25.02.2015 Views

bpn_p-tb_2014

bpn_p-tb_2014

bpn_p-tb_2014

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

viii


xii


2. Cara Penularan TB.<br />

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang<br />

dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan<br />

BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi<br />

oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc<br />

dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.<br />

b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan<br />

penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA<br />

negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil<br />

kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.<br />

c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik<br />

dahak yang infeksius tersebut.<br />

d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk<br />

percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar<br />

3000 percikan dahak.<br />

3. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia.<br />

Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap<br />

paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel berikut:<br />

Tabel 1. Perjalanan alamiah TB<br />

a. Paparan<br />

Peluang<br />

peningkatan<br />

paparan<br />

terkait dengan:<br />

‣ Jumlah kasus menular di masyarakat<br />

‣ Peluang kontak dengan kasus menular<br />

‣ Tingkat daya tular dahak sumber penularan<br />

‣ Intensitas batuk sumber penularan<br />

‣ Kedekatan kontak dengan sumber penularan<br />

‣ Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan<br />

‣ Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra<br />

violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan<br />

konsentrasi)<br />

Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah<br />

terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi saja,<br />

menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.<br />

b. Infeksi<br />

Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi<br />

‣ Reaksi immunologi (lokal)<br />

Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung<br />

reaksi antigen – antibody.<br />

‣ Reaksi immunologi (umum)<br />

Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)<br />

‣ Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut<br />

(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.<br />

‣ Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum<br />

penyembuhan lesi<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

3<br />

3


c. Sakit TB<br />

Faktor risiko<br />

untuk menjadi<br />

sakit TB adalah<br />

tergantung dari :<br />

‣ Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup<br />

‣ Lamanya waktu sejak terinfeksi<br />

‣ Usia seseorang yang terinfeksi<br />

‣ Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya<br />

tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan<br />

malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB<br />

aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka<br />

jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan<br />

TB di masyarakat akan meningkat pula.<br />

Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila<br />

seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi. TB<br />

umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau<br />

getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru).<br />

Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ<br />

tubuh terkena (TB milier).<br />

d. Meninggal dunia<br />

Faktor risiko<br />

kematian karena<br />

TB:<br />

‣ Akibat dari keterlambatan diagnosis<br />

‣ Pengobatan tidak adekuat<br />

‣ Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit<br />

penyerta<br />

Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat<br />

pada pasien dengan HIV positif.<br />

C. Upaya Pengendalian TB<br />

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD<br />

mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly<br />

Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:<br />

1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.<br />

2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.<br />

3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.<br />

4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.<br />

5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian<br />

terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.<br />

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB<br />

sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi<br />

kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective). Integrasi ke dalam<br />

pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi<br />

cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan<br />

strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB,<br />

akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.<br />

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada<br />

pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan<br />

demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien<br />

merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.<br />

4<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

4


Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada<br />

tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut<br />

diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:<br />

1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS<br />

2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya<br />

3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan<br />

4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.<br />

5. Memberdayakan pasien dan masyarakat<br />

6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian<br />

Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan<br />

adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru,<br />

mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu<br />

meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.<br />

Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus<br />

TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB<br />

(pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000<br />

penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk<br />

dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra<br />

eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif<br />

bagi pengendalian TB secara global.<br />

Pada sidang WHA ke 67 tahun <strong>2014</strong> ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB<br />

global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035<br />

yang ditandai dengan:<br />

1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.<br />

2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)<br />

Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya yaitu:<br />

1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB<br />

a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB<br />

secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi.<br />

b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan<br />

disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support)<br />

c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.<br />

d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko tinggi<br />

serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.<br />

2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.<br />

a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan<br />

TB.<br />

b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan<br />

kesehatan baik pemerintah maupun swasta.<br />

c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka<br />

kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata<br />

kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.<br />

d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak<br />

determinan sosial terhadap TB.<br />

3. Intensifikasi riset dan inovasi<br />

a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan<br />

strategi baru pengendalian TB.<br />

b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasiinovasi<br />

baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.<br />

BAB I<br />

5 5<br />

PENDAHULUAN


sistem informasi TB elektronik, AKMS (Advokasi, Komnikasi dan Mobilisasi Sosial),<br />

manajemen logistik.<br />

3. OAT<br />

Pemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan tanggung jawab<br />

pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi adalah masih belum optimalnya<br />

sistem manajemen mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi sampai kepada<br />

dispensing obat kepada pasien dan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan sistem<br />

manajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus ditingkatkan secara<br />

terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan obat.<br />

4. Pembiayaan<br />

Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB<br />

sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk<br />

pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan<br />

terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan<br />

masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis untuk<br />

pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB.<br />

Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan<br />

advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk<br />

pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat<br />

ini struktur pembiayaan yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek kuratif<br />

sedangkan pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih sangat<br />

kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan TB-DM juga<br />

memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.<br />

5. Kepatuhan Penyedia Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta Terhadap<br />

Pedoman Nasional Pengendalian TB.<br />

Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian TB nasional,<br />

namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum<br />

sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan program. Pengalaman yang diambil<br />

dari upaya menerapkan standar pelayanan berdasar International Standards for<br />

Tuberculosis Care (ISTC) masih menemui banyak kendala antara lain karena tidak<br />

adanya kerangka aturan yang menjadi payung hukumnya. Untuk itu perlu dilakukan<br />

upaya untuk mentransformasikan setandar pelayanan seperti ISTC kedalam bentuk<br />

aturan yang memiliki payung hukum yang kuat yaitu menjadi suatu Pedoman Nasional<br />

Praktek Kedokteran Tatalaksana TB (PNPK-TB). PNPK TB akan menjadi acuan<br />

penyusunan panduan praktek klinis (PPK), standar pelayanan dan clinical pathway di<br />

faskes baik FKTP maupun FKRTL.Upaya lain untuk meningkatkan kepatuhan penyedia<br />

layanan terhadap pedoman nasional adalah dengan mengembangkan sistem akreditasi<br />

dan sertifikasi yang memasukkan layanan TB yang berkualitas. Dengan dua upaya<br />

tersebut diharapkan mampu menjamin kepatuhan penyedia layanan sehingga pasien<br />

tidak akan dirugikan oleh layanan yang tidak sesuai standar.<br />

Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB juga menghadapi<br />

kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi secara bersamaan akan<br />

mengakibatkan pencapaian program akan terhambat. Tantangan tersebut antara lain:<br />

8<br />

BAB II<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA<br />

9


1. Sistem Jaminan Kesehatan<br />

Belum meratanya akses terhadap layanan yang bermutu karena kendala finansial.<br />

Sehingga tanpa tersedianya suatu jaminan kesehatan yang bisa mencakup seluruh<br />

warga negara akan mengakibatkan capaian semua program kesehatan termasuk TB<br />

menjadi tidak optimal.<br />

2. Pertumbuhan ekonomi tanpa disparitas.<br />

Disparitas pembangunan dan hasil-hasilnya akan mengakibatkan tingginya beban<br />

permasalahan determinan sosial seperti sandang, pangan, papan, pendidikan,<br />

pekerjaan. Hal tersebut akan meningkatkan kerentanan bagi populasi yang tidak<br />

memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh mudahnya<br />

penularan TB. Beban TB yang tinggi akan mengakibatkan beban sosial yang besar yang<br />

akan mengancam tercapainya target pemerataan pembangunan.<br />

3. Meningkatnya kerentanan terhadap TB akibat masalah kesehatan lain.<br />

Beberapa masalah kesehatan akan memberi dampak negatif terhadap capaian program<br />

TB di Indonesia seperti: meningkatnya laju epidemi HIV, besarnya populasi merokok,<br />

angka prevalensi diabetes yang tinggi, permasalahan gizi buruk/ malnutrisi. Selain itu<br />

beban TB yang tinggi juga menjadi penghambat tercapainya target kesehatan seperti<br />

penurunan angka kematian ibu/ wanita hamil dan anak.<br />

C. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia.<br />

1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam<br />

kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang<br />

meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin<br />

ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).<br />

2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka<br />

dasar dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB (Global Stop TB<br />

Strategy).<br />

3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program<br />

pengendalian TB.<br />

4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan<br />

mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu<br />

memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB resistan obat.<br />

5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh<br />

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat<br />

Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah<br />

Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik<br />

Pengobatan serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).<br />

6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB dengan<br />

tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan di FKRTL<br />

dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani.<br />

7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara<br />

sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan<br />

Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB).<br />

8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk<br />

peningkatan mutu dan akses layanan.<br />

9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan<br />

dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi menjamin ketersediaannya.<br />

BAB II<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA<br />

10<br />

9


10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan<br />

dan mempertahankan kinerja program.<br />

11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan<br />

lainnya terhadap TB.<br />

12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.<br />

13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB.<br />

D. Visi dan Misi<br />

Visi<br />

” Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”<br />

Misi<br />

1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani<br />

dalam pengendalian TB.<br />

2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.<br />

3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.<br />

4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.<br />

E. Tujuan dan target<br />

Tujuan<br />

Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan<br />

pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.<br />

Target<br />

Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang<br />

ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.<br />

Pada RPJMN 2010-<strong>2014</strong> maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100,000<br />

penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang<br />

ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang<br />

disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-<strong>2014</strong><br />

akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.<br />

Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target<br />

pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca 2015<br />

dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada<br />

tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2%<br />

per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun.<br />

Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar<br />

20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.<br />

F. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 – <strong>2014</strong> ( ¹¹ )<br />

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:<br />

1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.<br />

2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin<br />

serta rentan lainnya.<br />

3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan<br />

dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-<br />

10<br />

BAB II<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA<br />

11


Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan<br />

TB (International Standards for TB Care).<br />

4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.<br />

5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program<br />

pengendalian TB.<br />

6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB<br />

7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.<br />

Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019 merupakan<br />

pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa pengembangan strategi<br />

baru untuk menghadapi target dan tantangan yang lebih besar.<br />

G. Kegiatan<br />

1. Tatalaksana TB Paripurna<br />

a. Promosi Tuberkulosis<br />

b. Pencegahan Tuberkulosis<br />

c. Penemuan pasien Tuberkulosis<br />

d. Pengobatan pasien Tuberkulosis<br />

e. Rehabilitasi pasien Tuberkulosis<br />

2. Manajemen Program TB<br />

a. Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis<br />

b. Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis<br />

c. Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis<br />

d. Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis<br />

e. Promosi program pengendalian Tuberkulosis.<br />

3. Pengendalian TB Komprehensif<br />

a. Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis;<br />

b. Public-Private Mix Tuberkulosis;<br />

c. Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk;<br />

d. Kolaborasi TB-HIV;<br />

e. TB Anak;<br />

f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;<br />

g. Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL);<br />

h. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)<br />

i. Penelitian tuberkulosis.<br />

H. Organisasi Pelaksana<br />

1. Aspek Manajemen Program TB<br />

a. Tingkat Pusat<br />

Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian<br />

Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah<br />

koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis<br />

upaya pengendalian TB.<br />

BAB II<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA<br />

12<br />

11


Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat<br />

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat<br />

Tuberkulosis.<br />

b. Tingkat Propinsi<br />

Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan<br />

Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.<br />

Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan<br />

Propinsi.<br />

c. Tingkat Kabupaten/Kota<br />

Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari<br />

Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan<br />

kebutuhan kabupaten / kota.<br />

Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh<br />

DinasKesehatan Kabupaten/Kota.\<br />

2. Aspek Tatalaksana pasien TB<br />

Dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan<br />

Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).<br />

a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)<br />

FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mampu<br />

memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif dan<br />

rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKTP adalah Puskesmas,<br />

DPM, Klinik Pratama, RS Tipe D dan BKPM.<br />

Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan yang mampu melakukan<br />

pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM).<br />

FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan mikroskopis<br />

dari FKTP yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang disebut<br />

sebagai FKTP Satelit (FKTP-S).<br />

b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)<br />

FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu memberikan<br />

layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan<br />

paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan kasus TB yang tidak bisa<br />

ditegakkan diagnosisnya di FKTP.<br />

Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS<br />

Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan Paru<br />

Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama.<br />

Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara berkualitas dan<br />

terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu bekerja sama dalam<br />

kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara internal didalam gedung maupun<br />

eksternal bersama lembaga terkait disemua wilayah.<br />

12<br />

BAB II<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA<br />

13


malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari<br />

satu bulan.<br />

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,<br />

seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat<br />

prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke<br />

fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga<br />

pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.<br />

2. Pemeriksaan dahak<br />

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung<br />

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan<br />

pengobatan dan menentukan potensi penularan.<br />

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3<br />

contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa<br />

dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):<br />

• S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung<br />

pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah<br />

pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.<br />

• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun<br />

tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.<br />

• S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan<br />

dahak pagi.<br />

b. Pemeriksaan Biakan<br />

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.<strong>tb</strong>)<br />

dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:<br />

• Pasien TB ekstra paru.<br />

• Pasien TB anak.<br />

• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.<br />

Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.<br />

Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang<br />

direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk<br />

memanfaatkan tes cepat tersebut.<br />

3. Pemeriksaan uji kepekaan obat<br />

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.<strong>tb</strong> terhadap<br />

OAT.<br />

Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan<br />

oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality<br />

Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan<br />

jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan<br />

resistan obat.<br />

Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT,<br />

Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan<br />

(laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.<br />

14<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

16


1. Definisi Pasien TB:<br />

Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:<br />

Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji<br />

biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat<br />

yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).<br />

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:<br />

a. Pasien TB paru BTA positif<br />

b. Pasien TB paru hasil biakan M.<strong>tb</strong> positif<br />

c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.<strong>tb</strong> positif<br />

d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan<br />

maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.<br />

e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.<br />

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa<br />

memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.<br />

Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:<br />

Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi<br />

didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan<br />

pengobatan TB.<br />

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:<br />

a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.<br />

b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan<br />

histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.<br />

c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.<br />

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi<br />

bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus<br />

diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.<br />

2. Klasifikasi pasien TB:<br />

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga<br />

diklasifikasikan menurut :<br />

a. Lokasi anatomi dari penyakit<br />

b. Riwayat pengobatan sebelumnya<br />

c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat<br />

d. Status HIV<br />

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:<br />

Tuberkulosis paru:<br />

Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB<br />

paru karena adanya lesi pada jaringan paru.<br />

Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa<br />

terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB<br />

ekstra paru.<br />

Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,<br />

diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.<br />

20<br />

18<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS


Tuberkulosis ekstra paru:<br />

Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,<br />

abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.<br />

Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan<br />

bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan<br />

penemuan Mycobacterium tuberculosis.<br />

Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan<br />

sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.<br />

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:<br />

1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB<br />

sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari<br />

28 dosis).<br />

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan<br />

OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).<br />

Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,<br />

yaitu:<br />

• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau<br />

pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan<br />

bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena<br />

reinfeksi).<br />

• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah<br />

diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.<br />

• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):<br />

adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini<br />

sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).<br />

• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan<br />

sebelumnya tidak diketahui.<br />

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.<br />

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat<br />

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari<br />

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :<br />

• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja<br />

• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama<br />

selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan<br />

• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)<br />

secara bersamaan<br />

• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan<br />

terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT<br />

lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)<br />

• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa<br />

resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes<br />

cepat) atau metode fenotip (konvensional).<br />

21<br />

d. Klasifikasi BAB III pasien TB berdasarkan status HIV<br />

1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien 19<br />

TATALAKSANA ko-infeksi PASIEN TB/HIV): TUBERKULOSIS adalah pasien TB<br />

dengan:<br />

• Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,<br />

atau<br />

• Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.


Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi<br />

dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat<br />

dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas<br />

dalam satu paket untuk satu pasien.<br />

Paket Kombipak.<br />

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan<br />

Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk<br />

digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada<br />

pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.<br />

Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap<br />

(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.<br />

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket<br />

untuk satu pasien.<br />

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan<br />

untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)<br />

pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa<br />

pengobatan.<br />

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa<br />

keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:<br />

a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat<br />

dan mengurangi efek samping.<br />

b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi<br />

obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep<br />

c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi<br />

sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien<br />

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.<br />

a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3<br />

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:<br />

• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.<br />

• Pasien TB paru terdiagnosis klinis<br />

• Pasien TB ekstra paru<br />

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3<br />

Berat Badan<br />

Tahap Intensif<br />

tiap hari selama 56 hari<br />

RHZE (150/75/400/275)<br />

Tahap Lanjutan<br />

3 kali seminggu selama 16 minggu<br />

RH (150/150)<br />

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT<br />

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT<br />

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT<br />

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT<br />

24<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

26


Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3<br />

Tahap<br />

Pengobatan<br />

Lama<br />

Pengobatan<br />

Tablet<br />

Isoniasid<br />

@ 300 mgr<br />

Dosis per hari / kali<br />

Kaplet Tablet<br />

Rifampisin Pirazinamid<br />

@ 450 mgr @ 500 mgr<br />

Tablet<br />

Etambutol<br />

@ 250 mgr<br />

Jumlah<br />

hari/<br />

kali<br />

menelan<br />

obat<br />

Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56<br />

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48<br />

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)<br />

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya<br />

(pengobatan ulang):<br />

• Pasien kambuh<br />

• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya<br />

• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)<br />

Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3<br />

Berat<br />

Badan<br />

Tahap Intensif<br />

tiap hari<br />

RHZE (150/75/400/275) + S<br />

Tahap Lanjutan<br />

3 kali seminggu<br />

RH (150/150) + E(400)<br />

Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu<br />

2 tab 4KDT 2 tab 2KDT<br />

+ 500 mg Streptomisin inj.<br />

+ 2 tab Etambutol<br />

3 tab 4KDT 3 tab 2KDT<br />

+ 750 mg Streptomisin inj.<br />

+ 3 tab Etambutol<br />

4 tab 4KDT 4 tab 2KDT<br />

30-37 kg 2 tab 4KDT<br />

38-54 kg 3 tab 4KDT<br />

55-70 kg 4 tab 4KDT<br />

+ 1000 mg Streptomisin inj.<br />

≥71 kg<br />

5 tab 4KDT<br />

+ 1000mg Streptomisin inj.<br />

5 tab 4KDT<br />

( > do maks )<br />

+ 4 tab Etambutol<br />

5 tab 2KDT<br />

+ 5 tab Etambutol<br />

Tabel 8. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3<br />

Tahap<br />

Pengobatan<br />

Tahap<br />

Awal<br />

(dosis<br />

harian)<br />

Tahap<br />

Lanjutan<br />

(dosis 3x<br />

semggu)<br />

Lama<br />

Pengobatan<br />

2 bulan<br />

1 bulan<br />

Tablet<br />

Isoniasid<br />

@ 300 mgr<br />

1<br />

1<br />

Kaplet<br />

Rifampisin<br />

@ 450 mgr<br />

1<br />

1<br />

Tablet<br />

Pirazinamid<br />

@ 500 mgr<br />

3<br />

3<br />

Tablet @<br />

250 mgr<br />

3<br />

3<br />

Etambutol<br />

Tablet @<br />

400 mgr<br />

-<br />

-<br />

Streptomi<br />

sin injeksi<br />

0,75 gr<br />

-<br />

Jumlah<br />

hari/kali<br />

menelan<br />

obat<br />

5 bulan 2 1 - 1 2 - 60<br />

56<br />

28<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

27<br />

25


Catatan:<br />

• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.<br />

• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest<br />

sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).<br />

• Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan<br />

apabila terjadi perubahan berat badan. ( ² )<br />

• Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan<br />

golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang<br />

jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.<br />

Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.<br />

• OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan<br />

pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.<br />

7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB ( ²⁶ )<br />

a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB<br />

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan<br />

dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara<br />

mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau<br />

kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau<br />

kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.<br />

Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak<br />

(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak<br />

tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil<br />

pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.<br />

Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan<br />

harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara<br />

terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal,<br />

tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif<br />

atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan<br />

(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien<br />

TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.<br />

Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan<br />

selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.<br />

Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk<br />

memantau kemajuan hasil pengobatan:<br />

1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :<br />

• Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis<br />

pengobatan tahap lanjutan<br />

• Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5<br />

dan Akhir Pengobatan)<br />

2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :<br />

Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :<br />

• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,<br />

diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.<br />

26<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

28


• Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).<br />

Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap<br />

lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan<br />

pemeriksaan uji kepekaan obat.<br />

• Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan<br />

pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5<br />

(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).<br />

Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan<br />

OAT kategori 2):<br />

• Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,<br />

diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.<br />

• Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR<br />

• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB<br />

MDR<br />

• Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS<br />

Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa<br />

pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke<br />

5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).<br />

3) Pada bulan ke 5 atau lebih :<br />

• Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil<br />

pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai<br />

seluruh dosis pengobatan selesai diberikan<br />

• Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan<br />

gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .<br />

• Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB<br />

MDR<br />

• Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1),<br />

pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa<br />

dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,<br />

berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.<br />

• Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan<br />

paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan<br />

semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk<br />

ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa<br />

dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,<br />

berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap<br />

upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).<br />

Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat<br />

pada tabel di bawah ini. ( ⁹ )<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

