05.05.2015 Views

01 Kata Pengatar.pmd - tekMIRA - Departemen Energi dan Sumber ...

01 Kata Pengatar.pmd - tekMIRA - Departemen Energi dan Sumber ...

01 Kata Pengatar.pmd - tekMIRA - Departemen Energi dan Sumber ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

ISBN 978-979-8461-63-3<br />

PROSIDING<br />

KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />

TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA<br />

“Konstribusi Litbang Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Dalam Mendukung Pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009<br />

tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara”<br />

Bandung, 15 Juli 2009<br />

Editor :<br />

Binarko Santoso<br />

Pramusanto<br />

I.G. Ngurah Ardha<br />

Husaini<br />

Datin Fatia Umar<br />

Darsa Permana<br />

Slamet Suprapto<br />

Tatang Wahyudi<br />

Retno Damayanti<br />

Fauzan<br />

ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL<br />

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA<br />

2009


Hak Cipta / Penerbit<br />

MIRA<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman No. 623, Bandung 40211<br />

Telepon : 022 - 6030483, Fax : 022 - 6003373<br />

Penasihat<br />

Kepala Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM<br />

Penanggung Jawab<br />

Kepala Puslitbang <strong>tekMIRA</strong><br />

Panitia Pengarah<br />

Kuswan<strong>dan</strong>i, Suganal, Edwin Daranin<br />

R.M. Nendaryono, Siti Rochani<br />

Dewan Redaksi<br />

Binarko Santoso<br />

Staf Redaksi<br />

Doeto Poespojoedo, Umar Antana<br />

Bachtiar Efendi, Arie Aryansyah,<br />

Hatif Hidayat<br />

Moderator<br />

Datin Fatia Umar, Miftahul Huda, Edwin Daranin<br />

Yenny Sofaety, R.M. Nendaryono, Stefano Munir<br />

Notulis<br />

Kuswan<strong>dan</strong>i, Wiroto, Isyatun Rodliyah<br />

Sri Sugiarti, Dedi Yaskuri, Hasniati Artika<br />

Nuryadi Saleh<br />

ISBN 978-979-8461-63-3<br />

Hak cipta dilindungi oleh Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau<br />

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit


KATA PENGANTAR<br />

Dalam rangka mensosialisasikan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral<br />

<strong>dan</strong> Batubara, yang menggantikan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan<br />

Pokok Pertambangan, Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara (<strong>tekMIRA</strong>)<br />

telah menyelenggarakan Kolokium Pertambangan 2009 pada tanggal 15 Juli 2009, Kolokium yang<br />

bertemakan “Konstribusi Litbang Mineral <strong>dan</strong> Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara”, dihadiri oleh para pejabat pemerintah<br />

di tingkat pusat <strong>dan</strong> daerah, pelaku usaha, para peneliti <strong>dan</strong> pejabat fungsional lainnya, mahasiswa serta<br />

masyarakat luas yang terkait dengan pengembangan pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara.<br />

Sebagai lembaga litbang di bi<strong>dan</strong>g teknologi mineral <strong>dan</strong> batubara, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> diharapkan dapat<br />

berperan secara aktif dalam meningkatkan nilai tambah mineral <strong>dan</strong> batubara sebagaimana amanat yang<br />

terkandung dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tersebut. Di samping itu, melalui kegiatan ini<br />

diharapkan pula dapat diperoleh masukan dari pelaku industri <strong>dan</strong> masyarakat pertambangan tentang<br />

posisi, peran, <strong>dan</strong> kontribusi litbang mineral <strong>dan</strong> batubara dalam menunjang pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara.<br />

Prosiding ini merupakan rangkuman dari seluruh makalah yang dipresentasikan dalam Kolokium, serta<br />

diharapkan dapat dijadikan salah satu rujukan mengenai perkembangan pertambangan, penelitian, <strong>dan</strong><br />

kajian yang berhubungan dengan peningkatan nilai tambah mineral <strong>dan</strong> batubara. Melalui prosiding ini,<br />

siapapun dapat melihat sampai sejauhmana para peneliti Indonesia telah berkiprah dalam memajukan<br />

sektor pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara nasional.<br />

Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, baik perorangan,<br />

perusahan, instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun seluruh pembicara <strong>dan</strong> peserta, atas pemikiran<br />

atau karya-karya terbaiknya, sehingga Prosiding ini memiliki nilai keilmiahan yang baik.<br />

Kami menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan <strong>dan</strong> penerbitan Prosiding ini. Untuk itu kami<br />

mengharapkan kritik <strong>dan</strong> saran demi kesempurnaan penyusunan <strong>dan</strong> penerbitan Prosiding di masa yang<br />

akan datang.<br />

Bandung, 15 Juli 2009<br />

Tim Penyunting<br />

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />

i


SAMBUTAN<br />

KEPALA BADAN LITBANG<br />

ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

PADA ACARA KOLOKIUM PUSLITBANG TEKNOLOGI<br />

MINERAL DAN BATUBARA<br />

BANDUNG, 15 JULI 2009<br />

Yang kami hormati,<br />

Para Pejabat Eselon I di Lingkungan <strong>Departemen</strong> ESDM atau yang mewakilinya,<br />

Para Pejabat Eselon II di Lingkungan <strong>Departemen</strong> ESDM atau yang mewakilinya,<br />

Para Profesor Riset <strong>dan</strong> Pejabat Fungsional di Lingkungan Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM,<br />

Un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> Hadirin yang Berbahagia<br />

Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,<br />

Salam Sejahtera bagi Kita Semua,<br />

Selamat Pagi,<br />

Puji <strong>dan</strong> syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’alla, Tuhan Yang Maha<br />

Kuasa, karena berkat perkenan-Nya kita dapat menghadiri acara Kolokium yang diselenggarakan oleh<br />

Puslitbang Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara (<strong>tekMIRA</strong>). Penyelenggaraan kolokium di Puslitbang <strong>tekMIRA</strong><br />

– <strong>dan</strong> juga Puslitbang lain di lingkungan Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM, memang sudah menjadi agenda tahunan<br />

yang diharapkan dapat menampilkan karya yang bermanfaat bagi para pemangku kepentingan, yaitu<br />

pemerintah, industri, <strong>dan</strong> masyarakat luas. Perlu dicatat pula, kolokium di lembaga litbang akan menjadi<br />

tolok ukur sampai sejauhmana para peneliti <strong>dan</strong> pejabat fungsional kita lainnya mampu mengembangkan<br />

diri dalam upaya berkontribusi bagi kemajuan sektor ESDM di tanah air.<br />

Saudara-saudara Sekalian,<br />

Kolokium Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> kali ini bertemakan “Kontribusi Litbang Mineral <strong>dan</strong> Batubara Dalam<br />

Mendukung Pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong><br />

Batubara”. Saya menilai tema kolokium 2009 ini sebagai bentuk tanggung jawab Puslitbang <strong>tekMIRA</strong><br />

untuk berperanserta dalam pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009, khususnya yang<br />

menyangkut isi pasal 95 huruf c tentang kewajiban perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral<br />

<strong>dan</strong>/atau batubara di dalam negeri, serta pasal 146 tentang kewajiban pemerintah <strong>dan</strong> pemerintah daerah<br />

untuk mendorong, melaksanakan, <strong>dan</strong>/atau memfasilitasi pelaksanaan litbang mineral <strong>dan</strong> batubara. Kedua<br />

pasal tersebut merupakan spirit <strong>dan</strong> juga momentum yang akan lebih memacu kegiatan litbang mineral<br />

<strong>dan</strong> batubara di tanah air, sekaligus menjadi stimulus bagi Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> agar menghasilkan karya<br />

litbang yang lebih baik <strong>dan</strong> berbobot serta mampu bersaing dengan lembaga litbang sejenis.<br />

Peserta Kolokium yang Saya Hormati,<br />

Terkait dengan pemberlakuan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009, khususnya yang berhubungan dengan<br />

pasal 95 huruf c <strong>dan</strong> pasal 146, saya minta kepada seluruh jajaran di Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> untuk<br />

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />

ii


melaksanakan beberapa hal berikut ini:<br />

Pertama, tingkatkan kualitas sumber daya manusia.<br />

Sebagai lembaga litbang, saya yakin Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> memiliki sumber daya manusia (SDM) yang<br />

telah mampu melaksanakan penelitian secara profesional, <strong>dan</strong> dapat bersaing dengan para pakar di dalam<br />

negeri maupun di forum internasional. Namun, sebagaimana dialami oleh hampir seluruh instansi pemerintah,<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> juga pasti merasakan kebijakan “zero growth” yang ditetapkan beberapa tahun yang<br />

lalu. Kesenjangan antara senior dengan yunior yang semakin melebar, memerlukan percepatan regenerasi<br />

<strong>dan</strong> “transfer of knowledge”. Untuk itu, solusi yang dapat ditempuh adalah dengan membuka kesempatan<br />

kepada karyawan yunior untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti berbagai kursus<br />

atau pertemuan ilmiah, magang pada perusahaan besar, <strong>dan</strong> hal-hal lain yang pada intinya dapat sarana<br />

untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bagaimanapun keberadaan karyawan yunior ini merupakan<br />

modal dasar bagi eksistensi Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> ke depan.<br />

Kedua, fokus kepada pemecahan permasalahan yang se<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> kemungkinan akan dihadapi<br />

oleh industri pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara.<br />

Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengatakan bahwa lembaga litbang harus menjadi bagian tak<br />

terpisahkan dari dunia yang digelutinya, bukan menara gading yang tidak tersentuh dengan melakukan<br />

penelitian sesuai keinginannya sendiri. Persoalannya adalah, apakah Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> akan menjadi<br />

leader atau follower dalam industri mineral <strong>dan</strong> batubara di tanah air? Saya katakan bahwa Puslitbang<br />

<strong>tekMIRA</strong> mesti fokus pada keduanya. Ini berarti, di satu sisi, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> harus dapat mengatasi<br />

permasalahan sebagai langkah penanggulangan, tetapi, di sisi lain, juga harus dapat memprediksi arah<br />

kecenderungan yang terjadi sebagai langkah antisipasi agar tidak berada pada kondisi status quo <strong>dan</strong><br />

melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin atau business as usual.<br />

Ketiga, fokus kepada litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah sekaligus<br />

memperhitungkan keekonomiannya.<br />

Dalam beberapa hal, nilai tambah <strong>dan</strong> keekonomian selalu berjalan beriringan, artinya peningkatan nilai<br />

tambah akan mengakibatkan suatu material bernilai lebih tinggi <strong>dan</strong> menguntungkan. Tetapi tidak selamanya<br />

peningkatan nilai tambah akan memberi keuntungan jika dijual ke pasaran. Hal ini disebabkan antara lain<br />

oleh a<strong>dan</strong>ya kompetitor yang berharga lebih murah, atau daya serap pasar masih kecil <strong>dan</strong> tidak sebanding<br />

dengan biaya produksi. Oleh karena itu, ke depan, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> harus berani memulai kegiatan<br />

litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah, tetapi sekaligus menguntungkan jika dilempar<br />

ke pasaran.<br />

Keempat, tingkatkan kerja sama dengan pemangku kepentingan (stakeholders).<br />

Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 yang bernuansa desentralisasi – artinya pengelolaan pertambangan<br />

mineral <strong>dan</strong> batubara berada di pemerintah daerah, mengharuskan kita untuk secara lebih intens menjalin<br />

kerja sama dengan mereka. Saya tahu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> telah lama melakukan hal itu, sehingga tidak<br />

terlalu sulit untuk meningkatkannya. Namun perlu saya garis bawahi, kerja sama tersebut harus dapat<br />

menghasilkan sesuatu yang tidak saja “menguntungkan” Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, tetapi juga bermanfaat<br />

bagi pemerintah <strong>dan</strong> Daerah serta masyarakat pertambangan; tidak saja memberikan kontribusi terhadap<br />

kemajuan bi<strong>dan</strong>g pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara, tetapi juga kemakmuran bagi masyarakat.<br />

Selain dengan pemerintah daerah, peningkatan kerja sama dengan lembaga litbang lain, baik di dalam<br />

maupun di luar negeri, perlu mendapat prioritas utama. Hal ini penting dilakukan sebagai bagian dari<br />

upaya untuk meningkatkan kemampuan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> menghadapi tantangan masa kini <strong>dan</strong> masa<br />

depan, serta untuk mengukur di mana posisi Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> berada. Seluruh kerja sama antara<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> dengan pemangku kepentingan sudah seharusnya bersifat saling bermanfaat bagi<br />

kedua belah pihak.<br />

iii PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Kelima, optimalkan peralatan yang ada, serta tingkatkan kemampuan rancang bangun <strong>dan</strong><br />

rekayasa.<br />

Saya telah menyinggung masalah ini pada acara “Sinkronisasi Kegiatan Litbang di Lingkungan Ba<strong>dan</strong><br />

Litbang ESDM” pada 14-15 April 2009 yang lalu. Saya tidak perlu mengulas lebih dalam, namun satu hal<br />

patut diingat bahwa jika keinginan untuk melengkapi <strong>dan</strong> memutakhirkan dengan sarana <strong>dan</strong> prasarana<br />

penelitian mutakhir tidak terpenuhi bukan berarti kita harus berdiam diri, lalu stagnan. Kita harus berbuat<br />

sesuatu, yaitu dengan berupaya meningkatkan kemampuan rancang bangun <strong>dan</strong> rekayasa pada peralatan<br />

teknologi tinggi. Oleh karena itu saya mengajak peneliti Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> <strong>dan</strong> juga peneliti Puslitbang<br />

lain di lingkungan Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM, untuk membuktikan sampai sejauhmana inovasi <strong>dan</strong> kreativitas<br />

Saudara-saudara andaikata sarana peralatan baru tersebut tidak terpenuhi.<br />

Keenam, jaga soliditas di lingkungan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />

Ada ungkapan sederhana yang sudah lama kita kenal <strong>dan</strong> tahu artinya, yaitu “bersatu kita teguh, bercerai<br />

kita runtuh” <strong>dan</strong> “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Untuk itu, siapapun Saudara, apapun latar<br />

belakang pendidikan Saudara, <strong>dan</strong> di manapun Saudara ditempatkan, jangan pernah merasa yang satu<br />

lebih superior daripada yang lain. Berjalanlah dalam koridor Rencana Stratejik yang telah dibuat oleh<br />

Saudara-saudara sendiri, lalu bicara <strong>dan</strong> berbuatlah dengan bahasa yang sama dalam ikatan kesatuan<br />

yang kuat. Insya Allah, permasalahan seberat apapun akan menjadi jauh lebih ringan <strong>dan</strong> tidak sulit untuk<br />

dipecahkan.<br />

Un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> Hadirin Sekalian,<br />

Demikian sambutan <strong>dan</strong> arahan yang dapat saya sampaikan. Harapan saya kepada seluruh jajaran<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, bahkan seluruh keluarga besar Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM, semoga dapat memaknai <strong>dan</strong><br />

mengimplementasikannya demi tercapainya tujuan kita memajukan sektor ESDM pada khususnya <strong>dan</strong><br />

masyarakat pada umumnya. Saya berharap Saudara-saudara dapat menyongsong era desentralisasi di<br />

bi<strong>dan</strong>g pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara ini dengan optimisme tinggi <strong>dan</strong> penuh rasa tanggung jawab.<br />

Akhirnya dengan tetap memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, Kolokium yang bertemakan “Kontribusi<br />

Litbang Mineral <strong>dan</strong> Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009<br />

tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara” secara resmi saya buka.<br />

Terima kasih.<br />

Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.<br />

Kepala,<br />

Bambang Dwiyanto<br />

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />

iv


KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />

BANDUNG, 15 JULI 2009<br />

DAFTA ISI<br />

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................<br />

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL ......................<br />

DAFTAR ISI ....................................................................................................................................<br />

i<br />

ii<br />

v<br />

MAKALAH YANG DIPRESENTASIKAN<br />

Presentasi Makalah Paralel I<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ............................. 1<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur<br />

Bambang Yunianto<br />

Pengembangan Metode Analisis Ter <strong>dan</strong> Partikulat dalam .............................................. 16<br />

Producer Gas dari Batubara<br />

Slamet Suprapto <strong>dan</strong> Nurhadi<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Sumber</strong> Daya Mineral ....... 23<br />

pada Era Globalisasi<br />

Djoko Sunarjanto <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />

Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara ...................................... 30<br />

pada Era Otonomi Daerah<br />

Umar Dhani<br />

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari, Propinsi Kalimantan ................... 39<br />

Selatan dengan Menggunakan Klasifayer <strong>dan</strong> Pemisah Magnetik<br />

Pramusanto, Nuryadi Saleh <strong>dan</strong> Apriandi<br />

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin, ................ 48<br />

Provinsi Kalimantan Selatan, untuk Bahan Baku Keramik<br />

Subari, Enymia <strong>dan</strong> Sumarsih<br />

Presentasi Makalah Paralel II<br />

Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia ................................................................ 55<br />

Ijang Suherman<br />

Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantauan Sederhana untuk Mendeteksi ................ 70<br />

Keruntuhan Batuan Atap (Roof Failure) pada Tambang Bawah Tanah<br />

Zulfahmi, Hasniati Astika <strong>dan</strong> Supriatna Mujahidin<br />

Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ............................................ 78<br />

Limbah Cair Industri Gula<br />

Ika Monika <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk Pencegahan ................................. 83<br />

Air Asam Tambang<br />

Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ..................... 90<br />

Batubara dengan Pembakar Siklon di Beberapa Fasilitas Industri<br />

Sumaryono<br />

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />

v


Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit ............................................................................... 97<br />

Husaini<br />

Presentasi Makalah Paralel III<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan Tailing ....................... 105<br />

Amalgamasi di Kegiatan Pertambangan Emas Rakyat Secara Sianidasi<br />

(Studi Kasus KUD Perintis, Daerah Tonayan Selatan)<br />

M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon .................... 115<br />

Kalimantan Tengah dengan Electrostatic Separator<br />

Pramusanto, Nuryadi Saleh, Yuhelda <strong>dan</strong> Firiza Yuliana<br />

Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ................... 122<br />

Sistem Fluidized Bed<br />

Nurhadi <strong>dan</strong> Slamet Suprapto<br />

Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara .................................. 128<br />

Roza Adriany<br />

Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data Seismik Refleksi ...................... 134<br />

(Studi Kasus Perairan Bangka Utara)<br />

Ediar Usman <strong>dan</strong> Andri S. Subandrio<br />

Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah .................................. 147<br />

Rochman Saefudin, Ijang Suherman, Datin Fatia Umar <strong>dan</strong> Bukin Daulay<br />

MAKALAH DIPOSTERKAN<br />

Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri Kecil <strong>dan</strong> .............. 161<br />

Menengah di Pulau Jawa<br />

Triswan Suseno <strong>dan</strong> Tuti Hernawati<br />

Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara ................. 168<br />

Slamet Suprapto<br />

Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan <strong>dan</strong> Tailing PT. Freeport Indonesia ........... 175<br />

sebagai <strong>Kata</strong>lis Pencairan Batubara<br />

Nining Sudini Ningrum <strong>dan</strong> Hermanu Prijono<br />

Karakteristik <strong>dan</strong> Optimalisasi Pembriketan Batubara Hasil Proses ................................ 181<br />

Upgraded Brown Coal Skala Pilot<br />

Ikin Sodikin <strong>dan</strong> Datin Fatia Umar<br />

Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ............................ 189<br />

Peringkat Rendah di Indonesia<br />

Gandhi Kurnia Hudaya<br />

Kajian Manfaat <strong>dan</strong> Biaya Penambangan Bijih Besi di Kabupaten Merangin, ............... 194<br />

Propinsi Jambi<br />

En<strong>dan</strong>g Suryati <strong>dan</strong> M. Lutfi<br />

Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara <strong>dan</strong> Peningkatan Mutunya .............................. 204<br />

sebagai Bahan Bakar<br />

Muh Kurniawan, Leni Herlina, Novie Ardhyarini <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />

Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara .................................................... 209<br />

A.S. nasution, Miftahul Huda, Abdul Haris, Leni herlina <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />

vi PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


PRESENTASI MAKALAH<br />

PARALEL I


PERMASALAHAN PENGELOLAAN POTENSI<br />

EMAS DI GUNUNG TUMPANG PITU KECAMATAN<br />

PESANGGARAN, KABUPATEN BANYUWANGI,<br />

JAWA TIMUR<br />

Bambang Yunianto<br />

Peneliti Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : yunianto@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Isu pertambangan terkait pengelolaan potensi <strong>dan</strong> kegiatan pertambangan emas di Gunung Tumpang<br />

Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi meliputi isu potensi emas, lingkungan pertambangan,<br />

tumpang tindih dengan sector lain, <strong>dan</strong> isu sosekbud. Berdasarkan penelaahan terhadap ke-empat<br />

isu tersebut diperlukan kesiapan daerah (Pemerintah Kabupaten Banyuwangi) dalam mengelola potensi<br />

emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.<br />

Kesiapan daerah tersebut meliputi beberapa kegiatan, yaitu: 1) melakukan kajian kegiatan<br />

pertambangan terkait pemanfaatan lahan sektor lain; 2) mengkaji kembali kegiatan pertambangan<br />

emas oleh PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) untuk menampung partisipasi masyarakat dalam<br />

pertambangan, perlu dialokasikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang berasal dari wilayah<br />

konsesi PT. IMN yang memiliki potensi emas sekunder (alluvial). Kemudian perlu dilakukan pembinaan<br />

<strong>dan</strong> pengawasan, baik dalam hal teknis penambangan, lingkungan maupun dalam manajemen berusaha<br />

terhadap para penambang rakyat tersebut; 4) dalam menangani persoalan Pertambangan Tanpa Izin<br />

(PETI) atau gurandil seyogyanya tidak menggunakan cara-cara represif, tetapi harus dengan persuasive,<br />

agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar <strong>dan</strong> kompleks; <strong>dan</strong> 5) sesuai kebijakan<br />

otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, <strong>dan</strong> PP No. 38<br />

Tahun 2007, maka perlu dibentuk kantor/ dinas pertambangan <strong>dan</strong> energi yang tugasnya mengelola<br />

kegiatan pertambangan di daerah.<br />

<strong>Kata</strong> Kunci: isu pertambangan, tambang emas, kesiapan daerah, pengelolaan potensi emas<br />

ABSTRACT<br />

The mining issues related to manage the potential and the activity of gold mining in Gunung Tumpang<br />

Pitu, District of Pesanggaran, Regency of Banyuwangi include the gold mining, mining environment,<br />

interest conflict and the socio-economic-culture. Based on the review toward these issues, it requires<br />

the regional readiness to manage the gold potential in the region.<br />

The regional readiness includes several activities, namely: 1) to assess the mining activity related to<br />

the land use; 2) to reassess the mining activity conducted by PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) to<br />

allocate the mining area for the local community in the concession area of the company that contains<br />

gold placer. Then, to conduct gui<strong>dan</strong>ce and monitoring, the mining techniques, environment or the<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

1


management of the business for the miners; 4) not to apply repressive actions towards illegal mining,<br />

but to persuade not to create a bigger problem and complex; and 5) in accor<strong>dan</strong>ce with the regional<br />

autonomy policy, UU 32/2004, UU 33/2004 and PP 38/2007, it is required to set an office of mining<br />

and energy in managing mining operation in the region.<br />

Keywords: mining issues, gold mine, regional readiness, management of gold potential<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Kegiatan survai lapangan pemantauan isu<br />

pertambangan di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi<br />

Jawa Timur dilakukan untuk menginventarisasi <strong>dan</strong><br />

mengidentifikasi permasalahan mengenai isu<br />

lingkungan pertambangan tanpa izin (PETI) emas<br />

<strong>dan</strong> isu tumpang-tindih kegiatan PT. Indo Multi<br />

Niaga (PT. IMN) di Pegunungan Tumpang Pitu,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.<br />

Kegiatan survai lapangan isu lingkungan <strong>dan</strong><br />

tumpang-tindih pertambangan dengan sektor<br />

kehutanan di Pegunungan Tumpang Pitu di atas<br />

didasarkan pemberitaan <strong>dan</strong> informasi di media<br />

mass berikut:<br />

1) “Emas vs Potensi Agraris Banyuwangi,<br />

Sebentuk Kanibalisasi antar -Potensi”, Berita<br />

Fajar FM, Sabtu, 19 April 2008.<br />

2) “Masyarakat Banyuwangi Tolak Tambang<br />

Emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu”, Harian<br />

Kompas, Senin, 16 Juni 2008<br />

3) “Ribuan Penambang Emas Banyuwangi<br />

Diusir”, Harian Kompas, Jumat 27 Februari<br />

2009.<br />

4) “Penambang Emas Dadakan di Banyuwangi<br />

Capai 3 Ribu Orang”, Detik Surabaya, Selasa,<br />

28 April, 2009<br />

5) “Berebut Emas di Tumpang Pitu”, Harian<br />

Kompas, Rabu, 17 Mei 2009.<br />

Isu pertambangan di Kabupaten Banyuwangi<br />

tersebut memiliki bobot penting karena ada<br />

beberapa masalah, antara lain; isu lingkungan, isu<br />

tumpang-tindih sektor pertambangan dengan<br />

sektor lain (kehutanan, pertanian <strong>dan</strong> perkebunan),<br />

serta isu sosial ekonomi kemasyarakatan. Oleh<br />

karena itu, Tim Isu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> menurunkan<br />

tim yang terdiri atas berbagai disiplin ilmu<br />

(tambang/ geologi, sosial ekonomi, <strong>dan</strong> surveyor).<br />

Berdasarkan informasi secara informal, sekembalinya<br />

Tim Isu Pertambangan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> dari<br />

lapangan, isu pertambangan tersebut kembali<br />

mencuat setelah terjadi penangkapan terhadap<br />

para PETI yang dilakukan Polres Kabupaten<br />

Banyuwangi. Penangkapan ini telah menyulut<br />

konflik antara aparat <strong>dan</strong> para PETI, <strong>dan</strong> masalah<br />

ini mendapat sorotan dari berbagai pihak di<br />

Kabupaten Banyuwangi.<br />

Berdasarkan hasil survai lapangan, akar<br />

permasalahan dari mencuatnya isu pertambangan<br />

terkait potensi emas di Gunung Tumpang Pitu,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,<br />

Provinsi Jawa Timur sebetulnya terletak kepada<br />

kesiapan daerah di dalam pengelolaan pertambangan,<br />

sebagaimana dipilih sesuai judul tulisan ini.<br />

Maksud penulisan ini adalah mengidentifikasi <strong>dan</strong><br />

menganalisis permasalahan pengelolaan potensi<br />

emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan<br />

Pesanggaran, Banyuwangi sesuai peraturan<br />

terkait, sebagai bahan masukan bagi daerah dalam<br />

mengelola sumber daya tambang yang ada di<br />

daerahnya.<br />

2. METODOLOGI<br />

Secara umum metodologi yang digunakan adalah<br />

pendekatan multidisiplin ilmu, dengan<br />

menggunakan berbagai parameter keilmuan dalam<br />

membahas permasalahan utama yang dikaji.<br />

Inventarisasi data melalui teknik observasi,<br />

wawancara berpanduan, dokumentasi, <strong>dan</strong><br />

diskusi. Pengolahan data menggunakan teknik<br />

kategorisasi, kompilasi, <strong>dan</strong> tabelisasi. Analisis<br />

data dilakukan secara deskriptif analitis.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan dalam merekonstruksikan pemecahan<br />

permasalahan <strong>dan</strong> masukan bagi daerah<br />

didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan<br />

rasional <strong>dan</strong> berlandaskan kepada arah kebijakan<br />

pertambangan <strong>dan</strong> kebijakan lain yang terkait pada<br />

era otonomi daerah.<br />

Data yang mendukung penulisan ini berupa data<br />

primer maupun sekunder hasil survai lapangan.<br />

Data primer berupa hasil wawancara langsung<br />

dengan berbagai pihak yang terkait dengan<br />

permasalahan pengelolaan potensi emas di<br />

Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran,<br />

Banyuwangi, seperti Pemda Perekonomian<br />

Kabupaten Banyuwangi, Bappeda Kabupaten<br />

Banyuwangi, Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten<br />

2 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Banyuwangi, Camat <strong>dan</strong> staf Kecamatan<br />

Pesanggaran, PT. IMN, aparat keamanan yang<br />

bertugas di Gunung Tumpang Pitu, para gurandil,<br />

<strong>dan</strong> masyarakat setempat. Se<strong>dan</strong>gkan data<br />

sekunder berasal dari instansi terkait, baik di<br />

tingkat Kabupaten Banyuwangi, Kecamatan<br />

Pesanggaran serta informasi dari Lembaga<br />

Swadaya Masyarakat (LSM) <strong>dan</strong> mass media.<br />

Mengenai pelaksanaan kegiatan survai lapangan<br />

dari tanggal 20 – 25 April 2009 adalah:<br />

1) Melakukan kegiatan koordinasi dengan Kepala<br />

Bagian Perekonomian (Pak Bambang Edi<br />

Sunaryo) <strong>dan</strong> Sekertaris (Bu Tri) tentang isu<br />

lingkungan PETI emas di pegunungan<br />

Tumpang Pitu di Kantor Pemda Kab.<br />

Banyuwangi (Distamben belum ada).<br />

2) Koordinasi <strong>dan</strong> pendataan di Bappeda Kab.<br />

Banyuwangi dengan Pak Mujiono, Pak Wahyu<br />

Diyono, Pak Rudianto tentang isu Lingkungan<br />

PETI emas, PT. IMN <strong>dan</strong> tata ruang (hutan<br />

lindung).<br />

3) Koordinasi <strong>dan</strong> pendataan dengan Kepala TU<br />

Kantor Lingkungan Hidup Kab. Banyuwangi<br />

(Pak Gatot Sudjadi).<br />

4) Pendataan di BPS Kabupaten Banyuwangi<br />

dengan Pak Ruslan<br />

5) Survai lapangan ke lokasi di Kecamatan<br />

Pesanggaran, <strong>dan</strong> berkoordinasi <strong>dan</strong> diskusi<br />

dengan staf Kecamatan Pak Sujono <strong>dan</strong> Pak<br />

Sunoto.<br />

6) Koordinasi <strong>dan</strong> diskusi denga PT. IMN yang<br />

diwakili Pak Hilman <strong>dan</strong> Pak Yuswardi.<br />

7) Survai ke lokasi PETI emas di sekitar<br />

pegunungan Tumpang Pitu, dokumentasi <strong>dan</strong><br />

wawancara dengan gurandil.<br />

Mengenai route survai lapangan lihat Gambar 1,<br />

se<strong>dan</strong>gkan dokumentasi survai lapangan dapat<br />

dilihat pada Lampiran Foto-Foto Survai Lapangan.<br />

Gambar 1.<br />

Route survai lapangan tim isu pertambangan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> di Kabupaten<br />

Banyuwangi<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

3


3. POTENSI TAMBANG DAN SEKTOR<br />

LAIN DI GUNUNG TUMPANG PITU<br />

3.1. Potensi Tambang<br />

Cebakan emas di daerah Pesanggaran ditemukan<br />

berdasarkan pada pemboran eksplorasi sebanyak<br />

14 lubang bor dengan kedalaman total 4.100 meter<br />

pada KP Eksplorasi PT. IMN seluas 11.621, 45<br />

ha atau 116,21 km 2 . Cebakan emas ditemukan<br />

dalam bentuk urat-urat kuarsa pada batuan<br />

volkanik yang diterobos oleh batuan intrusif berupa<br />

diorite, andesit, granodiorit <strong>dan</strong> dasit. Fenomena<br />

seperti ini sangat umum ditemukan di Pulau Jawa,<br />

seperti di Cikotok, Pongkor, Banyumas, Wonogiri,<br />

Pacitan, Malang, Lumajang. Berdasarkan studi<br />

kelayakan PT. IMN, ca<strong>dan</strong>gan bijih yang<br />

dieksplorasi mencapai 9.600.000 ton; kadar emas<br />

rata-rata 2,3 gram/ton; ca<strong>dan</strong>gan emas 320,8 ton.<br />

Biasanya emas ditemukan bersama logam lainnya<br />

seperti perak, tembaga. Kadar emas di daerah ini<br />

adalah 2,3 gr/ton, <strong>dan</strong> kadar logam-logam lainnya<br />

tidak ada datanya. padahal logam-logam tersebut<br />

memiliki nilai ekonomis bila sejak dini sudah<br />

diketahui nilai potensinya. Selain cebakan emas<br />

primer yang ditemukan, ada juga emas plaser/<br />

sekunder di sekitar lokasi emas primer tersebut.<br />

Keberadaan emas sekunder ini sebagian besar<br />

berada pada lahan Perhutani, yang penyebarannya<br />

mengikuti sungai-sungai tua pada jaman dahulu.<br />

Berdasarkan hasil tracking Tim Isu Pertambangan<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> sewaktu survai, pada lokasi<br />

56 gurandil/ PETI (Pertambangan Tanpa Izin)<br />

beroperasi pada wilayah Perhutani diperkirakan<br />

meliputi luas sekitar 203,3 ha (Gambar 2).<br />

3.2. Potensi Sektor Lainnya<br />

Kabupten Banyuwangi dikelilingi 3 Taman Nasional<br />

(TN), yakni TN Alas Purwo, TN Meru Betiri, <strong>dan</strong><br />

TN Baluran. Di samping itu, kabupaten ini memiliki<br />

3 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) seperti<br />

Banyuwangi (KPH Banyuwangi Selatan, KPH<br />

Banyuwangi Barat, <strong>dan</strong> KPH Banyuwangi Utara).<br />

Keberadaan 3 KPH <strong>dan</strong> 3 TN ini berhubungan erat<br />

sumber mata air <strong>dan</strong> sungai-sungai yang menjadi<br />

sumber irigasi bagi sektor pertanian <strong>dan</strong><br />

perkebunan yang saat ini diunggulkan sebagai<br />

sektor penting bagi Kabupaten Banyuwangi, <strong>dan</strong><br />

menjadikan kabupaten ini sebagai lumbung padi<br />

nasional, memiliki andil dalam menopang<br />

ketahanan pangan nasional.<br />

Kontribusi sektor pertanian terhadap Pendapatan<br />

Asli Daerah (PAD) Banyuwangi (lebih dari 60%).<br />

Selain itu, keberadaan 3 KPH <strong>dan</strong> 3 TN tersebut<br />

secaraa riil telah memberikan kontribusi yang nyata<br />

bagi PAD kabupaten ini. Data hasil kekayaan hutan<br />

non-kayu Banyuwangi pada tahun 2006 meliputi;<br />

a. Kontribusi komiditi kopi yang berada di dalam<br />

kawasan hutan produksi sebesar 10.643 ton<br />

(BPS: 2007) atau setara dengan Rp.<br />

247.230.000.<br />

b. Kontribusi komoditi getah damar sebesar 49<br />

ton senilai Rp. 68.600.000, <strong>dan</strong><br />

c. Kontribusi komiditi getah pinus sebanyak<br />

2.672,70 ton senilai Rp.2.6 miliar.<br />

4. KONDISI KEGIATAN PERTAMBANGAN<br />

4.1. PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN)<br />

PT. IMN merupakan perusahaan tambang emas<br />

yang modalnya swasta nasional. Luas konsesi<br />

yang diberikan pemerintah sekitar 11.621,45 ha.<br />

Konsesi PT. IMN meliputi kawasan Gunung<br />

Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng,<br />

Gunung <strong>Sumber</strong> Salak, Gunung Macan <strong>dan</strong> kawasan<br />

lindung setempat. Menurut RTRW Jatim 2020<br />

kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan<br />

resapan air katagori tinggi, 30 liter per/ detik.<br />

Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT-<br />

VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan<br />

eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009, <strong>dan</strong><br />

akan ditingkatkan statusnya menjadi KP eksploitasi.<br />

Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi<br />

seluas 736,3 ha <strong>dan</strong> hutan lindung seluas 1.251,5<br />

ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH<br />

Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara<br />

itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana<br />

mengajukan permohonan alih fungsi kawasan<br />

hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan.<br />

Tepatnya pada Petak 75, 76, 77 <strong>dan</strong> 78 kawasan<br />

hutan tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah<br />

disahkan oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur,<br />

setelah disi<strong>dan</strong>gkan oleh Bapedalda Jawa Timur<br />

pada 26 Mei lalu. Saat ini perusahaan menampung<br />

125 warga menjadi buruh kasar.<br />

4.2. PETI/ Gurandil<br />

PETI/ gurandil beroperasi di Gunung Tumpang Pitu,<br />

pada aliran Sungai Gonggo, Lembah Gunung<br />

Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung,<br />

Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran,<br />

Banyuwangi, saat ini diperkirakan mencapai<br />

3.000.000 orang (Gambar 3). Jumlah ini, setelah<br />

pada akhir bulan April 2009 sekitar 6.000 dipulangkan<br />

4 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Gambar 2. Konsesi PT. IMN <strong>dan</strong> lokasi aktivitas PETI/ Gurandil di Petak 56,<br />

lembah Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung,<br />

Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi<br />

Gambar 3.<br />

Lokasi PETI/ Gurandil di Petak 56 (Luas Perkiraan 203,3 Ha), Lembah<br />

Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung, Desa<br />

Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

5


secara paksa oleh sekitar 190 personil aparat<br />

keamanan. Pemulangan itu dilakukan setelah<br />

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melakukan<br />

rapat koordinasi dengan muspida, Perhutani <strong>dan</strong><br />

pemilik izin ekplorasi emas PT. IMN. Rapat yang<br />

dipimpin langsung Bupati Banyuwangi Ratna Ani<br />

Lestari itu menyimpulkan PETI yang dilakukan<br />

ribuan gurandil tersebut telah merusak lingkungan,<br />

yang akan berpotensi menimbulkan banjir <strong>dan</strong><br />

longsor serta kerusakan hutan jati, maupun<br />

tanaman pertanian/ perkebunan masyarakat<br />

(petani magersari) sehingga harus dihentikan.<br />

Maraknya PETI telah menimbulkan kerusakan di<br />

Sungai Gonggo <strong>dan</strong> hutan jati, tepatnya di petak<br />

79. Sungai Gonggo mengalami pelebaran hingga<br />

tujuh meter dari lebar awalnya satu meter, selain<br />

itu kedalaman Sungai Gonggo turut mengalami<br />

perubahan drastis, awalnya hanya setengah meter<br />

kini berubah menjadi 1,5 meter. Beberapa pohon<br />

jati juga turut tumbang akibat aktifitas<br />

penambangan PETI secara tradisional tersebut.<br />

Dari pantauan sementara Tim Isu Puslitbang<br />

<strong>tekMIRA</strong>, lokasi-lokasi PETI di Gunung Tumpang<br />

Pitu memang mengandung emas (perlu uji<br />

laboratorium), terutama pada petak 56 maupun 79<br />

sebagai sampel wilayah-wilayah sekitarnya. Isu<br />

kalau butiran seperti emas itu adalah logam jenis<br />

pirit (FeS2) perlu dicarikan kepastiannya, karena<br />

pada lokasi tersebut telah banyak gurandil yang<br />

betul-betul mendapatkan emas, seperti pendulang<br />

emas asal Kalimantan, Sulawesi, Nabire <strong>dan</strong><br />

Bandung. Dalam rangka memberi kepastian,<br />

Pemkab Banyuwangi sudah mengambil beberapa<br />

sampel untuk diuji, namun untuk memberi<br />

kesahihan data telah ditunjuk tim independen untuk<br />

melakukan uji laboratorium.<br />

5. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN<br />

5.1. Potensi Bahan Tambang<br />

Fenomena geologis di daerah eksplorasi tersebut<br />

tidak hanya tersebar di daerah Pesanggaran,<br />

namun juga tersebar di daerah sekitarnya seperti<br />

Glenmore <strong>dan</strong> Bangorejo. Dengan demikian tidak<br />

tertutup kemungkinan bahwa potensi penyebarannya<br />

juga terdapat di daerah-daerah tersebut. Berdasarkan<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 4/2009, setiap daerah<br />

harus menca<strong>dan</strong>gkan wilayahnya untuk menggali<br />

potensi bahan galiannya. Untuk itu, Pemerintah<br />

Kabupaten Banyuwangi harus mempersiapkan<br />

lokasi peruntukan lahan bagi sektor pertambangan.<br />

Sampai saat ini, di kabupaten ini belum dialokasikan<br />

lahan usaha tambang dalam peta tata ruangnya.<br />

Permasalahan ini harus segera diselesaikan,<br />

mengingat potensi usaha pertambangan di daerah<br />

ini memperlihatkan prospek bila dikelola dengan baik.<br />

Status ca<strong>dan</strong>gan untuk kategori perhitungan potensi<br />

cebakan emasnya belum tepat, karena jumlah<br />

lubang bor yang dilakukan oleh PT. IMN relatif<br />

sedikit, yakni hanya 14 buah untuk mengeksplorasi<br />

daerah seluas 116,21 km 2 , dengan jarak antarlubang<br />

bor sepanjang 2 km. Jadi, jarak antarlubang bor<br />

ini terlalu panjang. Pada umumnya, jarak lubang<br />

bor ini adalah 500 m. Untuk meningkatkan status<br />

potensinya, masih diperlukan pemboran eksplorasi<br />

yang lebih banyak lagi, agar tingkat keyakinan<br />

geologisnya menjadi tinggi. Dengan demikian, status<br />

‘ca<strong>dan</strong>gan’nya perlu direvisi, agar perhitungan<br />

operasi penambangannya dapat dilakukan dengan<br />

tepat.<br />

Secara umum, emas ditemukan bersama logam<br />

lainnya seperti perak, tembaga. Kadar emas di<br />

daerah ini adalah 2,3 gr/ton; namun, kadar logamlogam<br />

lainnya tidak ada datanya. Ini berarti bahwa<br />

kelak saat operasi penambangan emas ini<br />

berlangsung, asosiasi logam-logam tersebut akan<br />

terbuang dengan percuma. Tidak tertutup<br />

kemungkinannya, logam-logam tersebut akan<br />

menjadi perolehan yang menguntungkan, apabila<br />

sejak dini sudah diketahui nilai potensinya. Jadi,<br />

hal ini menjadi tugas tersendiri bagi perusahaan<br />

tambang tersebut untuk melakukan uji laboratorium<br />

terhadap logam-logam tersebut.<br />

Selain cebakan emas primer yang ditemukan, ada<br />

juga emas plaser/sekunder di sekitar lokasi emas<br />

primer tersebut. Keberadaan emas sekunder ini<br />

perlu dicermati untuk dieksplorasi lebih lanjut, agar<br />

dapat dimanfaatkan sebagai lahan usaha bagi<br />

masyarakat setempat dalam bentuk Wilayah<br />

Pertambangan Rakyat (WPR).<br />

5.2. Lingkungan<br />

Isu lingkungan terkait kegiatan pertambangan di<br />

Gunung Tumpang Pitu tidak hanya diakibatkan<br />

oleh kegiatan PETI/ gurandil saja, tetapi juga akibat<br />

isu Lingkungan pertambangan PT. IMN karena<br />

kurangnya transparansi dalam Publikasi berbagai<br />

kemajuan kegiatan, terutama dalam pengelolaan<br />

Lingkungan. PETI yang dilakukan ribuan gurandil<br />

telah merusak lingkungan, <strong>dan</strong> berpotensi<br />

menimbulkan banjir <strong>dan</strong> longsor serta kerusakan<br />

hutan jati, maupun tanaman pertanian/ perkebunan<br />

masyarakat (petani magersari). Se<strong>dan</strong>gkan,<br />

6 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


erbagai isu Lingkungan yang diakibatkan PT. IMN<br />

dapat ditunjukkan berdasakan surat penolakan<br />

AMDAL oleh Masyarakat Banyuwangi yang<br />

tergabung dalam Komunitas Pecinta Alam<br />

Pemerhati Lingkungan (Kappala Indonesia) region<br />

Banyuwangi, Kurva Hijau, <strong>dan</strong> Dewan Rakyat<br />

Jalanan untuk Demokrasi (Derajad). Beberapa butir<br />

yang dijadikan dasar penolakan AMDAL PT. IMN<br />

tersebut, antara lain:<br />

a. Si<strong>dan</strong>g Amdal tersebut di atas merupakan<br />

si<strong>dan</strong>g yang tidak adil, karena tidak ada satu<br />

pun dokumen Amdal yang dibagikan kepada<br />

warga Dusun Pancer, sehingga warga tidak<br />

memiliki informasi mengenai Amdal. Padahal<br />

keterbukaan informasi ini penting sebagai tolok<br />

ukur tinggi-rendahnya itikad baik dari pemrakarsa<br />

rencana pertambangan maupun pemkab <strong>dan</strong><br />

pemrop. Keterbukaan informasi menjadi<br />

sesuatu yang logis untuk dimiliki oleh warga<br />

Pancer karena dampak apapun dari pertambangan<br />

tersebut jelas-jelas akan berpengaruh<br />

langsung kepada mereka, <strong>dan</strong> merekalah<br />

pihak pertama yang akan merasakannya.<br />

b. Warga Pancer tidak diberi kecukupan waktu<br />

untuk mempelajari Amdal tersebut. Hal ini<br />

menunjukkan minimnya kemauan Pemprop<br />

Jatim <strong>dan</strong> Pemkab Banyuwangi untuk<br />

melakukan penguatan terhadap rakyatnya,<br />

sehingga warga tidak memiliki kesiapan untuk<br />

berdialog dengan pihak yang terkait, terutama<br />

pakar. Warga pun tidak punya kecukupan<br />

waktu untuk memilih pihak yang menurut<br />

warga memiliki kompetensi untuk mendampinginya<br />

dalam mengikuti Si<strong>dan</strong>g Amdal.<br />

c. Semenjak awal bergulirnya rencana penambangan<br />

emas di HLGTP oleh PT IMN, Warga<br />

Pancer telah menolak rencana tersebut.<br />

Dimana penolakan tersebut telah mereka<br />

sampaikan dalam acara Sosialisasi Penambangan<br />

Emas HLGTP yang diselenggarakan<br />

pada 12 Maret 2008 lalu di Balai Dusun (dihadiri<br />

oleh perwakilan Pemkab Banyuwangi,<br />

perwakilan Makoramil Pesanggaran, perwakilan<br />

TNI AL, perwakilan Mapolsek Pesanggaran,<br />

<strong>dan</strong> Camat Pesanggaran). Penolakan tersebut<br />

juga telah disuarakan oleh 5 (lima) orang<br />

utusan Warga Pancer yang menghadiri Si<strong>dan</strong>g<br />

Amdal tanggal 26 Mei 2008 di Surabaya.<br />

d. Dalam Dokumen Andal yang dibuat oleh PT<br />

IMN, pada gambar 2.4 tentang “Peta Rencana<br />

Tata Letak Kegiatan” dapat dilihat dengan jelas<br />

bahwa tailing (limbah tambang) akan dibuang<br />

ke laut. Pembuangan tailing ke laut ini, dalam<br />

Lampiran Peraturan Menteri Negara<br />

Lingkungan Hidup nomor 11 tahun 2006<br />

tentang Jenis Rencana Usaha <strong>dan</strong>/atau<br />

Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan<br />

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup<br />

disebut sebagai Submarine Tailing Disposal<br />

(STD). Berdasarkan Peraturan Meneg LH no.<br />

11 tahun 2006 tersebut, Komisi Amdal<br />

Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak berwenang<br />

menilai Amdal PT IMN. Berdasarkan Peraturan<br />

Meneg LH no. 11 tahun 2006, penilaian Amdal<br />

dari sebuah rencana pertambangan yang<br />

menggunakan STD seperti halnya PT IMN<br />

tersebut, kewenangannya berada di tangan<br />

Deputi Bi<strong>dan</strong>g Amdal Kementerian Negara<br />

Lingkungan Hidup, bukan di tangan Komisi<br />

Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim. Dengan<br />

demikian, sejatinya Si<strong>dan</strong>g Amdal yang<br />

diselenggarakan <strong>dan</strong> dipimpin oleh Komisi<br />

Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak sah,<br />

karena tidak sesuai dengan Peraturan Meneg<br />

LH no. 11 tahun 2006.<br />

e. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai<br />

pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang<br />

tidak layak <strong>dan</strong> harus ditolak, karena dalam<br />

Presentasi Kerangka Acuan Analisis Dampak<br />

Lingkungan (KA-Andal) yang bertempat di<br />

ruang Minakjingga Pemkab Banyuwangi pada<br />

tanggal 30 Januari 2008, PT IMN telah melakukan<br />

kebohongan publik dengan menyatakan kepada<br />

seluruh hadirin bahwa merkuri berbahaya<br />

sementara sianida aman. Dalam acara tersebut<br />

tidak ada itikad baik dari pemrakarsa untuk<br />

menjelaskan apa itu sianida? Apa saja<br />

dampaknya? Dan apa yang membuat<br />

pemrakarsa yakin bahwa sianida aman?<br />

f. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai<br />

pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang tidak<br />

layak <strong>dan</strong> harus ditolak, karena pihak<br />

pemrakarsa tidak membuat pengumuman<br />

tentang rencana Si<strong>dan</strong>g Amdal yang layak <strong>dan</strong><br />

mencukupi. Bahkan hingga kini pun belum<br />

terlihat kemauan pemrakarsa untuk<br />

mengumumkan secara terbuka tentang Si<strong>dan</strong>g<br />

Revisi Amdal.<br />

g. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai<br />

pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang<br />

tidak layak <strong>dan</strong> harus ditolak, karena tidak ada<br />

satu pun dari peta yang termuat di dalamnya<br />

yang menampakkan keberaradaan Pulau<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

7


Merah. Tidak a<strong>dan</strong>ya Pulau Merah di semua peta<br />

yang terdapat dalam dokumen Andal tersebut<br />

mencerminkan keteledoran PT IMN, serta<br />

menggambarkan rendahnya kepedulian PT<br />

IMN terhadap area penting seperti Pulau Merah.<br />

Sementara itu, koordinator Koalisi Tolak Tambang<br />

di Tumpang Pitu (KT3P), tambang emas yang<br />

dibangun oleh PT IMN di Tumpang Pitu memakan<br />

areal seluas 11.621 hektar yang meliputi kawasan<br />

Gunung Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung<br />

Wedi Ireng, Gunung <strong>Sumber</strong> Salak, Gunung<br />

Macan, <strong>dan</strong> kawasan hutan lindung setempat.<br />

Sebagai kawasan penyangga, Gunung Tumpang<br />

Pitu memiliki kaitan erat dengan aktivitas<br />

penduduk di sekitarnya, seperti pertanian,<br />

perkebunan <strong>dan</strong> nelayan.<br />

Menurut Tim Isu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, berbagai<br />

informasi mengenai penolakan terhadap kegiatan<br />

pertambangan di kawasan Gunung Tumpang Pitu<br />

di atas, <strong>dan</strong> isu utama beberapa unjuk rasa<br />

mengenai lingkungan hidup perlu dijadikan barometer<br />

dalam memahami berbagai persoalan<br />

lingkungan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu<br />

<strong>dan</strong> sekitarnya. Berbagai persoalan tersebut tidak<br />

perlu langsung ditanggapi apreori, tetapi perlu<br />

didudukan secara proporsional pada sumber akar<br />

persoalannya.<br />

5.3. Tumpang-tindih antar Sektor<br />

Konsesi PT IMN di Tumpang Pitu meliputi areal<br />

seluas 11.621 ha yang meliputi kawasan Gunung<br />

Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng,<br />

Gunung <strong>Sumber</strong> Salak, Gunung Macan, <strong>dan</strong><br />

kawasan hutan lindung setempat. Kawasan<br />

Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi<br />

seluas 736,3 ha <strong>dan</strong> hutan lindung seluas 1.251,5<br />

ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH<br />

Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara<br />

itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana<br />

mengajukan permohonan alih fungsi kawasan<br />

hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan,<br />

yaitu Petak 75, 76, 77 <strong>dan</strong> 78 kawasan hutan<br />

tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah disahkan<br />

oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur, setelah<br />

disi<strong>dan</strong>gkan oleh Bapedalda Jawa Timur pada 26<br />

Mei lalu. Se<strong>dan</strong>gkan wilayah yang ditambang oleh<br />

PETI, Petak 56 <strong>dan</strong> Petak 79 masuk dalam wilayah<br />

konsesi PT. IMN.<br />

Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT-<br />

VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan<br />

eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009.<br />

Sebelumnya, PT IMN mendapat izin kuasa<br />

eksplorasi emas dikawasan hutan dari Menteri<br />

Kehutanan MS Kaban nomor .406/MENHUT_vii/<br />

PW/2007 tertanggal 27 Juli 2007. Eksplorasi itu<br />

meliputi kawasan hutan produksi seluas 736,3 ha<br />

<strong>dan</strong> hutan lindung seluas 1.251,5 ha dipetak 75,<br />

76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH Sukamade,<br />

KPH Banyuwangi Selatan. Pengesahan Dokumen<br />

Amdal PT IMN oleh Tim Amdal Propinsi Jawa<br />

Timur <strong>dan</strong> kedatangan Mentri Kehutanan MS<br />

Kaban di Banyuwangi, terkesan memberi sinyal<br />

ditingkatkannya status PT IMN dari eksplorasi<br />

menjadi eksploitasi, semakin meresahkan warga.<br />

Kawasan Gunung Tumpang Pitu merupakan<br />

kawasan hutan lindung <strong>dan</strong> hutan produksi, bagian<br />

yang tidak terpisahkan dari 3 KPH <strong>dan</strong> 3 TH, yang<br />

berfungsi sebagai daerah penyangga,<br />

berhubungan erat sebagai sumber mata air <strong>dan</strong><br />

sungai-sungai yang menjadi sumber irigasi bagi<br />

sektor pertanian <strong>dan</strong> perkebunan yang saat ini<br />

diunggulkan sebagai sektor penting bagi<br />

Kabupaten Banyuwangi, termasuk sektor<br />

perikanan bila pembuangan tailing dilakukan di<br />

dasar laut. Konflik kepentingan antara sektor<br />

pertambangan dengan sektor kehutanan,<br />

pertanian, perkebunan, <strong>dan</strong> perikanan tersebut<br />

perlu dipertimbangkan positif <strong>dan</strong> negatifnya.<br />

5.4. Sosial Ekonomi Masyarakat<br />

Isu social terbagi dua, yaitu isu dampak sosekbud<br />

PT. IMN maupun PETI/ Gurandil <strong>dan</strong> isu kesamaan<br />

hak atas sumber daya bahan tambang (PT. IMN<br />

vs Rakyat). Isu dampak sosekbud PT. IMN terkait<br />

dengan dampak kegiatan PT. IMN terhadap<br />

berbagai aktivitas mata pencaharian masyarakat<br />

di sekitar proyek. Berapa aktivitas ekonomi<br />

masyarakat yang akan terganggu (misal pertanian,<br />

perkebunan, perikanan) <strong>dan</strong> bagaimana proses<br />

pengelolaannya. Dampak sosekbud PETI/<br />

Gurandil terutama akibat rusaknya lingkungan,<br />

sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi, pertanian<br />

<strong>dan</strong> perkebunan rusak akibat terinjak-injak ataupun<br />

rusak karena ditambang, <strong>dan</strong> kekhawatiran<br />

penggunaan air raksa yang akan mencemari<br />

lingkungan (darat <strong>dan</strong> perairan) bila tidak ditangani<br />

dengan serius.<br />

Unjuk rasa beberapa komponen masyarakat<br />

terhadap kegiatan pertambangan dapat dijadikan<br />

barometer bagi pengembangan kegiatan<br />

pertambangan di daerah ini, yaitu:<br />

1) Sejumlah Petani <strong>dan</strong> Nelayan Banyuwangi<br />

Jawa Timur ke Jakarta mendesak agar<br />

8 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


dihentikan kegiatan PT. IMN.<br />

2) Puluhan ribu warga yang tinggal sepanjang<br />

Rajekwesi sampai Muncar - Banyuwangi akan<br />

terancam hidupnya, termasuk perikanan<br />

mendesak dihentikannya rencana pengerukan<br />

emas di hutan lindung Tumpang Pitu. Mereka<br />

mendesak pemerintah mencabut ijin<br />

petambangan <strong>dan</strong> AMDAL tambang emas PT<br />

Indo Multi Niaga (IMN) yang cacat <strong>dan</strong><br />

menolak ijin pinjam pakai penggunaan hutan.<br />

3) Kunjungan Rombongan Dirjen Planologi<br />

<strong>Departemen</strong> Kehutanan ke lokasi penambangan<br />

emas tradisional di lereng Gunung<br />

Tumpang Pitu Kampung 56 Dusun Wringin<br />

Agung Desa/Kecamatan Pesanggaran,<br />

Banyuwangi, diwarnai aksi pengha<strong>dan</strong>gan oleh<br />

ratusan massa anti tambang.<br />

4) Aliansi Mahasiswa <strong>dan</strong> Masyarakat Peduli<br />

Lingkungan (AMMPeL), mengecam pertemuan<br />

antara Dirjen Planologi <strong>Departemen</strong> Kehutanan<br />

<strong>dan</strong> PT Indo Multi Niaga (IMN) serta pihak terkait<br />

lainnya di Pendopo Banyuwangi, yang dianggap<br />

telah telah melakukan ketidakadilan informasi<br />

terhadap masyarakat terkait aktifitas PT IMN di<br />

Gunung Tumpang Pitu karena tidak transparan.<br />

Mengenai isu kesamaan hak dalam pemanfaatan<br />

bahan tambang (PT. IMN vs PETI/ Gurandil)<br />

merupakan isu penting, karena kalau tidak<br />

ditempatkan pada koridor yang semestinya, sesuai<br />

pasal 33 UUD 45 dapat menjadi pemicu isu-isu<br />

lainnya di kawasan tersebut. Masalah tersebut<br />

terkait dengan pertanyaan mendasar, kalau PT.<br />

IMN diperbolehkan melakukan aktivitas di<br />

kawasan hutan lindung, kenapa rakyat dilarang di<br />

kawasan hutan produksi, yang secara tingkatan<br />

fungsi hutan lebih rendah. Pertanyaan ini berlanjut<br />

dengan masalah, kalau pelarangan PETI/ Gurandil<br />

karena merusak Lingkungan <strong>dan</strong> tidak berizin<br />

sehingga tidak ada pemasukan bagi pemda,<br />

bagaimana seharusnya.<br />

Berbagai persoalan yang mendasar tersebut<br />

timbul, karena Pemda Kabupaten Banyuwangi<br />

kurang cepat dalam menanganinya sebagai akibat<br />

belum a<strong>dan</strong>ya kantor/ dinas pertambangan yang<br />

seharusnya bertanggung jawab terhadap<br />

persoalan pertambangan di daerah. Perlu<br />

dipahami, saat ini dengan persoalan pertambangan<br />

yang komplek ditangani oleh Pemda Bagian<br />

Perekonomian, Bappeda <strong>dan</strong> Kantor Lingkungan<br />

Hidup menyebabkan persoalan pertambangan<br />

tidak tertangani secara optimal, setiap ada<br />

persoalan masing-masing saling menunggu <strong>dan</strong><br />

bagi-bagi tanggung jawab/ peran. Di samping itu,<br />

ada kesan dalam menangani setiap persoalan<br />

PETI/ Gurandil dilakukan dengan cara-cara<br />

represif. Padahal, berdasarkan kasus-kasus di<br />

beberapa daerah, cara-cara represif justru akan<br />

menimbulkan persoalan baru yang lebih besar.<br />

Untuk memberi rasa keadilan, kesamaan hak atas<br />

sumber daya alam antara PT. IMN <strong>dan</strong> masyarakat<br />

penambang, maka Pemda Kabupaten Banyuwangi<br />

seharusnya menyiapkan WPR sebagai wadah<br />

menampung aspirasi rakyat dalam kegiatan<br />

pertambangan dengan beberapa tahap berikut:<br />

1) Secepatnya meminimalkan daerah operasi<br />

PETI/ gurandil untuk mengurangi dampak<br />

Lingkungan, dengan persuasif menjaga wilayah<br />

operasi PETI/ gurandil tersebut.<br />

2) Menyiapkan Wilayah Pertambangan Rakyat<br />

(WPR) pada daerah-daerah di lembah Gunung<br />

Tumpang Pitu yang memiliki kandungan emas<br />

alluvial.<br />

3) Melakukan kajian eksplorasi terhadap daerah<br />

yang disiapkan untuk WPR <strong>dan</strong> menyiapkan<br />

perizinannya dengan wadah ba<strong>dan</strong> usaha<br />

Koperasi.<br />

4) Menyiapkan bimbingan, pembinaan <strong>dan</strong><br />

pengawasan teknis penambangan, lingkungan<br />

<strong>dan</strong> manajemen usaha bagi penambang rakyat.<br />

6. KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT<br />

Berdasarkan pembahasan terhadap ke-empat isu<br />

potensi <strong>dan</strong> kegiatan pertambangan emas di<br />

Gunung Tumpang Pitu di atas (isu potensi emas,<br />

Lingkungan pertambangan, tumpang tindih dengan<br />

sektor lain, <strong>dan</strong> isu sosekbud), diperlukan<br />

kesiapan daerah (Pemerintah Kabupaten<br />

Banyuwangi) dalam mengelola potensi emas di<br />

Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran,<br />

Kabupaten Banyuwangi. Kesiapan daerah dalam<br />

mengelola potensi emas di Gunung Pitu tersebut<br />

meliputi beberapa tahap kegiatan berikut:<br />

1) Perlu ada kajian mengenai keuntungan <strong>dan</strong><br />

kerugian (cost benefit analysis) antara<br />

kegiatan pertambangan dengan sektor<br />

kehutan, <strong>dan</strong> sektor lain terkait fungsi hutan<br />

sebagai penyimpan sumber daya air sektorsektor<br />

pertanian <strong>dan</strong> perkebunan.<br />

2) Bila kegiatan pertambangan lebih<br />

menguntungkan, dengan dampak yang dapat<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

