05.05.2015 Views

4.2. obligasi daerah - Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi ...

4.2. obligasi daerah - Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi ...

4.2. obligasi daerah - Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Pelengkap<br />

Buku Pegangan<br />

2008<br />

Penyelenggaraan<br />

Pemerintahan dan<br />

Pembangunan Daerah<br />

Departemen Keuangan Republik Indonesia


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daeah<br />

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan<br />

Departemen Keuangan<br />

Mei 2008<br />

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA<br />

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN<br />

Gedung D Lantai 16 - Jalan DR. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710<br />

Tlp. 021-350.9442 Faks.: 021-350.9443<br />

Website: www.djpk.depkeu.go.id<br />

E-mail : info@djpk.depkeu.go.id


MENTERI KEUANGAN<br />

REPUBLIK INDONESIA<br />

KATA PENGANTAR<br />

Pelaksanaan otonomi <strong>daerah</strong> dan desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan<br />

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah<br />

dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara<br />

Pemerintah Pusat dan Daerah pada tahun 2001. Otonomi <strong>daerah</strong> dan desentralisasi fiskal<br />

merupakan suatu proses yang bersifat dinamis dan merupakan wujud nyata dari kemauan<br />

politik pemerintah untuk melakukan reformasi dan demokratisasi. Sampai dengan tahun<br />

2008, terjadi beberapa perubahan mendasar dalam pelaksanaan pemerintahan <strong>daerah</strong><br />

dan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan <strong>daerah</strong> yang<br />

merupakan aspirasi yang muncul baik di tingkat pusat maupun <strong>daerah</strong>, dengan tujuan<br />

agar pelaksanaan otonomi <strong>daerah</strong> dan desentralisasi fiskal semakin baik. Untuk<br />

merespon aspirasi tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004<br />

dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, sebagai pengganti kedua undang-undang<br />

otonomi <strong>daerah</strong> di atas.<br />

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya telah membawa<br />

banyak perubahan yang mendasar dalam implementasi kebijakan desentralisasi fiskal<br />

di Indonesia. Hal tersebut antara lain terlihat dari perbaikan formula pengalokasian<br />

dana-dana yang di<strong>daerah</strong>kan. Perbaikan juga dilakukan dalam mekanisme penyaluran<br />

Transfer ke Daerah (DAU, DAK, DBH Pajak, dan DBH SDA) yang saat ini sudah<br />

dilaksanakan langsung dari Rekening Kas Umum Negara di Bendahara Umum Negara<br />

(BUN) ke Rekening Kas Umum Daerah. Selain itu, untuk mendukung pembiayaan<br />

keuangan <strong>daerah</strong>, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 juga mengamanatkan bahwa<br />

bagi <strong>daerah</strong> yang telah memenuhi ketentuan peraturan pasar modal dimungkinkan pula<br />

untuk menerbitkan <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>.<br />

Pemerintah menyadari bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi <strong>daerah</strong> dan<br />

desentralisasi fiskal bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan<br />

tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah <strong>daerah</strong>. Oleh karena itu,<br />

dalam rangka membangun kesamaan pemahaman pusat dan <strong>daerah</strong> dalam menerapkan<br />

amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya,<br />

Departemen Keuangan menerbitkan Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2008 tentang<br />

i-iii


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah yang diharapkan dapat<br />

menjadi pegangan teknis bagi pejabat pemerintah <strong>daerah</strong>.<br />

Buku pelengkap ini memuat berbagai informasi yang terkait dengan kebijakan otonomi<br />

<strong>daerah</strong> dan desentralisasi fiskal. Peraturan-peraturan terkait disajikan secara ringkas,<br />

termasuk mekanisme alokasi keuangan serta prosedur pelaksanaan peraturan<br />

perundangan yang terkait. Pelengkap Buku Pegangan 2008 juga memuat contoh aplikasi<br />

perhitungan sumber-sumber penerimaan <strong>daerah</strong> yang ditetapkan dalam Undang-Undang<br />

Nomor 33 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya. Melalui buku ini diharapkan<br />

pimpinan <strong>daerah</strong> menjadi semakin mudah dalam memahami kebijakan otonomi <strong>daerah</strong><br />

dan desentralisasi fiskal di Indonesia.<br />

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas<br />

dukungannya sehingga buku ini dapat diterbitkan. Akhirnya kami berharap semoga<br />

buku ini dapat bermanfaat bagi pemerintah <strong>daerah</strong> dan pihak terkait dalam mendukung<br />

pelaksanaan otonomi <strong>daerah</strong> dan desentralisasi fiskal di Indonesia.<br />

Menteri Keuangan<br />

SRI MULYANI INDRAWATI<br />

i-iv


Daftar Isi<br />

DAFTAR ISI<br />

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i-iii<br />

DAFTAR ISI...................................................................................................................i-v<br />

DAFTAR GAMBAR......................................................................................................i-xi<br />

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................I-1<br />

BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH........II-7<br />

2.1. PENDAHULUAN..................................................................................................II-9<br />

2.2. KETERKAITAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH.II-9<br />

2.2.1. Perencanaan Pembangunan Nasional ....................................................II-9<br />

2.2.2. Perencanaan Pembangunan Daerah.....................................................II-12<br />

2.2.3. Sinkronisasi antara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah II-19<br />

2.3. PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH................................................II-21<br />

2.3.1. Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah... II-21<br />

2.3.2. Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah.....................................II-24<br />

2.3.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah...........................................II-24<br />

2.4. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH............II-27<br />

2.4.1. Partisipasi Publik Dalam Perencanaan Dan<br />

Penganggaran Pembangunan Daerah...................................................II-27<br />

2.<strong>4.2.</strong> Mekanisme Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah .. II-28<br />

2.5. PENUTUP..........................................................................................................II-32<br />

BAB III TRANSFER KE DAERAH............................................................................III-33<br />

3.1. PENDAHULUAN.................................................................................................III-35<br />

3.2. DANA BAGI HASIL.............................................................................................III-37<br />

3.2.1. DANA BAGI HASIL PAJAK....................................................................III-37<br />

3.2.1.1. Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi<br />

Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21........................III-39<br />

3.2.1.2. DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).................................III-40<br />

i-v


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

3.2.1.3. DBH Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan<br />

(BPHTB)................................................................................III-42<br />

3.2.2. DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM...........................................III-43<br />

3.2.2.1. DBH SDA Pertambangan Minyak dan<br />

Gas Bumi (DBH SDA MIGAS)...............................................III-46<br />

3.2.2.2. DBH SDA Pertambangan Umum...........................................III-57<br />

3.2.2.3. DBH SDA Kehutanan.............................................................III-63<br />

3.2.2.4. DBH SDA Perikanan..............................................................III-67<br />

3.2.3. PENETAPAN ALOKASI DBH SUMBER DAYA ALAM............................III-70<br />

3.2.4. PENYALURAN ALOKASI DBH SUMBER DAYA ALAM.........................III-71<br />

3.2.5. KEBIJAKAN DANA BAGI HASIL TAHUN 2008....................................III-71<br />

3.2. DANA ALOKASI UMUM....................................................................................III-73<br />

3.2.1. Penyusunan Formula dan Perhitungan DAU........................................III-73<br />

3.2.2. DAU sebagai Instrumen Pemerataan Kemampuan Fiskal....................III-76<br />

3.3. DANA ALOKASI KHUSUS.................................................................................III-76<br />

3.3.1. FORMULASI KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS..........................III-79<br />

3.3.1.1. Penetapan Program dan Kegiatan.........................................III-79<br />

3.3.1.2. Penghitungan Alokasi DAK....................................................III-80<br />

3.3.1.3. Perhitungan Alokasi DAK Masing-Masing Daerah.................III-87<br />

3.3.1.4. Arah Kegiatan dalam Penggunaan Dana Alokasi Khusus......III-89<br />

3.3.1.5. Administrasi Pengelolaan DAK..............................................III-95<br />

BAB IV PINJAMAN DAN HIBAH DAERAH..............................................................IV-99<br />

4.1. PINJAMAN DAERAH......................................................................................IV-101<br />

4.1.1. PERENCANAAN PINJAMAN DAERAH..............................................IV-101<br />

4.1.2. SUMBER PINJAMAN..........................................................................IV-104<br />

4.1.3. JENIS PINJAMAN DAERAH...............................................................IV-105<br />

4.1.4. PRINSIP-PRINSIP DASAR PINJAMAN DAERAH...............................IV-105<br />

4.1.5. PERSYARATAN PINJAMAN...............................................................IV-106<br />

4.1.6. PROSEDUR PINJAMAN DAERAH.....................................................IV-108<br />

4.1.6.1. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya<br />

Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri.................................IV-108<br />

4.1.6.2 Prosedur Pinjaman Daerah Dari Pemerintah yang<br />

Dananya berasal dari Pendapatan Dalam Negeri................ IV-115<br />

4.1.6.3. Prosedur Pinjaman Daerah dari Selain Pemerintah............. IV-116<br />

4.1.7. PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN................................................ IV-118<br />

i-vi


Daftar Isi<br />

<strong>4.2.</strong> OBLIGASI DAERAH........................................................................................ IV-118<br />

<strong>4.2.</strong>1. Prinsip Umum.....................................................................................IV-120<br />

<strong>4.2.</strong>2. Prosedur Penerbitan............................................................IV-121<br />

<strong>4.2.</strong>2.1. Perencanaan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah.....IV-121<br />

<strong>4.2.</strong>2.2. Pengajuan Usulan, Penilaian dan Persetujuan<br />

Menteri Keuangan...............................................................IV-123<br />

<strong>4.2.</strong>2.3 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum di<br />

Pasar Modal........................................................................IV-124<br />

<strong>4.2.</strong>3. Pengelolaan Obligasi Daerah.............................................................IV-126<br />

<strong>4.2.</strong>3.1. Pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo..IV-126<br />

<strong>4.2.</strong>3.2. Pelunasan pada saat jatuh tempo.......................................IV-126<br />

<strong>4.2.</strong>3.3. Penatausahaan dan Penggunaan Dana Obligasi Daerah....IV-127<br />

<strong>4.2.</strong>3.4. Pertanggungjawaban...........................................................IV-127<br />

<strong>4.2.</strong>4. Publikasi Informasi..............................................................................IV-128<br />

<strong>4.2.</strong>5. Pelaporan, Pemantauan dan Evaluasi ...............................................IV-129<br />

<strong>4.2.</strong>6. PELAPORAN PINJAMAN DAERAH ...................................................IV-129<br />

<strong>4.2.</strong>7. SANKSI PINJAMAN DAERAH............................................................IV-130<br />

4.3. HIBAH DAERAH.............................................................................................IV-130<br />

4.3.1. SUMBER HIBAH ...............................................................................IV-131<br />

4.3.2. PRINSIP DASAR PEMBERIAN HIBAH KEPADA DAERAH................IV-132<br />

4.3.3. KRITERIA PEMBERIAN HIBAH..........................................................IV-132<br />

4.3.4. PENARIKAN DAN PENYALURAN HIBAH..........................................IV-133<br />

4.3.5. PENGELOLAAN HIBAH OLEH DAERAH..........................................IV-133<br />

3.3.6. PENCATATAN.....................................................................................IV-133<br />

4.3.7. PELAPORAN......................................................................................IV-134<br />

4.3.8. PEMANTAUAN...................................................................................IV-134<br />

BAB V PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.............................................V-137<br />

5.1. PENDAHULUAN..............................................................................................V-139<br />

5.2. JENIS PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.......................................V-139<br />

5.2.1. Pajak Daerah.......................................................................................V-139<br />

5.2.2. Retribusi Daerah..................................................................................V-140<br />

5.3. PERSYARATAN PDRD......................................................................................V-142<br />

5.4. PROSEDUR PENETAPAN PDRD....................................................................V-145<br />

5.5. PENGAWASAN PDRD......................................................................................V-146<br />

i-vii


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

5.6. KESALAHAN-KESALAHAN PERDA PDRD YANG SERING<br />

DILAKUKAN DAERAH.....................................................................................V-147<br />

5.7. ARAH KE DEPAN (PENYEMPURNAAN UU PDRD)........................................V-148<br />

5.8. PEMBANGUNAN KAPASITAS.........................................................................V-149<br />

BAB VI DANA DEKONSENTRASI DAN DANA TUGAS PEMBANTUAN..............VI-151<br />

6.1. PENDAHULUAN.............................................................................................VI-153<br />

6.2. PENGELOLAAN DANA DEKONSENTRASI/TUGAS PEMBANTUAN.............VI-153<br />

6.2.1. Pengertian Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan..........................VI-153<br />

6.2.2. Prinsip Pendanaan Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan......................VI-154<br />

6.2.3. Penganggaran Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan....................VI-156<br />

6.2.4. Penyaluran Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan.........................VI-157<br />

6.2.5. Pertanggungjawaban dan Pelaporan ................................................VI-158<br />

6.2.6. Pengelolaan Barang Milik Negara.......................................................VI-159<br />

6.3. PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN ....................................VI-160<br />

6.3.1. Pembinaan dan Pengawasan Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan......VI-160<br />

6.3.2. Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan......VI-161<br />

6.4. SANKSI...........................................................................................................VI-161<br />

6.5 ASPEK PERALIHAN.......................................................................................VI-161<br />

BAB VII SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH..........................................VII-163<br />

7.1. PENDAHULUAN............................................................................................VII-165<br />

7.2. TUJUAN SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH .................................VII-165<br />

7.3. JENIS LAPORAN...........................................................................................VII-167<br />

7.4. PENYAMPAIAN INFORMASI DAN SANKSI...................................................VII-168<br />

BAB VIII STANDAR PELAYANAN MINIMAL........................................................VIII-173<br />

8.1. Pembagian Urusan Pemerintahan.................................................................VIII-175<br />

8.2. URUSAN WAJIB DAN SPM..........................................................................VIII-178<br />

8.2.1 Definisi dan Prinsip Urusan Wajib dan SPM......................................VIII-178<br />

8.2.2 Manfaat SPM....................................................................................VIII-180<br />

8.2.3 Ketentuan dalam Penyelenggaraan SPM.........................................VIII-181<br />

8.3. PELAKSANAAN SPM...................................................................................VIII-182<br />

i-viii


Daftar Isi<br />

8.3.1. SPM Bidang Pendidikan...................................................................VIII-183<br />

8.3.2 SPM Bidang Kesehatan....................................................................VIII-184<br />

8.3.3 SPM Bidang <strong>Pelayanan</strong> Administrasi Umum Pemerintah .................VIII-185<br />

8.3.4 SPM bidang <strong>Pelayanan</strong> dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila............VIII-186<br />

8.3.5 Kendala–Kendala dalam Pelaksanaan SPM.....................................VIII-188<br />

8.4. IMPLIKASI PENERAPAN SPM.....................................................................VIII-189<br />

8.4.1 Implikasi terhadap Proses Perencanaan ..........................................VIII-189<br />

8.4.2 Implikasi terhadap Anggaran Berbasis Kinerja..................................VIII-190<br />

8.4.3 Implikasi terhadap Anggaran dan Dana Perimbangan......................VIII-194<br />

BAB IX PENUTUP..................................................................................................IX-197<br />

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 201<br />

Index......................................................................................................................... 206<br />

Ucapan Terima Kasih................................................................................................ 209<br />

i-ix


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

DAFTAR TABEL<br />

Tabel 2.1 Kedudukan Dokumen Perencanaan Nasional dan Daerah.........................II-17<br />

Tabel 2.2 Muatan Dokumen Perencanaan Nasional dan Daerah...............................II-17<br />

Tabel 3.1. Formulasi Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi....................................III-48<br />

Tabel 3.2. Formulasi Dana Bagi Hasil Pertambangan Umum....................................III-57<br />

Tabel 3.3. Tarif Iuran Tetap (Landrent) untuk PKP2B dan Kontrak Karya...................III-60<br />

Tabel 3.4. Tarif Iuran Tetap (Landrent) untuk Kuasa Pertambangan .........................III-60<br />

Tabel 3.5 Tarif Royalti Sektor Pertambangan.............................................................III-61<br />

Tabel 3.6 Formulasi Dana Bagi Hasil Kehutanan.......................................................III-63<br />

Tabel 3.7. Formulasi Dana Bagi Hasil Perikanan.......................................................III-67<br />

Tabel 3.8. Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) ........................................III-69<br />

Tabel 3.9 Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) ......................................III-70<br />

Tabel 3.10 Rincian Dana Bagi Hasil 2001-2008.........................................................III-71<br />

Tabel 3.11 Perkembangan Jumlah Alokasi DAK (Milyar Rp).....................................III-77<br />

Tabel 5.1. Jenis Pajak Daerah..................................................................................V-140<br />

Tabel 5.2 Jenis Retribusi Daerah..............................................................................V-141<br />

Tabel 8.1 Contoh Pelaporan Kinerja Anggaran Berbasis Kinerja Indikator dan<br />

Tolak Ukur Kinerja Belanja Langsung.....................................................VIII-192<br />

i-x


Daftar Gambar<br />

DAFTAR GAMBAR<br />

Gambar 2.1 Penyusunan RPJP Nasional................................................................... II-11<br />

Gambar 2.2 Penyusunan RPJM Nasional.................................................................II-13<br />

Gambar 2.3 Penyusunan RKP Nasional.....................................................................II-15<br />

Gambar 2.4. Penyusunan RPJM Daerah dan Renstra SKPD.....................................II-16<br />

Gambar 2.5 Hubungan Antar Berbagai Dokumen Perencanaan...............................II-20<br />

Gambar 2.6 Posisi Penganggaran dalam Proses Perencanaan Daerah...................II-22<br />

Gambar 2.7 Alur Perencanaan dan Penganggaran Nasional dan Daerah..................II-23<br />

Gambar 2.8. Kerangka Hubungan Antara Pusat dan Daerah.....................................II-25<br />

Gambar 3.1. Skema Bagi Hasil Pajak........................................................................III-38<br />

Gambar 3.2. Skema Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.........................................III-44<br />

Gambar 3.3. Alur Data dan Perhitungan DBH SDA Minyak Bumi..............................III-50<br />

Gambar 3.4.Alur Perhitungan DBH SDA Migas.........................................................III-51<br />

Gambar 3.5. Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas per Daerah..........................III-52<br />

Gambar 3.6. Mekanisme Perhitungan Penyaluran DBH SDA Migas<br />

per Daerah (s.d. TA 2007)....................................................................III-53<br />

Gambar 3.7. Mekanisme Perhitungan Penyaluran DBH SDA Migas<br />

per Daerah (2008)III-54<br />

Gambar 3.8. Mekanisme Penyaluran DBH SDA Migas (sampai dengan 2007).........III-55<br />

Gambar 3.9. Mekanisme Penyaluran DBH SDA Migas (2008)..................................III-56<br />

Gambar 3.10. Sistematika Penyusunan Formula DAU..............................................III-74<br />

Gambar 3.11. Mekanisme Penetapan Program dan Kegiatan...................................III-80<br />

Gambar 3.12. Mekanisme Alokasi DAK.....................................................................III-88<br />

Gambar 4.1 Proses Perencanaan Pembiayaan Daerah..........................................IV-104<br />

Gambar 4.2 Proses Perencanaan PHLN................................................................ IV-110<br />

Gambar 4.3 Proses Pelaksanaan Penerusan PLN.................................................. IV-114<br />

i-xi


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 4.4 Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber dari Pemerintah............. IV-116<br />

Gambar 4.5 Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber Selain dari Pemerintah.. IV-117<br />

Gambar 4.6. Proses Penerbitan Obligasi Daerah....................................................IV-122<br />

Gambar 4.7 Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah di Daerah................................IV-123<br />

Gambar 4.8 Pengajuan, Penilaian dan Persetujuan<br />

Penerbitan Obligasi Daerah oleh Menkeu...........................................IV-125<br />

Gambar 7.1 Hubungan antara SIPKD dengan SIKD Nasional................................VII-167<br />

Gambar 7.2 Bagan Alur Pengenaan Sanksi...........................................................VII-170<br />

Gambar 8.1 Tahapan Penerapan SAB dalam Anggaran Berbasis Kinerja.............VIII-196<br />

i-xii


BAB I<br />

PENDAHULUAN


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

I-2


Pendahuluan<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

Cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar<br />

(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah berkehidupan kebangsaan yang<br />

bebas, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Berkaitan dengan hal tersebut, disusunlah<br />

tujuan nasional dari pembentukan pemerintahan, yaitu melindungi segenap bangsa<br />

dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan<br />

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kemerdekaan yang telah<br />

diraih harus dijaga dan diisi dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis<br />

serta dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan.<br />

Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional serta memberikan arah<br />

bagi pelaksanaan pembangunan agar dapat berjalan dengan efektif, efisien, dan<br />

sesuai dengan sasarannya, maka diperlukan adanya kebijakan yang mampu<br />

merealisasikan cita-cita dan tujuan tersebut. Salah satu kebijakan yang diambil oleh<br />

pemerintah adalah dengan melaksanakan otonomi <strong>daerah</strong> dan desentralisasi fiskal.<br />

Desentralisasi pada dasarnya terdiri dari desentralisasi politik (political decentralization),<br />

desentralisasi administrasi (administrative decentralization), desentralisasi fiskal (fiscal<br />

decentralization), dan desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization).<br />

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di <strong>daerah</strong>, komponen desentralisasi<br />

tersebut harus diaktualisasikan secara bersama-sama dan satu dengan lainnya harus<br />

saling mendukung.<br />

Tujuan dari pelaksanaan desentralisasi adalah untuk memberikan pelayanan publik yang<br />

lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.<br />

Dalam prakteknya, desentralisasi diwujudkan melalui pelimpahan kewenangan dari<br />

pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan di bawahnya untuk melakukan<br />

pembelanjaan, pemungutan pajak yang menjadi kewenangan <strong>daerah</strong>, pembentukan<br />

Dewan yang dipilih oleh rakyat, serta pemilihan Kepala Daerah. Selain itu, pelaksanaan<br />

desentralisasi juga diwujudkan melalui pemberian bantuan dalam bentuk transfer dari<br />

Pemerintah Pusat.<br />

Sebagai sebuah proses, pelaksanaan desentralisasi di Indonesia bersifat dinamis yang<br />

mulai dilakukan sejak tahun 2001. Namun beberapa perubahan mendasar yang terkait<br />

dengan pengelolaan keuangan negara dan keuangan <strong>daerah</strong> terjadi dalam rentang<br />

waktu tahun 2004-2005. Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-undang (UU) Nomor<br />

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang<br />

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai<br />

I-3


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

pengganti dari 2 (dua) UU di bidang otonomi <strong>daerah</strong> dan desentraliasi fiskal yaitu UU<br />

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999<br />

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Perubahan UU<br />

tersebut tidak bisa dilepaskan dari UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara<br />

dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.<br />

Perubahan atas kedua UU dimaksud merupakan amanat TAP MPR Nomor VI/MPR/2002<br />

dan dorongan dari berbagai pihak untuk melakukan penyempurnaan pengaturan<br />

hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi<br />

pemerintahan dan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.<br />

Implikasinya adalah bahwa keleluasan dalam penyelenggaraan kewenangan yang<br />

didelegasikan kepada <strong>daerah</strong>, diharapkan secara nyata betul-betul dapat dilaksanakan<br />

oleh Pemerintah Daerah.<br />

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan bahwa Pemerintah <strong>Provinsi</strong>, Kabupaten<br />

dan Kota memiliki kewenangan mengatur sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas<br />

otonomi dan pembantuan; Pemerintah <strong>daerah</strong> menjalankan otonomi seluas-luasnya,<br />

kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat;<br />

Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan <strong>daerah</strong> dan peraturan lain untuk<br />

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan; susunan dan tata cara penyelenggaraan<br />

pemerintahan <strong>daerah</strong> diatur dengan UU; hubungan keuangan, pelayanan umum,<br />

pemanfaatan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah <strong>daerah</strong> diatur<br />

dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU. Sementara itu, kewenangan<br />

pemerintah pusat menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah mengenai kewenangan<br />

pemerintahan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter<br />

dan fiskal nasional, dan agama. Dengan pembagian kewenangan/fungsi tersebut,<br />

pelaksanaan pemerintahan di <strong>daerah</strong> diselenggarakan atas asas desentralisasi, asas<br />

dekonsentrasi dan tugas pembantuan.<br />

Pengaturan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditujukan untuk<br />

membantu membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya sebagai<br />

konsekuensi logis dari adanya pembagian kewenangan/fungsi dimaksud. Pengaturan<br />

hubungan keuangan ini harus dilakukan secara lebih adil, proporsional, dan akuntabel<br />

sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab <strong>daerah</strong> dapat<br />

dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada baik dari dana desentralisasi, maupun<br />

dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Dengan demikian, dana-dana tersebut<br />

secara selaras dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk mendanai kebutuhan<br />

pengeluaran yang menjadi kewenangan <strong>daerah</strong>.<br />

Secara historis, perkembangan era sentralisasi menuju desentralisasi di Indonesia telah<br />

melewati beberapa fase yang penuh dengan berbagai kompleksitas permasalahan. Pada<br />

mulanya sentralisasi kekuasaan yang cukup dominan dalam sistem pemerintahan di<br />

I-4


Pendahuluan<br />

Indonesia lebih didasarkan pada argumen untuk menjaga pertumbuhan dan stabilitas<br />

ekonomi serta menjadi alasan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik<br />

Indonesia. Selama 3 (tiga) fase pra otonomi <strong>daerah</strong> dan desentralisasi fiskal, yaitu pada<br />

fase I periode 1945 s.d. 1956, fase II periode 1956 s.d. 1974, dan fase III periode 1974<br />

s.d. 2000, menunjukkan bahwa sistem sentralisasi yang semakin menguat ternyata<br />

menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Namun pada pertengahan<br />

tahun 1997 hingga tahun 2000 Perekonomian Indonesia mengalami masa-masa sulit<br />

karena dilanda oleh krisis yang berkepanjangan. Kondisi tersebut berangsur-angsur mulai<br />

membaik setelah memasuki era desentralisasi fiskal pada tahun 2001, yang ditandai<br />

dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan kinerja pengelolaan fiskal di <strong>daerah</strong><br />

untuk pembiayaan sektor publik yang menjadi kebutuhan masyarakat.<br />

UU 33 Tahun 2004 telah meletakkan perubahan yang fundamental dalam pelaksanaan<br />

kebijakan desentralisasi, dari yang semula didominasi oleh Pemerintah Pusat kemudian<br />

bergeser dengan memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah<br />

dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan di Daerah. Dengan dilaksanakannya<br />

sistem desentralisasi tersebut, harapan seluruh komponen bangsa tidak hanya ditujukan<br />

pada efisiensi alokasi arus barang publik di Daerah, tetapi juga mendekatkan pada<br />

pelayanan kepada masyarakat lokal, mendorong demokratisasi, mengakomodasi<br />

aspirasi Daerah dan partisipasi masyarakat, serta merekatkan Negara Kesatuan Republik<br />

Indonesia.<br />

Perjalanan sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia dari masa ke masa telah<br />

memberikan pelajaran penting bahwa sistem yang sentralisitis dapat berakibat pada<br />

inefficiency dan high cost economy dalam penyediaan pelayanan sektor publik dan<br />

penyediaan sarana dan prasarana dalam mengembangkan perekonomian dan iklim<br />

investasi. Namun begitu pula dengan pelaksanaan desentralisasi yang terlalu berlebihan<br />

juga bisa menimbulkan adanya inefficiency dan high cost economy. Dengan demikian<br />

diperlukan adanya peran Pemerintah dalam menjaga adanya keseimbangan fiskal antara<br />

Pemerintah Pusat dan Daerah dan keseimbangan fiskal antar<strong>daerah</strong>.<br />

Kondisi demografis dan geografis Indonesia yang sangat kompleks telah menyulitkan<br />

bagi Pemerintah Pusat dalam memberikan pelayanan sampai kepada masyarakat<br />

di <strong>daerah</strong>. Pengalaman membuktikan bahwa pengambilan keputusan yang terlalu<br />

sentralistis di bidang pelayanan sektor publik dan pengembangan bisnis dan investasi di<br />

Indonesia, memberikan kontribusi terhadap rendahnya akuntabilitas, lambatnya proses<br />

pembangunan infrastruktur, menurunnya tingkat pengembalian (rate of return) pada<br />

proyek-proyek industri, dan terhambatnya pengembangan investasi di Daerah.<br />

Dengan melakukan ekspansi ekonomi, kebutuhan dan peluang terhadap meningkatnya<br />

pelaksanaan desentralisasi menjadi sebuah keharusan. Indonesia telah melakukan<br />

periode transisi ekonomi yang cukup cepat. Namun sejalan dengan kecepatan transformasi<br />

I-5


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

tersebut Pemerintah Pusat menghadapi kendala dalam implementasinya, baik dari sisi<br />

kapasitas keuangan negara maupun dari sisi penataan institusi pengelola keuangan<br />

negara. Penerimaan negara dari sumber daya terutama minyak dan gas relatif semakin<br />

terbatas, sementara mobilisasi dari pajak masih menghadapi banyak kendala. Akibatnya<br />

keuangan negara masih harus ditopang dari pembiayaan melalui pinjaman dalam dan<br />

luar negeri. Sementara di sisi lain ketergantungan pemerintah Daerah terhadap dana<br />

transfer dari pemerintah pusat (APBN) cenderung semakin meningkat. Namun sejalan<br />

dengan makin meningkatnya dana yang ditransfer ke <strong>daerah</strong>, akuntabilitas pengelolaan<br />

keuangan <strong>daerah</strong> belum bisa diwujudkan sesuai dengan tuntutan reformasi pengelolaan<br />

anggaran.<br />

Untuk itu guna membantu pimpinan <strong>daerah</strong> dalam memahami kebijakan otonomi<br />

<strong>daerah</strong> dan desentralisasi fiskal agar dapat digunakan sebagai salah satu pedoman<br />

dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan disusunlah pelengkap buku<br />

pegangan 2008 yang berisi tentang transfer belanja ke <strong>daerah</strong>, pinjaman dan hibah, pajak<br />

<strong>daerah</strong> dan retribusi <strong>daerah</strong>, dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, sistem<br />

informasi keuangan <strong>daerah</strong>, perencanaan dan penganggaran <strong>daerah</strong>, serta standar<br />

pelayanan minimal.<br />

I-6


BAB II<br />

PERENCANAAN DAN<br />

PENGANGGARAN<br />

PEMBANGUNAN DAERAH


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

II-8


BAB II<br />

PERENCANAAN DAN<br />

PENGANGGARAN PEMBANGUNAN<br />

DAERAH<br />

2.1. PENDAHULUAN<br />

Sebagaimana telah disebutkan dalam bab terdahulu bahwa tujuan nasional dari<br />

pembentukan pemerintahan, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah<br />

darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,<br />

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Kemerdekaan yang telah diraih harus dijaga<br />

dan diisi dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis serta dilaksanakan<br />

secara bertahap dan berkesinambungan. Dengan berlandaskan cita-cita nasional,<br />

tujuan nasional, dan tugas pokok setelah kemerdekaan tersebut, serta agar kegiatan<br />

pembangunan dapat berjalan dengan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan<br />

perencanaan dan penganggaran pembangunan. Perencanaan dan penganggaran dalam<br />

pembangunan <strong>daerah</strong> merupakan dua hal yang saling terkait dan harus seimbang.<br />

Sebagai alat manajemen, maka perencanaan harus mampu menjadi panduan strategis<br />

dalam mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Dalam konteks ini, maka perencanaan<br />

juga perlu mempertimbangkan prinsip keterkaitan dan keseimbangan antara perencanaan<br />

dan penganggaran.<br />

2.2. KETERKAITAN PERENCANAAN<br />

PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH<br />

2.2.1. Perencanaan Pembangunan Nasional<br />

Perencanaan pembangunan nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan secara<br />

makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu<br />

dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perencanaan pembangunan<br />

nasional terdiri atas perencanaan pembangunan dari Kementerian/Lembaga dan<br />

perencanaan pembangunan dari Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.<br />

Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan<br />

nasional. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan nasional tersebut,<br />

II-9


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Presiden dibantu oleh para Menteri. Sementara itu, pimpinan Kementerian/<br />

Lembaga menyelenggarakan perencanaan pembangunan sesuai dengan tugas dan<br />

kewenangannya. Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat di <strong>daerah</strong> mengkoordinasikan<br />

pelaksanaan perencanaan tugas-tugas Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.<br />

Perencanaan pembangunan di tingkat nasional meliputi:<br />

a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional, yang proses<br />

penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai berikut:<br />

1) Penyiapan rancangan awal RPJP Nasional<br />

2) Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Jangka Panjang<br />

Nasional<br />

3) Penyusunan rancangan akhir RPJP Nasional<br />

b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, yang proses<br />

penyusunannya dilakukan melalui urutan sebagai berikut:<br />

1) Penyiapan rancangan awal RPJM Nasional<br />

2) Penyiapan rancangan rencana kerja<br />

3) Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Jangka Menengah<br />

Nasional<br />

4) Penyusunan rancangan akhir RPJM Nasional<br />

c. Rencana Pembangunan Tahunan Nasional (yang selanjutnya disebut dengan<br />

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Nasional), yang proses penyusunannya dilakukan<br />

melalui urutan kegiatan sebagai berikut:<br />

1) Penyiapan rancangan awal RKP Nasional<br />

2) Penyiapan rancangan rencana kerja<br />

3) Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Penyusunan RKP<br />

Nasional<br />

4) Penyusunan rancangan akhir RKP Nasional<br />

d. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga (yang selanjutnya<br />

disebut dengan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL)<br />

e. Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga (yang selanjutnya disebut<br />

dengan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL).<br />

Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan nasional dilakukan oleh masingmasing<br />

pimpinan Kementerian/Lembaga. Para Menteri menghimpun dan menganalisis<br />

II-10


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

Sumber: Bappenas, 2004<br />

Gambar 2.1<br />

Penyusunan RPJP Nasional<br />

II-11


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan nasional dari masing-masing<br />

pimpinan Kementerian/Lembaga sesuai dengan tugas dan kewenangannya.<br />

Pimpinan Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana<br />

pembangunan Kementerian/Lembaga periode sebelumnya. Selanjutnya, Menteri<br />

menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan<br />

Kementerian/Lembaga. Hasil evaluasi tersebut nantinya akan menjadi bahan bagi<br />

penyusunan rencana pembangunan nasional untuk periode berikutnya.<br />

2.2.2. Perencanaan Pembangunan Daerah<br />

Sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan <strong>daerah</strong> mengikuti sistem dan<br />

mekanisme yang tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan<br />

Pembangunan Nasional (SPPN). Konstruksi sistem perencanaan pembangunan<br />

<strong>daerah</strong> ini disusun dalam era desentralisasi. Sejalan dengan perubahan paradigma<br />

perencanaan pembangunan, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah<br />

dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat<br />

dan Pemerintahan Daerah telah mengakomodasi redesign sistem dan mekanisme<br />

perencanaan pembangunan di <strong>daerah</strong>.<br />

Kepala Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan<br />

pembangunan <strong>daerah</strong> di <strong>daerah</strong>nya. Dalam menyelenggarakan perencanaan<br />

pembangunan <strong>daerah</strong> tersebut, Kepala Daerah dibantu oleh Kepala <strong>Badan</strong> Perencanaan<br />

Pembangunan Daerah (Bappeda). Selanjutnya, pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />

(SKPD) menyelenggarakan perencanaan pembangunan <strong>daerah</strong> sesuai dengan tugas dan<br />

kewenangannya. Gubernur menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan<br />

sinergi perencanaan pembangunan antar Kabupaten/Kota di wilayahnya masing-masing.<br />

Seperti halnya dalam perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan<br />

di tingkat <strong>daerah</strong> meliputi:<br />

a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah.<br />

Penyusunan RPJP Daerah dilakukan melalui urutan sebagai berikut:<br />

1) Penyiapan rancangan awal RPJP Daerah<br />

2) Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Jangka Panjang<br />

Daerah<br />

3) Penyusunan rancangan akhir RPJP Daerah<br />

b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah.<br />

II-12


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

Sumber: Bappenas, 2004<br />

Gambar 2.2<br />

Penyusunan RPJM Nasional<br />

II-13


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

II-14<br />

RPJM Daerah adalah dokumen perencanaan pembangunan <strong>daerah</strong> yang merupakan<br />

penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya<br />

berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional. RPJM<br />

Daerah merupakan dokumen perencanaan <strong>daerah</strong> untuk periode 5 (lima) tahun<br />

yang penyusunannya dilakukan melalui urutan:<br />

1) Penyiapan rancangan awal RPJM Daerah<br />

2) Penyiapan rancangan rencana kerja<br />

3) Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Jangka Menengah<br />

Daerah<br />

4) Penyusunan rancangan akhir RPJM Daerah<br />

c. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (disebut dengan Rencana Kerja<br />

Pemerintah Daerah (RKPD))<br />

RKPD adalah dokumen perencanaan pembangunan <strong>daerah</strong> yang merupakan<br />

penjabaran dari RPJM Daerah dan disusun mengacu pada RKP Nasional. RKPD<br />

merupakan dokumen perencanaan <strong>daerah</strong> untuk periode 1 (satu) tahun. Penyusunan<br />

RKP Daerah dilakukan melalui urutan kegiatan:<br />

1) Penyiapan rancangan awal RKP Daerah<br />

2) Penyiapan rancangan rencana kerja<br />

3) Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Penyusunan RKP<br />

Daerah.<br />

4) Penyusunan rancangan akhir RKP Daerah<br />

d. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />

(selanjutnya disebut dengan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />

(Rentra-SKPD))<br />

e. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah (selanjutnya<br />

disebut dengan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD)<br />

Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan <strong>daerah</strong> dilakukan oleh masing-masing<br />

pimpinan SKPD. Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan<br />

pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan SKPD sesuai dengan<br />

tugas dan kewenangannya.<br />

Kepala SKPD melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan SKPD<br />

periode sebelumnya. Kepala Bappeda menyusun evaluasi rencana pembangunan<br />

<strong>daerah</strong> berdasarkan hasil evaluasi pimpinan SKPD. Hasil evaluasi menjadi bahan bagi<br />

penyusunan rencana pembangunan <strong>daerah</strong> untuk periode berikutnya.


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

Sumber: Bappenas, 2004<br />

Gambar 2.3<br />

Penyusunan RKP Nasional<br />

II-15


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 2.4.<br />

Penyusunan RPJM Daerah dan Renstra SKPD<br />

Sumber: Bappenas, 2004<br />

II-16


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

Tabel 2.1<br />

Kedudukan Dokumen Perencanaan Nasional dan Daerah<br />

Dokumen Nasional Daerah<br />

RPJP<br />

(20 tahun)<br />

RPJM<br />

(5 tahun)<br />

Renstra<br />

(5 tahun)<br />

RKP<br />

(1 tahun)<br />

Renja<br />

(1 tahun)<br />

Penjabaran tujuan nasional<br />

sesuai dengan Pembukaan<br />

UUD Negara Kesatuan Republik<br />

Indonesia tahun 1945<br />

Berpedoman pada RPJP<br />

Nasional<br />

Sumber: UU No. 25 Tahun 2004<br />

Renstra KL:<br />

Berpedoman pada RPJM<br />

Nasional<br />

RKP Nasional merupakan<br />

penjabaran dari RPJM Nasional<br />

Renja KL:<br />

Berpedoman pada Renstra-KL<br />

dan mengacu pada prioritas<br />

pembangunan nasional dan<br />

pagu indikatif<br />

Tabel 2.2<br />

RPJP Daerah mengacu pada<br />

RPJP Nasional<br />

RPJM Daerah berpedoman<br />

pada RPJP Daerah dan<br />

memperhatikan RPJM Nasional<br />

Renstra SKPD:<br />

Berpedoman pada RPJM<br />

Daerah<br />

RKP Daerah merupakan<br />

penjabaran dari RPJM Daerah<br />

dan mengacu pada RKP<br />

Nasional<br />

Renja-SKPD:<br />

Berpedoman pada Renstra-<br />

SKPD dan mengacu pada RKP<br />

Daerah<br />

Muatan Dokumen Perencanaan Nasional dan Daerah<br />

Dokumen Nasional Daerah<br />

RPJP<br />

(20 tahun)<br />

RPJM<br />

(5 tahun)<br />

Penjabaran Tujuan Nasional ke<br />

dalam:<br />

- Visi dan Penjabarannya;<br />

- Misi;<br />

- Arah Pembangunan Nasional:<br />

- Kewilayahan<br />

- Sarana – Prasarana<br />

- Bidang Kehidupan<br />

Penjabaran Visi, Misi, Program<br />

Presiden, berpedoman pada<br />

RPJM Nasional, dan memuat:<br />

- Strategi Pembangunan<br />

Nasional<br />

- Kebijakan Umum<br />

- Kerangka Ekonomi Makro<br />

Mengacu kepada RPJP<br />

Nasional, dan memuat:<br />

- Visi dan Penjabarannya;<br />

- Misi;<br />

- Arah Pembangunan Daerah:<br />

- Kewilayahan<br />

- Sarana – Prasarana<br />

- Urusan Wajib<br />

- Urusan Pilihan<br />

Penjabaran Visi, Misi, Program<br />

Kepala Daerah, berpedoman<br />

pada RPJP Daerah,<br />

memperhatikan RPJM Nasional,<br />

dan memuat:<br />

- Strategi Pembangunan<br />

Daerah<br />

II-17


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Dokumen Nasional Daerah<br />

Renstra<br />

(5 tahun)<br />

RKP<br />

(1 tahun)<br />

- Program Kementerian, Lintas<br />

Kementerian, Kewilayahan<br />

dan Lintas Kewilayahan yang<br />

memuat kegiatan pokok<br />

dalam kerangka regulasi dan<br />

kerangka anggaran<br />

Renstra KL berpedoman pada<br />

RPJM Nasional dan memuat:<br />

visi, misi, tujuan, strategi,<br />

kebijakan, program,<br />

dan kegiatan indikatif<br />

pembangunan sesuai dengan<br />

tugas dan fungsi Kementerian/<br />

Lembaga<br />

RKP Nasional merupakan<br />

penjabaran RPJM Nasional, dan<br />

memuat:<br />

- Prioritas Pembangunan<br />

Nasional<br />

- Rancangan Kerangka<br />

Ekonomi Makro Nasional<br />

- Arah Kebijakan Fiskal<br />

- Kebijakan Umum<br />

- Arah Kebijakan Keuangan<br />

Daerah<br />

- Program-program SKPD,<br />

Lintas SKPD, Kewilayahan,<br />

dan Lintas Kewilayahan yang<br />

memuat kegiatan pokok<br />

dalam kerangka regulasi dan<br />

kerangka anggaran<br />

Renstra SKPD berpedoman<br />

pada RPJM Daerah dan<br />

memuat:<br />

visi, misi, tujuan, strategi,<br />

kebijakan, program,<br />

dan kegiatan indikatif<br />

pembangunan sesuai dengan<br />

tugas dan fungsi SKPD<br />

RKP Daerah merupakan<br />

penjabaran dari RPJM Daerah,<br />

mengacu pada RKP Nasional,<br />

dan memuat:<br />

- Prioritas Pembangunan<br />

Daerah<br />

- Rancangan Kerangka<br />

Ekonomi Makro Daerah<br />

Renja<br />

(1 tahun)<br />

Sumber: UU No. 25 Tahun 2004<br />

- Program Kementerian/<br />

Lembaga, Lintas<br />

Kementerian/Lembaga,<br />

Kewilayahan, dan Lintas<br />

Kewilayahan yang memuat<br />

kegiatan dalam kerangka<br />

regulasi dan kerangka<br />

anggaran<br />

Renja KL merupakan<br />

penjabaran dari Renstra KL, dan<br />

memuat:<br />

kebijakan, program, dan<br />

kegiatan pembangunan,<br />

baik yang dilaksanakan oleh<br />

Pemerintah maupun yang<br />

ditempuh dengan mendorong<br />

partisipasi masyarakat.<br />

- Arah Kebijakan Fiskal<br />

- Program SKPD, Lintas SKPD,<br />

Kewilayahan, dan Lintas<br />

Kewilayahan yang memuat<br />

kegiatan dalam kerangka<br />

regulasi dan kerangka<br />

anggaran<br />

Renja SKPD merupakan<br />

penjabaran dari Renstra RKPD,<br />

dan memuat:<br />

kebijakan, program, dan<br />

kegiatan pembangunan,<br />

baik yang dilaksanakan oleh<br />

Pemerintah Daerah maupun<br />

yang ditempuh dengan<br />

mendorong partisipasi<br />

masyarakat<br />

II-18


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

2.2.3. Sinkronisasi antara Perencanaan Pembangunan<br />

Nasional dan Daerah<br />

Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dan <strong>daerah</strong> terdapat pada<br />

setiap tingkatan perencanaan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun<br />

2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dikemukakan bahwa:<br />

a. Penegasan cakupan isi proses top-down dan bottom up. Proses top-down (atasbawah)<br />

merupakan langkah-langkah penyampaian batasan umum oleh Pemerintah<br />

Pusat kepada Kementerian/Lembaga tentang penyusunan rencana kerja. Batasan<br />

umum ini mencakup prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif. Dalam<br />

batasan ini, Kementerian/Lembaga diberi keleluasaan untuk merancang kegiatankegiatan<br />

pembangunan demi pencapaian sasaran pembangunan nasional yang<br />

telah disepakati. Rancangan ini disampaikan kembali ke Pemerintah Pusat, dan<br />

untuk selanjutnya diserasikan secara nasional. Inilah inti dari proses bottom-up<br />

(bawah-atas).<br />

b. Sebagai tindak lanjut kebijakan desentralisasi, maka kegiatan Pemerintah Pusat<br />

di <strong>daerah</strong> menjadi salah satu perhatian utama. Tujuan yang ingin dicapai adalah<br />

agar kegiatan Pemerintah Pusat di <strong>daerah</strong> terdistribusi secara adil dan dapat<br />

menciptakan sinergitas secara nasional. Untuk mencapai tujuan ini maka dalam<br />

rangka penyusunan RKP dilaksanakan musyawarah perencanaan baik antar<br />

Kementerian/Lembaga maupun antara Kementerian/Lembaga dengan Pemerintah<br />

Daerah <strong>Provinsi</strong>.<br />

Pemberian kewenangan yang luas kepada <strong>daerah</strong> memerlukan koordinasi dan pengaturan<br />

untuk lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan<br />

nasional, pembangunan <strong>daerah</strong>, maupun pembangunan antar <strong>daerah</strong>. Keserasian<br />

hubungan dalam pengelolaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berarti bahwa<br />

pengelolaan bagian urusan Pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang<br />

berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi),<br />

dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan<br />

kemanfaatan.<br />

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam aspek perencanaan<br />

tercermin dalam hubungan antar berbagai dokumen perencanaan antara pusat dan <strong>daerah</strong><br />

(<strong>Provinsi</strong> dan Kabupaten/Kota) yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem<br />

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Gambar 2.5. berikut menggambarkan<br />

hubungan tersebut:<br />

II-19


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 2.5<br />

Hubungan Antar Berbagai Dokumen Perencanaan<br />

(Menurut UU No. 25 Tahun 2004)<br />

Perencanaan yang sinergis dan harmonis dalam penyusunannya dapat diperoleh dengan<br />

proses:<br />

a. Pendekatan politik. Hal ini dikarenakan rakyat dipandang memilih Presiden/<br />

Kepala Daerah berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan<br />

sehingga perencanaan pembangunan merupakan penjabaran dari agenda-agenda<br />

pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke<br />

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).<br />

b. Pendekatan teknokratik. Yaitu bahwa perencanaan dilaksanakan dengan<br />

menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja<br />

yang secara fungsional bertugas untuk hal tersebut.<br />

c. Pendekatan partisipatif. Yaitu bahwa perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan<br />

semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan.<br />

Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan mencipatakan rasa saling<br />

memiliki.<br />

d. Pendekatan atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom-up). Pendekatan ini<br />

dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan<br />

II-20


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat<br />

Nasional, <strong>Provinsi</strong>, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa/Kelurahan.<br />

Perencanaan pembangunan nasional yang mendukung koordinasi antar pelaku<br />

pembangunan akan menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar<br />

<strong>daerah</strong>, antar ruang, antar waktu, antar fungsi Pemerintah, maupun antara pusat dan<br />

<strong>daerah</strong>. Selain itu, juga menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,<br />

penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan melalui optimalisasi peran masyarakat<br />

dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip dasar dan etika perencanaan yang dapat<br />

mempergunakan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.<br />

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa langkah-langkah atau tahapan dalam<br />

perencanaan pembangunan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah,<br />

dilakukan melalui beberapa tahapan dari penyusunan rencana sampai rancangan lengkap<br />

yang siap untuk ditetapkan, yaitu:<br />

a. Penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh,<br />

dan terukur;<br />

b. Masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan<br />

berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan;<br />

c. Melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan<br />

yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah<br />

perencanaan pembangunan; dan<br />

d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.<br />

2.3. PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH<br />

2.3.1. Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran<br />

Pembangunan Daerah<br />

Perencanaan dan penganggaran merupakan dua hal yang saling terkait dan harus<br />

seimbang. Sebagai alat manajemen, maka perencanaan harus mampu menjadi panduan<br />

strategis dalam mewujudkan tujuan yang akan dicapai. Dalam konteks ini, maka<br />

perencanaan juga perlu mempertimbangkan prinsip keterkaitan dan keseimbangan antara<br />

perencanaan dan penganggaran. Keduanya merupakan dua hal yang sangat diperlukan<br />

untuk mengelola pembangunan <strong>daerah</strong> secara efisien dan efektif. Hasil yang terbaik akan<br />

dicapai apabila terhadap keduanya diberikan perhatian yang seimbang, penganggaran<br />

selayaknya tidak mendikte proses perencanaan, dan sebaliknya perencanaan perlu<br />

mempertimbangkan ketersediaan dana dan kelayakan ekonomi agar realistis.<br />

II-21


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Perencanaan penganggaran pada umumnya melibatkan kegiatan review kinerja anggaran<br />

pada tahun sebelumnya, pertimbangan kepada rencana strategis dan operasional<br />

tahunan serta prakarsa yang mungkin ditempuh untuk mengefektifkan pendapatan dan<br />

belanja melalui identifikasi sumber-sumber pembiayaan.<br />

Gambar 2.6<br />

Posisi Penganggaran dalam Proses Perencanaan Daerah<br />

sumber: Depdagri, 2004<br />

Dalam proses penyusunan anggaran setidaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:<br />

a. Penganggaran dikaitkan dengan tujuan dan sasaran strategis;<br />

b. Terdapat kebijakan dan prioritas alokasi belanja;<br />

II-22


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

c. Terdapat anggaran program dan anggaran modal investasi;<br />

d. Terdapat proses review dan pemantauan pendapatan, dan belanja sepanjang<br />

tahun anggaran;<br />

e. Terlaksana keterlibatan stakeholders dalam proses pengambilan keputusan;<br />

f. Terdapat tujuan program yang jelas;<br />

g. Terdapat standar pelayanan yang jelas;<br />

h. Terdapat indikator kinerja yang disepakati untuk mengukur kinerja program/<br />

kegiatan;<br />

i. Terdapat perkiraan dan proyeksi pendapatan dan belanja yang akurat;<br />

j. Terdapat pemantauan, kontrol, dan evaluasi anggaran;<br />

k. Terdapat tranparansi dan akuntabilitas; dan<br />

l. Menggunakan semua sumber-sumber pembiayaan.<br />

Aspek penganggaran merupakan lanjutan dari aspek perencanaan. Melalui Musrenbang<br />

