05.05.2015 Views

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA - Elsam

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA - Elsam

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X<br />

Tahun 2005<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

<strong>PENGA<strong>DI</strong>LAN</strong> <strong>HAK</strong> <strong>ASASI</strong> <strong>MANUSIA</strong> <strong>DI</strong><br />

<strong>INDONESIA</strong><br />

Zainal Abidin, S.H.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat<br />

Jl Siaga II No 31 Pejatien Barat, Jakarta 12510<br />

Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519<br />

Website : www.elsam.or.id Email : elsam@nusa.or.id


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Penegakan dan perlindungan terhadap hak<br />

asasi manusia (HAM) di Indonesia<br />

mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6<br />

November 2000 disahkannya Undangundang<br />

Nomor 26 Tahun 2000 tentang<br />

Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan<br />

Rakyat Republik Indonesia dan kemudian<br />

diundangkan tanggal 23 November 2000.<br />

Undang-undang ini merupakan undangundang<br />

yang secara tegas menyatakan<br />

sebagai undang-undang yang mendasari<br />

adanya pengadilan HAM di Indonesia yang<br />

akan berwenang untuk mengadili para<br />

pelaku pelanggaran HAM berat. Undangundang<br />

ini juga mengatur tentang adanya<br />

pengadilan HAM ad hoc yang akan<br />

berwenang untuk mengadili pelanggaran<br />

HAM berat yang terjadi di masa lalu.<br />

Pengadilan HAM ini merupakan jenis<br />

pengadilan yang khusus untuk mengadili<br />

kejahatan genosida dan kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan<br />

khusus karena dari segi penamaan bentuk<br />

pengadilannya sudah secara spesifik<br />

menggunakan istilah pengadilan HAM dan<br />

kewenangan pengadilan ini juga mengadili<br />

perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan<br />

HAM sering dipertentangkan dengan istilah<br />

peradilan pidana karena memang pada<br />

hakekatnya kejahatan yang merupakan<br />

kewenangan pengadilan HAM juga<br />

merupakan perbuatan pidana. UU No. 26<br />

Tahun 2000 yang menjadi landasan<br />

berdirinya pengadilan HAM ini mengatur<br />

tentang beberapa kekhususan atau<br />

pengaturan yang berbeda dengan<br />

pengaturan dalam hukum acara pidana.<br />

Pengaturan yang berbeda atau khusus ini<br />

mulai sejak tahap penyelidikan dimana<br />

yang berwenang adalah Komnas HAM<br />

sampai pengaturan tentang majelis hakim<br />

dimana komposisinya berbeda denga<br />

pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan<br />

HAM ini komposisi hakim adalah lima<br />

orang yang mewajibkan tiga orang<br />

diantaranya adalah hakim ad hoc.<br />

Pengaturan yang sifatnya khusus ini<br />

didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang<br />

sifatnya extraordinary sehingga memerlukan<br />

pengaturan dan mekanisme yang<br />

seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan<br />

atas adanya pengaturan yang sifatnya<br />

khusus ini adalah dapat berjalannya proses<br />

peradilan terhadap kasus-kasus<br />

pelanggaran HAM yang berat secara<br />

kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh<br />

adalah putusnya rantai impunity atas pelaku<br />

pelanggaran HAM yang berat dan bagi<br />

korban, adanya pengadilan HAM akan<br />

mengupayakan adanya keadilan bagi<br />

mereka.<br />

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan<br />

HAM telah dijalankan dengan dibentuknya<br />

pengadilan HAM ad hoc untuk kasus<br />

pelanggaran HAM yang berat yang terjadi<br />

di Timor-timur. Dalam prakteknya,<br />

pengadilan HAM ad hoc ini mengalami<br />

banyak kendala terutama berkaitan dengan<br />

lemahnya atau kurang memadainya<br />

instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000<br />

ternyata belum memberikan aturan yang<br />

jelas dan lengkap tentang tindak pidana<br />

yang diatur dan tidak adanya mekanisme<br />

hukum acara secara khusus. Dari kondisi<br />

ini, pemahaman atau penerapan tentang UU<br />

No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan<br />

atas penafsiran hakim ketika melakukan<br />

pemeriksaan di pengadilan.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 1


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

II. <strong>PENGA<strong>DI</strong>LAN</strong> HAM<br />

1. Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM<br />

Orde baru yang berkuasa selama 33 tahun<br />

(1965-1998) telah banyak dicatat melakukan<br />

pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru<br />

yang memerintah secara otoriter selama<br />

lebih dari 30 tahun telah melakukan<br />

berbagai tindakan pelanggaran HAM<br />

karena perilaku negara dan aparatnya. 1<br />

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia<br />

(Komnas HAM) dalam laporan tahunnya<br />

menyatakan bahwa pemerintah perlu<br />

menuntaskan segala bentuk pelanggaran<br />

HAM yang pernah terjadi di tanah air<br />

sebagai akibat dari struktur kekuasaan orde<br />

baru yang otoriter.<br />

Selanjutnya, pasca orde baru pelanggaran<br />

HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa,<br />

konflik antar etnis yang banyak menelan<br />

korban jiwa dan pembumihangusan di<br />

Timor-timur pasca jejak pendapat<br />

menambah panjang sejarah pelanggaran<br />

HAM. Lembaga Studi dan Advokasi<br />

Masyarakat (ELSAM) menyebutkan data<br />

pada triwulan pertama 1998 telah terjadi<br />

1.629 pelanggaran HAM yang fundamental<br />

yang tergolong ke dalam hak-hak yang tak<br />

dapat dikurangi di 12 propinsi yang<br />

menjadi sumber data. Hak-hak tersebut<br />

adalah hak atas hidup, hak bebas dari<br />

penyiksaan, hak bebas dari penangkapan<br />

sewenang-wenang, hak bebas dari<br />

pemusnahan seketika, dan hak bebas dari<br />

penghilangan paksa. 2<br />

Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi<br />

belum pernah terselesaikan secara tuntas<br />

sedangkan gejala pelanggaran kian<br />

1 Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara,<br />

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999,<br />

hlm.31.<br />

2 Kompas, 15 April 1998.<br />

bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung<br />

Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus<br />

pelanggaran HAM berat di Timor-timur<br />

selama pra dan pasca jajak pendapat belum<br />

ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini<br />

sorotan dunia internasional terhadap<br />

Indonesia sehubungan dengan maraknya<br />

pelanggaran HAM yang terjadi kian<br />

menguat terlebih sorotan atas<br />

pertanggungjawaban pelanggaran HAM<br />

yang terjadi di Timor-timur selama proses<br />

jajak pendapat.<br />

Kasus pembumihangusan di Timor-timur<br />

telah mendorong dunia internasional agar<br />

dibentuk peradilan internasional<br />

(internasional tribunal) bagi para pelakunya.<br />

Desakan untuk adanya peradilan<br />

internasional khususnya bagi pelanggaran<br />

HAM yang berat yang terjadi di Timortimur<br />

semakin menguat bahkan komisi<br />

Tinggi PBB untuk Hak-hak asasi manusia<br />

telah mengeluarkan resolusi untuk<br />

mengungkapkan kemungkinan terjadinya<br />

pelanggaran HAM berat di Timor-Timur.<br />

Atas resolusi Komisi HAM PBB tersebut<br />

Indonesia secara tegas menolak dan akan<br />

menyelesaikan kasus pelanggaran HAM<br />

dengan menggunakan ketentuan nasional<br />

karena konstitusi Indonesia memungkinkan<br />

untuk menyelenggarakan peradilan hak<br />

asasi manusia. Atas penolakan tersebut,<br />

mempunyai konsekuensi bahwa Indonesia<br />

harus melakukan proses peradilan atas<br />

terjadinya pelanggaran HAM di Timor-<br />

Timur .<br />

Dorongan untuk adanya pembentukan<br />

peradilan internasional ini juga didasarkan<br />

atas ketidakpercayaan dunia internasional<br />

pada sistem peradilan Indonesia jika dilihat<br />

antara keterkaitan antara pelaku kejahatan<br />

yang merupakan alat negara. Pelanggaran<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 2


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

HAM di Timor-timur mempunyai nuansa<br />

khusus karena adanya penyalahgunaan<br />

kekuasaan dalam arti pelaku berbuat dalam<br />

konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh<br />

kekuasaan pemerintah sehingga akan sulit<br />

untuk diadakan pengadilan bagi pelaku<br />

kejahatan secara fair dan tidak memihak.<br />

Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya<br />

sistem peradilan pidana di negara hukum<br />

Indonesia ini, belum mampu memberikan<br />

keadilan yang subtansial. Keterkaitan<br />

dengan kebijakan yang formal/legalistik<br />

seringkali dijadikan alasan. Peradilan<br />

seringkali memberikan toleransi terhadap<br />

kejahatan-kejahatan tertentu, dengan<br />

konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya<br />

harus dibebaskan. Termasuk terhadap<br />

kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini. 3<br />

Ketentuan dalam Kitab Undang-undang<br />

Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan<br />

dengan pelanggaran HAM yang berat juga<br />

mengatur tentang jenis kejahatan yang<br />

berupa pembunuhan, perampasan<br />

kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan,<br />

dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur<br />

dalam KUHP tersebut adalah jenis<br />

kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary<br />

crimes) yang jika dibandingkan dengan<br />

pelanggaran HAM yang berat harus<br />

memenuhi beberapa unsur atau<br />

karakteristik tertentu yang sesuai dengan<br />

Statuta Roma 1999 untuk bisa<br />

diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM<br />

yang berat. Pelanggaran HAM berat itu<br />

sendiri merupakan extra-ordinary crimes<br />

yang mempunyai perumusan dan sebab<br />

timbulnya kejahatan yang berbeda dengan<br />

kejahatan atau tindak pidana umum.<br />

Dengan perumusan yang berbeda ini tidak<br />

mungkin menyamakan perlakukan dalam<br />

menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP<br />

tidak dapat untuk menjerat secara efektif<br />

3 Krist L. Kleden, Peradilan Pidana<br />

Sebagai Pendidikan Hukum, Komnas, 11 September<br />

2000.<br />

para pelaku pelanggaran HAM yang berat.<br />

Disamping itu sesuai dengan prinsip<br />

International Criminal Court, khususnya<br />

prinsip universal yang tidak mungkin<br />

memperlakukan pelanggaran HAM berat<br />

sebagai ordinary crimes dan adanya<br />

kualifikasi universal tentang crimes against<br />

humanity masyarakat mengharuskan<br />

didayagunakannya pengadilan HAM yang<br />

bersifat khusus, yang mengandung pula<br />

acara pidana yang bersifat khusus. 4<br />

Pengertian tentang perlunya peradilan yang<br />

secara khusus dengan aturan yang bersifat<br />

khusus pula inilah yang menjadi landasan<br />

pemikiran untuk adanya pengadilan khusus<br />

yang dikenal dengan pengadilan HAM.<br />

Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi<br />

landasan berdirinya pengadilan nasional<br />

adalah bahwa pengadilan nasional<br />

merupakan “the primary forum” untuk<br />

mengadili para pelanggar HAM berat. 5<br />

4 Muladi, Pengadilan Pidana bagi<br />

Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, 2000,<br />

Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta, hlm. 54.<br />

5 Muladi, Mekanisme Domestik untuk<br />

Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem<br />

Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun 2000,<br />

Makalah dalam Diskusi Panel 4 bulan<br />

Pengadilan Tanjung Priok, <strong>Elsam</strong>, 20 Januari 2004.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 3


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

2. Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-undang Pengadilan<br />

HAM<br />

Kepentingan untuk mengadakan proses<br />

peradilan untuk kejahatan yang termasuk<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan melalui<br />

mekanisme nasional mengharuskan<br />

dipenuhinya instrumen hukum nasional<br />

yang memadai sesuai dengan prinsipprinsip<br />

dalam hukum internasional.<br />

Meskipun mekanisme/sistem hukum<br />

nasional yang akan dipilih untuk<br />

menegakkan pertanggungjawaban<br />

pelanggaran HAM yang terjadi tetapi<br />

penting untuk memenuhi syarat adanya<br />

pengadilan nasional yang efektif.<br />

Berdasarkan kondisi tentang perlunya<br />

instrumen hukum untuk berdirinya sebuah<br />

pengadilan HAM secara cepat maka<br />

pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun<br />

1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini<br />

telah menjadi landasan yuridis untuk<br />

adanya penyelidikan kasus pelanggaran<br />

HAM berat di Timor-timur oleh Komnas<br />

HAM.<br />

Karena berbagai alasan Perpu No. 1 Tahun<br />

1999 ini yang kemudian ditolak oleh DPR<br />

untuk menjadi undang-undang. Alasan<br />

mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah<br />

sebagai berikut :<br />

1. Secara konstitusional pembentukan<br />

perpu tentang pengadilan HAM dengan<br />

mendasarkan pada Pasal 22 ayat 1<br />

Undang-undang Dasar 1945 yang<br />

berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan<br />

yang memaksa”, yang dijadikan dasar<br />

untuk mengkualifikasikan adanya<br />

kegentingan yang memaksa dianggap<br />

tidak tepat.<br />

2. Subtansi yang diatur dalam Perpu<br />

tentang Pengadilan HAM masih<br />

terdapat kekurangan atau kelemahan<br />

antara lain, sebagai berikut :<br />

• Kurang mencerminkan rasa<br />

keadilan karena ketentuan dalam<br />

perpu tersebut tidak berlaku surut<br />

(retroaktif), sehingga pelanggaran<br />

HAM yang berat yang dilakukan<br />

sebelum Perpu ini disahkan menjadi<br />

undang-undang tidak tercakup<br />

pengaturannya.<br />

• Masih terdapat ketentuan yang<br />

dinilai menyimpang dari ketentuan<br />

yang diatur dalam konvensi tentang<br />

pencegahan dan penghukuman<br />

kejahatan genosida tahun 1948 dan<br />

tidak sesuai dengan asas-asas<br />

hukum yang berlaku.<br />

• Masih menggunakan standar<br />

konvensional, yakni dengan<br />

mendasarkan pada KUHP yang<br />

hanya membatasi tuntutan pada<br />

personal sehingga tidak mampu<br />

menjangkau tuntutan secara<br />

lembaga.<br />

• Masih terdapat subtansi yang<br />

kontradiktif dan berpotensi untuk<br />

berbenturan atau overlapping<br />

dengan hukum positif.<br />

Setelah adanya penolakan Perpu tersebut<br />

diatas oleh DPR maka pemerintah<br />

mengajukan rancangan undang-undang<br />

tentang Pengadilan HAM. Dalam<br />

penjelasannya, pengajuan RUU tentang<br />

Pengadilan HAM adalah : Pertama,<br />

merupakan perwujudan tanggung jawab<br />

bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota<br />

PBB. Dengan demikian merupakan salah<br />

satu misi yang mengembangkan tanggung<br />

jawab moral dan hukum dalam menjunjung<br />

tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM<br />

yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsabangsa,<br />

serta yang terdapat dalam berbagai<br />

instrumen hukum lainnya yang mengatur<br />

mengenai HAM yang telah dan atau<br />

diterima oleh negara Indonesia. Kedua,<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 4


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.<br />

XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai<br />

tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undangundang<br />

No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk<br />

mengatasi keadaan yang tidak menentu di<br />

bidang keamanan dan ketertiban umum,<br />

termasuk perekonomian nasional.<br />

Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus<br />

diharapkan dapat mengembalikan<br />

kepercayaan masyarakat dan dunia<br />

internasional terhadap penegakan hukum<br />

dan jaminan kepastian hukum mengenai<br />

penegakan HAM di Indonesia.<br />

Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum<br />

bahwa perlu adanya pengadilan HAM<br />

untuk mengadili pelanggaran HAM berat<br />

adalah alasan yang ketiga dimana<br />

terbentuknya pengadilan HAM ini adalah<br />

pelaksanaan dari TAP MPR No.<br />

XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai<br />

tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undangundang<br />

No. 39 Tahun 1999. Pasal 104 ayat 1<br />

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi<br />

Manusia dan Komnas HAM menyatakan<br />

bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM<br />

yang berat dibentuk pengadilan HAM di<br />

lingkungan peradilan umum. Ayat 2<br />

menyatakan pengadilan sebagaimana<br />

dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk<br />

dengan udang-undang dalam jangka waktu<br />

paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun,<br />

undang-undang yang khusus mengatur<br />

tentang Pengadilan HAM adalah Undangundang<br />

Nomor 26 Tahun 2000. 6<br />

6 UU No. 26 Tahun 2000 ini disyahkan<br />

pada tanggal 6 November 2000.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 5


