05.05.2015 Views

Prosiding Kolokium Pertambangan 2009 - tekMIRA - Departemen ...

Prosiding Kolokium Pertambangan 2009 - tekMIRA - Departemen ...

Prosiding Kolokium Pertambangan 2009 - tekMIRA - Departemen ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

ISBN 978-979-8461-63-3<br />

PROSIDING<br />

KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong><br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN<br />

TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA<br />

“Konstribusi Litbang Mineral dan Batubara<br />

Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong><br />

tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara”<br />

Bandung, 15 Juli <strong>2009</strong><br />

Editor :<br />

Binarko Santoso<br />

Pramusanto<br />

I.G. Ngurah Ardha<br />

Husaini<br />

Datin Fatia Umar<br />

Darsa Permana<br />

Slamet Suprapto<br />

Tatang Wahyudi<br />

Retno Damayanti<br />

Fauzan<br />

ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL<br />

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA<br />

<strong>2009</strong>


Hak Cipta / Penerbit<br />

MIRA<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman No. 623, Bandung 40211<br />

Telepon : 022 - 6030483, Fax : 022 - 6003373<br />

Penasihat<br />

Kepala Badan Litbang ESDM<br />

Penanggung Jawab<br />

Kepala Puslitbang <strong>tekMIRA</strong><br />

Panitia Pengarah<br />

Kuswandani, Suganal, Edwin Daranin<br />

R.M. Nendaryono, Siti Rochani<br />

Dewan Redaksi<br />

Binarko Santoso<br />

Staf Redaksi<br />

Doeto Poespojoedo, Umar Antana<br />

Bachtiar Efendi, Arie Aryansyah,<br />

Hatif Hidayat<br />

Moderator<br />

Datin Fatia Umar, Miftahul Huda, Edwin Daranin<br />

Yenny Sofaety, R.M. Nendaryono, Stefano Munir<br />

Notulis<br />

Kuswandani, Wiroto, Isyatun Rodliyah<br />

Sri Sugiarti, Dedi Yaskuri, Hasniati Artika<br />

Nuryadi Saleh<br />

ISBN 978-979-8461-63-3<br />

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang<br />

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau<br />

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit


KATA PENGANTAR<br />

Dalam rangka mensosialisasikan Undang-undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral<br />

dan Batubara, yang menggantikan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan<br />

Pokok <strong>Pertambangan</strong>, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (<strong>tekMIRA</strong>)<br />

telah menyelenggarakan <strong>Kolokium</strong> <strong>Pertambangan</strong> <strong>2009</strong> pada tanggal 15 Juli <strong>2009</strong>, <strong>Kolokium</strong> yang<br />

bertemakan “Konstribusi Litbang Mineral dan Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang<br />

Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara”, dihadiri oleh para pejabat pemerintah<br />

di tingkat pusat dan daerah, pelaku usaha, para peneliti dan pejabat fungsional lainnya, mahasiswa serta<br />

masyarakat luas yang terkait dengan pengembangan pertambangan mineral dan batubara.<br />

Sebagai lembaga litbang di bidang teknologi mineral dan batubara, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> diharapkan dapat<br />

berperan secara aktif dalam meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara sebagaimana amanat yang<br />

terkandung dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tersebut. Di samping itu, melalui kegiatan ini<br />

diharapkan pula dapat diperoleh masukan dari pelaku industri dan masyarakat pertambangan tentang<br />

posisi, peran, dan kontribusi litbang mineral dan batubara dalam menunjang pelaksanaan Undang-undang<br />

Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara.<br />

<strong>Prosiding</strong> ini merupakan rangkuman dari seluruh makalah yang dipresentasikan dalam <strong>Kolokium</strong>, serta<br />

diharapkan dapat dijadikan salah satu rujukan mengenai perkembangan pertambangan, penelitian, dan<br />

kajian yang berhubungan dengan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara. Melalui prosiding ini,<br />

siapapun dapat melihat sampai sejauhmana para peneliti Indonesia telah berkiprah dalam memajukan<br />

sektor pertambangan mineral dan batubara nasional.<br />

Dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, baik perorangan,<br />

perusahan, instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun seluruh pembicara dan peserta, atas pemikiran<br />

atau karya-karya terbaiknya, sehingga <strong>Prosiding</strong> ini memiliki nilai keilmiahan yang baik.<br />

Kami menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan dan penerbitan <strong>Prosiding</strong> ini. Untuk itu kami<br />

mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penyusunan dan penerbitan <strong>Prosiding</strong> di masa yang<br />

akan datang.<br />

Bandung, 15 Juli <strong>2009</strong><br />

Tim Penyunting<br />

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong><br />

i


SAMBUTAN<br />

KEPALA BADAN LITBANG<br />

ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

PADA ACARA KOLOKIUM PUSLITBANG TEKNOLOGI<br />

MINERAL DAN BATUBARA<br />

BANDUNG, 15 JULI <strong>2009</strong><br />

Yang kami hormati,<br />

Para Pejabat Eselon I di Lingkungan <strong>Departemen</strong> ESDM atau yang mewakilinya,<br />

Para Pejabat Eselon II di Lingkungan <strong>Departemen</strong> ESDM atau yang mewakilinya,<br />

Para Profesor Riset dan Pejabat Fungsional di Lingkungan Badan Litbang ESDM,<br />

Undangan dan Hadirin yang Berbahagia<br />

Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,<br />

Salam Sejahtera bagi Kita Semua,<br />

Selamat Pagi,<br />

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’alla, Tuhan Yang Maha<br />

Kuasa, karena berkat perkenan-Nya kita dapat menghadiri acara <strong>Kolokium</strong> yang diselenggarakan oleh<br />

Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (<strong>tekMIRA</strong>). Penyelenggaraan kolokium di Puslitbang <strong>tekMIRA</strong><br />

– dan juga Puslitbang lain di lingkungan Badan Litbang ESDM, memang sudah menjadi agenda tahunan<br />

yang diharapkan dapat menampilkan karya yang bermanfaat bagi para pemangku kepentingan, yaitu<br />

pemerintah, industri, dan masyarakat luas. Perlu dicatat pula, kolokium di lembaga litbang akan menjadi<br />

tolok ukur sampai sejauhmana para peneliti dan pejabat fungsional kita lainnya mampu mengembangkan<br />

diri dalam upaya berkontribusi bagi kemajuan sektor ESDM di tanah air.<br />

Saudara-saudara Sekalian,<br />

<strong>Kolokium</strong> Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> kali ini bertemakan “Kontribusi Litbang Mineral dan Batubara Dalam<br />

Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan<br />

Batubara”. Saya menilai tema kolokium <strong>2009</strong> ini sebagai bentuk tanggung jawab Puslitbang <strong>tekMIRA</strong><br />

untuk berperanserta dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong>, khususnya yang<br />

menyangkut isi pasal 95 huruf c tentang kewajiban perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral<br />

dan/atau batubara di dalam negeri, serta pasal 146 tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah<br />

untuk mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan litbang mineral dan batubara. Kedua<br />

pasal tersebut merupakan spirit dan juga momentum yang akan lebih memacu kegiatan litbang mineral<br />

dan batubara di tanah air, sekaligus menjadi stimulus bagi Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> agar menghasilkan karya<br />

litbang yang lebih baik dan berbobot serta mampu bersaing dengan lembaga litbang sejenis.<br />

Peserta <strong>Kolokium</strong> yang Saya Hormati,<br />

Terkait dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong>, khususnya yang berhubungan dengan<br />

pasal 95 huruf c dan pasal 146, saya minta kepada seluruh jajaran di Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> untuk<br />

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong><br />

ii


melaksanakan beberapa hal berikut ini:<br />

Pertama, tingkatkan kualitas sumber daya manusia.<br />

Sebagai lembaga litbang, saya yakin Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> memiliki sumber daya manusia (SDM) yang<br />

telah mampu melaksanakan penelitian secara profesional, dan dapat bersaing dengan para pakar di dalam<br />

negeri maupun di forum internasional. Namun, sebagaimana dialami oleh hampir seluruh instansi pemerintah,<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> juga pasti merasakan kebijakan “zero growth” yang ditetapkan beberapa tahun yang<br />

lalu. Kesenjangan antara senior dengan yunior yang semakin melebar, memerlukan percepatan regenerasi<br />

dan “transfer of knowledge”. Untuk itu, solusi yang dapat ditempuh adalah dengan membuka kesempatan<br />

kepada karyawan yunior untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti berbagai kursus<br />

atau pertemuan ilmiah, magang pada perusahaan besar, dan hal-hal lain yang pada intinya dapat sarana<br />

untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bagaimanapun keberadaan karyawan yunior ini merupakan<br />

modal dasar bagi eksistensi Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> ke depan.<br />

Kedua, fokus kepada pemecahan permasalahan yang sedang dan kemungkinan akan dihadapi<br />

oleh industri pertambangan mineral dan batubara.<br />

Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengatakan bahwa lembaga litbang harus menjadi bagian tak<br />

terpisahkan dari dunia yang digelutinya, bukan menara gading yang tidak tersentuh dengan melakukan<br />

penelitian sesuai keinginannya sendiri. Persoalannya adalah, apakah Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> akan menjadi<br />

leader atau follower dalam industri mineral dan batubara di tanah air? Saya katakan bahwa Puslitbang<br />

<strong>tekMIRA</strong> mesti fokus pada keduanya. Ini berarti, di satu sisi, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> harus dapat mengatasi<br />

permasalahan sebagai langkah penanggulangan, tetapi, di sisi lain, juga harus dapat memprediksi arah<br />

kecenderungan yang terjadi sebagai langkah antisipasi agar tidak berada pada kondisi status quo dan<br />

melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin atau business as usual.<br />

Ketiga, fokus kepada litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah sekaligus<br />

memperhitungkan keekonomiannya.<br />

Dalam beberapa hal, nilai tambah dan keekonomian selalu berjalan beriringan, artinya peningkatan nilai<br />

tambah akan mengakibatkan suatu material bernilai lebih tinggi dan menguntungkan. Tetapi tidak selamanya<br />

peningkatan nilai tambah akan memberi keuntungan jika dijual ke pasaran. Hal ini disebabkan antara lain<br />

oleh adanya kompetitor yang berharga lebih murah, atau daya serap pasar masih kecil dan tidak sebanding<br />

dengan biaya produksi. Oleh karena itu, ke depan, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> harus berani memulai kegiatan<br />

litbang yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah, tetapi sekaligus menguntungkan jika dilempar<br />

ke pasaran.<br />

Keempat, tingkatkan kerja sama dengan pemangku kepentingan (stakeholders).<br />

Undang-undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> yang bernuansa desentralisasi – artinya pengelolaan pertambangan<br />

mineral dan batubara berada di pemerintah daerah, mengharuskan kita untuk secara lebih intens menjalin<br />

kerja sama dengan mereka. Saya tahu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> telah lama melakukan hal itu, sehingga tidak<br />

terlalu sulit untuk meningkatkannya. Namun perlu saya garis bawahi, kerja sama tersebut harus dapat<br />

menghasilkan sesuatu yang tidak saja “menguntungkan” Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, tetapi juga bermanfaat<br />

bagi pemerintah dan Daerah serta masyarakat pertambangan; tidak saja memberikan kontribusi terhadap<br />

kemajuan bidang pertambangan mineral dan batubara, tetapi juga kemakmuran bagi masyarakat.<br />

Selain dengan pemerintah daerah, peningkatan kerja sama dengan lembaga litbang lain, baik di dalam<br />

maupun di luar negeri, perlu mendapat prioritas utama. Hal ini penting dilakukan sebagai bagian dari<br />

upaya untuk meningkatkan kemampuan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> menghadapi tantangan masa kini dan masa<br />

depan, serta untuk mengukur di mana posisi Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> berada. Seluruh kerja sama antara<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> dengan pemangku kepentingan sudah seharusnya bersifat saling bermanfaat bagi<br />

kedua belah pihak.<br />

iii PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Kelima, optimalkan peralatan yang ada, serta tingkatkan kemampuan rancang bangun dan<br />

rekayasa.<br />

Saya telah menyinggung masalah ini pada acara “Sinkronisasi Kegiatan Litbang di Lingkungan Badan<br />

Litbang ESDM” pada 14-15 April <strong>2009</strong> yang lalu. Saya tidak perlu mengulas lebih dalam, namun satu hal<br />

patut diingat bahwa jika keinginan untuk melengkapi dan memutakhirkan dengan sarana dan prasarana<br />

penelitian mutakhir tidak terpenuhi bukan berarti kita harus berdiam diri, lalu stagnan. Kita harus berbuat<br />

sesuatu, yaitu dengan berupaya meningkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa pada peralatan<br />

teknologi tinggi. Oleh karena itu saya mengajak peneliti Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> dan juga peneliti Puslitbang<br />

lain di lingkungan Badan Litbang ESDM, untuk membuktikan sampai sejauhmana inovasi dan kreativitas<br />

Saudara-saudara andaikata sarana peralatan baru tersebut tidak terpenuhi.<br />

Keenam, jaga soliditas di lingkungan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />

Ada ungkapan sederhana yang sudah lama kita kenal dan tahu artinya, yaitu “bersatu kita teguh, bercerai<br />

kita runtuh” dan “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Untuk itu, siapapun Saudara, apapun latar<br />

belakang pendidikan Saudara, dan di manapun Saudara ditempatkan, jangan pernah merasa yang satu<br />

lebih superior daripada yang lain. Berjalanlah dalam koridor Rencana Stratejik yang telah dibuat oleh<br />

Saudara-saudara sendiri, lalu bicara dan berbuatlah dengan bahasa yang sama dalam ikatan kesatuan<br />

yang kuat. Insya Allah, permasalahan seberat apapun akan menjadi jauh lebih ringan dan tidak sulit untuk<br />

dipecahkan.<br />

Undangan dan Hadirin Sekalian,<br />

Demikian sambutan dan arahan yang dapat saya sampaikan. Harapan saya kepada seluruh jajaran<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, bahkan seluruh keluarga besar Badan Litbang ESDM, semoga dapat memaknai dan<br />

mengimplementasikannya demi tercapainya tujuan kita memajukan sektor ESDM pada khususnya dan<br />

masyarakat pada umumnya. Saya berharap Saudara-saudara dapat menyongsong era desentralisasi di<br />

bidang pertambangan mineral dan batubara ini dengan optimisme tinggi dan penuh rasa tanggung jawab.<br />

Akhirnya dengan tetap memohon ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, <strong>Kolokium</strong> yang bertemakan “Kontribusi<br />

Litbang Mineral dan Batubara Dalam Mendukung Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong><br />

tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara” secara resmi saya buka.<br />

Terima kasih.<br />

Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.<br />

Kepala,<br />

Bambang Dwiyanto<br />

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong><br />

iv


KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong><br />

BANDUNG, 15 JULI <strong>2009</strong><br />

DAFTAR ISI<br />

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................<br />

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL ......................<br />

DAFTAR ISI ....................................................................................................................................<br />

i<br />

ii<br />

v<br />

MAKALAH YANG DIPRESENTASIKAN<br />

Presentasi Makalah Paralel I<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ............................. 1<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur<br />

Bambang Yunianto<br />

Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam .............................................. 16<br />

Producer Gas dari Batubara<br />

Slamet Suprapto dan Nurhadi<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral ....... 23<br />

pada Era Globalisasi<br />

Djoko Sunarjanto dan Bambang Wicaksono<br />

Peluang Pengembangan <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara ...................................... 30<br />

pada Era Otonomi Daerah<br />

Umar Dhani<br />

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari, Propinsi Kalimantan ................... 39<br />

Selatan dengan Menggunakan Klasifayer dan Pemisah Magnetik<br />

Pramusanto, Nuryadi Saleh dan Apriandi<br />

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin, ................ 48<br />

Provinsi Kalimantan Selatan, untuk Bahan Baku Keramik<br />

Subari, Enymia dan Sumarsih<br />

Presentasi Makalah Paralel II<br />

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia ................................................................ 55<br />

Ijang Suherman<br />

Pengembangan Sistem dan Alat Pemantauan Sederhana untuk Mendeteksi ................ 70<br />

Keruntuhan Batuan Atap (Roof Failure) pada Tambang Bawah Tanah<br />

Zulfahmi, Hasniati Astika dan Supriatna Mujahidin<br />

Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ............................................ 78<br />

Limbah Cair Industri Gula<br />

Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk Pencegahan ................................. 83<br />

Air Asam Tambang<br />

Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.<br />

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ..................... 90<br />

Batubara dengan Pembakar Siklon di Beberapa Fasilitas Industri<br />

Sumaryono<br />

PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong><br />

v


Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit ............................................................................... 97<br />

Husaini<br />

Presentasi Makalah Paralel III<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan Tailing ....................... 105<br />

Amalgamasi di Kegiatan <strong>Pertambangan</strong> Emas Rakyat Secara Sianidasi<br />

(Studi Kasus KUD Perintis, Daerah Tonayan Selatan)<br />

M. Lutfi dan Retno Damayanti<br />

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon .................... 115<br />

Kalimantan Tengah dengan Electrostatic Separator<br />

Pramusanto, Nuryadi Saleh, Yuhelda dan Firiza Yuliana<br />

Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ................... 122<br />

Sistem Fluidized Bed<br />

Nurhadi dan Slamet Suprapto<br />

Metode Pengurangan Emisi Merkuri pada Pembakaran Batubara .................................. 128<br />

Roza Adriany<br />

Eksplorasi Potensi Konsentrat Timah Berdasarkan Data Seismik Refleksi ...................... 134<br />

(Studi Kasus Perairan Bangka Utara)<br />

Ediar Usman dan Andri S. Subandrio<br />

Penetapan Nilai Bagi Hasil atas Produksi Batubara Mutu Rendah .................................. 147<br />

Rochman Saefudin, Ijang Suherman, Datin Fatia Umar dan Bukin Daulay<br />

MAKALAH DIPOSTERKAN<br />

Analisis Potensi Limbah Hasil Pembakaran Batubara pada Industri Kecil dan .............. 161<br />

Menengah di Pulau Jawa<br />

Triswan Suseno dan Tuti Hernawati<br />

Pengaruh Proses Upgraded Brown Coal (UBC) terhadap Peringkat Batubara ................. 168<br />

Slamet Suprapto<br />

Uji Sulfidasi Bijih Besi Kalimantan Selatan dan Tailing PT. Freeport Indonesia ........... 175<br />

sebagai Katalis Pencairan Batubara<br />

Nining Sudini Ningrum dan Hermanu Prijono<br />

Karakteristik dan Optimalisasi Pembriketan Batubara Hasil Proses ................................ 181<br />

Upgraded Brown Coal Skala Pilot<br />

Ikin Sodikin dan Datin Fatia Umar<br />

Analisis Dampak Ekonomi Teknologi Peningkatan Kualitas Batubara ............................ 189<br />

Peringkat Rendah di Indonesia<br />

Gandhi Kurnia Hudaya<br />

Kajian Manfaat dan Biaya Penambangan Bijih Besi di Kabupaten Merangin, ............... 194<br />

Propinsi Jambi<br />

Endang Suryati dan M. Lutfi<br />

Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara dan Peningkatan Mutunya .............................. 204<br />

sebagai Bahan Bakar<br />

Muh Kurniawan, Leni Herlina, Novie Ardhyarini dan Nining Sudini Ningrum<br />

Bahan Bakar Minyak Sintetik dari Pencairan Batubara .................................................... 209<br />

A.S. nasution, Miftahul Huda, Abdul Haris, Leni herlina dan Nining Sudini Ningrum<br />

vi PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


PRESENTASI MAKALAH<br />

PARALEL I


PERMASALAHAN PENGELOLAAN POTENSI<br />

EMAS DI GUNUNG TUMPANG PITU KECAMATAN<br />

PESANGGARAN, KABUPATEN BANYUWANGI,<br />

JAWA TIMUR<br />

Bambang Yunianto<br />

Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : yunianto@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Isu pertambangan terkait pengelolaan potensi dan kegiatan pertambangan emas di Gunung Tumpang<br />

Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi meliputi isu potensi emas, lingkungan pertambangan,<br />

tumpang tindih dengan sector lain, dan isu sosekbud. Berdasarkan penelaahan terhadap ke-empat<br />

isu tersebut diperlukan kesiapan daerah (Pemerintah Kabupaten Banyuwangi) dalam mengelola potensi<br />

emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.<br />

Kesiapan daerah tersebut meliputi beberapa kegiatan, yaitu: 1) melakukan kajian kegiatan<br />

pertambangan terkait pemanfaatan lahan sektor lain; 2) mengkaji kembali kegiatan pertambangan<br />

emas oleh PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) untuk menampung partisipasi masyarakat dalam<br />

pertambangan, perlu dialokasikan Wilayah <strong>Pertambangan</strong> Rakyat (WPR) yang berasal dari wilayah<br />

konsesi PT. IMN yang memiliki potensi emas sekunder (alluvial). Kemudian perlu dilakukan pembinaan<br />

dan pengawasan, baik dalam hal teknis penambangan, lingkungan maupun dalam manajemen berusaha<br />

terhadap para penambang rakyat tersebut; 4) dalam menangani persoalan <strong>Pertambangan</strong> Tanpa Izin<br />

(PETI) atau gurandil seyogyanya tidak menggunakan cara-cara represif, tetapi harus dengan persuasive,<br />

agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan kompleks; dan 5) sesuai kebijakan<br />

otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004, dan PP No. 38<br />

Tahun 2007, maka perlu dibentuk kantor/ dinas pertambangan dan energi yang tugasnya mengelola<br />

kegiatan pertambangan di daerah.<br />

Kata Kunci: isu pertambangan, tambang emas, kesiapan daerah, pengelolaan potensi emas<br />

ABSTRACT<br />

The mining issues related to manage the potential and the activity of gold mining in Gunung Tumpang<br />

Pitu, District of Pesanggaran, Regency of Banyuwangi include the gold mining, mining environment,<br />

interest conflict and the socio-economic-culture. Based on the review toward these issues, it requires<br />

the regional readiness to manage the gold potential in the region.<br />

The regional readiness includes several activities, namely: 1) to assess the mining activity related to<br />

the land use; 2) to reassess the mining activity conducted by PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN); 3) to<br />

allocate the mining area for the local community in the concession area of the company that contains<br />

gold placer. Then, to conduct guidance and monitoring, the mining techniques, environment or the<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

1


management of the business for the miners; 4) not to apply repressive actions towards illegal mining,<br />

but to persuade not to create a bigger problem and complex; and 5) in accordance with the regional<br />

autonomy policy, UU 32/2004, UU 33/2004 and PP 38/2007, it is required to set an office of mining<br />

and energy in managing mining operation in the region.<br />

Keywords: mining issues, gold mine, regional readiness, management of gold potential<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Kegiatan survai lapangan pemantauan isu<br />

pertambangan di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi<br />

Jawa Timur dilakukan untuk menginventarisasi dan<br />

mengidentifikasi permasalahan mengenai isu<br />

lingkungan pertambangan tanpa izin (PETI) emas<br />

dan isu tumpang-tindih kegiatan PT. Indo Multi<br />

Niaga (PT. IMN) di Pegunungan Tumpang Pitu,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.<br />

Kegiatan survai lapangan isu lingkungan dan<br />

tumpang-tindih pertambangan dengan sektor<br />

kehutanan di Pegunungan Tumpang Pitu di atas<br />

didasarkan pemberitaan dan informasi di media<br />

mass berikut:<br />

1) “Emas vs Potensi Agraris Banyuwangi,<br />

Sebentuk Kanibalisasi antar -Potensi”, Berita<br />

Fajar FM, Sabtu, 19 April 2008.<br />

2) “Masyarakat Banyuwangi Tolak Tambang<br />

Emas di Hutan Lindung Tumpang Pitu”, Harian<br />

Kompas, Senin, 16 Juni 2008<br />

3) “Ribuan Penambang Emas Banyuwangi<br />

Diusir”, Harian Kompas, Jumat 27 Februari<br />

<strong>2009</strong>.<br />

4) “Penambang Emas Dadakan di Banyuwangi<br />

Capai 3 Ribu Orang”, Detik Surabaya, Selasa,<br />

28 April, <strong>2009</strong><br />

5) “Berebut Emas di Tumpang Pitu”, Harian<br />

Kompas, Rabu, 17 Mei <strong>2009</strong>.<br />

Isu pertambangan di Kabupaten Banyuwangi<br />

tersebut memiliki bobot penting karena ada<br />

beberapa masalah, antara lain; isu lingkungan, isu<br />

tumpang-tindih sektor pertambangan dengan<br />

sektor lain (kehutanan, pertanian dan perkebunan),<br />

serta isu sosial ekonomi kemasyarakatan. Oleh<br />

karena itu, Tim Isu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> menurunkan<br />

tim yang terdiri atas berbagai disiplin ilmu<br />

(tambang/ geologi, sosial ekonomi, dan surveyor).<br />

Berdasarkan informasi secara informal, sekembalinya<br />

Tim Isu <strong>Pertambangan</strong> Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> dari<br />

lapangan, isu pertambangan tersebut kembali<br />

mencuat setelah terjadi penangkapan terhadap<br />

para PETI yang dilakukan Polres Kabupaten<br />

Banyuwangi. Penangkapan ini telah menyulut<br />

konflik antara aparat dan para PETI, dan masalah<br />

ini mendapat sorotan dari berbagai pihak di<br />

Kabupaten Banyuwangi.<br />

Berdasarkan hasil survai lapangan, akar<br />

permasalahan dari mencuatnya isu pertambangan<br />

terkait potensi emas di Gunung Tumpang Pitu,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,<br />

Provinsi Jawa Timur sebetulnya terletak kepada<br />

kesiapan daerah di dalam pengelolaan pertambangan,<br />

sebagaimana dipilih sesuai judul tulisan ini.<br />

Maksud penulisan ini adalah mengidentifikasi dan<br />

menganalisis permasalahan pengelolaan potensi<br />

emas di Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan<br />

Pesanggaran, Banyuwangi sesuai peraturan<br />

terkait, sebagai bahan masukan bagi daerah dalam<br />

mengelola sumber daya tambang yang ada di<br />

daerahnya.<br />

2. METODOLOGI<br />

Secara umum metodologi yang digunakan adalah<br />

pendekatan multidisiplin ilmu, dengan<br />

menggunakan berbagai parameter keilmuan dalam<br />

membahas permasalahan utama yang dikaji.<br />

Inventarisasi data melalui teknik observasi,<br />

wawancara berpanduan, dokumentasi, dan<br />

diskusi. Pengolahan data menggunakan teknik<br />

kategorisasi, kompilasi, dan tabelisasi. Analisis<br />

data dilakukan secara deskriptif analitis.<br />

Sedangkan dalam merekonstruksikan pemecahan<br />

permasalahan dan masukan bagi daerah<br />

didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan<br />

rasional dan berlandaskan kepada arah kebijakan<br />

pertambangan dan kebijakan lain yang terkait pada<br />

era otonomi daerah.<br />

Data yang mendukung penulisan ini berupa data<br />

primer maupun sekunder hasil survai lapangan.<br />

Data primer berupa hasil wawancara langsung<br />

dengan berbagai pihak yang terkait dengan<br />

permasalahan pengelolaan potensi emas di<br />

Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran,<br />

Banyuwangi, seperti Pemda Perekonomian<br />

Kabupaten Banyuwangi, Bappeda Kabupaten<br />

Banyuwangi, Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten<br />

2 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Banyuwangi, Camat dan staf Kecamatan<br />

Pesanggaran, PT. IMN, aparat keamanan yang<br />

bertugas di Gunung Tumpang Pitu, para gurandil,<br />

dan masyarakat setempat. Sedangkan data<br />

sekunder berasal dari instansi terkait, baik di<br />

tingkat Kabupaten Banyuwangi, Kecamatan<br />

Pesanggaran serta informasi dari Lembaga<br />

Swadaya Masyarakat (LSM) dan mass media.<br />

Mengenai pelaksanaan kegiatan survai lapangan<br />

dari tanggal 20 – 25 April <strong>2009</strong> adalah:<br />

1) Melakukan kegiatan koordinasi dengan Kepala<br />

Bagian Perekonomian (Pak Bambang Edi<br />

Sunaryo) dan Sekertaris (Bu Tri) tentang isu<br />

lingkungan PETI emas di pegunungan<br />

Tumpang Pitu di Kantor Pemda Kab.<br />

Banyuwangi (Distamben belum ada).<br />

2) Koordinasi dan pendataan di Bappeda Kab.<br />

Banyuwangi dengan Pak Mujiono, Pak Wahyu<br />

Diyono, Pak Rudianto tentang isu Lingkungan<br />

PETI emas, PT. IMN dan tata ruang (hutan<br />

lindung).<br />

3) Koordinasi dan pendataan dengan Kepala TU<br />

Kantor Lingkungan Hidup Kab. Banyuwangi<br />

(Pak Gatot Sudjadi).<br />

4) Pendataan di BPS Kabupaten Banyuwangi<br />

dengan Pak Ruslan<br />

5) Survai lapangan ke lokasi di Kecamatan<br />

Pesanggaran, dan berkoordinasi dan diskusi<br />

dengan staf Kecamatan Pak Sujono dan Pak<br />

Sunoto.<br />

6) Koordinasi dan diskusi denga PT. IMN yang<br />

diwakili Pak Hilman dan Pak Yuswardi.<br />

7) Survai ke lokasi PETI emas di sekitar<br />

pegunungan Tumpang Pitu, dokumentasi dan<br />

wawancara dengan gurandil.<br />

Mengenai route survai lapangan lihat Gambar 1,<br />

sedangkan dokumentasi survai lapangan dapat<br />

dilihat pada Lampiran Foto-Foto Survai Lapangan.<br />

Gambar 1.<br />

Route survai lapangan tim isu pertambangan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> di Kabupaten<br />

Banyuwangi<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

3


3. POTENSI TAMBANG DAN SEKTOR<br />

LAIN DI GUNUNG TUMPANG PITU<br />

3.1. Potensi Tambang<br />

Cebakan emas di daerah Pesanggaran ditemukan<br />

berdasarkan pada pemboran eksplorasi sebanyak<br />

14 lubang bor dengan kedalaman total 4.100 meter<br />

pada KP Eksplorasi PT. IMN seluas 11.621, 45<br />

ha atau 116,21 km 2 . Cebakan emas ditemukan<br />

dalam bentuk urat-urat kuarsa pada batuan<br />

volkanik yang diterobos oleh batuan intrusif berupa<br />

diorite, andesit, granodiorit dan dasit. Fenomena<br />

seperti ini sangat umum ditemukan di Pulau Jawa,<br />

seperti di Cikotok, Pongkor, Banyumas, Wonogiri,<br />

Pacitan, Malang, Lumajang. Berdasarkan studi<br />

kelayakan PT. IMN, cadangan bijih yang<br />

dieksplorasi mencapai 9.600.000 ton; kadar emas<br />

rata-rata 2,3 gram/ton; cadangan emas 320,8 ton.<br />

Biasanya emas ditemukan bersama logam lainnya<br />

seperti perak, tembaga. Kadar emas di daerah ini<br />

adalah 2,3 gr/ton, dan kadar logam-logam lainnya<br />

tidak ada datanya. padahal logam-logam tersebut<br />

memiliki nilai ekonomis bila sejak dini sudah<br />

diketahui nilai potensinya. Selain cebakan emas<br />

primer yang ditemukan, ada juga emas plaser/<br />

sekunder di sekitar lokasi emas primer tersebut.<br />

Keberadaan emas sekunder ini sebagian besar<br />

berada pada lahan Perhutani, yang penyebarannya<br />

mengikuti sungai-sungai tua pada jaman dahulu.<br />

Berdasarkan hasil tracking Tim Isu <strong>Pertambangan</strong><br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong> sewaktu survai, pada lokasi<br />

56 gurandil/ PETI (<strong>Pertambangan</strong> Tanpa Izin)<br />

beroperasi pada wilayah Perhutani diperkirakan<br />

meliputi luas sekitar 203,3 ha (Gambar 2).<br />

3.2. Potensi Sektor Lainnya<br />

Kabupten Banyuwangi dikelilingi 3 Taman Nasional<br />

(TN), yakni TN Alas Purwo, TN Meru Betiri, dan<br />

TN Baluran. Di samping itu, kabupaten ini memiliki<br />

3 Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) seperti<br />

Banyuwangi (KPH Banyuwangi Selatan, KPH<br />

Banyuwangi Barat, dan KPH Banyuwangi Utara).<br />

Keberadaan 3 KPH dan 3 TN ini berhubungan erat<br />

sumber mata air dan sungai-sungai yang menjadi<br />

sumber irigasi bagi sektor pertanian dan<br />

perkebunan yang saat ini diunggulkan sebagai<br />

sektor penting bagi Kabupaten Banyuwangi, dan<br />

menjadikan kabupaten ini sebagai lumbung padi<br />

nasional, memiliki andil dalam menopang<br />

ketahanan pangan nasional.<br />

Kontribusi sektor pertanian terhadap Pendapatan<br />

Asli Daerah (PAD) Banyuwangi (lebih dari 60%).<br />

Selain itu, keberadaan 3 KPH dan 3 TN tersebut<br />

secaraa riil telah memberikan kontribusi yang nyata<br />

bagi PAD kabupaten ini. Data hasil kekayaan hutan<br />

non-kayu Banyuwangi pada tahun 2006 meliputi;<br />

a. Kontribusi komiditi kopi yang berada di dalam<br />

kawasan hutan produksi sebesar 10.643 ton<br />

(BPS: 2007) atau setara dengan Rp.<br />

247.230.000.<br />

b. Kontribusi komoditi getah damar sebesar 49<br />

ton senilai Rp. 68.600.000, dan<br />

c. Kontribusi komiditi getah pinus sebanyak<br />

2.672,70 ton senilai Rp.2.6 miliar.<br />

4. KONDISI KEGIATAN PERTAMBANGAN<br />

4.1. PT. Indo Multi Niaga (PT. IMN)<br />

PT. IMN merupakan perusahaan tambang emas<br />

yang modalnya swasta nasional. Luas konsesi<br />

yang diberikan pemerintah sekitar 11.621,45 ha.<br />

Konsesi PT. IMN meliputi kawasan Gunung<br />

Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng,<br />

Gunung Sumber Salak, Gunung Macan dan kawasan<br />

lindung setempat. Menurut RTRW Jatim 2020<br />

kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan<br />

resapan air katagori tinggi, 30 liter per/ detik.<br />

Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT-<br />

VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan<br />

eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli <strong>2009</strong>, dan<br />

akan ditingkatkan statusnya menjadi KP eksploitasi.<br />

Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi<br />

seluas 736,3 ha dan hutan lindung seluas 1.251,5<br />

ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH<br />

Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara<br />

itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana<br />

mengajukan permohonan alih fungsi kawasan<br />

hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan.<br />

Tepatnya pada Petak 75, 76, 77 dan 78 kawasan<br />

hutan tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah<br />

disahkan oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur,<br />

setelah disidangkan oleh Bapedalda Jawa Timur<br />

pada 26 Mei lalu. Saat ini perusahaan menampung<br />

125 warga menjadi buruh kasar.<br />

4.2. PETI/ Gurandil<br />

PETI/ gurandil beroperasi di Gunung Tumpang Pitu,<br />

pada aliran Sungai Gonggo, Lembah Gunung<br />

Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung,<br />

Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran,<br />

Banyuwangi, saat ini diperkirakan mencapai<br />

3.000.000 orang (Gambar 3). Jumlah ini, setelah<br />

pada akhir bulan April <strong>2009</strong> sekitar 6.000 dipulangkan<br />

4 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Gambar 2. Konsesi PT. IMN dan lokasi aktivitas PETI/ Gurandil di Petak 56,<br />

lembah Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung,<br />

Desa Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi<br />

Gambar 3.<br />

Lokasi PETI/ Gurandil di Petak 56 (Luas Perkiraan 203,3 Ha), Lembah<br />

Gunung Tumpang Pitu, Kampung 56, Dusun Ringinagung, Desa<br />

Pesanggaran, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

5


secara paksa oleh sekitar 190 personil aparat<br />

keamanan. Pemulangan itu dilakukan setelah<br />

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi melakukan<br />

rapat koordinasi dengan muspida, Perhutani dan<br />

pemilik izin ekplorasi emas PT. IMN. Rapat yang<br />

dipimpin langsung Bupati Banyuwangi Ratna Ani<br />

Lestari itu menyimpulkan PETI yang dilakukan<br />

ribuan gurandil tersebut telah merusak lingkungan,<br />

yang akan berpotensi menimbulkan banjir dan<br />

longsor serta kerusakan hutan jati, maupun<br />

tanaman pertanian/ perkebunan masyarakat<br />

(petani magersari) sehingga harus dihentikan.<br />

Maraknya PETI telah menimbulkan kerusakan di<br />

Sungai Gonggo dan hutan jati, tepatnya di petak<br />

79. Sungai Gonggo mengalami pelebaran hingga<br />

tujuh meter dari lebar awalnya satu meter, selain<br />

itu kedalaman Sungai Gonggo turut mengalami<br />

perubahan drastis, awalnya hanya setengah meter<br />

kini berubah menjadi 1,5 meter. Beberapa pohon<br />

jati juga turut tumbang akibat aktifitas<br />

penambangan PETI secara tradisional tersebut.<br />

Dari pantauan sementara Tim Isu Puslitbang<br />

<strong>tekMIRA</strong>, lokasi-lokasi PETI di Gunung Tumpang<br />

Pitu memang mengandung emas (perlu uji<br />

laboratorium), terutama pada petak 56 maupun 79<br />

sebagai sampel wilayah-wilayah sekitarnya. Isu<br />

kalau butiran seperti emas itu adalah logam jenis<br />

pirit (FeS2) perlu dicarikan kepastiannya, karena<br />

pada lokasi tersebut telah banyak gurandil yang<br />

betul-betul mendapatkan emas, seperti pendulang<br />

emas asal Kalimantan, Sulawesi, Nabire dan<br />

Bandung. Dalam rangka memberi kepastian,<br />

Pemkab Banyuwangi sudah mengambil beberapa<br />

sampel untuk diuji, namun untuk memberi<br />

kesahihan data telah ditunjuk tim independen untuk<br />

melakukan uji laboratorium.<br />

5. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN<br />

5.1. Potensi Bahan Tambang<br />

Fenomena geologis di daerah eksplorasi tersebut<br />

tidak hanya tersebar di daerah Pesanggaran,<br />

namun juga tersebar di daerah sekitarnya seperti<br />

Glenmore dan Bangorejo. Dengan demikian tidak<br />

tertutup kemungkinan bahwa potensi penyebarannya<br />

juga terdapat di daerah-daerah tersebut. Berdasarkan<br />

Undang-Undang Nomor 4/<strong>2009</strong>, setiap daerah<br />

harus mencadangkan wilayahnya untuk menggali<br />

potensi bahan galiannya. Untuk itu, Pemerintah<br />

Kabupaten Banyuwangi harus mempersiapkan<br />

lokasi peruntukan lahan bagi sektor pertambangan.<br />

Sampai saat ini, di kabupaten ini belum dialokasikan<br />

lahan usaha tambang dalam peta tata ruangnya.<br />

Permasalahan ini harus segera diselesaikan,<br />

mengingat potensi usaha pertambangan di daerah<br />

ini memperlihatkan prospek bila dikelola dengan baik.<br />

Status cadangan untuk kategori perhitungan potensi<br />

cebakan emasnya belum tepat, karena jumlah<br />

lubang bor yang dilakukan oleh PT. IMN relatif<br />

sedikit, yakni hanya 14 buah untuk mengeksplorasi<br />

daerah seluas 116,21 km 2 , dengan jarak antarlubang<br />

bor sepanjang 2 km. Jadi, jarak antarlubang bor<br />

ini terlalu panjang. Pada umumnya, jarak lubang<br />

bor ini adalah 500 m. Untuk meningkatkan status<br />

potensinya, masih diperlukan pemboran eksplorasi<br />

yang lebih banyak lagi, agar tingkat keyakinan<br />

geologisnya menjadi tinggi. Dengan demikian, status<br />

‘cadangan’nya perlu direvisi, agar perhitungan<br />

operasi penambangannya dapat dilakukan dengan<br />

tepat.<br />

Secara umum, emas ditemukan bersama logam<br />

lainnya seperti perak, tembaga. Kadar emas di<br />

daerah ini adalah 2,3 gr/ton; namun, kadar logamlogam<br />

lainnya tidak ada datanya. Ini berarti bahwa<br />

kelak saat operasi penambangan emas ini<br />

berlangsung, asosiasi logam-logam tersebut akan<br />

terbuang dengan percuma. Tidak tertutup<br />

kemungkinannya, logam-logam tersebut akan<br />

menjadi perolehan yang menguntungkan, apabila<br />

sejak dini sudah diketahui nilai potensinya. Jadi,<br />

hal ini menjadi tugas tersendiri bagi perusahaan<br />

tambang tersebut untuk melakukan uji laboratorium<br />

terhadap logam-logam tersebut.<br />

Selain cebakan emas primer yang ditemukan, ada<br />

juga emas plaser/sekunder di sekitar lokasi emas<br />

primer tersebut. Keberadaan emas sekunder ini<br />

perlu dicermati untuk dieksplorasi lebih lanjut, agar<br />

dapat dimanfaatkan sebagai lahan usaha bagi<br />

masyarakat setempat dalam bentuk Wilayah<br />

<strong>Pertambangan</strong> Rakyat (WPR).<br />

5.2. Lingkungan<br />

Isu lingkungan terkait kegiatan pertambangan di<br />

Gunung Tumpang Pitu tidak hanya diakibatkan<br />

oleh kegiatan PETI/ gurandil saja, tetapi juga akibat<br />

isu Lingkungan pertambangan PT. IMN karena<br />

kurangnya transparansi dalam Publikasi berbagai<br />

kemajuan kegiatan, terutama dalam pengelolaan<br />

Lingkungan. PETI yang dilakukan ribuan gurandil<br />

telah merusak lingkungan, dan berpotensi<br />

menimbulkan banjir dan longsor serta kerusakan<br />

hutan jati, maupun tanaman pertanian/ perkebunan<br />

masyarakat (petani magersari). Sedangkan,<br />

6 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


erbagai isu Lingkungan yang diakibatkan PT. IMN<br />

dapat ditunjukkan berdasakan surat penolakan<br />

AMDAL oleh Masyarakat Banyuwangi yang<br />

tergabung dalam Komunitas Pecinta Alam<br />

Pemerhati Lingkungan (Kappala Indonesia) region<br />

Banyuwangi, Kurva Hijau, dan Dewan Rakyat<br />

Jalanan untuk Demokrasi (Derajad). Beberapa butir<br />

yang dijadikan dasar penolakan AMDAL PT. IMN<br />

tersebut, antara lain:<br />

a. Sidang Amdal tersebut di atas merupakan<br />

sidang yang tidak adil, karena tidak ada satu<br />

pun dokumen Amdal yang dibagikan kepada<br />

warga Dusun Pancer, sehingga warga tidak<br />

memiliki informasi mengenai Amdal. Padahal<br />

keterbukaan informasi ini penting sebagai tolok<br />

ukur tinggi-rendahnya itikad baik dari pemrakarsa<br />

rencana pertambangan maupun pemkab dan<br />

pemrop. Keterbukaan informasi menjadi<br />

sesuatu yang logis untuk dimiliki oleh warga<br />

Pancer karena dampak apapun dari pertambangan<br />

tersebut jelas-jelas akan berpengaruh<br />

langsung kepada mereka, dan merekalah<br />

pihak pertama yang akan merasakannya.<br />

b. Warga Pancer tidak diberi kecukupan waktu<br />

untuk mempelajari Amdal tersebut. Hal ini<br />

menunjukkan minimnya kemauan Pemprop<br />

Jatim dan Pemkab Banyuwangi untuk<br />

melakukan penguatan terhadap rakyatnya,<br />

sehingga warga tidak memiliki kesiapan untuk<br />

berdialog dengan pihak yang terkait, terutama<br />

pakar. Warga pun tidak punya kecukupan<br />

waktu untuk memilih pihak yang menurut<br />

warga memiliki kompetensi untuk mendampinginya<br />

dalam mengikuti Sidang Amdal.<br />

c. Semenjak awal bergulirnya rencana penambangan<br />

emas di HLGTP oleh PT IMN, Warga<br />

Pancer telah menolak rencana tersebut.<br />

Dimana penolakan tersebut telah mereka<br />

sampaikan dalam acara Sosialisasi Penambangan<br />

Emas HLGTP yang diselenggarakan<br />

pada 12 Maret 2008 lalu di Balai Dusun (dihadiri<br />

oleh perwakilan Pemkab Banyuwangi,<br />

perwakilan Makoramil Pesanggaran, perwakilan<br />

TNI AL, perwakilan Mapolsek Pesanggaran,<br />

dan Camat Pesanggaran). Penolakan tersebut<br />

juga telah disuarakan oleh 5 (lima) orang<br />

utusan Warga Pancer yang menghadiri Sidang<br />

Amdal tanggal 26 Mei 2008 di Surabaya.<br />

d. Dalam Dokumen Andal yang dibuat oleh PT<br />

IMN, pada gambar 2.4 tentang “Peta Rencana<br />

Tata Letak Kegiatan” dapat dilihat dengan jelas<br />

bahwa tailing (limbah tambang) akan dibuang<br />

ke laut. Pembuangan tailing ke laut ini, dalam<br />

Lampiran Peraturan Menteri Negara<br />

Lingkungan Hidup nomor 11 tahun 2006<br />

tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau<br />

Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan<br />

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup<br />

disebut sebagai Submarine Tailing Disposal<br />

(STD). Berdasarkan Peraturan Meneg LH no.<br />

11 tahun 2006 tersebut, Komisi Amdal<br />

Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak berwenang<br />

menilai Amdal PT IMN. Berdasarkan Peraturan<br />

Meneg LH no. 11 tahun 2006, penilaian Amdal<br />

dari sebuah rencana pertambangan yang<br />

menggunakan STD seperti halnya PT IMN<br />

tersebut, kewenangannya berada di tangan<br />

Deputi Bidang Amdal Kementerian Negara<br />

Lingkungan Hidup, bukan di tangan Komisi<br />

Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim. Dengan<br />

demikian, sejatinya Sidang Amdal yang<br />

diselenggarakan dan dipimpin oleh Komisi<br />

Amdal Propinsi/Bapedalprop Jatim tidak sah,<br />

karena tidak sesuai dengan Peraturan Meneg<br />

LH no. 11 tahun 2006.<br />

e. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai<br />

pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang<br />

tidak layak dan harus ditolak, karena dalam<br />

Presentasi Kerangka Acuan Analisis Dampak<br />

Lingkungan (KA-Andal) yang bertempat di<br />

ruang Minakjingga Pemkab Banyuwangi pada<br />

tanggal 30 Januari 2008, PT IMN telah melakukan<br />

kebohongan publik dengan menyatakan kepada<br />

seluruh hadirin bahwa merkuri berbahaya<br />

sementara sianida aman. Dalam acara tersebut<br />

tidak ada itikad baik dari pemrakarsa untuk<br />

menjelaskan apa itu sianida? Apa saja<br />

dampaknya? Dan apa yang membuat<br />

pemrakarsa yakin bahwa sianida aman?<br />

f. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai<br />

pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang tidak<br />

layak dan harus ditolak, karena pihak<br />

pemrakarsa tidak membuat pengumuman<br />

tentang rencana Sidang Amdal yang layak dan<br />

mencukupi. Bahkan hingga kini pun belum<br />

terlihat kemauan pemrakarsa untuk<br />

mengumumkan secara terbuka tentang Sidang<br />

Revisi Amdal.<br />

g. Amdal yang dibuat oleh PT IMN sebagai<br />

pemrakarsa adalah dokumen Amdal yang<br />

tidak layak dan harus ditolak, karena tidak ada<br />

satu pun dari peta yang termuat di dalamnya<br />

yang menampakkan keberaradaan Pulau<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

7


Merah. Tidak adanya Pulau Merah di semua peta<br />

yang terdapat dalam dokumen Andal tersebut<br />

mencerminkan keteledoran PT IMN, serta<br />

menggambarkan rendahnya kepedulian PT<br />

IMN terhadap area penting seperti Pulau Merah.<br />

Sementara itu, koordinator Koalisi Tolak Tambang<br />

di Tumpang Pitu (KT3P), tambang emas yang<br />

dibangun oleh PT IMN di Tumpang Pitu memakan<br />

areal seluas 11.621 hektar yang meliputi kawasan<br />

Gunung Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung<br />

Wedi Ireng, Gunung Sumber Salak, Gunung<br />

Macan, dan kawasan hutan lindung setempat.<br />

Sebagai kawasan penyangga, Gunung Tumpang<br />

Pitu memiliki kaitan erat dengan aktivitas<br />

penduduk di sekitarnya, seperti pertanian,<br />

perkebunan dan nelayan.<br />

Menurut Tim Isu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, berbagai<br />

informasi mengenai penolakan terhadap kegiatan<br />

pertambangan di kawasan Gunung Tumpang Pitu<br />

di atas, dan isu utama beberapa unjuk rasa<br />

mengenai lingkungan hidup perlu dijadikan barometer<br />

dalam memahami berbagai persoalan<br />

lingkungan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu<br />

dan sekitarnya. Berbagai persoalan tersebut tidak<br />

perlu langsung ditanggapi apreori, tetapi perlu<br />

didudukan secara proporsional pada sumber akar<br />

persoalannya.<br />

5.3. Tumpang-tindih antar Sektor<br />

Konsesi PT IMN di Tumpang Pitu meliputi areal<br />

seluas 11.621 ha yang meliputi kawasan Gunung<br />

Tumpang Pitu, Gunung Jatian, Gunung Wedi Ireng,<br />

Gunung Sumber Salak, Gunung Macan, dan<br />

kawasan hutan lindung setempat. Kawasan<br />

Eksplorasi itu meliputi kawasan hutan produksi<br />

seluas 736,3 ha dan hutan lindung seluas 1.251,5<br />

ha dipetak 75, 76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH<br />

Sukamade, KPH Banyuwangi Selatan. Sementara<br />

itu, Pemkab Banyuwangi telah menyetujui rencana<br />

mengajukan permohonan alih fungsi kawasan<br />

hutan lindung dalam KPH Banyuwangi Selatan,<br />

yaitu Petak 75, 76, 77 dan 78 kawasan hutan<br />

tersebut. Dokumen Amdal PT IMN telah disahkan<br />

oleh Tim Amdal Propinsi Jawa Timur, setelah<br />

disidangkan oleh Bapedalda Jawa Timur pada 26<br />

Mei lalu. Sedangkan wilayah yang ditambang oleh<br />

PETI, Petak 56 dan Petak 79 masuk dalam wilayah<br />

konsesi PT. IMN.<br />

Menteri Kehutanan melalui surat S.406/MENHUT-<br />

VII/PW/2007 mengijinkan perusahaan melakukan<br />

eksplorasi selama 2 tahun, hingga Juli <strong>2009</strong>.<br />

Sebelumnya, PT IMN mendapat izin kuasa<br />

eksplorasi emas dikawasan hutan dari Menteri<br />

Kehutanan MS Kaban nomor .406/MENHUT_vii/<br />

PW/2007 tertanggal 27 Juli 2007. Eksplorasi itu<br />

meliputi kawasan hutan produksi seluas 736,3 ha<br />

dan hutan lindung seluas 1.251,5 ha dipetak 75,<br />

76, 77, 78, RPH Kesilir Baru, BKPH Sukamade,<br />

KPH Banyuwangi Selatan. Pengesahan Dokumen<br />

Amdal PT IMN oleh Tim Amdal Propinsi Jawa<br />

Timur dan kedatangan Mentri Kehutanan MS<br />

Kaban di Banyuwangi, terkesan memberi sinyal<br />

ditingkatkannya status PT IMN dari eksplorasi<br />

menjadi eksploitasi, semakin meresahkan warga.<br />

Kawasan Gunung Tumpang Pitu merupakan<br />

kawasan hutan lindung dan hutan produksi, bagian<br />

yang tidak terpisahkan dari 3 KPH dan 3 TH, yang<br />

berfungsi sebagai daerah penyangga,<br />

berhubungan erat sebagai sumber mata air dan<br />

sungai-sungai yang menjadi sumber irigasi bagi<br />

sektor pertanian dan perkebunan yang saat ini<br />

diunggulkan sebagai sektor penting bagi<br />

Kabupaten Banyuwangi, termasuk sektor<br />

perikanan bila pembuangan tailing dilakukan di<br />

dasar laut. Konflik kepentingan antara sektor<br />

pertambangan dengan sektor kehutanan,<br />

pertanian, perkebunan, dan perikanan tersebut<br />

perlu dipertimbangkan positif dan negatifnya.<br />

5.4. Sosial Ekonomi Masyarakat<br />

Isu social terbagi dua, yaitu isu dampak sosekbud<br />

PT. IMN maupun PETI/ Gurandil dan isu kesamaan<br />

hak atas sumber daya bahan tambang (PT. IMN<br />

vs Rakyat). Isu dampak sosekbud PT. IMN terkait<br />

dengan dampak kegiatan PT. IMN terhadap<br />

berbagai aktivitas mata pencaharian masyarakat<br />

di sekitar proyek. Berapa aktivitas ekonomi<br />

masyarakat yang akan terganggu (misal pertanian,<br />

perkebunan, perikanan) dan bagaimana proses<br />

pengelolaannya. Dampak sosekbud PETI/<br />

Gurandil terutama akibat rusaknya lingkungan,<br />

sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi, pertanian<br />

dan perkebunan rusak akibat terinjak-injak ataupun<br />

rusak karena ditambang, dan kekhawatiran<br />

penggunaan air raksa yang akan mencemari<br />

lingkungan (darat dan perairan) bila tidak ditangani<br />

dengan serius.<br />

Unjuk rasa beberapa komponen masyarakat<br />

terhadap kegiatan pertambangan dapat dijadikan<br />

barometer bagi pengembangan kegiatan<br />

pertambangan di daerah ini, yaitu:<br />

1) Sejumlah Petani dan Nelayan Banyuwangi<br />

Jawa Timur ke Jakarta mendesak agar<br />

8 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


dihentikan kegiatan PT. IMN.<br />

2) Puluhan ribu warga yang tinggal sepanjang<br />

Rajekwesi sampai Muncar - Banyuwangi akan<br />

terancam hidupnya, termasuk perikanan<br />

mendesak dihentikannya rencana pengerukan<br />

emas di hutan lindung Tumpang Pitu. Mereka<br />

mendesak pemerintah mencabut ijin<br />

petambangan dan AMDAL tambang emas PT<br />

Indo Multi Niaga (IMN) yang cacat dan<br />

menolak ijin pinjam pakai penggunaan hutan.<br />

3) Kunjungan Rombongan Dirjen Planologi<br />

<strong>Departemen</strong> Kehutanan ke lokasi penambangan<br />

emas tradisional di lereng Gunung<br />

Tumpang Pitu Kampung 56 Dusun Wringin<br />

Agung Desa/Kecamatan Pesanggaran,<br />

Banyuwangi, diwarnai aksi penghadangan oleh<br />

ratusan massa anti tambang.<br />

4) Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli<br />

Lingkungan (AMMPeL), mengecam pertemuan<br />

antara Dirjen Planologi <strong>Departemen</strong> Kehutanan<br />

dan PT Indo Multi Niaga (IMN) serta pihak terkait<br />

lainnya di Pendopo Banyuwangi, yang dianggap<br />

telah telah melakukan ketidakadilan informasi<br />

terhadap masyarakat terkait aktifitas PT IMN di<br />

Gunung Tumpang Pitu karena tidak transparan.<br />

Mengenai isu kesamaan hak dalam pemanfaatan<br />

bahan tambang (PT. IMN vs PETI/ Gurandil)<br />

merupakan isu penting, karena kalau tidak<br />

ditempatkan pada koridor yang semestinya, sesuai<br />

pasal 33 UUD 45 dapat menjadi pemicu isu-isu<br />

lainnya di kawasan tersebut. Masalah tersebut<br />

terkait dengan pertanyaan mendasar, kalau PT.<br />

IMN diperbolehkan melakukan aktivitas di<br />

kawasan hutan lindung, kenapa rakyat dilarang di<br />

kawasan hutan produksi, yang secara tingkatan<br />

fungsi hutan lebih rendah. Pertanyaan ini berlanjut<br />

dengan masalah, kalau pelarangan PETI/ Gurandil<br />

karena merusak Lingkungan dan tidak berizin<br />

sehingga tidak ada pemasukan bagi pemda,<br />

bagaimana seharusnya.<br />

Berbagai persoalan yang mendasar tersebut<br />

timbul, karena Pemda Kabupaten Banyuwangi<br />

kurang cepat dalam menanganinya sebagai akibat<br />

belum adanya kantor/ dinas pertambangan yang<br />

seharusnya bertanggung jawab terhadap<br />

persoalan pertambangan di daerah. Perlu<br />

dipahami, saat ini dengan persoalan pertambangan<br />

yang komplek ditangani oleh Pemda Bagian<br />

Perekonomian, Bappeda dan Kantor Lingkungan<br />

Hidup menyebabkan persoalan pertambangan<br />

tidak tertangani secara optimal, setiap ada<br />

persoalan masing-masing saling menunggu dan<br />

bagi-bagi tanggung jawab/ peran. Di samping itu,<br />

ada kesan dalam menangani setiap persoalan<br />

PETI/ Gurandil dilakukan dengan cara-cara<br />

represif. Padahal, berdasarkan kasus-kasus di<br />

beberapa daerah, cara-cara represif justru akan<br />

menimbulkan persoalan baru yang lebih besar.<br />

Untuk memberi rasa keadilan, kesamaan hak atas<br />

sumber daya alam antara PT. IMN dan masyarakat<br />

penambang, maka Pemda Kabupaten Banyuwangi<br />

seharusnya menyiapkan WPR sebagai wadah<br />

menampung aspirasi rakyat dalam kegiatan<br />

pertambangan dengan beberapa tahap berikut:<br />

1) Secepatnya meminimalkan daerah operasi<br />

PETI/ gurandil untuk mengurangi dampak<br />

Lingkungan, dengan persuasif menjaga wilayah<br />

operasi PETI/ gurandil tersebut.<br />

2) Menyiapkan Wilayah <strong>Pertambangan</strong> Rakyat<br />

(WPR) pada daerah-daerah di lembah Gunung<br />

Tumpang Pitu yang memiliki kandungan emas<br />

alluvial.<br />

3) Melakukan kajian eksplorasi terhadap daerah<br />

yang disiapkan untuk WPR dan menyiapkan<br />

perizinannya dengan wadah badan usaha<br />

Koperasi.<br />

4) Menyiapkan bimbingan, pembinaan dan<br />

pengawasan teknis penambangan, lingkungan<br />

dan manajemen usaha bagi penambang rakyat.<br />

6. KESIMPULAN DAN TINDAK LANJUT<br />

Berdasarkan pembahasan terhadap ke-empat isu<br />

potensi dan kegiatan pertambangan emas di<br />

Gunung Tumpang Pitu di atas (isu potensi emas,<br />

Lingkungan pertambangan, tumpang tindih dengan<br />

sektor lain, dan isu sosekbud), diperlukan<br />

kesiapan daerah (Pemerintah Kabupaten<br />

Banyuwangi) dalam mengelola potensi emas di<br />

Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran,<br />

Kabupaten Banyuwangi. Kesiapan daerah dalam<br />

mengelola potensi emas di Gunung Pitu tersebut<br />

meliputi beberapa tahap kegiatan berikut:<br />

1) Perlu ada kajian mengenai keuntungan dan<br />

kerugian (cost benefit analysis) antara<br />

kegiatan pertambangan dengan sektor<br />

kehutan, dan sektor lain terkait fungsi hutan<br />

sebagai penyimpan sumber daya air sektorsektor<br />

pertanian dan perkebunan.<br />

2) Bila kegiatan pertambangan lebih<br />

menguntungkan, dengan dampak yang dapat<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

9


diminimalkan dibanding kerugian yang akan<br />

terjadi terhadap sektor-sektor nonpertambangan,<br />

maka perlu dilakukan<br />

pembatasan kembali wilayah PT. IMN (relinquish)<br />

dari tahap eksplorasi ke tahap<br />

eksploitasi, dan wilayah yang berpotensi emas<br />

sekunder/ alluvial dialokasikan sebagai<br />

Wilayah <strong>Pertambangan</strong> Rakyat (WPR) untuk<br />

mewadahi aspirasi rakyat/ masyarakat dalam<br />

kegiatan pertambangan. Mengenai tahap<br />

eksplorasi diatur dalam pasal 42-45 UU No.<br />

4/<strong>2009</strong>, sedangkan pengalokasian WPR<br />

diatur pasal 20-26 UU No. 4/<strong>2009</strong>.<br />

3) Berdasarkan kajian terhadap AMDAL PT. IMN,<br />

ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi:<br />

• wilayah konsesi, perlu dilakukan<br />

pembatasan wilayah konsesi untuk<br />

meminimalkan dampak lingkungan,<br />

terutama terkait fungsi hutan lindung<br />

sebagai sumber mata air, dan sungaisungai<br />

bagi sektor pertanian dan<br />

perkebunan.<br />

• wilayah konsesi, batas wilayah yang<br />

terdapat pada tabel titik koordinat terdapat<br />

kesalahan pada titik 14 dan 15 (koordinat<br />

y garis lintang/ LS untuk titik 14<br />

seharusnya 36’.00" dan titik 15 seharusnya<br />

36’.00") yang bisa fatal karena sebagai<br />

batas wilayah konsesi (Tabel 1).<br />

• kajian terhadap kegiatan di sekitar proyek<br />

perlu diperluas dan diperdalam sehingga<br />

dapat memberi gambaran yang valid<br />

mengenai keadaan yang sebenarnya, dan<br />

perlu dilakukan secara transparan.<br />

• dalam kajian AMDAL perlu diperjelas<br />

mengenai rencana pembuangan limbah,<br />

dan rencana pengelolaannya.<br />

4) PT. IMN perlu memberi penjelasan yang ilmiah<br />

mengenai potensi emas primer maupun emas<br />

sekunder/ alluvial di dalam wilayah konsesinya<br />

di Gunung Tumpang Pitu, serta kandungan<br />

mineral ikutan emas berdasarkan hasil<br />

laboratorium yang terakreditasi.<br />

5) Dalam menangani persoalan PETI/ Gurandil<br />

seyogyanya tidak menggunakan cara-cara<br />

represif, tetapi harus dengan persuasive,<br />

karena kasus-kasus semacam ini (PETI Emas<br />

Pongkor, Kapur di Padalarang Jawa Barat,<br />

PETI Batubara di Kalimantan Selatan, PETI<br />

Emas di Sulawesi Utara, dan lainnya) kalau<br />

ditangani secara represif akan menimbulkan<br />

persoalan baru yang lebih besar.<br />

6) Dalam pengalokasian WPR perlu dilakukan<br />

kegiatan inventarisasi potensi bahan galian<br />

Tabel 1.<br />

Koordinat Wilayah Kuasa <strong>Pertambangan</strong> PT. IMN<br />

1 113 56 45,4 8 37 16,8<br />

2 113 56 45,4 8 35 53,6<br />

3 113 57 58,4 8 35 53,6<br />

4 113 57 58,4 8 34 15,9<br />

5 113 57 36,2 8 34 15,9<br />

6 113 57 36,2 8 33 3,2<br />

7 113 59 19,9 8 33 3,2<br />

8 113 59 19,9 8 32 30,8<br />

9 114 1 57 8 32 30,8<br />

10 114 1 57 8 32 58,7<br />

11 114 2 37,2 8 32 58,7<br />

12 114 2 37,2 8 35 8,6<br />

13 114 4 17,4 8 35 8,6<br />

14 114 4 17,4 8 38 hrs-nya 36 12,8 hrsnya 00<br />

15 114 4 51,4 8 38 hrs-nya 36 12,8 hrsnya 00<br />

16 114 4 51,4 8 38 11,7<br />

17 114 3 29,4 8 38 11,7<br />

18 114 3 29,4 8 39 2,8<br />

19 114 0 20,6 8 39 2,8<br />

20 114 0 20,6 8 37 16,8<br />

Sumber: ANDAL <strong>Pertambangan</strong> PT. Indah Multi Niaga<br />

10 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


emas sekunder pada wilayah-wilayah yang<br />

potensial dan dampaknya dapat diminimalkan.<br />

7) Setelah Pemda Kabupaten Banyuwangi<br />

mengalokasikan WPR, maka perizinan perlu<br />

disiapkan dan perlu dilakukan pembinaan dan<br />

pengawasan, baik dalam hal teknis<br />

penambangan, lingkungan maupun dalam<br />

manajemen berusaha.<br />

8) Untuk menangani berbagai permasalahan<br />

pertambangan di Kabupaten Banyuwangi,<br />

sesuai kebijakan otonomi daerah yang<br />

tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004, UU No.<br />

33 Tahun 2004, dan PP No. 38 Tahun 2007,<br />

maka perlu dibentuk kantor/ dinas<br />

pertambangan dan energi yang tugasnya<br />

mengelola kegiatan pertambangan di daerah.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana<br />

Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten<br />

Banyuwangi 2005-2015 (Laporan Rencana).<br />

Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2007, Tata<br />

Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten<br />

Banyuwangi 2007-2027 (Album Peta/<br />

Gambar).<br />

Bappeda Kabupaten Banyuwangi, 2005, Rencana<br />

Umum Tata Ruang Kota dengan Kedalaman<br />

Rencana Detail Tata Ruang Kota<br />

Pesanggaran.<br />

Bappeda Kabupaten Banyuwangi, <strong>2009</strong>, Potensi<br />

pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan<br />

Pulau Batu Merah, Bahan Presentasi Kabid<br />

Fisik dan Prasarana Wilayah.<br />

Berita Fajar, 2008, “Emas vs Potensi Agraris<br />

Banyuwangi, Sebentuk Kanibalisasi antar -<br />

Potensi”, Berita Fajar FM, Sabtu, 19 April<br />

2008.<br />

BPS Kabupaten Banyuwangi, <strong>2009</strong>, Kabupaten<br />

Banyuwang Dalam Angka Tahun 2008.<br />

BPS Kabupaten Banyuwangi, <strong>2009</strong>, PDRB<br />

Kabupaten Banyuwangi Tahun 2008.<br />

BPS Kabupaten Banyuwangi, 2008, Kecamatan<br />

Pesanggaran Dalam Angka Tahun 2007.<br />

Detik Surabaya, <strong>2009</strong>, “Penambang Emas<br />

Dadakan di Banyuwangi Capai 3 Ribu Orang”,<br />

Detik Surabaya, Selasa, 28 April, <strong>2009</strong>.<br />

Harian Kompas, <strong>2009</strong>, “Berebut Emas di Tumpang<br />

Pitu”, Harian Kompas, Rabo, 17 Mei <strong>2009</strong>.<br />

Harian Kompas, 2008, “Masyarakat Banyuwangi<br />

Tolak Tambang Emas di Hutan Lindung<br />

Tumpang Pitu”, Harian Kompas, Senin, 16 Juni<br />

2008<br />

Harian Kompas, 2008, “Ribuan Penambang Emas<br />

Banyuwangi Diusir”, Harian Kompas, Jumat<br />

27 Februari <strong>2009</strong>.<br />

PT. Indo Multi Niaga, 2008, ANDAL PT. Indo Multi<br />

Niaga, Rencana Penambangan Emas DMP di<br />

Desa Sumber Agung, Kecamatan<br />

Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,<br />

Provinsi Jawa Timur, Jakarta 2008 (Laporan<br />

Akhir).<br />

PT. Indo Multi Niaga, 2008, Lampiran ANDAL PT.<br />

Indo Multi Niaga Rencana Penambangan<br />

Emas DMP di Desa Sumber Agung,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten<br />

Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta<br />

2008.<br />

PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pengelolaan<br />

Lingkungan (RKL) Rencana Penambangan<br />

Emas DMP di Desa Sumber Agung,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten<br />

Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta<br />

2008.<br />

PT. Indo Multi Niaga, 2008, Rencana Pemantauan<br />

Lingkungan (RPL) Rencana Penambangan<br />

Emas DMP di Desa Sumber Agung,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten<br />

Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Jakarta<br />

2008.<br />

Tim Isu Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, <strong>2009</strong>, Foto-foto<br />

dokumentasi survai di perkantoran dan<br />

dokumentasi PETI di Gunung Tumpang Pitu,<br />

Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.<br />

Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

11


LAMPIRAN<br />

FOTO-FOTO SURVAI LAPANGAN<br />

12 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

13


14 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Permasalahan Pengelolaan Potensi Emas di Gunung Tumpang Pitu ... Bambang Yunianto<br />

15


PENGEMBANGAN METODE ANALISIS TER DAN<br />

PARTIKULAT DALAM PRODUCER GAS<br />

DARI BATUBARA<br />

Slamet Suprapto dan Nurhadi<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, Jln. Jend. Sudirman no. 623 Bandung,<br />

Telp. (022)6030483, Fax: (022) 6003373<br />

email: slamets@tekmira.esdm.go.id, nurhadi@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Dalam rangka meningkatkan dan mendiversifikasikan pemanfaatan batubara, Puslitbang Teknologi<br />

Mineral dan Batubara sedang mengembangkan pemanfaatan producer gas hasil gasifikasi batubara<br />

untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) sistem dual fuel di Sentra Teknologi Pemanfaatan<br />

Batubara, Palimanan Cirebon. Salah satu parameter kualitas producer gas untuk digunakan pada<br />

sistem pembakaran internal seperti mesin diesel adalah kadar ter dan partikulat. Penelitian ini<br />

dimaksudkan untuk mengembangkan metoda sampling dan analisis kadar ter dan partikulat dalam<br />

producer gas dari batubara. Metoda ini menggunakan peralatan yang terdiri atas nozzle isokinetik<br />

yang dilengkapi heater untuk mengambil contoh producer gas, penyaring keramik untuk memisahkan<br />

partikulat, heat exchanger dan botol kondensasi untuk mengasorbsi lengas dan botol impinger untuk<br />

mengadsorbsi ter dalam contoh producer gas. Peralatan yang telah terangkai kemudian diujicoba<br />

untuk menentukan kadar ter dan partikulat dalam producer gas produk gasifikasi. Batubara yang<br />

digunakan berasal dari Kalimantan Selatan yang mempunyai nilai kalor 5.500 dan 4.500 kal/g. Pengujian<br />

metoda sampling dan analisis terhadap producer gas hasil gasifikasi batubara tersebut menunjukkan<br />

kadar ter dan partikulat yang cukup rendah yaitu


used comes from South Kalimantan which have calorific values of 5,500 and 4,500 cal/g. The results<br />

show that the content of tar and particulate are


pembakaran internal dan proses gasifikasi<br />

batubara yang digunakan di pilot plant pemanfaatan<br />

gasifikasi batubara untuk PLTD adalah pada<br />

reaktor dan sistem pemurnian gas. Reaktor<br />

gasifikasi biomassa adalah sistem downdraft,<br />

yakni batubara dimasukkan dari atas dan gas<br />

dikeluarkan dari bawah reaktor sehingga ter<br />

biomassa mengalami perekahan (cracking)<br />

menjadi molekul gas. Oleh karena itu, kadar ter<br />

dalam relatif rendah dan unit pemurniaan gas yang<br />

digunakan untuk gasifikasi biomassa cukup hanya<br />

terdiri atas siklon, scrubber dan pendingin.<br />

Sedangkan gasifikasi batubara menggunakan<br />

reaktor sistem updraft sehingga produk gas<br />

mengandung lebih banyak ter. Namun pada unit<br />

gasifikasi batubara mempunyai sistem pemurnian<br />

gas yang juga dilengkapi penangkap ter khusus,<br />

yakni tar electrostatic precipitator. Unit penangkap<br />

ter tersebut cukup efektif sehingga kadar ter dalam<br />

producer gas memenuhi syarat untuk penggunaan<br />

mesin diesel.<br />

Penggunaan producer gas hasil gasifikasi<br />

biomassa untuk mesin diesel pembangkit listrik<br />

maupun kendaraan telah dimulai sejak awal abad<br />

20. Penggunaan tersebut mencapai puncaknya<br />

selama masa Perang Dunia II terutama dilakukan<br />

oleh Jerman untuk menjalankan kendaraankendaraan<br />

perangnya. Sampai sekarang, di<br />

daerah-daerah terpencil di banyak negara misalnya<br />

Pilipina, Selandia Baru, Afrika, Eropa maupun<br />

Amerika Serikat masih ditemukan bus atau traktor<br />

bermesin diesel sistem dual fuel dengan bahan<br />

bakar solar dan producer gas (Anonymous, 1986;<br />

Turare).<br />

Mesin-mesin pembakaran internal normalnya<br />

dirancang untuk menggunakan bahan bakar bensin<br />

atau solar yang relatif bersih dibanding producer<br />

gas. Oleh karena itu, agar mesin diesel dapat<br />

beroperasi dengan normal, maka producer gas<br />

harus mengandung ter dan partikulat serendah<br />

mungkin. Secara umum, kadar ter dan partikulat<br />

yang masih dapat ditoleransi untuk bahan bakar<br />

mesin pembakaran internal adalah adalah sebagai<br />

berikut (Anonymous, 1986; Anonymous, 2006):<br />

• ter :


Gambar 1. Skema alat sampling producer gas (Nussbanmer, 1998; van<br />

de Kamp, 2005)<br />

Gambar 2. Skema penangkap partikulat dan ter ((Nussbanmer, 1998; van<br />

de Kamp, 2005)<br />

Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto dan Nurhadi<br />

19


ter dalam contoh gas akan mengembun dalam 3.3. Pengujian Metoda<br />

botol kondensasi yang berisi air suling.<br />

Langkah selanjutnya adalah mengalirkan gas ke<br />

dalam 3 buah botol impinger yang masing-masing<br />

berisi 50 mL anisol dan satu buah botol impinger<br />

kosong sebagai drop separator. Ketiga buah botol<br />

impinger tersebut didinginkan dalam chiller pada<br />

suhu -3 sampai dengan -4 O C. Ter yang<br />

terkandung dalam contoh gas akan mengembun<br />

dan terabsorbsi dalam anisol. Contoh gas<br />

kemudian disedot oleh pompa vakum pada laju<br />

alir antara 1,7 – 3,3 m/detik. Sisa contoh gas<br />

dibakar dengan pembakar (burner).<br />

Sampling gas dilakukan selama 0,5 - 1 jam,<br />

tergantung kandungan ter dan partikulat. Semakin<br />

kecil kandungan partikulat dan ter, waktu yang<br />

dibutuhkan akan semakin lama. Setelah dilakukan<br />

langkah-langkah sampling gas dan pemisahan<br />

partikulat dan ter seperti seperti tersebut di atas,<br />

kemudian kadar partikulat dan ter dapat ditentukan<br />

dengan membagi berat ter dengan volume contoh<br />

gas sebagai berikut:<br />

m c1 – m c2<br />

Kadar partikulat, mg/m 3 =<br />

v g<br />

Di mana:<br />

m c1 = berat penyaring keramik sebelum<br />

percobaan, mg<br />

m c2 = berat penyaring sesudah percobaan, mg<br />

= volume contoh gas, m 3<br />

Sedangkan untuk menentukan kadar ter, ter yang<br />

sudah teradsorbsi dalam botol kondensasi dan<br />

botol impinger dipisahkan melalui destilasi vakum<br />

pada suhu 85 O C dan tekanan 10 – 20 mBar. Ter<br />

yang diperoleh kemudian ditimbang. Kadar tar<br />

dapat dihitung dengan membagi berat ter yang<br />

diperoleh dari destilasi vakum dengan volume<br />

contoh gas, sebagai berikut:<br />

m t<br />

Kadar partikulat, mg/m 3 =<br />

v g<br />

Di mana:<br />

m t = berat ter hasil destilasi, mg<br />

v g = volume contoh gas, m 3<br />

Pengujian metoda dilakukan terhadap producer<br />

gas hasil gasifikasi contoh batubara Kalimantan<br />

yang mempunyai nilai kalor 5.500 kal/g dan 4.500<br />

kal/g. Pengujian diawali dengan proses gasifikasi<br />

batubara yakni dengan mengumpankan batubara<br />

± 150 kg/jam. Setelah operasi gasifikasi berjalan<br />

lancar (steady) kemudian dilakukan sampling gas<br />

dengan membuka aliran nozzle. Selanjutnya<br />

dilakukan langkah-langkah sesuai dengan<br />

prosedur analisis ter dan partikulat. Apabila kadar<br />

ter dan partikulat dalam producer gas sudah<br />

memenuhi syarat, yakni


Tabel 1.<br />

Hasil analisis ter dan partikulat<br />

Kadar Ter dan Partikulat, mg/m 3<br />

No. Contoh Batubara Nilai Kalorkal/g<br />

Ter<br />

Partikulat<br />

1.<br />

38 50<br />

A 5.500<br />

2. 7 31<br />

3. B 4.500 62 43<br />

Analisis proksimat, reaktivitas dan sifat caking<br />

batubara yang sama akan menghasilkan kondisi<br />

operasi yang sama. Ukuran batubara yang<br />

digunakan dalam percobaan gasifikasi adalah – 5<br />

+ 1 cm, tetapi kemungkinan distribusi ukurannya<br />

tidak merata sehingga menyebabkan kondisi<br />

percobaan ke 1 dan ke 2 tidak sama. Hal ini juga<br />

dapat membuat penyebaran panas dalam unggun<br />

batubara tidak merata dan selanjutnya<br />

menyebabkan fragmentasi ukuran tidak sama<br />

sehingga kondisi proses berbeda. Perbedaan<br />

kondisi proses tersebut menyebabkan terjadinya<br />

perbedaan kualitas produk berbeda.<br />

Pengembangan standar analisis producer gas dari<br />

biomassa yang dilakukan oleh van de Kamp (2005)<br />

adalah dengan memvariasikan kondisi operasi<br />

gasifikasi yang terdiri atas, pereaksi (udara/uap<br />

air, oksigen/uap air), jenis reaktor (fixed bed, fluidized<br />

bed, updraft, down draft), suhu dan tekanan.<br />

Dalam program standarisasi tersebut dilakukan uji<br />

Round Robin, yakni mengirimkan contoh-contoh<br />

gas yang sama ke beberapa laboratorium kemudian<br />

membandingkan hasilnya.<br />

Hasil pengujian penggunaan gas untuk<br />

mengoperasikan mesin diesel sistem dual fuel<br />

secara kontinyu dan beban maksimal<br />

menunjukkan kinerja yang cukup baik. Hasil<br />

pengamatan terhadap ruang bakar mesin diesel<br />

setelah operasi kontinyu tidak menunjukkan<br />

perbedaan dengan menggunakan bahan bakar<br />

100% solar dan tidak ditemukan adanya endapan<br />

kerak atau ter batubara dalam ruang bakar mesin<br />

diesel. Hal ini menunjukkan bahwa kadar ter dan<br />

partikulat cukup rendah dan memenuhi syarat,<br />

seperti yang dihasilkan oleh uji metoda analisis.<br />

Walaupun metoda ini sudah bisa digunakan, tetapi<br />

yang masih menjadi masalah adalah belum<br />

dikembangkannya standar. Hal ini mengingat<br />

belum adanya standard reference gas yang sudah<br />

mempunyai kandungan ter dan partikulat tertentu.<br />

Disamping itu, belum ada laboraorium lain yang<br />

mengembangkan metoda analisis ter dan partikulat<br />

yang dapat bekerjasama dalam melakukan uji<br />

Round Robin guna membandingkan hasil analisis.<br />

5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

5.1. Kesimpulan<br />

• Peralatan sampling dan analisis ter dan<br />

partikulat dalam producer gas dari batubara<br />

telah dapat dirancang bangun dan dipasang<br />

pada pilot plant gasifikasi batubara untuk PLTD<br />

di Palimanan Cirebon.<br />

• Metoda sampling dan analisis ter dan producer<br />

gas telah dikembangkan dan diujicobakan<br />

dengan baik terhadap producer gas hasil<br />

gasifikasi batubara dari Kalimantan Selatan<br />

yang menghasilkan kadar ter dan partikulat<br />

masing-masing antara 7 – 62 mg ter/Nm 3 dan<br />

31 – 50 mg partikulat/Nm 3 yang telah<br />

memenuhi persyaratan untuk pengoperasian<br />

mesin diesel.<br />

• Pengoperasian mesin diesel menggunakan<br />

producer gas dari batubara menunjukkan<br />

kinerja yang cukup baik, tidak terdapat endapan<br />

ter dan partikulat dalan ruang bakar mesin.<br />

5.2. Saran<br />

• Hasil ini agar dapat ditindaklanjuti dengan<br />

pengembangan metoda standar melalui<br />

kerjasama dengan laboratorium lain untuk<br />

melakukan uji pembanding (Round Robin test).<br />

• Pengembangan metoda sampling dan analisis<br />

producer gas juga perlu dikembangkan agar<br />

komposisi gas dapat langsung diketahui<br />

sehingga pemanfaatan untuk mesin diesel<br />

dapat terjamin.<br />

Pengembangan Metode Analisis Ter dan Partikulat dalam Producer ... Slamet Suprapto dan Nurhadi<br />

21


UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Ucapan terimakasih disampaikan kepada<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>, PT PLN Jasa Produksi dan<br />

PT Coal Gas Indonesia (PT CGI) atas<br />

kerjasamanya dalam penyelenggaraan kegiatan<br />

ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonymous, 1986. Wood Gas as Engine Fuel.<br />

FAO, Rome.<br />

Anonymous, 2006. Biomass downdraft gasifier<br />

engine system. http:/devafdc.nrel.gov/pdfs.<br />

Elliot, M.A. (ed.), 1981. Chemistry of coal utilization.<br />

Second Suppl. Vol., John Wiley & Sons,<br />

New York.<br />

Francis, W., 1965. Fuels and Fuel Technology.<br />

Vol II, Section C: Gaseous Fuels. Pergamon<br />

Press, Oxford.<br />

Nowacki, P. (Ed.), 1981. Coal Gasification Process.<br />

Noyes Data Corporation Jersey.<br />

Nussbanmer, T., 1998. Guide line for Sampling<br />

and analisis of Tars Condensates and Particulates<br />

From Biomass Gasifier, Swiss Federal<br />

Institute of Zurich, Zurich.<br />

Turare, C. Biomass Gasification – Technology and<br />

Utilization. ARTES Institute Glucksburg, Germany.<br />

van de Kamp, W., de Wild, P., Zielke, U.,<br />

Suomalainen, M., Knoef, H., Good, J, Liliedahl,<br />

T., Unger, C., Whitehouse, M., Neeft, J., van<br />

de Hoek, H. & Kiel, J., 2005. Tar measurement<br />

standard for sampling and analysis of<br />

tars and particles in biomass gasification product<br />

gas. 14 th European Biomass Conference<br />

& Exhibition, Paris, 17-21 October.<br />

Van Dyk, J.C., Keyser, M.J. & Coertzen, M.<br />

Sasol’s Unique Position in Production from<br />

South African Coal Source Using Sasol–Lurgi<br />

Fixed Bed Dry Bottom Gasifier. Sasol Technology.<br />

R&D Division, Syngas and Coal Technologies,<br />

Sasolburg, South Afrika.<br />

Ward, C.R., 1984. Coal Geology and Coal Technology,<br />

Blackwell Scientific Publications,<br />

Melbourne.<br />

22 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


IMPLEMENTASI PENGELOLAAN LINGKUNGAN<br />

SEKTOR ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL<br />

PADA ERA GLOBALISASI<br />

Djoko Sunarjanto dan Bambang Wicaksono<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS)<br />

Jl. Ciledug Raya Kav 109, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12230<br />

Telp.021 7222583 Fac.021 7226011<br />

e-mail : djokosnj@lemigas.esdm.go.id, bambangwtm@lemigas.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Paradigma baru pengelolaan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus bergulir, setelah<br />

penyerahan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas kemudian UU Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang<br />

<strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara (Minerba). Dari implementasi UU Migas dan UU Minerba yang<br />

baru, terdapat persamaan antara lain tentang kepedulian lingkungan. Perlu upaya khusus untuk<br />

implementasi pengelolaan lingkungan dan penanganan dinamika kegiatan pertambangan mineral dan<br />

energi pada era globalisasi. Analisis pada studi kasus kegiatan pertambangan apabila berpatokan<br />

pada nuansa desentralisasi dan meninggalkan sentralisasi akan menimbulkan dampak baru. Dampak<br />

lingkungan yang timbul dapat berkembang menjadi permasalahan global, tidak terkotak-kotak wewenang<br />

daerah/pusat, namun menjadi urusan internasional. Demikian juga pengelolaan ekspor mineral,<br />

pengembangan teknologi termasuk impor peralatan masih dalam konteks sentralisasi. Permasalahan<br />

bertambah kompleks dengan berfluktuasinya produksi dan harga komoditas mineral. Diperlukan<br />

antisipasi pengelolaan sebaik-baiknya yang meliputi 3 faktor utama pengelolaan lingkungan Sektor<br />

ESDM di Indonesia, yakni jenis mineral, luas wilayah dan perkembangan perekonomian. Adanya<br />

berbagai input dan proses kegiatan pertambangan, menjadi masukan informasi untuk kembali ke<br />

konsep pengelolaan lingkungan yang sudah ada. Salah satunya adalah konsep Green Mining and<br />

Energy, akan menghasilkan output yang bermanfaat secara berkelanjutan utamanya selalu<br />

mempertimbangkan faktor lingkungan dan masyarakat sekitar kegiatan pertambangan.<br />

Kata kunci : lingkungan, Sektor ESDM, globalisasi<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono<br />

23


ABSTRACT<br />

New paradigm on management Energy and Mineral Resources Sector, after Oil and Gas Law (Law No.<br />

22 year 2001) and Mining and Coal Law (Law No. 4 year <strong>2009</strong>) is going on. The implementations of<br />

those laws pay the same attention on environment management. Special effort is needed for environment<br />

management to cope with the dynamics of mineral and energy activities in globalization era. Analysis<br />

from case study in mining activity if decentralism spirit is used and leaving from centralization spirit<br />

will create new impact. Environmental effect could generate the global problems, not only local but<br />

also international. Export activities of minerals, development of technologies and import of equipment<br />

which is still centralized and the complexity of the problems with fluctuations of product and mineral<br />

price need anticipation to manage it, these involve five factors: minerals item, mining area, economics<br />

development. With the inputs from mining activities there be sufficient information to come back to<br />

available environment management since Green Mining and Energy concept will cause a sustainable<br />

benefit output, in primary environment factors and community of the surrounding mining activities.<br />

Keywords: environment, energy and mineral resources sector, globalization<br />

1. LATAR BELAKANG<br />

Dengan terbitnya perundang-undangan yang<br />

mendasari pelaksanaan pengelolaan energi dan<br />

sumber daya mineral, terdapat persamaan dalam<br />

permasalahan lingkungan yang tertuang dalam UU<br />

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi<br />

dan UU Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong><br />

Mineral dan Batubara. Sebagai negara kepulauan,<br />

jumlah dan penyebaran penduduk yang timpang<br />

serta adanya perbedaan ekologi di berbagai<br />

kawasan Indonesia, tidaklah mengherankan<br />

apabila pada masing-masing wilayah terdapat<br />

perbedaan dalam upaya penanganan lingkungan<br />

dan peningkatan perekonomian atau Pendapatan<br />

Asli Daerah dari kegiatan pertambangan.<br />

Penyusunan makalah ini diharapkan dapat<br />

dijadikan sebagai masukan dalam rangka<br />

mempersiapkan peraturan dan keputusan sebagai<br />

turunan dan pendukung Undang Undang Minerba<br />

yang baru. Pemutakhiran dan upaya khusus<br />

implementasi pengelolaan lingkungan di tengah<br />

dinamika kegiatan pertambangan mineral dan<br />

energi sangat diperlukan guna menciptakan<br />

pertambangan berwawasan lingkungan.<br />

2. PENDEKATAN TEORI DAN ANALISIS<br />

Pendekatan kegiatan menggunakan teori<br />

kebijakan dan geologi lingkungan dikomparasi<br />

dengan data sekunder pengusahaan mineral dan<br />

batubara. Analisis komparatif dilakukan dengan<br />

subsektor lainnya dikompilasi dengan kekhususan<br />

pengembangan subsektor minyak dan gas bumi,<br />

produksi mineral, dan pemanfaatan batubara untuk<br />

kelistrikan serta beberapa studi kasus.<br />

Pendekatan kegiatan berbasis masyarakat (community<br />

based activities), lebih mungkin<br />

menghasilkan tindakan yang merespon kebutuhan<br />

riil penduduk ataupun masyarakat lingkar<br />

pertambangan. Perlu kesadaran manfaat dan resiko<br />

bahaya yang dihadapi dan kemampuan masyarakat<br />

untuk melindungi diri dari dampak negatif yang timbul.<br />

Dalam UU Minerba yang baru telah dilengkapi tata<br />

cara pengembangan terkait masyarakat, reklamasi<br />

sampai pascatambang, yaitu;<br />

• Penanganan lingkungan hidup<br />

• Rencana pengembangan dan pemberdayaan<br />

masyarakat di sekitar wilayah pertambangan<br />

(beberapa pasal, antara lain pasal 78)<br />

• Kegiatan Reklamasi dan Pascatambang<br />

(pasal 39)<br />

3. POTENSI DAN PEMANFAATAN<br />

BATUBARA INDONESIA<br />

Sejak tahun 2006 Pemerintah menggulirkan<br />

beberapa kebijakan untuk mendukung pembangunan<br />

pembangkit listrik 10.000 MW menggunakan<br />

bukan Bahan Bakar Minyak atau non-BBM. Salah<br />

satunya adalah dengan memberikan insentif kepada<br />

perusahaan batubara pemasok pembangkit listrik<br />

PLTU. Insentif yang diberikan berupa pemotongan<br />

dana pengembangan batubara yang merupakan<br />

bagian dari Dana Hasil Produsen Batubara (DHPB)<br />

yang disetor perusahaan tambang ke kas negara.<br />

Insentif tersebut diberikan hanya untuk kebutuhan<br />

pembangunan pembangkit listrik dan tidak boleh<br />

digunakan untuk keperluan ekspor.<br />

24 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Meningkatnya pemakaian BBM untuk pembangkit<br />

listrik tenaga diesel (PLTD) dan listrik tenaga uap<br />

(PLTU) memberatkan PLN dari segi biaya, di<br />

samping berdampak timbul masalah gangguan<br />

kualitas lingkungan. Salah satu solusi jangka panjang<br />

untuk menekan beban PLN dengan menggunakan<br />

batubara untuk pembangkit listrik yang akan<br />

dibangun maupun yang telah beroperasi. Batubara<br />

sebagai bahan bakar PLTU pengganti BBM<br />

dilandasi alasan karena batubara lebih murah dan<br />

cadangannya cukup besar, sehingga menjamin<br />

pasokan. Kebijakan Energi Nasional 2003-<strong>2009</strong><br />

menyebutkan bahwa penggunaan batubara dapat<br />

mendorong pengembangan batubara kalori rendah<br />

di dalam negeri, selaras hasil penelitian yang<br />

menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi<br />

batubara kalori rendah cukup besar yang selama<br />

ini belum dieksplorasi.<br />

Ibrahim (2008) dalam bukunya General Check-Up<br />

KELISTRIKAN NASIONAL; Produksi batubara<br />

dalam negeri sekitar 203 juta ton per tahun, untuk<br />

memenuhi kebutuhan bahan bakar sejumlah PLTU<br />

diperlukan sebanyak 21,28 juta ton per tahun, dalam<br />

Program 10.000 MW sebagian besar menggunakan<br />

batubara. Akan dibangun PLTU Suralaya, PLTU<br />

Labuhan dan Tangerang (Provinsi Banten). Di Jawa<br />

Barat akan dibangun PLTU Indramayu dan Pelabuhan<br />

Ratu. Jawa Tengah akan dibangun PLTU Rembang<br />

dan Tanjung Jati. Sedangkan di Jawa Timur akan<br />

dibangun PLTU Pacitan, Paiton dan Tuban.<br />

4. ANALISIS KOMPARATIF<br />

Terkait dengan jenis mineral dan pertambangan,<br />

dalam UU Minerba yang baru diuraikan pada BAB<br />

VI pasal 34; Usaha <strong>Pertambangan</strong> dikelompokkan<br />

menjadi pertambangan mineral dan pertambangan<br />

batubara. <strong>Pertambangan</strong> mineral masih digolongkan<br />

lagi menjadi; pertambangan mineral radioaktif,<br />

pertambangan mineral logam, pertambangan mineral<br />

nonlogam dan pertambangan batuan (Undang-<br />

Undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong><br />

Mineral dan Batubara)<br />

Sesuai klasifikasi untuk pengelolaannya tergantung<br />

jenis dan kategori mineral, seperti dalam pengusahaan<br />

migas dibedakan institusi pemerintah<br />

sebagai regulator (Ditjen Migas) dan badan yang<br />

melakukan pengawasan kegiatan baik hulu dan<br />

hilir migas oleh BP Migas dan BPH Migas,<br />

demikian juga nantinya untuk mineral strategis<br />

lainnya termasuk batubara. Saat ini pertambangan<br />

mineral dan batubara di Indonesia cenderung<br />

menggunakan sistem tambang terbuka (open pit<br />

mining) yang menggunakan lahan luas. Contoh<br />

pertambangan mineral logam PT Newmont Nusa<br />

Tenggara memerlukan wilayah yang luas Gambar<br />

1. Sebaliknya beberapa tambang dalam memerlukan<br />

lahan yang relatif tidak luas, seperti tambang yang<br />

sudah lama dikembangkan tambang emas<br />

Pongkor, Jayawijaya, batubara di Sawahlunto.<br />

Peningkatan pertambangan batuan sesuai kegiatan<br />

pembangunan fisik sarana-prasarana, tetap<br />

memerlukan kewaspadaan dalam pengelo-laannya<br />

terkait lingkungan, misal penambangan di daerah<br />

resapan air tanah, dekat kawasan budi daya atau<br />

pada kawasan hutan dan kawasan lainnya.<br />

Upaya mengatasi permasalahan yang timbul dapat<br />

diantisipasi dengan pengelolaan sebaik-baiknya,<br />

meliputi 3 faktor utama yang berperan penting<br />

dalam pengelolaan lingkungan Sektor ESDM di<br />

Indonesia, yaitu ;<br />

1. Jenis Mineral<br />

2. Wilayah <strong>Pertambangan</strong><br />

3. Perkembangan Perekonomian<br />

1. Jenis Mineral<br />

Klasifikasi mineral ataupun pembagian bahan galian<br />

sesuai Undang-Undang atau PP No 27 Tahun 1980<br />

dibedakan menjadi 3 jenis atau kategori, yaitu<br />

kategori A (Bahan Galian Strategis), kategori B<br />

(Bahan Galian Vital atau Logam) dan Golongan C<br />

(Industri atau bahan bangunan), sampai saat ini<br />

masih relevan. Namun dalam pengelolaan dan<br />

pekembangannya diperlukan inovasi dan keluwesan<br />

mengaplikasikan dalam peraturan perundangan baru.<br />

Gambar 1.<br />

Kegiatan operasi di tambang<br />

terbuka Batu Hijau (Foto :<br />

Newmont Nusa Tenggara, 2006)<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono<br />

25


Kasus terjadinya ledakan tambang batubara<br />

Sawahlunto yang menelan korban meninggal lebih<br />

dari 30 orang pada pertengahan Juni <strong>2009</strong>, salah<br />

satu penyebabnya diduga pengelolaan dan<br />

pengusahaannya mengabaikan prosedur dan<br />

pengawasan lingkungan dan keselamatan kerja<br />

seperti yang seharusnya berlaku pada kegiatan<br />

tambang bawah tanah/tambang batubara.<br />

2. Wilayah <strong>Pertambangan</strong><br />

Keberadaan wilayah pertambangan sangat<br />

mempengaruhi pelaksanaan dan permasalahan yang<br />

timbul di lapangan, masalah tumpang-tindih dengan<br />

sektor atau subsektor lain, penyerobotan wilayah<br />

oleh pertambangan tanpa ijin termasuk permasalahan<br />

lingkungan yang tidak mudah diselesaikan.<br />

Wilayah Indonesia yang memiliki tidak kurang dari<br />

13.667 pulau mempengaruhi implementasi<br />

organisasi, efektivitas dan efisiensi terkait<br />

kewilayahan. Sebagai contoh, kasus penanganan<br />

pengawasan Usaha Hulu Migas yang selama ini<br />

dilakukan BP MIGAS sesuai UU No 22 Tahun 2001<br />

tentang Minyak dan Gas Bumi, salah satu<br />

implementasinya BP MIGAS membuka kantor<br />

perwakilan dan penghubung di daerah. Hal ini<br />

karena kompleksnya permasalahan pengawasan<br />

kegiatan hulu migas dan lokasi wilayah yang<br />

tersebar dan sulit dijangkau.<br />

Keterkaitan wilayah dan kepadatan penduduk<br />

terlihat perbedaan antara Wilayah Jawa dan luar<br />

Jawa, khusus Pulau Jawa menampung hampir 60<br />

% penduduk Indonesia, demikian juga antara<br />

Sumatera Jawa dengan pulau lain di Indonesia Timur.<br />

Dari berbagai pulau; Jawa, Sumatera, Kalimantan<br />

dan Sulawesi merupakan tempat pemukiman yang<br />

utama. Pengembangan pertambangan akan<br />

mempertimbangkan lebih banyak faktor pada<br />

daerah padat penduduk. Tantangan ke depan<br />

menjadi bertambah karena peningkatan jumlah<br />

penduduk dan pertambangan mengarah ke wilayah<br />

padat penduduk, sehingga diperlukan pendekatan<br />

sosio kemasyarakatan dan teknologi dalam<br />

pengelolaan mineral dan energi. Keberhasilan<br />

kegiatan community development atau social responsibility<br />

dan program kemasyarakatan yang<br />

sejenis menjadi indikator keberhasilan kegiatan<br />

pertambangan suatu wilayah (Sunarjanto dan Adji,<br />

2005). Tingkat kepadatan penduduk tempat<br />

kegiatan pertambangan berada, dan temehadap<br />

pada satu sisi akan menjadi potensi sumber daya<br />

yang tidak boleh diabaikan.<br />

3. Perkembangan Perekonomian<br />

Akhir-akhir ini permasalahan lingkungan menjadi<br />

bagian penting dalam perekonomian, sesuai UU<br />

Minerba baru daerah pertambangan berpotensi untuk<br />

dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi<br />

(pasal 28). Sisi lain pengelolaan pertambangan<br />

mineral dan energi tergantung pada modal besar<br />

dan beresiko tinggi, mengakibatkan ketergantungan<br />

pada perekonomian global, termasuk di dalamnya<br />

investasi dan nilai tukar mata uang, pajak, ketenagakerjaan<br />

sampai ekspor-impor. Impor peralatan, mesin<br />

dan teknologi dari beberapa negara luar, sebaliknya<br />

hasil kegiatan pertambangan diekspor ke luar<br />

negeri. Tercatat produksi nasional tembaga, emas,<br />

perak dan timah lebih besar untuk kebutuhan luar<br />

negeri, bahkan tahun 2007 produksi bauksit<br />

(1,536,542 MT) dan bijih nikel (4,309,134 Ton) untuk<br />

memenuhi kebutuhan luar negeri (Tabel 1). Dari sisi<br />

mikro-ekonomi fluktuasi harga komoditas, akuisisi<br />

perusahaan, penggabungan beberapa perusahaan<br />

bahkan pengalihan bidang usahapun perlu diperhitungkan<br />

untuk keamanan berusaha dan mempertahankan<br />

stabilitas investasi. Untuk itu pelaksanaan<br />

rangkaian kegiatan pertambangan di Indonesia masih<br />

dikontrol langsung pemerintah, sejak perencanaan,<br />

eksplorasi-eksploitasi sampai pengawasan dan<br />

audit pascakegiatan pertambangan.<br />

Tabel 1.<br />

Produksi hasil tambang terpilih, kebutuhan dalam negeri dan ekspor<br />

2006 2007*) 2008*)<br />

Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik Produksi Ekspor Domestik<br />

Tembaga (Ton) 817,796 816,181 159,783 797,604.75 497,704.48 287,127.43 330,267 272,186 42,884<br />

Emas (KG) 85,411 85,176 1,882 117,726.64 83,249.67 36,774.24 33,923 32,222 5,318<br />

Perak (KG) 261,398 244,144 12,967 269,376.48 188,665.07 80,248.42 122,470 97,671 97,515<br />

Timah (Ton) 65,357 61,422 1,927 91,284.31 90,555.61 1,862 25,407 22,048 747<br />

Bauksit (MT) 1,501,937 1,536,542 - 15,406,044.73 17,031,809.46 25,762.49 6,706,483 7,702,308 102,326<br />

Bijih Nikel (Ton) 4,353,832 4,309,134 - 6,623,024 5,989,105 56,775 3,619,183 3,037,442 -<br />

*) Termasuk Kuasa <strong>Pertambangan</strong><br />

Status Data, Juli 2008<br />

Sumber : Directorate General of Mineral Coal and Geothermal (2008)<br />

26 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


5. ALTERNATIF SOLUSI<br />

Alternatif solusi merupakan bagian dari strategi yang<br />

diperlukan guna mempercepat dan akurasi suatu<br />

proses untuk mencapai tujuan yang diharapkan.<br />

Menurut Soelistijo (2000) secara makronasional,<br />

dengan disesuaikan terhadap terdapatnya sumber<br />

daya mineral dan energi, pengembangan wilayah<br />

Sektor ESDM terdiri dari 3 alternatif, yaitu ;<br />

• Pusat pertumbuhan (growth center).<br />

• Agregatif: yang potensinya menunjang<br />

konsepsi pengembangan wilayah sektor lain.<br />

• Regional Integratif: yang potensinya bersifat<br />

merangsang pengembangan wilayah sektor lain.<br />

Dalam perkembangannya selama ini banyak kajian<br />

ilmiah, analisis dan alternatif yang sudah disusun<br />

ahli maupun institusi. Berdasarkan analisis<br />

komparatif, sebagai suatu alternatif solusi terdapat<br />

input dan proses kegiatan pertambangan dapat<br />

diarahkan mencapai output yang bermanfaat banyak<br />

pihak. Dapat ditinjau kembali konsep pengelolaan<br />

lingkungan yang sudah ada, salah satunya adalah<br />

konsep Green Mining and Energy akan menghasilkan<br />

output yang bermanfaat secara berkelanjutan.<br />

Apabila dikaitkan dengan lingkungan dan<br />

pengembangan wilayah selalu mempertimbangkan<br />

faktor lingkungan dan masyarakat sekitar kegiatan<br />

pertambangan atau diistilahkan masyarakat<br />

lingkar luar, baik lingkar 1, lingkar 2 dan seterusnya.<br />

Peningkatan emisi gas CO 2 di atmosfer akan<br />

dapat mempengaruhi terjadinya perubahan curah<br />

hujan dan pemanasan global. Selain mendorong<br />

terjadinya kepunahan keanekaragaman hayati,<br />

pemanasan global juga dapat menimbulkan<br />

terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang,<br />

penurunan produktivitas perikanan laut, terjadinya<br />

perubahan musim, meledaknya hama dan wabah<br />

penyakit, hujan badai, banjir bandang dan sebagainya.<br />

Penggunaan energi batubara dalam penyediaan<br />

tenaga listrik ataupun industri mineral dan energi<br />

lainnya diupayakan agar lebih ramah lingkungan<br />

dan dilakukan dengan melengkapi peralatan yang<br />

dapat mengatasi polutan. Dengan melengkapi<br />

peralatan sejenis penyaring, maka gas buang dari<br />

PLTU ataupun industri menjadi aman bagi lingkungan<br />

(Brodjonegoro, Bambang dan Sunarjanto, 2000).<br />

Penanganan lingkungan hidup termasuk reklamasi<br />

dan pengelolaan pascatambang (BAB VII pasal<br />

39 UU Minerba) menjadi upaya penting memperbesar<br />

dampak positif menciptakan pertambangan secara<br />

berkelanjutan sejak eksplorasi sampai dengan<br />

esok menjadi suatu kawasan pusat pertumbuhan<br />

ekonomi. Sebagai contoh nyata adanya kegiatan<br />

pertambangan mineral logam di Maluk Sumbawa<br />

yang termasuk Wilayah PT. Newmont Nusa<br />

Tenggara dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun<br />

mampu membangun Pusat Pertumbuhan Ekonomi<br />

baru di Wilayah Indonesia Timur Gambar 2.<br />

6. PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP<br />

Sampai saat ini sumber energi fosil merupakan<br />

sumber utama dan penggunaan bahan bakar<br />

batubara pada PLTU dapat berdampak merugikan<br />

lingkungan. Secara fisik tampak mata adalah<br />

perubahan bentang alam, sebagai ilustrasi<br />

digambarkan dalam Gambar 1. Dampak negatif yang<br />

tidak tampak secara langsung sebagai sumber<br />

utama emisi berbahaya seperti SO 2 , CO, CO 2 , dan<br />

abu. Salah satu emisi yang harus mendapatkan<br />

perhatian dari pembakaran batubara pada<br />

pembangkit listrik adalah SO 2 , yang merupakan<br />

gas tidak berwarna, berbau menyengat dan sangat<br />

berbahaya bagi tumbuhan dan hewan. SO 2 menyebabkan<br />

gangguan pernafasan, dapat menyebabkan<br />

kebutaan dan kematian pada manusia. Dampak<br />

lainnya mengakibatkan terjadinya hujan asam<br />

yang dapat merusak tanaman serta mempercepat<br />

kepunahan keanekaragaman hayati yang sangat<br />

merugikan kehidupan, karena banyak di antara<br />

spesies yang punah tersebut merupakan spesies<br />

yang berguna bagi manusia (Christensen, 1991).<br />

7. DISKUSI<br />

Kegiatan ESDM khususnya pertambangan mineral<br />

masih terkonsentrasi di darat, di mana daratan<br />

hanya menempati sepertiga Wilayah Indonesia.<br />

Menjadi peluang dan tantangan untuk lebih intensif<br />

mengembangkan pertambangan mineral di lepas<br />

pantai. Bila dibandingkan masih lebih banyak<br />

kegiatan migas yang mengeksplorasi dan<br />

mengeksploitasi cadangan migas lepas pantai.<br />

Penambangan timah dan pasir laut di daerah Riau<br />

Kepulauan dan sekitarnya menjadi contoh<br />

pertambangan mineral lepas pantai yang dapat<br />

dilakukan pada wilayah lain.<br />

Perubahan pada era globalisasi yang kadang<br />

berubah secara cepat dari segenap pihak<br />

pemangku kepentingan, shareholder sampai pihak<br />

luar/internasional, membentuk rantai semacam<br />

siklus. Diperlukan pemutakhiran dan diskusi yang<br />

berkelanjutan mengantisipasi perubahan yang<br />

dinamis. Sebagai bahan pengambilan keputusan<br />

ataupun masukan dalam penyusunan peraturan,<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono<br />

27


MALUK 1995<br />

MALUK 2005<br />

Gambar 2.<br />

Perbandingan maluk, Sumbawa pada tahun 1995 dan 2005, sebagai pusat<br />

pertumbuhan ekonomi (Sumber : PT Newmont Nusa Tenggara)<br />

diperlukan perhatian khusus pada permasalahan,<br />

antara lain :<br />

• Produksi dan harga komoditas mineral yang<br />

terus berfluktuasi.<br />

• Dampak lingkungan (dampak negatif) yang<br />

timbul dapat berkembang secara cepat<br />

menjadi permasalahan global.<br />

• Bencana lingkungan dan kebumian yang tidak<br />

terkait pertambangan ataupun ESDM,<br />

dijadikan alasan untuk menyalahkan dunia<br />

pertambangan dan pemangku kepentingan.<br />

• Pengelolaan lingkungan pertambangan lepas<br />

pantai yang baik sebagai upaya optimalisasi<br />

pemanfaatan wilayah dan ikut melindungi<br />

pelestarian alam.<br />

• Pengelolaan lingkungan Sektor ESDM<br />

menjadikan lingkungan bumi yang berkualitas<br />

sekaligus sebagai warisan generasi yang akan<br />

datang.<br />

8. PENUTUP<br />

Penanganan lingkungan hidup sampai kegiatan<br />

pertambangan selesai/ pascatambang menjadi<br />

upaya penting memperbesar dampak positif dan<br />

memperkecil dampak negatif. Suatu kawasan<br />

pertambangan mengubah lokasi terpencil menjadi<br />

pusat pertumbuhan ekonomi sudah banyak<br />

terbukti berhasil pada beberapa wilayah, namun<br />

masih diperlukan usaha lain agar tercipta<br />

pertambangan bermanfaat bagi masyarakat dan<br />

lingkungan sekitarnya secara berkelanjutan.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Tersusunnya makalah ini penulis mengucapkan<br />

terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Suprajitno<br />

Munadi, yang telah bersedia mengoreksi dan<br />

memberi masukan. Terima kasih kepada Kepala<br />

PPPTMGB LEMIGAS, Bapak Dr. Ir. Hadi<br />

Purnomo, M.Sc DIC yang memberi kesempatan<br />

penulis menyampaikan makalah ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Brodjonegoro, Bambang and Sunarjanto, 2000, The<br />

Sustainable Economic Growth Pole in The<br />

Mining Area Using AHP Method: Case Study<br />

of PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, Pongkor<br />

Gold Mine-West Java Indonesia, Proceedings<br />

of INSAHP, Jakarta.<br />

Christensen, J.W., 1991, Global Science, Energy,<br />

Resources, Environment, Kendall/Hunt Publishing<br />

Company, Dubuqe Iowa, third edition,<br />

699 p., ISBN 0-8403-4657-3.<br />

Directorate General of Mineral Coal and Geothermal,<br />

Ministry of Energy and Mineral Resources<br />

The Republic of Indonesia, 2008, Indonesia’s<br />

Mineral and Coal Development, Country Paper,<br />

Bali-Indonesia.<br />

Ibrahim, A. H., 2008. General Check-Up<br />

Kelistrikan Nasional, MediapIus Network,<br />

28 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Cetakan Pertama November 2008, ISBN 978-<br />

979-18898-0-3.<br />

Newmont Nusa Tenggara ,PT., 2006, Batu Hijau,<br />

Dulu, Kini dan Esok, Cetakan Kedua.<br />

Soelistijo, U. W., 2000, Pengembangan Wilayah<br />

Sektor <strong>Pertambangan</strong> dan Energi, DPE,<br />

Ditjend <strong>Pertambangan</strong> Umum, PPTP,<br />

Bandung.<br />

Sunarjanto,D. and Adji G.T, 2005, Corporate Social<br />

Responsibility One of Methods To Expand<br />

The Benefit for Oil and Gas Bearing Area, Proceedings<br />

30 th Annual Meeting IPA, Jakarta,<br />

ISBN 979-98000-7-2.<br />

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang<br />

Minyak dan Gas Bumi<br />

Undang-Undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang<br />

<strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara<br />

Implementasi Pengelolaan Lingkungan Sektor Energi ... Djoko Sunarjo dan Bambang Wicaksono<br />

29


PELUANG PENGEMBANGAN PERTAMBANGAN<br />

MINERAL DAN BATUBARA PADA ERA<br />

OTONOMI DAERAH<br />

Umar Dhani<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudriman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022- 6003373<br />

e-mail : umard@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Digulirkannya kebijakan Otonomi Daerah pada awal tahun 2000, merupakan babak baru dalam<br />

pemerintahan daerah. dengan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus daerahnya<br />

secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan adanya kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah<br />

berpacu mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada dan menciptakan kebijakan untuk<br />

meningkatkan pendapatan daerah (PAD) dengan legitimasi berupa Perda.<br />

Dalam waktu yang sangat singkat, perda-perda tumbuh bak jamur di musim hujan. Maraknya daerah<br />

menyusun perda menimbulkan masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak dan retribusi atau<br />

pungutan lainnya yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan<br />

yang lebih tinggi.<br />

Hingga pertengahan bulan Juni tahun <strong>2009</strong>, <strong>Departemen</strong> Keuangan telah mengumpulkan 12.031 Perda<br />

dan berdasarkan hasil evaluasi telah merekomendasikan sebanyak 2.894 perda dibatalkan dan 144<br />

perda direvisi. Hal ini menunjukkan bahwa produk Perda yang telah disusun cukup banyak yang<br />

bermasalah, sehingga akan menimbulkan kondisi yang tidak kondusif dan dapat menghambat<br />

pertumbuhan ekonomi maupun peluang investasi di daerah.<br />

Selain itu, dengan adanya kebijakan otonomi memberi peluang pengembangan pertambangan di daerah,<br />

antara lain : kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan potensi bahan galian, peningkatan penerimaan,<br />

kesempatan kerja dan berusaha serta terciptanya pengembangan wilayah.<br />

Kata kunci: peluang, pengembangan pertambangan, otonomi daerah<br />

ABSTRACT<br />

The release of the regional autonomy policy in the early 2000 is a new era of the regional government,<br />

in which the region has an authority to manage its region professionally. Consequently, the regional<br />

government is pushed to optimized potential of the resources and to create a policy of improving<br />

regional revenue by legitimating regional regulations.<br />

In a relatively short time, these regulations grow widely, and this causes collection of taxes, retribution<br />

and other taxes, which are no relation with the public interest and the higher regulations. This is<br />

against the investment promotion in the country.<br />

30 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Until the mid of June <strong>2009</strong>, the Ministry of Finance has collected 12,031 regional regulations. According<br />

to the evaluation results, 2,984 regulations are deleted and 114 are revised. This indicates that<br />

those regulations have problems, so they must be eliminated or revised, because they will create an<br />

unconducive condition and can hamper the economic growth and the opportunity of investing in the<br />

mining sector in the region. Moreover, the autonomous policy has provided an opportunity to develop<br />

the mining sector in a region in terms of management authority of utilizing mineral potential, revenue<br />

increase, job creation and regional development.<br />

Keywords: opportunity, mining development, regional autonomy<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Selama lebih dari dua dasawarsa, kebijakan<br />

otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada<br />

Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang<br />

Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada era<br />

ini peran Pemerintah Pusat sangat menonjol,<br />

sehingga menimbulkan ketergantungan daerah<br />

terhadap pusat. Pemerintah daerah tidak<br />

mempunyai keleluasaan dalam menetapkan program-program<br />

pembangunan di daerahnya serta<br />

sumber keuangan penyelenggaraan pemerintahan<br />

diatur oleh pusat. Pada awal tahun 2000<br />

diberlakukannya kebijakan otonomi, yaitu<br />

desentralisasi pemerintahan dari pusat ke daerah<br />

yang diimplementasikan pada UU Nomor 22 Tahun<br />

1999 tentang Pemerintahan Daerah dan<br />

disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004.<br />

Otonomi daerah diartikan kewenangan daerah<br />

otonom untuk mengatur dan mengurus daerahnya<br />

secara luas, nyata, dan bertanggung jawab.<br />

Kewenangan daerah mencakup kewenangan<br />

semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan<br />

di bidang politik luar negeri, pertahanan<br />

keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,<br />

dan bidang lainnya yang ditetapkan dengan<br />

Peraturan Pemerintah.<br />

Sejak diberlakukannya otonomi daerah tahun<br />

2000, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota<br />

telah melakukan pembenahan dan penyesuaian<br />

administratif dan struktur organisasi, kelembagaan.<br />

Salah satu upaya yang menonjol yang dilakukan<br />

oleh pemerintah daerah pada era ini adalah<br />

menerbitkan Peraturan Daerah (Perda).<br />

Maraknya meenerbitkan Perda tersebut, masih<br />

banyak yang tidak selaras dengan kebijakan yang<br />

lebih tinggi, bahkan cenderung tumpang tindih dan<br />

terkesan hanya berorientasi meningkatkan<br />

Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata. Selain itu,<br />

masih banyak terjadi perbedaan penjabaran<br />

mengenai otonomi daerah yang dituangkan dalam<br />

perda pada masing-masing daerah. Hal ini akan<br />

menimbulkan iklim yang tidak kondusif karena<br />

ketidak-konsistenan kebijakan dan bahkan dapat<br />

menghambat pertumbuhan ekonomi maupun<br />

peluang investasi di daerah. Permasalahan<br />

tersebut terjadi pada seluruh sektor usaha,<br />

termasuk sektor pertambangan.<br />

Sejak terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997,<br />

terjadi penurunan investasi pada seluruh sektor<br />

usaha, termasuk pada sektor pertambangan mineral<br />

dan batubara. Penurunan tersebut bukan hanya<br />

dipicu oleh diberlakukannya kebijakan otonomi<br />

daerah, tetapi juga kebijakan pertambangan yang<br />

mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 1967 sudah<br />

tidak selaras dengan semangat otonomi daerah<br />

yang sedang digiatkan. Selain itu masih terjadi<br />

perbedaan persepsi dalam menterjemahkan<br />

kebijakan otonomi daerah, khususnya pada sektor<br />

pertambangan, sehingga menimbulkan ketidakselarasan<br />

dengan kebijakan di atasnya atau<br />

kebijakan sektor lain. Permasalahan-permasalahan<br />

tersebut pada akhirnya dapat berakibat<br />

terganggunya perekonomian daerah maupun<br />

nasional.<br />

2. KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH<br />

Pada hakekatnya otonomi daerah merupakan hak,<br />

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk<br />

mengatur dan mengurus sendiri urusan<br />

pemerintahan dan kepentingan masyarakat<br />

setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.<br />

Tujuan pemberian kewenangan dalam<br />

penyelenggaraan otonomi daerah adalah<br />

meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan<br />

dan keadilan, demokratisasi, menghormati budaya<br />

budaya lokal, serta memperhatikan potensi dan<br />

keanekaragaman daerah. Pemerintah Daerah<br />

diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya<br />

alam, sumber daya buatan, dan sumber daya<br />

Peluang Pengembangan <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />

31


manusia yang ada di wilayahnya masing-masing<br />

(UU Nomor 32 Tahun 2004). Prinsip otonomi daerah<br />

adalah desentralisasi, penyerahan semua<br />

kewenangan kecuali bidang politik luar negeri,<br />

pertahanan keamanan, peradilan/yustisi, moneter<br />

dan fiskal, serta agama. Dalam penyerahan<br />

disertai pembiayaan, sumber daya manusia,<br />

sarana dan prasarana. Pelaksanaan kewenangan<br />

didasarkan pada norma, standar, dan prosedur.<br />

Penyelenggaraan urusan pemerintah dibagi<br />

berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,<br />

dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian<br />

hubungan antarsusunan pemerintahan. Yang<br />

dimaksud dengan “kriteria eksternalitas” dalam<br />

ketentuan ini adalah penyelenggara suatu urusan<br />

pemerintahan ditentukan berdasarkan luas,<br />

besaran, dan jangkauan dampak yang timbul<br />

akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan;<br />

kriteria akuntabilitas” adalah penanggung jawab<br />

penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan<br />

ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan<br />

luas, besaran, dan jangkauan dampak yang<br />

ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan<br />

pemerintahan; “kriteria efisiensi” adalah<br />

penyelenggara suatu urusan pemerintahan<br />

ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya<br />

guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.<br />

Setelah diberlakukan kebijakan desentralisasi dan<br />

otonomi daerah, keinginan pembentukan daerah<br />

otonom baru berkembang sangat pesat. Hal ini<br />

dapat terlihat dengan meningkatnya jumlah daerah<br />

otonom baru sejak tahun 1999 hingga Desember<br />

2008 sebanyak 215 daerah otonom baru, yang<br />

terdiri atas : 7 provinsi, 173 kabupaten, dan 35<br />

kota. Selain itu, masih terdapat usulan baru yang<br />

siap dibahas maupun yang belum diproses tentang<br />

pembentukan daerah otonom baru.<br />

Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan<br />

pemerintahan yang menjadi kewenangannya,<br />

kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU Nomor<br />

32 Tahun 2004 ditentukan menjadi urusan<br />

pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan<br />

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,<br />

pemerintahan daerah menjalankan otonomi<br />

seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus<br />

sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas<br />

otonomi dan tugas pembantuan.<br />

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan,<br />

pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat<br />

melimpahkan sebagian urusan pemerintahan<br />

kepada perangkat pemerintah atau wakil<br />

pemerintah di daerah atau dapat menugaskan<br />

kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan<br />

desa. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama<br />

antartingkatan dan/atau susunan pemerintahan<br />

adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan<br />

yang menjadi kewenangan pemerintah, yaitu terdiri<br />

atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan<br />

pemerintahan (PP Nomor 38 Tahun 2007). Urusan<br />

pemerintahan yang diserahkan kepada daerah<br />

disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan<br />

sarana dan prasarana, serta kepegawaian.<br />

Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non<br />

<strong>Departemen</strong> menetapkan norma, standar,<br />

prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan<br />

wajib dan urusan pilihan. Di dalam menetapkan<br />

norma, standar, prosedur, dan kriteria perlu<br />

diperhatikan keserasian hubungan pemerintah<br />

dengan pemerintah daerah dan antarpemerintah<br />

daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam<br />

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />

Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah<br />

kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan<br />

pemerintahan wajib, dan pilihan berpedoman<br />

kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria.<br />

Urusan pemerintahan wajib dan pilihan menjadi<br />

dasar penyusunan susunan organisasi dan tata<br />

kerja perangkat daerah.<br />

Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya<br />

alam dan sumber daya lainnya antarpemerintah<br />

dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud<br />

dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 2 ayat (4)<br />

dan ayat (5) meliputi :<br />

• kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan,<br />

pemeliharaan pengendalian dampak<br />

lingkungan, dan pelestarian;<br />

• bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya<br />

alam dan sumber daya lainnya; dan<br />

• penyerasian lingkungan dan tata ruang serta<br />

rehabilitasi lahan.<br />

Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya<br />

alam dan sumber daya lainnya antarpemerintah<br />

daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat<br />

(4) dan ayat (5) meliputi :<br />

• pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam<br />

dan sumber daya lainnya yang menjadi<br />

kewenangan daerah;<br />

• kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan<br />

sumber daya alam dan sumber daya lainnya<br />

antarpemerintahan daerah; dan<br />

• pengelolaan perizinan bersama dalam<br />

pemanfaatan sumber daya alam dan sumber<br />

daya lainnya<br />

32 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Pemerintahan daerah merupakan satuan pemerintahan<br />

teritorial tingkat lebih rendah dalam negara<br />

kesatuan RI, yang berhak mengatur dan mengurus<br />

sendiri urusan pemerintahannya (Bagir Manan,<br />

2001). Satuan pemerintahan teritorial tersebut<br />

disebut daerah otonom, sedangkan hak mengatur<br />

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang<br />

administrasi negara yang merupakan urusan<br />

rumah tangga daerah disebut otonomi. Dengan<br />

demikian, agar wewenang pemerintah daerah<br />

dapat dijalankan, maka diperlukan dasar hukum<br />

pelaksanaan, yaitu sesuai pasal 136 ayat 1 UU<br />

Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah sebagai<br />

kepala eksekutif menetapkan Perda atas<br />

persetujuan bersama DPRD. Perda yang disusun<br />

tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari<br />

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi<br />

dengan memperhatikan ciri khas masing-masing<br />

daerah.<br />

Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang<br />

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan<br />

pasal 7 Ayat (1) mengatur hirarki peraturan<br />

perundang-undangan yang berlaku di Negara<br />

Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian,<br />

perda merupakan salah satu produk hukum yang<br />

ada di Indonesia. Perda yang disusun oleh<br />

pemerintah daerah tidak boleh bertentangan<br />

dengan peraturan yang lebih tinggi dan dapat<br />

dibatalkan sesuai ketentuan yang berlaku. Perda<br />

yang terbit sebelum Oktober 2004, pembatalannya<br />

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri,<br />

sedangkan setelahnya pembatalan melalui<br />

Peraturan Presiden.<br />

Perda dan ketentuan daerah lainnya bersifat<br />

mengatur dan diundangkan melalui Lembaran<br />

Daerah. Untuk perda yang mengatur mengenai<br />

pajak daerah, retribusi daerah, Anggaran<br />

Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD),<br />

perubahan APBD, dan tata ruang sebelum<br />

ditetapkan dan diberlakukan terlebih dahulu<br />

dilakukan evaluasi oleh pemerintah. Hal ini<br />

dimaksudkan untuk melindungi kepentingan<br />

umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan<br />

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi<br />

dan/atau peraturan daerah lainnya. Perda<br />

merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan<br />

perundang-undangan yang lebih tinggi dengan<br />

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.<br />

Pemerintah daerah menyusun perda dalam rangka<br />

merumuskan berbagai kebijakan pembangunan<br />

atau dalam rangka memacu pertumbuhan<br />

perekonomian di daerah.<br />

Perda bermasalah pada prinsipnya adalah perdaperda<br />

yang karena keberadaannya akan menyebabkan<br />

terhambatnya efektifitas perekonomian (P.<br />

Agus Pambudhi, 2006). Atau bertentangan dengan<br />

peraturan yang lebih tinggi. Perda yang<br />

dikategorikan bermasalah adalah berdasarkan<br />

prinsipil, substansi dan yuridis. Bermasalah secara<br />

prinsipil adalah perda yang memberikan hambatan<br />

dalam konteks ekonomi makro, yaitu :<br />

• Berpotensi bertentangan dengan prinsip<br />

keutuhan wilayah ekonomi nasional.<br />

• Berpotensi menyebabkan munculnya<br />

persaingan yang tidak sehat (monopoli,<br />

oligopoli, kemitraan wajib, dll).<br />

• Berdampak negatif terhadap perekonomian<br />

(ekonomi biaya tinggi atau pajak ganda).<br />

• Berpotensi menghalangi atau mengurangi<br />

akses masyarakat (bertentangan dengan<br />

prinsip keadilan).<br />

• Merupakan suatu bentuk pelanggaran<br />

kewenangan pemerintah.<br />

Pemerintah daerah dalam meningkatkan<br />

perekonomian dapat memberikan insentif dan/atau<br />

kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor<br />

yang diatur dalam perda dengan berpedoman<br />

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />

Implikasi dari kebijakan desentralisasi ini adalah<br />

banyaknya produk perda yang berkaitan dengan<br />

pajak dan retribusi daerah bertentangan dengan<br />

kebijakan yang lebih tinggi atau kepentingan<br />

umum. Hal ini, dapat berakibat terganggunya iklim<br />

investasi yang ada di daerah dan berdampak pada<br />

perekonomian daerah maupun nasional.<br />

Maraknya daerah menyusun perda menimbulkan<br />

masalah baru, berupa timbulnya pungutan pajak<br />

dan retribusi yang bertentangan dengan<br />

kepentingan umum atau peraturan perundangundangan<br />

yang lebih tinggi. Hal ini bertolak<br />

belakang dengan gencarnya pemerintah<br />

menggalakkan investasi untuk pembangunan di<br />

Indonesia. Berdasarkan permasalahan ini, maka<br />

perlu dilakukan evaluasi terhadap perda yang<br />

berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah.<br />

Hingga pertengahan tahun <strong>2009</strong>, <strong>Departemen</strong><br />

Keuangan telah mengumpulkan 12.031 perda<br />

untuk dievaluasi. Dari jumlah tersebut sebagian<br />

besar telah dilakukan evaluasi. Berdasarkan hasil<br />

evaluasi Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah<br />

<strong>Departemen</strong> Keuangan hingga Juni tahun <strong>2009</strong><br />

telah merekomendasikan untuk membatalkan<br />

2.894 perda dan 144 perda direvisi. Hal ini<br />

Peluang Pengembangan <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />

33


menunjukkan bahwa produk Perda yang telah<br />

disusun cukup banyak yang bermasalah, sehingga<br />

harus dibatalkan atau direvisi. Banyaknya perda<br />

yang bermasalah tersebut dapat berakibat<br />

terganggunya aktivitas pemerintahan maupun<br />

perekonomian wilayah.<br />

Pelaksanaan otonomi daerah dimulai pada awal<br />

tahun 2000 telah menimbulkan interpretasi yang,<br />

khususnya berkaitan dengan kewenangan antara<br />

pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terutama<br />

pasal 7 dan pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004.<br />

Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa,<br />

pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi<br />

tinggi yang strategis merupakan kewenangan<br />

pusat. Pada sisi lain pasal 10 ayat 1 dinyatakan<br />

bahwa “daerah berwenang mengelola sumber daya<br />

nasional yang tersedia di wilayahnya dan<br />

bertanggung jawab memelihara lingkungan sesuai<br />

dengan peraturan perundang-undangan”, sehingga<br />

diinterpretasikan bahwa kegiatan sektor<br />

pertambangan umum merupakan kewenangan<br />

daerah. Sebenarnya dari kedua pasal, tersebut<br />

menimbulkan adanya ketidakjelasan kewenangan<br />

pengelolaan sumber daya alam (minerba) antara<br />

pusat dan daerah.<br />

Dengan diterbitkannya PP Nomor 38 Tahun 2007<br />

yang merupakan turunan dari UU Nomor 32 Tahun<br />

2004 telah secara jelas mengatur pembagian<br />

urusan antara pemerintah dan pemerintah daerah.<br />

Dalam kebijakan tersebut telah terjadi perubahan<br />

yang mendasar tentang pengawasan perda.<br />

Khusus perda yang berkaitan dengan pajak,<br />

retribusi, APBD dan tata ruang setelah Oktober<br />

2004 dilakukan evaluasi oleh pusat sebelum<br />

ditetapkan oleh daerah.<br />

Dasar pembatalan perda tentang pertambangan<br />

umum adalah berkaitan dengan pajak dan retribusi<br />

izin usaha pertambangan dan birokrasi proses<br />

perizinan. Pada umumnya pembatalan perda<br />

tentang pajak dan retribusi pertambangan adalah<br />

bertentangan dengan UU Nomor 34 tahun 2000<br />

dan PP 65 Nomor 2001. Kegiatan usaha di sektor<br />

pertambangan umum (KP, KK dan PKP2B) telah<br />

dikenakan iuran tetap (landrent) dan iuran<br />

eksplorasi dan eksploitasi (royalty). Dengan<br />

demikian, apabila dikenakan pungutan lain akan<br />

menimbulkan pungutan ganda dan dapat<br />

memberatkan pelaku usaha di bidang<br />

pertambangan.<br />

Berdasarkan hasil kompilasi perda yang berkaitan<br />

dengan kegiatan pertambangan pada 8 provinsi,<br />

terkumpul 242 perda pada 147 kabupaten. Dari<br />

jumlah perda tersebut, sebagian besar (183 perda<br />

atau 75%) mengatur tentang pungutan (pajak,<br />

retribusi dan sumbangan pihak ketiga). Sedangkan,<br />

perda yang mengatur tentang pengelolaan<br />

pertambangan sebagian besar wilayah kabupaten<br />

belum menyusun, yaitu hanya terdapat 39 perda.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa, pemerintah daerah<br />

lebih mendahulukan kebijakan yang berkaitan<br />

dengan pungutan dibandingkan kebijakan tentang<br />

pengelolaan kegiatan pertambangan. Hal ini sangat<br />

rentan terhadap aktivitas pertambangan maupun<br />

lingkungan.<br />

3. KEBIJAKAN PERTAMBANGAN<br />

MINERAL DAN BATUBARA<br />

Setiap usaha pertambangan bahan galian yang<br />

termasuk dalam golongan bahan galian strategis<br />

dan golongan bahan galian vital, baru dapat<br />

dilaksanakan, apabila terlebih dahulu telah<br />

mendapatkan izin, yaitu berupa Kuasa<br />

<strong>Pertambangan</strong> (Peraturan Pemerintah Nomor 75<br />

Tahun 2001). Pemberian izin usaha pertambangan<br />

untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan umum,<br />

eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan<br />

pemurnian, pengangkutan dan penjualan.<br />

Pemerintah daerah sesuai dengan lingkup<br />

usahanya menugaskan pemegang izin<br />

pertambangan sesuai dengan tahapan dan skala<br />

usahanya untuk membantu program pengembangan<br />

masyarakat dan pengembangan wilayah pada<br />

masyarakat setempat, yaitu berupa pengembangan<br />

sumber daya manusia, kesehatan dan mendorong<br />

pertumbuhan ekonomi. Diharapkan dengan adanya<br />

kegiatan ini masyarakat sekitar merasakan<br />

dampak positif aktivitas pertambangan di<br />

daerahnya.<br />

Sebagai pedoman teknis penyelenggaraan<br />

kewenangan tersebut Pemerintah telah<br />

mengeluarkan PP Nomor 38 Tahun 2007. Dalam<br />

PP tersebut diuraikan secara jelas mengenai<br />

jenjang kewenangan antara pemerintah, provinsi,<br />

dan kabupaten/kota. Dalam rangka mendukung<br />

dan memfasilitasi daerah dalam penyelenggaraan<br />

tugas pemerintahan di bidang pertambangan<br />

umum, <strong>Departemen</strong> ESDM telah menerbitkan<br />

Keputusan Menteri mengenai pedoman teknis<br />

(Kepmen No. 1453.K/29/NEM/2000). Dalam<br />

pedoman teknis tersebut telah diatur mengenai<br />

tata cara permohonan perizinan, pengelolaan<br />

lingkungan, pengawasan lingkungan, eksplorasi,<br />

34 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


konservasi, dan produksi. Selanjutnya, untuk<br />

melaksanakan kewenangan tersebut, Pemerintah<br />

Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) menindaklanjuti<br />

dengan menerbitkan perda, baik yang<br />

berkaitan dengan pengelolaan pertambangan<br />

umum maupun pungutan (pajak, retribusi dan<br />

sumbangan pihak ketiga). Namun demikian, perda<br />

yang telah diterbitkan oleh pemerintah daerah<br />

tentang pengelolaan pertambangan umum masih<br />

banyak yang belum sesuai acuan di atas, bahkan<br />

masih ditemukan perda yang bertentangan dengan<br />

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.<br />

Dalam pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha<br />

harus mengacu pada kebijakan tata ruang yang<br />

ada. Hal ini dimaksudkan adanya kesesuaian<br />

fungsi kawasan maupun menghindari tumpang<br />

tindih pemanfaatan ruang atau benturan<br />

kepentingan antarsektor. Pada umumnya<br />

sebagian besar daerah Rencana Tata Ruang<br />

Wilayah (RTRW) yang telah disusun belum<br />

pengalokasikan kawasan untuk pengembangan<br />

kegiatan pertambangan. Dengan demikian,<br />

pengembangan potensi bahan galian yang ada<br />

menjadi sulit dilakukan karena keberadaanya<br />

bukan merupakan fungsi kawasan pertambangan.<br />

Pemanfaatan ruang untuk kegiatan pertambangan<br />

harus berada pada kawasan yang ditetapkan<br />

sebagai kawasan pertambangan pada RTRW.<br />

Dengan demikian, Pemerintah Daerah segera<br />

menyiapkan kawasan untuk kegiatan pertambangan<br />

yang ditetapkan dalam kebijakan RTRW.<br />

Krisis ekonomi pada tahun 1997 yang diikuti oleh<br />

tuntutan reformasi, a.l. demokratisasi; HAM,<br />

lingkungan hidup dan ekonomi telah mendorong<br />

atas kebutuhan mendasar ke arah perubahan<br />

sistem yang desentralistik . Maka peraturan yang<br />

berkaitan dengan pertambangan harus<br />

menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Pada<br />

intinya UU Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang<br />

<strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara sebagai<br />

pengganti UU Nomor 11 Tahun 1967 disusun<br />

dengan mempertimbangkan seluruh aspek<br />

perubahan saat ini, seperti otonomi daerah, HAM,<br />

lingkungan hidup, kebutuhan sosial, politik dan<br />

ekonomi. Butir-butir penting dalam UU Nomor 4<br />

Tahun <strong>2009</strong>, antara lain :<br />

• Sistem perizinan, eksplorasi dan eksploitasi<br />

lebih sederhana.<br />

• Klarifikasi wewenang dan ruang lingkup<br />

Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/<br />

Kota.<br />

• Aspek nilai tambah, yaitu pemrosesan dan<br />

pemurnian logam harus dilakukan di dalam<br />

negeri.<br />

• Tidak ada lagi sistem kontrak langsung antara<br />

perusahaan dengan Pemerintah, melainkan<br />

diberlakukannya sistem izin usaha<br />

pertambangan (IUP).<br />

• Pengembangan masyarakat difokuskan pada<br />

kesejahteraan rakyat.<br />

4. PELUANG PENGEMBANGAN<br />

PERTAMBANGAN MINERAL DAN<br />

BATUBARA<br />

a. Perda<br />

Semenjak digulirkanya kebijakan otonomi daerah,<br />

pemerintah daerah berlomba-lomba menyusun<br />

kebijakan untuk mengelola dan memanfaatkan<br />

potensi wilayah dalam rangka pengelolaan<br />

pertambangan dan meningkatkan pendapatan asli<br />

daerah melalui pajak dan retribusi daerah maupun<br />

pungutan lainnya (sumbangan pihak ketiga).<br />

Optimalisasi pemanfaatan potensi ini bertujuan<br />

untuk meningkatkan pendapatan daerah dan<br />

pembiayaan pembangunan. Untuk melegalisasi<br />

meningkatkan pendapatan dan pembangunan<br />

daerah tersebut pemerintah daerah menyusun<br />

perda. Kemampuan daerah dalam melaksanakan<br />

pembangunan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan<br />

sumber daya maupun kemampuan dalam<br />

pengelolaannya.<br />

Pedoman maupun acuan dalam menyusun Perda<br />

pengelolaan pertambangan telah diatur dan<br />

penerapan penyusunannya disesuaikan dengan<br />

karakteristik wilayah. Diharapkan, dengan adanya<br />

tersedianya acuan pengelolaan pertambangan<br />

yang baik dapat merangsang investasi<br />

pengusahaan pertambangan di daerah.<br />

b. Optimalisasi Pemanfaatan Potensi<br />

Bahan Galian<br />

Pada umumnya potensi bahan galian belum<br />

diusahakan secara maksimal dan belum<br />

memberikan dampak yang signifikan terhadap<br />

perekonomian daerah. Hal ini karena potensi bahan<br />

galian yang dikembangkan adalah bahan galian<br />

golongan C dan dilakukan secara tadisional atau<br />

tambang rakyat. Untuk wilayah yang memanfaatkan<br />

bahan galian golongan A dan B yang<br />

mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, telah<br />

memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi<br />

perekonomian dan penerimaan daerah serta<br />

menyumbangkan terhadap penerimaan negara.<br />

Peluang Pengembangan <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />

35


Kebijakan otonomi daerah telah memberikan<br />

kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan<br />

potensi sumber daya yang ada di wilayahnya. Saat<br />

ini sebagian besar Pemerintah Daerah gencar<br />

melakukan identifikasi dan inventarisasi potensi<br />

bahan galian yang ada dalam rangka menarik investor<br />

menanamkan modalnya di bidang<br />

pertambangan. Dengan adanya kebijakan ini<br />

memberikan peluang termanfaatkannya potensi<br />

yang ada. Secara umum upaya yang dilakukan<br />

ini telah menunjukkan tingkat keberhasilan yang<br />

cukup baik, yaitu semakin bertambahnya investasi<br />

di bidang pertambangan di daerah, yaitu yang<br />

ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah izin<br />

usaha pertambangan yang diterbitkan pemerintah<br />

daerah.<br />

c. Perizinan <strong>Pertambangan</strong><br />

Sebelum adanya otonomi daerah perizinan di<br />

bidang pertambangan umum dikeluarkan oleh<br />

pemerintah pusat dalam bentuk KK, PKP2B dan<br />

KP, sedangkan perizinan pengusahaan bahan<br />

galian golongan C diterbitkan oleh pemerintah<br />

daerah dalam bentuk SIPD. Pada saat ini perizinan<br />

usaha pertambangan umum diterbitkan oleh<br />

pemerintah dan pemerintah daerah sesuai<br />

kewenangannya. Untuk melakukan perpanjangan<br />

izin yang dikeluarkan dari pusat (KK dan PKP2B)<br />

selebihnya menjadi kewenangan daerah sesuai<br />

kewenangannya.<br />

Salah satunya faktor maraknya izin pertambangan<br />

yang dikeluarkan daerah adalah adanya kebijakan<br />

otonomi daerah. Melalui UU tersebut membuka<br />

peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola<br />

dan memanfaatkan sumber kekayaan alam yang<br />

ada di wilayahnya, jika dibandingkan dengan sistem<br />

pemerintahan sebelumnya.<br />

Berdasarkan rekapitulasi dari <strong>Departemen</strong> ESDM,<br />

izin usaha pertambangan dalam bentuk KK dan<br />

PKP2B jumlahnya cenderung menurun, namun<br />

untuk izin yang berupa KP yang dikeluarkan oleh<br />

pemerintah daerah terjadi peningkatan yang cukup<br />

signifikan (Tabel 1).<br />

Meningkatnya jumlah izin usaha bidang<br />

pertambangan (KP) tersebut menunjukkan adanya<br />

peningkatkan investasi bidang pertambangan dan<br />

meningkatnya PAD melalui sektor pertambangan.<br />

Sebagai contoh, telah terbit ratusan KP batubara<br />

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten<br />

(Bupati) salah satu provinsi di Kalimantan, yaitu<br />

terdapat 354 izin yang telah dikeluarkan, 260 buah<br />

diantaranya berupa KP yang dikeluarkan oleh<br />

pemerintah daerah.<br />

d. Penerimaan Daerah<br />

Distribusi pajak-pajak pertambangan yang menjadi<br />

hak daerah belum dilakukan secara lebih adil dan<br />

tepat waktu ke daerah penghasil yang berhak. Hal<br />

ini sangat mempengaruhi dalam pelaksanan<br />

rencana pembangunan yang telah ditetapkan oleh<br />

daerah, karena penerimaan yang diperoleh tidak<br />

tepat waktu.<br />

Dari sisi perundang-undangan tersebut di atas<br />

pajak dan royalti dari perusahaan pertambangan<br />

merupakan penerimaan pusat. Dalam rangka<br />

desentralisasi ada sebagian dari penerimaan ini<br />

yang dibagihasilkan. Masalah utama dari bagi hasil<br />

ini dipandang dari sisi daerah adalah tidak pastinya<br />

waktu pencairan dari pusat, sehingga mengganggu<br />

penganggaran di daerah. Dalam ketidakberdayaan<br />

ini ada sebagian daerah yang mengusulkan agar<br />

dana dari perusahaan pertambangan langsung<br />

ditransfer ke rekening pemerintah daerah tanpa<br />

melalui rekning pemerintah pusat. Sementara<br />

pusat berpegang pada kebijakan yang berlaku,<br />

bahwa royalty merupakan penerimaan pusat yang<br />

dibagihasilkan dan bukan merupakan pajak daerah.<br />

Salah satu pengaruh adanya kegiatan<br />

pertambangan adalah peningkatan penerimaan<br />

daerah baik secara langsung maupun tidak<br />

langsung. Penerimaan daerah secara langsung<br />

berupa pajak dan retribusi daerah, sedangkan<br />

Tabel 1.<br />

Rekapitulasi Izin <strong>Pertambangan</strong><br />

Jenis kontrak 2001 2002 2003 2004 2005 2006<br />

KP 600 597 597 825 848 965<br />

KK 55 62 61 54 46 41<br />

PKP2B 119 101 101 87 82 81<br />

Sumber : Dirjen Minerbapabum, 2008<br />

36 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


penerimaan tidak langsung adalah penerimaan dari<br />

pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak<br />

(PNBP). Komponen PNBP terdiri atas iuran tetap,<br />

royalti dan penjualan hasil tambang. Penerimaan<br />

pajak dan PNBP pertambangan merupakan<br />

penerimaan Negara dan dibagi-hasilkan ke daerah.<br />

Hasil pertambangan mineral dan batubara telah<br />

memberikan kontribusi bagi penerimaan Negara<br />

yang cukup besar, yaitu pada tahun 2006 sebesar<br />

29,69 trilyun. Komponen terbesar penerimaan<br />

justru berasal dari penerimaan pajak dibandingkan<br />

PNBP (Tabel 2).<br />

f. Kewilayahan<br />

Pemanfaatan ruang untuk kegiatan usaha harus<br />

mengacu pada kebijakan tata ruang yang ada,<br />

yaitu yang dikelompokkan menjadi kawasan<br />

lindung dan budidaya. Kebijakan tata ruang ini<br />

menghindari tumpang tindih pemanfaatan ruang<br />

atau benturan kepentingan antarsektor.<br />

Pengembangan dan pemanfaatan potensi bahan<br />

galian yang berada di kawasan lindung tidak dapat<br />

dimanfaatkan, sehingga potensinya tidak<br />

memberikan nilai ekonomi. Dengan terbitnya UU<br />

Tabel 2.<br />

Penerimaan Pajak dan PNBP dari <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara<br />

Tahun 2004-2006 (Milyar Rupiah)<br />

No. Sumber Penerimaan 2004 2005 2006 2007<br />

1 Pajak 6.419,62 12.827,41 23.026,31 17.200,00<br />

2 PNBP 2.573,66 4.788,72 6.664,81 8.697,07<br />

Iuran Tetap 50,13 57,10 58,25 76,24<br />

Royalti 1.642,17 3.138,94 4.163,99 5.771,82<br />

Penjualan Hasil Tambang 881,36 1.592,68 2.442,57 2.849,01<br />

Total 8.993,28 17.519,66 29.691,12 25.897,07<br />

Sumber : Dirjen Minerbapabum, 2008<br />

Penerimaan pajak ini menyumbang sekitar 67%<br />

dari total penerimaan negara yang berasal dari<br />

sektor mineral, batubara dan panas bumi atau<br />

setara dengan Rp 17,20 trlyun pada tahun 2007.<br />

Secara umum, realisasi penerimaan negara yang<br />

berasal dari mineral, batubara dan panas bumi<br />

dalam empat tahun terakhir menunjukkan<br />

peningkatan yang cukup signifikan, meski<br />

penerimaan negara pada tahun 2007 mengalami<br />

penurunan sebesar 17% dibandingkan dengan<br />

periode sebelumnya.<br />

e. Kesempatan Kerja dan Berusaha<br />

Maraknya kegiatan pertambangan di daerah akan<br />

semakin membuka peluang kerja berusaha bagi<br />

masyarakat sekitar. Masyarakat tidak hanya<br />

menjadi penontan seperti yang terjadi selama ini,<br />

tapi dapat lebih memberikan kontribusi terlibat<br />

langsung pada aktivitas pertambangan sebagai<br />

pekerja. Selain itu, dengan berkembangnya<br />

kegiatan di suatu wilayah secara tidak langsung<br />

akan memberi peluang berusaha dan menciptakan<br />

pengembangan wilayah.<br />

Nomor 41 Tahun 1999 jo PP Nomor 2 Tahun 2008<br />

telah memberikan peluang pengusahaan<br />

pertambangan di kawasan hutan produksi dan<br />

hutan lindung. Meskipun banyak kalangan yang<br />

menolak PP tersebut karena dinilai melegitimasi<br />

perusakan hutan lindung selama ada bayarannya<br />

dan murahnya tarif yang dikenakan .<br />

5. KESIMPULAN<br />

Semenjak digulirkan otonomi daerah pada tahun<br />

awal tahun 2000, telah terbit ribuan perda sebagai<br />

acuan dalam pelaksanaan pembangunan di<br />

daerah. Perda-perda yang telah terbit tersebut,<br />

masih banyak yang tidak selaras dengan peraturan<br />

yang lebih tinggi atau mengakibatkan biaya tinggi,<br />

sehingga menghambat investasi di daerah. Dengan<br />

demikian, banyak perda-perda yang harus<br />

dibatalkan atau direvisi.<br />

Berdasarkan dari hasil identifikasi terdapat<br />

beberapa izin pertambangan yang telah<br />

dikeluarkan oleh pemerintah daerah tidak selaras<br />

Peluang Pengembangan <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara pada Era ... Umar Dhani<br />

37


dengan peraturan yang lebih tinggi atau tumpang<br />

tindih dengan sektor lain. Hal ini menunjukkan<br />

bahwa izin pertambangan yang telah diterbitkan<br />

tidak melalui koordinasi dengan dinas/instansi<br />

terkait. Untuk mengantisipasi tumpang izin usaha<br />

pertambangan yaitu dengan penyusunan basis<br />

data pertambangan dengan format yang sama dan<br />

menyusun ulang izin-izin yang bermasalah. Pada<br />

saat ini dalam kebijakan tata ruang, kawasan untuk<br />

kegiatan pertambangan, tidak atau belum<br />

dialokasikan secara tegas. Dengan demikian,<br />

keberadaan sumber daya mineral yang pada<br />

umumnya tersebar di bawah permukaan, menjadi<br />

terkalahkan oleh pengembangan ruang sektor lain,<br />

sehingga pada saat ruang tersebut akan<br />

dikembangkan untuk kegiatan pertambangan<br />

menjadi tumpang tindih dengan kegiatan sektor lain.<br />

Pelaksanaan otonomi daerah yang berjalan hampir<br />

9 tahun telah menimbulkan pengaruh yang cukup<br />

besar terhadap kegiatan pertambangan di daerah.<br />

Pengaruh tersebut, antara lain :<br />

• kewenangan dalam pengelolaan pertambangan.<br />

• meningkatnya pemanfaatan sumber daya mineral<br />

dan batubara,<br />

• meningkatnya penerimaan daerah,<br />

• membuka kesempatan bekerja dan berusaha,<br />

• terciptanya pengembangan wilayah.<br />

Berdasarkan peluang-peluang tersebut, perlu<br />

diperhatikan tantangan dalam pengembangannya,<br />

antara tersebut antara lain : ketidaksonsistenan<br />

peraturan yang ada, terbatasnya jumlah maupun<br />

kemampuan aparat, tingkat kerusakan lingkungan<br />

yang cenderung meningkat, masih banyak wilayah<br />

belum ada alokasi kawasan pertambangan, dan<br />

minimnya data/informasi potensi wilayah.<br />

Jika dilihat dari permasalahan yang timbul dengan<br />

adanya kegiatan pertambangan serta faktor<br />

penyebab permasalahan tersebut, maka<br />

pembahasan pelaksanaan pertambangan di<br />

daerah perlu dilakukan evaluasi yang bertujuan<br />

untuk pengembangan pertambangan di daerah.<br />

Berdasarkan dari peluang dan tantangan tersebut,<br />

arahan pengembangan pertambangan dikemudian<br />

hari, antara lain :<br />

1. Diperlukan kebijakan/ peraturan daerah yang<br />

mengatur tentang pengelolaan pertambangan<br />

mulai dari segi perizinan pengusahaan, hingga<br />

pemantauan lingkungan pasca tambang.<br />

Adanya kepastian hokum dan kepastian<br />

berusaha.<br />

2. Diperlukan peningkatan jumlah dan<br />

kemampuan apatur dinas seiring dengan<br />

maraknya pengusahaan pertambangan.<br />

3. Tuntutan pemenuhan standar lingkungan hidup<br />

yang makin ketat, upaya yang dilakukan<br />

adalah menerapkan metode penambangan<br />

secara tepat dan berawasan lingkungan,<br />

sehingga tercipta pertambangan yang<br />

berkelanjutan (good mining practice).<br />

4. Penyiapkan zonasi kawasan untuk pengembangan<br />

pertambangan yang ditetapkan dalam<br />

kebijakan RTRW. Penyusunan RTRW Nasional,<br />

Provinsi dan Kabupaten yang saling sinergis.<br />

5. Tersedianya data informasi potensi sumber<br />

daya mineral dan batubara, sebagai media<br />

promosi investasi pengusahaan pertambangan<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Dedi Supriady Bratakusumah, Perencanaan<br />

Pembangunan Daerah, Gramedia 2005<br />

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan<br />

<strong>Departemen</strong> Keuangan Republik Indonesia,<br />

Laporan Tim Pajak Daerah dan Retribusi<br />

Daerah Periode Januari – Desember 2008.<br />

Direktorat Mineral, Batubara dan Pas Bumi,<br />

<strong>Departemen</strong> Energi Sumber Daya Mineral,<br />

Mineral, Coal and Geothermal, Tahun 2007<br />

Makro Ekonomi, Kamis 25 Januari 2006, Otonomi<br />

Daerah Turunkan Investasi <strong>Pertambangan</strong><br />

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007<br />

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan<br />

Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi<br />

dan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota.<br />

Pipin Syarifin, Pemerintahan Daerah di Indonesia,<br />

Pustaka Setia, Bandung, 2005<br />

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32<br />

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah<br />

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11<br />

Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok<br />

<strong>Pertambangan</strong><br />

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 26<br />

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.<br />

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4<br />

Tahun <strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral<br />

dan Batubara<br />

38 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


PENINGKATAN KADAR BIJIH BESI DARI DAERAH<br />

PELAIHARI, PROPINSI KALIMANTAN SELATAN<br />

MENGGUNAKAN KLASIFAYER<br />

DAN PEMISAH MAGNETIK<br />

Pramusanto, Nuryadi Saleh dan Apriandi<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl Jenderal Sudirman No. 623 Bandung, 40211<br />

Telp (022) 6030843, Fax. (022) 6003373<br />

SARI<br />

Karakteristik bahan baku bijih besi Pelaihari dicirikan oleh kadar besinya rendah (sekitar 30% Fe total).<br />

Mineralnya terdiri dari hematit dan magnetit. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan<br />

kadar besinya adalah dengan melakukan percobaan klasifayer dan pemisah magnetik. Penelitian ini<br />

membahas tentang percobaan klasifayer yang dilanjutkan dengan percobaan pemisah magnetik.<br />

Percobaan pemisah magnetik dilakukan dengan memvariasikan intensitas magnet, ukuran butir dan<br />

waktu pengadukan umpan. Percobaan klasifayer dilakukan untuk mengurangi mineral pengotor dengan<br />

memanfaatkan perbedaan ukuran butir dan berat jenis, sedangkan pemisah magnetik dilakukan untuk<br />

meningkatkan mineral berharga berupa hematit dan magnetit melalui pemanfaatan perbedaan<br />

kerentanan terhadap magnet antara mineral pengotor dengan mineral berharga.<br />

Hasil percobaan klasifayer dapat meningkatkan kadar Fe total menjadi 34,6%, sedangkan pada pemisah<br />

magnetik, variabel yang dapat meningkatkan kadar tertinggi adalah waktu pengadukan umpan dengan<br />

kadar Fe total tertinggi yang diperoleh 55,9%. Waktu pengadukan umpan 10 dan 20 menit. Perolehan<br />

tertinggi besi sebesar 33,26% terjadi pada waktu pengadukan umpan selama 20 menit.<br />

Kata kunci : bijih besi, Pelaihari, klasifayer, pemisah magnetik<br />

ABSTRACT<br />

Raw iron ore of Pelaihari is known by its low iron content. The ore consists of hematite and magnetite<br />

as the main iron minerals. In order to increase the iron content, some efforts can be conducted by<br />

sequence of laboratory tests, namely classifier and magnetic separator. The experiment using magnetic<br />

separator is conducted at various magnetic intensity, grain size and agitation time. The purpose<br />

of classifying tests is lessening the impurity mineral by exploiting difference of grain size and specific<br />

gravity, while magnetic separator will increase the valuable mineral in the form of hematite and magnetite<br />

by exploiting difference of magnetic susceptibility between the impurities and valuable minerals.<br />

The experiment results of classifying increase the total iron grade up to 34.6%, followed by magnetic<br />

separator. The later increases the highest grade of total iron up to 55.9% at agitation time of 10 and 20<br />

minutes. The highest iron recovery of 33.26% was conducted at 20 minutes of feed agitation time.<br />

Keywords : iron ore, Pelaihari, classifier, magnetic separator<br />

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.<br />

39


1. PENDAHULUAN<br />

Kebutuhan baja nasional terus mengalami<br />

peningkatan seiring dengan perkembangan sektor<br />

industri dan semakin maraknya pembangunan<br />

infrastruktur di Indonesia. Pada saat ini konsumsi<br />

baja diperkirakan telah mencapai 6,3 juta ton,<br />

sedangkan produksinya hanya 3,8 juta ton.<br />

Kekurangan penyediaan baja sebesar 2,5 juta ton<br />

masih dipasok dari impor, sehingga PT Krakatau<br />

Steel untuk memproduksi baja di Indonesia<br />

memerlukan bahan baku dan penunjang yang<br />

sebagian besar masih diimpor. Bahan-bahan yang<br />

pengadaannya masih bergantung pada impor<br />

adalah pelet bijih besi, sedangkan skrep, bijih besi<br />

bongkah (lump ore) dan bijih besi halus kasar<br />

(coarse fine) sebagian masih dapat dipasok dari<br />

dalam negeri, misalnya untuk bijih besi bongkah<br />

berkadar Fe 57% dan bijih besi halus kasar<br />

berkadar Fe 56% telah dapat dipasok dari endapan<br />

besi laterit oleh PT Sebuku Iron Lateritic Ore,<br />

Kalimantan Selatan [sebukuiron.co.id].<br />

Untuk menunjang keperluan industri besi baja yang<br />

terus meningkat di masa mendatang, Indonesia<br />

memiliki potensi sumber daya bijih besi yang cukup<br />

besar, berupa bijih besi primer dengan estimasi<br />

cadangan 320 juta MT dan kadar 25 – 62% Fe,<br />

bijih besi laterit dengan estimasi cadangan 1.391<br />

juta MT dan kadar 40 – 56% Fe serta pasir besi<br />

dengan estimasi cadangan 600 juta MT dan kadar<br />

25 – 40% Fe [Koesnohadi dan Sobandi, 2008].<br />

Namun sumber daya tersebut belum dapat<br />

dimanfaatkan secara optimal karena kadar Fe<br />

yang terkandung relatif rendah. Pada umumnya<br />

industri baja membutuhkan besi dengan kadar Fe<br />

60-69%, sedangkan P.T. Krakatau Steel<br />

membutuhkan pelet bijih besi dengan kandungan<br />

Fe minimum 65%. Untuk menjawab tantangan<br />

tersebut, perlu adanya kajian intensif agar kadar<br />

Fe yang dikandung besi dapat ditingkatkan,<br />

sehingga dapat dimanfaatkan oleh industri dalam<br />

negeri seperti oleh PT Krakatau Steel.<br />

Proses peningkatan kadar Fe pada bijih besi biasa<br />

dilakukan dengan cara kominusi (crushing dan<br />

grinding), konsentrasi secara gravitasi, pemisahan<br />

magnetik, pemisahan elektrostatik maupun flotasi.<br />

Flotasi biasanya dilakukan sebagai lanjutan dari<br />

proses pemisahan magnetik, pemisahan<br />

elektrostatik, konsentrasi secara gravitasi maupun<br />

kominusi [Habashi, 1997].<br />

Pemisahan secara magnetik terhadap bijih besi<br />

sudah lazim dikerjakan [Pramusanto, dkk, 1999].<br />

Pemisah magnetik merupakan alat yang digunakan<br />

dalam proses pemisahan secara magnetik. Prinsip<br />

kerja alat ini adalah memisahkan mineral berharga<br />

dari pengotornya berdasarkan derajat kemagnetan<br />

atau mudah tidaknya mineral mengalami pengaruh<br />

dalam medan magnet (magnetic sussceptibility)<br />

[Kelly, and Spottiswood, 1982].<br />

Bijih besi merupakan mineral-mineral yang<br />

mengandung besi seperti magnetit, hematit,<br />

goethit, limonit atau campuran dari mineral-mineral<br />

tersebut dengan mineral pengotornya, seperti<br />

silika, alumina, dan krom [Perkins, 2002].<br />

Berdasarkan pada magnetic susceptibility mineral<br />

tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua grup,<br />

yaitu paramagnetik dan diamagnetik. Mineral<br />

diamagnetik merupakan mineral yang tidak<br />

mengalami ketertarikan dalam medan magnet,<br />

seperti silika, dan alumina. Sedangkan mineral<br />

paramagnetik yang dapat ditarik oleh magnet,<br />

seperti hematit dan limonit. Dari mineral<br />

paramagnetik ini terdapat mineral-mineral yang<br />

memiliki sifat magnet yang sangat kuat disebut<br />

ferromagnetik, seperti magnetit [Wills, 1988].<br />

Berdasarkan hasil pengujian mineragrafi, bijih yang<br />

digunakan untuk percobaan ini mengandung<br />

magnetit-hematit. Magnetit dan hematit memiliki<br />

derajat kemagnitan signifikan, yang berbeda<br />

dengan mineral pengotor berupa silika, alumina<br />

dan lain-lain; sehingga sebagai studi awal, proses<br />

pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan mineral<br />

menggunakan pemisah magnet dapat dimanfaatkan.<br />

2. METODOLOGI<br />

Metodologi peningkatan kadar bijih besi ini<br />

dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu;<br />

preparasi percontoh (pengeringan, pengayakan dan<br />

pemercontoh), studi bahan baku (analisa kimia,<br />

ayak dan mineralogi), pencucian dengan spiral<br />

classifier untuk menghilangkan pengotor, dan<br />

percobaan menggunakan pemisah magnet untuk<br />

meningkatkan hematit dan magnetit. *****<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Studi Bahan Baku<br />

Studi bahan baku ini bertujuan untuk mengetahui<br />

dan menentukan komposisi dan kadar dari mineral-mineral<br />

yang terdapat di dalam percontoh bijih<br />

besi tersebut.<br />

40 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


3.1.1 Analisis Komposisi Kimia<br />

Berdasarkan hasil analisis komposisi kimia, maka<br />

diperoleh komposisi kimia bijih besi sebagai berikut;<br />

Fe total 31,3%, Fe 2O 3 37,94%, Fe 3O 4 6,55%, SiO 2<br />

28%, CaO 15,67%, Al 2O 3 5,61%, MgO 1,01 %,<br />

TiO 2 1,63%, Cr 2O 3 0,111% dan LOI 1,93%.<br />

3.1.2 Analisis Ayak<br />

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat terjadi<br />

perubahan distribusi ukuran butir akibat pencucian<br />

dengan spiral classifier, sehingga underflow spiral<br />

classifier menyebabkan kenaikan nilai persen<br />

berat tertahan fraksi ukuran -250+150 µm (-60+100<br />

mesh) sampai fraksi +1,7 mm (+10 mesh) dan<br />

menyebabkan penurunan nilai persen berat<br />

tertahan dari fraksi ukuran -150+106 µm (-100+140<br />

mesh) sampai fraksi -75 µm (-200 mesh) terhadap<br />

percontoh asal bijih besi. Hal ini menjelaskan<br />

bahwa proses spiral classifier menyebabkan<br />

terjadinya pemisahan antara partikel halus dengan<br />

kasar, sehingga dapat dilihat adanya perbedaan<br />

persentase berat tertahan antara percontoh asal<br />

dengan underflow spiral classifier.<br />

Persen Berat Tertahan (%)<br />

45<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

-75<br />

(-200)<br />

Gambar 1.<br />

-106+75<br />

(-140+ 200)<br />

-150+106<br />

(-100+140)<br />

-250+150<br />

(-60+100)<br />

-425+250 (-<br />

40+ 60)<br />

Fraksi Ukuran µm (mesh)<br />

3.1.2.1 Derajat Liberasi<br />

Percontoh Asal<br />

Percontoh Spiral Classifier<br />

-850+ 425 (-<br />

20+40)<br />

-1700+850 (-<br />

10+20)<br />

+1700 (+10)<br />

Hubungan fraksi ukuran<br />

dengan komposisi mineral<br />

percontoh asal dan underflow<br />

spiral classifier<br />

Berdasarkan Gambar 2, untuk derajat liberasi<br />

percontoh asal terlihat bahwa semakin kecil ukuran<br />

ayak, maka tingkat kebebasan suatu butiran mineral<br />

dalam suatu fraksi ukuran semakin tinggi.<br />

Derajat liberasi tertinggi pada percontoh asal<br />

terdapat pada fraksi -75 µm (-200 mesh) dengan<br />

derajat liberasi untuk mineral magnetit sebesar<br />

70,00%, hematit derajat sebesar 94,55%, dan<br />

gangue sebesar 98,41%.<br />

Derajat Liberasi [DL] (%)<br />

100<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-75<br />

(-200)<br />

Gambar 2.<br />

-106+75 -150+106 -250+150 -425+250 -850+425 -1700+850<br />

(-140+200) (-100+140) (-60+100) (-40+60) (-20+40) (-10+20)<br />

Fraksi Ukuran µm (mesh)<br />

DL Magnetit DL Hematit DL Gangue<br />

DDL Magnetit DDL Hematit DDL Gangue<br />

+1700<br />

(+10)<br />

Hubungan fraksi ukuran<br />

terhadap derajat liberasi dan<br />

distribusi derajat liberasi<br />

percontoh asal<br />

Menurut perhitungan derajat liberasi total fraksi<br />

kasar dan halus untuk percontoh asal, dapat<br />

dijelaskan bahwa persentase derajat liberasi total<br />

pada fraksi kasar (+1700 µm) atau +10 mesh<br />

sampai -425+250 µm (-40+60 mesh) masih sangat<br />

rendah; magnetit sebesar 0,45%, hematit sebesar<br />

1,08% dan gangue sebesar 13,70%. Persentase<br />

derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150<br />

µm) atau (-60+100 mesh) sampai -75 µm (-200<br />

mesh) sudah cukup tinggi; magnetit sebesar<br />

37,62%, hematit sebesar 58,95% dan gangue<br />

sebesar 77,56%.<br />

Derajat Liberasi [DL] (%)<br />

100<br />

90<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-75<br />

(-200)<br />

Gambar 3.<br />

-106+75<br />

(-140+200)<br />

-150+106 -250+150 -425+250 -850+425<br />

(-100+140) (-60+100) (-40+60) (-20+40)<br />

Fraksi Ukuan µm (mesh)<br />

-1700+850<br />

(-10+20)<br />

DL Magnetit DL Hematit DL Gangue<br />

DDL Magnetit DDL Hematit DDL Gangue<br />

+1700<br />

(+10)<br />

Hubungan fraksi ukuran<br />

terhadap derajat liberasi dan<br />

distribusi derajat liberasi<br />

percontoh underflow spiral<br />

classifier<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Distribusi DL [DDL] (%)<br />

Distribusi DL [DDL] (%)<br />

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.<br />

41


Berdasarkan Gambar 3, derajat liberasi tertinggi<br />

untuk percontoh underflow spiral classifier terdapat<br />

pada fraksi -75 µm (-200 mesh) dengan derajat<br />

liberasi mineral magnetit sebesar 69,61%, hematit<br />

sebesar 93,42%, dan gangue sebesar 97,96%.<br />

Menurut perhitungan distribusi derajat liberasi<br />

untuk fraksi kasar dan halus untuk percontoh bijih<br />

besi underflow spiral classifier, terlihat bahwa<br />

persentase distribusi derajat liberasi total pada<br />

fraksi kasar (+1700 µm) atau +10 mesh sampai -<br />

425+250 µm (-40+60 mesh) masih sangat rendah;<br />

magnetit sebesar 0,60%, hematit sebesar 1,50%<br />

dan gangue sebesar 23,54%. Persentase distribusi<br />

derajat liberasi total pada fraksi halus (-250+150<br />

µm) atau -60+100 mesh sampai -75 µm (-200<br />

mesh) masih cukup tinggi; magnetit sebesar<br />

28,21%, hematit sebesar 46,41% dan gangue<br />

sebesar 64,11%.<br />

dan hematit dengan komposisi hampir homogen<br />

pada setiap fraksi ukuran yang terdapat pada<br />

kedua percontoh analisis ayak. Komposisi mineral<br />

rata-rata seluruh fraksi ukuran untuk percontoh<br />

asal adalah 6,22% magnetit, 37,53% hematit dan<br />

56,25% gangue, sedangkan untuk percontoh hasil<br />

percobaan spiral classifier adalah 6,98% magnetit,<br />

39,87% hematit dan 53,15% gangue.<br />

Komposisi Mineral (%)<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

-75<br />

(-200)<br />

-106+75<br />

(-140+200)<br />

-150+106<br />

(-100+140)<br />

-250+150<br />

(-60+100)<br />

-425+250 (-<br />

40+60)<br />

-850+425 (-<br />

20+40)<br />

-1700+850<br />

(-10+20)<br />

+1700<br />

(+10)<br />

Fraksi Ukuran µm (mesh)<br />

Magnetit Percontoh Asal<br />

Hematit Percontoh Asal<br />

Gangue Percontoh Asal<br />

Magnetit Limp, Bawah Klasif ay er Spiral<br />

Hematit Limp. Bawah Klasif ay er Spiral<br />

Gangue Limp. Bawah Klasif ay er Spiral<br />

Gambar 5.<br />

Hubungan fraksi ukuran<br />

dengan komposisi mineral<br />

percontoh asal dan percontoh<br />

underflow spiral classifier<br />

3.2. Percobaan Spiral Classifier<br />

Gambar 4.<br />

Fotomikrograf sayatan poles<br />

bijih besi (H = hematit, M =<br />

magnetit, G = mineral gangue,<br />

HM = hematit + magnetit HG =<br />

hematit + gangue)<br />

Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa pada<br />

fraksi ukuran -106+75 µm (-140+200 mesh), bahwa<br />

antara magnetit dan hematit terjadi keterikatan dan<br />

antara hematit dan gangue juga terjadi keterikatan.<br />

Antara magnetit dan gangue tidak tampak adanya<br />

keterikatan. Menurut perhitungan komposisi mineral<br />

pada ukuran tersebut, komposisi hematit 41,80%<br />

dengan derajat liberasi 88,68% dan magnetit 7,80%<br />

dengan derajat liberasi 58,97% serta gangue<br />

50,40% dengan derajat liberasi 96,23%.<br />

3.1.2.2 Komposisi Mineral<br />

Berdasarkan Gambar 4, mineral berharga yang<br />

terdapat pada percontoh bijih besi ini adalah magnetit<br />

Berdasarkan Gambar 6, dapat dijelaskan bahwa<br />

pada percobaan ini telah terjadi pemisahan antara<br />

partikel halus dengan kasar. Hal ini terlihat dari<br />

adanya kenaikan kadar Fe total. Kadar Fe total<br />

pada percontoh asal sebagai umpan sebesar<br />

31,3%, setelah dilakukan proses klasifikasi<br />

menggunakan spiral classifier meningkat menjadi<br />

34,6% untuk produk underflow (sebagai produk<br />

pemisahan yang memiliki partikel kasar) dan terjadi<br />

penurunan kadar Fe total menjadi 24,6% untuk<br />

produk overflow (sebagai produk pemisahan<br />

partikel yang berukuran halus).<br />

3.3. Peningkatan Kadar dengan Pemisah<br />

Magnetik<br />

Di dalam percobaan pemisah magnetik ini<br />

dilakukan analisis mineralogi untuk meninjau<br />

perubahan komposisi mineral dan derajat liberasi<br />

pada konsentrat dan tailing akibat pengaruh dari<br />

variabel percobaan terhadap peningkatkan kadar<br />

dan perolehan. Analisis kimia hanya dilakukan<br />

pada konsentrat untuk menetukan kadar Fe total.<br />

42 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Komposisi Kimia (%)<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Gambar 6.<br />

Percontoh Asal<br />

Underflow<br />

Overflow<br />

Fe total SiO2 CaO Al2O3 MgO TiO2 Cr2O3 LOI<br />

Nama M ine ral<br />

Hubungan percobaan spiral<br />

classifier terhadap komposisi<br />

kimia<br />

3.3.1 Pengaruh Intensitas Magnet terhadap<br />

Komposisi Mineral dan Derajat<br />

Liberasi pada Konsentrat<br />

Berdasarkan grafik pengaruh intensitas magnet<br />

yang divariasikan dari 2000-10000 gauss terhadap<br />

komposisi mineral dan derajat liberasi konsentrat<br />

pada Gambar 7, menunjukan penurunan hematit<br />

seiring dengan peningkatan intensitas magnet,<br />

sedangkan derajat liberasinya juga mengalami<br />

penurunan. Magnetit cenderung stabil namun<br />

derajat liberasinya juga turun. Gangue meningkat,<br />

sedangkan derajat liberasinya turun.<br />

konsentrat, sehingga meningkatkan komposisi<br />

hematit dan gangue yang berikatan. Terjadinya<br />

peningkatan komposisi hematit yang berikatan<br />

dengan gangue menyebabkan terjadinya<br />

penurunan derajat liberasi dan komposisi hematit,<br />

namun hal tersebut menaikan komposisi gangue.<br />

Komposisi hematit yang terbesar diperoleh pada<br />

intensitas magnet 2000 gauss sebesar 70,07%,<br />

dengan magnetit sebesar 7,73% dan gangue yang<br />

terkecil (22,20%). Komposisi hematit terkecil<br />

diperoleh pada intensitas magnet 10000 gauss<br />

(47,94%), dengan magnetit (8,28%) dan gangue<br />

terbesar (43,80%).<br />

3.3.2 Pengaruh Ukuran Butir terhadap<br />

Komposisi Mineral dan Derajat<br />

Liberasi pada Konsentrat<br />

Berdasarkan grafik pengaruh ukuran butiran yang<br />

divariasikan dari ukuran


derajat liberasi butiran. Hal ini mempengaruhi daya<br />

tarik magnet ke dalam konsentrat. Komposisi<br />

hematit terbesar diperoleh pada ukuran butir


40<br />

70<br />

3.3.7 Analisis Komposisi Mineral pada<br />

Tailing Variabel Intensitas Magnet<br />

Perolehan Fe (%)<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />


Komposisi Mineral (%)<br />

80<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />


Pramusanto, dkk., 1999 “Pengerjaan Awal Bijih<br />

Besi Laterit Melalui Pemisahan Secara<br />

Magnetis dalam Drum Magnetic Separator<br />

pada Pembentukan Campuran Bijih<br />

Besi Laterit dan Kokas”, Pusat Penelitian<br />

Pengembangan Teknologi dan Mineral,<br />

Bandung.<br />

Wills. B. A., 1988, “Mineral Processing Technology<br />

5 Th Edition”, Pergamon Press. Oxford,<br />

New York.<br />

www.sebukuiron.co.id/silo_products.htm. PT<br />

SILO, diunduh pada jam 10:57, tanggal 20 Mei<br />

<strong>2009</strong>.<br />

Peningkatan Kadar Bijih Besi dari Daerah Pelaihari ... Pramusanto, dkk.<br />

47


PENGOLAHAN PASIR KUARSA BERLEMPUNG<br />

ASAL RANTAUBUJUR, KABUPATEN TAPIN,<br />

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN,<br />

UNTUK BAHAN BAKU KERAMIK<br />

Subari, Enymia dan Sumarsih<br />

Balai Besar Keramik<br />

Jl. Jend. Achmad Yani 392 Bandung<br />

Telp. 022 - 7206221 / 7207115)<br />

SARI<br />

Jumlah cadangan endapan pasir kuarsa di daerah Rantaubujur Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten<br />

Tapin sebanyak 186378000 m 3 , yang merupakan lapisan tanah penutup (over burden) pada endapan<br />

batu bara. Pasir kuarsa ini masih bercampur dengan material lempung berwarna krem kekuningan.<br />

Oleh karena itu, sampel pasir kuarsa yang berlempung tersebut perlu dilakukan proses pengolahan<br />

dengan cara pencucian dan pengayakan dengan menggunakan ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm;<br />

0,063 mm. Dari hasil percobaan pencucian yang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali diperoleh 658,30<br />

gram pasir kuarsa terolah dari sebanyak 900 gram pasir kuarsa asli. Hasil analisis kimia pasir kuarsa<br />

asli (masih bercampur lempung) dan yang terolah, mengalami kenaikan kadar silika (SiO 2) yang<br />

cukup signifikan, yakni dari 80,27 % SiO 2 menjadi 94,85 % SiO 2 . Pasir kuarsa terolah ini telah<br />

memenuhi syarat sebagai bahan baku keramik untuk dibuat bodi keramik putih yang fungsinya sebagai<br />

bahan pengisi.<br />

Kata kunci: pasir kuarsa berlempung, pengolahan/pencucian, silika, bodi keramik putih<br />

ABSTACT<br />

There are a lot of the quartz sand deposit in Rantaubujur area, South Tapin District - Tapin Regency<br />

abaout 186,378,000 m 3 , which to appear of overburden on the coal deposit. This quartz sand still mixed<br />

with yellowish cream clay materials. Because of that, the clayed quartz sand sample need to beneficiat<br />

by washing and sieving on several size of 1.0 mm; 0.063 mm.<br />

Based on the beneficiation experiments as much as 3 (three) time be found the pure quartz sand of 658.30<br />

grams from the natural quartz sand of 900 grams. The chemical analysis result of natural quartz sand and<br />

pure quartz sand that has increased of silica (SiO 2) significant enough namely from 80.27 % SiO 2 become<br />

94.85 % SiO 2. This pure quartz sand has to fulfill as ceramic raw material for made the whiteware ceramic<br />

as the filler material.<br />

Keywords : clayed quartz sand, silica grade, beneficiation<br />

48 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


1. PENDAHULUAN<br />

Di daerah Rantau Bujur Kecamatan Tapin Selatan<br />

Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan<br />

terdapat endapan pasir kuarsa/silika yang<br />

merupakan lapisan tanah penutup (overburden)<br />

pada endapan batubara, dengan jumlah cadangan<br />

sebesar 186.378.000 m 3 (Widyajasa, 2003). Pasir<br />

kuarsa di sini nampaknya masih bercampur<br />

dengan material lempung, kerikil, akar tetumbuhan<br />

dan lain sebagainya, yang merupakan bahan<br />

pengotor sehingga warna pasirnya bervariasi dari<br />

krem sampai kuning kecoklat-coklatan. Kondisi<br />

endapan pasir kuarsa semacam ini juga di jumpai<br />

di desa Rajpardi “Bharuch district”, India, yang<br />

merupakan lapisan overburden pada tambang<br />

batubara jenis lignit. Bahan pengotor yang<br />

terkandung didalam pasir kuarsa Rajpardi yaitu<br />

oksida besi seperti ilmenit atau limonit, mineral<br />

horblende dan biotit (Chakraborty, et.al, 2000).<br />

Dengan adanya kandungan bahan pengotor (impurities)<br />

tersebut maka pasir kuarsa ini perlu<br />

dilakukan proses pengolahan (benefisiasi) yang<br />

tujuannya untuk meningkatkan kualitas kuarsa/<br />

silika agar dapat digunakan sebagai bahan baku<br />

keramik terutama untuk bodi keramik putih<br />

(whiteware ceramic) seperti stoneware dan<br />

porselen. Metode pengolahan yang digunakan<br />

dalam proses pengolahan pasir kuarsa dari Kec.<br />

Tapin Selatan tergantung pada karakteristik bahan,<br />

seperti misalnya penelitian Vyas et al., (2000)<br />

setelah melakukan proses pengolahan pasir<br />

kuarsa yang berwarna kuning hingga kuning<br />

kecoklat-coklatan dengan menggunakan metode<br />

pengayakan cara kering, pengayakan cara basah<br />

dan cara magnetik.<br />

Berdasarkan pada karakteristik pasir kuarsa yang<br />

masih mengandung bahan pengotor dan mengacu<br />

pada penelitian Vyas, et al., (2000) maka metode<br />

pengolahan yang dilakukan adalah proses pengayakan<br />

cara basah. Dari hasil percobaan<br />

pengolahan ini diharapkan kualitas pasir kuarsa<br />

meningkat serta dapat dimanfaatkan untuk industri<br />

keramik bahkan bisa juga digunakan untuk industri<br />

gelas. Sedangkan penggunaan kuarsa atau silika<br />

pada industri keramik berkisar antara 10 – 25%<br />

berat dari kompo-sisi bodi keramik stoneware atau<br />

perselen, hal ini tergantung pada tingkat kemurnian<br />

bahan baku yang digunakan( Achuthan et al, 2000;<br />

Carty, 2001).<br />

Dalam industri manufaktur, penggunaan pasir<br />

kuarsa sudah berkembang ke berbagai industri<br />

baik sebagai bahan baku utama maupun untuk<br />

bahan campuran atau aditif. Sebagai bahan baku<br />

utama, pasir kuarsa dapat digunakan dalam<br />

industri gelas, ubin teraso, ferosilikon, silikon<br />

karbida dan bahan abrasif. Sedangkan pasir<br />

kuarsa sebagai bahan baku campuran, misalnya<br />

pada industri pengecoran logam, industri<br />

perminyakan dan industri keramik termasuk<br />

refraktori. Sehubungan hal tersebut di atas, pasir<br />

kuarsa yang diteliti akan digunakan sebagai bahan<br />

baku campuran dalam pembuatan ubin keramik<br />

selain menggunakan felspar dan kaolin.<br />

2. METODE PENELITIAN<br />

Pasir kuarsa alam atau kuarsa asli yang<br />

digunakan dalam percobaan pengolahan<br />

(benefisiasi) berasal dari daerah Rantau Bujur<br />

Kecamatan Tapin Selatan. Pasir kuarsa ini masih<br />

bercampur dengan material lempung berwarna<br />

krem kekuningan. Pasir kuarsa dicuci dan<br />

kemudian diayak/disaring dengan menggunakan<br />

ayakan ukuran 1,0 mm; 0,5 mm dan 0,063 mm.<br />

Bagan alir proses benefisiasi terhadap pasir kuarsa<br />

tercantum pada Gambar 1.<br />

Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri<br />

dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 %<br />

dan lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi<br />

tersebut dicampur sampai homogen dengan<br />

menambahkan air sekitar 5 % dari total berat<br />

bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak<br />

ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm.<br />

Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven<br />

pengering pada suhu 100 0 C, dan akhirnya dibakar<br />

dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 dan<br />

1250 °C.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Perolehan (recovery) kuarsa terolah<br />

Teknologi pengolahan pasir kuarsa dari Tapin<br />

Selatan ini dilakukan dengan pengayakan atau<br />

penyaringan secara basah yang menggunakan<br />

beberapa ukuran ayakan. Proses pengolahannya<br />

di lakukan sebanyak 3 (tiga) kali percobaan yang<br />

hasil percobaannya dapat di lihat pada Tabel 1.<br />

Untuk mengetahui perolehan silika atau kuarsa<br />

yang dihasilkan dari proses pengolahan<br />

(benefisiasi) pasir kuarsa alam dapat digunakan<br />

rumus (Wills, 2006):<br />

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.<br />

49


Kuarsa alam dibuat massa lumpur<br />

Diayak basah<br />

1,0 mm<br />

Kuarsa & lempung<br />

-1,0 mm<br />

Kotoran kerikil<br />

+ 1,0 mm<br />

Diayak basah ukuran<br />

0,5 mm<br />

Kuarsa & lempung<br />

0,5 mm - 0,5 mm<br />

Kuarsa terolah<br />

+ 0,5 mm<br />

Diayak basah<br />

ukuran 0,063 mm<br />

Lempung kotor<br />

- 0,063 mm<br />

Kuarsa terolah<br />

+ 0,063 mm<br />

Gambar 1.Bagan alir proses benefisiasi pasir kuarsa<br />

Tabel 1.<br />

Material balance pada proses benefisiasi pasir kuarsa<br />

Percobaan Kuarsa asli Kuarsa terolah Kotoran 1 Kotoran 2 Kehilangan<br />

( gram ) ( gram ) ( gram ) ( gram ) ( gram )<br />

1 900 740 32 107 21<br />

2 900 675 27 170 28<br />

3 900 560 28 276 36<br />

Rata-rata 900 658,3 29 184,33 28,33<br />

50 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Dimana : R = Recovery, %<br />

F = Umpan (feed) pasir kuarsa asli,<br />

gram<br />

f = Kadar SiO 2 didalam umpan, %<br />

C = Kuarsa terolah (konsentrat), gram<br />

c = Kadar SiO 2 didalam konsentrat,%<br />

Menurut Tabel 1 bahwa banyaknya kuarsa terolah<br />

rata-rata sekitar 658,30 gram dari sebanyak kuarsa<br />

asli sebesar 900 gram.<br />

Kadar SiO 2 didalam kuarsa asli (umpan) = 80,27<br />

% dan yang didalam konsentrat (kuarsa terolah)<br />

=94,85 %.<br />

Dengan demikian perolehan pasir kuarsa terolah<br />

adalah :<br />

658,30 x 94,85<br />

R = x 100 % = 86,57 %<br />

900 x 80,27<br />

dengan cara pencucian dan pengayakan tersebut<br />

memberikan hasil yang baik. Dilihat dari kadar<br />

Fe 2O 3 dan TiO 2 bahwa menurut SNI 15-1026-1989<br />

mengenai kuarsa untuk pembuatan porselen dan<br />

stoneware batas kadar yang disyaratkan untuk<br />

Fe 2O 3 = 0,4 % dan yang TiO 2 = 0,3 %. Menurut<br />

ketentuan tersebut diatas nampaknya pasir kuarsa<br />

dari Kabupaten Tapin telah memenuhi syarat<br />

sebagai bahan baku untuk body keramik porselen<br />

atau stoneware.<br />

Kemudian dari data analisis X Ray diffraktometer<br />

terhadap pasir kuarsa asli (belum diolah) kode KCT<br />

dan kuarsa yang sudah diolah kode KMT seperti<br />

tercantum dalam Gambar 2, menunjukkan bahwa<br />

untuk kuarsa asli terdapat kandungan mineral<br />

kaolinite selain alfa kuarsa sedangkan yang kuarsa<br />

terolah hanya mengandung alfa kuarsa serta tidak<br />

ada lagi kandungan mineral kaolinitnya. Dengan<br />

berdasarkan ketentuan tersebut maka proses<br />

pengolahan pasir kuarsa dengan cara pencucian<br />

dan pengayakan cukup berhasil dan bisa<br />

dikembangkan dalam skala produksi.<br />

Jumlah cadangan pasir kuarsa alam (kuarsa asli)<br />

sebesar 186.378.000 m 3 , apabila pasir kuarsa<br />

diolah semuanya maka yang diperoleh sebanyak<br />

161.347.435 m 3 .<br />

Dibandingkan dengan pasir kuarsa dari pulau<br />

Bangka dan pulau Belitung yang kadar silikanya<br />

masing-masing sebesar 95-99 % SiO 2 dan 96-99,5<br />

% SiO 2 ( Hartono dan Subari, 1986), maka pasir<br />

kuarsa terolah dari Kecamatan Tapin Selatan<br />

dengan kadar silika sebesar 94,85% SiO 2<br />

kualitasnya hampir sama dengan yang pasir kuarsa<br />

Bangka. Sehingga pasir kuarsa terolah tersebut<br />

masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku<br />

keramik untuk body keramik stoneware atau<br />

porselen dan juga barang tahan api (refractory).<br />

3.2. Data komposisi Kimia dan Mineral<br />

Data komposisi kimia terhadap pasir kuarsa asli<br />

atau belum diolah terutama kadar silika (SiO 2),<br />

Fe 2O 3, dan TiO 2 masing-masing sebesar 80,27<br />

%, 1,20%, dan 0,23 %. Kemudian pasir kuarsa<br />

setelah diolah dengan cara pencucian dan<br />

pengayakan ternyata kadar SiO 2 nya mengalami<br />

kenaikan menjadi 94,85 % serta kadar Fe 2O 3 dan<br />

TiO 2 mengalami penurunan masing-masing yaitu<br />

0,34 % dan 0,04 %. Dengan demikian proses<br />

pengolahan pasir kuarsa dari Kabupaten Tapin<br />

Gambar 2.Grafik difraktogram pasir kuarsa<br />

asli dan kuarsa terolah<br />

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.<br />

51


3.3. Pembuatan Keramik dari Kuarsa<br />

Terolah<br />

Bahan baku yang biasanya digunakan dalam<br />

pembuatan keramik konvensional atau tradisional<br />

adalah kuarsa, lempung dan felspar. Untuk<br />

percobaan pembuatan bodi keramik disini<br />

menggunakan kuarsa dari hasil pengolahan pasir<br />

kuarsa berlempung dan sedikit mengandung<br />

kerikil. Dari hasil analisis kimia terhadap kuarsa<br />

terolah ternyata mengandung kadar silika (SiO 2)<br />

yang cukup tinggi yaitu 94,85 %. Kandungan silika<br />

bebas tersebut juga terdapat di dalam lempung<br />

(clay), kaolin, dan felspar. Misalnya lempung<br />

berwarna kuning kecoklatan dari daerah Zorka<br />

mengandung kadar SiO 2 69,13 %. Sedangkan<br />

bahan lempung yang merupakan pengotor (impurity)<br />

dari pasir kuarsa mengandung kadar SiO 2 nya<br />

sebesar 70,15%. Lempung ini masih bisa<br />

dimanfaatkan sebagai bahan baku keramik untuk<br />

dibuat bodi merah atau terakota.<br />

Adapun komposisi bodi keramik yang dicoba terdiri<br />

dari bahan baku kuarsa terolah 20 %, kaolin 50 %<br />

dan lempung 30 %. Kemudian komposisi bodi<br />

tersebut dicampur sampai homogen dengan<br />

menambahkan air sekitar 5 % dari total berat<br />

bahan baku. Setelah itu komposisi bodi ini dicetak<br />

ubin keramik berukuran (7,5 x 7,5 x 0,8) cm.<br />

Benda uji ubin selanjutnya dikeringkan dalam oven<br />

pengering pada suhu 100 0 C, dan akhirnya dibakar<br />

dalam tungku listrik pada suhu 1150,1200 dan<br />

1250 0 C. Ubin setelah dibakar ternyata makin<br />

tinggi suhu pembakaran penyerapan airnya<br />

semakin kecil masing- masing sebesar 17,98 %,<br />

16,87 % dan 15,24 %. Nilai penyerapan ubin<br />

keramik ini masih di atas 15% karena di dalam<br />

komposisi bodi ubin tidak menggunakan felspar<br />

yang fungsinya sebagai bahan pelebur guna<br />

membantu dalam proses sintering, agar pada suhu<br />

pembakaran 1250 0 C bodinya sudah bersifat padat<br />

(vitrified) sehingga penyerapan airnya bisa<br />

mencapai di bawah 10 % (Chakraborty et al, 2000).<br />

Demikian pula sebaliknya, makin tinggi suhu<br />

pembakaran nilai kuat lenturnya semakin besar<br />

yaitu masing- masing 135,92 kg/cm 2 , 137,65 kg/<br />

cm 2 dan 143,57 kg/cm 2 . Hal ini disebabkan lubang<br />

pori-pori dalam bodi ubin semakin mengecil dan<br />

ikatan paertikel-partikel bahan yang satu dengan<br />

lainnya menjadi semakin kuat akibat semakin<br />

tingginya suhu pembakaran. Di samping itu warna<br />

bodi ubin keramik setelah dibakar pada suhu 1150<br />

0C sampai 1250 0 C berwarna putih susu sampai<br />

krem, sehingga bodi keramik tersebut dapat<br />

dikatagorikan keramik putih (whiteware ceramic).<br />

Selain untuk ubin keramik pasir kuarsa terolah ini<br />

bisa juga digunakan sebagai bahan baku utama<br />

bata tahan api silika karena menurut Goswami,<br />

et.al, (2000) bahwa untuk membuat bahan tahan<br />

api tersebut digunakan silika dengan kadar SiO 2<br />

minimum 93 % pada suhu pembakaran 1430-1450<br />

0C. Dengan demikian kuarsa terolah yang<br />

mengandung SiO 2 = 94,85 % telah memenuhi<br />

syarat untuk dibuat bata tahan api silika (silica<br />

brick refractory).<br />

4. KESIMPULAN<br />

1. Proses pengolahan pasir kuarsa berlempung<br />

asal Kabupaten Tapin dengan cara dicuci dan<br />

diayak menggunakan ukuran ayakan 1,0 mm;<br />

0,5 mm dan 0,063 mm dapat meningkatkan<br />

kadar silika (SiO 2) dari 80,77% menjadi<br />

sebesar 94,85 %.<br />

2. Perolehan (recovery) pasir kuarsa terolah<br />

sebanyak 161.347.435 m3 cukup potensial<br />

untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku<br />

industri keramik dalam pembuatan ubin<br />

keramik dan bata tahan api silika.<br />

3. Pemakaian pasir kuarsa terolah untuk dibuat<br />

ubin keramik sebesar 20% dicampur dengan<br />

lempung 30% dan kaolin 50% dari Kabupaten<br />

Tapin, yang dibakar pada suhu 1150-1250 0 C<br />

bodinya berwarna putih susu serta<br />

digolongkan ke dalam bodi putih (whiteware<br />

ceramic).<br />

UCAPAN TERIMAKASIH<br />

Dengan terpublikasinya makalah ini penulis<br />

menyampaikan banyak terima kasih kepada<br />

Kepala Dinas <strong>Pertambangan</strong> Kabupaten Tapin<br />

beserta stafnya, yang telah membantu untuk<br />

mendapatkan sampel bahan galian golongan C<br />

jenis pasir kuarsa berlempung dari Kecamatan<br />

Tapin Selatan serta data potensi cadangannya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Achuthan, A.T., Peer, M, A. Maiti, K.N., 2008,<br />

Effect of Precipitated Silica Additions to the<br />

Composition of Ceramic Glazes, Interceram,<br />

Volume 57.No.1.<br />

Carty, W.M., 2001, Ceramic engineering and Sci-<br />

52 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


ence, Proceedings, Material and Equipment<br />

and Whitewares, Volume 22, Issue 2.<br />

Chakraborty, A.K, Sojitra, B.G, Vyas, D.R., Maiti,<br />

K.N., 2000, Effects of Substitution of Quartz<br />

by Rajpardi Silica Sand on the<br />

Thermomechanical Properties of Conventional<br />

Ceramics, Interceram, Volume 49 No.3.<br />

Goswami, G, Panda, J.D., 2000, X Ray<br />

Diffractometric Determination of Tridymite in<br />

Silica Refractories, Interceram, Vol. 49 No.5.<br />

Vyas, D.R, Sojitra, B.G, Chakraborty, A.K, Maiti,<br />

K.N., 2000, Beneficiation of Rajpardi Silica<br />

Sand For Use in the Ceramics and Glass Industry,<br />

Interceram, Volume 49 No. 2.<br />

Widyajasa, A.P.T., 2003, Studi Komprehenship<br />

Inventarisasi dan Evaluasi Bahan Galian<br />

Tambang di Kabupaten Tapin, Bapeda<br />

Pemerintah Kabupaten Tapin.<br />

Wills, B.A, 2006, Mineral Processing Technology,<br />

Seventh Edition-ELSEVIER, Oxford-UK.<br />

Hartono, Y.M.V dan Subari, 1986, Teori Benefisiasi<br />

Bahan Mentah Keramik Halus, Balai Besar<br />

Industri Keramik Bandung.<br />

Pengolahan Pasir Kuarsa Berlempung Asal Rantaubujur, Kabupaten Tapin ... Subari, dkk.<br />

53


PRESENTASI MAKALAH<br />

PARALEL II


MASA KINI DAN MASA DEPAN<br />

BATUBARA INDONESIA<br />

Ijang Suherman<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373<br />

e-mail : ijang@tekmira.esdm.go.id<br />

S A R I<br />

Peran batubara sebagai pemasok energi, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya, di masa<br />

mendatang akan terus meningkat meskipun harga batubara sedikit terkoreksi sebagai dampak dari<br />

harga minyak yang baru saja terkoreksi tajam. Adanya Kebijaksanaan Energi Nasional mengenai<br />

diversifikasi energi, melalui PP No.5 Tahun 2006, pemanfaatan batubara di wilayah Indonesia terus<br />

berkembang di berbagai segmen pasar yang meliputi PLTU, industri semen, tekstil, kertas, metalurgi,<br />

briket batubara dan industri lainnya. Di samping itu, dengan berlakunya UU No 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang<br />

<strong>Pertambangan</strong> Mineral Batubara, akan mendukung upaya optimalisasi permintaan dan pemasokan<br />

batubara Indonesia dimasa depan.<br />

Kata kunci: masa kini, masa depan, batubara, pemanfaatan<br />

ABSTRACT<br />

The role of coal as an energy supply, either in Indonesia or other countries, in the future time will<br />

increase, although its price is slightly corrected as the impact of the oil price that was just sharply<br />

corrected. Due to the presence of the National Energy Policy about energy diversification through PP<br />

No. 5 Year 2006, the utilization of coal in Indonesia keeps developing in various market segments<br />

including: coal-fired power, cement industry, textile, paper, metallurgy, coal briquette and so forth.<br />

Besides, the implementation of UU No. 4 Year <strong>2009</strong> about mineral and coal mining, will support the<br />

effort of optimizing supply and demand of the coal in Indonesia in the future time.<br />

Keyword: nowadays, future, coal, utilization<br />

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

55


1. PENDAHULUAN<br />

Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja<br />

terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga<br />

batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi.<br />

Di samping kondisi global tersebut, menimbang<br />

cadangan minyak bumi Indonesia yang semakin<br />

menipis, pemanfaatan batubara di dalam negeri<br />

menjadi semakin penting sejalan dengan<br />

ditemukannya cadangan batubara yang besar,<br />

hingga kini sumber daya mencapai 104,75 milyar<br />

ton dan cadangan 22,25 milyar ton. Selain itu,<br />

adanya kebijaksanaan energi nasional mengenai<br />

diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan<br />

batubara di berbagai segmen pasar (industri) di<br />

wilayah Indonesia. Pemberlakuan UU No 4 Tahun<br />

<strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral Batubara,<br />

akan mendukung untuk menciptakan keamanan<br />

pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan<br />

pemanfaatan energi secara efisien, serta<br />

terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal<br />

pada tahun 2025.<br />

Segmen pasar yang menggunakan batubara<br />

sebagai bahan bakar meliputi PLTU, industri semen,<br />

industri kertas, industri tekstil, industri<br />

peleburan (metalurgi), dan industri lainnya, serta<br />

pemanfaatan batubara untuk briket batubara.<br />

Sedangkan Upgrading Brown Coal (UBC),<br />

Gasifikasi Batubara dan Pencairan batubara adalah<br />

arah pemanfaatan batubara untuk masa<br />

mendatang.<br />

2. METODOLOGI<br />

Kegiatan penelitian ini dilakukan di 11 lokasi di<br />

Indonesia, yaitu Propinsi Sumatera Utara, Sumatera<br />

Barat, Sumatera Selatan, Kalimanatan Timur,<br />

Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi<br />

Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa<br />

Tengah. Seluruh daerah (propinsi) ini dianggap dapat<br />

mewakili produsen maupun konsumen batubara<br />

di Indonesia. Metoda dalam kajian ini, adalah menghubungkan<br />

hasil-hasil penelitian survei sampling<br />

secara langsung seperti ke PLTU, industri semen,<br />

tekstil, kertas, dan lainnya untuk mendapatkan<br />

data primer dengan hasil-hasil publikasi dari instansi<br />

terkait sebagai data skunder. Sedangkan model<br />

pengolahan dan teknik analisis yang digunakan<br />

adalah statistka deskriptif dan trend analysis.<br />

3. POTENSI SUMBER DAYA DAN<br />

CADANGAN<br />

Jumlah sumber daya dan cadangan batubara Indonesia<br />

setiap tahun terus bertambah,<br />

berdasarkan perhitungan Pusat Sumber Daya<br />

Geologi, <strong>Departemen</strong> Energi dan Sumber Daya<br />

Mineral. Kondisi saat ini, tahun 2008, jumlah<br />

sumber daya adalah sebesar 104,75 miliar ton,<br />

dengan jumlah cadangan sebesar 22,25 miliar ton<br />

(Gambar 1). Sumber daya batubara tersebut<br />

tersebar di 19 propinsi, 6 pulau, namun terbesar<br />

terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan<br />

sebanyak masing – masing 50,15% dan 49,56%.<br />

4. PENGUSAHAAN BATUBARA<br />

4.1. Pola Pengusahaan Batubara<br />

Ijin pengusahaan batubara di Indonesia secara<br />

garis besar dibedakan dalam tiga pola, Badan<br />

Usaha Milik Negara (BUMN), Perjanjian Kerjasama<br />

Pengusahaan <strong>Pertambangan</strong> Batubara (PKP2B),<br />

dan Kuasa <strong>Pertambangan</strong> (KP). Namun dengan<br />

di telah disyahkannya Undang-Undang No 4 Tahun<br />

<strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan<br />

Batubara, maka ke depan sistim perijinan hanya<br />

ada satu jenis, yaitu Ijin Usaha <strong>Pertambangan</strong><br />

(IUP) untuk satu wilayah tertentu.<br />

4.2. Tingkat Produksi Batubara<br />

Sejalan dengan upaya penganekaragaman energi<br />

dan peningkatan kebutuhan batubara, baik untuk<br />

pemakaian domestik maupun pasar ekspor,<br />

produksi batubara selama 16 tahun terakhir telah<br />

menunjukkan peningkatan yang cukup pesat,<br />

dengan kenaikan produksi rata-rata per tahun secara<br />

nasional adalah 17,04%. Pada tahun 2008 produksi<br />

batubara nasional telah mencapai 233,62 juta ton.<br />

Dalam kurun waktu tersebut (1992 – 2008) telah<br />

terjadi perubahan distribusi produksi yang signifikan.<br />

PKP2B memegang peranan yang cukup menonjol<br />

sekitar 75,76% dengan pertumbuhan 16,93%<br />

pertahun. Sedangkan peran KP awalnya relatif<br />

masih kecil di bawah BUMN (PTBA), namun<br />

setelah digulirkannya otda ada peningkatan yang<br />

cukup berarti dengan tingkat pertumbuhan ratarata<br />

21,02% pertahun (Tabel 1).<br />

56 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Gambar 1. Distribusi Sumber Daya Batubara Indonesia<br />

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

57


Tabel 1. Jumlah produksi batubara Indonesia<br />

menurut kelompok perusahaan, tahun<br />

1992 – 2008<br />

Tahun<br />

Produksi (x000Ton)<br />

PTBA PKP2B KP<br />

Jumlah<br />

1992 7.103 14.281 1.654 15.935<br />

1993 7.374 18.874 1.597 20.470<br />

1994 6.707 23.477 2.408 25.885<br />

1995 7.979 29.576 4.286 33.862<br />

1996 9.230 37.815 3.926 41.741<br />

1997 9.965 40.602 4.467 45.069<br />

1998 9.859 47.057 5.123 52.180<br />

1999 11.207 57.604 4.966 62.570<br />

2000 10.746 61.707 4.682 66.389<br />

2001 10.212 76.532 5.796 82.328<br />

2002 9.482 87.078 6.812 93.890<br />

2003 10.027 96.300 7.951 104.251<br />

2004 8.707 113.171 10.474 123.645<br />

2005 8.607 145.992 10.994 156.986<br />

2006 9.292 164.713 22.533 187.246<br />

2007 8.555 171.570 36.805 208.375<br />

2008 10.138 176.993 46.489 233.620<br />

(%) 2,07 16,93 21,02 17,04<br />

Sumber : DPPMB dan APBI, <strong>2009</strong> (diolah Kembali)<br />

4.3. Tingkat Penjualan Batubara<br />

4.3.1 Penjualan batubara dalam negeri<br />

Jumlah penjualan batubara di dalam negeri tahun<br />

1992 sebesar 7,288 juta ton, sedangkan pada tahun<br />

2008 mencapai 73,925 juta ton (Tabel 2), yang<br />

berarti setiap tahun penjualannya rata-rata<br />

meningkat sebesar 17,17%. Tahun 2008,<br />

perusahaan pemegang PKP2B merupakan<br />

pemasok batubara dalam negeri yang terbesar,<br />

yaitu sebesar 54,85% dari jumlah seluruh<br />

kebutuhan, diikuti oleh pemegang KP sebesar<br />

34,35 %, dan BUMN PTBA serbesar 10,80%.<br />

4.3.2 Penjualan batubara ekspor<br />

Kebutuhan batubara dunia saat ini ternyata<br />

meningkat sangat cepat, antara lain dipicu oleh<br />

booming harga dan semakin banyaknya<br />

pembangunan PLTU di luar negeri yang<br />

menggunakan bahan bakar batubara, serta kran<br />

ekspor China ditutup. Hal ini yang mengantarkan<br />

Indonesia sebagai pemasok (eksportir) terbesar<br />

menyaingi Australia dan Afrika Selatan. Ekspor<br />

batubara Indonesia pada tahun 1992 hanya sebesar<br />

16,288 juta ton, sedangkan pada tahun 2008<br />

tercatat sebesar 158.921.318 juta ton (Tabel 3).<br />

Ini berarti volume ekspor rata-rata naik sebesar<br />

15,71%. Perusahaan pemegang PKP2B<br />

merupakan eksportir batubara terbesar, yaitu<br />

sekitar 89,87% dari jumlah ekspor batubara Indonesia,<br />

diikuti oleh pemegang KP sebesar 7,56%,<br />

dan BUMN sebesar 2,57%. Dengan adanya<br />

kecenderungan tersebut, maka kedepan perlu<br />

mencermatinya untuk melakukan pembatasan<br />

ekspor. Hal ini diperlukan untuk mengutamakan<br />

jaminan pasokan dalam negeri serta kegiatan<br />

peningkatan produksi yang mengacu pada konsep<br />

konservasi.<br />

5. PENGGUNAAN BATUBARA<br />

DI INDONESIA<br />

Harga dunia minyak yang demikian tinggi baru saja<br />

terkoreksi tajam, tetapi sampai sekarang harga<br />

batubara masih tetap tinggi walau agak terkoreksi.<br />

Ada yang berpendapat mungkin semakin<br />

meningkat karena permintaan yang jauh melebihi<br />

penawaran. Di samping kondisi global tersebut,<br />

menimbang cadangan minyak bumi Indonesia<br />

58 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Tabel 2.<br />

Jumlah penjualan dalam negeri batubara Indonesia<br />

menurut kelompok perusahaan, tahun 1992 – 2008<br />

Tahun<br />

Penjualan Batubara (Ton)<br />

BUMN PKP2B KP<br />

Jumlah<br />

1992 6.255.865 356.105 363.750 6.975.720<br />

1993 6.256.240 1.095.157 710.178 8.061.575<br />

1994 6.260.995 1.395.364 918.536 8.574.895<br />

1995 6.276.124 2.114.212 815.971 9.206.307<br />

1996 7.116.181 3.307.966 830.397 11.254.544<br />

1997 8.758.713 3.697.541 949.323 13.405.577<br />

1998 9.041.424 5.621.428 938.265 15.601.117<br />

1999 9.606.984 8.892.304 813.262 19.312.550<br />

2000 9.064.646 12.830.377 454.764 22.349.787<br />

2001 8.276.895 18.356.321 756.773 27.389.989<br />

2002 7.621.538 20.549.044 1.086.421 29.257.003<br />

2003 7.662.014 22.047.443 948.482 30.657.939<br />

2004 7.210.000 26.620.000 3.294.000 37.124.000<br />

2005 7.192.766 32.856.354 1.256.933 41.306.053<br />

2006 6.754.874 34.132.185 10.623.920 51.510.979<br />

2007 6.735.775 36.194.420 21.209.915 64.140.110<br />

2008 7.980.228 40.550.480 25.394.119 73.924.826<br />

Sumber : DPPMB, <strong>2009</strong> (diolahKembali)<br />

Tabel 3.<br />

Jumlah Ekspor Batubara Indonesia Menurut<br />

Kelompok Perusahaan, Tahun 1992 – 2008<br />

Tahun<br />

Ekspor Batubara (Ton)<br />

BUMN PKP2B KP<br />

Jumlah<br />

1992 1.005.713 14.024.212 1.268.581 16.298.506<br />

1993 1.153.366 16.083.168 1.454.827 18.691.361<br />

1994 1.565.829 21.834.777 1.975.097 25.375.703<br />

1995 2.160.221 25.895.977 3.262.585 31.318.783<br />

1996 2.011.714 31.584.755 2.835.131 36.431.600<br />

1997 1.816.145 36.715.815 3.195.381 41.727.341<br />

1998 1.539.985 41.435.969 4.230.247 47.206.201<br />

1999 2.239.875 48.979.616 4.548.195 55.767.686<br />

2000 2.142.138 52.225.381 4.152.973 58.520.492<br />

2001 1.894.973 53.886.444 3.852.104 59.633.521<br />

2002 1.854.957 66.501.537 5.822.364 74.178.858<br />

2003 2.239.363 76.387.034 7.053.875 85.680.272<br />

2004 2.712.000 85.913.000 4.085.000 92.710.000<br />

2005 2.492.201 99.495.994 4.799.233 106.787.428<br />

2006 2.848.534 127.734.782 13.386.233 143.969.550<br />

2007 3.955.077 142.597.966 12.022.001 158.575.044<br />

2008 4.079.475 142.819.842 12.022.001 158.921.318<br />

Sumber : DPPMB, <strong>2009</strong> (diolah Kembali)<br />

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

59


yang semakin menipis, pemanfaatan batubara di<br />

dalam negeri menjadi semakin penting sejalan<br />

dengan ditemukannya cadangan batubara yang<br />

besar yang terus meningkat, yang hingga kini<br />

sumber daya mencapai 104,75 miliar ton dan<br />

cadangan 22,25 miliar ton. Selain itu, adanya<br />

kebijaksanaan energi nasional mengenai<br />

diversifikasi energi, telah memacu pemanfaatan<br />

batubara di berbagai segmen pasar di wilayah Indonesia.<br />

Segmen pasar yang menggunakan<br />

batubara sebagai bahan bakar meliputi PLTU,<br />

industri semen, industri kertas, industri tekstil,<br />

industri peleburan (metalurgi), dan industri lainnya,<br />

serta pemanfaatan batubara untuk briket batubara.<br />

Penggunaan batubara dalam negeri masih<br />

didominasi oleh PLTU, yaitu 69,61% dari<br />

kebutuhan batubara nasional, kemudian diikuti oleh<br />

industri semen sebesar 14,48%. Trend<br />

penggunaan batubara pada industri kertas dan<br />

tekstil, serta industri lainnya terus meningkat,<br />

kecuali pada industri metalurgi dan briket batubara<br />

perkembangan penggunaan batubara berfluktuatif<br />

dan cenderung tetap. (Tabel 4).<br />

5.1. PLTU<br />

PLTU merupakan industri yang paling banyak<br />

menggunakan batubara sebagai bahan bakar pada<br />

boiler untuk mendidihkan air menjadi uap air.<br />

Kemudian uap air tersebut digunakan untuk<br />

menggerakan turbin pembangkit listrik. Tercatat<br />

dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada<br />

tahun 2008 sebesar 36,575 juta ton, 69,61% di<br />

antaranya digunakan oleh PLTU. Hingga saat ini,<br />

PLTU berbahan bakar batubara, baik milk PLN<br />

maupun yang dikelola swasta, ada 13 PLTU, dua<br />

di antaranya paling banyak menggunakan<br />

batubara sebagai bahan bakar utamanya adalah<br />

PLTU Suralaya dan PLTU Paiton.<br />

PLTU Suralaya dikelola PT. Indonesia Power<br />

memiliki 7 unit pembangkit dengan total kapasitas<br />

terpasang 3.400 MW menggunakan batubara<br />

sebesar 13,454 juta ton per tahun. Pemasok<br />

utama batubara untuk PLTU Suralaya, sedangkan<br />

sisanya dipasok dari beberapa perusahaan di<br />

Kalimantan, antara lain dari PT. Kideco Jaya<br />

Agung, PT. Arutmin, PT. Adaro dan PT. Berau Coal.<br />

Sedangkan di kawasan PLTU Paiton ada tiga operator<br />

pembangkit, yakni unit 1 dan 2 kapasitas<br />

800 MW yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa<br />

Bali (PJB), unit 5 dan 6 kapasitas 1.230 MW yang<br />

dikelola perusahaan swasta PT Java Power dan<br />

unit 7 dan 8 yang dikelola PT Paiton Energy<br />

dengan kapasitas 1.230 MW. Total batubara yang<br />

dibutuhkan sekitar 12,144 juta ton per tahun.<br />

Batubara yang digunakan sebagian besar dipasok<br />

dari Pulau Kalimantan, seperti PT Adaro Indonesia,<br />

PT Jorong Barutama, PT Daya Citra Mulia,<br />

dan lain-lain.<br />

Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2008,<br />

penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya<br />

meningkat rata-rata 13,37% (Tabel 5). Hal tersebut<br />

sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai<br />

dampak permintaan listrik yang terus meningkat.<br />

Peranan PLTU pada pembangkit tenaga listrik<br />

nasional adalah yang terbesar, yaitu 54,0%.<br />

Dalam upaya mengantisipasi kekurangan listrik<br />

dan untuk meningkatkan efisiensi pemakaian<br />

BBM secara nasional, pemerintah telah membuat<br />

rencana pembangunan sebanyak 40 PLTU dengan<br />

daya terpasang sebesar 10.000 MW, 10 PLTU di<br />

antaranya akan dibangun di Pulau Jawa dengan<br />

kapasitas 7.460 MW dan 30 sisanya dibangun di<br />

berbagai daerah di Indonesia dengan kapasitas<br />

2.540 MW (lihat Tabel 6). Total kapasitas PLTU<br />

batubara yang dimiliki PLN dan Swasta saat ini<br />

sebesar 9.470 MW dengan mengkonsumsi<br />

batubara sekitar 36,575 juta ton per tahun.<br />

Untuk merealisasikan rencana tersebut,<br />

pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 71<br />

Tahun 2006 telah menunjuk PLN untuk melakukan<br />

Percepatan Pembangunan PLTU batubar 10.000<br />

MW yang diharapkan siap beroperasi tahun 2010.<br />

Langkah ini merupakan upaya strategis untuk<br />

meningkatkan rasio elektrifikasi serta menyehatkan<br />

bauran energi nasional dari ketergantungan pada<br />

BBM. Batubara yang dibutuhkan untuk 10 PLTU<br />

Sistem Kelistrikan Jawa sedikitnya 25,5 juta ton<br />

per tahun, sedangkan batubara yang dibutuhkan<br />

untuk 30 PLTU Sistem Kelistrikan Luar Jawa<br />

sedikitnya 7,0 juta ton per tahun.<br />

Proyek percepatan 10.000 MW mengalami<br />

kemajuan signifikan. Laporan yang disampaikan<br />

kepada Menteri ESDM per tanggal 8 Mei <strong>2009</strong><br />

menyebutkan bahwa untuk 10 proyek yang<br />

berlokasi di Jawa, sebanyak 7.460 MW telah<br />

memasuki tahap kontrak dan tahap kontruksi,<br />

dengan total kontrak mencapai Rp<br />

17.279.783.223.885,40 dan USD 4.967.674.659,33.<br />

Sedangkan dari 30 proyek pembangunan PLTU di<br />

luar Jawa, sebanyak 22 proyek dengan total<br />

kapasitas 1.960 MW dan total kontrak mencapai<br />

Rp 7.928.031.007.168,64 dan USD<br />

1.161.131.981,64.<br />

60 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Tabel 4. Konsumsi batubara menurut jenis industri di Indonesia Tahun 1998 - 2008<br />

(Ton)<br />

Jenis Industri 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />

PLTU 10.911.341 13.047.717 13.943.613 19.165.256 21.902.161 23.810.054 23.492.328 26.337.906 27.828.338 35.137.318 36.575.060<br />

Semen 1.265.123 2.308.691 3.366.824 5.541.088 4.883.003 4.692.819 5.653.992 6.023.248 5.430.749 6.487.245 7.609.012<br />

Industri Tekstil - - - - - - - 1.307.610 3.068.115 3.956.540 4.193.932<br />

Industi Kertas 692.737 805.397 766.549 804.202 471.751 1.680.304 1.106.227 2.272.443 2.206.866 2.411.428 2.518.887<br />

Metalurgi 144.907 123.226 134.393 220.666 236.802 225.907 122.827 160.490 299.990 282.73 282.730<br />

Briket 29.963 38.302 36.799 31.265 24.708 24.976 23.506 28.267 36.018 25.120 25.643<br />

Lain-lain 2.600.550 2.573.355 5.545.609 2.407.667 3.792.481 4.990.000 5.619.079 417.583 979.797 1.263.514 1.339.325<br />

Jumlah 15.644.621 18.896.688 23.793.787 28.170.144 31.310.907 35.424.061 36.017.958 36.547.548 39.849.874 49.563.895 52.544.589<br />

Seumber :DPPMB dan hasil survei <strong>tekMIRA</strong>, 2006,2008 (diolah kembali)<br />

Tabel 5. Penggunaan batubara pada pltu di indonesia, 1998 – 2008 (Ton)<br />

(Ton)<br />

PLTU 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />

Ombilin 102,607 125,101 119,408 374,894 665,363 663,967 824,855 547,905 631,000 631,000<br />

Bukit Asam 1,200,034 1,231,174 1,192,452 1,153,974 1,057,564 1,142,646 1,090,774 1,080,000 1,068,000 929,000 929,000<br />

Tarahan 706,000 1,000,800<br />

Suralaya (PTIP) 7,456,766 8,251,561 9,671,230 9,819,920 9,774,871 11,225,218 10,636,155 12,440,501 13,092,252 12,648,782 13,454,763<br />

Cilacap 2,000,000 2,000,000<br />

Tanjung Jati B 4,000,000 4,000,000<br />

Paiton 2,151,933 3,368,916 2,457,345 6,276,104 8,300,753 9,060,889 9,310,009 10,180,731 11,503,072 11,819,337 12,144,298<br />

Asam-Asam 127,083 488,147 568,436 568,000 554,307 600,000 664,666 638,000 650,000<br />

PT. Newmont Sumbawa 70,965 376,095 406,132 477,610 480,000 482,578 506,637 505,839 506,399 506,399<br />

PT. Freeport 646,085 1,057,564 669,334 593,650 623,333 635,709 720,000 720,000<br />

PT. Tonasa 300,000 300,000 300,000 300,000<br />

Mpanau 180,000 180,000<br />

Lati - Berau 58,800 58,800 58,800 58,800<br />

Jumlah 10,911,341 13,047,717 13,943,613 19,165,256 21,902,161 23,810,054 23,492,328 26,337,906 27,828,338 35,137,318 36,575,060<br />

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

61


Tabel 6.<br />

Rencana pembangunan PLTU 10.000 MW Tahap I<br />

Nama Proyek / Lokasi<br />

Propinsi<br />

Kapasitas Kebutuhan Batubara<br />

(MW)<br />

(Ton)<br />

Pulau Jawa<br />

1 PLTU Labuan Banten 1 300 1.079.545<br />

2 PLTU Suralaya Baru Banten 2 660 4.750.000<br />

3 PLTU Teluk Naga Banten 2 300 2.159.091<br />

4 PLTU Jabar Selatan Jawa Barat 2 300 2.159.091<br />

5 PLTU Jabar Utara Jawa Barat 2 300 2.159.091<br />

6 PLTU Tanjung Jati Baru Jawa Tengah 1 660 2.375.000<br />

7 PLTU Rembang Jawa Tengah 2 300 2.159.091<br />

8 PLTU Jatim Selatan, Pacitan Jawa Timur 2 300 2.159.091<br />

9 PLTU Tanjung Awar-Awar Jawa Timur 1 600 2.159.091<br />

10 PLTU Paiton Baru Jawa Timur 2 600 4.318.182<br />

Jumlah 17 25.477.273<br />

Di luar Pulau Jawa<br />

1 PLTU Meulaboh NAD 2 65 467.803<br />

2 PLTU Sibolga Baru Sumatera Utara 2 100 719.697<br />

3 PLTU Medan Baru Sumatera Utara 2 100 719.697<br />

4 PLTU Sumbar Pesisir Selatan Sumatera Barat 2 100 719.697<br />

5 PLTU Mantung Bangka Belitung 2 10 71.970<br />

6 PLTU Air Anyer Bangka Belitung 2 10 71.970<br />

7 PLTU Bangka Baru Bangka Belitung 2 25 179.924<br />

8 PLTU Belitung Baru Bangka Belitung 2 15 107.955<br />

9 PLTU Bengkalis Riau 2 7 50.379<br />

10 PLTU Selat Panjang Riau 2 5 35.985<br />

11 PLTU Tj. Balai Kerimun Baru Kepulauan Riau 2 7 50.379<br />

12 PLTU Tarahan Baru Lampung 2 100 719.697<br />

13 PLTU Pontianak Baru kalimantan Barat 2 25 179.924<br />

14 PLTU Singkawang Baru kalimantan Barat 2 50 359.848<br />

15 PLTU Asam-Asam Kalimantan Selatan 2 65 467.803<br />

16 PLTU Palangkaraya Kalimantan Selatan 2 65 467.803<br />

17 PLTU Sampit Baru Kalimantan Tengah 2 7 50.379<br />

18 PLTU Amurang Baru Sulawesi Utara 2 25 179.924<br />

19 PLTU Sulut Baru Sulawesi Utara 2 25 179.924<br />

20 PLTU Gorontalo Baru Gorontalo 2 25 179.924<br />

21 PLTU Bone Sulawesi Selatan 2 50 359.848<br />

22 PLTU Kendari Sulawesi Tenggara 2 10 71.970<br />

23 PLTU Bima Nusa Tenggara Barat 2 7 50.379<br />

24 PLTU Lombok Batu Nusa Tenggara Barat 2 25 179.924<br />

25 PLTU Ende Nusa Tenggara Timur 2 7 50.379<br />

26 PLTU Kupang Baru Nusa Tenggara Timur 2 15 107.955<br />

27 PLTU Ambon Baru Maluku 2 7 50.379<br />

28 PLTU Ternate Maluku Utara 2 7 50.379<br />

29 PLTU Timika Papua 2 7 50.379<br />

30 PLTU Jayapura Papua 2 10 71.970<br />

Jumlah 7.024.242<br />

Jumlah seluruh 32.501.515<br />

Sumber : Peraturan Presiden Republik Indonesia No 71 Tahun 2006<br />

62 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


5.2. Industri Semen<br />

Industri semen merupakan konsumen batubara<br />

kedua terbesar setelah PLTU. Saat ini terdapat 9<br />

perusahaan semen yang terletak di beberapa<br />

wilayah di Indonesia. Pemanfaatan batubara pada<br />

industri semen, digunakan sebagai bahan bakar<br />

pada tanur putar untuk proses pembuatan klinker<br />

sebelum menjadi semen.<br />

Tahun 2008, tercatat sekitar 14,48% kebutuhan<br />

batubara dalam negeri digunakan oleh industri<br />

semen atau 7,609 juta ton. Perusahaan semen<br />

yang paling banyak menggunakan batubara adalah<br />

PT. Indocement Tunggal Perkasa, yaitu sebesar<br />

2,763 juta ton. Perusahaan ini memiliki tiga pabrik<br />

di lokasi yang berbeda, yaitu di Cibinong, Cirebon<br />

(Propinsi Jawa Barat), dan Tarjun Kabupaten<br />

Kotabaru (Propinsi Kalimantan Selatan).<br />

Berikutnya adalah PT. Semen Gresik dengan<br />

kebutuhan 1,395 juta ton, PT. Semen Holcim 1,102<br />

juta ton, PT Semen Padang 1,005 juta ton PT.<br />

Semen Tonasa 0,828 juta ton, dan yang lainnya<br />

di bawah 0,5 juta ton, sementar PT Semen<br />

Kupang produksinya tersendat serta dalam proses<br />

akuisisi oleh Perusahaan India, sedangkan PT<br />

Semen Andalas dalam proses akhir rekontruksi<br />

setelah terkena gelombang tsunami.<br />

Selama sepuluh tahun terakhir ini, perkembangan<br />

penggunaan batubara pada industri semen<br />

berfluktuasi. Antara tahun 1998-2001, pemakaian<br />

batubara rata-rata naik sangat signifikan, yaitu<br />

64,03%, namun pada tahun 2002 dan 2003 sempat<br />

mengalami penurunan hingga 9,81% dan 5,36%.<br />

Penurunan ini sangat dipengaruhi oleh adanya<br />

penurunan produksi di beberapa perusahaan semen,<br />

PT. Indocement Tunggal Prakarsa dan PT.<br />

Semen Gresik. Memasuki tahun 2004 hingga tahun<br />

2008 cenderung meningkat hanya sempat<br />

menurun pada tahun 2006, kebutuhan batubara<br />

pada industri semen mengalami perubahan yang<br />

positif, yaitu 7,03%, seiring perkembangan ekonomi<br />

yang mulai membaik di dalam negeri (Tabel 7).<br />

5.3. Industri Tekstil<br />

Industri tekstil memiliki tingkat ketergantungan<br />

yang tinggi terhadap bahan bakar minyak (BBM),<br />

karena biaya bahan bakar merupakan komponen<br />

terbesar di dalam biaya produksi. Menurut para<br />

pengusaha, perubahan pola penggunaan bahan<br />

bakar ke batubara merupakan salah satu alternatif<br />

yang sangat tepat karena mampu menekan biaya<br />

pengeluaran bahan bakar walaupun harus<br />

melakukan modifikasi terhadap boiler atau mengganti<br />

boiler yang baru yang berbahan bakar batubara.<br />

Batubara dalam industri tekstil digunakan pada<br />

boiler untuk memasak air menjadi uap. Uap yang<br />

dihasilkan digunakan untuk proses pencelupan.<br />

Beberapa industri tekstil dilengkapi oleh<br />

powerplant berbahan bakar batubara untuk<br />

memasak air menjadi uap. Uap yang dihasilkan<br />

digunakan untuk menggerakan turbin pembangkit<br />

listrik. Listrik yang dihasilkan dimanfaatkan<br />

berbagai keperluan seperti menggerakan mesin<br />

produksi, penerangan, dan sebagainya.<br />

Seperti diperlihatkan pada Gambar 2,<br />

menunjukkan bahwa perkembangan jumlah<br />

perusahaan tekstil yang menggunakan batubara<br />

tampaknya akan terus meningkat. Hal ini dapat<br />

dilihat dari jumlah perusahaan tekstil pada tahun<br />

2003 hanya 18 perusahaan saja, namun pada tahun<br />

2008 sudah bertambah menjadi 328 perusahaan.<br />

Kebutuhan batubaranya pun meningkat sangat<br />

signifikan, yaitu dari 274.150 ton pada tahun 2003<br />

naik menjadi 4,194 juta ton pada tahun 2008.<br />

Dari sisi keberadaannya, industri tekstil di Indonesia<br />

terpusat di Pulau Jawa, yang sebagian besar<br />

terletak di Propinsi Jawa Barat, yaitu sekitar 240<br />

perusahaan (73,14%) dengan mengkonsumsi<br />

batubara sebesar 3,430 juta ton (81,79%).<br />

Kemudian disusul oleh Propinsi Jawa Tengah,<br />

Banten, dan Jawa Timur (lihat Tabel 8).<br />

5.4. Industri Kertas<br />

Seperti halnya pada perusahaan tekstil, batubara<br />

dalam industri kertas digunakan sebagai bahan<br />

bakar dimana energi panas yang dihasilkan<br />

digunakan untuk memasak air pada mesin uap.<br />

Uap yang dihasilkan dipergunakan untuk<br />

memasak/membuat pulp (bubur kertas).<br />

Terdapat 36 perusahaan kertas yang telah<br />

menggunakan batubara, 5 perusahaan masingmasing<br />

terdapat di Propinsi Banten, Jawa Barat dan<br />

Jawa Tengah, 19 perusahaan di Propinsi Jawa Timur,<br />

dan 2 perusahaan di Propinsi Riau. Pada tahun<br />

2008, jumlah kebutuhan batubara untuk industri<br />

ini mencapai sekitar 2,519 juta ton. (Tabel 9).<br />

5.5. Industri Metalurgi<br />

Dari sisi jumlah industri metalurgi (pengecoran<br />

logam) yang telah menggunakan batubara sebagai<br />

bahan bakar pada proses produksinya dapat<br />

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

63


Tabel 7. Konsumsi batubara pada industri semen 1998 – 2008 (ton)<br />

(Ton)<br />

Industri Semen 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008<br />

PT. Semen Andalas 59.215 19.523 33.618 35.643 47.050 168.000 185.340 tp tp tp tp<br />

PT. Semen Padang 262.721 469.754 483.262 474.430 680.637 692.392 454.214 678.124 782.277 850.000 1.004.847<br />

PT. Semen Baturaja 68.700 62.370 26.311 75.448 103.357 110.939 129.081 143.973 133.515 153.415 187.436<br />

PT. Semen Holcim Cilacap 14.850 454.140 397.060 397.085 472.457 375.375 416.833 409.420<br />

PT. Semen Holcim Narogong 577.607 379.376 397.772 451.013 464.407 448.801 545.849 554.583 862.765 1.026.441 1.102.396<br />

PT. Indocement TP (Cibinong) 42.908 528.655 547.973 1.509.569 1.019.868 800.923 1.184.564 1.170.431<br />

PT. Indocement TP (Cirebon) 67.189 80.775 231.305 254.181 276.315 311.841 349.710 359.372 1.776.412 2.202.000 2.762.674<br />

PT. Indocement (Tanjung) 7.679 88.352 166.826 683.018 155.301 269.564 368.413 364.018<br />

PT. Semen Gresik 75.829 99.975 793.465 912.029 862.606 715.172 1.063.638 1.141.529 1.065.157 116.529 131.147<br />

PT. Semen Tonasa 88.425 95.499 130.283 546.233 593.923 556.495 659.473 697.440 481.763 760.000 827.793<br />

PT. Bosowa Cement 30.271 151.324 202.439 207.082 243.317 296.876 252.180 328.860 328.860 328.860<br />

PT. Semen Kupang 151.323 202.438 207.082 243.317 296.876 252.179<br />

Jumlah 1.265.123 2.308.691 3.510.521 6.743.526 5.090.085 4.950.868 5.950.868 6.023.248 5.430.749 5.437.245 6.345.153<br />

Catatan : tp = tidak berproduksi<br />

Sumber :<br />

- PT. Semen Gresik, PT, Indocement-Cirebon, PT. Holcim-Cilacap, PT. Semen Tonasa, PT. Semen Bosowa, dan PT Semen Kupang (Survei <strong>tekMIRA</strong> 2006)<br />

- Asosiasi Semen Indonesia, 2006<br />

- DPPMB, 2008<br />

64 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Gambar 2. perkembangan perusahaan tekstil pemakai batubara di indonesia tahun 2003 – 2008<br />

Tabel 8.<br />

Industri tekstil berbahan bakar batubara di Indonesia,<br />

menurut Provinsi, Tahun 2008<br />

No. Lokasi<br />

Jumlah Perusahaan Kebutuhan Batubara<br />

(Buah)<br />

(Ton/Tahun)<br />

1 Banten 15 423.406<br />

2 Jawa Barat 240 3.430.393<br />

3 Jawa Tengah 68 292.433<br />

4 Jawa Timur 5 47.700<br />

5 Luar Jawa 0 0<br />

Jumlah 328 4.193.932<br />

Tabel 9.<br />

Industri kertas berbahan bakar batubara di Indonesia<br />

No. Lokasi<br />

Jumlah Perusahaan Kebutuhan Batubara<br />

(Buah)<br />

(Ton/Tahun)<br />

1 Banten 5 620.440<br />

2 Jawa Barat 5 145.661<br />

3 Jawa Tengah 5 46.479<br />

4 Jawa Timur 19 1.100.916<br />

5 Riau 2 605.391<br />

Jumlah 36 2.518.887<br />

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

65


dikatakan relatif tidak bertambah, padahal dari sisi<br />

potensi masih banyak perusahaan yang belum<br />

menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya.<br />

Perkembangan kebutuhan batubara oleh industri<br />

metalurgi berfluktuasi, namun ada trend<br />

perkembangan yang meningkat sejalan dengan<br />

tingkat produksi perusahaan (Tabel 10).<br />

Tabel 10. Perkembangan penggunaan<br />

batubara pada industri metalurgi,<br />

Tahun 1998 - 2008<br />

Tahun Pemakaian Batubara (Ton)<br />

1998 144.907<br />

1999 123.226<br />

2000 134.393<br />

2001 220.666<br />

2002 236.802<br />

2003 225.907<br />

2004 122.827<br />

2005 183.530<br />

2006 299.990<br />

2007 282.730<br />

2008 *) 321.213<br />

Sumber : DPPMB, 2008 (diolah kembali)<br />

*) perkiraan<br />

industri rumahan tertentu sebagai bahan bakar,<br />

seperti industri pengeringan gerabah, pembakaran<br />

bata, tahu/tempe, katering/restoran, tepung ikan,<br />

pemindangan ikan, kerupuk, pengeringan bawang,<br />

pengeringan tembakau, pembakaran kapur, dan<br />

obat nyamuk. Namun yang paling dominan dan<br />

memasyarakat penggunaan briket batubara adalah<br />

pada peternakan ayam, yaitu sebagai penghangat<br />

anak ayam.<br />

Tabel 11. Perkembangan penggunaan<br />

batubara pada Industri briket<br />

batubara, Tahun 2001 – 2008<br />

Tahun Pemakaian Batubara (Ton)<br />

2001 31.265<br />

2002 24.708<br />

2003 24.976<br />

2004 17.963<br />

2005 32.010<br />

2006 36.018<br />

2007 25.120<br />

2008 *) 25.643<br />

Sumber : DPPMB, 2008 (diolah kembali)<br />

*) perkiraan<br />

Di samping industri metalurgi, masih banyak<br />

industri lainnya yang menggunakan batubara<br />

sebagai bahan bakar dalam mendukung proses<br />

produksinya, antara lain industri makanan, kimia,<br />

pengecoran logam, karet ban, pembakaran kapur,<br />

dan lainnya, termasuk beberapa jenis industri<br />

kecil. Berdasarkan survai sampling tahun 2008,<br />

di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang telah<br />

menggunakan batubara dengan total kebutuhan<br />

diperkirakan mencapai 342.850 ton.<br />

5.6. Briket Batubara<br />

Briket batubara merupakan energi alternatif atau<br />

pengganti minyak tanah dan kayu bakar yang<br />

paling murah dan dimungkinkan untuk<br />

dikembangkan secara masal, mengingat teknologi<br />

dan peralatan yang digunakan relatif sederhana.<br />

Di Indonesia, pengembangan briket batubara<br />

diperkenalkan sejak tahun 1993, namun hingga<br />

kini tidak dapat berkembang dengan baik. Hal<br />

tersebut dapat dilihat perkembangan briket<br />

batubara selama kurun waktu 2001 – 2008 yang<br />

fluktuatif (lihat Tabel 11). Di masyarakat, pemanfaatan<br />

briket batubara digunakan pada industri kecil atau<br />

5.7. Industri Lainnya<br />

Di samping industri yang disebutkan di atas, masih<br />

banyak industri lainnya yang menggunakan<br />

batubara sebagai bahan bakar dalam mendukung<br />

proses produksinya, antara lain industri makanan,<br />

kimia, pengecoran logam, karet ban, pembakaran<br />

kapur, dan lainnya, termasuk beberapa jenis<br />

industri kecil. Berdasarkan survai sampling tahun<br />

2008, di Propinsi Banten ada 33 perusahaan yang<br />

telah menggunakan batubara dengan total<br />

kebutuhan diperkirakan mencapai 342.850 ton.<br />

Sedangkan kebutuhan batubara untuk industri<br />

lainnya secara menyeluruh (nasional) diperkirakan<br />

tidak kurang dari 1,339 juta ton.<br />

Sedangkan potensi pemanfaatan ke depan adalah<br />

pada pengusahaan Upgraded Brown Coal (UBC),<br />

yang merupakan suatu proses untuk meningkatkan<br />

nilai kalori batubara melalui penurunan kadar air.<br />

Kelitbangan UBC telah sampai pada skala demo<br />

plant 1.000 ton/hari. Selain itu potensi gasifikasi<br />

batubara untuk industri kecil menengah, seperti<br />

halnya yang telah berhasil pada industri pengeringan<br />

teh. Potensi lainnya adalah pencairan batubara.<br />

66 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Sebelumnya telah melakukan upaya<br />

pengembangan teknologi BCL, karena belum<br />

terbukti (unprovent) terjadi kemandegan. Saat ini<br />

alternatif yang sedang dijajagi adalah menerapkan<br />

teknologi Sasol, namun belum ada kesepakatan<br />

yang mengikat, dan perlu bernegosiasi lanjutan.<br />

6. MASA DEPAN BATUBARA INDONESIA<br />

Menyimak berbagai keberhasilan kinerja<br />

pertambangan batubara di Indonesia dimasa lalu<br />

hingga masa kini, potensi sumberdaya dan<br />

cadangan yang besar, adanya peluang sekaligus<br />

tantang, dan adanya kebijakan-kebijakan yang<br />

terkait, maka batubara Indonesia mempunyai<br />

prospek dimasa depan.<br />

• Pelaku Usaha <strong>Pertambangan</strong><br />

Sampai dengan tahun 2008 perusahaan<br />

penambangan batubara di Indonesia dengan status<br />

PKP2B aktif berjumlah 76 perusahaan, yang<br />

terdiri dari 40 perusahaan PKP2B sudah produksi<br />

(9 dari Generasi I, 10 dari Generasi II dan 21dari<br />

Generasi III), 15 status konstruksi, 16 status studi<br />

kelayakan, dan 5 status eksplorasi. Sedangkan<br />

jumlah Kuasa <strong>Pertambangan</strong> (KP) yang<br />

dikeluarkan di daerah yang terinventarisasi di<br />

Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas<br />

Bumi sudah melebihi angka 500 KP, sedangkan<br />

yang telah berproduksi 129 KP. Berkembangnya<br />

KP tersebut terjadi pada era otonomi<br />

daerah, khususnya sejak tahun 2001 ketika<br />

dikeluarkannya PP 75 tahun 2001, yaitu ketika<br />

penegasan tentang pemberian Kuasa<br />

<strong>Pertambangan</strong> (KP) dilakukan oleh Pemerintah<br />

Daerah, yang berdasarkan aturan tersebut<br />

diberikan oleh bupati, gubernur atau menteri sesuai<br />

dengan kewenangannya. Dalam prakteknya<br />

sebagian besar dari KP yang dikeluarkan selama<br />

otonomi daerah tersebut diterbitkan oleh<br />

kabupaten. Hal ini dapat dimengerti karena untuk<br />

perizinan KP yang dikeluarkan oleh propinsi harus<br />

yang berbatasan antara sedikitnya 2 kabupaten,<br />

sedangkan yang dikeluarkan menteri harus yang<br />

berbataskan sedikitnya 2 propinsi. Kriteria ini<br />

sangat jarang ditemui di lapangan, baik sengaja<br />

atau tidak sengaja.<br />

Peningkatan jumlah konsumsi yang sangat tajam<br />

yang disebabkan meningkat tajamnya permintaan<br />

batubara sebagai sumber energi terutama untuk<br />

pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun<br />

di negara-negara importir. Tidak mengherankan<br />

apabila sejalan dengan itu jumlah perusahaan<br />

pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh<br />

pesat khususnya dalam beberapa tahun terakhir.<br />

• Perkembangan Produksi<br />

Selama 16 tahun terakhir (1992-2008) produksi<br />

batubara Indonesia telah meningkat hampir 15 kali<br />

lipat, dari 15,935 juta juta ton menjadi 233,620<br />

juta ton, atau meningkat rata-rata per tahun<br />

17,04%, jauh di atas rata-rata dunia, 3,8%.<br />

Peningkatan produksi yang pesat didorong oleh<br />

meningkat tajamnya permintaan ekspor dan<br />

permintaan dalam negeri. Jika diasumsikan<br />

pertumbuhan produksi tetap tinggi, maka pada<br />

tahun 2025 dapat mencapai 742 juta ton, namun<br />

APBI sejalan dengan kebijakan pemerintah telah<br />

memproyesikan yang cukup wajar sebesar 471<br />

juta ton.<br />

• Perkembangan Ekspor<br />

Saat ini pasar ekspor terbesar Indonesia adalah<br />

Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, di samping<br />

China dan India yang merupakan buyer baru bagi<br />

Indonesia. Meningkatnya permintaan China dan<br />

India di masa datang akan menambah tingginya<br />

kecenderungan permintaan ekspor. Belum adanya<br />

keseimbangan antara permintaan dan pemasokan<br />

batubara pada tataran dunia, terlihat dari tingginya<br />

tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia yang<br />

mencapai 15,51%. Pada satu sisi, hal tersebut<br />

merupakan peluang Indonesia untuk meningkatkan<br />

pangsa pasar ekspor. Tetapi dengan adanya<br />

kecenderungan tersebut, ke depan perlu<br />

mencermatinya untuk melakukan pengendalian<br />

atau pembatasan ekspor. Hal ini diperlukan untuk<br />

mengutamakan jaminan pasokan dalam negeri<br />

serta perkembangan tingkat produksi yang<br />

mengacu pada konsep konservasi. Lagi-lagi,<br />

proyeksi ekspor batubara tanpa adanya<br />

pembatasan, pada tahun 2025 akan mencapai<br />

509,3 juta ton, padahal kebijakan ekspor<br />

memproyeksikan sekitar 150 – 236 jua ton.<br />

• Perkembangan Penggunaan<br />

di Dalam Negeri<br />

Peran batubara sebagai energi akan semakin<br />

besar pada berbagai industri, khususnya<br />

pembangkit listrik di Indonesia maupun industri<br />

lain di berbagai belahan dunia. Diperkirakan di<br />

masa-masa mendatang peran minyak akan<br />

semakin berkurang, sebaliknya peran batubara dan<br />

gas akan semakin besar.<br />

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

67


Ketika semua proyek Percepatan pembangunan<br />

PLTU 10.000 MW telah beroperasi yang ditargetkan<br />

pada tahun 2010, diperkirakan konsumsi batubara<br />

Indonesia akan mencapai 90 juta ton atau<br />

meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun<br />

2006. Jumlah tersebut terdistribusi pada PLTU<br />

sebesar 69,1 juta ton, industri semen 8,9 juta ton,<br />

industri tekstil 4,5 juta ton, industri kertas 3,0 juta<br />

dan industri lainnya sekitar 4,5 juta ton. Diperkirakan<br />

pada tahun 2025 konsumsi batubara dalam negeri<br />

mencapai 236 juta ton. Hal ini telah diproyeksikan<br />

sebagaimana termuat pada Blueprint Pengelolaan<br />

Energi Nasional 2010-2025, yang menargetkan<br />

peranan batubara pada bauran energi nasional<br />

sebesar 34,4%, di luar peranan Bahan Bakar<br />

Batubara Cair (BBBC) sebesar 3,1% dan Coal Bed<br />

Methane (CBM) 3,3%.<br />

• Kebijakan<br />

Pemerintah baru saja menerbitkan “Blueprint”<br />

Pengelolaan Energi Nasional (BP PEN) 2010-2025<br />

merupakan re-evaluasi BP PEN 2005-2025, yang<br />

akan menjadi dasar penyusunan pola pengembangan<br />

dan pemanfaatan energi secara nasional<br />

hingga 2025, dengan visi berupa terjaminnya energi<br />

dengan harga wajar untuk kepentingan nasional.<br />

Penyusunan “blueprint” merupakan tindak lanjut<br />

Peraturan Presiden (Perpres) No 5 Tahun 2006<br />

tentang Kebijakan Energi Nasional yang mengamanatkan<br />

Menteri ESDM menetapkan cetak biru<br />

tersebut.<br />

Di sisi lain dengan telah disyahkannya Undang-<br />

Undang Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong> tentang <strong>Pertambangan</strong><br />

Mineral dan Batubara, mengisyaratkan pemerintah<br />

dapat mengoptimalkan pengelolaan batubara<br />

antara lain pengendalian produksi dan ekspor serta<br />

jaminan pasokan dalam negeri melalui Domestic<br />

Obligation Market (DMO) dan Penetapan Harga<br />

Batubara Nasional. Di samping itu mengenai<br />

perijinan pertambangan batubara hanya satu pola,<br />

yaitu dalam bentuk Ijin Usaha <strong>Pertambangan</strong> (IUP).<br />

Adapun PKP2B termasuk KP yang ada tetap<br />

dihormati sampai ijinnya berakhir, dan kemudian<br />

diberikan prioritas untuk mendapatkan IUP.<br />

Dengan adanya kebikan-kebijakan tersebut<br />

tentunya diharapkan akan dihasilkan pelaku<br />

pertambangan yang andal di bagian hulu<br />

(pertambangan batubara) dengan melakukan good<br />

mining practices, pengelolaan lingkungan, dan<br />

pengembangan masyarakat (community development).<br />

Sedangkan di bagian hilirnya merupakan<br />

bagian yang tidak terpisahkan dari KEN, yaitu<br />

untuk menjamin pengadaan energi nasional yang<br />

dapat diandalkan tanpa mengabaikan prinsip<br />

pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan<br />

lingkungan.<br />

6. PENUTUP<br />

Sektor pertambangan batubara sampai saat ini<br />

telah berhasil dalam menunjang Kebijakan Energi<br />

Nasional. Keadaan ini terlihat dengan meningkatnya<br />

pemanfaatan batubara di berbagai pusat pembangkit<br />

listrik, pabrik semen, pabrik kertas, industri kimia,<br />

dan industri kecil. Pasar global telah dapat pula<br />

diterobos dan menempatkan Indonesia sebagai<br />

salah satu negara pengekspor batubara uap<br />

terbesar di dunia. Semua ini merupakan modal<br />

dasar bagi industri batubara Indonesia untuk terus<br />

berkembang dalam menunjang keberhasilan<br />

pengembangan energi nasional maupun global.<br />

Di samping peranan batubara yang cukup besar,<br />

maka tetap juga harus dijaga dan dijamin<br />

ketersediaannya dalam memenuhi kebutuhan akan<br />

energi di dalam negeri selama dan seekonomis<br />

mungkin. Oleh karena itu, pengelolaannya perlu<br />

dilaksanakan melalui kebijakan yang terpadu dan<br />

sinergi dengan sektor-sektor pembangunan<br />

lainnya.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Jawa Barat, Jawa<br />

Tengah, 2008, Data Pemakaian Batubara Dan<br />

Boiler Tahun 2007.<br />

Asosiasi Semen Indonesia (ASI), 2006, Indonesia<br />

Cement Statistic 2005.<br />

Balai Pengelolaan <strong>Pertambangan</strong> dan Energi<br />

Wilayah, Distamben Provinsi Jawa Tengah,<br />

2008, Data Pemakaian Batubara Sebagai<br />

Sumber Energi.<br />

Dinas Tenaga Kerja Propinsi Banten, Jawa Barat<br />

dan Jawa Tengah, 2006, Daftar Industri yang<br />

Menggunakan Boiler Berbahan Bakar<br />

Batubara.<br />

Direktorat Pengusahaan <strong>Pertambangan</strong> Mineral,<br />

Batubara, dan Panas Bumi, 2008, Indonesia<br />

Mineral, Coal, and Geothermal Statistics 2008,<br />

Jakarta.<br />

68 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Presiden Republik Indonesia, Undang-Undang<br />

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun <strong>2009</strong><br />

tentang <strong>Pertambangan</strong> Mineral dan Batubara.<br />

____________, Peraturan Presiden Republik Indonesia<br />

No. 5. Tahun 2006 Tentang Kebijakan<br />

Energi Nasional.<br />

____________, Peraturan Presiden Republik Indonesia<br />

No. 71. Tahun 2006 Tentang<br />

Penugasan kepada PT. PLN untuk<br />

Melakukan Percepatan Pembangunan PLTU<br />

yang menggunakan batubara.<br />

Menteri ESDM, <strong>2009</strong>, Blueprint Pengelolaan<br />

Energi Nasional 2010-2025.<br />

Suherman I., dkk., 2006, Kajian Batubara Nasional<br />

2006, Puslitbang Teknologi dan Batubara<br />

(<strong>tekMIRA</strong>).<br />

Unit Bisnis Pembangkitan Suralaya, 2008,<br />

Perkembangan Produksi Listrik dan<br />

Kebutuhan Bahan Bakar Batubara.<br />

Masa Kini dan Masa Depan Batubara Indonesia, Ijang Suherman<br />

69


PENGEMBANGAN SISTEM DAN ALAT PEMANTAUAN<br />

SEDERHANA UNTUK MENDETEKSI KERUNTUHAN<br />

BATUAN ATAP (ROOF FAILURE) PADA TAMBANG<br />

BAWAH TANAH<br />

Zulfahmi 1) , Hasniati Astika 2) , Supriatna Mujahidin 3)<br />

1) Peneliti Madya<br />

2) Peneliti Pertama<br />

3) Teknisi Litkayasa Penyelia<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : zulfahmi@tekmira.esdm.go.id, hasni@tekmira.esdm.go.id, didit@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Keruntuhan batuan atap (Roof Failure) merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan<br />

pada tambang bawah tanah. Terdapat dua macam alat pemantauan yang dirancang, yaitu<br />

pengembangan alat pemantauan menggunakan Potensiometer transducer yang dapat mendeteksi<br />

pergerakan pada beberapa lapisan batuan atap dan pengembangan alat pemantauan menggunakan<br />

Linear Variable Differential Transducer (LVDT) yang hanya dapat mendeteksi pergerakan pada<br />

permukaan batuan atap saja. Sistem pemantauan yang digunakan terdiri dari alat pemantauan,<br />

datalogger sebagai perekam dan penyimpan data serta CPU komputer untuk pengolahan data. Dari<br />

hasil kalibrasi di studio dan ujicoba di salah satu tambang batubara bawah tanah, alat dan system<br />

yang diterapkan terbukti dapat digunakan sebagai sistem pemantauan terpusat dengan hasil yang<br />

signifikan, dimana semua alat pemantauan dan proses perekaman data dapat dioperasikan dari satu<br />

tempat sebagai sentral.<br />

Kata kunci : keruntuhan atap, lvdt, potensio, tambang bawah tanah<br />

ABSTRACT<br />

Roof failure is one of the main causes injuries that happened in the underground mine. Two type of<br />

monitoring tools have been designed, there was a development of monitoring tools using Potentiometer<br />

Transducer that can detect movement in some rock layers of the roof and Linear Variable Differential<br />

Transducer (LVDT) that can detect movement on the surface rock of the roof only. Monitoring<br />

system that developed consists of monitoring tools, data logger for record and storage tool and a<br />

computer for data processing. The result of a calibration in a studio and running test in one of the<br />

underground coal mine could be known that the monitoring tools and the system which applied can be<br />

used as a centralized monitoring system with a significant result, where all of the monitoring equipment<br />

and data recording process can operated from one place as a central.<br />

Keywords: roof failure, lvdt, potentiometer, underground mine<br />

70 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


1. LATAR BELAKANG<br />

Berdasarkan data yang diperoleh dari<br />

www.msha.gov dari tahun 2003 sampai dengan<br />

2007, 82% dari total kecelakaan pada tambang<br />

bawah tanah terjadi pada tambang batubara,<br />

24,50% diantaranya diakibatkan oleh keruntuhan<br />

atap selain yang disebabkan oleh ledakan gas dan<br />

debu tambang dan juga kecelakaan pada<br />

pengangkutan (mine haulage). Dari data tersebut,<br />

keruntuhan batuan atap merupakan salah satu<br />

penyebab terbesar terjadinya kecelakaan pada<br />

tambang bawah tanah.<br />

Teknologi pengawasan secara dini sangat<br />

diperlukan, dengan tujuan utama untuk melakukan<br />

pengawasan dan mengetahui sedini mungkin<br />

kondisi tidak aman pada suatu lokasi tambang<br />

agar dapat ditanggulangi sebelumnya. Salahsatunya<br />

dengan merancang alat pemantauan sederhana<br />

dengan menggunakan peralatan yang mudah<br />

didapatkan di Indonesia.<br />

2. METODA PENELITIAN<br />

Metode penelitian yang diterapkan dalam kegiatan<br />

ini lebih mengarah kepada kajian terhadap perkembangan<br />

peralatan pemantauan keruntuhan batuan<br />

atap pada tambang bawah tanah. Diperoleh baik<br />

dari hasil studi pustaka maupun hasil penelusuran<br />

pada cybernet untuk mendapatkan metoda dan<br />

dasar yang akan digunakan dalam perancangan<br />

sistem dan peralatan pemantauan. Selanjutnya<br />

dilakukan perancangan sampai didapatkan sistem<br />

dan peralatan yang layak digunakan dengan<br />

melakukan kalibrasi dan juga ujicoba.<br />

STUDI PUSTAKA/ CYBERNET<br />

Kajian teoritis tentang perkembangan sistem pemantauan<br />

& konsep sistem peringatan dini<br />

Dasar-dasar teori mengenai keruntuhan atap (roof failure)<br />

Konsep & Aplikasi peralatan<br />

PENENTUAN SISTEM & ALAT<br />

PEMANTAUAN<br />

PERANCANGAN &<br />

MODIFIKASI ALAT<br />

PERBAIKAN<br />

ALAT/PERUBAHAN<br />

SISTEM<br />

KALIBRASI<br />

UJICOBA ALAT & RUNNING TEST<br />

EVALUASI HASIL UJICOBA<br />

SESUAI<br />

STANDARD<br />

Tidak<br />

Ya<br />

ALAT PEMANTAUAN<br />

KERUNTUHAN ATAP<br />

Gambar 1.<br />

Metodologi penelitian pengembangan alat pemantauan sederhana untuk<br />

mendeteksi pergerakan batuan atap pada tambang bawah tanah<br />

Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />

71


3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Perancangan Sistem Pemantauan<br />

Keruntuhan Atap<br />

Sistem Pemantauan keruntuhan atap yang<br />

dirancang terdiri dari alat pemantauan, datalogger<br />

dan CPU komputer. Alat pemantauan yang telah<br />

terpasang pada batuan atap terhubung dengan<br />

datalogger sebagai pembaca dan penyimpan data.<br />

Data yang tersimpan dalam datalogger masih<br />

merupakan data mentah untuk selanjutnya diolah<br />

pada perangkat komputer, pengolahan data<br />

dilakukan dengan menggunakan aplikasi microsoft<br />

excel untuk selanjutnya dibuat grafik pergerakan<br />

batuan yang terjadi. Untuk menghubungkan setiap<br />

unit dari sistem tersebut digunakan sistem kabel.<br />

Skema monitoring dapat dilihat pada gambar 2.<br />

Linear Variable Differential Transformer (LVDT)<br />

merupakan salah satu jenis sensor yang digunakan<br />

untuk mengukur perubahan jarak. Kelebihan dari<br />

LVDT sebagai sensor jarak adalah tidak adanya<br />

kontak fisik pada unsur sensor sehingga lebih kuat<br />

dan tahan lama dibandingkan dengan sensor-sensor<br />

lain. LVDT terdiri dari satu kumparan magnetik<br />

primer dan dua kumparan magnetik sekunder dan<br />

satu inti magnetik (Gambar 3(a)). Pada saat posisi<br />

nol berarti tidak ada medan magnet dalam kedua<br />

kumparan sekunder oleh karena tidak ada<br />

pergerakan pada probe. Ketika kumparan magnet<br />

tidak dalam posisi nol (terjadi pergerakan pada<br />

probe) akan ada ketidakseimbangan medan magnet<br />

dari kedua kumparan sekunder. Ketidakseimbangan<br />

pada medan magnet menyebabkan<br />

perubahan keluaran voltase yang sebanding dengan<br />

perubahan jarak dan arah dari pergerakan tersebut.<br />

Selain merupakan instrumen yang kuat, LVDT<br />

mempunyai resolusi yang tinggi (Cheekiralla, 2004).<br />

Gambar 2.<br />

Skema pemantauan<br />

keruntuhan atap<br />

Sebagai pembaca dan penyimpan data yang<br />

digunakan pada sistem pemantauan keruntuhan<br />

atap ini digunakan Datataker DT800. Datataker<br />

DT800 merupakan instrumen penerima dan<br />

penyimpan data yang dapat mengukur dan<br />

merekam data dengan beragam dan dalam jumlah<br />

yang banyak serta dapat diprogram dengan<br />

menggunakan perintah kerja yang sangat mudah<br />

(Anonym, 2001-2004).<br />

Perancangan Alat Pemantauan Keruntuhan Atap<br />

Peralatan pemantauan keruntuhan batuan atap<br />

yang dirancang merupakan pengembangan dari<br />

peralatan pemantauan sebelumnya. Alat<br />

pemantauan yang dirancang terdiri dari 2 macam,<br />

yaitu LVDT dan Potensiometer.<br />

Gambar 3.<br />

(a)<br />

(b)<br />

(a) Prinsip kerja LVDT<br />

(b) LVDT RDP DCTH400AG<br />

72 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


LVDT yang digunakan pada kegiatan ini adalah<br />

keluaran RDP dengan type DCTH400AG (Gambar<br />

3 (b)). Kisaran jarak pergerakan yang bisa terukur<br />

oleh alat ini sebesar 22 mm. Sensor LVDT dilapisi<br />

dengan pipa PVC agar aman dan terlindungi<br />

(Gambar 4.(a)). Untuk mengukur pergerakan atap,<br />

alat pemantauan ditempatkan tepat di bawah atap<br />

batuan, pergerakan pada batuan atap menggerakan<br />

probe pada LVDT dan menyebabkan<br />

perubahan tegangan (voltase) pada alat monitoring.<br />

Perubahan voltase tersebut dapat dikonversikan<br />

terhadap perubahan jarak yang terjadi.<br />

Sedangkan untuk alat pemantauan potensio<br />

digunakan 4 buah potensiometer, dimana masingmasing<br />

potensiometer tersebut terhubung dengan<br />

pulley. komponen-komponen tersebut ditempatkan<br />

pada suatu box yang aman dan terlindungi<br />

(Gambar 4(b)). Pulley terhubung dengan jangkar<br />

menggunakan kawat baja, dimana jangkar<br />

nantinya akan ditempatkan pada lapisan batuan<br />

yang diamati pergerakannya.<br />

sama dengan telltale. Pada telltale pembacaan<br />

pergerakan yang terjadi dilakukan secara manual,<br />

yaitu dengan melihat pergeseran pada pada<br />

indikator yang terdapat pada alat pemantauan<br />

(Mark and Iannacchione, 2001), sedangkan pada<br />

alat monitoring ini pergerakan dapat dibaca dengan<br />

menghubungkan alat pemantauan dengan<br />

datalogger.<br />

Kalibrasi Sistem dan Alat Pemantauan<br />

Keruntuhan Atap<br />

Kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan hubungan<br />

antara perubahan tegangan (Volt) pada alat LVDT<br />

dan perubahan tahanan (Ohm) pada<br />

Potensiometer terhadap perubahan jarak yang<br />

dikondisikan pada masing-masing alat<br />

pemantauan. Kecenderungan dari titik-titik<br />

pergerakan hasil kalibrasi dari masing-masing alat<br />

pemantauan menunjukkan garis yang linier,<br />

dengan persamaan garis linier yang digunakan<br />

sebagai rumus untuk memperoleh data pergerakan<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 4.<br />

Alat pemantauan keruntuhan atap (a) LVDT (b) Potensio<br />

Prinsip kerja alat ini sebagai alat pemantauan<br />

pergerakan batuan adalah dengan menempatkan<br />

4 buah jangkar yang masing-masing terhubung<br />

dengan Potensiometer pada berbagai ketinggian<br />

lapisan batuan atap yang akan diamati pergerakannya.<br />

Pergerakan pada batuan atap memutar pulley<br />

yang terhubung dengan Potensiometer, sehingga<br />

terjadi perubahan tegangan yang dapat terukur.<br />

Perubahan tegangan tersebut dikalibrasikan<br />

dengan perubahan jarak (pergerakan) yang terjadi.<br />

Alat yang dirancang mempunyai prinsip kerja yang<br />

atap hasil pemantauan dalam satuan mm. Selain<br />

itu kalibrasi juga bertujuan untuk melakukan ujicoba<br />

alat dan sistem pemantauan, serta untuk<br />

mengetahui performa sistem dan alat yang telah<br />

dirancang. Dari hasil kalibrasi diperoleh grafik<br />

hubungan antara pergerakan (mm) terhadap<br />

perubahan tegangan (Volt) pada alat pemantauan<br />

LVDT (Gambar 5) sedangkan grafik hubungan<br />

antara pergerakan (mm) terhadap perubahan<br />

tahanan (Ohm) pada alat pemantauan Potensio<br />

dapat dilihat pada (Gambar 6).<br />

Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />

73


LVDT<br />

Pergerakan (mm)<br />

30<br />

27<br />

24<br />

21<br />

18<br />

15<br />

12<br />

9<br />

6<br />

3<br />

0<br />

y = -0.0076x + 24.019<br />

R 2 = 0.9797<br />

-400 -3 0 400 800 1200 1600 2000 2400 2800 3200 3600<br />

Tegangan (Volt)<br />

Gambar 5.<br />

Grafik hasil kalibrasi LVDT<br />

Gambar 6.<br />

Grafik hasil kalibrasi potensio<br />

Tabel 1.<br />

Persamaan regresi linier untuk masing-masing alat<br />

pemantauan keruntuhan atap hasil kalibrasi<br />

No Alat Monitoring Persamaan Regresi Linier R 2<br />

1. LVDT Y = - 0.0076x + 24.019 0.9797<br />

2. Potensiometer 1 Y = 1.102x + 0.406 0.9999<br />

3. Potensiometer 2 Y = 1.101x + 0.437 0.9980<br />

4. Potensiometer 3 Y = 1.100x + 0.064 0.9980<br />

5. Potensiometer 4 Y = 1.103x + 0.073 0.9980<br />

74 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Dari grafik diperoleh persamaan garis linier dan<br />

juga nilai R 2 untuk masing-masing alat<br />

Pemantauan (Tabel 1).<br />

Nilai R 2 hasil kalibrasi masing-masing alat<br />

menunjukkan nilai yang mendekati 1, yaitu 0.9797<br />

untuk LVDT dan 0.9980 sampai dengan 0.9999<br />

untuk Potensiometer. Nilai tersebut menunjukkan<br />

nilai variabel bebas pada persamaan regresi linier<br />

yang diperoleh telah dapat menjelaskan hampir<br />

100% dari nilai hasil pengukuran oleh setiap alat<br />

pemantauan, yang berarti bahwa hasil pembacaan<br />

pada kedua alat tersebut mendekati besarnya<br />

pergerakan yang mungkin terjadi.<br />

Setelah semua alat pemantauan terpasang dengan<br />

baik, alat dihubungkan dengan sistem yang telah<br />

dirancang sebelumnya. Sistem pemantauan terdiri<br />

dari datalogger sebagai pembaca dan penyimpan<br />

data, setiap data yang direkam disimpan pada<br />

memori yang terdapat pada datalogger. Semua<br />

perangkat tersebut ditempatkan dalam pannel box<br />

yang tertutup dan aman. Pannel box ditempatkan<br />

dekat dengan lokasi penempatan alat pemantauan<br />

(Gambar 8 (b)).<br />

Ujicoba Sistem dan Alat Pemantauan<br />

Keruntuhan Atap<br />

Selain kalibrasi, ujicoba sistem dan alat<br />

pemantauan juga dilakukan pada tambang bawah<br />

tanah yang merupakan kegiatan penerapan dan<br />

running test di lapangan. Untuk mengetahui<br />

performa dari peralatan dan sistem yang telah di<br />

rancang, ujicoba dilakukan pada salah satu<br />

tambang bawah tanah yang ada di Sumatera Barat.<br />

Masing-masing alat pemantauan ditempatkan pada<br />

lokasi yang berbeda. Alat pemantauan LVDT<br />

ditempatkan tepat dibawah permukaan batuan<br />

atap (Gambar 7 (a)), sedangkan alat pemantauan<br />

Potensio ditanamkan pada batuan atap. Untuk<br />

pemasangan alat pemantauan Potensio, terlebih<br />

dahulu dibuat lubang bor dengan kedalaman yang<br />

sesuai dengan kedalaman lapisan batuan atap yang<br />

akan diukur pergerakannya (Gambar 7(b)).<br />

(a)<br />

Gambar 7.<br />

(b)<br />

Penempatan alat pemantauan<br />

keruntuhan atap<br />

(a). LVDT (b) Potensio<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 8.<br />

(a) Pemasangan alat pemantauan (b) Komponen peralatan dalam pannel box<br />

Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />

75


Evaluasi Hasil Ujicoba<br />

Running test alat di tambang bawah tanah<br />

dilakukan secara terus menerus selama 18 hari<br />

dengan proses perekaman data setiap 110 detik<br />

yang disesuaikan dengan kapasitas memori dari<br />

datalogger. Data yang terekam di konversikan<br />

dengan mengunakan rumus regresi linier dari<br />

masing-masing alat pemantauan, kemudian dibuat<br />

grafik pergerakan batuan (mm) terhadap waktu.<br />

Grafik hasil pemantauan dapat dilihat pada<br />

Gambar 9 dan Gambar 10.<br />

LVDT<br />

Pergerakan, 0.001 mm<br />

0.2<br />

0<br />

0<br />

-0.2<br />

200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000<br />

-0.4<br />

-0.6<br />

-0.8<br />

-1<br />

-1.2<br />

-1.4<br />

-1.6<br />

Waktu, detik<br />

LVDT 1<br />

LVDT 2<br />

Gambar 9.<br />

Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan LVDT<br />

Gambar 10. Hasil pemantauan keruntuhan atap menggunakan potensio<br />

76 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Semua alat pemantauan telah diujicoba dan dapat<br />

bekerja dengan baik. Semua alat tersebut<br />

terhubung dalam satu sistem sebagai sistem<br />

pemantauan terpusat. Alat pemantauan dioperasikan<br />

dari satu tempat begitu pula data yang diperoleh<br />

dari setiap alat pemantauan dapat terbaca dan<br />

tersimpan dalam satu tempat sebagai sentral.<br />

Dari grafik pergerakan batuan pada setiap alat<br />

pemantauan, dapat dilihat bahwa kurva yang<br />

diperoleh bergerigi, terutama pada kurva hasil<br />

monitoring dengan menggunakan Potensiometer.<br />

Hal tersebut disebabkan oleh adanya gangguan<br />

(noise) yang dapat dipengaruhi oleh kondisi sekitar<br />

dan sensitifitas dari alat pemantauan. Setiap alat<br />

yang diujicoba dapat mendeteksi adanya<br />

pergerakan lapisan batuan atap pada tempat<br />

diterapkannya alat. Hal tersebut juga menunjukkan<br />

sistem yang diterapkan terbukti dapat digunakan<br />

sebagai sistem pemantauan keruntuhan batuan<br />

atap secara terpusat, pemantauan dapat dilakukan<br />

pada beberapa tempat dengan berbagai macam<br />

alat pemantauan dalam satu sistem.<br />

4. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

4.1. Kesimpulan<br />

• Teknologi pemantauan keruntuhan atap batuan<br />

pada tambang bawah tanah dengan menggunakan<br />

LVDT Tranduser dan Potensiometer<br />

dapat digunakan untuk mendeteksi pergerakan<br />

yang terjadi pada atap terowongan sebagai<br />

peralatan pemantauan keruntuhan atap batuan<br />

(roof failure) tambang bawah tanah.<br />

• Sistem yang dirancang merupakan sistem<br />

pemantauan terpusat, semua alat pemantauan<br />

dioperasikan dari satu tempat begitu pula data<br />

yang diperoleh dari setiap alat dapat terbaca<br />

dan tersimpan dalam satu tempat sebagai<br />

sentral.<br />

• Secara umum kajian yang telah dilakukan<br />

menujukkan nilai yang signifikan. Dengan kata<br />

lain alat yang telah diujicoba layak dimanfaatkan<br />

untuk memantau pergerakan batuan atap<br />

pada tambang bawah tanah.<br />

4.2. Saran<br />

• Perlu dilakukan pengembangan terhadap casing<br />

dari alat yang digunakan, sehingga aman<br />

untuk digunakan di tambang bawah tanah.<br />

• Diperlukan kajian lebih lanjut sehingga<br />

diperoleh sistem monitoring yang dapat<br />

digunakan sebagai sistem peringatan dini dan<br />

data pergerakan secara real time.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

http://www.msha.gov/stats/charts/<br />

chartshome.htm, 2008.<br />

Anonym, 2001-2004. dataTaker DT800 User’s<br />

Manual, UM-0068-A2, Datataker Pty Ltd, Australia.<br />

Cheekiralla, S., 2004. Development of Wireless<br />

Sensor Unit for Tunnel Monitoring, Massachusetts<br />

Institute of Technology, web.mit.edu/<br />

sivaram/www/Sivaram-MS-thesis.pdf.<br />

Mark C., Iannacchione A.T., 2001. Best Practice<br />

to Mitigate,Injuries and Fatalities from Rock<br />

Falls, Paper in the Proceedings of the 20 th<br />

International Conference on Ground Control<br />

in Mining 2001, NIOSH, Pittsburgh, PA,<br />

www.cdc.gov/niosh/mining/pubs/pdfs/<br />

bptmi.pdf.<br />

Pengembangan Sistem dan Alat Pemantau Sederhana untuk Mendeteksi ... Zulfahmi, dkk.<br />

77


PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI BATUBARA<br />

PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI GULA<br />

Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jalan Jenderal Sudirman No.623 Bandung 40211<br />

Tlp. 022-6030483, Faks. 022-6003373<br />

e-mail : ika@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Karbon aktif pada industri gula umumnya digunakan sebagai bahan pemudar warna. Namun sebenarnya<br />

karbon aktif juga dapat digunakan dalam proses pengolahan limbah cair yang dikeluarkan dari pabrik<br />

gula dan laboratorium analisis kimia di pabrik gula. Selama ini, karbon aktif yang digunakan dalam<br />

proses tersebut adalah karbon aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Namun pada dasarnya,<br />

mengingat sifat karbon aktif batubara yang menyerupai sifat karbon aktif tempurung kelapa, maka<br />

karbon aktif dari batubara juga dapat digunakan. dalam pengolahan limbah cair dari pabrik gula. Limbah<br />

cair yang dihasilkan dari pabrik gula memiliki kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) yang<br />

cukup tinggi. Untuk menurunkan kandungan COD dalam limbah tersebut, telah dicoba dengan<br />

menggunakan karbon aktif yang dibuat dari batubara. Percobaan dilakukan dengan variabel jumlah<br />

karbon aktif dan waktu proses. Karbon aktif yang digunakan dibuat dari batubara Air Laya Sumatera<br />

Selatan yang berukuran 12 mm dengan bilangan yodium berkisar antara 600 dan 700 mg/g. Variabel<br />

jumlah karbon aktif yang digunakan adalah 2,5, 5,0, 7,5 dan 10,0 gram, sedangkan waktu proses<br />

adalah 30, 60, dan 90 menit. Hasil percobaan menunjukkan, dengan jumlah karbon aktif 2,5 gram dan<br />

waktu proses selama 90 menit, konsentrasi COD yang semula sebesar 2355 mg/l turun menjadi 609<br />

mg/l. Dengan tingkat penurunan sebesar 74%, konsentrasi COD tersebut belum memenuhi persyaratan<br />

kualitas limbah cair yang memiliki ambang batas maksimal 300 mg/l.<br />

Kata kunci : karbon aktif, adsorpsi, pengolahan limbah, COD<br />

ABSTRACT<br />

Commonly, activated carbon is used as fader in sugar industries. However, it can be used as absorber<br />

of waste sugar industry. Nowadays, activated carbon used in waste processing is made from<br />

coconut shell. Liquid waste produced from sugar industry consists of many Chemical Oxygen Demand<br />

(COD). In order to decrease COD, it has been tried to use activated carbon from coal as absorber.<br />

The research is carried out using the variables of activated carbon weight and the length of process<br />

time. Coal from Air Laya, South Sumatra which is 12 mm in particle size was used as raw material of<br />

activated carbon. The iodine number of activated carbon is in the range of 600 to 700 mg/g. The<br />

variables of weights activated carbon are 2.5; 5.0; 7.5 and 10.0, with the 30, 60 and 90 minutes. The<br />

result showed that the concentration COD was decrease 74% at time condition 90 minutes and 2.5<br />

gram of activated carbon.<br />

Keywords : activated carbon, adsorption, waste processing<br />

78 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


1. PENDAHULUAN<br />

Seiring dengan perkembangan dan permasalahan<br />

lingkungan, berbagai teknologi pengolahan limbah<br />

baik limbah cair, padat dan gas terus dikembangkan.<br />

Saat ini teknologi yang kian berkembang pesat<br />

adalah pengolahan air, baik air baku maupun air<br />

limbah. Terdapat dua cara utama pengolahan yaitu<br />

secara kimia dan fisik. Pengolahan air secara<br />

kimia, dilakukan dengan menambahkan bahanbahan<br />

kimia tertentu antara lain menggunakan<br />

PAC (Poly Alumunium Chloride), tawas, kapur<br />

ataupun bahan-bahan kimia lainnya, yang dapat<br />

berfungsi sebagai koagulan, penetralisir ataupun<br />

sebagai desinfektan. Pengolahan air secara fisik<br />

bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan<br />

kotoran-kotoran yang kasar, pemisahan lumpur<br />

dan pasir serta mengurangi zat-zat organik dalam<br />

air yang akan diolah. Salah satu bahan yang<br />

digunakan dalam proses pengolahan air adalah<br />

karbon aktif. Karbon aktif umumnya digunakan<br />

selain sebagai penjernih, juga sebagai bahan untuk<br />

pemurnian, penghilang bau, warna dan rasa. Di<br />

Indonesia, karbon aktif yang digunakan pada<br />

pengolahan air umumnya karbon aktif yang dibuat<br />

dari tempurung kelapa. Namun sebenarnya karbon<br />

aktif dari batubara juga dapat digunakan dalam<br />

proses tersebut.<br />

Di Indonesia, fenomena pemanfaatan karbon aktif<br />

dari batubara masih menjadi sesuatu yang tidak<br />

lazim, meskipun di negara lain seperti di China jenis<br />

karbon aktif ini sudah banyak digunakan oleh<br />

masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut,<br />

dilakukan penelitian pemanfaatan karbon aktif dari<br />

batubara. Salah satu yang menjadi objek penelitian<br />

adalah penurunan kadar COD (Chemical Oxygen<br />

Demand) dalam limbah cair yang dihasilkan dari<br />

salah satu pabrik gula yang ada di wilayah provinsi<br />

Banten. Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan<br />

kualitas air yang dikeluarkan dari limbah<br />

pabrik gula dan mengurangi ketergantungan karbon<br />

aktif yang dibuat dari tempurung kelapa. Hasil<br />

penelitian merupakan acuan untuk pemanfaatan<br />

karbon aktif batubara pada industri gula.<br />

2. TINJAUAN PUSTAKA<br />

COD adalah jumlah oksigen (mg O 2 ) yang<br />

dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik<br />

dan anorganik yang ada dalam 1 liter air (Nazir,<br />

2000). COD merupakan salah satu parameter<br />

indikator pencemar di dalam air, yang disebabkan<br />

oleh limbah organik. Dalam proses pembuatan<br />

gula, bahan baku tebu merupakan bahan yang<br />

terdiri atas komposisi kimia organik. Limbah yang<br />

dihasilkan adalah limbah cair yang berasal dari<br />

proses pengolahan gula dan laboratorium pabrik<br />

(Santoso, 2008). Dampak konsentrasi COD tinggi<br />

menyebabkan kandungan oksigen yang terlarut<br />

di dalam air menjadi rendah, bahkan habis sama<br />

sekali. Akibatnya oksigen yang menjadi sumber<br />

kehidupan mahluk air (hewan dan tumbuhan) tidak<br />

dapat terpenuhi, sehingga mahluk air menjadi mati.<br />

Limbah cair yang dikeluarkan Instalasi Penjernihan<br />

Air (IPA) di daerah Karangpilang, mempunyai<br />

konsentrasi COD 1000 mg/gr dapat meningkatkan<br />

jumlah bakteri E-coli empat kali lipat (PERSI,<br />

2001). Hal ini menimbulkan berbagai penyakit bagi<br />

kehidupan manusia.<br />

2.1. Teknologi Pengolahan Air<br />

Salah satu cara pengolahan air yang saat ini<br />

sedang berkembang adalah melalui mekanisme<br />

adsorpsi. Adsorpsi adalah suatu proses<br />

pengumpulan zat terlarut pada suatu permukaan<br />

media akibat adanya perbedaan muatan diantara<br />

kedua zat, baik cairan dengan cairan, cairan<br />

dengan gas, atau cairan dengan padatan, dalam<br />

waktu tertentu (Cahyana, <strong>2009</strong>). Proses adsorpsi<br />

terbagi dalam tiga jenis. Pertama, adsorpsi kimia<br />

yaitu terjadi karena ikatan kimia antara molekul<br />

zat terlarut (adsorbat) dengan molekul adsorban.<br />

Adsorpsi jenis ini eksoterm (mengeluarkan panas)<br />

dan tidak dapat berbalik kembali (irreversible).<br />

Kedua, adsorpsi fisika, terjadi karena gaya tarik<br />

molekul oleh gaya Van Der Waals dan yang ketiga<br />

pertukaran ion, terjadi karena gaya elektrostatis.<br />

Ketiga mekanisme adsorpsi tersebut terdiri atas<br />

tiga tahap yaitu ; (1) makrotransport ; perpindahan<br />

zat pencemar (adsorbat) di dalam air menuju<br />

permukaan adsorban, (2) mikrotransport; perpindahan<br />

adsorbat menuju pori-pori di dalam adsorban,<br />

(3) sorpsi ; pelekatan zat adsorbat ke dinding poripori<br />

atau jaringan pembuluh kapiler mikroskopis.<br />

2.2. Karbon Aktif dari Batubara<br />

Salah satu adsorban yang biasa digunakan dalam<br />

pengolahan air (termasuk limbah) adalah karbon<br />

aktif. Karbon aktif dengan luas permukaan yang<br />

semakin luas menunjukkan semakin tinggi daya<br />

adsorpsinya. Proses untuk memperoleh daya<br />

adsorpsi tinggi dilakukan melalui proses aktivasi<br />

terhadap arang. Umumnya proses aktivasi<br />

dilakukan dengan menggunakan uap air, karena<br />

selain murah juga relatif mudah. Proses aktivasi<br />

akan memperbesar luas permukaan dan volume<br />

Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum<br />

79


pori-pori bagian dalam karbon aktif. Karbon aktif<br />

dari tempurung kelapa umumnya memiliki luas<br />

permukaan seluas 500-1500 m 2 /gr, sehingga<br />

efektif menyerap partikel-partikel yang sangat<br />

halus (O-Fish, 2007).<br />

Luas permukaan karbon aktif dari batubara dapat<br />

mencapai 500-1400 m 2 /gr. Penentuan luas<br />

permukaan menggunakan metode BET (Brunauer-<br />

Emmnett-Teller). Teknik ini meliputi pengukuran<br />

volume gas nitrogen yang terserap. Dengan<br />

perhitungan persamaan BET, struktur dan<br />

distribusi pori-pori karbon aktif dapat diketahui.<br />

Struktur dan distribusi pori-pori merupakan faktor<br />

utama dalam menentukan daya serap karbon aktif<br />

dibandingkan dengan luas permukaan (Harald,<br />

1975). Struktur pori dari suatu adsorban<br />

diklasifikasikan menjadi transportpori yang<br />

memiliki diameter sekitar 500 A°, mesopori dengan<br />

diameter antara 20 dan 500 A°, mikropori dengan<br />

diameter antara 8 dan 20 A°, dan pori-pori dengan<br />

diameter kurang dari 8 A° yang disebut<br />

submikropori (Pruss, 1972). Struktur, distribusi<br />

dan ukuran pori-pori karbon aktif menjadi faktor<br />

yang menentukan kemampuan adsorban dalam<br />

mengadsorpsi berbagai jenis adsobat. Sedangkan,<br />

efektifitas adsorpsi sangat tergantung pada jenis<br />

bahan baku adsorban, jenis zat adsorbat dan<br />

temperatur pada saat proses berlangsung.<br />

Bentuk karbon aktif dapat diklasifikasikan menjadi<br />

dua golongan yaitu bentuk granular dan powder<br />

(Activated Carbon, 2007). Kedua bentuk ini dapat<br />

digunakan dalam proses pemurnian, pengolahan<br />

dan penjernihan air. Karbon aktif granular memiliki<br />

persentase makropori dan transportpori yang lebih<br />

besar sehingga memungkinkan molekul-molekul<br />

besar terserap. Karbon aktif granular dibuat dalam<br />

ukuran yang berbeda tergantung pada aplikasinya.<br />

Karbon aktif granular biasa digunakan untuk<br />

menghilangkan senyawa organik yang menimbulkan<br />

bau, rasa, atau warna yang tidak diinginkan pada<br />

fasa cair. Sedangkan penggunaan karbon aktif<br />

powder pada fasa cair harus selalu diaduk agar<br />

homogenitas tetap terjaga dan tidak terjadi<br />

sedimentasi suspensi, atau bisa juga dilakukan<br />

dengan penyaringan. Karbon aktif bentuk powder<br />

lebih tepat digunakan untuk fasa gas karena<br />

memiliki mikropori yang lebih besar sehingga<br />

mampu menyerap molekul-molekul kecil.<br />

3. METODOLOGI<br />

Alat<br />

• Peralatan laboratorium seperti ; gelas piala,<br />

corong, pengaduk gelas, botol plastik, dan<br />

timbangan analitik<br />

Bahan<br />

• Conto limbah gula (cair)<br />

• Karbon aktif berukuran 12 mesh dengan<br />

bilangan yodium berkisar antara 600 dan 700<br />

mg/gr<br />

Cara kerja<br />

Karbon aktif berukuran 12 mm ditimbang masingmasing<br />

2,5, 5,0, 7,5 dan 10 gram. Selanjutnya,<br />

karbon aktif ditambahkan ke dalam 200 ml conto<br />

limbah, Campuran tersebut kemudian diaduk<br />

setiap 10 menit selama masing-masing 30, 60 dan<br />

90 menit. Setelah selesai proses pencampuran,<br />

kemudian dilakukan penyaringan, filtrat ditampung<br />

di dalam botol untuk selanjutnya dilakukan<br />

analsisis COD. Metoda analisis COD mengacu<br />

pada SNI 06-6989.15-2004.<br />

4. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil percobaan pengolahan limbah cair yang dikeluarkan<br />

dari pabrik gula tercantum pada Tabel 1.<br />

Tabel 1.<br />

Hasil analisis COD limbah cair pabrik gula<br />

Konsentrasi COD<br />

sebelum proses (mg/l)<br />

Konsentrasi COD<br />

setelah proses (mg/l)<br />

Waktu proses<br />

(menit)<br />

2355<br />

Berat karbon aktif<br />

2,5 gr 5,0 gr 7,5 gr 10,0 gr<br />

30 667 715 925 949<br />

60 661 799 719 823<br />

90 609 975 888 766<br />

80 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Konsentrasi COD di dalam limbah gula semula<br />

sebesar 2355 mg/gr. Setelah ditambah karbon<br />

aktif, nilai COD menjadi turun. Konsentrasi COD<br />

yang terendah adalah 609 mg/gr, diperoleh dengan<br />

penambahan berat karbon aktif 2,5 gram selama<br />

90 menit. Bila dihitung berdasarkan persentase<br />

penurunan tingkat adsorpsi, dapat digambarkan<br />

seperti pada Gambar 1.<br />

1.000 mg/gr. Teknik pengolahan adalah dengan<br />

cara mengalirkan debit limbah melalui suatu kolom<br />

yang berisi karbon aktif. Waktu kontak relatif cepat,<br />

namun karena kualitas karbon aktif tinggi, maka<br />

penurunan COD sangat signifikan. Selain kualitas<br />

karbon aktif, faktor yang mempengaruhi efektifitas<br />

adsorpsi adalah jenis bahan baku karbon aktif,<br />

jenis adsorbat dan cara pengolahan. Faktor-faktor<br />

ini dapat mempengaruhi persentase penurunan<br />

adsorpsi karbon aktif..<br />

5. KESIMPULAN<br />

Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh<br />

kesimpulan sebagai berikut:<br />

• Karbon aktif yang berukuran 12 mm dengan<br />

bilangan yodium antara 600 dan 700 mg/gr<br />

dapat menurunkan konsentrasi COD limbah<br />

gula dari 2355 mg/gr menjadi 609 mg/gr. Hasil<br />

tersebut diperoleh dengan penambahan karbon<br />

aktif sebesar 2,5 gram selama 90 menit.<br />

Gambar 1.<br />

Persentase penurunan adsorpsi<br />

Dari Gambar 1 terlihat bahwa persentase<br />

penurunan adsorpsi terendah terjadi pada<br />

penambahan karbon aktif sebesar 5,0 gram<br />

selama 90 menit, dengan tingkat penurunan<br />

mencapai 59%. Begitu pula dengan penambahan<br />

karbon aktif 10 gram, tingkat penurunan mencapai<br />

60% selama 30 menit. Persentase penurunan<br />

adsorpsi terbesar, diperoleh dengan penambahan<br />

karbon aktif 2,5 gram selama waktu 30, 60 dan 90<br />

menit. Penambahan berat karbon aktif lebih besar<br />

dari 2,5 gram, tingkat penurunan adsorpsi relatif<br />

rendah. Berdasarkan data pada Tabel 1, semakin<br />

besar jumlah karbon aktif yang ditambahkan, tidak<br />

menunjukkan semakin turunnya konsentrasi COD.<br />

Tetapi, dengan jumlah karbon aktif rendah,<br />

menunjukkan penurunan konsentrasi COD yang<br />

relatif stabil.<br />

Mengacu pada baku mutu limbah cair yang<br />

mempunyai nilai ambang batas COD 300 mg/gr,<br />

konsentrasi COD sebesar 609 mg/l belum<br />

memenuhi persyaratan mutu limbah cair. Salah<br />

satu faktor yang menyebabkan rendahnya<br />

efektifitas adsorpsi adalah kualitas karbon aktif.<br />

Pada pengolahan limbah cair di salah satu pabrik<br />

gula, karbon aktif yang digunakan terbuat dari<br />

tempurung kelapa mempunyai bilangan yodium<br />

• Konsentrasi COD 609 mg/gr belum memenuhi<br />

persyaratan kualitas limbah cair yang<br />

mempunyai nilai ambang batas 300 mg/gr.<br />

6. SARAN<br />

Untuk memperoleh hasil yang maksimal, perlu<br />

meningkatkan kualitas karbon aktif dari bilangan<br />

yodium 600 dan 700 mg/gr menjadi 1000 mg/gr.<br />

Selain itu, perlu pengaturan ukuran butir dan cara<br />

pengolahan limbah sehingga diperoleh hasil yang<br />

memenuhi standar kualitas limbah cair.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Cahyana, Gede, H., <strong>2009</strong>, http://<br />

Gedehace.blogspot.com/<strong>2009</strong>/03/adsorpsikarbon-aktif.html,<br />

Majalah Air Minum,<br />

Februari <strong>2009</strong><br />

Harald, 1975, Conversion of Coal and Gas Produced<br />

from Coal Into Fuels, Chemicals, and<br />

Other Products, Chapter 30, 30.4.6.3.<br />

Nazir, Ernawita, 2000. Teknik Sampling dan<br />

Analisis Air Permukaan.<br />

O-Fish, 2007, Filter Kimia, Media Informasi Ikan<br />

Hias dan Tanaman, http://o-fish.com.<br />

Pemanfaatan Karbon Aktif dari Batubara pada Pengolahan ... Ika Monika dan Nining Sudini Ningrum<br />

81


PERSI, 2001, Pusat Data dan Informasi, http://<br />

www.pdpersi.co.id, Rabu 22 Agustus<br />

Pruss, W., 1972, Determination of Pore Size and<br />

Pore Distribution in Coal and Coke,<br />

Brennestoff-Chemical, 42, 157-160<br />

Santoso, Eddy, B., <strong>2009</strong>, Limbah Pabrik Gula:<br />

Penanganan, Pencegahan Dan<br />

Pemanfaatannya, Penelitian Perkebunan Gula<br />

Indonesia, Pasuruan, Indonesia<br />

82 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


KEMUNGKINAN PEMANFAATAN BAKTERISIDA<br />

FENOL UNTUK PENCEGAHAN AIR ASAM TAMBANG<br />

Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : sruntung@tekmira.esdm.go.id, rosniasruntung@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Peningkatan pertambangan batubara, bijih emas dan tembaga seperti di Kalimantan, Sumatera dan<br />

Papua menyebabkan munculnya fenomena air asam tambang (AAT). AAT dapat terjadi apabila mineral<br />

sulfida seperti pirit terpapar ke udara dan bereaksi dengan udara dan air membentuk asam sulfat.<br />

Kehadiran jasad renik Thiobacillus ferroksidans juga dapat mempercepat terjadinya AAT. Asam sulfat<br />

ini akan melarutkan logam sehingga dapat mencemari badan perairan sekitarnya. Secara umum,<br />

pengelolaan lingkungan yang umum diterapkan untuk penanggulangan AAT antara lain adalah<br />

netralisasi,pembentukan lahan basah dan pengkapsulan. Proses netralisasi dapat membentuk logam<br />

hidroksida yang dapat mengendap berupa lumpur sehingga diperlukan penanganan lebih lanjut. Salah<br />

satu cara yang cukup efektif untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan pencegahan dan<br />

pengontrolan pembentukkan AAT dengan mengurangi aktivitas bakteri.<br />

Sehubungan dengan hal tersebut telah dilakukan penelitian penggunaan bakterisida untuk menanganani<br />

AAT. Bakterisida yang digunakan adalah fenol dengan dosis 5 mg/g dan sebagai pembanding digunakan<br />

gamping dengan dosis 10 mg/g. Pada penelitian ini digunakan 2 jenis batuan penutup yang berwarna<br />

abu-abu dan coklat berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan.<br />

Kedua jenis batuan tersebut dipreparasi menjadi ukuran 100 mesh, -10+35 mm dan -1+ 1 / 2 cm.<br />

Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 faktor, yaitu jenis batuan,<br />

ukuran dan jenis bakterisida selama 12 minggu. Hasil percobaan menunjukkan, penambahan fenol<br />

dan gamping (CaCO 3) dapat meningkatkan pH lindian berturut-turut menjadi 6,1 dan 10,6. Fenol mampu<br />

mereduksi asam 6,67% -51,67% dan kemampuan kapur mereduksi asam mencapai 48-15,% - 73,15%.<br />

Dari hasil tersebut, terlihat kemampuan fenol dalam mereduksi asam dari batuan penutup lebih kecil<br />

dari gamping.<br />

Kata kunci: lingkungan tambang, air asam tambang, polusi, lindian, bakterisida, fenol, netralisasi,<br />

pengaruh bakteri<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.<br />

83


ABSTRACT<br />

The increases of coal, gold and copper ore from mine activities in Kalimantan, Sumatera and Papua<br />

lead to the occurrence of acid mine drainage (AMD). Acid mine drainage can occur if sulphide mineral<br />

such pyrite was exposed to the air and it will react with oxygen water to form sulphuric acid. The<br />

presence of Thiobacillus ferroksidans can also accelerate the formation of AMD. The acid can dissolve<br />

metals and pollute the water body surrounding the area. Generally, environmental management<br />

such as neutralization, in capsulation and wetland are common to handle the AMD in Indonesia.<br />

Neutralization process can form metal hydroxide and it will precipitate as sludge which need to be<br />

optimally managed.<br />

Regarding to the problem, a laboratory research on the use of bactericide to handle the AMD was<br />

carried out. Phenol as bactericide with dose 50mg/g was used while limestone with dose 100mg/g also<br />

used as a comparison. Two types of overburden which colour were gray and chocolate from KUD<br />

Tambang Harapan, Kedongdong Subdistric, South Lampung were used in this experiment. The overburden<br />

was prepared to be 100 mesh, -10+35 mm dan -1+ 1 / 2 cm. Design of Group Random was used<br />

with 3 factors, namely type of overburden, size and bactericide. The result showed that the phenol and<br />

lime stone can increase the pH of leached respectively 6,1 and 10,6. Phenol and limestone respectively<br />

could reduce acid 6,67% -51,67% and limestone 48-15,% - 73,15%. Based on the result, the<br />

capacity of phenol to reduce acidity of overburden is much less than limestone.<br />

Keywords : mine environment , acid mine drainage, pollution, leached, bactericide, phenol, limestone,<br />

neutralization, microbial influence<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Pembentukkan air asam tambang (AAT)<br />

merupakan masalah utama dalam pertambangan<br />

batubara dan mineral. AAT dapat terbentuk apabila<br />

ada mineral pirit yang terpapar sehingga teroksidasi<br />

dan selanjutnya air membentuk asam sulat yang<br />

dapat menurunkan pH air dan melarutkan logam.<br />

Hal ini berdampak terhadap penurunan kualitas<br />

badan perairan karena sungai terkontaminasi oleh<br />

keasaman dan logam-logam terlarut dan juga<br />

menyebabkan reklamasi daerah tambang menjadi<br />

lebih mahal. Oleh karena itu kehadiran AAT di<br />

lingkungan sangat tidak diharapkan.<br />

Beberapa perusahaan pertambangan mineral<br />

seperti PT. Kelian Equatorial Mining, PT. Freeport<br />

Indonesia dan PT. Newmont Minahasa mengalami<br />

masalah AAT ini. Hal yang sama juga dialami oleh<br />

perusahaan pertambangan batubara di Kalimantan<br />

Timur seperti PT. Berau Coal dan PT. Kaltim Prima<br />

Coal. Pada umumnya perusahan-perusahan<br />

tersebut telah menangani masalah tersebut<br />

dengan berbagai cara antara lain netralisasi<br />

dengan CaCO 3 (kapur), kapur padam (Ca(OH) 2 ) dan<br />

kapur tohor (CaO), penutupan dengan air, pengkapsulan/penghalang<br />

fisik dan pemanfaatan rawa/<br />

rawa buatan (wetland). Biaya penanggulangan AAT<br />

pada umumnya mahal, namun apabila pembentukkan<br />

asam dapat dicegah akan sangat menguntungkan<br />

karena dapat menghemat biaya pengelolaan.<br />

Salah satu pencegahan yang dapat diterapkan<br />

adalah penggunaan fenol. Fenol atau asam<br />

karbolik dengan rumus kimia C 5 H 6 OH adalah<br />

bakterisida. Fenol, salah satu baktersida umum<br />

digunakan di rumah sakit sebagai antiseptik. Fenol<br />

ini ini dapat menghambat pertumbuhan jasad renik<br />

sampai mematikannya. Sehubungan dengan hal<br />

tersebut, Puslitbang Teknologi Mineral dan<br />

Batubara telah mengadakan penelitian laboratorium<br />

pencegahan AAT dengan menggunakan fenol dan<br />

gamping (CaCO 3 ). Dalam penelitian, contoh<br />

batuan yang digunakan adalah batuan penutup,<br />

berasal dari KUD Tambang Harapan, Kecamatan<br />

Kedongdong, Kabupaten Lampung Selatan. Fenol<br />

dibeli dari toko kimia dan gamping diperoleh dari<br />

tambang rakyat di daerah Citatah.<br />

2. BAHAN DAN METODE<br />

2.1. Bahan dan Peralatan<br />

Contoh dalam penelitian ini adalah batuan penutup,<br />

berasal dari KUD Tambang Emas Harapan,<br />

Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung<br />

Selatan. Berdasarkan warnanya, batuan penutup<br />

dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu berwarna<br />

abu ( BP abu) dan coklat (BP coklat). Kedua contoh<br />

84 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


atuan penutup tersebut dipreparasi menjadi<br />

beberapa ukuran, yaitu 100 #, (-10 + 35 mm) dan<br />

(-1 + ½ cm).<br />

Kolom yang digunakan dalam pelindian adalah<br />

botol plastik + 250 ml. Bagian bawah botol tersebut<br />

diberi lubang kapiler untuk mengeluarkan air<br />

pelindian.<br />

Bakterisida yang digunakan adalah fenol yang<br />

dibeli dari toko bahan kimia dan sebagai<br />

pembanding adalah kapur gamping (CaCO 3) yang<br />

berasal dari tambang rakyat Desa Citatah. Air<br />

suling berfungsi sebagai media pelindi.<br />

2.1.2 Peralatan<br />

Kolom pelindian adalah botol plastik + 250 ml yang<br />

bagian bawahnya diberi lubang kapiler untuk<br />

mengeluarkan lindian. Lindiannya ditampung dalam<br />

gelas plastik Setiap kolom pelindian diisi dengan<br />

contoh batuan yang disusun secara berlapis dengan<br />

fenol dan gamping. Untuk menjaga kelembaban,<br />

botol-botol tersebut disimpan dalam akuarium<br />

tertutup dan dijaga kelembapannya sekitar 90%.<br />

Peralatan lain yang digunakan adalah pH meter<br />

dan alat gelas.<br />

2.2. Metode<br />

Uji karakterisasi contoh batuan dilakukan untuk<br />

mengetahui kandungan logamnya (Cu, Fe, Zn, Pb,<br />

Mg, Mn dan Ca) dalam bentuk oksida dan S<br />

(belerang) terhadap kedua jenis batuan, yaitu:<br />

batuan penutup berwarna abu (BP abu) dan coklat<br />

(BP coklat).<br />

Selanjutnya, terhadap kedua contoh batuan<br />

tersebut juga dilakukan pengujian air asam<br />

tambang dengan metode Sobek (Sobek, 1978).<br />

Seluruh pengujian dilakukan di laboratorium<br />

Lingkungan Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />

Percobaan untuk mengetahui interaksi dari jenis<br />

batuan dan ukurannya, fenol dan kapur yang<br />

diujikan sebagai bahan pencegahan pembentukkan<br />

asam digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)<br />

dengan 3 faktor. Faktor pertama (A) adalah ukuran<br />

batuan dengan taraf, 100 mesh (a 1), -10+35mm<br />

(a 2) dan -1+1/2cm (a 3). Faktor kedua (B) adalah<br />

jenis batuan dengan dua taraf, yaitu BP abu (b 1)<br />

dan BP coklat (b 2). Faktor ketiga (c) adalah jenis<br />

bahan kimia dengan dua taraf, yaitu kontrol (c 0),<br />

fenol (c 1) dan gamping (c 2). Dari faktor perlakuan<br />

tersebut diperoleh 24 kombinasi perlakuan dan<br />

setiap kombinasi perlakuan diulang dua kali.<br />

Analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda<br />

Duncan pada taraf nyata 5% jika terdapat<br />

perbedaan antar perlakuan.<br />

Ke dalam setiap kolom pelindian dimasukkan<br />

secara berturut-turut 100 gr contoh batuan,<br />

kemudian dimasukkan ke dalam masing masing<br />

kolom secara berlapis fenol dan kapur dengan<br />

dosis masing-masing 5 mg/g dan 10 mg/g kecuali<br />

kontrol. Setiap hari masing masing kolom pelindian<br />

ditambahkan 10 ml air suling sebagai media<br />

pelindian. Pengukuran pH lindian dilakukan setiap<br />

minggu. Proses tersebut dilakukan dalam<br />

akuarium tertutup pada suhu kamar selama 12<br />

minggu dengan kelembaban berkisar 90 %.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Analisa kadar logam dari contoh<br />

dengan AAS<br />

Hasil analisa/penentuan kadar logam dan S dalam<br />

contoh BP abu dan BP coklat adalah sebagai<br />

berikut :<br />

Tabel 1.<br />

Hasil analisis kandungan logam dan sulfur dalam contoh batuan<br />

Contoh Batuan Parameter (%)<br />

Cu Fe Zn Pb Mn Mg Ca S<br />

BP coklat 0.01 8.39 0.04 0.06 0.05 0.19 0.12 1,90<br />

BP abu 0.10 31.82 0.03 0.22 0.01 0.04 0.11 2,29<br />

Sumber : Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung<br />

Keterangan :<br />

P. coklat = batuan berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, Lampung Selatan<br />

P. abu = lapisan batu berwarna cokalt dari tambang emas rakyat di Kecamatan Kedongdong, lampung Selatan<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.<br />

85


Hasil analisis menunjukkan, logam yang dominan<br />

dalam kedua jenis batuan penutup tersebut adalah<br />

besi dalam bentuk Fe 2O 3 dengan kisaran antara<br />

8,39 - 31,82%, sedangkan kandungan logam<br />

lainnya rendah. Kedua jenis batuan juga<br />

mengandung sulfur dengan kisaran 1,90% -<br />

2,29%. Mengacu kepada hasil analisis dari Uji<br />

Identifikasi Pembentukan Air Asam Tambang pada<br />

Tabel 2, diduga bahwa kedua jenis batuan tersebut<br />

berpotensi menghasilkan air asam tambang.<br />

bakteri. Buck (2001), menyatakan senyawa fenol<br />

dapat masuk ke dalam sel bakteri dengan cara<br />

merusak dinding selnya dan juga dapat<br />

mengendapkan proteinnya.<br />

Proses penetralan dengan gamping terlihat bahwa<br />

nilai pH lindian tidak ditentukan baik oleh ukuran<br />

contoh maupun oleh perhitungan asam basa. Hal<br />

ini dapat dilihat dari kisaran pHnya, yaitu 10,1 -<br />

10,8 atau rata-rata 10,6. Dari uraian tersebut dapat<br />

Tabel 2. Hasil analisis uji pembentukan air asam tambang<br />

Kode Total<br />

MPA ANC NAPP NAG NAG<br />

pH<br />

kg kg kg 4,5kg 7kg pH 1:2<br />

Sampel Sulfur (%S) H2SO 4/ton H 2SO 4/ton H 2SO 4/ton H 2SO 4/ton H 2SO 4/ton NAG<br />

BP abu 2,29 70,13 0 84,56 104,65 194,39 2,88 2,37<br />

BP coklat 1,90 58,19 0 63,59 52,69 74,09 3,42 3,15<br />

Sumber : Data Primer Hasil Uji Puslitbang tekMira Bandung<br />

Keterangan :<br />

BP abu = batuan penutup berwarna abu<br />

BP coklat = batuan penutup berwarna coklat<br />

Dari Tabel 2, terlihat derajat keasaman pH (1:2)<br />

contoh yang dianalisis berkisar dari 2,37-3,15<br />

berarti bahwa contoh-contoh tersebut bersifat<br />

asam. Kadar belerang (S) total kedua contoh<br />

berkisar dari 1,90% sampai dengan 2,29% dan<br />

nilai tersebut berhubungan langsung dengan nilai<br />

MPA. Hasil perhitungan menunjukkan nilai MPA<br />

kedua contoh berkisar antara 58,19-70,13 kg<br />

H 2SO 4/ton. Kedua contoh batuan menunjukkan<br />

nilai ANC = 0 berarti contoh tersebut tidak mampu<br />

untuk menetralisasi asam. Hal ini mungkin<br />

disebabkan oleh kandungan kalsium (Ca) kecil,<br />

yaitu berkisar 0,11-0,12 %. Kedua contoh nilai<br />

NAPP-nya positif, yaitu 63,59-84,56 kg H 2SO 4/<br />

ton. Hal ini menunjukkan bahwa kedua contoh<br />

tersebut dapat membentuk asam yang reaksi<br />

pembentukannya secara umum sebagai berikut:<br />

MeS 2 +7/2O 2 + H 2O Me 2+ 2SO 4 2- +2H +<br />

<br />

(logam sulfida)<br />

Dalam proses pembentukan AAT tersebut, peran<br />

bakteri adalah mempercepat reaksi.<br />

Dharmawan, P, 1996 mengklasifikasikan batuan<br />

pembentuk asam menjadi 4 jenis seperti tertera<br />

pada Tabel 3. Berdasarkan pengklasifikasian<br />

tersebut, kedua contoh batuan tersebut dapat<br />

digolongkan tipe 4 atau potensi pembentuk asam<br />

kapasitas tinggi sehingga diperlukan penanganan<br />

agar tidak mencemari lingkungan sekitar. Salah<br />

satu penanganan adalah penggunaan fenol yang<br />

merupakan bakterisida dan sebagai pembanding<br />

digunakan gamping (CaCO 3).<br />

Hasil pengukuran pH lindian selama 12 minggu<br />

dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 1.<br />

Dari Tabel 3 dan Gambar 1 terlihat pada bahwa<br />

blanko (kontrol) air lindian bersifat asam pH dengan<br />

berkisar 2,90-5,6 atau rata-rata 3,7. pH tertinggi<br />

5,6 hanya ditemukan pada batuan BP coklat<br />

dengan ukuran 100 mesh. Nilai pH lindian tertinggi<br />

ditunjukkan oleh penambahan gamping, yaitu ratarata<br />

10,6.<br />

Penggunaan fenol dalam percobaan ini ternyata<br />

mampu meningkatkan air lindian 4,5 - 7,2 atau<br />

rata-rata 6,1. Nilai pH lindian tersebut lebih<br />

ditentukan oleh kemampuan contoh dalam<br />

pembentukan asam maksimum dan potensi<br />

batuan dalam menetralkan dan bukan ukuran<br />

contoh. Dengan demikian pH lindian BP abu lebih<br />

rendah (4,5- 6,0) dari BP coklat (5,2-7,2).<br />

Peningkatan pH lindian pada percobaan<br />

penambahan fenol mungkin disebabkan oleh<br />

kemampuan fenol menghambat pertumbuhan<br />

86 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Tabel 3. Penggolongan jenis batuan pembentuk asam<br />

No. Golongan Jenis Batuan Keterangan<br />

1. Tipe 1 Bukan pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih besar atau sama dengan 4<br />

atau nilai NAPP negatif<br />

2. Tipe 2 Potensi pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 ,nilai NAG pada pH<br />

kapasitas rendah 4,5 lebih kecil dari 5 kg H 2SO 4 per ton<br />

NAPP 0 – 10 kg H 2SO 4 per ton<br />

3. Tipe 3 Potensi pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4,nilai NAG pada pH<br />

kapasitas tinggi 4,5 lebih besar atau sama dengan 5 kg H 2SO 4<br />

per ton<br />

NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H 2SO 4<br />

per ton<br />

4. Tipe 4 Pembentuk asam Nilai pH uji NAG lebih kecil dari 4 , pH batuan (1 : 2)<br />

lebih kecil dari 4 nilai NAG pada pH 4,5 lebih besar<br />

atau sama dengan 5 kg H 2SO 4 per ton<br />

NAPP lebih besar atau sama dengan 10 kg H 2SO 4<br />

per ton<br />

Sumber: Dharmawan, Parliyanto , 1996<br />

Tabel 4.<br />

Rata-rata perubahan pH lindian dengan penambahan fenol dan kapur<br />

No Perlakuan pH No Perlakuan pH<br />

1 a 1b 1c 0 2.9 10 a 2b 2c 0 3.6<br />

2 a 1b 1c 1 5.2 11 a 2b 2c 1 7,2<br />

3 a 1b 1c 2 10,8 12 a 2b 2c 2 10,7<br />

4 a 1b 2c 0 5.6 13 a 3b 1c 0 2.9<br />

5 a 1b 2c 1 7 14 a 3b 1c 1 6<br />

6 a 1b 2c 2 10,8 15 a 3b 1c 2 10,6<br />

7 a 2b 1c 0 4.2 16 a 3b 2c 0 3.4<br />

8 a 2b 1c 1 4,5 17 a 3b 2c 1 6.9<br />

9 a 2b 1c 2 10,1 18 a 3b 2c 2 10,8<br />

Keterangan:<br />

C 0=control; C 1 = fenol; C 2 = gamping<br />

b = jenis batu; b 1 = BP abu; b- 2 = BPcoklat<br />

a 1, a 2, a 3 = ukuran batu<br />

dilihat bahwa dosis gamping berpengaruh terhadap<br />

pH lindian. Pada penetralan ini terjadi reaksi<br />

sebagai berikut:<br />

CaCO 3 + H 2 SO 4 CaSO 4 + H2CO 3<br />

3 CaCO 3 + Fe 2 (SO 4 ) 3 + 6 H 2 O 2 CaSO 4 +2<br />

Fe(OH) 2 + 3 H 2 CO 3<br />

Kapasitas reduksi asam untuk masing-masing<br />

perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.<br />

Gambar 1.<br />

Perubahan pH lindian dari<br />

batuan dengan penambahan<br />

kapur dan fenol<br />

Tabel 5 menunjukkan nilai pH lindian rata-rata dari<br />

penggunaan fenol berkisar antara 4,5 –7,2 dan<br />

gamping antara 10,1 – 10,8. Nilai pH lindian dari<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.<br />

87


Tabel 5.<br />

Kapasitas reduksi asam dari fenol dan gamping terhadap blanko<br />

Jenis Perlakuan Rata-rata Selisih thd Reduksi asam Kapasitas reduksi<br />

Penanganan pH blanko (%) (per mg)<br />

Blanko a1b1c0 2,9 0 - -<br />

a1b2c0 5,6 0 - -<br />

a2b1c0 4,2 0 - -<br />

a2b2c0 3,6 0 - -<br />

a3b1c0 2,9 0 - -<br />

a3b2c0 3,4 0 - -<br />

a1b1c1 5,2 2.3 44.23 2.3<br />

a1b2c1 7,0 1.4 20.00 1.4<br />

Fenol a2b1c1 7,2 3.6 50.00 3.6<br />

a2b2c1 4,5 0.3 6.67 0.3<br />

a3b1c1 6,9 3.5 50.72 3.5<br />

a3b2c1 6,0 3.1 51.67 3.1<br />

a1b1c2 10,8 7.9 73.15 7.9<br />

a1b2c2 10,8 5.2 48.15 5.2<br />

Gamping a2b1c2 10,7 7.1 66.36 7.1<br />

a2b2c2 10,1 5.9 58.42 5.9<br />

a3b1c2 10,6 7.7 72.64 7.7<br />

a3b2c2 10,8 7.4 68.52 7.4<br />

fenol sudah memenuhi syarat sebagai air limbah<br />

dari kegiatan penambangan bijh emas berdasarkan<br />

Kepmen LH No. 202/2004 (pH 6-9) dan dapat<br />

menetralkan asam berkisar antara 6,67% -51,67%.<br />

Penetralan dengan gamping dapat mereduksi<br />

asam 48-15,% - 73,15%, jadi lebih tinggi dari fenol.<br />

Namun apabila dilihat nilai pH lindian dari<br />

penggunaan gamping telah melampau nilai yang<br />

ditentukan oleh Kepmen tersebut, sehingga perlu<br />

dilakukan penurunan dosis gamping agar hasil<br />

lindian dapat memenuhi syarat. Penurunan dosis<br />

dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan<br />

menurunkan dosis gamping dan menggunakan<br />

asam seperti H 2SO 4 atau HCl sehingga diperoleh<br />

nilai pH air limbah yang sesuai dengan Kepmen<br />

LH No. 202/2004 (pH 6-9). Penurunan dosis<br />

gamping lebih dianjurkan karena dapat<br />

menghindari adanya biaya tambahan pengelolaan<br />

air limbah. Penelitian Siwik (1989) menunjukkan<br />

penambahan Ca(OH) 2 (kapur padam) dengan<br />

dosis 5000 mg/kg selama 50 minggu dapat<br />

mereduksi asam sampai 80%.<br />

Ukuran bijih berpengaruh terhadap nilai pH dan<br />

reduksi asam baik untuk penggunaan fenol<br />

maupun gamping. Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa<br />

ukuran batuan berpengaruh terhadap perlakuan.<br />

Nilai pH dan reduksi asam tertinggi terjadi pada<br />

batuan ukuran -1+1/2cm dan terkecil pada ukuran<br />

batuan 100 mesh baik untuk perlakuan dengan<br />

fenol maupun batuan. Batuan dengan potensi<br />

pembentuk kapasitas asam tinggi (BP abu)<br />

kemampuannya dalam mereduksi asam lebih<br />

rendah dari BP coklat. Hasil lindian (pH) dan<br />

reduksi asam dari BP abu lebih rendah dari BP<br />

coklat untuk semua jenis ukuran batu. Dari hasil<br />

percobaan terlihat kemampuan fenol dalm<br />

mereduksi asam lebih kecil dari gamping.<br />

5. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

5.1. Kesimpulan<br />

Hasil penelitian menujukkan berbagai hal sebagai<br />

berikut:<br />

• Fenol dapat digunakan dalam pencegahan air<br />

asam tambang dan dapat meningkatkan nilai<br />

pH lindian dengan kisaran 4,5 –7,2. Nilai<br />

tersebut memenuhi syarat sebagai air limbah<br />

dari kegiatan penambangan bijh emas<br />

berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004<br />

• Kapasitas reduksi asam untuk fenol dengan<br />

dosis 5 mg/g berkisar antara 6,67% -51,67%.<br />

• Kapasitas reduksi asam untuk gamping<br />

dengan dosis 10 mg/g berkisar 48-15,% -<br />

88 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


73,15%, dan pH berkisar 10,1 – 10,8. Karena<br />

nilai ini sudah melampaui baku mutu air limbah<br />

dari kegiatan penambangan bijh emas<br />

berdasarkan Kepmen LH No. 202/2004<br />

sehingga diperlukan penurunan dosis gamping.<br />

• Ukuran batuan dan jenis batuan berpengaruh<br />

terhadap hasil lindian.<br />

• Kapasitas fenol dalam mereduksi asam lebih<br />

kecil dari gamping.<br />

5.2. Saran<br />

Penelitian perlu dilanjutkan dengan pemberian<br />

bakterisida yang lain seperti surfaktan sehingga<br />

dapat ditentukan bakterisida yang lebih beperan<br />

dalam pencegahan air asam tambang. Untuk melihat<br />

pengaruh ukuran dan jenis batuan terhadap kelarutan<br />

logam-logam maka perlu dilakukan pengukuran<br />

konsentrasi logam-logam yang terekstrasi.<br />

UCAPAN TERIMAKASIH<br />

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak<br />

Sahroji, Kepala KUD Tambang Harapan,<br />

Kecamatan Kedongdong, Kabupaten Lampung<br />

Selatan yang telah mengirim contoh batuan<br />

sehinnga penelitian ini dapat berjalan lancar.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Buck, M. Kirsten, 2001, The effects of Germicides<br />

on Microorganism, http://<br />

www.infectioncontroltoday.com/articles/<br />

191clean.html diakses tanggal 15 Juni <strong>2009</strong><br />

Dharmawan Parliyanto, 1996, Identifikasi Potensi<br />

Air Asam Tambang di Daerah Tambang<br />

Batubara PT. Arutmin Indonesia, Paper<br />

disajikan pada Seminar Air Asam Tambang<br />

di Indonesia, Aula Barat ITB 1-2 Juli 1996<br />

Siwik R, S. Payant and K. Wheeland, 1989, ‘Control<br />

of acid generation from reactive waste rock<br />

with the use of chemicals’, Tailings and Effluent<br />

Management. Chalkey, M. E, et al (eds.),<br />

Pergamon Press, New York.<br />

Sobek, A.A., Schuller, W.A., Freeman, J.R., and<br />

Smith, R.M. 1978. Field and Laboratory Methods<br />

Applicable to Overburdens and Minesoils.<br />

U.S. Environmental Protection Agency, Cincinnati,<br />

Ohio, 45268. EPA-600/2-78-054, 47-<br />

50.<br />

Kemungkinan Pemanfaatan Bakterisida Fenol untuk ... Siti Rafiah Untung dan Nia Rosnia H.<br />

89


PENGARUH TITIK LELEH ABU TERHADAP<br />

PENGENDAPANNYA PADA PEMBAKARAN<br />

BATUBARA DENGAN PEMBAKAR<br />

SIKLON DI BEBERAPA FASILITAS INDUSTRI<br />

Sumaryono<br />

Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (<strong>tekMIRA</strong>)<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung<br />

Telp./Fax : 022 – 6038027, 081321237913<br />

e-mail : soemaryono@tekmira.esdm.go.id<br />

S A R I<br />

Batubara dapat dikatakan sebagai bahan bakar yang kotor karena sulit untuk mendapatkan batubara<br />

yang murni, bersih dari kotoran. Khususnya pengotor-pengotor yang dapat mempengaruhi proses<br />

pembakaran seperti kandungan abu dengan berbagai karakteristiknya yang selain mempengaruhi<br />

proses pembakaran juga dapat mengganggu produk dan fasilitas industri yang dilayani. Untuk<br />

pengoperasian pembakar siklon, kadar abu yang tinggi dengan titik leleh yang bervariasi dapat<br />

mempengaruhi kinerja alat. Berdasarkan titik lelehnya abu dibagi menjadi 3 golongan yaitu golongan<br />

a bertitik leleh tinggi, golongan b bertitik leleh sedang atau mendekati suhu operasional pembakar<br />

siklon 1200°C dan golongan c bertitik leleh rendah, jauh dibawah 1200°C.<br />

Tulisan ini menguraikan proses penanganan abu untuk ketiga jenis abu tersebut, dalam pengoperasian<br />

pembakar siklon untuk ketel uap, pemanas oli dan pengering berputar. Diuraikan juga proses<br />

pengendapan partikel abu dari ketiga jenis abu dalam fasilitas industri tersebut dan lokasi<br />

pengendapannya. Dari pengamatan tersebut, didapat abu golongan a lebih dari 90% tertiup keluar<br />

siklon, abu golongan b lebih dari 50% menempel sebagai kerak di dalam siklon dan abu golongan c<br />

lebih dari 90% meleleh di dalam siklon kemudian mengalir ke dalam kotak abu.<br />

Kata kunci : pembakar siklon, titik leleh abu, pengendapan<br />

ABSTRACT<br />

Coal may be viewed as a dirty fuel, since it is difficult to obtain pure coal, free from impurities.<br />

Particularly the impurities which may affect the combustion process such as the ash content with its<br />

various characteristics, which either affecting the combustion process or may affect the product and<br />

the industrial facilities served. For cyclone combustor operation, high ash content with various melting<br />

points may affect the combustor performance.<br />

Based on its melting point, ash may be divided into three groups, (a) group has high melting point, (b)<br />

group has medium melting point or close to the operational temperature of the cyclone combustor at<br />

1200°C, and (c) group has low melting point, far below 1200°C.<br />

This paper describes the handling process of those ash groups, in the operation of the cyclone<br />

combustor in steam boiler, oil heater and rotary dryer. The deposition processes of the ash particles<br />

in those industrial facilities and their deposition locations are also described. From this observation,<br />

90 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


it was found that (a) group ash, more than 90% was blown out of the cyclone, (b) group ash more than<br />

50% adhered as slag in the cyclone and (c) group ash more than 90% melted in the cyclone and then<br />

flowed into the ash box.<br />

Keywords: cyclone combustor, ash melting point, deposition<br />

1. LATAR BELAKANG<br />

Pembakar siklon dengan bahan bakar batubara<br />

halus berukuran -30 mesh telah digunakan di<br />

industri untuk berbagai jenis fasilitas seperti ketel<br />

uap, pemanas oli, pengering berputar, dll sejak<br />

tahun 2005. Pembakar siklon digunakan untuk<br />

menggantikan pembakar BBM di berbagai fasilitas<br />

industri tersebut (Sumaryono, <strong>2009</strong>). Tetapi sejak<br />

tahun 2008 mulai terjadi kelangkaan batubara<br />

standar karena naiknya harga ekspor batubara<br />

sehingga pasokan batubara standar untuk dalam<br />

negeri terganggu dan di pasaran dalam negeri<br />

hanya tersedia batubara dengan spesifikasi yang<br />

berubah-ubah dalam jumlah-jumlah kecil. Keadaan<br />

ini mengakibatkan operasional pembakar siklon<br />

sering terganggu karena mutu batubara yang<br />

berubah-ubah dan cenderung semakin turun<br />

mutunya.<br />

Parameter titik leleh abu akan dibahas dalam<br />

tulisan ini karena merupakan salah satu faktor yang<br />

berpengaruh dalam operasional pembakar siklon.<br />

Masalah titik leleh abu juga berpengaruh pada<br />

operasional teknik pembakaran batubara lainnya.<br />

Pada teknik pembakaran dengan unggun<br />

terfluidakan (Basuki, 2003), jika digunakan<br />

batubara dengan titik leleh mendekati suhu<br />

pembakaran atau dibawahnya mengakibatkan<br />

unggun mengeras setelah dingin sehingga harus<br />

dihancurkan dengan linggis.<br />

Pada teknik pembakaran kisi berjalan<br />

(Changzhou, 2003), titik leleh abu yang rendah<br />

mengakibatkan tertutupnya kisi oleh lelehan abu<br />

sehingga mengganggu aliran udara pembakar.<br />

Jelas pula pengaruhnya pada teknik pembakaran<br />

batubara bubuk (pulverized coal combustion) (Singer,<br />

1991), pengelolaan abunya tergantung pada titik<br />

leleh abu, bisa berupa abu terbang atau abu dasar.<br />

Tulisan ini menguraikan beberapa proses<br />

pembakaran batubara dengan titik leleh abu yang<br />

berbeda-beda pada beberapa fasilitas industri dan<br />

akibat-akibat yang ditimbulkan oleh abu batubara<br />

tersebut pada operasional pembakar siklon.<br />

Pembakar siklon perlu terus dikembangkan<br />

sehingga semakin handal untuk dapat menghadapi<br />

berbagai parameter karakteristik batubara yang<br />

berbeda-beda. Dengan kinerja yang semakin baik<br />

maka hal ini merupakan dukungan pada program<br />

pemerintah untuk terus meningkatkan kontribusi<br />

batubara dalam konsumsi energi nasional yang<br />

ditargetkan sebesar 33% pada tahun 2025<br />

(Yusgiantoro, 2007).<br />

2. LATAR BELAKANG TEORI<br />

Komponen-komponen abu dalam batubara<br />

terutama terdiri atas unsur-unsur Si, Al, Fe, Ca<br />

dan sedikit Ti, Mn, Mg, Na, K yang terikat dengan<br />

silikat, oksida, belerang, sulfat atau fosfat.<br />

Karakteristik abu dipengaruhi oleh unsur-unsur<br />

yang dikandungnya, khususnya titik leleh abu yang<br />

merupakan parameter penting dalam proses<br />

pembakaran batubara (Rance, 1975).<br />

Pembakaran batubara dengan pembakar siklon<br />

dilakukan dengan batubara tepung (-30 mesh).<br />

Untuk pembakaran terus menerus, karakteristik<br />

abu sangat penting selain berpengaruh pada<br />

efisiensi pembakaran, sifat titik leleh dapat<br />

mengganggu operasional pembakar siklon karena<br />

abu dapat berupa padatan yang tertiup keluar<br />

siklon, atau berupa kerak yang menempel di<br />

dinding siklon sehingga jika semakin tebal,<br />

operasional pembakar siklon dapat terganggu. Jika<br />

menempel di moncong keluarnya api, dapat<br />

menyumbat aliran api karena jika kerak semakin<br />

tebal, diameter moncong siklon semakin kecil.<br />

Sifat-sifat abu khususnya menyangkut sifat<br />

melelehnya yang dapat mengganggu operasional<br />

siklon tersebut dipengaruhi oleh kandungan unsurunsur<br />

tertentu di dalam abu. Sebagai contoh,<br />

pengaruh Al 2O 3 dan SiO 2.<br />

Jika perbandingan Al 2O 3 : SiO 2 mendekati 1 : 1,18<br />

maka abu bersifat refraktori dengan titik leleh<br />

tinggi. Sebaliknya, dengan banyaknya senyawa<br />

CaO, MgO dan Fe 2O 3 mengakibatkan turunnya<br />

titik leleh abu, terutama jika kandungan SiO 2-nya<br />

tinggi. Unsur lain yang dapat menurunkan titik leleh<br />

abu adalah Na 2O dan K 2O. Tergantung nilai titik<br />

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono<br />

91


leleh abu, jika titik lelehnya tinggi maka abu tetap<br />

berupa debu padat. Jika titik lelehnya hampir sama<br />

dengan suhu siklon, maka viskositas tinggi<br />

sehingga lengket dan tidak bisa mengalir. Jika titik<br />

leleh abu jauh di bawah suhu siklon, maka<br />

viskositas lelehan abu menjadi rendah sehingga<br />

dengan mudah mengalir ke bawah. Pembakar<br />

siklon dapat beroperasi dengan lancar jika titik<br />

leleh abu jauh di atas atau di bawah suhu<br />

operasional siklon, yaitu sekitar 1200°C.<br />

3. SEBARAN ABU DAN<br />

KARAKTERISTIKNYA<br />

3.1. Beberapa Golongan Titik Leleh Abu<br />

Dalam kaitannya dengan operasional pembakar<br />

siklon, titik leleh abu dibagi menjadi tiga golongan<br />

yaitu :<br />

a. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih tinggi dari<br />

suhu operasional pembakar siklon.<br />

b. Abu dengan titik leleh oksidasi sama atau<br />

mendekati suhu operasional pembakar siklon.<br />

c. Abu dengan titik leleh oksidasi lebih rendah<br />

dari suhu operasional pembakar siklon.<br />

Titik leleh oksidasi adalah titik leleh abu dalam<br />

atmosfer pembakaran oksidasi, jadi dalam<br />

suasana pembakaran dengan jumlah oksigen lebih<br />

dari oksigen stoikiometrinya.<br />

Abu bertitik leleh tinggi (a), akan tetap berupa debu<br />

padat pada saat operasional pembakaran siklon.<br />

Sedang yang bertitik leleh mendekati operasional<br />

pembakar siklon akan bersifat melunak tetapi<br />

belum mudah mencair sehingga lengket dan<br />

menempel di dinding siklon. Sedangkan abu yang<br />

bertitik leleh rendah akan mudah mencair dan<br />

mengalir ke tempat yang lebih rendah. Semakin<br />

rendah titik leleh abu, akan semakin rendah<br />

viskositas abu tersebut sehingga cairannya mudah<br />

mengalir ke bagian bawah pembakar siklon.<br />

Tabel 1 adalah beberapa contoh abu yang<br />

termasuk dalam abu golongan a, b dan c,<br />

tergantung pada titik lelehnya.<br />

3.2. Sebaran Abu Dalam Fasilitas Industri<br />

3.2.1 Ketel uap<br />

Gambar 1 adalah skema ketel uap jenis pipa api<br />

(fire tube) yang telah dipasang pembakar siklon<br />

sebagai ganti pembakar solar dan daerah-daerah<br />

pengendapan abunya.<br />

Pengoperasian ketel uap ini dengan batubara<br />

berkandungan abu gol. a, yang bertitik leleh jauh<br />

lebih tinggi dari suhu pengoperasian siklon (1180<br />

– 1230°C) dengan kadar abu kurang dari 2%,<br />

menghasilkan abu padat dengan sebaran :<br />

Lokasi a, dalam siklon : 5%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 15%<br />

Lokasi c, dalam pipa api : 0%<br />

Lokasi d, dalam penampung debu : 30%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 30%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 20%<br />

Sedangkan pegoperasian dengan batubara<br />

mengandung abu gol. b yang titik lelehnya hampir<br />

sama dengan suhu operasional pembakar siklon,<br />

menghasilkan abu yang lunak dan lengket<br />

menempel pada dinding bagian dalam pembakar<br />

siklon. Setelah dingin abu yang lengket ini<br />

mengeras berupa kerak. Kerak ini dengan mudah<br />

dapat dikorek dari dinding siklon. Pada<br />

pembakaran batubara yang berkadar abu 5,5%,<br />

dalam waktu 1 hari kerak sudah terlalu tebal<br />

sehingga siklon semakin mengecil volumenya dan<br />

lingkaran dalam leher siklon semakin menyempit<br />

sehingga mengganggu aliran api dari siklon ke<br />

dalam ketel uap. Pembakaran dihentikan, siklon<br />

dibiarkan dingin untuk dilakukan pembersihan<br />

dindingnya dari kerak. Sebaran kerak dan kotoran<br />

padat lain adalah :<br />

Tabel 1.<br />

Beberapa contoh abu golongan a, b, c dan titik lelehnya<br />

Golongan Reduksi, °C Oksidasi, °C<br />

Abu Deformasi Sperikal Hemisfer Alir Deformasi Sperikal Hemisfer Alir<br />

A 1305 1435 1460 >1500 1470 >1500 >1500 >1500<br />

B 1140 1150 1160 1225 1235 1255 1260 1325<br />

C 1075 1080 1090 1155 1125 1135 1160 1180<br />

92 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


pembakar solar dan daerah-daerah lokasi<br />

pengendapan abunya.<br />

Gambar 1.<br />

Skema ketel uap dengan<br />

pembakar siklon<br />

Lokasi a, dalam siklon : 60%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 20%<br />

Lokasi c, dalam pipa api : 0%<br />

Lokasi d, dalam penampung debu : 10%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 5%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 5%<br />

Pengoperasian dengan batubara mengandung abu<br />

gol. c yang titik lelehnya dibawah suhu operasional<br />

pembakar siklon, menghasilkan abu yang sudah<br />

mencair dan mengalir ke lantai siklon, masuk ke<br />

dalam kotak abu. Dinding bagian dalam siklon<br />

terlihat mengkilap karena terlapisi oleh cairan dari<br />

abu yang mencair dengan viskositas yang rendah.<br />

Pada pembakaran batubara jenis ini yang berkadar<br />

abu 7,6%, lelehan abu yang mengalir ke dalam<br />

kotak abu segera membeku membentuk padatan<br />

yang sangat keras berwarna coklat kehitaman.<br />

Bongkahan-bongkahan lelehan abu yang menjadi<br />

padat diambil dari kotak abu 2 jam sekali. Sebaran<br />

abu dalam siklon dan ketel uap adalah :<br />

Lokasi a, dalam siklon : 95%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 0%<br />

Lokasi c, dalam pipa api : 0%<br />

Lokasi d, dalam penampung debu : 0%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 0%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 5%<br />

3.2.2 Pemanas oli<br />

Pemanas oli (oil heater) di pabrik tekstil, makanan<br />

dan industri kimia digunakan untuk memproduksi<br />

panas yang disalurkan dengan menyalurkan oli<br />

panas (220 – 250°) ke unit-unit proses yang<br />

memerlukan seperti untuk pengeringan,<br />

pemasakan dll. Gambar 2 adalah skema pemanas<br />

oli jenis vertikal yang telah dipasang pembakar<br />

siklon di bagian atasnya sebagai pengganti<br />

Gambar 2.<br />

Skema pemanas oli dengan<br />

pembakar siklon<br />

Api dari pembakar siklon turun ke dalam ruang<br />

api (b), naik dan turun lagi memanaskan pipa-pipa<br />

oli (d), kemudian asapnya keluar melalui cerobong.<br />

Pengoperasian dengan batubara mengandung abu<br />

golongan a yang titik lelehnya diatas suhu<br />

operasional pembakar siklon, menghasilkan abu<br />

yang padat dengan sebaran :<br />

Lokasi a, dalam siklon : 5%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 0%<br />

Lokasi c, dalam penampung abu : 55%<br />

Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli : 2%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 25%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 13%<br />

Pengoperasian dengan batubara mengandung abu<br />

golongan b yang titik lelehnya hampir sama<br />

dengan suhu operasional pembakar siklon<br />

menghasilkan abu yang lengket. Karena viskositas<br />

abu sangat tinggi maka abu yang lunak dan<br />

lengket ini menempel di permukaan dinding bagian<br />

dalam siklon. Abu yang datang selanjutnya<br />

melekat di permukaan lelehan sebelumnya<br />

sehingga membentuk kerak yang semakin tebal.<br />

Akibat fatal dari kejadian ini terutama diameter<br />

dalam L-bow dari siklon menuju ruang api dari<br />

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono<br />

93


pemanas oli semakin mengecil sehingga tekanan<br />

didalam ruang siklon membesar dan aliran api ke<br />

dalam pemanas oli terhambat. Pembakaran harus<br />

dihentikan dan kerak dibersihkan. Sebaran abu<br />

berupa kerak dan padatan lain adalah :<br />

Lokasi a, dalam siklon : 60%<br />

Lokasi b, dalam ruang api : 0%<br />

Lokasi c, dalam penampung abu : 20%<br />

Lokasi d, dalam rangkaian pipa oli : 3%<br />

Lokasi e, bagian bawah cerobong : 5%<br />

Keluar dari sistem lewat cerobong : 12%<br />

Percobaan menggunakan batubara dengan abu<br />

golongan c belum dilakukan untuk siklon dengan<br />

pemanas oli ini, karena batubara dengan abu<br />

demikian jarang didapat dipasaran.<br />

3.2.3 Pengering berputar<br />

Gambar 3 adalah skema pengering berputar (rotary<br />

dryer) dengan pembakar siklon yang<br />

menggantikan posisi pembakar solar. Pada<br />

penggunaannya untuk pengeringan pupuk atau<br />

semen pozolan yang berputar dalam pengering,<br />

sampah padat yang keluar dari pembakar siklon<br />

akan masuk kedalam pengering berputar dan<br />

bercampur dengan produk pengeringan.<br />

Gambar 3.<br />

Pengering berputar<br />

Pengamatan sebaran pengendapan abu hanya<br />

dapat dilakukan didalam pembakar siklon,<br />

sedangkan sampah padat yang tertiup kedalam<br />

pengering berputar tidak diukur karena jumlahnya<br />

relatif kecil setelah bercampur dengan komoditas<br />

yang dikeringkan.<br />

Sebagai contoh, proses pengeringan pupuk fosfat<br />

yang produksinya 1500 kg/jam, konsumsi batubara<br />

dengan pembakar siklon 90 kg/jam dengan kadar<br />

abu batubara = 5% atau jumlah abu yang<br />

dihasilkan = 4,5 kg/jam, maka jumlah abu yang<br />

bercampur dengan 1.500 kg pupuk fosfat adalah<br />

4,5 kg atau 0,3% dari berat pupuk.<br />

Sedangkan penggunaan batubara dengan abu<br />

golongan b, identik penggunaannya pada pemanas<br />

oli dan ketel uap. Jumlah abu berupa kerak yang<br />

menempel di dalam dinding siklon sekitar 60%<br />

dan sisanya tertiup dan tercampur dengan produk<br />

yang dikeringkan. Demikian pula untuk abu<br />

golongan c, sebagian besar abu meleleh keluar<br />

dari dalam siklon masuk ke dalam kotak abu.<br />

Semakin rendah titik leleh abu, semakin banyak<br />

abu yang meleleh keluar siklon, karena lebih cepat<br />

mengalirnya, disebabkan viskositas yang rendah.<br />

4. PEMBAHASAN<br />

Pengendapan abu bertitik leleh tinggi<br />

(abu golongan a)<br />

Abu dengan titik leleh tinggi, abu akan berbentuk<br />

tepung padat yang akan tertiup bersama asap,<br />

keluar silinder siklon. Hanya kurang dari 10% yang<br />

tertinggal didalam silinder siklon, selebihnya<br />

mengendap dalam bagian-bagian tertentu dari<br />

fasilitas industri. Mekanisme pengendapan<br />

partikel-partikel abu sebagian karena perlambatan<br />

aliran asap, sebagian lagi karena menabraknya<br />

partikel-partikel abu ke suatu dinding kemudian<br />

terjatuh oleh gaya gravitasi.<br />

Sebagai contoh, untuk fasilitas industri berupa<br />

ketel uap jenis pipa api. Pembakar siklon<br />

berdiameter bagian dalam 130 cm menyalurkan<br />

api kedalam lorong api utama dari ketel uap yang<br />

berdiemeter bagian dalam 80 cm melalui moncong<br />

siklon yang berdiameter bagian dalam 60 cm.<br />

Perubahan kecepatan aliran dari dalam silinder<br />

siklon ke dalam lorong api utama dipengaruhi oleh<br />

luas penampang dan suhu dari kedua lokasi<br />

tersebut. Perbandingan luas penampang adalah<br />

sebanding dengan kuadrat radius atau 65 2 : 40 2 =<br />

2,64 : 1. Sedangkan perubahan suhunya dari<br />

sekitar 1470°K didalam siklon menjadi sekitar<br />

770°K didalam lorong api utama atau 1,9 : 1. Maka<br />

perbandingan kecepatan aliran asap didalam<br />

siklon/kecepatan asap dalam lorong api adalah<br />

2,64 : 1,9 = 1,39 atau hanya berbeda sedikit,<br />

sehingga pengendapan partikel abu karena<br />

perbedaan kecepatan asap kecil pengaruhnya.<br />

Tetapi karena perjalanan dari silinder siklon ke<br />

lorong api utama melewati moncong siklon yang<br />

diameternya 60 cm, maka terjadi turbulensi di<br />

dalam lorong api utama sehingga kesempatan<br />

partikel abu untuk mengendap dalam lorong ini<br />

94 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


juga tidak besar. Selanjutnya asap bergerak<br />

menuju ruang penampung abu dengan penampung<br />

yang lebih luas, sehingga partikel abu banyak yang<br />

jatuh selain karena perlambatan kecepatan, juga<br />

karena menabrak dinding. Asap kemudian<br />

mengalir melalui pipa api yang berdiameter 7,5<br />

cm. Karena diameter yang kecil ini maka<br />

kecepatan asap dilokasi ini tinggi sehingga<br />

didaerah ini pertikel abu yang mengendap hanya<br />

sedikit. Asap berbalik, kembali menuju ruang<br />

pengendapan abu, selanjutnya menuju cerobong.<br />

Banyak partikel abu yang mengendap di bagian<br />

bawah cerobong selain karena kecepatan asap<br />

melambat atau diameter cerobong yang<br />

membesar, juga disebabkan partikel-partikel abu<br />

menabrak dinding cerobong. Keadaan ini<br />

mengakibatkan energi kinetik partikel abu menurun<br />

sehingga terkalahkan oleh gaya gravitasi dan<br />

terjadi pengendapan.<br />

Sisa partikel abu lainnya, khususnya yang berupa<br />

debu halus keluar bersama asap cerobong.<br />

Penyebaran endapan abu diberbagai lokasi<br />

pengendapan dalam ketel uap telah dikemukakan<br />

di sub-bab 3.2.1 dan uraian ini menjelaskan proses<br />

yang terjadi.<br />

Sebaran abu dalam penggunaan abu bertitik leleh<br />

abu tinggi untuk pemanas oli identik dengan<br />

penggunaannya untuk ketel uap, pengendapan abu<br />

dengan mekanisme perlambatan kecepatan asap<br />

dan tabrakan partikel abu dengan dinding yang<br />

membentuk sudut mendekati 90°C dengan arah<br />

jalannya asap. Seperti terlihat pada Gambar 2,<br />

pengendapan di penampung abu dominan sebab<br />

disini berlangsung 2 mekanisme yaitu mekanisme<br />

perlambatan kecepatan asap dan tabrakan partikel<br />

asap dengan dasar dari ruang api. Dengan<br />

demikian, maka pengendapan abu dominan berada<br />

di penampung abu dan dibagian bawah cerobong,<br />

dengan jumlah total di dua lokasi itu sekitar 60 -<br />

70%. Sedangkan penggunaannya untuk pengering<br />

berputar, sebagian besar abu tertiup keluar<br />

pembakar siklon bercampur dengan komoditas<br />

yang diproses.<br />

Pengendapan abu bertitik leleh sedang<br />

(abu golongan b)<br />

Abu bertititk leleh mendekati suhu operasional<br />

siklon ternyata terkumpul di lokasi tidak jauh dari<br />

pembakar siklon itu sendiri. Abu jenis ini mulai<br />

meleleh pada suhu operasional pembakar siklon,<br />

tetapi viskositasnya belum cukup untuk<br />

membuatnya mengalir mengikuti gaya gravitasi,<br />

melainkan bersifat lengket sehingga menempel<br />

dipermukaan dalam pembakar siklon. Partikel abu<br />

yang datang kemudian juga meleleh, lengket<br />

terpapar oleh panas sehingga segera menempel<br />

pada permukaan abu sebelumnya sehingga<br />

menambah tebal tumpukan lelehan abu tersebut.<br />

Sebagian lagi yang tidak sempat menempel di<br />

permukaan siklon, terlempar keluar tetapi dengan<br />

ukuran yang lebih besar karena proses aglomerasi<br />

dan jatuh tidak jauh dari lokasi pembakar siklon.<br />

Hanya sebagian kecil yang lolos sampai cerobong,<br />

yaitu partikel-partikel abu yang tidak sempat<br />

mengalami aglomerasi. Dengan demikian maka<br />

sebagian besar abu menempel didinding siklon<br />

sampai 60 – 75% kemudian di ruang api 10 – 20%,<br />

sisanya 5 – 10% tersebar sampai dibawah<br />

cerobong.<br />

Sebaran abu jenis ini dipengaruhi oleh banyak<br />

faktor seperti karakteristik pembakaran<br />

batubaranya sendiri, sifat-sifat lelehan abu,<br />

sebaran ukuran butir batubara, kecepatan<br />

pembakaran, atmosfer pembakaran dll (Rance,<br />

1975).<br />

Pengendapan abu bertitik leleh rendah<br />

(abu golongan c)<br />

Abu jenis ini segera meleleh terpapar oleh suhu<br />

pembakaran dalam siklon. Jika viskositasnya<br />

rendah, lelehan abu mengalir masuk kedalam<br />

kotak abu, sehingga permukaan dalam siklon<br />

hanya tertutup oleh lapisan tipis lelehan abu. Abu<br />

yang datang kemudian terus meleleh, mengalir ke<br />

bawah. Hanya sedikit sekali yang tertiup ke luar,<br />

masuk kedalam ruang api, dan yang terbawa<br />

sampai cerobong hanya sejumlah kecil saja. Hal<br />

ini disebabkan hanya sedikit partikel-partikel abu<br />

yang dapat bertahan dalam keadaan padat pada<br />

suhu jauh diatas titik lelehnya.<br />

5. KESIMPULAN<br />

1. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa<br />

pembakaran batubara dengan pembakar<br />

siklon, untuk batubara dengan 3 golongan titik<br />

leleh abu menunjukkan :<br />

a. Abu bertitik leleh tinggi (golongan a)<br />

sebagian besar atau lebih dari 90%, tertiup<br />

keluar siklon.<br />

b. Abu bertitik leleh sedang (golongan b) lebih<br />

dari 50% tertahan di dalam siklon berupa<br />

kerak.<br />

c. Abu bertitik leleh rendah (golongan c)<br />

Pengaruh Titik Leleh Abu terhadap Pengendapannya pada Pembakaran ... Sumaryono<br />

95


sebagian besar atau lebih dari 90%,<br />

meleleh didalam siklon dan kemudian<br />

mengalir kedalam kotak abu.<br />

2. Abu yang mempunyai titik leleh tinggi, tertiup<br />

keluar siklon dan mengendap dalam<br />

perangkap-perangkap abu seperti ruang<br />

penampung abu dan bagian bawah cerobong.<br />

Sebagian kecil tertinggal di saluran-saluran<br />

asap dan yang berukuran halus keluar melalui<br />

cerobong.<br />

3. Mekanisme pengendapan abu terutama<br />

disebabkan oleh :<br />

a. Perlambatan kecepatan asap secara<br />

mendadak dan tabrakan partikel abu<br />

dengan dinding.<br />

b. Abu menjadi lunak tetapi viskositasnya<br />

masih tinggi sehingga bahan ini menjadi<br />

lunak, lengket melekat di dinding siklon.<br />

c. Abu mencair karena suhu siklon jauh diatas<br />

titik leleh abu ini sehingga viskositas<br />

lelehan abu rendah, mudah mencair dan<br />

mengalir kedalam kotak abu dan<br />

membeku.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Basuki, 2003, Coal Fired Fluidized Boiler, B.P.E,<br />

Jakarta<br />

Changzhou Boiler Co., LTD., 2003, Boiler, Brochure,<br />

Xishan.<br />

Rance, H.C., 1975, Coal Quality Parameters and<br />

Their Influence in Coal Utilization, Shell Int.<br />

Petroleum Co., LTD.<br />

Singer, J.G., 1991, Combustion Fossil Power,<br />

ABB, Connecticut.<br />

Sumaryono, <strong>2009</strong>, Development of Cyclone Coal<br />

Burner For Fuel Oil Burner Substitution in Industries,<br />

Indonesian Mining Journal, Bandung,<br />

Vol. 12 No. 13 (29-33).<br />

Yusgiantoro, P., 2007, Sustainabilitas Energi di<br />

Indonesia Dalam 30 Tahun Mendatang, Seminar<br />

Nasional Sustainable Alternatif Energi,<br />

Semarang.<br />

96 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN BAUKSIT<br />

Husaini<br />

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : husaini@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Bauksit merupakan bijih aluminium yang mengandung 45-60% Al 2O 3, 12-30% H 2O, dengan kandungan<br />

beberapa mineral pengotor seperti magnetit, hematit, gotit, siderit, kaolinit, ilmenit, anatas, rutil, dan<br />

brookit. Total cadangan bauksit dunia adalah sebesar 24 milyar ton. Indonesia sendiri memiliki cadangan<br />

bauksit terukur lebih dari 900 juta ton yang tersebar di kepulauan Riau dan Kalimantan Barat. Sistem<br />

tambang terbuka yang dilanjutkan dengan proses peningkatan kadar mendahului ekstraksi bauksit<br />

menjadi alumina. Peningkatan mutu (uggrading) bauksit dapat dilakukan dengan cara washing &<br />

scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan dengan magnetik dan media berat serta flotasi, yang<br />

dipilih berdasarkan karakteristik bijih bauksit yang akan diolah. Proses Bayer adalah cara yang paling<br />

efektif dan menguntungkan untuk memproduksi alumina dari bauksit. Alumina yang dihasilkan tersebut<br />

dibuat menjadi logam aluminium melalui proses elektrolisis Hall-Heroult. Untuk memproduksi sebanyak<br />

2 ton alumina atau 1 ton logam aluminium dibutuhkan bauksit rata-rata 4-5 ton. Lebih dari 90% cadangan<br />

bauksit diolah menjadi alumina atau logam alumunium, sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan<br />

kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, dan AlCl 3).<br />

Kata kunci : peningkatan kadar, bauksit, alumina, aluminium, elektrolisis, proses Bayer dan<br />

Hall-Heroult<br />

ABSTRACT<br />

Bauxite is aluminum ore containing 45-60% Al 2O 3, 12-30% H 2O, with several impurities minerals<br />

such as magnetite, hematite, goethite, siderite, kaolinite, ilmenite, anatase, rutile, and brookite.Total<br />

reserves of bauxite in the world were 24 billion metric tons. Indonesia itself has bauxite reserve<br />

deposits more than 900 million metric tons scattered in Riau islands and West Kalimantan. Open pit<br />

mining followed by upgrading preceded bauxite extraction to be alumina. Bauxite upgrading can be<br />

carried out by washing and scrubbing, screening/classification, magnetic separation, heavy media<br />

separation, and flotation, chosen based on the bauxite character to be upgraded. Bayer process is<br />

the most effective and feasible method for alumina production from bauxite. The alumina produced is<br />

processed into aluminum metal through electrolysis process called Hall-Heroult. To produce 2 tons of<br />

alumina or 1 ton of aluminum metal need about 4-5 tons of bauxite in average. More than 90% of<br />

bauxite deposits have been treated into alumina or aluminum metal, the rest is utilized for producing<br />

chemicals such as coagulants (alum, PAC, and AlCl 3).<br />

Keywords : upgrading, bauxite, alumina, aluminum metal, electrolysis, Bayer and<br />

Hall-Heroult processes<br />

Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />

97


1. PENDAHULUAN<br />

Bauksit merupakan bijih aluminium yang terdapat<br />

pada mineral gibbsite [Al(OH) 3], boehmite atau<br />

diaspore (AlOOH). Bauksit umumnya mengandung<br />

45-60% Al 2O 3, 12-30% H 2O, dan berbagai macam<br />

pengotor antara lain adalah magnetit (Fe 3O 4),<br />

hematit (Fe 2O 3), gotit (FeO(OH)), siderit (FeCO 3),<br />

kaolinit (H 4Al 2Si 2O 9), ilmenit (FeTiO 3), anatas,<br />

rutil, dan brookit (TiO 2) (Anonim, <strong>2009</strong>a). Istilah<br />

bauksit diambil dari nama daerah pedesaan Les<br />

Baux-de-Provence dibagian selatan Perancis,<br />

tempat pertama kali ditemukannya mineral ini oleh<br />

seorang ahli geologi bernama Pierre Berthier pada<br />

tahun 1821 (Wikipedia, 2007b). Penghasil bauksit<br />

utama dunia adalah Australia (lebih dari 40 juta<br />

ton/tahun), Amerika Tengah dan Selatan (Jamaika,<br />

Brazil, Surinam, Venezuela, Guyana), Afrika<br />

(Guinea), Asia (Indonesia, India, China), Rusia,<br />

Kazakhstan dan Eropa (Yunani). Jumlah cadangan<br />

bauksit di beberapa Negara tersebut pada tahun<br />

2001 diperkirakan sebesar 3,8 milyar ton (Australia),<br />

3,9 milyar ton (Brazil), 720 juta ton (China),<br />

7,4 milyar ton (Guinea), 700 juta ton (Guyana),<br />

770 juta ton (India), 2 milyar ton (Jamaika), 200<br />

juta ton (Rusia), 680 juta ton (Suriname), 20 juta<br />

ton (USA), 320 juta ton (Venezuela), Negara lainnya<br />

4,1 milyar ton, sehingga total cadangan dunia<br />

sebesar 24 milyar ton (Wikipedia, 2007b).<br />

Sedangkan jumlah cadangan bauksit di Indonesia<br />

sendiri sebesar 907.843.757 ton (terukur) yang<br />

tersebar di kepulauan Riau dan Kalimantan Barat,<br />

cadangan tereka.sebesar 3.100.000 ton (Bangka),<br />

dan cadangan hipotetik sebesar 13.500.000 ton<br />

(Bangka). (Husaini dan Wijayanti, 2002). Cara<br />

penambangan yang diterapkan di berbagai belahan<br />

dunia umumnya dengan sistem tambang terbuka<br />

(80%) dengan kapasitas produksi >100 juta ton<br />

bauksit tiap tahun, sisanya yang 20% dengan<br />

tambang bawah tanah sampai kedalaman 70 m<br />

dibawah permukaan tanah. Hasil tambang tersebut<br />

selanjutnya diproses menjadi alumina berdekatan<br />

dengan lokasi penambangan, atau dikapalkan ke<br />

pabrik peleburan ke berbagai negara di dunia.<br />

Sebelum diekstraksi menjadi alumina, bauksit dari<br />

tambang terlebih dahulu ditingkatkan kadarnya.<br />

Peningkatan mutu (uggrading) bauksit yang dapat<br />

dilakukan tergantung dari karakteristik bauksitnya,<br />

beberapa di antaranya adalah cara washing &<br />

scrubbing, pengayakan/klasifikasi, pemisahan<br />

dengan magnetik dan media berat serta flotasi.<br />

Alumina yang diperoleh dari proses Bayer, kemudian<br />

dibuat menjadi logam aluminium melalui proses<br />

elektrolisis Hall-Heroult. Berdasarkan data ratarata<br />

di dunia, sekitar 4-5 ton bauksit dibutuhkan<br />

untuk memproduksi 2 ton alumina atau 1 ton sebagai<br />

logam aluminium. Di Eropa sendiri biasanya<br />

menkonsumsi bauksit rata-rata 4,1 ton untuk<br />

memghasilkan 1 ton logam aluminium (Anonim,<br />

<strong>2009</strong>d). Sekitar 95% bauksit dunia diolah menjadi<br />

alumina atau logam alumunium (Anonim, <strong>2009</strong>c),<br />

sisanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan<br />

kimia, antara lain koagulan (alum, PAC, dan AlCl 3).<br />

2. METODOLOGI<br />

Untuk menyusun makalah ini, metodologi yang<br />

digunakan adalah dengan cara melakukan survei<br />

literatur dari berbagai sumber antara lain hasil<br />

penelitian yang terkait dengan tema makalah baik<br />

di perpustakaan, internet, maupun hasil penelitian<br />

yang dilakukan sendiri. Kemudian dari data yang<br />

terkumpul dilakukan evaluasi dan pembahasan<br />

yang akhirnya sampai kepada kesimpulan.<br />

3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN<br />

PEMANFAATAN BAUKSIT<br />

3.1. Proses Peningkatan Mutu<br />

Ada beberapa cara yang sudah umum diterapkan<br />

dalam peningkatan kadar bauksit, beberapa di<br />

antaranya yang akan dibahas disini adalah scrubbing<br />

dan screening, pemisahan dengan magnetik,<br />

pemisahan dengan media berat, dan flotasi.<br />

3.1.1 Scrubbing dan screening<br />

Proses scrubbing yang dikombinasikan dengan<br />

pencucian dan pengayakan untuk meningkatkan<br />

kadar alumina dalam bauksit merupakan cara<br />

yang sederhana dan cukup efektif yang sudah<br />

diterapkan secara komersial. Cara ini relatif baik<br />

untuk meningkatkan kadar alumina, mengingat<br />

bauksit dari tambang memiliki ukuran butir yang<br />

bervariasi dan tiap fraksi ukuran memiliki<br />

komposisi kimia yang berbeda-beda. Berdasarkan<br />

data hasil karakterisasi, bijih bauksit berukuran<br />

makin halus mutunya semakin rendah (kandungan<br />

pengotor semakin tinggi). Umumnya bauksit<br />

berukuran di bawah 2 mm, kadar aluminanya relatif<br />

rendah dan kandungan pengotornya relative tinggi,<br />

oleh karena itu produk hasil scrubbing dan<br />

pencucian yang diambil adalah fraksi ukuran di<br />

atas 2 mm. Dari percobaan yang telah dilakukan,<br />

diperoleh data bahwa bijih bauksit asal Kijang yang<br />

semula memiliki kandungan Al 2 O 3 antara 40,50-<br />

48,36 %, setelah melalui scrubbing –screening<br />

98 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


yang didahului peremukan diperoleh produk<br />

dengan kadar Al 2O 3 antara 50,53-53,67%<br />

(persayatan bahan baku untuk proses Bayer<br />

adalah di atas 51% Al 2O 3, maksimum 3% silica<br />

reaktif dan maksimum 7% Fe 2O 3). Perolehan alumina<br />

yang didapat dari proses scrubbing tersebut<br />

berkisar 82,78-89,66% dan rasio konsentrasi<br />

78,42-84,8% (Husaini dkk., 2007). Di India, proses<br />

benefisiasi untuk peningkatan kadar alumina dalam<br />

bauksit juga dilakukan dengan cara peremukan<br />

yang dilanjutkan dengan pengayakan cara kering<br />

untuk menurunkan kandungan silikanya (Nandi,<br />

2004). Cara lain untuk mendapatkan kadar bauksit<br />

yang memenuhi syarat dan konsisten adalah<br />

dengan mencampurkan (blending) bauksit kadar<br />

rendah yang sudah diolah dengan yang kadarnya<br />

lebih tinggi (Anonim, 2007a).<br />

3.1.2 Pemisahan dengan magnetik<br />

Mineral-mineral bersifat magnetik seperti besi<br />

oksida yang terkandung dalam bijih bauksit<br />

ataupun tailing hasil ekstraksi bijih bauksit dapat<br />

dipisahkan dengan pemisah magnetik (magnetic<br />

separator). Salah satu mineral yang memiliki<br />

komponen oksida besi adalah tailing hasil pencucian<br />

bauksit Pulau Kijang yang besarnya berkisar<br />

antara 9,93 - 16,05%. Dari uji coba yang telah<br />

dilakukan terhadap tailing bijih bauksit (komposisi<br />

kimia 48,98 % Al 2 O 3 dan 11,49 % Fe 2 O 3 ), yang<br />

sebelumnya dipanaskan pada suhu 450 o C,<br />

setelah dilewatkan pemisah magnetik pada kondisi<br />

5 Am -1 , telah dihasilkan produk non magnetik (70%<br />

berat) dengan kadar Al 2 O 3 53,8 % dan Fe 2 O 3 9,14<br />

%; ini berarti terjadi peningkatan kadar Al 2 O 3<br />

sebesar 4,82% dan penurunan kadar Fe 2 O 3 sebesar<br />

2,35%. Sedangkan untuk tailing bauksit berkadar<br />

Al 2 O 3 42,25 % dan Fe 2 O 3 15 %, dengan kondisi<br />

pemisahan yang sama dihasilkan produk non<br />

magnetik (58 % berat) dengan kadar Al 2 O 3 57,7 % .<br />

dan Fe 2 O 3 9,41 % (Husaini dan Wijayanti, 2002).<br />

Teknik pemisahan dengan magnetik ini telah<br />

dilakukan juga oleh Jamieson dkk. (2006) terhadap<br />

mineral red mud yang dihasilkan dari ekstraksi<br />

bijih bauksit dengan soda kostik pada kondisi<br />

intensitas rendah dan intensitas tinggi cara basah.<br />

Salah satu produknya berupa material magnetik<br />

(besi oksida) yang memiliki kadar Fe 40%,<br />

sementara produk kedua berupa material non<br />

magnetik yang mengandung silika yang tiggi (93%<br />

SiO 2 ) yang pemanfaatannya sangat sesuai untuk<br />

konstruksi beton. Produk yang ketiga terdiri dari<br />

campuran besi dan silika yang umumnya cocok<br />

untuk material pengisi. Penerapan teknologi<br />

pemisahan secara magnetik tersebut memiliki<br />

potensi untuk dikembangkan dalam mengatasi<br />

permasalahan penumpukan red mud yang dihasilkan<br />

yang besarnya berkisar antara 40-50%) dari berat<br />

bijih bauksit yang diolah melalui proses Bayer.<br />

3.1.3 Pemisahan dengan media berat<br />

Prinsip pemisahan dengan media berat adalah<br />

dengan memanfaatkan perbedaan berat jenis mineral-mineral<br />

yang akan dipisahkan. Mineral yang<br />

lebih rendah berat jenisnya daripada berat jenis<br />

media berat (heavy liquid) akan terapung,<br />

sebaliknya mineral yang lebih besar berat jenisnya<br />

akan tenggelam. Dalam hal ini mineral besi<br />

(hematit) memiliki berat jenis sekitar 7, bauksit<br />

2,65 dan media berat (bromoform 2,89 dan<br />

pengencer karbon tetra klorida 1,59). Dengan<br />

demikian hematit akan tenggelam karena berat<br />

jenisnya lebih tinggi dari berat jenis bromoform,<br />

sedangkan bauksit yang berat jenisnya lebih<br />

rendah dari berat jenis bromoform akan mengapung,<br />

sehingga kadar alumina dalam bauksit yang<br />

mengapung meningkat. Dari data hasil poercobaan<br />

dengan menggunakan bauksit berukuran -100+200<br />

mkesh dan waktu pengendapan 20 menit<br />

menunjukkan adanya peningkatan kadar Al 2O 3 dan<br />

penurunan kadar Fe 2O 3 dibandingkan dengan<br />

keadaan kadar awalnya. Sebagai contoh, dengan<br />

menggunakan bromoform dengan berat jenis 2,59,<br />

produk terapung memiliki kadar Al 2 O 3 sebesar<br />

55,18 % dan kadar Fe 2 O 3 7.97 %, sedangkan<br />

bagian yang tenggelam memiliki kadar Al 2 O 3<br />

sebesar 12.34 % dan kadar Fe 2 O 3 30.12 %. Jadi<br />

kualitas (bauksit) setelah dipisahkan lebih baik<br />

dibandingkan sebelum dipisahkan yang<br />

mempunyai komposisi kimia awal Al 2 O 3 48 % dan<br />

Fe 2 O 3 15 % (Husaini dan Soenara, 2003).<br />

3.1.4 Flotasi<br />

Flotasi merupakan salah satu cara pemisahan<br />

yang memanfaatkan perbedaan sifat kimia-fisika<br />

permukaan dari berbagai macam partikel mineral.<br />

Perbedaan sifat permukaan suatu mineral dengan<br />

mineral lainnya dapat terbentuk dengan<br />

menambahkan zat aktif permukaan (kolektor).<br />

Bahan kimia lainnya yang digunakan adalah<br />

pembusa (frother), dan regulator (activator, depressant,<br />

pengatur pH). Mineral yang terlapisi<br />

kolektor akan bersifat hidrofobik (suka udara)<br />

sehingga mudah menempel pada gelembung udara<br />

dan dapat diapungkan. Penggunaan pembusa<br />

adalah untuk menstabilkan gelembung udara<br />

supaya tidak mudah pecah. Sedangkan depres-<br />

Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />

99


sant berfungsi untuk menekan agar mineral yang<br />

tidak diinginkan tidak ikut mengapung. Kalau yang<br />

diapungkan mineral yang tidak dikehendaki<br />

prosesnya disebut flotasi balik (reverse flotation).<br />

Massola dkk. (2008) telah melakukan penelitian<br />

yang inovatif mengenai peningkatan kadar gibsit<br />

dengan cara flotasi balik yang menghasilkkan<br />

bauksit jenis metalurgi. Bahan yang diflotasi<br />

berupa tailing hasil proses scrubbing dan<br />

desliming yang kandungan kuarsanya relatif tinggi.<br />

Kanji (starch) digunakan sebagai depressant dan<br />

ether-amine sebagai kolektor kationik. Hasil<br />

percobaan skala pilot pada kondisi pH optimum<br />

sekitar 10 menghasilkan konsentrat mutu<br />

metalurgi dengan kadar alumina 42,3% dan ratio<br />

alumina/silika sebesar 11,1. Konsentrat bauksit<br />

yang mengandung mineral gibsit, besi, dan titan,<br />

selanjutnya ditingkatkan lagi kadarnya melalui<br />

pemisahan secara magnetik menghasilkan kadar<br />

alumina 54%, ratio alumina/silika 12,6 dan total<br />

perolehan alumina dalam konsentrat akhir (produk<br />

non-magnetik) sebesar 69,3%. Hasil penelitian<br />

lainnya (Liuyin Xia, dkk., <strong>2009</strong>) menunjukkan<br />

bahwa penggunaan kolektor kationik (zat aktif<br />

permukaan) jenis butane-á,ù-bis (dimethyl<br />

dodeculammonium bromide) dalam flotasi balik<br />

telah berhasil memisahkan mineral mineral kaolinit,<br />

piropilit dan ilit dari bauksit jenis diaspore. Kolektor<br />

jenis dimer tersebut menunjukkan daya pengumpul<br />

yang lebih baik dibandingkan kolektor jenis<br />

monomernya. Lebih dari itu, daya apung terhadap<br />

kaolin lebih baik daripada ilit dan piropilit dalam<br />

selang pH tertentu. Bila ditambahkan depressant<br />

kanji (corn starch), pemisahan cara flotasi terhadap<br />

beberapa mineral pengotor yang terkandung dalam<br />

bauksit (diaspore) yang dilakukan pada pH antara<br />

9-10 menghasilkan seletifitas yang signifikan<br />

terhadap ilit, piropilit dan kaolinit. Konsentrat yang<br />

dihasilkan dari percobaan skala bench scale<br />

memiliki ratio Al/Si sebesar 9,72 dan perolehan<br />

Al sebesar 81,25%.<br />

Pengaruh gugus kationik dari kolektor rantai karbon<br />

12 (12-carbon chain collectors) telah diteliti oleh<br />

Hong Zhong, dkk. (2008) untuk memisahkan mineral<br />

kaolinit, piropilit dan ilit dari diaspore. Hasil<br />

penelitian menunjukkan bahwa pemisahan diaspore<br />

dari mineral-mineral alumino silikat dengan<br />

menggunakan kolektor kation dodecylamine chloride<br />

(DDAC), dodecyl trimethyl ammonium chloride<br />

(DTAC) atau dodecylguanidine sulfate (DDGS)<br />

adalah layak pada kondisi alkalin kuat. Ketiga jenis<br />

kolektor tersebut menunjukkan selektifitas yang<br />

tinggi terhadap diaspore, dan DDGS merupakan<br />

kolektor terbaik dibandingkan dengan DDAC dan<br />

DTAC dalam memisahkan mineral alumino silikat.<br />

Flotasi balik juga berhasil dilakukan untuk<br />

memisahkan kaolinit dari diaspore dengan<br />

menggunakan kolektor dodecylamine (DDA) dan<br />

depressant cationic polyacrylamide (CPAM) pada<br />

pH 5.5–8.5 (Guangyi Liu, 2007). Penyerapan CPAM<br />

pada seluruh permukaan kristal diaspore mencegah<br />

spesi kation DDA untuk terserap pada permukaan<br />

diaspore, sehingga diaspore dapat ditekan (tidak<br />

ikut mengapung). Kemampuan adsorpsi grup kation<br />

CPAM pada permukaan kaolinit yang bermuatan<br />

negatif diperlemah oleh induksi dan efek sterik<br />

senyawa metil dalam gugus CH 2N + (CH 3) 3 yang<br />

membuat CPAM memiliki pengaruh yang kurang<br />

signifikan pada adsorpsi DDA pada permukaan<br />

kaolinit. Penelitian sejenis mengenai peningkatan<br />

kandungan diaspore dengan flotasi balik untuk<br />

memisahkan mineral pengotor juga dilakukan oleh<br />

Zhenghe Xu (2004). Penelitian mengenai penggunaan<br />

kolektor-kolektor yang efektif untuk pemisahan<br />

mineral pengotor (lempung) dan depressant untuk<br />

menekan diaspore asal China juga telah dilakukan.<br />

Hal ini dilakukan agar bauksit yang sebelumnya<br />

mengandung alumina yang rendah dapat<br />

ditingkatkan kadarnya sampai memenuhi syarat<br />

sebagai bahan baku untuk proses Bayer. Hasil<br />

penelitian yang didapat menunjukkan peningkatan<br />

ratio alumina/silika dari 10.<br />

3.2. Pembuatan Alumina Hidrat/Alumina<br />

Alumina (Al 2 O 3 ) adalah material halus berwarna<br />

putih mirip dengan garam (Anonim, 2007). Alumina<br />

dapat diperoleh dari ekstraksi bauksit dengan soda<br />

kostik. Ekstraksi bauksit secara komersial<br />

pertama kali dilakukan oleh Sainte-Claire Deville<br />

di Perancis tahun 1865, tetapi cara ini tidak<br />

digunakan lagi setelah ditemukan proses baru<br />

(Bayer) oleh ahli kimia Austria tahun 1887. Total<br />

produksi alumina dunia sebesar 40 juta ton pada<br />

tahun 1995, seluruhnya dihasilkan dengan<br />

memproses bauksit melalui proses Bayer. Proses<br />

Bayer merupakan cara yang paling ekonomis yang<br />

memanfaatkan reaksi antara alumunium<br />

trihidroksida dan aluminium oksida dengan soda<br />

kostik membentuk sodium aluminat. Reaksi<br />

kesetimbangan mengarah ke kanan dengan<br />

meningkatnya konsentrasi soda kostik dan suhu.<br />

Operasi berikut dilakukan secara berurutan yaitu<br />

(1) pelarutan alumina pada suhu tinggi, (2)<br />

pemisahan dan pencucian pengotor yang tidak<br />

larut (red mud) untuk mendapatkan alumina terlarut<br />

dan soda kostik, (3) hidrolisis parsial larutan sodium<br />

aluminat pada suhu rendah untuk mengendapkan<br />

100 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


alumunium trihidrat, (4) regenerasi larutan untuk<br />

didaur ulang ke tahap (1) dengan penguapan air yang<br />

dimasukkan saat pencucian, dan (5) mengubah<br />

trihidroksida menjadi alumina anhidrat melalui<br />

kalsinasi pada suhu 1450 o K (Anonim, <strong>2009</strong>a).<br />

3.3. Pembuatan Logam Aluminium<br />

Bila alumina (Al 2O 3) yang diperoleh dari proses<br />

Bayer tersebut dipanaskan lebih lanjut sampai<br />

suhu 1000 °C dengan bantuan bahan pelebur (cryolite<br />

- Na 3AlF 6), maka alumina akan meleleh dan<br />

tereduksi menjadi logam aluminium yang dikenal<br />

sebagai proses Hall-Héroult. Cryolite sintetik<br />

umumnya dibuat dari asam florida dan sodium<br />

aluminat (hasil proses Bayer) dengan persamaan<br />

reaksi sbb (Anonim, <strong>2009</strong>a) :<br />

6 HF + 3 NaAlO 2 Na 3AlF 6 + 3 H 2O, atau dengan<br />

mereaksikan asam florida dengan soda kostik dan<br />

alumina dengan reaksi sbb :<br />

12 HF + 6 NaOH + Al 2O 3 2 Na 3AlF 6 + 9 H 2O<br />

Gas asam florida umumnya dibuat dari acid-grad<br />

fluorspar dan asam sulfat dengan reaksi sbb :<br />

CaF 2 + H 2SO 4 2 HF + CaSO 4<br />

Pada proses elektrolisis ini oksigen yang terikat<br />

pada alumina bereaksi dengan elektroda karbon<br />

menghasilkan gas karbon dioksida dan logam aluminium.<br />

Setiap ton aluminium membutuhkan 0,4-<br />

0,5 ton anoda karbon. Proses ini mengkonsumsi<br />

energi sangat tinggi. Secara umum sekitar 1 ton<br />

alumina dapat dihasilkan dari 2 ton bauksit.<br />

Lelehan aluminium selanjutnya dicetak menjadi<br />

ingots, bars, rolled into sheets, plates, foil, atau<br />

rod. Produk antara ini kemudian dibentuk di pabrik<br />

pemrosesan yang mengubah aluminum menjadi<br />

produk akhir (consumer products).<br />

3.4. Pembuatan Koagulan<br />

3.4.1 Dari bauksit (asli/bauksit tercuci/<br />

tailing)<br />

Semua mineral yang mengandung unsur aluminium<br />

termasuk bauksit dapat digunakan untuk<br />

pembuatan koagulan (alum, PAC dll). Dalam<br />

pembuatan koagulan ini ada beberapa parameter<br />

yang berpengaruh di antaranya adalah konsentrasi<br />

asam, waktu pelarutan, nisbah padatan dengan<br />

larutan, suhu pelarutan, dan ukuran butir bauksit.<br />

Penelitian yang telah dilakukan oleh Acquah, dkk.<br />

(1999) menghasilkan kondisi optimum sebagai<br />

berikut: ukuran partikel 7+14 mesh, waktu 6 jam,<br />

nisbah asam 1:4, suhu 100°C, nisbah padatan<br />

dengan larutan 1:12. Pada kondisi optimum ini ratio<br />

alumina yang didapat sebesar 34,8 (untuk alum<br />

komersial rationya 34-35) dan bauksit dengan<br />

kadar A1 2O 3 62.3% dan Fe 2O 3 3% adalah cocok<br />

untuk pembuatan alaum. (Acquah, dkk, 1999).<br />

Penelitian pembuatan alum dari bauksit berukuran<br />

-100 mesh dengan menggunakan asam sulfat<br />

konsentrasi (30-40 %) di dalam reaktor<br />

berpengaduk pada suhu 100 o C dan lama<br />

pengadukan sekitar 60 menit juga telah dilakukan<br />

oleh Husaini (2007). Dua jenis bauksit Kijang<br />

dengan komposisi Al 2O 3 42,25 %, Fe 2O 3 15,00<br />

% dan Al 2O 3 48,98 %, Fe 2O 3 11,49 % digunakan<br />

untuk uji coba tersebut. Reaksi kimia yang terjadi<br />

adalah sebagai berikut:<br />

Al 2O 3 + 3H 2SO 4 Al 2 (SO 4) 3 + 3H 2O<br />

Fe 2O 3 + 3H 2SO 4 Fe 2 (SO 4) 3 + 3H 2O<br />

Hasil ekstraksi ini berupa lumpur yang<br />

mengandung larutan aluminium sulfat yang masih<br />

bercampur dengan senyawa besi dan residu yang<br />

tidak larut. Larutan yang sudah dipisahkan dari<br />

residunya, kemudian direduksi dengan logam Al<br />

sambil dipanaskan sampai terjadi perubahan<br />

warna dari coklat menjadi hijau muda dengan<br />

densitas tertentu (1.5 g/ml). Larutan hasil reduksi<br />

selanjutnya ditambah amonia (kadar 21 %)<br />

menghasilkan kristal berupa garam rangkap<br />

[Al 2 (SO 4 ) 3 (NH 4 ) 2 SO 4 xH 2 O] dengan kadar Al 2 O 3<br />

antara 11-14 %. Kristal yang terbentuk dipisahkan<br />

dari filtrat yang masih tersisa. Selain itu telah<br />

dibuat juga tawas butek [Al 2 (SO 4 ) 3 . x H 2 O]<br />

setelah besi dalam larutan diturunkan terlebih<br />

dahulu dengan penambahan larutan Na 2 S. Hasil<br />

pelarutan bauksit dengan asam sulfat mencapai<br />

persen ekstraksi Al 2 O 3 dan Fe 2 O 3 tertinggi<br />

masing-masing sekitar 99 % dan 65 % pada ukuran<br />

butiran 87,04% lolos100 mesh, konsentrasi asam<br />

40 %, lama pelarutan 1 jam, dan suhu 100 o C.<br />

Produk tawas butek yang dihasilkan mempunyai<br />

kadar Al 2 O 3 9,49-12,55 % dan Fe 2 O 3 2-2,4 %.<br />

Sedangan tawas bening yang dihasilkan<br />

mempunyai kadar Al 2 O 3 9,92-11,53 % dan Fe 2 O 3<br />

0,5-2,71 %.<br />

3.4.2 Dari alumina hidrat<br />

Alumina hidrat [Al (OH) 3 ] dapat dibuat menjadi<br />

tawas [Al 2 (SO 4 ) 3 ] maupun poly aluminium chloride<br />

(PAC). Pembuatan tawas dari alumina hidrat<br />

Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />

101


ini prosesnya sederhana yaitu dengan melarutkan<br />

alumina hidrat dengan asam sulfat pada suhu 100°C<br />

sampai larut sempurna, tanpa proses penyaringan,<br />

karena tidak dihasilkan residu sebagaimana yang<br />

diperlihatkan dalam pelarutan bauksit. Persamaan<br />

reaksi kimia yang terjadi adalah sbb :<br />

2Al (OH) 3 + 3H 2SO 4 Al 2 (SO 4) 3 + 6H 2O<br />

Proses pemanasan larutan dilanjutkan untuk<br />

menguapkan air sampai berat jenis tertentu,<br />

kemudian didinginkan sampai mengkristal. Kadar<br />

alumina dalam tawas tergantung pada kadar air<br />

yang terkandung, semakin rendah kadar air<br />

kristalnya, maka semakin tinggi kandungan<br />

aluminanya. Sedangkan dalam pembuatan PAC,<br />

alumina hidrat direaksikan dengan asam klorida<br />

dan asam sulfat sampai alumina hidrat larut<br />

sempurna. Kemudian ke dalam campuran<br />

ditambahkan kapur untuk menurunkan pH sampai<br />

4, dilanjutkan dengan penyaringan. Larutan jernih<br />

hasil penyaringan ini merupakan PAC cair yang<br />

spesifikasinya adalah sbb: 12% Al 2O 3, 9% Cl,<br />

1,35% SO 4. Bila diinginkan produk berupa bubuk,<br />

maka PAC cair dikeringkan dengan menggunakan<br />

spray drier pada suhu tertentu.<br />

4. PENGGUNAAN BAHAN BERBASIS<br />

ALUMINA<br />

4.1. Bauksit Asli/Bauksit Tercuci<br />

Secara tradisional, bauksit digunakan untuk<br />

pembuatan Blast Furnaces, Iron/Steel Ladles,<br />

Torpedo Cars, Electric Arc furnaces, Tundishes,<br />

Soaking Pits, Reheat/Soaking Pits, Open Hearth,<br />

Cement, dan Aluminum. Bauksit dapat digunakan<br />

untuk pembuatan berbagai jenis bahan kimia<br />

antara lain alumina hidrat, alumina, tawas, fero<br />

sulfat, besi klorida, semen, dan refraktori.<br />

4.2. Alumina Hidrat<br />

Alumina hidrat dapat digunakan untuk pembuatan<br />

berbagai jenis bahan kimia antara lain tawas, poli<br />

aluminium klorida (PAC), dan poli aluminium silikat<br />

sulfat (PASS), AlCl 3 , zeolit sintetik, bahan abrasif,<br />

semen, refraktori.<br />

4.3. Alumina<br />

Alumina merupakan produk komoditas yang dapat<br />

digunakan antara lain untuk (Steven dkk., 1998,<br />

Anonim 2007a):<br />

• Bahan baku proses elektrolisis Hall-Heroult<br />

untuk memproduksi logam Al<br />

• Pembuatan bahan kimia tertentu seperti :busi<br />

(spark plugs), penghambat kebakaran (fire<br />

retardant), marmer sintetik, katalis, pasta gigi,<br />

alum, aluminium fllorida, keramik, ampelas<br />

(abrasive) dan refraktori.<br />

Penemuan produk khusus yaitu alumina aktif yang<br />

digunakan untuk menghilangkan kontaminan dari<br />

proses pengilangan minyak, pabrik petro kimia,<br />

dan proses pengolahan gas alam. Alcoa<br />

melaporkan penemuan bubuk alumina spesial<br />

untuk sistem pembuangan otomatis (auto exhaust<br />

system) dan ampelas halus (fine abrasives). Alumina<br />

dapat juga dijadikan bahan kimia (aluminium<br />

sulfat, aluminium klorida), dan logam aluminium<br />

(Patricia, <strong>2009</strong>).<br />

Komposisi tipikal alumina (Steven dkk., 1998)<br />

adalah 99.3-99.7% Al 2O 3 (by diff.), 0.30-0.50%<br />

Na 2O, 0.005-0.025% SiO 2,


5. KESIMPULAN<br />

Potensi cadangan bauksit di Indonesia relatif<br />

besar, tersebar di Kijang (Riau), dan Tayan<br />

(Kalimantan Barat) yang jumlahnya tidak kurang<br />

dari 900 juta ton. Proses peningkatan kadar yang<br />

dapat digunakan ada beberapa macam antara lain<br />

scrubbing, pemisahan dengan magnetik dan media<br />

berat serta flotasi. Pemilihan cara pengolahan<br />

tersebut tergantung pada karakteristik (di<br />

antaranya kandungan mineral pengotor) bijih<br />

bauksit yang diolah, namun yang sudah<br />

diterapkan di Indonesia sampai saat ini hanya<br />

dengan cara pencucian dan scrubbing diikuti<br />

pengayakan dengan ukuran produk + 2 mm.<br />

Bauksit tercuci dapat dikonversi menjadi alumina<br />

melalui proses Bayer dan bila diolah lebih lanjut<br />

dengan cara elektrolisis menghasilkan logam aluminium<br />

yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai<br />

keperluan di antaranya di sektor transportasi,<br />

konstruksi, pengepakan, dan listrik.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonim, 2007a, Alumina Process, http://<br />

www.qal.com.au/, diakses 30 April 2007<br />

Anonim, 2007b, Bauxite – Wikipedia, the free<br />

encyclopedia, htm, diakses 30 April 2007<br />

Anonim, <strong>2009</strong>a, Aluminium, http://<br />

www.mtm.kuleuven.ac.be/Education/<br />

NonMatIrCourses/Mat/5-<br />

c%20aluminium.doc., diakses 17 Juni <strong>2009</strong><br />

Anonim, <strong>2009</strong>b, Alumina, aluminium and bauxite,<br />

diakses 17 Juni <strong>2009</strong><br />

Anonim, <strong>2009</strong>c, Bauxite Mineral, Bauxite Information,<br />

Uses of bauxite, bauxite Supplier, htm,<br />

diakses 17 Juni <strong>2009</strong><br />

Anonim, <strong>2009</strong>d,The European Aluminium Association,<br />

http://www.azon.com/suppliers asp?,<br />

diakses 17 Juni <strong>2009</strong><br />

Acquah F., Mensah B., Obeng Y., 2008, Production<br />

of Alum From Awaso Bauxite, Institute of<br />

Industrial Research,CSIR,Accra, Ghana, http:/<br />

/home.att.net/africantech/GhIE/Awaso 1.htm,<br />

published in the Ghana Engineer, May 1999.<br />

Guangyi Liu, Hong Zhong, Yuehua Hu, Shenggui<br />

Zhao and Liuyin Xia, 2007, The role of cationic<br />

polyacrylamide in the reverse flotation of<br />

diasporic bauxite, School of Chemistry and<br />

Chemical Engineering, Central South University,<br />

Changsha 410083, PR China, School of<br />

Minerals Processing and Bioengineering, Central<br />

South University, Changsha 410083, PR<br />

China.<br />

Husaini dan Trisna Soenara, 2003, Pengurangan<br />

Kadar Besi Dalam Bauksit P. Kijang Dengan<br />

Cara Pemisahan Menggunakan Media Berat<br />

(Heavy Media Separation), Puslitbang<br />

Teknologi Mineral dan Batubara, Balitbang<br />

energi dan sumberdaya mineral.<br />

Husaini dan Wijayanti, R., 2002, Peningkatan<br />

Kualitas Bauksit dari Pulau Kijang dengan<br />

Magnetik Separator Cara Basah, Pusat<br />

Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral<br />

dan Batubara.<br />

Husaini, 2007, Penelitian Pendahuluan Pembuatan<br />

Tawas dari Bauksit Kijang, Bahan Galian<br />

Industri, Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />

Teknologi Mineral.<br />

Husaini dkk., 2007, Peningkatan Kadar Bijih<br />

Bauksit Kijang Dan Tayan Dengan Metode<br />

Scrubbing, Laporan Kegiatan Proyek<br />

Kelompok Program Teknologi Pengolahan<br />

Mineral, Pusltbang <strong>tekMIRA</strong> Jl. Jend. Sudirman<br />

No. 623 Bandung.<br />

Hong Zhong, Guangyi Liu, Liuyin Xia, Yiping Lu,<br />

Yuehua Hu, Shenggui Zhao and Xinyang Yu,<br />

2008, Flotation separation of diaspore from<br />

kaolinite, pyrophyllite and illite using three cationic<br />

collectors, Institute of Chemistry and<br />

Chemical Engineering, Central South University,<br />

Changsha 410083, China , Institute of<br />

Minerals Processing and Bioengineering, Central<br />

South University, Changsha 410083,<br />

China.<br />

Jamieson, E. A. Jones, D. Cooling and N. Stockton,<br />

2006, Magnetic separation of Red Sand<br />

to produce value, Alcoa World Alumina, Technology<br />

Delivery Group, P.O. Box 161,<br />

Kwinana, WA 6966, Australia, Curtin University<br />

of Technology, Perth, WA, Australia.<br />

Liuyin Xia, Hong Zhong, Guangyi Liu, Zhiqiang<br />

Huang and Qingwei Chang, <strong>2009</strong>, Flotation<br />

separation of the aluminosilicates from diaspore<br />

by a Gemini cationic collector, School<br />

Pengolahan dan Pemanfaatan Bauksit, Husaini<br />

103


of Chemistry and Chemical Engineering, Central<br />

South University, Changsha, 410083, PR<br />

China, b School of Chemical Engineering and<br />

Technology, Tianjin University, Tianjin 300072,<br />

PR China.<br />

Massola, C.P., Chaves, A.P., Lima, J.R.B. and<br />

Andrade, C.F., 2008, Separation of silica from<br />

bauxite via froth flotation, a Department of Mining<br />

and Petroleum Engineering–Escola<br />

Politécnica, USP, 2373, Prof. Mello Moraes<br />

Av. 05508-900 SP, Brazil, Companhia Brasileira<br />

de Alumínio, Miraí Department, Fazenda<br />

Chorona, Miraí 36790-000, MG, Brazil.<br />

Nandi, A. K., 2004, Present Status Of Bauxite-<br />

Alumina Industry Of India, Minerals and Metals<br />

Division, MFC Commodities India 104-B,<br />

Suraksha Apartments, 16, Hindustan Colony,<br />

Amravati Road Nagpur-440033; INDIA.<br />

Patricia A. Plunkert, <strong>2009</strong>, Bauxite And Alumina,<br />

http://minerals.usgs.gov/minerals/pubs/commodity/bauxite/090495.pdf.<br />

Steven F. McGrath and Lawrence C. Farrar, 1998,<br />

Sonochemical Technology for Processing<br />

Bauxite, http://doc.tms.org/ezMerchant/<br />

prodtms.nsf/ProductLookupItemID/JOM-9805-<br />

34/$FILE/JOM-9805-34F.pdf?OpenElement,<br />

diakses Juni <strong>2009</strong>.<br />

Zhenghe Xu, Verne Plitt and Qi Liu, 2004, Recent<br />

advances in reverse flotation of diasporic ores–<br />

–A Chinese experience, Department of Chemical<br />

and Materials Engineering, University of<br />

Alberta, 536 Chemical-Mineral Engineering<br />

Building, Edmonton, Alta., Canada T6G 2G6.<br />

104 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


PRESENTASI MAKALAH<br />

PARALEL III


KARAKTERISASI MERKURI DALAM SEDIMEN DAN<br />

AIR PADA PENGOLAHAN TAILING AMALGAMASI DI<br />

KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT<br />

SECARA SIANIDASI<br />

(STUDI KASUS KUD PERINTIS, DAERAH TANOYAN SELATAN)<br />

M. Lutfi dan Retno Damayanti<br />

Psat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. (022) 6030843 Faks. (022) 6003373<br />

e-mail : lutfi@tekmira.esdm.go.id, retnod@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Pengolahan bijih emas pada pertambangan emas rakyat umumnya dilakukan dengan proses<br />

amalgamasi menggunakan merkuri (Hg). Kurangnya pengetahuan dan keterampilan para penambang<br />

emas rakyat menyebabkan limbah tailing dari bijih emas berbentuk halus yang masih mengandung<br />

emas dan bulir Hg langsung dibuang ke perairan, sehingga produk yang dihasilkan sangat rendah dan<br />

dapat menimbulkan pencemaran yang tinggi.<br />

Di Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Propinsi Sulawesi Utara, tambang emas<br />

skala kecil yang dikelola KUD Perintis mengalihkan proses pengolahan emas dari secara amalgamasi<br />

cara sianidasi untuk meningkatkan perolehan bijihnya. Pada saat ini, proses yang berlangsung<br />

merupakan gabungan dari proses amalgamasi dan sianidasi, yakni mengolah tailing yang berasal dari<br />

proses amalgamasi dengan cara sianidasi.<br />

Dampak negatif kegiatan pengolahan tailing amalgamasi dengan cara sianidasi diamati melalui kondisi<br />

kualitas perairan dan sedimen disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi Hg di air berkisar antara<br />

(0,01 - 0,034 mg/L) pada semua lokasi penelitian yakni di daerah hulu, outlet pengolahan, dan hilir.<br />

Kondisi ini telah melewati baku mutu yang diperbolehkan dalam (Peraturan Pemerintah Nomor 82<br />

Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas II dan KEP-<br />

202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas dan/atau Tembaga.<br />

Konsentrasi Hg pada sedimen yang berkisar pada 0,17 - 0,20 ppm di semua lokasi penelitian belum<br />

melewati ambang batas aman terhadap racun yang ada (sesuai Washington state Sediment, WAC<br />

172 – 204 – 320). Tetapi kadar merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring turunnya merkuri di air<br />

ke dasar sungai.<br />

Kata kunci : pertambangan rakyat, amalgamasi, merkuri, tailing, pertambangan emas rakyat<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti<br />

105


ABSTRACT<br />

Artisanal gold mine generally proceeds in amalgamation process. Due to the lack of skill and knowladge,<br />

miners usually dispose tailing that contains gold and mercury directly to the water. Of course it will<br />

produce low gold recovery and cause high risk in environmental pollution.<br />

At Lolayan in the Bolaang Mongondow district, North Sulawesi, the small scale goldmining whichmanaged<br />

by KUD Perintis change gold processing from amalgamation to cyanidation methode to improve<br />

gold ore receipt. But sometimes they were combined both of the two methodes by processing the<br />

amalgamation tailing with cyanidation methode.<br />

The negative impacts of cyanidation process to the amalgamation tailing was conducted by observe<br />

the water quality and its sediment surrounding the processing area. Mercury concentration in water<br />

was found in the range of 0,01 - 0,034 mg/L. Those happened in almost entire waters from upstream<br />

to downstream. Unfortunately, the mercury concentration has exceeded the standard mentioned in<br />

Government Regulation No. 82/2001 about Water Quality Assessment and Water Pollution Handling<br />

Class II and in the Decree of Environment Ministry KEP-202/MENLH/2004 about Waste water standard<br />

for Gold/Copper Processing. Mercury concentration in the sediment found in the range of 0,17 -<br />

0,20 ppm in all sampling location. These are still in the permitted concentration range (based on<br />

Washington state Sediment, WAC 172-204-320). But mercury concentration could become increased<br />

as the mercury<br />

Keywords : amalgamation, cyanidation, tailing, gold artisanal mining<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Salah satu tujuan pembangunan nasional yang<br />

berwawasan lingkungan adalah terciptanya<br />

keserasian hubungan antara manusia dengan<br />

lingkungan alam sekitarnya dengan cara<br />

pembangunan yang berkelanjutan. Dalam laporan<br />

Komisi Sedunia tentang Lingkungan dan<br />

Pembangunan (WCED, 1987) pembangunan<br />

berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan<br />

yang mengusahakan dipenuhinya kebutuhan<br />

sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi<br />

yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan<br />

mereka” (www.fathom.com). Oleh karenanya<br />

pengelolaan bahan galian harus diupayakan<br />

secara optimal sesuai denganazas konservasi dan<br />

berwawasan lingkungan dengan menekan dampak<br />

negatif yang ditimbulkan seminimal mungkin.<br />

Usaha pertambangan oleh sebagian masyarakat<br />

sering dianggap sebagai penyebab kerusakan dan<br />

pencemaran lingkungan. Sebagai contoh, pada<br />

kegiatan usaha pertambangan emas skala kecil,<br />

pengolahan bijih emas dilakukan melalui proses<br />

amalgamasi dengan merkuri (Hg) sebagai media<br />

untuk mengikat emas. Merkuri (Hg) yang dipakai<br />

dalam pengolahan ini termasuk dalam kategori B3<br />

(Rachmat Yusuf, 2004).<br />

Kurangnya pengetahuan dan keterampilan para<br />

penambang, menyebabkan limbah yang berupa<br />

ampas pengolahan (tailing) yang dihasilkan masih<br />

mengandung emas dan butir-butir Hg yang<br />

biasanya langsung dibuang ke perairan. Sebagai<br />

akibatnya, perolehan hasil akhir (produk) yang<br />

didapat sangat rendah. Berdasarkan kenyataan<br />

tersebut, tambang rakyat di Sulawesi Utara<br />

mengubah sistem pengolahannya dengan<br />

menggunakan proses sianidasi baik untuk<br />

mengolah bijihnya ataupun ampas pengolahannya<br />

yang masih mengandung emas. Proses sianidasi<br />

untuk tailing pengolahan dipakai untuk<br />

meningkatkan perolehan produknya. Namun<br />

proses sianidasi ini, menimbulkan juga dampak<br />

negatif karena tailing amalgamasi masih<br />

mengandung merkuri dan logan ikutan lainnya,<br />

seperti Cu, Pb, Zn. Adanya interaksi ion Hg dengan<br />

CN akan mempermudah kelarutan, penyebaran<br />

dan termetilasi (pembentukan metil-Hg), sehingga<br />

diperkirakan bahaya yang ditimbulkan akan lebih<br />

tinggi. Secara umum proses sianidasi pada<br />

pengolahan bijih emas pada pertambangan emas<br />

rakyat dilakukan pada kondisi basa. Meskipun<br />

sebagian besar sianida dalam proses pengolahan<br />

ini dapat dimanfaatkan kembali, air larian dari<br />

penyaringan kompleks emas sianida masih tetap<br />

mengandung senyawa beracun ini meski dalam<br />

106 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


jumlah yang relatif sedikit. Pada kegiatan tambang<br />

rakyat yang dilakukan di KUD ini, biasanya hasil<br />

tailing proses amalgamasi diproses lagi guna<br />

meningkatkan perolehan bijih. Tahapan-tahapan<br />

proses pengolahan dengan sistem sianidasi dapat<br />

dilihat pada Gambar 1.<br />

Setelah proses pelindian selesai, dilakukan dengan<br />

proses penyaringan (screening) untuk memisahkan<br />

karbon aktif yang telah menyerap kompleks<br />

sianida - emas dan membuang tailingnya. Karbon<br />

aktif hasil penyaringan tersebut digarang (roasted)<br />

sampai menjadi abu untuk menghilangkan<br />

senyawa sianidanya, abu hasil penggarangan<br />

ditambah boraks dan digarang lagi untuk<br />

menghasilkan bulion emas dan perak. Bulion<br />

tersebut selanjutnya direaksikan dengan aqua regia<br />

untuk memisahkan emas dan peraknya.<br />

Dampak pemakaian sianida pada kegiatan<br />

pengolahan emas di tambang-tambang rakyat<br />

diperkirakan akan lebih serius mengingat senyawa<br />

sianida tersebut mampu melarutkan logam-logam<br />

lain yang terdapat di dalam batuannya. Di samping<br />

itu apabila kreativitas rakyat dalam mengkombinasikan<br />

proses amalgamasi dan sianidasi tidak<br />

dapat terkontrol diperkirakan akan terjadi pula<br />

peningkatan dalam jumlah merkuri yang ikut<br />

terlarutkan.<br />

Penelitian ini hendak melihat karakteristik merkuri<br />

yang berasal dari tailing amalgamasi yang diolah<br />

dengan cara sianidasi. Disamping itu akan diamati<br />

pula kandungan logam-logam berat lain yang<br />

terdapat dalam batuan pembawa bijihnya serta<br />

karakteristik sedimen pada kolam pengendapan<br />

pada proses sianidasi. Berbeda dengan<br />

kontaminasi yang umumnya terjadi di lingkungan,<br />

penurunan kualitas air permukaan yang<br />

disebabkan oleh adanya logam-logam berat<br />

terlarut akibat proses sianidasi merupakan parameter<br />

yang akan dominan diamati. Parameter CN<br />

total yang berasal dari perairan dan kolam<br />

pengendapan akan ditentukan pula.<br />

Tailing Amalgamasi<br />

Tanki Penampungan<br />

crusher,stamp mill, ball mill<br />

Larutan NaCN<br />

Kapur<br />

Karbon Aktif<br />

Tailing<br />

Tanki Reaktor Sianidasi<br />

Screen<br />

(penyaring)<br />

Reaksi yang terjadi:<br />

2 Au + 4 NaCN + 1/2 O + H O <br />

2 NaAu(CN) + 2 NaOH<br />

Roasting<br />

(penggarangan)<br />

Karbon aktif yang<br />

menyerap kompleks<br />

emas dan sianida<br />

Settling Pond<br />

(kolam pengendap)<br />

Roasting<br />

(penggarangan)<br />

Bullion Emas dan Perak<br />

Gambar 1.<br />

Diagram alir proses pengolahan bijih emas sistem sianidasi<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti<br />

107


2. METODOLOGI<br />

Lokasi Penelitianterletak di daerah Tanoyan,<br />

Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.<br />

Lokasi ini dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa<br />

daerah ini merupakan salah satu daerah tambang<br />

rakyat yang dikelola oleh KUD Perintis yang<br />

mengolah bijih emas dan tailing amalgamasi<br />

dengan proses sianidasi. Lokasi penelitian terletak<br />

+ 240 km dari Kota Manado atau 30 km dari Kota<br />

Kotamobagu (gambar 2).<br />

kan peralatan pH meter (water quality checker),<br />

conductivity meter. Parameter kimia lain seperti<br />

merkuri dan logam-logam terlarut ditentukan dengan<br />

Atomic Absorption Spectrometer.<br />

Metode Pengambilan Conto yang dilakukan,<br />

meliputi; conto bijih, ampas, sedimen, air,<br />

sedangkan analisis yang digunakan untuk logam<br />

berat dengan metode AAS.<br />

Gambar 2.<br />

Peta kesampaian daerah<br />

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini<br />

adalah dengan survey langsung (Grounded checking),<br />

yang meliputi pengambilan contoh air dan<br />

sedimen. Lokasi pengambilan conto air ada di 3<br />

tempat, yaitu di hulu pengolahan, lokasi pengolahan,<br />

dan hilir pengolahan. Titik-titik lokasi tersebut<br />

ditampilkan pada gambar 2. Pada lokasi pengolahan<br />

dilakukan pengambilan contoh di 4 kolam<br />

pengendapan.<br />

Parameter tertentu seperti pH dan Daya Hantar Listrik<br />

ditentukan langsung di lapangan dengan mengguna-<br />

Untuk parameter logam, penyimpanan contoh<br />

dilakukan dalam wadah contoh bervolume 500<br />

mLyang terbuat dari plastik. Untuk keperluan<br />

analisis laboratorium, volume conto yang<br />

diperlukan adalah sebanyak 100 mL untuk merkuri.<br />

Untuk merkuri diberikan penambahan pengawet<br />

HNO 3 dengan pH


Pengambilan conto sedimen dilakukan secara<br />

grab sampling dengan menggunakan sekop pada<br />

lokasi pengambilan air dan di salah satu mulut<br />

tambang. Conto yang diambil masing-masing ± 1<br />

kg, kemudian dimasukkan ke dalam kantung<br />

plastik berlabel.<br />

Adapun parameter-parameter yang dianalisis di<br />

laboratorium adalah merkuri (Hg) dan logam-logam<br />

berat lain seperti Pb, Cu dan Zn.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Kualitas Air (Air Sungai)<br />

Kualitas air merupakan hal yang paling pokok<br />

dalam kegiatan ini karena air (sungai) merupakan<br />

tempat bercampurnya faktor-faktor alami dengan<br />

unsur-unsur pencemar dan air juga merupakan<br />

unsur esensial yang dibutuhkan oleh makhluk<br />

hidup dalam kehidupan kesehariannya (UNEP,<br />

Gambar 3.<br />

Peta lokasi pengambilan contoh<br />

Tabel 1.<br />

Koordinat lokasi pengambilan contoh<br />

No. Lokasi<br />

Titik<br />

LU<br />

BT<br />

1 Hulu 124° 15’ 40,22" 0° 36’ 28,47"<br />

2 Pengolahan 124° 15’ 05,27" 0° 36’ 27,83"<br />

3 Hilir 124° 16’ 23,34" 0° 36’ 2,81"<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti<br />

109


1991). Sehingga dapat dikatakan badan air<br />

merupakan tempat interaksi langsung antara unsur<br />

hayati dengan unsur pencemar. Secara alamiah<br />

sungai mempunyai kemampuan dalam<br />

pembersihan diri (self purification) sepanjang<br />

buangan yang diterima sungai tidak melebihi<br />

kapasitas asimilasi sungai (assimilative capacity).<br />

Sementara, dalam kurun waktu cukup lama, unsur<br />

merkuri yang terbuang ke sungai kemungkinan<br />

dapat menjadi senyawa metil merkuri yang<br />

berbahaya melalui proses yang terjadi secara<br />

alamiah.Hasil pengukuran parameter fisik air di<br />

lapangan (pH, temperatur, DHL, TDS, dan TSS)<br />

dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah.<br />

Analisis laboratorium conto air untuk logam berat<br />

ditentukan dengan metode spektrofotometri.<br />

Kegiatan tersebut digunakan untuk mengetahui<br />

perubahan-perubahan yang telah terjadi di daerah<br />

sekitar penambangan khususnya dan daerah<br />

Tanoyan Selatan, Kecamatan Lolayan sebagai<br />

akibat adanya pertambangan bijih emas dengan<br />

sebagian besar hasil pengolahan limbahnya<br />

dibuang ke anak sungai Onggak. Hasil analisis<br />

laboratorium conto air dapat dilihat pada tabel<br />

dibawah ini.<br />

Menurut data kualitas air yang diperoleh, diketahui<br />

kadar merkuri (Hg) di semua lokasi percontoan<br />

Tabel 2.<br />

Parameter fisik contoh air di lokasi pengolahan dan sungai di sekitarnya<br />

No. Lokasi pH TDS<br />

Suhu DHL TSS<br />

[°C] [µmhos] [mg/L]<br />

1. Air bor dapur 8,34 160 - - 4.8<br />

2. Kolam pengolahan 1 8,37 500 30,2 852 88<br />

3. Kolam pengolahan 2 6,35 390 29,3 648 208<br />

4. Kolam pengolahan 3 8,56 250 31,4 391,4 743<br />

5. Kolam pengolahan 4 2,85 670 31,1 989 108.8<br />

6. Outlet pengolahan bijih 8,2 210 27,2 312 18<br />

7. Hulu Sungai Tanoyan 8,34 160 24,8 245,7 -<br />

8. Outlet pengolahan keseluruhan 8,12 190 27,3 337 42<br />

9. Hilir 8,37 180 28,3 267,8 4.8<br />

Tabel 3.<br />

Hasil analisis sianida dan logam-logam berat dalam contoh air di lokasi pengolahan<br />

dan sungai di sekitarnya<br />

No.<br />

Lokasi<br />

CN Total Hg Pb Cu Zn<br />

[mg/L] [mg/L] [mg/L] [mg/L] [mg/L]<br />

1 Air bor dapur* 0,058 0,055 0,110 0,002 0,073<br />

2 Kolam pengolahan 1 86,400 0,17 0,068 8,110 0,550<br />

3 Kolam pengolahan 2 3,920 0,16 0,073 26,200 0,055<br />

4 Kolam pengolahan 3 21,700 0,17 0,110 4,790 0,033<br />

5 Kolam pengolahan 4 2,170 0,15 0,170 1,490 0,080<br />

6 Outlet pengolahan bijih 16,700 0,20 0,097 3,230 0,068<br />

7 Hulu S. Tanoyan** 0,066 0,024 0,089 0,150 0,048<br />

8 Outlet pengolahan keseluruhan*** 7,960 0,010 0,083 0,042 0,030<br />

9 Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)** 0,019 0,034 0,110 0,0160 0,023<br />

Baku Mutu* 0,1 0,001 0,05 1 5<br />

Baku Mutu** 0,02 0,002 0,03 0,02 0,05<br />

Baku Mutu *** 0,5 0,005 1 2 5<br />

Catatan:<br />

* Peraturan Menteri Kesehatan RI No.: 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Daftar Persyaratan Kualitas Air Minum<br />

** Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas II<br />

*** KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih Emas dan/atau Tembaga<br />

110 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


(hulu dan hilir sungai Tanoyan serta outlet pengolahan<br />

keseluruhan) sudah melebihi baku mutu yang<br />

ditentukan. Bahkan pada daerah hulu, dimana<br />

badan air belum mendapatkan masukan dari<br />

proses pengolahan maupun proses penambangan,<br />

kadar merkuri pun sudah diatas baku mutu.<br />

Hal ini dapat terjadi karena adanya proses<br />

amalgamasi oleh penambang-penambang lain di<br />

luar KUD yang menggunakan merkuri di daerah<br />

sungai yang lebih tinggi dan/atau adanya susunan<br />

batuan yang mengandung merkuri (Tabel 4 hasil<br />

analisis batuan asal) di daerah penelitian.<br />

sebelum masuk kolam pengolahan (outlet<br />

pengolahan bijih) adalah 0,2 mg/L, dan setelah<br />

melewati 4 kolam pengolahan turun hingga 0,01<br />

mg/L atau turun sebanyak 0,19 mg/L. Kadar<br />

merkuri di daerah hilir lebih tinggi dibandingkan<br />

dengan daerah outlet pengolahan menandakan<br />

adanya penambahan merkuri yang mungkin<br />

berasal dari kegiatan di sekitar sungai tersebut<br />

meskipun pemerintah daerah sudah melakukan<br />

berbagai pembatasan.<br />

Kadar sianida yang berada diatas baku mutu<br />

terdapat di daerah/area pengolahan, hal ini<br />

Tabel 4.<br />

Hasil analisis sedimen pada kedalaman 0 – 10 cm dan batuan<br />

No.<br />

Lokasi<br />

Hg Pb Cu Zn As Cr Ni<br />

[ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm] [ppm]<br />

1 Kolam pengolahan 1 0,70 tt 17,86 54,3 74,70 45,6 8,31<br />

2 Kolam pengolahan 2 0,37 14,14 47,10 136,0 51,00 56,5 4,27<br />

3 Kolam pengolahan 3 0,36 65,40 162,00 367,0 39,00 86,0 8,98<br />

4 Kolam pengolahan 4 3,01 33,90 60,7 136,0 105,00 79,3 0,88<br />

5 5 meter dari pengolahan bijih 2,66 17,27 130,00 74,9 74,20 158,4 2,35<br />

6 Hulu S. Tanoyan* 0,17 tt 56,70 100,0 0,97 42,0 3,87<br />

7 Hilir S. Tanoyan (Hulu S. Onggak)* 0,20 tt 87,90 97,8 1,29 47,5 4,06<br />

8 Lubang tambang (batuan asal) 0,16 6,88 34,70 428,0 1,74 38,5 10,47<br />

Baku Mutu* 0,41 450 390 410 57 250 -<br />

Catatan:<br />

* Washington state Sediment, WAC 172 – 204 – 320<br />

Hasil penelitian terdahulu (Selinawati dan Ngurah<br />

Ardha, 2003) pada pertambangan emas di KUD<br />

Perintis data kualitas air yang mengandung kadar<br />

merkuri di kolam pengolahan 1 adalah 0.0814 ppm,<br />

kolam pengolahan 2 adalah 0.0539 ppm, sedangkan<br />

pada S. Onggak (hilir S. Tanoyan) mencapai<br />

0.0011. Pada saat itu, KUD Perintis melakukan<br />

pengolahan dengan proses amalgamasi saja dari<br />

bijih emas dan menggunakan hanya 2 kolam<br />

pengolahan. Data menunjukkan bahwa konsentrasi<br />

Hg dalam air sangat kecil, hal ini kemungkinan<br />

disebabkan karena kelarutan Hg dalam air sangat<br />

kecil. Pada penelitian ini (2008) nilai konsentrasi<br />

Hg di daerah pengolahan berkisar antara 0,15 –<br />

0,20 ppm. Peningkatan ini dimungkinakn oleh<br />

adanya ion CN dalam pengolahan tailing<br />

amalgamasi yang dapat melarutkan Hg.<br />

Berdasarkan hasil pemeriksaan kandungan logam,<br />

kolam pengolahan efektif dalam menurunkan kadar<br />

merkuri pada air buangan, dimana kadar merkuri<br />

dikarenakan proses pengolahan tailing<br />

amalgamasi menggunakan proses sianidasi. Pada<br />

proses sianidasi ini ditambahkan unsur Zn untuk<br />

mengendapkan logam emas dan peraknya. Tetapi<br />

rendahnya konsentrasi Zn di dalam air (tabel 2)<br />

dibandingkan konsentrasi awal/alami Zn pada<br />

batuan bijih (tabel 3) disebabkan terjadinya<br />

pengendapan unsur Zn selama aliran pengolahan.<br />

Proses yang biasanya terjadi adalah:<br />

2Zn + 2NaAu(CN) 2 + 4NaCN + 2H 2O = 2Au +<br />

2NaOH + 2Na 2Zn(CN) 4 + H 2<br />

3.2. Kualitas Sedimen<br />

Sedimen merupakan tempat logam berat<br />

mengendap secara gravitasi di badan perairan.<br />

Kualitas sedimen badan perairan harus lebih serius<br />

diperhatikan karena sifatnya sebagai tempat akhir<br />

logam berat di alam. Dan pada akhirnya logam<br />

berat yang ada di sedimen dapat kembali ke badan<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti<br />

111


air karena berbagai hal, misalnya karena arus<br />

sungai, hujan, atau jalur transportasi (DPE.<br />

Pedoman Teknis Penyusunan AMDAL untuk<br />

kegiatan <strong>Pertambangan</strong> dan Energi, 1996).<br />

Kontaminasi merkuri (Hg) dalam sedimen sungai<br />

terjadi karena proses alamiah (pelapukan batuan<br />

termineralisasi), proses pengolahan emas secara<br />

tradisional (amalgamasi), maupun proses industri<br />

yang menggunakan bahan baku yang mengandung<br />

merkuri. Untuk mengetahui sumber kontaminasi<br />

Hg ini perlu diperhatikan dengan cermat.<br />

Untuk mengetahui adanya kontaminasi logam<br />

berat dalam sedimen maka dilakukan pemeriksaan<br />

sedimen di lokasi yang diperkirakan terkena<br />

dampak proses pengolahan tailing. Pengambilan<br />

conto sedimen dilakukan pada kolam pengendap,<br />

hulu sungai, hilir sungai. Selanjutnya conto<br />

sedimen, batuan bijih, dan tanah dianalisis di<br />

laboratorium menggunakan metode AAS.<br />

Dari hasil analisis conto tersebut di atas, kemudian<br />

dilakukan perbandingan dengan peraturan dan<br />

standar yang dapat dianggap sebagai tolok ukur<br />

kualitas konsentrasi unsur di alam. Oleh karena<br />

itu sumber acuan yang dijadikan sebagai<br />

pembanding pada laporan ini adalah Washington<br />

state Sediment, WAC 172 – 204 – 320. Data<br />

kualitas sedimen dapat dilihat pada tabel 4.<br />

Adapun hasil penelitian kandungan merkuri dalam<br />

sedimen apabila dibandingkan dengan data tahun<br />

2003 menunjukkan penurunan. Namun demikian<br />

nilai tersebut masih dibawah ambang batas aman.<br />

Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai<br />

kualitas air dan sedimen pada tahun 2003 sebagai<br />

pembanding dapat dilihat pada Tabel 4.<br />

Berdasarkan hasil diatas, terlihat bahwa<br />

kandungan merkuri pada sedimen di daerah yang<br />

memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat<br />

sekitar (daerah hulu dan hilir sungai Tanoyan)<br />

berada dibawah ambang batas aman yang<br />

dikeluarkan Washington state Sediment, WAC<br />

172 – 204 – 320. Tetapi tetap perlu diperhatikan<br />

adanya keterkaitan antara kadar merkuri di air dan<br />

sedimen dengan beberapa faktor lingkungan, yaitu<br />

hujan, arus sungai, dan jalur transportasi<br />

masyarakat.<br />

Tabel 5. Conto data kualitas air dan sedimen di KUD Perintis tahun 2003<br />

No<br />

Lokasi<br />

Konsentrasi Hg [ppm]<br />

A i r Sedimen<br />

1 Kolam Pengolahan 1 0,0814 0,67<br />

2 Kolam Pengolahan 2 0,0539 3,12<br />

3 S. Tanoyan 1 (Hulu S. Tanoyan) 0,001 0,42<br />

4 S. Tanoyan 2 0,0739 1,49<br />

5 S. Tanoyan 3 0,0179 5,97<br />

6 S. Onggak 0,0011 0,92<br />

Sumber : Selinawati dan Ngurah Ardha, 2003<br />

Gambar 4.<br />

Hubungan keterkaitan antara konsentrasi merkuri di sedimen dan air<br />

112 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Pada Gambar 4 ditunjukkan hubungan antara<br />

konsentrasimerkuri di sedimen dan air, di mana<br />

semakin ke hilir badan air. Sedangkan jumlah<br />

merkuri di air dan sedimen sangat berkaitan,<br />

dimana keberadaan merkuri di air merupakan<br />

tempat singgah sementara sebelum sampai di<br />

dasar (berkaitan dengan berat jenisnya) dan juga<br />

merupakan pelepasan merkuri dari sedimen yang<br />

diakibatkan beberapa faktor, antara lain arus<br />

sungai (karena merupakan sungai dangkal), hujan,<br />

ataupun lintasan transportasi dari masyarakat<br />

sekitar. Kadar merkuri di air pada daerah<br />

pengolahan relatif rendah dibandingkan pada<br />

sedimen, hal ini disebabkan oleh adanya ikatan<br />

kompleks sebagai senyawa merkuri-sianid (HgCN)<br />

yang mengendap.<br />

4. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

4.1. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil kajian pengolahan tailing<br />

dengan proses sianidasi dapat ditarik kesimpulan<br />

sebagai berikut:<br />

• Berdasarkan informasi dari penambang<br />

karakterisasi pada kegiatan pengolahan tailing<br />

amalgamasi dengan proses sianidasi<br />

dipertambangan emas rakyat dapat<br />

meningkatkan efisiensi perolehan bulion emas<br />

dari bijihnya, dari +40% secara amalgamasi<br />

sendiri menjadi +90% secara kombinasi<br />

amalgamasi dan sianidasi, sehingga<br />

meningkatkan pendapatan para penambang.<br />

Proses kombinasi ini diterapkan karena<br />

keberadaan bijih emas dengan bentuk kasar<br />

semakin sedikit.<br />

• Kegiatan pengolahan tailing amalgamasi<br />

dengan proses sianidasi memberikan dampak<br />

negatif terhadap kualitas air dan sedimen<br />

disekitar lokasi pengolahannya. Konsentrasi<br />

Hg di air (0,01 - 0,034 mg/L) pada semua<br />

lokasi penelitian (hulu, outlet pengolahan, dan<br />

hilir) melewati baku mutu yang diperbolehkan<br />

(sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82<br />

Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air<br />

dan Pengendalian Pencemaran Air Kelas II<br />

dan KEP-202/MENLH/2004 tentang Baku<br />

Mutu Limbah Bagi Kegiatan Pengolahan Bijih<br />

Emas dan/atau Tembaga). Konsentrasi Hg<br />

pada sedimen (0,17 - 0,20 ppm) pada semua<br />

lokasi penelitian belum melewati ambang<br />

batas aman terhadap racun yang ada (sesuai<br />

Washington state Sediment, WAC 172 – 204<br />

– 320) yaitu sebesar 1 ppm. Tetapi kadar<br />

merkuri di sedimen itu dapat meningkat seiring<br />

mengendapnya merkuri ke dasar sungai.<br />

4.2. Saran<br />

Dari kegiatan penelitian merkuri dalam sedimen<br />

dan air pada pengolhan tailing amalgamasi di<br />

pertambangan emas rakyat secara sianidasi,<br />

maka diperlukan:<br />

• Pembinaan terhadap para penambang dan<br />

pengusaha pengolahan tailing agar lebih<br />

memeperhatikan aspek lingkungan dalam<br />

setiap kegiatannya.<br />

• Diperlukan adanya pengawasan yang lebih<br />

ketat dari pemerintah baik pusat maupun<br />

daerah berkaitan dengan kegiatan penambangan<br />

dan pengolahan emas yang memiliki<br />

dampak besar terhadap lingkungan.<br />

• Perlu dibentuk wilayah pertambangan rakyat<br />

(WPR) untuk lebih memudahkan pemerintah<br />

dalam hal koordinasi dan pengawasan<br />

kegiatan penambangan dan pengolahan emas<br />

rakyat.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu<br />

Selinawati TD dan Bapak Harry Tetra Antono atas<br />

saran serta sumbang wawasan terhadap tulisan<br />

ini.Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada<br />

Bapak Marsen Alimano dan Ibu Wulandari Surono<br />

yang telah membantu selama percobaan dan<br />

penelitian ini berlangsung.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anonim. Sediment Quality Standards (WAC 172-<br />

204-320). Washington NEL.<br />

Draft. Global Mercury Project, 2004, Protocol for<br />

Environment and Health Assessment.<br />

<strong>Departemen</strong> <strong>Pertambangan</strong> dan Energi., 1996,<br />

Pedoman Teknis Penyusunan Analisis<br />

Mengenai Dampak Lingkungan Untuk<br />

Kegiatan <strong>Pertambangan</strong> dan Energi.<br />

http://www.fathom.com/course/seasion2<br />

Karakteristik Merkuri dalam Sedimen dan Air pada Pengolahan ... M. Lutfi dan Retno Damayanti<br />

113


Tim Terpadu Pusat Penanggulangan Masalah<br />

<strong>Pertambangan</strong> Tanpa Ijin (PETI, 2000,<br />

Penanggulangan Masalah <strong>Pertambangan</strong><br />

Tanpa Izin (PETI) (Implementasi Inpres No.<br />

3 Tahun 2000). <strong>Departemen</strong> Energi dan<br />

Sumber Daya Mineral.<br />

Selinawati.T.D. and Ngurah Ardha, 2003, Study<br />

On Mercury Lost and Its Concentration from<br />

Artisanal Gold Minings in Indonesia. Research<br />

and Development Center for Mineral and Coal<br />

Technology.<br />

Yusuf, Rachmat, 2004, Amalgamasi.<br />

Penambangan dan Pengolahan Emas di Indonesia.<br />

Puslitbang Teknologi Mineral dan<br />

Batubara.<br />

World Commision on Enviroment & Development<br />

(WCED), 1987<br />

114 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


PENGARUH PENGGUNAAN ULTRASONIK<br />

TERHADAP HASIL PEMISAHAN PASIR ZIRKON<br />

KALIMANTAN TENGAH DENGAN ELECTROSTATIC<br />

SEPARATOR<br />

Pramusanto 1 , Nuryadi Saleh 1 , Yuhelda 1 dan Fitriza Yuliana 2<br />

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail : pramusanto@tekmira.esdm.go.id, nuryadi@tekmira.esdm.go.id, yuhelda@tekmira.esdm.go.id<br />

2 Jurusan Teknik <strong>Pertambangan</strong>, Universitas Islam Bandung (UNISBA)<br />

Jl. Taman Sari No. 1, 20, 22, 24, 26 Bandung 40116<br />

SARI<br />

Zirkon sebagai hasil tailing dari pengolahan emas aluvial di Kalimantan Tengah memiliki kadar yang<br />

rendah yaitu 36,38 % ZrO 2 sehingga belum memenuhi persyaratan untuk dijual ataupun diekspor.<br />

Peningkatan kadar zirkon dilakukan dengan beberapa metoda pengolahan. Zirkon yang dilakukan<br />

pemisahan merupakan konsentrat dari magnetik separator basah. Pemisahan dilakukan berdasarkan<br />

perbedaan sifat konduktifitas listrik menggunakan electrostatic separator dimana mineral zirkon (ZrSiO 4)<br />

sebagai mineral non konduktor akan terpisah dari mineral pengotornya sebagai mineral konduktor<br />

seperti ilmenit (FeTiO 3) dan rutil (TiO 2). Sebelum umpan dipisahkan menggunakan variabel – variabel<br />

optimum pada electrostatic separator terlebih dahulu umpan mendapat perlakuan ultrasonik<br />

(sonikfikasi).<br />

Variabel – variabel optimum pada electrostatic separator :<br />

• Variabel tegangan listrik 30 KV<br />

• Variabel posisi splitter 30°<br />

• Variabel skala kecepatan umpan 7,5<br />

Variabel optimum pada ultrasonik yaitu selama 30 menit dimana umpan yang mendapat perlakuan<br />

ultrasonik dapat membersihkan pasir zirkon dari unsur –unsur minor yang tidak diinginkan.<br />

Kata kunci: zirkon, ultrasonic, electrostatic separator<br />

ABSTRACT<br />

Zircon as tailing product of alluvial gold processing in Central Kalimantan has low grade that is 36,38<br />

% ZrO 2 so that has not fulfilled clauses to be sold and or is exported. Upgrading of zircon grade is<br />

done with a few processing method. Zircon done by concentration is concentrate from wet magnetic<br />

separator. Concentration is done based on different of electrical conductivity property applies electrostatic<br />

separator where zircon mineral (ZrSiO 4) as non conductor mineral will separated from its the<br />

gangue mineral as conductor mineral for example ilmenite (FeTiO 3) and rutile (TiO 2). Before feeder<br />

concentration using optimum variables at electrostatic separator beforehand feed got treatment of<br />

ultrasonic (sonicfication).<br />

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />

115


Optimum variables at electrostatic separator :<br />

• Voltage variable 30 KV<br />

• Variable position of splitter 30°<br />

• Feed speed scale variable 7,5<br />

Optimum variable at ultrasonic that is during 30 minutes where feeder getting treatment of ultrasonic<br />

can clean zircon sand from minor elements undesirable.<br />

Keyword: zircon, ultrasonic, electrostatic separator<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Indonesia sebagai salah satu negara penghasil<br />

zirkon memiliki penyebaran zirkon di Sumatera<br />

(Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Pulau Bangka,<br />

Pulau Belitung) dan di Kalimantan (Kalimantan<br />

Tengah, Kalimantan Timur) [Suhala dan Arifin,<br />

1997]. Zirkon yang terdapat di Pulau Bangka adalah<br />

mineral ikutan bijih timah (kasiterit) yang<br />

merupakan tailing dari pengolahan timah<br />

sedangkan zirkon yang terdapat di Kalimantan<br />

Tengah adalah mineral ikutan bijih emas aluvial<br />

yang merupakan tailing dari pengolahan bijih emas<br />

dengan alat sederhana sluice box. Karakteristik<br />

mineral - mineral pengotor pada zirkon sangat<br />

tergantung dari ganesa mineral sehingga setiap<br />

tempat memiliki karakteristik mineral yang<br />

berbeda (Pramusanto, Dahlan dan Saleh, 2007).<br />

Zirkon yang ditemukan di Kalimantan Tengah<br />

kemungkinan berasosiasi dengan mineral – mineral<br />

pengotor seperti ilmenit (FeTiO 3 ), monasit<br />

((Ce, La, Y, Th)PO 4 ), rutil (TiO 2 ), xenotim (YPO 4 )<br />

dan kuarsa (SiO 2 ) [www.bgl.esdm.go.id]. Sebagian<br />

besar mineral – mineral pengotor di atas<br />

merupakan mineral berat sehingga perlu dilakukan<br />

pengolahan dan peningkatan nilai tambahnya.<br />

Pendekatan proses pengolahan mineral zirkon,<br />

proses mana yang lebih baik itu umumnya<br />

tergantung pada karakteristik zirkon yang akan<br />

diolah maupun pemanfaatan dari produk yang akan<br />

dihasilkan (Pramusanto dkk, 1997).<br />

Pemisahan secara kering yang dilakukan pada<br />

mineral - mineral berat yang terdapat dalam<br />

konsentrat menggunakan berbagai macam<br />

pemisahan berdasarkan sifat - sifat fisik mineral<br />

seperti konduktifitas listrik, kemagnetan dan gaya<br />

berat (Woodcock, 1980). Perlakuan ultrasonik<br />

(sonikasi) dilaporkan dapat membersihkan lebih<br />

lanjut terhadap produk pasir zirkon dari unsur –<br />

unsur minor yang tidak diinginkan (Farmer, 2007).<br />

Hasil penelitian pengolahan terdahulu yang telah<br />

dilakukan (Saleh dan Pramusanto, 2007) yaitu<br />

pemisahan berdasarkan berat jenis menggunakan<br />

meja goyang dan berdasarkan sifat kemagnetan<br />

menggunakan magnetik separator kering<br />

dilanjutkan dengan magnetik separator basah.<br />

Berdasarkan hasil analisis kimia terhadap<br />

konsentrat magnetik separator basah ternyata<br />

masih terdapat unsur-unsur mineral pengotor<br />

seperti rutil (TiO 2 ) dan ilmenit (FeTiO 3 ). Mineral<br />

rutil dan zirkon bersifat non magnet sehingga<br />

proses pengolahan yang dilakukan sebatas<br />

pemisahan berdasarkan sifat kemagnetan masih<br />

belum memadai.<br />

Untuk membersihkan partikel – partikel halus yang<br />

menempel pada permukaan zirkon, sehingga<br />

umpan perlu mendapat perlakuan ultrasonik<br />

sebelum dipisahkan menggunakan variabel –<br />

variabel optimum pada electrostatic separator.<br />

2. METODOLOGI<br />

Metodologi peningkatan kadar pasir zirkon<br />

Kalimantan Tengah yang telah dilakukan studi<br />

bahan baku oleh pihak laboratorium pengolahan<br />

<strong>tekMIRA</strong>, yaitu dengan melakukan percobaan<br />

menggunakan ultrasonik sebelum umpan<br />

dipisahkan menggunakan variabel – variabel optimum<br />

pada electrostatic separator. Analisis<br />

terhadap nisbah konsentrasi (NK) bertujuan untuk<br />

mengetahui perbandingan antara berat umpan<br />

yang akan dipisahkan dengan berat konsentrat<br />

yang diperoleh pada proses pemisahan yang<br />

dilakukan dan kemudian akan korelasikan dengan<br />

kadar zirkon (ZrO 2 ).<br />

2.1. Persiapan dan Analisis Umpan<br />

Preparasi umpan yang akan dipisahkan<br />

berdasarkan perbedaan sifat konduktifitas listrik<br />

116 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


yang berasal dari konsentrat magnetik separator<br />

basah dilakukan bertujuan untuk mendapatkan<br />

contoh yang representatif.<br />

2.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon<br />

dengan Electrostatic Separator<br />

Peningkatan kadar pasir zirkon dalam penelitian<br />

ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan electrostatic<br />

separator yang digunakan dalam<br />

peningkatan kadar. Peningkatan kadar dapat<br />

dilakukan dengan cara memisahkan mineral non<br />

konduktor sebagai mineral berharga yaitu ZrSiO 4<br />

dengan mineral - mineral konduktor sebagai mineral<br />

pengotor seperti; TiO 2, FeTiO 3 dan lain-lain<br />

menggunakan electrostatic separator. Alat electrostatic<br />

separator yang digunakan dalam<br />

percobaan dapat dilihat pada Gambar 1.<br />

Gambar 1.<br />

Electrostatic Separator dari<br />

Reichert Equipment tipe MK III<br />

Bench seri 063<br />

2.3. Percobaan Menggunakan Ultrasonik<br />

Percobaan menggunakan alat ultrasonik yang<br />

biasa digunakan untuk membersihkan ayakan<br />

berukuran halus, seperti pada Gambar 2; dalam<br />

penelitian ini dilakukan untuk membersihkan<br />

partikel–partikel halus yang mungkin masih<br />

menempel pada permukaan butiran umpan<br />

sebelum dipisahkan dengan electrostatic separator.<br />

Gambar 2.<br />

Alat ultrasonik<br />

Percobaan dilakukan dengan variabel waktu getar<br />

selama 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit.<br />

Pertama sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur<br />

yang berukuran 250 ml dan ditambahkan air<br />

sebanyak 150 ml atau 60 % dari kapasitas tempat<br />

penampungannya. Kemudian gelas ukur tersebut<br />

diletakkan di atas jaring atau kawat yang berada<br />

di dalam alat ultrasonik. Getaran yang terjadi pada<br />

alat ultrasonik membawa mineral ringan terangkat<br />

ke atas sehingga berdasarkan masing–masing<br />

waktu yang di variabelkan, terdapat perbedaan<br />

warna mineral yang berada di dalam gelas ukur<br />

yang telah bercampur dengan air. Setelah<br />

digetarkan menggunakan alat ini, mineral yang<br />

berada pada posisi atas dipisahkan dan terlihat<br />

lebih berwarna hitam sedangkan pada posisi<br />

bawah sebagai konsentrat berwarna coklat<br />

kemerah – merahan.<br />

Setelah perlakuan ultrasonik dilakukan, kemudian<br />

dilakukan pemisahan basah secara manual antara<br />

partikel mineral berat yang berada pada bagian<br />

bawah gelas ukur dengan partikel mineral ringan<br />

yang berada pada bagian atas. Partikel yang<br />

berada pada bagian atas diambil menggunakan<br />

sendok tipis secara perlahan, sedangkan sisanya<br />

yang melayang diambil dengan cara disaring<br />

menggunakan kertas penyaring. Ukuran partikel<br />

mineral sebagai hasil saringan terlihat sangat halus<br />

dibandingkan dengan ukuran butiran partikel yang<br />

mengendap. Selama percobaan ini juga terlihat<br />

air yang sebelumnya jernih berubah menjadi keruh.<br />

Sampel hasil pemisahan setelah perlakuan<br />

ultrasonik kemudian dijadikan umpan pada<br />

pemisahan dengan electrostatic separator setelah<br />

dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pengering<br />

selama satu hari. Kemudian pemisahan dilakukan<br />

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />

117


pada kondisi variabel optimum dengan electrostatic<br />

separator yang telah dilakukan pada<br />

percobaan sebelumnya.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1. Analisis Umpan<br />

Hasil analisis kimia secara XRF (Fluoresen Sinar<br />

X) terhadap umpan sebelum dipisahkan<br />

menggunakan electrostatic separator dapat dilihat<br />

pada Gambar 3, menjabarkan grafik persentase<br />

semua unsur yang terdeteksi dalam skala logaritma.<br />

100<br />

10<br />

terhadap nisbah konsentrasi dan kadar ZrO 2 pada<br />

Gambar 4 yaitu semakin besar tegangan listrik<br />

yang digunakan maka nisbah konsentrasinya<br />

semakin kecil dan kadar ZrO 2 yang dihasilkanpun<br />

semakin besar. Pemisahan yang baik seharusnya<br />

menghasilkan nisbah konsentrasi yang besar dan<br />

kadar ZrO 2 yang besar pula. Hal ini berbeda<br />

dengan hasil percobaan yang dilakukan yang<br />

kemungkinan disebabkan oleh pengaruh<br />

perbedaan sifat kelistrikan atau konduktifitas mineral-mineral<br />

yang terdapat dalam umpan seperti<br />

mineral zirkon (ZrSiO 4), ilmenit (FeTiO 3), hematit<br />

(Fe 2O 3), rutil (TiO 2) dan lain-lain. Kemungkinan<br />

lain dapat disebabkan oleh jarak elektroda yang<br />

tidak sesuai, tetapi jarak elektroda tidak<br />

divariasikan di dalam percobaan ini. Dimana<br />

dengan jarak elektroda yang terlalu dekat dan<br />

tegangan yang besar akan menyebabkan<br />

tertariknya semua mineral, baik yang bersifat<br />

konduktor kuat maupun konduktor lemah.<br />

1<br />

0.1<br />

0.01<br />

SiO2<br />

Al2O3<br />

Fe2O3<br />

MnO<br />

CaO<br />

MgO<br />

Na2O<br />

K2O<br />

P2O5<br />

TiO2<br />

S<br />

ZrO2<br />

Nb2O5<br />

HfO2<br />

Y2O3<br />

Kadar (%)<br />

Cr2O3<br />

CeO2<br />

ThO2<br />

Unsur<br />

Hasil Analisis Umpan<br />

Gambar 3.<br />

Hasil analisis umpan<br />

3.2. Peningkatan Kadar Pasir Zirkon<br />

dengan Electrostatic Separator<br />

Di dalam percobaan electrostatic separator ini<br />

dilakukan analisis kimia secara XRF (Fluoresen<br />

Sinar X) untuk meninjau perubahan unsur-unsur<br />

terhadap konsentrat akibat pengaruh dari variabelvariabel<br />

percobaan terhadap nisbah konsentrasi<br />

dan peningkatkan kadar.<br />

3.2.1 Pengaruh tegangan listrik terhadap<br />

nisbah konsentrasi dan kadar ZrO 2<br />

Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu<br />

tegangan listrik sedangkan variabel tetapnya pada<br />

posisi splitter 40° dan pada skala kecepatan umpan<br />

5. Hasil percobaan dengan memvariabelkan<br />

tegangan listrik 15 KV, 20 KV, 25 KV dan 30 KV<br />

menghasilkan nisbah konsentrasi secara berturutturut<br />

sebesar 6,81, 4,39, 3,11, 1,68 dengan kadar<br />

ZrO 2 yang diperoleh sebesar 56,51 %, 57,46 %,<br />

59,67 % dan 61,96 %. Pengaruh tegangan listrik<br />

Gambar 4.<br />

Pengaruh tegangan listrik<br />

terhadap nisbah konsentrasi<br />

dan kadar ZrO 2 pada posisi<br />

splitter 40° dan skala kecepatan<br />

umpan 5<br />

3.2.2 Pengaruh skala kecepatan umpan<br />

terhadap nisbah konsentrasi dan kadar<br />

ZrO 2<br />

Percobaan dilakukan dengan variabel berubah yaitu<br />

skala kecepatan umpan sedangkan variabel<br />

tetapnya pada tegangan listrik 30 KV dan posisi<br />

splitter 30 0 . Kecepatan umpan yang digunakan<br />

pada masing – masing skala kecepatan umpan<br />

2,5, 5, 7,5, 10 secara berurutan sebesar 0,47<br />

gram/menit, 2,38 gram/menit, 3,4 gram/menit dan<br />

5 gram/menit. Nisbah konsentrasi yang diperoleh<br />

pada skala kecepatan umpan 2,5, (0,47 gram/<br />

menit), 5 (2,38 gram/menit), 7,5 (3,4 gram/menit)<br />

dan 10 (5 gram/menit) secara berturut – turut<br />

118 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


sebesar 1,19, 1,15, 1,18, 1,14 dengan kadar ZrO 2<br />

yang diperoleh sebesar 61,45 %, 62,70 %, 63,42<br />

% dan 62,52 %.<br />

Nisbah Konsentrasi<br />

1.2<br />

1.19<br />

1.18<br />

1.17<br />

1.16<br />

1.15<br />

1.14<br />

1.13<br />

Gambar 5.<br />

0.47 2.38 3.40 5.00<br />

Kecepatan (gram/menit)<br />

NK<br />

Kadar<br />

63.5<br />

63<br />

62.5<br />

62<br />

61.5<br />

Pengaruh skala kecepatan<br />

umpan terhadap nisbah<br />

konsentrasi dan kadar ZrO 2<br />

pada tegangan listrik 30 KV dan<br />

posisi splitter 30°<br />

Berdasarkan grafik pada Gambar 5, pengaruh<br />

kecepatan umpan terhadap nisbah konsentrasi<br />

dan kadar ZrO 2 yaitu semakin cepat umpan yang<br />

diberikan maka nisbah konsentrasinya semakin<br />

kecil dan kadar ZrO 2 yang dihasilkanpun semakin<br />

besar. Dengan kecepatan yang tinggi, umpan yang<br />

berukuran kasar cenderung mengalami lifting effect<br />

meskipun tidak bersifat sebagai konduktor dan<br />

umpan yang berukuran halus cenderung<br />

mengalami pinning effect. Kecepatan umpan<br />

(gram/menit) pada percobaan ini tergantung skala<br />

kecepatan umpan yang dipakai dan berat masing<br />

– masing umpan yang digunakan dalam<br />

percobaan. Kecepatan yang tinggi akan<br />

mengakibatkan mineral – mineral non konduktor<br />

kasar akan terlempar ke konduktor sehingga kadar<br />

zirkon akan rendah.<br />

3.2.3 Pengaruh penggunaan ultrasonik<br />

terhadap nisbah konsentrasi dan kadar<br />

ZrO 2<br />

Ultrasonik bekerja dengan getarannya untuk<br />

melepaskan ikatan – ikatan mineral pengotor<br />

lainnya pada mineral zirkon sebagai mineral<br />

utama. Percobaan pada alat ultrasonik dilakukan<br />

dengan memvariabelkan waktu getar selama 15,<br />

30, 45 dan 60 menit. Konsentrat kering dari<br />

ultrasonik kemudian dipisahkan menggunakan<br />

electrostatic separator dengan variabel optimum<br />

pada percobaan sebelumnya yaitu pada tegangan<br />

listrik 30 KV, posisi splitter 30 0 dan skala<br />

61<br />

Kadar ZrO2 (%)<br />

kecepatan umpan 7,5.<br />

Nisbah konsentrasi yang diperoleh setelah<br />

dipisahkan menggunakan electrostatic separator<br />

dengan variabel waktu 15, 30, 45, 60 menit pada<br />

ultrasonik secara berturut – turut sebesar 1,10,<br />

1,09, 1,14 dan 1,12 dengan kadar ZrO 2 yang<br />

diperoleh sebesar 60,58 %, 60,92 %, 60,68 % dan<br />

60,69 %. Pengaruh penggunaan ultrasonik dengan<br />

variabel waktu terhadap nisbah konsentrasi dan<br />

kadar ZrO 2 berdasarkan Gambar 6 di atas adalah<br />

semakin lama waktu getar yang diberikan oleh<br />

ultrasonik terhadap umpan, maka nisbah<br />

konsentrasi dan kadar ZrO 2 yang dihasilkan akan<br />

semakin besar. Hal ini disebabkan karena lamanya<br />

waktu getar akan mempengaruhi hasil kerja<br />

gelombang ultrasonik sehingga juga akan<br />

berpengaruh terhadap hasil umpan yang akan<br />

dipisahkan menggunakan electrostatic separator.<br />

Nisbah Konsentrasi<br />

1.15<br />

1.14<br />

1.13<br />

1.12<br />

1.11<br />

1.1<br />

1.09<br />

1.08<br />

Gambar 6.<br />

15 30 45 60<br />

Waktu (Menit)<br />

NK<br />

Kadar<br />

61<br />

60.9<br />

60.8<br />

60.7<br />

60.6<br />

60.5<br />

Pengaruh penggunaan<br />

ultrasonik terhadap nisbah<br />

konsentrasi dan kadar ZrO 2<br />

pada tegangan listrik 30 KV,<br />

posisi splitter 30 0 dan skala<br />

kecepatan umpan 7,5<br />

3.2.4 Pengaruh penggunaan ultrasonik<br />

terhadap perolehan dan kadar ZrO 2<br />

Berdasarkan grafik yang terdapat pada Gambar 7<br />

dapat ditarik garis rata – rata sehingga diperoleh<br />

grafik yang menunjukkan kecenderungan<br />

perubahan perolehan dan kadar ZrO 2 terhadap<br />

penggunaan ultrasonik. Berdasarkan waktu getar<br />

selama 15 menit pada alat ultrasonik perolehan<br />

yang didapatkan lebih dari 90 % dan kadar 60,58<br />

% ZrO 2. Pada waktu getar selama 30 menit<br />

perolehan yang didapatkan lebih dari 90 % dan<br />

kadar 60,92 % ZrO 2. Pada waktu getar selama 45<br />

menit perolehan yang didapatkan hampir 90 % dan<br />

kadar 60,68 % ZrO 2 sedangkan pada waktu getar<br />

Kadar ZrO2 (%)<br />

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />

119


selama 60 menit perolehan yang didapatkan 90<br />

% dan kadar 60,69 % ZrO 2. Perbedaan perolehan<br />

dan kadar ZrO 2 yang didapatkan pada percobaan<br />

tidak begitu jauh dimana perolehan rata – rata<br />

zirkon hampir 90 % dengan kadar 60 % ZrO 2.<br />

Kondisi optimum penggunaan ultrasonik yaitu<br />

pada waktu getar selama 30 menit.<br />

Perolehan (%)<br />

93<br />

92<br />

91<br />

90<br />

89<br />

88<br />

87<br />

Gambar 7.<br />

15 30 45 60<br />

Waktu (Menit)<br />

Perolehan ZrO2<br />

Kadar ZrO2<br />

61<br />

60.8<br />

60.6<br />

60.4<br />

60.2<br />

Pengaruh penggunaan<br />

ultrasonik terhadap perolehan<br />

dan kadar ZrO 2 pada tegangan<br />

listrik 30KV, posisi splitter 40°<br />

dan skala kecepatan umpan 7,5<br />

Selain itu, hasil analisis pada percobaan dengan<br />

variabel optimum yaitu pada tegangan listrik 30<br />

KV, posisi splitter 30 0 dan skala kecepatan umpan<br />

7,5 diperbandingkan antara umpan yang tidak dan<br />

yang mendapat perlakuan ultrasonik. Hasil<br />

perbandingan dapat dilihat pada Gambar 8.<br />

60<br />

Kadar (%)<br />

unsur - unsur yang kadarnya naik dan turun<br />

bahkan ada beberapa unsur yang hilang. Unsur -<br />

unsur yang kadarnya naik antara lain Al 2O 3, CaO,<br />

MgO, Na 2O, K 2O, P 2O 5, TiO 2 dan S. Sedangkan<br />

unsur - unsur yang kadarnya turun antara lain SiO 2,<br />

Fe 2O 3, ZrO 2, HfO 2 dan Y 2O 3. Selain itu, beberapa<br />

unsur yang hilang setelah mendapat perlakuan<br />

ultrasonik antara lain MnO, Nb 2O 5, Cr 2O 3 dan<br />

ThO 2. Dari hasil percobaan yang dilakukan bahwa<br />

ada beberapa unsur yang tidak diinginkan hilang<br />

setelah mendapatkan perlakuan ultrasonik.<br />

Hal ini terjadi karena adanya pengaruh getaran<br />

yang diberikan pada umpan dengan waktu getar<br />

tertentu sehingga dapat melepaskan partikel halus<br />

dari mineral pengotor yang melekat pada<br />

permukaaan umpan yang akan dipisahkan.<br />

Pengaruh gelombang ultrasonik ini cukup kuat dan<br />

efektif untuk melepaskan partikel halus berupa<br />

mirel pengotor yang melekat pada permukaan<br />

sampel bijih zirkon. Selain itu, frekuensi yang ada<br />

pada ultrasonik kemungkinan akan mempengaruhi<br />

terjadinya efek mekanik seperti gerakan – gerakan<br />

partikel pada umpan yang berada di dalam gelas<br />

ukur sehingga dapat menimbulkan gaya gesek,<br />

tekanan dan getaran pada butiran umpan.<br />

4. KESIMPULAN<br />

Berdasarkan hasil percobaan terhadap pengaruh<br />

penggunaan ultrasonik terhadap pasir zirkon<br />

Kalimantan Tengah hasil pemisahan dengan electrostatic<br />

separator, didapat beberapa kesimpulan :<br />

Kadar (%)<br />

100<br />

10<br />

1<br />

1. Pada percobaan pengaruh tegangan listrik,<br />

kadar ZrO 2 optimum sebesar 61,96 % yaitu<br />

pada tegangan listrik 30 KV dengan nisbah<br />

konsentrasi 1,68.<br />

0.1<br />

0.01<br />

SiO2<br />

Al2O3<br />

Fe2O3<br />

MnO<br />

CaO<br />

MgO<br />

Na2O<br />

K2O<br />

Sebelum M endapat Perlakuan Ultrasonik<br />

P2O5<br />

TiO2<br />

S<br />

ZrO2<br />

Nb2O5<br />

HfO2<br />

Y2O3<br />

Cr2O3<br />

ThO2<br />

Unsur<br />

Setelah M endapat Perlakuan Ultrasonik<br />

2. Pada percobaan pengaruh skala kecepatan<br />

umpan, kadar ZrO 2 optimum sebesar 63,42<br />

% yaitu pada skala 7,5 (3,4 gram/menit)<br />

dengan nisbah konsentrasi 1,18.<br />

Gambar 8.<br />

Perbandingan kandungan unsurunsur<br />

sebelum dan setelah<br />

mendapatkan perlakuan<br />

ultrasonik<br />

3. Pada percobaan umpan yang mendapat<br />

perlakuan ultrasonik, kadar ZrO 2 optimum<br />

sebesar 60,92 % yaitu pada waktu getar 30<br />

menit dengan nisbah konsentrasi 1,09 dan<br />

perolehan lebih dari 90 %.<br />

Berdasarkan Gambar 8, setelah umpan mendapat<br />

perlakuan ultrasonik terlihat adanya beberapa<br />

4. Adanya beberapa unsur yang hilang setelah<br />

mendapat perlakuan ultrasonik (sonikasi)<br />

diantaranya MnO, Nb 2 O 5 , Cr 2 O 3 dan ThO 2 .<br />

120 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


DAFTAR PUSTAKA<br />

Dahlan, Yuhelda., 2008, “Peningkatan Nilai<br />

Tambah Pasir Zirkon Kalimantan Tengah”,<br />

Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />

Farmer, A. D, 2007, Agricola Consulting Services<br />

Pty Ltd, Chatswood NSW 2067, Australia,<br />

Komunikasi Langsung.<br />

Kelly, Errol G., David J. Spottiswood, 1982 “Introduction<br />

to Mineral Processing”, John Willey &<br />

Sons, New York<br />

Mular, Andrew L., 2000, “Elements Of Mineral<br />

Process Engineering”, Department of Mining<br />

and Mineral Process Engineering University<br />

of British Columbia Vancouver, B.C. Canada.<br />

Pramusanto., Ardha. N., Rochani. S., Muta’alim.,<br />

1997, “Pengembangan Produk dan<br />

Peningkatan Mutu Bahan Galian”, Puslitbang<br />

Teknologi Mineral Bidang Litbang Teknologi<br />

Pengolahan Mineral.<br />

Pramusanto., Dahlan. Y., Saleh. N., dkk, 2007,<br />

“Pembuatan Zirconia dari Pasir Zircon<br />

Kalimantan dan Bangka”, Puslitbang <strong>tekMIRA</strong>.<br />

Saleh, Nuryadi dan Pramusanto., 2007, “Heavy<br />

Mineral Sands Separation of Waringin, Central<br />

Kalimantan”, <strong>Kolokium</strong> <strong>Pertambangan</strong><br />

2007, Puslitbang Teknologi Mineral dan<br />

Batubara-<strong>tekMIRA</strong>.<br />

Suhala, Supriatna., dan Arifin M., 1997, “Bahan<br />

Galian Industri”, Pusat Pengembangan<br />

Teknologi Mineral, Bandung.<br />

Woodcock. J. T., 1980, “Mining and Metallurgical<br />

Practices in Australia”, The Australian Institute<br />

of Mining and Metallurgy, Victoria, Australia.<br />

Pengaruh Penggunaan Ultrasonik terhadap Hasil Pemisahan Pasir Zirkon ... Pramusanto, dkk.<br />

121


PENGGUNAAN PASIR SUNGAI SEBAGAI<br />

BED MATERIAL PADA GASIFIKASI BATUBARA<br />

SISTEM FLUIDIZED BED<br />

Nurhadi dan Slamet Suprapto<br />

Pussat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara<br />

Jl. Jend. Sudirman no. 623 Bandung 40211<br />

Telp. 022 - 6030483 Fax. 022 - 6003373<br />

e-mail: Nurhadi@tekmira.esdm.go.id<br />

SARI<br />

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan pasir sungai sebagai bed material<br />

terhadap konversi karbon, komposisi gas produk, efisiensi gasifikasi dan rasio gas hidrogen terhadap<br />

gas karbon monoksida pada proses gasifikasi batubara tipe fluidized bed. Variabel yang digunakan<br />

adalah jumlah bed material dan jenis bed material. Percobaan dilakukan dengan memanaskan bed<br />

material dalam gasifier menggunakan media fluidisasi gas nitrogen. Setelah suhu gasifier mencapai<br />

900°C, percontoh batubara dan oksigen di-input-kan ke dalam reaktor, sehingga terjadi reaksi gasifikasi.<br />

Gas produk dimurnikan dan didinginkan melalui siklon, heat exchanger dan scrubber untuk selanjutnya<br />

dianalisa komposisinya menggunakan gas kromatografi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa<br />

penggunaan pasir sungai sebagai bed material dapat berfungsi baik sebagai dalam proses pembuatan<br />

gas sintesis dari batubara dilihat dari komposisi syngas, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi.<br />

Kata kunci: gasifikasi, batubara, bed material , pasir sungai<br />

ABSTRACT<br />

This research was conducted to know the influence of river sand use as bed material to carbon<br />

conversion, product gas composition, gasification efficiency and ratio of hydrogen to carbon monoxide<br />

in fluidized bed coal gasification. Experiment was conducted by heated bed material in gasifier<br />

used nitrogen gas as fluidization media. After gasifier temperature reaching 900°C, coal sample and<br />

oxygen were inputted into reactor, and gasifying reaction happened. Gas product (syngas) was purified<br />

and cooled through cyclone, heat exchanger, and scrubber. Finally, syngas composition was<br />

analyzed by gas chromatography. Result was shown river sand use as bed material functioned well<br />

based on syngas composition, carbon conversion and gasification efficiency.<br />

Keywords: gasification, coal, bed material, river sand<br />

122 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


1. PENDAHULUAN<br />

Sumber daya batubara Indonesia yang berjumlah<br />

107,4 milyar ton merupakan aset ekonomi dan aset<br />

energi yang sampai saat ini belum dapat<br />

dimanfaatkan secara optimal (Setiawan, 2008).<br />

Pemanfaatan batubara peringkat rendah dengan<br />

teknologi gasifikasi menghasilkan produk yang<br />

mudah dikonversi menjadi beberapa macam<br />

sumber energi dan bahan baku industri kimia.<br />

Gasifikasi batubara adalah reaksi antara batubara<br />

dengan pereaksi udara, uap air, karbon dioksida<br />

atau campuran dari zat tersebut dan menghasilkan<br />

campuran gas yang dapat dibakar. Gas produk<br />

gasifikasi berupa campuran gas hidrogen, karbon<br />

monoksida, karbon dioksida, nitrogen dan<br />

hidrokarbon rantai ringan (Kubota, 2006). Gas<br />

produk ini dapat langsung dimanfaatkan sebagai<br />

bahan bakar gas atau dikonversi menjadi berbagai<br />

macam sumber energi dan bahan baku industri<br />

kimia (Penner, 1987).<br />

Fluidized bed merupakan sistem yang efisien<br />

untuk kontak fase gas-padat. Gasifikasi batubara<br />

tipe fluidized bed menggunakan bed material<br />

berupa pasir. Bed material digunakan sebagai<br />

transfer panas, sehingga suhu dalam gasifier<br />

menjadi homogen. Gas pereaksi masuk dari<br />

bagian bawah gasifier melalui plat distributor untuk<br />

mengangkat bed material, sehingga menjadi<br />

unggun terfluidisasi. Batubara dimasukkan ke<br />

dalam gasifier dari bagian samping gasifier<br />

menggunakan screw feeder (Kunii dan Levenspiel,<br />

1991).<br />

Pasir sungai cukup melimpah keberadaannya di<br />

Indonesia dan harganya cukup murah, sehingga<br />

sangat cocok dikembangkan sebagai bed material<br />

untuk gasifikasi batubara menggunakan gasifier<br />

tipe fluidized bed. Penelitian ini dilakukan<br />

untuk mengetahui pengaruh penggunaan pasir<br />

sungai sebagai bed material terhadap konversi<br />

karbon, komposisi gas produk dan efesiensi<br />

gasifikasi pada proses gasifikasi batubara tipe fluidized<br />

bed.<br />

2. METODOLOGI PENELITIAN<br />

Penelitian pembuatan gas sintesis dilakukan<br />

terhadap percontoh batubara Indonesia, sehingga<br />

diperoleh karakteristik proses pembuatan gas<br />

sintesis menggunakan batubara Indonesia.<br />

Batubara yang digunakan adalah batubara peringkat<br />

lignit dengan variabel jenis bed material, yaitu<br />

menggunakan pasir silika dan pasir sungai.<br />

Peralatan yang digunakan untuk kegiatan ini terdiri<br />

atas 1 unit peralatan pembuatan gas sintesis skala<br />

laboratorium. Bahan-bahan yang digunakan untuk<br />

percobaan ini adalah batubara, oksigen dan nitrogen<br />

sebagai bahan baku. Sebagai bed material<br />

digunakan pasir silika dan pasir sungai. Bagan<br />

alir proses penelitian pembutan gas sintesis dapat<br />

dilihat pada Gambar 1.<br />

Gambar 1. Diagram alir penelitian pembuatan gas sintesis (Nurhadi, dkk., 2006)<br />

Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ... Nurhadi dan Slamet Suprapto<br />

123


3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Tabel 2.<br />

Sifat kimia pasir silika<br />

Percontoh batubara yang digunakan untuk<br />

percobaan adalah batubara lignit yang berasal dari<br />

Sumatera Selatan. Hasil analisis percontoh<br />

batubara dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk<br />

percobaan gasifikasi percontoh batubara<br />

dipreparasi, sehingga diperoleh ukuran partikel –<br />

48 + 60 mesh.<br />

Parameter<br />

Nilai<br />

SiO 2, % 97,20<br />

Al 2O 3, % 0,55<br />

CaO, % 0,26<br />

MgO, %<br />

TT<br />

Fe 2O 3, %<br />

TT<br />

TT = tidak terdeteksi<br />

Tabel 1.<br />

Hasil analisis percontoh batubara<br />

Parameter<br />

Nilai<br />

Analisis Proksimat<br />

Air Total, %. a.r. 53,37<br />

Air Lembab, % adb. 21,58<br />

Abu, % adb. 1,83<br />

Zat Terbang, % adb. 39,36<br />

Karbon Padat, % adb. 37,23<br />

Nilai Kalor, kal/g adb. 4,975<br />

Analisis Ultimat<br />

Abu, % adb. 1,83<br />

Belerang, % adb. 0,16<br />

Karbon, % adb. 54,03<br />

Hidrogen, % adb 6,14<br />

Nitrogen, % adb. 0,48<br />

Oksigen, % adb. 31,24<br />

Bed material berupa pasir silika dan pasir sungai<br />

juga sudah dianalisis seperti terlihat pada Tabel 2<br />

dan Tabel 3. Untuk percobaan masing-masing bed<br />

material dipreparasi sehingga diperoleh ukuran<br />

partikel – 48 + 60 mesh.<br />

Hasil percobaan penelitian skala laboratorium<br />

pembuatan gas sintesis dari batubara berupa<br />

Tabel 3.<br />

Sifat kimia pasir sungai<br />

Parameter<br />

Nilai<br />

SiO 2 , % 46,90<br />

Al 2 O 3 , % 19,24<br />

CaO, % 8,83<br />

MgO, % 5,01<br />

Fe 2 O 3 , %<br />

TT<br />

TT = tidak terdeteksi<br />

komposisi produk syngas, nilai kalor, neraca<br />

massa, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi<br />

pada berbagai variabel dapat dilihat pada Tabel 4<br />

sampai dengan Tabel 6. Penelitian dilakukan<br />

terhadap dua jenis bed material, yaitu pasir silika<br />

dan pasir sungai. Setiap bed material kemudian<br />

digunakan dalam percobaan dengan variasi 15<br />

gram (P Silika 15 dan P Sungai 15), 20 gram (P<br />

Silika 20 dan P Sungai 20) dan 25 gram (P Silika<br />

25 dan P Sungai 25).<br />

Hasil percobaan yang dibahas dalam makalah ini<br />

meliputi pengaruh jenis bed material pasir silika<br />

dan pasir sungai terhadap komposisi gas terutama<br />

kadar CO dan H 2 , nilai kalor, neraca massa,<br />

konversi karbon dan efisiensi gasifikasi.<br />

Tabel 4.<br />

Komposisi produk syngas<br />

Kode<br />

Komposisi Rata-rata Tanpa Nitrogen (% mol)<br />

Percontoh H 2 O 2 CO CH 4 CO 2 C 2 H 4 total H 2 /CO BM<br />

P Silika 15 30,32 5,57 42,36 3,36 15,03 3,31 100 0,716 22,3932<br />

P Silika 20 30,23 3,52 44,01 2,32 16,66 2,95 100 0,687 22,6278<br />

P Silika 25 30,02 3,55 43,85 2,52 17,19 2,54 100 0,685 22,7437<br />

P Sungai 15 32,80 2,89 42,91 2,83 15,90 2,48 100 0,764 21,7938<br />

P Sungai 20 32,86 2,94 43,34 2,36 15,26 3,51 100 0,758 21,8542<br />

P Sungai 25 32,05 2,18 44,58 1,56 16,73 3,05 100 0,719 22,3170<br />

124 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Tabel 5.<br />

Neraca massa bahan baku dan produk<br />

Kode Percontoh<br />

Bahan Baku (mg/s) Produk Syngas By Produk Ter By Produk Char<br />

Batubara O 2 (mg/s) (mL/s) (mg/s) (mg/s)<br />

P Silika 15 1,067 0,982 1,287 1,287 0,577 0,185<br />

P Silika 20 1,067 0,982 1,449 1,434 0,465 0,135<br />

P Silika 25 1,067 0,982 1,433 1,411 0,499 0,117<br />

P Sungai 15 1,067 0,982 1,340 1,377 0,587 0,122<br />

P Sungai 20 1,067 0,982 1,354 1,388 0,586 0,108<br />

P Sungai 25 1,067 0,982 1,384 1,389 0,579 0,086<br />

Tabel 6.<br />

Nilai kalor, konversi karbon dan efisiensi<br />

gasifikasi<br />

Kode Konversi C Efisiensi Nilai Kalor<br />

Percontoh (%) Gasifikasi (%) (kkal/Nm 3 )<br />

P Silika 15 67 74 3,070<br />

P Silika 20 77 80 2,959<br />

P Silika 25 75 77 2,899<br />

P Sungai 15 71 77 2,976<br />

P Sungai 20 73 81 3,115<br />

P Sungai 25 74 78 2,975<br />

3.1. Penggunaan Pasir Silika sebagai Bed<br />

Material<br />

Pengaruh jumlah pasir silika sebagai bed material<br />

terhadap komposisi gas, nilai kalor, neraca massa,<br />

konversi karbon dan efisiensi gasifikasi dapat dilihat<br />

pada Tabel 7 sampai dengan Tabel 9.<br />

Komposisi gas cenderung sedikit berpengaruh<br />

terhadap perubahan jumlah pasir silika sebagai<br />

bed material dalam reaktor. Semakin banyak<br />

jumlah pasir silika sebagai bed material dalam<br />

reaktor, maka rasio gas hidrogen terhadap karbon<br />

monoksida berkurang, sehingga menyebabkan<br />

nilai kalor gas juga berkurang. Sebaliknya,<br />

Tabel 7.<br />

Pengaruh jumlah pasir silika terhadap komposisi produk syngas<br />

Kode<br />

Komposisi Rata-rata Tanpa Nitrogen (% mol)<br />

Percontoh H 2 O 2 CO CH 4 CO 2 C 2H 4 total H 2/CO BM<br />

P Silika 15 30,32 5,57 42,36 3,36 15,03 3,31 100 0,716 22,3932<br />

P Silika 20 30,23 3,52 44,01 2,32 16,66 2,95 100 0,687 22,6278<br />

P Silika 25 30,02 3,55 43,85 2,52 17,19 2,54 100 0,685 22,7437<br />

Tabel 8.<br />

Pengaruh jumlah pasir silika terhadap neraca massa bahan baku dan produk<br />

Kode Percontoh<br />

Bahan Baku (mg/s) Produk Syngas By Produk Ter By Produk Char<br />

Batubara O 2 (mg/s) (mL/s) (mg/s) (mg/s)<br />

P Silika 15 1,067 0,982 1,287 1,287 0,577 0,185<br />

P Silika 20 1,067 0,982 1,449 1,434 0,465 0,135<br />

P Silika 25 1,067 0,982 1,433 1,411 0,499 0,117<br />

Penggunaan Pasir Sungai sebagai Bed Material pada Gasifikasi Batubara ... Nurhadi dan Slamet Suprapto<br />

125


Tabel 9.<br />

Pengaruh jumlah pasir silika terhadap nilai<br />

kalor, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi<br />

Kode Konversi C Efisiensi Nilai Kalor<br />

Percontoh (%) Gasifikasi (%) (kkal/Nm 3 )<br />

P Silika 15 67 74 3,070<br />

P Silika 20 77 80 2,959<br />

P Silika 25 75 77 2,899<br />

semakin bertambah jumlah pasir silika sebagai<br />

bed material dalam reaktor maka jumlah produksi<br />

syngas secara kuantitatif meningkat, sehingga<br />

meningkatkan konversi karbon.<br />

Dalam reaktor fluidized bed, bed material berfungsi<br />

sebagai media transfer panas (Kunii dan<br />

Levenspiel, 1991). Semakin banyak jumlah bed<br />

material dalam reaktor menyebabkan lebih banyak<br />

batubara yang bereaksi menjadi syngas sehingga<br />

meningkatkan konversi karbon. Sebaliknya, jika<br />

jumlah bed material sedikit menyebabkan reaksi<br />

kurang sempurna, sehingga masih banyak char<br />

yang tidak bereaksi. Hal ini menyebabkan syngas<br />

memiliki rasio gas hidrogen terhadap gas karbon<br />

monoksida lebih tinggi, karena sebagian besar<br />

syngas berasal zat terbang yang lebih banyak<br />

mengandung unsur hidrogen dibandingkan char.<br />

Sedangkan nilai kalor syngas dan efisiensi<br />

gasifikasi akan naik pada penambahan pasir silika<br />

sebagai bed material sebanyak 15 gram dan 20<br />

gram, kemudian akan menurun kembali jika pasir<br />

silika sebagai bed material ditambahkan lagi<br />

menjadi 25 gram. Hal ini disebabkan karena pada<br />

penambahan bed material sebanyak 15 gram dan<br />

20 gram akan terjadi peningkatan konversi<br />

batubara, char dan ter menjadi syngas terutama<br />

gas hidrogen dan karbon monoksida, sehingga<br />

meningkatkan nilai kalor syngas dan efisiensi<br />

gasifikasi. Jika bed material ditambahkan lagi<br />

menjadi 25 gram, maka selain terjadi konversi<br />

batubara, char dan ter juga akan terjadi konversi<br />

gas CO menjadi gas CO 2. Dengan bertambahnya<br />

gas CO 2 yang sudah tidak memiliki nilai kalor,<br />

maka nilai kalor syngas dan efisiensi gasifikasi<br />

akan menurun.<br />

3.2. Penggunaan Pasir Sungai sebagai<br />

Bed Material<br />

Pengaruh jumlah pasir sungai sebagai bed material<br />

terhadap komposisi gas, nilai kalor, neraca massa,<br />

konversi karbon dan efisiensi gasifikasi dapat dilihat<br />

pada Tabel 10 sampai dengan Tabel 12.<br />

Tabel 10. Pengaruh jumlah pasir sungai terhadap komposisi produk syngas<br />

Kode<br />

Komposisi Rata-rata Tanpa Nitrogen (% mol)<br />

Percontoh H 2 O 2 CO CH 4 CO 2 C 2H 4 total H 2/CO BM<br />

P Sungai 15 32,80 2,89 42,91 2,83 15,90 2,48 100 0,764 21,7938<br />

P Sungai 20 32,86 2,94 43,34 2,36 15,26 3,51 100 0,758 21,8542<br />

P Sungai 25 32,05 2,18 44,58 1,56 16,73 3,05 100 0,719 22,3170<br />

Tabel 11. Pengaruh jumlah pasir sungai terhadap neraca massa bahan baku dan produk<br />

Kode Percontoh<br />

Bahan Baku (mg/s) Produk Syngas By Produk Ter By Produk Char<br />

Batubara O 2 (mg/s) (mL/s) (mg/s) (mg/s)<br />

P Sungai 15 1,067 0,982 1,340 1,377 0,587 0,122<br />

P Sungai 20 1,067 0,982 1,354 1,388 0,586 0,108<br />

P Sungai 25 1,067 0,982 1,384 1,389 0,579 0,086<br />

126 PROSIDING KOLOKIUM PERTAMBANGAN <strong>2009</strong>


Tabel 12. Pengaruh jumlah pasir sungai terhadap nilai<br />

kalor, konversi karbon dan efisiensi gasifikasi<br />

Kode Konversi C Efisiensi Nilai Kalor<br />

Percontoh (%) Gasifikasi (%) (kkal/Nm 3 )<br />

P Sungai 15 71 77 2,976<br />

P Sungai 20 73 81 3,115<br />

P Sungai 25 74 78 2,975<br />

Komposisi gas cenderung sedikit berpengaruh<br />

terhadap perubahan jumlah pasir sungai sebagai<br />

bed material dalam reaktor. Semakin banyak jumlah<br />

pasir sungai sebagai bed material dalam reaktor<br />

maka rasio gas hidrogen terhadap karbon monoksida<br />

berkurang sehingga menyebabkan nilai kalor gas<br />

juga berkurang. Sebaliknya semakin bertambah<br />

jumlah pasir sungai sebagai bed material dalam<br />

reaktor maka jumlah produksi syngas secara<br />

kuantitatif meningkat, sehingga meningkatkan<br />

konversi karbon.<br />

Nilai kalor syngas dan efisiensi gasifikasi<br />

menunjukkan kenaikan pada penambahan pasir<br />

sungai sebagai bed material sebanyak 15 gram<br />

dan 20 gram, kemudian akan menurun kembali<br />

jika pasir sungai sebagai bed material<br />

ditambahkan lagi menjadi 25 gram. Fenomena ini<br />

sama seperti pada penggunaan pasir silika<br />

sebagai bed material. Hal ini menunjukkan bahwa<br />

pasir sungai yang digunakan dalam percobaan ini<br />

dapat berfungsi dengan baik. Hasil ini juga<br />

menunjukkan jumlah pasir sungai sebagai bed<br />

material yang optimum untuk laju alir batubara<br />

1,067 adalah 15 gram.<br />

4. KESIMPULAN<br />

Percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui<br />

unjuk kerja penggunaan pasir sungai sebagai bed<br />

material pada gasifikasi batubara sistem fluidized<br />

bed. Sebagai pembanding, dilakukan juga<br />

percobaan penggunaan pasir silika sebagai bed<br />

material. Percobaan dimulai dengan pemanasan<br />

bed material dalam gasifier menggunakan pemanas<br />

listrik. Sebagai media fluidisasi digunakan gas<br />

nitrogen. Setelah suhu gasifier mencapai 900°C,<br />

percontoh batubara dan gas oksigen dimasukkan<br />

ke dalam gasifier. Batubara kemudian berreaksi<br />

dengan gas oksigen menjadi syngas. Syngas<br />

kemudian dimurnikan dan didinginkan melalui<br />

siklon, heat exchanger dan scrubber. Syngas<br />

kemudian dianalisis menggunakan gas kromatografi.<br />

Hasil percobaan menunjukkan pasir sungai dapat<br />

berfungsi baik sebagai bed material dalam proses<br />

pembuatan gas sintesis dari batubara dilihat dari<br />

komposisi syngas, konversi karbon dan efisiensi<br />

gasifikasi.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Kubota, N., 2006. Development of Novel Low Rank<br />

Coal Gasifier “TIGAR”, dipresentasikan pada<br />

Seminar on Low Rank Coal Gasification,<br />

Badan Litbang Energi dan Sumber Daya Mineral,<br />

Jakarta, 16 Mei 2006.<br />

Kunii, D., dan Levenspiel, O., 1991. Engeneering<br />

Fluidization, second edition, Butterworth-<br />

Heinemann Publishing, Stoneham, M.A.<br />

Nurhadi, dkk., 2006. Pembuatan Gas Sintesis dari<br />

B