<br />
pendapatan teratur (murabaha) dikombinasikan dengan<br />
portofolio pembiayaan atas aset (ijarah atau mudharabah) dalam<br />
produk IDB yang disebut sebagai trust certificate (semacam<br />
unit penyertaan reksa dana). Logika komposisi selaras dengan<br />
logika akad Mudharaba-Murabaha IDB dengan Danareksa, dan<br />
investment guidelines yang digunakan juga mirip dengan yang<br />
kami usulkan pada tahun 1999.<br />
Selama tahun pertama, harga saham terus meningkat dan<br />
nilai tukar terus membaik. Sehingga portofolio saham yang kami<br />
kelola berdasarkan dana IDB terus meningkat nilainya. Baik<br />
dalam ukuran rupiah, apalagi dalam ukuran US$. IDB senang<br />
sekali. Selain mendapat apresiasi karena membantu Indonesia,<br />
ternyata se<strong>cara</strong> komersial beruntung pula. Danareksa juga<br />
untung, dapat tambahan dana dan dapat bagi hasil. Pemerintah,<br />
Bapepam, dan BI juga gembira karena hasilnya baik. Saya juga<br />
beruntung, setelah saya tidak lagi di Danareksa ada teman-teman<br />
seperti M. Hanif, Josep Ginting, Priyo Santoso dan Reza Zahar<br />
yang melanjutkan langkah saya.<br />
Alhamdulillah, dengan niat baik, semua untung, semua<br />
kaya, semua bahagia, dengan <strong>cara</strong> sesuai syariah.<br />
Jurus Kebersamaan III: Reksa Dana <strong>Syariah</strong><br />
Saya beruntung karena ketika ditunjuk sebagai Direktur<br />
Utama PT. Danareksa Fund Management pada tahun 1995,<br />
Pemerintah dan DPR menerbitkan UU Pasar Modal yang<br />
memuat ketentuan tentang reksa dana—termasuk reksa<br />
202
BERSAMA KITA BISA!<br />
dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Sementara<br />
itu, Danareksa masih mengelola portofolio untuk Sertifikat<br />
Danareksa. Sehingga, kami dapat dengan segera menerbitkan<br />
reksa dana berbentuk KIK. Reksa dana pertama yang kami<br />
terbitkan adalah reksa dana portofolio saham (Danareksa<br />
Mawar), portofolio efek pendapatan tetap (Danareksa Melati),<br />
dan portofolio campuran (Danareksa Anggrek).<br />
Ketika itu, saya juga beruntung karena kondisi pasar modal<br />
sedang marak, sehingga—dalam waktu singkat—dana yang<br />
dikelola dalam ketiga reksa dana tersebut sudah hampir mencapai<br />
batas maksimum. Dengan pengalaman kami mengelola reksa<br />
dana dan jumlah dana yang hampir mencapai batas maksimum,<br />
terbuka kesempatan bagi kami untuk menerbitkan reksa dana<br />
baru—berarti peluang bagi kami untuk menerbitkan reksa dana<br />
syariah. Ya, menerbitkan reksa dana syariah adalah salah satu<br />
mimpi saya sewaktu diangkat menjadi Direktur di Danareksa.<br />
Mungkin saja terlintas pertanyaan di benak Anda.<br />
“Apakah reksa dana syariah itu”<br />
“Bagaimana <strong>cara</strong> menerbitkan dan mengelola reksa dana<br />
syariah”<br />
“Apa manfaat reksa dana syariah bagi masyarakat”<br />
Baiklah, sebelum saya menguraikannya, kita kupas dulu<br />
masalah investasi di pasar modal. Investasi di pasar modal<br />
membutuhkan kemampuan mengelola suatu portofolio efek<br />
serta dukungan sistem informasi yang dapat memberikan<br />
data dan informasi yang akurat dan mutakhir. Di samping<br />
itu, untuk membentuk suatu portofolio yang baik, diperlukan<br />
jumlah dana investasi yang cukup besar. Sehingga, bagi banyak<br />
203
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
orang yang hanya memiliki dana investasi terbatas, serta tidak<br />
memiliki kemampuan pengelolaan investasi dan dukungan<br />
sistem informasi, akan mengalami kesulitan dalam mencapai<br />
hasil yang optimal. Di sinilah reksa dana dapat berperan.<br />
“Pasar modal bukanlah<br />
suatu lembaga keuangan<br />
atau produk keuangan,<br />
tetapi serangkaian<br />
kegiatan yang terkait<br />
dengan instrumen<br />
investasi yang disebut<br />
efek.”<br />
Reksa dana adalah wadah<br />
untuk menghimpun dana<br />
dari masyarakat pemodal,<br />
yang akan diinvestasikan<br />
kembali ke dalam portofolio<br />
efek, yang dikelola oleh ma -<br />
najer investasi. Harta bersama<br />
milik para pemodal<br />
itu akan disimpan dan di ad -<br />
ministrasikan oleh bank kustodian.<br />
Jadi, manajer investasi<br />
dan bank kustodian akan menjadi wakil dari para pemodal<br />
untuk mengelola dana investasi milik para pemodal, dalam<br />
bentuk suatu portofolio investasi. Dalam istilah syariah, ikatan<br />
ini disebut Akad Wakala.<br />
“Bagaimana <strong>cara</strong> memastikan bahwa manajer investasi dan<br />
bank kustodian memiliki kemampuan yang diperlukan serta akan<br />
menjalankan tugas sesuai dengan amanah yang diberikan”<br />
Itu adalah tugas dan wewenang Bapepam. Oleh karena itu,<br />
Bapepam membuat peraturan tentang kualifikasi dan sertifikasi<br />
bagi perusahaan sekuritas yang memberikan jasa manajemen<br />
investasi, serta bank yang memberikan jasa bank kustodian.<br />
Kemudian, Bapepam juga membuat aturan mengenai <strong>cara</strong><br />
pembuatan Kontrak Investasi Kolektif (KIK), <strong>cara</strong> penerbitan<br />
reksa dana, dan <strong>cara</strong> pengelolaan portofolio reksa dana. Sehingga,<br />
204
BERSAMA KITA BISA!<br />
pemodal dapat mengetahui manajer investasi, bank kustodian<br />
dan reksa dana mana yang memenuhi syarat dan mana yang<br />
tidak.<br />
“Bagaimana <strong>cara</strong> mengetahui peluang hasil dan risiko yang<br />
dihadapi”<br />
“Bagaimana mengetahui hak kita atas harta bersama dalam<br />
reksa dana”<br />
Bapepam juga telah membuat aturan mengenai keterbukaan<br />
informasi. Pada saat reksa dana diterbitkan, pengelola reksa<br />
dana harus menerbitkan prospektus yang memuat informasi<br />
tentang batasan komposisi portofolio, pedoman investasi, risiko<br />
investasi, dan berbagai informasi lainnya. Kemudian, Bapepam<br />
juga telah membuat aturan <strong>cara</strong> bank kustodian membukukan<br />
harta bersama milik pemodal, menghitung nilai bersih dari harta<br />
tersebut, mencatat jumlah unit penyertaan, serta menerbitkan<br />
nilai aktiva bersih untuk tiap unit penyertaan pada setiap hari<br />
kerja bursa. Dengan demikian, pemodal bisa mengetahui nilai<br />
bersih dari investasinya. Di samping itu, setiap enam bulan<br />
sekali, harus diterbitkan laporan keuangan yang telah diaudit<br />
oleh akuntan publik. Jadi, governance dan transparansi dari reksa<br />
dana sangat baik sekali.<br />
Pertanyaan berikutnya: Bagaimana <strong>cara</strong> mengetahui<br />
bahwa kehalalan dari hasil investasi reksa dana syariah<br />
Peraturan Bapepam mengenai pengelolaan reksa dana jelas<br />
menjamin terhindarnya kondisi gharar dan maysir. Jadi, <strong>cara</strong><br />
perolehannya sudah jelas halal. Kemudian, portofolio reksa<br />
dana syariah hanya boleh berisi efek syariah, sehingga ‘zat’-nya<br />
juga sudah halal. Kebersamaan pemodal dalam reksa dana<br />
205
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
juga memberi manfaat dalam mencapai diversifikasi portofolio<br />
yang optimal. Jadi, membawa kemaslahatan bersama. Sehingga<br />
melalui reksa dana syariah diharapkan pemodal mendapat<br />
hasil yang optimal dan halal, perusahaan (emiten) mendapat<br />
pembiayaan melalui penerbitan efek, likuiditas pasar modal<br />
meningkat, ketahanan pasar modal terhadap serbuan spekulan<br />
bertambah.<br />
Semua bisa tambah kaya dan tambah bahagia,<br />
dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
Jurus Kebersamaan IV: Obligasi Mudharaba<br />
Sistem pembukuan di Indonesia, memisahkan pembukuan<br />
penempatan modal menurut ikatan jangka waktu. Bila<br />
penempatan modal adalah untuk selamanya, alias tidak akan<br />
ditarik kembali, maka dibukukan sebagai setoran modal—<br />
yang dalam bahasa Inggris disebut equity. Bila penempatan<br />
untuk jangka panjang, artinya wajib dikembalikan, maka<br />
dibukukan sebagai kewajiban jangka panjang. Sedangkan kalau<br />
penempatannya untuk jangka pendek, yang umumnya terkait<br />
dengan transaksi antara perusahaan dengan pihak lain, maka<br />
dibukukan sebagai kewajiban jangka pendek.<br />
Di samping masalah jangka waktu penempatan, ada juga<br />
masalah imbal hasil. Penempatan dana sebagai setoran modal<br />
berhak untuk mendapat imbal hasil berupa dividen (bagi hasil<br />
keuntungan). Penempatan dalam jangka waktu tertentu, baik<br />
jangka panjang maupun jangka pendek, umumnya mendapat<br />
imbal hasil berupa bunga. Namun, ada masalah dengan<br />
bunga, yaitu bila tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh<br />
perusahaan dari pemanfaatan dana yang ditempatkan tersebut.<br />
206
BERSAMA KITA BISA!<br />
Oleh karena itu, timbul ide untuk mengatur penempatan<br />
dalam jangka waktu tertentu dengan imbal hasil berupa bagi<br />
hasil. Penempatan serupa ini dalam istilah syariah adalah<br />
menurut Akad Mudharabah. Hanya ada beberapa hal yang<br />
perlu disesuaikan.<br />
Pertama, menurut syariah, pemilik dana berhak menarik<br />
dana sewaktu-waktu, sehingga dalam hal ini pemilik dana<br />
harus menyatakan bahwa pemilik dana tidak akan menarik<br />
dananya sebelum waktu yang telah disepakati. Kedua, dalam<br />
akad Mudharabah, pemilik dana menyediakan seluruh dana<br />
yang diperlukan untuk kegiatan usaha tertentu tersebut. Dalam<br />
hal ini, manajemen perlu membuat pembukuan khusus atas<br />
pemanfaatan dana mudharabah ini, termasuk pembukuan<br />
atas hasil yang diperoleh. Dengan demikian, perhitungan dan<br />
pembayaran bagi hasil bisa lebih transparan dan lebih adil.<br />
Ketiga, nisbah atau rasio bagi hasil harus ditetapkan di muka.<br />
Di sini ada hal yang menarik, bagi hasil adalah untuk pemilik<br />
dana dan untuk pemilik usaha. Dalam hal perseroan terbatas,<br />
pemilik usaha terdiri dari pemegang saham, manajemen, dan<br />
perseroan. Sehingga, dalam hal ini, sebelum kegiatan usaha<br />
dijalankan, harus ditentukan nisbah bagi hasil untuk pemilik<br />
dana—yang akan dibukukan sebagai biaya, nisbah bagi hasil<br />
untuk pemegang saham—yang akan dibukukan sebagai dividen,<br />
nisbah bagi hasil untuk manajemen—yang lazim disebut sebagai<br />
tantiem/bonus, dan nisbah bagi hasil bagi perseroan—yang<br />
lazim disebut laba ditahan atau cadangan.<br />
Yang menarik bagi saya yang pernah jadi Direktur, rasio<br />
tantiem atau bonus terhadap laba usaha ditentukan di muka.<br />
Hasilnya, manajemen mempunyai motivasi yang kuat untuk<br />
207
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
mencapai laba usaha yang tinggi. Sewaktu saya menjadi Direktur<br />
Utama Jamsostek, kami pernah mencapai laba usaha di atas<br />
Rp.800 miliar—jauh di atas anggaran. Akan tetapi, sebagai<br />
Direktur Utama, saya hanya mendapat tantiem tidak sampai<br />
1/1000 dari laba usaha tersebut. Sedih juga. Curhat nih!<br />
Penempatan dana untuk jangka panjang dibukukan sebagai<br />
kewajiban jangka panjang, dan instrumen yang diterima oleh<br />
pemilik dana disebut sebagai obligasi. Jadi, bila atas penempatan<br />
dana jangka panjang tersebut akan diberikan bagi hasil, maka<br />
ikatannya adalah akad mudharabah, sehingga instrumen yang<br />
digunakan disebut sebagai “obligasi mudharabah”.<br />
Obligasi syariah yang pertama diterbitkan di Indonesia<br />
adalah obligasi mudharabah yang diterbitkan oleh PT. Indonesia<br />
Sattelite (Indosat). Orang yang “nekad” menerbitkan obligasi<br />
syariah tersebut adalah Yunino Yahya, Direktur Keuangan<br />
Indosat. Saya sebut nekad karena pada saat itu belum ada<br />
peraturan yang mengatur penerbitan obligasi syariah. Jadi,<br />
obligasi tersebut diterbitkan mengikuti ketentuan Bapepam<br />
mengenai penerbitan obligasi, ditambah dengan fatwa DSN<br />
mengenai obligasi syariah mudharabah. Dan, Sang Direktur<br />
Keuangan sudah menyiapkan pembukuan yang khusus untuk<br />
perhitungan bagi hasil. Dengan “bondo nekad” alias “bonek”,<br />
tetapi didukung dengan sistem yang baik dan kepatuhan pada<br />
peraturan, maka investor mendapat hasil yang halal dan adil,<br />
Indosat memperoleh dana yang diperlukan untuk pengembangan<br />
usaha dan mendapat keuntungan. Selain itu, Bapepam senang<br />
peraturan dipatuhi, DSN bahagia karena obligasi syariah<br />
diterbitkan, Direktur Keuangan juga senang karena terobosannya<br />
mendatangkan keuntungan.<br />
208
BERSAMA KITA BISA!<br />
Semua kaya, semua bahagia, dengan jurus syariah.<br />
<br />
Setelah menerbitkan reksa dana syariah pertama di<br />
Indonesia, kami menghadapi tantangan untuk membuktikan<br />
bahwa pengelolaan reksa dana yang sesuai dengan prinsip<br />
syariah akan memberikan hasil yang lebih baik dengan risiko<br />
yang lebih kecil.<br />
Tantangannya, bagaimana <strong>cara</strong> membuktikan pendapat itu<br />
Pada 1997, sewaktu saya memimpin teman-teman di<br />
Danareksa menerbitkan reksa dana syariah, pengetahuan kami<br />
tentang prinsip syariah masih sangat terbatas. Kami hanya tahu<br />
bahwa syariah adalah bagi hasil. Saat itu, instrumen investasi<br />
di pasar modal yang memberikan bagi hasil hanyalah saham.<br />
Bagi hasil atas keuntungan dalam bentuk dividen. Memang<br />
ada obligasi bagi hasil yang diterbitkan oleh CMNP, tetapi<br />
jumlahnya kecil dan struktur bagi hasil masih belum jelas. Jadi,<br />
saat itu kami berpendapat bahwa reksa dana yang sesuai dengan<br />
syariah hanyalah reksa dana saham. Sehingga reksa dana syariah<br />
pertama adalah reksa dana dengan portofolio saham.<br />
Namun, ada pertanyaan yang mencuat setelahnya.<br />
“Saham-saham mana yang boleh dibeli”<br />
“Bagaimana mengukur tingkat keberhasilan pengelolaan<br />
portofolio saham yang sesuai dengan prinsip syariah itu”<br />
Sebenarnya, pada saat kami meluncurkan reksa dana<br />
syariah yang pertama, DSN belum didirikan dan MUI belum<br />
mengeluarkan fatwa tentang reksa dana syariah. Tetapi karena<br />
saat itu Bapak Putu Ary Suta -Ketua Bapepam, Bapak Arys Ilyas,<br />
209
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
dan K.H. Ma’ruf Amin sangat mendukung niat kami, maka reksa<br />
dana syariah itu dapat diluncurkan. Untuk amannya, portofolio<br />
investasi reksa dana syariah tersebut hanya kami isi dengan<br />
saham. Adapun dana likuiditas kami tempatkan di bank umum<br />
syariah. Sedangkan untuk seleksi perusahaan (emiten), kami<br />
menggunakan kriteria yang umum dipakai oleh bank umum<br />
syariah. Jadi, melalui dukungan kerja sama dengan Bapepam,<br />
MUI, dan bank umum syariah, reksa dana syariah yang pertama<br />
dapat diluncurkan dan dapat beroperasi sesuai prinsip syariah.<br />
Sebagai tolok ukur<br />
untuk investasi saham se<strong>cara</strong><br />
umum, Bursa Efek Jakarta<br />
(BEJ)—yang sekarang telah<br />
bergabung dengan Bursa<br />
Efek Surabaya menjadi Bursa<br />
Efek Indonesia, telah memiliki<br />
Indeks Harga Saham<br />
“Saling tolong-menolong<br />
dalam menanggulangi<br />
risiko dapat dilakukan<br />
dengan jurus ta’awuntakafuli.<br />
Gabungan (IHSQ) dan Indeks Saham-Saham yang Likuid<br />
(LQ-45).<br />
Sementara itu, pada Februari 1999, Dow Jones, lembaga<br />
penyedia jasa informasi untuk dunia keuangan, telah<br />
meluncurkan indeks saham untuk saham-saham yang diperdagangkan<br />
di New York Stock Exchange. Dow Jones<br />
menggunakan nama The Dow Jones Islamic Market Index<br />
(DJIM). Maksudnya adalah indeks atau tolok ukur untuk<br />
investasi di NYSE yang sesuai dengan pasar/investor Islami.<br />
Pada November 1999, Financial Times Stock Exchange<br />
(FTSE) International di London juga meluncurkan The FTSE<br />
Global Islamic Indices Series (FTSE-GIIS) dan The International<br />
210
BERSAMA KITA BISA!<br />
Finance Corporation Indices, unit dari IFC-World Bank, telah<br />
meluncurkan tolok-ukur (benchmark) untuk Islamic Leasing<br />
Fund.<br />
“Apakah Indonesia bisa punya indeks harga saham yang sesuai<br />
dengan syariah”<br />
Saya mengontak Mas Ahmad Daniri, pimpinan BEJ, untuk<br />
mengajak BEJ menerbitkan indeks harga saham syariah. Ternyata<br />
Pak Daniri dan teman-teman di BEJ sangat antusias. Tetapi<br />
pertanyaannya, “Siapa yang akan bertanggung jawab atas<br />
kesesuaian dengan prinsip syariah dari saham-saham<br />
yang akan dipilih sebagai bagian dari indeks harga<br />
saham tersebut”<br />
Setelah negosiasi yang cukup alot, tetapi karena semua pihak<br />
sangat ingin meluncurkan indeks harga saham syariah maka<br />
akhirnya kesepakatan diperoleh. BEJ akan menerbitkan indeks<br />
yang akan diberi nama Jakarta Islamic Index (JII). Saham-saham<br />
yang membentuk JII akan dipilih dari daftar saham syariah.<br />
Danareksa bertanggung jawab untuk menyusun daftar saham<br />
syariah. Untuk itu, Danareksa akan meminta pendapat dari<br />
Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong> (DPS) yang telah ditunjuk MUI<br />
untuk Danareksa—yang terdiri dari K.H. Ma’ruf Amin, Dr.<br />
Anwar Ibrahim, dan Drs. Hasanuddin Syathori.<br />
Bila untuk LQ-45 dipilih 45 saham dari saham-saham yang<br />
