05.05.2015 Views

Asasi Edisi Januari-Februari 2010 - Elsam

Asasi Edisi Januari-Februari 2010 - Elsam

Asasi Edisi Januari-Februari 2010 - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Menguji Keabsahan Praktek Pelarangan<br />

Buku dengan Standar Hak <strong>Asasi</strong> Manusia<br />

Memberangus Buku: Membunuh Diri-Sendiri<br />

Pelarangan Buku di Indonesia<br />

Pelarangan Buku:<br />

Otoritarianisme<br />

dari zaman ke zaman<br />

EDISI JANUARI - FEBRUARI <strong>2010</strong><br />

www.elsam.or.id


daftar isi<br />

editorial 04<br />

Bubur Kertas<br />

Demokrasi pasca Orde Baru belum mengubah hubungan negara<br />

dan masyarakat. Keberagaman budaya dan kecerdasan pikiran<br />

belum jadi sumber kekuatan politik bangsa. Kita pun masih<br />

mendaur ulang kebijakan kolonial.<br />

Pelarangan terbitnya buku-buku merupakan bentuk<br />

pengingkaran terhadap demokrasi,dan pelanggaran<br />

hak asasi manusia (dok elsam).<br />

Kolom<br />

internasional<br />

Komisi HAM ASEAN,<br />

Akhirnya Datang juga!<br />

20-21<br />

ASEAN Intergovernmental Commission on<br />

Human Rights (AICHR) menjadi penting<br />

sebagai salah satu usaha dalam proses<br />

membangun komunitas ASEAN, sebagai<br />

sebuah kendaraan yang progresif dalam<br />

pembangunan sosial dan keadilan,<br />

pemenuhan kehormatan manusia dan<br />

pencapaian kualitas hidup yang lebih tinggi<br />

dari masyarakat ASEAN.<br />

resensi<br />

22-23<br />

Bebas dari Penyiksaan:<br />

Perjalanan Masih Panjang<br />

profil elsam 24<br />

laporan utama 5 - 13<br />

Menguji Keabsahan Praktek Pelarangan<br />

Buku dengan Standar Hak <strong>Asasi</strong> Manusia<br />

Keberlangsungan praktek pelarangan buku setelah sebelas<br />

tahun digulirkannya reformasi membawa sejumlah pertanyaan<br />

kritis atas komitmen penegakan dan perlindungan hak asasi<br />

manusia.<br />

Memberangus Buku: Membunuh Diri-Sendiri<br />

Memusnahkan buku umumnya disandingkan juga dengan<br />

sejenis hasrat totalitarianisme. Suatu hasrat untuk melakukan<br />

monopoli terhadap ruang kosong pemaknaan. Hasrat untuk<br />

meniadakan kontestan lain terhadap suatu tafsir, sehingga bisa<br />

menjadi kebenaran tunggal, dan satu-satunya pandangan hidup<br />

dan pegangan warga.<br />

Pelarangan Buku di Indonesia<br />

Mengapa buku harus dilarang? Apa kesalahan dan alasannya?<br />

Bagaimana prosesnya hingga sebuah buku harus dilarang?<br />

Dan, apakah keputusan pelarangan itu lahir dari proses yang<br />

adil, melalui pengadilan? Sejauh mana hukum dan pengadilan<br />

menjadi acuan dalam seluruh proses pelarangan ini?<br />

perspektif 14-16<br />

Seratus Hari SBY: Mengulang Periode Lalu,<br />

Jaminan HAM Hanya Normatif<br />

Persoalan hak asasi manusia (HAM) hanya mengedepankan<br />

jaminan normatif dengan diproduksinya regulasi yang kaya<br />

dengan perlindungan hak asasi manusia, namun miskin dalam<br />

implementasinya.<br />

daerah 17-19<br />

Perda Gerbang Marhamah Cianjur:<br />

Mengikat Tanpa Tali<br />

Beberapa berita mengejutkan muncul dari salah satu kabupaten di<br />

Propinsi Jawa Barat. Dugaan korupsi, penyimpangan dana bantuan<br />

sosial, perempuan pekerja seksual yang beroperasi di Cianjur yang<br />

berjumlah 1.200 orang, dan jumlah pelanggan PSK yang sekitar<br />

6.000 orang. Semua data tersebut mengemuka justru di saat<br />

kabupaten ini sedang gegap dengan identifikasi dirinya sebagai kota<br />

yang mengedepankan akhlaqul karimah dalam seluruh kehidupan<br />

masyarakatnya.