27<br />

29


28<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS


BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

29


** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat diberikan<br />

pengobatan paduan OAT kategori 2.<br />

*** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan<br />

pengobatan paduan OAT.<br />

c. Hasil Pengobatan Pasien TB ( ¹ )<br />

Hasil<br />

pengobatan<br />

Sembuh<br />

Pengobatan<br />

lengkap<br />

Gagal<br />

Meninggal<br />

Putus<br />

berobat<br />

(loss to<br />

follow-up)<br />

Tidak<br />

dievaluasi<br />

Definisi<br />

Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada<br />

awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir<br />

pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan<br />

sebelumnya.<br />

Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap<br />

dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan<br />

hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan<br />

bakteriologis pada akhir pengobatan.<br />

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali<br />

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan<br />

atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil<br />

laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT<br />

Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai<br />

atau sedang dalam pengobatan.<br />

Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang<br />

pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.<br />

Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.<br />

Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke<br />

kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak<br />

diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.<br />

30<br />

d. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment) ( ¹¹ )<br />

Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan<br />

sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk<br />

tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh<br />

obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang<br />

PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan<br />

tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat<br />

memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan<br />

kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada<br />

faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.<br />

33<br />

1) Persyaratan PMO<br />

a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan<br />

maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.<br />

b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.<br />

c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.<br />

d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien<br />

2) Siapa yang bisa jadi PMO<br />

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,<br />

Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas<br />

BAB kesehatan III yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,<br />

anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat TATALAKSANA lainnya atau PASIEN anggota TUBERKULOSIS keluarga.<br />

3) Tugas seorang PMO<br />

a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai<br />

pengobatan.


kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada<br />

faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.<br />

1) Persyaratan PMO<br />

a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan<br />

maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.<br />

b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.<br />

c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.<br />

d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien<br />

2) Siapa yang bisa jadi PMO<br />

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,<br />

Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas<br />

kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,<br />

anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.<br />

3) Tugas seorang PMO<br />

a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai<br />

pengobatan.<br />

b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.<br />

c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah<br />

ditentukan.<br />

d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai<br />

gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit<br />

Pelayanan Kesehatan.<br />

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil<br />

obat dari unit pelayanan kesehatan.<br />

4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada<br />

pasien dan keluarganya:<br />

a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan<br />

b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur<br />

c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya<br />

d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)<br />

e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur<br />

f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta<br />

pertolongan ke fasyankes.<br />

e. Pengobatan TB pada keadaan khusus<br />

1) Kehamilan<br />

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan<br />

pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk<br />

kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin<br />

karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat<br />

menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya<br />

gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan<br />

dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya<br />

34<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

31


sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang<br />

akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50<br />

mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan<br />

pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada<br />

trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( ¹² )<br />

2) Ibu menyusui dan bayinya<br />

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan<br />

pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang<br />

ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.<br />

Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan<br />

kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut<br />

dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada<br />

bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.<br />

3) Pasien TB pengguna kontrasepsi<br />

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk<br />

KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien<br />

TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.<br />

4) Pasien TB dengan kelainan hati ( ²⁶ )<br />

a) Pasien TB dengan Hepatitis akut<br />

Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,<br />

ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk<br />

ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.<br />

b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang<br />

biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :<br />

• Pembawa virus hepatitis<br />

• Riwayat penyakit hepatitis akut<br />

• Saat ini masih sebagai pecandu alkohol<br />

Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan<br />

kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.<br />

c) Hepatitis Kronis<br />

Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan<br />

fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil<br />

pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan<br />

OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:<br />

• 2 obat yang hepatotoksik<br />

2 HRSE / 6 HR<br />

9 HRE<br />

• 1 obat yang hepatotoksik<br />

2 HES / 10 HE<br />

• Tanpa obat yang hepatotoksik<br />

18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak<br />

direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).<br />

32<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

35


Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB,<br />

harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.<br />

Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,<br />

Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,<br />

Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan<br />

diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.<br />

5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal<br />

Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau<br />

gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.<br />

H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan<br />

dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis<br />

pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB.<br />

Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan<br />

tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari<br />

penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15<br />

mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali<br />

pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( ²⁶ )<br />

Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada<br />

pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek<br />

samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar<br />

dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama<br />

dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi<br />

ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada<br />

penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:<br />

Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada<br />

penyakit ginjal kronis.<br />

Tingkat<br />

Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)<br />

1 KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran<br />

kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur<br />

2 KK (60 – 90 ml/menit)<br />

3 KK (30 – 60 ml/menit)<br />

4 KK (15 – 30 ml/menit)<br />

5 KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis<br />

Tabel 12: Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan<br />

penyakit ginjal kronis.<br />

OAT Stadium 1-3 Stadium 4-5<br />

Isoniasid<br />

300 mg/hari<br />

Diberikan 3x/minggu<br />

Dosis 300 mg/setiap pemberian<br />

Rifampisin<br />


6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) ( ¹² )<br />

TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes<br />

mellitus.<br />

Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:<br />

a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi<br />

pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol<br />

b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat<br />

dilanjutkan sampai 9 bulan<br />

c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering<br />

mengalami komplikasi kelainan pada mata<br />

d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas<br />

obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan<br />

e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila<br />

terjadi kekambuhan<br />

7) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid<br />

Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa<br />

pasien seperti:<br />

a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis<br />

b) TB milier dengan atau tanpa meningitis<br />

c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial<br />

d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing<br />

(untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening<br />

dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.<br />

e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.<br />

f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )<br />

Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya<br />

keluhan serta respon klinis.<br />

Predinisolon (per oral):<br />

• Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari<br />

• Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari<br />

Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus<br />

diturunkan secara bertahap (tappering off).<br />

8) Indikasi operasi<br />

Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),<br />

adalah:<br />

a) Untuk TB paru:<br />

• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.<br />

• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi<br />

secara konservatif.<br />

• Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.<br />

b) Untuk TB ekstra paru:<br />

Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien<br />

TB tulang yang disertai kelainan neurologik.<br />

37<br />

34<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS


8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya ( ²⁶ )<br />

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek<br />

samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek<br />

samping yang merugikan atau berat.<br />

Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi<br />

klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera<br />

diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak<br />

diperlukan.<br />

Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan<br />

kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta<br />

menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain<br />

daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif<br />

menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil<br />

obat.<br />

Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat<br />

pada kartu pengobatannya.<br />

Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap<br />

melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan<br />

tambahan untuk menghilangkan keluhannya.<br />

Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara<br />

dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih<br />

lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit.<br />

Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan<br />

pendekatan keluhan dan gejala.<br />

Tabel 13. Efek samping ringan OAT<br />

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan<br />

Tidak ada nafsu makan,<br />

mual, sakit perut<br />

Nyeri Sendi<br />

Kesemutan s/d rasa terbakar<br />

di telapak kaki<br />

atau tangan<br />

Warna kemerahan pada<br />

air seni (urine)<br />

Flu sindrom (demam,<br />

menggigil, lemas, sakit<br />

kepala, nyeri tulang)<br />

H, R, Z<br />

Z<br />

H<br />

R<br />

R dosis<br />

intermiten<br />

OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila<br />

keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan<br />

sedikit makanan<br />

Apabila keluhan semakin hebat disertai<br />

muntah, waspada efek samping berat dan<br />

segera rujuk ke dokter.<br />

Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti<br />

radang non steroid<br />

Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 – 75 mg per<br />

hari<br />

Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi<br />

obat penawar tapi perlu penjelasan kepada<br />

pasien.<br />

Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi<br />

setiap hari<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

35<br />

38


36<br />

Tabel 14. Efek samping berat OAT<br />

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan<br />

Bercak kemerahan kulit (rash)<br />

Ikuti petunjuk<br />

H, R, Z, S<br />

dengan atau tanpa rasa gatal<br />

penatalaksanaan dibawah*<br />

Gangguan pendengaran (tanpa<br />

diketemukan serumen)<br />

S S dihentikan<br />

Gangguan keseimbangan S S dihentikan<br />

Ikterus tanpa penyebab lain<br />

H, R, Z<br />

Semua OAT dihentikan<br />

sampai ikterus menghilang.<br />

Bingung, mual muntah<br />

Semua OAT dihentikan,<br />

Semua jenis<br />

(dicurigai terjadi gangguan fungsi<br />

segera lakukan pemeriksaan<br />

OAT<br />

hati apabia disertai ikterus)<br />

fungsi hati.<br />

Gangguan penglihatan E E dihentikan.<br />

Purpura, renjatan (syok), gagal<br />

ginjal akut<br />

R R dihentikan.<br />

Penurunan produksi urine S S dihentikan.<br />

* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit ( ²⁶ )<br />

Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan untuk<br />

memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit.<br />

Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian<br />

terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes<br />

rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes<br />

rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya<br />

reaksi dikulit dengan cara ”Drug Challengin ”:<br />

• Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu<br />

dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R<br />

) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.<br />

• Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak<br />

timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT<br />

lagi.<br />

• Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang<br />

diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.<br />

• Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat<br />

dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.<br />

** Penatalaksanaan pasien dengan ”drugs induced hepatitis” ( ²⁶ )<br />

Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan<br />

gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis). Penatalaksanaan<br />

pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan dalam<br />

uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.<br />

OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.<br />

Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan<br />

fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain<br />

sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan<br />

OAT.<br />

39<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS


Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB<br />

tergantung dari:<br />

• Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan<br />

• Berat ringannya gangguan fungsi hati<br />

• Berat ringannya TB<br />

• Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat<br />

Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi:<br />

1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT,<br />

pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang<br />

diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila<br />

fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis bertahap,<br />

selanjutnya Isoniasid secara bertahap.<br />

2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat<br />

diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT<br />

dari golongan fluorokuinolon.<br />

3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali<br />

normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan<br />

kembali.<br />

4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu<br />

sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati<br />

sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.<br />

5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan<br />

pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat<br />

diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.<br />

6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai<br />

kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali<br />

muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang<br />

ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan<br />

dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang<br />

pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H<br />

dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.<br />

7. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati.<br />

Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE.<br />

Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.<br />

Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total<br />

lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan.<br />

Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik<br />

terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24<br />

bulan.<br />

8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal<br />

dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi,<br />

berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk<br />

menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan<br />

tahap lanjutan.<br />

9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan<br />

(paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali<br />

pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.<br />

BAB III<br />

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS<br />

37<br />

40


sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,<br />

karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.<br />

ak<br />

n,<br />

ko<br />

kit<br />

n<br />

to<br />

g<br />

g<br />

n<br />

us<br />

%<br />

ri<br />

at<br />

-4<br />

g<br />

ya<br />

4<br />

B<br />

g<br />

B<br />

B<br />

m<br />

2. Gejala TB pada anak<br />

Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:<br />

a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat<br />

atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.<br />

b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam<br />

tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.<br />

Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak<br />

disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.<br />

c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas<br />

semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.<br />

d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to<br />

thrive).<br />

e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.<br />

f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku<br />

diare.<br />

Gejala klinis spesifik terkait organ<br />

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena,<br />

misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai<br />

berikut:<br />

a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):<br />

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,<br />

dan kadang saling melekat atau konfluens.<br />

b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:<br />

• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat<br />

keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.<br />

• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.<br />

c. Tuberkulosis sistem skeletal:<br />

• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).<br />

• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di<br />

daerah panggul.<br />

• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.<br />

• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).<br />

d. Skrofuloderma:<br />

Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).<br />

e. Tuberkulosis mata:<br />

• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).<br />

• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).<br />

f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila<br />

ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan<br />

disertai kecurigaan adanya infeksi TB.<br />

g<br />

u<br />

1<br />

BAB IV<br />

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)<br />

39<br />

42


C. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak<br />

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang<br />

cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain<br />

adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis<br />

pada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi<br />

jaringan.<br />

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari<br />

beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk<br />

menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB,<br />

dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi tidak<br />

direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal<br />

BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan<br />

penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik<br />

sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil<br />

berupa dahak, induksi dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,<br />

apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah<br />

pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang<br />

khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan<br />

di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.<br />

1. Perkembangan terkini Diagnosis TB<br />

Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan<br />

ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat<br />

yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay dan NAAT=Nucleic<br />

Acid Amplification Test, misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini tersedia di beberapa<br />

laboratorium di seluruh provinsi di Indonesia.<br />

WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi<br />

pada tahun 2011 untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. Rekomendasi WHO tahun<br />

<strong>2014</strong> menyatakan pemeriksaan GenXpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis<br />

TB MDR dan HIV suspek TB pada anak. Hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu<br />

menunjukkan anak tidak sakit TB.<br />

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak penegakan<br />

diagnosis TB pada anak dapat dilakukan dengan memadukan gejala klinis dan<br />

pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB<br />

menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber<br />

penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB<br />

dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi<br />

hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak<br />

langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau<br />

anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita<br />

TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk<br />

melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara<br />

klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun<br />

apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka<br />

anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis.<br />

Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya<br />

40<br />

BAB IV<br />

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)<br />

43


n<br />

n<br />

B<br />

er<br />

B<br />

si<br />

ak<br />

u<br />

ita<br />

uk<br />

ra<br />

n<br />

ka<br />

is.<br />

ya<br />

g<br />

in<br />

is<br />

si<br />

ri<br />

uk<br />

B,<br />

ak<br />

al<br />

n<br />

ik<br />

bil<br />

t,<br />

h<br />

g<br />

n<br />

n<br />

at<br />

ic<br />

a<br />

si<br />

n<br />

is<br />

lu<br />

dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian<br />

dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.<br />

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak<br />

adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.<br />

Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU. Namun uji<br />

tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.<br />

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun<br />

gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.<br />

Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk<br />

mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.<br />

2. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring<br />

Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat<br />

dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat<br />

menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem<br />

skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli<br />

yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah<br />

satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas<br />

kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat<br />

dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga<br />

diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.<br />

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:<br />

• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai<br />

tertinggi yaitu 3.<br />

• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB<br />

pada anak dengan menggunakan sistem skoring.<br />

3<br />

BAB IV<br />

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)<br />

41<br />

44


Gambar 2: Algoritma Tatalaksana TB Anak<br />

Anak 0 – 14 th<br />

Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*)<br />

Suspek TB Anak<br />

Sistem Skoring<br />

Skor> 6<br />

Skor = 6<br />

Skor< 6<br />

Didapat dari<br />

parameter uji<br />

tuberkulin (+)<br />

atau kontak<br />

dengan gejala<br />

klinis lain<br />

Didapat dari<br />

parameter uji<br />

tuberkulin (+)<br />

dan kontak;<br />

tanpa gejala<br />

klinis lain<br />

Pertimbangan<br />

dokter (**)<br />

Infeksi laten TB<br />

Bukan<br />

TB<br />

TB ANAK<br />

Evaluasi 2 bulan terapi<br />

Umur ≥ 5<br />

th<br />

Umur< 5 th<br />

Perbaikan<br />

Tidak ada<br />

perbaikan<br />

HIV pos<br />

HIV neg<br />

PP INH<br />

Lanjutkan<br />

terapi<br />

Evaluasi, rujuk<br />

bila perlu<br />

PP INH<br />

Observasi<br />

Keterangan :<br />

(*) Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring<br />

(**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila<br />

ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis<br />

lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin<br />

46<br />

5<br />

BAB IV<br />

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)<br />

43


Tabel 16: OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya<br />

Nama Obat<br />

Dosis harian<br />

(mg/kgBB/hari)<br />

Dosis<br />

maksimal<br />

Efek samping<br />

(mg /hari)<br />

Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,<br />

hipersensitivitis<br />

Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,<br />

hepatitis, trombositopenia,<br />

peningkatan enzim hati, cairan<br />

tubuh berwarna oranye kemerahan<br />

Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia,<br />

gastrointestinal<br />

Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman mata<br />

berkurang, buta warna merah<br />

hijau, hipersensitivitas,<br />

gastrointestinal<br />

Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik<br />

j. Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan<br />

tabel berikut ini:<br />

Tabel 17: OAT Kategori Anak dan Peruntukannya<br />

Jenis TB<br />

OAT Tahap OAT Tahap<br />

Awal Lanjutan<br />

Prednison<br />

TB Ringan<br />

-<br />

2 mgg dosis penuh,<br />

2HRZ<br />

4HR<br />

Efusi Pleura TB<br />

kemudian tappering<br />

off.<br />

TB BTA positif 2HRZE 4HR -<br />

TB paru dengan tandatanda<br />

kerusakan luas:<br />

TB milier<br />

TB+destroyed<br />

lung<br />

7-10HR<br />

Meningitis TB<br />

Peritonitis TB<br />

Perikardistis TB<br />

Skeletal TB<br />

2HRZ+E atau<br />

S<br />

10HR<br />

4 mgg dosis penuh,<br />

kemudian tappering<br />

off.<br />

4 mgg dosis penuh,<br />

kemudian tappering<br />

off.<br />

2 mgg dosis penuh,<br />

kemudian tappering<br />

off.<br />

2 mgg dosis penuh,<br />

kemudian tappering<br />

off.<br />

-<br />

Lama<br />

Pengobatan<br />

6 bulan<br />

9-12 bulan<br />

12 bulan<br />

46<br />

BAB IV<br />

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)<br />

49


2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose<br />

2.<br />

Combination)<br />

OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose<br />

Untuk<br />

Combination)<br />

mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,<br />

2. paduan<br />

Untuk OAT Kategori mempermudah<br />

OAT disediakan Anak kemasan pemberian<br />

dalam Kombinasi bentuk<br />

OAT sehingga<br />

paket dosis KDT/<br />

meningkatkan tetap FDC. (KDT) Satu<br />

keteraturan OAT paket (FDC=Fixed dibuat<br />

minum<br />

untuk Dose obat,<br />

satu<br />

pasien<br />

paduan Combination) untuk<br />

OAT disediakan<br />

satu masa<br />

dalam<br />

pengobatan.<br />

bentuk<br />

Paket<br />

paket<br />

KDT<br />

KDT/<br />

untuk<br />

FDC.<br />

anak<br />

Satu<br />

berisi<br />

paket<br />

obat<br />

dibuat<br />

fase<br />

untuk<br />

intensif,<br />

satu<br />

yaitu Untuk pasien<br />

rifampisin mempermudah untuk satu<br />

(R)<br />

masa<br />

75mg, pemberian pengobatan.<br />

INH (H) OAT 50 mg,<br />

Paket sehingga dan<br />

KDT<br />

pirazinamid meningkatkan untuk anak<br />

(Z)<br />

berisi keteraturan 150 mg,<br />

obat<br />

serta<br />

fase minum obat<br />

intensif, obat, fase<br />

lanjutan, paduan yaitu rifampisin OAT yaitu disediakan R<br />

(R)<br />

75<br />

75mg,<br />

mg dan dalam INH<br />

H<br />

(H)<br />

50 bentuk 50<br />

mg<br />

mg,<br />

dalam paket dan KDT/ satu<br />

pirazinamid<br />

paket. FDC. Satu Dosis<br />

(Z) 150 paket yang<br />

mg, dibuat dianjurkan<br />

serta untuk obat<br />

dapat<br />

fase satu<br />

dilihat<br />

lanjutan, pasien pada untuk yaitu<br />

tabel satu R<br />

berikut.<br />

75 masa mg dan pengobatan. H 50 mg Paket dalam KDT satu untuk paket. anak Dosis berisi yang obat dianjurkan fase intensif, dapat<br />

dilihat yaitu rifampisin pada tabel (R) berikut. 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase<br />

