01 Kata Pengatar.pmd - tekMIRA - Departemen Energi dan Sumber ...
01 Kata Pengatar.pmd - tekMIRA - Departemen Energi dan Sumber ...
01 Kata Pengatar.pmd - tekMIRA - Departemen Energi dan Sumber ...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
ISBN 978-979-8461-63-3<br />
PROSIDING<br />
KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />
TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA<br />
“Konstribusi Litbang Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Dalam Mendukung Pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009<br />
tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara”<br />
Bandung, 15 Juli 2009<br />
Editor :<br />
Binarko Santoso<br />
Pramusanto<br />
I.G. Ngurah Ardha<br />
Husaini<br />
Datin Fatia Umar<br />
Darsa Permana<br />
Slamet Suprapto<br />
Tatang Wahyudi<br />
Retno Damayanti<br />
Fauzan<br />
ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL<br />
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA<br />
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA<br />
2009
Hak Cipta / Penerbit<br />
MIRA<br />
Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl. Jend. Sudirman No. 623, Bandung 40211<br />
Telepon : 022 - 6030483, Fax : 022 - 6003373<br />
Penasihat<br />
Kepala Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM<br />
Penanggung Jawab<br />
Kepala Puslitbang <strong>tekMIRA</strong><br />
Panitia Pengarah<br />
Kuswan<strong>dan</strong>i, Suganal, Edwin Daranin<br />
R.M. Nendaryono, Siti Rochani<br />
Dewan Redaksi<br />
Binarko Santoso<br />
Staf Redaksi<br />
Doeto Poespojoedo, Umar Antana<br />
Bachtiar Efendi, Arie Aryansyah,<br />
Hatif Hidayat<br />
Moderator<br />
Datin Fatia Umar, Miftahul Huda, Edwin Daranin<br />
Yenny Sofaety, R.M. Nendaryono, Stefano Munir<br />
Notulis<br />
Kuswan<strong>dan</strong>i, Wiroto, Isyatun Rodliyah<br />
Sri Sugiarti, Dedi Yaskuri, Hasniati Artika<br />
Nuryadi Saleh<br />
ISBN 978-979-8461-63-3<br />
Hak cipta dilindungi oleh Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau<br />
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR<br />
Dalam rangka mensosialisasikan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral<br />
<strong>dan</strong> Batubara, yang menggantikan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan<br />
Pokok Pertambangan, Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara (<strong>tekMIRA</strong>)<br />
telah menyelenggarakan Kolokium Pertambangan 2009 pada tanggal 15 Juli 2009, Kolokium yang<br />
bertemakan “Konstribusi Litbang Mineral <strong>dan</strong> Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara”, dihadiri oleh para pejabat pemerintah<br />
di tingkat pusat <strong>dan</strong> daerah, pelaku usaha, para peneliti <strong>dan</strong> pejabat fungsional lainnya, mahasiswa serta<br />
masyarakat luas yang terkait dengan pengembangan pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara.<br />
Sebagai lembaga litbang di bi<strong>dan</strong>g teknologi mineral <strong>dan</strong> batubara, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> diharapkan dapat<br />
berperan secara aktif dalam meningkatkan nilai tambah mineral <strong>dan</strong> batubara sebagaimana amanat yang<br />
terkandung dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tersebut. Di samping itu, melalui kegiatan ini<br />
diharapkan pula dapat diperoleh masukan dari pelaku industri <strong>dan</strong> masyarakat pertambangan tentang<br />
posisi, peran, <strong>dan</strong> kontribusi litbang mineral <strong>dan</strong> batubara dalam menunjang pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara.<br />
Prosiding ini merupakan rangkuman dari seluruh makalah yang dipresentasikan dalam Kolokium, serta<br />
diharapkan dapat dijadikan salah satu rujukan mengenai perkembangan pertambangan, penelitian, <strong>dan</strong><br />
kajian yang berhubungan dengan peningkatan nilai tambah mineral <strong>dan</strong> batubara. Melalui prosiding ini,<br />
siapapun dapat melihat sampai sejauhmana para peneliti Indonesia telah berkiprah dalam memajukan<br />
sektor pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara nasional.<br />
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, baik perorangan,<br />
perusahan, instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun seluruh pembicara <strong>dan</strong> peserta, atas pemikiran<br />
atau karya-karya terbaiknya, sehingga Prosiding ini memiliki nilai keilmiahan yang baik.<br />
Kami menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan <strong>dan</strong> penerbitan Prosiding ini. Untuk itu kami<br />
mengharapkan kritik <strong>dan</strong> saran demi kesempurnaan penyusunan <strong>dan</strong> penerbitan Prosiding di masa yang<br />
akan datang.<br />
Bandung, 15 Juli 2009<br />
Tim Penyunting<br />
PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />
i
SAMBUTAN<br />
KEPALA BADAN LITBANG<br />
ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />
PADA ACARA KOLOKIUM PUSLITBANG TEKNOLOGI<br />
MINERAL DAN BATUBARA<br />
BANDUNG, 15 JULI 2009<br />
Yang kami hormati,<br />
Para Pejabat Eselon I di Lingkungan <strong>Departemen</strong> ESDM atau yang mewakilinya,<br />
Para Pejabat Eselon II di Lingkungan <strong>Departemen</strong> ESDM atau yang mewakilinya,<br />
Para Profesor Riset <strong>dan</strong> Pejabat Fungsional di Lingkungan Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM,<br />
Un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> Hadirin yang Berbahagia<br />
Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,<br />
Salam Sejahtera bagi Kita Semua,<br />
Selamat Pagi,<br />
Puji <strong>dan</strong> syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’alla, Tuhan Yang Maha<br />
Kuasa, karena berkat perkenan-Nya kita dapat menghadiri acara Kolokium yang diselenggarakan oleh<br />
Puslitbang Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara (<strong>tekMIRA</strong>). Penyelenggaraan kolokium di Puslitbang <strong>tekMIRA</strong><br />
– <strong>dan</strong> juga Puslitbang lain di lingkungan Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM, memang sudah menjadi agenda tahunan<br />
yang diharapkan dapat menampilkan karya yang bermanfaat bagi para pemangku kepentingan, yaitu<br />
pemerintah, industri, <strong>dan</strong> masyarakat luas. Perlu dicatat pula, kolokium di lembaga litbang akan menjadi<br />
tolok ukur sampai sejauhmana para peneliti <strong>dan</strong> pejabat fungsional kita lainnya mampu mengembangkan<br />
diri dalam upaya berkontribusi bagi kemajuan sektor ESDM di tanah air.<br />
Saudara-saudara Sekalian,<br />
Kolokium Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> kali ini bertemakan “Kontribusi Litbang Mineral <strong>dan</strong> Batubara Dalam<br />
Mendukung Pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong><br />
Batubara”. Saya menilai tema kolokium 2009 ini sebagai bentuk tanggung jawab Puslitbang <strong>tekMIRA</strong><br />
untuk berperanserta dalam pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009, khususnya yang<br />
menyangkut isi pasal 95 huruf c tentang kewajiban perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral<br />
<strong>dan</strong>/atau batubara di dalam negeri, serta pasal 146 tentang kewajiban pemerintah <strong>dan</strong> pemerintah daerah<br />
untuk mendorong, melaksanakan, <strong>dan</strong>/atau memfasilitasi pelaksanaan litbang mineral <strong>dan</strong> batubara. Kedua<br />
pasal tersebut merupakan spirit <strong>dan</strong> juga momentum yang akan lebih memacu kegiatan litbang mineral<br />
<strong>dan</strong> batubara di tanah air, sekaligus menjadi stimulus bagi Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> agar menghasilkan karya<br />
litbang yang lebih baik <strong>dan</strong> berbobot serta mampu bersaing dengan lembaga litbang sejenis.<br />
Peserta Kolokium yang Saya Hormati,<br />
Terkait dengan pemberlakuan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009, khususnya yang berhubungan dengan<br />
pasal 95 huruf c <strong>dan</strong> pasal 146, saya minta kepada seluruh jajaran di Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> untuk<br />
PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />
ii
melaksanakan beberapa hal berikut ini:<br />
Pertama, tingkatkan kualitas sumber daya manusia.<br />
Sebagai lembaga litbang, saya yakin Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> memiliki sumber daya manusia (SDM) yang<br />
telah mampu melaksanakan penelitian secara profesional, <strong>dan</strong> dapat bersaing dengan para pakar di dalam<br />
negeri maupun di forum internasional. Namun, sebagaimana dialami oleh hampir seluruh instansi pemerintah,<br />
Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> juga pasti merasakan kebijakan “zero growth” yang ditetapkan beberapa tahun yang<br />
lalu. Kesenjangan antara senior dengan yunior yang semakin melebar, memerlukan percepatan regenerasi<br />
<strong>dan</strong> “transfer of knowledge”. Untuk itu, solusi yang dapat ditempuh adalah dengan membuka kesempatan<br />
kepada karyawan yunior untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti berbagai kursus<br />
atau pertemuan ilmiah, magang pada perusahaan besar, <strong>dan</strong> hal-hal lain yang pada intinya dapat sarana<br />
untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bagaimanapun keberadaan karyawan yunior ini merupakan<br />
modal dasar bagi eksistensi Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> ke depan.<br />
Kedua, fokus kepada pemecahan permasalahan yang se<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> kemungkinan akan dihadapi<br />
oleh industri pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara.<br />
Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengatakan bahwa lembaga litbang harus menjadi bagian tak<br />
terpisahkan dari dunia yang digelutinya, bukan menara gading yang tidak tersentuh dengan melakukan<br />
penelitian sesuai keinginannya sendiri. Persoalannya adalah, apakah Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> akan menjadi<br />
leader atau follower dalam industri mineral <strong>dan</strong> batubara di tanah air? Saya katakan bahwa Puslitbang<br />
<strong>tekMIRA</strong> mesti fokus pada keduanya. Ini berarti, di satu sisi, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> harus dapat mengatasi<br />
permasalahan sebagai langkah penanggulangan, tetapi, di sisi lain, juga harus dapat memprediksi arah<br />
kecenderungan yang terjadi sebagai langkah antisipasi agar tidak berada pada kondisi status quo <strong>dan</strong><br />
melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin atau business as usual.<br />
Ketiga, fokus kepada litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah sekaligus<br />
memperhitungkan keekonomiannya.<br />
Dalam beberapa hal, nilai tambah <strong>dan</strong> keekonomian selalu berjalan beriringan, artinya peningkatan nilai<br />
tambah akan mengakibatkan suatu material bernilai lebih tinggi <strong>dan</strong> menguntungkan. Tetapi tidak selamanya<br />
peningkatan nilai tambah akan memberi keuntungan jika dijual ke pasaran. Hal ini disebabkan antara lain<br />
oleh a<strong>dan</strong>ya kompetitor yang berharga lebih murah, atau daya serap pasar masih kecil <strong>dan</strong> tidak sebanding<br />
dengan biaya produksi. Oleh karena itu, ke depan, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> harus berani memulai kegiatan<br />
litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah, tetapi sekaligus menguntungkan jika dilempar<br />
ke pasaran.<br />
Keempat, tingkatkan kerja sama dengan pemangku kepentingan (stakeholders).<br />
Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 yang bernuansa desentralisasi – artinya pengelolaan pertambangan<br />
mineral <strong>dan</strong> batubara berada di pemerintah daerah, mengharuskan kita untuk secara lebih intens menjalin<br />
kerja sama dengan mereka. Saya tahu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> telah lama melakukan hal itu, sehingga tidak<br />
terlalu sulit untuk meningkatkannya. Namun perlu saya garis bawahi, kerja sama tersebut harus dapat<br />
menghasilkan sesuatu yang tidak saja “menguntungkan” Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, tetapi juga bermanfaat<br />
bagi pemerintah <strong>dan</strong> Daerah serta masyarakat pertambangan; tidak saja memberikan kontribusi terhadap<br />
kemajuan bi<strong>dan</strong>g pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara, tetapi juga kemakmuran bagi masyarakat.<br />
Selain dengan pemerintah daerah, peningkatan kerja sama dengan lembaga litbang lain, baik di dalam<br />
maupun di luar negeri, perlu mendapat prioritas utama. Hal ini penting dilakukan sebagai bagian dari<br />
upaya untuk meningkatkan kemampuan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> menghadapi tantangan masa kini <strong>dan</strong> masa<br />
depan, serta untuk mengukur di mana posisi Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> berada. Seluruh kerja sama antara<br />
Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> dengan pemangku kepentingan sudah seharusnya bersifat saling bermanfaat bagi<br />
kedua belah pihak.<br />
iii PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Kelima, optimalkan peralatan yang ada, serta tingkatkan kemampuan rancang bangun <strong>dan</strong><br />
rekayasa.<br />
Saya telah menyinggung masalah ini pada acara “Sinkronisasi Kegiatan Litbang di Lingkungan Ba<strong>dan</strong><br />
Litbang ESDM” pada 14-15 April 2009 yang lalu. Saya tidak perlu mengulas lebih dalam, namun satu hal<br />
patut diingat bahwa jika keinginan untuk melengkapi <strong>dan</strong> memutakhirkan dengan sarana <strong>dan</strong> prasarana<br />
penelitian mutakhir tidak terpenuhi bukan berarti kita harus berdiam diri, lalu stagnan. Kita harus berbuat<br />
sesuatu, yaitu dengan berupaya meningkatkan kemampuan rancang bangun <strong>dan</strong> rekayasa pada peralatan<br />
teknologi tinggi. Oleh karena itu saya mengajak peneliti Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> <strong>dan</strong> juga peneliti Puslitbang<br />
lain di lingkungan Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM, untuk membuktikan sampai sejauhmana inovasi <strong>dan</strong> kreativitas<br />
Saudara-saudara andaikata sarana peralatan baru tersebut tidak terpenuhi.<br />
Keenam, jaga soliditas di lingkungan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />
Ada ungkapan sederhana yang sudah lama kita kenal <strong>dan</strong> tahu artinya, yaitu “bersatu kita teguh, bercerai<br />
kita runtuh” <strong>dan</strong> “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Untuk itu, siapapun Saudara, apapun latar<br />
belakang pendidikan Saudara, <strong>dan</strong> di manapun Saudara ditempatkan, jangan pernah merasa yang satu<br />
lebih superior daripada yang lain. Berjalanlah dalam koridor Rencana Stratejik yang telah dibuat oleh<br />
Saudara-saudara sendiri, lalu bicara <strong>dan</strong> berbuatlah dengan bahasa yang sama dalam ikatan kesatuan<br />
yang kuat. Insya Allah, permasalahan seberat apapun akan menjadi jauh lebih ringan <strong>dan</strong> tidak sulit untuk<br />
dipecahkan.<br />
Un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> Hadirin Sekalian,<br />
Demikian sambutan <strong>dan</strong> arahan yang dapat saya sampaikan. Harapan saya kepada seluruh jajaran<br />
Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, bahkan seluruh keluarga besar Ba<strong>dan</strong> Litbang ESDM, semoga dapat memaknai <strong>dan</strong><br />
mengimplementasikannya demi tercapainya tujuan kita memajukan sektor ESDM pada khususnya <strong>dan</strong><br />
masyarakat pada umumnya. Saya berharap Saudara-saudara dapat menyongsong era desentralisasi di<br />
bi<strong>dan</strong>g pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara ini dengan optimisme tinggi <strong>dan</strong> penuh rasa tanggung jawab.<br />
Akhirnya dengan tetap memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, Kolokium yang bertemakan “Kontribusi<br />
Litbang Mineral <strong>dan</strong> Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009<br />
tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara” secara resmi saya buka.<br />
Terima kasih.<br />
Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.<br />
Kepala,<br />
Bambang Dwiyanto<br />
PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />
iv
KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />
BANDUNG, 15 JULI 2009<br />
DAFTA ISI<br />
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................<br />
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL ......................<br />
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................<br />
i<br />
ii<br />
v<br />
MAKALAH YANG DIPRESENTASIKAN<br />
Presentasi Makalah Paralel I<br />
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ............................. 1<br />
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur<br />
Bambang Yunianto<br />
Pengembangan Metode Analisis Ter <strong>dan</strong> Partikulat dalam .............................................. 16<br />
Producer Gas dari Batubara<br />
Slamet Suprapto <strong>dan</strong> Nurhadi<br />
Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Sumber</strong> Daya Mineral ....... 23<br />
pada Era Globalisasi<br />
Djoko Sunarjanto <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />
Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara ...................................... 30<br />
pada Era Otonomi Daerah<br />
Umar Dhani<br />
Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari, Propinsi Kalimantan ................... 39<br />
Selatan dengan Menggunakan Klasifayer <strong>dan</strong> Pemisah Magnetik<br />
Pramusanto, Nuryadi Saleh <strong>dan</strong> Apriandi<br />
Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin, ................ 48<br />
Provinsi Kalimantan Selatan, untuk Bahan Baku Keramik<br />
Subari, Enymia <strong>dan</strong> Sumarsih<br />
Presentasi Makalah Paralel II<br />
Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia ................................................................ 55<br />
Ijang Suherman<br />
Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantauan Sederhana untuk Mendeteksi ................ 70<br />
Keruntuhan Batuan Atap (Roof Failure) pada Tambang Bawah Tanah<br />
Zulfahmi, Hasniati Astika <strong>dan</strong> Supriatna Mujahidin<br />
Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ............................................ 78<br />
Limbah Cair Industri Gula<br />
Ika Monika <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />
Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk Pencegahan ................................. 83<br />
Air Asam Tambang<br />
Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />
Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ..................... 90<br />
Batubara dengan Pembakar Siklon di Beberapa Fasilitas Industri<br />
Sumaryono<br />
PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009<br />
v
Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit ............................................................................... 97<br />
Husaini<br />
Presentasi Makalah Paralel III<br />
Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan Tailing ....................... 105<br />
Amalgamasi di Kegiatan Pertambangan Emas Rakyat Secara Sianidasi<br />
(Studi Kasus KUD Perintis, Daerah Tonayan Selatan)<br />
M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />
Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon .................... 115<br />
Kalimantan Tengah dengan Electrostatic Separator<br />
Pramusanto, Nuryadi Saleh, Yuhelda <strong>dan</strong> Firiza Yuliana<br />
Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ................... 122<br />
Sistem Fluidized Bed<br />
Nurhadi <strong>dan</strong> Slamet Suprapto<br />
Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara .................................. 128<br />
Roza Adriany<br />
Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data Seismik Refleksi ...................... 134<br />
(Studi Kasus Perairan Bangka Utara)<br />
Ediar Usman <strong>dan</strong> Andri S. Subandrio<br />
Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah .................................. 147<br />
Rochman Saefudin, Ijang Suherman, Datin Fatia Umar <strong>dan</strong> Bukin Daulay<br />
MAKALAH DIPOSTERKAN<br />
Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri Kecil <strong>dan</strong> .............. 161<br />
Menengah di Pulau Jawa<br />
Triswan Suseno <strong>dan</strong> Tuti Hernawati<br />
Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara ................. 168<br />
Slamet Suprapto<br />
Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan <strong>dan</strong> Tailing PT. Freeport Indonesia ........... 175<br />
sebagai <strong>Kata</strong>lis Pencairan Batubara<br />
Nining Sudini Ningrum <strong>dan</strong> Hermanu Prijono<br />
Karakteristik <strong>dan</strong> Optimalisasi Pembriketan Batubara Hasil Proses ................................ 181<br />
Upgraded Brown Coal Skala Pilot<br />
Ikin Sodikin <strong>dan</strong> Datin Fatia Umar<br />
Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ............................ 189<br />
Peringkat Rendah di Indonesia<br />
Gandhi Kurnia Hudaya<br />
Kajian Manfaat <strong>dan</strong> Biaya Penambangan Bijih Besi di Kabupaten Merangin, ............... 194<br />
Propinsi Jambi<br />
En<strong>dan</strong>g Suryati <strong>dan</strong> M. Lutfi<br />
Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara <strong>dan</strong> Peningkatan Mutunya .............................. 204<br />
sebagai Bahan Bakar<br />
Muh Kurniawan, Leni Herlina, Novie Ardhyarini <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />
Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara .................................................... 209<br />
A.S. nasution, Miftahul Huda, Abdul Haris, Leni herlina <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />
vi PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PRESENTASI MAKALAH<br />
PARALEL I
PERMASALAHAN PENGELOLAAN POTENSI<br />
EMAS DI GUNUNG TUMPANG PITU KECAMATAN<br />
PESANGGARAN, KABUPATEN BANYUWANGI,<br />
JAWA TIMUR<br />
Bambang Yunianto<br />
Peneliti Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />
e-mail : yunianto@tekmira.esdm.go.id<br />
SARI<br />
Isu pertambangan terkait pengelolaan potensi <strong>dan</strong> kegiatan pertambangan emas di Gunung Tumpang<br />
Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi meliputi isu potensi emas, lingkungan pertambangan,<br />
tumpang tindih dengan sector lain, <strong>dan</strong> isu sosekbud. Berdasarkan penelaahan terhadap ke-empat<br />
isu tersebut diperlukan kesiapan daerah (Pemerintah Kabupaten Banyuwangi) dalam mengelola potensi<br />
emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.<br />
Kesiapan daerah tersebut meliputi beberapa kegiatan, yaitu: 1) melakukan kajian kegiatan<br />
pertambangan terkait pemanfaatan lahan sektor lain; 2) mengkaji kembali kegiatan pertambangan<br />
emas oleh PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) untuk menampung partisipasi masyarakat dalam<br />
pertambangan, perlu dialokasikan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang berasal dari wilayah<br />
konsesi PT. IMN yang memiliki potensi emas sekunder (alluvial). Kemudian perlu dilakukan pembinaan<br />
<strong>dan</strong> pengawasan, baik dalam hal teknis penambangan, lingkungan maupun dalam manajemen berusaha<br />
terhadap para penambang rakyat tersebut; 4) dalam menangani persoalan Pertambangan Tanpa Izin<br />
(PETI) atau gurandil seyogyanya tidak menggunakan cara-cara represif, tetapi harus dengan persuasive,<br />
agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar <strong>dan</strong> kompleks; <strong>dan</strong> 5) sesuai kebijakan<br />
otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, <strong>dan</strong> PP No. 38<br />
Tahun 2007, maka perlu dibentuk kantor/ dinas pertambangan <strong>dan</strong> energi yang tugasnya mengelola<br />
kegiatan pertambangan di daerah.<br />
<strong>Kata</strong> Kunci: isu pertambangan, tambang emas, kesiapan daerah, pengelolaan potensi emas<br />
ABSTRACT<br />
The mining issues related to manage the potential and the activity of gold mining in Gunung Tumpang<br />
Pitu, District of Pesanggaran, Regency of Banyuwangi include the gold mining, mining environment,<br />
interest conflict and the socio-economic-culture. Based on the review toward these issues, it requires<br />
the regional readiness to manage the gold potential in the region.<br />
The regional readiness includes several activities, namely: 1) to assess the mining activity related to<br />
the land use; 2) to reassess the mining activity conducted by PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) to<br />
allocate the mining area for the local community in the concession area of the company that contains<br />
gold placer. Then, to conduct gui<strong>dan</strong>ce and monitoring, the mining techniques, environment or the<br />
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />
1
management of the business for the miners; 4) not to apply repressive actions towards illegal mining,<br />
but to persuade not to create a bigger problem and complex; and 5) in accor<strong>dan</strong>ce with the regional<br />
autonomy policy, UU 32/2004, UU 33/2004 and PP 38/2007, it is required to set an office of mining<br />
and energy in managing mining operation in the region.<br />
Keywords: mining issues, gold mine, regional readiness, management of gold potential<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Kegiatan survai lapangan pemantauan isu<br />
pertambangan di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi<br />
Jawa Timur dilakukan untuk menginventarisasi <strong>dan</strong><br />
mengidentifikasi permasalahan mengenai isu<br />
lingkungan pertambangan tanpa izin (PETI) emas<br />
<strong>dan</strong> isu tumpang-tindih kegiatan PT. Indo Multi<br />
Niaga (PT. IMN) di Pegunungan Tumpang Pitu,<br />
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.<br />
Kegiatan survai lapangan isu lingkungan <strong>dan</strong><br />
tumpang-tindih pertambangan dengan sektor<br />
kehutanan di Pegunungan Tumpang Pitu di atas<br />
didasarkan pemberitaan <strong>dan</strong> informasi di media<br />
mass berikut:<br />
1) “Emas vs Potensi Agraris Banyuwangi,<br />
Sebentuk Kanibalisasi antar -Potensi”, Berita<br />
Fajar FM, Sabtu, 19 April 2008.<br />
2) “Masyarakat Banyuwangi Tolak Tambang<br />
Emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu”, Harian<br />
Kompas, Senin, 16 Juni 2008<br />
3) “Ribuan Penambang Emas Banyuwangi<br />
Diusir”, Harian Kompas, Jumat 27 Februari<br />
2009.<br />
4) “Penambang Emas Dadakan di Banyuwangi<br />
Capai 3 Ribu Orang”, Detik Surabaya, Selasa,<br />
28 April, 2009<br />
5) “Berebut Emas di Tumpang Pitu”, Harian<br />
Kompas, Rabu, 17 Mei 2009.<br />
Isu pertambangan di Kabupaten Banyuwangi<br />
tersebut memiliki bobot penting karena ada<br />
beberapa masalah, antara lain; isu lingkungan, isu<br />
tumpang-tindih sektor pertambangan dengan<br />
sektor lain (kehutanan, pertanian <strong>dan</strong> perkebunan),<br />
serta isu sosial ekonomi kemasyarakatan. Oleh<br />
karena itu, Tim Isu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> menurunkan<br />
tim yang terdiri atas berbagai disiplin ilmu<br />
(tambang/ geologi, sosial ekonomi, <strong>dan</strong> surveyor).<br />
Berdasarkan informasi secara informal, sekembalinya<br />
Tim Isu Pertambangan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> dari<br />
lapangan, isu pertambangan tersebut kembali<br />
mencuat setelah terjadi penangkapan terhadap<br />
para PETI yang dilakukan Polres Kabupaten<br />
Banyuwangi. Penangkapan ini telah menyulut<br />
konflik antara aparat <strong>dan</strong> para PETI, <strong>dan</strong> masalah<br />
ini mendapat sorotan dari berbagai pihak di<br />
Kabupaten Banyuwangi.<br />
Berdasarkan hasil survai lapangan, akar<br />
permasalahan dari mencuatnya isu pertambangan<br />
terkait potensi emas di Gunung Tumpang Pitu,<br />
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,<br />
Provinsi Jawa Timur sebetulnya terletak kepada<br />
kesiapan daerah di dalam pengelolaan pertambangan,<br />
sebagaimana dipilih sesuai judul tulisan ini.<br />
Maksud penulisan ini adalah mengidentifikasi <strong>dan</strong><br />
menganalisis permasalahan pengelolaan potensi<br />
emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan<br />
Pesanggaran, Banyuwangi sesuai peraturan<br />
terkait, sebagai bahan masukan bagi daerah dalam<br />
mengelola sumber daya tambang yang ada di<br />
daerahnya.<br />
2. METODOLOGI<br />
Secara umum metodologi yang digunakan adalah<br />
pendekatan multidisiplin ilmu, dengan<br />
menggunakan berbagai parameter keilmuan dalam<br />
membahas permasalahan utama yang dikaji.<br />
Inventarisasi data melalui teknik observasi,<br />
wawancara berpanduan, dokumentasi, <strong>dan</strong><br />
diskusi. Pengolahan data menggunakan teknik<br />
kategorisasi, kompilasi, <strong>dan</strong> tabelisasi. Analisis<br />
data dilakukan secara deskriptif analitis.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan dalam merekonstruksikan pemecahan<br />
permasalahan <strong>dan</strong> masukan bagi daerah<br />
didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan<br />
rasional <strong>dan</strong> berlandaskan kepada arah kebijakan<br />
pertambangan <strong>dan</strong> kebijakan lain yang terkait pada<br />
era otonomi daerah.<br />
Data yang mendukung penulisan ini berupa data<br />
primer maupun sekunder hasil survai lapangan.<br />
Data primer berupa hasil wawancara langsung<br />
dengan berbagai pihak yang terkait dengan<br />
permasalahan pengelolaan potensi emas di<br />
Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran,<br />
Banyuwangi, seperti Pemda Perekonomian<br />
Kabupaten Banyuwangi, Bappeda Kabupaten<br />
Banyuwangi, Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten<br />
2 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Banyuwangi, Camat <strong>dan</strong> staf Kecamatan<br />
Pesanggaran, PT. IMN, aparat keamanan yang<br />
bertugas di Gunung Tumpang Pitu, para gurandil,<br />
<strong>dan</strong> masyarakat setempat. Se<strong>dan</strong>gkan data<br />
sekunder berasal dari instansi terkait, baik di<br />
tingkat Kabupaten Banyuwangi, Kecamatan<br />
Pesanggaran serta informasi dari Lembaga<br />
Swadaya Masyarakat (LSM) <strong>dan</strong> mass media.<br />
Mengenai pelaksanaan kegiatan survai lapangan<br />
dari tanggal 20 – 25 April 2009 adalah:<br />
1) Melakukan kegiatan koordinasi dengan Kepala<br />
Bagian Perekonomian (Pak Bambang Edi<br />
Sunaryo) <strong>dan</strong> Sekertaris (Bu Tri) tentang isu<br />
lingkungan PETI emas di pegunungan<br />
Tumpang Pitu di Kantor Pemda Kab.<br />
Banyuwangi (Distamben belum ada).<br />
2) Koordinasi <strong>dan</strong> pendataan di Bappeda Kab.<br />
Banyuwangi dengan Pak Mujiono, Pak Wahyu<br />
Diyono, Pak Rudianto tentang isu Lingkungan<br />
PETI emas, PT. IMN <strong>dan</strong> tata ruang (hutan<br />
lindung).<br />
3) Koordinasi <strong>dan</strong> pendataan dengan Kepala TU<br />
Kantor Lingkungan Hidup Kab. Banyuwangi<br />
(Pak Gatot Sudjadi).<br />
4) Pendataan di BPS Kabupaten Banyuwangi<br />
dengan Pak Ruslan<br />
5) Survai lapangan ke lokasi di Kecamatan<br />
Pesanggaran, <strong>dan</strong> berkoordinasi <strong>dan</strong> diskusi<br />
dengan staf Kecamatan Pak Sujono <strong>dan</strong> Pak<br />
Sunoto.<br />
6) Koordinasi <strong>dan</strong> diskusi denga PT. IMN yang<br />
diwakili Pak Hilman <strong>dan</strong> Pak Yuswardi.<br />
7) Survai ke lokasi PETI emas di sekitar<br />
pegunungan Tumpang Pitu, dokumentasi <strong>dan</strong><br />
wawancara dengan gurandil.<br />
Mengenai route survai lapangan lihat Gambar 1,<br />
se<strong>dan</strong>gkan dokumentasi survai lapangan dapat<br />
dilihat pada Lampiran Foto-Foto Survai Lapangan.<br />
Gambar 1.<br />
Route survai lapangan tim isu pertambangan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> di Kabupaten<br />
Banyuwangi<br />
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />
3
3. POTENSI TAMBANG DAN SEKTOR<br />
LAIN DI GUNUNG TUMPANG PITU<br />
3.1. Potensi Tambang<br />
Cebakan emas di daerah Pesanggaran ditemukan<br />
berdasarkan pada pemboran eksplorasi sebanyak<br />
14 lubang bor dengan kedalaman total 4.100 meter<br />
pada KP Eksplorasi PT. IMN seluas 11.621, 45<br />
ha atau 116,21 km 2 . Cebakan emas ditemukan<br />
dalam bentuk urat-urat kuarsa pada batuan<br />
volkanik yang diterobos oleh batuan intrusif berupa<br />
diorite, andesit, granodiorit <strong>dan</strong> dasit. Fenomena<br />
seperti ini sangat umum ditemukan di Pulau Jawa,<br />
seperti di Cikotok, Pongkor, Banyumas, Wonogiri,<br />
Pacitan, Malang, Lumajang. Berdasarkan studi<br />
kelayakan PT. IMN, ca<strong>dan</strong>gan bijih yang<br />
dieksplorasi mencapai 9.600.000 ton; kadar emas<br />
rata-rata 2,3 gram/ton; ca<strong>dan</strong>gan emas 320,8 ton.<br />
Biasanya emas ditemukan bersama logam lainnya<br />
seperti perak, tembaga. Kadar emas di daerah ini<br />
adalah 2,3 gr/ton, <strong>dan</strong> kadar logam-logam lainnya<br />
tidak ada datanya. padahal logam-logam tersebut<br />
memiliki nilai ekonomis bila sejak dini sudah<br />
diketahui nilai potensinya. Selain cebakan emas<br />
primer yang ditemukan, ada juga emas plaser/<br />
sekunder di sekitar lokasi emas primer tersebut.<br />
Keberadaan emas sekunder ini sebagian besar<br />
berada pada lahan Perhutani, yang penyebarannya<br />
mengikuti sungai-sungai tua pada jaman dahulu.<br />
Berdasarkan hasil tracking Tim Isu Pertambangan<br />
Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> sewaktu survai, pada lokasi<br />
56 gurandil/ PETI (Pertambangan Tanpa Izin)<br />
beroperasi pada wilayah Perhutani diperkirakan<br />
meliputi luas sekitar 203,3 ha (Gambar 2).<br />
3.2. Potensi Sektor Lainnya<br />
Kabupten Banyuwangi dikelilingi 3 Taman Nasional<br />
(TN), yakni TN Alas Purwo, TN Meru Betiri, <strong>dan</strong><br />
TN Baluran. Di samping itu, kabupaten ini memiliki<br />
3 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) seperti<br />
Banyuwangi (KPH Banyuwangi Selatan, KPH<br />
Banyuwangi Barat, <strong>dan</strong> KPH Banyuwangi Utara).<br />
Keberadaan 3 KPH <strong>dan</strong> 3 TN ini berhubungan erat<br />
sumber mata air <strong>dan</strong> sungai-sungai yang menjadi<br />
sumber irigasi bagi sektor pertanian <strong>dan</strong><br />
perkebunan yang saat ini diunggulkan sebagai<br />
sektor penting bagi Kabupaten Banyuwangi, <strong>dan</strong><br />
menjadikan kabupaten ini sebagai lumbung padi<br />
nasional, memiliki andil dalam menopang<br />
ketahanan pangan nasional.<br />
Kontribusi sektor pertanian terhadap Pendapatan<br />
Asli Daerah (PAD) Banyuwangi (lebih dari 60%).<br />
Selain itu, keberadaan 3 KPH <strong>dan</strong> 3 TN tersebut<br />
secaraa riil telah memberikan kontribusi yang nyata<br />
bagi PAD kabupaten ini. Data hasil kekayaan hutan<br />
non-kayu Banyuwangi pada tahun 2006 meliputi;<br />
a. Kontribusi komiditi kopi yang berada di dalam<br />
kawasan hutan produksi sebesar 10.643 ton<br />
(BPS: 2007) atau setara dengan Rp.<br />
247.230.000.<br />
b. Kontribusi komoditi getah damar sebesar 49<br />
ton senilai Rp. 68.600.000, <strong>dan</strong><br />
c. Kontribusi komiditi getah pinus sebanyak<br />
2.672,70 ton senilai Rp.2.6 miliar.<br />
4. KONDISI KEGIATAN PERTAMBANGAN<br />
4.1. PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN)<br />
PT. IMN merupakan perusahaan tambang emas<br />
yang modalnya swasta nasional. Luas konsesi<br />
yang diberikan pemerintah sekitar 11.621,45 ha.<br />
Konsesi PT. IMN meliputi kawasan Gunung<br />
Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng,<br />
Gunung <strong>Sumber</strong> Salak, Gunung Macan <strong>dan</strong> kawasan<br />
lindung setempat. Menurut RTRW Jatim 2020<br />
kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan<br />
resapan air katagori tinggi, 30 liter per/ detik.<br />
Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT-<br />
VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan<br />
eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009, <strong>dan</strong><br />
akan ditingkatkan statusnya menjadi KP eksploitasi.<br />
Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi<br />
seluas 736,3 ha <strong>dan</strong> hutan lindung seluas 1.251,5<br />
ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH<br />
Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara<br />
itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana<br />
mengajukan permohonan alih fungsi kawasan<br />
hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan.<br />
Tepatnya pada Petak 75, 76, 77 <strong>dan</strong> 78 kawasan<br />
hutan tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah<br />
disahkan oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur,<br />
setelah disi<strong>dan</strong>gkan oleh Bapedalda Jawa Timur<br />
pada 26 Mei lalu. Saat ini perusahaan menampung<br />
125 warga menjadi buruh kasar.<br />
4.2. PETI/ Gurandil<br />
PETI/ gurandil beroperasi di Gunung Tumpang Pitu,<br />
pada aliran Sungai Gonggo, Lembah Gunung<br />
Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung,<br />
Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran,<br />
Banyuwangi, saat ini diperkirakan mencapai<br />
3.000.000 orang (Gambar 3). Jumlah ini, setelah<br />
pada akhir bulan April 2009 sekitar 6.000 dipulangkan<br />
4 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Gambar 2. Konsesi PT. IMN <strong>dan</strong> lokasi aktivitas PETI/ Gurandil di Petak 56,<br />
lembah Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung,<br />
Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi<br />
Gambar 3.<br />
Lokasi PETI/ Gurandil di Petak 56 (Luas Perkiraan 203,3 Ha), Lembah<br />
Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung, Desa<br />
Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi<br />
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />
5
secara paksa oleh sekitar 190 personil aparat<br />
keamanan. Pemulangan itu dilakukan setelah<br />
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melakukan<br />
rapat koordinasi dengan muspida, Perhutani <strong>dan</strong><br />
pemilik izin ekplorasi emas PT. IMN. Rapat yang<br />
dipimpin langsung Bupati Banyuwangi Ratna Ani<br />
Lestari itu menyimpulkan PETI yang dilakukan<br />
ribuan gurandil tersebut telah merusak lingkungan,<br />
yang akan berpotensi menimbulkan banjir <strong>dan</strong><br />
longsor serta kerusakan hutan jati, maupun<br />
tanaman pertanian/ perkebunan masyarakat<br />
(petani magersari) sehingga harus dihentikan.<br />
Maraknya PETI telah menimbulkan kerusakan di<br />
Sungai Gonggo <strong>dan</strong> hutan jati, tepatnya di petak<br />
79. Sungai Gonggo mengalami pelebaran hingga<br />
tujuh meter dari lebar awalnya satu meter, selain<br />
itu kedalaman Sungai Gonggo turut mengalami<br />
perubahan drastis, awalnya hanya setengah meter<br />
kini berubah menjadi 1,5 meter. Beberapa pohon<br />
jati juga turut tumbang akibat aktifitas<br />
penambangan PETI secara tradisional tersebut.<br />
Dari pantauan sementara Tim Isu Puslitbang<br />
<strong>tekMIRA</strong>, lokasi-lokasi PETI di Gunung Tumpang<br />
Pitu memang mengandung emas (perlu uji<br />
laboratorium), terutama pada petak 56 maupun 79<br />
sebagai sampel wilayah-wilayah sekitarnya. Isu<br />
kalau butiran seperti emas itu adalah logam jenis<br />
pirit (FeS2) perlu dicarikan kepastiannya, karena<br />
pada lokasi tersebut telah banyak gurandil yang<br />
betul-betul mendapatkan emas, seperti pendulang<br />
emas asal Kalimantan, Sulawesi, Nabire <strong>dan</strong><br />
Bandung. Dalam rangka memberi kepastian,<br />
Pemkab Banyuwangi sudah mengambil beberapa<br />
sampel untuk diuji, namun untuk memberi<br />
kesahihan data telah ditunjuk tim independen untuk<br />
melakukan uji laboratorium.<br />
5. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN<br />
5.1. Potensi Bahan Tambang<br />
Fenomena geologis di daerah eksplorasi tersebut<br />
tidak hanya tersebar di daerah Pesanggaran,<br />
namun juga tersebar di daerah sekitarnya seperti<br />
Glenmore <strong>dan</strong> Bangorejo. Dengan demikian tidak<br />
tertutup kemungkinan bahwa potensi penyebarannya<br />
juga terdapat di daerah-daerah tersebut. Berdasarkan<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 4/2009, setiap daerah<br />
harus menca<strong>dan</strong>gkan wilayahnya untuk menggali<br />
potensi bahan galiannya. Untuk itu, Pemerintah<br />
Kabupaten Banyuwangi harus mempersiapkan<br />
lokasi peruntukan lahan bagi sektor pertambangan.<br />
Sampai saat ini, di kabupaten ini belum dialokasikan<br />
lahan usaha tambang dalam peta tata ruangnya.<br />
Permasalahan ini harus segera diselesaikan,<br />
mengingat potensi usaha pertambangan di daerah<br />
ini memperlihatkan prospek bila dikelola dengan baik.<br />
Status ca<strong>dan</strong>gan untuk kategori perhitungan potensi<br />
cebakan emasnya belum tepat, karena jumlah<br />
lubang bor yang dilakukan oleh PT. IMN relatif<br />
sedikit, yakni hanya 14 buah untuk mengeksplorasi<br />
daerah seluas 116,21 km 2 , dengan jarak antarlubang<br />
bor sepanjang 2 km. Jadi, jarak antarlubang bor<br />
ini terlalu panjang. Pada umumnya, jarak lubang<br />
bor ini adalah 500 m. Untuk meningkatkan status<br />
potensinya, masih diperlukan pemboran eksplorasi<br />
yang lebih banyak lagi, agar tingkat keyakinan<br />
geologisnya menjadi tinggi. Dengan demikian, status<br />
‘ca<strong>dan</strong>gan’nya perlu direvisi, agar perhitungan<br />
operasi penambangannya dapat dilakukan dengan<br />
tepat.<br />
Secara umum, emas ditemukan bersama logam<br />
lainnya seperti perak, tembaga. Kadar emas di<br />
daerah ini adalah 2,3 gr/ton; namun, kadar logamlogam<br />
lainnya tidak ada datanya. Ini berarti bahwa<br />
kelak saat operasi penambangan emas ini<br />
berlangsung, asosiasi logam-logam tersebut akan<br />
terbuang dengan percuma. Tidak tertutup<br />
kemungkinannya, logam-logam tersebut akan<br />
menjadi perolehan yang menguntungkan, apabila<br />
sejak dini sudah diketahui nilai potensinya. Jadi,<br />
hal ini menjadi tugas tersendiri bagi perusahaan<br />
tambang tersebut untuk melakukan uji laboratorium<br />
terhadap logam-logam tersebut.<br />
Selain cebakan emas primer yang ditemukan, ada<br />
juga emas plaser/sekunder di sekitar lokasi emas<br />
primer tersebut. Keberadaan emas sekunder ini<br />
perlu dicermati untuk dieksplorasi lebih lanjut, agar<br />
dapat dimanfaatkan sebagai lahan usaha bagi<br />
masyarakat setempat dalam bentuk Wilayah<br />
Pertambangan Rakyat (WPR).<br />
5.2. Lingkungan<br />
Isu lingkungan terkait kegiatan pertambangan di<br />
Gunung Tumpang Pitu tidak hanya diakibatkan<br />
oleh kegiatan PETI/ gurandil saja, tetapi juga akibat<br />
isu Lingkungan pertambangan PT. IMN karena<br />
kurangnya transparansi dalam Publikasi berbagai<br />
kemajuan kegiatan, terutama dalam pengelolaan<br />
Lingkungan. PETI yang dilakukan ribuan gurandil<br />
telah merusak lingkungan, <strong>dan</strong> berpotensi<br />
menimbulkan banjir <strong>dan</strong> longsor serta kerusakan<br />
hutan jati, maupun tanaman pertanian/ perkebunan<br />
masyarakat (petani magersari). Se<strong>dan</strong>gkan,<br />
6 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
erbagai isu Lingkungan yang diakibatkan PT. IMN<br />
dapat ditunjukkan berdasakan surat penolakan<br />
AMDAL oleh Masyarakat Banyuwangi yang<br />
tergabung dalam Komunitas Pecinta Alam<br />
Pemerhati Lingkungan (Kappala Indonesia) region<br />
Banyuwangi, Kurva Hijau, <strong>dan</strong> Dewan Rakyat<br />
Jalanan untuk Demokrasi (Derajad). Beberapa butir<br />
yang dijadikan dasar penolakan AMDAL PT. IMN<br />
tersebut, antara lain:<br />
a. Si<strong>dan</strong>g Amdal tersebut di atas merupakan<br />
si<strong>dan</strong>g yang tidak adil, karena tidak ada satu<br />
pun dokumen Amdal yang dibagikan kepada<br />
warga Dusun Pancer, sehingga warga tidak<br />
memiliki informasi mengenai Amdal. Padahal<br />
keterbukaan informasi ini penting sebagai tolok<br />
ukur tinggi-rendahnya itikad baik dari pemrakarsa<br />
rencana pertambangan maupun pemkab <strong>dan</strong><br />
pemrop. Keterbukaan informasi menjadi<br />
sesuatu yang logis untuk dimiliki oleh warga<br />
Pancer karena dampak apapun dari pertambangan<br />
tersebut jelas-jelas akan berpengaruh<br />
langsung kepada mereka, <strong>dan</strong> merekalah<br />
pihak pertama yang akan merasakannya.<br />
b. Warga Pancer tidak diberi kecukupan waktu<br />
untuk mempelajari Amdal tersebut. Hal ini<br />
menunjukkan minimnya kemauan Pemprop<br />
Jatim <strong>dan</strong> Pemkab Banyuwangi untuk<br />
melakukan penguatan terhadap rakyatnya,<br />
sehingga warga tidak memiliki kesiapan untuk<br />
berdialog dengan pihak yang terkait, terutama<br />
pakar. Warga pun tidak punya kecukupan<br />
waktu untuk memilih pihak yang menurut<br />
warga memiliki kompetensi untuk mendampinginya<br />
dalam mengikuti Si<strong>dan</strong>g Amdal.<br />
c. Semenjak awal bergulirnya rencana penambangan<br />
emas di HLGTP oleh PT IMN, Warga<br />
Pancer telah menolak rencana tersebut.<br />
Dimana penolakan tersebut telah mereka<br />
sampaikan dalam acara Sosialisasi Penambangan<br />
Emas HLGTP yang diselenggarakan<br />
pada 12 Maret 2008 lalu di Balai Dusun (dihadiri<br />
oleh perwakilan Pemkab Banyuwangi,<br />
perwakilan Makoramil Pesanggaran, perwakilan<br />
TNI AL, perwakilan Mapolsek Pesanggaran,<br />
<strong>dan</strong> Camat Pesanggaran). Penolakan tersebut<br />
juga telah disuarakan oleh 5 (lima) orang<br />
utusan Warga Pancer yang menghadiri Si<strong>dan</strong>g<br />
Amdal tanggal 26 Mei 2008 di Surabaya.<br />
d. Dalam Dokumen Andal yang dibuat oleh PT<br />
IMN, pada gambar 2.4 tentang “Peta Rencana<br />
Tata Letak Kegiatan” dapat dilihat dengan jelas<br />
bahwa tailing (limbah tambang) akan dibuang<br />
ke laut. Pembuangan tailing ke laut ini, dalam<br />
Lampiran Peraturan Menteri Negara<br />
Lingkungan Hidup nomor 11 tahun 2006<br />
tentang Jenis Rencana Usaha <strong>dan</strong>/atau<br />
Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan<br />
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup<br />
disebut sebagai Submarine Tailing Disposal<br />
(STD). Berdasarkan Peraturan Meneg LH no.<br />
11 tahun 2006 tersebut, Komisi Amdal<br />
Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak berwenang<br />
menilai Amdal PT IMN. Berdasarkan Peraturan<br />
Meneg LH no. 11 tahun 2006, penilaian Amdal<br />
dari sebuah rencana pertambangan yang<br />
menggunakan STD seperti halnya PT IMN<br />
tersebut, kewenangannya berada di tangan<br />
Deputi Bi<strong>dan</strong>g Amdal Kementerian Negara<br />
Lingkungan Hidup, bukan di tangan Komisi<br />
Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim. Dengan<br />
demikian, sejatinya Si<strong>dan</strong>g Amdal yang<br />
diselenggarakan <strong>dan</strong> dipimpin oleh Komisi<br />
Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak sah,<br />
karena tidak sesuai dengan Peraturan Meneg<br />
LH no. 11 tahun 2006.<br />
e. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai<br />
pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang<br />
tidak layak <strong>dan</strong> harus ditolak, karena dalam<br />
Presentasi Kerangka Acuan Analisis Dampak<br />
Lingkungan (KA-Andal) yang bertempat di<br />
ruang Minakjingga Pemkab Banyuwangi pada<br />
tanggal 30 Januari 2008, PT IMN telah melakukan<br />
kebohongan publik dengan menyatakan kepada<br />
seluruh hadirin bahwa merkuri berbahaya<br />
sementara sianida aman. Dalam acara tersebut<br />
tidak ada itikad baik dari pemrakarsa untuk<br />
menjelaskan apa itu sianida? Apa saja<br />
dampaknya? Dan apa yang membuat<br />
pemrakarsa yakin bahwa sianida aman?<br />
f. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai<br />
pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang tidak<br />
layak <strong>dan</strong> harus ditolak, karena pihak<br />
pemrakarsa tidak membuat pengumuman<br />
tentang rencana Si<strong>dan</strong>g Amdal yang layak <strong>dan</strong><br />
mencukupi. Bahkan hingga kini pun belum<br />
terlihat kemauan pemrakarsa untuk<br />
mengumumkan secara terbuka tentang Si<strong>dan</strong>g<br />
Revisi Amdal.<br />
g. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai<br />
pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang<br />
tidak layak <strong>dan</strong> harus ditolak, karena tidak ada<br />
satu pun dari peta yang termuat di dalamnya<br />
yang menampakkan keberaradaan Pulau<br />
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />
7
Merah. Tidak a<strong>dan</strong>ya Pulau Merah di semua peta<br />
yang terdapat dalam dokumen Andal tersebut<br />
mencerminkan keteledoran PT IMN, serta<br />
menggambarkan rendahnya kepedulian PT<br />
IMN terhadap area penting seperti Pulau Merah.<br />
Sementara itu, koordinator Koalisi Tolak Tambang<br />
di Tumpang Pitu (KT3P), tambang emas yang<br />
dibangun oleh PT IMN di Tumpang Pitu memakan<br />
areal seluas 11.621 hektar yang meliputi kawasan<br />
Gunung Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung<br />
Wedi Ireng, Gunung <strong>Sumber</strong> Salak, Gunung<br />
Macan, <strong>dan</strong> kawasan hutan lindung setempat.<br />
Sebagai kawasan penyangga, Gunung Tumpang<br />
Pitu memiliki kaitan erat dengan aktivitas<br />
penduduk di sekitarnya, seperti pertanian,<br />
perkebunan <strong>dan</strong> nelayan.<br />
Menurut Tim Isu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, berbagai<br />
informasi mengenai penolakan terhadap kegiatan<br />
pertambangan di kawasan Gunung Tumpang Pitu<br />
di atas, <strong>dan</strong> isu utama beberapa unjuk rasa<br />
mengenai lingkungan hidup perlu dijadikan barometer<br />
dalam memahami berbagai persoalan<br />
lingkungan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu<br />
<strong>dan</strong> sekitarnya. Berbagai persoalan tersebut tidak<br />
perlu langsung ditanggapi apreori, tetapi perlu<br />
didudukan secara proporsional pada sumber akar<br />
persoalannya.<br />
5.3. Tumpang-tindih antar Sektor<br />
Konsesi PT IMN di Tumpang Pitu meliputi areal<br />
seluas 11.621 ha yang meliputi kawasan Gunung<br />
Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng,<br />
Gunung <strong>Sumber</strong> Salak, Gunung Macan, <strong>dan</strong><br />
kawasan hutan lindung setempat. Kawasan<br />
Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi<br />
seluas 736,3 ha <strong>dan</strong> hutan lindung seluas 1.251,5<br />
ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH<br />
Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara<br />
itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana<br />
mengajukan permohonan alih fungsi kawasan<br />
hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan,<br />
yaitu Petak 75, 76, 77 <strong>dan</strong> 78 kawasan hutan<br />
tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah disahkan<br />
oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur, setelah<br />
disi<strong>dan</strong>gkan oleh Bapedalda Jawa Timur pada 26<br />
Mei lalu. Se<strong>dan</strong>gkan wilayah yang ditambang oleh<br />
PETI, Petak 56 <strong>dan</strong> Petak 79 masuk dalam wilayah<br />
konsesi PT. IMN.<br />
Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT-<br />
VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan<br />
eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli 2009.<br />
Sebelumnya, PT IMN mendapat izin kuasa<br />
eksplorasi emas dikawasan hutan dari Menteri<br />
Kehutanan MS Kaban nomor .406/MENHUT_vii/<br />
PW/2007 tertanggal 27 Juli 2007. Eksplorasi itu<br />
meliputi kawasan hutan produksi seluas 736,3 ha<br />
<strong>dan</strong> hutan lindung seluas 1.251,5 ha dipetak 75,<br />
76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH Sukamade,<br />
KPH Banyuwangi Selatan. Pengesahan Dokumen<br />
Amdal PT IMN oleh Tim Amdal Propinsi Jawa<br />
Timur <strong>dan</strong> kedatangan Mentri Kehutanan MS<br />
Kaban di Banyuwangi, terkesan memberi sinyal<br />
ditingkatkannya status PT IMN dari eksplorasi<br />
menjadi eksploitasi, semakin meresahkan warga.<br />
Kawasan Gunung Tumpang Pitu merupakan<br />
kawasan hutan lindung <strong>dan</strong> hutan produksi, bagian<br />
yang tidak terpisahkan dari 3 KPH <strong>dan</strong> 3 TH, yang<br />
berfungsi sebagai daerah penyangga,<br />
berhubungan erat sebagai sumber mata air <strong>dan</strong><br />
sungai-sungai yang menjadi sumber irigasi bagi<br />
sektor pertanian <strong>dan</strong> perkebunan yang saat ini<br />
diunggulkan sebagai sektor penting bagi<br />
Kabupaten Banyuwangi, termasuk sektor<br />
perikanan bila pembuangan tailing dilakukan di<br />
dasar laut. Konflik kepentingan antara sektor<br />
pertambangan dengan sektor kehutanan,<br />
pertanian, perkebunan, <strong>dan</strong> perikanan tersebut<br />
perlu dipertimbangkan positif <strong>dan</strong> negatifnya.<br />
5.4. Sosial Ekonomi Masyarakat<br />
Isu social terbagi dua, yaitu isu dampak sosekbud<br />
PT. IMN maupun PETI/ Gurandil <strong>dan</strong> isu kesamaan<br />
hak atas sumber daya bahan tambang (PT. IMN<br />
vs Rakyat). Isu dampak sosekbud PT. IMN terkait<br />
dengan dampak kegiatan PT. IMN terhadap<br />
berbagai aktivitas mata pencaharian masyarakat<br />
di sekitar proyek. Berapa aktivitas ekonomi<br />
masyarakat yang akan terganggu (misal pertanian,<br />
perkebunan, perikanan) <strong>dan</strong> bagaimana proses<br />
pengelolaannya. Dampak sosekbud PETI/<br />
Gurandil terutama akibat rusaknya lingkungan,<br />
sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi, pertanian<br />
<strong>dan</strong> perkebunan rusak akibat terinjak-injak ataupun<br />
rusak karena ditambang, <strong>dan</strong> kekhawatiran<br />
penggunaan air raksa yang akan mencemari<br />
lingkungan (darat <strong>dan</strong> perairan) bila tidak ditangani<br />
dengan serius.<br />
Unjuk rasa beberapa komponen masyarakat<br />
terhadap kegiatan pertambangan dapat dijadikan<br />
barometer bagi pengembangan kegiatan<br />
pertambangan di daerah ini, yaitu:<br />
1) Sejumlah Petani <strong>dan</strong> Nelayan Banyuwangi<br />
Jawa Timur ke Jakarta mendesak agar<br />
8 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
dihentikan kegiatan PT. IMN.<br />
2) Puluhan ribu warga yang tinggal sepanjang<br />
Rajekwesi sampai Muncar - Banyuwangi akan<br />
terancam hidupnya, termasuk perikanan<br />
mendesak dihentikannya rencana pengerukan<br />
emas di hutan lindung Tumpang Pitu. Mereka<br />
mendesak pemerintah mencabut ijin<br />
petambangan <strong>dan</strong> AMDAL tambang emas PT<br />
Indo Multi Niaga (IMN) yang cacat <strong>dan</strong><br />
menolak ijin pinjam pakai penggunaan hutan.<br />
3) Kunjungan Rombongan Dirjen Planologi<br />
<strong>Departemen</strong> Kehutanan ke lokasi penambangan<br />
emas tradisional di lereng Gunung<br />
Tumpang Pitu Kampung 56 Dusun Wringin<br />
Agung Desa/Kecamatan Pesanggaran,<br />
Banyuwangi, diwarnai aksi pengha<strong>dan</strong>gan oleh<br />
ratusan massa anti tambang.<br />
4) Aliansi Mahasiswa <strong>dan</strong> Masyarakat Peduli<br />
Lingkungan (AMMPeL), mengecam pertemuan<br />
antara Dirjen Planologi <strong>Departemen</strong> Kehutanan<br />
<strong>dan</strong> PT Indo Multi Niaga (IMN) serta pihak terkait<br />
lainnya di Pendopo Banyuwangi, yang dianggap<br />
telah telah melakukan ketidakadilan informasi<br />
terhadap masyarakat terkait aktifitas PT IMN di<br />
Gunung Tumpang Pitu karena tidak transparan.<br />
Mengenai isu kesamaan hak dalam pemanfaatan<br />
bahan tambang (PT. IMN vs PETI/ Gurandil)<br />
merupakan isu penting, karena kalau tidak<br />
ditempatkan pada koridor yang semestinya, sesuai<br />
pasal 33 UUD 45 dapat menjadi pemicu isu-isu<br />
lainnya di kawasan tersebut. Masalah tersebut<br />
terkait dengan pertanyaan mendasar, kalau PT.<br />
IMN diperbolehkan melakukan aktivitas di<br />
kawasan hutan lindung, kenapa rakyat dilarang di<br />
kawasan hutan produksi, yang secara tingkatan<br />
fungsi hutan lebih rendah. Pertanyaan ini berlanjut<br />
dengan masalah, kalau pelarangan PETI/ Gurandil<br />
karena merusak Lingkungan <strong>dan</strong> tidak berizin<br />
sehingga tidak ada pemasukan bagi pemda,<br />
bagaimana seharusnya.<br />
Berbagai persoalan yang mendasar tersebut<br />
timbul, karena Pemda Kabupaten Banyuwangi<br />
kurang cepat dalam menanganinya sebagai akibat<br />
belum a<strong>dan</strong>ya kantor/ dinas pertambangan yang<br />
seharusnya bertanggung jawab terhadap<br />
persoalan pertambangan di daerah. Perlu<br />
dipahami, saat ini dengan persoalan pertambangan<br />
yang komplek ditangani oleh Pemda Bagian<br />
Perekonomian, Bappeda <strong>dan</strong> Kantor Lingkungan<br />
Hidup menyebabkan persoalan pertambangan<br />
tidak tertangani secara optimal, setiap ada<br />
persoalan masing-masing saling menunggu <strong>dan</strong><br />
bagi-bagi tanggung jawab/ peran. Di samping itu,<br />
ada kesan dalam menangani setiap persoalan<br />
PETI/ Gurandil dilakukan dengan cara-cara<br />
represif. Padahal, berdasarkan kasus-kasus di<br />
beberapa daerah, cara-cara represif justru akan<br />
menimbulkan persoalan baru yang lebih besar.<br />
Untuk memberi rasa keadilan, kesamaan hak atas<br />
sumber daya alam antara PT. IMN <strong>dan</strong> masyarakat<br />
penambang, maka Pemda Kabupaten Banyuwangi<br />
seharusnya menyiapkan WPR sebagai wadah<br />
menampung aspirasi rakyat dalam kegiatan<br />
pertambangan dengan beberapa tahap berikut:<br />
1) Secepatnya meminimalkan daerah operasi<br />
PETI/ gurandil untuk mengurangi dampak<br />
Lingkungan, dengan persuasif menjaga wilayah<br />
operasi PETI/ gurandil tersebut.<br />
2) Menyiapkan Wilayah Pertambangan Rakyat<br />
(WPR) pada daerah-daerah di lembah Gunung<br />
Tumpang Pitu yang memiliki kandungan emas<br />
alluvial.<br />
3) Melakukan kajian eksplorasi terhadap daerah<br />
yang disiapkan untuk WPR <strong>dan</strong> menyiapkan<br />
perizinannya dengan wadah ba<strong>dan</strong> usaha<br />
Koperasi.<br />
4) Menyiapkan bimbingan, pembinaan <strong>dan</strong><br />
pengawasan teknis penambangan, lingkungan<br />
<strong>dan</strong> manajemen usaha bagi penambang rakyat.<br />
6. KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT<br />
Berdasarkan pembahasan terhadap ke-empat isu<br />
potensi <strong>dan</strong> kegiatan pertambangan emas di<br />
Gunung Tumpang Pitu di atas (isu potensi emas,<br />
Lingkungan pertambangan, tumpang tindih dengan<br />
sektor lain, <strong>dan</strong> isu sosekbud), diperlukan<br />
kesiapan daerah (Pemerintah Kabupaten<br />
Banyuwangi) dalam mengelola potensi emas di<br />
Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran,<br />
Kabupaten Banyuwangi. Kesiapan daerah dalam<br />
mengelola potensi emas di Gunung Pitu tersebut<br />
meliputi beberapa tahap kegiatan berikut:<br />
1) Perlu ada kajian mengenai keuntungan <strong>dan</strong><br />
kerugian (cost benefit analysis) antara<br />
kegiatan pertambangan dengan sektor<br />
kehutan, <strong>dan</strong> sektor lain terkait fungsi hutan<br />
sebagai penyimpan sumber daya air sektorsektor<br />
pertanian <strong>dan</strong> perkebunan.<br />
2) Bila kegiatan pertambangan lebih<br />
menguntungkan, dengan dampak yang dapat<br />
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />
9
diminimalkan dibanding kerugian yang akan<br />
terjadi terhadap sektor-sektor nonpertambangan,<br />
maka perlu dilakukan<br />
pembatasan kembali wilayah PT. IMN (relinquish)<br />
dari tahap eksplorasi ke tahap<br />
eksploitasi, <strong>dan</strong> wilayah yang berpotensi emas<br />
sekunder/ alluvial dialokasikan sebagai<br />
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) untuk<br />
mewadahi aspirasi rakyat/ masyarakat dalam<br />
kegiatan pertambangan. Mengenai tahap<br />
eksplorasi diatur dalam pasal 42-45 UU No.<br />
4/2009, se<strong>dan</strong>gkan pengalokasian WPR<br />
diatur pasal 20-26 UU No. 4/2009.<br />
3) Berdasarkan kajian terhadap AMDAL PT. IMN,<br />
ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi:<br />
• wilayah konsesi, perlu dilakukan<br />
pembatasan wilayah konsesi untuk<br />
meminimalkan dampak lingkungan,<br />
terutama terkait fungsi hutan lindung<br />
sebagai sumber mata air, <strong>dan</strong> sungaisungai<br />
bagi sektor pertanian <strong>dan</strong><br />
perkebunan.<br />
• wilayah konsesi, batas wilayah yang<br />
terdapat pada tabel titik koordinat terdapat<br />
kesalahan pada titik 14 <strong>dan</strong> 15 (koordinat<br />
y garis lintang/ LS untuk titik 14<br />
seharusnya 36’.00" <strong>dan</strong> titik 15 seharusnya<br />
36’.00") yang bisa fatal karena sebagai<br />
batas wilayah konsesi (Tabel 1).<br />
• kajian terhadap kegiatan di sekitar proyek<br />
perlu diperluas <strong>dan</strong> diperdalam sehingga<br />
dapat memberi gambaran yang valid<br />
mengenai keadaan yang sebenarnya, <strong>dan</strong><br />
perlu dilakukan secara transparan.<br />
• dalam kajian AMDAL perlu diperjelas<br />
mengenai rencana pembuangan limbah,<br />
<strong>dan</strong> rencana pengelolaannya.<br />
4) PT. IMN perlu memberi penjelasan yang ilmiah<br />
mengenai potensi emas primer maupun emas<br />
sekunder/ alluvial di dalam wilayah konsesinya<br />
di Gunung Tumpang Pitu, serta kandungan<br />
mineral ikutan emas berdasarkan hasil<br />
laboratorium yang terakreditasi.<br />
5) Dalam menangani persoalan PETI/ Gurandil<br />
seyogyanya tidak menggunakan cara-cara<br />
represif, tetapi harus dengan persuasive,<br />
karena kasus-kasus semacam ini (PETI Emas<br />
Pongkor, Kapur di Padalarang Jawa Barat,<br />
PETI Batubara di Kalimantan Selatan, PETI<br />
Emas di Sulawesi Utara, <strong>dan</strong> lainnya) kalau<br />
ditangani secara represif akan menimbulkan<br />
persoalan baru yang lebih besar.<br />
6) Dalam pengalokasian WPR perlu dilakukan<br />
kegiatan inventarisasi potensi bahan galian<br />
Tabel 1.<br />
Koordinat Wilayah Kuasa Pertambangan PT. IMN<br />
1 113 56 45,4 8 37 16,8<br />
2 113 56 45,4 8 35 53,6<br />
3 113 57 58,4 8 35 53,6<br />
4 113 57 58,4 8 34 15,9<br />
5 113 57 36,2 8 34 15,9<br />
6 113 57 36,2 8 33 3,2<br />
7 113 59 19,9 8 33 3,2<br />
8 113 59 19,9 8 32 30,8<br />
9 114 1 57 8 32 30,8<br />
10 114 1 57 8 32 58,7<br />
11 114 2 37,2 8 32 58,7<br />
12 114 2 37,2 8 35 8,6<br />
13 114 4 17,4 8 35 8,6<br />
14 114 4 17,4 8 38 hrs-nya 36 12,8 hrsnya 00<br />
15 114 4 51,4 8 38 hrs-nya 36 12,8 hrsnya 00<br />
16 114 4 51,4 8 38 11,7<br />
17 114 3 29,4 8 38 11,7<br />
18 114 3 29,4 8 39 2,8<br />
19 114 0 20,6 8 39 2,8<br />
20 114 0 20,6 8 37 16,8<br />
<strong>Sumber</strong>: ANDAL Pertambangan PT. Indah Multi Niaga<br />
10 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
emas sekunder pada wilayah-wilayah yang<br />
potensial <strong>dan</strong> dampaknya dapat diminimalkan.<br />
7) Setelah Pemda Kabupaten Banyuwangi<br />
mengalokasikan WPR, maka perizinan perlu<br />
disiapkan <strong>dan</strong> perlu dilakukan pembinaan <strong>dan</strong><br />
pengawasan, baik dalam hal teknis<br />
penambangan, lingkungan maupun dalam<br />
manajemen berusaha.<br />
8) Untuk menangani berbagai permasalahan<br />
pertambangan di Kabupaten Banyuwangi,<br />
sesuai kebijakan otonomi daerah yang<br />
tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No.<br />
33 Tahun 2004, <strong>dan</strong> PP No. 38 Tahun 2007,<br />
maka perlu dibentuk kantor/ dinas<br />
pertambangan <strong>dan</strong> energi yang tugasnya<br />
mengelola kegiatan pertambangan di daerah.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana<br />
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten<br />
Banyuwangi 2005-2<strong>01</strong>5 (Laporan Rencana).<br />
Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2007, Tata<br />
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten<br />
Banyuwangi 2007-2027 (Album Peta/<br />
Gambar).<br />
Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana<br />
Umum Tata Ruang Kota dengan Kedalaman<br />
Rencana Detail Tata Ruang Kota<br />
Pesanggaran.<br />
Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2009, Potensi<br />
pertambangan di Gunung Tumpang Pitu <strong>dan</strong><br />
Pulau Batu Merah, Bahan Presentasi Kabid<br />
Fisik <strong>dan</strong> Prasarana Wilayah.<br />
Berita Fajar, 2008, “Emas vs Potensi Agraris<br />
Banyuwangi, Sebentuk Kanibalisasi antar -<br />
Potensi”, Berita Fajar FM, Sabtu, 19 April<br />
2008.<br />
BPS Kabupaten Banyuwangi, 2009, Kabupaten<br />
Banyuwang Dalam Angka Tahun 2008.<br />
BPS Kabupaten Banyuwangi, 2009, PDRB<br />
Kabupaten Banyuwangi Tahun 2008.<br />
BPS Kabupaten Banyuwangi, 2008, Kecamatan<br />
Pesanggaran Dalam Angka Tahun 2007.<br />
Detik Surabaya, 2009, “Penambang Emas<br />
Dadakan di Banyuwangi Capai 3 Ribu Orang”,<br />
Detik Surabaya, Selasa, 28 April, 2009.<br />
Harian Kompas, 2009, “Berebut Emas di Tumpang<br />
Pitu”, Harian Kompas, Rabo, 17 Mei 2009.<br />
Harian Kompas, 2008, “Masyarakat Banyuwangi<br />
Tolak Tambang Emas di Hutan Lindung<br />
Tumpang Pitu”, Harian Kompas, Senin, 16 Juni<br />
2008<br />
Harian Kompas, 2008, “Ribuan Penambang Emas<br />
Banyuwangi Diusir”, Harian Kompas, Jumat<br />
27 Februari 2009.<br />
PT. Indo Multi Niaga, 2008, ANDAL PT. Indo Multi<br />
Niaga, Rencana Penambangan Emas DMP di<br />
Desa <strong>Sumber</strong> Agung, Kecamatan<br />
Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,<br />
Provinsi Jawa Timur, Jakarta 2008 (Laporan<br />
Akhir).<br />
PT. Indo Multi Niaga, 2008, Lampiran ANDAL PT.<br />
Indo Multi Niaga Rencana Penambangan<br />
Emas DMP di Desa <strong>Sumber</strong> Agung,<br />
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten<br />
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta<br />
2008.<br />
PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pengelolaan<br />
Lingkungan (RKL) Rencana Penambangan<br />
Emas DMP di Desa <strong>Sumber</strong> Agung,<br />
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten<br />
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta<br />
2008.<br />
PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pemantauan<br />
Lingkungan (RPL) Rencana Penambangan<br />
Emas DMP di Desa <strong>Sumber</strong> Agung,<br />
Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten<br />
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta<br />
2008.<br />
Tim Isu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, 2009, Foto-foto<br />
dokumentasi survai di perkantoran <strong>dan</strong><br />
dokumentasi PETI di Gunung Tumpang Pitu,<br />
Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.<br />
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />
11
LAMPIRAN<br />
FOTO-FOTO SURVAI LAPANGAN<br />
12 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />
13
14 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />
15
PENGEMBANGAN METODE ANALISIS TER DAN<br />
PARTIKULAT DALAM PRODUCER GAS<br />
DARI BATUBARA<br />
Slamet Suprapto <strong>dan</strong> Nurhadi<br />
Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, Jln. Jend. Sudirman no. 623 Bandung,<br />
Telp. (022)6030483, Fax: (022) 6003373<br />
email: slamets@tekmira.esdm.go.id, nurhadi@tekmira.esdm.go.id<br />
SARI<br />
Dalam rangka meningkatkan <strong>dan</strong> mendiversifikasikan pemanfaatan batubara, Puslitbang Teknologi<br />
Mineral <strong>dan</strong> Batubara se<strong>dan</strong>g mengembangkan pemanfaatan producer gas hasil gasifikasi batubara<br />
untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sistem dual fuel di Sentra Teknologi Pemanfaatan<br />
Batubara, Palimanan Cirebon. Salah satu parameter kualitas producer gas untuk digunakan pada<br />
sistem pembakaran internal seperti mesin diesel adalah kadar ter <strong>dan</strong> partikulat. Penelitian ini<br />
dimaksudkan untuk mengembangkan metoda sampling <strong>dan</strong> analisis kadar ter <strong>dan</strong> partikulat dalam<br />
producer gas dari batubara. Metoda ini menggunakan peralatan yang terdiri atas nozzle isokinetik<br />
yang dilengkapi heater untuk mengambil contoh producer gas, penyaring keramik untuk memisahkan<br />
partikulat, heat exchanger <strong>dan</strong> botol kondensasi untuk mengasorbsi lengas <strong>dan</strong> botol impinger untuk<br />
mengadsorbsi ter dalam contoh producer gas. Peralatan yang telah terangkai kemudian diujicoba<br />
untuk menentukan kadar ter <strong>dan</strong> partikulat dalam producer gas produk gasifikasi. Batubara yang<br />
digunakan berasal dari Kalimantan Selatan yang mempunyai nilai kalor 5.500 <strong>dan</strong> 4.500 kal/g. Pengujian<br />
metoda sampling <strong>dan</strong> analisis terhadap producer gas hasil gasifikasi batubara tersebut menunjukkan<br />
kadar ter <strong>dan</strong> partikulat yang cukup rendah yaitu
used comes from South Kalimantan which have calorific values of 5,500 and 4,500 cal/g. The results<br />
show that the content of tar and particulate are
pembakaran internal <strong>dan</strong> proses gasifikasi<br />
batubara yang digunakan di pilot plant pemanfaatan<br />
gasifikasi batubara untuk PLTD adalah pada<br />
reaktor <strong>dan</strong> sistem pemurnian gas. Reaktor<br />
gasifikasi biomassa adalah sistem downdraft,<br />
yakni batubara dimasukkan dari atas <strong>dan</strong> gas<br />
dikeluarkan dari bawah reaktor sehingga ter<br />
biomassa mengalami perekahan (cracking)<br />
menjadi molekul gas. Oleh karena itu, kadar ter<br />
dalam relatif rendah <strong>dan</strong> unit pemurniaan gas yang<br />
digunakan untuk gasifikasi biomassa cukup hanya<br />
terdiri atas siklon, scrubber <strong>dan</strong> pendingin.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan gasifikasi batubara menggunakan<br />
reaktor sistem updraft sehingga produk gas<br />
mengandung lebih banyak ter. Namun pada unit<br />
gasifikasi batubara mempunyai sistem pemurnian<br />
gas yang juga dilengkapi penangkap ter khusus,<br />
yakni tar electrostatic precipitator. Unit penangkap<br />
ter tersebut cukup efektif sehingga kadar ter dalam<br />
producer gas memenuhi syarat untuk penggunaan<br />
mesin diesel.<br />
Penggunaan producer gas hasil gasifikasi<br />
biomassa untuk mesin diesel pembangkit listrik<br />
maupun kendaraan telah dimulai sejak awal abad<br />
20. Penggunaan tersebut mencapai puncaknya<br />
selama masa Perang Dunia II terutama dilakukan<br />
oleh Jerman untuk menjalankan kendaraankendaraan<br />
perangnya. Sampai sekarang, di<br />
daerah-daerah terpencil di banyak negara misalnya<br />
Pilipina, Selandia Baru, Afrika, Eropa maupun<br />
Amerika Serikat masih ditemukan bus atau traktor<br />
bermesin diesel sistem dual fuel dengan bahan<br />
bakar solar <strong>dan</strong> producer gas (Anonymous, 1986;<br />
Turare).<br />
Mesin-mesin pembakaran internal normalnya<br />
dirancang untuk menggunakan bahan bakar bensin<br />
atau solar yang relatif bersih dibanding producer<br />
gas. Oleh karena itu, agar mesin diesel dapat<br />
beroperasi dengan normal, maka producer gas<br />
harus mengandung ter <strong>dan</strong> partikulat serendah<br />
mungkin. Secara umum, kadar ter <strong>dan</strong> partikulat<br />
yang masih dapat ditoleransi untuk bahan bakar<br />
mesin pembakaran internal adalah adalah sebagai<br />
berikut (Anonymous, 1986; Anonymous, 2006):<br />
• ter :
Gambar 1. Skema alat sampling producer gas (Nussbanmer, 1998; van<br />
de Kamp, 2005)<br />
Gambar 2. Skema penangkap partikulat <strong>dan</strong> ter ((Nussbanmer, 1998; van<br />
de Kamp, 2005)<br />
Pengembangan Metode Analisis Ter <strong>dan</strong> Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto <strong>dan</strong> Nurhadi<br />
19
ter dalam contoh gas akan mengembun dalam 3.3. Pengujian Metoda<br />
botol kondensasi yang berisi air suling.<br />
Langkah selanjutnya adalah mengalirkan gas ke<br />
dalam 3 buah botol impinger yang masing-masing<br />
berisi 50 mL anisol <strong>dan</strong> satu buah botol impinger<br />
kosong sebagai drop separator. Ketiga buah botol<br />
impinger tersebut didinginkan dalam chiller pada<br />
suhu -3 sampai dengan -4 O C. Ter yang<br />
terkandung dalam contoh gas akan mengembun<br />
<strong>dan</strong> terabsorbsi dalam anisol. Contoh gas<br />
kemudian disedot oleh pompa vakum pada laju<br />
alir antara 1,7 – 3,3 m/detik. Sisa contoh gas<br />
dibakar dengan pembakar (burner).<br />
Sampling gas dilakukan selama 0,5 - 1 jam,<br />
tergantung kandungan ter <strong>dan</strong> partikulat. Semakin<br />
kecil kandungan partikulat <strong>dan</strong> ter, waktu yang<br />
dibutuhkan akan semakin lama. Setelah dilakukan<br />
langkah-langkah sampling gas <strong>dan</strong> pemisahan<br />
partikulat <strong>dan</strong> ter seperti seperti tersebut di atas,<br />
kemudian kadar partikulat <strong>dan</strong> ter dapat ditentukan<br />
dengan membagi berat ter dengan volume contoh<br />
gas sebagai berikut:<br />
m c1 – m c2<br />
Kadar partikulat, mg/m 3 =<br />
v g<br />
Di mana:<br />
m c1 = berat penyaring keramik sebelum<br />
percobaan, mg<br />
m c2 = berat penyaring sesudah percobaan, mg<br />
= volume contoh gas, m 3<br />
Se<strong>dan</strong>gkan untuk menentukan kadar ter, ter yang<br />
sudah teradsorbsi dalam botol kondensasi <strong>dan</strong><br />
botol impinger dipisahkan melalui destilasi vakum<br />
pada suhu 85 O C <strong>dan</strong> tekanan 10 – 20 mBar. Ter<br />
yang diperoleh kemudian ditimbang. Kadar tar<br />
dapat dihitung dengan membagi berat ter yang<br />
diperoleh dari destilasi vakum dengan volume<br />
contoh gas, sebagai berikut:<br />
m t<br />
Kadar partikulat, mg/m 3 =<br />
v g<br />
Di mana:<br />
m t = berat ter hasil destilasi, mg<br />
v g = volume contoh gas, m 3<br />
Pengujian metoda dilakukan terhadap producer<br />
gas hasil gasifikasi contoh batubara Kalimantan<br />
yang mempunyai nilai kalor 5.500 kal/g <strong>dan</strong> 4.500<br />
kal/g. Pengujian diawali dengan proses gasifikasi<br />
batubara yakni dengan mengumpankan batubara<br />
± 150 kg/jam. Setelah operasi gasifikasi berjalan<br />
lancar (steady) kemudian dilakukan sampling gas<br />
dengan membuka aliran nozzle. Selanjutnya<br />
dilakukan langkah-langkah sesuai dengan<br />
prosedur analisis ter <strong>dan</strong> partikulat. Apabila kadar<br />
ter <strong>dan</strong> partikulat dalam producer gas sudah<br />
memenuhi syarat, yakni
Tabel 1.<br />
Hasil analisis ter <strong>dan</strong> partikulat<br />
Kadar Ter <strong>dan</strong> Partikulat, mg/m 3<br />
No. Contoh Batubara Nilai Kalorkal/g<br />
Ter<br />
Partikulat<br />
1.<br />
38 50<br />
A 5.500<br />
2. 7 31<br />
3. B 4.500 62 43<br />
Analisis proksimat, reaktivitas <strong>dan</strong> sifat caking<br />
batubara yang sama akan menghasilkan kondisi<br />
operasi yang sama. Ukuran batubara yang<br />
digunakan dalam percobaan gasifikasi adalah – 5<br />
+ 1 cm, tetapi kemungkinan distribusi ukurannya<br />
tidak merata sehingga menyebabkan kondisi<br />
percobaan ke 1 <strong>dan</strong> ke 2 tidak sama. Hal ini juga<br />
dapat membuat penyebaran panas dalam unggun<br />
batubara tidak merata <strong>dan</strong> selanjutnya<br />
menyebabkan fragmentasi ukuran tidak sama<br />
sehingga kondisi proses berbeda. Perbedaan<br />
kondisi proses tersebut menyebabkan terjadinya<br />
perbedaan kualitas produk berbeda.<br />
Pengembangan standar analisis producer gas dari<br />
biomassa yang dilakukan oleh van de Kamp (2005)<br />
adalah dengan memvariasikan kondisi operasi<br />
gasifikasi yang terdiri atas, pereaksi (udara/uap<br />
air, oksigen/uap air), jenis reaktor (fixed bed, fluidized<br />
bed, updraft, down draft), suhu <strong>dan</strong> tekanan.<br />
Dalam program standarisasi tersebut dilakukan uji<br />
Round Robin, yakni mengirimkan contoh-contoh<br />
gas yang sama ke beberapa laboratorium kemudian<br />
membandingkan hasilnya.<br />
Hasil pengujian penggunaan gas untuk<br />
mengoperasikan mesin diesel sistem dual fuel<br />
secara kontinyu <strong>dan</strong> beban maksimal<br />
menunjukkan kinerja yang cukup baik. Hasil<br />
pengamatan terhadap ruang bakar mesin diesel<br />
setelah operasi kontinyu tidak menunjukkan<br />
perbedaan dengan menggunakan bahan bakar<br />
100% solar <strong>dan</strong> tidak ditemukan a<strong>dan</strong>ya endapan<br />
kerak atau ter batubara dalam ruang bakar mesin<br />
diesel. Hal ini menunjukkan bahwa kadar ter <strong>dan</strong><br />
partikulat cukup rendah <strong>dan</strong> memenuhi syarat,<br />
seperti yang dihasilkan oleh uji metoda analisis.<br />
Walaupun metoda ini sudah bisa digunakan, tetapi<br />
yang masih menjadi masalah adalah belum<br />
dikembangkannya standar. Hal ini mengingat<br />
belum a<strong>dan</strong>ya standard reference gas yang sudah<br />
mempunyai kandungan ter <strong>dan</strong> partikulat tertentu.<br />
Disamping itu, belum ada laboraorium lain yang<br />
mengembangkan metoda analisis ter <strong>dan</strong> partikulat<br />
yang dapat bekerjasama dalam melakukan uji<br />
Round Robin guna membandingkan hasil analisis.<br />
5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
5.1. Kesimpulan<br />
• Peralatan sampling <strong>dan</strong> analisis ter <strong>dan</strong><br />
partikulat dalam producer gas dari batubara<br />
telah dapat dirancang bangun <strong>dan</strong> dipasang<br />
pada pilot plant gasifikasi batubara untuk PLTD<br />
di Palimanan Cirebon.<br />
• Metoda sampling <strong>dan</strong> analisis ter <strong>dan</strong> producer<br />
gas telah dikembangkan <strong>dan</strong> diujicobakan<br />
dengan baik terhadap producer gas hasil<br />
gasifikasi batubara dari Kalimantan Selatan<br />
yang menghasilkan kadar ter <strong>dan</strong> partikulat<br />
masing-masing antara 7 – 62 mg ter/Nm 3 <strong>dan</strong><br />
31 – 50 mg partikulat/Nm 3 yang telah<br />
memenuhi persyaratan untuk pengoperasian<br />
mesin diesel.<br />
• Pengoperasian mesin diesel menggunakan<br />
producer gas dari batubara menunjukkan<br />
kinerja yang cukup baik, tidak terdapat endapan<br />
ter <strong>dan</strong> partikulat dalan ruang bakar mesin.<br />
5.2. Saran<br />
• Hasil ini agar dapat ditindaklanjuti dengan<br />
pengembangan metoda standar melalui<br />
kerjasama dengan laboratorium lain untuk<br />
melakukan uji pembanding (Round Robin test).<br />
• Pengembangan metoda sampling <strong>dan</strong> analisis<br />
producer gas juga perlu dikembangkan agar<br />
komposisi gas dapat langsung diketahui<br />
sehingga pemanfaatan untuk mesin diesel<br />
dapat terjamin.<br />
Pengembangan Metode Analisis Ter <strong>dan</strong> Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto <strong>dan</strong> Nurhadi<br />
21
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Ucapan terimakasih disampaikan kepada<br />
Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, PT PLN Jasa Produksi <strong>dan</strong><br />
PT Coal Gas Indonesia (PT CGI) atas<br />
kerjasamanya dalam penyelenggaraan kegiatan<br />
ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anonymous, 1986. Wood Gas as Engine Fuel.<br />
FAO, Rome.<br />
Anonymous, 2006. Biomass downdraft gasifier<br />
engine system. http:/devafdc.nrel.gov/pdfs.<br />
Elliot, M.A. (ed.), 1981. Chemistry of coal utilization.<br />
Second Suppl. Vol., John Wiley & Sons,<br />
New York.<br />
Francis, W., 1965. Fuels and Fuel Technology.<br />
Vol II, Section C: Gaseous Fuels. Pergamon<br />
Press, Oxford.<br />
Nowacki, P. (Ed.), 1981. Coal Gasification Process.<br />
Noyes Data Corporation Jersey.<br />
Nussbanmer, T., 1998. Guide line for Sampling<br />
and analisis of Tars Condensates and Particulates<br />
From Biomass Gasifier, Swiss Federal<br />
Institute of Zurich, Zurich.<br />
Turare, C. Biomass Gasification – Technology and<br />
Utilization. ARTES Institute Glucksburg, Germany.<br />
van de Kamp, W., de Wild, P., Zielke, U.,<br />
Suomalainen, M., Knoef, H., Good, J, Liliedahl,<br />
T., Unger, C., Whitehouse, M., Neeft, J., van<br />
de Hoek, H. & Kiel, J., 2005. Tar measurement<br />
standard for sampling and analysis of<br />
tars and particles in biomass gasification product<br />
gas. 14 th European Biomass Conference<br />
& Exhibition, Paris, 17-21 October.<br />
Van Dyk, J.C., Keyser, M.J. & Coertzen, M.<br />
Sasol’s Unique Position in Production from<br />
South African Coal Source Using Sasol–Lurgi<br />
Fixed Bed Dry Bottom Gasifier. Sasol Technology.<br />
R&D Division, Syngas and Coal Technologies,<br />
Sasolburg, South Afrika.<br />
Ward, C.R., 1984. Coal Geology and Coal Technology,<br />
Blackwell Scientific Publications,<br />
Melbourne.<br />
22 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN<br />
SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />
PADA ERA GLOBALISASI<br />
Djoko Sunarjanto <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />
Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Minyak <strong>dan</strong> Gas Bumi (LEMIGAS)<br />
Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230<br />
Telp.021 7222583 Fac.021 7226<strong>01</strong>1<br />
e-mail : djokosnj@lemigas.esdm.go.id, bambangwtm@lemigas.esdm.go.id<br />
SARI<br />
Paradigma baru pengelolaan Sektor <strong>Energi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Sumber</strong> Daya Mineral (ESDM) terus bergulir, setelah<br />
penyerahan UU Nomor 22 Tahun 20<strong>01</strong> tentang Migas kemudian UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang<br />
Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara (Minerba). Dari implementasi UU Migas <strong>dan</strong> UU Minerba yang<br />
baru, terdapat persamaan antara lain tentang kepedulian lingkungan. Perlu upaya khusus untuk<br />
implementasi pengelolaan lingkungan <strong>dan</strong> penanganan dinamika kegiatan pertambangan mineral <strong>dan</strong><br />
energi pada era globalisasi. Analisis pada studi kasus kegiatan pertambangan apabila berpatokan<br />
pada nuansa desentralisasi <strong>dan</strong> meninggalkan sentralisasi akan menimbulkan dampak baru. Dampak<br />
lingkungan yang timbul dapat berkembang menjadi permasalahan global, tidak terkotak-kotak wewenang<br />
daerah/pusat, namun menjadi urusan internasional. Demikian juga pengelolaan ekspor mineral,<br />
pengembangan teknologi termasuk impor peralatan masih dalam konteks sentralisasi. Permasalahan<br />
bertambah kompleks dengan berfluktuasinya produksi <strong>dan</strong> harga komoditas mineral. Diperlukan<br />
antisipasi pengelolaan sebaik-baiknya yang meliputi 3 faktor utama pengelolaan lingkungan Sektor<br />
ESDM di Indonesia, yakni jenis mineral, luas wilayah <strong>dan</strong> perkembangan perekonomian. A<strong>dan</strong>ya<br />
berbagai input <strong>dan</strong> proses kegiatan pertambangan, menjadi masukan informasi untuk kembali ke<br />
konsep pengelolaan lingkungan yang sudah ada. Salah satunya adalah konsep Green Mining and<br />
Energy, akan menghasilkan output yang bermanfaat secara berkelanjutan utamanya selalu<br />
mempertimbangkan faktor lingkungan <strong>dan</strong> masyarakat sekitar kegiatan pertambangan.<br />
<strong>Kata</strong> kunci : lingkungan, Sektor ESDM, globalisasi<br />
Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> ... Djoko Sunarjo <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />
23
ABSTRACT<br />
New paradigm on management Energy and Mineral Resources Sector, after Oil and Gas Law (Law No.<br />
22 year 20<strong>01</strong>) and Mining and Coal Law (Law No. 4 year 2009) is going on. The implementations of<br />
those laws pay the same attention on environment management. Special effort is needed for environment<br />
management to cope with the dynamics of mineral and energy activities in globalization era. Analysis<br />
from case study in mining activity if decentralism spirit is used and leaving from centralization spirit<br />
will create new impact. Environmental effect could generate the global problems, not only local but<br />
also international. Export activities of minerals, development of technologies and import of equipment<br />
which is still centralized and the complexity of the problems with fluctuations of product and mineral<br />
price need anticipation to manage it, these involve five factors: minerals item, mining area, economics<br />
development. With the inputs from mining activities there be sufficient information to come back to<br />
available environment management since Green Mining and Energy concept will cause a sustainable<br />
benefit output, in primary environment factors and community of the surrounding mining activities.<br />
Keywords: environment, energy and mineral resources sector, globalization<br />
1. LATAR BELAKANG<br />
Dengan terbitnya perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang<br />
mendasari pelaksanaan pengelolaan energi <strong>dan</strong><br />
sumber daya mineral, terdapat persamaan dalam<br />
permasalahan lingkungan yang tertuang dalam UU<br />
Nomor 22 Tahun 20<strong>01</strong> tentang Minyak <strong>dan</strong> Gas Bumi<br />
<strong>dan</strong> UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan<br />
Mineral <strong>dan</strong> Batubara. Sebagai negara kepulauan,<br />
jumlah <strong>dan</strong> penyebaran penduduk yang timpang<br />
serta a<strong>dan</strong>ya perbedaan ekologi di berbagai<br />
kawasan Indonesia, tidaklah mengherankan<br />
apabila pada masing-masing wilayah terdapat<br />
perbedaan dalam upaya penanganan lingkungan<br />
<strong>dan</strong> peningkatan perekonomian atau Pendapatan<br />
Asli Daerah dari kegiatan pertambangan.<br />
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat<br />
dijadikan sebagai masukan dalam rangka<br />
mempersiapkan peraturan <strong>dan</strong> keputusan sebagai<br />
turunan <strong>dan</strong> pendukung Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g Minerba<br />
yang baru. Pemutakhiran <strong>dan</strong> upaya khusus<br />
implementasi pengelolaan lingkungan di tengah<br />
dinamika kegiatan pertambangan mineral <strong>dan</strong><br />
energi sangat diperlukan guna menciptakan<br />
pertambangan berwawasan lingkungan.<br />
2. PENDEKATAN TEORI DAN ANALISIS<br />
Pendekatan kegiatan menggunakan teori<br />
kebijakan <strong>dan</strong> geologi lingkungan dikomparasi<br />
dengan data sekunder pengusahaan mineral <strong>dan</strong><br />
batubara. Analisis komparatif dilakukan dengan<br />
subsektor lainnya dikompilasi dengan kekhususan<br />
pengembangan subsektor minyak <strong>dan</strong> gas bumi,<br />
produksi mineral, <strong>dan</strong> pemanfaatan batubara untuk<br />
kelistrikan serta beberapa studi kasus.<br />
Pendekatan kegiatan berbasis masyarakat (community<br />
based activities), lebih mungkin<br />
menghasilkan tindakan yang merespon kebutuhan<br />
riil penduduk ataupun masyarakat lingkar<br />
pertambangan. Perlu kesadaran manfaat <strong>dan</strong> resiko<br />
bahaya yang dihadapi <strong>dan</strong> kemampuan masyarakat<br />
untuk melindungi diri dari dampak negatif yang timbul.<br />
Dalam UU Minerba yang baru telah dilengkapi tata<br />
cara pengembangan terkait masyarakat, reklamasi<br />
sampai pascatambang, yaitu;<br />
• Penanganan lingkungan hidup<br />
• Rencana pengembangan <strong>dan</strong> pemberdayaan<br />
masyarakat di sekitar wilayah pertambangan<br />
(beberapa pasal, antara lain pasal 78)<br />
• Kegiatan Reklamasi <strong>dan</strong> Pascatambang<br />
(pasal 39)<br />
3. POTENSI DAN PEMANFAATAN<br />
BATUBARA INDONESIA<br />
Sejak tahun 2006 Pemerintah menggulirkan<br />
beberapa kebijakan untuk mendukung pembangunan<br />
pembangkit listrik 10.000 MW menggunakan<br />
bukan Bahan Bakar Minyak atau non-BBM. Salah<br />
satunya adalah dengan memberikan insentif kepada<br />
perusahaan batubara pemasok pembangkit listrik<br />
PLTU. Insentif yang diberikan berupa pemotongan<br />
<strong>dan</strong>a pengembangan batubara yang merupakan<br />
bagian dari Dana Hasil Produsen Batubara (DHPB)<br />
yang disetor perusahaan tambang ke kas negara.<br />
Insentif tersebut diberikan hanya untuk kebutuhan<br />
pembangunan pembangkit listrik <strong>dan</strong> tidak boleh<br />
digunakan untuk keperluan ekspor.<br />
24 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Meningkatnya pemakaian BBM untuk pembangkit<br />
listrik tenaga diesel (PLTD) <strong>dan</strong> listrik tenaga uap<br />
(PLTU) memberatkan PLN dari segi biaya, di<br />
samping berdampak timbul masalah gangguan<br />
kualitas lingkungan. Salah satu solusi jangka panjang<br />
untuk menekan beban PLN dengan menggunakan<br />
batubara untuk pembangkit listrik yang akan<br />
dibangun maupun yang telah beroperasi. Batubara<br />
sebagai bahan bakar PLTU pengganti BBM<br />
dilandasi alasan karena batubara lebih murah <strong>dan</strong><br />
ca<strong>dan</strong>gannya cukup besar, sehingga menjamin<br />
pasokan. Kebijakan <strong>Energi</strong> Nasional 2003-2009<br />
menyebutkan bahwa penggunaan batubara dapat<br />
mendorong pengembangan batubara kalori rendah<br />
di dalam negeri, selaras hasil penelitian yang<br />
menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi<br />
batubara kalori rendah cukup besar yang selama<br />
ini belum dieksplorasi.<br />
Ibrahim (2008) dalam bukunya General Check-Up<br />
KELISTRIKAN NASIONAL; Produksi batubara<br />
dalam negeri sekitar 203 juta ton per tahun, untuk<br />
memenuhi kebutuhan bahan bakar sejumlah PLTU<br />
diperlukan sebanyak 21,28 juta ton per tahun, dalam<br />
Program 10.000 MW sebagian besar menggunakan<br />
batubara. Akan dibangun PLTU Suralaya, PLTU<br />
Labuhan <strong>dan</strong> Tangerang (Provinsi Banten). Di Jawa<br />
Barat akan dibangun PLTU Indramayu <strong>dan</strong> Pelabuhan<br />
Ratu. Jawa Tengah akan dibangun PLTU Rembang<br />
<strong>dan</strong> Tanjung Jati. Se<strong>dan</strong>gkan di Jawa Timur akan<br />
dibangun PLTU Pacitan, Paiton <strong>dan</strong> Tuban.<br />
4. ANALISIS KOMPARATIF<br />
Terkait dengan jenis mineral <strong>dan</strong> pertambangan,<br />
dalam UU Minerba yang baru diuraikan pada BAB<br />
VI pasal 34; Usaha Pertambangan dikelompokkan<br />
menjadi pertambangan mineral <strong>dan</strong> pertambangan<br />
batubara. Pertambangan mineral masih digolongkan<br />
lagi menjadi; pertambangan mineral radioaktif,<br />
pertambangan mineral logam, pertambangan mineral<br />
nonlogam <strong>dan</strong> pertambangan batuan (Un<strong>dan</strong>g-<br />
Un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan<br />
Mineral <strong>dan</strong> Batubara)<br />
Sesuai klasifikasi untuk pengelolaannya tergantung<br />
jenis <strong>dan</strong> kategori mineral, seperti dalam pengusahaan<br />
migas dibedakan institusi pemerintah<br />
sebagai regulator (Ditjen Migas) <strong>dan</strong> ba<strong>dan</strong> yang<br />
melakukan pengawasan kegiatan baik hulu <strong>dan</strong><br />
hilir migas oleh BP Migas <strong>dan</strong> BPH Migas,<br />
demikian juga nantinya untuk mineral strategis<br />
lainnya termasuk batubara. Saat ini pertambangan<br />
mineral <strong>dan</strong> batubara di Indonesia cenderung<br />
menggunakan sistem tambang terbuka (open pit<br />
mining) yang menggunakan lahan luas. Contoh<br />
pertambangan mineral logam PT Newmont Nusa<br />
Tenggara memerlukan wilayah yang luas Gambar<br />
1. Sebaliknya beberapa tambang dalam memerlukan<br />
lahan yang relatif tidak luas, seperti tambang yang<br />
sudah lama dikembangkan tambang emas<br />
Pongkor, Jayawijaya, batubara di Sawahlunto.<br />
Peningkatan pertambangan batuan sesuai kegiatan<br />
pembangunan fisik sarana-prasarana, tetap<br />
memerlukan kewaspadaan dalam pengelo-laannya<br />
terkait lingkungan, misal penambangan di daerah<br />
resapan air tanah, dekat kawasan budi daya atau<br />
pada kawasan hutan <strong>dan</strong> kawasan lainnya.<br />
Upaya mengatasi permasalahan yang timbul dapat<br />
diantisipasi dengan pengelolaan sebaik-baiknya,<br />
meliputi 3 faktor utama yang berperan penting<br />
dalam pengelolaan lingkungan Sektor ESDM di<br />
Indonesia, yaitu ;<br />
1. Jenis Mineral<br />
2. Wilayah Pertambangan<br />
3. Perkembangan Perekonomian<br />
1. Jenis Mineral<br />
Klasifikasi mineral ataupun pembagian bahan galian<br />
sesuai Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g atau PP No 27 Tahun 1980<br />
dibedakan menjadi 3 jenis atau kategori, yaitu<br />
kategori A (Bahan Galian Strategis), kategori B<br />
(Bahan Galian Vital atau Logam) <strong>dan</strong> Golongan C<br />
(Industri atau bahan bangunan), sampai saat ini<br />
masih relevan. Namun dalam pengelolaan <strong>dan</strong><br />
pekembangannya diperlukan inovasi <strong>dan</strong> keluwesan<br />
mengaplikasikan dalam peraturan perun<strong>dan</strong>gan baru.<br />
Gambar 1.<br />
Kegiatan operasi di tambang<br />
terbuka Batu Hijau (Foto :<br />
Newmont Nusa Tenggara, 2006)<br />
Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> ... Djoko Sunarjo <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />
25
Kasus terjadinya ledakan tambang batubara<br />
Sawahlunto yang menelan korban meninggal lebih<br />
dari 30 orang pada pertengahan Juni 2009, salah<br />
satu penyebabnya diduga pengelolaan <strong>dan</strong><br />
pengusahaannya mengabaikan prosedur <strong>dan</strong><br />
pengawasan lingkungan <strong>dan</strong> keselamatan kerja<br />
seperti yang seharusnya berlaku pada kegiatan<br />
tambang bawah tanah/tambang batubara.<br />
2. Wilayah Pertambangan<br />
Keberadaan wilayah pertambangan sangat<br />
mempengaruhi pelaksanaan <strong>dan</strong> permasalahan yang<br />
timbul di lapangan, masalah tumpang-tindih dengan<br />
sektor atau subsektor lain, penyerobotan wilayah<br />
oleh pertambangan tanpa ijin termasuk permasalahan<br />
lingkungan yang tidak mudah diselesaikan.<br />
Wilayah Indonesia yang memiliki tidak kurang dari<br />
13.667 pulau mempengaruhi implementasi<br />
organisasi, efektivitas <strong>dan</strong> efisiensi terkait<br />
kewilayahan. Sebagai contoh, kasus penanganan<br />
pengawasan Usaha Hulu Migas yang selama ini<br />
dilakukan BP MIGAS sesuai UU No 22 Tahun 20<strong>01</strong><br />
tentang Minyak <strong>dan</strong> Gas Bumi, salah satu<br />
implementasinya BP MIGAS membuka kantor<br />
perwakilan <strong>dan</strong> penghubung di daerah. Hal ini<br />
karena kompleksnya permasalahan pengawasan<br />
kegiatan hulu migas <strong>dan</strong> lokasi wilayah yang<br />
tersebar <strong>dan</strong> sulit dijangkau.<br />
Keterkaitan wilayah <strong>dan</strong> kepadatan penduduk<br />
terlihat perbedaan antara Wilayah Jawa <strong>dan</strong> luar<br />
Jawa, khusus Pulau Jawa menampung hampir 60<br />
% penduduk Indonesia, demikian juga antara<br />
Sumatera Jawa dengan pulau lain di Indonesia Timur.<br />
Dari berbagai pulau; Jawa, Sumatera, Kalimantan<br />
<strong>dan</strong> Sulawesi merupakan tempat pemukiman yang<br />
utama. Pengembangan pertambangan akan<br />
mempertimbangkan lebih banyak faktor pada<br />
daerah padat penduduk. Tantangan ke depan<br />
menjadi bertambah karena peningkatan jumlah<br />
penduduk <strong>dan</strong> pertambangan mengarah ke wilayah<br />
padat penduduk, sehingga diperlukan pendekatan<br />
sosio kemasyarakatan <strong>dan</strong> teknologi dalam<br />
pengelolaan mineral <strong>dan</strong> energi. Keberhasilan<br />
kegiatan community development atau social responsibility<br />
<strong>dan</strong> program kemasyarakatan yang<br />
sejenis menjadi indikator keberhasilan kegiatan<br />
pertambangan suatu wilayah (Sunarjanto <strong>dan</strong> Adji,<br />
2005). Tingkat kepadatan penduduk tempat<br />
kegiatan pertambangan berada, <strong>dan</strong> temehadap<br />
pada satu sisi akan menjadi potensi sumber daya<br />
yang tidak boleh diabaikan.<br />
3. Perkembangan Perekonomian<br />
Akhir-akhir ini permasalahan lingkungan menjadi<br />
bagian penting dalam perekonomian, sesuai UU<br />
Minerba baru daerah pertambangan berpotensi untuk<br />
dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi<br />
(pasal 28). Sisi lain pengelolaan pertambangan<br />
mineral <strong>dan</strong> energi tergantung pada modal besar<br />
<strong>dan</strong> beresiko tinggi, mengakibatkan ketergantungan<br />
pada perekonomian global, termasuk di dalamnya<br />
investasi <strong>dan</strong> nilai tukar mata uang, pajak, ketenagakerjaan<br />
sampai ekspor-impor. Impor peralatan, mesin<br />
<strong>dan</strong> teknologi dari beberapa negara luar, sebaliknya<br />
hasil kegiatan pertambangan diekspor ke luar<br />
negeri. Tercatat produksi nasional tembaga, emas,<br />
perak <strong>dan</strong> timah lebih besar untuk kebutuhan luar<br />
negeri, bahkan tahun 2007 produksi bauksit<br />
(1,536,542 MT) <strong>dan</strong> bijih nikel (4,309,134 Ton) untuk<br />
memenuhi kebutuhan luar negeri (Tabel 1). Dari sisi<br />
mikro-ekonomi fluktuasi harga komoditas, akuisisi<br />
perusahaan, penggabungan beberapa perusahaan<br />
bahkan pengalihan bi<strong>dan</strong>g usahapun perlu diperhitungkan<br />
untuk keamanan berusaha <strong>dan</strong> mempertahankan<br />
stabilitas investasi. Untuk itu pelaksanaan<br />
rangkaian kegiatan pertambangan di Indonesia masih<br />
dikontrol langsung pemerintah, sejak perencanaan,<br />
eksplorasi-eksploitasi sampai pengawasan <strong>dan</strong><br />
audit pascakegiatan pertambangan.<br />
Tabel 1.<br />
Produksi hasil tambang terpilih, kebutuhan dalam negeri <strong>dan</strong> ekspor<br />
2006 2007*) 2008*)<br />
Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik<br />
Tembaga (Ton) 817,796 816,181 159,783 797,604.75 497,704.48 287,127.43 330,267 272,186 42,884<br />
Emas (KG) 85,411 85,176 1,882 117,726.64 83,249.67 36,774.24 33,923 32,222 5,318<br />
Perak (KG) 261,398 244,144 12,967 269,376.48 188,665.07 80,248.42 122,470 97,671 97,515<br />
Timah (Ton) 65,357 61,422 1,927 91,284.31 90,555.61 1,862 25,407 22,048 747<br />
Bauksit (MT) 1,5<strong>01</strong>,937 1,536,542 - 15,406,044.73 17,031,809.46 25,762.49 6,706,483 7,702,308 102,326<br />
Bijih Nikel (Ton) 4,353,832 4,309,134 - 6,623,024 5,989,105 56,775 3,619,183 3,037,442 -<br />
*) Termasuk Kuasa Pertambangan<br />
Status Data, Juli 2008<br />
<strong>Sumber</strong> : Directorate General of Mineral Coal and Geothermal (2008)<br />
26 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
5. ALTERNATIF SOLUSI<br />
Alternatif solusi merupakan bagian dari strategi yang<br />
diperlukan guna mempercepat <strong>dan</strong> akurasi suatu<br />
proses untuk mencapai tujuan yang diharapkan.<br />
Menurut Soelistijo (2000) secara makronasional,<br />
dengan disesuaikan terhadap terdapatnya sumber<br />
daya mineral <strong>dan</strong> energi, pengembangan wilayah<br />
Sektor ESDM terdiri dari 3 alternatif, yaitu ;<br />
• Pusat pertumbuhan (growth center).<br />
• Agregatif: yang potensinya menunjang<br />
konsepsi pengembangan wilayah sektor lain.<br />
• Regional Integratif: yang potensinya bersifat<br />
merangsang pengembangan wilayah sektor lain.<br />
Dalam perkembangannya selama ini banyak kajian<br />
ilmiah, analisis <strong>dan</strong> alternatif yang sudah disusun<br />
ahli maupun institusi. Berdasarkan analisis<br />
komparatif, sebagai suatu alternatif solusi terdapat<br />
input <strong>dan</strong> proses kegiatan pertambangan dapat<br />
diarahkan mencapai output yang bermanfaat banyak<br />
pihak. Dapat ditinjau kembali konsep pengelolaan<br />
lingkungan yang sudah ada, salah satunya adalah<br />
konsep Green Mining and Energy akan menghasilkan<br />
output yang bermanfaat secara berkelanjutan.<br />
Apabila dikaitkan dengan lingkungan <strong>dan</strong><br />
pengembangan wilayah selalu mempertimbangkan<br />
faktor lingkungan <strong>dan</strong> masyarakat sekitar kegiatan<br />
pertambangan atau diistilahkan masyarakat<br />
lingkar luar, baik lingkar 1, lingkar 2 <strong>dan</strong> seterusnya.<br />
Peningkatan emisi gas CO 2 di atmosfer akan<br />
dapat mempengaruhi terjadinya perubahan curah<br />
hujan <strong>dan</strong> pemanasan global. Selain mendorong<br />
terjadinya kepunahan keanekaragaman hayati,<br />
pemanasan global juga dapat menimbulkan<br />
terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang,<br />
penurunan produktivitas perikanan laut, terjadinya<br />
perubahan musim, meledaknya hama <strong>dan</strong> wabah<br />
penyakit, hujan badai, banjir ban<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> sebagainya.<br />
Penggunaan energi batubara dalam penyediaan<br />
tenaga listrik ataupun industri mineral <strong>dan</strong> energi<br />
lainnya diupayakan agar lebih ramah lingkungan<br />
<strong>dan</strong> dilakukan dengan melengkapi peralatan yang<br />
dapat mengatasi polutan. Dengan melengkapi<br />
peralatan sejenis penyaring, maka gas buang dari<br />
PLTU ataupun industri menjadi aman bagi lingkungan<br />
(Brodjonegoro, Bambang <strong>dan</strong> Sunarjanto, 2000).<br />
Penanganan lingkungan hidup termasuk reklamasi<br />
<strong>dan</strong> pengelolaan pascatambang (BAB VII pasal<br />
39 UU Minerba) menjadi upaya penting memperbesar<br />
dampak positif menciptakan pertambangan secara<br />
berkelanjutan sejak eksplorasi sampai dengan<br />
esok menjadi suatu kawasan pusat pertumbuhan<br />
ekonomi. Sebagai contoh nyata a<strong>dan</strong>ya kegiatan<br />
pertambangan mineral logam di Maluk Sumbawa<br />
yang termasuk Wilayah PT. Newmont Nusa<br />
Tenggara dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun<br />
mampu membangun Pusat Pertumbuhan Ekonomi<br />
baru di Wilayah Indonesia Timur Gambar 2.<br />
6. PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP<br />
Sampai saat ini sumber energi fosil merupakan<br />
sumber utama <strong>dan</strong> penggunaan bahan bakar<br />
batubara pada PLTU dapat berdampak merugikan<br />
lingkungan. Secara fisik tampak mata adalah<br />
perubahan bentang alam, sebagai ilustrasi<br />
digambarkan dalam Gambar 1. Dampak negatif yang<br />
tidak tampak secara langsung sebagai sumber<br />
utama emisi berbahaya seperti SO 2 , CO, CO 2 , <strong>dan</strong><br />
abu. Salah satu emisi yang harus mendapatkan<br />
perhatian dari pembakaran batubara pada<br />
pembangkit listrik adalah SO 2 , yang merupakan<br />
gas tidak berwarna, berbau menyengat <strong>dan</strong> sangat<br />
berbahaya bagi tumbuhan <strong>dan</strong> hewan. SO 2 menyebabkan<br />
gangguan pernafasan, dapat menyebabkan<br />
kebutaan <strong>dan</strong> kematian pada manusia. Dampak<br />
lainnya mengakibatkan terjadinya hujan asam<br />
yang dapat merusak tanaman serta mempercepat<br />
kepunahan keanekaragaman hayati yang sangat<br />
merugikan kehidupan, karena banyak di antara<br />
spesies yang punah tersebut merupakan spesies<br />
yang berguna bagi manusia (Christensen, 1991).<br />
7. DISKUSI<br />
Kegiatan ESDM khususnya pertambangan mineral<br />
masih terkonsentrasi di darat, di mana daratan<br />
hanya menempati sepertiga Wilayah Indonesia.<br />
Menjadi peluang <strong>dan</strong> tantangan untuk lebih intensif<br />