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

pameran<br />

w w w . e l s a m . o r . i d<br />

Redaksional<br />

Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi:<br />

Agung Putri<br />

Wakil Pemimpin Redaksi:<br />

Amiruddin al Rahab<br />

Redaktur Pelaksana:<br />

Atnike Nova Sigiro<br />

Para pembaca Buletin ASASI<br />

yang kami hormati,<br />

Dewan Redaksi:<br />

Agung Putri, Amiruddin al Rahab, Atnike<br />

Nova Sigiro, Indriaswati Dyah<br />

Saptaningrun, Otto Adi Yulianto<br />

Redaktur:<br />

Atnike Nova Sigiro, Betty Yolanda,<br />

Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana<br />

Dyah, Wahyu Wagiman<br />

Sekretaris Redaksi:<br />

Triana Dyah<br />

Sirkulasi/Distribusi:<br />

Khumaedy<br />

Desain & Tata Letak:<br />

alang-alang<br />

Penerbit:<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat<br />

(ELSAM)<br />

Alamat Redaksi:<br />

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar<br />

Minggu, Jakarta 12510,<br />

Telepon: (021) 7972662, 79192564<br />

Faximile: (021) 79192519<br />

E-mail:<br />

office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id<br />

Website:<br />

www.elsam.or.id.<br />

Redaksi senang menerima tulisan, saran,<br />

kritik dan komentar dari pembaca. Buletin<br />

ASASI bisa diperoleh secara rutin.<br />

Kirimkan nama dan alamat lengkap ke<br />

redaksi. Kami juga menerima pengganti<br />

biaya cetak dan distribusi berapapun<br />

nilainya. Transfer ke rekening<br />

ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar<br />

Minggu No. 127.00.0412864-9<br />

<br />

<br />

<br />

<br />

Pameran akan diramaikan dengan berbagai kegiatan seperti diskusi, mural,<br />

pertunjukan musik dll.<br />

ELSAM bekerjasama dengan Institut Sejarah Sosial Indonesia, Ruang Rupa,<br />

Grafis Sosial Indonesia & Dewan Kesenian Jakarta<br />

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat<br />

dikirimkan via email di bawah ini:<br />

asasi@elsam.or.id<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

03


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

editorial<br />

eorang teman baik bercerita,<br />

suatu kali di tahun<br />

60-an Pramoedya Ananta<br />

Toer dihibahi satu peti Sdokumen dari seorang pegawai<br />

Dinas Pendidikan yang kala itu<br />

berkantor di Jalan Kimia, Jakarta<br />

Pusat. Peti diusung ke rumah dan<br />

bagai harta karun begitu dibuka,<br />

isinya tumpukan dokumen asli<br />

laporan intelijen pemerintah<br />

kolonial Hindia Belanda (PID).<br />

Terkuaklah rahasia intelijen<br />

memata-matai partai politik dan<br />

gerak kaum Indisch. Sayang<br />

dokumen bersejarah itu dibakar<br />

tanggal 13 Oktober 1965 saat<br />

tentara dan massa menyerbu<br />

rumahnya. Pram benar-benar<br />

terguncang mendengar dokumen<br />

itu lembar demi lembar dijilat api.<br />

Sesungguhnya sejak itu dia tidak<br />

pernah sembuh dari keguncangan<br />

tersebut. Hanya mengandalkan<br />

ingatan atas dokumen dan atas<br />

'jasa baik' Jendral Sumitro tahun<br />

1977 yang meng'hadiah'i Pram<br />

mesin tik -sekalipun mesin itu tak<br />

pernah diterimanya- sekaligus ijin<br />

mengetik, “Bumi Manusia” lahir,<br />

Minke hadir hingga di buku keempat<br />

“Rumah Kaca”.<br />

Naskah ketik beredar dari unit<br />

ke unit di Pulau Buru, berlayar<br />

mengarungi laut Jawa dari Pulau<br />

Buru kembali ke Jawa. Mendarat di<br />

Nusa Kambangan, berpindah ke<br />

Rutan Salemba, naskah selamat<br />

tiba di rumah. Bersama Joesoef<br />

Isak dan Hasjim Rachman,<br />

sahabatnya, Pram mendirikan<br />

penerbit 'Hasta Mitra' dengan versi<br />

Belandanya 'Manus Amici', dan<br />

menerbitkan naskah tersebut<br />

sebagai serial “Karya Pulau Buru”<br />

tahun 1980. Malang tak henti<br />

merundung. Jaksa Agung kembali<br />

hadir dalam kehidupan kepengarangan<br />

Pram. Kali ini dia datang<br />

untuk melarang peredarannya dan<br />

menginterogasi Pram, Joesoef dan<br />

Hasjim. Jejak Pak Jaksa diikuti oleh<br />

komandan Kodim Yogyakarta. Atas<br />

perintahnya, satuan intelijen dan<br />

militer menangkap Bonar Tigor<br />

Naipospos, Bambang Isti dan<br />

Subono, menyiksa dalam interogasi.<br />

Mereka diadili dan diganjar<br />

hingga 8 tahun oleh hakim<br />

Bubur Kertas<br />

Pengadilan Negeri. Kesalahan<br />

mereka adalah melawan larangan<br />

Jaksa Agung menjual buku Pram.<br />

Kisah dokumen intelijen belum<br />

lagi jadi sejarah. Perintah melarang<br />

peredaran buku tetap bergema<br />

hingga hari ini. Soalnya tak berhenti<br />

pada sifat rezim yang lalim. Benar<br />

Yoga Sugama Kepala Staf<br />

Kopkamtib 1978, pernah berkata<br />

“… the position was given to me has<br />

never had any precedent in any<br />

country, not before. The precedent<br />

was during himmler's time and was<br />

given by Himmler (sic) (seharusnya<br />

Hitler, pen)…” (Tapol, 1979). Tetapi<br />

memasuki koridor pembangunan<br />

bangsa dan modernisasi sejak<br />

tahun 50-an, tak pelak buku duduk<br />

di kederajatan politik tinggi. Seruan<br />

“mencerdaskan kehidupan bangsa”<br />

menjadi ambisi mewujudkan apa<br />

yang disebut Partha Chatterjee<br />

(2004) sebagai bangsa yang<br />

homogen, tak berwajah, tak berdimensi<br />

waktu. Kekal, berstandar dan baku.<br />

D e m i p o l i t i k k e b a n g s a a n ,<br />

pelarangan buku berurusan dengan<br />

perang dingin. Putusnya hubungan<br />

diplomatik dengan Cina dilengkapi<br />

rezim Orde Baru dengan melarang<br />

penggunaan aksara Cina dalam<br />

barang cetakan dan non-cetakan.<br />

Selain Jaksa Agung, Departemen<br />

Pendidikan, Departemen Agama,<br />

bahkan Departemen Perdagangan,<br />

Dirjen Pers dan Grafika, dikerahkan<br />

untuk mengawasi buku.<br />

Di sini juga berlangsung<br />

mistifikasi pelarangan buku. Misi<br />

pembersihan dosa, demikian Jaksa<br />

Agung memuliakan kedudukannya,<br />

dengan tugas kebangsaan yang<br />

pamungkas yaitu memusnahkan<br />

buku. Penghancuran candi, penggulingan<br />

ke laut arca-arca pemujaan<br />

yang dipandang berhala, penghancuran<br />

kerajaan Hindu terakhir, hidup<br />

kembali 500 abad kemudian.<br />

Membakar buku. Padahal tak<br />

sebarispun perundangan memaklumkan<br />

kuasa memusnahkan.<br />

Pernah dikerahkan massa untuk<br />

m e m b u m i h a n g u s k a n b u k u .<br />

Mulanya tim penelaah buku<br />

bergerak menelusuri peredaran<br />

buku hingga ke daerah. Hasilnya,<br />

tak lebih dari 1 bulan 2000 buah<br />

b u k u d i m u s n a h k a n d a l a m<br />

pergolakan politik 45 tahun lalu.<br />

Membakar buku menjadi atraksi<br />

publik mencekam, gigantis, ritualistik<br />

yang diliput media. Hukuman mati<br />

bagi kebudayaan.<br />

Penghangusan gagasan menantang<br />

mereka yang berseberangan:<br />

bahwa pelarangan buku<br />

adalah tindakan paripurna, tak bisa<br />

dicabut apapun situasi politik dan<br />

seberapapun tinggi tingkat kecerdasan<br />

masyarakat. Ini lebih dari<br />

yang diatur dalam PNPS No. 4/<br />

1963. Ketika publik mengecam<br />

betapa tidak beradabnya pembakaran<br />

buku, Jaksa Agung segera<br />

membuatnya tampak 'beradab'.<br />

Teknologi daur ulang, ikon generasi<br />

ketiga gerakan hak asasi manusia<br />

dengan ide pembangunan berkelanjutan<br />

dan penyelamatan lingkungan,<br />

menjalankan perintah mendaur.<br />

Para wartawan kembali diundang<br />

bukan untuk melihat tumpukan abu<br />

sisa bakar melainkan bubur kertas.<br />

Tak ada pasalnya penulis atau<br />

penerbit punya hak membela diri.<br />

Entah buku Yoshihara Kunio<br />

,“Kapitalisme Semu di Asia<br />

Tenggara” atau Harry Poeze tentang<br />

Tan Malaka, Jaksa Agung telah<br />

menjadikannya bubur kertas.<br />

Demokrasi pasca Orde Baru<br />

belum mengubah hubungan negara<br />

dan masyarakat. Keberagaman<br />

budaya dan kecerdasan pikiran<br />

belum jadi sumber kekuatan politik<br />

bangsa. Kita pun masih mendaur<br />

ulang kebijakan kolonial. Dari<br />

haatzaai artikelen dalam wetboek<br />

van Strafrecht, persbreidelordonnantie,<br />

staat van oorlog en beleg<br />

ordonnantie menjadi KUHP, PNPS<br />

No 4 1963 dan menjadi UU No<br />

4/PNPS/1963. Demokrasi ini<br />

bertabur pujian dari berbagai<br />

b e l a h a n d u n i a s e m e n t a r a<br />

pengendalian pikiran selangkah<br />

demi selangkah dilakukan. Apa<br />

boleh buat kertas sudah menjadi<br />

bubur.<br />

Agung Putri<br />

Direktur Eksekutif<br />

04<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

Oleh Indri D. Saptaningrum<br />

(Deputi Program ELSAM)<br />

laporan utama<br />

Menguji Keabsahan<br />

Praktek Pelarangan Buku<br />

dengan Standar Hak <strong>Asasi</strong> Manusia<br />

i penghujung tahun<br />

2009, publik kembali<br />

diramaikan dengan<br />

keputusan Kejaksaan DAgung RI yang melarang<br />

peredaran lima buku, di antaranya<br />

buku Dalih Pembunuhan Massal<br />

karya John Rossa yang diterbitkan<br />

oleh Institut Sejarah Sosial<br />

Indonesia (ISSI) dan Enam Jalan<br />

Menuju Tuhan karya Darmawan<br />

MM. Tindakan ini segera<br />

mengundang kecaman dari<br />

masyarakat dan kelompok Ornop,<br />

seperti tampak dalam pernyataan<br />

sikap dan keprihatinan dari<br />

sejumlah besar tokoh masyarakat<br />

seperti Adnan Buyung Nasution,<br />

Ade Rostina Sitompul, dll. Selain<br />

itu, beberapa penulis juga<br />

melakukan perlawanan dengan<br />

mengajukan peninjauan kembali<br />

atas kewenangan Kejaksaan<br />

dalam melakukan pembreidelan<br />

buku, di antaranya Darmawan,<br />

Roma Dwi Aria, dan ISSI sebagai<br />

penerbit buku Dalih Pembunuhan<br />

Massal.<br />

Keberlangsungan praktek<br />

pelarangan buku setelah sebelas<br />

tahun digulirkannya reformasi<br />

membawa sejumlah pertanyaan<br />

kritis atas komitmen penegakan<br />

dan perlindungan hak asasi<br />

manusia. Telah menjadi pengetahuan<br />

publik bahwa reformasi<br />

membuka ruang percepatan<br />

institusionalisasi kerangka<br />

normatif perlindungan hak asasi.<br />

Segera setelah transisi politik<br />

bergulir di tahun 1998, serangkaian<br />

perubahan konstitusional<br />

yang diikuti dengan penerbitan<br />

berbagai ketentuan perundangundangan<br />

menguatkan jaminan<br />

normatif hak asasi manusia. Oleh<br />

karena itu, berlangsungnya<br />

praktek pelarangan buku ini<br />

menjadi semacam ironi atas<br />

komitmen pemajuan hak asasi<br />

tersebut. Pertanyaannya kemudian,<br />

bagaimana hak asasi memandang<br />

praktek semacam ini, dan<br />

seberapa jauh standar penghormatan<br />

dan perlindungan hak<br />

asasi manusia dihormati oleh<br />

Pemerintah (baca: Kejaksaan<br />

Agung) ketika melakukan<br />

pelarangan. Tulisan ini akan<br />

menguraikan lebih jauh bagaimana<br />

hak asasi memandang kebijakan<br />

pelarangan buku tersebut,<br />

termasuk prinsip-prinsip umum<br />

yang terkait dengan perlindungan<br />

hak dan standar hak asasi yang<br />

harus dipertimbangkan dalam<br />

kebijakan pelarangan buku .<br />

Pelarangan Buku sebagai<br />

Pelanggaran Hak <strong>Asasi</strong> Manusia<br />

Kewenangan Kejaksaan untuk<br />

melarang buku memperoleh<br />

dasar hukumnya dari undangundang<br />

(UU) No 16 tahun 2004<br />

tentang Kejaksaan Republik<br />

Indonesia, khususnya Pasal 30<br />

(3) huruf c. Berdasarkan<br />

ketentuan perundang-undangan<br />

tersebut, dalam bidang ketentraman<br />

umum, Kejaksaan memperoleh<br />

kewenangan untuk<br />

melakukan pengawasan terhadap<br />

peredaran barang cetakan.<br />

Dalam ketentuan perundangundangan<br />

lain dapat ditemukan<br />

cakupan barang cetakan, yakni<br />

buku, brosur, bulletin, surat kabar<br />

harian, majalah, penerbitan<br />

berkala, pamflet, poster, dan<br />

surat-surat yang ditujukan untuk<br />

disebarkan atau dipertunjukkan<br />

kepada khalayak ramai (Pasal 2<br />

UU No 4/PNPS/1963). Dalam<br />

perkembangan kemudian, khususnya<br />

di masa Orde Baru,<br />

pengawasan terhadap barang<br />

cetakan berupa surat kabar dan<br />

majalah ataupun bentuk terbitan<br />

berkala lainnya (baca kewenangan<br />

melakukan breidel) dialihkan<br />

kepada Kementrian Penerangan.<br />

Namun setelah tahun 1998,<br />

kewenangan semacam ini tidak<br />

lagi ada seiring dengan dihapusnya<br />

Departemen Penerangan,<br />

digantikan oleh pembentukan<br />

Kementrian Komunikasi dan<br />

Informasi (Kominfo). Dengan<br />

demikian, hanya kewenangan<br />

pengawasan peredaran barang<br />

cetakan berupa buku, pamflet,<br />

poster dan surat yang ada di<br />

Kejaksaan Agung yang sampai<br />

saat ini masih terus berlangsung.<br />

Kebijakan publik semacam ini<br />

memang tidak popular di negaranegara<br />

demokratis karena<br />