Tabel lanjutan, 18: yaitu Dosis R kombinasi 75 mg dan OAT H 50 TB mg pada dalam anak satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat<br />

Tabel dilihat pada 18: Berat Dosis tabel badan kombinasi berikut. OAT TB pada 2 bulan anak<br />

4 bulan<br />

Berat<br />

(kg)<br />

badan<br />

RHZ<br />

2<br />

(75/50/150)<br />

bulan<br />

(RH<br />

4 bulan<br />

(75/50)<br />

Tabel 18: Dosis (kg)<br />

5-7 kombinasi OATRHZ TB pada 1<br />

(75/50/150)<br />

tablet anak<br />

(RH<br />

1 tablet<br />

(75/50)<br />

Berat 8-11<br />

5-7 badan<br />

12 tablet<br />

tablet bulan<br />

2<br />

14 tablet<br />

tablet bulan<br />

12-16<br />

8-11 (kg)<br />

RHZ 3<br />

2 (75/50/150) tablet<br />

tablet (RH 3<br />

2<br />

tablet<br />

tablet (75/50)<br />

17-22<br />

12-16 5-7 4<br />

31 tablet 4<br />

31 tablet<br />

23-30<br />

17-22 8-11 5<br />

42 tablet 5<br />

42 tablet<br />

Keterangan:<br />

23-30 12-16 BB >30 kg diberikan 6 tablet<br />

53 tablet atau menggunakan KDT dewasa.<br />

53 tablet<br />

Keterangan: 17-22 BB >30 kg diberikan 6 tablet 4 tablet atau menggunakan KDT dewasa. 4 tablet<br />

Keterangan: 23-30 R = Rifampisin; H = Isoniasid; 5 tablet Z = Pirazinamid 5 tablet<br />

Keterangan: • Bayi di bawah BB R = >30 Rifampisin;<br />

5 kg diberikan pemberian<br />

H = 6 Isoniasid; tablet OAT secara atau Z = menggunakan Pirazinamid<br />

terpisah, tidak KDT dalam dewasa. bentuk kombinasi<br />

•<br />

dosis<br />

Bayi di<br />

tetap,<br />

bawah<br />

dan<br />

5<br />

sebaiknya<br />

kg pemberian<br />

dirujuk<br />

OAT<br />

ke RS<br />

secara<br />

rujukan<br />

terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi<br />

Keterangan: Apabila<br />

dosis tetap,<br />

ada R dan = kenaikan Rifampisin; sebaiknya<br />

BB H dirujuk<br />

maka = Isoniasid; ke<br />

dosis/jumlah<br />

RS Z rujukan = Pirazinamid tablet yang diberikan, menyesuaikan<br />

• berat<br />

Apabila Bayi di badan bawah ada<br />

saat<br />

kenaikan 5 itu kg pemberian BB maka OAT dosis/jumlah secara terpisah, tablet yang tidak diberikan, dalam bentuk menyesuaikan kombinasi<br />

• Untuk<br />

berat dosis badan tetap, anak dan saat<br />

obesitas, sebaiknya itu<br />

dosis dirujuk KDT ke menggunakan RS rujukan Berat Badan ideal (sesuai umur).<br />

• Tabel<br />

Untuk Apabila Berat<br />

anak ada Badan<br />

obesitas, kenaikan berdasarkan<br />

dosis BB maka KDT<br />

umur dosis/jumlah menggunakan<br />

dapat dilihat tablet di<br />

Berat<br />

lampiran yang Badan diberikan, ideal (sesuai menyesuaikan umur).<br />

• OAT berat Tabel<br />

KDT badan Berat<br />

harus<br />

Badan saat diberikan ituberdasarkan secara<br />

umur<br />

utuh<br />

dapat<br />

(tidak<br />

dilihat<br />

boleh<br />

di<br />

dibelah,<br />

lampiran<br />

dan tidak boleh digerus)<br />

• Obat Untuk OAT KDT<br />

dapat anak harus<br />

diberikan obesitas, diberikan<br />

dengan dosis secara KDT cara<br />

utuh menggunakan ditelan<br />

(tidak<br />

utuh,<br />

boleh<br />

dikunyah/dikulum<br />

dibelah, Berat Badan tidak ideal (chewable),<br />

boleh (sesuai digerus) umur). atau<br />

•<br />

dimasukkan Tabel Obat dapat Berat Badan air<br />

diberikan<br />

dalam berdasarkan sendok<br />

dengan<br />

(dispersable).<br />

cara umur ditelan dapat dilihat utuh, dikunyah/dikulum lampiran (chewable), atau<br />

• Obat OAT dimasukkan KDT diberikan harus air<br />

pada<br />

dalam diberikan saat<br />

sendok<br />

perut secara (dispersable).<br />

kosong, utuh (tidak atau boleh paling dibelah, cepat 1 dan jam tidak setelah boleh makan digerus)<br />

• Apabila Obat diberikan dapat OAT diberikan lepas<br />

pada saat<br />

diberikan dengan perut kosong, cara dalam ditelan bentuk<br />

atau utuh, paling<br />

puyer, dikunyah/dikulum cepat<br />

maka<br />

1 jam<br />

semua<br />

setelah<br />

obat (chewable), makan<br />

tidak boleh atau<br />

•<br />

digerus dimasukkan Apabila<br />

bersama<br />

OAT air lepas dalam dan<br />

diberikan<br />

dicampur sendok (dispersable).<br />

dalam<br />

dalam satu<br />

bentuk<br />

puyer<br />

puyer, maka semua obat tidak boleh<br />

• digerus Obat diberikan bersama pada dan saat dicampur perut kosong, dalam satu atau puyer paling cepat 1 jam setelah makan<br />

• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh<br />

3. Pengobatan digerus bersama ulang TB dan pada dicampur anakdalam satu puyer<br />

3.<br />

Anak<br />

Pengobatan<br />

yang pernah<br />

ulang<br />

mendapat<br />

TB pada anak<br />

pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan<br />

gejala<br />

Anak yang<br />

TB, perlu<br />

pernah<br />

dievaluasi<br />

mendapat<br />

apakah<br />

pengobatan<br />

anak tersebut<br />

TB, apabila<br />

benar-benar<br />

datang kembali<br />

menderita<br />

dengan<br />

TB. Evaluasi<br />

keluhan<br />

3. dapat<br />

gejala Pengobatan dilakukan<br />

TB, perlu ulang dengan<br />

dievaluasi TB pada cara<br />

apakah anak pemeriksaan<br />

anak tersebut<br />

dahak atau<br />

benar-benar<br />

sistem skoring.<br />

menderita<br />

Evaluasi<br />

TB. Evaluasi<br />

dengan<br />

sistem<br />

dapat Anak yang dilakukan<br />

skoring pernah harus<br />

dengan mendapat lebih<br />

cara<br />

cermat<br />

pemeriksaan pengobatan dan dilakukan TB, dahak apabila atau<br />

di<br />

sistem datang fasilitas<br />

skoring. kembali rujukan.<br />

Evaluasi dengan Apabila keluhan dengan<br />

hasil<br />

pemeriksaan<br />

sistem gejala TB, skoring perlu dahak<br />

harus dievaluasi menunjukkan<br />

lebih apakah cermat<br />

hasil anak dan<br />

positif, tersebut dilakukan<br />

maka benar-benar anak<br />

di fasilitas<br />

diklasifikasikan menderita rujukan.<br />

sebagai<br />

Apabila TB. Evaluasi kasus<br />

hasil<br />

Kambuh.<br />

pemeriksaan dapat dilakukan Pada<br />

dahak<br />

pasien dengan menunjukkan<br />

TB cara anak pemeriksaan yang<br />

hasil<br />

pernah<br />

positif, dahak mendapat<br />

maka atau anak sistem pengobatan<br />

diklasifikasikan skoring. TB, Evaluasi tidak<br />

sebagai<br />

dianjurkan dengan kasus<br />

untuk<br />

Kambuh. sistem dilakukan skoring Pada pasien<br />

uji harus tuberkulin<br />

TB lebih anak<br />

ulang. cermat yang pernah dan dilakukan mendapat di pengobatan fasilitas rujukan. TB, tidak Apabila dianjurkan hasil<br />

untuk pemeriksaan dilakukan dahak uji tuberkulin menunjukkan ulang. hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus<br />

Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan<br />

untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.<br />

BAB IV<br />

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)<br />

50<br />

50<br />

47<br />

50


Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak<br />

positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB.<br />

Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB<br />

milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.<br />

Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:<br />

Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak<br />

Umur HIV Hasil pemeriksaan Tata laksana<br />

Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis<br />

Balita (+)/(-) Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-) INH profilaksis<br />

> 5 th (+) Infeksi laten TB INH profilaksis<br />

> 5 th (+) Sehat INH profilaksis<br />

> 5 th (-) Infeksi laten TB Observasi<br />

> 5 th (-) Sehat Observasi<br />

Keterangan<br />

• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)<br />

setiap hari selama 6 bulan.<br />

• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya<br />

gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka<br />

harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus<br />

segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal<br />

• Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka<br />

pemberian INH dapat dihentikan.<br />

• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah<br />

PP- INH selesai diberikan.<br />

Pa<br />

tah<br />

me<br />

Ind<br />

ber<br />

pen<br />

Be<br />

13/<br />

Pe<br />

A.<br />

52<br />

B.<br />

50<br />

BAB IV<br />

TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)


si<br />

tu<br />

ya<br />

ri<br />

al,<br />

B<br />

a<br />

g<br />

gi<br />

B<br />

tu<br />

u<br />

g<br />

ra<br />

p<br />

uk<br />

ai<br />

n<br />

or<br />

b<br />

B<br />

4<br />

BAB V<br />

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)<br />

53


D. Diagnosis TB Resistan Obat<br />

a.<br />

b. Alur Diagnosis TB Resistan Obat


Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:<br />

a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu)<br />

spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2<br />

spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum<br />

BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.<br />

b. Pasien dengan hasil GeneXpert M<strong>tb</strong> negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan<br />

lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai.<br />

Pada pasien dengan hasil M<strong>tb</strong> negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuat<br />

terhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaan<br />

GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitas<br />

pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang<br />

menjadi acuan tindakan selanjutnya.<br />

c. Pasien dengan hasil GeneXpert M<strong>tb</strong> Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana<br />

pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.<br />

d. Pasien dengan hasil GeneXpert M<strong>tb</strong> Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB<br />

MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan<br />

dan identifikasi kuman M<strong>tb</strong>.<br />

e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium tuberculosis (M<strong>tb</strong><br />

tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus.<br />

Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2,<br />

maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium<br />

rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji<br />

kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk mengkonfirmasi<br />

hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.<br />

f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji<br />

kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan<br />

diagnosis.<br />

g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan<br />

adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan<br />

pengobatan TB MDR-nya.<br />

h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan<br />

menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan<br />

paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan<br />

pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR.<br />

Catatan:<br />

Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB<br />

Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangi<br />

pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika terdapat<br />

perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan<br />

untuk tindak lanjut berikutnya.<br />

56<br />

BAB V<br />

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)


• Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida)<br />

• Asam Urat<br />

• Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)<br />

c. Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)<br />

d. Tes kehamilan untuk perempuan usia subur<br />

e. Foto toraks.<br />

f. Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)<br />

g. Pemeriksaan EKG<br />

h. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)<br />

59<br />

2. Paduan OAT MDR di Indonesia<br />

Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang<br />

pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.<br />

a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:<br />

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)<br />

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:<br />

1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah<br />

sebagai berikut:<br />

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)<br />

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar<br />

adalah sebagai berikut:<br />

Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)<br />

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)<br />

maka paduan standar adalah sebagai berikut:<br />

Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)<br />

b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR<br />

secara laboratoris.<br />

c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap<br />

lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama<br />

paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan<br />

adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.<br />

d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.<br />

Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.<br />

F.<br />

Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis<br />

MTPTRO (Permenkes 13/2013).<br />

3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR<br />

Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons<br />

pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak,<br />

demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama<br />

pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan.<br />

Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak<br />

pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.<br />

Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan<br />

pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.<br />

BAB V<br />

58<br />

60<br />

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)


IV<br />

n<br />

B.<br />

al<br />

n,<br />

es<br />

n<br />

ut<br />

as<br />

u<br />

is<br />

si<br />

kit<br />

a<br />

B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini<br />

B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi<br />

kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas<br />

B.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ART<br />

B.3. Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk<br />

Tempat Orang Berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk<br />

Pengguna NAPZA)<br />

C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB<br />

C.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB<br />

C.2 Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB<br />

C.3 Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV<br />

C.4 Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahan<br />

HIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV<br />

C.5 Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV<br />

Kebijakan:<br />

1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian<br />

TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara<br />

fasilitas pelayanan kesehatan.<br />

2. Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan<br />

Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan<br />

melibatkan lintas sektoral.<br />

n<br />

3. Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan<br />

HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara<br />

signifikan.<br />

4. Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk melaksanaan<br />

kolaborasi TB-HIV yang optimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masingmasing<br />

program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring dan<br />

evaluasi aktivitas kolaborasi TB-HIV di setiap tingkatan<br />

5. Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang<br />

dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik<br />

dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA<br />

untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan.<br />

6. Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis HIV tanpa<br />

melihat faktor resiko.<br />

7. Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai<br />

jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.<br />

8. Semua pasien koinfeksi TB-HIV diberikan pengobatan pencegahan dengan<br />

kotrimoksasol (PPK) tanpa menilai jumlah CD4.<br />

BAB VI<br />

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)<br />

63


es<br />

aji<br />

ini<br />

g<br />

n<br />

m<br />

n<br />

a<br />

m<br />

ar<br />

at<br />

si<br />

ih<br />

in<br />

a<br />

tu<br />

IV<br />

tu<br />

el<br />

n<br />

n<br />

la<br />

ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier,<br />

TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.<br />

Diagnosis TB pada ODHA<br />

Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV<br />

negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan<br />

mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA<br />

negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya<br />

sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan<br />

atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada<br />

alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:<br />

• Pemeriksaan mikroskopis langsung<br />

Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu Pagi<br />

Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya<br />

positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.<br />

• Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif<br />

Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif, sehingga<br />

penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu<br />

dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya<br />

resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa<br />

lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu<br />

yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.<br />

• Pemeriksaan biakan dahak<br />

Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat<br />

dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu<br />

untuk konfirmasi diagnosis TB.<br />

• Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi<br />

Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur<br />

diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB<br />

terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu,<br />

pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.<br />

Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh<br />

infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik<br />

tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi<br />

bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan<br />

respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat<br />

tersebut.<br />

• Pemeriksaan foto toraks<br />

Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB<br />

pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks<br />

pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.<br />

BAB VI<br />

KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)<br />

65


E.<br />

F.


G.<br />

H.


BAB VII<br />

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS<br />

Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)<br />

tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk,<br />

berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron<br />

sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang<br />

cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan<br />

melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.<br />

Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman<br />

TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.<br />

Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan<br />

pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan<br />

Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk<br />

mencegah tersebarnya kuman TB ini.<br />

A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.<br />

Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah<br />

yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum<br />

sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat.<br />

Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan<br />

berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang<br />

dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi<br />

dengan 4 pilar yaitu :<br />

1. Pengendalian Manajerial<br />

2. Pengendalian administratif<br />

3. Pengendalian lingkungan<br />

4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri<br />

PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada<br />

rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat<br />

pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan<br />

ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.<br />

1. Pengendalian Manajerial.<br />

Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas<br />

Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.<br />

72<br />

Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari<br />

upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:<br />

a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB<br />

b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan<br />

surveilans<br />

c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif<br />

BAB VII<br />

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS<br />

74


Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:<br />

a. Temukan pasien secepatnya.<br />

Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk<br />

mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk<br />

ke laboratorium.<br />

b. Pisahkan secara aman.<br />

Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus<br />

dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker.<br />

Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam<br />

antrian (prioritas).<br />

c. Obati secara tepat.<br />

Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB<br />

kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati<br />

sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius<br />

3. Pengendalian Lingkungan.<br />

Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan<br />

teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik<br />

di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah<br />

tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai<br />

germisida.<br />

Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:<br />

a. Ventilasi Alamiah<br />

b. Ventilasi Mekanik<br />

c. Ventilasi campuran<br />

Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.<br />

Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu<br />

struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara<br />

luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.<br />

4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri.<br />

Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan<br />

sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat<br />

dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.<br />

Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.<br />

Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat<br />

melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum,<br />

aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu<br />

digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat<br />

menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.<br />

74<br />

BAB VII<br />

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS<br />

76


Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama<br />

pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan<br />

respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan<br />

sekitarnya dari droplet.<br />

Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan<br />

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular<br />

respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi<br />

seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini<br />

terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah<br />

tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.<br />

Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan<br />

dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari).<br />

Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.<br />

BAB VII<br />

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS<br />

75<br />

77


BAB VIII<br />

PUBLIC PRIVATE PUBLIC PRIVATE MIX DOTS MIX DALAM DOTS PENGENDALIAN<br />

DALAM<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS TUBERKULOSIS<br />

Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap<br />

layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara<br />

aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas<br />

layanan kesehatan.<br />

Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas<br />

layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program<br />

pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.<br />

PPM (Public Private Mix) meliputi:<br />

• Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program pengendalian TB<br />

dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja,<br />

kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).<br />

• Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program pengendalian TB<br />

dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes milik<br />

pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan.<br />

• Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi dengan<br />

LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan<br />

apotik swasta.<br />

Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai<br />

Januari tahun <strong>2014</strong>, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP,<br />

sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan<br />

dilakukan di FKRTL.<br />

A. Tujuan<br />

Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan<br />

berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.<br />

B. Prinsip dan Strategi PPM.<br />

1. Prinsip PPM<br />

Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut:<br />

a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan.<br />

b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien dengan<br />

menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).<br />

c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh program<br />

pengendalian TB di setiap tingkat.<br />

76<br />

BAB VIII<br />

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

78


2. Strategi PPM<br />

Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal<br />

terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis<br />

melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan<br />

peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan<br />

pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix<br />

(PPM), yaitu :<br />

a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas,<br />

b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,<br />

c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,<br />

d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,<br />

e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,<br />

f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.<br />

C. Penerapan PPM<br />

Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:<br />

1. Tingkat Nasional<br />

2. Tingkat Provinsi<br />

3. Tingkat Kabupaten/Kota<br />

1. Tingkat Nasional<br />

Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan,<br />

pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan<br />

bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat<br />

nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya,<br />

pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI),<br />

organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional.<br />

2. Tingkat Provinsi<br />

Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan<br />

profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat<br />

kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat<br />

melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di<br />

tingkat kabupaten/kota.<br />

3. Tingkat kabupaten/kota<br />

Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar<br />

pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan<br />

dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan<br />

dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota<br />

untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan.<br />

Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.<br />

a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas .<br />

Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat<br />

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK<br />

berkaitan dengan Pilar ini antara lain:<br />

BAB VIII<br />

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

77<br />

79


1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action (MIFA),<br />

misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang<br />

bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin).<br />

2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna.<br />

3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu<br />

pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang<br />

mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan<br />

sesak.<br />

4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui:<br />

• Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV<br />

• Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV<br />

5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB<br />

di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes<br />

TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI.<br />

6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang<br />

lain, contohnya:<br />

• Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat.<br />

• Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan<br />

(WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB.<br />

• Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian<br />

perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR (Corporate Social<br />