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

3. Pengaturan tentang Pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000<br />

Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini<br />

menyatakan bahwa untuk ikut serta<br />

memelihara perdamaian dunia dan<br />

menjamin pelaksanaan hak asasi manusia<br />

serta memberi perlindungan, kepastian,<br />

keadilan, dan perasaan aman kepada<br />

perorangan ataupun masyarakat, perlu<br />

segera dibentuk suatu Pengadilan Hak<br />

Asasi Manusia untuk menyelesaikan<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang berat<br />

sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1)<br />

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999<br />

tentang Hak Asasi Manusia.<br />

Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi<br />

Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran<br />

hak asasi manusia yang berat telah<br />

diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan<br />

Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang<br />

Nomor 1 Tahun 1999 tentang<br />

Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai<br />

tidak memadai, sehingga tidak disetujui<br />

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik<br />

Indonesia menjadi undang-undang, dan<br />

oleh karena itu Peraturan Pemerintah<br />

Pengganti Undang-undang tersebut perlu<br />

dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas<br />

maka Pengadilan HAM perlu dibentuk.<br />

Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang<br />

pengadilan ini memberikan 3 mekanisme<br />

untuk penyelesaian kasus-kasus<br />

pelanggaran HAM yang berat. Pertama<br />

adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc<br />

untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum<br />

adanya undang-undang ini, artinya untuk<br />

kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun<br />

2000 maka akan dibentuk pengadilan HAM<br />

ad hoc. Kedua adalah pengadilan HAM yang<br />

sifatnya permanen terhadap kasus setelah<br />

terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 dan<br />

yang ketika adalah dibukanya jalan<br />

mekanisme komisi kebenaran dan<br />

rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran<br />

HAM yang berat. 7<br />

Pembentukan pengadilan HAM yang<br />

mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan<br />

dan kejahatan genosida ini dianggap tidak<br />

tepat dan banyak dikritik sebagai<br />

pengaturan yang kurang tepat. Kesalahan<br />

ini yang terutama adalah memasukkan<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan dan<br />

kejahatan genosida dalam istilah pengadilan<br />

HAM. Pelanggaran HAM yang berat<br />

dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah<br />

kejahatan yang merupakan bagian dari<br />

hukum pidana karena merupakan bagian<br />

dari international crimes sehingga yang<br />

digunakan adalah seharusnya terminologi<br />

“peradilan pidana.” Secara yuridis<br />

seharusnya pengklasifikasian kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan dan kejahatan<br />

genosida diintegrasikan ke dalam kitab<br />

undang-undang hukum pidana melalui<br />

amandemen. Dengan memasukkan jenis<br />

kejahatan ini kedalam kitab undang-undang<br />

hukum pidana maka tidak akan melampaui<br />

asas legalitas. Sedangkan pelanggaran HAM<br />

yang dilakukan sebelum adanya<br />

amandemen tersebut seharusnya dibentuk<br />

mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk<br />

kasus tertentu. Pandangan ini sejalan<br />

dengan pemahaman bahwa pelanggaran<br />

HAM yang berat termasuk kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan dan kejahatan<br />

genosida secara yuridis seharusnya<br />

mengalami transformasi menjadi tindak<br />

pidana dan peradilan yang berwenang<br />

adalah peradilan pidana.<br />

Dari argumen tentang “ketidaktepatan” ini<br />

menjadikan ada 2 lembaga yang<br />

mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa<br />

dan mengadili perkara pidana yaitu<br />

peradilan pidana perkara pidana biasa dan<br />

pengadilan HAM untuk mengadili<br />

7 Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 6


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

kejahatan yang tergolong pelanggaran<br />

HAM yang berat menurut UU No. 26 Tahun<br />

2000. Atas “ketidaktepatan” ini maka UU<br />

No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai<br />

undang-undang yang sifatnya transisional<br />

sehingga untuk masa yang akan datang<br />

harus dirubah dan diintegrasikan ke dalam<br />

ketentuan pidana atau masuk peradilan<br />

pidana. Kritik atas keadaan ini adalah<br />

bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap<br />

sebagai upaya praktis dari pemerintah<br />

untuk secara cepat mengakomodir dan<br />

menghentikan upaya-upaya ke arah<br />

peradilan internasional dan melupakan<br />

aspek-aspek yuridis.<br />

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan<br />

HAM ini juga dianggap mempunyai banyak<br />

kelemahan yang mendasar dalam<br />

pengaturannya. UU No. 26 Tahun 2000<br />

secara substansi banyak melakukan<br />

pengadopsian dari norma-norma hukum<br />

internasional terutama norma-norma dalam<br />

Rome Statute of International Criminal Court.<br />

Kelemahan-kelemahan ini karena proses<br />

pengadopsian dari instrumen internasional<br />

yang tidak lengkap dan mengalami banyak<br />

kesalahan. Pengadopsian atas konsep<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan dan<br />

tentang delik tanggung jawab komando<br />

tidak memadai sehingga banyak<br />

menimbulkan interpretasi dalam<br />

aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah<br />

tidak ada hukum acara dan pembuktian<br />

secara khusus dan masih banyak<br />

menggunakan ketentuan yang berdasarkan<br />

Kitab Undang-undang Hukum Acara<br />

Pidana (KUHAP).<br />

Pengaturan tentang Pengadilan HAM sesuai<br />

dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah<br />

sebagai berikut :<br />

a. Kedudukan dan Tempat Kedudukan<br />

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus<br />

yang berada di lingkungan peradilan<br />

umum. Kedudukannya di daerah<br />

kabupaten atau daerah kota yang daerah<br />

hukumnya meliputi daerah hukum<br />

Pengadilan Negeri yang bersangkutan,<br />

sedangkan daerah khusus ibukota<br />

pengadilan HAM berkedudukan di setiap<br />

wilayah Pengadilan Negeri yang<br />

bersangkutan. pada saat undang-undang ini<br />

berlaku pertama kali maka pengadilan<br />

HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya,<br />

Medan, dan Makassar. 8<br />

8 Ketentuan mengenai pembagian<br />

wilayah untuk adanya pengadilan HAM pertama<br />

kali ini ada Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000<br />

dalam aturan peralihan Pasal 45 UU No. 26<br />

Tahun 2000. Pada ayat 2 bahwa wilayah Jakarta<br />

Pusat meliputi daerah khusus ibukota Jakarta,<br />

provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan,<br />

Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan<br />

Kalimantan Tengah. Surabaya meliputi Provinsi<br />

Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa<br />

Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan,<br />

Kedudukan dalam pengadilan HAM<br />

mengikuti Pengadilan Umum atau<br />

Pengadilan Negeri termasuk dukungan<br />

administrasinya. Hal ini membawa<br />

konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini<br />

akan sangat tergantung dengan dukungan<br />

dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan<br />

administratif itu adalah :<br />

1. Ruangan pengadilan yang juga<br />

merupakan ruangan pengadilan untuk<br />

kasus lainnya dan tidak ada ruangan<br />

yang khusus untuk pengadilan HAM.<br />

Hal ini membawa konsekuensi bahwa<br />

jadwal persidangan akan sangat<br />

bergantung dengan jadwal persidangan<br />

Kalimantan timur, Nusa Tenggara Barat, dan<br />

Nusa Tenggara Timur. Makassar meliputi<br />

provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,<br />

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku,<br />

Maluku Utara dan Irian Jaya. Medan meliputi<br />

provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh,<br />

Riau, Jambi dan Sumatera Barat.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 7


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

kasus-kasus lainnya yang juga ditangani<br />

oleh Pengadilan Negeri tempat<br />

Pengadilan HAM ini digelar.<br />

2. Dukungan staf administrasi : staf<br />

administrasi adalah staf yang<br />

menangani perkara pengadilan HAM<br />

selain panitera yang juga bertugas<br />

untuk membantu para hakim yang<br />

mengadili perkara pelanggaran HAM<br />

yang berat.<br />

3. Dukungan panitera yang juga<br />

diambilkan dari Pengadilan Negeri<br />

setempat. Panitera ini adalah panitera<br />

biasa dan bukan panitera yang dibentuk<br />

khusus untuk menangani kasus<br />

pelanggaran HAM yang berat. Panitera<br />

ini juga menangani kasus lainnya.<br />

4. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk<br />

hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri,<br />

namun untuk hakim karir yang<br />

merupakan hakim pengadilan setempat<br />

maka mereka mempunyai ruangan<br />

tersendiri. 9<br />

9 Tentang dukungan adminsitratif ini<br />

didasarkan pada pengalaman pengadilan HAM<br />

ad hoc kasus pelanggaran HAM yang berat di<br />

Timor-Timur.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 8


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

b. Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM<br />

Kewenangan memeriksa dan mengadili<br />

Perkara pelanggaran HAM yang berat yang<br />

berwenang memutus dan memeriksa adalah<br />

pengadilan HAM. Kewenangan untuk<br />

memutus dan memeriksa juga termasuk<br />

menyelesaikan perkara yang menyengkut<br />

perkara tentang kompensasi, restitusi dan<br />

rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM<br />

berat sesuai dengan peraturan perundangundangan<br />

yang berlaku. Kewenangan<br />

untuk memutus tentang kompensasi,<br />

restitusi dan rehabilitasi ini sesuai dengan<br />

Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 yang<br />

menyatakan bahwa kompensasi, restitusi<br />

dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar<br />

putusan pengadilan HAM.<br />

Pengadilan HAM berwenang untuk<br />

memeriksa dan memutus perkara<br />

pelanggaran HAM yang berat yang<br />

dilakukan di luar batas teritorial wilayah<br />

negara Republik Indonesia oleh warga<br />

negara Indonesia. Dalam penjelasannya<br />

ketentuan ini dimaksudkan untuk<br />

melindungi warga negara Indonesia yang<br />

melakukan pelanggaran HAM yang berat<br />

yang dilakukan di luar batas teritorial,<br />

dalam arti tetap dihukum sesuai dengan<br />

undang-undang tentang pengadilan hak<br />

asasi manusia. 10<br />

10 Ketentuan tentang asas ini sebetulnya<br />

sudah diatur dalam Kitab undang-undang<br />

hukum pidana (KUHP) yaitu Pasal 5 yang<br />

berasaskan nasional pasif. 10 Namun ketentuan ini<br />

perlu ditegaskan lagi mengingat bahwa<br />

pelanggaran HAM yang berat merupakan<br />

kejahatan internasional yang merupakan musuh<br />

umat manusia yang mengenal yurisdiksi<br />

internasional dan menjadi kewajiban setiap<br />

negara untuk melakukan penghukuman<br />

terhadap kejahatan seperti ini. Penegasan tentang<br />

asas nasional aktif ini juga bertujuan untuk<br />

menyatakan bahwa setiap pelanggaran HAM<br />

yang berat yang dilakukan oleh warga negara<br />

UU No. 26 Tahun 2000 memberikan<br />

larangan atau membatasi kewenangan<br />

untuk memeriksa dan memutus perkara<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang berat<br />

yang dilakukan oleh seseorang yang<br />

berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun<br />

pada saat kejahatan dilakukan. Disini<br />

diartikan bahwa seseorang yang berumur<br />

dibawah 18 tahun yang melakukan<br />

pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan<br />

diputus dalam Pengadilan Negeri.<br />

Ketentuan tentang pembatasan perkecualian<br />

yurisdiksi terhadap mereka yang berumur<br />

dibawah 18 tahun pada saat tindak pidana<br />

dilakukan (exclusion of jurisdiction over person<br />

under eighteen) sesuai dengan norma yang<br />

diatur dalam Statuta Roma 1998.<br />

Jenis kejahatan yang dapat diadili<br />

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai<br />

pelanggaran HAM berat yang dapat<br />

diperiksa atau diputus dan merupakan<br />

yurisdiksi pengadilan HAM adalah :<br />

1. Kejahatan genosida yaitu setiap<br />

perbuatan yang dilakukan dengan<br />

maksud untuk menghancurkan atau<br />

memusnahkan seluruh atau sebagian<br />

kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,<br />

kelompok agama, dengan cara :<br />

a. Membunuh anggota kelompok;<br />

b. Mengakibatkan penderitaan fisik<br />

atau mental yang berat terhadap<br />

anggota-anggota kelompok;<br />

c. Menciptakan kondisi kehidupan<br />

kelompok yang akan<br />

mengakibatkan kemusnahan secara<br />

fisik baik seluruh atau sebagian;<br />

indonesia dimanapun akan diadili menurut<br />

hukum Indonesia.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 9


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

d. Memaksakan tindakan-tindakan<br />

yang bertujuan mencegah kelahiran<br />

di dalam kelompok atau;<br />

e. memindahkan secara paksa anakanak<br />

dari kelompok tertentu ke<br />

kelompok lain.<br />

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu<br />

salah satu perbuatan yang dilakukan<br />

sebagai bagian dari serangan yang<br />

meluas atau sistematik yang<br />

diketahuinya bahwa serangan itu<br />

ditujukan secara langsung kepada<br />

penduduk sipil yang berupa :<br />

a. Pembunuhan, dengan rumusan<br />

delik sebagaimana Pasal 340<br />

KUHP. 11<br />

b. Pemusnahan, yaitu meliputi<br />

perbuatan yang menimbulkan<br />

penderitaan yang dilakukan dengan<br />

sengaja, antara lain berupa<br />

perbuatan menghambat pemasokan<br />

barang makanan dan obat-obatan<br />

yang dapat menimbulkan<br />

pemusnahan pada sebagian<br />

penduduk.<br />

c. Perbudakan, dalam ketentuan ini<br />

termasuk perdagangan manusia,<br />

khususnya perdagangan wanita dan<br />

anak-anak.<br />

d. Pengusiran dan pemindahan<br />

penduduk secara paksa, yaitu<br />

pemindahan orang-orang secara<br />

11 Pasal 340 KUHP menyatakan bahwa :<br />

Barang siapa dengan sengaja dan dengan<br />

direncanakan terlebih dahulu menghilangkan<br />

nyawa orang lain, karena salah telah melakukan<br />

pembunuhan dengan direncanakan terlebih<br />

dahulu, dihukum dengan hukuman mati atau<br />

dengan hukuman penjara seumur hidup atau<br />

dengan hukuman penjara sementara selamalamanya<br />

20 tahun. Ketentuan yang digunakan<br />

sebagai acuan adalah ketentuan deliknya dan<br />

bukan termasuk ancaman hukumannya karena<br />

ancaman hukuman dalam kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan dalan UU No. 26 Tahun 2000<br />

diatur tersendiri.<br />

paksa dengan cara pengusiran atau<br />

tindakan pemaksaan yang lain dari<br />

daerah dimana mereka bertempat<br />

tinggal secara sah, tanpa disadari<br />

alasan yang diijinkan oleh hukum<br />

internasional.<br />

e. Perampasan kemerdekaan atau<br />

perampasan kebebasan fisik lain<br />

secara sewenang-wenang yang<br />

melanggar (asas-asas) ketentuan<br />

pokok hukum internasional.<br />

f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan<br />

hukum menimbulkan kesakitan<br />

atau penderitaan yang berat baik<br />

fisik maupun mental, terhadap<br />

seorang tahanan atau seorang yang<br />

berada di bawah pengawasan.<br />

g. Perkosaan, perbudakan seksual,<br />

pelacuran secara paksa, pemaksaan<br />

kehamilan, pemandulan atau<br />

sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk<br />

kekerasan seksual lain yang<br />

setara.<br />

h. Penganiayaan terhadap suatu<br />

kelompok tertentu atau<br />

perkumpulan yang didasari<br />

persamaan paHAM politik, ras,<br />

kebangsaan, etnis, budaya, agama,<br />

jenis kelamin atau alasan lain yang<br />

telah diakui secara universal<br />

sebagai hal yang dilarang menurut<br />

hukum internasional.<br />

i. Penghilangan orang secara paksa,<br />

yaitu penangkapan, penahanan,<br />

atau penculikan seseorang oleh atau<br />

dengan kuasa, dukungan atau<br />

persetujuan dari negara atau<br />

kebijakan organisasi, diikuti oleh<br />

penolakan untuk mengakui<br />

perampasan kemerdekaan tersebut,<br />

dengan maksud untuk melepaskan<br />

dari perlindungan hukum dalam<br />

jangka waktu yang panjang.<br />

j. Kejahatan apartheid, yaitu<br />

perbuatan tidak manusiawi dengan<br />

sifat yang sama dengan sifat-sifat<br />

yang disebutkan dalam Pasal 8 yang<br />

dilakukan dalam konteks suatu<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 10


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

rezim kelembagaan berupa<br />

penindasan dan dominasi oleh<br />

suatu kelompok rasial atas suatu<br />

kelompok atau kelompok-kelompok<br />

ras lain dan dilakukan dengan<br />

maksud untuk mempertahankan<br />

rezim itu.<br />

Pengaturan tentang kejahatan genosida dan<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU<br />

No. 26 Tahun 2000 dalam penjelasannya<br />

dinyatakan sebagai ketentuan yang sesuai<br />

dengan Rome Statute of International Criminal<br />

Court 1998. Penjelasan tersebut mempunyai<br />

konsekuensi bahwa kejahatan genosida dan<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan seperti<br />

yang tercantum dalam Pasal 7 UU No. 26<br />

Tahun 2000 sama maksudnya dengan Pasal<br />

6 dan 7 dalam Statuta Roma 1998 termasuk<br />

terhadap penyesuaian unsur-unsur tindak<br />

pidananya (element of crimes).<br />

Definisi tentang kejahatan genosida dalam<br />

Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 secara umum<br />

tidak ada persoalan dalam artian sudah<br />

sesuai dengan beberapa norma yang<br />

berkaitan dengan pengaturan genosida<br />

dalam ketentuan hukum internasional.<br />

Ketentuan tersebut adalah Pasal 6 dari<br />

Statuta Roma tentang ICC dan Article II<br />

Genocide Convention 1948 yang<br />

mendefinisikan genosida sebagai 5 (lima)<br />

perbuatan tertentu atau khusus yang<br />

dilakukan dengan maksud untuk<br />

memusnahkan (intent to destroy) suatu<br />

kelompok etnis, rasial atau agama.<br />

Berbeda dengan pengertian tentang<br />

kejahatan genosida, definisi tentang<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap<br />

banyak mengalami distorsi terutama dalam<br />

beberapa pengertian kunci tentang delik<br />

kejahatan ini. Dari proses adopsi tentang<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan dan<br />

kejahatan genosida dari Statuta Roma ke<br />

dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat<br />

distorsi yang secara teoritis melemahkan<br />

konsep kejahatan tersebut terutama konsep<br />

tentang kejahatan terhadap kemanusiaan<br />

yaitu :<br />

1. Tidak ada kejelasan mengenai unsur<br />

meluas (widespread), sistematik<br />

(systematic) dan diketahui (intension), hal<br />

ini akan berakibat adanya berbagai<br />

macam interpretasi atas pengertian di<br />

atas. Hal ini berbeda dengan ketentuan<br />

dalam Statuta Roma yang menjelaskan<br />

secara tegas mengenai intension. 12<br />

2. Penerjemahan directed against any<br />

civillian population menjadi ditujukan<br />

secara langsung kepada penduduk sipil,<br />

yang seharusnya ditujukan kepada<br />

populasi sipil. Kata “langsung” ini bisa<br />

berimplikasi pada seolah-olah hanya<br />

pelaku di lapangan saja yang dapat<br />

dikenakan pasal ini sedangkan pelaku<br />

diatasnya yang membuat kebijakan<br />

tidak tercakup dalam pasal ini. istilah<br />

“penduduk” untuk menterjemahkan<br />

kata “population” telah menyempitkan<br />

subyek hukum dengan menggunakan<br />

batasan-batasan wilayah yang akan<br />

menyempitkan target-target potensial<br />

korban kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan hanya kepada warga<br />

negara dimana kejahatan tersebut<br />

berlangsung. 13<br />

12 Lihat Progress Report pemantauan<br />

pengadilan HAM ad hoc <strong>Elsam</strong> ke X. Tanggal 28<br />

Januari 2003.<br />

13 Majelis hakim pada ICTY dan ICTR<br />

mengadopsi pengertian yang luas mengenai<br />

populasi sipil. Untuk melindungi mereka yang<br />

potensial menjadi korban kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan, pengertian populasi sipil juga<br />

diartikan sebagai siapa saja yang dalam batasan<br />

waktu tertentu secara aktif terlibat dalam<br />

kejadian dimana ia berada dalam posisi<br />

mempertahankan diri dalam kondisi tertentu<br />

dapat dianggap sebagai korban kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan. Lihat Progress Report<br />

pemantauan Pengadilan HAM ad hoc <strong>Elsam</strong> ke X.<br />

Tanggal 28 Januari 2003.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 11


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

3. Penerjemahan istilah “prosecution”<br />

menjadi penganiayaan. Prosecution<br />

mempunyai arti yang lebih luas<br />

merujuk pada perlakuan diskriminatif<br />

yang menghasilkan kerugian mental<br />

maupun fisik atau ekonomis. Dengan<br />

digunakan istilah penganiayaan ini<br />

maka tindakan teror dan intimidasi atas<br />

seseorang atau kelompok sipil tertentu<br />

berdasarkan kepercayaan politik<br />

menjadi tidak termasuk dalam kategori<br />

tersebut. 14<br />

yang termasuk kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan ini akan melemahkan konsep<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan karena<br />

dapat ditafsirkan sendiri-sendiri. 16<br />

4. UU No. 26 Tahun 2000 tidak<br />

memasukkan tentang kejahatan yang<br />

termasuk rumusan kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan seperti dalam huruf k<br />

Pasal 7 Statuta Roma yaitu perbuatan<br />

tidak manusiawi lain dengan sifat yang<br />

sama secara sengaja menyebabkan<br />

penderitaan berat, atau luka serius<br />

terhadap badan atau mental atau<br />

kesehatan fisik. Alasan tidak<br />

dimasukkan rumusan ketentuan ini<br />

dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah<br />

adanya pengertian bahwa ketentuan ini<br />

tidak memberikan kepastian hukum<br />

dan memiliki penafsiran yang luas. 15<br />

Adanya distorsi karena proses<br />

pengadopsian dan penerjemahan yang tidak<br />

memadai ini menjadikan pengertian tentang<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan tidak sama<br />

atau berbeda rumusannya dengan dengan<br />

pengertian yang ada dalam hukum<br />

internasional dalam hal ini dengan<br />

ketentuan Statuta Roma sebagai dasar<br />

rujukannya. Disamping itu tidak adanya<br />

element of crimes secara jelas untuk<br />

mendefinisikan bentuk-bentuk kejahatan<br />

14 Lihat Progress Report pemantauan<br />

Pengadilan HAM ad hoc <strong>Elsam</strong> ke X. Tanggal 28<br />

Januari 2003.<br />

15 Lihat pandangan akhir fraksi-fraksi di<br />

DPR tentang pembentukan pengadilan HAM,<br />

Jakarta, 2000.<br />

16 Beberapa putusan pengadilan HAM<br />

ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat<br />

di Timor-timur menunjukkan bahwa<br />

pembahasan tentang elemen-elemen dalam<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat<br />

perbedaan antara majelis hakim. Perbedaan<br />

tersebut terutama berkaitan dalam menguraikan<br />

elemen meluas atau sistematik yang antara<br />

majelis hakim berbeda karena perbedaan<br />

referensi atau acuan dalam mendefinisikan<br />

unsur-unsur tersebut.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 12


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

c. Hukum Acara Pengadilan HAM<br />

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000<br />

menyatakan bahwa hukum acara yang<br />

digunakan adalah hukum acara yang<br />

berdasarkan hukum acara pidana kecuali<br />

ditentukan lain dalam undang-undang ini.<br />

Hal ini berarti hukum acara yang akan<br />

digunakan untuk proses pemeriksaan di<br />

pengadilan menggunakan hukum acara<br />

dengan mekanisme sesuai dengan Kitab<br />

Undang-undang Hukum Acara Pidana<br />

(KUHAP).<br />

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur<br />

Kekhususan pengadilan HAM di luar<br />

ketentuan KUHAP untuk pelanggaran<br />

HAM yang berat. Kekhususan dalam<br />

penanganan pelanggaran HAM yang berat<br />

dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :<br />

1. Diperlukan penyelidik dengan<br />

membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc,<br />

penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.<br />

2. Diperlukan penegasan bahwa<br />

penyelidik hanya dilakukan oleh komisi<br />

nasional hak asasi manusia sedangkan<br />

penyidik tidak berwenang menerima<br />

laporan atau pengaduan sebagaimana<br />

diatur dalam KUHAP.<br />

3. Diperlukan ketentuan mengenai<br />

tenggang waktu tertentu untuk<br />

melakukan penyidikan, penuntutan,<br />

dan pemeriksaan di pengadilan.<br />

4. Diperlukan ketentuan mengenai<br />

perlindungan korban dan saksi.<br />

5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak<br />

ada kadaluarsa pelanggaran HAM yang<br />

berat.<br />

Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam<br />

pasa demi pasal dalam UU No. 26/2000<br />

yang merupakan pengecualian dari<br />

pengaturan dalam KUHAP yaitu :<br />

Penangkapan<br />

Kewenangan untuk melakukan<br />

penangkapan di tingkat penyidikan dalam<br />

pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung<br />

terhadap seseorang yang diduga keras<br />

melakukan pelanggaran HAM berat<br />

berdasarkan bukti permulaan yang cukup 17 .<br />

Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan<br />

dilakukan oleh penyidik dengan<br />

memperlihatkan surat tugas dan<br />

menunjukkan surat perintah penangkapan<br />

yang mencantumkan identitas tersangka<br />

dengan menyebutkan alasan penangkapan,<br />

tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian<br />

singkat perkara pelanggaran HAM yang<br />

berat yang dipersangkakan. Keluarga harus<br />

mendapatkan tembusan untuk adanya<br />

penangkapan tersebut segera setelah<br />

penangkapan dilakukan.<br />

Pelaku pelanggaran HAM berat yang<br />

tertangkap tangan, penangkapannya<br />

dilakukan tanpa surat perintah tetapi<br />

dengan segera bahwa orang yang<br />

menangkap harus segera menyerahkannya<br />

kepada penyidik. Lama penangkapan<br />

paling lama 1 hari dan masa penangkapan<br />

ini dapat dikurangkan dari pidana yang<br />

dijatuhkan.<br />

Ketentuan khusus mengenai penangkapan<br />

ini jika dikomparasikan dengan KUHAP<br />

tidak jauh berbeda. Yang membedakan<br />

adalah yang melakukan/pelaksanaan tugas<br />

penangkapan adalah Jaksa Agung<br />

sedangkan dalam KUHAP yang melakukan<br />

17 Penjelasan tentang bukti permulaan<br />

yang cukup adalah bukti permulaan untuk<br />

menduga adanya tindak pidana bahwa<br />

seseorang yang karena perbuatannya atau<br />

keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut<br />

diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM yang<br />

berat.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 13


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

penangkapan adalah petugas kepolisian<br />

Republik Indonesia. 18<br />

Penahanan<br />

Selama proses penyidikan dan penuntutan,<br />

penahanan atau penahan lanjutan dapat<br />

dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan<br />

untuk kepentingan pemeriksaan di sidang<br />

pengadilan yang berwenang melakukan<br />

penahanan adalah hakim dengan<br />

mengeluarkan penetapan. Perintah<br />

penahanan ini harus didasarkan pada<br />

alasan-alasan yang disyaratkan yaitu<br />

adanya dugaan keras melakukan<br />

pelanggaran HAM berat dengan bukti yang<br />

cukup, adanya kekhawatiran tersangka atau<br />

terdakwa akan melarikan diri, merusak atau<br />

menghilangkan barang bukti, atau<br />

mengulangi pelanggaran HAM berat.<br />

Alasan penahanan ini adalah alasan yang<br />

berdasarkan atas alasan subyektif dari<br />

penyidik atau majelis hakim atas kondisi<br />

yang disyaratkan tersebut, artinya<br />

pertimbangan atas adanya bukti yang<br />

cukup, kekhawatiran akan menghilangkan<br />

barang bukti atau akan melakukan<br />

pelanggaran HAM yang berat adalah alasan<br />

atas penilaian dari pihak yang berwenang<br />

untuk melakukan penyidikan atau hakim<br />

yang memeriksa terdakwa. Hal ini berbeda<br />

dengan ketentuan dalam KUHAP yang juga<br />

mensyaratkan adanya unsur obyektif untuk<br />

dapat dilakukan penahanan kepada<br />

tersangka maupun terdakwa. 19<br />

Jangka waktu penahanan untuk penyidikan<br />

dapat dilakukan paling lama 90 hari dan<br />

dapat diperpanjang selama 90 hari oleh<br />

ketua pengadilan HAM dan jika waktu<br />

penahanan telah selesai tapi penyidikan<br />

belum dapat diselesaikan makan dapat<br />

diperpanjang selama 60 hari oleh ketua<br />

18 Lihat Pasal 18 KUHAP.<br />

19 Lihat Pasal 21 KUHAP tentang alasan<br />

dapat ditahannya tersangka maupun terdakwa.<br />

pengadilan HAM yang bersangkutan.<br />

Jangka waktu penahanan untuk penuntutan<br />

paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang<br />

20 hari, tetapi jika belum selesai maka dapat<br />

diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua<br />

pengadilan sesuai dengan daerah<br />

hukumnya.<br />

Ketentuan mengenai lamanya penahanan<br />

ini tidak disertai dengan konsekuensi<br />

mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan<br />

dari tahanan jika selama waktu penahanan<br />

itu proses penyidikan dan penuntutan<br />

belum dapat diselesaikan. KUHAP<br />

disamping mengatur tentang lamanya<br />

panahanan juga mengatur tentang hak<br />

tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan<br />

jika tidak telah selesai masa penahanannya<br />

tetapi proses penyidikan dan penuntutan<br />

belum selesai. 20<br />

Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan<br />

disidang pengadilan dapat dilakukan<br />

selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh<br />

ketua pengadilan HAM selama 30 hari.<br />

Dalam pemeriksaan tingkat banding di<br />

pengadilan tinggi dapat dilakukan paling<br />

lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling<br />

lama 30 hari oleh ketua pengadilan tinggi.<br />

Sedangkan untuk tingkat kasasi di<br />

Mahkamah Agung penahanan dapat<br />

dilakukan selama 60 hari dan dapat<br />

diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA.<br />

20 Lihat Pasal 24 dan 25 KUHAP. Pasal<br />

24 menyatakan bahwa lama penahanan untuk<br />

proses penyidikan adalah paling lama 20 hari<br />

dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari, jika<br />

dalam waktu 60 hari sudah terpenuhi penyidik<br />

harus sudah mengeluarkan tersangka dari<br />

tahanan demi hukum.<br />

Pasal 25 menyatakan bahwa lama penahanan 20<br />

hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari,<br />

jika dalam wakti 50 hari telah terpenuhi maka<br />

tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi<br />

hukum. Kedua pasal diatas juga menyatakan<br />

bahwa tersangka dapat dilepaskan dari tahanan<br />

jika pemeriksaan sudah selesai meskipun waktu<br />

penahanan belum berakhir.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 14


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

Dalam KUHAP perpanjangan penahanan<br />

untuk kepentingan pemeriksaan dapat<br />

dilakukan berdasarkan alasan yang patut<br />

dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa<br />

tersangka atau terdakwa menderita<br />

gangguan fisik atau mental yang berat, yang<br />

dibuktikan dengan surat keterangan dokter<br />

dan perkara yang sedang diperiksa diancam<br />

dengan pidana penjara selama sembilan<br />

tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan<br />

ini dapat dilakukan untuk paling lama 30<br />

hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari<br />

berikutnya. Selama total 60 hari tersebut,<br />

tersangka atau terdakwa harus sudah<br />

dikeluarkan demi hukum meskipun<br />

perkaranya belum selesai diperiksa maupun<br />

belum diputus. 21<br />

21 Lihat Pasal 29 KUHAP.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 15


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

Penahanan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000<br />

No Proses Kewenangan Lama<br />

Penahanan<br />

(hari)<br />

Perpanjangan<br />

Pertama<br />

(hari)<br />

Perpanjangan<br />

Kedua<br />

(hari)<br />

1 Penyidikan Jaksa Agung 90 90 60 240<br />

2 Penuntutan Jaksa Agung 30 20 20 70<br />

3 Pemeriksaan<br />

Hakim<br />

90 30<br />

Pengadilan (Negeri) Pengadilan HAM<br />

4 Tingkat Banding Hakim<br />

60 30 - 90<br />

Pengadilan tinggi<br />

5 Tingkat Kasasi Hakim HAM<br />

Tingkat Kasasi<br />

60 30 - 90<br />

Total<br />

(hari)<br />

Penyelidikan<br />

Huruf 5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun<br />

2000 menyatakan bahwa penyelidikan<br />

diartikan sebagai serangkaian tindakan<br />

penyelidik untuk mencari dan menemukan<br />

ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga<br />

merupakan pelanggaran hak asasi manusia<br />

yang berat guna ditindaklanjuti dengan<br />

penyidikan sesuai dengan ketentuan yang<br />

diatur dalam Undang-undang ini. 22<br />

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur secara<br />

berbeda dengan KUHAP tentang siapa yang<br />

berhak melakukan penyelidikan. Dalam<br />

penjelasan umumnya undang-undang ini<br />

menegaskan bahwa diperlukan langkahlangkah<br />

yang bersifat khusus, diantaranya<br />

penyelidikan yang bersifat khusus, dimana<br />

diperlukan penyelidik dengan membentuk<br />

tim ad hoc. Penyelidikan hanya dilakukan<br />

oleh Komnas HAM sedangkan penyidik<br />

tidak berwenang menerima laporan atau<br />

pengaduan. Kewenangan penyelidikan<br />

yang berbeda dengan pengaturan dalam<br />

KUHAP inilah yang dianggap sebagai<br />

kekhususan mengenai penyelidikan dalam<br />

kasus pelanggaran HAM yang berat. 23<br />

Penyelidikan untuk pelanggaran HAM yang<br />

berat merupakan kewenangan dari Komnas<br />

HAM dan penyelidikan yang dilakukan<br />

oleh Komnas HAM ini merupakan<br />

penyelidikan yang sifatnya pro justitia. 24<br />

Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan<br />

untuk menjaga objektivitas hasil<br />

penyelidikan karena lembaga Komnas<br />

HAM adalah lembaga yang bersifat<br />

independen baik dari segi institusi maupun<br />

anggotanya. Secara kelembagaan Komnas<br />

HAM dianggap tidak memiliki kepantingan<br />

kecuali terhadap perlindungan dan<br />

penegakan HAM di Indonesia sedangkan<br />

anggota Komnas HAM dianggap juga<br />

memiliki integrasi yang tinggi dan<br />

kemampuan teknis untuk melakukan<br />

penyelidikan. Dalam melakukan<br />

penyelidikan Komnas HAM membentuk<br />

22 Bandingkan dengan definisi<br />

penyelidikan seperti ketentuan dalam KUHAP.<br />

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan<br />

penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu<br />

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana<br />

guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan<br />

penyidikan menurut cara yang diatur dalam<br />

undang-undang ini.<br />

23 Dalam KUHAP penyelidik adalah<br />

pejabat polisi negara Republik Indonesia yang<br />

diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk<br />

melakukan penyelidikan.<br />

2000 .<br />

24 Penjelasan Pasal 19 UU No. 26 Tahun<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 16


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM<br />

dan unsur masyarakat. 25<br />

Komnas HAM mempunyai kewenangan<br />

untuk melakukan tindakan-tindakan dalam<br />

rangka melaksanakan penyelidikan yaitu<br />

memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat<br />

atau lingkupnya patut diduga terdapat<br />

pelanggaran HAM berat, menerima<br />

laporan 26 atau pengaduan dari seseorang<br />

atau kelompok orang tentang terjadinya<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang berat,<br />

serta mencari keterangan dan barang bukti,<br />

memanggil pihak pengadu, korban atau<br />

pihak yang diadukan untuk diminta dan<br />

didengar keterangannya, memanggil saksi<br />

untuk didengar kesaksiannya, meninjau dan<br />

mengumpulkan keterangan ditempat<br />

kejadian dan tempat lainnya yang dianggap<br />

perlu, memanggil pihak terkait untuk<br />

memberikan keterangan secara tertulis atau<br />

menyerahkan dokumen yang diperlukan<br />

sesuai dengan aslinya. Disamping tindakantindakan<br />

di atas, atas perintah penyidik 27<br />

dapat melakukan tindakan berupa : 1)<br />

pemeriksaan surat, 2) penggeledahan 28 dan<br />

penyitaan, 3) pemeriksaan setempat<br />

25 Unsur masyarakat disini adalah tokoh<br />

dan anggota masyarakat yang profesional,<br />

berdedikasi, berintegrasi tinggi, dan menghayati<br />

bidang hak asasi manusia.<br />

26 Arti “menerima” adalah menerima,<br />

mendaftar, dan mencatat laporan atau<br />

pengaduan tentang terjadinya pelanggaran HAM<br />

yang berat, dan dapat dilengkapi dengan barang<br />

bukti.<br />

27 Penjelasan mengenai perintah<br />

penyidik adalah perintah tertulis yang<br />

dikeluarkan penyidik atas permintaan penyelidik<br />

dan penyidik segera mengeluarkan surat<br />

perintah setelah menerima permintaan dari<br />

penyidik.<br />

28 Penggeledehan dalam ketentuan ini<br />

meliputi penggeledahan badan atau rumah. Hal<br />

ini sama dengan ketentuan Pasal 32 KUHAP.<br />

terhadap rumah, pekarangan, bangunan,<br />

dan tempat-tempat lainnya yang diduduki<br />

atau dimiliki pihak tertentu, dan 4)<br />

mendatangkan ahli dalam hubungan<br />

dengan penyelidikan.<br />

Komnas HAM dalam melakukan<br />

penyelidikan terhadap dugaan adanya<br />

pelanggaran HAM yang berat maka harus<br />

memberitahukan aktivitas ini kepada<br />

penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan<br />

bahwa telah ada bukti permulaan yang<br />

cukup maka atas adanya pelanggaran HAM<br />

yang berat maka hasil kesimpulan<br />

diserahkan ke penyidik. Paling lambat 7<br />

hari kerja diserahkan selanjutnya Komnas<br />

HAM menyerahkan seluruh hasil<br />

penyelidikan. Jika penyidik menganggap<br />

bahwa penyelidikan kurang lengkap 29<br />

maka penyidik mengembalikan hasil<br />

penyelidikan disertai petunjuk untuk<br />

dilengkapi dan dalam waktu 30 hari<br />

penyelidik wajib melengkapi.<br />

Disamping mempunyai kewenangan untuk<br />

melakukan penyelidikan dalam kasus<br />

pelanggaran HAM yang berat, Komnas<br />

HAM juga mempunyai kewenangan untuk<br />

meminta keterangan secara tertulis kepada<br />

Jaksa Agung mengenai perkembangan<br />

penyidikan dan penuntutan perkara<br />

pelanggaran HAM yang berat. 30<br />

Penyidikan<br />

Definisi tentang penyidikan tidak diatur<br />

dalam UU No. 26 Tahun 2000. 31 Pihak yang<br />

29 Arti dari “kurang lengkap” adalah<br />

belum cukup memenuhi unsur pelanggaran<br />

HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap<br />

penyidikan.<br />

30 Lihat Pasal 25 UU No. 26 Tahun 2000.<br />

31 Definisi penyidikan dapat dilihat<br />

dalam huruf 2 ketentuan umum KUHAP yang<br />

menjelaskan bahwa penyidikan adalah<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 17


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

berwenang melakukan penyidikan terhadap<br />

kasus pelanggaran HAM yang berat adalah<br />

Jaksa Agung. Penyidikan ini tidak termasuk<br />

untuk menerima pengaduan dan laporan<br />

karena pengaduan dan laporan tersebut<br />

merupakan kewenangan Komnas HAM.<br />

Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung<br />

dapat 32 mengangkat penyelidik ad hoc dari<br />

unsur masyarakat 33 dan pemerintah.<br />

Penyidikan yang dilakukan wajib<br />

diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung<br />

sejak tanggal hasil penyelidikan diterima<br />

dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.<br />

Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90<br />

hari berikutnya jika selama 90 hari pertama<br />

penyidikan belum dapat diselesaikan.<br />

Perpanjangan yang kedua selama 60 hari,<br />

baik perpanjangan yang pertama maupun<br />

kedua dilakukan oleh ketua pengadilan<br />

HAM sesuai dengan daerah hukumnya<br />

masing-masing.<br />

Jaksa Agung wajib mengeluarkan Surat<br />

Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika<br />

dalam waktu yang telah ditentukan tidak<br />

diperoleh bukti yang cukup. Adanya SP3<br />

ini, penyidikan atas kasus dapat dibuka<br />

kembali dan dilanjutkan jika terdapat alasan<br />

dan bukti lain yang melengkapi hasil<br />

penyidikan. Atas penghentian penyidikan<br />

ini, jika tidak dapat diterima oleh korban<br />

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan<br />

menurut cara yang diatur dalam undang-undang<br />

ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti<br />

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak<br />

pidana yang terjadi dan guna menemukan<br />

tersangkanya.<br />

32 Penjelasan mengenai kata “dapat”<br />

adalah bahwa dimaksudkan agar Jaksa Agung<br />

dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan<br />

sesuai dengan kebutuhan.<br />

33 Penjelasan tentang unsur masyarakat<br />

adalah dari organisasi politik, organisasi<br />

kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,<br />

atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti<br />

perguruan tinggi.<br />

dan keluarganya, maka ada hak untuk<br />

mengajukan pra peradilan bagi korban dan<br />

keluarganya atas penghentian penyidikan<br />

oleh Jaksa Agung kepada ketua pengadilan<br />

HAM sesuai dengan peraturan perundangundangan<br />

yang berlaku dalam hal ini sesuai<br />

dengan KUHAP.<br />

Penuntutan<br />

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang<br />

ketentuan penuntutan dalam Pasal 23 dan<br />

24. Pasal 23 menyatakan penuntutan<br />

mengenai pelanggaran HAM yang berat<br />

dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam<br />

melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat<br />

mengangkat jaksa penuntut umum ad hoc. 34<br />

Untuk dapat diangkat menjadi penuntut<br />

umum ad hoc harus memenuhi syarat<br />

tertentu. 35<br />

Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu<br />

penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung<br />

sejak tanggal hasil penyelidikan diterima.<br />

Ketentuan mengenai jangka waktu ini<br />

berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP<br />

dimana tidak diatur mengenai adanya<br />

jangka waktu penuntutan.<br />

Pengalaman berberapa pengadilan HAM<br />

diantaranya pengadilan Ham ad hoc Timortimur<br />

maupun pengadilan HAM ad hoc<br />

Tanjung Priok menunjukkan bahwa proses<br />

34 Dalam penjelasannya penuntut umum<br />

ad hoc dari unsur masyarakat diutamakan<br />

diambil dari mantan penuntut umum di<br />

peradilan umum atau oditur di peradilan militer.<br />

35 Pasal 23 ayat 4 mengatur tentang<br />

syarat untuk menjadi penuntut umum ad hoc<br />

yaitu warga negara Republik Indonesia, berumur<br />

sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi<br />

65 tahun, berpendidikan sarjana hukum dan<br />

berpengalaman sebagai penuntut umum, sehat<br />

jasmani dan rohani, berwibawa, jujur, adil, dan<br />

berkelakuan tidak tercela, setia kepada Pancasila<br />

dan UUD 1945 dan memiliki pengetahuan dan<br />

kepedulian di bidang hak asasi manusia.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 18


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

penyidikan dan penuntutan dalam beberapa<br />

kasus tersebut mengalami keterlambatan<br />

dan tidak sesuai dengan ketentuan limitasi<br />

waktu sesuai dengan UU No. 26 Tahun<br />

2000. Jaksa ad hoc dalam menyikapi<br />

keterlambatan ini mengajukan surat kepada<br />

pengadilan untuk persetujuan atas<br />

perpanjangan proses penyelidikan dan<br />

penuntutan. Pembatasan atau limitasi<br />

waktu dalam proses penyelidikan dan<br />

penuntutan ini berdasarkan pengalaman<br />

pengadilan HAM ad hoc yang telah terjadi<br />

menjadi alasan penasehat hukum terdakwa<br />

dalam eksepsinya untuk menyatakan bahwa<br />

proses penyidikan dan penuntutan<br />

melampaui ketentuan UU No. 26 Tahun<br />

2000. 36<br />

Pemeriksaan di sidang pengadilan<br />

1. Komposisi hakim dan hakim ad hoc<br />

Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000<br />

menyatakan bahwa kasus pelanggaran<br />

HAM yang berat diperiksa oleh majelis<br />

hakim yang jumlahnya 5 orang yang<br />

terdiri dari 2 orang hakim pengadilan<br />

HAM yang bersangkutan dan 3 orang<br />

hakim HAM ad hoc. Majelis hakim<br />

tersebut diketuai oleh hakim dari<br />

pengadilan HAM yang bersangkutan.<br />

Pada tingkat banding majelis hakimnya<br />

berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2<br />

orang hakim dari pengadilan setempat<br />

dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian<br />

juga komposisi mengenai majelis hakim<br />

dalam tingkat kasasi.<br />

Dari ketentuan diatas, pengaturan<br />

tentang hakim ad hoc hanya sampai<br />

pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan<br />

mengenai hakim yang dapat mengadili<br />

di tingkat peninjauan kembali (PK),<br />

36 Lihat eksepsi Penasehat hukum para<br />

terdakwa kasus pelanggaran HAM yang berat di<br />

Timor-timur dalam pengadilan HAM ad hoc.<br />

mengingat bahwa dalam hukum acara<br />

pidana menyatakan bahwa peninjuan<br />

kembali atas suatu perkara pidana juga<br />

dimungkinkan dan itu merupakan hak<br />

terdakwa atau ahli warisnya tetapi<br />

dalam ketentuan UU No. 26 Tahun 2000<br />

ini tidak diatur tentang hakim ad hoc<br />

untuk pemeriksaan upaya hukum luar<br />

biasa dengan cara peninjauan kembali.<br />

Ketentuan mengenai hakim yang akan<br />

mengadili di tingkat peninjauan<br />

kembali ini tidak diatur dalam UU No.<br />

26 Tahun 2000 ini. 37<br />

Pengertian hakim ad hoc adalah hakim<br />

yang diangkat di luar hakim karir yang<br />

memenuhi persyaratan profesional,<br />

berdedikasi dan berintegrasi tinggi,<br />

menghayati cita-cita negara hukum dan<br />

negara kesejahteraan yang berintikan<br />

keadilan, memahami dan menghormati<br />

hak asasi manusia dan kewajiban dasar<br />

manusia.<br />

Jumlah hakim ad hoc di pengadilan<br />

HAM yang harus diangkat adalah<br />

sekurang-kurangnya 12 orang dan masa<br />

jabatannya adalah 5 tahun yang dapat<br />

diangkat untuk 1 kali masa jabatan lagi.<br />

Hakim ad hoc ini diangkat dan<br />

diberhentikan oleh presiden selaku<br />

Kepala Negara atas usul Ketua<br />

Mahkamah Agung. Ketentuan ini sama<br />

untuk hakim ad hoc pada pengadilan<br />

tinggi, sedangkan untuk hakim ad hoc<br />

tingkat kasasi di Mahkamah Agung<br />

diangkat oleh Presiden selaku kepala<br />

negara atas usulan Dewan Perwakilan<br />

Rakyat RI dan lama jabatan hanya satu<br />

periode yaitu selama 5 tahun.<br />

37 Mengingat hakim yang mengadili<br />

pelanggaran HAM yang berat ini selalu<br />

mensyaratkan adanya hakim ad hoc maka tidak<br />

adanya pengaturan mengenai hakim ad hoc di<br />

tingkat peninjauan kembali tidak bisa diserahkan<br />

mekanismenya dengan menggunakan ketentuan<br />

KUHAP.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 19


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

Hakim ad hoc ini dalam pemilihannya<br />

memerlukan syarat-syarat tertentu yang<br />

tertuang dalam Pasal 29. 38 Hakim ad<br />

hoc juga wajib mengucapkan sumpah.<br />

Syarat untuk menjadi hakim ad hoc ini<br />

berlaku untuk hakim tingkat banding<br />

dan hakim ad hoc tingkat kasasi.<br />

Perkecualian khusus untuk hakim ad hoc<br />

tingkat kasasi berumur sekurangkurangnya<br />

50 tahun dan tidak ada<br />

batasan maksimal umurnya.<br />

38 Untuk dapat diangkat menjadi Hakim<br />

ad hoc harus memenuhi syarat : warga negara<br />

Republik Indonesia, bertaqwa kepada Tuhan<br />

Yang Maha Esa, berumur sekurang-kurangnya<br />

45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65<br />

(enam puluh lima) tahun, berpendidikan sarjana<br />

hukum atau sarjana lain yang mempunyai<br />

keahlian di bidang hukum (sarjana syariah atau<br />

sarjana lulusan perguruan tinggi ilmu<br />

kepolisian), sehat jasmani dan rohani,<br />

berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak<br />

tercela, setia kepada Pancasila dan Undang-<br />

Undang Dasar 1945, dan memiliki pengetahuan<br />

dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 20


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

Hakim ad hoc<br />

Hakim ad hoc Diangkat oleh Jumlah mininal yang Lama jabatan<br />

diangkat<br />

Pengadilan HAM<br />

Presiden atas usul ketua<br />

Mahkamah Agung<br />

12 orang 5 tahun dan diangkat 1<br />

periode lagi<br />

Tingkat<br />

Presiden atas usul 12 orang 5 tahun dan dapat<br />

banding/Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung<br />

diangkat 1 periode lagi<br />

Tingkat kasasi/MA Presiden atas usul DPR 3 orang 5 tahun<br />

Peninjauan Kembali Tidak diatur Tidak diatur Tidak diatur<br />

Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa<br />

dan diputuskan oleh pengadilan dalam<br />

jangka waktu paling lama 180 hari terhitung<br />

sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan<br />

HAM. Pada tingkat banding maka perkara<br />

diperiksa dan diputus paling lama 90 hari.<br />

Jika perkara dimintakan kasasi maka<br />

perkara pelanggaran HAM berat ini<br />

diperiksa dan diputus paling lama 90 hari<br />

atau selama 3 bulan.<br />

Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah<br />

mengenai proses pelimpahan berkas<br />

perkara dalam tingkat pertama ke tingkat<br />

banding dan dari tingkat pertama ke kasasi<br />

ketika jaksa mengajukan kasasi saat<br />

terdakwa dinyatakan bebas. Ketentuan<br />

mengenai mekanisme pelimpahan berkas<br />

dalam ke tingkat banding dan kasasi<br />

menggunakan mekanisme KUHAP.<br />

Tabel : Jangka waktu proses penyelidikan – kasasi<br />

No Proses Jangka waktu Perpanjangan I Perpanjangan II<br />

1 Penyelidikan Tidak ada ketentuan lama Jika penyelidikan -<br />

penyelidikan<br />

kurang lengkap wajib<br />

dilengkapi dalam<br />

jangka waktu 30 hari<br />

2 Penyidikan 90 90 60<br />

3 Penuntutan 70 Tidak ada Tidak ada<br />

4 Pemeriksaan<br />

180 Tidak ada Tidak ada<br />

pengadilan<br />

5 Banding 90 Tidak ada Tidak ada<br />

6 Kasasi 90 Tidak ada Tidak ada<br />

7 Peninjauan Kembali Tidak ada (Sesuai KUHAP) - -<br />

2. Prosedur Pembuktian<br />

Prosedur pembuktian dalam pengadilan<br />

HAM tidak diatur tersendiri yang<br />

berarti bahwa mekanisme pembuktian<br />

di sidang pengadilan HAM<br />

menggunakan mekanisme yang diatur<br />

dalam KUHAP. Pengecualian terhadap<br />

mekanisme KUHAP untuk prosedur<br />

pembuktian adalah mengenai proses<br />

kesaksian di pengadilan. Dalam rangka<br />

melindungi saksi dan korban<br />

pelanggaran HAM yang berat proses<br />

pemeriksaan saksi dapat dilakukan<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 21


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

dengan tanpa hadirnya terdakwa. 39<br />

Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2<br />

Tahun 2002 tentang perlindungan<br />

terhadap korban dan saksi pelanggaran<br />

HAM yang berat.<br />

Berkenaan dengan alat bukti yang dapat<br />

diterima juga mengacu pada alat bukti<br />

yang sesuai dengan KUHAP yaitu Pasal<br />

184. 40 Hal-hal yang dapat dijadikan alat<br />

bukti dalam KUHAP ini dianggap tidak<br />

memadai jika dikomparasikan dengan<br />

praktek peradilan internasional.<br />

Pengalaman-pengalaman internasional<br />

yang menyidangkan kasus pelanggaran<br />

HAM berat justru lebih banyak<br />

menggunakan alat-alat bukti di luar<br />

yang diatur oleh KUHAP. Misalnya<br />

rekaman, baik itu yang berbentuk film<br />

atau kaset yang berisi pidato, siaran<br />

pers, wawancara korban, wawancara<br />

pelaku, kondisi keadaan tempat<br />

kejadian dan sebagainya. Kemudian alat<br />

bukti yang dipakai juga diperbolehkan<br />

berbentuk dokumen-dokumen salinan,<br />

kliping koran, artikel lepas, sampai<br />

suatu opini yang terkait dengan kasus<br />

yang disidangkan. 41<br />

39 Proses kesaksian tanpa hadirya<br />

terdakwa ini sebenarnya sudah diatur dalam<br />

Pasal 173 KUHAP yang menyatakan bahwa<br />

hakim ketua sidang dapat mendengar<br />

keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa<br />

hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa<br />

ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu<br />

pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan<br />

sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua<br />

hal pada waktu tidak hadir. Hal ini berbeda<br />

dengan PP No. 2 Tahun 2002 yang tidak<br />

mengatur tentang tata cara tanpa hadirnya<br />

terdakwa untuk pemeriksaan kesaksian.<br />

40 Alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP<br />

adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,<br />

petunjuk dan keterangan terdakwa.<br />

41 Lihat Progress Report pemantauan<br />

pengadilan HAM ad hoc <strong>Elsam</strong> ke X. Tanggal 28<br />

Januari 2003.<br />

Prosedur pembuktian dalam pengadilan<br />

HAM ini sama dengan pengadilan<br />

HAM ad hoc. Pengalaman pengadilan<br />

Ham ad hoc Timor-timur menunjukkan<br />

bahwa prosedur dengan menggunakan<br />

mekanisme KUHAP ini banyak menjadi<br />

kendala dalam proses pembuktian<br />

kejahatan kemanusiaan yang<br />

seharusnya mempunyai prosedur<br />

pembuktian yang khusus pula. (lihat<br />

bagian dalam tulisan ini dalam<br />

prosedur pembuktian pengadilan HAM<br />

ad hoc).<br />

Ketentuan Pemidanaan<br />

Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari<br />

Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 UU No. 26<br />

Tahun 2000. Ketentuan pidana dalam UU<br />

No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan<br />

ketentuan pidana minimal yang dianggap<br />

sebagai ketentuan yang sangat progresif<br />

untuk menjamin bahwa pelaku pelanggaran<br />

HAM yang berat ini tidak akan<br />

mendapatkan hukuman yang ringan. 42<br />

Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana<br />

untuk kejahatan genosida yakni dengan<br />

ancaman hukuman mati atau pidana<br />

penjara seumur hidup atau pidana penjara<br />

paling lama 25 tahun dan pidana paling<br />

singkat 10 tahun. Ketentuan pidana ini sama<br />

dengan kejahatan yang diatur dalam Pasal 9<br />

(tentang kejahatan terhadap kemanusiaan)<br />

huruf a (pembunuhan), b (pemusnahan), d<br />

42 Mengenai hukuman minimal ini<br />

ternyata dalam prakteknya di pengadilan HAM<br />

ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat<br />

di Tim-tim tidak dapat diaplikasikan. Hal ini<br />

terbukti dengan lama hukuman yang dijatuhkan<br />

untuk terdakwa yang dibawah hukuman 10<br />

tahun (terdakwa Soejarwo 5 tahun, M. Noer Muis<br />

5 tahun, Hulman Gultom 3 Tahun dan Abilio<br />

Soares selama 3 tahun) kecuali terhadap<br />

terdakwa Eurico Guterres yang dijatuhi<br />

hukuman 10 tahun. Hakim dalam hal ini<br />

melakukan terobosan hukum.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 22


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

(pengusiran atau pemindahan penduduk<br />

secara paksa), atau j (kejahatan apartheid).<br />

Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan<br />

lainnya yaitu perbudakan diancam dengan<br />

pidana selama-lamanya 15 tahun dan paling<br />

singkat 5 tahun (Pasal 38). Demikian pula<br />

dengan kejahatan kemanusiaan yang berupa<br />

dengan kejahatan terhadap kemanusiaan<br />

yang berupa penyiksaan diancan hukuman<br />

paling lama 15 tahun dan peling rendah 5<br />

tahun (Pasal 39). Kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan yang berupa perkosaan,<br />

perbudakan seksual, pelacuran paksa,<br />

pemaksaan keHAMilan, kemandulan atau<br />

sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk<br />

kekerasan seksual lainnya yang setara<br />

diancam pidana selama-lamanya 20 tahun<br />

dan serendah-rendahnya selama 10 tahun<br />

(Pasal 40).<br />

Pasal 41 mengatur khusus mengenai pihakpihak<br />

yang melakukan pelanggaran HAM<br />

berat berupa percobaan dan ikut serta<br />

berupa permufakatan jahat atau<br />

pembantuan terhadap terlaksanya<br />

pelanggaran HAM berat, ancaman<br />

hukumannya dipersamakan dengan<br />

ketentuan Pasal 36, 37, 38, 39 dan 40.<br />

ketentuan ini mengindikasikan bahwa<br />

apapun peranan pelaku baik karena<br />

percobaan pelanggaran HAM berat, ikut<br />

serta dalam permufakatan jahat untuk<br />

melakukan pelanggaran HAM berat<br />

maupun pembantuan terhadap<br />

terlaksananya pelanggaran HAM berat<br />

tidak ada pengaturan pengecualian<br />

terhadap mereka karena ancamannya<br />

dipersamakan. Ketentuan pemidaan yang<br />

dipersamakan dengan ketentuan Pasal 36,<br />

37, 38, 39 dan 40 adalah untuk tindak pidana<br />

yang dilakukan oleh seorang komandan<br />

dari militer, polisi maupun sipil seperti<br />

yang diatur dalam Pasal 42 ayat 3 UU No.<br />

26 Tahun 2000.<br />

Ketentuan Pemidanaan<br />

Kejahatan Hukuman minimal Hukuman maksimal<br />

Genosida 10 tahun Mati atau seumur<br />

hidup atau penjara<br />

paling lama 25 tahun<br />

Kejahatan terhadap kemanusiaan, berupa :<br />

a. Pembunuhan 10 tahun Mati atau seumur<br />

hidup atau penjara<br />

paling lama 25 tahun<br />

b. Pemusnahan 10 tahun Mati atau seumur<br />

hidup atau penjara<br />

paling lama 25 tahun<br />

c. Perbudakan 5 tahun 15 tahun<br />

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk<br />

secara paksa<br />

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan<br />

kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang<br />

melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum<br />

internasional<br />

10 tahun Mati atau seumur<br />

hidup atau penjara<br />

paling lama 25 tahun<br />

10 tahun Mati atau seumur<br />

hidup atau penjara<br />

paling lama 25 tahun<br />

f. Penyiksaan 5 tahun 15 tahun<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 23


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara 10 tahun 20 tahun<br />

paksa, pemaksaan keHAMilan, pemandulan atau<br />

sterilisasi, secara paksa atau bentuk-bentuk<br />

kekerasan seksual lainnya yang setara<br />

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu 10 tahun 20 tahun<br />

atau perkumpulan yang didasari persamaan<br />

paHAM politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya,<br />

agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah<br />

diakui secara universal sebagai hal yang dilarang<br />

menurut hukum internasional<br />

i. Penghilangan orang secara paksa 10 tahun 20 tahun<br />

j. Kejahatan apartheid 10 tahun Mati atau seumur<br />

hidup atau penjara<br />

paling lama 25 tahun<br />

Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan<br />

untuk melakukan pelanggaran HAM berupa<br />

kejahatan genosida dan kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan<br />

Komandan militer, polisi dan atasan sipil yang<br />

melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan<br />

kejahatan genosida (dengan delik by omission)<br />

Dipersamakan<br />

dengan ketentuan di<br />

atas sesuai dengan<br />

bentuk kejahatannya<br />

Dipersamakan<br />

dengan ketentuan di<br />

atas sesuai dengan<br />

bentuk kejahatannya<br />

Dipersamakan dengan<br />

ketentuan di atas<br />

sesuai dengan bentuk<br />

kejahatannya<br />

Dipersamakan dengan<br />

ketentuan di atas<br />

sesuai dengan bentuk<br />

kejahatannya<br />

Delik tanggung jawab komandan dan<br />

atasan polisi dan sipil<br />

Delik tanggung jawab komandan dan<br />

atasan polisi atau sipil (responsibility of<br />

commanders and others superiors) ini diatur<br />

dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang<br />

membagi dalam 2 kategori pihak yitu unsur<br />

militer dalam ayat (1) dan unsur atasan<br />

polisi atau sipil dalam ayat (2). Ketentuan<br />

ini mengadopsi perumusan Pasal 28 Statuta<br />

Roma 1998 dimana tanggung jawab ini<br />

adalah dalam kerangka individual criminal<br />

responsibility.<br />

Ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No.<br />

26 Tahun 2000 mengatur sebagai berikut :<br />

1. Unsur komandan militer.<br />

Komandan militer atau seseorang yang<br />

secara efektif bertindak sebagai<br />

komandan militer dapat<br />

dipertanggungjawabkan terhadap<br />

tindak pidana yang berada di dalam<br />

yurisdiksi Pengadilan HAM, yang<br />

dilakukan oleh pasukan yang berada di<br />

bawah komando dan pengendaliannya<br />

yang efektif, atau di bawah kekuasaan<br />

dan pengendaliannya yang efektif dan<br />

tindak pidana tersebut merupakan<br />

akibat dari tidak dilakukan<br />

pengendalian pasukan secara patut,<br />

yaitu :<br />

a. Komandan militer atau seseorang<br />

tersebut mengetahui atau atas dasar<br />

keadaan saat itu seharusnya<br />

mengetahui bahwa pasukan<br />

tersebut sedang melakukan atau<br />

baru saja melakukan pelanggaran<br />

hak asasi manusia yang berat; dan<br />

b. Komandan militer atau seseorang<br />

tersebut tidak melakukan tindakan<br />

yang layak dan diperlukan dalam<br />

ruang lingkup kekuasaannya untuk<br />

mencegah atau menghentikan<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 24


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

perbuatan tersebut atau<br />

menyerahkan pelakunya kepada<br />

pejabat yang berwenang untuk<br />

dilakukan<br />

penyelidikan,<br />

penyidikan, dan penuntutan.<br />

2. Unsur atasan polisi atau sipil.<br />

Seorang atasan, baik polisi maupun sipil<br />

lainnya, bertanggung jawab secara<br />

pidana terhadap pelanggaran hak asasi<br />

manusia yang berat yang dilakukan<br />

oleh bawahannya yang berada di bawah<br />

kekuasaan dan pengendaliannya yang<br />

efektif, karena atasan tersebut tidak<br />

melakukan pengendalian terhadap<br />

bawahannya secara patut dan benar,<br />

yakni :<br />

a. Atasan tersebut mengetahui atau<br />

secara sadar mengabaikan informasi<br />

yang secara jelas menunjukkan<br />

bahwa bawahan sedang melakukan<br />

atau baru saja melakukan<br />

pelanggaran hak asasi manusia<br />

yang berat; dan<br />

b. Atasan tersebut tidak mengambil<br />

tindakan yang layak dan diperlukan<br />

dalam ruang lingkup<br />

kewenangannya untuk mencegah<br />

atau menghentikan perbuatan<br />

tersebut atau menyerahkan<br />

pelakunya kepada pejabat yang<br />

berwenang untuk dilakukan<br />

penyelidikan, penyidikan, dan<br />

penuntutan.<br />

Konsep tentang tanggung jawab komando<br />

ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan juga mengalami<br />

distorsi dalam perumusan di UU No. 26<br />

Tahun 2000 ini. Pengertian tanggung jawab<br />

komando dalam Pasal 42 ayat 1<br />

menyatakan :<br />

“Komandan militer atau seseorang yang<br />

secara efektif bertindak sebagai komandan<br />

militer dapat dipertanggungjawabkan<br />

terhadap tindak pidana yang berada di<br />

dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang<br />

dilakukan oleh pasukan yang berada di<br />

bawah komando dan pengendaliannya yang<br />

efektif…”<br />

Pengertian yang menggunakan kata “dapat”<br />

(should) dan bukannya “akan” atau “harus”<br />

(shall), secara implisit menegaskan bahwa<br />

tanggung jawab komando dalam kasus<br />

pelanggaran berat HAM yang diatur<br />

melalui UU No. 26 Tahun 2000 ini bukanlah<br />

sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib.<br />

Pasal ini secara tegas menguatkan<br />

pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan<br />

dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang<br />

cenderung ditujukan kepada pelaku<br />

langsung di lapangan. 43<br />

Pasal 42 ayat 1 (a) juga mensyaratkan<br />

penanggung jawab komando untuk<br />

“seharusnya mengetahui bahwa pasukan<br />

tersebut sedang melakukan atau baru saja<br />

melakukan pelanggaran hak asasi manusia<br />

yang berat.” Padahal sumber dari pasal<br />

spesifik tersebut, yaitu Pasal 28 ayat 1 (a)<br />

Statuta Roma secara tegas menyatakan<br />

bahwa komandan militer seharusnya<br />

“mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan<br />

atau hendak melakukan kajahatan…”<br />

Distorsi ini mengabaikan adanya kewajiban<br />

dari pemegang tanggung jawab komando<br />

untuk mencegah terjadinya kejahatan.<br />

Meskipun dalam Pasal 42 ayat 1 (b)<br />

pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat<br />

“komando militer tersebut tidak melakukan<br />

tindakan yang layak dan diperlukan dalam<br />

ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah<br />

dan menghentikan perbuatan tersebut, …”<br />

namun tidak ada definisi dan batasan yang<br />

tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu”<br />

dilakukan oleh penanggung jawab<br />

komando. 44<br />

43 Lihat Progress Report pemantauan<br />

pengadilan HAM ad hoc <strong>Elsam</strong> ke X. Tanggal 28<br />

Januari 2003.<br />

44 Batasan definitif tanggung jawab<br />

komando yang kabur ini juga diulangi pada<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 25


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

Selain itu, pasal ini berimplikasi pada<br />

pengadilan terpaksa menekankan fokus<br />

perhatiannya pada proses, yaitu apakah<br />

tindakan yang dilakukan sudah layak atau<br />

tidak, apakah perlu atau tidak (obligation of<br />

conduct), dan secara otomatis mengabaikan<br />

pada kenyataan apakah tindakan yang<br />

diambil oleh penanggung jawab komando<br />

berhasil mencegah dan menghentikan<br />

kejahatan atau tidak (obligation of result).<br />

Padahal, selain harus bertanggung jawab<br />

jika menjadi pelaku langsung, penganjur,<br />

atau penyerta, seorang atasan seharusnya<br />

juga bertanggung jawab secara pidana atas<br />

kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of<br />

duty) dan kealpaan (negligence). Standar<br />

hukum kebiasaan internasional untuk<br />

“kealpaan” dan “kelalaian” dalam arti yang<br />

luas menyatakan bahwa seorang atasan<br />

bertanggung jawab secara pidana jika : (1) ia<br />

seharusnya mengetahui (should have had<br />

knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah<br />

dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi<br />

dan dilakukan oleh bawahannya; (2) ia<br />

mempunyai kesempatan untuk mengambil<br />

tindakan; dan (3) ia gagal mengambil<br />

tindakan korektif yang seharusnya<br />

dilakukan sesuai keadaan yang ada atau<br />

terjadi saat itu. 45 Tentang apakah seseorang<br />

tersebut “seharusnya mengetahui” harus<br />

diuji sesuai keadaan yang terjadi dan<br />

Pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung<br />

jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).<br />

45 Lihat artikel Jordan J. Paust “Superior<br />

Orders and Command Responsibility” dalam M<br />

Cherif Bassiouni (ed.), International Criminal Law,<br />

Volume I, Kluwer International, 1999, hal 236-<br />

237; Lihat juga artikel Anthony D’Amato,<br />

Superior Orders vs Command Responsibility,<br />

American Journal of International Law, edisi 80<br />

(1986), hal. 604, 607-608; Penjelasan yang lebih<br />

panjang lebar dapat dilihat pada tulisan William<br />

Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea<br />

for a Workable Standard, Military Law Review,<br />

edisi 97 (1982). Lihat progress report pemantauan<br />

pengadilan HAM ad hoc <strong>Elsam</strong> ke X. Tanggal 28<br />

Januari 2003.<br />

dengan melihat juga orang/pejabat lain<br />

yang setara dengan tertuduh.<br />

Pasal 7 (3) Statuta ICTY juga secara<br />

interpretatif mencerminkan standar<br />

kebiasaan internasional tersebut. Pasal<br />

tersebut mengakui adanya<br />

pertanggungjawaban pidana jika seseorang<br />

“mengetahui atau mempunyai alasan untuk<br />

tahu” (knew or had reason to know) kelakuan<br />

bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan<br />

adanya kegagalan untuk mencegah suatu<br />

kejahatan atau menghalangi tindakan yang<br />

melanggar hukum yang dilakukan oleh<br />

bawahannya atau menghukum mereka<br />

yang telah melakukan tindak pidana.<br />

Meskipun pasal ini memfokuskan pada<br />

keadaan dimana seorang bawahan akan<br />

melakukan suatu tindak pidana atau telah<br />

melakukannya, tidak ada indikasi bahwa<br />

tanggung jawab pidana tersebut akan<br />

dihilangkan jika ada tindakan yang telah<br />

dilakukan oleh si atasan namun<br />

pelanggaran/kejahatan oleh bawahan tetap<br />

terjadi. 46<br />

Perlindungan korban dan saksi<br />

Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 adalah pasal<br />

yang secara tegas menyatakan adanya<br />

perlindungan korban dan saksi. Setiap<br />

korban dan saksi dalam pelanggaran HAM<br />

yang berat berhak atas perlindungan fisik<br />

dan mental dari ancaman, gangguan, teror,<br />

dan kekerasan dari pihak manapun.<br />

Perlindungan ini wajib dilaksanakan oleh<br />

aparat penegak hukum dan aparat<br />

keamanan secara cuma-cuma. Pasal ini<br />

mengamanatkan adanya peraturan<br />

pemeritah tentang perlindungan saksi dan<br />

korban.<br />

46 Seperti yang ditegaskan kembali<br />

dalam Laporan Sekjen PBB tentang Resolusi<br />

Konflik Keamanan 808, UN Doc. S/25704 (1993)<br />

paragraf 56. Lihat progress report pemantauan<br />

pengadilan HAM ad hoc <strong>Elsam</strong> ke X. Tanggal 28<br />

Januari 2003.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 26


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

Peraturan pemerintah No. 2 tahun 2002 (PP)<br />

tentang tata cara perlindungan saksi dan<br />

korban Pelanggaran HAM yang berat<br />

mengatur tentang mekanisme pemberian<br />

perlindungan. PP ini menegaskan kembali<br />

bahwa setiap korban dan saksi dalam kasus<br />

pelanggaran HAM berat berhak<br />

mendapatkan perlindungan dari aparat<br />

penegak hukum dan aparat keamanan dan<br />

perlindungan ini diberikan sejak tahap<br />

penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan<br />

atau pemeriksaan di sidang pengadilan<br />

yang meliputi sidang Pengadilan Negeri,<br />

Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.<br />

Bentuk-bentuk perlindungan yang dapat<br />

diberikan adalah perlindungan keamanan<br />

pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik<br />

dan mental, perahasiaan identitas korban<br />

atau saksi dan pemberian keterangan pada<br />

saat pemeriksaan di sidang pengadilan<br />

tanpa bertatap muka dengan tersangka. Tata<br />

cara pemberian perlindungan dapat<br />

dilakukan atas permohonan dari korban<br />

atau saksi maupun oleh inisiatif aparat<br />

penegak hukum. Permohonan untuk<br />

mendapatkan perlindungan sesuai dengan<br />

tahapan perkara, artinya saksi atau korban<br />

dapat mengajukan permohonan kepada<br />

pihak-pihak pada saat pihak tersebt<br />

mempunyai kewenangan terhadap saksi<br />

dan korban. pada tahap penyelidikan<br />

permohonan dapat diajukan ke Komnas<br />

HAM, pada tahap penyidikan dan<br />

penuntutan permohonan kepada jaksa<br />

penuntut umum demikian juga pada saat<br />

pemeriksaan pengadilan permohonan dapat<br />

diajukan ke pengadilan. Para instansi yang<br />

diminta permohonannya tersebut kemudian<br />

menindaklanjuti dengan menyampaikan ke<br />

aparat keamanan.<br />

Kelemahan yang mendasar dari<br />

perlindungan korban dan saksi ini adalah<br />

tidak ada standar atau prosedur yang baku<br />

mengenai pelaksanaan perlindungannya.<br />

Sampai saat ini tidak ada petunjuk<br />

pelaksanaan untuk proses perahasiaan<br />

identitas bagi saksi ataupun korban yang<br />

akan ikut program perlindungan saksi.<br />

Jika dibandingkan dengan perlindungan<br />

saksi dan korban seperti yang tertuang<br />

dalam Statuta Roma 1998, maka pengaturan<br />

tentang perlindungan saksi dan korban<br />

dalam UU No. 26 Tahun 2000 dan PP No. 2<br />

Tahun 2000 belum memadai. Dalam Statuta<br />

Roma pengaturan tentang perlindungan<br />

saksi dan korban meliputi :<br />

1. Adanya tindakan dari mahkamah untuk<br />

mengambil tindakan secukupnya untuk<br />

melindungi keselamatan, kesejahteraan<br />

fisik dan psikologis martabat dan<br />

privasi para korban. 47<br />

2. Adanya metode persidangan in camera<br />

atau memperbolehkan pengajuan bukti<br />

dengan sarana elektronika atau sarana<br />

khusus lainnya. Tindakan-tindakan ini<br />

secara khusus harus dilaksanakan<br />

dalam hal seorang korban kekerasan<br />

seksual atau seorang anak yang menjadi<br />

korban atau saksi. 48<br />

3. Adanya unit korban dan saksi khusus<br />

dalam kepaniteraan dimana adanya staf<br />

yang mempunyai keahlian mengatasi<br />

trauma termasuk staf dengan keahlian<br />

mengatasi trauma yang terkait dengan<br />

kejahatan seksual. Unit khusus ini<br />

mempunyai tugas untuk :<br />

a. Menyediakan langkah-langkah<br />

perlindungan dan pengaturan<br />

keamanan.<br />

b. Menyedikan jasa nasehat dan<br />

bantuan yang perlu bagi saksi,<br />

korban yang menghadap di depan<br />

mahkamah dan orang-orang lain<br />

yang mungkin terkena resiko<br />

karena kesaksian yang diberikan<br />

oleh saksi tersebut.<br />

47 Pasal 68 huruf 1 Statuta Roma 1998.<br />

48 Pasal 68 huruf 2 Statuta Roma 1998.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 27


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

c. Memberi nesehat kepada jaksa<br />

penuntut umum dan mahkamah<br />

mengenai hal-hal pada point a dan<br />

b. 49<br />

4. Adanya tindakan untuk menahan bukti<br />

dan informasi tertentu dan digantikan<br />

dengan suatu ikhtisar yang dilakukan<br />

oleh jaksa penuntut sebelum<br />

dimulainya persidangan karena adanya<br />

kekhawatiran bahwa informasi tersebut<br />

akan menimbulkan bahaya yang gawat<br />

bagi korban dan saksi. 50<br />

5. Adanya mekanisme kesaksian viva voce<br />

(lisan) atau kesaksian terekam dari<br />

seorang saksi dengan sarana teknologi<br />

video atau audio, maupun diajukannya<br />

dokmen atau transkrip tertulis. 51<br />

Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi<br />

Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi<br />

terhadap korban pelanggaran HAM yang<br />

berat juga diatur oleh UU No. 26 Tahun<br />

2000 dalam Pasal 35. Dalam ketentuan ini<br />

yang juga berhak memperoleh kompensasi,<br />

restitusi dan rehabilitasi adalah korban dan<br />

ahli waris dari korban pelanggaran HAM<br />

yang berat tersebut. Kompensasi, restitusi<br />

dan rehabilitasi dalam Pasal 35<br />

mensyaratkan harus dicantumkan dalam<br />

amar putusan pengadilan HAM, hal ini<br />

berarti bahwa putusan tentang adanya<br />

kompensasi, restitusi dan rehabilitasi<br />

bersamaan dengan putusan tentang<br />

pelanggaran HAM berat yang menjadi<br />

pokok perkaranya.<br />

Kompensasi adalah ganti kerugian yang<br />

diberikan oleh negara, karena pelaku tidak<br />

mampu memberikan ganti kerugian<br />

sepenuhnya yang menjadi tanggung<br />

49 Pasal 43 huruf 6 Statuta Roma 1998<br />

jawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian<br />

yang diberikan kepada korban atau<br />

keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga<br />

dimana restitusi dapat berupa penggantian<br />

harta milik, pembayaran ganti kerugian<br />

untuk kehilangan atau penderitaan dan<br />

penggantian biaya untuk tidakan-tindakan<br />

tertentu. Rehabilitasi adalah pemulihan pada<br />

kedudukan semula, misalnya kehormatan,<br />

nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.<br />

Pemerintah kemudian mengeluarkan<br />

peraturan pemerintah tentang kompensasi,<br />

restitusi dan rehabilitasi bagi korban<br />

pelanggaran HAM yang berat dengan PP<br />

No. 3 Tahun 2002. PP ini lebih banyak<br />

mengatur tentang mekanisme pemberian<br />

kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.<br />

Pemberian kompensasi, restitusi dan<br />

rehabilitasi ini harus dilaksanakan secara<br />

tepat, cepat dan layak dimana pemberian<br />

kompensasi dan rehabilitasi dilakukan oleh<br />

instansi terkait berdasarkan keputusan yang<br />

telah mempunyai kekuatan hukum yang<br />

tetap. Pemberian restitusi dilakukan oleh<br />

pelaku atau pihak ketiga berdasarkan<br />

perintah yang tercantum dalam amar<br />

putusan.<br />

Ketentuan mengenai dicantumkannya<br />

masalah kompensasi, restitusi dan<br />

rehabilitasi dalam amar putusan ini sesuai<br />

dengan kewenangan memeriksa dan<br />

memutus pengadilan HAM. Persoalannya<br />

adalah jika keputusan mengenai<br />

kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini<br />

harus dicantumkan dalam amar putusan<br />

pengadilan HAM maka dalam tuntutan juga<br />

seharusnya dicantumkan tentang<br />

permohonan kompensasi, restitusi dan<br />

rehabilitasi bagi korban. Mekanisme ini<br />

tidak diatur secara khusus dan jika landasan<br />

yuridis yang digunakan adalah KUHAP<br />

maka tidak dapat digunakan karena<br />

pengaturan yang berbeda kecuali terhadap<br />

50 Pasal 68 huruf 5 Statuta Roma 1998.<br />

51 Pasal 69 huruf 2 Statuta Roma 1998.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 28


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

permintaan restitusi. 52 Ketentuan mengenai<br />

kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam<br />

UU No. 26 Tahun 2000 dan dijabarkan<br />

dalam PP No. 3 Tahun 2002 ini seolah-olah<br />

memberikan pemulihan bagi korban tetapi<br />

secara yuridis sangat susah untuk<br />

diaplikasikan.<br />

Hambatan yuridis yang berkenaan dengan<br />

hak atas kompensasi, restitusi dan<br />

rehabilitasi bagi para korban ini terletak<br />

pada prosedur pengajuan atas kompensasi,<br />

restitusi dan rehabilitasi. Pengalaman<br />

pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok<br />

menunjukkan bahwa kompensasi, restitusi<br />

dan rehabilitasi bisa diberikan kepada<br />

korban tetapi karena tidak ada pengajuan<br />

tentang berapa kompensasi, restitusi dan<br />

rehabilitasi yang diminta oleh korban,<br />

dalam amar putusan hanya dijelaskan<br />

bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi<br />

untuk korban dan dilaksanakan sesuai<br />

ketentuan perundang-undang yang<br />

berlaku. 53 Keputusan ini adalah keputusan<br />

pertama kali tentang kompensasi, restitusi<br />

dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran<br />

HAM.<br />

undang-undang ini tidak berlaku ketentuan<br />

mengenai daluarsa. Ketentuan ini<br />

menyatakan bahwa asas daluwarsa tidak<br />

berlaku bagi tindak pidana dalam yurisdiksi<br />

pengadilan HAM (non aplicability of statute of<br />

limitations). Ketentuan ini berbeda dengan<br />

ketentuan tindak pidana biasa seperti yang<br />

diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum<br />

Pidana (KUHP). Pasal 78 KUHP mengatur<br />

tentang kadaluarsa yang bisa<br />

menggugurkan tindak pidana.<br />

Tidak berlakunya asas daluarsa dalam UU<br />

No. 26 Tahun 2000 ini berarti bahwa segala<br />

tindak pidana yang masuk dalam yurisdiksi<br />

pengadilan HAM akan selalu bisa dilakukan<br />

penuntutan. Negara, dalam hal ini pihak<br />

penyelidik dan penyidik tidak dapat<br />

menyatakan bahwa suatu tindak pidana<br />

yang masuk yurisdiksi pengadilan ham<br />

gugur dan tidak dapat dituntut karena<br />

melampaui jangka waktu yang ditentukan.<br />

Sampai kapanpun, sepanjang dapat<br />

diperoleh bukti-bukti kuat, penuntutan<br />

terhadap terjadinya pelanggaran HAM yang<br />

berat dapat dilakukan.<br />

Ketentuan mengenai tidak berlakunya asas<br />

daluwarsa<br />

Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000<br />

menyatakan bahwa pelanggaran HAM<br />

yang berat sebagaimana diatur dalam<br />

52 KUHAP tidak mengatur tentang<br />

adanya kompensasi dan rehabilitasi bagi korban.<br />

Rehabilitasi dalam KUHAP ditujukan kepada<br />

seorang tersangka atau terdakwa yang<br />

dibebaskan. Sedangkan ketentuan KUHAP yang<br />

bisa digunakan adalah ketentuan mengenai<br />

restitusi karena korban juga berhak<br />

mendapatkan restitusi.<br />

53 Lihat putusan pengadilan HAM ad hoc<br />

atas nama Mayjend (Purn) R.A. Butar-butar<br />

yang divonis 10 tahun penjara dan ada putusan<br />

mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi<br />

kepada korban. Putusan dibacakan pada tanggal<br />

26 Maret 2004.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 29


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

III. <strong>PENGA<strong>DI</strong>LAN</strong> HAM AD HOC<br />

Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan<br />

yang dibentuk khusus untuk memeriksa<br />

dan memutus perkara pelanggaran HAM<br />

yang berat yang dilakukan sebelum adanya<br />

UU No. 26 Tahun 2000.<br />

Hal inilah yang membedakan dengan<br />

pengadilan HAM permanen yang dapat<br />

memutus dan mengadili perkara<br />

pelanggaran HAM yang berat yang terjadi<br />

setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun<br />

2000.<br />

Kasus pelanggaran HAM yang berat yang<br />

terjadi di Indonesia misalnya untuk kasus<br />

pelanggaran HAM di Tanjung Priok dan<br />

Timur-timur dapat diselesaikan melalui<br />

pengadilan HAM ad hoc ini. Sampai saat ini<br />

sudah berdiri pengadilan HAM ad hoc untuk<br />

kasus pelanggaran HAM yang berat yang<br />

terjadi di Timor-timur dan Tanjung Priok. 54<br />

Pengalaman pengadilan HAM ad hoc<br />

menunjukkan bahwa penerapan ketentuan<br />

dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak dapat<br />

diaplikasikan secara konsekuen karena<br />

pengaturan yang lemah. Di samping itu<br />

terobosan hukum juga banyak dilakukan<br />

oleh majelis hakim yang menangani perkara<br />

pelanggaran HAM di Timor-timur ini.<br />

54 Selain dua pengadilan HAM ad hoc<br />

tersebut, saat ini juga telah dilakukan pengadilan<br />

HAM untuk kasus pelanggaran HAM yang<br />

terjadi di Abepura, Papua. Sidang pertama<br />

dilakukan pada tanggal 7 Mei 2004.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 30


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

1. Legitimasi Berdirinya<br />

Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad<br />

hoc didasarkan pada Pasal 43 UU No. 26<br />

tahun 2000. Ayat (1) menyatakan bahwa<br />

pelanggaran HAM berat yang terjadi<br />

sebelum diundangkannya undang-undang<br />

ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan<br />

HAM ad hoc. Ayat (2) menyatakan bahwa<br />

pengadilan HAM ad hoc sebagaimana<br />

dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul<br />

Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan<br />

peristiwa tertentu dengan keputusan<br />

presiden. Ayat (3) menyatakan bahwa<br />

pengadilan sebagaimana dimaksud dalam<br />

ayat (1) berada dalam pengadilan umum.<br />

Dalam penjelasannya, Dewan Perwakilan<br />

Rakyat yang juga sebagai pihak yang<br />

mengusulkan dibentuknya pengadilan<br />

HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada<br />

dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang<br />

berat yang dibatasi pada locus delicti dan<br />

tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum<br />

diundangkannya undang-undang ini.<br />

Ketentuan tentang adanya bebarapa tahap<br />

untuk diadakannya pengadilan HAM ad<br />

hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang<br />

berat yang berbeda dengan pengadilan<br />

HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat<br />

adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :<br />

1. Dugaan adanya pelanggaran HAM ad<br />

hoc yang terjadi sebelum Tahun 2000<br />

atau sebelum disyahkannya UU No. 26<br />

Tahun 2000.<br />

2. Adanya dugaan pelanggaran HAM<br />

yang berat atas hasil penyelidikan<br />

Komnas HAM.<br />

3. Adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan<br />

Agung.<br />

4. Adanya rekomendasi DPR kepada<br />

pemerintah untuk mengusulkan<br />

pengadilan HAM ad hoc dengan tempos<br />

dan locus delicti tertentu.<br />

5. Adanya keputusan presiden (Keppres)<br />

untuk berdirinya pengadilan HAM ad<br />

hoc.<br />

Ketentuan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000<br />

tidak mengatur secara jelas mengenai alur<br />

atau mekanisme bagaimana sebetulnya<br />

proses perjalanan pembentukan pengadilan<br />

HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan<br />

dari Komnas HAM tentang adanya<br />

pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman<br />

pengadilan HAM ad hoc untuk kasus<br />

pelanggaran HAM berat di Timor-timor<br />

menjelaskan bahwa mekanismenya adalah<br />

Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu<br />

hasilnya diserahkan ke kejaksaan agung,<br />

Kejaksaan agung melakukan penyidikan.<br />

Hasil penyidikan diserahkan ke Presiden.<br />

Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu<br />

DPR mengeluarkan rekomendasi.<br />

Kemudian Presiden mengeluarkan keppres<br />

yang melandasi dibentuknya pengadilan<br />

HAM ad hoc.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 31


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

Skema alur pengadilan HAM ad hoc<br />

Surat ke DPR<br />

Komnas HAM 1 1 Jaksa Agung 2 2 3<br />

Presiden<br />

penyelidikan<br />

penyidikan<br />

DPR<br />

Penuntutan<br />

6 5<br />

Pengadilan HAM ad hoc<br />

4<br />

Rekomendasi /usulan<br />

Keppres Pengadilan HAM ad hoc<br />

Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc<br />

ini, sorotan yang paling tajam adalah<br />

adanya kewenangan DPR untuk dapat<br />

mengusulkan adanya pengadilan HAM ad<br />

hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap<br />

sebagai pihak yang dapat menentukan<br />

untuk mengusulkan adanya pengadilan<br />

HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang<br />

berat di masa lalu karena pelanggaran HAM<br />

yang berat tersebut lebih banyak bernuansa<br />

politik sehingga lembaga politik yang<br />

paling cocok adalah DPR. Adanya<br />

ketentuan ini oleh sebagian kalangan<br />

dianggap sebagai kontrol atas adanya<br />

pengadilan HAM ad hoc sehingga adanya<br />

pengadilan HAM ad hoc untuk kasus<br />

pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak<br />

akan dapat dilaksanakan tanpa adanya<br />

usulan atau rekomendasi dari DPR. Hal ini<br />

secara implisit sama halnya dengan<br />

memberikan kewenangan kepada DPR<br />

memandang pelanggaran HAM berat ini<br />

dalam konteks politik dan dapat<br />

menyatakan ada tidaknya pelanggaran<br />

HAM yang berat. 55<br />

Dalam pengadilan HAM ad hoc untuk kasus<br />

pelanggaran HAM yang berat yang terjadi<br />

di Timor-timur juga melalui mekanisme<br />

dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000.<br />

Langkah pertama adalah adanya<br />

penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas<br />

HAM sesuai dengan ketentuan dalam Perpu<br />

No. 1 Tahun 1999 mengenai pengadilan<br />

HAM. Dalam perpu ini dinyatakan pihak<br />

yang berwenang melakukan penyelidikan<br />

adalah Komnas HAM, terutama dalam hal<br />

kejahatan terhadap kemanusian. Komnas<br />

HAM kemudian untuk penyelidikan<br />

membentuk KPP-HAM yang memiliki<br />

ruang lingkup tugas yaitu mengumpulkan<br />

fakta dan mencari berbagai data, informasi<br />

tentang pelanggaran HAM di Tim-tim yang<br />

terjadi sejak Januari 1999 sampai<br />

dikeluarkannya TAP MPR yang<br />

mengesahkan hasil jejak pendapat. Dengan<br />

memberikan perhatian khsusus kepada<br />

pelanggaran berat hak asasi manusia antara<br />

lain genocida, massacre, torture, enforced<br />

displacement, crime against woman and children<br />

dan politik bumi hangus. Menyelidiki<br />

55 Adanya kewenangan DPR untuk<br />

mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc<br />

inilah yang banyak menghambat proses ke arah<br />

adanya pengadilan HAM ad hoc karena DPR<br />

menganggap tidak ada pelanggaran HAM berat<br />

dari hasil penyelidikan komnas HAM.<br />

Contohnya adalah kasus trisaksi dan semanggi<br />

yang sampai sekarang tidak dapat dibawa ke<br />

pengadilan HAM ad hoc.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 32


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

tingkat keterlibatan aparatur negara dan<br />

atau badan lain nasional dan internasional<br />

dalam pelanggaran hak asasi manusia yang<br />

terjadi sejak Januri 1999 di Timor-Timur.<br />

Proses selanjutnya adalah dilakukannya<br />

penyidikan oleh Kejaksaan Agung dari hasil<br />

penyelidikan oleh komnas HAM. Setelah<br />

melalui proses persetujuan DPR dari hasil<br />

usulan sidang pleno DPR melalui keputusan<br />

DPR-RI No 44/DPR-RI/III/2001 tanggal 21<br />

Maret 2001 akhirnya Presiden<br />

mengeluarkan dua buah Keppres yaitu<br />

Keppres No. 53 Tahun 2001 dan Keppres<br />

No. 96 Tahun 2001. Keluarnya dua buah<br />

Keppres ini karena Keppres Nomor 53<br />

tahun 2001, oleh pemerintah dianggap<br />

mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu<br />

luas (tidak membatasi secara spesifik baik<br />

wilayah maupun waktunya). Kemudian<br />

wilayah dan waktu ini dipersempit dengan<br />

Keppres No. 96 tahun 2001 dan yuridiksi<br />

menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica,<br />

Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara<br />

bulan April dan September 1999. 56<br />

56 Penyempitan yurisdiksi ini<br />

menimbulkan konsekuensi serius yaitu kasuskasus<br />

pelanggaran HAM yang terjadi di Timor<br />

Timur dalam rentang pasca jajak pendapat tidak<br />

semuanya dapat diungkap, termasuk para<br />

pelakunya sehingga kesempatan untuk<br />

membuktikan adanya unsur sistematik dan meluas<br />

dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang<br />

terjadi di Timor Timur dalam rentang antara pra<br />

dan pasca jajak pendapat pun sedikit-banyak<br />

terhalang. Lihat Progress Report pemantauan<br />

pengadilan HAM ad hoc <strong>Elsam</strong> ke X. Tanggal 28<br />

Januari 2003<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 33


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

2. Asas Retroaktif<br />

Ketentuan yang sangat erat hubungannya<br />

dengan adanya pengadilan HAM ad hoc<br />

adalah ketentutan mengenai berlakunya<br />

asas retroaktif atau asas berlaku surut.<br />

Betuk pengadilan HAM ad hoc yang dalam<br />

Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang<br />

berlaku untuk locus dan tempus delicti<br />

tertentu mengacu pada bentuk pengadilan<br />

internasional ad hoc, yang antara lain<br />

memungkinkan berlakunya prinsip<br />

retroaktivitas. Prinsip retroaktif ini menjadi<br />

ketentuan yang paling banyak<br />

diperdebatkan karena dianggap<br />

bertentangan dengan asas legalitas dalam<br />

hukum pidana.<br />

a. Dasar pengaturan<br />

Asas berlaku surut ini menjadi sebuah asas<br />

yang paling kontroversial dalam aturan<br />

mengenai pengadilan HAM ad hoc ini. Pasal<br />

43 ayat 1 yang menyatakan bahwa<br />

pelanggaran HAM yang berat yang yang<br />

terjadi sebelum diundangkannya undangundang<br />

ini diperiksa dan diputus oleh<br />

pengadilan HAM ad hoc. Dalam pengaturan<br />

mengenai kasus-kasus masa lalu sebelum<br />

diundangkannya undang-undang ini tidak<br />

memberikan batasan secara limitatif sampai<br />

tahun berapa kasus-kasus masa lalu dapat<br />

diperiksa.<br />

Seperti diketahui bahwa kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan dan kejahatan genosida<br />

sebelumnya memang belum dijadikan delik<br />

tersendiri dalam hukum pidana kita. Dalam<br />

kitab undang-undang hukum pidana<br />

(KUHP) yang ada adalah kejahatan yang<br />

berupa pembunuhan (murder), perampasan<br />

kemerdekaan<br />

(imprisonment),<br />

penyiksaan/penganiayaan (torture), dan<br />

perkosaan (rape) yang sifatnya biasa.<br />

Bentuk-bentuk kejahatan diatas menjadi<br />

elemen spesifik untuk adanya kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan yang membutuhkan<br />

elemen umum yang dalam UU No. 26<br />

Tahun 2000 ini unsur-unsurnya adalah<br />

adanya unsur sistematik atau meluas dan<br />

adanya kebijakan. Delik kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan dengan rumusan yang seperti<br />

inilah yang dianggap sebagai delik baru<br />

dalam hukum pidana sehingga kalau delik<br />

ini akan diberlakukan kepada para pelaku<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum<br />

diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000<br />

maka akan berlaku prinsip retroaktif.<br />

Kontroversi mengenai adanya prinsip<br />

retroaktif ini karena dalam hukum pidana<br />

asas kardinal yang dipegang teguh adalah<br />

asas legalitas dimana tidak ada<br />

penghukuman tanpa adanya pemidanaan<br />

terlebih dahulu. 57 Diluar ketentuan KUHP,<br />

larangan untuk pemberlakuan pengaturan<br />

yang berlaku surat juga terdapat dalam<br />

Pasal 28 I undang-undang 1945. Dalam<br />

konvensi internasional untuk hak sipil dan<br />

politik juga dilarang digunakannya<br />

peraturan yang bersifat surut.<br />

Dalam UU No. 26 Tahun 2000 disinggung<br />

mengenai dasar yuridis digunakannya<br />

prinsip retroaktif ini. Landasan yang<br />

digunakan adalah Pasal 28 huruf j ayat (2)<br />

yang berbunyi bahwa dalam menjalankan<br />

hak dan kebebasannya setiap orang wajib<br />

tunduk kepada pembatasan yang<br />

ditetapkan dengan undang-undang dengan<br />

maksud semata-mata untuk menjamin<br />

pengakuan serta penghormatan atas hak<br />

dan kebebasan orang lain dan untuk<br />

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan<br />

pertimbangan moral, nilai-nilai agama,<br />

keamanan, ketertiban umum dalam suatu<br />

masyarakat demokratis. Dengan ungkapan<br />

lain bahwa asas retroaktif dapat<br />

diberlakukan dalam rangka melindungi hak<br />

asasi manusia itu sendiri. 58<br />

57 Lihat Pasal 1 ayat 1 KUHP.<br />

58 Landasan dapat diterapkannya asas<br />

retroaktif karena sesuai dengan Pasal 28 J ayat (2)<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 34


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

b. Argumen dapat diterapkannya asas<br />

retroaktif<br />

Landasan legitimasi untuk dapat<br />

digunakannya asas retroaktif adalah bahwa<br />

asas legalitas (nullum crimen sine lege)<br />

mempunyai landasan fundamen moral<br />

yaitu hendak melindungi rakyat dari<br />

kezaliman penguasa. Salah satu bentuk<br />

kezaliman itu adalah penguasa secara sadar<br />

tidak pernah mau membuat perundangundangan<br />

yang bisa mengadili dirinya<br />

sendiri. Dalam konteks Indonesia, telah<br />

begitu banyak korban kejahatan yang<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan yang<br />

dilakukan kekuasaan selama puluhan<br />

tahun. Tidak ada ketentuan yang<br />

melindungi martabat kemanusiaan rakyat<br />

dan tidak ada kasus yang bisa dibawa<br />

keperadilan. Itulah sebabnya penerapan<br />

prinsip legalitas perlu dipertanyakan<br />

landasan moralitasnya, siapa yang perlu<br />

dilindungi, rakyat yang terus menerus<br />

menjadi korban atau penguasa yang diduga<br />

melakukan kejahatan.<br />

Asas nullum delictum ini tidak harus berlaku<br />

secara mutlak seperti dikemukakan oleh<br />

penganut utilitarianisme. Dengan adanya<br />

asas ini pada hakekatnya banyak kejahatan<br />

yang perbuatannya patut dipidana tapi<br />

tidak dapat dipidana. Pendapat Utrech yang<br />

menyatakan bahwa asas nullum delictum<br />

lebih berperspektif melindungi individu<br />

ketimbang melindungi kepantingan kolektif<br />

dan juga asas legalitas dianggap terlalu<br />

dipandang tidak sepenuhnya tepat karena<br />

perkecualian yang nampaknya didasarkan pada<br />

Pasal 29 Piagam HAM PBB hanya berlaku untuk<br />

“derogable rights” dimana hak untuk tidak diadili<br />

dengan peraturan yang berlaku surut adalan<br />

“non derogable rights”. Lihat Muladi, Mekanisme<br />

Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat<br />

melalui sistem Pengadilan atas Dasar UU No. 26<br />

Tahun 2000, Makalah dalam Diskusi Panel 4<br />

Bulan Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok,<br />

Jakarta, 20 Januari 2004.<br />

berpihak pada kepentingan positivistik<br />

saja. 59<br />

Dalam ketentuan Undang-undang No. 14<br />

tahun 1970 Pasal 27 membuka peluang<br />

adanya rechtsvinding dengan menyatakan<br />

bahwa hakim sebagai penegak hukum dan<br />

keadilan wajib menggali, mengikuti dan<br />

memahami nilai-nilai yang hukum yang<br />

hidup dalam masyarakat. Dalam<br />

masyarakat internasional sejak 52 tahun<br />

yang lalu terdapat peradilan Nurenberg dan<br />

Tokyo yang menggunakan prinsip retroaktif<br />

untuk mengadili kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan. Dengan rechtsvinding ini<br />

indonesia bisa merujuk nilai-nilai hukum<br />

masyarakat internasional, dalam hal ini<br />

terdapat landasan untuk menerapkan<br />

prinsip retroaktif. 60<br />

Dalam praktek peradilan internasional,<br />

pada awalnya peradilan terhadap para<br />

pelaku kajahatan internasional (pelanggaran<br />

HAM yang berat) ditempuh oleh<br />

masyarakat internasional dengan<br />

membentuk ad hoc extra judicial tribunal.<br />

Telah menjadi kesepakatan universal bahwa<br />

sejak berakhirnya perang dunia ke II<br />

kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan<br />

harus diperangi dan diadili. Para pelakunya<br />

sedapat mungkin diadili, dan jika terbukti<br />

bersalah harus dihukum, untuk<br />

menunjukkan bahwa jenis kejahatan ini<br />

sama sekali tidak bisa ditolerir dan harus<br />

dicegah dari kemungkinan berulang dimasa<br />

yang akan datang. Pikiran inilah yang<br />

mendasari dan menjadi alasan dari<br />

pembentukan ad hoc extra judicial tribunal.<br />

Peradilan ini bersifat extra legal atau extra<br />

judicial, karena dibentuk dengan sangat<br />

terpaksa untuk mensiasati kekosongan<br />

norma-norma internasional dan adanya<br />

pertentangan antara norma internasional<br />

59 Bambang Wijoyanto, Problem RUU<br />

Pengadilan HAM, Kompas, 2 Maret 2000.<br />

60 Ibid.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 35


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

dan norma nasional. Peradilan yang<br />

dibentuk adalah peradilan untuk kasus<br />

Nurenberg dan Tokyo.<br />

Dalam kasus Nurenberg Tribunal<br />

menerapkan dan mempraktekkan sifat extra<br />

legal dengan menerapkan definisi yang<br />

sangat longgar terhadap prinsip legalitas<br />

dan melanggarnya. Para penjahat perang<br />

yang dihadapkan ke peradilan tersebut<br />

telah diadili dengan norma-norma yang<br />

dibuat untuk kepentingan pengadilan itu<br />

sendiri. Dalam hal ini berarti, norma-norma<br />

itu dibuat untuk melarang, dan kemudian<br />

mengadili dan menghukum, terhadap<br />

perbuatan-perbuatan yang sudah terjadi,<br />

yang sebelumnya tidak dilarang (ex post<br />

facto law). Dari sini pertama kalinya<br />

dilakukan penyimpangan terhadap asas<br />

legalitas dengan menerapkan prinsip<br />

retroaktif. 61<br />

Penyimpangan terhadap asas legalitas ini<br />

bukannnya tanpa disadari oleh para<br />

pembentuknya tetapi adanya kesadaran<br />

bahwa pelanggaran terhadap asas legalitas<br />

ini dipilih secara sadar karena suatu<br />

keadaan yang tidak terelakkan, dan adanya<br />

komitmen yang sungguh untuk membatasi<br />

akibatnya, komitmen untuk membatasi<br />

dampak dari pelanggaran asas legalitas ini<br />

memberikan sifat ad hoc bagi peradilan<br />

tersebut. Sifat ad hoc ini mempunyai<br />

pengertian bahwa harus berakhir ketika<br />

kasus yang ditanganinya selesai dan tidak<br />

dapat digunakan untuk mengadili kasuskasus<br />

lainnya. Jadi sifat ad hoc ini berfungsi<br />

untuk limiting the damage yang bisa<br />

diakibatkan oleh sifat extra judicial dari<br />

peradilan tersebut.<br />

61 PBHI, Pengadilan Permanen dan Prinsip<br />

Non Retroactivity, Catatan Ke Arah Amandemen<br />

KUHP Nasional.<br />

Setelah peradilan Nurenbeg, tidak ada ad<br />

hoc tribunals yang bisa dikatakan melanggar<br />

asas legalitas. Peradilan untuk eks<br />

Yugoslavia melalui ICTY dan untuk<br />

Rwanda melalui ICTR dianggap tidak<br />

melanggar asas legalitas karena sematamata<br />

belum adanya suatu pengadilan<br />

kejahatan internasional yang bersifat<br />

permanen sedangkan norma-norma<br />

kejahatan tersebut sudah tersedia sejak<br />

adanya peradilan Nurenberg dan Tokyo.<br />

Sifat ad hoc untuk kedua peradilan baik<br />

Yugoslavia maupun rwanda tidak mengatur<br />

ketentuan yang belum diatur dan<br />

diterapkan hukumnya (ex post facto law) bagi<br />

pelaku kejahatan tetapi karena badan<br />

peradilan yang permanen yang berpegang<br />

pada asas legalitas belum terbentuk. 62<br />

Pandangan yang berbeda terdapat dalam<br />

penerapan terhadap kejahatan kemanusiaan<br />

sebagai salah satu bentuk kejahatan HAM<br />

yang berat. Apabila diterapkan secara<br />

retroaktif dianggap tidak melanggar standar<br />

asas legalitas dalam hukum pidana<br />

internasional, sebab kejahatan tersebut<br />

semata-mata merupakan perluasan<br />

yurisdiksi (jursidiction extention) dari<br />

kejahatan perang (an outgrowth of war crimes)<br />

dan diterima sebagai hukum kebiasaan<br />

internasional (international customary law)<br />

serta telah diputuskan oleh pengadilan<br />

internasional yang bersifat ad hoc.<br />

Praktek peradilan-peradilan di atas<br />

memberikan paradigma dalam<br />

perkembangan hukum yang bergeser yakni<br />

adanya pandangan yang semula berpegang<br />

teguh pada nullum crimen sine lege menjadi<br />

nullum crimen sine iure (tiada kejahatan<br />

tanpa penghukuman), dan yang terakhirlah<br />

yang menjadi dasar legalitas dari hukum<br />

pidana internasional. Prinsip ini menjadikan<br />

62 PBHI, Ad Hoc Extra Judicial National<br />

Tribunal adalah Alternatif Paling baik, Executive<br />

Pointers, Februari 2000.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 36


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

setiap perbuatan yang merupakan bentuk<br />

kejahatan internasional akan dihukum<br />

walaupun belum ada hukum yang<br />

mengaturnya. Argumen lainnya yaitu<br />

bahwa nullum crimen sine lege sebenarnya<br />

bukan batasan kedaulatan tetapi merupakan<br />

prinsip keadilan (principle of justice)<br />

sehingga menjadi tidak adil ketika yang<br />

bersalah tidak dalap dihukum dan<br />

dibiarkan bebas (unpunished). 63<br />

c. Argumen penerapannya dalam kasus<br />

Timor-Timur<br />

Dalam peradilan HAM ad hoc kasus Timortimor,<br />

keberatan terhadap diberlakukannya<br />

asas retroaktif adalah karena bertentangan<br />

dengan UUD 1945 amandemen ke 2 (Pasal<br />

28 I), bertentangan dengan Universal<br />

Declaration of Human Rights, bertentangan<br />

dengan asas Legalitas dalam KUHP, dan<br />

bertentangan denga rasa keadilan dan<br />

kepastian hukum. 64<br />

63 Atas dasar International Customary<br />

Law, alasan dapat digunakan asas retroaktif<br />

adalah 1) atas dasar principle of justice yang<br />

artinya bahwa impunity terhadap pelaku<br />

pelanggaran HAM yang berat akan dirasakan<br />

lebih tidak adil dibandingkan dengan tidak<br />

menerapkan asas legalitas, yang juga ditujukan<br />

untuk menciptakan kepastian hukum dan<br />

keadilan, dan b) dalam hal ini tidak ada<br />

persoalan asas legalitas, sebab tidak ada<br />

perundang-undangan yang baru. Yang terjadi<br />

adalah penerapan hukum kebiasaan<br />

internasional dalam peradilan ad hoc dengan<br />

locus dan tempos delicti tertentu yang sudah<br />

dikenal dalam praktek hukum internasional<br />

(Nurenberg, Tokyo, Rwanda dan Yugoslavia)<br />

dalam hal ini berlaku asas nullum delictum nulla<br />

poena sine iure. Lihat Muladi, Mekanisme Domestik<br />

untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui<br />

sistem Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun<br />

2000, Makalah dalam Diskusi Panel 4 Bulan<br />

Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, Jakarta,<br />

20 Januari 2004<br />

64 Argumen-argumen ini merupakan<br />

argumen yang dikemukakan dalam eksepsi tim<br />

Argumen majelis hakim dalam menentukan<br />

berlakunya asas retroaktif adalah apabila<br />

ditinjau lebih jauh lagi UU No. 26 Tahun<br />

2000 dalam bentuk atau formatnya sejalan<br />

dengan penyimpangan atas asas non<br />

retroaktif berdasarkan pada preseden proses<br />

peradilan Nuremberg tahun 1946 yang<br />

mengawali pengecualian atas asas legalitas.<br />

Sementara substansi atau norma hukum<br />

yang diterapkan terutama yang berkaitan<br />

dengan kejahatan genosida dan kejahatan<br />

terhadap kemanusiaan.<br />

Bahwa proses peradilan Nuremberg<br />

tersebut yang menerapkan asas retroaktif<br />

telah dianggap sebagai norma kebiasaan<br />

Internasional dan telah memiliki ciri-ciri ius<br />

cogen yaitu norma tertinggi yang harus<br />

dipatuhi dan tidak boleh dikurangi<br />

sehingga semua negara anggota PBB<br />

termasuk Indonesia secara hukum terkait<br />

untuk melaksankannya tanpa harus<br />

meratifikasinya. Bahwa kemudian putusan<br />

peradilan Nuremberg tersebut dikuatkan<br />

melalui Resolusi PBB tanggal 11 Desember<br />

1946 sebagai suatu aplikasi prinsip-prinsip<br />

hukum internasional, seterusnya diikuti<br />

pula oleh Peradilan Tokyo 1948, Peradilan<br />

Bekas Yugoslavia/International Criminal<br />

Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) 1993,<br />

Peradilan Rwanda/International Criminal<br />

Tribunal for Rwanda (ICTR) 1995, RUU<br />

Peradilan ad hoc Khmer Merah 1999<br />

khususnya terhadap pelanggaran HAM<br />

yang berat (gross violation of human rights),<br />

sekalipun untuk kurun waktu tertentu saja.<br />

Bahwa Pemberlakuan asas retroaktif pada<br />

peradilan Nuremberg memberikan<br />

justifikasi terhadap pengecualian asas<br />

legalitas. Kemudian tentunya setelah diikuti<br />

dan diterapkan pada negara-negara<br />

sesudahnya asas retroaktif ini menjadi asas<br />

legalitas untuk pengadilan-pengadilan<br />

sesudahnya, karena menjadi dasar hukum<br />

penasehat hukum terdakwa dalam Pengadilan<br />

HAM ad hoc Timor-timur.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 37


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang<br />

berat yang terjadi kemudian khususnya<br />

kejahatan perang, kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan dan genosida. 65<br />

Majelis hakim menyatakan bahwa dapat<br />

diberlakukannya asas retroaktif adalah<br />

berdasarkan pengkajian terhadap praktek<br />

pengadilan pidana internasional dari<br />

praktek negara-negara sejak pengadilan<br />

penjahat perang di Nurenberg dan Tokyo<br />

dan pengadilan pidana internasional ad hoc<br />

untuk Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda<br />

(ICTR), dan Kasus Adolf Eichman di<br />

pengadilan distrik Yerusalem ternyata asas<br />

non retroaktif disimpangi demi tegaknya<br />

keadilan.<br />

Kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang,<br />

dan genosida merupakan hostis human<br />

generis (musuh bersama seluruh umat<br />

manusia) yang termasuk dalam kejahatan<br />

internasional sehingga di bawah yurisdiksi<br />

universal. Berdasarkan prinsip yurisdiksi<br />

universal ini setiap negara berhak untuk<br />

mengadili pelaku kejahatan ini atau untuk<br />

mengekstradisikannya ke negara atau pihak<br />

lain yang memiliki yurisdiksi tanpa melihat<br />

kejadian, kewarganegaraan pelaku maupun<br />

kewarganegaraan korban.<br />

Kejahatan terhadap kemanusiaan telah<br />

diakui sebagai kejahatan yang<br />

mengguncang nurani umat manusia<br />

sehingga penghukuman terhadap pelaku<br />

mutlak diperlukan tanpa dibatasi waktu<br />

dan tempat maka praktek internasional<br />

telah menghapuskan batas daluwarsa<br />

pemeriksaan sebagaimana disebutkan<br />

dalam penjelasan UU No. 26 Tahun 2000<br />

menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang<br />

berat merupakan extra ordinary crime dan<br />

berdampak secara luas. Dengan ungkapan<br />

lain asas retroaktif dapat diperlakukan<br />

65 Lihat Putusan sela dengan terdakwa<br />

M. Noer Muis (Mantan Komandan Korem) 164,<br />

Timor-timur. Tanggal 20 AUSTUS 2002.<br />

dalam rangka melindungi HAM itu sendiri<br />

berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. 66<br />

Terlepas dari pemberlakuan asas retroaktif<br />

yang berdasarkan praktek internasional<br />

tersebut, majelis hakim juga menyatakan<br />

bahwa nilai keadilan lebih tinggi daripada<br />

kepastian hukum terlebih-lebih perwujudan<br />

keadilan universal seperti dalam kasuskasus<br />

pelanggaran HAM yang berat tidak<br />

mengenal ruang dan waktu. Oleh karena itu<br />

dalam hal ini non retroaktif dapat<br />

dikesampingkan dan masalah ini sebagai<br />

aturan khusus. Argumen tentang masalah<br />

apakah ada pertentangan antara kepastian<br />

hukum dengan keadilan majelis hakim<br />

menyatakan bahwa apabila terjadi<br />

pertentangan antara dua prinsip maka yang<br />

didahulukan adalah prinsip yang dapat<br />

mewujudkan keadilan yang lebih nyata. 67<br />

66 Lihat putusan sela dengan terdakwa<br />

Abilio Jose Osorio Soares (Mantan Gubernur<br />

Timor-timur) tanggal 4 April 2002.<br />

67 Argumen ini didasarkan pada<br />

komparasi mengenai ukuran untuk menetukan<br />

ada tidaknya kepastian hokum dan keadilan<br />

khusus dalam penegakan HAM yaitu nilai<br />

keadilan tidak diperoleh melalui tingginya nilai<br />

kepastian hukum melainkan dari keseimbangan<br />

perlindungan hukum atas korban, dan pelaku<br />

kejahatan dan semakin serius suatu kejahatan<br />

maka semakin besar nilai keadilan yang harus di<br />

pertahankan lebih dari nilai kepastian hukum.<br />

Lihat Putusan sela dengan terdakwa M. Noer<br />

Muis (Mantan Komandan Korem) 164, Timortimur.<br />

Tanggal 20 Agustus 2002.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 38


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

3. Hukum Acara<br />

Pasal 44 UU No. 26 Tahun 2000<br />

menyatakan bahwa pemeriksaan di<br />

pengadilan HAM ad hoc dan upaya<br />

hukumnya dilakukan sesuai dengan<br />

ketentuan dalam undang-undang ini. Hal<br />

ini berarti bahwa hukum acara yang<br />

digunakan dalam pengadilan HAM ad hoc<br />

sama dengan ketentuan yang digunakan<br />

dalam pengadilan HAM yaitu<br />

menggunakan ketentuan dalam UU No. 26<br />

Tahun 2000. Seperti halnya dengan<br />

Pengadilan HAM, ketentuan mengenai<br />

hukum acara yang digunakan juga mengacu<br />

pada Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 yang<br />

mensyaratkan digunakannya ketentuan<br />

dalam KUHAP kecuali yang ditentukan<br />

secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000.<br />

Hukum acara yang digunakan dalam<br />

pengadilan HAM ad hoc dalam prakteknya<br />

ternyata juga mengalami beberapa<br />

hambatan. Pengalaman pengadilan HAM ad<br />

hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di<br />

Timor-timur bisa menjadi referensi yang<br />

dapat digunakan untuk menganalisa<br />

efektivitas berlakunya. Beberapa contoh<br />

penerapan hukum acara dalam proses<br />

peradilan HAM ad hoc kasus pelanggaran<br />

HAM berat di Timor–timur mengenai halhal<br />

sebagai berikut :<br />

a. Jangka waktu penyidikan dan<br />

penuntutan pemeriksaan di sidang<br />

pengadilan<br />

Adanya limitasi jangka waktu untuk proses<br />

penyelidikan dan penuntutan menjadi<br />

batasan bagi pihak penyidik dan penuntut<br />

umum untuk melakukan proses penyidikan<br />

dan penuntutan. Dalam berbagai kasus<br />

yang disidangkan untuk pelanggaran HAM<br />

yang berat di Timor-timur ini nota<br />

keberatan/eksepsi dari terdakwa terhadap<br />

proses pemeriksaan dan penuntutan yang<br />

dianggap tidak sesuai atau sudah<br />

melampaui ketentuan undang-undang. 68<br />

Ketentuan tentang jangka waktu ini<br />

terdapat ketidakjelasan mengenai jangka<br />

waktu antara penyidikan dinyatakan selesai<br />

dan kapan hasil penyidikan itu harus<br />

diserahkan untuk dilakukan penuntutan.<br />

Dalam UU No. 26 Tahun 2000 hanya<br />

dinyatakan bahwa penuntutan harus<br />

diselesaikan dalam jangka waktu 70 hari<br />

terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan<br />

diterima. Jadi UU No. 26 Tahun 2000 hanya<br />

mengatur tentang lama penyidikan dan<br />

lama penuntutan tetapi tidak diatur<br />

mengenai kewajiban atau batasan waktu<br />

diserahkannya hasil penyelidikan ke<br />

penuntutan.<br />

68 Lihat misalnya eksepsi dari tim<br />

penasehat hukum terdakwa Leonito Martins<br />

(mantan Bupati Liquica) yang menyatakan<br />

dakwaan harus batal demi hukum karena jangka<br />

waktu penyidikan dan penuntutan melanggar<br />

undang-undang. Argumentasi yang dibangun<br />

adalah bahwa Pasal 22 menyatakan lama<br />

penyidikan adalah 240 hari (selama 90 hari,<br />

dapat diperpanjang 90 hari dan dapat<br />

diperpanjang lagi selama 90 hari). Penyidikan<br />

terhadap terdakwa sudah dilakukan sejak<br />

tanggal 18 April 2000 (vide surat perintah Jaksa<br />

Agung RI No. Print-43/E/04/2000 tertanggal 18<br />

April 2000 untuk memulai/melaksanakan<br />

penyidikan atas pelanggaran HAM yang berat di<br />

Timor-timur baik pra maupun pasca jajak<br />

pendapat), dan dari keterangan ini penyidikan<br />

harus sudah diselesaikan tanggal 18 Desember<br />

2000 (240 hari). Surat dakwaan untuk penuntutan<br />

disusun tertanggal 19 Juni 2002, artinya ada<br />

jangka waktu yang melampai ketetuan Pasal 24<br />

UU No. 26 Tahun 2000 tentang jangka waktu<br />

penuntutan yang lamanya 70 hari. Penasehat<br />

hukum menyatakan bahwa surat dakwaan harus<br />

dinyatakan batal demi hukum karena melebihi<br />

jangka waktu sesuai yang ditentukan oleh<br />

undang-undang dan seharusnya penyidikan<br />

harus dihentikan sesuai dengan Pasal 24 ayat 4<br />

UU No. 26 Tahun 2000 .<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 39


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

b. Jangka waktu pemeriksaan di sidang<br />

pengadilan<br />

Ketentuan Pasal 31 yang menyatakan<br />

pengadilan mempunyai jangka waktu<br />

selama 180 hari untuk memeriksa dan<br />

memutus perkara pelanggaran HAM yang<br />

berat ternyata juga tidak dapat diterapkan<br />

sepenunya dalam proses peradilan HAM ad<br />

hoc ini. Beberapa majelis hakim membuat<br />

ketetapan-ketetapan untuk adanya<br />

perpanjangan masa persidangan ketika<br />

melewati masa 180 hari. Alasan<br />

perpanjangan ini adalah dikarenakan<br />

kurangnya waktu yang diperlukan oleh<br />

majelis hakim untuk mencari kebenaran<br />

materiil. 69<br />

c. Proses pembuktian<br />

Selama proses pemeriksaan kesaksian<br />

terutama terhadap saksi korban<br />

mekanismenya menggunakan pemeriksaan<br />

biasa dalam artian saksi menghadiri<br />

persidangan untuk memberikan<br />

keterangannya sesuai dengan ketentuan<br />

KUHAP. Mekanisme tentang dapat<br />

digunkannya pemeriksaan kesaksian tanpa<br />

hadirnya terdakwa juga tidak pernah<br />

dipakai selama proses pemeriksaan<br />

kesaksian, demikian juga dengan hak saksi<br />

dan korban untuk dirahasiakan<br />

identitasnya. 70 Proses pemeriksaan saksi<br />

yang termasuk progresif adalah<br />

diijinkannya videoconference untuk<br />

69 Lihat surat penentapan tentang<br />

perpanjangan masa sidang dari majelis hakim<br />

yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang<br />

berat di Tim-tim untuk terdakwa Adam Damiri,<br />

Noer Muis, Tono Suratman, Soejarwo dan<br />

Hulman Gultom.<br />

70 Hal ini sesuai dengan hak-hak untuk<br />

perlindungan korban dan saksi sesuai dengan PP<br />

No. 2 Tahun 2002.<br />

pemeriksaan saksi. 71 Proses pemeriksaan<br />

melalui videoconference ini adalah sebetulnya<br />

belum diatur dalam hukum acara kita<br />

(KUHAP) tetapi majelis hakim yang<br />

mengijinkan adanya video conference ini<br />

mengacu pada praktek peradilan<br />

internasional. 72<br />

Prosedur pembuktian dan alat bukti yang<br />

digunakan selama proses peradilan tidak<br />

cukup memadai. Dilihat dari alat bukti yang<br />

ditampilkan di muka persidangan tidak bisa<br />

dilihat atau menunjukkan secara pasti dan<br />

detail tentang terjadinya perkara. Demikian<br />

pula dengan para saksi terutama saksi<br />

korban yang sulit menggambarkan secara<br />

detail, jelas dan konkret tentang unit militer,<br />

polisi atau sipil bersenjata, seragam dan<br />

siapa yang melakukan langsung. Hal ini<br />

pada gilirannya akan sangat sulit untuk<br />

mendapatkan bukti tentang adanya<br />

“command responsibility”.<br />

71 Pemeriksaan saksi dengan<br />

menggunakan videoconference ini hanya untuk<br />

terdakwa Adam Damiri, Noer Muis, Hulman<br />

Gultom, dan Soejarwo. Videocoference<br />

dilaksanakan pada tanggal 16, 17 dan 18<br />

Desember 2002.<br />

72 Argumen yang digunakan hakim<br />

adalah bahwa adanya adagium bahwa hukum<br />

itu berkembang dan cenderung tertinggal.<br />

Hakim sebagai penegak hukum mempunyai<br />

kewajiban untuk menggali hukumnya.<br />

Pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan<br />

internasional dan merupakan yurisdiksi<br />

internasional. Dimana dalam hukum<br />

internasional media teleconference telah lazim<br />

digunakan. Hal ini juga sejalan dengan PP No. 2<br />

tahun 2002 tentang tata cara perlindungan<br />

terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran<br />

HAM berat yang menyatakan bahwa pemberian<br />

keterangan pada saat pemeriksaan di sidang<br />

pengadilan tanpa bertatap muka dengan<br />

tersangka. Maka majelis berpendapat bahwa<br />

media teleconference dapat digunakan.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 40


Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005<br />

Bahan bacaan<br />

Materi : Pengadilan HAM<br />

IV. PENUTUP<br />

Pengaturan tentang pengadilan HAM dan<br />

pengadilan HAM ad hoc berdasarkan UU<br />

No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan<br />

HAM. Yurisdiksi dari pengadilan HAM<br />

adalah untuk memeriksa dan memutus<br />

perkara pelanggaran HAM yang berat yaitu<br />

kejahatan terhadap kemanusiaan dan<br />

kejahatan genosida. Pengadilan HAM juga<br />

mempunyai kewenangan untuk<br />

memutuskan tentang kompensasi, restitusi<br />

dan rehabilitasi kepada para korban<br />

pelanggaran HAM yang berat.<br />

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan<br />

HAM masih banyak mengandung<br />

kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan<br />

hambatan-hambatan yuridis dalam<br />

penerapan UU No. 26 Tahun 2000 tersebut.<br />

Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain<br />

tidak secara lengkap menyesuaikan tindak<br />

pidana yang diatur yaitu kajahatan<br />

terhadap kemanusiaan dan kejahatan<br />

genosida yang seharusnya juga disertai<br />

dengan penjelasan mengenai unsur-unsur<br />

tindak pidananya (elements of crimes). UU<br />

No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilah<br />

HAM ini juga tidak mengatur tentang<br />

prosedur pembuktian secara khusus untuk<br />

mengadili kejahatan yang sifatnya “extraordinary<br />

crimes”.<br />

Kelemahan-kelemahan UU No. 26 Tahun<br />

2000 dalam prakteknya menyulitkan proses<br />

peradilan HAM yang mengakibatkan<br />

majelis hakim melakukan terobosanterobosan<br />

hukum untuk menafsirkan atau<br />

menerjemahkan peraturan sesuai dengan<br />

pertimbangan majelis hakim. Kedepan,<br />

untuk memperkuat jaminan kepastian<br />

hukum dan pencapaian keadilan kepada<br />

korban maka UU No. 26 Tahun 2000 tentang<br />

Pengadilan HAM ini perlu diamandemen<br />

sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman<br />

pelaksanaan peradilan-peradilan HAM<br />

sebelumnya.<br />

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat, (ELSAM) 41

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!