9


diminimalkan dibanding kerugian yang akan<br />

terjadi terhadap sektor-sektor nonpertambangan,<br />

maka perlu dilakukan<br />

pembatasan kembali wilayah PT. IMN (relinquish)<br />

dari tahap eksplorasi ke tahap<br />

eksploitasi, <strong>dan</strong> wilayah yang berpotensi emas<br />

sekunder/ alluvial dialokasikan sebagai<br />

Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk<br />

mewadahi aspirasi rakyat/ masyarakat dalam<br />

kegiatan pertambangan. Mengenai tahap<br />

eksplorasi diatur dalam pasal 42-45 UU No.<br />

4/2009, se<strong>dan</strong>gkan pengalokasian WPR<br />

diatur pasal 20-26 UU No. 4/2009.<br />

3) Berdasarkan kajian terhadap AMDAL PT. IMN,<br />

ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi:<br />

• wilayah konsesi, perlu dilakukan<br />

pembatasan wilayah konsesi untuk<br />

meminimalkan dampak lingkungan,<br />

terutama terkait fungsi hutan lindung<br />

sebagai sumber mata air, <strong>dan</strong> sungaisungai<br />

bagi sektor pertanian <strong>dan</strong><br />

perkebunan.<br />

• wilayah konsesi, batas wilayah yang<br />

terdapat pada tabel titik koordinat terdapat<br />

kesalahan pada titik 14 <strong>dan</strong> 15 (koordinat<br />

y garis lintang/ LS untuk titik 14<br />

seharusnya 36’.00" <strong>dan</strong> titik 15 seharusnya<br />

36’.00") yang bisa fatal karena sebagai<br />

batas wilayah konsesi (Tabel 1).<br />

• kajian terhadap kegiatan di sekitar proyek<br />

perlu diperluas <strong>dan</strong> diperdalam sehingga<br />

dapat memberi gambaran yang valid<br />

mengenai keadaan yang sebenarnya, <strong>dan</strong><br />

perlu dilakukan secara transparan.<br />

• dalam kajian AMDAL perlu diperjelas<br />

mengenai rencana pembuangan limbah,<br />

<strong>dan</strong> rencana pengelolaannya.<br />

4) PT. IMN perlu memberi penjelasan yang ilmiah<br />

mengenai potensi emas primer maupun emas<br />

sekunder/ alluvial di dalam wilayah konsesinya<br />

di Gunung Tumpang Pitu, serta kandungan<br />

mineral ikutan emas berdasarkan hasil<br />

laboratorium yang terakreditasi.<br />

5) Dalam menangani persoalan PETI/ Gurandil<br />

seyogyanya tidak menggunakan cara-cara<br />

represif, tetapi harus dengan persuasive,<br />

karena kasus-kasus semacam ini (PETI Emas<br />

Pongkor, Kapur di Padalarang Jawa Barat,<br />

PETI Batubara di Kalimantan Selatan, PETI<br />

Emas di Sulawesi Utara, <strong>dan</strong> lainnya) kalau<br />

ditangani secara represif akan menimbulkan<br />

persoalan baru yang lebih besar.<br />

6) Dalam pengalokasian WPR perlu dilakukan<br />

kegiatan inventarisasi potensi bahan galian<br />

Tabel 1.<br />

Koordinat Wilayah Kuasa Pertambangan PT. IMN<br />

1 113 56 45,4 8 37 16,8<br />

2 113 56 45,4 8 35 53,6<br />

3 113 57 58,4 8 35 53,6<br />

4 113 57 58,4 8 34 15,9<br />

5 113 57 36,2 8 34 15,9<br />

6 113 57 36,2 8 33 3,2<br />

7 113 59 19,9 8 33 3,2<br />

8 113 59 19,9 8 32 30,8<br />

9 114 1 57 8 32 30,8<br />

10 114 1 57 8 32 58,7<br />

11 114 2 37,2 8 32 58,7<br />

12 114 2 37,2 8 35 8,6<br />

13 114 4 17,4 8 35 8,6<br />

14 114 4 17,4 8 38 hrs-nya 36 12,8 hrsnya 00<br />

15 114 4 51,4 8 38 hrs-nya 36 12,8 hrsnya 00<br />

16 114 4 51,4 8 38 11,7<br />

17 114 3 29,4 8 38 11,7<br />

18 114 3 29,4 8 39 2,8<br />

19 114 0 20,6 8 39 2,8<br />

20 114 0 20,6 8 37 16,8<br />

<strong>Sumber</strong>: ANDAL Pertambangan PT. Indah Multi Niaga<br />

10 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


emas sekunder pada wilayah-wilayah yang<br />

potensial <strong>dan</strong> dampaknya dapat diminimalkan.<br />

7) Setelah Pemda Kabupaten Banyuwangi<br />

mengalokasikan WPR, maka perizinan perlu<br />

disiapkan <strong>dan</strong> perlu dilakukan pembinaan <strong>dan</strong><br />

pengawasan, baik dalam hal teknis<br />

penambangan, lingkungan maupun dalam<br />

manajemen berusaha.<br />

8) Untuk menangani berbagai permasalahan<br />

pertambangan di Kabupaten Banyuwangi,<br />

sesuai kebijakan otonomi daerah yang<br />

tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No.<br />

33 Tahun 2004, <strong>dan</strong> PP No. 38 Tahun 2007,<br />

maka perlu dibentuk kantor/ dinas<br />

pertambangan <strong>dan</strong> energi yang tugasnya<br />

mengelola kegiatan pertambangan di daerah.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana<br />

Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten<br />

Banyuwangi 2005-2<strong>01</strong>5 (Laporan Rencana).<br />

Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2007, Tata<br />

Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten<br />

Banyuwangi 2007-2027 (Album Peta/<br />

Gambar).<br />

Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana<br />

Umum Tata Ruang Kota dengan Kedalaman<br />

Rencana Detail Tata Ruang Kota<br />

Pesanggaran.<br />

Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2009, Potensi<br />

pertambangan di Gunung Tumpang Pitu <strong>dan</strong><br />

Pulau Batu Merah, Bahan Presentasi Kabid<br />

Fisik <strong>dan</strong> Prasarana Wilayah.<br />

Berita Fajar, 2008, “Emas vs Potensi Agraris<br />

Banyuwangi, Sebentuk Kanibalisasi antar -<br />

Potensi”, Berita Fajar FM, Sabtu, 19 April<br />

2008.<br />

BPS Kabupaten Banyuwangi, 2009, Kabupaten<br />

Banyuwang Dalam Angka Tahun 2008.<br />

BPS Kabupaten Banyuwangi, 2009, PDRB<br />

Kabupaten Banyuwangi Tahun 2008.<br />

BPS Kabupaten Banyuwangi, 2008, Kecamatan<br />

Pesanggaran Dalam Angka Tahun 2007.<br />

Detik Surabaya, 2009, “Penambang Emas<br />

Dadakan di Banyuwangi Capai 3 Ribu Orang”,<br />

Detik Surabaya, Selasa, 28 April, 2009.<br />

Harian Kompas, 2009, “Berebut Emas di Tumpang<br />

Pitu”, Harian Kompas, Rabo, 17 Mei 2009.<br />

Harian Kompas, 2008, “Masyarakat Banyuwangi<br />

Tolak Tambang Emas di Hutan Lindung<br />

Tumpang Pitu”, Harian Kompas, Senin, 16 Juni<br />

2008<br />

Harian Kompas, 2008, “Ribuan Penambang Emas<br />

Banyuwangi Diusir”, Harian Kompas, Jumat<br />

27 Februari 2009.<br />

PT. Indo Multi Niaga, 2008, ANDAL PT. Indo Multi<br />

Niaga, Rencana Penambangan Emas DMP di<br />

Desa <strong>Sumber</strong> Agung, Kecamatan<br />

Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,<br />

Provinsi Jawa Timur, Jakarta 2008 (Laporan<br />

Akhir).<br />

PT. Indo Multi Niaga, 2008, Lampiran ANDAL PT.<br />

Indo Multi Niaga Rencana Penambangan<br />

Emas DMP di Desa <strong>Sumber</strong> Agung,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten<br />

Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta<br />

2008.<br />

PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pengelolaan<br />

Lingkungan (RKL) Rencana Penambangan<br />

Emas DMP di Desa <strong>Sumber</strong> Agung,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten<br />

Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta<br />

2008.<br />

PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pemantauan<br />

Lingkungan (RPL) Rencana Penambangan<br />

Emas DMP di Desa <strong>Sumber</strong> Agung,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten<br />

Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta<br />

2008.<br />

Tim Isu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, 2009, Foto-foto<br />

dokumentasi survai di perkantoran <strong>dan</strong><br />

dokumentasi PETI di Gunung Tumpang Pitu,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

11


LAMPIRAN<br />

FOTO-FOTO SURVAI LAPANGAN<br />

12 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

13


14 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

15


PENGEMBANGAN METODE ANALISIS TER DAN<br />

PARTIKULAT DALAM PRODUCER GAS<br />

DARI BATUBARA<br />

Slamet Suprapto <strong>dan</strong> Nurhadi<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, Jln. Jend. Sudirman no. 623 Bandung,<br />

Telp. (022)6030483, Fax: (022) 6003373<br />

email: slamets@tekmira.esdm.go.id, nurhadi@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Dalam rangka meningkatkan <strong>dan</strong> mendiversifikasikan pemanfaatan batubara, Puslitbang Teknologi<br />

Mineral <strong>dan</strong> Batubara se<strong>dan</strong>g mengembangkan pemanfaatan producer gas hasil gasifikasi batubara<br />

untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sistem dual fuel di Sentra Teknologi Pemanfaatan<br />

Batubara, Palimanan Cirebon. Salah satu parameter kualitas producer gas untuk digunakan pada<br />

sistem pembakaran internal seperti mesin diesel adalah kadar ter <strong>dan</strong> partikulat. Penelitian ini<br />

dimaksudkan untuk mengembangkan metoda sampling <strong>dan</strong> analisis kadar ter <strong>dan</strong> partikulat dalam<br />

producer gas dari batubara. Metoda ini menggunakan peralatan yang terdiri atas nozzle isokinetik<br />

yang dilengkapi heater untuk mengambil contoh producer gas, penyaring keramik untuk memisahkan<br />

partikulat, heat exchanger <strong>dan</strong> botol kondensasi untuk mengasorbsi lengas <strong>dan</strong> botol impinger untuk<br />

mengadsorbsi ter dalam contoh producer gas. Peralatan yang telah terangkai kemudian diujicoba<br />

untuk menentukan kadar ter <strong>dan</strong> partikulat dalam producer gas produk gasifikasi. Batubara yang<br />

digunakan berasal dari Kalimantan Selatan yang mempunyai nilai kalor 5.500 <strong>dan</strong> 4.500 kal/g. Pengujian<br />

metoda sampling <strong>dan</strong> analisis terhadap producer gas hasil gasifikasi batubara tersebut menunjukkan<br />

kadar ter <strong>dan</strong> partikulat yang cukup rendah yaitu


used comes from South Kalimantan which have calorific values of 5,500 and 4,500 cal/g. The results<br />

show that the content of tar and particulate are


pembakaran internal <strong>dan</strong> proses gasifikasi<br />

batubara yang digunakan di pilot plant pemanfaatan<br />

gasifikasi batubara untuk PLTD adalah pada<br />

reaktor <strong>dan</strong> sistem pemurnian gas. Reaktor<br />

gasifikasi biomassa adalah sistem downdraft,<br />

yakni batubara dimasukkan dari atas <strong>dan</strong> gas<br />

dikeluarkan dari bawah reaktor sehingga ter<br />

biomassa mengalami perekahan (cracking)<br />

menjadi molekul gas. Oleh karena itu, kadar ter<br />

dalam relatif rendah <strong>dan</strong> unit pemurniaan gas yang<br />

digunakan untuk gasifikasi biomassa cukup hanya<br />

terdiri atas siklon, scrubber <strong>dan</strong> pendingin.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan gasifikasi batubara menggunakan<br />

reaktor sistem updraft sehingga produk gas<br />

mengandung lebih banyak ter. Namun pada unit<br />

gasifikasi batubara mempunyai sistem pemurnian<br />

gas yang juga dilengkapi penangkap ter khusus,<br />

yakni tar electrostatic precipitator. Unit penangkap<br />

ter tersebut cukup efektif sehingga kadar ter dalam<br />

producer gas memenuhi syarat untuk penggunaan<br />

mesin diesel.<br />

Penggunaan producer gas hasil gasifikasi<br />

biomassa untuk mesin diesel pembangkit listrik<br />

maupun kendaraan telah dimulai sejak awal abad<br />

20. Penggunaan tersebut mencapai puncaknya<br />

selama masa Perang Dunia II terutama dilakukan<br />

oleh Jerman untuk menjalankan kendaraankendaraan<br />

perangnya. Sampai sekarang, di<br />

daerah-daerah terpencil di banyak negara misalnya<br />

Pilipina, Selandia Baru, Afrika, Eropa maupun<br />

Amerika Serikat masih ditemukan bus atau traktor<br />

bermesin diesel sistem dual fuel dengan bahan<br />

bakar solar <strong>dan</strong> producer gas (Anonymous, 1986;<br />

Turare).<br />

Mesin-mesin pembakaran internal normalnya<br />

dirancang untuk menggunakan bahan bakar bensin<br />

atau solar yang relatif bersih dibanding producer<br />

gas. Oleh karena itu, agar mesin diesel dapat<br />

beroperasi dengan normal, maka producer gas<br />

harus mengandung ter <strong>dan</strong> partikulat serendah<br />

mungkin. Secara umum, kadar ter <strong>dan</strong> partikulat<br />

yang masih dapat ditoleransi untuk bahan bakar<br />

mesin pembakaran internal adalah adalah sebagai<br />

berikut (Anonymous, 1986; Anonymous, 2006):<br />

• ter :


Gambar 1. Skema alat sampling producer gas (Nussbanmer, 1998; van<br />

de Kamp, 2005)<br />

Gambar 2. Skema penangkap partikulat <strong>dan</strong> ter ((Nussbanmer, 1998; van<br />

de Kamp, 2005)<br />

Pengembangan Metode Analisis Ter <strong>dan</strong> Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto <strong>dan</strong> Nurhadi<br />

19


ter dalam contoh gas akan mengembun dalam 3.3. Pengujian Metoda<br />

botol kondensasi yang berisi air suling.<br />

Langkah selanjutnya adalah mengalirkan gas ke<br />

dalam 3 buah botol impinger yang masing-masing<br />

berisi 50 mL anisol <strong>dan</strong> satu buah botol impinger<br />

kosong sebagai drop separator. Ketiga buah botol<br />

impinger tersebut didinginkan dalam chiller pada<br />

suhu -3 sampai dengan -4 O C. Ter yang<br />

terkandung dalam contoh gas akan mengembun<br />

<strong>dan</strong> terabsorbsi dalam anisol. Contoh gas<br />

kemudian disedot oleh pompa vakum pada laju<br />

alir antara 1,7 – 3,3 m/detik. Sisa contoh gas<br />

dibakar dengan pembakar (burner).<br />

Sampling gas dilakukan selama 0,5 - 1 jam,<br />

tergantung kandungan ter <strong>dan</strong> partikulat. Semakin<br />

kecil kandungan partikulat <strong>dan</strong> ter, waktu yang<br />

dibutuhkan akan semakin lama. Setelah dilakukan<br />

langkah-langkah sampling gas <strong>dan</strong> pemisahan<br />

partikulat <strong>dan</strong> ter seperti seperti tersebut di atas,<br />

kemudian kadar partikulat <strong>dan</strong> ter dapat ditentukan<br />

dengan membagi berat ter dengan volume contoh<br />

gas sebagai berikut:<br />

m c1 – m c2<br />

Kadar partikulat, mg/m 3 =<br />

v g<br />

Di mana:<br />

m c1 = berat penyaring keramik sebelum<br />

percobaan, mg<br />

m c2 = berat penyaring sesudah percobaan, mg<br />

= volume contoh gas, m 3<br />

Se<strong>dan</strong>gkan untuk menentukan kadar ter, ter yang<br />

sudah teradsorbsi dalam botol kondensasi <strong>dan</strong><br />

botol impinger dipisahkan melalui destilasi vakum<br />

pada suhu 85 O C <strong>dan</strong> tekanan 10 – 20 mBar. Ter<br />

yang diperoleh kemudian ditimbang. Kadar tar<br />

dapat dihitung dengan membagi berat ter yang<br />

diperoleh dari destilasi vakum dengan volume<br />

contoh gas, sebagai berikut:<br />

m t<br />

Kadar partikulat, mg/m 3 =<br />

v g<br />

Di mana:<br />

m t = berat ter hasil destilasi, mg<br />

v g = volume contoh gas, m 3<br />

Pengujian metoda dilakukan terhadap producer<br />

gas hasil gasifikasi contoh batubara Kalimantan<br />

yang mempunyai nilai kalor 5.500 kal/g <strong>dan</strong> 4.500<br />

kal/g. Pengujian diawali dengan proses gasifikasi<br />

batubara yakni dengan mengumpankan batubara<br />

± 150 kg/jam. Setelah operasi gasifikasi berjalan<br />

lancar (steady) kemudian dilakukan sampling gas<br />

dengan membuka aliran nozzle. Selanjutnya<br />

dilakukan langkah-langkah sesuai dengan<br />

prosedur analisis ter <strong>dan</strong> partikulat. Apabila kadar<br />

ter <strong>dan</strong> partikulat dalam producer gas sudah<br />

memenuhi syarat, yakni


Tabel 1.<br />

Hasil analisis ter <strong>dan</strong> partikulat<br />

Kadar Ter <strong>dan</strong> Partikulat, mg/m 3<br />

No. Contoh Batubara Nilai Kalorkal/g<br />

Ter<br />

Partikulat<br />

1.<br />

38 50<br />

A 5.500<br />

2. 7 31<br />

3. B 4.500 62 43<br />

Analisis proksimat, reaktivitas <strong>dan</strong> sifat caking<br />

batubara yang sama akan menghasilkan kondisi<br />

operasi yang sama. Ukuran batubara yang<br />

digunakan dalam percobaan gasifikasi adalah – 5<br />

+ 1 cm, tetapi kemungkinan distribusi ukurannya<br />

tidak merata sehingga menyebabkan kondisi<br />

percobaan ke 1 <strong>dan</strong> ke 2 tidak sama. Hal ini juga<br />

dapat membuat penyebaran panas dalam unggun<br />

batubara tidak merata <strong>dan</strong> selanjutnya<br />

menyebabkan fragmentasi ukuran tidak sama<br />

sehingga kondisi proses berbeda. Perbedaan<br />

kondisi proses tersebut menyebabkan terjadinya<br />

perbedaan kualitas produk berbeda.<br />

Pengembangan standar analisis producer gas dari<br />

biomassa yang dilakukan oleh van de Kamp (2005)<br />

adalah dengan memvariasikan kondisi operasi<br />

gasifikasi yang terdiri atas, pereaksi (udara/uap<br />

air, oksigen/uap air), jenis reaktor (fixed bed, fluidized<br />

bed, updraft, down draft), suhu <strong>dan</strong> tekanan.<br />

Dalam program standarisasi tersebut dilakukan uji<br />

Round Robin, yakni mengirimkan contoh-contoh<br />

gas yang sama ke beberapa laboratorium kemudian<br />

membandingkan hasilnya.<br />

Hasil pengujian penggunaan gas untuk<br />

mengoperasikan mesin diesel sistem dual fuel<br />

secara kontinyu <strong>dan</strong> beban maksimal<br />

menunjukkan kinerja yang cukup baik. Hasil<br />

pengamatan terhadap ruang bakar mesin diesel<br />

setelah operasi kontinyu tidak menunjukkan<br />

perbedaan dengan menggunakan bahan bakar<br />

100% solar <strong>dan</strong> tidak ditemukan a<strong>dan</strong>ya endapan<br />

kerak atau ter batubara dalam ruang bakar mesin<br />

diesel. Hal ini menunjukkan bahwa kadar ter <strong>dan</strong><br />

partikulat cukup rendah <strong>dan</strong> memenuhi syarat,<br />

seperti yang dihasilkan oleh uji metoda analisis.<br />

Walaupun metoda ini sudah bisa digunakan, tetapi<br />

yang masih menjadi masalah adalah belum<br />

dikembangkannya standar. Hal ini mengingat<br />

belum a<strong>dan</strong>ya standard reference gas yang sudah<br />

mempunyai kandungan ter <strong>dan</strong> partikulat tertentu.<br />

Disamping itu, belum ada laboraorium lain yang<br />

mengembangkan metoda analisis ter <strong>dan</strong> partikulat<br />

yang dapat bekerjasama dalam melakukan uji<br />

Round Robin guna membandingkan hasil analisis.<br />

5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

5.1. Kesimpulan<br />

• Peralatan sampling <strong>dan</strong> analisis ter <strong>dan</strong><br />

partikulat dalam producer gas dari batubara<br />

telah dapat dirancang bangun <strong>dan</strong> dipasang<br />

pada pilot plant gasifikasi batubara untuk PLTD<br />

di Palimanan Cirebon.<br />

• Metoda sampling <strong>dan</strong> analisis ter <strong>dan</strong> producer<br />

gas telah dikembangkan <strong>dan</strong> diujicobakan<br />

dengan baik terhadap producer gas hasil<br />

gasifikasi batubara dari Kalimantan Selatan<br />

yang menghasilkan kadar ter <strong>dan</strong> partikulat<br />

masing-masing antara 7 – 62 mg ter/Nm 3 <strong>dan</strong><br />

31 – 50 mg partikulat/Nm 3 yang telah<br />

memenuhi persyaratan untuk pengoperasian<br />

mesin diesel.<br />

• Pengoperasian mesin diesel menggunakan<br />

producer gas dari batubara menunjukkan<br />

kinerja yang cukup baik, tidak terdapat endapan<br />

ter <strong>dan</strong> partikulat dalan ruang bakar mesin.<br />

5.2. Saran<br />

• Hasil ini agar dapat ditindaklanjuti dengan<br />

pengembangan metoda standar melalui<br />

kerjasama dengan laboratorium lain untuk<br />

melakukan uji pembanding (Round Robin test).<br />

• Pengembangan metoda sampling <strong>dan</strong> analisis<br />

producer gas juga perlu dikembangkan agar<br />

komposisi gas dapat langsung diketahui<br />

sehingga pemanfaatan untuk mesin diesel<br />

dapat terjamin.<br />

Pengembangan Metode Analisis Ter <strong>dan</strong> Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto <strong>dan</strong> Nurhadi<br />

21


UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Ucapan terimakasih disampaikan kepada<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, PT PLN Jasa Produksi <strong>dan</strong><br />

PT Coal Gas Indonesia (PT CGI) atas<br />

kerjasamanya dalam penyelenggaraan kegiatan<br />

ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonymous, 1986. Wood Gas as Engine Fuel.<br />

FAO, Rome.<br />

Anonymous, 2006. Biomass downdraft gasifier<br />

engine system. http:/devafdc.nrel.gov/pdfs.<br />

Elliot, M.A. (ed.), 1981. Chemistry of coal utilization.<br />

Second Suppl. Vol., John Wiley & Sons,<br />

New York.<br />

Francis, W., 1965. Fuels and Fuel Technology.<br />

Vol II, Section C: Gaseous Fuels. Pergamon<br />

Press, Oxford.<br />

Nowacki, P. (Ed.), 1981. Coal Gasification Process.<br />

Noyes Data Corporation Jersey.<br />

Nussbanmer, T., 1998. Guide line for Sampling<br />

and analisis of Tars Condensates and Particulates<br />

From Biomass Gasifier, Swiss Federal<br />

Institute of Zurich, Zurich.<br />

Turare, C. Biomass Gasification – Technology and<br />

Utilization. ARTES Institute Glucksburg, Germany.<br />

van de Kamp, W., de Wild, P., Zielke, U.,<br />

Suomalainen, M., Knoef, H., Good, J, Liliedahl,<br />

T., Unger, C., Whitehouse, M., Neeft, J., van<br />

de Hoek, H. & Kiel, J., 2005. Tar measurement<br />

standard for sampling and analysis of<br />

tars and particles in biomass gasification product<br />

gas. 14 th European Biomass Conference<br />

& Exhibition, Paris, 17-21 October.<br />

Van Dyk, J.C., Keyser, M.J. & Coertzen, M.<br />

Sasol’s Unique Position in Production from<br />

South African Coal Source Using Sasol–Lurgi<br />

Fixed Bed Dry Bottom Gasifier. Sasol Technology.<br />

R&D Division, Syngas and Coal Technologies,<br />

Sasolburg, South Afrika.<br />

Ward, C.R., 1984. Coal Geology and Coal Technology,<br />

Blackwell Scientific Publications,<br />

Melbourne.<br />

22 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


IMPLEMENTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN<br />

SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

PADA ERA GLOBALISASI<br />

Djoko Sunarjanto <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Minyak <strong>dan</strong> Gas Bumi (LEMIGAS)<br />

Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230<br />

Telp.021 7222583 Fac.021 7226<strong>01</strong>1<br />

e-mail : djokosnj@lemigas.esdm.go.id, bambangwtm@lemigas.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Paradigma baru pengelolaan Sektor <strong>Energi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Sumber</strong> Daya Mineral (ESDM) terus bergulir, setelah<br />

penyerahan UU Nomor 22 Tahun 20<strong>01</strong> tentang Migas kemudian UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang<br />

Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara (Minerba). Dari implementasi UU Migas <strong>dan</strong> UU Minerba yang<br />

baru, terdapat persamaan antara lain tentang kepedulian lingkungan. Perlu upaya khusus untuk<br />

implementasi pengelolaan lingkungan <strong>dan</strong> penanganan dinamika kegiatan pertambangan mineral <strong>dan</strong><br />

energi pada era globalisasi. Analisis pada studi kasus kegiatan pertambangan apabila berpatokan<br />

pada nuansa desentralisasi <strong>dan</strong> meninggalkan sentralisasi akan menimbulkan dampak baru. Dampak<br />

lingkungan yang timbul dapat berkembang menjadi permasalahan global, tidak terkotak-kotak wewenang<br />

daerah/pusat, namun menjadi urusan internasional. Demikian juga pengelolaan ekspor mineral,<br />

pengembangan teknologi termasuk impor peralatan masih dalam konteks sentralisasi. Permasalahan<br />

bertambah kompleks dengan berfluktuasinya produksi <strong>dan</strong> harga komoditas mineral. Diperlukan<br />

antisipasi pengelolaan sebaik-baiknya yang meliputi 3 faktor utama pengelolaan lingkungan Sektor<br />

ESDM di Indonesia, yakni jenis mineral, luas wilayah <strong>dan</strong> perkembangan perekonomian. A<strong>dan</strong>ya<br />

berbagai input <strong>dan</strong> proses kegiatan pertambangan, menjadi masukan informasi untuk kembali ke<br />

konsep pengelolaan lingkungan yang sudah ada. Salah satunya adalah konsep Green Mining and<br />

Energy, akan menghasilkan output yang bermanfaat secara berkelanjutan utamanya selalu<br />

mempertimbangkan faktor lingkungan <strong>dan</strong> masyarakat sekitar kegiatan pertambangan.<br />

<strong>Kata</strong> kunci : lingkungan, Sektor ESDM, globalisasi<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> ... Djoko Sunarjo <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />

23


ABSTRACT<br />

New paradigm on management Energy and Mineral Resources Sector, after Oil and Gas Law (Law No.<br />

22 year 20<strong>01</strong>) and Mining and Coal Law (Law No. 4 year 2009) is going on. The implementations of<br />

those laws pay the same attention on environment management. Special effort is needed for environment<br />

management to cope with the dynamics of mineral and energy activities in globalization era. Analysis<br />

from case study in mining activity if decentralism spirit is used and leaving from centralization spirit<br />

will create new impact. Environmental effect could generate the global problems, not only local but<br />

also international. Export activities of minerals, development of technologies and import of equipment<br />

which is still centralized and the complexity of the problems with fluctuations of product and mineral<br />

price need anticipation to manage it, these involve five factors: minerals item, mining area, economics<br />

development. With the inputs from mining activities there be sufficient information to come back to<br />

available environment management since Green Mining and Energy concept will cause a sustainable<br />

benefit output, in primary environment factors and community of the surrounding mining activities.<br />

Keywords: environment, energy and mineral resources sector, globalization<br />

1. LATAR BELAKANG<br />

Dengan terbitnya perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang<br />

mendasari pelaksanaan pengelolaan energi <strong>dan</strong><br />

sumber daya mineral, terdapat persamaan dalam<br />

permasalahan lingkungan yang tertuang dalam UU<br />

Nomor 22 Tahun 20<strong>01</strong> tentang Minyak <strong>dan</strong> Gas Bumi<br />

<strong>dan</strong> UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan<br />

Mineral <strong>dan</strong> Batubara. Sebagai negara kepulauan,<br />

jumlah <strong>dan</strong> penyebaran penduduk yang timpang<br />

serta a<strong>dan</strong>ya perbedaan ekologi di berbagai<br />

kawasan Indonesia, tidaklah mengherankan<br />

apabila pada masing-masing wilayah terdapat<br />

perbedaan dalam upaya penanganan lingkungan<br />

<strong>dan</strong> peningkatan perekonomian atau Pendapatan<br />

Asli Daerah dari kegiatan pertambangan.<br />

Penyusunan makalah ini diharapkan dapat<br />

dijadikan sebagai masukan dalam rangka<br />

mempersiapkan peraturan <strong>dan</strong> keputusan sebagai<br />

turunan <strong>dan</strong> pendukung Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g Minerba<br />

yang baru. Pemutakhiran <strong>dan</strong> upaya khusus<br />

implementasi pengelolaan lingkungan di tengah<br />

dinamika kegiatan pertambangan mineral <strong>dan</strong><br />

energi sangat diperlukan guna menciptakan<br />

pertambangan berwawasan lingkungan.<br />

2. PENDEKATAN TEORI DAN ANALISIS<br />

Pendekatan kegiatan menggunakan teori<br />

kebijakan <strong>dan</strong> geologi lingkungan dikomparasi<br />

dengan data sekunder pengusahaan mineral <strong>dan</strong><br />

batubara. Analisis komparatif dilakukan dengan<br />

subsektor lainnya dikompilasi dengan kekhususan<br />

pengembangan subsektor minyak <strong>dan</strong> gas bumi,<br />

produksi mineral, <strong>dan</strong> pemanfaatan batubara untuk<br />

kelistrikan serta beberapa studi kasus.<br />

Pendekatan kegiatan berbasis masyarakat (community<br />

based activities), lebih mungkin<br />

menghasilkan tindakan yang merespon kebutuhan<br />

riil penduduk ataupun masyarakat lingkar<br />

pertambangan. Perlu kesadaran manfaat <strong>dan</strong> resiko<br />

bahaya yang dihadapi <strong>dan</strong> kemampuan masyarakat<br />

untuk melindungi diri dari dampak negatif yang timbul.<br />

Dalam UU Minerba yang baru telah dilengkapi tata<br />

cara pengembangan terkait masyarakat, reklamasi<br />

sampai pascatambang, yaitu;<br />

• Penanganan lingkungan hidup<br />

• Rencana pengembangan <strong>dan</strong> pemberdayaan<br />

masyarakat di sekitar wilayah pertambangan<br />

(beberapa pasal, antara lain pasal 78)<br />

• Kegiatan Reklamasi <strong>dan</strong> Pascatambang<br />

(pasal 39)<br />

3. POTENSI DAN PEMANFAATAN<br />

BATUBARA INDONESIA<br />

Sejak tahun 2006 Pemerintah menggulirkan<br />

beberapa kebijakan untuk mendukung pembangunan<br />

pembangkit listrik 10.000 MW menggunakan<br />

bukan Bahan Bakar Minyak atau non-BBM. Salah<br />

satunya adalah dengan memberikan insentif kepada<br />

perusahaan batubara pemasok pembangkit listrik<br />

PLTU. Insentif yang diberikan berupa pemotongan<br />

<strong>dan</strong>a pengembangan batubara yang merupakan<br />

bagian dari Dana Hasil Produsen Batubara (DHPB)<br />

yang disetor perusahaan tambang ke kas negara.<br />

Insentif tersebut diberikan hanya untuk kebutuhan<br />

pembangunan pembangkit listrik <strong>dan</strong> tidak boleh<br />

digunakan untuk keperluan ekspor.<br />

24 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Meningkatnya pemakaian BBM untuk pembangkit<br />

listrik tenaga diesel (PLTD) <strong>dan</strong> listrik tenaga uap<br />

(PLTU) memberatkan PLN dari segi biaya, di<br />

samping berdampak timbul masalah gangguan<br />

kualitas lingkungan. Salah satu solusi jangka panjang<br />

untuk menekan beban PLN dengan menggunakan<br />

batubara untuk pembangkit listrik yang akan<br />

dibangun maupun yang telah beroperasi. Batubara<br />

sebagai bahan bakar PLTU pengganti BBM<br />

dilandasi alasan karena batubara lebih murah <strong>dan</strong><br />

ca<strong>dan</strong>gannya cukup besar, sehingga menjamin<br />

pasokan. Kebijakan <strong>Energi</strong> Nasional 2003-2009<br />

menyebutkan bahwa penggunaan batubara dapat<br />

mendorong pengembangan batubara kalori rendah<br />

di dalam negeri, selaras hasil penelitian yang<br />

menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi<br />

batubara kalori rendah cukup besar yang selama<br />

ini belum dieksplorasi.<br />

Ibrahim (2008) dalam bukunya General Check-Up<br />

KELISTRIKAN NASIONAL; Produksi batubara<br />

dalam negeri sekitar 203 juta ton per tahun, untuk<br />

memenuhi kebutuhan bahan bakar sejumlah PLTU<br />

diperlukan sebanyak 21,28 juta ton per tahun, dalam<br />

Program 10.000 MW sebagian besar menggunakan<br />

batubara. Akan dibangun PLTU Suralaya, PLTU<br />

Labuhan <strong>dan</strong> Tangerang (Provinsi Banten). Di Jawa<br />

Barat akan dibangun PLTU Indramayu <strong>dan</strong> Pelabuhan<br />

Ratu. Jawa Tengah akan dibangun PLTU Rembang<br />

<strong>dan</strong> Tanjung Jati. Se<strong>dan</strong>gkan di Jawa Timur akan<br />

dibangun PLTU Pacitan, Paiton <strong>dan</strong> Tuban.<br />

4. ANALISIS KOMPARATIF<br />

Terkait dengan jenis mineral <strong>dan</strong> pertambangan,<br />

dalam UU Minerba yang baru diuraikan pada BAB<br />

VI pasal 34; Usaha Pertambangan dikelompokkan<br />

menjadi pertambangan mineral <strong>dan</strong> pertambangan<br />

batubara. Pertambangan mineral masih digolongkan<br />

lagi menjadi; pertambangan mineral radioaktif,<br />

pertambangan mineral logam, pertambangan mineral<br />

nonlogam <strong>dan</strong> pertambangan batuan (Un<strong>dan</strong>g-<br />

Un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan<br />

Mineral <strong>dan</strong> Batubara)<br />

Sesuai klasifikasi untuk pengelolaannya tergantung<br />

jenis <strong>dan</strong> kategori mineral, seperti dalam pengusahaan<br />

migas dibedakan institusi pemerintah<br />

sebagai regulator (Ditjen Migas) <strong>dan</strong> ba<strong>dan</strong> yang<br />

melakukan pengawasan kegiatan baik hulu <strong>dan</strong><br />

hilir migas oleh BP Migas <strong>dan</strong> BPH Migas,<br />

demikian juga nantinya untuk mineral strategis<br />

lainnya termasuk batubara. Saat ini pertambangan<br />

mineral <strong>dan</strong> batubara di Indonesia cenderung<br />

menggunakan sistem tambang terbuka (open pit<br />

mining) yang menggunakan lahan luas. Contoh<br />

pertambangan mineral logam PT Newmont Nusa<br />

Tenggara memerlukan wilayah yang luas Gambar<br />

1. Sebaliknya beberapa tambang dalam memerlukan<br />

lahan yang relatif tidak luas, seperti tambang yang<br />

sudah lama dikembangkan tambang emas<br />

Pongkor, Jayawijaya, batubara di Sawahlunto.<br />

Peningkatan pertambangan batuan sesuai kegiatan<br />

pembangunan fisik sarana-prasarana, tetap<br />

memerlukan kewaspadaan dalam pengelo-laannya<br />

terkait lingkungan, misal penambangan di daerah<br />

resapan air tanah, dekat kawasan budi daya atau<br />

pada kawasan hutan <strong>dan</strong> kawasan lainnya.<br />

Upaya mengatasi permasalahan yang timbul dapat<br />

diantisipasi dengan pengelolaan sebaik-baiknya,<br />

meliputi 3 faktor utama yang berperan penting<br />

dalam pengelolaan lingkungan Sektor ESDM di<br />

Indonesia, yaitu ;<br />

1. Jenis Mineral<br />

2. Wilayah Pertambangan<br />

3. Perkembangan Perekonomian<br />

1. Jenis Mineral<br />

Klasifikasi mineral ataupun pembagian bahan galian<br />

sesuai Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g atau PP No 27 Tahun 1980<br />

dibedakan menjadi 3 jenis atau kategori, yaitu<br />

kategori A (Bahan Galian Strategis), kategori B<br />

(Bahan Galian Vital atau Logam) <strong>dan</strong> Golongan C<br />

(Industri atau bahan bangunan), sampai saat ini<br />

masih relevan. Namun dalam pengelolaan <strong>dan</strong><br />

pekembangannya diperlukan inovasi <strong>dan</strong> keluwesan<br />

mengaplikasikan dalam peraturan perun<strong>dan</strong>gan baru.<br />

Gambar 1.<br />

Kegiatan operasi di tambang<br />

terbuka Batu Hijau (Foto :<br />

Newmont Nusa Tenggara, 2006)<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> ... Djoko Sunarjo <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />

25


Kasus terjadinya ledakan tambang batubara<br />

Sawahlunto yang menelan korban meninggal lebih<br />

dari 30 orang pada pertengahan Juni 2009, salah<br />

satu penyebabnya diduga pengelolaan <strong>dan</strong><br />

pengusahaannya mengabaikan prosedur <strong>dan</strong><br />

pengawasan lingkungan <strong>dan</strong> keselamatan kerja<br />

seperti yang seharusnya berlaku pada kegiatan<br />

tambang bawah tanah/tambang batubara.<br />

2. Wilayah Pertambangan<br />

Keberadaan wilayah pertambangan sangat<br />

mempengaruhi pelaksanaan <strong>dan</strong> permasalahan yang<br />

timbul di lapangan, masalah tumpang-tindih dengan<br />

sektor atau subsektor lain, penyerobotan wilayah<br />

oleh pertambangan tanpa ijin termasuk permasalahan<br />

lingkungan yang tidak mudah diselesaikan.<br />

Wilayah Indonesia yang memiliki tidak kurang dari<br />

13.667 pulau mempengaruhi implementasi<br />

organisasi, efektivitas <strong>dan</strong> efisiensi terkait<br />

kewilayahan. Sebagai contoh, kasus penanganan<br />

pengawasan Usaha Hulu Migas yang selama ini<br />

dilakukan BP MIGAS sesuai UU No 22 Tahun 20<strong>01</strong><br />

tentang Minyak <strong>dan</strong> Gas Bumi, salah satu<br />

implementasinya BP MIGAS membuka kantor<br />

perwakilan <strong>dan</strong> penghubung di daerah. Hal ini<br />

karena kompleksnya permasalahan pengawasan<br />

kegiatan hulu migas <strong>dan</strong> lokasi wilayah yang<br />

tersebar <strong>dan</strong> sulit dijangkau.<br />

Keterkaitan wilayah <strong>dan</strong> kepadatan penduduk<br />

terlihat perbedaan antara Wilayah Jawa <strong>dan</strong> luar<br />

Jawa, khusus Pulau Jawa menampung hampir 60<br />

% penduduk Indonesia, demikian juga antara<br />

Sumatera Jawa dengan pulau lain di Indonesia Timur.<br />

Dari berbagai pulau; Jawa, Sumatera, Kalimantan<br />

<strong>dan</strong> Sulawesi merupakan tempat pemukiman yang<br />

utama. Pengembangan pertambangan akan<br />

mempertimbangkan lebih banyak faktor pada<br />

daerah padat penduduk. Tantangan ke depan<br />

menjadi bertambah karena peningkatan jumlah<br />

penduduk <strong>dan</strong> pertambangan mengarah ke wilayah<br />

padat penduduk, sehingga diperlukan pendekatan<br />

sosio kemasyarakatan <strong>dan</strong> teknologi dalam<br />

pengelolaan mineral <strong>dan</strong> energi. Keberhasilan<br />

kegiatan community development atau social responsibility<br />

<strong>dan</strong> program kemasyarakatan yang<br />

sejenis menjadi indikator keberhasilan kegiatan<br />

pertambangan suatu wilayah (Sunarjanto <strong>dan</strong> Adji,<br />

2005). Tingkat kepadatan penduduk tempat<br />

kegiatan pertambangan berada, <strong>dan</strong> temehadap<br />

pada satu sisi akan menjadi potensi sumber daya<br />

yang tidak boleh diabaikan.<br />

3. Perkembangan Perekonomian<br />

Akhir-akhir ini permasalahan lingkungan menjadi<br />

bagian penting dalam perekonomian, sesuai UU<br />

Minerba baru daerah pertambangan berpotensi untuk<br />

dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi<br />

(pasal 28). Sisi lain pengelolaan pertambangan<br />

mineral <strong>dan</strong> energi tergantung pada modal besar<br />

<strong>dan</strong> beresiko tinggi, mengakibatkan ketergantungan<br />

pada perekonomian global, termasuk di dalamnya<br />

investasi <strong>dan</strong> nilai tukar mata uang, pajak, ketenagakerjaan<br />

sampai ekspor-impor. Impor peralatan, mesin<br />

<strong>dan</strong> teknologi dari beberapa negara luar, sebaliknya<br />

hasil kegiatan pertambangan diekspor ke luar<br />

negeri. Tercatat produksi nasional tembaga, emas,<br />

perak <strong>dan</strong> timah lebih besar untuk kebutuhan luar<br />

negeri, bahkan tahun 2007 produksi bauksit<br />

(1,536,542 MT) <strong>dan</strong> bijih nikel (4,309,134 Ton) untuk<br />

memenuhi kebutuhan luar negeri (Tabel 1). Dari sisi<br />

mikro-ekonomi fluktuasi harga komoditas, akuisisi<br />

perusahaan, penggabungan beberapa perusahaan<br />

bahkan pengalihan bi<strong>dan</strong>g usahapun perlu diperhitungkan<br />

untuk keamanan berusaha <strong>dan</strong> mempertahankan<br />

stabilitas investasi. Untuk itu pelaksanaan<br />

rangkaian kegiatan pertambangan di Indonesia masih<br />

dikontrol langsung pemerintah, sejak perencanaan,<br />

eksplorasi-eksploitasi sampai pengawasan <strong>dan</strong><br />

audit pascakegiatan pertambangan.<br />

Tabel 1.<br />

Produksi hasil tambang terpilih, kebutuhan dalam negeri <strong>dan</strong> ekspor<br />

2006 2007*) 2008*)<br />

Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik<br />

Tembaga (Ton) 817,796 816,181 159,783 797,604.75 497,704.48 287,127.43 330,267 272,186 42,884<br />

Emas (KG) 85,411 85,176 1,882 117,726.64 83,249.67 36,774.24 33,923 32,222 5,318<br />

Perak (KG) 261,398 244,144 12,967 269,376.48 188,665.07 80,248.42 122,470 97,671 97,515<br />

Timah (Ton) 65,357 61,422 1,927 91,284.31 90,555.61 1,862 25,407 22,048 747<br />

Bauksit (MT) 1,5<strong>01</strong>,937 1,536,542 - 15,406,044.73 17,031,809.46 25,762.49 6,706,483 7,702,308 102,326<br />

Bijih Nikel (Ton) 4,353,832 4,309,134 - 6,623,024 5,989,105 56,775 3,619,183 3,037,442 -<br />

*) Termasuk Kuasa Pertambangan<br />

Status Data, Juli 2008<br />

<strong>Sumber</strong> : Directorate General of Mineral Coal and Geothermal (2008)<br />

26 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


5. ALTERNATIF SOLUSI<br />

Alternatif solusi merupakan bagian dari strategi yang<br />

diperlukan guna mempercepat <strong>dan</strong> akurasi suatu<br />

proses untuk mencapai tujuan yang diharapkan.<br />

Menurut Soelistijo (2000) secara makronasional,<br />

dengan disesuaikan terhadap terdapatnya sumber<br />

daya mineral <strong>dan</strong> energi, pengembangan wilayah<br />

Sektor ESDM terdiri dari 3 alternatif, yaitu ;<br />

• Pusat pertumbuhan (growth center).<br />

• Agregatif: yang potensinya menunjang<br />

konsepsi pengembangan wilayah sektor lain.<br />

• Regional Integratif: yang potensinya bersifat<br />

merangsang pengembangan wilayah sektor lain.<br />

Dalam perkembangannya selama ini banyak kajian<br />

ilmiah, analisis <strong>dan</strong> alternatif yang sudah disusun<br />

ahli maupun institusi. Berdasarkan analisis<br />

komparatif, sebagai suatu alternatif solusi terdapat<br />

input <strong>dan</strong> proses kegiatan pertambangan dapat<br />

diarahkan mencapai output yang bermanfaat banyak<br />

pihak. Dapat ditinjau kembali konsep pengelolaan<br />

lingkungan yang sudah ada, salah satunya adalah<br />

konsep Green Mining and Energy akan menghasilkan<br />

output yang bermanfaat secara berkelanjutan.<br />

Apabila dikaitkan dengan lingkungan <strong>dan</strong><br />

pengembangan wilayah selalu mempertimbangkan<br />

faktor lingkungan <strong>dan</strong> masyarakat sekitar kegiatan<br />

pertambangan atau diistilahkan masyarakat<br />

lingkar luar, baik lingkar 1, lingkar 2 <strong>dan</strong> seterusnya.<br />

Peningkatan emisi gas CO 2 di atmosfer akan<br />

dapat mempengaruhi terjadinya perubahan curah<br />

hujan <strong>dan</strong> pemanasan global. Selain mendorong<br />

terjadinya kepunahan keanekaragaman hayati,<br />

pemanasan global juga dapat menimbulkan<br />

terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang,<br />

penurunan produktivitas perikanan laut, terjadinya<br />

perubahan musim, meledaknya hama <strong>dan</strong> wabah<br />

penyakit, hujan badai, banjir ban<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> sebagainya.<br />

Penggunaan energi batubara dalam penyediaan<br />

tenaga listrik ataupun industri mineral <strong>dan</strong> energi<br />

lainnya diupayakan agar lebih ramah lingkungan<br />

<strong>dan</strong> dilakukan dengan melengkapi peralatan yang<br />

dapat mengatasi polutan. Dengan melengkapi<br />

peralatan sejenis penyaring, maka gas buang dari<br />

PLTU ataupun industri menjadi aman bagi lingkungan<br />

(Brodjonegoro, Bambang <strong>dan</strong> Sunarjanto, 2000).<br />

Penanganan lingkungan hidup termasuk reklamasi<br />

<strong>dan</strong> pengelolaan pascatambang (BAB VII pasal<br />

39 UU Minerba) menjadi upaya penting memperbesar<br />

dampak positif menciptakan pertambangan secara<br />

berkelanjutan sejak eksplorasi sampai dengan<br />

esok menjadi suatu kawasan pusat pertumbuhan<br />

ekonomi. Sebagai contoh nyata a<strong>dan</strong>ya kegiatan<br />

pertambangan mineral logam di Maluk Sumbawa<br />

yang termasuk Wilayah PT. Newmont Nusa<br />

Tenggara dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun<br />

mampu membangun Pusat Pertumbuhan Ekonomi<br />

baru di Wilayah Indonesia Timur Gambar 2.<br />

6. PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP<br />

Sampai saat ini sumber energi fosil merupakan<br />

sumber utama <strong>dan</strong> penggunaan bahan bakar<br />

batubara pada PLTU dapat berdampak merugikan<br />

lingkungan. Secara fisik tampak mata adalah<br />

perubahan bentang alam, sebagai ilustrasi<br />

digambarkan dalam Gambar 1. Dampak negatif yang<br />

tidak tampak secara langsung sebagai sumber<br />

utama emisi berbahaya seperti SO 2 , CO, CO 2 , <strong>dan</strong><br />

abu. Salah satu emisi yang harus mendapatkan<br />

perhatian dari pembakaran batubara pada<br />

pembangkit listrik adalah SO 2 , yang merupakan<br />

gas tidak berwarna, berbau menyengat <strong>dan</strong> sangat<br />

berbahaya bagi tumbuhan <strong>dan</strong> hewan. SO 2 menyebabkan<br />

gangguan pernafasan, dapat menyebabkan<br />

kebutaan <strong>dan</strong> kematian pada manusia. Dampak<br />

lainnya mengakibatkan terjadinya hujan asam<br />

yang dapat merusak tanaman serta mempercepat<br />

kepunahan keanekaragaman hayati yang sangat<br />

merugikan kehidupan, karena banyak di antara<br />

spesies yang punah tersebut merupakan spesies<br />

yang berguna bagi manusia (Christensen, 1991).<br />

7. DISKUSI<br />

Kegiatan ESDM khususnya pertambangan mineral<br />

masih terkonsentrasi di darat, di mana daratan<br />

hanya menempati sepertiga Wilayah Indonesia.<br />

Menjadi peluang <strong>dan</strong> tantangan untuk lebih intensif<br />

mengembangkan pertambangan mineral di lepas<br />

pantai. Bila dibandingkan masih lebih banyak<br />

kegiatan migas yang mengeksplorasi <strong>dan</strong><br />

mengeksploitasi ca<strong>dan</strong>gan migas lepas pantai.<br />

Penambangan timah <strong>dan</strong> pasir laut di daerah Riau<br />

Kepulauan <strong>dan</strong> sekitarnya menjadi contoh<br />

pertambangan mineral lepas pantai yang dapat<br />

dilakukan pada wilayah lain.<br />

Perubahan pada era globalisasi yang ka<strong>dan</strong>g<br />

berubah secara cepat dari segenap pihak<br />

pemangku kepentingan, shareholder sampai pihak<br />

luar/internasional, membentuk rantai semacam<br />

siklus. Diperlukan pemutakhiran <strong>dan</strong> diskusi yang<br />

berkelanjutan mengantisipasi perubahan yang<br />

dinamis. Sebagai bahan pengambilan keputusan<br />

ataupun masukan dalam penyusunan peraturan,<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> ... Djoko Sunarjo <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />

27


MALUK 1995<br />

MALUK 2005<br />

Gambar 2.<br />

Perbandingan maluk, Sumbawa pada tahun 1995 <strong>dan</strong> 2005, sebagai pusat<br />

pertumbuhan ekonomi (<strong>Sumber</strong> : PT Newmont Nusa Tenggara)<br />

diperlukan perhatian khusus pada permasalahan,<br />

antara lain :<br />

• Produksi <strong>dan</strong> harga komoditas mineral yang<br />

terus berfluktuasi.<br />

• Dampak lingkungan (dampak negatif) yang<br />

timbul dapat berkembang secara cepat<br />

menjadi permasalahan global.<br />

• Bencana lingkungan <strong>dan</strong> kebumian yang tidak<br />

terkait pertambangan ataupun ESDM,<br />

dijadikan alasan untuk menyalahkan dunia<br />

pertambangan <strong>dan</strong> pemangku kepentingan.<br />

• Pengelolaan lingkungan pertambangan lepas<br />

pantai yang baik sebagai upaya optimalisasi<br />

pemanfaatan wilayah <strong>dan</strong> ikut melindungi<br />

pelestarian alam.<br />

• Pengelolaan lingkungan Sektor ESDM<br />

menjadikan lingkungan bumi yang berkualitas<br />

sekaligus sebagai warisan generasi yang akan<br />

datang.<br />

8. PENUTUP<br />

Penanganan lingkungan hidup sampai kegiatan<br />

pertambangan selesai/ pascatambang menjadi<br />

upaya penting memperbesar dampak positif <strong>dan</strong><br />

memperkecil dampak negatif. Suatu kawasan<br />

pertambangan mengubah lokasi terpencil menjadi<br />

pusat pertumbuhan ekonomi sudah banyak<br />

terbukti berhasil pada beberapa wilayah, namun<br />

masih diperlukan usaha lain agar tercipta<br />

pertambangan bermanfaat bagi masyarakat <strong>dan</strong><br />

lingkungan sekitarnya secara berkelanjutan.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Tersusunnya makalah ini penulis mengucapkan<br />

terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Suprajitno<br />

Munadi, yang telah bersedia mengoreksi <strong>dan</strong><br />

memberi masukan. Terima kasih kepada Kepala<br />

PPPTMGB LEMIGAS, Bapak Dr. Ir. Hadi<br />

Purnomo, M.Sc DIC yang memberi kesempatan<br />

penulis menyampaikan makalah ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Brodjonegoro, Bambang and Sunarjanto, 2000, The<br />

Sustainable Economic Growth Pole in The<br />

Mining Area Using AHP Method: Case Study<br />

of PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, Pongkor<br />

Gold Mine-West Java Indonesia, Proceedings<br />

of INSAHP, Jakarta.<br />

Christensen, J.W., 1991, Global Science, Energy,<br />

Resources, Environment, Kendall/Hunt Publishing<br />

Company, Dubuqe Iowa, third edition,<br />

699 p., ISBN 0-8403-4657-3.<br />

Directorate General of Mineral Coal and Geothermal,<br />

Ministry of Energy and Mineral Resources<br />

The Republic of Indonesia, 2008, Indonesia’s<br />

Mineral and Coal Development, Country Paper,<br />

Bali-Indonesia.<br />

Ibrahim, A. H., 2008. General Check-Up<br />

Kelistrikan Nasional, MediapIus Network,<br />

28 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Cetakan Pertama November 2008, ISBN 978-<br />

979-18898-0-3.<br />

Newmont Nusa Tenggara ,PT., 2006, Batu Hijau,<br />

Dulu, Kini <strong>dan</strong> Esok, Cetakan Kedua.<br />

Soelistijo, U. W., 2000, Pengembangan Wilayah<br />

Sektor Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong>, DPE,<br />

Ditjend Pertambangan Umum, PPTP,<br />

Bandung.<br />

Sunarjanto,D. and Adji G.T, 2005, Corporate Social<br />

Responsibility One of Methods To Expand<br />

The Benefit for Oil and Gas Bearing Area, Proceedings<br />

30 th Annual Meeting IPA, Jakarta,<br />

ISBN 979-98000-7-2.<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 22 Tahun 20<strong>01</strong> tentang<br />

Minyak <strong>dan</strong> Gas Bumi<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang<br />

Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> ... Djoko Sunarjo <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />

29


PELUANG PENGEMBANGAN PERTAMBANGAN<br />

MINERAL DAN BATUBARA PADA ERA<br />

OTONOMI DAERAH<br />

Umar Dhani<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl. Jend. Sudriman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022- 6003373<br />

e-mail : umard@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Digulirkannya kebijakan Otonomi Daerah pada awal tahun 2000, merupakan babak baru dalam<br />

pemerintahan daerah. dengan kewenangan daerah otonom untuk mengatur <strong>dan</strong> mengurus daerahnya<br />

secara luas, nyata <strong>dan</strong> bertanggung jawab. Dengan a<strong>dan</strong>ya kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah<br />

berpacu mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada <strong>dan</strong> menciptakan kebijakan untuk<br />

meningkatkan pendapatan daerah (PAD) dengan legitimasi berupa Perda.<br />

Dalam waktu yang sangat singkat, perda-perda tumbuh bak jamur di musim hujan. Maraknya daerah<br />

menyusun perda menimbulkan masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak <strong>dan</strong> retribusi atau<br />

pungutan lainnya yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan<br />

yang lebih tinggi.<br />

Hingga pertengahan bulan Juni tahun 2009, <strong>Departemen</strong> Keuangan telah mengumpulkan 12.031 Perda<br />

<strong>dan</strong> berdasarkan hasil evaluasi telah merekomendasikan sebanyak 2.894 perda dibatalkan <strong>dan</strong> 144<br />

perda direvisi. Hal ini menunjukkan bahwa produk Perda yang telah disusun cukup banyak yang<br />

bermasalah, sehingga akan menimbulkan kondisi yang tidak kondusif <strong>dan</strong> dapat menghambat<br />

pertumbuhan ekonomi maupun peluang investasi di daerah.<br />

Selain itu, dengan a<strong>dan</strong>ya kebijakan otonomi memberi peluang pengembangan pertambangan di daerah,<br />

antara lain : kewenangan pengelolaan <strong>dan</strong> pemanfaatan potensi bahan galian, peningkatan penerimaan,<br />

kesempatan kerja <strong>dan</strong> berusaha serta terciptanya pengembangan wilayah.<br />

<strong>Kata</strong> kunci: peluang, pengembangan pertambangan, otonomi daerah<br />

ABSTRACT<br />

The release of the regional autonomy policy in the early 2000 is a new era of the regional government,<br />

in which the region has an authority to manage its region professionally. Consequently, the regional<br />

government is pushed to optimized potential of the resources and to create a policy of improving<br />

regional revenue by legitimating regional regulations.<br />

In a relatively short time, these regulations grow widely, and this causes collection of taxes, retribution<br />

and other taxes, which are no relation with the public interest and the higher regulations. This is<br />

against the investment promotion in the country.<br />

30 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Until the mid of June 2009, the Ministry of Finance has collected 12,031 regional regulations. According<br />

to the evaluation results, 2,984 regulations are deleted and 114 are revised. This indicates that<br />

those regulations have problems, so they must be eliminated or revised, because they will create an<br />

unconducive condition and can hamper the economic growth and the opportunity of investing in the<br />

mining sector in the region. Moreover, the autonomous policy has provided an opportunity to develop<br />

the mining sector in a region in terms of management authority of utilizing mineral potential, revenue<br />

increase, job creation and regional development.<br />

Keywords: opportunity, mining development, regional autonomy<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Selama lebih dari dua dasawarsa, kebijakan<br />

otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang<br />

Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada era<br />

ini peran Pemerintah Pusat sangat menonjol,<br />

sehingga menimbulkan ketergantungan daerah<br />

terhadap pusat. Pemerintah daerah tidak<br />

mempunyai keleluasaan dalam menetapkan program-program<br />

pembangunan di daerahnya serta<br />

sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan<br />

diatur oleh pusat. Pada awal tahun 2000<br />

diberlakukannya kebijakan otonomi, yaitu<br />

desentralisasi pemerintahan dari pusat ke daerah<br />

yang diimplementasikan pada UU Nomor 22 Tahun<br />

1999 tentang Pemerintahan Daerah <strong>dan</strong><br />

disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004.<br />

Otonomi daerah diartikan kewenangan daerah<br />

otonom untuk mengatur <strong>dan</strong> mengurus daerahnya<br />

secara luas, nyata, <strong>dan</strong> bertanggung jawab.<br />

Kewenangan daerah mencakup kewenangan<br />

semua bi<strong>dan</strong>g pemerintahan, kecuali kewenangan<br />

di bi<strong>dan</strong>g politik luar negeri, pertahanan<br />

keamanan, peradilan, moneter <strong>dan</strong> fiskal, agama,<br />

<strong>dan</strong> bi<strong>dan</strong>g lainnya yang ditetapkan dengan<br />

Peraturan Pemerintah.<br />

Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun<br />

2000, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota<br />

telah melakukan pembenahan <strong>dan</strong> penyesuaian<br />

administratif <strong>dan</strong> struktur organisasi, kelembagaan.<br />

Salah satu upaya yang menonjol yang dilakukan<br />

oleh pemerintah daerah pada era ini adalah<br />

menerbitkan Peraturan Daerah (Perda).<br />

Maraknya meenerbitkan Perda tersebut, masih<br />

banyak yang tidak selaras dengan kebijakan yang<br />

lebih tinggi, bahkan cenderung tumpang tindih <strong>dan</strong><br />

terkesan hanya berorientasi meningkatkan<br />

Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata. Selain itu,<br />

masih banyak terjadi perbedaan penjabaran<br />

mengenai otonomi daerah yang dituangkan dalam<br />

perda pada masing-masing daerah. Hal ini akan<br />

menimbulkan iklim yang tidak kondusif karena<br />

ketidak-konsistenan kebijakan <strong>dan</strong> bahkan dapat<br />

menghambat pertumbuhan ekonomi maupun<br />

peluang investasi di daerah. Permasalahan<br />

tersebut terjadi pada seluruh sektor usaha,<br />

termasuk sektor pertambangan.<br />

Sejak terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997,<br />

terjadi penurunan investasi pada seluruh sektor<br />

usaha, termasuk pada sektor pertambangan mineral<br />

<strong>dan</strong> batubara. Penurunan tersebut bukan hanya<br />

dipicu oleh diberlakukannya kebijakan otonomi<br />

daerah, tetapi juga kebijakan pertambangan yang<br />

mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 1967 sudah<br />

tidak selaras dengan semangat otonomi daerah<br />

yang se<strong>dan</strong>g digiatkan. Selain itu masih terjadi<br />

perbedaan persepsi dalam menterjemahkan<br />

kebijakan otonomi daerah, khususnya pada sektor<br />

pertambangan, sehingga menimbulkan ketidakselarasan<br />

dengan kebijakan di atasnya atau<br />

kebijakan sektor lain. Permasalahan-permasalahan<br />

tersebut pada akhirnya dapat berakibat<br />

terganggunya perekonomian daerah maupun<br />

nasional.<br />

2. KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH<br />

Pada hakekatnya otonomi daerah merupakan hak,<br />

wewenang, <strong>dan</strong> kewajiban daerah otonom untuk<br />

mengatur <strong>dan</strong> mengurus sendiri urusan<br />

pemerintahan <strong>dan</strong> kepentingan masyarakat<br />

setempat sesuai dengan peraturan perun<strong>dan</strong>gun<strong>dan</strong>gan.<br />

Tujuan pemberian kewenangan dalam<br />

penyelenggaraan otonomi daerah adalah<br />

meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan<br />

<strong>dan</strong> keadilan, demokratisasi, menghormati budaya<br />

budaya lokal, serta memperhatikan potensi <strong>dan</strong><br />

keanekaragaman daerah. Pemerintah Daerah<br />

diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya<br />

alam, sumber daya buatan, <strong>dan</strong> sumber daya<br />

Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />

31


manusia yang ada di wilayahnya masing-masing<br />

(UU Nomor 32 Tahun 2004). Prinsip otonomi daerah<br />

adalah desentralisasi, penyerahan semua<br />

kewenangan kecuali bi<strong>dan</strong>g politik luar negeri,<br />

pertahanan keamanan, peradilan/yustisi, moneter<br />

<strong>dan</strong> fiskal, serta agama. Dalam penyerahan<br />

disertai pembiayaan, sumber daya manusia,<br />

sarana <strong>dan</strong> prasarana. Pelaksanaan kewenangan<br />

didasarkan pada norma, standar, <strong>dan</strong> prosedur.<br />

Penyelenggaraan urusan pemerintah dibagi<br />

berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,<br />

<strong>dan</strong> efisiensi dengan memperhatikan keserasian<br />

hubungan antarsusunan pemerintahan. Yang<br />

dimaksud dengan “kriteria eksternalitas” dalam<br />

ketentuan ini adalah penyelenggara suatu urusan<br />

pemerintahan ditentukan berdasarkan luas,<br />

besaran, <strong>dan</strong> jangkauan dampak yang timbul<br />

akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan;<br />

kriteria akuntabilitas” adalah penanggung jawab<br />

penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan<br />

ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan<br />

luas, besaran, <strong>dan</strong> jangkauan dampak yang<br />

ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan<br />

pemerintahan; “kriteria efisiensi” adalah<br />

penyelenggara suatu urusan pemerintahan<br />

ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya<br />

guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.<br />

Setelah diberlakukan kebijakan desentralisasi <strong>dan</strong><br />

otonomi daerah, keinginan pembentukan daerah<br />

otonom baru berkembang sangat pesat. Hal ini<br />

dapat terlihat dengan meningkatnya jumlah daerah<br />

otonom baru sejak tahun 1999 hingga Desember<br />

2008 sebanyak 215 daerah otonom baru, yang<br />

terdiri atas : 7 provinsi, 173 kabupaten, <strong>dan</strong> 35<br />

kota. Selain itu, masih terdapat usulan baru yang<br />

siap dibahas maupun yang belum diproses tentang<br />

pembentukan daerah otonom baru.<br />

Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan<br />

pemerintahan yang menjadi kewenangannya,<br />

kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU Nomor<br />

32 Tahun 2004 ditentukan menjadi urusan<br />

pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan<br />

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,<br />

pemerintahan daerah menjalankan otonomi<br />

seluas-luasnya untuk mengatur <strong>dan</strong> mengurus<br />

sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas<br />

otonomi <strong>dan</strong> tugas pembantuan.<br />

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan,<br />

pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat<br />

melimpahkan sebagian urusan pemerintahan<br />

kepada perangkat pemerintah atau wakil<br />

pemerintah di daerah atau dapat menugaskan<br />

kepada pemerintahan daerah <strong>dan</strong>/atau pemerintahan<br />

desa. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama<br />

antartingkatan <strong>dan</strong>/atau susunan pemerintahan<br />

adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan<br />

yang menjadi kewenangan pemerintah, yaitu terdiri<br />

atas 31 (tiga puluh satu) bi<strong>dan</strong>g urusan<br />

pemerintahan (PP Nomor 38 Tahun 2007). Urusan<br />

pemerintahan yang diserahkan kepada daerah<br />

disertai dengan sumber pen<strong>dan</strong>aan, pengalihan<br />

sarana <strong>dan</strong> prasarana, serta kepegawaian.<br />

Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non<br />

<strong>Departemen</strong> menetapkan norma, standar,<br />

prosedur, <strong>dan</strong> kriteria untuk pelaksanaan urusan<br />

wajib <strong>dan</strong> urusan pilihan. Di dalam menetapkan<br />

norma, standar, prosedur, <strong>dan</strong> kriteria perlu<br />

diperhatikan keserasian hubungan pemerintah<br />

dengan pemerintah daerah <strong>dan</strong> antarpemerintah<br />

daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam<br />

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />

Pemerintah daerah provinsi <strong>dan</strong> pemerintah daerah<br />

kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan<br />

pemerintahan wajib, <strong>dan</strong> pilihan berpedoman<br />

kepada norma, standar, prosedur, <strong>dan</strong> kriteria.<br />

Urusan pemerintahan wajib <strong>dan</strong> pilihan menjadi<br />

dasar penyusunan susunan organisasi <strong>dan</strong> tata<br />

kerja perangkat daerah.<br />

Hubungan dalam bi<strong>dan</strong>g pemanfaatan sumber daya<br />

alam <strong>dan</strong> sumber daya lainnya antarpemerintah<br />

<strong>dan</strong> pemerintah daerah sebagaimana dimaksud<br />

dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 2 ayat (4)<br />

<strong>dan</strong> ayat (5) meliputi :<br />

• kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan,<br />

pemeliharaan pengendalian dampak<br />

lingkungan, <strong>dan</strong> pelestarian;<br />

• bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya<br />

alam <strong>dan</strong> sumber daya lainnya; <strong>dan</strong><br />

• penyerasian lingkungan <strong>dan</strong> tata ruang serta<br />

rehabilitasi lahan.<br />

Hubungan dalam bi<strong>dan</strong>g pemanfaatan sumber daya<br />

alam <strong>dan</strong> sumber daya lainnya antarpemerintah<br />

daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat<br />

(4) <strong>dan</strong> ayat (5) meliputi :<br />

• pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam<br />

<strong>dan</strong> sumber daya lainnya yang menjadi<br />

kewenangan daerah;<br />

• kerja sama <strong>dan</strong> bagi hasil atas pemanfaatan<br />

sumber daya alam <strong>dan</strong> sumber daya lainnya<br />

antarpemerintahan daerah; <strong>dan</strong><br />

• pengelolaan perizinan bersama dalam<br />

pemanfaatan sumber daya alam <strong>dan</strong> sumber<br />

daya lainnya<br />

32 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Pemerintahan daerah merupakan satuan pemerintahan<br />

teritorial tingkat lebih rendah dalam negara<br />

kesatuan RI, yang berhak mengatur <strong>dan</strong> mengurus<br />

sendiri urusan pemerintahannya (Bagir Manan,<br />

20<strong>01</strong>). Satuan pemerintahan teritorial tersebut<br />

disebut daerah otonom, se<strong>dan</strong>gkan hak mengatur<br />

<strong>dan</strong> mengurus sendiri urusan pemerintahan di bi<strong>dan</strong>g<br />

administrasi negara yang merupakan urusan<br />

rumah tangga daerah disebut otonomi. Dengan<br />

demikian, agar wewenang pemerintah daerah<br />

dapat dijalankan, maka diperlukan dasar hukum<br />

pelaksanaan, yaitu sesuai pasal 136 ayat 1 UU<br />

Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah sebagai<br />

kepala eksekutif menetapkan Perda atas<br />

persetujuan bersama DPRD. Perda yang disusun<br />

tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari<br />

peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi<br />

dengan memperhatikan ciri khas masing-masing<br />

daerah.<br />

Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang<br />

Pembentukan Peraturan Perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan<br />

pasal 7 Ayat (1) mengatur hirarki peraturan<br />

perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang berlaku di Negara<br />

Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,<br />

perda merupakan salah satu produk hukum yang<br />

ada di Indonesia. Perda yang disusun oleh<br />

pemerintah daerah tidak boleh bertentangan<br />

dengan peraturan yang lebih tinggi <strong>dan</strong> dapat<br />

dibatalkan sesuai ketentuan yang berlaku. Perda<br />

yang terbit sebelum Oktober 2004, pembatalannya<br />

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri,<br />

se<strong>dan</strong>gkan setelahnya pembatalan melalui<br />

Peraturan Presiden.<br />

Perda <strong>dan</strong> ketentuan daerah lainnya bersifat<br />

mengatur <strong>dan</strong> diun<strong>dan</strong>gkan melalui Lembaran<br />

Daerah. Untuk perda yang mengatur mengenai<br />

pajak daerah, retribusi daerah, Anggaran<br />

Penerimaan <strong>dan</strong> Belanja Daerah (APBD),<br />

perubahan APBD, <strong>dan</strong> tata ruang sebelum<br />

ditetapkan <strong>dan</strong> diberlakukan terlebih dahulu<br />

dilakukan evaluasi oleh pemerintah. Hal ini<br />

dimaksudkan untuk melindungi kepentingan<br />

umum, menyelaraskan <strong>dan</strong> menyesuaikan dengan<br />

peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi<br />

<strong>dan</strong>/atau peraturan daerah lainnya. Perda<br />

merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan<br />

perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi dengan<br />

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.<br />

Pemerintah daerah menyusun perda dalam rangka<br />

merumuskan berbagai kebijakan pembangunan<br />

atau dalam rangka memacu pertumbuhan<br />

perekonomian di daerah.<br />

Perda bermasalah pada prinsipnya adalah perdaperda<br />

yang karena keberadaannya akan menyebabkan<br />

terhambatnya efektifitas perekonomian (P.<br />

Agus Pambudhi, 2006). Atau bertentangan dengan<br />

peraturan yang lebih tinggi. Perda yang<br />

dikategorikan bermasalah adalah berdasarkan<br />

prinsipil, substansi <strong>dan</strong> yuridis. Bermasalah secara<br />

prinsipil adalah perda yang memberikan hambatan<br />

dalam konteks ekonomi makro, yaitu :<br />

• Berpotensi bertentangan dengan prinsip<br />

keutuhan wilayah ekonomi nasional.<br />

• Berpotensi menyebabkan munculnya<br />

persaingan yang tidak sehat (monopoli,<br />

oligopoli, kemitraan wajib, dll).<br />

• Berdampak negatif terhadap perekonomian<br />

(ekonomi biaya tinggi atau pajak ganda).<br />

• Berpotensi menghalangi atau mengurangi<br />

akses masyarakat (bertentangan dengan<br />

prinsip keadilan).<br />

• Merupakan suatu bentuk pelanggaran<br />

kewenangan pemerintah.<br />

Pemerintah daerah dalam meningkatkan<br />

perekonomian dapat memberikan insentif <strong>dan</strong>/atau<br />

kemudahan kepada masyarakat <strong>dan</strong>/atau investor<br />

yang diatur dalam perda dengan berpedoman<br />

pada peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang berlaku.<br />

Implikasi dari kebijakan desentralisasi ini adalah<br />

banyaknya produk perda yang berkaitan dengan<br />

pajak <strong>dan</strong> retribusi daerah bertentangan dengan<br />

kebijakan yang lebih tinggi atau kepentingan<br />

umum. Hal ini, dapat berakibat terganggunya iklim<br />

investasi yang ada di daerah <strong>dan</strong> berdampak pada<br />

perekonomian daerah maupun nasional.<br />

Maraknya daerah menyusun perda menimbulkan<br />

masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak<br />

<strong>dan</strong> retribusi yang bertentangan dengan<br />

kepentingan umum atau peraturan perun<strong>dan</strong>gun<strong>dan</strong>gan<br />

yang lebih tinggi. Hal ini bertolak<br />

belakang dengan gencarnya pemerintah<br />

menggalakkan investasi untuk pembangunan di<br />

Indonesia. Berdasarkan permasalahan ini, maka<br />

perlu dilakukan evaluasi terhadap perda yang<br />

berkaitan dengan pajak <strong>dan</strong> retribusi daerah.<br />

Hingga pertengahan tahun 2009, <strong>Departemen</strong><br />

Keuangan telah mengumpulkan 12.031 perda<br />

untuk dievaluasi. Dari jumlah tersebut sebagian<br />

besar telah dilakukan evaluasi. Berdasarkan hasil<br />

evaluasi Tim Pajak Daerah <strong>dan</strong> Retribusi Daerah<br />

<strong>Departemen</strong> Keuangan hingga Juni tahun 2009<br />

telah merekomendasikan untuk membatalkan<br />

2.894 perda <strong>dan</strong> 144 perda direvisi. Hal ini<br />

Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />

33


menunjukkan bahwa produk Perda yang telah<br />

disusun cukup banyak yang bermasalah, sehingga<br />

harus dibatalkan atau direvisi. Banyaknya perda<br />

yang bermasalah tersebut dapat berakibat<br />

terganggunya aktivitas pemerintahan maupun<br />

perekonomian wilayah.<br />

Pelaksanaan otonomi daerah dimulai pada awal<br />

tahun 2000 telah menimbulkan interpretasi yang,<br />

khususnya berkaitan dengan kewenangan antara<br />

pemerintah pusat <strong>dan</strong> pemerintah daerah, terutama<br />

pasal 7 <strong>dan</strong> pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004.<br />

Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa,<br />

pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi<br />

tinggi yang strategis merupakan kewenangan<br />

pusat. Pada sisi lain pasal 10 ayat 1 dinyatakan<br />

bahwa “daerah berwenang mengelola sumber daya<br />

nasional yang tersedia di wilayahnya <strong>dan</strong><br />

bertanggung jawab memelihara lingkungan sesuai<br />

dengan peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan”, sehingga<br />

diinterpretasikan bahwa kegiatan sektor<br />

pertambangan umum merupakan kewenangan<br />

daerah. Sebenarnya dari kedua pasal, tersebut<br />

menimbulkan a<strong>dan</strong>ya ketidakjelasan kewenangan<br />

pengelolaan sumber daya alam (minerba) antara<br />

pusat <strong>dan</strong> daerah.<br />

Dengan diterbitkannya PP Nomor 38 Tahun 2007<br />

yang merupakan turunan dari UU Nomor 32 Tahun<br />

2004 telah secara jelas mengatur pembagian<br />

urusan antara pemerintah <strong>dan</strong> pemerintah daerah.<br />

Dalam kebijakan tersebut telah terjadi perubahan<br />

yang mendasar tentang pengawasan perda.<br />

Khusus perda yang berkaitan dengan pajak,<br />

retribusi, APBD <strong>dan</strong> tata ruang setelah Oktober<br />

2004 dilakukan evaluasi oleh pusat sebelum<br />

ditetapkan oleh daerah.<br />

Dasar pembatalan perda tentang pertambangan<br />

umum adalah berkaitan dengan pajak <strong>dan</strong> retribusi<br />

izin usaha pertambangan <strong>dan</strong> birokrasi proses<br />

perizinan. Pada umumnya pembatalan perda<br />

tentang pajak <strong>dan</strong> retribusi pertambangan adalah<br />

bertentangan dengan UU Nomor 34 tahun 2000<br />

<strong>dan</strong> PP 65 Nomor 20<strong>01</strong>. Kegiatan usaha di sektor<br />

pertambangan umum (KP, KK <strong>dan</strong> PKP2B) telah<br />

dikenakan iuran tetap (landrent) <strong>dan</strong> iuran<br />

eksplorasi <strong>dan</strong> eksploitasi (royalty). Dengan<br />

demikian, apabila dikenakan pungutan lain akan<br />

menimbulkan pungutan ganda <strong>dan</strong> dapat<br />

memberatkan pelaku usaha di bi<strong>dan</strong>g<br />

pertambangan.<br />

Berdasarkan hasil kompilasi perda yang berkaitan<br />

dengan kegiatan pertambangan pada 8 provinsi,<br />

terkumpul 242 perda pada 147 kabupaten. Dari<br />

jumlah perda tersebut, sebagian besar (183 perda<br />

atau 75%) mengatur tentang pungutan (pajak,<br />

retribusi <strong>dan</strong> sumbangan pihak ketiga). Se<strong>dan</strong>gkan,<br />

perda yang mengatur tentang pengelolaan<br />

pertambangan sebagian besar wilayah kabupaten<br />

belum menyusun, yaitu hanya terdapat 39 perda.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa, pemerintah daerah<br />

lebih mendahulukan kebijakan yang berkaitan<br />

dengan pungutan dibandingkan kebijakan tentang<br />

pengelolaan kegiatan pertambangan. Hal ini sangat<br />

rentan terhadap aktivitas pertambangan maupun<br />

lingkungan.<br />

3. KEBIJAKAN PERTAMBANGAN<br />

MINERAL DAN BATUBARA<br />

Setiap usaha pertambangan bahan galian yang<br />

termasuk dalam golongan bahan galian strategis<br />

<strong>dan</strong> golongan bahan galian vital, baru dapat<br />

dilaksanakan, apabila terlebih dahulu telah<br />

mendapatkan izin, yaitu berupa Kuasa<br />

Pertambangan (Peraturan Pemerintah Nomor 75<br />

Tahun 20<strong>01</strong>). Pemberian izin usaha pertambangan<br />

untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan umum,<br />

eksplorasi, eksploitasi, pengolahan <strong>dan</strong><br />

pemurnian, pengangkutan <strong>dan</strong> penjualan.<br />

Pemerintah daerah sesuai dengan lingkup<br />

usahanya menugaskan pemegang izin<br />

pertambangan sesuai dengan tahapan <strong>dan</strong> skala<br />

usahanya untuk membantu program pengembangan<br />

masyarakat <strong>dan</strong> pengembangan wilayah pada<br />

masyarakat setempat, yaitu berupa pengembangan<br />

sumber daya manusia, kesehatan <strong>dan</strong> mendorong<br />

pertumbuhan ekonomi. Diharapkan dengan a<strong>dan</strong>ya<br />

kegiatan ini masyarakat sekitar merasakan<br />

dampak positif aktivitas pertambangan di<br />

daerahnya.<br />

Sebagai pedoman teknis penyelenggaraan<br />

kewenangan tersebut Pemerintah telah<br />

mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 2007. Dalam<br />

PP tersebut diuraikan secara jelas mengenai<br />

jenjang kewenangan antara pemerintah, provinsi,<br />

<strong>dan</strong> kabupaten/kota. Dalam rangka mendukung<br />

<strong>dan</strong> memfasilitasi daerah dalam penyelenggaraan<br />

tugas pemerintahan di bi<strong>dan</strong>g pertambangan<br />

umum, <strong>Departemen</strong> ESDM telah menerbitkan<br />

Keputusan Menteri mengenai pedoman teknis<br />

(Kepmen No. 1453.K/29/NEM/2000). Dalam<br />

pedoman teknis tersebut telah diatur mengenai<br />

tata cara permohonan perizinan, pengelolaan<br />

lingkungan, pengawasan lingkungan, eksplorasi,<br />

34 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


konservasi, <strong>dan</strong> produksi. Selanjutnya, untuk<br />

melaksanakan kewenangan tersebut, Pemerintah<br />

Daerah (provinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota) menindaklanjuti<br />

dengan menerbitkan perda, baik yang<br />

berkaitan dengan pengelolaan pertambangan<br />

umum maupun pungutan (pajak, retribusi <strong>dan</strong><br />

sumbangan pihak ketiga). Namun demikian, perda<br />

yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah<br />

tentang pengelolaan pertambangan umum masih<br />

banyak yang belum sesuai acuan di atas, bahkan<br />

masih ditemukan perda yang bertentangan dengan<br />

peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi.<br />

Dalam pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha<br />

harus mengacu pada kebijakan tata ruang yang<br />

ada. Hal ini dimaksudkan a<strong>dan</strong>ya kesesuaian<br />

fungsi kawasan maupun menghindari tumpang<br />

tindih pemanfaatan ruang atau benturan<br />

kepentingan antarsektor. Pada umumnya<br />

sebagian besar daerah Rencana Tata Ruang<br />

Wilayah (RTRW) yang telah disusun belum<br />

pengalokasikan kawasan untuk pengembangan<br />

kegiatan pertambangan. Dengan demikian,<br />

pengembangan potensi bahan galian yang ada<br />

menjadi sulit dilakukan karena keberadaanya<br />

bukan merupakan fungsi kawasan pertambangan.<br />

Pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan<br />

harus berada pada kawasan yang ditetapkan<br />

sebagai kawasan pertambangan pada RTRW.<br />

Dengan demikian, Pemerintah Daerah segera<br />

menyiapkan kawasan untuk kegiatan pertambangan<br />

yang ditetapkan dalam kebijakan RTRW.<br />

Krisis ekonomi pada tahun 1997 yang diikuti oleh<br />

tuntutan reformasi, a.l. demokratisasi; HAM,<br />

lingkungan hidup <strong>dan</strong> ekonomi telah mendorong<br />

atas kebutuhan mendasar ke arah perubahan<br />

sistem yang desentralistik . Maka peraturan yang<br />

berkaitan dengan pertambangan harus<br />

menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Pada<br />

intinya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang<br />

Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara sebagai<br />

pengganti UU Nomor 11 Tahun 1967 disusun<br />

dengan mempertimbangkan seluruh aspek<br />

perubahan saat ini, seperti otonomi daerah, HAM,<br />

lingkungan hidup, kebutuhan sosial, politik <strong>dan</strong><br />

ekonomi. Butir-butir penting dalam UU Nomor 4<br />

Tahun 2009, antara lain :<br />

• Sistem perizinan, eksplorasi <strong>dan</strong> eksploitasi<br />

lebih sederhana.<br />

• Klarifikasi wewenang <strong>dan</strong> ruang lingkup<br />

Pemerintah Pusat, Propinsi <strong>dan</strong> Kabupaten/<br />

Kota.<br />

• Aspek nilai tambah, yaitu pemrosesan <strong>dan</strong><br />

pemurnian logam harus dilakukan di dalam<br />

negeri.<br />

• Tidak ada lagi sistem kontrak langsung antara<br />

perusahaan dengan Pemerintah, melainkan<br />

diberlakukannya sistem izin usaha<br />

pertambangan (IUP).<br />

• Pengembangan masyarakat difokuskan pada<br />

kesejahteraan rakyat.<br />

4. PELUANG PENGEMBANGAN<br />

PERTAMBANGAN MINERAL DAN<br />

BATUBARA<br />

a. Perda<br />

Semenjak digulirkanya kebijakan otonomi daerah,<br />

pemerintah daerah berlomba-lomba menyusun<br />

kebijakan untuk mengelola <strong>dan</strong> memanfaatkan<br />

potensi wilayah dalam rangka pengelolaan<br />

pertambangan <strong>dan</strong> meningkatkan pendapatan asli<br />

daerah melalui pajak <strong>dan</strong> retribusi daerah maupun<br />

pungutan lainnya (sumbangan pihak ketiga).<br />

Optimalisasi pemanfaatan potensi ini bertujuan<br />

untuk meningkatkan pendapatan daerah <strong>dan</strong><br />

pembiayaan pembangunan. Untuk melegalisasi<br />

meningkatkan pendapatan <strong>dan</strong> pembangunan<br />

daerah tersebut pemerintah daerah menyusun<br />

perda. Kemampuan daerah dalam melaksanakan<br />

pembangunan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan<br />

sumber daya maupun kemampuan dalam<br />

pengelolaannya.<br />

Pedoman maupun acuan dalam menyusun Perda<br />

pengelolaan pertambangan telah diatur <strong>dan</strong><br />

penerapan penyusunannya disesuaikan dengan<br />

karakteristik wilayah. Diharapkan, dengan a<strong>dan</strong>ya<br />

tersedianya acuan pengelolaan pertambangan<br />

yang baik dapat merangsang investasi<br />

pengusahaan pertambangan di daerah.<br />

b. Optimalisasi Pemanfaatan Potensi<br />

Bahan Galian<br />

Pada umumnya potensi bahan galian belum<br />

diusahakan secara maksimal <strong>dan</strong> belum<br />

memberikan dampak yang signifikan terhadap<br />

perekonomian daerah. Hal ini karena potensi bahan<br />

galian yang dikembangkan adalah bahan galian<br />

golongan C <strong>dan</strong> dilakukan secara tadisional atau<br />

tambang rakyat. Untuk wilayah yang memanfaatkan<br />

bahan galian golongan A <strong>dan</strong> B yang<br />

mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, telah<br />

memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi<br />

perekonomian <strong>dan</strong> penerimaan daerah serta<br />

menyumbangkan terhadap penerimaan negara.<br />

Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />

35


Kebijakan otonomi daerah telah memberikan<br />

kewenangan untuk mengelola <strong>dan</strong> memanfaatkan<br />

potensi sumber daya yang ada di wilayahnya. Saat<br />

ini sebagian besar Pemerintah Daerah gencar<br />

melakukan identifikasi <strong>dan</strong> inventarisasi potensi<br />

bahan galian yang ada dalam rangka menarik investor<br />

menanamkan modalnya di bi<strong>dan</strong>g<br />

pertambangan. Dengan a<strong>dan</strong>ya kebijakan ini<br />

memberikan peluang termanfaatkannya potensi<br />

yang ada. Secara umum upaya yang dilakukan<br />

ini telah menunjukkan tingkat keberhasilan yang<br />

cukup baik, yaitu semakin bertambahnya investasi<br />

di bi<strong>dan</strong>g pertambangan di daerah, yaitu yang<br />

ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah izin<br />

usaha pertambangan yang diterbitkan pemerintah<br />

daerah.<br />

c. Perizinan Pertambangan<br />

Sebelum a<strong>dan</strong>ya otonomi daerah perizinan di<br />

bi<strong>dan</strong>g pertambangan umum dikeluarkan oleh<br />

pemerintah pusat dalam bentuk KK, PKP2B <strong>dan</strong><br />

KP, se<strong>dan</strong>gkan perizinan pengusahaan bahan<br />

galian golongan C diterbitkan oleh pemerintah<br />

daerah dalam bentuk SIPD. Pada saat ini perizinan<br />

usaha pertambangan umum diterbitkan oleh<br />

pemerintah <strong>dan</strong> pemerintah daerah sesuai<br />

kewenangannya. Untuk melakukan perpanjangan<br />

izin yang dikeluarkan dari pusat (KK <strong>dan</strong> PKP2B)<br />

selebihnya menjadi kewenangan daerah sesuai<br />

kewenangannya.<br />

Salah satunya faktor maraknya izin pertambangan<br />

yang dikeluarkan daerah adalah a<strong>dan</strong>ya kebijakan<br />

otonomi daerah. Melalui UU tersebut membuka<br />

peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola<br />

<strong>dan</strong> memanfaatkan sumber kekayaan alam yang<br />

ada di wilayahnya, jika dibandingkan dengan sistem<br />

pemerintahan sebelumnya.<br />

Berdasarkan rekapitulasi dari <strong>Departemen</strong> ESDM,<br />

izin usaha pertambangan dalam bentuk KK <strong>dan</strong><br />

PKP2B jumlahnya cenderung menurun, namun<br />

untuk izin yang berupa KP yang dikeluarkan oleh<br />

pemerintah daerah terjadi peningkatan yang cukup<br />

signifikan (Tabel 1).<br />

Meningkatnya jumlah izin usaha bi<strong>dan</strong>g<br />

pertambangan (KP) tersebut menunjukkan a<strong>dan</strong>ya<br />

peningkatkan investasi bi<strong>dan</strong>g pertambangan <strong>dan</strong><br />

meningkatnya PAD melalui sektor pertambangan.<br />

Sebagai contoh, telah terbit ratusan KP batubara<br />

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten<br />

(Bupati) salah satu provinsi di Kalimantan, yaitu<br />

terdapat 354 izin yang telah dikeluarkan, 260 buah<br />

diantaranya berupa KP yang dikeluarkan oleh<br />

pemerintah daerah.<br />

d. Penerimaan Daerah<br />

Distribusi pajak-pajak pertambangan yang menjadi<br />

hak daerah belum dilakukan secara lebih adil <strong>dan</strong><br />

tepat waktu ke daerah penghasil yang berhak. Hal<br />

ini sangat mempengaruhi dalam pelaksanan<br />

rencana pembangunan yang telah ditetapkan oleh<br />

daerah, karena penerimaan yang diperoleh tidak<br />

tepat waktu.<br />

Dari sisi perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan tersebut di atas<br />

pajak <strong>dan</strong> royalti dari perusahaan pertambangan<br />

merupakan penerimaan pusat. Dalam rangka<br />

desentralisasi ada sebagian dari penerimaan ini<br />

yang dibagihasilkan. Masalah utama dari bagi hasil<br />

ini dipan<strong>dan</strong>g dari sisi daerah adalah tidak pastinya<br />

waktu pencairan dari pusat, sehingga mengganggu<br />

penganggaran di daerah. Dalam ketidakberdayaan<br />

ini ada sebagian daerah yang mengusulkan agar<br />

<strong>dan</strong>a dari perusahaan pertambangan langsung<br />

ditransfer ke rekening pemerintah daerah tanpa<br />

melalui rekning pemerintah pusat. Sementara<br />

pusat berpegang pada kebijakan yang berlaku,<br />

bahwa royalty merupakan penerimaan pusat yang<br />

dibagihasilkan <strong>dan</strong> bukan merupakan pajak daerah.<br />

Salah satu pengaruh a<strong>dan</strong>ya kegiatan<br />

pertambangan adalah peningkatan penerimaan<br />

daerah baik secara langsung maupun tidak<br />

langsung. Penerimaan daerah secara langsung<br />

berupa pajak <strong>dan</strong> retribusi daerah, se<strong>dan</strong>gkan<br />

Tabel 1.<br />

Rekapitulasi Izin Pertambangan<br />

Jenis kontrak 20<strong>01</strong> 2002 2003 2004 2005 2006<br />

KP 600 597 597 825 848 965<br />

KK 55 62 61 54 46 41<br />

PKP2B 119 1<strong>01</strong> 1<strong>01</strong> 87 82 81<br />

<strong>Sumber</strong> : Dirjen Minerbapabum, 2008<br />

36 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


penerimaan tidak langsung adalah penerimaan dari<br />

pajak <strong>dan</strong> Penerimaan Negara Bukan Pajak<br />

(PNBP). Komponen PNBP terdiri atas iuran tetap,<br />

royalti <strong>dan</strong> penjualan hasil tambang. Penerimaan<br />

pajak <strong>dan</strong> PNBP pertambangan merupakan<br />

penerimaan Negara <strong>dan</strong> dibagi-hasilkan ke daerah.<br />

Hasil pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara telah<br />

memberikan kontribusi bagi penerimaan Negara<br />

yang cukup besar, yaitu pada tahun 2006 sebesar<br />

29,69 trilyun. Komponen terbesar penerimaan<br />

justru berasal dari penerimaan pajak dibandingkan<br />

PNBP (Tabel 2).<br />

f. Kewilayahan<br />

Pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha harus<br />

mengacu pada kebijakan tata ruang yang ada,<br />

yaitu yang dikelompokkan menjadi kawasan<br />

lindung <strong>dan</strong> budidaya. Kebijakan tata ruang ini<br />

menghindari tumpang tindih pemanfaatan ruang<br />

atau benturan kepentingan antarsektor.<br />

Pengembangan <strong>dan</strong> pemanfaatan potensi bahan<br />

galian yang berada di kawasan lindung tidak dapat<br />

dimanfaatkan, sehingga potensinya tidak<br />

memberikan nilai ekonomi. Dengan terbitnya UU<br />

Tabel 2.<br />

Penerimaan Pajak <strong>dan</strong> PNBP dari Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Tahun 2004-2006 (Milyar Rupiah)<br />

No. <strong>Sumber</strong> Penerimaan 2004 2005 2006 2007<br />

1 Pajak 6.419,62 12.827,41 23.026,31 17.200,00<br />

2 PNBP 2.573,66 4.788,72 6.664,81 8.697,07<br />

Iuran Tetap 50,13 57,10 58,25 76,24<br />

Royalti 1.642,17 3.138,94 4.163,99 5.771,82<br />

Penjualan Hasil Tambang 881,36 1.592,68 2.442,57 2.849,<strong>01</strong><br />

Total 8.993,28 17.519,66 29.691,12 25.897,07<br />

<strong>Sumber</strong> : Dirjen Minerbapabum, 2008<br />

Penerimaan pajak ini menyumbang sekitar 67%<br />

dari total penerimaan negara yang berasal dari<br />

sektor mineral, batubara <strong>dan</strong> panas bumi atau<br />

setara dengan Rp 17,20 trlyun pada tahun 2007.<br />

Secara umum, realisasi penerimaan negara yang<br />

berasal dari mineral, batubara <strong>dan</strong> panas bumi<br />

dalam empat tahun terakhir menunjukkan<br />

peningkatan yang cukup signifikan, meski<br />

penerimaan negara pada tahun 2007 mengalami<br />

penurunan sebesar 17% dibandingkan dengan<br />

periode sebelumnya.<br />

e. Kesempatan Kerja <strong>dan</strong> Berusaha<br />

Maraknya kegiatan pertambangan di daerah akan<br />

semakin membuka peluang kerja berusaha bagi<br />

masyarakat sekitar. Masyarakat tidak hanya<br />

menjadi penontan seperti yang terjadi selama ini,<br />

tapi dapat lebih memberikan kontribusi terlibat<br />

langsung pada aktivitas pertambangan sebagai<br />

pekerja. Selain itu, dengan berkembangnya<br />

kegiatan di suatu wilayah secara tidak langsung<br />

akan memberi peluang berusaha <strong>dan</strong> menciptakan<br />

pengembangan wilayah.<br />

Nomor 41 Tahun 1999 jo PP Nomor 2 Tahun 2008<br />

telah memberikan peluang pengusahaan<br />

pertambangan di kawasan hutan produksi <strong>dan</strong><br />

hutan lindung. Meskipun banyak kalangan yang<br />

menolak PP tersebut karena dinilai melegitimasi<br />

perusakan hutan lindung selama ada bayarannya<br />

<strong>dan</strong> murahnya tarif yang dikenakan .<br />

5. KESIMPULAN<br />

Semenjak digulirkan otonomi daerah pada tahun<br />

awal tahun 2000, telah terbit ribuan perda sebagai<br />

acuan dalam pelaksanaan pembangunan di<br />

daerah. Perda-perda yang telah terbit tersebut,<br />

masih banyak yang tidak selaras dengan peraturan<br />

yang lebih tinggi atau mengakibatkan biaya tinggi,<br />

sehingga menghambat investasi di daerah. Dengan<br />

demikian, banyak perda-perda yang harus<br />

dibatalkan atau direvisi.<br />

Berdasarkan dari hasil identifikasi terdapat<br />

beberapa izin pertambangan yang telah<br />

dikeluarkan oleh pemerintah daerah tidak selaras<br />

Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />

37


dengan peraturan yang lebih tinggi atau tumpang<br />

tindih dengan sektor lain. Hal ini menunjukkan<br />

bahwa izin pertambangan yang telah diterbitkan<br />

tidak melalui koordinasi dengan dinas/instansi<br />

terkait. Untuk mengantisipasi tumpang izin usaha<br />

pertambangan yaitu dengan penyusunan basis<br />

data pertambangan dengan format yang sama <strong>dan</strong><br />

menyusun ulang izin-izin yang bermasalah. Pada<br />

saat ini dalam kebijakan tata ruang, kawasan untuk<br />

kegiatan pertambangan, tidak atau belum<br />

dialokasikan secara tegas. Dengan demikian,<br />

keberadaan sumber daya mineral yang pada<br />

umumnya tersebar di bawah permukaan, menjadi<br />

terkalahkan oleh pengembangan ruang sektor lain,<br />

sehingga pada saat ruang tersebut akan<br />

dikembangkan untuk kegiatan pertambangan<br />

menjadi tumpang tindih dengan kegiatan sektor lain.<br />

Pelaksanaan otonomi daerah yang berjalan hampir<br />

9 tahun telah menimbulkan pengaruh yang cukup<br />

besar terhadap kegiatan pertambangan di daerah.<br />

Pengaruh tersebut, antara lain :<br />

• kewenangan dalam pengelolaan pertambangan.<br />

• meningkatnya pemanfaatan sumber daya mineral<br />

<strong>dan</strong> batubara,<br />

• meningkatnya penerimaan daerah,<br />

• membuka kesempatan bekerja <strong>dan</strong> berusaha,<br />

• terciptanya pengembangan wilayah.<br />

Berdasarkan peluang-peluang tersebut, perlu<br />

diperhatikan tantangan dalam pengembangannya,<br />

antara tersebut antara lain : ketidaksonsistenan<br />

peraturan yang ada, terbatasnya jumlah maupun<br />

kemampuan aparat, tingkat kerusakan lingkungan<br />

yang cenderung meningkat, masih banyak wilayah<br />

belum ada alokasi kawasan pertambangan, <strong>dan</strong><br />

minimnya data/informasi potensi wilayah.<br />

Jika dilihat dari permasalahan yang timbul dengan<br />

a<strong>dan</strong>ya kegiatan pertambangan serta faktor<br />

penyebab permasalahan tersebut, maka<br />

pembahasan pelaksanaan pertambangan di<br />

daerah perlu dilakukan evaluasi yang bertujuan<br />

untuk pengembangan pertambangan di daerah.<br />

Berdasarkan dari peluang <strong>dan</strong> tantangan tersebut,<br />

arahan pengembangan pertambangan dikemudian<br />

hari, antara lain :<br />

1. Diperlukan kebijakan/ peraturan daerah yang<br />

mengatur tentang pengelolaan pertambangan<br />

mulai dari segi perizinan pengusahaan, hingga<br />

pemantauan lingkungan pasca tambang.<br />

A<strong>dan</strong>ya kepastian hokum <strong>dan</strong> kepastian<br />

berusaha.<br />

2. Diperlukan peningkatan jumlah <strong>dan</strong><br />

kemampuan apatur dinas seiring dengan<br />

maraknya pengusahaan pertambangan.<br />

3. Tuntutan pemenuhan standar lingkungan hidup<br />

yang makin ketat, upaya yang dilakukan<br />

adalah menerapkan metode penambangan<br />

secara tepat <strong>dan</strong> berawasan lingkungan,<br />

sehingga tercipta pertambangan yang<br />

berkelanjutan (good mining practice).<br />

4. Penyiapkan zonasi kawasan untuk pengembangan<br />

pertambangan yang ditetapkan dalam<br />

kebijakan RTRW. Penyusunan RTRW Nasional,<br />

Provinsi <strong>dan</strong> Kabupaten yang saling sinergis.<br />

5. Tersedianya data informasi potensi sumber<br />

daya mineral <strong>dan</strong> batubara, sebagai media<br />

promosi investasi pengusahaan pertambangan<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Dedi Supriady Bratakusumah, Perencanaan<br />

Pembangunan Daerah, Gramedia 2005<br />

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan<br />

<strong>Departemen</strong> Keuangan Republik Indonesia,<br />

Laporan Tim Pajak Daerah <strong>dan</strong> Retribusi<br />

Daerah Periode Januari – Desember 2008.<br />

Direktorat Mineral, Batubara <strong>dan</strong> Pas Bumi,<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Energi</strong> <strong>Sumber</strong> Daya Mineral,<br />

Mineral, Coal and Geothermal, Tahun 2007<br />

Makro Ekonomi, Kamis 25 Januari 2006, Otonomi<br />

Daerah Turunkan Investasi Pertambangan<br />

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007<br />

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan<br />

Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi<br />

<strong>dan</strong> Pemerintah Daerah kabupaten/Kota.<br />

Pipin Syarifin, Pemerintahan Daerah di Indonesia,<br />

Pustaka Setia, Bandung, 2005<br />

Un<strong>dan</strong>g – Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 32<br />

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah<br />

Un<strong>dan</strong>g – Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 11<br />

Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok<br />

Pertambangan<br />

Un<strong>dan</strong>g – Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 26<br />

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.<br />

Un<strong>dan</strong>g – Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 4<br />

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral<br />

<strong>dan</strong> Batubara<br />

38 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


PENINGKATAN KADAR BIJIH BESI DARI DAERAH<br />

PELAIHARI, PROPINSI KALIMANTAN SELATAN<br />

MENGGUNAKAN KLASIFAYER<br />

DAN PEMISAH MAGNETIK<br />

Pramusanto, Nuryadi Saleh <strong>dan</strong> Apriandi<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl Jenderal Sudirman No. 623 Bandung, 40211<br />

Telp (022) 6030843, Fax. (022) 6003373<br />

SARI<br />

Karakteristik bahan baku bijih besi Pelaihari dicirikan oleh kadar besinya rendah (sekitar 30% Fe total).<br />

Mineralnya terdiri dari hematit <strong>dan</strong> magnetit. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan<br />

kadar besinya adalah dengan melakukan percobaan klasifayer <strong>dan</strong> pemisah magnetik. Penelitian ini<br />

membahas tentang percobaan klasifayer yang dilanjutkan dengan percobaan pemisah magnetik.<br />

Percobaan pemisah magnetik dilakukan dengan memvariasikan intensitas magnet, ukuran butir <strong>dan</strong><br />

waktu pengadukan umpan. Percobaan klasifayer dilakukan untuk mengurangi mineral pengotor dengan<br />

memanfaatkan perbedaan ukuran butir <strong>dan</strong> berat jenis, se<strong>dan</strong>gkan pemisah magnetik dilakukan untuk<br />

meningkatkan mineral berharga berupa hematit <strong>dan</strong> magnetit melalui pemanfaatan perbedaan<br />

kerentanan terhadap magnet antara mineral pengotor dengan mineral berharga.<br />

Hasil percobaan klasifayer dapat meningkatkan kadar Fe total menjadi 34,6%, se<strong>dan</strong>gkan pada pemisah<br />

magnetik, variabel yang dapat meningkatkan kadar tertinggi adalah waktu pengadukan umpan dengan<br />

kadar Fe total tertinggi yang diperoleh 55,9%. Waktu pengadukan umpan 10 <strong>dan</strong> 20 menit. Perolehan<br />

tertinggi besi sebesar 33,26% terjadi pada waktu pengadukan umpan selama 20 menit.<br />

<strong>Kata</strong> kunci : bijih besi, Pelaihari, klasifayer, pemisah magnetik<br />

ABSTRACT<br />

Raw iron ore of Pelaihari is known by its low iron content. The ore consists of hematite and magnetite<br />

as the main iron minerals. In order to increase the iron content, some efforts can be conducted by<br />

sequence of laboratory tests, namely classifier and magnetic separator. The experiment using magnetic<br />

separator is conducted at various magnetic intensity, grain size and agitation time. The purpose<br />

of classifying tests is lessening the impurity mineral by exploiting difference of grain size and specific<br />

gravity, while magnetic separator will increase the valuable mineral in the form of hematite and magnetite<br />

by exploiting difference of magnetic susceptibility between the impurities and valuable minerals.<br />

The experiment results of classifying increase the total iron grade up to 34.6%, followed by magnetic<br />

separator. The later increases the highest grade of total iron up to 55.9% at agitation time of 10 and 20<br />

minutes. The highest iron recovery of 33.26% was conducted at 20 minutes of feed agitation time.<br />

Keywords : iron ore, Pelaihari, classifier, magnetic separator<br />

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.<br />

39


1. PENDAHULUAN<br />

Kebutuhan baja nasional terus mengalami<br />

peningkatan seiring dengan perkembangan sektor<br />

industri <strong>dan</strong> semakin maraknya pembangunan<br />

infrastruktur di Indonesia. Pada saat ini konsumsi<br />

baja diperkirakan telah mencapai 6,3 juta ton,<br />

se<strong>dan</strong>gkan produksinya hanya 3,8 juta ton.<br />

Kekurangan penyediaan baja sebesar 2,5 juta ton<br />

masih dipasok dari impor, sehingga PT Krakatau<br />

Steel untuk memproduksi baja di Indonesia<br />

memerlukan bahan baku <strong>dan</strong> penunjang yang<br />

sebagian besar masih diimpor. Bahan-bahan yang<br />

pengadaannya masih bergantung pada impor<br />

adalah pelet bijih besi, se<strong>dan</strong>gkan skrep, bijih besi<br />

bongkah (lump ore) <strong>dan</strong> bijih besi halus kasar<br />

(coarse fine) sebagian masih dapat dipasok dari<br />

dalam negeri, misalnya untuk bijih besi bongkah<br />

berkadar Fe 57% <strong>dan</strong> bijih besi halus kasar<br />

berkadar Fe 56% telah dapat dipasok dari endapan<br />

besi laterit oleh PT Sebuku Iron Lateritic Ore,<br />

Kalimantan Selatan [sebukuiron.co.id].<br />

Untuk menunjang keperluan industri besi baja yang<br />

terus meningkat di masa mendatang, Indonesia<br />

memiliki potensi sumber daya bijih besi yang cukup<br />

besar, berupa bijih besi primer dengan estimasi<br />

ca<strong>dan</strong>gan 320 juta MT <strong>dan</strong> kadar 25 – 62% Fe,<br />

bijih besi laterit dengan estimasi ca<strong>dan</strong>gan 1.391<br />

juta MT <strong>dan</strong> kadar 40 – 56% Fe serta pasir besi<br />

dengan estimasi ca<strong>dan</strong>gan 600 juta MT <strong>dan</strong> kadar<br />

25 – 40% Fe [Koesnohadi <strong>dan</strong> Sobandi, 2008].<br />

Namun sumber daya tersebut belum dapat<br />

dimanfaatkan secara optimal karena kadar Fe<br />

yang terkandung relatif rendah. Pada umumnya<br />

industri baja membutuhkan besi dengan kadar Fe<br />

60-69%, se<strong>dan</strong>gkan P.T. Krakatau Steel<br />

membutuhkan pelet bijih besi dengan kandungan<br />

Fe minimum 65%. Untuk menjawab tantangan<br />

tersebut, perlu a<strong>dan</strong>ya kajian intensif agar kadar<br />

Fe yang dikandung besi dapat ditingkatkan,<br />

sehingga dapat dimanfaatkan oleh industri dalam<br />

negeri seperti oleh PT Krakatau Steel.<br />

Proses peningkatan kadar Fe pada bijih besi biasa<br />

dilakukan dengan cara kominusi (crushing <strong>dan</strong><br />

grinding), konsentrasi secara gravitasi, pemisahan<br />

magnetik, pemisahan elektrostatik maupun flotasi.<br />

Flotasi biasanya dilakukan sebagai lanjutan dari<br />

proses pemisahan magnetik, pemisahan<br />

elektrostatik, konsentrasi secara gravitasi maupun<br />

kominusi [Habashi, 1997].<br />

Pemisahan secara magnetik terhadap bijih besi<br />

sudah lazim dikerjakan [Pramusanto, dkk, 1999].<br />

Pemisah magnetik merupakan alat yang digunakan<br />

dalam proses pemisahan secara magnetik. Prinsip<br />

kerja alat ini adalah memisahkan mineral berharga<br />

dari pengotornya berdasarkan derajat kemagnetan<br />

atau mudah tidaknya mineral mengalami pengaruh<br />

dalam me<strong>dan</strong> magnet (magnetic sussceptibility)<br />

[Kelly, and Spottiswood, 1982].<br />

Bijih besi merupakan mineral-mineral yang<br />

mengandung besi seperti magnetit, hematit,<br />

goethit, limonit atau campuran dari mineral-mineral<br />

tersebut dengan mineral pengotornya, seperti<br />

silika, alumina, <strong>dan</strong> krom [Perkins, 2002].<br />

Berdasarkan pada magnetic susceptibility mineral<br />

tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua grup,<br />

yaitu paramagnetik <strong>dan</strong> diamagnetik. Mineral<br />

diamagnetik merupakan mineral yang tidak<br />

mengalami ketertarikan dalam me<strong>dan</strong> magnet,<br />

seperti silika, <strong>dan</strong> alumina. Se<strong>dan</strong>gkan mineral<br />

paramagnetik yang dapat ditarik oleh magnet,<br />

seperti hematit <strong>dan</strong> limonit. Dari mineral<br />

paramagnetik ini terdapat mineral-mineral yang<br />

memiliki sifat magnet yang sangat kuat disebut<br />

ferromagnetik, seperti magnetit [Wills, 1988].<br />

Berdasarkan hasil pengujian mineragrafi, bijih yang<br />

digunakan untuk percobaan ini mengandung<br />

magnetit-hematit. Magnetit <strong>dan</strong> hematit memiliki<br />

derajat kemagnitan signifikan, yang berbeda<br />

dengan mineral pengotor berupa silika, alumina<br />

<strong>dan</strong> lain-lain; sehingga sebagai studi awal, proses<br />

pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan mineral<br />

menggunakan pemisah magnet dapat dimanfaatkan.<br />

2. METODOLOGI<br />

Metodologi peningkatan kadar bijih besi ini<br />

dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu;<br />

preparasi percontoh (pengeringan, pengayakan <strong>dan</strong><br />

pemercontoh), studi bahan baku (analisa kimia,<br />

ayak <strong>dan</strong> mineralogi), pencucian dengan spiral<br />

classifier untuk menghilangkan pengotor, <strong>dan</strong><br />

percobaan menggunakan pemisah magnet untuk<br />

meningkatkan hematit <strong>dan</strong> magnetit. *****<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Studi Bahan Baku<br />

Studi bahan baku ini bertujuan untuk mengetahui<br />

<strong>dan</strong> menentukan komposisi <strong>dan</strong> kadar dari mineral-mineral<br />

yang terdapat di dalam percontoh bijih<br />

besi tersebut.<br />

40 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


3.1.1 Analisis Komposisi Kimia<br />

Berdasarkan hasil analisis komposisi kimia, maka<br />

diperoleh komposisi kimia bijih besi sebagai berikut;<br />

Fe total 31,3%, Fe 2O 3 37,94%, Fe 3O 4 6,55%, SiO 2<br />

28%, CaO 15,67%, Al 2O 3 5,61%, MgO 1,<strong>01</strong> %,<br />

TiO 2 1,63%, Cr 2O 3 0,111% <strong>dan</strong> LOI 1,93%.<br />

3.1.2 Analisis Ayak<br />

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat terjadi<br />

perubahan distribusi ukuran butir akibat pencucian<br />

dengan spiral classifier, sehingga underflow spiral<br />

classifier menyebabkan kenaikan nilai persen<br />

berat tertahan fraksi ukuran -250+150 µm (-60+100<br />

mesh) sampai fraksi +1,7 mm (+10 mesh) <strong>dan</strong><br />

menyebabkan penurunan nilai persen berat<br />

tertahan dari fraksi ukuran -150+106 µm (-100+140<br />

mesh) sampai fraksi -75 µm (-200 mesh) terhadap<br />

percontoh asal bijih besi. Hal ini menjelaskan<br />

bahwa proses spiral classifier menyebabkan<br />

terjadinya pemisahan antara partikel halus dengan<br />

kasar, sehingga dapat dilihat a<strong>dan</strong>ya perbedaan<br />

persentase berat tertahan antara percontoh asal<br />

dengan underflow spiral classifier.<br />

Persen Berat Tertahan (%)<br />

45<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

-75<br />

(-200)<br />

Gambar 1.<br />

-106+75<br />

(-140+ 200)<br />

-150+106<br />

(-100+140)<br />

-250+150<br />

(-60+100)<br />

-425+250 (-<br />

40+ 60)<br />

Fraksi Ukuran µm (mesh)<br />

3.1.2.1 Derajat Liberasi<br />

Percontoh Asal<br />

Percontoh Spiral Classifier<br />

-850+ 425 (-<br />

20+40)<br />

-1700+850 (-<br />

10+20)<br />

+1700 (+10)<br />

Hubungan fraksi ukuran<br />

dengan komposisi mineral<br />

percontoh asal <strong>dan</strong> underflow<br />

spiral classifier<br />

Berdasarkan Gambar 2, untuk derajat liberasi<br />

percontoh asal terlihat bahwa semakin kecil ukuran<br />

ayak, maka tingkat kebebasan suatu butiran mineral<br />

dalam suatu fraksi ukuran semakin tinggi.<br />

Derajat liberasi tertinggi pada percontoh asal<br />

terdapat pada fraksi -75 µm (-200 mesh) dengan<br />

derajat liberasi untuk mineral magnetit sebesar<br />

70,00%, hematit derajat sebesar 94,55%, <strong>dan</strong><br />

gangue sebesar 98,41%.<br />

Derajat Liberasi [DL] (%)<br />

100<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-75<br />

(-200)<br />

Gambar 2.<br />

-106+75 -150+106 -250+150 -425+250 -850+425 -1700+850<br />

(-140+200) (-100+140) (-60+100) (-40+60) (-20+40) (-10+20)<br />

Fraksi Ukuran µm (mesh)<br />

DL Magnetit DL Hematit DL Gangue<br />

DDL Magnetit DDL Hematit DDL Gangue<br />

+1700<br />

(+10)<br />

Hubungan fraksi ukuran<br />

terhadap derajat liberasi <strong>dan</strong><br />

distribusi derajat liberasi<br />

percontoh asal<br />

Menurut perhitungan derajat liberasi total fraksi<br />

kasar <strong>dan</strong> halus untuk percontoh asal, dapat<br />

dijelaskan bahwa persentase derajat liberasi total<br />

pada fraksi kasar (+1700 µm) atau +10 mesh<br />

sampai -425+250 µm (-40+60 mesh) masih sangat<br />

rendah; magnetit sebesar 0,45%, hematit sebesar<br />

1,08% <strong>dan</strong> gangue sebesar 13,70%. Persentase<br />

derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150<br />

µm) atau (-60+100 mesh) sampai -75 µm (-200<br />

mesh) sudah cukup tinggi; magnetit sebesar<br />

37,62%, hematit sebesar 58,95% <strong>dan</strong> gangue<br />

sebesar 77,56%.<br />

Derajat Liberasi [DL] (%)<br />

100<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-75<br />

(-200)<br />

Gambar 3.<br />

-106+75<br />

(-140+200)<br />

-150+106 -250+150 -425+250 -850+425<br />

(-100+140) (-60+100) (-40+60) (-20+40)<br />

Fraksi Ukuan µm (mesh)<br />

-1700+850<br />

(-10+20)<br />

DL Magnetit DL Hematit DL Gangue<br />

DDL Magnetit DDL Hematit DDL Gangue<br />

+1700<br />

(+10)<br />

Hubungan fraksi ukuran<br />

terhadap derajat liberasi <strong>dan</strong><br />

distribusi derajat liberasi<br />

percontoh underflow spiral<br />

classifier<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Distribusi DL [DDL] (%)<br />