paling liquid di BEJ, berapa jumlah saham yang masuk<br />
ke JII Pada saat itu, Danareksa memperkirakan ada lebih dari<br />
100 saham yang sesuai syariah. Jadi, jumlahnya sebaiknya tidak<br />
lebih dari 50. Karena LQ-45 terdiri dari 45 saham, berarti dari<br />
angka keramat 17 atau 8 atau 45, tinggal 17 atau 8. Namun,<br />
211
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
kedua-duanya terlalu kecil untuk menjadi representasi saham<br />
syariah. Akhirnya kita pilih 28 saham.<br />
Guna memilih saham yang akan membentuk JII, pertamatama<br />
dipilih perusahaan yang kegiatan usahanya tidak ber tentangan<br />
dengan syariah serta telah mencatatkan sahamnya di<br />
bursa lebih dari 1 tahun. Kemudian, dipilih perusahaan yang<br />
pendapatan bunga kurang dari 5% dan rasio hutang terhadap<br />
total aset kurang dari 90%. Dari daftar yang tersusun, dipilih 60<br />
saham dengan kapitalisasi pasar yang terbesar. Kemudian dipilih<br />
28 saham berdasarkan likuiditas perdagangan yang tertinggi.<br />
Daftar ini akan diteliti ulang setiap 6 bulan dan daftar baru<br />
akan digunakan setiap awal bulan Januari dan Juli.<br />
Dengan kebersamaan Bapepam, MUI, bank umum<br />
syariah, BEJ, dan Danareksa, maka Jakarta Islamic Index dapat<br />
diluncurkan pada bulan Juli tahun 2000.<br />
Semua bahagia, semua “kaya teman”.<br />
Jurus Kebersamaan VI: Prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal<br />
Setelah penerbitan reksa dana syariah dan obligasi syariah,<br />
serta peluncuran Jakarta Islamic Indeks, Bapepam merasa sudah<br />
waktunya dibuat aturan khusus tentang investasi syariah di pasar<br />
modal. Oleh karena itu, di tahun 2003, Bapepam bersama BEJ<br />
dan lembaga penunjang pasar modal lainnya, dengan dukungan<br />
DSN, mencanangkan peluncuran pasar modal syariah.<br />
Namun, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab.<br />
Jika pada perbankan ada Bank Umum <strong>Syariah</strong>, BPR<br />
<strong>Syariah</strong>, dan Unit Usaha <strong>Syariah</strong> di bank umum konvensional,<br />
bagaimana di pasar modal<br />
212
BERSAMA KITA BISA!<br />
Bila ada Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong> untuk Bank<br />
Umum <strong>Syariah</strong>, BPR <strong>Syariah</strong>, dan Unit Usaha <strong>Syariah</strong>,<br />
ba gaimana di pasar modal<br />
Menurut ketentuan Undang-undang, pasar modal adalah<br />
kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan<br />
perdagangan efek, perusahaan publik (terbuka atau Tbk.) yang<br />
berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan<br />
profesi yang berkaitan dengan efek. Lembaga pasar modal adalah<br />
bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga penyim<br />
panan dan penyelesaian. Sedangkan lembaga keuangan<br />
yang terkait adalah perusahaan sekuritas yang memberikan jasa<br />
penjaminan emisi efek, perantara pedagang efek, dan manajemen<br />
investasi. Instrumen investasinya antara lain adalah saham dan<br />
obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan (emiten) serta unit<br />
penyertaan dari reksa dana.<br />
Jadi, yang mana yang harus syariah<br />
Pada saat itu, saya menerbitkan buku dengan judul Prinsip<br />
<strong>Syariah</strong> di Pasar Modal. Mengapa judulnya demikian Menurut<br />
pendapat saya, pasar modal bukanlah suatu lembaga keuangan<br />
atau produk keuangan, tetapi serangkaian kegiatan yang terkait<br />
dengan instrumen investasi yang disebut efek. Sehingga, bukan<br />
pasar modalnya yang dijadikan syariah, tetapi kegiatan pasar<br />
modal harus sesuai dengan prinsip syariah.<br />
Tidak sependapat Mari kita kaji satu persatu.<br />
Perusahaan sekuritas adalah lembaga keuangan, tetapi tidak<br />
memberikan produk kepada nasabah melainkan jasa, yaitu jasa<br />
penjaminan emisi—guna membantu perusahaan menerbitkan<br />
efek, jasa perantara pedagang efek—guna membantu investor<br />
213
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
dalam memebli atau menjual efek, serta jasa manajemen<br />
investasi—guna membantu investor dalam mengelola suatu<br />
portofolio investasi.<br />
Bursa Efek adalah pihak atau lembaga yang menye lenggarakan<br />
dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan<br />
penawaran jual dan beli investor (pemodal) dengan<br />
tujuan untuk memperdagangkan efek di antara investor. Jadi,<br />
bursa efek dapat dianalogikan dengan bursa mobil, atau bursa<br />
lukisan. Produk yang menjadi objek pada bursa efek adalah<br />
efek, pada bursa mobil adalah mobil, dan pada bursa lukisan<br />
adalah lukisan.<br />
Pada perbankan, yang menerima dana masyarakat adalah<br />
bank, dan bank adalah lembaga keuangan. Sedangkan pada<br />
pasar modal, yang menerima dana masyarakat adalah perusahaan<br />
(emiten) atau reksa dana, di mana perusahaan menerima dana<br />
tersebut bukan dalam fungsi sebagai lembaga keuangan.<br />
Jadi, yang perlu sesuai syariah adalah objek investasi<br />
yaitu efek, yaitu instrumen yang diterbitkan oleh pihak yang<br />
menerima dana masyarakat yaitu emiten dan reksa dana, serta<br />
<strong>cara</strong> perdagangan efek. Karena itu, se<strong>cara</strong> pribadi saya sangat<br />
berbahagia, ketika tahun 2006 Bapepam menerbitkan keputusan<br />
tentang penerbitan efek syariah di mana Bapepam memakai<br />
istilah Prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal, bukan istilah Pasar Modal<br />
<strong>Syariah</strong>. Menurut ketentuan tersebut, prinsip syariah di<br />
pasar modal adalah “prinsip-prinsip hukum Islam dalam<br />
kegiatan di bidang pasar modal berdasarkan fatwa DSN-<br />
MUI, baik fatwa DSN-MUI yang ditetapkan dalam<br />
peraturan Bapepam-LK maupun fatwa DSN-MUI yang<br />
telah diterbitkan sebelumnya, sepanjang fatwa tersebut<br />
214
BERSAMA KITA BISA!<br />
tidak bertentangan dengan peraturan Bapepam-LK yang<br />
didasarkan pada fatwa DSN-MUI.”<br />
Bapepam juga menetapkan bahwa Efek <strong>Syariah</strong> adalah<br />
efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pasar<br />
Modal dan peraturan pelaksanaannya, yang akad maupun <strong>cara</strong><br />
penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal.<br />
Sedangkan Akad <strong>Syariah</strong> adalah perjanjian/kontrak yang sesuai<br />
dengan Prinsip-prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar Modal, sebagaimana<br />
ditetapkan dalam Peraturan Bapepam-LK.<br />
Bagaimana dengan Dewan Pengawas <strong>Syariah</strong><br />
Kelihatannya Bapepam berpendapat bahwa DPS adalah<br />
“domain”-nya DSN. Sehingga, Bapepam membuat ketentuan<br />
bahwa setiap pihak yang menerbitkan Efek <strong>Syariah</strong> wajib<br />
memenuhi kepatuhan terhadap Prinsip-prinsip <strong>Syariah</strong> di Pasar<br />
Modal yang terkait dengan Efek <strong>Syariah</strong> yang diterbitkan. Jadi,<br />
apabila DSN mengeluarkan fatwa bahwa harus ada DPS, maka<br />
semua perusahaan yang menerbitkan obligasi syariah (sukuk)<br />
atau suatu reksa dana menerbitkan unit penyertaan syariah<br />
harus mempunyai DPS.<br />
Di samping itu, ada kaidah syariah yang menyatakan bahwa<br />
untuk urusan hubungan antarmanusia (muamalah), segala<br />
sesuatu diperbolehkan sampai timbulnya larangan. Oleh karena<br />
itu, Bapepam membuat aturan bahwa bila suatu pihak yang<br />
menerbitkan Efek <strong>Syariah</strong> dan menyatakan bahwa kegiatan<br />
usaha serta <strong>cara</strong> pengelolaannya berdasarkan Prinsip-prinsip<br />
<strong>Syariah</strong> di Pasar Modal, maka pihak tersebut wajib menyatakan<br />
bahwa kegiatan usaha serta <strong>cara</strong> pengelolaan usahanya dilakukan<br />
berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal, sebagaimana<br />
215
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
tertuang dalam Anggaran Dasar Perseroan atau Kontrak<br />
Investasi Kolektif (KIK). Selain itu, pihak (perusahaan atau reksa<br />
dana) tersebut wajib menyatakan bahwa jenis usaha, produk<br />
barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan <strong>cara</strong><br />
pengelolaan perusahaan pihak yang melakukan penawaran<br />
umum tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip <strong>Syariah</strong> di<br />
Pasar Modal.<br />
Dan, karena Bapepam tidak memiliki jurisdiksi atas Dewan<br />
Pengawas <strong>Syariah</strong> (DPS), maka Bapepam membuat ketentuan<br />
bahwa perusahaan tersebut wajib memiliki anggota direksi<br />
dan anggota komisaris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang<br />
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal.<br />
Sedangkan reksa dana harus memiliki wakil manajer investasi<br />
(pada perusahaan manajemen investasi) dan penanggungjawab<br />
atas pelaksanaan kegiatan kustodian (pada bank kustodian) yang<br />
mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan prinsipprinsip<br />
syariah di pasar modal.<br />
Dengan demikian, para pemodal, perusahaan (emiten),<br />
perusahaan sekuritas, lembaga dan profesi yang berkaitan<br />
dengan efek akan dapat membangun kebersamaan yang saling<br />
menguntungkan dan tetap mematuhi prinsip syariah.<br />
Jadi semua kaya, semua bahagia, <strong>cara</strong> syariah.<br />
Jurus Kebersamaan VII: Unit Link<br />
Sebagaimana telah disampaikan, saling tolong-menolong<br />
dalam menanggulangi risiko dapat dilakukan dengan jurus<br />
ta’awun-takafuli. Kebersamaan dalam melakukan investasi di<br />
pasar modal dapat dilakukan melalui reksa dana syariah. Tolong-<br />
216
BERSAMA KITA BISA!<br />
menolong antara masyarakat dan negara dalam meningkatkan<br />
perekonomian dapat berlangsung melalui instrumen Surat<br />
Berharga <strong>Syariah</strong> Negara—atau lebih dikenal dengan nama<br />
Sukuk Ritel. Kita dapat pula menggalang kebersamaan yang<br />
menggabungkan jurus ta’awun-takafuli, reksa dana syariah,<br />
obligasi/sukuk syariah, dan Sukuk Ritel.<br />
Seperti apa kebersamaan itu<br />
Ketika saling tolongmenolong<br />
dalam me nanggu<br />
langi risiko melalui<br />
produk ta’awun-takafuli,<br />
para pihak (peserta) akan<br />
menghimpun dana melalui<br />
pembayaran iuran. Dana<br />
Kebersamaan dalam<br />
melakukan investasi<br />
di pasar modal dapat<br />
dilakukan melalui reksa<br />
dana syariah.”<br />
tersebut akan digunakan untuk memberikan jaminan atau<br />
santunan bila salah seorang peserta mengalami musibah.<br />
Tentunya, jaminan atau santunan tersebut harus sesuai dengan<br />
kesepakatan bersama. Iuran tersebut bersifat waqaf atau sedekah<br />
dengan harapan akan memperoleh barokah dari Allah SWT.<br />
Karena itu, dana yang terbentuk disebut sebagai dana tabarru’.<br />
Untuk meningkatkan daya guna, dana tabarru’ tersebut<br />
harus dikelola dengan baik oleh pengelola. Cara pengelolaan<br />
dana tabarru’ agar sesuai prinsip syariah dapat dilakukan dengan<br />
<strong>cara</strong> yang mirip dengan pengelolaan portofolio investasi di<br />
reksa dana syariah. Sementara itu, pengelola juga bertugas<br />
untuk mengumpulkan iuran dari para peserta. Oleh karena itu,<br />
pengelola tersebut akan mempunyai kompetensi yang baik dalam<br />
melakukan penagihan (collection) dan pencatatan iuran. Nah,<br />
bagaimana kalau kedua keahlian pengelola tersebut digabungkan<br />
217
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
“Cara pengelolaan dana<br />
tabarru’ agar sesuai<br />
prinsip syariah dapat<br />
dilakukan dengan <strong>cara</strong><br />
yang mirip dengan<br />
pengelolaan portofolio<br />
investasi di reksa dana<br />
syariah.”<br />
Bila kita gabungkan,<br />
maka produk gabungan akan<br />
memberikan perlindungan<br />
atas risiko tertentu (misalnya<br />
risiko kehilangan penghasilan<br />
karena meninggalnya sese<br />
orang) seperti produk<br />
ta’a wun-takafuli dan akan<br />
mem berikan hasil investasi<br />
yang halal dan baik seperti<br />
produk reksa dana syariah.<br />
Dalam industri keuangan, gabungan produk pertanggungan<br />
(asuransi) dan produk investasi (reksa dana) disebut dengan<br />
unit-link, maksudnya mengadakan “link (hubungan) unit<br />
penyertaan dari suatu reksa dana dengan perlindungan risiko<br />
(ta’awun-takafuli atau asuransi syariah)”.<br />
Apakah produk unit-link itu halal dan baik<br />
Selama pengelolaan dana investasi tersebut sesuai dengan<br />
pengelolaan portofolio investasi reksa dana syariah, maka<br />
produk tersebut adalah produk yang halal dan insya Allah akan<br />
memberikan hasil yang baik. Dan bila perlindungan risiko<br />
tersebut mengikuti prinsip ta’awun-takafuli, maka perlindungan<br />
atau pertanggungan yang diberikan adalah halal, sehingga<br />
produk unit-link adalah produk yang halal dan insya Allah<br />
memberikan hasil yang baik.<br />
Semua bisa tetap kaya, semua bisa bahagia, dengan<br />
<strong>cara</strong> syariah.<br />
218
Bab 10<br />
Ciptakan Kekayaan<br />
Sepanjang periode tahun 2002 hingga 2005, rata-rata<br />
harga rumah di Amerika Serikat meningkat sekitar 13,5%<br />
per tahun. Pada kurun waktu yang sama, suku bunga kredit<br />
pemilikan rumah (KPR) yang berlaku, paling tinggi dipatok<br />
pada level 6%. Saat itu, bank maupun lembaga keuangan<br />
berlomba menyalurkan KPR (mortgage) meski kepada nasabah<br />
yang sebenarnya tidak layak menerima KPR (sub-prime). Di<br />
tengah sumringah-nya industri properti yang seperti itu, tak<br />
mengherankan jika banyak nasabah yang sebenarnya tidak<br />
memiliki kemampuan mencicil, tergoda memanfaatkan fasilitas<br />
KPR untuk membeli rumah yang harganya naik terus itu.<br />
Celakanya, tujuan mereka bukan mengejar target untuk<br />
segera memiliki rumah sendiri, tetapi untuk dijual kembali.<br />
Maklum, uang muka yang dipersyaratkan sangat rendah dengan<br />
beban suku bunga yang juga rendah, atau cuma 6% per tahun.<br />
Dengan asumsi kenaikan harga rumah yang rata-rata 13,5%<br />
219
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
per tahun, dengan hitung-hitungan se<strong>cara</strong> kasar saja, mereka<br />
akan meraih untung cukup besar, jika dalam 2 tahun rumah<br />
KPR-nya bisa dijual kembali.<br />
Ambil contoh, untuk pembelian rumah seharga<br />
US$200.000, calon nasabah hanya dikenakan uang muka 10%<br />
atau US$20.000. Bunga KPR 6% per tahun cuma US$21.600<br />
untuk 2 tahun. Dengan asumsi kenaikan harga rumah yang<br />
menunjukkan kenaikan rata-rata 13,5% per tahun, maka dalam<br />
2 tahun ke depan harga rumah tersebut diharapkan membengkak<br />
menjadi US$257.000.<br />
Artinya, dengan modal awal sebesar US$20.000 (untuk uang<br />
muka), nasabah akan memperoleh keuntungan dari harga jual<br />
sebesar US$57.000 (US$257.000 - US$200.000). Potong biaya<br />
bunga US$21.600 dan biaya-biaya lain, katakanlah US$10.000,<br />
maka nasabah tersebut masih menangguk margin (keuntungan)<br />
sebesar US$25.400.<br />
Singkat cerita, dengan modal yang cuma US$20.000,<br />
spekulasi pada jual beli rumah nasabah KPR itu memiliki potensi<br />
keuntungan sebesar US$25.400 atau 127% dalam waktu 2<br />
tahun. Siapa yang tak tergiur<br />
Pertanyaannya kemudian tentulah:<br />
“Apa benar begitu”<br />
“Siapa yang menentukan harga rumah”<br />
“Apakah kenaikan harga yang diterapkan cukup wajar”<br />
“Mungkinkah kenaikan harga terjadi karena “permainan”<br />
pihak-pihak tertentu yang didukung spekulasi “gila-gilaan””<br />
“Apakah situasi ini ibarat cerita “Pulau Monyet” di Amerika<br />
Serikat”<br />
220
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
Menariknya, cerita ajaib ini ternyata tak cukup hanya<br />
berhenti sampai di situ. Di Amerika Serikat juga berkembang<br />
pasar sekunder untuk portofolio KPR yang disebut secondary<br />
mortgage. Instrumen ini dipasang untuk menarik investor<br />
institusi dengan iming-iming mempunyai pendapatan yang stabil<br />
(dari cicilan KPR). Berdasarkan aset riil atau underlying asset,<br />
dan umumnya mempunyai tingkat bunga yang cukup menarik.<br />
Dan instrument secondary mortgage ini diterbitkan oleh lembaga<br />
keuangan yang mendapat dukungan dari Pemerintah Amerika<br />
Serikat, sehingga dianggap sebagai BUMN, yang dikenal dengan<br />
julukan Fannie Mae dan Freddie Mac.<br />
Fenomena lain yang<br />
menarik saat itu, pada kurun<br />
waktu 2002-2004 tingkat<br />
pengembalian atau imbalhasil<br />
(return) dari secondary<br />
mortgage ditawarkan sekitar<br />
5,25%, sementara suku bunga<br />
pinjaman (prime rate) dipatok<br />
sebesar 4,25%. Artinya,<br />
terdapat selisih (spread)<br />
sebesar 1.00% di atas suku<br />
“Bila sudah membuat<br />
akad yang sesuai dengan<br />
ketentuan, maka Allah<br />
SWT memerintahkan<br />
semua orang yang<br />
beriman untuk memenuhi<br />
akad-akad yang telah<br />
mereka buat (QS 5:1).”<br />
bunga pinjaman (prime rate). Bila benar atas instrumen ini ada<br />
underlying asset dengan valuasi yang wajar dan pendapatannya<br />
