24.06.2015 Views

Buku-Inspirasi-Alumni-PPIA

Buku-Inspirasi-Alumni-PPIA

Buku-Inspirasi-Alumni-PPIA

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>Buku</strong> <strong>Inspirasi</strong> <strong>Alumni</strong><br />

PPI Australia<br />

Gambar sampul diambil dari : http://journalism.ubc.ca/graduation-reception/


DAFTAR ISI<br />

Prakata Ketua Umum PPI Australia 2014-2015<br />

Prakata Ketua Departemen Pensosmas PPI Australia 2014-2015<br />

Prakata Ketua Bidang Eksternal PPI-Australia 2014-2015<br />

Redaksi dan Kontributor<br />

Kisah Inspiratif dari Dr. Akmadi Abbas<br />

Kisah Inspiratif dari Fajar Sulaema Taman, M.Si., M.ILP.<br />

Kisah Inspiratif dari Prof. Ismunandar<br />

Kisah Inspiratif dari Dr. Mulyoto Pangestu<br />

Kisah Inspiratif dari Wenny Bekti Sunarharum, STP, M.Food.St<br />

Kisah Inspiratif dari Dr. Yuswanti<br />

Penutup<br />

I<br />

II<br />

III<br />

IV<br />

1<br />

5<br />

9<br />

12<br />

18<br />

23<br />

28


I<br />

PRAKATA KETUA UMUM PPI<br />

AUSTRALIA 2014-2015<br />

Salam sejahtera untuk kita semua,<br />

Puji syukur senantiasa kami haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa, Allah SWT, karena atas izin-Nya<br />

Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia (<strong>PPIA</strong>) Pusat periode 2014-2015 dapat menyelesaikan sebuah<br />

karya tulis dalam bentuk buku yang diberi judul “<strong>Inspirasi</strong> <strong>Alumni</strong>”. <strong>Buku</strong> ini berisikan kisah inspiratif dari<br />

beberapa alumnus pelajar Indonesia yang pernah studi di Australia.<br />

Kisah para senior ini dapat dijadikan motivasi bagi para pelajar yang sedang berkuliah di Australia maupun<br />

di negara lainnya untuk segera menyelesaikan studinya dan juga bagi para generasi muda yang memiliki<br />

cita-cita untuk melanjutkan pendidikannya di negeri kangguru. Para alumnus yang telah berbagi kisahnya di<br />

dalam buku ini merupakan orang-orang pilihan dari sekian banyak alumnus Australia. Latar belakang para<br />

alumnus pun beragam, ada yang bekerja sebagai pegawai negeri di Kementerian dan ada pula yang bekerja<br />

sebagai dosen di perguruan tinggi dan lain-lain.<br />

Tujuan utama penulisan buku ini adalah agar pemuda Indonesia mengetahui dan mengambil pelajaran<br />

dari pengalaman inspiratif para senior yang telah bersusah payah untuk belajar dan menyelesaikan studinya<br />

sehingga pada akhirnya dapat berkontribusi secara kongkrit bagi Indonesia. Hal ini juga selaras dengan<br />

moto <strong>PPIA</strong> Pusat periode 2014-2015 yaitu <strong>PPIA</strong> AKTIVIS (Aktif, Kreatif dan Visoner) yang mendorong<br />

para pelajar Indonesia khususnya di Australia untuk aktif dalam menciptakan karya-karya yang kreatif yang<br />

selaras dengan visi yang dibangun guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu menjadikan Indonesia sebagai<br />

negara yang lebih baik lagi.<br />

Akhir kata kami ingin berterima kasih sebesar-besarnya kepada para narasumber yang telah berkenan<br />

meluangkan waktunya untuk berkontribusi pada penulisan buku ini. Apresiasi setinggi-tingginya kami<br />

sampaikan kepada Departemen Pelayanan Sosial dan Masyarakat <strong>PPIA</strong> Pusat khususnya para tim penyusun<br />

yang telah menyisihkan waktu dan pikirannya untuk menyelesaikan karya monumental ini selama satu<br />

periodesasi kepengurusan.<br />

Semoga bermanfaat dan selamat membaca.<br />

Salam AKTIVIS!<br />

Ahmad Almaududy Amri<br />

Ketua Umum PPI Australia<br />

Periode 2014-2015


II<br />

PRAKATA KETUA DEPARTEMEN<br />

PENSOSMAS PPI AUSTRALIA 2014-2015<br />

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Illahi Robbi karena atas berkat dan rahmat-Nya,<br />

Dept. Pensosmas <strong>PPIA</strong> dapat menyelesaikan “<strong>Buku</strong> <strong>Inspirasi</strong> <strong>Alumni</strong>” tepat pada waktunya pada periode<br />

2014/2015. <strong>Buku</strong> ini dibuat dengan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya<br />

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam<br />

penyusunan buku ini. <strong>Buku</strong> inspirasi ini merupakan Kumpulan inspirasi dan filosofi dari beberapa alumni<br />

Australia yang berisi cerita dan pengalaman positif yang dapat diambil hikmahnya untuk kita semua.<br />

Banyak pelajaran positif yang dapat kita ambil dari mereka semua. Secara pribadi, saya berharap semoga<br />

buku yang singkat dan sederhana ini dapat memberikan tambahan wawasan pengetahuan, semangat dan<br />

dapat dijadikan inspirasi bagaimana mereka berjuang, terus belajar dan terus belajar dalam menggapai citacitanya.<br />

Seperti yang diungkapkan oleh Bung Karno -<br />

“Gantungkan cita-cita mu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintangbintang.”<br />

Salam <strong>PPIA</strong>,<br />

Faruq Ibnul Haqi<br />

Ka. Dept. Pensosmas


III<br />

PRAKATA KETUA BIDANG<br />

EKSTERNAL PPI AUSTRALIA 2014-2015<br />

Mendapatkan kesempatan untuk dapat menempuh pendidikan di Negeri Kangguru adalah sebuah<br />

prestasi tersendiri bagi pelajar Indonesia. Namun, untuk dapat memanfaatkan peluang tersebut secara<br />

optimal selama studi di Australia dan terus berjuang setelah lulus sehingga meraih kesuksesan untuk lebih<br />

berkontribusi untuk Bangsa Indonesia adalah suatu hal yang “istimewa”. <strong>Buku</strong> <strong>Inspirasi</strong> <strong>Alumni</strong> ini memuat<br />

liputan rekam kisah sukses, perjalanan, prestasi, dan harapan dari para Alumnus Indonesia yang pernah<br />

menempuh pendidikan di Australia. <strong>Buku</strong> ini merupakan media yang memberikan kesempatan bagi para<br />

pembaca untuk dapat memetik pelajaran berharga dari para Senior yang telah berprestasi dan berkiprah<br />

untuk negeri. Menjadi sukses itu memang bukanlah suatu kewajiban, namun yang menjadi kewajiban kita<br />

adalah perjuangan untuk menjadi sukses. Dengan semangat berbakti untuk Tanah Air, mari bersama-sama<br />

berjuang memajukan Indonesia.<br />

Salam <strong>PPIA</strong>,<br />

Tri Mulyani Sunarharum<br />

Ka. II Bidang Eksternal


IV<br />

TIM REDAKSI DAN KONTRIBUTOR<br />

Tim Redaksi:<br />

Wibawa Hendra Saputera (Dept. Pensosmas <strong>PPIA</strong>/ UNSW)<br />

Kontributor Tulisan:<br />

Dr. Akmadi Abbas (<strong>Alumni</strong> University of New South Wales, 1987)<br />

Fajar Sulaema Taman, M.Si., M. IPL (<strong>Alumni</strong> Queensland University of Technology, 2011)<br />

Prof. Ismunandar (<strong>Alumni</strong> University of Sydney, 1998)<br />

Dr. Mulyoto Pangestu (<strong>Alumni</strong> Monash University, 2003)<br />

Wenny Bekti Sunarharum, STP, M.Food.St (<strong>Alumni</strong> University of Queensland, 2007)<br />

Dr. Yuswanti (<strong>Alumni</strong> Queensland University of Technology, 2010)<br />

Tim Desain:<br />

Syifa Puspasari (Dept. Media dan Komunikasi <strong>PPIA</strong>/ BBCD)


1<br />

Narasumber : Dr. Akmadi Abbas<br />

Bagaimana awal anda belajar di Australia?<br />

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 1984<br />

pihak pemberi Bea Siswa yaitu Collombo Plan<br />

menawarkan kepada instansi pemerintah Indonesia<br />

termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia<br />

(LIPI), kepada pegawainya yang berminat untuk<br />

melanjutkan studi ke Australia. Bidang penelitian<br />

saya sesungguhnya adalah pertanian lebih tepatnya<br />

adalah Mekanisasi Pertanian, saya ingin melanjutkan<br />

pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan tetap<br />

mengembangkan bidang tersebut di Australia.<br />

Saat itu, satuan kerja di LIPI dimana saya bertugas<br />

mempunyai tugas pokok fungsi berkaitan dengan<br />

bidang Teknologi Tepat Guna, sehingga saat ada<br />

tawaran beasiswa ke Australia saya ingin belajar<br />

atau menekuni untuk mengembangkan bidang<br />

pertanian berbasis pengembangan teknologi tepat<br />

guna.<br />

Setelah diterima aplikasi saya (placement) di University<br />

of New South Wales pada tahun 1985, ternyata saya<br />

diterima di bidang yang berbeda. Saya berharap<br />

pada mulanya di UNSW belajar pada bidang<br />

agricultural engineering, tetapi nyatanya saya diterima<br />

di School of Mechanical and Industrial Engineering bidang<br />

Mechanical Engineering. Terhadap penetapan<br />

bidang studi tersebut, saya merasakan beban yang<br />

sangat berat untuk mengikuti pelajaran di School<br />

tersebut, karena menurut saya apa yang dipelajari<br />

lebih pada pendalaman ilmu-ilmu yang sebelumnya<br />

belum saya pelajari. Pada saat Strata Satu (S1) yang<br />

dipelajari lebih pada penerapan ilmu-ilmu mekanik<br />

dan sejenisnya di bidang Pertanian.<br />

Pilihan studi ini apa didasari kebijakan<br />

pemerintah saat itu sedang giat-giatnya<br />

membangun sektor pertanian ?<br />

Betul, pilihan studi saya didasari dengan keinginan<br />

saya untuk dapat memberikan kontribusi pada<br />

pembangunan pertanian dengan bidang kepakaran<br />

saya. Pemikiran saya saat itu adalah bagaimana<br />

mengembangkan alat pertanian yang saat itu<br />

didominasi teknologi pertanian pra-panen. Masih<br />

sangat sedikit aspek pengembangan ke arah<br />

pascapanen, yang berkembang saat itu masih pada<br />

permasalahan penanganan dan proses seperti<br />

perontokan dan penggilingan padi. Oleh karenanya<br />

saat belajar di UNSW, saya ingin mengembangkan<br />

teknologi pascapanen yang bisa diaplikasikan di<br />

Indonesia.<br />

Di School of Mechanical and Industrial Engineering,<br />

saya memulai dari strata diploma sesuai ketentuan<br />

penerimaan beasiswa. Jarang atau sedikit mahasiswa<br />

yang berasal dari luar Australia menekuni bidang<br />

Mechanical Engineering, namun diantara yang sedikit<br />

itu alhamdulillah saya berhasil lulus dan lanjut ke<br />

program master hingga lulus mendapat ijazah.<br />

Bagaimana anda menghadapi tantangan<br />

mendapat program studi yang berbeda<br />

dengan yang diinginkan?<br />

Saya berupaya dengan usaha keras untuk diri saya<br />

agar bisa menyelesaikan studi dengan sukses. Jika<br />

saya gagal, yang disorot bukan hanya LIPI tapi juga<br />

perjalanan karier saya ke depan. Saya harus sering<br />

belajar di perpustakaan. Perpustakaan di sana sangat


2<br />

lengkap. Di sana saya bertemu teman-teman lain,<br />

saya tidak malu bertanya kepada mereka. Fungsi<br />

perpustakaan selain untuk melatih kita belajar<br />

mandiri juga untuk bertemu dan saling berdiskusi<br />

juga membuat jejaring.<br />

Saya juga dipacu oleh dua teman baik saya yang<br />

walaupun berbeda bidang atau school-nya, tapi<br />

tempat tinggal kami berdekatan. Kami bertiga saling<br />

memberikan motivasi satu sama lain. Di flat sewaan<br />

kami saling bertukar informasi. Rasanya kami bisa<br />

saling memberikan solusi untuk berbagai masalah<br />

yang kami hadapi. Saya melihat dua teman saya saat<br />

belajar tidak tanggung-tanggung, mereka belajar<br />

sampai pagi. Saya salut kepada mereka dan akhirnya<br />

saya ikut pola yang sama dengan mereka. Saya<br />

termotivasi mengapa mereka bisa sedangkan saya<br />

belajar hanya biasa-biasa saja. Itu yang membuat<br />

saya berprinsip saya harus bisa seperti mereka dan<br />

tidak boleh gagal.<br />

Saat itu apa bayangan anda tentang<br />

Australia?<br />

Walaupun sebelumnya saya pernah pergi ke beberapa<br />

negara, namun negara yang pernah saya kunjungi<br />

masih lingkup Asia Tenggara, tidak terlalu merasa<br />

di luar negeri karena masih satu rumpun sehingga<br />

rasanya masih seperti di Indonesia. Pemikiran<br />

saya saat itu Australia punya kemajuan ilmu lebih<br />

baik dari Indonesia dan negara-negara ASEAN,<br />

baik dari pola pendidikan juga kehidupan sosialnya<br />

secara luas. Saya mendapat masukan kalau kuliah<br />

di negara-negara liberal, pendidikannya lebih fair.<br />

Tidak ada pembedaan atau patronisme yang harus<br />

dijaga. Itu gambaran saya saat itu.<br />

Di era informasi belum semudah sekarang,<br />

dari mana anda mendapat informasi<br />

tentang Australia?<br />

Untuk informasi studi justru saya mendapat saat<br />

saya kursus di Thailand. Teman-teman saya<br />

menyarankan supaya melanjutkan studi di Australia,<br />

juga mendapat informasi atau gambaran umum<br />

mengenai keadaan atau bagaimana kehidupan<br />

(sosialnya) di Australia.<br />

Apa perbedaan yang anda rasakan sebagai<br />

peneliti saat belajar di Australia?<br />

Akses informasi jelas sangat berbeda. Untuk<br />

bidang ilmu yang saya tekuni, semua akses terbuka.<br />

Perpustakaan buka sampai malam, kadang-kadang<br />

saya bisa bermalam di sana. Referensi berupa buku<br />

dan jurnal semua tersedia. Akhirnya pilihannya ada<br />

pada kita. Mau memanfaatkan atau tidak. Walaupun<br />

saya juga sadar, bahwa kita mempunyai keterbatasan<br />

bahasa (Inggris), mengingat saat itu pilihan untuk<br />

mendapatkan kursus bahasa asing yang bermutu<br />

baik di Indonesia tidak terlalu banyak.<br />

Selain itu, di Australia khususnya di UNSW fasilitas<br />

komputer tersedia di mana-mana dengan server<br />

informasi yang siap digunakan. Kami memiliki<br />

akses yang baik. Di Indonesia saat itu (1986), hanya<br />

sedikit yang bisa kami gunakan. Selain itu, dengan<br />

membuat appointment terlebih dulu, kami mudah<br />

menemui dosen pembimbing untuk berkonsultasi.<br />

Hal-hal tersebut yang menurut saya jadi pembeda.<br />

Sempat mengalami cultural shock ?<br />

Saya tidak terlalu mengalami itu karena sebelum<br />

berangkat kami sudah mendapatkan segala informasi<br />

tentang Australia. Selain persiapan berbahasa, juga<br />

dikenalkan budaya. Jadi kita diberi pembekalan<br />

tentang penyesuaian budaya. Saya ingat, karena<br />

waktu itu Austalia sedang ada masalah dengan<br />

Vietnam, saya sempat dikira orang Vietnam dan<br />

tidak diperbolehkan untuk mengakses ke fasilitasfasilitas<br />

umum. Tapi hal itu hanya berlaku seketika<br />

yang selanjutnya tidak ada masalah.<br />

Bagaimana dengan kendala bahasa?<br />

Untuk memperlancar Bahasa Inggeris, saya<br />

memanfaatkan teman dari Malaysia, Mesir,<br />

Singapura dan Sri Lanka yang sama-sama belajar<br />

mechanical engineering sebagai teman diskusi dalam<br />

bahasa Inggris.<br />

Apa tantangan setelah anda menyelesaikan<br />

studi dan pulang ke Indonesia?<br />

Banyak hal yang bisa saya lakukan selepas pulang.<br />

Dengan ilmu yang saya dapat di Australia, saya<br />

bisa mengkoordinasikan teman-teman untuk<br />

melakukan penelitian dan bekerja sama dengan<br />

industri alat berat pertanian. Saya juga berusaha<br />

mengembangkan relasi dengan pihak pemerintah<br />

daerah dan industri.<br />

Berbeda dengan teman-teman lain yang ketika<br />

pulang terkaget-kaget karena ternyata disini tidak<br />

ada fasilitas, saya justru merasa bisa menerapkan<br />

ilmu saya karena basis pengembangan ilmu saya<br />

adalah teknologi tepat guna yang ilmunya bisa<br />

diaplikasikan sesuai dengan kondisi Indonesia. Saya


3<br />

bisa menerapkan hal-hal yang saya pelajari disana<br />

karena yang saya pelajari adalah disain berbagai<br />

alat pertanian sehingga saya bisa merancang alat<br />

pertanian disesuaikan kondisi pertanian di Indonesia.<br />

Pesan saya kepada yang sedang berkuliah di Luar<br />

Negeri, jangan sampai apa yang kita pelajari<br />

ternyata tidak bisa diterapkan atau manfaatkan<br />

utk penyelesaian masalah di Indonesia. Jadi<br />

dari pemilihan topik, pikirkan mana yang bisa<br />

dikembangan di Indonesia. Pertimbangkan mana<br />

yang bisa diaplikasikan setelah pulang menuntut<br />

ilmu di LN.<br />

Ada beban dengan ekspektasi sebagai<br />

lulusan luar negeri?<br />

Saat itu lingkungan saya didominasi lulusan S1 dalam<br />

negeri. Saya justru merasa lebih punya wawasan<br />

lebih dibanding temen-teman saya sehingga saya bisa<br />

bicara dalam lingkup yang lebih global. Hasilnya kita<br />

bisa lebih banyak punya peluang untuk melakukan<br />

kolaborasi.<br />

ilmu tentang mechanical, namun juga manajemen<br />

pengelolaan proyek, komunikasi dengan masyarakat,<br />

juga menghadapi konflik di masyarakat dan berbagai<br />

hal lain yang tidak pernah saya dapatkan di bangku<br />

kuliah S1 dan S2 saya.<br />

Berbagai penugasan yang pernah saya kerjakan<br />

dan laksanakan dari LIPI merupakan amanah<br />

yang harus saya laksanakan dengan baik, walaupun<br />

tentunya diiringi dengan berbagai kendala dan<br />

hambatan yang harus saya atasi selama pelaksanaan<br />

tugas di LIPI. Berbekal pendidikan, pengalaman<br />

dan peningkatan serta pengembangan kemampuan,<br />

alhamdulillah karir saya mengalir seperti air. Dimulai<br />

dari sebagai staf peneliti, sebagai Kepala UPT Balai<br />

Pengembangan TTG (1996-2005), Kepala Balai<br />

Besar Pengembangan TTG (2005-2010), Kepala Biro<br />

Perencanaan dan Keuangan (2010-1012), Sestama<br />

LIPI (2012-2014) dan Wakil Kepala (2014-Sekarang).<br />

Untuk karir sebagai peneliti, alhamdulillah sekarang<br />

sudah pada tingkat Ahli Peneliti Utama (APU).<br />

Sejauh mana pengalaman selama belajar di<br />

Australia berpengaruh pada karier anda di<br />

LIPI?<br />

Kepecrayaan diri saya meningkat setelah saya<br />

lulus kuliah di Australia pada tahun 1989. Saya<br />

bisa menujukkan kepada pimpinan LIPI bahwa<br />

saya berhasil meski bidang studi saya berat<br />

karena berbeda dengan pilihan saya. Di Balai<br />

Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI saya<br />

punya grup penelitian yang solid dan kompak selepas<br />

saya pulang dari Australia dan melakukan penelitian<br />

dan pengembangan bidang Alat Mesin Pertanian<br />

(Alsintan).<br />

Berbekal kepercayaan diri dan kepercayaan<br />

pimipnan Puslitbang Fisika Terapan LIPI pada<br />

tahun 1990, saya mengelola kerjasama dengan<br />

Depdagri (Dirjen Pemberdayaan Masyarat Desa)<br />

dan Markas Komando AKABRI terkait dengan<br />

Latsitarda Nusantara sampai dengan tahun 2010.<br />

Pada tahun 1993 saya diminta Kepala Puslitbang<br />

Fisika Terapan LIPI sebagai pimpinan Bagian<br />

Proyek Pengembangan Masyarakat Pedesaan di<br />

Wamena sampai tahun 1995. Sebagai wakil LIPI<br />

di Wamena, disitulah segala pengalaman keilmuan<br />

saya selama di Australia benar-benar dapat saya<br />

terapkan pada dan dengan masyarakat Wamena.<br />

Saya merasa keberadaan saya di Wamena memberi<br />

tempaan kedewasaan pada diri saya. Bukan hanya


5<br />

Narasumber : Fajar Sulaema Taman, M.Si.,<br />

M.IPL<br />

Kali pertama saya menerima beasiswa Australian<br />

Development Scholarship tahun 2009 merupakan hal<br />

yang tak terbayangkan dalam hidup saya dan<br />

ini semua berkat Allah SWT dan juga keluarga<br />

yang selalu men-support dalam segala hal. Semua<br />

dapat dikatakan sebagai mimpi. bayangkan saja<br />

sejak kecil saya memang ingin sekali dapat belajar<br />

dan mendapatkan sponsor untuk belajar dan<br />

mendapatkan pengalaman yang saya inginkan<br />

diluar negeri. Saya baru mulai merasakan dan<br />

berkeinginan besar untuk belajar diluar negeri<br />

ketika banyak teman- teman saya yang belajar keluar<br />

negeri setelah lulus SMA baik biaya sendiri dan<br />

ada juga yang mendapatkan beasiswa. Dalam hati<br />

mengatakan kapan giliran saya bisa menginjakkan<br />

kaki menuntut ilmu diluar negeri. Motivasi saya<br />

ingin mendapatkan beasiswa karena ingin mengikuti<br />

jejak Ayah saya yang juga telah mendapatkan<br />

beasiswa dari pemerintah Jepang selama 9 tahun<br />

di Hiroshima. Yang akhirnya kembali ke tanah air<br />

selain mendapatkan gelar Master-nya dan menikah<br />

dengan gadis Sakura yang sekarang menjadi Ibu<br />

saya.<br />

Kalau ingat hal itu, saya jadi ingin membuktikan<br />

kedua orang tua saya untuk mendapatkan<br />

beasiswa di luar negeri. Namun semua orang<br />

memang boleh bermimpi dan berdoa kelak<br />

mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri.<br />

Untuk mendapatkan beasiswa tidaklah mudah<br />

karena “no pain no gain” untuk meraih masa depan<br />

yang kita cita-cita. Mulailah pada tahun 2009 saya<br />

mendapatkan kesempatan untuk ikut ujian scholarship<br />

untuk mengambil beasiswa Australia. Bayangkan<br />

ini baru kali pertama saya mengajukan beasiswa ke<br />

Singkat cerita setelah mengikuti semua ujian, saya<br />

mendapatkan berita bahwa saya diterima beasiswa<br />

Australia (ADS).<br />

Buat saya ini merupakan hal yang tak terbayangkan<br />

mendapatkan beasiswa ke Australia sebagai tujuan<br />

belajar saya. Dengan pertimbangan: pertama,<br />

Australia adalah negara yang dekat dengan Indonesia<br />

dan saya bisa memperdalam bahasa Inggris. Kedua,<br />

belajar di Australia sepertinya menyenangkan dengan<br />

alam yang terbuka dan juga hidup sepertinya balance<br />

karena saya sebelum berangkat sudah berencana<br />

untuk menikah dan mengajak istri memulai hidup<br />

baru dengan suasana belajar dinegeri orang.<br />

Australia merupakan negara yang memiliki beragam<br />

kebudayaan dimana kita bisa melihat banyaknya<br />

para pendatang baik untuk berlibur, bekerja<br />

maupun belajar di negeri kangguru ini. Sebelum kita<br />

berangkat ke Australia kita akan mengikuti program<br />

pre- departure di Jakarta dimana kita harus mengikuti<br />

semua kegiatan yang berkaitan dengan Australia baik<br />

itu kebudayaan ataupun metode belajar disana. Kita<br />

dapat bertemu banyak teman baru disana baik dari<br />

individu, swasta maupun pemerintah. Kebetulan<br />

dari Kementerian saya yaitu kementerian Hukum<br />

dan HAM RI pada waktu itu hanya saya dan rekan<br />

kerja dari Direktorat berbeda yang mendapatkan<br />

nasib yang sama dengan saya mendapatkan beasiswa<br />

di Australia.<br />

Sistem belajar di Australia sangat berbeda dengan<br />

di Indonesia karena mereka sangat terbuka dalam<br />

memberikan informasi khususnya hubungan antar<br />

Dosen dan mahasiswa kita bisa beragumen langsung<br />

didalam kelas secara ilmiah. Perpustakaannya pun<br />

sangat mendukung kita dalam mencari bahan- bahan


6<br />

literature yang dibutuhkan. Saya merasa sangat<br />

diuntungkan sekali ketika saya belajar di Australia.<br />

Teman- teman local maupun internasional dikampus<br />

bahkan menjadi teman bermain kita disaat liburan.<br />

Saya menyarankan bila mendapatkan kesempatan<br />

belajar di Australia jadilah manusia yang haus<br />

akan informasi dan buatlah jaringan sebanyakbanyaknya<br />

dengan teman- teman local maupun<br />

internasional karena itu adalah modal kita setelah<br />

kita menyelesaikan study di Australia. Jangan terlalu<br />

sering berkumpul dengan teman- teman dari<br />

Indonesia karena bahasa Inggris kita tidak terlatih<br />

dengan baik yang nantinya akan menyesal kemudian<br />

karena tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih<br />

setelah lulus dari Australia. Hal yang perlu diingat<br />

bagi teman-teman kita yang ingin belajar di<br />

Australia untuk bergaul janganlah memiliki rasa<br />

minder atau merasa tidak percaya diri karena disaat<br />

anda belajar nanti cara berpikir dan juga bagaimana<br />

menyampaikan sesuatu baik akademisi maupun<br />

dimasyarakat akan terlihat. Bagi yang beragama<br />

Islam jangan khawatir untuk beribadah, Australia<br />

adalah Negara yang menghormati kita yang<br />

beragama muslim kebetulan di Kampus saya QUT<br />

(Queensland Univeristy of Technology) memiliki tempat<br />

mushola yang sangat nyaman sekali baik di Garden<br />

Points maupun Kelvin Grove, Brisbane. Bahkan pada<br />

saat yang indah bagi saya adalah pada saat bulan<br />

Ramadhan karena kita bisa berbuka puasa bersama<br />

dari teman-teman Negara lain yang saling berbagi.<br />

Dari perjalanan study saya sampai lulus dari<br />

Australia apakah semuanya bermanfaat untuk<br />

karir dan masa depan saya? alhamdulilah sampai<br />

saat ini, Allah SWT selalu memberikan saya jalan<br />

dengan ijasah dan skills yang saya miliki dari luar<br />

negeri saya mendapatkan banyak kesempatan<br />

baik didalam maupun diluar negeri. Saat ini, saya<br />

mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan<br />

tugas sebagai Atase Hukum di Kedutaan Besar<br />

Republik Indonesia, Kuala Lumpur Malaysia. Kali<br />

pertama Pemerintah mengirimkan Atase Hukum di<br />

dua Negara yaitu Malaysia dan Arab Saudi. Salah<br />

satu tugasnya adalah meningkatkan kerja sama<br />

dibidang hukum timbal balik dalam masalah pidana,<br />

ekstradisi, pemindahan narapidana antarnegara dan<br />

status kehilangan kewarganegaraan.


7<br />

Biodata<br />

Nama: Fajar Sulaema Taman<br />

Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 18 Maret 1977<br />

Pekerjaan: Kementerian Hukum dan HAM RI,<br />

sudah mengabdi di pemerintahan selama 12 tahun<br />

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Direktorat<br />

Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Sekretariat<br />

Jenderal Kementerian Hukum dan HAM RI,<br />

Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.<br />

Saat ini menjabat sebagai Atase Hukum di KBRI<br />

Kuala Lumpur, Malaysia.<br />

Pendidikan: Sejak tahun 1996 sampai dengan tahun<br />

2007 kuliah di Universitas Indonesia fakultas Sastra<br />

Jepang , Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan<br />

Kriminologi, Fakultas Hukum, Unniversitas Krisna<br />

Dwipayana, FISIP UI S-2 Hubungan Internasional<br />

dan QUT (Queensland University of Technology)<br />

tahun 2010-2011 Fakultas Hukum S-2.


