ilmu hukum - perpustakaan universitas riau
ilmu hukum - perpustakaan universitas riau
ilmu hukum - perpustakaan universitas riau
- No tags were found...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
JURNALILMU HUKUMIJurnalILMUHUKUMJURNAL ILMU HUKUM (JIH) adalah jurnal ilmiah berkala yang diterbitkan oleh Fakultas HukumUniversitas Riau dua kali setahun pada bulan Februari dan Agustus. JIH memiliki visi menjadi jurnalilmiah yang terdepan dalam pengembangan <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> serta harmonisasi <strong>hukum</strong> positif Indonesia.Redaksi JIH menerima naskah artikel laporan penelitian, artikel lepas dan resensi buku yang sesuaidengan visi JIH. Naskah yang dikirim terdiri dari 15 sampai 20 halaman kertas A4 dengan spasi ganda.Naskah dilengkapi dengan biodata penulis. ALAMAT REDAKSI: LABORATORIUM HUKUM, Fakultas<strong>hukum</strong> Universitas Riau Jalan Pattimura Nomor 9 Pekanbaru. Telp 0761-22539, Email:jurnal<strong>ilmu</strong><strong>hukum</strong>@gmail.com, jurnal<strong>ilmu</strong><strong>hukum</strong>@yahoo.com.PENANGGUNG JAWABFirdausKETUA PENYUNTINGErdiantoWAKIL KETUA PENYUNTINGErdiansyahPENYUNTING PELAKSANARahmad HendraZulfikar JayakusumaJunaidiMukhlis RWidia EdoritaSTAF PELAKSANAEditor : Davit RahmadanKeuangan & Distribusi : Rezmia FebrinaDESAIN & LAYOUTT. Andi RinaldiPERCETAKANAlaf Riau, Hp. 08127679365
VOLUME2 No. 1 Agustus 2011IID A F T A R I S IHUKUM TATA NEGARA/ADMINISTRASI NEGARAHALAMAN 1HALAMAN 10Kedudukan Izin Lingkungan dalam Sistem Perizinan di IndonesiaHelmi Perumahan Puri Masurai 2 Blok Af No. 2 Rt 29 Mendalo DaratJambi Luar KotaBadan Permusyawaratan Desa dalam Tiga Periode Pemerintahan di IndonesiaEmilda Firdaus Jalan Cemara Gading No. 23 Komplek Pemda PekanbaruHALAMAN 22 Pemilihan Kepala Daerah yang Demokratis dalam Perspektif UUD 1945Nopyandri Perumahan Kembar Lestari Blok AC No. 17 RT 36 KelurahanKenali Besar Kec. Kotabaru, JambiHALAMAN 30HALAMAN 41HALAMAN 61HALAMAN 75HALAMAN 84HALAMAN 96HALAMAN 108Desa Sebagai Unit Pemerintahan Terendah di Kota PariamanHengki Andora Kompl. Puri Filano Asri Blok D No. 5 Kubu Dalam ParakKarakah PadangPerkembangan Kelembagaan dari Negeri dan Marga Menjadi Desadi Kecamatan Tungkal Ulu Kabupaten Tanjab Barat Provinsi JambiErdianto Perumahan Nuansa Griya Flamboyan Blok I No. 15 Kel. DelimaKec. Tampan PekanbaruPergeseran Peran Partai Politik Pasca Putusan Mahkamah KonstitusiNo. 22-24/PUU-VI/2008Junaidi Perumahan Palem Regency Blok C No. 7 PekanbaruGagasan Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Dihubungkan dengan SistemPemerintahan Republik IndonesiaMexsasai Indra Jalan Karya I No. 30 PekanbaruImplementasi Good Governance dan Perizinan dalam Pemanfaatan Ruangdi IndonesiaRomi Kampus Unand Limau Manis PadangPerbaikan Sistem Hukum dalam Pembangunan Hukum di IndonesiaAzmi Fendri Jl. Kalumpang No. 7 Kelurahan Bandar Buat Kecamatan LubukKilangan Kota PadangKontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap PeningkatanPendapatan Asli Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi DaerahFrenadin Adegustara, dkk Kampus Unand Limau Manis Padang
JURNALILMU HUKUMIIIPENGANTAR REDAKSISyukur Alhamdulillah dipanjatkan kepada Allah SWT, karena Jurnal Ilmu HukumFakultas Hukum Universitas Riau Edisi Ketiga atau Volume 2 No. 1 bulan Agustus2011 berhasil diterbitkan.Edisi kali terasa lebih istimewa karena untuk pertama kalinya Jurnal Ilmu HukumUniversitas Riau memuat 6 artikel dari dosen di luar lingkungan FH UR. Tulisantersebut antara lain dari Helmi (UNJA), Nopyandri (UNJA), Hengki Andora(UNAND), Romi (UNAND), Azmi Fendri (UNAND) dan Syofiarti dkk (UNAND).Sesuai dengan nama jurnal yaitu Ilmu Hukum, maka kajian yang dimuat dalamjurnal ini adalah tentang <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong>, baik <strong>hukum</strong> perdata, <strong>hukum</strong> pidana, <strong>hukum</strong>internasional dan <strong>hukum</strong> tata negara. Namun untuk edisi ketiga atau Volume 2No. 1 ini thema umum yang diangkat adalah tentang Hukum Tata Negara/Administrasi Negara. Oleh karena itu, tulisan yang diangkat sebagai tulisanpembuka adalah makalah yang ditulis Helmi (UNJA) dengan judul KedudukanIzin Lingkungan dalam Sistem Perizinan di Indonesia, Emilda Firdaus (UR)tentang Badan Permusyawaratan Desa dalam Tiga Periode Pemerintahan diIndonesia, Nopyandri (UNJA), dengan judul Pemilihan Kepala Daerah yangDemokratis dalam Perspektif UUD 1945, Hengki Andora (Unand) dengan judulDesa Sebagai Unit Pemerintahan Terendah di Kota Pariaman, Erdianto (UR)dengan judul Perkembangan Kelembagaan dari Negeri dan Marga Menjadi Desadi Kecamatan Tungkal Ulu Kabupaten Tanjab Barat Provinsi Jambi, Junaidi(UR) dengan tulisan berjudul Pergeseran Peran Partai Politik Pasca PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, Romi (UNAND) denganjudul tulisan Implementasi Good Governance dan Perizinan dalam PemanfaatanRuang di Indonesia, dan Mexsasai Indra (UR), dengan judul GagasanPenyederhanaan Jumlah Partai Politik dihubungkan dengan Sistem PemerintahanRepublik Indonesia.Sebagai penutup edisi ini diisi dengan artikel dari Azmi Fendri (UNAND) denganjudul Perbaikan Sistem Hukum Dalam Pembangunan Hukum di Indonesia, danFrenadin Adegustara, Syofiarti dan Titin Fatimah dengan judulKontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap PeningkatanPendapatan Asli Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi diTiga Daerah di Provinsi Sumatera Barat).Atas kontribusi menyumbangkan tulisan, Redaksi mengucapkan terimakasih atasmereka yang telah sudi menyumbangkan tulisan untuk edisi kedua ini.
VOLUME2 No. 1 Agustus 2011IVRedaksi juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setingi-tingginyakepada para mitra bestari yang telah berkenan mensortir makalah yang dimuatpada edisi ini, dan juga pimpinan Fakultas Hukum Universitas Riau atas segaladukungan fasilitas dan dana hingga jurnal ini dapat diterbitkan.Akhir kata, dengan terbitnya Jurnal Ilmiah ini hendaknya sajian yang disuguhkankepada pembaca menjadi sesuatu yang bermanfaat.Pekanbaru, Agustus 2011
JURNALILMU HUKUM1KEDUDUKAN IZIN LINGKUNGAN DALAMSISTEM PERIZINAN DI INDONESIAHELMIPerumahan Puri Masurai 2 Blok AF No. 2 RT 29 Mendalo DaratJambi Luar KotaAbstrakSebagai instrument pengelolaan sumber daya lingkunganhidup, izin lingkungan mempunyai kedudukanpenting. UU No. 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup(UU-PPLH) izin lingkungan merupakan integrasidari berbagai izin yang sebelum terpisah. Namunpersoalan yang dihadapi, ternyata UU-PPLH sendirimasih belum tegas memberikan ruang lingkup danjenis izin lingkungan itu sendiri. Kedudukan izinlingkungan terhadap izin usaha atau kegiatan tampakpada ruang lingkup dan hubungan <strong>hukum</strong> keduanya,yakni izin lingkungan merupakan instrumenmemperoleh dan melaksanakan izin usahaatau kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.AbstractAs an instrument of environmental resource management,environmental permits has an importantposition. Lay No. 32 of 2009 on the Protection andEnvironmental Management (UU-PPLH) permits theintegration of various environmental permits beforesplitting. But the problems faced, it turns out, the lawit self is still not firmly UU-PPLH provide the scopeand type environmental permit it self. Status ofenvironmental permits for a business license or activitiesappear on the scope and legal relations of both,which is an instrument of obtaining environmentalpermits and business licenses or implement environmentalmanagement activities.Kata kunci: Izin lingkungan, instrumen lingkungan.A. PendahuluanLingkungan hidup dalam perspektif teoretis dipandang sebagai bagian mutlak darikehidupan manusia, tidak terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri. 1 Menurut MichaelAllaby, lingkungan hidup sebagai “the phsycal, chemical and biotic condition surroundingand organism” (lingkungan fisik, kimia, kondisi masyarakat sekelilingnya dan organismehidup). Dalam kamus <strong>hukum</strong>, lingkungan hidup diartikan sebagai, “the totally of phsycal,economic, cultural, aesthetic and social cirscumstances and factors wich surround andaffect the desirability and value at poperty and which also effect the quality of peopleslives” (Keseluruhan lingkungan fisik, ekonomi, budaya, kesenian dan lingkugan sosial sertabeberapa faktor di sekeliling yang memengaruhi niliai kepemilikan dan kualitas kehidupanmasyarakat). 2Salah satu instrument konkrit pengelolaan lingkungan hidup adalah izin. Izin dalamarti luas (perizinan) ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undangatau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuanketentuanlarangan perundangan”. 3 Makna <strong>hukum</strong> yang dapat ditemukan dalam izinmenurut pendapat di atas adalah adanya perkenan untuk melakukan sesuatu yang1Siahaan N.H.T., Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, 2009, hlm. 2.2Champbell, Hendri, Blach’s Law Dictionary, USA, St. Paul, Minn, West Publishing Co, 1991, hlm. 369.3Spelt. N.M. dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M. Hadjon,Yuridika, Surabaya, 1993, hlm. 2.
HELMIVOLUME2 No. 1 Agustus 20112semestinya dilarang, 4 sehingga akan dapat ditemukan dalam berbagai wujud perizinan,seperti izin, dispensasi, lisensi, konsesi, rekomendasi, dan lain sebagainya. 5 Menurut W.F.Prins dan R. Kosim Adisapoetra, izin diartikan dengan perbuatan pemerintah yangmemperkenankan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh peraturan yang bersifatumum”. 6 Selanjutnya, Sjachran Basah sebagaimana dikutip I Made Arya Utama,menyatakan, izin sebagai perbuatan Hukum Administrasi pemerintah bersegi satu yangmengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan proseduryang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7Izin merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis preventif, dan digunakan sebagaiinstrument administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Karena itu, sifat suatuizin adalah preventif, karena dalam instrument izin, tidak bisa dilepaskan dengan perintahdan kewajiban yang harus ditaati oleh pemegang izin. 8 Selain itu, fungsi izin adalah represif.Izin dapat berfungsi sebagai instrument untuk menanggulangi masalah lingkungandisebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar perizinan. Artinya, suatu usahayang memperoleh izin atas pengelolaan lingkungan, dibebani kewajiban untuk melakukanpenanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan yang timbul dari aktivitas usahanya.Perizinan merupakan wujud keputusan pemerintah dalam <strong>hukum</strong> administrasinegara. Sebagai keputusan pemerintah, maka izin adalah tindakan <strong>hukum</strong> pemerintahberdasarkan kewenangan publik yang membolehkan atau memperkenankan menurut<strong>hukum</strong> bagi seseorang atau badan <strong>hukum</strong> untuk melakukan sesuatu kegiatan. 9 Instrumenperizinan diperlukan pemerintah untuk mengkokritkan wewenang pemerintah. Tindakanini dilakukan melalui penerbitan keputusan tata usaha negara.Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LingkunganHidup (UU-PPLH) terdapat 2 (dua) jenis izin yakni; pertama, izin lingkungan adalahizin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yangwajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka35). Kedua, izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknisuntuk melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36).Dalam UU ini izin lingkungan merupakan syarat untuk mendapatkan izin usahadan/atau kegiatan. Untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, orang atau badan<strong>hukum</strong>, terlebih dahulu mengurus dan mendapatkan izin lingkungan. Sementara izinlingkungan itu sendiri diperoleh setelah memenuhi syarat-syarat dan menempuhprosedur administrasi.4Ibid.5I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup Dalam MewujudkanPembangunan Daerah yang Berkelanjutan (Studi Terhadap Pemerintahan di Wilayah Pemerintah DaerahProvinsi Bali), Disertasi, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 2006, hlm. 120.6W.F. Prins dan R, Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Pradnya Paramita,Jakarta, 1978, hlm. 72.7I Made Arya Utama, ibid, hlm. 121.8Lihat, dalam N.H.T. Siahaan, op., cit, hlm. 239.9Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Tata Perizinan Pada Era Otonomi Daerah, Makalah, Surabaya,Nopember 2001, hlm. 1.
JURNALILMU HUKUM3Berdasarkan hal di atas, izin usaha atau kegiatan tidak dapat diterbitkan jika tidakdilengkapi dengan izin lingkungan. Selain itu, untuk mendapatkan izin lingkungan harusmenempuh prosedur dan memenuhi persyaratan tertentu. Pasal 123 UU-PPLHmenyatakan, “Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkanoleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajibdiintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undangini ditetapkan”. Penjelasan Pasal ini, “Izin dalam ketentuan ini, misalnya, izin pengelolaanlimbah B3, izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah ke sumberair”.Sebelum berlakunya UU No. 32 Tahun 2009, izin lingkungan tidak disebut sebagaisuatu sistem. Pada peraturan pelaksana UU No. 4 Tahun 1982 dan UU No. 23 Tahun1997 terdapat izin pengelolaan limbah B3, izin pembuangan air limbah ke laut, dan izinpembuangan air limbah ke sumber air, termasuk izin HO. Walaupun izin-izin berkaitandengan izin usaha atau kegiatan, namun mekanisme perizinannya terpisah dengan izinusaha atau kegiatan.Saat ini, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009, selain penyatuan dalam bentuk izinlingkungan, juga ditegaskan bahwa izin lingkungan merupakan syarat mendapatkan izinusaha atau kegiatan.Pengaturan izin lingkungan dan pentaatannya merupakan upaya menuju pembangunanberkelanjutan atau dalam <strong>ilmu</strong> ekonomi lingkungan dinamakan “greening businessmanagement”. Greening business management adalah strategi pengelolaan lingkunganyang terpadu yang meliputi pengembangan struktur organisasi, sistem dan budidayadalam suatu kompetensi hijau dengan cara menerapkan dan mentaati seluruh peraturantentang pengelolaan lingkungan, termasuk pengelolaan bahan baku, pengolahan limbah,penggunaan sumberdaya alam yang efektif, penggunaan teknologi produksi yangmenghasilkan limbah minimal serta menerapkan komitmen kesadaran lingkungan bagiseluruh karyawan dalam organisasinya.Meskipun “law enforcement” pemerintah masih lemah, namun apabila terjadi pelanggarandalam pengelolaan lingkungan atau ada pengaduan masyarakat akibat dampaknegaritf suatu aktivitas izin usaha atau kegiatan, akan berdampak negatif pula pada reputasiindustri tersebut. Selain itu organisasi lingkungan lokal dan internasional akan bereaksikeras apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan lingkungan. Hal ini terjadi padakasus PT, Freeport Indonesia, PT. Newmont, dan lain-lain. Oleh sebab itu ketaatanterhadap setiap peraturan lingkungan secara proaktif sangat dianjurkan agar peluanguntuk memperluas pasar dan sasaran dari bidang usaha tidak terganggu.B. PermasalahanUraian mengenai izin lingkungan di atas, memuncul permasalahan yang akan dianalisislebih mendalam ada tulisan ini:1. Bagaimana ruang lingkup izin lingkungan sebagai syarat memperoleh izin usahaatau kegiatan?2. Bagaimana hubungan <strong>hukum</strong> antara izin lingkungan dengan izin usaha atau kegiatan?
HELMIVOLUME2 No. 1 Agustus 20114C. Ruang Lingkup Izin LingkunganUsaha atau kegiatan tertentu tidak dapat dilakukan tanpa izin dari organ pemerintahyang berwenang. Kenyataan tersebut dapat dimengerti karena berbagai halsering kali terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemohon izin. Izin menjadialas hak dan kewajiban pemohon untuk melakukan suatu usaha atau kegiatan tertentu.Seperti dikatakan pada latar belakang, izin lingkungan merupakan salah satusyarat memperoleh izin usaha atau kegiatan. Izin usaha atau kegiatan yang wajib izinlingkungan tersebut adalah aktivitas atau kegiatan usaha yang wajib Amdal ataupunwaji UKL dan UPL. Pasal 1 angka 35, “Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepadasetiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyaratuntuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan”. Untuk izin usaha atau kegiatan, Pasal1 angka 36, “Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansiteknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan”.Izin lingkungan yang termuat dalam UU-PPLH menggabungkan proses pengurusankeputusan kelayakan lingkungan hidup, izin pembuangan limbah cair, dan izin limbahbahan beracun berbahaya (B3). Pada saat berlakunya UU No. 23 Tahun 1997, keputusankelayakan lingkungan hidup diurus diawal kegiatan usaha. Bidang pertambangan, misalnya,diurus sebelum pembangunan konstruksi tambang. Setelah konstruksi selesai, pengusahaharus mengurus izin pembuangan limbah cair dan B3. Sekarang ketiga perizinan itudigabungkan, diurus satu kali menjadi izin lingkungan. Syaratnya jelas, yaitu analisismengenai dampak lingkungan (Amdal) atau upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL)dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Tanpa ketiga dokumen, izin lingkungantak akan diberikan.Berdasarkan Pasal 123 UU-PPLH, “Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidupyang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengankewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahunsejak Undang-Undang ini ditetapkan”. Penjelasan pasal 123, “Izin dalam ketentuan ini,misalnya, izin pengelolaan limbah B3, izin pembuangan air limbah ke laut, dan izinpembuangan air limbah ke sumber air”.Kententuan Pasal ini kemudian dipersoalkan oleh pengusaha bidang lingkungan hidup,terutama para pengusaha pertambangan. 10 Sebetulnya, ketentuan adanya izin lingkunganpada masa UU No. 23 Tahun 1997 sudah ada, namun belum disatukan seperti Pasal 123UU-PPLH. Izin lingkungan pada masa UU No. 23 Tahun 1997 diberikan secara terpisahdan “seolah” tidak mengikat pengusaha untuk melaksanakan. Hal ini disebabkan tidakjelasnya hubungan <strong>hukum</strong> antara izin-izin lingkungan dengan izin usaha atau kegiatan.Siti Sundari Rangkuti 11 bahkan menyatakan pada saat itu, walaupun jenis-jenis izin10Direktur Eksekutif Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) Rino Subagyo menilai, penolakanlebih karena perubahan tata urutan pemberian izin kegiatan atau usaha. Izin lingkungan menjadiprasyarat izin usaha. Jika ada pejabat publik memberikan izin usaha kepada pemohon yang tidakmemiliki izin lingkungan, maka pejabat publik itu bisa dipidana. Itu yang membuat sejumlah pihakmempertanyakan.11Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga UniversityPress, Surabaya, 2005, hlm. 119.
JURNALILMU HUKUM5lingkungan diatur dalam PP (No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air),namun tidak mempunyai landasan <strong>hukum</strong>.Jadi, berdasarkan Pasal 123 dan penjelasannya, ruang lingkup izin lingkungan yakniizin pengelolaan limbah, izin pembuangan air limbah ke laut, izin pembuangan air limbahke sumber air. Hendra Budiman, dkk, 12 menyatakan izin lingkungan terdiri dari studikelayakan usaha, izin pembuangan air limbag dan izin pengelolaan limbah BahanBerbahaya dan Beracun (B3).Sistem izin lingkungan, baik pada saat mendapat izin maupun pelaksanaan izin sampaisaat ini masih “rancu”. Terutama mengenai ruang lingkup. Kementerian Lingkungan Hidupsendiri masih belum mempertegas jenis izin lingkungan. Berikut pernyataan MenteriLingkungan, “Selain itu, UPT (Unit Pelayan Terpadu) akan memberikan pelayanan dibidang perizinan yang pada tahap meliputi, izin lingkungan, izin pengumpulan, izinpemanfaatan, pengolahan, penimbunan limbah B3, dan dumping, izin pembuangan airlimbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah melalui injeksi”. 13Pernyataan Menteri Lingkungan di atas, mengisyaratkan bahwa izin lingkungan terpisahdari izin pemanfaatan limbah, pengolahan limbah, izin pembuangan air limbah kelaut, dan izin pembuangan air limbah melalui injeksi. Padahal Pasal 123 UU-PPLH telahmemberikan contoh jenis-jenis izin lingkungan yang diintegrasikan yakni diantaranya izinpengelolaan limbah B3, izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbahke sumber air”.Sementara pada beberapa tulisan mengenai izin lingkungan, menyatakan bahwa studikelayakan lingkungan juga termasuk izin lingkungan. Kemudian Siti Sundari Rangkutimenyatakan, 14 perizinan lingkungan antara lain sebagai berikut:1. Izin HO (Hinder Ordonnantie, Stb. 1926 No. 226, Pasal 1)2. Izin Usaha Industri3. Izin Pembuangan Limbah4. Izin operasi penyimpanan, pengumpulan, pamantauan, pengolahan dan ataupenimbunan limbah B35. Izin pengangkutan limbah B36. Izin pemanfaatan limbah B37. Izin operasi alat pengolahan limbah B38. Izin lokasi pengolahan dan penimbunan limbah B39. Izin melakukan dumping10.Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan11.Izin lokasi.“Perizinan lingkungan” yang dimaksudkan oleh Siti Sundari Rangkuti di atas, menurutpenulis adalah izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada UU-PPLH. 15 Jika demikian,ruang lingkup izin lingkungan paling tidak jenis-jenis yang dikemukakan di atas.12Perizinan Sebagai Perangkat Pengendalian Pembangunan.13Pada saat peresmian Unit Pelayanan Terpadu di Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu 24 Januari 2012.14Siti Sundari Rangkuti, ibid, hlm. 120.15Lihat, Helmi, Hukum Lingkungan dan Perizinan Bidang Lingkungan Hidup Dalam Negara HukumKesejahteraan, Unpad Press, Bandung, 2010, hlm. 83.
HELMIVOLUME2 No. 1 Agustus 20116Terhadap izin-izin di atas, pada UU-PPLH disatukan menjadi izin lingkungan. JadiUU-PPLH satu sisi menyederhanakan sistem izin lingkungan dengan cara mengintegrasikanizin-izin lingkungan. Seseorang atau badan <strong>hukum</strong> yang akan melakukanizin usaha atau kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan, wajib memiliki izinlingkungan. 16 Di sisi lain, integrasi dalam satu izin lingkungan merupakan upaya untukperlindungan lingkungan. Hal ini disebabkan, satu izin sebenarnya terkait dengan izinlainnya. Jika pengalaman masa lalu tingkat ketaatan terhadap izin-izin lingkungan rendah,berdasarkan UU-PPLH pengusaha “wajib” melaksanakan izin lingkungan.Hal yang menarik berkaitan dengan integrasi izin lingkungan ini yakni penyederhanaanmerupakan instrumen pengendalian dan pengawasan risiko lingkungan dari berbagaikegaitan. Jika sebelumnya, orang harus mengurus berbagai izin, justru berdasarkan UU-PPLH pengusaha terhindari dari ekonomi biaya tinggi karena cukup mengurus izinlingkungan saja. Artinya, izin lingkungan bukan beban, justeru meringankan bebanmendapatkan izin usaha atau kegiatan.Berdasarkan uraian di atas, di satu sisi penyelenggaraan izin lingkungan merupakanupaya untuk pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya lingkunganhidup memperhitungkan kemampuan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.Di sisi lain, penyelenggaraan izin lingkungan justeru menjadi dianggap mempersulitaktivitas investasi di Indonesia. Adanya izin lingkungan merupakan hambatan bagipengusaha melakukan aktivitas.Sementara oleh beberapa instansi pemerintah, izin lingkungan merupakan wujudpenyelenggaraan kewenangan untuk mendapatkan pemasukan pendapat bagi keuangannegara. Jadi, wajar jika pemberlakuan UU-PPLH yang mengintegrasikan berbagai izinlingkungan menjadi satu sistem izin lingkungan terpadu akan memunculkan pertentanganbagai kalangan birokrat sektoral di pemerintahan.D. Hubungan HukumJika dicermati baik UULH maupun UUPLH tidak mengatur secara tegas adanyaberbagai jenis izin lingkungan yang harus dipenuhi oleh pemohon izin usaha atau kegiatanpengelolaan sumber lingkungan hidup. Hubungan <strong>hukum</strong> antara izin lingkungan denganizin usaha atau kegiatan juga tidak tegas diatur. Sehingga, walaupun banyak terjadipelanggaraan izin lingkungan, namun sulit dilakukan penegakan <strong>hukum</strong>. Pemerintah hanyamemberikan teguran kepada pemegang izin untuk memperhatikan kelestarian lingkungan.Jika pemegang tetap tidak mengindahkan teguran tersebut, pemerintah tidak berdayamemberikan sanksi yang lebih berat. Misalnya mencabut izin usaha atau kegiatan.Sistem perizinan di Indonesia sebelum terbitnya UU-PPLH, lebih bersifat fragmentedscheme, yakni izin yang satu seolah tidak terkait dengan izin lainnya. Misalnya, jika salahsatu izin sudah dilanggar oleh suatu perusahaan maka izin lainnya masih dapat dijadikanalat untuk menjalankan aktivitas perusahaan. Suatu perusahaan pertambangan yangdinyatakan oleh pejabat yang berwenang telah melanggar izin pengelolaan limbah, namunmasih tetap melakukan aktivitas berdasarkan izin atau kuasa pertambangan yang dimiliki.16Ibid, hlm. 82.
JURNALILMU HUKUM7Pola perizinan di Indonesia berbeda jauh dengan di Belanda, yang sistem perizinannyainterdependen dan terpadu, atau disebut dengan multi media licence. Berbeda dengansistem di Indonesia, izin lingkungan (milievergunning) di Belanda diberlakukan dengansistem terpadu. Misalnya, hinderwet yang terakhir direvisi berdasarkan Staatsblad 1981No. 409, yang berlaku tanggal 1 November 1981, dinyatakan tidak berlaku lagi sejaktahun 1993. Sejak tahun 1993, di Belanda telah diberlakukan sistem pengelolaan lingkungandengan perizinan terpadu. Hinderwet tersebut telah disatukan dalam satu milieuvergunningmelalui Wet Milieubeheer, berdasarkan staatsblad 1992 No. 551. 17Sejak itu, di Belanda semua perizinan mengenai pengelolaan lingkungan dilakukansecara terpadu. Jadi, izin lingkungan yang dikeluarkan untuk mengatur sekaligus mediaudara, air, tanah maupun limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dilakukan dalamsatu kesatuan (integral dan interdependen). Jika dari berbagai izin, salah satu dinyatakantelah dicabut maka aktivitas perusahaan yang bersangkutan tidak dapat lagi beroperasi,karena salah satu izin tidak lagi berlaku. 18Indonesia berdasarkan UU-PPLH telah memulai babak baru sistem perizinan. Untukmemperoleh izin usaha atau kegiatan, harus dilengkapi persyaratan salah satunya izinlingkungan. Pasal 36, menyatakan:(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajibmemiliki izin lingkungan.(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkankeputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ataurekomendasi UKL-UPL.(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkanpersyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup ataurekomendasi UKL-UPL.(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuaidengan kewenangannya.Secara normative, hubungan <strong>hukum</strong> antara izin lingkungan dengan izin usaha ataukegiatan yakni, pertama, permohonan izin usaha atau kegiatan tidak akan dikabulkanjika tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. Ini berarti, izin lingkungan merupakaninstrument penting dalam rangka pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup. Khususnya dalam pemanfaatan sumber daya lingkungan hidup melalui pelaksanaanizin usaha atau kegiatan.Umpanya, dalam rangka mendapatkan izin usaha pertambangan batubara, setiappemohon diwajibkan memiliki izin lingkungan. Demikian juga dengan izin usaha bidangkehutanan, perkebunan dan izin-izin lainnya, wajib dilengkapi dengan izin lingkungan.Izin usaha atau kegiatan dimaksud di atas adalah aktivitas yang didasarkan pada dampaknyasehingga wajib Amdal atau UKL-UPL. Dengan kata lain, setiap aktivitas usaha ataukegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL, maka untuk mendapatkan izin diwajibkan17Lihat, N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan.............., op.,cit., hlm. 243.18Ibid.
HELMIVOLUME2 No. 1 Agustus 20118adanya izin lingkungan dari Gubernur atau Walikota/Bupati sesuai dengan kewenangannya.Kedua, hubungan <strong>hukum</strong> antara izin lingkungan dengan izin usaha atau kegiatan,juga terdapat pada saat pelaksanaan izin usaha atau kegiatan. Pasal 37 ayat (2):Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkanapabila:a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat <strong>hukum</strong>,kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data,dokumen, dan/atau informasi;b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusankomisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atauc. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidakdilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.Ayat (1) Pasal di atas menyatakan, permohona izin lingkungan wajib dilengkapi denganAmdal atau UKL-UPL. Huruf c ketentuan di atas, berarti pelaksanaan Amdal atau UKL-UPL izin lingkungan. Jika Amdal atau UKL-UPL izin lingkungan tidak dilaksanakan, makaizin lingkungan dapat dibatalkan oleh Pejabat yang mengeluarkan izin.Ketiga, jika izin dicabut, maka izin usaha atau kegiatan dibatalkan. Pasal 40menyatakan:(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/ataukegiatan.(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawabusaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.Hal ini menujukkan, izin lingkungan merupakan kesatuan sistem dalam izin usahaatau kegiatan. Demikian juga apabila izin usaha atau kegiatan mengalami perubahan, makapenanggungjawab usaha atau kegiatan tersebut wajib memperbaharui izin lingkungan.E. KesimpulanKedudukan izin lingkungan terhadap izin usaha atau kegiatan tampak pada ruanglingkup dan hubungan <strong>hukum</strong> keduanya, yakni izin lingkungan merupakan instrumentmemperoleh dan melaksanakan izin usaha atau kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.Pertama, ruang lingkup izin lingkungan berkaitan dengan prasyarat pengelolaanlimbah B3, izin usaha industry, izin HO, izin dumping, izin lokasi. Walaupun izin-izin inibukan merupakan izin pokok (izin usaha atau kegiatan) yang dituju oleh pemohon izin,namun merupakan bagian dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.Kedua, hubungan <strong>hukum</strong> kedua ini adalah izin lingkungan merupakan syarat wajibbagi izin usaha atau kegiatan. Sebagai konsekwensi izin lingkungan merupakan syaratmemperoleh izin usaha atau kegiatan, jika terjadi pelanggaran terhadap izin lingkungan,maka izin usaha atau kegiatan dibatalkan. Demikian juga jika izin lingkungan dicabut,maka izin usaha atau kegiatan dibatalkan.
JURNALILMU HUKUM9F. Daftar PustakaBethan, Syamsuharya, Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi LingkunganHidup Dalam Aktivitas Industri Nasional: Sebuah Upaya Penyelamatan LingkunganHidup dan Kehidupan Antar Generasi, Alumni, Bandung, 2008.Brendan Gleson, Nicholas Low, Politik Hijau: Kritik Terhadap Politik Konvensional MenujuPolitik Berwawasan Lingkungan dan Keadilan, Terjemahan, Nusa Media, Bandung,2009.Champbell, Hendri, Blach’s Law Dictionary, USA, St. Paul, Minn, West Publishing Co, 1991.Helmi, Hukum Lingkungan dan Perizinan Bidang Lingkungan Hidup Dalam NegaraHukum Kesejahteraan, Unpad Press, Bandung, 2010.I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup DalamMewujudkan Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan (Studi TerhadapPemerintahan di Wilayah Pemerintah Daerah Provinsi Bali), Disertasi, ProgramPascasarjana Unpad, Bandung, 2006.Nurlinda, Ida, Prinsip-prinsip Pembaharuan Agraria; Perspektif Hukum, Rajawali Press,Jakarta, 2009.Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Tata Perizinan Pada Era Otonomi Daerah,Makalah, Surabaya, Nopember 2001.Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan LingkunganNasional,Airlangga University Press, Surabaya, 2005.Siahaan N.H.T., Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, 2009.Spelt. N.M. dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh PhilipusM. Hadjon, Yuridika, Surabaya, 1993.Sutedi, Adrian, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta,2010.W.F. Prins dan R, Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara,Pradnya Paramita, Jakarta, 1978.
VOLUME2 No. 1 Agustus 201110BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAMTIGA PERIODE PEMERINTAHAN DI INDONESIAEMILDA FIRDAUSJalan Cemara Gading No. 23 Komplek Pemda PekanbaruAbstrakSecara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknyamasyarakat politik dan pemerintahandi Indonesia jauh sebelum negara bangsa initerbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakatadat dan lain sebagainya telah menjadi institusisosial yang mempunyai posisi yang sangat penting.Dalam rangka untuk mewujudkan otonomi dandemokrasi pada pemerintahan desa tersebut, makaperlu ada pengaturan yang jelas dan khusus terhadapkeberadaan BPD ini pada setiap kabupatendi Indonesia. Dalam tiga periode pemerintahan diIndonesia yaitu dari periode orde lama, periode ordebaru dan orde reformasi, telah mengakui adanyasistem pemerintahan desa dan badan legislatif desawalaupun memiliki perbedaan dalam wujud implementasinya.AbstractHistorically village represent will form of politicalsociety and the governance in Indonesia far beforethis nation and state is formed. Social structure of akind the village, socialize custom and others have cometo social institution having very important position.In order to to realize autonomy and democratize atthe village governance, hence need there is cleararrangement and this specially to existence BPD ineach regency in Indonesia. In three governance periodin Indonesia that is from Orde Lama period, period ofOrde Baru and Reform Order have acknowledgedlegislative body and village governance system ofvillage although own difference in the form of itimplemented.Kata kunci: Desa, BPD.A. PendahuluanParadigma pembangunan yang sentralistik dalam sejarahnya terbukti telah gagaldan perlu dikembangkan paradigma baru yaitu paradigma pembangunan yang melibatkanperan serta masyarakat secara luas melalui peningkatan civil society, sehingga tujuanpembangunan adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat dapattercapai. Pasca runtuhnya kekuasaan orde baru, Indonesia mengalami banyak perubahanperubahandalam sistem ketatanegaraannya, tak terkecuali reformasi di bidang sistempemerintahan daerah. Otonomi daerah telah memberikan ruang gerak yang luas bagimasyarakat untuk aktif dan turut serta dalam pembangunan.Sekarang ini telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik danketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokratis, dandari sistem sentralistik kepada sistem otonom. Perubahan paradigma tersebut sudah tentuberdampak terhadap sistem <strong>hukum</strong> yang dianut selama ini yang menitikberatkan kepadaproduk-produk <strong>hukum</strong> yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan penguasa daripadakepentingan rakyat, dan produk <strong>hukum</strong> yang lebih mengedepankan dominasikepentingan Pemerintah Pusat daripada kepentingan Pemerintah Daerah. 1Sebagai konsekuensi dari reformasi tersebut, pelaksanaan otonomi daerah dandesentralisasi adalah suatu program yang harus diwujudkan agar terciptanya demokrasi1Romli Atmasasmita, “Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional,” SeminarPembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional,Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 1.
JURNALILMU HUKUM11dan pembangunan yang merata di daerah sesuai dengan yang dicita-citakan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah sebagai garis dan haluan untuk terlaksananya program tersebut.Seiring perjalanan reformasi ketatanegaraan di Indonesia, undang-undang tentangPemerintahan Daerah direvisi lagi dan diganti dengan undang-undang no 32 tahun 2004.Suatu otonomi bukanlah final tapi merupakan langkah awal, sehingga isi dan realisasi dariotonomi sangatlah penting.Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerahmembawa sebuah asa baru yang menggembirakan, karena kebijakan sebelumnya sangatbersifat sentralistik sehingga membawa dampak multi krisis pada bangsa ini.Selanjutnya konsep ini diperjelas dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskanbahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerahprovinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang”.Jadi secara implisit menurut kententuan ini sebenarnya pemerintahan desaadalah bagian dari pemerintahan daerah. Oleh karenanya pemerintahan desa saat inidiatur dalam perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-UndangNo. 32 Tahun 2004. Menurut ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Desa diberipengertian sebagai :“Desa adalah suatu masyarakat <strong>hukum</strong> yang memiliki batas-batas wilayah yangberwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalamsistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 2Secara historis Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik danpemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk. Struktur sosialsejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yangmempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengantradisi adat istiadat dan <strong>hukum</strong>nya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lainditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakanwujud bangsa yang kongkrit. Aturan yang mengatur tentang Pemerintahan Desa sangatdibutuhkan karena besar pengaruhnya bagi perkembangan desa itu. Peraturan tentangPemerintahan Desa terbentuk seiring dengan peraturan yang mengatur tentangPemerintahan Negara Indonesia. Peraturan mengenai Pemerintahan Desa tertuang didalam undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah atau Otonomi Daerahyaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan pada masa Orde Barudi atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. 3Peraturan tentang desa tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun2Wasistiono Sadu, Irwan Tahir, Prospek Pengembangan Desa, Fokusmedia, Bandung, 2007, hlm. 25.3HW.Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Bulat dan Utuh, PT Grafindo Persada, Jakarta,2005, hlm. 4.
EMILDA FIRDAUSVOLUME2 No. 1 Agustus 2011121999 tentang Pemerintahan Daerah tapi juga diatur dalam beberapa peraturanpelaksanaan seperti Peraturan Pemerintah RI (PPRI) Nomor 76 Tahun 2001 tentangPedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Peraturan ini mengatur beberapa hal pokokyang berkaitan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa. Dimana PenyelenggaraanPemerintahan Desa dilakukan oleh Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD).BPD berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung aspirasimasyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa.Anggota BPD dipilih dari dan oleh penduduk desa yang berjumlah ganjil dan sekurangkurangnya5 (lima) orang. 4Dalam mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat desa, masing-masing unsurpemerintahan desa, Pemerintah Desa dan BPD dapat menjalankan fungsinya denganmendapat dukungan dari unsur yang lain. Oleh karena itu hubungan yang bersifatkemitraan antara BPD dengan Pemerintah Desa harus didasari pada filosofi antara lain:1. Adanya kedudukan yang sejajar diantara yang bermitra,2. Adanya kepentingan bersama yang ingin dicapai,3. Adanya perinsip saling menghormati,4. Adanya niat baik untuk saling membantu dan saling mengingatkan. 5BPD merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desasebagai unsur penyelenggara desa. Keberadaan BPD dalam pemerintahan desa adalahbukti keterlibatan masyarakat dalam bidang penyelengaaraan pemerintahan. Hal iniditegaskan dalam Undang-Undang No. 32 Tahu 2004 dan diatur lebih rinci lagi dalamPeraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 72 Tahun 2005. Dalam Peraturanundang-undangan yang berlaku ini disebutkan dan dijelaskan bahwa BadanPermusyawaratan Desa berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa,menampung dan menyalur aspirasi masyarakat dan disamping itu BPD berfungsimengawasi pelaksanaan peraturan desa dalam rangka menetapkan pelaksanaan kinerjapemerintahan desa.Keanggotaan BPD terdiri dari wakil penduduk desa bersangkutan yang ditetapkandengan cara musyawarah dan mufakat. Yang dimaksud dengan wakil masyarakat dalamhal ini seperti ketua Rukun Warga, Pemanggu adat dan tokoh masyarakat. masa jabatanBPD 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil paling sedikit 5 (lima) orang danyang paling banyak 11 (sebelas) orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlahpenduduk dan kemampuan keuangan desa. 6Dalam rangka untuk mewujudkan otonomi dan demokrasi pada pemerintahan desatersebut, maka perlu ada pengaturan yang jelas dan khusus terhadap keberadan BPD inipada setiap kabupaten di Indonesia. Agar peraturan ini dapat dilaksanakan dengan baikdi setiap Daerah, Maka disetiap Daerah Kabupaten diperlukan Peraturan lebih lanjut yang4"Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum PengaturanMengenai Desa,” Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 142, Pasal 30-32.5Wasistiono Sadu dan Irwan Tahir, Prospek pengembangan Desa, op. cit., hlm.35-36.6Pasal 13, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.72 Tahun 2005 tentang Desa.
JURNALILMU HUKUM13disebut dengan Peraturan Daerah Kabupaten atau yang disebut dengan PERDA khusunyamengenai BPD.Peran BPD dengan fungsi dan wewenangnya dalam membahas rancangan sertamenetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa merupakan sebagai kerangka kebijakandan <strong>hukum</strong> bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Desa. Penyusunanperaturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa,tentu berdasarkan kepada kebutuhan dan kondisi Desa setempat, serta mengacu padaperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk <strong>hukum</strong>,peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidakboleh merugikan kepentingan umum. Sebagai sebuah produk politik, peraturan Desadisusun secara demokratis dan partisifatif, yakni proses penyusunannya melibatkanpartisipasi masyarakat. Masyarakat mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberimasukan kepada BPD maupun Kepala Desa dalam proses penyusunan peraturan Desa. 7Dengan adanya peraturan desa pada desa, tentu akan membawa harapan akanterwujudnya penyelenggaraan pemerintahan desa yang teratur dan demokratis. Teraturdi sini dimaksudkan yaitu suatu pemerintahan desa yang dalam bertindak atau dalammenyelenggarakan pemerintahannya telah mempunyai dasar <strong>hukum</strong> untuk mengambilkebijakan terhadap aspek-aspek penting bagi masa depan masyarakat tersebut.B. BPD dalam Tiga Periode Pemerintahan di IndonesiaPembagian tugas dan atau wewenang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secarahorizontal dan secara vertikal. Pembagian secara horizontal adalah pembagian tugas danatau wewenang menurut fungsinya, yang mana petugas dalam melaksanakan tugasnyamempunyai kedudukan sama dengan petugas lain yang ruang lingkupnya berbeda. 8Pembagian secara vertikal adalah pembagian tugas dan wewenang menurut tingkatannya,yang mana petugas dalam melaksanakan tugas dan atau wewenangnyamempunyai kedudukan yang berbeda tingkatannya dengan petugas lain, petugas yanglebih tinggi kedudukannya dapat melimpahkan tugas dan atau wewenang kepada petugasyang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, penyelenggaraan pemerintahan daerahdengan program otonomi dan desentralisasi dalam konsep Negara kesatuan, merupakansalah satu bentuk pembagian tugas dan wewenang dengan cara vertikal. 9Untuk Pemerintahan desa, sebenarnya tidak ada ketentuan perundangan- undanganyang secara tegas menyatakan bahwa desa merupakan daerah otonom, namun dalamUndang-Undang No. 22 tahun 1999 menyatakan bahwa,“Desa atau yang disebut dengan mana lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuanmasyarakat <strong>hukum</strong> yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menguruskepentingan masyarakat setampat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempatyang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.7E.B. Sitorus, dkk, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Desa, Departemen Dalam Negeri,Jakarta, 2007, hlm. 97.8R. Abdoel Djamil, Pengantar Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 899Ibid
EMILDA FIRDAUSVOLUME2 No. 1 Agustus 201114Ketentuan serupa juga terdapat dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yangmerupakan pengganti Undang-Undang No.22 Tahun 1999. Dari ketentuan ini dapat kitamenyimpulkan bahwa kalimat “Desa adalah kesatuan masyarakat <strong>hukum</strong> yang memilikibatas-batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentinganmasyarakat setempat”. ini dapat diartikan desa adalah daerah otonom karena adanyakewenangan yang diberikan perundangan-undangan kepada desa untuk mengurus sendirikepentingan masyarakat desa setempat, yang mana kewenangan untuk mengatur danmengurus kepentingan sediri merupakan inti makna dari istilah otonomi.Dalam pengertian sosiologis, desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuanmasyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungandimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyakbergantung kepada alam.Dari sudut pandang politik dan administrasi pemerintahan, desa dipahami sebagaisuatu daerah kesatuan <strong>hukum</strong> dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa(memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri. Pengertian ini sangat menekankanadanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentinganpenduduk.Munculnya otoritas politik di dalam suatu komunitas yang disebut dengan desa secarainternal mudah dipahami, dengan melihat sejarah perkembangannya. Secara faktualjumlah penduduk bertambah dan masalah-masalah berkaitan dengan kepentinganmasyarakat bertambah. Kenyataan tersebut sudah barang tentu mendorong munculnyasuatu otoritas yang diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan yang merealisasikanaspirasi yang berkembang.Berdasarkan aspek yuridis formal, maka perkembangan desa di Indonesia dapatditelusuri melalui implementasi berbagai produk perundang-undangan yang mengaturtentang desa. Mulai dari Pasca masa kemerdekaan hingga produk <strong>hukum</strong> PemerintahanRepublik Indonesia sekarang.1. BPD Pasca Kemerdekaan dan Era Pemerintahan Orde lama (1945-1965)Sejak awal kemerdekaan Pemerintah Indonesia telah memberikan pengakuanterhadap kedudukan dan keberadaan Desa. Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-UndangDasar 1945 Nomor II disebutkan bahwa:“Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestuurundelandschappendan Volksgemmeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali. Daerahdaerahitu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerahyang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerahdaerahistimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerahitu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.”Peraturan perundang-undangan pertama yang dibentuk untuk mengaturpenyelenggaraan pemerintahan desa saat berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 adalahUndang-Undang Nomor. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Dengan dibentuknya undang-
JURNALILMU HUKUM15undang ini maka semua peraturan perundangan yang berlaku sebelumnya seperti IGOdan IGOB dinyatakan tidak berlaku lagi.Adapun yang dimaksud dengan desa praja adalah kesatuan masyarakat <strong>hukum</strong> yangtertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri memilikipenguasa dan mempunyai harta benda sendiri. 10 Badan musyawarah desa praja adalahsebagai badan perwakilan dari masyarakat desa praja dan cara pemilihan dan pengangkatananggotanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.Undang-undang ini tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, disebabkanterjadinya peristiwa G-30-S/PKI yang telah menimbulkan dampak berbagai macamkehidupan sehingga mengalami kesulitan untuk melaksanakannya. Seiring dengan itu,Pemerintahan Orde lama membuat kebijakan untuk menitik beratkan otonomi yangseluas-luasnya kepada daerah. Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 perlu ditinjau kembalisehubungan dengan Instruksi Mentri Dalam Negeri No.29 Tahun 1966 tentang PenundaanRealisasi Pembentukan Desa Praja. Akibatnya ditunda berlakunya Undang-Undang No.19 Tahun 1965 daerah mengalami kesulitan dalam penyelengaaraan pemerintahan desa,terutama dalam pemilihan kepala desa. Agar ada pedoman secara nasional maka padaTahun 1978 ditetapkan Peraturan Mentri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1978 tentang Pemilihan,Pengesahan, Pengangkatan Pemberhentian Sementara dan Pemberhentian Kepala Desa. 112. BPD pada Era Pemerintahan Orde BaruSatu tahun setelah dikeluarkannya Peraturan Mentri Dalam Negeri tersebut, dibentukUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pembentukan undangundangini didasarkan pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1965 tidaksesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan perlu diganti. Undang-undang inimengarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan coraknasional menjamin terwujudnya demokrasi Pancasila secara nyata, dengan menyalurkanpendapat masyarakat dalam wadah yang disebut Lembaga Musyawarah Desa (LMD)Selanjutnya undang-undang ini mengatur dua organisasi pemerintahan terendahdibawah kecamatan, yakni desa dan kelurahan. Desa adalah suatu wilayah yang ditempatioleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat<strong>hukum</strong> yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah di bawah kecamatan danberhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara KesatuanRepublik Indonesia. Sedangkan Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati olehsejumlah penduduk, mempunyai organisasi terendah langsung di bawah camat, dan tidakberhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. 12Hal ini secara jelas disebutkan dalam konsideran menimbang dalam Undang-UndangNomor. 5 Tahun 1979 bahwa” Sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia,maka kedudukan Desa sejauh mungkin diseragamkan dengan mengindahkan keragamankeadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku”. Namun upaya penye-10Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,2005, hlm. 144-145.11Ibid, hlm.146.12Ibid,.hal. 148.
EMILDA FIRDAUSVOLUME2 No. 1 Agustus 201116ragaman pengaturan masyarakat desa justru menghambat tumbuhnya kratifitas danpartisipasi masyarakat. 13Dalam penjelasan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 ini menyatakan, bahwa Desaadalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah pewarisan dari undang-undang yanglama yang pernah ada yang mengatur desa, yaitu Inlandsche Gemeente Ordonanntie/(IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dan Inlandsche Gemeente OrdonanntieBuitengwesten (IGOB) yang berlaku diluar Jawa dan Madura. Peraturan perundangundanganini tidak mengatur desa secara seragam dan kurang memberikan dorongankepada masyarakat untuk tumbuh kearah kemajuan yang dinamis. Akibatnya desa danpemerintahan desa yang sekarang ini bentuk dan coraknya masih beraneka ragam.Masing-masing memiliki ciri-cirinya sendiri yang terkadang-kadang dianggap merupakanhambatan untuk pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidupmasyarakatnya. 14Jadi, secara formal dan eksplisit, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 ditujukanuntuk melakukan penyeragaman bentuk terhadap keanekaragaman tata pemerintahandesa yang ada. Tujuan politisnya adalah untuk melakukan intervensi dan standarisasiyang diinginkan oleh rezim orde baru agar dapat mengendalikan semua level pemerintahansecara penuh. Kelemahan dari undang-undang ini adalah tidak adanya pemisahankekuasaan antara eksekutif dan legislatif. 15 Pemerintah Desa menurut undang-undang iniadalah terdiri dari Kepala Desa Dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Dalam hal iniKepala Desa berkedudukan sebagai alat Pemerintah, alat Pemerintah Daerah dan alatPemerintah Desa yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. 163. BPD pada Era ReformasiEra reformasi membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi daerah, ketikadesentralisasi dan demokrasi lokal mengalami kebangkitan, menyusul lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.Dari sisi desentralisasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara signifikanmemberi penghargaan terhadap keragaman lokal, membuka ruang bagi masyarakat lokaluntuk menemukan identitas lokal yang telah lama hilang selama penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, mengurangi kontrol negara terhadap desa, serta sedikitbanyak memberikan kewenangan untuk memperkuat eksistensi dan otonomi desa. Jikadibawah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 desa ditempatkan sebagai unitpemerintahan terendah dibawah camat, maka di bawah Undang-Undang Nomor. 22 Tahun1999 desa ditempatkan sebagai kesatuan masyarakat <strong>hukum</strong> yang berhak dan berwenangmengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul 17 .13Wasistiono, Op.Cit, hal. 20-21.14HAW.Widjaja, Op.Cit, hlm. 10.15Maryuni, Alokasi Dana Desa Formulasi dan Implementasi, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya,Malang, 2002, hlm. 10.16Soewarno Handajaningrat & R. Hindratmo, Landasan dan Pedoman Kerja Administrasi Pemerintah Daerah,Kota dan Desa, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1993, hlm. 77.17Abdul Rozaki, dkk, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Ire Pres, Yogyakarta, 2005, hlm. 11.
JURNALILMU HUKUM17Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menegaskan bahwa desa tidak lagimerupakan wilayah administratif, bahkan tidak lagi menjadi bawahan atau unsurpelaksanaan daerah, tetapi menjadi daerah yang istimewa dan bersifat mandiri yang beradadalam wilayah kabupaten sehingga setiap warga desa berhak berbicara atas kepentingansendiri sesuai kondisi budaya yang hidup di lingkungan masyarakatnya 18 .Undang-Undang No.22 Tahun 1999 telah membuka ruang politik yang lebih inklusifserta memotong sentralisme dan ototiterisme di tangan “penguasa tunggal” kepala desa.Masyarakat desa sekarang jauh lebih kritis menuntut kinerja kepala desa lebih akuntabeldan transparan dalam mengelola kebijakan dan keuangan desa. Keberadaan badanPerwakilan desa (BPD) menjadi aktor baru pendorong demokrasi.Masyarakat berharap bahwa kehadiran BPD menjadi dorongan baru bagi demokrasidesa, yakni sebagai artikulator aspirasi dan partisipasi masyarakat, pembuat kebijakansecara partisipasi masyarakat dan alat kontrol yang efektif terhadap pemerintah desa 19 .Badan Perwakilan Desa (BPD) atau disebut dengan nama lain dalam Undang-UndangNomor 22 Tahun 1999 sebagai lembaga legislatif desa yang berfungsi mengayomi adatistiadat, bersama- sama Pemerintah Desa membuat dan menetapkan Peraturan Desa(PERDES), menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pejabat atau intansiyang berwenang serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PERDES, APBDserta keputusan Kepala Desa.Pelaksanaan fungsi BPD ditetapkankan dalam Tata Tertib BPD sendiri dalam Pasal1 Huruf b Kepmendagri No. 64 Tahun 1999 dinyatakan secara tegas bahwa pemerintahdesa adalah kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan BPD.Dari ketentuan ini tampak jelas bahwa antara lembaga pemerintahan desa dan BPDmerupakan lembaga yang terpisah yang mempunyai tugas dan kewenangan sendiri 20 .Dalam Pasal I huruf (o) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah disebutkan bahwa,“Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuanmasyarakat <strong>hukum</strong> yang memiliki batas-batas wilayah yang berwewenang untukmengatur dan mengurus kepentingan masyarkat setempat, berdasarkan asal-usuldan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system PemerintahanNegara Kesatuan Republik Indonesia.Ketentuan ini mengandung semangat untuk mengembalikan Desa menurut asalusuldan adat istiadat, dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri. Namun kekeliruan terbesar dari ketentuan ini adalah membatasikeberadaan Desa hanya pada wilayah kabupaten. Konsekuensi yang terjadi pada saat ituadalah seluruh Desa yang berada di wilayah Kota berubah menjadi Kelurahan, danKelurahan yang berada di wilayah Kabupaten berubah menjadi Desa.18HAW.Widjaja, Op. Cit, hlm. 17.19Abdul Rozaki, dkk, Op. Cit, hlm. 12.20HAW.Widjaja,Op.Cit, hlm. 27.
EMILDA FIRDAUSVOLUME2 No. 1 Agustus 201118BPD atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa, berfungsisebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal Anggaran Pendapatan dan BelanjaDesa atau Peraturan Desa, dan Keputusan Kepala Desa,dan juga sebagai sebagai saranapenampung dan penyalur aspirasi masyarakat desa. Di desa dapat dibentuk lembagakemasyarakatan desa lainnya sesuai dengan kebutuhan desa bersangkutan.Kehadiran BPD dengan fungsi dan wewenang yang dimilikinya memungkinkan adanyakeseimbangan dan fungsi saling mengawasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa,sehingga keberadaan kepala desa yang ada pada orde baru seperti “ Penguasa tunggal” didesa tidak akan terjadi lagi.Agar Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 khususnya mengenai peraturan yangmengatur tentang pemerintahan Desa dapat dilaksanakan dengan baik makadikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No. 76 Tahun 2001tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.Dalam Pasal 31 PPRI No. 76 Tahun 2001 disebutkan bahwa anggota Badan PerwakilanDesa dipilih dari dan oleh penduduk desa Warga Negara Republik Indonesia yangmemenuhi persyaratan yang diatur dalam Peraturan Daerah.Penggantian Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 32Tahun 2004, khusus materi muatan tentang pemerintahan desa, membawa implikasiterhadap terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa dalam rangka penyesuaiandengan isi Pasal 18 B UUD 1945 dan Kepala Daerah tidak lagi bertanggung jawab kepadaDPRD. Demikian pula Kepala Desa tidak lagi bertanggung jawab kepada BPD. 21Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan koreksi atas kelemahanyang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Undang-Undang No. 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara jelas dan tegas memuat substansimengenai pengakuan dan pengormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat <strong>hukum</strong>adat serta hak tradisionalnya pengertian Desa dan kawasan perdesaan, pembentukan,penggabungan/penghapusan desa, sistem penyelenggaraan pemerintahan desa dan urusanpemerintahan yang menjadi kewenangannya, perangkat desa, badan permusyawaratandesa, kelembagaan masyarakat di desa, keuangan desa, kerjasama desa, penyelenggaraanpembinaan dan pengawasan serta pemberdayaan masyarakat desa. 22Pemerintahan desa terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. 23Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri darisekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi dari Pegawai NegeriSipil yang memenuhi peryaratan.Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini memberi peluang kepada masyarakat <strong>hukum</strong>adat memilih Kepala Desa atau sebutan lain menurut <strong>hukum</strong> adatnya. Selain itu juga, tatacara pemilihan baik pemilihan kepala desa di luar maupun di dalam masyarakat <strong>hukum</strong>adat akan diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah yang berpedoman pada peraturanpemerintah. Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya tidak lagi21Dasril Radjab, Op.Cit, hlm.158.22Wasistiono, Op. Cit, hlm.29.23Pasal 200, Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004.
JURNALILMU HUKUM19bertanggung jawab kepada kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tetapi cukupmemberikan laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) yang tidak membawakonsekuensi langsung pemberhentian Kepala Desa. Masa jabatan kepala desa selama 6tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. 24Adapun Fungsi Badan Permusyawaratan Desa adalah menetapkan peraturan desabersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BadanPermusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa yang ditetapkan dengan caramusyawarah dan mufakat. Pimpinannya dipilih dari dan oleh anggota Badan PermusyawaratanDesa. Tata cara penetapan anggota dan pimpinan Badan PermusyawaratanDesa diatur lebih lajut dengan peraturan daerah. Di desa juga dapat dibentuk lembagakemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa dengan berpedoman padaperaturan perundang-undangan. 25Dengan berlakunya Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang baru, yaituUndang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang No.22 Tahun1999, keberadan BPD juga berganti nama manjadi BPD. Meskipun Badan PermusyawaratanDesa berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak memiliki fungsipengawasan/kontrol terhadap kepala desa, tetapi dari sisi pelaksanaan partisipasimasyarakat dalam proses pembangunan masih terbuka dengan diberikannya dua fungsikepada Badan Permusyawaratan Desa yang dulu dimiliki oleh BPD berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun1999, yaitu berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi danmenetapkan Perdes, fungsi yang dimiliki Badan Permusyawaratan Desa merupakan saranapenting bagi pelembagaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan desa.BPD yang selama ini berubah namanya menjadi Badan Permusyawaratan Desa.BadanPermusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan Desa bersama Kepala desa,menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat . Oleh karenanya BPD sebagai badanpermusyawaratan yang berasal dari masyarakat desa, disamping menjalankan fungsinyasebagai jembatan penghubung antara Kepala Desa dengan masyarakat desa, juga harusdapat menjalankan fungsi utama yakni fungsi representasi. 26Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pasal 34 jugamenjelaskan tentang fungsi BPD yaitu menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa,menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Bahkan dalam PPRI No. 72 ini jugamenjelaskan lebih rinci tentang tugas dan wewenang Badan Permusyawaratan Desa.C. KesimpulanDalam tiga periode pemerintahan di Indonesia yaitu dari periode orde lama, periodeorde baru dan orde reformasi, telah mengakui adanya sistem pemerintahan desa danbadan legislatif desa walaupun memiliki perbedaan dalam wujud implementasinya. Padamasa orde lama lahir Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang desa praja dan24Dasril Radjab, Op. Cit, hlm. 158.25Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Kata Hasta, Jakarta,2005, hlm. 263.26Wasistiono, Op. Cit, hlm.34.
EMILDA FIRDAUSVOLUME2 No. 1 Agustus 201120dibentuk badan musyawarah desa praja, tapi tdk dapat berjalan maksimal karenakebijakan pemerintah pada waktu itu tidak mendukung. Memasuki masa orde barudilakukan penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasionaluntuk menjamin terwujudnya demokrasi pancasila, dibentuk lembaga masyarakat desa( LMD ) untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, tapi penyeragaman pengaturan tentangdesa justru menghambat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat desa. Pada ordereformasi berlaku dua undang-undang tentang pemerintahan daerah. Pada UndangundangNomor 22 Tahun 1999 telah membuka ruang bagi masyarakat lokal untukberpartisipasi dalam pemerintahan dan memperkuat eksistensi dan otonomi desa. Di desadibentuk badan perwakilan desa sebagai lembaga legislatif yang menjadi aktor barupendorong demokrasi. Lembaga ini berfungsi membuat peraturan desa bersamapemerintah desa, menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasanterhadap peraturan desa, APBD serta keputusan kepala desa.Lahirnya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerahmerupakan koreksi dari undang-undang sebelumnya, perubahan yang mencolok terletakpada digantinya istilah badan perwakilan desa menjadi badan permusyawaratan desa,perubahan lainnya bahwa kepala desa tidak lagi bertanggungjawab kepada badanpermusyawaratan desa tapi hanya memberikan laporan pertanggungjawaban dan tidakmembawa konsekuensi langsung pemberhentian kepala desa. Perubahan pengaturantentang BPD pada undang-undang yang baru ini ternyata malah melemahkan kembalieksistensi BPD yaitu pertama perubahan nama lembaga ini merupakan titik awal yangmembuat keberadaan BPD menjadi tumpul, BPD harus dikembalikan lagi pada fungsiawalnya sebagai badan perwakilan desa, yang kedua perubahan keanggotaan BPD yangtidak dipilih lagi oleh rakyat tapi ditentukan oleh undang-undang , ini jelas tidakmencerminkan jiwa demokrasi yang sesungguhnya karena tidak mengikutsertakanpartisipasi rakyat, yang ketiga menghilangkan fungsi pengawasan terhadap pemerintahandesa dimana tidak ada pengaturan tentang standar pengawasan BPD terhadap kinerjakepala desa.Terlepas dari kelemahan-kelemahan di atas, kehadiran BPD yang merupakanlembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dapatdianggap sebagai parlemen desa dan sebagai lembaga yang baru didesa pada era otonomidaerah di Indonesia wajarlah jika masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam halpengaturan terhadap BPD itu sendiri dan kedepannya diharapkan dapat dilakukanperubahan-perubahan untuk lebih menjamin eksistensi lembaga BPD sebagai lembagalegislatif desa dan terciptanya pendidikan demokrasi pada sistem pemerintahan desasebagai instrumen terkecil dari sistem pemerintahan di Indonesia.D. Daftar PustakaAbdoel R Djamil, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005Abdul Rozaki dkk, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, Yogyakarta, Ire Press, 2005Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2005E.B.Sitorus dkk, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Tentang Desa, Jakarta,Departemen Dalam Negeri, 2007
JURNALILMU HUKUM21Handajaningrat, Soewarno dan R. Hindratmo, 1993, Landasan Dan Pedoman KerjaAdministrasi Pemerintah Daerah, Kota dan Desa, Jakarta, CV. Haji MasagungMaryuni, Alokasi Dana Desa Formulasi dan Implementasi,Universitas Brawijaya, 2002Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.Romli Atmasasmita, “Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional,”seminar pembangunan <strong>hukum</strong> nasional VIII yang diselenggarakan oleh BadanPembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI,Denpasar, 14-18 Juli 2003Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Jakarta, Kata Hasta Pustaka, 2005Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Amandemen).Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan PenjelasanUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Surabaya:Lima Bintang.Wasistiono Sadu dan Irwan Tahir,Prospek Pengembangan Desa. Bandung: Fokusmedia.,2007WAH.Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli Bulat Dan Utuh. Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2005
VOLUME2 No. 1 Agustus 201122PEMILIHAN KEPALA DAERAH YANG DEMOKRATISDALAM PERSPEKTIF UUD 1945NOPYANDRIPerumahan Kembar Lestari Blok AC No. 17 RT 36 Kelurahan Kenali BesarKec. Kotabaru, JambiAbstrakPemilihan kepala daerah secara langsung ini telahberlangsung sejak tahun 2005, yang didasarkan padaketentuan UU No. 32 Tahun 2004 dengan berlandaskanpada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.Kenyataan yang tak terhindarkan dalam pemilihankepala daerah secara langsung adalah muncul kapitalisasidalam tahapan pemilihan kepala daerahyang ternyata jauh lebih mahal dibandingkan denganmodel pemilihan kepala daerah lewat perwakilanDPRD serta nuansa yang paling menonjol adalahmaraknya sengketa pemilihan kepala daerah yangdiajukan ke Mahkamah Konstitusi. Kebijakan politikpemerintah dan DPR melalui UU No. 32 Tahun 2004yang selanjutnya diubah dengan UU No. 12 Tahun2008 menentukan bahwa pemilihan kepala daerahadalah pemilihan yang dilakukan secara langsungsesungguhnya harus dipandang sebagai politik<strong>hukum</strong> pemilihan kepala daerah.AbstractDirect election of regional heads have taken place sinceyear 2005, that relied on by rule of UU of Number 32Year 2004 with have base of rule section 18 article 4Constitusional 1945. Inescapable fact in direct localelections in stages capitalization is emerging localelections that were far more expensive than the modelof local elections by Parliament representatives as wellas the nuances of the most notable is the rise of localelection dispute is submitted to the ConstitutionalCourt. Policy of the government and Parliamentthrough Law No. 32 of 2004 which further amendedby Act No. 12 of 2008 specifies that local elections areconducted in direct elections should be viewed as apolitical fact local election law.Kata kunci : Pemilihan kepala daerah, kebijakan, politik <strong>hukum</strong>.A. PendahuluanPemilihan kepala daerah (pilkada) sekarang ini dilakukan secara langsung. Pemilihankepala daerah secara langsung ini telah berlangsung sejak tahun 2005, yang didasarkanpada ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 dengan berlandaskan pada ketentuan Pasal 18ayat (4) UUD 1945 yang menentukan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasingsebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secarademokratis.Apabila dicermati, sesunggunnya ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebuttidak menegaskan keharusan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota harus dipilih melaluisuatu pemilihan yang dilaksanakan secara langsung. Akan tetapi, menurut Rozali Abdullah,oleh karena Daerah merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia,maka dalam melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnyasinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu melalui pemilihan langsung. 1Setelah proses percepatan demokrasi secara beruntun tersebut berjalan kurang lebihlima tahun terhitung dari 1 Juni 2005, ternyata masih juga menyisakan banyak persoalan,bahkan agenda pemilihan kepala daerah secara langsung pun juga berkontribusi1Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, RajawaliPers, Jakarta, 2005, hlm. 53.
JURNALILMU HUKUM23menambah beban politik, sosial bahkan beban finansial republik ini. Pemilihan kepaladaerah secara langsung terlalu boros, dan tidak seimbang dengan cost politik yang telahdikorbankannya.Kenyataan yang tak terhindarkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsungadalah muncul kapitalisasi dalam tahapan pemilihan kepala daerah. 2 Dengan munculnyakapitalisasi ini maka pemilihan kepala daerah secara langsung jauh lebih mahal dibandingkandengan model pemilihan kepala daerah lewat perwakilan DPRD. 3Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung selama ini, nuansa yangpaling menonjol adalah maraknya sengketa pemilihan kepala daerah yang diajukan keMahkamah Konstitusi. Sidang sengketa pemilihan kepala daerah telah mendominasiperkara yang ditangani Mahkamah Konstitusi. 4Selain itu juga maraknya kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan kepala daerahsecara langsung yang terjerat kasus korupsi. Kabar tentang kepala daerah yang tersandungkasus korupsi tak pernah berhenti mengalir. Ironisnya, setiap minggu selalu ada kepaladaerah yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Umumnya, terjeratnyapara kepala daerah itu terkait erat dengan proses pemilihan kepala daerah yang sudahmenelan biaya cukup banyak. 5Pemilihan kepala daerah ini menjadi menarik untuk diteliti terkait Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang saat ini sedang disiapkan kementerian Dalam Negeri.Dalam Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah tersebut diatur bahwaPemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPRD. 6Ulasan mengenai pemilihan kepala daerah, baik secara langsung atau secaraperwakilan melalui DPRD sebagaimana diuraikan di atas sesungguhnya menunjukkanbahwa pilihan akan bentuk pemilihan kepala daerah belumlah tuntas. Pasal 18 ayat (4)UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional pemilihan kepala daerah hanyamenggariskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, namun Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004, menterjemahkan kalimat “dipilih secara demokratis” sebagaimanadinyatakan Pasal 18 ayat (4) sebagai pemilihan langsung.2Amirudin dan A. Zaini Bisri, Pilkada Langsung: Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,hlm. 59.3Ibid4Menurut Kepala Bagian Administrasi Perkara, Muhidin, selama tahun 2010 sengketa pemilihan kepaladaerah yang teregistrasi di Mahkamah Konstitusi sebanyak 230 perkara, sedangkan pengujiaan UU(PUU) 120 perkara, serta sengketa kewenangan lembaga Negara (SKLN) hanya dua perkara., http://www.antaranews.com/berita/1293630961/sengketa-pilkada-paling-banyak-diperkarakan, unduh 15Mei 20115Pernyataan ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di hadapan para peserta Rapat Kerjadengan Komite I DPD di Gedung DPD RI, Senayan, pertengahan Januari 2011 dan secara secara lugasGamawan Fauzi menuding pelaksanaan Pilkada sebagai akar permasalahannya. Di mana seseorang yangberminat untuk maju sebagai calon bupati, calon walikota ataupun calon gubernur harus siap menanggungpendanaan (materi) selama proses pemilihan kepala daerah berlangsung. Dalam sekali proses pemilihanmulai dari kampanye, kunjungan ke daerah-daerah hingga pembuatan atribut kampanye diperkirakanmenghabiskan dana Rp 60 sampai 100 miliar. Lantas dari mana dana itu berasal, bisa dari hasil menjualbarang-barang pribadinya atau meminjam dari kanan-kiri. http://hminews.com/news/korupsi-kepaladaerah-yang-terpilih-yang-jadi-terdakwa/,diunduh tanggal 22 Mei 2011.6Pemilihan Oleh DPRD Untungkan Parpol Besar, KOMPAS, edisi 11 Februari 2011.
NOPYANDRIVOLUME2 No. 1 Agustus 201124B. Keunggulan dan Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah Secara LangsungPemilihan kepala daerah secara langsung memiliki korelasi yang sangat erat denganpelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyatdapat menentukan sendiri pemimpin di daerahnya, sehingga terjalin hubungan yang eratantara kepala daerah dengan rakyat yang dapat mendorong terwujudnya penyelenggaraanpemerintahan daerah yang demokratis dan partisipatif.Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan beberapa kelebihan,yaitu: pertama, Kepala Daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang kuatkarena didukung oleh rakyat yang memberikan suara secara langsung. Legitimasimerupakan hal yang sangat diperlukan oleh suatu pemerintahan yang sedang mengalamikrisis politik dan ekonomi. Krisis legitimasi yang menggerogoti kepemimpinan kepaladaerah akan mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ekonomi di daerah.Kedua, Kepala Daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai atau fraksifraksipolitik yang telah mencalonkannya. Artinya, Kepala Daerah terpilih berada di atassegala kepentingan dan dapat menjembatani berbagai kepentingan tersebut. Apabilakepala daerah terpilih tidak dapat mengatasi kepentingan-kepentingan partai politik, makakebijakan yang diambil cenderung merupakan kompromi kepentingan partai-partai danseringkali berseberangan dengan kepentingan rakyat.Ketiga, Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung lebih akuntabel dibandingkansistem lain yang selama ini digunakan karena rakyat tidak harus menitipkan suaranyakepada anggota legislatif secara sebagian atau penuh. Rakyat dapat menentukan pilihannyaberdasarkan kepentingan dan penilaian atas calon. Apabila Kepala Daerah terpilih tidakmemenuhi harapan rakyat, maka dalam pemilihan berikutnya, calon yang bersangkutantidak akan dipilih kembali. Prinsip ini merupakan prinsip pengawasan serta akuntabilitasyang paling sederhana dan dapat dimengerti oleh rakyat maupun politisi.Keempat, Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebihseimbang. Dengan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, kedudukan dan posisikepala daerah sangat kuat sehingga DPRD sebagai lembaga legislatif daerah tidak dapatmenekan kepala daerah atas suatu kebijakan yang dilakukan atau menekan kepala daerahuntuk memenuhi kehendak dan tuntutan DPRD. Dengan demikian, kepala daerah dapatbekerja dengan tenang untuk mengimplementasikan program kerjanya tanpa harusterusik oleh tuntutan DPRD. Meskipun demikian, kepala daerah tetap harus memperhatikanpendapat DPRD terkait pelaksanaan fungsi DPRD sebagaimana diatur dalamperaturan perundang-undangan.Kelima, kriteria calon Kepala Daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yangakan memberikan suaranya. Oleh karena rakyat yang akan menentukan sendiri kepaladaerahnya, maka rakyat dapat menentukan kriteria-kriteria ideal seorang calon kepaladaerah. Dengan criteria yang ditentukan sendiri oleh rakyat, maka rakyat akan memilihsalah satu pasangan calon kepala daerah. Dengan demikian pilihan rakyat ditentukan olehrakyat itu sendiri.Namun yang juga harus diperhatikan bahwa sistem pemilihan kepala daerah secaralangsung juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu: Pertama, dana yang dibutuhkansangat besar. Pemilihan kepala daerah secara langsung membutuhkan dana atau anggaran
JURNALILMU HUKUM25yang sangat besar untuk kebutuhan operasional, logistik, dan keamanan.Besarnya biaya yang harus disiapkan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerahsecara langsung ini tidak hanya merupakan beban yang harus dipikul calon kepala daerahsaja tetapi juga harus ditanggung pemerintahan daerah. Besarnya biaya dalam pemilihankepala daerah secara langsung ini akan lebih berat lagi manakala penyelenggaraanpemilihan kepala daerah harus dilakukan dalam dua putaran (two round).Pemilihan kepala daerah secara langsung dalam era liberalisasi politik dengankekuatan partai politik yang dominan, memungkinkan sekali yang bias bertempur di sanaadalah mereka yang memiliki capital ekonomi dan politik yang kuat. 7 Para pengusahayang dekat dengan partai politik atau para incumbent yang kaya, adalah yang paling besarmendapatkan peluang masuk dalam bursa pencalonan dalam pemilihan kepala daerah.Atas dasar kemampuan financial dan kekuatan kapital ekonomi ini, maka yang dapatmasuk dalam bursa kepemimpinan daerah bukanlah figur-figur yang berkompeten yangmemiliki kapabilitas yang baik, akan tetapi hanya mereka yang termasuk dalam kelompokorang kaya atau memiliki kemampuan financial yang kuat. 8Kedua, membuka kemungkinan konflik antara elite dan massa. Pemilihan kepaladaerah secara langsung membuka potensi terjadinya konflik, baik konflik yang bersifatelite maupun konflik massa secara horizontal. Konflik ini semakin besar kemungkinanakan terjadi pada masyarakat paternalistik dan primordial, dimana pemimpin dapatmemobilisasi pendukungnya.Ketiga, aktivitas rakyat terganggu. Pemilihan kepala daerah secara langsung akandisibukkan aktivitas para calon dan partai politik pendukungnya untuk mengadakankampanye dan menyebarkan isu-isu politik serta melakukan manuver-manuver langsungke tengan masyarakat dengan maksud mempengaruhi pilihan rakyat.Oleh karena itu, dalam kesemarakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secaralangsung, telah menimbulkan adanya gangguan terhadap aktivitas rutin masyarakat,dimana masyarakat akan turut disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang terkait pelaksanaanpemilihan kepala daerah tersebut.C. Pemilihan Kepala Daerah Secara Demokratis Menurut Pasal 18 ayat (4)UUD 1945Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan koreksi ataspelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan rakyat di DPRD berdasarkanUndang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Koreksi atas sistempemilihan kepala daerah ini dilakukan dengan diimplementasikannya payung <strong>hukum</strong>pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, yakni Undang-undang Nomor 32Tahun 2004.Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudiandiubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008. Lahirnya Undang-undang Nomor7Amirudin dan A. Zaini Bisri, Pilkada Langsung: Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,hlm. 29.8Ibid, hlm. 30.
NOPYANDRIVOLUME2 No. 1 Agustus 20112612 Tahun 2008 ini sesungguhnya tidak terlepas dari perdebatan yang berkembang dimasyarakat menyangkut eksistensi pemilihan kepala daerah, yaitu apakah pemilihankepala daerah itu masuk dalam rezim pemerintahan daerah atau rezim pemilihan umum?Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemilihan kepaladaerah, sesungguhnya lahir bersamaan dengan Pasal 18A dan Pasal 18B, yaitu padaperubahan kedua UUD 1945 dan dimasukkan dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah.Selanjutnya Pasal 22E lahir melalui perubahan ketiga UUD 1945 tetapi tidak memasukkanPasal 18 ayat (4) melainkan hanya ketentuan Pasal 18 ayat (3) yang mengatur mengenaiDPRD. Hal ini, menurut Leo Agustina, setidaknya dapat diartikan bahwa Konstitusi tidakhendak memasukkan pemilihan kepala daerah dalam pengertian pemilihan umumsebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) yang menyebutkan “pemilihan umumdilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. 9Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah tidak lagidipilih melalui sistem perwakilan oleh DPRD, akan tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat.Ini berarti pemilihan kepala daerah secara langsung memberi peluang bagi rakyat untukikut terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan yang sangat strategis dalampenyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung.Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemilihan kepaladaerah secara langsung itu menggunakan rujukan atau konsideran Pasal 1, Pasal 18, Pasal18A, dan Pasal 18B UUD 1945. Frase “kedaulatan di tangan rakyat” dan dipilih secarademokratis” agaknya menjadi sandaran pembuat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004merumuskan diterapkannya pemilihan kepala daerah secara langsung untuk menggantikanpemilihan kepala daerah melalui sistem perwakilan melalui DPRD sebagaimana diaturdalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Akan tetapi, kata “dipilih secara demokratis”ini menurut Susilo dapat ditafsirkan pemilihan langsung oleh rakyat atau pemilihanmelalui perwakilan oleh DPRD. 10 Untuk mewujudkan pemilihan Gubernur, Bupati, danWalikota secara demokratis diperlukan media untuk membentuk dan menciptakan konsepyang tepat, yang kemudian dikenal dengan istilah pemilihan kepala daerah. Pemilihankepala daerah merupakan media untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secarademokratis sesuai dengan amanat UUD 1945.Persoalan mendasar mengenai pemilihan kepala daerah pada umumnya tersangkutpada pemahaman dan pemaknaan atas kata “demokratis” yang kemudian diperdebatkanmenjadi pemilihan langsunglah yang disebut demokratis dan pendapat lain yangmenyatakan pemilihan tak langsung pun sesungguhnya juga dapat demokratis.Mekanisme pemilihan kepala daerah disebut demokratis apabila memenuhi beberapaparameter. Robert Dahl, Samuel Huntington (1993) dan Bingham Powel (1978) sebagaimanadikutip Saukani, HR dan kawan-kawan mengatakan bahwa parameter untukmengamati terwujudnya demokrasi antara lain: pemilihan umum, rotasi kekuasaan,rekrutmen secara terbuka, serta akuntabilitas publik. 119Leo Agustina, Op.Cit. hlm. 79.10Susilo, “Menyongsong Pilkada yang Demokratis”, Artikel, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.2 No. 2 – Juni 2005.11Syaukani HR, Affan Gaffar, dan Ryas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2002, hlm. 12-13.
JURNALILMU HUKUM27Terkait kebijakan memilih sistem pemilihan secara langsung dalam pemilihan kepaladaerah, tidak terlepas dari disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentangSusunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam Undang-undangNomor 22 Tahun 2003, antara lain direposisi kewenangan dan fungsi DPRD, yakni fungsimeminta pertanggungjawaban kepala daerah dan memilih kepala daerah. Denganhilangnya fungsi memilih kepala daerah oleh DPRD, berarti istilah pemilihan kepala daerahsecara demokratis dalam Pasal 18 ayat UUD 1945 adalah pemilihan langsung oleh rakyat.Meskipun pemilihan secara langsung dipandang memiliki makna positif dari aspeklegitimasi dan kompetensi, prase “dipilih secara demokratis” sebagaimana dimaksud Pasal18 ayat (4) UUD 1945 tidak dapat diterjemahkan secara tunggal sebagai pemilihan secaralangsung. Pemilihan secara tidak langsung atau perwakilan pun dapat diartikan sebagaipemilihan yang demokratis, sepanjang proses pemilihan yang dilakukan demokratis. 12Pemahaman ini didasarkan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khususatau bersifat istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18B UUD 1945. Dengan demikian,pemahaman mendasar terhadap ketentuan pemilihan kepala daerah sebagaimanadimaksud Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terutama terkait prase “…dipilih secara demokratis”dapat dimaknai bahwa pemilihan kepala daerah dapat dilakukan dalam 2 (dua) cara, yaitupemilihan secara langsung oleh rakyat atau pemilihan melalui perwakilan yangdilaksanakan oleh DPRDD. PenutupDengan memahami jiwa yang terkandung dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD1945 dan dihubungkan dengan pembahasan sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnyadapat diketahui bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sepanjang berkaitan denganpemilihan kepala daerah tidaklah menekankan pada “cara” pemilihan itu dilakukan, yaitudengan sistem langsung atau sistem perwakilan, namun yang menjadi penegasan dariketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah “proses” pemilihan, yaitu bahwa pemilihankepala daerah harus dilakukan secara demokratis.Penyimpulan ini didasarkan pada dua hal, yaitu: pertama, di Indonesia dikenal dandiakui adanya daerah-daerah otonom yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dalamUUD 1945. Kekhususan dan keistimewaan ini pada pokoknya dapat pula diwujudkan dalambentuk pemilihan kepala daerahnya, misalnya dengan mekanisme pemilihan dengan sistemperwakilan. Kedua, sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah Republik Indonesia melaluiKementerian Dalam Negeri menggagas kebijakan pemilihan gubernur dengan sistempemilihan melalui perwakilan oleh DPRD Provinsi.Bahwa kebijakan politik pemerintah dan DPRD melalui Undang-undang Nomor 32Tahun 2004 yang selanjutnya diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008menentukan bahwa pemilihan kepala daerah adalah pemilihan yang dilakukan secaralangsung sesungguhnya harus dipandang sebagai politik <strong>hukum</strong> pemilihan kepala daerah.12Leo Agustina, Op.Cit, hlm. 79.
NOPYANDRIVOLUME2 No. 1 Agustus 201128E. Daftar PustakaBukuAbdul Gaffar Karim (Editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, GhaliaIndonesia, Bogor, 2007Ahmad Nadir, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi, Averroes Press, Malang, 2005Amirudin dan A. Zaini Bisri, Pilkada Langsung: Problem dan Prospek, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2006Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian (Penyunting), Memperkokoh Otonomi Daerah:Kebijakan, Evaluasi dan saran, UII Press, Yogyakarta, 2005.Elvi Juliansyah, PILKADA Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah, Mandar Maju, Bandung, 2007Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistem dan ProblemaPenerapannya di Indonesia, Pustaka Pelajar dan LP3M Universitas Wahid Hasyim,Jakarta, 2005Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan OtonomiMenuju Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang, 2005Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah SecaraLangsung, Rajawali Pers, Jakarta, 2005Saukani HR, Affan Gaffar, dan Ryass Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan kelima, Liberty,Yogyakarta, 2007Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Rajawali Pers, Jakarta, 2006Jurnal IlmiahAnsorullah, Reformasi Pilkada Langsung, Artikel, Jurnal Konstitusi Fakultas HukumUniversitas Jambi, Volume III Nomor 2, November 2010Cecep Effendi, Evaluasio Kritis Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung,Artikel, Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan PerundangundanganDepartemen Hukum dan HAM RI, Vol. 2 No. 2-Juni 2005Susilo, Menyongsong Pilkada yang Demokratis, artikel, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.2No. 2 – Juni 2005Zainal Arifin Hoesein, Pemilu Kepala Daerah dalam Transisi Demokrasi, Jurnal KonstitusiVol. 7 Nomor 6, Desember 2010
JURNALILMU HUKUM29MakalahAbdul Bari Azed/Hendra Nurtjahyo, 2010, Refleksi Legal Filosofis Eksistensi PemilukadaLangsung Dalam Demokrasi Indonesia, Makalah, Disampaikan pada Seminar RefleksiPemilukada: Pengaturan, Pelaksanaan Serta Dampaknya Terhadap Pembangunandan Pemerintahan, Universitas Jambi, tanggal 15 Mei 2010Ansorullah, 2010, Pilkada Langsung: Implikasi dan Pengaturan Ke Depan, Makalah,Disampaikan pada Seminar Refleksi Pemilukada: Pengaturan, Pelaksanaan SertaDampaknya Terhadap Pembangunan dan Pemerintahan, Universitas Jambi, tanggal15 Mei 2010Mirza Nst, 2010, Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung DalamPerundang-undangan Indonesia, Makalah, disampaikan pada Seminar “PolitikHukum Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Dalam Perundang-undanganIndonesia” di Jambi, dalam Pertemuan BKS Dekan FH PTN Se-Indonesia, tanggal24 November 2008Ramly Hutabarat, 2010, Politik Hukum Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah(Pemilukada) Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, Makalah, disampaikan pada Seminar Refleksi Pemilukada Pengaturan,Pelaksanaan serta Dampaknya terhadap pembangunan dan pemerintahan diUniversitas Jambi tanggal 15 Mei 2010.Sukamto Satoto, 2010, Demokrasi dan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung,Makalah pada Acara Uji Sahih Naskah Akademik dan RUU Pemilihan Kepala Daerah”yang diselenggarakan FH Unja kerjasaman dengan DPD RI, Jambi, 2 Februari 2009.Internethttp://www.antaranews.com/berita/1293630961/sengketa-pilkada-paling-banyakdiperkarakanhttp://hminews.com/news/korupsi-kepala-daerah-yang-terpilih-yang-jadi-terdakwa/Media MassaKOMPAS, edisi 11 Februari 2011Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan UmumPeraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,dan Pemberhentian Kepala Daerah.
VOLUME2 No. 1 Agustus 201130DESA SEBAGAI UNIT PEMERINTAHAN TERENDAHDI KOTA PARIAMANHENGKI ANDORAKompl. Puri Filano Asri Blok D No. 5 Kubu DalamParak Karakah-PadangAbstrakPariaman menerapkan sistem pemerintahan desasebagai sistem pemerintahan terendah yang terdiridari 55 desa dan 16 kelurahan. Kebijakan ini didasarkanpada beberapa pertimbangan, yaitu: i)masyarakat telah merasa nyaman dengan penerapansistem pemerintahan desa; ii) penyatuandesa-desa ke dalam nagari akan menyebabkan berkurangnyaalokasi dana yang akan diterima dariPemerintah; iii) kalaupun ingin diubah sistempemerintahan desa ini, para responden lebih cenderungmenginginkan agar diubah menjadi sistemkelurahan dengan dasar pertimbangan bahwamasyarakat di Kota Pariaman sudah heterogen; daniv) penerapan sistem pemerintahan nagari akanmenimbulkan hilangnya jabatan publik dan lapangankerja masyarakat yang duduk dalam strukturkelembagaan desa.AbstractPariaman apply two system of lowest government inits region, namely the system of Desa and system ofKelurahan. Number of desa is 55 Desa and number ofKelurahan is 16 Kelurahan. Pariaman not want to applythe system of Nagari, with arguing: i) in ruralcommunities have felt comfortable with the system ofDesa (status quo); i) the establishment of Nagarigovernment system will cause a reduction in theallocation of development fund from the goverment;iii) Pariaman already heterogenous society; and iv)the establishment of Nagari system will cause losspublic office and employment for people who sit in theDesa institutional structures. Desa in Pariamanperformed in accordance with Local Regulation No. 7of 2007 on Desa. Institutional Desa consist of Desagovernment, Badan Permusyawaratan Desa (BPD),and another Desa Institutional.Kata kunci: Desa, kelurahan, dan nagari.A. PendahuluanPerubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari sistem sentarlisasi menujusistem desentralisasi menyebabkan terbukanya ruang bagi Daerah untuk mengurus danmengatur rumah tangganya sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Atas dasaritu, Daerah bisa saja mengambil kebijakan pembenahan sistem pemerintahan sesuaidengan kondisi sosial budaya dan aspirasi masyarakat di Daerah.Secara konstitusional, tindakan itu dibenarkan oleh UUD 1945. Setidaknya, hal tersebutdapat dibaca pada Pasal 18 B UUD 1945. Dalam Pasal 18 B UUD 1945 dijelaskanbahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yangbersifat khusus atau bersifat istimewa. Pengakuan dan penghormatan tersebut sepanjangsatuan-satuan masyarakat <strong>hukum</strong> adat dan hak-hak tradisionalnya masih hidup dan sesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pada level kebijakan, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dapat dikatakan telahmengambil langkah progresif dalam menyikapi hal tersebut. Sejak tahun 2000, PemerintahProvinsi Sumatera Barat telah membenahi sistem pemerintahan terendah diKabupaten dengan menerapkan kembali sistem pemerintahan nagari melalui PeraturanDaerah Provinsi No. 9 tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.Nagari sebagai sistem pemerintahan asli dari masyarakat <strong>hukum</strong> adat Minangkabau,memang pada awalnya hanya dimungkinkan pada daerah kabupaten saja. Namun melaluiPerda Provinsi No. 2 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari, peluang penerapan sistem
JURNALILMU HUKUM31pemerintahan nagari tersebut diperluas pada daerah kota. Sayangnya, hingga hari ini,belum ada satu pun Kota di Sumatera Barat yang berani mengambil sikap untuk menerapkansistem pemerintahan nagari di wilayahnya.Walaupun demikian, ternyata ada 2 (dua) Daerah Kota di Sumatera Barat yang menerapkansistem pemerintahan desa di wilayahnya, yaitu Kota Sawahlunto dan KotaPariaman. Seperti yang telah diketahui masyarakat umum, Nagari itu merupakan padanandari desa. Dari segi pengaturan, tidak ada perbedaan antara Nagari dan Desa. Perbedaannyacuma terletak pada nomenklatur saja.Kendati pun demikian, secara prinsip Nagari dan Desa itu berbeda. Nagari merupakansistem pemerintahan asli masyarakat <strong>hukum</strong> adat Minangkabau, sedangkan Desa lebihidentik sebagai sistem pemerintahan yang diterapkan di Jawa dan Madura.Atas dasar itu, pertanyaan utama yang akan dijawab dalam artikel ini adalah mengapadaerah kota tersebut lebih cenderung menggunakan sistem pemerintahan desa dan bukanmemilih sistem pemerintahan nagari. Namun, atas dasar pertimbangan efektifitas danefisiensi dalam penelitian yang telah dilaksanakan, maka obyek penelitian ini lebihdifokuskan pada daerah Kota Pariaman.Sebenarnya, Kota Pariaman tidak secara utuh menerapkan sistem pemerintahan desadi seluruh wilayah administrasinya. Setidaknya, Kota Pariaman menerapkan 2 (dua) polaadministrasi pemerintahan terendah, yakni Sistem Kelurahan dan Simtem PemerintahanDesa. Pada saat ini, jumlah kelurahan di Kota Pariaman adalah sebanyak 16 Kelurahan,sedangkan jumlah Desa di Kota Pariaman adalah sebanyak 55 Desa.Sebaran penerapan Pemerintah Kelurahan tidak merata di Kota Pariaman. PemerintahKelurahan hanya diterapkan secara utuh di Kecamatan Pariaman Tengah. Selain dariKecamatan Pariaman Tengah, penyelenggaraan administrasi pemerintahan terendah diKota Pariaman lebih banyak menggunakan sistem pemerintahan desa.Mesti telah menerapkan sistem pemerintahan desa di wilayahnya, ternyata Nagarisebagai wilayah <strong>hukum</strong> masyarakat <strong>hukum</strong> adat di Kota Pariaman masih tetap eksis.Saat ini, ada 12 (tiga belas) nagari adat di Kota Pariaman, yaitu Nagari Pasar Pariaman,Nagari IV Koto Air Pampan, Nagari Manggung, nagari Sikapak, Nagari Cubadak air, NagariNaras III Koto, Nagari Tungkal, Nagari Sunur, Nagari Kurai Taji, Nagari Lareh NanPanjang, Nagari IV Koto Sungai Rotan, dan Nagari IV Angkek Padusunan. Menariknya,wilayah Nagari adat tersebut meliputi beberapa desa dan Kelurahan di Kota pariaman.Berdasarkan uraian di atas, maka artikel ini akan mengulas dan membahas: 1) mengapaPemerintah Kota pariaman menggunakan sistem pemerintahan desa dan bukanmemilih sistem pemerintahan Nagari; 2) bagaimana penyelenggaraan Pemerintahan Desasaat ini di Kota Pariaman .B. Pertimbangan Kota Pariaman Menerapkan Sistem Pemerintahan DesaBukan Menerapkan Sistem Pemerintahan Nagari di WilayahnyaDitinjau dari aspek historis, Kota Pariaman pada mulanya merupakan wilayah pemekarandari Kabupaten Padang Pariaman. Sebelumnya berstatus sebagai daerah otonom,Kota Pariaman terlebih dahulu berstatus sebagai kota administratif dan masih merupakan
HENGKI ANDORAVOLUME2 No. 1 Agustus 201132bagian dari Kabupaten Padang Pariaman. Status Kota Pariaman sebagai kota administratifdiresmikan pada tanggal 29 Oktober 1987 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustamberdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1986 dengan Walikota pertamanyaDrs. Adlis Legan. Selanjutnya, pada tahun 2002, Kota Pariaman berubah menjadi kotaotonom berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2002.Secara geografis Kota Pariaman terletak di pantai barat pulau Sumatera danberhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Kota Pariaman pada sisi utara, selatan,dan timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Padang Pariaman dan di sebelah baratberbatasan dengan Samudera Indonesia. Secara astronomis Kota Pariaman terletak antara00 derajat 33 ‘ 00 “ – 00 derajat 40 ‘43 “ Lintang Selatan dan 100 derajat 04 ‘ 46 “ – 100derajat 10 ‘ 55 “ Bujur Timur, tercatat memiliki luas wilayah sekitar 73,36 kilo meterpersegi, dengan panjang garis pantai 12,00 kilo meter persegi. Luas daratan daerah inisetara dengan 0,17 persen dari luas daratan wilayah Propinsi Sumatera Barat.Masyarakat di kota Pariaman ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan etnisMinangkabau umumnya. Sebagai kawasan yang berada dalam struktur rantau, beberapapengaruh terutama dari Aceh masih dapat ditelusuri sampai sekarang, diantaranyapenamaan atau panggilan untuk seseorang di kawasan ini, misalnya ajo (lelaki dewasa,dengan maksud sama dengan kakak) atau cik uniang (perempuan dewasa, dengan maksudsama dengan kakak) sedangkan panggilan yang biasa digunakan di kawasan darek adalah uda(lelaki) dan uni (perempuan). Selain itu masih terdapat lagi beberapa panggilan yang hanyadikenal di kota ini seperti bagindo atau sidi (sebuah panggilan kehormatan buat orangtertentu).Kemudian dalam tradisi perkawinan, masyarakat pada kota ini masih mengenal apayang dinamakan Bajapuik atau Babali yaitu semacam tradisi di mana pihak mempelaiwanita mesti menyediakan uang dengan jumlah tertentu yang digunakan untuk meminangmempelai prianya.Kota Pariaman terdiri dari 4 (empat) kecamatan, yaitu Kecamatan Pariaman Utara,Kecamatan Pariaman Tengah, Kecamatan Pariaman Timur dan Kecamatan PariamanSelatan. Penyelenggaraan administrasi pemerintahan terendahnya dilaksanakan dalambentuk Kelurahan dan Desa. Jumlah Kelurahan di Kota Pariaman sebanyak 16 Kelurahan,sedangkan jumlah Desa di Kota Pariaman sebanyak 55 desa. Dengan demikian, penerapansistem pemerintahan desa lebih banyak diterapkan di Kota Pariaman bila dibandingkandengan sistem kelurahan.Nagari sebagai kesatuan masyarakat <strong>hukum</strong> adat Minangkabau di Kota Pariamanmasih tetap eksis. Nagari di Kota Pariaman tidak menjadi penyelenggara administrasipemerintahan. Nagari di Kota Pariaman hanyalah sebagai nagari adat yang dikelola dandipimpin oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN). Nagari adat ini hanya sekedar menunjukkankeberadaan masyarakat <strong>hukum</strong> ditinjau dari aspek wilayah <strong>hukum</strong> adat belaka.Jumlah nagari di Kota Pariaman sebanyak 12 nagari. Secara administratif, Nagari initerbagi-bagi ke dalam wilayah administrasi pemerintahan, baik dalam bentuk desamaupun kelurahan.
JURNALILMU HUKUM33Tabel. 1Nagari dan Pembagian Wilayah Administrasi Pemerintahannyadi Kota PariamanNo. Nagari JumlahDesaJumlahKelurahan1. Pasar Pariaman - 42. V Koto Air Pampan 6 123. Manggung 4 -4. Sikapak 2 -5. Cubadak Air 3 -6. Naras III Koto 6 -7. Tungkal 2 -8. Sunur 1 -9. Kurai Taji 13 -10. Lareh Nan Panjang 2 -11. IV Koto Sungai Rotan 9 -12. IV Angkek Padusunan 7Jumlah 55 16Sumber: Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Nagari, Desa, dan Kelurahan padaKecamatan Dalam Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat, Biro Pemerintahan danKependudukan Provinsi Sumatera Barat tahun 2010Berdasarkan data di atas, terlihat jelas bahwa penerapan sistem kelurahan hanyaditerapkan secara utuh di Nagari Pasar Pariaman. Di Nagari IV Koto Air Pampan, administrasipemerintahannya terbelah menjadi 2 (dua), yaitu sistem pemerintahan desa(sebanyak 6 desa) dan sistem kelurahan (sebayak 12 kelurahan). Selain Nagari PasarPariaman dan Nagari V Koto Air Pampan, administrasi pemerintahan terendah yangditerapkan di nagari-nagari dalam bentuk sistem pemerintahan desa.Sebagai daerah otonom yang dimekarkan dari Kabupaten Padang Pariaman,penyelenggaraan administrasi pemerintahan terendahnya masih menggunakan sistempenyelenggaraan pemerintahan sebagaimana halnya ketika Kota Pariaman masih menjadibagian dari Kabupaten Padang Pariaman.Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Kota Pariaman diresmikan menjadiKota Administratif pada tanggal 29 Oktober 1987, yaitu melalui Peraturan PemerintahNomor 33 tahun 1986. Pada tahun 1987 tersebut, sistem penyelenggaraanadministrasi terendah di Sumatera Barat masih memakai sistem pemerintahan desa.Sistem penyelenggaraan desa ini dilaksanakan berdasarkan UU No. 5 tahun 1979 tentangDesa. Dengan demikian, ketika Kota Pariaman menjadi Kota Administratif, administrasipemerintahan terendahnya otomatis masih memakai sistem pemerintahan desa.Sebagaimana sebelumnya disinggung, ketika Pemerintah Provinsi Sumatera Baratmengambil kebijakan menerapkan kembali sistem pemerintahan nagari, kebijakan ituhanya berlaku pada daerah kabupaten saja. Di daerah kota, sistem pemerintahan nagariini tidak diterapkan. Penerapan sistem pemerintahan nagari di Kota baru diberi ruangketika Pemerintahb Provinsi Sumatera Barat mencabut Perda Provinsi Sumatera BaratNo. 9 tahun 2000 dan menggantinya dengan Perda Provinsi Sumatera Barat No. 2 tahun
HENGKI ANDORAVOLUME2 No. 1 Agustus 2011342007. Pasal 26 Perda Provinsi Sumatera Barat No. 2 tahun 2007 menyatakan bahwaPembentukan Pemerintahan Nagari di Kota dapat dilakukan atas inisiatif masyarakatsetempat dan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.Walaupun secara normatif, peluang untuk menerapkan sistem pemerintahan nagaridapat diterapkan di daerah kota, namun Pemerintah Kota Pariaman tidak menempuhhal tersebut. Pemerintah Kota Pariaman masih tetap menerapkan sistem pemerintahandesa di sebagian daerahnya. Dari hasil wawancara dengan responden di lapangan, adabeberapa keberatan penerapan sistem pemerintahan nagari di Kota Pariaman, yaitu: i)masyarakat telah merasa nyaman dengan penerapan sistem pemerintahan desa; ii)penyatuan desa-desa ke dalam nagari akan menyebabkan berkurangnya alokasi danayang akan diterima dari Pemerintah; iii) kalaupun ingin diubah sistem pemerintahan desaini, para responden lebih cenderung menginginkan agar diubah menjadi sistem kelurahandengan dasar pertimbangan bahwa masyarakat di Kota Pariaman sudah heterogen; daniv) penerapan sistem pemerintahan nagari akan menimbulkan hilangnya jabatan publikdan lapangan kerja masyarakat yang duduk dalam struktur kelembagaan desa.1. Masyarakat merasa nyamanan dengan sistem pemerintahan desa (status quo)Secara sosiologis, masyarakat yang tinggal di desa telah merasa nyaman dengan sitempemerintahan desa. Sistem pemerintahan desa ini telah mengakar dan telah menjadi bagiandari kehidupan sosial masyarakat di desa walaupun sebenarnya desa ini bukan berasaldari identitas adat mereka. Responden menganggap bahwa perubahan sistem pemerintahandesa ke sistem pemerintahan nagari tentu akan menimbulkan pengaruh yangsangat besar pada kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka menginginkan agarPemerintah Kota Pariaman mempertimbangkan secara matang ketika kebijakanperubahan sistem pemerintahan desa ini diterapkan di Kota Pariaman. Kalaupun sistempemerintahan desa ini akan diganti, mereka lebih menyukai diubah ke sistem Kelurahanbukan ke sistem pemerintahan nagari.2. Berkurangnya alokasi dana dari PemerintahSebagai konsekuensi penerapan pemerintahan nagari, maka akan terjadipenggabungan beberapa desa dan/atau kelurahan ke dalam wilayah Nagari sebagaimanayang telah ada berdasarkan ketentuan <strong>hukum</strong> adat. Desa akan berubah menjadi korongdan menjadi bagian administrasi pemerintahan nagari. Jika hal ini terjadi, masyarakatkhawatir bahwa alokasi dana yang akan diterima oleh nagari tidak sebesar ketikapenerapan sistem pemerintahan desa. Kucuran dana dari Pemerintah tentu didasarkankepada berapa jumlah nagari di Kota Pariaman, tidak lagi berdasarkan desa atau korongyang ada di nagari. Hal ini jelas akan merugikan program pembangunan yang ditujukanuntuk kepentingan masyarakat itu sendiri.3. Masyarakat sudah heterogenKarakter masyarakat yang mendiami Kota Pariaman sudah beragam, tidak lagihomogen. Dengan sudah bercampur baurnya masyarakat asli dengan masyarakatpendatang akan menyulitkan penerapan sistem pemerintahan nagari. Di sisi lain, nilainilaiadat istiadat Minangkabau sudah mulai meluntur dalam kehidupan masyarakat.Dengan demikian, sistem pemerintahan terendah yang cocok diterapkan adalah Kelurahan,bukan sistem pemerintahan nagari.
JURNALILMU HUKUM354. Hilangnya jabatan publik dan lapangan pekerjaan masyarakat yang duduk dalamstruktur kelembagaan DesaDengan digabungnya desa-desa ke dalam nagari tentu akan menyebabkan akanhilangnya jabatan-jabatan publik di desa. Jabatan Kepala Desa, perangkat desa, badanperwakilan desa tentu akan dihilangkan dan disesuaikan dengan struktur kelembagaannagari. Dengan dihilangkannya jabatan tersebut, maka elit-elit masyarakat di desa akankehilangan jabatan dan pekerjaan. Hal ini sangat tidak diinginkan terjadi oleh elit-elitmasyarakat tersebut.C. Pelaksanaan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kota PariamanPada hakekatnya, penyelenggaraan pemerintahan desa di Kota Pariaman merupakanbagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai bagian dari penyelenggaraanpemerintahan daerah, pengaturan desa tunduk kepada UU No. 32 tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah. Pengaturan desa dalam UU No. 32 tahun 2004 tersebut kemudiandijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa.Dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa di Kota Pariman, PemerintahanDaerah Kota Pariaman telah membentuk Peraturan Daerah Kota Pariaman No. 7 tahun2007 tentang Desa. Dalam Perda ini, diatur lebih lanjut mengenai penyelenggaraan desasecara lebih spesifik, walaupun sebenarnya kebanyakan norma pengaturan dalam Perdaini mengulang-ulang norma yang telah ditegaskan dalam PP No. 72 tahun 2005.1. Kewenangan DesaMelalui Pasal 3 Perda Kota Pariaman No. 7 tahun 2007, ditentukan secara limitatifurusan pemerintahan yang dapat diserahkan kepada Desa. Tidak kurang, ada sekitar 31urusan pemerintahan yang dapat diserahkan kepada Desa.Tabel. 2Urusan Pemerintahan Kota yang dapat Diserahkan ke Desa1. Bidang Pertanian danKetahanan Pangan2. Bidang Pertambangan danEnergi serta Sumber DayaMineral3. Bidang Kehutanan danPerkebunan4. Bidang Perindustrian danPerdagangan5. Bidang Koperasi dan UsahaKecil dan Menengah6. Bidang Penanaman Modal7. Bidang Tenaga Kerja danKebudayaan8. Bidang Kesehatan9. Bidang Pendidikan danKebudayaan10. Bidang sosial11. Bidang Penataan Ruang12. BidangPemukiman/Perumahan13. Bidang PekerjaanUmum14. Bidang Perhubungan15. Bidang LingkunganHidup16. Bidang Politik Dalam Negeridan Administrasi Publik17. Bidang Otonomi Desa18. Bidang PerimbanganKeuangan19. Bidang Tugas Pembantuan20. Bidang Pariwisata21. Bidang Pertahanan22. Bidang Kependudukan danCatatanSipil23. Bidang KesatuanBangsa danPerlindungan Masyarakat danPemerintahan Umum24. Bidang perencanaan25. Bidang penerangan/informasidan Komunikasi26. Bidang pemberdayaanPerempuan dan PerlindunganAnak27. Bidang Keluarga Berencana danKeluarga Sejahtera28. Bidang Pemuda dan Olahraga29. Bidang pemberdayaanMasyarakat Desa30. Bidang Statistik31. Bidang Arsip dan Perpustakaan
HENGKI ANDORAVOLUME2 No. 1 Agustus 201136Untuk menyerahkan urusan pemerintahan tersebut kepada Desa, Walikota melakukanpengkajian dan evaluasi terhadap jenis urusan yang akan diserahkan kepada Desa. 1 Untukitu, Walikota dapat membentuk Tim Pengkajian dan Evaluasi Penyerahan UrusanPemerintahan Kota Kepada Desa. 2 Selanjutnya, Walikota menetapkan Peraturan Walikotatentang Penyerahan Urusan Pemerintahan Kota kepada masing-masing Desa. 3 Apabilapelaksanaan urusan Pemerintahan Kota yang telah diserahkan kepada Desa dalam kurunwaktu 2 (dua) tahun tidak berjalan secara efektif, Pemerintah Kota Pariaman dapat menariksebagian atau seluruh urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada desa. 42. Struktur Kelembagaan DesaSecara kelembagaan, Pemerintahan Desa di Kota Pariaman terdiri dari Pemerintah Desadan BPD. Selain itu, di desa juga dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan. Lembagakemasyarakatan dibentuk oleh desa sesuai dengan tingkat kebutuhan dan aspirasi masyarakatyang ada di desa. Lembaga kemasyarakatan tersebut dapat berupa PKK, Karang Taruna,organisasi pemuda, LKMD dan lain-lain sebagainya. Lembaga kemasyarakat tersebut ditetapkandalam Peraturan Desa. 5 Sedangkan mengenai pengukuhan pengurus lembaga kemasyarakattersebut ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. 6 Hubungan kerja antara lembagakemasyarakatan dengan pemerintahan desa bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif. 7a. Pemerintah DesaPemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiridari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya. Dalam hal ini, Perangkat desa lainnya ituterdiri dari Sekretariat Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun. Susunan organisasi dantata kerja pemerintahan desa selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Desa pada masingmasingdesa.Bagan Struktur Pemerintah DesaPemerintah DesaKepala DesaPerangkatDesaSekretaris DesaPerangkat DesaLainnya1. SekretariatDesa2. Kepala Urusan3. Kepala Dusun1Lihat Pasal 14 ayat (1) Perda Kota Pariaman No. 7 tahun 20072Lihat dalam Pasal 14 ayat (2) Perda Kota Pariaman No. 7 tahun 20073Lihat dalam Pasal 16 ayat (1) Perda Kota Pariaman No. 7 tahun 20074Pasal 18 ayat (1) Perda No. 7 tahun 20075Pasal ‘185 ayat (2) Perda Kota Pariaman No. 7 tahun 20076Pasal 185 ayat (3) Perda Kota Pariaman No. 7 tahun 20077Pasal 191 Perda Kota Pariaman No. 7 tahun 2007
JURNALILMU HUKUM37Kepala DesaKepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan,dan kemasyarakat. Kepala Desa dipilih secara langsung oleh penduduk desa. Masa jabatanKepala Desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilihkembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Dalam melaksanakan tugasnya, KepalaDesa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahandesa kepada Walikota dan memberikan laopran keterangan pertanggungjawaban kepadaBPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepadamasyarakatPerangkat DesaPerangkat desa bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugasnya. Dalammelaksanakan tugasnya, Perangkat Desa bertanggungjawab kepada Kepala Desa.Pelaksaanaan tugas Perangkat Desa dikoordinasikan oleh Sekretaris Desa. Selain itu,Sekretaris Desa juga mempunyai tugas dan kewajiban membantu Kepala Desa dalammenyusun kebijakan dan mengkoordinasi lembaga desa.Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, perangkat desa lainnya berupaKepala Urusan dan Kepala Dusun. Kepala Urusan diangkat oleh Kepala Desa dari pendudukdesa. Pengangkatan Kepala urusan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. MasaJabatan Kepala Urusan adalah selama 3 (tiga) tahun. Adapun yang menjadi tugas dariKepala Urusan adalah membantu Kepala Desa dalam bidang pemerintahan, pembangunan,kemasyarakatan, dan umum dan keuangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 Perda KotaPariaman No. 7 tahun 2007 dapat disimpulkan bahwa jumlah Kepala Urusan di desa ituada 4 (empat), yaitu Kepala Urusan Bidang Pemerintahan, Kepala Urusan BidangPembangunan, Kepala Urusan Bidang Kemasyarakatan, dan Kepala Urusan Bidang umumdan Keuangan.Sementara itu, Kepala Dusun merupakan jabatan publik yang ada di desa yangmempunyai tugas membantu Kepala Desa dalam menyelenggarakan urusanpemerintahan, kemasyarakatan, pembangunan, umum dan keuangan di wilayah kerjanya.Wilayah kerja Kepala Dusun adalah di tingkat Dusun. Kepala Dusun diangkat oleh KepalaDesa atas usulan masyarakat dusun yang bersangkutan. Pengangkatan Kepala Dusunditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Masa Jabatan Kepala Dusun adalah selama 3(tiga) tahun.Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, masing-masing perangkat desa harusmampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan kewenangannya tersebut.Sekretaris Desa bertanggungjawab kepada Kepala Desa. Kepala Urusan bertanggungjawabkepada Sekretaris Desa. Kepala Dusun bertanggungjawab kepada Kepala Desa melaluiSekretaris Desa.b. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraanpemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Anggota BPD adalahwakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengancara musyawarah dan mufakat, yang terdiri dari Pemangku Adat, Golongan Profesi,Pemuka Agama atau Pemuka Masyarakat lainnya. Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan
HENGKI ANDORAVOLUME2 No. 1 Agustus 201138jumlah ganjil paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang denganmemperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, kemampuan keuangan desa, keterwakilandan pemerataan antar dusun. Anggota BPD ditetapkan dengan Keputusan Walikota.BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung danmenyalurkan aspirasi masyarakat. Adapun yang menjadi kewenangan BPD adalah sebagaiberikut:a. membahas Rancangan Peraturan Desa bersama dengan Kepala Desa;b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perturan desa dan peraturan Kepala Desa;c. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa;d. membentuk panitia Pemilihan Kepala Desa;e. menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat;danf. menyusun tata tertib BPD.Masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun sejak tanggal pelantikan. AnggotaBPD dapat diangkat/dipilih kembali untuk masa 1 (satu) kali jabatan beikutnya. Susunankeanggotaan BPD terdiri dari unsur pimpinan dan anggota BPD. Pimpinan BPD terdiridari 1 (satu) orang Ketua, 1 (satu) orang Wakil Ketua, dan 1 (satu) orang Sekretaris. PimpinanBPD bertugas memimpin rapat-rapat BPD.3. Sumber Pendapatan DesaSumber pendapatan desa terdiri atas;a. Pendapatan Asli Desa, terdiri dari: Hasil usaha desa Hasil kekayaan desa Hasil swadaya dan partisipasi Hasil gotong royong Lain-lain pendapatan asli desa yang sahb. Bagi hasil penerimaan pajak daerah sebesar 10% dari retribusi tertentu dari daerahc. Bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh daerah sebesar 10% yangpembagiannya secara proporsionald. Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kotadalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahane. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.Hasil pendapatan tersebut di atas, dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan BelanjaDesa. Kemudian, Pasal 167 Perda Kota Pariaman No. 7 tahun 2007 juga menguraikankekayaan desa, yang terdiri dari:a. Tanah kas desab. Pasar desac. Pasar hewand. Tambatan perahue. Tanah lapang atau tempat rekreasi desaf. Labuah, tapian, balai, mesjid, surau desag. Tempat pelelangan ikan yang dikelola desah. Bangunan yang dibuat oleh penduduk/perantau untuk kepentingan umum
JURNALILMU HUKUM39i. Tanah, hutan, batang air, tabek, dan talago yang menjadi ulayat desaj. Lain-lain kekayaan milik desa.D. PenutupKesimpulan1. Secara sosiologis, Pemerintah Kota Pariaman dan masyarakat Kota Pariaman merasasangat “nyaman” dengan penyelenggaraan desa di Kota Pariaman. Mereka tidak maumenerapkan sistem pemerintahan nagari di kotanya dengan beberapa pertimbangan,yaitu: i) masyarakat telah merasa nyaman dengan penerapan sistem pemerintahandesa; ii) penyatuan desa-desa ke dalam nagari akan menyebabkan berkurangnyaalokasi dana yang akan diterima dari Pemerintah; iii) kalaupun ingin diubah sistempemerintahan desa ini, para responden lebih cenderung menginginkan agar diubahmenjadi sistem kelurahan dengan dasar pertimbangan bahwa masyarakat di KotaPariaman sudah heterogen; dan iv) penerapan sistem pemerintahan nagari akanmenimbulkan hilangnya jabatan publik dan lapangan kerja masyarakat yang dudukdalam struktur kelembagaan desa..2. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kota Pariaman mengacu kepada PP No. 72tahun 2005 tentang Desa. PP No. 72 tahun 2005 ini kemudian dielaborasi lebih lanjutoleh Kota Pariaman melalui Perda Kota Pariaman No. 7 tahun 2007 tentang Desa. Secaranormatif, baik penyelenggaraan Desa maupun penyelenggaraan pemerintahan nagaritidak jauh berbeda. Ke dua bentuk adminnistrasi pemerintahan terendah ini samasamamengacu kepada PP No. 72 tahun 2005. Hal yang membedakannya di antarakeduanya adalah kedudukan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam kelembagaanpemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ngari, KAN merupakan bagiandari kelembagaan pemerintahan nagari. Sedangkan dalam pemerintahan desa, KANmerupakan bagian yang terpisah dalam struktur kelembagaan desa. Dalam hal ini, KANdi Kota Pariaman meliputi beberapa desa dan/atau kelurahan.Saran1. Perubahan sistem pemerintahan terendah pada suatu Kota/Kabupaten memerlukankajian yang cukup mendalam. Ketika Pemerintah Kota akan menerapkan kebijakanperubahan sistem pemerintahan terendahnya, maka aspirasi yang berkembang dalammasyarakat harus direspon dan didengar. Dengan demikian, kebijakan tersebut tidakakan menjadi kontra produktif dan menimbulkan penolakan di tingkat masyarakatketika kebijakan tersebut telah diambil.2. Pemahaman masyarakat Kota Pariaman terhadap nagari dan hidup bernagari sudahmulai berkurang. Sehingga, ketika diwawancarai, masyarakat tidak mengetahui denganjelas tentang nagari dan hidup bernagari. Oleh karena itu, perlu juga kiranya masyarakatdiberikan sosialisasi tentang nagari maupun ketentuan <strong>hukum</strong> adat Minangkabau.3. Penyelenggaraan pemerintahan desa di daerah kota, tidak hanya diterapkan olehPemerintah Kota Pariaman saja. Pemerintah Kota Sawahlunto juga menerapkansistem pemerintahan desa di daerahnya. Oleh karena itu, perlu juga diadakan penelitianlanjutan tentang penerapan sistem pemerintahan desa di Kota Sawahlunto.
HENGKI ANDORAVOLUME2 No. 1 Agustus 201140E. Daftar PustakaAnonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1995Beckmann-Benda, Franz and Keebet, Recreating The Nagari: Desentralisation in WestSumatra, Max Planck Institute for Social Anthropology, Germany, 2001Budi Baik Siregar, , dkk, Kembali ke Akar: Kembali ke Konsep Otonomi MasyarakatAsli, Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat, Jakarta, 2002Eko Prasodjo, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerahdi Indonesia: Antara Sentrapetalisme dan Sentrifugalisme, Universitas Indonesia,Jakarta, 2006Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat Dari VOC Hingga Reformasi, Penerbit CitraPustaka, Yogyakarta, 2006————————, Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an,Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007Kansil, C.S.T, Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum Administrasi Daerah 1903-2001, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002Nasution, S, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2002——————— , Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Penerbit Tarsito, Bandung, 2002Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP,Jakarta, 2006.Sutandyo Wignosubroto dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100Tahun, Institute for Local Development, Jakarta, 2005Sutoro Eko, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, IRE Press, Yogyakarta, 2005.
JURNALILMU HUKUM41PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN DARI NEGERI DANMARGA MENJADI DESA DI KECAMATAN TUNGKAL ULUKABUPATEN TANJAB BARAT PROVINSI JAMBIERDIANTOPerumahan Nuansa Griya Flamboyan Blok I No. 15 Kel. DelimaKec. Tampan PekanbaruAbstrakMengungkapkan sejarah perkembangan desa daribernama negeri atau marga berarti juga membicarakansejarah <strong>hukum</strong> tentang pengaturandaerah otonom terkecil dalam struktur ketatanegaraanIndonesia. Tulisan ini menyimpulkanbeberapa hal tentang tumbuh dan berkembangnyadesa di Kecamatan Tungkal Ulu Tanjab BaratProvinsi Jambi. Penyesuaian bentuk desa menurutsistem yang hidup di Pulau Jawa senyatanya mengerdilkankemampuan desa untuk otonom.AbstractReveals the historical development of the village or clannamed country means also discuss the history of thelaw on setting up an autonomous region in the smallestadministrative structure Indonesia. This paper concludeda few things about the growth and developmentof villages in the District of West Tanjab TungkalUlu Jambi Province. Adjustment system according tothe form of the village who live in actual Java stuntcapability for autonomous villages.Kata kunci : Otonomi, desa, marga, dan negeri.A. PendahuluanSejarah merupakan suatu <strong>ilmu</strong> yang mempelajari masa lalu. Adapun kata ‘sejarah’yang dikenal dalam Bahasa Indonesia itu berasal dari kata Arab syajaratun yang berartipohon. Penggunaan kata Arab itu sendiri dalam konteks masa lalu mengacu sebagaisyajarah an-anasab, atau pohon silsilah. 1 Dalam perkembangannya di Indonesia, katasejarah berkembang menjadi istilah untuk menyebut kejadian atau peristiwa masa lalu.Adapun istilah Arab untuk menyebut sejarah seperti yang kita pahami adalah tarikh.Mencoba menyusun sejarah suatu masyarakat itu berarti berusaha kembali ke masalalu. Disinilah sesungguhnya kesulitan besar bagi penulis sejarah. Banyak peristiwa yangtidak terekam, tercatat apalagi terdokumentasikan dengan baik. Lebih-lebih lagi jikasejarah yang ingin ditulis berasal dari zaman sebelum adanya tulis baca, atau objek sejarahadalah masyarakat dimana tidak ditemukan tradisi menulis.Seperti yang dikatakan oleh Rajo Bujang dan kawan-kawan 2 dalam buku DinamikaMasyarakat Adat Tanjung Jabung Barat, mengupas dan melihat kembali sejarah ibaratmembangkitkan batang terendam, menghidupkan ranting nan mati, menjemput barangnan tetinggal, mengumpulkan barang nan beserak, bak emas pulang ke tambang, bakbelut pulang ke lumpur, tanah pulang ke jati, pendek tangan dak tejangkau, singkat kakidak telangkah, nak betanyo kawan lah pegi, nak belajar guru lah mati, nak mengaji kitablah ilang.Nama Tungkal Ulu yang kini menjadi nama salah satu kecamatan dalam KabupatenTanjung Jabung Barat yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah istilah yang lebih1M. Iskandar, dkk, Indonesia dalam Perkembangan Zaman, Ganeca Exact, Bandung, 2004, hal. 2.2Rajo Bujang dkk, Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Lembaga Adat KabupatenTanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, 2003, hal. 21-22.
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 201142luas yaitu meliputi pengertian Tungkal Ulu secara etnik dan kultural yang terdiri dariKecamatan Tungkal Ulu (yang kini dipecah pula menjadi Kecamatan Batang Asam danKecamatan Tebing Tinggi), Kecamatan Merlung (kini dipecah menjadi Kecamatan MuaraPapalik dan Kecamatan Renah mendaluh) dan sebagian Kecamatan Senyerang.Kapan pertama sekali istilah Tungkal Ulu, sulit dicari referensi yang dapatmendukungnya secara ilmiah. Namun, banyak pihak yang meyakini bahwa Tungkal padamasa lalu tidaklah terbagi antara Tungkal Ulu dan Tungkal Ilir sekarang. Istilah Tungkalpada masa lalu adalah juga untuk menyebut Tungkal Ulu sekarang, mengingat sejarahkedatangan orang ke Tungkal Ilir dapat diketahui dengan jelas. Jika kedatangan pendudukdi Tungkal Ilir sekarang, dapat diketahui, maka kapan datangnya penduduk di TungkalUlu sulit dicari kebenarannya secara ilmiah. Suku-suku yang kini mendiami wilayahTungkal Ilir seperti suku Melayu Timur, Palembang, Banjar, Jawa, dan Bugis dapat dengantegas menyebutkan dari mana mereka berasal. Tidak demikian halnya dengan masyarakatMelayu yang mendiami wilayah Kecamatan Merlung, Tungkal Ulu dan sebagian kecilKecamatan Pengabuan.Oleh karena itu diyakini pula bahwa orang-orang pertama yang datang di daerahyang kini bernama Tungkal Ulu jauh lebih dahulu dari ketika daerah ini bernama TungkalUlu. Banyak pendapat dan versi yang berkembang tentang nama Tungkal Ulu.Versi pertama adalah bahwa istilah Tungkal Ulu digunakan sebagai padanan TungkalIlir yaitu nama Marga yang beribukota di Kuala Tungkal. Dusun-dusun yang berada disekitar Kuala Tungkal dimasukkan dalam wilayah Marga Tungkal Ilir yaitu dusun-dusunyang berada di ilir Sungai Pengabuan. Sedangkan dusun-dusun yang berada di ulu SungaiPengabuan dimasukkan dalam satu Marga yang bernama marga Tungkal Ulu denganibukota di Merlung.Dalam istilah geografis, istilah Kuala atau Muara digunakan untuk nama daerah yangberada di kuala atau muara sungai yang yang mengalirinya. Misalnya Muara Bulian, adalahmuaranya Sungai Batang Bulian, Muara Tembesi adalah muaranya Sungai BatangTembesi. Kuala Dasal adalah muaranya Sungai Dasal. Meski demikian, terdapat jugapenamaan yang tidak ada kaitan dengan nama sungai yang mengalirinya sebut saja KualaLumpur, Kuala Simpang, Muara Jambi dan lain-lain.Menurut sebuah sumber seperti yang diceritakan Syafei Maturidi 3 , mantan PasirahMarga Tungkal Ulu dan Ketua Lembaga Adat Melayu Kabupaten Tanjung Jabung Baratistilah Kuala Tungkal tidak menunjukkan bahwa Sungai yang mengalirinya bernama sungaiTungkal. Nama sungainya tetaplah Sungai Pengabuan, adapun mengapa nama kuala SungaiPengabuan dinamakan Kuala Tungkal tidak Kuala Pengabuan karena muara atau kualasungai Pengabuan hanya satu atau tunggal. Muara atau Kuala sungai-sungai besar yangmengalir di Pulau Sumatera yang bermuara di pantai timur Sumatera pada umumnyabercabang.Karena itu, Kuala Sungai Pengabuan disebut Kuala Tunggal, atau kuala yang satu.Istilah Tunggal berubah Tungkal oleh perubahan dialek. Jika pendapat tersebut benar3Wawancara dengan Syafei Maturidi, Mantan Pasirah Marga Tungkal Ulu,Ketua Lembaga Adat Kec.Tungkal Ulu, tanggal 9 Februari 2005.
JURNALILMU HUKUM43adanya, dapat disimpulkan bahwa nama Kuala Tungkal lebih dulu dikenal, dan kehidupanmasyarakat di Kuala Tungkal lebih dahulu daripada masyarakat Tungkal Ulu. Ini artinyabertolak belakang dengan pendapat di atas. Dengan demikian, pendapat bahwa namaTungkal berasal dari kata “Tunggal” memiliki dasar yang lemah.Versi kedua, adalah berdasarkan tulisan HA Rivai 4 , seorang tokoh cendekiawanTungkal Ulu yang menulis Tambo Tungkal Ulu. Tulisan yang bercerita tentang apa yangdikisahkan dalam Tambo Tungkal Ulu juga diceritakan A Mukti Nasrudin 5 dalammakalahnya berjudul Jambi dalam Sejarah Nusantara 692-1949. Menurut kedua sumberini, orang-orang Tungkal Ulu sekarang jauh lebih dahulu mendiami daerah di ulu SungaiPengabuan ini. Orang-orang Tungkal Ulu diyakini berasal dari Pagaruyung bersamaandengan eksodusnya orang-orang Pagaruyung ke daerah lain dalam Propinsi Jambisekarang. Bukti kultural dan <strong>hukum</strong> adat menunjukkan bahwa pendapat tersebut adabenarnya. Terdapat sejumlah persamaan dalam <strong>hukum</strong> adat dan bahasa.Apa yang dituliskan HA Rivai dalam Tambo Tungkal Ulu, adalah berdasarkanpertemuan para Penghulu Kepala Dusun, Rio, dan Demong dalam Marga Tungkal Uluyang diadakan pada tahun 1968 di Pelabuhan Dagang. Di antara tokoh-tokoh yang hadirwaktu itu, terdapat nama Rio Muhammad Aji dari Lubuk Bernai, Hamzah bin H Tayibdari Merlung, Rio Sigeh dari Lubuk Kambing. Penghulu Zulkifli dari Penyabungan, RadenIbrahim dari Dusun Mudo, dan HA Rivai sendiri mewakili Pelabuhan Dagang. 6Orang-orang Minangkabau yang eksodus ke Tungkal Ulu sekarang bersamaan denganmereka yang juga mendiami sejumlah wilayah lain di Jambi dalam catatan Nasrudin adalahanak keturunan Adityawarman, Raja Melayu yang terkenal yang mendirikan KerajaanPagaruyung yang dipimpin oleh seorang Menteri bernama Datuk Malin Andiko Srimaharajo.Karena itulah mereka yang pertama kali kemudian mendiami wilayah Tungkal Ulu sekarangdisebut juga Suku Mandaliko. Jika tesis ini benar adanya, maka peristiwa eksodusnya orangMinangkabau ke Tungkal Ulu diperkirakan terjadi pada abad ke-15 dan orang-orang yangdatang dari Minangkabau tersebut telah memeluk Agama Islam.Hanya saja, rombongan orang-orang Minangkabau yang datang ke Tungkal mendapatibahwa daerah ini telah pula berpenghuni manusia diantaranya di Merlung, Tanjung Pakudan Suban, yaitu masyarakat peninggalan Kerajaan Kuntala. Mereka telah pulamempunyai struktur pemerintahan yang dikepalai seorang Demong.Pada mulanya, rakyat Kedemongan tidak mau tunduk kepada pendatang asalMinangkabau, tapi lama kelamaan mereka sepakat untuk berbaur menjadi masyarakatyang satu, dengan catatan tidak semua <strong>hukum</strong> adat Minangkabau dapat diterapkan diTungkal.Struktur pemerintahan pada masa itu tidak jauh berbeda dengan strukturpemerintahan di Minangkabau negeri asal Suku Mandaliko. Wilayah Tungkal Ulu dibagidalam tiga areal atau disebut ‘suku nan tigo. Tiga suku yang dimaksud adalah anakanaknyayang mendiami tiga wilayah masing-masing, Lubuk Kambing, Lubuk Bernai (Tanjung4HA Rivai, Tambo Tungkal Ulu, Tidak diterbitkan.5A. Mukti Nasrudin, Jambi dalam Sejarah Nusantara, makalah, Tidak diterbitkan, Jambi, 1989.6Rajo Bujang, dkk, Op.Cit, hal. 22.
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 201144Genting) dan Rantau Benar sekarang. Pada perkembangannya masyarakat perantauan asalMinangkabau berbaur dengan masyarakat Melayu asal Johor menjadi masyarakat TungkalUlu setelah Kerajaan Johor menaklukkan Tungkal. Yang memberi nama Tungkal adalah parabangsawan Johor yang tersesat dalam perjalanannya menuju Indragiri. Nama Tungkal diambildari nama kayu yang banyak ditemui di kuala sungai Pengabuan.Sekembalinya mereka ke Johor, Sultan memerintahkan untuk mendatangi kembaliSungai Tungkal untuk melakukan invasi. Invasi kesultanan Johor berhasil dilakukandengan damai. Para petinggi Johor dan Minang akhirnya sepakat membagi anak keturunanDatuk Mandaliko dalam beberapa suku, yaitu Suku Benaluh yang pemimpinya bergelarPaduko, Suku Lingkis yang pemimpinya bergelar Rio Singokarti, suku Runai Air Talunyang pemimpinnya bergelar Rio Manaleko Eleng, serta suku Dusun Baru yangpemimpinnya bergelar Rio Manaleko Panai. 7Versi ketiga adalah berasal dari makna kata “tungkal” dalam Bahasa Ogan diSumatera Selatan yang berarti bukit. Pengartian Tungkal sebagai bukit masuk akal karenapada masa lalu yang ada hanya lah Tungkal saja tanpa ada pembagian antara ilir dan ulu.Tungkal pada masa lalu hanya terdapat di bagian ulu yang merupakan daerah perbukitandalam kawasan yang sekarang disebut dengan nama Taman Nasional Bukit Tiga Puluh,sebuah kawasan perbukitan di pesisir timur Sumatera. Oleh karena itu tidak lahmengherankan jika ternyata istilah “Tungkal” tidak saja digunakan di Provinsi Jambi,tetapi terdapat juga nama daerah di empat provinsi lain yang menggunakan kata Tungkal.Daerah-daerah tersebut adalah:Kecamatan· Tungkal Ulu, Tanjung Jabung Barat· Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat· Tungkal Ilir, Banyuasin· Tungkal Jaya, Musi BanyuasinDesa/kelurahan· Lawe Tungkal, Tanoh Alas, Aceh Tenggara· Tungkal Selatan, Pariaman Utara, Pariaman· Tungkal Utara, Pariaman Utara, Pariaman· Tungkal Harapan, Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat· Tungkal IV Kota, Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat· Tungkal III, Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat· Tungkal II, Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat· Tungkal I, Tungkal Ilir, Tanjung Jabung Barat· Tungkal V, Seberang Kota, Tanjung Jabung Barat· Tungkal IV Desa, Seberang Kota, Tanjung Jabung Barat· Tungkal, Muara Enim, Muara Enim· Simpang Tungkal, Tungkal Jaya, Musi Banyuasin· Pangkalan Tungkal, Tungkal Jaya, Musi Banyuasin· Tungkal I, Pinoraya, Bengkulu Selatan· Tungkal II, Pinoraya, Bengkulu Selatan. 87Ibid, hal. 29.
JURNALILMU HUKUM45Versi keempat, terdapat pula pendapat meyakini nama Tungkal merupakanperubahan etimologis dari nama Kuntala, sebuah nama Kerajaan Budha yang banyak ditulisdalam sejarah. Dalam buku Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Baratseperti telah disebutkan di atas, disebutkan bahwa sebelum kedatangan orang-orangPagaruyung ke Tungkal Ulu, beberapa dusun seperti Merlung, Tanjung Paku, dan Subansudah berpenghuni yaitu masyarakat sisa-sisa Kerajaan Kuntala yang merupakan Kerajaanyang sudah berdiri sebelum Melayu dan Sriwijaya yang waktu itu merupakan daerahtaklukan Kerajaan Singosari.Dalam makalah yang berjudul Kerajaan Malayu Kuno Pra Sriwijaya yang ditulis olehProf. Dr. Sartono yang disajikan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, pada tahun 1992,disebutkan bahwa Kerajaan Kuntala terdapat di pantai timur Sumatera di abad ke 5-6.Dalam transliterasi China, Kuntala disebut Kuntal sebagaimana Sanjaya menjadi Sanjay.9Dalam makalah tersebut dinyatakan bahwa Kerajaan Kuntala, Kantoli atau Kandali telahdikenal oleh Pemerintahan Kaisar Hsiau-Wu yang hidup pada tahun 459-464. NamaKantoli juga disebut dalam masa pemerintahan Dinasti Ming pada tahun 1368-1644sebagai kerajaan dagang yang besar.Dalam makalah lain, Prof. Sukomono 10 memberi catatan pada nama Pelabuhan Dagangyang dapat saja merupakan suatu kota pelabuhan pada masa Kerajaan Melayu Kuno jikadihubungkan dengan adanya kemungkinan pendangkalan air laut. Dalam makalah lainnyalagi, Uka Tjandrasasmita 11 juga mengungkapkan:“Pelabuhan-pelabuhan lainnya yang ada di DAS Batanghari seperti di Muara Tebo,Muara tembesi, dan Pelabuhan Dagang di hulu Sungai Tungkal tidak dapat pula diabaikanpula sebagai tempat-tempat pengumpul barang hasil dari daerah pedalaman pula.”Terlepas dari soal Pelabuhan Dagang, kemungkinan terjadinya pendangkalan air lautdapat diterima. Dalam wawancara penulis dengan Syafei Maturidi, dikatakan bahwa semasabeliau menjabat Pasirah Marga Tungkal Ulu, ketika dilakukan penggalian tanah oleh PTHeeching TII di Taman Raja, didapati bekas-bekas kulit kerang dalam jumlah sangatbanyak, hal mana membawa kita pada kesimpulan bahwa Taman Raja dahulunya adalahkuala Sungai Pengabuan (Tungkal).Bukti lainnya yang hingga kini belum banyak terungkap adalah mengenai keberadaanAir Terjun Pelang, yang berbentuk seperti kapal yang kini menjadi seperti batu kapal.Jika versi terakhir ini adalah versi yang paling benar, maka kehadiran masyarakatTungkal Ulu sekarang jauh lebih tua dari apa yang digambarkan pada versi pertama dankedua di atas.8Wikipedia9Sartono, Kerajaan Malayu Kuno Pra Sriwijaya di Sumatera, Makalah dalam Seminar Sejarah Melayu Kunoyang diselenggarakan Pemda Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Depdikbud, di Jambi pada tanggal 7-8 Desember 1982, hal. 84.10Soekmono, Rekonstruksi Sejarah Malayu Kuno sesuai Tuntutan Arkeologi, makalah dalam Seminar SejarahMelayu Kuno yang diselenggarakan Pemda Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Depdikbud, di Jambipada tanggal 7-8 Desember 1982, hal. 48.11Uka Tjandrasasmita, Beberapa Catatan Tentang Perdagangan di DAS Batanghari, Hubungannya denganJalur Perdagangan Internasional pada Abad-abad Pertama sampai Abad XVI, makalah dalam SeminarSejarah Melayu Kuno yang diselenggarakan Pemda Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Depdikbud, diJambi pada tanggal 7-8 Desember 1982, hal. 326.