mengembangkan pertambangan mineral di lepas<br />
pantai. Bila dibandingkan masih lebih banyak<br />
kegiatan migas yang mengeksplorasi <strong>dan</strong><br />
mengeksploitasi ca<strong>dan</strong>gan migas lepas pantai.<br />
Penambangan timah <strong>dan</strong> pasir laut di daerah Riau<br />
Kepulauan <strong>dan</strong> sekitarnya menjadi contoh<br />
pertambangan mineral lepas pantai yang dapat<br />
dilakukan pada wilayah lain.<br />
Perubahan pada era globalisasi yang ka<strong>dan</strong>g<br />
berubah secara cepat dari segenap pihak<br />
pemangku kepentingan, shareholder sampai pihak<br />
luar/internasional, membentuk rantai semacam<br />
siklus. Diperlukan pemutakhiran <strong>dan</strong> diskusi yang<br />
berkelanjutan mengantisipasi perubahan yang<br />
dinamis. Sebagai bahan pengambilan keputusan<br />
ataupun masukan dalam penyusunan peraturan,<br />
Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> ... Djoko Sunarjo <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />
27
MALUK 1995<br />
MALUK 2005<br />
Gambar 2.<br />
Perbandingan maluk, Sumbawa pada tahun 1995 <strong>dan</strong> 2005, sebagai pusat<br />
pertumbuhan ekonomi (<strong>Sumber</strong> : PT Newmont Nusa Tenggara)<br />
diperlukan perhatian khusus pada permasalahan,<br />
antara lain :<br />
• Produksi <strong>dan</strong> harga komoditas mineral yang<br />
terus berfluktuasi.<br />
• Dampak lingkungan (dampak negatif) yang<br />
timbul dapat berkembang secara cepat<br />
menjadi permasalahan global.<br />
• Bencana lingkungan <strong>dan</strong> kebumian yang tidak<br />
terkait pertambangan ataupun ESDM,<br />
dijadikan alasan untuk menyalahkan dunia<br />
pertambangan <strong>dan</strong> pemangku kepentingan.<br />
• Pengelolaan lingkungan pertambangan lepas<br />
pantai yang baik sebagai upaya optimalisasi<br />
pemanfaatan wilayah <strong>dan</strong> ikut melindungi<br />
pelestarian alam.<br />
• Pengelolaan lingkungan Sektor ESDM<br />
menjadikan lingkungan bumi yang berkualitas<br />
sekaligus sebagai warisan generasi yang akan<br />
datang.<br />
8. PENUTUP<br />
Penanganan lingkungan hidup sampai kegiatan<br />
pertambangan selesai/ pascatambang menjadi<br />
upaya penting memperbesar dampak positif <strong>dan</strong><br />
memperkecil dampak negatif. Suatu kawasan<br />
pertambangan mengubah lokasi terpencil menjadi<br />
pusat pertumbuhan ekonomi sudah banyak<br />
terbukti berhasil pada beberapa wilayah, namun<br />
masih diperlukan usaha lain agar tercipta<br />
pertambangan bermanfaat bagi masyarakat <strong>dan</strong><br />
lingkungan sekitarnya secara berkelanjutan.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Tersusunnya makalah ini penulis mengucapkan<br />
terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Suprajitno<br />
Munadi, yang telah bersedia mengoreksi <strong>dan</strong><br />
memberi masukan. Terima kasih kepada Kepala<br />
PPPTMGB LEMIGAS, Bapak Dr. Ir. Hadi<br />
Purnomo, M.Sc DIC yang memberi kesempatan<br />
penulis menyampaikan makalah ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Brodjonegoro, Bambang and Sunarjanto, 2000, The<br />
Sustainable Economic Growth Pole in The<br />
Mining Area Using AHP Method: Case Study<br />
of PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, Pongkor<br />
Gold Mine-West Java Indonesia, Proceedings<br />
of INSAHP, Jakarta.<br />
Christensen, J.W., 1991, Global Science, Energy,<br />
Resources, Environment, Kendall/Hunt Publishing<br />
Company, Dubuqe Iowa, third edition,<br />
699 p., ISBN 0-8403-4657-3.<br />
Directorate General of Mineral Coal and Geothermal,<br />
Ministry of Energy and Mineral Resources<br />
The Republic of Indonesia, 2008, Indonesia’s<br />
Mineral and Coal Development, Country Paper,<br />
Bali-Indonesia.<br />
Ibrahim, A. H., 2008. General Check-Up<br />
Kelistrikan Nasional, MediapIus Network,<br />
28 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Cetakan Pertama November 2008, ISBN 978-<br />
979-18898-0-3.<br />
Newmont Nusa Tenggara ,PT., 2006, Batu Hijau,<br />
Dulu, Kini <strong>dan</strong> Esok, Cetakan Kedua.<br />
Soelistijo, U. W., 2000, Pengembangan Wilayah<br />
Sektor Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong>, DPE,<br />
Ditjend Pertambangan Umum, PPTP,<br />
Bandung.<br />
Sunarjanto,D. and Adji G.T, 2005, Corporate Social<br />
Responsibility One of Methods To Expand<br />
The Benefit for Oil and Gas Bearing Area, Proceedings<br />
30 th Annual Meeting IPA, Jakarta,<br />
ISBN 979-98000-7-2.<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 22 Tahun 20<strong>01</strong> tentang<br />
Minyak <strong>dan</strong> Gas Bumi<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang<br />
Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor <strong>Energi</strong> ... Djoko Sunarjo <strong>dan</strong> Bambang Wicaksono<br />
29
PELUANG PENGEMBANGAN PERTAMBANGAN<br />
MINERAL DAN BATUBARA PADA ERA<br />
OTONOMI DAERAH<br />
Umar Dhani<br />
Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl. Jend. Sudriman 623 Bandung 40211<br />
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022- 6003373<br />
e-mail : umard@tekmira.esdm.go.id<br />
SARI<br />
Digulirkannya kebijakan Otonomi Daerah pada awal tahun 2000, merupakan babak baru dalam<br />
pemerintahan daerah. dengan kewenangan daerah otonom untuk mengatur <strong>dan</strong> mengurus daerahnya<br />
secara luas, nyata <strong>dan</strong> bertanggung jawab. Dengan a<strong>dan</strong>ya kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah<br />
berpacu mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada <strong>dan</strong> menciptakan kebijakan untuk<br />
meningkatkan pendapatan daerah (PAD) dengan legitimasi berupa Perda.<br />
Dalam waktu yang sangat singkat, perda-perda tumbuh bak jamur di musim hujan. Maraknya daerah<br />
menyusun perda menimbulkan masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak <strong>dan</strong> retribusi atau<br />
pungutan lainnya yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan<br />
yang lebih tinggi.<br />
Hingga pertengahan bulan Juni tahun 2009, <strong>Departemen</strong> Keuangan telah mengumpulkan 12.031 Perda<br />
<strong>dan</strong> berdasarkan hasil evaluasi telah merekomendasikan sebanyak 2.894 perda dibatalkan <strong>dan</strong> 144<br />
perda direvisi. Hal ini menunjukkan bahwa produk Perda yang telah disusun cukup banyak yang<br />
bermasalah, sehingga akan menimbulkan kondisi yang tidak kondusif <strong>dan</strong> dapat menghambat<br />
pertumbuhan ekonomi maupun peluang investasi di daerah.<br />
Selain itu, dengan a<strong>dan</strong>ya kebijakan otonomi memberi peluang pengembangan pertambangan di daerah,<br />
antara lain : kewenangan pengelolaan <strong>dan</strong> pemanfaatan potensi bahan galian, peningkatan penerimaan,<br />
kesempatan kerja <strong>dan</strong> berusaha serta terciptanya pengembangan wilayah.<br />
<strong>Kata</strong> kunci: peluang, pengembangan pertambangan, otonomi daerah<br />
ABSTRACT<br />
The release of the regional autonomy policy in the early 2000 is a new era of the regional government,<br />
in which the region has an authority to manage its region professionally. Consequently, the regional<br />
government is pushed to optimized potential of the resources and to create a policy of improving<br />
regional revenue by legitimating regional regulations.<br />
In a relatively short time, these regulations grow widely, and this causes collection of taxes, retribution<br />
and other taxes, which are no relation with the public interest and the higher regulations. This is<br />
against the investment promotion in the country.<br />
30 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Until the mid of June 2009, the Ministry of Finance has collected 12,031 regional regulations. According<br />
to the evaluation results, 2,984 regulations are deleted and 114 are revised. This indicates that<br />
those regulations have problems, so they must be eliminated or revised, because they will create an<br />
unconducive condition and can hamper the economic growth and the opportunity of investing in the<br />
mining sector in the region. Moreover, the autonomous policy has provided an opportunity to develop<br />
the mining sector in a region in terms of management authority of utilizing mineral potential, revenue<br />
increase, job creation and regional development.<br />
Keywords: opportunity, mining development, regional autonomy<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Selama lebih dari dua dasawarsa, kebijakan<br />
otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang<br />
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada era<br />
ini peran Pemerintah Pusat sangat menonjol,<br />
sehingga menimbulkan ketergantungan daerah<br />
terhadap pusat. Pemerintah daerah tidak<br />
mempunyai keleluasaan dalam menetapkan program-program<br />
pembangunan di daerahnya serta<br />
sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan<br />
diatur oleh pusat. Pada awal tahun 2000<br />
diberlakukannya kebijakan otonomi, yaitu<br />
desentralisasi pemerintahan dari pusat ke daerah<br />
yang diimplementasikan pada UU Nomor 22 Tahun<br />
1999 tentang Pemerintahan Daerah <strong>dan</strong><br />
disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004.<br />
Otonomi daerah diartikan kewenangan daerah<br />
otonom untuk mengatur <strong>dan</strong> mengurus daerahnya<br />
secara luas, nyata, <strong>dan</strong> bertanggung jawab.<br />
Kewenangan daerah mencakup kewenangan<br />
semua bi<strong>dan</strong>g pemerintahan, kecuali kewenangan<br />
di bi<strong>dan</strong>g politik luar negeri, pertahanan<br />
keamanan, peradilan, moneter <strong>dan</strong> fiskal, agama,<br />
<strong>dan</strong> bi<strong>dan</strong>g lainnya yang ditetapkan dengan<br />
Peraturan Pemerintah.<br />
Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun<br />
2000, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota<br />
telah melakukan pembenahan <strong>dan</strong> penyesuaian<br />
administratif <strong>dan</strong> struktur organisasi, kelembagaan.<br />
Salah satu upaya yang menonjol yang dilakukan<br />
oleh pemerintah daerah pada era ini adalah<br />
menerbitkan Peraturan Daerah (Perda).<br />
Maraknya meenerbitkan Perda tersebut, masih<br />
banyak yang tidak selaras dengan kebijakan yang<br />
lebih tinggi, bahkan cenderung tumpang tindih <strong>dan</strong><br />
terkesan hanya berorientasi meningkatkan<br />
Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata. Selain itu,<br />
masih banyak terjadi perbedaan penjabaran<br />
mengenai otonomi daerah yang dituangkan dalam<br />
perda pada masing-masing daerah. Hal ini akan<br />
menimbulkan iklim yang tidak kondusif karena<br />
ketidak-konsistenan kebijakan <strong>dan</strong> bahkan dapat<br />
menghambat pertumbuhan ekonomi maupun<br />
peluang investasi di daerah. Permasalahan<br />
tersebut terjadi pada seluruh sektor usaha,<br />
termasuk sektor pertambangan.<br />
Sejak terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997,<br />
terjadi penurunan investasi pada seluruh sektor<br />
usaha, termasuk pada sektor pertambangan mineral<br />
<strong>dan</strong> batubara. Penurunan tersebut bukan hanya<br />
dipicu oleh diberlakukannya kebijakan otonomi<br />
daerah, tetapi juga kebijakan pertambangan yang<br />
mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 1967 sudah<br />
tidak selaras dengan semangat otonomi daerah<br />
yang se<strong>dan</strong>g digiatkan. Selain itu masih terjadi<br />
perbedaan persepsi dalam menterjemahkan<br />
kebijakan otonomi daerah, khususnya pada sektor<br />
pertambangan, sehingga menimbulkan ketidakselarasan<br />
dengan kebijakan di atasnya atau<br />
kebijakan sektor lain. Permasalahan-permasalahan<br />
tersebut pada akhirnya dapat berakibat<br />
terganggunya perekonomian daerah maupun<br />
nasional.<br />
2. KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH<br />
Pada hakekatnya otonomi daerah merupakan hak,<br />
wewenang, <strong>dan</strong> kewajiban daerah otonom untuk<br />
mengatur <strong>dan</strong> mengurus sendiri urusan<br />
pemerintahan <strong>dan</strong> kepentingan masyarakat<br />
setempat sesuai dengan peraturan perun<strong>dan</strong>gun<strong>dan</strong>gan.<br />
Tujuan pemberian kewenangan dalam<br />
penyelenggaraan otonomi daerah adalah<br />
meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan<br />
<strong>dan</strong> keadilan, demokratisasi, menghormati budaya<br />
budaya lokal, serta memperhatikan potensi <strong>dan</strong><br />
keanekaragaman daerah. Pemerintah Daerah<br />
diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya<br />
alam, sumber daya buatan, <strong>dan</strong> sumber daya<br />
Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />
31
manusia yang ada di wilayahnya masing-masing<br />
(UU Nomor 32 Tahun 2004). Prinsip otonomi daerah<br />
adalah desentralisasi, penyerahan semua<br />
kewenangan kecuali bi<strong>dan</strong>g politik luar negeri,<br />
pertahanan keamanan, peradilan/yustisi, moneter<br />
<strong>dan</strong> fiskal, serta agama. Dalam penyerahan<br />
disertai pembiayaan, sumber daya manusia,<br />
sarana <strong>dan</strong> prasarana. Pelaksanaan kewenangan<br />
didasarkan pada norma, standar, <strong>dan</strong> prosedur.<br />
Penyelenggaraan urusan pemerintah dibagi<br />
berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,<br />
<strong>dan</strong> efisiensi dengan memperhatikan keserasian<br />
hubungan antarsusunan pemerintahan. Yang<br />
dimaksud dengan “kriteria eksternalitas” dalam<br />
ketentuan ini adalah penyelenggara suatu urusan<br />
pemerintahan ditentukan berdasarkan luas,<br />
besaran, <strong>dan</strong> jangkauan dampak yang timbul<br />
akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan;<br />
kriteria akuntabilitas” adalah penanggung jawab<br />
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan<br />
ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan<br />
luas, besaran, <strong>dan</strong> jangkauan dampak yang<br />
ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan<br />
pemerintahan; “kriteria efisiensi” adalah<br />
penyelenggara suatu urusan pemerintahan<br />
ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya<br />
guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.<br />
Setelah diberlakukan kebijakan desentralisasi <strong>dan</strong><br />
otonomi daerah, keinginan pembentukan daerah<br />
otonom baru berkembang sangat pesat. Hal ini<br />
dapat terlihat dengan meningkatnya jumlah daerah<br />
otonom baru sejak tahun 1999 hingga Desember<br />
2008 sebanyak 215 daerah otonom baru, yang<br />
terdiri atas : 7 provinsi, 173 kabupaten, <strong>dan</strong> 35<br />
kota. Selain itu, masih terdapat usulan baru yang<br />
siap dibahas maupun yang belum diproses tentang<br />
pembentukan daerah otonom baru.<br />
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan<br />
pemerintahan yang menjadi kewenangannya,<br />
kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU Nomor<br />
32 Tahun 2004 ditentukan menjadi urusan<br />
pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan<br />
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,<br />
pemerintahan daerah menjalankan otonomi<br />
seluas-luasnya untuk mengatur <strong>dan</strong> mengurus<br />
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas<br />
otonomi <strong>dan</strong> tugas pembantuan.<br />
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan,<br />
pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat<br />
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan<br />
kepada perangkat pemerintah atau wakil<br />
pemerintah di daerah atau dapat menugaskan<br />
kepada pemerintahan daerah <strong>dan</strong>/atau pemerintahan<br />
desa. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama<br />
antartingkatan <strong>dan</strong>/atau susunan pemerintahan<br />
adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan<br />
yang menjadi kewenangan pemerintah, yaitu terdiri<br />
atas 31 (tiga puluh satu) bi<strong>dan</strong>g urusan<br />
pemerintahan (PP Nomor 38 Tahun 2007). Urusan<br />
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah<br />
disertai dengan sumber pen<strong>dan</strong>aan, pengalihan<br />
sarana <strong>dan</strong> prasarana, serta kepegawaian.<br />
Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non<br />
<strong>Departemen</strong> menetapkan norma, standar,<br />
prosedur, <strong>dan</strong> kriteria untuk pelaksanaan urusan<br />
wajib <strong>dan</strong> urusan pilihan. Di dalam menetapkan<br />
norma, standar, prosedur, <strong>dan</strong> kriteria perlu<br />
diperhatikan keserasian hubungan pemerintah<br />
dengan pemerintah daerah <strong>dan</strong> antarpemerintah<br />
daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam<br />
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />
Pemerintah daerah provinsi <strong>dan</strong> pemerintah daerah<br />
kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan<br />
pemerintahan wajib, <strong>dan</strong> pilihan berpedoman<br />
kepada norma, standar, prosedur, <strong>dan</strong> kriteria.<br />
Urusan pemerintahan wajib <strong>dan</strong> pilihan menjadi<br />
dasar penyusunan susunan organisasi <strong>dan</strong> tata<br />
kerja perangkat daerah.<br />
Hubungan dalam bi<strong>dan</strong>g pemanfaatan sumber daya<br />
alam <strong>dan</strong> sumber daya lainnya antarpemerintah<br />
<strong>dan</strong> pemerintah daerah sebagaimana dimaksud<br />
dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 2 ayat (4)<br />
<strong>dan</strong> ayat (5) meliputi :<br />
• kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan,<br />
pemeliharaan pengendalian dampak<br />
lingkungan, <strong>dan</strong> pelestarian;<br />
• bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya<br />
alam <strong>dan</strong> sumber daya lainnya; <strong>dan</strong><br />
• penyerasian lingkungan <strong>dan</strong> tata ruang serta<br />
rehabilitasi lahan.<br />
Hubungan dalam bi<strong>dan</strong>g pemanfaatan sumber daya<br />
alam <strong>dan</strong> sumber daya lainnya antarpemerintah<br />
daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat<br />
(4) <strong>dan</strong> ayat (5) meliputi :<br />
• pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam<br />
<strong>dan</strong> sumber daya lainnya yang menjadi<br />
kewenangan daerah;<br />
• kerja sama <strong>dan</strong> bagi hasil atas pemanfaatan<br />
sumber daya alam <strong>dan</strong> sumber daya lainnya<br />
antarpemerintahan daerah; <strong>dan</strong><br />
• pengelolaan perizinan bersama dalam<br />
pemanfaatan sumber daya alam <strong>dan</strong> sumber<br />
daya lainnya<br />
32 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Pemerintahan daerah merupakan satuan pemerintahan<br />
teritorial tingkat lebih rendah dalam negara<br />
kesatuan RI, yang berhak mengatur <strong>dan</strong> mengurus<br />
sendiri urusan pemerintahannya (Bagir Manan,<br />
20<strong>01</strong>). Satuan pemerintahan teritorial tersebut<br />
disebut daerah otonom, se<strong>dan</strong>gkan hak mengatur<br />
<strong>dan</strong> mengurus sendiri urusan pemerintahan di bi<strong>dan</strong>g<br />
administrasi negara yang merupakan urusan<br />
rumah tangga daerah disebut otonomi. Dengan<br />
demikian, agar wewenang pemerintah daerah<br />
dapat dijalankan, maka diperlukan dasar hukum<br />
pelaksanaan, yaitu sesuai pasal 136 ayat 1 UU<br />
Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah sebagai<br />
kepala eksekutif menetapkan Perda atas<br />
persetujuan bersama DPRD. Perda yang disusun<br />
tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari<br />
peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi<br />
dengan memperhatikan ciri khas masing-masing<br />
daerah.<br />
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang<br />
Pembentukan Peraturan Perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan<br />
pasal 7 Ayat (1) mengatur hirarki peraturan<br />
perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang berlaku di Negara<br />
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,<br />
perda merupakan salah satu produk hukum yang<br />
ada di Indonesia. Perda yang disusun oleh<br />
pemerintah daerah tidak boleh bertentangan<br />
dengan peraturan yang lebih tinggi <strong>dan</strong> dapat<br />
dibatalkan sesuai ketentuan yang berlaku. Perda<br />
yang terbit sebelum Oktober 2004, pembatalannya<br />
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri,<br />
se<strong>dan</strong>gkan setelahnya pembatalan melalui<br />
Peraturan Presiden.<br />
Perda <strong>dan</strong> ketentuan daerah lainnya bersifat<br />
mengatur <strong>dan</strong> diun<strong>dan</strong>gkan melalui Lembaran<br />
Daerah. Untuk perda yang mengatur mengenai<br />
pajak daerah, retribusi daerah, Anggaran<br />
Penerimaan <strong>dan</strong> Belanja Daerah (APBD),<br />
perubahan APBD, <strong>dan</strong> tata ruang sebelum<br />
ditetapkan <strong>dan</strong> diberlakukan terlebih dahulu<br />
dilakukan evaluasi oleh pemerintah. Hal ini<br />
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan<br />
umum, menyelaraskan <strong>dan</strong> menyesuaikan dengan<br />
peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi<br />
<strong>dan</strong>/atau peraturan daerah lainnya. Perda<br />
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan<br />
perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi dengan<br />
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.<br />
Pemerintah daerah menyusun perda dalam rangka<br />
merumuskan berbagai kebijakan pembangunan<br />
atau dalam rangka memacu pertumbuhan<br />
perekonomian di daerah.<br />
Perda bermasalah pada prinsipnya adalah perdaperda<br />
yang karena keberadaannya akan menyebabkan<br />
terhambatnya efektifitas perekonomian (P.<br />
Agus Pambudhi, 2006). Atau bertentangan dengan<br />
peraturan yang lebih tinggi. Perda yang<br />
dikategorikan bermasalah adalah berdasarkan<br />
prinsipil, substansi <strong>dan</strong> yuridis. Bermasalah secara<br />
prinsipil adalah perda yang memberikan hambatan<br />
dalam konteks ekonomi makro, yaitu :<br />
• Berpotensi bertentangan dengan prinsip<br />
keutuhan wilayah ekonomi nasional.<br />
• Berpotensi menyebabkan munculnya<br />
persaingan yang tidak sehat (monopoli,<br />
oligopoli, kemitraan wajib, dll).<br />
• Berdampak negatif terhadap perekonomian<br />
(ekonomi biaya tinggi atau pajak ganda).<br />
• Berpotensi menghalangi atau mengurangi<br />
akses masyarakat (bertentangan dengan<br />
prinsip keadilan).<br />
• Merupakan suatu bentuk pelanggaran<br />
kewenangan pemerintah.<br />
Pemerintah daerah dalam meningkatkan<br />
perekonomian dapat memberikan insentif <strong>dan</strong>/atau<br />
kemudahan kepada masyarakat <strong>dan</strong>/atau investor<br />
yang diatur dalam perda dengan berpedoman<br />
pada peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang berlaku.<br />
Implikasi dari kebijakan desentralisasi ini adalah<br />
banyaknya produk perda yang berkaitan dengan<br />
pajak <strong>dan</strong> retribusi daerah bertentangan dengan<br />
kebijakan yang lebih tinggi atau kepentingan<br />
umum. Hal ini, dapat berakibat terganggunya iklim<br />
investasi yang ada di daerah <strong>dan</strong> berdampak pada<br />
perekonomian daerah maupun nasional.<br />
Maraknya daerah menyusun perda menimbulkan<br />
masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak<br />
<strong>dan</strong> retribusi yang bertentangan dengan<br />
kepentingan umum atau peraturan perun<strong>dan</strong>gun<strong>dan</strong>gan<br />
yang lebih tinggi. Hal ini bertolak<br />
belakang dengan gencarnya pemerintah<br />
menggalakkan investasi untuk pembangunan di<br />
Indonesia. Berdasarkan permasalahan ini, maka<br />
perlu dilakukan evaluasi terhadap perda yang<br />
berkaitan dengan pajak <strong>dan</strong> retribusi daerah.<br />
Hingga pertengahan tahun 2009, <strong>Departemen</strong><br />
Keuangan telah mengumpulkan 12.031 perda<br />
untuk dievaluasi. Dari jumlah tersebut sebagian<br />
besar telah dilakukan evaluasi. Berdasarkan hasil<br />
evaluasi Tim Pajak Daerah <strong>dan</strong> Retribusi Daerah<br />
<strong>Departemen</strong> Keuangan hingga Juni tahun 2009<br />
telah merekomendasikan untuk membatalkan<br />
2.894 perda <strong>dan</strong> 144 perda direvisi. Hal ini<br />
Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />
33
menunjukkan bahwa produk Perda yang telah<br />
disusun cukup banyak yang bermasalah, sehingga<br />
harus dibatalkan atau direvisi. Banyaknya perda<br />
yang bermasalah tersebut dapat berakibat<br />
terganggunya aktivitas pemerintahan maupun<br />
perekonomian wilayah.<br />
Pelaksanaan otonomi daerah dimulai pada awal<br />
tahun 2000 telah menimbulkan interpretasi yang,<br />
khususnya berkaitan dengan kewenangan antara<br />
pemerintah pusat <strong>dan</strong> pemerintah daerah, terutama<br />
pasal 7 <strong>dan</strong> pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004.<br />
Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa,<br />
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi<br />
tinggi yang strategis merupakan kewenangan<br />
pusat. Pada sisi lain pasal 10 ayat 1 dinyatakan<br />
bahwa “daerah berwenang mengelola sumber daya<br />
nasional yang tersedia di wilayahnya <strong>dan</strong><br />
bertanggung jawab memelihara lingkungan sesuai<br />
dengan peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan”, sehingga<br />
diinterpretasikan bahwa kegiatan sektor<br />
pertambangan umum merupakan kewenangan<br />
daerah. Sebenarnya dari kedua pasal, tersebut<br />
menimbulkan a<strong>dan</strong>ya ketidakjelasan kewenangan<br />
pengelolaan sumber daya alam (minerba) antara<br />
pusat <strong>dan</strong> daerah.<br />
Dengan diterbitkannya PP Nomor 38 Tahun 2007<br />
yang merupakan turunan dari UU Nomor 32 Tahun<br />
2004 telah secara jelas mengatur pembagian<br />
urusan antara pemerintah <strong>dan</strong> pemerintah daerah.<br />
Dalam kebijakan tersebut telah terjadi perubahan<br />
yang mendasar tentang pengawasan perda.<br />
Khusus perda yang berkaitan dengan pajak,<br />
retribusi, APBD <strong>dan</strong> tata ruang setelah Oktober<br />
2004 dilakukan evaluasi oleh pusat sebelum<br />
ditetapkan oleh daerah.<br />
Dasar pembatalan perda tentang pertambangan<br />
umum adalah berkaitan dengan pajak <strong>dan</strong> retribusi<br />
izin usaha pertambangan <strong>dan</strong> birokrasi proses<br />
perizinan. Pada umumnya pembatalan perda<br />
tentang pajak <strong>dan</strong> retribusi pertambangan adalah<br />
bertentangan dengan UU Nomor 34 tahun 2000<br />
<strong>dan</strong> PP 65 Nomor 20<strong>01</strong>. Kegiatan usaha di sektor<br />
pertambangan umum (KP, KK <strong>dan</strong> PKP2B) telah<br />
dikenakan iuran tetap (landrent) <strong>dan</strong> iuran<br />
eksplorasi <strong>dan</strong> eksploitasi (royalty). Dengan<br />
demikian, apabila dikenakan pungutan lain akan<br />
menimbulkan pungutan ganda <strong>dan</strong> dapat<br />
memberatkan pelaku usaha di bi<strong>dan</strong>g<br />
pertambangan.<br />
Berdasarkan hasil kompilasi perda yang berkaitan<br />
dengan kegiatan pertambangan pada 8 provinsi,<br />
terkumpul 242 perda pada 147 kabupaten. Dari<br />
jumlah perda tersebut, sebagian besar (183 perda<br />
atau 75%) mengatur tentang pungutan (pajak,<br />
retribusi <strong>dan</strong> sumbangan pihak ketiga). Se<strong>dan</strong>gkan,<br />
perda yang mengatur tentang pengelolaan<br />
pertambangan sebagian besar wilayah kabupaten<br />
belum menyusun, yaitu hanya terdapat 39 perda.<br />
Hal ini menunjukkan bahwa, pemerintah daerah<br />
lebih mendahulukan kebijakan yang berkaitan<br />
dengan pungutan dibandingkan kebijakan tentang<br />
pengelolaan kegiatan pertambangan. Hal ini sangat<br />
rentan terhadap aktivitas pertambangan maupun<br />
lingkungan.<br />
3. KEBIJAKAN PERTAMBANGAN<br />
MINERAL DAN BATUBARA<br />
Setiap usaha pertambangan bahan galian yang<br />
termasuk dalam golongan bahan galian strategis<br />
<strong>dan</strong> golongan bahan galian vital, baru dapat<br />
dilaksanakan, apabila terlebih dahulu telah<br />
mendapatkan izin, yaitu berupa Kuasa<br />
Pertambangan (Peraturan Pemerintah Nomor 75<br />
Tahun 20<strong>01</strong>). Pemberian izin usaha pertambangan<br />
untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan umum,<br />
eksplorasi, eksploitasi, pengolahan <strong>dan</strong><br />
pemurnian, pengangkutan <strong>dan</strong> penjualan.<br />
Pemerintah daerah sesuai dengan lingkup<br />
usahanya menugaskan pemegang izin<br />
pertambangan sesuai dengan tahapan <strong>dan</strong> skala<br />
usahanya untuk membantu program pengembangan<br />
masyarakat <strong>dan</strong> pengembangan wilayah pada<br />
masyarakat setempat, yaitu berupa pengembangan<br />
sumber daya manusia, kesehatan <strong>dan</strong> mendorong<br />
pertumbuhan ekonomi. Diharapkan dengan a<strong>dan</strong>ya<br />
kegiatan ini masyarakat sekitar merasakan<br />
dampak positif aktivitas pertambangan di<br />
daerahnya.<br />
Sebagai pedoman teknis penyelenggaraan<br />
kewenangan tersebut Pemerintah telah<br />
mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 2007. Dalam<br />
PP tersebut diuraikan secara jelas mengenai<br />
jenjang kewenangan antara pemerintah, provinsi,<br />
<strong>dan</strong> kabupaten/kota. Dalam rangka mendukung<br />
<strong>dan</strong> memfasilitasi daerah dalam penyelenggaraan<br />
tugas pemerintahan di bi<strong>dan</strong>g pertambangan<br />
umum, <strong>Departemen</strong> ESDM telah menerbitkan<br />
Keputusan Menteri mengenai pedoman teknis<br />
(Kepmen No. 1453.K/29/NEM/2000). Dalam<br />
pedoman teknis tersebut telah diatur mengenai<br />
tata cara permohonan perizinan, pengelolaan<br />
lingkungan, pengawasan lingkungan, eksplorasi,<br />
34 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
konservasi, <strong>dan</strong> produksi. Selanjutnya, untuk<br />
melaksanakan kewenangan tersebut, Pemerintah<br />
Daerah (provinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota) menindaklanjuti<br />
dengan menerbitkan perda, baik yang<br />
berkaitan dengan pengelolaan pertambangan<br />
umum maupun pungutan (pajak, retribusi <strong>dan</strong><br />
sumbangan pihak ketiga). Namun demikian, perda<br />
yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah<br />
tentang pengelolaan pertambangan umum masih<br />
banyak yang belum sesuai acuan di atas, bahkan<br />
masih ditemukan perda yang bertentangan dengan<br />
peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi.<br />
Dalam pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha<br />
harus mengacu pada kebijakan tata ruang yang<br />
ada. Hal ini dimaksudkan a<strong>dan</strong>ya kesesuaian<br />
fungsi kawasan maupun menghindari tumpang<br />
tindih pemanfaatan ruang atau benturan<br />
kepentingan antarsektor. Pada umumnya<br />
sebagian besar daerah Rencana Tata Ruang<br />
Wilayah (RTRW) yang telah disusun belum<br />
pengalokasikan kawasan untuk pengembangan<br />
kegiatan pertambangan. Dengan demikian,<br />
pengembangan potensi bahan galian yang ada<br />
menjadi sulit dilakukan karena keberadaanya<br />
bukan merupakan fungsi kawasan pertambangan.<br />
Pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan<br />
harus berada pada kawasan yang ditetapkan<br />
sebagai kawasan pertambangan pada RTRW.<br />
Dengan demikian, Pemerintah Daerah segera<br />
menyiapkan kawasan untuk kegiatan pertambangan<br />
yang ditetapkan dalam kebijakan RTRW.<br />
Krisis ekonomi pada tahun 1997 yang diikuti oleh<br />
tuntutan reformasi, a.l. demokratisasi; HAM,<br />
lingkungan hidup <strong>dan</strong> ekonomi telah mendorong<br />
atas kebutuhan mendasar ke arah perubahan<br />
sistem yang desentralistik . Maka peraturan yang<br />
berkaitan dengan pertambangan harus<br />
menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Pada<br />
intinya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang<br />
Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara sebagai<br />
pengganti UU Nomor 11 Tahun 1967 disusun<br />
dengan mempertimbangkan seluruh aspek<br />
perubahan saat ini, seperti otonomi daerah, HAM,<br />
lingkungan hidup, kebutuhan sosial, politik <strong>dan</strong><br />
ekonomi. Butir-butir penting dalam UU Nomor 4<br />
Tahun 2009, antara lain :<br />
• Sistem perizinan, eksplorasi <strong>dan</strong> eksploitasi<br />
lebih sederhana.<br />
• Klarifikasi wewenang <strong>dan</strong> ruang lingkup<br />
Pemerintah Pusat, Propinsi <strong>dan</strong> Kabupaten/<br />
Kota.<br />
• Aspek nilai tambah, yaitu pemrosesan <strong>dan</strong><br />
pemurnian logam harus dilakukan di dalam<br />
negeri.<br />
• Tidak ada lagi sistem kontrak langsung antara<br />
perusahaan dengan Pemerintah, melainkan<br />
diberlakukannya sistem izin usaha<br />
pertambangan (IUP).<br />
• Pengembangan masyarakat difokuskan pada<br />
kesejahteraan rakyat.<br />
4. PELUANG PENGEMBANGAN<br />
PERTAMBANGAN MINERAL DAN<br />
BATUBARA<br />
a. Perda<br />
Semenjak digulirkanya kebijakan otonomi daerah,<br />
pemerintah daerah berlomba-lomba menyusun<br />
kebijakan untuk mengelola <strong>dan</strong> memanfaatkan<br />
potensi wilayah dalam rangka pengelolaan<br />
pertambangan <strong>dan</strong> meningkatkan pendapatan asli<br />
daerah melalui pajak <strong>dan</strong> retribusi daerah maupun<br />
pungutan lainnya (sumbangan pihak ketiga).<br />
Optimalisasi pemanfaatan potensi ini bertujuan<br />
untuk meningkatkan pendapatan daerah <strong>dan</strong><br />
pembiayaan pembangunan. Untuk melegalisasi<br />
meningkatkan pendapatan <strong>dan</strong> pembangunan<br />
daerah tersebut pemerintah daerah menyusun<br />
perda. Kemampuan daerah dalam melaksanakan<br />
pembangunan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan<br />
sumber daya maupun kemampuan dalam<br />
pengelolaannya.<br />
Pedoman maupun acuan dalam menyusun Perda<br />
pengelolaan pertambangan telah diatur <strong>dan</strong><br />
penerapan penyusunannya disesuaikan dengan<br />
karakteristik wilayah. Diharapkan, dengan a<strong>dan</strong>ya<br />
tersedianya acuan pengelolaan pertambangan<br />
yang baik dapat merangsang investasi<br />
pengusahaan pertambangan di daerah.<br />
b. Optimalisasi Pemanfaatan Potensi<br />
Bahan Galian<br />
Pada umumnya potensi bahan galian belum<br />
diusahakan secara maksimal <strong>dan</strong> belum<br />
memberikan dampak yang signifikan terhadap<br />
perekonomian daerah. Hal ini karena potensi bahan<br />
galian yang dikembangkan adalah bahan galian<br />
golongan C <strong>dan</strong> dilakukan secara tadisional atau<br />
tambang rakyat. Untuk wilayah yang memanfaatkan<br />
bahan galian golongan A <strong>dan</strong> B yang<br />
mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, telah<br />
memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi<br />
perekonomian <strong>dan</strong> penerimaan daerah serta<br />
menyumbangkan terhadap penerimaan negara.<br />
Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />
35
Kebijakan otonomi daerah telah memberikan<br />
kewenangan untuk mengelola <strong>dan</strong> memanfaatkan<br />
potensi sumber daya yang ada di wilayahnya. Saat<br />
ini sebagian besar Pemerintah Daerah gencar<br />
melakukan identifikasi <strong>dan</strong> inventarisasi potensi<br />
bahan galian yang ada dalam rangka menarik investor<br />
menanamkan modalnya di bi<strong>dan</strong>g<br />
pertambangan. Dengan a<strong>dan</strong>ya kebijakan ini<br />
memberikan peluang termanfaatkannya potensi<br />
yang ada. Secara umum upaya yang dilakukan<br />
ini telah menunjukkan tingkat keberhasilan yang<br />
cukup baik, yaitu semakin bertambahnya investasi<br />
di bi<strong>dan</strong>g pertambangan di daerah, yaitu yang<br />
ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah izin<br />
usaha pertambangan yang diterbitkan pemerintah<br />
daerah.<br />
c. Perizinan Pertambangan<br />
Sebelum a<strong>dan</strong>ya otonomi daerah perizinan di<br />
bi<strong>dan</strong>g pertambangan umum dikeluarkan oleh<br />
pemerintah pusat dalam bentuk KK, PKP2B <strong>dan</strong><br />
KP, se<strong>dan</strong>gkan perizinan pengusahaan bahan<br />
galian golongan C diterbitkan oleh pemerintah<br />
daerah dalam bentuk SIPD. Pada saat ini perizinan<br />
usaha pertambangan umum diterbitkan oleh<br />
pemerintah <strong>dan</strong> pemerintah daerah sesuai<br />
kewenangannya. Untuk melakukan perpanjangan<br />
izin yang dikeluarkan dari pusat (KK <strong>dan</strong> PKP2B)<br />
selebihnya menjadi kewenangan daerah sesuai<br />
kewenangannya.<br />
Salah satunya faktor maraknya izin pertambangan<br />
yang dikeluarkan daerah adalah a<strong>dan</strong>ya kebijakan<br />
otonomi daerah. Melalui UU tersebut membuka<br />
peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola<br />
<strong>dan</strong> memanfaatkan sumber kekayaan alam yang<br />
ada di wilayahnya, jika dibandingkan dengan sistem<br />
pemerintahan sebelumnya.<br />
Berdasarkan rekapitulasi dari <strong>Departemen</strong> ESDM,<br />
izin usaha pertambangan dalam bentuk KK <strong>dan</strong><br />
PKP2B jumlahnya cenderung menurun, namun<br />
untuk izin yang berupa KP yang dikeluarkan oleh<br />
pemerintah daerah terjadi peningkatan yang cukup<br />
signifikan (Tabel 1).<br />
Meningkatnya jumlah izin usaha bi<strong>dan</strong>g<br />
pertambangan (KP) tersebut menunjukkan a<strong>dan</strong>ya<br />
peningkatkan investasi bi<strong>dan</strong>g pertambangan <strong>dan</strong><br />
meningkatnya PAD melalui sektor pertambangan.<br />
Sebagai contoh, telah terbit ratusan KP batubara<br />
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten<br />
(Bupati) salah satu provinsi di Kalimantan, yaitu<br />
terdapat 354 izin yang telah dikeluarkan, 260 buah<br />
diantaranya berupa KP yang dikeluarkan oleh<br />
pemerintah daerah.<br />
d. Penerimaan Daerah<br />
Distribusi pajak-pajak pertambangan yang menjadi<br />
hak daerah belum dilakukan secara lebih adil <strong>dan</strong><br />
tepat waktu ke daerah penghasil yang berhak. Hal<br />
ini sangat mempengaruhi dalam pelaksanan<br />
rencana pembangunan yang telah ditetapkan oleh<br />
daerah, karena penerimaan yang diperoleh tidak<br />
tepat waktu.<br />
Dari sisi perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan tersebut di atas<br />
pajak <strong>dan</strong> royalti dari perusahaan pertambangan<br />
merupakan penerimaan pusat. Dalam rangka<br />
desentralisasi ada sebagian dari penerimaan ini<br />
yang dibagihasilkan. Masalah utama dari bagi hasil<br />
ini dipan<strong>dan</strong>g dari sisi daerah adalah tidak pastinya<br />
waktu pencairan dari pusat, sehingga mengganggu<br />
penganggaran di daerah. Dalam ketidakberdayaan<br />
ini ada sebagian daerah yang mengusulkan agar<br />
<strong>dan</strong>a dari perusahaan pertambangan langsung<br />
ditransfer ke rekening pemerintah daerah tanpa<br />
melalui rekning pemerintah pusat. Sementara<br />
pusat berpegang pada kebijakan yang berlaku,<br />
bahwa royalty merupakan penerimaan pusat yang<br />
dibagihasilkan <strong>dan</strong> bukan merupakan pajak daerah.<br />
Salah satu pengaruh a<strong>dan</strong>ya kegiatan<br />
pertambangan adalah peningkatan penerimaan<br />
daerah baik secara langsung maupun tidak<br />
langsung. Penerimaan daerah secara langsung<br />
berupa pajak <strong>dan</strong> retribusi daerah, se<strong>dan</strong>gkan<br />
Tabel 1.<br />
Rekapitulasi Izin Pertambangan<br />
Jenis kontrak 20<strong>01</strong> 2002 2003 2004 2005 2006<br />
KP 600 597 597 825 848 965<br />
KK 55 62 61 54 46 41<br />
PKP2B 119 1<strong>01</strong> 1<strong>01</strong> 87 82 81<br />
<strong>Sumber</strong> : Dirjen Minerbapabum, 2008<br />
36 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
penerimaan tidak langsung adalah penerimaan dari<br />
pajak <strong>dan</strong> Penerimaan Negara Bukan Pajak<br />
(PNBP). Komponen PNBP terdiri atas iuran tetap,<br />
royalti <strong>dan</strong> penjualan hasil tambang. Penerimaan<br />
pajak <strong>dan</strong> PNBP pertambangan merupakan<br />
penerimaan Negara <strong>dan</strong> dibagi-hasilkan ke daerah.<br />
Hasil pertambangan mineral <strong>dan</strong> batubara telah<br />
memberikan kontribusi bagi penerimaan Negara<br />
yang cukup besar, yaitu pada tahun 2006 sebesar<br />
29,69 trilyun. Komponen terbesar penerimaan<br />
justru berasal dari penerimaan pajak dibandingkan<br />
PNBP (Tabel 2).<br />
f. Kewilayahan<br />
Pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha harus<br />
mengacu pada kebijakan tata ruang yang ada,<br />
yaitu yang dikelompokkan menjadi kawasan<br />
lindung <strong>dan</strong> budidaya. Kebijakan tata ruang ini<br />
menghindari tumpang tindih pemanfaatan ruang<br />
atau benturan kepentingan antarsektor.<br />
Pengembangan <strong>dan</strong> pemanfaatan potensi bahan<br />
galian yang berada di kawasan lindung tidak dapat<br />
dimanfaatkan, sehingga potensinya tidak<br />
memberikan nilai ekonomi. Dengan terbitnya UU<br />
Tabel 2.<br />
Penerimaan Pajak <strong>dan</strong> PNBP dari Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Tahun 2004-2006 (Milyar Rupiah)<br />
No. <strong>Sumber</strong> Penerimaan 2004 2005 2006 2007<br />
1 Pajak 6.419,62 12.827,41 23.026,31 17.200,00<br />
2 PNBP 2.573,66 4.788,72 6.664,81 8.697,07<br />
Iuran Tetap 50,13 57,10 58,25 76,24<br />
Royalti 1.642,17 3.138,94 4.163,99 5.771,82<br />
Penjualan Hasil Tambang 881,36 1.592,68 2.442,57 2.849,<strong>01</strong><br />
Total 8.993,28 17.519,66 29.691,12 25.897,07<br />
<strong>Sumber</strong> : Dirjen Minerbapabum, 2008<br />
Penerimaan pajak ini menyumbang sekitar 67%<br />
dari total penerimaan negara yang berasal dari<br />
sektor mineral, batubara <strong>dan</strong> panas bumi atau<br />
setara dengan Rp 17,20 trlyun pada tahun 2007.<br />
Secara umum, realisasi penerimaan negara yang<br />
berasal dari mineral, batubara <strong>dan</strong> panas bumi<br />
dalam empat tahun terakhir menunjukkan<br />
peningkatan yang cukup signifikan, meski<br />
penerimaan negara pada tahun 2007 mengalami<br />
penurunan sebesar 17% dibandingkan dengan<br />
periode sebelumnya.<br />
e. Kesempatan Kerja <strong>dan</strong> Berusaha<br />
Maraknya kegiatan pertambangan di daerah akan<br />
semakin membuka peluang kerja berusaha bagi<br />
masyarakat sekitar. Masyarakat tidak hanya<br />
menjadi penontan seperti yang terjadi selama ini,<br />
tapi dapat lebih memberikan kontribusi terlibat<br />
langsung pada aktivitas pertambangan sebagai<br />
pekerja. Selain itu, dengan berkembangnya<br />
kegiatan di suatu wilayah secara tidak langsung<br />
akan memberi peluang berusaha <strong>dan</strong> menciptakan<br />
pengembangan wilayah.<br />
Nomor 41 Tahun 1999 jo PP Nomor 2 Tahun 2008<br />
telah memberikan peluang pengusahaan<br />
pertambangan di kawasan hutan produksi <strong>dan</strong><br />
hutan lindung. Meskipun banyak kalangan yang<br />
menolak PP tersebut karena dinilai melegitimasi<br />
perusakan hutan lindung selama ada bayarannya<br />
<strong>dan</strong> murahnya tarif yang dikenakan .<br />
5. KESIMPULAN<br />
Semenjak digulirkan otonomi daerah pada tahun<br />
awal tahun 2000, telah terbit ribuan perda sebagai<br />
acuan dalam pelaksanaan pembangunan di<br />
daerah. Perda-perda yang telah terbit tersebut,<br />
masih banyak yang tidak selaras dengan peraturan<br />
yang lebih tinggi atau mengakibatkan biaya tinggi,<br />
sehingga menghambat investasi di daerah. Dengan<br />
demikian, banyak perda-perda yang harus<br />
dibatalkan atau direvisi.<br />
Berdasarkan dari hasil identifikasi terdapat<br />
beberapa izin pertambangan yang telah<br />
dikeluarkan oleh pemerintah daerah tidak selaras<br />
Peluang Pengembangan Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />
37
dengan peraturan yang lebih tinggi atau tumpang<br />
tindih dengan sektor lain. Hal ini menunjukkan<br />
bahwa izin pertambangan yang telah diterbitkan<br />
tidak melalui koordinasi dengan dinas/instansi<br />
terkait. Untuk mengantisipasi tumpang izin usaha<br />
pertambangan yaitu dengan penyusunan basis<br />
data pertambangan dengan format yang sama <strong>dan</strong><br />
menyusun ulang izin-izin yang bermasalah. Pada<br />
saat ini dalam kebijakan tata ruang, kawasan untuk<br />
kegiatan pertambangan, tidak atau belum<br />
dialokasikan secara tegas. Dengan demikian,<br />
keberadaan sumber daya mineral yang pada<br />
umumnya tersebar di bawah permukaan, menjadi<br />
terkalahkan oleh pengembangan ruang sektor lain,<br />
sehingga pada saat ruang tersebut akan<br />
dikembangkan untuk kegiatan pertambangan<br />
menjadi tumpang tindih dengan kegiatan sektor lain.<br />
Pelaksanaan otonomi daerah yang berjalan hampir<br />
9 tahun telah menimbulkan pengaruh yang cukup<br />
besar terhadap kegiatan pertambangan di daerah.<br />
Pengaruh tersebut, antara lain :<br />
• kewenangan dalam pengelolaan pertambangan.<br />
• meningkatnya pemanfaatan sumber daya mineral<br />
<strong>dan</strong> batubara,<br />
• meningkatnya penerimaan daerah,<br />
• membuka kesempatan bekerja <strong>dan</strong> berusaha,<br />
• terciptanya pengembangan wilayah.<br />
Berdasarkan peluang-peluang tersebut, perlu<br />
diperhatikan tantangan dalam pengembangannya,<br />
antara tersebut antara lain : ketidaksonsistenan<br />
peraturan yang ada, terbatasnya jumlah maupun<br />
kemampuan aparat, tingkat kerusakan lingkungan<br />
yang cenderung meningkat, masih banyak wilayah<br />
belum ada alokasi kawasan pertambangan, <strong>dan</strong><br />
minimnya data/informasi potensi wilayah.<br />
Jika dilihat dari permasalahan yang timbul dengan<br />
a<strong>dan</strong>ya kegiatan pertambangan serta faktor<br />
penyebab permasalahan tersebut, maka<br />
pembahasan pelaksanaan pertambangan di<br />
daerah perlu dilakukan evaluasi yang bertujuan<br />
untuk pengembangan pertambangan di daerah.<br />
Berdasarkan dari peluang <strong>dan</strong> tantangan tersebut,<br />
arahan pengembangan pertambangan dikemudian<br />
hari, antara lain :<br />
1. Diperlukan kebijakan/ peraturan daerah yang<br />
mengatur tentang pengelolaan pertambangan<br />
mulai dari segi perizinan pengusahaan, hingga<br />
pemantauan lingkungan pasca tambang.<br />
A<strong>dan</strong>ya kepastian hokum <strong>dan</strong> kepastian<br />
berusaha.<br />
2. Diperlukan peningkatan jumlah <strong>dan</strong><br />
kemampuan apatur dinas seiring dengan<br />
maraknya pengusahaan pertambangan.<br />
3. Tuntutan pemenuhan standar lingkungan hidup<br />
yang makin ketat, upaya yang dilakukan<br />
adalah menerapkan metode penambangan<br />
secara tepat <strong>dan</strong> berawasan lingkungan,<br />
sehingga tercipta pertambangan yang<br />
berkelanjutan (good mining practice).<br />
4. Penyiapkan zonasi kawasan untuk pengembangan<br />
pertambangan yang ditetapkan dalam<br />
kebijakan RTRW. Penyusunan RTRW Nasional,<br />
Provinsi <strong>dan</strong> Kabupaten yang saling sinergis.<br />
5. Tersedianya data informasi potensi sumber<br />
daya mineral <strong>dan</strong> batubara, sebagai media<br />
promosi investasi pengusahaan pertambangan<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Dedi Supriady Bratakusumah, Perencanaan<br />
Pembangunan Daerah, Gramedia 2005<br />
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan<br />
<strong>Departemen</strong> Keuangan Republik Indonesia,<br />
Laporan Tim Pajak Daerah <strong>dan</strong> Retribusi<br />
Daerah Periode Januari – Desember 2008.<br />
Direktorat Mineral, Batubara <strong>dan</strong> Pas Bumi,<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Energi</strong> <strong>Sumber</strong> Daya Mineral,<br />
Mineral, Coal and Geothermal, Tahun 2007<br />
Makro Ekonomi, Kamis 25 Januari 2006, Otonomi<br />
Daerah Turunkan Investasi Pertambangan<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007<br />
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan<br />
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi<br />
<strong>dan</strong> Pemerintah Daerah kabupaten/Kota.<br />
Pipin Syarifin, Pemerintahan Daerah di Indonesia,<br />
Pustaka Setia, Bandung, 2005<br />
Un<strong>dan</strong>g – Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 32<br />
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah<br />
Un<strong>dan</strong>g – Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 11<br />
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok<br />
Pertambangan<br />
Un<strong>dan</strong>g – Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 26<br />
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.<br />
Un<strong>dan</strong>g – Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 4<br />
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral<br />
<strong>dan</strong> Batubara<br />
38 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PENINGKATAN KADAR BIJIH BESI DARI DAERAH<br />
PELAIHARI, PROPINSI KALIMANTAN SELATAN<br />
MENGGUNAKAN KLASIFAYER<br />
DAN PEMISAH MAGNETIK<br />
Pramusanto, Nuryadi Saleh <strong>dan</strong> Apriandi<br />
Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl Jenderal Sudirman No. 623 Bandung, 40211<br />
Telp (022) 6030843, Fax. (022) 6003373<br />
SARI<br />
Karakteristik bahan baku bijih besi Pelaihari dicirikan oleh kadar besinya rendah (sekitar 30% Fe total).<br />
Mineralnya terdiri dari hematit <strong>dan</strong> magnetit. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan<br />
kadar besinya adalah dengan melakukan percobaan klasifayer <strong>dan</strong> pemisah magnetik. Penelitian ini<br />
membahas tentang percobaan klasifayer yang dilanjutkan dengan percobaan pemisah magnetik.<br />
Percobaan pemisah magnetik dilakukan dengan memvariasikan intensitas magnet, ukuran butir <strong>dan</strong><br />
waktu pengadukan umpan. Percobaan klasifayer dilakukan untuk mengurangi mineral pengotor dengan<br />
memanfaatkan perbedaan ukuran butir <strong>dan</strong> berat jenis, se<strong>dan</strong>gkan pemisah magnetik dilakukan untuk<br />
meningkatkan mineral berharga berupa hematit <strong>dan</strong> magnetit melalui pemanfaatan perbedaan<br />
kerentanan terhadap magnet antara mineral pengotor dengan mineral berharga.<br />
Hasil percobaan klasifayer dapat meningkatkan kadar Fe total menjadi 34,6%, se<strong>dan</strong>gkan pada pemisah<br />
magnetik, variabel yang dapat meningkatkan kadar tertinggi adalah waktu pengadukan umpan dengan<br />
kadar Fe total tertinggi yang diperoleh 55,9%. Waktu pengadukan umpan 10 <strong>dan</strong> 20 menit. Perolehan<br />
tertinggi besi sebesar 33,26% terjadi pada waktu pengadukan umpan selama 20 menit.<br />
<strong>Kata</strong> kunci : bijih besi, Pelaihari, klasifayer, pemisah magnetik<br />
ABSTRACT<br />
Raw iron ore of Pelaihari is known by its low iron content. The ore consists of hematite and magnetite<br />
as the main iron minerals. In order to increase the iron content, some efforts can be conducted by<br />
sequence of laboratory tests, namely classifier and magnetic separator. The experiment using magnetic<br />
separator is conducted at various magnetic intensity, grain size and agitation time. The purpose<br />
of classifying tests is lessening the impurity mineral by exploiting difference of grain size and specific<br />
gravity, while magnetic separator will increase the valuable mineral in the form of hematite and magnetite<br />
by exploiting difference of magnetic susceptibility between the impurities and valuable minerals.<br />
The experiment results of classifying increase the total iron grade up to 34.6%, followed by magnetic<br />
separator. The later increases the highest grade of total iron up to 55.9% at agitation time of 10 and 20<br />
minutes. The highest iron recovery of 33.26% was conducted at 20 minutes of feed agitation time.<br />
Keywords : iron ore, Pelaihari, classifier, magnetic separator<br />
Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.<br />
39
1. PENDAHULUAN<br />
Kebutuhan baja nasional terus mengalami<br />
peningkatan seiring dengan perkembangan sektor<br />
industri <strong>dan</strong> semakin maraknya pembangunan<br />
infrastruktur di Indonesia. Pada saat ini konsumsi<br />
baja diperkirakan telah mencapai 6,3 juta ton,<br />
se<strong>dan</strong>gkan produksinya hanya 3,8 juta ton.<br />
Kekurangan penyediaan baja sebesar 2,5 juta ton<br />
masih dipasok dari impor, sehingga PT Krakatau<br />
Steel untuk memproduksi baja di Indonesia<br />
memerlukan bahan baku <strong>dan</strong> penunjang yang<br />
sebagian besar masih diimpor. Bahan-bahan yang<br />
pengadaannya masih bergantung pada impor<br />
adalah pelet bijih besi, se<strong>dan</strong>gkan skrep, bijih besi<br />
bongkah (lump ore) <strong>dan</strong> bijih besi halus kasar<br />
(coarse fine) sebagian masih dapat dipasok dari<br />
dalam negeri, misalnya untuk bijih besi bongkah<br />
berkadar Fe 57% <strong>dan</strong> bijih besi halus kasar<br />
berkadar Fe 56% telah dapat dipasok dari endapan<br />
besi laterit oleh PT Sebuku Iron Lateritic Ore,<br />
Kalimantan Selatan [sebukuiron.co.id].<br />
Untuk menunjang keperluan industri besi baja yang<br />
terus meningkat di masa mendatang, Indonesia<br />
memiliki potensi sumber daya bijih besi yang cukup<br />
besar, berupa bijih besi primer dengan estimasi<br />
ca<strong>dan</strong>gan 320 juta MT <strong>dan</strong> kadar 25 – 62% Fe,<br />
bijih besi laterit dengan estimasi ca<strong>dan</strong>gan 1.391<br />
juta MT <strong>dan</strong> kadar 40 – 56% Fe serta pasir besi<br />
dengan estimasi ca<strong>dan</strong>gan 600 juta MT <strong>dan</strong> kadar<br />
25 – 40% Fe [Koesnohadi <strong>dan</strong> Sobandi, 2008].<br />
Namun sumber daya tersebut belum dapat<br />
dimanfaatkan secara optimal karena kadar Fe<br />
yang terkandung relatif rendah. Pada umumnya<br />
industri baja membutuhkan besi dengan kadar Fe<br />
60-69%, se<strong>dan</strong>gkan P.T. Krakatau Steel<br />
membutuhkan pelet bijih besi dengan kandungan<br />
Fe minimum 65%. Untuk menjawab tantangan<br />
tersebut, perlu a<strong>dan</strong>ya kajian intensif agar kadar<br />
Fe yang dikandung besi dapat ditingkatkan,<br />
sehingga dapat dimanfaatkan oleh industri dalam<br />
negeri seperti oleh PT Krakatau Steel.<br />
Proses peningkatan kadar Fe pada bijih besi biasa<br />
dilakukan dengan cara kominusi (crushing <strong>dan</strong><br />
grinding), konsentrasi secara gravitasi, pemisahan<br />
magnetik, pemisahan elektrostatik maupun flotasi.<br />
Flotasi biasanya dilakukan sebagai lanjutan dari<br />
proses pemisahan magnetik, pemisahan<br />
elektrostatik, konsentrasi secara gravitasi maupun<br />
kominusi [Habashi, 1997].<br />
Pemisahan secara magnetik terhadap bijih besi<br />
sudah lazim dikerjakan [Pramusanto, dkk, 1999].<br />
Pemisah magnetik merupakan alat yang digunakan<br />
dalam proses pemisahan secara magnetik. Prinsip<br />
kerja alat ini adalah memisahkan mineral berharga<br />
dari pengotornya berdasarkan derajat kemagnetan<br />
atau mudah tidaknya mineral mengalami pengaruh<br />
dalam me<strong>dan</strong> magnet (magnetic sussceptibility)<br />
[Kelly, and Spottiswood, 1982].<br />
Bijih besi merupakan mineral-mineral yang<br />
mengandung besi seperti magnetit, hematit,<br />
goethit, limonit atau campuran dari mineral-mineral<br />
tersebut dengan mineral pengotornya, seperti<br />
silika, alumina, <strong>dan</strong> krom [Perkins, 2002].<br />
Berdasarkan pada magnetic susceptibility mineral<br />
tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua grup,<br />
yaitu paramagnetik <strong>dan</strong> diamagnetik. Mineral<br />
diamagnetik merupakan mineral yang tidak<br />
mengalami ketertarikan dalam me<strong>dan</strong> magnet,<br />
seperti silika, <strong>dan</strong> alumina. Se<strong>dan</strong>gkan mineral<br />
paramagnetik yang dapat ditarik oleh magnet,<br />
seperti hematit <strong>dan</strong> limonit. Dari mineral<br />
paramagnetik ini terdapat mineral-mineral yang<br />
memiliki sifat magnet yang sangat kuat disebut<br />
ferromagnetik, seperti magnetit [Wills, 1988].<br />
Berdasarkan hasil pengujian mineragrafi, bijih yang<br />
digunakan untuk percobaan ini mengandung<br />
magnetit-hematit. Magnetit <strong>dan</strong> hematit memiliki<br />
derajat kemagnitan signifikan, yang berbeda<br />
dengan mineral pengotor berupa silika, alumina<br />
<strong>dan</strong> lain-lain; sehingga sebagai studi awal, proses<br />
pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan mineral<br />
menggunakan pemisah magnet dapat dimanfaatkan.<br />
2. METODOLOGI<br />
Metodologi peningkatan kadar bijih besi ini<br />
dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu;<br />
preparasi percontoh (pengeringan, pengayakan <strong>dan</strong><br />
pemercontoh), studi bahan baku (analisa kimia,<br />
ayak <strong>dan</strong> mineralogi), pencucian dengan spiral<br />
classifier untuk menghilangkan pengotor, <strong>dan</strong><br />
percobaan menggunakan pemisah magnet untuk<br />
meningkatkan hematit <strong>dan</strong> magnetit. *****<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
3.1. Studi Bahan Baku<br />
Studi bahan baku ini bertujuan untuk mengetahui<br />
<strong>dan</strong> menentukan komposisi <strong>dan</strong> kadar dari mineral-mineral<br />
yang terdapat di dalam percontoh bijih<br />
besi tersebut.<br />
40 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
3.1.1 Analisis Komposisi Kimia<br />
Berdasarkan hasil analisis komposisi kimia, maka<br />
diperoleh komposisi kimia bijih besi sebagai berikut;<br />
Fe total 31,3%, Fe 2O 3 37,94%, Fe 3O 4 6,55%, SiO 2<br />
28%, CaO 15,67%, Al 2O 3 5,61%, MgO 1,<strong>01</strong> %,<br />
TiO 2 1,63%, Cr 2O 3 0,111% <strong>dan</strong> LOI 1,93%.<br />
3.1.2 Analisis Ayak<br />
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat terjadi<br />
perubahan distribusi ukuran butir akibat pencucian<br />
dengan spiral classifier, sehingga underflow spiral<br />
classifier menyebabkan kenaikan nilai persen<br />
berat tertahan fraksi ukuran -250+150 µm (-60+100<br />
mesh) sampai fraksi +1,7 mm (+10 mesh) <strong>dan</strong><br />
menyebabkan penurunan nilai persen berat<br />
tertahan dari fraksi ukuran -150+106 µm (-100+140<br />
mesh) sampai fraksi -75 µm (-200 mesh) terhadap<br />
percontoh asal bijih besi. Hal ini menjelaskan<br />
bahwa proses spiral classifier menyebabkan<br />
terjadinya pemisahan antara partikel halus dengan<br />
kasar, sehingga dapat dilihat a<strong>dan</strong>ya perbedaan<br />
persentase berat tertahan antara percontoh asal<br />
dengan underflow spiral classifier.<br />
Persen Berat Tertahan (%)<br />
45<br />
40<br />
35<br />
30<br />
25<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
0<br />
-75<br />
(-200)<br />
Gambar 1.<br />
-106+75<br />
(-140+ 200)<br />
-150+106<br />
(-100+140)<br />
-250+150<br />
(-60+100)<br />
-425+250 (-<br />
40+ 60)<br />
Fraksi Ukuran µm (mesh)<br />
3.1.2.1 Derajat Liberasi<br />
Percontoh Asal<br />
Percontoh Spiral Classifier<br />
-850+ 425 (-<br />
20+40)<br />
-1700+850 (-<br />
10+20)<br />
+1700 (+10)<br />
Hubungan fraksi ukuran<br />
dengan komposisi mineral<br />
percontoh asal <strong>dan</strong> underflow<br />
spiral classifier<br />
Berdasarkan Gambar 2, untuk derajat liberasi<br />
percontoh asal terlihat bahwa semakin kecil ukuran<br />
ayak, maka tingkat kebebasan suatu butiran mineral<br />
dalam suatu fraksi ukuran semakin tinggi.<br />
Derajat liberasi tertinggi pada percontoh asal<br />
terdapat pada fraksi -75 µm (-200 mesh) dengan<br />
derajat liberasi untuk mineral magnetit sebesar<br />
70,00%, hematit derajat sebesar 94,55%, <strong>dan</strong><br />
gangue sebesar 98,41%.<br />
Derajat Liberasi [DL] (%)<br />
100<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-75<br />
(-200)<br />
Gambar 2.<br />
-106+75 -150+106 -250+150 -425+250 -850+425 -1700+850<br />
(-140+200) (-100+140) (-60+100) (-40+60) (-20+40) (-10+20)<br />
Fraksi Ukuran µm (mesh)<br />
DL Magnetit DL Hematit DL Gangue<br />
DDL Magnetit DDL Hematit DDL Gangue<br />
+1700<br />
(+10)<br />
Hubungan fraksi ukuran<br />
terhadap derajat liberasi <strong>dan</strong><br />
distribusi derajat liberasi<br />
percontoh asal<br />
Menurut perhitungan derajat liberasi total fraksi<br />
kasar <strong>dan</strong> halus untuk percontoh asal, dapat<br />
dijelaskan bahwa persentase derajat liberasi total<br />
pada fraksi kasar (+1700 µm) atau +10 mesh<br />
sampai -425+250 µm (-40+60 mesh) masih sangat<br />
rendah; magnetit sebesar 0,45%, hematit sebesar<br />
1,08% <strong>dan</strong> gangue sebesar 13,70%. Persentase<br />
derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150<br />
µm) atau (-60+100 mesh) sampai -75 µm (-200<br />
mesh) sudah cukup tinggi; magnetit sebesar<br />
37,62%, hematit sebesar 58,95% <strong>dan</strong> gangue<br />
sebesar 77,56%.<br />
Derajat Liberasi [DL] (%)<br />
100<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-75<br />
(-200)<br />
Gambar 3.<br />
-106+75<br />
(-140+200)<br />
-150+106 -250+150 -425+250 -850+425<br />
(-100+140) (-60+100) (-40+60) (-20+40)<br />
Fraksi Ukuan µm (mesh)<br />
-1700+850<br />
(-10+20)<br />
DL Magnetit DL Hematit DL Gangue<br />
DDL Magnetit DDL Hematit DDL Gangue<br />
+1700<br />
(+10)<br />
Hubungan fraksi ukuran<br />
terhadap derajat liberasi <strong>dan</strong><br />
distribusi derajat liberasi<br />
percontoh underflow spiral<br />
classifier<br />
35<br />
30<br />
25<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
0<br />
40<br />
35<br />
30<br />
25<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
0<br />
Distribusi DL [DDL] (%)<br />
Distribusi DL [DDL] (%)<br />
Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.<br />
41
Berdasarkan Gambar 3, derajat liberasi tertinggi<br />
untuk percontoh underflow spiral classifier terdapat<br />
pada fraksi -75 µm (-200 mesh) dengan derajat<br />
liberasi mineral magnetit sebesar 69,61%, hematit<br />
sebesar 93,42%, <strong>dan</strong> gangue sebesar 97,96%.<br />
Menurut perhitungan distribusi derajat liberasi<br />
untuk fraksi kasar <strong>dan</strong> halus untuk percontoh bijih<br />
besi underflow spiral classifier, terlihat bahwa<br />
persentase distribusi derajat liberasi total pada<br />
fraksi kasar (+1700 µm) atau +10 mesh sampai -<br />
425+250 µm (-40+60 mesh) masih sangat rendah;<br />
magnetit sebesar 0,60%, hematit sebesar 1,50%<br />
<strong>dan</strong> gangue sebesar 23,54%. Persentase distribusi<br />
derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150<br />
µm) atau -60+100 mesh sampai -75 µm (-200<br />
mesh) masih cukup tinggi; magnetit sebesar<br />
28,21%, hematit sebesar 46,41% <strong>dan</strong> gangue<br />
sebesar 64,11%.<br />
<strong>dan</strong> hematit dengan komposisi hampir homogen<br />
pada setiap fraksi ukuran yang terdapat pada<br />
kedua percontoh analisis ayak. Komposisi mineral<br />
rata-rata seluruh fraksi ukuran untuk percontoh<br />
asal adalah 6,22% magnetit, 37,53% hematit <strong>dan</strong><br />
56,25% gangue, se<strong>dan</strong>gkan untuk percontoh hasil<br />
percobaan spiral classifier adalah 6,98% magnetit,<br />
39,87% hematit <strong>dan</strong> 53,15% gangue.<br />
Komposisi Mineral (%)<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
-75<br />
(-200)<br />
-106+75<br />
(-140+200)<br />
-150+106<br />
(-100+140)<br />
-250+150<br />
(-60+100)<br />
-425+250 (-<br />
40+60)<br />
-850+425 (-<br />
20+40)<br />
-1700+850<br />
(-10+20)<br />
+1700<br />
(+10)<br />
Fraksi Ukuran µm (mesh)<br />
Magnetit Percontoh Asal<br />
Hematit Percontoh Asal<br />
Gangue Percontoh Asal<br />
Magnetit Limp, Bawah Klasif ay er Spiral<br />
Hematit Limp. Bawah Klasif ay er Spiral<br />
Gangue Limp. Bawah Klasif ay er Spiral<br />
Gambar 5.<br />
Hubungan fraksi ukuran<br />
dengan komposisi mineral<br />
percontoh asal <strong>dan</strong> percontoh<br />
underflow spiral classifier<br />
3.2. Percobaan Spiral Classifier<br />
Gambar 4.<br />
Fotomikrograf sayatan poles<br />
bijih besi (H = hematit, M =<br />
magnetit, G = mineral gangue,<br />
HM = hematit + magnetit HG =<br />
hematit + gangue)<br />
Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa pada<br />
fraksi ukuran -106+75 µm (-140+200 mesh), bahwa<br />
antara magnetit <strong>dan</strong> hematit terjadi keterikatan <strong>dan</strong><br />
antara hematit <strong>dan</strong> gangue juga terjadi keterikatan.<br />
Antara magnetit <strong>dan</strong> gangue tidak tampak a<strong>dan</strong>ya<br />
keterikatan. Menurut perhitungan komposisi mineral<br />
pada ukuran tersebut, komposisi hematit 41,80%<br />
dengan derajat liberasi 88,68% <strong>dan</strong> magnetit 7,80%<br />
dengan derajat liberasi 58,97% serta gangue<br />
50,40% dengan derajat liberasi 96,23%.<br />
3.1.2.2 Komposisi Mineral<br />
Berdasarkan Gambar 4, mineral berharga yang<br />
terdapat pada percontoh bijih besi ini adalah magnetit<br />
Berdasarkan Gambar 6, dapat dijelaskan bahwa<br />
pada percobaan ini telah terjadi pemisahan antara<br />
partikel halus dengan kasar. Hal ini terlihat dari<br />
a<strong>dan</strong>ya kenaikan kadar Fe total. Kadar Fe total<br />
pada percontoh asal sebagai umpan sebesar<br />
31,3%, setelah dilakukan proses klasifikasi<br />
menggunakan spiral classifier meningkat menjadi<br />
34,6% untuk produk underflow (sebagai produk<br />
pemisahan yang memiliki partikel kasar) <strong>dan</strong> terjadi<br />
penurunan kadar Fe total menjadi 24,6% untuk<br />
produk overflow (sebagai produk pemisahan<br />
partikel yang berukuran halus).<br />
3.3. Peningkatan Kadar dengan Pemisah<br />
Magnetik<br />
Di dalam percobaan pemisah magnetik ini<br />
dilakukan analisis mineralogi untuk meninjau<br />
perubahan komposisi mineral <strong>dan</strong> derajat liberasi<br />
pada konsentrat <strong>dan</strong> tailing akibat pengaruh dari<br />
variabel percobaan terhadap peningkatkan kadar<br />
<strong>dan</strong> perolehan. Analisis kimia hanya dilakukan<br />
pada konsentrat untuk menetukan kadar Fe total.<br />
42 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Komposisi Kimia (%)<br />
40<br />
35<br />
30<br />
25<br />
20<br />
15<br />
10<br />
5<br />
0<br />
Gambar 6.<br />
Percontoh Asal<br />
Underflow<br />
Overflow<br />
Fe total SiO2 CaO Al2O3 MgO TiO2 Cr2O3 LOI<br />
Nama M ine ral<br />
Hubungan percobaan spiral<br />
classifier terhadap komposisi<br />
kimia<br />
3.3.1 Pengaruh Intensitas Magnet terhadap<br />
Komposisi Mineral <strong>dan</strong> Derajat<br />
Liberasi pada Konsentrat<br />
Berdasarkan grafik pengaruh intensitas magnet<br />
yang divariasikan dari 2000-10000 gauss terhadap<br />
komposisi mineral <strong>dan</strong> derajat liberasi konsentrat<br />
pada Gambar 7, menunjukan penurunan hematit<br />
seiring dengan peningkatan intensitas magnet,<br />
se<strong>dan</strong>gkan derajat liberasinya juga mengalami<br />
penurunan. Magnetit cenderung stabil namun<br />
derajat liberasinya juga turun. Gangue meningkat,<br />
se<strong>dan</strong>gkan derajat liberasinya turun.<br />
konsentrat, sehingga meningkatkan komposisi<br />
hematit <strong>dan</strong> gangue yang berikatan. Terjadinya<br />
peningkatan komposisi hematit yang berikatan<br />
dengan gangue menyebabkan terjadinya<br />
penurunan derajat liberasi <strong>dan</strong> komposisi hematit,<br />
namun hal tersebut menaikan komposisi gangue.<br />
Komposisi hematit yang terbesar diperoleh pada<br />
intensitas magnet 2000 gauss sebesar 70,07%,<br />
dengan magnetit sebesar 7,73% <strong>dan</strong> gangue yang<br />
terkecil (22,20%). Komposisi hematit terkecil<br />
diperoleh pada intensitas magnet 10000 gauss<br />
(47,94%), dengan magnetit (8,28%) <strong>dan</strong> gangue<br />
terbesar (43,80%).<br />
3.3.2 Pengaruh Ukuran Butir terhadap<br />
Komposisi Mineral <strong>dan</strong> Derajat<br />
Liberasi pada Konsentrat<br />
Berdasarkan grafik pengaruh ukuran butiran yang<br />
divariasikan dari ukuran
derajat liberasi butiran. Hal ini mempengaruhi daya<br />
tarik magnet ke dalam konsentrat. Komposisi<br />
hematit terbesar diperoleh pada ukuran butir
40<br />
70<br />
3.3.7 Analisis Komposisi Mineral pada<br />
Tailing Variabel Intensitas Magnet<br />
Perolehan Fe (%)<br />
35<br />
30<br />
25<br />
20<br />
Komposisi Mineral (%)<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
Pramusanto, dkk., 1999 “Pengerjaan Awal Bijih<br />
Besi Laterit Melalui Pemisahan Secara<br />
Magnetis dalam Drum Magnetic Separator<br />
pada Pembentukan Campuran Bijih<br />
Besi Laterit <strong>dan</strong> Kokas”, Pusat Penelitian<br />
Pengembangan Teknologi <strong>dan</strong> Mineral,<br />
Bandung.<br />
Wills. B. A., 1988, “Mineral Processing Technology<br />
5 Th Edition”, Pergamon Press. Oxford,<br />
New York.<br />
www.sebukuiron.co.id/silo_products.htm. PT<br />
SILO, diunduh pada jam 10:57, tanggal 20 Mei<br />
2009.<br />
Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.<br />
47
PENGOLAHAN PASIR KUARSA BERLEMPUNG<br />
ASAL RANTAUBUJUR, KABUPATEN TAPIN,<br />
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN,<br />
UNTUK BAHAN BAKU KERAMIK<br />
Subari, Enymia <strong>dan</strong> Sumarsih<br />
Balai Besar Keramik<br />
Jl. Jend. Achmad Yani 392 Bandung<br />
Telp. 022 - 7206221 / 7207115)<br />
SARI<br />
Jumlah ca<strong>dan</strong>gan endapan pasir kuarsa di daerah Rantaubujur Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten<br />
Tapin sebanyak 186378000 m 3 , yang merupakan lapisan tanah penutup (over burden) pada endapan<br />
batu bara. Pasir kuarsa ini masih bercampur dengan material lempung berwarna krem kekuningan.<br />
Oleh karena itu, sampel pasir kuarsa yang berlempung tersebut perlu dilakukan proses pengolahan<br />
dengan cara pencucian <strong>dan</strong> pengayakan dengan menggunakan ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm;<br />
0,063 mm. Dari hasil percobaan pencucian yang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali diperoleh 658,30<br />
gram pasir kuarsa terolah dari sebanyak 900 gram pasir kuarsa asli. Hasil analisis kimia pasir kuarsa<br />
asli (masih bercampur lempung) <strong>dan</strong> yang terolah, mengalami kenaikan kadar silika (SiO 2) yang<br />
cukup signifikan, yakni dari 80,27 % SiO 2 menjadi 94,85 % SiO 2 . Pasir kuarsa terolah ini telah<br />
memenuhi syarat sebagai bahan baku keramik untuk dibuat bodi keramik putih yang fungsinya sebagai<br />
bahan pengisi.<br />
<strong>Kata</strong> kunci: pasir kuarsa berlempung, pengolahan/pencucian, silika, bodi keramik putih<br />
ABSTACT<br />
There are a lot of the quartz sand deposit in Rantaubujur area, South Tapin District - Tapin Regency<br />
abaout 186,378,000 m 3 , which to appear of overburden on the coal deposit. This quartz sand still mixed<br />
with yellowish cream clay materials. Because of that, the clayed quartz sand sample need to beneficiat<br />
by washing and sieving on several size of 1.0 mm; 0.063 mm.<br />
Based on the beneficiation experiments as much as 3 (three) time be found the pure quartz sand of 658.30<br />
grams from the natural quartz sand of 900 grams. The chemical analysis result of natural quartz sand and<br />
pure quartz sand that has increased of silica (SiO 2) significant enough namely from 80.27 % SiO 2 become<br />
94.85 % SiO 2. This pure quartz sand has to fulfill as ceramic raw material for made the whiteware ceramic<br />
as the filler material.<br />
Keywords : clayed quartz sand, silica grade, beneficiation<br />
48 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN<br />
Di daerah Rantau Bujur Kecamatan Tapin Selatan<br />
Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan<br />
terdapat endapan pasir kuarsa/silika yang<br />
merupakan lapisan tanah penutup (overburden)<br />
pada endapan batubara, dengan jumlah ca<strong>dan</strong>gan<br />
sebesar 186.378.000 m 3 (Widyajasa, 2003). Pasir<br />
kuarsa di sini nampaknya masih bercampur<br />
dengan material lempung, kerikil, akar tetumbuhan<br />
<strong>dan</strong> lain sebagainya, yang merupakan bahan<br />
pengotor sehingga warna pasirnya bervariasi dari<br />
krem sampai kuning kecoklat-coklatan. Kondisi<br />
endapan pasir kuarsa semacam ini juga di jumpai<br />
di desa Rajpardi “Bharuch district”, India, yang<br />
merupakan lapisan overburden pada tambang<br />
batubara jenis lignit. Bahan pengotor yang<br />
terkandung didalam pasir kuarsa Rajpardi yaitu<br />
oksida besi seperti ilmenit atau limonit, mineral<br />
horblende <strong>dan</strong> biotit (Chakraborty, et.al, 2000).<br />
Dengan a<strong>dan</strong>ya kandungan bahan pengotor (impurities)<br />
tersebut maka pasir kuarsa ini perlu<br />
dilakukan proses pengolahan (benefisiasi) yang<br />
tujuannya untuk meningkatkan kualitas kuarsa/<br />
silika agar dapat digunakan sebagai bahan baku<br />
keramik terutama untuk bodi keramik putih<br />
(whiteware ceramic) seperti stoneware <strong>dan</strong><br />
porselen. Metode pengolahan yang digunakan<br />
dalam proses pengolahan pasir kuarsa dari Kec.<br />
Tapin Selatan tergantung pada karakteristik bahan,<br />
seperti misalnya penelitian Vyas et al., (2000)<br />
setelah melakukan proses pengolahan pasir<br />
kuarsa yang berwarna kuning hingga kuning<br />
kecoklat-coklatan dengan menggunakan metode<br />
pengayakan cara kering, pengayakan cara basah<br />
<strong>dan</strong> cara magnetik.<br />
Berdasarkan pada karakteristik pasir kuarsa yang<br />
masih mengandung bahan pengotor <strong>dan</strong> mengacu<br />
pada penelitian Vyas, et al., (2000) maka metode<br />
pengolahan yang dilakukan adalah proses pengayakan<br />
cara basah. Dari hasil percobaan<br />
pengolahan ini diharapkan kualitas pasir kuarsa<br />
meningkat serta dapat dimanfaatkan untuk industri<br />
keramik bahkan bisa juga digunakan untuk industri<br />
gelas. Se<strong>dan</strong>gkan penggunaan kuarsa atau silika<br />
pada industri keramik berkisar antara 10 – 25%<br />
berat dari kompo-sisi bodi keramik stoneware atau<br />
perselen, hal ini tergantung pada tingkat kemurnian<br />
bahan baku yang digunakan( Achuthan et al, 2000;<br />
Carty, 20<strong>01</strong>).<br />
Dalam industri manufaktur, penggunaan pasir<br />
kuarsa sudah berkembang ke berbagai industri<br />
baik sebagai bahan baku utama maupun untuk<br />
bahan campuran atau aditif. Sebagai bahan baku<br />
utama, pasir kuarsa dapat digunakan dalam<br />
industri gelas, ubin teraso, ferosilikon, silikon<br />
karbida <strong>dan</strong> bahan abrasif. Se<strong>dan</strong>gkan pasir<br />
kuarsa sebagai bahan baku campuran, misalnya<br />
pada industri pengecoran logam, industri<br />
perminyakan <strong>dan</strong> industri keramik termasuk<br />
refraktori. Sehubungan hal tersebut di atas, pasir<br />
kuarsa yang diteliti akan digunakan sebagai bahan<br />
baku campuran dalam pembuatan ubin keramik<br />
selain menggunakan felspar <strong>dan</strong> kaolin.<br />
2. METODE PENELITIAN<br />
Pasir kuarsa alam atau kuarsa asli yang<br />
digunakan dalam percobaan pengolahan<br />
(benefisiasi) berasal dari daerah Rantau Bujur<br />
Kecamatan Tapin Selatan. Pasir kuarsa ini masih<br />
bercampur dengan material lempung berwarna<br />
krem kekuningan. Pasir kuarsa dicuci <strong>dan</strong><br />
kemudian diayak/disaring dengan menggunakan<br />
ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm <strong>dan</strong> 0,063 mm.<br />
Bagan alir proses benefisiasi terhadap pasir kuarsa<br />
tercantum pada Gambar 1.<br />
Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri<br />
dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 %<br />
<strong>dan</strong> lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi<br />
tersebut dicampur sampai homogen dengan<br />
menambahkan air sekitar 5 % dari total berat<br />
bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak<br />
ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm.<br />
Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven<br />
pengering pada suhu 100 0 C, <strong>dan</strong> akhirnya dibakar<br />
dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 <strong>dan</strong><br />
1250 °C.<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
3.1. Perolehan (recovery) kuarsa terolah<br />
Teknologi pengolahan pasir kuarsa dari Tapin<br />
Selatan ini dilakukan dengan pengayakan atau<br />
penyaringan secara basah yang menggunakan<br />
beberapa ukuran ayakan. Proses pengolahannya<br />
di lakukan sebanyak 3 (tiga) kali percobaan yang<br />
hasil percobaannya dapat di lihat pada Tabel 1.<br />
Untuk mengetahui perolehan silika atau kuarsa<br />
yang dihasilkan dari proses pengolahan<br />
(benefisiasi) pasir kuarsa alam dapat digunakan<br />
rumus (Wills, 2006):<br />
Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.<br />
49
Kuarsa alam dibuat massa lumpur<br />
Diayak basah<br />
1,0 mm<br />
Kuarsa & lempung<br />
-1,0 mm<br />
Kotoran kerikil<br />
+ 1,0 mm<br />
Diayak basah ukuran<br />
0,5 mm<br />
Kuarsa & lempung<br />
0,5 mm - 0,5 mm<br />
Kuarsa terolah<br />
+ 0,5 mm<br />
Diayak basah<br />
ukuran 0,063 mm<br />
Lempung kotor<br />
- 0,063 mm<br />
Kuarsa terolah<br />
+ 0,063 mm<br />
Gambar 1.Bagan alir proses benefisiasi pasir kuarsa<br />
Tabel 1.<br />
Material balance pada proses benefisiasi pasir kuarsa<br />
Percobaan Kuarsa asli Kuarsa terolah Kotoran 1 Kotoran 2 Kehilangan<br />
( gram ) ( gram ) ( gram ) ( gram ) ( gram )<br />
1 900 740 32 107 21<br />
2 900 675 27 170 28<br />
3 900 560 28 276 36<br />
Rata-rata 900 658,3 29 184,33 28,33<br />
50 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Dimana : R = Recovery, %<br />
F = Umpan (feed) pasir kuarsa asli,<br />
gram<br />
f = Kadar SiO 2 didalam umpan, %<br />
C = Kuarsa terolah (konsentrat), gram<br />
c = Kadar SiO 2 didalam konsentrat,%<br />
Menurut Tabel 1 bahwa banyaknya kuarsa terolah<br />
rata-rata sekitar 658,30 gram dari sebanyak kuarsa<br />
asli sebesar 900 gram.<br />
Kadar SiO 2 didalam kuarsa asli (umpan) = 80,27<br />
% <strong>dan</strong> yang didalam konsentrat (kuarsa terolah)<br />
=94,85 %.<br />
Dengan demikian perolehan pasir kuarsa terolah<br />
adalah :<br />
658,30 x 94,85<br />
R = x 100 % = 86,57 %<br />
900 x 80,27<br />
dengan cara pencucian <strong>dan</strong> pengayakan tersebut<br />
memberikan hasil yang baik. Dilihat dari kadar<br />
Fe 2O 3 <strong>dan</strong> TiO 2 bahwa menurut SNI 15-1026-1989<br />
mengenai kuarsa untuk pembuatan porselen <strong>dan</strong><br />
stoneware batas kadar yang disyaratkan untuk<br />
Fe 2O 3 = 0,4 % <strong>dan</strong> yang TiO 2 = 0,3 %. Menurut<br />
ketentuan tersebut diatas nampaknya pasir kuarsa<br />
dari Kabupaten Tapin telah memenuhi syarat<br />
sebagai bahan baku untuk body keramik porselen<br />
atau stoneware.<br />
Kemudian dari data analisis X Ray diffraktometer<br />
terhadap pasir kuarsa asli (belum diolah) kode KCT<br />
<strong>dan</strong> kuarsa yang sudah diolah kode KMT seperti<br />
tercantum dalam Gambar 2, menunjukkan bahwa<br />
untuk kuarsa asli terdapat kandungan mineral<br />
kaolinite selain alfa kuarsa se<strong>dan</strong>gkan yang kuarsa<br />
terolah hanya mengandung alfa kuarsa serta tidak<br />
ada lagi kandungan mineral kaolinitnya. Dengan<br />
berdasarkan ketentuan tersebut maka proses<br />
pengolahan pasir kuarsa dengan cara pencucian<br />
<strong>dan</strong> pengayakan cukup berhasil <strong>dan</strong> bisa<br />
dikembangkan dalam skala produksi.<br />
Jumlah ca<strong>dan</strong>gan pasir kuarsa alam (kuarsa asli)<br />
sebesar 186.378.000 m 3 , apabila pasir kuarsa<br />
diolah semuanya maka yang diperoleh sebanyak<br />
161.347.435 m 3 .<br />
Dibandingkan dengan pasir kuarsa dari pulau<br />
Bangka <strong>dan</strong> pulau Belitung yang kadar silikanya<br />
masing-masing sebesar 95-99 % SiO 2 <strong>dan</strong> 96-99,5<br />
% SiO 2 ( Hartono <strong>dan</strong> Subari, 1986), maka pasir<br />
kuarsa terolah dari Kecamatan Tapin Selatan<br />
dengan kadar silika sebesar 94,85% SiO 2<br />
kualitasnya hampir sama dengan yang pasir kuarsa<br />
Bangka. Sehingga pasir kuarsa terolah tersebut<br />
masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku<br />
keramik untuk body keramik stoneware atau<br />
porselen <strong>dan</strong> juga barang tahan api (refractory).<br />
3.2. Data komposisi Kimia <strong>dan</strong> Mineral<br />
Data komposisi kimia terhadap pasir kuarsa asli<br />
atau belum diolah terutama kadar silika (SiO 2),<br />
Fe 2O 3, <strong>dan</strong> TiO 2 masing-masing sebesar 80,27<br />
%, 1,20%, <strong>dan</strong> 0,23 %. Kemudian pasir kuarsa<br />
setelah diolah dengan cara pencucian <strong>dan</strong><br />
pengayakan ternyata kadar SiO 2 nya mengalami<br />
kenaikan menjadi 94,85 % serta kadar Fe 2O 3 <strong>dan</strong><br />
TiO 2 mengalami penurunan masing-masing yaitu<br />
0,34 % <strong>dan</strong> 0,04 %. Dengan demikian proses<br />
pengolahan pasir kuarsa dari Kabupaten Tapin<br />
Gambar 2.Grafik difraktogram pasir kuarsa<br />
asli <strong>dan</strong> kuarsa terolah<br />
Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.<br />
51
3.3. Pembuatan Keramik dari Kuarsa<br />
Terolah<br />
Bahan baku yang biasanya digunakan dalam<br />
pembuatan keramik konvensional atau tradisional<br />
adalah kuarsa, lempung <strong>dan</strong> felspar. Untuk<br />
percobaan pembuatan bodi keramik disini<br />
menggunakan kuarsa dari hasil pengolahan pasir<br />
kuarsa berlempung <strong>dan</strong> sedikit mengandung<br />
kerikil. Dari hasil analisis kimia terhadap kuarsa<br />
terolah ternyata mengandung kadar silika (SiO 2)<br />
yang cukup tinggi yaitu 94,85 %. Kandungan silika<br />
bebas tersebut juga terdapat di dalam lempung<br />
(clay), kaolin, <strong>dan</strong> felspar. Misalnya lempung<br />
berwarna kuning kecoklatan dari daerah Zorka<br />
mengandung kadar SiO 2 69,13 %. Se<strong>dan</strong>gkan<br />
bahan lempung yang merupakan pengotor (impurity)<br />
dari pasir kuarsa mengandung kadar SiO 2 nya<br />
sebesar 70,15%. Lempung ini masih bisa<br />
dimanfaatkan sebagai bahan baku keramik untuk<br />
dibuat bodi merah atau terakota.<br />
Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri<br />
dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 %<br />
<strong>dan</strong> lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi<br />
tersebut dicampur sampai homogen dengan<br />
menambahkan air sekitar 5 % dari total berat<br />
bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak<br />
ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm.<br />
Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven<br />
pengering pada suhu 100 0 C, <strong>dan</strong> akhirnya dibakar<br />
dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 <strong>dan</strong><br />
1250 0 C. Ubin setelah dibakar ternyata makin<br />
tinggi suhu pembakaran penyerapan airnya<br />
semakin kecil masing- masing sebesar 17,98 %,<br />
16,87 % <strong>dan</strong> 15,24 %. Nilai penyerapan ubin<br />
keramik ini masih di atas 15% karena di dalam<br />
komposisi bodi ubin tidak menggunakan felspar<br />
yang fungsinya sebagai bahan pelebur guna<br />
membantu dalam proses sintering, agar pada suhu<br />
pembakaran 1250 0 C bodinya sudah bersifat padat<br />
(vitrified) sehingga penyerapan airnya bisa<br />
mencapai di bawah 10 % (Chakraborty et al, 2000).<br />
Demikian pula sebaliknya, makin tinggi suhu<br />
pembakaran nilai kuat lenturnya semakin besar<br />
yaitu masing- masing 135,92 kg/cm 2 , 137,65 kg/<br />
cm 2 <strong>dan</strong> 143,57 kg/cm 2 . Hal ini disebabkan lubang<br />
pori-pori dalam bodi ubin semakin mengecil <strong>dan</strong><br />
ikatan paertikel-partikel bahan yang satu dengan<br />
lainnya menjadi semakin kuat akibat semakin<br />
tingginya suhu pembakaran. Di samping itu warna<br />
bodi ubin keramik setelah dibakar pada suhu 1150<br />
0C sampai 1250 0 C berwarna putih susu sampai<br />
krem, sehingga bodi keramik tersebut dapat<br />
dikatagorikan keramik putih (whiteware ceramic).<br />
Selain untuk ubin keramik pasir kuarsa terolah ini<br />
bisa juga digunakan sebagai bahan baku utama<br />
bata tahan api silika karena menurut Goswami,<br />
et.al, (2000) bahwa untuk membuat bahan tahan<br />
api tersebut digunakan silika dengan kadar SiO 2<br />
minimum 93 % pada suhu pembakaran 1430-1450<br />
0C. Dengan demikian kuarsa terolah yang<br />
mengandung SiO 2 = 94,85 % telah memenuhi<br />
syarat untuk dibuat bata tahan api silika (silica<br />
brick refractory).<br />
4. KESIMPULAN<br />
1. Proses pengolahan pasir kuarsa berlempung<br />
asal Kabupaten Tapin dengan cara dicuci <strong>dan</strong><br />
diayak menggunakan ukuran ayakan 1,0 mm;<br />
0,5 mm <strong>dan</strong> 0,063 mm dapat meningkatkan<br />
kadar silika (SiO 2) dari 80,77% menjadi<br />
sebesar 94,85 %.<br />
2. Perolehan (recovery) pasir kuarsa terolah<br />
sebanyak 161.347.435 m3 cukup potensial<br />
untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku<br />
industri keramik dalam pembuatan ubin<br />
keramik <strong>dan</strong> bata tahan api silika.<br />
3. Pemakaian pasir kuarsa terolah untuk dibuat<br />
ubin keramik sebesar 20% dicampur dengan<br />
lempung 30% <strong>dan</strong> kaolin 50% dari Kabupaten<br />
Tapin, yang dibakar pada suhu 1150-1250 0 C<br />
bodinya berwarna putih susu serta<br />
digolongkan ke dalam bodi putih (whiteware<br />
ceramic).<br />
UCAPAN TERIMAKASIH<br />
Dengan terpublikasinya makalah ini penulis<br />
menyampaikan banyak terima kasih kepada<br />
Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Tapin<br />
beserta stafnya, yang telah membantu untuk<br />
mendapatkan sampel bahan galian golongan C<br />
jenis pasir kuarsa berlempung dari Kecamatan<br />
Tapin Selatan serta data potensi ca<strong>dan</strong>gannya.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Achuthan, A.T., Peer, M, A. Maiti, K.N., 2008,<br />
Effect of Precipitated Silica Additions to the<br />
Composition of Ceramic Glazes, Interceram,<br />
Volume 57.No.1.<br />
Carty, W.M., 20<strong>01</strong>, Ceramic engineering and Sci-<br />
52 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
ence, Proceedings, Material and Equipment<br />
and Whitewares, Volume 22, Issue 2.<br />
Chakraborty, A.K, Sojitra, B.G, Vyas, D.R., Maiti,<br />
K.N., 2000, Effects of Substitution of Quartz<br />
by Rajpardi Silica Sand on the<br />
Thermomechanical Properties of Conventional<br />
Ceramics, Interceram, Volume 49 No.3.<br />
Goswami, G, Panda, J.D., 2000, X Ray<br />
Diffractometric Determination of Tridymite in<br />
Silica Refractories, Interceram, Vol. 49 No.5.<br />
Vyas, D.R, Sojitra, B.G, Chakraborty, A.K, Maiti,<br />
K.N., 2000, Beneficiation of Rajpardi Silica<br />
Sand For Use in the Ceramics and Glass Industry,<br />
Interceram, Volume 49 No. 2.<br />
Widyajasa, A.P.T., 2003, Studi Komprehenship<br />
Inventarisasi <strong>dan</strong> Evaluasi Bahan Galian<br />
Tambang di Kabupaten Tapin, Bapeda<br />
Pemerintah Kabupaten Tapin.<br />
Wills, B.A, 2006, Mineral Processing Technology,<br />
Seventh Edition-ELSEVIER, Oxford-UK.<br />
Hartono, Y.M.V <strong>dan</strong> Subari, 1986, Teori Benefisiasi<br />
Bahan Mentah Keramik Halus, Balai Besar<br />
Industri Keramik Bandung.<br />
Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.<br />
53
PRESENTASI MAKALAH<br />
PARALEL II
MASA KINI DAN MASA DEPAN<br />
BATUBARA INDONESIA<br />
Ijang Suherman<br />
Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />
Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373<br />
e-mail : ijang@tekmira.esdm.go.id<br />
S A R I<br />
Peran batubara sebagai pemasok energi, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya, di masa<br />
mendatang akan terus meningkat meskipun harga batubara sedikit terkoreksi sebagai dampak dari<br />
harga minyak yang baru saja terkoreksi tajam. A<strong>dan</strong>ya Kebijaksanaan <strong>Energi</strong> Nasional mengenai<br />
diversifikasi energi, melalui PP No.5 Tahun 2006, pemanfaatan batubara di wilayah Indonesia terus<br />
berkembang di berbagai segmen pasar yang meliputi PLTU, industri semen, tekstil, kertas, metalurgi,<br />
briket batubara <strong>dan</strong> industri lainnya. Di samping itu, dengan berlakunya UU No 4 Tahun 2009 tentang<br />
Pertambangan Mineral Batubara, akan mendukung upaya optimalisasi permintaan <strong>dan</strong> pemasokan<br />
batubara Indonesia dimasa depan.<br />
<strong>Kata</strong> kunci: masa kini, masa depan, batubara, pemanfaatan<br />
ABSTRACT<br />
The role of coal as an energy supply, either in Indonesia or other countries, in the future time will<br />
increase, although its price is slightly corrected as the impact of the oil price that was just sharply<br />
corrected. Due to the presence of the National Energy Policy about energy diversification through PP<br />
No. 5 Year 2006, the utilization of coal in Indonesia keeps developing in various market segments<br />
including: coal-fired power, cement industry, textile, paper, metallurgy, coal briquette and so forth.<br />
Besides, the implementation of UU No. 4 Year 2009 about mineral and coal mining, will support the<br />
effort of optimizing supply and demand of the coal in Indonesia in the future time.<br />
Keyword: nowadays, future, coal, utilization<br />
Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />
55
1. PENDAHULUAN<br />
Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja<br />
terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga<br />
batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi.<br />
Di samping kondisi global tersebut, menimbang<br />
ca<strong>dan</strong>gan minyak bumi Indonesia yang semakin<br />
menipis, pemanfaatan batubara di dalam negeri<br />
menjadi semakin penting sejalan dengan<br />
ditemukannya ca<strong>dan</strong>gan batubara yang besar,<br />
hingga kini sumber daya mencapai 104,75 milyar<br />
ton <strong>dan</strong> ca<strong>dan</strong>gan 22,25 milyar ton. Selain itu,<br />
a<strong>dan</strong>ya kebijaksanaan energi nasional mengenai<br />
diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan<br />
batubara di berbagai segmen pasar (industri) di<br />
wilayah Indonesia. Pemberlakuan UU No 4 Tahun<br />
2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara,<br />
akan mendukung untuk menciptakan keamanan<br />
pasokan energi nasional secara berkelanjutan <strong>dan</strong><br />
pemanfaatan energi secara efisien, serta<br />
terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal<br />
pada tahun 2025.<br />
Segmen pasar yang menggunakan batubara<br />
sebagai bahan bakar meliputi PLTU, industri semen,<br />
industri kertas, industri tekstil, industri<br />
peleburan (metalurgi), <strong>dan</strong> industri lainnya, serta<br />
pemanfaatan batubara untuk briket batubara.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan Upgrading Brown Coal (UBC),<br />
Gasifikasi Batubara <strong>dan</strong> Pencairan batubara adalah<br />
arah pemanfaatan batubara untuk masa<br />
mendatang.<br />
2. METODOLOGI<br />
Kegiatan penelitian ini dilakukan di 11 lokasi di<br />
Indonesia, yaitu Propinsi Sumatera Utara, Sumatera<br />
Barat, Sumatera Selatan, Kalimanatan Timur,<br />
Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi<br />
Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, <strong>dan</strong> Jawa<br />
Tengah. Seluruh daerah (propinsi) ini dianggap dapat<br />
mewakili produsen maupun konsumen batubara<br />
di Indonesia. Metoda dalam kajian ini, adalah menghubungkan<br />
hasil-hasil penelitian survei sampling<br />
secara langsung seperti ke PLTU, industri semen,<br />
tekstil, kertas, <strong>dan</strong> lainnya untuk mendapatkan<br />
data primer dengan hasil-hasil publikasi dari instansi<br />
terkait sebagai data skunder. Se<strong>dan</strong>gkan model<br />
pengolahan <strong>dan</strong> teknik analisis yang digunakan<br />
adalah statistka deskriptif <strong>dan</strong> trend analysis.<br />
3. POTENSI SUMBER DAYA DAN<br />
CADANGAN<br />
Jumlah sumber daya <strong>dan</strong> ca<strong>dan</strong>gan batubara Indonesia<br />
setiap tahun terus bertambah,<br />
berdasarkan perhitungan Pusat <strong>Sumber</strong> Daya<br />
Geologi, <strong>Departemen</strong> <strong>Energi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Sumber</strong> Daya<br />
Mineral. Kondisi saat ini, tahun 2008, jumlah<br />
sumber daya adalah sebesar 104,75 miliar ton,<br />
dengan jumlah ca<strong>dan</strong>gan sebesar 22,25 miliar ton<br />
(Gambar 1). <strong>Sumber</strong> daya batubara tersebut<br />
tersebar di 19 propinsi, 6 pulau, namun terbesar<br />
terutama di Pulau Sumatera <strong>dan</strong> Kalimantan<br />
sebanyak masing – masing 50,15% <strong>dan</strong> 49,56%.<br />
4. PENGUSAHAAN BATUBARA<br />
4.1. Pola Pengusahaan Batubara<br />
Ijin pengusahaan batubara di Indonesia secara<br />
garis besar dibedakan dalam tiga pola, Ba<strong>dan</strong><br />
Usaha Milik Negara (BUMN), Perjanjian Kerjasama<br />
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B),<br />
<strong>dan</strong> Kuasa Pertambangan (KP). Namun dengan<br />
di telah disyahkannya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No 4 Tahun<br />
2009 tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong><br />
Batubara, maka ke depan sistim perijinan hanya<br />
ada satu jenis, yaitu Ijin Usaha Pertambangan<br />
(IUP) untuk satu wilayah tertentu.<br />
4.2. Tingkat Produksi Batubara<br />
Sejalan dengan upaya penganekaragaman energi<br />
<strong>dan</strong> peningkatan kebutuhan batubara, baik untuk<br />
pemakaian domestik maupun pasar ekspor,<br />
produksi batubara selama 16 tahun terakhir telah<br />
menunjukkan peningkatan yang cukup pesat,<br />
dengan kenaikan produksi rata-rata per tahun secara<br />
nasional adalah 17,04%. Pada tahun 2008 produksi<br />
batubara nasional telah mencapai 233,62 juta ton.<br />
Dalam kurun waktu tersebut (1992 – 2008) telah<br />
terjadi perubahan distribusi produksi yang signifikan.<br />
PKP2B memegang peranan yang cukup menonjol<br />
sekitar 75,76% dengan pertumbuhan 16,93%<br />
pertahun. Se<strong>dan</strong>gkan peran KP awalnya relatif<br />
masih kecil di bawah BUMN (PTBA), namun<br />
setelah digulirkannya otda ada peningkatan yang<br />
cukup berarti dengan tingkat pertumbuhan ratarata<br />
21,02% pertahun (Tabel 1).<br />
56 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Gambar 1. Distribusi <strong>Sumber</strong> Daya Batubara Indonesia<br />
Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />
57
Tabel 1. Jumlah produksi batubara Indonesia<br />
menurut kelompok perusahaan, tahun<br />
1992 – 2008<br />
Tahun<br />
Produksi (x000Ton)<br />
PTBA PKP2B KP<br />
Jumlah<br />
1992 7.103 14.281 1.654 15.935<br />
1993 7.374 18.874 1.597 20.470<br />
1994 6.707 23.477 2.408 25.885<br />
1995 7.979 29.576 4.286 33.862<br />
1996 9.230 37.815 3.926 41.741<br />
1997 9.965 40.602 4.467 45.069<br />
1998 9.859 47.057 5.123 52.180<br />
1999 11.207 57.604 4.966 62.570<br />
2000 10.746 61.707 4.682 66.389<br />
20<strong>01</strong> 10.212 76.532 5.796 82.328<br />
2002 9.482 87.078 6.812 93.890<br />
2003 10.027 96.300 7.951 104.251<br />
2004 8.707 113.171 10.474 123.645<br />
2005 8.607 145.992 10.994 156.986<br />
2006 9.292 164.713 22.533 187.246<br />
2007 8.555 171.570 36.805 208.375<br />
2008 10.138 176.993 46.489 233.620<br />
(%) 2,07 16,93 21,02 17,04<br />
<strong>Sumber</strong> : DPPMB <strong>dan</strong> APBI, 2009 (diolah Kembali)<br />
4.3. Tingkat Penjualan Batubara<br />
4.3.1 Penjualan batubara dalam negeri<br />
Jumlah penjualan batubara di dalam negeri tahun<br />
1992 sebesar 7,288 juta ton, se<strong>dan</strong>gkan pada tahun<br />
2008 mencapai 73,925 juta ton (Tabel 2), yang<br />
berarti setiap tahun penjualannya rata-rata<br />
meningkat sebesar 17,17%. Tahun 2008,<br />
perusahaan pemegang PKP2B merupakan<br />
pemasok batubara dalam negeri yang terbesar,<br />
yaitu sebesar 54,85% dari jumlah seluruh<br />
kebutuhan, diikuti oleh pemegang KP sebesar<br />
34,35 %, <strong>dan</strong> BUMN PTBA serbesar 10,80%.<br />
4.3.2 Penjualan batubara ekspor<br />
Kebutuhan batubara dunia saat ini ternyata<br />
meningkat sangat cepat, antara lain dipicu oleh<br />
booming harga <strong>dan</strong> semakin banyaknya<br />
pembangunan PLTU di luar negeri yang<br />
menggunakan bahan bakar batubara, serta kran<br />
ekspor China ditutup. Hal ini yang mengantarkan<br />
Indonesia sebagai pemasok (eksportir) terbesar<br />
menyaingi Australia <strong>dan</strong> Afrika Selatan. Ekspor<br />
batubara Indonesia pada tahun 1992 hanya sebesar<br />
16,288 juta ton, se<strong>dan</strong>gkan pada tahun 2008<br />
tercatat sebesar 158.921.318 juta ton (Tabel 3).<br />
Ini berarti volume ekspor rata-rata naik sebesar<br />
15,71%. Perusahaan pemegang PKP2B<br />
merupakan eksportir batubara terbesar, yaitu<br />
sekitar 89,87% dari jumlah ekspor batubara Indonesia,<br />
diikuti oleh pemegang KP sebesar 7,56%,<br />
<strong>dan</strong> BUMN sebesar 2,57%. Dengan a<strong>dan</strong>ya<br />
kecenderungan tersebut, maka kedepan perlu<br />
mencermatinya untuk melakukan pembatasan<br />
ekspor. Hal ini diperlukan untuk mengutamakan<br />
jaminan pasokan dalam negeri serta kegiatan<br />
peningkatan produksi yang mengacu pada konsep<br />
konservasi.<br />
5. PENGGUNAAN BATUBARA<br />
DI INDONESIA<br />
Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja<br />
terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga<br />
batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi.<br />
Ada yang berpendapat mungkin semakin<br />
meningkat karena permintaan yang jauh melebihi<br />
penawaran. Di samping kondisi global tersebut,<br />
menimbang ca<strong>dan</strong>gan minyak bumi Indonesia<br />
58 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Tabel 2.<br />
Jumlah penjualan dalam negeri batubara Indonesia<br />
menurut kelompok perusahaan, tahun 1992 – 2008<br />
Tahun<br />
Penjualan Batubara (Ton)<br />
BUMN PKP2B KP<br />
Jumlah<br />
1992 6.255.865 356.105 363.750 6.975.720<br />
1993 6.256.240 1.095.157 710.178 8.061.575<br />
1994 6.260.995 1.395.364 918.536 8.574.895<br />
1995 6.276.124 2.114.212 815.971 9.206.307<br />
1996 7.116.181 3.307.966 830.397 11.254.544<br />
1997 8.758.713 3.697.541 949.323 13.405.577<br />
1998 9.041.424 5.621.428 938.265 15.6<strong>01</strong>.117<br />
1999 9.606.984 8.892.304 813.262 19.312.550<br />
2000 9.064.646 12.830.377 454.764 22.349.787<br />
20<strong>01</strong> 8.276.895 18.356.321 756.773 27.389.989<br />
2002 7.621.538 20.549.044 1.086.421 29.257.003<br />
2003 7.662.<strong>01</strong>4 22.047.443 948.482 30.657.939<br />
2004 7.210.000 26.620.000 3.294.000 37.124.000<br />
2005 7.192.766 32.856.354 1.256.933 41.306.053<br />
2006 6.754.874 34.132.185 10.623.920 51.510.979<br />
2007 6.735.775 36.194.420 21.209.915 64.140.110<br />
2008 7.980.228 40.550.480 25.394.119 73.924.826<br />
<strong>Sumber</strong> : DPPMB, 2009 (diolahKembali)<br />
Tabel 3.<br />
Jumlah Ekspor Batubara Indonesia Menurut<br />
Kelompok Perusahaan, Tahun 1992 – 2008<br />
Tahun<br />
Ekspor Batubara (Ton)<br />
BUMN PKP2B KP<br />
Jumlah<br />
1992 1.005.713 14.024.212 1.268.581 16.298.506<br />
1993 1.153.366 16.083.168 1.454.827 18.691.361<br />
1994 1.565.829 21.834.777 1.975.097 25.375.703<br />
1995 2.160.221 25.895.977 3.262.585 31.318.783<br />
1996 2.<strong>01</strong>1.714 31.584.755 2.835.131 36.431.600<br />
1997 1.816.145 36.715.815 3.195.381 41.727.341<br />
1998 1.539.985 41.435.969 4.230.247 47.206.2<strong>01</strong><br />
1999 2.239.875 48.979.616 4.548.195 55.767.686<br />
2000 2.142.138 52.225.381 4.152.973 58.520.492<br />
20<strong>01</strong> 1.894.973 53.886.444 3.852.104 59.633.521<br />
2002 1.854.957 66.5<strong>01</strong>.537 5.822.364 74.178.858<br />
2003 2.239.363 76.387.034 7.053.875 85.680.272<br />
2004 2.712.000 85.913.000 4.085.000 92.710.000<br />
2005 2.492.2<strong>01</strong> 99.495.994 4.799.233 106.787.428<br />
2006 2.848.534 127.734.782 13.386.233 143.969.550<br />
2007 3.955.077 142.597.966 12.022.0<strong>01</strong> 158.575.044<br />
2008 4.079.475 142.819.842 12.022.0<strong>01</strong> 158.921.318<br />
<strong>Sumber</strong> : DPPMB, 2009 (diolah Kembali)<br />
Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />
59
yang semakin menipis, pemanfaatan batubara di<br />
dalam negeri menjadi semakin penting sejalan<br />
dengan ditemukannya ca<strong>dan</strong>gan batubara yang<br />
besar yang terus meningkat, yang hingga kini<br />
sumber daya mencapai 104,75 miliar ton <strong>dan</strong><br />
ca<strong>dan</strong>gan 22,25 miliar ton. Selain itu, a<strong>dan</strong>ya<br />
kebijaksanaan energi nasional mengenai<br />
diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan<br />
batubara di berbagai segmen pasar di wilayah Indonesia.<br />
Segmen pasar yang menggunakan<br />
batubara sebagai bahan bakar meliputi PLTU,<br />
industri semen, industri kertas, industri tekstil,<br />
industri peleburan (metalurgi), <strong>dan</strong> industri lainnya,<br />
serta pemanfaatan batubara untuk briket batubara.<br />
Penggunaan batubara dalam negeri masih<br />
didominasi oleh PLTU, yaitu 69,61% dari<br />
kebutuhan batubara nasional, kemudian diikuti oleh<br />
industri semen sebesar 14,48%. Trend<br />
penggunaan batubara pada industri kertas <strong>dan</strong><br />
tekstil, serta industri lainnya terus meningkat,<br />
kecuali pada industri metalurgi <strong>dan</strong> briket batubara<br />
perkembangan penggunaan batubara berfluktuatif<br />
<strong>dan</strong> cenderung tetap. (Tabel 4).<br />
5.1. PLTU<br />
PLTU merupakan industri yang paling banyak<br />
menggunakan batubara sebagai bahan bakar pada<br />
boiler untuk mendidihkan air menjadi uap air.<br />
Kemudian uap air tersebut digunakan untuk<br />
menggerakan turbin pembangkit listrik. Tercatat<br />
dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada<br />
tahun 2008 sebesar 36,575 juta ton, 69,61% di<br />
antaranya digunakan oleh PLTU. Hingga saat ini,<br />
PLTU berbahan bakar batubara, baik milk PLN<br />
maupun yang dikelola swasta, ada 13 PLTU, dua<br />
di antaranya paling banyak menggunakan<br />
batubara sebagai bahan bakar utamanya adalah<br />
PLTU Suralaya <strong>dan</strong> PLTU Paiton.<br />
PLTU Suralaya dikelola PT. Indonesia Power<br />
memiliki 7 unit pembangkit dengan total kapasitas<br />
terpasang 3.400 MW menggunakan batubara<br />
sebesar 13,454 juta ton per tahun. Pemasok<br />
utama batubara untuk PLTU Suralaya, se<strong>dan</strong>gkan<br />
sisanya dipasok dari beberapa perusahaan di<br />
Kalimantan, antara lain dari PT. Kideco Jaya<br />
Agung, PT. Arutmin, PT. Adaro <strong>dan</strong> PT. Berau Coal.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan di kawasan PLTU Paiton ada tiga operator<br />
pembangkit, yakni unit 1 <strong>dan</strong> 2 kapasitas<br />
800 MW yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa<br />
Bali (PJB), unit 5 <strong>dan</strong> 6 kapasitas 1.230 MW yang<br />
dikelola perusahaan swasta PT Java Power <strong>dan</strong><br />
unit 7 <strong>dan</strong> 8 yang dikelola PT Paiton Energy<br />
dengan kapasitas 1.230 MW. Total batubara yang<br />
dibutuhkan sekitar 12,144 juta ton per tahun.<br />
Batubara yang digunakan sebagian besar dipasok<br />
dari Pulau Kalimantan, seperti PT Adaro Indonesia,<br />
PT Jorong Barutama, PT Daya Citra Mulia,<br />
<strong>dan</strong> lain-lain.<br />
Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2008,<br />
penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya<br />
meningkat rata-rata 13,37% (Tabel 5). Hal tersebut<br />
sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai<br />
dampak permintaan listrik yang terus meningkat.<br />
Peranan PLTU pada pembangkit tenaga listrik<br />
nasional adalah yang terbesar, yaitu 54,0%.<br />
Dalam upaya mengantisipasi kekurangan listrik<br />
<strong>dan</strong> untuk meningkatkan efisiensi pemakaian<br />
BBM secara nasional, pemerintah telah membuat<br />
rencana pembangunan sebanyak 40 PLTU dengan<br />
daya terpasang sebesar 10.000 MW, 10 PLTU di<br />
antaranya akan dibangun di Pulau Jawa dengan<br />
kapasitas 7.460 MW <strong>dan</strong> 30 sisanya dibangun di<br />
berbagai daerah di Indonesia dengan kapasitas<br />
2.540 MW (lihat Tabel 6). Total kapasitas PLTU<br />
batubara yang dimiliki PLN <strong>dan</strong> Swasta saat ini<br />
sebesar 9.470 MW dengan mengkonsumsi<br />
batubara sekitar 36,575 juta ton per tahun.<br />
Untuk merealisasikan rencana tersebut,<br />
pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 71<br />
Tahun 2006 telah menunjuk PLN untuk melakukan<br />
Percepatan Pembangunan PLTU batubar 10.000<br />
MW yang diharapkan siap beroperasi tahun 2<strong>01</strong>0.<br />
Langkah ini merupakan upaya strategis untuk<br />
meningkatkan rasio elektrifikasi serta menyehatkan<br />
bauran energi nasional dari ketergantungan pada<br />
BBM. Batubara yang dibutuhkan untuk 10 PLTU<br />
Sistem Kelistrikan Jawa sedikitnya 25,5 juta ton<br />
per tahun, se<strong>dan</strong>gkan batubara yang dibutuhkan<br />
untuk 30 PLTU Sistem Kelistrikan Luar Jawa<br />
sedikitnya 7,0 juta ton per tahun.<br />
Proyek percepatan 10.000 MW mengalami<br />
kemajuan signifikan. Laporan yang disampaikan<br />
kepada Menteri ESDM per tanggal 8 Mei 2009<br />
menyebutkan bahwa untuk 10 proyek yang<br />
berlokasi di Jawa, sebanyak 7.460 MW telah<br />
memasuki tahap kontrak <strong>dan</strong> tahap kontruksi,<br />
dengan total kontrak mencapai Rp<br />
17.279.783.223.885,40 <strong>dan</strong> USD 4.967.674.659,33.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan dari 30 proyek pembangunan PLTU di<br />
luar Jawa, sebanyak 22 proyek dengan total<br />
kapasitas 1.960 MW <strong>dan</strong> total kontrak mencapai<br />
Rp 7.928.031.007.168,64 <strong>dan</strong> USD<br />
1.161.131.981,64.<br />
60 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Tabel 4. Konsumsi batubara menurut jenis industri di Indonesia Tahun 1998 - 2008<br />
(Ton)<br />
Jenis Industri 1998 1999 2000 20<strong>01</strong> 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />
PLTU 10.911.341 13.047.717 13.943.613 19.165.256 21.902.161 23.810.054 23.492.328 26.337.906 27.828.338 35.137.318 36.575.060<br />
Semen 1.265.123 2.308.691 3.366.824 5.541.088 4.883.003 4.692.819 5.653.992 6.023.248 5.430.749 6.487.245 7.609.<strong>01</strong>2<br />
Industri Tekstil - - - - - - - 1.307.610 3.068.115 3.956.540 4.193.932<br />
Industi Kertas 692.737 805.397 766.549 804.202 471.751 1.680.304 1.106.227 2.272.443 2.206.866 2.411.428 2.518.887<br />
Metalurgi 144.907 123.226 134.393 220.666 236.802 225.907 122.827 160.490 299.990 282.73 282.730<br />
Briket 29.963 38.302 36.799 31.265 24.708 24.976 23.506 28.267 36.<strong>01</strong>8 25.120 25.643<br />
Lain-lain 2.600.550 2.573.355 5.545.609 2.407.667 3.792.481 4.990.000 5.619.079 417.583 979.797 1.263.514 1.339.325<br />
Jumlah 15.644.621 18.896.688 23.793.787 28.170.144 31.310.907 35.424.061 36.<strong>01</strong>7.958 36.547.548 39.849.874 49.563.895 52.544.589<br />
Seumber :DPPMB <strong>dan</strong> hasil survei <strong>tekMIRA</strong>, 2006,2008 (diolah kembali)<br />
Tabel 5. Penggunaan batubara pada pltu di indonesia, 1998 – 2008 (Ton)<br />
(Ton)<br />
PLTU 1998 1999 2000 20<strong>01</strong> 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />
Ombilin 102,607 125,1<strong>01</strong> 119,408 374,894 665,363 663,967 824,855 547,905 631,000 631,000<br />
Bukit Asam 1,200,034 1,231,174 1,192,452 1,153,974 1,057,564 1,142,646 1,090,774 1,080,000 1,068,000 929,000 929,000<br />
Tarahan 706,000 1,000,800<br />
Suralaya (PTIP) 7,456,766 8,251,561 9,671,230 9,819,920 9,774,871 11,225,218 10,636,155 12,440,5<strong>01</strong> 13,092,252 12,648,782 13,454,763<br />
Cilacap 2,000,000 2,000,000<br />
Tanjung Jati B 4,000,000 4,000,000<br />
Paiton 2,151,933 3,368,916 2,457,345 6,276,104 8,300,753 9,060,889 9,310,009 10,180,731 11,503,072 11,819,337 12,144,298<br />
Asam-Asam 127,083 488,147 568,436 568,000 554,307 600,000 664,666 638,000 650,000<br />
PT. Newmont Sumbawa 70,965 376,095 406,132 477,610 480,000 482,578 506,637 505,839 506,399 506,399<br />
PT. Freeport 646,085 1,057,564 669,334 593,650 623,333 635,709 720,000 720,000<br />
PT. Tonasa 300,000 300,000 300,000 300,000<br />
Mpanau 180,000 180,000<br />
Lati - Berau 58,800 58,800 58,800 58,800<br />
Jumlah 10,911,341 13,047,717 13,943,613 19,165,256 21,902,161 23,810,054 23,492,328 26,337,906 27,828,338 35,137,318 36,575,060<br />
Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />
61
Tabel 6.<br />
Rencana pembangunan PLTU 10.000 MW Tahap I<br />
Nama Proyek / Lokasi<br />
Propinsi<br />
Kapasitas Kebutuhan Batubara<br />
(MW)<br />
(Ton)<br />
Pulau Jawa<br />
1 PLTU Labuan Banten 1 300 1.079.545<br />
2 PLTU Suralaya Baru Banten 2 660 4.750.000<br />
3 PLTU Teluk Naga Banten 2 300 2.159.091<br />
4 PLTU Jabar Selatan Jawa Barat 2 300 2.159.091<br />
5 PLTU Jabar Utara Jawa Barat 2 300 2.159.091<br />
6 PLTU Tanjung Jati Baru Jawa Tengah 1 660 2.375.000<br />
7 PLTU Rembang Jawa Tengah 2 300 2.159.091<br />
8 PLTU Jatim Selatan, Pacitan Jawa Timur 2 300 2.159.091<br />
9 PLTU Tanjung Awar-Awar Jawa Timur 1 600 2.159.091<br />
10 PLTU Paiton Baru Jawa Timur 2 600 4.318.182<br />
Jumlah 17 25.477.273<br />
Di luar Pulau Jawa<br />
1 PLTU Meulaboh NAD 2 65 467.803<br />
2 PLTU Sibolga Baru Sumatera Utara 2 100 719.697<br />
3 PLTU Me<strong>dan</strong> Baru Sumatera Utara 2 100 719.697<br />
4 PLTU Sumbar Pesisir Selatan Sumatera Barat 2 100 719.697<br />
5 PLTU Mantung Bangka Belitung 2 10 71.970<br />
6 PLTU Air Anyer Bangka Belitung 2 10 71.970<br />
7 PLTU Bangka Baru Bangka Belitung 2 25 179.924<br />
8 PLTU Belitung Baru Bangka Belitung 2 15 107.955<br />
9 PLTU Bengkalis Riau 2 7 50.379<br />
10 PLTU Selat Panjang Riau 2 5 35.985<br />
11 PLTU Tj. Balai Kerimun Baru Kepulauan Riau 2 7 50.379<br />
12 PLTU Tarahan Baru Lampung 2 100 719.697<br />
13 PLTU Pontianak Baru kalimantan Barat 2 25 179.924<br />
14 PLTU Singkawang Baru kalimantan Barat 2 50 359.848<br />
15 PLTU Asam-Asam Kalimantan Selatan 2 65 467.803<br />
16 PLTU Palangkaraya Kalimantan Selatan 2 65 467.803<br />
17 PLTU Sampit Baru Kalimantan Tengah 2 7 50.379<br />
18 PLTU Amurang Baru Sulawesi Utara 2 25 179.924<br />
19 PLTU Sulut Baru Sulawesi Utara 2 25 179.924<br />
20 PLTU Gorontalo Baru Gorontalo 2 25 179.924<br />
21 PLTU Bone Sulawesi Selatan 2 50 359.848<br />
22 PLTU Kendari Sulawesi Tenggara 2 10 71.970<br />
23 PLTU Bima Nusa Tenggara Barat 2 7 50.379<br />
24 PLTU Lombok Batu Nusa Tenggara Barat 2 25 179.924<br />
25 PLTU Ende Nusa Tenggara Timur 2 7 50.379<br />
26 PLTU Kupang Baru Nusa Tenggara Timur 2 15 107.955<br />
27 PLTU Ambon Baru Maluku 2 7 50.379<br />
28 PLTU Ternate Maluku Utara 2 7 50.379<br />
29 PLTU Timika Papua 2 7 50.379<br />
30 PLTU Jayapura Papua 2 10 71.970<br />
Jumlah 7.024.242<br />
Jumlah seluruh 32.5<strong>01</strong>.515<br />
<strong>Sumber</strong> : Peraturan Presiden Republik Indonesia No 71 Tahun 2006<br />
62 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
5.2. Industri Semen<br />
Industri semen merupakan konsumen batubara<br />
kedua terbesar setelah PLTU. Saat ini terdapat 9<br />
perusahaan semen yang terletak di beberapa<br />
wilayah di Indonesia. Pemanfaatan batubara pada<br />
industri semen, digunakan sebagai bahan bakar<br />
pada tanur putar untuk proses pembuatan klinker<br />
sebelum menjadi semen.<br />
Tahun 2008, tercatat sekitar 14,48% kebutuhan<br />
batubara dalam negeri digunakan oleh industri<br />
semen atau 7,609 juta ton. Perusahaan semen<br />
yang paling banyak menggunakan batubara adalah<br />
PT. Indocement Tunggal Perkasa, yaitu sebesar<br />
2,763 juta ton. Perusahaan ini memiliki tiga pabrik<br />
di lokasi yang berbeda, yaitu di Cibinong, Cirebon<br />
(Propinsi Jawa Barat), <strong>dan</strong> Tarjun Kabupaten<br />
Kotabaru (Propinsi Kalimantan Selatan).<br />
Berikutnya adalah PT. Semen Gresik dengan<br />
kebutuhan 1,395 juta ton, PT. Semen Holcim 1,102<br />
juta ton, PT Semen Pa<strong>dan</strong>g 1,005 juta ton PT.<br />
Semen Tonasa 0,828 juta ton, <strong>dan</strong> yang lainnya<br />
di bawah 0,5 juta ton, sementar PT Semen<br />
Kupang produksinya tersendat serta dalam proses<br />
akuisisi oleh Perusahaan India, se<strong>dan</strong>gkan PT<br />
Semen Andalas dalam proses akhir rekontruksi<br />
setelah terkena gelombang tsunami.<br />
Selama sepuluh tahun terakhir ini, perkembangan<br />
penggunaan batubara pada industri semen<br />
berfluktuasi. Antara tahun 1998-20<strong>01</strong>, pemakaian<br />
batubara rata-rata naik sangat signifikan, yaitu<br />
64,03%, namun pada tahun 2002 <strong>dan</strong> 2003 sempat<br />
mengalami penurunan hingga 9,81% <strong>dan</strong> 5,36%.<br />
Penurunan ini sangat dipengaruhi oleh a<strong>dan</strong>ya<br />
penurunan produksi di beberapa perusahaan semen,<br />
PT. Indocement Tunggal Prakarsa <strong>dan</strong> PT.<br />
Semen Gresik. Memasuki tahun 2004 hingga tahun<br />
2008 cenderung meningkat hanya sempat<br />
menurun pada tahun 2006, kebutuhan batubara<br />
pada industri semen mengalami perubahan yang<br />
positif, yaitu 7,03%, seiring perkembangan ekonomi<br />
yang mulai membaik di dalam negeri (Tabel 7).<br />
5.3. Industri Tekstil<br />
Industri tekstil memiliki tingkat ketergantungan<br />
yang tinggi terhadap bahan bakar minyak (BBM),<br />
karena biaya bahan bakar merupakan komponen<br />
terbesar di dalam biaya produksi. Menurut para<br />
pengusaha, perubahan pola penggunaan bahan<br />
bakar ke batubara merupakan salah satu alternatif<br />
yang sangat tepat karena mampu menekan biaya<br />
pengeluaran bahan bakar walaupun harus<br />
melakukan modifikasi terhadap boiler atau mengganti<br />
boiler yang baru yang berbahan bakar batubara.<br />
Batubara dalam industri tekstil digunakan pada<br />
boiler untuk memasak air menjadi uap. Uap yang<br />
dihasilkan digunakan untuk proses pencelupan.<br />
Beberapa industri tekstil dilengkapi oleh<br />
powerplant berbahan bakar batubara untuk<br />
memasak air menjadi uap. Uap yang dihasilkan<br />
digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit<br />
listrik. Listrik yang dihasilkan dimanfaatkan<br />
berbagai keperluan seperti menggerakan mesin<br />
produksi, penerangan, <strong>dan</strong> sebagainya.<br />
Seperti diperlihatkan pada Gambar 2,<br />
menunjukkan bahwa perkembangan jumlah<br />
perusahaan tekstil yang menggunakan batubara<br />
tampaknya akan terus meningkat. Hal ini dapat<br />
dilihat dari jumlah perusahaan tekstil pada tahun<br />
2003 hanya 18 perusahaan saja, namun pada tahun<br />
2008 sudah bertambah menjadi 328 perusahaan.<br />
Kebutuhan batubaranya pun meningkat sangat<br />
signifikan, yaitu dari 274.150 ton pada tahun 2003<br />
naik menjadi 4,194 juta ton pada tahun 2008.<br />
Dari sisi keberadaannya, industri tekstil di Indonesia<br />
terpusat di Pulau Jawa, yang sebagian besar<br />
terletak di Propinsi Jawa Barat, yaitu sekitar 240<br />
perusahaan (73,14%) dengan mengkonsumsi<br />
batubara sebesar 3,430 juta ton (81,79%).<br />
Kemudian disusul oleh Propinsi Jawa Tengah,<br />
Banten, <strong>dan</strong> Jawa Timur (lihat Tabel 8).<br />
5.4. Industri Kertas<br />
Seperti halnya pada perusahaan tekstil, batubara<br />
dalam industri kertas digunakan sebagai bahan<br />
bakar dimana energi panas yang dihasilkan<br />
digunakan untuk memasak air pada mesin uap.<br />
Uap yang dihasilkan dipergunakan untuk<br />
memasak/membuat pulp (bubur kertas).<br />
Terdapat 36 perusahaan kertas yang telah<br />
menggunakan batubara, 5 perusahaan masingmasing<br />
terdapat di Propinsi Banten, Jawa Barat <strong>dan</strong><br />
Jawa Tengah, 19 perusahaan di Propinsi Jawa Timur,<br />
<strong>dan</strong> 2 perusahaan di Propinsi Riau. Pada tahun<br />
2008, jumlah kebutuhan batubara untuk industri<br />
ini mencapai sekitar 2,519 juta ton. (Tabel 9).<br />
5.5. Industri Metalurgi<br />
Dari sisi jumlah industri metalurgi (pengecoran<br />
logam) yang telah menggunakan batubara sebagai<br />
bahan bakar pada proses produksinya dapat<br />
Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />
63
Tabel 7. Konsumsi batubara pada industri semen 1998 – 2008 (ton)<br />
(Ton)<br />
Industri Semen 1998 1999 2000 20<strong>01</strong> 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />
PT. Semen Andalas 59.215 19.523 33.618 35.643 47.050 168.000 185.340 tp tp tp tp<br />
PT. Semen Pa<strong>dan</strong>g 262.721 469.754 483.262 474.430 680.637 692.392 454.214 678.124 782.277 850.000 1.004.847<br />
PT. Semen Baturaja 68.700 62.370 26.311 75.448 103.357 110.939 129.081 143.973 133.515 153.415 187.436<br />
PT. Semen Holcim Cilacap 14.850 454.140 397.060 397.085 472.457 375.375 416.833 409.420<br />
PT. Semen Holcim Narogong 577.607 379.376 397.772 451.<strong>01</strong>3 464.407 448.8<strong>01</strong> 545.849 554.583 862.765 1.026.441 1.102.396<br />
PT. Indocement TP (Cibinong) 42.908 528.655 547.973 1.509.569 1.<strong>01</strong>9.868 800.923 1.184.564 1.170.431<br />
PT. Indocement TP (Cirebon) 67.189 80.775 231.305 254.181 276.315 311.841 349.710 359.372 1.776.412 2.202.000 2.762.674<br />
PT. Indocement (Tanjung) 7.679 88.352 166.826 683.<strong>01</strong>8 155.3<strong>01</strong> 269.564 368.413 364.<strong>01</strong>8<br />
PT. Semen Gresik 75.829 99.975 793.465 912.029 862.606 715.172 1.063.638 1.141.529 1.065.157 116.529 131.147<br />
PT. Semen Tonasa 88.425 95.499 130.283 546.233 593.923 556.495 659.473 697.440 481.763 760.000 827.793<br />
PT. Bosowa Cement 30.271 151.324 202.439 207.082 243.317 296.876 252.180 328.860 328.860 328.860<br />
PT. Semen Kupang 151.323 202.438 207.082 243.317 296.876 252.179<br />
Jumlah 1.265.123 2.308.691 3.510.521 6.743.526 5.090.085 4.950.868 5.950.868 6.023.248 5.430.749 5.437.245 6.345.153<br />
Catatan : tp = tidak berproduksi<br />
<strong>Sumber</strong> :<br />
- PT. Semen Gresik, PT, Indocement-Cirebon, PT. Holcim-Cilacap, PT. Semen Tonasa, PT. Semen Bosowa, <strong>dan</strong> PT Semen Kupang (Survei <strong>tekMIRA</strong> 2006)<br />
- Asosiasi Semen Indonesia, 2006<br />
- DPPMB, 2008<br />
64 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Gambar 2. perkembangan perusahaan tekstil pemakai batubara di indonesia tahun 2003 – 2008<br />
Tabel 8.<br />
Industri tekstil berbahan bakar batubara di Indonesia,<br />
menurut Provinsi, Tahun 2008<br />
No. Lokasi<br />
Jumlah Perusahaan Kebutuhan Batubara<br />
(Buah)<br />
(Ton/Tahun)<br />
1 Banten 15 423.406<br />
2 Jawa Barat 240 3.430.393<br />
3 Jawa Tengah 68 292.433<br />
4 Jawa Timur 5 47.700<br />
5 Luar Jawa 0 0<br />
Jumlah 328 4.193.932<br />
Tabel 9.<br />
Industri kertas berbahan bakar batubara di Indonesia<br />
No. Lokasi<br />
Jumlah Perusahaan Kebutuhan Batubara<br />
(Buah)<br />
(Ton/Tahun)<br />
1 Banten 5 620.440<br />
2 Jawa Barat 5 145.661<br />
3 Jawa Tengah 5 46.479<br />
4 Jawa Timur 19 1.100.916<br />
5 Riau 2 605.391<br />
Jumlah 36 2.518.887<br />
Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />
65
dikatakan relatif tidak bertambah, padahal dari sisi<br />
potensi masih banyak perusahaan yang belum<br />
menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya.<br />
Perkembangan kebutuhan batubara oleh industri<br />
metalurgi berfluktuasi, namun ada trend<br />
perkembangan yang meningkat sejalan dengan<br />
tingkat produksi perusahaan (Tabel 10).<br />
Tabel 10. Perkembangan penggunaan<br />
batubara pada industri metalurgi,<br />
Tahun 1998 - 2008<br />
Tahun Pemakaian Batubara (Ton)<br />
1998 144.907<br />
1999 123.226<br />
2000 134.393<br />
20<strong>01</strong> 220.666<br />
2002 236.802<br />
2003 225.907<br />
2004 122.827<br />
2005 183.530<br />
2006 299.990<br />
2007 282.730<br />
2008 *) 321.213<br />
<strong>Sumber</strong> : DPPMB, 2008 (diolah kembali)<br />
*) perkiraan<br />
industri rumahan tertentu sebagai bahan bakar,<br />
seperti industri pengeringan gerabah, pembakaran<br />
bata, tahu/tempe, katering/restoran, tepung ikan,<br />
pemin<strong>dan</strong>gan ikan, kerupuk, pengeringan bawang,<br />
pengeringan tembakau, pembakaran kapur, <strong>dan</strong><br />
obat nyamuk. Namun yang paling dominan <strong>dan</strong><br />
memasyarakat penggunaan briket batubara adalah<br />
pada peternakan ayam, yaitu sebagai penghangat<br />
anak ayam.<br />
Tabel 11. Perkembangan penggunaan<br />
batubara pada Industri briket<br />
batubara, Tahun 20<strong>01</strong> – 2008<br />
Tahun Pemakaian Batubara (Ton)<br />
20<strong>01</strong> 31.265<br />
2002 24.708<br />
2003 24.976<br />
2004 17.963<br />
2005 32.<strong>01</strong>0<br />
2006 36.<strong>01</strong>8<br />
2007 25.120<br />
2008 *) 25.643<br />
<strong>Sumber</strong> : DPPMB, 2008 (diolah kembali)<br />
*) perkiraan<br />
Di samping industri metalurgi, masih banyak<br />
industri lainnya yang menggunakan batubara<br />
sebagai bahan bakar dalam mendukung proses<br />
produksinya, antara lain industri makanan, kimia,<br />
pengecoran logam, karet ban, pembakaran kapur,<br />
<strong>dan</strong> lainnya, termasuk beberapa jenis industri<br />
kecil. Berdasarkan survai sampling tahun 2008,<br />
di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang telah<br />
menggunakan batubara dengan total kebutuhan<br />
diperkirakan mencapai 342.850 ton.<br />
5.6. Briket Batubara<br />
Briket batubara merupakan energi alternatif atau<br />
pengganti minyak tanah <strong>dan</strong> kayu bakar yang<br />
paling murah <strong>dan</strong> dimungkinkan untuk<br />
dikembangkan secara masal, mengingat teknologi<br />
<strong>dan</strong> peralatan yang digunakan relatif sederhana.<br />
Di Indonesia, pengembangan briket batubara<br />
diperkenalkan sejak tahun 1993, namun hingga<br />
kini tidak dapat berkembang dengan baik. Hal<br />
tersebut dapat dilihat perkembangan briket<br />
batubara selama kurun waktu 20<strong>01</strong> – 2008 yang<br />
fluktuatif (lihat Tabel 11). Di masyarakat, pemanfaatan<br />
briket batubara digunakan pada industri kecil atau<br />
5.7. Industri Lainnya<br />
Di samping industri yang disebutkan di atas, masih<br />
banyak industri lainnya yang menggunakan<br />
batubara sebagai bahan bakar dalam mendukung<br />
proses produksinya, antara lain industri makanan,<br />
kimia, pengecoran logam, karet ban, pembakaran<br />
kapur, <strong>dan</strong> lainnya, termasuk beberapa jenis<br />
industri kecil. Berdasarkan survai sampling tahun<br />
2008, di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang<br />
telah menggunakan batubara dengan total<br />
kebutuhan diperkirakan mencapai 342.850 ton.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan kebutuhan batubara untuk industri<br />
lainnya secara menyeluruh (nasional) diperkirakan<br />
tidak kurang dari 1,339 juta ton.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan potensi pemanfaatan ke depan adalah<br />
pada pengusahaan Upgraded Brown Coal (UBC),<br />
yang merupakan suatu proses untuk meningkatkan<br />
nilai kalori batubara melalui penurunan kadar air.<br />
Kelitbangan UBC telah sampai pada skala demo<br />
plant 1.000 ton/hari. Selain itu potensi gasifikasi<br />
batubara untuk industri kecil menengah, seperti<br />
halnya yang telah berhasil pada industri pengeringan<br />
teh. Potensi lainnya adalah pencairan batubara.<br />
66 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Sebelumnya telah melakukan upaya<br />
pengembangan teknologi BCL, karena belum<br />
terbukti (unprovent) terjadi kemandegan. Saat ini<br />
alternatif yang se<strong>dan</strong>g dijajagi adalah menerapkan<br />
teknologi Sasol, namun belum ada kesepakatan<br />
yang mengikat, <strong>dan</strong> perlu bernegosiasi lanjutan.<br />
6. MASA DEPAN BATUBARA INDONESIA<br />
Menyimak berbagai keberhasilan kinerja<br />
pertambangan batubara di Indonesia dimasa lalu<br />
hingga masa kini, potensi sumberdaya <strong>dan</strong><br />
ca<strong>dan</strong>gan yang besar, a<strong>dan</strong>ya peluang sekaligus<br />
tantang, <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya kebijakan-kebijakan yang<br />
terkait, maka batubara Indonesia mempunyai<br />
prospek dimasa depan.<br />
• Pelaku Usaha Pertambangan<br />
Sampai dengan tahun 2008 perusahaan<br />
penambangan batubara di Indonesia dengan status<br />
PKP2B aktif berjumlah 76 perusahaan, yang<br />
terdiri dari 40 perusahaan PKP2B sudah produksi<br />
(9 dari Generasi I, 10 dari Generasi II <strong>dan</strong> 21dari<br />
Generasi III), 15 status konstruksi, 16 status studi<br />
kelayakan, <strong>dan</strong> 5 status eksplorasi. Se<strong>dan</strong>gkan<br />
jumlah Kuasa Pertambangan (KP) yang<br />
dikeluarkan di daerah yang terinventarisasi di<br />
Direktorat Jenderal Mineral, Batubara <strong>dan</strong> Panas<br />
Bumi sudah melebihi angka 500 KP, se<strong>dan</strong>gkan<br />
yang telah berproduksi 129 KP. Berkembangnya<br />
KP tersebut terjadi pada era otonomi<br />
daerah, khususnya sejak tahun 20<strong>01</strong> ketika<br />
dikeluarkannya PP 75 tahun 20<strong>01</strong>, yaitu ketika<br />
penegasan tentang pemberian Kuasa<br />
Pertambangan (KP) dilakukan oleh Pemerintah<br />
Daerah, yang berdasarkan aturan tersebut<br />
diberikan oleh bupati, gubernur atau menteri sesuai<br />
dengan kewenangannya. Dalam prakteknya<br />
sebagian besar dari KP yang dikeluarkan selama<br />
otonomi daerah tersebut diterbitkan oleh<br />
kabupaten. Hal ini dapat dimengerti karena untuk<br />
perizinan KP yang dikeluarkan oleh propinsi harus<br />
yang berbatasan antara sedikitnya 2 kabupaten,<br />
se<strong>dan</strong>gkan yang dikeluarkan menteri harus yang<br />
berbataskan sedikitnya 2 propinsi. Kriteria ini<br />
sangat jarang ditemui di lapangan, baik sengaja<br />
atau tidak sengaja.<br />
Peningkatan jumlah konsumsi yang sangat tajam<br />
yang disebabkan meningkat tajamnya permintaan<br />
batubara sebagai sumber energi terutama untuk<br />
pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun<br />
di negara-negara importir. Tidak mengherankan<br />
apabila sejalan dengan itu jumlah perusahaan<br />
pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh<br />
pesat khususnya dalam beberapa tahun terakhir.<br />
• Perkembangan Produksi<br />
Selama 16 tahun terakhir (1992-2008) produksi<br />
batubara Indonesia telah meningkat hampir 15 kali<br />
lipat, dari 15,935 juta juta ton menjadi 233,620<br />
juta ton, atau meningkat rata-rata per tahun<br />
17,04%, jauh di atas rata-rata dunia, 3,8%.<br />
Peningkatan produksi yang pesat didorong oleh<br />
meningkat tajamnya permintaan ekspor <strong>dan</strong><br />
permintaan dalam negeri. Jika diasumsikan<br />
pertumbuhan produksi tetap tinggi, maka pada<br />
tahun 2025 dapat mencapai 742 juta ton, namun<br />
APBI sejalan dengan kebijakan pemerintah telah<br />
memproyesikan yang cukup wajar sebesar 471<br />
juta ton.<br />
• Perkembangan Ekspor<br />
Saat ini pasar ekspor terbesar Indonesia adalah<br />
Jepang, Korea Selatan <strong>dan</strong> Taiwan, di samping<br />
China <strong>dan</strong> India yang merupakan buyer baru bagi<br />
Indonesia. Meningkatnya permintaan China <strong>dan</strong><br />
India di masa datang akan menambah tingginya<br />
kecenderungan permintaan ekspor. Belum a<strong>dan</strong>ya<br />
keseimbangan antara permintaan <strong>dan</strong> pemasokan<br />
batubara pada tataran dunia, terlihat dari tingginya<br />
tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia yang<br />
mencapai 15,51%. Pada satu sisi, hal tersebut<br />
merupakan peluang Indonesia untuk meningkatkan<br />
pangsa pasar ekspor. Tetapi dengan a<strong>dan</strong>ya<br />
kecenderungan tersebut, ke depan perlu<br />
mencermatinya untuk melakukan pengendalian<br />
atau pembatasan ekspor. Hal ini diperlukan untuk<br />
mengutamakan jaminan pasokan dalam negeri<br />
serta perkembangan tingkat produksi yang<br />
mengacu pada konsep konservasi. Lagi-lagi,<br />
proyeksi ekspor batubara tanpa a<strong>dan</strong>ya<br />
pembatasan, pada tahun 2025 akan mencapai<br />
509,3 juta ton, padahal kebijakan ekspor<br />
memproyeksikan sekitar 150 – 236 jua ton.<br />
• Perkembangan Penggunaan<br />
di Dalam Negeri<br />
Peran batubara sebagai energi akan semakin<br />
besar pada berbagai industri, khususnya<br />
pembangkit listrik di Indonesia maupun industri<br />
lain di berbagai belahan dunia. Diperkirakan di<br />
masa-masa mendatang peran minyak akan<br />
semakin berkurang, sebaliknya peran batubara <strong>dan</strong><br />
gas akan semakin besar.<br />
Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />
67
Ketika semua proyek Percepatan pembangunan<br />
PLTU 10.000 MW telah beroperasi yang ditargetkan<br />
pada tahun 2<strong>01</strong>0, diperkirakan konsumsi batubara<br />
Indonesia akan mencapai 90 juta ton atau<br />
meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun<br />
2006. Jumlah tersebut terdistribusi pada PLTU<br />
sebesar 69,1 juta ton, industri semen 8,9 juta ton,<br />
industri tekstil 4,5 juta ton, industri kertas 3,0 juta<br />
<strong>dan</strong> industri lainnya sekitar 4,5 juta ton. Diperkirakan<br />
pada tahun 2025 konsumsi batubara dalam negeri<br />
mencapai 236 juta ton. Hal ini telah diproyeksikan<br />
sebagaimana termuat pada Blueprint Pengelolaan<br />
<strong>Energi</strong> Nasional 2<strong>01</strong>0-2025, yang menargetkan<br />
peranan batubara pada bauran energi nasional<br />
sebesar 34,4%, di luar peranan Bahan Bakar<br />
Batubara Cair (BBBC) sebesar 3,1% <strong>dan</strong> Coal Bed<br />
Methane (CBM) 3,3%.<br />
• Kebijakan<br />
Pemerintah baru saja menerbitkan “Blueprint”<br />
Pengelolaan <strong>Energi</strong> Nasional (BP PEN) 2<strong>01</strong>0-2025<br />
merupakan re-evaluasi BP PEN 2005-2025, yang<br />
akan menjadi dasar penyusunan pola pengembangan<br />
<strong>dan</strong> pemanfaatan energi secara nasional<br />
hingga 2025, dengan visi berupa terjaminnya energi<br />
dengan harga wajar untuk kepentingan nasional.<br />
Penyusunan “blueprint” merupakan tindak lanjut<br />
Peraturan Presiden (Perpres) No 5 Tahun 2006<br />
tentang Kebijakan <strong>Energi</strong> Nasional yang mengamanatkan<br />
Menteri ESDM menetapkan cetak biru<br />
tersebut.<br />
Di sisi lain dengan telah disyahkannya Un<strong>dan</strong>g-<br />
Un<strong>dan</strong>g Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan<br />
Mineral <strong>dan</strong> Batubara, mengisyaratkan pemerintah<br />
dapat mengoptimalkan pengelolaan batubara<br />
antara lain pengendalian produksi <strong>dan</strong> ekspor serta<br />
jaminan pasokan dalam negeri melalui Domestic<br />
Obligation Market (DMO) <strong>dan</strong> Penetapan Harga<br />
Batubara Nasional. Di samping itu mengenai<br />
perijinan pertambangan batubara hanya satu pola,<br />
yaitu dalam bentuk Ijin Usaha Pertambangan (IUP).<br />
Adapun PKP2B termasuk KP yang ada tetap<br />
dihormati sampai ijinnya berakhir, <strong>dan</strong> kemudian<br />
diberikan prioritas untuk mendapatkan IUP.<br />
Dengan a<strong>dan</strong>ya kebikan-kebijakan tersebut<br />
tentunya diharapkan akan dihasilkan pelaku<br />
pertambangan yang andal di bagian hulu<br />
(pertambangan batubara) dengan melakukan good<br />
mining practices, pengelolaan lingkungan, <strong>dan</strong><br />
pengembangan masyarakat (community development).<br />
Se<strong>dan</strong>gkan di bagian hilirnya merupakan<br />
bagian yang tidak terpisahkan dari KEN, yaitu<br />
untuk menjamin pengadaan energi nasional yang<br />
dapat diandalkan tanpa mengabaikan prinsip<br />
pembangunan yang berkelanjutan <strong>dan</strong> berwawasan<br />
lingkungan.<br />
6. PENUTUP<br />
Sektor pertambangan batubara sampai saat ini<br />
telah berhasil dalam menunjang Kebijakan <strong>Energi</strong><br />
Nasional. Keadaan ini terlihat dengan meningkatnya<br />
pemanfaatan batubara di berbagai pusat pembangkit<br />
listrik, pabrik semen, pabrik kertas, industri kimia,<br />
<strong>dan</strong> industri kecil. Pasar global telah dapat pula<br />
diterobos <strong>dan</strong> menempatkan Indonesia sebagai<br />
salah satu negara pengekspor batubara uap<br />
terbesar di dunia. Semua ini merupakan modal<br />
dasar bagi industri batubara Indonesia untuk terus<br />
berkembang dalam menunjang keberhasilan<br />
pengembangan energi nasional maupun global.<br />
Di samping peranan batubara yang cukup besar,<br />
maka tetap juga harus dijaga <strong>dan</strong> dijamin<br />
ketersediaannya dalam memenuhi kebutuhan akan<br />
energi di dalam negeri selama <strong>dan</strong> seekonomis<br />
mungkin. Oleh karena itu, pengelolaannya perlu<br />
dilaksanakan melalui kebijakan yang terpadu <strong>dan</strong><br />
sinergi dengan sektor-sektor pembangunan<br />
lainnya.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jawa Barat, Jawa<br />
Tengah, 2008, Data Pemakaian Batubara Dan<br />
Boiler Tahun 2007.<br />
Asosiasi Semen Indonesia (ASI), 2006, Indonesia<br />
Cement Statistic 2005.<br />
Balai Pengelolaan Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong><br />
Wilayah, Distamben Provinsi Jawa Tengah,<br />
2008, Data Pemakaian Batubara Sebagai<br />
<strong>Sumber</strong> <strong>Energi</strong>.<br />
Dinas Tenaga Kerja Propinsi Banten, Jawa Barat<br />
<strong>dan</strong> Jawa Tengah, 2006, Daftar Industri yang<br />
Menggunakan Boiler Berbahan Bakar<br />
Batubara.<br />
Direktorat Pengusahaan Pertambangan Mineral,<br />
Batubara, <strong>dan</strong> Panas Bumi, 2008, Indonesia<br />
Mineral, Coal, and Geothermal Statistics 2008,<br />
Jakarta.<br />
68 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Presiden Republik Indonesia, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009<br />
tentang Pertambangan Mineral <strong>dan</strong> Batubara.<br />
____________, Peraturan Presiden Republik Indonesia<br />
No. 5. Tahun 2006 Tentang Kebijakan<br />
<strong>Energi</strong> Nasional.<br />
____________, Peraturan Presiden Republik Indonesia<br />
No. 71. Tahun 2006 Tentang<br />
Penugasan kepada PT. PLN untuk<br />
Melakukan Percepatan Pembangunan PLTU<br />
yang menggunakan batubara.<br />
Menteri ESDM, 2009, Blueprint Pengelolaan<br />
<strong>Energi</strong> Nasional 2<strong>01</strong>0-2025.<br />
Suherman I., dkk., 2006, Kajian Batubara Nasional<br />
2006, Puslitbang Teknologi <strong>dan</strong> Batubara<br />
(<strong>tekMIRA</strong>).<br />
Unit Bisnis Pembangkitan Suralaya, 2008,<br />
Perkembangan Produksi Listrik <strong>dan</strong><br />
Kebutuhan Bahan Bakar Batubara.<br />
Masa Kini <strong>dan</strong> Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />
69
PENGEMBANGAN SISTEM DAN ALAT PEMANTAUAN<br />
SEDERHANA UNTUK MENDETEKSI KERUNTUHAN<br />
BATUAN ATAP (ROOF FAILURE) PADA TAMBANG<br />
BAWAH TANAH<br />
Zulfahmi 1) , Hasniati Astika 2) , Supriatna Mujahidin 3)<br />
1) Peneliti Madya<br />
2) Peneliti Pertama<br />
3) Teknisi Litkayasa Penyelia<br />
Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />
e-mail : zulfahmi@tekmira.esdm.go.id, hasni@tekmira.esdm.go.id, didit@tekmira.esdm.go.id<br />
SARI<br />
Keruntuhan batuan atap (Roof Failure) merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan<br />
pada tambang bawah tanah. Terdapat dua macam alat pemantauan yang dirancang, yaitu<br />
pengembangan alat pemantauan menggunakan Potensiometer transducer yang dapat mendeteksi<br />
pergerakan pada beberapa lapisan batuan atap <strong>dan</strong> pengembangan alat pemantauan menggunakan<br />
Linear Variable Differential Transducer (LVDT) yang hanya dapat mendeteksi pergerakan pada<br />
permukaan batuan atap saja. Sistem pemantauan yang digunakan terdiri dari alat pemantauan,<br />
datalogger sebagai perekam <strong>dan</strong> penyimpan data serta CPU komputer untuk pengolahan data. Dari<br />
hasil kalibrasi di studio <strong>dan</strong> ujicoba di salah satu tambang batubara bawah tanah, alat <strong>dan</strong> system<br />
yang diterapkan terbukti dapat digunakan sebagai sistem pemantauan terpusat dengan hasil yang<br />
signifikan, dimana semua alat pemantauan <strong>dan</strong> proses perekaman data dapat dioperasikan dari satu<br />
tempat sebagai sentral.<br />
<strong>Kata</strong> kunci : keruntuhan atap, lvdt, potensio, tambang bawah tanah<br />
ABSTRACT<br />
Roof failure is one of the main causes injuries that happened in the underground mine. Two type of<br />
monitoring tools have been designed, there was a development of monitoring tools using Potentiometer<br />
Transducer that can detect movement in some rock layers of the roof and Linear Variable Differential<br />
Transducer (LVDT) that can detect movement on the surface rock of the roof only. Monitoring<br />
system that developed consists of monitoring tools, data logger for record and storage tool and a<br />
computer for data processing. The result of a calibration in a studio and running test in one of the<br />
underground coal mine could be known that the monitoring tools and the system which applied can be<br />
used as a centralized monitoring system with a significant result, where all of the monitoring equipment<br />
and data recording process can operated from one place as a central.<br />
Keywords: roof failure, lvdt, potentiometer, underground mine<br />
70 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. LATAR BELAKANG<br />
Berdasarkan data yang diperoleh dari<br />
www.msha.gov dari tahun 2003 sampai dengan<br />
2007, 82% dari total kecelakaan pada tambang<br />
bawah tanah terjadi pada tambang batubara,<br />
24,50% diantaranya diakibatkan oleh keruntuhan<br />
atap selain yang disebabkan oleh ledakan gas <strong>dan</strong><br />
debu tambang <strong>dan</strong> juga kecelakaan pada<br />
pengangkutan (mine haulage). Dari data tersebut,<br />
keruntuhan batuan atap merupakan salah satu<br />
penyebab terbesar terjadinya kecelakaan pada<br />
tambang bawah tanah.<br />
Teknologi pengawasan secara dini sangat<br />
diperlukan, dengan tujuan utama untuk melakukan<br />
pengawasan <strong>dan</strong> mengetahui sedini mungkin<br />
kondisi tidak aman pada suatu lokasi tambang<br />
agar dapat ditanggulangi sebelumnya. Salahsatunya<br />
dengan merancang alat pemantauan sederhana<br />
dengan menggunakan peralatan yang mudah<br />
didapatkan di Indonesia.<br />
2. METODA PENELITIAN<br />
Metode penelitian yang diterapkan dalam kegiatan<br />
ini lebih mengarah kepada kajian terhadap perkembangan<br />
peralatan pemantauan keruntuhan batuan<br />
atap pada tambang bawah tanah. Diperoleh baik<br />
dari hasil studi pustaka maupun hasil penelusuran<br />
pada cybernet untuk mendapatkan metoda <strong>dan</strong><br />
dasar yang akan digunakan dalam perancangan<br />
sistem <strong>dan</strong> peralatan pemantauan. Selanjutnya<br />
dilakukan perancangan sampai didapatkan sistem<br />
<strong>dan</strong> peralatan yang layak digunakan dengan<br />
melakukan kalibrasi <strong>dan</strong> juga ujicoba.<br />
STUDI PUSTAKA/ CYBERNET<br />
Kajian teoritis tentang perkembangan sistem pemantauan<br />
& konsep sistem peringatan dini<br />
Dasar-dasar teori mengenai keruntuhan atap (roof failure)<br />
Konsep & Aplikasi peralatan<br />
PENENTUAN SISTEM & ALAT<br />
PEMANTAUAN<br />
PERANCANGAN &<br />
MODIFIKASI ALAT<br />
PERBAIKAN<br />
ALAT/PERUBAHAN<br />
SISTEM<br />
KALIBRASI<br />
UJICOBA ALAT & RUNNING TEST<br />
EVALUASI HASIL UJICOBA<br />
SESUAI<br />
STANDARD<br />
Tidak<br />
Ya<br />
ALAT PEMANTAUAN<br />
KERUNTUHAN ATAP<br />
Gambar 1.<br />
Metodologi penelitian pengembangan alat pemantauan sederhana untuk<br />
mendeteksi pergerakan batuan atap pada tambang bawah tanah<br />
Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />
71
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Perancangan Sistem Pemantauan<br />
Keruntuhan Atap<br />
Sistem Pemantauan keruntuhan atap yang<br />
dirancang terdiri dari alat pemantauan, datalogger<br />
<strong>dan</strong> CPU komputer. Alat pemantauan yang telah<br />
terpasang pada batuan atap terhubung dengan<br />
datalogger sebagai pembaca <strong>dan</strong> penyimpan data.<br />
Data yang tersimpan dalam datalogger masih<br />
merupakan data mentah untuk selanjutnya diolah<br />
pada perangkat komputer, pengolahan data<br />
dilakukan dengan menggunakan aplikasi microsoft<br />
excel untuk selanjutnya dibuat grafik pergerakan<br />
batuan yang terjadi. Untuk menghubungkan setiap<br />
unit dari sistem tersebut digunakan sistem kabel.<br />
Skema monitoring dapat dilihat pada gambar 2.<br />
Linear Variable Differential Transformer (LVDT)<br />
merupakan salah satu jenis sensor yang digunakan<br />
untuk mengukur perubahan jarak. Kelebihan dari<br />
LVDT sebagai sensor jarak adalah tidak a<strong>dan</strong>ya<br />
kontak fisik pada unsur sensor sehingga lebih kuat<br />
<strong>dan</strong> tahan lama dibandingkan dengan sensor-sensor<br />
lain. LVDT terdiri dari satu kumparan magnetik<br />
primer <strong>dan</strong> dua kumparan magnetik sekunder <strong>dan</strong><br />
satu inti magnetik (Gambar 3(a)). Pada saat posisi<br />
nol berarti tidak ada me<strong>dan</strong> magnet dalam kedua<br />
kumparan sekunder oleh karena tidak ada<br />
pergerakan pada probe. Ketika kumparan magnet<br />
tidak dalam posisi nol (terjadi pergerakan pada<br />
probe) akan ada ketidakseimbangan me<strong>dan</strong> magnet<br />
dari kedua kumparan sekunder. Ketidakseimbangan<br />
pada me<strong>dan</strong> magnet menyebabkan<br />
perubahan keluaran voltase yang sebanding dengan<br />
perubahan jarak <strong>dan</strong> arah dari pergerakan tersebut.<br />
Selain merupakan instrumen yang kuat, LVDT<br />
mempunyai resolusi yang tinggi (Cheekiralla, 2004).<br />
Gambar 2.<br />
Skema pemantauan<br />
keruntuhan atap<br />
Sebagai pembaca <strong>dan</strong> penyimpan data yang<br />
digunakan pada sistem pemantauan keruntuhan<br />
atap ini digunakan Datataker DT800. Datataker<br />
DT800 merupakan instrumen penerima <strong>dan</strong><br />
penyimpan data yang dapat mengukur <strong>dan</strong><br />
merekam data dengan beragam <strong>dan</strong> dalam jumlah<br />
yang banyak serta dapat diprogram dengan<br />
menggunakan perintah kerja yang sangat mudah<br />
(Anonym, 20<strong>01</strong>-2004).<br />
Perancangan Alat Pemantauan Keruntuhan Atap<br />
Peralatan pemantauan keruntuhan batuan atap<br />
yang dirancang merupakan pengembangan dari<br />
peralatan pemantauan sebelumnya. Alat<br />
pemantauan yang dirancang terdiri dari 2 macam,<br />
yaitu LVDT <strong>dan</strong> Potensiometer.<br />
Gambar 3.<br />
(a)<br />
(b)<br />
(a) Prinsip kerja LVDT<br />
(b) LVDT RDP DCTH400AG<br />
72 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
LVDT yang digunakan pada kegiatan ini adalah<br />
keluaran RDP dengan type DCTH400AG (Gambar<br />
3 (b)). Kisaran jarak pergerakan yang bisa terukur<br />
oleh alat ini sebesar 22 mm. Sensor LVDT dilapisi<br />
dengan pipa PVC agar aman <strong>dan</strong> terlindungi<br />
(Gambar 4.(a)). Untuk mengukur pergerakan atap,<br />
alat pemantauan ditempatkan tepat di bawah atap<br />
batuan, pergerakan pada batuan atap menggerakan<br />
probe pada LVDT <strong>dan</strong> menyebabkan<br />
perubahan tegangan (voltase) pada alat monitoring.<br />
Perubahan voltase tersebut dapat dikonversikan<br />
terhadap perubahan jarak yang terjadi.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan untuk alat pemantauan potensio<br />
digunakan 4 buah potensiometer, dimana masingmasing<br />
potensiometer tersebut terhubung dengan<br />
pulley. komponen-komponen tersebut ditempatkan<br />
pada suatu box yang aman <strong>dan</strong> terlindungi<br />
(Gambar 4(b)). Pulley terhubung dengan jangkar<br />
menggunakan kawat baja, dimana jangkar<br />
nantinya akan ditempatkan pada lapisan batuan<br />
yang diamati pergerakannya.<br />
sama dengan telltale. Pada telltale pembacaan<br />
pergerakan yang terjadi dilakukan secara manual,<br />
yaitu dengan melihat pergeseran pada pada<br />
indikator yang terdapat pada alat pemantauan<br />
(Mark and Iannacchione, 20<strong>01</strong>), se<strong>dan</strong>gkan pada<br />
alat monitoring ini pergerakan dapat dibaca dengan<br />
menghubungkan alat pemantauan dengan<br />
datalogger.<br />
Kalibrasi Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantauan<br />
Keruntuhan Atap<br />
Kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan hubungan<br />
antara perubahan tegangan (Volt) pada alat LVDT<br />
<strong>dan</strong> perubahan tahanan (Ohm) pada<br />
Potensiometer terhadap perubahan jarak yang<br />
dikondisikan pada masing-masing alat<br />
pemantauan. Kecenderungan dari titik-titik<br />
pergerakan hasil kalibrasi dari masing-masing alat<br />
pemantauan menunjukkan garis yang linier,<br />
dengan persamaan garis linier yang digunakan<br />
sebagai rumus untuk memperoleh data pergerakan<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 4.<br />
Alat pemantauan keruntuhan atap (a) LVDT (b) Potensio<br />
Prinsip kerja alat ini sebagai alat pemantauan<br />
pergerakan batuan adalah dengan menempatkan<br />
4 buah jangkar yang masing-masing terhubung<br />
dengan Potensiometer pada berbagai ketinggian<br />
lapisan batuan atap yang akan diamati pergerakannya.<br />
Pergerakan pada batuan atap memutar pulley<br />
yang terhubung dengan Potensiometer, sehingga<br />
terjadi perubahan tegangan yang dapat terukur.<br />
Perubahan tegangan tersebut dikalibrasikan<br />
dengan perubahan jarak (pergerakan) yang terjadi.<br />
Alat yang dirancang mempunyai prinsip kerja yang<br />
atap hasil pemantauan dalam satuan mm. Selain<br />
itu kalibrasi juga bertujuan untuk melakukan ujicoba<br />
alat <strong>dan</strong> sistem pemantauan, serta untuk<br />
mengetahui performa sistem <strong>dan</strong> alat yang telah<br />
dirancang. Dari hasil kalibrasi diperoleh grafik<br />
hubungan antara pergerakan (mm) terhadap<br />
perubahan tegangan (Volt) pada alat pemantauan<br />
LVDT (Gambar 5) se<strong>dan</strong>gkan grafik hubungan<br />
antara pergerakan (mm) terhadap perubahan<br />
tahanan (Ohm) pada alat pemantauan Potensio<br />
dapat dilihat pada (Gambar 6).<br />
Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />
73
LVDT<br />
Pergerakan (mm)<br />
30<br />
27<br />
24<br />
21<br />
18<br />
15<br />
12<br />
9<br />
6<br />
3<br />
0<br />
y = -0.0076x + 24.<strong>01</strong>9<br />
R 2 = 0.9797<br />
-400 -3 0 400 800 1200 1600 2000 2400 2800 3200 3600<br />
Tegangan (Volt)<br />
Gambar 5.<br />
Grafik hasil kalibrasi LVDT<br />
Gambar 6.<br />
Grafik hasil kalibrasi potensio<br />
Tabel 1.<br />
Persamaan regresi linier untuk masing-masing alat<br />
pemantauan keruntuhan atap hasil kalibrasi<br />
No Alat Monitoring Persamaan Regresi Linier R 2<br />
1. LVDT Y = - 0.0076x + 24.<strong>01</strong>9 0.9797<br />
2. Potensiometer 1 Y = 1.102x + 0.406 0.9999<br />
3. Potensiometer 2 Y = 1.1<strong>01</strong>x + 0.437 0.9980<br />
4. Potensiometer 3 Y = 1.100x + 0.064 0.9980<br />
5. Potensiometer 4 Y = 1.103x + 0.073 0.9980<br />
74 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Dari grafik diperoleh persamaan garis linier <strong>dan</strong><br />
juga nilai R 2 untuk masing-masing alat<br />
Pemantauan (Tabel 1).<br />
Nilai R 2 hasil kalibrasi masing-masing alat<br />
menunjukkan nilai yang mendekati 1, yaitu 0.9797<br />
untuk LVDT <strong>dan</strong> 0.9980 sampai dengan 0.9999<br />
untuk Potensiometer. Nilai tersebut menunjukkan<br />
nilai variabel bebas pada persamaan regresi linier<br />
yang diperoleh telah dapat menjelaskan hampir<br />
100% dari nilai hasil pengukuran oleh setiap alat<br />
pemantauan, yang berarti bahwa hasil pembacaan<br />
pada kedua alat tersebut mendekati besarnya<br />
pergerakan yang mungkin terjadi.<br />
Setelah semua alat pemantauan terpasang dengan<br />
baik, alat dihubungkan dengan sistem yang telah<br />
dirancang sebelumnya. Sistem pemantauan terdiri<br />
dari datalogger sebagai pembaca <strong>dan</strong> penyimpan<br />
data, setiap data yang direkam disimpan pada<br />
memori yang terdapat pada datalogger. Semua<br />
perangkat tersebut ditempatkan dalam pannel box<br />
yang tertutup <strong>dan</strong> aman. Pannel box ditempatkan<br />
dekat dengan lokasi penempatan alat pemantauan<br />
(Gambar 8 (b)).<br />
Ujicoba Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantauan<br />
Keruntuhan Atap<br />
Selain kalibrasi, ujicoba sistem <strong>dan</strong> alat<br />
pemantauan juga dilakukan pada tambang bawah<br />
tanah yang merupakan kegiatan penerapan <strong>dan</strong><br />
running test di lapangan. Untuk mengetahui<br />
performa dari peralatan <strong>dan</strong> sistem yang telah di<br />
rancang, ujicoba dilakukan pada salah satu<br />
tambang bawah tanah yang ada di Sumatera Barat.<br />
Masing-masing alat pemantauan ditempatkan pada<br />
lokasi yang berbeda. Alat pemantauan LVDT<br />
ditempatkan tepat dibawah permukaan batuan<br />
atap (Gambar 7 (a)), se<strong>dan</strong>gkan alat pemantauan<br />
Potensio ditanamkan pada batuan atap. Untuk<br />
pemasangan alat pemantauan Potensio, terlebih<br />
dahulu dibuat lubang bor dengan kedalaman yang<br />
sesuai dengan kedalaman lapisan batuan atap yang<br />
akan diukur pergerakannya (Gambar 7(b)).<br />
(a)<br />
Gambar 7.<br />
(b)<br />
Penempatan alat pemantauan<br />
keruntuhan atap<br />
(a). LVDT (b) Potensio<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 8.<br />
(a) Pemasangan alat pemantauan (b) Komponen peralatan dalam pannel box<br />
Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />
75
Evaluasi Hasil Ujicoba<br />
Running test alat di tambang bawah tanah<br />
dilakukan secara terus menerus selama 18 hari<br />
dengan proses perekaman data setiap 110 detik<br />
yang disesuaikan dengan kapasitas memori dari<br />
datalogger. Data yang terekam di konversikan<br />
dengan mengunakan rumus regresi linier dari<br />
masing-masing alat pemantauan, kemudian dibuat<br />
grafik pergerakan batuan (mm) terhadap waktu.<br />
Grafik hasil pemantauan dapat dilihat pada<br />
Gambar 9 <strong>dan</strong> Gambar 10.<br />
LVDT<br />
Pergerakan, 0.0<strong>01</strong> mm<br />
0.2<br />
0<br />
0<br />
-0.2<br />
200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000<br />
-0.4<br />
-0.6<br />
-0.8<br />
-1<br />
-1.2<br />
-1.4<br />
-1.6<br />
Waktu, detik<br />
LVDT 1<br />
LVDT 2<br />
Gambar 9.<br />
Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan LVDT<br />
Gambar 10. Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan potensio<br />
76 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Semua alat pemantauan telah diujicoba <strong>dan</strong> dapat<br />
bekerja dengan baik. Semua alat tersebut<br />
terhubung dalam satu sistem sebagai sistem<br />
pemantauan terpusat. Alat pemantauan dioperasikan<br />
dari satu tempat begitu pula data yang diperoleh<br />
dari setiap alat pemantauan dapat terbaca <strong>dan</strong><br />
tersimpan dalam satu tempat sebagai sentral.<br />
Dari grafik pergerakan batuan pada setiap alat<br />
pemantauan, dapat dilihat bahwa kurva yang<br />
diperoleh bergerigi, terutama pada kurva hasil<br />
monitoring dengan menggunakan Potensiometer.<br />
Hal tersebut disebabkan oleh a<strong>dan</strong>ya gangguan<br />
(noise) yang dapat dipengaruhi oleh kondisi sekitar<br />
<strong>dan</strong> sensitifitas dari alat pemantauan. Setiap alat<br />
yang diujicoba dapat mendeteksi a<strong>dan</strong>ya<br />
pergerakan lapisan batuan atap pada tempat<br />
diterapkannya alat. Hal tersebut juga menunjukkan<br />
sistem yang diterapkan terbukti dapat digunakan<br />
sebagai sistem pemantauan keruntuhan batuan<br />
atap secara terpusat, pemantauan dapat dilakukan<br />
pada beberapa tempat dengan berbagai macam<br />
alat pemantauan dalam satu sistem.<br />
4. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
4.1. Kesimpulan<br />
• Teknologi pemantauan keruntuhan atap batuan<br />
pada tambang bawah tanah dengan menggunakan<br />
LVDT Tranduser <strong>dan</strong> Potensiometer<br />
dapat digunakan untuk mendeteksi pergerakan<br />
yang terjadi pada atap terowongan sebagai<br />
peralatan pemantauan keruntuhan atap batuan<br />
(roof failure) tambang bawah tanah.<br />
• Sistem yang dirancang merupakan sistem<br />
pemantauan terpusat, semua alat pemantauan<br />
dioperasikan dari satu tempat begitu pula data<br />
yang diperoleh dari setiap alat dapat terbaca<br />
<strong>dan</strong> tersimpan dalam satu tempat sebagai<br />
sentral.<br />
• Secara umum kajian yang telah dilakukan<br />
menujukkan nilai yang signifikan. Dengan kata<br />
lain alat yang telah diujicoba layak dimanfaatkan<br />
untuk memantau pergerakan batuan atap<br />
pada tambang bawah tanah.<br />
4.2. Saran<br />
• Perlu dilakukan pengembangan terhadap casing<br />
dari alat yang digunakan, sehingga aman<br />
untuk digunakan di tambang bawah tanah.<br />
• Diperlukan kajian lebih lanjut sehingga<br />
diperoleh sistem monitoring yang dapat<br />
digunakan sebagai sistem peringatan dini <strong>dan</strong><br />
data pergerakan secara real time.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
http://www.msha.gov/stats/charts/<br />
chartshome.htm, 2008.<br />
Anonym, 20<strong>01</strong>-2004. dataTaker DT800 User’s<br />
Manual, UM-0068-A2, Datataker Pty Ltd, Australia.<br />
Cheekiralla, S., 2004. Development of Wireless<br />
Sensor Unit for Tunnel Monitoring, Massachusetts<br />
Institute of Technology, web.mit.edu/<br />
sivaram/www/Sivaram-MS-thesis.pdf.<br />
Mark C., Iannacchione A.T., 20<strong>01</strong>. Best Practice<br />
to Mitigate,Injuries and Fatalities from Rock<br />
Falls, Paper in the Proceedings of the 20 th<br />
International Conference on Ground Control<br />
in Mining 20<strong>01</strong>, NIOSH, Pittsburgh, PA,<br />
www.cdc.gov/niosh/mining/pubs/pdfs/<br />
bptmi.pdf.<br />
Pengembangan Sistem <strong>dan</strong> Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />
77
PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI BATUBARA<br />
PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI GULA<br />
Ika Monika <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />
Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jalan Jenderal Sudirman No.623 Bandung 40211<br />
Tlp. 022-6030483, Faks. 022-6003373<br />
e-mail : ika@tekmira.esdm.go.id<br />
SARI<br />
Karbon aktif pada industri gula umumnya digunakan sebagai bahan pemudar warna. Namun sebenarnya<br />
karbon aktif juga dapat digunakan dalam proses pengolahan limbah cair yang dikeluarkan dari pabrik<br />
gula <strong>dan</strong> laboratorium analisis kimia di pabrik gula. Selama ini, karbon aktif yang digunakan dalam<br />
proses tersebut adalah karbon aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Namun pada dasarnya,<br />
mengingat sifat karbon aktif batubara yang menyerupai sifat karbon aktif tempurung kelapa, maka<br />
karbon aktif dari batubara juga dapat digunakan. dalam pengolahan limbah cair dari pabrik gula. Limbah<br />
cair yang dihasilkan dari pabrik gula memiliki kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) yang<br />
cukup tinggi. Untuk menurunkan kandungan COD dalam limbah tersebut, telah dicoba dengan<br />
menggunakan karbon aktif yang dibuat dari batubara. Percobaan dilakukan dengan variabel jumlah<br />
karbon aktif <strong>dan</strong> waktu proses. Karbon aktif yang digunakan dibuat dari batubara Air Laya Sumatera<br />
Selatan yang berukuran 12 mm dengan bilangan yodium berkisar antara 600 <strong>dan</strong> 700 mg/g. Variabel<br />
jumlah karbon aktif yang digunakan adalah 2,5, 5,0, 7,5 <strong>dan</strong> 10,0 gram, se<strong>dan</strong>gkan waktu proses<br />
adalah 30, 60, <strong>dan</strong> 90 menit. Hasil percobaan menunjukkan, dengan jumlah karbon aktif 2,5 gram <strong>dan</strong><br />
waktu proses selama 90 menit, konsentrasi COD yang semula sebesar 2355 mg/l turun menjadi 609<br />
mg/l. Dengan tingkat penurunan sebesar 74%, konsentrasi COD tersebut belum memenuhi persyaratan<br />
kualitas limbah cair yang memiliki ambang batas maksimal 300 mg/l.<br />
<strong>Kata</strong> kunci : karbon aktif, adsorpsi, pengolahan limbah, COD<br />
ABSTRACT<br />
Commonly, activated carbon is used as fader in sugar industries. However, it can be used as absorber<br />
of waste sugar industry. Nowadays, activated carbon used in waste processing is made from<br />
coconut shell. Liquid waste produced from sugar industry consists of many Chemical Oxygen Demand<br />
(COD). In order to decrease COD, it has been tried to use activated carbon from coal as absorber.<br />
The research is carried out using the variables of activated carbon weight and the length of process<br />
time. Coal from Air Laya, South Sumatra which is 12 mm in particle size was used as raw material of<br />
activated carbon. The iodine number of activated carbon is in the range of 600 to 700 mg/g. The<br />
variables of weights activated carbon are 2.5; 5.0; 7.5 and 10.0, with the 30, 60 and 90 minutes. The<br />
result showed that the concentration COD was decrease 74% at time condition 90 minutes and 2.5<br />
gram of activated carbon.<br />
Keywords : activated carbon, adsorption, waste processing<br />
78 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
1. PENDAHULUAN<br />
Seiring dengan perkembangan <strong>dan</strong> permasalahan<br />
lingkungan, berbagai teknologi pengolahan limbah<br />
baik limbah cair, padat <strong>dan</strong> gas terus dikembangkan.<br />
Saat ini teknologi yang kian berkembang pesat<br />
adalah pengolahan air, baik air baku maupun air<br />
limbah. Terdapat dua cara utama pengolahan yaitu<br />
secara kimia <strong>dan</strong> fisik. Pengolahan air secara<br />
kimia, dilakukan dengan menambahkan bahanbahan<br />
kimia tertentu antara lain menggunakan<br />
PAC (Poly Alumunium Chloride), tawas, kapur<br />
ataupun bahan-bahan kimia lainnya, yang dapat<br />
berfungsi sebagai koagulan, penetralisir ataupun<br />
sebagai desinfektan. Pengolahan air secara fisik<br />
bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan<br />
kotoran-kotoran yang kasar, pemisahan lumpur<br />
<strong>dan</strong> pasir serta mengurangi zat-zat organik dalam<br />
air yang akan diolah. Salah satu bahan yang<br />
digunakan dalam proses pengolahan air adalah<br />
karbon aktif. Karbon aktif umumnya digunakan<br />
selain sebagai penjernih, juga sebagai bahan untuk<br />
pemurnian, penghilang bau, warna <strong>dan</strong> rasa. Di<br />
Indonesia, karbon aktif yang digunakan pada<br />
pengolahan air umumnya karbon aktif yang dibuat<br />
dari tempurung kelapa. Namun sebenarnya karbon<br />
aktif dari batubara juga dapat digunakan dalam<br />
proses tersebut.<br />
Di Indonesia, fenomena pemanfaatan karbon aktif<br />
dari batubara masih menjadi sesuatu yang tidak<br />
lazim, meskipun di negara lain seperti di China jenis<br />
karbon aktif ini sudah banyak digunakan oleh<br />
masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut,<br />
dilakukan penelitian pemanfaatan karbon aktif dari<br />
batubara. Salah satu yang menjadi objek penelitian<br />
adalah penurunan kadar COD (Chemical Oxygen<br />
Demand) dalam limbah cair yang dihasilkan dari<br />
salah satu pabrik gula yang ada di wilayah provinsi<br />
Banten. Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan<br />
kualitas air yang dikeluarkan dari limbah<br />
pabrik gula <strong>dan</strong> mengurangi ketergantungan karbon<br />
aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Hasil<br />
penelitian merupakan acuan untuk pemanfaatan<br />
karbon aktif batubara pada industri gula.<br />
2. TINJAUAN PUSTAKA<br />
COD adalah jumlah oksigen (mg O 2 ) yang<br />
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik<br />
<strong>dan</strong> anorganik yang ada dalam 1 liter air (Nazir,<br />
2000). COD merupakan salah satu parameter<br />
indikator pencemar di dalam air, yang disebabkan<br />
oleh limbah organik. Dalam proses pembuatan<br />
gula, bahan baku tebu merupakan bahan yang<br />
terdiri atas komposisi kimia organik. Limbah yang<br />
dihasilkan adalah limbah cair yang berasal dari<br />
proses pengolahan gula <strong>dan</strong> laboratorium pabrik<br />
(Santoso, 2008). Dampak konsentrasi COD tinggi<br />
menyebabkan kandungan oksigen yang terlarut<br />
di dalam air menjadi rendah, bahkan habis sama<br />
sekali. Akibatnya oksigen yang menjadi sumber<br />
kehidupan mahluk air (hewan <strong>dan</strong> tumbuhan) tidak<br />
dapat terpenuhi, sehingga mahluk air menjadi mati.<br />
Limbah cair yang dikeluarkan Instalasi Penjernihan<br />
Air (IPA) di daerah Karangpilang, mempunyai<br />
konsentrasi COD 1000 mg/gr dapat meningkatkan<br />
jumlah bakteri E-coli empat kali lipat (PERSI,<br />
20<strong>01</strong>). Hal ini menimbulkan berbagai penyakit bagi<br />
kehidupan manusia.<br />
2.1. Teknologi Pengolahan Air<br />
Salah satu cara pengolahan air yang saat ini<br />
se<strong>dan</strong>g berkembang adalah melalui mekanisme<br />
adsorpsi. Adsorpsi adalah suatu proses<br />
pengumpulan zat terlarut pada suatu permukaan<br />
media akibat a<strong>dan</strong>ya perbedaan muatan diantara<br />
kedua zat, baik cairan dengan cairan, cairan<br />
dengan gas, atau cairan dengan padatan, dalam<br />
waktu tertentu (Cahyana, 2009). Proses adsorpsi<br />
terbagi dalam tiga jenis. Pertama, adsorpsi kimia<br />
yaitu terjadi karena ikatan kimia antara molekul<br />
zat terlarut (adsorbat) dengan molekul adsorban.<br />
Adsorpsi jenis ini eksoterm (mengeluarkan panas)<br />
<strong>dan</strong> tidak dapat berbalik kembali (irreversible).<br />
Kedua, adsorpsi fisika, terjadi karena gaya tarik<br />
molekul oleh gaya Van Der Waals <strong>dan</strong> yang ketiga<br />
pertukaran ion, terjadi karena gaya elektrostatis.<br />
Ketiga mekanisme adsorpsi tersebut terdiri atas<br />
tiga tahap yaitu ; (1) makrotransport ; perpindahan<br />
zat pencemar (adsorbat) di dalam air menuju<br />
permukaan adsorban, (2) mikrotransport; perpindahan<br />
adsorbat menuju pori-pori di dalam adsorban,<br />
(3) sorpsi ; pelekatan zat adsorbat ke dinding poripori<br />
atau jaringan pembuluh kapiler mikroskopis.<br />
2.2. Karbon Aktif dari Batubara<br />
Salah satu adsorban yang biasa digunakan dalam<br />
pengolahan air (termasuk limbah) adalah karbon<br />
aktif. Karbon aktif dengan luas permukaan yang<br />
semakin luas menunjukkan semakin tinggi daya<br />
adsorpsinya. Proses untuk memperoleh daya<br />
adsorpsi tinggi dilakukan melalui proses aktivasi<br />
terhadap arang. Umumnya proses aktivasi<br />
dilakukan dengan menggunakan uap air, karena<br />
selain murah juga relatif mudah. Proses aktivasi<br />
akan memperbesar luas permukaan <strong>dan</strong> volume<br />
Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />
79
pori-pori bagian dalam karbon aktif. Karbon aktif<br />
dari tempurung kelapa umumnya memiliki luas<br />
permukaan seluas 500-1500 m 2 /gr, sehingga<br />
efektif menyerap partikel-partikel yang sangat<br />
halus (O-Fish, 2007).<br />
Luas permukaan karbon aktif dari batubara dapat<br />
mencapai 500-1400 m 2 /gr. Penentuan luas<br />
permukaan menggunakan metode BET (Brunauer-<br />
Emmnett-Teller). Teknik ini meliputi pengukuran<br />
volume gas nitrogen yang terserap. Dengan<br />
perhitungan persamaan BET, struktur <strong>dan</strong><br />
distribusi pori-pori karbon aktif dapat diketahui.<br />
Struktur <strong>dan</strong> distribusi pori-pori merupakan faktor<br />
utama dalam menentukan daya serap karbon aktif<br />
dibandingkan dengan luas permukaan (Harald,<br />
1975). Struktur pori dari suatu adsorban<br />
diklasifikasikan menjadi transportpori yang<br />
memiliki diameter sekitar 500 A°, mesopori dengan<br />
diameter antara 20 <strong>dan</strong> 500 A°, mikropori dengan<br />
diameter antara 8 <strong>dan</strong> 20 A°, <strong>dan</strong> pori-pori dengan<br />
diameter kurang dari 8 A° yang disebut<br />
submikropori (Pruss, 1972). Struktur, distribusi<br />
<strong>dan</strong> ukuran pori-pori karbon aktif menjadi faktor<br />
yang menentukan kemampuan adsorban dalam<br />
mengadsorpsi berbagai jenis adsobat. Se<strong>dan</strong>gkan,<br />
efektifitas adsorpsi sangat tergantung pada jenis<br />
bahan baku adsorban, jenis zat adsorbat <strong>dan</strong><br />
temperatur pada saat proses berlangsung.<br />
Bentuk karbon aktif dapat diklasifikasikan menjadi<br />
dua golongan yaitu bentuk granular <strong>dan</strong> powder<br />
(Activated Carbon, 2007). Kedua bentuk ini dapat<br />
digunakan dalam proses pemurnian, pengolahan<br />
<strong>dan</strong> penjernihan air. Karbon aktif granular memiliki<br />
persentase makropori <strong>dan</strong> transportpori yang lebih<br />
besar sehingga memungkinkan molekul-molekul<br />
besar terserap. Karbon aktif granular dibuat dalam<br />
ukuran yang berbeda tergantung pada aplikasinya.<br />
Karbon aktif granular biasa digunakan untuk<br />
menghilangkan senyawa organik yang menimbulkan<br />
bau, rasa, atau warna yang tidak diinginkan pada<br />
fasa cair. Se<strong>dan</strong>gkan penggunaan karbon aktif<br />
powder pada fasa cair harus selalu diaduk agar<br />
homogenitas tetap terjaga <strong>dan</strong> tidak terjadi<br />
sedimentasi suspensi, atau bisa juga dilakukan<br />
dengan penyaringan. Karbon aktif bentuk powder<br />
lebih tepat digunakan untuk fasa gas karena<br />
memiliki mikropori yang lebih besar sehingga<br />
mampu menyerap molekul-molekul kecil.<br />
3. METODOLOGI<br />
Alat<br />
• Peralatan laboratorium seperti ; gelas piala,<br />
corong, pengaduk gelas, botol plastik, <strong>dan</strong><br />
timbangan analitik<br />
Bahan<br />
• Conto limbah gula (cair)<br />
• Karbon aktif berukuran 12 mesh dengan<br />
bilangan yodium berkisar antara 600 <strong>dan</strong> 700<br />
mg/gr<br />
Cara kerja<br />
Karbon aktif berukuran 12 mm ditimbang masingmasing<br />
2,5, 5,0, 7,5 <strong>dan</strong> 10 gram. Selanjutnya,<br />
karbon aktif ditambahkan ke dalam 200 ml conto<br />
limbah, Campuran tersebut kemudian diaduk<br />
setiap 10 menit selama masing-masing 30, 60 <strong>dan</strong><br />
90 menit. Setelah selesai proses pencampuran,<br />
kemudian dilakukan penyaringan, filtrat ditampung<br />
di dalam botol untuk selanjutnya dilakukan<br />
analsisis COD. Metoda analisis COD mengacu<br />
pada SNI 06-6989.15-2004.<br />
4. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil percobaan pengolahan limbah cair yang dikeluarkan<br />
dari pabrik gula tercantum pada Tabel 1.<br />
Tabel 1.<br />
Hasil analisis COD limbah cair pabrik gula<br />
Konsentrasi COD<br />
sebelum proses (mg/l)<br />
Konsentrasi COD<br />
setelah proses (mg/l)<br />
Waktu proses<br />
(menit)<br />
2355<br />
Berat karbon aktif<br />
2,5 gr 5,0 gr 7,5 gr 10,0 gr<br />
30 667 715 925 949<br />
60 661 799 719 823<br />
90 609 975 888 766<br />
80 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Konsentrasi COD di dalam limbah gula semula<br />
sebesar 2355 mg/gr. Setelah ditambah karbon<br />
aktif, nilai COD menjadi turun. Konsentrasi COD<br />
yang terendah adalah 609 mg/gr, diperoleh dengan<br />
penambahan berat karbon aktif 2,5 gram selama<br />
90 menit. Bila dihitung berdasarkan persentase<br />
penurunan tingkat adsorpsi, dapat digambarkan<br />
seperti pada Gambar 1.<br />
1.000 mg/gr. Teknik pengolahan adalah dengan<br />
cara mengalirkan debit limbah melalui suatu kolom<br />
yang berisi karbon aktif. Waktu kontak relatif cepat,<br />
namun karena kualitas karbon aktif tinggi, maka<br />
penurunan COD sangat signifikan. Selain kualitas<br />
karbon aktif, faktor yang mempengaruhi efektifitas<br />
adsorpsi adalah jenis bahan baku karbon aktif,<br />
jenis adsorbat <strong>dan</strong> cara pengolahan. Faktor-faktor<br />
ini dapat mempengaruhi persentase penurunan<br />
adsorpsi karbon aktif..<br />
5. KESIMPULAN<br />
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh<br />
kesimpulan sebagai berikut:<br />
• Karbon aktif yang berukuran 12 mm dengan<br />
bilangan yodium antara 600 <strong>dan</strong> 700 mg/gr<br />
dapat menurunkan konsentrasi COD limbah<br />
gula dari 2355 mg/gr menjadi 609 mg/gr. Hasil<br />
tersebut diperoleh dengan penambahan karbon<br />
aktif sebesar 2,5 gram selama 90 menit.<br />
Gambar 1.<br />
Persentase penurunan adsorpsi<br />
Dari Gambar 1 terlihat bahwa persentase<br />
penurunan adsorpsi terendah terjadi pada<br />
penambahan karbon aktif sebesar 5,0 gram<br />
selama 90 menit, dengan tingkat penurunan<br />
mencapai 59%. Begitu pula dengan penambahan<br />
karbon aktif 10 gram, tingkat penurunan mencapai<br />
60% selama 30 menit. Persentase penurunan<br />
adsorpsi terbesar, diperoleh dengan penambahan<br />
karbon aktif 2,5 gram selama waktu 30, 60 <strong>dan</strong> 90<br />
menit. Penambahan berat karbon aktif lebih besar<br />
dari 2,5 gram, tingkat penurunan adsorpsi relatif<br />
rendah. Berdasarkan data pada Tabel 1, semakin<br />
besar jumlah karbon aktif yang ditambahkan, tidak<br />
menunjukkan semakin turunnya konsentrasi COD.<br />
Tetapi, dengan jumlah karbon aktif rendah,<br />
menunjukkan penurunan konsentrasi COD yang<br />
relatif stabil.<br />
Mengacu pada baku mutu limbah cair yang<br />
mempunyai nilai ambang batas COD 300 mg/gr,<br />
konsentrasi COD sebesar 609 mg/l belum<br />
memenuhi persyaratan mutu limbah cair. Salah<br />
satu faktor yang menyebabkan rendahnya<br />
efektifitas adsorpsi adalah kualitas karbon aktif.<br />
Pada pengolahan limbah cair di salah satu pabrik<br />
gula, karbon aktif yang digunakan terbuat dari<br />
tempurung kelapa mempunyai bilangan yodium<br />
• Konsentrasi COD 609 mg/gr belum memenuhi<br />
persyaratan kualitas limbah cair yang<br />
mempunyai nilai ambang batas 300 mg/gr.<br />
6. SARAN<br />
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, perlu<br />
meningkatkan kualitas karbon aktif dari bilangan<br />
yodium 600 <strong>dan</strong> 700 mg/gr menjadi 1000 mg/gr.<br />
Selain itu, perlu pengaturan ukuran butir <strong>dan</strong> cara<br />
pengolahan limbah sehingga diperoleh hasil yang<br />
memenuhi standar kualitas limbah cair.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Cahyana, Gede, H., 2009, http://<br />
Gedehace.blogspot.com/2009/03/adsorpsikarbon-aktif.html,<br />
Majalah Air Minum,<br />
Februari 2009<br />
Harald, 1975, Conversion of Coal and Gas Produced<br />
from Coal Into Fuels, Chemicals, and<br />
Other Products, Chapter 30, 30.4.6.3.<br />
Nazir, Ernawita, 2000. Teknik Sampling <strong>dan</strong><br />
Analisis Air Permukaan.<br />
O-Fish, 2007, Filter Kimia, Media Informasi Ikan<br />
Hias <strong>dan</strong> Tanaman, http://o-fish.com.<br />
Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika <strong>dan</strong> Nining Sudini Ningrum<br />
81
PERSI, 20<strong>01</strong>, Pusat Data <strong>dan</strong> Informasi, http://<br />
www.pdpersi.co.id, Rabu 22 Agustus<br />
Pruss, W., 1972, Determination of Pore Size and<br />
Pore Distribution in Coal and Coke,<br />
Brennestoff-Chemical, 42, 157-160<br />
Santoso, Eddy, B., 2009, Limbah Pabrik Gula:<br />
Penanganan, Pencegahan Dan<br />
Pemanfaatannya, Penelitian Perkebunan Gula<br />
Indonesia, Pasuruan, Indonesia<br />
82 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
KEMUNGKINAN PEMANFAATAN BAKTERISIDA<br />
FENOL UNTUK PENCEGAHAN AIR ASAM TAMBANG<br />
Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H<br />
Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />
e-mail : sruntung@tekmira.esdm.go.id, rosniasruntung@tekmira.esdm.go.id<br />
SARI<br />
Peningkatan pertambangan batubara, bijih emas <strong>dan</strong> tembaga seperti di Kalimantan, Sumatera <strong>dan</strong><br />
Papua menyebabkan munculnya fenomena air asam tambang (AAT). AAT dapat terjadi apabila mineral<br />
sulfida seperti pirit terpapar ke udara <strong>dan</strong> bereaksi dengan udara <strong>dan</strong> air membentuk asam sulfat.<br />
Kehadiran jasad renik Thiobacillus ferroksi<strong>dan</strong>s juga dapat mempercepat terjadinya AAT. Asam sulfat<br />
ini akan melarutkan logam sehingga dapat mencemari ba<strong>dan</strong> perairan sekitarnya. Secara umum,<br />
pengelolaan lingkungan yang umum diterapkan untuk penanggulangan AAT antara lain adalah<br />
netralisasi,pembentukan lahan basah <strong>dan</strong> pengkapsulan. Proses netralisasi dapat membentuk logam<br />
hidroksida yang dapat mengendap berupa lumpur sehingga diperlukan penanganan lebih lanjut. Salah<br />
satu cara yang cukup efektif untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan pencegahan <strong>dan</strong><br />
pengontrolan pembentukkan AAT dengan mengurangi aktivitas bakteri.<br />
Sehubungan dengan hal tersebut telah dilakukan penelitian penggunaan bakterisida untuk menanganani<br />
AAT. Bakterisida yang digunakan adalah fenol dengan dosis 5 mg/g <strong>dan</strong> sebagai pembanding digunakan<br />
gamping dengan dosis 10 mg/g. Pada penelitian ini digunakan 2 jenis batuan penutup yang berwarna<br />
abu-abu <strong>dan</strong> coklat berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan.<br />
Kedua jenis batuan tersebut dipreparasi menjadi ukuran 100 mesh, -10+35 mm <strong>dan</strong> -1+ 1 / 2 cm.<br />
Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 faktor, yaitu jenis batuan,<br />
ukuran <strong>dan</strong> jenis bakterisida selama 12 minggu. Hasil percobaan menunjukkan, penambahan fenol<br />
<strong>dan</strong> gamping (CaCO 3) dapat meningkatkan pH lindian berturut-turut menjadi 6,1 <strong>dan</strong> 10,6. Fenol mampu<br />
mereduksi asam 6,67% -51,67% <strong>dan</strong> kemampuan kapur mereduksi asam mencapai 48-15,% - 73,15%.<br />
Dari hasil tersebut, terlihat kemampuan fenol dalam mereduksi asam dari batuan penutup lebih kecil<br />
dari gamping.<br />
<strong>Kata</strong> kunci: lingkungan tambang, air asam tambang, polusi, lindian, bakterisida, fenol, netralisasi,<br />
pengaruh bakteri<br />
Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />
83
ABSTRACT<br />
The increases of coal, gold and copper ore from mine activities in Kalimantan, Sumatera and Papua<br />
lead to the occurrence of acid mine drainage (AMD). Acid mine drainage can occur if sulphide mineral<br />
such pyrite was exposed to the air and it will react with oxygen water to form sulphuric acid. The<br />
presence of Thiobacillus ferroksi<strong>dan</strong>s can also accelerate the formation of AMD. The acid can dissolve<br />
metals and pollute the water body surrounding the area. Generally, environmental management<br />
such as neutralization, in capsulation and wetland are common to handle the AMD in Indonesia.<br />
Neutralization process can form metal hydroxide and it will precipitate as sludge which need to be<br />
optimally managed.<br />
Regarding to the problem, a laboratory research on the use of bactericide to handle the AMD was<br />
carried out. Phenol as bactericide with dose 50mg/g was used while limestone with dose 100mg/g also<br />
used as a comparison. Two types of overburden which colour were gray and chocolate from KUD<br />
Tambang Harapan, Kedongdong Subdistric, South Lampung were used in this experiment. The overburden<br />
was prepared to be 100 mesh, -10+35 mm <strong>dan</strong> -1+ 1 / 2 cm. Design of Group Random was used<br />
with 3 factors, namely type of overburden, size and bactericide. The result showed that the phenol and<br />
lime stone can increase the pH of leached respectively 6,1 and 10,6. Phenol and limestone respectively<br />
could reduce acid 6,67% -51,67% and limestone 48-15,% - 73,15%. Based on the result, the<br />
capacity of phenol to reduce acidity of overburden is much less than limestone.<br />
Keywords : mine environment , acid mine drainage, pollution, leached, bactericide, phenol, limestone,<br />
neutralization, microbial influence<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Pembentukkan air asam tambang (AAT)<br />
merupakan masalah utama dalam pertambangan<br />
batubara <strong>dan</strong> mineral. AAT dapat terbentuk apabila<br />
ada mineral pirit yang terpapar sehingga teroksidasi<br />
<strong>dan</strong> selanjutnya air membentuk asam sulat yang<br />
dapat menurunkan pH air <strong>dan</strong> melarutkan logam.<br />
Hal ini berdampak terhadap penurunan kualitas<br />
ba<strong>dan</strong> perairan karena sungai terkontaminasi oleh<br />
keasaman <strong>dan</strong> logam-logam terlarut <strong>dan</strong> juga<br />
menyebabkan reklamasi daerah tambang menjadi<br />
lebih mahal. Oleh karena itu kehadiran AAT di<br />
lingkungan sangat tidak diharapkan.<br />
Beberapa perusahaan pertambangan mineral<br />
seperti PT. Kelian Equatorial Mining, PT. Freeport<br />
Indonesia <strong>dan</strong> PT. Newmont Minahasa mengalami<br />
masalah AAT ini. Hal yang sama juga dialami oleh<br />
perusahaan pertambangan batubara di Kalimantan<br />
Timur seperti PT. Berau Coal <strong>dan</strong> PT. Kaltim Prima<br />
Coal. Pada umumnya perusahan-perusahan<br />
tersebut telah menangani masalah tersebut<br />
dengan berbagai cara antara lain netralisasi<br />
dengan CaCO 3 (kapur), kapur padam (Ca(OH) 2 ) <strong>dan</strong><br />
kapur tohor (CaO), penutupan dengan air, pengkapsulan/penghalang<br />
fisik <strong>dan</strong> pemanfaatan rawa/<br />
rawa buatan (wetland). Biaya penanggulangan AAT<br />
pada umumnya mahal, namun apabila pembentukkan<br />
asam dapat dicegah akan sangat menguntungkan<br />
karena dapat menghemat biaya pengelolaan.<br />
Salah satu pencegahan yang dapat diterapkan<br />
adalah penggunaan fenol. Fenol atau asam<br />
karbolik dengan rumus kimia C 5 H 6 OH adalah<br />
bakterisida. Fenol, salah satu baktersida umum<br />
digunakan di rumah sakit sebagai antiseptik. Fenol<br />
ini ini dapat menghambat pertumbuhan jasad renik<br />
sampai mematikannya. Sehubungan dengan hal<br />
tersebut, Puslitbang Teknologi Mineral <strong>dan</strong><br />
Batubara telah mengadakan penelitian laboratorium<br />
pencegahan AAT dengan menggunakan fenol <strong>dan</strong><br />
gamping (CaCO 3 ). Dalam penelitian, contoh<br />
batuan yang digunakan adalah batuan penutup,<br />
berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan<br />
Kedongdong, Kabupaten Lampung Selatan. Fenol<br />
dibeli dari toko kimia <strong>dan</strong> gamping diperoleh dari<br />
tambang rakyat di daerah Citatah.<br />
2. BAHAN DAN METODE<br />
2.1. Bahan <strong>dan</strong> Peralatan<br />
Contoh dalam penelitian ini adalah batuan penutup,<br />
berasal dari KUD Tambang Emas Harapan,<br />
Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung<br />
Selatan. Berdasarkan warnanya, batuan penutup<br />
dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu berwarna<br />
abu ( BP abu) <strong>dan</strong> coklat (BP coklat). Kedua contoh<br />
84 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
atuan penutup tersebut dipreparasi menjadi<br />
beberapa ukuran, yaitu 100 #, (-10 + 35 mm) <strong>dan</strong><br />
(-1 + ½ cm).<br />
Kolom yang digunakan dalam pelindian adalah<br />
botol plastik + 250 ml. Bagian bawah botol tersebut<br />
diberi lubang kapiler untuk mengeluarkan air<br />
pelindian.<br />
Bakterisida yang digunakan adalah fenol yang<br />
dibeli dari toko bahan kimia <strong>dan</strong> sebagai<br />
pembanding adalah kapur gamping (CaCO 3) yang<br />
berasal dari tambang rakyat Desa Citatah. Air<br />
suling berfungsi sebagai media pelindi.<br />
2.1.2 Peralatan<br />
Kolom pelindian adalah botol plastik + 250 ml yang<br />
bagian bawahnya diberi lubang kapiler untuk<br />
mengeluarkan lindian. Lindiannya ditampung dalam<br />
gelas plastik Setiap kolom pelindian diisi dengan<br />
contoh batuan yang disusun secara berlapis dengan<br />
fenol <strong>dan</strong> gamping. Untuk menjaga kelembaban,<br />
botol-botol tersebut disimpan dalam akuarium<br />
tertutup <strong>dan</strong> dijaga kelembapannya sekitar 90%.<br />
Peralatan lain yang digunakan adalah pH meter<br />
<strong>dan</strong> alat gelas.<br />
2.2. Metode<br />
Uji karakterisasi contoh batuan dilakukan untuk<br />
mengetahui kandungan logamnya (Cu, Fe, Zn, Pb,<br />
Mg, Mn <strong>dan</strong> Ca) dalam bentuk oksida <strong>dan</strong> S<br />
(belerang) terhadap kedua jenis batuan, yaitu:<br />
batuan penutup berwarna abu (BP abu) <strong>dan</strong> coklat<br />
(BP coklat).<br />
Selanjutnya, terhadap kedua contoh batuan<br />
tersebut juga dilakukan pengujian air asam<br />
tambang dengan metode Sobek (Sobek, 1978).<br />
Seluruh pengujian dilakukan di laboratorium<br />
Lingkungan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />
Percobaan untuk mengetahui interaksi dari jenis<br />
batuan <strong>dan</strong> ukurannya, fenol <strong>dan</strong> kapur yang<br />
diujikan sebagai bahan pencegahan pembentukkan<br />
asam digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)<br />
dengan 3 faktor. Faktor pertama (A) adalah ukuran<br />
batuan dengan taraf, 100 mesh (a 1), -10+35mm<br />
(a 2) <strong>dan</strong> -1+1/2cm (a 3). Faktor kedua (B) adalah<br />
jenis batuan dengan dua taraf, yaitu BP abu (b 1)<br />
<strong>dan</strong> BP coklat (b 2). Faktor ketiga (c) adalah jenis<br />
bahan kimia dengan dua taraf, yaitu kontrol (c 0),<br />
fenol (c 1) <strong>dan</strong> gamping (c 2). Dari faktor perlakuan<br />
tersebut diperoleh 24 kombinasi perlakuan <strong>dan</strong><br />
setiap kombinasi perlakuan diulang dua kali.<br />
Analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda<br />
Duncan pada taraf nyata 5% jika terdapat<br />
perbedaan antar perlakuan.<br />
Ke dalam setiap kolom pelindian dimasukkan<br />
secara berturut-turut 100 gr contoh batuan,<br />
kemudian dimasukkan ke dalam masing masing<br />
kolom secara berlapis fenol <strong>dan</strong> kapur dengan<br />
dosis masing-masing 5 mg/g <strong>dan</strong> 10 mg/g kecuali<br />
kontrol. Setiap hari masing masing kolom pelindian<br />
ditambahkan 10 ml air suling sebagai media<br />
pelindian. Pengukuran pH lindian dilakukan setiap<br />
minggu. Proses tersebut dilakukan dalam<br />
akuarium tertutup pada suhu kamar selama 12<br />
minggu dengan kelembaban berkisar 90 %.<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
3.1. Analisa kadar logam dari contoh<br />
dengan AAS<br />
Hasil analisa/penentuan kadar logam <strong>dan</strong> S dalam<br />
contoh BP abu <strong>dan</strong> BP coklat adalah sebagai<br />
berikut :<br />
Tabel 1.<br />
Hasil analisis kandungan logam <strong>dan</strong> sulfur dalam contoh batuan<br />
Contoh Batuan Parameter (%)<br />
Cu Fe Zn Pb Mn Mg Ca S<br />
BP coklat 0.<strong>01</strong> 8.39 0.04 0.06 0.05 0.19 0.12 1,90<br />
BP abu 0.10 31.82 0.03 0.22 0.<strong>01</strong> 0.04 0.11 2,29<br />
<strong>Sumber</strong> : Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung<br />
Keterangan :<br />
P. coklat = batuan berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan<br />
P. abu = lapisan batu berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, lampung Selatan<br />
Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />
85
Hasil analisis menunjukkan, logam yang dominan<br />
dalam kedua jenis batuan penutup tersebut adalah<br />
besi dalam bentuk Fe 2O 3 dengan kisaran antara<br />
8,39 - 31,82%, se<strong>dan</strong>gkan kandungan logam<br />
lainnya rendah. Kedua jenis batuan juga<br />
mengandung sulfur dengan kisaran 1,90% -<br />
2,29%. Mengacu kepada hasil analisis dari Uji<br />
Identifikasi Pembentukan Air Asam Tambang pada<br />
Tabel 2, diduga bahwa kedua jenis batuan tersebut<br />
berpotensi menghasilkan air asam tambang.<br />
bakteri. Buck (20<strong>01</strong>), menyatakan senyawa fenol<br />
dapat masuk ke dalam sel bakteri dengan cara<br />
merusak dinding selnya <strong>dan</strong> juga dapat<br />
mengendapkan proteinnya.<br />
Proses penetralan dengan gamping terlihat bahwa<br />
nilai pH lindian tidak ditentukan baik oleh ukuran<br />
contoh maupun oleh perhitungan asam basa. Hal<br />
ini dapat dilihat dari kisaran pHnya, yaitu 10,1 -<br />
10,8 atau rata-rata 10,6. Dari uraian tersebut dapat<br />
Tabel 2. Hasil analisis uji pembentukan air asam tambang<br />
Kode Total<br />
MPA ANC NAPP NAG NAG<br />
pH<br />
kg kg kg 4,5kg 7kg pH 1:2<br />
Sampel Sulfur (%S) H2SO 4/ton H 2SO 4/ton H 2SO 4/ton H 2SO 4/ton H 2SO 4/ton NAG<br />
BP abu 2,29 70,13 0 84,56 104,65 194,39 2,88 2,37<br />
BP coklat 1,90 58,19 0 63,59 52,69 74,09 3,42 3,15<br />
<strong>Sumber</strong> : Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung<br />
Keterangan :<br />
BP abu = batuan penutup berwarna abu<br />
BP coklat = batuan penutup berwarna coklat<br />
Dari Tabel 2, terlihat derajat keasaman pH (1:2)<br />
contoh yang dianalisis berkisar dari 2,37-3,15<br />
berarti bahwa contoh-contoh tersebut bersifat<br />
asam. Kadar belerang (S) total kedua contoh<br />
berkisar dari 1,90% sampai dengan 2,29% <strong>dan</strong><br />
nilai tersebut berhubungan langsung dengan nilai<br />
MPA. Hasil perhitungan menunjukkan nilai MPA<br />
kedua contoh berkisar antara 58,19-70,13 kg<br />
H 2SO 4/ton. Kedua contoh batuan menunjukkan<br />
nilai ANC = 0 berarti contoh tersebut tidak mampu<br />
untuk menetralisasi asam. Hal ini mungkin<br />
disebabkan oleh kandungan kalsium (Ca) kecil,<br />
yaitu berkisar 0,11-0,12 %. Kedua contoh nilai<br />
NAPP-nya positif, yaitu 63,59-84,56 kg H 2SO 4/<br />
ton. Hal ini menunjukkan bahwa kedua contoh<br />
tersebut dapat membentuk asam yang reaksi<br />
pembentukannya secara umum sebagai berikut:<br />
MeS 2 +7/2O 2 + H 2O Me 2+ 2SO 4 2- +2H +<br />
<br />
(logam sulfida)<br />
Dalam proses pembentukan AAT tersebut, peran<br />
bakteri adalah mempercepat reaksi.<br />
Dharmawan, P, 1996 mengklasifikasikan batuan<br />
pembentuk asam menjadi 4 jenis seperti tertera<br />
pada Tabel 3. Berdasarkan pengklasifikasian<br />
tersebut, kedua contoh batuan tersebut dapat<br />
digolongkan tipe 4 atau potensi pembentuk asam<br />
kapasitas tinggi sehingga diperlukan penanganan<br />
agar tidak mencemari lingkungan sekitar. Salah<br />
satu penanganan adalah penggunaan fenol yang<br />
merupakan bakterisida <strong>dan</strong> sebagai pembanding<br />
digunakan gamping (CaCO 3).<br />
Hasil pengukuran pH lindian selama 12 minggu<br />
dapat dilihat pada Tabel 4 <strong>dan</strong> Gambar 1.<br />
Dari Tabel 3 <strong>dan</strong> Gambar 1 terlihat pada bahwa<br />
blanko (kontrol) air lindian bersifat asam pH dengan<br />
berkisar 2,90-5,6 atau rata-rata 3,7. pH tertinggi<br />
5,6 hanya ditemukan pada batuan BP coklat<br />
dengan ukuran 100 mesh. Nilai pH lindian tertinggi<br />
ditunjukkan oleh penambahan gamping, yaitu ratarata<br />
10,6.<br />
Penggunaan fenol dalam percobaan ini ternyata<br />
mampu meningkatkan air lindian 4,5 - 7,2 atau<br />
rata-rata 6,1. Nilai pH lindian tersebut lebih<br />
ditentukan oleh kemampuan contoh dalam<br />
pembentukan asam maksimum <strong>dan</strong> potensi<br />
batuan dalam menetralkan <strong>dan</strong> bukan ukuran<br />
contoh. Dengan demikian pH lindian BP abu lebih<br />
rendah (4,5- 6,0) dari BP coklat (5,2-7,2).<br />
Peningkatan pH lindian pada percobaan<br />
penambahan fenol mungkin disebabkan oleh<br />
kemampuan fenol menghambat pertumbuhan<br />
86 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Tabel 3. Penggolongan jenis batuan pembentuk asam<br />
No. Golongan Jenis Batuan Keterangan<br />
1. Tipe 1 Bukan pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih besar atau sama dengan 4<br />
atau nilai NAPP negatif<br />
2. Tipe 2 Potensi pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 ,nilai NAG pada pH<br />
kapasitas rendah 4,5 lebih kecil dari 5 kg H 2SO 4 per ton<br />
NAPP 0 – 10 kg H 2SO 4 per ton<br />
3. Tipe 3 Potensi pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4,nilai NAG pada pH<br />
kapasitas tinggi 4,5 lebih besar atau sama dengan 5 kg H 2SO 4<br />
per ton<br />
NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H 2SO 4<br />
per ton<br />
4. Tipe 4 Pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 , pH batuan (1 : 2)<br />
lebih kecil dari 4 nilai NAG pada pH 4,5 lebih besar<br />
atau sama dengan 5 kg H 2SO 4 per ton<br />
NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H 2SO 4<br />
per ton<br />
<strong>Sumber</strong>: Dharmawan, Parliyanto , 1996<br />
Tabel 4.<br />
Rata-rata perubahan pH lindian dengan penambahan fenol <strong>dan</strong> kapur<br />
No Perlakuan pH No Perlakuan pH<br />
1 a 1b 1c 0 2.9 10 a 2b 2c 0 3.6<br />
2 a 1b 1c 1 5.2 11 a 2b 2c 1 7,2<br />
3 a 1b 1c 2 10,8 12 a 2b 2c 2 10,7<br />
4 a 1b 2c 0 5.6 13 a 3b 1c 0 2.9<br />
5 a 1b 2c 1 7 14 a 3b 1c 1 6<br />
6 a 1b 2c 2 10,8 15 a 3b 1c 2 10,6<br />
7 a 2b 1c 0 4.2 16 a 3b 2c 0 3.4<br />
8 a 2b 1c 1 4,5 17 a 3b 2c 1 6.9<br />
9 a 2b 1c 2 10,1 18 a 3b 2c 2 10,8<br />
Keterangan:<br />
C 0=control; C 1 = fenol; C 2 = gamping<br />
b = jenis batu; b 1 = BP abu; b- 2 = BPcoklat<br />
a 1, a 2, a 3 = ukuran batu<br />
dilihat bahwa dosis gamping berpengaruh terhadap<br />
pH lindian. Pada penetralan ini terjadi reaksi<br />
sebagai berikut:<br />
CaCO 3 + H 2 SO 4 CaSO 4 + H2CO 3<br />
3 CaCO 3 + Fe 2 (SO 4 ) 3 + 6 H 2 O 2 CaSO 4 +2<br />
Fe(OH) 2 + 3 H 2 CO 3<br />
Kapasitas reduksi asam untuk masing-masing<br />
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.<br />
Gambar 1.<br />
Perubahan pH lindian dari<br />
batuan dengan penambahan<br />
kapur <strong>dan</strong> fenol<br />
Tabel 5 menunjukkan nilai pH lindian rata-rata dari<br />
penggunaan fenol berkisar antara 4,5 –7,2 <strong>dan</strong><br />
gamping antara 10,1 – 10,8. Nilai pH lindian dari<br />
Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />
87
Tabel 5.<br />
Kapasitas reduksi asam dari fenol <strong>dan</strong> gamping terhadap blanko<br />
Jenis Perlakuan Rata-rata Selisih thd Reduksi asam Kapasitas reduksi<br />
Penanganan pH blanko (%) (per mg)<br />
Blanko a1b1c0 2,9 0 - -<br />
a1b2c0 5,6 0 - -<br />
a2b1c0 4,2 0 - -<br />
a2b2c0 3,6 0 - -<br />
a3b1c0 2,9 0 - -<br />
a3b2c0 3,4 0 - -<br />
a1b1c1 5,2 2.3 44.23 2.3<br />
a1b2c1 7,0 1.4 20.00 1.4<br />
Fenol a2b1c1 7,2 3.6 50.00 3.6<br />
a2b2c1 4,5 0.3 6.67 0.3<br />
a3b1c1 6,9 3.5 50.72 3.5<br />
a3b2c1 6,0 3.1 51.67 3.1<br />
a1b1c2 10,8 7.9 73.15 7.9<br />
a1b2c2 10,8 5.2 48.15 5.2<br />
Gamping a2b1c2 10,7 7.1 66.36 7.1<br />
a2b2c2 10,1 5.9 58.42 5.9<br />
a3b1c2 10,6 7.7 72.64 7.7<br />
a3b2c2 10,8 7.4 68.52 7.4<br />
fenol sudah memenuhi syarat sebagai air limbah<br />
dari kegiatan penambangan bijh emas berdasarkan<br />
Kepmen LH No. 202/2004 (pH 6-9) <strong>dan</strong> dapat<br />
menetralkan asam berkisar antara 6,67% -51,67%.<br />
Penetralan dengan gamping dapat mereduksi<br />
asam 48-15,% - 73,15%, jadi lebih tinggi dari fenol.<br />
Namun apabila dilihat nilai pH lindian dari<br />
penggunaan gamping telah melampau nilai yang<br />
ditentukan oleh Kepmen tersebut, sehingga perlu<br />
dilakukan penurunan dosis gamping agar hasil<br />
lindian dapat memenuhi syarat. Penurunan dosis<br />
dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan<br />
menurunkan dosis gamping <strong>dan</strong> menggunakan<br />
asam seperti H 2SO 4 atau HCl sehingga diperoleh<br />
nilai pH air limbah yang sesuai dengan Kepmen<br />
LH No. 202/2004 (pH 6-9). Penurunan dosis<br />
gamping lebih dianjurkan karena dapat<br />
menghindari a<strong>dan</strong>ya biaya tambahan pengelolaan<br />
air limbah. Penelitian Siwik (1989) menunjukkan<br />
penambahan Ca(OH) 2 (kapur padam) dengan<br />
dosis 5000 mg/kg selama 50 minggu dapat<br />
mereduksi asam sampai 80%.<br />
Ukuran bijih berpengaruh terhadap nilai pH <strong>dan</strong><br />
reduksi asam baik untuk penggunaan fenol<br />
maupun gamping. Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa<br />
ukuran batuan berpengaruh terhadap perlakuan.<br />
Nilai pH <strong>dan</strong> reduksi asam tertinggi terjadi pada<br />
batuan ukuran -1+1/2cm <strong>dan</strong> terkecil pada ukuran<br />
batuan 100 mesh baik untuk perlakuan dengan<br />
fenol maupun batuan. Batuan dengan potensi<br />
pembentuk kapasitas asam tinggi (BP abu)<br />
kemampuannya dalam mereduksi asam lebih<br />
rendah dari BP coklat. Hasil lindian (pH) <strong>dan</strong><br />
reduksi asam dari BP abu lebih rendah dari BP<br />
coklat untuk semua jenis ukuran batu. Dari hasil<br />
percobaan terlihat kemampuan fenol dalm<br />
mereduksi asam lebih kecil dari gamping.<br />
5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
5.1. Kesimpulan<br />
Hasil penelitian menujukkan berbagai hal sebagai<br />
berikut:<br />
• Fenol dapat digunakan dalam pencegahan air<br />
asam tambang <strong>dan</strong> dapat meningkatkan nilai<br />
pH lindian dengan kisaran 4,5 –7,2. Nilai<br />
tersebut memenuhi syarat sebagai air limbah<br />
dari kegiatan penambangan bijh emas<br />
berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004<br />
• Kapasitas reduksi asam untuk fenol dengan<br />
dosis 5 mg/g berkisar antara 6,67% -51,67%.<br />
• Kapasitas reduksi asam untuk gamping<br />
dengan dosis 10 mg/g berkisar 48-15,% -<br />
88 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
73,15%, <strong>dan</strong> pH berkisar 10,1 – 10,8. Karena<br />
nilai ini sudah melampaui baku mutu air limbah<br />
dari kegiatan penambangan bijh emas<br />
berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004<br />
sehingga diperlukan penurunan dosis gamping.<br />
• Ukuran batuan <strong>dan</strong> jenis batuan berpengaruh<br />
terhadap hasil lindian.<br />
• Kapasitas fenol dalam mereduksi asam lebih<br />
kecil dari gamping.<br />
5.2. Saran<br />
Penelitian perlu dilanjutkan dengan pemberian<br />
bakterisida yang lain seperti surfaktan sehingga<br />
dapat ditentukan bakterisida yang lebih beperan<br />
dalam pencegahan air asam tambang. Untuk melihat<br />
pengaruh ukuran <strong>dan</strong> jenis batuan terhadap kelarutan<br />
logam-logam maka perlu dilakukan pengukuran<br />
konsentrasi logam-logam yang terekstrasi.<br />
UCAPAN TERIMAKASIH<br />
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak<br />
Sahroji, Kepala KUD Tambang Harapan,<br />
Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung<br />
Selatan yang telah mengirim contoh batuan<br />
sehinnga penelitian ini dapat berjalan lancar.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Buck, M. Kirsten, 20<strong>01</strong>, The effects of Germicides<br />
on Microorganism, http://<br />
www.infectioncontroltoday.com/articles/<br />
191clean.html diakses tanggal 15 Juni 2009<br />
Dharmawan Parliyanto, 1996, Identifikasi Potensi<br />
Air Asam Tambang di Daerah Tambang<br />
Batubara PT. Arutmin Indonesia, Paper<br />
disajikan pada Seminar Air Asam Tambang<br />
di Indonesia, Aula Barat ITB 1-2 Juli 1996<br />
Siwik R, S. Payant and K. Wheeland, 1989, ‘Control<br />
of acid generation from reactive waste rock<br />
with the use of chemicals’, Tailings and Effluent<br />
Management. Chalkey, M. E, et al (eds.),<br />
Pergamon Press, New York.<br />
Sobek, A.A., Schuller, W.A., Freeman, J.R., and<br />
Smith, R.M. 1978. Field and Laboratory Methods<br />
Applicable to Overburdens and Minesoils.<br />
U.S. Environmental Protection Agency, Cincinnati,<br />
Ohio, 45268. EPA-600/2-78-054, 47-<br />
50.<br />
Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung <strong>dan</strong> Nia Rosnia H.<br />
89
PENGARUH TITIK LELEH ABU TERHADAP<br />
PENGENDAPANNYA PADA PEMBAKARAN<br />
BATUBARA DENGAN PEMBAKAR<br />
SIKLON DI BEBERAPA FASILITAS INDUSTRI<br />
Sumaryono<br />
Puslitbang Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara (<strong>tekMIRA</strong>)<br />
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung<br />
Telp./Fax : 022 – 6038027, 081321237913<br />
e-mail : soemaryono@tekmira.esdm.go.id<br />
S A R I<br />
Batubara dapat dikatakan sebagai bahan bakar yang kotor karena sulit untuk mendapatkan batubara<br />
yang murni, bersih dari kotoran. Khususnya pengotor-pengotor yang dapat mempengaruhi proses<br />
pembakaran seperti kandungan abu dengan berbagai karakteristiknya yang selain mempengaruhi<br />
proses pembakaran juga dapat mengganggu produk <strong>dan</strong> fasilitas industri yang dilayani. Untuk<br />
pengoperasian pembakar siklon, kadar abu yang tinggi dengan titik leleh yang bervariasi dapat<br />
mempengaruhi kinerja alat. Berdasarkan titik lelehnya abu dibagi menjadi 3 golongan yaitu golongan<br />
a bertitik leleh tinggi, golongan b bertitik leleh se<strong>dan</strong>g atau mendekati suhu operasional pembakar<br />
siklon 1200°C <strong>dan</strong> golongan c bertitik leleh rendah, jauh dibawah 1200°C.<br />
Tulisan ini menguraikan proses penanganan abu untuk ketiga jenis abu tersebut, dalam pengoperasian<br />
pembakar siklon untuk ketel uap, pemanas oli <strong>dan</strong> pengering berputar. Diuraikan juga proses<br />
pengendapan partikel abu dari ketiga jenis abu dalam fasilitas industri tersebut <strong>dan</strong> lokasi<br />
pengendapannya. Dari pengamatan tersebut, didapat abu golongan a lebih dari 90% tertiup keluar<br />
siklon, abu golongan b lebih dari 50% menempel sebagai kerak di dalam siklon <strong>dan</strong> abu golongan c<br />
lebih dari 90% meleleh di dalam siklon kemudian mengalir ke dalam kotak abu.<br />
<strong>Kata</strong> kunci : pembakar siklon, titik leleh abu, pengendapan<br />
ABSTRACT<br />
Coal may be viewed as a dirty fuel, since it is difficult to obtain pure coal, free from impurities.<br />
Particularly the impurities which may affect the combustion process such as the ash content with its<br />
various characteristics, which either affecting the combustion process or may affect the product and<br />
the industrial facilities served. For cyclone combustor operation, high ash content with various melting<br />
points may affect the combustor performance.<br />
Based on its melting point, ash may be divided into three groups, (a) group has high melting point, (b)<br />
group has medium melting point or close to the operational temperature of the cyclone combustor at<br />
1200°C, and (c) group has low melting point, far below 1200°C.<br />
This paper describes the handling process of those ash groups, in the operation of the cyclone<br />
combustor in steam boiler, oil heater and rotary dryer. The deposition processes of the ash particles<br />
in those industrial facilities and their deposition locations are also described. From this observation,<br />
90 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
it was found that (a) group ash, more than 90% was blown out of the cyclone, (b) group ash more than<br />
50% adhered as slag in the cyclone and (c) group ash more than 90% melted in the cyclone and then<br />
flowed into the ash box.<br />
Keywords: cyclone combustor, ash melting point, deposition<br />
1. LATAR BELAKANG<br />
Pembakar siklon dengan bahan bakar batubara<br />
halus berukuran -30 mesh telah digunakan di<br />
industri untuk berbagai jenis fasilitas seperti ketel<br />
uap, pemanas oli, pengering berputar, dll sejak<br />
tahun 2005. Pembakar siklon digunakan untuk<br />
menggantikan pembakar BBM di berbagai fasilitas<br />
industri tersebut (Sumaryono, 2009). Tetapi sejak<br />
tahun 2008 mulai terjadi kelangkaan batubara<br />
standar karena naiknya harga ekspor batubara<br />
sehingga pasokan batubara standar untuk dalam<br />
negeri terganggu <strong>dan</strong> di pasaran dalam negeri<br />
hanya tersedia batubara dengan spesifikasi yang<br />
berubah-ubah dalam jumlah-jumlah kecil. Keadaan<br />
ini mengakibatkan operasional pembakar siklon<br />
sering terganggu karena mutu batubara yang<br />
berubah-ubah <strong>dan</strong> cenderung semakin turun<br />
mutunya.<br />
Parameter titik leleh abu akan dibahas dalam<br />
tulisan ini karena merupakan salah satu faktor yang<br />
berpengaruh dalam operasional pembakar siklon.<br />
Masalah titik leleh abu juga berpengaruh pada<br />
operasional teknik pembakaran batubara lainnya.<br />
Pada teknik pembakaran dengan unggun<br />
terfluidakan (Basuki, 2003), jika digunakan<br />
batubara dengan titik leleh mendekati suhu<br />
pembakaran atau dibawahnya mengakibatkan<br />
unggun mengeras setelah dingin sehingga harus<br />
dihancurkan dengan linggis.<br />
Pada teknik pembakaran kisi berjalan<br />
(Changzhou, 2003), titik leleh abu yang rendah<br />
mengakibatkan tertutupnya kisi oleh lelehan abu<br />
sehingga mengganggu aliran udara pembakar.<br />
Jelas pula pengaruhnya pada teknik pembakaran<br />
batubara bubuk (pulverized coal combustion) (Singer,<br />
1991), pengelolaan abunya tergantung pada titik<br />
leleh abu, bisa berupa abu terbang atau abu dasar.<br />
Tulisan ini menguraikan beberapa proses<br />
pembakaran batubara dengan titik leleh abu yang<br />
berbeda-beda pada beberapa fasilitas industri <strong>dan</strong><br />
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh abu batubara<br />
tersebut pada operasional pembakar siklon.<br />
Pembakar siklon perlu terus dikembangkan<br />
sehingga semakin handal untuk dapat menghadapi<br />
berbagai parameter karakteristik batubara yang<br />
berbeda-beda. Dengan kinerja yang semakin baik<br />
maka hal ini merupakan dukungan pada program<br />
pemerintah untuk terus meningkatkan kontribusi<br />
batubara dalam konsumsi energi nasional yang<br />
ditargetkan sebesar 33% pada tahun 2025<br />
(Yusgiantoro, 2007).<br />
2. LATAR BELAKANG TEORI<br />
Komponen-komponen abu dalam batubara<br />
terutama terdiri atas unsur-unsur Si, Al, Fe, Ca<br />
<strong>dan</strong> sedikit Ti, Mn, Mg, Na, K yang terikat dengan<br />
silikat, oksida, belerang, sulfat atau fosfat.<br />
Karakteristik abu dipengaruhi oleh unsur-unsur<br />
yang dikandungnya, khususnya titik leleh abu yang<br />
merupakan parameter penting dalam proses<br />
pembakaran batubara (Rance, 1975).<br />
Pembakaran batubara dengan pembakar siklon<br />
dilakukan dengan batubara tepung (-30 mesh).<br />
Untuk pembakaran terus menerus, karakteristik<br />
abu sangat penting selain berpengaruh pada<br />
efisiensi pembakaran, sifat titik leleh dapat<br />
mengganggu operasional pembakar siklon karena<br />
abu dapat berupa padatan yang tertiup keluar<br />
siklon, atau berupa kerak yang menempel di<br />
dinding siklon sehingga jika semakin tebal,<br />
operasional pembakar siklon dapat terganggu. Jika<br />
menempel di moncong keluarnya api, dapat<br />
menyumbat aliran api karena jika kerak semakin<br />
tebal, diameter moncong siklon semakin kecil.<br />
Sifat-sifat abu khususnya menyangkut sifat<br />
melelehnya yang dapat mengganggu operasional<br />
siklon tersebut dipengaruhi oleh kandungan unsurunsur<br />
tertentu di dalam abu. Sebagai contoh,<br />
pengaruh Al 2O 3 <strong>dan</strong> SiO 2.<br />
Jika perbandingan Al 2O 3 : SiO 2 mendekati 1 : 1,18<br />
maka abu bersifat refraktori dengan titik leleh<br />
tinggi. Sebaliknya, dengan banyaknya senyawa<br />
CaO, MgO <strong>dan</strong> Fe 2O 3 mengakibatkan turunnya<br />
titik leleh abu, terutama jika kandungan SiO 2-nya<br />
tinggi. Unsur lain yang dapat menurunkan titik leleh<br />
abu adalah Na 2O <strong>dan</strong> K 2O. Tergantung nilai titik<br />
Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono<br />
91
leleh abu, jika titik lelehnya tinggi maka abu tetap<br />
berupa debu padat. Jika titik lelehnya hampir sama<br />
dengan suhu siklon, maka viskositas tinggi<br />
sehingga lengket <strong>dan</strong> tidak bisa mengalir. Jika titik<br />
leleh abu jauh di bawah suhu siklon, maka<br />
viskositas lelehan abu menjadi rendah sehingga<br />
dengan mudah mengalir ke bawah. Pembakar<br />
siklon dapat beroperasi dengan lancar jika titik<br />
leleh abu jauh di atas atau di bawah suhu<br />
operasional siklon, yaitu sekitar 1200°C.<br />
3. SEBARAN ABU DAN<br />
KARAKTERISTIKNYA<br />
3.1. Beberapa Golongan Titik Leleh Abu<br />
Dalam kaitannya dengan operasional pembakar<br />
siklon, titik leleh abu dibagi menjadi tiga golongan<br />
yaitu :<br />
a. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih tinggi dari<br />
suhu operasional pembakar siklon.<br />
b. Abu dengan titik leleh oksidasi sama atau<br />
mendekati suhu operasional pembakar siklon.<br />
c. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih rendah<br />
dari suhu operasional pembakar siklon.<br />
Titik leleh oksidasi adalah titik leleh abu dalam<br />
atmosfer pembakaran oksidasi, jadi dalam<br />
suasana pembakaran dengan jumlah oksigen lebih<br />
dari oksigen stoikiometrinya.<br />
Abu bertitik leleh tinggi (a), akan tetap berupa debu<br />
padat pada saat operasional pembakaran siklon.<br />
Se<strong>dan</strong>g yang bertitik leleh mendekati operasional<br />
pembakar siklon akan bersifat melunak tetapi<br />
belum mudah mencair sehingga lengket <strong>dan</strong><br />
menempel di dinding siklon. Se<strong>dan</strong>gkan abu yang<br />
bertitik leleh rendah akan mudah mencair <strong>dan</strong><br />
mengalir ke tempat yang lebih rendah. Semakin<br />
rendah titik leleh abu, akan semakin rendah<br />
viskositas abu tersebut sehingga cairannya mudah<br />
mengalir ke bagian bawah pembakar siklon.<br />
Tabel 1 adalah beberapa contoh abu yang<br />
termasuk dalam abu golongan a, b <strong>dan</strong> c,<br />
tergantung pada titik lelehnya.<br />
3.2. Sebaran Abu Dalam Fasilitas Industri<br />
3.2.1 Ketel uap<br />
Gambar 1 adalah skema ketel uap jenis pipa api<br />
(fire tube) yang telah dipasang pembakar siklon<br />
sebagai ganti pembakar solar <strong>dan</strong> daerah-daerah<br />
pengendapan abunya.<br />
Pengoperasian ketel uap ini dengan batubara<br />
berkandungan abu gol. a, yang bertitik leleh jauh<br />
lebih tinggi dari suhu pengoperasian siklon (1180<br />
– 1230°C) dengan kadar abu kurang dari 2%,<br />
menghasilkan abu padat dengan sebaran :<br />
Lokasi a, dalam siklon : 5%<br />
Lokasi b, dalam ruang api : 15%<br />
Lokasi c, dalam pipa api : 0%<br />
Lokasi d, dalam penampung debu : 30%<br />
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 30%<br />
Keluar dari sistem lewat cerobong : 20%<br />
Se<strong>dan</strong>gkan pegoperasian dengan batubara<br />
mengandung abu gol. b yang titik lelehnya hampir<br />
sama dengan suhu operasional pembakar siklon,<br />
menghasilkan abu yang lunak <strong>dan</strong> lengket<br />
menempel pada dinding bagian dalam pembakar<br />
siklon. Setelah dingin abu yang lengket ini<br />
mengeras berupa kerak. Kerak ini dengan mudah<br />
dapat dikorek dari dinding siklon. Pada<br />
pembakaran batubara yang berkadar abu 5,5%,<br />
dalam waktu 1 hari kerak sudah terlalu tebal<br />
sehingga siklon semakin mengecil volumenya <strong>dan</strong><br />
lingkaran dalam leher siklon semakin menyempit<br />
sehingga mengganggu aliran api dari siklon ke<br />
dalam ketel uap. Pembakaran dihentikan, siklon<br />
dibiarkan dingin untuk dilakukan pembersihan<br />
dindingnya dari kerak. Sebaran kerak <strong>dan</strong> kotoran<br />
padat lain adalah :<br />
Tabel 1.<br />
Beberapa contoh abu golongan a, b, c <strong>dan</strong> titik lelehnya<br />
Golongan Reduksi, °C Oksidasi, °C<br />
Abu Deformasi Sperikal Hemisfer Alir Deformasi Sperikal Hemisfer Alir<br />
A 1305 1435 1460 >1500 1470 >1500 >1500 >1500<br />
B 1140 1150 1160 1225 1235 1255 1260 1325<br />
C 1075 1080 1090 1155 1125 1135 1160 1180<br />
92 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
pembakar solar <strong>dan</strong> daerah-daerah lokasi<br />
pengendapan abunya.<br />
Gambar 1.<br />
Skema ketel uap dengan<br />
pembakar siklon<br />
Lokasi a, dalam siklon : 60%<br />
Lokasi b, dalam ruang api : 20%<br />
Lokasi c, dalam pipa api : 0%<br />
Lokasi d, dalam penampung debu : 10%<br />
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 5%<br />
Keluar dari sistem lewat cerobong : 5%<br />
Pengoperasian dengan batubara mengandung abu<br />
gol. c yang titik lelehnya dibawah suhu operasional<br />
pembakar siklon, menghasilkan abu yang sudah<br />
mencair <strong>dan</strong> mengalir ke lantai siklon, masuk ke<br />
dalam kotak abu. Dinding bagian dalam siklon<br />
terlihat mengkilap karena terlapisi oleh cairan dari<br />
abu yang mencair dengan viskositas yang rendah.<br />
Pada pembakaran batubara jenis ini yang berkadar<br />
abu 7,6%, lelehan abu yang mengalir ke dalam<br />
kotak abu segera membeku membentuk padatan<br />
yang sangat keras berwarna coklat kehitaman.<br />
Bongkahan-bongkahan lelehan abu yang menjadi<br />
padat diambil dari kotak abu 2 jam sekali. Sebaran<br />
abu dalam siklon <strong>dan</strong> ketel uap adalah :<br />
Lokasi a, dalam siklon : 95%<br />
Lokasi b, dalam ruang api : 0%<br />
Lokasi c, dalam pipa api : 0%<br />
Lokasi d, dalam penampung debu : 0%<br />
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 0%<br />
Keluar dari sistem lewat cerobong : 5%<br />
3.2.2 Pemanas oli<br />
Pemanas oli (oil heater) di pabrik tekstil, makanan<br />
<strong>dan</strong> industri kimia digunakan untuk memproduksi<br />
panas yang disalurkan dengan menyalurkan oli<br />
panas (220 – 250°) ke unit-unit proses yang<br />
memerlukan seperti untuk pengeringan,<br />
pemasakan dll. Gambar 2 adalah skema pemanas<br />
oli jenis vertikal yang telah dipasang pembakar<br />
siklon di bagian atasnya sebagai pengganti<br />
Gambar 2.<br />
Skema pemanas oli dengan<br />
pembakar siklon<br />
Api dari pembakar siklon turun ke dalam ruang<br />
api (b), naik <strong>dan</strong> turun lagi memanaskan pipa-pipa<br />
oli (d), kemudian asapnya keluar melalui cerobong.<br />
Pengoperasian dengan batubara mengandung abu<br />
golongan a yang titik lelehnya diatas suhu<br />
operasional pembakar siklon, menghasilkan abu<br />
yang padat dengan sebaran :<br />
Lokasi a, dalam siklon : 5%<br />
Lokasi b, dalam ruang api : 0%<br />
Lokasi c, dalam penampung abu : 55%<br />
Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli : 2%<br />
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 25%<br />
Keluar dari sistem lewat cerobong : 13%<br />
Pengoperasian dengan batubara mengandung abu<br />
golongan b yang titik lelehnya hampir sama<br />
dengan suhu operasional pembakar siklon<br />
menghasilkan abu yang lengket. Karena viskositas<br />
abu sangat tinggi maka abu yang lunak <strong>dan</strong><br />
lengket ini menempel di permukaan dinding bagian<br />
dalam siklon. Abu yang datang selanjutnya<br />
melekat di permukaan lelehan sebelumnya<br />
sehingga membentuk kerak yang semakin tebal.<br />
Akibat fatal dari kejadian ini terutama diameter<br />
dalam L-bow dari siklon menuju ruang api dari<br />
Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono<br />
93
pemanas oli semakin mengecil sehingga tekanan<br />
didalam ruang siklon membesar <strong>dan</strong> aliran api ke<br />
dalam pemanas oli terhambat. Pembakaran harus<br />
dihentikan <strong>dan</strong> kerak dibersihkan. Sebaran abu<br />
berupa kerak <strong>dan</strong> padatan lain adalah :<br />
Lokasi a, dalam siklon : 60%<br />
Lokasi b, dalam ruang api : 0%<br />
Lokasi c, dalam penampung abu : 20%<br />
Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli : 3%<br />
Lokasi e, bagian bawah cerobong : 5%<br />
Keluar dari sistem lewat cerobong : 12%<br />
Percobaan menggunakan batubara dengan abu<br />
golongan c belum dilakukan untuk siklon dengan<br />
pemanas oli ini, karena batubara dengan abu<br />
demikian jarang didapat dipasaran.<br />
3.2.3 Pengering berputar<br />
Gambar 3 adalah skema pengering berputar (rotary<br />
dryer) dengan pembakar siklon yang<br />
menggantikan posisi pembakar solar. Pada<br />
penggunaannya untuk pengeringan pupuk atau<br />
semen pozolan yang berputar dalam pengering,<br />
sampah padat yang keluar dari pembakar siklon<br />
akan masuk kedalam pengering berputar <strong>dan</strong><br />
bercampur dengan produk pengeringan.<br />
Gambar 3.<br />
Pengering berputar<br />
Pengamatan sebaran pengendapan abu hanya<br />
dapat dilakukan didalam pembakar siklon,<br />
se<strong>dan</strong>gkan sampah padat yang tertiup kedalam<br />
pengering berputar tidak diukur karena jumlahnya<br />
relatif kecil setelah bercampur dengan komoditas<br />
yang dikeringkan.<br />
Sebagai contoh, proses pengeringan pupuk fosfat<br />
yang produksinya 1500 kg/jam, konsumsi batubara<br />
dengan pembakar siklon 90 kg/jam dengan kadar<br />
abu batubara = 5% atau jumlah abu yang<br />
dihasilkan = 4,5 kg/jam, maka jumlah abu yang<br />
bercampur dengan 1.500 kg pupuk fosfat adalah<br />
4,5 kg atau 0,3% dari berat pupuk.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan penggunaan batubara dengan abu<br />
golongan b, identik penggunaannya pada pemanas<br />
oli <strong>dan</strong> ketel uap. Jumlah abu berupa kerak yang<br />
menempel di dalam dinding siklon sekitar 60%<br />
<strong>dan</strong> sisanya tertiup <strong>dan</strong> tercampur dengan produk<br />
yang dikeringkan. Demikian pula untuk abu<br />
golongan c, sebagian besar abu meleleh keluar<br />
dari dalam siklon masuk ke dalam kotak abu.<br />
Semakin rendah titik leleh abu, semakin banyak<br />
abu yang meleleh keluar siklon, karena lebih cepat<br />
mengalirnya, disebabkan viskositas yang rendah.<br />
4. PEMBAHASAN<br />
Pengendapan abu bertitik leleh tinggi<br />
(abu golongan a)<br />
Abu dengan titik leleh tinggi, abu akan berbentuk<br />
tepung padat yang akan tertiup bersama asap,<br />
keluar silinder siklon. Hanya kurang dari 10% yang<br />
tertinggal didalam silinder siklon, selebihnya<br />
mengendap dalam bagian-bagian tertentu dari<br />
fasilitas industri. Mekanisme pengendapan<br />
partikel-partikel abu sebagian karena perlambatan<br />
aliran asap, sebagian lagi karena menabraknya<br />
partikel-partikel abu ke suatu dinding kemudian<br />
terjatuh oleh gaya gravitasi.<br />
Sebagai contoh, untuk fasilitas industri berupa<br />
ketel uap jenis pipa api. Pembakar siklon<br />
berdiameter bagian dalam 130 cm menyalurkan<br />
api kedalam lorong api utama dari ketel uap yang<br />
berdiemeter bagian dalam 80 cm melalui moncong<br />
siklon yang berdiameter bagian dalam 60 cm.<br />
Perubahan kecepatan aliran dari dalam silinder<br />
siklon ke dalam lorong api utama dipengaruhi oleh<br />
luas penampang <strong>dan</strong> suhu dari kedua lokasi<br />
tersebut. Perbandingan luas penampang adalah<br />
sebanding dengan kuadrat radius atau 65 2 : 40 2 =<br />
2,64 : 1. Se<strong>dan</strong>gkan perubahan suhunya dari<br />
sekitar 1470°K didalam siklon menjadi sekitar<br />
770°K didalam lorong api utama atau 1,9 : 1. Maka<br />
perbandingan kecepatan aliran asap didalam<br />
siklon/kecepatan asap dalam lorong api adalah<br />
2,64 : 1,9 = 1,39 atau hanya berbeda sedikit,<br />
sehingga pengendapan partikel abu karena<br />
perbedaan kecepatan asap kecil pengaruhnya.<br />
Tetapi karena perjalanan dari silinder siklon ke<br />
lorong api utama melewati moncong siklon yang<br />
diameternya 60 cm, maka terjadi turbulensi di<br />
dalam lorong api utama sehingga kesempatan<br />
partikel abu untuk mengendap dalam lorong ini<br />
94 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
juga tidak besar. Selanjutnya asap bergerak<br />
menuju ruang penampung abu dengan penampung<br />
yang lebih luas, sehingga partikel abu banyak yang<br />
jatuh selain karena perlambatan kecepatan, juga<br />
karena menabrak dinding. Asap kemudian<br />
mengalir melalui pipa api yang berdiameter 7,5<br />
cm. Karena diameter yang kecil ini maka<br />
kecepatan asap dilokasi ini tinggi sehingga<br />
didaerah ini pertikel abu yang mengendap hanya<br />
sedikit. Asap berbalik, kembali menuju ruang<br />
pengendapan abu, selanjutnya menuju cerobong.<br />
Banyak partikel abu yang mengendap di bagian<br />
bawah cerobong selain karena kecepatan asap<br />
melambat atau diameter cerobong yang<br />
membesar, juga disebabkan partikel-partikel abu<br />
menabrak dinding cerobong. Keadaan ini<br />
mengakibatkan energi kinetik partikel abu menurun<br />
sehingga terkalahkan oleh gaya gravitasi <strong>dan</strong><br />
terjadi pengendapan.<br />
Sisa partikel abu lainnya, khususnya yang berupa<br />
debu halus keluar bersama asap cerobong.<br />
Penyebaran endapan abu diberbagai lokasi<br />
pengendapan dalam ketel uap telah dikemukakan<br />
di sub-bab 3.2.1 <strong>dan</strong> uraian ini menjelaskan proses<br />
yang terjadi.<br />
Sebaran abu dalam penggunaan abu bertitik leleh<br />
abu tinggi untuk pemanas oli identik dengan<br />
penggunaannya untuk ketel uap, pengendapan abu<br />
dengan mekanisme perlambatan kecepatan asap<br />
<strong>dan</strong> tabrakan partikel abu dengan dinding yang<br />
membentuk sudut mendekati 90°C dengan arah<br />
jalannya asap. Seperti terlihat pada Gambar 2,<br />
pengendapan di penampung abu dominan sebab<br />
disini berlangsung 2 mekanisme yaitu mekanisme<br />
perlambatan kecepatan asap <strong>dan</strong> tabrakan partikel<br />
asap dengan dasar dari ruang api. Dengan<br />
demikian, maka pengendapan abu dominan berada<br />
di penampung abu <strong>dan</strong> dibagian bawah cerobong,<br />
dengan jumlah total di dua lokasi itu sekitar 60 -<br />
70%. Se<strong>dan</strong>gkan penggunaannya untuk pengering<br />
berputar, sebagian besar abu tertiup keluar<br />
pembakar siklon bercampur dengan komoditas<br />
yang diproses.<br />
Pengendapan abu bertitik leleh se<strong>dan</strong>g<br />
(abu golongan b)<br />
Abu bertititk leleh mendekati suhu operasional<br />
siklon ternyata terkumpul di lokasi tidak jauh dari<br />
pembakar siklon itu sendiri. Abu jenis ini mulai<br />
meleleh pada suhu operasional pembakar siklon,<br />
tetapi viskositasnya belum cukup untuk<br />
membuatnya mengalir mengikuti gaya gravitasi,<br />
melainkan bersifat lengket sehingga menempel<br />
dipermukaan dalam pembakar siklon. Partikel abu<br />
yang datang kemudian juga meleleh, lengket<br />
terpapar oleh panas sehingga segera menempel<br />
pada permukaan abu sebelumnya sehingga<br />
menambah tebal tumpukan lelehan abu tersebut.<br />
Sebagian lagi yang tidak sempat menempel di<br />
permukaan siklon, terlempar keluar tetapi dengan<br />
ukuran yang lebih besar karena proses aglomerasi<br />
<strong>dan</strong> jatuh tidak jauh dari lokasi pembakar siklon.<br />
Hanya sebagian kecil yang lolos sampai cerobong,<br />
yaitu partikel-partikel abu yang tidak sempat<br />
mengalami aglomerasi. Dengan demikian maka<br />
sebagian besar abu menempel didinding siklon<br />
sampai 60 – 75% kemudian di ruang api 10 – 20%,<br />
sisanya 5 – 10% tersebar sampai dibawah<br />
cerobong.<br />
Sebaran abu jenis ini dipengaruhi oleh banyak<br />
faktor seperti karakteristik pembakaran<br />
batubaranya sendiri, sifat-sifat lelehan abu,<br />
sebaran ukuran butir batubara, kecepatan<br />
pembakaran, atmosfer pembakaran dll (Rance,<br />
1975).<br />
Pengendapan abu bertitik leleh rendah<br />
(abu golongan c)<br />
Abu jenis ini segera meleleh terpapar oleh suhu<br />
pembakaran dalam siklon. Jika viskositasnya<br />
rendah, lelehan abu mengalir masuk kedalam<br />
kotak abu, sehingga permukaan dalam siklon<br />
hanya tertutup oleh lapisan tipis lelehan abu. Abu<br />
yang datang kemudian terus meleleh, mengalir ke<br />
bawah. Hanya sedikit sekali yang tertiup ke luar,<br />
masuk kedalam ruang api, <strong>dan</strong> yang terbawa<br />
sampai cerobong hanya sejumlah kecil saja. Hal<br />
ini disebabkan hanya sedikit partikel-partikel abu<br />
yang dapat bertahan dalam keadaan padat pada<br />
suhu jauh diatas titik lelehnya.<br />
5. KESIMPULAN<br />
1. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa<br />
pembakaran batubara dengan pembakar<br />
siklon, untuk batubara dengan 3 golongan titik<br />
leleh abu menunjukkan :<br />
a. Abu bertitik leleh tinggi (golongan a)<br />
sebagian besar atau lebih dari 90%, tertiup<br />
keluar siklon.<br />
b. Abu bertitik leleh se<strong>dan</strong>g (golongan b) lebih<br />
dari 50% tertahan di dalam siklon berupa<br />
kerak.<br />
c. Abu bertitik leleh rendah (golongan c)<br />
Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono<br />
95
sebagian besar atau lebih dari 90%,<br />
meleleh didalam siklon <strong>dan</strong> kemudian<br />
mengalir kedalam kotak abu.<br />
2. Abu yang mempunyai titik leleh tinggi, tertiup<br />
keluar siklon <strong>dan</strong> mengendap dalam<br />
perangkap-perangkap abu seperti ruang<br />
penampung abu <strong>dan</strong> bagian bawah cerobong.<br />
Sebagian kecil tertinggal di saluran-saluran<br />
asap <strong>dan</strong> yang berukuran halus keluar melalui<br />
cerobong.<br />
3. Mekanisme pengendapan abu terutama<br />
disebabkan oleh :<br />
a. Perlambatan kecepatan asap secara<br />
mendadak <strong>dan</strong> tabrakan partikel abu<br />
dengan dinding.<br />
b. Abu menjadi lunak tetapi viskositasnya<br />
masih tinggi sehingga bahan ini menjadi<br />
lunak, lengket melekat di dinding siklon.<br />
c. Abu mencair karena suhu siklon jauh diatas<br />
titik leleh abu ini sehingga viskositas<br />
lelehan abu rendah, mudah mencair <strong>dan</strong><br />
mengalir kedalam kotak abu <strong>dan</strong><br />
membeku.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Basuki, 2003, Coal Fired Fluidized Boiler, B.P.E,<br />
Jakarta<br />
Changzhou Boiler Co., LTD., 2003, Boiler, Brochure,<br />
Xishan.<br />
Rance, H.C., 1975, Coal Quality Parameters and<br />
Their Influence in Coal Utilization, Shell Int.<br />
Petroleum Co., LTD.<br />
Singer, J.G., 1991, Combustion Fossil Power,<br />
ABB, Connecticut.<br />
Sumaryono, 2009, Development of Cyclone Coal<br />
Burner For Fuel Oil Burner Substitution in Industries,<br />
Indonesian Mining Journal, Bandung,<br />
Vol. 12 No. 13 (29-33).<br />
Yusgiantoro, P., 2007, Sustainabilitas <strong>Energi</strong> di<br />
Indonesia Dalam 30 Tahun Mendatang, Seminar<br />
Nasional Sustainable Alternatif <strong>Energi</strong>,<br />
Semarang.<br />
96 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN BAUKSIT<br />
Husaini<br />
Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211<br />
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />
e-mail : husaini@tekmira.esdm.go.id<br />
SARI<br />
Bauksit merupakan bijih aluminium yang mengandung 45-60% Al 2O 3, 12-30% H 2O, dengan kandungan<br />
beberapa mineral pengotor seperti magnetit, hematit, gotit, siderit, kaolinit, ilmenit, anatas, rutil, <strong>dan</strong><br />
brookit. Total ca<strong>dan</strong>gan bauksit dunia adalah sebesar 24 milyar ton. Indonesia sendiri memiliki ca<strong>dan</strong>gan<br />
bauksit terukur lebih dari 900 juta ton yang tersebar di kepulauan Riau <strong>dan</strong> Kalimantan Barat. Sistem<br />
tambang terbuka yang dilanjutkan dengan proses peningkatan kadar mendahului ekstraksi bauksit<br />
menjadi alumina. Peningkatan mutu (uggrading) bauksit dapat dilakukan dengan cara washing &<br />
scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan dengan magnetik <strong>dan</strong> media berat serta flotasi, yang<br />
dipilih berdasarkan karakteristik bijih bauksit yang akan diolah. Proses Bayer adalah cara yang paling<br />
efektif <strong>dan</strong> menguntungkan untuk memproduksi alumina dari bauksit. Alumina yang dihasilkan tersebut<br />
dibuat menjadi logam aluminium melalui proses elektrolisis Hall-Heroult. Untuk memproduksi sebanyak<br />
2 ton alumina atau 1 ton logam aluminium dibutuhkan bauksit rata-rata 4-5 ton. Lebih dari 90% ca<strong>dan</strong>gan<br />
bauksit diolah menjadi alumina atau logam alumunium, sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan<br />
kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, <strong>dan</strong> AlCl 3).<br />
<strong>Kata</strong> kunci : peningkatan kadar, bauksit, alumina, aluminium, elektrolisis, proses Bayer <strong>dan</strong><br />
Hall-Heroult<br />
ABSTRACT<br />
Bauxite is aluminum ore containing 45-60% Al 2O 3, 12-30% H 2O, with several impurities minerals<br />
such as magnetite, hematite, goethite, siderite, kaolinite, ilmenite, anatase, rutile, and brookite.Total<br />
reserves of bauxite in the world were 24 billion metric tons. Indonesia itself has bauxite reserve<br />
deposits more than 900 million metric tons scattered in Riau islands and West Kalimantan. Open pit<br />
mining followed by upgrading preceded bauxite extraction to be alumina. Bauxite upgrading can be<br />
carried out by washing and scrubbing, screening/classification, magnetic separation, heavy media<br />
separation, and flotation, chosen based on the bauxite character to be upgraded. Bayer process is<br />
the most effective and feasible method for alumina production from bauxite. The alumina produced is<br />
processed into aluminum metal through electrolysis process called Hall-Heroult. To produce 2 tons of<br />
alumina or 1 ton of aluminum metal need about 4-5 tons of bauxite in average. More than 90% of<br />
bauxite deposits have been treated into alumina or aluminum metal, the rest is utilized for producing<br />
chemicals such as coagulants (alum, PAC, and AlCl 3).<br />
Keywords : upgrading, bauxite, alumina, aluminum metal, electrolysis, Bayer and<br />
Hall-Heroult processes<br />
Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />
97
1. PENDAHULUAN<br />
Bauksit merupakan bijih aluminium yang terdapat<br />
pada mineral gibbsite [Al(OH) 3], boehmite atau<br />
diaspore (AlOOH). Bauksit umumnya mengandung<br />
45-60% Al 2O 3, 12-30% H 2O, <strong>dan</strong> berbagai macam<br />
pengotor antara lain adalah magnetit (Fe 3O 4),<br />
hematit (Fe 2O 3), gotit (FeO(OH)), siderit (FeCO 3),<br />
kaolinit (H 4Al 2Si 2O 9), ilmenit (FeTiO 3), anatas,<br />
rutil, <strong>dan</strong> brookit (TiO 2) (Anonim, 2009a). Istilah<br />
bauksit diambil dari nama daerah pedesaan Les<br />
Baux-de-Provence dibagian selatan Perancis,<br />
tempat pertama kali ditemukannya mineral ini oleh<br />
seorang ahli geologi bernama Pierre Berthier pada<br />
tahun 1821 (Wikipedia, 2007b). Penghasil bauksit<br />
utama dunia adalah Australia (lebih dari 40 juta<br />
ton/tahun), Amerika Tengah <strong>dan</strong> Selatan (Jamaika,<br />
Brazil, Surinam, Venezuela, Guyana), Afrika<br />
(Guinea), Asia (Indonesia, India, China), Rusia,<br />
Kazakhstan <strong>dan</strong> Eropa (Yunani). Jumlah ca<strong>dan</strong>gan<br />
bauksit di beberapa Negara tersebut pada tahun<br />
20<strong>01</strong> diperkirakan sebesar 3,8 milyar ton (Australia),<br />
3,9 milyar ton (Brazil), 720 juta ton (China),<br />
7,4 milyar ton (Guinea), 700 juta ton (Guyana),<br />
770 juta ton (India), 2 milyar ton (Jamaika), 200<br />
juta ton (Rusia), 680 juta ton (Suriname), 20 juta<br />
ton (USA), 320 juta ton (Venezuela), Negara lainnya<br />
4,1 milyar ton, sehingga total ca<strong>dan</strong>gan dunia<br />
sebesar 24 milyar ton (Wikipedia, 2007b).<br />
Se<strong>dan</strong>gkan jumlah ca<strong>dan</strong>gan bauksit di Indonesia<br />
sendiri sebesar 907.843.757 ton (terukur) yang<br />
tersebar di kepulauan Riau <strong>dan</strong> Kalimantan Barat,<br />
ca<strong>dan</strong>gan tereka.sebesar 3.100.000 ton (Bangka),<br />
<strong>dan</strong> ca<strong>dan</strong>gan hipotetik sebesar 13.500.000 ton<br />
(Bangka). (Husaini <strong>dan</strong> Wijayanti, 2002). Cara<br />
penambangan yang diterapkan di berbagai belahan<br />
dunia umumnya dengan sistem tambang terbuka<br />
(80%) dengan kapasitas produksi >100 juta ton<br />
bauksit tiap tahun, sisanya yang 20% dengan<br />
tambang bawah tanah sampai kedalaman 70 m<br />
dibawah permukaan tanah. Hasil tambang tersebut<br />
selanjutnya diproses menjadi alumina berdekatan<br />
dengan lokasi penambangan, atau dikapalkan ke<br />
pabrik peleburan ke berbagai negara di dunia.<br />
Sebelum diekstraksi menjadi alumina, bauksit dari<br />
tambang terlebih dahulu ditingkatkan kadarnya.<br />
Peningkatan mutu (uggrading) bauksit yang dapat<br />
dilakukan tergantung dari karakteristik bauksitnya,<br />
beberapa di antaranya adalah cara washing &<br />
scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan<br />
dengan magnetik <strong>dan</strong> media berat serta flotasi.<br />
Alumina yang diperoleh dari proses Bayer, kemudian<br />
dibuat menjadi logam aluminium melalui proses<br />
elektrolisis Hall-Heroult. Berdasarkan data ratarata<br />
di dunia, sekitar 4-5 ton bauksit dibutuhkan<br />
untuk memproduksi 2 ton alumina atau 1 ton sebagai<br />
logam aluminium. Di Eropa sendiri biasanya<br />
menkonsumsi bauksit rata-rata 4,1 ton untuk<br />
memghasilkan 1 ton logam aluminium (Anonim,<br />
2009d). Sekitar 95% bauksit dunia diolah menjadi<br />
alumina atau logam alumunium (Anonim, 2009c),<br />
sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan<br />
kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, <strong>dan</strong> AlCl 3).<br />
2. METODOLOGI<br />
Untuk menyusun makalah ini, metodologi yang<br />
digunakan adalah dengan cara melakukan survei<br />
literatur dari berbagai sumber antara lain hasil<br />
penelitian yang terkait dengan tema makalah baik<br />
di perpustakaan, internet, maupun hasil penelitian<br />
yang dilakukan sendiri. Kemudian dari data yang<br />
terkumpul dilakukan evaluasi <strong>dan</strong> pembahasan<br />
yang akhirnya sampai kepada kesimpulan.<br />
3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN<br />
PEMANFAATAN BAUKSIT<br />
3.1. Proses Peningkatan Mutu<br />
Ada beberapa cara yang sudah umum diterapkan<br />
dalam peningkatan kadar bauksit, beberapa di<br />
antaranya yang akan dibahas disini adalah scrubbing<br />
<strong>dan</strong> screening, pemisahan dengan magnetik,<br />
pemisahan dengan media berat, <strong>dan</strong> flotasi.<br />
3.1.1 Scrubbing <strong>dan</strong> screening<br />
Proses scrubbing yang dikombinasikan dengan<br />
pencucian <strong>dan</strong> pengayakan untuk meningkatkan<br />
kadar alumina dalam bauksit merupakan cara<br />
yang sederhana <strong>dan</strong> cukup efektif yang sudah<br />
diterapkan secara komersial. Cara ini relatif baik<br />
untuk meningkatkan kadar alumina, mengingat<br />
bauksit dari tambang memiliki ukuran butir yang<br />
bervariasi <strong>dan</strong> tiap fraksi ukuran memiliki<br />
komposisi kimia yang berbeda-beda. Berdasarkan<br />
data hasil karakterisasi, bijih bauksit berukuran<br />
makin halus mutunya semakin rendah (kandungan<br />
pengotor semakin tinggi). Umumnya bauksit<br />
berukuran di bawah 2 mm, kadar aluminanya relatif<br />
rendah <strong>dan</strong> kandungan pengotornya relative tinggi,<br />
oleh karena itu produk hasil scrubbing <strong>dan</strong><br />
pencucian yang diambil adalah fraksi ukuran di<br />
atas 2 mm. Dari percobaan yang telah dilakukan,<br />
diperoleh data bahwa bijih bauksit asal Kijang yang<br />
semula memiliki kandungan Al 2 O 3 antara 40,50-<br />
48,36 %, setelah melalui scrubbing –screening<br />
98 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
yang didahului peremukan diperoleh produk<br />
dengan kadar Al 2O 3 antara 50,53-53,67%<br />
(persayatan bahan baku untuk proses Bayer<br />
adalah di atas 51% Al 2O 3, maksimum 3% silica<br />
reaktif <strong>dan</strong> maksimum 7% Fe 2O 3). Perolehan alumina<br />
yang didapat dari proses scrubbing tersebut<br />
berkisar 82,78-89,66% <strong>dan</strong> rasio konsentrasi<br />
78,42-84,8% (Husaini dkk., 2007). Di India, proses<br />
benefisiasi untuk peningkatan kadar alumina dalam<br />
bauksit juga dilakukan dengan cara peremukan<br />
yang dilanjutkan dengan pengayakan cara kering<br />
untuk menurunkan kandungan silikanya (Nandi,<br />
2004). Cara lain untuk mendapatkan kadar bauksit<br />
yang memenuhi syarat <strong>dan</strong> konsisten adalah<br />
dengan mencampurkan (blending) bauksit kadar<br />
rendah yang sudah diolah dengan yang kadarnya<br />
lebih tinggi (Anonim, 2007a).<br />
3.1.2 Pemisahan dengan magnetik<br />
Mineral-mineral bersifat magnetik seperti besi<br />
oksida yang terkandung dalam bijih bauksit<br />
ataupun tailing hasil ekstraksi bijih bauksit dapat<br />
dipisahkan dengan pemisah magnetik (magnetic<br />
separator). Salah satu mineral yang memiliki<br />
komponen oksida besi adalah tailing hasil pencucian<br />
bauksit Pulau Kijang yang besarnya berkisar<br />
antara 9,93 - 16,05%. Dari uji coba yang telah<br />
dilakukan terhadap tailing bijih bauksit (komposisi<br />
kimia 48,98 % Al 2 O 3 <strong>dan</strong> 11,49 % Fe 2 O 3 ), yang<br />
sebelumnya dipanaskan pada suhu 450 o C,<br />
setelah dilewatkan pemisah magnetik pada kondisi<br />
5 Am -1 , telah dihasilkan produk non magnetik (70%<br />
berat) dengan kadar Al 2 O 3 53,8 % <strong>dan</strong> Fe 2 O 3 9,14<br />
%; ini berarti terjadi peningkatan kadar Al 2 O 3<br />
sebesar 4,82% <strong>dan</strong> penurunan kadar Fe 2 O 3 sebesar<br />
2,35%. Se<strong>dan</strong>gkan untuk tailing bauksit berkadar<br />
Al 2 O 3 42,25 % <strong>dan</strong> Fe 2 O 3 15 %, dengan kondisi<br />
pemisahan yang sama dihasilkan produk non<br />
magnetik (58 % berat) dengan kadar Al 2 O 3 57,7 % .<br />
<strong>dan</strong> Fe 2 O 3 9,41 % (Husaini <strong>dan</strong> Wijayanti, 2002).<br />
Teknik pemisahan dengan magnetik ini telah<br />
dilakukan juga oleh Jamieson dkk. (2006) terhadap<br />
mineral red mud yang dihasilkan dari ekstraksi<br />
bijih bauksit dengan soda kostik pada kondisi<br />
intensitas rendah <strong>dan</strong> intensitas tinggi cara basah.<br />
Salah satu produknya berupa material magnetik<br />
(besi oksida) yang memiliki kadar Fe 40%,<br />
sementara produk kedua berupa material non<br />
magnetik yang mengandung silika yang tiggi (93%<br />
SiO 2 ) yang pemanfaatannya sangat sesuai untuk<br />
konstruksi beton. Produk yang ketiga terdiri dari<br />
campuran besi <strong>dan</strong> silika yang umumnya cocok<br />
untuk material pengisi. Penerapan teknologi<br />
pemisahan secara magnetik tersebut memiliki<br />
potensi untuk dikembangkan dalam mengatasi<br />
permasalahan penumpukan red mud yang dihasilkan<br />
yang besarnya berkisar antara 40-50%) dari berat<br />
bijih bauksit yang diolah melalui proses Bayer.<br />
3.1.3 Pemisahan dengan media berat<br />
Prinsip pemisahan dengan media berat adalah<br />
dengan memanfaatkan perbedaan berat jenis mineral-mineral<br />
yang akan dipisahkan. Mineral yang<br />
lebih rendah berat jenisnya daripada berat jenis<br />
media berat (heavy liquid) akan terapung,<br />
sebaliknya mineral yang lebih besar berat jenisnya<br />
akan tenggelam. Dalam hal ini mineral besi<br />
(hematit) memiliki berat jenis sekitar 7, bauksit<br />
2,65 <strong>dan</strong> media berat (bromoform 2,89 <strong>dan</strong><br />
pengencer karbon tetra klorida 1,59). Dengan<br />
demikian hematit akan tenggelam karena berat<br />
jenisnya lebih tinggi dari berat jenis bromoform,<br />
se<strong>dan</strong>gkan bauksit yang berat jenisnya lebih<br />
rendah dari berat jenis bromoform akan mengapung,<br />
sehingga kadar alumina dalam bauksit yang<br />
mengapung meningkat. Dari data hasil poercobaan<br />
dengan menggunakan bauksit berukuran -100+200<br />
mkesh <strong>dan</strong> waktu pengendapan 20 menit<br />
menunjukkan a<strong>dan</strong>ya peningkatan kadar Al 2O 3 <strong>dan</strong><br />
penurunan kadar Fe 2O 3 dibandingkan dengan<br />
keadaan kadar awalnya. Sebagai contoh, dengan<br />
menggunakan bromoform dengan berat jenis 2,59,<br />
produk terapung memiliki kadar Al 2 O 3 sebesar<br />
55,18 % <strong>dan</strong> kadar Fe 2 O 3 7.97 %, se<strong>dan</strong>gkan<br />
bagian yang tenggelam memiliki kadar Al 2 O 3<br />
sebesar 12.34 % <strong>dan</strong> kadar Fe 2 O 3 30.12 %. Jadi<br />
kualitas (bauksit) setelah dipisahkan lebih baik<br />
dibandingkan sebelum dipisahkan yang<br />
mempunyai komposisi kimia awal Al 2 O 3 48 % <strong>dan</strong><br />
Fe 2 O 3 15 % (Husaini <strong>dan</strong> Soenara, 2003).<br />
3.1.4 Flotasi<br />
Flotasi merupakan salah satu cara pemisahan<br />
yang memanfaatkan perbedaan sifat kimia-fisika<br />
permukaan dari berbagai macam partikel mineral.<br />
Perbedaan sifat permukaan suatu mineral dengan<br />
mineral lainnya dapat terbentuk dengan<br />
menambahkan zat aktif permukaan (kolektor).<br />
Bahan kimia lainnya yang digunakan adalah<br />
pembusa (frother), <strong>dan</strong> regulator (activator, depressant,<br />
pengatur pH). Mineral yang terlapisi<br />
kolektor akan bersifat hidrofobik (suka udara)<br />
sehingga mudah menempel pada gelembung udara<br />
<strong>dan</strong> dapat diapungkan. Penggunaan pembusa<br />
adalah untuk menstabilkan gelembung udara<br />
supaya tidak mudah pecah. Se<strong>dan</strong>gkan depres-<br />
Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />
99
sant berfungsi untuk menekan agar mineral yang<br />
tidak diinginkan tidak ikut mengapung. Kalau yang<br />
diapungkan mineral yang tidak dikehendaki<br />
prosesnya disebut flotasi balik (reverse flotation).<br />
Massola dkk. (2008) telah melakukan penelitian<br />
yang inovatif mengenai peningkatan kadar gibsit<br />
dengan cara flotasi balik yang menghasilkkan<br />
bauksit jenis metalurgi. Bahan yang diflotasi<br />
berupa tailing hasil proses scrubbing <strong>dan</strong><br />
desliming yang kandungan kuarsanya relatif tinggi.<br />
Kanji (starch) digunakan sebagai depressant <strong>dan</strong><br />
ether-amine sebagai kolektor kationik. Hasil<br />
percobaan skala pilot pada kondisi pH optimum<br />
sekitar 10 menghasilkan konsentrat mutu<br />
metalurgi dengan kadar alumina 42,3% <strong>dan</strong> ratio<br />
alumina/silika sebesar 11,1. Konsentrat bauksit<br />
yang mengandung mineral gibsit, besi, <strong>dan</strong> titan,<br />
selanjutnya ditingkatkan lagi kadarnya melalui<br />
pemisahan secara magnetik menghasilkan kadar<br />
alumina 54%, ratio alumina/silika 12,6 <strong>dan</strong> total<br />
perolehan alumina dalam konsentrat akhir (produk<br />
non-magnetik) sebesar 69,3%. Hasil penelitian<br />
lainnya (Liuyin Xia, dkk., 2009) menunjukkan<br />
bahwa penggunaan kolektor kationik (zat aktif<br />
permukaan) jenis butane-á,ù-bis (dimethyl<br />
dodeculammonium bromide) dalam flotasi balik<br />
telah berhasil memisahkan mineral mineral kaolinit,<br />
piropilit <strong>dan</strong> ilit dari bauksit jenis diaspore. Kolektor<br />
jenis dimer tersebut menunjukkan daya pengumpul<br />
yang lebih baik dibandingkan kolektor jenis<br />
monomernya. Lebih dari itu, daya apung terhadap<br />
kaolin lebih baik daripada ilit <strong>dan</strong> piropilit dalam<br />
selang pH tertentu. Bila ditambahkan depressant<br />
kanji (corn starch), pemisahan cara flotasi terhadap<br />
beberapa mineral pengotor yang terkandung dalam<br />
bauksit (diaspore) yang dilakukan pada pH antara<br />
9-10 menghasilkan seletifitas yang signifikan<br />
terhadap ilit, piropilit <strong>dan</strong> kaolinit. Konsentrat yang<br />
dihasilkan dari percobaan skala bench scale<br />
memiliki ratio Al/Si sebesar 9,72 <strong>dan</strong> perolehan<br />
Al sebesar 81,25%.<br />
Pengaruh gugus kationik dari kolektor rantai karbon<br />
12 (12-carbon chain collectors) telah diteliti oleh<br />
Hong Zhong, dkk. (2008) untuk memisahkan mineral<br />
kaolinit, piropilit <strong>dan</strong> ilit dari diaspore. Hasil<br />
penelitian menunjukkan bahwa pemisahan diaspore<br />
dari mineral-mineral alumino silikat dengan<br />
menggunakan kolektor kation dodecylamine chloride<br />
(DDAC), dodecyl trimethyl ammonium chloride<br />
(DTAC) atau dodecylguanidine sulfate (DDGS)<br />
adalah layak pada kondisi alkalin kuat. Ketiga jenis<br />
kolektor tersebut menunjukkan selektifitas yang<br />
tinggi terhadap diaspore, <strong>dan</strong> DDGS merupakan<br />
kolektor terbaik dibandingkan dengan DDAC <strong>dan</strong><br />
DTAC dalam memisahkan mineral alumino silikat.<br />
Flotasi balik juga berhasil dilakukan untuk<br />
memisahkan kaolinit dari diaspore dengan<br />
menggunakan kolektor dodecylamine (DDA) <strong>dan</strong><br />
depressant cationic polyacrylamide (CPAM) pada<br />
pH 5.5–8.5 (Guangyi Liu, 2007). Penyerapan CPAM<br />
pada seluruh permukaan kristal diaspore mencegah<br />
spesi kation DDA untuk terserap pada permukaan<br />
diaspore, sehingga diaspore dapat ditekan (tidak<br />
ikut mengapung). Kemampuan adsorpsi grup kation<br />
CPAM pada permukaan kaolinit yang bermuatan<br />
negatif diperlemah oleh induksi <strong>dan</strong> efek sterik<br />
senyawa metil dalam gugus CH 2N + (CH 3) 3 yang<br />
membuat CPAM memiliki pengaruh yang kurang<br />
signifikan pada adsorpsi DDA pada permukaan<br />
kaolinit. Penelitian sejenis mengenai peningkatan<br />
kandungan diaspore dengan flotasi balik untuk<br />
memisahkan mineral pengotor juga dilakukan oleh<br />
Zhenghe Xu (2004). Penelitian mengenai penggunaan<br />
kolektor-kolektor yang efektif untuk pemisahan<br />
mineral pengotor (lempung) <strong>dan</strong> depressant untuk<br />
menekan diaspore asal China juga telah dilakukan.<br />
Hal ini dilakukan agar bauksit yang sebelumnya<br />
mengandung alumina yang rendah dapat<br />
ditingkatkan kadarnya sampai memenuhi syarat<br />
sebagai bahan baku untuk proses Bayer. Hasil<br />
penelitian yang didapat menunjukkan peningkatan<br />
ratio alumina/silika dari 10.<br />
3.2. Pembuatan Alumina Hidrat/Alumina<br />
Alumina (Al 2 O 3 ) adalah material halus berwarna<br />
putih mirip dengan garam (Anonim, 2007). Alumina<br />
dapat diperoleh dari ekstraksi bauksit dengan soda<br />
kostik. Ekstraksi bauksit secara komersial<br />
pertama kali dilakukan oleh Sainte-Claire Deville<br />
di Perancis tahun 1865, tetapi cara ini tidak<br />
digunakan lagi setelah ditemukan proses baru<br />
(Bayer) oleh ahli kimia Austria tahun 1887. Total<br />
produksi alumina dunia sebesar 40 juta ton pada<br />
tahun 1995, seluruhnya dihasilkan dengan<br />
memproses bauksit melalui proses Bayer. Proses<br />
Bayer merupakan cara yang paling ekonomis yang<br />
memanfaatkan reaksi antara alumunium<br />
trihidroksida <strong>dan</strong> aluminium oksida dengan soda<br />
kostik membentuk sodium aluminat. Reaksi<br />
kesetimbangan mengarah ke kanan dengan<br />
meningkatnya konsentrasi soda kostik <strong>dan</strong> suhu.<br />
Operasi berikut dilakukan secara berurutan yaitu<br />
(1) pelarutan alumina pada suhu tinggi, (2)<br />
pemisahan <strong>dan</strong> pencucian pengotor yang tidak<br />
larut (red mud) untuk mendapatkan alumina terlarut<br />
<strong>dan</strong> soda kostik, (3) hidrolisis parsial larutan sodium<br />
aluminat pada suhu rendah untuk mengendapkan<br />
100 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
alumunium trihidrat, (4) regenerasi larutan untuk<br />
didaur ulang ke tahap (1) dengan penguapan air yang<br />
dimasukkan saat pencucian, <strong>dan</strong> (5) mengubah<br />
trihidroksida menjadi alumina anhidrat melalui<br />
kalsinasi pada suhu 1450 o K (Anonim, 2009a).<br />
3.3. Pembuatan Logam Aluminium<br />
Bila alumina (Al 2O 3) yang diperoleh dari proses<br />
Bayer tersebut dipanaskan lebih lanjut sampai<br />
suhu 1000 °C dengan bantuan bahan pelebur (cryolite<br />
- Na 3AlF 6), maka alumina akan meleleh <strong>dan</strong><br />
tereduksi menjadi logam aluminium yang dikenal<br />
sebagai proses Hall-Héroult. Cryolite sintetik<br />
umumnya dibuat dari asam florida <strong>dan</strong> sodium<br />
aluminat (hasil proses Bayer) dengan persamaan<br />
reaksi sbb (Anonim, 2009a) :<br />
6 HF + 3 NaAlO 2 Na 3AlF 6 + 3 H 2O, atau dengan<br />
mereaksikan asam florida dengan soda kostik <strong>dan</strong><br />
alumina dengan reaksi sbb :<br />
12 HF + 6 NaOH + Al 2O 3 2 Na 3AlF 6 + 9 H 2O<br />
Gas asam florida umumnya dibuat dari acid-grad<br />
fluorspar <strong>dan</strong> asam sulfat dengan reaksi sbb :<br />
CaF 2 + H 2SO 4 2 HF + CaSO 4<br />
Pada proses elektrolisis ini oksigen yang terikat<br />
pada alumina bereaksi dengan elektroda karbon<br />
menghasilkan gas karbon dioksida <strong>dan</strong> logam aluminium.<br />
Setiap ton aluminium membutuhkan 0,4-<br />
0,5 ton anoda karbon. Proses ini mengkonsumsi<br />
energi sangat tinggi. Secara umum sekitar 1 ton<br />
alumina dapat dihasilkan dari 2 ton bauksit.<br />
Lelehan aluminium selanjutnya dicetak menjadi<br />
ingots, bars, rolled into sheets, plates, foil, atau<br />
rod. Produk antara ini kemudian dibentuk di pabrik<br />
pemrosesan yang mengubah aluminum menjadi<br />
produk akhir (consumer products).<br />
3.4. Pembuatan Koagulan<br />
3.4.1 Dari bauksit (asli/bauksit tercuci/<br />
tailing)<br />
Semua mineral yang mengandung unsur aluminium<br />
termasuk bauksit dapat digunakan untuk<br />
pembuatan koagulan (alum, PAC dll). Dalam<br />
pembuatan koagulan ini ada beberapa parameter<br />
yang berpengaruh di antaranya adalah konsentrasi<br />
asam, waktu pelarutan, nisbah padatan dengan<br />
larutan, suhu pelarutan, <strong>dan</strong> ukuran butir bauksit.<br />
Penelitian yang telah dilakukan oleh Acquah, dkk.<br />
(1999) menghasilkan kondisi optimum sebagai<br />
berikut: ukuran partikel 7+14 mesh, waktu 6 jam,<br />
nisbah asam 1:4, suhu 100°C, nisbah padatan<br />
dengan larutan 1:12. Pada kondisi optimum ini ratio<br />
alumina yang didapat sebesar 34,8 (untuk alum<br />
komersial rationya 34-35) <strong>dan</strong> bauksit dengan<br />
kadar A1 2O 3 62.3% <strong>dan</strong> Fe 2O 3 3% adalah cocok<br />
untuk pembuatan alaum. (Acquah, dkk, 1999).<br />
Penelitian pembuatan alum dari bauksit berukuran<br />
-100 mesh dengan menggunakan asam sulfat<br />
konsentrasi (30-40 %) di dalam reaktor<br />
berpengaduk pada suhu 100 o C <strong>dan</strong> lama<br />
pengadukan sekitar 60 menit juga telah dilakukan<br />
oleh Husaini (2007). Dua jenis bauksit Kijang<br />
dengan komposisi Al 2O 3 42,25 %, Fe 2O 3 15,00<br />
% <strong>dan</strong> Al 2O 3 48,98 %, Fe 2O 3 11,49 % digunakan<br />
untuk uji coba tersebut. Reaksi kimia yang terjadi<br />
adalah sebagai berikut:<br />
Al 2O 3 + 3H 2SO 4 Al 2 (SO 4) 3 + 3H 2O<br />
Fe 2O 3 + 3H 2SO 4 Fe 2 (SO 4) 3 + 3H 2O<br />
Hasil ekstraksi ini berupa lumpur yang<br />
mengandung larutan aluminium sulfat yang masih<br />
bercampur dengan senyawa besi <strong>dan</strong> residu yang<br />
tidak larut. Larutan yang sudah dipisahkan dari<br />
residunya, kemudian direduksi dengan logam Al<br />
sambil dipanaskan sampai terjadi perubahan<br />
warna dari coklat menjadi hijau muda dengan<br />
densitas tertentu (1.5 g/ml). Larutan hasil reduksi<br />
selanjutnya ditambah amonia (kadar 21 %)<br />
menghasilkan kristal berupa garam rangkap<br />
[Al 2 (SO 4 ) 3 (NH 4 ) 2 SO 4 xH 2 O] dengan kadar Al 2 O 3<br />
antara 11-14 %. Kristal yang terbentuk dipisahkan<br />
dari filtrat yang masih tersisa. Selain itu telah<br />
dibuat juga tawas butek [Al 2 (SO 4 ) 3 . x H 2 O]<br />
setelah besi dalam larutan diturunkan terlebih<br />
dahulu dengan penambahan larutan Na 2 S. Hasil<br />
pelarutan bauksit dengan asam sulfat mencapai<br />
persen ekstraksi Al 2 O 3 <strong>dan</strong> Fe 2 O 3 tertinggi<br />
masing-masing sekitar 99 % <strong>dan</strong> 65 % pada ukuran<br />
butiran 87,04% lolos100 mesh, konsentrasi asam<br />
40 %, lama pelarutan 1 jam, <strong>dan</strong> suhu 100 o C.<br />
Produk tawas butek yang dihasilkan mempunyai<br />
kadar Al 2 O 3 9,49-12,55 % <strong>dan</strong> Fe 2 O 3 2-2,4 %.<br />
Se<strong>dan</strong>gan tawas bening yang dihasilkan<br />
mempunyai kadar Al 2 O 3 9,92-11,53 % <strong>dan</strong> Fe 2 O 3<br />
0,5-2,71 %.<br />
3.4.2 Dari alumina hidrat<br />
Alumina hidrat [Al (OH) 3 ] dapat dibuat menjadi<br />
tawas [Al 2 (SO 4 ) 3 ] maupun poly aluminium chloride<br />
(PAC). Pembuatan tawas dari alumina hidrat<br />
Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />
1<strong>01</strong>
ini prosesnya sederhana yaitu dengan melarutkan<br />
alumina hidrat dengan asam sulfat pada suhu 100°C<br />
sampai larut sempurna, tanpa proses penyaringan,<br />
karena tidak dihasilkan residu sebagaimana yang<br />
diperlihatkan dalam pelarutan bauksit. Persamaan<br />
reaksi kimia yang terjadi adalah sbb :<br />
2Al (OH) 3 + 3H 2SO 4 Al 2 (SO 4) 3 + 6H 2O<br />
Proses pemanasan larutan dilanjutkan untuk<br />
menguapkan air sampai berat jenis tertentu,<br />
kemudian didinginkan sampai mengkristal. Kadar<br />
alumina dalam tawas tergantung pada kadar air<br />
yang terkandung, semakin rendah kadar air<br />
kristalnya, maka semakin tinggi kandungan<br />
aluminanya. Se<strong>dan</strong>gkan dalam pembuatan PAC,<br />
alumina hidrat direaksikan dengan asam klorida<br />
<strong>dan</strong> asam sulfat sampai alumina hidrat larut<br />
sempurna. Kemudian ke dalam campuran<br />
ditambahkan kapur untuk menurunkan pH sampai<br />
4, dilanjutkan dengan penyaringan. Larutan jernih<br />
hasil penyaringan ini merupakan PAC cair yang<br />
spesifikasinya adalah sbb: 12% Al 2O 3, 9% Cl,<br />
1,35% SO 4. Bila diinginkan produk berupa bubuk,<br />
maka PAC cair dikeringkan dengan menggunakan<br />
spray drier pada suhu tertentu.<br />
4. PENGGUNAAN BAHAN BERBASIS<br />
ALUMINA<br />
4.1. Bauksit Asli/Bauksit Tercuci<br />
Secara tradisional, bauksit digunakan untuk<br />
pembuatan Blast Furnaces, Iron/Steel Ladles,<br />
Torpedo Cars, Electric Arc furnaces, Tundishes,<br />
Soaking Pits, Reheat/Soaking Pits, Open Hearth,<br />
Cement, <strong>dan</strong> Aluminum. Bauksit dapat digunakan<br />
untuk pembuatan berbagai jenis bahan kimia<br />
antara lain alumina hidrat, alumina, tawas, fero<br />
sulfat, besi klorida, semen, <strong>dan</strong> refraktori.<br />
4.2. Alumina Hidrat<br />
Alumina hidrat dapat digunakan untuk pembuatan<br />
berbagai jenis bahan kimia antara lain tawas, poli<br />
aluminium klorida (PAC), <strong>dan</strong> poli aluminium silikat<br />
sulfat (PASS), AlCl 3 , zeolit sintetik, bahan abrasif,<br />
semen, refraktori.<br />
4.3. Alumina<br />
Alumina merupakan produk komoditas yang dapat<br />
digunakan antara lain untuk (Steven dkk., 1998,<br />
Anonim 2007a):<br />
• Bahan baku proses elektrolisis Hall-Heroult<br />
untuk memproduksi logam Al<br />
• Pembuatan bahan kimia tertentu seperti :busi<br />
(spark plugs), penghambat kebakaran (fire<br />
retar<strong>dan</strong>t), marmer sintetik, katalis, pasta gigi,<br />
alum, aluminium fllorida, keramik, ampelas<br />
(abrasive) <strong>dan</strong> refraktori.<br />
Penemuan produk khusus yaitu alumina aktif yang<br />
digunakan untuk menghilangkan kontaminan dari<br />
proses pengilangan minyak, pabrik petro kimia,<br />
<strong>dan</strong> proses pengolahan gas alam. Alcoa<br />
melaporkan penemuan bubuk alumina spesial<br />
untuk sistem pembuangan otomatis (auto exhaust<br />
system) <strong>dan</strong> ampelas halus (fine abrasives). Alumina<br />
dapat juga dijadikan bahan kimia (aluminium<br />
sulfat, aluminium klorida), <strong>dan</strong> logam aluminium<br />
(Patricia, 2009).<br />
Komposisi tipikal alumina (Steven dkk., 1998)<br />
adalah 99.3-99.7% Al 2O 3 (by diff.), 0.30-0.50%<br />
Na 2O, 0.005-0.025% SiO 2,
5. KESIMPULAN<br />
Potensi ca<strong>dan</strong>gan bauksit di Indonesia relatif<br />
besar, tersebar di Kijang (Riau), <strong>dan</strong> Tayan<br />
(Kalimantan Barat) yang jumlahnya tidak kurang<br />
dari 900 juta ton. Proses peningkatan kadar yang<br />
dapat digunakan ada beberapa macam antara lain<br />
scrubbing, pemisahan dengan magnetik <strong>dan</strong> media<br />
berat serta flotasi. Pemilihan cara pengolahan<br />
tersebut tergantung pada karakteristik (di<br />
antaranya kandungan mineral pengotor) bijih<br />
bauksit yang diolah, namun yang sudah<br />
diterapkan di Indonesia sampai saat ini hanya<br />
dengan cara pencucian <strong>dan</strong> scrubbing diikuti<br />
pengayakan dengan ukuran produk + 2 mm.<br />
Bauksit tercuci dapat dikonversi menjadi alumina<br />
melalui proses Bayer <strong>dan</strong> bila diolah lebih lanjut<br />
dengan cara elektrolisis menghasilkan logam aluminium<br />
yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai<br />
keperluan di antaranya di sektor transportasi,<br />
konstruksi, pengepakan, <strong>dan</strong> listrik.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anonim, 2007a, Alumina Process, http://<br />
www.qal.com.au/, diakses 30 April 2007<br />
Anonim, 2007b, Bauxite – Wikipedia, the free<br />
encyclopedia, htm, diakses 30 April 2007<br />
Anonim, 2009a, Aluminium, http://<br />
www.mtm.kuleuven.ac.be/Education/<br />
NonMatIrCourses/Mat/5-<br />
c%20aluminium.doc., diakses 17 Juni 2009<br />
Anonim, 2009b, Alumina, aluminium and bauxite,<br />
diakses 17 Juni 2009<br />
Anonim, 2009c, Bauxite Mineral, Bauxite Information,<br />
Uses of bauxite, bauxite Supplier, htm,<br />
diakses 17 Juni 2009<br />
Anonim, 2009d,The European Aluminium Association,<br />
http://www.azon.com/suppliers asp?,<br />
diakses 17 Juni 2009<br />
Acquah F., Mensah B., Obeng Y., 2008, Production<br />
of Alum From Awaso Bauxite, Institute of<br />
Industrial Research,CSIR,Accra, Ghana, http:/<br />
/home.att.net/africantech/GhIE/Awaso 1.htm,<br />
published in the Ghana Engineer, May 1999.<br />
Guangyi Liu, Hong Zhong, Yuehua Hu, Shenggui<br />
Zhao and Liuyin Xia, 2007, The role of cationic<br />
polyacrylamide in the reverse flotation of<br />
diasporic bauxite, School of Chemistry and<br />
Chemical Engineering, Central South University,<br />
Changsha 410083, PR China, School of<br />
Minerals Processing and Bioengineering, Central<br />
South University, Changsha 410083, PR<br />
China.<br />
Husaini <strong>dan</strong> Trisna Soenara, 2003, Pengurangan<br />
Kadar Besi Dalam Bauksit P. Kijang Dengan<br />
Cara Pemisahan Menggunakan Media Berat<br />
(Heavy Media Separation), Puslitbang<br />
Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara, Balitbang<br />
energi <strong>dan</strong> sumberdaya mineral.<br />
Husaini <strong>dan</strong> Wijayanti, R., 2002, Peningkatan<br />
Kualitas Bauksit dari Pulau Kijang dengan<br />
Magnetik Separator Cara Basah, Pusat<br />
Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral<br />
<strong>dan</strong> Batubara.<br />
Husaini, 2007, Penelitian Pendahuluan Pembuatan<br />
Tawas dari Bauksit Kijang, Bahan Galian<br />
Industri, Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan<br />
Teknologi Mineral.<br />
Husaini dkk., 2007, Peningkatan Kadar Bijih<br />
Bauksit Kijang Dan Tayan Dengan Metode<br />
Scrubbing, Laporan Kegiatan Proyek<br />
Kelompok Program Teknologi Pengolahan<br />
Mineral, Pusltbang <strong>tekMIRA</strong> Jl. Jend. Sudirman<br />
No. 623 Bandung.<br />
Hong Zhong, Guangyi Liu, Liuyin Xia, Yiping Lu,<br />
Yuehua Hu, Shenggui Zhao and Xinyang Yu,<br />
2008, Flotation separation of diaspore from<br />
kaolinite, pyrophyllite and illite using three cationic<br />
collectors, Institute of Chemistry and<br />
Chemical Engineering, Central South University,<br />
Changsha 410083, China , Institute of<br />
Minerals Processing and Bioengineering, Central<br />
South University, Changsha 410083,<br />
China.<br />
Jamieson, E. A. Jones, D. Cooling and N. Stockton,<br />
2006, Magnetic separation of Red Sand<br />
to produce value, Alcoa World Alumina, Technology<br />
Delivery Group, P.O. Box 161,<br />
Kwinana, WA 6966, Australia, Curtin University<br />
of Technology, Perth, WA, Australia.<br />
Liuyin Xia, Hong Zhong, Guangyi Liu, Zhiqiang<br />
Huang and Qingwei Chang, 2009, Flotation<br />
separation of the aluminosilicates from diaspore<br />
by a Gemini cationic collector, School<br />
Pengolahan <strong>dan</strong> Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />
103
of Chemistry and Chemical Engineering, Central<br />
South University, Changsha, 410083, PR<br />
China, b School of Chemical Engineering and<br />
Technology, Tianjin University, Tianjin 300072,<br />
PR China.<br />
Massola, C.P., Chaves, A.P., Lima, J.R.B. and<br />
Andrade, C.F., 2008, Separation of silica from<br />
bauxite via froth flotation, a Department of Mining<br />
and Petroleum Engineering–Escola<br />
Politécnica, USP, 2373, Prof. Mello Moraes<br />
Av. 05508-900 SP, Brazil, Companhia Brasileira<br />
de Alumínio, Miraí Department, Fazenda<br />
Chorona, Miraí 36790-000, MG, Brazil.<br />
Nandi, A. K., 2004, Present Status Of Bauxite-<br />
Alumina Industry Of India, Minerals and Metals<br />
Division, MFC Commodities India 104-B,<br />
Suraksha Apartments, 16, Hindustan Colony,<br />
Amravati Road Nagpur-440033; INDIA.<br />
Patricia A. Plunkert, 2009, Bauxite And Alumina,<br />
http://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/commodity/bauxite/090495.pdf.<br />
Steven F. McGrath and Lawrence C. Farrar, 1998,<br />
Sonochemical Technology for Processing<br />
Bauxite, http://doc.tms.org/ezMerchant/<br />
prodtms.nsf/ProductLookupItemID/JOM-9805-<br />
34/$FILE/JOM-9805-34F.pdf?OpenElement,<br />
diakses Juni 2009.<br />
Zhenghe Xu, Verne Plitt and Qi Liu, 2004, Recent<br />
advances in reverse flotation of diasporic ores–<br />
–A Chinese experience, Department of Chemical<br />
and Materials Engineering, University of<br />
Alberta, 536 Chemical-Mineral Engineering<br />
Building, Edmonton, Alta., Canada T6G 2G6.<br />
104 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PRESENTASI MAKALAH<br />
PARALEL III
KARAKTERISASI MERKURI DALAM SEDIMEN DAN<br />
AIR PADA PENGOLAHAN TAILING AMALGAMASI DI<br />
KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT<br />
SECARA SIANIDASI<br />
(STUDI KASUS KUD PERINTIS, DAERAH TANOYAN SELATAN)<br />
M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />
Psat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />
Telp. (022) 6030843 Faks. (022) 6003373<br />
e-mail : lutfi@tekmira.esdm.go.id, retnod@tekmira.esdm.go.id<br />
SARI<br />
Pengolahan bijih emas pada pertambangan emas rakyat umumnya dilakukan dengan proses<br />
amalgamasi menggunakan merkuri (Hg). Kurangnya pengetahuan <strong>dan</strong> keterampilan para penambang<br />
emas rakyat menyebabkan limbah tailing dari bijih emas berbentuk halus yang masih mengandung<br />
emas <strong>dan</strong> bulir Hg langsung dibuang ke perairan, sehingga produk yang dihasilkan sangat rendah <strong>dan</strong><br />
dapat menimbulkan pencemaran yang tinggi.<br />
Di Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Propinsi Sulawesi Utara, tambang emas<br />
skala kecil yang dikelola KUD Perintis mengalihkan proses pengolahan emas dari secara amalgamasi<br />
cara sianidasi untuk meningkatkan perolehan bijihnya. Pada saat ini, proses yang berlangsung<br />
merupakan gabungan dari proses amalgamasi <strong>dan</strong> sianidasi, yakni mengolah tailing yang berasal dari<br />
proses amalgamasi dengan cara sianidasi.<br />
Dampak negatif kegiatan pengolahan tailing amalgamasi dengan cara sianidasi diamati melalui kondisi<br />
kualitas perairan <strong>dan</strong> sedimen disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi Hg di air berkisar antara<br />
(0,<strong>01</strong> - 0,034 mg/L) pada semua lokasi penelitian yakni di daerah hulu, outlet pengolahan, <strong>dan</strong> hilir.<br />