stabil, maka instrumen investasi ini tentu sangat menarik. Tapi<br />
bila tidak, “Wah, pasti bisa gawat”.<br />
Hebatnya lagi, “kegawatan” itu ternyata belum ingin<br />
berhenti sampai di sini. Harga rumah terus melejit bak “harga<br />
monyet”. Prinsip kehati-hatian dilanggar dengan memberi<br />
221
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
pinjaman kepada nasabah yang tidak layak (sub-prime). Nasabah<br />
mengambil pinjaman bukan untuk membeli rumah yang<br />
akan dihuni sendiri, tetapi dengan tujuan spekulasi. Bukan<br />
main! Atas aset KPR yang “gawat” itu diterbitkan secondary<br />
mortgage, kemudian atas instrumen tersebut ternyata juga dijual<br />
instrumen derivatif. Artinya, “kegawatan” semakin berulang dan<br />
menumpuk, karena ada praktik gali lubang tutup lubang<br />
yang telah digali untuk menutup lubang sebelumnya, lalu<br />
digali lagi, dan seterusnya. Begitu selalu. Celakanya, instrumen<br />
derivatif yang dijual pun bukan hanya satu tingkat, tetapi<br />
bertingkat-tingkat.<br />
Hingga saat itu, Amerika Serikat adalah negara adidaya.<br />
Negara yang menjadi panutan negara-negara maju lainnya.<br />
Jadi, tak mengherankan jika instrumen yang dinilai “inovatif”<br />
ini laris manis bak pisang goreng. Penikmat ragam instrumen<br />
investasi yang ditawarkan itu datang dari berbagai penjuru<br />
dunia, terutama Jepang dan Eropa.<br />
Ibarat pepatah, untung tak mudah diraih malang tak dapat<br />
ditolak, pada tahun 2006-2007 gelembung harga rumah di<br />
Amerika Serikat pecah. Harga rumah di Amerika Serikat terjun<br />
bebas. Menukik tajam. Bila informasi ini dipahami oleh otoritas<br />
keuangan dan masyarakat keuangan, seharusnya mereka segera<br />
mengambil langkah-langkah untuk mengatasi risiko yang<br />
mungkin terjadi. Tapi, entah kenapa, tak banyak tindakan yang<br />
diambil. Akhirnya krisis keuangan pun meledak di akhir 2008.<br />
Tak jauh berbeda dengan virus komputer, flu burung, atau<br />
H1N1, dampaknya segera menyebar dengan gegap gempita<br />
ke seantero dunia.<br />
222
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
“Mengapa hal ini bisa terjadi di negara maju seperti Amerika<br />
Serikat”<br />
“Mengapa pula dampaknya tak dapat dibendung meski di<br />
negara-negara maju yang selama ini dianggap mempunyai sistem<br />
ekonomi, sistem keuangan, dengan budaya tata kelola (corporate<br />
governance) yang baik”<br />
“Bagaimana sebenarnya sistem ekonomi dan sistem keuangan<br />
yang berlaku”<br />
“Apakah sistem-sistem tersebut tidak bisa mencegah situasi<br />
yang sangat berbahaya itu”<br />
“Apakah ada <strong>cara</strong> lain yang lebih sesuai untuk menuju dunia<br />
yang lebih baik”<br />
“Shariah Way for a Better World”<br />
<br />
Prinsip ekonomi yang sesuai dengan ketentuan Allah<br />
SWT adalah mencari hasil yang halal dan thoyib, dengan <strong>cara</strong><br />
yang penuh keridhaan (tidak terkait riba) dan kehati-hatian<br />
(mencegah kondisi gharar dan menghindari maysir), serta<br />
menjaga keseimbangan hasil dengan risiko. Esensi dari prinsip<br />
ekonomi tersebut adalah menciptakan manfaat yang dapat<br />
menghasilkan nilai tambah dan dapat dibagihasilkan oleh pihakpihak<br />
yang bekerja sama dalam penciptaan manfaat tersebut.<br />
Manfaat diperoleh dengan menciptakan sesuatu yang<br />
mempunyai nilai lebih tinggi dari nilai jumlah biaya dan usaha<br />
yang dicurahkan untuk menghasilkan sesuatu tersebut. Sesuatu<br />
tersebut dapat berbentuk barang atau jasa. Nilai barang atau jasa<br />
tersebut diukur dari sudut pandang pihak yang membutuhkan<br />
223
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
atau memakai barang atau jasa tersebut, bukan dari sudut<br />
pandang pihak yang menghasilkan barang atau jasa tersebut.<br />
Nilai tersebut terwujudkan bila terjadi transaksi antara pihak<br />
yang memberikan barang atau jasa dengan pihak membutuhkan<br />
barang atau jasa tersebut.<br />
Agar nilai tersebut terwujudkan sesuai dengan niat para<br />
pihak yang terkait, maka diadakan kesepakatan yang mengikat,<br />
dengan tujuan agar para pihak yang terkait memenuhi<br />
kewajibannya dan mendapatkan haknya. Kesepakatan yang<br />
mengikat tersebut adalah ikatan (akad).<br />
Ikatan atau akad akan dibuat sesuai dengan keyakinan<br />
pihak-pihak yang mengadakan ikatan atau akad. Kaidah dalam<br />
hubungan antarmanusia menyatakan bahwa semua hal pada<br />
prinsipnya diperbolehkan kecuali yang telah dilarang. Karena<br />
itu, Nabi Muhammad SAW menganjurkan bahwa<br />
manusia bebas mengadakan akad kecuali bila dalam akad<br />
tersebut ada syarat atau ketentuan yang mengharamkan<br />
yang halal maupun adanya syarat atau ketentuan yang<br />
menghalalkan yang haram. Dan bila sudah membuat akad<br />
yang sesuai dengan ketentuan, maka Allah SWT memerintahkan<br />
semua orang yang beriman untuk memenuhi akad-akad yang<br />
telah mereka buat (QS 5:1).<br />
Manfaat yang tercipta dari suatu kegiatan ekonomi<br />
merupakan hak dari pihak-pihak yang terkait dalam penciptaan<br />
manfaat tersebut sehingga nilai tambah yang dihasilkan oleh<br />
penciptaan manfaat juga merupakan hak dari pihak-pihak<br />
terkait. Oleh karena itu, nilai tambah atau keuntungan akibat<br />
manfaat yang tercipta harus dibagihasilkan di antara para pihak<br />
yang terkait dalam penciptaan manfaat tersebut. Sehingga, bila<br />
224
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
tidak ada manfaat yang tercipta, maka tidak ada nilai tambah<br />
yang dapat menjadi objek untuk bagi hasil, dan oleh karena<br />
itu tidak terjadi akad. Karena itu, gerakan pertama untuk<br />
memperoleh keuntungan adalah dengan menciptakan nilai<br />
tambah.<br />
Berbasis Objek Riil<br />
Krisis keuangan yang menimpa seluruh dunia pada akhirakhir<br />
ini adalah karena maraknya pembiayaan dan investasi tanpa<br />
ada kejelasan manfaat dari objek transaksi. Hal ini terjadi karena<br />
objek transaksi tidak dapat berfungsi sebagai aset produktif.<br />
Sehingga, dapat dikatakan bahwa transaksi tersebut tidak<br />
memiliki underlying asset. Karena nilai tambah yang diciptakan<br />
oleh objek transaksi tidak jelas, maka pembiayaan atau investasi<br />
tersebut tidak dapat mengacu pada valuasi yang wajar atas<br />
objek transaksi berdasarkan kemampuan objek tersebut dalam<br />
memberikan nilai tambah sehingga tambahan yang diperoleh<br />
dari transaksi tersebut adalah riba.<br />
Dunia mengalami krisis keuangan karena meluasnya<br />
transaksi dengan riba. Riba dalam hal ini bukanlah semata-mata<br />
bunga bank, tetapi riba yang sebenar-benarnya karena telah<br />
terjadi kezhaliman. Kezhaliman terjadi karena transaksi bukan<br />
ditujukan untuk menciptakan manfaat melalui nilai tambah<br />
yang dihasilkan oleh objek transaksi.<br />
Sebenarnya, untuk nilai tambah diperoleh bila nilai<br />
objek transaksi lebih besar dari jumlah nilai atau biaya yang<br />
dibutuhkan untuk menciptakan dan menyampaikan objek<br />
transaksi kepada pemakainya. Nilai objek transaksi hanya dapat<br />
ditentukan dengan adil berdasarkan valuasi yang wajar atas objek<br />
225
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
transaksi. Maka, bila pemberi pembiayaan maupun penerima<br />
pembiayaan sama-sama tutup mata, pura-pura tidak tahu bahwa<br />
valuasi atas objek transaksi sudah sangat tidak wajar. Bila nilai<br />
sebenarnya adalah dibawah nilai transaksi, maka timbul kondizi<br />
zhalim, dan tambahan yang dihasilkan adalah riba. Haram!<br />
Itulah sebabnya Allah SWT membandingkan riba dengan<br />
jual-beli (QS 2:275), bukan dengan bagi hasil atau perserikatan<br />
atau kongsi. Karena jual-beli adalah dasar dari perniagaan, dan<br />
dalam jual-beli harus ada objek jual beli atau objek transaksi<br />
yang merupakan sesuatu barang atau jasa yang mempunyai<br />
nilai sehingga dapat menjadi harta. Dan harga yang terjadi<br />
dalam transaksi tersebut tentunya berdasarkan valuasi dari objek<br />
transaksi, di mana valuasi dari objek transaksi ditentukan oleh<br />
manfaat yang diharapkan diterima oleh masing-masing pihak,<br />
dalam mekanisme pasar yang wajar. Karena itu gerakan kedua<br />
untuk memperoleh keuntungan adalah dengan melakukan<br />
transaksi atas objek riil, atau aset, khususnya melalui transaksi<br />
jual-beli atau peralihan kepemilikan atau penguasaan manfaat<br />
dari objek riil tersebut.<br />
<br />
Ibnu Khaldun telah menyatakan bahwa setiap individu<br />
tidak dapat dengan sendirinya memperoleh seluruh kebutuhan<br />
hidupnya, semua harus bekerja sama untuk memperoleh<br />
kebutuhan hidup dalam peradabannya. Dan hasil kerja sama<br />
sejumlah manusia dapat menutupi kebutuhan hidup beberapa<br />
kali lipat dari jumlah mereka. Jadi, pemikir Islam ini telah<br />
menyatakan bahwa manusia harus saling tolong-menolong agar<br />
dapat meningkatkan produktivitasnya.<br />
226
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
Allah SWT telah berfirman agar manusia saling tolongmenolong<br />
dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan<br />
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melanggar aturan (QS<br />
05:02). Manusia pun harus saling tolong-menolong karena Allah<br />
SWT telah menjadikan sebagian manusia lebih baik dari sebagian<br />
lain agar mereka dapat berguna bagi yang lain (QS 43:32), serta<br />
karena Allah SWT menghendaki kemudahan bagi manusia dan<br />
tidak menghendaki kesukaran bagi manusia. Bahkan, Allah<br />
SWT menjanjikan bahwa dibalik setiap satu kesukaran akan<br />
ada banyak kemudahan, bila manusia bertakwa (QS 65:07).<br />
“Dunia mengalami<br />
krisis keuangan karena<br />
meluasnya transaksi<br />
dengan riba. Riba dalam<br />
hal ini bukanlah sematamata<br />
bunga bank, tetapi<br />
riba yang sebenarbenarnya<br />
karena telah<br />
terjadi kezhaliman.”<br />
Memudahkan sesuatu<br />
yang sukar serta mengurangi<br />
atau bahkan menghilangkan<br />
kesukaran adalah salah satu<br />
<strong>cara</strong> tolong-menolong. Nabi<br />
Muhammad SAW telah<br />
mengajarkan, barangsiapa<br />
memudahkan kesukaran<br />
seseorang, maka Allah SWT<br />
akan memudahkan baginya<br />
di dunia dan di akhirat.<br />
Allah SWT selalu menolong hamba-Nya yang suka menolong<br />
temannya. Bahkan, orang yang hanya memberi petunjuk kepada<br />
kebaikan sama pahalanya dengan orang yang memberikan<br />
kebaikan itu.<br />
Tolong-menolong bukan hanya antara manusia dengan<br />
manusia lain se<strong>cara</strong> langsung, tetapi juga bisa dilakukan antara<br />
manusia dengan suatu organisasi atau antarorganisasi, baik<br />
227
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
organisasi usaha, organisasi masyarakat, organisasi sosial, maupun<br />
organisasi pemerintah.<br />
Tolong-menolong bukan hanya dalam bentuk kerja sama<br />
atas suatu tanah atau aset, dapat juga karena kemampuan atau<br />
kesempatan yang dimiliki oleh suatu pihak dan dibutuhkan<br />
oleh pihak lain. Bila pihak yang mempunyai kemampuan atau<br />
kesempatan yang lebih baik memberikan jasa kepada pihak lain<br />
yang membutuhkan kemampuan atau kesempatan tersebut,<br />
maka se<strong>cara</strong> total hasil yang diperoleh dapat ditingkatkan.<br />
Dengan kata lain, melalui pemberian jasa tersebut produktivitas<br />
dapat ditingkatkan.<br />
Pertama, peningkatan produktivitas karena efisien.<br />
Hal ini dapat terjadi karena pihak yang paling tepat dalam arti<br />
mempunyai kemampuan yang tepat, atau kesempatan yang<br />
tepat dan dengan waktu yang paling singkat. atau biaya yang<br />
paling rendah akan melaksanakan pekerjaan atau tugas tersebut.<br />
Sehingga dapat mencapai hasil yang diinginkan dengan biaya<br />
atau waktu atau bahan yang lebih sedikit.<br />
Kedua, peningkatan produktivitas karena efektif. Hal<br />
ini dapat terjadi bila pihak yang memberikan jasa mempunyai<br />
keahlian atau kemampuan yang lebih baik sehingga dengan<br />
biaya atau waktu atau bahan yang sama dapat diperoleh hasil<br />
yang lebih baik.<br />
<br />
Pada tahun 2000, saya mengikuti delegasi yang dipimpin<br />
oleh Menteri Luar Negeri RI, Bapak Alwi Shihab, mengunjungi<br />
beberapa negara Timur Tengah untuk menawarkan peluang<br />
228
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
investasi di Indonesia. Dalam kesempatan itu, saya bertemu<br />
dengan salah satu investor dari Oman yang sangat berminat<br />
untuk berinvestasi di Indonesia.<br />
Sebagaimana diketahui,<br />
negara-negara Timur Tengah<br />
banyak memasok energi ke<br />
negara-negara Asia Timur,<br />
khususnya China, Jepang,<br />
dan Korea. Dalam perjalanan<br />
kembali dari Asia Timur,<br />
kapal pengangkut energi<br />
tersebut relatif kosong—<br />
mem buka peluang me manfaat<br />
kan kapasitas angkut<br />
”KPR adalah pembiayaan<br />
yang aman, memberikan<br />
hasil yang relatif pasti,<br />
dan se<strong>cara</strong> tidak langsung<br />
akan meningkatkan<br />
perekonomian negara<br />
dan kesejahteraan<br />
masyarakat.”<br />
yang tidak terpakai itu. Di negara-negara Teluk, termasuk<br />
Oman, energi cukup berlimpah. Sementara itu, negaranegara<br />
Teluk memerlukan bahan logam untuk konstruksi dan<br />
industri. Untuk mengolah bijih logam menjadi bahan logam<br />
(smeltering) diperlukan energi yang besar. Oleh karena itu,<br />
investor dari Oman menawarkan untuk membangun smeltering<br />
facility di Oman untuk mengolah bijih logam dari Indonesia.<br />
Pengangkutan bijih logam dari Indonesia ke Oman akan<br />
memanfaatkan kapal pengangkut energi yang kembali dari Asia<br />
Timur ke Kawasan Teluk. Sungguh suatu proposal yang menarik.<br />
Sayangnya, waktu itu, saya tidak mampu mewujudkannya.<br />
Enam tahun kemudian Oman mewujudkan rencana<br />
tersebut, tetapi kerja sama yang terjadi bukan dengan Indonesia.<br />
Sohar Aluminium, anak perusahaan Oman Oil Company,<br />
membangun aluminium smelter lengkap dengan fasilitas<br />
229
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
pendukungnya untuk memanfaatkan sumber energi Oman<br />
guna menghasilkan aluminium. Ternyata sebagian pendanaan<br />
diperoleh dengan menerbitkan obligasi (sukuk) dengan nilai<br />
US$260 juta. Ikatan yang digunakan adalah akad Istishna dan<br />
akad Ijarah.<br />
Akad Istishna adalah akad pembelian suatu objek yang<br />
perlu memerlukan proses pembuatan. Melalui penerbitan sukuk<br />
istishna oleh Sohar, investor mengadakan kontrak dengan Sohar<br />
untuk membeli aluminium smelter. Jadi, investor menyediakan<br />
dana. Sohar yang membangun aluminium smelter. Investor<br />
kemudian akan memiliki aluminium smelter tersebut. Sohar<br />
mendapat keuntungan dari kontrak pembangunan aluminium<br />
smelter ini.<br />
Akad Ijarah adalah akad penyewaan suatu aset. Sohar<br />
menyewa aluminium smelter dari investor—aluminium smelter<br />
ini dibuat oleh Sohar dalam akad Istishna. Karena Sohar akan<br />
menyewa aluminium smelter tersebut setelah selesai dibuat<br />
berdasarkan akad Istishna, maka tentunya spesifikasi aluminium<br />
tersebut harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh Sohar.<br />
Investor memperoleh hasil sewa dari investasi dalam bentuk<br />
aluminium smelter ini.<br />
Kontrak penyewaan dimulai setelah aluminium smelter<br />
selesai dibuat, dan berakhir 15 tahun setelah pembangunan<br />
aluminium smelter dimulai. Jadi, investor menanam investasi<br />
selama 15 tahun dan memperoleh imbal hasil dalam bentuk<br />
sewa.<br />
Sebagai pelengkap akad Istishna dan akad Ijarah ini,<br />
investor mengadakan kontrak penjualan aluminium smelter<br />
ini kepada Sohar pada akhir masa sewa. Jadi, investor akan<br />
230
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
mendapatkan kembali dana pokok investasinya pada akhir<br />
masa 15 tahun setelah awal penempatan dana. Tentunya besar<br />
marjin keuntungan Sohar dari kontrak Istishna, nilai sewa yang<br />
diperoleh investor selama masa Ijarah, dan nilai penjualan aset<br />
aluminium smelter harus lebih kecil dari manfaat dan nilai aset<br />
aluminium smelter yang diperoleh Sohar. Dan, tentu saja harus<br />
memenuhi imbal hasil yang diharapkan oleh investor.<br />
Kombinasi kontrak Istishna dan Ijarah ini terbukti sangat<br />
sesuai untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas produksi.<br />
Dengan pola pembiayaan semacam ini, fasilitas jalan tol,<br />
bandara, pelabuhan laut, transportasi kereta, pembangkit tenaga<br />
listrik, dan sebagainya, dapat dibangun. Pola pembiayaan ini<br />
memberi peluang kepada masyarakat—baik yang memiliki dana<br />
yang besar maupun yang hanya memiliki dana terbata—untuk<br />
ikut menikmati imbal hasil dari proyek-proyek infrastruktur.<br />
Proyek infrastruktur juga akan meningkatkan perekonomian<br />
yang pada gilirannya akan meningkatkan peluang mendapatkan<br />
keuntungan. Bila pola pembiayaan ini diterapkan, semua akan<br />