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 201146B. Dalam Pemerintahan Sultan JohorSelanjutnya, terjadi perubahan dalam struktur pemerintahan di negeri Tungkal. SultanJohor mengangkat anaknya menjadi kepala Pemerintahan di Tungkal dengan gelar OrangKayo Raja Depati. Bersama Datuk Mandaliko mereka membentuk Pemerintahan Biduandonan Empat yaitu:- Pemerintahan Lubuk Petai yang dikepalai Orang Kayo Rajo Laksamana,- Pemerintahan Suku Teberau yang dikepalai Orang Kayo Depati,- Pemerintahan Suku Sungai Landui (Mandah) yang dikepalai Orang Kayo Lamsasti,- Pemerintahan Suku Buluh Munti, yang dikepalai Datuk Bandar.Pada perkembangannya, Sultan Johor melepaskan kekuasaanya kepada Tungkal,dan anak keturunannya banyak melakukan eksodus ke daerah ilir dan mendiami daerahyang kini dikenal dengan Desa Senyerang, Sungai Kayu Aro, dan Teluk Ketapang. Dengandemikian, tidaklah mengherankan jika syiar agama Islam di Senyerang lebih semarak.Menurut yang diceritakan Rajo Bujang dkk, Sultan Johor membebaskan Tungkal darikewajiban mengirimkan upeti atas kecerdasan Lamsasti, anak yang ditemukan DatukAndiko dalam perahu. Kemungkinan lain, pembebasan itu dapat pula disebabkanmenurunnya kekuasaan Sultan Johor yang tunduk di bawah pengaruh Malaka.Nama Pengabuan sendiri diberikan oleh orang-orang Minangkabau yang berartitempat membuang abu (jenazah). Jika ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa orangorangTungkal Ulu masa dahulu beragama Hindu atau Budha. Pendapat ini tentu sajamasih menimbulkan pertanyaan yang dapat diperdebatkan.Pertanyaan itu misalnya adalah, jika memang berasal dari Minangkabau, mengapanama-nama dusun yang diyakini lebih dahulu dari nama Tungkal Ulu sendiri tidak berbahasaMinang. Nama Lubuk Kambing, Rantau Benar, Lubuk Bernai, Penyabungan, Tanjung Paku,Pulau Pauh, Taman Rajo, dan seterusnya menunjukkan nama-nama Melayu.Dalam Buku Tambo Alam Minangkabau yang ditulis oleh Datuk Tuah 12 , tidak disebutkanadanya hubungan antara Minangkabau dengan Tungkal. Yang paling mendekati adanyahubungan Tungkal dengan Minangkabau adalah diceritakannya hubungan antaraMinangkabau dengan Jambi dan hubungan Minangkabau dengan Suku Talang Mamak yangberdiam di wilayah Retih dan Kuantan Riau, dimana diakui bahwa orang-orang Minangkabaumemang pernah melakukan eksodus ke negeri orang Talang Mamak.Dalam hal ini, dapatlah ditarik suatu gambaran bahwa Orang Talang Mamak sebagaipenduduk Riau mendiami wilayah Retih Indragiri Hilir dan Cenaku Indragiri Hulu. memilikihubungan dengan orang Tungkal. Dalam batas-batas wilayah negeri Datuk Mandalikodisebutkan sebagai berikut:“ dari labing Batu Betingkap (Lubuk Kambing sekarang) sampai Tunggul nan Belepatmenuju ke Bukit Merbau sebelah utara menuju ke Bukit Bakar (Sungai Ibul, dekatLubuk Bernai, berbatasan dengan Tebo Ilir) meniti pematang Cindai Halus menujuBatu 68 melereng ke Batu 39-40, terus menuju Ulu Mendaharo Kiri mengalir sampaike Muara Mendaharo menuju Air Alas Alang Tigo Pulau Berhalo ke Barat masukKualo Sungai kerang seberang tanjung Labu menuju Pulau Kijang. Sampai di Pulau12Datuk Tuah, Tambo Alam Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukittinggi.
JURNALILMU HUKUM47Kijang bertemu kijang bertanduk emas dikejar sampai Sungai Gergaji (Retih) menujuKualo Retih memudik Batang Retih sampai Selensen menuju Kualo Bubur, bergerakmenuju Bukit Cundung (Retih) sebelah pematang Kulim. Dari Pematang Kulimmenuju Suo-suo balik lagi ke Tunggul nan Belepat Labing Batu Betingkap.”C. Dalam Wilayah Kesultanan JambiMenurut A Mukti Nasrudin, masyarakat Tungkal Ulu memang lebih dahulu mendiamidaerah aliran Sungai Pengabuan. Barulah Tungkal Ilir didatangi oleh orang-orang Bajaudan Melayu asal Brunai. Pada masa kejayaan Kesultanan Jambi seiring dengan semakinberkurangnya kontrol Raja Johor atas Tungkal, tersiarlah kabar di Tanah Pilih (Kota Jambisekarang) bahwa di daerah aliran sungai Pengabuan terdapat masyarakat suku Biduando.Sultan mengutus orang kepercayaan ke Tungkal Ulu supaya mengakui kekuasaan SultanJambi, dan ditolak. Akan tetapi sang utusan berhasil mendapat pengakuan dari orangorangMelayu di Tungkal Ilir akan kekuasaan Sultan Jambi.Pada utusan kedua yaitu Pangeran Hadi saudara Sultan Abdurahman Nazarudin (1855s/d 1881), barulah Orang Tungkal mengakui kekuasaanMelayu Jambi. Selanjutnya, Sultan Jambi mengangkat saudaranya Pangeran Kesumosebagai wakil pemerintah di Tungkal Ulu.Di Tungkal Ilir, Sultan Jambi bahkan mengutus Mantri Berangas yang kelak dikenalsebagai pendiri Kuala Tungkal. Mantri Berangas membangun komunikasi dan menjalinhubungan bahkan saling mengangkat saudara dengan suku Melayu yang diketuai DatukSumpeno, bersama-sama membangun Kuala Tungkal sebelum datangnya orang-orangBanjar, Bugis dan Jawa ke wilayah ini. 13Dalam hal ini, terdapat suatu tanda tanya yang besar bagi penulis. Dalam makalahyang ditulis A Mukti Nasrudin seperti yang juga ditulis HA Rivai, Tungkal Ulu disebutsebagai daerah taklukan Sultan Johor, barulah kemudian ditaklukkan oleh Sultan Jambipada sekitar abad ke-19, sementara di sisi lain dalam Catatan tentang Tahun-tahunBersejarah Propinsi Jambi, disebutkan bahwa pada tahun 1630 (Abad ke-17), Sultan Jambimenolak menyerahkan Tungkal kepada Malaka. 14 Itu berarti bahwa sebelum tahun 1630,Tungkal merupakan wilayah kesultanan Jambi, bukan wilayah Kesultanan Johor.Jika dilakukan analisis atas dua pernyataan yang saling berbeda ini, maka kemungkinanbahwa Tungkal ditaklukkan Johor dapat didukung dengan kenyataan geografis dekatnyaTungkal dengan wilayah Kesultanan Johor melalui sarana perhubungan laut. Hubungankekerabatan masyarakat Tungkal Ulu sekarang justru banyak terjalin dengan masyarakatJohor dan Riau, bukan dengan masyarakat Jambi. Sedangkan pemikiran yang dapatmendukung bahwa Tungkal merupakan bagian dari Jambi, dapat dibenarkan jika melihatfakta sejarah bahwa Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sejak tahun 1500. Sungguhmasuk akal jika dalam kurun waktu itu Sultan Jambi mengetahui keberadaan komunitasmasyarakat di Tungkal Ulu.Seakan menjawab kontroversi ini, Uka Tjandrasasmita mengutip Tome Pires dalam13Lihat Rajo Bujang dkk, Op.Cit, hal. 37.14Lihat Edi Sigar, Buku Pintar Indonesia, Pustaka Delapratasa, Jakarta, 1996, hal. 55.
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 201148bukunya Suma Oriental yang menceritakan keadaan pada masa kejayaan Sultan Demaksekitar tahun 1512-1515 bahwa Tungkal merupakan suatu negeri yang berdiri sendiri,akan tetapi berada di bawah Kerajaan Malaka.“Tanah Tongkal berbatasan di satu sisi dengan Indragiri dan di sisi lainnya denganJambi. Negeri ini tidak mempunyai raja dan juga mandarin. Negeri ini menurut keMalaka sebagai pemberi upeti. Ini adalah negeri kecil. Negeri ini juga berbatasandengan Minangkabau. Ia mempunyai barang-barang dagangan seperti barang-barangdagangan Indragiri, tetapi banyaknya tidak demikian. Ia cukup mempunyai bahanbahanpangan untuk mereka sendiri dan untuk orang-orang lainnya. Di depanberhadapan dengan negeri ini ada pulau-pulau Calantiga.” 15Di bagian lain Tome Pires menyebutkan bahwa pada masa itu Malaka menjadi pusatperdagangan berbagai bangsa. Bangsa-bangsa yang berkumpul antara lain : Orang-orangMuslim dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Rang Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Turki,Turkoman, Armenia Kristen, Gujarat, Bengal, Ghaul, Dabhol, Goa, dari Kerajaan Dekan,Malabar, dan Keling, pedagang-pedagang dari Orissa, Ceylon, Arakan, Pegu, Siam, orangorangKedah, orang-orang Malayu, orang Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Kocin, Cina,Dina, Lequeos, Brunei, Duceous, Tanjungpura, Laue, Banka, Lingga, Maluku, Banda, Bima,Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatta,Menangkabau, Siak, Arcua (Arkat), Aru, Bata, negeri Tanjung, Pase, Pedir, Maladiva. 16Dari uraian-uraian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa Tungkal seperti yangdiungkapkan Tomi Pires sebagai negeri yang tidak mempunyai Raja, adalah benar adanya.Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis dalam Tambo Tungkal Ulu, seperti juga yang ditulisA Mukti Nasrudin dan Rajo Bujang dkk, bahwa pada masa itu di negeri Tungkal hanyaada seorang setingkat Wakil Pemerintah Johor yang mempunyai otonomi. Dikisahkan,atas sesuatu peristiwa yang membuat takjub Sultan yaitu kecerdasan Lamsasti anak yangditemukan Datuk Andiko dalam perahu, Sultan Johor menganugrahkan kepada DatukAndiko, penguasa Tungkal turunan Minangkabau untuk tidak lagi mengirimkan upetikepada Johor. 17 Dengan kata lain, sejak itu negeri Tungkal adalah negeri yang berdirisendiri sampai datangnya utusan Pemerintah Sultan Jambi yang dipimpin oleh anakketurunan Datuk Andiko dan keturunan Johor (Suku Biduando) yang bergelar OrangKayo. Negeri ini berada di bawah pengaruh Sultan Malaka, karena kemungkinan padawaktu itu, Johor sendiri sudah ditaklukkan oleh Malaka.Selanjutnya, seperti digambarkan di atas, Tungkal menjadi bagian dari wilayahKesultanan Jambi tergambar dalam seloko adat tentang batas-batas wilayah adat Jambiyaitu Dari Ujung Jabung sampai Durian Batakuk Rajo, Dan sialang belantak besi sampaiBukit Tambun Tulang. Ujung Jabung maksudnya tepian pantai Selat Berhala sekarang,Durian Takuk Rajo yaitu daerah Tanjung Samalidu, Sialang Belantak Besi yaitu daerahSitinjau Laut, dan Bukit Tambun Tulang yaitu Bukit Tiga Singkut.15Uka Tjandrasasmita, Op.Cit, hal. 326-327.Garis bawah oleh penulis.16Ibid17Lihat Rajo Bujang dkk, Op.Cit, hal. 31.
JURNALILMU HUKUM49Dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi 18 , disebutkan bahwa wilayahadministrasi Kerajaan Jambi meliputi Pucuk Jambi Sembilan Lurah, tiangnya Alam Rajo.Adapun lurah yang sembilan itu sebagaimana yang dikutip dari Kementerian Penerangan,Propinsi Sumatera Tengah meliputi:- Batang Merangin,- Batang Masumai,- Batang Tabir,- Batang Pelepat,- Batang Senamat,- Batang Tebo,- Batang Bungo,- Batang Juhuhan dan- Batang Abuan Tungkal.Di awal kekuasaan Belanda di Jambi, Sultan Thaha (1855-1904) bahkan mengutussalah seorang panglima perangnya bernama Raden Usman ke front IV Pertahanan Jambiyang meliputi Sungai Bengkal dan Tungkal Ulu. Raden Usman tewas sebagai ksatria diMerlung dan dimakamkan di Pelabuhan Dagang. Raden Mattahir pun pernah melakukanperjalanan dari melalui rute Jambi - Muara Tebo – Merlung Pelabuhan Dagang – Jambidalam memperkuat pertahanan pasukan yang dipimpin Raden Usman menghadapiserangan Belanda. 19D. Terbentuknya Marga Tungkal UluSebelum Sultan Taha naik tahta dan mendeklarasikan permusuhannnya dengan Belanda,Belanda sesungguhnya telah melakukan sejumlah perjanjian dengan Sultan Jambi yangmelemahkan kewibawaan Sultan sendiri. Jadi, walaupun secara de facto Jambi belumjatuh ke tangan Belanda, Jambi berada dalam kontrol Belanda. Bentuk pemerintahandalam Kesultanan Jambi tergambar dalam seloko adat:“Alam nan be-Rajo,Rantau nan be-Jenang,Negeri nan be-Batin,Luhak nan be-Penghulu,Kampung nan be-Tuo,Rumah nan be-tengganai,Daerah pemerintahan yang terendah adalah dusun, mempunyai kekayaan sendiri,tetapi tidak mempunyai hak penuh untuk bertindak, karena di bawah perlindungan daerahyang lebih tinggi seperti luhak, negeri dan rantau.Setelah Jambi jatuh dalam taklukan Belanda, struktur pemerintahan disesuaikandengan peraturan pemerintah Hindia Belanda. Namun disamping dibentuk strukturpemerintahan Hindia Belanda, Belanda juga tetap mengakui bentuk-bentuk pemerintahanasli masyarakat setempat, yang salah satunya adalah Marga.18Anonim, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi, Depdikbud, 1985, hal. 28.19Anonim, Ceritera Rakyat Daerah Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981, hal. 90.
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 201150Marga adalah bentuk pemerintahan yang berada di bawah Residen dalam pemerintahanHindia Belanda. Pemerintahan Marga sendiri sesungguhnya tidak dikenal dalamstruktur pemerintahan Melayu Jambi. Pemerintahan Marga yang aslinya dikenal dalamKerajaan Palembang Darussalam digunakan juga di Jambi, ketika untuk pertama kali Jambiditaklukkan Belanda dan dimasukkan dalam wilayah Keresidenan Palembang. Dalamstruktur pemerintahan Sultan Jambi, Marga sederajat dengan Negeri yang dikepalai seorangBatin. Adapun alasan Belanda menyeragamkan bentuk pemerintahan dengan nama Margaselain karena alasan praktis untuk menyamakan dengan Palembang, adalah juga untukmenghilangkan perbedaan sebutan yang dalam kesultanan Jambi amat banyak. 20Perubahan Struktur Pemerintahan Sultan menjadi Struktur Pemerintahan HindiaBelanda di Jambi dapat digambarkan dalam tabel berikut:Tabel. 1Perbandingan Organ Pemerintahan Sultan, Hindia Belanda,dan Republik IndonesiaPemerintahan Pem. Hindia BelandaPem.SultanSekarangRaja/Sultan * Resident Gubernur- Asisten Residen/Kepala Afdeling -Jenang Kep.Onder Afdeling Bupati/Walikota- Kep.Distrik/Wedana/Demang -- Kep.Distrik/Ass.Wedana/Kecamatan CamatBatin Marga -Penghulu Kepala Dusun Kepala Desa* Dalam menjalankan pemerintahan Sultan dibentu Kerapatan Patih Dalam dan KerapatanPatih LuarPengakuan Belanda atas daerah yang otonom seperti Marga sejalan dengan politikKolonial untuk memerintah dengan menggunakan kesatuan-kesatuan pemerintah aslidengan biaya dan usaha yang relatif ringan. Justru dengan pemanfaatan strukturpemerintahan yang asli ini menambah kewibawaan Pemerintah Belanda. 21 Dengan katalain, Belanda berusaha menjajah bangsa Indonesia dengan tangan Bangsa Indonesia sendiri.Marga yang dimaksud adalah satu daerah <strong>hukum</strong> (Rechtsgebeied) yang dikepalaiseorang kepala Marga yang disebut Pasirah yang dipilih melalui suatu pemilihan umumsecara langsung. Adapun calon pasirah dipilih dari orang-orang yang ada hubungandarahnya dengan pemerintah adat selama ini yaitu garis keturunan lurus. Pada mulanya,pemilihan dilakukan dengan cara voting berdiri, berkumpul di hadapan calon yangdietujuinya yang sudah duduk di hadapan panitia pemilihan, berjarak antara satu denganyang lainnya 10 m. Dalam perkembangannya, pemilihan dilakukan secara rahasia yaitumemasukkan semacam surat suara ke dalam kotak masing-masing. 2220A Mukti Nasrudin, Op.Cit, hal. 299.21Amrah Muslimin, Sejarah Ringkas Perkembangan Pemerintahan Marga/Kampung Menjadi PemerintahanDesa/Kelurahan dalam Propinsi Sumatera Selatan, Pemda Prop. Sumsel, Palembang, 1986, hal. 2-3.22A Mukti Nasrudin, Op.Cit, hal. 300.
JURNALILMU HUKUM51Setelah ditetapkan calon yang memperoleh suara terbanyak, Pasirah dilantik olehResiden sebagai pengganti Sultan. Dalam keadaan Marga Tungkal Ulu, kedudukan Pasirahpada masa itu dapat disepadankan dengan Wakil Pemerintah Sultan Jambi di Tungkal Ulu.Tahun sejarah mulainya pemerintahan Marga adalah tahun 1904, ketika Sultan Tahawafat yang sekaligus merupakan tahun jatuhnya Jambi di bawah taklukan Belanda dandimasukkan oleh Belanda dalam Keresidenan Palembang. Baru pada tahun 1906, Jambidijadikan satu Residen yang dipimpin Resident OI Relfricht.Namun demikian, Pemerintah Hindia Belanda secara resmi mengakui kedudukanMarga sebagai kesatuan adat yang berbadan <strong>hukum</strong> baru pada tahun 1938 melalui IGOB(Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesten) Stbl 1938 No. 490, Dalam IGOB(Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesten) Stbl 1938 no. 490, disebutkan bahwaMarga adalah kesatuan Pemerintah terendah dengan ketentuan sebagai berikut :(1) Marga adalah masyarakat Hukum Adat yang berfungsi sebagai kesatuan wilayahPemerintahan terdepan dalam rangka Pemerintah Hindia Belanda dan merupakanBadan Hukum Indonesia;(2) Marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan <strong>hukum</strong> adat.Marga dapat mengadakan pungutan pajak dan mengadakan ketentuan-ketentuantentang kerja badan dan cara penebusannya dengan uang ;(3) Susunan pemerintah Marga, Kepala Marga dan Kepala kepala Adat lainnyaditentukan menurut Hukum Adat mengenai pemilihan dan pengangkatan sertapengesahan atau pengakuan oleh instansi Pemerintah yang ditunjuk untuk itu ;(4) Pemerintah Marga didampingi Dewan Marga, yang membuat peraturan-peraturandalam rangka kewenangan menurut Hukum Adat. Peraturan-peraturan Margaharus disahkan oleh instansi atasan sebelum berlaku dan diumumkan.(5) Pemerintah Marga dapat menetapkan sanksi atas peraturannya, yaitu <strong>hukum</strong>anbadan selama-lamanya 3 hari atau denda sebanyak-banyaknya F 10, (sepuluhgulden).Bentuk dan struktur pemerintahan Marga ini kelak di kemudian hari mengilhamipara pendiri Republik Indonesia Modern. Sebagaimana dikemukakan Hamid Attamimidalam disertasinya berjudul Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalamPenyelenggaraan Pemerintahan Negara, Tan Malaka (1924), Bung Karno (1932) dan BungKarno (1932) menghendaki bentuk pemerintahan Indonesia dengan pemerintahanRepublik, yang telah ada dalam wujud Nagari dan Desa. 23 Nagari di Sumatera Barat danDesa di Jawa sepadan dengan Marga di Sumatera Selatan dan Jambi.Selanjutnya Marga difederasikan dalam Teritorial Inlandse Bestuur (setingkatKabupaten sekarang tetapi tidak memiliki otonomi sebagaimana yang dimiliki Marga)atau disebut juga Onder Afgdeling yang dikepalai seorang Kontroler (Bangsa Belanda).Onder Afdeling membawahi kewedanaan/Distrik yang dikepalai seorang Demang/Wedanadengan dibantu seorang asisten Demang/Asisten Wedana (setingkat Camat sekarang)yang mengepalai suatu Onderdistrik. Perbedaan ketiga kesatuan pemerintah yang disebutterakhir adalah pada dua hal yaitu:23A Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan PemerintahanNegara. Disertasi, Fakultas Pascasarjana Univ. Indonesia, jakarta, 1990, hal. 103.
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 201152- Marga adalah bentuk pemerintahan asli oleh masyarakat sedang Onder Afdelingadalah bentukan oleh Pemerintah Hindia Belanda;- Marga memiliki otonomi, sedang Onder afdeling sampai onderdistrik semata-matawilayah administrasi.Otonomi yang penting bagi pemerintahan marga salah satunya terletak pada otonomikeuangan. Adapun sumber keuangan Marga sebagaimana diterangkan Amrah Muslimin 24adalah:1. Pajak Marga,2. Sewa Lebak Lebung,3. Sewa bumi,4. Izin mendirikan rumah/bangunan,5. Hasil Kerikil/pasir,6. Sewa Los/kalangan,7. Hasil hutan/bea kayu,8. Pelayanan kawin,9. Pas membawa hewan kaki empat besar10. dan lain-lain.Dana dari sumber-sumber penghasilan itu dipakai untuk membiayai urusan-urusanpemerintahan marga antara lain membayar gaji Kepala marga beserta Pegawainya.Selain di bidang keuangan, Marga juga mempunyai otonomi untuk:- kewenangan peradilan,- kewenangan kepolisian,- kewenangan hak ulayat.Oleh karena itu, pada masa ini dikenal sebagai kejayaan ekonomi Tungkal Ulu. Denganhasil bumi yang melimpah dan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri,masyarakat Tungkal Ulu mencapai masa kejayaannya. Pemerintah Marga mampumembangun balai pengobatan, membangun sekolah, madrasah, pasar dan saranaperhubungan jalan serta sekaligus menggaji pegawai Marga yang diangkat oleh Pemerintah.Pada masa itu, mobil-mobil produksi Eropa mampu dibeli oleh masyarakat. Buktibuktiterdapatnya mobil tua hingga kini masih dapat ditemukan dengan adanya beberapakerangka sasis mobil di Pelabuhan Dagang. Di bidang perumahan, masyarakat ketika itutelah mampu membangun rumah dengan pondasi beton. Bangunan tua itu hingga kinimasih dapat ditemukan di sejumlah desa dalam Kecamatan Tungkal Ulu dan Merlung.Di bidang pendidikan, sebagai dampak Politik Etis Pemerintah Hindia Belanda, telahpula dibangun sekolah desa 3 (tiga) tahun yang untuk Onderafdeling Jambi terdapat di 3(tiga) tempat masing-masing di Muara Jambi Marga Marosebo, di Rantau Rasau MargaBerbak dan di Penyabungan Marga Tungkal Ulu. Pada tahun 1932 sekolah tersebut ditutupsebagai dampak depresi ekonomi (malaise) di seluruh dunia. 25Di bidang infrastruktur jalan, pada tahun 1936 pemerintah Kolonial Belanda telahpula membangun sejumlah jalan yang dapat dilalui mobil. Barangkali inilah awal terdapatnya24Amrah Muslimin, Op.Cit, hal. 41.25A.Mukti Nasrudin, Op.Cit. hal. 340.
JURNALILMU HUKUM53hubungan darat antara Tungkal Ulu dan Jambi, setelah sebelumnya pernah dirintis semasaperjuangan Raden Mattahir dalam menentang Belanda.E. Terbentuknya Onderdistrik/Asisten Wedana/Kecamatan Tungkal UluDengan telah terbentuknya Keresidenan Jambi, pemerintah Hindia Belanda segeramenjalankan pemerintahan dengan membagi Keresidenan Jambi dalam dua Afdelingyang dikepalai seorang Asisten Residen yang disebut juga Kontrolir. Di Jambi terdapatdua Afdeling yaitu:- Afedling Jambi Hilir- Afdeling Jambi Hulu.Selanjutnya Afdeling Jambi Hilir terdiri dari 3 (tiga) Onder Afdeling atau Distrik yangdikepalai seorang Demang atau Wedana, yaitu :- Onder Afedling/Distrik/Kewedanaan Kota Jambi,- Onder Afdeling/Distrik/Kewedanaan Muara Tembesi- Onder Afdeling/Distrik/Kewedanaan Kuala Tungkal. 26Distrik Kuala Tungkal selanjutnya membawahi dua marga yaitu :- Marga Tungkal Ilir berkedudukan di Kuala Tungkal,- Marga Tungkal Ulu berkedudukan di Merlung.Sementara itu, pada tahun 1922, sebagaimana digambarkan dalam buku SejarahKebangkitan Nasional daerah Jambi, pada tahun 1922 Asisten Residen jambi Hilirmembawahi tiga onderafdeling yaitu Onder afdeling Kota Jambi, Onderafdeling MuaraTembesi, dan onderafdeling Taman Raja Tungkal Ulu. 27Sampai sejauh itu, belum dapat diketahui apakah Tungkal Ulu juga sudah berstatusonderdistrik. Berdasarkan catatan A Mukti Nasrudin, pada tahun 1931 untuk kewedanaan/Distrik Kuala Tungkal terdapat 2 (dua) buah onderdistrik yaitu Onder Distrik Tungkalyang membawahi :- Marga Tungkal Ulu- Marga Tungkal Ilir, danOnderdistrik Muara Sabak yang membawahi :- Marga Muara Sabak,- Marga Dendang,- Marga Berbak.Catatan yang terhimpun dalam Buku Tungkal Ulu dalam Angka, menyebutkan bahwapejabat setingkat Camat/Asisten Wedana/Kepala Onderdistrik dimulai pada tahun 1940.Itu artinya 9 (sembilan) tahun dari tahun 1931 barulah Tungkal Ulu menjadi suatuonderdistrik.Onderdistrik Muara Sabak mengkoordinir 3 (tiga) marga, maka onderdistrik TungkalUlu dan Onderdistrik Tungkal Ilir hanya memiliki masing-masing 1 (satu) Marga.Kedudukan Asisten Wedana Tungkal Ilir adalah di Kuala Tungkal sama dengan kedudukan26Sumber lain menyebutkan bahwa kedudukan Onderafdeling Tungkal berada di Taman Raja TungkalUlu. Lihat Anonim, Op.Cit, hal. 109.27Ibid
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 201154Wedana Pasirah. Sedangkan kedudukan Asisten Wedana Tungkal Ulu adalah di PelabuhanDagang, bukan di Merlung.Salah satu alasan yang mungkin dapat dikemukakan adalah bahwa Pelabuhan Dagangterletak lebih di Ilir Sungai Pengabuan, sehingga lebih mudah dicapai oleh PemerintahBelanda dari Kuala Tungkal. Kala itu, hubungan lalu lintas yang paling cepat dicapai adalahmelalui sungai.F. Masa Revolusi Fisik sampai Terbentuknya Propinsi Sumatera TengahSetelah terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta, pemerintah segeramelakukan restrukturisasi atas pemerintahan di daerah. Sumatera menjadi satu propinsidengan Gubernur Tengku Moh. Hasan. 10 (sepuluh) keresidenan di Pulau Suma-tera tetapdipertahankan dengan menunjuk pejabat Residen yang baru. Residen Jambi yang pertamaadalah Dokter Sagaf Yahya yang kemudian digantikan oleh Raden Inu Kertapati.Hal yang juga yang dilakukan oleh Rd Inu Kertapati selain menata pemerintahanadalah membentuk Tentara Keamanan Rakyat Teritorial Jambi dengan KomandannyaKol. Abunjani. Selanjutnya dibentuk Brigade Garuda Putih dengan komandan Kol.Abunjani, yang membawahi empat Batalyon. Salah satu Batalyonnya adalah Batalyon Iyang berkedudukan di Kuala tungkal dengan komandan Letkol Harun Sohar yang kelakmenjadi Panglima Kodam Sriwijaya. 28Sebagai sebuah daerah pedalaman sungai dimana hubungan darat belum lancar sepertisekarang ini, maka Tungkal Ulu bukanlah tempat yang terlalu penting bagi Belanda untukdiduduki. Keadaan ini berbeda dengan ketika pertamakali Belanda masuk Jambi karenaketika itu Kuala Tungkal belum seramai saat revolusi fisik. Penguasaan atas Tungkal Ulumenjadi penting bagi Belanda karena itu dapat menjadi pintu masuk ke Sungai Bengkaldan Muara Tebo.Dalam papernya, A Mukti Nasrudin menggambarkan keadaan serangan tentaraBelanda atas kedudukan TNI di Kuala Tungkal pada tanggal 23 Desember 1948, TungkalUlu dijadikan basis TNI khususnya Batalyon Gatotkaca. Kejadian penting sekitarmempertahankan kemerdekaan di Tungkal Ulu adalah pada tanggal 6 Mei 1949, Merlungdiserang dari udara dengan dua buah bomber. Bom pertama meledak dan menghancurkanrumah Pasirah MT Fahrudin. Pesawat tempur Belanda yang membawa 17 buah bomtidak semuanya diledakkan, dan sebagian jatuh ke Sungai Pengabuan. Dalam serangantersebut, Aida anak Pasirah MT Fahrudin dan Amir Latif tewas dan dimakamkan sebagaibunga bangsa.Dalam bidang pemerintahan, berdasarkan Undang-undang No. 10 Tahun 1948,Keresidenan Jambi bersama Keresidenan Riau dan Sumatera Barat digabungkan dalamsatu Propinsi Sumatera Tengah. Struktur Pemerintahan Dalam Propinsi Sumatera Tengahterdiri dari 3 (tiga) keresidenan. Sedangkan Keresidenan Jambi terdiri dari 2 (dua)kabupaten yaitu Kabupaten Merangin dan Kabupaten Batanghari.Selanjutnya, Kabupaten Batanghari dengan ibukota di Jambi terdiri dari 3 (tiga)Kewedanaan yaitu Kewedanaan Muara Tembesi, Kewedanaan Kuala Tungkal dan28Anonim, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi, Depdikbud, 1986, hal. 94-95.
JURNALILMU HUKUM55Kewedanaan Muara Sabak. Kewedanaan Kuala Tungkal terdiri dari 2 (dua) kecamatanyaitu: Kecamatan Tungkal Ulu dan Kecamatan Tungkal Ilir.Dalam versi lain, disebutkan bahwa kewedanaan dalam Kabupaten Batanghari terdiridari:- Kewedanaan Tengubuan berkedudukan di Kuala Tungkal,- Kewedanaan Sabak berkedudukan di Muara Sabak,- Kewedanaan Kumpeh berkedudukan di Arang-arang,- Kewedanaan Tembesi berkedudukan di Muara Tembesi 29Adapun dusun-dusun yang terdapat dalam Kecamatan Tungkal Ulu adalah sama dengandusun yang terdapat dalam Marga Tungkal Ulu yaitu:1. Pelabuhan Dagang2. Pematang Pauh3. Tanjung Tayas4. Badang5. Suban6. Dusun Kebon7. Tanjung Bojo8. Kampung Baru9. Lubuk Bernai10.Taman Raja11.Tebing Tinggi12.Merlung13.Penyabungan14.Lubuk Terap15.Rantau Benar16.Pulau Pauh17.Sungai Rotan18.Lubuk Kambing19.Tanjung Paku20.Dusun Mudo21.Rantau Badak22.Kuala DasalPelabuhan Dagang sebagai ibukota Kecamatan Tungkal Ulu dan Taman Raja yangketika itu bernama Pekan pada masa tersebut merupakan pelabuhan atau pasar pentingdi daerah aliran Sungai Pengabuan. Sebuah peta yang diterbitkan pada tahun 1932menunjukkan lokasi Taman Raja sebagai dua tempat yang sama dengan Kuala Tungkalsebagai tempat yang penting. Saksi sejarah menggambarkan bahwa di Pelabuhan Dagangketika itu telah berdiri toko-toko dan kedai kopi. Di antara para pedagang tersebut terdapatpula beberapa orang keturunan China. Sebuah pekuburan umum orang-orang China diPelabuhan Dagang menjadi saksi kejayaan Pelabuhan Dagang tempo dulu.Walaupun Kecamatan Tungkal Ulu berada di bawah kewedanaan Kuala Tungkal,perhubungan dengan Kuala Tungkal hanya dilakukan dalam bidang perdagangan. Dalam29Ibid
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 201156bidang pemerintahan, perhubungan yang terjadi lebih banyak dilakukan antara PelabuhanDagang Jambi dan Merlung Jambi. Hal ini dikarenakan hubungan Marga dan Kecamatanmemang berada di bawah Kabupaten. Peranan kewedanaan tidak lebih dari sekedarperpanjangan tangan Pemerintah Kabupaten semacam Pembantu Bupati di zamanPemerintahan Orde Baru.G. Dalam Wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Propinsi Jambi SampaiDihapuskannya Pemerintahan MargaPada tahun 1957, melalui Undang-undang Darurat No. 19 Tahun 1957 PropinsiSumatera Tengah dipecah menjadi 3 (tiga) propinsi yaitu Propinsi Jambi, Riau danSumatera Barat. Karena itu, hari lahir Propinsi Jambi diperingati pada tanggal 6 Januari1957. Pemerintahan ketiga propinsi baru ini baru efektif dimulai pada tahun 1958 dengankeluarnya UU No. 61 Tahun 1958. Karenanya, Propinsi Riau dan Sumatera Baratmemperingati hari jadinya pada tanggal 2 Juli 1958.Propinsi Jambi yang baru berdiri itu terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten yaitu 2 (dua)Kabupaten dalam Keresidenan Jambi yakni Kabupaten Batanghari dan KabupatenMerangin ditambah 1 (satu) Kabupaten Kerinci. Marga dan Kecamatan Tungkal Ulusebagaimana sebelumnya berada dalam Kabupaten Batanghari.Bersamaan dengan berdirnya Propinsi Jambi, telah pula dibangun jalan dari Merlungke Jambi pada tahun 1959. Pengguntingan pita sebagai peresmian jalan tersebut dilakukanoleh Panglima Kodam Sriwijaya Mayjen Harun Sohar sebagai bentuk penghormatan atasjasa-jasa rakyat Merlung khususnya dan Tungkal Ulu umumnya dalam pembelaanterhadap bangsa di masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. 30Sebagai akibat terbentuknya Propinsi Jambi dilakukan pula pemekaran Kabupaten.Kabupaten Batanghari dipecah menjadi 3 (tiga) yaitu :- Kotapraja Jambi- Kabupaten Batanghari dengan ibukota di Kenali Asam- Kabupaten Tanjung Jabung dengan ibukota di Kuala Tungkal.Kabupaten tanjung Jabung yang baru berdiri ini terdiri dari empat kecamatan yaitu,Kecamatan tungkal Ilir, Kecamatan Tungkal Ulu, Kecamatan Muara Sabak dan KecamatanNipah Panjang.Bagi Tungkal Ulu, tidak banyak yang berubah dengan terbentuknya KabupatenTanjung Jabung diresmikan dengan Undang-undang No. 7 tahun 1965 pada tanggal 14Juni 1965. Yang berubah adalah kedudukan ibukota Propinsi dari Bukittinggi menjadiJambi dan kedudukan ibukota Kabupaten dari Jambi menjadi Kuala Tungkal. Karenahubungan darat yang sulit antara Tungkal Ulu dan Jambi saat itu, pembentukan Kabupatendengan perpindahan ibukota terasa menguntungkan.Dengan berubahnya pusat pemerintahan Kabupaten, perhubungan darat antaraTungkal Ulu dengan Jambi menjadi ditinggalkan. Perhubungan melalui Sungai Pengabuanmenjadi sangat penting dan ramai, walaupun jarak tempuh melalui sungai dengan30A. Mukti Nasrudi, Op.Cit, hal. 558.
JURNALILMU HUKUM57menggunakan kapal motor pompong memakan waktu dua malam satu hari. Perhubunganke Jambi pun ditempuh melalui jalur laut dari Kuala Tungkal-Kampung Laut-Jambi.Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang menggunakan jalur darat Jambi-Merlunguntuk mencapai Jambi. Jalan darat yang semula dibangun Pemerintah ini terpeliharadengan kondisi terbatas karena digunakan oleh Perusahaan Perkayuan seperti TanjungJati, Budiman dan Heeching Timber Industry.Dengan waktu tempuh yang lama, ditambah menurunnya kwalitas dan kwantitasproduksi karet di Tungkal Ulu, Tungkal Ulu menjadi makin ditinggalkan. Lengkaplahkesengsaraan dan keterbelakangan yang dialami masyarakat ketika itu, sudah miskinterisolasi pula.Kepayahan ini makin bertambah parah ketika Pemerintah Pusat mengeluarkanUndang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang serta mertamenghapuskan Pemerintahan Marga, setelah sebelumnya pada tahun 1951, Pemerintahmelalui Undang-undang Darurat Tahun 1951 menghapuskan segala bentuk Peradilan Adattermasuk Peradilan Adat Marga.Wewenang pengangkatan dan penggajian pegawai dialihkan menjadi wewenangPemerintah Kabupaten. Akibatnya, banyak instansi pemerintah yang kekurangan tenaga,karena banyak pegawai tidak mau ditempatlkan di Tungkal Ulu, karena selain jauhdianggap terkebelakang. Orang dari luar Tungkal Ulu dihinggapi semacam phobia TungkalUlu. Dikatakan masyarakat Tungkal Ulu penuh magis dan mampu membunuh orangdengan racun. Sekolah menjadi kekurangan guru, balai pengobatan kekurangan tenaga,dan lain-lain sebagainya.Maksud sebenarnya yang terkandung dari Undang-undang No. 5 Tahun 1979 adalahmenyeragamkan bentuk kesatuan masyarakat terkecil dalam nama Desa sebagaimanayang terdapat di Jawa. Itu artinya, Marga otomatis berubah menjadi Desa dengan strukturpemerintahan ke bawah tetap. Namun, satu kesalahan besar terlanjur dilakukan olehPemerintah Daerah Jambi ketika itu dengan mengubah status dusun yang merupakanbagian dari Marga menjadi Desa. Sebagai akibat dari kebijakan ini, di Tungkal Ulu darisatu Marga berubah menjadi 22 Desa dalam wilayah Kecamatan Tungkal Ulu.Hal yang sama juga terjadi di Sumatera Selatan, Dalam pandangan Prof AmrahMuslimin, jalan pikiran itu diambil oleh Pemerintah daerah dapat menambah untungdaerah dalam hal penerimaan setiap tahun dana banpres yang dihitung berdasarkanjumlah Desa.Dengan keadaan itu, memang terjadi penambahan jumlah Desa di Tungkal Ulu, tetapihal tersebut sekaligus juga membuat miskin Desa-desa yang semula hanya berstatusDusun di bawah Marga. Keadaan ini terus berlangsung sampai saatnya Tungkal Ulu dewasaini dijadikan pusat perkebunan sawit..H. Pemekaran Kecamatan Tungkal UluSatu hal penting yang merupakan awal dari terbukanya keterisolasian Tungkal Uluadalah ketika di Tungkal Ulu tepatnya di Taman Raja didirikan base camp perusahaanplywood PT Sumatera Timber Utama Damai (STUD). PT STUD melakukan pelebaranjalan untuk kepentingan perusahaan, tetapi dampaknya dapat dirasakan juga oleh
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 201158penduduk. Dengan membaiknya kondisi jalan darat, perlahan-lahan produksi karet mulaidijual ke Jambi.Pada tahun 1984, Pemerintah memulai proyek besar yaitu membangun Jalan LintasTimur Sumatera, khususnya rute Jambi Pekanbaru yang melewati darerah Tungkal Ulu.Seiring dengan dimulainya proyek tersebut, Pemerintah Propinsi Jambi yang ketika itudipimpin Gubernur Masjchun Sofwan bersama Bupati Tanjung Jabung Selamat Barusterinspirasi membangun jalan darat Jambi Kuala Tungkal.Perlahan tapi pasti, Tungkal Ulu makin terbuka dari keterisolasian. Sudah mulai adamobil penumpang umum yang membawa penumpang Pelabuhan Dagang-Jambi. Dengankondisi jalan tanah, mobil terpaksa bermalam di jalan jika hujan. Waktu tempuh normalJambi Pelabuhan Dagang ketika itu adalah 5 (lima) jam.Selanjutnya, pada tahun 1985, berdasarkanSurat mendari Nomor 138/1589/PUODTanggal 25 April 1985 dan SK Gubernur KDH Tingkat I Jambi No. 233 Tahun 1985 tanggal22 Juli 1985, Pemerintah Propinsi Jambi melakukan pemekaran kecamatan. Di TungkalUlu, Merlung dibentuk menjadi satu perwakilan kecamatan dengan Kepala PerwakilanKecamatan yang pertama Edward, BA.. Kecamatan Merlung terdiri dari 10 desa danTungkal Ulu 12 desa/kelurahan.Sungguhpun demikian, semuanya itu seperti jalan di tempat. Proyek PembangunanJalan Lintas Timur Sumatera baru selesai tahun 1991, dan Perwakilan KecamatanMerlung baru resmi menjadi Kecamatan pada tahun 2000 melalui Peraturan PemerintahNo. 5 Tahun 2000. Pada saat diresmikan sebagai kecamatan defenitif, Merlung memiliki19 desa atau bertambah 9 dari desa semula saat dibentuk sebagai kecamatan perwakilan,sedangkan desa di KecamatanTungkal Ulu saat ini berjumlah 14 atau bertambah 2 darisaat pemekaran dengan Kec. Merlung.Seiring dengan bergulirnya reformasi, di bidang pemerintahan daerah dikeluarkanUU No. 22 Tahun 1999, yang memungkinkan adanya pemekaran kabupaten. DalamPropinsi Jambi, pada tahun itu juga dilakukan pemekaran Kabupaten dari 5 kabupatenmenjadi 9 kabupaten. Kabupaten Tanjung Jabung dibagi dua menjadi Kabupaten TanjungJabung Timur yang beribukota di Muara Sabak dan Kabupaten Tanjung Barat denganibukota Kuala Tungkal berdasarkan UU No. 54 Tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999.Dengan terpisahnya daerah eks kewedanaan Muara Sabak dengan eks kewedanaan KualaTungkal, semestinya nama kabupaten yang beribukota di Kuala Tungkal tidak lagi tepatmemakai nama Tanjung Jabung, karena Tanjung Jabung yang sebenarnya berada dalamwilayah eks kewedanaan Muara Sabak yang kini bernama Tanjung Jabung Timur. Namayang tepat untuk kabupaten eks kewedanaan Kuala Tungkal adalah “Kabupaten Tungkal”.Terlepas dari soal nama, pemisahan Kabupaten menjadi dua dirasakan sangatbermanfaat bagi masyarakat Tungkal Ulu. Wilayah pelayanan publik dan jangkauankendali pemerintahan menjadi lebih terfokus. Dengan sendirinya, prioritas pembangunanmenjadi lebih terarah kepada kepentingan masyarakat. Wilayah Tanjung Jabung Baratmenjadi wilayah yang komplet karena memiliki wilayah laut sekaligus darat sampaiberbukit-bukit.Satu-satunya kabupaten di Propinsi Jambi yang memiliki sekaligus dua bentuk alamyang berbeda adalah Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Konsekwensinya adalah bahwa
JURNALILMU HUKUM59ternyata Kabupaten Tanjung Jabung Barat memiliki akses perhubungan laut melaluiPelabuhan Kuala Tungkal sekaligus akses hubungan darat melalui Jalan Negara LintasTimur Sumatera yang terbentang di wilayah Kecamatan Merlung dan Tungkal Ulu.Pada masa pemerintahan Safrial sebagai Bupati Tanjab Barat, wilayah Tungkal Ulusekarang resmi terdiri dari 6 kecamatan yaitu Kecamatan Merlung, Kecamatan TungkalUlu, Kecamatan Tebing Tinggi, Kecamatan Batang Asam, Kecamatan Renah Mendaluhdan Kecamatan Muara Papalik.I. KesimpulanAkhirnya, sebagai penutup, berdasarkan sumber-sumber dan uraian-uraian di atasdapatlah kita peroleh kesimpulan sebagai berikut :1. Nama Tungkal yang kita kenal sekarang berasal dari Kuntala yang berubah berdasarkantransliterasi China menjadi Tungkal, yaitu kerajaan yang berdiri di pantai timur Sumaterakira-kira tahun 456-464. Tahun-tahun berikutnya Kerajaan Kuntala tunduk padaMelayu, Sriwijaya, Singosari dan Majapahit. Namun demikian, tahun 1368 nama Kuntalamuncul kembali dalam berita China.2. Lokasi ibukota Kerajaan Kuntala diperkirakan di Daerah Taman Raja sekarang, karenaKuala Sungai Pengabuan/Tungkal dulu adalah di sekitar Taman Raja, sebelum terjadinyapendangkalan laut yang menyebabkan daratan menjadi lebih luas seperti yang kita kenalsekarang. Sumber sejarah China menyebutkan bahwa di kuala sungai Pengabuanterdapat Teluk Wen, yaitu teluk yang berada antara Kuntala dan Chan-Pei (Jambi)atau Malayu.3. Sekitar tahun 1400 atau abad ke-15, orang-orang Pagaruyung yang telah memelukAgama Islam datang ke Tungkal melalui Retih dan Kuantan, Riau, dan menemukansekelompok masyarakat peninggalan kejayaan Kerajaan Kuntala. Mereka berbaur danmendirikan pemerintahan dengan mengacu kepada bentuk pemerintahan diMinangkabau dengan beberapa pengecualian dengan Datuk Malin Andiko sebagai kepalapemerintahan.4. Tungkal didatangi orang Johor, sampai kemudian Tungkal menjadi daerah taklukanyang wajib mengirim upeti kepada Sultan Johor.5. Sebelum Tahun 1512-1515, Sultan Johor membebaskan Tungkal dari kewajibanmembayar upeti atas kecerdasan Lamsasti, seorang anak yang ditemukan Datuk MalimAndiko dalam perahu yang terapung-apung. Diperkirakan, keputusan tersebut didorongoleh kenyataan bahwa Lamsasti adalah anak Sultan Johor dan adanya kemungkinanbahwa saat itu Johor sudah dibawah pengaruh Malaka, yang ketika itu menjadi pelabuhandan kerajaan dagang terpenting di Selat Malaka.6. Tahun 1512-1515, Tungkal menjadi negeri sendiri tetapi tidak mempunyai raja, yangberada dalam pengaruh Johor. Nama Tungkal disebut sebagai salah satu bangsa yangtelah melakukan perdagangan di Malaka.7. Tahun 1516 sampai seterusnya, diperkirakan Tungkal berada dalam pengaruh SultanJambi. Sejarah Jambi mencatat tahun 1630 sebagai tahun dimana Sultan Jambi menolakmenyerahkan Tungkal kepada Malaka.
ERDIANTOVOLUME2 No. 1 Agustus 2011608. Antara Tahun 1855 s/d 1881 di masa pemerintahan Sultan Ahmad Nazarudin di Jambi,Tungkal berada di bawah kesultanan Jambi dan diangkat pejabat pemerintah Kesultanandi Tungkal. Pada masa itu pula Sultan Jambi memerintahkan Mantri Berangas untukmembuka daerah Tungkal Ilir sekarang menjadi pemukiman penduduk, setelahsebelumnya Tungkal wilayah Ilir telah pula dihuni Suku Melayu asal Brunai.9. Tahun 1904, Jambi resmi menjadi jajahan Belanda, sejak saat itu dengan sendirinyaTungkal menjadi jajahan Belanda. Saat inilah yang diperkirakan mnucul pertamakalinyaistilah Tungkal Ulu dan Tungkal Ilir untuk membedakan daerah ilir dan ulu berkaitandengan pembentukan Marga.J. Daftar PustakaA. Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam PenyelenggaraanPemerintahan Negara. Disertasi, Fakultas Pascasarjana Univ. Indonesia, Jakarta, 1990A. Mukti Nasrudin, Jambi dalam Sejarah Nusantara, makalah, Tidak diterbitkan, Jambi,1989.(Koleksi Museum Negeri Jambi)Amrah Muslimin, Sejarah Ringkas Perkembangan Pemerintahan Marga/KampungMenjadi Pemerintahan Desa/Kelurahan dalam Propinsi Sumatera Selatan, PemdaProp. Sumsel, Palembang, 1986Anonim, Ceritera Rakyat Daerah Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1981Anonim, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi, Depdikbud, 1985.Anonim, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jambi, Depdikbud, 1986Datuk Tuah, Tambo Alam Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukittinggi.Edi Sigar, Buku Pintar Indonesia, Pustaka Delapratasa, Jakarta, 1996HA Rivai, Tambo Tungkal Ulu, Tidak diterbitkan.M. Iskandar, dkk, Indonesia dalam Perkembangan Zaman, Ganeca Exact, Bandung, 2004Rajo Bujang dkk, Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat,Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, 2003Sartono, Kerajaan Malayu Kuno Pra Sriwijaya di Sumatera, Makalah dalam SeminarSejarah Melayu Kuno yang diselenggarakan Pemda Tingkat I Jambi bekerjasamadengan Depdikbud, di Jambi pada tanggal 7-8 Desember 1982Soekmono, Rekonstruksi Sejarah Malayu Kuno sesuai Tuntutan Arkeologi, makalahdalam Seminar Sejarah Melayu Kuno yang diselenggarakan Pemda Tingkat I Jambibekerjasama dengan Depdikbud, di Jambi pada tanggal 7-8 Desember 1982Uka Tjandrasasmita, Beberapa Catatan Tentang Perdagangan di DAS Batanghari,Hubungannya dengan Jalur Perdagangan Internasional pada Abad-abad Pertamasampai Abad XVI, makalah dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno yangdiselenggarakan Pemda Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Depdikbud, di Jambipada tanggal 7-8 Desember 1982.
JURNALILMU HUKUM61PERGESERAN PERAN PARTAI POLITIK PASCA PUTUSANMAHKAMAH KONSTITUSI NO. 22-24/PUU-VI/2008JUNAIDIPerumahan Palem Regency Blok C No. 7 PekanbaruAbstrakDalam pasal 214 UU No. 10/2008 tentang PemiluAnggota Legislatif menenetukan penetapan calonterpilih ditentukan oleh batas minimal perolehansuara 30% Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), jikabatas minimal tersebut tidak tercapai maka penentuancalon terpilih selanjutnya berdasarkannomor urut. Berdasarkan putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 pasal tersebut dicabut. Dengan putusantersebut, peran partai politik menjadi berkurangterhadap penentuan caleg terpilih dalampemilihan umum. Partai hanya berperan menampilkancaleg-calegnya dalam Daftar Calon,sementara yang menentukan terpilih tidak terpilihnyaadalah pemilih.AbstractIn section 214 UU number 10 year 2008 about generalelection legislative member determine chosencandidate stipulating determined by minimumboundary of acquirement voice 30% gratuity ofcommon denominator elector ( BPP), if the thresholdis not reached then further selected based on thedetermination of candidate sequence numbers. Basedon the decision of the Court Number 22-24/PUU-VI/2008 article is repealed. With this decision, the role ofpolitical parties is reduced to the determination ofcandidates elected in the general election. Party onlythe sharing to present its legislative candidate incandidate list, whereas determining chosen or is notchosen by elector.Kata kunci : Caleg, partai politikA. PendahuluanSejarah perkembangan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangandemokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik merupakangambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lainmerupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat.Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannyabanyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak partai politikmemberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinyadan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkankewajibannya sebagai warga negara.Memasuki periode Orde Baru, tepatnya setelah Pemilihan Umum 1971 pemerintahkembali berusaha menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya,banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggapmengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai PersatuanPembangunan (PPP), GOLKAR, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).Demokratisasi yang berkembang dengan gegap gempita, barulah memberikan anginsejuk bagi kaum cendekiawan yang sejak lama bosan dengan system otoritarian gayaSuharto yang telah mangangkangi perekonomian nasional selama 32 tahun dengan modeloligarkhi. Demokratisasi yang dikembangkan pasca-reformasi meliputi dua hal; pertama,demokrasi prosedural atau formal yang berupa Pemilu yang lebih bebas (tanpa kelibatanmiliter dalam eskalasi pemilihan, mulai penjaringan calon sampai penetapan bakal calon
JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201162legislatif), kedua, demokrasi partisipatif yang diletakan pada pengambilan kebjakaneksekutit memunculkan proses eksperimentasi demokrasi yang sungguh mengasyikan.Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan-perubahanmendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan prosesperubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan.Harapan peran partai sebagai wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik,meskipun hingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanyePemilu yang masih diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikanaspirasi rakyat dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan.Mirip dengan fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan slogan-slogankepentingan politik sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan keran demokrasitelah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi.Perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belumterpenuhi secara maksimal. Aspirasi rakyat belum tertangkap, terartikulasi, danteragregasikan secara transparan dan konsisten. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dankekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik distorsi yangdatangnya dari elit politik, penyelenggara negara, pemerintah, maupun kelompokkelompokkepentingan.Di lain pihak, institusi pemerintah dan negara tidak jarang berada pada posisi yangseolah tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutandan bahkan muncul kecenderungan yang mengarah anarkis walaupun polanya tidakmelembaga dan lebih banyak bersifat kontekstual.Namun demikian, sudahkah hasilnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.Demokrasi prosedural kita, sedemikian rupa telah menjelma menjadi sebuah teladandemokrasi delegatif yang dikuasai sepenuhnya oleh individu-individu wakil rakyat yangkita pilih metalui proses Pemilihan Umum. Sedangkan selebihnya, tidak diatur denganbaik bagaimana keterlibatan masyarakat dalam proses-proses yang dilalui para wakilrakyat ketika mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.Para wakil rakyat setelah terpilih dan duduk di kursi parlemen, di berbagai tingkatan,cenderung memerankan dirinya sebagai delegasi rakyat; yang memiliki kewenangan penuhuntuk menentukan dan membuat keputusan tanpa perlu mendengarkan dan belajar (apalagimeminta pendapat dan persetujuan) dan rakyat yang diwakilinya. Faktor kepentinganindividu dan kepentingan kelompok lalu menjadi penggerak yang lebih dominan di ranahproses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk menjamin hajat hidup rakyat. Terutamamenyangkut perencanaan anggaran pendapatan dan belanja (APBN/APBD).Cerminan dari wakil rakyat yang telah hilang keabsahan moral dan perannya selakuwakil rakyat, selain sekadar formalitas. Mereka bukan wakil rakyat yang berbuat untukrakyat, tetapi sekadar bekerja untuk dirinya dengan mengatasnamakan rakyat. Bahkanpara wakil rakyat di parlemen lebih memikirkan kepentingan partainya ketimbang rakyatsementara yang memilih mereka adalah rakyat itu sendiri.Kesemuanya itu tidak terlepas dari peran partai politik selama ini. Tanggung jawabpatai politik dalam memajukan kehidupan berdemokrasi yang lebih bermartabat dan
JURNALILMU HUKUM63sesuai dengan cita-cita bangsa patut dipertanyakan. Tanggung jawab partai politik disiniadalah mulai dari pendidikan politik bagi masyarakat sampai pada rekruetmen para calonlegislatif yang akan mewakili kepentingan rakyat. Dsisi lain yang tidak kalah pentingnyaadalah sistem penentuan calon terpilih yang diatur dalam undang-undang pemilu.Tanggal 23 Desember 2008 lalu menjadi momen penting bagi perjalanan demokrasidi negeri ini. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menganulir pasal 214 UU No. 10/2008tentang Pemilu Anggota Legislatif dengan putusan No. 22-24/PUU-VI/2008. Sebelumdianulir, pasal ini menjelaskan bahwa penetapan calon terpilih ditentukan oleh batasminimal perolehan suara 30% Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), jika batas minimal tersebuttidak tercapai maka penentuan calon terpilih selanjutnya berdasarkan nomor urut.Ketentuan klausul pasal tersebut memang masih memposisikan nomor urut sebagaifaktor dominan. Keuntungan besar diperoleh calon legislatif (caleg) dengan nomor urutatas. Meski caleg lain dengan nomor urut bawah sudah bekerja keras, jika mereka tidakmencapai perolehan suara minimal 30% BPP, maka secara otomatis nomor urut diatasnyayang akan memperoleh limpahan suara dan kursi. Pengalaman dalam praktek pemilusebelumnya, sangat sulit bagi seorang caleg untuk meraih batas suara tersebut. Sehinggaada posisi ini, aspek keseimbangan, keadilan dan keterbukaan demokrasi telah terpasungoleh sistem nomor urut.Dominasi nomor urut pada pasal 214 sebelum dianulir oleh MK, sesungguhnya takberbeda jauh dengan sistem proporsional terbuka ‘setengah hati’ pada Pemilu 2004 lalu.Hanya aspek 30% BPP saja yang menjadi warna baru. Meski demikian, secara politis,yang diutamakan adalah nomor urut. Sebab perolehan angka 30% BPP bagi caleg di internalparpol merupakan faktor yang sedemikian sulit setelah perolehan kursi parpol sebesar50% BPP. Hal itu karena dua sisi.Di satu sisi, banyaknya parpol kontestan pemilu dan melimpahnya caleg di masingmasingparpol kian membingungkan masyarakat pemilih. Preverensi pemilih yangdiprediksi akan terpecah-belah oleh kehadiran parpol baru, akan diperparah oleh prediksibesarnya kesalahan memilih karena kesulitan membedakan kertas suara untuk anggotaDPR RI dan DPRD.Di sisi lain, meningkatnya angka swing voter, floating mass dan golput. Tingginyaketiga kluster pemilih itu membuktikan rendahnya aspirasi rakyat pemilih terhadap parpoldan calegnya. Sehingga pendulum suara yang awalnya diharapkan dapat mengangkatperolehan suara parpol dan caleg, kini kian menipis.Pada titik ini, lagi-lagi yang diuntungkan adalah caleg bernomor urut atas. Karenanya,posisi pimpinan parpol mempunyai otoritas sangat dominan dalam hal positioning Daftar CalonTetap (DCT) yang disahkan KPU. Disinilah bentuk wujud oligarki partai politik beroperasi.Potensi jual beli kursi menjadi warna lain dari ketimpangan oligarki pimpinan parpol.Di berbagai belahan dunia, oligarki partai kerap dituding sebagai penyebab utamapersoalan demokrasi. Oligarki pula yang menstimulasi perceraian politisi dengan partaiyang telah membesarkannya. Dalam proses berdemokrasi di Indonesia, khususnya untuksistem pemilu, oligarki parpol dapat dilihat dari dua hal: 11Ali Masykur Musa, Berakhirnya Oligarki Partai Politik, Koran Sindo, 27 Desember 2008.
JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201164Pertama, manajemen internal parpol. Selama ini hampir semua parpol peserta pemilumenggunakan manajerial top-down. Kemauan elit (pimpinan parpol) telah menjadi sebuahkemutlakan untuk dilaksanakan oleh segenap jajaran pengurus parpol. Dominasi pimpinanparpol (one men show) dalam mengatur setiap ritme kebijakan parpol mengondisikanmacetnya roda koordinasi organisasi. Sehingga ia telah menyebabkan sumber daya partaihanya beredar dari oligoi yang satu ke oligoi yang lainnya. Penyelesaian konflik hanyadidasarkan pada aspek kedekatan dengan pimpinan parpol, ketimbang mekanismeorganisasi. Itulah yang kini tampak dari penentuan nomor urut caleg.Kedua, Pola rekrutmen. Besarnya otoritas elit parpol menjadi aspek utama tidaksehatnya pola rekrutmen, karena masing-masing pihak tak lagi menonjolkan kualitas dankapabilitas politik. Sebaliknya hanya melakukan pendekatan personal dan emosional. Takjarang bahkan dengan pendekatan finansial. Fakta ini muncul dengan hadirnya calegcalegbaru tak dikenal yang tiba-tiba mendapatkan jatah nomor urut dasi. Dengandemikian, Antrean menuju jenjang karier pun menjadi panjang dan rapat. Koncoismemenggantikan pola rekrutmen berdasarkan prestasi. Demokrasi internal partai lalu matisuri dan hanya menyediakan pilihan abaikan atau tinggalkan.Pada titik ini, oligarki telah mensimplifikasi peran partai hanya sebatas political broker.Ia pada gilirannya akan mereduksi fungsi partai, sekaligus menguras energi partai hanyauntuk mengalkulasi peluang. Padahal, banyak urusan strategis secara konstitusionaldiserahkan atau paling tidak melibatkan partai politik. Kewenangan partai politikmengusung calon kepala daerah, misalnya, bukan hanya telah memberinya hak istimewa,namun menuntut setiap kader mengembangkan kompetensinya.B. Batasan MasalahDari uraian latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi permasalahan pokok yaituBagaimanakah Peran Partai Politik Sebelum dan sesudah adanya Putusan MahkamahKonstitusi No.22-24/PUU-VI/2008 ?C. Peran dan Fungsi Partai Politik di IndonesiaSejarah Ketatanegaraan kita, terjadi pasang surut dalam membangun Sistem Pemerintahan.Pada dasarnya, Negara yang kuat dan didukung oleh Pemerintah yang kuattanpa memberi ruang terhadap peran serta (Partisipasi) segenap komponen masyarakatserta tidak memberi peran Lembaga Negara baik Legislatif maupun Yudikatif dalam prosespembangunan dan demokrasi, maka Negara tersebut tidak bisa dikatakan sebagai NegaraDemokrasi. Negara tersebut cenderung Otoriter dan berorientasi pada kekuasaan,bahkan membentuk Hegemoni/ dominasi kekuasaan/kekuatan negara terhadapmasyarakat, sehingga ruang Demokrasi tertutup. Akibatnya adalah Pembangunan yangdijalankan pemerintah tidak secara signifikan mendatangkan “Kemakmuran danKeadilan”. Lihat sebagai contoh pemerintahan Marcos di Philipina, Reza Pahlevi di Iransebagian besar negara Amerika Latin dengan pemerintahan otoriter sekitar tahun 1960-1980, dan Indonesia era Soekarno dan Soeharto, telah mengalami pasang surut kehidupanpolitik dan demokrasi.
JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201166Ekstra Parlementer dimana Presiden dibantu Tentara untuk membubarkan Parlemendan lahirlah masa Demokrasi Terpimpin dengan menetapkan Presiden seumur hidup.Namun setelah Juni tahun 1959 kita kembali ke UUD1945, dimana Presiden sebagaiMandataris MPR serta Menteri2x dibawah kendali Presiden, sehingga lahirlah kabinetPresidensiil dengan Demokrasi Terpimpin. Banyak penyimpangan2x yang dilakukanPresiden waktu itu, yaitu telah melampaui wewenang Legislatif seperti adanya PP no 14/1960, bila Legislatif tidak bisa mengambil keputusan terkait RUU/tdk ada kata mufakatmaka Presiden bisa memutuskan sendiri. Begitu pula dengan turut campurnya thdLembaga Yudikatif dengan lahirnya UU no 19/1964 yang dianggap menyimpang dariUUD 1945. Setelah itu lahirlah Pemerintahan ORBA dengan Ketetapan MPRS no XXXXIV/1968, Soeharto diangkat sebagai Presiden dan setelah Pemilu 1977 terjadi Fusi dari MultiPartai menjadi dua(2) Parpol dan Golkar sebagai Organisasi Peserta Pemilu (OPP).Kalau kita melihat Sistem Pemerintahan ERA ORBA (1967-1999) , kehidupanDemokrasi dan Politik dimatikan yang secara sistematis tidak dikembangkan sesuai dengankeinginan masyarakat & perkembangan politik global, maka dampaknya adalah terciptanyaBudaya Politik Paternalistik yang berorientasi pada “kekuasaan”.Dominasi Eksekutif, yaitu Presiden dalam hal ini Soeharto sebagai Mandataris MPR,di Birokrasi Pemerintahan dan Militer, ditambah dengan difusi-kannya Jumlah Partaiyang sebelumnya Multi Partai menjadi dua(2) Partai plus Golkar yang ketiganya tidakbisa dikatakan sebuah Parpol, karena kekuasaan Soeharto mampu meng-hegemoni danmenjadikannya sekedar sebagai OPP(Organisasi Peserta Pemilu). Hegemoni Kekuasaanitu sangat sistematis dan terstruktur sampai di tingkat daerah baik Propinsi maupunKab/Kota , sehingga Pemerintahan cenderung sentralistis dan otoriter serta Personal yaituSoeharto yang telah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun dengan DemokrasiPancasila yang hanya dijadikan alat Kekuasaan semata. Konsepsi Kekuasaan seperti inimirip dengan Konsep Gramsci tentang Hegemoni. Dalam Konteks Politik modern, Negara(State) semakin lama semakin kuat dan besar, maka akan sulit dikontrol sehingga rakyat/masyarakat cenderung dieksploitasi.1. Peran Sebagai Wadah Penyalur Aspirasi PolitikUntuk melihat seberapa jauh peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasipolitik rakyat, sekali lagi harus dilihat dalam konteks prospektif sejarah perkembanganbangsa Indonesia itu sendiri. Pada awal kemerdekaan, partai politik belum berperansecara optimal sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi politik rakyat. Hal ini terlihatdari timbulnya berbagai gejolak dan ketidak puasan di sekelompok masyarakat yangmerasa aspirasinya tidak terwadahi dalam bentuk gerakan-gerakan separatis sepertiproklamasi Negara Islam oleh Kartosuwiryo tahun 1949, terbentuknya negara negaraboneka yang bernuansa kedaerahan. Negara-negara boneka ini sengaja diciptakan olehBelanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan. Namun kenapa hal itu terjadidan ditangkap oleh sebagian rakyat pada waktu itu? Jawabannya adalah bahwa aspirasirakyat berbelok arah mengikuti aspirasi penjajah, karena tersumbatnya saluran aspirasiyang disebabkan kapasitas sistem politik belum cukup memadai untuk mewadahi berbagaiaspirasi yang berkembang. Di sini boleh dikatakan bahwa rendahnya kapasitas sistempolitik, lebih disebabkan oleh karena sistem politik masih berada pada tahap awalperkembangannya.
JURNALILMU HUKUM67Pada fase berikutnya dalam sejarah perjalanan bangsa yaitu masa Orde Lama,peran partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat juga belum terlaksanasesuai dengan yang diharapkan. Partai politik cenderung terperangkap oleh kepentinganpartai dan/atau kelompoknya masing-masing dan bukan kepentingan rakyat secarakeseluruhan. Sebagai akibat daripadanya adalah terjadinya ketidak stabilan sistemkehidupan politik dan kemasyarakatan yang ditandai dengan berganti-gantinya kabinet,partai politik tidak berfungsi dan politik dijadikan panglima, aspirasi rakyat tidaktersalurkan akibatnya kebijaksanaan politik yang dikeluarkan saat itu lebih bernuansakepentingan politik dari pada kepentingan ekonomi, rasa keadilan terusik dan ketidakpuasan semakin mengental, demokrasi hanya dijadikan jargon politik, tapi tidak disertaidengan upaya memberdayakan pendidikan politik rakyat.Di zaman pemerintahan Orde Baru, peran partai politik dalam kehidupan berbangsadicoba ditata melalui UU No. 3 Tahun 1973, partai politik yang jumlahnya cukup banyakdi tata menjadi 3 kekuatan sosial politikyang terdiri dari 2 partai politik yaitu PPP danPDI serta 1 Golkar. Namun penataan partai politik tersebut ternyata tidak membuatsemakin berperannya partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat. Partaipolitik yang diharapkan dapat mewadahi aspirasi politik rakyat yang terkristal menjadikebijakan publik yang populis tidak terwujud. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan publikyang dihasilkan pada pemerintahan orde baru ternyata kurang memperhatikan aspirasipolitik rakyat dan cenderung merupakan sarana legitimasi kepentingan penguasa dankelompok tertentu. Akibatnya pembangunan nasional bukan melakukan pemerataan dankesejahteraan namun menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial di berbagai aspekkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan peran partaipolitik sebagai wadah penyalur aspirasi politik rakyat oleh pemerintahan orde baru tidakditempatkan sebagai kekuatan politk bangsa tetapi hanya ditempatkan sebagai mesinpolitik penguasa dan assesoris demokrasi untuk legitimasi kekuasaan semata. Akibatnyaperan partai politik sebagai wadah penyalur betul-betul terbukti nyaris bersifat manduldan hampir-hampir tak berfungsi.Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahanperubahanmendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan prosesperubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan.Harapan peran partai sebagai wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipunhingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye Pemiluyang masih diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasirakyat dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan. Mirip dengan fenomenalama dimana yang ada hanya janji dan slogan-slogan kepentingan politik sesaat. Meskipunrezim otoriter telah berakhir dan keran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan denganbergulirnya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum terarah secarabaik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal. Aspirasi rakyat belumtertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan konsisten. Distorsiatas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupanpolitik, baik distorsi yang datangnya dari elit politik, penyelenggara negara, pemerintah,maupun kelompokkelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah dan negara
JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201168tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya menghadapi kebebasanyang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan muncul kecenderungan yangmengarah anarkis walaupun polanya tidak melembaga dan lebih banyak bersifat kontekstual.2. Peran sebagai Sarana Sosialisasi PolitikBudaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalamsebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerimanorma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, yang dilakukan melaluiberbagai tahap, dan dilakukan oleh bermacam-macam agens, seperti keluarga, saudara,teman bermain, sekolah (mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi),lingkungan pekerjaan, dan tentu saja media massa, seperti radio, TV,surat kabar, majalah,dan juga internet. Proses sosialisasi atau pendidikan politik Indonesia tidak memberikanruang yang cukup untuk memunculkan masyarakat madani (civil society). Yaitu suatumasyarakat yang mandiri, yang mampu mengisi ruang publik sehingga mampu membatasikekuasaan negara yang berlebihan. Masyarakat madani merupakan gambaran tingkatpartisipasi politik pada takaran yang maksimal. Dalam kaitan ini, sedikitnya ada tiga alasanutama mengapa pendidikan politik dan sosialisasi politik di Indonesia tidak memberipeluang yang cukup untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat. 2Pertama, dalam masyarakat kita anak-anak tidak dididik untuk menjadi insanmandiri. Anak-anak bahkan mengalami alienasi dalam politik keluarga. Sejumlah keputusanpenting dalam keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si anak, merupakan domainorang dewasa. Anak-anak tidak dilibatkan sama sekali. Keputusan anak untuk memasukisekolah, atau <strong>universitas</strong> banyak ditentukan oleh orang tua atau orang dewasa dalamkeluarga. Demikian juga keputusan tentang siapa yang menjadi pilihan jodoh si anak.Akibatnya anak akan tetap bergantung kepada orang tua. Tidak hanya setelah selesaipendidikan, bahkan setelah memasuki dunia kerja. Hal ini berbeda sekali di barat. Di sanaanak diajarkan untuk mandiri dan terlibat dalam diskusi keluarga menyangkut hal-haltertentu. Di sana, semakin bertambah umur anak, akan semakinsedikit bergantung kepadaorang tuanya. Sementara itu di Indonesia sering tidak adahubungan antara bertambahumur anak dengan tingkat ketergantungan kepada orang tua, kecuali anak sudah menjadi“orang” seperti kedua orang tuanya.Kedua, tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat kita sangat rendah. Di kalangankeluarga miskin, petani, buruh, dan lain sebagainya, tidak memiliki kesadaran politik yangtinggi, karena mereka lebih terpaku kepada kehidupan ekonomi dari pada memikirkansegala sesuatu yang bermakna politik. Bagi mereka, ikut terlibat dalam wacana politiktentang hak-hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia dan sejenisnya, bukanlahskala prioritas yang penting. Oleh karena itu, tingkat sosialisasi politik warga masyarakatseperti ini baru pada tingkat kongnitif, bukan menyangkut dimensi-dimensi yang bersifatevaluatif. Oleh karena itu, wacana tentang kebijakan pemerintah menyangkut masalahpenting bagi masyarakat menjadi tidak penting buat mereka. Karena ada hal lain yanglebih penting, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar.2Afan Gaffar, “Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi,” Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
JURNALILMU HUKUM69Ketiga, setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidakmempunyai alternatif lain kecuali mengikuti kehendak negara, termasuk dalam halpendidikan politik. Jika kita amati, pendidikan politik di Indonesia lebih merupakan sebuahproses penanaman nilai-nilai dan keyakinan yang diyakini oleh penguasa negara. Hal ituterlihat dengan jelas, bahwa setiap individu wajib mengikuti pendidikan politik melaluiprogram-program yang diciptakan pemerintah. Setiap warga negara secara individualsejak usia dini sudah dicekoki keyakinan yang sebenarnya adalah keyakinan kalanganpenguasa. Yaitu mereka harus mengikuti sejak memasuki SLTP, kemudian ketikamemasuki SMU, memulai kuliah di PT, memasuki dunia kerja, dan lain sebagainya. Prosespendidikan politik melalui media massa, barangkali, sedikit lebih terbuka dan individuindividudapat lebih leluasa untuk menentukan pilihannya menyangkut informasi yangmana yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenaran dan ketepatannya.3. Peran sebagai Sarana Rekrutmen PolitikPeran partai politik sebagai sarana rekruitmen politik dalam rangka meningkatkanpartisipasi politik masyarakat, adalah bagaimana partai politik memiliki andil yang cukupbesar dalam hal: (1) Menyiapkan kader-kader pimpinan politik; (2) Selanjutnya melakukanseleksi terhadap kader-kader yang dipersiapkan; serta (3) Perjuangan untuk penempatankader yang berkualitas, berdedikasi, memiliki kredibilitas yang tinggi, serta mendapatdukungan dari masyarakat pada jabatan jabatan politik yang bersifat strategis. Makinbesar andil partai politik dalam memperjuangkan dan berhasil memanfaatkan posisitawarnya untuk memenangkan perjuangan dalam ketiga hal tersebut; merupakan indikasibahwa peran partai politik sebagai sarana rekrutmen politik berjalan secara efektif.Rekrutmen politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah untukmemilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat banyakuntuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi setiapwarga negara. Kesalahan dalam pemilihan kader yang duduk dalam jabatan strategis bisamenjauhkan arah perjuangan dari cita-rasa kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilanbagi masyarakat luas. Oleh karena itulah tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwarekrutmen politik mengandung implikasi pada pembentukan cara berpikir, bertindak danberperilaku setiap warga negara yang taat, patuh terhadap hak dan kewajiban, namunpenuh dengan suasana demokrasi dan keterbukaan bertanggung jawab terhadap persatuandan kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun biladikaji secara sekilas sampai dengan saat inipun proses rekrutmen politik belum berjalansecara terbuka, transparan, dan demokratis yang berakibat pemilihan kader menjadi tidakobyektif. Proses penyiapan kader juga terkesan tidak sistematik dan tidak berkesinambungan.Partai politik dalam melakukan pembinaan terhadap kadernya lebih intenhanya pada saat menjelang adanya event-event politik; seperti konggres partai, pemilihanumum, dan sidang MPR. Peran rekrutmen politik masih lebih didominasi oleh kekuatankekuatandi luar partai politik.Pada era reformasi seperti sekarang, sesungguhnya peran partai politik masih sangatterbatas pada penempatan kader-kader politik pada jabatan-jabatan politik tertentu.Itupun, masih belum mencerminkan kesungguhannya dalam merekrut kader politik yangberkualitas, berdedikasi, dan memiliki loyalitas serta komitmen yang tinggi bagi perjuangan
JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201170menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Banyak terjadifenomena yang cukup ganjil, dimana anggota DPRD di beberapa daerah tidak menjagokankadernya, tetapi justru memilih kader lain yang belum dikenal dan belum tahu kualitasprofesionalismenya, kualitas pribadinya, serta komitmennya terhadap nasib rakyat yangdiwakilinya. Proses untuk memenangkan seoramg calon pejabat politik tidak berdasarkanpada kepentingan rakyat banyak dan bahkan juga tidak berdasarkan kepentingan partai,tetapi masih lebih diwarnai dengan motivasi untuk kepentingan yang lebih bersifat pribadiatau kelompok. Meskipun tidak semua daerah mengalami hal semacam ini, namunfenomena buruk yang terjadi di era reformasi sangat memprihatinkan, Dalam kondisiseperti itu, tentu saja pembinaan, penyiapan, dan seleksi kader-kader politik sangat bolehjadi tidak berjalan secara memadai.D. Pengujian Pasal 214 UU No.10 Tahun 2008Tepat pada Selasa 23 Desember 2008 Mahkamah Konstitusi membacakanputusannya atas Perkara Nomor 22/PUU-VI/2008 dan Nomor 24/PUU-VI/2008 tentangPerkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang PemiluAnggota DPR, DPD dan DPRD. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkansebagian permohonan para Pemohon dengan membatalkan Pasal 214 yang amarputusannya berbunyi sebagai berikut;“...Menyatakan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan PerwakilanRakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4836) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945“. 3Lebih lanjut Mahkamah berpendapat:“Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30% (tigapuluh per seratus) dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak adayang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau yang menempati nomorurut lebih kecil jika yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebihdari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemiluadalah inkonstitusional. Inkonstitusional karena bertentangan dengan maknasubstantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisirbertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1)UUD 1945. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jikakehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalampenetapan anggota legislatif akan benarbenar melanggar kedaulatan rakyat dankeadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secaraekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yangmendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil”.3Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang- Undang (PUU)UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
JURNALILMU HUKUM71Seiring dengan keluarnya putusan tersebut, berbagai macam perbedaan pendapatmenyeruak kepermukaan di tengah-tengah publik. Ada yang mendukung, namun tidaksedikit pula yang menentangnya. Bagi mereka yang kontra, sebagian besar berasal darikaum perempuan, LSM perempuan dan para pegiat isu gender. Menurut mereka putusanMK ini dianggap telah menafikan ketentuan affirmative action sebagaimana diatur dalamUU Pemilu. Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan “Di dalam daftar bakalcalon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapatsekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Oleh karenanya beberapacalon legislatif (caleg) yang berada di nomor urut kecil – caleg perempuan utamanya –merasa dirugikan atas putusan ini. Seperti diketahui, sebagai upaya untuk menciptakankesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di Indonesia dalam segala aspekkehidupan khususnya di bidang politik, DPR bersama Pemerintah telah mengambilkebijakan affirmasi yang kemudian dituangkan dalam Pasal 53 dan 55 ayat (2) UU Pemiluserta dipertegas lagi dalam Pasal 214 huruf e, yang menyatakan “Dalam hal tidak adacalon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP,maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut”.Di satu sisi Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 yang menganulir pasal 214 menjadisemacam cambuk bagi para elit parpol untuk benar-benar memberian porsi lebih besarbagi kompetisi yang sehat, keadilan politik dan demokrasi. Sebagai warga negara yangtaat <strong>hukum</strong>, putusan MK itu niscaya ditaati dan dipraktikkan oleh semua parpol sebagaipeserta Pemilu. Pada saat bersamaan, suara terbanyak sekaligus member lahan suburbagi tumbuhnya demokrasi di negeri ini. Terdapat beberapa implikasi konstruktif yangdapat dirasakan: 4Pertama, tergusurnya oligarki elit parpol. Faktor nomor urut dianggap menyimpansemangat oligarkhi elit parpol, dengan besarnya kekuasan elit parpol dalam menentukannomor urut calon. Kolusi dan nepotisme kerap terjadi. Karena kedekatan antara calondengan pimpinan parpol, maka ia akan mendapatkan ‘nomor dasi’. Sebaliknya yangdisinyalir berseberangan, meski punya integritas lebih baik akan mendapat ‘nomor sepatu’.Dengan demikian, suara terbanyak tak lagi ditentukan oleh segelintir elit paprol, melainkanoleh rakyat.Kedua, rakyat memilih langsung, parpol tidak dapat menghalangi pilihan rakyat.konsekwensi dari sistem proporsional adalah keniscayaan suara mayoritas, atau biasadisebut majoritarian democracy. Rakyat mempunyai kedaulatan untuk menentukan aspekmayoritas tersebut dengan pelbagai preverensinya. Kedaulatan rakyat adalah kedaulatanmayoritas yang sekaligus menghilangkan potensi tirani minoritas elit. Karena itu, demokrasidari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, substansinya merupakan hasil dari pilihanpilihanmereka mereka dalam skala mayoritas.Ketiga, mendekatkan caleg dengan konstituen. Para caleg akan berlomba dan bekerjakeras memperoleh dukungan dari rakyat pemilih agar mendapat suara terbanyak.Intensitas pendekatan niscaya dilakukan agar mereka percaya dengan figure sang caleg.Rakyat kini semakin cerdas. Mereka tentu akan memilih caleg yang dirasa lebih dekatdan dikenal sekaligus dinilai cakap menangani masalah kemasyarakatan. Karena rakyatlah4Ali Masykur Musa, Op.Cit.
JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201172yang secara langsung menjadi ornament demokrasi, maka nomenklatur itu menuntutpelibatan rakyat lebih besar dalam penentuan calon terpilih. Demokrasi yang masihmengacu pada ‘nomor urut’ sesungguhnya masih belum sepenuhnya merepresentasikedekatan kehendak rakyat dalam memilih wakilnya di parlemen.Keempat, menghilangkan praktek jual beli kursi (nomor jadi). Praktek menjelangpemilu, tak sedikit orang membeli ‘nomor dasi’ agar mereka dijamin berkantor di senayan.Penerapan suara terbanyak mengakibatkan tak berfungsinya nomor urut, sehingga jualbelinomor jadi tak akan terjadi.Pada akhirnya, putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 adalah hasil optimum daricapaian pembenahan sistem kepartaian dalam sistem pemilu. Ia mendedahkanberakhirnya oligarki elit parpol yang selama puluhan tahun bercokol di urat nadi sistempolitik kita. Oligarki runtuh, demokrasi pun kukuh. Kini tinggal bagaimana pihak-pihakterkait, baik KPU maupun parpol, mengimplementasi sistem ini di lapangan.E. Peran Partai Politik Pasca Keluarnya Putusan MK No: 22-24/PUU-VI/2008MK telah mengabulkan permohonan uji materi UU 10 Tahun 2008 tentang pemilihanumum pasal 214 huruf a, b, c, d, e mengenai sistem nomor urut, dengan demikian penentuancalon legislatif harus mengacu pada putusan MK dengan menggunakan suara terbanyak.Para caleg yang tidak tidak berada di nomor urut satu sangat setuju dengan keputusanMK yang memberi kesempatan kepada mereka untuk menunjukkan dirinya bahwamereka walau tidak di urutan pertama tetapi dapat meraup suara terbanyak. Tentu sajakeputusan ini memberi konsekwensi yang sangat luas.Pertama, setelah diputuskan, para partai yang memperdagangkan nomor urut,memperdagangkan kursi parlemen akan mengalami konflik intern. Pasti itu. Mereka yangtelah membayar untuk mendapatkan urut satu, paling tidak akan melakukan protes secaraintern. Dari sinilaha konflik akan terjadi. Bagaimana sikap partai. Tentu beragam. Adayang menerima dengan tasyakuran. Ada yang menerima dengan catatan. Dan ada yangmenolak tetapi tidak protes karena putusan MK.Kedua, mudah-mudahan terungkap kebobrokkan di tubuh parpol yang di dalamnyaada suap menyuap intern pengurus parpol terkait penentuan nomor urut kursi pencalegan,Ketiga, Pertemanan dalam penentuan nomor urut kursi pencalegan telah dihapusoleh MK. Biar saja yang bekerja yang akan menikmati menjadi anggota parlemen. Jikanomor urut, maka ada yang tidak bekerja tetapi mendapatkan berkah suara karenapertemanan tersebut.Keempat, Sisi keadilan. Terwujudnya keadilan. Kelima, Tidak mengkhianati suararakyat. Nomor urut itu mengkhianati suara rakyat. Dengan dihapusnya nomor urut, makasuara rakyat akan tetap sesuai dengan hati nurani rakyat siapa yang menjadi pilihannya.Keenam, ada upaya bekerja dan bersaing secara ketat masing-masing caleg. Makaantara intern caleg bisa bentrok. Bisa saja tidak rukun. Saling jegal. Saling fitnah. Inilahresiko politik dengan ketetapan MK tersebut.Dalam putusannya MK menilai, pasal tersebut hanya menguntungkan para caleg yangberada di nomor urut jadi yakni 1, 2, dan 3. Sedangkan, caleg yang berada di nomor urut
JURNALILMU HUKUM73buntut meski mendapatkan suara terbanyak, tapi perolehan suaranya itu diberikan kepadanomor urut jadi. Hakim konstitusi Arsyad Sanusi menjelaskan, pasal 214 huruf a, b, c, d, eyang menentukan pemenang adalah yang memiliki suara di atas 30 persen dan mendudukinomor urut lebih kecil adalah inskontitusional, bertentangan dengan kedaulatan rakyatsebagaimana diatur dalam UUD 1945. Pasal tersebut dianggap tidak adil karena mengandungstandar ganda yang memaksakan pemberlakukan <strong>hukum</strong> yang berbeda dalam kondisi yangsama., yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg.Pertimbangan <strong>hukum</strong> Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi ataspasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu 2009 di antaranya,ketentuan pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e UU No 10/2008 yang menyatakan bahwa calonanggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilanganpembagian pemilu (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangandengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 dayat 1 UUD 1945.F. Penutup1. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan jpembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulansebagai berikut: Pertama, Sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2008 bahwa peran partai politik dalam menentukan caleg sangat besar. Sehingajadi atau tidaknya seorang caleg sangat ditentukan oleh pimpinan partai politik melaluinomor urut dalam Daftar Calon. Untuk mendapatkan posisi nomor urut paling atas biasanyaditempati orang-orang terdekat ketua partai atau bahkan berdasarkan setoran uangkepada pimpinan parpol. Hal ini juga sebenarnya menjadi penyebab mengapa orang lebihcenderung membentuk partai baru alasannya adalah demi posisi dalam nomor urut.Kedua, Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2008peran partai politik menjadi berkurang terhadap penentuan caleg terpilih dalam pemilihanumum. Partai hanya berperan menampilkan caleg-calegnya dalam Daftar Calon,sementara yang menentukan terpilih tidak terpilihnya adalah pemilih. Perubahanmekanisme penentuan caleg terpilih ini menghilangkan oligarki partai politik yang terjadiselama ini. Peran partai melemah, meskipun dalam Undang-Undang Pemilu ditegaskanpeserta pemilu adalah partai politik.2. SaranDalam rangka menyonsong Pemilu 2014 Undang-Undang No.10 Tahun 2008 sedangdilakukan perubahan oleh DPR. Bahkan muncul lagi keinginan dari sejumlah partai diDPR untuk mengembalikan sistem penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut,dengan alasan bahwa peserta pemilu adalah partai politik bukan perseorangan. Oleh karenaitu penulis menyarankan sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyaksangat sesuai dengan konsep kedaulatan rakyat dan harus tetap dipertahankan. Siapayang menentukan caleg yang bakal jadi sepenuhnya hak mutlak dari rakyat bukan partaipolitik. Bila perlu dalam UU Pemilu ditegaskan bahwa peserta pemilu adalah peroranganyang diusulakn oleh partai politik.
JUNAIDIVOLUME2 No. 1 Agustus 201174G. Daftar PustakaAlfian, Komunikasi Politik Dan Sistem Politik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 1991.Budiardjo, Miriam, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2000Gaffar, Afan “Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi,” Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1999Mardjono, H., Hartono, S.H., Reformasi Politik Suatu Keharusan, Gema Insani Press,Jakarta, 1998.Musa, Ali Masykur, Berakhirnya Oligarki Partai Politik, Koran Sindo, 27 Desember2008.Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia- UI Press,Jakarta, 1986Subianto, Bijah, Penguatan Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi PolitikMasyarakat, Jurnal, Naskah no.20 Juni-Juli 2000.Surbakti, A., Ramlan, Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia Widiasarana Indonesia,Jakarta, 1998Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22-24/PUU-VI/2008Media Indonesia, Rabu 6 September 2006
JURNALILMU HUKUM75GAGASAN PENYEDERHANAAN JUMLAH PARTAI POLITIKDIHUBUNGKAN DENGAN SISTEM PEMERINTAHANREPUBLIK INDONESIAMEXSASAI INDRAJalan Karya I No. 30 PekanbaruAbstrakReformasi politik 1998 yang kemudian diikutipemilu bebas dan demokratis pada tahun 1999,telah mengubah secara cukup mendasar pola relasiPresiden dan DPR yang ditandai banyaknya partaipolitik yang berperan dalam struktur ketatanegaraan.Karena itu lah muncul kembali gagasanpenyederhanaan partai politik. Upaya penyederhanaanjumlah partai politik merupakan suatukeniscayaan dalam rangka mendukung sistempemerintahan presidensial yang efektif, adapunupaya yang dapat dilakukan yakni melalui penyederhanaanjumlah partai politik secara alamiahmelalui electoral threshold, pengetatan terhadapsyarat-syarat pendirian partai politik dismapingitu juga dengan realitas yang ada saat ini perluadanya pengaturan yang jelas tentang sistem koalisi.AbstractPolitical reforms in 1998 which was followed by afree and democratic elections in 1999, has a fairly fundamentalchange relationship patterns that characterizedthe President and the Parliament many politicalparties that play a role in the constitutional structure.Because it came back the idea of simplificationis a political party. efforts to simplify the number ofpolitical parties is a must in order to support an effectivepresidential system of government, while the effortto do that is by simplifying the number of politicalparties naturally through the electoral threshold,tighten the terms of the establishment of political partiesdismaping it is also the reality that there is currentlya clear need for regulation of the coalition system.Kata kunci: Electoral tresdhold, partai politik.A. PendahuluanReformasi politik 1998 yang kemudian diikuti pemilu bebas dan demokratis padatahun 1999, telah mengubah secara cukup mendasar pola relasi Presiden dan DPR. Apabilaselama rejim otoriter Orde Baru (1966-1998) relasi lembaga eksekutif dan legislatiftersebut cendrung “sarat eksekutif” (executive-heavy) dan bahkan didominasi olehPresiden, maka sejak pemerintahan hasil Pemilu 1999 bekerja pola relasi kedua lembagatersebut berubah menjadi “sarat legislatif” (legislative heavy) ketimbang sebelumnya.Presiden pertama dalam sejarah yang dipilih secara demokratis oleh MPR, AbdurrahmanWahid, bahkan menjadi korban dari situasi legislative-heavy yang menghasilkan“perlawanan” DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden. Seperti diketahui, PresidenWahid akhirnya mengalami pemakzulan (impeachment) oleh MPR di tengah masa bhaktipemerintahannya pada tahun 2011. 1Salah satu kelemahan yang terjadi pada saat era Presiden Abdurrahman Wahid inimenurut Mirza Nasution 2 ketika menyusun Kabinet Persatuan memperhatikan suarapartai lain. Posisi presiden sangat lemah tanpa memperhatikan kekuatan politik yangdominan di DPR. Ikut sertanya partai politik yang berkoalisi dalam membentuk kabinet1Lihat Syamsuddin Haris, Dilema Presidensialisme di Indonesia Pasca-Orde Baru dan Urgensi PenataanKembali Relasi Presiden-DPR, dalam Gagasan Amandemen UUD 1945: Suatu Rekomendasi, Penerbit KomisiHukum Nasional (KHN), 2008, hlm. 147.2Lihat Mirza Nasution, Mempertegas Sistem Presidensial, dalam Gagasan Amandemen UUD 1945: SuatuRekomendasi, Penerbit Komisi Hukum Nasional (KHN), 2008, hlm. 211.
MEXSASAI INDRAVOLUME2 No. 1 Agustus 201176merupakan reshuffle kabinet dengan menggunakan pola lain, Presiden Gus Dur tidakmembicarakan keanggotaan kabinet dengan pimpinan partai politik yang berkoalisi, tetapihanya mengambil unsur keangotaan partai politik yang dipilih atas kehendak Gus Dur.Proses pembentukan kabinet yang disusun tanpa mengajak pimpinan partai politik, sangatrentan terhadap goncangan (political turmoil).Berdasarkan pengalaman pada saat pemilihan sistem perwakilan yakni melaluiMajelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka pada saat perubahan UUD 1945 yangtelah dilakukan sebanyak empat kali. 3 Dilakukan perubahan mendasar dalam sistempemilihan presiden dari model perwakilan menjadi model langsung yang dilakukan secaralangsung oleh rakyat. Menurut Saldi Isra 4 ada empat alasan (raison d’etre) dilakukannyapemilihan presiden secara langsung yakni:Pertama, presiden yang dipilih melalui pemilihan langsung akan mendapat mandatdan dukungan yang lebih riil dari rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilihdengan tokoh yang dipilih. Kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale)akan menjadi pegangan bagi Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya.Kedua, pemilihan Presiden langsung secara otomatis akan menghindari intrik-intrikpolitik dalam proses pemilihan dengan sistem perwakilan. Intrik politik akan denganmudah terjadi dalam sistem multi partai. Apalagi kalau pemilihan umum tidakmenghasilkan partai pemenang mayoritas, maka tawar- menawar politik menjadisesuatu yang tidak mungkin terhindarkan.Ketiga,pemilihan Presiden langsung akan memberikan kesempatan yang luas padarakyat untuk menentukan pilihan secara langsung tanpa mewakilkan kepada oranglain. 5 Kecendrungan dalam sistem perwakilan adalah terjadinya penyimpangan antaraaspirasi rakyat dengan wakilnya. Ini semakin diperparah oleh dominannya pengaruhpartai politik yang telah mengubah fungsi wakil rakyat menjadi wakil partai politik(political party representation).Keempat, pemilihan langsung dapat menciptakan perimbangan antara berbagaikekuatan dalam penyelenggaraan negara terutama dalam menciptakan mekanismechecks and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-samadipilih oleh rakyat.Meskipun pemilihan presiden di Indonesia telah dilakukan secara langsung keadaantersebut tidak secara serta merta akan menjamin stabilitas pemerintahan yang dijalankanoleh Presiden. Dalam beberapa kasus ternyata Presiden masih direpotkan dengan“gangguan” yang dilakukan oleh DPR, meskipun Presiden mendapat mandat secaralangsung dari rakyat dan telah membentuk bangunan koalisi yang kuat di Parlemen,ternyata praktek dalam sistem Pemerintahan Presidensial kita masih mengandung corakparlementer, misalnya dalam kasus Bank Century dan Kasus Angket Mafia Pajak yang3Amandemen pertama, pada tahun 1999 yang disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, Amandemenkedua, pada tahun 2000 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Amandemen ketiga, pada tahun2001 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001, dan Amandemen keempat, dusahkan pada tanggal10 Agustus 20002. Lihat, Mexsasai Indra, Komisi Konstitusi Indonesia, Proses Pembentukan dan PelaksanaanKewenangannya, UIR Press-PSKI UIR, Pekanbaru 2007, hlm. 7.4Lihat Saldi Isra, Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi dalam Sistem Presidensial, JurnalKonstitusi Pusako Universitas Andalas, Volume II Nomor 1, Juni 2009, hlm. 107-108.
JURNALILMU HUKUM77pada akhirnya mentah di tengah jalan. Dari dua kasus tersebut ternyata sistem presidensialyang diiringi dengan sistem multi partai masih banyak menyisakan sejumlah persoalan.Sebagai contoh misalnya dalam kasus angket Century dan Angket Mafia Pajak misalnyameskipun Partai Golkar menyatakan bagian dari koalisi pemerintah, tetapi untuk situasidan kondisi tetentu ternyata berkarakter layaknya partai oposisi. Tetapi keadaan tersebutterbantahkan dengan dalil bahwa sikap menyetuji Angket Century dan Angket Mafia Pajakmerupakan imlementasi dari fungsi pengawasan yang dimiliki oleh parlemen terhadapPresiden. Tetapi di sisi lain presiden akan tetap dihadapkan pada persoalan tingginyatingkat ketergantungan terhadap Parlemen 6 .Walaupun dalam sistem pemerintahan presidensial tidak dikenal istilah koalisi karenapresiden dan wakil presiden langsung mendapat mandat dari rakyat, namun dalam sistempresidensial Indonesia sebuah keniscayaan untuk melakukan koalisi karena sistempemerintahan kita tidak diikuti dengan sistem kepartaian dengan dua partai seperti yangdipraktikkan di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat partai pemenang pemilu otomatismenjadi partai berkuasa sedangkan partai yang kalah otomatis menjadi partai oposisi,sehingga sangat mudah untuk menentukan apakah partai berkuasa sukses menjalankanamanat rakyat atau tidak 7 .Keadaan ini berbeda dengan apa yang diparktikkan di Indonesia dengan sistempresidensial yang diikuti dengan sistem multi partai sangat sulit kita untuk menentukankegagalan penyelenggaraan pemerintahan kepada satu partai saja, katakanlahpemerintahan SBY dan Boediono dianggap gagal, tetapi tidak serta merta kegagagaan inimerupakan kegagalan dari partai demokrat karena pengangkatan menteri-menteri tidakdidasarkan kompetensi pribadi (zaken cabinet), melainkan didasarkan pada akomodasikepentingan partai-partai yang menyatakan dukungan terhadap pemerintah. Sehinggakeadaan ini menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan presiden terhadap parlemenyang merupakan ciri dari pemerintahan parlementer sehingga corak sistem pemerintahankita presidensial yang berkarakter parlementer atau “presidensial banci”. 8Selama empat kali perubahan UUD 1945 (1999-2000), sebetulnya sudah ada upayauntuk melakukan purifikasi erhadap sistem pemerintahan presidensial dilakukan dalambentuk: (i) mengubah proses pemilihan Presiden/Wakil Presiden dari pemilihan secaralangsung; (ii) membatasi periodesasi masa jabatan Presiden/Wakil Presiden; (iii) memperjelasmekanisme pemakzulan (impeachment) Presiden/Wakil Presiden; (iv) larangan bagi Presidenuntuk mebubarkan DPR; (v) memperbarui atau menata ulang eksistensi MPR; dan (vi)melembagakan mekanisme pengujian undang-undang (judicial review). 95Alasan ini dapat juga dibaca dalam Saldi Isra, (2001) “Pemilihan Presiden Secara Langsung “ dalamKompas24 September; A. Malik Harmain, (2001), “Urgensi Pemilihan Presiden Langsung“, dalam Kompas,31 Oktober; dan Abdul Rohim Ghazali, (2001), “Pemilihan Presiden Langsung untuk Indonesia”, dalamKompas 10 November.6Sebagai contoh misalnya kegagalan Presiden SBY dalam melakukan reshuffle kabinet pasca votingpenggunaan hak angket mafia pajak di DPR meskipun isu akan dilakukannya reshuffle kabinet sudahmenjadi isu yang pasti sampai kehadapn publik, tetapi realitas politik tidak berkehendak demikian.Kenyataan ini membuktikan bahwa presiden tidak bisa lepas dari keharusan “mengamankan” parlemen.7Mexsasai Indra, Presidensial Banci, Opini Riau Pos, 10 Maret 2011.8Ibid.9Lihat, Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam SistemPresidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2010, hlm. 63. Buku ini berasal dari disertasinya
MEXSASAI INDRAVOLUME2 No. 1 Agustus 201178Meskipun telah dilakukan upaya purifikasi terhadap sistem presidensial namun, dalambeberapa praktek ketatanegaraan, kita masih melihat karakter parlementer. Kenyataantersebut terlihat jelas dalam relasi antara presiden dengan parlemen yang masih menampakkankarakter parlementer terutama dalam kaitan antara sistem pemerintahanpresidensial yang tidak diikuti dengan sistem dwi partai.B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut di atas, makarumusan masalah dalam penelitian ini yakni bagaimanakah gagasan penyederhanaanjumlah partai politik dihubungkan dengan sistem pemerintahan Republik Indonesia?C. PembahasanNegara Republik Indonesia adalah negara Demokrasi yang memberikan kebebasanwarga Negaranya untuk berserikat, mengeluarkan pendapat dan aspirasinya. Salahsatunya, yaitu membentuk partai politik dalam membentuk pemerintahan yang dapatmem-perjuangkan aspirasi dan tujuan Negara Republik Indonesia yang tertuang dalampembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dalamperjalanan sejarah Bangsa Indonesia, terlihat banyak usaha untuk membentuk Negarayang memang memiliki sistem pemerintahan yang baik gunamencapai kestabilan negara.adanya tuntutan demokrasi dan reformasi mencerminkan Bangsa Indonesia memangmasih dalam tahap mencari jati diri. 10Banyak penilaian terhadap penerapan sistem multi partai di Indonesia, baik yangmenilai dari segi politik maupun dari segi sistem yang diterapkan. Dari hal penyederhanaanatau pengurangan jumlah partai politik yang ikut dalam Pemilu dan jugapermasalahan apakah sistem multi Partai di Indonesia sudah selaras dengan sistempresidensiil. Penerapan sistem multi partai di masa reformasi memang dapat dikatakanmasih mencari paradigma yang tepat dan mantap. Hal tersebut terbukti dalam kurunwaktu di era reformasi (1998 s.d 2008) regulasi mengenai Partai Politik di Indonesiatelah berganti sebanyak 3 (tiga) kali yaitu melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Dan hampir setiap kalimau menghadapi helat pemilihan umum selalu terjadi perubahan terhadap undang-undangpaket politik. Dengan demikian Indonesia memang belum bisa memberikan regulasi yangrelatif permanen dan tetap mengenai aturan partai politik. 11Pilihan pencarian terhadap sistem kepartaian apa yang dianut oleh Indonesia sangatmenentukan bagaimana pola hubungan yang terjadi antara eksekutif dan legislatif. Dalamkonteks sistem kepartaian yang ada di Indonesia ternyata sistem pemerintahanpada Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Yang dipertahankan dalam sidangterbuka pada tanggal 7 Februari 2009.10Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati, Pengaturan Kepartaian dalam MewujudkanSistem Pemerintahan Presidensiil yang Efektif, Jurnal Konstitusi, Pusako Universitas Andalas, Volume IINomor 1, Juni 2009, hlm. 62-63.11Ibid, hlm. 63.
JURNALILMU HUKUM79presidensiil yang diikuti dengan sistem multi partai ternyata menghadirkan banyakkesulitan dan masalah, menilik design sistem pemilu presiden yang berlaku, sulitmenghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat(2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian,Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan WakilPresiden mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi diDPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calonpresiden dan wakil presiden. 12Persoalan lain yang muncul dengan sistem presidensiil yang diikuti dengan sistemmulti partai yakni sulitnya menghasilkan pemenang suara mutlak (single majority) dalampemilihan umum. Kalau kita kilas balik kebelakang sejak masa pemerintahan PresidenAbdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri sampai era SBY-Boediono praktik sistempresidensial di Indonesia selalu menghadirkan minority government. Sebagaimanadiketahui, hasil Pemilu 1999 tidak menghasilkan partai politik pemenang suara mayoritasdi DPR (juga di MPR) hanya memperoleh 153 kursi (33,7%) dari 500 kursi DPR. Denganhasil itu, hampir mustahil bagi PDI-P meloloskan katua umumnya menjadi presiden tanpadukungan partai politik lain. Ironisnya, kata Syamsuddin Haris, hampir tidak ada inisiatifpolitik dari Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI-P sekaligus calon presidenyang direkomendasikan oleh Kongres PDI-P di Bali untuk menggalang dukungan dankerjasama politik dengan partai politik lain di luar PDI-P. 13Sikap percaya diri PDI-P dan Megawati Soekarnoputri mendorong elit partai politikberbasis islam dan berbasis ormas Islam seperti PPP, PAN, PBB, dan Partai Keadilan(PK) dirancang oleh Ketua Umum PAN Amien Rais membentuk koalisi yang dikenal sebagaiPoros Tengah. 14 Sebagai calon alternatif di luar B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri,Poros Tengah mengusung Abdurrahman sebagai calon presiden. Langkah Poros tengahmenjadi lebih mudah karena laporan pertanggungjawaban B.J. Habibie ditolak oleh MPRdalam Sidang umum MPR pada bulan Oktober 1999. Ketika poros tengah berhasilmendorong Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, koalisi menjadi pilihan takterhindarkan dan koalisi semakin besar dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputrimenjadi Wakil Presiden. Bagaimanapun koalisi yang dibangun presiden yang tidak punyadukungan mayoritas dilembaga legislatif dapat dikatakan sebagai sebuah langkah darurat. 15Problem lain akibat sistem presidensiil yang diikuti dengan sistem multi partai adalahsikap mendua yang selalu diperagakan oleh partai politik dalam koalisi pendukungpemerintah, praktek ketatanegaraan selama pemerintahan SBY-Boediono merupakanfakta bahwa sistem presidensiil yang diikuti dengan sistem multi partai ternyata menjadipersoalan serius bagi presiden yang berkuasa. Seperti contoh misalnya dalam penggunaanhak angket oleh DPR dalam kasus kasus century yang dalam hasil voting dimenangkanoleh opsi yang menyatakan bahwa dalam kasus bail out terhadap Bank Century terjadi12Saldi Isra, Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi dalam Sistem Presidensial, Jurnal Konstitusi,Pusako Universitas Andalas, Volume II Nomor 1, Juni 2009, hlm. 125.13Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka UtamaGrafiti, Jakarta, 2007 hlm. 69. Dalam, ibid, hlm. 122.14Syamsuddin Haris meneyebut koalisi Poros Tengah sebagai koalisi longgar. Lebih jauh lihat ibid.15Saldi Isra, Pemilihan..op., cit, hlm. 123.
MEXSASAI INDRAVOLUME2 No. 1 Agustus 201180pelanggaran <strong>hukum</strong>, hasil voting ini dianggap kekalahan dari partai politik pendukungpemerintah. Dan dianggap sejumlah partai politik pendukung pemerintah melakukan“pengkhinatan” terhadap kontrak politik yang telah disepakati.Kasus lain juga dapat kita lihat dalam hal penggunaan hak angket mafia pajak. Hasilvoting angket pajak berakhir dengan skor 264 (setuju) dan 266 (menolak) terhadappenggunaan angket pajak. Kegagalan dalam penggunaan hak angket dianggap kemenanganpartai pendukung pemerintah, namun kenyataanya meninggalkan sejumlah persoalankarena partai Golkar dan PKS yang merupakan bagian dari partai mitra koalisi pemerintahdianggap melakukan sikap pelanggaran terhadap 11 (sebelas) kesepakatan yang telahdisepakati, sebagaimana terucap dalam pidato presiden merespon terbelahnya sikap partaikoalisi dalam kasus angket pajak. 16Menurut Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati 17 ada hal-hal yangperlu diperhatikan kenapa sistem multi partai dapat mengganggu dalam mewujudkansistem presidensiil yang efektif:1. Karena koalisi pemerintahan dan elektoral sering berbeda, dalam koalisi pemerintahan,partai politik tidak bertanggung jawab menaikkan presiden dalam pemilu sehinggapartai politik cendrung meninggalkan presiden yang tidak lagi populer.2. Pemilu presiden selalu ada di depan mata sehingga partai politik berusaha sebisamungkin menjaga jarak dengan berbagai kebijakan presiden, yang mungkin baik,tetapi tidak populer.3. Kemungkinan jatuhnya pemerintahan secara inkonstitusional, besarnya peluangpergantian pemerintah secara inkonstitusional amat relatif karena dalam sistempresidensialisme amat sulit menurunkan presiden terpilih. Karena itu, pihak-pihakyang tidak puas dengan kinerja pemerinta cendrung menggunakan jalur inkonstitusionaluntuk mengganti pemerintahan.Sebetulnya upaya penyederhanaan jumlah partai politik sudah diupayakan melaluiregulasi yakni melalui konsep electoral threshold. 18 Cuma problemnya para politisidisenayan juga tidak konsisten dengan konsep ini. Di dalam Undang-Undang No 12 Tahun2003 (Undang-Undang Pemilu Legislatif sebelumnya) dinyatakan bahwa syarat electoralTreshold bagi Partai-Partai yang ikut pada Pemilu Tahun 2004 adalah 3 % (persen).Artinya apa? Bahwa Partai-Partai yang ikut bertarung dalam Pemilihan Umum tahun2004 untuk bisa ikut dalam Pemilihan Umum tahun 2009 harus memperoleh suaraminimal di Pemilihan Umum tahun 2003 tiga persen. 19Dalam realitas pemilihan umum tahun 2004 apabila mengacu pada ketentuan Undang-Undang No 12 Tahun 2003 maka partai-partai yang bisa bertarung dalam PemilihanUmum tahun 2009 adalah: Partai Golkar, Partai Indonesia Perjuangan (PDI-P), PartaiDemokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai KebangkitanBangsa, Partai Keadilan Sejahtera. Karena, hanya partai-partai inilah yang perolehan16Mexsasai Indra, Loc., cit.17Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati, Op., cit, hlm. 70.18Merupakan keadaan yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk ikutpada pemilihan umum berikutnya.19Mexsasai Indra, Kontroversi UU Pemilu, Opini Riau Pos, 20 Maret 2008.
JURNALILMU HUKUM81suaranya lebih dari 3 % (persen) sesuai dengan electoral Treshold dalam Undang-UndangNomor 12 Tahun 2003. Kalau Partai-Partai yang perolehan suaranya dibawah 3 % (persen)sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 ingin bertarung dalamPemilihan Umum Tahun 2009 katakanlah dalam hal ini seperti, Partai Bulan Bintang,Partai Damai Sejahtera, Partai Karya Peduli Bangsa, dan lain-lain. Maka, Partai-Partaiini terlebih dahulu harus merubah nama dan mengikuti verifikasi di Departemen Hukumdan HAM Republik Indonesia, dan dinyatakan partai yang ikut serta dalam PemilihanUmum Tahun 2009 oleh Komisi Pemilihan Umum Pusat.Tapi, lagi-lagi wakil rakyat kita di Senayan melakukan politik dagang sapi yangditunjukkan dengan kesepakatan DPR yang membolehkan semua partai yang memperolehkursi DPR hasil Pemilihan Umum tahun 2004, meskipun gagal mencapai electoral threshold3 (tiga) persen untuk bisa langsung ikut dalam Pemilihan Umum Tahun 2009. Sungguhaneh, ketika DPR dan elit partai justru menyusun undang-undang yang nyata-nyata keluardari platform dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang sekarang sesungguhnyahendak direvisi. Dengan demikian, revisi atas undang-undang Nomor 12 Tahun 2003bukannya melangkah maju, tetapi justru melangkah mundur seperti tari poco-poco.Semangat yang dikandung oleh undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 dengan sistemelectoral threshold adalah dengan maksud menyederhanakan partai politik dengan carayang alamiah. Kalaulah electoral threshold ditiadakan, sehingga semua partai dapatmengikuti Pemilu kenapa kok hanya parpol yang memiliki kursi di DPR saja yang diberikesempatan? Apakah bukan demi transaksi dan pertukaran kepentingan di antara parapolitisi dan partai itu sendiri.Menurut Bagir Manan 20 untuk mendukung sistem pemerintahan presidenial yangefektif ada beberapa hal yang harus dilakukan; Pertama, Perlu pembaharuan sistemkedpartaian kita dari sistem multi partai dari sistem multi partai menjadi dua partai yangakan memungkinkan ada partai yang memiliki kursi atau anggota mayoritas mutlak diparlemen. Sehingga presiden dan wapres terpilih cukup didukung satu partai mayoritas,sehingga tidak perlu koalisi untuk berbagi kekuasaan yang menyebabkan presiden selalutersandera oleh kekuatan politik di parlemen. Presiden terpilih, memiliki kebebasan untukmemilih menteri-menteri yang semata-mata berdasarkan kompetensi pribadi (zakencabinet) bukan didasarkan pada suatu bangun koalisi yang rapuh yang kadang kala dapatmenyebabkan mush dalam selimut seperti yang terjadai saat ini, di satu sisi menyatakanbagian dari pemerintah berkuasa tetapi untuk case-case tertentu “lompat pagar” daribarisan pemerintah seperti yang terjadi dalam kasus angket century.Kedua, pemangkasan hak-hak DPR, semua hak DPR yang berbau parlementer harusditiadakan untuk menjamin stabilitas pemerintahan dari ancaman parlemen. PengawasanDPR hanya dilakukan melalui undang-undang dan APBN, kecuali terhadap keadaan atauperistiwa yang benar-benar menyangkut dasar-dasar bernegara, keamanan nasional,kepentingan publik, dan kewajiban internasional. DPR tidak perlu mengawasi pekerjaansehari-hari pemerintah atau peristiwa-peristiwa yang berada dalam lingkungan kerjapemerintah, apalagi terhadap kekuasaan penegak <strong>hukum</strong>, khususnya pengadilan.20Bagir Manan, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, Orasi Ilmiah dalam RangkaDiesnatalis Universitas Padjajaran Bandung, April 2010, hlm. 33-34. Lihat juga Mexsasai Indra, Loc., cit.
MEXSASAI INDRAVOLUME2 No. 1 Agustus 201182Ketiga, Pembaharuan sistem pemilihan umum. Untuk menuju sistem kepartaian yangsederhana (dua partai), harus diadakan perubahan sistem pemilihan umum menjadi sistemdistrik, dengan demikian, akan terjadi proses penyatuan kekuatan politik (centrifetel),memudahkan rakyat menentukan pilihan, dan akan mengurangi atau meniadakanberbagai bentuk jual beli politik.Menurut Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati 21 perlu adanyapemikiran untuk membuat aturan tentang sistem multi partai secara tegas denganmemperhatikan beberapa poin alternatif antara lain:1. Pengaturan sistem kepartaian yang tegas, dalam arti pengaturan yang menjelaskansistem kepartaian yang dianut dengan jumlah partai politik tertentu.2. Kalaupun jumlah partai politik tidak dibatasi, hendaknya memperhatikan syaratsyaratpendirian partai politik yag lebih ketat sehingga dapat memunculkan partaipolitik yang kuat dan akuntabel.3. Apabila ada koalisi, maka harus dituangkan penghaturan yang jelas terakitmekanisme koalisi, karena selama ini koalisi partai politik tidak konsisten dancendrung tidak memperhatikan etika politik.D. KesimpulanBerdasarkan pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upayapenyederhanaan jumlah partai politik merupakan suatu keniscayaan dalam rangkamendukung sistem pemerintahan presidensial yang efektif, adapun upaya yang dapatdilakukan yakni melalui penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah melalui electoralthreshold, pengetatan terhadap syarat-syarat pendirian partai politik dismaping itu juga denganrealitas yang ada saat ini perlu adanya pengaturan yang jelas tentang sistem koalisi.E. SaranDiharapkan pada DPR sebagai leading sector bersama pemerintah dalam membuatregulasi yang terkait dengan sistem kepartaian agar konsisten dalam menentukan syaratsyaratelectoral threshold dan tidak melakukan bonglkar pasang setiap kali akanmelaksanakan pemilu, sehingga penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiahdapat diwujudkan, tetapi sepanjang “kran” pendirian partai politik tetap dibuka makasepanjang itu pula akan sulit untuk menyederhanakan jumlah partai politik.F. Daftar PustakaA. BukuMexsasai Indra, Komisi Konstitusi Indonesia, Proses Pembentukan dan PelaksanaanKewenangannya, UIR Press-PSKI UIR, Pekanbaru 2007.Mirza Nasution, Mempertegas Sistem Presidensial, dalam buku Gagasan AmandemenUUD 1945 suatu rekomendasi, Penerbit Komisi Hukum Nasional (KHN), 2008.21Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati, Op., cit, hlm. 72.
JURNALILMU HUKUM83Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer DalamSistem Presidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2010Syamsuddin Haris, Dilema Presidensialisme di Indonesia Pasca-Orde Baru dan UrgensiPenataan Kembali Relasi Presiden-DPR, dalam buku Gagasan Amandemen UUD1945 suatu rekomendasi, Penerbit Komisi Hukum Nasional (KHN).—————————, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007).B. Jurnal/Koran dan Sumber yang tidak diterbitkan.Bagir Manan, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945,Orasi Ilmiah dalam Rangka Diesnatalis Universitas Padjajaran Bandung, April 2010.Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati, Pengaturan Kepartaian dalamMewujudkan Sistem Pemerintahan Presidensiil yang Efektif, Jurnal Konstitusi, PusakoUniversitas Andalas, Volume II Nomor 1, Juni 2009.Saldi Isra, Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisi dalam Sistem Presidensial,Jurnal Konstitusi Pusako Universitas Andalas, Volume II Nomor 1, Juni 2009.Mexsasai Indra, Kontroversi UU Pemilu, Opini Riau Pos, 20 Maret 2008.——————————, Presidensial Banci, Opini Riau Pos 10 Maret 2011.Peraturan Perundang-UndanganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
VOLUME2 No. 1 Agustus 201184IMPLEMENTASI GOOD GOVERNANCE DAN PERIZINANDALAM PEMANFAATAN RUANG DI INDONESIAROMIJl. Kalumpang No. 7 Kelurahan Bandar BuatKecamatan Lubuk Kilangan Kota PadangAbstrakPerencanaan Tata Ruang adalah domain pemerintah,karena terkait kepada pemerintah sebanyakkebutuhan dasar dari orang yang telah diamanatkanoleh konstitusi. Setidaknya ada dua alasanyang memperkuat argumen ini, pertama perencanaanspasial sangat berpengaruh terhadap ikliminvestasi nasional. Dan kedua, perencanaan tataruang yang tidak terintegrasi dapat menimbulkankonflik horizontal pada tingkat praktis. Masalahadministrasi adalah bagaimana pengaturan izinperencanaan tata ruang di Indonesia dan apakahprinsip-prinsip pemerintahan yang baik ditampungdalam peraturan perencanaan tata ruang di Indonesia.Dalam prakteknya, pelaksanaan izin dalampenggunaan ruang di Indonesia belum dilaksanakansecara maksimal. Penyebab Faktor utamaadalah karena tidak tersedianya Peraturan DaerahRencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW)sebagai pemanfaatan kontrol parasut utama ruangdi daerah tersebut. Sementara itu, terkait denganpelaksanaan prinsip-prinsip pemerintahan yangbaik, setidaknya UU Penataan Ruang adalah untukmengakomodasi empat prinsip, yaitu prinsip-prinsipakuntabilitas, prinsip transparansi, prinsip partisipasidan prinsip kepastian <strong>hukum</strong>.AbstractThe Spatial planning is government domain, becauseits related to the government as much as the basicneed of people who have been mandated by the constitution.There are at least two reasons that reinforcethese arguments, the first spatial planning is veryinfluential on the national investment climate. Andsecond, unintegrated spatial planning can lead toconflict horizontally on a practical level. The problemof its paper are how arrangement of spatial planningpermission in Indonesia and whether good governanceprinciples are accommodated in spatialplanning regulation in Indonesia. In practice,implementation of permission in the use of space inIndonesia has yet to be implemented to the maximum.The main factor cause is due to the unavailability ofregional spatial plan of local regulations (Perda RTRW)as the main parachute control utilization of space inthe area. Meanwhile, related to the implementation ofthe principles of good governance, at least the SpatialPlanning Act has been to accommodate the fourprinciples, namely principles of accountability,transparency principle, the principle of participationand the principle of legal certainty.Kata kunci: Good governance, izin perencanaan ruangA. Pendahuluan1. Latar Belakang MasalahKrisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997telah menyebabkan terganggunya hegemoni sistem perekonomian bangsa yang selamaini digembar-gemborkan memiliki angka pertumbuhan perekonomian yang spektakulerhingga mencapai 7% 1 . Akibatnya, krisis ekonomi yang berimbas pada krisis multidimensitersebut ternyata amat berdampak negatif pada sektor kehidupan dan kesejahteraanbangsa kita. Hal ini setidaknya terlihat pada tingginya angka pengangguran yangdisebabkan karena terjadinya pemutusan hubungan kerja dan gulung tikar-nya parapengusaha kecil, menengah dan besar dari lapangan bisnis.Kondisi yang dikemukakan di atas secara nyata tentu saja sangat menghambatlangkah pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah guna mencapai tujuan nasionalyang telah digariskan di dalam alinea IV UUD 1945. Untuk mengatasi hal tersebut, atas1Ahmad Yani dan Goenawan Widjaja, Kepailitan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,1999, hlm. 1.
JURNALILMU HUKUM85tekanan dari masyarakat maka pemerintah kemudian melaksanakan reformasi padaseluruh aspek kehidupan.Salah satu langkah reformasi yang ditempuh guna mengatasi krisis tersebut menurutM. Fajrul Falaakh 2 adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahanyang baik (good governance) karena krisis tersebut telah mendorong arus balikyang luas yang menuntut perbaikan ekonomi negara dan perbaikan pemerintahan negara.Namun jika dikontemplasi dan dielaborasi secara lebih lanjut, di samping didorong olehkeinginan untuk menanggulangi krisis terjadi dan dalam rangka pencapaian tujuan nasional,penerapan prinsip-prinsip good governance juga dilatarbelakangi oleh faktor globalisasi.Menurut Sedarmayanti 3 globalisasi yang menyentuh berbagai bidang kehidupan diseluruh wilayah pemerintahan negara akan memungkinkan terselenggaranya interaksiperekonomian antar daerah dan antar bangsa berlangsung secara lebih efisien. Alasannyaadalah karena globalisasi akan mendorong terlaksananya reformasi sistem pemerintahandan perekonomian termasuk lingkungan birokrasinya. Bahkan menurut BintoroTjokroaminoto 4 mengutip pidato Presiden RI pada tanggal 16 Agustus 2000, pemerintahIndonesia juga menganggap good governance sebagai salah satu kecenderungan global.Berdasarkan uraian di atas, setidaknya dapat diketahui bahwa penerapan prinsipprinsipgood governance merupakan salah satu solusi dalam rangka penanggulangan krisisyang telah terjadi dan merupakan suatu keniscayaan dalam upaya pencapaian tujuannasional yang telah digariskan oleh konstitusi .Menurut Rustini Wiriaatmadja 5 good governance mencakup aspek kehidupan yangluas mulai dari aspek <strong>hukum</strong>, politik, ekonomi dan sosial serta terkait erat dengan tugaspokok fugsi penyelenggaraan kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.Dengan demikian dapat dimaklumi, penerapan prinsip-prinsip good governance yangdiwujudkan pada sistem pemerintahan dalam praktiknya harus menjadi inspirasi dantercermin pada mekanisme perencanaan, penetapan dan pelaksananaan kegiatan-kegiatanyang dilakukan oleh pemerintah.Penataan ruang sebagai salah satu bidang yang dikelola oleh pemerintah seharusnyajuga mengaplikasikan prinsip-prinsip good governance baik dalam kegiatan perencanaan,penetapan maupun dalam pelaksanaannya. Alasan utamanya tentu saja karena penataanruang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33ayat (3) UUD 1945 6 karena merupakan salah satu faktor determinan dalam peningkataniklim investasi secara nasional.2M. Fajrul Falaakh, Strategi Menuju Clean and Good Government, dalam Bulletin Solusi Hukum, tanggal 8Juni 2007.3Sedarmayanti, Good Governance (Kepemrintahan Yang Baik), Bagian Kedua: Membangun Manajemen KinerjaGuna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 1.4Bintoro Tjokroaminoto, Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), FH-UI Press,Jakarta, 2000, hlm. 19.5Rustini Wiriaatmadja, Dimensi Hukum Pengawasan terhadap BUMN yang Menjual Sahamnya di PasarModal (Go Public) dalam Rangka Menunjang Perekonomian Nasional. Disertasi, Program PascasarjanaUniveristas Padjajaran, Bandung, 2004, hlm. 129.6Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat“.
ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201186Selama ini penataan ruang telah diatur di dalam UU No. 24 Tahun 1992 TentangPenataan Ruang. Undang-undang ini pada dasarnya telah memberikan andil yang cukupbesar dalam mewujudkan tertib tata ruang sehingga hampir semua pemerintah daerahtelah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).Namun sejalan dengan perkembangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegaraUU No. 24 Tahun 1992 dinilai memiliki kekurangan-kekurangan substansial di antaranyaatribusi pembentukan undang-undang yang masih bersumber pada UU No. 4 Tahun 1982tentang Lingkungan Hidup padahal Undang-undang tersebut telah dicabut oleh UU No.23 Tahun 1997 7 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kelemahan juga terlihat padakemungkinan perubahan alokasi ruang atau konversi lahan kawasan lindung menjadikawasan produksi yang dibuka oleh Pasal 9 UU No. 24 Tahun 1992 dalam kenyataannyatelah menimbulkan ketidakpastian <strong>hukum</strong> terhadap rencana tata ruang yang telah disusunoleh pemerintah maupun pemerintah daerah.Kekurangan lain yang dapat dikemukakan di sini adalah adanya perkembangan baruberupa 8 : pertama, situasi nasional dan internasional yang menuntut penegakan prinsipketerpaduan, keberlanjutan, demokrasi, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraanpenataan ruang yang baik; kedua, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang memberikanwewenang yang semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataanruang sehingga pelaksanaan kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasiandan keterpaduan antar daerah, serta tidak menimbulkan kesenjangan antar daerah; danketiga, kesadaran dan pemahaman masyarakat yang semakin tinggi terhadap penataanruang yang memerlukan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataanruang agar sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.Menyikapi kekurangan tersebut pemerintah bersama-sama dengan DPR kemudianmenyetujui RUU Penataan Ruang menjadi UU No. 26 Tahun 2007 Tentang PenataanRuang (selanjutnya disingkat UU Penataan Ruang) yang menggantikan UU No. 24 Tahun1992. Undang-Undang Penataan Ruang yang baru ini kemudian disahkan pada tanggal26 April 2007 dan dan dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal pengundangannya.Persoalannya, mengingat undang-undang ini masih relatif baru diterbitkan akanmenarik sekali kiranya dilakukan eksaminasi dan pengkajian terutama yang berkenaanimplementasi perizinan pemanfaatan ruang dan penyerapan prinsip-prinsip goodgovernance dalam undang-undang tersebut dari berbagai aspek dalam rangka pencapaiantujuan pembangunan nasional yang berkelanjutan.Asumsi di atas dipertegas karena konflik horizontal dalam praktik pemanfaatan ruangkerap terjadi. Sengketa tanah antara PT Portanigra dan warga Meruya Selatan, sengketatanah yang berujung pada penembakan warga Desa Alas Tlogo oleh oknum Marinir TNI-AL serta sengketa kepemilikan lahan yang terjadi antara PT Sumber Wangi Alam denganwarga Mesuji di Provinsi Sumatera Selatan yang menjadi topik hangat baru-baru inisetidaknya menggambarkan tingginya intensitas konflik pada pemanfaatan ruang.7Dalam perkembangannya, UU No. 23 Tahun 1997 kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2009tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.8Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (Selanjutnya disingkat UU PenataanRuang).
JURNALILMU HUKUM872. Identifikasi MasalahBerkaitan dengan apa yang telah dipaparkan sebelumnya, maka yang menjadipermasalahan di dalam karya tulis ini, antara lain adalah:1. Bagaimanakah implementasi perizinan pemanfaatan ruang di Indonesia?2. Apakah prinsip-prinsip good governance telah diakomodasi dalam regulasipenataan ruang di Indonesia?B. Pembahasan1. Implementasi Perizinan Pemanfaatan Tata Ruang di IndonesiaRuang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, danmemelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya terbatas 9 .Pada umumnya, menurut M. Daud Silalahi 10 , suatu ruang tertentu dapat digunakanuntuk berbagai alternatif kegiatan, seperti permukiman, industri, pertanian dansebagainya. Apabila suatu kegiatan tertentu telah dilakukan di suatu ruang tertentu, padawaktu yang sama tidak dapat dilakukan suatu kegiatan yang lain karena dapatmenimbulkan persaingan bahkan konflik dalam pemanfaatan ruang.Berkaitan dengan hal tersebut, dan dalam rangka mewujudkan ruang wilayah nasionalyang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan 11 maka diperlukan adanya penataanruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampumewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, sertayang dapat memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampaknegatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. 12 Kaidah penataan ruangini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruangwilayah.Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatanruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang 13 . Kegiatan penyelenggaraan tata ruangmeliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang 14 .Pengaturan perizinan dalam penataan ruang dapat kita temukan di dalam Pasal 35UU Penataan Ruang yang menyatakan bahwa penetapan perizinan merupakan salah satubentuk pengendalian pemanfaatan ruang 15 . Ketentuan tersebut juga memperlihatkankepada kita bahwa perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya penertibanpemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan9Penjelasan Umum UU Penataan Ruang10M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni,Bandung, 2001, hlm. 85.11Pasal 3 UU Penataan Ruang.12Penjelasan Umum UU Penataan Ruang.13Pasal 1 Angka 5 UU Penataan Ruang.14Pasal 1 Angka 6 UU Penataan Ruang,15Pasal 35 UU Penataan Ruang berbunyi: “Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapanperaturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.”
ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201188rencana tata ruang. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Pasal 26 ayat (3) UU PenataanRuang 16 .Izin pemanfaatan ruang diatur dan diterbitkan oleh Pemerintah dan pemerintahdaerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing 17 dengan konsekuensi apabila izinpemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui proseduryang benar, maka izin yang dikeluarkan akan batal demi <strong>hukum</strong> 18 . Demikian pula halnyaapabila izin yang dikeluarkan tidak sesuai dengan rencana tata ruang akan berakibat padadibatalkannya izin yang telah dikeluarkan 19 . Izin pemanfaatan ruang yang telah diperolehmelalui prosedur yang benar pun dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerahapabila kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah 20 . Pemanfaatanruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izinmaupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda.Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, sebagai regulasi yang relatif baru sebagaipengganti UU No. 24 Tahun 1992, UU No. 6 Tahun 2007 memberikan limit terbataskepada pemerintah untuk menerbitkan ketentuan pelaksananya. Pasal 78 UU PenataanRuang merumuskan sebagai berikut:(1) Peraturan pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan palinglambat 2 (dua) tahunterhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.(2) Peraturan presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang inidiberlakukan.(3) Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.(4) Dengan berlakunya Undang-Undang ini:a. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disesuaikanpaling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan;b. semua peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsidisusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejakUndang-Undang ini diberlakukan; danc. semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayahkabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitungsejak Undang-Undang ini diberlakukan.Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Daerah, merupakan salahsatu payung <strong>hukum</strong> atau pedoman utama dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang di16Pasal 26 ayat (3) UU Penataan Ruang: “Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untukpenerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan.”17Pasal 1 Angka 37 ayat (1) UU Penataan Ruang.18Pasal 1 Angka 37 ayat (3) UU Penataan Ruang.19Pasal 1 Angka 37 ayat (2) UU Penataan Ruang.20Pasal 1 Angka 37 ayat (4) UU Penataan Ruang.
JURNALILMU HUKUM89daerah. Persoalannya, Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menjadi dasarpenerbitan izin pemanfaatan ruang hingga kini belum semuanya bisa dipenuhi oleh daerah.Saat ini dari 33 Provinsi, baru terdapat sembilan propinsi yang menyelesaikan danmemiliki raperda RTRW sesuai dengan RTRW nasional. Sementara itu, dari jumlah 491Kabupaten/Kota, baru 62 Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan Perda RTRW-nya 21 .Padahal jika mengacu pada amanat Pasal 78 UU Penataan Ruang, semua daerah tingkatI atau provinsi, wajib memiliki Peraturan Daerah Provinsi tentang RTRW paling lambatdalam kurun waktu dua tahun setelah UU tersebut disahkan atau paling lambat April2009. Sementara, untuk daerah tingkat II atau kabupaten/kota, wajib menyelesaikanPeraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten/Kota paling lambat tiga tahun terhitungsejak Undang-undang ini diberlakukan atau sekira April 2010.Pada dasarnya, RTRW daerah merupakan acuan penting dalam melaksanakanpembangunan, karena berfungsi sebagai arahan dan batasan dalam pembangunan denganmengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan. Selain sebagai arahan danbatasan dalam pembangunan, RTRW daerah juga memiliki peran penting dalam kerangkainvestasi di daerah. Pentingnya RTRW sebagai acuan dalam pembangunan daerah daninvenstasi tergambar dalam UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus(KEK). KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah <strong>hukum</strong> NegaraKesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsiperekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu . UU ini mengamanatkan bahwa lokasiyang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria sesuai dengan RTRWdan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung.Dengan tidak terselesaikannya Perda RTRW tentunya perizinan pemanfaatan ruangdi Indonesia belum bisa diimplementasikan secara maksimal. Selaras dengan itu, tentunyasecara makro pembangunan dan investasi di daerah juga akan terhambat.2. Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam PengaturanPerizinan Pemanfaatan Ruang di IndonesiaIstilah good governance kini semakin sering dipakai sebagai ukuran bagi penyelenggaraanpemerintahan dengan sejumlah indikator untuk mengukur keberhasilannya.Ada beberapa terjemahan yang diberikan oleh para teoritisi maupun praktisi terhadapperistilahan good governance ini, di antaranya adalah penyelenggaraan pemerintahanyang amanah (Bintoro Tjokroaminoto 22 ), tata pemerintahan yang baik (UNDP 23 ),pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab (LAN 24 ), kepemerintahanyang baik atau penyelenggaraan yang baik (Bondan Gunawan 25 ) dan ada juga yangmengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih 26 .21http://economy.okezone.com/read/2011/11/30/320/536113/penuntasan-tata-ruang-rtrw-daerah-molor,diakses tanggal 1 Desember 2011.22Bintoro Tjokroaminoto, 2000, Good Governance …op.cit, hlm. 2423Sofian Effendi, Membangun Good Governance: Tugas Kita Bersama, Makalah yang disampaikan padatanggal 25 Desember 2005, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hlm. 124Sedarmayanti, 2004, Good Governance..op.cit., hlm. 43.25Bintoro Tjokroaminoto, 2000, Good Governance … op.cit., hlm. 19.26Sofian Effendi, 2005, Membangun Good …loc.cit.
ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201190Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal sejak lama di dalam literatur, tepatnyasejak Wodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden AS ke-27, memperkenalkanbidang studi ini kira-kira 125 tahun yang lalu. 27Istilah government dan istilah governance memiliki pengertian yang berbeda. Istilahgovernment mengandung pengertian sebagai pengarahan dan administrasi yangberwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota dansebagainya 28 . Sedangkan istilah governance mengandung pengertian tindakan, fakta poladan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan 29 . Menurut Syafuan Rozi 30 , governancelebih menggambarkan pada pola hubungan yang sebaik-baiknya antar elemen yang ada.Namun menurut Sedarmayanti 31 , perlu juga ditegaskan bahwa istilah governance tidakhanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan belaka, tetapi juga mengandung artipengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikanpemerintahan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sofian Effendi 32 .Berkenaan dengan definisi good governance sendiri ada beberapa pandangan yangperlu dikemukakan. Menurut Bagir Manan 33 , good governance berkaitan dengan tatapenyelenggaraan yang baik. Bagi rakyat banyak, penyelenggaraan pemerintahan yangbaik adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersihdalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenangwenangbaik atas diri, hak maupun harta bendanya. 34 Pelayanan yang dipanjangpanjangkanatau bertele-tele (birokratisasi), bukan hanya memperlambat, tetapi menjadisuatu fungsi “komersial”, karena melahirkan sistem “uang pelicin”, “hadiah” yang tidaklain dari suatu bentuk suap.Menurut Bank Dunia sebagaimana dikutip oleh Rustini Wiriaatmadja 35 , goodgovernance adalah pelayanan publik yang efisien, sistem yang handal serta pemerintahanyang akuntabel terhadap publik. Adapun Koeshandajani 36 , mendefinisikan goodgovernance sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai dan yangbersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi masalah publik untukmewujudkan nilai-nilai itu di dalam tindakan dan kehidupan keseharian.Sementara itu menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN) 37 good governanceadalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, sertaefisien dan efektif, dengan menjaga “kesinergisan” intraksi yang konstruktif diantaradomain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat.27Ibid.28Sedarmayanti, 2004, Good Governance..op.cit, hlm. 2.29Ibid.30Syofuan Rozi, 2000, Model Reformasi Birokrasi, Jakarta: PPW-LIPI, hlm. 6.31Sedarmayanti, 2004, Good Governance..op.cit., hlm. 2.32Sofian Effendi, 2005, Membangun Good …loc.cit.33Bagir Manan, 1999, Good Governance Hindarkan Rakyat dari Tindakan Negara yang Merugikan dalamMajalah Transparansi Indoneis Edisi14 Tanggal 30 Mei 2007.34Ibid.35Rustini Wiriatmadja, 2004, Dimensi Hukum …loc.cit.36Koeshandajani, 2001, Manajemen Otonomi Daerah, Jakarta: LAN-RI, hlm. 25.37LAN-BPKP, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta: LAN-RI, hlm. 7.
JURNALILMU HUKUM91Merujuk pada definisi good governance yang dikemukakan oleh LAN diatas, makaelemen pelaksana (stakeholder) good governance setidaknya terdiri dari tiga pilar yaitupemerintah, dunia usaha atau sektor swasta dan masyarakat (civil society) 38 .Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalampenerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memilikiinteraksi dan jaringan yang setara dan sinerjik 39 .Gambar Pilar Good GovernanceSumber: Sedarmayanti, 2004, hlm. 38Selanjutnya berkenaan dengan prinsip-prinsip atau karakteristik good governance,menurut Rustini Wiriaatmadja 40 antara lain adalah akuntabilitas, transparansi, keterbukaandan penegakan <strong>hukum</strong>. Dengan bahasa yang sedikit berbeda, Sedarmayanti 41mengemukakan bahwa ada empat prinsip utama good governance, yaitu: akuntabilitas,transparansi, keterbukaan dan aturan <strong>hukum</strong> (rule of law).Karakteristik good governance menurut kedua pendapat di atas jika ditinjau lebihlanjut setidaknya memiliki kesamaan dengan karakteristik yang dikemukakan oleh WorldBank 42 , yaitu masyarakat sipil yang kuat dan parsipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan38Sofian Effendi, 2005, Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance, Makalah yang disampaikanpada Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi yang diselenggarakan oleh Kementerian NegaraPemberdayaan Aparatur Negara di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2005.39Sofian Effendi, 2005, Membangun Good …op.cit, hlm. 2–3.40Rustini Wiriaatmadja, 2004, Dimensi Hukum …hlm. 130.41Sedarmayanti, 2004, Good Governance..op.cit, hlm. 7.42Loina Lalolo Krina P, 2003, Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, SekretariatGood Public Governance Bappenas, Jakarta, hlm. 7-8.
ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201192yang dapat diprediksi, eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional danaturan <strong>hukum</strong>. Sementara itu, menurut Bagir Manan 43 prinsip-prinsip penyelenggaraanpemerin-tahan yang baik dapat berupa : responsible, accountable, controlable,transparancy, limitable dan lain sebagainya.Sebagai pembanding, menurut UNDP 44 , karakteristik good governance mencakup :participation (partisipasi); rule of law (aturan <strong>hukum</strong>); transparency (transparansi);responsiveness (daya tanggap); consensus orientation (berorientasi konsensus); equity(berkeadilan); effectiveness and efficiency (efektif dan efisien); accountability(akuntabilitas); and strategic vision (visi strategis).Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa good governance adalah tatacara pengelolaan pemerintahan yang baik yang melibatkan pemerintah, dunia usaha danmasyarakat dalam pelaksanaan pembangunan yang didasarkan pada prinsip akuntabilitas,transparansi, partisipasi dan kepastian <strong>hukum</strong> (rule of law).Pengertian dan jabaran dari prinsip-prinsip good governance di atas adalah sebagaiberikut 45 : pertama, akuntabilitas, yaitu perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintahuntuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasidalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan; kedua,transparansi, maksudnya keterbukaan dalam manejemen pemerintahan, lingkungan,ekonomi dan sosial; ketiga, partispasi, yaitu penerapan pengambilan keputusan yangdemokratis, pengakuan HAM, kebebasan pers dan kebebasan mengemukakan pendapat;dan keempat, kepastian <strong>hukum</strong>, good governance memberikan kepastian <strong>hukum</strong> danrasa keadilan bagi masyarakat terhadap setiap tindakan pemerintah.Pasal 2 UU Penataan Ruang telah menggariskan ada sembilan asas dalam penataanruang di Indonesia yaitu: a. keterpaduan, b. keserasian, keselarasan, keseimbangan, c.keberlanjutan, d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, e. keterbukaan, f. kebersamaandan kemitraan, g. perlindungan kepentingan umum, h. kepastian <strong>hukum</strong> dan keadilan, i.akuntabilitas.Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa karakteristik atau prinsipprinsipgood governance yang dijadikan acuan dalam pembahasan di sini adalah prinsipakuntabilitas, transparansi, partispasi dan kepastian <strong>hukum</strong>.a. Prinsip AkuntabilitasMenurut Pasal 2 butir i UU Penataan Ruang, prinsip akuntabilitas merupakansalah satu asas dalam penyelenggaraan penataan ruang. Menurut penjelasan Pasal2 butir i yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa penyelenggaraanpenataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya,maupun hasilnya.Di dalam doktrin dikemukakan bahwa seseorang akan menjadi bertanggungjawab terhadap suatu sanksi yang akan dijatuhkan apabila perbuatannya43Bagir Manan, 1999, Good Governance Hindarkan Rakyat dari Tindakan Negara yang Merugikan dalamMajalah Transparansi Indoneis Edisi14 Tanggal 30 Mei 2007.44Loina Lalolo Krina P, 2003, Indikator & Alat….op.cit, hlm. 5.45Rustini Wiriaatmadja, 2004, Dimensi Hukum …hlm. 129.
JURNALILMU HUKUM93bertentangan dengan peraturan yang berlaku 46 . Suhubungan dengan itu maka,menurut Pasal 55 ayat (2) UU Penataan Ruang guna menjaga penyelenggaraan tataruang tetap berjalan pada treknya maka dilakukan tindakan pemantauan, evaluasidan pelaporan. Bila kemudian ditemukan penyimpangan terhadap peraturan yangtelah digariskan maka dikenakan sanksi baik administratif, perdata maupun pidana. 47b. Prinsip TransparansiMenurut Pasal 2 butir e UU Penataan Ruang, prinsip transparansi atauketerbukaan merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan penataan ruang.Menurut penjelasan Pasal 2 yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwapenataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnyakepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataanruang. Bahkan menurut Pasal 13 ayat (2) dalam melakukan pembinaan penataanruang pemerintah melakukannya melalui penyebarluasan informasi penataanruang kepada masyarakat 48Mengetahui rencana tata ruang adalah hak dari setiap orang 49 , masyarakatdapat mengetahui rencana tata ruang melalui Lembaran Negara atau LembaranDaerah, pengumuman, dan/atau penyebarluasan oleh pemerintah 50 . Selanjutnya,pengumuman atau penyebarluasan tersebut dapat diketahui masyarakat, antaralain, adalah dari pemasangan peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutanpada tempat umum, kantor kelurahan, dan/atau kantor yang secara fungsionalmenangani rencana tata ruang tersebut.c. Prinsip PartisipasiKonsepsi peran serta masyarakat, walaupun berbagai pihak telah berkeinginanmenetapkannya sejak tahun 80-an, tetapi secara formal baru terwujud konsepsinyadi tahun 1992 melalui pengundangan UU No. 24 Tahun 1992 tentang PenataanRuang yang di sahkan pada tanggal 13 Oktober 1992. Hal ini juga sebagai upayamengantisipasi dan menjaga kesinambungan pembangunan. Dengan bergantinyaregulasi, maka secara normatif setiap kegiatan yang berkenaan dengan penataanruang menuntut adanya partisipasi masyarakat sebagaimana tercermin pada Pasal65 UU Penataan Ruang 51 .Perlu juga dikemukakan bahwa bentuk peran masyarakat sebagai pelaksanapemanfaatan ruang sebagai mana dimaksud ole Pasal 65 ayat (2) butir b di atas,baik orang perseorangan maupun korporasi, antara lain mencakup kegiatanpemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Bahkan Pemerintah46Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1971, hlm. 95.47Lihat Pasal 57, dan Pasal 69 – 75 UU Penataan Ruang.48Pasal 13 ayat (2) butir g UU Penataan Ruang.49Pasal 60 butira UU Penataan Ruang.50Penjelasan Pasal 60 huruf a UU Penataan Ruang.51Pasal 65 UU Penataan Ruang.berbunyi: (1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintahdengan melibatkan peran masyarakat. (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui: a.partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasidalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. (3)Ketentuan lebihlanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
ROMIVOLUME2 No. 1 Agustus 201194dalam melakukan pembinaan penataan ruang juga turut melibatkan masyarakat 52 .Di samping itu, peran serta masyarakat juga terlihat dalam pengawasan penataanruang 53 .Mengingat peraturan pelaksana dari UU Penataan Ruang tahun 2007 belumada, merujuk pada ketentuan Pasal 76 UU Penataan Ruang, maka peraturanpelaksana sebelumnya masih tetap berlaku selama tidak bertentangan dan diganti.Peraturan pelaksana yang dimaksud tidak lain adalah Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan TataCara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, yang disahkan pada tanggal3 Desember 1996.Pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9Tahun 1998 tentang Tatacara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses PerencanaanTata Ruang di Daerah. Dalam perundangan tersebut di amanatkan bahwa untukpenyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah denganmengikutsertakan peran serta masyarakat. Peran dan keikutsertaan masyarakatdalam melaksanakan dan mengamankan aturan tersebut amat sangat pentingartinya karena hasilnya akan dinikmati kembali oleh masyarakat di wilayahnya.d. Prinsip Kepastian HukumMenurut Pasal 2 butir h UU Penataan Ruang, prinsip kepastian <strong>hukum</strong> ataukeadilan merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan penataan ruang.Menurut penjelasan Pasal 2 butir h yang dimaksud dengan “kepastian <strong>hukum</strong> ataukeadilan” adalah adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan berlandaskan<strong>hukum</strong>/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruangdilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat sertamelindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian<strong>hukum</strong>. Pernyataan di atas mengandung pengertian bahwa selama penataan ruangdilakukan bertentangan dengan <strong>hukum</strong> atau bertentangan dengan rasa keadilanmaka siapapun memiliki kesempatan untuk mengajukan tuntutan pembatalanmaupun gugatan ganti kerugian kepada pemerintah atau pemegang izin 54 .C. PenutupBerdasarkan pada uraian yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkanbahwa implementasi perizinan pemanfaaatan ruang, hingga saat ini belum dapatdilaksanakan secara maksimal karena Perda RTRW sebagai instrumen utama acuanpenerbitan perizinan pemanfaatan ruang di daerah belum diterbitkan oleh sebagian besarpemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia. Sementara itu, terhadapakomodasri prinsip-prinsip good governance dalam pemanfaatan ruang, UU PenataanRuang telah mengimplementasikan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, partispasidan kepastian <strong>hukum</strong>.52Pasal 13 ayat (1) butir g UU Penataan Ruang.53Pasal 55 ayat (4) UU Penataan Ruang. berbunyi: “Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerahsebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat.”54Pasal 60 butir e dan f UU Penataan Ruang.
JURNALILMU HUKUM95D. Daftar PustakaBuku dan DisertasiAhmad Yani dan Goenawan Widjaja, Kepailitan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999Bintoro Tjokroaminoto, Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan),FH-UI Press, Jakarta, 2000Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York Russel & Russel, New York, 1971Koeshandajani, Manajemen Otonomi Daerah, LAN-RI, Jakarta, 2001LAN-BPKP, Akuntabilitas dan Good Governance, LAN-RI, Jakarta, 2000Lawrence Meir Friedmann, The Legal System, A Social Science Perspective, Russel SageFounfation, New YorkLoina Lalolo Krina P, Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi &Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Bappenas, Jakarta, 2003Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik), Bagian Kedua:Membangun Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju GoodGovernance. Mandar Maju, Bandung, 2004Syofuan Rozi, Model Reformasi Birokrasi, PPW-LIPI, Jakarta, 2000M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum LingkunganInonesia, Alumni, Bandung, 2001Disertasi dan MakalahRustini Wiriaatmadja, Dimensi Hukum Pengawasan terhadap BUMN yang MenjualSahamnya di Pasar Modal (Go Public) dalam Rangka Menunjang PerekonomianNasional. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung, 2004Sofian Effendi, Membangun Good Governance: Tugas Kita Bersama, Makalah yangdisampaikan pada tanggal 25 Desember 2005, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada—————————, Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance, Makalahyang disampaikan pada Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi yang diselenggarakanoleh Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara di Jakarta pada tanggal22 Desember 2005Media MassaBulletin Solusi Hukum Edisi I/Tahun IV tanggal 8 Juni 2007Majalah Transparansi Indoneis Edisi14 Tanggal 30 Mei 2007http://aparaturnegara.bappenas.go.id/.../REFORMASI%20BIROKRASI%20GOOD%Reformasi Birokrasi, diakses tanggal 30 Mei 2007http://economy.okezone.com/read/2011/11/30/320/536113/penuntasan-tataruang-rtrw-daerah-molor,diakses tanggal 1 Desember 2011.Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan RuangUndang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang
VOLUME2 No. 1 Agustus 201196PERBAIKAN SISTEM HUKUM DALAMPEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIAAZMI FENDRIKampus Unand Limau Manis PadangAbstrakSejak reformasi ditandai dengan jatuhnya PemerintahanRezim Orde Baru, memunculkan suatuperiode transisi dalam proses demokrasi. Kata demokrasimungkin menjadi jargon politik yangkemas dalam bentuk masalah sosial dan HAM yangkemudian kemudian diekspos kepada masyarakatuntuk menentang semua kebijakan pemerintahan.Tepat mengaku selama pemerintahan Orde Baru,demokrasi cenderung menjadi sangat hal yangtabu untuk dibicarakan secara terbuka publik. Halini cermin dari berbagai produk legislasi yang tidakmemperlihatkan keadilan masyarakat padaumumnya .AbstractSince reform marked by fall downing regime himGovernance of New Order, peeping out a period totransition in course of democracy. Word democratizelikely become tidy political jargon in the form of socialissues and HAM which later then diekspos to societyto oppose all policy of governance. Proper confessedduring governance of New Order, democracy likelybecome very matter of taboo to be talked openlypublic. This matter of mirror from various legislationproduct which do not express justice of society ingeneral.Kata kunci: Substansi <strong>hukum</strong>, struktur <strong>hukum</strong>, budaya <strong>hukum</strong>A. PendahuluanPasal 1 ayat (3) Bab I, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskankembali bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya bahwa NegaraKesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar atas <strong>hukum</strong> (rechtstaat), tidakberdasar atas kekuasaan (machstaat), dan pemerintahan yang berdasarkan sistemkonstitusi (<strong>hukum</strong> dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagaikonsekwensi dari Pasal 1 ayat (3) Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, 3(tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga Negara yaitu, supremasi <strong>hukum</strong>,keseteraan di hadapan <strong>hukum</strong>, dan penegakkan <strong>hukum</strong> dengan cara-cara yang tidakbertentangan dengan <strong>hukum</strong>. 1 Tiga prinsip dasar ini selalu menjadi agenda pemerintahyang berkuasa dalam menjalankan roda reformasi, khususnya reformasi <strong>hukum</strong>.Memang secara faktual harus kita akui, meskipun kita sudah merdeka lebih darienam dekade, namun untuk keluar dari kungkungan peraturan perundangan warisankolonial bukanlah hal yang mudah. Semua itu tidak terlepas dari kondisi, di mana seluruhalur perkembangan sistem <strong>hukum</strong> di Indonesia sesungguhnya telah banyak terbangundan tergariskan secara pasti berdasarkan konfigurasi asas-asas yang telah diletakkansejak lama sebelum kekuasaan pemerintah kolonial tumbang. 2 Hal ini menimbulkanmasalah pada saat norma <strong>hukum</strong> yang secara limitatif dan kaku mau diterapkan dalamkehidupan masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Esmi WarasihPujirahayu dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar bahwa “penerapan suatu1Lihat Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 19452Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional-Dinamika Sosial-Politik dalamPerkembanganHukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 15.
JURNALILMU HUKUM97sistem <strong>hukum</strong> yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakatmerupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadike tidak cocokan antara nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri”. 3Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh van Savigny dengan “volksgeist”. 4Dalam konteks ke Indonesia, bicara mengenai volksgeist dalam estalasi pengembangan<strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong>, mau tidak mau kita harus kembali pada kristalisasi nilai-nilai yang bersaldari karakteristik dan budaya bangsa Indonesia sendiri. Hal ini hanya dapat kita temukanpada falsafah dan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Namun, dalam pembangunan<strong>hukum</strong> selama ini, terutama di era reformasi Pancasila yang seyogianya kita jadikan sebagailandasan berpijak telah kita tinggalkan. Sehingga produk <strong>hukum</strong> yang dilahirkan tidakmencerminkan nilai-nilai yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia itu sendiri. Dengankata lain produk <strong>hukum</strong> yang dilahirkan tak ubahnya sebagai titipan dari lembaga-lembagaasing yang bermain di Indonesia. 5Kondisi seperti inilah yang terjadi selama rezim Orde Baru berkuasa, karena <strong>hukum</strong>tidak mampu memberikan kepastian sebagaimana yang diharapkan dan memberikan rasakeadilan yang sejalan dengan keinginan masyarakat. Rezim Orde Baru justru beranggapantelah melaksanakan pemerintahan atas dasar kepastian dan keadilan, serta berusahamerealisasikannya melalui berbagai program yang dikenal dengan istilah “pemerataan” yangmeliputi segala bidang kehidupan. 6 Kebijakan pemerintah rezim Orde Baru ini ditopangdengan legitimasi formal dari para wakil rakyat (DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten). Pada masa ini kelihatan betul dominasi lembaga eksekutif dalam menentukanberbagai produk <strong>hukum</strong> dengan alasan bahwa lembaga eksekutif lebih memahami kondisirakyat di lapangan dan memiliki tenaga ahli (heavy executive). Pada masa ini pulalahberkembang persepsi bahwa pembangunan <strong>hukum</strong> Indonesia akan ketinggalan jika tidakmengikuti perkembangan alur <strong>hukum</strong> modern melalui mazhab Hukum Positivis. Sedangkan<strong>hukum</strong> yang ada sebagai living law justru diabaikan karena dianggap tidak mampu sebagaimedia <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> karena sifatnya tidak tertulis sehingga tidak memberikan kepastian<strong>hukum</strong>.Namun setelah roda reformasi berjalan lebih kurang delapan tahun keadaan bangsalebih baik, masyarakat lebih tertib atau justru sebaliknya lebih buruk. Apakah penegakkan<strong>hukum</strong> sudah bisa memberikan keadilan kepada masyarakat?. Fenomena terjadi dimanamasih ada penegakkan <strong>hukum</strong> yang justru mengaburkan makna keadilan masyarakat.Hal ini dapat kita lihat masih ada kasus-kasus korupsi, illegal logging, yang diselesaikansecara adat, atau sekalipun kasus tersebut dibawa dipersidangan tetap berakhir dengankemenangan bagi para selebritis kejahatan.3Esmi Warasih Pujirahayu, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (ProsesPenegakan Hukum dan Persoalan Keadilan), Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas HukumUniversitas Diponegoro, Semarang, 14 April 2001.4Volksgeist atau jiwa bangsa adalah kristaliasi nilai-nilai yang dibangun secara alamiah melaluipengemblengan sajarah. Nilai-nilai ini dipengaruhi oleh ruang dan waktu sehingga inilah yangmembuatnya unik dan berbeda pada setiap bangsa. Lebih jauh lihat Shidarta, Karakter Penalaran <strong>hukum</strong>dalam Konteks ke Indonesian, Utomo, Bandung, 2006, hlm. 257-265.5Hal ini terlihat jelas dari regulasi dibidang ekonomi terutama berkaitan program privatisasi, pengelolaansumber daya alam, perlindungan terhadap tenaga kerja dan lain sebagainya.6Lebih lanjut mengenai konsep pemerataan ini dapat kita lihat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara(GBHN) dimulai sejak tahun 1969sampai 1999 yang terkenal dengan istilah Trilogi Pembangunan.
AZMI FENDRIVOLUME2 No. 1 Agustus 201198Mengamati sisi <strong>hukum</strong> Negara kita, khususnya penegakkan <strong>hukum</strong> ibarat bermainmaindengan api yang suatu saat pasti akan terbakar. Artinya, siapa yang bermain-maindengan <strong>hukum</strong> pasti akan merasakan akibat dari perbuatannya sendiri. Mungkin tidakberlebihan kalau kita katakan masih banyak aparat <strong>hukum</strong> kita yang bermain api terhadappersoalan <strong>hukum</strong>. Ini bukan berarti kesalahan hanya ada pada penegak <strong>hukum</strong> aktif saja,melainkan semua unsur terkait (pemerintah, legislator) yang saling terkait dalammerumuskan sistem <strong>hukum</strong> di Negara ini.Beranjak dari fenomena tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan tentang perbaikansistem <strong>hukum</strong> dalam pembangunan <strong>hukum</strong> di IndonesiaB. PembahasanDalam upaya perbaikan sistem <strong>hukum</strong> di Indonesia dapat dilihat dalam rencanapembangunan jangka menengah nasional (RPJM 2004-2009) berdasarkan Perpres Nomor7 Tahun 2005 dinyatakan, pembenahan sistem dan politik <strong>hukum</strong> dalam lima tahunmendatang diarahkan pada kebijakan untuk memperbaiki substansi (materi) <strong>hukum</strong>,struktur (kelembagaan) <strong>hukum</strong>, dan kultur (budaya) <strong>hukum</strong>, melalui upaya :a. Menata kembali substansi <strong>hukum</strong> melalui peninjauan dan penataan kembali peraturanperundag-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan denganmemperhatikan asas umum dan hirarkhi perundang-undangan; dan menghormatiserta memperkuat kearifan local dan <strong>hukum</strong> adat untuk memperkaya system <strong>hukum</strong>dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upayapembaharuan materi <strong>hukum</strong> nasional;b. Melakukan pembenahan struktur <strong>hukum</strong> melalui penguatan kelembagaan denganmeningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualiatas systemperadilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan system peradilan;meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat danmemastikan bahwa <strong>hukum</strong> diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran;memperkuat kearifan local dan <strong>hukum</strong> adapt untuk memperkaya system <strong>hukum</strong> danperaturan melalui pem berdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upayapembaharuan materi <strong>hukum</strong> nasional;c. Meningkatkan budaya <strong>hukum</strong> antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagaiperaturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala Negara danjajarannya dalam mematuhi dan mentaati <strong>hukum</strong> serta penegakan supremasi <strong>hukum</strong>C. Substansi HukumBicara mengenai substansi <strong>hukum</strong>, kita harus melihat realitas tatanan sosialkemasyarakatan yang majemuk dan di samping itu kita juga mengacu pada falsafah dasarnegara yaitu Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, maka substansi <strong>hukum</strong> merupakanhasil dari suatu pengaktualisasian nilai-nilai dan kaidah-kaidah <strong>hukum</strong> yang hidup dalammasyarakat (living law), baik dalam arti <strong>hukum</strong> tertulis maupun <strong>hukum</strong> tidak tertulis.Untuk itu penghormatan dan penguatan terhadap kearifan lokal serta <strong>hukum</strong> adat harusjadi perhatian khusus. Sehingga volksgeist yang dimaksud oleh Savigny betul-betul
JURNALILMU HUKUM99terakomodir dengan baik dalam suatu peraturan perundang-undangan dan pada akhirnyaproduk <strong>hukum</strong> yang dilahirkan ini jadi fungsional dalam kehidupan berbangsa danbernegara (pocitive law). Berkaitan dengan substansi <strong>hukum</strong> ini juga diharapkankreativitas dari hakim melalui yurisprudensi sebagai pengayaan materi <strong>hukum</strong> nasionalyang tetap mengedepankan tujuan dari <strong>hukum</strong> itu sendiri.Secara substansial, banyak kita temui peraturan perundangan-undanganinkonsistensi dan bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan yang lainnya,antara peraturan tingkat pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih rendahmenemukan hanya 14,8 %, dari sebanyak 709 perda yang diteliti, secara umum tidakbermasalah.. Sisanya sebesar 85,2 % perda yang dibuat oleh daerah tingkat II merupakanperda-perda yang bermasalah. Masalah terbesar pada perda-perda yang bermasalahtersebut antara lain terkait dengan prosedur, standar waktu, biaya, tarif dan lainnya denganpersentase sebesar 22,7 %, dan permasalahan acuan yuridis yang tidak disesuaikan denganperaturan perundang-undangan tingkat pusat dengan persentase sebesar 15,7%. 7Disamping itu perumusan peraturan perundang-undangan yang kurang jelasmengakibatkan sulitnya pelaksanaan di lapangan atau menimbulkan banyak inteprestasiyang mengakibatkan terjadinya inkonsistensi. Sering kali isi peraturan perundangundangantidak mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dari obyek yangdiatur, keseimbangan antara hak individual dan hak sosial atau tidak mempertimbanganpluralisme dalam berbagai hal, serta tida k responsife gender.Pada asasnya undang-undang yang baik adalah undang-undang yang langsung dapatdiimplementasikan dan tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut. 8 Akan tetapikebiasaan untuk menunggu peraturan pelaksanaan menjadi penghambat operasionalisasiperaturan perundang-undangan. Berbagai undang-undang yang dibuat dalam rangkareformasi banyak yang tidak bisa dilaksanakan secara efektif. Penyebab utamanya antaralain tidak dibuatkan dengan segera berbagai peraturan pelaksanaan yang diperintahkanoleh undang-undang. Meskipun tidak semua undang-undang membutuhkan peraturanpelaksana dalam aplikasinya atau penerapannyaDalam rangka perbaikan dan pembenahan sistem <strong>hukum</strong> berkaitan dengan substansi<strong>hukum</strong> pada intinya melakukan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengantetap memperhatikan kearifan lokal dan <strong>hukum</strong> adat sebagai upaya pembaharuan materi<strong>hukum</strong> nasional di samping isu-isu korupsi, terorisme, perdagangan perempuan dan anak,obat-obat terlarang, perlindungan anak yang memerlukan penanganan serius tidak sajadalam penegakan <strong>hukum</strong> tetapi juga materi-materi <strong>hukum</strong> yang diatur. Sehingga akanterciptanya sistem <strong>hukum</strong> nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.Secara politik <strong>hukum</strong>, pemerintah sudah berupaya mengakomodir nilai-nilai yanghidup di masyarakat (legal pluralism) dalam pembentukan <strong>hukum</strong> nasional (politikperundang-undangan yang akomodatif). Mengutip pendapat dari Von Benda-Beckman,mengatakan bahwa sistem <strong>hukum</strong> yang berlaku dalam masyarakat menjadi dua, yaitu<strong>hukum</strong> Negara (state law) seperti <strong>hukum</strong> perundang-undangan di satu pihak, dan <strong>hukum</strong>7Lihat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana PembangunanJanka Menengah Nasional Tahun 2004-20098F. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2007, hlm. 12.
AZMI FENDRIVOLUME 1002 No. 1 Agustus 2011kebiasaan (non state law) seperti <strong>hukum</strong> adat. Dalam kehidupan sehari-hari kedua sistem<strong>hukum</strong> itu sama-sama mempengaruhi perilaku warga masyarakat. Kedua sistem <strong>hukum</strong>itu saling berinteraksi yang tampak pada perilaku seseorang ataupun kelompok. Namun<strong>hukum</strong> sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan condition sinequanon bagi suatu tujuan yang hendak dicapai. Hal ini mencerminkan bahwa <strong>hukum</strong>mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yangtumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat. Sehingga untuk menjadikan <strong>hukum</strong>sebagai a tool of social control dan sekaligus sebagai a tool of social engineering, tentulahbukan sesuatu diskursus yang utopis. Namun untuk mengimplementasikannya kita harusbisa merumuskan <strong>hukum</strong> dalam suatu bentuk kebijakan yang mencerminkan ciri dankarakter bangsa Indonesia yang Bhineka, sehingga unifikasi <strong>hukum</strong> bukanlah sesuatupengertian yang an sich, tetapi harus bisa disesuaikan dengan kultur dan karakter dimana<strong>hukum</strong> itu diterapkan.Sehubungan fenomena tumpang tindih berbagai peraturan perundang-undangan baikdi tingkat pusat maupun daerah serta ketidakefektifan berlakunya suatu peraturanperundang-undangan dengan alasan belum ada peraturan pelaksaaan, menunjukkanbahwa secara substansial penyusunan suatu produk <strong>hukum</strong> belum mengakomodir nilainilaikemajemukan budaya. Sebagaimana dinyatakan oleh Nonet dan Selzick (1978:169),dalam rangka pencapaian tujuan <strong>hukum</strong> yang penting adalah substansi serta tanggungjawab yang efektif. Jadi <strong>hukum</strong> harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuantujuanyang hendak dicapai oleh masyarakat. Dengan demikian <strong>hukum</strong> mempunyaidinamika, salah satu faktor terjadinya dinamika itu ialah adanya politik <strong>hukum</strong>, karena iadiarahkan kepada “iure constituendo”, <strong>hukum</strong> yang seharusnya berlaku. 9Bertitik tolak dari pemikiran konsep <strong>hukum</strong> di atas, dalam tataran aplikasi masihjauh dari harapan dan cita-cita <strong>hukum</strong> masyarakat. Politik <strong>hukum</strong> yang dibangunpemerintah melalui politik perundang-undangan belum mencerminkan <strong>hukum</strong> yangresponsif. Bahkan dari beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Perpres No.36Tahun 2006 yang diperbaharui Perpres No.65 Tahun 2007 tentang Pengadaan TanahBagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Secara regulasi Perpres inijustru tidak sesuai dengan semangat yang telah diagendakan dalam RPJP bidang <strong>hukum</strong>,yaitu melakukan pembangunan <strong>hukum</strong> berkelanjutan dengan memperhatikan kearifanlokal dan <strong>hukum</strong> adat (legal pluralism). Produk <strong>hukum</strong> yang dihasilkan seperti tercermindalam Perpres pengadaan tanah tidak lain merupakan tindakan represif pemerintah untukmendapatkan tanah bagi kepentingan pembangunan.D. Struktur HukumKurangnya independensi kelembagaan <strong>hukum</strong>, terutama lembaga-lembaga penegak<strong>hukum</strong> yang membawa akibat besar dalam sistem <strong>hukum</strong>. Intervensi terhadap kekuasaanyudikatif misalnya telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai putusan,walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem peradilan.Akumulasi terjadinya putusan-putusan yang meninggalkan prinsip impartialitas dalam9Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria; Unifikasi Ataukah Pluralisme Hukum, Dalam Arena Hukum, Nomor.8, Fak. Hukum Unibraw Malang, 1999
JURNALILMU HUKUM101jangka panjang telah berperan terhadap terjadinya degradasi kepercarcayaan masyarakatkepada sistem <strong>hukum</strong> maupun hilangnya kepastian <strong>hukum</strong>Akuntabilitas kelembagaan <strong>hukum</strong>. independensi dan akuntabilitas merupakanmerupakan dua sisi uang logam. Oleh karena itu independensi lembaga <strong>hukum</strong> harusdisertai dengan akuntabilitas. Namun dalam praktek pengaturan tentang akuntabilitaslembaga <strong>hukum</strong> tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana iaharus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untukmemberikan pertanggung jawabannya. Hal ini memberikan kesan tiada transparansi didalam semua proses <strong>hukum</strong>. Disamping itu faktor sumber daya manusia di bidang <strong>hukum</strong>,secara umum mulai dari peneliti <strong>hukum</strong>, perancang perundang-undangan sampai padatingkat pelaksana dan penegak <strong>hukum</strong> masih perlu peningkatan, termasuk dalam halmemahami dan berperilaku responsife gender.Sistem Peradilan yang tidak transparan dan terbuka juga mengakibat <strong>hukum</strong> belumsepenuhnya memihak kepada kebenaran dan keadilan karena tiadanya akses masyarakatuntuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan. Kondisi tersebut jugadiperlemah dengan profesionalisme dan kualitas sistem peradilan yang masih belummemadai sehingga membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di dalamproses peradilan atau lebih dikenal dengan mafia peradilan.Melakukan pembenahan struktur <strong>hukum</strong> melalui penguatan kelembagaan denganmeningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilanyang terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkantransparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa<strong>hukum</strong> diterapkan dengan adil dan memihak kepada kebenaran dengan selalumemperhatikan kemajemukan budaya yang ber-Bhineka Tunggal Ika.Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknyaMahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji terhadapUndang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Yudisial yang akan melakukanpengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Terbentuknya MahkamahKonstitusi merupakan upaya pemerintah dalam menata semua peraturan perundangundanganbaik di pusat maupun di daerah. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan(Judicial Review) untuk menentukan apakah suatu produk perundang-undangan itu sahatau tidak. Sayogyanya <strong>hukum</strong> yang lebih rendah harus berdasar, bersumber dan tidakboleh bertentangan dengan <strong>hukum</strong> yang lebih tinggi sebagaimana teori “Stufenbautheory”,dari Hans Kelsen.Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004tentang kekuasaan kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check andbalances dalam penyelenggaraan Negara dengan beralihnya kewenangan administratif,organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Pembinaan satuatap oleh Mahkamah Agung secara politik <strong>hukum</strong> agar penegakan <strong>hukum</strong> (lawinforcement) tidak diintervensi oleh kekuatan eksekutif. Sebagai benteng terakhir orangmencari keadilan. Mahkamah Agung harus steril dari segala macam tawar-menawar yangdilakukan oleh orang-orang yang ingin membeli <strong>hukum</strong>. Untuk itu pembentukan lembaga
AZMI FENDRIVOLUME 1022 No. 1 Agustus 2011Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku para hakim perlu kita apresiasikan sebagailangkah positif kearah pembangunan struktur <strong>hukum</strong> yang independen disertai denganakuntabilitas lembaga <strong>hukum</strong>.Peningkatan profesionalisme hakim dan aparat peradilan perlu dilakukan, sehinggaputusan-putusan yang dihasilkan tidak semata-mata dari apa yang telah diatur dalamundang-undang, tetapi lebih jauh dari pada itu hakim harus bisa menemukan <strong>hukum</strong>(rechtvainding) terhadap suatu peristiwa yang tidak ada pengaturannya dalam undangundang.Karena <strong>hukum</strong> akan menjadi bermakna hanya dengan cara penafsiran yangbergantung kepada norma dasar yang didalilkan. Sebagai negara yang menganut sistem<strong>hukum</strong> civil law yang tidak murni seperti terlihat dari keputusan-keputusan hakim yangdijadikan sebagai sumber <strong>hukum</strong> (yurisprudensi). Fenomena ini tentu menuntut seoranghakim pada saat menjatuhkan <strong>hukum</strong>an harus dibekali dengan penguasaan <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong>,disamping fenomena-fenomena krusial yang berkembang di masyarakat.Di samping itu dengan melibakan peran serta masyarakat (publik) dalam mengawasipenyelenggaraan peradilan sebetulnya bukanlah merupakan hal yang baru. Memangsetelah kejatuhan rezim Orde Baru digantikan dengan Orde Reformasi, peran serta publikmelalui lembaga pengawasan seperti ICW (Indonesian Coruption Watch), MTI(Masyarakat Transparansi Indonesia), Judicial Watch, Parliament Watch, Police Watchmemberikan warna lain dalam penegakan <strong>hukum</strong> di Indonesia. Tentu dalam melakukanpengawasan mereka bekerja dengan jujur ,berani, serta independen tidak partisan.Menurut Satjipto Rahardjo 10 , peran publik dalam <strong>hukum</strong> guna menyumbang usahakeluar dari keterpurukan <strong>hukum</strong> saat ini, pertama, disadari kemampuan <strong>hukum</strong> ituterbatas. Mempercayakan segala sesuatu kepada <strong>hukum</strong> adalah suatu sikap yang tidakrealistis. Kita menyerahkan nasib kepada institusi yang tidak absolut untuk menuntaskantugasnya sendiri. Secara empirik terbukti untuk melakukan tugasnya ia selalumembutuhkan bantuan, dukungan, tambahan kekuatan publik. Kedua, masyarakatternyata tetap menyimpan kekuatan otonom untuk melindungi dan menata dari sendiri.Kekuatan itu untuk sementara waktu tenggelam di bawah dominasi <strong>hukum</strong> modern yangnota bena adalah <strong>hukum</strong> Negara.E. Budaya Hukum.Begitu pula dengan komponen budaya <strong>hukum</strong>, di mana komponen ini sangatmenentukan sekali dalam upaya penegakan <strong>hukum</strong> (law enforcement). Ada kalanyapenegakan <strong>hukum</strong> pada suatu komunitas masyarakat sangat baik, karena didukung olehkultur yang baik melalui partisipasi masyarakat (public participation). Pada masyarakatseperti ini, meskipun komponen struktur dan substansinya tidak begitu baik <strong>hukum</strong>nyaakan tetap jalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya, jika tidak ada dukungan darimasyarakat, sebaik apapun struktur dan substansi aturan tersebut, hasilnya tetap tidakakan baik dalam penegakan <strong>hukum</strong>. Makanya Ross menyatakan bahwa <strong>hukum</strong> tidak lebihdan tidak kurang hanyalah salah satu saja dari sekian banyak sarana kontrol sosial dengan10Satjipto Rahardjo, Mengajarkan Keteraturan, Menemukan Ketidakteraturan, Pidato Mengakhiri JabatanSebagai Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
JURNALILMU HUKUM103sifat yang paling terspesialisasi dan tergarap. 11Budaya <strong>hukum</strong> (komponen kultural) suatu sistem <strong>hukum</strong> mencakup sikap dan nilainilaiyang menentukan bekerjanya sistem <strong>hukum</strong> itu (Friedman, 1969:14) Budaya <strong>hukum</strong>berfungsi sebagai jiwa atau motor yang menggerakkan suatu peraturan agar dapat bekerjadalam masyarakat. Secara antropologi <strong>hukum</strong>, sistem <strong>hukum</strong> yang berlaku dalammasyarakat menjadi dua, yaitu <strong>hukum</strong> Negara (state law), seperti <strong>hukum</strong> perundangundangandan <strong>hukum</strong> kebiasaan (non state law) seperti <strong>hukum</strong> adat. Dalam kehidupansehari-hari kedua sistem <strong>hukum</strong> itu saling berinteraksi yang tampak pada perilakuseseorang maupun kelompok.Timbulnya degradasi budaya <strong>hukum</strong> di lingkungan masyarakat ditandai denganmeningkatnya apatisme seiring dengan menurunnya tingkat apresiasi masyarakat baikkepada substansi <strong>hukum</strong> maupun kepada struktum <strong>hukum</strong> yang ada. Hal ini telahtercermin dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. Menurunnya kesadaranakan hak dan kewajiban <strong>hukum</strong> masyarakat juga merupakan penyebab tidak efektifnyapelaksanaan <strong>hukum</strong> di masyarakat. Kondisi ini tercermin dari maraknya kasus main hakimsendiri seperti pembakaran pelaku kejahatan, sweeping oleh sebahagian anggotamasyarakat.Pelaksanaan <strong>hukum</strong> dalam masyarakat, tidak bisa dipisahkan dari interaksi diantarapara aktor. Melalui interaksi itulah muncul situasi yang mempengaruhi perilaku para aktortersebut. Norma <strong>hukum</strong> mana yang berpengaruh dalam masyarakat dan berguna sebagailandasan berinteraksi, erat kaitannya dengan kepatuhan <strong>hukum</strong> warga masyarakat yangbersangkutan. Oleh karena itu budaya <strong>hukum</strong> merupakan salah satu faktor yangmenentukan bekerjanya <strong>hukum</strong> dalam masyarakat.F. Dekontruksi Hukum Dalam Pembangunan Hukum di IndonesiaAkibat dari monopoli dan sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, maka negaramenjadi kapitalis dan otoriter dalam melaksanakan kewenangannya. Hal ini secarasosiologis dapat dipahami, karena negara/pemerintah sebagai salah satu lembaga yangberinteraksi dalam sistem sosial yang lebih besar dapat mempunyai keinginan dantujuannya sendiri. Oleh karena itu upaya dekontruksi sebagai upaya untuk mengembalikanformat dan fraksis pembangunan <strong>hukum</strong> di Indonesia.Urgensi dilakukannya dekontruksi <strong>hukum</strong> yang dilakukan dalam bentuk memangkascabang-cabang praktek <strong>hukum</strong> yang kurang menguntungkan serta dilanjutkan denganmelakukan rekontruksi, didasarkan beberapa alasan logis antara lain:a. Negara telah mendominasi dan menegasikan hak-hak rakyat/masyarakat yangseharusnya difasilitasi oleh negara dalam rangka mencapai sebesar-besarnyakemakmuran rakyat;b. Negara yang seharusnya tampil dan memberikan perlindungan bagi rakyat dalammemperoleh akses atas sumber daya alam pada kenyataannya tidak demikian, bahkankerapkali negara menjadi lawan bagi rakyat dan menjadi sumber ketidakadilan;c. Hukum negara/nasional yang didasarkan pada faham <strong>hukum</strong> modern yang positivistis11Ibid., hlm 256.
AZMI FENDRIVOLUME 1042 No. 1 Agustus 2011telah demikian mendominasi <strong>hukum</strong> rakyat, dan cenderung terus menegasikan <strong>hukum</strong>rakyat/the livung law yang seharusnya difasilitasi agar tumbuh dan berkembangmenjadi sumber <strong>hukum</strong> nasional;d. Terjadi penghisapan kekuasaan oleh negara/pemerintah pusat terhadap daerah,maupun kesatuan-kesatuan masyarakat tradisional dan otonom.Dalam melaksanakan dekontruksi <strong>hukum</strong>, maka rakyat harus diberi kesempatanseluas-luasnya untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembentukan <strong>hukum</strong>. Balkin 12menyatakan bahwa, dalam dekontruksi norma <strong>hukum</strong> memposisikan 2 (dua) nilaikepentingan yang nyatanya yang satu didahulukan dari yang lain, sedangkan yang laindisusulkan, oleh sebab itu tidak ditampilkan. Untuk merealisasikan dekontruksi, makahak dan kepentingan negara dan masyarakat harus dikontruksi ulang sebagai 2 (dua)entitas yang independen, di bawah payung persatuan, dan Bhineka Tunggal Ika yangharus dimaknakan bahwa sekalipun kita ini satu tidaklah boleh dilupakan bahwa sesungguhnyakita secara hakiki memang bhinna: berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. 13Dekontruksi terhadap <strong>hukum</strong> urgen dilakukan juga atas dasar pertimbangan bahwa,pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat, termasuk pemerintahanmerupakan bangunan hirarckhie yang amat kaku dan tak gampang responsif padatuntutan publik. Oleh karena itu, suatu gerakan harus dilancarkan untuk membuat strukturtersebut berubah lebih responsif, demokratis, peka pada permasalahan manusia, dankemudian daripada itu lalu bersedia untuk dimintai pertanggungjawaban.Pada tataran teoritis, maka pembalikan melalui mekanisme dekontruksi <strong>hukum</strong> harusdilakukan dengan mengembalikan strategi pembangunan <strong>hukum</strong> di Indonesiasebagaimana yang diamanatkan oleh pendiri republik yaitu menjadikan The Living Lawyang ada pada sanubari bangsa Indonesia yang bersifat pluralis sebagai sumber utamapembangunan <strong>hukum</strong>. Untuk itu upaya yang dapat dilakukan adalah :a. Membangkitkan rasa nasionalisme, dan kebanggaan ber<strong>hukum</strong> atas dasar penghormatanyang mendalam terhadap <strong>hukum</strong> Indonesia asli yang hidup dan berkembang sebagaiThe Living Law dalam masyarakat Indonesia yang merupakan perwujudan dari Peculiarform of social life masyarakat Indonesia yang pluralis atas dasar semboyan BhinekaTunggal Ika;b. Melakukan rekonstruksi seluruh sistem <strong>hukum</strong> nasional atas dasar paradigmaparadigmanonpositivis dan nondoktrinal;c. Melakukan desentralisasi kekuasaan pemerintahan/negara;d. Memfasilitasi satuan-satuan masyarakat dengan otoritas-otoritas otonom dan kelembagaantradisional untuk ber<strong>hukum</strong> sesuai dengan Peculiar form of social life-nya;e. Hukum nasional harus dirumuskan atas dasar prinsip harmonisasi <strong>hukum</strong> yang bertujuanuntuk mengakomodir kepentingan masyarakat Indonesia yang pluralis di bawahsemboyan Bhineka Tunggal Ika dan sila Persatuan Indonesia dalam bingkai NKRI;12Balkin, dalam Wajah Hukum Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 tahun Prof. Dr.Satjipto Rahardjo, SH., PT. Aditya Bakti, Bandung, 2000. hlm. 8013Sutandya Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Elsam, Jakarta,2002, hlm. 555
JURNALILMU HUKUM105f. Mengutamakan harmonisasi <strong>hukum</strong> daripada unifikasi dan kodifikasi <strong>hukum</strong>;g. Menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan <strong>hukum</strong> dan pengawasanpublik atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan pemerintahanguna menciptakan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan pemerintahan;h. Menciptakan pemerintahan berdasarkan prinsip “check and balance”;i. Memberikan kebebasan pada hakim untuk menemukan dan menciptakan <strong>hukum</strong> (judgemade law) dalam memutus perkara atas dasar upaya untuk mencapai kebenaransubstansial, bukan kebenaran formil, sebagaimana yang diajarkan oleh faham positivistis,dan bila perlu halim dapat menyatakan tidak berlakunya suatu peraturan perundangundanganapabila peraturan tersebut akan menimbulkan malapetaka <strong>hukum</strong>;j. Melakukan evaluasi terhadap substansi <strong>hukum</strong> yang tertuang dalam berbagai peraturanperundang-undangan, dan melakukan penyempurnaan atau pencabutan jika dirasakanmerugikan kepentingan masyarakat;k. Mengembangkan pola pemerintahan atas dasar pendekatan yang bersifat sinergi antarakepentingan pusat dan daerah.Dalam konteks pembangunan <strong>hukum</strong> di Indonesia, pembentukan produk <strong>hukum</strong>harus jelas ke mana tujuan pembangunan <strong>hukum</strong> tersebut. Tujuan ini amat urgen sebagaiarah pembangunan <strong>hukum</strong> yang diinginkan sebagai upaya mengatasi berbagai krisis yangdihadapi, terutama krisis <strong>hukum</strong>. Dalam pembangunan <strong>hukum</strong> ini tujuan yang ingin dicapaiadalah dilakukannya pembaharuan peraturan perundang-undangan dan sekaliguspenegakan <strong>hukum</strong>, sehingga jelas bagaimana <strong>hukum</strong> kita kedepan. Pembaharuan <strong>hukum</strong>ini sendiri bukan hanya sekedar pembaharuan begitu saja, tetapi harus ada pembangunanmoralitas <strong>hukum</strong>, sebagai arah dari pembangunan <strong>hukum</strong> yang “benar-benar” <strong>hukum</strong>dan tidak kepada <strong>hukum</strong> yang “bukan <strong>hukum</strong>”. Hal ini sejalan dengan pandangan positivisseperti Hart dan Kalsen yang membedakan antara <strong>hukum</strong> dan moral, karena <strong>hukum</strong>merupakan suatu sistem yang tertutup dan <strong>hukum</strong> harus bebas dari anasir-anasir non<strong>hukum</strong>. 14Mengingat <strong>hukum</strong> sebagai suatu produk yang akan dijadikan pedoman dalam bersikapdan bertindak serta sarana untuk melakukan perubahan, maka elemen pembentukan<strong>hukum</strong> itu harus dilihat secara komprehensif yang melibatkan multi disipliner. MenurutBurkhardt Krems sebagai mana dikutip oleh Hamid Attamimi, menegaskan bahwa elemenpembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang berkaitan denganisi atau substansi, metode pembentukan, serta proses dan prosedur pembentukan suatuperaturan. 15 Namun dalam kenyataannya bicara mengenai elemen pembentukan <strong>hukum</strong>ini, para pakar <strong>hukum</strong> Indonesia justru merujuk pada pandangan Lawrence M. Friedmanyang menegaskan adanya 3 (tiga) komponen dalam pembentukan <strong>hukum</strong> yaitu struktur,14Dalam kajian filsafat tidak semua <strong>hukum</strong> adalah <strong>hukum</strong>, karena terdapat <strong>hukum</strong> yang bukan <strong>hukum</strong>,yaitu yang bentuknya saja berupa <strong>hukum</strong> seperti Tap MPR, Undang-undang, Putusan Presiden, PutusanMenteri dan lain-lain. Disebut bukan <strong>hukum</strong> karena isinya tidak memuat asas-asas <strong>hukum</strong>. Lebih lajutlihat Roger Contterrell, The Politics of Jurisprudence. A Critical Introduction to Legal Philoshophy, Universityof Pennsylvania Perss, US, 1992, hlm. 118-119.15Dalam Esmi Warasih, Lot., cit.,, halaman 37.
AZMI FENDRIVOLUME 1062 No. 1 Agustus 2011substansi dan kultur 16 seperti telah dijelaskan diawal tulisan ini. Berdasarkan ketigakomponen ini Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) lalu mengembangkannya menjadi5 (lima) komponen yaitu sebagai berikut: 171. Materi <strong>hukum</strong> (tatanan <strong>hukum</strong>) amat tergantung dengan politik <strong>hukum</strong> yang dikembangkan,sehingga berbeda dari suatu periode dengan periode berikutnya yangmeliputi:a. Perencanaan <strong>hukum</strong>;b. Pembentukan <strong>hukum</strong>;c. Penelitian <strong>hukum</strong>, dand. Pengembangan <strong>hukum</strong>.2. Aparatur <strong>hukum</strong> yaitu mereka yang mempunyai tugas dan fungsi :a. Penyuluhan Hukum;b. Penerapan <strong>hukum</strong>;c. Penegakan <strong>hukum</strong>, dand. Pelayanan <strong>hukum</strong>.3. Sarana dan prasarana <strong>hukum</strong> yang meliputi hal-hal yang bersifat fisik;4. Budaya <strong>hukum</strong> yang dianut oleh warga masyarakat, termasuk para pejabatnya; dan5. Pendidikan <strong>hukum</strong>.Berdasarkan ketiga komponen dasar dalam pembentukan <strong>hukum</strong> tersebut, agar<strong>hukum</strong> itu jadi fungsional dan bahkan sebagai sara perubahan sosial ditengah-tengahkehidupan masyarakat, untuk itu dibutuhkan bantuan dari berbagai disiplin <strong>ilmu</strong> sebagaipendukung. Sehingga <strong>hukum</strong> itu betul-betul bisa dijadikan sebagai sandaran dalambersikap, berbuat dan bertindak dalam berbagai lapangan kehidupan, baik olehmasyarakat maupun bagi pemerintah sendiri. Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi,di mana dalam penjelasannya ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang didasarkanatas <strong>hukum</strong> (eine rechtstaat, a state on law, a state governed by law). Hukum manamerupakan pengejawantahan dari cita <strong>hukum</strong> sebagaimana diamanatkan dalampembukaan konstitusi.G. KesimpulanMencermati uraian-uraian tentang pembaharuan/pembangunan di bidang <strong>hukum</strong>itu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Sejak pernyataan kemerdekaan Indonesiadari penjajahan kolonial Belanda, telah dilakukan berbagai upaya kearah pembaharuan<strong>hukum</strong>, baik dari segi sistem, teori, asas, fungsi dan tujuan, peraturan perundangundangan,sampai dengan penerapan dan penegakannya.Pembaharuan itu didasarkan pada hakekat dari <strong>hukum</strong> itu sendiri sebagai suatuperaturan yang berlakunya harus memenuhi persyaratan filosofis, politis, yuridis, dansosiologis. Secara filosofis <strong>hukum</strong> itu harus sesuai dengan sistem, teori, asas-asas, fungsidan tujuan <strong>hukum</strong>. Dari segi politis <strong>hukum</strong> itu harus merupakan buatan dari pemerintah16Lebih lanjut lihat Lawrence F. Friedman, American Law, Introduction, W.W. Norton & company, NewYork, 1984, hlm. 5-7.17BPHN, Sejarah Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta,2005.
JURNALILMU HUKUM107Negara merdeka dan bukan peninggalan kolonial. Secara yuridis pembuatannya harusmemenuhi prosedur pembuatan undang-undang dan tata urutan peraturan perundangundanganyang ada. Sedangkan dari segi sosiologis, <strong>hukum</strong> itu muncul dari aspirasimasyarakat sehingga berlakunya diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.H. Daftar PustakaAchmad Sodiki, Politik Hukum Agraria: Unifikasi Ataukah Pluralisme Hukum, dalamArena Hukum No.8 Juli 1999, Fak. Hukum Unibraw, Malang, 1999Lawence M Friedman, The Legal System: A Social Science Perspektive, Russel SageFoundation, New York, 1975.Nonet, Philipe & Selzick, Philip, (1978) Law and Society in Transition; Toward ResponsiveLaw, New York : Harper & Row.Sally More Falk, Law as Process; An Anthropological Approach, Routledge & KeagenPaul, londion, 1978Satjipto Rahardjo, Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan, PidatoMengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas HukumUniversitas Diponegoro, 2000.
VOLUME 1082 No. 1 Agustus 2011KONTRIBUSI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAHTERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAHDALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAHFRENADIN ADEGUSTARA, SYOFIARTI, TITIN FATIMAHKampus Unand Limau Manis PadangAbstrakKegagalan otonomi daerah telah mengubah paradigmapemerintahan daerah. Dengan perubahanini daerah diberi wewenang yang luas untuk mengaturdi bidang pemerintahan termasuk mengelolasumber daya keuangan dari sumber yang ada.Laba adalah salah satu sumber utama pendanaandaerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.Pajak daerah dan retribusi memiliki peran yangsangat penting dalam mendukung upaya peningkatanpendapatan (PAD). Untuk koleksi pajak danretribusi daerah dilaksanakan dengan mengeluarkanperaturan daerah. Dampak yang mengemukakemudian adalah sejumlah peraturan baruuntuk muncul regulasi pajak dan retribusi gangguanpublik dan pengusaha menciptakan kondisitidak kondusif untuk pembangunan ekonomi daninvestasi nasional. Selain itu, peraturan yang mengarahpada terjadinya pungutan baru, yang padagilirannya menciptakan ekonomi biaya tinggibeban ekonomi nasional. Fakta bahwa ada banyakaturan, peraturan dicabut oleh Pemerintah sesuaidengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang bahwa pemerintah berwenang untukmengevaluasi setiap perda yang dihasilkan.AbstractCrash of regional autonomy has changed the paradigmof local governance. With these changes regions aregiven broad authority to regulate in the area of governanceincluding managing the financial resources ofexisting sources. Income is one of the major sourcesof regional funding within the framework of the implementationof decentralization. Regional taxes andlevies have a very important role in supporting effortsto increase revenue (PAD). For collection of local taxesand levies are implemented by regulations issued localregulations. impacts that arise then are number ofnew regulations to appear the regulation of taxes andcharges of disrupting public and entrepreneurs createdthe conditions are not conducive to economic developmentand national investment. In addition, regulationsthat lead to the occurrence of new levies, whichin turn creates a high cost economy the nationaleconomic burden. The fact that there are many rules,regulations revoked by the Government accordancewith the authority granted by the Act that the Governmentis authorized to evaluate each generated localregulations.Kata kunci: Izin lingkungan, instrumen lingkunganA. PendahuluanKebijakan pajak dan retribusi merupakan bagian dari kebijakan publik (umum) yangdiambil pemerintah sejalan sebagai cerminan kehendak rakyat dalam mencapai tujuannegara. Konskuensi lanjut terhadap hal di atas bagaimana pemerintah dapat menyelenggarakanfungsi pajak (budgeter dan reguler). Pola perumusan kebijakan pajak danretribusi daerah sebagai sumber pendapatan daerah didasarkan pada pola kebijaksanaannasional yang diakomodir dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional, sebagaiberikut:1) Undang Undang Dasar 1945, khusus berkenaan dengan pajak secara umumdiakomodir dalam Pasal 23A;2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerahselanjutnya disingkat dengan sebutan UU No. 28/ 2009 merupakan undangundangterbaru yang mengatur pajak dan retribusi daerah menggantikan UU No.18/1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34/2000.
JURNALILMU HUKUM1093) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah4) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.5) Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah di wilayahstudi, meliputi 18 peraturan daerah tentang pajak daerah dan 79 peraturan daerahtentang retribusi daerah.Kedinamikaan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah mencerminkan adanyaupaya dari pemerintah pusat untuk memberikan dorongan kepada Daerah untuk lebihoptimal dan tertib dalam meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai refleksipelaksanaan prinsip otonomi yang seluas-luasnya. Kontribusi PAD terhadap APBD relatifkecil masih berada di bawah 16%, namun ditinjau dari aspek kontribusi pajak daerah danretribusi daerah, maka kontribusinya sangat signifikan, terutama di Kota Padangkontribusi Pajak Daerah mencapai rata-rata 66,53% dan retribusi daerah memberikankontribusi terhadap PAD sebesar 22,85%. Khusus bagi Kota Bukittinggi, justru kontribusiRetribusi Daerah lebih besar dibandingkan dengan Pajak Daerah terhadap PAD KotaBukittinggi, yakni rata-rata sebesar 41,01% dan 28,74%. Sehubungan dengan kontribusipajak daerah dan retribusi daerah terhadap peningkatan PAD, relatif konstan sepertiKota Padang rata-rata 12,61% dan 11, 36 %, Kota Bukittinggi kontribusi terhadappeningkatan PAD rata-rata sebesar 14,52% dan 10,11%. Berbeda halnya dengan kondisidi Kabupaten Pesisir Selatan, keterbatasan data hanya perhitungan dua tahun anggaran(2007 dan 2008), telah menunjukkan persentase yang cukup besar kontribusi PajakDaerah dan Retribusi Daerah terhadap peningkatan PAD, yakni 55,36% dan 27,86%.Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan pajak daerahdan retribusi daerah dalam peningkatan PAD, antara lain:a. Perangkat <strong>hukum</strong> di daerah, terutama keberadaan perda yang ada masih didasarkanpada UU yang lama, sehingga potensi penerimaan yang ditemukan atau yang diperolehsulit untuk direalisasikan.b. Belum konsisten para penegak <strong>hukum</strong> administrasi kalangan birokrat pemda dalammemberikan sanksi terhadap subjek <strong>hukum</strong> yang melalaikan kewajiban wajib pajakdan retribusi dalam membayar pajak daerah dan retribusi daerah. Petugas lebihcenderung menggunakan pendekatan persuasif dan toleransi dalam melakukanpenegakan <strong>hukum</strong>.c. Kelemahan di lingkungan aparatur pemerintah daerah, baik pejabat yang mengambilkeputusan penetapan pajak dan retribusi, maupun pelaksana lapangan dalammelakukan identifikasi terhadap jenis kegiatan atau usaha yang wajib dikenakan pajakatau retribusi daerah serta minimnya ketersediaan data base potensi objek pajak danretribusi daerah.d. Kurangnya informasi dan sosialisasi terhadap dinamika kebijakan pajak daerah danretribusi daerah yang dapat menimbulkan kurang kepedulian dari warga masyarakatuntuk segera membayar pajak dan retribusi daerah tatkala mendekati jatuh tempo.e. Masih lemahnya pengawasan termasuk intrumennya, sehingga menimbulkan tidakoptimalnya pencapaian realisasi sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1102 No. 1 Agustus 2011Pemerintahan Kota Padang, Bukittinggi dan Kabupaten Pesisir agar segera melakukanupaya yang serius untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai macam pajak daerahdan retribusi daerah yang telah ditetapkan ke dalam berbagai perda selama ini sesuaidengan kategori jenisnya guna mewujudkan peningkatan pendapatan asli daerah sekaliguspelaksanan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Upaya yang serius mutlak dilakukanpengkajian secara komprehensif, baik dari aspek tataran normatif penyusunan kebijakanmaupun inventarisasi terhadap potensi objek pajak daerah dan retribusi daerah.B. Masalah PenelitianBerdasarkan uraian pendahuluan yang menjadi latar belakang perlunya dilakukanpenelitian, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :1. Bagaimanakah pola rumusan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untukmeningkatkan pendapatan asli daerah ?2. Bagaimanakah rambu-rambu norma dalam perumusan kebijakan untuk penyesuaiantarif pajak daerah dan retribusi daerah ?C. Metode Penelitian1. Pendekatan MasalahPenelitian ini merupakan penelitian <strong>hukum</strong> sosiologis (sociological legal research),yakni penelitian yang menggunakan pendekatan <strong>hukum</strong> dalam makna “law in action”.Penelitian yang demikian di awali dengan melakukan studi dokumen terhadap peraturanperundang-undangan yang berkenaan dengan pajak dan retribusi daerah. Selanjutnyaditelusuri dan diteliti realitas kebijakan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dalampenyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai fenomena sosial dengan menggunakanperspektif <strong>hukum</strong>. Tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristikkebijakan pajak dan retribusi daerah terhadap peningkatan PAD, dan mengkaji sejauhmana kontribusi pajak dan retribusi daerah dalam menunjang peningkatan pendapatanasli daerah. Kemudian menemukan pola rumusan strategi kebijakan yang dapat dilakukanoleh pemerintah daerah dalam membuat kebijakan terhadap setiap jenis pajak dan retribusidaerah sehingga dapat menunjang peningkatan PAD dan menjajaki kemungkinanperbaikan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pajakdaerah dan retribusi daerah.2. Sifat PenelitianSecara umum penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu mendeskripsikanbagaimana bentuk kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah, dan dengan kacamata<strong>hukum</strong> menganalisis setiap fakta yang dikemukakan. Namun demikian, tidak tertutupkemungkinan dalam beberapa bagian penelitian ini juga bisa bersifat eksploratif terutamaberkaitan dengan faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah terhadap pajakdaerah dan retribusi daerah. Hal ini dimungkinkan karena penelitian dilakukan di 3 daerahdi Sumatera Barat yang masing-masing memiliki potensi keuangan yang berbeda. Dengandemikian, penelitian ini bukanlah bersifat menguji teori (eksplanatori). Teori <strong>hukum</strong> yang
JURNALILMU HUKUM111ada dan dibantu dengan teori sosial yang relevan dijadikan sebagai bekal untuk menggambarkandan menjelaskan kebijakan pemerintah daerah terhadap pajak dan retribusidaerah, kemudian berupaya menemukan pola dan alternatif terbaik yang dapat dilakukanoleh pemerintah daerah dalam menerbitkan setiap kebijakan yang terkait dengan pajakdan retribusi daerah. Sehingga diharapkan pola yang ditawarkan diharapkan mampumemberikan solusi bagi pihak-pihak yang terkait.3. Jenis dan Sumber DataSebagaimana lazimnya penelitian <strong>hukum</strong> di masyarakat (sosio-legal research),penelitian ini membutuhkan baik data sekunder yang berasal dari “bahan <strong>hukum</strong>” maupundata primer yang berasal dari informan.a. Data PrimerData primer yang diperlukan berupa informasi yang terkait dengan pajak daerah danretribusi daerah. Oleh karena itu, informan penelitian ini terdiri atas orang-orang yangterkena dampak langsung dari kebijakan pajak dan retribusi daerah yang dihasilkan.Berkaitan dengan itu, maka teknik sampling yang digunakan untuk menentukaninforman penelitian adalah purposive sampling.b. Data SekunderData sekunder adalah data yang bersumber dari realisasi Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah, publikasi dari Pemerintah Daerah, literatur, peraturan perundangundangandan kebijakan Pemerintah Daerah terkait dengan pajak dan retribusi daerah,serta hasil-hasil penelitian sebelumnya.4. Lokasi PenelitianPenelitian ini dilakukan di tiga Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Barat yakniKota Padang, Bukittinggi dan Kabupaten Pesisir Selatan, mengingat bahwa titik beratotonomi dilaksanakan di daerah Kabupaten dan Kota. Pemilihan terhadap Kota Padangkarena merupakan Ibukota Propinsi, sedangkan Kota Bukittinggi dan KabupatenPesisir Selatan adalah sebagai perwakilan dari daerah lain di Sumatera Barat. Dankarena permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten dan Kota tersebut (sebagai titikberat otonomi) pada dasarnya hampir sama dengan permasalahan yang dihadapi olehKabupaten atau Kota lain di Indonesia.5. Teknik Pengumpulan Dataa. Studi DokumentasiPenelitian untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan dengan studi dokumentasi,khususnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan internal yangberkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah.b. WawancaraDalam hal ini dilakukan survai dan wawancara dengan metode depth interview atauwawancara mendalam untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan
FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1122 No. 1 Agustus 2011permasalahan yang dihadapi. Wawancara juga dilakukan dengan menggunakanpetunjuk wawancara (guided interview) sebagai petunjuk atau pedoman dalammelakukan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap pejabat daerah terutamadari Dinas Pendapatan Daerah, BAPPEDA, Bagian Hukum di Lingkungan SekretariatDaerah, DPRD serta dari pihak di luar Pemda seperti beberapa asosiasi pengusahadaerah yang terkena dampak langsung dengan kebijakan yang dihasilkan.5. Analisis DataAnalisis data dilakukan secara kualitatif dan analisis isi (content analysis) terhadapperaturan perundang-undangan dan dokumen <strong>hukum</strong> pelaksanaan pemungutan pajakdan retribusi daerah. Langkah pertama adalah dengan melakukan inventarisasi peraturanperundang-undangan dan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah.Langkah selanjutnya melakukan telaah terhadap semua dokumen pemungutan danrekaitulasi hasil pemungutan pajak dan retribusi daerah guna diperoleh taraf kesesuaianantara norma yang mengatur dengan operasional norma di lapangan.Berkaitan dengan data primer terlebih dahulu dilakukan reduksi data dan dianalisisdengan analisis domain. Hal ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang bersifatumum dan menyeluruh tentang objek permasalahan yang diteliti. Berdasarkan analisisyang dilakukan kemudian ditarik generalisasi tentang permasalahan dan kemudian diambilkonklusi guna memberikan jawaban tentang permasalahan yang dikemukakan.D. Hasil Penelitian1. Pola rumusan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untukmeningkatkan pendapatan asli daerahHasil penelusuran terhadap rumusan kebijakan pajak daerah dan retribusi daerahdalam bentuk pengaturan undang-undang merupakan cermin dari pelaksanaan prinsipkedaulatan rakyat. Artinya tatkala penguasa hendak memberikan beban kepada rakyat,wajib diketahui dan disetujui oleh rakyat, dalam hal ini representasinya diperlihatkanmelalui sosok lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Demikian halnya dengan adanyapengaturan dan penetapan pajak daerah dan retribusi daerah dalam bentuk perda, jugamerupakan representasi rakyat melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD).Dinamika kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah yang diwujudkan oleh UUyang telah diubah dan diganti terakhir oleh UU No. 28/2009 mencerminkan upaya untukmendorong daerah agar optimal menggali potensi daerah sebagai sumber pendapatanasli daerah.Ada beberapa catatan khusus yang perlu diberikan perhatian guna mendukungkemampuan daerah untuk membiayai diri sendiri, yakni:1) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan semula merupakan jenispajak daerah Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 18/1997, kemudian ditarik dandijadikan pajak daerah Provinsi berdasarkan UU No. 34/2000. Namun dalamperkembangan terbaru berdasarkan UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah
JURNALILMU HUKUM113Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda,yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah sebagaiPajak Daerah Kabupaten/Kota.2) Pajak Hotel dan Restoran yang diatur dalam UU No. 18/1997, selanjutnya oleh UUNo. 34/2000 sebagaimana diganti oleh UU No. 38/2009 dipisahkan menjadi dua jenisPajak Daerah Kabupaten/Kota, yakni Pajak Hotel dan Pajak Restoran.3) Adanya penambahan jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota, yakni Pajak Parkirberdasarkan UU No. 34/2000, sedangkan berdasarkan UU No. 18/1997 jenis pajakdaerah tersebut tidak ada.4) Adanya penambahan jenis Pajak Daerah Kabupaten/Kota yang sebelumnyaberdasarkan UU No. 18/1997 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 34/2000 tidakada. UU No. 28/2009 telah menetapkan tambahan jenis pajak daerah kabupaten/kota, yakni : (1) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; (2) Pajak Sarang BurungWalet; (3) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; (4) Bea PerolehanHak atas Tanah dan Bangunan.5) Dinamika pengaturan kebijakan retribusi daerah diperlihatkan semula UU No. 18/1997 dan UU No. 34/2000 tidak mengatur rincian jenis retribusi daerah, selanjutnyadiatur dalam UU No. 28/2009, yakni ada 13 macam retribusi jasa umum, 11 macamretribusi jasa usaha dan 6 macam retribusi perizinan tertentu. Adapun rincian darimasing-masing jenis retribusi daerah yang dimaksud dalam UU No. 28/2009, sebagianbesar merupakan materi muatan yang telah diatur dalam PP No. 66/2001. Artinyaterjadi peningkatan derajat materi muatan kebijakan, semula ditetapkan riniciannyadalam PP, selanjutnya diatur ke dalam UU.Hakikat keberadaan berbagai perda tersebut di atas merupakan tindak lanjutpelaksanaan yuridis sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undanganyang lebih tinggi. Oleh karenanya konsekuensi logis, tatkala peraturan perundang-undanganyang lebih rendah dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggiatau materi muatannya melampaui yang didelegasikan kewenangan untuk mengatur, makaperaturan perundang-undangan dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri sebagai instansi yangbertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Logika pemikiran yangdemikian di dasarkan pada asas lex superioriori derogat legi inferiori.Sehubungan dengan terjadinya dinamika peraturan kebijakan di bidang perpajakandaerah dan retribusi daerah, tentu diperlukan upaya yang serius bagi pemerintah daerahKabupaten/Kota untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai macam pajak daerahdan retribusi daerah sesuai dengan kategori jenisnya guna menghindari adanya tumpangtindih yang berakibat dapat dibatalkannya perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah.Suatu kebijakan daerah tentang pajak daerah yang hendak dirumuskan ke dalamsuatu peraturan daerah tidak boleh berlaku surut. Selanjutnya sewaktu merumuskanmateri muatan suatu Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah, terutama kategori jenisPajak Daerah yang dapat dipungut oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, minimal harusmemuat tentang :a. nama, objek, dan Subjek Pajak;b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1142 No. 1 Agustus 2011c. wilayah pemungutan;d. Masa Pajak;e. penetapan;f. tata cara pembayaran dan penagihan;g. kedaluwarsa;h. sanksi administratif;i. tanggal mulai berlakunya.Di samping materi muatan minimal yang harus dimuat dalam suatu Peraturan Daerahtentang Pajak Daerah sebagaimana dikemukakan di atas, dapat juga mengatur ketentuanlain sebagai materi muatan tambahan, yakni berkenaan:a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu ataspokok pajak dan/atau sanksinya;b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa;c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajakkepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelazimaninternasional.Di samping pajak daerah, pemerintah kabupaten/kota juga menetapkan retribusidaerah ke dalam peraturan daerah dengan ketentuan tidak dapat berlaku surut.Selanjutnya sewaktu merumuskan materi muatan suatu Peraturan Daerah tentangRetribusi Daerah, terutama kategori jenis Retribusi Daerah yang dapat dipungut olehPemerintah Kabupaten/Kota, minimal harus memuat tentang :a. nama, objek, dan Subjek Retribusi;b. golongan Retribusi;c. cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan;d. prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi;e. struktur dan besarnya tarif Retribusi;f. wilayah pemungutan;g. penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran;h. sanksi administratif;i. penagihan;j. penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa; dank. tanggal mulai berlakunya.Di samping materi muatan minimal yang harus dimuat dalam suatu Peraturan Daerahtentang Retribusi Daerah sebagaimana dikemukakan di atas, dapat juga mengaturketentuan lain sebagai materi muatan tambahan, yakni berkenaan:a. Masa Retribusi;b. pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu ataspokok Retribusi dan/atau sanksinya; dan/atauc. tata cara penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa.Selanjutnya berkenaan dengan pengurangan dan keringanan serta pembebasanretribusi yang dapat dirumuskan ke dalam peraturan daerah tersebut, seyogiyanyamemperhatikan beberapa hal berikut:
JURNALILMU HUKUM115a. Pengurangan dan keringanan retribusi daerah diberikan dengan melihat kemampuanWajib Retribusi.b. Pembebasan Retribusi daerah sebagaimana dimaksud di atas diberikan dengan melihatfungsi objek Retribusi.2. Rambu-rambu norma dalam perumusan kebijakan untuk penyesuaiantarif pajak daerah dan retribusi daerahPajak Daerah1. Pajak HotelDasar pengenaan Pajak Hotel ditentukan oleh jumlah pembayaran atau yangseharusnya dibayar oleh konsumen kepada Hotel. 1 Adapun tarif pajak yang dapatdikenakan kepada konsumen yang memanfaatkan fasilitas hotel tersebut dinyatakan dalamPasal 35 ayat (1) UU No. 28 tahun 2009, yakni “Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggisebesar 10% (sepuluh persen)”. Selanjutnya cara perhitungannya harus mempedomaniPasal 36 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 yang menyatakan “besaran pokok Pajak Hotelyang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal35 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34”.2. Pajak RestoranDasar pengenaan Pajak Restoran ditentukan oleh jumlah pembayaran atau yangseharusnya dibayar oleh konsumen kepada Restoran. 2 Adapun tarif pajak yang dapatdikenakan kepada konsumen yang memanfaatkan fasilitas restoran tersebut dinyatakandalam Pasal 40 ayat (1) UU No. 28 tahun 2009, yakni “Tarif Pajak Hotel ditetapkanpaling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)”. Selanjutnya cara perhitungannya harusmempedomani Pasal 41 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 yang menyatakan “besaranpokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimanadimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksuddalam Pasal 39”.3. Pajak HiburanDasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yangseharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan. 3 Adapun tarif pajak yang dapatdikenakan kepada konsumen yang menikmati hiburan tersebut dinyatakan dalam Pasal45 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009, yakni “Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggisebesar 35% (tiga puluh lima persen)”.Rambu-rambu norma berikutnya terkait dengan penetapan tarif pajak hiburan inimutlak mempedomani ketentuan sebagai berikut:1Pasal 34 UU No. 28 Tahun 2009.2Pasal 39 UU No. 28 Tahun 2009.3Pasal 44 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009.
FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1162 No. 1 Agustus 2011a. Pasal 45 ayat (2) UU No. 28 tahun 2009, yakni “Khusus untuk Hiburan berupa pagelaranbusana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, pantipijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar75% (tujuh puluh lima persen)”.b. Pasal 45 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009, yakni “Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluhpersen).4. Pajak ReklameDasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame. 4 Khusus dalam halReklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, maka Nilai Sewa Reklame yang dimaksudditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. 5 Dalam hal Reklame diselenggarakansendiri, Nilai Sewa Reklame dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yangdigunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuranmedia Reklame. 6 Rambu-rambu norma berikutnya terkait dengan penetapan tarif pajakhiburan ini mutlak mempedomani ketentuan Pasal 50 ayat (1) UU No. 28 tahun 2009,yakni “Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen)”.5. Pajak Penerangan JalanAdapun rambu-rambu norma sebagai dasar pengenaan pajak penerangan jalan,mutlak mempedoman ketentuan Pasal 54 UU No. 28 Tahun 2009, yakni :(1) Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.(2)Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai JualTenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biayapemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitungberdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaianlistrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.Adapun rambu-rambu norma berikutnya yang wajib dipedomani tatkala menetapkantarif pajak penerangan jalan dikemukakan dalam Pasal 55 sebagai berikut :(1) Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).(2) Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dangas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen).(3)Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tariff Pajak Penerangan Jalanditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (satu koma lima persen).(4)Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.4Pasal 49 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009.5Pasal 49 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009.6Pasal 49 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009.
JURNALILMU HUKUM1176. Pajak Mineral Bukan Logam dan BatuanAdapun rambu-rambu norma sebagai dasar pengenaan pajak penerangan jalan,mutlak mempedomani ketentuan Pasal 59 UU No. 28 Tahun 2009, yakni :(1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual HasilPengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.(2)Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenisMineral Bukan Logam dan Batuan.(3)Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata yang berlakudi lokasi setempat di wilayah daerah yang bersangkutan.(4)Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimanadimaksud pada ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga standar yang ditetapkan olehinstansi yang berwenang dalam bidang pertambangan Mineral Bukan Logam danBatuan.Adapun rambu norma berikutnya yang wajib dipedomani tatkala menetapkan tarifPajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dikemukakan dalam Pasal 60 ayat (1) UU No.28 Tahun 2009, yakni “Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan palingtinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen)”.7. Pajak ParkirAdapun rambu-rambu norma sebagai dasar pengenaan pajak parkir, mutlakmempedomani ketentuan Pasal 64 UU No. 28 Tahun 2009, yakni :(1) Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnyadibayar kepada penyelenggara tempat Parkir.(2)Dasar pengenaan Pajak Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkandengan Peraturan Daerah.(3)Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasukpotongan harga Parkir dan Parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasaParkir.Adapun rambu norma berikutnya yang wajib dipedomani tatkala menetapkan tarifPajak Parkir dikemukakan dalam Pasal 65 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009, yakni “TarifPajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen)”.8. Pajak Air TanahAdapun rambu-rambu norma sebagai dasar pengenaan pajak air tanah, mutlakmempedomani ketentuan Pasal 69 UU No. 28 Tahun 2009, yakni :(1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah.(2)Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalamrupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktorberikut:
FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1182 No. 1 Agustus 2011a. jenis sumber air;b. lokasi sumber air;c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;e. kualitas air; danf. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/ataupemanfaatan air.(3) Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengankondisi masing-masing Daerah.(4) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.Adapun rambu norma berikutnya yang wajib dipedomani tatkala menetapkan tarifPajak Air Tanah dikemukakan dalam Pasal 70 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009, yakni“Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen)”.9. Pajak Sarang Burung WaletAdapun rambu-rambu norma sebagai dasar pengenaan pajak Sarang Burung Walet,mutlak mempedomani ketentuan Pasal 74 UU No. 28 Tahun 2009, yakni :(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet.(2) Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitungberdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlakudi daerah yang bersangkutan dengan volume Sarang Burung Walet.Adapun rambu norma berikutnya yang wajib dipedomani tatkala menetapkan tarifPajak Sarang Burung Walet dikemukakan dalam Pasal 75 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009,yakni “Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluhpersen)”.10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan PerkotaanAdapun rambu-rambu norma sebagai dasar pengenaan bumi dan bangunan perdesaandan perkotaan, mutlak mempedomani ketentuan Pasal 79 UU No. 28 Tahun 2009, yakni:(1) Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP.(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga)tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai denganperkembangan wilayahnya.(3) Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan olehKepala Daerah.Adapun rambu norma berikutnya yang wajib dipedomani tatkala menetapkan tarifPajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dikemukakan dalam Pasal 80 ayat(1) UU No. 28 Tahun 2009, yakni “Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan danPerkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen)”.
JURNALILMU HUKUM11911. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.Adapun rambu-rambu norma sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanahdan Bangunan, mutlak mempedomani ketentuan Pasal 87 UU No. 28 Tahun 2009, yakni:(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah NilaiPerolehan Objek Pajak.(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:a. jual beli adalah harga transaksi;b. tukar menukar adalah nilai pasar;c. hibah adalah nilai pasar;d. hibah wasiat adalah nilai pasar;e. waris adalah nilai pasar;f. pemasukan dalam peseroan atau badan hokum lainnya adalah nilai pasar;g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan<strong>hukum</strong> tetap adalah nilai pasar;i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilaipasar;j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;l. peleburan usaha adalah nilai pasar;m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atauo. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalamrisalah lelang.(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf asampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yangdigunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinyaperolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendahsebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.(5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadiyang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajatke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesarRp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).(6) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat(4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.Adapun rambu norma berikutnya yang wajib dipedomani tatkala menetapkan tarifBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikemukakan dalam Pasal 88 ayat (1) UUNo. 28 Tahun 2009, yakni “Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkanpaling tinggi sebesar 5% (lima persen)”.
FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1202 No. 1 Agustus 2011Retribusi DaerahRambu-rambu norma sebagai dasar pengenaan dan penghitungan tarif retribusi daerahmutlak mempedomani ketentuan Pasal 151 s/d 155 UU No. 28 Tahun 2009 sebagai berikut:Pasal 151:(1) Besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkatpenggunaan jasa dengan tariff Retribusi.(2)Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlahpenggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul PemerintahDaerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.(3)Apabila tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sulit diukurmaka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat olehPemerintah Daerah.(4)Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mencerminkan beban yang dipikuloleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut.(5)Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai rupiah atau persentasetertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.(6)Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam ataubervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.Pasal 152 :(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan denganmemperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat,aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.(2)Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan,biaya bunga, dan biaya modal.(3)Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa,penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.(4)Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Retribusi PenggantianBiaya Cetak Peta hanya memperhitungkan biaya pencetakan dan pengadministrasian.Pasal 153:(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tariff Retribusi Jasa Usaha didasarkanpada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.(2)Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yangdiperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien danberorientasi pada harga pasar.Pasal 154 :(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkanpada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberianizin yang bersangkutan.(2)Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputipenerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan <strong>hukum</strong>, penatausahaan,dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
JURNALILMU HUKUM121Pasal 155 :(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.(2)Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan denganmemperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.(3)Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan denganPeraturan Kepala Daerah.E. PenutupSehubungan dengan penyusunan rumusan norma kebijakan daerah tentang pajakdaerah dan retribusi daerah, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:1. Pajak dan retribusi daerah tidak dapat diberlakukan surut;2. Minimal materi muatan dalam merumuskan pajak daerah ke dalam peraturan daerahterdiri atas:a. nama, objek, dan Subjek Pajak;b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;c. wilayah pemungutan;d. Masa Pajak;e. penetapan;f. tata cara pembayaran dan penagihan;g. kedaluwarsa;h. sanksi administratif;i. tanggal mulai berlakunya.3. Minimal materi muatan dalam merumuskan retribusi daerah ke dalam peraturandaerah terdiri atas:a. nama, objek, dan Subjek Retribusi;b. golongan Retribusi;c. cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan;d. prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi;e. struktur dan besarnya tarif Retribusi;f. wilayah pemungutan;g. penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaanpembayaran;h. sanksi administratif;i. penagihan;j. penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa; dank. tanggal mulai berlakunya.4. Rambu-rambu norma guna penyesuaian tarif pajak daerah ditemui adanya batasanmaksimal persentase, sedangkan tarif retribusi daerah terdapat keleluasaan bagidaerah untuk menetapkannya yang ditentukan dengan kualitas dan bobot pelayananyang diberikan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan kategori keduanya mempunyaikarakter yang berbeda, yakni pajak daerah tanpa ada kontraprestasi langsungdibandingkan dengan retribusi daerah.
FRENADIN ADEGUSTARA, DKKVOLUME 1222 No. 1 Agustus 2011F. Daftar PustakaAhmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002Alam Setia Zain, Aspek Pembinaan Hutan dan Strafikasi Hutan Rakyat, Rieneka Cipta,Jakarta, 1998.Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Pusat PengkajianEkonomi dan Keuangan Departemen Keuangan RI, 2005, Evaluasi Pelaksanaan UUNo.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta.Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995.Deddy K, Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Dalam Era Otonomi Daerah; TinjauanAtas Kinerja PAD dan Upaya Yang Dilakukan Daerah, Makalah, DirektoratPengembangan Otonomi DaerahErlangga Agustino Landiyanto, Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di EraOtonomi Daerah; Studi Kasus Kota Surabaya, Cures Working Paper 05/01, Januari2005Machfud Sidik, Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam RangkaMeningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Orasi Ilmiah dengan tema “StrategiMeningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah Melalui Penggalian Potensi DaerahDalam Rangka Otonomi Daerah”, Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung, 10 April 2002Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah; Kajian Tentang Hubungan KeuanganAntara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006Muhammad Zaenuddin, dalam Batam Pos, Strategi Peningkatan PAD, Selasa 20 November2007Nick Devas, Keuangan Pemerintah Indonesia, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1989Tempo Interaktif, Pemerintah Batalkan 448 Perda Bermasalah, Edisi Jum’at 29 April 2005UU No.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi DaerahUU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat danPemerintah DaerahYayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (Centre for Local Government Innovation),Kebijakan Keuangan Daerah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Desentralisasidan Otonomi Daerah, Roundtable Discussion YIPD/CLGI, Jakarta, 2003.
JURNALILMU HUKUM123BIODATA PARA PENULIS1. Dr. Helmi, S.H, M.H., adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi. PendidikanS1 diselesaikan di Universitas Jambi, S2 di Universitas Padjadjaran dan Doktor bidangHukum Lingkungan Pascasarjana di Unpad. Dilahirkan di Campang Tigo Sumsel. SelainDosen Fakultas Hukum Universitas Jambi, Penulis merupakan Ketua Pusat StudiHukum dan Otonomi Daerah (PSHK-ODA) sebuah Lembaga Swadaya Masyarakatyang konsisten melakukan berbagai aktivitas di bidang kebijakan lingkungan hidupdan otonomi daerah. Aktif menulis di media lokal. Pada tahun 2005, penulis dipercayasebagai utusan masyarakat sipil Indonesia untuk melakukan negosiasi persoalan illegallogging di beberapa negara eropa (Jerman, Belgia, Fortugal dan Spanyol). Publikasiyang pernah dilakukan dalam bentuk buku diantaranya, Otonomi Daerah BukanSengketa (Tim 2005), Label Hijau “Kompilasi Pengetahuan dan Pengalaman SertifikasiEkolable di Indonesia”, Tim, Tahun 2005, Kehutanan Multi Pihak “Langkah MenujuPerubahan”, Tim, Tahun 2006, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat “PerjalananMenuju Kepastian”, Tim, Tahun 2006, Rimbo Adat Datuk Rangkayo Mulio (Melindungidan Dilindungi)/Traditional Forest Area of Datuk Rangkayo Mulio (2007). SistemPerizinan Bidang Lingkungan Hidup Dalam Negara Hukum Kesejahteraan (2010).Tahun 2011, menjadi pembicara, moderator seminar, lokakarya, serta peneliti danpenulis untuk bidang <strong>hukum</strong> dan kebijakan lingkungan hidup.2. Emilda Firdaus, SH,MH, adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau,dilahirkan di Yogyakarta, tanggal 27 Februari 1978. Menamatkan S1 dan S2 dariFakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan bidang kajian HukumTata Negara. Pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan III FH UR. Saat ini menjabatsebagai ketua Unit Monotoring dan Evaluasi FH UR. Juga menjabat sebagai KetuaBadan Konsultasi Bantuan Hukum dan sedang menempuh S3 Hukum di UniversitasIslam Bandung. Bertempat tinggal di Jalan Cemara Gading No. 23 Komplek PemdaPekanbaru.3. Nopyandri, SH, L.LM, adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Jambi,dilahirkan di Suka Jaya Ranau Sumsel pada tanggal 22 Nopember 1973. MenamatkanS1 dari Universitas Jambi pada tahun 1997 dan S2 Ilmu Hukum Universitas GadjahMada Yogyakarta pada tahun 2008 dengan bidang kajian Hukum Administrasi negaradan Hukum Lingkungan. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Acara diFakultas Hukum Universitas Jambi dan juga sebagai Sekretaris Pusat Kajian KonstitusiUniversitas Jambi. Bertempat tinggal di Perumahan Kembar Lestari Blok AC No. 17RT 36 Kelurahan Kenali Besar Kec. Kotabaru, Jambi.4. Hengki Andora, SH, L.LM, adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum UniversitasAndalas Padang, dilahirkan di Payakumbuh, 16 Juni 1980. Menamatkan S1 dariUniversitas Andalas paa tahun 2003 dan S2 di UGM Yogyakarta pada tahun 2008dengan bidang kajian Hukum Administrasi Negara. Saat ini menjabat sebagai SekretarisII (Bagian Keuangan dan Administrasi Umum) Magister Kenotariatan Fakultas HukumUniversitas Andalas. Bertempat tinggal di Kompl. Puri Filano Asri Blok D No.5 KubuDalam Parak Karakah Padang - Sumatera Barat.
VOLUME 1242 No. 1 Agustus 20115. Erdianto, SH,M.Hum, adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau,dilahirkan di Pelabuhan Dagang, 10 Nopember 1973. Menamatkan S1 dari UniversitasJambi, tahun 1997, S2 dari Universitas Sriwijaya tahun 2001, dan saat ini sedangmengikuti Program Doktor di Universitas Padjadjaran Bandung. Bertempat tinggal diPerumahan Nuansa Griya Flamboyan Blok I No. 15 Delima Tampan Pekanbaru.6. Junaidi, SH, MH., adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau, dilahirkandi Tebing Tinggi, Benai, Kuansing, 16 Juni 1980. Menamatkan S1 dan S2 di UniversitasAndalas Padang dengan bidang kajian Hukum Tata Negara. Saat ini menjabat sebagaiKetua Bagian Hukum Tata Negara FH UR dan bertempat tinggal di Perumahan PalemRegency Blok C No. 7 Pekanbaru.7. Mexsasai Indra, SH,MH, adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau,dilahirkan di Air Molek, 13 Maret 1981. S1 dan S2 diselesaikan di UIR Pekanbarupada tahun 2004 dan 2006. Dan saat ini sedang mengikuti Program Doktor IlmuHukum di Unpad, Bandung. Saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Kajian KonstitusiFH UR. Bertempat tinggal di Jalan Karya I No. 30 Pekanbaru.8. Romi SH, MH., adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang,dilahirkan di Pulau Kijang, Indragiri Hilir, pada tanggal 27 Januari 1981. MenamatkanS1 Hukum di Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tahun 2003 dan S2 diUniversitas Padjdajaran Bandung dengan bidang kajian Hukum Administrasi Negara,pada tahun 2011. Jl. Kalumpang No. 7 Kelurahan Bandar Buat Kecamatan LubukKilangan Kota Padang Sumatera Barat.9. Dr. Azmi Fendri, SH, M.Kn, adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum UniversitasAndalas Padang. Menyelesaikan S1 Univ. Andalas (1998), S2 Megister Kenotariatan(2002), S3 Doktor IlmuHukum Univ. Brawijaya Malang (2011).10.Frenadin Adegustara, Syofiarti dan Titin Fatimah, adalah Dosen Tetap padaBagian Hukum Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Andalas.
JURNALILMU HUKUM125PEDOMAN PENULISAN1. Naskah berupa hasil penelitian kepustakaan, penelitian lapangan atau karya ilmiahlainnya dalam bidang <strong>ilmu</strong> <strong>hukum</strong> yang belum pernah dan tidak pernahdipublikasikan dalam media cetak lain.2. Setiap kutipan dalam sebuah artikel ilmiah harus dicantumkan sumber kutipannyadalam sebuah footnote sebagaimana contoh berikut ini: Erdianto Effendi, HukumPidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 64-65.3. Naskah ditulis dengan sistematika sebagai berikut:a. Penelitian Kepustakaan:JudulNama PenulisAlamatAbstrak (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)PendahuluanPerumusan Masalah (dapat dimuat dalam bab Pendahuluan)PembahasanPenutup/KesimpulanDaftar PustakaRiwayat Hidup Singkat yang berisikan Pekerjaan, Tempat Tanggal Lahir,Riwayat Pendidikan dan Alamatb. Penelitian LapanganJudulNama PenulisAlamatAbstrak (dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)PendahuluanPerumusan Masalah (dapat dimuat dalam bab Pendahuluan)Metode PenelitianHasil PenelitianPembahasanPenutup/KesimpulanDaftar PustakaRiwayat Hidup Singkat yang berisikan Pekerjaan, Tempat Tanggal Lahir,Riwayat Pendidikan dan Alamat4. Penyusunan daftar pustaka harus sesuai dengan daftar abjad (nama penulis) secaraalpabetis, nama ditulis secara manual tanpa harus dibalik, dan daftar pustaka yangditulis harus tercantum dalam tubuh tulisan. Sistematika penulisan daftar pustakaadalah seperti contoh: Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar,Refika Aditama, Bandung, 2010.5. Naskah diketik dengan komputer ukuran A4 dengan jarak 1,5 spasi, minimal 15halaman dan maksimal 35 halaman.
VOLUME 1262 No. 1 Agustus 20116. Naskah disusun dalam Bahasa Indonesia menurut Pedoman Ejaan bahasa Indonesiamenurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).7. Redaksi berhak mengedit dan atau mengubah teks sesuai kepentingan penerbitantanpa pemberitahuan terlebih dahulu tanpa mengubah substansi yang dkandungdalam naskah.8. Redaksi tidak bertanggungjawab atas isi dan substansi artikel yang dimuat dantanggungjawab sepenuhnya dilimpahkan kepada penulis yang bersangkutan, dandengan sendirinya semua penulis wajib menjamin bahwa tulisannya bebas dariplagiarisme.