You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
15<br />
Bagi saya sendiri mencari pekerjaan merupakan<br />
salah satu hiburan, karena saya bisa melihat<br />
beraneka macam pekerjaan yang ditawarkan.<br />
Setelah mendapatkan pekerjaan, maka “hiburan”<br />
pun bertambah, karena selain mendapatkan gaji,<br />
juga merupakan sarana “olah raga” setelah seharian<br />
berkutat di dalam laboratorium.<br />
Tak dinyana sekitar seminggu setelah tiba di Australia,<br />
tepatnya di kota Melbourne, salah seorang teman<br />
lama mengajak saya untuk membantu memasang<br />
antenna parabola bagi warga Indonesia yang ingin<br />
menikmati siaran TV Indonesia. Pekerjaan ini week<br />
end ini saya anggap sebagai hiburan dan menambah<br />
kenalan dengan orang-orang Indonesia yang sudah<br />
menetap di kota Melbourne. Selain itu mendapatkan<br />
imbalan yang lumayan untuk menambah dana<br />
pembelian tiket bagi istri dan anak saya. Ternyata<br />
saat itu memang sedang booming parabola. Hampir<br />
setiap week end selalu ada orderan.<br />
Setelah 3 bulan tinggal di Melbourne rupanya<br />
keberuntungan masih datang, karena mendapatkan<br />
pekerjaan sebagai “kitchen hand” di asrama mahasiswa<br />
Monash University. Pekerjaan tidak terlalu lama<br />
hanya 2 jam setiap sore, tetapi gaji per jam yang<br />
diterima lumayan untuk tambahan.<br />
Berbekal pengalaman di beberapa pekerjaan saat<br />
studi Master di kota yang sama, maka saya tidak<br />
merasa canggung lagi untuk bekerja. Bayangkan,<br />
seorang yang di Indonesia berprofesi sebagai dosen<br />
dan pegawai negeri, setiap sore berkutat dengan panci<br />
ukuran besar, mengepel lantai dapur membersihkan<br />
nampan saji dan membuang sampah. Paling tidak 4<br />
hari dalam seminggu saya bekerja dari pukul 6 sore<br />
sampai 8 malam.<br />
keuntungan finansial. Ada satu hal yang perlu kita<br />
sadari, yaitu memupuk rasa egalitarian dalam diri<br />
saya. Dari bekerja sebagai buruh, maka secara<br />
lahir dan batin, saya dapat merasakan apa yang<br />
dirasakan oleh buruh atau para pegawai rendahan<br />
atau mungkin oleh para “office boy”. Atau istilahnya<br />
jawanya memupuk rasa “tepa selira” terhadap<br />
mereka. Paling tidak saya bisa paham, bagaimana<br />
rasanya disuruh, bagaimana rasanya dipersalahkan<br />
dan pegal linunya otot saat mengangkat barang<br />
berat. Dari apa yang saya rasakan, maka saya<br />
dapat memahami apa sebenarnya yang mereka<br />
inginkan. Bagaimana cara menyuruh, menghargai<br />
hasil kerja maupun memberikan pekerjaan tanpa<br />
mengakibatkan badan jadi pegal-pegal.<br />
Sejak beberapa tahun tearkhir ini, cukup banyak<br />
mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di<br />
Australia. Baik yang menerima beasiswa ataupun<br />
biaya sendiri. Dan tidak sedikit pula diantara mereka<br />
yang sudah sibuk bekerja di mana saja dan dalam<br />
peran apa saja selama mereka belajar di Australia.<br />
Tidaklah berlebihan, jika ada harapan dari para<br />
buruh, bawahan atau office boy di kantor mereka di<br />
Indonesia. Semoga sekembalinya dari Australia,<br />
mereka bisa lebih memahami apa keinginan pada<br />
pegawai rendahan ini.<br />
Namun satu hal yang paling menarik adalah<br />
beberapa hari yang lalu saya melihat status facebook<br />
teman yang sudah kembali ke Indonesia. Statusnya<br />
adalah “Don’t do this in Indonesia” di atasnya ada foto<br />
teman-teman mahasiswa yang bekerja di sebuah<br />
pabrik di Melbourne.<br />
Noble Park, 21 Januari 2015.<br />
Saat itu tidak banyak teman-teman mahasiswa yang<br />
tertarik untuk mencari kerja sambilan. Maklum di<br />
tahun 1998 biaya hidup di Australia masih relative<br />
murah dan kebanyakan mahasiswa yang datang<br />
adalah yang sudah relatif mapan. Jadi, beasiswa<br />
pemerintah Australia yang diterima masih cukup<br />
dan bersisa untuk kehidupan sehari-hari.<br />
Terus terang banyak teman-teman yang tidak paham<br />
kondisi beasiswa saya dan bertanya, mengapa saya<br />
masih bekerja sebagai kitchen hand. Sebuah pertanyaan<br />
yang mudah dijawab, sekali lagi dari pengalaman<br />
saya waktu studi Master, saya merasa bahwa bekerja<br />
sebagai “buruh”, selain mendapatkan keuntungan