kaya, semua akan bahagia, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
Maukah pemerintah, pengusaha, dan masyarakat<br />
menerapkannya<br />
Jurus Cipta II: Ijarah<br />
Di Hongkong, ada suatu tempat yang namanya Admiralty.<br />
Tempat itu sangat strategis karena di sana terdapat stasiun kereta<br />
bawah tanah yang menghubungkan berbagai rute, baik di Pulau<br />
Hongkong maupun yang menuju ke daratan Kowloon. Di<br />
lokasi itu, seorang pengusaha dari Australia dan New Zealand<br />
231
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
mendirikan bangunan menara kembar dengan rancangan<br />
arsitektur yang cukup unik: Menggambarkan beberapa koala<br />
sedang memanjat pada suatu batang pohon. Bangunan itu<br />
diberi nama “The Bond Tower”, dan relatif cukup laku karena<br />
menempati lokasi yang strategis.<br />
Untung tak dapat dikejar, malang tak dapat ditolak.<br />
Pengusaha tersebut terkena suatu kasus keuangan sehingga<br />
dihukum penjara. Akibatnya, banyak penyewa ruangan di<br />
Bond Tower yang pindah ke bangunan lain. Peluang ini dilihat<br />
oleh Mochtar Riady, pemilik Lippo Group. Ia menghubungi<br />
pengelola Bond Tower dan mengadakan negosiasi untuk<br />
menyewa seluruh ruangan di bangunan tersebut dengan harga<br />
murah. Maklum saat itu Bond Tower kekurangan penyewa<br />
karena penyewa tidak ingin dikaitkan dengan nama pemilik<br />
bangunan itu. Tidak hanya meminta harga yang sangat murah,<br />
Mochtar Riady juga meminta hak untuk menyewakan kembali<br />
serta hak untuk mengganti nama bangunan tersebut.<br />
Setelah mendapat hak menyewa dan mengganti nama<br />
bangunan menjadi “Lippo Center”, ruangan di bangunan<br />
tersebut kemudian ditawarkan kepada mitra usaha Lippo.<br />
Karena Lippo juga akan berkantor di Lippo Center, maka banyak<br />
pengusaha yang berminat. Akhirnya, Lippo dapat menyewakan<br />
sebagian besar dari ruangan tersebut dengan jumlah harga yang<br />
lebih besar dari harga yang dibayar oleh Lippo untuk seluruh<br />
bangunan itu. Sehingga, Lippo mendapat nama bangunan dan<br />
sebagian ruangan serta mendapat keuntungan dari menyewakan<br />
kembali.<br />
Dalam konsep syariah, akad yang digunakan<br />
Mochtar Riady dalam kasus di atas disebut sebagai akad<br />
232
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
Ijarah. Akar katanya adalah ujrah, artinya upah. Dalam<br />
akad ini, yang menjadi objek akad adalah manfaat<br />
dari suatu “aset”. Karena itu, tidak menjadi soal, siapa yang<br />
sebenarnya memiliki aset tersebut. Selama pihak tersebut<br />
memiliki kuasa atau mendapat kuasa untuk menggunakan<br />
manfaat dari aset tersebut, maka pihak tersebut dapat menjual<br />
manfaat tersebut kepada menerima bayaran. Menjual manfaat<br />
mungkin lebih dikenal sebagai “menyewakan”, dan bayaran yang<br />
diterima lebih dikenal sebagai “uang sewa”. Jadi Mochtar Riady<br />
memiliki hak manfaat atas bangunan yang sebelumnya diberi<br />
nama Bond Tower, kemudian berhak mengganti nama serta<br />
menyewakan kembali ruangan-ruangan pada bangunan tersebut<br />
kepada orang lain. Bila harga yang dibayar kepada pemilik<br />
bangunan lebih kecil dari harga yang dibayar oleh penyewa,<br />
maka tentunya Mochtar Riady memperoleh keuntungan. Smart<br />
bukan<br />
Ada cerita lain. Setelah krisis moneter, Merpati Nusantara<br />
tidak memiliki armada pesawat terbang yang cukup, sehingga<br />
banyak awak pesawat, termasuk pramugari dan pramugara yang<br />
tidak mendapat tugas “terbang”. Hal ini cukup meresahkan para<br />
awak pesawat, karena penghasilan mereka sangat tergantung<br />
pada “jam terbang”. Artinya, kalau jumlah “jam terbang” pada<br />
suatu bulan tidak memadai, maka penghasilan mereka juga<br />
tidak memadai.<br />
Sementara itu, Saudia Airlines memenangkan “tender”<br />
untuk melayani perjalanan haji Indonesia. Saudia Airlines<br />
memiliki cukup uang untuk mengadakan pesawat terbang yang<br />
diperlukan untuk melayani perjalanan haji. Namun, Saudia<br />
Airlines tidak memiliki cukup pramugari/pramugara untuk<br />
233
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
melayani perjalanan haji tersebut. Di samping itu, sebagian<br />
besar jamaah haji belum terbiasa mengadakan perjalanan dengan<br />
pesawat terbang, apalagi untuk ibadah haji. Sehingga, Saudia<br />
Airlines memerlukan pramugari/pramugara yang bisa berbahasa<br />
Indonesia dan memahami budaya jamaah haji Indonesia agar<br />
dapat melayani dengan baik.<br />
Merpati Nusantara yang “kelebihan” awak pesawat dan<br />
memerlukan kesempatan “terbang” dan Saudia Airlines yang<br />
memerlukan awak pesawat dan memiliki kesempatan “terbang”<br />
bisa mengadakan kerja sama. Merpati bisa “menjual” manfaat<br />
dari “aset” yang dikuasainya, yaitu awak pesawat yang terlatih<br />
dan mampu melayani jama’ah haji Indonesia, dan menerima<br />
bayaran atau “upah”. Akadnya juga disebut Ijarah.<br />
Merpati senang menerima bayaran, awak pesawat senang<br />
mendapat honor “terbang” dan kesempatan untuk haji atau<br />
umrah, Saudia Airlines senang bisa menjalankan pekerjaan<br />
dengan baik.<br />
Semua senang, semua kaya, semua bahagia, dengan<br />
<strong>cara</strong> syariah.<br />
Jurus Cipta III: Penjaga Kekayaan<br />
Dalam upaya mengelola risiko yang dihadapi, manusia dapat<br />
saling tolong-menolong (ta’awun) dan saling menjamin (takaful)<br />
dengan niat mendapat berkah dari Allah SWT dan membentuk<br />
dana tabarru’. Semua pihak yang menjadi peserta ta’awun-takaful<br />
akan memerlukan suatu pihak untuk mengelola dana tabarru’.<br />
Mulai dari menghitung dan menentukan jumlah iuran (hibah)<br />
yang harus dibayarkan agar dapat memberikan perlindungan<br />
234
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
yang diharapkan, memungut iuran (hibah) yang telah disepakati,<br />
mengelola dana untuk meningkatkan nilainya, memeriksa klaim<br />
perlindungan, dan membayar santunan perlindungan. Pihak<br />
pengelola dana tersebut tentunya berhak memperoleh imbal<br />
jasa. Dan karena pihak pengelola adalah wakil peserta untuk<br />
mengelola dan atas jasanya berhak mendapat imbal jasa (ujrah),<br />
maka ikatannya disebut akad wakalah bi al ujrah.<br />
Kebutuhan para peserta<br />
untuk mempunyai wakil<br />
yang profesional guna<br />
mengelola dana tabarru’<br />
ini dilihat oleh pengusaha<br />
sebagai peluang. Oleh karena<br />
“all well will end well.<br />
Semua niat baik, yang<br />
dijalankan dengan baik,<br />
akan berakhir baik.”<br />
itu, beberapa perusahaan yang mempunyai kompetensi dalam<br />
menghitung risiko (aktuari), mengadministrasikan dana,<br />
penagihan dan pembayaran, dan mengelola dana, mengajukan<br />
diri untuk jadi pengelola. Tentu saja dalam proses pengalihan<br />
pengelolaan ini harus ditentukan pedoman pengelolaan, batasan<br />
pengelolaan, serta kuasa atau wewenang yang diberikan. Dan<br />
atas jasa yang diberikan dapat diberikan imbal jasa dengan nilai<br />
tertentu atau bahkan imbalan berupa bagi hasil dengan nisbah<br />
yang besarnya telah disepakati sebelumnya. Perusahaan seperti<br />
itu adalah perusahaan asuransi. Akadnya tetap akad wakalah<br />
bi al ujrah.<br />
Perusahaan asuransi juga mempunyai kompetensi dalam<br />
memberikan perlindungan atau jaminan (takaful). Karena itu,<br />
perusahaan asuransi dapat menawarkan untuk ikut memberikan<br />
jaminan, sehingga bila ternyata dana tabarru’ tidak cukup<br />
untuk membayar santunan, maka perusahaan asuransi akan<br />
235
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
memberikan dana talangan. Atas dana talangan itu, perusahaan<br />
asuransi berhak mendapatkan imbalan yang lazim disebut<br />
premi. Akadnya menjadi akad Takaful. Dana talangan atau dana<br />
pinjaman dari perusahaan asuransi kepada dana tabarru’ untuk<br />
menanggulangi ketidakcukupan dana tabarru’ yang diperlukan<br />
untuk membayar santunan atau klaim dari peserta, yang dalam<br />
istilah syariah disebut qardh.<br />
Perusahaan asuransi juga dapat menawarkan untuk<br />
mengambil alih semua kegiatan pengelolaan dan penjaminan<br />
dalam kegiatan ta’awun-takafuli tersebut. Dengan demikian<br />
perusahaan asuransi menjadi pengusaha (mudharib) yang<br />
mendapat kuasa untuk dalam mengelola dana tabarru’ dan<br />
kuasa untuk menggabungkan dana tabarru’ tersebut dengan<br />
kekayaan (aset) perusahaan asuransi. Peserta ta’awun-takafuli<br />
menjadi pemilik dana (shahibul maal). Dan perusahaan asuransi<br />
berhak mendapat imbalan berupa bagi hasil dengan nisbah yang<br />
besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan perusahaan<br />
asuransi terhadap dana tabarru’ yang digabungkan. Akadnya<br />
disebut akad Mudharabah Musytarakah.<br />
Dalam uraian di atas, inisiatif untuk melakukan kerja sama<br />
saling tolong-menolong (ta’awun) dan saling menjamin (takaful)<br />
dengan membentuk dana tabarru’, berasal dari para peserta.<br />
Bagaimana bila sebenarnya banyak orang-orang yang perlu untuk<br />
saling tolong-menolong dan saling menjamin tetapi mereka tidak<br />
saling mengenal Mungkin ibaratnya banyak pria dan wanita yang<br />
saling memerlukan pasangan untuk membina keluarga, tetapi<br />
tidak saling mengenal. Maka, timbul peluang untuk jasa biro<br />
jodoh. Dalam hal ini, timbul peluang bagi perusahaan asuransi<br />
236
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
untuk menawarkan diri menjadi pengelola dana tabarru’ dan<br />
memberikan jasa takaful.<br />
Produk yang ditawarkan tersebut disebut produk takaful.<br />
Produk tersebut dirancang oleh perusahaan asuransi. Bila<br />
produknya sesuai dengan kebutuhan (calon) peserta, maka<br />
akan banyak orang yang menjadi peserta. Sebaliknya, bila tidak<br />
sesuai, peminatnya jarang. Bila pesertanya tidak memenuhi<br />
batasan keekonomian, maka tentunya perusahaan asuransi<br />
akan rugi. Peserta semakin banyak, berarti dana tabarru’ akan<br />
surplus dan perusahaan asuransi akan untung. Kemudian,<br />
perusahaan asuransi dapat menurunkan nilai premi sehingga<br />
semakin banyak peserta yang ikut. Semakin banyak orang yang<br />
mendapat perlindungan dan jaminan.<br />
”Bisnis harus punya<br />
tanggung jawab sosial.”<br />
Di samping kebutuhan<br />
untuk mendapat perlin dungan<br />
dan jaminan ter hadap<br />
risiko di usia pro duk tif, manusia<br />
juga membutuhkan “perlindungan” ketika sudah tidak<br />
lagi produktif. Atau, masa-masa pensiun. Ada mekanisme yang<br />
dipakai untuk pengelolaan dana tabarru’ maupun untuk dana<br />
investasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ini. Dana<br />
yang dihimpun disebut sebagai dana pensiun. Perbedaannya,<br />
pada dana tabarru’ atau dana investasi yang mengambil inisiatif<br />
adalah para peserta, karena itu mereka yang membayar iuran.<br />
Sedangkan pada dana pensiun dimulai sebagai penghargaan<br />
kepada karyawan dan pegawai negeri, sehingga yang mengambil<br />
inisiatif adalah pemberi kerja, yaitu perusahaan atau Pemerintah.<br />
Akibatnya, yang membayar iuran adalah perusahaan atau<br />
237
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Pemerintah. Dana pensiun seperti ini disebut sebagai dana<br />
pensiun pemberi kerja.<br />
Tetapi tidak semua orang bekerja di perusahaan atau menjadi<br />
pegawai negeri. Banyak juga orang yang bekerja mandiri sebagai<br />
profesional, memberikan jasa bersama beberapa partner, atau<br />
berwirausaha sebagai UKM dengan jumlah karyawan yang<br />
sedikit. Mereka juga memerlukan perlindungan untuk masa<br />
pensiun. Mereka juga perlu memiliki dana pensiun.<br />
Memang sebaiknya mereka bergabung dalam suatu dana<br />
kumpulan atau dana bersama. Tetapi, bagaimana bila mereka<br />
belum saling mengenal Seperti halnya pada program ta’awuntakafuli,<br />
terbuka bagi lembaga keuangan untuk menawarkan<br />
produk dana pensiun. Produk ini disebut Dana Pensiun<br />
Lembaga Keuangan (DPLK). Bila pengelolaan investasi DPLK<br />
mengikuti ketentuan yang sama dengan pengelolaan investasi<br />
reksa dana syariah, maka tentunya hasilnya akan halal, dan<br />
mudah-mudahan thoyib.<br />
Semakin banyak merasa orang kaya, makin bahagia<br />
di hari tua, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
Jurus Cipta IV: Rumahku, Surgaku<br />
Salah satu jurus sistem ekonomi neo-liberal menyatakan<br />
bahwa Pemerintah harus menerapkan disiplin kebijakan fiskal<br />
yang menghindari defisit anggaran. Untuk memenuhi hal itu,<br />
anggaran belanja negara harus diutamakan pada layanan umum,<br />
termasuk pendidikan, pelayanan kesehatan, dan prasarana<br />
(infrastruktur). Ini berarti bahwa Pemerintah sebaiknya tidak<br />
membiayai pembangunan infrastruktur dengan dana yang<br />
238
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
diperoleh dari utang, tetapi harus mengandalkan penerimaan<br />
pajak. Apakah ini benar Sementara cerita di awal bab ini<br />
menunjukkan bahwa krisis keuangan dunia berawal dari masalah<br />
subprime mortage di Amerika Serikat. Lantas, bagaimana <strong>cara</strong><br />
mengatasi masalah ini<br />
Baiklah, saya ambil suatu analogi. Coba lihat pada<br />
kehidupan kita sendiri. Pada saat kita memulai kehidupan<br />
berkeluarga, sebagian besar dari kita belum memiliki mobil<br />
dan—apalagi—rumah. Dalam kondisi semacam itu, dengan<br />
hanya mengandalkan pada sisa penghasilan—setelah dipotong<br />
biaya hidup, apakah kita dapat membeli mobil dan rumah<br />
Memang dengan disiplin yang ketat, kita bisa menabung. Tetapi,<br />
kapankah tabungan kita akan cukup untuk membeli mobil dan<br />
rumah Faktanya, harga mobil dan rumah meningkat lebih pesat<br />
dari peningkatan nilai tabungan kita. Apalagi kalau kita harus<br />
membayar biaya sewa rumah dan biaya transportasi.<br />
Tidak heran jika pertanyaan seperti di bawah ini kerap<br />
menghantui kita.<br />
”Kapan kita punya mobil”<br />
”Kapan kita punya rumah”<br />
”Kapan kita bisa kaya dan bahagia”<br />
Karena itu, fakta menunjukkan bahwa pembiayaan<br />
kepemilikan mobil dan rumah adalah suatu keniscayaan. Suatu<br />
kebutuhan yang harus dipenuhi. Tetapi, bagaimana <strong>cara</strong> yang<br />
terbaik<br />
Adakah <strong>cara</strong> penciptaan kekayaan yang sesuai syariah<br />
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang<br />
menabung sejak usia belasan tahun sampai dengan usia tiga<br />
239
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
puluhan. Sebagian besar dari mereka berharap bisa mempunyai<br />
rumah, setidaknya ketika mereka telah mencapai usia tiga puluh<br />
tahun. Jadi, mereka menabung selama sekitar 10 tahun, dan<br />
selama itu mereka berharap mendapat imbal hasil (selama ini<br />
disebut ”bunga”) yang baik (maksudnya, ”tinggi”). Namun<br />
ketika mereka berusia 30 tahun, mereka mengambil KPR untuk<br />
jangka waktu 15 tahun lebih dan berharap membayar beban<br />
atau imbal hasil (selama ini disebut ”bunga”) yang rendah.<br />
Lucu juga ya, selama menabung meminta imbal hasil yang<br />
tinggi dan selama mencicil KPR berharap beban imbal hasil<br />
yang rendah. Padahal, imbal hasil dari tabungan menentukan<br />
imbal hasil KPR. Karena sebagian dana untuk KPR yang dicicil<br />
orang-orang pada usia 30 sampai 45 tahun berasal dari tabungan<br />
orang-orang pada usia 15 hingga 30 tahun.<br />
Bagaimana kalau mereka berserikat untuk menciptakan sinergi<br />
di antara mereka<br />
Pembiayaan KPR adalah pembiayaan yang sangat menarik.<br />
Pertama, orang yang memerlukan KPR banyak sekali dan mereka<br />
dalam usia produktif. Rumah adalah aset utama suatu keluarga<br />
sehingga nasabah KPR akan berjuang sekuat tenaga untuk<br />
membayar cicilan KPR mereka. Rumah juga suatu jenis aset<br />
yang—se<strong>cara</strong> umum—harganya terus meningkat. Dan, rumah<br />
mempunyai fungsi ekonomi dan sosial yang besar sekali. Dengan<br />
rumah yang baik, suatu keluarga akan sehat dan bahagia. Dan<br />
keluarga yang sehat dan bahagia akan produktif dan menjadi<br />
anggota masyarakat yang baik pula.<br />
Jadi, KPR adalah pembiayaan yang aman, memberikan hasil<br />
yang relatif pasti, dan se<strong>cara</strong> tidak langsung akan meningkatkan<br />
240
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat. KPR juga<br />
sangat dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan terbatas<br />
(maksudnya ”rendah”). Jadi, KPR sangat dibutuhkan oleh<br />
suatu negara. Rumah bagi suatu keluarga adalah identik dengan<br />
infrastruktur bagi suatu negara. Kalau begitu, kenapa neo-liberal<br />
tidak mendukung negara menerbitkan obligasi untuk membiayai<br />
infrastruktur dan kenapa KPR untuk golongan tidak mampu<br />
(subprime mortgage) di AS memicu krisis keuangan di dunia<br />
kerja sama antara masyarakat<br />
yang menabung atau<br />
menyimpan dana dengan<br />
ma syarakat yang memerlukan<br />
pembiayaan KPR akan menim<br />