9<br />

Narasumber : Prof. Ismunandar<br />

1. Hal-hal apa saja yang memotivasi bapak<br />

untuk melanjutkan studi di luar negeri?<br />

Dikarenakan saya sudah menjadi dosen di ITB dan<br />

saya berniat untuk memikirkan studi lanjut. Pada<br />

saat zaman saya dulu ada program yang bernama<br />

“bridging program” dimana dosen-dosen dari seluruh<br />

pelosok Indonesia yang akan melanjutkan studi<br />

di Australia akan memperoleh pembekalan sesuai<br />

dengan bidang ilmu yang akan ditempuh dan juga<br />

pembekalan Bahasa Inggris. Dikarenakan bridging<br />

program tersebut diselenggarakan di ITB, dosen di<br />

ITB mendapatkan kesempatan mengirimkan 1-2<br />

orang dosen untuk melanjutkan studi di Australia<br />

setiap tahunnya. Beasiswa yang diberikan ialah<br />

bernama AIDAP yang kini dikenal sebagai “Ausaid<br />

scholarship”.<br />

2. Apakah Bapak aktif dalam berorganisasi<br />

ketika studi di luar negeri?<br />

Saya berperan aktif dalam organisasi dan menjadi<br />

ketua PPI ranting University of Sydney setelah<br />

masa jabatan Bapak Dr. Muhamad Abdulkadir<br />

Martoprawiro berakhir. Selain itu, saya juga selalu<br />

ikut serta dalam pengajian rutin yang diadakan oleh<br />

Paguyuban Islam Indonesia yang berada di Sydney<br />

untuk memperarerat tali silaturahmi diantara<br />

mahasiswa muslim Indonesia.<br />

3. Jika ya, apakah hal tersebut mengganggu<br />

waktu kuliah Bapak? Bagaimana kiat-kiat<br />

Bapak/Ibu untuk mengatur waktu dengan<br />

baik?<br />

Hal tersebut sama sekali tidak mengganggu waktu<br />

kuliah dengan syarat kita dapat mengatur waktu<br />

dengan baik. Menurut saya hal tersebut sangat<br />

banyak sekali manfaat yang diperoleh seperti<br />

memperluas networking, melatih soft skill dan juga<br />

mengisi waktu luang di sela-sela kesibukan kuliah.<br />

4. Apakah kiat-kiat “sukses” untuk<br />

menyelesaikan studi di luar negeri?<br />

Di satu sisi kita sudah bisa fokus pada penelitian<br />

yang akan kita teliti dikarenakan tidak ada kewajiban<br />

untuk mengajar. Untuk program doktoral, beberapa<br />

hal yang harus diperhatikan diantaranya ialah :<br />

a. Hubungan dengan supervisor harus harmonis dan<br />

komunikatif.<br />

Dikarenakan di Australia ini tidak ada sistem thesis<br />

defense di akhir studi doktoral dan penilaian akhir<br />

hanya berdasarkan pada hasil karya tulisan disertasi,<br />

maka sangatlah penting untuk membuat hubungan<br />

yang baik dengan supervisor agar apa yang kita<br />

lakukan dapat sepaham dengan apa yang menjadi<br />

target output dari supervisor. Ada beberapa rekan<br />

saya yang tidak lulus dikarenakan hubungan yang<br />

kurang harmonis dengan supervisor.<br />

b. Kita harus menganut pada pepatah “nothing perfect”<br />

Seperti kita ketahui bahwa studi S3 yang berdasarkan<br />

pada riset, tidak pernah ada akhirnya dan pasti ada<br />

beberapa hal yang harus direkomendasikan (future<br />

work) untuk dilakukan kelak oleh peneliti lain. Jadi<br />

pepatah “nothing perfect” ini harus dianut agar kita<br />

tidak larut dalam ketidaksempurnaan. Sebagai<br />

contoh, ada rekan saya yang merasa penelitian yang<br />

dilakukannya selalu dirasa sempurna, dan pada<br />

akhirnya dia tidak men-submit hasil penelitiannya


10<br />

dalam jangka waktu 12 tahun dan pada akhirnya<br />

penelitian tersebut sudah “expired”.<br />

Kita tidak perlu cemas terhadap penilaian akhir dari<br />

external reviewer sejauh kita sudah mempublikasikan<br />

hasil karya kita di jurnal internasional. Para<br />

reviewer tersebut akan berpikir bahwa disertasi yang<br />

merupakan gabungan dari beberapa publikasi sudah<br />

melalui tahap review sebelum dipublikasi. Oleh<br />

karena itu, publikasikanlah hasil-hasil penelitian<br />

yang diperoleh sebanyak mungkin agar kelak dalam<br />

menulis disertasi menjadi lebih mudah.<br />

5. Apakah bapak pernah mengalami<br />

“kegagalan”? Bagaimana cara Bapak untuk<br />

kembali bangkit dan mengantisipasi hal<br />

tersebut?<br />

Berdasarkan pengalaman riset saya, ada beberapa<br />

proyek yang diberikan oleh supervisor yang pada<br />

akhirnya tidak ditulis di dalam disertasi dikarenakan<br />

sangat sulit sekali untuk memperoleh materialnya<br />

dan hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang<br />

diharapkan. Kemudian supervisor saya memberikan<br />

saran untuk melakukan riset sampingan secara<br />

parallel dan pada akhirnya riset sampingan inilah<br />

yang dijadikan sebagai riset utama karena ini<br />

memberikan hasil yang sangat signifikan dan publikasi<br />

yang saya hasilkan dari riset tersebut kurang lebih<br />

sebanyak 13 paper. Inovasi riset saya ialah mengenai<br />

teknik difraksi serbuk untuk menentukan struktur<br />

Kristal. Pada umumnya, dalam menentukan struktur<br />

Kristal, para peneliti menggunakan single crystal.<br />

Namun, dengan berkembangnya instrumentasi dan<br />

komputasi, teknik ini dapat dikembangkan dan lebih<br />

mudah untuk diimplementasikan.<br />

6. Apakah visi-misi hidup bapak?<br />

Secara umum visi hidup saya ialah “Saya ingin menjadi<br />

orang yang bermanfaat bagi orang lain”. Oleh karena itu,<br />

saya menjadi dosen. Saat ini, saya menjadi atase<br />

pendidikan di KBRI Singapura. Saya mempunyai<br />

tanggung jawab untuk membina hubungan antara<br />

Indonesia dan Singapura.<br />

7. Kini profesi bapak ialah seorang<br />

pengajar di ITB, Apa alasan bapak lebih<br />

memilih profesi menjadi dosen?<br />

Saya sejak kecil memang sangat senang sekali<br />

mengajar dan ketika ditawari oleh supervisor saya<br />

Bapak Prof. Susanto Imam Rahayu untuk mengajar<br />

di ITB, saya sangat antusias sekali. Sebagai dosen,<br />

saya harus mengatur waktu sendiri. Saat ini, untuk<br />

menjadi dosen sangat kompetitif sekali. Mengajar,<br />

meneliti dan mengabdi kepada masyarakat<br />

merupakan tugas utama dan inherent bagi dosen,<br />

sehingga jika ada tuntutan untuk mempublikasi<br />

buku dan karya ilmiah hal tersebut bukan menjadi<br />

beban bagi dosen selama kita menikmatinya.<br />

8. Menurut bapak, secara umum apakah<br />

yang membedakan antara sistem<br />

pendidikan di Indonesia dan Australia?<br />

Sistem di Australia menggunakan British dan ada<br />

tingkatannya. Menurut saya, di Indonesia ini<br />

terlalu banyak subjek sehingga kita tidak bisa fokus<br />

dan paradigma yang muncul ialah hafalan bukan<br />

pemahaman. Dengan sedikit bidang yang dipelajari,<br />

kita bisa mempelajari lebih dalam, logika dan<br />

keterampilan berpikir bisa lebih diajarkan. Saya<br />

suka diundang di pusat kurikulum dan perbukuan,<br />

dan saya juga memiliki kerjasama dengan Australia<br />

di Academy of Science. Pada umumnya, di Australia<br />

untuk membuat suatu kurikulum, diperlukan waktu<br />

selama 5 tahun dan melibatkan banyak sekali orang<br />

dari perguruan tinggi dalam melakukan kajiannya<br />

sedangkan di Indonesia, kajian yang dilakukan hanya<br />

dalam kurun waktu yang singkat sehingga output<br />

yang dihasilkan kurang begitu maksimal. Namun,<br />

harapan saya di periode kepresidenan saat ini, pusat<br />

kurikulum dapat direvisi secara bertahap dan dapat<br />

diimplementasikan dengan baik.<br />

9. Apa pesan bapak untuk generasi-generasi<br />

muda penerus bangsa untuk memajukan<br />

Indonesia?<br />

Tantangan yang akan dihadapi di depan ialah<br />

Indonesia Emas 2045 dan pada tanggal 1 Januari<br />

2016 kita akan menjadi masyarakat ekonomi ASEAN.<br />

Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan dengan<br />

baik dan salah satu investasi penting ialah memiliki<br />

kualitas pendidikan yang baik. Secara kuantitas,<br />

penduduk di Indonesia mencakup 50% dari jumlah<br />

penduduk total di ASEAN. Jika orang Indonesia<br />

tidak berkualitas, kita hanya akan dijadikan pasar<br />

di ASEAN. Sebenernya secara prestasi, kita dapat<br />

bersaing di skala internasional. Dengan ini, saya<br />

berharap bahwa kita dapat mewujudkan impian kita<br />

untuk menggapai Indonesia Emas 2045.


12<br />

Narasumber : Dr. Mulyoto Pangestu<br />

1. Apa alasan utama bapak bersedia<br />

menjadi kontributor dalam penulisan buku<br />

inspirasi alumni ini?<br />

Alasan saya bersedia menjadi salah satu contributor<br />

ialah Saya merasa bahwa saya berasal dari universitas<br />

di Indonesia di Purwokerto, sebagai staf pengajar saya<br />

berusaha untuk dapat bersaing dengan universitas<br />

terbaik di Indonesia. Saya akan menunjukan bahwa<br />

apa yang saya raih sekarang, tidak harus berasal<br />

dari universitas terbaik di Indonesia, melainkan dari<br />

universitas mana pun kita bisa menjadi orang sukses<br />

selama kita bekerja keras.<br />

2. Hal-hal apa saja yang memotivasi bapak<br />

untuk melanjutkan studi di luar negeri?<br />

Motivasi utama karena saya sebagai dosen dan<br />

berniat menimba pengalaman lebih dalam. Kedua,<br />

saya juga ingin melihat bagaimana kehidupan di<br />

luar negeri. Satu-satunya kesempatan untuk ke luar<br />

negeri yaitu dengan melanjutkan sekolah. Ketiga,<br />

saya ingin melihat mengapa di luar negeri ini lebih<br />

baik dibandingkan dengan Indonesia.<br />

3. Apakah Bapak/Ibu aktif dalam<br />

berorganisasi ketika studi di luar negeri?<br />

Saya pertama kali kuliah di Melbourne University.<br />

Karena latar belakang saya teknik peternakan, saya<br />

mengambil graduate diploma agriculture science pada<br />

tahun 1993. Tetapi saya melihat program ini kurang<br />

sesuai dengan saya, karena program yang ditawarkan<br />

ialah lebih cenderung ke sosial ekonomi peternakan,<br />

jadi saya memutuskan pindah ke Monash Univeristy<br />

untuk melanjutkan studi di tingkat magister. Saya<br />

bergabung dengan klub sepakbola antar pelajar<br />

Indonesia di Melbourne dan ketika saya pindah ke<br />

Monash University saya bergabung dengan Monash<br />

Indonesian Islamic Society (MIIS). Pengajian waktu<br />

itu hanya sekedar melepas rindu akan Indonesia dan<br />

berkumpul dengan pelajar muslim di Melbourne.<br />

Pada tahun 1998, saya juga berkesempatan kembali<br />

lagi ke Monash University untuk studi S3 dan saya<br />

aktif kembali di MIIS. Seiring berjalannya waktu,<br />

kami berinisiatif untuk membentuk organisasi<br />

yang dinamakan Indonesian Muslim community<br />

in Victoria (IMCV) dan saya mulai berkiprah aktif<br />

menjadi acting president kemudian saat ini saya menjadi<br />

coordinator bidang Al-jannah (mengurus jenazah) di<br />

IMCV. Menurut saya, organisasi merupakan sarana<br />

untuk mengobati rasa kangen terhadap Indonesia,<br />

saya juga sempat aktif di luar orang Indonesia untuk<br />

saling bertukar ilmu, namun hal tersebut kurang<br />

sering dilakukan.<br />

4. Jika ya, apakah hal tersebut mengganggu<br />

waktu kuliah Bapak? Bagaimana kiat-kiat<br />

Bapak untuk mengatur waktu dengan baik?<br />

Karena saya mengikuti organisasi untuk mengobati<br />

rasa kangen terhadap Indonesia, saya masih bisa<br />

untuk mengatur waktu dan menjadikan akademik<br />

sebagai skala prioritas. Sebagai gambaran, jika kita<br />

kangen kampung halaman, seakan-akan otak ini<br />

berhenti dan tidak bisa fokus untuk mengikuti materi<br />

kuliah yang disampaikan. Oleh karena itu, dengan<br />

bergabung dengan organisasi, saya jadikan sebagai<br />

pelipur lara.