dipandang sebagai tindakan<br />

represif yang mencerminkan<br />

watak otoritarian pemegang<br />

kekuasaan. Selain itu, apabila<br />

Ilustrasi. dok.www,kompas.com<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

05


laporan utama<br />

dilakukan secara tidak tepat dan<br />

gegabah, tindakan ini justru<br />

merupakan pelanggaran hak<br />

asasi manusia. Pertama,<br />

kebijakan ini dapat secara<br />

langsung melanggar hak warga<br />

n e g a r a ( p e n u l i s ) u n t u k<br />

menyatakan pendapat dan<br />

kebebasan untuk berekspresi<br />

yang dijamin dalam Pasal 19 Ayat<br />

1 dan 2 Kovenan Hak Sipil dan<br />

Politik yang telah diratifikasi<br />

melalui UU No 12 Tahun 2005.<br />

Kedua, tindakan pelarangan juga<br />

d a p a t s e c a r a l a n g s u n g<br />

menghalangi hak warga negara<br />

(pembaca) untuk mencari dan<br />

memperoleh informasi, yang<br />

dijamin dalam pasal yang sama.<br />

Lantas kapan tepatnya suatu<br />

tindakan pelarangan dapat<br />

dikatakan sebagai tindakan<br />

p e l a n g g a r a n h a k a s a s i<br />

manusia?<br />

Memang seperti diatur lebih lanjut<br />

dalam Pasal 19 (3) Kovenan<br />

tersebut, penikmatan hak ini<br />

membawa kewajiban dan<br />

tanggung jawab khusus. Oleh<br />

karenanya, pemenuhan hak ini<br />

dimungkinkan tunduk pada<br />

pembatasan tertentu. Namun<br />

pembatasan ini hanya dapat<br />

dilakukan apabila:<br />

(1) Diatur dalam undangundang,<br />

(2) Untuk melindungi hak<br />

atau reputasi orang lain,<br />

(3) Untuk perlindungan<br />

keamanan nasional, atau<br />

ketertiban umum, atau<br />

kesehatan masyarakat<br />

atau moral publik.<br />

Lebih lanjut ditegaskan oleh<br />

Komite Hak Sipil dan Politik PBB<br />

bahwa tindakan pembatasan<br />

tersebut, meskipun dimungkinkan,<br />

tidak boleh membahayakan<br />

hak tersebut (Komentar<br />

Umum Komite Hak Sipil dan<br />

Politik paragraf 4) sehingga<br />

menghilangkan jaminan penikmatan<br />

hak tersebut.<br />

Prasyarat dan prosedur<br />

pembatasan seperti diatur dalam<br />

kovenan tersebut memang<br />

dirumuskan dengan bahasa yang<br />

sangat umum yang memungkinkan<br />

adanya variasi pemahaman<br />

dan inteprestasi, misalnya<br />

terkait dengan batasan dan<br />

cakupan ketertiban umum,<br />

keamanan nasional maupun<br />

kesehatan masyarakat ataupun<br />

moral publik. Upaya untuk<br />

merumuskan suatu panduan<br />

yang lebih rigid atas praktek<br />

pembatasan hak-hak sipil dan<br />

politik melahirkan Prinsip-Prinsip<br />

Siracusa yang secara universal<br />

telah dipergunakan oleh badanbadan<br />

PBB dan organisasi<br />

internasional lainnya untuk<br />

menilai tindakan pembatasan hak<br />

oleh negara. Prinsip ini lahir dari<br />

suatu konferensi internasional di<br />

Siracusa Italia di tahun 1984 yang<br />

diprakarsai sejumlah NGOs dan<br />

didukung oleh akademisi serta<br />

praktisi hak asasi dari seluruh<br />

dunia. Serangkaian prinsip ini<br />

kemudian diadopsi badan dunia<br />

PBB di tahun yang sama.<br />

B e r d a s a r k a n p r i n s i p<br />

Siracusa, prasyarat 'diatur dalam<br />

undang-undang' mensyaratkan<br />

lima hal:<br />

1. Pembatasan hanya dapat dilakukan<br />

melalui suatu undangundang<br />

yang secara umum<br />

berlaku yang substansinya<br />

konsisten dengan Kovenan.<br />

Dengan demikian, keberadaan<br />

suatu undang-undang sebagai<br />

suatu alas pembenar pelarangan<br />

tidak secara otomatis bisa<br />

menjadi justifikasi keabsahan<br />

tindakan pelarangan tersebut.<br />

Apabila substansi dari undangundang<br />

tersebut tidak sesuai<br />

a t a u k o n s i s t e n d e n g a n<br />

Kovenan, tindakan pelarangan<br />

justru dapat menjadi suatu<br />

bentuk pelanggaran hak asasi,<br />

2. Selain itu, hukum yang<br />

dipergunakan untuk mendasari<br />

pembatasan haruslah tidak<br />

bersifat semena-mena dan<br />

masuk akal,<br />

3. Aturan hukum yang membatasi<br />

penikmatan hak asasi tersebut<br />

haruslah dirumuskan secara<br />

jelas dan dapat diakses oleh<br />

setiap orang,<br />

4. Perlindungan yang memadai<br />

dan pemulihan yang efektif<br />

harus disediakan oleh hukum<br />

atas penerapan kebijakan<br />

pembatasan yang melawan<br />

hukum dan kejam,<br />

5. Negara memiliki beban untuk<br />

menunjukkan bahwa pembatasan<br />

tersebut tidak merusak fungsi<br />

demokratis masyarakat.<br />

Perumusan prasyarat ini<br />

ditegaskan lebih lanjut melalui<br />

prinsip Johannesburg yang secara<br />

khusus menguraikan prinsipprinsip<br />

utama pembatasan<br />

penikmatan atas kebebasan<br />

berekspresi dan mengeluarkan<br />

pendapat. Berdasarkan prinsip ini,<br />

prasyarat kejelasan substansi<br />

undang-undang yang dipergunakan<br />

untuk melakukan pembatasan<br />

diuraikan dengan lebih mendetail<br />

dengan mensyaratkan keterjangkauan,<br />

batasan dan ketepatan<br />

rumusan sehingga memungkinkan<br />

seseorang menilai sah<br />

tidaknya tindakan pelarangan<br />

yang diterapkan.<br />

Dengan mempertimbangkan<br />

kelima elemen tersebut sebagai<br />

indikator, tampaknya sulit<br />

m e m b e r i k a n p e m b e n a r a n<br />

terhadap praktek pelarangan yang<br />

d i d a s a r k a n p a d a U U N o<br />

4/PNPS/1964. Sebaliknya justru<br />

terlihat absennya beberapa<br />

prasyarat penting, seperti absennya<br />

mekanisme perlindungan dan<br />

pemulihan yang efektif bagi<br />

korban pelarangan. Dengan<br />

demikian, lebih mudah mengidentifikasi<br />

tindakan tersebut sebagai<br />

bentuk pelanggaran daripada<br />

menemukan argumentasi yang<br />

kuat untuk menunjukkan kesesuaiannya<br />

dengan prinsip dan<br />

standar hak asasi manusia<br />

Selain itu, pelarangan buku<br />

paling sering dikaitkan dengan<br />

alasan melindungi ketertiban<br />

umum. Meskipun ketertiban<br />

umum merupakan alasan yang<br />

dapat dibenarkan dalam melakukan<br />

pembatasan, cakupan<br />

pengertian ketertiban umum perlu<br />

diperiksa apakah sesuai dengan<br />

standar hak asasi yang telah<br />

diakui secara universal. Artinya<br />

negara tidak dapat secara<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

06 EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


laporan utama<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

semena-mena atau sepihak<br />

mengintepretasikan rumusan<br />

ketertiban umum tersebut tanpa<br />

d a s a r y a n g k u a t . S u a t u<br />

pertimbangan atau kondisi tertentu<br />

yang menjadi keprihatinan dalam<br />

masyarakat, tidak dengan serta<br />

merta dapat diintepretasikan<br />

sebagai ketertiban umum.<br />

Sebagai contoh, ketertiban umum<br />

dalam tindakan pelarangan buku<br />

dan barang cetakan hampir selalu<br />

dikaitkan dengan kekhawatiran<br />

akan munculnya keresahan di<br />

kalangan masyarakat, atau akan<br />

memicu terjadinya kekerasan dan<br />

gangguan ketertiban umum.<br />

Meskipun tampak masuk<br />

akal, tidak secara otomatis alasan<br />

ini sesuai dengan standar hak<br />

asasi yang berlaku. Berdasarkan<br />

prinsip Siracusa, ketertiban umum<br />

setidaknya harus diintepretasikan<br />

sebagai pertama, serangkaian<br />

norma yang menjamin berfungsinya<br />

masyarakat, atau seperangkat<br />

prinsip-prinsip dasar yang menjadi<br />

dasar pembentukan masyarakat.<br />

Penghormatan atas hak asasi<br />

merupakan bagian yang inheren<br />

dari ketertiban umum tersebut.<br />

Kekhawatiran akan timbulnya<br />

'kerawanan sosial' tampaknya<br />

masih jauh dari memadai untuk<br />

dapat menjelaskan terlanggarnya<br />

prinsip-prinsip dasar yang<br />

membentuk masyarakat. Oleh<br />

karena itu, kecuali terdapat<br />

seperangkat prosedur dan<br />

mekanisme yang sahih untuk<br />

menyangga kesimpulan yang<br />

menjadi alas pelarangan tersebut,<br />

sulit menghindarkan kesimpulan<br />

bahwa tindakan tersebut merupakan<br />

pelanggaran hak asasi.<br />

Apalagi, prinsip Siracusa juga<br />

mensyaratkan adanya mekanisme<br />

kontrol atas kewenangan pemerintah<br />

dalam menjaga ketertiban<br />

umum, baik melalui badan<br />

legislatif, pengadilan ataupun<br />

badan independen lain yang<br />

kompeten (Siracusa Principle B. iii.<br />

Para 24).<br />

Menuju Kebijakan Berbasis<br />

Hak dalam Pengaturan Barang<br />

Cetakan dan Publikasi<br />

Sebagai suatu medium penyampaian<br />

gagasan ataupun ekspresi,<br />

keberadaan barang cetakan<br />

ataupun bentuk publikasi lain<br />

penting untuk mendorong perkembangan<br />

pengetahuan sosial<br />

masyarakat. Oleh karena itu,<br />

suatu kebijakan yang dapat<br />

memungkinkan distribusi pengetahuan<br />

di antara anggota<br />

masyarakat merupakan suatu<br />

keniscayaan. Secara normatif,<br />

perubahan konstitusional yang<br />

mengikuti transisi politik di tahun<br />

1998 telah memperkuat jaminan<br />

perlindungan hak asasi manusia.<br />

Jaminan normatif ini semakin<br />

menguat dengan langkah pemerintah<br />

untuk meratifikasi dua<br />

kovenan utama yakni Kovenan<br />

Internasional untuk Hak Sipil dan<br />

Politik serta Kovenan Internasional<br />

untuk Hak Ekonomi, Sosial dan<br />

Budaya melalui UU No 11 dan 12<br />

tahun 2005.<br />

Untuk dapat merealisasikan<br />

jaminan normatif tersebut,<br />

pemerintah perlu mengambil<br />

beberapa langkah penting yang<br />

tidak dapat ditunda. Salah<br />

satunya adalah menyesuaikan<br />

peraturan perundang-undangan<br />

yang masih berlaku hingga saat<br />

ini agar sesuai dengan standar<br />

dan prinsip hak asasi manusia<br />

yang ada baik dalam konstitusi<br />

maupun ketentuan perundangundangan<br />

yang lain, termasuk UU<br />

No 4/PNPS/1963 ini.<br />

Selain itu, perubahan ini juga<br />

perlu dilakukan sebagai bagian<br />

dari proses transisi agar bisa<br />

ditarik garis tegas antara rezim<br />

yang saat ini sedang berjalan<br />

dengan praktek otoritarian di<br />

masa yang lampau. Selama ini,<br />

gagasan untuk menarik garis<br />

tegas dengan masa lalu hampir<br />

selalu dikaitkan dengan pertanggungjawaban<br />

atas pelanggaran<br />

HAM berat di masa lampau.<br />

Mudah-mudahan publik tidak<br />

lupa, bahwa praktek pelarangan<br />

ini merupakan salah satu praktek<br />

yang tidak pernah terganggu<br />

dengan hiruk pikuk reformasi.<br />

Rezim boleh berganti, namun<br />

praktek pelarangan buku seperti<br />

tak kenal pergantian. Dari tahun<br />

ke tahun terus berlangsung,<br />

dilakukan oleh institusi negara<br />

yang sama, dengan dasar<br />

ketentuan hukum yang sama yang<br />

diwarisi pada masa Soekarno.<br />

Kalau bukan sekarang, kapan<br />

garis tegas dari praktek kesewenangan<br />

di masa lalu itu dapat<br />

dilakukan?<br />

Keterangan<br />

1. Secara umum dalam Kovenan Hak<br />

Sipil dan Politik memang dikenal<br />

dua klasifikasi hak yakni hak yang<br />

dapat dikurangi pemenuhannya<br />

pada situasi tertentu (derogable<br />

rights) dan hak yang tak dapat<br />

dikurangi penikmatannya dalam<br />

situasi apapun (non-derogable<br />

rights). Hak atas kebebasan<br />

berekspreksi dan menyatakan<br />

pendapat termasuk dalam klasifikasi<br />

hak yang pertama, sehingga tunduk<br />

pada kemungkinan pembatasan<br />

tersebut. Alasan yang paling umum<br />

dipergunakan untuk melakukan<br />

pembatasan adalah kondisi<br />

kegentingan/darurat.<br />

2. Prinsip Johannesburg dihasilkan<br />

dalam suatu pertemuan internasional<br />

di Johannesburg, Afrika yang dihadiri<br />

oleh sekelompok ahli dalam hukum<br />

internasional, keamanan nasional,<br />

dan hak asasi pada tanggal 1<br />

Oktober 1995. Prinsip ini dirumuskan<br />

berdasarkan standar hukum<br />

internasional dan regional yang<br />

terkait dengan perlindungan hak<br />

asasi manusia, dan perkembangan<br />

penerapannya seperti tercermin<br />

melalui putusan pengadilan, serta<br />

prinsip-prinsip umum hukum yang<br />

diakui oleh bangsa-bangsa.<br />

Semenjak diadopsi, prinsip ini telah<br />

secara luas dipergunakan terlebih<br />

setelah diadopsi oleh badan PBB<br />

sebagai suatu dokumen resmi meski<br />

tidak memiliki kekuatan hukum<br />

mengikat di tahun 1984.<br />

3. Lihat, siaran pers Kejaksaan Agung<br />

tanggal 28/12/2009, dapat diunduh<br />

di http://www.kejaksaan.go.id/<br />

siaranpers.php?id=244<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

07


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

laporan utama<br />

Memberangus Buku:<br />

Membunuh Diri-Sendiri<br />

Oleh Daniel Hutagalung<br />

(Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)<br />

“Whenever they burn books, they will also, in the end, burn human beings” Heinrich Heine<br />