bulkan sinergi yang akan<br />
menguntungkan masyarakat.<br />
Imbal hasil dari penempatan<br />
”Rasulullah SAW juga<br />
menganjurkan agar kita<br />
mendengarkan hal yang<br />
benar, sekalipun yang<br />
menyampaikan adalah<br />
anak kecil.”<br />
dana tidak boleh dilihat hanya dari hasil bulanan atau tahunan<br />
yang diterima oleh masyarakat pemilik dana. Akan tetapi,<br />
juga harus dilihat dari dampak positif pada ekonomi dan<br />
kesejahteraan. Karena bila ekonomi membaik dan rakyat makin<br />
sejahtera maka perusahaan akan semakin mudah memperoleh<br />
keuntungan, dan imbal hasil dari kegiatan ekonomi akan<br />
meningkat.<br />
Hal serupa juga berlaku untuk pembiayaan infrastruktur<br />
bagi Pemerintah. Bila pemilik dana menempatkan dana<br />
pada obligasi yang diterbitkan Pemerintah untuk membiayai<br />
pembangunan infrastruktur, maka imbal hasil yang diperoleh<br />
bukan hanya yang se<strong>cara</strong> langsung diterima dari penempatan<br />
dana di obligasi, tetapi juga pada kemudahan kegiatan<br />
241
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi yang difasilitasi<br />
oleh infrastruktur tersebut.<br />
Jadi, siapa bilang Pemerintah sebaiknya membatasi<br />
peminjaman dana untuk pembangunan infrastruktur<br />
Lalu, bagaimana dengan pembiayaan KPR bagi masyarakat<br />
berpenghasilan terbatas (rendah) Apakah mereka tidak berhak<br />
untuk mendapatkan fasilitas KPR Tentu saja mereka berhak,<br />
karena mereka juga anggota masyarakat. Hanya saja, mereka<br />
ditakdirkan mempunyai penghasilan yang terbatas. Lantas,<br />
bagaimana <strong>cara</strong>nya<br />
Sebenarnya tidak ada batasan minimum untuk nilai cicilan<br />
atau angsuran. Hanya saja, bila nilai cicilan lebih rendah dari<br />
imbal hasil yang diharapkan oleh pemilik dana, akan timbul<br />
masalah. Tetapi perlu diingat bahwa dalam jangka panjang (5<br />
tahun atau lebih), harga rumah akan meningkat dan penghasilan<br />
nasabah KPR juga akan meningkat. Khususnya karena nasabah<br />
tersebut akan makin sehat dan produktif.<br />
Jadi, bagaimana <strong>cara</strong>nya<br />
Pada akhir tahun ’80-an, saya bekerja di Lippo Bank sebagai<br />
Senior Vice President untuk Consumer Banking. Saat itu banyak<br />
bank yang ”jor-joran” menawarkan KPR. Saya diajak ke Batam<br />
untuk menjual KPR bagi orang Indonesia dan Singapura yang<br />
ingin memiliki rumah atau apartemen di Batam. Sepulang<br />
dari Batam, saya dipanggil oleh Pak Mochtar Riady. Beliau<br />
menasehati saya untuk berhati-hati dalam memberikan KPR.<br />
Kata beliau, ”Pak <strong>Iwan</strong>, saya tidak ingin Anda membuat orang<br />
yang sudah cukup bahagia menjadi tidak bahagia karena<br />
mendapat KPR dari Lippo”. Waktu itu saya bingung juga. Saya<br />
242
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
tidak mengerti maksud Pak Mochtar Riady. Tapi saya ”manut”<br />
saja karena toh beliau sudah terbukti bisa berhasil dalam bisnis<br />
perbankan dan beliau pemilik Lippo.<br />
Tidak lama setelah dinasehati oleh Pak Mochtar, Pemerintah<br />
menerapkan kebijakan uang ketat, tight money policy. Wah gawat,<br />
suku bunga naik menjadi lebih dari 15% per tahun. Dampaknya<br />
cukup besar untuk cicilan KPR. Karena berjangka panjang, pada<br />
tahap awal, sebagian besar dari cicilan KPR adalah pembayaran<br />
bunga. Jadi, kalau suku bunga naik dari 10% menjadi 15%,<br />
maka cicilan KPR bisa naik lebih dari 30%. Cukup merepotkan<br />
untuk nasabah yang penghasilannya terbatas. Akibatnya bisa<br />
lebih dari 50% gajinya dipakai untuk membayar cicilan KPR.<br />
Dampaknya, banyak juga nasabah KPR Lippo yang tidak<br />
sanggup dan meminta keringanan.<br />
Bersama anggota tim lainnya, Fransiscus The Fon Kiu dan<br />
Muliadi Hardja, saya harus mengatur strategi untuk mencari<br />
solusi yang tepat. Solusi yang dapat mengakomodasikan<br />
keterbatasan nasabah dan tetap memberikan imbal hasil yang<br />
memadai bagi bank serta nasabah pemilik dana. Kami membuat<br />
analisis portofolio KPR berdasarkan nilai rumah, saldo pinjaman,<br />
dan pendapatan bulanan nasabah. Dari analisis tersebut kami<br />
menemukan bahwa kami dapat menerapkan cicilan yang<br />
tetap selama 36 bulan dan membukukan tambahan pinjaman<br />
agar imbal hasil tetap di atas biaya dana. Mengingat bahwa<br />
harga rumah umumnya meningkat, maka nilai jaminan juga<br />
akan meningkat sehingga dimungkinkan adanya penambahan<br />
pinjaman. Kemudian pendapatan nasabah juga meningkat,<br />
maka kemampuan mencicil juga akan meningkat. Sehingga,<br />
243
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
bila nilai cicilan ditingkatkan setiap 3 sampai dengan 5 tahun<br />
sekali, nasabah tetap akan mampu membayar.<br />
Lalu, saya menghadap Pak Mochtar. Pertama-tama, saya<br />
meminta maaf karena saya tidak paham nasihat Pak Mochtar.<br />
Setelah itu, saya sampaikan analisis kami atas portofolio KPR.<br />
Setelah yakin Pak Mochtar bisa menangkap ide yang kami<br />
sampaikan, kami mengajukan usul menerapkan cicilan tetap<br />
untuk nasabah dengan penghasilan terbatas. Alhamdulillah,<br />
Pak Mochtar tersenyum dan berkata bahwa beliau senang kami<br />
paham maksud dari nasihat yang telah diberikan. Beliau juga<br />
menyatakan bahwa bisnis harus punya tanggung jawab sosial.<br />
Dan, beliau mendukung usulan kami serta menyuruh kami<br />
menghadap ke direksi untuk ditindaklanjuti. Alhamdulillah.<br />
Ketika saya undang nasabah-nasabah yang bersangkutan dan<br />
saya sampaikan keputusan kami banyak nasabah yang menangis<br />
gembira. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang berusaha<br />
memeluk saya. Ada juga yang berusaha mencium tangan saya.<br />
Tentu saja saya menghindar dan menyatakan bahwa memang<br />
sudah kewajiban kami untuk memberikan yang terbaik bagi<br />
nasabah dan bagi bank.<br />
Alhamdulillah, seperti ungkapan di cerita Tintin, “all well<br />
will end well”. Semua niat baik, yang dijalankan dengan baik,<br />
akan berakhir baik.<br />
Pengalaman ini memberi pelajaran bahwa cicilan KPR<br />
sebaiknya tidak berubah sewaktu-waktu. Cicilan KPR sebaiknya<br />
ditentukan di muka dan nilainya bertambah se<strong>cara</strong> berkala—<br />
misalnya setiap lima tahun sekali. Cara ini persis sama dengan<br />
<strong>cara</strong> pemberian KPR dengan akad Murabaha. Cara yang lebih<br />
adil dibandingkan dengan KPR yang cicilannya berubah<br />
244
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
berdasarkan perubahan kondisi ekonomi makro. Karena manfaat<br />
dari rumah yang dibeli dengan fasilitas KPR tidak berubah<br />
berdasarkan perubahan kondisi ekonomi makro, tentunya tidak<br />
adil bila cicilan KPR boleh berubah berdasarkan perubahan<br />
kondisi ekonomi makro.<br />
Jurus Cipta V: Rusunawa Rusunami<br />
Ternyata, sebelum saya diserahi amanah memimpin<br />
Jamsostek, direksi sebelumnya telah mendirikan rumah<br />
susun sewa di Bekasi dan Batam. Dalam istilah Kementerian<br />
Negara Perumahan Rakyat, rumah susun sederhana yang<br />
disewakan disebut rusunawa, sedangkan rumah susun<br />
sederhana yang dapat dimiliki disebut rusunami.<br />
Kebetulan, saya mengenal dengan baik Menteri dan beberapa<br />
pejabat di Kementerian Perumahan Rakyat sehingga sering ikut<br />
rapat membahas program rusunawa-rusunami. Pemerintah<br />
mempunyai rencana akan membangun banyak rusunawa<br />
dan rusunami. Karena rusun berupa bangunan tinggi, maka<br />
dicanangkan program “1000 tower”. Maksudnya, 1000<br />
bangunan rusuna. Pemerintah juga menyusun program insentif<br />
agar pengembang maupun rakyat berminat untuk membangun<br />
dan tinggal di rusuna.<br />
Jamsostek mengelola dana yang berasal iuran peserta dan<br />
hasil pengembangannya. Dengan dana tersebut, Jamsostek<br />
memberikan perlindungan berupa Jaminan Pemeliharaan<br />
Kesehatan (JPK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan<br />
Kematian (JK), serta mengelola dana Jaminan Hari Tua (JHT).<br />
Sepanjang masa kepesertaan dalam program Jamsostek, tenaga<br />
kerja mungkin memanfaatkan fasilitas JPK beberapa kali dalam<br />
245
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
setahun, mengajukan klaim JKK satu atau dua kali setahun,<br />
klaim kematian (JK) tentunya hanya sekali, dan mengambil<br />
JHT seharusnya hanya setelah berusia 55 tahun. Karena itu,<br />
lebih dari 70% dana amanah yang dikelola oleh Jamsostek<br />
adalah merupakan tabungan JHT. Otomatis, dana JHT terus<br />
meningkat setiap tahun, baik karena pertambahan iuran maupun<br />
karena akumulasi hasil investasi (pengembangan).<br />
“Ke mana dana JHT diinvestasikan”<br />
Menurut ketentuan, dana JHT dapat diinvestasikan<br />
ke dalam obligasi pemerintah, deposito di bank, obligasi<br />
korporasi, saham serta beberapa instrument investasi lainnya.<br />
Apa manfaatnya bagi tenaga kerja Manfaat utamanya adalah<br />
mendapatkan hasil investasi. Kapan mereka menikmatinya<br />
Seharusnya setelah mencapai usia 55 tahun. Wah, lama bener<br />
nih. Padahal, sementara itu, mereka membutuhkan dana untuk<br />
membeli rumah, membeli kendaraan untuk transportasi,<br />
membayar biaya pendidikan untuk anak-anak mereka, dan<br />
biaya kebutuhan hidup yang lainnya.<br />
Karena itu, timbul pemikiran untuk meningkatkan manfaat<br />
dana JHT bagi tenaga kerja dengan menggunakan dana JHT<br />
untuk pembiayaan KPR bagi tenaga kerja. Tetapi, untuk<br />
mewujudkannya ternyata tidaklah mudah.<br />
“Bagaimana <strong>cara</strong>nya menentukan alokasi dana JHT untuk<br />
pembiayaan KPR ini”<br />
“Bagaimana <strong>cara</strong>nya menentukan tenaga kerja yang berhak<br />
menerima”<br />
“Bagaimana pula <strong>cara</strong>nya pelaksanaan yang memenuhi prinsip<br />
kehati-hatian<br />
246
“Diharapkan kerja sama<br />
PNM-Danareksa dapat<br />
memberi manfaat kepada<br />
rakyat Indonesia yang<br />
tidak kalah dengan<br />
manfaat yang diberikan<br />
PNB kepada rakyat<br />
Malaysia.”<br />
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
Pembiayaan perumahan,<br />
khususnya untuk rumah<br />
pertama, adalah salah satu<br />
jenis investasi yang paling<br />
aman. Dari segi aset yang<br />
dibiayai, cukup aman, karena<br />
permintaan akan jenis rumah<br />
(atau rusun) yang tersebut<br />
relatif besar sehingga harga<br />
juga relatif terjaga baik. Dari<br />
segi kemauan nasabah untuk membayar kembali pinjamannya,<br />
juga cukup baik, karena rumah adalah kebutuhan utama setiap<br />
keluarga dan tentunya mereka akan berjuang untuk membayar<br />
cicilan KPR agar tidak kehilangan rumah satu-satunya itu.<br />
Memang imbal hasil tidak akan setinggi hasil investasi di saham,<br />
tetapi bagi tenaga kerja yang belum punya rumah, lebih baik<br />
mendapat fasilitas KPR dengan biaya terjangkau selama 15 tahun<br />
di usia 30-an walaupun untuk itu harus imbal hasil yang lebih<br />
kecil untuk dana yang akan mereka nikmati di usia 55 tahun.<br />
Karena itu, tidak ada salahnya mengalokasikan sebagian besar<br />
dana JHT untuk pembiayaan KPR bagi tenaga kerja peserta JHT.<br />
Sampai tahun 2005, Jamsostek telah menerbitkan lebih dari<br />
20 juta kartu untuk peserta program JHT. Memang sistem yang<br />
digunakan memungkinkan seorang peserta mempunyai lebih dari<br />
satu kartu. Karena bila ia pindah kerja dan tidak mengalihkan<br />
kartu yang lama, maka peserta tersebut akan mempunyai lebih<br />
dari satu kartu. Padahal, peserta yang aktif membayar iuran<br />
hanya sekitar 8 juta orang. Sehingga, mungkin peserta program<br />
JHT hanya sekitar 15 juta orang.<br />
247
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Jumlah dana JHT saat itu sekitar Rp.30 triliun. Kelihatannya<br />
besar, bukan Tetapi bila pinjaman KPR rata-rata Rp.100 juta<br />
per orang, maka dana JHT saat itu hanya cukup untuk 300.000<br />
peserta. Bila dana JHT digunakan untuk pembiayaan “uang<br />
muka” KPR dengan nilai Rp.30 juta per orang, maka dana JHT<br />
bisa untuk 1 juta peserta.<br />
Perbankan umumnya mensyaratkan nilai cicilan KPR<br />
maksimum sepertiga dari penghasilan bulanan. Untuk jangka<br />
waktu 20 tahun, bila imbal hasil 10% dan nilai cicilan bulanan<br />
tidak berubah, maka nilai KPR sekitar 100 kali cicilan bulanan.<br />
Namun bila cicilan meningkat 5% per tahun, maka nilai KPR<br />
sekitar 300 kali cicilan tahun pertama. Jadi, untuk peserta<br />
dengan gaji Rp.1 juta per bulan, cicilan KPR tahun pertama<br />
adalah Rp.330.000 per bulan dan nilai pinjaman KPR bisa<br />
mencapai Rp.100 juta. Bila 30% dari harga rumah (rusun)<br />
dibiayai oleh dana JHT dan sisanya oleh bank, maka harga<br />
netto rumah (rusun) yang dapat dibiayai mencapai Rp.100 juta.<br />
Setiap tahun, peserta program JHT yang mendapat KPR<br />
dari dana JHT akan membayar cicilan ke dana JHT. Berarti,<br />
akan ada pengembalian dana JHT yang dapat digunakan untuk<br />
memberikan pinjaman KPR untuk peserta JHT lainnya. Dari<br />
simulasi perhitungan di atas, ada kemungkinan 1 juta peserta<br />
yang akan membayar cicilan Rp.330.000 per bulan. Berarti<br />
tahun pertama akan terdapat pengembalian dana sekitar Rp.4<br />
triliun. Dana hasil pengembalian ini bisa dimanfaatkan untuk<br />
memberikan pinjaman KPR serupa kepada 130.000 peserta.<br />
Dan, tentunya pada tahun kedua, jumlah pengembalian dari<br />
tiap peserta akan meningkat. Demikian pula jumlah peserta<br />
yang mengembalikan juga akan meningkat. Sehingga, semakin<br />
248
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
banyak peserta yang akan mendapat kesempatan memperoleh<br />
pinjaman KPR dengan dukungan dana JHT.<br />
Ada satu hal menarik yang perlu kita ketahui. Jumlah<br />
penduduk Indonesia hampir 10 kali lipat dari penduduk<br />
Malaysia, tetapi jumlah dana JHT di Malaysia lebih dari 10<br />
kali lipat dari dana JHT di Indonesia.<br />
“Kenapa hal ini bisa terjadi”<br />
“Mengapa keberhasilan penghimpunan dana JHT di Malaysia<br />
bisa 100 kali lebih baik dari di Indonesia”<br />
Di samping sistem informasi yang digunakan lebih baik,<br />
ternyata kesadaran tenaga kerja Malaysia untuk ikut program<br />
JHT jauh lebih baik daripada tenaga kerja Indonesia. Salah satu<br />
penyebabnya adalah manfaat pengelolaan dana JHT di Malaysia<br />
lebih baik. Di Malaysia, tenaga kerja yang ikut program JHT<br />
dapat menggunakan sebagian dari dana JHT mereka untuk<br />
membeli rumah melalui fasilitas KPR. Tentunya hanya rumah<br />
yang pertama. Kemudian dapat juga digunakan untuk membeli<br />
mobil, juga hanya mobil pertama. Bahkan, peserta JHT di<br />
Malaysia dapat menentukan pilihan investasi untuk sebagian<br />
dana JHT mereka, sehingga sesuai dengan pilihan mereka<br />
tersebut. Asyik, kan<br />
Jadi, bila Peraturan Pemerintah mengenai investasi dana JHT<br />
bisa disesuaikan, fasilitas KPR tersebut di atas mulai diterapkan<br />
untuk peserta program JHT dengan gaji maksimal Rp.1 juta per<br />
bulan, dan dilanjutkan dengan peserta dengan gaji maksimal<br />
Rp. 2 juta per bulan, maka daya beli peserta program JHT<br />
akan meningkat dan tentunya makin banyak pengembang yang<br />
akan membangun rusuna untuk memenuhi permintaan dari<br />
249
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
peserta program JHT. Dan bila peserta program JHT merasa<br />
bahwa program JHT memberi manfaat yang lebih dini—bukan<br />
hanya setelah mereka mencapai usia 55 tahun, berarti makin<br />
banyak orang yang menjadi peserta program JHT dan semakin<br />
mereka peduli akan akurasi pembayaran dan pencatatan iuran<br />
JHT mereka.<br />
Bila hal itu terjadi, tentu saja jumlah dana JHT di Indonesia<br />
akan lebih banyak dari yang di Malaysia. Dan dengan dana<br />
yang lebih besar, makin banyak peserta program JHT yang<br />
akan mendapat kesempatan memiliki rumah. Makin banyak<br />
keluarga yang kaya, makin banyak keluarga yang<br />
bahagia, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
“Kapan hal ini akan mulai terjadi”<br />
Mungkin bila Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan,<br />
Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri<br />
BUMN membaca buku ini. Insya Allah.<br />
<br />
Sebelum reksa dana KIK yang pertama diterbitkan, PT.<br />
Danareksa Investment Management (waktu itu namanya PT.<br />
Danareksa Fund Management) mengelola beberapa produk<br />
investasi Danareksa yang disebut sebagai Sertifikat Danareksa.<br />
Pada dasarnya, Sertifikat Danareksa serupa dengan reksa dana<br />
KIK. Bedanya terdapat pada dasar hukum dan mekanisme<br />
kerjanya.<br />
Pada saat diterbitkan, Sertifikat Danareksa dimaksudkan<br />
untuk memberi peluang bagi rakyat dengan dana serta<br />
pengetahuan investasi yang terbatas untuk ikut serta mendapat<br />
250
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
keuntungan sebagai pemegang saham dari perusahaanperusahaan<br />