Nasional aspek perencanaan dan penganggaran dalam setiap level pemerintahan<br />

disinergikan. Mekanisme penganggaran, baik di tingkatan pusat maupun <strong>daerah</strong> diatur<br />

melalui UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.<br />

Gambar 2.7<br />

Alur Perencanaan dan Penganggaran Nasional dan Daerah<br />

(Menurut UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2003)<br />

II-23


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

2.3.2. Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah<br />

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tercermin dalam pembagian<br />

kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan, seperti<br />

yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Dengan demikian prinsip yang digunakan<br />

adalah money follows functions, artinya bahwa besarnya distribusi keuangan didasarkan<br />

oleh distribusi kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang telah ditentukan terlebih<br />

dahulu. Sehingga secara umum, hubungan antara pusat dan <strong>daerah</strong> tercermin dalam<br />

aspek perencanaan (planning) dan penganggaran (budgeting) untuk semua aktivitas di<br />

setiap level pemerintahan sesuai dengan kewenangan, tugas, dan tanggung jawabnya<br />

masing-masing.<br />

Pengaturan hubungan keuangan pusat dan <strong>daerah</strong> berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004<br />

didasarkan atas 4 (empat) prinsip, yaitu:<br />

a. Urusan yang merupakan tugas Pemerintah Pusat di <strong>daerah</strong> dalam rangka<br />

dekonsentrasi dibiayai dari dan atas beban APBN;<br />

b. Urusan yang merupakan tugas Pemda sendiri dalam rangka desentralisasi dibiayai<br />

dari dan atas beban APBD;<br />

c. Urusan yang merupakan tugas Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat<br />

atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka Tugas Pembantuan, dibiayai oleh<br />

Pemerintah Pusat atas beban APBN atau oleh Pemerintah Daerah tingkat atasnya<br />

atas beban APBD-nya sebagai pihak yang menugaskan; dan<br />

d. Sepanjang potensi sumber-sumber keuangan <strong>daerah</strong> belum mencukupi, Pemerintah<br />

Pusat memberikan sejumlah bantuan.<br />

2.3.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah<br />

Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003, disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan<br />

Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan <strong>daerah</strong> yang<br />

disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD terdiri atas pendapatan,<br />

belanja, dan pembiayaan <strong>daerah</strong>. Pendapatan <strong>daerah</strong> merupakan hak Pemerintah Daerah<br />

yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan <strong>daerah</strong> berasal dari<br />

Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (DP), dan Lain-lain Pendapatan<br />

yang Sah (LPS). Kekuasaan pengelolaan keuangan <strong>daerah</strong> dilaksanakan oleh kepala/<br />

pimpinan satuan kerja pengelola keuangan <strong>daerah</strong> selaku pejabat pengelola APBD dan<br />

kepala/pimpinan SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang <strong>daerah</strong>.<br />

II-24


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

Gambar 2.8.<br />

Kerangka Hubungan Antara Pusat dan Daerah<br />

Sumber: Kuncoro, 2004<br />

Dalam rangka pengelolaan keuangan <strong>daerah</strong>, pejabat pengelola keuangan <strong>daerah</strong><br />

mempunyai tugas:<br />

a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;<br />

b. Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;<br />

c. Melaksanakan pemungutan pendapatan <strong>daerah</strong> yang telah ditetapkan dengan<br />

Peraturan Daerah (Perda);<br />

d. Melaksanakan fungsi bendahara umum <strong>daerah</strong>; dan<br />

e. Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan<br />

APBD.<br />

Sedangkan kepala/pimpinan SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang <strong>daerah</strong><br />

mempunyai tugas sebagai berikut:<br />

a. Menyusun anggaran SKPD yang dipimpinnya;<br />

b. Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;<br />

c. Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;<br />

II-25


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

d. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;<br />

e. Mengelola utang piutang <strong>daerah</strong> yang menjadi tanggung jawab SKPD yang<br />

dipimpinnya;<br />

f. Mengelola barang milik/kekayaan <strong>daerah</strong> yang menjadi tanggung jawab SKPD yang<br />

dipimpinnya; dan<br />

g. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya.<br />

Sesuai dengan PP No. 58 Tahun 2005, Sekretaris Daerah bertugas selaku Kordinator<br />

Pengelolaan Keuangan Daerah. Adapun tugas Sekretaris Daerah sesuai Pasal 5 ayat (4)<br />

adalah melakukan kordinasi di bidang:<br />

a. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD;<br />

b. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang <strong>daerah</strong>;<br />

c. Penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;<br />

d. Penyusunan Raperda APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban<br />

pelaksanaan APBD;<br />

e. Tugas-tugas pejabat perencana <strong>daerah</strong>, PPKD, dan pejabat pengawas keuangan<br />

<strong>daerah</strong>; dan<br />

f. Penyusunan laporan keuangan <strong>daerah</strong> dalam rangka pertanggungjawaban<br />

pelaksanaan APBD.<br />

Kordinator pengelolaan keuangan <strong>daerah</strong> juga mempunyai tugas:<br />

a. Memimpin tim anggaran pemerintah <strong>daerah</strong>;<br />

b. Menyiapkan pediman pelaksanaan APBD;<br />

c. Menyiapkan pedoman pengelolaan barang <strong>daerah</strong>;<br />

d. Memberikan persetujuan pengesahan DPA-SKPD; dan<br />

e. Melaksanakan tugas-tugas kordinasi pengelolaan keuangan <strong>daerah</strong> lainnya<br />

berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala <strong>daerah</strong>.<br />

II-26


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

2.4. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN<br />

PEMBANGUNAN DAERAH<br />

2.4.1. Partisipasi Publik Dalam Perencanaan Dan<br />

Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

Partisipasi masyarakat menjadi kata kunci sehari-hari dalam kehidupan masyarakat<br />

pembangunan. Parsipasi pada intinya adalah emansipasi/pelibatan masyarakat. Secara<br />

harfiah, partisipasi berarti “turut berperan serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan<br />

atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau proaktif dalam suatu<br />

kegiatan”. Partisipasi dapat juga didefinisikan secara luas sebagai “bentuk keterlibatan<br />

masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya<br />

sendiri (intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan<br />

yang bersangkutan” (Depdagri, 2004).<br />

Manfaat yang diperoleh dari perencanaan dan penganggaran partisipatif antara lain:<br />

a. Meningkatkan keefisienan dan keefektifitasan dalam menjalin kemitraan untuk<br />

memberdayakan kapasitas, memperluas ruang lingkup, meningkatkan ketepatan<br />

kelompok sasaran, keberlanjutan, pemeberdayaan kelompok marginal, dan<br />

meningkatkan akuntabilitas;<br />

b. Meningkatkan efektifitas dan mengoptimalkan proses perencanaan dan<br />

penganggaran pembangunan <strong>daerah</strong>, terutama untuk meningkatkan konsistensi<br />

dan sinkronisasi kebijakan, pencapaian tujuan, sasaran, program, dan kegiatan di<br />

antara dokumen rencana di <strong>daerah</strong>;<br />

c. Media untuk menghasilkan kesepakatan dan komitmen di antara pelaku<br />

pembangunan atas isu strategis, program, kegiatan, dan anggaran pembangunan<br />

tahunan <strong>daerah</strong> sebagai bahan integral dari rencana jangka menengah dan strategi<br />

pembangunan nasional dan <strong>daerah</strong>;<br />

d. Penyusunan rencana dapat melakukan seleksi prioritas usulan program/kegiatan<br />

dan alokasi anggaran pembangunan yang jelas dijabarkan berdasarkan rencana<br />

jangka panjang dan strategis; dan<br />

e. Partisipasi masyarakat akan mendukung keberhasilan dari pelaksanaan seluruh<br />

kebijakan yang dibuat mengingat para stakeholders perencanaan memiliki kegiatan/<br />

program yang dilaksanakan dan mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Dalam<br />

hal ini, kemauan politik (political will) dari Pemerintah Daerah mutlak diperlukan.<br />

II-27


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

2.<strong>4.2.</strong> Mekanisme Perencanaan dan Penganggaran<br />

Pembangunan Daerah<br />

Pola koordinasi perencanaan dan penganggaran pembangunan adalah upaya yang<br />

harus dilakukan secara terus menerus, karena dengan koordinasi dapat dilakukan sinergi<br />

dan efisiensi penggunaan dan pengalokasian sumber daya. Koordinasi perencanaan<br />

pembangunan perlu dilakukan, baik secara vertikal maupun horizontal, tergantung dari<br />

permasalahan yang dihadapi atau keperluannya.<br />

Mekanisme pelaksanaan forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)<br />

secara jelas diterangkan dalam Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 050/987/53<br />

Tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan<br />

<strong>Provinsi</strong>, Kabupaten, dan Kota, Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara<br />

Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri<br />

No. 1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan<br />

Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah, Surat Edaran Bersama<br />

(SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan<br />

Menteri Dalam Negeri No. 0295/M.PPN/1/2005.050/166/SJ tentang Petunjuk Teknis<br />

Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2005, dan Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri<br />

Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam<br />

Negeri No. 0008/M.PPN/01/2007.050/264A/SJ Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis<br />

Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan pembangunan Tahun 2007.<br />

Pada tingkatan <strong>daerah</strong>, koordinasi perencanaan pembangunan secara vertikal dan<br />

horizontal telah dilakukan secara rutin, yaitu dalam forum Musyawarah Perencanaan<br />

Pembangunan (Musrenbang) Desa/Kelurahan, Temu Karya LKMD–Unit Daerah Kerja<br />

Pembangunan (UDKP), Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)<br />

Kabupaten/Kota, dan Musrenbang <strong>Provinsi</strong>. Pada tingkatan nasional, Musrenbang Pusat<br />

dan Murenbang Nasional merupakan forum koordinasi perencanaan pembangunan<br />

secara horizontal antar Kementerian/Lembaga pemerintah secara vertikal yang ditujukan<br />

untuk mempertemukan aspirasi pusat dan <strong>daerah</strong> serta perencanaan lintas sektoral/<br />

wilayah sehingga program-program pembangunan yang dibiayai dengan APBN dan yang<br />

akan dilaksanakan oleh instansi-instansi pusat akan sesuai dengan kepentingan <strong>daerah</strong>.<br />

Pada dasarnya pola dan mekanisme sinkronisasi perencanaan dan penganggaran<br />

pembangunan antara pusat dan <strong>daerah</strong> dilakukan melalui Musrenbang, yaitu forum<br />

antar pelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana<br />

pembangunan <strong>daerah</strong>.<br />

Musrenbang sebagai media koordinasi antar pelaku dalam penyusunan perencanaan<br />

dan penganggaran pembangunan dilaksanakan dengan tujuan untuk:<br />

II-28


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

a. Mengoptimalkan dan mengefektifkan proses koordinasi perencanaan dan<br />

pengendalian pembangunan nasional;<br />

b. Mengefektifkan pemanfaatan sumber daya nasional yang ada untuk mensinergikan<br />

upaya-upaya perubahan sosial yang diinginkan secara berkelanjutan;<br />

c. Mensinergikan pembangunan antar sektor dan antar <strong>daerah</strong> untuk mencapai tujuan<br />

dan sasaran nasional; dan<br />

d. Menjamin pelaksanaan pembangunan nasional yang lebih mantap dan<br />

berkesinambungan.<br />

Sejalan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip sinkronisasi dan sinergitas perencanaan<br />

dan pengangaran pembangunan antara pusat dan <strong>daerah</strong>, maka target koordinasi<br />

perencanaan dan pengangaran pembangunan di era desentralisasi diharapkan<br />

menghasilkan perencanaan yang memperhatikan hal-hal berikut:<br />

a. Terwujudnya komunikasi dan konsultasi yang efektif di antara para pelaku<br />

pembangunan;<br />

b. Pengembangan komitmen, konsensus, dan kesepakatan dalam forum koordinasi<br />

yang didorong untuk menghasilkan konsensus tentang penanganan isu-isu strategis<br />

dan menghasilkan kesepakatan dan komitmen di antara para pelaku pembangunan<br />

untuk mengimplementasikan usulan-usulan;<br />

c. Peningkatan keterlibatan para pelaku dalam pengambilan keputusan;<br />

d. Memadukan dan mempertemukan berbagai alur perencanaan, baik yang bersifat<br />

horizontal (seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Strategis),<br />

maupun vertikal (seperti RPJP, RPJM, Renstra KL, Renstra-SKPD); dan<br />

e. Wadah mediasi untuk mengatasi berbagai konflik kepentingan antara para pelaku<br />

pembangunan untuk menghasilkan solusi yang optimal.<br />

Koordinasi perencanaan pembangunan diselenggarakan pada setiap tahun anggaran.<br />

Pemerintah menyelenggarakan koordinasi perencanaan dan penganggaran<br />

pembangunan, yang antara lain melalui:<br />

a. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat Desa/Kelurahan (Musrenbang<br />

Desa/Kelurahan)<br />

Musrenbang Desa/Kelurahan adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan<br />

secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) desa/kelurahan<br />

(pihak yang berkepentingan untuk mengatasi permasalahan desa/kelurahan dan<br />

II-29


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

pihak yang akan terkena dampak hasil musyawarah) untuk menyepakati rencana<br />

kegiatan tahun anggaran berikutnya.<br />

b. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat Kecamatan (Musrenbang<br />

Kecamatan)<br />

Musrenbang Kecamatan adalah forum musyawarah tahunan para pemangku<br />

kepentingan ditingkat kecamatan untuk mendapatkan masukan kegiatan prioritas<br />

dari desa/kelurahan serta menyepakati rencana kegiatan lintas desa/kelurahan<br />

di kecamatan yang bersangkutan sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja<br />

Kecamatan dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota<br />

pada tahun berikutnya.<br />

c. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat Kabupaten/Kota (Musrenbang<br />

Kabupaten/Kota);<br />

Musrenbang Kabupaten/Kota adalah musyawarah stakeholders Kabupaten/Kota<br />

untuk mematangkan rancangan RKPD Kabupaten/Kota berdasarkan Renja-<br />

SKPD hasil Forum SKPD dengan cara meninjau keserasian antara rancangan<br />

Renja-SKPD yang hasilnya digunakan untuk pemutakhiran Rancangan RKPD.<br />

Musrenbang Kabupaten/Kota diselenggarakan secara berurutan mulai dari<br />

pelaksanaan Pra Musrenbang, pelaksanaan Musrenbang, dan Pasca Musrenbang.<br />

Maksud diselenggarakannya Musrenbang Kabupaten/Kota adalah menjadi media<br />

utama konsultasi publik bagi segenap pelaku pembangunan (stakeholders) <strong>daerah</strong><br />

untuk menetapkan program dan kegiatan <strong>daerah</strong> serta rekomendasi kebijakan guna<br />

mendukung implementasi program/kegiatan tahun anggaran berikutnya.<br />

d. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat Pusat (Musrenbangpus);<br />

Musrenbang Tingkat Pusat (Musrenbangpus) adalah forum musyawarah<br />

perencanaan pembangunan yang diselenggarakan setiap tahun di tingkat Pusat<br />

dalam rangka membahas rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan<br />

rancangan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL) untuk tahun anggaran<br />

berikutnya dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah<br />

(RPJM) Nasional yang sedang berlaku.<br />

e. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat <strong>Provinsi</strong>, baik dalam fungsi<br />

<strong>Provinsi</strong> sebagai <strong>daerah</strong> otonom maupun sebagai wakil Pemerintah Pusat di <strong>daerah</strong><br />

(Musrenbang <strong>Provinsi</strong>);<br />

Musrenbang <strong>Provinsi</strong> adalah forum musyawarah pemangku kepentingan di tingkat<br />

<strong>Provinsi</strong> untuk:<br />

II-30


Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah<br />

1) mematangkan rancangan RKPD <strong>Provinsi</strong> berdasarkan Renja-SKPD yang<br />

dihasilkan melalui Forum SKPD, dengan cara menyerasikan substansi antar<br />

rancangan Renja masing-masing SKPD yang hasilnya digunakan untuk<br />

pemutakhiran Rancangan RKPD <strong>Provinsi</strong>.<br />

2) menyerasikan RKPD <strong>Provinsi</strong> dan RKPD Kabupaten /Kota dengan Rancangan<br />

Renja-KL dan RKP, khususnya dalam kegiatan tugas pembantuan,<br />

dekonsentrasi.<br />

Hasil Musrenbang <strong>Provinsi</strong> selanjutnya disampaikan oleh Gubernur kepada:<br />

1) Menteri Keuangan.<br />

2) Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas.<br />

3) Menteri Dalam Negeri.<br />

4) Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen.<br />

f. Rapat koordinasi perencanaan pembangunan tingkat nasional (Musrenbangnas);<br />

Musrenbang Nasional merupakan forum musyawarah perencanaan pembangunan<br />

di tingkat nasional dan merupakan tahapan akhir dari keseluruhan rangkaian forum<br />

Musrenbang dan berfungsi sebagai media untuk menyempurnakan rancangan akhir<br />

RKP dan Renja-KL.<br />

g. Rapat koordinasi regional pembangunan (apabila diperlukan).<br />

Penyelenggaraan rapat koordinasi perencanaan pembangunan tersebut<br />

diselenggarakan setiap tahun dengan urutan dan jadwal yang masih ditetapkan oleh<br />

Pemerintah Pusat melalui Surat Edaran Bersama (SEB) antara Menteri Perencanaan<br />

Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri. Musrenbang<br />

tahun 2007 diselenggarakan sesuai jadwal sebagai berikut:<br />

a. Musrenbang Desa/Kelurahan dilaksanakan pada bulan Januari 2007;<br />

b. Musrenbang Kecamatan dilaksanakan bulan Februari 2007 sebelum<br />

Musrenbang Kabupaten dan Kota;<br />

c. Musrenbang Kabupaten/Kota dilaksanakan pada bulan Maret 2007;<br />

d. Rapat Koordinasi Pusat (Rakorpus) RKP Tahun 2008 dilaksanakan pada akhir<br />

bulan Februari 2007;<br />

e. Musrenbang <strong>Provinsi</strong> dilaksanakan pada bulan April 2007, setelah<br />

penyelenggaraan Musrenbang Kabupaten/Kota dan penyelenggaraan Rakorpus<br />

RKP Tahun 2008;<br />

II-31


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

f. Musrenbang Nasional (Musrenbangnas) dilaksanakan pada akhir bulan April 2007,<br />

setelah penyelenggaraan Musrenbang <strong>Provinsi</strong>.<br />

2.5. PENUTUP<br />

Perencanaan dan penganggaran dalam pembangunan <strong>daerah</strong> diperlukan agar<br />

pembangunan <strong>daerah</strong> dapat berjalan dengan efisien, efektif, tepat pada sasaran,<br />

dan berkelanjutan dengan mamanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal.<br />

Pembangunan <strong>daerah</strong> juga harus dapat berjalan dengan sinergi, terintegrasi, dan<br />

terpadu, baik antar wilayah, antar sektor, maupun antar tingkat pemerintahan.<br />

Koordinasi dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan <strong>daerah</strong>, baik yang<br />

bersifat horizontal maupun vertikal, dilakukan melalui mekanisme Musrenbang. Dalam<br />

Musrenbang, pelibatan seluruh stakeholders dan partisipasi publik adalah kunci<br />

utama dalam upaya mengefektifkan dan mengoptimalkan proses perencanaan dan<br />

penganggaran dalam pembangunan <strong>daerah</strong>.<br />

Pola dan mekanisme koordinasi dalam proses penyusunan dokumen perencanaan<br />

dan penyelenggaraan musrenbang dalam bab ini masih didasarkan pada surat edaran<br />

bersama (seb) menteri negara perencanaan pembangunan nasional/kepala bappenas<br />

dan menteri dalam negeri no. 0008/m.ppn/01/2007.050/264a/sj tahun 2007 tentang<br />

petunjuk teknis penyelenggaraan musyawarah perencanaan pembangunan tahun 2007.<br />

Hal tersebut dikarenakan sampai bab ini selesai disusun, peraturan pemerintah (pp)<br />

yang secara khusus mengatur tentang tata-cara penyusunan dokumen perencanaan<br />

dan penyelenggaraan musrenbang belum terbit. Sehingga, apabila pp yang dimaksud<br />

terbit atau terdapat seb antara menteri negara perencanaan pembangunan nasional/<br />

kepala bappenas dan menteri dalam negeri tentang petunjuk teknis yang baru, maka<br />

pola dan mekanisme koordinasi dalam proses penyusunan dokumen perencanaan dan<br />

penyelenggaraan musrenbang juga akan berubah sesuai dengan pp yang dimaksud atau<br />

seb yang baru tersebut.<br />

II-32


BAB III<br />

TRANSFER KE DAERAH


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

III-34


Transfer ke Daerah<br />

3.1. PENDAHULUAN<br />

BAB III<br />

TRANSFER KE DAERAH<br />

Terminologi dan nomenklatur Belanja Ke Daerah yang selama ini digunakan dalam APBN<br />

sampai dengan tahun 2007, mulai tahun 2008 nomenklaturnya disesuaikan menjadi<br />

Transfer ke Daerah. Inovasi terbaru tersebut sekaligus menjawab adanya tuntutan Good<br />

Corporate Governance melalui efisiensi dan efektifitas birokrasi serta transparansi dan<br />

akuntabilitas keuangan pemerintahan Pusat dan Daerah yang lebih baik. Di samping<br />

itu adanya perkembangan terkini dalam hal percepatan pembangunan dan peningkatan<br />

pertumbuhan ekonomi di <strong>daerah</strong>, maka berbagai pertimbangan strategis Pemerintah<br />

untuk mempercepat tingkat penyerapan dana Transfer ke Daerah tersebut menjadi isu<br />

yang penting.<br />

Untuk itu, Pemerintah berupaya terus melakukan pembenahan dan peningkatan<br />

(continuous improvement) kualitas pengelolaan anggaran yang didesentralisasikan ke<br />

<strong>daerah</strong> yang antara lain melalui perbaikan desain (redesign) mekanisme penyaluran<br />

yang selama ini agak rancu mengenai pemahaman adanya perbedaan antara terminologi<br />

Transfer ke Daerah dengan Belanja ke Daerah. Hal ini dapat diketahui dengan adanya<br />

perbedaan pola pandang terhadap pengelolaan anggaran terkait hubungan keuangan<br />

antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta interpretasi atas UU Nomor 17 Tahun 2003<br />

dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Adapun mekanisme pelaksanaan anggaran dan pola<br />

penyaluran yang berlangsung sampai dengan tahun 2007 adalah sebagai berikut :<br />

- Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna (PA/KPA) diarahkan kepada <strong>daerah</strong><br />

penerima dan pengguna alokasi, sehingga sampai dengan tahun 2007 pemerintah<br />

<strong>daerah</strong> diperlakukan sebagai KPA yang menerbitkan SPM dan mengajukannya<br />

kepada KPPN setempat;<br />

- Proses penerbitan SPM dan dokumen anggaran lainnya yang tersebar di 467<br />

<strong>daerah</strong> dan diajukan kepada 178 KPPN untuk diterbitkan SP2D dapat menimbulkan<br />

dampak high cost baik dari sisi birokrasi maupun jumlah dokumen yang diterbitkan;<br />

- Pada tahap selanjutnya, karena demikian luasnya cakupan <strong>daerah</strong> dan banyaknya<br />

jumlah dokumen yang harus ditangani, maka berimplikasi pada sulitnya untuk<br />

mendorong terhadap penyelesaian Laporan Realisasi Transfer ke Daerah yang<br />

lebih tepat waktu dan tepat sasaran;<br />

III-35


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

- Dalam hal penyusunan dan pertanggungjawaban anggaran klasifikasi<br />

pengeluarannya disamakan dengan belanja.<br />

- Implikasi akhir dari kondisi di atas, dapat berpengaruh terhadap sulitnya <strong>daerah</strong><br />

untuk memenuhi percepatan penetapan & pelaksanaan APBD sesuai dengan batas<br />

waktu yang telah ditetapkan peraturan perundangan<br />

Di sisi lain, dalam rangka pelaksanaan dan pertanggungjawaban dana-dana yang<br />

dialokasikan dari APBN ke APBD, pola penyaluran yang tersebar dan tidak terintegrasi<br />

secara terpusat akan menyulitkan Pemerintah dalam melakukan monitoring dan<br />

evaluasi terhadap penggunaan dana-dana tersebut di <strong>daerah</strong>. Untuk itu, kelengkapan<br />

laporan pertanggungjawaban serta kebutuhan secara absolut akan dokumen sumber<br />

untuk penyusunan laporan realisasi transfer tersebut menjadi hal penting. Kondisi<br />

tersebut memerlukan adanya kepastian tersedianya dokumen sumber untuk keperluan<br />

penyusunan Laporan Realisasi Transfer secara cepat, lengkap, dan akurat, yang belum<br />

dapat dipenuhi sampai dengan tahun 2007 apabila dokumen sumber berupa SPM<br />

tersebar di 484 KPA/<strong>daerah</strong> dan SP2D terpencar di 178 KPPN.<br />

Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka perlu dilakukan dan penyempurnaan<br />

dan penyelarasan mekanisme dan pertanggungjawaban transfer ke <strong>daerah</strong> sesuai<br />

ketentuan perundangan yang berlaku, antara lain pertama, melalui positioning PA/KPA<br />

yang semula dipahami ada di pemerintah <strong>daerah</strong> maka diselaraskan bahwa Pengguna<br />

Anggaran Transfer adalah Menteri Keuangan. Kedua, melakukan perubahan nomenklatur<br />

Belanja Ke Daerah menjadi Transfer Ke Daerah dalam I-Account APBN 2008 dan telah<br />

ditetapkan melalui PMK Nomor 91 Tahun 2007 tentang Bagan Akun Standar. Ketiga,<br />

mewujudkan amanat Pasal 6 UU nomor 17 Th 2003 bahwa kekuasaan keuangan <strong>daerah</strong><br />

oleh Presiden diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota. Keempat, Pemindahbukuan<br />

dari Rek Kas Negara (BUN) ke Rekening Kas Daerah (BUD) dalam rangka cash flow<br />

management. Dengan demikian, kebutuhan secara absolut akan dokumen sumber untuk<br />

penyusunan laporan realisasi transfer dapat teratasi apabila penyalurannya terintegrasi<br />

secara terpusat melalui mekanisme transfer.<br />

Manfaat yang cukup signifikan dengan adanya penerapan mekanisme Transfer ke<br />

Daerah selain dapat mendorong percepatan penyusunan, penetapan, dan pelaksanaan<br />

APBD juga dapat meningkatkan efisiensi di semua lini dan proses pelaksanaan dan<br />

pertanggungjawaban Transfer ke Daerah. Efisiensi tersebut mencakup efisiensi birokrasi<br />

yang harus dilalui, efisiensi anggaran dari biaya yang ditimbulkan, SDM yang dibutuhkan<br />

lebih minimal, efisiensi waktu lebih cepat karena langsung ditransfer dari Rekening Kas<br />

Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), efisiensi Sistem Informasi<br />

Keuangan Daerah, dan efisiensi pelaporan anggaran. Pada tahap selanjutnya, Transfer<br />

ke Daerah tersebut mendorong penggunaan satu Rekening Kas Umum Daerah untuk<br />

III-36


Transfer ke Daerah<br />

menampung transfer dari APBN dan APBD (Treasury Single Account) di <strong>daerah</strong> serta<br />

mempercepat penetapan, pelaksanaan penyerapan dana APBD.<br />

Selanjutnya, Transfer ke Daerah terdiri dari Dana Perimbangan, dan Dana Otonomi<br />

Khusus dan Penyesuaian. Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana bagi hasil dari<br />

penerimaan pajak dan SDA, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus merupakan<br />

sumber pendanaan bagi <strong>daerah</strong> dalam melaksanakan desentralisasi, yang alokasinya<br />

tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain mengingat tujuan masing-masing jenis<br />

penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.<br />

3.2. DANA BAGI HASIL<br />

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang<br />

dialokasikan kepada <strong>daerah</strong> dengan angka persentase tertentu didasarkan atas <strong>daerah</strong><br />

penghasil untuk mendanai kebutuhan <strong>daerah</strong> dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.<br />

Pengaturan DBH mempertegas bahwa sumber pembagian berasal dari APBN<br />

berdasarkan angka persentase tertentu dengan lebih memperhatikan potensi <strong>daerah</strong><br />

penghasil. Jenis pendapatan dalam APBN yang dibagihasilkan meliputi beberapa jenis<br />

potensi pajak dan potensi sumber daya alam yang dikelola oleh pusat. Berjalannya sistem<br />

transfer dalam DBH mencerminkan adanya otonomi yang seluas-luasnya dalam upaya<br />

meningkatkan pertumbuhan ekonomi <strong>daerah</strong>. Tujuan utama dari Dana Bagi Hasil adalah<br />

untuk mengurangi ketimpangan fiskal vertikal antara Pemerintah Pusat dan <strong>daerah</strong>.<br />

3.2.1. DANA BAGI HASIL PAJAK<br />

Peningkatan pemahaman <strong>daerah</strong> tentang kebijakan dan mekanisme perhitungan dana<br />

bagi hasil pajak dan sumber daya alam merupakan seuatu tuntutan sehingga Pemerintah<br />

Daerah dapat mengetahui dengan jelas arah kebijakan dan formula berikut data yang<br />

dibutuhkan dalam perhitungannya. Bagi Hasil Pajak adalah pembagian seluruh atau<br />

sebagian hasil penerimaan pajak dari suatu tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi<br />

kepada tingkatan pemerintahan di bawahnya dalam rangka pendanaan penyelenggaraan<br />

pemerintahan. Kebijakan adanya Bagi Hasil Pajak ini dilatarbelakangi oleh:<br />

1) Tingginya kebutuhan pembiayaan dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan<br />

di <strong>daerah</strong>, tidak seimbang dengan besarnya pendapatan <strong>daerah</strong> itu sendiri;<br />

2) Keterbatasan kemampuan Pemerintah Daerah dalam pengumpulan dana secara<br />

mandiri;<br />

3) Adanya jenis penerimaan pajak dan atau bukan pajak yang berdasarkan<br />

pertimbangan tertentu pemungutannya harus dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat,<br />

namun obyek dan atau subyek pajaknya berada di <strong>daerah</strong>;<br />

III-37


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

4) Memperkecil kesenjangan ekonomi antar <strong>daerah</strong>;<br />

5) Memberikan insentif kepada <strong>daerah</strong> dalam melaksanakan program Pemerintah<br />

Pusat;<br />

6) Memberikan kompensasi kepada <strong>daerah</strong> atas timbulnya beban dari kegiatan yang<br />

dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat.<br />

Bagian Bagi Hasil Pajak yang diterima oleh <strong>daerah</strong> ditentukan berdasarkan formula<br />

sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bagi Hasil Pajak bersumber dari:<br />

a) Pajak Penghasilan (PPh) WP Orang Pribadi Dalam Negeri;<br />

b) PPh Pasal 21;<br />

c) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); dan<br />

d) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).<br />

Gambar 3.1.<br />

Skema Bagi Hasil Pajak<br />

Sumber: UU No. 33/2004<br />

III-38


Transfer ke Daerah<br />

3.2.1.1. Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi<br />

Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21<br />

1. Dana Bagi Hasil PPh<br />

• Alokasi Dana Bagi Hasil PPh didasarkan pada PP No.55 Tahun 2005 tentang<br />

Dana Perimbangan.<br />

• Pajak Negara dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 dan 29 Orang Pribadi<br />

dialokasikan kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil.<br />

• Bagian Pemerintah Pusat sebesar 80%.<br />

• Bagian Pemerintah Daerah sebesar 20%, yang dibagi kembali dengan<br />

komposisi sebagai berikut:<br />

o Bagian Daerah <strong>Provinsi</strong> sebesar 8%.<br />

o<br />

Bagian Daerah Kabupaten atau Kota sebesar 12%, akan dibagi kembali<br />

dengan rincian :<br />

8,4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar; dan<br />

3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan<br />

dengan bagian yang sama besar.<br />

• Alokasi sementara, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat<br />

2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan,<br />

sebagai dasar penyaluran triwulan I, II dan III tahun anggaran berjalan dimana<br />

ditetapkan masing-masing sebesar 20%.<br />

• Alokasi definitif, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat pada<br />

bulan pertama triwulan IV tahun anggaran berjalan, sebagai dasar penyaluran<br />

triwulan IV dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah dicairkan selama<br />

triwulan I, II dan III.<br />

2. Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh<br />

• Penyaluran Dana Bagi Hasil PPh mengacu pada Pasal 19 PMK No.04/<br />

PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran<br />

Transfer ke Daerah.<br />

o<br />

o<br />

Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan DBH PPh Pasal 21 dilaksanakan<br />

berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh WPOPDN dan PPh<br />

Pasal 21 tahun anggaran berjalan.<br />

Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan DBH PPh Pasal 21 dilaksanakan<br />

secara triwulanan, dengan rincian sebagai berikut :<br />

• Penyaluran triwulan I sampai dengan triwulan III masing-masing<br />

sebesar 20% (dua puluh persen) dari alokasi sementara;<br />

III-39


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

• Penyaluran triwulan IV didasarkan pada selisih antara pembagian<br />

definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan I<br />

sampai dengan triwulan III.<br />

• Dalam hal terjadi kelebihan penyaluran karena penyaluran triwulan I<br />

sampai dengan triwulan III yang didasarkan atas alokasi sementara<br />

lebih besar daripada alokasi definitif, maka kelebihan dimaksud<br />

diperhitungkan dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya.<br />

3.2.1.2. DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)<br />

• Penerimaan Negara dari PBB dialokasikan kepada Pemerintah <strong>daerah</strong> dalam Dana<br />

Bagi Hasil.<br />

• Bagian Pemerintah Pusat 10%.<br />

• Bagian Pemerintah Daerah 90%.<br />

• Bagian Pemerintah Pusat dibagi kembali ke <strong>daerah</strong> dengan imbangan sebagai<br />

berikut:<br />

o<br />

o<br />

6,5% dibagi secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota.<br />

3,5% dibagikan sebagai insentif kepada Daerah Kabupaten/Kota yang realisasi<br />

Penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada TA sebelumnya<br />

mencapai/ melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.<br />

• Bagian Daerah dari PBB sebesar 90% tersebut diperinci dengan imbangan:<br />

o<br />

o<br />

o<br />

16,2% untuk Daerah <strong>Provinsi</strong>.<br />

64,8% untuk Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.<br />

9% untuk Biaya Pemungutan PBB.<br />

• Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB didasarkan atas perkiraan alokasi, yang ditetapkan<br />

oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang<br />

bersangkutan dilaksanakan, sebagai dasar penyaluran tahun anggaran berjalan.<br />

• Untuk Dana Bagi Hasil PBB bagian Pusat, perkiraan alokasi merupakan dasar<br />

penyaluran tahap I dan II dimana ditetapkan masing-masing sebesar 20% dan<br />

50%.<br />

• Untuk Dana Bagi Hasil PBB bagian Pusat, prognosa realisasi penerimaan oleh<br />

Ditjen Pajak ditetapkan sebagai dasar alokasi definitif, sebagai dasar penyaluran<br />

tahap III dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah dicairkan selama tahap<br />

I dan II. Berdasarkan prognosa realisasi penerimaan tersebut dalam tahap III ini<br />

III-40


Transfer ke Daerah<br />

dialokasikan pula insentif kepada kabupaten dan/kota yang realisasi penerimaan<br />

PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/<br />

melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.<br />

1. Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB<br />

• Penyaluran DBH PBB didasarkan pada Pasal 17, PMK No:04/PMK.07/2008<br />

tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.<br />

• Penyaluran DBH PBB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan PBB<br />

tahun anggaran berjalan.<br />

• Penyaluran DBH PBB bagian <strong>daerah</strong> dilaksanakan secara mingguan.<br />

• Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan secara merata kepada<br />

seluruh kabupaten dan kota dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu bulan April,<br />

bulan Agustus, dan bulan November tahun anggaran berjalan.<br />

• Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan sebagai insentif<br />

kepada kabupaten dan kota yang realisasi penerimaan PBB sector pedesaan<br />

dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui<br />

rencana penerimaan yang ditetapkan, dilaksanakan dalam bulan November<br />

tahun anggaran berjalan.<br />

• Penyaluran Biaya Pemungutan PBB bagian <strong>daerah</strong> dilaksanakan secara<br />

bulanan<br />

2. Perhitungan Dana Bagi Hasil PBB<br />

• Besar PBB yang dibebankan ke wajib pajak tergantung hasil penilaian yang<br />

diklasifikasikan dan digolongkan berdasarkan besarya NJOP per m2. Nilai Jual<br />

Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang<br />

sejenis atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti.<br />

• Tarif untuk pengenaan PBB ditetapkan sebesar 0,5% dari Nilai Jual Kena<br />

Pajak (NJKP), sedangkan NJKP adalah Assessment Ratio yang berlaku saat<br />

ini adalah 40% untuk obyek pajak perumahan dengan NJOP Rp. 1 milyar atau<br />

lebih, bidang usaha perkebunan serta perhutanan dan 20% untuk obyek pajak<br />

lainnya.<br />

• Dengan dasar perhitungan di atas maka perhitungan PBB adalah sebagai<br />

berikut:<br />

= tarif X NJKP<br />

= 0,5 % X ( 40 % X NJOP)<br />

= (20% X NJOP)<br />

III-41


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

• NJOP sebagai dasar pengenaan PBB sebelum dihitung beban PBB-nya, terlebih<br />

dahulu dikurangi dengan NJOP-TKP (Tidak Kena Pajak) per Wajib Pajak sebesar<br />

Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah).<br />

• Pengenaan PBB diberitahukan kepada Wajib Pajak dengan menerbitkan SPPT<br />

(Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) yang berisikan antara lain nama serta alamat<br />

wajib pajak, besarnya pajak terutang, dan data-data mengenai obyek pajak.<br />

3.2.1.3. DBH Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan<br />

(BPHTB)<br />

• Bagian Pemerintah Pusat sebesar 20%, yang dibagikan kembali ke <strong>daerah</strong> secara<br />

merata kepada seluruh Kabupaten/Kota. Bagian Pemerintah Daerah sebesar 80%,<br />

yang dibagikan kembali dengan imbangan sebagai berikut:<br />

o Bagian <strong>Provinsi</strong> sebesar 16%.<br />

o Bagian Kabupaten/Kota sebesar 64%.<br />

• Perkiraan alokasi ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan<br />

sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, sebagai dasar<br />

penyaluran tahun anggaran berjalan. Untuk Dana Bagi Hasil BPHTB bagian Pusat,<br />

perkiraan alokasi merupakan dasar penyaluran tahap I dan II dimana ditetapkan<br />

masing-masing sebesar 20% dan 50%.<br />

• Untuk Dana Bagi Hasil BPHTB bagian Pusat, prognosa realisasi penerimaan oleh<br />

Ditjen Pajak ditetapkan sebagai dasar alokasi definitif, sebagai dasar penyaluran<br />

tahap III dengan memperhitungkan jumlah dana yang telah dicairkan selama tahap I<br />

dan II.<br />

1. Penyaluran Dana Bagi Hasil BPHTB<br />

Penyaluran DBH PBB didasarkan pada Pasal 17, PMK No:04/PMK.07/2008 tentang<br />

Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah. Penyaluran DBH<br />

BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan.<br />

Untuk Dana Bagi Hasil BPHTB bagian Daerah penyaluran BPHTB dilaksanakan secara<br />

mingguan (setiap Jum’at). Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan<br />

secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu<br />

bulan April, bulan Agustus, dan bulan November tahun anggaran berjalan.<br />

III-42


Transfer ke Daerah<br />

2. Perhitungan Dana Bagi Hasil BPHTB<br />

• Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP). NPOP<br />

dapat berupa harga transaksi atau nilai pasar obyek pajak. Yang dimaksud dengan<br />

harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak<br />

yang bersangkutan. Nilai pasar obyek pajak adalah harga rata-rata dari transaksi<br />

jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.<br />

• Harga transaksi digunakan untuk obyek pajak karena jual beli dan penunjukkan<br />

pembeli dalam letang. Sedangkan nilai pasar obyek pajak digunakan dalam hal<br />

tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, pemisahan hak, perolehan hak<br />

karena putusan hakim, dan pemberian hak baru.<br />

• Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara menaikan tarif pajak dengan<br />

Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). NPOPKP adalah NJOP<br />

dikurang dengan NPOPTKP. Sehingga cara penghitungan pajak yang terutang<br />

adalah sebagai berikut:<br />

BPHTB terutang = NPOPKP x Tarif<br />

= (NPOP - NPOPTKP) x Tarif<br />

= (NPOP - Rp. 30.000.000,00) x 5 %<br />

• Apabila dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah NJOP PBB, maka cara<br />

perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut:<br />

BPHTB terutang = (NJOP PBB - Rp. 30.000.000,00) x 5%.<br />

• Besarnya NPOPTKP tersebut dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah, dengan<br />

mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan<br />

harga umum tanah dan atau bangunan.<br />

3.2.2. DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM<br />

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang<br />

dialokasikan kepada <strong>daerah</strong> dengan angka persentase tertentu didasarkan atas <strong>daerah</strong><br />

penghasil untuk mendanai kebutuhan <strong>daerah</strong> dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.<br />

DBH Sumber Daya Alam berasal dari penerimaan:<br />

a. Pertambangan Minyak Bumi;<br />

b. Pertambangan Gas Bumi;<br />

c. Pertambangan Umum;<br />

III-43


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

d. Pertambangan Panas Bumi;<br />

e. Kehutanan; dan<br />

f. Perikanan.<br />

Persentase alokasi dana bagi hasil Sumber Daya Alam ditunjukkan dalam skema<br />

berikut:<br />

Gambar 3.2.<br />

Skema Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam<br />

Sumber: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004<br />

Beberapa hal baru yang diatur dan ditegaskan dalam hal Dana bagi hasil Sumber Daya<br />

Alam oleh UU No. 33 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:<br />

1. Adanya penambahan obyek dana bagi hasil sumber daya alam, yaitu:<br />

III-44


Transfer ke Daerah<br />

- Dana Reboisasi (sebelumnya DAK-DR). Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan<br />

sumber penerimaan yang berasal dari kehutanan yakni semula dana alokasi<br />

khusus dana reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH dana reboisasi (DBH-DR)<br />

- Sumber Daya Alam Panas Bumi.<br />

2. Adanya Penegasan mekanisme, yakni:<br />

- Penetapan alokasi dana bagi hasil sumber daya alam dilakukan berdasarkan<br />

<strong>daerah</strong> penghasil, dan dasar perhitungan.<br />

- Jadwal penetapan.<br />

- Penyaluran dana bagi hasil sumber daya alam dilakukan secara triwulanan.<br />

3. Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan Pertambangan Minyak<br />

Bumi kepada Daerah yang dihasilkan dari wilayah <strong>daerah</strong> yang bersangkutan<br />

setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan<br />

perundang-undangan.<br />

- Bagian Pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 84,5%.<br />

- Bagian Daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 15,5%.<br />

4. Penambahan persentase sebesar 0,5% dari penerimaan Gas Bumi kepada Daerah<br />

yang dihasilkan dari wilayah <strong>daerah</strong> yang bersangkutan setelah dikurangi komponen<br />

pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />

- Bagian Pemerintah dari minyak bumi menjadi sebesar 69,5%.<br />

- Bagian Daerah dari minyak bumi menjadi sebesar 30,5%.<br />

5. Tambahan Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk<br />

Daerah sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar<br />

dan dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009.<br />

Adapun pembagian porsi tambahan tersebut dibagikan dengan perincian:<br />

- untuk provinsi yang bersangkutan sebesar 0,1%.<br />

- untuk kabupaten/kota penghasil 0,2%; dan<br />

- untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan 0,2%.<br />

6. Realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak<br />

melebihi 130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan dan gas bumi dalam<br />

APBN tahun berjalan; dan apabila melebihi 130%, penyalurannya dilakukan melalui<br />

mekanisme formula DAU.<br />

III-45


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

3.2.2.1. DBH SDA Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (DBH<br />

SDA MIGAS)<br />

1. Pola Pembagian Dana Bagi Hasil Migas<br />

DBH SDA Migas adalah DBH yang berasal dari penerimaan negara SDA pertambangan<br />

minyak dan gas bumi dari wilayah kabupaten/kota maupun wilayah provinsi yang<br />

bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.<br />

a. DBH SDA Migas berasal dari wilayah kabupaten/kota apabila sumur penghasil<br />

migas tersebut terletak di wilayah daratan atau wilayah off-shore 0 – 4 mil laut<br />

di kabupaten/kota yang bersangkutan. Adapun pembagian DBH SDA Migas<br />

untuk wilayah kabupaten/kota adalah sebagai berikut:<br />

(i)<br />

Minyak Bumi:<br />

- 85% untuk Pemerintah Pusat,<br />

- 3% untuk <strong>Provinsi</strong> yang bersangkutan,<br />

- 6% untuk Kabupaten/Kota penghasil,<br />

- 6% dibagikan secara merata untuk Kabupaten/Kota lainnya di provinsi<br />

yang bersangkutan.<br />

(ii) Gas Bumi:<br />

- 70% untuk Pemerintah Pusat,<br />

- 6% untuk <strong>Provinsi</strong> yang bersangkutan,<br />

- 12% untuk Kabupaten/Kota penghasil,<br />

- 12% dibagikan secara merata untuk Kabupaten/Kota lainnya di<br />

provinsi yang bersangkutan.<br />

(iii) Selanjutnya, tambahan alokasi untuk Anggaran Pendidikan Dasar<br />

(dilaksanakan mulai tahun 2009) sebesar 0.5% dari bagian Pemerintah<br />

Pusat untuk <strong>daerah</strong> dengan pembagian sebagai berikut:<br />

- 0,1% untuk <strong>Provinsi</strong> yang bersangkutan,<br />

- 0,2% untuk Kabupaten/Kota penghasil,<br />

- 0,2% dibagikan secara merata untuk Kabupaten/Kota lainnya di<br />

provinsi yang bersangkutan.<br />

b<br />

DBH SDA Migas berasal dari wilayah provinsi apabila sumur penghasil<br />

migas tersebut terletak di wilayah off-shore 4 – 12 mil laut di provinsi yang<br />

bersangkutan. Adapun pembagian DBH SDA Migas untuk wilayah provinsi<br />

adalah sebagai berikut:<br />

(i)<br />

Minyak Bumi:<br />

- 85% untuk Pemerintah Pusat,<br />

- 5% untuk <strong>Provinsi</strong> penghasil,<br />

III-46


Transfer ke Daerah<br />

- 10% dibagikan secara merata untuk seluruh Kabupaten/Kota di<br />

provinsi yang bersangkutan.<br />

(ii) Gas Bumi:<br />

- 70% untuk Pemerintah Pusat,<br />

- 10% untuk <strong>Provinsi</strong> yang bersangkutan,<br />

- 20% dibagikan secara merata untuk seluruh Kabupaten/Kota di<br />

provinsi yang bersangkutan.<br />

(iii) Tambahan alokasi untuk Anggaran Pendidikan Dasar (dilaksanakan mulai<br />

tahun 2009) sebesar 0.5% dari bagian Pemerintah Pusat untuk <strong>daerah</strong><br />

dengan pembagian sebagai berikut:<br />

- 0,17% untuk <strong>Provinsi</strong> yang bersangkutan,<br />

- 0,33% dibagikan secara merata untuk seluruh Kabupaten/Kota di<br />

provinsi yang bersangkutan.<br />

c. Di samping pembagian tersebut di atas, khusus untuk provinsi NAD diberikan<br />

tambahan alokasi yang diambilkan dari bagian pemerintah pusat dan diberikan<br />

ke pemerintah provinsi sebagai berikut:<br />

- tambahan alokasi minyak bumi sebesar 55%,<br />

- tambahan alokasi gas bumi sebesar 40%.<br />

2. Proses Penetapan<br />

Proses penetapan perkiraan-perkiraan alokasi DBH SDA Migas sebagai berikut:<br />

a. Penetapan besaran asumsi dasar berupa prognosa lifting, kurs Rupiah terhadap<br />

Dollar, dan harga minyak melalui penetapan asumsi makro APBN antara Pemerintah<br />

dengan DPR.<br />

b. Berdasarkan asumsi dasar tersebut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral<br />

(ESDM) menetapkan <strong>daerah</strong> penghasil dan dasar penghitungan DBH SDA Migas.<br />

Ketetapan tersebut paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran<br />

bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri. Ketetapan<br />

tersebut disampaikan ke Menteri Keuangan.<br />

Dalam hal lapangan migas tersebut berada pada wilayah yang berbatasan atau<br />

berada pada lebih dari satu <strong>daerah</strong>, Menteri Dalam Negeri menetapkan <strong>daerah</strong><br />

penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling<br />

lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri<br />

teknis. Ketetapan Menteri Dalam Negeri tersebut menjadi dasar penghitungan DBH<br />

SDA Migas oleh Menteri ESDM.<br />

III-47


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Tabel 3.1.<br />

Formulasi Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi<br />

Jenis Sumber Daya Alam Formula Alokasi Dasar Hukum<br />

Penerimaan Negara<br />

dari Pertambangan<br />

Minyak Bumi dari<br />

Wilayah Daerah<br />

setelah dikurangi<br />

komponen pajak.<br />

Penerimaan Negara<br />

dari Pertambangan<br />

Gas Alam dari Wilayah<br />

Daerah setelah<br />

dikurangi komponen<br />

pajak.<br />

A. Wilayah 0-4 mil:<br />

- Pusat= 85%<br />

- <strong>Provinsi</strong> ybs= 3%<br />

- Kab/Kota penghasil= 6%<br />

- Kab/Kota Lainnya dlm<br />

<strong>Provinsi</strong> ybs= 6%<br />

B. Wilayah 4-12 mil:<br />

- Pusat= 85%<br />

- <strong>Provinsi</strong> ybs= 5%<br />

- Kab/Kota Lainnya dlm<br />

<strong>Provinsi</strong> ybs= 10%<br />

A. Wilayah 0-4 mil:<br />

- Pusat= 70%<br />

- <strong>Provinsi</strong> ybs= 6%<br />

- Kab/Kota penghasil= 12%<br />

- Kab/Kota Lainnya dlm<br />

<strong>Provinsi</strong> ybs= 12%<br />

B. Wilayah 4-12 mil:<br />

- Pusat= 70%<br />

- <strong>Provinsi</strong> ybs= 10%<br />

- Kab/Kota Lainnya dlm<br />

<strong>Provinsi</strong> ybs= 20%<br />

• UU No.8/1971Bab 6 pasal<br />

18: Kewajiban Perusahaan<br />

Pertambangan Minyak dan<br />

Gas Bumi Negara.<br />

• UU No.33/2004 Bab 6<br />

pasal 10: Bagian Daerah<br />

dari penerimaan PBB,<br />

Bea Perolehan Hak atas<br />

Tanah dan Bangunan, dan<br />

Penerimaan dari SDA.<br />

• UU No 22/2001 tentang<br />

Minyak dan gas Bumi<br />

• PP No. 55 Tahun 2005<br />

tentang Dana Perimbangan<br />

Pasal 15,21,22,23,24, dan 25.<br />

• Peraturan Pemerintah No. 41<br />

tahun 1982 yang mengatur<br />

mengenai kewajiban dan<br />

tatacara penyetoran<br />

pendapatan Pemerintah<br />

dari hasil operasi Pertamina<br />

Sendiri dan Kontrak<br />

Production Sharing.<br />

• PP No. 35/1994: Syarat-syarat<br />

dan Pedoman Kerjasama<br />

Kontrak Bagi Hasil Minyak<br />

Bumi dan Gas.<br />

• Inpres No. 12 tahun 1975<br />

yang mengatur tatacara<br />

penyetoran penerimaan<br />

negara yang berasal dari<br />

pelaksanaan kontrak karya<br />

KPS dan kegiatan Pertamina<br />

sendiri.<br />

• Kontrak kerjasama antara<br />

Pertamina/Pemerintah<br />

dengan kontraktor bidang<br />

pertambangan migas dalam<br />

bentuk kontrak production<br />

sharing.<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

III-48


Transfer ke Daerah<br />

c. Bersamaan dengan proses tersebut, <strong>Badan</strong> Pelaksana Usaha Hulu Migas (BP<br />

Migas) melakukan perhitungan perkiraan Cost Recovery, Gross Revenue, First<br />

Trance Petroleoum (FTP), dan Bagian Pemerintah per Kontraktor Kontrak Kerja<br />

Sama (KKKS).<br />

d. Berdasarkan Ketetapan Menteri ESDM tersebut, Dirjen Anggaran melakukan<br />

perhitungan perkiraan faktor-faktor pengurang (Domestic Market Obligation/DMO,<br />

Fee Usaha Hulu Migas, PPN, PBB sektor pertambangan Migas, Pajak Daerah dan<br />

Retribusi Daerah) dan PNBP Migas per KKKS.<br />

e. Berdasarkan Ketetapan Menteri ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran tersebut,<br />

Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan Perkiraan Alokasi DBH<br />

SDA Migas. Perhitungan Perkiraan Alokasi tersebut diajukan ke Menteri Keuangan<br />

untuk ditetapkan sebagai PMK Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas. Penetapan PMK<br />

tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima ketetapan Menteri<br />

ESDM dan perhitungan Dirjen Anggaran.<br />

3. Proses Perhitungan<br />

Proses perhitungan alokasi DBH SDA Migas berdasarkan prinsip-prinsip sebagai<br />

berikut:<br />

1. Pelaksanaan Dana Bagi Hasil SDA Migas dilakukan berdasarkan realisasi.<br />

2. Dana yang dibagi hasilkan adalah penerimaan negara dari wilayah <strong>daerah</strong> yang<br />

bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai<br />

peraturan perundangan.<br />

Proses perhitungan alokasi DBH SDA Migas sebagai berikut:<br />

a. Ditjen Migas Dep. ESDM mengumpulkan data realisasi lifting dari semua KKKS<br />

selama satu triwulan. Periode lifting ini sebagai berikut:<br />

- Triwulan I : Desember s.d Februari;<br />

- Triwulan II : Maret s.d Mei;<br />

- Triwulan III : Juni s.d Agustus;<br />

- Triwulan IV : September s.d November;<br />

b. Berdasarkan data realisasi lifting dan harga penjualan migas, Ditjen Migas<br />

akan menghitung realisasi lifting per <strong>daerah</strong> dan Gross Revenue per <strong>daerah</strong>.<br />

Selanjutnya Ditjen Migas akan melaksanakan rekonsiliasi realisasi lifting<br />

dengan <strong>daerah</strong> penghasil. Hasil rekonsiliasi tersebut akan disampaikan ke<br />

Direktorat PNBP - DJA dan Direktorat Dana Perimbangan - DJPK.<br />

III-49


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

c. Bersamaan dengan itu BP Migas akan menghitung besarnya nilai Cost<br />

Recovery, Gross Revenue, FTP, dan Bagian Pemerintah per KKKS untuk<br />

triwulan bersangkutan. Data tersebut akan disampaikan ke Direktorat PNBP<br />

– DJA.<br />

d. Direktorat PNBP – DJA akan menghitung besarnya faktor-faktor pengurang<br />

per KKKS yang terdiri dari DMO, over/under lifting, fee usaha hulu migas, PPN,<br />

PBB Migas, dan PDRD, dan menghitung angka PNBP per KKKS untuk triwulan<br />

bersangkutan.<br />

e. Direktorat Dana Perimbangan akan menghitung rasio lifting dan gross revenue,<br />

PNBP per <strong>daerah</strong>, dan DBH per <strong>daerah</strong>.<br />

Gambar 3.3.<br />

Alur Data dan Perhitungan DBH SDA Minyak Bumi<br />

Sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

4. Perhitungan DBH per Daerah<br />

Perhitungan DBH SDA Migas per <strong>daerah</strong> sampai saat ini menggunakan pendekatan rasio<br />

gross revenue karena:<br />

- Data realisasi lifting dan gross revenue yang diterima dari Ditjen Migas adalah<br />

realisasi lifting dan gross revenue per <strong>daerah</strong> penghasil;<br />

III-50


Transfer ke Daerah<br />

- Sementara data realisasi PNBP yang diterima dari Dit. PNBP – DJA adalah realisasi<br />

PNBP per KKKS;<br />

- Untuk itu perlu digunakan pola sebaran yang tepat atau paling tidak bisa mendekati<br />

untuk membagi PNBP per KKKS ke masing-masing <strong>daerah</strong> penghasil;<br />

- Karena realisasi PNBP per KKKS dalam bentuk satuan mata uang, maka digunakan<br />

pendekatan rasio gross revenue.<br />

Gambar 3.4.<br />

Alur Perhitungan DBH SDA Migas<br />

Sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

III-51


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 3.5.<br />

Mekanisme Perhitungan DBH SDA Migas per Daerah<br />

Sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

5. Pola Penyaluran<br />

Penyaluran DBH SDA Migas dilaksanakan dengan pola penyaluran (berdasarkan PMK<br />

612/2004 tentang Perubahan Kedua atas KMK 344 /2001) sebagai berikut:<br />

1. Penyaluran triwulan I (bulan April):<br />

III-52<br />

- ¼ PMK + (koreksi selisih antara perhitungan realisasi sampai dengan triwulan<br />

IV tahun sebelumnya dengan dana yang telah disalurkan sampai dengan<br />

triwulan IV tahun sebelumnya).<br />

2. Penyaluran triwulan II (bulan Juli):<br />

- ¼ PMK + (koreksi selisih antara dana yang telah disalurkan triwulan I dengan<br />

perhitungan perkiraan realisasi triwulan I).<br />

3. Penyaluran triwulan III (bulan Oktober):<br />

- ¼ PMK + (koreksi selisih antara dana yang telah disalurkan sampai dengan<br />

triwulan II (triwulan I+triwulan II) dengan perhitungan perkiraan realisasi sampai<br />

dengan triwulan II).<br />

4. Penyaluran triwulan IV (bulan Desember):


Transfer ke Daerah<br />

- ¼ PMK + (koreksi selisih antara dana yang telah disalurkan sampai dengan<br />

triwulan III (triwulan I + triwulan II + triwulan III) dengan perhitungan perkiraan<br />

realisasi sampai dengan triwulan III).<br />

Gambar 3.6.<br />

Mekanisme Perhitungan Penyaluran DBH SDA Migas per Daerah<br />

(s.d. TA 2007)<br />

Format Perhitungan DBH SDA MIGAS (s.d. 2007)<br />

Triwulan I<br />

¼ PMK<br />

Triwulan II<br />

¼ PMK + (Realisasi Tw I - ¼ PMK)<br />

Triwulan III<br />

¼ PMK + (Realisasi Tw II - [¼ PMK + Realisasi Tw I])<br />

Triwulan IV<br />

¼ PMK + (Realisasi Tw III - [¼ PMK + Realisasi s.d. Tw II])<br />

Sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

Namun untuk 2008, penyaluran dilaksanakan dengan pola sebagai berikut:<br />

1. Penyaluran triwulan I (bulan April):<br />

- 20% PMK.<br />

2. Penyaluran triwulan II (bulan Juli):<br />

- 20% PMK.<br />

3. Penyaluran triwulan III (bulan Oktober):<br />

- (perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan II)<br />

– (penyaluran triwulan I dan II (40 % PMK)) + (lebih salur tahun sebelumnya).<br />

4. Penyaluran triwulan IV (bulan Desember):<br />

-. (perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan<br />

III) – (penyaluran s.d. triwulan III).<br />

5. Penyaluran rampung tahun sebelumnya (bulan Februari):<br />

III-53


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

- (perhitungan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan triwulan<br />

IV) – (penyaluran s.d. triwulan IV).<br />

Gambar 3.7.<br />

Mekanisme Perhitungan Penyaluran DBH SDA Migas per Daerah (2008)<br />

Format Perhitungan DBH SDA MIGAS (2008)<br />

Triwulan I<br />

20% PMK<br />

Triwulan II<br />

20% PMK<br />

Triwulan III<br />

(Realisasi s.d. Tw II) - (Penyaluran s.d. Tw II) + (Lebih Salur 2007)<br />

Triwulan IV<br />

(Realisasi s.d. Tw III) - (Penyaluran s.d. Tw III)<br />

Triwulan V<br />

(Realisasi s.d. Tw IV) - (Penyaluran s.d. Tw IV)<br />

Sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

6. Proses Rekonsiliasi<br />

Setelah diketahui besaran DBH SDA Migas yang akan disalurkan ke masing-masing<br />

provinsi/kabupaten/kota, maka dilakukan proses rekonsiliasi data antara pemerintah<br />

pusat (yang diwakili oleh Depdagri, Ditjen Migas DESDM, BP Migas, DJA, DJP, dan<br />

DJPK) dengan <strong>daerah</strong> penghasil. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 28 PP 55/2005<br />

yang menyatakan bahwa penghitungan realisasi DBH SDA dilakukan secara triwulanan<br />

melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan <strong>daerah</strong> penghasil.<br />

7. Proses Penyaluran<br />

Berdasarkan berita acara rekonsiliasi tersebut, maka dilakukan proses penyaluran DBH<br />

SDA Migas dari rekening kas negara ke rekening kas pemerintah <strong>daerah</strong> penerima DBH<br />

SDA Migas. Proses penyaluran tersebut sebagai berikut:<br />

III-54


Transfer ke Daerah<br />

Dirjen PK mengajukan Surat Permintaan Penerbitan DIPA Migas ke Dirjen<br />

Perbendaharan.<br />

Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharan menerbitkan DIPA Migas<br />

untuk Dirjen PK.<br />

Berdasarkan DIPA tersebut, Direktur Dana Perimbangan sebagai KPA mengajukan SPM<br />

Migas ke Direktur PKN – DJPBN.<br />

Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN – DJPBN menerbitkan SP2D.<br />

Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari rekening kas negara ke rekening<br />

kas pemda provinsi/kabupaten/kota<br />

Gambar 3.8.<br />

Mekanisme Penyaluran DBH SDA Migas (sampai dengan 2007)<br />

Sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

Mulai tahun 2008 diberlakukan sedikit perubahan dalam proses penyaluran ini. Bila<br />

sebelumnya semua dokumen dilaksanakan untuk setiap triwulan, maka mulai tahun 2008<br />

proses permintaan dan penerbitan DIPA dilaksanakan hanya satu kali di awal tahun. Jadi<br />

hanya ada satu DIPA untuk setiap tahunnya. Prosesnya sebagai berikut:<br />

1. Di awal tahun:<br />

a. Berdasarkan PMK Perkiraan Alokasi DBH SDA Migas, Dirjen PK mengajukan<br />

Surat Permintaan Penerbitan DIPA Migas ke Dirjen Perbendaharan.<br />

b. Berdasarkan surat permintaan tersebut, Dirjen Perbendaharan menerbitkan<br />

DIPA Migas untuk satu tahun anggaran.<br />

III-55


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

2. Setiap Penyaluran:<br />

a. Berdasarkan DIPA dan Berita Acara Rekonsiliasi, Direktur Dana Perimbangan<br />

sebagai KPA mengajukan SPM Migas ke Direktur PKN – DJPBN.<br />

b. Berdasarkan SPM Migas tersebut, Direktur PKN – DJPBN menerbitkan SP2D.<br />

c. Berdasarkan SP2D tersebut, BI mentransfer dana dari rekening kas negara ke<br />

rekening kas pemda provinsi/kabupaten/kota<br />

Dengan demikian proses penyaluran dapat dilaksanakan dengan lebih cepat, karena<br />

penyaluran setiap triwulannya tidak lagi melalui proses permintaan dan penerbitan<br />

sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.<br />

Gambar 3.9.<br />

Mekanisme Penyaluran DBH SDA Migas (2008)<br />

Sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

8. Pemantauan dan Evaluasi<br />

Pada dasarnya DBH SDA Migas sebagaimana DBH SDA lainnya bersifat Block Grant<br />

yang kewenangan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemda penerima,<br />

kecuali untuk dana Tambahan Alokasi untuk Anggaran Pendidikan Dasar sebesar 0,5%<br />

harus digunakan untuk sektor pendidikan dasar yang tata cara penggunaannya akan<br />

diatur lebih lanjut dalam PMK.<br />

Menteri Keuangan harus melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan dana<br />

tambahan alokasi untuk anggaran pendidikan dasar tersebut. Pemantauan atas dana<br />

tambahan alokasi ini menyangkut apakah penggunaannya sesuai dengan peruntukannya.<br />

III-56


Transfer ke Daerah<br />

Apabila hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya penyimpangan<br />

pelaksanaannya, maka Menteri Keuangan meminta aparat pengawasan fungsional untuk<br />

melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan<br />

pertimbangan dalam pengalokasian DBH SDA Migas untuk tahun anggaran berikutnya,<br />

yaitu <strong>daerah</strong> tersebut dapat dikenai sanksi administrasi berupa pemotongan penyaluran<br />

DBH SDA Migas untuk periode berikutnya.<br />

3.2.2.2. DBH SDA Pertambangan Umum<br />

Tabel 3.2.<br />

Formulasi Dana Bagi Hasil Pertambangan Umum<br />

Jenis Sumber Daya Alam Formula Alokasi Dasar Hukum<br />

Iuran Tetap (Landrent)<br />

Ket: Tarif (Rp)<br />

berdasarkan tahapan<br />

kegiatan, untuk kuasa<br />

pertambangan (PMDN)<br />

dan Tarif (US $) juga<br />

berdasarkan tahapan<br />

kegiatan untuk<br />

perusahaan kontrak<br />

karya (PMA)<br />

Lokasi SDA Di <strong>Provinsi</strong><br />

• Pusat= 20%<br />

• <strong>Provinsi</strong> ybs= 80%<br />

Lokasi SDA Di Kab/<br />

Kota<br />

• Pusat= 20%<br />

• <strong>Provinsi</strong> ybs= 16%<br />

• Kabupaten/Kota<br />

penghasil= 64%<br />

• UU No.11/1967 Bab 9 pasal<br />

28: Jenis Pungutan Negara<br />

terhadap Kuasa Pertambangan<br />

• UU No.33/2004 Bab 6 pasal 10:<br />

Bagian Daerah dari penerimaan<br />

PBB, Bea Perolehan Hak atas<br />

Tanah dan Bangunan, dan<br />

Penerimaan dari SDA.<br />

• PP No. 55 Tahun 2005 tentang<br />

Dana Perimbangan Pasal 15, 17<br />

dan 18.<br />

• PP No. 32 /1969 tentang<br />

Pelaksanaan UU No.11/1967.<br />

• PP No.79/1992, perubahan atas<br />

PP No.32/1969.<br />

• PP No. 45/2003: Tarif atas Jenis<br />

Penerimaan Negara Bukan<br />

Pajak yg berlaku di Deptamben.<br />

• SK Mentamben No.1165K/844/<br />

M.PE/1992 tentang Penetapan<br />

Tarif Iuran Tetap untuk Usaha<br />

Pertambangan Umum dalam<br />

rangka kuasa pertambangan.<br />

• SK Mentamben No. 931.K/844/<br />

M.PE/1986 tentang Perubahan<br />

Lampiran SK Mentamben No.<br />

175.K/8443/M.PE/1985 tentang<br />

prubahan lampiran Keputusan<br />

Mentamben No. 351/Kpts/1972<br />

tentang Iuran Tetap bagi Usahausaha<br />

Pertambangan PMA<br />

diluar Migas.<br />

III-57


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Jenis Sumber Daya Alam Formula Alokasi Dasar Hukum<br />

Iuran Eksplorasi dan<br />

Iuran Eksploitasi<br />

(Royalti)<br />

Ket: Tarif (%), besarnya<br />

berbeda menurut jenis<br />

dan kualitas bahan<br />

tambang.<br />

Lokasi SDA Di <strong>Provinsi</strong><br />

• Pusat= 20%<br />

• <strong>Provinsi</strong> ybs= 26%<br />

• Kabupaten/Kota<br />

lainnya = 54%<br />

Lokasi SDA Di Kab/<br />

Kota<br />

• Pusat= 20%<br />

• <strong>Provinsi</strong> ybs= 16%<br />

• Kabupaten/Kota<br />

penghasil= 32%<br />

• Kabupaten/Kota<br />

lainnya = 32%<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

• UU No.11/1967 Bab 9 pasal<br />

28: Jenis Pungutan Negara<br />

terhadap Kuasa Pertambangan<br />

• UU No.33/2004 Bab 6 pasal 10:<br />

Bagian Daerah dari penerimaan<br />

PBB, Bea Perolehan Hak atas<br />

Tanah dan Bangunan, dan<br />

Penerimaan dari SDA.<br />

• PP No. 55 Tahun 2005 tentang<br />

Dana Perimbangan Pasal 15, 17<br />

dan 18.<br />

• PP No. 32 /1969 tentang<br />

Pelaksanaan UU No.11/1967.<br />

• PP No.79/1992, perubahan atas<br />

PP No.32/1969.<br />

• PP No. 45/2003 tentang Tarif atas<br />

Jenis Penerimaan Negara Bukan<br />

Pajak yg berlaku di Deptamben.<br />

• Keppres No. 75/1996 tentang<br />

Ketentuan Pokok Perjanjian<br />

Karya Pengusahaan<br />

Pertambangan Batubara<br />

(PKP2B)<br />

Penerimaan negara bukan pajak dari sektor pertambangan umum terdiri dari iuran<br />

eksplorasi dan eksploitasi (royalty) dan iuran tetap (landrent). Iuran tetap (landrent) di<br />

sektor pertambangan umum dibedakan berdasarkan kategori kontraktor: PMA atau<br />

PMDN. Tarif iuran tetap sektor pertambangan umum untuk kontraktor jenis PMA (kontrak<br />

karya) diatur berdasarkan SK Mentamben No. 931K/844/M.PE/1986. Dalam peraturan<br />

tersebut, tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai US $ per luas area eksploitas/<br />

eksplorasi (hektar). Besarnya tarif dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status<br />

(perpanjangan atau tidak).<br />

Adapun untuk kuasa pertambangan (PMDN), pengenaan tarif iuran tetap diatur dalam SK<br />

Mentamben No.1165/844/1992. Tarif iuran tetap yang dikenakan kuasa pertambangan<br />

(PMDN) merupakan tarif satuan atas nilai rupiah per satuan luas eksploitasi/eksplorasi<br />

(hektar) dan besarnya tarif juga dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status<br />

(perpanjangan atau tidak). Pemungutan iuran tetap, yang dikenakan pada PMA maupun<br />

PMDN di sektor pertambangan, dilakukan setiap semester. Sesuai PP No. 55 Tahun<br />

2005 maka bagian <strong>daerah</strong> dari landrent adalah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk<br />

<strong>Provinsi</strong> yang bersangkutan dan 64% untuk Kabupaten/Kota penghasil.<br />

III-58


Transfer ke Daerah<br />

Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royalty) adalah iuran produksi pemegang kuasa<br />

usaha pertambangan atas hasil dari kesempatan eksplorasi/eksploitasi. Royalty adalah<br />

pembayaran kepada Pemerintah berkenaan dengan produksi mineral yang berasal dari<br />

area penambangan. Royalti harus dibayar dalam satuan rupiah atau satuan lainnya yang<br />

disetujui bersama. Tarif royalti untuk pertambangan mineral dan batubara ditetapkan<br />

melalui PP No. 45 Tahun 2003, dan sesuai PP No. 55 Tahun 2005, bagian <strong>daerah</strong> dari<br />

royalti adalah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk <strong>Provinsi</strong> yang bersangkutan, 32%<br />

untuk Kabupaten/Kota penghasil dan 32% untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam <strong>Provinsi</strong><br />

yang bersangkutan.<br />

Dalam PP No.45 Tahun 2003 tarif royalti bersifat ad valorem (dalam persentasi) dan<br />

dikenakan terhadap harga jual yang telah dikalikan dengan jumlah produksi. Adapun<br />

besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian. PP No.45/2003<br />

ini juga memasukkan peraturan mengenai besarnya tarif royalti untuk bahan tambang<br />

batubara. Sebelumnya pengenaan royalti untuk batubara sudah termasuk dalam bagian<br />

pemerintah dari Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) yang diatur dalam Keppres No.75<br />

Tahun 1996. Dalam peraturan tersebut, pemerintah mendapat 13,5% dari produksi<br />

batubara (dana hasil produksi batubara/DHPB). Bagian pemerintah sebesar 13,5%<br />

tersebut sudah mencakup pembayaran royalti yang diestimasikan sebesar 3,3% dari<br />

13,5% DHPB.<br />

1. Perhitungan DBH SDA Pertambangan Umum<br />

a. Iuran Tetap (Landrent/Deadrent):<br />

Iuran Tetap (landrent/deadrent) adalah iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas<br />

kesempatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu wilayah kerja.<br />

Iuran Tetap (landrent/deadrent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima Negara<br />

sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi atau Eksploitasi<br />

pada suatu Wilayah Kuasa Pertambangan (dalam hal ini termasuk Kontrak Karya dan<br />

Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Tatacara penghitungan Iuran<br />

Tetap (landrent/deadrent) sebagai berikut:<br />

Iuran Tetap = Luas Wilayah KP/KK/PKP2B (Ha) x Tarif (Rp/US $)<br />

Berikut adalah Tarif Iuran Tetap untuk PMA:<br />

III-59


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Tabel 3.3.<br />

Tarif Iuran Tetap (Landrent) untuk PKP2B dan Kontrak Karya<br />

Berdasarkan PP No 45 Tahun 2003<br />

Tahap Tahun ke Tarif (US $ per hektar)<br />

Penyelidikan Umum I 0.05<br />

II 0.10<br />

Eksplorasi I 0.2<br />

II 0.25<br />

III 0.30<br />

IV* 0.50<br />

V* 0.70<br />

Studi Kelayakan I 1.00<br />

II* 1.00<br />

Konstruksi I 1.00<br />

Eksploitasi<br />

Endapan laterit dan<br />

endapan permukaan<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

II 1.00<br />

III 1.00<br />

2.00<br />

Endapan primer dan aluvial 4.00<br />

Sedangkan tabel berikut adalah tarif iuran tetap untuk PMDN:<br />

Tabel 3.4.<br />

Tarif Iuran Tetap (Landrent) untuk Kuasa Pertambangan<br />

Berdasarkan PP No.45 Tahun 2003<br />

Tahap Tahun Ke Satuan Tarif (Rp)<br />

Penyelidikan Umum I ha/tahun 500<br />

Eksplorasi I ha/tahun 2.000<br />

Perpanjangan<br />

Eksplorasi<br />

Pembangunan<br />

Fasilitas Eksplorasi<br />

II ha/tahun 2.500<br />

III ha/tahun 3.000<br />

I ha/tahun 5.000<br />

II ha/tahun 7.000<br />

I ha/tahun 8.000<br />

II ha/tahun 8.000<br />

III-60


Transfer ke Daerah<br />

Eksploitasi<br />

Tahap Tahun Ke Satuan Tarif (Rp)<br />

Endapan laterit<br />

dan endapan<br />

permukaan<br />

Endapan primer<br />

dan aluvial<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

b. Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (Royalti)<br />

III ha/tahun 8.000<br />

ha/tahun 15.000<br />

ha/tahun 25.000<br />

Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royalty) adalah iuran produksi pemegang kuasa usaha<br />

pertambangan atas hasil dari kesempatan eksplorasi/eksploitasi. Iuran Eksplorasi/<br />

Eksploitasi (Royalti) adalah iuran produksi yang diterima Negara dalam hal Pemegang<br />

Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas<br />

kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari<br />

usaha pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian. Tatacara penghitungan<br />

Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (Royalti) sebagai berikut:<br />

Jumlah Produksi yang Terjual x Prosentase Tarif (%) x Harga Jual (US$)<br />

Berikut adalah tarif royalti sektor pertambangan:<br />

Tabel 3.5<br />

Tarif Royalti Sektor Pertambangan<br />

Umum Berdasarkan PP No.45/2003<br />

No.<br />

Jenis Mineral/<br />

Bahan Galian<br />

Tingkat Kualitas<br />

(KKal)<br />

Dasar<br />

Perhitungan<br />

Tarif %<br />

1 Batu Bara (Open Pil) 6100 - 7.00<br />

2 Batu Bara (Underground) 6100 - 6.00<br />

3 Gambut - Logam 3.00<br />

4 Bijih Nikel (Garnieritik) - Logam 5.00<br />

5 Bijih Nikel (Limonitik) - Logam 4.00<br />

III-61


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

No.<br />

Jenis Mineral/<br />

Bahan Galian<br />

Tingkat Kualitas<br />

(KKal)<br />

Dasar<br />

Perhitungan<br />

Tarif %<br />

6 Kobal - Logam 5.00<br />

7 Timah - Logam 3.00<br />

8 Tembaga - Logam 4.00<br />

9 Timbal - Logam 3.00<br />

10 Seng - Logam 3.00<br />

11 Besi - Logam 3.00<br />

12 Emas - Logam 3.75<br />

13 Perak - Logam 3.25<br />

14 Platina - Logam 3.75<br />

15 Air Raksa - Logam 3.75<br />

16 Antimonil - Logam 4.50<br />

17 Bismut - Logam 4.50<br />

18 Wolfram - Logam 4.50<br />

19 Vanadium - Logam 4.50<br />

20 Molibdeni - Logam 4.50<br />

21 Titan - Logam 3.50<br />

22 Kromit - Konsentrat 3.50<br />

23 Monasit - Konsentrat 4.50<br />

24 Xenolium - Konsentrat 4.50<br />

25 Ilmenit - Logam 2.50<br />

26 Zircon - Konsentrat 4.50<br />

27 Rutile - Konsentrat 4.50<br />

28 Pasir Besi - Konsentrat 3.75<br />

29 Belerang - Konsentrat 3.50<br />

30 Bauksit - Bijih 3.75<br />

31 Mangan - Bijih 3.25<br />

III-62


Transfer ke Daerah<br />

No.<br />

Jenis Mineral/<br />

Bahan Galian<br />

Tingkat Kualitas<br />

(KKal)<br />

Dasar<br />

Perhitungan<br />

Tarif %<br />

32 Batuan Aspal - - 3.75<br />

33 Barit - - 3.25<br />

34 Yodium - - 3.75<br />

35 Pasir Urug (Lepas Pantai) - - 3.75<br />

36 Kristal Kuarsa - - 3.75<br />

37 Pirit - Konsentrat 2.50<br />

38 Intan - Karat 6.50<br />

39 Granit Blok - - 4.00<br />

40 Granit Bubuk (Pecah) - - 3.00<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

3.2.2.3. DBH SDA Kehutanan<br />

Tabel 3.6<br />

Formulasi Dana Bagi Hasil Kehutanan<br />

Jenis<br />

Sumber Daya Alam Formula Alokasi Dasar Hukum Administrasi<br />

Pemungutan<br />

Iuran Hak<br />

Pengusahaan<br />

Hutan (IHPH)<br />

Ket : Tarif satuan<br />

(Rp) berdasarkan<br />

status HPH,<br />

wilayah dan<br />

kelompok SDA<br />

Hutan)<br />

• Pusat= 20%<br />

• <strong>Provinsi</strong> ybs= 16%<br />

• Kabupaten/Kota<br />

penghasil= 64%<br />

• UU No. 41/1999<br />

tentang<br />

Kehutanan.<br />

• UU No.33/2004 Bab<br />

6 pasal 11 dan 15.<br />

• PP No. 55 Tahun<br />

2005 tentang Dana<br />

Perimbangan<br />

Pasal 15 dan 16.<br />

• Keppres<br />

No.36/1989 (lama)<br />

atas PP No.<br />

59/1998: Tarif atas<br />

Jenis Penerimaan<br />

Negara Bukan<br />

Pajak yg berlaku<br />

pada Dephutbun.<br />

• Terlebih dahulu<br />

disetor ke<br />

Rekening Menteri<br />

Kehutanan,<br />

kemudian setiap<br />

akhir pekan<br />

disetor ke Kas<br />

Negara.<br />

• Pemungutan<br />

sekali untuk satu<br />

masa berlaku<br />

HPH (license fee)<br />

III-63


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Jenis<br />

Sumber Daya Alam Formula Alokasi Dasar Hukum Administrasi<br />

Pemungutan<br />

Provisi Sumber<br />

Daya Hutan(PSDH)<br />

Ket:<br />

Tarif PSDH (Rp)<br />

bervariasi<br />

tergantung<br />

kelompok jenis<br />

kayu/bukan kayu<br />

(SK Menhutbun<br />

No. 858/Kpts-<br />

II/1999 dan No.<br />

859/Kpts-II/1999)<br />

• Pusat= 20%<br />

• <strong>Provinsi</strong> ybs= 16%<br />

• Kabupaten/Kota<br />

penghasil= 32%<br />

• Kabupaten/Kota<br />

Lainnya dlm<br />

<strong>Provinsi</strong> ybs= 32%<br />

• UU No. 41/1999<br />

tentang<br />

Kehutanan.<br />

• UU No.33/2004 Bab<br />

6 pasal 11 dan 15.<br />

• PP No. 55 Tahun<br />

2005 tentang Dana<br />

Perimbangan<br />

Pasal 15 dan 16.<br />

• PP No. 51/1998:<br />

Perubahan IHH<br />

menjadi Provisi<br />

Sumber Daya<br />

Hutan.<br />

• atas PP No.<br />

59/1998: Tarif<br />

atas Jenis PNBP<br />

yg berlaku pada<br />

Dephutbun.<br />

• PP No. 67/1998<br />

(perubahan PP<br />

No. 30/1990):<br />

Pengenaan,<br />

Pemungutan, dan<br />

Pembagian IHH.<br />

• PP No. 92/1999<br />

tentang<br />

perubahan kedua<br />

atas PP No.<br />

59/1998 tentang<br />

tarif atas jenis PNBP<br />

yang berlaku di<br />

Dephutbun.<br />

Kepres No. 36/1989<br />

(lama) atas PP<br />

No.59/1998:<br />

Tarif atas Jenis<br />

Penerimaan<br />

Negara Bukan<br />

Pajak yg berlaku<br />

pada Dephutbun.<br />

• Terlebih dahulu<br />

disetor ke<br />

Rekening Menteri<br />

Kehutanan,<br />

kemudian setiap<br />

akhir pekan<br />

disetor ke Kas<br />

Negara.<br />

• Pungutan royalti<br />

dibayar oleh<br />

pemegang HPH<br />

jika hasil produksi<br />

disalurkan ke<br />

industri yang<br />

tidak terkait<br />

dengan<br />

pemegang HPH,<br />

dan dibayar<br />

oleh industri jika<br />

hasil produksi<br />

disalurkan ke<br />

industri yang<br />

terkait dengan<br />

pemegang HPH.<br />

III-64


Transfer ke Daerah<br />

Jenis<br />

Sumber Daya Alam Formula Alokasi Dasar Hukum Administrasi<br />

Pemungutan<br />

Dana Reboisasi • Pusat= 60%<br />

Ket: Tarif (US $) • Kabupaten/Kota<br />

bervariasi<br />

penghasil= 40%<br />

berdasarkan<br />

wilayah,<br />

kelompok produk<br />

Hutan, dan tujuan<br />

produksi.<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

• UU No. 41/1999<br />

tentang<br />

Kehutanan<br />

• UU No.33/2004 Bab<br />

6 pasal 11 dan15.<br />

• PP No. 55 Tahun<br />

2005 tentang Dana<br />

Perimbangan<br />

Pasal 15 dan 16.<br />

• PP No. 92/1999<br />

(perubahan<br />

kedua tarif Dana<br />

Reboisasi atas<br />

PP No. 59/1998):<br />

Tarif atas Jenis<br />

Penerimaan<br />

Negara Bukan<br />

Pajak yg berlaku<br />

pada Dephutbun.<br />

• Terlebih dahulu<br />

disetor ke<br />

Rekening Menteri<br />

Kehutanan,<br />

kemudian setiap<br />

akhir pekan<br />

disetor ke Kas<br />

Negara. Mulai<br />

2008 disediakan<br />

rekening valas<br />

khusus untuk DR.<br />

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan berasal dari Penerimaan Negara Bukan<br />

Pajak dari sektor kehutanan terdiri: (1) Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), (2)<br />

Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang merupakan royalti; dan (3) Dana Reboisasi.<br />

Definisi masing-masing penerimaan adalah sebagai berikut:<br />

- Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) adalah pungutan yang dikenakan<br />

kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan<br />

tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan.<br />

- Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); adalah pungutan yang dikenakan sebagai<br />

pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara, dan<br />

- Dana Reboisasi (DR); adalah dana yang dipungut dari pemegang Izin Usaha<br />

Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi<br />

dan rehabilitasi hutan<br />

- Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) adalah pungutan yang bersifat license<br />

fee (terkait dengan perizinan). Tarif IIUPH terakhir diatur dalam PP No. 59/1998.<br />

Di dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa tarif yang dikenakan adalah tarif<br />

satuan Rp per satuan luas HPH (hektar). Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori<br />

wilayah dan (2) status HPH (baru/perpanjangan/ HPHTI). IHPH dikenakan satu kali<br />

untuk jangka waktu berlakunya HPH (atau sekitar 20 tahun).<br />

III-65


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Tarif PSDH tertuang dalam SK Menhutbun No.859/Kpts-II/1999. Dalam peraturan tersebut,<br />

tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rp per m3, yang besarnya tergantung dari (1)<br />

kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. PSDH dikenakan terhadap<br />

pemegang HPH, pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin<br />

Pemanfaatan Kayu (IPK) (lihat UU No. 41/1999 juga PP No. 6/1999). Pada HPH, untuk<br />

penyaluran produksi ke industri terkait dengan HPH, pembayaran dilakukan oleh pihak<br />

industri penerima. Untuk produksi yang disalurkan ke industri yang tidak terkait dengan<br />

pemegang HPH, pembayaran dilakukan oleh pemegang HPH pada saat pengangkutan.<br />

Pembayaran dilakukan setiap bulan atas dasar produksi bulan sebelumnya, disetor<br />

langsung ke Rekening Menteri Kehutanan.<br />

Perhitungan jumlah kayu yang dikenai kewajiban untuk membayar PSDH dan Dana<br />

Reboisasi didasarkan dari Laporan Hasil Penebangan (LHP). Sistem pelaporan produksi<br />

hasil hutan tersebut bersifat self assesment yaitu perusahaan pemegang HPH mengisi<br />

volume produksi dan jenis tanaman. Setelah itu diterbitkan dokumen SKSHH (Surat<br />

Keterangan Sahnya Hasil Hutan) yang sebelumnya disebut SAKO. Pengesahan LHP<br />

dilakukan setelah diadakan pengukuran sampling 10% dari area produksi oleh petugas<br />

kehutanan untuk menguji kebenaran pengisisan dokumen LHP. Jika terjadi penyimpangan<br />

volume


Transfer ke Daerah<br />

- Perkiraan penerimaan PSDH yang dihitung dari target produksi hasil hutan kayu<br />

dan bukan dan dikali tarif PSDH yang berlaku<br />

- Perkiraan Penerimaan PSDH dan yang bersumber dari tunggakan PSDH<br />

3.2.2.4. DBH SDA Perikanan<br />

Tabel 3.7.<br />

Formulasi Dana Bagi Hasil Perikanan<br />

Jenis Sumber<br />

Daya Alam<br />

Formula Alokasi<br />

Dasar Hukum<br />

Administrasi<br />

Pemungutan<br />

Pungutan<br />

Pengusahaan<br />

Perikanan (PPP)<br />

Ket: Tarif (US $)<br />

berdasarkan<br />

ukuran kapal.<br />

• Pusat = 20%<br />

• Daerah = 80%<br />

(dibagikan<br />

secara merata<br />

kpd seluruh<br />

Kabupaten/<br />

Kota seluruh<br />

Indonesia)<br />

• UU No.33/2004 Bab 6<br />

pasal 11 dan 18.<br />

• PP No. 55 Tahun<br />

2005 tentang Dana<br />

Perimbangan Pasal 15<br />

dan 20.<br />

• Keppres No. 8/1975<br />

tentang PPP dan PHP<br />

bagi PMA/PMDN Bidang<br />

Perikanan.<br />

• SK Mentan No. 424/Kpts/<br />

Um/77 tentang Tarif<br />

PPP dan PHP bagi PMA<br />

dan PMDN di bidang<br />

Perikanan.<br />

• SK Mentan No. 425/Kpts/<br />

Um/77 tentang Tatacara<br />

Pelaksanaan Penagihan,<br />

Pembayaran dan<br />

Pembukuan PPP dan PHP<br />

bagi PMA dan PMDN di<br />

bidang Perikanan.<br />

• Pembayaran<br />

dilakukan<br />

pada saat<br />

pengajuan<br />

permohonan<br />

Surat Ijin Kapal<br />

Perikanan.<br />

• Disetor<br />

langsung ke<br />

kas negara.<br />

Pungutan Hasil<br />

Perikanan (PHP)<br />

Ket: Tarif (%)<br />

berdasarkan<br />

golongan jenis<br />

ikan.<br />

• Pusat= 20%<br />

• Daerah= 80%<br />

(dibagikan<br />

secara merata<br />

kpd seluruh<br />

Kabupaten/<br />

Kota seluruh<br />

Indonesia)<br />

• UU No.33/2004 Bab 6<br />

pasal 11 dan 18.<br />

• PP No. 55 Tahun<br />

2005 tentang Dana<br />

Perimbangan Pasal 15<br />

dan 20.<br />

• Keppres No. 8/1975<br />

tentang PPP dan PHP<br />

bagi PMA/PMDN Bidang<br />

Perikanan.<br />

• PHP dikenakan<br />

terhadap<br />

hasil produksi<br />

perikanan<br />

yang diekspor<br />

berdasarkan<br />

Sertifikat Mutu<br />

Ekspor.<br />

III-67


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Jenis Sumber<br />

Daya Alam<br />

Formula Alokasi<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

Dasar Hukum<br />

• SK Mentan No. 424/Kpts/<br />

Um/77 tentang Tarif<br />

PPP dan PHP bagi PMA<br />

dan PMDN di bidang<br />

Perikanan.<br />

• SK Mentan No. 425/Kpts/<br />

Um/77 tentang Tatacara<br />

Pelaksanaan Penagihan,<br />

Pembayaran dan<br />

Pembukuan PPP dan PHP<br />

bagi PMA dan PMDN di<br />

bidang Perikanan<br />

Administrasi<br />

Pemungutan<br />

• Disetor<br />

langsung ke<br />

kas negara<br />

(Rekening<br />

Depkeu Nomor<br />

Khusus di BI).<br />

DBH Sumber Daya Alam Perikanan berasal dari Pungutan Pengusahaan Perikanan<br />

(PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Pengusahaan Perikanan,<br />

yaitu pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia<br />

yang memperoleh Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman<br />

Modal (APIPM), dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas<br />

kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha<br />

perikanan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia. Pungutan Hasil Perikanan, yaitu<br />

pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang<br />

melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang<br />

diperoleh.<br />

Pungutan untuk sektor perikanan ini diatur dalam SK Menteri Pertanian No.424/<br />

Kpts/7/1977. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) bersifat license fee, dikenakan<br />

satu kali pada saat pengajuan permohonan Surat Ijin Kapal Perikanan. Tarif PPP<br />

merupakan tarif nominal (US $) dan didasarkan atas ukuran kapal penangkapan ikan<br />

(Dead Weight Ton - DWT). Dalam hal ini tarif dikenakan atas dasar berat kosong kapal.<br />

Adapun Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dikenakan pada hasil produksi sektor perikanan<br />

yang diekspor. Tarif yang dikenakan bersifat ad valorem (persentasi), dimana besar tarif<br />

dibedakan menurut kelompok jenis ikan.<br />

1. Perhitungan DBH SDA Perikanan<br />

a. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)<br />

III-68


Transfer ke Daerah<br />

Objek yang penting dalam penghitungan PPP adalah: Kapal Penangkapan<br />

Ikan.<br />

Sementara rumus yang dipakai untuk menghitung PPP adalah:<br />

PPP = Tarif (US $) x Ukuran Kapal (DWT)<br />

Data yang dibutuhkan untuk dapat menghitung PPP adalah:<br />

1. Data Jumlah Surat Izin Kapal Perikanan yang dikeluarkan.<br />

2. Daftar Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)<br />

Tabel 3.8.<br />

Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)<br />

Berdasarkan SK Mentan No.424/Kpts/7/1977<br />

No. Ukuran Kapal Tarif<br />

1


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Tabel 3.9<br />

Tarif Pungutan Pungutan Hasil Perikanan (PHP)<br />

Berdasarkan SK Mentan No.424/Kpts/7/1977<br />

No. Golongan Jenis Tarif (%)<br />

1 Udang 2<br />

2 Ikan Tuna, Cakalang. 1.5<br />

3 Lain-lain yang tidak termasuk gol.1 dan 2 1<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

3.2.3. PENETAPAN ALOKASI DBH SUMBER DAYA ALAM<br />

Penetapan Alokasi DBH SDA diatur dalam PP 55 tahun 2005 pasal 27 sebagai berikut:<br />

- Menteri Teknis menetapkan <strong>daerah</strong> penghasil dan dasar penghitungan DBH<br />

SDA paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan<br />

dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri.<br />

- Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada<br />

pada lebih dari satu <strong>daerah</strong>, Menteri Dalam Negeri menetapkan <strong>daerah</strong> penghasil<br />

sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat<br />

60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari menteri teknis.<br />

- Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud menjadi dasar<br />

penghitungan DBH sumber daya alam oleh menteri teknis.<br />

- Ketetapan Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada<br />

Menteri Keuangan.<br />

- Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing<br />

<strong>daerah</strong> paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari menteri<br />

teknis.<br />

- Perkiraan alokasi DBH Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi<br />

untuk masing-masing <strong>daerah</strong> ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah<br />

menerima ketetapan dari menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),<br />

perkiraan bagian pemerintah, dan perkiraan unsur-unsur pengurang lainnya.<br />

III-70


Transfer ke Daerah<br />

3.2.4. PENYALURAN ALOKASI DBH SUMBER DAYA ALAM<br />

Penyaluran DBH SDA TA 2008 dilaksanakan secara triwulanan, dengan besaran:<br />

a. Triwulan I dan II disalurkan 20% dari PMK Perkiraan Alokasi;<br />

b. Triwulan III dan IV disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan sumber daya alam<br />

tahun anggaran berjalan dengan memperhitungkan penyaluran pada triwulan I dan<br />

II.<br />

3.2.5. KEBIJAKAN DANA BAGI HASIL TAHUN 2008<br />

Hasil kesepakatan antara Panitia Kerja Belanja Daerah dari Panitia Anggaran DPR RI<br />

dengan pemerintah, Dana Bagi Hasil telah ditetapkan sebesar Rp. 66.070,8 miliar dari<br />

total Dana Perimbangan sebesar Rp. 266.780,14 miliar atau sejumlah 24,76 % dari Dana<br />

Perimbangan. Sebagai catatan disini, untuk tahun 2008, Dana Bagi Hasil dari Panas<br />

Bumi belum dialokasikan.<br />

Tabel 3.10<br />

Rincian Dana Bagi Hasil 2001-2008<br />

Keterangan (Miliar<br />

Rupiah)<br />

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />

APBNP APBN APBNP APBN APBN APBN APBN APBN<br />

Dana Perimbangan 41.477 94.532 109.927 112.187 124.310 216.592 250.342 266.780<br />

Dana Bagi Hasil 20.259 24.600 29.925 26.928 31.220 59.358 68.461 66.070<br />

Pajak 8.551 11.946 15.834 16.419 19.500 26.238 33.060 36.333<br />

PPh (Ps. 21, 25, dan 29) 3.104 4.071 5.466 6.042 6.400 6.001 7.474 8.491<br />

PBB 4.272 5.670 8.519 7.710 9.800 14.957 20.196 22.989<br />

BPHTB 1.176 2.205 1.850 2.668 3.200 5.280 5.389 4.852<br />

Sumber Daya Alam 11.708 12.655 14.091 10.509 11.800 33.120 32.020 29.737<br />

Minyak Bumi 5.897 5.785 6.231 3.837 4.700 16.736 15.827 12.850<br />

Gas Alam 3.836 4.779 5.668 4.660 4.600 12.500 11.623 10.770<br />

Pertambangan Umum 743 1.072 1.192 1.303 1.600 2.395 2.851 4.245<br />

Kehutanan 999 786 570 228 300 1.158 1.519 1.711<br />

Perikanan 233 233 430 480 600 331 200 160<br />

Sumber : APBN, Departemen Keuangan<br />

III-71


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Adapun Perincian Dana Bagi Hasil tahun 2008 adalah sebagai berikut:<br />

a. Dana Bagi Hasil Pajak sebesar Rp. 36.333,6 miliar, yang terdiri dari:<br />

1. Pajak Penghasilan sebesar Rp. 8.491,06 miliar.<br />

a) PPh Pasal 21 sebesar Rp. 7.900,10 miliar.<br />

b) PPh Pasal 25 dan Pasal 29 WPOPDN sebesar Rp. 590,96 miliar.<br />

2. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp. 22.989,8 miliar.<br />

3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar Rp. 4.852,7miliar.<br />

b. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sebesar Rp. 29.737,2 miliar, yang terdiri<br />

dari:<br />

1. Minyak Bumi sebesar Rp. 12.850 miliar.<br />

2. Gas Alam sebesar Rp. 10.770 miliar.<br />

3. Pertambangan Umum sebesar Rp. 4.245 miliar, dengan komponen:<br />

a) Iuran Tetap sebesar Rp. 53,28 miliar.<br />

b) Royalti sebesar Rp. 4.191,84 miliar.<br />

4. Kehutanan sebesar Rp. 1.711,28 miliar; dengan komponen.<br />

a) Provisi Sumber Daya Hutan sebesar Rp. 1.198,9 miliar.<br />

b) Iuran Hak Pengusahaan Hutan/IIUPH sebesar Rp. 3,8 miliar.<br />

c) Dana Reboisasi sebesar Rp. 508,52 miliar.<br />

5. Perikanan sebesar Rp. 160 miliar.<br />

Dalam rangka penyempurnaan proses dan mekanisme penyaluran Dana Bagi Hasil serta<br />

menghindari terjadinya keterlambatan dalam proses penyaluran Dana Bagi Hasil ke<br />

<strong>daerah</strong>, pemerintah akan melakukan beberapa hal:<br />

1. Meningkatkan koordinasi antar departemen dan instansi yang terkait dalam hal<br />

penetapan <strong>daerah</strong> penghasil serta bagian <strong>daerah</strong> penghasil, termasuk didalamnya<br />

dalam mekanisme konsultasi dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah<br />

(DPOD).<br />

2. Meningkatkan transparansi perhitungan dan penyaluran Dana Bagi Hasil.<br />

3. Meningkatkan ketepatan dan kecepatan data-data yang digunakan dalam<br />

perhitungan dana bagi hasil dari depertemen teknis dan instansi terkait.<br />

4. Mengupayakan penetapan dana bagi hasil dapat dilakukan sebelum tahun anggaran<br />

baru dimulai sebagaimana halnya penetapan Dana Alokasi Umum.<br />

III-72


Transfer ke Daerah<br />

3.2. DANA ALOKASI UMUM<br />

Diterapkannya UU No. 33 Tahun 2004 memiliki dampak atau implikasi yang cukup<br />

besar terhadap perekonomian <strong>daerah</strong> pada umumnya. Salah satunya dengan adanya<br />

dana perimbangan, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan<br />

Dana Alokasi Khusus (DAK). Melalui kebijakan bagi hasil sumber daya alam diharapkan<br />

<strong>daerah</strong> dan masyarakat setempat dapat lebih merasakan hasil dari sumberdaya alam<br />

yang dimiliki. Karena selama ini hasil sumber daya alam lebih banyak dinikmati oleh<br />

pemerintah pusat dibandingkan masyarakat setempat. Bagi Hasil Sumber Daya Alam<br />

ditujukan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pemerintah<br />

pusat dan <strong>daerah</strong> penghasil, sedangkan DAU untuk mengurangi ketimpangan horisontal<br />

(horizontal imbalance) antar <strong>daerah</strong>.<br />

DAU merupakan Transfer pemerintah Pusat kepada Daerah bersifat “Block Grant” yang<br />

berarti kepada Daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai dengan prioritas<br />

dan kebutuhan Daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan kemampuan keuangan<br />

antar Daerah. DAU terdiri dari DAU untuk Daerah <strong>Provinsi</strong> dan Kabupaten/ Kota. Besaran<br />

DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang<br />

ditetapkan dalam APBN s.d. TA 2007, sedangkan mulai TA 2008 ditetapkan sekurangkurangnya<br />

26% dari PDN Netto. Proporsi DAU untuk Daerah <strong>Provinsi</strong> dan untuk Daerah<br />

Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara <strong>Provinsi</strong> dan<br />

Kabupaten/Kota.<br />

3.2.1. Penyusunan Formula dan Perhitungan DAU<br />

1. Formula DAU<br />

Formula DAU menggunakan pendekatan fiscal gap (celah fiscal) yaitu selisih antara fiscal<br />

needs (Kebutuhan Fiskal) dikurangi dengan fiscal capacities (Kapasitas Fiskal) Daerah<br />

dan Alokasi Dasar (AD). Adapun formula DAU sebagai berikut:<br />

DAU<br />

AD<br />

CF<br />

= Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)<br />

= Gaji PNS Daerah<br />

= Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal<br />

2. Variabel DAU:<br />

a. Variabel kebutuhan fiskal terdiri dari :<br />

III-73


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

- Sampai dengan TA 2005 variabel kebutuhan fiskal terdiri dari : jumlah<br />

penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, dan indeks kemiskinan<br />

relatif. (sesuai UU No. 25/1999)<br />

- Mulai TA 2006 variabel kebutuhan fiskal terdiri dari : jumlah penduduk, luas<br />

wilayah, indeks pembangunan manusia, indeks kemahalan konstruksi, dan<br />

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. (sesuai UUNo. 33/2004)<br />

b. Variabel kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan <strong>daerah</strong> yang berasal<br />

dari PendapatanAsli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil.<br />

Gambar 3.10.<br />

Sistematika Penyusunan Formula DAU<br />

III-74


Transfer ke Daerah<br />

3. Penghitungan DAU<br />

Dalam penghitungan DAU dapat dijabarkan sebagai berikut :<br />

Kebutuhan Fiskal (KbF)<br />

- Sampai dengan TA 2005 sesuai UU No. 25/1999 bahwa formula DAU di rumuskan<br />

sebagai berikut:<br />

Kbf = Total Pengeluaran Rata-rata Daerah i x (0,4 Indeks Penduduk + 0,1 Indeks<br />

Kemiskinan Relatif (IKR) + 0,1 Luas Wilayah + 0,4 Indeks Kemahalan Konstruksi<br />

(IKK)).<br />

- Mulai TA 2006 berdasarkan UU No. 33/2004 formula tersebut disesuaikan menjadi:<br />

Kbf = Total Pengeluaran Rata-rata Daerah i x ( Indeks Jumlah Penduduk + Luas<br />

Wilayah + Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) + PDRBper kapita) + Indeks<br />

Pembangunan Manusia (IPM)<br />

Kapasitas Fiskal (KpF)<br />

- Sampai dengan TA 2005 sesuai UU No. 25/1999:<br />

Kapasitas Fiskal = PAD + (PBB + BPHTB + PPh + SDA)<br />

Dimana perhitungan untuk PAD = Estimasi berdasarkan proyeksi PDRB<br />

- mulai TA 2006 sesuai UU No. 33/2004<br />

Celah Fiskal (CF)<br />

Kapasitas Fiskal = PAD + (PBB + BPHTB + PPh + SDA)<br />

- Celah Fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal <strong>daerah</strong> dan<br />

kapasitas fiskal <strong>daerah</strong>. Jika kebutuhan fiskal sama dengan kapasitas fiskal, maka<br />

jumlah DAU yang diterima akan sama dengan Alokasi Dasar.<br />

- Dalam hal celah fiskal negatif, maka jumlah DAU yang diterima Daerah adalah<br />

sebesar Alokasi Dasar setelah diperhitungkan dengan nilai absolut dari celah<br />

fiskalnya, sehingga akan mengurangi jumlah Total DAU yang akan diterima <strong>daerah</strong>.<br />

Apabila ternyata nilai absolut dari celah fiskal tersebut lebih besar dibandingkan<br />

Alokasi Dasarnya, maka <strong>daerah</strong> tersebut tidak akan menerima DAU atau DAU =<br />

0. Hal yang perlu diperhatikan bahwa apabila suatu <strong>daerah</strong> tidak menerima DAU<br />

sama sekali, tidak berarti bahwa <strong>daerah</strong> tersebut tidak menerima transfer apapun<br />

dari pemerintah pusat. Kemungkinan <strong>daerah</strong>-<strong>daerah</strong> yang tidak menerima DAU<br />

III-75


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

sudah menerima dana bagi hasil pajak maupun bukan pajak yang cukup besar serta<br />

mempunyai APBD yang besarnya jauh di atas rata-rata nasional.<br />

3.2.2. DAU sebagai Instrumen Pemerataan<br />

Kemampuan Fiskal<br />

Seperti sudah disebutkan di bagian pendahuluan, tujuan DAU adalah sebagai instrumen<br />

untuk equalizing grant atau pemerataan kemampuan fiskal antar <strong>daerah</strong>. Untuk itu,<br />

berhasil tidaknya alokasi DAU akan sangat ditentukan tercapai tidaknya upaya perbaikan<br />

pemerataan kemampuan fiskal antar <strong>daerah</strong> dari tahun ke tahun.<br />

Upaya membuat alokasi DAU dengan hanya berdasarkan formula murni sebenarnya<br />

adalah upaya langsung untuk memperbaiki pemerataan kemampuan fiskal antar<br />

<strong>daerah</strong> (ketimpangan horisontal) yang selama ini terjadi sebagai akibat dari kebijakan<br />

hold harmless. Kebijakan tersebut praktis mengurangi kemampuan DAU untuk lebih<br />

memperkuat APBD <strong>daerah</strong>-<strong>daerah</strong> termiskin di Indonesia yang kebutuhan fiskalnya jauh<br />

melebihi kapasitas fiskalnya.<br />

Sesuai dengan amanat UU Nomor 33 Tahun 2004, maka mulai tahun 2008 terdapat<br />

perubahan yang signifikan dalam kebijakan pengalokasian DAU. Pasal 107 ayat (2) UU<br />

Nomor 33 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa perhitungan alokasi DAU berdasarkan<br />

formula dilaksanakan secara penuh mulai tahun anggaran 2008. Perhitungan DAU tahun<br />

2008 berdasarkan formula tersebut akan menghasilkan alternatif alokasi DAU sebesar<br />

nol (tidak mendapatkan DAU), lebih kecil, sama dengan, dan lebih besar dari DAU tahun<br />

2007.<br />

3.3. DANA ALOKASI KHUSUS<br />

Pada Bab I mengenai Ketentuan Umum UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan<br />

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa<br />

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang<br />

dialokasikan kepada <strong>daerah</strong> tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan<br />

khusus yang merupakan urusan <strong>daerah</strong> dan sesuai dengan prioritas nasional. Hal ini<br />

dipertegas di Pasal 51 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana<br />

Perimbangan yang menyebutkan bahwa DAK dialokasikan kepada <strong>daerah</strong> tertentu untuk<br />

mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas<br />

nasional dan menjadi urusan <strong>daerah</strong>.<br />

Dalam pelaksanaannya, DAK yang dialokasikan sejak tahun 2003 mengalami<br />

perkembangan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, baik dari sisi besaran alokasi<br />

maupun cakupan bidang yang didanai dari DAK. Jika pada tahun 2003 alokasi DAK<br />

sebesar Rp 2.269,0 miliar dan hanya dialokasikan untuk 5 bidang yaitu pendidikan,<br />

kesehatan, prasarana jalan, prasarana irigasi, dan prasarana pemerintah, maka alokasi<br />

III-76


Transfer ke Daerah<br />

DAK pada tahun 2007 sebesar Rp 17.094,1 miliar dan digunakan untuk mendanai<br />

kegiatan khusus di 9 bidang.<br />

Selanjutnya, alokasi DAK pada tahun 2008 sebesar Rp 21.202,1 miliar dan digunakan<br />

untuk mendanai kegiatan khusus pada 11 bidang yang merupakan bagian dari program<br />

yang menjadi prioritas nasional. Selain digunakan untuk mendanai tambahan 2 bidang<br />

baru yaitu bidang kependudukan dan bidang kehutanan, alokasi DAK tersebut juga<br />

termasuk pengalihan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang menjadi<br />

bagian anggaran Kementerian/ Lembaga ke DAK. Besarnya dana yang dialihkan tersebut<br />

Rp 4.200,0 miliar, yang terdiri dari bagian anggaran Departemen Pendidikan Nasional<br />

Rp 1.700,0 miliar, Departemen Pekerjaan Umum Rp 2.000,0 miliar, dan Departemen<br />

Kesehatan Rp 500 miliar. Pengalihan dana-dana tersebut pada dasarnya merupakan<br />

wujud nyata dari amanat Pasal 108 UU Nomor 33 Tahun 2004 mengenai pengalihan<br />

dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang menjadi bagian anggaran dari<br />

Kementerian/ Lembaga dan yang sudah menjadi urusan <strong>daerah</strong> ke DAK. Selain itu,<br />

alokasi DAK tahun 2008 selain diperuntukkan untuk kabupaten/kota, juga dipertuntukkan<br />

untuk provinsi yang digunakan untuk mendanai kegiatan di bidang prasarana jalan dan<br />

prasarana irigasi.<br />

Perkembangan jumlah alokasi DAK dari tahun 2003 s.d. 2008 ini dapat ditunjukkan pada<br />

Tabel 3.13 berikut:<br />

Tabel 3.11<br />

Perkembangan Jumlah Alokasi DAK (Milyar Rp)<br />

NO BIDANG 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />

1 Pendidikan 625,00 652,60 1.221,00 2.919,53 5.195,29 7.015,42<br />

2 Kesehatan 375,00 456,18 620,00 2.406,80 3.381,27 3.817,37<br />

3 Prasarana Jalan 842,50 839,05 945,00 2.575,71 3.113,06 4.044,68<br />

4 Prasarana Irigasi 338,50 357,20 384,50 627,68 858,91 1.497,23<br />

5 Prasarana Air Minum<br />

& Penyehatan<br />

Lingkungan<br />

6 Prasarana<br />

Pemerintahan<br />

- - 203,50 608,00 1.062,37 1.142,29<br />

88,00 228,00 148,00 448,68 539,06 362,00<br />

7 Kelautan dan Perikanan - 305,47 322,00 775,68 1.100,36 1.100,36<br />

8 Pertanian - - 170,00 1.094,88 1.492,17 1.492,17<br />

9 Lingkungan Hidup - - - 112,88 351,61 351,61<br />

10 Kependudukan 279,01<br />

11 Kehutanan 100,00<br />

TOTAL 2.269,00 2.838,50 4.014,00 11.569,80 17.094,10 21.202,14<br />

III-77


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Sementara itu, arah kebijakan DAK pada tahun 2008 adalah:<br />

1. diprioritaskan untuk membantu <strong>daerah</strong>-<strong>daerah</strong> dengan kemampuan keuangan<br />

dibawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana<br />

dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan urusan<br />

<strong>daerah</strong>;<br />

2. menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di <strong>daerah</strong> pesisir<br />

dan pulau-pulau kecil, <strong>daerah</strong> perbatasan dengan negara lain, <strong>daerah</strong> tertinggal/<br />

terpencil, <strong>daerah</strong> rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori <strong>daerah</strong> ketahanan<br />

pangan dan <strong>daerah</strong> pariwisata;<br />

3. mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi<br />

ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang pertanian,<br />

kelautan dan perikanan, serta infrastruktur;<br />

4. meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana<br />

dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur;<br />

5. menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan lingkungan<br />

hidup, dan mengurangi risiko bencana melalui kegiatan khusus di bidang lingkungan<br />

hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan cakupan dan kehandalan<br />

pelayanan prasarana dan sarana dasar dalam satu kesatuan sistem yang terpadu<br />

melalui kegiatan khusus di bidang infrastruktur;<br />

6. mendukung penyediaan prasarana di <strong>daerah</strong> yang terkena dampak pemekaran<br />

pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang<br />

prasarana pemerintahan;<br />

7. meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan<br />

kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga dan kegiatan yang<br />

didanai dari APBD;<br />

8. mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang<br />

digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan <strong>daerah</strong><br />

ke DAK. Untuk tahun 2008, besarnya dana yang dialihkan sebesar Rp4,2 triliun<br />

yang berasal dari anggaran Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan<br />

Nasional dan Departemen Kesehatan.<br />

Sementara itu, sejalan dengan Pasal 6 UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan<br />

Negara, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun<br />

Standar menyebutkan bahwa pada bagan akun kelompok DIPA sudah ada kelompok<br />

tersendiri yaitu ”Kelompok Transfer ke Daerah” menggantikan ”Kelompok Belanja ke<br />

Daerah”, yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam perubahan nomenklatur APBN<br />

III-78


Transfer ke Daerah<br />

dari sebelumnya ”belanja ke <strong>daerah</strong>” menjadi ”transfer ke <strong>daerah</strong>”, terdapat beberapa<br />

perubahan mendasar dalam pengelolaan DAK terutama pada pelaksanaan penganggaran<br />

di <strong>daerah</strong> dan penyaluran dari kas negara ke kas <strong>daerah</strong>.<br />

3.3.1. FORMULASI KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS<br />

Formulasi yang berkaitan dengan alokasi DAK secara garis besar dapat dibagi menjadi<br />

4 kelompok besar yaitu (i) penetapan program dan kegiatan, (ii) penghitungan alokasi<br />

DAK, (iii) arah kegiatan dan penggunaan DAK, dan (iv) administrasi pengelolaan DAK.<br />

3.3.1.1. Penetapan Program dan Kegiatan<br />

Sebagaimana disebutkan pada awal Bab ini bahwa kegiatan khusus yang di danai<br />

dari DAK merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi<br />

urusan <strong>daerah</strong>. Pasal 52 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2005 menyatakan<br />

bahwa program yang menjadi prioritas nasional dimaksud dimuat dalam Rencana<br />

Kerja Pemerintah (RKP) tahun anggaran berrsangkutan. Sementara itu, menteri teknis<br />

mengusulkan kegiatan khusus yang akan di danai dari DAK dan ditetapkan setelah<br />

berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara<br />

Perencanaan Pembangunan Nasional, sesuai dengan RKP. Selanjutnya, menteri teknis<br />

menyampaikan ketetapan mengenai kegiatan khusus tersebut kepada Menteri Keuangan,<br />

yang akan dipergunakan oleh Menteri Keuangan dalam melakukan perhitungan alokasi<br />

DAK.<br />

Secara ringkas, mekanisme penetapan program dan kegiatan dapat dilihat pada gambar<br />

3.11. berikut ini:<br />

III-79


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 3.11.<br />

Mekanisme Penetapan Program dan Kegiatan<br />

Sumber: PP Nomor 55 Tahun 2005<br />

3.3.1.2. Penghitungan Alokasi DAK<br />

Pada dasarnya penghitungan alokasi DAK dilakukan sesuai dengan Pasal 54 PP Nomor<br />

55 Tahun 2005. Penghitungan alokasi DAK dialkukan melalui 2 tahapan, yaitu:<br />

1. penentuan <strong>daerah</strong> tertentu yang menerima DAK, dan<br />

2. penentuan besaran alokasi DAK masing-masing <strong>daerah</strong>.<br />

Adapun penentuan <strong>daerah</strong> tertentu tersebut harus memenuhi kriteria umum, kriteria<br />

khusus, dan kriteria teknis. Selanjutnya besaran alokasi untuk masing-masing <strong>daerah</strong><br />

ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan<br />

kriteria teknis.<br />

III-80


Transfer ke Daerah<br />

1. Kriteria Umum<br />

Pada Pasal 55 di PP yang sama disebutkan bahwa kriteria umum dirumuskan berdasarkan<br />

kemampuan Keuangan Daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah<br />

dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah. Dalam bentuk formula, kriteria umum<br />

tersebut dapat ditunjukkan pada beberapa persamaan di bawah ini:<br />

Kemampuan Keuangan Daerah= Penerimaan Umum APBD – Belanja Pegawai Daerah<br />

Penerimaan Umum<br />

= PAD + DAU + (DBH – DBHDR)<br />

Belanja Pegawai Daerah = Belanja PNSD<br />

Dimana:<br />

PAD<br />

APBD<br />

DAU<br />

DBH<br />

DBHDR<br />

PNSD<br />

= Pendapatan Asli Daerah<br />

= Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah<br />

= Dana Alokasi Umum<br />

= Dana Bagi Hasil<br />

= Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi<br />

= Pegawai Negeri Sipil Daerah<br />

Selanjutnya, kemampuan keuangan <strong>daerah</strong> tersebut dihitung melalui indeks fiskal netto<br />

tertentu yang ditetapkan setiap tahun. Dalam pelaksanaannya, indeks fiskal netto (IFN)<br />

tertentu tersebut disamakan dengan nilai 1 (satu) atau berdasarkan rata-rata nasional dari<br />

kemampuan keuangan <strong>daerah</strong>. Dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2007 tentang<br />

Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2008 disebutkan bahwa kebijakan pengalokasian DAK<br />

diprioritaskan untuk membantu <strong>daerah</strong>-<strong>daerah</strong> dengan kemampuan kemampuan fiskal<br />

yang rendah atau di bawah rata-rata nasional, yang berarti IFN-nya < 1. Selanjutnya,<br />

rata-rata kemampuan keuangan <strong>daerah</strong> secara nasional dapat dilihat sebagai berikut:<br />

Rata-rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah=<br />

Total Kemampuan Keuangan<br />

Daerah secara Nasional<br />

Jumlah Daerah<br />

Perhitungan Indeks Fiskal Netto (IFN) dilakukan dengan membagi kemampuan keuangan<br />

<strong>daerah</strong> dengan rata-rata nasional kemampuan keuangan <strong>daerah</strong>. Jika IFN tersebut lebih<br />

kecil dari satu, atau dengan kata lain <strong>daerah</strong> tersebut memiliki kemampuan keuangan<br />

<strong>daerah</strong> lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional, maka <strong>daerah</strong> tersebut<br />

mendapatkan prioritas dalam memperoleh DAK.<br />

Indek Fiskal Neto Daerah Z=<br />

Kemampuan Keuangan Daerah Z<br />

Rata-rata Nasional Kemampuan Keuangan Daerah<br />

III-81


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

2. Kriteria Khusus<br />

Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan<br />

karakteristik <strong>daerah</strong>. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah<br />

Undang-Undang yang mengatur tentang kekhususan suatu <strong>daerah</strong>, misalnya UU Otonomi<br />

Khusus Papua. Seluruh <strong>daerah</strong> (Kabupaten/kota) di <strong>Provinsi</strong> Papua akan diprioritaskan<br />

mendapatkan DAK.<br />

Sesuai dengan hasil rapat kerja DPR RI dan Pemerintah mengenai transfer ke <strong>daerah</strong>,<br />

kriteria khusus untuk pengalokasian DAK tahun 2008 ditetapkan dengan memperhatikan<br />

peraturan perundang-undangan dan karakteristik <strong>daerah</strong>.<br />

Untuk perhitungan alokasi DAK kabupaten/kota, kriteria khusus yang digunakan yaitu:<br />

a. Seluruh <strong>daerah</strong> kabupaten/kota di <strong>Provinsi</strong> Papua, <strong>Provinsi</strong> Papua Barat, dan <strong>daerah</strong><br />

tertinggal/terpencil.<br />

b. karakteristik <strong>daerah</strong> yang meliputi:<br />

- <strong>daerah</strong> pesisir dan pulau-pulau kecil<br />

- <strong>daerah</strong> perbatasan dengan negara lain<br />

- <strong>daerah</strong> rawan banjir/longsor<br />

- <strong>daerah</strong> yang masuk dalam kategori ketahanan pangan<br />

- <strong>daerah</strong> pariwisata<br />

Dari hal di atas, untuk seluruh <strong>daerah</strong> kabupaten/kota di <strong>Provinsi</strong> Papua, <strong>Provinsi</strong> Papua<br />

Barat, dan <strong>daerah</strong> tertinggal/terpencil diprioritaskan untuk mendapatkan alokasi DAK.<br />

Sementara itu, untuk perhitungan alokasi DAK <strong>Provinsi</strong> digunakan kriteria khusus yang<br />

digunakan pada perhitungan alokasi DAK kabupaten/kota sebagaimana pada huruf b di<br />

atas.<br />

3. Kriteria Teknis<br />

Dari sisi ketentuan perundangan, kriteria teknis bersama-sama dengan kriteria umum<br />

dan kriteria teknis dipergunakan dalam menentukan <strong>daerah</strong> tertentu yang diprioritaskan<br />

mendapatkan alokasi DAK. Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa apabila suatu<br />

<strong>daerah</strong> dapat dianggap sebagai <strong>daerah</strong> tertentu yang mendapatkan alokasi DAK dari<br />

sisi kriteria umum dan kriteria teknis, akan tetapi apabila tidak memenuhi kriteria teknis<br />

maka <strong>daerah</strong> tersebut tidak akan mendapatkan alokasi DAK untuk bidang yang relevan<br />

dengan kriteria teknis dimaksud. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa suatu <strong>daerah</strong><br />

mempunyai kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional yang berarti dianggap<br />

layak untuk menerima alokasi DAK, namun <strong>daerah</strong> tersebut tidak layak dari sisi data<br />

III-82


Transfer ke Daerah<br />

teknis yang dibutuhkan dalam perhitungan indeks teknis bidang pertanian, maka <strong>daerah</strong><br />

tersebut juga tidak akan mendapatkan alokasi DAK bidang pertanian.<br />

Dalam hal ini, kriteria teknis dirumuskan oleh Kementerian Negara/Departemen teknis<br />

terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator-indikator yang dapat<br />

digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana-prasarana pada masing-masing<br />

bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK. Hingga tahun 2008, terdapat 11 bidang<br />

yang didanai dari DAK.<br />

3.1. Kriteria Teknis Bidang Pendidikan<br />

Indikator Teknis untuk bidang pendidikan ditentukan oleh tiga variabel, yaitu:<br />

- jumlah ruang kelas rusak sekolah dasar (SD) dan sekolah keagamaan setara SD<br />

yang mengalami kerusakan<br />

- jumlah sekolah dasar (SD) dan sekolah keagamaan setara SD<br />

- indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)<br />

3.2. Kriteria Teknis Bidang Kesehatan<br />

Indikator Teknis untuk bidang Kesehatan terdiri dari 2, yaitu:<br />

a. sarana pelayanan kesehatan dasar, yaitu:<br />

- Human Poverty Index (HPI)<br />

- Luas Wilayah<br />

- Jumlah Penduduk<br />

- Jumlah Puskesmas (Perawatan dan non Perawatan), Puskesmas Pembantu<br />

(Pustu), Pondok Bersalin Desa (Polindes), Puskesmas Keliling (Perairan dan<br />

Roda 4), Rumah Dinas dokter dan paramedis<br />

- Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).<br />

b. Sarana <strong>Pelayanan</strong> Kesehatan Rujukan<br />

- Penambahan Fasilitas Tempat Tidur Kelas III RS Kab/Kota<br />

- Indeks BOR Kelas III<br />

- Indeks Tempat Tidur Kelas III<br />

- Indeks Rasio Tempat Tidur Kelas III<br />

- Indeks Jumlah Penduduk<br />

- Indeks Penduduk Miskin<br />

III-83


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

- Pembangunan Fisik & Penyediaan Peralatan Medis & Non Medis Unit Transfusi<br />

Darah RS Kab/Kota<br />

- Kab/Kota yang belum memiliki UTD PMI<br />

- Indeks Kemahalan Konstruksi<br />

3.3. Kriteria Teknis Bidang Prasarana Jalan<br />

a. Jalan <strong>Provinsi</strong><br />

i. Panjang Jalan<br />

ii. Panjang Jalan Tidak Mantap<br />

iii. Nilai Kinerja Jalan<br />

iv. IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi)<br />

b. Jalan Kabupaten/Kota<br />

i. Panjang Jalan<br />

ii. Panjang Jalan Tidak Mantap<br />

iii. Nilai Kinerja Jalan<br />

iv. Nilai Kinerja Pelaporan<br />

v. IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi)<br />

3.4 Kriteria Teknis Bidang Prasarana Irigasi<br />

a. Irigasi <strong>Provinsi</strong><br />

i. Luas Irigasi<br />

ii. Luas Rawa<br />

iii. Luas Jaringan Irigasi dan Rawa Baik<br />

iv. Luas Jaringan Irigasi dan Rawa Rusak Ringan<br />

v. Luas Jaringan Irigasi dan Rawa Rusak Berat<br />

vi. IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi)<br />

b. Irigasi Kabupaten/Kota<br />

i. Luas Irigasi<br />

ii. Luas Rawa<br />

III-84


Transfer ke Daerah<br />

iii. Luas Jaringan Irigasi dan Rawa Baik<br />

iv. Luas Jaringan Irigasi dan Rawa Rusak Ringan<br />

v. Luas Jaringan Irigasi dan Rawa Rusak Berat<br />

vi. Kinerja Pelaporan<br />

vii. IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi)<br />

3.5 Kriteria Teknis Bidang Prasarana Air Minum dan<br />

Penyehatan Lingkungan<br />

a. Jumlah Penduduk<br />

b. Jumlah Desa<br />

c. Jumlah Kelurahan<br />

d. Luas Kawasan Kumuh Perkotaan<br />

e. Jumlah Desa Rawan Air Minum<br />

f. Kinerja Pelaporan<br />

g. IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi)<br />

3.6 Kriteria Teknis Bidang Kelautan dan Perikanan<br />

Indikator Teknis untuk bidang kelautan dan perikanan mempertimbangkan:<br />

a. Luas Baku Usaha Budidaya (Ha);<br />

b. Produksi Perikanan Budidaya (Ton);<br />

c. Jumlah Balai Benih Ikan (Unit);<br />

d. Produksi Perikanan Tangkap (Ton);<br />

e. Jumlah Pangkalan Pendaratan Ikan (Unit);<br />

f. Panjang Garis Pantai (km);<br />

g. Jumlah Pulau-Pulau Kecil (buah);<br />

h. Jumlah Pokwasmas (Kelompok);<br />

i. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).<br />

3.7 Kriteria Teknis Bidang Pertanian<br />

Indikator Teknis untuk bidang pertanian mempertimbangkan:<br />

III-85


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

a. Jumlah kelembagaan perbenihan/pembibitan (unit);<br />

b. Populasi Ternak (ekor);<br />

c. Luas Baku Lahan Pertanian (ha);<br />

d. Jumlah Kantor Penyuluh Pertanian (unit);<br />

e. Jumlah Penyuluh Pertanian (orang);<br />

f. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).<br />

3.8 Kriteria Teknis Bidang Prasarana Pemerintahan<br />

Indikator teknis untuk bidang prasarana pemerintahan meliputi:<br />

a. Daerah pemekaran Tahun 2007<br />

b. Daerah pemekaran dan yang terkena dampak pemekaran yang belum pernah<br />

menerima DAK Prasarana Pemerintahan.<br />

c. Daerah pemekaran yang menerima DAK Prasarana Pemerintahan lebih kecil<br />

Rp6,0 Miliar.<br />

d. Daerah pemekaran yang menerima DAK Prasarana Pemerintahan antara<br />

Rp6,0 Miliar – Rp8,0 Miliar.<br />

e. Daerah pemekaran yang menerima DAK Prasarana Pemerintahan antara<br />

Rp8,0 Miliar – Rp12,5 Miliar.<br />

f. <strong>Provinsi</strong> pemekaran Wilayah Indonesia Timur yang Prasarana Pemerintahannya<br />

tidak layak.<br />

g. Daerah pasca konflik dan pengembangan wilayah yang Prasarana<br />

Pemerintahannya tidak layak.<br />

3.9 Kriteria Teknis Bidang Lingkungan Hidup<br />

Indikator teknis untuk bidang pertanian mempertimbangkan:<br />

a. Panjang sungai tercemar kabupaten/kota (km);<br />

b. Jumlah Kepadatan penduduk (jiwa);<br />

c. Luas tutupan lahan (Ha);<br />

d. Luas lahan kritis (Ha);<br />

e. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).<br />

III-86


Transfer ke Daerah<br />

3.10 Kriteria Teknis Bidang Kependudukan<br />

Indikator teknis untuk bidang kependudukan mempertimbangkan:<br />

a. Kepadatan Penduduk<br />

b. CPR = contraception prevalence rate<br />

c. CWR = child woman ratio<br />

d. KPS/KS 1 = keluarga prasejahtera/keluarga sejahtera 1<br />

e. Jumlah Keluarga<br />

f. Jumlah Penyuluh Keluarga Berencana (PKB)/Petugas Lapangan Keluarga<br />

Berencana (PLKB)<br />

g. Jumlah Pengawas/Pengendali Petugas Lapangan Keluarga Berencana<br />

(PPLKB)<br />

h. IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi).<br />

3.11 Kriteria Teknis Bidang Kehutanan<br />

Indikator teknis untuk bidang kehutanan mempertimbangkan:<br />

a. Rasio luas lahan kritis terhadap luas kawasan (daratan) wilayah(ha)<br />

b. Rasio luas hutan mangrove terhadap luas kawasan (daratan) wilayah (ha)<br />

c. IKK (Indeks Kemahalan Konstruksi)<br />

d. DAK Kehutanan ditempatkan pada wilayah Kabupaten dengan rasio luas lahan kritis<br />

dan rasio luas hutan mangrove terhadap wilayah kabupaten lebih dari 25%<br />

3.3.1.3. Perhitungan Alokasi DAK Masing-Masing Daerah<br />

Mekanisme alokasi DAK kepada Daerah dihitung berdasarkan penggabungan dari<br />

Kriteria Umum, Kriteria Khusus, Kriteria Teknis. Secara ringkas, mekanisme alokasi DAK<br />

dapat ditunjukkan pada Gambar 3.12. berikut ini:<br />

III-87


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 3.12.<br />

Mekanisme Alokasi DAK<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan<br />

Berdasarkan gambar di atas, terdapat sejumlah prosedur yang harus dilakukan dalam<br />

pengalokasian DAK kepada masing-masing <strong>daerah</strong>. Langkah-langkah tersebut secara<br />

sistematis adalah sebagai berikut:<br />

1. Menentukan <strong>daerah</strong> yang memenuhi kriteria umum, yaitu <strong>daerah</strong> yang memiliki<br />

kemampuan keuangan <strong>daerah</strong> dibawah rata-rata nasional:<br />

2. Jika memenuhi kriteria umum yang ditunjukkan dengan Indeks Fiskal Netto (IFN),<br />

maka <strong>daerah</strong> tersebut layak memperoleh alokasi DAK,<br />

3. Jika tidak memenuhi, maka dilihat kriteria khusus yang pertama, yaitu apakah<br />

<strong>daerah</strong> tersebut merupakan <strong>daerah</strong> yang termasuk dalam pengaturan Otonomi<br />

Khusus Papua dan termasuk <strong>daerah</strong> tertinggal. Jika termasuk maka secara otomatis<br />

<strong>daerah</strong> tersebut layak mendapatkan alokasi DAK,<br />

III-88


Transfer ke Daerah<br />

4. Jika <strong>daerah</strong> tersebut tidak termasuk dalam kriteria khusus pada point dua, maka<br />

lihat kembali kriteria khusus yang kedua,yaitu karakteristik kewilayahannya yang<br />

ditunjukkan dengan Indeks Karakteristik Kewilayahan (IKW),<br />

5. Gabungkan IFN dan IKW untuk menghasilkan Indeks Fiskal dan Wilayah (IFW), jika<br />

<strong>daerah</strong> tersebut memiliki IFW lebih besar dari satu, maka <strong>daerah</strong> tersebut secara<br />

otomatis layak mendapatkan alokasi DAK,<br />

Dari butir di atas, <strong>daerah</strong> yang layak mendapatkan alokasi DAK adalah:<br />

1. Daerah yang memiliki kemampuan keuangan <strong>daerah</strong> di bawah rata-rata nasional;<br />

2. Daerah yang termasuk otonomi khusus dan <strong>daerah</strong> tertinggal;<br />

3. Daerah yang memiliki IFW lebih besar dari satu.<br />

Dari semua <strong>daerah</strong> yang layak memperoleh alokasi DAK, ditentukan Bobot Daerah (BD)<br />

dengan mengalikan nilai IFW dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), dari semua<br />

<strong>daerah</strong> yang layak tersebut juga ditentukan nilai Indeks Teknis (IT) dari masing-masing<br />

bidangnya, dan kemudian dihitung Bobot Teknis (BT) dengan mengalikan IT dengan IKK.<br />

Selanjutnya, besaran alokasi DAK tiap bidangnya ditetapkan berdasarkan Bobot DAK<br />

yang merupakan penggabungan dari BD dan BT.<br />

3.3.1.4. Arah Kegiatan dalam Penggunaan Dana Alokasi<br />

Khusus<br />

Arah kegiatan akan mempengaruhi penggunaan DAK masing-masing bidang. Di bawah<br />

ini akan dijelaskan arah kegiatan dan penggunaan DAK masing-masing bidang.<br />

3.3.1.4.1. Bidang Pendidikan<br />

DAK Pendidikan 2008 diarahkan untuk menunjang Program Wajib Belajar Pendidikan<br />

Dasar 9 Tahun yang bermutu, dan diperuntukkan bagi SD/SDLB, MI/Salafiyah Ula,<br />

termasuk sekolah-sekolah setara SD berbasis keagamaan lainnya dalam rangka<br />

pelaksanaan program Wajar Dikdas, baik negeri maupun swasta.<br />

Kegiatan yang didanai dari DAK Pendidikan, yaitu :<br />

1. Rehabilitasi fisik gedung sekolah/ruang kelas<br />

2. Pengadaan/rehabilitasi sumber dan sanitasi air bersih serta kamar mandi dan WC<br />

3. Pengadaan/perbaikan meubelair untuk ruang kelas<br />

4. Pembangunan/rehabilitasi rumah dinas penjaga/guru/kepala sekolah<br />

III-89


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

5. Peningkatan mutu sekolah dengan pembangunan/penyediaan sarana dan prasarana<br />

perpustakaan serta fasilitas pendidikan lainnya di sekolah.<br />

3.3.1.<strong>4.2.</strong> Bidang Kesehatan<br />

DAK Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan daya jangkau dan kualitas pelayanan<br />

sarana dan prasarana kesehatan masyarakat, terutama masyarakat miskin baik di<br />

perkotaan maupun perdesaan.<br />

Kegiatan yang didanai dari DAK Kesehatan, yaitu:<br />

1. Kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan daya jangkau dan kualitas<br />

pelayanan sarana dan prasarana kesehatan masyarakat terutama masyarakat miskin<br />

baik di perkotaan maupun perdesaan, khususnya kesehatan dalam menekan angka<br />

kematian ibu yang disebabkan oleh kanker rahim (cervical cancer) dengan antara<br />

lain menyediakan alat pendeteksi dini seperti penghantar cepat cytos papsmear<br />

test untuk Puskesmas, kesehatan anak, pemberantasan penyakit menular dan<br />

pencegahan penyakit yang berkatagori tinggi antara lain Malaria, Avian Influensa,<br />

Demam berdarah, HIV Aids dan TBC (MADAT),<br />

2. Penyediaan sarana prasarana dan peralatan kesehatan untuk pelayanan kesehatan<br />

dasar termasuk instalasi farmasi (tingkat Kabupaten/Kota)<br />

a. Pembangunan Pos Kesehatan Desa. Kegiatan yang dilaksanakan dapat<br />

berupa:<br />

- Peningkatan fisik Polindes menjadi Poskesdes<br />

- Pembangunan baru Poskesdes<br />

b. Pembangunan gedung Puskesmas/Puskesmas Pembantu (Pustu). Kegiatan<br />

yang dilaksanakan dapat berupa :<br />

- Pembangunan baru Puskesmas<br />

- Pembangunan baru Puskesmas Pembantu<br />

c. Rehabilitasi dan perluasan gedung Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan<br />

Puskesmas Perawatan. Kegiatan yang dilaksanakan dapat berupa :<br />

- Rehabilitasi gedung Puskesmas Perawatan<br />

- Rehabilitasi gedung Puskesmas<br />

- Rehabilitasi gedung Puskesmas Pembantu<br />

- Perluasan gedung Puskesmas Perawatan<br />

- Perluasan gedung Puskesmas<br />

- Perluasan gedung Puskesmas Pembantu<br />

III-90


Transfer ke Daerah<br />

d<br />

e<br />

f<br />

Peningkatan fisik Puskesmas menjadi Puskesmas Perawatan<br />

Peningkatan fisik Puskesmas Pembantu menjadi Puskesmas<br />

Rehabilitasi fisik dan/atau pengadaan Puskesmas Keliling Perairan/Puskesmas<br />

Terapung serta Puskesmas Keliling Roda Empat. Kegiatan yang dilaksanakan<br />

dapat berupa :<br />

- Rehabilitasi fisik Puskesmas Keliling Perairan/Terapung<br />

- Rehabilitasi fisik Puskesmas Keliling Roda Empat<br />

- Pengadaan Puskesmas Keliling Perairan/Terapung<br />

- Pengadaan Puskesmas Keliling Roda Empat<br />

g. Pengadaan peralatan kesehatan tertentu untuk peningkatan pelayanan<br />

kesehatan dasar di Puskesmas Perawatan, Puskesmas, Puskesmas Pembantu<br />

(Pustu), Puskesmas Keliling dan Poskesdes<br />

h. Pengadaan kendaraan roda dua untuk petugas Puskesmas dan bidan desa.<br />

i. Pembangunan/rehabilitasi rumah dinas dokter, perawat dan bidan Puskesmas<br />

j. Pengadaan sarana pendukung (kendaraan distribusi obat roda 4) Instalasi<br />

farmasi Kabupaten/Kota.<br />

3. Penyediaan sarana prasarana dan peralatan kesehatan untuk pelayanan kesehatan<br />

rujukan (tingkat Kabupaten/Kota)<br />

a. Peningkatan fasilitas tempat tidur kelas III RS<br />

- Pembangunan bangsal rawat inap kelas III<br />

- Pengadaan set tempat tidur kelas III dan kelengkapannya<br />

b. Peningkatan pelayanan darah melalui pendirian Unit Transfusi Darah Rumah<br />

Sakit (UTD RS)<br />

- Pembangunan baru unit UTD RS<br />

- Pengadaan perlengkapan peralatan UTDRS<br />

3.3.1.4.3. Bidang Prasarana Jalan<br />

DAK Prasarana Jalan diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan daya dukung,<br />

kapasitas, dan kualitas pelayanan prasarana jalan dan jembatan yang telah menjadi<br />

urusan pemerintah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota dalam rangka melancarkan<br />

distribusi barang dan jasa serta hasil produksi, guna mendukung pertumbuhan ekonomi<br />

dan menunjang sektor pariwisata.<br />

III-91


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Kegiatan yang didanai DAK Prasarana Jalan yaitu rehabilitasi, pemeliharaan berkala, dan<br />

peningkatan prasana jalan/jembatan provinsi maupun jalan/jembatan kabupaten/kota.<br />

3.3.1.4.4. Bidang Prasarana Irigasi<br />

DAK Prasarana Irigasi diarahkan untuk mempertahankan tingkat layanan dan<br />

mengoptimalkan prasarana sistem irigasi (termasuk jaringan reklamasi rawa) di<br />

kabupaten/kota dan provinsi, dalam rangka mendukung program ketahanan pangan.<br />

Kegiatan yang didanai DAK Prasarana irigasi yaitu rehabilitasi, pemeliharaan dan<br />

peningkatan jaringan irigasi (termasuk jaringan reklamasi rawa) dan bangunan<br />

pelengkapnya untuk menunjang produksi pangan. Peningkatan hanya untuk kegiatan<br />

meningkatkan fungsi dan kondisi jaringan irigasi (termasuk jaringan reklamasi rawa) yang<br />

sudah ada.<br />

3.3.1.4.5. Bidang Prasarana Air Minum dan Penyehatan<br />

Lingkungan<br />

DAK Prasarana Air Minum dan Penyehatan Lingkungan diarahkan untuk meningkatkan<br />

cakupan dan kehandalan pelayanan air minum dan meningkatkan cakupan dan<br />

kehandalan pelayanan penyehatan lingkungan (air limbah, persampahan dan drainase),<br />

untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.<br />

Kegiatan yang didanai DAK Prasarana Air Minum dan Penyehatan Lingkungan yaitu<br />

Rehabilitasi, optimalisasi, dan pembangunan baru sistem prasarana air minum bagi<br />

masyarakat pada desa-desa rawan air minum dan kekeringan, serta Rehabilitasi dan<br />

pembangunan baru sistem prasarana sanitasi dan persampahan bagi masyarakat pada<br />

kawasan kumuh di perkotaan.<br />

3.3.1.4.6. Bidang Kelautan dan Perikanan<br />

DAK Kelautan dan Perikanan diarahkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana<br />

dasar penunjang di bidang kelautan dan perikanan khususnya dalam menunjang<br />

pengembangan perikanan tangkap dan budidaya serta pengembangan pulau-pulau kecil<br />

di <strong>daerah</strong>.<br />

Kegiatan yang didanai DAK Kelautan dan Perikanan diarahkan untuk kegiatan:<br />

1. Penyediaan/rehabilitasi sarana dan prasarana Perikanan Tangkap;<br />

2. Penyediaan/rehabilitasi sarana dan prasarana Perikanan Budidaya;<br />

3. Penyediaan sarana dan prasarana pengolahan dan pemasaran hasil perikanan;<br />

III-92


Transfer ke Daerah<br />

4. Penyediaan sarana dan prasarana pemberdayaan di pesisir dan Pulau-pulau Kecil;<br />

5. Penyediaan sarana Pengawasan.<br />

3.3.1.4.7. Bidang Pertanian<br />

DAK Pertanian digunakan untuk meningkatkan sarana dan prasarana pertanian guna<br />

mendukung ketahanan pangan dan agribisnis.<br />

DAK Pertanian diarahkan untuk kegiatan:<br />

1. Penyediaan fisik sarana dan prasarana perbenihan tanaman pangan<br />

2. Penyediaan fisik sarana dan prasarana perbenihan/pembibitan hortikultura<br />

3. Penyediaan fisik sarana dan prasarana pembibitan peternakan<br />

4. Penyediaan fisik sarana dan prasarana perbenihan/pembibitan perkebunan<br />

5. Penyediaan fisik sarana dan prasarana penyuluhan<br />

6. Penyediaan fisik prasarana ketahanan pangan (lumbung pangan)<br />

7. Penyediaan fisik Prasarana pengelolaan lahan dan air<br />

8. Penyediaan fisik peralatan dan mesin pra dan pasca panen termasuk pengolahan<br />

hasil pertanian.<br />

3.3.1.4.8. Bidang Prasarana Pemerintahan<br />

DAK Prasarana Pemerintahan diarahkan untuk meningkatkan kinerja <strong>daerah</strong> dalam<br />

penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publik di <strong>daerah</strong> yang terkena dampak<br />

pemekaran, maupun <strong>daerah</strong> lain yang prasarananya tidak layak.<br />

DAK Prasarana Pemerintahan diarahkan untuk kegiatan :<br />

1. Pembangunan/perluasan/rehabilitasi gedung kantor Bupati/Walikota<br />

2. Pembangunan/perluasan/rehabilitasi gedung kantor DPRD<br />

3. Pembangunan/perluasan/rehabilitasi gedung kantor Satuan Kerja Perangkat<br />

Daerah<br />

4. Pembangunan gedung kantor Kecamatan<br />

III-93


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

3.3.1.4.9. Bidang Lingkungan Hidup<br />

DAK Lingkungan Hidup diarahkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana<br />

pemantauan kualitas air, pengendalian pencemaran air dan perlindungan sumber daya<br />

air, dan pengelolaan sampah.<br />

DAK Lingkungan Hidup kegiatannya diarahkan untuk:<br />

1. Pemantauan Kualitas Air<br />

Melengkapi sarana dan prasarana laboratorium seperti peralatan laboratorium,<br />

bangunan laboratorium, dan mobile lab<br />

2. Pengendalian Pencemaran Air<br />

- Pembangunan unit pengolah sampah<br />

- Pembuatan teknologi biogas<br />

- Pembangunan IPAL komunal (masyarakat dan UKM)<br />

3. Perlindungan Sumber Daya Air<br />

- Penanaman pohon di luar kawasan hutan untuk perlindungan sumber daya air.<br />

- Pembangunan sumur resapan untuk perlindungan sumber daya air<br />

4. Pengelolaan Sampah<br />

3R (Reduce, Reuse, Recycle)<br />

5. Pembangunan Sistem Informasi Kualitas Lingkungan<br />

Pengadaan perangkat keras<br />

3.3.1.4.10. Bidang Kependudukan<br />

DAK Kependudukan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui<br />

program keluarga berencana beserta sarana dan prasarana pendukungnya dalam rangka<br />

pengendalian jumlah penduduk.<br />

DAK Kependudukan diarahkan untuk kegiatan:<br />

1. Pengadaan sepeda motor bagi Petugas Lapangan Keluarga Berencana/Penyuluh<br />

Keluarga Berencana (PLKB/PKB)<br />

2. Pengadaan Mobil Unit Penerangan (Mupen) KB;<br />

III-94


Transfer ke Daerah<br />

3. Pengadaan sepeda motor bagi Pengawas/Pengendali Petugas Lapangan Keluarga<br />

Berencana (PPLKB)<br />

4. Pengadaan sarana pelayanan KB.<br />

3.3.1.4.11. Bidang Kehutanan<br />

DAK Kehutanan diarahkan untuk meningkatkan fungsi <strong>daerah</strong> aliran sungai (DAS) dalam<br />

rangka perlindungan dan pengendalian terhadap bencana alam, banjir, kekeringan<br />

dan tanah longsor, serta meningkatkan fungsi mangrove dengan tujuan utama untuk<br />

mengurangi dampak bencana di pesisir seperti tsunami, abrasi, dan intrusi air laut.<br />

Kegiatan yang didanai DAK Kehutanan yaitu:<br />

1. Peningkatan fungsi DAS dipergunakan untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan<br />

dalam rangka perbaikan kondisi biofisik lingkungan DAS seperti perbaikan teknik<br />

pengolahan lahan berdasarkan prinsip konservasi tanah dan air, pengembangan<br />

kapasitas kelembagaan masyarakat, penanaman, serta penyediaan sarana dan<br />

prasarana pendukung khususnya untuk kegiatan penyuluhan.<br />

2. Peningkatan fungsi hutan mangrove dipergunakan untuk perbaikan kondisi<br />

biofisik hutan mangrove melalui kegiatan penanaman, pengembangan kapasitas<br />

kelembagaan masyarakat, pemanfaatan, perlindungan/pengamanan, serta<br />

penyediaan sarana dan prasarana pendukungnya.<br />

3.3.1.5. Administrasi Pengelolaan DAK<br />

Administrasi pengelolaan DAK dimulai dari penetapan prioritas nasional dalam RKP<br />

sampai dengan pertanggungjawaban atas pelaksanaan DAK.<br />

3.3.1.5.1. Proses Penetapan Alokasi DAK<br />

Dalam rangka pelaksanaan penetapan DAK, terdapat sejumlah proses yang secara<br />

sistematis dapat dijelaskan sebagai berikut:<br />

1. Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), dilakukan perumusan kebijakan<br />

umum DAK di APBN, termasuk didalamnya bidang-bidang yang akan di danai dari<br />

DAK.<br />

2. Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara Perencanaan<br />

Pembangunan Nasional melakukan koordinasi dalam rangka pembahasan kegiatan<br />

khusus yang diusulkan oleh Menteri Teknis.<br />

III-95


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

3. Menteri Keuangan melakukan penghitungan alokasi DAK berdasarkan kriteria<br />

umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.<br />

4. Menteri keuangan menetapkan alokasi DAK untuk masing-masing <strong>daerah</strong> melalui<br />

Peraturan Menteri Keuangan.<br />

Berkaitan dengan penetapan alokasi DAK oleh Menteri Keuangan, rincian alokasi<br />

kepada masing-masing <strong>daerah</strong> ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan.<br />

Penetapan ini kemudian disampaikan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan<br />

kepada kepala <strong>daerah</strong> penerima DAK, Menteri Teknis, Menteri Dalam Negeri, Menteri<br />

Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Direktur Jenderal<br />

Perbendaharaan.<br />

3.3.1.5.2. Penyediaan Dana Pendamping<br />

Penyediaan Dana Pendamping ditujukan sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab<br />

<strong>daerah</strong> dalam pelaksanaan program yang didanai DAK. Dalam hal ini, <strong>daerah</strong> penerima<br />

DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen)<br />

dari nilai DAK yang diterimanya untuk mendanai kegiatan fisik, dan wajib dianggarkan<br />

dalam APBD tahun anggaran berjalan. Dana Pendamping tersebut juga harus<br />

dicantumkan Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA-SKPD) atau dokumen pelaksana<br />

anggaran sejenis lainnya.<br />

Sementara itu, untuk <strong>daerah</strong> dengan kemampuan keuangan tertentu, yaitu selisih antara<br />

penerimaan umum APBD dan Belanja Pegawainya sama dengan 0 (nol) atau negatif<br />

maka tidak diwajibkan menganggarkan Dana Pendamping.<br />

3.3.1.5.3. Penganggaran di Daerah<br />

Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang dapat dibiayai dari DAK, Menteri Teknis<br />

menetapkan Petunjuk Teknis Penggunaan DAK untuk masing-masing bidang yang<br />

dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.<br />

Sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan ini bahwa sejak tahun 2008 telah terjadi<br />

perubahan mendasar dalam pengelolaan DAK termasuk di dalamnya penganggaran di<br />

<strong>daerah</strong>. Dalam hal ini, jika pada tahun-tahun sebelumnya pelaksanaan penganggaran<br />

dimulai dari penyusunan Rencana Definitif (RD) yang harus dikonfirmasikan melalui<br />

Kanwil Ditjen Perbendaharaan, maka pelaksanaan penganggaran DAK di <strong>daerah</strong> sejak<br />

tahun 2008 diserahkan melalui mekanisme APBD.<br />

III-96


Transfer ke Daerah<br />

3.3.1.5.4. Penyaluran<br />

Sama seperti penganggaran di <strong>daerah</strong>, pelaksanaan penyaluran DAK juga mengalami<br />

perubahan mendasar. Jika pada tahun-tahun sebelumnya penyaluran dilakukan melalui<br />

KPPN, maka sejak tahun 2008 dilaksanakan dari Pusat, yaitu melalui BUN yang akan<br />

memindahbukukan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum <strong>daerah</strong>.<br />

Pengaturan tersebut terdapat pada Pasal 23 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor<br />

04 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer Ke<br />

Daerah. Dalam PMK tersebut, penyaluran dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:<br />

- Tahap I sebesar 30%, dilaksanakan setelah Perda mengenai APBD diterima oleh<br />

Dirjen Perimbangan Keuangan,<br />

- Tahap II sebesar 30%, dilaksanakan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari<br />

kerja setelah laporan penyerapan DAK tahap I diterima oleh Dirjen Perimbangan<br />

Keuangan,<br />

- Tahap III sebesar 30%, dilaksanakan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari<br />

kerja setelah laporan penyerapan DAK tahap II diterima oleh Dirjen Perimbangan<br />

Keuangan,<br />

- Tahap IV sebesar 10%, setelah laporan penyerapan DAK tahap III diterima oleh<br />

Dirjen Perimbangan Keuangan.<br />

Adapun pelaksanaan penyaluran secara bertahap tersebut tidak dapat dilakukan<br />

sekaligus. Sementara itu, laporan penyerapan DAK untuk masing-masing tahap tersebut<br />

disampaikan setelah penggunaan DAK telah mencapai 90% dari penerimaan DAK sampai<br />

dengan tahap sebelumnya. Secara lebih detil, format pelaporan penyerapan penggunaan<br />

anggaran tersebut dapat dilihat pada lampiran PMK 04 Tahun 2008.<br />

3.3.1.5.5. Pemantauan dan Pengawasan<br />

Pemantauan dan pengawasan dari kegiatan yang dibiayai melalui Dana Alokasi Khusus<br />

ini melibatkan tiga hal penting, yaitu pemantauan teknis, pelaksanaan kegiatan dan<br />

administrasi keuangan serta penilaian terhadap manfaat kegiatan yang dibiayai oleh DAK<br />

tersebut. Menteri Teknis melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemanfaatan<br />

dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK sesuai dengan kewenangan<br />

masing-masing.<br />

Pengawasan fungsional/pemeriksaan pelaksanaan kegiatan dan administrasi keuangan<br />

DAK dilaksanakan oleh <strong>Badan</strong> Pemeriksa Keuangan dan/atau aparat pengawasan<br />

intern pemerintah <strong>daerah</strong>. Apabila dalam pemeriksaan tersebut terdapat penyimpangan<br />

dan/atau penyalahgunaan, BPK dan/atau aparat pengawas intern pemerintah <strong>daerah</strong><br />

menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daerah<br />

III-97


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

sendiri melalui tim koordinasi melakukan evaluasi terhadap manfaat pelaksanaan DAK<br />

yang melibatkan pihak terkait setempat.<br />

3.3.1.5.6. Pelaporan<br />

Kepala <strong>daerah</strong> penerima DAK wajib menyampaikan laporan triwulan yang memuat<br />

laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK selambat-lambatnya 14 (empat<br />

belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir kepada:<br />

1. Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktur<br />

Jenderal Perbendaharaan, dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan<br />

dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini;<br />

2. Menteri Teknis; dan<br />

3. Menteri Dalam Negeri.<br />

Selanjutnya, Menteri Teknis menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK pada<br />

akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan dan Pembangunan<br />

Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri Dalam Negeri.<br />

III-98


BAB IV<br />

PINJAMAN DAN HIBAH DAERAH


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

IV-100


BAB IV<br />

PINJAMAN DAN HIBAH DAERAH<br />

4.1. PINJAMAN DAERAH<br />

Pinjaman <strong>daerah</strong> adalah semua transaksi yang mengakibatkan <strong>daerah</strong> menerima<br />

sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga <strong>daerah</strong><br />

tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman <strong>daerah</strong> merupakan salah<br />

satu instrumen pembiayaan pembangunan <strong>daerah</strong> dalam rangka memberikan pelayanan<br />

publik. Pada prinsipnya, pinjaman <strong>daerah</strong> terjadi karena APBD mengalami defisit. Dalam<br />

teori pengelolaan keuangan, kita mengetahui bahwa ketika suatu institusi mengalami<br />

defisit bukan berarti organisasi tersebut mengalami kekurangan uang (cash shortage),<br />

tetapi defisit dapat direncanakan dalam rangka investasi untuk dapat mengambil<br />

keuntungan dengan melakukan pinjaman dengan prinsip memanfaatkan uang ‘sekarang’,<br />

yang memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan uang ‘masa datang’.<br />

Dengan prinsip tersebut di atas, maka Pemerintah Daerah seharusnya memiliki visi<br />

yang jauh ke depan untuk dapat mengelola potensi yang ada agar dapat dimanfaatkan<br />

seoptimal mungkin untuk dapat melayani masyarakat dengan baik. Namun demikian,<br />

mengingat pinjaman <strong>daerah</strong> mempunyai konsekuensi pada biaya yang akan terjadi pada<br />

masa yang akan datang, maka pengelolaan pinjaman <strong>daerah</strong> harus dilakukan dengan<br />

mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudential management).<br />

Bab ini akan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan Pinjaman Daerah, antara lain:<br />

perencanaan pinjaman <strong>daerah</strong>, jenis pinjaman <strong>daerah</strong>, dan hal-hal lainnya yang telah<br />

diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 54<br />

Tahun 2005, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2006 tentang Tatacara<br />

Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya bersumber dari Pinjaman<br />

Luar Negeri dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara<br />

Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah.<br />

4.1.1. PERENCANAAN PINJAMAN DAERAH<br />

Pemerintah Daerah melakukan Pinjaman Daerah jangka menengah dan panjang<br />

sebagai alternatif pembiayaan untuk menutup defisit APBD yang bersangkutan. Dalam<br />

hal Pemerintah Daerah merencanakan untuk melakukan pinjaman jangka menengah<br />

dan panjang, maka tahapan yang dilakukan dalam proses perencanaan adalah sebagai<br />

berikut:<br />

IV-101


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

1) Pemerintah Daerah menetapkan jumlah Defisit APBD sepanjang memenuhi<br />

persyaratan batas maksimal Defisit APBD masing-masing Daerah setiap tahunnya<br />

yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan Agustus untuk tahun anggaran<br />

berikutnya. Untuk tahun anggaran 2008, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan<br />

Nomor 95/PMK.07/2007 tentang Batas Maksimal Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran<br />

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja<br />

Daerah (APBD), Batas Maksimal Defisit APBD Masing-masing Daerah, dan Batas<br />

Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah untuk Tahun Anggaran 2008, diatur sebagai<br />

berikut:<br />

a. Batas maksimal jumlah kumulatif Defisit APBN dan APBD untuk Tahun<br />

Anggaran 2008 ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dari proyeksi PDB yang<br />

digunakan dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2008;<br />

b. Batas maksimal jumlah kumulatif Defisit APBD untuk Tahun Anggaran 2008<br />

ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari proyeksi PDB yang<br />

digunakan dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2008;<br />

c. Batas maksimal Defisit APBD masing-masing Daerah ditetapkan sebesar 3%<br />

(tiga persen) dari perkiraan Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2008;<br />

d. Batas maksimal Defisit APBD masing-masing Daerah sebagaimana dimaksud<br />

pada butir c tidak termasuk:<br />

1. Defisit yang dibiayai dari SiLPA Tahun Anggaran 2007, dan<br />

2. Defisit yang dibiayai dengan pencairan Dana Cadangan yang akan<br />

dicairkan pada Tahun Anggaran 2008.<br />

e. Defisit APBD suatu Daerah dalam kondisi tertentu dapat melebihi batas<br />

maksimal yang telah ditetapkan, sepanjang Jumlah Kumulatif Defisit APBD<br />

seluruh Daerah tidak terlampaui;<br />

f. Penetapan Defisit APBD suatu Daerah dapat melebihi batas maksimal<br />

sebagaimana dimaksud dalam butir e, dapat dilakukan setelah mendapat<br />

persetujuan dari Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri<br />

Dalam Negeri;<br />

g. Batas maksimal kumulatif pinjaman <strong>daerah</strong> yang dapat ditarik oleh seluruh<br />

Daerah untuk Tahun Anggaran 2008 ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga<br />

persen) dari proyeksi PDB tahun 2008 yang digunakan dalam penyusunan<br />

APBN Tahun Anggaran 2008;<br />

h. Besaran jumlah pinjaman masing-masing Daerah disesuaikan dengan<br />

kemampuan keuangan Daerah dan setelah memenuhi persyaratan pinjaman<br />

<strong>daerah</strong>.<br />

IV-102


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

2) Penentuan jenis pembiayaan untuk menutup Defisit APBD. Berdasarkan peraturan<br />

perundang-undangan, Defisit APBD dapat ditutup dengan sumber-sumber<br />

pembiayaan sebagai berikut:<br />

a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) <strong>daerah</strong> tahun anggaran sebelumnya,<br />

mencakup sisa dana untuk mendanai kegiatan lanjutan, uang pihak ketiga yang<br />

belum diselesaikan, dan pelampauan target pendapatan <strong>daerah</strong>;<br />

b. Pencairan dana cadangan;<br />

c. Hasil penjualan kekayaan <strong>daerah</strong> yang dipisahkan, dapat berupa hasil penjualan<br />

aset milik pemerintah <strong>daerah</strong> yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau<br />

hasil divestasi penyertaan modal pemerintah <strong>daerah</strong>;<br />

d. Penerimaan pinjaman, termasuk penerbitan <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong> yang akan<br />

direalisasikan pada tahun anggaran yang bersangkutan; dan/atau<br />

e. Penerimaan kembali pemberian pinjaman.<br />

3) Dalam hal Pemerintah Daerah memutuskan untuk melakukan pinjaman <strong>daerah</strong><br />

untuk menutup Defisit APBD, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah<br />

meneliti pemenuhan persyaratan untuk dapat melakukan pinjaman <strong>daerah</strong>, yang<br />

akan dijelaskan lebih terinci pada bagian tentang persyaratan pinjaman <strong>daerah</strong><br />

dalam Bab ini.<br />

4) Langkah selanjutnya dari perencanaan pinjaman <strong>daerah</strong> adalah penentuan jenis<br />

dan sumber pinjaman <strong>daerah</strong> yang akan dilakukan, yang akan dijelaskan lebih<br />

terinci pada bagian tentang sumber dan jenis pinjaman <strong>daerah</strong> dalam Bab ini.<br />

Secara umum proses perencanaan pembiayaan Daerah dilakukan sesuai bagan alur<br />

(flow chart) dalam Gambar 4.1 berikut ini:<br />

IV-103


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 4.1<br />

Proses Perencanaan Pembiayaan Daerah<br />

Defisit APBD<br />

Alternatif Pembiayaan Defisit:<br />

- Sisa Lebih Peehitungan Anggaran (SiLPA);<br />

- Dana Cadangan;<br />

- Penjualan Aset yang dipisahkan<br />

- Pinjaman Daerah<br />

Flowchart Perencanaan<br />

Pembiayaan Daerah<br />

Pinjaman Daerah<br />

Sumber Pinjaman Daerah:<br />

- Pemerintah (APBD & SLA)<br />

- Pemda lain<br />

- Lembaga Keu. Bank/Lembaga<br />

Keuangan NonBank<br />

- Masyarakat (Obligasi Daerah)<br />

Ya<br />

Persyaratan Pinjaman?<br />

- DSCR > 2,5<br />

- Jumlah Pinjaman < 75% PU<br />

- Tidak ada tunggakan<br />

Tidak<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2008<br />

4.1.2. SUMBER PINJAMAN<br />

Alternatif sumber-sumber pinjaman yang dapat dipilih oleh Pemerintah Daerah, adalah<br />

sebagai berikut:<br />

1) Pemerintah yang dananya berasal dari pendapatan APBN dan/atau pengadaan<br />

pinjaman Pemerintah dari dalam maupun luar negeri.<br />

2) Pemerintah Daerah lain.<br />

3) Lembaga Keuangan Bank yang berbadan Hukum Indonesia dan mempunyai tempat<br />

kedudukan dalam wilayah negara Indonesia.<br />

4) Lembaga Keuangan Bukan Bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai<br />

tempat kedudukan dalam wilayah negara Indonesia.<br />

IV-104


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

5) Masyarakat, yaitu berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran<br />

umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.<br />

4.1.3. JENIS PINJAMAN DAERAH<br />

Berdasarkan waktunya, pinjaman <strong>daerah</strong> dapat dikategorikan dalam pinjaman jangka<br />

pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Secara detail, penjelasan setiap jenis<br />

pinjaman tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut:<br />

1) Pinjaman Jangka Pendek;<br />

Pinjaman jangka pendek merupakan pinjaman <strong>daerah</strong> dalam jangka waktu kurang atau<br />

sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang<br />

meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain (termasuk biaya administrasi, komitmen,<br />

provisi, asuransi, dan denda) seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang<br />

bersangkutan. Pinjaman jangka pendek tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim<br />

terjadi dalam perdagangan, misalnya pelunasan kewajiban atas pengadaan/pembelian<br />

barang dan/atau jasa tidak dilakukan pada saat barang dan/atau jasa dimaksud diterima.<br />

2) Pinjaman Jangka Menengah;<br />

Pinjaman jangka menengah merupakan pinjaman <strong>daerah</strong> dalam jangka waktu lebih<br />

dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi<br />

pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain (termasuk biaya administrasi, komitmen, provisi,<br />

asuransi, dan denda) harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa<br />

jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan.<br />

3) Pinjaman Jangka Panjang.<br />

Pinjaman jangka panjang merupakan pinjaman <strong>daerah</strong> dalam jangka waktu lebih dari<br />

satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok<br />

pinjaman, bunga, dan biaya lain (seperti: biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi,<br />

dan denda) harus dilunasi pada tahun-tahun berikutnya sesuai dengan persyaratan<br />

perjanjian pinjaman yang bersangkutan.<br />

4.1.4. PRINSIP-PRINSIP DASAR PINJAMAN DAERAH<br />

Pinjaman Daerah adalah salah satu sumber pembiayaan <strong>daerah</strong> dalam pelaksanaan<br />

desentralisasi. Pinjaman <strong>daerah</strong> dapat dilaksanakan dengan berpedoman pada prinsipprinsip<br />

umum sebagai berikut:<br />

IV-105


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

1) Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri kecuali<br />

dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan<br />

transaksi Obligasi Daerah.<br />

2) Pemda tidak dapat melakukan penjaminan terhadap:<br />

a. Pinjaman pihak lain; dan<br />

b. Pendapatan Daerah dan/atau aset <strong>daerah</strong>.<br />

Untuk proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik <strong>daerah</strong> yang<br />

melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.<br />

3) Tidak melebihi Batas Defisit APBD dan Batas Kumulatif Pinjaman Daerah yang<br />

telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (untuk Tahun<br />

Anggaran 2008 berdasarkan PMK No. 95/PMK.07/2007).<br />

4.1.5. PERSYARATAN PINJAMAN<br />

Persyaratan pinjaman secara garis besar dapat dibagi berdasarkan jenis pinjaman<br />

<strong>daerah</strong>. Penjelasan persyaratan tersebut dapat dijelaskan berikut ini:<br />

1) Pinjaman Jangka Pendek<br />

Persyaratan yang dipenuhi bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan pinjaman<br />

jangka pendek adalah sebagai berikut:<br />

a. Kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman jangka pendek telah dianggarkan<br />

dalam APBD tahun bersangkutan;<br />

b. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan kegiatan yang<br />

bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda;<br />

c. Persyaratan lainnya yang dipersyaratkan oleh calon pemberi pinjaman.<br />

2) Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang<br />

IV-106<br />

Persyaratan bagi Pemerintah Daerah untuk dapat melakukan pinjaman jangka<br />

menengah dan panjang adalah sebagai berikut:<br />

a. Jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik<br />

tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum<br />

APBD tahun sebelumnya, dengan rumus sebagai berikut:<br />

Jml. Pinjaman < 75% Penerimaan Umum TA. sebelumnya<br />

Keterangan:


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

- Jumlah sisa Pinjaman Daerah adalah jumlah pinjaman lama yang belum<br />

dibayar;<br />

- Jumlah pinjaman yang akan ditarik adalah rencana pencairan dana<br />

pinjaman tahun yang bersangkutan;<br />

- Penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah seluruh penerimaan<br />

APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman<br />

lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai<br />

pengeluaran tertentu.<br />

b. Rasio proyeksi kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman<br />

(Debt Service Coverage Ratio/DSCR) paling sedikit 2,5 (dua koma lima),<br />

dengan rumus sebagai berikut:<br />

DSCR =<br />

(PAD + BD + DAU) – BW<br />

> 2,5<br />

P + B + BL<br />

Keterangan:<br />

DSCR = Debt Service Coverage Ratio;<br />

PAD<br />

BD<br />

DAU<br />

BW<br />

P<br />

B<br />

BL<br />

= Pendapatan Asli Daerah;<br />

= Bagian Daerah dari PBB, BPHTB, dan penerimaan SDA serta<br />

bagian <strong>daerah</strong> lainnya seperti dari PPh;<br />

= Dana Alokasi Umum;<br />

= Belanja Wajib, yaitu belanja pegawai dan belanja DPRD dalam<br />

tahun anggaran bersangkutan;<br />

= Angsuran pokok pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran<br />

bersangkutan;<br />

= Bunga pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran<br />

bersangkutan;<br />

= Biaya lainnya (biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi, dan<br />

denda) yang jatuh tempo pada tahun anggaran bersangkutan<br />

c. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari<br />

Pemerintah;<br />

d. Mendapatkan persetujuan dari DPRD. Persetujuan DPRD termasuk dalam hal<br />

pinjaman tersebut diteruspinjamkan dan/atau diteruskan sebagai penyertaan<br />

modal kepada <strong>Badan</strong> Usaha Milik Daerah (BUMD).<br />

IV-107


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

4.1.6. PROSEDUR PINJAMAN DAERAH<br />

Prosedur pinjaman <strong>daerah</strong> dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu:<br />

1) Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber dari Pinjaman Luar<br />

Negeri.<br />

2) Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber selain dari Pinjaman<br />

Luar Negeri.<br />

3) Pinjaman Daerah dari sumber Selain Pemerintah baik pinjaman jangka pendek<br />

maupun pinjaman jangka panjang. Pinjaman ini dapat dilakukan sepanjang tidak<br />

melampau batas kumulatif Pinjaman Pemerintah dan Pemda.<br />

4.1.6.1. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya<br />

Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri<br />

Saat ini prosedur yang berlaku untuk Pemerintah Daerah melakukan pinjaman <strong>daerah</strong><br />

yang bersumber dari Pemerintah yang dananya berasal dari penerusan pinjaman luar<br />

negeri mengacu pada ketentuan dalam PP No. 54/2005 tentang Pinjaman Daerah dan<br />

PP No. 2/2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah<br />

Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Sebagai pelaksanaan lebih<br />

lanjut dari kedua Peraturan Pemerintah di atas, Pemerintah telah menetapkan paket<br />

peraturan setingkat menteri, yaitu: Permen PPN/Kepala Bappenas No. 005/2006<br />

tentang Tatacara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang<br />

Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang mengatur perihal perencanan<br />

dan proses lebih lanjut pengadaan Pinjaman/Hibah Luar Negeri oleh Pemerintah Pusat;<br />

dan PMK No. 53/2006 tentang Tatacara Pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah<br />

yang Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri yang mengatur perihal proses lebih<br />

lanjut penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam<br />

bentuk pinjaman.<br />

4.1.6.1.1. Prosedur Pengadaan Pinjaman/Hibah Luar Negeri<br />

oleh Pemerintah Pusat<br />

Prosedur penerusan pinjaman luar negeri dimulai dengan prosedur pengadaan Pinjaman<br />

Luar Negeri oleh Pemerintah Pusat yang diatur dalam PP No. 2/2006 dan Permen PPN/<br />

Bappenas No. 005/2006, dengan proses yang lebih terinci sebagai berikut:<br />

1) Meneg PPN/Kepala Bappenas bersama Menteri Keuangan membuat Rancangan<br />

Rncana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri (RKPLN), untuk selanjutnya disampaikan<br />

kepada Presiden untuk mendapatkan penetapan dalam bentuk Peraturan Presiden.<br />

IV-108


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

Rencana Kebutuhan Pinjaman Luar Negeri adalah rencana pengadaan pinjaman<br />

luar negeri dan strateginya dalam rangka pengelolaan keuangan yang memegang<br />

prinsip kehati-hatian. RKPLN disebutnya juga dengan istilah borrowing strategy,<br />

yang ditujukan untuk menghilangkan dominasi pemberi pinjaman (lender driven)<br />

dalam perencanaan pinjaman yang selama ini terjadi menuju Indonesian driven.<br />

2) Berdasarkan RKPLN yang telah disusun, Kementerian Negara/Lembaga, Pemerintah<br />

Daerah, dan BUMN menyampaikan usulan proyek untuk masuk ke dalam Daftar<br />

Rencana Pinjaman/Hibah Luar Negeri Jangka Menengah (DRPHLN-JM). Usulan<br />

Kegiatan yang disampaikan berisi:<br />

a. Daftar Isian Pengusulan Kegiatan;<br />

b. Kerangka Acuan Kerja;<br />

c. Hasil Studi Kelayakan;<br />

d. Surat persetujuan Pemerintah Daerah dan DPRD yang bersangkutan untuk<br />

usulan Pemda; dan; atau Surat persetujuan Direksi BUMN dan Menteri BUMN,<br />

untuk usulan BUMN.<br />

3) Dalam rangka penyusunan DRPHLN-JM, Meneg PPN/Kepala Bappenas menilai<br />

kelayakan kegiatan, berkoordinasi dengan Menkeu. Dalam penilaian atas usulan<br />

kegiatan Pemerintah Daerah, Kementerian PPN/Bappenas akan melakukan<br />

sinkronisasi pendanaan bersama Departemen Keuangan.<br />

4) DRPHLN-JM yang telah disusun disampaikan kepada calon PHLN sebagai acuan<br />

untuk membuat Lending Program.<br />

5) Kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam DRPHLN-JM diproses lebih lanjut untuk<br />

meningkatakan kesiapan pelaksanaan kegiatan, untuk selanjutnya kegiatan yang<br />

telah memenuhi kelayakan kesiapan kegiatan (readiness criteria) akan dicantumkan<br />

dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman/Hibah Luar Negeri (DRPPHLN) yang akan<br />

diterbitkan setiap tahunnya oleh Meneg PPN/Kepala Bappenas.<br />

6) Dalam rangka menyusun DRPPHLN, Meneg PPN/Kepala Bappenas meminta<br />

informasi kemampuan keuangan Pemda/BUMN untuk kegiatan PLN yang akan<br />

diteruskan kepada Pemda/BUMN. Berdasarkan permintaan dari Meneg PPN/Kepala<br />

Bappenas, Menteri Keuangan menyampaikan masukan berupa indikasi kemampuan<br />

keuangan Pemda dan BUMN untuk kegiatan PLN yang akan diteruskan.<br />

IV-109


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 4.2<br />

Proses Perencanaan PHLN<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2008<br />

7) Berdasarkan DRPPHLN, calon PPHLN menyampaikan indikasi komitmen<br />

pendanaan kepada Meneg PPN/Kepala Bappenas serta Menkeu untuk selanjutnya<br />

Meneg PPN/Kepala Bappenas menyusun Daftar Kegiatan, dan Menkeu melakukan<br />

penilaian atas manajemen risiko dan penelitian persyaratan pinjaman untuk<br />

menetapkan alokasi pinjaman. Berdasarkan Daftar Kegiatan yang disampaikan oleh<br />

Meneg PPN/Kepala Bappenas serta penilaian atas manajemen risiko dan penelitian<br />

persyaratan pinjaman, Menkeu menetapkan alokasi pinjaman.<br />

8) Berdasarkan Daftar Kegiatan yang telah disusun oleh Meneg PPN/Kepala Bappenas,<br />

Kementerian Negara/Lembaga/Pemda/BUMN pengusul melaksanakan persiapan<br />

pinjaman serta melakukan konfirmasi penerusan pinjaman dengan menyampaikan<br />

IV-110


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

usulan kegiatan kepada Menkeu untuk menetapkan alokasi pinjaman. Berdasarkan<br />

penetapan alokasi pinjaman, Menkeu mengajukan usulan kepada calon PPHLN<br />

untuk mendapatkan komitmen pendanaan.<br />

Berdasarkan uraian diatas, maka prosedur pengadaan Pinjaman/Hibah Luar Negeri<br />

termasuk yang akan diteruskan kepada Pemerintah Daerah/BUMN, adalah sebagaimana<br />

tercantum dalam Gambar <strong>4.2.</strong><br />

4.1.6.1.2. Prosedur Penerusan Pinjaman Luar Negeri<br />

Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk<br />

Pinjaman<br />

Prosedur penerusan Pinjaman Luar Negeri kepada Daerah dalam bentuk pinjaman<br />

yang diatur dalam PMK No. 53/2006 merupakan proses yang terkait dengan prosedur<br />

pengadaan Pinjaman/Hibah Luar Negeri, dengan proses yang lebih terinci sebagai<br />

berikut:<br />

1) Prosesnya dimulai setelah daftar kegiatan disampaikan dari Meneg PPN/<br />

Kepala Bappenas kepada Menteri Keuangan. Berdasarkan Daftar Kegiatan,<br />

Menteri Keuangan akan menyampaikan surat kepada Pemerintah Daerah agar<br />

menyampaikan rencana pinjaman kepada Menteri Keuangan, dengan melampirkan<br />

dokumen rencana pinjaman yang terdiri dari:<br />

a. Studi kelayakan kegiatan;<br />

b. Rencana Kegiatan Rinci;<br />

c. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tiga tahun<br />

terakhir;<br />

d. APBD tahun bersangkutan;<br />

e. Perhitungan proyeksi APBD selama jangka waktu pinjaman termasuk<br />

perhitungan DSCR yang mencerminkan kemampuan <strong>daerah</strong> dalam memenuhi<br />

kewajiban pembayaran kembali pinjaman (proyeksi DSCR) serta asumsi yang<br />

digunakan selama jangka waktu pinjaman yang akan diusulkan;<br />

f. Rencana Pembiayaan Kegiatan (financing plan) secara keseluruhan;<br />

g. Surat persetujuan DPRD berupa persetujuan prinsip yang diberikan oleh komisi<br />

di DPRD yang menangani bidang keuangan;<br />

h. Data kewajiban yang masih harus dibayar setiap tahunnya dari pinjaman yang<br />

telah dilakukan; dan<br />

i. Surat Pernyataan Pemerintah Daerah, yang berisi tentang:<br />

IV-111


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

(i)<br />

Tidak memiliki tunggakan atas pinjaman yang sedang berjalan;<br />

(ii) Menyediakan dana pendamping;<br />

(iii) Mengalokasikan dana untuk pembayaran angsuran pinjaman tersebut<br />

dalam APBD setiap tahun selama masa pinjaman; dan<br />

(iv) Dipotong Dana Alokasi Umum/Dana Bagi Hasil untuk pembayaran<br />

angsuran pinjaman yang tertunggak.<br />

2) Berdasarkan dokumen rencana pinjaman yang telah disampaikan, Menteri<br />

Keuangan akan melakukan penilaian sebagai berikut:<br />

a. penilaian kelengkapan dokumen rencana pinjaman;<br />

b. penilaian kelayakan pinjaman.<br />

3) Dalam rangka penilaian kelengkapan dokumen rencana pinjama, Menteri Keuangan<br />

akan memberikan jawaban atas kekurangan atau telah terpenuhinya kelengkapan<br />

dokumen. Penilaian kelengkapan dokumen rencana pinjaman dilakukan selambatlambatnya<br />

10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas dokumen<br />

rencana pinjaman.<br />

4) Dalam rangka melaksanakan penilaian kelayakan pinjaman, Menteri Keuangan<br />

meminta pertimbangan lepada Menteri Dalam Negeri atas rencana pinjaman untuk<br />

aspek-aspek diluar perencanaan dan keuangan, yang meliputi aspek politik dan<br />

administrasi Pemerintahan Daerah. Pertimbangan Menteri Dalam Negeri diberikan<br />

selambat-lambatnya dalam 10 (sepuluh) hari verja setelah diterimanya dokumen<br />

rencana pinjaman yang dinyatakan lengkap.<br />

5) Dalam hal pertimbangan Mendagri tidak diberikan dalam batas waktu yang telah<br />

ditentukan, maka rencana pinjaman dapat diproses lebih lanjut tanpa menunggu<br />

pertimbangan Mendagri. Penilaian kelayakan pinjaman oleh Menteri Keuangan<br />

dilakukan selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja setelah dokumen rencana<br />

pinjaman diterima secara lengkap.<br />

6) Berdasarkan hasil penilaian, Menteri Keuangan menetapkan persetujuan atau<br />

penolakan atas rencana pinjaman. Dalam hal Menteri Keuangan menetapkan<br />

penolakan atas rencana pinjaman, Menteri Keuangan menyampaikan surat kepada<br />

Pemerintah Daerah pengusul. Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan,<br />

selanjutnya dilakukan koordinasi dengan calon Pemberi Pinjaman Luar Negeri<br />

(PPLN) untuk mendapatkan komitmen pendanaan.<br />

7) Berdasarkan komitmen pendanaan dari calon PPLN, Menteri Keuangan menerbitkan<br />

Daftar Rencana Pinjaman Daerah untuk disampaikan kepada Pemerintah Daerah<br />

pengusul. Berdasarkan DRPD, Pemerintah Daerah menyampaikan Surat Keputusan<br />

IV-112


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

DPRD tentang persetujuan Pinjaman yang dihasilkan dari rapat paripurna DPRD<br />

kepada Menteri Keuangan, yang memuat hal-hal sebagai berikut:<br />

a. Plafond pinjaman;<br />

b. Jangka waktu pinjaman;<br />

c. Bunga pinjaman;<br />

d. Biaya komitmen;<br />

e. Menyediakan dana pendamping;<br />

f. Mengalokasikan dana untuk pembayaran angsuran pinjaman tersebut dalam<br />

APBD setiap tahun selama masa pinjaman;<br />

g. Dipotong DAU/DBH untuk pembayaran angsuran pinjaman yang tertunggak.<br />

8) Perundingan dengan calon PPLN dilakukan setelah diterbitkannya DRPD dan<br />

Pemerintah Daerah memenuhi kriteria kesiapan kegiatan, yang mencakup:<br />

a. Kesiapan indikator kinerja monitoring dan evaluasi, seperti data dasar;<br />

b. Alokasi Dana Pendamping untuk pelaksanaan kegiatan tahun pertama dalam<br />

APBD;<br />

c. Pengadaan tanah dan/atau resettlement telah dilaksanakan;<br />

d. Pembentukan dan penempatan personalia Unit Manajemen Proyek (Project<br />

Management Unit/PMU) dan Unit Pelaksana Proyek (Project Implementation<br />

Unit/PIU); dan<br />

e. Kesiapan konsep pengelolaan proyek/petunjuk pengelolaan/administrasi<br />

proyek/memorandum (yang berisi cakupan organisasi dan kerangka acuan<br />

kerjanya, dan pengaturan tentang pengadaan, anggaran, disbursement,<br />

laboran, dan auditing).<br />

9) Perundingan dilakulkan oleh Tim Perunding yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan<br />

yang keanggotaannya terdiri atas unsur-unsur Departemen Keuangan, Kementerian<br />

PPN/Bappenas, dan instansi terkait lanilla, termasuk Pemerintah Daerah pengusul.<br />

Hasil perundingan akan menjadi acuan dalam Naskah Perjanjian Pinjaman Luar<br />

Negeri (NPPLN).<br />

10) NPPLN ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa<br />

dengan PPLN. Berdasarkan NPPLN yang telah ditandatangani, selambat-lambatnya<br />

dalam 40 (empat puluh) hari kerja Menteri Keuangan menerbitkan surat persetujuan<br />

pinjaman yang memuat:<br />

a. Jumlah;<br />

IV-113


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

b. Peruntukan; dan<br />

c. Persyaratan pinjaman.<br />

Gambar 4.3<br />

Proses Pelaksanaan Penerusan PLN<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2008<br />

11) Persyaratan pinjaman dalam NPPLN menjadi acuan dalam menetapkan persyaratan<br />

pinjaman dalam Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman (NPPP). NPPP<br />

IV-114


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

ditandatangani oleh Menteri Keuangan atau pejabat yang diberi kuasa dengan<br />

Kepala Daerah, memuat sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:<br />

a. sumber dan jumlah dana;<br />

b. peruntukan;<br />

c. persyaratan pinjaman;<br />

d. penarikan dana;<br />

e. penggunaan dana;<br />

f. pembayaran kembali;<br />

g. monitoring dan evaluasi;<br />

h. pelaporan dan perkembangan fisik dan keuangan; dan<br />

i. sanksi.<br />

12) Berdasarkan NPPP, Pemerintah Daerah melaksanakan proses penarikan pinjaman<br />

serta pelaksanaan kegiatan.<br />

Prosedur penerusan Pinjaman Luar Negeri kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk<br />

Pinjaman secara sitematis dapat digambarkan sebagaimana Gambar 4.3:<br />

4.1.6.2 Prosedur Pinjaman Daerah Dari Pemerintah yang<br />

Dananya berasal dari Pendapatan Dalam Negeri<br />

Prosedur pinjaman <strong>daerah</strong> dari Pemerintah yang dananya berasal Pendapatan Dalam<br />

Negeri saat ini dikelola oleh Menteri Keuangan melalui Rekening Pembangunan Daerah.<br />

Prosedur pinjaman <strong>daerah</strong> tersebut secara sistematis dapat ditunjukkan pada Gambar<br />

4.4 berikut ini:<br />

Dari Gambar 4.4, prosedur pinjaman <strong>daerah</strong> dari Pemerintah yang dananya berasal dari<br />

pendapatan dalam negeri harus melewati tahapan antara lain sebagai berikut:<br />

1) Pemerintah Daerah mengajukan usulan pinjaman <strong>daerah</strong> kepada Menteri Keuangan<br />

dengan melampirkan dokumen sekurang-kurangnya sebagai berikut:<br />

a. Persetujuan DPRD;<br />

b. Studi Kelayakan Kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman <strong>daerah</strong>;<br />

c. Dokumen lain yang diperlukan.<br />

2) Menteri Keuangan melakukan penilaian atas usulan pinjaman yang telah<br />

disampaikan;<br />

IV-115


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 4.4<br />

Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber dari Pemerintah<br />

PEMDA<br />

MENKEU<br />

USULAN<br />

USULAN<br />

USULAN<br />

PEMDA<br />

PEMDA<br />

PEMDA<br />

PENILAIAN<br />

TIDAK<br />

PERJANJIAN<br />

PINJAMAN<br />

YA<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2008<br />

3) Berdasarkan hasil penilaian, Menteri Keuangan dapat memberikan persetujuan atau<br />

penolakan atas usulan pinjaman;<br />

4) Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan, Kepala Daerah dengan Menteri<br />

Keuangan atau pejabat yang ditunjuk menandatangani perjanjian pinjaman.<br />

4.1.6.3. Prosedur Pinjaman Daerah dari Selain Pemerintah<br />

Prosedur pinjaman <strong>daerah</strong> yang bersumber dari Selain Pemerintah secara garis besar<br />

terbagi dua, yang dibedakan menurut lamanya masa pinjaman, yaitu prosedur pinjaman<br />

jangka pendek serta prosedur pinjaman jangka menengah dan panjang.<br />

Penjelasan secara detil adalah sebagai berikut:<br />

1) Pinjaman jangka pendek:<br />

a. Pemda mengajukan proposal kepada calon pemberi pinjaman<br />

b. Calon pemberi pinjaman memberikan penilaian terhadap proposal tersebut<br />

c. Jika disetujui, pinjaman <strong>daerah</strong> jangka pendek dilakukan melalui perjanjian<br />

pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dan Pemberi pinjaman<br />

dengan memperhatikan persyaratan yang paling menguntungkan Pemda<br />

penerima pinjaman.<br />

IV-116


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

2) Pinjaman jangka menengah dan panjang.<br />

Prosedur pinjaman jangka menengah dan panjang yang bersumber dari selain Pemerintah<br />

dapat ditunjukkan pada Gambar 4.5 berikut ini:<br />

Gambar 4.5<br />

Prosedur Pinjaman Daerah yang Bersumber Selain dari Pemerintah<br />

MENKEU MENDAGRI PEMDA PEMBERI PINJAMAN<br />

PERTIMBANGAN<br />

USULAN<br />

USULAN<br />

PEMDA<br />

PEMDA<br />

PENILAIAN<br />

TIDAK<br />

SALINAN<br />

PERJANJIAN<br />

PINJAMAN<br />

PERJANJIAN<br />

PINJAMAN<br />

YA<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2008<br />

Tahapan dari prosedur sesuai dengan Gambar 4.5 di atas adalah sebagai berikut:<br />

1) Pemda wajib melaporkan rencana pinjaman yang bersumber dari selain Pemerintah<br />

kepada menteri Dalam Negeri dengan menyampaikan sekurang-kurangnya<br />

dokumen:<br />

• Kerangka acuan proyek<br />

• APBD tahun yang bersangkutan<br />

• Proyeksi DSCR<br />

• Rencana Keuangan (Financing Plan) pinjaman yang akan diusulkan<br />

• Surat Persetujuan DPRD<br />

2) Menteri Dalam Negeri memberikan pertimbangan dalam rangka pemantauan defisit<br />

APBD dan batas kumulatif pinjaman <strong>daerah</strong>.<br />

3) Pemda mengajukan proposal pinjaman berdasarkan pertimbangan Menteri Dalam<br />

Negeri tersebut.<br />

4) Calon pemberi pinjaman melakukan penilaian terhadap proposal tersebut.<br />

IV-117


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

5). Jika disetujui, pinjaman <strong>daerah</strong> dilakukan melalui perjanjian pinjaman yang<br />

ditandatangani oleh Kepala Daerah dan pemberi pinjaman.<br />

6) Perjanjian pinjaman tersebut wajib dilaporkan ke Menteri Keuangan dan Menteri<br />

Dalam Negeri.<br />

Prosedur pinjaman <strong>daerah</strong> yang bersumber dari selain Pemerintah di atas, tidak berlaku<br />

untuk pinjaman <strong>daerah</strong> yang bersumber dari masyarakat dalam bentuk Obligasi Daerah.<br />

Prosedur Obligasi Daerah diatur dengan mekanisme tersendiri dan akan dijelaskan dalam<br />

bagian lain dalam Bab ini.<br />

4.1.7. PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN<br />

Pengaturan tentang pembayaran kembali pinjaman <strong>daerah</strong> diatur sebagai berikut:<br />

1) Seluruh kewajiban pinjaman <strong>daerah</strong> yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam<br />

APBD tahun anggaran yang bersangkutan;<br />

2) Dalam hal <strong>daerah</strong> tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada<br />

Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan<br />

DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari penerimaan negara yang menjadi hak <strong>daerah</strong><br />

tersebut.<br />

<strong>4.2.</strong> OBLIGASI DAERAH<br />

Dalam UU 33/2004 dan PP 54/2005, Obligasi Daerah diartikan sebagai pinjaman <strong>daerah</strong><br />

yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Terdapat dua<br />

unsur utama yang perlu diperhatikan khusus dalam kaitannya dengan Obligasi Daerah.<br />

Unsur yang pertama adalah, berkaitan dengan kapasitas Pemerintah Daerah dalam<br />

menerbitkan Obligasi Daerah. Untuk melindungi fiskal <strong>daerah</strong>, Pemerintah Daerah yang<br />

akan menerbitkan Obligasi Daerah harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari<br />

Menteri Keuangan. Penerbitan <strong>obligasi</strong> ini dimaksudkan untuk membiayai proyek-proyek<br />

yang dapat memberikan manfaat kepada publik dan menghasilkan penerimaan. Pada<br />

prinsipnya, diharapkan pendapatan yang didapat dari proyek yang dibiayai Obligasi<br />

Daerah dapat menutup pokok dan bunga yang harus dibayarkan pada saat jatuh tempo.<br />

Oleh karena itu, perlu diadakan langkah-langkah penilaian atas proyek yang akan dibiayai<br />

tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat kemungkinan apakah komponen-komponen<br />

dari proyek yang dimaksud di sini telah layak sehingga benar-benar dapat menghasilkan<br />

penerimaan.<br />

Unsur yang kedua adalah mengenai penawaran umum Obligasi Daerah di pasar modal.<br />

Dalam prakteknya Obligasi Daerah dianggap sebagai efek yang bersifat utang. Jika<br />

IV-118


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

Obligasi Daerah telah diterbitkan dan telah dinyatakan efektif oleh <strong>Badan</strong> Pengawas<br />

Pasar Modal Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), maka Obligasi Daerah telah siap<br />

untuk diperjualbelikan di pasar modal. Transaksi jual beli Obligasi Daerah mengikuti<br />

mekanisme di pasar modal. Berkaitan dengan hal ini, prosedur yang perlu diikuti telah<br />

diatur sedemikian rupa melalui berbagai Keputusan Kepala Bapepam-LK dan peraturan<br />

pasar modal lainnya. Pihak yang akan menerbitkan Obligasi Daerah harus memenuhi<br />

prinsip keterbukaan di pasar modal. Prinsip keterbukaan dimaksudkan untuk memberikan<br />

informasi lengkap mengenai prospek Obligasi Daerah untuk menarik minat investor.<br />

Obligasi Daerah merupakan efek yang bersifat utang, dimana si penerbit <strong>obligasi</strong> memiliki<br />

piutang terhadap pemegang <strong>obligasi</strong> dan si berutang berkewajiban untuk membayar<br />

pokok <strong>obligasi</strong> beserta bunganya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian<br />

pemberian Obligasi Daerah. Obligasi Daerah diberikan untuk waktu yang tetap selama<br />

lebih dari 1 (satu) tahun.<br />

Obligasi Daerah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemerintah <strong>Provinsi</strong>, Pemerintah<br />

Kota, dan Pemerintah Kabupaten) untuk mendapatkan dana investasi. Obligasi Daerah<br />

ini diterbitkan berdasarkan mata uang rupiah, bukan berdasarkan mata uang asing, dan<br />

akan dikelola pada pasar modal domestik.<br />

Secara khusus, <strong>obligasi</strong> memiliki karakteristik yang berbeda dengan pinjaman. Pinjaman<br />

diberikan oleh pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman, dimana biasanya pemberi<br />

pinjaman adalah bank. Peminjam membayar kembali pokok dan bunga pinjaman kepada<br />

yang meminjamkan sampai batas waktu pinjaman. Pembayaran biasanya dilakukan 2<br />

kali dalam setahun, dimana suku bunganya biasanya dapat disesuaikan. Pokok pinjaman<br />

dapat dibayarkan pada jumlah yang sama, dengan bunga yang terhutang pada neraca<br />

pinjaman. Kadangkala, pokok dan bunga pinjaman dibayarkan pada jumlah yang sama.<br />

Obligasi juga merupakan pinjaman, tetapi diberikan dalam bentuk surat berharga. Dalam<br />

Obligasi, si peminjam menjadi emiten dan pemberi pinjaman menjadi pemegang <strong>obligasi</strong>.<br />

Suku bunga biasanya sudah ditentukan. Kebanyakan <strong>obligasi</strong> adalah semi-tahunan, yang<br />

artinya bunga dibayarkan 2 (dua) kali dalam setahun pada pokok <strong>obligasi</strong>. Pokok <strong>obligasi</strong><br />

itu sendiri dibayarkan dalam bentuk pembayaran tunggal pada akhir jangka waktu yang<br />

telah ditentukan. Oleh karena itu, jumlah bunga yang telah dibayarkan adalah sama<br />

dalam tiap tahunnya sampai pembayaran pokok <strong>obligasi</strong> lunas.<br />

Obligasi merupakan surat utang yang dikeluarkan oleh emiten sehingga pemegang<br />

<strong>obligasi</strong> adalah pemberi pinjaman kepada emiten. Obligasi memiliki jangka waktu yang<br />

pasti, dimana pada saat itu <strong>obligasi</strong> dibayarkan kembali. Pada akhir jangka waktu, <strong>obligasi</strong><br />

dapat dibayarkan kembali pada nilai nominalnya.<br />

Dengan menerbitkan Obligasi Daerah, Pemerintah Daerah akan mendapatkan banyak<br />

manfaat. Diantaranya, Pemerintah Daerah dapat memperoleh pembiayaan bagi proyekproyek<br />

yang memberikan manfaat kepada publik, khususnya untuk proyek-proyek<br />

IV-119


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

infrastruktur. Mekanisme yang ada di pasar modal memungkinkan lebih banyak pihak<br />

yang terlibat untuk memberikan pinjaman dalam bentuk <strong>obligasi</strong> karena melibatkan<br />

masyarakat luas. Melalui <strong>obligasi</strong>, Pemerintah Daerah juga dimungkinkan untuk<br />

mendapatkan pinjaman dari investor asing, mengingat pinjaman langsung luar negeri<br />

bukan melalui Obligasi Daerah tidak diperkenankan bagi Pemerintah Daerah.<br />

Namun demikian, untuk menarik minat para investor agar membeli Obligasi Daerah yang<br />

ditawarkan di pasar modal, Pemerintah Daerah harus benar-benar memberikan kepastian<br />

bahwa <strong>obligasi</strong> tersebut akan dibayarkan kembali pada saat jatuh tempo. Mengingat<br />

bahwa Obligasi Daerah dipergunakan untuk proyek yang memberikan manfaat kepada<br />

publik dan menghasilkan penerimaan, maka proyek tersebut harus benar-benar matang<br />

dan layak. Oleh karena itu, dalam tahapan sebelum mendapat persetujuan dari menteri<br />

keuangan, Studi Kelayakan harus dibuat oleh lembaga penilai yang terdaftar di Bapepam-<br />

LK sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.<br />

<strong>4.2.</strong>1. Prinsip Umum<br />

Prinsip umum mengenai penerbitan Obligasi Daerah, yang telah diatur dalam peraturan<br />

perundanga-undangan, antara lain sebagai berikut:<br />

1) Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat dilakukan di pasar modal domestik dan<br />

dalam mata uang Rupiah;<br />

2) Obligasi Daerah merupakan pinjaman Pemerintah Daerah dan tidak dijamin oleh<br />

Pemerintah;<br />

3) Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah hanya untuk membiayai<br />

Kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan<br />

manfaat bagi masyarakat yang menjadi urusan Pemerintah Daerah. Dengan<br />

ketentuan tersebut, maka Obligasi Daerah yang diterbutkan Pemerintah Daerah<br />

hanya jenis Obligasi Pendapatan (Revenue Bond).<br />

4) Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai Obligasi Daerah<br />

pada saat diterbitkan. Dengan ketentuan ini maka Pemerintah Daerah dilarang<br />

menerbitkan Obligasi Daerah dengan jenis index bond yaitu Obligasi Daerah yang<br />

nilai jatuh temponya dinilai dengan index tertentu dari nilai nominal, misalnya dengan<br />

kurs dollar atau harga emas.<br />

5) Pengaturan lebih lanjut mengenai penerbitan Obligasi Daerah di Pasar Modal<br />

mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang Pasar Modal;<br />

IV-120


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

<strong>4.2.</strong>2. Prosedur Penerbitan<br />

Selanjutnya berdasarkan PMK Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tatacara Penerbitan,<br />

Pertanggungjawaban dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah, diatur lebih lanjut tentang<br />

perencanaan, pengajuan usulan dan persetujuan serta pernyataan pendaftaran umum.<br />

Secara garis besar prosedur penerbitan Obligasi Daerah dapat dibagi berdasarkan<br />

prosedur:<br />

1) perencanaan Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah;<br />

2) pengajuan, penilaian dan persetujuan Menteri Keuangan;<br />

3) pengajuan penyataan pendaftaran dalam rangka penawaran umum di Pasar Modal.<br />

Prosedur penerbitan Obligasi Daerah, secara sistematis dapat dilihat dalam Gambar 4.6.<br />

<strong>4.2.</strong>2.1. Perencanaan Obligasi Daerah oleh Pemerintah<br />

Daerah<br />

1). Kepala Daerah melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditunjuk<br />

melakukan persiapan penerbitan Obligasi Daerah yang sekurang-kurangya meliputi<br />

hal-hal sebagai berikut:<br />

a. menentukan kegiatan;<br />

b. membuat kerangka acuan kegiatan;<br />

c. menyiapkan studi kelayakan yang dibuat oelh pihak yang independen dan<br />

kompeten;<br />

d. memantau batas kumulatif pinjaman serta posisi kumulatif pinjaman<br />

<strong>daerah</strong>nya;<br />

e. membuat proyeksi keuangan dan perhitungan kemampuan pembayaran<br />

kembali Obligasi Daerah;<br />

f. mengajukan permohonan persetujuan prinsip kepada DPRD.<br />

2). Persetujuan prinsip DPRD meliputi:<br />

a. nilai bersih maksimal Obligasi Daerah;<br />

b. jumlah dan nilai nominal Obligasi yang akan diterbitkan;<br />

c. penggunaan dana; dan<br />

d. pembayaran pokok, kupon dan biaya lainnya yang timbul sebagai akibat<br />

penerbitan <strong>obligasi</strong>.<br />

IV-121


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 4.6.<br />

Proses Penerbitan Obligasi Daerah<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2008<br />

Secara sistematis prosedur persiapan penerbitan Obligasi Daerah oleh Pemerintah<br />

Daerah dapat digambarkan dalam Gambar 4.7 berikut ini:<br />

IV-122


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

Gambar 4.7<br />

Persiapan Penerbitan Obligasi Daerah di Daerah<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2008<br />

<strong>4.2.</strong>2.2. Pengajuan Usulan, Penilaian dan Persetujuan<br />

Menteri Keuangan<br />

1). Kepala Daerah menyampaikan usulan penerbitan Obligasi Daerah kepada Menteri<br />

Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilengkapi<br />

dokumen sebagai berikut:<br />

IV-123


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

2). Studi kelayakan kegiatan;<br />

3). Kerangka acuan kegiatan;<br />

4). Perda APBD tahun yang bersangkutan dan Perda Perhitungan APBD 3 (tiga) tahun<br />

terakhir;<br />

5). Perhitungan DSCR; dan<br />

6). Surat persetujuan prinsip DPRD.<br />

7). Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan<br />

penilaian atas dokumen rencana penerbitan Obligasi Daerah selambat-lambatnya<br />

dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen rencana penerbitan Obligasi<br />

Daerah dinyatakan lengkap;<br />

8). Berdasarkan hasil penilaian tersebut, Menteri Keuangan memberikan persetujuan/<br />

penolakan atas rencana penerbitan Obligasi Daerah dengan memperhatikan<br />

pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri;<br />

9). Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan, Kepala Daerah menyampaikan<br />

pernyataan pendaftaran penawaran umum kepada Bapepam-LK.<br />

Prosedur pengajuan, penilaian dan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana telah<br />

diuraikan di atas, dapat digambarkan dalam bagan alur pada Gambar 5.8.<br />

<strong>4.2.</strong>2.3 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran<br />

Umum di Pasar Modal<br />

Dalam rangka pelaksanaan penawaran umum Obligasi Daerah di Pasar Modal, sesuai<br />

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, Pemerintah<br />

Daerah harus menyampaikan pernyataan pendaftaran dengan melengkapi dokumen<br />

yang dipersyaratkan kepada <strong>Badan</strong> Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan –<br />

Departemen Keuangan. Kepala Daerah wajib menyampaikan Perda tentang Penerbitan<br />

Obligasi Daerah kepada Bapepam-LK sebelum pernyataan efektif Obligasi Daerah. Perda<br />

tentang Penerbitan Obligasi Daerah memuat ketentuan mengenai:<br />

1) jumlah;<br />

2) nilai nominal; dan<br />

3) penggunaan dana Obligasi Daerah;<br />

4) Dalam hal Obligasi Daerah akan diterbitkan dalam beberapa tahun anggaran, maka<br />

Perda harus memuat jadwal penerbitan tahunan Obligasi Daerah;<br />

IV-124


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

5) Dalam hal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan membutuhkan jaminan, maka<br />

Perda harus memuat ketentuan mengenai aset yang akan dijaminkan.<br />

Gambar 4.8<br />

Pengajuan, Penilaian dan Persetujuan<br />

Penerbitan Obligasi Daerah oleh Menkeu<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2008<br />

IV-125


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Bapepam-LK selanjutnya akan melakukan penelahaan terhadap kecukupan keterbukaan<br />

(adequate disclosure) sebagai persyaratan penawaran umum di pasar modal. Penawaran<br />

umum Obligasi Daerah dapat dilakukan setelah Bapepam-LK mengeluarkan pernyataan<br />

efektif penawaran umum Obligasi Daerah di pasar modal.<br />

<strong>4.2.</strong>3. Pengelolaan Obligasi Daerah<br />

Setelah diterbitkannya <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>, pemerintah <strong>daerah</strong> berkewajiban untuk<br />

mengembalikan pokok dan bunga <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>. Dalam rangka memenuhi kewajiban<br />

untuk pengembalian pokok dan bunga Obligasi Daerah, diperlukan pengelolaan Obligasi<br />

Daerah yang baik, yang meliputi:<br />

1). Penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan<br />

pengendalian risiko;<br />

2). Perencanaan dan penetapan struktur portafolio pinjaman <strong>daerah</strong>;<br />

3). Penerbitan Obligasi Daerah;<br />

4). Penjualan Obligasi Daerah melalui lelang;<br />

5). Pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;<br />

6). Pelunasan pada saat jatuh tempo;<br />

7). Pertanggungjawaban.<br />

Pengelolaan Obligasi Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah dengan menunjuk satuan<br />

kerja yang akan melaksanakannya.<br />

<strong>4.2.</strong>3.1. Pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh<br />

tempo<br />

Pembelian kembali Obligasi Daerah oleh Pemerintah Daerah sebagai emiten dapat<br />

diperlakukan sebagai pelunasan kembali atas Obligasi Daerah tersebut atau disimpan<br />

untuk dapat dijual kembali (treasury bonds). Dalam hal diperlakukan sebagai treasury<br />

bonds maka hak-hak yang melekat pada Obligasi Daerah batal demi hukum.<br />

<strong>4.2.</strong>3.2. Pelunasan pada saat jatuh tempo<br />

Pokok dibayarkan pada saat <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong> jatuh tempo, sementara bunga dibayarkan<br />

setiap jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>.<br />

Pada prinsipnya, pembayaran kembali <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong> bersumber dari penerimaan<br />

kegiatan investasi. Namun demikian, ada kalanya, terutama pada masa konstruksi,<br />

IV-126


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

kegiatan investasi belum menghasilkan penerimaan. Pada keadaan ini, pembayaran<br />

bunga dibebankan pada Anggaran Belanja dan Belanja Daerah.<br />

Khusus untuk pembayaran pokok, harus dibentuk suatu dana cadangan dalam rekening<br />

khusus yang dananya tidak dapat digunakan untuk kepentingan lain selain pembayaran<br />

kupon <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>. Alokasi dana cadangan dialokasikan setiap tahun hingga <strong>obligasi</strong><br />

<strong>daerah</strong> tersebut jatuh tempo, dengan besaran yang dibagi rata per tahunnya. Hal ini<br />

memudahkan pemerintah <strong>daerah</strong> untuk mengontrol arus kas sehingga dapat menjamin<br />

bahwa pada saat jatuh tempo pemerintah <strong>daerah</strong> sanggup untuk melunasi kewajiban<br />

pembayaran pokok <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>.<br />

<strong>4.2.</strong>3.3. Penatausahaan dan Penggunaan Dana Obligasi<br />

Daerah<br />

Pemerintah telah mengatur tentang penatausahaan dan penggunaan dana hasil penjualan<br />

<strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong> sebagai berikut:<br />

1). Dana hasil penjualan Obligasi Daerah ditempatkan pada rekening tersendiri yang<br />

ditatausahakan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD);<br />

2). Dana hasil penjualan Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai<br />

kegiatan yang telah direncanakan yang merupakan kegiatan investasi sektor publik<br />

yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat;<br />

3). Penerimaan dari investasi sektor publik diprioritaskan untuk membayar pokok,<br />

bunga dan denda Obligasi Daerah.<br />

<strong>4.2.</strong>3.4. Pertanggungjawaban<br />

Kepala Daerah wajib membuat pertanggungjawaban atas pengelolaan Obligasi<br />

Daerah dan dana Obligasi Daerah sesuai dengan rencana penerbitan Obligasi<br />

Daerah. Pertanggungjawaban ini disampaikan kepada DPRD sebagai bagian dari<br />

pertanggungjawaban APBD.<br />

Terdapat dua hal yang perlu dipertanggungjawabkan oleh pemerintah <strong>daerah</strong> berkaitan<br />

dengan penerbitan <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>, yaitu:<br />

1). Pertanggungjawaban atas pengelolaan <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong><br />

2). Pertanggungjawaban dana hasil penerbitan <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>.<br />

Dalam pertanggungjawaban pengelolaan <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>, pemerintah <strong>daerah</strong><br />

melaporkan:<br />

1). keterangan tentang portofolio <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong><br />

IV-127


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

2). laporan transaksi <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong> di pasar modal yang mencakup penawaran umum,<br />

pelunasan, pembelian kembali, pertukaran, pembayaran bunga dan biaya lain, serta<br />

kegiatan lain yang terkait dengan pengelolaan <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong><br />

3). posisi <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong><br />

4). realisasi strategi dan kebijakan pengelolaan <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong> termasuk pengendalian<br />

resiko<br />

5). alokasi angaran dan realisasinya<br />

Dalam pertanggungjawaban dana hasil penerbitan <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong>, pemerintah <strong>daerah</strong><br />

melaporkan:<br />

1). perkembangan pelaksanaan kegiatan investasi<br />

2). laporan keuangan kegiatan yang meliputi penggunaan dana dari <strong>obligasi</strong> <strong>daerah</strong><br />

dan dana hasil penerimaan kegiatan<br />

3). laporan alokasi dana cadangan<br />

<strong>4.2.</strong>4. Publikasi Informasi<br />

Kepala <strong>daerah</strong> wajib mempublikasikan secara berkala mengenai data Obligasi Daerah<br />

dan/atau informasi lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar<br />

Modal. Publikasi informasi secara berkala tersebut meliputi:<br />

1). Kebijakan pengelolaan pinjaman <strong>daerah</strong> dan rencana penerbitan Obligasi Daerah<br />

yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan;<br />

2). Jumlah Obligasi Daerah yang beredar beserta komposisinya, struktur jatuh tempo<br />

dan tingkat bunga;<br />

3). Laporan keuangan Pemerintah Daerah;<br />

4). Laporan penggunaan dana yang diperoleh melalui penerbitan Obligasi Daerah,<br />

alokasi dana cadangan, serta laporan-laporan yang bersifat material; dan<br />

5). Kewajiban publikasi data dan/atau informasi lainnya yang diwajibkan berdasarkan<br />

peraturan perundang-undangan di Pasar Modal.<br />

Publikasi data dan informasi mengenai Obligasi Daerah dilakukan oleh satuan kerja yang<br />

ditunjuk untuk mengelola Obligasi Daerah, pihak lain yang terkait dengan pengelolaan<br />

Obligasi Daerah hanya dapat melakukan publikasi data dan informasi mengenai Obligasi<br />

Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Daerah.<br />

IV-128


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

Pelaksanaan publikasi antara lain dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan temu publik<br />

atau melalui media cetak dan media elektronik terutama situs internet (website) yang<br />

dimiliki dan dikelola oleh satuan kerja yang ditunjuk untuk mengelola Obligasi Daerah.<br />

<strong>4.2.</strong>5.Pelaporan, Pemantauan dan Evaluasi<br />

Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk wajib menyampaikan laporan penerbitan,<br />

penggunaan dana dan pembayaran kupon dan/atau pokok Obligasi Daerah setiap 3 (tiga)<br />

bulan kepada Menteri Keuangan. Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan<br />

melakukan pemantauan dan evaluasi atas:<br />

1). Penerbitan Obligasi Daerah;<br />

2). Penggunaan dana Obligasi Daerah;<br />

3). Kinerja pelaksanaan kegiatan; dan<br />

4). Realisasi pembayaran kupon dan/atau Pokok Obligasi Daerah.<br />

Pemantauan dan evaluasi tersebut di atas, dilakukan untuk melihat indikasi adanya<br />

penyimpangan dan/atau ketidaksesuaian antara rencana penerbitan Obligasi Daerah<br />

dengan realisasinya. Hasil pemantauan dan evaluasi tersebut dilaporkan oleh Direktur<br />

Jenderal Perimbangan Keuangan kepada Menteri Keuangan.<br />

Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi dimaksud, Direktur Jenderal Perimbangan<br />

Keuangan dapat merekomendasikan kepada Ketua <strong>Badan</strong> Pengawas Pasar Modal dan<br />

Lembaga Keuangan untuk menghentikan penerbitan Obligasi Daerah.<br />

<strong>4.2.</strong>6. PELAPORAN PINJAMAN DAERAH<br />

Untuk melaksanakan tertib anggaran, maka semua penerimaan dan kewajiban dalam<br />

rangka Pinjaman Daerah harus dicantumkan dalam APBD dan dibukukan sesuai dengan<br />

Standar Akuntansi Pemerintah, termasuk Obligasi Daerah. Selain itu, setiap perjanjian<br />

pinjaman yang dilakukan oleh Daerah merupakan dokumen publik yang diumumkan<br />

dalam Lembaran Daerah sehingga dapat diakses oleh publik. Pemerintah Daerah wajib<br />

melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri Keuangan<br />

dan Menteri Dalam Negeri agar penatausahaan Pinjaman Daerah dapat berjalan dengan<br />

baik.<br />

IV-129


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

<strong>4.2.</strong>7. SANKSI PINJAMAN DAERAH<br />

Berkaitan dengan kewajiban yang muncul dari pinjaman <strong>daerah</strong>, maka Pemerintah<br />

Daerah yang tidak memenuhi kewajibannya, dapat dikenakan sanksi seperti yang<br />

dijelaskan berikut ini:<br />

1). Jika <strong>daerah</strong> tidak menyampaikan laporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban<br />

pinjaman, maka dikenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran Dana<br />

Perimbangan oleh Menteri Keuangan;<br />

2). Jika <strong>daerah</strong> melakukan pinjaman langsung dari sumber luar negeri yang bukan<br />

karena kegiatan transaksi Obligasi Daerah, maka Menteri Keuangan akan<br />

melakukan pemotongan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari penerimaan Negara<br />

yang menjadi hak <strong>daerah</strong> tersebut; dan<br />

Jika <strong>daerah</strong> tidak menyampaikan perjanjian pinjaman ke Menteri Dalam Negeri dan/atau<br />

<strong>daerah</strong> membuat perjanjian pinjaman tidak sesuai dengan pertimbangan Menteri Dalam<br />

Negeri, maka <strong>daerah</strong> yang bersangkutan akan melarang melakukan Pinjaman Daerah<br />

selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.<br />

4.3. HIBAH DAERAH<br />

Dalam PP Nomor 57 Tahun 2005 dan PMK No. 52/2006, yang dimaksud dengan Hibah<br />

adalah Peneriman Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga<br />

asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau<br />

perorangan baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan ata jasa, termasuk<br />

tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.<br />

Hibah yang diberikan kepada <strong>daerah</strong> adalah sebagai salah satu bentuk hubungan<br />

keuangan antara Pemerintah dan Daerah untuk mendukung pelaksanaan kegiatan <strong>daerah</strong><br />

dan dikelompokkan sebagai salah satu komponen lain lain pendapatan. Penerimaan ini<br />

bersifat tidak mengikat karena tidak harus dibayar kembali oleh <strong>daerah</strong>.<br />

Peraturan Menteri Keuangan tentang tata cara pemberian hibah kepada Daerah (PMK<br />

No. 52/2006) mengacu kepada PP No. 57/2005 tentang Hibah kepada Daerah dan PP<br />

No. 2/2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta<br />

Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. PMK dimaksud telah diselaraskan<br />

dengan PMK tentang penerusan pinjaman kepada Daerah maupun peraturan tentang<br />

pengadaan pinjaman yang telah dibuat Bappenas untuk pembagian tugas yang lebih jelas<br />

antara Bappenas dari segi perencanaan pengajuan, penilaian kegiatan yang dibiayai oleh<br />

pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN) dan dari aspek pelaksanaan penerusan PHLN<br />

yang merupakan tugas Departemen Keuangan.<br />

IV-130


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

Khusus untuk pemberian hibah kepada <strong>daerah</strong> yang sumbernya berasal dari pinjaman<br />

luar negeri akan didasarkan kepada peta kapasitas fiskal yang ditetapkan dalam peraturan<br />

Menteri Keuangan. Penyusunan peraturan tersebut peta kapasitas fiskal dalam rangka<br />

penerusan pinjaman luar negeri pemerintah kepada <strong>daerah</strong> harus diperbaharui secara<br />

periodik. Peta kapasitas fiskal <strong>daerah</strong> menggambarkan kemampuan keuangan masingmasing<br />

<strong>daerah</strong> yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan<br />

dan Belanja Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman<br />

lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran<br />

tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan yang dikaitkan dengan belanja pegawai<br />

dan jumlah penduduk miskin. Peta kapasitas fiskal <strong>daerah</strong> dimaksud akan digunakan<br />

untuk menentukan besaran pemberian hibah kepada <strong>daerah</strong> yang ditetapkan oleh Menteri<br />

Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri pada Kementerian/Lembaga terkait.<br />

Formula tersebut diharapkan dapat memenuhi tuntutan transparansi dan akuntabilitas<br />

serta asas proporsional dalam menentukan besaran pemberian hibah kepada <strong>daerah</strong><br />

serta adanya pengkaitan terhadap jumlah penduduk miskin yang mencerminkan<br />

penekanan sasaran pemberian hibah dimaksud.<br />

4.3.1. SUMBER HIBAH<br />

Sumber-sumber Hibah diperoleh dari Dalam Negeri dan/atau Luar Negeri. Hibah yang<br />

bersumber dari Dalam Negeri bersumber dari:<br />

1) Pemerintah;<br />

2) Pemerintah Daerah lain;<br />

3) <strong>Badan</strong>/lembaga organisasi swasta dalam negeri; dan/atau<br />

4) Kelompok masyarakat/perorangan.<br />

Sedangkan Hibah yang bersumber dari luar negeri diperoleh dari lembaga/institusi,<br />

negara:<br />

1) Bilateral;<br />

2) Multilateral;<br />

3) Donor lainnya.<br />

Berdasarkan sumber-sumber hibah di atas sebagaimana disebutkan dalam poin 1, Hibah<br />

kepada <strong>daerah</strong> yang bersumber dari APBN baik dari Pinjaman Dalam Negeri, Penerusan<br />

Pinjaman dan Penerusan hibah Luar Negeri dapat digambarkan sebagai berikut:<br />

IV-131


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

4.3.2. PRINSIP DASAR PEMBERIAN HIBAH KEPADA<br />

DAERAH<br />

Ada beberapa prinsip dasar terhadap pelaksanaan hibah <strong>daerah</strong> di Indonesia yaitu:<br />

1) Hibah kepada Daerah bersifat bantuan untuk menunjang program pembangunan<br />

sesuai dengan prioritas dan kebijakan Pemerintah serta merupakan urusan <strong>daerah</strong>.<br />

2) Hibah kepada Daerah yang bersumber dari pendapatan dalam negeri kegiatannya<br />

merupakan kebijakan Pemerintah atau dapat diusulkan oleh Kementerian Negara/<br />

Lembaga.<br />

3) Dalam hal Hibah kepada Daerah yang bersumber dari pinjaman luar negeri<br />

kegiatannya telah diusulkan oleh Kementerian Negara/Lembaga.<br />

4) Hibah kepada Daerah yan bersumber dari hibah luar negeri, kegiatannya dapat<br />

diusulkan oleh Kemernterian Negara/Lembaga dan/atau Daerah.<br />

5) Hibah diberikan kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah<br />

berkoordinasi dengan Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga<br />

terkait.<br />

6) Hibah yang berasal dari Dalam Negeri dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah<br />

(NPHD) antara Pemerintah Daerah dan Pemberi Hibah, sementara yang berasal<br />

dari Luar Negeri dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Luar Negeri (NPHLN)<br />

antara Pemerintah dan Pemberi Hibah Luar Negeri. Hibah tersebut diteruskan oleh<br />

Pemerintah kepada Daerah. Penerusannya dituangkan dalam Naskah Perjanjian<br />

Hibah (NPPH) antara Pemerintah dengan Daerah.<br />

4.3.3. KRITERIA PEMBERIAN HIBAH<br />

Kriteria pemberian hibah dapat digolongkan berdasarkan sumber sebagai berikut:<br />

1) Hibah yang bersumber dari pendapatan dalam negeri, diberikan kepada Daerah<br />

dengan kriteria sebagai berikut:<br />

a. Untuk melaksanakan kegiatan yang menjadi urusan Daerah, yaitu peningkatan<br />

fungsi pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan aparatur<br />

Daerah;<br />

b. Untuk kegiatan dengan kondisi tertentu yang berkaitan dengan penyelenggaran<br />

kegiatan Pemerintah yang berskala nasional/internasional di Daerah.<br />

2) Hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri, diberikan kepada Daerah dengan<br />

kriteria sebagai berikut:<br />

IV-132


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

a. Untuk melaksanakan kegiatan yang merupakan urusan Daerah dalam rangka<br />

pencapaian sasaran program yang merupakan prioritas pembangunan<br />

nasional;<br />

b. Diprioritaskan untuk Daerah dengan kapasitas fiskal rendah berdasarkan peta<br />

kapasitas fiskal yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.<br />

3) Hibah yang bersumber dari hibah luar negeri, diberikan kepada Daerah dengan<br />

kriteria sebagai berikut:<br />

a. Untuk melaksanakan kegiatan yang menjadi urusan Daerah, yaitu peningkatan<br />

fungsi pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan aparatur<br />

Daerah;<br />

b. Hibah diteruskan kepada Daerah sesuai dengan NPHLN.<br />

4.3.4. PENARIKAN DAN PENYALURAN HIBAH<br />

Hibah disalurkan dari APBN ke APBD sesuai peraturan perundangan, yaitu dengan<br />

menggunakan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP) yang dikelola oleh<br />

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, dan terpisah dari bagian anggaran<br />

yang dikelola Kementerian/Lembaga.<br />

Penyaluran hibah dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dilakukan dengan<br />

pemindahbukuan daru Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.<br />

4.3.5. PENGELOLAAN HIBAH OLEH DAERAH<br />

Beberapa hal yang menjadi kewajiban <strong>daerah</strong> dalam pengelolaan hibah antara lain:<br />

1) Daerah menyediakan fasilitas penunjang untuk kelancaran pekerjaan apabila hibah<br />

berupa jasa konsultan dan jasa lainnya. Apabila Daerah tidak menganggarkan<br />

kegiatan, pencairan hibah tidak dapat dilakukan.<br />

2) Dana pendamping dicantumkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran-Satuan<br />

Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD).<br />

3.3.6. PENCATATAN<br />

Pencatatan keluar masuknya sumber dana merupakan hal yang paling signifikan bagi<br />

<strong>daerah</strong> sebelum melakukan pelaporan. Hal-hal yang perlu dicatat oleh <strong>daerah</strong> dalam<br />

sistem penatausahaannya adalah:<br />

1) Penerimaan hibah oleh Daerah dicatat sebagai pendapatan hibah dalam kelompok<br />

Lain-lain Pendapatan yang Sah pada APBD.<br />

IV-133


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

2) Penerimaan hibah dalam bentuk barang dan/atau jasa selain dicatat sebagai<br />

pendapatan hibah dalam kelompok Lain-lain Pendapatan yang Sah pada saat yang<br />

sama dicatat sebagai belanja dengan nilai yang sama.<br />

3) Penerimaan hibah dalam bentuk barang dan/atau jasa dicatat berdasarkan harga<br />

perolehan atau taksiran nilai wajar barang dan/atau jasa tersebut.<br />

4) Barang yang diterima dari hibah diakui dan dicatat sebagai barang milik <strong>daerah</strong><br />

pada saat diterima.<br />

4.3.7. PELAPORAN<br />

Setelah melakukan pencatatan dan penatusahaan <strong>daerah</strong> wajib melaporkan hal-hal<br />

sebagi berikut dalam bentuk neraca, catatan dan sebagainya:<br />

1) Penerimaan hibah dalam bentuk uang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran<br />

dan Laporan Arus Kas.<br />

2) Penerimaan hibah dalam bentuk barang dan/atau jasa dilaporkan dalam Laporan<br />

Realisasi Anggaran.<br />

3) Transaksi penerimaan hibah dan penerusannya ke Daerah diungkapkan dalam<br />

Catatan atas Laporan Keuangan.<br />

4) Dalam hal hibah tidak termasuk dalam perencanaan hibah pada tahun anggaran<br />

berjalan, hibah harus dilaporkan dalam Laporan Pertanggungjawaban Keuangan.<br />

5) Tata cara akuntansi dan pelaporan keuangan yang terkait dengan hibah dilaksanakan<br />

sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku tentang sistem akuntansi dan<br />

pelaporan keuangan Pemerintah.<br />

4.3.8. PEMANTAUAN<br />

1) Daerah melaporkan realisasi fisik, penyerapan dana, dan permasalahan pelaksanaan<br />

kegiatan serta perkembangan penyelesaian Kontrak Pengadaan Barang/Jasa<br />

kepada Menteri PPN/Kepala Bappenas, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan<br />

dan Menteri Negara/Pimpinan Lembaga terkait.<br />

2) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan<br />

Menteri Negara/Pimpinan Lembaga terkait melakukan pemantauan atas kinerja<br />

pelaksanaan kegiatan dan penggunaan hibah dalam rangka pencapaian target dan<br />

sasaran yang ditetapkan dalam NPHD dan NPPH.<br />

IV-134


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

3) Dalam rangka monitoring dan evaluasi, Daerah penerima hibah wajib menyampaikan<br />

laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan yang didanai dari hibah kepada<br />

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan<br />

Menteri Negara/Pimpinan Lembaga terkait.<br />

4) Laporan disampaikan setiap triwulan.<br />

5) Dalam hal Daerah melakukan pengelolaan hibah menyimpang dari ketentuan<br />

sebagaimana ditetapkan dalam NPHD atau NPPH, maka seluruh kegiatan<br />

penyaluran hibah dapat dihentikan.<br />

IV-135


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

IV-136


BAB V<br />

PAJAK DAERAH DAN<br />

RETRIBUSI DAERAH


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

V-138


5.1. PENDAHULUAN<br />

BAB V<br />

PAJAK DAERAH DAN<br />

RETRIBUSI DAERAH<br />

Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumbersumber<br />

penerimaan bagi <strong>daerah</strong> yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan<br />

potensinya masing-masing. Sumber-sumber penerimaan tersebut dapat berupa pajak<br />

atau retribusi. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, setiap pembebanan<br />

pada masyarakat baik berupa pajak atau retribusi harus diatur dengan Undang-Undang<br />

(UU).<br />

Kewenangan <strong>daerah</strong> untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU No. 34 Tahun<br />

2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti<br />

dengan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2001<br />

tentang Pajak Daerah dan PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.<br />

Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur, antara lain, jenis, objek, subjek,<br />

dasar pengenaan, dan tarif pajak <strong>daerah</strong> maupun retribusi <strong>daerah</strong>, serta ketentuan<br />

umum yang mengatur tata cara pemungutan pajak dan retribusi. Selain jenis pajak dan<br />

retribusi yang diatur dalam UU dan PP tersebut, untuk <strong>daerah</strong> kabupaten/kota juga<br />

diberikan kewenangan menetapkan jenis pajak dan retribusi baru sepanjang memenuhi<br />

kriteria yang ditetapkan dalam UU, sedangkan untuk <strong>daerah</strong> provinsi hanya diberikan<br />

kewenangan untuk menetapkan jenis retribusi baru di luar yang ditetapkan dalam UU.<br />

5.2. JENIS PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH<br />

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan retribusi <strong>daerah</strong>,<br />

<strong>daerah</strong> diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 27 jenis retribusi.<br />

Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak<br />

dan retribusi tersebut secara umum dipungut hampir di semua <strong>daerah</strong> dan merupakan<br />

jenis pungutan yang secara teori maupun praktik merupakan jenis pungutan yang baik.<br />

5.2.1. Pajak Daerah<br />

Jenis-jenis Pajak Daerah berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel<br />

5.1.<br />

V-139


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Tabel 5.1.<br />

Jenis Pajak Daerah<br />

Pajak <strong>Provinsi</strong>:<br />

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan<br />

Kendaraan di Atas Air;<br />

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor<br />

dan Kendaraan di Atas Air;<br />

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan<br />

Bermotor;<br />

4. Pajak Pengambilan dan Pemanfatan Air<br />

Bawah Tanah dan Air Permukaan.<br />

Sumber: UU No. 34 Tahun 2000<br />

Pajak Kabupaten/Kota:<br />

1) Pajak Hotel;<br />

2) Pajak Restoran;<br />

3) Pajak Hiburan;<br />

4) Pajak Reklame;<br />

5) Pajak Penerangan Jalan;<br />

6) Pajak Pengambilan Bahan Galian<br />

Golongan C;<br />

7) Pajak Parkir.<br />

Jenis pajak provinsi bersifat limitatif yang berarti provinsi tidak dapat memungut pajak lain<br />

selain yang telah ditetapkan. Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh<br />

provinsi terkait dengan kewenangan provinsi sebagai <strong>daerah</strong> otonom yang terbatas hanya<br />

meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas <strong>daerah</strong> kabupaten/<br />

kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan <strong>daerah</strong> kabupaten/kota,<br />

serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu.<br />

Namun demikian, dalam pelaksanaannya provinsi dapat tidak memungut jenis pajak yang<br />

telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai.<br />

Berkaitan dengan besarnya tarif, untuk pajak provinsi ditetapkan secara seragam di<br />

seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam PP No. 65 Tahun 2001.<br />

Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota diberi peluang<br />

untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara<br />

eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000 dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang<br />

bersifat spesifik sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut.<br />

Besarnya tarif definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah<br />

(Perda), namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam<br />

UU.<br />

5.2.2. Retribusi Daerah<br />

Retribusi <strong>daerah</strong> terdiri atas 3 (tiga) golongan, yaitu:<br />

1. Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh<br />

pemerintah <strong>daerah</strong> (Pemda) untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum<br />

serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.<br />

V-140


Pajak Daerah dan Retribusi Daerah<br />

2. Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemda dengan<br />

menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh<br />

sektor swasta.<br />

3. Retribusi <strong>Perizinan</strong> Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu Pemda dalam<br />

rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk<br />

pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan<br />

ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas<br />

tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.<br />

Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi <strong>Perizinan</strong> Tertentu<br />

sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana<br />

ditunjukkan dalam Tabel 5.2.<br />

Tabel 5.2<br />

Jenis Retribusi Daerah<br />

Jasa Umum Jasa Usaha <strong>Perizinan</strong> Tertentu<br />

a. Retribusi <strong>Pelayanan</strong><br />

Kesehatan<br />

b. Retribusi <strong>Pelayanan</strong><br />

Persampahan/<br />

Kebersihan<br />

c. Retribusi Penggantian<br />

Biaya Cetak KTP dan<br />

Akte Catatan Sipil<br />

d. Retribusi <strong>Pelayanan</strong><br />

Pemakaman dan<br />

Pengabuan Mayat<br />

e. Retribusi <strong>Pelayanan</strong> Parkir<br />

di Tepi Jalan Umum<br />

f. Retribusi <strong>Pelayanan</strong><br />

Pasar<br />

g. Retribusi Pengujian<br />

Kendaraan Bermotor<br />

h. Retribusi Pemeriksaan<br />

Alat Pemadam<br />

Kebakaran<br />

i. Retribusi Penggantian<br />

Biaya Cetak Peta<br />

j. Retribusi Pengujian Kapal<br />

Perikanan<br />

Sumber: PP No. 65 Tahun 2001<br />

a. Retribusi Pemakaian<br />

Kekayaan Daerah<br />

b. Retribusi Pasar Grosir dan/<br />

atau Pertokoan<br />

c. Retribusi Tempat<br />

Pelelangan<br />

d. Retribusi Terminal<br />

e. Retribusi Tempat Khusus<br />

Parkir<br />

f. Retribusi Tempat<br />

Penginapan/<br />

Pesanggrahan/-Villa<br />

g. Retribusi Penyedotan Kakus<br />

h. Retribusi Rumah potong<br />

Hewan<br />

i. Retribusi <strong>Pelayanan</strong><br />

Pelabuhan Kapal<br />

j. Retribusi Tempat Rekreasi<br />

dan Olahraga<br />

k. Retribusi Penyeberangan di<br />

Atas Air<br />

l. Retribusi Pengolahan<br />

Limbah Cair<br />

m. Retribusi Penjualan Produksi<br />

Usaha Daerah<br />

a. Retribusi Izin<br />

Mendirikan Bangunan<br />

b. Retribusi Izin Tempat<br />

Penjualan Minuman<br />

Beralkohol<br />

c. Retribusi Izin<br />

Gangguan<br />

d. Retribusi Izin Trayek<br />

V-141


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Ketentuan secara lengkap mengenai objek dan subjek retribusi telah diatur dalam PP<br />

No. 65 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, sehingga kewenangan <strong>daerah</strong> dalam<br />

pemungutan retribusi hanya ada pada penetapan tarif dan sasaran pengenaan retribusi.<br />

Dalam menetapkan tarif Retribusi Jasa Umum, prinsip dan sasaran dalam penetapan<br />

tarif didasarkan pada kebijakan <strong>daerah</strong> dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa<br />

yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. Untuk mencapai<br />

sasaran dimaksud, penetapan tarif Retribusi Jasa Umum, antara lain, dimaksudkan untuk<br />

menutup sebagian atau sama dengan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan dan<br />

membantu golongan masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang<br />

diberikan. Dengan demikian, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa<br />

Umum dapat berbeda menurut jenis pelayanan dalam jasa yang bersangkutan dan<br />

golongan pengguna jasa.<br />

Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan<br />

pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang<br />

pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan<br />

berorientasi pada harga pasar.<br />

Sementara itu, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi <strong>Perizinan</strong> Tertentu<br />

didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan<br />

pemberian izin yang bersangkutan.<br />

5.3. PERSYARATAN PDRD<br />

Selain jenis pajak dan retribusi yang telah ditetapkan UU, pemerintah kabupaten/kota<br />

dapat menetapkan jenis pajak baru dengan Perda sepanjang memenuhi kriteria yang<br />

telah ditetapkan UU.<br />

1) Kriteria Pajak Daerah<br />

a. Bersifat pajak, dan bukan retribusi.<br />

Maksud dari kriteria ini adalah bahwa pajak tersebut harus sesuai definisi pajak<br />

yang ditetapkan dalam UU, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi<br />

atau badan kepada <strong>daerah</strong> tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang<br />

dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,<br />

yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan <strong>daerah</strong> dan<br />

pembangunan <strong>daerah</strong>. Jika suatu iuran hanya dibayar oleh orang pribadi atau<br />

badan yang menggunakan/memanfaatkan suatu pelayanan/perizinan yang<br />

disediakan oleh <strong>daerah</strong>, maka iuran tersebut bukan pajak melainkan bersifat<br />

retribusi.<br />

V-142


Pajak Daerah dan Retribusi Daerah<br />

b<br />

Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah <strong>daerah</strong> kabupaten/kota yang<br />

bersangkutan dan mempunyai mobilitas cukup rendah serta hanya melayani<br />

masyarakat di wilayah <strong>daerah</strong> kabupaten/kota yang bersangkutan.<br />

Yang dimaksud dengan mobilitas rendah adalah objek pajak sulit untuk<br />

dipindahkan. Contoh, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak atas Pengambilan<br />

Sarang Burung Walet.<br />

Yang dimaksud dengan hanya melayani masyarakat di wilayah tertentu adalah<br />

bahwa beban pajaknya hanya ditanggung oleh masyarakat lokal. Contoh, Pajak<br />

Penerangan Jalan.<br />

Contoh jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara lain, pajak<br />

atas barang yang diekspor atau diimpor (lalu lintas barang) di pelabuhan<br />

atau bandara atau di tempat lain, pajak atas siaran radio, pajak atas reklame<br />

dalam surat kabar dan media elektronik. Jenis pajak dengan objek objek<br />

tersebut pada umumnya melayani masyarakat luas di luar wilayah <strong>daerah</strong> yang<br />

bersangkutan.<br />

c<br />

Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan<br />

umum.<br />

Yang dimaksud dengan kriteria ini adalah bahwa pajak tersebut dimaksudkan<br />

untuk kepentingan bersama yang lebih luas antar pemerintah dan masyarakat<br />

dengan memperhatikan aspek ketentraman dan kestabilan politik, ekonomi,<br />

sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Contoh: Pajak atas seluruh<br />

komoditi akan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi; Pajak atas minuman<br />

beralkohol akan menimbulkan ketidakstabilan sosial dan budaya; atau dengan<br />

adanya pajak tersebut dapat menimbulkan pemogokan atau demonstrasi yang<br />

akan mengakibatkan gangguan keamanan dan kestabilan politik.<br />

d<br />

e<br />

Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan/atau pusat. Jenis<br />

pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara lain, adalah pajak ganda<br />

(double tax). Pajak ganda yang dimaksud adalah pajak dengan objek dan/atau<br />

dasar pengenaan yang tumpang tindih dengan objek dan/atau dasar pengenaan<br />

pajak lain yang sebagian atau seluruh hasilnya diterima oleh <strong>daerah</strong>.<br />

Potensinya memadai.<br />

Hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya pemungutan.<br />

f<br />

Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.<br />

Pajak tidak mengganggu alokasi sumber sumber ekonomi dan tidak merintangi<br />

arus sumber daya ekonomi antar <strong>daerah</strong> maupun kegiatan ekspor-impor.<br />

g<br />

Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.<br />

V-143


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

V-144<br />

(i)<br />

Aspek keadilan, antara lain, objek dan subjek pajak harus jelas<br />

sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran pajak<br />

dapat diperkirakan oleh wajib pajak, dan tarif pajak ditetapkan dengan<br />

memperhatikan keadaan wajib pajak. Hal lain mengenai aspek keadilan<br />

adalah objek atau subjek atau dasar pengenaan pajak tidak membedakan<br />

(klasifikasi) orang pribadi atau badan tanpa alasan yang kuat.<br />

(ii) Aspek kemampuan masyarakat, pajak memperhatikan kemampuan<br />

subjek pajak untuk memikul tambahan beban pajak. Selanjutnya, sebagian<br />

besar dari beban pajak tersebut tidak dipikul oleh masyarakat yang relatif<br />

kurang mampu.<br />

h. Menjaga kelestarian lingkungan.<br />

Pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan<br />

pajak tidak memberikan peluang kepada Pemda atau pemerintah pusat atau<br />

masyarakat luas untuk merusak lingkungan.<br />

Dengan ditetapkannya kriteria pajak <strong>daerah</strong> dalam UU, maka secara yuridis <strong>daerah</strong><br />

hanya dapat memungut atau mengadakan jenis pajak yang memenuhi seluruh<br />

kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Secara tegas UU No. 34 Tahun 2000<br />

menyatakan adanya kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan pajak-pajak<br />

yang dianggap tidak memenuhi syarat tersebut.<br />

2) Kriteria Retribusi Daerah<br />

Dengan Perda, Pemda provinsi dan kabupaten/kota <strong>daerah</strong> juga dapat menetapkan<br />

jenis retribusi lainnya sesuai dengan kewenangan otonominya dan memenuhi<br />

kriteria yang telah ditetapkan, yaitu:<br />

a. Retribusi Jasa Umum<br />

(i)<br />

Bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau<br />

Retribusi <strong>Perizinan</strong> Tertentu;<br />

(ii) Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan <strong>daerah</strong> dalam rangka<br />

pelaksanaan desentralisasi;<br />

(iii) Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang<br />

diharuskan membayar retribusi, di samping untuk melayani kepentingan<br />

dan kemanfaatan umum;<br />

(iv) Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi;<br />

(v) Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai<br />

penyelenggaraannya;<br />

(vi) Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah<br />

satu sumber pendapatan <strong>daerah</strong> yang potensial; dan


Pajak Daerah dan Retribusi Daerah<br />

(vii) Pemungutan Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan<br />

tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.<br />

b. Retribusi Jasa Usaha<br />

(i)<br />

Bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau<br />

Retribusi <strong>Perizinan</strong> Tertentu; dan<br />

(ii) Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang<br />

seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau<br />

terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai <strong>daerah</strong> yang belum dimanfaatkan<br />

secara penuh oleh Pemda.<br />

c. Retribusi <strong>Perizinan</strong> Tertentu<br />

(i)<br />

<strong>Perizinan</strong> tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan<br />

kepada <strong>daerah</strong> dalam rangka asas desentralisasi;<br />

(ii) <strong>Perizinan</strong> tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan<br />

umum; dan<br />

(iii) Biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut<br />

dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin<br />

tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.<br />

5.4. PROSEDUR PENETAPAN PDRD<br />

PDRD yang ditetapkan oleh <strong>daerah</strong> harus diatur dengan Perda. Perda tentang Pajak<br />

sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai:<br />

1) nama, objek, dan subjek pajak;<br />

2) dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;<br />

3) wilayah pemungutan;<br />

4) masa pajak;<br />

5) penetapan;<br />

6) tata cara pembayaran dan penagihan;<br />

7) kadaluwarsa;<br />

8) sanksi administrasi; dan<br />

9) tanggal mulai berlakunya.<br />

Perda tentang Pajak juga dapat mengatur ketentuan mengenai pemberian pengurangan,<br />

keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya,<br />

tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluwarsa, dan asas timbal balik.<br />

V-145


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Retribusi yang dipungut <strong>daerah</strong> juga ditetapkan dengan Perda. Perda tentang Retribusi<br />

sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai:<br />

1) nama, objek, dan subjek Retribusi;<br />

2) golongan Retribusi;<br />

3) cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan;<br />

4) prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi;<br />

5) struktur dan besarnya tarif Retribusi;<br />

6) wilayah pemungutan;<br />

7) tata cara pemungutan;<br />

8) sanksi administrasi;<br />

9) tata cara penagihan; dan<br />

10) tanggal mulai berlakunya.<br />

Perda tentang Retribusi juga dapat mengatur ketentuan mengenai masa retribusi,<br />

pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok<br />

retribusi dan/atau sanksinya, tata cara penghapusan piutang retribusi yang kadaluwarsa.<br />

Perda mengenai pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud di atas harus terlebih dahulu<br />

disosialisasikan dengan masyarakat sebelum ditetapkan.<br />

5.5. PENGAWASAN PDRD<br />

Dalam rangka pengawasan, Perda-Perda tentang Pajak dan Retribusi yang diterbitkan<br />

oleh Pemda harus disampaikan kepada Pemerintah Pusat paling lambat 15 (lima<br />

belas) hari sejak ditetapkan. Dalam hal Perda-perda dimaksud bertentangan dengan<br />

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,<br />

Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan<br />

dapat membatalkan Perda dimaksud.<br />

Ketentuan mengenai pengawasan Perda PDRD diatur dalam Pasal 5A dan Pasal 25A<br />

UU No. 34 Tahun 2000 dan Pasal 80 PP No. 65 Tahun 2001 dan Pasal 17 PP No. 66<br />

Tahun 2001. Namun demikian, walaupun Perda-Perda tersebut sudah dibatalkan oleh<br />

Pemerintah Pusat, Pemda dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung (MA)<br />

segera setelah mengajukan keberatannya kepada Pemerintah.<br />

Semenjak digulirkannya otonomi <strong>daerah</strong> tahun 2001 sampai dengan bulan Maret tahun<br />

2008, Menteri Keuangan telah menerima 10.467 perda PDRD. Untuk mengatasi perda<br />

pungutan bermasalah, telah dilakukan beberapa tindakan sebagai berikut:<br />

V-146


Pajak Daerah dan Retribusi Daerah<br />

1) Telah dievaluasi sekitar 7.109 Perda dan direkomendasikan pembatalan atau revisi<br />

atas Perda sebanyak 1.902 Perda.<br />

2) Dari jumlah tersebut sebanyak 86 perda bermasalah direkomendasikan untuk<br />

dibatalkan pada periode Januari - Maret tahun 2008.<br />

Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 185, Pasal 186, dan Pasal 189 UU No. 32<br />

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mekanisme pengawasan Perda yang semula<br />

bersifat represif diubah menjadi preventif. Berdasarkan mekanisme tersebut, Perda<br />

tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebelum ditetapkan menjadi Perda terlebih dahulu<br />

dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda <strong>Provinsi</strong> dan Gubernur untuk Raperda<br />

Kabupaten/Kota. Hasil evaluasi dimaksud dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan, baik<br />

oleh Menteri Dalam Negeri maupun oleh Gubernur sebelum disampaikan kepada <strong>daerah</strong><br />

yang bersangkutan. Terkait dengan hal tersebut, sampai dengan bulan Maret Tahun 2008<br />

telah diterima sebanyak 1.657 Raperda. Dari jumlah tersebut telah dievaluasi sebanyak<br />

1.647 Raperda. Dari hasil evaluasi tersebut, 568 Raperda disetujui dan langsung dapat<br />

ditetapkan, 861 Raperda diminta untuk disempurnakan, dan 218 Raperda ditolak karena<br />

tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.<br />

5.6. KESALAHAN-KESALAHAN PERDA PDRD YANG<br />

SERING DILAKUKAN DAERAH<br />

Sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2000, pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi<br />

harus diatur dengan Perda. Dalam UU tersebut juga dimuat ketentuan atau materi yang<br />

harus diatur dalam Perda PDRD. Namun, dalam pelaksanaannya beberapa Perda PDRD<br />

yang ditetapkan oleh <strong>daerah</strong> tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam UU tersebut.<br />

Beberapa kesalahan <strong>daerah</strong> berkaitan dengan penetapan Perda dapat dikemukakan<br />

berikut ini:<br />

1. Masih terdapat pungutan yang dilaksanakan oleh <strong>daerah</strong> hanya diatur dengan<br />

keputusan/peraturan kepala <strong>daerah</strong>. Sebagian besar <strong>daerah</strong> yang melaksanakan<br />

pemungutan pajak dan retribusi dengan keputusan/peraturan kepala <strong>daerah</strong><br />

menyadari akan kesalahannya, namun hal tersebut tetap dilakukan untuk<br />

menghindari pembatalan dari Pemerintah Pusat. Secara yuridis, pungutan tersebut<br />

batal demi hukum karena tidak didasarkan atas Perda sebagaimana diamanatkan<br />

UU.<br />

2. Muatan/materi yang diatur dalam Perda tidak memenuhi ketentuan sebagaimana<br />

diatur dalam UU. Beberapa Perda hanya memuat nama dan tarif pungutan.<br />

Seharusnya Perda tersebut minimal harus mengatur, antara lain, ketentuan<br />

V-147


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

mengenai objek, subjek, dasar pengenaan, tarif, tata cara dan wilayah pemungutan<br />

sesuai Pasal 4 ayat 3 UU No. 34 Tahun 2000.<br />

3. Pengaturan pemungutan pajak dan retribusi khususnya untuk jenis pajak dan retribusi<br />

yang telah ditetapkan dalam UU dan PP tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.<br />

Beberapa objek pajak dan retribusi diperluas. Sebagai contoh, objek pajak reklame<br />

diperluas hingga mencakup label, papan nama, dan logo perusahaan. Padahal label,<br />

papan nama, dan logo tersebut tidak dimaksudkan untuk memperkenalkan barang<br />

atau usaha atau bukan untuk reklame. Beberapa objek pajak dan retribusi yang<br />

telah dikecualikan dalam UU atau PP, ditetapkan oleh <strong>daerah</strong> sebagai pungutan<br />

dalam Perda.<br />

4. Khusus untuk Perda yang mengatur retribusi, banyak <strong>daerah</strong> yang mengatur tarif<br />

retribusi dengan keputusan kepala <strong>daerah</strong>. Pengaturan tersebut bertentangan dengan<br />

UU No. 34 Tahun 2000 yang mengamanatkan tarif retribusi diatur dalam Perda.<br />

5. Berkaitan dengan kewenangan <strong>daerah</strong> untuk memungut pajak dan retribusi baru,<br />

kesalahan-kesalahan yang sering terjadi adalah bahwa jenis pungutan baru<br />

tersebut tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU. Sebagian besar jenis<br />

pajak yang diciptakan oleh <strong>daerah</strong> tumpang tindih dengan pajak pusat atau pajak<br />

provinsi. Harus diakui bahwa dengan kriteria pajak baru tidak boleh tumpang tindih<br />

dengan pajak pusat dan provinsi, hampir dapat dipastikan bahwa peluang <strong>daerah</strong><br />

untuk menciptakan pajak baru telah tertutup.<br />

6. Pungutan retribusi bersifat pajak. Retribusi yang dikenakan oleh <strong>daerah</strong> tidak<br />

berhubungan secara langsung dengan pelayanan. Retribusi atas lalu-lintas barang<br />

dikenakan atas setiap produk yang dibawa masuk dan keluar <strong>daerah</strong>. Pengenaan<br />

retribusi yang bersifat penggantian biaya administrasi perizinan, seperti izin<br />

usaha yang dikenakan setiap tahun walaupun izin usaha tersebut berlaku untuk<br />

selamanya.<br />

7. Beberapa <strong>daerah</strong> mengenakan pungutan retribusi atas fungsi yang bukan menjadi<br />

tanggung jawabnya. Sebagai contoh, beberapa <strong>daerah</strong> kabupaten/kota dan provinsi<br />

menerbitkan izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) yang merupakan<br />

kewenangan pusat.<br />

5.7. ARAH KE DEPAN (PENYEMPURNAAN UU PDRD)<br />

Sejalan dengan pemberian kewenangan kepada <strong>daerah</strong> yang semakin besar dalam<br />

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat secara umum<br />

kebijakan PDRD ke depan lebih diarahkan pada perkuatan taxing power <strong>daerah</strong>.<br />

V-148


Pajak Daerah dan Retribusi Daerah<br />

Perkuatan taxing power <strong>daerah</strong> dilakukan dengan meningkatkan basis pajak <strong>daerah</strong> dan<br />

diskresi dalam menetapkan tarif pajak <strong>daerah</strong>.<br />

Sejalan dengan pemberian taxing power yang lebih besar tersebut, kewenangan <strong>daerah</strong><br />

untuk menciptakan pajak dan retribusi baru ditutup. Jenis pajak dan retribusi yang dapat<br />

dipungut oleh <strong>daerah</strong> hanya yang ditetapkan dalam UU (closed list).<br />

Peningkatan basis pajak <strong>daerah</strong> dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah<br />

ada, seperti katering untuk Pajak Restoran dan permainan golf untuk Pajak Hiburan.<br />

Di samping itu juga dilakukan penambahan jenis pajak baru, yaitu Pajak Lingkungan<br />

(green tax). Sementara itu, penetapan tarif pajak <strong>daerah</strong> diserahkan sepenuhnya kepada<br />

<strong>daerah</strong>. UU hanya menetapkan tarif pajak maksimum untuk menghindari pembebanan<br />

pajak yang berlebihan.<br />

Untuk menjamin agar <strong>daerah</strong> tidak menciptakan pungutan yang bermasalah dan<br />

sekaligus untuk meningkatkan pengawasan pungutan <strong>daerah</strong>, dalam revisi UU tersebut<br />

mekanisme pengawasan Perda yang semula bersifat represif diubah menjadi preventif<br />

sejalan dengan arahan UU No. 32 Tahun 2004. Dalam revisi UU juga diatur mengenai<br />

pengenaan sanksi kepada <strong>daerah</strong> yang melanggar, yaitu dapat berupa penundaan atau<br />

pemotongan dana perimbangan.<br />

5.8. PEMBANGUNAN KAPASITAS<br />

Untuk menghindari adanya pungutan-pungutan <strong>daerah</strong> yang menghambat perkembangan<br />

ekonomi nasional dan sekaligus menjamin <strong>daerah</strong> dapat memenuhi kebutuhan<br />

pengeluarannya, diperlukan pembangunan kapasitas berbagai pihak terkait dengan<br />

implementasi otonomi <strong>daerah</strong>. Di kalangan pemerintah pusat perlu adanya pemahaman<br />

yang sama mengenai pentingnya peningkatan kewenangan <strong>daerah</strong> untuk memungut<br />

pajak dan retribusi <strong>daerah</strong> sejalan dengan pemberian tanggung jawab yang semakin<br />

besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.<br />

Sentralisasi pungutan negara di pusat dalam banyak hal akan mengurangi akuntabilitas<br />

pengeluaran <strong>daerah</strong>. Pemberian tanggung jawab yang lebih besar kepada <strong>daerah</strong> untuk<br />

memungut pajak dan retibusi diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas <strong>daerah</strong> dalam<br />

pemberian pelayanan kepada masyarakat. Pemberian kewenangan tersebut tentunya<br />

perlu dilakukan secara berhati-hati sehingga tidak mengurangi kemampuan pusat untuk<br />

melakukan fungsi pemerataan antar <strong>daerah</strong> (netralitas fiskal nasional).<br />

Pembangunan kapasitas <strong>daerah</strong> juga sangat perlu dilakukan, khususnya berkaitan<br />

dengan kemampuan untuk mendesain pungutan yang baik dan mengoptimalkan pungutan<br />

yang sudah ada. Dalam banyak hal, pemungutan pajak dan retribusi diperkirakan masih<br />

belum optimal. Peningkatan kapasitas aparat <strong>daerah</strong>, khususnya dari Dinas Pendapatan<br />

Daerah/<strong>Badan</strong> Pengelola Keuangan Daerah sangat diperlukan untuk dapat lebih<br />

mengoptimalkan penerimaan dari potensi pajak dan retribusi yang ada.<br />

V-149


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

V-150


BAB VI<br />

DANA DEKONSENTRASI DAN<br />

DANA TUGAS PEMBANTUAN


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

VI-152


BAB VI<br />

DANA DEKONSENTRASI DAN<br />

DANA TUGAS PEMBANTUAN<br />

6.1. PENDAHULUAN<br />

Di dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, Pemerintah menggunakan 3<br />

(tiga) asas pemerintahan, yaitu: Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan<br />

(medebewind). Desentralisasi adalah penyerahan wewenang/urusan pemerintahan oleh<br />

Pemerintah kepada <strong>daerah</strong> otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan<br />

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dekonsentrasi adalah<br />

pelimpahan wewenang/urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada gubernur selaku<br />

wakil Pemerintah di <strong>daerah</strong> dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas<br />

Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada <strong>daerah</strong> dan/atau desa, dari<br />

pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota, serta dari pemerintah kabupaten/kota<br />

kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Pelimpahan dan penugasan urusan<br />

pemerintahan dimaksud didanai dari APBN melalui bagian anggaran kementerian/<br />

lembaga (K/L). Hal ini berarti dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan<br />

penyelenggaran sebagian urusan Pemerintah di <strong>daerah</strong> yang dilaksanakan oleh aparat<br />

pemerintah <strong>daerah</strong>, sedangkan pertanggungjawabannya kepada K/L yang memberikan<br />

Dana Dekonsentrasi/ Dana Tugas Pembantuan.<br />

6.2. PENGELOLAAN DANA DEKONSENTRASI/<br />

TUGAS PEMBANTUAN<br />

6.2.1. Pengertian Dana Dekonsentrasi/Tugas<br />

Pembantuan<br />

Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan merupakan salah satu unsur dalam<br />

sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.<br />

Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah suatu<br />

sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan<br />

bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan<br />

mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan <strong>daerah</strong> serta besaran pendanaan<br />

penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.<br />

VI-153


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah<br />

sebagaimana diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 menegaskan bahwa:<br />

1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan<br />

Desentralisasi didanai dari APBD;<br />

2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Gubernur selaku<br />

wakil Pemerintah di <strong>daerah</strong> dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai dari<br />

APBN;<br />

3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Gubernur/Bupati/<br />

Walikota selaku kepala <strong>daerah</strong> otonom dalam rangka Tugas Pembantuan didanai<br />

dari APBN.<br />

Menurut UU No. 33 Tahun 2004, pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan<br />

Dekonsentrasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan<br />

pemberian dana. Dana yang diberikan untuk mendanai sebagian kewenangan yang<br />

dilimpahkan merupakan Dana Dekonsentrasi yang berasal dari APBN yang dilaksanakan<br />

oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, tidak termasuk dana yang dialokasikan<br />

untuk Instansi Vertikal Pusat di <strong>daerah</strong>.<br />

Demikian pula dengan Tugas Pembantuan, dimana setiap adanya penugasan dari<br />

Kementerian/Lembaga kepada kepala <strong>daerah</strong> akan diikuti dengan pemberian dana.<br />

Dana yang diberikan untuk mendanai penugasan merupakan Dana Tugas Pembantuan<br />

yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh perangkat <strong>daerah</strong> dan/atau desa<br />

yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan<br />

Tugas Pembantuan. Hal ini berarti bahwa Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian<br />

anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan untuk <strong>daerah</strong> provinsi/<br />

kabupaten/kota dan/atau desa sesuai dengan beban dan jenis penugasan yang diberikan<br />

dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan kepada yang memberikan<br />

penugasan.<br />

6.2.2. Prinsip Pendanaan Dekonsentrasi/Tugas<br />

Pembantuan<br />

Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004, dan PP No. 7 tahun 2008, pendanaan<br />

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip sebagai<br />

berikut:<br />

a. Pendanaan Dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan wewenang dari<br />

Pemerintah Pusat melalui kementerian negara/lembaga kepada gubernur (sebagai<br />

wakil Pemerintah Pusat di <strong>daerah</strong>);<br />

VI-154


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

b. Pendanaan Tugas Pembantuan dilaksanakan setelah adanya penugasan dari<br />

Pemerintah Pusat melalui kementerian negara/lembaga kepada Gubernur/Bupati/<br />

Walikota (sebagai kepala <strong>daerah</strong>);<br />

c. Pelimpahan/penugasan wewenang dimaksud dijabarkan dalam bentuk program dan<br />

kegiatan kementerian/lembaga;<br />

d. Pendanaan kegiatan Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan oleh Pemerintah Pusat<br />

disesuaikan dengan beban dan besar/kecilnya wewenang yang dilimpahkan/<br />

ditugaskan;<br />

e. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan pada dasarnya merupakan<br />

bagian anggaran kementerian/lembaga yang dialokasikan di dalam Rencana Kerja<br />

dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L);<br />

f. Kegiatan yang didanai dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas<br />

Pembantuan adalah lingkup kewenangan yang sudah menjadi Tupoksi kementerian<br />

/lembaga;<br />

g. Kegiatan Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan di <strong>daerah</strong> dilaksanakan oleh Satuan<br />

Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku kuasa pengguna anggaran/barang (KPA/<br />

B);<br />

h. Kegiatan yang didanai dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi bersifat non-fisik,<br />

seperti: koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, dan<br />

pengendalian. Di dalam kegiatan non fisik dimungkinkan terdapat kegiatan fisik yang<br />

bersifat penunjang;<br />

i. Kegiatan yang didanai dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan bersifat<br />

fisik. Di dalam kegiatan fisik dimungkinkan terdapat kegiatan non fisik yang bersifat<br />

penunjang;<br />

j. Gubernur memberitahukan RKA-K/L yang telah diterima dari kementerian/lembaga<br />

kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD berkaitan dengan kegiatan<br />

Dekonsentrasi di <strong>daerah</strong>nya;<br />

k. Gubernur/Bupati/Walikota memberitahukan RKA-K/L yang telah diterima dari<br />

kementerian/lembaga kepada DPRD setempat pada saat pembahasan RAPBD<br />

berkaitan dengan rencana kegiatan TP di <strong>daerah</strong> provinsi/kabupaten/kota.<br />

VI-155


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

6.2.3. Penganggaran Dana Dekonsentrasi/Tugas<br />

Pembantuan<br />

Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran<br />

kementerian/lembaga yang dialokasikan untuk mendanai program dan kegiatan masingmasing<br />

kementerian/lembaga berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/<br />

Lembaga (RKA-K/L). Pengganggaran pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas<br />

Pembantuan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi APBN.<br />

Berdasarkan PP No. 7 tahun 2008, dalam perencanaan dan penganggaran Dana<br />

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan disebutkan bahwa rencana lokasi dan anggaran<br />

untuk program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan/ditugaskan disusun dengan<br />

memperhatikan kemampuan keuangan negara dan kebutuhan pembangunan di <strong>daerah</strong>.<br />

Pengangaran dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dituangkan dalam penyusunan<br />

RKA-K/L. RKA-K/L yang telah disusun menjadi dasar dalam pembahasan bersama<br />

antara kementerian/lembaga dengan komisi terkait di DPR. Hasil pembahasan RKA-K/<br />

L tersebut, oleh Menteri teknis disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Bappenas<br />

untuk dilakukan penelahaan. Hasil penelahaan RKA-K/L kemudian ditetapkan menjadi<br />

Satuan Anggaran Per Satuan Kerja (SAPSK) dan disampaikan kepada kementerian/<br />

lembaga. Proses selanjutnya adalah penyampaian ke <strong>daerah</strong>.<br />

- Untuk Dana Dekonsentrasi, kementerian/lembaga menyampaikan RKA-K/L yang<br />

telah ditetapkan menjadi SAPSK kepada gubernur. Setelah menerima RKA-K/L,<br />

gubernur menetapkan pejabat pengelola keuangan dekonsentrasi yang terdiri dari<br />

Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD), Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji<br />

Tagihan/Penandatangan Surat Perintah Membayar, dan Bendahara Pengeluaran<br />

dan menyampaikannya kepada menteri/pimpinan lembaga dan Menteri Keuangan<br />

selambat-lambatnya minggu pertama bulan Desember pada tahun berjalan. RKA-<br />

K/L tersebut juga diberitahukan oleh gubernur kepada DPRD <strong>Provinsi</strong> pada saat<br />

pembahasan RAPBD untuk tujuan sinkronisasi program dan kegiatan yang akan<br />

didanai dari APBN dan APBD.<br />

- Untuk Dana Tugas Pembantuan, Kementerian/lembaga menyampaikan RKA-<br />

K/L yang telah ditetapkan menjadi SAPSK kepada Gubernur/Bupati/Walikota.<br />

Setelah menerima RKA-K/L tersebut, Gubernur/Bupati/walikota menyampaikan<br />

usulan pejabat pengelola keuangan tugas pembantuan yang terdiri dari SKPD<br />

selaku Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji<br />

Tagihan/Penandatangan Surat Perintah Membayar, dan Bendahara Pengeluaran<br />

dan menyampaikannya kepada kementerian/lembaga selambat-lambatnya minggu<br />

pertama bulan Desember pada tahun berjalan. RKA-K/L tersebut juga diberitahukan<br />

oleh Gubernur/Bupati/ Walikota kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD<br />

VI-156


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

untuk tujuan sinkronisasi program dan kegiatan yang akan didanai dari APBN dan<br />

APBD.<br />

RKA-K/L yang telah ditetapkan menjadi SAPSK sebagai dasar dalam penyusunan<br />

DIPA. Tata cara penyusunan RKA-K/L dan penetapan/pengesahan DIPA mengacu pada<br />

ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />

6.2.4. Penyaluran Dana Dekonsentrasi/Tugas<br />

Pembantuan<br />

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

disalurkan oleh Kantor <strong>Pelayanan</strong> Perbendaharaan Negara (KPPN) melalui Rekening<br />

Kas Umum Negara. Peraturan Menteri Keuangan No. 134/2005 tentang Pedoman<br />

Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara<br />

menyebutkan bahwa mekanisme penyaluran Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas<br />

Pembantuan secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:<br />

a. Pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN oleh KPPN dilakukan berdasarkan<br />

Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa<br />

Pengguna Anggaran dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D)<br />

oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara;<br />

b. Penerbitan SPM oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran didasarkan<br />

pada alokasi dana yang tersedia dalam DIPA atau dokumen pelaksanaan anggaran<br />

lainnya yang dipersamakan dengan DIPA;<br />

c. Pelaksanaan pembayaran tagihan atas beban APBN tersebut dapat dilakukan<br />

dengan cara:<br />

1) Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS)<br />

2) Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP)<br />

3) Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan (SPM-GU)<br />

4) Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TU)<br />

Apabila di dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan terdapat<br />

saldo, maka saldo tersebut wajib disetor ke Rekening Kas Umum Negara dan apabila<br />

menghasilkan penerimaan, maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN<br />

yang harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.<br />

VI-157


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

6.2.5. Pertanggungjawaban dan Pelaporan<br />

PP No. 7 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pertanggungjawaban dan pelaporan<br />

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan mencakup aspek manajerial dan aspek<br />

akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi penyerapan<br />

dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak lanjut<br />

sejalan dengan PP No. 39 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi<br />

Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Sementara aspek akuntabilitas terdiri dari laporan<br />

realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang sejalan<br />

dengan PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara dan/Daerah dan<br />

PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.<br />

a. Dana Dekonsentrasi<br />

Dalam PP No. 7 Tahun 2008 dijelaskan bahwa Kepala SKPD provinsi selaku Kuasa<br />

Pengguna Anggaran/Barang dekonsentrasi wajib menyelenggarakan akuntansi dan<br />

bertanggung jawab terhadap penyusunan dan penyampaian laporan pertanggungjawaban<br />

keuangan dan barang. Penyusunan dan penyampaian laporan dimaksud secara garis<br />

besar dapat disajikan sebagai berikut:<br />

a) Setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran, kepala SKPD provinsi<br />

atas nama gubernur menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban<br />

keuangan dan barang kepada menteri/pimpinan lembaga pemberi dana<br />

dekonsentrasi, dengan tembusan kepada SKPD yang membidangi pengelolaan<br />

keuangan <strong>daerah</strong>;<br />

b) Gubernur menggabungkan laporan pertanggungjawaban dimaksud dan<br />

menyampaikannya kepada Menteri Keuangan setiap triwulan dan setiap berakhirnya<br />

tahun anggaran;<br />

c) Menteri/pimpinan lembaga yang mengalokasikan dana dekonsentrasi menyampaikan<br />

laporan pertanggungjawaban dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Keuangan<br />

setiap berakhirnya tahun anggaran;<br />

d) Laporan pertanggungjawaban keuangan secara tahunan atas pelaksanaan<br />

dekonsentrasi oleh gubernur dilampirkan dalam Laporan Pertanggungjawaban<br />

Pelaksanaan APBD kepada DPRD.<br />

b. Dana Tugas Pembantuan<br />

Penyusunan dan penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan dan barang atas<br />

pelaksanaan Tugas Pembantuan secara garis besar dapat diuaraikan sebagai berikut:<br />

VI-158


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

a) Setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran, Kepala SKPD provinsi<br />

atas nama gubernur menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban<br />

keuangan dan kepada menteri/pimpinan lembaga pemberi dana tugas pembantuan,<br />

dengan tembusan kepada SKPD yang membidangi pengelolaan keuangan <strong>daerah</strong>;<br />

b) Setiap triwulan dan setiap berakhirnya tahun anggaran, Kepala SKPD kabupaten/<br />

kota atas nama bupati/walikota menyusun dan menyampaikan laporan<br />

pertanggungjawaban keuangan dan barang kepada menteri/pimpinan lembaga<br />

pemberi dana tugas pembantuan, dengan tembusan kepada SKPD yang membidangi<br />

pengelolaan keuangan <strong>daerah</strong>;<br />

c) Gubernur menggabungkan laporan pertanggungjawaban dimaksud dan<br />

menyampaikannya kepada Menteri Keuangan setiap triwulan dan setiap berakhirnya<br />

tahun anggaran;<br />

d) Bupati/walikota menggabungkan laporan pertanggungjawaban dimaksud dan<br />

menyampaikannya kepada Menteri Keuangan setiap triwulan dan setiap berakhirnya<br />

tahun anggaran , dengan tembusan kepada gubernur;<br />

e) Menteri/pimpinan lembaga yang mengalokasikan dana tugas pembantuan<br />

menyampaikan laporan pertanggungjawaban dimaksud kepada Presiden melalui<br />

Menteri Keuangan setiap berakhirnya tahun anggaran;<br />

f) Laporan pertanggungjawaban keuangan secara tahunan atas pelaksanaan tugas<br />

pembantuan setiap berakhirnya tahun anggaran dilampirkan dalam Laporan<br />

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD kepada DPRD<br />

Adapun bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban keuangan dan barang atas Dana<br />

Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku.<br />

6.2.6. Pengelolaan Barang Milik Negara<br />

a. Status Barang Hasil Pelaksanaan Dekonsentrasi<br />

PP No. 7 tahun 2008 juga mengamanatkan bahwa semua barang yang dibeli atau<br />

diperoleh dari pelaksanaan Dana Dekonsentrasi merupakan barang milik negara (BMN).<br />

Namun, barang-barang dimaksud sifatnya hanya berupa penunjang dari pelaksanaan<br />

Dekonsentrasi, dan SKPD wajib melakukan penatausahaan atas BMN sesuai ketentuan<br />

yang berlaku. Barang tersebut dapat dihibahkan kepada <strong>daerah</strong> dan apabila sudah<br />

dihibahkan, maka <strong>daerah</strong> wajib mengelola dan menatausahakannya sebagai barang<br />

milik <strong>daerah</strong> (BMD). Konsekuensinya ialah <strong>daerah</strong> wajib menganggarkan seluruh<br />

VI-159


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

kebutuhan operasi dan pemeliharaannya di dalam APBD melalui SKPD provinsi yang<br />

bersangkutan.<br />

b. Status Barang dalam Pelaksanaan Tugas Pembantuan<br />

Mengingat dana tugas pembantuan digunakan untuk mendanai kegiatan yang bersifat<br />

fisik, maka dalam pelaksanaan dan penyelenggaraannya bisa menghasilkan output berupa<br />

BMN. BMN yang diperoleh dari hasil pelaksanaan Tugas Pembantuan dapat dihibahkan<br />

juga kepada <strong>daerah</strong>. Barang yang sudah dihibahkan kepada <strong>daerah</strong> wajib dikelola dan<br />

ditatausahakan oleh <strong>daerah</strong>, dengan konsekuensi bahwa penatausahaan, penggunaan<br />

dan pemanfaatan barang tersebut dilaksanakan oleh <strong>daerah</strong> provinsi/kabupaten/kota<br />

sebagai BMD dengan dukungan dana dari APBD. Ketentuan lebih lanjut mengenai<br />

mekanisme penghibahan BMN mengikuti Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata<br />

Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan<br />

Barang Milik Negara.<br />

6.3. PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN<br />

PEMERIKSAAN<br />

6.3.1. Pembinaan dan Pengawasan Dekonsentrasi/<br />

Tugas Pembantuan<br />

Dalam PP No. 7 tahun 2008, pembinaan dan pengawasan Dekonsentrasi dan Tugas<br />

Pembantuan dapat dilaksanakan sesuai ketentuan sebagai berikut:<br />

a) Menteri Negara/Pimpinan lembaga melakukan pembinaan dan pengawasan dalam<br />

penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur terhadap<br />

pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan<br />

b) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penggunaan<br />

Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

c) Pembinaan tersebut dilakukan dalam rangka peningkatan kinerja, transparansi, dan<br />

akuntabilitas pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi dan tugas Pembantuan yang<br />

meliputi pemberian pedoman, fasilitasi dan bimbingan teknis, serta pemantauan<br />

dan evaluasi.<br />

d) Pengawasan tersebut dilaksanakan dalam rangka pencapaian efisiensi dan<br />

efektivitas pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan serta<br />

mengikuti ketentuan yang berlaku bagi APBN.<br />

VI-160


Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan<br />

6.3.2. Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dan Dana<br />

Tugas Pembantuan<br />

Pemeriksaan atas Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan meliputi pemeriksaan<br />

keuangan, pemeriksa kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.<br />

- Pemeriksaan keuangan berupa pemeriksaan atas laporan keuangan.<br />

- Pemeriksaan kinerja berupa pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara<br />

yang terdiri dari pemeriksaan atas aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas atas<br />

pelaksanaan kegiatan;.<br />

- Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi pemeriksaan atas hal-hal lain dibidang<br />

keuangan, pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan atas sistem pengendalian<br />

intern pemerintah.<br />

Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan oleh unit<br />

pemeriksaan internal kementerian/lembaga dan/atau unit pemeriksaan Eksternal<br />

Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan keuangan, kinerja dan tujuan<br />

tertentu berpedoman pada peraturan perundangan-undangan.<br />

6.4. SANKSI<br />

Dalam PP No. 7 Tahun 2008 menyebutkan bahwa SKPD yang secara sengaja atau lalai<br />

dalam menyampaikan laporan pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dapat<br />

dikenakan sanksi berupa penundaan pencairan dana untuk triwulan berikutnya atau<br />

penghentian alokasi dana untuk tahun anggaran berikutnya. Pengenaan sanksi tersebut<br />

tidak membebaskan SKPD dari kewajiban menyampaikan laporan Dekonsentrasi dan<br />

Tugas Pembantuan sebagaimana diatur dalam PP No. 7 Tahun 2008. Pengenaan sanksi<br />

dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan sesuai dengan Peraturan Menteri<br />

Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007 tentang Sistem Akuntasi dan Pelaporan Keuangan<br />

Pemerintah Pusat setelah menerima rekomendasi/usulan dari menteri/lembaga teknis<br />

terkait. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi akan diatur dalam Peraturan<br />

Menteri Keuangan.<br />

6.5 ASPEK PERALIHAN<br />

Dengan telah ditetapkan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan pemerintahan<br />

antara Pemerintah, Pemerintah Daerah <strong>Provinsi</strong> dan Pemerintah Daerah Kabupaten/<br />

Kota, seharusnya program dan kegiatan yang telah menjadi urusan <strong>daerah</strong> yang selama<br />

ini masih didanai oleh kementerian/lembaga dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK).<br />

VI-161


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Dengan demikian, konsep pengalihan dimaksud sebenarnya tidak ditujukan pada Dana<br />

Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan sebagaimana telah diatur di dalam PP No. 7 Tahun<br />

2008, melainkan sebagian dana dari bagian anggaran K/L yang dialokasikan untuk<br />

melaksanakan urusan <strong>daerah</strong>. Secara garis besar konsep pengalihan dimaksud diuraikan<br />

sebagai berikut. (i) Kementerian/lembaga (K/L), Departemen Keuangan, dan Bappenas<br />

terlebih dahulu melakukan identifikasi dan pemilahan atas program dan kegiatan yang<br />

akan didanai dari bagian anggaran K/L pada saat pembahasan/penyusunan Renja-KL; (ii)<br />

Berdasarkan hasil identifikasi dan pemilahan tersebut, kementerian/lembaga mengajukan<br />

usulan besaran bagian anggaran K/L yang akan dialihkan menjadi DAK kepada Menteri<br />

Keuangan. (iii) Menteri Keuangan melakukan penetapan besaran bagian anggaran K/L<br />

yang akan dialihkan menjadi DAK (iv) Pengalihan besaran dana dari bagian anggaran K/<br />

L dilakukan secara bertahap selama dua tahun. Ketentuan lebih lanjut atas pelaksanaan<br />

PP No. 7 Tahun 2008 akan diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan.<br />

VI-162


BAB VII<br />

SISTEM INFORMASI<br />

KEUANGAN DAERAH


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

VII-164


BAB VII<br />

SISTEM INFORMASI KEUANGAN<br />

DAERAH<br />

7.1. PENDAHULUAN<br />

Dalam kehidupan bernegara yang semakin terbuka, pemerintah selaku perumus dan<br />

pelaksanaan kebijakan APBN berkewajiban untuk lebih transparan dan bertanggung<br />

jawab terhadap hasil pelaksanaan pembangunan. Salah satu bentuk tanggung jawab<br />

itu diwujudkan dengan menyediakan informasi keuangan yang komprehensif kepada<br />

masyarakat luas, termasuk Informasi Keuangan Daerah. Kemajuan teknologi yang<br />

demikian pesat serta potensi pemanfaatannya yang semakin luas, membuka peluang<br />

bagi berbagai pihak untuk mengakses, mengelola dan mendayagunakan informasi secara<br />

cepat dan akurat untuk lebih mendorong terwujudnya pemerintahan yang transparan,<br />

serta mampu menjawab tuntutan perubahan secara cepat.<br />

Menindaklanjuti terselenggaranya proses pembangunan yang sesuai dengan prinsip<br />

tata pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah, baik di pusat maupun di<br />

<strong>daerah</strong> berkewajiban untuk mengembangkan dan memanfaatkan kemajuan teknologi<br />

untuk menyalurkan Informasi Keuangan Daerah kepada masyarakat. Sesuai dengan<br />

ketentuan Pasal 101 s.d. Pasal 104 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang<br />

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pemerintah<br />

perlu mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi yang berhubungan<br />

erat dengan pengelolaan keuangan pemerintah <strong>daerah</strong>.<br />

Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem<br />

Informasi Keuangan Daerah, Pemerintah telah mengamanatkan pelaksanaan Sistem<br />

Informasi Keuangan Daerah baik di pusat maupun di <strong>daerah</strong> dalam rangka menunjang<br />

perumusan kebijakan fiskal secara nasional serta meningkatkan transparansi dan<br />

akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi.<br />

7.2. TUJUAN SISTEM INFORMASI KEUANGAN<br />

DAERAH<br />

Penyelenggaran SIKD dilaksanakan baik di pusat maupun di <strong>daerah</strong>. SIKD regional<br />

diselenggarakan oleh masing-masing pemerintah <strong>daerah</strong> yang dikenal dengan nama<br />

Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD). Penyelenggaraan SIPKD<br />

VII-165


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri. SIKD yang diselenggarakan oleh pemerintah<br />

pusat disebut dengan SIKD Nasional. Pemerintah Pusat menyelenggarakan SIKD secara<br />

nasional dengan tujuan:<br />

1. merumuskan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional;<br />

2. menyajikan informasi keuangan <strong>daerah</strong> secara nasional;<br />

3. merumuskan kebijakan keuangan <strong>daerah</strong>, seperti Dana Perimbangan, Pinjaman<br />

Daerah, dan Pengendalian defisit anggaran; dan<br />

4. melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan Desentralisasi,<br />

Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Pinjaman Daerah, dan defisit anggaran<br />

<strong>daerah</strong>.<br />

Sementara fungsi dari penyelenggaraan SIKD secara nasional adalah untuk:<br />

1. penyusunan standar Informasi Keuangan Daerah;<br />

2. penyajian Informasi Keuangan Daerah kepada masyarakat ;<br />

3. penyiapan rumusan kebijakan teknis penyajian Informasi;<br />

4. penyiapan rumusan kebijakan teknis di bidang teknologi pengembangan SIKD;<br />

5. pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan SIKD;<br />

6. pembakuan SIKD yang meliputi prosedur, pengkodean, peralatan, aplikasi dan<br />

pertukaran informasi; dan<br />

7. integrasi jaringan komunikasi data dan pertukaran informasi antar instansi<br />

Pemerintah.<br />

Penyelenggaraan SIKD secara terpadu diharapkan dapat menghasilkan data yang<br />

berkualitas, yaitu relevan, akurat, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan,<br />

sehingga dapat membantu pengambilan kebijakan di bidang perimbangan keuangan<br />

antara pusat dan <strong>daerah</strong> secara cermat. Relevan dimaksudkan bahwa data yang<br />

digunakan dalam pengambilan keputusan sesuai dengan kebutuhan. Data yang akurat<br />

dimaksudkan bahwa data yang diperoleh menggambarkan kondisi yang sebenarnya.<br />

Dan tepat waktu artinya data yang dibutuhkan tersedia sesuai dengan jadual perumusan<br />

kebijakan.<br />

VII-166


Sistem Informasi Keuangan Daerah<br />

Gambar 7.1<br />

Hubungan antara SIPKD dengan SIKD Nasional<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

7.3. JENIS LAPORAN<br />

Pemerintah <strong>daerah</strong> menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keuangan <strong>daerah</strong><br />

kepada pemerintah berdasarkan prinsip-prinsip relevan, akurat, tepat waktu dan dapat<br />

dipertanggungjawabkan. Bentuk dan format laporan sebagaimana yang disampaikan<br />

<strong>daerah</strong> harus berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan dan peraturan<br />

perundang-undangan lainnya. Sebagaimana diatur dalam PP 56 Tahun 2005, pemerintah<br />

<strong>daerah</strong> diwajibkan menyampaikan Informasi Keuangan Daerah kepada pemerintah yaitu<br />

mencakup:<br />

a. APBD dan realisasi APBD <strong>Provinsi</strong>, Kabupaten, dan Kota;<br />

VII-167


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

b. Neraca <strong>daerah</strong>;<br />

c. Laporan arus kas;<br />

d. Catatan atas laporan keuangan <strong>daerah</strong>;<br />

e. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan;<br />

f. Laporan Keuangan Perusahaan Daerah; dan<br />

g. Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal <strong>daerah</strong>.<br />

APBD. Laporan APBD menyajikan informasi mengenai rencana keuangan tahunan<br />

pemerintah <strong>daerah</strong> yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah <strong>daerah</strong> dan<br />

DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan <strong>daerah</strong>.<br />

Realisasi APBD. Laporan ini menyajikan informasi perbandingan antara realisasi<br />

dengan anggaran pendapatan, belanja dan pembiayaan setiap fungsi dan organisasi<br />

selama satu tahun anggaran.<br />

Neraca. Neraca menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah <strong>daerah</strong> mengenai<br />

asset, kewajiban, dan ekuitas dana pada akhir tahun anggaran.<br />

Laporan arus kas. Laporan ini menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas<br />

operasional, investasi dan pembiayaan yang menggambarkan saldo awal, penerimaan,<br />

pengeluaran dan saldo akhir kas pemerintah <strong>daerah</strong> selama satu tahun anggaran.<br />

Catatan atas laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan menyajikan<br />

informasi yang meliputi penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera dalam<br />

laporan realisasi APBD, neraca, dan laporan arus kas.<br />

Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Laporan ini menyajikan informasi<br />

mengenai pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.<br />

Laporan keuangan perusahaan <strong>daerah</strong>. Laporan ini menyajikan informasi<br />

mengenai keuangan perusahaan yang ada di <strong>daerah</strong> bersangkutan.<br />

Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Data yang termasuk<br />

didalamnya, antara lain jumlah penduduk, luas wilayah dan pendapatan asli <strong>daerah</strong>.<br />

7.4. PENYAMPAIAN INFORMASI DAN SANKSI<br />

Penyampaian Informasi Keuangan Daerah dilakukan secara berkala melalui dokumen<br />

tertulis dan media lainnya yang mampu menjamin pengamanan dan keaslian dokumen<br />

yang dialihkan atau ditransformasikan, misalnya disket atau Compact Disc (CD).<br />

Berdasarkan PP 56 Tahun 2005, batas waktu penyampaian IKD adalah sebagai berikut:<br />

VII-168


Sistem Informasi Keuangan Daerah<br />

1). APBD setiap tahun anggaran paling lambat tanggal 31 Januari tahun anggaran yang<br />

berkenaan;<br />

2). Perubahan APBD paling lambat disampaikan 30 hari setelah ditetapkannya<br />

Perubahan APBD tahun berkenaan;<br />

3). Laporan realisasi APBD per semester paling lambat 30 hari setelah berakhirnya<br />

semester yang bersangkutan;<br />

4). Laporan realisasi APBD paling lambat tanggal 31 Agustus tahun berikutnya;<br />

5). Neraca <strong>daerah</strong>, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan <strong>daerah</strong> paling<br />

lambat tanggal 31 Agustus tahun anggaran berikutnya;<br />

6). Informasi mengenai Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan, laporan<br />

keuangan Perusahaan Daerah paling lambat tanggal 31 Agustus tahun anggaran<br />

berikutnya;<br />

7). Data yang berkaitan dengan perhitungan Dana Perimbangan seperti data pegawai<br />

dan data lainnya disampaikan paling lambat sesuai dengan Surat Permintaan<br />

Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan<br />

Batas waktu penyampaian untuk setiap jenis laporan IKD mengikuti ketentuan<br />

penyelesaian dan kegunaan masing-masing laporan. Dalam hal informasi yang<br />

disampaikan adalah APBD, maka batas waktu penyampaiannya adalah paling lambat<br />

tanggal 31 Januari tahun anggaran berjalan, dan apabila ada Perubahan APBD paling<br />

lambat disampaikan 30 hari setelah ditetapkannya Perubahan APBD tersebut. Untuk<br />

Laporan realisasi APBD paling lambat disampaikan tanggal 31 Agustus tahun berikutnya.<br />

Sebagai contoh, untuk tahun 2007, maka Perda APBD 2007 paling lambat disampaikan<br />

pada tanggal 31 Januari 2007, sehingga segala tindakan yang terkait dengan keuangan<br />

<strong>daerah</strong> yang diatur dalam APBD sudah mempunyai dasar hukum. Hal ini penting bagi<br />

para pejabat pengelola keuangan <strong>daerah</strong> agar segala tindakan terkait dengan keuangan<br />

<strong>daerah</strong> tidak menimbulkan tuntutan hukum dikemudian hari.<br />

Dalam tingkatan tertentu belanja pemerintah cukup berperan dalam mendorong kegiatan<br />

ekonomi di masyarakat. Apabila APBD ditetapkan melewati batas waktu yang telah<br />

ditetapkan, maka akan menyebabkan terlambatnya penyerapan dana anggaran di <strong>daerah</strong><br />

sehingga dapat menghambat jalannya roda perekonomian di <strong>daerah</strong> tersebut. Oleh<br />

karena itu, pemerintah mendorong pemerintah <strong>daerah</strong> agar dapat menetapkan APBD<br />

secara tepat waktu dan segera menyampaikan APBD tersebut.<br />

Mengingat pentingnya peran data dan informasi mengenai keuangan <strong>daerah</strong>, maka dalam<br />

PP 56 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Keuangan 46 Tahun 2006 tentang Tata cara<br />

VII-169


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

penyampaian Informasi Keuangan Daerah diatur mengenai sanksi atas keterlambatan<br />

penyampaian data dan informasi dimaksud. Sanksi tersebut adalah:<br />

1. Dalam hal pemerintah <strong>daerah</strong> tidak menyampaikan data dan informasi tentang<br />

keuangan <strong>daerah</strong> dalam hal ini perda APBD hingga 1 (Satu) bulan setelah batas<br />

waktu yang ditetapkan, maka diberi peringatan tertulis oleh Menteri Keuangan c.q<br />

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;<br />

2. Apabila hingga 2 (dua) bulan setelah diterbitkannya peringatan tertulis pemerintah<br />

<strong>daerah</strong> belum menyampaikan data dan informasi tentang keuangan <strong>daerah</strong> dimaksud,<br />

maka Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana<br />

Perimbangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Sanksi yang<br />

ditetapkan adalah penundaan penyaluran Dana Perimbangan sebesar 25% dari jumlah<br />

DAU yang diberikan setiap bulannya pada tahun anggaran berjalan sampai dengan<br />

disampaikannya data dan informasi tentang keuangan <strong>daerah</strong>. (Mekanisme pengenaan<br />

sanksi atas keterlambatan penyampaian IKD dapat dilihat pada gambar 7.2).<br />

Gambar 7.2<br />

Bagan Alur Pengenaan Sanksi<br />

Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, 2007<br />

VII-170


Sistem Informasi Keuangan Daerah<br />

Terkait dengan penyampaian IKD dalam hal ini Laporan realisasi APBD, penyusunan<br />

laporan keuangan di <strong>daerah</strong> tidak hanya melibatkan para pejabat pengelola keuangan<br />

saja. Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, Kepala Daerah<br />

menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada DPRD yang terlebih dahulu di<br />

periksa oleh <strong>Badan</strong> Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan pertanggungjawaban tersebut<br />

harus disampaikan oleh kepala <strong>daerah</strong> kepada DPRD selambat-lambatnya enam bulan<br />

setelah tahun anggaran berkenaan berakhir. Dengan mempertimbangkan segala aspek<br />

dari penyiapan oleh pemerintah <strong>daerah</strong>, pemeriksaan, pembahasan hasil pemeriksaan<br />

hingga menghasilkan laporan akhir, maka penyampaian laporan keuangan ditetapkan<br />

akhir Agustus.<br />

Pada akhirnya diharapkan agar penerapan sanksi ini dapat mendorong semua pihak yang<br />

terkait dengan pengambilan kebijakan dan pelaksanaan di bidang pengelolaan keuangan<br />

<strong>daerah</strong> melakukan kewajiban dan kewenangan sesuai jadual yang diatur dalam peraturan<br />

perundangan.<br />

Informasi yang terkait dengan keuangan <strong>daerah</strong> dapat dilihat pada situs internet<br />

http://www.djpk.depkeu.go.id. Bilamana diperlukan, dapat langsung menghubungi<br />

Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah<br />

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK)<br />

Departemen Keuangan, Gedung D Lantai 19<br />

Jl. Dr. Wahidin No.1, Jakarta 10710<br />

Telp. (021) 3452590, 3506046 Faks: (021) 3505103<br />

Email: sikd@djpk.depkeu.go.id<br />

VII-171


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

VII-172


BAB VIII<br />

STANDAR PELAYANAN MINIMAL


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

VIII-174


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

BAB VIII<br />

STANDAR PELAYANAN MINIMAL<br />

(SPM)<br />

8.1. Pembagian Urusan Pemerintahan<br />

Salah satu hal penting dalam proses desentralisasi adalah terjadinya transfer tanggung<br />

jawab dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan beberapa<br />

pelayanan dasar kepada masyarakat. Untuk menjamin bahwa Pemerintah Daerah<br />

menyediakan pelayanan dasar tersebut, Pemerintah Pusat menjabarkan Kewenangan<br />

Wajib yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah. Sesuai dengan UU No. 32<br />

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13 dan 14 ditetapkan adanya 16<br />

urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah <strong>Provinsi</strong> dan Pemerintah<br />

Daerah Kabupaten/Kota. Jenis urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan<br />

<strong>daerah</strong> provinsi dan pemerintahan <strong>daerah</strong> kabupaten/kota telah dijabarkan lebih lanjut<br />

dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan<br />

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah <strong>Provinsi</strong>, dan Pemerintahan<br />

Daerah Kabupaten/Kota, sebagai revisi dari PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan<br />

Pemerintah dan Kewenangan <strong>Provinsi</strong> Sebagai Daerah Otonom. Menurut PP No. 38<br />

Tahun 2007 ada beberapa jenis urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar<br />

yang harus diselenggarakan oleh pemerintahan <strong>daerah</strong>, yaitu:<br />

a. Pendidikan;<br />

b. Kesehatan;<br />

c. Lingkungan hidup;<br />

d. Pekerjaan umum;<br />

e. Penataan ruang;<br />

f. Perencanaan pembangunan;<br />

g. Perumahan;<br />

h. Kepemudaan dan olahraga;<br />

i. Penanaman modal;<br />

j. Koperasi dan usaha kecil dan menengah;<br />

k. Kependudukan dan catatan sipil;<br />

VIII-175


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

l. Ketenagakerjaan;<br />

m. Ketahanan pangan;<br />

n. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;<br />

o. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;<br />

p. Perhubungan;<br />

q. Komunikasi dan informasi;<br />

r. Pertanahan;<br />

s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;<br />

t. Otonomi <strong>daerah</strong>, pemerintahan umum, administrasi keuangan <strong>daerah</strong>,<br />

perangkat <strong>daerah</strong>, kepegawaian, dan persandian;<br />

u. Pemberdayaan masyarakat dan desa;<br />

v. Sosial;<br />

w. Kebudayaan;<br />

x. Statistik;<br />

y. Kearsipan; dan<br />

z. Perpustakaan.<br />

Selain urusan yang bersifat wajib tersebut, pemerintahan <strong>daerah</strong> juga mempunyai urusan<br />

pilihan yang terdiri dari:<br />

a. Kelautan dan perikanan;<br />

b. Pertanian;<br />

c. Kehutanan;<br />

d. Energi dan sumber daya mineral;<br />

e. Pariwisata;<br />

f. Industri;<br />

g. Perdagangan; dan<br />

h. Ketransmigrasian.<br />

Dalam beberapa tahun terakhir ini, kualitas penyelenggaraan urusan pemerintahan yang<br />

berkaitan dengan pelayanan dasar masih cukup bervariasi antara satu <strong>daerah</strong> dengan<br />

<strong>daerah</strong> lainnya. Hal ini disebabkan antara lain disebabkan karena perbedaan kemampuan<br />

masing-masing Pemerintah Daerah dalam menyediakan dana untuk penyelenggaraan<br />

VIII-176


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

pelayanan tersebut. Prinsip utama yang menghubungkan antara desentralisasi<br />

kewenangan dengan pendanaan desentralisasi adalah konsep money follows functions,<br />

yang berarti bahwa kewenangan yang diserahkan kepada Daerah harus diikuti dengan<br />

pendanaan yang sesuai dengan besarnya beban kewenangan tersebut. Karena<br />

Pemerintah Pusat mewajibkan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan pelayanan dasar,<br />

maka Pemerintah Pusat juga turut bertanggung jawab dalam pendanaan pelayanan dasar<br />

yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.<br />

Akan tetapi, penerapan konsep money follows functions berdasarkan UU No. 33 Tahun<br />

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan<br />

Daerah tidaklah dilakukan secara langsung dengan menyerahkan sumber dana sesuai<br />

beban kewenangannya. Hal tersebut disebabkan karena hingga saat ini tidak ada ukuran<br />

baku yang dapat menghubungkan antara beban kewenangan dengan beban pendanaan.<br />

Implementasi konsep ini dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:<br />

1. Memberikan kewenangan untuk memanfaatkan, memobilisasi, dan mengelola<br />

sumber keuangan sendiri, seperti PAD, BUMD, sumber-sumber pembiayaan yang<br />

sah lainnya; dan<br />

2. Didukung oleh Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah,<br />

seperti DAU, Bagi Hasil, dan DAK.<br />

Hingga saat ini, dalam menyelenggarakan pelayanan dasar kepada masyarakat,<br />

Pemerintah Daerah masih sangat tergantung pada dana perimbangan dari Pemerintah<br />

Pusat.<br />

Kondisi lain yang menyebabkan perbedaan kualitas dan kuantitas pelayanan dasar<br />

kepada masyarakat adalah masih adanya perbedaan persepsi antarPemerintah Daerah<br />

dan antara Pemerintah Daerah dengan Kementerian Negara/Lembaga terhadap ruang<br />

lingkup pelayanan minimal dari bidang-bidang pemerintah yang didesentralisasikan.<br />

Namun dengan ditetapkannya PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan<br />

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah <strong>Provinsi</strong>, dan Pemerintahan<br />

Daerah Kabupaten/Kota, perbedaan persepsi tersebut dapat dihilangkan. Karena selain<br />

memberikan batasan yang jelas tentang jenis urusan pemerintahan <strong>daerah</strong> yang berkaitan<br />

dengan pelayanan dasar yang harus dilaksanakan Daerah, dalam PP tersebut juga diatur<br />

bahwa untuk penyelenggaraan urusan wajib Daerah harus berpedoman pada norma,<br />

standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan Menteri/Pimpinan Lembaga, termasuk<br />

ketentuan Menteri/Pimpinan Lembaga tentang Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM).<br />

Berkaitan dengan pelaksanaan SPM, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 65<br />

tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal,<br />

telah mengatur mengenai ruang lingkup, prinsip-prinsip, penyusunan, penerapan, serta<br />

pembinaan dan Pengawasan dalam penerapan SPM. Selain itu, untuk mendukung<br />

VIII-177


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

pelaksanaannya, telah dikeluarkan pula Peraturan Menteri Dalam (Permendagri)<br />

Negeri Republik Indonesia no. 6 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan<br />

Penetapan Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal; dan Keputusan Menteri Dalam Negeri (KMDN)<br />

Republik Indonesia no. 100.05 - 76 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Konsultansi<br />

Penyusunan Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal.<br />

8.2. URUSAN WAJIB DAN SPM<br />

8.2.1 Definisi dan Prinsip Urusan Wajib dan SPM<br />

Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan<br />

Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama-sama antar<br />

tingkatan dan susunan pemerintahan (bersifat konkuren). Urusan pemerintahan yang<br />

sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah mencakup urusan di bidang politik<br />

luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama.<br />

Sementara urusan pemerintahan yang berifat konkuren adalah urusan pemerintahan<br />

selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Dalam urusan<br />

pemerintahan yang bersifat konkuren terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan<br />

Pemerintah, pemerintah <strong>daerah</strong> provinsi, dan pemerintah <strong>daerah</strong> kabupaten/kota.<br />

Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintahan <strong>daerah</strong> terdiri dari urusan<br />

wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang<br />

wajib diselenggarakan oleh pemerintahan <strong>daerah</strong> yang terkait dengan pelayanan dasar<br />

(basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup,<br />

perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan<br />

adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh <strong>daerah</strong> untuk diselenggarakan<br />

yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang<br />

menjadi kekhasan <strong>daerah</strong>. Hal ini berarti, bahwa Pemerintah pada dasarnya memberikan<br />

kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan bidang-bidang<br />

pemerintah sesuai dengan kondisi <strong>daerah</strong> masing-masing. Sebagai contoh, apabila suatu<br />

<strong>daerah</strong> tidak memiliki hutan luas yang memerlukan pengelolaan secara khusus, maka<br />

<strong>daerah</strong> tersebut tidak perlu memiliki Dinas Kehutanan.<br />

Secara konseptual, hal yang mendasari pembagian kewenangan adalah bahwa fungsi<br />

stabilisasi dan distribusi dilakukan oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi<br />

(Pemerintah Pusat), sementara fungsi alokasi akan lebih tepat dilaksanakan oleh <strong>daerah</strong><br />

khususnya Pemerintahan Kabupaten/Kota. Pemerintah Daerah memiliki jangkauan<br />

pelayanan yang lebih dekat kepada masyarakat sehingga dapat mengetahui prioritas dan<br />

kebutuhan masyarakat setempat.<br />

Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) sendiri didefinisikan sebagai tolak ukur untuk<br />

mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib <strong>daerah</strong> yang berkaitan dengan<br />

VIII-178


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya, SPM menganut beberapa<br />

prinsip, yaitu:<br />

1. SPM merupakan standar yang dikenakan pada kewenangan wajib, sedangkan<br />

untuk kewenangan lainnya, Pemerintah Daerah boleh menetapkan standar sendiri<br />

sesuai dengan kondisi <strong>daerah</strong> masing-masing;<br />

2. SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh <strong>daerah</strong><br />

<strong>Provinsi</strong> dan Kabupaten/Kota;<br />

3. SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu<br />

yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan<br />

kewenangan wajibnya;<br />

4. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan perubahan<br />

kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas <strong>daerah</strong> secara merata;<br />

5. SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk<br />

pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata kondisi<br />

<strong>daerah</strong>-<strong>daerah</strong>, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain; dan<br />

6. SPM harus diacu dalam perencanaan <strong>daerah</strong>, penganggaran <strong>daerah</strong>,<br />

pengawasan, pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai Laporan<br />

Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah, serta menilai kapasitas <strong>daerah</strong>.<br />

Menurut PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan<br />

Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah<br />

Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan<br />

Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat, setiap tahun Gubernur wajib menyampaikan<br />

Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Presiden melalui<br />

Menteri Dalam Negeri dan Bupati/Walikota wajib menyampaikan LPPD kepada<br />

Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. LPPD tersebut mencakup penyelenggaraan<br />

urusan desentralisasi, tugas pembantuan, dan tugas umum pemerintahan. Laporan<br />

penyelenggaraan urusan desentralisasi meliputi 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan,<br />

sedangkan materi pelaporan untuk urusan wajib antara lain meliputi prioritas urusan<br />

wajib, program dan kegiatan, tingkat pencapaian standar pelayanan minimal, dan sarana<br />

dan prasarana yang digunakan.<br />

Sesuai dengan PP No. 6 Tahun 2008 tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan<br />

Daerah (EPPD), Presiden melalui Tim Nasional EPPD melakukan evaluasi<br />

penyelenggaraan pemerintahan <strong>daerah</strong> setiap tahun dan setiap akhir masa jabatan<br />

gubernur, bupati, dan walikota. EPPD mencakup tiga aspek, yakni evaluasi kinerja<br />

penyelenggaraan pemerintahan <strong>daerah</strong> (EKPPD), evaluasi kemampuan penyelenggaraan<br />

otonomi <strong>daerah</strong> (EKPOD), dan evaluasi <strong>daerah</strong> otonom baru (EDOB). Aspek penilaian<br />

VIII-179


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

EKPPD pada tataran pelaksanaan kebijakan <strong>daerah</strong> antara lain meliputi kebijakan<br />

teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan, ketaatan terhadap peraturan perundangundangan,<br />

dan tingkat capaian SPM. Sedangkan aspek penilaian EKPOD meliputi<br />

peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas pelayanan umum, dan kemampuan<br />

daya saing <strong>daerah</strong>. Hasil dari pelaksanaan<br />

8.2.2 Manfaat SPM<br />

Keberadaan SPM memberikan manfaat kepada semua pihak baik pemerintah pusat/<br />

propinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat. Oleh karena tingkat kesejahteraan masyarakat<br />

tergantung pada tingkat pelayanan publik yang diberikan oleh Pemerintah Daerah,<br />

maka SPM diharapkan dapat menjadi suatu ukuran yang sangat diperlukan baik oleh<br />

Pemerintah Daerah maupun oleh masyarakat/konsumen itu sendiri untuk menilai kinerja<br />

pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Secara ringkas, manfaat SPM bagi<br />

pusat/propinsi adalah sebagai berikut:<br />

a. Menjamin bahwa pelayanan umum dalam bidang pemerintahan yang esensial<br />

menjangkau masyarakat secara seimbang pada skala nasional atau propinsi.<br />

b. Memudahkan pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan wajib oleh<br />

kabupaten/kota.<br />

c. Memudahkan identifikasi kebutuhan <strong>daerah</strong> untuk meningkatkan kinerjanya dalam<br />

pelayanan minimal (melalui pembinaan, pelatihan, dan lain-lain).<br />

Sedangkan manfaat SPM bagi kabupaten/kota adalah sebagai berikut.<br />

a. Memudahkan penentuan pelayanan dari segi intensitas, jangkauan, kualitas,<br />

efisiensi, dan dampak.<br />

b. Memudahkan pelaporan pemerintah <strong>daerah</strong> tentang pelayanan kepada pihak lain<br />

(pusat, DPRD, dan masyarakat).<br />

c. Memudahkan pertukaran informasi antar <strong>daerah</strong> guna meningkatkan dan<br />

menyempurnakan pelayanan.<br />

d. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasi kelembagaan<br />

Pemerintah Daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan<br />

masyarakat.<br />

Standard Spending Assessment (SSA) atau yang lebih dikenal dengan Standar Analisa<br />

Biaya (SAB) merupakan perkiraan kewajaran anggaran yang dilaksanakan untuk suatu<br />

kegiatan pada suatu Unit Kerja. SAB harus dilakukan untuk menghasilkan alokasi dana<br />

VIII-180


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

yang akurat, adil dan mampu memberi insentif bagi setiap unit kerja untuk melaksanakan<br />

prinsip 3E (Ekonomi, Efisiensi dan Efektivitas) secara berkesinambungan.<br />

Efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktivitas, yaitu rasio yang membandingkan<br />

antara output/keluaran yang dihasilkan terhadap input/masukan yang digunakan perlu<br />

mendapat perhatian. Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila suatu target tertentu<br />

dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan biaya yang serendah-¬rendahnya<br />

diperbandingkan secara relatif terhadap kinerja usaha sejenis atau antar kurun waktu<br />

(spending well). Dengan demikian SAB merupakan pendukung bagi pelaksanaan<br />

anggaran <strong>daerah</strong> yang disusun dengan berdasarkan pendekatan kinerja.<br />

SAB dapat digunakan untuk menilai kewajaran Anggaran, baik belanja rutin maupun<br />

belanja modal pada suatu Unit Kerja. SAB dibedakan menjadi SAB Makro dan SAB Mikro.<br />

SAB makro merupakan perkiraan jumlah dana untuk kegiatan pembangunan di suatu<br />

<strong>daerah</strong> dan digunakan untuk menentukan plafon/batas atas untuk masing-masing Unit<br />

Kerja. SAB Mikro merupakan perkiraan jumlah alokasi dana untuk setiap kegiatan/proyek<br />

dalam Unit Kerja Pemerintahan Daerah dan digunakan untuk menentukan kewajaran<br />

belanja untuk setiap kegiatan pada suatu Unit Kerja.<br />

8.2.3 Ketentuan dalam Penyelenggaraan SPM<br />

Sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1), penyusunan SPM oleh masingmasing<br />

Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen dilakukan melalui<br />

konsultasi yang dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan<br />

dengan tim konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri, Kementrian<br />

negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala <strong>Badan</strong> Perencanaan Pembangunan<br />

Nasional, Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara,<br />

dengan melibatkan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen terkait,<br />

yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Hasil konsultasi tersebut<br />

dikeluarkan oleh masing-masing departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri yang<br />

bersangkutan.<br />

Sebelum PP No. 65 tahun 2005 dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan peraturan<br />

SPM, dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA Tahun 2002,<br />

tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal. Berdasarkan<br />

Surat Edaran Mendagri tersebut, beberapa Departemen telah mengeluarkan Pedoman<br />

Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal. Pedoman Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal tersebut digunakan<br />

untuk menjabarkan SPM ke dalam aturan yang lebih spesifik, seperti penjabaran definisi<br />

operasional, cara penghitungan pencapaian kinerja, rumus indikator, sumber data, target,<br />

maupun langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan.<br />

VIII-181


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

8.3. PELAKSANAAN SPM<br />

Salah satu tujuan dari pelaksanaan otonomi <strong>daerah</strong> dan kebijakan desentralisasi fiskal<br />

adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian pelayanan<br />

publik yang lebih optimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam kaitannya dengan<br />

pemberian pelayanan publik tersebut, baik jenis pelayanan atas urusan yang bersifat<br />

wajib maupun pilihan, Pemerintah Daerah dapat mengacu pada Standar <strong>Pelayanan</strong><br />

Minimal (SPM) yang disusun oleh Pemerintah. Untuk implementasinya, pemda provinsi/<br />

kabupaten/kota wajib menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan<br />

pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM. Rencana<br />

pencapaian SPM tersebut harus dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka<br />

Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />

(Renstra SKPD). Untuk target tahunan pencapaian SPM, dituangkan dalam Rencana<br />

Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja<br />

SKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja<br />

Perangkat Daerah (RKA-SKPD) sesuai klasifikasi belanja <strong>daerah</strong> dengan memperhatikan<br />

kemampuan keuangan <strong>daerah</strong>.<br />

Namun dalam pelaksanaanya, penerapan SPM untuk pelayanan publik yang<br />

diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah masih relatif beragam antar <strong>daerah</strong> yang satu<br />

dengan <strong>daerah</strong> yang lainnya. Berbagai penelitian awal mengenai SPM yang dilakukan<br />

oleh Departemen Dalam Negeri bekerja sama dengan Departemen Pendidikan,<br />

Departemen Kesehatan dan beberapa lembaga donor, menunjukkan masih bervariasinya<br />

kualitas dan kuantitas penyediaan pelayanan publik di Indonesia. Sebagai contoh,<br />

penyediaan Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota sebagai standar pelayanan minimal<br />

di bidang kesehatan masih belum dapat dipenuhi oleh Pemerintah Daerah di <strong>daerah</strong><strong>daerah</strong><br />

terpencil, seperti pedalaman Papua. Demikian pula untuk bidang/sektor lainnya,<br />

seperti pelayanan penyediaan Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau akses jalan dari tiap<br />

kecamatan ke kabupaten, penyediaan pelayanan tersebut masih di bawah standar<br />

pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (dalam hal ini Departemen<br />

terkait).<br />

Disisi lain, tingkat masing-masing Kementerian Negara/Lembaga (K/L) dalam memberikan<br />

acuan mengenai standar pelayanan minimal untuk yang akan diterapkan di <strong>daerah</strong> juga<br />

belum sepenuhnya bisa dilaksanakan. cukup beragam. Hingga saat ini, baru ada 9<br />

(sembilan) bidang/sektor yang telah memiliki SPM sebagai acuan bagi penyelenggaraan<br />

pelayanan kepada masyarakat, yakni :<br />

1. SPM bidang Pendidikan Nasional, yang diatur melalui Keputusan Menteri Pendidikan<br />

Nasional No. 053 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan SPM Penyelenggaraan<br />

Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah. Pedoman ini dilengkapi<br />

dengan matrik indikator keberhasilan SPM, dengan komponen-komponen:<br />

VIII-182


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

kurikulum, anak didik, ketenagaan, sarana prasarana, organisasi, pembiayaan,<br />

manajemen sekolah, dan peran serta masyarakat, untuk masing-masing sekolah.<br />

2. SPM bidang perindustrian dan perdagangan, yang diatur melalui Keputusan Menteri<br />

Perindustrian dan Perdagangan RI No.78/MPP/Kep/3/2001 tanggal 2 Maret 2001<br />

tentang Pedoman SPM bidang perindustrian dan perdagangan.<br />

3. SPM bidang pemberdayaan perempuan, yang diatur melalui Keputusan Menteri<br />

Negara Pemberdayaan Perempuan No.23/SK/Meneg.PP/2001 tentang Standar<br />

<strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) Pemberdayaan Perempuan di Daerah.<br />

4. SPM bidang Kesehatan, yang diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No.<br />

1457/MENKES/SK/X/2003 tentang SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.<br />

Selain SPM tersebut, Departemen Kesehatan saat ini juga sedang menyiapkan<br />

SPM untuk pelayanan rumah sakit, termasuk rumah sakit <strong>daerah</strong>.<br />

5. SPM bidang Lingkungan Hidup, yang diatur melalui Keputusan Menteri Negara<br />

Lingkungan Hidup No 197 tahun 2004 tentang Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM)<br />

bidang lingkungan hidup di <strong>daerah</strong> kabupaten dan <strong>daerah</strong> kota.<br />

6. SPM bidang jalan Tol (bebas hambatan), yang diatur melalui Peraturan Menteri<br />

Pekerjaan Umum No. 392/PRT/M/2005 tentang SPM Jalan TOL.<br />

7. SPM bidang kehutanan, yang diatur melalui Peraturan Menteri Kehutanan No<br />

P.8/Menhut-II/2007 tentang Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) untuk Bidang<br />

Pembiayaan Pembangunan Hutan.<br />

8. SPM bidang investasi pemerintah, yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan<br />

No. 123.1/PMK.05/2006 tentang SPM Bidang Investasi Pemerintah. Selain SPM<br />

tersebut, Menteri Keuangan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan<br />

No. 99 /PMK.01/2007 tentang SPM Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.<br />

9. SPM bidang <strong>Pelayanan</strong> dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila, yang diatur melalui<br />

Keputusan Menteri Sosial tentang Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) untuk<br />

<strong>Pelayanan</strong> dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila.<br />

8.3.1. SPM Bidang Pendidikan<br />

Departemen Pendidikan Nasional juga telah mengeluarkan SK Menteri Pendidikan<br />

Nasional No. 1299/V/2004 tentang Pedoman Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal untuk Sektor<br />

Pendidikan Dasar dan Menengah sebagai usaha untuk merealisasikan desentralisasi di<br />

bidang pendidikan. Terdapat 4 (empat) fungsi kewajiban pada sektor pendidikan untuk<br />

Pemerintah Pusat, 4 (empat) untuk <strong>Provinsi</strong> dan 7 (tujuh) untuk Kabupaten/Kota, yaitu:<br />

VIII-183


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

a. Pemerintah Pusat:<br />

1. Pendidikan Tinggi Akademik/Profesional;<br />

2. Pendidikan Berorientasi Kebangsaan;<br />

3. Pengendali/Penjamin Mutu Pendidikan; dan<br />

4. Pengendalian Pembangunan dan Pengelolaan Pendidikan.<br />

b. Pemerintah <strong>Provinsi</strong>:<br />

1. SMU sebagai Pendidikan Persiapan Akademis;<br />

2. Sekolah Menengah Kejuruan;<br />

3. Pendidikan Tenaga Kependidikan; dan<br />

4. Pendidikan Luar Biasa.<br />

c. Pemerintah Kabupaten/Kota:<br />

1. Pelaksanaan Pendidikan Pra-Sekolah dan PADU;<br />

2. Pemberantasan Buta Huruf (termasuk fungsional);<br />

3. Pemerataan Pendidikan Dasar (SD, SLTP, Kesetaraan);<br />

4. Pendidikan Berkelanjutan;<br />

5. Pembinaan Kegiatan Kepemudaan;<br />

6. Pelestarian Olah Raga Tradisional dan Pemasalahan Olah Raga Prestasi; dan<br />

7. Statistik Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga.<br />

Dalam SK Menteri Pendidikan Nasional tersebut tercantum hal-hal penting seperti<br />

kurikulum, pelajar, guru, infrastruktur, organisasi, dana, manajemen sekolah, dan<br />

partisipasi publik dalam penyelenggaraan sekolah.<br />

8.3.2 SPM Bidang Kesehatan<br />

Mengacu pada Surat Edaran Mendagri No. 100/756/OTDA tentang Pelaksanaan<br />

Kewenangan Wajib dan Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM), Departemen Kesehatan<br />

mengeluarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar<br />

<strong>Pelayanan</strong> Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Beberapa hal penting dalam SK<br />

Menteri Kesehatan adalah:<br />

1. SPM terdiri atas 26 (dua puluh enam) jenis pelayanan publik dan pelaksanaannya<br />

dilakukan secara bertahap, dengan target akhir ditetapkan pada tahun 2010<br />

(Indonesia Sehat 2010);<br />

VIII-184


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

2. Sumber dana pelaksanaan SPM di bidang kesehatan sepenuhnya dibebankan pada<br />

APBD; dan<br />

3. Pemerintah Pusat dan <strong>Provinsi</strong> memfasilitasi pelayanan kesehatan sebagaimana<br />

dijelaskan dalam SPM dan mengkoordinasi mekanisme antar Kabupaten/Kota.<br />

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan tersebut, <strong>Provinsi</strong> Jawa Tengah sebagai<br />

salah satu <strong>daerah</strong> yang diteliti telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur No.<br />

71 Tahun 2004 tentang Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota<br />

di <strong>Provinsi</strong> Jawa Tengah. Dalam SK Gubernur tersebut, dijabarkan secara rinci mengenai<br />

definsi operasional, cara perhitungan dan rumus indikator, sumber data, rujukan, target,<br />

dan langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan.<br />

Menurut penelitian ADB TA 3967-INO, ada beberapa hal yang menyebabkan sektor<br />

kesehatan menjadi salah satu sektor termaju dalam penerapan SPM. Faktor-faktor<br />

tersebut antara lain:<br />

(1) Cukup baiknya kualitas sumber daya manusia (SDM) di sektor kesehatan;<br />

(2) Tingginya dukungan dari Departemen Kesehatan untuk mensosialisasi dan<br />

memfasilitasi pengenalan terhadap Kewenangan Wajib dan SPM di tingkat<br />

Pemerintah Daerah, terutama pada Dinas Kesehatan;<br />

(3) SPM untuk sektor kesehatan telah didefinisikan dengan baik, sehingga memudahkan<br />

perencanaan <strong>daerah</strong> dalam perhitungan indikator dan kinerjanya, dan yang tak<br />

kalah penting; dan<br />

(4) Tingginya komitmen dari Dinas Kesehatan untuk melaksanakan program tersebut.<br />

8.3.3 SPM Bidang <strong>Pelayanan</strong> Administrasi Umum<br />

Pemerintah<br />

<strong>Pelayanan</strong> Umum Pemerintah adalah pelayanan kepada masyarakat untuk fungsi-fungsi<br />

seperti penyediaan surat tanda lahir, surat Keterangan Keluarga (KK), surat Keterangan<br />

Tanda Pengenal (KTP), dan pelayanan dasar lainnya. Beberapa hal diperlukan untuk<br />

meningkatkan kinerja sektor <strong>Pelayanan</strong> Umum Pemerintah, seperti:<br />

(1) Memperjelas visi, misi, dan tujuan dari pelayanan umum sektor tersebut; dan<br />

(2) Memperjelas indikator, rumus-rumus, standar kinerja maupun target yang akan<br />

digunakan untuk mengukur output pelayanan.<br />

VIII-185


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

8.3.4 SPM bidang <strong>Pelayanan</strong> dan Rehabilitasi Sosial<br />

Tuna Susila<br />

SPM bidang pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna susila mengatur tentang aspek<br />

kegiatan pelayanan, organisasi pelaksana, sumberdaya manusia, sarana dan prasaran,<br />

dan indikator keberhasilannya. Kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial harus dilakukan<br />

dengan tahapan sebagai berikut:<br />

1. Pendekatan awal melalui penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat.<br />

2. Pengungkapan masalah (assesment) guna menggali masalah, menelaah dan<br />

menyusun rencana pelayanan.<br />

3. Bimbingan sosial, fisik, mental, dan ketrampilan secara terintegrasi dan bersamasama.<br />

4. Resosialisasi guna mempersiapkan keluarga/lingkungan agar dapat menerima<br />

bekas klien dalam lingkungan sosialnya dengan baik tanpa diskriminasi.<br />

5. Pengembalian bekas klien kepada kehidupan keluarga dan masyarakat.<br />

6. Bimbingan lanjutan untuk memantapkan, meningkatan dan mengembangkan<br />

kemandirian Bekas klien agar dapat hidup layak di masyarakat<br />

7. Evaluasi kegiatan yang dilaksanakan.<br />

8. Terminasi atau pemutusan pelayanan untuk memastikan bekas klien telah dapat<br />

menjalankan fungsi sosialnya secara wajar sebagai warga Masyarakat.<br />

Sementara untuk aspek lainnya dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial standar<br />

pelayanan minimalnya adalah sebagai berikut:<br />

a. Organisasi Pelaksana; dipersyaratkan adanya:<br />

1. Legalitas untuk Organisasi Pemerintah harus memiliki surat keputusan<br />

pendirian yang dikeluarkan oleh instansi sosial yang berwenang. Sementara<br />

legalitas untuk organisasi masyarakat/LSM antara lain harus memiliki akte<br />

pendirian/lembaga, AD/ART, dan ijin operasional dan terdaftar pada instansi<br />

sosial setempat.<br />

2. Struktur organisasi yang mencakup pimpinan, pelaksana administrasi, dan<br />

pelaksana teknis pelayanan dan rehabilitasi sosial.<br />

3. Mekanisme Kerja organisasi yang efektif, mulai dari penerimaan klien (input),<br />

pelayanan dan rehabilitasi di dalam lebaga (proses) sampai dengan penyaluran<br />

kembali ke masyarakat (output).<br />

VIII-186


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

b. Sumber Daya Manusia, dipersyaratkan adanya:<br />

1. Pimpinan, dengan kualifikasi sebagai berikut :<br />

a) Memiliki latar belakang pendidikan dan atau pelatihan pekerjaan sosial.<br />

b) Memiliki pengalaman di bidang sosial<br />

c) Pernah mengikuti pelatihan manajemen pimpinan panti.<br />

2. Tenaga administrasi, dengan kualifikasi sebagai berikut :<br />

a) Memiliki pendidikan serendah-rendahnya SLTA dan diutamakan sarjana<br />

bidang administrasi.<br />

b) Pernah mengikuti pelatihan di bidang administrasi panti.<br />

3. Tenaga pelaksana teknis, dengan kualifikasi sebagai berikut :<br />

a) Fungsional pekerja sosial dengan rasio 1:9 (1 Peksos, 9 Klien)<br />

b) Memiliki latar belakang pendidikan pekerjaan sosial<br />

c) Pernah mengikuti pelatihan pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam panti.<br />

d) Untuk Instruktur memiliki sertifikat sesuai bidangnya dan adanya<br />

kesepakatan bersama tentang jadwal pelayanan (rasio : 1:20)<br />

e) Tenaga paruh waktu:memiliki keahlian lainnya sesuai dengan kebutuhan<br />

(dokter, para medis, psikolog, pembimbing rohani) dan adanya<br />

kesepakatan bersama tentang jadwal pelayanan.<br />

4. Tenaga relawan (volunteer), dengan kualifikasi sebagai berikut :<br />

a) Ada kesepakatan tentang waktu pelayanan<br />

b) Penempatan sesuai minat kebutuhan pelayanan<br />

c. Sarana dan Prasarana <strong>Pelayanan</strong>, dipersyaratkan adanya:<br />

1. Gedung kantor, yang dapat digunakan untuk ruang pimpinan, ruang<br />

administrasi dan Keuangan, ruang konsultasi, ruang tamu, dan ruang<br />

pertemuan/ketrampilan.<br />

2. Asrama, yang dapat digunakan untuk ruang tidur, ruang makan, dan<br />

kamar mandi/WC<br />

3. Sarana penunjang, yang terdiri dari lapangan/halaman untuk<br />

bimbingan fisik, ruang untuk bimbingan mental dan sosial, dan ruang<br />

untuk pelatihan ketrampilan<br />

d. Indikator keberhasilan, dipersyaratkan adanya :<br />

1. Hasil pelayanan:<br />

a) Eks klien tidak lagi melakukan kegiatan tuna susila<br />

VIII-187


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

b) Eks klien mempunyai pekerjaan baik dalam bentuk wirausaha, karyawan,<br />

atau pekerjaan lain yang dapat diterima oleh norma masyarakat<br />

c) Eks klien melaksanakan perannya kembali dalam keluarga<br />

d) Eks klien terlibat secara aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di<br />

lingkungannya.<br />

2. Proses <strong>Pelayanan</strong><br />

a) Eks klien mengikuti setiap tahap pelayanan proses pelayanan<br />

b) Eks klien berperan aktif dalam berbagai jenis pelayanan<br />

3. Organisasi pelaksana memiliki legalitas, struktur organisasi dan mekanisme<br />

kerja sesuai dengan yang criteria yang telah ditentukan di atas.<br />

4. Sumber Daya Manusia (SDM) terdiri dari pimpinan, pelaksana administrasi dan<br />

pelaksana pelayanan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.<br />

5. Sarana dan prasarana dalam bentuk gedung kantor, asrama dan sarana<br />

penunjang lain sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.<br />

8.3.5 Kendala–Kendala dalam Pelaksanaan SPM<br />

Berdasarkan penelitian ADB TA 3967-INO disimpulkan beberapa kendala dalam<br />

pelaksanaan SPM. Kegagalan dalam mengatasi hal tersebut akan mengakibatkan<br />

ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM tidak akan mencerminkan kondisi yang<br />

sesungguhnya. Kendala tersebut antara lain:<br />

1. Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya (reliable), sedangkan data BPS yang<br />

ada, bila dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun;<br />

2. Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa secara baik;<br />

3. Data statistik yang ada sering kali tidak sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan.<br />

Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0–14 tahun,<br />

sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah penduduk dengan usia sekolah (7–16<br />

tahun);<br />

4. Kurangnya kemampuan staf Pemerintah Daerah untuk mengumpulkan dan<br />

mengelola data secara sistematis;<br />

5. Kurangnya kemampuan staf Pemerintah Daerah untuk melakukan analisa dan<br />

perencanaan strategis;<br />

6. Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya yang<br />

terjadi di <strong>daerah</strong>/desa; dan<br />

VIII-188


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

7. Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, Satuan Kerja Perangkat Daerah tidak<br />

menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila Dinas melakukan<br />

evaluasi, hasil evaluasi bias untuk kepentingan Dinas. Sedangkan <strong>Badan</strong> Pengawas<br />

Daerah (Bawasda) maupun Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena<br />

kemampuan teknikal yang rendah.<br />

Kendala-kendala tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan SPM.<br />

Beberapa alternatif cara untuk menanggulangi kendala tersebut antara lain:<br />

1. Dinas Kesehatan memperbaiki sistem pendataan dan pelaporan sektor kesehatan.<br />

2. BPS memperbaiki sistem pendataannya dengan mendirikan Sistem Informasi<br />

Populasi. Kabupaten Kediri adalah satu sampel penerapan sistem baru tersebut,<br />

dimana setiap Kecamatan dan Desa/Kelurahan mendapat bantuan dana untuk<br />

menjalankan sistem tersebut.<br />

3. Diperlukan suatu survei untuk menangkap kepuasan publik atas pelayanan publik<br />

yang berasarkan SPM. Survei tersebut hendaknya dilakukan satu tahun sekali.<br />

4. Evaluasi atas penyelenggaraan SPM hendaknya dilakukan oleh sebuah tim yang<br />

terdiri dari Bappeda, Biro Penyusunan Program, dan Bawasda, serta independent<br />

audit untuk kasus-kasus tertentu. Hasil evaluasi hendaknya disebarkan ke<br />

seluruh stakeholeders. Pemerintah <strong>Provinsi</strong> juga harus melakukan evaluasi atas<br />

penyelenggaraan SPM di Kabupaten/Kota wilayahnya.<br />

8.4. IMPLIKASI PENERAPAN SPM<br />

8.4.1 Implikasi terhadap Proses Perencanaan<br />

Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2005 dan PP No. 38 Tahun 2007, tampak jelas bahwa<br />

Kewenangan Wajib harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Standar<br />

<strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM) yang telah ditetapkan oleh Departemen/LPND terkait. Hal ini<br />

menunjukkan bahwa Kewenangan Wajib dan SPM telah memiliki dasar hukum yang kuat<br />

dan harus menjadi bagian dalam proses perencanaan dan penganggaran <strong>daerah</strong>.<br />

Kebijakan Pemerintah Daerah yang berisi visi, misi, tujuan, prioritas, dan strategi umum<br />

harus disepakati antara pihak eksekutif dan legislatif maupun partisipasi masyarakat,<br />

yang dibahas melalui forum-forum musyawarah <strong>daerah</strong> (Musrenbang). Kebijakan ini<br />

dituangkan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM<br />

Daerah) dan dirinci lebih lanjut ke dalam Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (yang<br />

disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)) maupun ke dalam Arah dan<br />

Kebijakan Umum (AKU) APBD yang dituangkan dalam Peraturan Daerah atau Surat<br />

VIII-189


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Keputusan Kepala Daerah. Di dalam dokumen-dokumen perencanaan tersebut harus<br />

tertuang rencana pelaksanaan Kewenangan Wajib dan SPM sesuai dengan prioritas<br />

nasional dan target pencapaian <strong>daerah</strong>.<br />

Dalam proses perencanaan <strong>daerah</strong>, Kewenangan Wajib harus disosialisasikan baik ke<br />

masyarakat maupun ke staf Pemerintah Daerah. Dalam Musrenbang, sebagai sarana<br />

pengenalan Kewenangan Wajib kepada masyarakat, Daftar Kewenangan Wajib dan SPM<br />

dapat digunakan sebagai materi diskusi untuk menyeleksi dan memberi prioritas terhadap<br />

usulan proposal kegiatan. Sedangkan kepada staf Pemerintah Daerah, Kewenangan Wajib<br />

dan SPM dilibatkan sejak penyusunan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />

(Renja SKPD) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing SKPD<br />

(Dinas/<strong>Badan</strong>/Lembaga). Perbedaan antara penyelenggaraan fungsi dan pelayanan<br />

sesuai tupoksi dan Daftar Kewenangan Wajib dapat mengindikasikan kesenjangan<br />

dan kendala dalam menyelenggarakan pelayanan publik. SPM sendiri dapat dijadikan<br />

indikator kinerja dalam mengevaluasi berbagai kegiatan tahunan.<br />

8.4.2 Implikasi terhadap Anggaran Berbasis Kinerja<br />

Pada dasarnya, anggaran berbasis kinerja menghubungkan pengeluaran dengan hasil<br />

yang diinginkan. Dengan kata lain, anggaran kinerja mengutamakan upaya pencapaian<br />

hasil kerja (output/outcome) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan.<br />

Indikator-indikator yang digunakan adalah:<br />

1. Masukan (Input):<br />

Masukan didefinisikan sebagai identifikasi jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk<br />

menyediakan barang dan jasa tertentu. Input meliputi tenaga kerja, material, peralatan,<br />

dan perlengkapan. Contoh masukan: jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, jumlah dana<br />

yang dibutuhkan, peralatan yang akan digunakan, dan lain-lain.<br />

2. Keluaran (Output):<br />

Tolak ukur output menggambarkan jumlah barang atau jasa/pelayanan yang akan<br />

disediakan. Target output dibuat dengan cara menetapkan apa yang akan dihasilkan<br />

dari sebuah pelayanan/kegiatan tertentu. Contoh keluaran: jumlah balita yang akan<br />

diimunisasi, jumlah meter panjang jalan yang akan diperbaiki, dan lain-lain.<br />

3. Hasil (Outcome):<br />

Indikator hasil dapat digunakan untuk menunjukkan hasil apa yang telah dicapai<br />

dalam bentuk output sehingga dapat memberikan kegunaan yang lebih besar kepada<br />

masyarakat. Pengukurannya dilakukan dengan cara melakukan penilaian terhadap hasil<br />

VIII-190


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

indikator output, apakah output tersebut berfungsi atau tidak. Outcome memastikan<br />

apakah target tercapai atau tidak. Contoh hasil: jumlah atau persentase (%) hasil dari<br />

kegiatan, peningkatan trend untuk hasil-hasil yang positif, penurunan tingkat pelanggaran<br />

lalu lintas, dan lain-lain.<br />

4. Manfaat (Benefit):<br />

Indikator ini menggambarkan manfaat yang diperoleh dari indikator hasil/outcome.<br />

Manfaat dapat diukur dalam jangka menengah dan panjang, dengan melihat tujuan<br />

akhir yang akan dicapai. Contoh manfaat selalu pada peningkatan hal positif, seperti<br />

peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat, penurunan tingkat penyakit TBC, dan lainlain.<br />

5. Dampak (Impact):<br />

Dampak diidentifikasikan sebagai hasil akhir yang dicari. Indikator ini mengungkapkan<br />

dasar pemikiran tentang mengapa kegiatan tertentu dilaksanakan, dan menggambarkan<br />

aspek makro pelaksanaan kegiatan di tingkat sektoral, regional, dan nasional. Indikator<br />

dampak biasanya berupa aspek positif dalam jangka panjang dari pendapatan, kesehatan,<br />

keamanan, pendidikan, dan tenaga kerja. Contoh dampak: peningkatan PDRB sektor<br />

tertentu, penurunan tingkat kemiskinan, dan lain-lain.<br />

Elemen anggaran kinerja meliputi visi, misi, sasaran, program dan kegiatan dalam<br />

suatu unit kerja. Dalam kaitannya dengan penyusunan anggaran berbasis kinerja, perlu<br />

diterjemahkan tujuan ke dalam sasaran yang lebih terukur, sasaran ke dalam program,<br />

dan program ke dalam kegiatan dengan output yang terukur.<br />

Melalui proses anggaran kinerja, Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan keluaran<br />

(output) dan hasil (outcome) dari masing-masing program dan kegiatan. Kemudian<br />

Pemerintah Daerah membuat target pencapaiannya. Usulan anggaran dipresentasikan<br />

oleh kepada <strong>daerah</strong> kepada DPRD berdasarkan target yang telah diproyeksikan. Data<br />

pembandingan memungkinkan DPRD untuk memahami hasil yang akan dicapai melalui<br />

tingkatan pengeluaran yang berbeda. Dengan demikian pengeluaran dapat diprioritaskan<br />

dan unit kerja dapat bertanggung jawab terhadap hasil (outcome). Contoh pelaporan<br />

kinerja suatu kegiatan dapat dilihat pada Tabel 8.1.<br />

Dalam Laporan Kinerja, bila terdapat perbedaan antara target dan realisasi, Pemerintah<br />

Daerah harus memberikan keterangan mengenai perbedaan tersebut, seperti faktor-faktor<br />

penyebab, hambatan, dan permasalahan yang dihadapi sehingga akar permasalahan<br />

dapat diidentifikasi dan diperbaiki agar tidak terulang di tahun anggaran mendatang.<br />

VIII-191


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Tabel 8.1<br />

Contoh Pelaporan Kinerja Anggaran Berbasis Kinerja Indikator dan<br />

Tolak Ukur Kinerja Belanja Langsung<br />

Instansi<br />

: DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN<br />

Program : PENINGKATAN MUTU PELAYANAN PENDIDIKAN (2)<br />

Kegiatan<br />

: PENCETAKAN KALENDER PENDIDIKAN<br />

Lokasi kegiatan : KABUPATEN SLEMAN<br />

INDIKATOR TOLAK UKUR KINERJA TARGET KINERJA REALISASI KINERJA<br />

Masukan<br />

Keluaran<br />

Hasil<br />

Manfaat<br />

Dampak<br />

Dana Tenaga Kerja<br />

Waktu<br />

Terselenggaranya<br />

kegiatan penyusunan<br />

dan percetakan<br />

kalender pendidikan<br />

Kota Sleman tahun<br />

pelajaran 2003 – 2004<br />

Tersedianya Kalender<br />

Pendidikan dan Buku<br />

Pedoman Pendidikan<br />

Kegiatan belajar<br />

mengajar berjalan<br />

lancar<br />

Tingkat Kelulusan ratarata<br />

Rp 15.000.000<br />

16 orang<br />

1 bulan<br />

Rp 13.500.000<br />

16 orang<br />

1 bulan<br />

1 kali kegiatan 1 kali kegiatan<br />

Kalender 1275 eks.<br />

Buku Pedoman<br />

1275 eks.<br />

Sumber: Pedoman Acuan Anggaran Kinerja, BIGG, 2003 – 2004<br />

Kalender 1300 eks.<br />

Buku Pedoman<br />

1300 eks.<br />

100% 92%<br />

98% 97%<br />

Sistem anggaran berbasiskan kinerja sangat sesuai untuk dipasangkan dengan konsep<br />

SPM yang memiliki kriteria input, output, outcome, benefit dan impact yang sama. Dalam<br />

proses perencanaan anggaran, SPM sebagai tolak ukur kegiatan dapat digunakan untuk<br />

mengukur biaya rata-rata pencapaian suatu kegiatan, yang disebut Standar Analisa Biaya<br />

(SAB).<br />

SAB mendorong penetapan biaya dan pengalokasian anggaran kepada setiap aktivitas<br />

unit kerja menjadi lebih logis dan mendorong dicapainya efisiensi secara terus menerus<br />

karena adanya pembandingan biaya per unit setiap output dan diperoleh praktek-praktek<br />

terbaik dalam desain aktivitas. Dalam rangka penyusunan SAB, ada beberapa hal yang<br />

perlu diperhatikan, yakni :<br />

• Besarnya dana yang dibutuhkan untuk penyediaan pelayanan kepada masyarakat;<br />

VIII-192


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

• Efektivitasnya apabila kegiatan/pelayanan tersebut dikontrakkan pada pihak luar<br />

daripada dilakukan sendiri oleh Pemerintah Daerah;<br />

• Besarnya pengaruh perubahan penyediaan dana/anggaran terhadap kuantitas dan<br />

kualitas pelayanan; dan<br />

• Perubahan biaya pelayanan untuk setiap tahun anggaran.<br />

Selain itu, juga perlu dipertimbangkan proses pemulihan biaya maupun formulasi SAB.<br />

Dalam formulasi SAB, setiap unit kerja terkait perlu terlebih dahulu mengindentifikasikan<br />

belanja menjadi:<br />

(1) Belanja Langsung, yaitu input (alokasi belanja) yang ditetapkan dapat diukur dan<br />

diperbandingkan dengan output yang dihasilkan; dan<br />

(2) Belanja Tidak Langsung, yaitu belanja yang digunakan secara bersama-sama<br />

(common cost) untuk melaksanakan seluruh program atau kegiatan untuk kerja.<br />

Oleh karena itu, dalam perhitungan SAB, anggaran belanja tidak langsung dalam<br />

satu tahun anggaran harus dialokasikan ke setiap program atau kegiatan yang akan<br />

dilaksanakan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.<br />

Total Belanja = Belanja Langsung + Belanja Tidak Langsung<br />

Pengalokasian belanja tidak langsung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:<br />

1. Alokasi rata-rata sederhana, yaitu dengan mengalokasikan anggaran belanja tidak<br />

langsung ke setiap kegiatan non investasi dengan cara membagi jumlah anggaran<br />

yang dialokasikan dengan jumlah kegiatan non investasi;<br />

2. Alokasi bobot belanja langsung, yaitu dengan mengalokasikan anggaran belanja<br />

tidak langsung ke setiap kegiatan non investasi berdasarkan besarnya bobot (nilai<br />

relatif) belanja langsung dari kegiatan non investasi yang bersangkutan.<br />

1. Metode Alokasi Rata-rata Sederhana:<br />

Jumlah Belanja Tidak Langsung<br />

Jumlah Program/Kegiatan<br />

2. Metode Alokasi Bobot Belanja Langsung:<br />

Jumlah Anggaran Belanja Langsung Kegiatan Non Investasi<br />

Bersangkutan<br />

= Y %<br />

Jumlah Anggaran Belanja Langsung Seluruh Kegiatan Non<br />

Investasi<br />

Y % x Jumlah Anggaran Belanja Tak Langsung =<br />

Alokasi Belanja Tak Langsung ke Setiap Kegiatan Non Investasi<br />

VIII-193


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Program atau kegiatan yang memperoleh alokasi belanja tidak langsung adalah program<br />

atau kegiatan non investasi. Program atau kegiatan investasi yang menambah asset<br />

<strong>daerah</strong> tidak menerima alokasi anggaran tahunan belanja tidak langsung, karena output<br />

program atau kegiatan investasi adalah berupa aset <strong>daerah</strong> yang dimanfaatkan lebih dari<br />

satu tahun anggaran.<br />

SAB merupakan hasil penjumlahan belanja tidak langsung setiap program atau kegiatan<br />

dengan belanja tidak langsung yang dialokasikan pada program atau kegiatan yang<br />

bersangkutan.<br />

Belanja Rata-rata per Output =<br />

Belanja Langsung Setiap Program + Alokasi Belanja Tak Langsung ke Setiap Program<br />

Output dari Program/Kegiatan yang Bersangkutan<br />

Setelah mengetahui nilai SAB, masing-masing dinas/satuan kerja dapat memasukan<br />

biaya penyelenggaraan kegiatan sesuai dengan Kewenangan Wajib unit kerjanya ke<br />

dalam RASK dan DASK. Artinya, dengan berorientasi pada output, outcome, benefit dan<br />

impact, anggaran <strong>daerah</strong> menjadi lebih transparan dalam pencapaian output maupun<br />

target. Penyesuaian anggaran dapat dihitung berdasarkan kenaikan atau penurunan<br />

target kinerja. Sebagai ilustrasi, bila target pencapaian suatu indikator/kegiatan<br />

dipercepat, Pemerintah Daerah akan mampu menghitung biaya yang harus disediakan<br />

untuk melaksanakan pelayanan tersebut. Atau sebaliknya, bila anggaran <strong>daerah</strong> untuk<br />

suatu kegiatan diturunkan, Dinas terkait dapat memprediksi seberapa besar target yang<br />

akan tercapai.<br />

Secara ringkas, tahapan penerapan SAB dalam Anggaran Berbasis Kinerja dapat dilihat<br />

pada Gambar 7.1.<br />

8.4.3 Implikasi terhadap Anggaran dan Dana<br />

Perimbangan<br />

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penerapan SPM akan menyebabkan<br />

membengkaknya pengeluaran anggaran. Bila PAD maupun Penerimaan Daerah Lainnya<br />

yang Sah tidak dapat mengantisipasi kondisi tersebut, akibatnya defisit anggaran <strong>daerah</strong><br />

akan meningkat. Seperti diketahui, sekitar 60-70% dari DAU digunakan untuk pembayaran<br />

gaji pegawai. Berarti, dana untuk pengeluaran pembangunan hanya sebesar 30%-40%<br />

saja. Bila dana pembangunan untuk sektor pendidikan dipatok sebesar 10%, misalnya,<br />

tidak seluruh dana tersebut dapat digunakan untuk membiayai pelayanan dasar sektor<br />

pendidikan. Dari 10% tersebut, harus disisihkan sebesar 70% untuk pengeluaran biaya<br />

tak langsung. Sehingga, dana yang benar-benar dapat digunakan untuk penyelenggaraan<br />

VIII-194


Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal<br />

pelayanan dasar sektor pendidikan hanya 30% dari 10% anggaran <strong>daerah</strong> untuk sektor<br />

pendidikan. Bagi Pemerintah Daerah yang kemampuan fiskalnya terbatas, dana tersebut<br />

sangat kecil dan tidak memadai bila dikaitkan dengan penyelenggaraan SPM sektor<br />

pendidikan yang harus disediakan.<br />

Meningkatnya defisit anggaran juga berimplikasi pada kebutuhan dana perimbangan<br />

dari Pemerintah Pusat yang harus menyediakan bantuan keuangan khusus. Jika<br />

Pemerintah Pusat menentukan bahwa dukungan yang paling ringan dan paling murah<br />

untuk pencapaian SPM adalah dengan menyediakan dana tambahan, maka ditentukan<br />

cara yang paling tepat, misalnya melalui DAK. Namun, bila defisit anggaran terjadi<br />

selama beberapa tahun pelaksanaan kewenangan wajib dan SPM menunjukkan suatu<br />

pola permasalahan di seluruh <strong>daerah</strong> yang diakibatkan oleh kurangnya dana, maka<br />

Pemerintah Pusat harus mempertimbangkan penyesuaian alokasi DAU atau formulanya<br />

(berdasarkan cost of function).<br />

Selain itu, penerapan SPM yang sudah baik, benar dan menyangkut seluruh bidang<br />

pemerintahan akan mencerminkan kebutuhan anggaran <strong>daerah</strong> yang sebenarnya.<br />

Artinya, kondisi ini mencerminkan kebutuhan fiskal yang sesungguhnya. Dalam formula<br />

DAU saat ini, kebutuhan fiskal didekati dengan berbagai pendekatan (proxi), seperti luas<br />

<strong>daerah</strong>, jumlah penduduk, indeks harga konstruksi, dan lain-lain. Bukan tidak mungkin,<br />

formula tersebut akan diganti apabila SPM telah dapat diterapkan dengan lebih baik dan<br />

sempurna.<br />

VIII-195


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Gambar 8.1<br />

Tahapan Penerapan SAB dalam Anggaran Berbasis Kinerja<br />

VIII-196


BAB IX<br />

PENUTUP


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

IX-198


Penutup<br />

BAB IX<br />

PENUTUP<br />

Pelaksanaan otonomi <strong>daerah</strong> diwujudkan melalui pelimpahan urusan pemerintahan dari<br />

Pemerintah pusat kepada Pemerintah <strong>daerah</strong> sebagaimana diatur dalam Undang-Undang<br />

Nomor 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-undang tersebut sebagian besar urusan<br />

pemerintahan diserahkan kepada <strong>daerah</strong> kecuali urusan pemerintahan dalam bidang<br />

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan<br />

agama. Sejalan dengan penyerahan urusan tersebut, pemerintah juga mengalokasikan<br />

dana APBN kepada <strong>daerah</strong> dalam bentuk Dana Perimbangan dan Dana Otonomi<br />

Khusus dan Penyesuaian agar <strong>daerah</strong> mampu membiayai urusan pemerintahannya.<br />

Alokasi dana ke <strong>daerah</strong>, selain dimaksudkan agar <strong>daerah</strong> mampu membiayai urusan<br />

rumah tangga <strong>daerah</strong>, juga dimaksudkan untuk mengurangi perbedaan kapasitas fiskal<br />

antar <strong>daerah</strong>. Dalam struktur APBD, pendapatan yang berasal dari Dana Perimbangan<br />

merupakan pendapatan yang dominan, sedangkan pendapatan asli <strong>daerah</strong> relatif kecil.<br />

Pendapatan <strong>daerah</strong> yang berasal dari Pemerintah Pusat tersebut sebagian besar, kecuali<br />

DAK, diberikan dalam bentuk block grant, sehingga <strong>daerah</strong> dapat mengalokasikan sesuai<br />

dengan kebutuhan dan prioritasnya. Hal ini sejalan dengan prinsip otonomi <strong>daerah</strong> yang<br />

memberikan kewenangan yang lebih luas kepada <strong>daerah</strong>.<br />

Sejalan dengan adanya kewenangan luas bagi <strong>daerah</strong>, maka pengelolaan keuangan<br />

<strong>daerah</strong> sebagaimana diatur dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 mempunyai peranan<br />

yang sangat penting dalam peningkatan kualitas belanja APBD. Salah satu indikator<br />

peningkatan kualitas pengelolaan keuangan <strong>daerah</strong> adalah proses penyelesaian<br />

APBD tepat waktu dan taat asas. Pada tiga tahun terakhir telah terdapat perbaikan<br />

yang signifikan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sehingga semakin<br />

mempercepat proses pelaksanaan anggaran.<br />

Secara umum, government spending diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi<br />

perekonomian secara keseluruhan melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB).<br />

Sejalan dengan konsep tersebut, transfer dari Pemerintah Pusat kepada Daerah yang<br />

merupakan sumber pendanaan utama Daerah juga diharapkan mampu memberikan<br />

kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang merupakan ukuran<br />

agregat perekonomian di Daerah.<br />

Berdasarkan data Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD), diketahui bahwa terdapat<br />

korelasi positif antara alokasi transfer dari Pusat ke Daerah dengan total PDRB. Pada<br />

IX-199


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

tahun 2005 korelasinya adalah sebesar 0,77 dan pada tahun 2006 sebesar 0,76. Dengan<br />

korelasi positif yang cukup kuat tersebut dapat disimpulkan bahwa alokasi transfer<br />

ke Daerah memberikan kontribusi postif terhadap pembentukan PDRB di Daerah.<br />

Selanjutnya, yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah upaya meningkatkan<br />

kualitas belanja APBD sehingga dapat mendorong peningkatan kualitas pelayanan<br />

publik. Dengan demikian, diharapkan pada gilirannya nanti dapat memberikan kontribusi<br />

positif pada pertumbuhan ekonomi.<br />

IX-200


Daftar Pustaka<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Asian Development Bank (ADB) TA 3967-INO: Local Government Provision of Minimum<br />

Basic Service for the Poor, 2005.<br />

Bappenas, (2004), “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional”, Jakarta: Bappenas<br />

(www.bappenas.go.id).<br />

______, (2005), “Buku Pegangan 2006 Penyelenggaraan Pemerintahan dan<br />

Pembangunan Daerah”, Draft. Jakarta: Bappenas RI.<br />

BPKP, Pedoman Penyusunan APBD Berbasis Kinerja, 2005.<br />

Brodjonegoro, Bambang PS dan Robert A. Simanjuntak, (2005), “Study on Decentralization<br />

Framework and Fiscal and Administrative Capacity of Local Governments in<br />

Indonesia”, Laporan Akhir, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) and<br />

Institute for Economics and Social Research-Faculty of Economics University of<br />

Indonesia (LPEM-FEUI), Jakarta: LPEM-FEUI.<br />

Building Institutions for Good Governance (BIGG), “Pedoman Acuan Anggaran Kinerja”,<br />

2003-2004.<br />

Departemen Dalam Negeri, (2004), “Materi Bimbingan Teknis Rencana Strategis dan<br />

Program Prioritas”, Buku – 1. Jakarta: Depdagri RI.<br />

______, (2004), ”Materi Bimbingan Teknis Rencana Strategis dan Program Prioritas”,<br />

Buku – 2. Jakarta: Depdagri RI.<br />

Departemen Keuangan, (2007), “Nota Keuangan dan APBN 2008”, Jakarta: Depkeu RI<br />

(www.depkeu.go.id).<br />

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan Bandung dan<br />

Partnership for Governance Reform in Indonesia, (2002). “Prosiding Workshop<br />

Internasional: Implementasi Desentralisasi Fiskal Sebagai Upaya Pemberdayaan<br />

Daerah dalam Membiayai Pembangunan Daerah”. Bandung: FISIP Unpar.<br />

Ferrazzi, Gabe, “Obligatory Functions and Minimum Service Standards: A Preliminary<br />

Review of the Indonesian Approach, kerjasama Departemen Dalam Negeri dengan<br />

GTZ, March 2002.<br />

201


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Pusat, (2005). “Sinergi Pembangunan antara<br />

Pusat dan Daerah”, draft hasil Focus Group Discussion (FGD) Sinergi Pembangunan<br />

antara Pusat dan Daerah, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Pusat, Jakarta,<br />

Juli 2005.<br />

Keputusan Menteri Dalam Negeri (KMDN) Republik Indonesia No. 100.05 - 76 Tahun<br />

2007 tentang Pembentukan Tim Konsultansi Penyusunan Standar <strong>Pelayanan</strong><br />

Minimal.<br />

Kuncoro, M., (2004). “Otonomi Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang”.<br />

Jakarta: Penerbit Erlangga.<br />

Laporan Panitia Kerja Belanja Daerah dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan<br />

RUU tentang RAPBN TA.2006.<br />

LPEM FEUI dan PSE-KP FEUGM. Reformulasi Dana Alokasi Umum: Laporan Penelitian,<br />

2004.<br />

Pemerintah Republik Indonesia, (2008), “Produk Hukum dan Perundang-undangan”,<br />

Jakarta: Pemerintah RI (www.indonesia.go.id)<br />

PP No. 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 Tahun 1969 tentang<br />

Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok<br />

Pertambangan.<br />

PP No. 56 Tahun 2001 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.<br />

PP No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran<br />

Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,<br />

serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.<br />

PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian<br />

Negara/Lembaga.<br />

PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.<br />

PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.<br />

PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.<br />

PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.<br />

PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah.<br />

PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.<br />

202


Daftar Pustaka<br />

PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar <strong>Pelayanan</strong><br />

Minimal.<br />

PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan<br />

Pemerintah Daerah.<br />

PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Kekayaan Negara/ Daerah.<br />

PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.<br />

PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada<br />

Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Daerah Kepada Dewan<br />

Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan<br />

Daerah Kepada Masyarakat.<br />

PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,<br />

Pemerintah Daerah <strong>Provinsi</strong>, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.<br />

PP No. 6 Tahun 2008 tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah<br />

PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan<br />

PMK No. 606/PMK.06/2004 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan<br />

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2005.<br />

PMK No. 571/PMK.06/2004 tentang Petunjuk Teknis Penyelesaian Daftar Isian<br />

Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2005.<br />

PMK No. 46 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyampaian Informasi Keuangan Daerah.<br />

PMK Nomor 128/PMK.07/2006 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum<br />

Pengelolaan DAK TA 2007.<br />

PMK Nomor 129/PMK.07/2006 tentang Penetapan Rincian Dana Penyesuaian Tahun<br />

2007 Kepada Daerah <strong>Provinsi</strong>, Kabupaten, dan Kota.<br />

PMK Nomor 04/PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran<br />

Transfer ke Daerah<br />

Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.<br />

Peraturan Menteri Dalam (Permendagri) Negeri Republik Indonesia No. 6 tahun 2007<br />

tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal.<br />

Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.<br />

203


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Peraturan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Nomor PER-01/PK/2006 tentang<br />

Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Penyesuaian Infrastruktur Jalan dan Lainnya<br />

Tahun 2007.<br />

Sidik, Machfud et.all. Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era<br />

Otonomi Daerah. (Jakarta: Kompas, 2002).<br />

Smoke, Paul, “Can Desentralization Help Rebuild Indonesia”, paper for Conference<br />

Expenditure Assignment under Indonesia’s Emerging Decentralization: A Review<br />

of Progress and Issues for the Future, Sponsored by the International Studies<br />

Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta,<br />

May 2002.<br />

Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA Tahun 2002 tentang Pelaksanaan<br />

Kewenangan Wajib dan Standar <strong>Pelayanan</strong> Minimal (SPM).<br />

Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar<br />

<strong>Pelayanan</strong> Minimum Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.<br />

Surat Menteri Pertanian Nomor 1044/KU.220/A/2006 tentang Petunjuk Teknis<br />

Penggunaan DAK Bidang Pertanian Tahun 2007.<br />

Surat Keputusan Menteri Pendidikan No. 1299/V/2004 tentang Pedoman Standar<br />

<strong>Pelayanan</strong> Minimum untuk Sektor Pendidikan Dasar dan Menengah.<br />

Suwandi, Made, “Improving Quality Services of the Local Government towards Good<br />

Governance”, March 2003.<br />

Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen).<br />

UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.<br />

UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.<br />

UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.<br />

UU No. 22/1999 yang telah direvisi dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan<br />

Daerah.<br />

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.<br />

UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.<br />

UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawaban<br />

Keuangan Negara.<br />

204


Daftar Pustaka<br />

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.<br />

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan<br />

Pemerintahan Daerah.<br />

World Bank Dutch Trust Fund, “Strengthening Indonesia’s Framework for Decentralization”,<br />

Support to the Ministry of Home Affairs, November 2002.<br />

World Bank Report of Dutch Trust Fund Package 8 on “Reformulasi Dana Alokasi Umum”,<br />

2004.<br />

205


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

Index<br />

B<br />

Batas Maksimal Defisit APBD IV-102<br />

D<br />

DAK<br />

DAK Kehutanan i-iii, III-86, III-87<br />

DAK Prasarana Pemerintahan III-86<br />

Dana Alokasi Umum IV-107, IV-112<br />

Dana Bagi Hasil III-71, IV-112, IV-118, IV-130<br />

DAU i-iii, IV-107, IV-113, IV-118, IV-130, VII-170, VII-177, VII-194, VII-195<br />

desentralisasi i-iii, i-iv, IV-105, VI-153, VII-165, VII-175, VII-177, VII-179, VII-182,<br />

VII-183<br />

desentralisasi administrasi i-iii, i-iv, IV-105, VI-153, VII-165, VII-175, VII-177, VII-<br />

179, VII-182, VII-183<br />

desentralisasi ekonomi i-iii, i-iv, IV-105, VI-153, VII-165, VII-175, VII-177, VII-<br />

179, VII-182, VII-183<br />

desentralisasi fiskal i-iii, i-iv, IV-105, VI-153, VII-165, VII-175, VII-177, VII-179,<br />

VII-182, VII-183<br />

desentralisasi politik i-iii, i-iv, IV-105, VI-153, VII-165, VII-175, VII-177, VII-179,<br />

VII-182, VII-183<br />

DSCR IV-104, IV-107, IV-111, IV-117, IV-124<br />

G<br />

good governance VII-165<br />

H<br />

Hibah IV-108, IV-109, IV-111, IV-130, IV-131, IV-132, IV-133<br />

Hibah Luar Negeri IV-108, IV-109, IV-111, IV-130, IV-132<br />

K<br />

Kriteria Teknis Bidang Lingkungan Hidup III-86<br />

N<br />

Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman IV-114<br />

Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri IV-113<br />

NPPLN IV-113, IV-114<br />

206


Index<br />

NPPP IV-114, IV-115<br />

O<br />

Obligasi Daerah IV-101, IV-105, IV-106, IV-118, IV-119, IV-120, IV-121, IV-122,<br />

IV-123, IV-124, IV-125, IV-126, IV-127, IV-128, IV-129, IV-130<br />

P<br />

Pajak Hotel V-140<br />

Pendapatan Asli Daerah IV-107<br />

PINJAMAN DAERAH IV-101, IV-105, IV-108, IV-129, IV-130<br />

Pinjaman Daerah IV-101, IV-102, IV-105, IV-106, IV-107, IV-108, IV-112, IV-115,<br />

IV-116, IV-117, IV-129, IV-130, VII-166<br />

Pinjaman <strong>daerah</strong> IV-101, IV-105<br />

Pinjaman Luar Negeri IV-101, IV-108, IV-109, IV-111, IV-112, IV-113, IV-115<br />

Provisi Sumber Daya Hutan III-64<br />

R<br />

Rencana Kerja Pemerintah VII-182, VII-189<br />

S<br />

SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH VII-163, VII-165<br />

Standar Akuntansi Pemerintah IV-129<br />

207


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

208


Index<br />

Ucapan Terima Kasih<br />

Terima kasih kepada para kontributor yang telah meluangkan waktunya<br />

untuk menyusun materi, updating materi yang pernah diterbitkan pada buku<br />

edisi sebelumnya, dan semua pendukung yang membantu diterbitkannya<br />

Pelengkap Buku Pegangan 2008 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan<br />

Pembangunan Daerah.<br />

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr Mardiasmo; Drs. Marwanto<br />

Harjowiryono, MA; DR. Raksaka Mahi; DR. Robert P Simanjutak; DR. Hefrizal<br />

Handra; Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D; Drs. Pramudjo, M.Soc.Sc; Drs.<br />

Yusrizal Ilyas, MA; Drs. Budi Sitepu, MA; Drs. Adriansyah; Berlin Panjaitan,<br />

SE, MM; Rukijo, SE, MM; Dra. Wendy Julianti, M.Soc.Sc; Dra. Risyana; Ubaidi<br />

Socheh Hamidi, SE, MM; Harmiyo Mahar, SE, M.Soc.Sc; Lisbon Sirait, SE,<br />

ME; Jamiat Aries Calfat, SH.; Ahmad Yani, SH, Ak., MM; Drs. Yusrizal Amir,<br />

MA; Victor Waluyono, SH; Edison Sihombing, SE, MT; Ir. Adijanto, MPA;<br />

Sukarni M Amin, SH; Dra. Diah Syarkorini, MA; Wahyudi Sulestyanto, SE; M.<br />

Sulthon Junaidhi, SE; M. Nafi, SE, MM; Imaduddin, SE.; Lukmanul Hakim,<br />

SST, Ak.; dan Kendra Al Ash’ari, SE atas kontribusinya membantu penyusunan<br />

materi, serta masukannya sehingga terselesaikannya Buku tersebut. Tidak lupa<br />

disampaikan terima kasih kepada Agung Setio Budi; Lukman Adi; Hesti Budi<br />

Utomo; Kurnia; Radityo Putumayor; Cornel Theodolus S; Ricka Yunita<br />

Prasetya; David Rudolf; dan Agus Nugroho yang telah membantu proses<br />

pengumpulan naskah, editing sampai setting, serta semua pihak yang tidak bisa<br />

disebut namanya satu-persatu. Kami ucapkan selamat dan terima kasih atas<br />

kerja kerasnya.<br />

209


Pelengkap Buku Pegangan 2008<br />

Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah<br />

210

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!