Distribusi DL [DDL] (%)<br />

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.<br />

41


Berdasarkan Gambar 3, derajat liberasi tertinggi<br />

untuk percontoh underflow spiral classifier terdapat<br />

pada fraksi -75 µm (-200 mesh) dengan derajat<br />

liberasi mineral magnetit sebesar 69,61%, hematit<br />

sebesar 93,42%, <strong>dan</strong> gangue sebesar 97,96%.<br />

Menurut perhitungan distribusi derajat liberasi<br />

untuk fraksi kasar <strong>dan</strong> halus untuk percontoh bijih<br />

besi underflow spiral classifier, terlihat bahwa<br />

persentase distribusi derajat liberasi total pada<br />

fraksi kasar (+1700 µm) atau +10 mesh sampai -<br />

425+250 µm (-40+60 mesh) masih sangat rendah;<br />

magnetit sebesar 0,60%, hematit sebesar 1,50%<br />

<strong>dan</strong> gangue sebesar 23,54%. Persentase distribusi<br />

derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150<br />

µm) atau -60+100 mesh sampai -75 µm (-200<br />

mesh) masih cukup tinggi; magnetit sebesar<br />

28,21%, hematit sebesar 46,41% <strong>dan</strong> gangue<br />

sebesar 64,11%.<br />

<strong>dan</strong> hematit dengan komposisi hampir homogen<br />

pada setiap fraksi ukuran yang terdapat pada<br />

kedua percontoh analisis ayak. Komposisi mineral<br />

rata-rata seluruh fraksi ukuran untuk percontoh<br />

asal adalah 6,22% magnetit, 37,53% hematit <strong>dan</strong><br />

56,25% gangue, se<strong>dan</strong>gkan untuk percontoh hasil<br />

percobaan spiral classifier adalah 6,98% magnetit,<br />

39,87% hematit <strong>dan</strong> 53,15% gangue.<br />

Komposisi Mineral (%)<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-75<br />

(-200)<br />

-106+75<br />

(-140+200)<br />

-150+106<br />

(-100+140)<br />

-250+150<br />

(-60+100)<br />

-425+250 (-<br />

40+60)<br />

-850+425 (-<br />

20+40)<br />

-1700+850<br />

(-10+20)<br />

+1700<br />

(+10)<br />

Fraksi Ukuran µm (mesh)<br />

Magnetit Percontoh Asal<br />

Hematit Percontoh Asal<br />

Gangue Percontoh Asal<br />

Magnetit Limp, Bawah Klasif ay er Spiral<br />

Hematit Limp. Bawah Klasif ay er Spiral<br />

Gangue Limp. Bawah Klasif ay er Spiral<br />

Gambar 5.<br />

Hubungan fraksi ukuran<br />

dengan komposisi mineral<br />

percontoh asal <strong>dan</strong> percontoh<br />

underflow spiral classifier<br />

3.2. Percobaan Spiral Classifier<br />

Gambar 4.<br />

Fotomikrograf sayatan poles<br />

bijih besi (H = hematit, M =<br />

magnetit, G = mineral gangue,<br />

HM = hematit + magnetit HG =<br />

hematit + gangue)<br />

Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa pada<br />

fraksi ukuran -106+75 µm (-140+200 mesh), bahwa<br />

antara magnetit <strong>dan</strong> hematit terjadi keterikatan <strong>dan</strong><br />

antara hematit <strong>dan</strong> gangue juga terjadi keterikatan.<br />

Antara magnetit <strong>dan</strong> gangue tidak tampak a<strong>dan</strong>ya<br />

keterikatan. Menurut perhitungan komposisi mineral<br />

pada ukuran tersebut, komposisi hematit 41,80%<br />

dengan derajat liberasi 88,68% <strong>dan</strong> magnetit 7,80%<br />

dengan derajat liberasi 58,97% serta gangue<br />

50,40% dengan derajat liberasi 96,23%.<br />

3.1.2.2 Komposisi Mineral<br />

Berdasarkan Gambar 4, mineral berharga yang<br />

terdapat pada percontoh bijih besi ini adalah magnetit<br />

Berdasarkan Gambar 6, dapat dijelaskan bahwa<br />

pada percobaan ini telah terjadi pemisahan antara<br />

partikel halus dengan kasar. Hal ini terlihat dari<br />

a<strong>dan</strong>ya kenaikan kadar Fe total. Kadar Fe total<br />

pada percontoh asal sebagai umpan sebesar<br />

31,3%, setelah dilakukan proses klasifikasi<br />

menggunakan spiral classifier meningkat menjadi<br />

34,6% untuk produk underflow (sebagai produk<br />

pemisahan yang memiliki partikel kasar) <strong>dan</strong> terjadi<br />

penurunan kadar Fe total menjadi 24,6% untuk<br />

produk overflow (sebagai produk pemisahan<br />

partikel yang berukuran halus).<br />

3.3. Peningkatan Kadar dengan Pemisah<br />

Magnetik<br />

Di dalam percobaan pemisah magnetik ini<br />

dilakukan analisis mineralogi untuk meninjau<br />

perubahan komposisi mineral <strong>dan</strong> derajat liberasi<br />

pada konsentrat <strong>dan</strong> tailing akibat pengaruh dari<br />

variabel percobaan terhadap peningkatkan kadar<br />

<strong>dan</strong> perolehan. Analisis kimia hanya dilakukan<br />

pada konsentrat untuk menetukan kadar Fe total.<br />

42 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Komposisi Kimia (%)<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Gambar 6.<br />

Percontoh Asal<br />

Underflow<br />

Overflow<br />

Fe total SiO2 CaO Al2O3 MgO TiO2 Cr2O3 LOI<br />

Nama M ine ral<br />

Hubungan percobaan spiral<br />

classifier terhadap komposisi<br />

kimia<br />

3.3.1 Pengaruh Intensitas Magnet terhadap<br />

Komposisi Mineral <strong>dan</strong> Derajat<br />

Liberasi pada Konsentrat<br />

Berdasarkan grafik pengaruh intensitas magnet<br />

yang divariasikan dari 2000-10000 gauss terhadap<br />

komposisi mineral <strong>dan</strong> derajat liberasi konsentrat<br />

pada Gambar 7, menunjukan penurunan hematit<br />

seiring dengan peningkatan intensitas magnet,<br />

se<strong>dan</strong>gkan derajat liberasinya juga mengalami<br />

penurunan. Magnetit cenderung stabil namun<br />

derajat liberasinya juga turun. Gangue meningkat,<br />

se<strong>dan</strong>gkan derajat liberasinya turun.<br />

konsentrat, sehingga meningkatkan komposisi<br />

hematit <strong>dan</strong> gangue yang berikatan. Terjadinya<br />

peningkatan komposisi hematit yang berikatan<br />

dengan gangue menyebabkan terjadinya<br />

penurunan derajat liberasi <strong>dan</strong> komposisi hematit,<br />

namun hal tersebut menaikan komposisi gangue.<br />

Komposisi hematit yang terbesar diperoleh pada<br />

intensitas magnet 2000 gauss sebesar 70,07%,<br />

dengan magnetit sebesar 7,73% <strong>dan</strong> gangue yang<br />

terkecil (22,20%). Komposisi hematit terkecil<br />

diperoleh pada intensitas magnet 10000 gauss<br />

(47,94%), dengan magnetit (8,28%) <strong>dan</strong> gangue<br />

terbesar (43,80%).<br />

3.3.2 Pengaruh Ukuran Butir terhadap<br />

Komposisi Mineral <strong>dan</strong> Derajat<br />

Liberasi pada Konsentrat<br />

Berdasarkan grafik pengaruh ukuran butiran yang<br />

divariasikan dari ukuran


derajat liberasi butiran. Hal ini mempengaruhi daya<br />

tarik magnet ke dalam konsentrat. Komposisi<br />

hematit terbesar diperoleh pada ukuran butir


40<br />

70<br />

3.3.7 Analisis Komposisi Mineral pada<br />

Tailing Variabel Intensitas Magnet<br />

Perolehan Fe (%)<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />


Komposisi Mineral (%)<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />


Pramusanto, dkk., 1999 “Pengerjaan Awal Bijih<br />

Besi Laterit Melalui Pemisahan Secara<br />

Magnetis dalam Drum Magnetic Separator<br />

pada Pembentukan Campuran Bijih<br />

Besi Laterit <strong>dan</strong> Kokas”, Pusat Penelitian<br />

Pengembangan Teknologi <strong>dan</strong> Mineral,<br />

Bandung.<br />

Wills. B. A., 1988, “Mineral Processing Technology<br />

5 Th Edition”, Pergamon Press. Oxford,<br />

New York.<br />

www.sebukuiron.co.id/silo_products.htm. PT<br />

SILO, diunduh pada jam 10:57, tanggal 20 Mei<br />

2009.<br />

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.<br />

47


PENGOLAHAN PASIR KUARSA BERLEMPUNG<br />

ASAL RANTAUBUJUR, KABUPATEN TAPIN,<br />

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN,<br />

UNTUK BAHAN BAKU KERAMIK<br />

Subari, Enymia <strong>dan</strong> Sumarsih<br />

Balai Besar Keramik<br />

Jl. Jend. Achmad Yani 392 Bandung<br />

Telp. 022 - 7206221 / 7207115)<br />

SARI<br />

Jumlah ca<strong>dan</strong>gan endapan pasir kuarsa di daerah Rantaubujur Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten<br />

Tapin sebanyak 186378000 m 3 , yang merupakan lapisan tanah penutup (over burden) pada endapan<br />

batu bara. Pasir kuarsa ini masih bercampur dengan material lempung berwarna krem kekuningan.<br />

Oleh karena itu, sampel pasir kuarsa yang berlempung tersebut perlu dilakukan proses pengolahan<br />

dengan cara pencucian <strong>dan</strong> pengayakan dengan menggunakan ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm;<br />

0,063 mm. Dari hasil percobaan pencucian yang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali diperoleh 658,30<br />

gram pasir kuarsa terolah dari sebanyak 900 gram pasir kuarsa asli. Hasil analisis kimia pasir kuarsa<br />

asli (masih bercampur lempung) <strong>dan</strong> yang terolah, mengalami kenaikan kadar silika (SiO 2) yang<br />

cukup signifikan, yakni dari 80,27 % SiO 2 menjadi 94,85 % SiO 2 . Pasir kuarsa terolah ini telah<br />

memenuhi syarat sebagai bahan baku keramik untuk dibuat bodi keramik putih yang fungsinya sebagai<br />

bahan pengisi.<br />

<strong>Kata</strong> kunci: pasir kuarsa berlempung, pengolahan/pencucian, silika, bodi keramik putih<br />

ABSTACT<br />

There are a lot of the quartz sand deposit in Rantaubujur area, South Tapin District - Tapin Regency<br />

abaout 186,378,000 m 3 , which to appear of overburden on the coal deposit. This quartz sand still mixed<br />

with yellowish cream clay materials. Because of that, the clayed quartz sand sample need to beneficiat<br />

by washing and sieving on several size of 1.0 mm; 0.063 mm.<br />

Based on the beneficiation experiments as much as 3 (three) time be found the pure quartz sand of 658.30<br />

grams from the natural quartz sand of 900 grams. The chemical analysis result of natural quartz sand and<br />

pure quartz sand that has increased of silica (SiO 2) significant enough namely from 80.27 % SiO 2 become<br />

94.85 % SiO 2. This pure quartz sand has to fulfill as ceramic raw material for made the whiteware ceramic<br />

as the filler material.<br />

Keywords : clayed quartz sand, silica grade, beneficiation<br />

48 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


1. PENDAHULUAN<br />

Di daerah Rantau Bujur Kecamatan Tapin Selatan<br />

Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan<br />

terdapat endapan pasir kuarsa/silika yang<br />

merupakan lapisan tanah penutup (overburden)<br />

pada endapan batubara, dengan jumlah ca<strong>dan</strong>gan<br />

sebesar 186.378.000 m 3 (Widyajasa, 2003). Pasir<br />

kuarsa di sini nampaknya masih bercampur<br />

dengan material lempung, kerikil, akar tetumbuhan<br />

<strong>dan</strong> lain sebagainya, yang merupakan bahan<br />

pengotor sehingga warna pasirnya bervariasi dari<br />

krem sampai kuning kecoklat-coklatan. Kondisi<br />

endapan pasir kuarsa semacam ini juga di jumpai<br />

di desa Rajpardi “Bharuch district”, India, yang<br />

merupakan lapisan overburden pada tambang<br />

batubara jenis lignit. Bahan pengotor yang<br />

terkandung didalam pasir kuarsa Rajpardi yaitu<br />

oksida besi seperti ilmenit atau limonit, mineral<br />

horblende <strong>dan</strong> biotit (Chakraborty, et.al, 2000).<br />

Dengan a<strong>dan</strong>ya kandungan bahan pengotor (impurities)<br />

tersebut maka pasir kuarsa ini perlu<br />

dilakukan proses pengolahan (benefisiasi) yang<br />

tujuannya untuk meningkatkan kualitas kuarsa/<br />

silika agar dapat digunakan sebagai bahan baku<br />

keramik terutama untuk bodi keramik putih<br />

(whiteware ceramic) seperti stoneware <strong>dan</strong><br />

porselen. Metode pengolahan yang digunakan<br />

dalam proses pengolahan pasir kuarsa dari Kec.<br />

Tapin Selatan tergantung pada karakteristik bahan,<br />

seperti misalnya penelitian Vyas et al., (2000)<br />

setelah melakukan proses pengolahan pasir<br />

kuarsa yang berwarna kuning hingga kuning<br />

kecoklat-coklatan dengan menggunakan metode<br />

pengayakan cara kering, pengayakan cara basah<br />

<strong>dan</strong> cara magnetik.<br />

Berdasarkan pada karakteristik pasir kuarsa yang<br />

masih mengandung bahan pengotor <strong>dan</strong> mengacu<br />

pada penelitian Vyas, et al., (2000) maka metode<br />

pengolahan yang dilakukan adalah proses pengayakan<br />

cara basah. Dari hasil percobaan<br />

pengolahan ini diharapkan kualitas pasir kuarsa<br />

meningkat serta dapat dimanfaatkan untuk industri<br />

keramik bahkan bisa juga digunakan untuk industri<br />

gelas. Se<strong>dan</strong>gkan penggunaan kuarsa atau silika<br />

pada industri keramik berkisar antara 10 – 25%<br />

berat dari kompo-sisi bodi keramik stoneware atau<br />

perselen, hal ini tergantung pada tingkat kemurnian<br />

bahan baku yang digunakan( Achuthan et al, 2000;<br />

Carty, 20<strong>01</strong>).<br />

Dalam industri manufaktur, penggunaan pasir<br />

kuarsa sudah berkembang ke berbagai industri<br />

baik sebagai bahan baku utama maupun untuk<br />

bahan campuran atau aditif. Sebagai bahan baku<br />

utama, pasir kuarsa dapat digunakan dalam<br />

industri gelas, ubin teraso, ferosilikon, silikon<br />

karbida <strong>dan</strong> bahan abrasif. Se<strong>dan</strong>gkan pasir<br />

kuarsa sebagai bahan baku campuran, misalnya<br />

pada industri pengecoran logam, industri<br />

perminyakan <strong>dan</strong> industri keramik termasuk<br />

refraktori. Sehubungan hal tersebut di atas, pasir<br />

kuarsa yang diteliti akan digunakan sebagai bahan<br />

baku campuran dalam pembuatan ubin keramik<br />

selain menggunakan felspar <strong>dan</strong> kaolin.<br />

2. METODE PENELITIAN<br />

Pasir kuarsa alam atau kuarsa asli yang<br />

digunakan dalam percobaan pengolahan<br />

(benefisiasi) berasal dari daerah Rantau Bujur<br />

Kecamatan Tapin Selatan. Pasir kuarsa ini masih<br />

bercampur dengan material lempung berwarna<br />

krem kekuningan. Pasir kuarsa dicuci <strong>dan</strong><br />

kemudian diayak/disaring dengan menggunakan<br />

ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm <strong>dan</strong> 0,063 mm.<br />

Bagan alir proses benefisiasi terhadap pasir kuarsa<br />

tercantum pada Gambar 1.<br />

Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri<br />

dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 %<br />

<strong>dan</strong> lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi<br />

tersebut dicampur sampai homogen dengan<br />

menambahkan air sekitar 5 % dari total berat<br />

bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak<br />

ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm.<br />

Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven<br />

pengering pada suhu 100 0 C, <strong>dan</strong> akhirnya dibakar<br />

dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 <strong>dan</strong><br />

1250 °C.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Perolehan (recovery) kuarsa terolah<br />

Teknologi pengolahan pasir kuarsa dari Tapin<br />

Selatan ini dilakukan dengan pengayakan atau<br />

penyaringan secara basah yang menggunakan<br />

beberapa ukuran ayakan. Proses pengolahannya<br />

di lakukan sebanyak 3 (tiga) kali percobaan yang<br />

hasil percobaannya dapat di lihat pada Tabel 1.<br />

Untuk mengetahui perolehan silika atau kuarsa<br />

yang dihasilkan dari proses pengolahan<br />

(benefisiasi) pasir kuarsa alam dapat digunakan<br />

rumus (Wills, 2006):<br />

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.<br />

49


Kuarsa alam dibuat massa lumpur<br />

Diayak basah<br />

1,0 mm<br />

Kuarsa & lempung<br />

-1,0 mm<br />

Kotoran kerikil<br />

+ 1,0 mm<br />

Diayak basah ukuran<br />

0,5 mm<br />

Kuarsa & lempung<br />

0,5 mm - 0,5 mm<br />

Kuarsa terolah<br />

+ 0,5 mm<br />

Diayak basah<br />

ukuran 0,063 mm<br />

Lempung kotor<br />

- 0,063 mm<br />

Kuarsa terolah<br />

+ 0,063 mm<br />

Gambar 1.Bagan alir proses benefisiasi pasir kuarsa<br />

Tabel 1.<br />

Material balance pada proses benefisiasi pasir kuarsa<br />

Percobaan Kuarsa asli Kuarsa terolah Kotoran 1 Kotoran 2 Kehilangan<br />

( gram ) ( gram ) ( gram ) ( gram ) ( gram )<br />

1 900 740 32 107 21<br />

2 900 675 27 170 28<br />

3 900 560 28 276 36<br />

Rata-rata 900 658,3 29 184,33 28,33<br />

50 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Dimana : R = Recovery, %<br />

F = Umpan (feed) pasir kuarsa asli,<br />

gram<br />

f = Kadar SiO 2 didalam umpan, %<br />

C = Kuarsa terolah (konsentrat), gram<br />

c = Kadar SiO 2 didalam konsentrat,%<br />

Menurut Tabel 1 bahwa banyaknya kuarsa terolah<br />

rata-rata sekitar 658,30 gram dari sebanyak kuarsa<br />

asli sebesar 900 gram.<br />

Kadar SiO 2 didalam kuarsa asli (umpan) = 80,27<br />

% <strong>dan</strong> yang didalam konsentrat (kuarsa terolah)<br />

=94,85 %.<br />

Dengan demikian perolehan pasir kuarsa terolah<br />

adalah :<br />

658,30 x 94,85<br />

R = x 100 % = 86,57 %<br />

900 x 80,27<br />

dengan cara pencucian <strong>dan</strong> pengayakan tersebut<br />

memberikan hasil yang baik. Dilihat dari kadar<br />

Fe 2O 3 <strong>dan</strong> TiO 2 bahwa menurut SNI 15-1026-1989<br />

mengenai kuarsa untuk pembuatan porselen <strong>dan</strong><br />

stoneware batas kadar yang disyaratkan untuk<br />

Fe 2O 3 = 0,4 % <strong>dan</strong> yang TiO 2 = 0,3 %. Menurut<br />

ketentuan tersebut diatas nampaknya pasir kuarsa<br />

dari Kabupaten Tapin telah memenuhi syarat<br />

sebagai bahan baku untuk body keramik porselen<br />

atau stoneware.<br />

Kemudian dari data analisis X Ray diffraktometer<br />

terhadap pasir kuarsa asli (belum diolah) kode KCT<br />

<strong>dan</strong> kuarsa yang sudah diolah kode KMT seperti<br />

tercantum dalam Gambar 2, menunjukkan bahwa<br />

untuk kuarsa asli terdapat kandungan mineral<br />

kaolinite selain alfa kuarsa se<strong>dan</strong>gkan yang kuarsa<br />

terolah hanya mengandung alfa kuarsa serta tidak<br />

ada lagi kandungan mineral kaolinitnya. Dengan<br />

berdasarkan ketentuan tersebut maka proses<br />

pengolahan pasir kuarsa dengan cara pencucian<br />

<strong>dan</strong> pengayakan cukup berhasil <strong>dan</strong> bisa<br />

dikembangkan dalam skala produksi.<br />

Jumlah ca<strong>dan</strong>gan pasir kuarsa alam (kuarsa asli)<br />

sebesar 186.378.000 m 3 , apabila pasir kuarsa<br />

diolah semuanya maka yang diperoleh sebanyak<br />

161.347.435 m 3 .<br />

Dibandingkan dengan pasir kuarsa dari pulau<br />

Bangka <strong>dan</strong> pulau Belitung yang kadar silikanya<br />

masing-masing sebesar 95-99 % SiO 2 <strong>dan</strong> 96-99,5<br />

% SiO 2 ( Hartono <strong>dan</strong> Subari, 1986), maka pasir<br />

kuarsa terolah dari Kecamatan Tapin Selatan<br />

dengan kadar silika sebesar 94,85% SiO 2<br />

kualitasnya hampir sama dengan yang pasir kuarsa<br />

Bangka. Sehingga pasir kuarsa terolah tersebut<br />

masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku<br />

keramik untuk body keramik stoneware atau<br />

porselen <strong>dan</strong> juga barang tahan api (refractory).<br />

3.2. Data komposisi Kimia <strong>dan</strong> Mineral<br />

Data komposisi kimia terhadap pasir kuarsa asli<br />

atau belum diolah terutama kadar silika (SiO 2),<br />

Fe 2O 3, <strong>dan</strong> TiO 2 masing-masing sebesar 80,27<br />

%, 1,20%, <strong>dan</strong> 0,23 %. Kemudian pasir kuarsa<br />

setelah diolah dengan cara pencucian <strong>dan</strong><br />

pengayakan ternyata kadar SiO 2 nya mengalami<br />

kenaikan menjadi 94,85 % serta kadar Fe 2O 3 <strong>dan</strong><br />

TiO 2 mengalami penurunan masing-masing yaitu<br />

0,34 % <strong>dan</strong> 0,04 %. Dengan demikian proses<br />

pengolahan pasir kuarsa dari Kabupaten Tapin<br />

Gambar 2.Grafik difraktogram pasir kuarsa<br />

asli <strong>dan</strong> kuarsa terolah<br />

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.<br />

51


3.3. Pembuatan Keramik dari Kuarsa<br />

Terolah<br />

Bahan baku yang biasanya digunakan dalam<br />

pembuatan keramik konvensional atau tradisional<br />

adalah kuarsa, lempung <strong>dan</strong> felspar. Untuk<br />

percobaan pembuatan bodi keramik disini<br />

menggunakan kuarsa dari hasil pengolahan pasir<br />

kuarsa berlempung <strong>dan</strong> sedikit mengandung<br />

kerikil. Dari hasil analisis kimia terhadap kuarsa<br />

terolah ternyata mengandung kadar silika (SiO 2)<br />

yang cukup tinggi yaitu 94,85 %. Kandungan silika<br />

bebas tersebut juga terdapat di dalam lempung<br />

(clay), kaolin, <strong>dan</strong> felspar. Misalnya lempung<br />

berwarna kuning kecoklatan dari daerah Zorka<br />

mengandung kadar SiO 2 69,13 %. Se<strong>dan</strong>gkan<br />

bahan lempung yang merupakan pengotor (impurity)<br />

dari pasir kuarsa mengandung kadar SiO 2 nya<br />

sebesar 70,15%. Lempung ini masih bisa<br />

dimanfaatkan sebagai bahan baku keramik untuk<br />

dibuat bodi merah atau terakota.<br />

Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri<br />

dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 %<br />

<strong>dan</strong> lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi<br />

tersebut dicampur sampai homogen dengan<br />

menambahkan air sekitar 5 % dari total berat<br />

bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak<br />

ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm.<br />

Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven<br />

pengering pada suhu 100 0 C, <strong>dan</strong> akhirnya dibakar<br />

dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 <strong>dan</strong><br />

1250 0 C. Ubin setelah dibakar ternyata makin<br />

tinggi suhu pembakaran penyerapan airnya<br />

semakin kecil masing- masing sebesar 17,98 %,<br />

16,87 % <strong>dan</strong> 15,24 %. Nilai penyerapan ubin<br />

keramik ini masih di atas 15% karena di dalam<br />

komposisi bodi ubin tidak menggunakan felspar<br />

yang fungsinya sebagai bahan pelebur guna<br />

membantu dalam proses sintering, agar pada suhu<br />

pembakaran 1250 0 C bodinya sudah bersifat padat<br />

(vitrified) sehingga penyerapan airnya bisa<br />

mencapai di bawah 10 % (Chakraborty et al, 2000).<br />

Demikian pula sebaliknya, makin tinggi suhu<br />

pembakaran nilai kuat lenturnya semakin besar<br />

yaitu masing- masing 135,92 kg/cm 2 , 137,65 kg/<br />

cm 2 <strong>dan</strong> 143,57 kg/cm 2 . Hal ini disebabkan lubang<br />

pori-pori dalam bodi ubin semakin mengecil <strong>dan</strong><br />

ikatan paertikel-partikel bahan yang satu dengan<br />

lainnya menjadi semakin kuat akibat semakin<br />

tingginya suhu pembakaran. Di samping itu warna<br />

bodi ubin keramik setelah dibakar pada suhu 1150<br />

0C sampai 1250 0 C berwarna putih susu sampai<br />

krem, sehingga bodi keramik tersebut dapat<br />

dikatagorikan keramik putih (whiteware ceramic).<br />

Selain untuk ubin keramik pasir kuarsa terolah ini<br />

bisa juga digunakan sebagai bahan baku utama<br />

bata tahan api silika karena menurut Goswami,<br />

et.al, (2000) bahwa untuk membuat bahan tahan<br />

api tersebut digunakan silika dengan kadar SiO 2<br />

minimum 93 % pada suhu pembakaran 1430-1450<br />

0C. Dengan demikian kuarsa terolah yang<br />

mengandung SiO 2 = 94,85 % telah memenuhi<br />

syarat untuk dibuat bata tahan api silika (silica<br />

brick refractory).<br />

4. KESIMPULAN<br />

1. Proses pengolahan pasir kuarsa berlempung<br />

asal Kabupaten Tapin dengan cara dicuci <strong>dan</strong><br />

diayak menggunakan ukuran ayakan 1,0 mm;<br />

0,5 mm <strong>dan</strong> 0,063 mm dapat meningkatkan<br />

kadar silika (SiO 2) dari 80,77% menjadi<br />

sebesar 94,85 %.<br />

2. Perolehan (recovery) pasir kuarsa terolah<br />

sebanyak 161.347.435 m3 cukup potensial<br />

untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku<br />

industri keramik dalam pembuatan ubin<br />

keramik <strong>dan</strong> bata tahan api silika.<br />

3. Pemakaian pasir kuarsa terolah untuk dibuat<br />

ubin keramik sebesar 20% dicampur dengan<br />

lempung 30% <strong>dan</strong> kaolin 50% dari Kabupaten<br />

Tapin, yang dibakar pada suhu 1150-1250 0 C<br />

bodinya berwarna putih susu serta<br />

digolongkan ke dalam bodi putih (whiteware<br />

ceramic).<br />

UCAPAN TERIMAKASIH<br />

Dengan terpublikasinya makalah ini penulis<br />

menyampaikan banyak terima kasih kepada<br />

Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Tapin<br />

beserta stafnya, yang telah membantu untuk<br />

mendapatkan sampel bahan galian golongan C<br />

jenis pasir kuarsa berlempung dari Kecamatan<br />

Tapin Selatan serta data potensi ca<strong>dan</strong>gannya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Achuthan, A.T., Peer, M, A. Maiti, K.N., 2008,<br />

Effect of Precipitated Silica Additions to the<br />

Composition of Ceramic Glazes, Interceram,<br />

Volume 57.No.1.<br />

Carty, W.M., 20<strong>01</strong>, Ceramic engineering and Sci-<br />

52 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


ence, Proceedings, Material and Equipment<br />

and Whitewares, Volume 22, Issue 2.<br />

Chakraborty, A.K, Sojitra, B.G, Vyas, D.R., Maiti,<br />

K.N., 2000, Effects of Substitution of Quartz<br />

by Rajpardi Silica Sand on the<br />

Thermomechanical Properties of Conventional<br />

Ceramics, Interceram, Volume 49 No.3.<br />

Goswami, G, Panda, J.D., 2000, X Ray<br />

Diffractometric Determination of Tridymite in<br />

Silica Refractories, Interceram, Vol. 49 No.5.<br />

Vyas, D.R, Sojitra, B.G, Chakraborty, A.K, Maiti,<br />

K.N., 2000, Beneficiation of Rajpardi Silica<br />

Sand For Use in the Ceramics and Glass Industry,<br />

Interceram, Volume 49 No. 2.<br />

Widyajasa, A.P.T., 2003, Studi Komprehenship<br />

Inventarisasi <strong>dan</strong> Evaluasi Bahan Galian<br />

Tambang di Kabupaten Tapin, Bapeda<br />

Pemerintah Kabupaten Tapin.<br />

Wills, B.A, 2006, Mineral Processing Technology,<br />

Seventh Edition-ELSEVIER, Oxford-UK.<br />

Hartono, Y.M.V <strong>dan</strong> Subari, 1986, Teori Benefisiasi<br />

Bahan Mentah Keramik Halus, Balai Besar<br />

Industri Keramik Bandung.<br />

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.<br />

53


PRESENTASI MAKALAH<br />

PARALEL II


MASA KINI DAN MASA DEPAN<br />

BATUBARA INDONESIA<br />

Ijang Suherman<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373<br />

e-mail : ijang@tekmira.esdm.go.id<br />

S A R I<br />

Peran batubara sebagai pemasok energi, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya, di masa<br />

mendatang akan terus meningkat meskipun harga batubara sedikit terkoreksi sebagai dampak dari<br />

harga minyak yang baru saja terkoreksi tajam. A<strong>dan</strong>ya Kebijaksanaan <strong>Energi</strong> Nasional mengenai<br />

diversifikasi energi, melalui PP No.5 Tahun 2006, pemanfaatan batubara di wilayah Indonesia terus<br />

berkembang di berbagai segmen pasar yang meliputi PLTU, industri semen, tekstil, kertas, metalurgi,<br />

briket batubara <strong>dan</strong> industri lainnya. Di samping itu, dengan berlakunya UU No 4 Tahun 2009 tentang<br />

Pertambangan Mineral Batubara, akan mendukung upaya optimalisasi permintaan <strong>dan</strong> pemasokan<br />

batubara Indonesia dimasa depan.<br />

<strong>Kata</strong> kunci: masa kini, masa depan, batubara, pemanfaatan<br />

ABSTRACT<br />

The role of coal as an energy supply, either in Indonesia or other countries, in the future time will<br />

increase, although its price is slightly corrected as the impact of the oil price that was just sharply<br />

corrected. Due to the presence of the National Energy Policy about energy diversification through PP<br />

No. 5 Year 2006, the utilization of coal in Indonesia keeps developing in various market segments<br />

including: coal-fired power, cement industry, textile, paper, metallurgy, coal briquette and so forth.<br />

Besides, the implementation of UU No. 4 Year 2009 about mineral and coal mining, will support the<br />

effort of optimizing supply and demand of the coal in Indonesia in the future time.<br />

Keyword: nowadays, future, coal, utilization<br />

Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

55


1. PENDAHULUAN<br />

Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja<br />

terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga<br />

batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi.<br />

Di samping kondisi global tersebut, menimbang<br />

ca<strong>dan</strong>gan minyak bumi Indonesia yang semakin<br />

menipis, pemanfaatan batubara di dalam negeri<br />

menjadi semakin penting sejalan dengan<br />

ditemukannya ca<strong>dan</strong>gan batubara yang besar,<br />

hingga kini sumber daya mencapai 104,75 milyar<br />

ton <strong>dan</strong> ca<strong>dan</strong>gan 22,25 milyar ton. Selain itu,<br />

a<strong>dan</strong>ya kebijaksanaan energi nasional mengenai<br />

diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan<br />

batubara di berbagai segmen pasar (industri) di<br />

wilayah Indonesia. Pemberlakuan UU No 4 Tahun<br />

2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara,<br />

akan mendukung untuk menciptakan keamanan<br />

pasokan energi nasional secara berkelanjutan <strong>dan</strong><br />

pemanfaatan energi secara efisien, serta<br />

terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal<br />

pada tahun 2025.<br />

Segmen pasar yang menggunakan batubara<br />

sebagai bahan bakar meliputi PLTU, industri semen,<br />

industri kertas, industri tekstil, industri<br />

peleburan (metalurgi), <strong>dan</strong> industri lainnya, serta<br />

pemanfaatan batubara untuk briket batubara.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan Upgrading Brown Coal (UBC),<br />

Gasifikasi Batubara <strong>dan</strong> Pencairan batubara adalah<br />

arah pemanfaatan batubara untuk masa<br />

mendatang.<br />

2. METODOLOGI<br />

Kegiatan penelitian ini dilakukan di 11 lokasi di<br />

Indonesia, yaitu Propinsi Sumatera Utara, Sumatera<br />

Barat, Sumatera Selatan, Kalimanatan Timur,<br />

Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi<br />

Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, <strong>dan</strong> Jawa<br />

Tengah. Seluruh daerah (propinsi) ini dianggap dapat<br />

mewakili produsen maupun konsumen batubara<br />

di Indonesia. Metoda dalam kajian ini, adalah menghubungkan<br />

hasil-hasil penelitian survei sampling<br />

secara langsung seperti ke PLTU, industri semen,<br />

tekstil, kertas, <strong>dan</strong> lainnya untuk mendapatkan<br />

data primer dengan hasil-hasil publikasi dari instansi<br />

terkait sebagai data skunder. Se<strong>dan</strong>gkan model<br />

pengolahan <strong>dan</strong> teknik analisis yang digunakan<br />

adalah statistka deskriptif <strong>dan</strong> trend analysis.<br />

3. POTENSI SUMBER DAYA DAN<br />

CADANGAN<br />

Jumlah sumber daya <strong>dan</strong> ca<strong>dan</strong>gan batubara Indonesia<br />

setiap tahun terus bertambah,<br />

berdasarkan perhitungan Pusat <strong>Sumber</strong> Daya<br />

Geologi, <strong>Departemen</strong> <strong>Energi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Sumber</strong> Daya<br />

Mineral. Kondisi saat ini, tahun 2008, jumlah<br />

sumber daya adalah sebesar 104,75 miliar ton,<br />

dengan jumlah ca<strong>dan</strong>gan sebesar 22,25 miliar ton<br />

(Gambar 1). <strong>Sumber</strong> daya batubara tersebut<br />

tersebar di 19 propinsi, 6 pulau, namun terbesar<br />

terutama di Pulau Sumatera <strong>dan</strong> Kalimantan<br />

sebanyak masing – masing 50,15% <strong>dan</strong> 49,56%.<br />

4. PENGUSAHAAN BATUBARA<br />

4.1. Pola Pengusahaan Batubara<br />

Ijin pengusahaan batubara di Indonesia secara<br />

garis besar dibedakan dalam tiga pola, Ba<strong>dan</strong><br />

Usaha Milik Negara (BUMN), Perjanjian Kerjasama<br />

Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B),<br />

<strong>dan</strong> Kuasa Pertambangan (KP). Namun dengan<br />

di telah disyahkannya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No 4 Tahun<br />

2009 tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong><br />

Batubara, maka ke depan sistim perijinan hanya<br />

ada satu jenis, yaitu Ijin Usaha Pertambangan<br />

(IUP) untuk satu wilayah tertentu.<br />

4.2. Tingkat Produksi Batubara<br />

Sejalan dengan upaya penganekaragaman energi<br />

<strong>dan</strong> peningkatan kebutuhan batubara, baik untuk<br />

pemakaian domestik maupun pasar ekspor,<br />

produksi batubara selama 16 tahun terakhir telah<br />

menunjukkan peningkatan yang cukup pesat,<br />

dengan kenaikan produksi rata-rata per tahun secara<br />

nasional adalah 17,04%. Pada tahun 2008 produksi<br />

batubara nasional telah mencapai 233,62 juta ton.<br />

Dalam kurun waktu tersebut (1992 – 2008) telah<br />

terjadi perubahan distribusi produksi yang signifikan.<br />

PKP2B memegang peranan yang cukup menonjol<br />

sekitar 75,76% dengan pertumbuhan 16,93%<br />

pertahun. Se<strong>dan</strong>gkan peran KP awalnya relatif<br />

masih kecil di bawah BUMN (PTBA), namun<br />

setelah digulirkannya otda ada peningkatan yang<br />

cukup berarti dengan tingkat pertumbuhan ratarata<br />

21,02% pertahun (Tabel 1).<br />

56 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Gambar 1. Distribusi <strong>Sumber</strong> Daya Batubara Indonesia<br />

Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

57


Tabel 1. Jumlah produksi batubara Indonesia<br />

menurut kelompok perusahaan, tahun<br />

1992 – 2008<br />

Tahun<br />

Produksi (x000Ton)<br />

PTBA PKP2B KP<br />

Jumlah<br />

1992 7.103 14.281 1.654 15.935<br />

1993 7.374 18.874 1.597 20.470<br />

1994 6.707 23.477 2.408 25.885<br />

1995 7.979 29.576 4.286 33.862<br />

1996 9.230 37.815 3.926 41.741<br />

1997 9.965 40.602 4.467 45.069<br />

1998 9.859 47.057 5.123 52.180<br />

1999 11.207 57.604 4.966 62.570<br />

2000 10.746 61.707 4.682 66.389<br />

20<strong>01</strong> 10.212 76.532 5.796 82.328<br />

2002 9.482 87.078 6.812 93.890<br />

2003 10.027 96.300 7.951 104.251<br />

2004 8.707 113.171 10.474 123.645<br />

2005 8.607 145.992 10.994 156.986<br />

2006 9.292 164.713 22.533 187.246<br />

2007 8.555 171.570 36.805 208.375<br />

2008 10.138 176.993 46.489 233.620<br />

(%) 2,07 16,93 21,02 17,04<br />

<strong>Sumber</strong> : DPPMB <strong>dan</strong> APBI, 2009 (diolah Kembali)<br />

4.3. Tingkat Penjualan Batubara<br />

4.3.1 Penjualan batubara dalam negeri<br />

Jumlah penjualan batubara di dalam negeri tahun<br />

1992 sebesar 7,288 juta ton, se<strong>dan</strong>gkan pada tahun<br />

2008 mencapai 73,925 juta ton (Tabel 2), yang<br />

berarti setiap tahun penjualannya rata-rata<br />

meningkat sebesar 17,17%. Tahun 2008,<br />

perusahaan pemegang PKP2B merupakan<br />

pemasok batubara dalam negeri yang terbesar,<br />

yaitu sebesar 54,85% dari jumlah seluruh<br />

kebutuhan, diikuti oleh pemegang KP sebesar<br />

34,35 %, <strong>dan</strong> BUMN PTBA serbesar 10,80%.<br />

4.3.2 Penjualan batubara ekspor<br />

Kebutuhan batubara dunia saat ini ternyata<br />

meningkat sangat cepat, antara lain dipicu oleh<br />

booming harga <strong>dan</strong> semakin banyaknya<br />

pembangunan PLTU di luar negeri yang<br />

menggunakan bahan bakar batubara, serta kran<br />

ekspor China ditutup. Hal ini yang mengantarkan<br />

Indonesia sebagai pemasok (eksportir) terbesar<br />

menyaingi Australia <strong>dan</strong> Afrika Selatan. Ekspor<br />

batubara Indonesia pada tahun 1992 hanya sebesar<br />

16,288 juta ton, se<strong>dan</strong>gkan pada tahun 2008<br />

tercatat sebesar 158.921.318 juta ton (Tabel 3).<br />

Ini berarti volume ekspor rata-rata naik sebesar<br />

15,71%. Perusahaan pemegang PKP2B<br />

merupakan eksportir batubara terbesar, yaitu<br />

sekitar 89,87% dari jumlah ekspor batubara Indonesia,<br />

diikuti oleh pemegang KP sebesar 7,56%,<br />

<strong>dan</strong> BUMN sebesar 2,57%. Dengan a<strong>dan</strong>ya<br />

kecenderungan tersebut, maka kedepan perlu<br />

mencermatinya untuk melakukan pembatasan<br />

ekspor. Hal ini diperlukan untuk mengutamakan<br />

jaminan pasokan dalam negeri serta kegiatan<br />

peningkatan produksi yang mengacu pada konsep<br />

konservasi.<br />

5. PENGGUNAAN BATUBARA<br />

DI INDONESIA<br />

Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja<br />

terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga<br />

batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi.<br />

Ada yang berpendapat mungkin semakin<br />

meningkat karena permintaan yang jauh melebihi<br />

penawaran. Di samping kondisi global tersebut,<br />

menimbang ca<strong>dan</strong>gan minyak bumi Indonesia<br />

58 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Tabel 2.<br />

Jumlah penjualan dalam negeri batubara Indonesia<br />

menurut kelompok perusahaan, tahun 1992 – 2008<br />

Tahun<br />

Penjualan Batubara (Ton)<br />

BUMN PKP2B KP<br />

Jumlah<br />

1992 6.255.865 356.105 363.750 6.975.720<br />

1993 6.256.240 1.095.157 710.178 8.061.575<br />

1994 6.260.995 1.395.364 918.536 8.574.895<br />

1995 6.276.124 2.114.212 815.971 9.206.307<br />

1996 7.116.181 3.307.966 830.397 11.254.544<br />

1997 8.758.713 3.697.541 949.323 13.405.577<br />

1998 9.041.424 5.621.428 938.265 15.6<strong>01</strong>.117<br />

1999 9.606.984 8.892.304 813.262 19.312.550<br />

2000 9.064.646 12.830.377 454.764 22.349.787<br />

20<strong>01</strong> 8.276.895 18.356.321 756.773 27.389.989<br />

2002 7.621.538 20.549.044 1.086.421 29.257.003<br />

2003 7.662.<strong>01</strong>4 22.047.443 948.482 30.657.939<br />

2004 7.210.000 26.620.000 3.294.000 37.124.000<br />

2005 7.192.766 32.856.354 1.256.933 41.306.053<br />

2006 6.754.874 34.132.185 10.623.920 51.510.979<br />

2007 6.735.775 36.194.420 21.209.915 64.140.110<br />

2008 7.980.228 40.550.480 25.394.119 73.924.826<br />

<strong>Sumber</strong> : DPPMB, 2009 (diolahKembali)<br />

Tabel 3.<br />

Jumlah Ekspor Batubara Indonesia Menurut<br />

Kelompok Perusahaan, Tahun 1992 – 2008<br />

Tahun<br />

Ekspor Batubara (Ton)<br />

BUMN PKP2B KP<br />

Jumlah<br />

1992 1.005.713 14.024.212 1.268.581 16.298.506<br />

1993 1.153.366 16.083.168 1.454.827 18.691.361<br />

1994 1.565.829 21.834.777 1.975.097 25.375.703<br />

1995 2.160.221 25.895.977 3.262.585 31.318.783<br />

1996 2.<strong>01</strong>1.714 31.584.755 2.835.131 36.431.600<br />

1997 1.816.145 36.715.815 3.195.381 41.727.341<br />

1998 1.539.985 41.435.969 4.230.247 47.206.2<strong>01</strong><br />

1999 2.239.875 48.979.616 4.548.195 55.767.686<br />

2000 2.142.138 52.225.381 4.152.973 58.520.492<br />

20<strong>01</strong> 1.894.973 53.886.444 3.852.104 59.633.521<br />

2002 1.854.957 66.5<strong>01</strong>.537 5.822.364 74.178.858<br />

2003 2.239.363 76.387.034 7.053.875 85.680.272<br />

2004 2.712.000 85.913.000 4.085.000 92.710.000<br />

2005 2.492.2<strong>01</strong> 99.495.994 4.799.233 106.787.428<br />

2006 2.848.534 127.734.782 13.386.233 143.969.550<br />

2007 3.955.077 142.597.966 12.022.0<strong>01</strong> 158.575.044<br />

2008 4.079.475 142.819.842 12.022.0<strong>01</strong> 158.921.318<br />

<strong>Sumber</strong> : DPPMB, 2009 (diolah Kembali)<br />

Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

59


yang semakin menipis, pemanfaatan batubara di<br />

dalam negeri menjadi semakin penting sejalan<br />

dengan ditemukannya ca<strong>dan</strong>gan batubara yang<br />

besar yang terus meningkat, yang hingga kini<br />

sumber daya mencapai 104,75 miliar ton <strong>dan</strong><br />

ca<strong>dan</strong>gan 22,25 miliar ton. Selain itu, a<strong>dan</strong>ya<br />

kebijaksanaan energi nasional mengenai<br />

diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan<br />

batubara di berbagai segmen pasar di wilayah Indonesia.<br />

Segmen pasar yang menggunakan<br />

batubara sebagai bahan bakar meliputi PLTU,<br />

industri semen, industri kertas, industri tekstil,<br />

industri peleburan (metalurgi), <strong>dan</strong> industri lainnya,<br />

serta pemanfaatan batubara untuk briket batubara.<br />

Penggunaan batubara dalam negeri masih<br />

didominasi oleh PLTU, yaitu 69,61% dari<br />

kebutuhan batubara nasional, kemudian diikuti oleh<br />

industri semen sebesar 14,48%. Trend<br />

penggunaan batubara pada industri kertas <strong>dan</strong><br />

tekstil, serta industri lainnya terus meningkat,<br />

kecuali pada industri metalurgi <strong>dan</strong> briket batubara<br />

perkembangan penggunaan batubara berfluktuatif<br />

<strong>dan</strong> cenderung tetap. (Tabel 4).<br />

5.1. PLTU<br />

PLTU merupakan industri yang paling banyak<br />

menggunakan batubara sebagai bahan bakar pada<br />

boiler untuk mendidihkan air menjadi uap air.<br />

Kemudian uap air tersebut digunakan untuk<br />

menggerakan turbin pembangkit listrik. Tercatat<br />

dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada<br />

tahun 2008 sebesar 36,575 juta ton, 69,61% di<br />

antaranya digunakan oleh PLTU. Hingga saat ini,<br />

PLTU berbahan bakar batubara, baik milk PLN<br />

maupun yang dikelola swasta, ada 13 PLTU, dua<br />

di antaranya paling banyak menggunakan<br />

batubara sebagai bahan bakar utamanya adalah<br />

PLTU Suralaya <strong>dan</strong> PLTU Paiton.<br />

PLTU Suralaya dikelola PT. Indonesia Power<br />

memiliki 7 unit pembangkit dengan total kapasitas<br />

terpasang 3.400 MW menggunakan batubara<br />

sebesar 13,454 juta ton per tahun. Pemasok<br />

utama batubara untuk PLTU Suralaya, se<strong>dan</strong>gkan<br />

sisanya dipasok dari beberapa perusahaan di<br />

Kalimantan, antara lain dari PT. Kideco Jaya<br />

Agung, PT. Arutmin, PT. Adaro <strong>dan</strong> PT. Berau Coal.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan di kawasan PLTU Paiton ada tiga operator<br />

pembangkit, yakni unit 1 <strong>dan</strong> 2 kapasitas<br />

800 MW yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa<br />

Bali (PJB), unit 5 <strong>dan</strong> 6 kapasitas 1.230 MW yang<br />

dikelola perusahaan swasta PT Java Power <strong>dan</strong><br />

unit 7 <strong>dan</strong> 8 yang dikelola PT Paiton Energy<br />

dengan kapasitas 1.230 MW. Total batubara yang<br />

dibutuhkan sekitar 12,144 juta ton per tahun.<br />

Batubara yang digunakan sebagian besar dipasok<br />

dari Pulau Kalimantan, seperti PT Adaro Indonesia,<br />

PT Jorong Barutama, PT Daya Citra Mulia,<br />

<strong>dan</strong> lain-lain.<br />

Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2008,<br />

penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya<br />

meningkat rata-rata 13,37% (Tabel 5). Hal tersebut<br />

sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai<br />

dampak permintaan listrik yang terus meningkat.<br />

Peranan PLTU pada pembangkit tenaga listrik<br />

nasional adalah yang terbesar, yaitu 54,0%.<br />

Dalam upaya mengantisipasi kekurangan listrik<br />

<strong>dan</strong> untuk meningkatkan efisiensi pemakaian<br />

BBM secara nasional, pemerintah telah membuat<br />

rencana pembangunan sebanyak 40 PLTU dengan<br />

daya terpasang sebesar 10.000 MW, 10 PLTU di<br />

antaranya akan dibangun di Pulau Jawa dengan<br />

kapasitas 7.460 MW <strong>dan</strong> 30 sisanya dibangun di<br />

berbagai daerah di Indonesia dengan kapasitas<br />

2.540 MW (lihat Tabel 6). Total kapasitas PLTU<br />

batubara yang dimiliki PLN <strong>dan</strong> Swasta saat ini<br />

sebesar 9.470 MW dengan mengkonsumsi<br />

batubara sekitar 36,575 juta ton per tahun.<br />

Untuk merealisasikan rencana tersebut,<br />

pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 71<br />

Tahun 2006 telah menunjuk PLN untuk melakukan<br />

Percepatan Pembangunan PLTU batubar 10.000<br />

MW yang diharapkan siap beroperasi tahun 2<strong>01</strong>0.<br />

Langkah ini merupakan upaya strategis untuk<br />

meningkatkan rasio elektrifikasi serta menyehatkan<br />

bauran energi nasional dari ketergantungan pada<br />

BBM. Batubara yang dibutuhkan untuk 10 PLTU<br />

Sistem Kelistrikan Jawa sedikitnya 25,5 juta ton<br />

per tahun, se<strong>dan</strong>gkan batubara yang dibutuhkan<br />

untuk 30 PLTU Sistem Kelistrikan Luar Jawa<br />

sedikitnya 7,0 juta ton per tahun.<br />

Proyek percepatan 10.000 MW mengalami<br />

kemajuan signifikan. Laporan yang disampaikan<br />

kepada Menteri ESDM per tanggal 8 Mei 2009<br />

menyebutkan bahwa untuk 10 proyek yang<br />

berlokasi di Jawa, sebanyak 7.460 MW telah<br />

memasuki tahap kontrak <strong>dan</strong> tahap kontruksi,<br />

dengan total kontrak mencapai Rp<br />

17.279.783.223.885,40 <strong>dan</strong> USD 4.967.674.659,33.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan dari 30 proyek pembangunan PLTU di<br />

luar Jawa, sebanyak 22 proyek dengan total<br />

kapasitas 1.960 MW <strong>dan</strong> total kontrak mencapai<br />

Rp 7.928.031.007.168,64 <strong>dan</strong> USD<br />

1.161.131.981,64.<br />

60 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Tabel 4. Konsumsi batubara menurut jenis industri di Indonesia Tahun 1998 - 2008<br />

(Ton)<br />

Jenis Industri 1998 1999 2000 20<strong>01</strong> 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />

PLTU 10.911.341 13.047.717 13.943.613 19.165.256 21.902.161 23.810.054 23.492.328 26.337.906 27.828.338 35.137.318 36.575.060<br />

Semen 1.265.123 2.308.691 3.366.824 5.541.088 4.883.003 4.692.819 5.653.992 6.023.248 5.430.749 6.487.245 7.609.<strong>01</strong>2<br />

Industri Tekstil - - - - - - - 1.307.610 3.068.115 3.956.540 4.193.932<br />

Industi Kertas 692.737 805.397 766.549 804.202 471.751 1.680.304 1.106.227 2.272.443 2.206.866 2.411.428 2.518.887<br />

Metalurgi 144.907 123.226 134.393 220.666 236.802 225.907 122.827 160.490 299.990 282.73 282.730<br />

Briket 29.963 38.302 36.799 31.265 24.708 24.976 23.506 28.267 36.<strong>01</strong>8 25.120 25.643<br />

Lain-lain 2.600.550 2.573.355 5.545.609 2.407.667 3.792.481 4.990.000 5.619.079 417.583 979.797 1.263.514 1.339.325<br />

Jumlah 15.644.621 18.896.688 23.793.787 28.170.144 31.310.907 35.424.061 36.<strong>01</strong>7.958 36.547.548 39.849.874 49.563.895 52.544.589<br />

Seumber :DPPMB <strong>dan</strong> hasil survei <strong>tekMIRA</strong>, 2006,2008 (diolah kembali)<br />

Tabel 5. Penggunaan batubara pada pltu di indonesia, 1998 – 2008 (Ton)<br />

(Ton)<br />

PLTU 1998 1999 2000 20<strong>01</strong> 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />

Ombilin 102,607 125,1<strong>01</strong> 119,408 374,894 665,363 663,967 824,855 547,905 631,000 631,000<br />

Bukit Asam 1,200,034 1,231,174 1,192,452 1,153,974 1,057,564 1,142,646 1,090,774 1,080,000 1,068,000 929,000 929,000<br />

Tarahan 706,000 1,000,800<br />

Suralaya (PTIP) 7,456,766 8,251,561 9,671,230 9,819,920 9,774,871 11,225,218 10,636,155 12,440,5<strong>01</strong> 13,092,252 12,648,782 13,454,763<br />

Cilacap 2,000,000 2,000,000<br />

Tanjung Jati B 4,000,000 4,000,000<br />

Paiton 2,151,933 3,368,916 2,457,345 6,276,104 8,300,753 9,060,889 9,310,009 10,180,731 11,503,072 11,819,337 12,144,298<br />

Asam-Asam 127,083 488,147 568,436 568,000 554,307 600,000 664,666 638,000 650,000<br />

PT. Newmont Sumbawa 70,965 376,095 406,132 477,610 480,000 482,578 506,637 505,839 506,399 506,399<br />

PT. Freeport 646,085 1,057,564 669,334 593,650 623,333 635,709 720,000 720,000<br />

PT. Tonasa 300,000 300,000 300,000 300,000<br />

Mpanau 180,000 180,000<br />

Lati - Berau 58,800 58,800 58,800 58,800<br />

Jumlah 10,911,341 13,047,717 13,943,613 19,165,256 21,902,161 23,810,054 23,492,328 26,337,906 27,828,338 35,137,318 36,575,060<br />

Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

61


Tabel 6.<br />

Rencana pembangunan PLTU 10.000 MW Tahap I<br />

Nama Proyek / Lokasi<br />

Propinsi<br />

Kapasitas Kebutuhan Batubara<br />

(MW)<br />

(Ton)<br />

Pulau Jawa<br />

1 PLTU Labuan Banten 1 300 1.079.545<br />

2 PLTU Suralaya Baru Banten 2 660 4.750.000<br />

3 PLTU Teluk Naga Banten 2 300 2.159.091<br />

4 PLTU Jabar Selatan Jawa Barat 2 300 2.159.091<br />

5 PLTU Jabar Utara Jawa Barat 2 300 2.159.091<br />

6 PLTU Tanjung Jati Baru Jawa Tengah 1 660 2.375.000<br />

7 PLTU Rembang Jawa Tengah 2 300 2.159.091<br />

8 PLTU Jatim Selatan, Pacitan Jawa Timur 2 300 2.159.091<br />

9 PLTU Tanjung Awar-Awar Jawa Timur 1 600 2.159.091<br />

10 PLTU Paiton Baru Jawa Timur 2 600 4.318.182<br />

Jumlah 17 25.477.273<br />

Di luar Pulau Jawa<br />

1 PLTU Meulaboh NAD 2 65 467.803<br />

2 PLTU Sibolga Baru Sumatera Utara 2 100 719.697<br />

3 PLTU Me<strong>dan</strong> Baru Sumatera Utara 2 100 719.697<br />

4 PLTU Sumbar Pesisir Selatan Sumatera Barat 2 100 719.697<br />

5 PLTU Mantung Bangka Belitung 2 10 71.970<br />

6 PLTU Air Anyer Bangka Belitung 2 10 71.970<br />

7 PLTU Bangka Baru Bangka Belitung 2 25 179.924<br />

8 PLTU Belitung Baru Bangka Belitung 2 15 107.955<br />

9 PLTU Bengkalis Riau 2 7 50.379<br />

10 PLTU Selat Panjang Riau 2 5 35.985<br />

11 PLTU Tj. Balai Kerimun Baru Kepulauan Riau 2 7 50.379<br />

12 PLTU Tarahan Baru Lampung 2 100 719.697<br />

13 PLTU Pontianak Baru kalimantan Barat 2 25 179.924<br />

14 PLTU Singkawang Baru kalimantan Barat 2 50 359.848<br />

15 PLTU Asam-Asam Kalimantan Selatan 2 65 467.803<br />

16 PLTU Palangkaraya Kalimantan Selatan 2 65 467.803<br />

17 PLTU Sampit Baru Kalimantan Tengah 2 7 50.379<br />

18 PLTU Amurang Baru Sulawesi Utara 2 25 179.924<br />

19 PLTU Sulut Baru Sulawesi Utara 2 25 179.924<br />

20 PLTU Gorontalo Baru Gorontalo 2 25 179.924<br />

21 PLTU Bone Sulawesi Selatan 2 50 359.848<br />

22 PLTU Kendari Sulawesi Tenggara 2 10 71.970<br />

23 PLTU Bima Nusa Tenggara Barat 2 7 50.379<br />

24 PLTU Lombok Batu Nusa Tenggara Barat 2 25 179.924<br />

25 PLTU Ende Nusa Tenggara Timur 2 7 50.379<br />

26 PLTU Kupang Baru Nusa Tenggara Timur 2 15 107.955<br />

27 PLTU Ambon Baru Maluku 2 7 50.379<br />

28 PLTU Ternate Maluku Utara 2 7 50.379<br />

29 PLTU Timika Papua 2 7 50.379<br />

30 PLTU Jayapura Papua 2 10 71.970<br />

Jumlah 7.024.242<br />

Jumlah seluruh 32.5<strong>01</strong>.515<br />

<strong>Sumber</strong> : Peraturan Presiden Republik Indonesia No 71 Tahun 2006<br />

62 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


5.2. Industri Semen<br />

Industri semen merupakan konsumen batubara<br />

kedua terbesar setelah PLTU. Saat ini terdapat 9<br />

perusahaan semen yang terletak di beberapa<br />

wilayah di Indonesia. Pemanfaatan batubara pada<br />

industri semen, digunakan sebagai bahan bakar<br />

pada tanur putar untuk proses pembuatan klinker<br />

sebelum menjadi semen.<br />

Tahun 2008, tercatat sekitar 14,48% kebutuhan<br />

batubara dalam negeri digunakan oleh industri<br />

semen atau 7,609 juta ton. Perusahaan semen<br />

yang paling banyak menggunakan batubara adalah<br />

PT. Indocement Tunggal Perkasa, yaitu sebesar<br />

2,763 juta ton. Perusahaan ini memiliki tiga pabrik<br />

di lokasi yang berbeda, yaitu di Cibinong, Cirebon<br />

(Propinsi Jawa Barat), <strong>dan</strong> Tarjun Kabupaten<br />

Kotabaru (Propinsi Kalimantan Selatan).<br />

Berikutnya adalah PT. Semen Gresik dengan<br />

kebutuhan 1,395 juta ton, PT. Semen Holcim 1,102<br />

juta ton, PT Semen Pa<strong>dan</strong>g 1,005 juta ton PT.<br />

Semen Tonasa 0,828 juta ton, <strong>dan</strong> yang lainnya<br />

di bawah 0,5 juta ton, sementar PT Semen<br />

Kupang produksinya tersendat serta dalam proses<br />

akuisisi oleh Perusahaan India, se<strong>dan</strong>gkan PT<br />

Semen Andalas dalam proses akhir rekontruksi<br />

setelah terkena gelombang tsunami.<br />

Selama sepuluh tahun terakhir ini, perkembangan<br />

penggunaan batubara pada industri semen<br />

berfluktuasi. Antara tahun 1998-20<strong>01</strong>, pemakaian<br />

batubara rata-rata naik sangat signifikan, yaitu<br />

64,03%, namun pada tahun 2002 <strong>dan</strong> 2003 sempat<br />

mengalami penurunan hingga 9,81% <strong>dan</strong> 5,36%.<br />

Penurunan ini sangat dipengaruhi oleh a<strong>dan</strong>ya<br />

penurunan produksi di beberapa perusahaan semen,<br />

PT. Indocement Tunggal Prakarsa <strong>dan</strong> PT.<br />

Semen Gresik. Memasuki tahun 2004 hingga tahun<br />

2008 cenderung meningkat hanya sempat<br />

menurun pada tahun 2006, kebutuhan batubara<br />

pada industri semen mengalami perubahan yang<br />

positif, yaitu 7,03%, seiring perkembangan ekonomi<br />

yang mulai membaik di dalam negeri (Tabel 7).<br />

5.3. Industri Tekstil<br />

Industri tekstil memiliki tingkat ketergantungan<br />

yang tinggi terhadap bahan bakar minyak (BBM),<br />

karena biaya bahan bakar merupakan komponen<br />

terbesar di dalam biaya produksi. Menurut para<br />

pengusaha, perubahan pola penggunaan bahan<br />

bakar ke batubara merupakan salah satu alternatif<br />

yang sangat tepat karena mampu menekan biaya<br />

pengeluaran bahan bakar walaupun harus<br />

melakukan modifikasi terhadap boiler atau mengganti<br />

boiler yang baru yang berbahan bakar batubara.<br />

Batubara dalam industri tekstil digunakan pada<br />

boiler untuk memasak air menjadi uap. Uap yang<br />

dihasilkan digunakan untuk proses pencelupan.<br />

Beberapa industri tekstil dilengkapi oleh<br />

powerplant berbahan bakar batubara untuk<br />

memasak air menjadi uap. Uap yang dihasilkan<br />

digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit<br />

listrik. Listrik yang dihasilkan dimanfaatkan<br />

berbagai keperluan seperti menggerakan mesin<br />

produksi, penerangan, <strong>dan</strong> sebagainya.<br />

Seperti diperlihatkan pada Gambar 2,<br />

menunjukkan bahwa perkembangan jumlah<br />

perusahaan tekstil yang menggunakan batubara<br />

tampaknya akan terus meningkat. Hal ini dapat<br />

dilihat dari jumlah perusahaan tekstil pada tahun<br />

2003 hanya 18 perusahaan saja, namun pada tahun<br />

2008 sudah bertambah menjadi 328 perusahaan.<br />

Kebutuhan batubaranya pun meningkat sangat<br />

signifikan, yaitu dari 274.150 ton pada tahun 2003<br />

naik menjadi 4,194 juta ton pada tahun 2008.<br />

Dari sisi keberadaannya, industri tekstil di Indonesia<br />

terpusat di Pulau Jawa, yang sebagian besar<br />

terletak di Propinsi Jawa Barat, yaitu sekitar 240<br />

perusahaan (73,14%) dengan mengkonsumsi<br />

batubara sebesar 3,430 juta ton (81,79%).<br />

Kemudian disusul oleh Propinsi Jawa Tengah,<br />

Banten, <strong>dan</strong> Jawa Timur (lihat Tabel 8).<br />

5.4. Industri Kertas<br />

Seperti halnya pada perusahaan tekstil, batubara<br />

dalam industri kertas digunakan sebagai bahan<br />

bakar dimana energi panas yang dihasilkan<br />

digunakan untuk memasak air pada mesin uap.<br />

Uap yang dihasilkan dipergunakan untuk<br />

memasak/membuat pulp (bubur kertas).<br />

Terdapat 36 perusahaan kertas yang telah<br />

menggunakan batubara, 5 perusahaan masingmasing<br />

terdapat di Propinsi Banten, Jawa Barat <strong>dan</strong><br />

Jawa Tengah, 19 perusahaan di Propinsi Jawa Timur,<br />

<strong>dan</strong> 2 perusahaan di Propinsi Riau. Pada tahun<br />

2008, jumlah kebutuhan batubara untuk industri<br />

ini mencapai sekitar 2,519 juta ton. (Tabel 9).<br />

5.5. Industri Metalurgi<br />

Dari sisi jumlah industri metalurgi (pengecoran<br />

logam) yang telah menggunakan batubara sebagai<br />

bahan bakar pada proses produksinya dapat<br />

Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

63


Tabel 7. Konsumsi batubara pada industri semen 1998 – 2008 (ton)<br />

(Ton)<br />

Industri Semen 1998 1999 2000 20<strong>01</strong> 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />

PT. Semen Andalas 59.215 19.523 33.618 35.643 47.050 168.000 185.340 tp tp tp tp<br />

PT. Semen Pa<strong>dan</strong>g 262.721 469.754 483.262 474.430 680.637 692.392 454.214 678.124 782.277 850.000 1.004.847<br />

PT. Semen Baturaja 68.700 62.370 26.311 75.448 103.357 110.939 129.081 143.973 133.515 153.415 187.436<br />

PT. Semen Holcim Cilacap 14.850 454.140 397.060 397.085 472.457 375.375 416.833 409.420<br />

PT. Semen Holcim Narogong 577.607 379.376 397.772 451.<strong>01</strong>3 464.407 448.8<strong>01</strong> 545.849 554.583 862.765 1.026.441 1.102.396<br />

PT. Indocement TP (Cibinong) 42.908 528.655 547.973 1.509.569 1.<strong>01</strong>9.868 800.923 1.184.564 1.170.431<br />

PT. Indocement TP (Cirebon) 67.189 80.775 231.305 254.181 276.315 311.841 349.710 359.372 1.776.412 2.202.000 2.762.674<br />

PT. Indocement (Tanjung) 7.679 88.352 166.826 683.<strong>01</strong>8 155.3<strong>01</strong> 269.564 368.413 364.<strong>01</strong>8<br />

PT. Semen Gresik 75.829 99.975 793.465 912.029 862.606 715.172 1.063.638 1.141.529 1.065.157 116.529 131.147<br />

PT. Semen Tonasa 88.425 95.499 130.283 546.233 593.923 556.495 659.473 697.440 481.763 760.000 827.793<br />

PT. Bosowa Cement 30.271 151.324 202.439 207.082 243.317 296.876 252.180 328.860 328.860 328.860<br />

PT. Semen Kupang 151.323 202.438 207.082 243.317 296.876 252.179<br />

Jumlah 1.265.123 2.308.691 3.510.521 6.743.526 5.090.085 4.950.868 5.950.868 6.023.248 5.430.749 5.437.245 6.345.153<br />

Catatan : tp = tidak berproduksi<br />

<strong>Sumber</strong> :<br />

- PT. Semen Gresik, PT, Indocement-Cirebon, PT. Holcim-Cilacap, PT. Semen Tonasa, PT. Semen Bosowa, <strong>dan</strong> PT Semen Kupang (Survei <strong>tekMIRA</strong> 2006)<br />

- Asosiasi Semen Indonesia, 2006<br />

- DPPMB, 2008<br />

64 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Gambar 2. perkembangan perusahaan tekstil pemakai batubara di indonesia tahun 2003 – 2008<br />

Tabel 8.<br />

Industri tekstil berbahan bakar batubara di Indonesia,<br />

menurut Provinsi, Tahun 2008<br />

No. Lokasi<br />

Jumlah Perusahaan Kebutuhan Batubara<br />

(Buah)<br />

(Ton/Tahun)<br />

1 Banten 15 423.406<br />

2 Jawa Barat 240 3.430.393<br />

3 Jawa Tengah 68 292.433<br />

4 Jawa Timur 5 47.700<br />

5 Luar Jawa 0 0<br />

Jumlah 328 4.193.932<br />

Tabel 9.<br />

Industri kertas berbahan bakar batubara di Indonesia<br />

No. Lokasi<br />

Jumlah Perusahaan Kebutuhan Batubara<br />

(Buah)<br />

(Ton/Tahun)<br />

1 Banten 5 620.440<br />

2 Jawa Barat 5 145.661<br />

3 Jawa Tengah 5 46.479<br />

4 Jawa Timur 19 1.100.916<br />

5 Riau 2 605.391<br />

Jumlah 36 2.518.887<br />

Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

65


dikatakan relatif tidak bertambah, padahal dari sisi<br />

potensi masih banyak perusahaan yang belum<br />

menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya.<br />

Perkembangan kebutuhan batubara oleh industri<br />

metalurgi berfluktuasi, namun ada trend<br />

perkembangan yang meningkat sejalan dengan<br />

tingkat produksi perusahaan (Tabel 10).<br />

Tabel 10. Perkembangan penggunaan<br />

batubara pada industri metalurgi,<br />

Tahun 1998 - 2008<br />

Tahun Pemakaian Batubara (Ton)<br />

1998 144.907<br />

1999 123.226<br />

2000 134.393<br />

20<strong>01</strong> 220.666<br />

2002 236.802<br />

2003 225.907<br />

2004 122.827<br />

2005 183.530<br />

2006 299.990<br />

2007 282.730<br />

2008 *) 321.213<br />

<strong>Sumber</strong> : DPPMB, 2008 (diolah kembali)<br />

*) perkiraan<br />

industri rumahan tertentu sebagai bahan bakar,<br />

seperti industri pengeringan gerabah, pembakaran<br />

bata, tahu/tempe, katering/restoran, tepung ikan,<br />

pemin<strong>dan</strong>gan ikan, kerupuk, pengeringan bawang,<br />

pengeringan tembakau, pembakaran kapur, <strong>dan</strong><br />

obat nyamuk. Namun yang paling dominan <strong>dan</strong><br />

memasyarakat penggunaan briket batubara adalah<br />

pada peternakan ayam, yaitu sebagai penghangat<br />

anak ayam.<br />

Tabel 11. Perkembangan penggunaan<br />

batubara pada Industri briket<br />

batubara, Tahun 20<strong>01</strong> – 2008<br />

Tahun Pemakaian Batubara (Ton)<br />

20<strong>01</strong> 31.265<br />

2002 24.708<br />

2003 24.976<br />

2004 17.963<br />

2005 32.<strong>01</strong>0<br />

2006 36.<strong>01</strong>8<br />

2007 25.120<br />

2008 *) 25.643<br />

<strong>Sumber</strong> : DPPMB, 2008 (diolah kembali)<br />

*) perkiraan<br />

Di samping industri metalurgi, masih banyak<br />

industri lainnya yang menggunakan batubara<br />

sebagai bahan bakar dalam mendukung proses<br />

produksinya, antara lain industri makanan, kimia,<br />

pengecoran logam, karet ban, pembakaran kapur,<br />

<strong>dan</strong> lainnya, termasuk beberapa jenis industri<br />

kecil. Berdasarkan survai sampling tahun 2008,<br />

di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang telah<br />

menggunakan batubara dengan total kebutuhan<br />

diperkirakan mencapai 342.850 ton.<br />

5.6. Briket Batubara<br />

Briket batubara merupakan energi alternatif atau<br />

pengganti minyak tanah <strong>dan</strong> kayu bakar yang<br />

paling murah <strong>dan</strong> dimungkinkan untuk<br />

dikembangkan secara masal, mengingat teknologi<br />

<strong>dan</strong> peralatan yang digunakan relatif sederhana.<br />

Di Indonesia, pengembangan briket batubara<br />

diperkenalkan sejak tahun 1993, namun hingga<br />

kini tidak dapat berkembang dengan baik. Hal<br />

tersebut dapat dilihat perkembangan briket<br />

batubara selama kurun waktu 20<strong>01</strong> – 2008 yang<br />

fluktuatif (lihat Tabel 11). Di masyarakat, pemanfaatan<br />

briket batubara digunakan pada industri kecil atau<br />

5.7. Industri Lainnya<br />

Di samping industri yang disebutkan di atas, masih<br />

banyak industri lainnya yang menggunakan<br />

batubara sebagai bahan bakar dalam mendukung<br />

proses produksinya, antara lain industri makanan,<br />

kimia, pengecoran logam, karet ban, pembakaran<br />

kapur, <strong>dan</strong> lainnya, termasuk beberapa jenis<br />

industri kecil. Berdasarkan survai sampling tahun<br />

2008, di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang<br />

telah menggunakan batubara dengan total<br />

kebutuhan diperkirakan mencapai 342.850 ton.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan kebutuhan batubara untuk industri<br />

lainnya secara menyeluruh (nasional) diperkirakan<br />

tidak kurang dari 1,339 juta ton.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan potensi pemanfaatan ke depan adalah<br />

pada pengusahaan Upgraded Brown Coal (UBC),<br />

yang merupakan suatu proses untuk meningkatkan<br />

nilai kalori batubara melalui penurunan kadar air.<br />

Kelitbangan UBC telah sampai pada skala demo<br />

plant 1.000 ton/hari. Selain itu potensi gasifikasi<br />

batubara untuk industri kecil menengah, seperti<br />

halnya yang telah berhasil pada industri pengeringan<br />

teh. Potensi lainnya adalah pencairan batubara.<br />

66 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Sebelumnya telah melakukan upaya<br />

pengembangan teknologi BCL, karena belum<br />

terbukti (unprovent) terjadi kemandegan. Saat ini<br />

alternatif yang se<strong>dan</strong>g dijajagi adalah menerapkan<br />

teknologi Sasol, namun belum ada kesepakatan<br />

yang mengikat, <strong>dan</strong> perlu bernegosiasi lanjutan.<br />

6. MASA DEPAN BATUBARA INDONESIA<br />

Menyimak berbagai keberhasilan kinerja<br />

pertambangan batubara di Indonesia dimasa lalu<br />

hingga masa kini, potensi sumberdaya <strong>dan</strong><br />

ca<strong>dan</strong>gan yang besar, a<strong>dan</strong>ya peluang sekaligus<br />

tantang, <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya kebijakan-kebijakan yang<br />

terkait, maka batubara Indonesia mempunyai<br />

prospek dimasa depan.<br />

• Pelaku Usaha Pertambangan<br />

Sampai dengan tahun 2008 perusahaan<br />

penambangan batubara di Indonesia dengan status<br />

PKP2B aktif berjumlah 76 perusahaan, yang<br />

terdiri dari 40 perusahaan PKP2B sudah produksi<br />

(9 dari Generasi I, 10 dari Generasi II <strong>dan</strong> 21dari<br />

Generasi III), 15 status konstruksi, 16 status studi<br />

kelayakan, <strong>dan</strong> 5 status eksplorasi. Se<strong>dan</strong>gkan<br />

jumlah Kuasa Pertambangan (KP) yang<br />

dikeluarkan di daerah yang terinventarisasi di<br />

Direktorat Jenderal Mineral, Batubara <strong>dan</strong> Panas<br />

Bumi sudah melebihi angka 500 KP, se<strong>dan</strong>gkan<br />

yang telah berproduksi 129 KP. Berkembangnya<br />

KP tersebut terjadi pada era otonomi<br />

daerah, khususnya sejak tahun 20<strong>01</strong> ketika<br />

dikeluarkannya PP 75 tahun 20<strong>01</strong>, yaitu ketika<br />

penegasan tentang pemberian Kuasa<br />

Pertambangan (KP) dilakukan oleh Pemerintah<br />

Daerah, yang berdasarkan aturan tersebut<br />

diberikan oleh bupati, gubernur atau menteri sesuai<br />

dengan kewenangannya. Dalam prakteknya<br />

sebagian besar dari KP yang dikeluarkan selama<br />

otonomi daerah tersebut diterbitkan oleh<br />

kabupaten. Hal ini dapat dimengerti karena untuk<br />

perizinan KP yang dikeluarkan oleh propinsi harus<br />

yang berbatasan antara sedikitnya 2 kabupaten,<br />

se<strong>dan</strong>gkan yang dikeluarkan menteri harus yang<br />

berbataskan sedikitnya 2 propinsi. Kriteria ini<br />

sangat jarang ditemui di lapangan, baik sengaja<br />

atau tidak sengaja.<br />

Peningkatan jumlah konsumsi yang sangat tajam<br />

yang disebabkan meningkat tajamnya permintaan<br />

batubara sebagai sumber energi terutama untuk<br />

pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun<br />

di negara-negara importir. Tidak mengherankan<br />

apabila sejalan dengan itu jumlah perusahaan<br />

pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh<br />

pesat khususnya dalam beberapa tahun terakhir.<br />

• Perkembangan Produksi<br />

Selama 16 tahun terakhir (1992-2008) produksi<br />

batubara Indonesia telah meningkat hampir 15 kali<br />

lipat, dari 15,935 juta juta ton menjadi 233,620<br />

juta ton, atau meningkat rata-rata per tahun<br />

17,04%, jauh di atas rata-rata dunia, 3,8%.<br />

Peningkatan produksi yang pesat didorong oleh<br />

meningkat tajamnya permintaan ekspor <strong>dan</strong><br />

permintaan dalam negeri. Jika diasumsikan<br />

pertumbuhan produksi tetap tinggi, maka pada<br />

tahun 2025 dapat mencapai 742 juta ton, namun<br />

APBI sejalan dengan kebijakan pemerintah telah<br />

memproyesikan yang cukup wajar sebesar 471<br />

juta ton.<br />

• Perkembangan Ekspor<br />

Saat ini pasar ekspor terbesar Indonesia adalah<br />

Jepang, Korea Selatan <strong>dan</strong> Taiwan, di samping<br />

China <strong>dan</strong> India yang merupakan buyer baru bagi<br />

Indonesia. Meningkatnya permintaan China <strong>dan</strong><br />

India di masa datang akan menambah tingginya<br />

kecenderungan permintaan ekspor. Belum a<strong>dan</strong>ya<br />

keseimbangan antara permintaan <strong>dan</strong> pemasokan<br />

batubara pada tataran dunia, terlihat dari tingginya<br />

tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia yang<br />

mencapai 15,51%. Pada satu sisi, hal tersebut<br />

merupakan peluang Indonesia untuk meningkatkan<br />

pangsa pasar ekspor. Tetapi dengan a<strong>dan</strong>ya<br />

kecenderungan tersebut, ke depan perlu<br />

mencermatinya untuk melakukan pengendalian<br />

atau pembatasan ekspor. Hal ini diperlukan untuk<br />

mengutamakan jaminan pasokan dalam negeri<br />

serta perkembangan tingkat produksi yang<br />

mengacu pada konsep konservasi. Lagi-lagi,<br />

proyeksi ekspor batubara tanpa a<strong>dan</strong>ya<br />

pembatasan, pada tahun 2025 akan mencapai<br />

509,3 juta ton, padahal kebijakan ekspor<br />

memproyeksikan sekitar 150 – 236 jua ton.<br />

• Perkembangan Penggunaan<br />

di Dalam Negeri<br />

Peran batubara sebagai energi akan semakin<br />

besar pada berbagai industri, khususnya<br />

pembangkit listrik di Indonesia maupun industri<br />

lain di berbagai belahan dunia. Diperkirakan di<br />

masa-masa mendatang peran minyak akan<br />

semakin berkurang, sebaliknya peran batubara <strong>dan</strong><br />

gas akan semakin besar.<br />

Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

67


Ketika semua proyek Percepatan pembangunan<br />

PLTU 10.000 MW telah beroperasi yang ditargetkan<br />

pada tahun 2<strong>01</strong>0, diperkirakan konsumsi batubara<br />

Indonesia akan mencapai 90 juta ton atau<br />

meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun<br />

2006. Jumlah tersebut terdistribusi pada PLTU<br />

sebesar 69,1 juta ton, industri semen 8,9 juta ton,<br />

industri tekstil 4,5 juta ton, industri kertas 3,0 juta<br />

<strong>dan</strong> industri lainnya sekitar 4,5 juta ton. Diperkirakan<br />

pada tahun 2025 konsumsi batubara dalam negeri<br />

mencapai 236 juta ton. Hal ini telah diproyeksikan<br />

sebagaimana termuat pada Blueprint Pengelolaan<br />

<strong>Energi</strong> Nasional 2<strong>01</strong>0-2025, yang menargetkan<br />

peranan batubara pada bauran energi nasional<br />

sebesar 34,4%, di luar peranan Bahan Bakar<br />

Batubara Cair (BBBC) sebesar 3,1% <strong>dan</strong> Coal Bed<br />

Methane (CBM) 3,3%.<br />

• Kebijakan<br />

Pemerintah baru saja menerbitkan “Blueprint”<br />

Pengelolaan <strong>Energi</strong> Nasional (BP PEN) 2<strong>01</strong>0-2025<br />

merupakan re-evaluasi BP PEN 2005-2025, yang<br />

akan menjadi dasar penyusunan pola pengembangan<br />

<strong>dan</strong> pemanfaatan energi secara nasional<br />

hingga 2025, dengan visi berupa terjaminnya energi<br />

dengan harga wajar untuk kepentingan nasional.<br />

Penyusunan “blueprint” merupakan tindak lanjut<br />

Peraturan Presiden (Perpres) No 5 Tahun 2006<br />

tentang Kebijakan <strong>Energi</strong> Nasional yang mengamanatkan<br />

Menteri ESDM menetapkan cetak biru<br />

tersebut.<br />

Di sisi lain dengan telah disyahkannya Un<strong>dan</strong>g-<br />

Un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan<br />

Mineral <strong>dan</strong> Batubara, mengisyaratkan pemerintah<br />

dapat mengoptimalkan pengelolaan batubara<br />

antara lain pengendalian produksi <strong>dan</strong> ekspor serta<br />

jaminan pasokan dalam negeri melalui Domestic<br />

Obligation Market (DMO) <strong>dan</strong> Penetapan Harga<br />

Batubara Nasional. Di samping itu mengenai<br />

perijinan pertambangan batubara hanya satu pola,<br />

yaitu dalam bentuk Ijin Usaha Pertambangan (IUP).<br />

Adapun PKP2B termasuk KP yang ada tetap<br />

dihormati sampai ijinnya berakhir, <strong>dan</strong> kemudian<br />

diberikan prioritas untuk mendapatkan IUP.<br />

Dengan a<strong>dan</strong>ya kebikan-kebijakan tersebut<br />

tentunya diharapkan akan dihasilkan pelaku<br />

pertambangan yang andal di bagian hulu<br />

(pertambangan batubara) dengan melakukan good<br />

mining practices, pengelolaan lingkungan, <strong>dan</strong><br />

pengembangan masyarakat (community development).<br />

Se<strong>dan</strong>gkan di bagian hilirnya merupakan<br />

bagian yang tidak terpisahkan dari KEN, yaitu<br />

untuk menjamin pengadaan energi nasional yang<br />

dapat diandalkan tanpa mengabaikan prinsip<br />

pembangunan yang berkelanjutan <strong>dan</strong> berwawasan<br />

lingkungan.<br />

6. PENUTUP<br />

Sektor pertambangan batubara sampai saat ini<br />

telah berhasil dalam menunjang Kebijakan <strong>Energi</strong><br />

Nasional. Keadaan ini terlihat dengan meningkatnya<br />

pemanfaatan batubara di berbagai pusat pembangkit<br />

listrik, pabrik semen, pabrik kertas, industri kimia,<br />

<strong>dan</strong> industri kecil. Pasar global telah dapat pula<br />

diterobos <strong>dan</strong> menempatkan Indonesia sebagai<br />

salah satu negara pengekspor batubara uap<br />

terbesar di dunia. Semua ini merupakan modal<br />

dasar bagi industri batubara Indonesia untuk terus<br />

berkembang dalam menunjang keberhasilan<br />

pengembangan energi nasional maupun global.<br />

Di samping peranan batubara yang cukup besar,<br />

maka tetap juga harus dijaga <strong>dan</strong> dijamin<br />

ketersediaannya dalam memenuhi kebutuhan akan<br />

energi di dalam negeri selama <strong>dan</strong> seekonomis<br />

mungkin. Oleh karena itu, pengelolaannya perlu<br />

dilaksanakan melalui kebijakan yang terpadu <strong>dan</strong><br />

sinergi dengan sektor-sektor pembangunan<br />

lainnya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jawa Barat, Jawa<br />

Tengah, 2008, Data Pemakaian Batubara Dan<br />

Boiler Tahun 2007.<br />

Asosiasi Semen Indonesia (ASI), 2006, Indonesia<br />

Cement Statistic 2005.<br />

Balai Pengelolaan Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong><br />

Wilayah, Distamben Provinsi Jawa Tengah,<br />

2008, Data Pemakaian Batubara Sebagai<br />

<strong>Sumber</strong> <strong>Energi</strong>.<br />

Dinas Tenaga Kerja Propinsi Banten, Jawa Barat<br />

<strong>dan</strong> Jawa Tengah, 2006, Daftar Industri yang<br />

Menggunakan Boiler Berbahan Bakar<br />

Batubara.<br />

Direktorat Pengusahaan Pertambangan Mineral,<br />

Batubara, <strong>dan</strong> Panas Bumi, 2008, Indonesia<br />

Mineral, Coal, and Geothermal Statistics 2008,<br />

Jakarta.<br />

68 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Presiden Republik Indonesia, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009<br />

tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara.<br />

____________, Peraturan Presiden Republik Indonesia<br />

No. 5. Tahun 2006 Tentang Kebijakan<br />

<strong>Energi</strong> Nasional.<br />

____________, Peraturan Presiden Republik Indonesia<br />

No. 71. Tahun 2006 Tentang<br />

Penugasan kepada PT. PLN untuk<br />

Melakukan Percepatan Pembangunan PLTU<br />

yang menggunakan batubara.<br />

Menteri ESDM, 2009, Blueprint Pengelolaan<br />

<strong>Energi</strong> Nasional 2<strong>01</strong>0-2025.<br />

Suherman I., dkk., 2006, Kajian Batubara Nasional<br />

2006, Puslitbang Teknologi <strong>dan</strong> Batubara<br />

(<strong>tekMIRA</strong>).<br />

Unit Bisnis Pembangkitan Suralaya, 2008,<br />

Perkembangan Produksi Listrik <strong>dan</strong><br />

Kebutuhan Bahan Bakar Batubara.<br />

Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

69


PENGEMBANGAN SISTEM DAN ALAT PEMANTAUAN<br />

SEDERHANA UNTUK MENDETEKSI KERUNTUHAN<br />

BATUAN ATAP (ROOF FAILURE) PADA TAMBANG<br />

BAWAH TANAH<br />

Zulfahmi 1) , Hasniati Astika 2) , Supriatna Mujahidin 3)<br />

1) Peneliti Madya<br />

2) Peneliti Pertama<br />

3) Teknisi Litkayasa Penyelia<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : zulfahmi@tekmira.esdm.go.id, hasni@tekmira.esdm.go.id, didit@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Keruntuhan batuan atap (Roof Failure) merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan<br />

pada tambang bawah tanah. Terdapat dua macam alat pemantauan yang dirancang, yaitu<br />

pengembangan alat pemantauan menggunakan Potensiometer transducer yang dapat mendeteksi<br />

pergerakan pada beberapa lapisan batuan atap <strong>dan</strong> pengembangan alat pemantauan menggunakan<br />

Linear Variable Differential Transducer (LVDT) yang hanya dapat mendeteksi pergerakan pada<br />

permukaan batuan atap saja. Sistem pemantauan yang digunakan terdiri dari alat pemantauan,<br />

datalogger sebagai perekam <strong>dan</strong> penyimpan data serta CPU komputer untuk pengolahan data. Dari<br />

hasil kalibrasi di studio <strong>dan</strong> ujicoba di salah satu tambang batubara bawah tanah, alat <strong>dan</strong> system<br />

yang diterapkan terbukti dapat digunakan sebagai sistem pemantauan terpusat dengan hasil yang<br />

signifikan, dimana semua alat pemantauan <strong>dan</strong> proses perekaman data dapat dioperasikan dari satu<br />

tempat sebagai sentral.<br />

<strong>Kata</strong> kunci : keruntuhan atap, lvdt, potensio, tambang bawah tanah<br />

ABSTRACT<br />

Roof failure is one of the main causes injuries that happened in the underground mine. Two type of<br />

monitoring tools have been designed, there was a development of monitoring tools using Potentiometer<br />

Transducer that can detect movement in some rock layers of the roof and Linear Variable Differential<br />

Transducer (LVDT) that can detect movement on the surface rock of the roof only. Monitoring<br />

system that developed consists of monitoring tools, data logger for record and storage tool and a<br />

computer for data processing. The result of a calibration in a studio and running test in one of the<br />

underground coal mine could be known that the monitoring tools and the system which applied can be<br />

used as a centralized monitoring system with a significant result, where all of the monitoring equipment<br />

and data recording process can operated from one place as a central.<br />

Keywords: roof failure, lvdt, potentiometer, underground mine<br />

70 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


1. LATAR BELAKANG<br />

Berdasarkan data yang diperoleh dari<br />

www.msha.gov dari tahun 2003 sampai dengan<br />

2007, 82% dari total kecelakaan pada tambang<br />

bawah tanah terjadi pada tambang batubara,<br />

24,50% diantaranya diakibatkan oleh keruntuhan<br />

atap selain yang disebabkan oleh ledakan gas <strong>dan</strong><br />

debu tambang <strong>dan</strong> juga kecelakaan pada<br />

pengangkutan (mine haulage). Dari data tersebut,<br />

keruntuhan batuan atap merupakan salah satu<br />

penyebab terbesar terjadinya kecelakaan pada<br />

tambang bawah tanah.<br />

Teknologi pengawasan secara dini sangat<br />

diperlukan, dengan tujuan utama untuk melakukan<br />

pengawasan <strong>dan</strong> mengetahui sedini mungkin<br />

kondisi tidak aman pada suatu lokasi tambang<br />

agar dapat ditanggulangi sebelumnya. Salahsatunya<br />

dengan merancang alat pemantauan sederhana<br />

dengan menggunakan peralatan yang mudah<br />

didapatkan di Indonesia.<br />

2. METODA PENELITIAN<br />

Metode penelitian yang diterapkan dalam kegiatan<br />

ini lebih mengarah kepada kajian terhadap perkembangan<br />

peralatan pemantauan keruntuhan batuan<br />

atap pada tambang bawah tanah. Diperoleh baik<br />

dari hasil studi pustaka maupun hasil penelusuran<br />

pada cybernet untuk mendapatkan metoda <strong>dan</strong><br />

dasar yang akan digunakan dalam perancangan<br />

sistem <strong>dan</strong> peralatan pemantauan. Selanjutnya<br />

dilakukan perancangan sampai didapatkan sistem<br />

<strong>dan</strong> peralatan yang layak digunakan dengan<br />

melakukan kalibrasi <strong>dan</strong> juga ujicoba.<br />

STUDI PUSTAKA/ CYBERNET<br />

Kajian teoritis tentang perkembangan sistem pemantauan<br />

& konsep sistem peringatan dini<br />

Dasar-dasar teori mengenai keruntuhan atap (roof failure)<br />

Konsep & Aplikasi peralatan<br />

PENENTUAN SISTEM & ALAT<br />

PEMANTAUAN<br />

PERANCANGAN &<br />

MODIFIKASI ALAT<br />

PERBAIKAN<br />

ALAT/PERUBAHAN<br />

SISTEM<br />

KALIBRASI<br />

UJICOBA ALAT & RUNNING TEST<br />

EVALUASI HASIL UJICOBA<br />

SESUAI<br />

STANDARD<br />

Tidak<br />

Ya<br />

ALAT PEMANTAUAN<br />

KERUNTUHAN ATAP<br />

Gambar 1.<br />

Metodologi penelitian pengembangan alat pemantauan sederhana untuk<br />

mendeteksi pergerakan batuan atap pada tambang bawah tanah<br />

Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />

71


3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Perancangan Sistem Pemantauan<br />

Keruntuhan Atap<br />

Sistem Pemantauan keruntuhan atap yang<br />

dirancang terdiri dari alat pemantauan, datalogger<br />

<strong>dan</strong> CPU komputer. Alat pemantauan yang telah<br />

terpasang pada batuan atap terhubung dengan<br />

datalogger sebagai pembaca <strong>dan</strong> penyimpan data.<br />

Data yang tersimpan dalam datalogger masih<br />

merupakan data mentah untuk selanjutnya diolah<br />

pada perangkat komputer, pengolahan data<br />

dilakukan dengan menggunakan aplikasi microsoft<br />

excel untuk selanjutnya dibuat grafik pergerakan<br />

batuan yang terjadi. Untuk menghubungkan setiap<br />

unit dari sistem tersebut digunakan sistem kabel.<br />

Skema monitoring dapat dilihat pada gambar 2.<br />

Linear Variable Differential Transformer (LVDT)<br />

merupakan salah satu jenis sensor yang digunakan<br />

untuk mengukur perubahan jarak. Kelebihan dari<br />

LVDT sebagai sensor jarak adalah tidak a<strong>dan</strong>ya<br />

kontak fisik pada unsur sensor sehingga lebih kuat<br />

<strong>dan</strong> tahan lama dibandingkan dengan sensor-sensor<br />

lain. LVDT terdiri dari satu kumparan magnetik<br />

primer <strong>dan</strong> dua kumparan magnetik sekunder <strong>dan</strong><br />

satu inti magnetik (Gambar 3(a)). Pada saat posisi<br />

nol berarti tidak ada me<strong>dan</strong> magnet dalam kedua<br />

kumparan sekunder oleh karena tidak ada<br />

pergerakan pada probe. Ketika kumparan magnet<br />

tidak dalam posisi nol (terjadi pergerakan pada<br />

probe) akan ada ketidakseimbangan me<strong>dan</strong> magnet<br />

dari kedua kumparan sekunder. Ketidakseimbangan<br />

pada me<strong>dan</strong> magnet menyebabkan<br />

perubahan keluaran voltase yang sebanding dengan<br />

perubahan jarak <strong>dan</strong> arah dari pergerakan tersebut.<br />

Selain merupakan instrumen yang kuat, LVDT<br />

mempunyai resolusi yang tinggi (Cheekiralla, 2004).<br />

Gambar 2.<br />

Skema pemantauan<br />

keruntuhan atap<br />

Sebagai pembaca <strong>dan</strong> penyimpan data yang<br />

digunakan pada sistem pemantauan keruntuhan<br />

atap ini digunakan Datataker DT800. Datataker<br />

DT800 merupakan instrumen penerima <strong>dan</strong><br />

penyimpan data yang dapat mengukur <strong>dan</strong><br />

merekam data dengan beragam <strong>dan</strong> dalam jumlah<br />

yang banyak serta dapat diprogram dengan<br />

menggunakan perintah kerja yang sangat mudah<br />

(Anonym, 20<strong>01</strong>-2004).<br />

Perancangan Alat Pemantauan Keruntuhan Atap<br />

Peralatan pemantauan keruntuhan batuan atap<br />

yang dirancang merupakan pengembangan dari<br />

peralatan pemantauan sebelumnya. Alat<br />

pemantauan yang dirancang terdiri dari 2 macam,<br />

yaitu LVDT <strong>dan</strong> Potensiometer.<br />

Gambar 3.<br />

(a)<br />

(b)<br />

(a) Prinsip kerja LVDT<br />

(b) LVDT RDP DCTH400AG<br />

72 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


LVDT yang digunakan pada kegiatan ini adalah<br />

keluaran RDP dengan type DCTH400AG (Gambar<br />

3 (b)). Kisaran jarak pergerakan yang bisa terukur<br />

oleh alat ini sebesar 22 mm. Sensor LVDT dilapisi<br />

dengan pipa PVC agar aman <strong>dan</strong> terlindungi<br />

(Gambar 4.(a)). Untuk mengukur pergerakan atap,<br />

alat pemantauan ditempatkan tepat di bawah atap<br />

batuan, pergerakan pada batuan atap menggerakan<br />

probe pada LVDT <strong>dan</strong> menyebabkan<br />

perubahan tegangan (voltase) pada alat monitoring.<br />

Perubahan voltase tersebut dapat dikonversikan<br />

terhadap perubahan jarak yang terjadi.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan untuk alat pemantauan potensio<br />

digunakan 4 buah potensiometer, dimana masingmasing<br />

potensiometer tersebut terhubung dengan<br />

pulley. komponen-komponen tersebut ditempatkan<br />

pada suatu box yang aman <strong>dan</strong> terlindungi<br />

(Gambar 4(b)). Pulley terhubung dengan jangkar<br />

menggunakan kawat baja, dimana jangkar<br />

nantinya akan ditempatkan pada lapisan batuan<br />

yang diamati pergerakannya.<br />

sama dengan telltale. Pada telltale pembacaan<br />

pergerakan yang terjadi dilakukan secara manual,<br />

yaitu dengan melihat pergeseran pada pada<br />

indikator yang terdapat pada alat pemantauan<br />

(Mark and Iannacchione, 20<strong>01</strong>), se<strong>dan</strong>gkan pada<br />

alat monitoring ini pergerakan dapat dibaca dengan<br />

menghubungkan alat pemantauan dengan<br />

datalogger.<br />

Kalibrasi Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantauan<br />

Keruntuhan Atap<br />

Kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan hubungan<br />

antara perubahan tegangan (Volt) pada alat LVDT<br />

<strong>dan</strong> perubahan tahanan (Ohm) pada<br />

Potensiometer terhadap perubahan jarak yang<br />

dikondisikan pada masing-masing alat<br />

pemantauan. Kecenderungan dari titik-titik<br />

pergerakan hasil kalibrasi dari masing-masing alat<br />

pemantauan menunjukkan garis yang linier,<br />

dengan persamaan garis linier yang digunakan<br />

sebagai rumus untuk memperoleh data pergerakan<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 4.<br />

Alat pemantauan keruntuhan atap (a) LVDT (b) Potensio<br />

Prinsip kerja alat ini sebagai alat pemantauan<br />

pergerakan batuan adalah dengan menempatkan<br />

4 buah jangkar yang masing-masing terhubung<br />

dengan Potensiometer pada berbagai ketinggian<br />

lapisan batuan atap yang akan diamati pergerakannya.<br />

Pergerakan pada batuan atap memutar pulley<br />

yang terhubung dengan Potensiometer, sehingga<br />

terjadi perubahan tegangan yang dapat terukur.<br />

Perubahan tegangan tersebut dikalibrasikan<br />

dengan perubahan jarak (pergerakan) yang terjadi.<br />

Alat yang dirancang mempunyai prinsip kerja yang<br />

atap hasil pemantauan dalam satuan mm. Selain<br />

itu kalibrasi juga bertujuan untuk melakukan ujicoba<br />

alat <strong>dan</strong> sistem pemantauan, serta untuk<br />

mengetahui performa sistem <strong>dan</strong> alat yang telah<br />

dirancang. Dari hasil kalibrasi diperoleh grafik<br />

hubungan antara pergerakan (mm) terhadap<br />

perubahan tegangan (Volt) pada alat pemantauan<br />

LVDT (Gambar 5) se<strong>dan</strong>gkan grafik hubungan<br />

antara pergerakan (mm) terhadap perubahan<br />

tahanan (Ohm) pada alat pemantauan Potensio<br />

dapat dilihat pada (Gambar 6).<br />

Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />

73


LVDT<br />

Pergerakan (mm)<br />

30<br />

27<br />

24<br />

21<br />

18<br />

15<br />

12<br />

9<br />

6<br />

3<br />

0<br />

y = -0.0076x + 24.<strong>01</strong>9<br />

R 2 = 0.9797<br />

-400 -3 0 400 800 1200 1600 2000 2400 2800 3200 3600<br />

Tegangan (Volt)<br />

Gambar 5.<br />

Grafik hasil kalibrasi LVDT<br />

Gambar 6.<br />

Grafik hasil kalibrasi potensio<br />

Tabel 1.<br />

Persamaan regresi linier untuk masing-masing alat<br />

pemantauan keruntuhan atap hasil kalibrasi<br />

No Alat Monitoring Persamaan Regresi Linier R 2<br />

1. LVDT Y = - 0.0076x + 24.<strong>01</strong>9 0.9797<br />

2. Potensiometer 1 Y = 1.102x + 0.406 0.9999<br />

3. Potensiometer 2 Y = 1.1<strong>01</strong>x + 0.437 0.9980<br />

4. Potensiometer 3 Y = 1.100x + 0.064 0.9980<br />

5. Potensiometer 4 Y = 1.103x + 0.073 0.9980<br />

74 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Dari grafik diperoleh persamaan garis linier <strong>dan</strong><br />

juga nilai R 2 untuk masing-masing alat<br />

Pemantauan (Tabel 1).<br />

Nilai R 2 hasil kalibrasi masing-masing alat<br />

menunjukkan nilai yang mendekati 1, yaitu 0.9797<br />

untuk LVDT <strong>dan</strong> 0.9980 sampai dengan 0.9999<br />

untuk Potensiometer. Nilai tersebut menunjukkan<br />

nilai variabel bebas pada persamaan regresi linier<br />

yang diperoleh telah dapat menjelaskan hampir<br />

100% dari nilai hasil pengukuran oleh setiap alat<br />

pemantauan, yang berarti bahwa hasil pembacaan<br />

pada kedua alat tersebut mendekati besarnya<br />

pergerakan yang mungkin terjadi.<br />

Setelah semua alat pemantauan terpasang dengan<br />

baik, alat dihubungkan dengan sistem yang telah<br />

dirancang sebelumnya. Sistem pemantauan terdiri<br />

dari datalogger sebagai pembaca <strong>dan</strong> penyimpan<br />

data, setiap data yang direkam disimpan pada<br />

memori yang terdapat pada datalogger. Semua<br />

perangkat tersebut ditempatkan dalam pannel box<br />

yang tertutup <strong>dan</strong> aman. Pannel box ditempatkan<br />

dekat dengan lokasi penempatan alat pemantauan<br />

(Gambar 8 (b)).<br />

Ujicoba Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantauan<br />

Keruntuhan Atap<br />

Selain kalibrasi, ujicoba sistem <strong>dan</strong> alat<br />

pemantauan juga dilakukan pada tambang bawah<br />

tanah yang merupakan kegiatan penerapan <strong>dan</strong><br />

running test di lapangan. Untuk mengetahui<br />

performa dari peralatan <strong>dan</strong> sistem yang telah di<br />

rancang, ujicoba dilakukan pada salah satu<br />

tambang bawah tanah yang ada di Sumatera Barat.<br />

Masing-masing alat pemantauan ditempatkan pada<br />

lokasi yang berbeda. Alat pemantauan LVDT<br />

ditempatkan tepat dibawah permukaan batuan<br />

atap (Gambar 7 (a)), se<strong>dan</strong>gkan alat pemantauan<br />

Potensio ditanamkan pada batuan atap. Untuk<br />

pemasangan alat pemantauan Potensio, terlebih<br />

dahulu dibuat lubang bor dengan kedalaman yang<br />

sesuai dengan kedalaman lapisan batuan atap yang<br />

akan diukur pergerakannya (Gambar 7(b)).<br />

(a)<br />

Gambar 7.<br />

(b)<br />

Penempatan alat pemantauan<br />

keruntuhan atap<br />

(a). LVDT (b) Potensio<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 8.<br />

(a) Pemasangan alat pemantauan (b) Komponen peralatan dalam pannel box<br />

Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />

75


Evaluasi Hasil Ujicoba<br />

Running test alat di tambang bawah tanah<br />

dilakukan secara terus menerus selama 18 hari<br />

dengan proses perekaman data setiap 110 detik<br />

yang disesuaikan dengan kapasitas memori dari<br />

datalogger. Data yang terekam di konversikan<br />

dengan mengunakan rumus regresi linier dari<br />

masing-masing alat pemantauan, kemudian dibuat<br />

grafik pergerakan batuan (mm) terhadap waktu.<br />

Grafik hasil pemantauan dapat dilihat pada<br />

Gambar 9 <strong>dan</strong> Gambar 10.<br />

LVDT<br />

Pergerakan, 0.0<strong>01</strong> mm<br />

0.2<br />

0<br />

0<br />

-0.2<br />

200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000<br />

-0.4<br />

-0.6<br />

-0.8<br />

-1<br />

-1.2<br />

-1.4<br />

-1.6<br />

Waktu, detik<br />

LVDT 1<br />

LVDT 2<br />

Gambar 9.<br />

Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan LVDT<br />

Gambar 10. Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan potensio<br />

76 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Semua alat pemantauan telah diujicoba <strong>dan</strong> dapat<br />

bekerja dengan baik. Semua alat tersebut<br />

terhubung dalam satu sistem sebagai sistem<br />

pemantauan terpusat. Alat pemantauan dioperasikan<br />

dari satu tempat begitu pula data yang diperoleh<br />

dari setiap alat pemantauan dapat terbaca <strong>dan</strong><br />

tersimpan dalam satu tempat sebagai sentral.<br />

Dari grafik pergerakan batuan pada setiap alat<br />

pemantauan, dapat dilihat bahwa kurva yang<br />

diperoleh bergerigi, terutama pada kurva hasil<br />

monitoring dengan menggunakan Potensiometer.<br />

Hal tersebut disebabkan oleh a<strong>dan</strong>ya gangguan<br />

(noise) yang dapat dipengaruhi oleh kondisi sekitar<br />

<strong>dan</strong> sensitifitas dari alat pemantauan. Setiap alat<br />

yang diujicoba dapat mendeteksi a<strong>dan</strong>ya<br />

pergerakan lapisan batuan atap pada tempat<br />

diterapkannya alat. Hal tersebut juga menunjukkan<br />

sistem yang diterapkan terbukti dapat digunakan<br />

sebagai sistem pemantauan keruntuhan batuan<br />

atap secara terpusat, pemantauan dapat dilakukan<br />

pada beberapa tempat dengan berbagai macam<br />

alat pemantauan dalam satu sistem.<br />

4. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

4.1. Kesimpulan<br />

• Teknologi pemantauan keruntuhan atap batuan<br />

pada tambang bawah tanah dengan menggunakan<br />

LVDT Tranduser <strong>dan</strong> Potensiometer<br />

dapat digunakan untuk mendeteksi pergerakan<br />

yang terjadi pada atap terowongan sebagai<br />

peralatan pemantauan keruntuhan atap batuan<br />

(roof failure) tambang bawah tanah.<br />

• Sistem yang dirancang merupakan sistem<br />

pemantauan terpusat, semua alat pemantauan<br />

dioperasikan dari satu tempat begitu pula data<br />

yang diperoleh dari setiap alat dapat terbaca<br />

<strong>dan</strong> tersimpan dalam satu tempat sebagai<br />

sentral.<br />

• Secara umum kajian yang telah dilakukan<br />

menujukkan nilai yang signifikan. Dengan kata<br />

lain alat yang telah diujicoba layak dimanfaatkan<br />

untuk memantau pergerakan batuan atap<br />

pada tambang bawah tanah.<br />

4.2. Saran<br />

• Perlu dilakukan pengembangan terhadap casing<br />

dari alat yang digunakan, sehingga aman<br />

untuk digunakan di tambang bawah tanah.<br />

• Diperlukan kajian lebih lanjut sehingga<br />

diperoleh sistem monitoring yang dapat<br />

digunakan sebagai sistem peringatan dini <strong>dan</strong><br />

data pergerakan secara real time.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

http://www.msha.gov/stats/charts/<br />

chartshome.htm, 2008.<br />

Anonym, 20<strong>01</strong>-2004. dataTaker DT800 User’s<br />

Manual, UM-0068-A2, Datataker Pty Ltd, Australia.<br />

Cheekiralla, S., 2004. Development of Wireless<br />

Sensor Unit for Tunnel Monitoring, Massachusetts<br />

Institute of Technology, web.mit.edu/<br />

sivaram/www/Sivaram-MS-thesis.pdf.<br />

Mark C., Iannacchione A.T., 20<strong>01</strong>. Best Practice<br />

to Mitigate,Injuries and Fatalities from Rock<br />

Falls, Paper in the Proceedings of the 20 th<br />

International Conference on Ground Control<br />

in Mining 20<strong>01</strong>, NIOSH, Pittsburgh, PA,<br />

www.cdc.gov/niosh/mining/pubs/pdfs/<br />

bptmi.pdf.<br />

Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />

77


PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI BATUBARA<br />

PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI GULA<br />

Ika Monika <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jalan Jenderal Sudirman No.623 Bandung 40211<br />

Tlp. 022-6030483, Faks. 022-6003373<br />

e-mail : ika@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Karbon aktif pada industri gula umumnya digunakan sebagai bahan pemudar warna. Namun sebenarnya<br />

karbon aktif juga dapat digunakan dalam proses pengolahan limbah cair yang dikeluarkan dari pabrik<br />

gula <strong>dan</strong> laboratorium analisis kimia di pabrik gula. Selama ini, karbon aktif yang digunakan dalam<br />

proses tersebut adalah karbon aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Namun pada dasarnya,<br />

mengingat sifat karbon aktif batubara yang menyerupai sifat karbon aktif tempurung kelapa, maka<br />

karbon aktif dari batubara juga dapat digunakan. dalam pengolahan limbah cair dari pabrik gula. Limbah<br />

cair yang dihasilkan dari pabrik gula memiliki kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) yang<br />

cukup tinggi. Untuk menurunkan kandungan COD dalam limbah tersebut, telah dicoba dengan<br />

menggunakan karbon aktif yang dibuat dari batubara. Percobaan dilakukan dengan variabel jumlah<br />

karbon aktif <strong>dan</strong> waktu proses. Karbon aktif yang digunakan dibuat dari batubara Air Laya Sumatera<br />

Selatan yang berukuran 12 mm dengan bilangan yodium berkisar antara 600 <strong>dan</strong> 700 mg/g. Variabel<br />

jumlah karbon aktif yang digunakan adalah 2,5, 5,0, 7,5 <strong>dan</strong> 10,0 gram, se<strong>dan</strong>gkan waktu proses<br />

adalah 30, 60, <strong>dan</strong> 90 menit. Hasil percobaan menunjukkan, dengan jumlah karbon aktif 2,5 gram <strong>dan</strong><br />

waktu proses selama 90 menit, konsentrasi COD yang semula sebesar 2355 mg/l turun menjadi 609<br />

mg/l. Dengan tingkat penurunan sebesar 74%, konsentrasi COD tersebut belum memenuhi persyaratan<br />

kualitas limbah cair yang memiliki ambang batas maksimal 300 mg/l.<br />

<strong>Kata</strong> kunci : karbon aktif, adsorpsi, pengolahan limbah, COD<br />

ABSTRACT<br />

Commonly, activated carbon is used as fader in sugar industries. However, it can be used as absorber<br />

of waste sugar industry. Nowadays, activated carbon used in waste processing is made from<br />

coconut shell. Liquid waste produced from sugar industry consists of many Chemical Oxygen Demand<br />

(COD). In order to decrease COD, it has been tried to use activated carbon from coal as absorber.<br />