yang besar dan menguntungkan. Termasuk beberapa<br />
perusahaan multinasional. Saat itu, diberikan beberapa pilihan.<br />
Ada yang hanya berisi saham satu perusahaan. Ada pula yang<br />
merupakan portofolio dari saham beberapa perusahaan.<br />
Kemudian se<strong>cara</strong> berkala, pemegang Sertifikat Danareksa<br />
mendapat pembagian hasil yang mirip dengan dividen. Namun,<br />
karena diberikan beberapa kali dalam satu tahun, maka untuk<br />
sebagian investor Sertifikat Danareksa dianggap seperti deposito.<br />
Ketika kami akan menerbitkan reksa dana KIK yang<br />
pertama, Bapepam menanyakan rencana kami dengan produk<br />
Sertifikat Danareksa yang selama ini kami kelola. Khususnya,<br />
karena dasar hukum untuk penerbitannya sudah berubah karena<br />
sudah ada UU tantang Pasar Modal Tahun 1995. Karena itu,<br />
kami perlu mempersiapkan rencana yang baik.<br />
Kemudian, saya mendapat informasi mengenai keberhasilan<br />
Permodalan Nasional Berhad (PNB) di Malaysia dalam<br />
menggalang dana investasi dari masyarakat. Oleh karena itu,<br />
saya segera mengadakan studi banding ke PNB. Pada saat studi<br />
banding itu, saya mendapat kesempatan bertemu dengan Tan Sri<br />
Dato’ Seri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid (saat itu Chairman—<br />
Komisaris Utama—PNB), Tan Sri Dato’ Abdul Khalid Ibrahim<br />
(mantan CEO PNB), dan Hamad Kama Piah bin Che Othman<br />
(saat itu CEO PNB).<br />
Ada sesuatu yang agak “lucu” ketika bertemu dengan<br />
Hamad Kama Piah. Ia menanyakan sejak kapan saya bekerja<br />
di Danareksa. Ketika saya menjawab bahwa saya belum lama<br />
ditunjuk sebagai Direktur Utama DIM, ia tersenyum. Lalu, ia<br />
sampaikan bahwa sebenarnya di tahun 1970-an, ia datang ke<br />
251
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Danareksa untuk belajar. Waktu itu dia masih berstatus staf<br />
biasa. Dua puluh tahun kemudian, ia sudah jadi orang no-1 di<br />
PNB. Lucunya, Direktur Danareksa datang untuk belajar ke<br />
PNB—yang dulu belajar di perusahaannya. “Apa tidak aneh”<br />
Katanya.<br />
Dengan lugas saya menjawab bahwa Nabi Muhammad SAW<br />
menganjurkan agar kita belajar sampai ke “Negeri Cina”. Selain<br />
itu, Rasulullah SAW juga menganjurkan agar kita mendengarkan<br />
hal yang benar, sekalipun yang menyampaikan adalah anak<br />
kecil. Jadi, tidaklah salah atau aneh kalau sekarang saya sebagai<br />
“anak kemarin sore” di Danareksa belajar ke “orang yang paling<br />
berhasil” di PNB. Hamad Kama Piah tersenyum lagi, dan kami<br />
menjadi sahabat baik.<br />
Dari hasil studi banding itu, saya juga mendapat<br />
pelajaran berharga dan berkesimpulan bahwa kunci<br />
keberhasilan (key success factors) dari PNB ada lima,<br />
yaitu: adanya Jaminan Modal Awal (Capital Guarantee),<br />
Dividen tahunan lebih baik dari bunga tabungan<br />
atau deposito, kemudahan investasi bagi pemodal,<br />
independensi dari Pengelola Investasi (Amanah), dan<br />
transparansi pengelolaan<br />
Mulai tahun 1981, PNB meluncurkan produk Amanah<br />
Saham Nasional (ASN) yang sebenarnya dibuat mengikuti pola<br />
Sertifikat Danareksa. Untuk menarik minat masyarakat karena<br />
investasi dalam saham umumnya membawa resiko penurunan<br />
nilai modal (capital loss), diberikan jaminan pencairan unit<br />
pada nilai modal awal, yaitu RM1.00. Jaminan modal awal ini<br />
dirancang untuk mendorong pemerataan kesempatan pemilikan<br />
atas aset nasional karena portofolio investasi adalah pada<br />
252
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
perusahaan nasional yang merupakan aset nasional. Namun,<br />
jaminan ini mempunyai dampak “penyimpangan hukum pasar”,<br />
karena harga pasar dari unit penyertaan dapat bergerak sesuai<br />
dengan nilai aktiva bersih (NAB) dari portofolio investasi,<br />
sehingga tidak selalu sama dengan RM1.00. Karena itu, perlu<br />
diadakan ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan atas<br />
unit penyertaan dari ASN agar fasilitas ini tidak disalahgunakan.<br />
ASN diluncurkan tahun 1981 dan menurut perjanjian<br />
pada saat pendirian, jaminan modal diberikan untuk jangka<br />
waktu 10 tahun, dan setelah itu pencairan unit dilakukan<br />
pada harga pasar (Nilai Aktiva Bersih). Namun dalam survei<br />
pada 1989, diketahui bahwa sebagian besar pemodal akan<br />
mencairkan unitnya bila harga pasar (NAB) lebih tinggi dari<br />
nilai modal awal. Sementara itu, harga saham yang menjadi<br />
portofolio ASN telah meningkat pesat. Karena tidak mungkin<br />
merubah ketentuan ASN, maka diluncurkanlah Amanah Saham<br />
Bumiputera (ASB) yang memberikan jaminan modal awal untuk<br />
jangka waktu yang tidak terbatas.<br />
PNB menganut prinsip bahwa tidak boleh ada subsidi<br />
dalam pembagian dividen. Baik subsidi pendapatan pengelolaan<br />
investasi, maupun subsidi (potongan) harga pembelian saham<br />
(efek) dalam portofolio. Tingkat hasil yang tinggi dimungkinkan<br />
karena pada saat ASN diluncurkan, kondisi ekonomi Malaysia<br />
sedang baik sehingga tingkat suku bunga cukup rendah dan<br />
kemampuan menabung cukup tinggi. Di samping itu, ASN<br />
diluncurkan tiga tahun setelah PNB didirikan (1978). Selama<br />
tiga tahun tersebut, modal awal PNB—yang nilainya sekitar<br />
RM 3 miliar—telah dikelola dengan baik sehingga memberikan<br />
hasil yang baik. Hasil investasi ini dibukukan sebagai cadangan<br />
253
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
atas jaminan modal awal. Untuk mendorong investasi jangka<br />
panjang, dividen dibagikan se<strong>cara</strong> pro-rata menurut jangka<br />
waktu investasi dalam tahun dividen. Dan nilai dividen<br />
diupayakan selalu lebih tinggi dari imbal hasil tabungan maupun<br />
deposito.<br />
Kemudahan investasi yang berupa kemudahan dalam<br />
membeli, mencairkan dan mengetahui saldo unit penyertaan<br />
se<strong>cara</strong> on-line adalah merupakan bagian dari Strategi Pemasaran.<br />
Kemudahan dalam membeli dan mencairkan dilakukan dengan<br />
menunjuk agen-agen penjualan di seluruh Malaysia sehingga<br />
memudahkan distribusi. Kemudahan dalam mengetahui saldo<br />
unit penyertaan se<strong>cara</strong> on-line diperlukan untuk meningkatkan<br />
kepercayaan pemodal karena setiap saat pemodal dapat mencek<br />
saldo kepemilikan mereka.<br />
Walaupun merupakan organisasi yang sarat dengan pejabat<br />
pemerintah, PNB sebagai pengelola investasi memiliki kebebasan<br />
se<strong>cara</strong> profesional dan bebas dari intervensi anggota kabinet.<br />
Hal ini dimungkinan karena PNB bukanlah suatu perseroan<br />
(Berhad) yang dimiliki oleh Pemerintah (seperti BUMN),<br />
tapi perseroan didirikan oleh Yayasan Pelaburan Bumi Putra,<br />
suatu yayasan yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri.<br />
Pengawasan atas operasi PNB dilakukan melalui suatu Dewan<br />
yang dipimpin oleh PM dan beranggotakan 3 Menteri dan 2<br />
Tokoh Masyarakat. Pedoman Investasi dijabarkan se<strong>cara</strong> jelas<br />
dan tegas oleh Dewan, dan Pengelola Investasi harus mengikuti<br />
pedoman tersebut sehingga investasi tidak spekulatif. Tim<br />
Pengelola Investasi PNB dipimpin oleh Professional Investment<br />
Manager dan memiliki jenjang karier yang jelas. Bukti yang<br />
paling jelas adalah Hamad Kama Piah sendiri. Ia adalah<br />
254
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
karyawan PNB yang memulai karier sebagai Analis Pengelola<br />
Investasi dan 20 tahun kemudian menjadi CEO.<br />
Amanah Saham adalah Public Trustee. Karena itu, ada wakil<br />
pemodal yang duduk dalam Dewan dan Badan Pengawas.<br />
Portofolio investasi diumumkan se<strong>cara</strong> berkala dan dimuat<br />
dalam informasi on-line sehingga kepercayaan pemodal semakin<br />
bertambah. Ada pedoman yang jelas mengenai posisi PNB dalam<br />
perusahaan (emiten) di mana PNB memiliki saham. Bila PNB<br />
memiliki saham 51% atau lebih, maka perusahaan tersebut<br />
disebut subsidiary <strong>com</strong>pany dan posisi Chairman (Komisaris<br />
Utama) akan ditunjuk oleh PNB. Bila PNB memiliki saham<br />
lebih dari 30% namun kurang dari 51%, maka perusahaan<br />
tersebut menjadi associate <strong>com</strong>pany dan wakil dari PNB akan<br />
menempati posisi Direktur Keuangan. Perusahaan yang menjadi<br />
sasaran investasi bukan hanya perusahaan yang dimiliki oleh<br />
pemerintah (BUMN), tetapi juga pada badan usaha swasta dan<br />
anak perusahaan (subsidiary) dari usaha multinasional.<br />
PNB jelas merupakan contoh keberhasilan pemerataan<br />
penciptaan kekayaan kepada masyarakat. Memang selalu ada<br />
perbedaan situasi dan kondisi sehingga muncul hal-hal yang<br />
dapat dianggap sebagai tantangan dalam penerapan. Misalnya,<br />
bagaimana memberikan jaminan modal awal yang tidak<br />
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan serta tidak<br />
membebani APBN. Atau, apakah pengelola dapat mengelola<br />
dana dengan baik sehingga mampu member imbal hasil (dividen)<br />
yang lebih baik daripada imbal hasil tabungan maupun deposito<br />
Di samping itu, ada tantangan besar dalam bersaing dengan<br />
produk tabungan serta kesalahpahaman mengenai investasi di<br />
pasar modal. Kebetulan saya ikut serta dalam tim BCA-Lippo<br />
255
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
sewaktu mempromosikan produk tabungan “Tahapan”. Jadi, saya<br />
paham betul tantangan yang dihadapi dalam hal komunikasi<br />
dan promosi. Yang terakhir adalah tantangan mengenai struktur<br />
hukum dari badan pengelola investasi dan produk investasi<br />
keuangan yang akan ditawarkan. Dengan adanya UU Pasar<br />
Modal, maka bentuk produk seperti Sertifikat Danareksa harus<br />
diganti dengan reksa dana atau produk yang mengacu pada<br />
reksa dana.<br />
Pada saat itu, Presiden kita adalah Prof. B.J. Habibie,<br />
Meneg BUMN adalah Tanri Abeng, Menteri Keuangan adalah<br />
Bambang Subianto, dan Menteri Koperasi dan UKM adalah Adi<br />
Sasono. Kabinet memberi arahan untuk membentuk badan baru<br />
yang mengikuti keberhasilan PNB dengan nama Permodalan<br />
Nasional Madani. Mengingat keterbatasan anggaran di kantor<br />
Meneg BUMN, maka Danareksa menjadi penyandang dana<br />
dari lokakarya pendirian PNM.<br />
Setelah mempelajari tujuan pendirian dan situasi serta<br />
kondisi Indonesia, pada tahun 1999, kami mengusulkan agar<br />
PNM didirikan sebagai BUMN yang menjadi Perusahaan<br />
Pengelola Aset Keuangan milik Negara. Pemerintah sebagai<br />
pemegang saham BUMN diharapkan membentuk portofolio<br />
yang terdiri dari saham-saham BUMN yang sudah dan akan<br />
“go-public”. Kemudian, PNM ditunjuk sebagai pengelola<br />
portofolio tersebut.<br />
Melanjutkan pengalaman dan kompetensi yang terbina<br />
selama mengelola Sertifikat Danareksa dan reksa dana, kami<br />
usulkan Danareksa mendirikan reksa dana saham dan reksa<br />
dana campuran dengan portofolio berisi saham dan obligasi<br />
yang diterbitkan oleh BUMN. PNM kemudian menjadi sponsor<br />
256
CIPTAKAN KEKAYAAN<br />
utama reksa dana tersebut dengan “inbreng” portofolio saham<br />
BUMN. Reksa dana tersebut dapat diberi nama reksa dana<br />
Amanah Madani Saham, Amanah Madani Nusantara,<br />
atau nama-nama lainnya.<br />
Kemudian, Danareksa akan bekerja sama dengan bank-bank<br />
BUMN dan perusahaan asuransi BUMN untuk memasarkan<br />
produk reksa dana tersebut. Untuk itu akan dilakukan sosialisasi<br />
dan promosi yang terstruktur agar dapat diperoleh pemahaman<br />
yang baik atas tujuan, potensi, risiko, dan manfaat dari investasi<br />
di reksa dana tersebut.<br />
Data empiris menunjukkan bahwa dalam periode 1990-<br />
1999 BUMN yang sudah go-public umumnya memberikan imbal<br />
hasil rata-rata dengan nilai lebih dari 15%/tahun. Sedangkan<br />
imbal hasil deposito di bawah 10%/tahun. Karena PNM<br />
(yang kami usulkan) bukanlah lembaga keuangan, melainkan<br />
perusahaan pengelola aset, maka PNM dapat memberikan<br />
jaminan pembelian kembali pada akhir tahun ke-5 dan<br />
seterusnya yang akan memberikan imbal hasil 12% per tahun.<br />
Saya membuat simulasi portofolio saham dan obligasi BUMN<br />
yang ada pada periode 1999-2004 dan sampai dengan 2009.<br />
Ternyata portofolio tersebut memberikan imbal hasil rata-rata<br />
lebih dari 20% per tahun. Sehingga, tentu saja tidak akan ada<br />
investor yang memanfaatkan jaminan PNM karena harga pasar<br />
sudah lebih tinggi.<br />
Bila PNM—yang kami usulkan—dan Danareksa beroperasi<br />
mengikuti ketentuan UU BUMN dan UU Pasar Modal,<br />
maka good corporate governance dapat diterapkan dengan baik.<br />
Di samping itu, kami usulkan membentuk Dewan Pengarah<br />
Investasi yang akan terdiri dari pejabat publik (Menteri atau<br />
257
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Dirjen) dan orang-orang yang ditunjuk oleh 100 pemegang unit<br />
penyertaan terbesar. Dewan tersebut dapat memberi arahan,<br />
panduan dan penilaian atas kegiatan pengelolaan investasi<br />
reksa dana oleh Danareksa. Dengan demikian diharapkan kerja<br />
sama PNM-Danareksa dapat memberi manfaat kepada rakyat<br />
Indonesia yang tidak kalah dengan manfaat yang diberikan<br />
PNB kepada rakyat Malaysia.<br />
Mengikuti dinamika politik yang ada, akhirnya kantor<br />
Meneg BUMN mendirikan BUMN baru dengan nama PT.<br />
Permodalan Nasional Madani. Kegiatan usaha PNM difokuskan<br />
pada pembinaan dan pengembangan UKM. Walaupun saya<br />
banyak terlibat dalam pendirian PNM, tapi karena tujuan<br />
saya adalah untuk ikut berperan serta dalam upaya penciptaan<br />
kekayaan masyarakat, maka saya menolak tawaran untuk<br />
menjadi Direksi PNM. Dan, akhirnya PNM berdiri dan<br />
berkembang. Tentu saja, saya berdoa dan berharap agar PNM<br />
dapat berkembang mengikuti keberhasilan PNB. Karena dengan<br />
keberhasilan tersebut maka<br />
makin banyak orang yang bisa menjadi kaya, makin<br />
banyak orang yang bahagia, dengan <strong>cara</strong> syariah.<br />
258
Khatimah<br />
Dunia memang tengah berada pada situasi yang cukup sulit.<br />
Hal itu, nyata terlihat pada beberapa fenomena yang membuat<br />
sebagian besar manusia hampir kehilangan akal. Mulai dari<br />
dampak gejolak ekonomi di negeri adidaya Amerika Serikat<br />
yang meluas ke berbagai penjuru dunia, dilema perdagangan<br />
bebas, efek sampingan demokrasi dan pemakaian teknologi<br />
informasi yang kebablasan, sampai dengan perubahan iklim<br />
yang tidak terduga-duga.<br />
Namun bila percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa,<br />
Yang Mahakuasa, Pencipta seluruh alam, tentu yakin pula bahwa<br />
pasti ada jalan untuk mengatasi semua kesulitan yang dihadapi.<br />
Tuhan telah berjanji: bahwa pada setiap satu kesukaran akan<br />
terdapat banyak kemudahan. Karena itu, pasti ada <strong>cara</strong> yang<br />
cerdas untuk menemukan dunia yang lebih baik. Ada Shariah<br />
Ways for a Better World.<br />
259
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana<br />
menyesuaikan kaidah usaha, etika bisnis, dan sistem ekonomi<br />
yang ada, sehingga bisa memudahkan manusia dalam mencapai<br />
dunia yang lebih baik. Memang, bangun sistem ekonomi—di<br />
mana pun juga—pada hakikatnya adalah serupa. Tercipta atau<br />
terbentuk dari peristiwa dan fenomena-fenomena ekonomi<br />
yang nyaris serupa. Sebagai sistim ekonomi yang terbangun<br />
dalam upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan<br />
memanfaatkan sumber daya dan kesempatan yang ada.<br />
“Pasti ada <strong>cara</strong> yang<br />
cerdas untuk menemukan<br />
dunia yang lebih baik. Ada<br />
Shariah Ways for a Better<br />
World.”<br />
Hanya memang, peristiwa<br />
dan fenomena ekonomi<br />
di suatu tempat, biasanya<br />
tergantung pada faktor<br />
penentu dan faktor pengaruh<br />
yang sangat menentukan<br />
dan mempengaruhi kondisi,<br />
tindakan, hingga hasil dari kegiatan ekonomi yang diterapkan.<br />
Ringkasnya, sistim ekonomi yang berlaku di suatu tempat,<br />
sangat tergantung pada paradigma dan keyakinan manusianya.<br />
Pada falsafah hidup dan nilai-nilai dasar masyarakatnya, bangsa<br />
atau negara.<br />
Indonesia didirikan oleh para founding fathers (dan founding<br />
mothers) yang telah menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara<br />
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itulah, siapapun<br />
yang tinggal dan hidup di negeri ini, harus menerima Pancasila<br />
sebagai dasar negara.<br />
Seluruh bangsa Indonesia paham betul dengan sila pertama<br />
dari Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, semua<br />
warganegara Indonesia mengakui, percaya atau beriman kepada<br />
260
KHATIMAH<br />
Tuhan Yang Maha Esa. Seluruh bangsa Indonesia memiliki<br />
keyakinan pada keberadaan Tuhan yang telah menciptakan<br />
manusia dan alam raya beserta segala isinya.<br />
