TOR Diskusi dan Bedah Buku-Medan.pdf - Elsam
TOR Diskusi dan Bedah Buku-Medan.pdf - Elsam
TOR Diskusi dan Bedah Buku-Medan.pdf - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
1. Pendahuluan<br />
<strong>TOR</strong><br />
Launching <strong>dan</strong> <strong>Bedah</strong> <strong>Buku</strong><br />
Wajah Baru Agrarische Wet :<br />
Menilik Pembatalan Ketentuan Pi<strong>dan</strong>a UU Perkebunan<br />
Perkebunan merupakan salah satu sub sektor strategis yang memainkan peranan penting<br />
dalam pembangunan nasional. Dalam periode 2004-2009, pembangunan perkebunan<br />
diklaim telah berhasil dalam meningkatkan kemakmuran <strong>dan</strong> kesejahteraan rakyat serta<br />
penguatan struktur ekonomi wilayah <strong>dan</strong> nasional; meningkatkan konservasi tanah <strong>dan</strong> air,<br />
penyerap karbon, penyedia oksigen <strong>dan</strong> penyangga kawasan lindung, sebagai perekat <strong>dan</strong><br />
pemersatu bangsa. Sehingga, Pemerintah menilai penting untuk membuat UU khusus yang<br />
mengatur perkebunan melalui UU No. 18 tahun 2004.<br />
Pada awal pembentukannya Pemerintah menganggap bahwa lahirnya UU No. 18 Tahun<br />
2004 tentang Perkebunan merupakan landasan hukum untuk mengembangkan perkebunan<br />
<strong>dan</strong> untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Sehingga penyelenggaraan<br />
perkebunan yang demikian diharapkan sejalan dengan amanat <strong>dan</strong> jiwa Pasal 33 ayat (3)<br />
Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa<br />
bumi, air, <strong>dan</strong> kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara <strong>dan</strong><br />
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.<br />
Sayangnya, niat baik pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi ini tidak<br />
diikuti dengan pengawasan yang memadai terhadap praktik perusahaan perkebunan dalam<br />
mengelola usaha perkebunannya yang seringkali melanggar ketentuan peraturan<br />
perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> hak asasi manusia, khususnya petani <strong>dan</strong> masyarakat adat di<br />
sekitar wilayah perkebunan.<br />
Demikian juga dengan sikap aparat penegak hukum yang seringkali tidak peka terhadap<br />
permasalahan yang dihadapi masyarakat <strong>dan</strong> petani di sekitar wilayah perkebunan. Konflik<br />
pertanahan antara masyarakat/petani dengan perusahaan perkebunan seringkali<br />
ditindaklanjuti dengan penangkapan <strong>dan</strong> penahanan, bahkan pengajuan masyarakat/petani<br />
ke pengadilan, tanpa melihat latar belakang permasalahan yang muncul, yaitu ketimpangan<br />
dalam hal pemilikan, penguasaan, pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, banyak<br />
sekali kriminalisasi terhadap masyarakat/petani sebagai akibat dari konflik pertanahan di<br />
sekitar wilayah perkebunan, baik di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan <strong>dan</strong> wilayah lainnya di<br />
Indonesia.<br />
Secara substansial, UU Perkebunan juga membuka ruang yang luas bagi pelestarian<br />
eksploitasi secara besar-besaran pengusaha perkebunan terhadap lahan perkebunan <strong>dan</strong><br />
rakyat, serta menciptakan a<strong>dan</strong>ya ketergantungan rakyat terhadap pengusaha perkebunan.<br />
Hal ini disebabkan karena tidak a<strong>dan</strong>ya pengaturan mengenai luas maksimum <strong>dan</strong> luas<br />
minimum tanah yang dapat dijadikan sebagai lahan perkebunan, yang pada akhirnya<br />
menimbulkan a<strong>dan</strong>ya konsentrasi hak penggunaan tanah yang berlebihan oleh pihak<br />
pengusaha. Implikasi lebih lanjutnya adalah sebagian besar hak guna usaha yang dimiliki<br />
pengusaha perkebunan lambat laun menggusur keberadaan masyarakat adat atau petani<br />
yang berada di sekitar atau di dalam lahan perkebunan. Akibatnya masyarakat adat atau<br />
petani tersebut tidak lagi memiliki akses terhadap hak milik yang telah turun temurun<br />
mereka kuasai atau bahkan kehilangan lahannya.<br />
Akibatnya, besarnya kontribusi sektor perkebunan ini juga disertai dengan semakin<br />
meningkatnya konflik perkebunan. Berbagai laporan yang dikeluarkan lembaga negara <strong>dan</strong><br />
lembaga swadaya masyarakat menunjukkan peningkatan kasus-kasus dengan latar<br />
belakang konflik perkebunan. Data pengaduan Komnas HAM tentang konflik lahan sampai<br />
dengan November 2011, menunjukkan angka 603 pengaduan, tertinggi diantara kasuskasus<br />
lainnya. Begitupun data pengaduan yang masuk ke Satgas Pemberantasan Mafia<br />
Hukum per 20 Oktober 2011, mencapai 1065 pengaduan. Sementara pada awal tahun<br />
2012, ELSAM mencatat paling tidak terdapat 30 konflik yang berujung pada kekerasan<br />
aparat terhadap petani.<br />
1
Konflik ini antara lain dipicu oleh pengambilalihan lahan-lahan milik masyarakat <strong>dan</strong> warisan<br />
konflik lahan masa lalu yang tidak pernah terselesaikan, tumpang tindih perizinan <strong>dan</strong><br />
lemahnya berbagai regulasi yang mengatur mengenai investasi di bi<strong>dan</strong>g perkebunan, yang<br />
sementara ini dianggap hanya melindungi pengusaha/perusahaan, namun tidak<br />
mengakomodasi perlindungan terhadap hak-hak masyarakat.<br />
Persoalan itu pula yang mendorong empat orang petani dari Ser<strong>dan</strong>g Bedagai, Ketapang<br />
<strong>dan</strong> Blitar mengajukan judicial review UU Perkebunan khususnya yang berkaitan dengan<br />
pasal-pasal kriminalisasi, yang kemudian dinyatakan Mahkamah Konstitusi “mengabaikan<br />
hak-hak masyarakat adat <strong>dan</strong> bertentangan dengan kepastian hukum”.<br />
Oleh karenanya, dalam rangka mendiskusikan mengenai pembangunan perkebunan <strong>dan</strong><br />
implikasinya, ELSAM bekerjasama dengan Sahdar berencana untuk mengadakan diskusi<br />
<strong>dan</strong> bedah buku dengan tema, “UU Perkebunan : Wajah Baru Agrarische Wet, Dasar<br />
<strong>dan</strong> Alasan Pembatalan Pasal-pasal Kriminalisasi”<br />
2. Tujuan<br />
Kegiatan ini bertujuan untuk :<br />
a. Sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pasal yang dibatalkan;<br />
b. Membahas kesulitan dalam penerapan sanksi pi<strong>dan</strong>a dalam konflik agraria disektor<br />
perkebunan, sebelum dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi;<br />
c. Mengidentifikasi korelasi konflik agraria, kejahatan korporasi <strong>dan</strong> kebijakan<br />
Pemerintah disektor investasi perkebunan;<br />
d. Menemukan alternatif penyelesaian konflik agraria disektor perkebunan pasca<br />
pembatalan ketentuan sanksi pi<strong>dan</strong>a di dalam UU Perkebunan;<br />
3. Narasumber<br />
Narasumber kegiatan ini adalah :<br />
1. ELSAM;<br />
Topik : ” Sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pasal yang dibatalkan”.<br />
2. Ketua Pengadilan Tinggi Me<strong>dan</strong>;<br />
Topik : “Penerapan sanksi pi<strong>dan</strong>a dalam konflik agraria disektor perkebunan,<br />
sebelum dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi”.<br />
3. Ketua BPRPI;<br />
Topik : ” Menemukan alternatif penyelesaian konflik agraria disektor perkebunan<br />
pasca pembatalan ketentuan sanksi pi<strong>dan</strong>a di dalam UU Perkebunan”.<br />
4. Dekan FH USU<br />
Topik : “korelasi konflik agraria, kejahatan korporasi <strong>dan</strong> kebijakan Pemerintah<br />
disektor investasi perkebunan”.<br />
5. Moderator<br />
T.R. Arif Faisal (SAHDAR)<br />
6. Tempat <strong>dan</strong> Waktu Kegiatan<br />
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada :<br />
Hari, tanggal : 12 Juli 2012<br />
Jam<br />
: 08.30-13.00 wib<br />
Tempat : Hotel Ma<strong>dan</strong>i Me<strong>dan</strong><br />
7. Penyelenggara.<br />
Kegiatan ini dilaksanakan oleh ELSAM <strong>dan</strong> SAHDAR.<br />
8. Penutup.<br />
Demikian disampaikan, semoga berkenan untuk sama mendiskusikan buku ini, terima<br />
kasih.<br />
2