Edisi Mei -Juni Tahun 2008 per HAL - Elsam
Edisi Mei -Juni Tahun 2008 per HAL - Elsam
Edisi Mei -Juni Tahun 2008 per HAL - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
laporan utama<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
ke pengadilan. Akhirnya, sejak<br />
1998, sebuah proses reformasi<br />
hukum telah dimulai. Namun pada<br />
saat itu, tampaklah bahwa begitu<br />
b a n y a k m e k a n i s m e u n t u k<br />
menegakkan kedaulatan hukum<br />
(rule of law), dan bahwa jumlah<br />
yang begitu banyak itu malah<br />
m e n j a d i p e n g h a l a n g b a g i<br />
penuntutan dan penghukuman.<br />
2.3. Aspek kultural<br />
Terdapat banyak sinyal dan<br />
p e r n y a t a a n d a r i p e l b a g a i<br />
narasumber yang menunjukkan<br />
bahwa kultur feodalisme masih<br />
tetap bercokol kuat dalam<br />
masyarakat. Hal itu membuat<br />
impunitas bukan hanya mungkin,<br />
melainkan merupakan suatu unsur<br />
esensial dalam kultur masyarakat<br />
sekarang ini. Perilaku “asal bapak<br />
senang”, tidak kritis, dan sopan<br />
santun hipokrit merupakan ciri<br />
khas paling jelas dari kultur<br />
feodalisme. Dua jenis <strong>per</strong>ilaku<br />
lainnya juga berkaitan erat dengan<br />
hal itu, yaitu kultur kekerasan<br />
mengatasi konflik bukan dengan<br />
dialog dan debat melainkan<br />
dengan kekerasan dan budaya<br />
k e m u n a f i k a n ( c u l t u r e o f<br />
fabrication) karena adanya<br />
tuntutan sopan santun dalam<br />
m a s y a r a k a t m a k a o r a n g<br />
cenderung untuk tidak menggali<br />
kebenaran dan menyingkapkan<br />
fakta-fakta. Akhirnya, ada juga<br />
kultur korupsi yang menerima<br />
begitu saja praktik-praktik korupsi<br />
dan memaafkan begitu saja ketika<br />
praktik korupsi itu terbukti. Semua<br />
<strong>per</strong>ilaku itu secara bersama-sama<br />
mem<strong>per</strong>kuat tindakan menutupnutupi<br />
ketika dihadapkan pada<br />
tuntutan untuk menghukum<br />
kejahatan hak asasi manusia.<br />
2.4. Aspek-aspek internasional<br />
Perjanjian-<strong>per</strong>janjian internasional<br />
tidak mengijinkan terjadinya<br />
impunitas. Kendati Indonesia<br />
belum meratifikasi semua<br />
<strong>per</strong>janjian itu, namun sudah<br />
tercakup dalam konsep common<br />
law bahwa impunitas tidak boleh<br />
dibiarkan hidup. Kurangnya<br />
implementasi atas <strong>per</strong>janjian<strong>per</strong>janjian<br />
ini, dan kurangnya<br />
tekanan internasional untuk<br />
membuat <strong>per</strong>janjian-<strong>per</strong>janjian itu<br />
diimplementasikan dengan lebih<br />
b a i k , t u r u t m e n y e b a b k a n<br />
kelanggengan impunitas. Salah<br />
satu masalahnya adalah cara<br />
yang tidak memadai tentang<br />
b a g a i m a n a i m p u n i t a s<br />
dimasukkan ke dalam <strong>per</strong>janjian<strong>per</strong>janjian<br />
itu. Masalah lainnya lagi<br />
adalah kurangnya komitmen<br />
politik (political will) untuk<br />
melakukan tekanan se<strong>per</strong>ti itu.<br />
Contoh-contoh pelanggaran hak<br />
asasi manusia yang berkaitan<br />
dengan kasus 1965 dan kasuskasus<br />
di Timor Timur sejak 1975<br />
m e m p e r l i h a t k a n b a h w a<br />
m e k a n i s m e - m e k a n i s m e<br />
internasional PBB belum berjalan<br />
efektif sama sekali. Satu-satunya<br />
pengecualian adalah program<br />
pelepasan bagi para tahanan<br />
politik yang didesak oleh<br />
Organisasi Buruh Internasional<br />
( I L O ) k e p a d a p e m e r i n t a h<br />
Indonesia pada tahun 1976-1979.<br />
J u r i s d i k s i u n i v e r s a l<br />
m e r u p a k a n s i s t e m y a n g<br />
dengannya penuntutan dan<br />
pengadilan bisa diinisiasi oleh<br />
negara-negara lain dan bukan<br />
sekadar oleh negara di mana<br />
pelanggaran HAM terjadi, dan<br />
lebih mengarah kepada para<br />
pelakunya dalam kapasitas<br />
individual dan bukan mengarah<br />
pada kapasitasnya sebagai warga<br />
bangsa atau negara tertentu.<br />
Namun demikian, jurisdiksi<br />
u n i v e r s a l b e l u m p e r n a h<br />
d i t e r a p k a n d a l a m k a s u s<br />
Indonesia, tidak juga dalam kasus<br />
Timor Timur, baik dalam bentuk<br />
sebuah Pengadilan (Tribunal)<br />
Internasional maupun dalam<br />
bentuk penuntutan individual yang<br />
dilakukan di negara-negara lain.<br />
D a l a m h u b u n g a n<br />
bilateral, impunitas tidak <strong>per</strong>nah<br />
menjadi isu yang penting. Sejauh<br />
yang kita ketahui, pelanggaran<br />
HAM, hanya dibahas secara<br />
sambil lalu. Intervensi-intervensi<br />
diplomatik pada dasarnya<br />
memang tidak transparan.<br />
Bertahun-tahun sejak 1965,<br />
tampak jelas bahwa tekanan<br />
b i l a t e r a l a s i n g h a n y a<br />
mendatangkan sedikit <strong>per</strong>ubahan<br />
dalam situasi represi yang dialami<br />
oleh ratusan dari ribuan orang<br />
yang “terlibat” dalam apa yang<br />
disebut sebagai kudeta gagal itu,<br />
dan bahkan tidak memberi<br />
<strong>per</strong>hatian apa pun berkaitan<br />
dengan impunitas.<br />
Persyaratan tertentu<br />
(conditionality) dalam hubungan<br />
internasional pada hakikatnya<br />
merupakan alat yang dipakai untuk<br />
menekan <strong>per</strong>ubahan tertentu di<br />
sebuah negara berkembang oleh<br />
negara donor atau sekelompok<br />
negara donor. Persyaratan pada<br />
umumnya berarti menerapkan<br />
kekuasaan negara donor kepada<br />
negara penerima, dan sangat<br />
diragukan apakah <strong>per</strong>syaratan itu<br />
dapat diterima jika berkaitan<br />
dengan <strong>per</strong>soalan hak asasi<br />
manusia. Dalam kasus Indonesia,<br />
IGGI (Intergovernmental Group on<br />
Indonesia), yang setelah tahun<br />
1992 berubah menjadi CGI<br />
(Consultative Group on Indonesia),<br />
telah menjadi sangat enggan untuk<br />
mengajukan <strong>per</strong>syaratan berupa<br />
<strong>per</strong>mintaan sebagai imbalan dari<br />
pemberian bantuan kerja sama,<br />
pinjaman dan hibah. Pada tahun<br />
1992, IGGI telah diganti menjadi<br />
CGI oleh pemerintah Indonesia<br />
setelah retaknya hubungan kerja<br />
sama antara Indonesia dan<br />
Belanda, karena pemerintah<br />
Belanda melakukan kritik terhadap<br />
tragedi pembantaian massal Santa<br />
Cruz, Dili, pada tahun 1991.<br />
Pemerintah Belanda kemudian<br />
kehilangan kursi kepemimpinan<br />
dalam IGGI. CGI kemudian<br />
dikepalai oleh Bank Dunia (World<br />
Bank). Perilaku pemerintah<br />
Indonesia dalam menghadapi<br />
<strong>per</strong>syaratan dalam kerja sama<br />
bantuan masih tetap demikian<br />
sejak saat itu.<br />
3. Sasaran <strong>per</strong>ubahan<br />
Sasaran <strong>per</strong>ubahan-<strong>per</strong>ubahan<br />
dalam kasus ini berarti sebuah<br />
p r o s e s m e n u j u l e n y a p n y a<br />
impunitas telah diturunkan dari<br />
Pedoman PBB yang belum lama<br />
(April 2005) diadopsi, yang drafnya<br />
di<strong>per</strong>siapkan oleh Prof. Orentlicher.<br />
Ia membagi sasaran dari suatu<br />
masyarakat tanpa impunitas dalam<br />
terminologi-hak sebagai berikut:<br />
(1) hak untuk mengetahui; (2) hak<br />
atas keadilan; (3) hak atas<br />
r e p a r a s i ; ( 4 ) j a m i n a n<br />
ketakberulangan.<br />
Pada dasarnya, pedoman<br />
tersebut berfokus pada sasaran<br />
<strong>per</strong>ubahan dalam <strong>per</strong>iode transisi<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
09