Jurus <strong>Kaya</strong> dan <strong>Bahagia</strong> Cara <strong>Syariah</strong> adalah <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> cerdas<br />
untuk menuju dunia yang lebih baik berdasarkan keyakinan<br />
atau keimanan manusia kepada Tuhan. Karena itulah, keyakinan<br />
dan paradigma para pelaku ekonomi di negeri ini seharusnya<br />
mengikuti falsafah, tata nilai, prinsip, dan kaidah seperti<br />
dijabarkan dalam firman Tuhan dan diajarkan oleh para nabi<br />
dan rasul-Nya.<br />
Manusia akan lebih mudah menjadi ‘kaya dan bahagia’ bila<br />
dapat memahami dirinya, peran dan tugas yang harus dijalankan<br />
di muka bumi dengan berpegang pada pemahaman bahwa:<br />
1. Manusia adalah abdi Tuhan atau hamba Allah SWT yang<br />
telah diangkat menjadi wakil-Nya di muka bumi untuk<br />
menyebarluaskan rahmat Tuhan ke seluruh alam. Dalam<br />
menjalankan tugas sebagai wakil-Nya, manusia diberi<br />
wewenang untuk mengatasnamakan Tuhan atas segala<br />
sesuatu yang dilakukannya. Keistimewaan itu dilakukan dengan<br />
mengucapkan: “dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi<br />
Maha Penyayang”, atau “bismillahir rahmanir rahiim”.<br />
2. Untuk mendukung peran manusia, Tuhan telah menciptakan<br />
bumi dan segala isinya se<strong>cara</strong> seimbang menurut ukuran yang<br />
sesuai dengan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, semua sumber<br />
daya yang ada telah dimudahkan untuk kepentingan manusia,<br />
dan disempurnakan sebagai nikmat lahir dan batin.<br />
261
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
3. Atas bumi dan segala isinya yang telah diciptakan dan<br />
telah dipusakakan-Nya kepada manusia, Allah SWT juga<br />
memberi manusia kewenangan sebagai pemilik sementara<br />
dari (sebagian) bumi dan segala isinya agar digunakan untuk<br />
kegiatan produktif, efektif, efisien dan berkelanjutan. Manusia<br />
harus mengelola sumber daya yang ada untuk kegiatan<br />
produktif, sehingga dapat terus dinikmati umat manusia. Dari<br />
generasi ke generasi.<br />
4. Tugas utama manusia adalah menggunakan bumi dan segala<br />
isinya untuk menciptakan kemasalahatan bagi umat manusia.<br />
Kemaslahatan utama bagi manusia adalah keuntungan atau<br />
kebahagiaan di akhirat. Pada saat yang sama, manusia juga<br />
diperintahkan untuk tidak melupakan haknya atas keuntungan<br />
atau kenikmatan di dunia.<br />
5. Dalam menjalankan tugasnya, manusia harus berlaku adil<br />
kepada dirinya dan kepada orang lain. Karena, esensi keadilan<br />
adalah terciptanya keseimbangan antara kemasalahatan<br />
individu dengan kemasalahatan umat manusia.<br />
Selain meyakini pandangan hidup manusia sebagaimana<br />
diuraikan di atas, manusia yang ingin menjadi ‘kaya dan bahagia’<br />
harus pula mengikuti prinsip-prinsip tata nilai yang terungkap<br />
setelah mempelajari prinsip syariah, yaitu:<br />
1. Ruang lingkup tugas manusia sebagai hamba Allah SWT yang<br />
utama adalah menjaga keimanan kepada Tuhan Yang Maha<br />
Esa. Selanjutnya, diikuti dengan menjaga kehidupan, menjaga<br />
akal, menjaga kelangsungan keturunan, dan menjaga harta,<br />
milik atau kekayaan yang telah dikaruniakan kepadanya.<br />
2. Kebutuhan manusia adalah terbatas. Namun, kebutuhan utama<br />
manusia adalah memenuhi keperluan hidup sebagai makhluk,<br />
262
KHATIMAH<br />
dan melengkapi kebutuhannya untuk mencapai fitrah sebagai<br />
manusia. Lebih dari itu, manusia juga diberi keinginan untuk<br />
memenuhi kebutuhannya se<strong>cara</strong> lebih baik. Namun manusia<br />
senantiasa diuji dengan “hasrat” untuk memenuhi keinginan<br />
yang sebenarnya belum menjadi haknya. Keinginan atau hasrat<br />
ini harus dikendalikan agar tidak menimbulkan kerugian.<br />
3. Atas segala upaya yang dilakukan manusia dalam membawakan<br />
peran dan melaksanakan tugasnya di muka bumi, Tuhan<br />
telah berjanji akan memberi balasan yang sempurna. Balasan<br />
tersebut dapat berupa hasil di dunia maupun pahala di akhirat.<br />
Tak hanya itu, Tuhan Yang Maha Pemurah masih memberikan<br />
tambahan, dan hadiah karena kasih sayang-Nya kepada<br />
manusia.<br />
4. Bila balasan yang diberikan oleh Tuhan melebihi harapan, maka<br />
manusia akan merasa beruntung dan memperoleh rezeki.<br />
Bahkan, bila manusia berterima kasih atas semua balasan<br />
dari-Nya, maka Tuhan akan memberi tambahan balasan-Nya.<br />
Karena itulah, agar senantiasa memperoleh rezeki, manusia<br />
diperintahkan untuk berterima kasih kepada Tuhan atas segala<br />
rezeki-Nya.<br />
5. Dalam rezeki yang Tuhan berikan terdapat kewajiban berupa<br />
amanah yang perlu disampaikan, yaitu amanah untuk orang<br />
lain (zakat), amanah untuk masa kini, masa sulit, masa depan,<br />
hingga amanah untuk masyarakat. Karena itulah, manusia harus<br />
mengelola rezeki yang diterima dengan sebaik-baiknya.<br />
Dengan semua keyakinan yang telah dipegangnya, manusia<br />
harus mengikuti prinsip-prinsip dasar dan kaidah-kaidah berikut ini:<br />
263
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
1. Hasil yang diperoleh harus memenuhi kriteria kehalalan yang<br />
meliputi kehalalan dari sisi dzatnya, <strong>cara</strong> memperolehan dan<br />
penggunaannya.<br />
2. Hasil yang diperoleh juga harus memenuhi kriteria kethoyyiban,<br />
yaitu hal-hal yang membawa kebaikan dan membuat manusia<br />
lebih arif, sehingga teguh mengikuti perintah Tuhan, menjauhi<br />
larangan-Nya dan menerima takdir-Nya.<br />
3. Cara terbaik untuk memperoleh hasil yang halal dan thoyyib<br />
adalah melalui jalan peniagaan yang berlaku se<strong>cara</strong> saling<br />
ridha. Tidak berlaku zhalim dan tidak mau diperlakukan se<strong>cara</strong><br />
zhalim. Tidak merugikan dan tidak pula bersedia dirugikan oleh<br />
orang lain.<br />
4. Di samping berlaku saling ridha, manusia harus menghindari<br />
keraguan yang merugikan maupun keputusan untuk mengambil<br />
risiko yang melebihi kemampuan untuk mengatasinya.<br />
5. Agar dapat berlaku saling ridha, menghindari keraguan yang<br />
mungkin merugikan dan risiko yang melebihi kemampuan,<br />
harus dicari keseimbangan antara pendapatan dengan biaya<br />
serta antara hasil dengan risiko.<br />
6. Tujuan utama dari kegiatan ekonomi sesuai prinsip, tata nilai<br />
dan falsafah di atas adalah untuk menciptakan nilai tambah<br />
yang diperoleh bila nilai atas hasil lebih besar terhadap<br />
jumlah nilai biaya dan usaha yang dikeluarkan dalam upaya<br />
memperoleh hasil tersebut.<br />
7. Cara terbaik untuk menciptakan nilai tambah adalah dengan<br />
melakukan kerja sama yang menghasilkan sinergi antara pihakpihak<br />
yang memiliki kesempatan, kemampuan, dan sumber<br />
daya.<br />
264
KHATIMAH<br />
8. Cara lain untuk menciptakan nilai tambah adalah melalui<br />
transaksi atas objek transaksi yang menciptakan manfaat bagi<br />
para pihak yang terlibat dalam transaksi.<br />
9. Di samping melalui kerja sama yang menghasilkan sinergi<br />
dan transaksi atas objek yang bermanfaat, nilai tambah dapat<br />
diciptakan melalui <strong>cara</strong> saling tolong menolong berdasarkan<br />
kemampuan, keahlian dan kesempatan dengan memberikan<br />
jasa.<br />
10. Penciptaan nilai tambah dengan jalan perniagaan yang berlaku<br />
se<strong>cara</strong> saling ridha, akan terselenggara melalui mekanisme<br />
pasar yang wajar dan didukung oleh informasi yang dapat<br />
menghindarkan keraguan yang merugikan maupun risiko yang<br />
melebihi kemampuan.<br />
Tuhan telah menyatakan bahwa Dia tidak akan mengubah<br />
nasib suatu bangsa, kecuali bila bangsa itu telah berupaya<br />
untuk mengubah nasibnya. Jika hal itu yang dilakukan, maka<br />
pertolongan Tuhan akan datang. Semoga pemikiran yang tersurat<br />
maupun tersirat dalam buku ini mampu memberikan inspirasi<br />
bagi pembaca untuk mengambil langkah-langkah nyata dalam<br />
upaya merubah nasib bangsanya.<br />
Ilmu pengetahuan yang disebarkan akan digunakan dalam<br />
kegiatan-kegiatan yang membawa manfaat dan kemaslahatan<br />
bagi umat manusia. Semua kegiatan itu akan dicatat sebagai amal<br />
ibadah bagi para pihak yang mengajarkan dan menyebarkan<br />
ilmu pengetahuan. Insya Allah akan membuat kita menjadi<br />
kaya dan bahagia.<br />
265
Addendum<br />
Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong><br />
Bangun Sistem Ekonomi<br />
Sistem ekonomi adalah suatu sistem di mana kehidupan<br />
ekonomi terjadi dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan<br />
kehidupan ekonomi adalah kumpulan dan rangkaian peristiwaperistiwa<br />
serta fenomena-fenomena yang tampak se<strong>cara</strong> lahiriyah<br />
dalam kehidupan yang terkait dengan produksi, distribusi,<br />
dan pemakaian produk serta jasa dalam kehidupan. Peristiwa<br />
ekonomi adalah semua transaksi-transaksi yang terjadi dalam<br />
kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi dari produk atau<br />
jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh masyarakat dalam<br />
suatu negara, yang mempunyai nilai. Fenomena ekonomi adalah<br />
gejala-gejala yang dapat dipantau dalam peristiwa ekonomi yang<br />
mempengaruhi perubahan peristiwa ekonomi. Peristiwa ekonomi<br />
dan fenomena ekonomi terjadi karena adanya faktor-faktor yang<br />
menjadi penentu atau penyebab terjadinya peristiwa dan gejala<br />
ekonomi tersebut (yang disebut faktor penentu) serta karena<br />
267
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa<br />
dan gejala ekonomi (yang disebut faktor pengaruh).<br />
Bangun sistem ekonomi sendiri sebenarnya sangat mengikuti<br />
fitrah dan kodrat manusia, yaitu yang memerlukan hubungan<br />
dan keteraturan sosial untuk memenuhi segala kebutuhan,<br />
keinginan dan hasratnya. Inti pokok dari bangun sistem ekonomi<br />
adalah interaksi dan saling ketergantungan antara tenaga kerja<br />
dengan pengusaha serta antara konsumen dengan produsen.<br />
Tenaga kerja memberikan tenaga dan jasanya kepada<br />
pengusaha atau perusahaan, dan sebagai imbalannya pengusaha<br />
atau perusahaan memberikan gaji dan upah. Di lain pihak,<br />
pengusaha atau perusahaan sebagai produsen dari barang dan<br />
jasa membutuhkan konsumen untuk membeli barang dan jasa<br />
yang dihasilkan. Dari interaksi dan saling ketergantungan para<br />
pihak diharapkan akan tercipta nilai tambah atau bahkan sinergi,<br />
sehingga nilai hasil yang diperoleh lebih besar dari nilai biaya<br />
dan usaha yang diberikan. Akibatnya para pihak memperoleh<br />
keuntungan dan dapat meningkatkan kemampuan dan daya<br />
belinya. Jadi inti pokok dari sistem ekonomi adalah sistem<br />
produksi, konsumsi dan niaga yang sering disebut sebagai<br />
sektor riil.<br />
Untuk mempermudah transaksi para pihak memerlukan<br />
sarana pertukaran nilai yang disebut uang dan membutuhkan<br />
pihak lain untuk memberikan jasa terkait dengan transaksi dan<br />
pembayaran. Kemudian bila para pihak mendapat keuntungan,<br />
maka mereka membutuhkan pihak lain untuk menyimpan nilai<br />
dari keuntungan tersebut atau bahkan untuk meningkatkan<br />
nilai dari keuntungan. Pihak lain tersebut adalah lembaga<br />
keuangan. Sehingga terbentuk suatu sub-sistem untuk kegiatan<br />
268
ADDENDUM<br />
pembayaran, penyimpanan dan pembiayaan, yang disebut<br />
sebagai sistem keuangan atau sektor keuangan.<br />
Baik pihak-pihak yang terkait dalam sektor riil maupun<br />
pihak-pihak yang terkait dalam sektor keuangan, semuanya<br />
memerlukan kepastian dan keteraturan dalam melakukan<br />
kegiatannya. Oleh karena itu mereka membutuhkan pemerintah<br />
yang melindungi mereka dengan peraturan dan penegakkan<br />
peraturan. Untuk itu para pihak wajib membiayai kegiatan<br />
pemerintah dengan membayar pajak. Di samping itu para<br />
pihak yang terkait dalam pembayaran dan penyimpanan nilai<br />
memerlukan keabsahan dan kepastian nilai uang. Oleh karena itu<br />
mereka membutuhkan lembaga pemerintah yang menerbitkan<br />
uang sebagai alat pembayaran yang sah dan menjamin nilainya.<br />
Selanjutnya lembaga keuangan memerlukan dukungan untuk<br />
menyalurkan kelebihan dana serta sebagai ‘lender of last resort’.<br />
Sehingga sistem ekonomi juga meliputi pihak pemerintah<br />
yang akan memberikan keteraturan dan oleh karena itu berhak<br />
memungut pajak serta lembaga yang akan menerbitkan dan<br />
pengatur jumlah uang yang beredar. Dan terbentuklah subsistem<br />
ekonomi yang disebut sistem fiskal dan sistem moneter.<br />
Dan akhirnya pemerintah sebagai wakil dari seluruh warga<br />
negara bertugas untuk mengelola sumber daya alam yang<br />
dimiliki negara tersebut serta menyebarluaskan kesejahteraan<br />
bagi seluruh warga negara.<br />
Sehingga bangun sistem ekonomi dapat digambarkan<br />
sebagai berikut:<br />
269
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
Sistem Ekonomi<br />
Bangun sistem ekonomi ini bersifat bebas norma, karena<br />
berlaku untuk seluruh masyarakat, dalam berbagai negara.<br />
Bangun sistem ekonomi ini akan menjadi sistem ekonomi<br />
komunis, sosialis, kapitalis, liberal, atau apapun juga tergantung<br />
pada paradigma atau sudut pandang dari pelaku ekonomi<br />
yang mempengaruhi tindakan yang diambil oleh pelaku<br />
ekonomi. Paradigma pelaku ekonomi sangat tergantung oleh<br />
keyakinannya akan falsafah, tata-nilai, prinsip dan kaidah yang<br />
mempengaruhi keputusan yang diambil dan tindakan yang<br />
dilakukan. Keyakinan dan paradigma pelaku ekonomi akan<br />
menentukan <strong>cara</strong> atau metode yang dipilih dan diikuti dalam<br />
kehidupan serta dalam memecahkan masalah yang dihadapi.<br />
Bila keyakinan pelaku ekonomi adalah sosialisme, maka<br />
faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi keputusan<br />
270
ADDENDUM<br />
ekonominya juga akan mengutamakan persamaan hak dengan<br />
metoda kompensasi yang egaliter. Sehingga fenomena dan<br />
peristiwa ekonomi yang terjadi juga akan mendukung faham<br />
sosialis di mana sumber daya produksi dan distribusi dimiliki<br />
se<strong>cara</strong> kolektif. Sedangkan bila keyakinan pelaku ekonomi<br />
adalah kapitalis, maka faktor-faktor yang menentukan dan<br />
mempengaruhi keputusan ekonominya juga akan mengutamakan<br />
kebebasan untuk menggunakan kekuatan ekonomi dengan<br />
hak kepemilikan individu. Sehingga fenomena dan peristiwa<br />
ekonomi yang terjadi juga akan mendukung faham kapitalis di<br />
mana sumber daya produksi dan distribusi dimiliki, digunakan<br />
serta diperdagangkan dengan tujuan mendapatkan keuntungan<br />
bagi pemiliknya. Sementara bila keyakinan pelaku ekonomi<br />
adalah liberalis, maka faktor-faktor yang menentukan dan<br />
mempengaruhi keputusan ekonominya juga akan mengutamakan<br />
kepemilikan swasta dengan kebebasan berkontrak untuk<br />
kepentingan individu atau kelompok. Sehingga fenomena<br />
dan peristiwa ekonomi yang terjadi juga akan mendukung<br />
faham liberalis di mana perdagangan dibebaskan seluas-luasnya<br />
sementara peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi dibatasi<br />
dalam penyediaan prasarana dan sarana untuk layanan umum.<br />
Bagaimana bila keyakinan pelaku ekonomi di Indonesia<br />
mengikuti syariah<br />
Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong><br />
Dalam hidupnya, semua manusia pasti mau berjuang<br />
untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Kebahagiaan yang<br />
sesuai dengan keyakinan hidupnya. Untuk itu manusia terus<br />
mencari <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> yang lebih baik untuk mencapai kebahagiaan<br />
271
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
hidup. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dalam<br />
dunia yang lebih baik. Manusia akan berjuang mengikuti<br />
keyakinannya, yang membentuk paradigma serta faktor-faktor<br />
yang menentukan dan faktor-faktor yang mempengaruhi<br />
keputusan-keputusan dalam kehidupannya, termasuk dalam<br />
kehidupan ekonominya.<br />
Keyakinan yang paling mendasar dan karenanya menempati<br />
hierarki tertinggi bagi rakyat Indonesia adalah kepercayaan<br />
atau keimanan atas Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian diikuti<br />
dengan keyakinan bahwa keimanan tersebut dapat dijaga bila<br />
mereka dapat menjaga kemanusiaan se<strong>cara</strong> adil dan beradab.<br />
Dan sebagai bangsa, untuk menjaga kemanusiaan se<strong>cara</strong> adil<br />
dan beradab maka perlu dijaga persatuan bangsa Indonesia.<br />
Berikutnya, persatuan bangsa dapat dijaga bila mereka dapat<br />
memenuhi harapan rakyat melalui hikmah musyawarah. Dan<br />
akhirnya, agar harapan rakyat dapat dipenuhi dengan optimal<br />
maka hak-hak sosial dari seluruh rakyat harus dapat dipenuhi<br />
se<strong>cara</strong> adil. Itulah Pancasila.<br />
Bila hierarki keyakinan itu yang diyakini oleh rakyat<br />
Indonesia, maka bagaimana sistem ekonomi yang paling cocok<br />