13<br />

5. Apakah kiat-kiat “sukses” untuk<br />

menyelesaikan studi di luar negeri?<br />

Ini merupakan pertanyaan yang subjektif, namun ada<br />

satu hal penting yang bisa dilakukan ialah bagaiman<br />

cara kita “menjual diri”. Ketika saya melakukan<br />

studi Master, saya harus beradaptasi dengan pola<br />

kerjanya. Kita berusaha untuk menjadi lebih<br />

baik sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.<br />

Dikarenakan saya memiliki kekurangan di Bahasa,<br />

sehingga saya harus berusaha lebih baik dari sudut<br />

pandang lain seperti pola pikir, analisa, dan lainnya.<br />

Hal semacam ini yang tidak ditekankan ketika kita<br />

belajar di Indonesia. Alhamdulilah supervisor saya<br />

tertarik untuk merekrut saya bergabung dalam suatu<br />

proyek penelitian. Hal ini yang menjadikan saya<br />

terbawa untuk ikut tinggal di Australia. Namun, saya<br />

tidak melihat proyek dari sisi finansial, melainkan<br />

karena ritme kerja, ketersediaan bahan yang kita<br />

inginkan atau istilahnya “on the tip of the finger”. Inilah<br />

yang menjadikan riset di Australia dapat berkembang<br />

dengan baik. Saya merasa banyak sekali yang harus<br />

dibenahi untuk meningkatkan riset dan penelitian di<br />

Indonesia.<br />

6. Apakah parameter-parameter yang<br />

dapat menyatakan bahwa seseorang sudah<br />

dikatakan “sukses”?<br />

Memang sangat subjektif, namun katakanlah orang<br />

yang tercapai tujuannya belum tentu bisa dikatakan<br />

sukses. Kita harus menyadari dimana kita berada,<br />

kita tahu kekuatan dan kelebihan yang kita miliki<br />

serta orang lain dapat menghargai apa yang telah<br />

kita lakukan, menurut saya hal tersebut dapat<br />

dikatakan sukses.<br />

7. Apakah bapak pernah mengalami<br />

“kegagalan”? Bagaimana cara Bapak untuk<br />

kembali bangkit dan mengantisipasi hal<br />

tersebut?<br />

Saya setuju kegagalan merupakan keberhasilan<br />

yang tertunda. Kita harus memandang bahwa<br />

jika kita gagal, kita dapat mencoba hal yang baru<br />

agar tidak terjerumus ke dalam lubang yang sama.<br />

Sebagai contoh, jika kita melakukan riset bidang A,<br />

kemudian gagal, terdapat dua pilihan yaitu mencoba<br />

kembali untuk mencapai tujuan di bidang A tersebut<br />

dengan berbagai resiko atau mencoba bidang lain<br />

yaitu bidang B. Disinilah ego kita yang berperan,<br />

jika kita dapat mengontrol ego dan berpikir secara<br />

jernih, kita dapat menentukan langkah yang terbaik.<br />

Pengalaman saya setelah menjadi staf pengajar<br />

ialah saya melihat bahwa terdapat satu perbedaan<br />

utama terkait cara memandang satu hal yang gagal<br />

antara cara pandang Indonesia dan orang barat.<br />

Perbedaan tersebut ialah bagaimana menyelesaikan<br />

suatu masalah. Sebagai contoh, orang Indonesia<br />

itu sangat berambisi untuk mencapai satu tujuan<br />

apapun resikonya sedangkan orang barat jika tujuan<br />

tersebut tidak memungkinkan untuk dicapai, maka<br />

akan berpikir untuk menggapai target lain dengan<br />

berbasiskan hasil yang akan diperoleh.<br />

8. Apakah visi-misi hidup bapak?<br />

Visi misi menurut saya lebih ke arah kepada<br />

keberuntungan, namun saya sangat setuju bahwa<br />

kita perlu membuat rencana jangka panjang.<br />

Sebagai contoh, saya sebagai insinyur peternakan,<br />

saya tidak pernah terpikir sedikitpun untuk bekerja<br />

dengan manusia di bidang kedokteran. Tujuan saya<br />

sebenarnya hanya satu, saya belajar peternakan<br />

kemudian menjadi dosen dan memperdalam<br />

reproduksi ternak. Tetapi ketika saya kuliah di luar<br />

negeri, saya dapat ungkapkan bahwa di Melbourne<br />

university saya gagal karena bidangnya tidak sesuai<br />

dengan apa yang saya inginkan. Kemudian ketika<br />

saya pindah ke Monash university, ada reproduktif<br />

science dan mempelajari embrio sapi, namun ruang<br />

riset saya berada di rumah sakit manusia. Sehingga<br />

saya secara tidak langsung terpengaruhi oleh<br />

kegiatan terkait dengan manusia dan rekan-rekan<br />

saya selalu mengajak saya untuk melakukan riset<br />

di bidang kedokteran manusia. Akhirnya saya lebih<br />

memilih untuk menekuni riset di bidang kedokteran<br />

manusia di Australia, namun tetap mengamalkan<br />

ilmu peternakan sebagai dosen di Purwokerto. Pada<br />

intinya, kita harus mempunyai satu tujuan, terkait<br />

visi-misi dapat disesuaikan.<br />

9. Menurut Bapak, apakah kita perlu<br />

membuat rencana hidup jangka panjang?<br />

Misalnya, ingin seperti apakah kita dalam 1 tahun,<br />

2 tahun, 5 tahun, 10 tahun atau bahkan 20 tahun<br />

kedepan? Atau Bapak/Ibu lebih cenderung untuk<br />

menikmati dan menjalani segala sesuatu secara<br />

mengalir?<br />

Kita harus mempunyai rencana dan yang paling<br />

penting ialah merespon sesuatu terkini yang berasas<br />

manfaat bagi masyarakat banyak. Selain itu, saya<br />

juga memiliki hasrat untuk belajar secara multidisiplin<br />

di berbagai bidang, seperti antroplogis dan<br />

bidang kedokteran manusia. Namun, karena saya


14<br />

sangat mengahagai profesi awal saya sebagai insinyur<br />

di bidang peternakan, saya juga masih membantu<br />

teman-teman saya yang bekerja di bidang itu.<br />

10. Menurut bapak, secara umum<br />

apakah yang membedakan antara sistem<br />

pendidikan di Indonesia dan Australia?<br />

Secara umum, perilaku mahasiswa di Indonesia<br />

ialah sangat antusias ketika dapat pulang lebih cepat<br />

dan dosen berhalangan hadir. Ini saya lihat sangat<br />

berbeda denga murid di Australia dimana sebelum<br />

dosen menyudahi perkuliahan, mereka masih fokus<br />

untuk menerima pelajaran yang diberikan oleh<br />

dosen. Salah satu alasan yang dapat saya simpulkan<br />

mengenai hasrat yang tinggi untuk belajar bagi<br />

mahasiswa di Australia ialah mereka selalu<br />

berpikir akan menjadi apa di masa depan setelah<br />

menyelesaikan studi ini. Mereka lebih mempunyai<br />

komitmen dan ada beberapa yang memutuskan<br />

untuk tidak melanjutkan kuliah dikarenakan<br />

mereka sudah memiliki rencana yang matang untuk<br />

menekuni profesi yang mereka cita-citakan sejak<br />

awal. Jika saya bandingkan dengan Indonesia,<br />

secara kultural ada perbedaan dikarenakan semua<br />

orang dituntut untuk dapat lulus sarjana agar dapat<br />

memperoleh pekerjaan yang layak. Semakin tinggi<br />

gelar yang dicapai, maka pekerjaan yang kita raih<br />

akan semakin bagus. Saya sangat mendukung<br />

agar kita dapat melanjutkan studi ke tingkat yang<br />

lebih tinggi, namun jangan dijadikan hal tersebut<br />

menjadi indikator dalam menentukan gaji yang akan<br />

diperoleh. Ini akan menjadi masalah dalam sistem<br />

pendidikan di Indonesia.<br />

11. Apakah kelak bapak akan kembali ke<br />

Indonesia dan mengaplikasikan ilmu yang<br />

diperoleh?<br />

Saya setiap 2 kali dalam setahun ke Indonesia karena<br />

di Indonesia saya bekerja untuk mengembangkan<br />

klinik bayi tabung dan mengajar di program konsultan<br />

infertilitas di beberapa universitas, serta saya sebagai<br />

staf pengajar bagi dokter spesialis kebidanan dan<br />

kandungan. Ini merupakan timbal balik saya tehadap<br />

Indonesia dalam hal mengaplikasikan ilmu yang<br />

saya telah peroleh selama di Australia. Namun, yang<br />

menjadi permasalahan sebagai seorang akademisi<br />

di Indonesia ialah ketersediaan akses bahan bacaan.<br />

Inilah yang harus dipikirkan oleh pihak pemerintah<br />

dan pengelola perguruan tinggi di Indonesia bahwa<br />

berlangganan jurnal internasional ialah sangat<br />

penting sekali. Hal inilah yang menjadi salah satu<br />

penghambat perkembangan riset di Indonesia.<br />

Bagaimana kita bisa mengetahui perkembangan<br />

terkini yang terjadi di lingkup internasional jika kita<br />

tidak memiliki akses untuk membaca jurnal-jurnal<br />

terkni yang dipublikasikan. Saya juga melihat barang<br />

pengadaan lab sangat sulit sekali birokrasinya. Oleh<br />

karena itu, saya harap pemerintah dapat berperan<br />

untuk mengkaji ulang terkait regulasi prosedur<br />

pengadaan bahan dan barang-barang laboratorium<br />

untuk dapat mengembangkan riset penelitian di<br />

Indonesia.<br />

12. Apa pesan bapak untuk generasigenerasi<br />

muda penerus bangsa untuk<br />

memajukan Indonesia?<br />

Belajar ke luar negeri, belajar yang terbaik, galilah<br />

ilmu sedalam-dalamnya, ketika pulang ke Indonesia<br />

kita sudah membawa pola pikir luar negeri namun<br />

tetap mempertahankan kultur Indonesia.<br />

Don’t do this in Indonesia<br />

Bersekolah di Australia memang menarik sekali,<br />

sebagai Negara “Barat” yang dekat dengan Indonesia<br />

ditambah kemajuan teknologi, membuat Australia<br />

menjadi salah satu pilihan sekolah bagi warga<br />

Indonesia. Dari level S1; S2 dan S3 bahkan sekolah<br />

menengah. Cukup banyak penerima beasiswa yang<br />

memilih Australia sebagai tempat studi lanjutnya.<br />

Selain kemajuan dan dekat dengan Indonesia,<br />

yang menarik lagi yaitu kesempatan mencari kerja<br />

sambilan. Banyak juga pelajar maupun mahasiswa<br />

Indonesia yang memanfaatkan waktu luangnya untuk<br />

bekerja. Tidak sedikit pula jenis pekerjaan yang<br />

dijalani oleh para pelajar dan mahasiswa Indonesia.<br />

Mulai dari pelayan restoran, cuci piring di dapur,<br />

pelayan toko, pengantar koran, membersihkan<br />

rumah atau kantor, menjadi buruh di pabrik atau<br />

gudang, di kebun sayur dan masih banyak lagi<br />

jenis perkerjaan yang tidak bisa saya sebutkan satu<br />

persatu. Baik itu yang dibayar “cash in hand” ataupun<br />

yang resmi dengan pajak dan sebagainya.<br />

Sebagai mahasiswa doktoral yang membawa<br />

keluarga dengan beasiswa bukan dari pemerintah<br />

Australia, maka kehidupan saya dan keluarga harus<br />

diatur sedemikian rupa agar tidak tekor. Pada masa<br />

itu rasanya saya adalah satu-satunya yang tidak<br />

menerima beasiswa dari pemerintah Australia. Oleh<br />

karena itu, berdasarkan pengalaman saat studi master<br />

tiga tahun sebelumnya, maka semenjak hari pertama<br />

datang saya sudah bersiap-siap berburu pekerjaan.


15<br />

Bagi saya sendiri mencari pekerjaan merupakan<br />

salah satu hiburan, karena saya bisa melihat<br />

beraneka macam pekerjaan yang ditawarkan.<br />

Setelah mendapatkan pekerjaan, maka “hiburan”<br />

pun bertambah, karena selain mendapatkan gaji,<br />

juga merupakan sarana “olah raga” setelah seharian<br />

berkutat di dalam laboratorium.<br />

Tak dinyana sekitar seminggu setelah tiba di Australia,<br />

tepatnya di kota Melbourne, salah seorang teman<br />

lama mengajak saya untuk membantu memasang<br />

antenna parabola bagi warga Indonesia yang ingin<br />

menikmati siaran TV Indonesia. Pekerjaan ini week<br />

end ini saya anggap sebagai hiburan dan menambah<br />

kenalan dengan orang-orang Indonesia yang sudah<br />

menetap di kota Melbourne. Selain itu mendapatkan<br />

imbalan yang lumayan untuk menambah dana<br />

pembelian tiket bagi istri dan anak saya. Ternyata<br />

saat itu memang sedang booming parabola. Hampir<br />

setiap week end selalu ada orderan.<br />

Setelah 3 bulan tinggal di Melbourne rupanya<br />

keberuntungan masih datang, karena mendapatkan<br />

pekerjaan sebagai “kitchen hand” di asrama mahasiswa<br />

Monash University. Pekerjaan tidak terlalu lama<br />

hanya 2 jam setiap sore, tetapi gaji per jam yang<br />

diterima lumayan untuk tambahan.<br />

Berbekal pengalaman di beberapa pekerjaan saat<br />

studi Master di kota yang sama, maka saya tidak<br />

merasa canggung lagi untuk bekerja. Bayangkan,<br />

seorang yang di Indonesia berprofesi sebagai dosen<br />

dan pegawai negeri, setiap sore berkutat dengan panci<br />

ukuran besar, mengepel lantai dapur membersihkan<br />

nampan saji dan membuang sampah. Paling tidak 4<br />

hari dalam seminggu saya bekerja dari pukul 6 sore<br />

sampai 8 malam.<br />

keuntungan finansial. Ada satu hal yang perlu kita<br />

sadari, yaitu memupuk rasa egalitarian dalam diri<br />

saya. Dari bekerja sebagai buruh, maka secara<br />

lahir dan batin, saya dapat merasakan apa yang<br />

dirasakan oleh buruh atau para pegawai rendahan<br />

atau mungkin oleh para “office boy”. Atau istilahnya<br />

jawanya memupuk rasa “tepa selira” terhadap<br />

mereka. Paling tidak saya bisa paham, bagaimana<br />

rasanya disuruh, bagaimana rasanya dipersalahkan<br />

dan pegal linunya otot saat mengangkat barang<br />

berat. Dari apa yang saya rasakan, maka saya<br />

dapat memahami apa sebenarnya yang mereka<br />

inginkan. Bagaimana cara menyuruh, menghargai<br />

hasil kerja maupun memberikan pekerjaan tanpa<br />

mengakibatkan badan jadi pegal-pegal.<br />

Sejak beberapa tahun tearkhir ini, cukup banyak<br />

mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di<br />

Australia. Baik yang menerima beasiswa ataupun<br />

biaya sendiri. Dan tidak sedikit pula diantara mereka<br />

yang sudah sibuk bekerja di mana saja dan dalam<br />

peran apa saja selama mereka belajar di Australia.<br />

Tidaklah berlebihan, jika ada harapan dari para<br />

buruh, bawahan atau office boy di kantor mereka di<br />

Indonesia. Semoga sekembalinya dari Australia,<br />

mereka bisa lebih memahami apa keinginan pada<br />

pegawai rendahan ini.<br />

Namun satu hal yang paling menarik adalah<br />

beberapa hari yang lalu saya melihat status facebook<br />

teman yang sudah kembali ke Indonesia. Statusnya<br />

adalah “Don’t do this in Indonesia” di atasnya ada foto<br />

teman-teman mahasiswa yang bekerja di sebuah<br />

pabrik di Melbourne.<br />

Noble Park, 21 Januari 2015.<br />

Saat itu tidak banyak teman-teman mahasiswa yang<br />

tertarik untuk mencari kerja sambilan. Maklum di<br />

tahun 1998 biaya hidup di Australia masih relative<br />

murah dan kebanyakan mahasiswa yang datang<br />

adalah yang sudah relatif mapan. Jadi, beasiswa<br />

pemerintah Australia yang diterima masih cukup<br />

dan bersisa untuk kehidupan sehari-hari.<br />

Terus terang banyak teman-teman yang tidak paham<br />

kondisi beasiswa saya dan bertanya, mengapa saya<br />

masih bekerja sebagai kitchen hand. Sebuah pertanyaan<br />

yang mudah dijawab, sekali lagi dari pengalaman<br />

saya waktu studi Master, saya merasa bahwa bekerja<br />

sebagai “buruh”, selain mendapatkan keuntungan


Biodata<br />

Nama: Mulyoto Pangestu<br />

Lahir di Pekalongan tahun 1963, lalu besar dan<br />

bersekolah di Tegal, kemudian melanjutkan kuliah di<br />

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman<br />

Purwokerto. Setrelah lulusdiangkat menjadi dosen<br />

di almamaternya. Tahun 1993 mendapat beasiswa<br />

AusAID untuk studi Master di Monash University,<br />

selanjutnya tahun 1998 mendapatkan beasiswa dari<br />

Asian Development Bank untuk studi doctoral di<br />

Monash University. Ketika selesai studi doktoral tahun<br />

2003, diangkat menjadi Research Fellow di Monash<br />

Institute of medical Research dan menjadi dosen di<br />

Education Program in Reproduction Development<br />

Department Obstetrics and Gynaecology, Monash<br />

University. Sampai saat ini masih mengajar di<br />

Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto, selain<br />

itu juga menjadi pengajar di Program Pendidikan<br />

Konsultan Fertilitas Endokrinologi dan Reproduksi<br />

bagian Obstetrik dabn Ginekologi di Universitas<br />

Gadjah Mada Jogyakarta dan Universitas<br />

Diponegoro Semarang.<br />

16


18<br />

Narasumber : Wenny Bekti Sunarharum,<br />

STP, M.Food.St<br />

1. Hal-hal apa saja yang memotivasi Ibu<br />

untuk melanjutkan studi di luar negeri?<br />

Dongeng sebelum tidur tentang pengalaman di<br />

luar negeri (pengalaman Bapak, kakak sepupu,<br />

dan beberapa saudara) disertai harapan yang<br />

disampaikan orang tua semasa kecil. Pesan orang<br />

tua saya adalah bahwa kita perlu mengembangkan<br />

sayap dan membuka cakrawala untuk selanjutnya<br />

menjadi lebih ‘open minded’ dan bijaksana dalam<br />

menempuh hidup di dunia. Caranya ya dengan<br />

keluar dari ‘kotak’ homogenisme, belajar menjadi<br />

minoritas dan belajar dari lingkungan heterogen<br />

beserta kultur yang beragam. Ilmu yang baik dibawa<br />

pulang untuk memberikan manfaat kepada bangsa<br />

dan negara.<br />

2. Apakah Ibu aktif dalam berorganisasi<br />

ketika studi di luar negeri?<br />

Tidak terlalu aktif sebenarnya, tetapi saya sempat<br />

membantu teman-teman di the University of<br />

Queensland Indonesian Student Association<br />

(UQISA) di bidang Olahraga, Seni dan Budaya<br />

(Orsenbud). Bersama dengan adik saya, Tri Mulyani<br />

Sunarharum, kami menjadi koreografer dadakan tari<br />

pembuka yang kami beri nama ‘tari kreasi nusantara’<br />

untuk acara ‘My Beautiful Indonesia (MBI)’.<br />

Acara ini merupakan kolaborasi kegiatan bidang<br />

Pensosmas dan Orsenbud yang diselenggarakan oleh<br />

UQISA di bawah pimpinan Mirza Satria Buana.<br />

Kami membantu ketua tim penyelenggara Febri<br />

Sidjaja untuk menyuguhkan operet anak, tari-tarian,<br />

workshop batik dan pameran foto sebagai ajang<br />

promosi keindahan Indonesia dan penggalangan<br />

dana untuk anak berkebutuhan khusus di Indonesia.<br />

Ya, kami sekeluarga memang menyukai bidang<br />

seni dan budaya. Kami juga mendukung tim Buaya<br />

Keroncong Brisbane yang dipandegani oleh Bapak<br />

Miftakhul Maarif untuk mempromosikan musik<br />

keroncong Indonesia.<br />

Selanjutnya saya sempat membantu the Australia-<br />

Indonesia Youth Association (AIYA) sebagai<br />

Community Liaison Officer AIYA Queensland<br />

Chapter selama setahun (2014-2015). Selain<br />

mempromosikan studi Bahasa Indonesia dan<br />

memberikan berbagai info pertukaran pelajar<br />

atau studi di Indonesia dan di Australia, salah satu<br />

kegiatan penting AIYA adalah seminar mengenai<br />

hubungan Indonesia-Australia yang diadakan tahun<br />

2014 lalu.<br />

3. Jika ya, apakah hal tersebut mengganggu<br />

waktu kuliah Ibu? Bagaimana kiat-kiat Ibu<br />

untuk mengatur waktu dengan baik?<br />

Syukurlah tidak mengganggu karena memang saya<br />

batasi. Time management sangatlah penting apalagi<br />

saya memiliki keluarga. Saya sendiri juga bukan ahli<br />

dalam mengatur waktu dengan baik dan sedang<br />

belajar untuk itu. Tetapi, ada beberapa tips dari saya<br />

untuk mengatur waktu. Intinya adalah ‘waktu yang<br />

berkualitas, efisisien dan produktif ’<br />

- memiliki catatan/agenda kegiatan/jurnal yang<br />

selalu diupdate untuk kegiatan keluarga, studi dan<br />

sosial/komunitas<br />

- membuat skala prioritas, misalnya prioritas kerja<br />

harian, mingguan, dsb<br />

- ‘family is numero uno’ jadi harus ada waktu<br />

berkualitas untuk keluarga entah malam hari atau<br />

akhir minggu


19<br />

- bermain dengan facebook dan medsos lainnya hanya<br />

di waktu senggang atau mengurangi jika dirasa<br />

kurang perlu<br />

- mengurangi jam tidur tapi tidur dan istirahat yang<br />

lebih berkualitas. Ini berarti sama dengan hidup<br />

lebih panjang. Mengurangi tidur 1 jam sehari =<br />

hidup lebih panjang 15 hari dalam setahun. Berarti<br />

sekitar 25 tahun mengurangi 1 jam tidur, kita hidup<br />

setahun lebih panjang.<br />

4. Apakah kiat-kiat “sukses” untuk<br />

menyelesaikan studi di luar negeri?<br />

- berniat baik dan bercita-cita luhur<br />

- telaten, selalu ingin maju serta mengembangkan<br />

diri<br />

- sabar dan tawakal menghadapi cobaan, berfikir<br />

positif serta senantiasa berdoa dan percaya pada<br />

Allah SWT<br />

- berusaha mengatur waktu berkualitas, efisien dan<br />

produktif<br />

5. Apakah parameter-parameter yang<br />

dapat menyatakan bahwa seseorang sudah<br />

dikatakan “sukses”?<br />

Ada orang bilang sukses itu kalau anda kaya. Tapi<br />

pengertian kaya itu sendiri juga ‘relatif ’. Menurut<br />

bapak saya, idola saya, orang itu kaya jika memenuhi<br />

3H yaitu healthy, helpful and happy. Teori relativitas<br />

berlaku juga bagi saya untuk pengertian sukses.<br />

Sukses itu ‘relatif ’ sebagaimana benar dan salah<br />

yang juga relatif, semua tergantung dari sisi mana<br />

kita melihatnya dan dari kepentingan yang mana.<br />

Jika target terpenuhi berarti kegiatan itupun sukses.<br />

Tetapi, sukses sejati dalam hidup menurut saya<br />

adalah jika kita melakukan hal yang terbaik sesuai<br />

hati nurani dan dapat membuat orang di sekitar kita<br />

tersenyum bahagia.<br />

6. Apakah Ibu pernah mengalami<br />

“kegagalan”? Bagaimana cara Ibu untuk<br />

kembali bangkit dan mengantisipasi hal<br />

tersebut?<br />

Sering dan saya rasa setiap orang pasti pernah merasa<br />

gagal. Thomas Alva Edison juga sering gagal tapi<br />

tidak menyerah. Berat memang saat kita jatuh atau<br />

dijatuhkan, tidak mencapai hasil sesuai ekspektasi,<br />

dll. Satu hal yang sangat penting dipegang adalah<br />

‘percaya’. Pertama, percaya terhadap Allah dan<br />

kuasa-Nya sebagai sang Maha Sutradara. Percaya<br />

bahwa semua untuk yang terbaik pada akhirnya<br />

nanti dan tugas baik yang kita lakukan sekecil<br />

apapun adalah tugas dari-Nya jadi seyogyanya kita<br />

berusaha semakin mendekat kepada Allah. Kedua,<br />

percaya pada diri sendiri, kemampuan kita sebagai<br />

manusia makhluk sempurna (tapi bukan takabur).<br />

Ini tentunya memotivasi diri kita untuk bangkit lagi<br />

dan pantang menyerah. Kegagalan itu adalah awal<br />

sebuah kesuksesan. Saya yakin kita semua adalah<br />

terpilih, bukan produk gagal.<br />

7. Apakah visi-misi hidup Ibu?<br />

Do the best and let Allah do the rest (Lakukan yang<br />

terbaik dan pasrahkan hasilnya pada Allah)<br />

8. Menurut Ibu, apakah kita perlu membuat<br />

rencana hidup jangka panjang? Misalnya,<br />

ingin seperti apakah kita dalam 1 tahun,<br />

2 tahun, 5 tahun, 10 tahun atau bahkan 20<br />

tahun kedepan? Atau Ibu lebih cenderung<br />

untuk menikmati dan menjalani segala<br />

sesuatu secara mengalir?<br />

Bagi saya, perencanaan itu perlu karena itu proses<br />

ikhtiar kita dalam merancang masa depan. Perlu<br />

langkah-langkah riil atau detil target serta hasil yang<br />

diharapkan. Akan tetapi jangan terlalu bersedih atau<br />

kecewa jika hidup berjalan tidak sesuai rencana kita<br />

karena Allah mungkin punya rencana lain. Lakukan<br />

yang terbaik saja.<br />

9. Menurut Ibu yang berprofesi sebagai<br />

akademisi, secara umum apakah yang<br />

membedakan antara sistem pendidikan di<br />

Indonesia dan Australia?<br />

Perbedaan utamanya kira-kira kurikulum dan biaya<br />

pendidikan yang sangat murah untuk siswa/pelajar<br />

domestik. Dalam kurikulum Australia, siswa lebih<br />

dimotivasi untuk ‘paham’ (understand) bukan sekedar<br />

‘tahu’ (know). Sistem pendidikan didasarkan pada<br />

hasil penelitian (research-based), selalu dikembangkan<br />

sesuai kebutuhan lokal, dan didukung oleh tim yang<br />

kompeten. Selanjutnya, belajar itu dikemas apik<br />

dan menyenangkan untuk anak-anak mulai dari<br />

TK, pendidikan dasar, dst. Pendidikan moral dan<br />

budi pekerti diajarkan sejak dini misalnya saja yang<br />

paling mudah budaya mengantri. Kurikulum sekolah<br />

tidak memberatkan tetapi lebih banyak praktek dan<br />

berfikir kritis. Tidak ada ujian kenaikan kelas di<br />

tingkat pendidikan dasar jadi siswa tidak perlu stres<br />

tidak naik kelas. Semua naik dan semua juara. Ada<br />

kebiasaan untuk mengacknowledge orang lain atau


20<br />

orang lain atau memuji siswa bukan karena prestasi<br />

belajar, hafal, pandai berhitung, juara 1, 2, 3, dst<br />

tetapi misalnya penghargaan karena jadi murid yang<br />

disukai banyak temannya. Pendidikan moral dan budi<br />

pekerti sejak dini saya rasa sangat penting dan jadi<br />

tanggung jawab bersama sehingga perlu ditangani<br />

lebih serius. Saya juga setuju jika untuk SD semua<br />

siswa naik kelas jadi sistem evaluasi perlu diperbaiki.<br />

Akan tetapi, bukan berarti semua sistem dari luar<br />

negeri harus di-copy paste di Indonesia. Harus dipilih<br />

pilah, diambil yang baik dan sesuai untuk diterapkan<br />

pada kondisi dan budaya yang berbeda di Indonesia.<br />

Kita toh juga telah memiliki budaya yang tinggi dan<br />

adiluhung jadi tidak perlu pesismis.<br />

10. Terkait dengan fokus bidang yang Ibu<br />

teliti ialah nutrition and food science,<br />

bisakah Ibu ceritakan perkembangan<br />

bidang tersebut di Indonesia secara<br />

singkat?<br />

Bidang pangan dan nutrisi di Indonesia sebenarnya<br />

cukup berkembang terlihat dari banyaknya inovasi<br />

produk dan usaha kreatif termasuk jutaan usaha<br />

kecil menengah di bidang pangan dan pertanian<br />

yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.<br />

Pengetahuan dan tingkat kepedulian masyarakat<br />

terhadap keamanan pangan, kesehatan dan nutrisi<br />

semakin meningkat. Tetapi, kita bisa lebih baik lagi<br />

jika kendala di bawah ini bisa diatasi:<br />

1. kurangnya pengembangan bidang ristek yang<br />

dapat dilihat dari rendahnya alokasi dana riset di<br />

Indonesia dari total GDP dibandingkan beberapa<br />

Negara lain termasuk Malaysia, Singapura dan<br />

Australia serta rendahnya rasio peneliti versus<br />

populasi penduduk (World Development Indicators:<br />

Science and technology, World Bank, 2014)<br />

2. kurang efektifnya sistem komunikasi dan diseminasi<br />

hasil riset dan produk iptek termasuk transfer<br />

teknologi kepada masyarakat dan pihak pengguna<br />

termasuk petani dan industri berbasis pertanian.<br />

3. kurangnya kebijakan yang didasarkan pada hasil<br />

riset. Jadi kebijakan yang kurang tepat dan tidak<br />

berfokus pada kebutuhan pengguna (petani, industri,<br />

konsumen) dan lemahnya koordinasi atau kolaborasi<br />

lintas sektoral<br />

4. distorsi kepentingan dari sektor pertanian ke<br />

sektor lain yang berkontribusi pada:<br />

- berkurangnya minat kaum muda kepada bidang<br />

pertanian atau yang berbasis pertanian<br />

- politik dan kebijakan yang kurang berpihak pada<br />

produk lokal atau domestik<br />

- kurangnya promosi produk dalam negeri<br />

- lemahnya sistem pemasaran komoditas pertanian<br />

dan pangan produksi dalam negeri<br />

- penurunan lahan produktif karena berkurangnya<br />

tata guna lahan untuk pertanian<br />

5. populasi penduduk, perubahan iklim dan bencana<br />

6. liberalisasi pangan dan perdagangan diiringi<br />

dengan ketidak siapan produk domestik untuk<br />

berkompetisi dengan produk luar jangan sampai<br />

menjadi neokolonialisme pangan dimana negara<br />

kita yang merupakan negara agraris ‘gemah ripah<br />

loh jinawi’ hanya dapat menjadi pasar produkproduk<br />

luar<br />

7. perubahan budaya dan lifestyle masyarakat dengan<br />

anggapan produk impor lebih berkualitas serta<br />

kurangnya kepedulian masyarakat terhadap produk<br />

lokal. Sebagai sarana introspeksi saya memberikan<br />

contoh bahwa bangsa kita sendiri saja mungkin<br />

kurang menghargai jerih payah petani misalnya<br />

maunya harga komoditas pertanian dan pangan<br />

yang murah sekali tanpa mempertimbangkan hidup<br />

petani yang tidak dapat menutup biaya produksi,<br />

kurangnya kebiasaan makan sayur dan buah dan<br />

produk turunannya setiap hari menyebabkan<br />

berkurangnya pasar komoditas pertanian dan<br />

pangan dan penurunan kesejahteraan petani.<br />

Sebagaimana disampaikan oleh Bung Karno dalam<br />

pidatonya pada tahun 1952, “pangan adalah soal<br />

hidup matinya suatu bangsa” dan ini benar sekali<br />

karena Indonesia kaya SDM dan semuanya pasti<br />

butuh makanan penuh nutrisi untuk menjadi SDM<br />

berkualitas. Perut kenyang, hati tenang, otak encer,<br />

mungkin begitu korelasinya. Jika pemenuhan pangan<br />

adalah hak asasi bangsa Indonesia dan kita ingin<br />

menjadi negara besar atau bangsa yang besar maka<br />

tentunya pangan perlu mendapat perhatian khusus<br />

sehingga kedaulatan pangan sebagai target jangka<br />

panjang bukanlah tidak mungkin untuk dicapai di<br />

masa yang akan datang.


21<br />

11. Apa pesan Ibu untuk generasi-generasi<br />

muda penerus bangsa untuk memajukan<br />

Indonesia?<br />

Pesan saya ‘potluck’ saja:<br />

- Percaya, taat dan pasrah kepada Allah<br />

- Optimis dan positif dalam keadaan apapun<br />

- Tidak meremehkan tugas-tugas kecil, maka do the<br />

best<br />

- Luhur dalam cita-cita, dengarkan hati nurani dan<br />

berusaha menjadi manusia yang bermanfaat bagi<br />

sesama dan alam semesta<br />

- Unggul pikir, respektif, tidak berfikir inferior dan<br />

tidak meng-inferiorkan bangsa sendiri<br />

- Cinta bangsa dan negara Indonesia termasuk<br />

produk Indonesia<br />

- Kembangkan diri, tidak terlena dengan<br />

kenyamanan, berjuang, berekspresi tetapi tetap<br />

santun dan beretika<br />

Biografi<br />

Wenny Bekti Sunarharum lahir di Malang,<br />

Jawa Timur dan tertarik pada bidang<br />

pangan dan nutrisi khususnya flavour pangan,<br />

sensori, kulinologi dan gastronomi molekuler,<br />

pengembangan produk hortikultura serta<br />

standar dan keamanan pangan. Selain itu,<br />

ketertarikannya pada bidang sosial budaya<br />

telah mendorongnya untuk aktif di dalam<br />

pengembangan masyarakat termasuk pada<br />

Lembaga Insan Indonesia Sejahtera (LIIS), NGO<br />

tingkat nasional (2008-sekarang) dan sebagai<br />

salah satu pendiri Komunitas Gelora Indonesia<br />

(2014). Saat ini, Wenny sedang menempuh<br />

program doktoral di Queensland Alliance for<br />

Agriculture and Food Innovation (QAAFI), The<br />

University of Queensland (UQ) di bidang penelitian<br />

flavour (cita rasa) kopi.<br />

Wenny yang saat ini adalah salah satu dosen di<br />

almamaternya, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian<br />

(THP), Fakultas Teknologi Pertanian (FTP),<br />

Universitas Brawijaya (UB) memiliki berbagai<br />

pengalaman profesional di bidang pendidikan,<br />

riset, industri atau konsultansi dan pengabdian<br />

masyarakat. Wenny sempat dipercayai untuk<br />

membantu dalam beberapa taskforce di level<br />

Jurusan dan Fakultas di UB, termasuk sebagai<br />

asisten PD III bidang kemahasiswaan dan pernah<br />

membawa mahasiswanya berprestasi di kancah<br />

internasional. Wenny berpengalaman bekerja<br />

dengan petani serta industri kecil menengah<br />

dalam pengabdiannya bersama LIIS sebagai<br />

Kepala Departemen Riset, Pengembangan<br />

dan Pelatihan (2009-2012). Wenny juga telah<br />

beberapa kali diundang sebagai moderator<br />

dan pembicara pada pelatihan, workshop, dan<br />

seminar tingkat lokal, nasional dan internasional.<br />

Wenny yang memang aktif dalam berbagai<br />

organisasi sejak menempuh program sarjana<br />

pernah meraih beberapa penghargaan termasuk<br />

Mahasiwa Berprestasi III FTP (2002), Civa Awards<br />

sebagai mahasiswa ter-ideal Jurusan THP (2002),<br />

penghargaan kelulusan Cum Laude (2003), AusAID<br />

scholarship Award (2006), The Dean’s Commendation<br />

of High Achievement, UQ (2007), USAID training<br />

scholarship award (2009), An Inspirational <strong>Alumni</strong><br />

Award-Australian <strong>Alumni</strong> Award Australian Embassy,<br />

Indonesia (2010), The Prime Minister’s Australia Asia<br />

Endeavour Award (2012).


23<br />

Narasumber : Dr. Yuswanti<br />

Saya menjalani program master di Faculty of Health<br />

QUT dengan bantuan dana dari World Bank pada<br />

project Safe Motherhood pada Oktober 1998 saat<br />

saya masih berstatus staf di bagian perencanaan<br />

Kanwil Depkes Jawa Tengah. Saya mengambil<br />

program master of health science di Faculty of<br />

Health QUT. Study S2 di luar negri seperti Australia<br />

pada awalnya ternyata bukan sesuatu yang mudah<br />

karena dibutuhkan kualifikasi kemampuan bahasa<br />

Inggris yang cukup tinggi yaitu minimum IELTS<br />

6.5. Sehingga saya harus mengikuti program EAP<br />

(English for Academic Purposes) di ELICOS terlebih<br />

dahulu. Selepas ILETS ternyata saya hanya mampu<br />

mencapai IELTS 6,025 sehingga saya harus masuk<br />

ke program Bridging untuk menambah kemampuan<br />

bahasa Inggris sekaligus mendalami beberapa hal<br />

terkait kultur, budaya dan sejarah Australia. Bridging<br />

program class ternyata program yang sangat<br />

menarik karena bisa bertemu dengan mahasiswa<br />

dari berbagai Negara yang berbeda. Interaksi<br />

multicultural ini memberikan pengalaman berharga<br />

bagi saya bagaimana memahami orang-orang dgn<br />

latar belakang budaya yang berbeda Beruntung<br />

karena sambil mengambil Bridging Class saya juga<br />

sudah bisa mengambil 2 subjek pada program<br />

Master of Health Science sehingga bisa sedikit<br />

efisien dalam pembiayaan. Setelah menyelesaikan<br />

program Bridging selama kurang lebih 5 minggu saya<br />

kemudian bisa konsentrasi penuh dalam program<br />

master saya. Semua cerita selama menempuh<br />

program master adalah perjuangan dan do’a serta<br />

kegembiraan dan rasa bangga bisa menikmati<br />

fasilitas pendidikan di QUT yang serba modern dan<br />

dukungan dosen dan staf yang sangat baik dan penuh<br />

keramah tamahan sangat membantu dalam proses<br />

penyelesaian study saya dengan tepat waktu. Sempat<br />

mengalami masa-masa sulit dan hampir down<br />

selama proses pendidikan dkarenakan home sick dan<br />

rasa rindu pada keluarga (saya meninggalkan suami<br />

dan 3 anak yang masih kecil2 pada waktu itu bahkan<br />

yang bungsu baru berumur 1,5 tahun). Tetapi tidak<br />

ada jalan lain selain harus tetap semangat dan terus<br />

berupaya mengingat saya bisa bersekolah sampai<br />

ke Australia karena dibiayai Negara yang notabene<br />

adalah uang rakyat. Disamping itu juga dukungan<br />

keluarga yang saya tinggalkan di Indonesia juga<br />

memberi andil besar bagi saya untuk memacu diri<br />

dalam belajar. Beruntung juga selama kuliah di<br />

QUT saya dikelilingi oleh teman2 seperjuangan<br />

dari Indonesia yang selalu saling membantu dan<br />

saling menyemangati diantara sesama teman yang<br />

menempuh pendidikan baik S2 maupun S3.<br />

Saya menyeleaikan pendidikan master pada Mei<br />

2000 dan segera bergabung kembali dengan institusi<br />

saya di Kanwil Depkes dan diberi kepercayaan<br />

untuk menangani project kesehatan yang<br />

didanai Bank Dunia yang secara kebetulan selalu<br />

menghubungkan saya dengan Australia khususnya<br />

Queensland dan QUT karena beberapa kegiatan<br />

project tersebut terkait dengan pendidikan staf<br />

di luar negri (Australia). Disamping itu adanya<br />

hubungan kerjasama antara Jawa Tengah dan<br />

Queensland sebagai Sister Province yang sudah<br />

terjalin sejak 1995 membawa berkah untuk saya<br />

secara pribadi karena sampai sekarangpun Pemprov<br />

Jateng masih mempercayai saya untuk membantu<br />

berbagai macam kegiatan dan program yang terkait<br />

kerjasama Sister Province ini khususnya dalam


24<br />

bidang kesehatan. Hal inilah yang selalu membawa<br />

saya kembali ke QUT dan selalu keep in touch<br />

dengan QUT dan tentunya saya sangat menikmati<br />

dan selalu merasa senang melaksanakan tugas ini.<br />

Tahun 2003 saya dipromosikan menjadi pejabat<br />

Struktural di Dinas Kesehatan Prop Jateng sebagai<br />

Kepala Seksi Perencanaan Pembangunan, kemudian<br />

tahun 2010 dipromosikan sebagai Kepala Bidang<br />

Pelayanan Kesehatan di Dinkes Propinsi Jateng yang<br />

mempunyai tugas mensupervisi program-program<br />

pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh<br />

Dinas kesehatan kabupaten/kota maupun institusi<br />

pelayanan kesehatan di Jawa Tengah, pada awal<br />

2012 kemudian dipercaya menjadi Direktur Akademi<br />

Keperawatan milik Pemprov Jateng. Selama setahun<br />

memimpin Akper hubungan kerjasama dengan QUT<br />

makin intens dan berkembang dengan berbagai<br />

macam kegiatan seperti pengiriman dosen perawat<br />

dan mahasiswa perawat ke QUT, pengembangan<br />

kurikulum keperawatan dengan konsultasi dari QUT,<br />

bantuan donasi buku-buku literature dari QUT untuk<br />

Akper, kunjungan konsultan keperawatan QUT ke<br />

Jawa Tengah, dll. Setelah setahun di Akper pada awal<br />

2013 saya kemudian ditugaskan di Rumah Sakit Dr<br />

Adhyatma Tugurejo rumah sakit pendidikan milik<br />

Pemprov Jateng sebagai Kepala Bidang Pelayanan<br />

Medis dan pada Maret 2014 dipercaya menjadi<br />

Wakil direktur (Direktur Medis) pada rumah sakit<br />

tersebut sampai sekarang. Tugas saya sebagai<br />

direktur pelayanan medis tentunya berkaitan dengan<br />

kelancaran semua kegiatan pelayanan medis dan<br />

keperawatan terhadap pasien serta mengkoordinir<br />

terlaksananya kegiatan-kegiatan terkait pendidikan<br />

dokter dan dokter spesialis bagi beberapa Fakultas<br />

Kedokteran yang bekerjasama dengan RS tempat<br />

saya bekerja.<br />

Saya sudah menjadi PNS selama 25 tahun dan<br />

sudah pernah mendapatkan penghargaan dari<br />

Presiden SBY berupa Lencana Karya Satya 20<br />

tahun. Sejujurnya saya menikmati menjadi PNS<br />

menjadi abdi masyarakat dan melayani kepentingan<br />

masyarakat dalam hal pelayanan kesehatan. Tidak<br />

bisa saya pungkiri bahwa ilmu dan pengalaman yang<br />

saya dapatkan selama study master di QUT sangat<br />

mempengaruhi perjalanan karir saya sebagai PNS<br />

di Jawa Tengah yang sekaligus juga mengharuskan<br />

saya banyak berhubungan dengan orang-orang dari<br />

berbagai institusi dan lembaga baik dalam skala<br />

lokal, regional, nasional maupun internasional.<br />

Beberapa pengalaman saya dapatkan selama<br />

berkarir di bidang kesehatan di Jawa Tengah antara<br />

lain penugasan ke beberapa negara seperti Bangkok,<br />

Filipina, Malaysia, India, Jerman, Australia. Satu<br />

hal yang paling berkesan adalah penghargaan dari<br />

QUT yang mengundang saya untuk hadir di acara<br />

QUT <strong>Alumni</strong> Award pada bulan Juli 2014 yang lalu<br />

dengan fasilitasi penuh dari pihak QUT.


25<br />

Biodata<br />

Nama: Yuswanti<br />

Tempat dan tanggal lahir: Ujung Pandang, 30 July<br />

1963<br />

Status: Menikah<br />

Academic Qualification:<br />

1. Masters of Health Science, Faculty of Health,<br />

Queensland University of Technology, 2000<br />

2. Medical Doctor, Medical Faculty, Diponegoro<br />

University, Semarang, Indonesia, 1989<br />

3. Senior HighSchool, Demak Central Java,<br />

Indonesia, 1982<br />

4. Junior High School, South Sulawesi, Indonesia,<br />

1979<br />

5. Elementary School, South Sulawesi, Indonesia,<br />

1973<br />

4. Junior High School, South Sulawesi, Indonesia,<br />

1979<br />

5. Elementary School, South Sulawesi, Indonesia,<br />

1973<br />

Work Experience:<br />

1. Doctor in Mpunda Community Health Center,<br />

Bima, West Nusa Tenggara, Indonesia, 1990-1991<br />

2. Head of Wawo Utara Community Health<br />

Center, Bima, West Nusa Tenggara, Indonesia,<br />

1991-1992<br />

3. Head of Belo Selatan Community Health<br />

Center, Bima, West Nusa Tenggara, Indonesia,<br />

1992-1993<br />

4. Head of Bolo Barat Community Health Center,<br />

Bima, West Nusa Tenggara, Indonesia, 1993-1995<br />

6. Staff of Planning Division on Provincial Health<br />

Office, Central Java Province, 2001-2003.<br />

7. Head of Planning Section, Provincial Health<br />

Office, Central Java Province, Indonesia, 2003-<br />

2008<br />

8. Head of Family Health and Nutrition Section,<br />

Central Java Provincial Health Office, Indonesia,<br />

2008- May 2010.<br />

9. Head of Health Services Division, Central Java<br />

Provincial Health Office, June 2010- March 2012<br />

10. Director of Central Java Nursing Academy ,<br />

March 2012-2013<br />

11. Head of Medical Care Division at Tugurejo<br />

Provincial Hospital Semarang, 2013 – 2014<br />

12. Medical Director Tugurejo Hospital Semarang,<br />

2014 until now.<br />

Professional Roles<br />

- Coordinator of Medical Education in Tugurejo<br />

hospital as a teaching hospital.<br />

- Member of Indonesia Medical Doctor<br />

Association, Central Java branch as a team<br />

member of the division of development for<br />

continuing professional education<br />

- Member of Central Java General Practice<br />

Association<br />

- Member of Central Java Community Health<br />

Association 2008-2012<br />

- Contributes in education field as a guest lecturer<br />

in Health Magister Program since 2005 until 2011.


28<br />

PENUTUP<br />

Berbagai kisah inspiratif narasumber dari berbagai<br />

profesi termasuk akademisi dan praktisi telah dimuat<br />

dalam “buku inspirasi alumni” ini. Ada yang berbagi<br />

kisah mengenai kiat-kiat mencapi kesuksesan<br />

dalam akademik maupun non-akademik (soft skill),<br />

memperoleh pekerjaan tambahan untuk menambah<br />

uang saku dan memupuk rasa egilatarian dalam diri<br />

dan ada yang bercerita mengenai kelebihan sistem<br />

pendidikan di Australia yang dapat diimplementasikan<br />

di Indonesia. Selain itu, para narasumber berbagi<br />

kisah mengenai hal-hal yang telah dicapai sebagai<br />

bukti kongkrit akan rasa cintanya terhadap tanah<br />

air Indonesia setelah berhasil menjadi alumni dari<br />

salah satu universitas di Australia. Kami berharap<br />

kisah-kisah yang dimuat dalam buku ini dapat<br />

menjadi inspirasi dan tambahan wawasan bagi para<br />

pembaca yang berencana untuk melanjutkan studi<br />

di Australia dan juga bagi para pelajar Australia<br />

yang kelak akan menjadi alumni. “Hidup ini penuh<br />

dengan lika-liku dan dalam situasi tertentu kita pasti<br />

akan memerlukan inspirasi untuk terus bersemangat<br />

melanjutkan episode-episode perjalanan kehidupan<br />

ini”.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!