Responsibility).<br />

• Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan<br />

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.<br />

• Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus<br />

TB ke faskes DOTS dasar.<br />

7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif.<br />

b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta<br />

Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK sesuai<br />

pendekatan-pendekatan sebagai berikut:<br />

1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi<br />

Rumah Sakit 2012.<br />

2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB.<br />

3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain,<br />

contohnya:<br />

• Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar.<br />

• Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk.<br />

• Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB.<br />

• Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui:<br />

Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,<br />

Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,<br />

Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH).<br />

c. Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan Spesialis<br />

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui pendekatanpendekatan<br />

sebagai berikut:<br />

78<br />

BAB VIII<br />

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

80


1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah diwujudkan<br />

dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh<br />

Indonesia.<br />

2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB<br />

IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter<br />

yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan<br />

dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan<br />

merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang<br />

mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB<br />

IDI.<br />

3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat<br />

Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri<br />

Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun <strong>2014</strong> tentang Panduan Praktik Klinis<br />

bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.<br />

Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh Kemenkes<br />

berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman<br />

Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah<br />

disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.<br />

d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas.<br />

Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik (BPPM) dan<br />

Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan:<br />

1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance (QA) laboratory dengan<br />

mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB<br />

(Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler).<br />

2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab<br />

TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi<br />

dan Laboratorium rujukan intermediate.<br />

3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan uji<br />

kepekaan OAT lini 1 dan 2.<br />

4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA).<br />

5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta meningkatkan<br />

mutunya.<br />

e. Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional.<br />

Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen<br />

Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).<br />

Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu:<br />

1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan “One Gate Policy”.<br />

2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1.<br />

3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji<br />

kualitas OAT.<br />

4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT.<br />

5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional.<br />

f. Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas.<br />

Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),<br />

Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB, melalui pendekatan:<br />

BAB VIII<br />

PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

79<br />

81


BAB IX<br />

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS<br />

Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas<br />

(gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar<br />

6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar .<br />

Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan<br />

pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan<br />

pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat<br />

dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB,<br />

diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.<br />

Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium<br />

TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB,<br />

keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.<br />

A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB.<br />

Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan,<br />

Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan<br />

kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium<br />

yang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana, yaitu<br />

pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir<br />

seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar.<br />

Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan jejaring<br />

laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi, peran,<br />

tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan.<br />

Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan laboratorium<br />

mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler.<br />

1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB.<br />

a. Laboratorium mikroskopis TB di faskes<br />

Dalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi berdasarkan<br />

kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi:<br />

• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah<br />

FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan<br />

dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan<br />

teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti<br />

pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di<br />

wilayahnya atau lintas kabupaten/kota.<br />

• Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit (FKTP-S), adalah FKTP dengan<br />

laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dan<br />

kemudian merujuk ke FKTP-RM.<br />

Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan<br />

termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan<br />

pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM<br />

dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.<br />

82<br />

BAB IX<br />

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS


. Laboratorium Rujukan Uji Silang Pertama /Lab Intermediate/ RUS 1<br />

Laboratorium RUS 1 ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota<br />

setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dan berada di tingkat Kabupaten/Kota<br />

dengan wilayah kerja yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait atau lintas<br />

kabupaten/kota atas kesepakatan antara Dinas Kabupaten /Kota. Pada Lab RUS 1<br />

dengan wilayah kerja lebih dari 1 kabupaten/kota, penetapan laboratorium oleh Kepala<br />

Dinas Kesehatan Provinsi.<br />

Laboratorium RUS 1 memiliki tugas dan fungsi:<br />

1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan mikroskopis BTA.<br />

2) Melaksanakan uji silang sediaan dahak dari laboratorium fasyankes di wilayah<br />

kerjanya.<br />

3) Melakukan pembinaan teknis laboratorium mikroskopis di wilayah kerjanya.<br />

4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah<br />

kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).<br />

5) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan<br />

jejaring laboratorium TB di wilayahnya.<br />

c. Laboratorium Rujukan Uji Silang Kedua/ RUS 2<br />

Laboratorium RUS 2 terdapat di provinsi yang memiliki laboratorium RUS 1. Apabila<br />

provinsi yang tidak memiliki laboratorium RUS 1, maka laboratorium rujukan provinsi<br />

berperan sebagai lab RUS.<br />

Laboratorium RUS 2 ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi setelah memenuhi<br />

kriteria yang telah ditentukan dengan peran dan fungsi:<br />

1) Melakukan uji silang ke-2 jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan (diskordance)<br />

mikroskopis laboratorium fasyankes dan laboratorium RUS 1<br />

2) Melakukan pembinaan teknis laboratorium RUS 1 di wilayahnya<br />

3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk pengelolaan jejaring<br />

laboratorium TB di wilayahnya<br />

4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah<br />

kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).<br />

5) Mengikuti PME tingkat nasional (uji silang sediaan dahak dengan metode LQAS,<br />

supervisi, tes panel) dari Laboratorium Rujukan Nasional.<br />

d. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional<br />

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011<br />

tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BLK Provinsi<br />

Jawa Barat sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan<br />

Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq<br />

Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas<br />

pokok sebagai berikut:<br />

1) Peran:<br />

a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan mikroskopis TB<br />

b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan<br />

mikroskopis TB<br />

2) TanggungJawab:<br />

Memastikan semua kegiatan laboratorium mikroskopis dalam jejaring laboratorium<br />

mikroskopisTB berjalan sesuai peran dan tugas pokoknya.<br />

BAB IX<br />

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS<br />

83


c. Laboratorium biakan<br />

Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M.<br />

tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.<br />

Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator<br />

kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN.<br />

Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:<br />

1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM<br />

2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional<br />

3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN<br />

4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai<br />

Laboratorium rujukan biakan provinsi<br />

d. Laboratorium biakan dan uji kepekaan<br />

Melakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OAT<br />

sesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN.<br />

Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:<br />

1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/<br />

atau 2<br />

2) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan<br />

pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai<br />

laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah<br />

laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi dengan<br />

Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan<br />

3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan<br />

jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya.<br />

4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN.<br />

e. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional<br />

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011<br />

tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabaya<br />

sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang<br />

pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina<br />

Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:<br />

1) Peran<br />

a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB.<br />

b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan<br />

isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB.<br />

2) Tugas Pokok<br />

a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan<br />

TB<br />

b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB<br />

c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan<br />

dan uji kepekaan TB<br />

d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal<br />

(PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB<br />

e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan<br />

TB<br />

f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB<br />

BAB IX<br />

85<br />

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS


Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok<br />

sebagai berikut:<br />

1) Peran<br />

a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB,<br />

b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi<br />

dan MOTT.<br />

2) Tugas Pokok<br />

a) Melaksanakan penelitian operasional TB<br />

b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.<br />

c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.<br />

d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru<br />

e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru<br />

f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.<br />

3) Tanggungjawab<br />

Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian<br />

operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran<br />

dan tugas pokok.<br />

B. Manajemen Laboratorium TB.<br />

1. Manajemen Logistik Laboratorium TB.<br />

Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaan<br />

logistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB<br />

2. Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB.<br />

Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring<br />

laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.<br />

Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu:<br />

a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)<br />

b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)<br />

c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)<br />

a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)<br />

PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk<br />

mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan<br />

laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar.<br />

Tujuan PMI:<br />

1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan,<br />

penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh uji,<br />

pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar.<br />

2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan<br />

cepat dan tepat.<br />

3) Membantu peningkatan pelayanan pasien.<br />

Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap praanalisis,<br />

analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.<br />

BAB IX<br />

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS<br />

87


Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu:<br />

1) Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan<br />

laboratorium, misalnya :<br />

a) Protap pengambilan dahak<br />

b) Protap pembuatan contoh uji dahak<br />

c) Protap pewarnaan Ziehl Neelsen<br />

d) Protap pemeriksaan Mikroskopis<br />

e) Protap pembuatan media<br />

f) Protap inokulasi<br />

g) Protap identifikasi<br />

h) Protap pengelolaan limbah, dan sebagainya.<br />

2) Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan<br />

laboratorium TB<br />

3) Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan petugas<br />

4) Tersedianya contoh uji kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol.<br />

b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)<br />

PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang, karena itu penting sekali<br />

membentuk jejaring dan tim laboratorium TB di laboratorium rujukan. Pelaksanaan<br />

PME dalam jejaring ini harus berlangsung teratur/berkala dan berkesinambungan.<br />

Koordinasi PME harus dilakukan oleh laboratorium penyelenggara yaitu laboratorium<br />

rujukan bersama dengan Dinas Kesehatan setempat agar dapat melakukan evaluasi<br />

secara baik, berkala dan berkesinambungan.<br />

1) Perencanaan PME<br />

a) Melakukan koordinasi diantara komponen pelaksana Program TB berdasarkan<br />

wilayah kerja jejaring laboratorium TB<br />

b) Menentukan kriteria laboratorium penyelenggara<br />

c) Menentukan jenis kegiatan PME<br />

d) Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan beban kerja<br />

laboratorium penyelenggara.<br />

e) Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan PME<br />

f) Penilaian dan umpan balik.<br />

2) Kegiatan PME<br />

Kegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui:<br />

a) PME Mikroskopis<br />

• Uji silang sediaan dahak mikroskopis<br />

Dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan dengan melakukan<br />

pemeriksaan ulang sediaan dahak dari unit laboratorium mikroskopis TB di<br />

fasyankes. Pengambilan sediaan dahak untuk uji silang dilakukan dengan<br />

metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS). Metoda ini diterapkan<br />

diseluruh Indonesia namun dengan mempertimbangkan kondisi geografis<br />

dan sumber daya laboratorium metoda LQAS dapat dimodifikasi sehingga<br />

alur dan peran komponen PME dapat berubah.<br />

88<br />

BAB IX<br />

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS


3. Manajemen Sistim Informasi Laboratorium TB<br />

Untuk menjamin data kegiatan laboratorium dapat termonitor dengan baik, maka seluruh<br />

kegiatan laboratorium TB akan terintegrasi dengan Sistem Informasi Terpadu<br />

Tuberkulosis (SITT) untuk pelayanan pemeriksaan mikrokopis (Laporan TB.12) dan eTB<br />

Manager untuk pelayanan pemeriksaan biakan, uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.<br />

C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB<br />

Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan dan<br />

keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium dengan<br />

pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan koreksi yang<br />

memadai. Komponen yang berperan pada keselamatan dan keamanan laboratorium TB<br />

yaitu: infrastruktur laboratorium, peralatan, bahan yang dipakai, proses dan keterampilan<br />

kerja dan pengelolaan limbah laboratorium TB. Komponen-komponen tersebut harus<br />

diselaraskan baik dari aspek pengelolaan (manajemen) dan teknis laboratorium agar<br />

terjamin keselamatan dan keamanan petugas dan lingkungan. Keselamatan dan Keamanan<br />

Laboratorium TB bertujuan untuk mencegah dan menangani infeksi dan kecelakaan kerja di<br />

laboratorium TB.<br />

90<br />

BAB IX<br />

MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS


BAB X<br />

PENGELOLAAN PENGELOLAAN LOGISTIK LOGISTIK PROGRAM PROGRAM PENGENDALIAN<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS TUBERKULOSIS<br />

Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang<br />

penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,<br />

baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan<br />

(Fasyankes).<br />

Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga<br />

ketersediaan dan kualitasnya terjamin.<br />

A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.<br />

1. Pengertian Logistik P2TB.<br />

Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai<br />

dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan<br />

bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses<br />

penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.<br />

Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan<br />

untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.<br />

Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang<br />

digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.<br />

2. Jenis-jenis Logistik P2TB.<br />

Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non<br />

OAT.<br />

a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)<br />

Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di<br />

Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan<br />

R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan<br />

memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.<br />

Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah:<br />

• Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)<br />

dan Streptomisin (S).<br />

• Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),<br />

Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino<br />

Salicylic (PAS).<br />

1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan<br />

Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian<br />

TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket<br />

individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

91<br />

94


kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose<br />

Combination (FDC) dan kemasan Kombipak.<br />

Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya<br />

telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan<br />

pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan<br />

4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC.<br />

Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan<br />

dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.<br />

Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya<br />

dikemas dalam bentuk blister.<br />

Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional<br />

Pengendalian Tuberkulosis adalah:<br />

• Paket KDT OAT Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3<br />

• Paket KDT OAT Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3<br />

• Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)<br />

• Paket Kombipak Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3<br />

• Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR<br />

2) Obat Anti TB (OAT) RR/MDR<br />

Dalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program Nasional<br />

Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk<br />

paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua ditambah OAT<br />

lini pertama yang masih sensitif.<br />

Paduan pengobatan pasien TB RR/MDR yang digunakan Program Nasional<br />

Pengendalian Tuberkulosis adalah:<br />

Km – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)<br />

Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan<br />

OAT RR/MDR yang disediakan adalah:<br />

Nama OAT Dosis Bentuk<br />

Kanamycin (Km) 1000 mg vial<br />

Capreomycin (Cm) 1000 mg vial<br />

Levofloxacin (Lfx) 250 mg tablet<br />

Moxifloxacin (Mfx) 400 mg tablet<br />

Ethionamide (Eto) 400 mg tablet<br />

Cycloserin (Cs) 250 mg kapsul<br />

Para Amino Salicylic (PAS) 2 g sachet<br />

Pirasinamid (Z) 500 mg tablet<br />

Etambutol (E) 400 mg tablet<br />

92<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

95


. Logistik Non OAT<br />

Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik<br />

Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun<br />

pasien TB resistan obat.<br />

1) Logistik Non OAT Non Resistan<br />

Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu<br />

barang habis pakai dan tidak habis pakai.<br />

a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:<br />

Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca<br />

sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi,<br />

Kertas saring, Kertas lensa, dll.<br />

Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13<br />

b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:<br />

Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu<br />

spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak<br />

penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak<br />

penyimpanan OAT, dll<br />

Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku<br />

petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain.<br />

2) Logistik Non OAT Resistan Obat<br />

Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua<br />

kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.<br />

a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:<br />

Cartridge GeneXpert<br />

Masker bedah<br />

Respirator N95<br />

Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR<br />

b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:<br />

Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler,<br />

Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide),<br />

Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet,<br />

Lemari/rak penyimpanan OAT, dll<br />

Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku<br />

petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain.<br />

3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB.<br />

Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program<br />

pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes Kab/Kota<br />

sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun fasyankes<br />

lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi DOTS.<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

93<br />

96


Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah<br />

seperti gambar dibawah ini:<br />

Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB.<br />

Dinkes Provinsi<br />

Instalasi Farmasi Provinsi<br />

(IFP)<br />

permintaan<br />

distribusi<br />

Dinkes Kab/kota<br />

Instalasi Farmasi<br />

Kab/Kota(IFK)<br />

permintaan<br />

distribusi<br />

Fasyankes<br />

Dokter Praktik Mandiri<br />

(DPM)<br />

Klinik Swasta<br />

Keterangan:<br />

Alur distribusi OAT<br />

Alur permintaan dan pelaporan OAT<br />

Keterangan:<br />

Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui<br />

Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.<br />

Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun<br />

Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:<br />

94<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

97


Gambar 11: Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB Resistan Obat<br />

Pusat<br />

Instalasi Farmasi<br />

Nasional<br />

Dinkes Provinsi<br />

Instalasi Farmasi<br />

Provinsi (IFP)<br />

Faskes Rujukan<br />

Instalasi Farmasi<br />

Faskes Rujukan<br />

Faskes Sub Rujukan<br />

Faskes Satelit<br />

Keterangan:<br />

Alur Distribusi OAT<br />

Alur Permintaan dan Pelaporan OAT<br />

Keterangan:<br />

Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat<br />

maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes<br />

satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.<br />

B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.<br />

Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk<br />

menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan<br />

dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik<br />

P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,<br />

sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini<br />

dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

95<br />

98


f. Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal<br />

penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota,<br />

Provinsi dan Pusat.<br />

a. Perencanaan OAT<br />

Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode<br />

konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses<br />

penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya,<br />

sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan<br />

berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai<br />

dengan target yang direncanakan.<br />

Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua<br />

pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap<br />

jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan<br />

memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang<br />

ada dan masa tunggu (lead time).<br />

1) Perencanaan OAT Tidak Resistan<br />

Perencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara “bottom up planning”<br />

mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya<br />

diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya.<br />

2) Perencanaan OAT Resistan Obat<br />

Mengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum<br />

tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara<br />

terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai<br />

dengan target penemuan kasus.<br />

b. Perencanaan Non OAT<br />

Perencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan<br />

memperhatikan:<br />

1) Jenis logistik<br />

2) Spesifikasi<br />

3) Jumlah kebutuhannya.<br />

4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan<br />

5) Unit pengguna<br />

Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional Pengendalian<br />

TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan<br />

memperhatikan target penemuan kasus dan pengembangan cakupan program.<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

100<br />

97


2. Pengadaan Logistik P2TB.<br />

Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan<br />

pada institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat<br />

memastikan logistik yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu<br />

sesuai dengan kontrak kerja dan harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus<br />

mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />

Tujuan Pengadaan logistic P2TB adalah:<br />

a. Tersedianya logistik P2TB dalam jumlah, jenis, spesifikasi dan waktu yang<br />

tepat.<br />

b. Didapatkannya logistik P2TB dengan kualitas yang baik dengan harga yang<br />

wajar.<br />

Kebijakan Pengadaan Logistik P2TB adalah:<br />

a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD<br />

Kabupaten/Kota dan Bantuan Luar Negeri.<br />

b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan<br />

yang berlaku dengan mengacu ke Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang<br />

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.<br />

c. Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti<br />

Perpres juga mengikuti persyaratan dari donor.<br />

d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI,<br />

Ditjen Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya.<br />

e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas<br />

Kesehatan Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang<br />

bersangkutan.<br />

f. Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas<br />

Kesehatan Kabupaten/Kota.<br />

a. Pengadaan OAT<br />

OAT merupakan obat dengan kategori “Sangat Sangat Esensial” (SSE)<br />

sehingga Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun<br />

Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).<br />

Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat dengan dana<br />

APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana<br />

bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya<br />

dilakukan oleh Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT<br />

resistan obat dengan dana bantuan dilakukan oleh Subdit. TB.<br />

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik OAT adalah:<br />

1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional<br />

Pengendalian TB.<br />

2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang<br />

minimal 24 (dua puluh empat) bulan.<br />

98<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

101


3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang<br />

tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.<br />

4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu<br />

OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh<br />

industri farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten.<br />

5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets<br />

masing-masing produk.<br />

6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.<br />

b. Pengadaan Non OAT<br />

Logistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam<br />

mendukung terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non<br />

OAT P2TB juga menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah<br />

Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT<br />

untuk TB regular maupun TB resistan obat.<br />

Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat dukungan dari<br />

Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor. Namun<br />

alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan<br />

Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun<br />

Provinsi sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada.<br />

Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah:<br />

1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program<br />

Nasional Pengendalian TB.<br />

2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan<br />

untuk setiap jenis logistik.<br />

3. Penyimpanan Logistik P2TB.<br />

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara<br />

yang mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang),<br />

barang dan administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik<br />

dan benar, maka logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari<br />

penggunaan yang tidak bertanggung jawab (irasional) dan menjamin<br />

ketersediaannya serta memudahkan pencarian dan pengawasan.<br />

Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non OAT, Program<br />

Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes<br />

Kemenkes R.I., yaitu: “One Gate Policy”, dimana seluruh OAT maupun Non OAT<br />

disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten<br />

Kota dan Fasyankes.<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

102<br />

99


Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan<br />

baik dapat merujuk pada “Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB”.<br />

