05.05.2015 Views

Asasi Maret - April 2012.cdr - Elsam

Asasi Maret - April 2012.cdr - Elsam

Asasi Maret - April 2012.cdr - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />

laporan utama<br />

Salah satu kegiatan yang dilakukan Taman 65 adalah diskusi Sumber: Putra Bagus<br />

hadir. Di antara gambar berbingkai itu terdapat orangorang<br />

yang hilang pada masa gelap tragedi 1965.<br />

Jelas saja foto-foto itu mengundang pertanyaan<br />

karena banyak generasi baru yang tidak tahu siapa<br />

mereka. Suasana dibuat begitu cair bernuansa<br />

kekeluargaan. Tidak ada diskusi dan orang yang<br />

diundang memang khusus keluarga dan kerabat.<br />

Suasana dibiarkan berjalan apa adanya sehingga<br />

bertutur tentang masa lalu pun terasa nyaman walau ada<br />

yang bercerita dengan berbisikkarena masih trauma.<br />

Para survivor tragedi 1965 dari luar rumah juga<br />

kerapkali diundang dalam beberapa acara diskusi<br />

untuk bercurhat tentang masa lalu. Kawan-kawan<br />

tongkrongan yang kesehariannya sibuk sebagai<br />

musisi kadang ikut mengisi acara sebagai penghibur<br />

telinga sebelum atau sesudah acara agar suasana<br />

tenang dan nyaman. Para penggemar kadang ikut<br />

datang ke arena perhelatan. Walaupun tujuannya<br />

untuk melihat band idolanya, tetapi tidak sedikit di<br />

antara mereka ikut asik menikmati diskusi.<br />

Kawan-kawan pelukis juga sering terlibat<br />

dengan menjadikan Taman 65 sebagai ruang pamer<br />

di saat ajang “curhat” tragedi 65 digelar. Suasana<br />

Taman 65 terlihat ramai penuh warna bak pasar<br />

malam dan jauh dari kesan formal. Bau apek keringat,<br />

semerbak parfum, hingga bau arak menyayat<br />

bercampur dalam satu ruang.<br />

Pertemuan di rumah tua itu tak selamanya<br />

berjalan tenang.Ada kalanya pertemuan berlangsung<br />

tegang, seperti terjadi pada suatu senja di<br />

pertengahan tahun 2005. Saat itu, pertemuan yang<br />

biasanya mengalir, agaknya mulai memanas.<br />

Suasana urun rembug terasa semakin menghangat.<br />

Nada suara para hadirin mulai meninggi dalam<br />

mengajukan pertanyaan, gagasan maupun<br />

sanggahan.<br />

Pokok soalnya adalah masih ada sejumlah pihak<br />

yang resisten. Sebagian keluarga menyangsikan<br />

sepak-terjang kebiasaan anak muda dalam komunitas<br />

ini yang mendiskusikan sejarah gelap masa lalu<br />

bangsa Indonesia. Pengungkitan sejarah masa lalu<br />

oleh anak-anak muda justru ditakutkan dapat<br />

berimbas pada mereka yang memilih untuk<br />

melupakan. Sebab mereka menilai negara sampai<br />

hari ini belum menampakkan sisi ramahnya kepada<br />

para korban. Alasan lain, mereka kuatir pengungkitan<br />

masa lalu dapat mengganggu kemapanan mereka<br />

sekarang.<br />

Akan tetapi, bagi pihak yang resah, persoalan<br />

tragedi 1965 dianggap sudah beres, tuntas, dan<br />

selesai. Supaya tidak terulang, menurut golongan ini,<br />

maka kejahatan masa lalu tak perlu diingat. Mengingat<br />

menjadi tidak “produktif” karena bisa mengganggu<br />

stabilitas keluarga yang sudah mapan paskatragedi.<br />

Bagi mereka, kenyamanan dan ketenangan hidup hari<br />

ini jauh lebih penting daripada sibuk mengurus masa<br />

lalu nan gelap. Mengusik tragedi masa lalu sangatlah<br />

riskan terhadap keselamatan keluarga karena negara<br />

masih tak ramah kepada keluarga korban.<br />

Memang tidak mudah untuk menciptakan<br />

kesepakatan. Kompromi pada akhirnya menjadi jalan<br />

keluar. Masing-masing pihak sama-sama punya<br />

alasan pembenar, sehingga tidak mau mengusik dan<br />

acuh terhadap aktivitas masing-masing.<br />

Terlepas dari kelemahan-kelemahannya yang ada,<br />

modal sosial yang telah terbangun sangat berguna<br />

karena bisa menjadi benang merah penyambung<br />

bahwa sekalipun berbeda-beda, meski pada<br />

dasarnya mereka senasib. Sama-sama mengalami<br />

diskriminasi. Persoalan tragedi 1965, kerusakan<br />

lingkungan, sensor seni, atau diskriminasi terhadap<br />

kaum waria adalah “senasib” yang muncul dari<br />

ketidakadilan negara.<br />

Cerita-cerita pedih dengan berbagai macam<br />

tema ini disebarkan kepada khalayak yang beragam<br />

agar sekat-sekat “kami” dan “mereka” bisa lebur tak<br />

terpecah, sehingga melawan lupa adalah persoalan<br />

kita bersama. Taman 65 adalah jembatan yang<br />

mempertemukan berbagai ingatan untuk didengar<br />

dan dibagi, semoga bertahan dan tidak roboh.<br />

Sebuah kehadiran di ruang terbuka saja bisa jadi<br />

sebuah prestasi melihat berlikunya jalan untuk tampil.<br />

Sebab kepedulian khalayak membuat mereka merasa<br />

tidak sendiri lagi. Pro-kontra masih berjalan hingga<br />

kini, tetapi Taman 65 masih tegak berdiri karena<br />

pihak keluarga yang mendukung kukuh dan merasa<br />

berhak untuk tahu serta belajar mengenai kisah<br />

masa lalu itu.<br />

12<br />

ASASI EDIS MARET-APRIL 2012

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!