untuk rakyat Indonesia dapat terbentuk Bagaimana falsafah,<br />
tata nilai, prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang menjadi dasar<br />
bagi faktor penentu dan faktor pengaruh dalam pengambilan<br />
keputusan ekonomi yang sesuai dengan hierarki keyakinan<br />
tersebut Kemudian, bagaimana peran lembaga pemerintah,<br />
peran lembaga kemasyarakatan, peran lembaga usaha, dan<br />
peran individu dalam sistem ekonomi tersebut Dan akhirnya,<br />
bagaimana <strong>cara</strong> para pelaku ekonomi mengadakan ikatan-ikatan<br />
transaksi di antara mereka, baik ikatan kerja sama, ikatan jual-<br />
272
ADDENDUM<br />
beli, ikatan jasa, maupun ikatan pembiayaan Bagaimana ciri<br />
sistem ekonomi yang paling sesuai untuk Indonesia<br />
Sistem ekonomi yang mengikuti prinsip-prinsip syariah,<br />
atau Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong>, pada dasarnya mempunyai ciriciri<br />
sebagai berikut:<br />
1. Falsafah Dasar:<br />
Sistem ekonomi yang sesuai dengan fitrah manusia adalah<br />
sistem ekonomi yang sesuai dengan falsafah hidup manusia.<br />
Karena itu falsafah dasar dari Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong> harus<br />
sesuai dengan falsafah hidup manusia menurut syariah.<br />
Semua kajian tentang falsafah hidup manusia tentunya dimulai<br />
dengan kajian tentang siapa manusia itu. Menurut syariah,<br />
manusia diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi Abdi Tuhan<br />
dan telah diangkat menjadi khalifah di muka bumi untuk<br />
menyebarkan rahmat Tuhan ke seluruh alam. Untuk itu Tuhan<br />
telah memberikan fasilitas berupa bumi dan segala isinya yang<br />
telah diciptakan Tuhan se<strong>cara</strong> seimbang menurut ukuran<br />
yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan telah dimudahkan<br />
sebagai nikmat lahir dan bathin bagi manusia. Sehingga pasti<br />
dapat memenuhi seluruh kebutuhan manusia, lahir dan bathin.<br />
Kemudian bumi dan segala isinya telah di’pusaka’kan untuk<br />
manusia. Dan sebagai khalifah, manusia berhak mengatur<br />
kepemilikan sementara atas bumi dan segala isinya untuk<br />
dimanfaatkan dengan tujuan untuk memberikan kemasalahatan<br />
bagi umat manusia, yang harus dilaksanakan se<strong>cara</strong> adil.<br />
Sehingga dalam Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong> lembaga-lembaga<br />
yang dibentuk oleh manusia, baik lembaga pemerintahan,<br />
lembaga masyarakat, lembaga bisnis, maupun lembaga sosial<br />
273
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
harus diatur untuk mendukung peran manusia dalam mengelola<br />
dan mengatur alokasi kepemilikan sumber daya alam untuk<br />
menciptakan kemaslahatan dan menegakkan keadilan sesuai<br />
dengan prinsip syariah. <strong>Syariah</strong> mengatur prioritas kepemilikan<br />
atas sumber daya alam pada kepemilikan negara (daulat).<br />
Kemudian sebagian sumber daya alam tersebut dialokasikan<br />
untuk kepemilikan ummat, dan kepemilikan masyarakat.<br />
Akhirnya bagian dari kepemilikan negara dapat dialokasikan<br />
untuk kepemilikan swasta (perorangan maupun badan hukum)<br />
bila digunakan se<strong>cara</strong> produktif sehingga memberikan nilai<br />
tambah. Karena itu dalam konteks ekonomi nasional, semua<br />
sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup rakyat<br />
harus dikuasai oleh negara, baik melalui lembaga pemerintah<br />
(departemen, kementerian, dsb.), badan layanan umum (BLU),<br />
maupun badan usaha milik negara (BUMN). Sumber daya<br />
alam yang menyangkut kepentingan ummat dan masyarakat,<br />
misalnya jalan raya, saluran air, lapangan, ruang terbuka<br />
hijau, situs bersejarah, dsb. harus dikuasai oleh lembaga<br />
yang ditunjuk oleh negara, termasuk BLU, BUMN, lembaga<br />
khusus milik negara dan lembaga masyarakat. Penguasaan<br />
sumber daya alam melalui kepemilikan swasta harus bersifat<br />
sementara (maksudnya: tidak boleh mutlak) karena bila<br />
dikemudian hari ternyata sumber daya alam tersebut ternyata<br />
menyangkut hajat hidup rakyat maupun kepentingan ummat<br />
atau masyarakat, maka kepemilikan swasta harus bisa dialihkan<br />
menjadi kepemilikan masyarakat, atau kepemilikan ummat,<br />
atau bahkan kepemilikan negara.<br />
274
ADDENDUM<br />
2. Tata Nilai :<br />
Sistem ekonomi juga harus sesuai dengan tata nilai dalam<br />
falsafah hidup manusia. Sebagai Abdi Tuhan, manusia<br />
mempunyai hierarki kebutuhan di mana kebutuhan tertinggi<br />
adalah kebutuhan untuk menjaga keimanan, diikuti dengan<br />
kebutuhan untuk menjaga kehidupan, akal, keturunan,<br />
dan yang terakhir adalah kebutuhan untuk menjaga harta<br />
duniawi. Kemudian mengacu pada pengalaman Nabi Adam<br />
dan Hawa sebagaimana dijabarkan dalam Kitab Suci dapat<br />
difahami bahwa kebutuhan manusia bukanlah tidak terbatas,<br />
melainkan mempunyai tingkatan tertentu yang perlu difahami<br />
dan dikendalikan. Karena manusia pasti akan berupaya untuk<br />
memenuhi semua tingkat kebutuhannya, maka syariah juga<br />
mengatur karakteristik hubungan antara usaha manusia dengan<br />
hasilnya. <strong>Syariah</strong> menegaskan janji Tuhan untuk memberi<br />
balasan yang sempurna atas semua usaha manusia. Dan<br />
bahwa balasan yang Tuhan berikan dapat melebihi harapan<br />
manusia sehingga manusia merasa beruntung dan mendapat<br />
rezeki. Namun atas semua balasan yang Tuhan berikan kepada<br />
manusia terdapat amanah yang perlu disampaikan, baik untuk<br />
diri sendiri, untuk keluarga, dan untuk masyarakat; pada masa<br />
kini, masa sulit, dan masa depan.<br />
Sehingga dalam Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong>, manusia bukanlah<br />
sekedar ”economic man”, melainkan ”socially and economically<br />
responsible religious man”. Definisi ini mempunyai makna<br />
bahwa hierarki kebutuhan utama manusia adalah ’religious’,<br />
kemudian mempunyai tanggung jawab sosial dan mempunyai<br />
kebutuhan ekonomi. Sehingga kebutuhan manusia adalah<br />
tertentu dan terbatas. Karena itu manusia melaksanakan<br />
kegiatan usaha berdasarkan keyakinan akan diperolehnya<br />
275
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
balasan yang adil dan sempurna, serta memiliki tanggung<br />
jawab untuk memenuhi semua amanah yang terkait dengan<br />
hasil yang diterima. Dan tentunya lembaga-lembaga yang<br />
dibentuk oleh manusia, baik lembaga pemerintahan, lembaga<br />
masyarakat, lembaga bisnis, maupun lembaga sosial harus<br />
diatur untuk mendukung peran manusia sebagai ”socially and<br />
economically responsible religious man”.<br />
Pemerintah harus mengatur agar rakyatnya memiliki<br />
kesempatan yang wajar untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya,<br />
yang terdiri dari kebutuhan dasar sebagai<br />
mahluk hidup (basic needs), kebutuhan normatif sebagai<br />
manusia (social needs), serta kebutuhan untuk berusaha<br />
memenuhi keinginan dan hasratnya (wants and desires). Untuk<br />
itu kebijakan ekonomi harus ditujukan untuk memberikan<br />
kesempatan kerja yang seluas-luasnya (full employment),<br />
berdasarkan semangat kebangsaan (nasionalisme) yang<br />
ditunjang dengan jaminan sosial sebagai sasaran primer,<br />
serta peluang untuk memenuhi keinginan dan hasrat manusia<br />
dengan memberikan peluang berusaha yang seluas-luasnya<br />
dalam kondisi persaingan yang adil dan mekanisme pasar yang<br />
wajar (socially responsible market) sebagai sasaran sekunder.<br />
Pemerintah juga harus mengatur dan menyediakan fasilitas,<br />
baik melalui lembaga negara, lembaga masyarakat, maupun<br />
lembaga sosial, agar penduduk dapat memperoleh bimbingan<br />
dan pembinaan serta dapat menjalankan kegiatan ibadahnya<br />
sesuai dengan keyakinan agamanya, berdasarkan sila Ke-Tuhanan<br />
Yang Maha Esa.<br />
276
ADDENDUM<br />
3. Prinsip Ekonomi:<br />
Sistem ekonomi juga harus mengikuti prinsip-prinsip yang<br />
mendukung tata nilai dalam falsafah hidup manusia. Karena<br />
itu sistem ekonomi harus diatur menurut kriteria dari hasil yang<br />
perlu dicari oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya<br />
sesuai dengan tata nilai dalam falsafah hidup manusia serta<br />
kriteria dari <strong>cara</strong> memperolehnya. Kriteria hasil adalah harus<br />
halal dan thoyib, sedangkan kriteria <strong>cara</strong> memperoleh hasil<br />
adalah dengan jalan yang saling ridha, berlandaskan pada<br />
prinsip kehati-hatian, dan dengan menjaga keseimbangan<br />
hasil dengan risiko. Kriteria kehalalan terdapat pada dzat,<br />
pada <strong>cara</strong> perolehan, dan <strong>cara</strong> penggunaan. Kriteria thoyib<br />
adalah segala hal-hal yang baik dan dapat membuat manusia<br />
lebih arif sehingga teguh mengikuti perintah Tuhan, menjauhi<br />
larangan-Nya serta menerima takdir-Nya dengan ikhlas.<br />
Sedangkan keridhaan dapat diperoleh bila para pihak tidak<br />
bertindak zhalim ataupun mau diperlakukan se<strong>cara</strong> zhalim<br />
sehingga keridhaan akan memastikan bahwa tidak ada pihak<br />
yang dirugikan maupun merugikan pihak lain. Kehati-hatian<br />
dapat dicapai dengan menghindari keraguan yang merugikan<br />
serta pengambilan risiko yang melebihi kemampuan yang<br />
wajar untuk menanggulangi. Sedangkan keseimbangan yang<br />
dimaksud adalah keseimbangan antara pendapatan dengan<br />
biaya, antara hasil dengan risiko.<br />
Sehingga dalam Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong>, ketentuan dibuat<br />
agar manusia hanya memperoleh hasil yang halal, dan<br />
mengutamakan yang thoyib, melalui transaksi atau kegiatan<br />
yang menghindari kezhaliman (riba), menghindari keraguan<br />
yang merugikan (gharar), tidak mengambil risiko yang melebihi<br />
277
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
kemampuan (maysir), dengan menjaga keseimbangan antara<br />
pendapatan dengan biaya, serta antara hasil dengan risiko. Dan<br />
tentunya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh manusia, baik<br />
lembaga pemerintahan, lembaga masyarakat, lembaga bisnis,<br />
maupun lembaga sosial harus diatur agar rakyat dan penduduk<br />
dapat memperoleh hasil dan mengelola hasil (harta) dengan<br />
<strong>cara</strong>-<strong>cara</strong> yang menghindari kezhaliman (riba), menghindari<br />
keraguan yang merugikan (gharar), tidak mengambil risiko<br />
yang melebihi kemampuan (maysir), dengan menjaga<br />
keseimbangan antara pendapatan dengan biaya, serta antara<br />
hasil dengan risiko. Untuk itu pemerintah harus mengatur<br />
kegiatan perniagaan (produksi, distribusi, dan perdagangan),<br />
pendukung perniagaan (infrastruktur), pembayaran (uang<br />
sebagai alat tukar, sistim pembayaran), pembiayaan (lembaga<br />
keuangan, pasar uang, dan pasar modal), serta perlindungan<br />
nilai hasil usaha dan harta rakyat (stabilitas nilai uang atau<br />
inflasi, dan nilai tukar valuta).<br />
4. Kaidah Hubungan Ekonomi:<br />
Sistem ekonomi adalah suatu sistem di mana kehidupan<br />
ekonomi terjadi dalam suatu masyarakat atau negara.<br />
Sedangkan kehidupan ekonomi adalah kumpulan dan<br />
rangkaian peristiwa-peristiwa serta fenomena-fenomena yang<br />
tampak se<strong>cara</strong> lahiriyah dalam kehidupan yang terkait dengan<br />
produksi, distribusi, dan pemakaian produk serta jasa dalam<br />
kehidupan. Karena itu dalam sistem ekonomi harus diatur<br />
kaidah-kaidah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah<br />
mengenai tujuan utama dari kegiatan ekonomi serta <strong>cara</strong>-<strong>cara</strong><br />
melaksanakan kegiatan ekonomi. Tujuan utama dari kegiatan<br />
ekonomi menurut syariah adalah menciptakan nilai tambah,<br />
278
ADDENDUM<br />
yaitu agar nilai hasil yang diperoleh lebih jumlah nilai dari biaya<br />
dan usaha yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil tersebut.<br />
Cara menciptakan nilai tambah adalah melalui penciptaan<br />
sinergi dan manfaat, dengan meningkatkan produktivitas, serta<br />
melalui mekanisme pasar yang wajar. Kitab Suci menegaskan<br />
bahwa sebagian manusia diciptakan oleh Tuhan lebih baik<br />
dari sebagian lain agar dapat berguna bagi yang lain. Dan<br />
bila manusia bersyarikat maka Tuhan akan bergabung<br />
dalam persyarikatan itu selama tidak ada diantara mereka<br />
yang berkhianat. Dengan bergabungnya Tuhan ke dalam<br />
persyarikatan tersebut pastilah hasil yang diperoleh lebih besar<br />
dari jumlah yang diberikan ke dalam persyarikatan. Sehingga<br />
melalui perserikatan tanpa pengkhianatan niscaya akan tercipta<br />
sinergi. Kegiatan ekonomi harus dapat menciptakan manfaat<br />
bagi para pihak yang melakukan kegiatan ekonomi dan atas<br />
manfaat yang tercipta dapat dilakukan pembagian hasil. Cara<br />
lain untuk menciptakan nilai tambah adalah dengan <strong>cara</strong><br />
tolong-menolong berdasarkan kemampuan dan kesempatan<br />
melalui pemberian jasa. Serta dengan menciptakan nilai tambah<br />
dengan memegang prinsip keridhaan yaitu melalui mekanisme<br />
pasar yang wajar.<br />
<strong>Syariah</strong> mengatur kaidah ikatan-ikatan (akad) kegiatan usaha<br />
atau transaksi ekonomi, baik akad kerja sama, akad jual-beli,<br />
akad jasa, maupun akad pembiayaan. Kaidah ikatan diatur<br />
berdasarkan kontribusi para pihak dalam transaksi, yaitu<br />
kontribusi tenaga, kompetensi, dana, dan aset. Sehingga<br />
dalam Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong> pengaturan bukan melalui jenis<br />
badan hukum melainkan menurut hubungan antara pemilik<br />
harta (dana) dengan pemilik usaha. Spektrum hubungan<br />
meliputi perserikatan penuh (musyarakah), penggabungan<br />
279
<strong>Iwan</strong> P. Pontjowinoto<br />
dana dan kemampuan usaha (mudharabah), pembangunan<br />
aset (istishna’), penyewaan aset (ijara), pembiayaan jual beli<br />
baik kepada pembeli (murabahah) ataupun kepada penjual<br />
(salam), jasa dengan kekuatan aset seperti penjaminan (kafala),<br />
pengalihan kewajiban (hawala) dan gadai (rahn), sampai ke<br />
pemberian jasa kompetensi (wakala, dsb.). Oleh karena itu<br />
negara perlu memberikan prasarana hukum untuk memberikan<br />
kepastian dan perlindungan kepada pelaku ekonomi dalam<br />
melakukan transaksi ekonomi. Sementara itu hubungan<br />
transaksi ekonomi pemerintah dengan pelaku ekonomi harus<br />
disesuaikan dengan akad-akad tersebut. Termasuk dalam<br />
transaksi dengan pemasok dan penyedia jasa, hubungan<br />
kerja sama dengan swasta (public-private partnership), sampai<br />
kepada pembiayaan APBN melalui penerbitan surat berharga<br />
(sukuk).<br />
5. Peran Pelaku Ekonomi:<br />
Pelaku dalam sistem ekonomi terdiri dari perseorangan dan<br />
lembaga. Oleh karena sistem ekonomi juga harus mengatur<br />
peran lembaga, baik lembaga pemerintah, peran lembaga<br />
kemasyarakatan dan sosial, serta peran lembaga usaha.<br />
Sistem Ekonomi <strong>Syariah</strong> mengatur peran lembaga negara<br />
dalam pemanfaatan sumber daya melalui kepemilikan<br />
negara dan kepemilikan ummat, dalam menegakkan keadilan<br />
ekonomi melalui kewajiban menjaga nilai uang (inflasi) dan<br />
mekanisme pasar yang wajar, dalam distribusi kesejahteraan<br />
dan jaminan sosial, dalam pengembangan perniagaan dan<br />
kesempatan kerja, dalam pengembangan kegiatan keuangan,<br />
serta dalam hubungan internasional. Lembaga negara adalah<br />
pengejawantahan dari kedaulatan dan adalah pemegang<br />
amanah dari bangsa untuk menjaga dan melindungi kesatuan,<br />
280
ADDENDUM<br />
persatuan dan kesejahteraan bangsa. Lembaga kemasyarakatan<br />
merupakan penjabaran dari konsep jamaah serta merupakan<br />
perpanjangan dari peran keluarga. Karena itu lembaga<br />
kemasyarakatan, atas nama daulah atau pemerintah, berperan<br />
dalam pengumpulan dan distribusi zakat, pengembangan dan<br />
pemanfaatan waqaf, pelayanan pendidikan dan kesehatan,<br />
penanganan masalah sosial, serta dalam perlindungan hak<br />
masyarakat. Lembaga usaha melengkapi peran yang tidak<br />
dapat dilakukan oleh lembaga negara maupun lembaga<br />
kemasyarakatan. Lembaga usaha merupakan badan yang<br />
memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk memperoleh hasil,<br />
baik melalui usaha dalam sektor riil, sektor jasa, maupun sektor<br />
keuangan. <strong>Syariah</strong> mengatur hubungan antara pemegang<br />
saham dengan pengurus perusahaan serta karyawan dalam<br />
suatu perusahaan, hubungan pemilik dana dengan lembaga<br />
keuangan, hubungan antara pemilik usaha dengan lembaga<br />
keuangan, serta hubungan antara pemberi jasa dengan<br />
penerima jasa. Dan akhirnya sistem ekonomi akan membentuk<br />
karakteristik manusia yang berhasil serta karakteristik kepemimpinan<br />
yang sesuai, yaitu yang jujur (siddiq), teguh pendirian<br />
(istiqomah), cerdas (fathonah), dapat dipercaya (amanah) dan<br />
mempunyai kemampuan berkomunikasi (tabligh).<br />
281