4. Distribusi Logistik P2TB.<br />

Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan<br />

pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan (Istalasi Farmasi/IF) ke<br />

tempat lain (IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif<br />

maupun teknis untuk memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga<br />

kualitasnya sampai di tempat tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan<br />

aspek keamanan, mutu dan manfaat.<br />

Tujuan distribusi logistik P2TB adalah:<br />

a. Terlaksananya pengiriman logistik P2TB seseuai kebutuhan dan terencana<br />

(jadwal) sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang<br />

cukup.<br />

b. Terjaminnya ketersediaan logistik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan<br />

c. Terjaminnya mutu logistik pada saat pendistribusian<br />

Distribusi dilaksanakan berdasarkan permintaan secara berjenjang untuk<br />

memenuhi kebutuhan logistik di setiap jenjang penyelenggara program<br />

penanggulangan TB.<br />

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses distribusi adalah:<br />

a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan<br />

Provinsi. Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan<br />

Kabupaten/ Kota. Distribusi dari Kabupaten/Kota berdasarkan permintaan<br />

Fasyankes.<br />

b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat<br />

yang lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang<br />

dibawahnya mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik.<br />

c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima<br />

(BAST).<br />

d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang<br />

bersangkutan menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi<br />

atau pengiriman logistik tersebut.<br />

e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi<br />

pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya<br />

yang dikirim.<br />

f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja.<br />

g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain<br />

anggaran yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan<br />

sarana yang ada.<br />

100<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

103


. Pembiayaan Logistik P2TB<br />

Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan.<br />

Pembiayaan ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber<br />

lainnya yang sah sesuai kebutuhan.<br />

Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan<br />

memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu.<br />

Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran<br />

pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber<br />

dana dapat dimobilisasi.<br />

c. Sistim Informasi Logistik P2TB<br />

Saat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem<br />

informasi untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat,<br />

dimana didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan<br />

logistik P2TB yaitu:<br />

1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu<br />

(SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun<br />

2011.<br />

2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer,<br />

yang mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009.<br />

d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TB<br />

Dalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi<br />

Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untuk<br />

terciptanya pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di<br />

setiap tingkat pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensinya,<br />

sehingga perlu adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi<br />

sesuai tupoksi dan beban kerjanya.<br />

Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga<br />

pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata<br />

lain “kompeten”) yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB,<br />

dengan jumlah yang cukup sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan<br />

program TB nasional. Pengembangan SDM tidak hanya berkaitan dengan<br />

pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain<br />

yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM<br />

yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam<br />

penanggulangan TB.<br />

e. Pengawasan Mutu Logistik P2TB<br />

Pengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan<br />

untuk memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya<br />

baik mulai dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat<br />

digunakan.<br />

102<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

105


1) Pengawasan Mutu OAT<br />

Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk<br />

OAT dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market,<br />

yaitu:<br />

a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB.<br />

b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring<br />

efek samping.<br />

Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan<br />

kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan<br />

secara organoleptik dan laboratorium.<br />

2) Pengawasan Mutu Logistik Non OAT<br />

Pengawasan/jaga mutu logistik Non OAT pada prinsipnya sama dengan<br />

jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan karakteristiknya.<br />

Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat produksi<br />

dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin mutunya.<br />

Contoh:<br />

Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga dilakukan uji secara<br />

laboratorium.<br />

106<br />

BAB X<br />

PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

103


BAB XI<br />

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu seperti<br />

HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu desentralisasi<br />

di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan sumber<br />

daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di<br />

provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga<br />

yang terampil.<br />

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian Tuberkulosis<br />

(P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan,<br />

pengetahuan dan sikap (dengan kata lain ”kompeten”) yang diperlukan dalam pelaksanaan<br />

program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang<br />

tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin<br />

ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM TB yang<br />

terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola rekrutmen<br />

yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih.<br />

Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak<br />

hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan<br />

lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu<br />

tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.<br />

Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM<br />

untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB,<br />

peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB.<br />

A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB.<br />

Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk memastikan<br />

kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana.<br />

Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal baik<br />

dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan.<br />

1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan<br />

a. Puskesmas<br />

1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan<br />

minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1<br />

tenaga laboratorium.<br />

104<br />

BAB XI<br />

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

105


2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter<br />

dan 1 perawat/petugas TB<br />

b. Rumah Sakit Umum Pemerintah<br />

1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2<br />

dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga<br />

laboratorium<br />

2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2<br />

dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga<br />

laboratorium<br />

3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2<br />

dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium<br />

4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana<br />

terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB,<br />

dan 1 tenaga laboratorium<br />

5) RS swasta: menyesuaikan.<br />

c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih.<br />

2. Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/Kota<br />

Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20<br />

fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah dan 10<br />

fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes dapat<br />

memiliki lebih dari seorang supervisor.<br />

Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah:<br />

a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,<br />

b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda),<br />

c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program<br />

TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait.<br />

3. Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi.<br />

Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20<br />

kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah<br />

lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari<br />

seorang supervisor.<br />

Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah<br />

a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,<br />

b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK),<br />

c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program<br />

TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait,<br />

d. Provincial Training Team (PTT)/Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) yang terdiri dari 1<br />

orang Provincial Training Coordinator (PTC)/Koordinator Pelatihan Provinsi (KPP)<br />

BAB XI<br />

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

106<br />

105


Masyarakat<br />

Anggota keluarga, kader,<br />

tenaga kesehatan, LSM<br />

• Identifikasi dan rujuk terduga TB ke<br />

fasyankes.<br />

• Pengawas Menelan Obat (PMO)<br />

• Kunjungan rumah<br />

• Melacak yang mangkir<br />

• Catatan sederhana<br />

Laboratorium Staf Peran/ tugas utama<br />

Lab TB nasional<br />

Lab TB rujukan regional<br />

Lab TB rujukan provinsi<br />

Laboratorium rujukan<br />

Uji silang (Intermediate<br />

TB Laboratory)<br />

Pusat Mikroskopis TB:<br />

PRM<br />

PPM<br />

Laboratorium RS<br />

Laboratorium swasta<br />

Pusat Fiksasi contoh uji<br />

TB (Puskesmas satelit)<br />

Ahli Biomolekuler, Spesialis<br />

Patologi klinik, spesialis<br />

Patologi Anatomi, Spesialis<br />

mikrobiologi klinik, Ahli<br />

Mikrobiologi, Analis.<br />

Spesialis Patologi klinik, Ahli<br />

Mikrobiologi, Analis dan<br />

analis media.<br />

Spesialis Patologi Klinik,<br />

Analis.<br />

Petugas laboratorium dan<br />

analis<br />

Analis<br />

Petugas lab<br />

Pemeriksaan dan penelitian<br />

biomolekuler, pemeriksaan non<br />

konvensional lainnya, uji silang ke dua<br />

untuk pemeriksaan biakan<br />

Kultur, identifikasi dan uji kepekaan<br />

M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan<br />

lain<br />

Pemeriksaan mikroskopis BTA, uji<br />

silang mikroskopis final<br />

Uji silang pertama (Laboratory Quality<br />

Assurance)<br />

Pembuatan contoh uji apusan dahak,<br />

fiksasi, pewarnaan Z-N, pembacaan<br />

skala IUATLD dan interpretasi<br />

Pembuatan contoh uji apusan dahak<br />

dan fiksasi<br />

C. Pelatihan Program Pengendalian TB<br />

Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan<br />

petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja petugas. Kegiatan pelatihan ini<br />

dapat dilakukan secara konvensional dengan klasikal dan pelatihan jarak jauh<br />

(LJJ)/distance learning.<br />

Pelatihan Program TB di Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu dimulai sejak<br />

pembentukan Master Trainer/Pelatih Utama TB, kegiatan Training of Trainers (TOT) sampai<br />

pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam Pengendalian TB.<br />

Namun, pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan pelaksanaan pelatihan diikuti juga<br />

dengan meningkatnya perhatian terhadap peningkatan kualitas pelatihan.<br />

108<br />

BAB XI<br />

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

109


3. Manfaat EPP pada Program Pengendalian TB, adalah:<br />

a. Rangkaian siklus yang dinamis dan berkesinambungan dalam memberikan umpan<br />

balik pada proses perbaikan dan penyempurnaan program pelatihan<br />

b. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan yang telah dilaksanakan. Ada 3 aspek yang<br />

dinilai yaitu:<br />

1) Kognitif/Pengetahuan<br />

2) Afektif/Sikap<br />

3) Psikomotor/Perilaku<br />

c. Mengetahui kesesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan kerja individu<br />

d. Bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengembangan aparatur kesehatan di<br />

wiilayahnya<br />

4. Metode EPP Program Pengendalian TB<br />

Evaluasi paska pelatihan dapat diperoleh dengan pengumpulan data. Metode<br />

pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung pada ranah kompetensi mantan<br />

peserta latih di tempat kerjanya.<br />

Tabel 25: Metode Pengumpulan Data dalam EPP<br />

NO RANAH YANG AKAN DICAPAI METODE YANG DIGUNAKAN<br />

1 KOGNITIF Test tertulis<br />

Studi kasus<br />

Wawancara<br />

Focus Group Discussion/ Kelompok Diskusi Terarah<br />

2 AFEKTIF Studi kasus<br />

Wawancara dengan pihak ketiga<br />

Kuestioner<br />

3 PSIKOMOTOR Observasi<br />

Cek dokumen<br />

114<br />

BAB XI<br />

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

113


BAB XII<br />

KETERLIBATAN MASYARAKAT BAB XII DAN ORGANISASI<br />

KEMASYARAKATAN<br />

KETERLIBATAN<br />

DALAM<br />

MASYARAKAT<br />

PENGENDALIAN<br />

DAN ORGANISASI<br />

TUBERKULOSIS<br />

KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di masyarakat,<br />

bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan penyakit<br />

tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat rokok, alkhohol,<br />

pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia produktif dan<br />

masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi penyebab<br />

tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering dihubungkan<br />

dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku<br />

hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.<br />

Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus<br />

TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut<br />

bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini<br />

bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB.<br />

Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh sebab<br />

itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan sepertiga<br />

kasus TB yang ‘hilang’ dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada kelompok<br />

rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB.<br />

A. Bentuk-bentuk Organisasi Kemasyarakatan.<br />

Organisasi kemasyarakatan dapat berupa:<br />

• Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional<br />

• Organisasi berbasis komunitas<br />

• Organisasi berbasis agama<br />

• Organisasi pasien dan mantan pasien<br />

• Organisasi profesi<br />

• dan lain-lain.<br />

B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB.<br />

Tantangan yang dihadapi saat ini adalah:<br />

1. Pelayanan TB berada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang mengharuskan<br />

pasien datang ke fasyankes tersebut yang menyebabkan kerugian pasien karena<br />

dibutuhkan biaya transport, kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan,<br />

meskipun pasien tidak perlu membayar obat anti tuberkulosis (OAT).<br />

2. Kurangnya jumlah organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dalam program<br />

pengendalian TB<br />

114<br />

114<br />

BAB XII<br />

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS


3. Program Pengendalian TB belum merupakan prioritas dalam kegiatan organisasi<br />

kemasyarakatan.<br />

4. Belum sepenuhnya melibatkan pasien dan mantan pasien TB dalam kegiatan Program<br />

Pengendalian TB.<br />

5. Saat ini sebagian besar organisasi kemasyarakatan masih tergantung kepada dana<br />

hibah untuk melaksanakan kegiatan Program Pengendalian TB.<br />

C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB<br />

Keuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam Program<br />

pengendalian TB, antara lain:<br />

1. Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi kemasyarakatan<br />

lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain yang belum terlibat untuk dapat<br />

membantu dalam program pengendalian TB.<br />

2. Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat dan lebih memahami<br />

situasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan masyarakat.<br />

3. Organisasi kemasyarakatan mempunyai akses untuk menjangkau masyarakat dengan<br />

populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex komersial, pencandu narkoba,<br />

penduduk musiman dan masyarakat miskin yang kurang mempunyai akses ke fasilitas<br />

layanan kesehatan.<br />

4. Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan sarana layanan kesehatan<br />

yang dapat diakses oleh masyarakat secara langsung<br />

5. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan informasi tentang<br />

TB kepada masyarakat<br />

6. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk mengaskses pelayanan<br />

TB dan membantu dalam sosial ekonomi<br />

7. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi kepada pemerintah daerah<br />

setempat.<br />

8. Dan lain-lain.<br />

D. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Dalam<br />

Pengendalian TB<br />

Prinsip-prinsip pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah:<br />

1. Kesetaraan dan saling menghormati, memahami kesamaan dan perbedaan serta<br />

karakteristik masing-masing,<br />

2. Saling menguntungkan,<br />

3. Keterbukaan,<br />

4. Dalam perencanaan kegiatan harus menyesuaikan dengan potensi dan situasi dari<br />

organisasi kemasyarakatan itu sendiri,<br />

5. Dalam monitoring dan evaluasi kegiatan harus terintegrasi dengan sistem yang ada di<br />

Program Pengendalian TB.<br />

BAB XII<br />

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

115<br />

115


E. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat Dalam<br />

Pengendalian TB<br />

Indikator keberhasilan pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakat adalah:<br />

1. Peningkatan jumlah pasien TB baru yang dirujuk oleh masyarakat atau organisasi<br />

kemasyarakatan yang tercatat.<br />

2. Peningkatan keberhasilan pengobatan pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau<br />

organisasi kemasyarakatan yang tercatat.<br />

3. Penurunan angka putus berobat pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau<br />

organisasi kemasyarakatan yang tercatat.<br />

F. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian<br />

TB<br />

Beberapa contoh peran dan kegiatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam<br />

pengendalian TB berbasis komunitas antara lain:<br />

Peran<br />

Pencegahan TB.<br />

Deteksi dini terduga TB.<br />

Melakukan rujukan.<br />

Kegiatan<br />

Penyuluhan TB, pengembangan KIE, pelatihan kader.<br />

Pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TB,<br />

pengumpulan dahak terduga TB, pelatihan kader.<br />

Dukungan motivasi kepada terduga TB untuk ke<br />

Fasyankes, dukungan transport.<br />

Pengawas Menelan Obat (PMO).<br />

Dukungan/motivasi keteraturan<br />

berobat pasien TB.<br />

Dukungan sosial ekonomi. Dukungan transport pasien TB, nutrisi dan<br />

sumplemen pasien TB, peningkatan ketrampilan<br />

pasien TB guna meningkatkan penghasilan,<br />

menyediakan pekerja sosial, memotivasi mantan<br />

pasien untuk dapat mendampingi pasien TB.<br />

Advokasi.<br />

Membantu penyusunan bahan advokasi, membantu<br />

memberikan masukan kepada pemerintah.<br />

Mengurangi stigma. Diseminasi informasi tentang TB, membentuk<br />

kelompok pendidik sebaya, testimoni pasien TB.<br />

G. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program pengendalian TB.<br />

Ada 4 strategi kunci untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam TB berbasis<br />

komunitas yaitu:<br />

1. Melibatkan lebih banyak organisasi kemasyarakat (Engage).<br />

Identifikasi organisasi kemasyarakatan potensial yang dapat dilibatkan untuk terlibat<br />

dalam Program Pengendalian TB berbasis komunitas. Mengajak organisasi lainnya yang<br />

116<br />

BAB XII<br />

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

116


selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya organisasi<br />

kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.<br />

2. Memperluas (Expand).<br />

a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan yang<br />

sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau populasi<br />

khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja<br />

seksual.<br />

b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB dalam<br />

program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan<br />

terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.<br />

3. Mempertegas (Emphasize).<br />

Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan<br />

TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi<br />

dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan<br />

yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing organisasi<br />

kemasyarakatan dapat diidentifikasi.<br />

4. Menghitung (Enumerate).<br />

Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian TB<br />

berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui sistem<br />

pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.<br />

Ada 6 tahapan untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan terhadap program<br />

pengendalian TB berbasis komunitas, yaitu:<br />

No Kegiatan Pusat Provinsi Kab/Kota<br />

1 Analisis situasi V V V<br />

2 Menciptakan lingkungan yang kondusif V V V<br />

3 Pedoman dan Juknis V - -<br />

4 Identifikasi tugas V V V<br />

5 Monitoring and evaluation V V V<br />

6 Peningkatan kapasitas V V V<br />

BAB XII<br />

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

117<br />

117


Sistem surveilans TB akan menyediakan informasi mengenai prevalensi TB dan pola<br />

perubahan risiko. Monitoring dan evaluasi menyediakan informasi tentang proses, luaran dan<br />

dampak intervensi. Penelitian operasional dapat mengisi kesenjangan informasi dan menilai<br />

kebijakan dan strategi intervensi. Penempatan ketiga elemen tesebut secara terpadu dan<br />

menyeluruh dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program menjadi<br />

sangat penting agar program berjalan secara efektif dan efisien.<br />

A. Surveilans Tuberkulosis<br />

Surveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit<br />

secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data. Hasil analisis<br />

didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya<br />

menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan derajat<br />

kesehatan masyarakat.<br />

Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data pelaporan),<br />

dan Surveilans Non Rutin (berupa survei: periodik dan sentinel).<br />

1. Surveilans Rutin.<br />

Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan<br />

pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah)<br />

untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya<br />

bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang<br />

menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin ini<br />

interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak memerlukan<br />

biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan<br />

baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari<br />

surveilans periodik atau surveilans sentinel.<br />

2. Surveilans Non Rutin.<br />

a. Surveilans non rutin khusus<br />

Dilakukan melalui kegiatan survei baik secara periodik maupun sentinel yang<br />

bertujuan untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari kegiatan pengumpulan<br />

data rutin.<br />

Kegiatan ini dilakukan secara cross-sectional pada kelompok pasien TB yang<br />

dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu. Kegiatan ini memerlukan biaya yang<br />

mahal dan memerlukan keahlian khusus. Hasil dari kegiatan ini dapat digunakan untuk<br />

mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin.<br />

Contoh: survei prevalensi TB Nasional, sero survei prevalensi HIV diantara pasien TB,<br />

survei sentinel TB diantara ODHA, survei resistensi OAT, survei Knowledge Attitude<br />

Practice (KAP) untuk pasien TB dan dokter praktek mandiri (DPM), dan survei lainlain.<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

119<br />

119


Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu daerah/wilayah<br />

tergantung pada tingkat epidemi TB di daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB<br />

secara keseluruhan, dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia.<br />

b. Surveilans non rutin luar biasa<br />

Meliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara terutama bagi warga negara<br />

Indonesia yang akan berangkat maupun yang akan kembali ke Indonesia (haji dan<br />

TKI). Hal ini dilakukan karena mobilisasi penduduk yang sangat cepat dalam jumlah<br />

besar setiap tahunnya tidak menguntungkan ditinjau dari pengendalian penyakit<br />

tuberkulosis. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit dari satu<br />

wilayah ke wilayah lain dan/atau dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang<br />

cepat.<br />

Upaya pengawasan pasien TB yang akan menunaikan ibadah haji atau TKI yang akan<br />

berangkat keluar negeri maupun kembali ke Indonesia memerlukan sistem surveilans<br />

yang tepat. (secara lengkap dapat dilihat di buku “Prosedur Pelacakan Kasus TB Pada<br />

Tenaga Kerja Indonesia dan jemaah Haji”, Kemenkes 2013).<br />

B. Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program TB<br />

Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan<br />

pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal<br />

masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan<br />

perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan<br />

target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya<br />

setiap 6 bulan s/d 1 tahun.<br />

Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana<br />

program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh<br />

kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses,<br />

maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan<br />

wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.<br />

Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator<br />

dan hasil dari supervisi.<br />

1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB<br />

Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu<br />

sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar,<br />

dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi,<br />

disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program.<br />

Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:<br />

120<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

120


a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.<br />

b. Data sesuai dengan indikator program<br />

c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistim<br />

informasi kesehatan yang generik.<br />

PENTING !!<br />

TB adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas kesehatan yang<br />

memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan melaporkan kasus TB yang<br />

ditemukan dan atau diobati sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang<br />

ditentukan.<br />

Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan-pelaporan TB.<br />

Pencatatan menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan sistem<br />

informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem informasi<br />

elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes<br />

dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya di<br />

wilayah tersebut.<br />

Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB<br />

Terpadu (SITT) yang berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan<br />

secara Nasional.<br />

Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan<br />

pelaksana, sebagai berikut:<br />

a. Pencatatan di Fasilitas Kesehatan<br />

FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan menggunakan format:<br />

1) Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06).<br />

2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).<br />

3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).<br />

4) Kartu identitas pasien TB (TB.02).<br />

5) Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes)<br />

6) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).<br />

7) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).<br />

8) Register Laboratorium TB (TB.04).<br />

9) Formulir mandatory notification untuk TB. (*)<br />

b. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/Kota<br />

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan:<br />

1) Register TB Kabupaten/Kota (TB.03)<br />

2) Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07)<br />

3) Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08)<br />

4) Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11)<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

121<br />

121


5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang<br />

Kabupaten (TB.12)<br />

6) Laporan OAT (TB.13)<br />

7) Data Situasi Ketenagaan Program TB<br />

8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.<br />

9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)<br />

c. Pelaporan di Provinsi<br />

Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:<br />

1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.<br />

2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.<br />

3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di tingkat<br />

Provinsi.<br />

4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.<br />

5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.<br />

6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.<br />

7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.<br />

8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.<br />

2. Indikator Program TB<br />

Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan<br />

program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program<br />

pengendalian TB digunakan beberapa indikator.<br />

Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:<br />

Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan<br />

Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).<br />

Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut<br />

di atas, yaitu:<br />

a. Indikator Penemuan TB<br />

1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB<br />

2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru<br />

diobati.<br />

3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB<br />

terkonfirmasi bakteriologis.<br />

4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB<br />

5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)<br />

6) Proposi pasien TB yang dites HIV<br />

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif<br />

8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/<br />

MDR yang ada.<br />

122<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

122


9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji<br />

kepekaan OAT lini kedua.<br />

10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR<br />

ditemukan.<br />

b. Indikator Pengobatan TB<br />

1) Angka konversi (Conversion Rate)<br />

2) Angka kesembuhan (Cure Rate)<br />

3) Angka putus berobat<br />

4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak<br />

5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang<br />

mendapatkan PP INH<br />

6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK<br />

7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART<br />

8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate<br />

9)<br />

c. Indikator Penunjang TB<br />

1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang<br />

untuk pemeriksaan mikroskopis<br />

2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta<br />

PME uji silang<br />

3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.<br />

4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini<br />

Tiap tingkat pelaksana program memiliki indikator pada tabel berikut:<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

123<br />

123


126<br />

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (15%) atau kemungkinan laboratorium disebabkan (positif palsu) :<br />

• Penjaringan Ada masalah terlalu dalam ketat pemeriksaan atau laboratorium (positif palsu)<br />

2) Proporsi • Ada masalah Pasien dalam TB Paru pemeriksaan Terkonfirmasi laboratorium Bakteriologis (positif palsu) diantara Semua Pasien<br />

2) TB Proporsi Paru Tercatat/diobati<br />

Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien<br />

2) Adalah Proporsi TB Paru prosentase Tercatat/diobati<br />

Pasien TB pasien Paru Terkonfirmasi Tuberkulosis paru Bakteriologis terkonfirmasi diantara bakteriologis Semua diantara Pasien<br />

semua TB Adalah Paru pasien prosentase Tercatat/diobati Tuberkulosis pasien Tuberkulosis paru tercatat paru (bakteriologis terkonfirmasi dan bakteriologis klinis). Indikator diantara ini<br />

menggambarkan Adalah semua pasien prosentase Tuberkulosis prioritas pasien penemuan Tuberkulosis paru tercatat pasien paru (bakteriologis Tuberkulosis terkonfirmasi dan yang bakteriologis klinis). menular Indikator diantara<br />

ini<br />

seluruh semua menggambarkan pasien Tuberkulosis prioritas penemuan yang paru diobati. tercatat pasien (bakteriologis Tuberkulosis dan yang klinis). menular Indikator diantara ini<br />

menggambarkan seluruh pasien Tuberkulosis prioritas penemuan yang diobati. pasien Tuberkulosis yang menular diantara<br />

Rumus: seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.<br />

Rumus: Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis<br />

x 100%<br />

Rumus: Jumlah pasien Jumlah TB seluruh Paru Terkonfirmasi pasien TB Paru Bakteriologis<br />

Jumlah pasien Baru TB paru Terkonfirmasi<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien Jumlah TB seluruh Paru Bakteriologis Terkonfirmasi pasien TB Paru Bakteriologis x 100%<br />

Angka ini minimal<br />

x 100%<br />

70%. Jumlah Bila seluruh angka pasien ini jauh TB TB Paru lebih Parurendah, berarti diagnosis kurang<br />

memberikan Angka ini minimal prioritas 70%. untuk Bila menemukan angka ini jauh pasien lebih yang rendah, menular. berarti diagnosis kurang<br />

Angka memberikan ini minimal prioritas 70%. untuk Bila menemukan angka ini jauh pasien lebih yang rendah, menular. berarti diagnosis kurang<br />

3) Proporsi memberikan pasien prioritas TB Anak untuk diantara menemukan seluruh pasien pasien yang TB menular.<br />

3) Adalah Proporsi prosentase pasien TB pasien Anak diantara TB anak seluruh (0-14 tahun) pasien yang TB diobati diantara seluruh<br />

3) pasien Proporsi Adalah TB prosentase pasien yang diobati. TB pasien Anak diantara TB anak seluruh (0-14 tahun) pasien yang TB diobati diantara seluruh<br />

Adalah pasien TB prosentase yang diobati. pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh<br />

Rumus: pasien TB yang diobati. Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 th)<br />

Rumus: Jumlah pasien TB yang Anak diobati (0 - 14 thn) yg diobati x 100%<br />

x 100%<br />

Rumus: Jumlah Jumlah pasien seluruh TB pasien Anak pasien TB (0 yang -TB 14 diobati thn) yg diobati yg diobati<br />

x 100%<br />

Jumlah Jumlah pasien seluruh TB Anak pasien (0 - TB 14 thn) yg diobati yg diobati<br />

Angka ini dianalisis<br />

x 100%<br />

Jumlah dengan seluruh memperhatikan pasien TB yg berbagai diobatiaspek. Angka indikator ini<br />

diharapkan Angka ini dianalisis berkisar dengan 8 – 12% memperhatikan pada wilayah berbagai dimana aspek. seluruh Angka kasus indikator TB Anak ini<br />

ternotifikasi. Angka diharapkan ini dianalisis berkisar Pada kondisi dengan 8 – dimana 12% memperhatikan pada pencatatan wilayah dan berbagai dimana pelaporan aspek. seluruh berjalan Angka kasus dengan indikator TB Anak baik, ini<br />

angka diharapkan ternotifikasi. ini menggambarkan berkisar Pada kondisi 8 – dimana 12% overpada pencatatan atau wilayah under dan diagnosis, dimana pelaporan seluruh serta berjalan rendahnya kasus dengan TB angka Anak baik,<br />

penularan ternotifikasi. angka ini TB menggambarkan Pada pada kondisi anak. Bila dimana over angka pencatatan atau indikator under ini dan diagnosis, kurang pelaporan atau serta melebihi berjalan rendahnya dengan kisaran angka yang baik,<br />

diharapkan, angka penularan ini TB menggambarkan maka pada perlu anak. diperiksa Bila over angka prosedur atau indikator under diagnosis ini diagnosis, kurang TB atau Anak serta melebihi di rendahnya fasyankes. kisaran angka yang<br />

penularan diharapkan, TB maka pada perlu anak. diperiksa Bila angka prosedur indikator diagnosis ini kurang TB atau Anak melebihi di fasyankes. kisaran yang<br />

4) Angka diharapkan, Penemuan maka perlu Kasus diperiksa (Case Detection prosedur diagnosis Rate = CDR) TB Anak di fasyankes.<br />

4) Adalah Angka Penemuan prosentase Kasus jumlah (Case pasien Detection baru TB Rate Paru = CDR) BTA positif yang ditemukan<br />

4) dibanding Angka Adalah Penemuan prosentase jumlah pasien Kasus jumlah baru (Case pasien TB Detection Paru baru BTA TB Rate positif Paru = CDR) yang BTA diperkirakan positif yang ada ditemukan dalam<br />

Adalah dibanding prosentase jumlah pasien jumlah baru pasien TB Paru baru BTA TB positif Paru yang BTA diperkirakan positif yang ada ditemukan dalam 126<br />

dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam 126<br />

126<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS


Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan<br />

estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara<br />

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan<br />

pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk<br />

estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara<br />

Proporsi usaha yang yang lebih tinggi detail dari dalam pasien upaya TB pencegahan.<br />

pasien TB untuk kepentingan surveilans.<br />

yang<br />

Hal<br />

mengetahui<br />

ini juga menjadi<br />

status HIVnya<br />

dasar untuk<br />

menyajikan<br />

bentuk<br />

estimasi<br />

usaha yang<br />

yang<br />

lebih<br />

cukup<br />

detail<br />

kuat<br />

dalam<br />

tentang<br />

upaya<br />

angka<br />

pencegahan.<br />

sesungguhnya prevalensi HIV diantara<br />

7) Proporsi pasien TB pasien untuk TB kepentingan yang dites surveilans. HIV dan hasil Hal ini tesnya juga menjadi Positif dasar untuk bentuk<br />

Adalah usaha yang persentase lebih detail pasien dalam TB upaya yang di pencegahan.<br />

tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini<br />

7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif<br />

menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.<br />

Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini<br />

7) Proporsi<br />

menggambarkan<br />

pasien<br />

besarnya<br />

TB yang dites<br />

permasalahan<br />

HIV dan hasil<br />

HIV di<br />

tesnya<br />

antara<br />

Positif<br />

pasien TB.<br />

Rumus: Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini<br />

menggambarkan Jumlah pasien besarnya TB yang permasalahan terdaftar yang HIV mempunyai di antara pasien hasil TB. tes<br />

Rumus:<br />

HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB)<br />

Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes x 100%<br />

Rumus: Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV<br />

HIV Jumlah positif pasien (sebelum TB yang dan terdaftar selama yang mempunyai pengobatan TB)<br />

Jumlah pasien (sebelum TB yang dan terdaftar selama pengobatan yang mempunyai TB) hasil tes x 100%<br />

Jumlah hasil pasien tes HIV positif TB yang (sebelum terdaftar dan selama yang pengobatan melakukan TB)<br />

x tes 100% HIV<br />

HIV positif Jumlah pasien (sebelum TB yang dan terdaftar selama yang melakukan pengobatan TB)<br />

Proposi x 100%<br />

Jumlah yang relatif tes (sebelum HIV<br />

pasien tinggi (sebelum dan<br />

TB yang dari dan proporsi selama pengobatan terdaftar rata-rata yang melakukan nasional TB) TB)<br />

dapat tes HIV saja menunjukkan<br />

prevalensi HIV diantara (sebelum pasien dan selama TB yang pengobatan sebenarnya TB) lebih tinggi ada di daerah<br />

Proposi yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan<br />

tertentu.<br />

prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah<br />

Proposi<br />

tertentu.<br />

yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan<br />

8) Angka prevalensi Konversi HIV diantara (Conversion pasien Rate) TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah<br />

Angka tertentu. konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi<br />

8) Angka Konversi (Conversion Rate)<br />

Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani<br />

Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi<br />

8) masa Angka pengobatan Konversi (Conversion tahap awal.<br />

Bakteriologis yang mengalami<br />

Rate)<br />

perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani<br />

Program Angka konversi pengendalian adalah TB di prosentase Indonesia masih pasien menggunakan baru TB Paru indikator Terkonfirmasi ini karena<br />

masa pengobatan tahap awal.<br />

berguna Bakteriologis untuk yang mengetahui mengalami secara perubahan cepat hasil menjadi pengobatan BTA negatif dan untuk setelah mengetahui<br />

Program pengendalian TB di Indonesia masih menggunakan indikator ini<br />

menjalani<br />

karena<br />

masa apakah pengobatan pengawasan tahap langsung awal. menelan obat dilakukan dengan benar.<br />

berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui<br />

Program<br />

apakah pengawasan<br />

pengendalian<br />

langsung<br />

TB di Indonesia<br />

menelan obat<br />

masih<br />

dilakukan<br />

menggunakan<br />

dengan benar.<br />

indikator ini karena<br />

berguna Rumus: untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui<br />

apakah Jumlah pengawasan pasien langsung baru TB Paru menelan Terkonfirmasi obat dilakukan Bakteriologis dengan benar. yg<br />

Rumus:<br />

hasil Jumlah pemeriksaan pasien baru TB Paru BTA Terkonfirmasi akhir tahap Baketeriologis awal negatif<br />

Jumlah pasien yang hasil baru pemeriksaan TB Paru BTA Terkonfirmasi akhir tahap awal negatif Bakteriologis x 100%<br />

Rumus: Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis x 100% yg<br />

yg<br />

hasil Jumlah pemeriksaan pasien baru TB Paru BTA Terkonfirmasi akhir tahap Baketeriologis awal negatif<br />

Jumlah pasien baru TB yang Paru diobati Terkonfirmasi Bakteriologis yg x 100%<br />

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yg<br />

hasil pemeriksaan BTA<br />

diobati<br />

akhir tahap awal negatif<br />

Di fasyankes, x 100%<br />

Jumlah pasien indikator baru ini dapat TB Paru dihitung Terkonfirmasi dari kartu pasien Bakteriologis TB.01, yaitu yg dengan cara<br />

mereview seluruh kartu pasien diobati baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang<br />

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara<br />

mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya<br />

mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang<br />

Di yang fasyankes, hasil pemeriksaan indikator ini dahak dapat negatif, dihitung setelah dari kartu pengobatan pasien TB.01, tahap yaitu awal dengan (2 bulan/ cara 3<br />

mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya<br />

mereview bulan). Di seluruh tingkat kabupaten, kartu pasien propinsi baru TB dan Paru pusat, Terkonfirmasi angka ini dengan Bakteriologis mudah dapat<br />

yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan tahap awal (2 bulan/<br />

yang<br />

3<br />

mulai dihitung berobat dari laporan dalam TB.11. 3-6 bulan Angka sebelumnya, minimal yang kemudian harus dihitung dicapai adalah berapa 80%.<br />

bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah<br />

diantaranya<br />

dapat<br />

yang<br />

dihitung<br />

hasil<br />

dari<br />

pemeriksaan<br />

laporan TB.11.<br />

dahak<br />

Angka<br />

negatif,<br />

minimal<br />

setelah<br />

yang<br />

pengobatan<br />

harus dicapai<br />

tahap<br />

adalah<br />

awal<br />

80%.<br />

(2 bulan/ 3<br />

bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat<br />

dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.<br />

128<br />

128<br />

128<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

128


n<br />

ra<br />

uk<br />

ini<br />

an<br />

h<br />

si<br />

ni<br />

na<br />

ui<br />

ra<br />

g<br />

ya<br />

3<br />

at<br />

9) Angka Kesembuhan (Cure Rate)<br />

9) Angka kesembuhan Kesembuhan adalah (Cure angka Rate) yang menunjukkan prosentase pasien baru TB<br />

Angka Paru Terkonfirmasi kesembuhan Bakteriologis adalah angka yang sembuh menunjukkan setelah prosentase selesai masa pasien pengobatan, baru TB<br />

Paru diantara Terkonfirmasi pasien baru Bakteriologis TB Paru Terkonfirmasi yang sembuh Bakteriologis setelah selesai yang tercatat. masa pengobatan,<br />

diantara Untuk kepentingan pasien baru khusus TB Paru (survailans), Terkonfirmasi angka Bakteriologis kesembuhan yang tercatat. dihitung juga untuk<br />

Untuk pasien kepentingan Paru Terkonfirmasi khusus Bakteriologis (survailans), pengobatan angka kesembuhan ulang (kambuh dihitung dan juga dengan untuk<br />

pasien riwayat Paru pengobatan Terkonfirmasi TB sebelumnya) Bakteriologis dengan pengobatan tujuan: ulang (kambuh dan dengan<br />

riwayat Untuk pengobatan mengetahui TB seberapa sebelumnya) besar dengan kemungkinan tujuan: kekebalan terhadap obat<br />

Untuk terjadi di mengetahui komunitas, hal seberapa ini harus besar dipastikan kemungkinan dengan surveilans kekebalan kekebalan terhadap obat.<br />

terjadi Untuk di mengambil komunitas, keputusan hal ini harus program dipastikan pada dengan pengobatan surveilans menggunakan kekebalan obat. obat<br />

Untuk baris kedua mengambil (second-line keputusan drugs). program pada pengobatan menggunakan obat<br />

baris Menunjukkan kedua (second-line prevalens HIV, drugs). karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi<br />

Menunjukkan pada pasien dengan prevalens HIV. HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi<br />

pada Untuk pasien perhitungan, dengan HIV. digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti<br />

Untuk sebutan perhitungan, numerator dan digunakan denominator rumus dengan yang jumlah sama pasien dengan TB paru cara pengobatan mengganti<br />

sebutan ulang. numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan<br />

ulang.<br />

Rumus:<br />

Rumus: Jumlah Jumlah pasien pasien baru baru TB paru TB paru Terkonfirmasi Bakteriologis<br />

Bakteriologis yang sembuh<br />

Jumlah pasien baru TB yang paru sembuh Terkonfirmasi Bakteriologis<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien baru TB yang paru sembuh Terkonfirmasi Bakteriologis<br />

Bakteriologis yang diobati<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien baru TB yang paru diobati Terkonfirmasi Bakteriologis<br />

yang diobati<br />

Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara<br />

Di mereview fasyankes, seluruh indikator kartu ini pasien dapat dihitung baru TB dari Paru kartu Terkonfirmasi pasien TB.01, Biologis yaitu dengan yang mulai cara<br />

mereview berobat dalam seluruh 9-12 kartu bulan pasien sebelumnya, baru TB kemudian Paru Terkonfirmasi dihitung berapa Biologis diantaranya yang mulai yang<br />

berobat sembuh dalam setelah 9-12 selesai bulan pengobatan. sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang<br />

sembuh setelah selesai pengobatan.<br />

Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan<br />

Di TB.08. tingkat Angka kabupaten, minimal propinsi yang harus dan pusat, dicapai angka adalah ini dapat 85%. dihitung Angka kesembuhan<br />

dari laporan<br />

TB.08. digunakan Angka untuk minimal mengetahui yang hasil harus pengobatan. dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan<br />

digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.<br />

Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap<br />

Walaupun perlu diperhatikan, angka kesembuhan yaitu berapa telah mencapai pasien dengan 85%, hasil hasil pengobatan lainnya lengkap, tetap<br />

perlu meninggal, diperhatikan, gagal, putus yaitu berobat berapa (lost pasien to follow-up), dengan dan hasil tidak dievaluasi. pengobatan lengkap,<br />

meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.<br />

• Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena<br />

• Angka akan menghasilkan pasien putus berobat proporsi (lost kasus to follow-up) retreatment tidak yang boleh tinggi lebih dimasa dari 10%, yang karena akan<br />

akan datang menghasilkan yang disebabkan proporsi kasus karena retreatment ketidak-efektifan yang tinggi dari dimasa pengendalian yang akan<br />

datang Tuberkulosis. yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian<br />

Tuberkulosis.<br />

28<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

129<br />

129<br />

129


• Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan<br />

• kualitas Menurunnya pengendalian angka pasien TB akan putus menurunkan berobat (lost proporsi to follow-up) kasus karena pengobatan peningkatan ulang<br />

•<br />

antara<br />

Menurunnya kualitas 10-20 pengendalian angka<br />

% dalam<br />

pasien<br />

beberapa TB akan putus menurunkan tahun.<br />

berobat (lost proporsi to follow-up) kasus karena pengobatan peningkatan ulang<br />

kualitas antara 10-20 pengendalian % dalam beberapa TB akan menurunkan tahun. proporsi kasus pengobatan ulang<br />

Sedangkan<br />

antara 10-20<br />

angka<br />

% dalam<br />

gagal<br />

beberapa<br />

untuk pasien<br />

tahun.<br />

baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih<br />

dari Sedangkan 4% untuk angka daerah gagal yang untuk belum pasien ada baru masalah TB paru resistensi BTA positif obat, tidak dan tidak boleh boleh lebih<br />

lebih<br />

Sedangkan dari 4% besar untuk dari<br />

angka daerah 10%<br />

gagal<br />

untuk yang untuk<br />

daerah belum pasien<br />

yang ada baru<br />

sudah masalah TB<br />

ada<br />

paru resistensi masalah<br />

BTA positif<br />

resistensi obat, tidak dan obat. tidak boleh boleh lebih<br />

dari lebih 4% besar untuk dari daerah 10% untuk yangdaerah belum yang ada sudah masalah ada resistensi masalah resistensi obat, dan obat. tidak boleh<br />

10)<br />

lebih<br />

Angka<br />

besar<br />

Keberhasilan<br />

dari 10% untuk<br />

Pengobatan<br />

daerah yang<br />

TB<br />

sudah<br />

(Treatment<br />

ada masalah<br />

Success<br />

resistensi<br />

Rate =<br />

obat.<br />

TSR)<br />

10) Angka Keberhasilan Pengobatan adalah TB (Treatment angka yang Success menunjukkan Rate = TSR) prosentase<br />

10)<br />

pasien Angka Keberhasilan baru TB Paru Pengobatan Terkonfirmasi adalah TB (Treatment angka Bakteriologis yang Success menunjukkan yang<br />

Rate<br />

menyelesaikan<br />

= TSR) prosentase<br />

pengobatan<br />

Angka pasien Keberhasilan baru (baik TB yang Paru Pengobatan<br />

sembuh Terkonfirmasi maupun<br />

adalah angka<br />

pengobatan Bakteriologis yang menunjukkan<br />

lengkap) yang diantara menyelesaikan prosentase<br />

pasien<br />

baru<br />

pasien pengobatan TB paru<br />

baru (baik Terkonfirmasi<br />

TB yang Paru sembuh Terkonfirmasi<br />

Bakteriologis maupun yang pengobatan Bakteriologis<br />

tercatat. lengkap) Dengan<br />

yang<br />

demikian diantara menyelesaikan pasien angka<br />

ini<br />

pengobatan baru merupakan TB paru (baik Terkonfirmasi penjumlahan<br />

yang sembuh Bakteriologis dari<br />

maupun<br />

angka yang kesembuhan<br />

pengobatan tercatat. lengkap) Dengan dan angka demikian diantara<br />

pengobatan<br />

pasien angka<br />

lengkap.<br />

baru ini merupakan TB paru Terkonfirmasi penjumlahan Bakteriologis dari angka yang kesembuhan tercatat. Dengan dan angka demikian pengobatan angka<br />

ini lengkap. merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan<br />

Rumus:<br />

lengkap.<br />

Rumus: Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis<br />

Rumus:<br />

Jumlah (sembuh pasien baru TB + Paru TB pengobatan Terkonfirmasi Paru Terkonfirmasi lengkap) Biologis Biologis<br />

Jumlah pasien<br />

(sembuh<br />

(sembuh baru<br />

+ pengobatan<br />

+ TB pengobatan Paru<br />

lengkap)<br />

Terkonfirmasi lengkap) Biologis x 100%<br />

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis x 100%<br />

Jumlah (sembuh pasien TB Paru + pengobatan Terkonfirmasi lengkap) Biologis yang x 100%<br />

Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis yang<br />

yang diobati<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien baru TB Paru diobati Terkonfirmasi Biologis yang<br />

diobati<br />

11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB Anak<br />

11) Adalah Angka Keberhasilan persentase TB Pengobatan Anak yang dinyatakan TB Anak sembuh dan Pengobatan Lengkap<br />

11)<br />

(PL) Adalah Angka<br />

diantara<br />

Keberhasilan persentase seluruh TB pasien<br />

Pengobatan Anak yang TB Anak dinyatakan TB<br />

yang<br />

Anak<br />

diobati. sembuh dan Pengobatan Lengkap<br />

(PL) Adalah diantara persentase seluruh TB pasien Anak yang TB Anak dinyatakan yang diobati. sembuh dan Pengobatan Lengkap<br />

Rumus:<br />

(PL) diantara seluruh pasien TB Anak yang diobati.<br />

Rumus: Jumlah Jumlah pasien pasien TB TB Anak yg yang sembuh danPengobatan<br />

Rumus: Jumlah pasien Pengobatan TB Anak yg Lengkap sembuh dan Pengobatan x 100% x 100%<br />

Jumlah Jumlah pasien pasien TB Anak TB Lengkap Anak yg sembuh yang diobati dan Pengobatan<br />

Jumlah pasien TB Anak yg diobati<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien Lengkap TB Anak yg diobati<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien TB Anak yg diobati<br />

Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program<br />

Nasional. Angka ini Angka menggambarkan indikator ini kualitas diharapkan tatalaksana sebesar TB 85%. Anak Apabila dalam kurang program dari<br />

angka<br />

Angka Nasional. yang<br />

ini Angka menggambarkan<br />

diharapkan indikator maka ini perlu<br />

kualitas diharapkan dilakukan<br />

tatalaksana sebesar evaluasi<br />

TB 85%. pemantauan<br />

Anak Apabila dalam<br />

pengobatan<br />

kurang program dari<br />

kasus<br />

Nasional. angka TB yang Anak<br />

Angka diharapkan suatu<br />

indikator maka wilayah.<br />

ini perlu diharapkan dilakukan sebesar evaluasi 85%. pemantauan Apabila kurang pengobatan dari<br />

angka kasus TB yang Anak diharapkan suatu maka wilayah. perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan<br />

12) Proporsi<br />

kasus TB Anak<br />

Anak<br />

di<br />

yang<br />

suatu<br />

Menyelesaikan<br />

wilayah.<br />

PP INH Diantara Seluruh Anak yang<br />

12) Mendapatkan Proporsi Anak PP yang INH Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang<br />

12) Proporsi Mendapatkan Anak PP yang INH Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang<br />

Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara<br />

seluruh Adalah Mendapatkan persentase anak yang<br />

PP INH<br />

mendapatkan Anak yang menyelesaikan PP INH. PP INH selama 6 bulan diantara<br />

Adalah seluruh persentase anak yang mendapatkan Anak yang menyelesaikan PP INH. PP INH selama 6 bulan diantara<br />

seluruh anak yang mendapatkan PP INH.<br />

130<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

130<br />

130<br />

130


Rumus:<br />

Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan<br />

Rumus:<br />

x 100%<br />

Rumus:<br />

Jumlah Anak yang mendapatkan PP INH<br />

Jumlah Anak Jumlah yg anak menyelesaikan yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan<br />

Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama x 100%<br />

Jumlah PP Anak INH selama yang mendapatkan 6 bulan PP INH x 100%<br />

6 bulan<br />

Angka ini menggambarkan Jumlah x 100%<br />

anak Anak yang proporsi yang mendapatkan anak mendapatkan PP yang INH terlindungi dari kejadian sakit TB<br />

PP INH<br />

dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.<br />

Angka ini menggambarkan proporsi anak yang terlindungi dari kejadian sakit TB<br />

Angka<br />

Angka indikator ini menggambarkan ini diharapkan proporsi sebesar anak 100%. yang Apabila terlindungi kurang dari dari angka kejadian sakit yang<br />

dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.<br />

TB<br />

diharapkan<br />

dari anak maka yang terpapar perlu dilakukan dan terinfeksi evaluasi kepatuhan<br />

TB termasuk PP anak INH.<br />

Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%. Apabila kurang dengan dari angka HIV Positif.<br />

yang<br />

diharapkan Angka indikator maka ini perlu diharapkan dilakukan sebesar evaluasi 100%. kepatuhan Apabila PP kurang INH.<br />

dari angka yang<br />

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK<br />

diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.<br />

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.<br />

13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK<br />

13) Indikator<br />

Proporsi ini menggambarkan pasien TB dengan komitmen HIV positif dan kemampuan yang menerima pelaksanaan PPK<br />

program<br />

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima PPK.<br />

TB-HIV dalam Adalah persentase pemberian PPK pasien TB kepada pasien dengan status TB yang terinfeksi HIV positif HIV.<br />

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan pelaksanaan yang menerima program<br />

PPK.<br />

TB-HIV Indikator dalam ini menggambarkan pemberian PPK komitmen kepada pasien dan kemampuan TB yang terinfeksi pelaksanaan HIV.<br />

program<br />

Rumus:<br />

TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.<br />

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK<br />

Rumus:<br />

Rumus:<br />

selama pengobatan TB x 100%<br />

Jumlah pasien<br />

Jumlah<br />

TB pasien<br />

dengan Jumlah pasien TB pasien TB dengan<br />

HIV dengan TB dengan HIV<br />

positif<br />

positif<br />

yang<br />

HIV yang<br />

menerima PPK<br />

HIV positif positif<br />

menerima selama PPK selama pengobatan TB yang TB<br />

menerima PPK<br />

x 100% x 100%<br />

Jumlah selama pasien TB pengobatan TB dengan dengan HIV positif<br />

HIV TB positif<br />

x 100%<br />

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART<br />

Jumlah pasien TB dengan HIV positif<br />

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.<br />

14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART<br />

14) Indikator<br />

Proporsi ini menggambarkan pasien TB dengan HIV komitmen positif dan yang kemampuan mendapat layanan ART<br />

TB untuk<br />

Adalah persentase pasien TB dengan status HIV positif yang menerima ART.<br />

memastikan Adalah persentase pasien TB dengan pasien TB dengan HIV positif dapat status HIV mengakses pengobatan positif yang menerima ARV.<br />

Indikator ini menggambarkan komitmen dan kemampuan layanan TB untuk<br />

ART.<br />

memastikan Indikator ini pasien menggambarkan TB dengan HIV komitmen positif dapat dan kemampuan mengakses pengobatan layanan TB ARV.<br />

untuk<br />

Rumus:<br />

memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.<br />

Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima<br />

Rumus: Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang<br />

Rumus:<br />

pengobatan menerima ARV pengobatan (baru memulai ARV (baru memulai atau melanjutkan<br />

Jumlah pasien atau melanjutkan TB dengan pengobatan HIV positif ARV) yang menerima x 100%<br />

Jumlah pasien pengobatan TB dengan ARV)<br />

HIV positif yang x 100%<br />

pengobatan Jumlah ARV pasien (baru TB dengan memulai HIV positif atau melanjutkan<br />

menerima<br />

Jumlah pasien pengobatan ARV TB dengan (baru memulai HIV positif<br />

x 100%<br />

pengobatan ARV)<br />

atau melanjutkan<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien pengobatan TB dengan ARV)<br />

HIV positif<br />

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)<br />

Jumlah pasien TB dengan HIV positif<br />

Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis<br />

15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)<br />

15) Adalah<br />

Proporsi persentase Laboratorium laboratorium yang Mengikuti yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh<br />

Uji Silang untuk Pemeriksaan Mikroskopis<br />

PME (Pemantapan Mutu Eksternal)<br />

laboratorium Uji Silang mikroskopis untuk Pemeriksaan TB yang Mikroskopis<br />

ada di seluruh wilayah.<br />

Adalah persentase laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh<br />

Laboratorium<br />

Adalah persentase mikroskopis laboratorium TB terdiri yang dari mengikuti PRM, PPM, PME Rumah Sakit, BP4/ BKPM/<br />

laboratorium mikroskopis TB yang ada di seluruh wilayah.<br />

Uji Silang diantara seluruh<br />

BBKPM, BLK,<br />

laboratorium BBLK, dan Laboratorium yang ada Klinik di Swasta.<br />

Laboratorium mikroskopis TB terdiri dari PRM, seluruh PPM, wilayah.<br />

Rumah Sakit, BP4/ BKPM/<br />

BBKPM, Laboratorium BLK, mikroskopis BBLK, dan Laboratorium TB terdiri dari Klinik PRM, Swasta.<br />

PPM, Rumah Sakit, BP4/ BKPM/<br />

Rumus:<br />

BBKPM, BLK, Jumlah BBLK, lab dan mikroskopis Laboratorium yang mengikuti<br />

Klinik Swasta.<br />

Jumlah lab mikroskopis PME Uji yang Silang mengikuti PME Uji x 100% Silang<br />

Rumus:<br />

x 100%<br />

Rumus:<br />

Jumlah seluruh lab lab mikroskopis TB<br />

TB<br />

Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME Uji Silang<br />

Jumlah lab mikroskopis yang mengikuti PME x 100%<br />

Jumlah seluruh lab mikroskopis TB<br />

Uji Silang<br />

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.<br />

x 100%<br />

Jumlah seluruh lab mikroskopis TB<br />

131<br />

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.<br />

Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%. 131<br />

131<br />

BAB XIII<br />

131<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS


Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga dilihat<br />

dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,<br />

ketebalan,<br />

Selain dari<br />

kerataan,<br />

kinerja<br />

pewarnaan,<br />

pembacaan<br />

dan<br />

mikroskopis,<br />

kebersihan.<br />

kualitas laboratorium juga dilihat<br />

dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,<br />

Interpretasi<br />

ketebalan, kerataan,<br />

dari suatu<br />

pewarnaan,<br />

laboratorium<br />

dan<br />

berdasarkan<br />

kebersihan.<br />

hasil uji silang dinyatakan terdapat<br />

kesalahan bila:<br />

<br />

Interpretasi<br />

Terdapat<br />

dari<br />

PPT<br />

suatu<br />

atau<br />

laboratorium<br />

NPT<br />

berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat<br />

<br />

kesalahan<br />

Laboratorium<br />

bila:<br />

tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding<br />

<br />

periode<br />

Terdapat<br />

sebelumnya<br />

PPT atau NPT<br />

atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua<br />

<br />

fasyankes<br />

Laboratorium<br />

di<br />

tersebut<br />

kabupaten/kota<br />

menunjukkan<br />

tersebut,<br />

tren peningkatan<br />

atau bila<br />

kesalahan<br />

kesalahan<br />

kecil<br />

kecil<br />

dibanding<br />

terjadi<br />

beberapa<br />

periode sebelumnya<br />

kali dalam jumlah<br />

atau<br />

yang<br />

kesalahannya<br />

signifikan.<br />

lebih tinggi dari rata-rata semua<br />

Bila<br />

fasyankes<br />

terdapat<br />

di<br />

3<br />

kabupaten/kota<br />

NPR.<br />

tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi<br />

beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.<br />

Kinerja<br />

Bila terdapat<br />

setiap<br />

3<br />

laboratorium<br />

NPR.<br />

harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun<br />

laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian<br />

khusus<br />

Kinerja<br />

perlu<br />

setiap<br />

diberikan<br />

laboratorium<br />

apabila ditemukan<br />

harus selalu<br />

kondisi<br />

dimonitor<br />

seperti berikut:<br />

secara rutin. Walaupun<br />

<br />

laboratorium<br />

Terdapat tren<br />

sudah<br />

peningkatan<br />

memiliki kinerja<br />

kesalahan<br />

pembacaan<br />

kecil dibanding<br />

mikroskopis<br />

periode<br />

yang<br />

sebelumnya,<br />

baik, perhatian<br />

<br />

khusus<br />

Memiliki<br />

perlu diberikan<br />

kesalahan<br />

apabila<br />

lebih<br />

ditemukan<br />

tinggi<br />

kondisi<br />

dari rata-rata<br />

seperti berikut:<br />

semua fasyankes di<br />

<br />

kabupaten/kota<br />

Terdapat tren peningkatan<br />

tersebut,<br />

kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya,<br />

Memiliki<br />

Memiliki<br />

kesalahan<br />

kesalahan<br />

kecil<br />

lebih<br />

beberapa<br />

tinggi<br />

kali dalam<br />

dari rata-rata<br />

jumlah yang<br />

semua<br />

signifikan<br />

fasyankes di<br />

Setiap<br />

kabupaten/kota<br />

fasyankes diharapkan<br />

tersebut,<br />

dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren<br />

hasil<br />

Memiliki<br />

interpretasi<br />

kesalahan<br />

setiap<br />

kecil beberapa<br />

triwulan<br />

kali<br />

dan<br />

dalam<br />

meningkatkan<br />

jumlah yang<br />

kualitas<br />

signifikan<br />

pemeriksaan<br />

laboratorium.<br />

Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren<br />

hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas pemeriksaan<br />

17)<br />

laboratorium.<br />

Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per Tahun<br />

Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun<br />

17)<br />

dibandingkan<br />

Jumlah Laboratorium<br />

dengan jumlah<br />

dengan<br />

laboratorium<br />

Frekuensi<br />

yang<br />

Partisipasi<br />

mengikuti<br />

4 kali<br />

PME<br />

per<br />

Uji<br />

Tahun<br />

Silang.<br />

Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun<br />

Rumus: dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang.<br />

Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang<br />

Rumus: Jumlah lab mikroskopis 4 kali TB per yang tahun mengikuti<br />

Jumlah lab mikroskopis PME Uji Silang TB 4 kali yang per tahun mengikuti PME Uji Silang x 100%<br />

Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis x TB 100% yang<br />

Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB<br />

4 kali per tahun<br />

yang mengikuti PME PME Uji Uji SIlang Silang<br />

x 100%<br />

Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB yang<br />

Angka minimal yang<br />

mengikuti<br />

harus dicapai<br />

PME<br />

adalah<br />

Uji Silang<br />

90%.<br />

Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan<br />

laboratorium<br />

Angka minimal<br />

dalam<br />

yang<br />

mengikuti<br />

harus dicapai<br />

uji silang.<br />

adalah 90%.<br />

Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan<br />

18) Proporsi laboratorium pasien dalamTB mengikuti RR/MDR uji yang silang. terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus<br />

TB RR/ MDR yang ada<br />

18)<br />

Adalah<br />

Proporsi<br />

persentase<br />

pasien TB<br />

pasien<br />

RR/MDR<br />

TB<br />

yang<br />

RR/MDR<br />

terkonfirmasi<br />

yang terkonfirmasi<br />

dibanding<br />

dibanding<br />

perkiraan<br />

jumlah<br />

kasus<br />

perkiraan<br />

TB RR/ MDR<br />

kasus<br />

yang<br />

TB<br />

ada<br />

RR/MDR yang ada di wilayah tersebut.<br />

Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding jumlah<br />

perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut. 133<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

133<br />

133


Rumus:<br />

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi<br />

Jumlah pasien TB RR/MDR dalam 1 tahun<br />

yang terkonfirmasi x dalam 100%<br />

1<br />

Jumlah perkiraan kasus tahun<br />

TB RR/MDR di wilayah<br />

tersebut dalam 1 tahun<br />

Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut<br />

dalam 1 tahun<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR.<br />

Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan<br />

perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB<br />

Pengobatan ulang.<br />

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya.<br />

Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB<br />

RR/MDR.<br />

19) Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi<br />

pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua<br />

Adalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan<br />

pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus<br />

terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.<br />

Rumus:<br />

Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan<br />

Jumlah pasien pemeriksa TB RR/MDR uji kepekaan yang OAT dilakukan lini kedua<br />

pemeriksaan x 100%<br />

uji<br />

Jumlah kasus kepekaan TB RR/MDR OAT yang lini ditemukan<br />

kedua x 100%<br />

Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan<br />

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan<br />

OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.<br />

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya.<br />

Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur<br />

diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB<br />

XDR/Pra XDR.<br />

20) Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR<br />

ditemukan atau enrollment rate<br />

Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan<br />

pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.<br />

134<br />

Rumus:<br />

BAB XIII<br />

Jumlah pasien TB RR/MDR yang yang diobati<br />

diobati<br />

x 100%<br />

Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan<br />

x 100%<br />

Jumlah yang ditemukan<br />

134<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS


R.<br />

n<br />

B<br />

B<br />

si<br />

an<br />

us<br />

an<br />

ur<br />

B<br />

R<br />

Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada<br />

Jumlah TB.06 MDR pasien dan TB TB.01 RR/MDR MDR. yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada<br />