n t a h m e n g a p a , d i<br />

Indonesia buku menjadi<br />

demikian menakutkan.<br />

Dibandingkan dengan Edunia maya yang aksesnya bisa<br />

lebih luas dan lebih mudah, bisa<br />

jadi sebuah buku lebih terbatas<br />

peredarannya, harus digapai di<br />

toko-toko buku, pun dengan<br />

jumlah yang terbatas. Namun<br />

buku menjadi demikian penting<br />

nilainya hingga ia harus<br />

diberangus dan peredarannya<br />

dilarang. Novel mahsyur The<br />

Name of the Rose karya Umberto<br />

Eco juga mengangkat soal<br />

larangan membaca buku karya<br />

Aristoteles di dalam lingkungan<br />

biara Katolik abad ke-14. Eco<br />

menulis kisah tentang betapa<br />

berkuasanya doktrin kebenaran<br />

absolut sehingga intepretasi<br />

individual atas teks Comedy<br />

karya Aristoteles diharamkan dan<br />

Pembakaran buku-buku oleh pemerintah Nazi di Berlin pada Mei, 1933.<br />

Dok.http://en.wikipedia.org/wiki/Nazi_book_burnings<br />

dilarang, sehingga siapapun yang<br />

membacanya akan mengalami<br />

kematian mengenaskan, karena<br />

buku yang tersimpan di dalam<br />

sebuah bagian terlarang dalam<br />

perpustakaan di biara itu telah<br />

dibubuhi racun.<br />

Karya Eco memberikan<br />

suatu gambaran betapa buku<br />

menjadi suatu hal yang amat<br />

ditakuti. Kadangkala, jauh lebih<br />

ditakuti ketimbang si penulisnya<br />

sendiri. Tidak perlu jauh menarik<br />

ke masa kolonialisme, di masa<br />

Soekarno dan Soeharto pelarangan<br />

buku juga kerap terjadi. Pramoedya<br />

Ananta Toer, merupakan<br />

pengarang yang bukunya<br />

dilarang di dua era pemerintahan<br />

tersebut. Tulisan dan novel-novel<br />

karya Pramoedya dinilai membahayakan<br />

dan bisa menggangu<br />

ketertiban umum. Buku-bukunya<br />

dilarang, namun orangnya bebas<br />

dan tetap menulis (meskipun<br />

hidup dalam pengawasan ketat),<br />

demikian juga dialami buku-buku<br />

lainnya. Kisah pelarangan buku<br />

terus berlanjut sampai di masa<br />

pemerintahan Susilo Bambang<br />

Yudhoyono (SBY). Kisah tragis<br />

paling akhir, salah satunya<br />

menimpa buku Dalih Pembunuhan<br />

Massal karya John Roosa, yang<br />

dilarang peredarannya oleh<br />

Kejaksaan Agung RI.<br />

Tulisan ini mencoba<br />

untuk melihat secara umum<br />

mengapa buku dilarang dan<br />

ditakuti dalam suatu rentang<br />

kepolitikan tertentu, dengan fokus<br />

pelarangan buku di Indonesia.<br />

Biblioclasm: Pemusnahan<br />

Budaya<br />

Buku menjadi amat menakutkan<br />

pada saat ia menjadi intepretasi<br />

lain dari suatu tafsir kebenaran<br />

yang diabsolutkan. Ketakutannya<br />

adalah: intepretasi lain tersebut<br />

akan diyakini banyak orang, dan<br />

perlahan menggerogoti kebenaran<br />

absolut yang diciptakan atas suatu<br />

tafsir, baik peristiwa, kejadian<br />

maupun doktrin tertentu. Dalam<br />

novel Eco yang digerogoti adalah<br />

tafsir kebenaran absolut agama<br />

dan gereja. Dengan itu, buku<br />

(representasi) kerapkali menjadi<br />

jauh lebih ditakuti daripada<br />

penulisnya (presentasi).<br />

Bentuk awal pemusnahan<br />

buku adalah aksi pembakaran<br />

buku dan penghancuran perpustakaan,<br />

atau umumnya dikenal<br />

dengan istilah biblioclasm atau<br />

juga bibliocaust, yang dapat<br />

dirujuk pada aksi perusakan<br />

perpustakaan Alexandria, penghancuran<br />

manuskrip-manuskrip<br />

Indian Maya oleh gereja setelah<br />

pendudukan Spanyol, pembakaran<br />

buku jaman Nazi, penghancuran<br />

perpustakaan Sarajevo, dan<br />

lainnya. Pemusnahan buku<br />

dipandang sebagai suatu wujud<br />

penghancuran kebudayaan<br />

(cultural destruction), bahkan<br />

menjurus pada pemusnahan<br />

kebudayaan (cultural extinction).<br />

Dalam studi Rebecca Knuth<br />

(2006), sejarah biblioclasm<br />

umumnya berjalinan erat dengan<br />

s e j a r a h v a n d a l i s m e d a n<br />

kekerasan politik, di mana pada<br />

08<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


laporan utama<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

masa klasik, penghancuran<br />

perpustakaan merupakan bagian<br />

dari rutinitas peperangan.<br />

Perampasan barang-barang<br />

perpustakaan menjadi simbol<br />

bagi si pemenang perang untuk<br />

menunjukkan kekuasaannya,<br />

s e k a l i g u s m e m u s n a h k a n<br />

rekaman kejayaan dari wilayah<br />

yang ditaklukkan. Penghancuran<br />

perpustakaan dan pemusnahan<br />

buku adalah sekaligus memutus<br />

ingatan masa lalu dan pengikisan<br />

identitas budaya komunitaskomunitas<br />

yang ditaklukkan.<br />

Penghancuran perpustakaan<br />

Alexandria bahkan menghantui<br />

peradaban Eropa sampai hari ini.<br />

Knuth (2003) menamai<br />

aksi-aksi vandal pemberangusan<br />

buku dengan: libricide, yang<br />

artinya kira-kira pembunuhan<br />

buku (Knuth mempersamakannya<br />

dengan istilah “homicide”<br />

dalam artian menghilangkan<br />

nyawa seseorang). Libricide<br />

secara etimologi merefleksikan<br />

keterkaitannya dengan istilah<br />

genosida dan etnosida sekaligus,<br />

yang bagi Knuth merujuk pada,<br />

“specifically to the twentiethcentury,<br />

large-scale, regimesanctioned<br />

destruction of books<br />

a n d l i b r a r i e s , p u r p o s e f u l<br />

initiatives that were designed to<br />

advance short and long term<br />

ideologically driven goals”.<br />

Sebagian contoh yang diuraikan<br />

Knuth di antaranya: Nazi Jerman,<br />

pembakaran perpustakaan di<br />

Kuwait, dan Yugoslavia pada<br />

masa disintegrasi. Ciri utama dari<br />

libricide adalah bahwa aktivitas ini<br />

mendapat dukungan dari rezim<br />

yang berkuasa, jadi bukan<br />

semata-mata suatu tindakan<br />

spontan yang dilakukan oleh<br />

individu atau kelompok. Tujuantujuan<br />

yang ingin dicapai dari aksi<br />

ini di antaranya untuk menggelapkan<br />

atau menghapuskan: sejarah,<br />

ingatan kolektif, sistem<br />

keyakinan, nasionalisme dan<br />

informasi perkembangan masyarakat.<br />

Memusnahkan buku<br />

umumnya disandingkan juga<br />

dengan sejenis hasrat totalitarianisme.<br />

Suatu hasrat untuk<br />

melakukan monopoli terhadap<br />

ruang kosong pemaknaan.<br />

Hasrat untuk meniadakan<br />

kontestan lain terhadap suatu<br />

tafsir, sehingga bisa menjadi<br />

kebenaran tunggal, dan satusatunya<br />

pandangan hidup dan<br />

pegangan warga. Soeharto dan<br />

rezim Orde Baru-nya terbilang<br />

sukses menjalankan ini. Dalam<br />

luapan hasrat totalitarianisme<br />

O r d e B a r u , s e j a r a h d a n<br />

pengetahuan masyarakat secara<br />

paksa dijadikan suatu yang baku<br />

dalam suatu wadah tunggal,<br />

berupa doktrin kebenaran tafsiran<br />

rezim Soeharto. Untuk mencapai<br />

titik itu maka segala sumber<br />

informasi dan pengetahuan yang<br />

berbeda, maupun versi-versi lain<br />

yang bisa dianggap menjadi<br />

kebenaran, atau menjadi ragam<br />

kebenaran (yang tidak tunggal),<br />

s e g e r a d i h a n c u r k a n a t a u<br />

setidaknya dibatasi. Penyeragaman<br />

kebudayaan dijalankan<br />

lewat lajur monopoli kebenaran.<br />

Hasrat totalitarianisme<br />

dan libricide bertaut dalam diri<br />

Orde Baru. Akibatnya budaya<br />

masyarakat mengalami perubahan<br />

drastis: malas berdebat, enggan<br />

mengkritik, menghindari pengemukaan<br />

pandangan lain, dan<br />

terutama terbungkam-erat kala<br />

menyinggung Peristiwa 1965.<br />

Tidak ada keterbukaan dan<br />

perbedaan pandangan, pikiran,<br />

argumen selain yang disediakan<br />

rezim Orde Baru. Pemberangusan<br />

tidak melulu pada isi<br />

buku, melainkan juga pada<br />

penulis tertentu, yang apapun<br />

yang ia tulis harus dilarang dan<br />

diberangus, tidak boleh mendapat<br />

tempat dalam diskursus Orde<br />

Baru. Karena itu, sejumlah<br />

dimensi luruh dari kamus<br />

kehidupan manusia Indonesia<br />

semasa Orde Baru. Orde Baru<br />

berhasil menciptakan budaya<br />

baru dan menyingkirkan sejumlah<br />

budaya yang sebelumnya<br />

melekat dalam kehidupan<br />

manusia Indonesia, yang salah<br />

satunya melalui tindakan<br />

memberangus dan melarang<br />

buku.<br />

Ilustrasi pelarangan buku . dok.koran republika.com<br />

Pelarangan Buku di Era<br />

R e f o r m a s i : V a n d a l i s m e<br />

Pemerintahan SBY<br />

Pembakaran buku-buku Pelajaran<br />

Sejarah untuk SMP dan SMU pada<br />

2007 oleh Kejaksaan Tinggi di<br />

seluruh Indonesia, karena menghilangkan<br />

kata “PKI” dari “G-30-S”,<br />

merupakan upaya memutus<br />

rekaman ingatan orang Indonesia<br />

atas Peristiwa 1965 sebagai ruang<br />

bagi berbagai kemungkinan tafsir.<br />

Bayangkan: Kejaksaan<br />

Tinggi Semarang pada 19 Juni<br />

2007 memusnahkan 14.960 buku<br />

Pelajaran Sejarah untuk SMP dan<br />

SMA yang berdasarkan Kurikulum<br />

2004, dengan mesin penghancur.<br />

Tindakan tersebut disusul<br />

Kejaksaan Tinggi Bandung<br />

bersama Dinas Pendidikan dan<br />

Pemda Kota Bandung dengan<br />

cara membakar 2.258 buku yang<br />

sama pada 26 Juli 2007.<br />

Pembakaran dan penghancuran<br />

buku yang sama juga terjadi di<br />

D e p o k , B o g o r, M a k a s s a r,<br />

Indramayu, Kupang dan Riau.<br />

Pembakaran buku ini merupakan<br />

tindakan yang pertama kali<br />

dilakukan di era reformasi.<br />

Pelarangan buku terakhir kali<br />

dilakukan di era Orde Baru.<br />

Kasus pelarangan yang<br />

berujung pembakaran buku<br />

tersebut berawal dari pengaduan<br />

Yusuf Hasyim, Taufik Ismail dan<br />

Fadli Zon ke Dewan Perwakilan<br />

Rakyat, bahwa di Jawa Timur<br />

ditemukan buku Pelajaran Sejarah<br />

untuk siswa SMP dan SMA yang<br />

tidak mencantumkan keterlibatan<br />

Partai Komunis Indonesia dalam<br />

Peristiwa Madiun 1948 dan<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

09


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

laporan utama<br />

pembunuhan petinggi TNI AD<br />

tahun 1965 (Analisis Mingguan,<br />

No.21/2007)<br />

Dari laporan tersebut<br />

DPR kemudian memanggil<br />

Mendiknas Bambang Sudibyo<br />

dan melakukan rapat koordinasi.<br />

Selepas rapat, Mendiknas<br />

meminta Badan Standar Nasional<br />

Pendidikan (BSNP) untuk<br />

membentuk tim khusus. Tim yang<br />

terbentuk terdiri dari Djoko Suryo<br />

(Sejarawan/Guru Besar UGM),<br />

Hamid Hasan (Pakar Pendidikan<br />

UPI Bandung), Susanto Zuhdi<br />

(Sejarawan/Guru Besar FIB UI),<br />

Wasino (Sejarawan Universitas<br />

Negeri Semarang) dan W.<br />

S o e t o m o ( S e m a r a n g ) .<br />

Rekomendasi yang dihasilkan<br />

oleh tim ini adalah perlunya<br />

dicantumkan kata “PKI” setelah<br />

“Peristiwa G30S 1965” dan<br />

“Peristiwa Madiun 1948”. Dalam<br />

uji publik kurikulum yang<br />

diselenggarakan 1 Desember<br />

2005, Asvi Marwan Adam<br />

mengatakan bahwa mereka yang<br />

terlibat pada Peristiwa 1965<br />

menyebut dirinya sebagai<br />

“Gerakan 30 September”,<br />

sehingga semestinya istilah yang<br />

lebih obyektif ini digunakan,<br />

karena memang ada berbagai<br />

versi tentang dalang peristiwa itu<br />

(Tempo Interaktif, 15/3/2007).<br />

P e m b a k a r a n d a n<br />

pemusnahan buku sebagaimana<br />

dilakukan Kejaksaan Tinggi,<br />

Dinas Pendidikan dan Pemda di<br />

sejumlah wilayah di Indonesia<br />

tersebut, mengingatkan kita<br />

k e m b a l i k e p a d a p e r i l a k u<br />

vandalisme pemusnahan buku<br />

jaman Nazi pada tahun 1933.<br />

Pembakaran maupun pelarangan<br />

buku merupakan wujud kebencian<br />

terhadap pemikiran, dan upaya<br />

membenamkan adanya kemungkinan<br />

kebenaran yang lain ke<br />

dalam sumur gelap, dan kita tak<br />

diijinkan untuk mengoreknya<br />

kembali.<br />

Ada semacam ketakutan<br />

terhadap “argumen”, “pandangan”<br />

atau “perspektif” yang berbeda<br />

dengan yang dibangun Orde Baru<br />

mengenai Persitiwa 1965.<br />

Akademisi, sejarawan dan<br />

ilmuwan yang biasanya bertindak<br />

atas dasar kebebasan mimbar<br />

akademik, rasionalitas, kebenaran,<br />

obyektivitas, validitas dan<br />

nilai etis agaknya enggan atau<br />

mungkin takut, untuk keluar dari<br />

monopoli tafsir kebenaran Orde<br />

Baru, dan lebih memilih untuk<br />

merekomendasikan pelarangan<br />

buku ketimbang menjenguk lebih<br />

dalam mengenai kontroversi<br />

Peristiwa 1965. Rekomendasi itu<br />

merupakan ironi sekaligus<br />

kejahatan terbesar dalam dunia<br />

pendidikan di Indonesia, di mana<br />

para akademisi terkemuka<br />

menganjurkan tindakan yang<br />

sangat diharamkan oleh dunia<br />

akademik: memberangus buku!<br />

Petanda ini menunjukkan<br />

bahwa rezim SBY tetap menerima<br />

begitu saja seluruh argumen<br />

yang diciptakan Orde Baru<br />

mengenai Peristiwa 1965.<br />

Argumen ini pernah coba digoyah<br />

oleh Presiden ke-4 RI, Abdurrahman<br />

Wahid, dengan mengusulkan<br />

pencabutan TAP MPRS<br />

No.25/1966, namun kandas dan<br />

gagal. Bagi rezim SBY, tidak<br />

boleh ada argumen lain, seilmiah<br />

apapun, yang boleh menandingi<br />

apa yang sudah dibuat Orde<br />

Baru. Lewat Kejaksaan Agung,<br />

monopoli kebenaran dan tafsir<br />

tunggal ciptaan Soeharto terusmenerus<br />

dipertahankan. Maka,<br />

apapun yang tersimpan di balik<br />

Peristiwa 1965, kalaupun terdapat<br />

kejahatan kemanusiaan yang<br />

menggiriskan, akan tersimpanaman<br />

di dalam laci meja rezim<br />

SBY.<br />

Penutup<br />

Rezim-rezim yang melakukan<br />

pemberangusan buku umumnya<br />

rezim yang berhasil mengkonsolidasikan<br />

kekuasannya, di mana<br />

ideologi menjadi pijakan rasional<br />

bagi totalitarianisme. Buku<br />

menjadi salah satu situs yang<br />

merekam dan menjaga ingatan,<br />

kadang menyajikan kesaksian,<br />

juga menjadi ruang yang<br />

menyediakan bukti-bukti dari<br />

berbagai perspektif dan bersifat<br />

valid, memberikan fasilitas bagi<br />

kebebasan intelektual, dan juga<br />

memberikan dukungan bagi<br />

identitas berbagai kelompok. Buku<br />

menjadi situs sangat penting yang<br />

karenanya kerap menuai rasa<br />

takut bagi rezim-rezim yang berdiri<br />

di atas pusara totalitarian lewat<br />

kekerasan, manipulasi dan<br />

kebohongan. Orde Baru telah<br />

memberikan sajian amat pahit<br />

pada kita mengenai apa itu<br />

totalitarianisme, yang salah satu<br />

gejala dari hasratnya adalah<br />

melarang buku. Rezim SBY hari ini<br />

pun mulai bertingkah dengan<br />

langkah dan gaya Orde Baru:<br />

membakar dan melarang buku!<br />

M e m b e r a n g u s b u k u<br />

berarti kita sedang menghapus<br />

ingatan akan diri kita sendiri. Kita<br />

perlahan-lahan membunuh diri<br />

kita, dan pada suatu saat kita tak<br />

lagi mempu mengenali diri-sendiri,<br />

karena mosaik dan situs-situs<br />

mengenai keberadaan kita, sebagian<br />

besar telah dimusnahkan.<br />

Tindakan vandal dan barbarisme<br />

seperti itu tentu tidak punya<br />

tempat di alam demokrasi. Hanya<br />

rezim-rezim yang tidak beradab<br />

dan berhasrat totaliter saja yang<br />

melakukan pemberangusan buku,<br />

terlebih buku ilmiah. Pelarangan<br />

buku Dalih Pembunuhan Massal<br />

harus kita jadikan monumen, agar<br />

k i t a k e m b a l i b e r s i a p - s i a p<br />

menghadapi gelombang hasrat<br />

totaliter yang mencoba kembali<br />

hadir di dalam diri pemerintahan<br />

yang berkuasa hari ini.<br />

Kepustakaan<br />

Fishburn, Matthew, Burning<br />

Books. London: Macmillan<br />

Palgrave, 2008.<br />

Knuth, Rebecca, Burning Books<br />

a n d L e v e l i n g L i b r a r i e s :<br />

Extremist Violence and Cultural<br />

Destruction. London: Praeger,<br />

2006.<br />

Knuth, Rebecca, Libricide: The<br />

Regime-Sponsored Destruction<br />

of Books and Libraries in the<br />

Twentieth Century. London:<br />

Praeger, 2003.<br />

10<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

laporan utama<br />

Pelarangan Buku di Indonesia<br />

Oleh M. Fauzi<br />

(Sejarawan)<br />

ada 23 Desember 2009,<br />

ketika sebagian masyarakat<br />

tengah bersiap<br />

untuk berlibur atau Pmenyiapkan segala sesuatu<br />

menyambut datangnya perayaan<br />

Natal dan pergantian tahun,<br />

pemerintah melalui Kejaksaan<br />

Agung justru hadir dengan<br />

sebuah pengumuman penting<br />

y a n g c u k u p m e n g e j u t k a n<br />

masyarakat, yakni melarang lima<br />

b u k u . P e n g u m u - m a n i t u<br />

membuat banyak pihak lantas<br />

bertanya-tanya, tak sedikit pula<br />

yang mengkritiknya. Mengapa<br />

buku harus dilarang? Apa kesalahan<br />

dan alasannya? Bagaimana<br />

prosesnya hingga sebuah buku<br />

harus dilarang? Dan, apakah<br />

keputusan pelarangan itu lahir<br />

dari proses yang adil, melalui<br />

penga-dilan? Sejauh mana<br />

hukum dan pengadilan menjadi<br />

acuan dalam seluruh proses<br />

pelarangan ini?<br />

Semua pertanyaan di<br />

atas muncul karena seringkali<br />

d a l a m s e t i a p k e p u t u s a n<br />

pelarangan, alasan yang dipakai<br />

kerapkali seragam: ketertiban<br />

umum. Alasan ini tentu masih bisa<br />

diperdebatkan. Alasan itu pula<br />

yang dipakai oleh penguasa dari<br />

waktu ke waktu untuk melarang<br />

sebuah buku. Seberapa besar<br />

bahayanya sebuah buku bagi<br />

sebuah rezim ataupun penguasa<br />

hingga perlu dilarang? Tak ada<br />

catatan dalam sejarah Indonesia<br />

bahwa sebuah buku mampu<br />

menggerakkan masyarakat untuk<br />

melawan pemerintah ataupun<br />

penguasa. Yang terjadi justru<br />

sebaliknya, sebuah buku mampu<br />

meng-gerakkan pemerintah<br />

untuk melawan atau membatasi<br />

pikiran sang pengarangnya.<br />

Inilah yang acapkali terjadi dalam<br />

setiap pelarangan buku di<br />

sepanjang sejarah negeri ini.<br />

Di era kolonial, misalnya,<br />

pemerintah tidak melarang buku<br />

atau bacaan yang mempersoalkan<br />

kekuasaan kolonial. Pemerintah<br />

justru menangkap, memenjarakan<br />

atau membuang penulisnya<br />

ke tempat pengasingan. Tak<br />

cukup sebatas tindakan itu,<br />

sejumlah tindakan lain bersifat<br />

preventif dilakukan untuk<br />

menghancurkan sumber penerbitan.<br />

Percetakannya dibubarkan<br />

Pramoedya Ananta Toer Karyanya kerap menjadi sasaran<br />

pemerintah Orde Baru dok.http://ibnuanwar.wordpress.com/<br />

2008/05/29/pramoedya-ananta-toer/<br />

dan peralatan cetak disita oleh<br />

negara kolonial. Mungkin<br />

keputusan pembuangan dan<br />

menghancurkan sumber penerbitan<br />

ini lebih efektif ketimbang<br />

melarang sebuah buku. Dengan<br />

begitu, fungsi sosial buku yang<br />

m e n j a d i j e m b a t a n a n t a r a<br />

pengarang dan pembacanya<br />

dihancurkan. Peristiwa yang<br />

sangat terkenal dalam sejarah<br />

adalah ketika negara kolonial<br />

dipersoalkan lewat sebuah<br />

bacaan yang ditulis oleh R.M.<br />

Soewardi Soerjaningrat kemudian<br />

dikenal sebagai Ki Hadjar<br />

Dewantara. Judul karya Soewardi<br />

dalam rangka menyambut<br />

perayaan pembeba-san Belanda<br />

dari kekuasaan Perancis itu<br />

adalah “Als ik een Nederlander<br />

was” yang kemudian di-Melayukan<br />

menjadi “Seandainya Saya<br />

Seorang Belanda”.<br />

Ketika karangan Soewardi<br />

tersebut terbit pertama kali<br />

dalam bahasa Belanda pada 1913<br />

di koran De Expres milik Indische<br />

Partij (IP), bertiras 1.500<br />

eksemplar dan sebagian besar<br />

dibaca oleh kalangan Indo negara<br />

kolonial belum menghitung<br />

dampak dan ongkos politik akibat<br />

tulisan tersebut. Namun, ketika<br />

tulisan itu diterjemahkan ke dalam<br />

bahasa Melayu dan dicetak dalam<br />

bentuk pamflet dan beredar luas<br />

ke berbagai kalangan bumiputera,<br />

barulah negara menyadari<br />

dampak tulisan tersebut terhadap<br />

kaum bumiputera yang lebih luas.<br />

Bahasa Melayu dipahami oleh<br />

sebagian besar penduduk di<br />

Hindia Belanda. Inilah yang<br />

menjadi salah satu alasan<br />

pembuangan tiga tokoh IP yaitu<br />

Soewardi, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo<br />

dan Douwes Dekker ke<br />

negeri Belanda. Meskipun<br />

ketiganya dibuang, tak ada<br />

gerakan massa yang lahir akibat<br />

terbitnya pamflet Soewardi itu.<br />

Negara kolonial dan aparatusnya<br />

masih terlalu kuat dan tangguh<br />

untuk dijatuhkan hanya lewat<br />

sebuah pamflet. Namun, pamflet<br />

Soewardi justru menyadarkan dan<br />

membuka pikiran kaum bumiputera<br />

tentang kolonialisme yang<br />

dipraktikkan di Hindia Belanda.<br />

Nasib serupa seperti<br />

dialami tiga serangkai itu juga<br />

terjadi pada beberapa pengarang<br />

lainnya seperti Darsono, Mas<br />

Marco Kartodikromo dan Semaoen.<br />

Semaoen dijebloskan ke dalam<br />

bui oleh pemerintah kolonial<br />

karena menerjemahkan tulisan<br />

Sneevliet yang kemudian diterbitkan<br />

dalam Sinar Hindia pada<br />

1918 berjudul “Kelaparan dan<br />

Pertoendjoekan Koeasa”. Tampaknya<br />

pemerintah kolonial<br />

sangat takut terhadap dampak pe-<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

11


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

laporan utama<br />

Melayu-an tulisan tersebut<br />

terhadap kaum bumiputera yang<br />

lebih luas. Tulisan tersebut<br />

mewartakan bahwa negara<br />

kolonial lebih mendahulukan<br />

kepentingan kaum modal<br />

daripada menuntaskan masalah<br />

kelaparan. Logika kolonialisme<br />

dalam mengatur tata kehidupan<br />

di Hindia Belanda itulah yang<br />

dikritik oleh kaum pergerakan,<br />

meski harus berujung pada<br />

pemenjaraan atau pengasingan<br />

para aktivisnya.<br />

Kontrol terhadap rakyat<br />

jajahan dalam hal bacaan juga<br />

d i l e g a l k a n d a l a m b e n t u k<br />

pembentukan Kantoor voor de<br />

Volkslectuur/ Balai Poestaka<br />

pada 1917. Peran penting Balai<br />

Poestaka tidak terletak pada<br />

fungsinya sebagai publishing<br />

house semata, tapi justru sebagai<br />

“clearing house” bagi rakyat<br />

Hindia Belanda. Pemilihan<br />

naskah, penyuntingan, dilakukan<br />

secara ketat sesuai prosedur<br />

tatanan kolonial oleh para<br />

redaktur dan editornya. Oleh<br />

karena itu, dalam bahasa kaum<br />

pergerakan, “Ra'jat haroes tidak<br />

menoeroet nasehat-nasehat jang<br />

'baik' dalam boekoe-boekoe dari<br />

volkslectuur itoe, karena 'baik'<br />

disitoe boekan baik boeat klas<br />

jang miskin.” Dari Balai Poestaka<br />

inilah, gagasan tentang Hindia<br />

yang “tertib” dan “apolitis”<br />

b e r u s a h a d i b a n g u n d a n<br />

distandarkan. Reaksi pemerintah<br />

terhadap bacaan yang baik, dan<br />

juga bahasa yang baik, untuk<br />

rakyat muncul sebagai jawaban<br />

t e r h a d a p b e r k e m b a n g n y a<br />

bacaan yang diproduksi oleh<br />

kaum pergerakan, yang juga<br />

mengusung bahasa Melayu<br />

pasar di dalamnya. Atau, menurut<br />

pandangan pemerintah kolonial<br />

sebagai “batjaan liar”. Maka,<br />

julukan terhadap Balai Poestaka<br />

sebagai “serigala kolonial berbulu<br />

domba” melekat pada institusi<br />

budaya ini. Balai Poestaka juga<br />

berupaya menjalankan fungsi<br />

sosial sebagai penghubung<br />

antara pengarang dan pembacanya,<br />

seperti yang dijalankan<br />

oleh kaum pergerakan melalui<br />

“batjaan liar”. Sejumlah kategori<br />

dalam hubungan sosial seperti<br />

yang dikehendaki oleh para<br />

kolonialis di tubuh Balai Poestaka<br />

dicoba diterapkan dalam terbitan<br />

mereka. Upaya pelanggengan<br />

kekuasaan secara budaya ini<br />

terus berlangsung hingga masa<br />

akhir negara kolonial. Dalam<br />

pandangan negara kolonial,<br />

rakyat tetaplah harus mendapat<br />

bacaan yang baik, tentunya<br />

dengan bahasa, logika, tema dan<br />

standar tertentu yang dikehendaki<br />

oleh mereka.<br />

Kebijakan yang ditempuh<br />

pemerintahan militer Jepang<br />

selama tiga setengah tahun<br />

kekuasaannya di Indonesia juga<br />

tak jauh berbeda dari apa yang<br />

dilakukan oleh pemerintah Hindia<br />

Belanda. Kendati penguasa<br />

Jepang mendorong pertumbuhan<br />

bahasa Indonesia dan melarang<br />

bahasa Belanda dalam segala<br />

bentuknya, bacaan tetap saja<br />

menjadi bagian penting dari<br />

“kekuasaan lunak” Jepang di<br />

Indonesia. Terbitan atau bacaan<br />

selama era pemerintahan militer<br />

Jepang juga jauh dari hal-hal<br />

yang bersifat politis. Pengetahuan<br />

praktis dalam hal bercocok<br />

tanam misalnya mendominasi<br />

tema-tema bacaan selama kurun<br />

ini. Kontrol tetap diberlakukan<br />

atas bacaan yang muncul dan<br />

beredar di masyarakat. Pembatasan<br />

jumlah terbitan juga diberlakukan<br />

dengan maksud memudahkan<br />

kontrol atas bacaan. Sendenbu<br />

(Departemen Propaganda) yang<br />

dibentuk pada Agustus 1942 dan<br />

m e m b a w a h k a n b e b e r a p a<br />

organisasi propaganda menjadi<br />

salah satu institusi yang bertanggung<br />

jawab atas propaganda<br />

dan informasi yang beredar.<br />

Pemerintahan militer Jepang<br />

memberi tekanan pada tiga hal<br />

penting yaitu bagaimana menyita<br />

hati rakyat, mengindoktrinasi dan<br />

menjinakkan rakyat. Mobilisasi<br />

dan kontrol menjadi kata kunci<br />

keberhasilan tujuan Jepang<br />

tersebut. Rakyat, dalam hal ini<br />

kaum pergerakan, juga tak kalah<br />

kreatif merespons represi<br />

pemerintahan Jepang. Berbagai<br />

cara pun dilakukan oleh kaum<br />

pergerakan misalnya mengganti<br />

sampul buku dengan hal-hal yang<br />

berbau komersil atau dengan iklan<br />

produk tertentu, sementara isi<br />

buku justru menyangkut pendidikan<br />

politik atau kilasan berita<br />

perjuangan. Strategi seperti itu<br />

dilakukan agar buku tidak mudah<br />

dikenali atau disita oleh kenpeitai.<br />

Pasca proklamasi 17<br />

Agustus 1945, tidak ada berita<br />

yang menonjol menyangkut<br />

pelarangan sebuah buku. Perang<br />

melawan pasukan Sekutu dan<br />

Belanda menjadi fokus semua<br />

pihak. Selama era revolusi itu,<br />

berbagai bacaan tetap terbit<br />

terutama yang diterbitkan atas<br />

nama partai, serikat buruh, atau<br />

organisasi lainnya. Hingga<br />

pertengahan 1950-an tidak ada<br />

catatan ihwal pelarangan buku.<br />

Pelarangan mulai terjadi lagi pada<br />

masa Demokrasi Terpimpin.<br />

Situasi darurat perang membuat<br />

militer menjadi ujung tombak<br />

pelarangan buku. Para korban<br />

pelarangan selama era Demokrasi<br />

Terpimpin antara lain ialah<br />

Pramoedya Ananta Toer (Hoa Kiau<br />

di Indonesia), Mohammad Hatta<br />

(Demokrasi Kita). Keragaman<br />

dalam pelarangan di era ini<br />

menunjukkan bahwa belum ada<br />

suatu kekuatan dominan yang bisa<br />

melakukan tindakan sewenangwenang<br />

dalam pengambilan<br />

keputusan menyangkut nasib<br />

sebuah buku.<br />

Pelarangan buku dalam<br />

jumlah besar tercatat dilakukan<br />

s e l a m a e r a p e m e r i n t a h a n<br />

Soeharto. Masyarakat juga kian<br />

jauh aksesnya untuk mengetahui<br />

secara persis alasan pelarangan<br />

sebuah buku. “Ketertiban umum”<br />

seringkali menjadi alasan umum<br />

yang dipakai negara untuk<br />

melarang sebuah buku. Sifat karet<br />

alasan itu pun menuai kritik.<br />

Protes dalam skala kecil memang<br />

ada, tetapi tetap tidak mampu<br />

mengubah keputusan pemerintah<br />

untuk melarang sebuah buku.<br />

Ada beberapa kriteria<br />

mengapa sebuah buku dilarang<br />

s e l a m a e r a p e m e r i n t a h a n<br />

Soeharto, yaitu merusak persatuan<br />

dan kesatuan bangsa dan<br />

negara; mengandung paham atau<br />

ajaran Marxisme-Leninisme<br />

12<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


laporan utama<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

/komunisme; mengganggu kehidupan<br />

beragama di Indonesia<br />

atau penodaan agama tertentu;<br />

merendahkan martabat kepala<br />

negara atau merongrong kewibawaan<br />

pemerintah; memutarbalikkan<br />

sejarah dan menonjolkan<br />

tokoh tertentu dalam sejarah.<br />

Banyaknya kriteria untuk melarang<br />

sebuah buku di era<br />

pemerintahan Soeharto ini<br />

menunjukkan bahwa betapa<br />

negara tak mau diusik hanya oleh<br />

sebuah buku. Di sisi lain, hal itu<br />

juga menunjukkan bahwa negara<br />

tetap memperlakukan rakyatnya<br />

secara tidak cerdas, dengan cara<br />

memberikan buku yang dianggap<br />

baik setelah melewati “institusi”<br />

bernama clearing house. Jalan<br />

pikiran aparatur pemerintahan<br />

Soeharto dalam hal pelarangan<br />

buku tak berbeda dengan yang<br />

dilakukan oleh negara kolonial<br />

melalui institusi Balai Poestaka<br />

dulu. Kontrol bacaan yang<br />

berujung pada kontrol pikiran<br />

tetaplah penting dan diperlukan<br />

bagi kelangsungan sebuah rezim<br />

dalam mengelola kekuasaannya.<br />

Masyarakat atau kalangan ahli<br />

yang berkompeten di bidangnya<br />

juga tak punya pengaruh apa pun<br />

untuk menghentikan dilarangtidaknya<br />

sebuah buku.<br />

S a l a h s a t u k o r b a n<br />

pelarangan yang buku-bukunya<br />

terbanyak dilarang adalah<br />

Pramoedya Ananta Toer. Aktivitas<br />

kebudayaannya sebagai aktivis<br />

Lekra (Lembaga Kebudajaan<br />

Rakjat) di era pemerintahan<br />

Soekarno menjadi salah satu<br />

alasan pelarangan atas sejumlah<br />

karyanya. Buku karya Toer pula<br />

yang kemudian menyeret mahasiswa<br />

aktivis di Yogyakarta pada<br />

awal 1980-an diajukan ke<br />

pengadilan karena memperdagangkan<br />

buku-buku yang dilarang:<br />

Bumi Manusia dan Anak<br />

Semua Bangsa. Toer memang<br />

fenomenal dalam konteks<br />

pelarangan buku di Indonesia.<br />

Pemberitaan tentang dirinya dan<br />

karya-karyanya di luar negeri<br />

sekaligus pemuatan namanya<br />

dalam daftar para calon penerima<br />

Nobel Sastra setiap tahun berb<br />

a n d i n g t e r b a l i k d e n g a n<br />

perlakuan yang diterimanya di<br />

tanah airnya. Bangsa Indonesia<br />

pun terpaksa harus membaca<br />

k a r y a - k a r y a To e r s e c a r a<br />

sembunyi-sembunyi atau bahkan<br />

tidak pernah sama sekali,<br />

sedangkan berbagai bangsa di<br />

luar Indonesia justru menikmatinya<br />

dalam bahasa mereka sendiri.<br />

Toer adalah salah satu pengarang<br />

Indonesia yang karya-karyanya<br />

paling banyak diterjemahkan ke<br />

dalam berbagai bahasa di dunia.<br />

Pelarangan buku juga<br />

telah menutup rapat-rapat pintu<br />

pengetahuan bagi masyarakat<br />

untuk mengetahui tentang apa<br />

yang dilarang untuk dibaca. Jika<br />

tujuan ini yang dikehendaki oleh<br />

negara sejak era kolonial, maka<br />

hal ini salah perhitungan karena<br />

rakyat bukanlah robot atau<br />

“organisme” yang mati dan tak<br />

bergerak. Rakyat tetap punya daya<br />

kreatif untuk mengatasi berbagai<br />

pembatasan atau akses terhadap<br />

bacaan dan kontrol bacaan dari<br />

negara. Menganggap bahwa<br />

rakyat selalu bodoh juga keliru<br />

karena mereka punya kecerdasan<br />

tersendiri untuk merespons apa<br />

p u n y a n g d a t a n g n y a d a r i<br />

penguasa. Melarang sebuah buku<br />

sama halnya dengan memaksakan<br />

kehendak penguasa atas<br />

sebuah bacaan yang baik bagi<br />

rakyatnya. Rakyat tidak diberi<br />

kesempatan atau mempunyai hak<br />

untuk menentukan pilihan bacaan<br />

yang menurutnya baik-tidaknya,<br />

seperti tercermin dalam pelarangan<br />

lima buku di akhir 2009.<br />

Melarang sebuah buku<br />

dan dampak selanjutnya dari<br />

pelarangan itu tampaknya tidak<br />

sepenuhnya dipahami oleh aparatus<br />

pemerintahan. Pelarangan<br />

buku oleh negara tetap tidak efektif<br />

untuk mengontrol pikiran atau<br />

bacaan bagi rakyatnya, apalagi<br />

menjinakkan pikiran rakyat. Ada<br />

saja kreativitas untuk tidak terjebak<br />

dalam pola atau logika berpikir<br />

yang berusaha diberikan oleh<br />

negara lewat pelarangan buku.<br />

Apa yang dilakukan oleh generasi<br />

pergerakan 1910-20-an dan<br />

sesudahnya terhadap kontrol atas<br />

bacaan justru tidak menyurutkan<br />

langkah mereka untuk tetap<br />

mempersoalkan nasion dan kekuasaan<br />

di dalamnya, sekaligus<br />

membangun hubungan sosial<br />

dengan rakyat melalui bacaan.<br />

Dalam lingkup yang lebih luas, di<br />

era global seperti sekarang,<br />

melarang sebuah buku juga<br />

menjadi tolok ukur bagi penguasa<br />

dalam mengelola kekuasaannya.<br />

Pelarangan buku juga membuat<br />

pertukaran antar gagasan tidak<br />

berkembang, bahkan justru malah<br />

membelenggu. Lalu, tatanan<br />

sosial macam apa yang ingin<br />

dibangun dalam sebuah nasion<br />

seperti Indonesia dengan pelarangan<br />

sebuah buku, berikut<br />

standar dan kriteria di dalamnya.<br />

Dan, seberapa besar kontribusi<br />

rakyat dalam menentukan dan<br />

membangun nasion itu. Proyek<br />

bersama untuk membangun<br />

Indonesia yang lebih baik,<br />

menjunjung konstitusi dan hukum,<br />

demokratis, menghargai perbedaan<br />

pendapat, pluralisme dan<br />

multikulturalisme seharusnya<br />

menjadi syarat dan kesepakatan<br />

bersama semua anak bangsa.<br />

Catatan sejarah pelarangan buku<br />

di Indonesia seharusnya menjadi<br />

pelajaran berharga bagi negara<br />

sebelum mengeluarkan keputusan<br />

pelarangan sebuah buku.<br />

Kepustakaan<br />

Farid, Hilmar. “Kolonialisme dan<br />

Budaya: Balai Poestaka di<br />

Hindia Belanda,” Prisma, No.<br />

10, Oktober 1991.<br />

Jaringan Kerja Budaya.<br />

M e n e n t a n g P e r a d a b a n :<br />

Pelarangan Buku di Indonesia.<br />

Jakarta: <strong>Elsam</strong>, 1999.<br />

Kurasawa, Aiko. Mobilisasi dan<br />

K o n t r o l : S t u d i Te n t a n g<br />

Perubahan Sosial di Pedesaan<br />

Jawa 1942-1945. Jakarta:<br />

Grasindo, 1993.<br />

“Pelarangan Buku,” Media<br />

Kerja Budaya, No. 3, <strong>Februari</strong><br />

1996.<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

13


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

perspektif<br />

Seratus Hari SBY<br />

Mengulang Periode Lalu,<br />

Jaminan HAM Hanya Normatif<br />

Oleh Zainal Abidin, SH<br />

(Direktur Riset Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI))<br />

ejak dilantik pada 20<br />

Oktober 2009 silam,<br />

Presiden Susilo Bambang<br />

Yudhoyono (SBY) memulai Speriode keduanya sebagai<br />

presiden bersama Wakil Presiden<br />

Boediono. Selama periode<br />

pemerintahan sebelumnya (2004-<br />

2009 isu hak asasi manusia (HAM)<br />

hanya mengedepankan jaminan<br />

normatif dengan diproduksinya<br />

regulasi tentang perlindungan hak<br />

asasi manusia, namun miskin<br />

dalam implementasi.<br />

Jaminan normatif inipun<br />

masih dicederai dengan gagalnya<br />

implementasi sejumlah instrumen<br />

HAM yang penting seperti<br />

ratifikasi Statuta Roma, ratifikasi<br />

Konvensi Buruh Migran dan terus<br />

munculnya sejumlah kebijakan<br />

daerah yang melanggar HAM.<br />

100 hari SBY menjadi<br />

sorotan penting bagu publik<br />

untuk melihat perspektif SBY<br />

terkait masalah-masalah HAM<br />

yang urgent dan harus menjadi<br />

prioritas.<br />

Keluarga Orang Hilang melakukan Audiensi ke Kejaksaan Agung<br />

dok.http://ikohi.blogspot.com/2009/10/seruan-terbuka-01ikohiistx2009-saudara.html<br />

Janji Indah<br />

Selama pemerintahannya, tidak<br />

banyak yang dikatakan Presiden<br />

SBY tentang HAM. Presiden<br />

menempatkan hak asasi manusia<br />

dalam konteks penegakan<br />

hukum, dengan mengedepankan<br />

konsep rule of law. Pada bulan<br />

April 2008, dalam pembukaan<br />

Konvensi Hukum Nasional tentang<br />

UUD 1945, SBY menegaskan<br />

pentingnya kebebasan (freedom)<br />

yang harus berjalan beriringan<br />

dengan mengindahkan tatanan<br />

hukum dan rule of law.<br />

Dalam Pidato Kenegaraan<br />

serta Keterangan Pemerintah<br />

atas RUU APBN 2009, SBY<br />

menyatakan dalam berdemokrasi<br />

perlu menjalankan kebebasan<br />

dengan menghargai hak-hak dan<br />

kebebasan orang lain serta<br />

dengan menghargai ketertiban<br />

dan pranata hukum (the rule of<br />

law). Presiden menegaskan perlu<br />

ada kemampuan untuk menjaga<br />

keseimbangan antara hak dan<br />

tanggung jawab, antara kebebasan<br />

dan ketertiban yang akan<br />

menentukan kemajuan demokrasi<br />

di Indonesia. SBY menegaskan<br />

tidak ada tempat bagi anarki<br />

karena demokrasi terlalu berharga<br />

untuk dirusak oleh anarki. SBY<br />

tegas menyatakan negara tidak<br />

boleh kalah dan tidak akan kalah<br />

t e r h a d a p a n a r k i s m e d a n<br />

1<br />

kekerasan.<br />

Pandangan lainnya yang<br />

terkait dengan HAM, misalnya<br />

dalam pidato kenegaraan<br />

memperingati Hari Kemerdekaan<br />

pada 2009, SBY menyatakan di<br />

m a s a d e p a n p e m a t a n g a n<br />

demokrasi harus berjalan seiring<br />

14<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


perspektif<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

dengan prinsip-prinsip dasar<br />

konstitusionalisme. Demokrasi<br />

harus semakin egaliter yaitu<br />

demokrasi yang makin meneguhkan<br />

pelaksanaan mekanisme<br />

saling kontrol dan saling imbang<br />

(check and balance) dalam<br />

praktek kehidupan politik kita.<br />

Demokrasi yang berlandaskan<br />

pada penghormatan dan pelaksanaan<br />

penegakan hukum yang<br />

adil dan bermartabat (rule of law).<br />

Demokrasi juga harus menjamin<br />

dan melindungi kebebasan dan<br />

hak-hak asasi manusia. SBY<br />

menyatakan hendak menghadirkan<br />

konstitusionalisme dan<br />

checks and balances dalam kehidupan<br />

bernegara, mewujudkan<br />

negara yang menjunjung tinggi<br />

hak-hak asasi manusia, tanpa<br />

diskriminasi, menjamin hak warga<br />

negara untuk berserikat, berkumpul,<br />

dan menyatakan pendapat,<br />

termasuk hadirnya kebebasan<br />

p e r s . K i t a m e n d a m b a k a n<br />

pemilihan umum yang aman,<br />

damai, jujur dan adil. SBY<br />

mengharapkan hukum dan<br />

keadilan ditegakkan, serta<br />

korupsi, kolusi dan nepotisme<br />

terus diberantas.<br />

Dalam janji kampanyenya<br />

SBY menjawab dua isu<br />

hak asasi manusia; pertama, soal<br />

pelanggaran HAM masa lalu yang<br />

dijawab dengan rekonsiliasi<br />

nasional. SBY tampak tidak<br />

berani secara tegas mengemukakan<br />

soal penegakan hukum dan<br />

pengadilan. Kedua, soal pelanggaran<br />

HAM yang terjadi sebagai<br />

akibat semburan lumpur di<br />

Sidoarjo yang disikapi dengan<br />

perlunya revisi kebijakan soal<br />

penanganannya.<br />

Semua yang menjadi janji<br />

Presiden SBY di atas tampak<br />

sangat indah karena hendak<br />

meletakkan bangunan negara<br />

hukum (rule of law) menjadi<br />

panglima di Indonesia. Dari<br />

komitmen ini, rule of law haruslah<br />

dipahami sebagai implementasi<br />

prinsip-prinsip penting dalam<br />

suatu negara hukum tersebut.<br />

Prinsip-prinsip tersebut di<br />

antaranya adalah supremasi<br />

hukum (supremacy of law),<br />

p e r s a m a a n d a l a m h u k u m<br />

(equality before the law), asas<br />

legalitas (due process of law),<br />

pembatasan kekuasaan, adanya<br />

organ-organ eksekutif yang bersifat<br />

indepen-den, peradilan bebas dan<br />

tidak memihak (independent and<br />

impartial judiciary), perlindungan<br />

hak asasi manusia, hukum berfungsi<br />

sebagai sarana mewujudkan tujuan<br />

kesejahteraan (welfare rechtsstaat),<br />

dan adanya transparansi serta<br />

kontrol Sosial.<br />

Lain Janji, Lain Tindakan: Desakan<br />

Dulu, Baru Ada Program!<br />

Pada November 2009, SBY<br />

kemudian mengeluarkan program<br />

100 hari dengan menempatkan 15<br />

program pilihan di dalamnya. Tidak<br />

ada satu pun dari 15 program<br />

pilihan tersebut yang jelas menunjukkan<br />

pada upaya untuk adanya<br />

perlindungan, pemajuan, penghormatan<br />

dan penegakan HAM.<br />

Satu-satunya yang agak<br />

bisa dipahami adalah adanya program<br />

pemberantasan 'mafia hukum'. Hal<br />

ini dikatakan agak mendekati karena<br />

tujuan besar dari pemberantasan mafia<br />

hukum tersebut adalah membenahi<br />

sektor peradilan yang dianggap<br />

mengalami kerusakan luar biasa<br />

karena merajalelanya para 'makelar<br />

kasus'. Terlebih dari adanya kasus<br />

Bibit-Chandra dengan terkuaknya<br />

dugaan adanya rekayasa kriminalisasi<br />

terhadap mereka.<br />

Program pemberantasan<br />

mafia hukum ini sebetulnya hanya<br />

sebagai respon semata dari SBY<br />

untuk menjawab keresahan publik.<br />

Terbukanya rekaman dugaan<br />

rekayasa kriminalisasi di Mahkamah<br />

Konstitusi membuka mata Presiden<br />

bahwa makelar kasus sedemikian<br />

parahnya. Kemudian publik mengharapkan<br />

adanya tindakan konkrit<br />

dari Presiden. Tanpa adanya<br />

peristiwa ini mustahil Presiden<br />

merespon dengan cepat dan<br />

segara membentuk satuan tugas<br />

mafia hukum.<br />

Tampak bahwa kebijakan<br />

SBY dilakukan tidak didasari oleh<br />

sebuah platform yang jelas, dalam<br />

penegakan hukum dan HAM.<br />

Kebijakan penegakan hukum dan<br />

HAM tampil hanya sebagai katakata<br />

manis.<br />

Lihat misalnya, yang<br />

terjadi dengan kasus penghilangan<br />

paksa 1997-1998, di mana pada<br />

28 September 2009 Dewan<br />

Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan<br />

sejumlah rekomendasi,<br />

yaitu: 1) merekomendasikan<br />

kepada Presiden untuk membentuk<br />

pengadilan hak asasi<br />

manusia (HAM) ad hoc; 2) merekomendasikan<br />

kepada Presiden<br />

serta segenap institusi pemerintah<br />

dan pihak-pihak terkait untuk<br />

segera melakukan pencarian<br />

terhadap 13 orang yang oleh<br />

Komnas HAM masih dinyatakan<br />

hilang; 3) merekomendasikan<br />

kepada Pemerintah untuk merehabilitasi<br />

dan memberikan<br />

kompensasi terhadap keluarga<br />

korban yang hilang; dan 4)<br />

merekomendasikan kepada<br />

Pemerintah agar segera meratifikasi<br />

Konvensi Anti Penghilangan<br />

Paksa sebagai bentuk komitmen<br />

dan dukungan untuk menghentikan<br />

praktek penghilangan paksa di<br />

Indonesia.<br />

Tak ada kata-kata dan<br />

pandangan resmi dari Presiden<br />

tentang rekomendasi DPR<br />

tersebut. Padahal, menilik dari<br />

hukum yang berlaku, rekomendasi<br />

DPR untuk membentuk pengadilan<br />

HAM adalah rekomendasi<br />

yang dibuat berdasarkan hukum.<br />

Seharusnya Presiden kemudian<br />

mengeluarkan Keputusan Presiden<br />

(Keppres) untuk membentuk<br />

pengadilan HAM ad hoc (lihat<br />

Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000<br />

tentang Pengadilan HAM).<br />

Sikap “diam” Presiden<br />

SBY dapat dibaca dalam<br />

beberapa kemungkinan; pertama,<br />

kurangnya desakan publik untuk<br />

pembentukan pengadilan HAM ad<br />

hoc. Kedua, konfigurasi politik dan<br />

situasi politik saat ini yang<br />

membuat SBY ragu untuk memberikan<br />

rekomendasi pembentukan<br />

pengadilan HAM ad hoc. Ketiga,<br />

presiden SBY tidak terlalu<br />

nyaman dengan pengadilan HAM<br />

dan mungkin memilih jalan<br />

rekonsiliasi.<br />

Sikap Presiden yang<br />

cuek dengan rekomendasi DPR<br />

ini bertentangan dengan jargon<br />

yang selalu digaungkan tentang<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

15


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

perspektif<br />

demokrasi yang berlandaskan<br />

pada penghormatan dan pelaksanaan<br />

penegakan hukum yang<br />

adil dan bermartabat (rule of law)<br />

serta menjamin dan melindungi<br />

kebebasan dan hak-hak asasi<br />

manusia. Jika Presiden konsisten<br />

dengan pandangannya, seharusnya<br />

pembentukan pengadilan<br />

HAM ad hoc dalam kasus<br />

penghilangan paksa 1997-1998<br />

ini segera diwujudkan.<br />

Reformasi Institusi Mandeg,<br />

Buruknya Pilihan Pejabat<br />

Publik<br />

Soal lain yang memperburuk<br />

program 100 hari SBY khususnya<br />

di bidang HAM adalah pemilihan<br />

pejabat-pejabat publik yang<br />

“terkesan” sembarangan dan<br />

pembiaran terhadap pejabat<br />

publik yang selama ini gagal<br />

mendorong penegakan HAM,<br />

seperti di institusi kepolisian,<br />

kejaksaan, dan Kementrian<br />

Hukum dan HAM.<br />

Institusi Kepolisian dan<br />

Kejaksaan pada pertengahan<br />

tahun lalu, sedemikian terpuruk<br />

dengan adanya kasus Bibit-<br />

Chandra. Demikian pula sebelumnya<br />

dengan kurang memadainya<br />

penanganan kasus pembunuhan<br />

aktivis HAM Munir. Bahkan<br />

Kejaksaan Agung di bawah<br />

Hendarman Supandji tampak<br />

enggan untuk melanjutkan hasil<br />

penyelidikan Komnas HAM atas<br />

dugaan pelanggaran HAM yang<br />

berat. Serangkaian kegagalan<br />

tersebut seharusnya disikapi SBY<br />

dengan sejumlah pembenahan<br />

dan penggantian pimpinan di<br />

kedua institusi tersebut.<br />

Tidak jelasnya strategi<br />

SBY dibidang hukum dan HAM<br />

terlihat dalam pemilihan pejabat di<br />

dalam Kementrian Hukum dan<br />

HAM Kementrian Hukum dan<br />

HAM membutuhkan keahlian dan<br />

pemahaman dibidang hukum dan<br />

HAM. Hal ini penting untuk<br />

menentukan kebijakan HAM<br />

Pemerintah yang menjadi<br />

tanggung jawab Kementrian ini,<br />

seperti penyusunan Rencana Aksi<br />

Nasional HAM 201-2014 dan<br />

upaya ratifikasi berbagai instrumen<br />

internasional HAM.<br />

Hal ini berimbas juga<br />

pada pemilihan pejabat publik<br />

lainnya. Misalnya, perwakilan<br />

Pemerintah yang diwakili oleh<br />

Kementrian Hukum dan HAM<br />

ternyata melakukan proses<br />

pemilihan Hakim Konstitusi yang<br />

tidak transparan dan tanpa<br />

masukan dari publik. Padahal,<br />

saat ini Mahkamah Konstitusi<br />

merupakan salah satu institusi<br />

yang cukup bisa diharapkan untuk<br />

mewujudkan jaminan hak asasi<br />

manusia yang dijamin oleh<br />

konstitusi.<br />

Niat Baik<br />

Hal yang paling melegakan dari<br />

100 hari pemerintahan SBY<br />

adalah adanya kesepakatan<br />

Pemerintah dan DPR tentang<br />

program Legislasi Nasional<br />

(Prolegnas) <strong>2010</strong>-2014 yang<br />

sebagian di antaranya berkaitan<br />

dengan hak asasi manusia.<br />

Bahkan beberapa program<br />

legislasi tersebut masuk adalah<br />

daftar RUU Prioritas <strong>2010</strong>,<br />

seperti: 1) RUU Perubahan UU<br />

K o m i s i K e b e n a r a n d a n<br />

Rekonsiliasi, 2) RUU Perubahan<br />

UU No. 26 Tahun 2000 tentang<br />

Pengadilan HAM, 3) RUU<br />

Perubahan UU No. 39 Tahun 1999<br />

t e n t a n g H A M , 4 ) R U U<br />

Perlindungan Pekerja HAM, 5)<br />

RUU Bantuan Hukum, 6) RUU<br />

KUHAP, 7) RUU KUHP, 8) RUU<br />

Perlindungan Pekerja Rumah<br />

Tangga, dan RUU Perlindungan<br />

dan Pemberdayaan Petani dan<br />

Nelayan.<br />

Beberapa RUU tersebut<br />

dapat menjadi jawaban dari<br />

sejumlah persoalan mendasar<br />

dalam penegakan hukum dan<br />

HAM. Untuk pelanggaran HAM<br />

berat ia akan memberikan<br />

landasan hukum pembentukan<br />

Komisi Kebenaran dan Rekosiliasi<br />

dan perbaikan pengadilan HAM.<br />

RUU Bantuan Hukum dan KUHAP<br />

akan memberikan jaminan<br />

peradilan yang adil dan tidak<br />

memihak serta perlindungan<br />

kaum miskin. Untuk itu perlu<br />

pengawalan dari masyarakat<br />

karena pengalaman masa lalu<br />

mengajarkan bagaimana kebijakan<br />

diselewengkan untuk motif politik<br />

yang justru meminggirkan hak<br />

asasi manusia.<br />

Prediksi HAM 5 Tahun ke Depan<br />

Melihat program kerja SBY di<br />

periode kedua ini, tampaknya<br />

bidang HAM kurang mendapatkan<br />

perhatian. Kepemimpinan SBY<br />

yang sibuk dengan pencitraan,<br />

membuat program atau respon<br />

dilakukan jika ada desakan publik.<br />

Misalnya pemberitaan tentang<br />

pengadilan terhadap rakyat kecil<br />

yang mengusik rasa keadilan dan<br />

kasus Prita. Sementara kasus<br />

penghilangan paksa 1997-1998,<br />

meski SBY mempunyai kewajiban<br />

hukum untuk mengeluarkan<br />

Keppres tentang Pengadilan HAM<br />

ad hoc, hal itupun tidak dilakukan.<br />

S B Y m e r a s a c u k u p<br />

dengan memproduksi regulasi<br />

HAM, padahal implementasinya<br />

juga bergantung kepada kebijakan<br />

politik Pemerintah, dukungan institusiinstitusi<br />

negara dan aparatnya.<br />

Dalam periode kepemimpinan<br />

SBY ke depan, jika citranya tidak<br />

“diganggu” dengan soal HAM,<br />

maka penegakan HAM nampaknya<br />

akan tetap menjadi persoalan<br />

kelas dua bagi SBY.<br />

Keterangan<br />

1 . P i d a t o K e n e g a r a a n s e r t a<br />

Keterangan Pemerintah atas RUU<br />

APBN 2009 Beserta Nota<br />

Keuangannya di depan Rapat<br />

Paripurna Dewan Perwakilan<br />

Rakyat (DPR), 15 Agustus 2009.<br />

16<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


daerah<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

Perda Gerbang Marhamah Cianjur:<br />

Mengikat Tanpa Tali<br />

Oleh Miftahus Surur<br />

Kepala Program Tankinaya Institute)<br />

eberapa berita mengejutkan<br />

muncul dari sudut<br />

Cianjur, salah satu<br />

kabupaten di Propinsi BJawa Barat. Pada pertengahan<br />

Desember 2009, dugaan korupsi<br />

ditujukan kepada dua orang<br />

penegak hukum yang bekerja<br />

sebagai staf di Pengadilan Tinggi<br />

Agama. Lalu, <strong>Januari</strong> tahun ini,<br />

salah satu anggota DPRD Cianjur<br />

periode 2009-2014 divonis<br />

penjara dan denda Rp 50 juta<br />

akibat dugaan penyimpangan<br />

dana bantuan sosial. Pada sisi<br />

lain, sebuah laporan mengejutkan<br />

juga datang dari Yayasan Gerakan<br />

Penanggulangan Narkoba dan<br />

AIDS (GNPA) Kabupaten Cianjur<br />

yang menyebutkan bahwa<br />

terhitung September 2008, jumlah<br />

perempuan pekerja seksual yang<br />

beroperasi di Cianjur sekitar 1.200<br />

orang dengan jumlah pelanggan<br />

sekitar 6.000 orang. Semua data<br />

tersebut mengemuka justru di saat<br />

kabupaten ini sedang gegap<br />

dengan identifikasi dirinya sebagai<br />

kota yang mengedepankan<br />

akhlakul karimah dalam seluruh<br />

kehidupan masyarakatnya.<br />

Akhlakul karimah atau<br />

kebaikan tata laku yang diadopsi<br />

dari terminologi agama (Islam) itu<br />

digamit oleh sebagian entitas<br />

masyarakat Cianjur untuk<br />

mendorong terbentuknya kehidupan<br />

masyarakat yang bermoral.<br />

R u m u s a n y a n g k e m u d i a n<br />

disepakati melalui proses politik<br />

dan akhirnya melahirkan Peraturan<br />

Daerah No 03 Tahun 2006 tentang<br />

G e r a k a n P e m b a n g u n a n<br />

Masyarakat Berakhlaqul Karimah<br />

atau yang popular dengan<br />

sebutan Gerbang Marhamah itu<br />

tampak tak berguna, bukan hanya<br />

rumusan normatifnya yang terlihat<br />

ganjil, melainkan juga kondisi<br />

empiris sosialnya yang jauh dari<br />

imajinasi Perda itu.<br />

Paling tidak, Perda itu melalui<br />

klausul-klausulnya mengimajinasi<br />

atau beranjak dari bayangan<br />

tentang ambruknya tata laku<br />

masyarakat untuk kemudian<br />

berusaha diluruskan, dibenahi,<br />

atau ditobatkan. Sayangnya,<br />

Perda itu tidak pernah mengimajinasi<br />

bagaimana sebuah tata<br />

laku sebenarnya tidak cukup<br />

dirumuskan dalam peraturan<br />

tertulis, karena tata laku itu sendiri<br />

merupakan bagian dari sejarah<br />

hidup manusia yang lebih<br />

menyukai menyebarkan nilai atau<br />

tata laku melalui institusi keluarga<br />

atau pendidikan hidup sehari-hari.<br />

Wajar jika kemudian Perda itu<br />

ditafsirkan oleh sebagian<br />

kalangan menyimpan banyak<br />

kepentingan, seperti: upaya<br />

mengerek bendera Islam sebagai<br />

identitas masyarakat atau identitas<br />

negara, membentuk image<br />

penguasa sebagai pihak yang<br />

seolah-olah Islami, atau sekedar<br />

komoditasi ekonomi politik yang<br />

memanfaatkan momentum Otonomi<br />

Daerah untuk memperoleh kursi<br />

kekuasaan.<br />

Sekilas tentang Isi Perda<br />

Jauh sebelum Perda Gerbang<br />

Marhamah itu hadir, sekelompok<br />

orang yang membenamkan diri<br />

dalam Lembaga Pengkajian dan<br />

Pengembangan Islam (LPPI)<br />

Cianjur telah melakukan suatu<br />

telaah dan rencana strategis<br />

pengamalan Syariat Islam di<br />

Cianjur. Lembaga yang dibentuk<br />

melalui Surat Keputusan Bupati<br />

Cianjur No 34/2001 itu paling tidak<br />

menginginkan dua hal, yaitu<br />

m e m b u a t f o r m u l a s i d a s a r<br />

pelaksanaan Syariat Islam dan<br />

membuat rencana strategis<br />

(Renstra) gerakan pembangunan<br />

Monumen Gerbang Marhamah di pusat kota cianjur . Dok.www,wordpress.com<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

17


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

daerah<br />

masyarakat berakhlakul karimah.<br />

Melalui pembentukan berbagai<br />

forum pertemuan (silaturahmi),<br />

disepakatilah untuk menetapkan<br />

Renstra Gerbang Marhamah itu<br />

sebagai pijakan bagi pembentukan<br />

regulasi daerah dan memuncak<br />

dalam bentuk Peraturan Daerah<br />

(Perda).<br />

Tentu, ada yang menggelitik<br />

dari isi Perda itu. Pertama, asumsi<br />

dasar dari Perda tersebut adalah<br />

keinginan untuk menjadikan Islam<br />

sebagai satu-satunya sumber<br />

yang dirujuk. Potret ini terlihat<br />

misalnya dari berbagai istilah<br />

yang dipakai. Kata-kata seperti<br />

“akhlakul karimah”, “Alqur'an dan<br />

Sunnah”, “dakwah Islamiah”<br />

merupakan deret dari wajah yang<br />

Islam itu. Keinginan ini tentu saja<br />

kurang arif mengingat Perda<br />

disusun oleh dan diperuntukkan<br />

serta berlaku bagi seluruh<br />

masyarakat.<br />

Dalam Pasal 1 (6) misalnya,<br />

disebutkan:<br />

Gerakan Pembangunan Masyarakat<br />

B e r a k h l a q u l K a r i m a h , y a n g<br />

selanjutnya disingkat GERBANG<br />

MARHAMAH adalah merupakan<br />

upaya bersama yang di lakukan<br />

secara sistematis dan terus menerus<br />

dalam rangka mengamalkan<br />

nilainilai Akhlaqul Karimah dalam<br />

kehidupan seharihari masyarakat<br />

yang merupakan tahapan sekaligus<br />

bagian tak terpisahkan dari upaya<br />

jangka panjang masyarakat<br />

K a b u p a t e n C i a n j u r u n t u k<br />

melaksanakan serta mewujudkan<br />

Islam sebagai agama yang<br />

rohmatan lil a'lamin.<br />

Lalu, dalam pasal 1 (7)<br />

disebutkan:<br />

Akhlaqul Karimah adalah tabi'at<br />

sifat, sikap dan prilaku atau kebiasaan<br />

sesuai dengan prinsipprinsip<br />

ajaran Islam yakni akhlaq yang<br />

bersumber dari Al Quran dan<br />

Assunah.<br />

Merujuk pada satu agama<br />

sebagai landasan untuk melaksanakan<br />

peraturan daerah yang<br />

bersifat umum dan menjangkau<br />

seluruh masyarakat tentu saja<br />

tidak tepat. Dalam konteks<br />

kebangsaan yang majemuk dan<br />

melandaskan diri pada konstitusi<br />

(hukum), satu agama saja tidak<br />

bisa dijadikan klaim dan satusatunya<br />

ujung tombak dakwah<br />

yang menuntut seluruh warga<br />

masyarakat merealisasikan ajaran<br />

agama sepersis mungkin. Asas<br />

keadilan, asas bhineka tunggal<br />

ika, dan asas kebangsaan yang<br />

telah diamini oleh para pemimpin<br />

bangsa ini sebagai landas-hukum<br />

pendirian negara bangsa dan juga<br />

telah diamanatkan oleh UU No 10<br />

Tahun 2004 tentang Pembentukan<br />

Peraturan Perundang-undangan<br />

itulah yang sepatutnya dirujuk.<br />

Sayangnya, asas dan prinsipprinsip<br />

itu tidak diindahkan.<br />

Kedua, proses pembuatan<br />

Perda Gerbang Marhamah ini<br />

mengisyaratkan tidak adanya<br />

partisipasi publik yang baik.<br />

Dalam sebuah diskusi untuk<br />

membahas Perda ini pada 29<br />

<strong>Januari</strong> <strong>2010</strong> yang lalu di Cipanas,<br />

terkutiplah pernyataan dan<br />

kesaksian dari salah satu pendeta<br />

Katolik yang mengatakan bahwa<br />

orang-orang seperti dirinya tidak<br />

pernah dilibatkan dalam proses<br />

itu. Bahkan istilah 'akhlaqul<br />

karimah' yang menjadi inti dari isi<br />

Perda itu pun tidak pernah ia<br />

mengerti. Partisipasi, sepatutnya<br />

tidak hanya melibatkan orangorang<br />

tertentu secara kuantitatif<br />

b e l a k a , m e l a i n k a n j u g a<br />

representasi. Artinya, partisipasi<br />

dalam konteks pembahasan<br />

Perda ini tidak cukup hanya melibatkan<br />

banyak ulama dan cerdik<br />

pandai, melainkan juga harus<br />

melibatkan kelompok minoritas<br />

agama, bahkan penganut keyakinan<br />

lokal sekalipun.<br />

Ketiga, sebagai peraturan<br />

ternyata Perda ini tidak diiringi<br />

dengan sanksi sehingga ia lebih<br />

tepat diposisikan sebagai himbauan<br />

yang tidak meniscayakan<br />

adanya kepatuhan dan ketaatan<br />

bagi warganya. Akhlaqul karimah<br />

sebagai ruh dari Perda ini,<br />

sebagaimana disebutkan dalam<br />

pasal 3 (3), hanya sebagai<br />

pedoman dan budaya tata<br />

pergaulan hidup dalam kehidupan<br />

pribadi, keluarga, bermasyarakat<br />

dan bernegara. Jika demikian,<br />

ada atau tiadanya Perda ini tidak<br />

bisa dijadikan sebagai suatu<br />

pijakan hukum bagi masyarakat<br />

Cianjur untuk bertindak sesuai<br />

atau bertentangan dengan Perda.<br />

Lalu, apa perlunya keberadaan<br />

Perda yang ingin mengikat<br />

masyarakat tetapi tanpa tali<br />

kepatuhan dan sanksi?<br />

Pluralisme dan Hak <strong>Asasi</strong><br />

Manusia<br />

Kegelisahan yang muncul dari<br />

adanya Perda Gerbang Marhamah<br />

ini adalah ketika potret keagamaan<br />

diwarnai oleh proyek politik. Klaim<br />

para penguasa setempat yang<br />

mengatakan bahwa Kabupaten<br />

Cianjur didomisili oleh 99% warga<br />

muslim kerap menjadi legitimasi<br />

yang ampuh untuk membuat<br />

Perda bernuansa keagamaan. Hal<br />

ini juga terjadi diberbagai propinsi<br />

dan kabupaten/kota lain di mana<br />

Perda-Perda bernuansa syariat<br />

Islam disusun berdasarkan klaim<br />

mayoritas pemeluk agama Islam.<br />

Klaim tersebut seolah-olah berbanding<br />

lurus dengan pengandaian<br />

bahwa seluruh masyarakat<br />

memiliki satu sudut pandang dan<br />

praktik yang sama berkaitan<br />

dengan perilaku keagamaan<br />

ataupun moral publik.<br />

Para penguasa dan juga<br />

Perda itu tidak berusaha untuk<br />

mengerti bahwa pengandaian<br />

tentang “yang sama” itu sesungguhnya<br />

mustahil, bukan hanya<br />

karena persepsi mengenai akhlaqul<br />

karimah di kalangan muslim<br />

sendiri beragam melainkan juga<br />

setiap orang lahir dengan<br />

mengenal standar yang berbedabeda<br />

mengenai baik-buruknya<br />

akhlak. Belum lagi jika kemudian<br />

ia dipertanyakan bagi komunitas<br />

agama lain, pastilah mereka lebih<br />

tidak mengerti atau justru merasa<br />

dipaksa untuk menyetujui segala<br />

sesuatu yang berjudul dan berbau<br />

akhlaqul karimah itu. Mungkin,<br />

persoalannya tidak sekadar<br />

bagaimana merumuskan dan<br />

menjelaskan apa itu akhlaqul<br />

karimah, tokh ia bisa saja diganti<br />

dengan moral, etika, atau apapun<br />

namanya. Persoalannya lebih<br />

terletak pada keinginan kelompok<br />

mayoritas untuk mendesakkan<br />

agenda keagamaannya bagi<br />

18<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


daerah<br />

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

seluruh masyarakat yang majemuk.<br />

Padahal, belum tentu seluruh<br />

masyarakat menghendaki<br />

agama jadi penggerak identitas<br />

politik. Wajar pula jika AE Priyono<br />

(2007) sempat resah ketika<br />

lahirnya Perda semacam ini<br />

hanya sebagai proyek politik<br />

syariahisasi negara dengan<br />

menyemarakkan simbol keagamaan<br />

yang difantasikan dan dimistifikasi,<br />

di mana-mana menggemakan<br />

suara bahwa syariat Islam itu<br />

merupakan keulungan dan<br />

keagungan yang mutlak sehingga<br />

siapapun harus tunduk.<br />

Pemaksaan-pemaksaan<br />

inilah yang kemudian melahirkan<br />

kritik bahwa Perda Gerbang<br />

Marhamah dan yang sejenisnya<br />

menyimpan keinginan untuk<br />

merenggut perbedaan yang<br />

artinya pula membungkam hak<br />

masyarakat untuk bebas memilih,<br />

menentukan, dan mempraktikkan<br />

ajaran agama yang “tidak sama”<br />

dengan ajaran agama yang<br />

mainstream. Perda Gerbang<br />

Marhamah, yang ditujukan bagi<br />

seluruh warga Cianjur itu ternyata<br />

menyimpan benih-benih untuk<br />

mendiskriminasi warga pemeluk<br />

agama lain dengan tidak<br />

menganggap mereka sebagai<br />

warga yang berhak diikutkan<br />

dalam proses perumusan dan<br />

pembahasannya. Hal lain yang<br />

terlupa dari Perda Gerbang Marhamah<br />

ini adalah ketidakbolehannya<br />

untuk bertentangan dengan<br />

peraturan yang lebih tinggi.<br />

Peraturan perundang-undangan<br />

apapun termasuk Perda- juga<br />

harus dibuat melalui mekanisme<br />

pembuatan peraturan perundangundangan,<br />

serta secara substansial<br />

tidak boleh bertentangan dengan<br />

prinsip-prinsip penegakan dan<br />

perlindungan hak asasi manusia<br />

(HAM) seperti kebebasan dalam<br />

konteks hukum dan anti diskriminasi.<br />

Dalam konteks Indonesia,<br />

keberagaman baik secara sosiokultural<br />

maupun pemikiran perlu<br />

dipertimbangkan agar pembuatan<br />

suatu peraturan tidak menyimpangi<br />

kenyataan masyarakat<br />

yang majemuk itu.<br />

Jikalaupun pemerintah<br />

daerah masih ngotot ingin<br />

Pintu gerbang masuk Kota Cianjur dok: asepmuhsin.blogspot.com<br />

menegakkan Gerbang Marhamah<br />

sebagai langkah untuk mengamalkan<br />

Syariat Islam di mana<br />

dengan itu mereka akan terpelihara<br />

dari ambruknya moral,<br />

tidakkah mereka teringat pada<br />

ucapan salah satu pemikir besar<br />

di bidang politik Islam, Ali Abd<br />

Raziq yang mengatakan bahwa<br />

ketika penegakan identitas Islam<br />

itu dilakukan melalui jalur politik<br />

negara, maka justru akan<br />

mengarah pada politisasi agama<br />

atau monopoli negara terhadap<br />

agama. Karena yang muncul<br />

kemudian bukanlah warga<br />

masyarakat yang patuh terhadap<br />

agama, melainkan kelompokkelompok<br />

masyarakat yang saling<br />

tuding, saling kecam, dan<br />

b e r t a r u n g s e h i n g g a a k a n<br />

menghilangkan kemaslahatan<br />

umum itu sendiri.<br />

Tampaknya akan lebih arif jika<br />

perhatian pemerintah daerah<br />

beralih dari gegap-gempita<br />

mengatur cara berakhlaqul<br />

karimah ke arah kinerja lain yang<br />

lebih dibutuhkan oleh masyarakat.<br />

Menghimbau masyarakat untuk<br />

berperilaku yang baik tidak akan<br />

cukup berguna ketika di sisi lain<br />

masyarakat masih kesulitan<br />

memenuhi kebutuhan ekonomi,<br />

sulit mendapatkan pelayanan<br />

pendidikan dan kesehatan yang<br />

baik, atau anak-anak mereka<br />

kurus kering kekurangan gizi<br />

akibat kemiskinan. Temuan di<br />

Rumah Sakit Umum Cianjur Juni<br />

2009 yang menyebutkan bahwa<br />

terdapat 32 penderita gizi buruk<br />

seharusnya tidak perlu ada jika<br />

perhatian Pemerintah Daerah<br />

dimaksimalkan dalam pemenuhan<br />

kesejahteraan masyarakat. Bukankah<br />

memperhatikan kesejahteraan<br />

masyarakat itu lebih bijak ketimbang<br />

memperbesar anggaran pembuatan<br />

portal, pagar, tugu atau gerbang<br />

hanya sekedar untuk memanc<br />

a n g k a n t u l i s a n G e r b a n g<br />

Marhamah?<br />

Kepustakaan<br />

Peraturan Daerah No 03 tahun<br />

2 0 0 6 t e n t a n g G e r a k a n<br />

P e m b a n g u n a n M a s y a r a k a t<br />

Berakhlaqul Karimah<br />

Undang-Undang No 10 tahun 2004<br />

tentang Pembentukan Peraturan<br />

Perundang-Undangan<br />

LPPI. 2002. Gerbang Marhamah.<br />

Rencana Strategis Mewujudkan<br />

Masyarakat Cianjur Sugih Mukti<br />

Tur Islami. Cianjur: LPPI<br />

Priyono, AE. 2007. “Projek<br />

Syariahisasi Daerah antara<br />

Imaginasi Moral dan Fantasi<br />

Politik” dalam REFORM. Vol. I No<br />

1, April-Juni.<br />

Http://infokorupsi.com/id/korupsi.p<br />

hp<br />

H t t p : / / n e w s p a p e r . p i k i r a n -<br />

rakyat.com/prprint.php<br />

http://www.tempointeraktif.com/hg/<br />

nusa/2009/07/17<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

19


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

internasional<br />

Komisi HAM ASEAN, Akhirnya Datang juga!<br />

Oleh Haris Azhar<br />

(Wakil Koordinator KontraS/Convenor of SAPA Task Force on Human Rights)<br />

etelah 42 tahun berdiri<br />

akhirnya ASEAN memiliki<br />

sebuah institusi HAM.<br />

Institusi ini bernama SASEAN Intergovernmental<br />

Commission on Human Rights<br />

(AICHR)/Komisi HAM ASEAN.<br />

Komisi ini diresmikan pada 23<br />

Oktober 2009 di Cha Am Thailand<br />

lewat ASEAN Summit. Dalam<br />

Deklarasi Politik saat ia diresmikan,<br />

disebutkan bahwa AICHR<br />

menjadi penting dalam proses<br />

membangun komunitas ASEAN,<br />

sebagai sebuah kendaraan yang<br />

progresif dalam pembangunan<br />

sosial dan keadilan, pemenuhan<br />

kehormatan manusia, dan<br />

pencapaian kualitas hidup yang<br />

lebih tinggi dari masyarakat<br />

ASEAN.<br />

1.Asal Mula Komisi HAM<br />

ASEAN<br />

Ide untuk memiliki komisi HAM di<br />

ASEAN mulai diusung sejak tahun<br />

1993. Hal ini adalah tindak lanjut<br />

dari proses diskusi HAM di<br />

tingkatan global. Pada 1993<br />

Perserikatan Bangsa-Bangsa<br />

(PBB) memulai proses dialog<br />

secara global tentang masa<br />

depan HAM. Pembahasan ini<br />

memuncak di Wina, Austria lewat<br />

sebuah konferensi dan menghasilkan<br />

Deklarasi Wina berikut<br />

Program Aksi 1993. Sebelumnya<br />

di Asia, sebagai persiapan menuju<br />

Wina, dihasilkan Deklarasi<br />

Bangkok (1993). Dalam Deklarasi<br />

Bangkok (angka 26), dikatakan<br />

bahwa penting untuk ditekankan<br />

kebutuhan mengeksplorasi<br />

kemungkinan-kemungkinan<br />

membuat pengaturan regional<br />

guna promosi dan perlindungan<br />

HAM di Asia. Serupa dalam<br />

Deklarasi Wina bagian I angka 37,<br />

dikatakan bahwa “penting untuk<br />

mempertimbangkan mendirikan<br />

pengaturan regional dan sub<br />

regional untuk promosi dan<br />

perlindungan HAM diwilayah yang<br />

belum memilikinya”.<br />

Paska Konferensi Wina 1993, ada<br />

banyak respon dan usaha untuk<br />

mendorong berdirinya Komisi<br />

HAM di ASEAN. Pada pertemuan<br />

Menteri Luar Negeri ASEAN ke 26<br />

(juni 1993), dibuat Komunike<br />

Bersama (Joint Communique)<br />

yang menyatakan “menyambut<br />

baik konsensus international yang<br />

dicapai selama konferensi Wina<br />

mengenai HAM”. Dalam komunike<br />

ini juga dinyatakan bahwa ASEAN<br />

berkomitmen dan menghormati<br />

HAM dan kebebasan yang<br />

fundamental. Oleh karenanya<br />

ASEAN mempertimbangkan<br />

pendirian sebuah mekanisme<br />

HAM ditingkat regional.<br />

Kantor Komisi Tinggi<br />

HAM PBB (Office of High<br />

Commissioner on Human Rights)<br />

juga berperan dalam mendorong<br />

berdirinya mekanisme HAM di<br />

Asia. Hal ini terlihat dalam hasil<br />

lokakarya tahunan dalam Bidang<br />

Kerjasama untuk Promosi dan<br />

Perlindungan HAM se-Asia<br />

Pasific ke 14 di Bali (Juli 2007).<br />

Pada ASEAN Summit ke-11,<br />

Desember 2005, di Kuala Lumpur<br />

dinyatakan penting bagi ASEAN<br />

untuk memiliki Piagam ASEAN<br />

yang didalamnya mengafirmasi<br />

pentingnya 'promosi demokrasi,<br />

hak dan kewajiban asasi'.<br />

Konkritnya, dalam piagam<br />

ASEAN (2005) di pasal 14<br />

dikatakan bahwa ASEAN harus<br />

mendirikan Badan HAM ASEAN<br />

dan badan ini akan beroperasi<br />

yang akan diatur melalui kerangka<br />

acuan yang selanjutnya akan<br />

ditentukan melalui pertemuan<br />

menteri luar negeri ASEAN.<br />

Pada pertemuan Menteri<br />

Luar Negeri ASEAN ke-41 (2008)<br />

di Singapura dibentuk Panitia<br />

Tingkat Tinggi (High Level Panel)<br />

yang bertugas merumuskan<br />

Kerangka Acuan Komisi/Badan<br />

HAM ASEAN. Panitia ini terdiri<br />

dari 10 orang yang mewakili 10<br />

negara anggota ASEAN. Panitia<br />

ini juga bertugas melakukan<br />

konsultasi dengan masyarakat<br />

sipil guna mencari masukan rumusan<br />

kerangka acuan. Sayangnya<br />

konsultasi dengan masyarakat<br />

sipil dilakukan tanpa perinsip<br />

keseimbangan. Masyarakat sipil<br />

diminta memberikan masukan<br />

namun, panitia ini tidak pernah<br />

memberikan secara terbuka<br />

rancangan kerangka acuan<br />

kepada masyarakat. Walhasil,<br />

pada pertemuan Menteri luar<br />

negeri ASEAN ke-42 (2009) di<br />

Phuket Thailand, kerangka acuan<br />

tersebut diterima dan disahkan.<br />

Pada ASEAN Summit ke-15 pada<br />

Oktober 2009 di Cha Am,<br />

Thailand, Komisi HAM ASEAN<br />

dideklarasikan dan 10 orang<br />

komisioner (masing-masing 1 dari<br />

s e t i a p N e g a r a A S E A N )<br />

ditetapkan.<br />

2.Komisi HAM ASEAN<br />

Sebagaimana dalam kerangka<br />

acuan, tujuan dari komisi ini<br />

adalah untuk mempromosi dan<br />

melindungi hak asasi dan<br />

kebebasan fundamental dan<br />

mengangkat derajat hak setiap<br />

orang didalam ASEAN untuk<br />

hidup dalam damai, kehormatan<br />

dan kesejahteraan. Selain itu,<br />

Komisi ini bertujuan untuk<br />

berkontribusi dalam penciptaan<br />

stabilitas dan harmoni di wilayah<br />

ASEAN, menciptakan persahabatan<br />

dan kerjasama diantara Negara<br />

anggota ASEAN, termasuk setiap<br />

20<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

insan, dalam proses membangun<br />

komunitas ASEAN. Namun<br />

demikian Komisi ini diharapkan<br />

tetap mempromosikan konteks<br />

dan kekhususan regional dan<br />

nasional dalam penghormatan<br />

HAM serta menyeimbangkan<br />

antara hak dan kewajiban setiap<br />

orang. Tujuan lainnya adalah<br />

Komisi bisa menggunakan<br />

standar HAM internasional seperti<br />

Deklarasi Umum HAM 1948 dan<br />

Deklarasi Wina 1993.<br />

Pada artikel 4 dari<br />

kerangka acuan terdapat 14<br />

fungsi dan mandat dari Komisi ini.<br />

Kesemuanya dapat dikategorikan<br />

dalam, pertama, fungsi strategis,<br />

berupa membangun strategi<br />

promosi dan perlindungan HAM,<br />

merancang Deklarasi HAM<br />

ASEAN; mendapatkan informasi<br />

dari negara-negara ASEAN dalam<br />

kerja promosi dan perlindungan<br />

HAM dinegara masing-masing;<br />

melakukan studi atas tema-tema<br />

tertentu; membuat laporan<br />

tahunan ke menteri luar negeri<br />

negara-negara ASEAN dan<br />

melakukan tugas tertentu yang<br />

terkait dengan HAM atas<br />

permintaan rapat menteri luar<br />

negeri negara-negara ASEAN.<br />

Kedua, fungsi penguatan<br />

kapasitas (edukatif) berupa<br />

meningkatkan kepedulian masyarakat<br />

ASEAN atas HAM; mendorong<br />

Negara-negara ASEAN<br />

meratifikasi hukum HAM internasional<br />

dan meningkatkan kemampuan<br />

Negara-negara ASEAN<br />

dalam implementasi hukum HAM<br />

internasional; termasuk memberikan<br />

layanan saran dan bantuan<br />

teknis dalam persoalan HAM<br />

sesuai dengan permintaan;<br />

melakukan dialog dan konsultasi<br />

dengan badan-badan lain di<br />

ASEAN termasuk masyarakat<br />

sipil; dan melakukan konsultasi<br />

dengan institusi-institusi internasional<br />

yang peduli dengan promosi<br />

dan perlindungan HAM.<br />

Fungsi-fungsi diatas<br />

memperlihatkan bahwa Komisi ini<br />

merupakan komisi yang bekerja<br />

pada tingkatan promosional saja.<br />

Bahkan secara terbuka dalam<br />

kerangka acuan dinyatakan<br />

bahwa Komisi ini bersifat<br />

konsultatif. Komisi tidak memiliki<br />

fungsi untuk mengintervensi<br />

suatu situasi seperti terjadinya<br />

pelanggaran berat HAM. Dengan<br />

kata lain, komisi ini tidak memiliki<br />

fungsi atau mandat untuk<br />

melakukan investigasi atas<br />

dugaan sebuah pelanggaran<br />

HAM. Lalu apa yang bisa<br />

dilakukan oleh Komisi ini atas<br />

situasi HAM di negara-negara<br />

ASEAN yang masih banyak<br />

mempraktekkan pelanggaran<br />

HAM dinegaranya?<br />

3.Komisi HAM ASEAN: Sudah<br />

datang, lalu mau apa?<br />

Secara umum masih pelanggaranpelanggaran<br />

HAM di ASEAN<br />

masih terus terjadi, baik berupa<br />

Impunitas (ketiadaan penghukuman<br />

atas kejahatan), pelanggaran<br />

HAM atas dasar keamanan,<br />

serta situasi hak ekonomi dan<br />

sosial yang memburuk. Dalam<br />

soal impunitas, di Kamboja<br />

perdana menteri Hun Sen<br />

semakin tidak mendukung usaha<br />

untuk mengadili Khmer rouge atas<br />

genosida (pembasmian manusia)<br />

yang terjadi pada era 70-an.<br />

Bandingkan pula dengan situasi<br />

yang memburuk di Burma dimana<br />

ribuan orang dihilangkan, diperkosa,<br />

diperbudak dan ditahan<br />

secara semena-mena. Di Malaysia<br />

dan Singapura, Undang-undang<br />

Keamanan Internal (Internal<br />

Security Act) masih secara<br />

ekstensif digunakan untuk<br />

memberangus kelompok pro<br />

demokrasi atau oposisi. Dalam<br />

konteks hak ekonomi dan sosial,<br />

masih banyak terjadi ketiadaan<br />

jaminan pemenuhan keamanan<br />

kerja dan non eksploitatif.<br />

Pelanggaran-pelanggaran<br />

diatas masih terjadi karena<br />

karakter negara-negara ASEAN<br />

yang masih melihat HAM secara<br />

setengah-tengah, misalnya<br />

mengedapankan kemajuan<br />

ekonomi dari pada pemenuhan<br />

hak sipil dan politik. Atau<br />

mengedepankan hak-hak komunitas<br />

dari pada hak individual. Selain<br />

cara pandang tersebut, dalam<br />

ASEAN terdapat prinsip-prinsip<br />

organisasi yang membatasi<br />

kemampuan kontrol ASEAN<br />

terhadap anggotanya dan antar<br />

Negara dalam soal HAM. Prinsipprinsip<br />

tersebut berupa nonintervensi<br />

antar Negara anggota<br />

ASEAN, pengutaman kedaulatan,<br />

dan pencapaian keputusan<br />

berdasarkan konsensus (musyawarah<br />

dan mufakat). Ironisnya, prinsipprinsip<br />

ini juga menjadi salah satu<br />

prinsip kerja Komisi HAM ASEAN<br />

(pasal 2).<br />

Secara politik, wajar jika<br />

Komisi HAM ASEAN hanya<br />

diberikan mandat mempromosikan<br />

HAM (tidak proteksi). Konsekuensinya,<br />

Komisi ini tidak<br />

diberikan wewenang mengkritik<br />

kondisi dan situasi HAM atas<br />

suatu Negara. Oleh karenanya,<br />

sementara ini komisi ini harus<br />

digunakan untuk mengoptimalkan<br />

peran promosinya, seperti<br />

mendorong Negara-negara<br />

ASEAN untuk meratifikasi hukum<br />

dan standar HAM internasional,<br />

seperti statuta Roma (tentang<br />

Pengadilan Kriminal Internasional)<br />

atau konvensi perlindungan buruh<br />

migran. Selain itu Komisi ini juga<br />

memiliki kesempatan untuk<br />

menginternalisasikan HAM ke<br />

dalam ASEAN. Oleh karena<br />

penting bagi entitas masyarakat<br />

sipil dan masyarakat internasional<br />

lainnya, seperti Kantor Komisi<br />

Ti n g g i H A M P B B , u n t u k<br />

memberikan masukan dalam<br />

mendorong perbaikan insitusional<br />

Komisi ini. Hal ini dapat dilakukan<br />

mengingat masih terdapat celah<br />

di dalam perumusan Deklarasi<br />

HAM ASEAN, dan adanya<br />

kemungkinan kerangka acuan<br />

untuk dievaluasi dalam 5 tahun<br />

kedepan. Tak kalah pentingnya<br />

untuk melihat bahwa Komisi<br />

merupakan ini merupakan komisi<br />

regional yang melengkapi mekanisme<br />

nasional.<br />

Komisi yang masih bayi ini<br />

adalah harapan ditengah gurun<br />

HAM ASEAN yang terus diterpa<br />

badai pelanggaran dan kesewenangwenangan.<br />

Sehingga penting bagi<br />

setiap kita di ASEAN untuk terus<br />

memberikan susu advokatif guna<br />

memiliki komisi HAM ASEAN yang<br />

dewasa yang efektif dalam<br />

memajukan HAM di ASEAN kelak.<br />

***<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong><br />

21


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

resensi<br />

Bebas dari Penyiksaan:<br />

Perjalanan Masih Panjang<br />

Oleh Betty Yolanda, SH, LL.M<br />

(Koordinator Unit Studi ELSAM)<br />

Judul Buku<br />

Penulis<br />

: Hak <strong>Asasi</strong> Manusia di Bawah Ancaman Penyiksaan<br />

: Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan<br />

(WGAT) Berkonsultasi dengan the Association for the<br />

Prevention of Torture (APT) dan the World Organisation<br />

Torture (OMCT)<br />

: Emilianus Afandi<br />

: ELSAM dan OMCT<br />

against<br />

Editor<br />

Penerbit<br />

Tahun : November 2009<br />

Data Fisik : 172 halaman<br />

onvensi Menentang<br />

Penyiksaan, yang diratifikasi<br />

oleh Pemerintah<br />

KIndonesia pada tahun<br />

1998, menetapkan bahwa setiap<br />

Negara Pihak pada Konvensi<br />

harus menyerahkan laporan<br />

tentang langkah-langkah yang<br />

telah mereka ambil dalam rangka<br />

pelaksanaan Konvensi ke Komite<br />

Menentang Penyiksaan (Pasal<br />

1 9 ( 1 ) ) . B u l a n M e i 2 0 0 8<br />

merupakan kali kedua laporan<br />

Pemerintah Indonesia sehubungan<br />

dengan pelaksanaan Konvensi<br />

dibahas di Komite. Secara umum,<br />

Pemerintah Indonesia menegaskan<br />

bahwa langkah-langkah<br />

konstitusional, legislatif dan<br />

langkah-langkah lain yang<br />

mereka ambil telah sesuai<br />

dengan apa yang ditetapkan<br />

dalam Konvensi.<br />

Buku “Hak <strong>Asasi</strong> Manusia<br />

di Bawah Penyiksaan” adalah<br />

sebuah buku yang berisikan<br />

ringkasan laporan bayangan yang<br />

disusun oleh Kelompok Kerja<br />

untuk Advokasi Menentang<br />

Penyiksaan (WGAT), sebuah<br />

kelompok kerja yang terdiri dari 33<br />

lembaga swadaya masyarakat<br />

(LSM) di tingkat nasional dan<br />

lokal, yang melakukan advokasi<br />

u n t u k m e n g h a p u s p r a k t i k<br />

penyiksaan di Indonesia.<br />

Berangkat dari kasuskasus<br />

yang diadvokasi oleh para<br />

anggota WGAT, observasiobservasi<br />

lapangan, serta<br />

didukung oleh data-data sekunder<br />

yang diperoleh dari media cetak<br />

dan elektronik, 12 (dua belas) bab<br />

dalam buku ini akan membawa<br />

kita pada diskusi mendalam<br />

m e n g e n a i s e j a u h m a n a<br />

Pemerintah Indonesia telah<br />

m a m p u u n t u k m e m e n u h i<br />

kewajibannya berdasarkan<br />

Konvensi. Juga dilampirkan 2<br />

(dua) dokumen yang dikeluarkan<br />

o l e h K o m i t e M e n e n t a n g<br />

P e n y i k s a a n , y a k n i D a f t a r<br />

Inventaris Permasalahan dan<br />

Kesimpulan Observasi.<br />

22<br />

EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>


Diawali dengan pemaparan<br />

tentang proses penyusunan dan<br />

struktur laporan bayangan, buku<br />

ini selanjutnya mengingatkan<br />

kembali ingatan kita pada<br />

rekomendasi-rekomendasi yang<br />

dikeluarkan oleh Komite pada<br />

tahun 2001. Dari 17 (tujuh belas)<br />

butir rekomendasi, WGAT<br />

mencatat bahwa Pemerintah<br />

Indonesia belum mampu untuk<br />

mengambil langkah-langkah<br />

yang signifikan, khususnya yang<br />

berkenaan dengan pengembangan<br />

kerangka hukum yang<br />

kuat bagi pencegahan penyiksaan,<br />

reformasi kelembagaan,<br />

dan peningkatan mekanisme<br />

akuntabilitas.<br />

B u k u i n i k e m b a l i<br />

mempertanyakan keseriusan<br />

Pemerintah untuk mengintegrasikan<br />

ketentuan-ketentuan<br />

yang termuat dalam Konvensi ke<br />

dalam hukum domestik. Ironis<br />

memang, sampai saat ini<br />

kejahatan penyiksaan belum juga<br />

diatur dalam Kitab Undang-<br />

Undang Hukum Pidana (KUHP)<br />

yang merupakan payung hukum<br />

dari peraturan perundangundangan<br />

di Indonesia.<br />

Meski RUU KUHP sudah<br />

memuat definisi 'penyiksaan'<br />

yang sesuai dengan definisi<br />

Konvensi, lambannya proses<br />

pengesahan RUU tersebut<br />

menunjukkan ketidakseriusan<br />

Pemerintah untuk mengkriminalisasi<br />

penyiksaan. Kendati UU<br />

No. 39/1999 tentang Hak <strong>Asasi</strong><br />

Manusia, Pasal 1 ayat (4),<br />

memuat definisi penyiksaan<br />

sebagaimana ditetapkan oleh<br />

Konvensi, ruang lingkup undangundang<br />

tersebut terbatas pada<br />

penyiksaan yang dikategorikan<br />

sebagai pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang berat, yakni<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan<br />

dan genosida.<br />

Perlu kita ingat bahwa<br />

Konvensi Menentang Penyiksaan<br />

tidak hanya membatasi dirinya<br />

pada penyiksaan, tetapi juga<br />

pada tindakan-tindakan lain yang<br />

kejam, tidak manusiawi, atau<br />

merendahkan martabat manusia.<br />

Bertitik tolak dari sinilah maka isu<br />

perempuan dan anak-anak pada<br />

akhirnya diintegrasikan dalam<br />

laporan bayangan, terutama<br />

mengingat kerentanan yang<br />

mereka miliki. Pembahasan<br />

mengenai isu ini tersebar di<br />

beberapa bab, yakni Bab 4 (hak<br />

untuk mengadu dan mendapatkan<br />

perlindungan), Bab 5 (kompensasi<br />

dan rehabilitasi), Bab 6 (tahanan<br />

perempuan dan narapidana<br />

anak), dan Bab 11 (bentuk-bentuk<br />

kekerasan yang dialami oleh<br />

perempuan dan anak-anak).<br />

Maraknya pemberitaan<br />

tentang jual-beli kamar di penjara<br />

akhir-akhir ini sebenarnya bukan<br />

merupakan hal yang baru. Buku<br />

ini mengungkapkan bahwa<br />

praktik jual-beli kamar tahanan<br />

hanya merupakan satu dari<br />

berbagai permasalahan pelik<br />

yang terjadi di dalam penjara,<br />

seperti misal penyajian makanan<br />

yang tidak memenuhi standar gizi,<br />

ketiadaan fasilitas sanitasi yang<br />

memadai dan masalah kelebihan<br />

kapasitas.<br />

Buruknya kondisi tempat<br />

penahanan dan perlakuan<br />

terhadap para tahanan merupakan<br />

bentuk tindakan-tindakan<br />

yang tidak manusiawi dan<br />

merendahkan martabat manusia.<br />

Oleh karenanya perlu untuk<br />

meningkatkan peran lembagalembaga<br />

negara yang memiliki<br />

fungsi pengawasan terhadap<br />

tempat-tempat penahanan,<br />

misalnya Komnas HAM, dan untuk<br />

segera meratifikasi Protokol<br />

Tambahan pada Konvensi<br />

Menentang Penyiksaan (OPCAT).<br />

Informasi khusus tentang<br />

praktik-praktik penyiksaan di<br />

wilayah-wilayah konflik seperti di<br />

Poso dan Papua Barat juga tersaji<br />

dalam buku ini. Berdasarkan datadata<br />

yang telah diverifikasi,<br />

terungkap bahwa ketatnya<br />

penerapan kebijakan keamanan<br />

dan kuatnya kehadiran militer di<br />

dua wilayah tersebut berkontribusi<br />

besar pada banyaknya kasus<br />

penyiksaan yang terjadi.<br />

Bab terakhir dari buku ini<br />

mengedepankan kesimpulan dan<br />

r e k o m e n d a s i W G AT y a n g<br />

berhubungan dengan permasalahan-permasalahan<br />

mengenai<br />

perlindungan dan pencegahan<br />

terhadap penyiksaan, kondisi<br />

penahanan, kompensasi dan<br />

rehabilitasi, dan perempuan dan<br />

anak-anak.


PROFIL ELSAM<br />

LEMBAGA STUDI & ADVOKASI MASYARAKAT<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy),<br />

disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri<br />

sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha<br />

menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak<br />

asasi manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan<br />

Deklarasi Universal Hak <strong>Asasi</strong> Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.<br />

ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang<br />

berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai<br />

bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan<br />

penyebaran informasi hak asasi manusia.<br />

Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM<br />

Badan Pengurus:<br />

Ketua: Asmara Nababan, SH; Wakil Ketua: Drs. Hadimulyo, MSc.; Sekretaris 1: Ifdhal Kasim,<br />

SH; Sekretaris 2: Francisca Saveria Sika Ery Seda, PhD; Bendahara: Ir. Yosep Adi Prasetyo;<br />

Anggota: Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA;<br />

Ir. Agustinus Rumansara, M.Sc.; Lies Marcoes, MA; Johni Simanjuntak, SH; Kamala<br />

Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Sandra Yati Moniaga, SH;<br />

Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LLM; Raharja Waluya Jati; Abdul Haris Semendawai SH, LLM;<br />

Sentot Setyasiswanto S.Sos; Tugiran S.Pd; Roichatul Aswidah MSc; Herlambang Perdana<br />

SH, MA<br />

Badan Pelaksana:<br />

Direktur Eksekutif: Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA;<br />

Deputi Program: Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH, LL.M;<br />

Deputi Internal: Otto Adi Yulianto, SE;<br />

Staf: Adyani Hapsari W; Ahmad Muzani; Drs. Amiruddin, MSi; Atnike Nova Sigiro, S.Sos, M.Sc ;<br />

Betty Yolanda, SH, LL.M; Elisabet Maria Sagala, SE; Elly F. Pangemanan; Ester Rini<br />

Pratsnawati; Ikhana Indah Barnasaputri, SH; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena, SE; Paijo,<br />

Siti Sumarni, SE MSi; Triana Dyah, SS; Siti Mariatul Qibtiyah; Wahyu Wagiman SH;<br />

Yuniarti, SS<br />

Alamat: Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919<br />

2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519; Email: office@elsam.or.id,<br />

Website: www.elsam.or.id

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!