d Jubi Online || An Alternative Media in Tanah Papua ||Tabloid
‘RAHASIA’ PENDIDIKAN DI SARMI
Written by Administrator
Saturday, 24 April 2010 00:00
Pendidikan anak usia dini di Kampung Takar Sarmi (Foto/Jubi : IPPM)
Pendidikan anak usia dini di Kampung Takar Sarmi (Foto/Jubi : IPPM)
Jika dunia pendidkan tak diperhatikan, otomatis Papua mengalami “lost generation”. pemerintah wajib
membuat warganya cerdas.
JUBI --- Pendidikan sebenarnya tidak hanya sekedar melatih peserta didik untuk dapat membaca dan
menulis. Namun lebih dari itu, melalui pendidikan dapat membangkitkan rasa percaya diri seorang anak.
Karena itu peran aktif orang tua sangat penting dalam memberi semangat belajar kepada anak untuk
belajar di pendidikan formal (sekolah).
Menurut John Rahail, Direktur Institut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (IPPM) bahwa dalam
membangun sumber daya manusia di Papua khususnya anak-anak, mengalami berbagai kendala.
Misalnya, bangunan sekolah yang tidak memadai, tenaga pengajar yang minim dan persoalan klasik lain.
Namun di lain sisi, rendahnya minat anak-anak masuk sekolah juga merupakan kendala.
Kenyataan tersebut terjadi di banyak tempat termasuk di Kabupaten Sarmi. “Masalah ini semakin
kompleks karena angka partisipasi murid rendah di sekolah walau di Kabupaten Sarmi hampir semua
distrik dan kampung sudah terdapat gedung sekolah dan sarana prasarana belajar-mengajar (SD, SLTP
dan SLTA). Namun belum dimanfaatkan secara optimal,” kata John Rahail kepada JUBI belum lama ini.
Selama tiga tahun mendampingi anak-anak usia sekolah di Sarmi, IPPM mencatat angka partisipasi atau
kehadiran siswa di kelas sangat tinggi. Selain itu proses belajar-mengajar tidak dapat dioptimalkan karena
rasio perbandingan guru murid tidak seimbang, alat peraga tidak memadai, termasuk fasilitas sekolah.
Gedung sekolah tidak memenuhi standar lingkungan sehat (MCK tidak berfungsi). Sedangkan faktor
informal lainnya adalah masih rendah peran orang tua dalam mendorong anak didik untuk bersemangat
masuk sekolah.
Temuan IPPM ini juga seiring dengan laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sarmi Tahun
2006 yang menunjukkan bahwa hanya 65,2 dengan angka rata-rata lama pendidikan di sekolah yang
hanya 6,4 tahun yang berarti bahwa mereka hanya melalui pendidikan formal di tingkat Sekolah Dasar..
Angka buta huruf sendiri mencapai 10% dari total jumlah penduduk 15 tahun ke atas. Begitu pula Angka
Partisipasi Murni (APM) juga semakin menurun antar jenjang pendidikan, dimana APM SD 84,82%,
kemudian SLTP 63,36% dan SLTA hanya 19,17%. “Dari presentase ini jelas memberikan gambaran bahwa
semakin tinggi pendidikan partisipasi penduduk usia sekolah di Kabupaten Sarmi semakin berkurang,” ujar
John Rahail. “Padahal fasilitas pendukung bagi pendidikan di Sarmi cukup memadai tetapi angka siswa
putus sekolah pada tingkat SLTA cukup tinggi.” Lanjut Direktur IPPM ini.
Kabupaten Sarmi salah satu dari 14 kabupaten baru di Provinsi Papua yang dibentuk berdasarkan UU
Nomor 26 Tahun 2002 merupakan hasil pemekaran dari kabupaten induk Kabupaten Jayapura. Secara
administrasi Kabupaten Sarmi terdiri dari 10 distrik, 2 kelurahan dan 84 kampung.
Berdasarkan data Kabupaten Sarmi Dalam Angka 2008, jumlah penduduk Kabupaten Sarmi yang tercatat
sebanyak 26.964 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 14.431 jiwa (53,51%) dan penduduk perempuan
12.533 jiwa (46.49%).
Sesuai data Kabupaten Sarmi Dalam Angka 2008, di Kabupaten Sarmi telah terdapat 52 unit Sekolah
Dasar (SD); Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) sebanyak 9 unit sekolah dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) sebanyak 4 unit sekolah.
Menurut laporan BPS tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sarmi pada 2008, angka
melek huruf penduduk 15 tahun ke atas di Kabupaten Sarmi sebesar 87,1% dengan rata-rata lama
sekolah sekitar 6,4 tahun. Kondisi ini lanjut John Rahail, jelas memberikan gambaran bahwa meskipun
sebagian besar warga di Kabupaten Sarmi memiliki kemampuan membaca dan menulis tetapi mereka tidak
mengenyam bangku pendidikan yang tinggi. Hal ini merupakan kemampuan dasar minimal yang harus
dimiliki oleh setiap individu. Namun yang lebih jelas lagi bahwa partisipasi mereka dalam dunia pendidikan
masih sangat rendah karena rata-rata mereka hanya menamatkan pendidikan dasar atau hanya tamat SD.
Hasil penelitian yang digelar IPPM dan Yayasan Tifa Jakarta pada Tahun 2009 mengungkapkan bahwa
kemunduran pendidikan di Kabupaten Sarmi dipengaruhi berbagai faktor yang terkait dengan pemenuhan
hak atas pendidikan yang bisa dilihat sebagai situasi di Kabupaten Sarmi pada waktu itu.
Rahail mengatakan bahwa untuk meningkatkan peran anak dalam pendidikan formal di sekolah,
pemerintah, melalui instasi terkait, termasuk orang tua siswa harus bekerja sama dalam meningkatkan
minat anak untuk sekolah. Termasuk memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih sekolah yang
diinginkan.
Faktanya pada tingkat SD, SLTP dan SLTA di wilayah perkotaan Kabupaten Sarmi sampai saat ini belum
pernah terjadi pemaksaan oleh pemerintah agar orang tua atau wali murid memasukan anaknya ke
sekolah. Ia mencontohkan SD dan SLTP yang dikelola Yayasan Persekolahan Kristen (YPK) wilayah
Kabupaten Sarmi.
Hampir setiap tahun banyak siswa lulusan SD melanjutkan pendidikan ke SLTP, begitu pula SLTP ke SLTA.
Namun faktanya agak dipaksakan untuk diterima sebab nilai kelulusan tak sesuai standar, terutama
siswa yang merupakan penduduk lokal.
Dalam penempatan guru, IPPM juga menyebutkan bahwa pemerintah setempat keliru dalam
menempatkan tenaga guru. “Ada Sekolah yang minim jumlah tenaga pengajar tetapi tidak ada
penambahan guru baru. Pemerintah menempatkan guru pada sekolah yang jumlah guru sudah memadai.
Ini sangat mengganggu proses belajar mengajar,” ujarnya.
Ia mengatakan, idealnya, Kabupaten Sarmi yang memiliki 52 unit gedung SD paling sedikit membutuhkan
466 orang guru. Sedangkan guru yang tersedia sampai akhir Tahun 2007 adalah sebanyak 294. Jadi masih
kekurangan 174 guru SD. Sedangkan untuk tingkat SLTP, untuk 9 unit gedung SLTP masih dibutuhkan
sebanyak 225 orang guru. Sedangkan jumlah guru yang tersedia hanya sebanyak 77 orang. Artinya, masih
mengalami kekurangan 148 orang guru.
Persoalan kekurangan guru ini diperparah lagi dengan penempatan guru yang tidak merata karena hampir
sebagian besar guru meminta untuk bertugas di perkotaan. Walau sebenarnya tidak sesuai SK (Surat
Keputusan) Penempatan di mana seharusnya bertugas di daerah pedalaman.
Terdapat beberapa sekolah beberapa sekolah yang hanya terdiri dari dua guru kelas yang merangkap
mengajar pada kelas lain. Untuk mengisi kekurangan guru SD, terpaksa penjaga sekolah harus mengajar,
walau kemampuannya di bawah standar. Ini sesuatu yang ironis.
Di Sarmi saat ini masih mengalami kekurangan guru bidang studi. Hal ini sangat mempengaruhi kinerja
para guru dalam mempersiapkan bahan mengajar termasuk proses belajar-mengajar di sekolah. Apalagi
perubahan kurikulum yang terjadi secara nasional juga membuat penerapan kurikulum di sekolah tidak
dapat optimal.
Pada tingkat SLTP dan SLTA, juga terjadi minus guru untuk mata pelajaran eksakta. Lebih banyak lagi
untuk mata pelajaran ilmu sosial. Hal ini dipengaruhi proses penerimaan pegawai (guru-red) yang
kesannya ‘terima begitu saja’ tanpa mempertimbangkan basic pengetahuan dan latar belakang pendidikan
yang jelas.
Untuk memperbaiki masalah pendidikan di Sarmi, minimal Pemkab melakukan kontrak kerja bagi para
guru lepas atau guru kontrak/honor agar mampu menjawab kekurangan tenaga guru ini, terutama di
bidang ilmu eksakta. Kemudian, perlu ada perhatian terhadap kesejahteraan guru agar mereka dapat
bertahan di tempat tugas yang jauh dari kota. Namun terlepas dari semua persoalan pendidikan di
Kabupaten Sarmi, salah satu hal yang seharusnya menjadi perhatian bersama di sana adalah bagaimana
membangkitkan semangat belajar anak-anak didik. Pasalnya pada usia dini kreatifitas anak dapat digali
dengan lebih mendalam. Usia emas mulai pada usia pra sekolah atau pendidikan usia dini (PAUD).
Membangkitkan rasa percaya diri modal penting bagi pendidikan anak-anak. (JUBI/DAM)