TB.06 MDR dan TB.01 MDR.<br />

Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%.<br />

Angka Indikator minimal dihitung yang harus setiap dicapai triwulan adalah sebagai 100%. alat ukur keberhasilan upaya<br />

Indikator memastikan ini semua dihitung pasien setiap TB triwulan RR/MDR sebagai yang ditemukan alat ukur diobati keberhasilan sehingga upaya rantai<br />

memastikan penularan bisa semua diputus. pasien Pencapaian TB RR/MDR target yang ini sangat ditemukan tergantung diobati sehingga pada efektifitas rantai<br />

penularan kegiatan KIE bisa yang diputus. dilakukan Pencapaian di fasyankes target maupun ini sangat masyarakat. tergantung pada efektifitas<br />

kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.<br />

21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success Rate<br />

21) Angka Adalah keberhasilan Keberhasilan Pengobatan pengobatan TB TB RR/MDR adalah atau Treatment angka yang Success menunjukkan Rate<br />

Adalah persentase Keberhasilan pasien TB Pengobatan RR/MDR TB yang RR/MDR menyelesaikan adalah angka pengobatan yang menunjukkan (baik yang<br />

persentase sembuh maupun pasien pengobatan TB RR/MDR lengkap) yang menyelesaikan diantara pasien pengobatan TB RR/MDR (baik yang<br />

sembuh diobati. Dengan maupun demikian pengobatan angka lengkap) ini merupakan diantara pasien penjumlahan TB RR/MDR dari angka yang<br />

diobati. kesembuhan Dengan dan angka demikian pengobatan angka ini lengkap. merupakan penjumlahan dari angka<br />

kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.<br />

Rumus:<br />

Rumus: Jumlah Jumlah pasien pasien TB RR/MDR TB RR/MDR yang yang menyelesaikan menyelesaikan pengobatan<br />

Jumlah pasien pengobatan (sembuh TB (sembuh+pengobatan RR/MDR + yang menyelesaikan lengkap)<br />

x 100% pengobatan x 100%<br />

Jumlah (sembuh pasien pasien TB + RR/MDR TB pengobatan RR/MDR yang diobati yang lengkap) diobati<br />

x 100%<br />

Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati<br />

Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.<br />

Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.<br />

3. Supervisi Program Pengendalian Tuberkulosis<br />

3. Supervisi Program TB bertujuan Pengendalian meningkatkan Tuberkulosis kinerja petugas, melalui suatu proses yang<br />

Supervisi sistematis TB untuk bertujuan meningkatkan meningkatkan pengetahuan kinerja petugas, melalui meningkatkan suatu proses ketrampilan yang<br />

sistematis petugas, memperbaiki untuk meningkatkan sikap petugas pengetahuan dalam bekerjapetugas, dan meningkatkan meningkatkan motivasi ketrampilan petugas.<br />

petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.<br />

Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:<br />

Hal-hal Observasi yang dilakukan selama supervisi adalah:<br />

Observasi Diskusi<br />

Diskusi Bantuan teknis<br />

Bantuan Bersama-sama teknis mendiskusikan permasalahan yang ditemukan<br />

Bersama-sama Mencari pemecahan mendiskusikan permasalahan permasalahan bersama-sama, yang ditemukan dan<br />

Mencari Memberikan pemecahan laporan permasalahan berupa hasil temuan bersama-sama, serta memberikan dan rekomendasi dan saran<br />

Memberikan perbaikan. laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran<br />

perbaikan.<br />

Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk<br />

Supervisi mempertahankan merupakan kompetensi kegiatan standar monitoring melalui langsung on the job dan training. kegiatan Supervisi pembinaan juga dapat untuk<br />

mempertahankan dimanfaatkan sebagai kompetensi evaluasi standar pasca melalui pelatihan on the untuk job training. bahan Supervisi masukan juga perbaikan dapat<br />

dimanfaatkan pelatihan yang sebagai akan datang. evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan<br />

pelatihan yang akan datang.<br />

34<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

135<br />

135<br />

135


Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana, karena<br />

dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah<br />

dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu<br />

diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.<br />

Pelaksanaan supervisi harus direncanakan secara seksama. Sebelum supervisi<br />

dilakukan, supervisor haruslah mengkaji laporan atau temuan-temuan supervisi<br />

sebelumnya, misalnya tentang: temuan yang belum selesai ditindak lanjuti, catatan<br />

tentang tindakan perbaikan yang telah maupun yang perlu ditindaklanjuti.<br />

Tahapan kegiatan supervisi meliputi: perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pemecahan<br />

Masalah, dan penyusunan Laporan serta memberikan umpan balik secara tertulis.<br />

a. Perencanaan Supervisi<br />

Sebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik,<br />

sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting diperhatikan<br />

didalam perencanaan supervisi adalah:<br />

1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.<br />

• Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk<br />

laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.<br />

• Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan<br />

sekali, dan<br />

• Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.<br />

2) Pada keadaan tertentu frekuensi supervisi perlu ditingkatkan, yaitu:<br />

• Pelatihan baru selesai dilaksanakan.<br />

• Pada tahap awal pelaksanaan program.<br />

• Bila kinerja dari suatu faskes kurang baik.<br />

b. Persiapan supervisi<br />

Persiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara<br />

efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi:<br />

1) Penyusunan jadual kegiatan.<br />

2) Pengumpulan informasi pendukung.<br />

3) Pemberitahuan atau perjanjian ke faskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi.<br />

4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.<br />

5) Menyusun kerangka laporan.<br />

c. Pelaksanaan supervisi.<br />

Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yang perlu diperhatikan, terutama:<br />

1) Kepribadian supervisor:<br />

• Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.<br />

136<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

136


• Mampu membina hubungan baik dengan petugas di faskes/dinkes/instansi yang<br />

dikunjungi.<br />

• Menjadi pendengar yang baik, penuh perhatian, empati, tanggap terhadap<br />

masalah yang disampaikan, dan bersama-sama petugas mencari pemecahan.<br />

• Melakukan pendekatan fasilitatif, partisipatif dan tidak instruktif.<br />

2) Kegiatan penting selama supervisi di faskes<br />

• Melakukan review catatan dan buku register<br />

• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas<br />

• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja<br />

• Melakukan wawancara dengan pasien TB dan PMO, bila memungkinkan<br />

• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.<br />

• Mengecek penerapan metode LQAS<br />

• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif.<br />

• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas diinstitusi tersebut.<br />

• Memberikan umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana dan dapat<br />

dilaksanakan<br />

3) Kegiatan penting selama supervisi di Kabupaten/Kota.<br />

• Melakukan review dokumen, data program dan catatan-catatan<br />

• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.<br />

• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas<br />

• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja<br />

• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,<br />

• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.<br />

• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,<br />

sederhana dan dapat dilaksanakan<br />

4) Kegiatan penting selama supervisi di Propinsi.<br />

• Melakukan review dokumen, data dan catatan-catatan<br />

• Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.<br />

• Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas<br />

• Melakukan pengamatan saat petugas bekerja<br />

• Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,<br />

• Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.<br />

• Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,<br />

sederhana dan dapat dilaksanakan<br />

d. Pemecahan Masalah (Problem-solving) dalam supervisi<br />

Beberapa langkah praktis dalam melakukan pemecahan masalah kinerja adalah:<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

137<br />

137


3. Mengumpulkan data untuk mendukung perumusan kebijakan untuk intervensi tertentu.<br />

Agenda Prioritas Riset Operasional Penanggulangan TB di Indonesia.<br />

Dalam menetapkan prioritas riset operasional, perlu menekankan pada pemahaman bahwa<br />

riset operasional diharapkan membuahkan suatu solusi yang memperbaiki program<br />

penanggulangan TB. Ada beberapa pertimbangan lain yang perlu dipikirkan adalah dalam<br />

menetapkan prioritas riset operasional yaitu :<br />

1. Daya ungkit: Hasil penelitian diharapkan dapat mengubah kebijakan dan implementasi<br />

kegiatan berdampak dalam pencapaian tujuan program Pengendalian TB;<br />

2. Relevan: Intervensi yang sedang diuji coba dan hasil yang diharapkan perlu relevan<br />

dengan objektif program Pengendalian TB;<br />

3. Terandalkan: Hasil riset operasional menghasilkan kesimpulan yang kuat untuk<br />

menginformasikan pada pengambil keputusan;<br />

4. Mengurangi kesenjangan: Hasil penelitian akan mengisi kesenjangan informasi atau<br />

menambahkan fakta baru;<br />

5. Efisiensi: Diharapkan dapat memberikan dampak yang besar dengan biaya yang tidak<br />

terlalu besar;<br />

6. Prioritas nasional: Topik atau tema riset sudah diidentifikasi sebagai prioritas nasional<br />

baik oleh pemerintah atau kelompok ahli yang berwenang.<br />

Riset operasional TB perlu disesuaikan dan diprioritaskan sesuai kondisi epidemi TB dan<br />

Strategi Program Pengendalian TB di Indonesia, maka dibutuhkan riset operasional untuk:<br />

1. Memperbaiki kualitas program:<br />

a. Peningkatan aksesibilitas pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB dan TB-HIV<br />

b. Terbentuk kerjasama pihak pelayanan pemerintah dan swasta dalam penanggulangan<br />

TB.<br />

c. Terbentuk kerjasama antara penanggungjawab program TB, dengan program<br />

kesehatan lain yang terkait, seperti Penangulangan HIV, Penanggulangan Penyakit<br />

Tidak Menular-Diabetes Melitus.<br />

d. Mengoptimalkan akses dan kepatuhan pengobatan pengobatan TB,<br />

e. Peningkatan akses pengobatan bagi orang dengan TB resistan obat.<br />

2. Peningkatan peran-serta masyarakat umum & khusus (LSM, Kaum Bisnis, dll).<br />

a. Mengembangkan metode yang menggerakan peran-serta masyarakat termasuk<br />

komponen pendanaan yang mampu meningkatkan efektivitas program.<br />

b. Mengembangkan perilaku yang mampu menekan penularan TB.<br />

3. Mengubah perilaku masyarakat dan penyedia layanan<br />

a. Mengembangkan metode perubahan perilaku masyarakat.<br />

b. Mengembangkan metode yang mengubah perilaku penyedia layanan.<br />

4. Upaya intensifikasi penemuan kasus TB yang dilihat dari sisi penyedia layanan maupun<br />

masyarakat rentan.<br />

a. Meningkatkan akses layanan pengobatan pada populasi rentan dan termarjinalkan.<br />

b. Memperkuatkan integrasi layanan TB dan HIV.<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

139<br />

139


c. Upaya mencegah penularan TB di fasilitas kesehatan, keluarga, dan masyarakat.<br />

Agenda riset operasional TB di Indonesia harus diselaraskan dengan agenda riset<br />

operasional global, terutama kesesuaiannya dengan kondisi dan kebutuhan setempat.<br />

Agenda riset operasional perlu diselaraskan juga dengan dinamika perkembangan program<br />

TB serta ketersediaan sumber daya (pendanaan).<br />

140<br />

BAB XIII<br />

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

140


BAB XIV<br />

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

A. Konsep Perencanaan dan Penganggaran.<br />

Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk menyusun<br />

rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang<br />

akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti. Pada dasarnya rencana<br />

adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar dapat<br />

berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan dari<br />

perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti disini<br />

saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat dilakukan<br />

koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program.<br />

Perencanaan yang baik adalah:<br />

1. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang situasi epidemiologis dan<br />

program<br />

2. Berjangka menengah atau panjang, biasanya 5 tahun.<br />

3. Mempunyai jangkauan ke depan yang memberikan tantangan dalam pelaksanaannya<br />

4. Bersifat umum, menyeluruh dan biasanya dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kerja<br />

atau rencana operasional yang lebih rinci.<br />

5. Luwes, dinamis, dan tidak statis, serta tanggap terhadap berbagai perubahan penting<br />

yang terjadi di llingkungan tempat dan waktu berlakunya rencana.<br />

Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana jangka<br />

pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang telah<br />

ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi tertentu<br />

yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.<br />

Prinsip perencanaan dan penganggaran pengendalian TB harus memperhatikan hal-hal<br />

berikut:<br />

1. Kegiatan yang direncanakan sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi, serta kewenangan.<br />

2. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus pada pencapaian target<br />

indikator kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian<br />

Kesehatan, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN)/ Rencana Program<br />

Jangka Menengah Daerah (RPJMD), strategi nasional pengendalian TB, dan rencana<br />

aksi di daerah<br />

3. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas serta perencanaan terpadu/sinergi<br />

untuk menghindari duplikasi anggaran<br />

BAB XIV<br />

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

137<br />

141


1. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)<br />

Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan<br />

program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas program di daerah,<br />

Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan kewenangan<br />

untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme<br />

sebagai berikut:<br />

a. Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang diberikan<br />

kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang digunakan sesuai dengan<br />

tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi untuk program pengendalian TB<br />

digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan<br />

lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB di<br />

kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi petugas TB<br />

melalui pelatihan tatalaksana program TB.<br />

b. Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang<br />

ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan<br />

Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan<br />

kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana<br />

dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium<br />

dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk<br />

gudang obat,<br />

c. Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan<br />

kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai<br />

transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang<br />

mangkir TB, pencarian kontak TB<br />

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)<br />

Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan<br />

program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, berdasarkan tugas, pokok dan<br />

fungsi dari pemerintah daerah.<br />

3. Dana Hibah<br />

Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program<br />

yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai<br />

keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan<br />

masih tergantung kepada donor (PHLN).<br />

Hibah dari Global Fund merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana untuk<br />

program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor (restriksi/suspend)<br />

akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir 61%<br />

dana operasional pengendalian TB terutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai oleh<br />

Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23% pada<br />

BAB XIV<br />

PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

139<br />

143


d. Menyediakan dan meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan pengendalian TB di<br />

fasilitas pelayanan kesehatan<br />

e. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TB<br />

f. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas pokok<br />

dan fungsi<br />

g. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kota<br />

Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya yang<br />

bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program, lintas sektor<br />

dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor Kesehatan<br />

Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.<br />

BAB XIV<br />

PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS<br />

143<br />

147


TAMBAHAN TB HIV PADA ANAK<br />

Anak terinfeksi HIV mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar, terinfeksi, dan sakit TB.<br />

Risiko ini dipengaruhi oleh derajat imunosupresinya. Setiap anak yang terinfeksi HIV di<br />

wilayah endemis TB harus diinvestigasi status TB nya secara regular pada saat melakukan<br />

kunjungan ke Fasyankes dengan cara melakukan penilaian klinis terlebih dahulu. Pada<br />

daerah endemis TB dan HIV, TB banyak ditemukan pada anak terinfeksi HIV, sebaliknya<br />

infeksi HIV banyak ditemukan pada anak sakit TB. Tes HIV dianjurkan dilakukan secara rutin<br />

pada semua anak yang didiagnosis sakit TB dengan metode TIPK<br />

Diagnosis TB pada Anak Terinfeksi HIV<br />

Gejala klinis umum TB pada anak terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3<br />

minggu yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau<br />

gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam yang menyebabkan anak sampai<br />

harus ganti pakaian, gejala umum non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif,<br />

tidak bergairah). Pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB diseminata.<br />

Pendekatan diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV pada prinsipnya sama dengan anak HIV<br />

negatif, meskipun sering terkendala. Oleh karena itu diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV<br />

tidak memakai sistem skoring. Saat ini dimungkinkan untuk melakukan pemeriksaan tes cepat<br />

yaitu Xpert MTB/RIF untuk mendiagnosis TB pada pasien HIV termasuk pada anak.<br />

Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan dengan pengambilan spesimen dari beberapa tempat<br />

yang memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB-nya, antara lain sputum,<br />

aspirasi cairan lambung,cairan pleura, induksi sputum, biopsi jarum halus pada kelenjar getah<br />

bening (KGB) yang membesar dan biopsi jaringan lainnya.<br />

Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal yaitu:<br />

1. Kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif;<br />

2. U<br />

3. Gambaran sugestif TB secara klinis<br />

4. Gambaran sugestif TB pada foto toraks.<br />

Pada anak terinfeksi HIV, uji <br />


Bila anak sakit berat, maka pengobatan TB dapat diberikan. Dalam keadan meragukan dan<br />

tidak emergensi, melakukan uji coba pengobatan (treatment trial) tidak dibenarkan.<br />

Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier, meningitis TB dan TB tulang) harus<br />

diberikan 4 macam obat (RHZE) selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH selama 4-7 bulan.<br />

Bila menunjukkan perbaikan klinis dilanjutkan dengan INH saja selama 6 bulan untuk mencegah<br />

kekambuhan<br />

Pada meningitis TB, TB milier, dan TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama dilanjutkan<br />

RH sampai 12 bulan.<br />

PETUNJUK PRAKTIS<br />

Dosis OAT yaitu INH 10 mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg), Rifampisin 15 mg/KgBB/hari (maksimal<br />

600 mg), PZA 35 mg/KgBB/hari (maksimal 2000 mg), Etambutol 20 mg/KgBB/hari (maksimal 1250<br />

mg)<br />

Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura dan efusi perikardial<br />

diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednison 1 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6<br />

minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6 minggu.<br />

Pemberian ART pada anak dengan ko-infeksi TB-HIV<br />

Pada anak yang baru terinfeksi HIV, pemberian ARV dimulai setelah pasien mendapat<br />

pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi<br />

terjadinya SPI (Sindrom Pulih Imun) dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal<br />

yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat<br />

terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin.<br />

Sindrom pulih imun adalah kumpulan tanda dan gejala akibat menurunnya kemampuan<br />

respon imun tubuh anak terhadap antigen atau organisme yang dikaitkan dengen pemberian<br />

ARV. SPI biasa timbul dalam 2 -12 minggu inisiasi ARV, dengan gejala dan tanda seperti<br />

infeksi subklinis yang tidak tampak seperti TB, TB yang aktif kembali, dan juga munculnya<br />

abses pada tempat vaksinasi BCG atau limfadenitis BCG<br />

Pilihan ART pada anak dengan ko-infeksi TB HIV mengacu pada pedoman tatalaksana HIV<br />

pada anak.<br />

PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV<br />

Pencegahan TB pada anak terinfeksi HIV dilakukan dengan pelacakan kontak, pengendalian<br />

infeksi, dan pemberian profilaksis INH. Bayi dan anak usia berapapun yang baru terdiagnosis<br />

HIV tetapi tidak sakit TB, meskipun tidak ada kontak harus mendapat profilaksis INH 10<br />

mg/kgBB/hari maksimun 300 mg selama 6 bulan.<br />

Petunjuk pelaksanaan BCG:<br />

Anak HIV negatif di wilayah dengan prevalensi TB-HIV tinggi diberikan BCG.<br />

Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan status HIV tidak diketahui diberikan BCG.<br />

Bayi terinfeksi HIV dengan atau tanpa gejala TIDAK diberikan BCG.<br />

Bayi dilahirkan dari ibu HIV positif boleh diberikan BCG bila:<br />

o Mendapatkan perlakukan pencegahan (PPIA) dan/atau<br />

o Sehat, tidak menunjukkan gejala HIV<br />

o Sebaiknya setelah diperiksa PCR


Nomor Identitas<br />

Kependudukan (NIK)


Nomor Identitas Kependudukan (NIK)


Nomor Identitas Kependudukan (NIK)


Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!