Kondisi ini telah melewati baku mutu yang diperbolehkan dalam (Peraturan Pemerintah Nomor 82<br />
Tahun 20<strong>01</strong> tentang Pengelolaan Kualitas Air <strong>dan</strong> Pengendalian Pencemaran Air Kelas II <strong>dan</strong> KEP-<br />
202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas <strong>dan</strong>/atau Tembaga.<br />
Konsentrasi Hg pada sedimen yang berkisar pada 0,17 - 0,20 ppm di semua lokasi penelitian belum<br />
melewati ambang batas aman terhadap racun yang ada (sesuai Washington state Sediment, WAC<br />
172 – 204 – 320). Tetapi kadar merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring turunnya merkuri di air<br />
ke dasar sungai.<br />
<strong>Kata</strong> kunci : pertambangan rakyat, amalgamasi, merkuri, tailing, pertambangan emas rakyat<br />
Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />
105
ABSTRACT<br />
Artisanal gold mine generally proceeds in amalgamation process. Due to the lack of skill and knowladge,<br />
miners usually dispose tailing that contains gold and mercury directly to the water. Of course it will<br />
produce low gold recovery and cause high risk in environmental pollution.<br />
At Lolayan in the Bolaang Mongondow district, North Sulawesi, the small scale goldmining whichmanaged<br />
by KUD Perintis change gold processing from amalgamation to cyanidation methode to improve<br />
gold ore receipt. But sometimes they were combined both of the two methodes by processing the<br />
amalgamation tailing with cyanidation methode.<br />
The negative impacts of cyanidation process to the amalgamation tailing was conducted by observe<br />
the water quality and its sediment surrounding the processing area. Mercury concentration in water<br />
was found in the range of 0,<strong>01</strong> - 0,034 mg/L. Those happened in almost entire waters from upstream<br />
to downstream. Unfortunately, the mercury concentration has exceeded the standard mentioned in<br />
Government Regulation No. 82/20<strong>01</strong> about Water Quality Assessment and Water Pollution Handling<br />
Class II and in the Decree of Environment Ministry KEP-202/MENLH/2004 about Waste water standard<br />
for Gold/Copper Processing. Mercury concentration in the sediment found in the range of 0,17 -<br />
0,20 ppm in all sampling location. These are still in the permitted concentration range (based on<br />
Washington state Sediment, WAC 172-204-320). But mercury concentration could become increased<br />
as the mercury<br />
Keywords : amalgamation, cyanidation, tailing, gold artisanal mining<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Salah satu tujuan pembangunan nasional yang<br />
berwawasan lingkungan adalah terciptanya<br />
keserasian hubungan antara manusia dengan<br />
lingkungan alam sekitarnya dengan cara<br />
pembangunan yang berkelanjutan. Dalam laporan<br />
Komisi Sedunia tentang Lingkungan <strong>dan</strong><br />
Pembangunan (WCED, 1987) pembangunan<br />
berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan<br />
yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan<br />
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi<br />
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan<br />
mereka” (www.fathom.com). Oleh karenanya<br />
pengelolaan bahan galian harus diupayakan<br />
secara optimal sesuai denganazas konservasi <strong>dan</strong><br />
berwawasan lingkungan dengan menekan dampak<br />
negatif yang ditimbulkan seminimal mungkin.<br />
Usaha pertambangan oleh sebagian masyarakat<br />
sering dianggap sebagai penyebab kerusakan <strong>dan</strong><br />
pencemaran lingkungan. Sebagai contoh, pada<br />
kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil,<br />
pengolahan bijih emas dilakukan melalui proses<br />
amalgamasi dengan merkuri (Hg) sebagai media<br />
untuk mengikat emas. Merkuri (Hg) yang dipakai<br />
dalam pengolahan ini termasuk dalam kategori B3<br />
(Rachmat Yusuf, 2004).<br />
Kurangnya pengetahuan <strong>dan</strong> keterampilan para<br />
penambang, menyebabkan limbah yang berupa<br />
ampas pengolahan (tailing) yang dihasilkan masih<br />
mengandung emas <strong>dan</strong> butir-butir Hg yang<br />
biasanya langsung dibuang ke perairan. Sebagai<br />
akibatnya, perolehan hasil akhir (produk) yang<br />
didapat sangat rendah. Berdasarkan kenyataan<br />
tersebut, tambang rakyat di Sulawesi Utara<br />
mengubah sistem pengolahannya dengan<br />
menggunakan proses sianidasi baik untuk<br />
mengolah bijihnya ataupun ampas pengolahannya<br />
yang masih mengandung emas. Proses sianidasi<br />
untuk tailing pengolahan dipakai untuk<br />
meningkatkan perolehan produknya. Namun<br />
proses sianidasi ini, menimbulkan juga dampak<br />
negatif karena tailing amalgamasi masih<br />
mengandung merkuri <strong>dan</strong> logan ikutan lainnya,<br />
seperti Cu, Pb, Zn. A<strong>dan</strong>ya interaksi ion Hg dengan<br />
CN akan mempermudah kelarutan, penyebaran<br />
<strong>dan</strong> termetilasi (pembentukan metil-Hg), sehingga<br />
diperkirakan bahaya yang ditimbulkan akan lebih<br />
tinggi. Secara umum proses sianidasi pada<br />
pengolahan bijih emas pada pertambangan emas<br />
rakyat dilakukan pada kondisi basa. Meskipun<br />
sebagian besar sianida dalam proses pengolahan<br />
ini dapat dimanfaatkan kembali, air larian dari<br />
penyaringan kompleks emas sianida masih tetap<br />
mengandung senyawa beracun ini meski dalam<br />
106 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
jumlah yang relatif sedikit. Pada kegiatan tambang<br />
rakyat yang dilakukan di KUD ini, biasanya hasil<br />
tailing proses amalgamasi diproses lagi guna<br />
meningkatkan perolehan bijih. Tahapan-tahapan<br />
proses pengolahan dengan sistem sianidasi dapat<br />
dilihat pada Gambar 1.<br />
Setelah proses pelindian selesai, dilakukan dengan<br />
proses penyaringan (screening) untuk memisahkan<br />
karbon aktif yang telah menyerap kompleks<br />
sianida - emas <strong>dan</strong> membuang tailingnya. Karbon<br />
aktif hasil penyaringan tersebut digarang (roasted)<br />
sampai menjadi abu untuk menghilangkan<br />
senyawa siani<strong>dan</strong>ya, abu hasil penggarangan<br />
ditambah boraks <strong>dan</strong> digarang lagi untuk<br />
menghasilkan bulion emas <strong>dan</strong> perak. Bulion<br />
tersebut selanjutnya direaksikan dengan aqua regia<br />
untuk memisahkan emas <strong>dan</strong> peraknya.<br />
Dampak pemakaian sianida pada kegiatan<br />
pengolahan emas di tambang-tambang rakyat<br />
diperkirakan akan lebih serius mengingat senyawa<br />
sianida tersebut mampu melarutkan logam-logam<br />
lain yang terdapat di dalam batuannya. Di samping<br />
itu apabila kreativitas rakyat dalam mengkombinasikan<br />
proses amalgamasi <strong>dan</strong> sianidasi tidak<br />
dapat terkontrol diperkirakan akan terjadi pula<br />
peningkatan dalam jumlah merkuri yang ikut<br />
terlarutkan.<br />
Penelitian ini hendak melihat karakteristik merkuri<br />
yang berasal dari tailing amalgamasi yang diolah<br />
dengan cara sianidasi. Disamping itu akan diamati<br />
pula kandungan logam-logam berat lain yang<br />
terdapat dalam batuan pembawa bijihnya serta<br />
karakteristik sedimen pada kolam pengendapan<br />
pada proses sianidasi. Berbeda dengan<br />
kontaminasi yang umumnya terjadi di lingkungan,<br />
penurunan kualitas air permukaan yang<br />
disebabkan oleh a<strong>dan</strong>ya logam-logam berat<br />
terlarut akibat proses sianidasi merupakan parameter<br />
yang akan dominan diamati. Parameter CN<br />
total yang berasal dari perairan <strong>dan</strong> kolam<br />
pengendapan akan ditentukan pula.<br />
Tailing Amalgamasi<br />
Tanki Penampungan<br />
crusher,stamp mill, ball mill<br />
Larutan NaCN<br />
Kapur<br />
Karbon Aktif<br />
Tailing<br />
Tanki Reaktor Sianidasi<br />
Screen<br />
(penyaring)<br />
Reaksi yang terjadi:<br />
2 Au + 4 NaCN + 1/2 O + H O <br />
2 NaAu(CN) + 2 NaOH<br />
Roasting<br />
(penggarangan)<br />
Karbon aktif yang<br />
menyerap kompleks<br />
emas <strong>dan</strong> sianida<br />
Settling Pond<br />
(kolam pengendap)<br />
Roasting<br />
(penggarangan)<br />
Bullion Emas <strong>dan</strong> Perak<br />
Gambar 1.<br />
Diagram alir proses pengolahan bijih emas sistem sianidasi<br />
Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />
107
2. METODOLOGI<br />
Lokasi Penelitianterletak di daerah Tanoyan,<br />
Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.<br />
Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa<br />
daerah ini merupakan salah satu daerah tambang<br />
rakyat yang dikelola oleh KUD Perintis yang<br />
mengolah bijih emas <strong>dan</strong> tailing amalgamasi<br />
dengan proses sianidasi. Lokasi penelitian terletak<br />
+ 240 km dari Kota Manado atau 30 km dari Kota<br />
Kotamobagu (gambar 2).<br />
kan peralatan pH meter (water quality checker),<br />
conductivity meter. Parameter kimia lain seperti<br />
merkuri <strong>dan</strong> logam-logam terlarut ditentukan dengan<br />
Atomic Absorption Spectrometer.<br />
Metode Pengambilan Conto yang dilakukan,<br />
meliputi; conto bijih, ampas, sedimen, air,<br />
se<strong>dan</strong>gkan analisis yang digunakan untuk logam<br />
berat dengan metode AAS.<br />
Gambar 2.<br />
Peta kesampaian daerah<br />
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini<br />
adalah dengan survey langsung (Grounded checking),<br />
yang meliputi pengambilan contoh air <strong>dan</strong><br />
sedimen. Lokasi pengambilan conto air ada di 3<br />
tempat, yaitu di hulu pengolahan, lokasi pengolahan,<br />
<strong>dan</strong> hilir pengolahan. Titik-titik lokasi tersebut<br />
ditampilkan pada gambar 2. Pada lokasi pengolahan<br />
dilakukan pengambilan contoh di 4 kolam<br />
pengendapan.<br />
Parameter tertentu seperti pH <strong>dan</strong> Daya Hantar Listrik<br />
ditentukan langsung di lapangan dengan mengguna-<br />
Untuk parameter logam, penyimpanan contoh<br />
dilakukan dalam wadah contoh bervolume 500<br />
mLyang terbuat dari plastik. Untuk keperluan<br />
analisis laboratorium, volume conto yang<br />
diperlukan adalah sebanyak 100 mL untuk merkuri.<br />
Untuk merkuri diberikan penambahan pengawet<br />
HNO 3 dengan pH
Pengambilan conto sedimen dilakukan secara<br />
grab sampling dengan menggunakan sekop pada<br />
lokasi pengambilan air <strong>dan</strong> di salah satu mulut<br />
tambang. Conto yang diambil masing-masing ± 1<br />
kg, kemudian dimasukkan ke dalam kantung<br />
plastik berlabel.<br />
Adapun parameter-parameter yang dianalisis di<br />
laboratorium adalah merkuri (Hg) <strong>dan</strong> logam-logam<br />
berat lain seperti Pb, Cu <strong>dan</strong> Zn.<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
3.1. Kualitas Air (Air Sungai)<br />
Kualitas air merupakan hal yang paling pokok<br />
dalam kegiatan ini karena air (sungai) merupakan<br />
tempat bercampurnya faktor-faktor alami dengan<br />
unsur-unsur pencemar <strong>dan</strong> air juga merupakan<br />
unsur esensial yang dibutuhkan oleh makhluk<br />
hidup dalam kehidupan kesehariannya (UNEP,<br />
Gambar 3.<br />
Peta lokasi pengambilan contoh<br />
Tabel 1.<br />
Koordinat lokasi pengambilan contoh<br />
No. Lokasi<br />
Titik<br />
LU<br />
BT<br />
1 Hulu 124° 15’ 40,22" 0° 36’ 28,47"<br />
2 Pengolahan 124° 15’ 05,27" 0° 36’ 27,83"<br />
3 Hilir 124° 16’ 23,34" 0° 36’ 2,81"<br />
Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />
109
1991). Sehingga dapat dikatakan ba<strong>dan</strong> air<br />
merupakan tempat interaksi langsung antara unsur<br />
hayati dengan unsur pencemar. Secara alamiah<br />
sungai mempunyai kemampuan dalam<br />
pembersihan diri (self purification) sepanjang<br />
buangan yang diterima sungai tidak melebihi<br />
kapasitas asimilasi sungai (assimilative capacity).<br />
Sementara, dalam kurun waktu cukup lama, unsur<br />
merkuri yang terbuang ke sungai kemungkinan<br />
dapat menjadi senyawa metil merkuri yang<br />
berbahaya melalui proses yang terjadi secara<br />
alamiah.Hasil pengukuran parameter fisik air di<br />
lapangan (pH, temperatur, DHL, TDS, <strong>dan</strong> TSS)<br />
dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah.<br />
Analisis laboratorium conto air untuk logam berat<br />
ditentukan dengan metode spektrofotometri.<br />
Kegiatan tersebut digunakan untuk mengetahui<br />
perubahan-perubahan yang telah terjadi di daerah<br />
sekitar penambangan khususnya <strong>dan</strong> daerah<br />
Tanoyan Selatan, Kecamatan Lolayan sebagai<br />
akibat a<strong>dan</strong>ya pertambangan bijih emas dengan<br />
sebagian besar hasil pengolahan limbahnya<br />
dibuang ke anak sungai Onggak. Hasil analisis<br />
laboratorium conto air dapat dilihat pada tabel<br />
dibawah ini.<br />
Menurut data kualitas air yang diperoleh, diketahui<br />
kadar merkuri (Hg) di semua lokasi percontoan<br />
Tabel 2.<br />
Parameter fisik contoh air di lokasi pengolahan <strong>dan</strong> sungai di sekitarnya<br />
No. Lokasi pH TDS<br />
Suhu DHL TSS<br />
[°C] [µmhos] [mg/L]<br />
1. Air bor dapur 8,34 160 - - 4.8<br />
2. Kolam pengolahan 1 8,37 500 30,2 852 88<br />
3. Kolam pengolahan 2 6,35 390 29,3 648 208<br />
4. Kolam pengolahan 3 8,56 250 31,4 391,4 743<br />
5. Kolam pengolahan 4 2,85 670 31,1 989 108.8<br />
6. Outlet pengolahan bijih 8,2 210 27,2 312 18<br />
7. Hulu Sungai Tanoyan 8,34 160 24,8 245,7 -<br />
8. Outlet pengolahan keseluruhan 8,12 190 27,3 337 42<br />
9. Hilir 8,37 180 28,3 267,8 4.8<br />
Tabel 3.<br />
Hasil analisis sianida <strong>dan</strong> logam-logam berat dalam contoh air di lokasi pengolahan<br />
<strong>dan</strong> sungai di sekitarnya<br />
No.<br />
Lokasi<br />
CN Total Hg Pb Cu Zn<br />
[mg/L] [mg/L] [mg/L] [mg/L] [mg/L]<br />
1 Air bor dapur* 0,058 0,055 0,110 0,002 0,073<br />
2 Kolam pengolahan 1 86,400 0,17 0,068 8,110 0,550<br />
3 Kolam pengolahan 2 3,920 0,16 0,073 26,200 0,055<br />
4 Kolam pengolahan 3 21,700 0,17 0,110 4,790 0,033<br />
5 Kolam pengolahan 4 2,170 0,15 0,170 1,490 0,080<br />
6 Outlet pengolahan bijih 16,700 0,20 0,097 3,230 0,068<br />
7 Hulu S. Tanoyan** 0,066 0,024 0,089 0,150 0,048<br />
8 Outlet pengolahan keseluruhan*** 7,960 0,<strong>01</strong>0 0,083 0,042 0,030<br />
9 Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)** 0,<strong>01</strong>9 0,034 0,110 0,<strong>01</strong>60 0,023<br />
Baku Mutu* 0,1 0,0<strong>01</strong> 0,05 1 5<br />
Baku Mutu** 0,02 0,002 0,03 0,02 0,05<br />
Baku Mutu *** 0,5 0,005 1 2 5<br />
Catatan:<br />
* Peraturan Menteri Kesehatan RI No.: 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Daftar Persyaratan Kualitas Air Minum<br />
** Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 20<strong>01</strong> tentang Pengelolaan Kualitas Air <strong>dan</strong> Pengendalian Pencemaran Air Kelas II<br />
*** KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas <strong>dan</strong>/atau Tembaga<br />
110 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
(hulu <strong>dan</strong> hilir sungai Tanoyan serta outlet pengolahan<br />
keseluruhan) sudah melebihi baku mutu yang<br />
ditentukan. Bahkan pada daerah hulu, dimana<br />
ba<strong>dan</strong> air belum mendapatkan masukan dari<br />
proses pengolahan maupun proses penambangan,<br />
kadar merkuri pun sudah diatas baku mutu.<br />
Hal ini dapat terjadi karena a<strong>dan</strong>ya proses<br />
amalgamasi oleh penambang-penambang lain di<br />
luar KUD yang menggunakan merkuri di daerah<br />
sungai yang lebih tinggi <strong>dan</strong>/atau a<strong>dan</strong>ya susunan<br />
batuan yang mengandung merkuri (Tabel 4 hasil<br />
analisis batuan asal) di daerah penelitian.<br />
sebelum masuk kolam pengolahan (outlet<br />
pengolahan bijih) adalah 0,2 mg/L, <strong>dan</strong> setelah<br />
melewati 4 kolam pengolahan turun hingga 0,<strong>01</strong><br />
mg/L atau turun sebanyak 0,19 mg/L. Kadar<br />
merkuri di daerah hilir lebih tinggi dibandingkan<br />
dengan daerah outlet pengolahan menandakan<br />
a<strong>dan</strong>ya penambahan merkuri yang mungkin<br />
berasal dari kegiatan di sekitar sungai tersebut<br />
meskipun pemerintah daerah sudah melakukan<br />
berbagai pembatasan.<br />
Kadar sianida yang berada diatas baku mutu<br />
terdapat di daerah/area pengolahan, hal ini<br />
Tabel 4.<br />
Hasil analisis sedimen pada kedalaman 0 – 10 cm <strong>dan</strong> batuan<br />
No.<br />
Lokasi<br />
Hg Pb Cu Zn As Cr Ni<br />
[ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm]<br />
1 Kolam pengolahan 1 0,70 tt 17,86 54,3 74,70 45,6 8,31<br />
2 Kolam pengolahan 2 0,37 14,14 47,10 136,0 51,00 56,5 4,27<br />
3 Kolam pengolahan 3 0,36 65,40 162,00 367,0 39,00 86,0 8,98<br />
4 Kolam pengolahan 4 3,<strong>01</strong> 33,90 60,7 136,0 105,00 79,3 0,88<br />
5 5 meter dari pengolahan bijih 2,66 17,27 130,00 74,9 74,20 158,4 2,35<br />
6 Hulu S. Tanoyan* 0,17 tt 56,70 100,0 0,97 42,0 3,87<br />
7 Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)* 0,20 tt 87,90 97,8 1,29 47,5 4,06<br />
8 Lubang tambang (batuan asal) 0,16 6,88 34,70 428,0 1,74 38,5 10,47<br />
Baku Mutu* 0,41 450 390 410 57 250 -<br />
Catatan:<br />
* Washington state Sediment, WAC 172 – 204 – 320<br />
Hasil penelitian terdahulu (Selinawati <strong>dan</strong> Ngurah<br />
Ardha, 2003) pada pertambangan emas di KUD<br />
Perintis data kualitas air yang mengandung kadar<br />
merkuri di kolam pengolahan 1 adalah 0.0814 ppm,<br />
kolam pengolahan 2 adalah 0.0539 ppm, se<strong>dan</strong>gkan<br />
pada S. Onggak (hilir S. Tanoyan) mencapai<br />
0.0<strong>01</strong>1. Pada saat itu, KUD Perintis melakukan<br />
pengolahan dengan proses amalgamasi saja dari<br />
bijih emas <strong>dan</strong> menggunakan hanya 2 kolam<br />
pengolahan. Data menunjukkan bahwa konsentrasi<br />
Hg dalam air sangat kecil, hal ini kemungkinan<br />
disebabkan karena kelarutan Hg dalam air sangat<br />
kecil. Pada penelitian ini (2008) nilai konsentrasi<br />
Hg di daerah pengolahan berkisar antara 0,15 –<br />
0,20 ppm. Peningkatan ini dimungkinakn oleh<br />
a<strong>dan</strong>ya ion CN dalam pengolahan tailing<br />
amalgamasi yang dapat melarutkan Hg.<br />
Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan logam,<br />
kolam pengolahan efektif dalam menurunkan kadar<br />
merkuri pada air buangan, dimana kadar merkuri<br />
dikarenakan proses pengolahan tailing<br />
amalgamasi menggunakan proses sianidasi. Pada<br />
proses sianidasi ini ditambahkan unsur Zn untuk<br />
mengendapkan logam emas <strong>dan</strong> peraknya. Tetapi<br />
rendahnya konsentrasi Zn di dalam air (tabel 2)<br />
dibandingkan konsentrasi awal/alami Zn pada<br />
batuan bijih (tabel 3) disebabkan terjadinya<br />
pengendapan unsur Zn selama aliran pengolahan.<br />
Proses yang biasanya terjadi adalah:<br />
2Zn + 2NaAu(CN) 2 + 4NaCN + 2H 2O = 2Au +<br />
2NaOH + 2Na 2Zn(CN) 4 + H 2<br />
3.2. Kualitas Sedimen<br />
Sedimen merupakan tempat logam berat<br />
mengendap secara gravitasi di ba<strong>dan</strong> perairan.<br />
Kualitas sedimen ba<strong>dan</strong> perairan harus lebih serius<br />
diperhatikan karena sifatnya sebagai tempat akhir<br />
logam berat di alam. Dan pada akhirnya logam<br />
berat yang ada di sedimen dapat kembali ke ba<strong>dan</strong><br />
Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />
111
air karena berbagai hal, misalnya karena arus<br />
sungai, hujan, atau jalur transportasi (DPE.<br />
Pedoman Teknis Penyusunan AMDAL untuk<br />
kegiatan Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong>, 1996).<br />
Kontaminasi merkuri (Hg) dalam sedimen sungai<br />
terjadi karena proses alamiah (pelapukan batuan<br />
termineralisasi), proses pengolahan emas secara<br />
tradisional (amalgamasi), maupun proses industri<br />
yang menggunakan bahan baku yang mengandung<br />
merkuri. Untuk mengetahui sumber kontaminasi<br />
Hg ini perlu diperhatikan dengan cermat.<br />
Untuk mengetahui a<strong>dan</strong>ya kontaminasi logam<br />
berat dalam sedimen maka dilakukan pemeriksaan<br />
sedimen di lokasi yang diperkirakan terkena<br />
dampak proses pengolahan tailing. Pengambilan<br />
conto sedimen dilakukan pada kolam pengendap,<br />
hulu sungai, hilir sungai. Selanjutnya conto<br />
sedimen, batuan bijih, <strong>dan</strong> tanah dianalisis di<br />
laboratorium menggunakan metode AAS.<br />
Dari hasil analisis conto tersebut di atas, kemudian<br />
dilakukan perbandingan dengan peraturan <strong>dan</strong><br />
standar yang dapat dianggap sebagai tolok ukur<br />
kualitas konsentrasi unsur di alam. Oleh karena<br />
itu sumber acuan yang dijadikan sebagai<br />
pembanding pada laporan ini adalah Washington<br />
state Sediment, WAC 172 – 204 – 320. Data<br />
kualitas sedimen dapat dilihat pada tabel 4.<br />
Adapun hasil penelitian kandungan merkuri dalam<br />
sedimen apabila dibandingkan dengan data tahun<br />
2003 menunjukkan penurunan. Namun demikian<br />
nilai tersebut masih dibawah ambang batas aman.<br />
Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai<br />
kualitas air <strong>dan</strong> sedimen pada tahun 2003 sebagai<br />
pembanding dapat dilihat pada Tabel 4.<br />
Berdasarkan hasil diatas, terlihat bahwa<br />
kandungan merkuri pada sedimen di daerah yang<br />
memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat<br />
sekitar (daerah hulu <strong>dan</strong> hilir sungai Tanoyan)<br />
berada dibawah ambang batas aman yang<br />
dikeluarkan Washington state Sediment, WAC<br />
172 – 204 – 320. Tetapi tetap perlu diperhatikan<br />
a<strong>dan</strong>ya keterkaitan antara kadar merkuri di air <strong>dan</strong><br />
sedimen dengan beberapa faktor lingkungan, yaitu<br />
hujan, arus sungai, <strong>dan</strong> jalur transportasi<br />
masyarakat.<br />
Tabel 5. Conto data kualitas air <strong>dan</strong> sedimen di KUD Perintis tahun 2003<br />
No<br />
Lokasi<br />
Konsentrasi Hg [ppm]<br />
A i r Sedimen<br />
1 Kolam Pengolahan 1 0,0814 0,67<br />
2 Kolam Pengolahan 2 0,0539 3,12<br />
3 S. Tanoyan 1 (Hulu S. Tanoyan) 0,0<strong>01</strong> 0,42<br />
4 S. Tanoyan 2 0,0739 1,49<br />
5 S. Tanoyan 3 0,<strong>01</strong>79 5,97<br />
6 S. Onggak 0,0<strong>01</strong>1 0,92<br />
<strong>Sumber</strong> : Selinawati <strong>dan</strong> Ngurah Ardha, 2003<br />
Gambar 4.<br />
Hubungan keterkaitan antara konsentrasi merkuri di sedimen <strong>dan</strong> air<br />
112 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
Pada Gambar 4 ditunjukkan hubungan antara<br />
konsentrasimerkuri di sedimen <strong>dan</strong> air, di mana<br />
semakin ke hilir ba<strong>dan</strong> air. Se<strong>dan</strong>gkan jumlah<br />
merkuri di air <strong>dan</strong> sedimen sangat berkaitan,<br />
dimana keberadaan merkuri di air merupakan<br />
tempat singgah sementara sebelum sampai di<br />
dasar (berkaitan dengan berat jenisnya) <strong>dan</strong> juga<br />
merupakan pelepasan merkuri dari sedimen yang<br />
diakibatkan beberapa faktor, antara lain arus<br />
sungai (karena merupakan sungai <strong>dan</strong>gkal), hujan,<br />
ataupun lintasan transportasi dari masyarakat<br />
sekitar. Kadar merkuri di air pada daerah<br />
pengolahan relatif rendah dibandingkan pada<br />
sedimen, hal ini disebabkan oleh a<strong>dan</strong>ya ikatan<br />
kompleks sebagai senyawa merkuri-sianid (HgCN)<br />
yang mengendap.<br />
4. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
4.1. Kesimpulan<br />
Berdasarkan hasil kajian pengolahan tailing<br />
dengan proses sianidasi dapat ditarik kesimpulan<br />
sebagai berikut:<br />
• Berdasarkan informasi dari penambang<br />
karakterisasi pada kegiatan pengolahan tailing<br />
amalgamasi dengan proses sianidasi<br />
dipertambangan emas rakyat dapat<br />
meningkatkan efisiensi perolehan bulion emas<br />
dari bijihnya, dari +40% secara amalgamasi<br />
sendiri menjadi +90% secara kombinasi<br />
amalgamasi <strong>dan</strong> sianidasi, sehingga<br />
meningkatkan pendapatan para penambang.<br />
Proses kombinasi ini diterapkan karena<br />
keberadaan bijih emas dengan bentuk kasar<br />
semakin sedikit.<br />
• Kegiatan pengolahan tailing amalgamasi<br />
dengan proses sianidasi memberikan dampak<br />
negatif terhadap kualitas air <strong>dan</strong> sedimen<br />
disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi<br />
Hg di air (0,<strong>01</strong> - 0,034 mg/L) pada semua<br />
lokasi penelitian (hulu, outlet pengolahan, <strong>dan</strong><br />
hilir) melewati baku mutu yang diperbolehkan<br />
(sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82<br />
Tahun 20<strong>01</strong> tentang Pengelolaan Kualitas Air<br />
<strong>dan</strong> Pengendalian Pencemaran Air Kelas II<br />
<strong>dan</strong> KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku<br />
Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih<br />
Emas <strong>dan</strong>/atau Tembaga). Konsentrasi Hg<br />
pada sedimen (0,17 - 0,20 ppm) pada semua<br />
lokasi penelitian belum melewati ambang<br />
batas aman terhadap racun yang ada (sesuai<br />
Washington state Sediment, WAC 172 – 204<br />
– 320) yaitu sebesar 1 ppm. Tetapi kadar<br />
merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring<br />
mengendapnya merkuri ke dasar sungai.<br />
4.2. Saran<br />
Dari kegiatan penelitian merkuri dalam sedimen<br />
<strong>dan</strong> air pada pengolhan tailing amalgamasi di<br />
pertambangan emas rakyat secara sianidasi,<br />
maka diperlukan:<br />
• Pembinaan terhadap para penambang <strong>dan</strong><br />
pengusaha pengolahan tailing agar lebih<br />
memeperhatikan aspek lingkungan dalam<br />
setiap kegiatannya.<br />
• Diperlukan a<strong>dan</strong>ya pengawasan yang lebih<br />
ketat dari pemerintah baik pusat maupun<br />
daerah berkaitan dengan kegiatan penambangan<br />
<strong>dan</strong> pengolahan emas yang memiliki<br />
dampak besar terhadap lingkungan.<br />
• Perlu dibentuk wilayah pertambangan rakyat<br />
(WPR) untuk lebih memudahkan pemerintah<br />
dalam hal koordinasi <strong>dan</strong> pengawasan<br />
kegiatan penambangan <strong>dan</strong> pengolahan emas<br />
rakyat.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu<br />
Selinawati TD <strong>dan</strong> Bapak Harry Tetra Antono atas<br />
saran serta sumbang wawasan terhadap tulisan<br />
ini.Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada<br />
Bapak Marsen Alimano <strong>dan</strong> Ibu Wulandari Surono<br />
yang telah membantu selama percobaan <strong>dan</strong><br />
penelitian ini berlangsung.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anonim. Sediment Quality Standards (WAC 172-<br />
204-320). Washington NEL.<br />
Draft. Global Mercury Project, 2004, Protocol for<br />
Environment and Health Assessment.<br />
<strong>Departemen</strong> Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong>., 1996,<br />
Pedoman Teknis Penyusunan Analisis<br />
Mengenai Dampak Lingkungan Untuk<br />
Kegiatan Pertambangan <strong>dan</strong> <strong>Energi</strong>.<br />
http://www.fathom.com/course/seasion2<br />
Karakteristik Merkuri dalam Sedimen <strong>dan</strong> Air pada Pengolahan ... M. Lutfi <strong>dan</strong> Retno Damayanti<br />
113
Tim Terpadu Pusat Penanggulangan Masalah<br />
Pertambangan Tanpa Ijin (PETI, 2000,<br />
Penanggulangan Masalah Pertambangan<br />
Tanpa Izin (PETI) (Implementasi Inpres No.<br />
3 Tahun 2000). <strong>Departemen</strong> <strong>Energi</strong> <strong>dan</strong><br />
<strong>Sumber</strong> Daya Mineral.<br />
Selinawati.T.D. and Ngurah Ardha, 2003, Study<br />
On Mercury Lost and Its Concentration from<br />
Artisanal Gold Minings in Indonesia. Research<br />
and Development Center for Mineral and Coal<br />
Technology.<br />
Yusuf, Rachmat, 2004, Amalgamasi.<br />
Penambangan <strong>dan</strong> Pengolahan Emas di Indonesia.<br />
Puslitbang Teknologi Mineral <strong>dan</strong><br />
Batubara.<br />
World Commision on Enviroment & Development<br />
(WCED), 1987<br />
114 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
PENGARUH PENGGUNAAN ULTRASONIK<br />
TERHADAP HASIL PEMISAHAN PASIR ZIRKON<br />
KALIMANTAN TENGAH DENGAN ELECTROSTATIC<br />
SEPARATOR<br />
Pramusanto 1 , Nuryadi Saleh 1 , Yuhelda 1 <strong>dan</strong> Fitriza Yuliana 2<br />
1 Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Teknologi Mineral <strong>dan</strong> Batubara<br />
Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />
Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />
e-mail : pramusanto@tekmira.esdm.go.id, nuryadi@tekmira.esdm.go.id, yuhelda@tekmira.esdm.go.id<br />
2 Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Islam Bandung (UNISBA)<br />
Jl. Taman Sari No. 1, 20, 22, 24, 26 Bandung 4<strong>01</strong>16<br />
SARI<br />
Zirkon sebagai hasil tailing dari pengolahan emas aluvial di Kalimantan Tengah memiliki kadar yang<br />
rendah yaitu 36,38 % ZrO 2 sehingga belum memenuhi persyaratan untuk dijual ataupun diekspor.<br />
Peningkatan kadar zirkon dilakukan dengan beberapa metoda pengolahan. Zirkon yang dilakukan<br />
pemisahan merupakan konsentrat dari magnetik separator basah. Pemisahan dilakukan berdasarkan<br />
perbedaan sifat konduktifitas listrik menggunakan electrostatic separator dimana mineral zirkon (ZrSiO 4)<br />
sebagai mineral non konduktor akan terpisah dari mineral pengotornya sebagai mineral konduktor<br />
seperti ilmenit (FeTiO 3) <strong>dan</strong> rutil (TiO 2). Sebelum umpan dipisahkan menggunakan variabel – variabel<br />
optimum pada electrostatic separator terlebih dahulu umpan mendapat perlakuan ultrasonik<br />
(sonikfikasi).<br />
Variabel – variabel optimum pada electrostatic separator :<br />
• Variabel tegangan listrik 30 KV<br />
• Variabel posisi splitter 30°<br />
• Variabel skala kecepatan umpan 7,5<br />
Variabel optimum pada ultrasonik yaitu selama 30 menit dimana umpan yang mendapat perlakuan<br />
ultrasonik dapat membersihkan pasir zirkon dari unsur –unsur minor yang tidak diinginkan.<br />
<strong>Kata</strong> kunci: zirkon, ultrasonic, electrostatic separator<br />
ABSTRACT<br />
Zircon as tailing product of alluvial gold processing in Central Kalimantan has low grade that is 36,38<br />
% ZrO 2 so that has not fulfilled clauses to be sold and or is exported. Upgrading of zircon grade is<br />
done with a few processing method. Zircon done by concentration is concentrate from wet magnetic<br />
separator. Concentration is done based on different of electrical conductivity property applies electrostatic<br />
separator where zircon mineral (ZrSiO 4) as non conductor mineral will separated from its the<br />
gangue mineral as conductor mineral for example ilmenite (FeTiO 3) and rutile (TiO 2). Before feeder<br />
concentration using optimum variables at electrostatic separator beforehand feed got treatment of<br />
ultrasonic (sonicfication).<br />
Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />
115
Optimum variables at electrostatic separator :<br />
• Voltage variable 30 KV<br />
• Variable position of splitter 30°<br />
• Feed speed scale variable 7,5<br />
Optimum variable at ultrasonic that is during 30 minutes where feeder getting treatment of ultrasonic<br />
can clean zircon sand from minor elements undesirable.<br />
Keyword: zircon, ultrasonic, electrostatic separator<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Indonesia sebagai salah satu negara penghasil<br />
zirkon memiliki penyebaran zirkon di Sumatera<br />
(Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Pulau Bangka,<br />
Pulau Belitung) <strong>dan</strong> di Kalimantan (Kalimantan<br />
Tengah, Kalimantan Timur) [Suhala <strong>dan</strong> Arifin,<br />
1997]. Zirkon yang terdapat di Pulau Bangka adalah<br />
mineral ikutan bijih timah (kasiterit) yang<br />
merupakan tailing dari pengolahan timah<br />
se<strong>dan</strong>gkan zirkon yang terdapat di Kalimantan<br />
Tengah adalah mineral ikutan bijih emas aluvial<br />
yang merupakan tailing dari pengolahan bijih emas<br />
dengan alat sederhana sluice box. Karakteristik<br />
mineral - mineral pengotor pada zirkon sangat<br />
tergantung dari ganesa mineral sehingga setiap<br />
tempat memiliki karakteristik mineral yang<br />
berbeda (Pramusanto, Dahlan <strong>dan</strong> Saleh, 2007).<br />
Zirkon yang ditemukan di Kalimantan Tengah<br />
kemungkinan berasosiasi dengan mineral – mineral<br />
pengotor seperti ilmenit (FeTiO 3 ), monasit<br />
((Ce, La, Y, Th)PO 4 ), rutil (TiO 2 ), xenotim (YPO 4 )<br />
<strong>dan</strong> kuarsa (SiO 2 ) [www.bgl.esdm.go.id]. Sebagian<br />
besar mineral – mineral pengotor di atas<br />
merupakan mineral berat sehingga perlu dilakukan<br />
pengolahan <strong>dan</strong> peningkatan nilai tambahnya.<br />
Pendekatan proses pengolahan mineral zirkon,<br />
proses mana yang lebih baik itu umumnya<br />
tergantung pada karakteristik zirkon yang akan<br />
diolah maupun pemanfaatan dari produk yang akan<br />
dihasilkan (Pramusanto dkk, 1997).<br />
Pemisahan secara kering yang dilakukan pada<br />
mineral - mineral berat yang terdapat dalam<br />
konsentrat menggunakan berbagai macam<br />
pemisahan berdasarkan sifat - sifat fisik mineral<br />
seperti konduktifitas listrik, kemagnetan <strong>dan</strong> gaya<br />
berat (Woodcock, 1980). Perlakuan ultrasonik<br />
(sonikasi) dilaporkan dapat membersihkan lebih<br />
lanjut terhadap produk pasir zirkon dari unsur –<br />
unsur minor yang tidak diinginkan (Farmer, 2007).<br />
Hasil penelitian pengolahan terdahulu yang telah<br />
dilakukan (Saleh <strong>dan</strong> Pramusanto, 2007) yaitu<br />
pemisahan berdasarkan berat jenis menggunakan<br />
meja goyang <strong>dan</strong> berdasarkan sifat kemagnetan<br />
menggunakan magnetik separator kering<br />
dilanjutkan dengan magnetik separator basah.<br />
Berdasarkan hasil analisis kimia terhadap<br />
konsentrat magnetik separator basah ternyata<br />
masih terdapat unsur-unsur mineral pengotor<br />
seperti rutil (TiO 2 ) <strong>dan</strong> ilmenit (FeTiO 3 ). Mineral<br />
rutil <strong>dan</strong> zirkon bersifat non magnet sehingga<br />
proses pengolahan yang dilakukan sebatas<br />
pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan masih<br />
belum memadai.<br />
Untuk membersihkan partikel – partikel halus yang<br />
menempel pada permukaan zirkon, sehingga<br />
umpan perlu mendapat perlakuan ultrasonik<br />
sebelum dipisahkan menggunakan variabel –<br />
variabel optimum pada electrostatic separator.<br />
2. METODOLOGI<br />
Metodologi peningkatan kadar pasir zirkon<br />
Kalimantan Tengah yang telah dilakukan studi<br />
bahan baku oleh pihak laboratorium pengolahan<br />
<strong>tekMIRA</strong>, yaitu dengan melakukan percobaan<br />
menggunakan ultrasonik sebelum umpan<br />
dipisahkan menggunakan variabel – variabel optimum<br />
pada electrostatic separator. Analisis<br />
terhadap nisbah konsentrasi (NK) bertujuan untuk<br />
mengetahui perbandingan antara berat umpan<br />
yang akan dipisahkan dengan berat konsentrat<br />
yang diperoleh pada proses pemisahan yang<br />
dilakukan <strong>dan</strong> kemudian akan korelasikan dengan<br />
kadar zirkon (ZrO 2 ).<br />
2.1. Persiapan <strong>dan</strong> Analisis Umpan<br />
Preparasi umpan yang akan dipisahkan<br />
berdasarkan perbedaan sifat konduktifitas listrik<br />
116 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
yang berasal dari konsentrat magnetik separator<br />
basah dilakukan bertujuan untuk mendapatkan<br />
contoh yang representatif.<br />
2.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon<br />
dengan Electrostatic Separator<br />
Peningkatan kadar pasir zirkon dalam penelitian<br />
ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan electrostatic<br />
separator yang digunakan dalam<br />
peningkatan kadar. Peningkatan kadar dapat<br />
dilakukan dengan cara memisahkan mineral non<br />
konduktor sebagai mineral berharga yaitu ZrSiO 4<br />
dengan mineral - mineral konduktor sebagai mineral<br />
pengotor seperti; TiO 2, FeTiO 3 <strong>dan</strong> lain-lain<br />
menggunakan electrostatic separator. Alat electrostatic<br />
separator yang digunakan dalam<br />
percobaan dapat dilihat pada Gambar 1.<br />
Gambar 1.<br />
Electrostatic Separator dari<br />
Reichert Equipment tipe MK III<br />
Bench seri 063<br />
2.3. Percobaan Menggunakan Ultrasonik<br />
Percobaan menggunakan alat ultrasonik yang<br />
biasa digunakan untuk membersihkan ayakan<br />
berukuran halus, seperti pada Gambar 2; dalam<br />
penelitian ini dilakukan untuk membersihkan<br />
partikel–partikel halus yang mungkin masih<br />
menempel pada permukaan butiran umpan<br />
sebelum dipisahkan dengan electrostatic separator.<br />
Gambar 2.<br />
Alat ultrasonik<br />
Percobaan dilakukan dengan variabel waktu getar<br />
selama 15 menit, 30 menit, 45 menit <strong>dan</strong> 60 menit.<br />
Pertama sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur<br />
yang berukuran 250 ml <strong>dan</strong> ditambahkan air<br />
sebanyak 150 ml atau 60 % dari kapasitas tempat<br />
penampungannya. Kemudian gelas ukur tersebut<br />
diletakkan di atas jaring atau kawat yang berada<br />
di dalam alat ultrasonik. Getaran yang terjadi pada<br />
alat ultrasonik membawa mineral ringan terangkat<br />
ke atas sehingga berdasarkan masing–masing<br />
waktu yang di variabelkan, terdapat perbedaan<br />
warna mineral yang berada di dalam gelas ukur<br />
yang telah bercampur dengan air. Setelah<br />
digetarkan menggunakan alat ini, mineral yang<br />
berada pada posisi atas dipisahkan <strong>dan</strong> terlihat<br />
lebih berwarna hitam se<strong>dan</strong>gkan pada posisi<br />
bawah sebagai konsentrat berwarna coklat<br />
kemerah – merahan.<br />
Setelah perlakuan ultrasonik dilakukan, kemudian<br />
dilakukan pemisahan basah secara manual antara<br />
partikel mineral berat yang berada pada bagian<br />
bawah gelas ukur dengan partikel mineral ringan<br />
yang berada pada bagian atas. Partikel yang<br />
berada pada bagian atas diambil menggunakan<br />
sendok tipis secara perlahan, se<strong>dan</strong>gkan sisanya<br />
yang melayang diambil dengan cara disaring<br />
menggunakan kertas penyaring. Ukuran partikel<br />
mineral sebagai hasil saringan terlihat sangat halus<br />
dibandingkan dengan ukuran butiran partikel yang<br />
mengendap. Selama percobaan ini juga terlihat<br />
air yang sebelumnya jernih berubah menjadi keruh.<br />
Sampel hasil pemisahan setelah perlakuan<br />
ultrasonik kemudian dijadikan umpan pada<br />
pemisahan dengan electrostatic separator setelah<br />
dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pengering<br />
selama satu hari. Kemudian pemisahan dilakukan<br />
Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />
117
pada kondisi variabel optimum dengan electrostatic<br />
separator yang telah dilakukan pada<br />
percobaan sebelumnya.<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
3.1. Analisis Umpan<br />
Hasil analisis kimia secara XRF (Fluoresen Sinar<br />
X) terhadap umpan sebelum dipisahkan<br />
menggunakan electrostatic separator dapat dilihat<br />
pada Gambar 3, menjabarkan grafik persentase<br />
semua unsur yang terdeteksi dalam skala logaritma.<br />
100<br />
10<br />
terhadap nisbah konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 pada<br />
Gambar 4 yaitu semakin besar tegangan listrik<br />
yang digunakan maka nisbah konsentrasinya<br />
semakin kecil <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yang dihasilkanpun<br />
semakin besar. Pemisahan yang baik seharusnya<br />
menghasilkan nisbah konsentrasi yang besar <strong>dan</strong><br />
kadar ZrO 2 yang besar pula. Hal ini berbeda<br />
dengan hasil percobaan yang dilakukan yang<br />
kemungkinan disebabkan oleh pengaruh<br />
perbedaan sifat kelistrikan atau konduktifitas mineral-mineral<br />
yang terdapat dalam umpan seperti<br />
mineral zirkon (ZrSiO 4), ilmenit (FeTiO 3), hematit<br />
(Fe 2O 3), rutil (TiO 2) <strong>dan</strong> lain-lain. Kemungkinan<br />
lain dapat disebabkan oleh jarak elektroda yang<br />
tidak sesuai, tetapi jarak elektroda tidak<br />
divariasikan di dalam percobaan ini. Dimana<br />
dengan jarak elektroda yang terlalu dekat <strong>dan</strong><br />
tegangan yang besar akan menyebabkan<br />
tertariknya semua mineral, baik yang bersifat<br />
konduktor kuat maupun konduktor lemah.<br />
1<br />
0.1<br />
0.<strong>01</strong><br />
SiO2<br />
Al2O3<br />
Fe2O3<br />
MnO<br />
CaO<br />
MgO<br />
Na2O<br />
K2O<br />
P2O5<br />
TiO2<br />
S<br />
ZrO2<br />
Nb2O5<br />
HfO2<br />
Y2O3<br />
Kadar (%)<br />
Cr2O3<br />
CeO2<br />
ThO2<br />
Unsur<br />
Hasil Analisis Umpan<br />
Gambar 3.<br />
Hasil analisis umpan<br />
3.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon<br />
dengan Electrostatic Separator<br />
Di dalam percobaan electrostatic separator ini<br />
dilakukan analisis kimia secara XRF (Fluoresen<br />
Sinar X) untuk meninjau perubahan unsur-unsur<br />
terhadap konsentrat akibat pengaruh dari variabelvariabel<br />
percobaan terhadap nisbah konsentrasi<br />
<strong>dan</strong> peningkatkan kadar.<br />
3.2.1 Pengaruh tegangan listrik terhadap<br />
nisbah konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2<br />
Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu<br />
tegangan listrik se<strong>dan</strong>gkan variabel tetapnya pada<br />
posisi splitter 40° <strong>dan</strong> pada skala kecepatan umpan<br />
5. Hasil percobaan dengan memvariabelkan<br />
tegangan listrik 15 KV, 20 KV, 25 KV <strong>dan</strong> 30 KV<br />
menghasilkan nisbah konsentrasi secara berturutturut<br />
sebesar 6,81, 4,39, 3,11, 1,68 dengan kadar<br />
ZrO 2 yang diperoleh sebesar 56,51 %, 57,46 %,<br />
59,67 % <strong>dan</strong> 61,96 %. Pengaruh tegangan listrik<br />
Gambar 4.<br />
Pengaruh tegangan listrik<br />
terhadap nisbah konsentrasi<br />
<strong>dan</strong> kadar ZrO 2 pada posisi<br />
splitter 40° <strong>dan</strong> skala kecepatan<br />
umpan 5<br />
3.2.2 Pengaruh skala kecepatan umpan<br />
terhadap nisbah konsentrasi <strong>dan</strong> kadar<br />
ZrO 2<br />
Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu<br />
skala kecepatan umpan se<strong>dan</strong>gkan variabel<br />
tetapnya pada tegangan listrik 30 KV <strong>dan</strong> posisi<br />
splitter 30 0 . Kecepatan umpan yang digunakan<br />
pada masing – masing skala kecepatan umpan<br />
2,5, 5, 7,5, 10 secara berurutan sebesar 0,47<br />
gram/menit, 2,38 gram/menit, 3,4 gram/menit <strong>dan</strong><br />
5 gram/menit. Nisbah konsentrasi yang diperoleh<br />
pada skala kecepatan umpan 2,5, (0,47 gram/<br />
menit), 5 (2,38 gram/menit), 7,5 (3,4 gram/menit)<br />
<strong>dan</strong> 10 (5 gram/menit) secara berturut – turut<br />
118 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
sebesar 1,19, 1,15, 1,18, 1,14 dengan kadar ZrO 2<br />
yang diperoleh sebesar 61,45 %, 62,70 %, 63,42<br />
% <strong>dan</strong> 62,52 %.<br />
Nisbah Konsentrasi<br />
1.2<br />
1.19<br />
1.18<br />
1.17<br />
1.16<br />
1.15<br />
1.14<br />
1.13<br />
Gambar 5.<br />
0.47 2.38 3.40 5.00<br />
Kecepatan (gram/menit)<br />
NK<br />
Kadar<br />
63.5<br />
63<br />
62.5<br />
62<br />
61.5<br />
Pengaruh skala kecepatan<br />
umpan terhadap nisbah<br />
konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2<br />
pada tegangan listrik 30 KV <strong>dan</strong><br />
posisi splitter 30°<br />
Berdasarkan grafik pada Gambar 5, pengaruh<br />
kecepatan umpan terhadap nisbah konsentrasi<br />
<strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yaitu semakin cepat umpan yang<br />
diberikan maka nisbah konsentrasinya semakin<br />
kecil <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yang dihasilkanpun semakin<br />
besar. Dengan kecepatan yang tinggi, umpan yang<br />
berukuran kasar cenderung mengalami lifting effect<br />
meskipun tidak bersifat sebagai konduktor <strong>dan</strong><br />
umpan yang berukuran halus cenderung<br />
mengalami pinning effect. Kecepatan umpan<br />
(gram/menit) pada percobaan ini tergantung skala<br />
kecepatan umpan yang dipakai <strong>dan</strong> berat masing<br />
– masing umpan yang digunakan dalam<br />
percobaan. Kecepatan yang tinggi akan<br />
mengakibatkan mineral – mineral non konduktor<br />
kasar akan terlempar ke konduktor sehingga kadar<br />
zirkon akan rendah.<br />
3.2.3 Pengaruh penggunaan ultrasonik<br />
terhadap nisbah konsentrasi <strong>dan</strong> kadar<br />
ZrO 2<br />
Ultrasonik bekerja dengan getarannya untuk<br />
melepaskan ikatan – ikatan mineral pengotor<br />
lainnya pada mineral zirkon sebagai mineral<br />
utama. Percobaan pada alat ultrasonik dilakukan<br />
dengan memvariabelkan waktu getar selama 15,<br />
30, 45 <strong>dan</strong> 60 menit. Konsentrat kering dari<br />
ultrasonik kemudian dipisahkan menggunakan<br />
electrostatic separator dengan variabel optimum<br />
pada percobaan sebelumnya yaitu pada tegangan<br />
listrik 30 KV, posisi splitter 30 0 <strong>dan</strong> skala<br />
61<br />
Kadar ZrO2 (%)<br />
kecepatan umpan 7,5.<br />
Nisbah konsentrasi yang diperoleh setelah<br />
dipisahkan menggunakan electrostatic separator<br />
dengan variabel waktu 15, 30, 45, 60 menit pada<br />
ultrasonik secara berturut – turut sebesar 1,10,<br />
1,09, 1,14 <strong>dan</strong> 1,12 dengan kadar ZrO 2 yang<br />
diperoleh sebesar 60,58 %, 60,92 %, 60,68 % <strong>dan</strong><br />
60,69 %. Pengaruh penggunaan ultrasonik dengan<br />
variabel waktu terhadap nisbah konsentrasi <strong>dan</strong><br />
kadar ZrO 2 berdasarkan Gambar 6 di atas adalah<br />
semakin lama waktu getar yang diberikan oleh<br />
ultrasonik terhadap umpan, maka nisbah<br />
konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yang dihasilkan akan<br />
semakin besar. Hal ini disebabkan karena lamanya<br />
waktu getar akan mempengaruhi hasil kerja<br />
gelombang ultrasonik sehingga juga akan<br />
berpengaruh terhadap hasil umpan yang akan<br />
dipisahkan menggunakan electrostatic separator.<br />
Nisbah Konsentrasi<br />
1.15<br />
1.14<br />
1.13<br />
1.12<br />
1.11<br />
1.1<br />
1.09<br />
1.08<br />
Gambar 6.<br />
15 30 45 60<br />
Waktu (Menit)<br />
NK<br />
Kadar<br />
61<br />
60.9<br />
60.8<br />
60.7<br />
60.6<br />
60.5<br />
Pengaruh penggunaan<br />
ultrasonik terhadap nisbah<br />
konsentrasi <strong>dan</strong> kadar ZrO 2<br />
pada tegangan listrik 30 KV,<br />
posisi splitter 30 0 <strong>dan</strong> skala<br />
kecepatan umpan 7,5<br />
3.2.4 Pengaruh penggunaan ultrasonik<br />
terhadap perolehan <strong>dan</strong> kadar ZrO 2<br />
Berdasarkan grafik yang terdapat pada Gambar 7<br />
dapat ditarik garis rata – rata sehingga diperoleh<br />
grafik yang menunjukkan kecenderungan<br />
perubahan perolehan <strong>dan</strong> kadar ZrO 2 terhadap<br />
penggunaan ultrasonik. Berdasarkan waktu getar<br />
selama 15 menit pada alat ultrasonik perolehan<br />
yang didapatkan lebih dari 90 % <strong>dan</strong> kadar 60,58<br />
% ZrO 2. Pada waktu getar selama 30 menit<br />
perolehan yang didapatkan lebih dari 90 % <strong>dan</strong><br />
kadar 60,92 % ZrO 2. Pada waktu getar selama 45<br />
menit perolehan yang didapatkan hampir 90 % <strong>dan</strong><br />
kadar 60,68 % ZrO 2 se<strong>dan</strong>gkan pada waktu getar<br />
Kadar ZrO2 (%)<br />
Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />
119
selama 60 menit perolehan yang didapatkan 90<br />
% <strong>dan</strong> kadar 60,69 % ZrO 2. Perbedaan perolehan<br />
<strong>dan</strong> kadar ZrO 2 yang didapatkan pada percobaan<br />
tidak begitu jauh dimana perolehan rata – rata<br />
zirkon hampir 90 % dengan kadar 60 % ZrO 2.<br />
Kondisi optimum penggunaan ultrasonik yaitu<br />
pada waktu getar selama 30 menit.<br />
Perolehan (%)<br />
93<br />
92<br />
91<br />
90<br />
89<br />
88<br />
87<br />
Gambar 7.<br />
15 30 45 60<br />
Waktu (Menit)<br />
Perolehan ZrO2<br />
Kadar ZrO2<br />
61<br />
60.8<br />
60.6<br />
60.4<br />
60.2<br />
Pengaruh penggunaan<br />
ultrasonik terhadap perolehan<br />
<strong>dan</strong> kadar ZrO 2 pada tegangan<br />
listrik 30KV, posisi splitter 40°<br />
<strong>dan</strong> skala kecepatan umpan 7,5<br />
Selain itu, hasil analisis pada percobaan dengan<br />
variabel optimum yaitu pada tegangan listrik 30<br />
KV, posisi splitter 30 0 <strong>dan</strong> skala kecepatan umpan<br />
7,5 diperbandingkan antara umpan yang tidak <strong>dan</strong><br />
yang mendapat perlakuan ultrasonik. Hasil<br />
perbandingan dapat dilihat pada Gambar 8.<br />
60<br />
Kadar (%)<br />
unsur - unsur yang kadarnya naik <strong>dan</strong> turun<br />
bahkan ada beberapa unsur yang hilang. Unsur -<br />
unsur yang kadarnya naik antara lain Al 2O 3, CaO,<br />
MgO, Na 2O, K 2O, P 2O 5, TiO 2 <strong>dan</strong> S. Se<strong>dan</strong>gkan<br />
unsur - unsur yang kadarnya turun antara lain SiO 2,<br />
Fe 2O 3, ZrO 2, HfO 2 <strong>dan</strong> Y 2O 3. Selain itu, beberapa<br />
unsur yang hilang setelah mendapat perlakuan<br />
ultrasonik antara lain MnO, Nb 2O 5, Cr 2O 3 <strong>dan</strong><br />
ThO 2. Dari hasil percobaan yang dilakukan bahwa<br />
ada beberapa unsur yang tidak diinginkan hilang<br />
setelah mendapatkan perlakuan ultrasonik.<br />
Hal ini terjadi karena a<strong>dan</strong>ya pengaruh getaran<br />
yang diberikan pada umpan dengan waktu getar<br />
tertentu sehingga dapat melepaskan partikel halus<br />
dari mineral pengotor yang melekat pada<br />
permukaaan umpan yang akan dipisahkan.<br />
Pengaruh gelombang ultrasonik ini cukup kuat <strong>dan</strong><br />
efektif untuk melepaskan partikel halus berupa<br />
mirel pengotor yang melekat pada permukaan<br />
sampel bijih zirkon. Selain itu, frekuensi yang ada<br />
pada ultrasonik kemungkinan akan mempengaruhi<br />
terjadinya efek mekanik seperti gerakan – gerakan<br />
partikel pada umpan yang berada di dalam gelas<br />
ukur sehingga dapat menimbulkan gaya gesek,<br />
tekanan <strong>dan</strong> getaran pada butiran umpan.<br />
4. KESIMPULAN<br />
Berdasarkan hasil percobaan terhadap pengaruh<br />
penggunaan ultrasonik terhadap pasir zirkon<br />
Kalimantan Tengah hasil pemisahan dengan electrostatic<br />
separator, didapat beberapa kesimpulan :<br />
Kadar (%)<br />
100<br />
10<br />
1<br />
1. Pada percobaan pengaruh tegangan listrik,<br />
kadar ZrO 2 optimum sebesar 61,96 % yaitu<br />
pada tegangan listrik 30 KV dengan nisbah<br />
konsentrasi 1,68.<br />
0.1<br />
0.<strong>01</strong><br />
SiO2<br />
Al2O3<br />
Fe2O3<br />
MnO<br />
CaO<br />
MgO<br />
Na2O<br />
K2O<br />
Sebelum M endapat Perlakuan Ultrasonik<br />
P2O5<br />
TiO2<br />
S<br />
ZrO2<br />
Nb2O5<br />
HfO2<br />
Y2O3<br />
Cr2O3<br />
ThO2<br />
Unsur<br />
Setelah M endapat Perlakuan Ultrasonik<br />
2. Pada percobaan pengaruh skala kecepatan<br />
umpan, kadar ZrO 2 optimum sebesar 63,42<br />
% yaitu pada skala 7,5 (3,4 gram/menit)<br />
dengan nisbah konsentrasi 1,18.<br />
Gambar 8.<br />
Perbandingan kandungan unsurunsur<br />
sebelum <strong>dan</strong> setelah<br />
mendapatkan perlakuan<br />
ultrasonik<br />
3. Pada percobaan umpan yang mendapat<br />
perlakuan ultrasonik, kadar ZrO 2 optimum<br />
sebesar 60,92 % yaitu pada waktu getar 30<br />
menit dengan nisbah konsentrasi 1,09 <strong>dan</strong><br />
perolehan lebih dari 90 %.<br />
Berdasarkan Gambar 8, setelah umpan mendapat<br />
perlakuan ultrasonik terlihat a<strong>dan</strong>ya beberapa<br />
4. A<strong>dan</strong>ya beberapa unsur yang hilang setelah<br />
mendapat perlakuan ultrasonik (sonikasi)<br />
diantaranya MnO, Nb 2 O 5 , Cr 2 O 3 <strong>dan</strong> ThO 2 .<br />
120 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN 2009
DAFTAR PUSTAKA<br />
Dahlan, Yuhelda., 2008, “Peningkatan Nilai<br />
Tambah Pasir Zirkon Kalimantan Tengah”,<br />
Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />