political islam and islamic parties in indonesia - Democracy Project
political islam and islamic parties in indonesia - Democracy Project
political islam and islamic parties in indonesia - Democracy Project
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
l<br />
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
POLITICAL ISLAM AND<br />
ISLAMIC PARTIES IN INDONESIA:<br />
P r o j e c t<br />
CRITICALLY ASSESSING THE EVIDENCE<br />
OF ISLAM’S POLITICAL DECLINE<br />
i t a<br />
i g<br />
k a a n<br />
D<br />
Sunny Tanuwidjaja<br />
“Demokrasi Religius Indonesia”<br />
Review Paper oleh Hamid Basyaib<br />
1
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
Sumber Artikel: “Political Islam <strong>and</strong> Islamic<br />
Parties <strong>in</strong> Indonesia: Critically Assess<strong>in</strong>g<br />
the Evidence of Islam’s Political Decl<strong>in</strong>e”<br />
by Sunny Tanuwidjaja; Contemporary<br />
Southeast Asia: A Journal of International<br />
<strong>and</strong> Strategic Affairs, Volume 32, Number<br />
1, April 2010<br />
Artikel <strong>in</strong>i menantang op<strong>in</strong>i yang nyaris<br />
seragam di kalangan pengamat dan<br />
komentator politik Indonesia bahwa faktor<br />
agama semak<strong>in</strong> tak pent<strong>in</strong>g dalam lanskap<br />
politik Indonesia, yang dibuktikan dengan<br />
fakta terus turunnya perolehan suara partaipartai<br />
Islam dalam empat pemilu. Faktor<br />
agama tetap signifikan atau justeru mak<strong>in</strong><br />
sentral. Merosotnya perolehan partaipartai<br />
Islam bukan karena pemilih semak<strong>in</strong><br />
rasional, tapi karena partai-partai sekuler<br />
mengakomodasi aspirasi konstituen Muslim.<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
2
l<br />
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
P r o j e c t<br />
Maka gambaran sesungguhnya,<br />
menurut peneliti CSIS yang sedang<br />
menempuh studi doktoral di<br />
Northern Ill<strong>in</strong>ois University, AS<br />
<strong>in</strong>i, adalah kebalikan dari persepsi<br />
luas atau dari apa yang mencuat di<br />
permukaan. Yang sedang berdenyut<br />
di kancah politik Indonesia adalah<br />
semak<strong>in</strong> penetratifnya aspirasi Islam.<br />
k a a n<br />
D<br />
i t a<br />
i g<br />
Aspirasi Islam tersebut k<strong>in</strong>i<br />
beroperasi dengan cara yang lebih<br />
halus; tidak dengan serta-merta<br />
disalurkan melalui partai-partai<br />
Islam seperti PKS, PPP, PBB, PBR<br />
atau bahkan yang ‘semi-Islam’<br />
seperti PAN dan PKB. Tapi juga<br />
melalui partai-partai yang selama<br />
<strong>in</strong>i diidentifikasi sebagai nasionalis<br />
atau sekuler seperti Golongan<br />
Karya dan Partai Demokrat (meski<br />
PDI Perjuangan tetap merupakan<br />
perkecualian). Inilah sebab partaipartai<br />
Islam itu terus merosot -- dan<br />
mengenai hal <strong>in</strong>i data perolehan suara<br />
di pemilu-pemilu 1955, 1999, 2004<br />
dan 2009 tidak mungk<strong>in</strong> dibantah.<br />
3
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
Ini pula yang membuat Partai<br />
Golkar dan PD tidak lagi memadai<br />
untuk disebut partai nasionalissekuler<br />
‘murni’. Mereka adalah<br />
partai ‘sekular-<strong>in</strong>klusif ’ (art<strong>in</strong>ya:<br />
partai non-religius yang ramah atau<br />
mengakomodasi aspirasi-aspirasi<br />
keagamaan).<br />
Demokrasi Religius?<br />
Mencoloknya fenomena tersebut<br />
membuat demokrasi Indonesia tidak<br />
dapat disebut demokrasi-sekuler<br />
sebagaimana pengertiannya per<br />
def<strong>in</strong>isi, mela<strong>in</strong>kan lebih cocok diberi<br />
label demokrasi-religius. Penulis<br />
menopang kesimpulannya dengan<br />
mengajukan sejumlah gejala dan<br />
fakta.<br />
Pertama, berhasil lolosnya UU<br />
Antipornografi yang kontroversial,<br />
yang antara la<strong>in</strong> mengatur cara publik<br />
berbusana dan berimplikasi harus<br />
sesuai dengan ketentuan-ketentuan<br />
agama (Islam). Juga: terbitnya UU<br />
Pendidikan Nasional, yang antara la<strong>in</strong><br />
mewajibkan sekolah-sekolah swasta<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
4
l<br />
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
menyediakan guru agama sesuai<br />
agama murid.<br />
P r o j e c t<br />
Kedua, terbitnya surat keputusan<br />
bersama (SKB) tiga menteri yang<br />
mengatur Ahmadiyah, sekte Islam<br />
yang akhir-akhir <strong>in</strong>i diganggu<br />
esksistens<strong>in</strong>ya dengan kekerasan<br />
di banyak daerah; desakan <strong>in</strong>i<br />
cenderung mampu menekan<br />
pemer<strong>in</strong>tah agar melarang keberadaan<br />
sekte tersebut.<br />
k a a n<br />
D<br />
i t a<br />
i g<br />
Ketiga, munculnya peraturanperaturan<br />
daerah yang bernafas<br />
syariah, seperti tentang pelarangan<br />
judi, prostitusi, aturan berbusana,<br />
pelarangan terhadap perempuan<br />
untuk berada di luar rumah setelah<br />
jam tertentu. Meski sebagian dari<br />
ketentuan tersebut, sebagaimana<br />
dikatakan para pembelanya, selaras<br />
belaka dengan ketentuan hukum<br />
positif yang sudah lama ada, hal<br />
itu tidak dapat menutupi fakta<br />
bahwa penggagas dan pendukung<br />
perda-perda tersebut didorong oleh<br />
motivasi agama. Jumlah perda itu<br />
tidak sedikit; setidaknya ada 74 di<br />
5
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
puluhan kabupaten yang tersebar di<br />
21 dari 33 prov<strong>in</strong>si.<br />
Keempat, fakta perda-perda syariah<br />
tersebut muncul di daerah-daerah<br />
yang menjadi basis tradisional partai<br />
sekuler seperti Golkar semak<strong>in</strong><br />
meyak<strong>in</strong>kan bahwa agenda Islam<br />
telah berhasil ‘dititipkan’ bukan<br />
di partai Islam. Sementara partaipartai<br />
‘semi-Islam’ seperti PAN<br />
(yang didom<strong>in</strong>asi pengurus dari<br />
kalangan dan berkonstituen warga<br />
Muhammadiyah) dan PKB (NU)<br />
berg<strong>and</strong>eng mesra dengan Golkar<br />
ataupun PD di daerah-daerah yang<br />
melahirkan puluhan perda syariah<br />
la<strong>in</strong>nya.<br />
D e m o c r a c y<br />
Penulis juga meragukan validitas<br />
sejumlah survei tentang preferensi<br />
pemilih yang menyangkut aspirasi<br />
dan sikap mereka dalam memilih<br />
partai pada pemilu. Bukan<br />
hanya karena sebagian survei itu<br />
menemukan hal yang bertentangan;<br />
misalnya: ada survei yang<br />
menyimpulkan 94 % warga Indonesia<br />
setuju demokrasi, tapi pada saat<br />
P e r p u s t a<br />
6
l<br />
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
sama persentase yang meng<strong>in</strong>g<strong>in</strong>kan<br />
penerapan syariah juga signifikan<br />
(mereka bahkan setuju negara Islam,<br />
meski dalam bentuk lunak; misalnya<br />
tanpa hukum potong tangan bagi<br />
pencuri).<br />
P r o j e c t<br />
k a a n<br />
D<br />
i t a<br />
i g<br />
Menurut penulis, kuesioner survei<br />
itulah yang bermasalah seh<strong>in</strong>gga<br />
menghasilkan data yang bertabrakan.<br />
Dengan rumusan pertanyaan<br />
tertentu, responden akan enggan<br />
mengungkap preferens<strong>in</strong>ya dengan<br />
gamblang (misalnya setuju negara<br />
Islam). Sela<strong>in</strong> itu masa survei pun<br />
perlu dipertimbangkan; dalam<br />
situasi ekonomi sulit, responden<br />
cenderung untuk terutama menyebut<br />
preferensi yang terkait langsung<br />
dengan problem ekonomi, dan<br />
“menyembunyikan” aspirasi sejati<br />
mereka.<br />
Bagaimana Masa Depan<br />
Indonesia?<br />
Tantangan lugas penulis terhadap<br />
op<strong>in</strong>i umum para Indonesianis dan<br />
pengamat politik Indonesia <strong>in</strong>i<br />
7
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
patut didiskusikan serius. Gejala<br />
dan fakta-fakta yang diungkap<br />
sebagai contoh tentang signifikansi<br />
faktor Islam (beserta implikas<strong>in</strong>ya:<br />
partai-partai sekuler yang harus<br />
mengakomodas<strong>in</strong>ya dengan menjadi<br />
‘sekuler <strong>in</strong>klusif ’) tak terbantah.<br />
Dan jika ia dengan berani<br />
menegaskan bahwa demokrasi<br />
Indonesia adalah demokrasi religius,<br />
apakah, misalnya, label serupa dapat<br />
pula kita kenakan pada demokrasi<br />
Amerika, arena yang juga disusupi<br />
mak<strong>in</strong> dalam oleh aspirasi-aspirasi<br />
religius (khususnya Protestanisme)<br />
dengan cara-cara yang mungk<strong>in</strong><br />
kurang halus dib<strong>and</strong><strong>in</strong>g penetrasi<br />
serupa di Indonesia? Dan apakah<br />
dengan demikian kita pun layak<br />
cemas menyaksikan apa yang sedang<br />
terjadi di salah satu kiblat pent<strong>in</strong>g<br />
demokrasi itu?<br />
Penulis belum sampai meramal<br />
bagaimanakah wajah politik<br />
Indonesia di masa mendatang<br />
dalam konteks tarik menarik antara<br />
demokrasi (sekuler) dan demokrasi<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
8
l<br />
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
religius (Islam). Tapi lanskap<br />
demokrasi kita hari <strong>in</strong>i, yang ia potret<br />
dengan kerisauan yang mungk<strong>in</strong><br />
memang tak perlu disembunyikan,<br />
patut dirisaukan bahwa gejala <strong>in</strong>i<br />
akan berlanjut sampai ke masa yang<br />
cukup jauh.<br />
P r o j e c t<br />
i t a<br />
i g<br />
k a a n<br />
D<br />
9
Edisi 003, Agustus 2011<br />
Review paper<br />
© 2011<br />
Review Paper <strong>in</strong>i diterbitkan oleh<br />
<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>,<br />
Yayasan Abad Demokrasi.<br />
Jika Anda berm<strong>in</strong>at mendapatkan artikel yang<br />
direview, silakan isi form perm<strong>in</strong>taan.<br />
Kode artikel: STN001<br />
D e m o c r a c y<br />
P e r p u s t a<br />
10