The research is carried out using the variables of activated carbon weight and the length of process<br />

time. Coal from Air Laya, South Sumatra which is 12 mm in particle size was used as raw material of<br />

activated carbon. The iodine number of activated carbon is in the range of 600 to 700 mg/g. The<br />

variables of weights activated carbon are 2.5; 5.0; 7.5 and 10.0, with the 30, 60 and 90 minutes. The<br />

result showed that the concentration COD was decrease 74% at time condition 90 minutes and 2.5<br />

gram of activated carbon.<br />

Keywords : activated carbon, adsorption, waste processing<br />

78 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


1. PENDAHULUAN<br />

Seiring dengan perkembangan <strong>dan</strong> permasalahan<br />

lingkungan, berbagai teknologi pengolahan limbah<br />

baik limbah cair, padat <strong>dan</strong> gas terus dikembangkan.<br />

Saat ini teknologi yang kian berkembang pesat<br />

adalah pengolahan air, baik air baku maupun air<br />

limbah. Terdapat dua cara utama pengolahan yaitu<br />

secara kimia <strong>dan</strong> fisik. Pengolahan air secara<br />

kimia, dilakukan dengan menambahkan bahanbahan<br />

kimia tertentu antara lain menggunakan<br />

PAC (Poly Alumunium Chloride), tawas, kapur<br />

ataupun bahan-bahan kimia lainnya, yang dapat<br />

berfungsi sebagai koagulan, penetralisir ataupun<br />

sebagai desinfektan. Pengolahan air secara fisik<br />

bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan<br />

kotoran-kotoran yang kasar, pemisahan lumpur<br />

<strong>dan</strong> pasir serta mengurangi zat-zat organik dalam<br />

air yang akan diolah. Salah satu bahan yang<br />

digunakan dalam proses pengolahan air adalah<br />

karbon aktif. Karbon aktif umumnya digunakan<br />

selain sebagai penjernih, juga sebagai bahan untuk<br />

pemurnian, penghilang bau, warna <strong>dan</strong> rasa. Di<br />

Indonesia, karbon aktif yang digunakan pada<br />

pengolahan air umumnya karbon aktif yang dibuat<br />

dari tempurung kelapa. Namun sebenarnya karbon<br />

aktif dari batubara juga dapat digunakan dalam<br />

proses tersebut.<br />

Di Indonesia, fenomena pemanfaatan karbon aktif<br />

dari batubara masih menjadi sesuatu yang tidak<br />

lazim, meskipun di negara lain seperti di China jenis<br />

karbon aktif ini sudah banyak digunakan oleh<br />

masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut,<br />

dilakukan penelitian pemanfaatan karbon aktif dari<br />

batubara. Salah satu yang menjadi objek penelitian<br />

adalah penurunan kadar COD (Chemical Oxygen<br />

Demand) dalam limbah cair yang dihasilkan dari<br />

salah satu pabrik gula yang ada di wilayah provinsi<br />

Banten. Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan<br />

kualitas air yang dikeluarkan dari limbah<br />

pabrik gula <strong>dan</strong> mengurangi ketergantungan karbon<br />

aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Hasil<br />

penelitian merupakan acuan untuk pemanfaatan<br />

karbon aktif batubara pada industri gula.<br />

2. TINJAUAN PUSTAKA<br />

COD adalah jumlah oksigen (mg O 2 ) yang<br />

dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik<br />

<strong>dan</strong> anorganik yang ada dalam 1 liter air (Nazir,<br />

2000). COD merupakan salah satu parameter<br />

indikator pencemar di dalam air, yang disebabkan<br />

oleh limbah organik. Dalam proses pembuatan<br />

gula, bahan baku tebu merupakan bahan yang<br />

terdiri atas komposisi kimia organik. Limbah yang<br />

dihasilkan adalah limbah cair yang berasal dari<br />

proses pengolahan gula <strong>dan</strong> laboratorium pabrik<br />

(Santoso, 2008). Dampak konsentrasi COD tinggi<br />

menyebabkan kandungan oksigen yang terlarut<br />

di dalam air menjadi rendah, bahkan habis sama<br />

sekali. Akibatnya oksigen yang menjadi sumber<br />

kehidupan mahluk air (hewan <strong>dan</strong> tumbuhan) tidak<br />

dapat terpenuhi, sehingga mahluk air menjadi mati.<br />

Limbah cair yang dikeluarkan Instalasi Penjernihan<br />

Air (IPA) di daerah Karangpilang, mempunyai<br />

konsentrasi COD 1000 mg/gr dapat meningkatkan<br />

jumlah bakteri E-coli empat kali lipat (PERSI,<br />

20<strong>01</strong>). Hal ini menimbulkan berbagai penyakit bagi<br />

kehidupan manusia.<br />

2.1. Teknologi Pengolahan Air<br />

Salah satu cara pengolahan air yang saat ini<br />

se<strong>dan</strong>g berkembang adalah melalui mekanisme<br />

adsorpsi. Adsorpsi adalah suatu proses<br />

pengumpulan zat terlarut pada suatu permukaan<br />

media akibat a<strong>dan</strong>ya perbedaan muatan diantara<br />

kedua zat, baik cairan dengan cairan, cairan<br />

dengan gas, atau cairan dengan padatan, dalam<br />

waktu tertentu (Cahyana, 2009). Proses adsorpsi<br />

terbagi dalam tiga jenis. Pertama, adsorpsi kimia<br />

yaitu terjadi karena ikatan kimia antara molekul<br />

zat terlarut (adsorbat) dengan molekul adsorban.<br />

Adsorpsi jenis ini eksoterm (mengeluarkan panas)<br />

<strong>dan</strong> tidak dapat berbalik kembali (irreversible).<br />

Kedua, adsorpsi fisika, terjadi karena gaya tarik<br />

molekul oleh gaya Van Der Waals <strong>dan</strong> yang ketiga<br />

pertukaran ion, terjadi karena gaya elektrostatis.<br />

Ketiga mekanisme adsorpsi tersebut terdiri atas<br />

tiga tahap yaitu ; (1) makrotransport ; perpindahan<br />

zat pencemar (adsorbat) di dalam air menuju<br />

permukaan adsorban, (2) mikrotransport; perpindahan<br />

adsorbat menuju pori-pori di dalam adsorban,<br />

(3) sorpsi ; pelekatan zat adsorbat ke dinding poripori<br />

atau jaringan pembuluh kapiler mikroskopis.<br />

2.2. Karbon Aktif dari Batubara<br />

Salah satu adsorban yang biasa digunakan dalam<br />

pengolahan air (termasuk limbah) adalah karbon<br />

aktif. Karbon aktif dengan luas permukaan yang<br />

semakin luas menunjukkan semakin tinggi daya<br />

adsorpsinya. Proses untuk memperoleh daya<br />

adsorpsi tinggi dilakukan melalui proses aktivasi<br />

terhadap arang. Umumnya proses aktivasi<br />

dilakukan dengan menggunakan uap air, karena<br />

selain murah juga relatif mudah. Proses aktivasi<br />

akan memperbesar luas permukaan <strong>dan</strong> volume<br />

Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />

79


pori-pori bagian dalam karbon aktif. Karbon aktif<br />

dari tempurung kelapa umumnya memiliki luas<br />

permukaan seluas 500-1500 m 2 /gr, sehingga<br />

efektif menyerap partikel-partikel yang sangat<br />

halus (O-Fish, 2007).<br />

Luas permukaan karbon aktif dari batubara dapat<br />

mencapai 500-1400 m 2 /gr. Penentuan luas<br />

permukaan menggunakan metode BET (Brunauer-<br />

Emmnett-Teller). Teknik ini meliputi pengukuran<br />

volume gas nitrogen yang terserap. Dengan<br />

perhitungan persamaan BET, struktur <strong>dan</strong><br />

distribusi pori-pori karbon aktif dapat diketahui.<br />

Struktur <strong>dan</strong> distribusi pori-pori merupakan faktor<br />

utama dalam menentukan daya serap karbon aktif<br />

dibandingkan dengan luas permukaan (Harald,<br />

1975). Struktur pori dari suatu adsorban<br />

diklasifikasikan menjadi transportpori yang<br />

memiliki diameter sekitar 500 A°, mesopori dengan<br />

diameter antara 20 <strong>dan</strong> 500 A°, mikropori dengan<br />

diameter antara 8 <strong>dan</strong> 20 A°, <strong>dan</strong> pori-pori dengan<br />

diameter kurang dari 8 A° yang disebut<br />

submikropori (Pruss, 1972). Struktur, distribusi<br />

<strong>dan</strong> ukuran pori-pori karbon aktif menjadi faktor<br />

yang menentukan kemampuan adsorban dalam<br />

mengadsorpsi berbagai jenis adsobat. Se<strong>dan</strong>gkan,<br />

efektifitas adsorpsi sangat tergantung pada jenis<br />

bahan baku adsorban, jenis zat adsorbat <strong>dan</strong><br />

temperatur pada saat proses berlangsung.<br />

Bentuk karbon aktif dapat diklasifikasikan menjadi<br />

dua golongan yaitu bentuk granular <strong>dan</strong> powder<br />

(Activated Carbon, 2007). Kedua bentuk ini dapat<br />

digunakan dalam proses pemurnian, pengolahan<br />

<strong>dan</strong> penjernihan air. Karbon aktif granular memiliki<br />

persentase makropori <strong>dan</strong> transportpori yang lebih<br />

besar sehingga memungkinkan molekul-molekul<br />

besar terserap. Karbon aktif granular dibuat dalam<br />

ukuran yang berbeda tergantung pada aplikasinya.<br />

Karbon aktif granular biasa digunakan untuk<br />

menghilangkan senyawa organik yang menimbulkan<br />

bau, rasa, atau warna yang tidak diinginkan pada<br />

fasa cair. Se<strong>dan</strong>gkan penggunaan karbon aktif<br />

powder pada fasa cair harus selalu diaduk agar<br />

homogenitas tetap terjaga <strong>dan</strong> tidak terjadi<br />

sedimentasi suspensi, atau bisa juga dilakukan<br />

dengan penyaringan. Karbon aktif bentuk powder<br />

lebih tepat digunakan untuk fasa gas karena<br />

memiliki mikropori yang lebih besar sehingga<br />

mampu menyerap molekul-molekul kecil.<br />

3. METODOLOGI<br />

Alat<br />

• Peralatan laboratorium seperti ; gelas piala,<br />

corong, pengaduk gelas, botol plastik, <strong>dan</strong><br />

timbangan analitik<br />

Bahan<br />

• Conto limbah gula (cair)<br />

• Karbon aktif berukuran 12 mesh dengan<br />

bilangan yodium berkisar antara 600 <strong>dan</strong> 700<br />

mg/gr<br />

Cara kerja<br />

Karbon aktif berukuran 12 mm ditimbang masingmasing<br />

2,5, 5,0, 7,5 <strong>dan</strong> 10 gram. Selanjutnya,<br />

karbon aktif ditambahkan ke dalam 200 ml conto<br />

limbah, Campuran tersebut kemudian diaduk<br />

setiap 10 menit selama masing-masing 30, 60 <strong>dan</strong><br />

90 menit. Setelah selesai proses pencampuran,<br />

kemudian dilakukan penyaringan, filtrat ditampung<br />

di dalam botol untuk selanjutnya dilakukan<br />

analsisis COD. Metoda analisis COD mengacu<br />

pada SNI 06-6989.15-2004.<br />

4. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil percobaan pengolahan limbah cair yang dikeluarkan<br />

dari pabrik gula tercantum pada Tabel 1.<br />

Tabel 1.<br />

Hasil analisis COD limbah cair pabrik gula<br />

Konsentrasi COD<br />

sebelum proses (mg/l)<br />

Konsentrasi COD<br />

setelah proses (mg/l)<br />

Waktu proses<br />

(menit)<br />

2355<br />

Berat karbon aktif<br />

2,5 gr 5,0 gr 7,5 gr 10,0 gr<br />

30 667 715 925 949<br />

60 661 799 719 823<br />

90 609 975 888 766<br />

80 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Konsentrasi COD di dalam limbah gula semula<br />

sebesar 2355 mg/gr. Setelah ditambah karbon<br />

aktif, nilai COD menjadi turun. Konsentrasi COD<br />

yang terendah adalah 609 mg/gr, diperoleh dengan<br />

penambahan berat karbon aktif 2,5 gram selama<br />

90 menit. Bila dihitung berdasarkan persentase<br />

penurunan tingkat adsorpsi, dapat digambarkan<br />

seperti pada Gambar 1.<br />

1.000 mg/gr. Teknik pengolahan adalah dengan<br />

cara mengalirkan debit limbah melalui suatu kolom<br />

yang berisi karbon aktif. Waktu kontak relatif cepat,<br />

namun karena kualitas karbon aktif tinggi, maka<br />

penurunan COD sangat signifikan. Selain kualitas<br />

karbon aktif, faktor yang mempengaruhi efektifitas<br />

adsorpsi adalah jenis bahan baku karbon aktif,<br />

jenis adsorbat <strong>dan</strong> cara pengolahan. Faktor-faktor<br />

ini dapat mempengaruhi persentase penurunan<br />

adsorpsi karbon aktif..<br />

5. KESIMPULAN<br />

Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh<br />

kesimpulan sebagai berikut:<br />

• Karbon aktif yang berukuran 12 mm dengan<br />

bilangan yodium antara 600 <strong>dan</strong> 700 mg/gr<br />

dapat menurunkan konsentrasi COD limbah<br />

gula dari 2355 mg/gr menjadi 609 mg/gr. Hasil<br />

tersebut diperoleh dengan penambahan karbon<br />

aktif sebesar 2,5 gram selama 90 menit.<br />

Gambar 1.<br />

Persentase penurunan adsorpsi<br />

Dari Gambar 1 terlihat bahwa persentase<br />

penurunan adsorpsi terendah terjadi pada<br />

penambahan karbon aktif sebesar 5,0 gram<br />

selama 90 menit, dengan tingkat penurunan<br />

mencapai 59%. Begitu pula dengan penambahan<br />

karbon aktif 10 gram, tingkat penurunan mencapai<br />

60% selama 30 menit. Persentase penurunan<br />

adsorpsi terbesar, diperoleh dengan penambahan<br />

karbon aktif 2,5 gram selama waktu 30, 60 <strong>dan</strong> 90<br />

menit. Penambahan berat karbon aktif lebih besar<br />

dari 2,5 gram, tingkat penurunan adsorpsi relatif<br />

rendah. Berdasarkan data pada Tabel 1, semakin<br />

besar jumlah karbon aktif yang ditambahkan, tidak<br />

menunjukkan semakin turunnya konsentrasi COD.<br />

Tetapi, dengan jumlah karbon aktif rendah,<br />

menunjukkan penurunan konsentrasi COD yang<br />

relatif stabil.<br />

Mengacu pada baku mutu limbah cair yang<br />

mempunyai nilai ambang batas COD 300 mg/gr,<br />

konsentrasi COD sebesar 609 mg/l belum<br />

memenuhi persyaratan mutu limbah cair. Salah<br />

satu faktor yang menyebabkan rendahnya<br />

efektifitas adsorpsi adalah kualitas karbon aktif.<br />

Pada pengolahan limbah cair di salah satu pabrik<br />

gula, karbon aktif yang digunakan terbuat dari<br />

tempurung kelapa mempunyai bilangan yodium<br />

• Konsentrasi COD 609 mg/gr belum memenuhi<br />

persyaratan kualitas limbah cair yang<br />

mempunyai nilai ambang batas 300 mg/gr.<br />

6. SARAN<br />

Untuk memperoleh hasil yang maksimal, perlu<br />

meningkatkan kualitas karbon aktif dari bilangan<br />

yodium 600 <strong>dan</strong> 700 mg/gr menjadi 1000 mg/gr.<br />

Selain itu, perlu pengaturan ukuran butir <strong>dan</strong> cara<br />

pengolahan limbah sehingga diperoleh hasil yang<br />

memenuhi standar kualitas limbah cair.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Cahyana, Gede, H., 2009, http://<br />

Gedehace.blogspot.com/2009/03/adsorpsikarbon-aktif.html,<br />

Majalah Air Minum,<br />

Februari 2009<br />

Harald, 1975, Conversion of Coal and Gas Produced<br />

from Coal Into Fuels, Chemicals, and<br />

Other Products, Chapter 30, 30.4.6.3.<br />

Nazir, Ernawita, 2000. Teknik Sampling <strong>dan</strong><br />

Analisis Air Permukaan.<br />

O-Fish, 2007, Filter Kimia, Media Informasi Ikan<br />

Hias <strong>dan</strong> Tanaman, http://o-fish.com.<br />

Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />

81


PERSI, 20<strong>01</strong>, Pusat Data <strong>dan</strong> Informasi, http://<br />

www.pdpersi.co.id, Rabu 22 Agustus<br />

Pruss, W., 1972, Determination of Pore Size and<br />

Pore Distribution in Coal and Coke,<br />

Brennestoff-Chemical, 42, 157-160<br />

Santoso, Eddy, B., 2009, Limbah Pabrik Gula:<br />

Penanganan, Pencegahan Dan<br />

Pemanfaatannya, Penelitian Perkebunan Gula<br />

Indonesia, Pasuruan, Indonesia<br />

82 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


KEMUNGKINAN PEMANFAATAN BAKTERISIDA<br />

FENOL UNTUK PENCEGAHAN AIR ASAM TAMBANG<br />

Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : sruntung@tekmira.esdm.go.id, rosniasruntung@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Peningkatan pertambangan batubara, bijih emas <strong>dan</strong> tembaga seperti di Kalimantan, Sumatera <strong>dan</strong><br />

Papua menyebabkan munculnya fenomena air asam tambang (AAT). AAT dapat terjadi apabila mineral<br />

sulfida seperti pirit terpapar ke udara <strong>dan</strong> bereaksi dengan udara <strong>dan</strong> air membentuk asam sulfat.<br />

Kehadiran jasad renik Thiobacillus ferroksi<strong>dan</strong>s juga dapat mempercepat terjadinya AAT. Asam sulfat<br />

ini akan melarutkan logam sehingga dapat mencemari ba<strong>dan</strong> perairan sekitarnya. Secara umum,<br />

pengelolaan lingkungan yang umum diterapkan untuk penanggulangan AAT antara lain adalah<br />

netralisasi,pembentukan lahan basah <strong>dan</strong> pengkapsulan. Proses netralisasi dapat membentuk logam<br />

hidroksida yang dapat mengendap berupa lumpur sehingga diperlukan penanganan lebih lanjut. Salah<br />

satu cara yang cukup efektif untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan pencegahan <strong>dan</strong><br />

pengontrolan pembentukkan AAT dengan mengurangi aktivitas bakteri.<br />

Sehubungan dengan hal tersebut telah dilakukan penelitian penggunaan bakterisida untuk menanganani<br />

AAT. Bakterisida yang digunakan adalah fenol dengan dosis 5 mg/g <strong>dan</strong> sebagai pembanding digunakan<br />

gamping dengan dosis 10 mg/g. Pada penelitian ini digunakan 2 jenis batuan penutup yang berwarna<br />

abu-abu <strong>dan</strong> coklat berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan.<br />

Kedua jenis batuan tersebut dipreparasi menjadi ukuran 100 mesh, -10+35 mm <strong>dan</strong> -1+ 1 / 2 cm.<br />

Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 faktor, yaitu jenis batuan,<br />

ukuran <strong>dan</strong> jenis bakterisida selama 12 minggu. Hasil percobaan menunjukkan, penambahan fenol<br />

<strong>dan</strong> gamping (CaCO 3) dapat meningkatkan pH lindian berturut-turut menjadi 6,1 <strong>dan</strong> 10,6. Fenol mampu<br />

mereduksi asam 6,67% -51,67% <strong>dan</strong> kemampuan kapur mereduksi asam mencapai 48-15,% - 73,15%.<br />

Dari hasil tersebut, terlihat kemampuan fenol dalam mereduksi asam dari batuan penutup lebih kecil<br />

dari gamping.<br />

<strong>Kata</strong> kunci: lingkungan tambang, air asam tambang, polusi, lindian, bakterisida, fenol, netralisasi,<br />

pengaruh bakteri<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />

83


ABSTRACT<br />

The increases of coal, gold and copper ore from mine activities in Kalimantan, Sumatera and Papua<br />

lead to the occurrence of acid mine drainage (AMD). Acid mine drainage can occur if sulphide mineral<br />

such pyrite was exposed to the air and it will react with oxygen water to form sulphuric acid. The<br />

presence of Thiobacillus ferroksi<strong>dan</strong>s can also accelerate the formation of AMD. The acid can dissolve<br />

metals and pollute the water body surrounding the area. Generally, environmental management<br />

such as neutralization, in capsulation and wetland are common to handle the AMD in Indonesia.<br />

Neutralization process can form metal hydroxide and it will precipitate as sludge which need to be<br />

optimally managed.<br />

Regarding to the problem, a laboratory research on the use of bactericide to handle the AMD was<br />

carried out. Phenol as bactericide with dose 50mg/g was used while limestone with dose 100mg/g also<br />

used as a comparison. Two types of overburden which colour were gray and chocolate from KUD<br />

Tambang Harapan, Kedongdong Subdistric, South Lampung were used in this experiment. The overburden<br />

was prepared to be 100 mesh, -10+35 mm <strong>dan</strong> -1+ 1 / 2 cm. Design of Group Random was used<br />

with 3 factors, namely type of overburden, size and bactericide. The result showed that the phenol and<br />

lime stone can increase the pH of leached respectively 6,1 and 10,6. Phenol and limestone respectively<br />

could reduce acid 6,67% -51,67% and limestone 48-15,% - 73,15%. Based on the result, the<br />

capacity of phenol to reduce acidity of overburden is much less than limestone.<br />

Keywords : mine environment , acid mine drainage, pollution, leached, bactericide, phenol, limestone,<br />

neutralization, microbial influence<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Pembentukkan air asam tambang (AAT)<br />

merupakan masalah utama dalam pertambangan<br />

batubara <strong>dan</strong> mineral. AAT dapat terbentuk apabila<br />

ada mineral pirit yang terpapar sehingga teroksidasi<br />

<strong>dan</strong> selanjutnya air membentuk asam sulat yang<br />

dapat menurunkan pH air <strong>dan</strong> melarutkan logam.<br />

Hal ini berdampak terhadap penurunan kualitas<br />

ba<strong>dan</strong> perairan karena sungai terkontaminasi oleh<br />

keasaman <strong>dan</strong> logam-logam terlarut <strong>dan</strong> juga<br />

menyebabkan reklamasi daerah tambang menjadi<br />

lebih mahal. Oleh karena itu kehadiran AAT di<br />

lingkungan sangat tidak diharapkan.<br />

Beberapa perusahaan pertambangan mineral<br />

seperti PT. Kelian Equatorial Mining, PT. Freeport<br />

Indonesia <strong>dan</strong> PT. Newmont Minahasa mengalami<br />

masalah AAT ini. Hal yang sama juga dialami oleh<br />

perusahaan pertambangan batubara di Kalimantan<br />

Timur seperti PT. Berau Coal <strong>dan</strong> PT. Kaltim Prima<br />

Coal. Pada umumnya perusahan-perusahan<br />

tersebut telah menangani masalah tersebut<br />

dengan berbagai cara antara lain netralisasi<br />

dengan CaCO 3 (kapur), kapur padam (Ca(OH) 2 ) <strong>dan</strong><br />

kapur tohor (CaO), penutupan dengan air, pengkapsulan/penghalang<br />

fisik <strong>dan</strong> pemanfaatan rawa/<br />

rawa buatan (wetland). Biaya penanggulangan AAT<br />

pada umumnya mahal, namun apabila pembentukkan<br />

asam dapat dicegah akan sangat menguntungkan<br />

karena dapat menghemat biaya pengelolaan.<br />

Salah satu pencegahan yang dapat diterapkan<br />

adalah penggunaan fenol. Fenol atau asam<br />

karbolik dengan rumus kimia C 5 H 6 OH adalah<br />

bakterisida. Fenol, salah satu baktersida umum<br />

digunakan di rumah sakit sebagai antiseptik. Fenol<br />

ini ini dapat menghambat pertumbuhan jasad renik<br />

sampai mematikannya. Sehubungan dengan hal<br />

tersebut, Puslitbang Teknologi Mineral <strong>dan</strong><br />

Batubara telah mengadakan penelitian laboratorium<br />

pencegahan AAT dengan menggunakan fenol <strong>dan</strong><br />

gamping (CaCO 3 ). Dalam penelitian, contoh<br />

batuan yang digunakan adalah batuan penutup,<br />

berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan<br />

Kedongdong, Kabupaten Lampung Selatan. Fenol<br />

dibeli dari toko kimia <strong>dan</strong> gamping diperoleh dari<br />

tambang rakyat di daerah Citatah.<br />

2. BAHAN DAN METODE<br />

2.1. Bahan <strong>dan</strong> Peralatan<br />

Contoh dalam penelitian ini adalah batuan penutup,<br />

berasal dari KUD Tambang Emas Harapan,<br />

Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung<br />

Selatan. Berdasarkan warnanya, batuan penutup<br />

dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu berwarna<br />

abu ( BP abu) <strong>dan</strong> coklat (BP coklat). Kedua contoh<br />

84 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


atuan penutup tersebut dipreparasi menjadi<br />

beberapa ukuran, yaitu 100 #, (-10 + 35 mm) <strong>dan</strong><br />

(-1 + ½ cm).<br />

Kolom yang digunakan dalam pelindian adalah<br />

botol plastik + 250 ml. Bagian bawah botol tersebut<br />

diberi lubang kapiler untuk mengeluarkan air<br />

pelindian.<br />

Bakterisida yang digunakan adalah fenol yang<br />

dibeli dari toko bahan kimia <strong>dan</strong> sebagai<br />

pembanding adalah kapur gamping (CaCO 3) yang<br />

berasal dari tambang rakyat Desa Citatah. Air<br />

suling berfungsi sebagai media pelindi.<br />

2.1.2 Peralatan<br />

Kolom pelindian adalah botol plastik + 250 ml yang<br />

bagian bawahnya diberi lubang kapiler untuk<br />

mengeluarkan lindian. Lindiannya ditampung dalam<br />

gelas plastik Setiap kolom pelindian diisi dengan<br />

contoh batuan yang disusun secara berlapis dengan<br />

fenol <strong>dan</strong> gamping. Untuk menjaga kelembaban,<br />

botol-botol tersebut disimpan dalam akuarium<br />

tertutup <strong>dan</strong> dijaga kelembapannya sekitar 90%.<br />

Peralatan lain yang digunakan adalah pH meter<br />

<strong>dan</strong> alat gelas.<br />

2.2. Metode<br />

Uji karakterisasi contoh batuan dilakukan untuk<br />

mengetahui kandungan logamnya (Cu, Fe, Zn, Pb,<br />

Mg, Mn <strong>dan</strong> Ca) dalam bentuk oksida <strong>dan</strong> S<br />

(belerang) terhadap kedua jenis batuan, yaitu:<br />

batuan penutup berwarna abu (BP abu) <strong>dan</strong> coklat<br />

(BP coklat).<br />

Selanjutnya, terhadap kedua contoh batuan<br />

tersebut juga dilakukan pengujian air asam<br />

tambang dengan metode Sobek (Sobek, 1978).<br />

Seluruh pengujian dilakukan di laboratorium<br />

Lingkungan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />

Percobaan untuk mengetahui interaksi dari jenis<br />

batuan <strong>dan</strong> ukurannya, fenol <strong>dan</strong> kapur yang<br />

diujikan sebagai bahan pencegahan pembentukkan<br />

asam digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)<br />

dengan 3 faktor. Faktor pertama (A) adalah ukuran<br />

batuan dengan taraf, 100 mesh (a 1), -10+35mm<br />

(a 2) <strong>dan</strong> -1+1/2cm (a 3). Faktor kedua (B) adalah<br />

jenis batuan dengan dua taraf, yaitu BP abu (b 1)<br />

<strong>dan</strong> BP coklat (b 2). Faktor ketiga (c) adalah jenis<br />

bahan kimia dengan dua taraf, yaitu kontrol (c 0),<br />

fenol (c 1) <strong>dan</strong> gamping (c 2). Dari faktor perlakuan<br />

tersebut diperoleh 24 kombinasi perlakuan <strong>dan</strong><br />

setiap kombinasi perlakuan diulang dua kali.<br />

Analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda<br />

Duncan pada taraf nyata 5% jika terdapat<br />

perbedaan antar perlakuan.<br />

Ke dalam setiap kolom pelindian dimasukkan<br />

secara berturut-turut 100 gr contoh batuan,<br />

kemudian dimasukkan ke dalam masing masing<br />

kolom secara berlapis fenol <strong>dan</strong> kapur dengan<br />

dosis masing-masing 5 mg/g <strong>dan</strong> 10 mg/g kecuali<br />

kontrol. Setiap hari masing masing kolom pelindian<br />

ditambahkan 10 ml air suling sebagai media<br />

pelindian. Pengukuran pH lindian dilakukan setiap<br />

minggu. Proses tersebut dilakukan dalam<br />

akuarium tertutup pada suhu kamar selama 12<br />

minggu dengan kelembaban berkisar 90 %.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Analisa kadar logam dari contoh<br />

dengan AAS<br />

Hasil analisa/penentuan kadar logam <strong>dan</strong> S dalam<br />

contoh BP abu <strong>dan</strong> BP coklat adalah sebagai<br />

berikut :<br />

Tabel 1.<br />

Hasil analisis kandungan logam <strong>dan</strong> sulfur dalam contoh batuan<br />

Contoh Batuan Parameter (%)<br />

Cu Fe Zn Pb Mn Mg Ca S<br />

BP coklat 0.<strong>01</strong> 8.39 0.04 0.06 0.05 0.19 0.12 1,90<br />

BP abu 0.10 31.82 0.03 0.22 0.<strong>01</strong> 0.04 0.11 2,29<br />

<strong>Sumber</strong> : Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung<br />

Keterangan :<br />

P. coklat = batuan berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan<br />

P. abu = lapisan batu berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, lampung Selatan<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />

85


Hasil analisis menunjukkan, logam yang dominan<br />

dalam kedua jenis batuan penutup tersebut adalah<br />

besi dalam bentuk Fe 2O 3 dengan kisaran antara<br />

8,39 - 31,82%, se<strong>dan</strong>gkan kandungan logam<br />

lainnya rendah. Kedua jenis batuan juga<br />

mengandung sulfur dengan kisaran 1,90% -<br />

2,29%. Mengacu kepada hasil analisis dari Uji<br />

Identifikasi Pembentukan Air Asam Tambang pada<br />

Tabel 2, diduga bahwa kedua jenis batuan tersebut<br />

berpotensi menghasilkan air asam tambang.<br />

bakteri. Buck (20<strong>01</strong>), menyatakan senyawa fenol<br />

dapat masuk ke dalam sel bakteri dengan cara<br />

merusak dinding selnya <strong>dan</strong> juga dapat<br />

mengendapkan proteinnya.<br />

Proses penetralan dengan gamping terlihat bahwa<br />

nilai pH lindian tidak ditentukan baik oleh ukuran<br />

contoh maupun oleh perhitungan asam basa. Hal<br />

ini dapat dilihat dari kisaran pHnya, yaitu 10,1 -<br />

10,8 atau rata-rata 10,6. Dari uraian tersebut dapat<br />

Tabel 2. Hasil analisis uji pembentukan air asam tambang<br />

Kode Total<br />

MPA ANC NAPP NAG NAG<br />

pH<br />

kg kg kg 4,5kg 7kg pH 1:2<br />

Sampel Sulfur (%S) H2SO 4/ton H 2SO 4/ton H 2SO 4/ton H 2SO 4/ton H 2SO 4/ton NAG<br />

BP abu 2,29 70,13 0 84,56 104,65 194,39 2,88 2,37<br />

BP coklat 1,90 58,19 0 63,59 52,69 74,09 3,42 3,15<br />

<strong>Sumber</strong> : Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung<br />

Keterangan :<br />

BP abu = batuan penutup berwarna abu<br />

BP coklat = batuan penutup berwarna coklat<br />

Dari Tabel 2, terlihat derajat keasaman pH (1:2)<br />

contoh yang dianalisis berkisar dari 2,37-3,15<br />

berarti bahwa contoh-contoh tersebut bersifat<br />

asam. Kadar belerang (S) total kedua contoh<br />

berkisar dari 1,90% sampai dengan 2,29% <strong>dan</strong><br />

nilai tersebut berhubungan langsung dengan nilai<br />

MPA. Hasil perhitungan menunjukkan nilai MPA<br />

kedua contoh berkisar antara 58,19-70,13 kg<br />

H 2SO 4/ton. Kedua contoh batuan menunjukkan<br />

nilai ANC = 0 berarti contoh tersebut tidak mampu<br />

untuk menetralisasi asam. Hal ini mungkin<br />

disebabkan oleh kandungan kalsium (Ca) kecil,<br />

yaitu berkisar 0,11-0,12 %. Kedua contoh nilai<br />

NAPP-nya positif, yaitu 63,59-84,56 kg H 2SO 4/<br />

ton. Hal ini menunjukkan bahwa kedua contoh<br />

tersebut dapat membentuk asam yang reaksi<br />

pembentukannya secara umum sebagai berikut:<br />

MeS 2 +7/2O 2 + H 2O Me 2+ 2SO 4 2- +2H +<br />

<br />

(logam sulfida)<br />

Dalam proses pembentukan AAT tersebut, peran<br />

bakteri adalah mempercepat reaksi.<br />

Dharmawan, P, 1996 mengklasifikasikan batuan<br />

pembentuk asam menjadi 4 jenis seperti tertera<br />

pada Tabel 3. Berdasarkan pengklasifikasian<br />

tersebut, kedua contoh batuan tersebut dapat<br />

digolongkan tipe 4 atau potensi pembentuk asam<br />

kapasitas tinggi sehingga diperlukan penanganan<br />

agar tidak mencemari lingkungan sekitar. Salah<br />

satu penanganan adalah penggunaan fenol yang<br />

merupakan bakterisida <strong>dan</strong> sebagai pembanding<br />

digunakan gamping (CaCO 3).<br />

Hasil pengukuran pH lindian selama 12 minggu<br />

dapat dilihat pada Tabel 4 <strong>dan</strong> Gambar 1.<br />

Dari Tabel 3 <strong>dan</strong> Gambar 1 terlihat pada bahwa<br />

blanko (kontrol) air lindian bersifat asam pH dengan<br />

berkisar 2,90-5,6 atau rata-rata 3,7. pH tertinggi<br />

5,6 hanya ditemukan pada batuan BP coklat<br />

dengan ukuran 100 mesh. Nilai pH lindian tertinggi<br />

ditunjukkan oleh penambahan gamping, yaitu ratarata<br />

10,6.<br />

Penggunaan fenol dalam percobaan ini ternyata<br />

mampu meningkatkan air lindian 4,5 - 7,2 atau<br />

rata-rata 6,1. Nilai pH lindian tersebut lebih<br />

ditentukan oleh kemampuan contoh dalam<br />

pembentukan asam maksimum <strong>dan</strong> potensi<br />

batuan dalam menetralkan <strong>dan</strong> bukan ukuran<br />

contoh. Dengan demikian pH lindian BP abu lebih<br />

rendah (4,5- 6,0) dari BP coklat (5,2-7,2).<br />

Peningkatan pH lindian pada percobaan<br />

penambahan fenol mungkin disebabkan oleh<br />

kemampuan fenol menghambat pertumbuhan<br />

86 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Tabel 3. Penggolongan jenis batuan pembentuk asam<br />

No. Golongan Jenis Batuan Keterangan<br />

1. Tipe 1 Bukan pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih besar atau sama dengan 4<br />

atau nilai NAPP negatif<br />

2. Tipe 2 Potensi pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 ,nilai NAG pada pH<br />

kapasitas rendah 4,5 lebih kecil dari 5 kg H 2SO 4 per ton<br />

NAPP 0 – 10 kg H 2SO 4 per ton<br />

3. Tipe 3 Potensi pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4,nilai NAG pada pH<br />

kapasitas tinggi 4,5 lebih besar atau sama dengan 5 kg H 2SO 4<br />

per ton<br />

NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H 2SO 4<br />

per ton<br />

4. Tipe 4 Pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 , pH batuan (1 : 2)<br />

lebih kecil dari 4 nilai NAG pada pH 4,5 lebih besar<br />

atau sama dengan 5 kg H 2SO 4 per ton<br />

NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H 2SO 4<br />

per ton<br />

<strong>Sumber</strong>: Dharmawan, Parliyanto , 1996<br />

Tabel 4.<br />

Rata-rata perubahan pH lindian dengan penambahan fenol <strong>dan</strong> kapur<br />

No Perlakuan pH No Perlakuan pH<br />

1 a 1b 1c 0 2.9 10 a 2b 2c 0 3.6<br />

2 a 1b 1c 1 5.2 11 a 2b 2c 1 7,2<br />

3 a 1b 1c 2 10,8 12 a 2b 2c 2 10,7<br />

4 a 1b 2c 0 5.6 13 a 3b 1c 0 2.9<br />

5 a 1b 2c 1 7 14 a 3b 1c 1 6<br />

6 a 1b 2c 2 10,8 15 a 3b 1c 2 10,6<br />

7 a 2b 1c 0 4.2 16 a 3b 2c 0 3.4<br />

8 a 2b 1c 1 4,5 17 a 3b 2c 1 6.9<br />

9 a 2b 1c 2 10,1 18 a 3b 2c 2 10,8<br />

Keterangan:<br />

C 0=control; C 1 = fenol; C 2 = gamping<br />

b = jenis batu; b 1 = BP abu; b- 2 = BPcoklat<br />

a 1, a 2, a 3 = ukuran batu<br />

dilihat bahwa dosis gamping berpengaruh terhadap<br />

pH lindian. Pada penetralan ini terjadi reaksi<br />

sebagai berikut:<br />

CaCO 3 + H 2 SO 4 CaSO 4 + H2CO 3<br />

3 CaCO 3 + Fe 2 (SO 4 ) 3 + 6 H 2 O 2 CaSO 4 +2<br />

Fe(OH) 2 + 3 H 2 CO 3<br />

Kapasitas reduksi asam untuk masing-masing<br />

perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.<br />

Gambar 1.<br />

Perubahan pH lindian dari<br />

batuan dengan penambahan<br />

kapur <strong>dan</strong> fenol<br />

Tabel 5 menunjukkan nilai pH lindian rata-rata dari<br />

penggunaan fenol berkisar antara 4,5 –7,2 <strong>dan</strong><br />

gamping antara 10,1 – 10,8. Nilai pH lindian dari<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />

87


Tabel 5.<br />

Kapasitas reduksi asam dari fenol <strong>dan</strong> gamping terhadap blanko<br />

Jenis Perlakuan Rata-rata Selisih thd Reduksi asam Kapasitas reduksi<br />

Penanganan pH blanko (%) (per mg)<br />

Blanko a1b1c0 2,9 0 - -<br />

a1b2c0 5,6 0 - -<br />

a2b1c0 4,2 0 - -<br />

a2b2c0 3,6 0 - -<br />

a3b1c0 2,9 0 - -<br />

a3b2c0 3,4 0 - -<br />

a1b1c1 5,2 2.3 44.23 2.3<br />

a1b2c1 7,0 1.4 20.00 1.4<br />

Fenol a2b1c1 7,2 3.6 50.00 3.6<br />

a2b2c1 4,5 0.3 6.67 0.3<br />

a3b1c1 6,9 3.5 50.72 3.5<br />

a3b2c1 6,0 3.1 51.67 3.1<br />

a1b1c2 10,8 7.9 73.15 7.9<br />

a1b2c2 10,8 5.2 48.15 5.2<br />

Gamping a2b1c2 10,7 7.1 66.36 7.1<br />

a2b2c2 10,1 5.9 58.42 5.9<br />

a3b1c2 10,6 7.7 72.64 7.7<br />

a3b2c2 10,8 7.4 68.52 7.4<br />

fenol sudah memenuhi syarat sebagai air limbah<br />

dari kegiatan penambangan bijh emas berdasarkan<br />

Kepmen LH No. 202/2004 (pH 6-9) <strong>dan</strong> dapat<br />

menetralkan asam berkisar antara 6,67% -51,67%.<br />

Penetralan dengan gamping dapat mereduksi<br />

asam 48-15,% - 73,15%, jadi lebih tinggi dari fenol.<br />

Namun apabila dilihat nilai pH lindian dari<br />

penggunaan gamping telah melampau nilai yang<br />

ditentukan oleh Kepmen tersebut, sehingga perlu<br />

dilakukan penurunan dosis gamping agar hasil<br />

lindian dapat memenuhi syarat. Penurunan dosis<br />

dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan<br />

menurunkan dosis gamping <strong>dan</strong> menggunakan<br />

asam seperti H 2SO 4 atau HCl sehingga diperoleh<br />

nilai pH air limbah yang sesuai dengan Kepmen<br />

LH No. 202/2004 (pH 6-9). Penurunan dosis<br />

gamping lebih dianjurkan karena dapat<br />

menghindari a<strong>dan</strong>ya biaya tambahan pengelolaan<br />

air limbah. Penelitian Siwik (1989) menunjukkan<br />

penambahan Ca(OH) 2 (kapur padam) dengan<br />

dosis 5000 mg/kg selama 50 minggu dapat<br />

mereduksi asam sampai 80%.<br />

Ukuran bijih berpengaruh terhadap nilai pH <strong>dan</strong><br />

reduksi asam baik untuk penggunaan fenol<br />

maupun gamping. Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa<br />

ukuran batuan berpengaruh terhadap perlakuan.<br />

Nilai pH <strong>dan</strong> reduksi asam tertinggi terjadi pada<br />

batuan ukuran -1+1/2cm <strong>dan</strong> terkecil pada ukuran<br />

batuan 100 mesh baik untuk perlakuan dengan<br />

fenol maupun batuan. Batuan dengan potensi<br />

pembentuk kapasitas asam tinggi (BP abu)<br />

kemampuannya dalam mereduksi asam lebih<br />

rendah dari BP coklat. Hasil lindian (pH) <strong>dan</strong><br />

reduksi asam dari BP abu lebih rendah dari BP<br />

coklat untuk semua jenis ukuran batu. Dari hasil<br />

percobaan terlihat kemampuan fenol dalm<br />

mereduksi asam lebih kecil dari gamping.<br />

5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

5.1. Kesimpulan<br />

Hasil penelitian menujukkan berbagai hal sebagai<br />

berikut:<br />

• Fenol dapat digunakan dalam pencegahan air<br />

asam tambang <strong>dan</strong> dapat meningkatkan nilai<br />

pH lindian dengan kisaran 4,5 –7,2. Nilai<br />

tersebut memenuhi syarat sebagai air limbah<br />

dari kegiatan penambangan bijh emas<br />

berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004<br />

• Kapasitas reduksi asam untuk fenol dengan<br />

dosis 5 mg/g berkisar antara 6,67% -51,67%.<br />

• Kapasitas reduksi asam untuk gamping<br />

dengan dosis 10 mg/g berkisar 48-15,% -<br />

88 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


73,15%, <strong>dan</strong> pH berkisar 10,1 – 10,8. Karena<br />

nilai ini sudah melampaui baku mutu air limbah<br />

dari kegiatan penambangan bijh emas<br />

berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004<br />

sehingga diperlukan penurunan dosis gamping.<br />

• Ukuran batuan <strong>dan</strong> jenis batuan berpengaruh<br />

terhadap hasil lindian.<br />

• Kapasitas fenol dalam mereduksi asam lebih<br />

kecil dari gamping.<br />

5.2. Saran<br />

Penelitian perlu dilanjutkan dengan pemberian<br />

bakterisida yang lain seperti surfaktan sehingga<br />

dapat ditentukan bakterisida yang lebih beperan<br />

dalam pencegahan air asam tambang. Untuk melihat<br />

pengaruh ukuran <strong>dan</strong> jenis batuan terhadap kelarutan<br />

logam-logam maka perlu dilakukan pengukuran<br />

konsentrasi logam-logam yang terekstrasi.<br />

UCAPAN TERIMAKASIH<br />

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak<br />

Sahroji, Kepala KUD Tambang Harapan,<br />

Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung<br />

Selatan yang telah mengirim contoh batuan<br />

sehinnga penelitian ini dapat berjalan lancar.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Buck, M. Kirsten, 20<strong>01</strong>, The effects of Germicides<br />

on Microorganism, http://<br />

www.infectioncontroltoday.com/articles/<br />

191clean.html diakses tanggal 15 Juni 2009<br />

Dharmawan Parliyanto, 1996, Identifikasi Potensi<br />

Air Asam Tambang di Daerah Tambang<br />

Batubara PT. Arutmin Indonesia, Paper<br />

disajikan pada Seminar Air Asam Tambang<br />

di Indonesia, Aula Barat ITB 1-2 Juli 1996<br />

Siwik R, S. Payant and K. Wheeland, 1989, ‘Control<br />

of acid generation from reactive waste rock<br />

with the use of chemicals’, Tailings and Effluent<br />

Management. Chalkey, M. E, et al (eds.),<br />

Pergamon Press, New York.<br />

Sobek, A.A., Schuller, W.A., Freeman, J.R., and<br />

Smith, R.M. 1978. Field and Laboratory Methods<br />

Applicable to Overburdens and Minesoils.<br />

U.S. Environmental Protection Agency, Cincinnati,<br />

Ohio, 45268. EPA-600/2-78-054, 47-<br />

50.<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />

89


PENGARUH TITIK LELEH ABU TERHADAP<br />

PENGENDAPANNYA PADA PEMBAKARAN<br />

BATUBARA DENGAN PEMBAKAR<br />

SIKLON DI BEBERAPA FASILITAS INDUSTRI<br />

Sumaryono<br />

Puslitbang Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara (<strong>tekMIRA</strong>)<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung<br />

Telp./Fax : 022 – 6038027, 081321237913<br />

e-mail : soemaryono@tekmira.esdm.go.id<br />

S A R I<br />

Batubara dapat dikatakan sebagai bahan bakar yang kotor karena sulit untuk mendapatkan batubara<br />

yang murni, bersih dari kotoran. Khususnya pengotor-pengotor yang dapat mempengaruhi proses<br />

pembakaran seperti kandungan abu dengan berbagai karakteristiknya yang selain mempengaruhi<br />

proses pembakaran juga dapat mengganggu produk <strong>dan</strong> fasilitas industri yang dilayani. Untuk<br />

pengoperasian pembakar siklon, kadar abu yang tinggi dengan titik leleh yang bervariasi dapat<br />

mempengaruhi kinerja alat. Berdasarkan titik lelehnya abu dibagi menjadi 3 golongan yaitu golongan<br />

a bertitik leleh tinggi, golongan b bertitik leleh se<strong>dan</strong>g atau mendekati suhu operasional pembakar<br />

siklon 1200°C <strong>dan</strong> golongan c bertitik leleh rendah, jauh dibawah 1200°C.<br />

Tulisan ini menguraikan proses penanganan abu untuk ketiga jenis abu tersebut, dalam pengoperasian<br />

pembakar siklon untuk ketel uap, pemanas oli <strong>dan</strong> pengering berputar. Diuraikan juga proses<br />

pengendapan partikel abu dari ketiga jenis abu dalam fasilitas industri tersebut <strong>dan</strong> lokasi<br />

pengendapannya. Dari pengamatan tersebut, didapat abu golongan a lebih dari 90% tertiup keluar<br />

siklon, abu golongan b lebih dari 50% menempel sebagai kerak di dalam siklon <strong>dan</strong> abu golongan c<br />

lebih dari 90% meleleh di dalam siklon kemudian mengalir ke dalam kotak abu.<br />

<strong>Kata</strong> kunci : pembakar siklon, titik leleh abu, pengendapan<br />

ABSTRACT<br />

Coal may be viewed as a dirty fuel, since it is difficult to obtain pure coal, free from impurities.<br />

Particularly the impurities which may affect the combustion process such as the ash content with its<br />

various characteristics, which either affecting the combustion process or may affect the product and<br />

the industrial facilities served. For cyclone combustor operation, high ash content with various melting<br />

points may affect the combustor performance.<br />

Based on its melting point, ash may be divided into three groups, (a) group has high melting point, (b)<br />

group has medium melting point or close to the operational temperature of the cyclone combustor at<br />

1200°C, and (c) group has low melting point, far below 1200°C.<br />

This paper describes the handling process of those ash groups, in the operation of the cyclone<br />

combustor in steam boiler, oil heater and rotary dryer. The deposition processes of the ash particles<br />

in those industrial facilities and their deposition locations are also described. From this observation,<br />

90 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


it was found that (a) group ash, more than 90% was blown out of the cyclone, (b) group ash more than<br />

50% adhered as slag in the cyclone and (c) group ash more than 90% melted in the cyclone and then<br />

flowed into the ash box.<br />

Keywords: cyclone combustor, ash melting point, deposition<br />

1. LATAR BELAKANG<br />

Pembakar siklon dengan bahan bakar batubara<br />

halus berukuran -30 mesh telah digunakan di<br />

industri untuk berbagai jenis fasilitas seperti ketel<br />

uap, pemanas oli, pengering berputar, dll sejak<br />

tahun 2005. Pembakar siklon digunakan untuk<br />

menggantikan pembakar BBM di berbagai fasilitas<br />

industri tersebut (Sumaryono, 2009). Tetapi sejak<br />

tahun 2008 mulai terjadi kelangkaan batubara<br />

standar karena naiknya harga ekspor batubara<br />

sehingga pasokan batubara standar untuk dalam<br />

negeri terganggu <strong>dan</strong> di pasaran dalam negeri<br />

hanya tersedia batubara dengan spesifikasi yang<br />

berubah-ubah dalam jumlah-jumlah kecil. Keadaan<br />

ini mengakibatkan operasional pembakar siklon<br />

sering terganggu karena mutu batubara yang<br />

berubah-ubah <strong>dan</strong> cenderung semakin turun<br />

mutunya.<br />

Parameter titik leleh abu akan dibahas dalam<br />

tulisan ini karena merupakan salah satu faktor yang<br />

berpengaruh dalam operasional pembakar siklon.<br />

Masalah titik leleh abu juga berpengaruh pada<br />

operasional teknik pembakaran batubara lainnya.<br />

Pada teknik pembakaran dengan unggun<br />

terfluidakan (Basuki, 2003), jika digunakan<br />

batubara dengan titik leleh mendekati suhu<br />

pembakaran atau dibawahnya mengakibatkan<br />

unggun mengeras setelah dingin sehingga harus<br />

dihancurkan dengan linggis.<br />

Pada teknik pembakaran kisi berjalan<br />

(Changzhou, 2003), titik leleh abu yang rendah<br />

mengakibatkan tertutupnya kisi oleh lelehan abu<br />

sehingga mengganggu aliran udara pembakar.<br />

Jelas pula pengaruhnya pada teknik pembakaran<br />

batubara bubuk (pulverized coal combustion) (Singer,<br />

1991), pengelolaan abunya tergantung pada titik<br />

leleh abu, bisa berupa abu terbang atau abu dasar.<br />

Tulisan ini menguraikan beberapa proses<br />

pembakaran batubara dengan titik leleh abu yang<br />

berbeda-beda pada beberapa fasilitas industri <strong>dan</strong><br />

akibat-akibat yang ditimbulkan oleh abu batubara<br />

tersebut pada operasional pembakar siklon.<br />

Pembakar siklon perlu terus dikembangkan<br />

sehingga semakin handal untuk dapat menghadapi<br />

berbagai parameter karakteristik batubara yang<br />

berbeda-beda. Dengan kinerja yang semakin baik<br />

maka hal ini merupakan dukungan pada program<br />

pemerintah untuk terus meningkatkan kontribusi<br />

batubara dalam konsumsi energi nasional yang<br />

ditargetkan sebesar 33% pada tahun 2025<br />

(Yusgiantoro, 2007).<br />

2. LATAR BELAKANG TEORI<br />

Komponen-komponen abu dalam batubara<br />

terutama terdiri atas unsur-unsur Si, Al, Fe, Ca<br />

<strong>dan</strong> sedikit Ti, Mn, Mg, Na, K yang terikat dengan<br />

silikat, oksida, belerang, sulfat atau fosfat.<br />

Karakteristik abu dipengaruhi oleh unsur-unsur<br />

yang dikandungnya, khususnya titik leleh abu yang<br />

merupakan parameter penting dalam proses<br />

pembakaran batubara (Rance, 1975).<br />

Pembakaran batubara dengan pembakar siklon<br />

dilakukan dengan batubara tepung (-30 mesh).<br />

Untuk pembakaran terus menerus, karakteristik<br />

abu sangat penting selain berpengaruh pada<br />

efisiensi pembakaran, sifat titik leleh dapat<br />

mengganggu operasional pembakar siklon karena<br />

abu dapat berupa padatan yang tertiup keluar<br />

siklon, atau berupa kerak yang menempel di<br />

dinding siklon sehingga jika semakin tebal,<br />

operasional pembakar siklon dapat terganggu. Jika<br />

menempel di moncong keluarnya api, dapat<br />

menyumbat aliran api karena jika kerak semakin<br />

tebal, diameter moncong siklon semakin kecil.<br />

Sifat-sifat abu khususnya menyangkut sifat<br />

melelehnya yang dapat mengganggu operasional<br />

siklon tersebut dipengaruhi oleh kandungan unsurunsur<br />

tertentu di dalam abu. Sebagai contoh,<br />

pengaruh Al 2O 3 <strong>dan</strong> SiO 2.<br />

Jika perbandingan Al 2O 3 : SiO 2 mendekati 1 : 1,18<br />

maka abu bersifat refraktori dengan titik leleh<br />

tinggi. Sebaliknya, dengan banyaknya senyawa<br />

CaO, MgO <strong>dan</strong> Fe 2O 3 mengakibatkan turunnya<br />

titik leleh abu, terutama jika kandungan SiO 2-nya<br />

tinggi. Unsur lain yang dapat menurunkan titik leleh<br />

abu adalah Na 2O <strong>dan</strong> K 2O. Tergantung nilai titik<br />

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono<br />

91


leleh abu, jika titik lelehnya tinggi maka abu tetap<br />

berupa debu padat. Jika titik lelehnya hampir sama<br />

dengan suhu siklon, maka viskositas tinggi<br />

sehingga lengket <strong>dan</strong> tidak bisa mengalir. Jika titik<br />

leleh abu jauh di bawah suhu siklon, maka<br />

viskositas lelehan abu menjadi rendah sehingga<br />

dengan mudah mengalir ke bawah. Pembakar<br />

siklon dapat beroperasi dengan lancar jika titik<br />

leleh abu jauh di atas atau di bawah suhu<br />

operasional siklon, yaitu sekitar 1200°C.<br />

3. SEBARAN ABU DAN<br />

KARAKTERISTIKNYA<br />

3.1. Beberapa Golongan Titik Leleh Abu<br />

Dalam kaitannya dengan operasional pembakar<br />

siklon, titik leleh abu dibagi menjadi tiga golongan<br />

yaitu :<br />

a. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih tinggi dari<br />

suhu operasional pembakar siklon.<br />

b. Abu dengan titik leleh oksidasi sama atau<br />

mendekati suhu operasional pembakar siklon.<br />

c. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih rendah<br />

dari suhu operasional pembakar siklon.<br />

Titik leleh oksidasi adalah titik leleh abu dalam<br />

atmosfer pembakaran oksidasi, jadi dalam<br />

suasana pembakaran dengan jumlah oksigen lebih<br />

dari oksigen stoikiometrinya.<br />

Abu bertitik leleh tinggi (a), akan tetap berupa debu<br />

padat pada saat operasional pembakaran siklon.<br />

Se<strong>dan</strong>g yang bertitik leleh mendekati operasional<br />

pembakar siklon akan bersifat melunak tetapi<br />

belum mudah mencair sehingga lengket <strong>dan</strong><br />

menempel di dinding siklon. Se<strong>dan</strong>gkan abu yang<br />

bertitik leleh rendah akan mudah mencair <strong>dan</strong><br />

mengalir ke tempat yang lebih rendah. Semakin<br />

rendah titik leleh abu, akan semakin rendah<br />

viskositas abu tersebut sehingga cairannya mudah<br />

mengalir ke bagian bawah pembakar siklon.<br />

Tabel 1 adalah beberapa contoh abu yang<br />

termasuk dalam abu golongan a, b <strong>dan</strong> c,<br />

tergantung pada titik lelehnya.<br />

3.2. Sebaran Abu Dalam Fasilitas Industri<br />

3.2.1 Ketel uap<br />

Gambar 1 adalah skema ketel uap jenis pipa api<br />

(fire tube) yang telah dipasang pembakar siklon<br />

sebagai ganti pembakar solar <strong>dan</strong> daerah-daerah<br />

pengendapan abunya.<br />

Pengoperasian ketel uap ini dengan batubara<br />

berkandungan abu gol. a, yang bertitik leleh jauh<br />

lebih tinggi dari suhu pengoperasian siklon (1180<br />

– 1230°C) dengan kadar abu kurang dari 2%,<br />

menghasilkan abu padat dengan sebaran :<br />

Lokasi a, dalam siklon : 5%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 15%<br />

Lokasi c, dalam pipa api : 0%<br />

Lokasi d, dalam penampung debu : 30%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 30%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 20%<br />

Se<strong>dan</strong>gkan pegoperasian dengan batubara<br />

mengandung abu gol. b yang titik lelehnya hampir<br />

sama dengan suhu operasional pembakar siklon,<br />

menghasilkan abu yang lunak <strong>dan</strong> lengket<br />

menempel pada dinding bagian dalam pembakar<br />

siklon. Setelah dingin abu yang lengket ini<br />

mengeras berupa kerak. Kerak ini dengan mudah<br />

dapat dikorek dari dinding siklon. Pada<br />

pembakaran batubara yang berkadar abu 5,5%,<br />

dalam waktu 1 hari kerak sudah terlalu tebal<br />

sehingga siklon semakin mengecil volumenya <strong>dan</strong><br />

lingkaran dalam leher siklon semakin menyempit<br />

sehingga mengganggu aliran api dari siklon ke<br />

dalam ketel uap. Pembakaran dihentikan, siklon<br />

dibiarkan dingin untuk dilakukan pembersihan<br />

dindingnya dari kerak. Sebaran kerak <strong>dan</strong> kotoran<br />

padat lain adalah :<br />

Tabel 1.<br />

Beberapa contoh abu golongan a, b, c <strong>dan</strong> titik lelehnya<br />

Golongan Reduksi, °C Oksidasi, °C<br />

Abu Deformasi Sperikal Hemisfer Alir Deformasi Sperikal Hemisfer Alir<br />

A 1305 1435 1460 >1500 1470 >1500 >1500 >1500<br />

B 1140 1150 1160 1225 1235 1255 1260 1325<br />

C 1075 1080 1090 1155 1125 1135 1160 1180<br />

92 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


pembakar solar <strong>dan</strong> daerah-daerah lokasi<br />

pengendapan abunya.<br />

Gambar 1.<br />

Skema ketel uap dengan<br />

pembakar siklon<br />

Lokasi a, dalam siklon : 60%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 20%<br />

Lokasi c, dalam pipa api : 0%<br />

Lokasi d, dalam penampung debu : 10%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 5%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 5%<br />

Pengoperasian dengan batubara mengandung abu<br />

gol. c yang titik lelehnya dibawah suhu operasional<br />

pembakar siklon, menghasilkan abu yang sudah<br />

mencair <strong>dan</strong> mengalir ke lantai siklon, masuk ke<br />

dalam kotak abu. Dinding bagian dalam siklon<br />

terlihat mengkilap karena terlapisi oleh cairan dari<br />

abu yang mencair dengan viskositas yang rendah.<br />

Pada pembakaran batubara jenis ini yang berkadar<br />

abu 7,6%, lelehan abu yang mengalir ke dalam<br />

kotak abu segera membeku membentuk padatan<br />

yang sangat keras berwarna coklat kehitaman.<br />

Bongkahan-bongkahan lelehan abu yang menjadi<br />

padat diambil dari kotak abu 2 jam sekali. Sebaran<br />

abu dalam siklon <strong>dan</strong> ketel uap adalah :<br />

Lokasi a, dalam siklon : 95%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 0%<br />

Lokasi c, dalam pipa api : 0%<br />

Lokasi d, dalam penampung debu : 0%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 0%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 5%<br />

3.2.2 Pemanas oli<br />

Pemanas oli (oil heater) di pabrik tekstil, makanan<br />

<strong>dan</strong> industri kimia digunakan untuk memproduksi<br />

panas yang disalurkan dengan menyalurkan oli<br />

panas (220 – 250°) ke unit-unit proses yang<br />

memerlukan seperti untuk pengeringan,<br />

pemasakan dll. Gambar 2 adalah skema pemanas<br />

oli jenis vertikal yang telah dipasang pembakar<br />

siklon di bagian atasnya sebagai pengganti<br />

Gambar 2.<br />

Skema pemanas oli dengan<br />

pembakar siklon<br />

Api dari pembakar siklon turun ke dalam ruang<br />

api (b), naik <strong>dan</strong> turun lagi memanaskan pipa-pipa<br />

oli (d), kemudian asapnya keluar melalui cerobong.<br />

Pengoperasian dengan batubara mengandung abu<br />

golongan a yang titik lelehnya diatas suhu<br />

operasional pembakar siklon, menghasilkan abu<br />

yang padat dengan sebaran :<br />

Lokasi a, dalam siklon : 5%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 0%<br />

Lokasi c, dalam penampung abu : 55%<br />

Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli : 2%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 25%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 13%<br />

Pengoperasian dengan batubara mengandung abu<br />

golongan b yang titik lelehnya hampir sama<br />

dengan suhu operasional pembakar siklon<br />

menghasilkan abu yang lengket. Karena viskositas<br />

abu sangat tinggi maka abu yang lunak <strong>dan</strong><br />

lengket ini menempel di permukaan dinding bagian<br />

dalam siklon. Abu yang datang selanjutnya<br />

melekat di permukaan lelehan sebelumnya<br />

sehingga membentuk kerak yang semakin tebal.<br />

Akibat fatal dari kejadian ini terutama diameter<br />

dalam L-bow dari siklon menuju ruang api dari<br />

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono<br />

93


pemanas oli semakin mengecil sehingga tekanan<br />

didalam ruang siklon membesar <strong>dan</strong> aliran api ke<br />

dalam pemanas oli terhambat. Pembakaran harus<br />

dihentikan <strong>dan</strong> kerak dibersihkan. Sebaran abu<br />

berupa kerak <strong>dan</strong> padatan lain adalah :<br />

Lokasi a, dalam siklon : 60%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 0%<br />

Lokasi c, dalam penampung abu : 20%<br />

Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli : 3%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 5%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 12%<br />

Percobaan menggunakan batubara dengan abu<br />

golongan c belum dilakukan untuk siklon dengan<br />

pemanas oli ini, karena batubara dengan abu<br />

demikian jarang didapat dipasaran.<br />

3.2.3 Pengering berputar<br />

Gambar 3 adalah skema pengering berputar (rotary<br />

dryer) dengan pembakar siklon yang<br />

menggantikan posisi pembakar solar. Pada<br />

penggunaannya untuk pengeringan pupuk atau<br />

semen pozolan yang berputar dalam pengering,<br />

sampah padat yang keluar dari pembakar siklon<br />

akan masuk kedalam pengering berputar <strong>dan</strong><br />

bercampur dengan produk pengeringan.<br />

Gambar 3.<br />

Pengering berputar<br />

Pengamatan sebaran pengendapan abu hanya<br />

dapat dilakukan didalam pembakar siklon,<br />

se<strong>dan</strong>gkan sampah padat yang tertiup kedalam<br />

pengering berputar tidak diukur karena jumlahnya<br />

relatif kecil setelah bercampur dengan komoditas<br />

yang dikeringkan.<br />

Sebagai contoh, proses pengeringan pupuk fosfat<br />

yang produksinya 1500 kg/jam, konsumsi batubara<br />

dengan pembakar siklon 90 kg/jam dengan kadar<br />

abu batubara = 5% atau jumlah abu yang<br />

dihasilkan = 4,5 kg/jam, maka jumlah abu yang<br />

bercampur dengan 1.500 kg pupuk fosfat adalah<br />

4,5 kg atau 0,3% dari berat pupuk.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan penggunaan batubara dengan abu<br />

golongan b, identik penggunaannya pada pemanas<br />

oli <strong>dan</strong> ketel uap. Jumlah abu berupa kerak yang<br />

menempel di dalam dinding siklon sekitar 60%<br />

<strong>dan</strong> sisanya tertiup <strong>dan</strong> tercampur dengan produk<br />

yang dikeringkan. Demikian pula untuk abu<br />

golongan c, sebagian besar abu meleleh keluar<br />

dari dalam siklon masuk ke dalam kotak abu.<br />

Semakin rendah titik leleh abu, semakin banyak<br />

abu yang meleleh keluar siklon, karena lebih cepat<br />

mengalirnya, disebabkan viskositas yang rendah.<br />

4. PEMBAHASAN<br />

Pengendapan abu bertitik leleh tinggi<br />

(abu golongan a)<br />

Abu dengan titik leleh tinggi, abu akan berbentuk<br />

tepung padat yang akan tertiup bersama asap,<br />

keluar silinder siklon. Hanya kurang dari 10% yang<br />

tertinggal didalam silinder siklon, selebihnya<br />

mengendap dalam bagian-bagian tertentu dari<br />

fasilitas industri. Mekanisme pengendapan<br />

partikel-partikel abu sebagian karena perlambatan<br />

aliran asap, sebagian lagi karena menabraknya<br />

partikel-partikel abu ke suatu dinding kemudian<br />

terjatuh oleh gaya gravitasi.<br />

Sebagai contoh, untuk fasilitas industri berupa<br />

ketel uap jenis pipa api. Pembakar siklon<br />

berdiameter bagian dalam 130 cm menyalurkan<br />

api kedalam lorong api utama dari ketel uap yang<br />

berdiemeter bagian dalam 80 cm melalui moncong<br />

siklon yang berdiameter bagian dalam 60 cm.<br />

Perubahan kecepatan aliran dari dalam silinder<br />

siklon ke dalam lorong api utama dipengaruhi oleh<br />

luas penampang <strong>dan</strong> suhu dari kedua lokasi<br />

tersebut. Perbandingan luas penampang adalah<br />

sebanding dengan kuadrat radius atau 65 2 : 40 2 =<br />

2,64 : 1. Se<strong>dan</strong>gkan perubahan suhunya dari<br />

sekitar 1470°K didalam siklon menjadi sekitar<br />

770°K didalam lorong api utama atau 1,9 : 1. Maka<br />

perbandingan kecepatan aliran asap didalam<br />

siklon/kecepatan asap dalam lorong api adalah<br />

2,64 : 1,9 = 1,39 atau hanya berbeda sedikit,<br />

sehingga pengendapan partikel abu karena<br />

perbedaan kecepatan asap kecil pengaruhnya.<br />

Tetapi karena perjalanan dari silinder siklon ke<br />

lorong api utama melewati moncong siklon yang<br />

diameternya 60 cm, maka terjadi turbulensi di<br />

dalam lorong api utama sehingga kesempatan<br />

partikel abu untuk mengendap dalam lorong ini<br />

94 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


juga tidak besar. Selanjutnya asap bergerak<br />

menuju ruang penampung abu dengan penampung<br />

yang lebih luas, sehingga partikel abu banyak yang<br />

jatuh selain karena perlambatan kecepatan, juga<br />

karena menabrak dinding. Asap kemudian<br />

mengalir melalui pipa api yang berdiameter 7,5<br />

cm. Karena diameter yang kecil ini maka<br />

kecepatan asap dilokasi ini tinggi sehingga<br />

didaerah ini pertikel abu yang mengendap hanya<br />

sedikit. Asap berbalik, kembali menuju ruang<br />

pengendapan abu, selanjutnya menuju cerobong.<br />

Banyak partikel abu yang mengendap di bagian<br />

bawah cerobong selain karena kecepatan asap<br />

melambat atau diameter cerobong yang<br />

membesar, juga disebabkan partikel-partikel abu<br />

menabrak dinding cerobong. Keadaan ini<br />

mengakibatkan energi kinetik partikel abu menurun<br />

sehingga terkalahkan oleh gaya gravitasi <strong>dan</strong><br />

terjadi pengendapan.<br />

Sisa partikel abu lainnya, khususnya yang berupa<br />

debu halus keluar bersama asap cerobong.<br />

Penyebaran endapan abu diberbagai lokasi<br />

pengendapan dalam ketel uap telah dikemukakan<br />

di sub-bab 3.2.1 <strong>dan</strong> uraian ini menjelaskan proses<br />

yang terjadi.<br />

Sebaran abu dalam penggunaan abu bertitik leleh<br />

abu tinggi untuk pemanas oli identik dengan<br />

penggunaannya untuk ketel uap, pengendapan abu<br />

dengan mekanisme perlambatan kecepatan asap<br />

<strong>dan</strong> tabrakan partikel abu dengan dinding yang<br />

membentuk sudut mendekati 90°C dengan arah<br />

jalannya asap. Seperti terlihat pada Gambar 2,<br />

pengendapan di penampung abu dominan sebab<br />

disini berlangsung 2 mekanisme yaitu mekanisme<br />

perlambatan kecepatan asap <strong>dan</strong> tabrakan partikel<br />

asap dengan dasar dari ruang api. Dengan<br />

demikian, maka pengendapan abu dominan berada<br />

di penampung abu <strong>dan</strong> dibagian bawah cerobong,<br />

dengan jumlah total di dua lokasi itu sekitar 60 -<br />

70%. Se<strong>dan</strong>gkan penggunaannya untuk pengering<br />

berputar, sebagian besar abu tertiup keluar<br />

pembakar siklon bercampur dengan komoditas<br />

yang diproses.<br />

Pengendapan abu bertitik leleh se<strong>dan</strong>g<br />

(abu golongan b)<br />

Abu bertititk leleh mendekati suhu operasional<br />

siklon ternyata terkumpul di lokasi tidak jauh dari<br />

pembakar siklon itu sendiri. Abu jenis ini mulai<br />

meleleh pada suhu operasional pembakar siklon,<br />

tetapi viskositasnya belum cukup untuk<br />

membuatnya mengalir mengikuti gaya gravitasi,<br />

melainkan bersifat lengket sehingga menempel<br />

dipermukaan dalam pembakar siklon. Partikel abu<br />

yang datang kemudian juga meleleh, lengket<br />

terpapar oleh panas sehingga segera menempel<br />

pada permukaan abu sebelumnya sehingga<br />

menambah tebal tumpukan lelehan abu tersebut.<br />

Sebagian lagi yang tidak sempat menempel di<br />

permukaan siklon, terlempar keluar tetapi dengan<br />

ukuran yang lebih besar karena proses aglomerasi<br />

<strong>dan</strong> jatuh tidak jauh dari lokasi pembakar siklon.<br />

Hanya sebagian kecil yang lolos sampai cerobong,<br />

yaitu partikel-partikel abu yang tidak sempat<br />

mengalami aglomerasi. Dengan demikian maka<br />

sebagian besar abu menempel didinding siklon<br />

sampai 60 – 75% kemudian di ruang api 10 – 20%,<br />

sisanya 5 – 10% tersebar sampai dibawah<br />

cerobong.<br />

Sebaran abu jenis ini dipengaruhi oleh banyak<br />

faktor seperti karakteristik pembakaran<br />

batubaranya sendiri, sifat-sifat lelehan abu,<br />

sebaran ukuran butir batubara, kecepatan<br />

pembakaran, atmosfer pembakaran dll (Rance,<br />

1975).<br />

Pengendapan abu bertitik leleh rendah<br />

(abu golongan c)<br />

Abu jenis ini segera meleleh terpapar oleh suhu<br />

pembakaran dalam siklon. Jika viskositasnya<br />

rendah, lelehan abu mengalir masuk kedalam<br />

kotak abu, sehingga permukaan dalam siklon<br />

hanya tertutup oleh lapisan tipis lelehan abu. Abu<br />

yang datang kemudian terus meleleh, mengalir ke<br />

bawah. Hanya sedikit sekali yang tertiup ke luar,<br />

masuk kedalam ruang api, <strong>dan</strong> yang terbawa<br />

sampai cerobong hanya sejumlah kecil saja. Hal<br />

ini disebabkan hanya sedikit partikel-partikel abu<br />

yang dapat bertahan dalam keadaan padat pada<br />

suhu jauh diatas titik lelehnya.<br />

5. KESIMPULAN<br />

1. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa<br />

pembakaran batubara dengan pembakar<br />

siklon, untuk batubara dengan 3 golongan titik<br />

leleh abu menunjukkan :<br />

a. Abu bertitik leleh tinggi (golongan a)<br />

sebagian besar atau lebih dari 90%, tertiup<br />

keluar siklon.<br />

b. Abu bertitik leleh se<strong>dan</strong>g (golongan b) lebih<br />

dari 50% tertahan di dalam siklon berupa<br />

kerak.<br />

c. Abu bertitik leleh rendah (golongan c)<br />

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono<br />

95


sebagian besar atau lebih dari 90%,<br />

meleleh didalam siklon <strong>dan</strong> kemudian<br />

mengalir kedalam kotak abu.<br />

2. Abu yang mempunyai titik leleh tinggi, tertiup<br />

keluar siklon <strong>dan</strong> mengendap dalam<br />

perangkap-perangkap abu seperti ruang<br />

penampung abu <strong>dan</strong> bagian bawah cerobong.<br />

Sebagian kecil tertinggal di saluran-saluran<br />

asap <strong>dan</strong> yang berukuran halus keluar melalui<br />

cerobong.<br />

3. Mekanisme pengendapan abu terutama<br />

disebabkan oleh :<br />

a. Perlambatan kecepatan asap secara<br />

mendadak <strong>dan</strong> tabrakan partikel abu<br />

dengan dinding.<br />

b. Abu menjadi lunak tetapi viskositasnya<br />

masih tinggi sehingga bahan ini menjadi<br />

lunak, lengket melekat di dinding siklon.<br />

c. Abu mencair karena suhu siklon jauh diatas<br />

titik leleh abu ini sehingga viskositas<br />

lelehan abu rendah, mudah mencair <strong>dan</strong><br />

mengalir kedalam kotak abu <strong>dan</strong><br />

membeku.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Basuki, 2003, Coal Fired Fluidized Boiler, B.P.E,<br />

Jakarta<br />

Changzhou Boiler Co., LTD., 2003, Boiler, Brochure,<br />

Xishan.<br />

Rance, H.C., 1975, Coal Quality Parameters and<br />

Their Influence in Coal Utilization, Shell Int.<br />

Petroleum Co., LTD.<br />

Singer, J.G., 1991, Combustion Fossil Power,<br />

ABB, Connecticut.<br />

Sumaryono, 2009, Development of Cyclone Coal<br />

Burner For Fuel Oil Burner Substitution in Industries,<br />

Indonesian Mining Journal, Bandung,<br />

Vol. 12 No. 13 (29-33).<br />

Yusgiantoro, P., 2007, Sustainabilitas <strong>Energi</strong> di<br />

Indonesia Dalam 30 Tahun Mendatang, Seminar<br />

Nasional Sustainable Alternatif <strong>Energi</strong>,<br />

Semarang.<br />

96 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN BAUKSIT<br />

Husaini<br />

Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : husaini@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Bauksit merupakan bijih aluminium yang mengandung 45-60% Al 2O 3, 12-30% H 2O, dengan kandungan<br />

beberapa mineral pengotor seperti magnetit, hematit, gotit, siderit, kaolinit, ilmenit, anatas, rutil, <strong>dan</strong><br />

brookit. Total ca<strong>dan</strong>gan bauksit dunia adalah sebesar 24 milyar ton. Indonesia sendiri memiliki ca<strong>dan</strong>gan<br />

bauksit terukur lebih dari 900 juta ton yang tersebar di kepulauan Riau <strong>dan</strong> Kalimantan Barat. Sistem<br />

tambang terbuka yang dilanjutkan dengan proses peningkatan kadar mendahului ekstraksi bauksit<br />

menjadi alumina. Peningkatan mutu (uggrading) bauksit dapat dilakukan dengan cara washing &<br />

scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan dengan magnetik <strong>dan</strong> media berat serta flotasi, yang<br />

dipilih berdasarkan karakteristik bijih bauksit yang akan diolah. Proses Bayer adalah cara yang paling<br />

efektif <strong>dan</strong> menguntungkan untuk memproduksi alumina dari bauksit. Alumina yang dihasilkan tersebut<br />

dibuat menjadi logam aluminium melalui proses elektrolisis Hall-Heroult. Untuk memproduksi sebanyak<br />

2 ton alumina atau 1 ton logam aluminium dibutuhkan bauksit rata-rata 4-5 ton. Lebih dari 90% ca<strong>dan</strong>gan<br />

bauksit diolah menjadi alumina atau logam alumunium, sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan<br />

kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, <strong>dan</strong> AlCl 3).<br />

<strong>Kata</strong> kunci : peningkatan kadar, bauksit, alumina, aluminium, elektrolisis, proses Bayer <strong>dan</strong><br />

Hall-Heroult<br />

ABSTRACT<br />

Bauxite is aluminum ore containing 45-60% Al 2O 3, 12-30% H 2O, with several impurities minerals<br />

such as magnetite, hematite, goethite, siderite, kaolinite, ilmenite, anatase, rutile, and brookite.Total<br />

reserves of bauxite in the world were 24 billion metric tons. Indonesia itself has bauxite reserve<br />

deposits more than 900 million metric tons scattered in Riau islands and West Kalimantan. Open pit<br />

mining followed by upgrading preceded bauxite extraction to be alumina. Bauxite upgrading can be<br />

carried out by washing and scrubbing, screening/classification, magnetic separation, heavy media<br />

separation, and flotation, chosen based on the bauxite character to be upgraded. Bayer process is<br />

the most effective and feasible method for alumina production from bauxite. The alumina produced is<br />

processed into aluminum metal through electrolysis process called Hall-Heroult. To produce 2 tons of<br />

alumina or 1 ton of aluminum metal need about 4-5 tons of bauxite in average. More than 90% of<br />

bauxite deposits have been treated into alumina or aluminum metal, the rest is utilized for producing<br />

chemicals such as coagulants (alum, PAC, and AlCl 3).<br />

Keywords : upgrading, bauxite, alumina, aluminum metal, electrolysis, Bayer and<br />

Hall-Heroult processes<br />

Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />

97


1. PENDAHULUAN<br />

Bauksit merupakan bijih aluminium yang terdapat<br />

pada mineral gibbsite [Al(OH) 3], boehmite atau<br />

diaspore (AlOOH). Bauksit umumnya mengandung<br />

45-60% Al 2O 3, 12-30% H 2O, <strong>dan</strong> berbagai macam<br />

pengotor antara lain adalah magnetit (Fe 3O 4),<br />

hematit (Fe 2O 3), gotit (FeO(OH)), siderit (FeCO 3),<br />

kaolinit (H 4Al 2Si 2O 9), ilmenit (FeTiO 3), anatas,<br />

rutil, <strong>dan</strong> brookit (TiO 2) (Anonim, 2009a). Istilah<br />

bauksit diambil dari nama daerah pedesaan Les<br />

Baux-de-Provence dibagian selatan Perancis,<br />

tempat pertama kali ditemukannya mineral ini oleh<br />

seorang ahli geologi bernama Pierre Berthier pada<br />

tahun 1821 (Wikipedia, 2007b). Penghasil bauksit<br />

utama dunia adalah Australia (lebih dari 40 juta<br />

ton/tahun), Amerika Tengah <strong>dan</strong> Selatan (Jamaika,<br />

Brazil, Surinam, Venezuela, Guyana), Afrika<br />

(Guinea), Asia (Indonesia, India, China), Rusia,<br />

Kazakhstan <strong>dan</strong> Eropa (Yunani). Jumlah ca<strong>dan</strong>gan<br />

bauksit di beberapa Negara tersebut pada tahun<br />

20<strong>01</strong> diperkirakan sebesar 3,8 milyar ton (Australia),<br />

3,9 milyar ton (Brazil), 720 juta ton (China),<br />

7,4 milyar ton (Guinea), 700 juta ton (Guyana),<br />

770 juta ton (India), 2 milyar ton (Jamaika), 200<br />

juta ton (Rusia), 680 juta ton (Suriname), 20 juta<br />

ton (USA), 320 juta ton (Venezuela), Negara lainnya<br />

4,1 milyar ton, sehingga total ca<strong>dan</strong>gan dunia<br />

sebesar 24 milyar ton (Wikipedia, 2007b).<br />

Se<strong>dan</strong>gkan jumlah ca<strong>dan</strong>gan bauksit di Indonesia<br />

sendiri sebesar 907.843.757 ton (terukur) yang<br />

tersebar di kepulauan Riau <strong>dan</strong> Kalimantan Barat,<br />

ca<strong>dan</strong>gan tereka.sebesar 3.100.000 ton (Bangka),<br />

<strong>dan</strong> ca<strong>dan</strong>gan hipotetik sebesar 13.500.000 ton<br />

(Bangka). (Husaini <strong>dan</strong> Wijayanti, 2002). Cara<br />

penambangan yang diterapkan di berbagai belahan<br />

dunia umumnya dengan sistem tambang terbuka<br />

(80%) dengan kapasitas produksi >100 juta ton<br />

bauksit tiap tahun, sisanya yang 20% dengan<br />

tambang bawah tanah sampai kedalaman 70 m<br />

dibawah permukaan tanah. Hasil tambang tersebut<br />

selanjutnya diproses menjadi alumina berdekatan<br />

dengan lokasi penambangan, atau dikapalkan ke<br />

pabrik peleburan ke berbagai negara di dunia.<br />

Sebelum diekstraksi menjadi alumina, bauksit dari<br />

tambang terlebih dahulu ditingkatkan kadarnya.<br />

Peningkatan mutu (uggrading) bauksit yang dapat<br />

dilakukan tergantung dari karakteristik bauksitnya,<br />

beberapa di antaranya adalah cara washing &<br />

scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan<br />

dengan magnetik <strong>dan</strong> media berat serta flotasi.<br />

Alumina yang diperoleh dari proses Bayer, kemudian<br />

dibuat menjadi logam aluminium melalui proses<br />

elektrolisis Hall-Heroult. Berdasarkan data ratarata<br />

di dunia, sekitar 4-5 ton bauksit dibutuhkan<br />

untuk memproduksi 2 ton alumina atau 1 ton sebagai<br />

logam aluminium. Di Eropa sendiri biasanya<br />

menkonsumsi bauksit rata-rata 4,1 ton untuk<br />

memghasilkan 1 ton logam aluminium (Anonim,<br />

2009d). Sekitar 95% bauksit dunia diolah menjadi<br />

alumina atau logam alumunium (Anonim, 2009c),<br />

sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan<br />

kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, <strong>dan</strong> AlCl 3).<br />

2. METODOLOGI<br />

Untuk menyusun makalah ini, metodologi yang<br />

digunakan adalah dengan cara melakukan survei<br />

literatur dari berbagai sumber antara lain hasil<br />

penelitian yang terkait dengan tema makalah baik<br />

di perpustakaan, internet, maupun hasil penelitian<br />

yang dilakukan sendiri. Kemudian dari data yang<br />

terkumpul dilakukan evaluasi <strong>dan</strong> pembahasan<br />

yang akhirnya sampai kepada kesimpulan.<br />

3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN<br />

PEMANFAATAN BAUKSIT<br />

3.1. Proses Peningkatan Mutu<br />

Ada beberapa cara yang sudah umum diterapkan<br />

dalam peningkatan kadar bauksit, beberapa di<br />

antaranya yang akan dibahas disini adalah scrubbing<br />

<strong>dan</strong> screening, pemisahan dengan magnetik,<br />

pemisahan dengan media berat, <strong>dan</strong> flotasi.<br />

3.1.1 Scrubbing <strong>dan</strong> screening<br />

Proses scrubbing yang dikombinasikan dengan<br />

pencucian <strong>dan</strong> pengayakan untuk meningkatkan<br />

kadar alumina dalam bauksit merupakan cara<br />

yang sederhana <strong>dan</strong> cukup efektif yang sudah<br />

diterapkan secara komersial. Cara ini relatif baik<br />

untuk meningkatkan kadar alumina, mengingat<br />

bauksit dari tambang memiliki ukuran butir yang<br />

bervariasi <strong>dan</strong> tiap fraksi ukuran memiliki<br />

komposisi kimia yang berbeda-beda. Berdasarkan<br />

data hasil karakterisasi, bijih bauksit berukuran<br />

makin halus mutunya semakin rendah (kandungan<br />

pengotor semakin tinggi). Umumnya bauksit<br />

berukuran di bawah 2 mm, kadar aluminanya relatif<br />

rendah <strong>dan</strong> kandungan pengotornya relative tinggi,<br />

oleh karena itu produk hasil scrubbing <strong>dan</strong><br />

pencucian yang diambil adalah fraksi ukuran di<br />

atas 2 mm. Dari percobaan yang telah dilakukan,<br />

diperoleh data bahwa bijih bauksit asal Kijang yang<br />

semula memiliki kandungan Al 2 O 3 antara 40,50-<br />

48,36 %, setelah melalui scrubbing –screening<br />

98 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


yang didahului peremukan diperoleh produk<br />

dengan kadar Al 2O 3 antara 50,53-53,67%<br />

(persayatan bahan baku untuk proses Bayer<br />

adalah di atas 51% Al 2O 3, maksimum 3% silica<br />

reaktif <strong>dan</strong> maksimum 7% Fe 2O 3). Perolehan alumina<br />

yang didapat dari proses scrubbing tersebut<br />

berkisar 82,78-89,66% <strong>dan</strong> rasio konsentrasi<br />

78,42-84,8% (Husaini dkk., 2007). Di India, proses<br />

benefisiasi untuk peningkatan kadar alumina dalam<br />

bauksit juga dilakukan dengan cara peremukan<br />

yang dilanjutkan dengan pengayakan cara kering<br />

untuk menurunkan kandungan silikanya (Nandi,<br />

2004). Cara lain untuk mendapatkan kadar bauksit<br />

yang memenuhi syarat <strong>dan</strong> konsisten adalah<br />

dengan mencampurkan (blending) bauksit kadar<br />

rendah yang sudah diolah dengan yang kadarnya<br />

lebih tinggi (Anonim, 2007a).<br />

3.1.2 Pemisahan dengan magnetik<br />

Mineral-mineral bersifat magnetik seperti besi<br />

oksida yang terkandung dalam bijih bauksit<br />

ataupun tailing hasil ekstraksi bijih bauksit dapat<br />

dipisahkan dengan pemisah magnetik (magnetic<br />

separator). Salah satu mineral yang memiliki<br />

komponen oksida besi adalah tailing hasil pencucian<br />

bauksit Pulau Kijang yang besarnya berkisar<br />

antara 9,93 - 16,05%. Dari uji coba yang telah<br />

dilakukan terhadap tailing bijih bauksit (komposisi<br />

kimia 48,98 % Al 2 O 3 <strong>dan</strong> 11,49 % Fe 2 O 3 ), yang<br />

sebelumnya dipanaskan pada suhu 450 o C,<br />

setelah dilewatkan pemisah magnetik pada kondisi<br />

5 Am -1 , telah dihasilkan produk non magnetik (70%<br />

berat) dengan kadar Al 2 O 3 53,8 % <strong>dan</strong> Fe 2 O 3 9,14<br />

%; ini berarti terjadi peningkatan kadar Al 2 O 3<br />

sebesar 4,82% <strong>dan</strong> penurunan kadar Fe 2 O 3 sebesar<br />

2,35%. Se<strong>dan</strong>gkan untuk tailing bauksit berkadar<br />

Al 2 O 3 42,25 % <strong>dan</strong> Fe 2 O 3 15 %, dengan kondisi<br />

pemisahan yang sama dihasilkan produk non<br />

magnetik (58 % berat) dengan kadar Al 2 O 3 57,7 % .<br />

<strong>dan</strong> Fe 2 O 3 9,41 % (Husaini <strong>dan</strong> Wijayanti, 2002).<br />

Teknik pemisahan dengan magnetik ini telah<br />

dilakukan juga oleh Jamieson dkk. (2006) terhadap<br />

mineral red mud yang dihasilkan dari ekstraksi<br />

bijih bauksit dengan soda kostik pada kondisi<br />

intensitas rendah <strong>dan</strong> intensitas tinggi cara basah.<br />

Salah satu produknya berupa material magnetik<br />

(besi oksida) yang memiliki kadar Fe 40%,<br />

sementara produk kedua berupa material non<br />

magnetik yang mengandung silika yang tiggi (93%<br />

SiO 2 ) yang pemanfaatannya sangat sesuai untuk<br />

konstruksi beton. Produk yang ketiga terdiri dari<br />

campuran besi <strong>dan</strong> silika yang umumnya cocok<br />

untuk material pengisi. Penerapan teknologi<br />

pemisahan secara magnetik tersebut memiliki<br />

potensi untuk dikembangkan dalam mengatasi<br />

permasalahan penumpukan red mud yang dihasilkan<br />

yang besarnya berkisar antara 40-50%) dari berat<br />

bijih bauksit yang diolah melalui proses Bayer.<br />

3.1.3 Pemisahan dengan media berat<br />

Prinsip pemisahan dengan media berat adalah<br />

dengan memanfaatkan perbedaan berat jenis mineral-mineral<br />

yang akan dipisahkan. Mineral yang<br />

lebih rendah berat jenisnya daripada berat jenis<br />

media berat (heavy liquid) akan terapung,<br />

sebaliknya mineral yang lebih besar berat jenisnya<br />

akan tenggelam. Dalam hal ini mineral besi<br />

(hematit) memiliki berat jenis sekitar 7, bauksit<br />

2,65 <strong>dan</strong> media berat (bromoform 2,89 <strong>dan</strong><br />

pengencer karbon tetra klorida 1,59). Dengan<br />

demikian hematit akan tenggelam karena berat<br />

jenisnya lebih tinggi dari berat jenis bromoform,<br />

se<strong>dan</strong>gkan bauksit yang berat jenisnya lebih<br />

rendah dari berat jenis bromoform akan mengapung,<br />

sehingga kadar alumina dalam bauksit yang<br />

mengapung meningkat. Dari data hasil poercobaan<br />

dengan menggunakan bauksit berukuran -100+200<br />

mkesh <strong>dan</strong> waktu pengendapan 20 menit<br />

menunjukkan a<strong>dan</strong>ya peningkatan kadar Al 2O 3 <strong>dan</strong><br />

penurunan kadar Fe 2O 3 dibandingkan dengan<br />

keadaan kadar awalnya. Sebagai contoh, dengan<br />

menggunakan bromoform dengan berat jenis 2,59,<br />

produk terapung memiliki kadar Al 2 O 3 sebesar<br />

55,18 % <strong>dan</strong> kadar Fe 2 O 3 7.97 %, se<strong>dan</strong>gkan<br />

bagian yang tenggelam memiliki kadar Al 2 O 3<br />

sebesar 12.34 % <strong>dan</strong> kadar Fe 2 O 3 30.12 %. Jadi<br />

kualitas (bauksit) setelah dipisahkan lebih baik<br />

dibandingkan sebelum dipisahkan yang<br />

mempunyai komposisi kimia awal Al 2 O 3 48 % <strong>dan</strong><br />

Fe 2 O 3 15 % (Husaini <strong>dan</strong> Soenara, 2003).<br />

3.1.4 Flotasi<br />

Flotasi merupakan salah satu cara pemisahan<br />

yang memanfaatkan perbedaan sifat kimia-fisika<br />

permukaan dari berbagai macam partikel mineral.<br />

Perbedaan sifat permukaan suatu mineral dengan<br />

mineral lainnya dapat terbentuk dengan<br />

menambahkan zat aktif permukaan (kolektor).<br />

Bahan kimia lainnya yang digunakan adalah<br />

pembusa (frother), <strong>dan</strong> regulator (activator, depressant,<br />

pengatur pH). Mineral yang terlapisi<br />

kolektor akan bersifat hidrofobik (suka udara)<br />

sehingga mudah menempel pada gelembung udara<br />

<strong>dan</strong> dapat diapungkan. Penggunaan pembusa<br />

adalah untuk menstabilkan gelembung udara<br />

supaya tidak mudah pecah. Se<strong>dan</strong>gkan depres-<br />

Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />

99


sant berfungsi untuk menekan agar mineral yang<br />

tidak diinginkan tidak ikut mengapung. Kalau yang<br />

diapungkan mineral yang tidak dikehendaki<br />

prosesnya disebut flotasi balik (reverse flotation).<br />

Massola dkk. (2008) telah melakukan penelitian<br />

yang inovatif mengenai peningkatan kadar gibsit<br />

dengan cara flotasi balik yang menghasilkkan<br />

bauksit jenis metalurgi. Bahan yang diflotasi<br />

berupa tailing hasil proses scrubbing <strong>dan</strong><br />

desliming yang kandungan kuarsanya relatif tinggi.<br />

Kanji (starch) digunakan sebagai depressant <strong>dan</strong><br />

ether-amine sebagai kolektor kationik. Hasil<br />

percobaan skala pilot pada kondisi pH optimum<br />

sekitar 10 menghasilkan konsentrat mutu<br />

metalurgi dengan kadar alumina 42,3% <strong>dan</strong> ratio<br />

alumina/silika sebesar 11,1. Konsentrat bauksit<br />

yang mengandung mineral gibsit, besi, <strong>dan</strong> titan,<br />

selanjutnya ditingkatkan lagi kadarnya melalui<br />

pemisahan secara magnetik menghasilkan kadar<br />

alumina 54%, ratio alumina/silika 12,6 <strong>dan</strong> total<br />

perolehan alumina dalam konsentrat akhir (produk<br />

non-magnetik) sebesar 69,3%. Hasil penelitian<br />

lainnya (Liuyin Xia, dkk., 2009) menunjukkan<br />

bahwa penggunaan kolektor kationik (zat aktif<br />

permukaan) jenis butane-á,ù-bis (dimethyl<br />

dodeculammonium bromide) dalam flotasi balik<br />

telah berhasil memisahkan mineral mineral kaolinit,<br />

piropilit <strong>dan</strong> ilit dari bauksit jenis diaspore. Kolektor<br />

jenis dimer tersebut menunjukkan daya pengumpul<br />

yang lebih baik dibandingkan kolektor jenis<br />

monomernya. Lebih dari itu, daya apung terhadap<br />

kaolin lebih baik daripada ilit <strong>dan</strong> piropilit dalam<br />

selang pH tertentu. Bila ditambahkan depressant<br />

kanji (corn starch), pemisahan cara flotasi terhadap<br />

beberapa mineral pengotor yang terkandung dalam<br />

bauksit (diaspore) yang dilakukan pada pH antara<br />

9-10 menghasilkan seletifitas yang signifikan<br />

terhadap ilit, piropilit <strong>dan</strong> kaolinit. Konsentrat yang<br />

dihasilkan dari percobaan skala bench scale<br />

memiliki ratio Al/Si sebesar 9,72 <strong>dan</strong> perolehan<br />

Al sebesar 81,25%.<br />

Pengaruh gugus kationik dari kolektor rantai karbon<br />

12 (12-carbon chain collectors) telah diteliti oleh<br />

Hong Zhong, dkk. (2008) untuk memisahkan mineral<br />

kaolinit, piropilit <strong>dan</strong> ilit dari diaspore. Hasil<br />

penelitian menunjukkan bahwa pemisahan diaspore<br />

dari mineral-mineral alumino silikat dengan<br />

menggunakan kolektor kation dodecylamine chloride<br />

(DDAC), dodecyl trimethyl ammonium chloride<br />

(DTAC) atau dodecylguanidine sulfate (DDGS)<br />

adalah layak pada kondisi alkalin kuat. Ketiga jenis<br />

kolektor tersebut menunjukkan selektifitas yang<br />

tinggi terhadap diaspore, <strong>dan</strong> DDGS merupakan<br />

kolektor terbaik dibandingkan dengan DDAC <strong>dan</strong><br />

DTAC dalam memisahkan mineral alumino silikat.<br />

Flotasi balik juga berhasil dilakukan untuk<br />

memisahkan kaolinit dari diaspore dengan<br />

menggunakan kolektor dodecylamine (DDA) <strong>dan</strong><br />

depressant cationic polyacrylamide (CPAM) pada<br />

pH 5.5–8.5 (Guangyi Liu, 2007). Penyerapan CPAM<br />

pada seluruh permukaan kristal diaspore mencegah<br />

spesi kation DDA untuk terserap pada permukaan<br />

diaspore, sehingga diaspore dapat ditekan (tidak<br />

ikut mengapung). Kemampuan adsorpsi grup kation<br />

CPAM pada permukaan kaolinit yang bermuatan<br />

negatif diperlemah oleh induksi <strong>dan</strong> efek sterik<br />

senyawa metil dalam gugus CH 2N + (CH 3) 3 yang<br />

membuat CPAM memiliki pengaruh yang kurang<br />

signifikan pada adsorpsi DDA pada permukaan<br />

kaolinit. Penelitian sejenis mengenai peningkatan<br />

kandungan diaspore dengan flotasi balik untuk<br />

memisahkan mineral pengotor juga dilakukan oleh<br />

Zhenghe Xu (2004). Penelitian mengenai penggunaan<br />

kolektor-kolektor yang efektif untuk pemisahan<br />

mineral pengotor (lempung) <strong>dan</strong> depressant untuk<br />

menekan diaspore asal China juga telah dilakukan.<br />

Hal ini dilakukan agar bauksit yang sebelumnya<br />

mengandung alumina yang rendah dapat<br />

ditingkatkan kadarnya sampai memenuhi syarat<br />

sebagai bahan baku untuk proses Bayer. Hasil<br />

penelitian yang didapat menunjukkan peningkatan<br />

ratio alumina/silika dari 10.<br />

3.2. Pembuatan Alumina Hidrat/Alumina<br />

Alumina (Al 2 O 3 ) adalah material halus berwarna<br />

putih mirip dengan garam (Anonim, 2007). Alumina<br />

dapat diperoleh dari ekstraksi bauksit dengan soda<br />

kostik. Ekstraksi bauksit secara komersial<br />

pertama kali dilakukan oleh Sainte-Claire Deville<br />

di Perancis tahun 1865, tetapi cara ini tidak<br />

digunakan lagi setelah ditemukan proses baru<br />

(Bayer) oleh ahli kimia Austria tahun 1887. Total<br />

produksi alumina dunia sebesar 40 juta ton pada<br />

tahun 1995, seluruhnya dihasilkan dengan<br />

memproses bauksit melalui proses Bayer. Proses<br />

Bayer merupakan cara yang paling ekonomis yang<br />

memanfaatkan reaksi antara alumunium<br />

trihidroksida <strong>dan</strong> aluminium oksida dengan soda<br />

kostik membentuk sodium aluminat. Reaksi<br />

kesetimbangan mengarah ke kanan dengan<br />

meningkatnya konsentrasi soda kostik <strong>dan</strong> suhu.<br />

Operasi berikut dilakukan secara berurutan yaitu<br />

(1) pelarutan alumina pada suhu tinggi, (2)<br />

pemisahan <strong>dan</strong> pencucian pengotor yang tidak<br />

larut (red mud) untuk mendapatkan alumina terlarut<br />

<strong>dan</strong> soda kostik, (3) hidrolisis parsial larutan sodium<br />

aluminat pada suhu rendah untuk mengendapkan<br />

100 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


alumunium trihidrat, (4) regenerasi larutan untuk<br />

didaur ulang ke tahap (1) dengan penguapan air yang<br />

dimasukkan saat pencucian, <strong>dan</strong> (5) mengubah<br />

trihidroksida menjadi alumina anhidrat melalui<br />

kalsinasi pada suhu 1450 o K (Anonim, 2009a).<br />

3.3. Pembuatan Logam Aluminium<br />

Bila alumina (Al 2O 3) yang diperoleh dari proses<br />

Bayer tersebut dipanaskan lebih lanjut sampai<br />

suhu 1000 °C dengan bantuan bahan pelebur (cryolite<br />

- Na 3AlF 6), maka alumina akan meleleh <strong>dan</strong><br />

tereduksi menjadi logam aluminium yang dikenal<br />

sebagai proses Hall-Héroult. Cryolite sintetik<br />

umumnya dibuat dari asam florida <strong>dan</strong> sodium<br />

aluminat (hasil proses Bayer) dengan persamaan<br />

reaksi sbb (Anonim, 2009a) :<br />

6 HF + 3 NaAlO 2 Na 3AlF 6 + 3 H 2O, atau dengan<br />

mereaksikan asam florida dengan soda kostik <strong>dan</strong><br />

alumina dengan reaksi sbb :<br />

12 HF + 6 NaOH + Al 2O 3 2 Na 3AlF 6 + 9 H 2O<br />

Gas asam florida umumnya dibuat dari acid-grad<br />

fluorspar <strong>dan</strong> asam sulfat dengan reaksi sbb :<br />

CaF 2 + H 2SO 4 2 HF + CaSO 4<br />

Pada proses elektrolisis ini oksigen yang terikat<br />

pada alumina bereaksi dengan elektroda karbon<br />

menghasilkan gas karbon dioksida <strong>dan</strong> logam aluminium.<br />

Setiap ton aluminium membutuhkan 0,4-<br />

0,5 ton anoda karbon. Proses ini mengkonsumsi<br />

energi sangat tinggi. Secara umum sekitar 1 ton<br />

alumina dapat dihasilkan dari 2 ton bauksit.<br />

Lelehan aluminium selanjutnya dicetak menjadi<br />

ingots, bars, rolled into sheets, plates, foil, atau<br />

rod. Produk antara ini kemudian dibentuk di pabrik<br />

pemrosesan yang mengubah aluminum menjadi<br />

produk akhir (consumer products).<br />

3.4. Pembuatan Koagulan<br />

3.4.1 Dari bauksit (asli/bauksit tercuci/<br />

tailing)<br />

Semua mineral yang mengandung unsur aluminium<br />

termasuk bauksit dapat digunakan untuk<br />

pembuatan koagulan (alum, PAC dll). Dalam<br />

pembuatan koagulan ini ada beberapa parameter<br />

yang berpengaruh di antaranya adalah konsentrasi<br />

asam, waktu pelarutan, nisbah padatan dengan<br />

larutan, suhu pelarutan, <strong>dan</strong> ukuran butir bauksit.<br />

Penelitian yang telah dilakukan oleh Acquah, dkk.<br />

(1999) menghasilkan kondisi optimum sebagai<br />

berikut: ukuran partikel 7+14 mesh, waktu 6 jam,<br />

nisbah asam 1:4, suhu 100°C, nisbah padatan<br />

dengan larutan 1:12. Pada kondisi optimum ini ratio<br />

alumina yang didapat sebesar 34,8 (untuk alum<br />

komersial rationya 34-35) <strong>dan</strong> bauksit dengan<br />

kadar A1 2O 3 62.3% <strong>dan</strong> Fe 2O 3 3% adalah cocok<br />

untuk pembuatan alaum. (Acquah, dkk, 1999).<br />

Penelitian pembuatan alum dari bauksit berukuran<br />

-100 mesh dengan menggunakan asam sulfat<br />

konsentrasi (30-40 %) di dalam reaktor<br />

berpengaduk pada suhu 100 o C <strong>dan</strong> lama<br />

pengadukan sekitar 60 menit juga telah dilakukan<br />

oleh Husaini (2007). Dua jenis bauksit Kijang<br />

dengan komposisi Al 2O 3 42,25 %, Fe 2O 3 15,00<br />

% <strong>dan</strong> Al 2O 3 48,98 %, Fe 2O 3 11,49 % digunakan<br />

untuk uji coba tersebut. Reaksi kimia yang terjadi<br />

adalah sebagai berikut:<br />

Al 2O 3 + 3H 2SO 4 Al 2 (SO 4) 3 + 3H 2O<br />

Fe 2O 3 + 3H 2SO 4 Fe 2 (SO 4) 3 + 3H 2O<br />

Hasil ekstraksi ini berupa lumpur yang<br />

mengandung larutan aluminium sulfat yang masih<br />

bercampur dengan senyawa besi <strong>dan</strong> residu yang<br />

tidak larut. Larutan yang sudah dipisahkan dari<br />

residunya, kemudian direduksi dengan logam Al<br />

sambil dipanaskan sampai terjadi perubahan<br />

warna dari coklat menjadi hijau muda dengan<br />

densitas tertentu (1.5 g/ml). Larutan hasil reduksi<br />

selanjutnya ditambah amonia (kadar 21 %)<br />

menghasilkan kristal berupa garam rangkap<br />

[Al 2 (SO 4 ) 3 (NH 4 ) 2 SO 4 xH 2 O] dengan kadar Al 2 O 3<br />

antara 11-14 %. Kristal yang terbentuk dipisahkan<br />

dari filtrat yang masih tersisa. Selain itu telah<br />

dibuat juga tawas butek [Al 2 (SO 4 ) 3 . x H 2 O]<br />

setelah besi dalam larutan diturunkan terlebih<br />

dahulu dengan penambahan larutan Na 2 S. Hasil<br />

pelarutan bauksit dengan asam sulfat mencapai<br />

persen ekstraksi Al 2 O 3 <strong>dan</strong> Fe 2 O 3 tertinggi<br />

masing-masing sekitar 99 % <strong>dan</strong> 65 % pada ukuran<br />

butiran 87,04% lolos100 mesh, konsentrasi asam<br />

40 %, lama pelarutan 1 jam, <strong>dan</strong> suhu 100 o C.<br />

Produk tawas butek yang dihasilkan mempunyai<br />

kadar Al 2 O 3 9,49-12,55 % <strong>dan</strong> Fe 2 O 3 2-2,4 %.<br />

Se<strong>dan</strong>gan tawas bening yang dihasilkan<br />

mempunyai kadar Al 2 O 3 9,92-11,53 % <strong>dan</strong> Fe 2 O 3<br />

0,5-2,71 %.<br />

3.4.2 Dari alumina hidrat<br />

Alumina hidrat [Al (OH) 3 ] dapat dibuat menjadi<br />

tawas [Al 2 (SO 4 ) 3 ] maupun poly aluminium chloride<br />

(PAC). Pembuatan tawas dari alumina hidrat<br />

Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />

1<strong>01</strong>


ini prosesnya sederhana yaitu dengan melarutkan<br />

alumina hidrat dengan asam sulfat pada suhu 100°C<br />

sampai larut sempurna, tanpa proses penyaringan,<br />

karena tidak dihasilkan residu sebagaimana yang<br />

diperlihatkan dalam pelarutan bauksit. Persamaan<br />

reaksi kimia yang terjadi adalah sbb :<br />

2Al (OH) 3 + 3H 2SO 4 Al 2 (SO 4) 3 + 6H 2O<br />

Proses pemanasan larutan dilanjutkan untuk<br />

menguapkan air sampai berat jenis tertentu,<br />

kemudian didinginkan sampai mengkristal. Kadar<br />

alumina dalam tawas tergantung pada kadar air<br />

yang terkandung, semakin rendah kadar air<br />

kristalnya, maka semakin tinggi kandungan<br />

aluminanya. Se<strong>dan</strong>gkan dalam pembuatan PAC,<br />

alumina hidrat direaksikan dengan asam klorida<br />

<strong>dan</strong> asam sulfat sampai alumina hidrat larut<br />

sempurna. Kemudian ke dalam campuran<br />

ditambahkan kapur untuk menurunkan pH sampai<br />

4, dilanjutkan dengan penyaringan. Larutan jernih<br />

hasil penyaringan ini merupakan PAC cair yang<br />

spesifikasinya adalah sbb: 12% Al 2O 3, 9% Cl,<br />

1,35% SO 4. Bila diinginkan produk berupa bubuk,<br />

maka PAC cair dikeringkan dengan menggunakan<br />

spray drier pada suhu tertentu.<br />

4. PENGGUNAAN BAHAN BERBASIS<br />

ALUMINA<br />

4.1. Bauksit Asli/Bauksit Tercuci<br />

Secara tradisional, bauksit digunakan untuk<br />

pembuatan Blast Furnaces, Iron/Steel Ladles,<br />

Torpedo Cars, Electric Arc furnaces, Tundishes,<br />

Soaking Pits, Reheat/Soaking Pits, Open Hearth,<br />

Cement, <strong>dan</strong> Aluminum. Bauksit dapat digunakan<br />

untuk pembuatan berbagai jenis bahan kimia<br />

antara lain alumina hidrat, alumina, tawas, fero<br />

sulfat, besi klorida, semen, <strong>dan</strong> refraktori.<br />

4.2. Alumina Hidrat<br />

Alumina hidrat dapat digunakan untuk pembuatan<br />

berbagai jenis bahan kimia antara lain tawas, poli<br />

aluminium klorida (PAC), <strong>dan</strong> poli aluminium silikat<br />

sulfat (PASS), AlCl 3 , zeolit sintetik, bahan abrasif,<br />

semen, refraktori.<br />

4.3. Alumina<br />

Alumina merupakan produk komoditas yang dapat<br />

digunakan antara lain untuk (Steven dkk., 1998,<br />

Anonim 2007a):<br />

• Bahan baku proses elektrolisis Hall-Heroult<br />

untuk memproduksi logam Al<br />

• Pembuatan bahan kimia tertentu seperti :busi<br />

(spark plugs), penghambat kebakaran (fire<br />

retar<strong>dan</strong>t), marmer sintetik, katalis, pasta gigi,<br />

alum, aluminium fllorida, keramik, ampelas<br />

(abrasive) <strong>dan</strong> refraktori.<br />

Penemuan produk khusus yaitu alumina aktif yang<br />

digunakan untuk menghilangkan kontaminan dari<br />

proses pengilangan minyak, pabrik petro kimia,<br />

<strong>dan</strong> proses pengolahan gas alam. Alcoa<br />

melaporkan penemuan bubuk alumina spesial<br />

untuk sistem pembuangan otomatis (auto exhaust<br />

system) <strong>dan</strong> ampelas halus (fine abrasives). Alumina<br />

dapat juga dijadikan bahan kimia (aluminium<br />

sulfat, aluminium klorida), <strong>dan</strong> logam aluminium<br />

(Patricia, 2009).<br />

Komposisi tipikal alumina (Steven dkk., 1998)<br />

adalah 99.3-99.7% Al 2O 3 (by diff.), 0.30-0.50%<br />

Na 2O, 0.005-0.025% SiO 2,


5. KESIMPULAN<br />

Potensi ca<strong>dan</strong>gan bauksit di Indonesia relatif<br />

besar, tersebar di Kijang (Riau), <strong>dan</strong> Tayan<br />

(Kalimantan Barat) yang jumlahnya tidak kurang<br />

dari 900 juta ton. Proses peningkatan kadar yang<br />

dapat digunakan ada beberapa macam antara lain<br />

scrubbing, pemisahan dengan magnetik <strong>dan</strong> media<br />

berat serta flotasi. Pemilihan cara pengolahan<br />

tersebut tergantung pada karakteristik (di<br />

antaranya kandungan mineral pengotor) bijih<br />

bauksit yang diolah, namun yang sudah<br />

diterapkan di Indonesia sampai saat ini hanya<br />

dengan cara pencucian <strong>dan</strong> scrubbing diikuti<br />

pengayakan dengan ukuran produk + 2 mm.<br />

Bauksit tercuci dapat dikonversi menjadi alumina<br />

melalui proses Bayer <strong>dan</strong> bila diolah lebih lanjut<br />

dengan cara elektrolisis menghasilkan logam aluminium<br />

yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai<br />

keperluan di antaranya di sektor transportasi,<br />

konstruksi, pengepakan, <strong>dan</strong> listrik.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonim, 2007a, Alumina Process, http://<br />

www.qal.com.au/, diakses 30 April 2007<br />

Anonim, 2007b, Bauxite – Wikipedia, the free<br />

encyclopedia, htm, diakses 30 April 2007<br />

Anonim, 2009a, Aluminium, http://<br />

www.mtm.kuleuven.ac.be/Education/<br />

NonMatIrCourses/Mat/5-<br />

c%20aluminium.doc., diakses 17 Juni 2009<br />

Anonim, 2009b, Alumina, aluminium and bauxite,<br />

diakses 17 Juni 2009<br />

Anonim, 2009c, Bauxite Mineral, Bauxite Information,<br />

Uses of bauxite, bauxite Supplier, htm,<br />

diakses 17 Juni 2009<br />

Anonim, 2009d,The European Aluminium Association,<br />

http://www.azon.com/suppliers asp?,<br />

diakses 17 Juni 2009<br />

Acquah F., Mensah B., Obeng Y., 2008, Production<br />

of Alum From Awaso Bauxite, Institute of<br />

Industrial Research,CSIR,Accra, Ghana, http:/<br />

/home.att.net/africantech/GhIE/Awaso 1.htm,<br />

published in the Ghana Engineer, May 1999.<br />

Guangyi Liu, Hong Zhong, Yuehua Hu, Shenggui<br />

Zhao and Liuyin Xia, 2007, The role of cationic<br />

polyacrylamide in the reverse flotation of<br />

diasporic bauxite, School of Chemistry and<br />

Chemical Engineering, Central South University,<br />

Changsha 410083, PR China, School of<br />

Minerals Processing and Bioengineering, Central<br />

South University, Changsha 410083, PR<br />

China.<br />

Husaini <strong>dan</strong> Trisna Soenara, 2003, Pengurangan<br />

Kadar Besi Dalam Bauksit P. Kijang Dengan<br />

Cara Pemisahan Menggunakan Media Berat<br />

(Heavy Media Separation), Puslitbang<br />

Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara, Balitbang<br />

energi <strong>dan</strong> sumberdaya mineral.<br />

Husaini <strong>dan</strong> Wijayanti, R., 2002, Peningkatan<br />

Kualitas Bauksit dari Pulau Kijang dengan<br />

Magnetik Separator Cara Basah, Pusat<br />

Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral<br />

<strong>dan</strong> Batubara.<br />

Husaini, 2007, Penelitian Pendahuluan Pembuatan<br />

Tawas dari Bauksit Kijang, Bahan Galian<br />

Industri, Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan<br />

Teknologi Mineral.<br />

Husaini dkk., 2007, Peningkatan Kadar Bijih<br />

Bauksit Kijang Dan Tayan Dengan Metode<br />

Scrubbing, Laporan Kegiatan Proyek<br />

Kelompok Program Teknologi Pengolahan<br />

Mineral, Pusltbang <strong>tekMIRA</strong> Jl. Jend. Sudirman<br />

No. 623 Bandung.<br />

Hong Zhong, Guangyi Liu, Liuyin Xia, Yiping Lu,<br />

Yuehua Hu, Shenggui Zhao and Xinyang Yu,<br />

2008, Flotation separation of diaspore from<br />

kaolinite, pyrophyllite and illite using three cationic<br />

collectors, Institute of Chemistry and<br />

Chemical Engineering, Central South University,<br />

Changsha 410083, China , Institute of<br />

Minerals Processing and Bioengineering, Central<br />

South University, Changsha 410083,<br />

China.<br />

Jamieson, E. A. Jones, D. Cooling and N. Stockton,<br />

2006, Magnetic separation of Red Sand<br />

to produce value, Alcoa World Alumina, Technology<br />

Delivery Group, P.O. Box 161,<br />

Kwinana, WA 6966, Australia, Curtin University<br />

of Technology, Perth, WA, Australia.<br />

Liuyin Xia, Hong Zhong, Guangyi Liu, Zhiqiang<br />

Huang and Qingwei Chang, 2009, Flotation<br />

separation of the aluminosilicates from diaspore<br />

by a Gemini cationic collector, School<br />

Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />

103


of Chemistry and Chemical Engineering, Central<br />

South University, Changsha, 410083, PR<br />

China, b School of Chemical Engineering and<br />

Technology, Tianjin University, Tianjin 300072,<br />

PR China.<br />

Massola, C.P., Chaves, A.P., Lima, J.R.B. and<br />

Andrade, C.F., 2008, Separation of silica from<br />

bauxite via froth flotation, a Department of Mining<br />

and Petroleum Engineering–Escola<br />

Politécnica, USP, 2373, Prof. Mello Moraes<br />

Av. 05508-900 SP, Brazil, Companhia Brasileira<br />

de Alumínio, Miraí Department, Fazenda<br />

Chorona, Miraí 36790-000, MG, Brazil.<br />

Nandi, A. K., 2004, Present Status Of Bauxite-<br />

Alumina Industry Of India, Minerals and Metals<br />

Division, MFC Commodities India 104-B,<br />

Suraksha Apartments, 16, Hindustan Colony,<br />

Amravati Road Nagpur-440033; INDIA.<br />

Patricia A. Plunkert, 2009, Bauxite And Alumina,<br />

http://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/commodity/bauxite/090495.pdf.<br />

Steven F. McGrath and Lawrence C. Farrar, 1998,<br />

Sonochemical Technology for Processing<br />

Bauxite, http://doc.tms.org/ezMerchant/<br />

prodtms.nsf/ProductLookupItemID/JOM-9805-<br />

34/$FILE/JOM-9805-34F.pdf?OpenElement,<br />

diakses Juni 2009.<br />

Zhenghe Xu, Verne Plitt and Qi Liu, 2004, Recent<br />

advances in reverse flotation of diasporic ores–<br />

–A Chinese experience, Department of Chemical<br />

and Materials Engineering, University of<br />

Alberta, 536 Chemical-Mineral Engineering<br />

Building, Edmonton, Alta., Canada T6G 2G6.<br />

104 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


PRESENTASI MAKALAH<br />

PARALEL III


KARAKTERISASI MERKURI DALAM SEDIMEN DAN<br />

AIR PADA PENGOLAHAN TAILING AMALGAMASI DI<br />

KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT<br />

SECARA SIANIDASI<br />

(STUDI KASUS KUD PERINTIS, DAERAH TANOYAN SELATAN)<br />

M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />

Psat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. (022) 6030843 Faks. (022) 6003373<br />

e-mail : lutfi@tekmira.esdm.go.id, retnod@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Pengolahan bijih emas pada pertambangan emas rakyat umumnya dilakukan dengan proses<br />

amalgamasi menggunakan merkuri (Hg). Kurangnya pengetahuan <strong>dan</strong> keterampilan para penambang<br />

emas rakyat menyebabkan limbah tailing dari bijih emas berbentuk halus yang masih mengandung<br />

emas <strong>dan</strong> bulir Hg langsung dibuang ke perairan, sehingga produk yang dihasilkan sangat rendah <strong>dan</strong><br />

dapat menimbulkan pencemaran yang tinggi.<br />

Di Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Propinsi Sulawesi Utara, tambang emas<br />

skala kecil yang dikelola KUD Perintis mengalihkan proses pengolahan emas dari secara amalgamasi<br />

cara sianidasi untuk meningkatkan perolehan bijihnya. Pada saat ini, proses yang berlangsung<br />

merupakan gabungan dari proses amalgamasi <strong>dan</strong> sianidasi, yakni mengolah tailing yang berasal dari<br />

proses amalgamasi dengan cara sianidasi.<br />

Dampak negatif kegiatan pengolahan tailing amalgamasi dengan cara sianidasi diamati melalui kondisi<br />

kualitas perairan <strong>dan</strong> sedimen disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi Hg di air berkisar antara<br />

(0,<strong>01</strong> - 0,034 mg/L) pada semua lokasi penelitian yakni di daerah hulu, outlet pengolahan, <strong>dan</strong> hilir.<br />

Kondisi ini telah melewati baku mutu yang diperbolehkan dalam (Peraturan Pemerintah Nomor 82<br />

Tahun 20<strong>01</strong> tentang Pengelolaan Kualitas Air <strong>dan</strong> Pengendalian Pencemaran Air Kelas II <strong>dan</strong> KEP-<br />

202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas <strong>dan</strong>/atau Tembaga.<br />

Konsentrasi Hg pada sedimen yang berkisar pada 0,17 - 0,20 ppm di semua lokasi penelitian belum<br />

melewati ambang batas aman terhadap racun yang ada (sesuai Washington state Sediment, WAC<br />

172 – 204 – 320). Tetapi kadar merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring turunnya merkuri di air<br />

ke dasar sungai.<br />

<strong>Kata</strong> kunci : pertambangan rakyat, amalgamasi, merkuri, tailing, pertambangan emas rakyat<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />

105


ABSTRACT<br />

Artisanal gold mine generally proceeds in amalgamation process. Due to the lack of skill and knowladge,<br />

miners usually dispose tailing that contains gold and mercury directly to the water. Of course it will<br />

produce low gold recovery and cause high risk in environmental pollution.<br />

At Lolayan in the Bolaang Mongondow district, North Sulawesi, the small scale goldmining whichmanaged<br />

by KUD Perintis change gold processing from amalgamation to cyanidation methode to improve<br />

gold ore receipt. But sometimes they were combined both of the two methodes by processing the<br />

amalgamation tailing with cyanidation methode.<br />

The negative impacts of cyanidation process to the amalgamation tailing was conducted by observe<br />

the water quality and its sediment surrounding the processing area. Mercury concentration in water<br />

was found in the range of 0,<strong>01</strong> - 0,034 mg/L. Those happened in almost entire waters from upstream<br />

to downstream. Unfortunately, the mercury concentration has exceeded the standard mentioned in<br />

Government Regulation No. 82/20<strong>01</strong> about Water Quality Assessment and Water Pollution Handling<br />

Class II and in the Decree of Environment Ministry KEP-202/MENLH/2004 about Waste water standard<br />

for Gold/Copper Processing. Mercury concentration in the sediment found in the range of 0,17 -<br />

0,20 ppm in all sampling location. These are still in the permitted concentration range (based on<br />

Washington state Sediment, WAC 172-204-320). But mercury concentration could become increased<br />

as the mercury<br />

Keywords : amalgamation, cyanidation, tailing, gold artisanal mining<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Salah satu tujuan pembangunan nasional yang<br />

berwawasan lingkungan adalah terciptanya<br />

keserasian hubungan antara manusia dengan<br />

lingkungan alam sekitarnya dengan cara<br />

pembangunan yang berkelanjutan. Dalam laporan<br />

Komisi Sedunia tentang Lingkungan <strong>dan</strong><br />

Pembangunan (WCED, 1987) pembangunan<br />

berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan<br />

yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan<br />

sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi<br />

yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan<br />

mereka” (www.fathom.com). Oleh karenanya<br />

pengelolaan bahan galian harus diupayakan<br />

secara optimal sesuai denganazas konservasi <strong>dan</strong><br />

berwawasan lingkungan dengan menekan dampak<br />

negatif yang ditimbulkan seminimal mungkin.<br />

Usaha pertambangan oleh sebagian masyarakat<br />

sering dianggap sebagai penyebab kerusakan <strong>dan</strong><br />

pencemaran lingkungan. Sebagai contoh, pada<br />

kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil,<br />

pengolahan bijih emas dilakukan melalui proses<br />

amalgamasi dengan merkuri (Hg) sebagai media<br />

untuk mengikat emas. Merkuri (Hg) yang dipakai<br />

dalam pengolahan ini termasuk dalam kategori B3<br />

(Rachmat Yusuf, 2004).<br />

Kurangnya pengetahuan <strong>dan</strong> keterampilan para<br />

penambang, menyebabkan limbah yang berupa<br />

ampas pengolahan (tailing) yang dihasilkan masih<br />

mengandung emas <strong>dan</strong> butir-butir Hg yang<br />

biasanya langsung dibuang ke perairan. Sebagai<br />

akibatnya, perolehan hasil akhir (produk) yang<br />

didapat sangat rendah. Berdasarkan kenyataan<br />

tersebut, tambang rakyat di Sulawesi Utara<br />

mengubah sistem pengolahannya dengan<br />

menggunakan proses sianidasi baik untuk<br />

mengolah bijihnya ataupun ampas pengolahannya<br />

yang masih mengandung emas. Proses sianidasi<br />

untuk tailing pengolahan dipakai untuk<br />

meningkatkan perolehan produknya. Namun<br />

proses sianidasi ini, menimbulkan juga dampak<br />

negatif karena tailing amalgamasi masih<br />

mengandung merkuri <strong>dan</strong> logan ikutan lainnya,<br />

seperti Cu, Pb, Zn. A<strong>dan</strong>ya interaksi ion Hg dengan<br />

CN akan mempermudah kelarutan, penyebaran<br />

<strong>dan</strong> termetilasi (pembentukan metil-Hg), sehingga<br />

diperkirakan bahaya yang ditimbulkan akan lebih<br />

tinggi. Secara umum proses sianidasi pada<br />

pengolahan bijih emas pada pertambangan emas<br />

rakyat dilakukan pada kondisi basa. Meskipun<br />

sebagian besar sianida dalam proses pengolahan<br />

ini dapat dimanfaatkan kembali, air larian dari<br />

penyaringan kompleks emas sianida masih tetap<br />

mengandung senyawa beracun ini meski dalam<br />

106 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


jumlah yang relatif sedikit. Pada kegiatan tambang<br />

rakyat yang dilakukan di KUD ini, biasanya hasil<br />

tailing proses amalgamasi diproses lagi guna<br />

meningkatkan perolehan bijih. Tahapan-tahapan<br />

proses pengolahan dengan sistem sianidasi dapat<br />

dilihat pada Gambar 1.<br />

Setelah proses pelindian selesai, dilakukan dengan<br />

proses penyaringan (screening) untuk memisahkan<br />

karbon aktif yang telah menyerap kompleks<br />

sianida - emas <strong>dan</strong> membuang tailingnya. Karbon<br />

aktif hasil penyaringan tersebut digarang (roasted)<br />

sampai menjadi abu untuk menghilangkan<br />

senyawa siani<strong>dan</strong>ya, abu hasil penggarangan<br />

ditambah boraks <strong>dan</strong> digarang lagi untuk<br />

menghasilkan bulion emas <strong>dan</strong> perak. Bulion<br />

tersebut selanjutnya direaksikan dengan aqua regia<br />

untuk memisahkan emas <strong>dan</strong> peraknya.<br />

Dampak pemakaian sianida pada kegiatan<br />

pengolahan emas di tambang-tambang rakyat<br />

diperkirakan akan lebih serius mengingat senyawa<br />

sianida tersebut mampu melarutkan logam-logam<br />

lain yang terdapat di dalam batuannya. Di samping<br />

itu apabila kreativitas rakyat dalam mengkombinasikan<br />

proses amalgamasi <strong>dan</strong> sianidasi tidak<br />

dapat terkontrol diperkirakan akan terjadi pula<br />

peningkatan dalam jumlah merkuri yang ikut<br />

terlarutkan.<br />

Penelitian ini hendak melihat karakteristik merkuri<br />

yang berasal dari tailing amalgamasi yang diolah<br />

dengan cara sianidasi. Disamping itu akan diamati<br />

pula kandungan logam-logam berat lain yang<br />

terdapat dalam batuan pembawa bijihnya serta<br />

karakteristik sedimen pada kolam pengendapan<br />

pada proses sianidasi. Berbeda dengan<br />

kontaminasi yang umumnya terjadi di lingkungan,<br />

penurunan kualitas air permukaan yang<br />

disebabkan oleh a<strong>dan</strong>ya logam-logam berat<br />

terlarut akibat proses sianidasi merupakan parameter<br />

yang akan dominan diamati. Parameter CN<br />

total yang berasal dari perairan <strong>dan</strong> kolam<br />

pengendapan akan ditentukan pula.<br />

Tailing Amalgamasi<br />

Tanki Penampungan<br />

crusher,stamp mill, ball mill<br />

Larutan NaCN<br />

Kapur<br />

Karbon Aktif<br />

Tailing<br />

Tanki Reaktor Sianidasi<br />

Screen<br />

(penyaring)<br />

Reaksi yang terjadi:<br />

2 Au + 4 NaCN + 1/2 O + H O <br />

2 NaAu(CN) + 2 NaOH<br />

Roasting<br />

(penggarangan)<br />

Karbon aktif yang<br />

menyerap kompleks<br />

emas <strong>dan</strong> sianida<br />

Settling Pond<br />

(kolam pengendap)<br />

Roasting<br />

(penggarangan)<br />

Bullion Emas <strong>dan</strong> Perak<br />

Gambar 1.<br />

Diagram alir proses pengolahan bijih emas sistem sianidasi<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />

107


2. METODOLOGI<br />

Lokasi Penelitianterletak di daerah Tanoyan,<br />

Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.<br />

Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa<br />

daerah ini merupakan salah satu daerah tambang<br />

rakyat yang dikelola oleh KUD Perintis yang<br />

mengolah bijih emas <strong>dan</strong> tailing amalgamasi<br />

dengan proses sianidasi. Lokasi penelitian terletak<br />

+ 240 km dari Kota Manado atau 30 km dari Kota<br />

Kotamobagu (gambar 2).<br />

kan peralatan pH meter (water quality checker),<br />

conductivity meter. Parameter kimia lain seperti<br />

merkuri <strong>dan</strong> logam-logam terlarut ditentukan dengan<br />

Atomic Absorption Spectrometer.<br />

Metode Pengambilan Conto yang dilakukan,<br />

meliputi; conto bijih, ampas, sedimen, air,<br />

se<strong>dan</strong>gkan analisis yang digunakan untuk logam<br />

berat dengan metode AAS.<br />

Gambar 2.<br />

Peta kesampaian daerah<br />

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini<br />

adalah dengan survey langsung (Grounded checking),<br />

yang meliputi pengambilan contoh air <strong>dan</strong><br />

sedimen. Lokasi pengambilan conto air ada di 3<br />

tempat, yaitu di hulu pengolahan, lokasi pengolahan,<br />

<strong>dan</strong> hilir pengolahan. Titik-titik lokasi tersebut<br />

ditampilkan pada gambar 2. Pada lokasi pengolahan<br />

dilakukan pengambilan contoh di 4 kolam<br />

pengendapan.<br />

Parameter tertentu seperti pH <strong>dan</strong> Daya Hantar Listrik<br />

ditentukan langsung di lapangan dengan mengguna-<br />

Untuk parameter logam, penyimpanan contoh<br />

dilakukan dalam wadah contoh bervolume 500<br />

mLyang terbuat dari plastik. Untuk keperluan<br />

analisis laboratorium, volume conto yang<br />

diperlukan adalah sebanyak 100 mL untuk merkuri.<br />

Untuk merkuri diberikan penambahan pengawet<br />

HNO 3 dengan pH


Pengambilan conto sedimen dilakukan secara<br />

grab sampling dengan menggunakan sekop pada<br />

lokasi pengambilan air <strong>dan</strong> di salah satu mulut<br />

tambang. Conto yang diambil masing-masing ± 1<br />

kg, kemudian dimasukkan ke dalam kantung<br />

plastik berlabel.<br />

Adapun parameter-parameter yang dianalisis di<br />

laboratorium adalah merkuri (Hg) <strong>dan</strong> logam-logam<br />

berat lain seperti Pb, Cu <strong>dan</strong> Zn.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Kualitas Air (Air Sungai)<br />

Kualitas air merupakan hal yang paling pokok<br />

dalam kegiatan ini karena air (sungai) merupakan<br />

tempat bercampurnya faktor-faktor alami dengan<br />

unsur-unsur pencemar <strong>dan</strong> air juga merupakan<br />

unsur esensial yang dibutuhkan oleh makhluk<br />

hidup dalam kehidupan kesehariannya (UNEP,<br />

Gambar 3.<br />

Peta lokasi pengambilan contoh<br />

Tabel 1.<br />

Koordinat lokasi pengambilan contoh<br />

No. Lokasi<br />

Titik<br />

LU<br />

BT<br />

1 Hulu 124° 15’ 40,22" 0° 36’ 28,47"<br />

2 Pengolahan 124° 15’ 05,27" 0° 36’ 27,83"<br />

3 Hilir 124° 16’ 23,34" 0° 36’ 2,81"<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />

109


1991). Sehingga dapat dikatakan ba<strong>dan</strong> air<br />

merupakan tempat interaksi langsung antara unsur<br />

hayati dengan unsur pencemar. Secara alamiah<br />

sungai mempunyai kemampuan dalam<br />

pembersihan diri (self purification) sepanjang<br />

buangan yang diterima sungai tidak melebihi<br />

kapasitas asimilasi sungai (assimilative capacity).<br />

Sementara, dalam kurun waktu cukup lama, unsur<br />

merkuri yang terbuang ke sungai kemungkinan<br />

dapat menjadi senyawa metil merkuri yang<br />

berbahaya melalui proses yang terjadi secara<br />

alamiah.Hasil pengukuran parameter fisik air di<br />

lapangan (pH, temperatur, DHL, TDS, <strong>dan</strong> TSS)<br />

dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah.<br />

Analisis laboratorium conto air untuk logam berat<br />

ditentukan dengan metode spektrofotometri.<br />

Kegiatan tersebut digunakan untuk mengetahui<br />

perubahan-perubahan yang telah terjadi di daerah<br />

sekitar penambangan khususnya <strong>dan</strong> daerah<br />

Tanoyan Selatan, Kecamatan Lolayan sebagai<br />

akibat a<strong>dan</strong>ya pertambangan bijih emas dengan<br />

sebagian besar hasil pengolahan limbahnya<br />

dibuang ke anak sungai Onggak. Hasil analisis<br />

laboratorium conto air dapat dilihat pada tabel<br />

dibawah ini.<br />

Menurut data kualitas air yang diperoleh, diketahui<br />

kadar merkuri (Hg) di semua lokasi percontoan<br />

Tabel 2.<br />

Parameter fisik contoh air di lokasi pengolahan <strong>dan</strong> sungai di sekitarnya<br />

No. Lokasi pH TDS<br />

Suhu DHL TSS<br />

[°C] [µmhos] [mg/L]<br />

1. Air bor dapur 8,34 160 - - 4.8<br />

2. Kolam pengolahan 1 8,37 500 30,2 852 88<br />

3. Kolam pengolahan 2 6,35 390 29,3 648 208<br />

4. Kolam pengolahan 3 8,56 250 31,4 391,4 743<br />

5. Kolam pengolahan 4 2,85 670 31,1 989 108.8<br />

6. Outlet pengolahan bijih 8,2 210 27,2 312 18<br />

7. Hulu Sungai Tanoyan 8,34 160 24,8 245,7 -<br />

8. Outlet pengolahan keseluruhan 8,12 190 27,3 337 42<br />

9. Hilir 8,37 180 28,3 267,8 4.8<br />

Tabel 3.<br />

Hasil analisis sianida <strong>dan</strong> logam-logam berat dalam contoh air di lokasi pengolahan<br />

<strong>dan</strong> sungai di sekitarnya<br />

No.<br />

Lokasi<br />

CN Total Hg Pb Cu Zn<br />

[mg/L] [mg/L] [mg/L] [mg/L] [mg/L]<br />

1 Air bor dapur* 0,058 0,055 0,110 0,002 0,073<br />

2 Kolam pengolahan 1 86,400 0,17 0,068 8,110 0,550<br />

3 Kolam pengolahan 2 3,920 0,16 0,073 26,200 0,055<br />

4 Kolam pengolahan 3 21,700 0,17 0,110 4,790 0,033<br />

5 Kolam pengolahan 4 2,170 0,15 0,170 1,490 0,080<br />

6 Outlet pengolahan bijih 16,700 0,20 0,097 3,230 0,068<br />

7 Hulu S. Tanoyan** 0,066 0,024 0,089 0,150 0,048<br />

8 Outlet pengolahan keseluruhan*** 7,960 0,<strong>01</strong>0 0,083 0,042 0,030<br />

9 Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)** 0,<strong>01</strong>9 0,034 0,110 0,<strong>01</strong>60 0,023<br />

Baku Mutu* 0,1 0,0<strong>01</strong> 0,05 1 5<br />

Baku Mutu** 0,02 0,002 0,03 0,02 0,05<br />

Baku Mutu *** 0,5 0,005 1 2 5<br />

Catatan:<br />

* Peraturan Menteri Kesehatan RI No.: 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Daftar Persyaratan Kualitas Air Minum<br />

** Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 20<strong>01</strong> tentang Pengelolaan Kualitas Air <strong>dan</strong> Pengendalian Pencemaran Air Kelas II<br />

*** KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas <strong>dan</strong>/atau Tembaga<br />

110 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


(hulu <strong>dan</strong> hilir sungai Tanoyan serta outlet pengolahan<br />

keseluruhan) sudah melebihi baku mutu yang<br />

ditentukan. Bahkan pada daerah hulu, dimana<br />

ba<strong>dan</strong> air belum mendapatkan masukan dari<br />

proses pengolahan maupun proses penambangan,<br />

kadar merkuri pun sudah diatas baku mutu.<br />

Hal ini dapat terjadi karena a<strong>dan</strong>ya proses<br />

amalgamasi oleh penambang-penambang lain di<br />

luar KUD yang menggunakan merkuri di daerah<br />

sungai yang lebih tinggi <strong>dan</strong>/atau a<strong>dan</strong>ya susunan<br />

batuan yang mengandung merkuri (Tabel 4 hasil<br />

analisis batuan asal) di daerah penelitian.<br />

sebelum masuk kolam pengolahan (outlet<br />

pengolahan bijih) adalah 0,2 mg/L, <strong>dan</strong> setelah<br />

melewati 4 kolam pengolahan turun hingga 0,<strong>01</strong><br />

mg/L atau turun sebanyak 0,19 mg/L. Kadar<br />

merkuri di daerah hilir lebih tinggi dibandingkan<br />

dengan daerah outlet pengolahan menandakan<br />

a<strong>dan</strong>ya penambahan merkuri yang mungkin<br />

berasal dari kegiatan di sekitar sungai tersebut<br />

meskipun pemerintah daerah sudah melakukan<br />

berbagai pembatasan.<br />

Kadar sianida yang berada diatas baku mutu<br />

terdapat di daerah/area pengolahan, hal ini<br />

Tabel 4.<br />

Hasil analisis sedimen pada kedalaman 0 – 10 cm <strong>dan</strong> batuan<br />

No.<br />

Lokasi<br />

Hg Pb Cu Zn As Cr Ni<br />

[ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm]<br />

1 Kolam pengolahan 1 0,70 tt 17,86 54,3 74,70 45,6 8,31<br />

2 Kolam pengolahan 2 0,37 14,14 47,10 136,0 51,00 56,5 4,27<br />

3 Kolam pengolahan 3 0,36 65,40 162,00 367,0 39,00 86,0 8,98<br />

4 Kolam pengolahan 4 3,<strong>01</strong> 33,90 60,7 136,0 105,00 79,3 0,88<br />

5 5 meter dari pengolahan bijih 2,66 17,27 130,00 74,9 74,20 158,4 2,35<br />

6 Hulu S. Tanoyan* 0,17 tt 56,70 100,0 0,97 42,0 3,87<br />

7 Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)* 0,20 tt 87,90 97,8 1,29 47,5 4,06<br />

8 Lubang tambang (batuan asal) 0,16 6,88 34,70 428,0 1,74 38,5 10,47<br />

Baku Mutu* 0,41 450 390 410 57 250 -<br />

Catatan:<br />

* Washington state Sediment, WAC 172 – 204 – 320<br />

Hasil penelitian terdahulu (Selinawati <strong>dan</strong> Ngurah<br />

Ardha, 2003) pada pertambangan emas di KUD<br />

Perintis data kualitas air yang mengandung kadar<br />

merkuri di kolam pengolahan 1 adalah 0.0814 ppm,<br />

kolam pengolahan 2 adalah 0.0539 ppm, se<strong>dan</strong>gkan<br />

pada S. Onggak (hilir S. Tanoyan) mencapai<br />

0.0<strong>01</strong>1. Pada saat itu, KUD Perintis melakukan<br />

pengolahan dengan proses amalgamasi saja dari<br />

bijih emas <strong>dan</strong> menggunakan hanya 2 kolam<br />

pengolahan. Data menunjukkan bahwa konsentrasi<br />

Hg dalam air sangat kecil, hal ini kemungkinan<br />

disebabkan karena kelarutan Hg dalam air sangat<br />

kecil. Pada penelitian ini (2008) nilai konsentrasi<br />

Hg di daerah pengolahan berkisar antara 0,15 –<br />

0,20 ppm. Peningkatan ini dimungkinakn oleh<br />

a<strong>dan</strong>ya ion CN dalam pengolahan tailing<br />

amalgamasi yang dapat melarutkan Hg.<br />

Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan logam,<br />

kolam pengolahan efektif dalam menurunkan kadar<br />

merkuri pada air buangan, dimana kadar merkuri<br />

dikarenakan proses pengolahan tailing<br />

amalgamasi menggunakan proses sianidasi. Pada<br />

proses sianidasi ini ditambahkan unsur Zn untuk<br />

mengendapkan logam emas <strong>dan</strong> peraknya. Tetapi<br />

rendahnya konsentrasi Zn di dalam air (tabel 2)<br />

dibandingkan konsentrasi awal/alami Zn pada<br />

batuan bijih (tabel 3) disebabkan terjadinya<br />

pengendapan unsur Zn selama aliran pengolahan.<br />

Proses yang biasanya terjadi adalah:<br />

2Zn + 2NaAu(CN) 2 + 4NaCN + 2H 2O = 2Au +<br />

2NaOH + 2Na 2Zn(CN) 4 + H 2<br />

3.2. Kualitas Sedimen<br />

Sedimen merupakan tempat logam berat<br />

mengendap secara gravitasi di ba<strong>dan</strong> perairan.<br />

Kualitas sedimen ba<strong>dan</strong> perairan harus lebih serius<br />

diperhatikan karena sifatnya sebagai tempat akhir<br />

logam berat di alam. Dan pada akhirnya logam<br />

berat yang ada di sedimen dapat kembali ke ba<strong>dan</strong><br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />

111


air karena berbagai hal, misalnya karena arus<br />

sungai, hujan, atau jalur transportasi (DPE.<br />

Pedoman Teknis Penyusunan AMDAL untuk<br />

kegiatan Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong>, 1996).<br />

Kontaminasi merkuri (Hg) dalam sedimen sungai<br />

terjadi karena proses alamiah (pelapukan batuan<br />

termineralisasi), proses pengolahan emas secara<br />

tradisional (amalgamasi), maupun proses industri<br />

yang menggunakan bahan baku yang mengandung<br />

merkuri. Untuk mengetahui sumber kontaminasi<br />

Hg ini perlu diperhatikan dengan cermat.<br />

Untuk mengetahui a<strong>dan</strong>ya kontaminasi logam<br />

berat dalam sedimen maka dilakukan pemeriksaan<br />

sedimen di lokasi yang diperkirakan terkena<br />

dampak proses pengolahan tailing. Pengambilan<br />

conto sedimen dilakukan pada kolam pengendap,<br />

hulu sungai, hilir sungai. Selanjutnya conto<br />

sedimen, batuan bijih, <strong>dan</strong> tanah dianalisis di<br />

laboratorium menggunakan metode AAS.<br />

Dari hasil analisis conto tersebut di atas, kemudian<br />

dilakukan perbandingan dengan peraturan <strong>dan</strong><br />

standar yang dapat dianggap sebagai tolok ukur<br />

kualitas konsentrasi unsur di alam. Oleh karena<br />

itu sumber acuan yang dijadikan sebagai<br />

pembanding pada laporan ini adalah Washington<br />

state Sediment, WAC 172 – 204 – 320. Data<br />

kualitas sedimen dapat dilihat pada tabel 4.<br />

Adapun hasil penelitian kandungan merkuri dalam<br />

sedimen apabila dibandingkan dengan data tahun<br />

2003 menunjukkan penurunan. Namun demikian<br />

nilai tersebut masih dibawah ambang batas aman.<br />

Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai<br />

kualitas air <strong>dan</strong> sedimen pada tahun 2003 sebagai<br />

pembanding dapat dilihat pada Tabel 4.<br />

Berdasarkan hasil diatas, terlihat bahwa<br />

kandungan merkuri pada sedimen di daerah yang<br />

memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat<br />

sekitar (daerah hulu <strong>dan</strong> hilir sungai Tanoyan)<br />

berada dibawah ambang batas aman yang<br />

dikeluarkan Washington state Sediment, WAC<br />

172 – 204 – 320. Tetapi tetap perlu diperhatikan<br />

a<strong>dan</strong>ya keterkaitan antara kadar merkuri di air <strong>dan</strong><br />

sedimen dengan beberapa faktor lingkungan, yaitu<br />

hujan, arus sungai, <strong>dan</strong> jalur transportasi<br />

masyarakat.<br />

Tabel 5. Conto data kualitas air <strong>dan</strong> sedimen di KUD Perintis tahun 2003<br />

No<br />

Lokasi<br />

Konsentrasi Hg [ppm]<br />

A i r Sedimen<br />

1 Kolam Pengolahan 1 0,0814 0,67<br />

2 Kolam Pengolahan 2 0,0539 3,12<br />

3 S. Tanoyan 1 (Hulu S. Tanoyan) 0,0<strong>01</strong> 0,42<br />

4 S. Tanoyan 2 0,0739 1,49<br />

5 S. Tanoyan 3 0,<strong>01</strong>79 5,97<br />

6 S. Onggak 0,0<strong>01</strong>1 0,92<br />

<strong>Sumber</strong> : Selinawati <strong>dan</strong> Ngurah Ardha, 2003<br />

Gambar 4.<br />

Hubungan keterkaitan antara konsentrasi merkuri di sedimen <strong>dan</strong> air<br />

112 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


Pada Gambar 4 ditunjukkan hubungan antara<br />

konsentrasimerkuri di sedimen <strong>dan</strong> air, di mana<br />

semakin ke hilir ba<strong>dan</strong> air. Se<strong>dan</strong>gkan jumlah<br />

merkuri di air <strong>dan</strong> sedimen sangat berkaitan,<br />

dimana keberadaan merkuri di air merupakan<br />

tempat singgah sementara sebelum sampai di<br />

dasar (berkaitan dengan berat jenisnya) <strong>dan</strong> juga<br />

merupakan pelepasan merkuri dari sedimen yang<br />

diakibatkan beberapa faktor, antara lain arus<br />

sungai (karena merupakan sungai <strong>dan</strong>gkal), hujan,<br />

ataupun lintasan transportasi dari masyarakat<br />

sekitar. Kadar merkuri di air pada daerah<br />

pengolahan relatif rendah dibandingkan pada<br />

sedimen, hal ini disebabkan oleh a<strong>dan</strong>ya ikatan<br />

kompleks sebagai senyawa merkuri-sianid (HgCN)<br />

yang mengendap.<br />

4. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

4.1. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil kajian pengolahan tailing<br />

dengan proses sianidasi dapat ditarik kesimpulan<br />

sebagai berikut:<br />

• Berdasarkan informasi dari penambang<br />

karakterisasi pada kegiatan pengolahan tailing<br />

amalgamasi dengan proses sianidasi<br />

dipertambangan emas rakyat dapat<br />

meningkatkan efisiensi perolehan bulion emas<br />

dari bijihnya, dari +40% secara amalgamasi<br />

sendiri menjadi +90% secara kombinasi<br />

amalgamasi <strong>dan</strong> sianidasi, sehingga<br />

meningkatkan pendapatan para penambang.<br />

Proses kombinasi ini diterapkan karena<br />

keberadaan bijih emas dengan bentuk kasar<br />

semakin sedikit.<br />

• Kegiatan pengolahan tailing amalgamasi<br />

dengan proses sianidasi memberikan dampak<br />

negatif terhadap kualitas air <strong>dan</strong> sedimen<br />

disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi<br />

Hg di air (0,<strong>01</strong> - 0,034 mg/L) pada semua<br />

lokasi penelitian (hulu, outlet pengolahan, <strong>dan</strong><br />

hilir) melewati baku mutu yang diperbolehkan<br />

(sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82<br />

Tahun 20<strong>01</strong> tentang Pengelolaan Kualitas Air<br />

<strong>dan</strong> Pengendalian Pencemaran Air Kelas II<br />

<strong>dan</strong> KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku<br />

Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih<br />

Emas <strong>dan</strong>/atau Tembaga). Konsentrasi Hg<br />

pada sedimen (0,17 - 0,20 ppm) pada semua<br />

lokasi penelitian belum melewati ambang<br />

batas aman terhadap racun yang ada (sesuai<br />

Washington state Sediment, WAC 172 – 204<br />

– 320) yaitu sebesar 1 ppm. Tetapi kadar<br />

merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring<br />

mengendapnya merkuri ke dasar sungai.<br />

4.2. Saran<br />

Dari kegiatan penelitian merkuri dalam sedimen<br />

<strong>dan</strong> air pada pengolhan tailing amalgamasi di<br />

pertambangan emas rakyat secara sianidasi,<br />

maka diperlukan:<br />

• Pembinaan terhadap para penambang <strong>dan</strong><br />

pengusaha pengolahan tailing agar lebih<br />

memeperhatikan aspek lingkungan dalam<br />

setiap kegiatannya.<br />

• Diperlukan a<strong>dan</strong>ya pengawasan yang lebih<br />

ketat dari pemerintah baik pusat maupun<br />

daerah berkaitan dengan kegiatan penambangan<br />

<strong>dan</strong> pengolahan emas yang memiliki<br />

dampak besar terhadap lingkungan.<br />

• Perlu dibentuk wilayah pertambangan rakyat<br />

(WPR) untuk lebih memudahkan pemerintah<br />

dalam hal koordinasi <strong>dan</strong> pengawasan<br />

kegiatan penambangan <strong>dan</strong> pengolahan emas<br />

rakyat.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu<br />

Selinawati TD <strong>dan</strong> Bapak Harry Tetra Antono atas<br />

saran serta sumbang wawasan terhadap tulisan<br />

ini.Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada<br />

Bapak Marsen Alimano <strong>dan</strong> Ibu Wulandari Surono<br />

yang telah membantu selama percobaan <strong>dan</strong><br />

penelitian ini berlangsung.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonim. Sediment Quality Standards (WAC 172-<br />

204-320). Washington NEL.<br />

Draft. Global Mercury Project, 2004, Protocol for<br />

Environment and Health Assessment.<br />

<strong>Departemen</strong> Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong>., 1996,<br />

Pedoman Teknis Penyusunan Analisis<br />

Mengenai Dampak Lingkungan Untuk<br />

Kegiatan Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong>.<br />

http://www.fathom.com/course/seasion2<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />

113


Tim Terpadu Pusat Penanggulangan Masalah<br />

Pertambangan Tanpa Ijin (PETI, 2000,<br />

Penanggulangan Masalah Pertambangan<br />

Tanpa Izin (PETI) (Implementasi Inpres No.<br />

3 Tahun 2000). <strong>Departemen</strong> <strong>Energi</strong> <strong>dan</strong><br />

<strong>Sumber</strong> Daya Mineral.<br />

Selinawati.T.D. and Ngurah Ardha, 2003, Study<br />

On Mercury Lost and Its Concentration from<br />

Artisanal Gold Minings in Indonesia. Research<br />

and Development Center for Mineral and Coal<br />

Technology.<br />

Yusuf, Rachmat, 2004, Amalgamasi.<br />

Penambangan <strong>dan</strong> Pengolahan Emas di Indonesia.<br />

Puslitbang Teknologi Mineral <strong>dan</strong><br />

Batubara.<br />

World Commision on Enviroment & Development<br />

(WCED), 1987<br />

114 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


PENGARUH PENGGUNAAN ULTRASONIK<br />

TERHADAP HASIL PEMISAHAN PASIR ZIRKON<br />

KALIMANTAN TENGAH DENGAN ELECTROSTATIC<br />

SEPARATOR<br />

Pramusanto 1 , Nuryadi Saleh 1 , Yuhelda 1 <strong>dan</strong> Fitriza Yuliana 2<br />

1 Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : pramusanto@tekmira.esdm.go.id, nuryadi@tekmira.esdm.go.id, yuhelda@tekmira.esdm.go.id<br />

2 Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Islam Bandung (UNISBA)<br />

Jl. Taman Sari No. 1, 20, 22, 24, 26 Bandung 4<strong>01</strong>16<br />

SARI<br />

Zirkon sebagai hasil tailing dari pengolahan emas aluvial di Kalimantan Tengah memiliki kadar yang<br />

rendah yaitu 36,38 % ZrO 2 sehingga belum memenuhi persyaratan untuk dijual ataupun diekspor.<br />

Peningkatan kadar zirkon dilakukan dengan beberapa metoda pengolahan. Zirkon yang dilakukan<br />

pemisahan merupakan konsentrat dari magnetik separator basah. Pemisahan dilakukan berdasarkan<br />

perbedaan sifat konduktifitas listrik menggunakan electrostatic separator dimana mineral zirkon (ZrSiO 4)<br />

sebagai mineral non konduktor akan terpisah dari mineral pengotornya sebagai mineral konduktor<br />

seperti ilmenit (FeTiO 3) <strong>dan</strong> rutil (TiO 2). Sebelum umpan dipisahkan menggunakan variabel – variabel<br />

optimum pada electrostatic separator terlebih dahulu umpan mendapat perlakuan ultrasonik<br />

(sonikfikasi).<br />

Variabel – variabel optimum pada electrostatic separator :<br />

• Variabel tegangan listrik 30 KV<br />

• Variabel posisi splitter 30°<br />

• Variabel skala kecepatan umpan 7,5<br />

Variabel optimum pada ultrasonik yaitu selama 30 menit dimana umpan yang mendapat perlakuan<br />

ultrasonik dapat membersihkan pasir zirkon dari unsur –unsur minor yang tidak diinginkan.<br />

<strong>Kata</strong> kunci: zirkon, ultrasonic, electrostatic separator<br />

ABSTRACT<br />

Zircon as tailing product of alluvial gold processing in Central Kalimantan has low grade that is 36,38<br />

% ZrO 2 so that has not fulfilled clauses to be sold and or is exported. Upgrading of zircon grade is<br />

done with a few processing method. Zircon done by concentration is concentrate from wet magnetic<br />

separator. Concentration is done based on different of electrical conductivity property applies electrostatic<br />

separator where zircon mineral (ZrSiO 4) as non conductor mineral will separated from its the<br />

gangue mineral as conductor mineral for example ilmenite (FeTiO 3) and rutile (TiO 2). Before feeder<br />

concentration using optimum variables at electrostatic separator beforehand feed got treatment of<br />

ultrasonic (sonicfication).<br />

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />

115


Optimum variables at electrostatic separator :<br />

• Voltage variable 30 KV<br />

• Variable position of splitter 30°<br />

• Feed speed scale variable 7,5<br />

Optimum variable at ultrasonic that is during 30 minutes where feeder getting treatment of ultrasonic<br />

can clean zircon sand from minor elements undesirable.<br />

Keyword: zircon, ultrasonic, electrostatic separator<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Indonesia sebagai salah satu negara penghasil<br />

zirkon memiliki penyebaran zirkon di Sumatera<br />

(Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Pulau Bangka,<br />

Pulau Belitung) <strong>dan</strong> di Kalimantan (Kalimantan<br />

Tengah, Kalimantan Timur) [Suhala <strong>dan</strong> Arifin,<br />

1997]. Zirkon yang terdapat di Pulau Bangka adalah<br />

mineral ikutan bijih timah (kasiterit) yang<br />

merupakan tailing dari pengolahan timah<br />

se<strong>dan</strong>gkan zirkon yang terdapat di Kalimantan<br />

Tengah adalah mineral ikutan bijih emas aluvial<br />

yang merupakan tailing dari pengolahan bijih emas<br />

dengan alat sederhana sluice box. Karakteristik<br />

mineral - mineral pengotor pada zirkon sangat<br />

tergantung dari ganesa mineral sehingga setiap<br />

tempat memiliki karakteristik mineral yang<br />

berbeda (Pramusanto, Dahlan <strong>dan</strong> Saleh, 2007).<br />

Zirkon yang ditemukan di Kalimantan Tengah<br />

kemungkinan berasosiasi dengan mineral – mineral<br />

pengotor seperti ilmenit (FeTiO 3 ), monasit<br />

((Ce, La, Y, Th)PO 4 ), rutil (TiO 2 ), xenotim (YPO 4 )<br />

<strong>dan</strong> kuarsa (SiO 2 ) [www.bgl.esdm.go.id]. Sebagian<br />

besar mineral – mineral pengotor di atas<br />

merupakan mineral berat sehingga perlu dilakukan<br />

pengolahan <strong>dan</strong> peningkatan nilai tambahnya.<br />

Pendekatan proses pengolahan mineral zirkon,<br />

proses mana yang lebih baik itu umumnya<br />

tergantung pada karakteristik zirkon yang akan<br />

diolah maupun pemanfaatan dari produk yang akan<br />

dihasilkan (Pramusanto dkk, 1997).<br />

Pemisahan secara kering yang dilakukan pada<br />

mineral - mineral berat yang terdapat dalam<br />

konsentrat menggunakan berbagai macam<br />

pemisahan berdasarkan sifat - sifat fisik mineral<br />

seperti konduktifitas listrik, kemagnetan <strong>dan</strong> gaya<br />

berat (Woodcock, 1980). Perlakuan ultrasonik<br />

(sonikasi) dilaporkan dapat membersihkan lebih<br />

lanjut terhadap produk pasir zirkon dari unsur –<br />

unsur minor yang tidak diinginkan (Farmer, 2007).<br />

Hasil penelitian pengolahan terdahulu yang telah<br />

dilakukan (Saleh <strong>dan</strong> Pramusanto, 2007) yaitu<br />

pemisahan berdasarkan berat jenis menggunakan<br />

meja goyang <strong>dan</strong> berdasarkan sifat kemagnetan<br />

menggunakan magnetik separator kering<br />

dilanjutkan dengan magnetik separator basah.<br />

Berdasarkan hasil analisis kimia terhadap<br />

konsentrat magnetik separator basah ternyata<br />

masih terdapat unsur-unsur mineral pengotor<br />

seperti rutil (TiO 2 ) <strong>dan</strong> ilmenit (FeTiO 3 ). Mineral<br />

rutil <strong>dan</strong> zirkon bersifat non magnet sehingga<br />

proses pengolahan yang dilakukan sebatas<br />

pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan masih<br />

belum memadai.<br />

Untuk membersihkan partikel – partikel halus yang<br />

menempel pada permukaan zirkon, sehingga<br />

umpan perlu mendapat perlakuan ultrasonik<br />

sebelum dipisahkan menggunakan variabel –<br />

variabel optimum pada electrostatic separator.<br />

2. METODOLOGI<br />

Metodologi peningkatan kadar pasir zirkon<br />

Kalimantan Tengah yang telah dilakukan studi<br />

bahan baku oleh pihak laboratorium pengolahan<br />

<strong>tekMIRA</strong>, yaitu dengan melakukan percobaan<br />

menggunakan ultrasonik sebelum umpan<br />

dipisahkan menggunakan variabel – variabel optimum<br />

pada electrostatic separator. Analisis<br />

terhadap nisbah konsentrasi (NK) bertujuan untuk<br />

mengetahui perbandingan antara berat umpan<br />

yang akan dipisahkan dengan berat konsentrat<br />

yang diperoleh pada proses pemisahan yang<br />

dilakukan <strong>dan</strong> kemudian akan korelasikan dengan<br />

kadar zirkon (ZrO 2 ).<br />

2.1. Persiapan <strong>dan</strong> Analisis Umpan<br />

Preparasi umpan yang akan dipisahkan<br />

berdasarkan perbedaan sifat konduktifitas listrik<br />

116 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


yang berasal dari konsentrat magnetik separator<br />

basah dilakukan bertujuan untuk mendapatkan<br />

contoh yang representatif.<br />

2.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon<br />

dengan Electrostatic Separator<br />

Peningkatan kadar pasir zirkon dalam penelitian<br />

ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan electrostatic<br />

separator yang digunakan dalam<br />

peningkatan kadar. Peningkatan kadar dapat<br />

dilakukan dengan cara memisahkan mineral non<br />

konduktor sebagai mineral berharga yaitu ZrSiO 4<br />

dengan mineral - mineral konduktor sebagai mineral<br />

pengotor seperti; TiO 2, FeTiO 3 <strong>dan</strong> lain-lain<br />

menggunakan electrostatic separator. Alat electrostatic<br />

separator yang digunakan dalam<br />

percobaan dapat dilihat pada Gambar 1.<br />

Gambar 1.<br />

Electrostatic Separator dari<br />

Reichert Equipment tipe MK III<br />

Bench seri 063<br />

2.3. Percobaan Menggunakan Ultrasonik<br />

Percobaan menggunakan alat ultrasonik yang<br />

biasa digunakan untuk membersihkan ayakan<br />

berukuran halus, seperti pada Gambar 2; dalam<br />

penelitian ini dilakukan untuk membersihkan<br />

partikel–partikel halus yang mungkin masih<br />

menempel pada permukaan butiran umpan<br />

sebelum dipisahkan dengan electrostatic separator.<br />

Gambar 2.<br />

Alat ultrasonik<br />

Percobaan dilakukan dengan variabel waktu getar<br />

selama 15 menit, 30 menit, 45 menit <strong>dan</strong> 60 menit.<br />

Pertama sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur<br />

yang berukuran 250 ml <strong>dan</strong> ditambahkan air<br />

sebanyak 150 ml atau 60 % dari kapasitas tempat<br />

penampungannya. Kemudian gelas ukur tersebut<br />

diletakkan di atas jaring atau kawat yang berada<br />

di dalam alat ultrasonik. Getaran yang terjadi pada<br />

alat ultrasonik membawa mineral ringan terangkat<br />

ke atas sehingga berdasarkan masing–masing<br />

waktu yang di variabelkan, terdapat perbedaan<br />

warna mineral yang berada di dalam gelas ukur<br />

yang telah bercampur dengan air. Setelah<br />

digetarkan menggunakan alat ini, mineral yang<br />

berada pada posisi atas dipisahkan <strong>dan</strong> terlihat<br />

lebih berwarna hitam se<strong>dan</strong>gkan pada posisi<br />

bawah sebagai konsentrat berwarna coklat<br />

kemerah – merahan.<br />

Setelah perlakuan ultrasonik dilakukan, kemudian<br />

dilakukan pemisahan basah secara manual antara<br />

partikel mineral berat yang berada pada bagian<br />

bawah gelas ukur dengan partikel mineral ringan<br />

yang berada pada bagian atas. Partikel yang<br />

berada pada bagian atas diambil menggunakan<br />

sendok tipis secara perlahan, se<strong>dan</strong>gkan sisanya<br />

yang melayang diambil dengan cara disaring<br />

menggunakan kertas penyaring. Ukuran partikel<br />

mineral sebagai hasil saringan terlihat sangat halus<br />

dibandingkan dengan ukuran butiran partikel yang<br />

mengendap. Selama percobaan ini juga terlihat<br />

air yang sebelumnya jernih berubah menjadi keruh.<br />

Sampel hasil pemisahan setelah perlakuan<br />

ultrasonik kemudian dijadikan umpan pada<br />

pemisahan dengan electrostatic separator setelah<br />

dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pengering<br />

selama satu hari. Kemudian pemisahan dilakukan<br />

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />

117


pada kondisi variabel optimum dengan electrostatic<br />

separator yang telah dilakukan pada<br />

percobaan sebelumnya.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Analisis Umpan<br />

Hasil analisis kimia secara XRF (Fluoresen Sinar<br />

X) terhadap umpan sebelum dipisahkan<br />

menggunakan electrostatic separator dapat dilihat<br />

pada Gambar 3, menjabarkan grafik persentase<br />

semua unsur yang terdeteksi dalam skala logaritma.<br />

100<br />

10<br />

terhadap nisbah konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 pada<br />

Gambar 4 yaitu semakin besar tegangan listrik<br />

yang digunakan maka nisbah konsentrasinya<br />

semakin kecil <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yang dihasilkanpun<br />

semakin besar. Pemisahan yang baik seharusnya<br />

menghasilkan nisbah konsentrasi yang besar <strong>dan</strong><br />

kadar ZrO 2 yang besar pula. Hal ini berbeda<br />

dengan hasil percobaan yang dilakukan yang<br />

kemungkinan disebabkan oleh pengaruh<br />

perbedaan sifat kelistrikan atau konduktifitas mineral-mineral<br />

yang terdapat dalam umpan seperti<br />

mineral zirkon (ZrSiO 4), ilmenit (FeTiO 3), hematit<br />

(Fe 2O 3), rutil (TiO 2) <strong>dan</strong> lain-lain. Kemungkinan<br />

lain dapat disebabkan oleh jarak elektroda yang<br />

tidak sesuai, tetapi jarak elektroda tidak<br />

divariasikan di dalam percobaan ini. Dimana<br />

dengan jarak elektroda yang terlalu dekat <strong>dan</strong><br />

tegangan yang besar akan menyebabkan<br />

tertariknya semua mineral, baik yang bersifat<br />

konduktor kuat maupun konduktor lemah.<br />

1<br />

0.1<br />

0.<strong>01</strong><br />

SiO2<br />

Al2O3<br />

Fe2O3<br />

MnO<br />

CaO<br />

MgO<br />

Na2O<br />

K2O<br />

P2O5<br />

TiO2<br />

S<br />

ZrO2<br />

Nb2O5<br />

HfO2<br />

Y2O3<br />

Kadar (%)<br />

Cr2O3<br />

CeO2<br />

ThO2<br />

Unsur<br />

Hasil Analisis Umpan<br />

Gambar 3.<br />

Hasil analisis umpan<br />

3.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon<br />

dengan Electrostatic Separator<br />

Di dalam percobaan electrostatic separator ini<br />

dilakukan analisis kimia secara XRF (Fluoresen<br />

Sinar X) untuk meninjau perubahan unsur-unsur<br />

terhadap konsentrat akibat pengaruh dari variabelvariabel<br />

percobaan terhadap nisbah konsentrasi<br />

<strong>dan</strong> peningkatkan kadar.<br />

3.2.1 Pengaruh tegangan listrik terhadap<br />

nisbah konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2<br />

Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu<br />

tegangan listrik se<strong>dan</strong>gkan variabel tetapnya pada<br />

posisi splitter 40° <strong>dan</strong> pada skala kecepatan umpan<br />

5. Hasil percobaan dengan memvariabelkan<br />

tegangan listrik 15 KV, 20 KV, 25 KV <strong>dan</strong> 30 KV<br />

menghasilkan nisbah konsentrasi secara berturutturut<br />

sebesar 6,81, 4,39, 3,11, 1,68 dengan kadar<br />

ZrO 2 yang diperoleh sebesar 56,51 %, 57,46 %,<br />

59,67 % <strong>dan</strong> 61,96 %. Pengaruh tegangan listrik<br />

Gambar 4.<br />

Pengaruh tegangan listrik<br />

terhadap nisbah konsentrasi<br />

<strong>dan</strong> kadar ZrO 2 pada posisi<br />

splitter 40° <strong>dan</strong> skala kecepatan<br />

umpan 5<br />

3.2.2 Pengaruh skala kecepatan umpan<br />

terhadap nisbah konsentrasi <strong>dan</strong> kadar<br />

ZrO 2<br />

Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu<br />

skala kecepatan umpan se<strong>dan</strong>gkan variabel<br />

tetapnya pada tegangan listrik 30 KV <strong>dan</strong> posisi<br />

splitter 30 0 . Kecepatan umpan yang digunakan<br />

pada masing – masing skala kecepatan umpan<br />

2,5, 5, 7,5, 10 secara berurutan sebesar 0,47<br />

gram/menit, 2,38 gram/menit, 3,4 gram/menit <strong>dan</strong><br />

5 gram/menit. Nisbah konsentrasi yang diperoleh<br />

pada skala kecepatan umpan 2,5, (0,47 gram/<br />

menit), 5 (2,38 gram/menit), 7,5 (3,4 gram/menit)<br />

<strong>dan</strong> 10 (5 gram/menit) secara berturut – turut<br />

118 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


sebesar 1,19, 1,15, 1,18, 1,14 dengan kadar ZrO 2<br />

yang diperoleh sebesar 61,45 %, 62,70 %, 63,42<br />

% <strong>dan</strong> 62,52 %.<br />

Nisbah Konsentrasi<br />

1.2<br />

1.19<br />

1.18<br />

1.17<br />

1.16<br />

1.15<br />

1.14<br />

1.13<br />

Gambar 5.<br />

0.47 2.38 3.40 5.00<br />

Kecepatan (gram/menit)<br />

NK<br />

Kadar<br />

63.5<br />

63<br />

62.5<br />

62<br />

61.5<br />

Pengaruh skala kecepatan<br />

umpan terhadap nisbah<br />

konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2<br />

pada tegangan listrik 30 KV <strong>dan</strong><br />

posisi splitter 30°<br />

Berdasarkan grafik pada Gambar 5, pengaruh<br />

kecepatan umpan terhadap nisbah konsentrasi<br />

<strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yaitu semakin cepat umpan yang<br />

diberikan maka nisbah konsentrasinya semakin<br />

kecil <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yang dihasilkanpun semakin<br />

besar. Dengan kecepatan yang tinggi, umpan yang<br />

berukuran kasar cenderung mengalami lifting effect<br />

meskipun tidak bersifat sebagai konduktor <strong>dan</strong><br />

umpan yang berukuran halus cenderung<br />

mengalami pinning effect. Kecepatan umpan<br />

(gram/menit) pada percobaan ini tergantung skala<br />

kecepatan umpan yang dipakai <strong>dan</strong> berat masing<br />

– masing umpan yang digunakan dalam<br />

percobaan. Kecepatan yang tinggi akan<br />

mengakibatkan mineral – mineral non konduktor<br />

kasar akan terlempar ke konduktor sehingga kadar<br />

zirkon akan rendah.<br />

3.2.3 Pengaruh penggunaan ultrasonik<br />

terhadap nisbah konsentrasi <strong>dan</strong> kadar<br />

ZrO 2<br />

Ultrasonik bekerja dengan getarannya untuk<br />

melepaskan ikatan – ikatan mineral pengotor<br />

lainnya pada mineral zirkon sebagai mineral<br />

utama. Percobaan pada alat ultrasonik dilakukan<br />

dengan memvariabelkan waktu getar selama 15,<br />

30, 45 <strong>dan</strong> 60 menit. Konsentrat kering dari<br />

ultrasonik kemudian dipisahkan menggunakan<br />

electrostatic separator dengan variabel optimum<br />

pada percobaan sebelumnya yaitu pada tegangan<br />

listrik 30 KV, posisi splitter 30 0 <strong>dan</strong> skala<br />

61<br />

Kadar ZrO2 (%)<br />

kecepatan umpan 7,5.<br />

Nisbah konsentrasi yang diperoleh setelah<br />

dipisahkan menggunakan electrostatic separator<br />

dengan variabel waktu 15, 30, 45, 60 menit pada<br />

ultrasonik secara berturut – turut sebesar 1,10,<br />

1,09, 1,14 <strong>dan</strong> 1,12 dengan kadar ZrO 2 yang<br />

diperoleh sebesar 60,58 %, 60,92 %, 60,68 % <strong>dan</strong><br />

60,69 %. Pengaruh penggunaan ultrasonik dengan<br />

variabel waktu terhadap nisbah konsentrasi <strong>dan</strong><br />

kadar ZrO 2 berdasarkan Gambar 6 di atas adalah<br />

semakin lama waktu getar yang diberikan oleh<br />

ultrasonik terhadap umpan, maka nisbah<br />

konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yang dihasilkan akan<br />

semakin besar. Hal ini disebabkan karena lamanya<br />

waktu getar akan mempengaruhi hasil kerja<br />

gelombang ultrasonik sehingga juga akan<br />

berpengaruh terhadap hasil umpan yang akan<br />

dipisahkan menggunakan electrostatic separator.<br />

Nisbah Konsentrasi<br />

1.15<br />

1.14<br />

1.13<br />

1.12<br />

1.11<br />

1.1<br />

1.09<br />

1.08<br />

Gambar 6.<br />

15 30 45 60<br />

Waktu (Menit)<br />

NK<br />

Kadar<br />

61<br />

60.9<br />

60.8<br />

60.7<br />

60.6<br />

60.5<br />

Pengaruh penggunaan<br />

ultrasonik terhadap nisbah<br />

konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2<br />

pada tegangan listrik 30 KV,<br />

posisi splitter 30 0 <strong>dan</strong> skala<br />

kecepatan umpan 7,5<br />

3.2.4 Pengaruh penggunaan ultrasonik<br />

terhadap perolehan <strong>dan</strong> kadar ZrO 2<br />

Berdasarkan grafik yang terdapat pada Gambar 7<br />

dapat ditarik garis rata – rata sehingga diperoleh<br />

grafik yang menunjukkan kecenderungan<br />

perubahan perolehan <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 terhadap<br />

penggunaan ultrasonik. Berdasarkan waktu getar<br />

selama 15 menit pada alat ultrasonik perolehan<br />

yang didapatkan lebih dari 90 % <strong>dan</strong> kadar 60,58<br />

% ZrO 2. Pada waktu getar selama 30 menit<br />

perolehan yang didapatkan lebih dari 90 % <strong>dan</strong><br />

kadar 60,92 % ZrO 2. Pada waktu getar selama 45<br />

menit perolehan yang didapatkan hampir 90 % <strong>dan</strong><br />

kadar 60,68 % ZrO 2 se<strong>dan</strong>gkan pada waktu getar<br />

Kadar ZrO2 (%)<br />

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />

119


selama 60 menit perolehan yang didapatkan 90<br />

% <strong>dan</strong> kadar 60,69 % ZrO 2. Perbedaan perolehan<br />

<strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yang didapatkan pada percobaan<br />

tidak begitu jauh dimana perolehan rata – rata<br />

zirkon hampir 90 % dengan kadar 60 % ZrO 2.<br />

Kondisi optimum penggunaan ultrasonik yaitu<br />

pada waktu getar selama 30 menit.<br />

Perolehan (%)<br />

93<br />

92<br />

91<br />

90<br />

89<br />

88<br />

87<br />

Gambar 7.<br />

15 30 45 60<br />

Waktu (Menit)<br />

Perolehan ZrO2<br />

Kadar ZrO2<br />

61<br />

60.8<br />

60.6<br />

60.4<br />

60.2<br />

Pengaruh penggunaan<br />

ultrasonik terhadap perolehan<br />

<strong>dan</strong> kadar ZrO 2 pada tegangan<br />

listrik 30KV, posisi splitter 40°<br />

<strong>dan</strong> skala kecepatan umpan 7,5<br />

Selain itu, hasil analisis pada percobaan dengan<br />

variabel optimum yaitu pada tegangan listrik 30<br />

KV, posisi splitter 30 0 <strong>dan</strong> skala kecepatan umpan<br />

7,5 diperbandingkan antara umpan yang tidak <strong>dan</strong><br />

yang mendapat perlakuan ultrasonik. Hasil<br />

perbandingan dapat dilihat pada Gambar 8.<br />

60<br />

Kadar (%)<br />

unsur - unsur yang kadarnya naik <strong>dan</strong> turun<br />

bahkan ada beberapa unsur yang hilang. Unsur -<br />

unsur yang kadarnya naik antara lain Al 2O 3, CaO,<br />

MgO, Na 2O, K 2O, P 2O 5, TiO 2 <strong>dan</strong> S. Se<strong>dan</strong>gkan<br />

unsur - unsur yang kadarnya turun antara lain SiO 2,<br />

Fe 2O 3, ZrO 2, HfO 2 <strong>dan</strong> Y 2O 3. Selain itu, beberapa<br />

unsur yang hilang setelah mendapat perlakuan<br />

ultrasonik antara lain MnO, Nb 2O 5, Cr 2O 3 <strong>dan</strong><br />

ThO 2. Dari hasil percobaan yang dilakukan bahwa<br />

ada beberapa unsur yang tidak diinginkan hilang<br />

setelah mendapatkan perlakuan ultrasonik.<br />

Hal ini terjadi karena a<strong>dan</strong>ya pengaruh getaran<br />

yang diberikan pada umpan dengan waktu getar<br />

tertentu sehingga dapat melepaskan partikel halus<br />

dari mineral pengotor yang melekat pada<br />

permukaaan umpan yang akan dipisahkan.<br />

Pengaruh gelombang ultrasonik ini cukup kuat <strong>dan</strong><br />

efektif untuk melepaskan partikel halus berupa<br />

mirel pengotor yang melekat pada permukaan<br />

sampel bijih zirkon. Selain itu, frekuensi yang ada<br />

pada ultrasonik kemungkinan akan mempengaruhi<br />

terjadinya efek mekanik seperti gerakan – gerakan<br />

partikel pada umpan yang berada di dalam gelas<br />

ukur sehingga dapat menimbulkan gaya gesek,<br />

tekanan <strong>dan</strong> getaran pada butiran umpan.<br />

4. KESIMPULAN<br />

Berdasarkan hasil percobaan terhadap pengaruh<br />

penggunaan ultrasonik terhadap pasir zirkon<br />

Kalimantan Tengah hasil pemisahan dengan electrostatic<br />

separator, didapat beberapa kesimpulan :<br />

Kadar (%)<br />

100<br />

10<br />

1<br />

1. Pada percobaan pengaruh tegangan listrik,<br />

kadar ZrO 2 optimum sebesar 61,96 % yaitu<br />

pada tegangan listrik 30 KV dengan nisbah<br />

konsentrasi 1,68.<br />

0.1<br />

0.<strong>01</strong><br />

SiO2<br />

Al2O3<br />

Fe2O3<br />

MnO<br />

CaO<br />

MgO<br />

Na2O<br />

K2O<br />

Sebelum M endapat Perlakuan Ultrasonik<br />

P2O5<br />

TiO2<br />

S<br />

ZrO2<br />

Nb2O5<br />

HfO2<br />

Y2O3<br />

Cr2O3<br />

ThO2<br />

Unsur<br />

Setelah M endapat Perlakuan Ultrasonik<br />

2. Pada percobaan pengaruh skala kecepatan<br />

umpan, kadar ZrO 2 optimum sebesar 63,42<br />

% yaitu pada skala 7,5 (3,4 gram/menit)<br />

dengan nisbah konsentrasi 1,18.<br />

Gambar 8.<br />

Perbandingan kandungan unsurunsur<br />

sebelum <strong>dan</strong> setelah<br />

mendapatkan perlakuan<br />

ultrasonik<br />

3. Pada percobaan umpan yang mendapat<br />

perlakuan ultrasonik, kadar ZrO 2 optimum<br />

sebesar 60,92 % yaitu pada waktu getar 30<br />

menit dengan nisbah konsentrasi 1,09 <strong>dan</strong><br />

perolehan lebih dari 90 %.<br />

Berdasarkan Gambar 8, setelah umpan mendapat<br />

perlakuan ultrasonik terlihat a<strong>dan</strong>ya beberapa<br />

4. A<strong>dan</strong>ya beberapa unsur yang hilang setelah<br />

mendapat perlakuan ultrasonik (sonikasi)<br />

diantaranya MnO, Nb 2 O 5 , Cr 2 O 3 <strong>dan</strong> ThO 2 .<br />

120 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009


DAFTAR PUSTAKA<br />

Dahlan, Yuhelda., 2008, “Peningkatan Nilai<br />

Tambah Pasir Zirkon Kalimantan Tengah”,<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />