12.07.2015 Views

Jurnal DIGNITAS Edisi HAM dan Realitas Transisional - Elsam

Jurnal DIGNITAS Edisi HAM dan Realitas Transisional - Elsam

Jurnal DIGNITAS Edisi HAM dan Realitas Transisional - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Volume VII No. 1 Tahun 2011ISSN 1693-3559


dignitas<strong>Jurnal</strong> Hak Asasi ManusiaVolume VII No. 1 Tahun 2011ISSN 1693-3559<strong>Jurnal</strong> Dignitas merupakan jurnal yang terbit dua kali setahun,setiap Juni <strong>dan</strong> Desember, dengan mengangkat isu utama mengenaihak asasi manusia. Tulisan yang diterbitkan di jurnal ini meman<strong>dan</strong>ghak asasi manusia secara multidisipliner. Bisa dari sudut pan<strong>dan</strong>ghukum, filsafat, politik, kebudayaan, sosiologi, sejarah, <strong>dan</strong>hubungan internasional.Tema yang diterbitkan diharapkan mampu memberikan kontribusipengetahuan <strong>dan</strong> meramaikan diskursus hak asasi. Kehadiran <strong>Jurnal</strong>Dignitas ini ingin mewarnai perdebatan hak asasi yang ada.Misi <strong>Jurnal</strong> Dignitas adalah menyebarkan gagasan <strong>dan</strong> pemikiranyang dielaborasi melalui studi, baik teoretik maupun empirik,tentang permasalahan hak asasi manusia atau hukum yangberkaitan dengan hak asasi manusia.Dewan Redaksi: Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ery Seda, Ifdhal Kasim, Karlina L. Supeli,Sandra Moniaga, Soetandyo Wignjosoebroto, Todung Mulya Lubis, Yosep Adi Prasetyo;Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum; Redaktur Pelaksana: Widiyanto StafRedaksi: Betty Yolanda, Ikhana Indah, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyudi Djafar,Wahyu Wagiman, Zainal Abidin; Sekretaris Redaksi: E. Rini Pratsnawati Sirkulasi <strong>dan</strong> Usaha:KhumaedyPenerbit: Lembaga Studi <strong>dan</strong> Advokasi Masyarakat (ELSAM)Alamat Redaksi: Jln. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510Telp: 021-7972662, 79192564 Fax: 021-79192519Email: office@elsam.or.id Website: www.elsam.or.id


dignitas<strong>Jurnal</strong> Hak Asasi ManusiaVolume VII No. 1 Tahun 2011ISSN 1693-3559DAFTAR ISIEDITORIAL______ 3FOKUS ______ 7Politik Negara <strong>dan</strong> Kondisi <strong>HAM</strong>oleh Rocky Gerung ______ 9Milisia Islamis, Demokrasi, <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusiaoleh Noorhaidi Hasan ______ 19Kekerasan Aparat, Mengapa Masih Terjadi?oleh Ikrar Nusa Bhakti ______ 39RUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara: Dilema Legislasi <strong>dan</strong>Kebutuhan Pertahananoleh Mufti Makaarim ______ 49DISKURSUSKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Tantangannya Dewasa Inioleh Ifdhal Kasim ______ 71Peran Kejaksaan dalam Masalah Hak Asasi Kekinianoleh Domu P. Sihite ______ 85<strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Polri dalam Penegakan Hukum di Indonesiaoleh Iza Fadri ______ 103OASENegara Hukum <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusia dengan Pendekatan Hukum Progresifoleh Yance Arizona ______ 123TINJAUANFilm Imagining Argentina; Melawan Penghilangan Masa Lalu dengan Nujumoleh I Gusti Agung Ayu Ratih ______ 143KONTRIBUTOR ______ 153PEDOMAN PENULISAN ______ 155PROFIL ELSAM ______ 157


EDITORIALSi<strong>dan</strong>g Pembaca yang terhormat,<strong>Jurnal</strong> Dignitas hadir kembali setelah sekian lama tak menyapa. Kamimengalami restrukturisasi <strong>dan</strong> perubahan manajemen. Dignitas kaliini tampil lebih cair dengan isi yang sedikit berbeda dibandingsebelumnya. Nama rubrik berubah. “Fokus Kajian”, “LandasanTeoritis”, <strong>dan</strong> “Tinjauan Wacana” diganti dengan “Fokus”,“Diskursus”, <strong>dan</strong> “Tinjauan”.Di edisi ini kami juga hendak mengenalkan satu rubrik baru,“Oase”. Rubrik ini diisi riwayat biografis seorang tokoh, kelompok,organisasi, atau terhadap karya-karya mereka yang berhubungandengan isu hak asasi manusia atau hukum. Pada dasarnya ia inginmenyajikan gagasan besar mereka secara utuh.Restrukturisasi berjalan seiring dengan proses pengerjaan edisiini. Di edisi ini kami mengadakan sebuah simposium kecilbertemakan “Negara <strong>dan</strong> Masalah Hak Asasi Manusia Kekinian”.Simposium mengun<strong>dan</strong>g perwakilan dari Kejaksaan Agung,Kepolisian RI, Komisi Nasional <strong>HAM</strong>, <strong>dan</strong> pemerhati. Semuamakalah yang dipresentasikan kami terbitkan, melengkapi tulisanlain yang telah masuk sesuai dengan tema yang kami angkat di edisiini: “<strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> <strong>Realitas</strong> <strong>Transisional</strong>”.Kami melihat perlunya mengulas situasi aktual denganpendekatan <strong>HAM</strong> secara lebih akademis. Kita tampaknya terjebakdalam realitas transisional yang tak menentu. Peradilan terhadapkejahatan masa lalu tak kunjung menghadirkan keadilan bagi korban.Banyak kasus yang penanganannya mandeg di Kejaksaan Agung.Perdebatan antara Kejaksaan Agung dengan Komnas <strong>HAM</strong>mengenai kemandegan penanganan kasus pelanggaran <strong>HAM</strong> berattercermin jelas dalam tulisan masing-masing. Menurut Domu P.Sihite, Direktur Penanganan Pelanggaran <strong>HAM</strong> Berat KejasaanAgung, dalam tulisannnya, berargumen bahwa perlunyapembentukan Pengadilan <strong>HAM</strong> terlebih dulu guna menangani kasuskasusmasa lalu sesuai dengan criminal justice system.Ifdhal Kasim, Ketua Komnas <strong>HAM</strong>, berargumen sebaliknya.3


Dengan menunjuk contoh kasus pelanggaran <strong>HAM</strong> berat TimorTimur, Kejaksaan tak perlu menunggu dibentuknya peradilan dulu.Tapi institusi penuntut tersebut harus tetap memproses kasus yangtelah selesai diselidik oleh Komnas <strong>HAM</strong>. Perbedaan pendapat keduainstitusi ini yang menguras energi penanganan <strong>HAM</strong> belakangan ini.Rocky Gerung memaparkan keprihatinannya mengenai rezimsekarang yang lebih mementingkan pencitraan diri daripadabertindak tegas ketika pluralisme sosial berada dalam ancaman.Rocky termasuk salah satu pemateri dalam simposium, hanya sajatulisan dosen filsafat Universitas Indonesia ini lebih sesuai ditaruh dirubrik “Fokus”. Tidak di “Diskursus” bersama tiga tulisan panelislainnya.Noorhaidi Hasan, seorang intelektual muda Islam, mengulassecara tajam mengenai menjamurnya organisasi Islam berhaluankeras di masa transisi saat negara mengalami erosi kekuasaan. DosenUIN Sunan Kalijaga tersebut menyebut beberapa kelompok milisiIslam yang berdiri selama periode pasca kolaps-nya kekuasaan OrdeBaru, berikut dengan ciri organisasi masing-masing.Alih-alih menangani maraknya ekstremisme yang mengarah keanarkisme, negara justru sibuk melakukan rekonsolidasi kekuasaan.Ini bisa terlihat dari upaya Pemerintah <strong>dan</strong> aparat yang gigih untukmendorong penguatan peran intelijen negara dalam penanggulangankasus-kasus sosial. Pun demikian dalam mendorong wajib militerbagi seluruh warga negara melalui RUU Komponen Ca<strong>dan</strong>ganPertahanan Nasional. Mufti Makaarim secara konseptual mengkritisiRUU yang sempat menjadi kontroversi di ruang publik.Ikrar Nusa Bhakti memberikan analisisnya, mengapa kekerasanyang melibatkan aparat masih sering berlangsung meski situasisosial-politik lebih terbuka. Profesor dari Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia (LIPI) ini menulis secara sederhana namuntetap saja secara tajam menguraikan masalah tersebut.I Gusti Agung Ayu Ratih menuliskan review film ImaginingArgentina. Film ini berkisah tentang seorang suami yang berusahamencari istrinya yang diculik oleh rezim militer berkuasa. Anakmereka dibunuh. Lelaki tersebut kemudian bertemu dengan ibu-ibuyang anaknya dihilangkan. Mereka korban horor terorisme negara dibawah rezim diktator pimpinan Jenderal Jorge Rafael Videla, rezimyang memberangus kaum sosialis <strong>dan</strong> komunis di Argentina selamaPerang Kotor 1976-1983. Agung Ayu menuntun kita padapengalaman masa lalu yang terjadi di Indonesia semenjak Tragedi1965.Yance Arizona menuliskan gagasan hukum progresif almarhumProf. Satjipto Rahardjo atau biasa kita kenal dengan panggilan Prof.4


Tjip. Gagasan beliau sangat genuine dengan konteks Indonesia yangmemiliki masyarakat sangat plural. Prof. Tjip meminta para penegakhukum supaya tidak sekedar menjadi kepanjangan UU tapi juga perlumemperhatikan wisdom atau kebajikan dalam masyarakat.Selamat membaca!WidiyantoRedaktur Pelaksana5


FOKUS


Politik Negara <strong>dan</strong> Kondisi <strong>HAM</strong>Rocky GerungAbstraksiDi tengah menguatnya politik pencitraan kepemimpinan nasional,deretan permasalahan hak asasi aktuil menjadi terpinggirkan.Politik pemerintahan lebih memilih gemar melantunkankeberhasilan dalam deretan statistik ketimbang bekerja dalamdiam. Kepemimpinan yang demikian seolah gamang biladiperbenturkan dengan realitas bahwa keberagaman berada dalamancaman. Padahal kehadiran negara dalam menjamin harmonimerupakan sebuah keniscayaan. Dengan dalih netralisme, negarajustru membiarkan sekelompok warga melakukan persekusiterhadap kelompok warga lainnya.ITerbatas pada wacana, Pemerintah hari ini terus memujikanprestasinya dalam soal <strong>HAM</strong>. Juga dengan retorika wacana itu,Presiden mengumpulkan dukungan internasional untukkepemimpinan nasionalnya. Dalam berbagai pidato di forum dunia,Presiden "melaporkan" perkembangan positif soal <strong>HAM</strong> di dalamnegeri.Tetapi keadaan sesungguhnya memperlihatkan kondisi yangterbalik. Rentetan penganiayaan warga negara atas alasan agama <strong>dan</strong>perbedaan keyakinan, berlangsung terus. Kondisi percakapan toleransemakin surut dari kehidupan publik. Ide kewarganegaraan munduroleh dominasi ide komunalisme. Potensi rasisme tetap tinggi.Permusuhan sosial sangat mudah disulut oleh isu primordial. Itulahkeadaan yang sesungguhnya yang tampaknya tidak bakal kita temuidalam pidato-pidato Presiden tentang <strong>HAM</strong> di negeri ini.9


FOKUSPolitik Negara <strong>dan</strong> Kondisi <strong>HAM</strong>Waktu kita mengupayakan perubahan politik satu dekade lalu,tesis hak asasi manusia menjadi dasar rasional kemestian itu. Dalamkontras etika politik terhadap rezim otoriter, kita menghendaki suatuperubahan kualitatif, yaitu perubahan yang meliputi susunan pikiranpemerintahan, susunan lembaga-lembaga demokrasi <strong>dan</strong> susunannorma-norma publik. Kepentingan kita adalah membangun sebuahsistem politik <strong>dan</strong> tata pemerintahan yang rasional, etis, <strong>dan</strong> efektif.Harapan segera pada penghormatan <strong>HAM</strong> mendorong diskursusperubahan itu menjadi perjuangan politik yang serius. Hampirseluruh energi aktivis LSM dikuras untuk pertaruhan kualitatif itu.Sekali dalam sejarah, keinginan untuk mewujudkan sebuahmasyarakat yang demokratis, bermartabat, <strong>dan</strong> berkeadilan, kitapertaruhkan untuk proyek historis itu. Pendeknya, ada obsesi yangnyaris patologis terhadap sebuah Indonesia yang “baru”.Perubahan memang tiba, tetapi bukan secara “revolusioner”.Kita bahkan memodifikasi suasana “perjuangan” itu dengan temayang lebih kultural: “reformasi”. Penghalusan metode <strong>dan</strong>pelembutan harapan sebetulnya sudah dengan sendirinyamenurunkan kualitas perubahan yang diharapkan. Dan memangitulah yang terjadi.Perubahan yang kita peroleh adalah perubahan kuantitatifsemata: unsur <strong>dan</strong> metode politik Orde Baru masih diikutsertakandalam struktur pemerintahan baru. Sikap permisif itu juga berdampakpada agenda-agenda perjuangan <strong>HAM</strong>. Begitulah kita menyaksikansatu demi satu tuntutan-tuntutan substantif tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>berubah menjadi debat prosedural di DPR.Kerumitan dalam menyusun hukum acara pengadilan <strong>HAM</strong>adalah tanda nyata tentang masih berkuasanya kepentingankepentinganlama dalam semua pemerintahan reformasi sampai hariini. Yang hendak diperlihatkan secara tepat oleh sejarah adalah bahwaingatan kolektif kita tentang kejahatan kemanusiaan sangat mudahdisulap menjadi transaksi material oleh permainan politik elit.Begitulah kita saksikan berturut-turut “proposal penyelesaian”kasus-kasus berat pelanggaran <strong>HAM</strong> itu diselesaikan secara“perdata” dengan kesepakatan ganti rugi finansial <strong>dan</strong> “tandapenghargaan” negara pada korban atau perwakilannya.Momentum adalah faktor produktif untuk memelihara isu <strong>dan</strong>memperjuangkan penuntutan keadilan <strong>HAM</strong>. Itulah dasar konsep10


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011“transitional justice”. Tetapi momentum itu sesungguhnya telah kitaabaikan sejak awal transisi reformasi satu dekade lalu. Suasanatransisional tidak mungkin bertahan dalam benak publik ketikatuntutan-tuntutan kehidupan ekonomi riil mulai menggantikan isupemerintahan yang bersih. Masuk dalam putaran kebutuhan sosial,<strong>dan</strong> terlilit dalam kepentingan oportunistik individual, sejumlahtokoh <strong>HAM</strong> juga melambat dalam artikulasi <strong>dan</strong> advokasi perjuangan<strong>HAM</strong>. Sebaliknya, konsolidasi elite melalui institusi partai politikmenghasilkan oligarki kepentingan di parlemen. Dan oligarki inilahyang secara ideologis menentang perluasan isu <strong>HAM</strong> dalam politiknasional. Bahkan dalam kenekatan politik yang memalukan, gagasanpemberian gelar pahlawan kepada mantan presiden Suharto, cukupkuat mendapat dukungan di masyarakat. Rekayasa semacam inimemperlihatkan sekali lagi pendeknya memori etis masyarakatakibat ketidakpastian ekonomi politik hari-hari ini.Sepertinya, kerinduan pada “basic needs” yang disediakanOrde Baru, tidak dapat dibatalkan oleh harapan pada ide demokrasisemata-mata. Tetapi sebetulnya, kemuakan terhadap hipokrisi politikelitlah yang membatalkan harapan publik terhadap demokrasi.Keadaan ini justru memperburuk penyelesaian tuntutan keadilanpelanggaran <strong>HAM</strong> karena diskursus agama kemudian menggantikansemboyan-semboyan liberal para pejuang <strong>HAM</strong>.Dalam tampungan politik agama, stigmatisasi <strong>HAM</strong> sebagai“bukan kultur Indonesia” <strong>dan</strong> “mengusung sekulerisme”, justrumemperkuat basis konsolidasi politik agama berhadap-hadapandengan para pejuang sekuler <strong>HAM</strong>. Insiden penyerangan kantorkantorpembelaan <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> penganiayaan aktivis-aktivisnya secaratransparan memperlihatkan permusuhan ideologis antara kekuatankonservatif yang berbasis politik agama dengan gerakan <strong>HAM</strong>.Menempelnya isu <strong>HAM</strong> dengan kultur liberal-barat, sekaligusmengentalkan stigma perjuangan <strong>HAM</strong> sebagai perjuangankepentingan Barat-liberal-sekuler. Hak Asasi Manusia bahkan harusdiucapkan dalam nada penghinaan, kesesatan, <strong>dan</strong> agitasi olehbeberapa pejabat negara. Dari isu perjuangan, ide <strong>HAM</strong> berubahmenjadi isu yang diolok-olok. Kehilangan momentum adalah sebabutamanya.11


FOKUSPolitik Negara <strong>dan</strong> Kondisi <strong>HAM</strong>IITetapi yang lebih mengkuatirkan dari sekadar soal momentum yanghilang, adalah sikap Presiden SBY yang sangat medioker dalam isu<strong>HAM</strong>. Dalam konflik berbasis agama akhir-akhir ini, sikap mengelakPresiden untuk terlibat dalam pengambilan keputusan final justrumemberi angin pada pelanjutan praktek intoleransi <strong>dan</strong> kekerasandalam perselisihan sosial yang berbasis agama itu. Kesan yanghendak ditampilkan Presiden adalah seolah-olah ia tidak inginberpihak dalam konflik yang menyangkut keyakinan keagamaan.Dengan cara itu hendak ditampilkan sifat netral <strong>dan</strong> adil dariPresiden.Tetapi sebetulnya, dalam soal yang menyangkut kebebasanberagama, Konstitusi telah menjaminnya secara final. Artinya,terhadap kelompok manapun yang mengganggu pelaksanaankebebasan warga negara itu, Presiden harus menyatakan sikapkonstitusionalnya, <strong>dan</strong> bukan sikap politisnya. Jelas bahwa sikappolitis Presiden adalah sikap ambigu yang memperlihatkanketidakmampuan kepemimpinan, tetapi sekaligus pragmatismepolitik untuk mempermainkan kekuatiran publik <strong>dan</strong> mengubahnyamenjadi keuntungan bagi kelanjutan kepemimpinan politiknya.Berkali-kali soal pluralisme <strong>dan</strong> toleransi diucapkan Presidendalam forum-forum internasional. Tetapi fakta di dalam negerimemperlihatkan pembiaran negara terhadap warga negara yangmencari perlindungan konstitusional atas pelanggaran haknya yangpaling dasar, yaitu kebebasan berkeyakinan. Tentu kita dapatmenganalisis keadaan ini dari sudut pan<strong>dan</strong>g kalkulasi strategisPresiden dalam memelihara legitimasi politiknya.Soal kebebasan berkeyakinan terlalu asasi untukdipertukarkan dalam pasar kepentingan politik. KetidaktegasanPresiden inilah yang melegalisir politik diskriminasi di berbagaidaerah. Pun dengan alasan itu, Menteri Dalam Negeri <strong>dan</strong> MenteriAgama secara terbuka memperlihatkan sikap bias dalam menanggapisoal kebebasan beragama itu. Dalam pan<strong>dan</strong>gan yang paling awamsekalipun, sikap “buta huruf konstitusi” para pejabat negara itu adalahsponsor utama pengerasan konflik agama di negeri ini.Politik Negara yang diskriminatif itu terhubung secarakonsisten dengan kondisi politik kewarganegaraan kita. Warganegara tidak dipahami dalam kedudukan egaliternya terhadap12


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011konstitusi, melainkan dipahami pertama-tama berdasarkankedudukan mayoritasnya dalam soal agama. Pemahamankomunalistik ini membelah warga negara dalam dikotomi yangberbahaya: ada warga negara mayoritas, ada warga negara minoritas.Pembelahan itu sekaligus menyodorkan realitas politik baru: adawarga negara yang soleh, ada warga negara yang sesat. Tentu sajasangatlah berbahaya membiarkan definisi diskriminatif ini menjadi“pretext” dalam pergaulan antara warganegara. Kesolehan kinimenjadi lebih utama dari “ketaatan membayar pajak” misalnya.Padahal, kewarganegaraan hanya boleh diselenggarakanberdasarkan kesamaan hak <strong>dan</strong> kewajiban dalam hukum publik.Kesolehan tidak dapat diukurkan pada kewarganegaraan.Kesolehan hanya diukurkan pada seseorang dalam komunitaskeagamaannya. Tetapi pemahaman ini bahkan tidak masuk dalamkecerdasan para anggota DPR. Sekaligus ini menunjukkan tidaka<strong>dan</strong>ya kurikulum pendidikan “citizenship” di dalam partai.Memahami prinsip kewarganegaraan sebagai ketaatan padahukum publik semata merupakan kondisi yang diperlukan untukmenyelenggarakan penghormatan pada <strong>HAM</strong>. Mendefinisikankewarganegaraan dalam makna kesetaraan hak berdasarkan kitabkonstitusi (bukan kitab suci), adalah pelajaran politik pertama yangseharusnya diberikan pada anggota DPR. Agenda ini sangat berkaitandengan kesadaran <strong>dan</strong> keseriusan parlemen dalammengkampanyekan ide <strong>HAM</strong>. Sebaliknya, tanpa pemahaman itu, kitamenyaksikan setiap hari kemunduran wawasan kenegarawanan parawakil rakyat.Amat sukar kita menyaksikan perdebatan politik di antarapolitisi yang secara sugestif memberi inspirasi pada rakyat tentangide kesetaraan, ide kemerdekaan pikiran, <strong>dan</strong> ide keadilan sosial.Yang terdengar riuh adalah kalimat-kalimat demagogis, pertandaketidakpahaman yang memalukan dari seseorang yang dipilih untukmengucapkan Konstitusi secara fasih <strong>dan</strong> menerangkan hak-hak asasisecara benar.Di dalam kepungan hegemoni “politik kesolehan”, wakilrakyat justru ikut mensponsori kepentingan-kepentingan politikkomunal-primordial itu. Suasana kebebasan politik, prasyarat utamauntuk menghidupkan kultur demokrasi, berubah menjadi suasana“hirarki nilai”, yaitu bekerjanya konsep kesolehan sebagai ukuran13


FOKUSPolitik Negara <strong>dan</strong> Kondisi <strong>HAM</strong>utama kewarganegaraan seseorang. Hak Asasi Manusia, dengankonsep inti kedaulatan individu <strong>dan</strong> penghormatan pada kebebasanpikiran, niscaya ditolak dalam konstruksi masyarakat yang hirarkissemacam itu.Bekerjanya politik kesolehan itu juga tampak dalam suasanapendidikan nasional kita. Komunalisme makin mendahuluikurikulum berbasis konstitusi. Komunalisme bahkan menjadisuperkultur dalam komunitas akademik yang seharusnya rasionalliberal.Kehidupan perguruan tinggi kita se<strong>dan</strong>g menjauh dari basiskerja ilmu pengetahuan: rasional, sekuler, kritis, kontestasi. Suasanaakademik yang penuh dengan hirarki palsu, juga diam-diam menjaditempat persemaian intoleransi <strong>dan</strong> nilai-nilai absolut anti kesetaraanmanusia. Kampus yang menutup diri dari politik rasional, justrumenyediakan peluang bagi berbagai diskursus absolut yangmenghindar dari debat publik <strong>dan</strong> skrutinisasi teoretik. Sekali lagikultur semacam itu selalu curiga <strong>dan</strong> memusuhi ide <strong>HAM</strong>.IIISoal yang paling mengkuatirkan dalam upaya pemajuan nilai-nilai<strong>HAM</strong> tidak saja dalam aspek pembiaran negara terhadap masalahtoleransi <strong>dan</strong> kemajemukan. Dalam hal pembelaan hak-hakperempuanlah terutama terasa diskriminasi negara. Partisipasi politikperempuan yang hendak diselenggarakan dengan asas "affirmativeaction", telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibatnya,momentum untuk menyamakan "garis start" politik antara laki-laki<strong>dan</strong> perempuan, hilang. Atas alasan kesetaraan peluang partisipasi,MK sesungguhnya telah mengabaikan kondisi sosio-historis yangmeminggirkan perempuan dari politik. Fakta ini memperlihatkanmiskinnya pengetahuan Negara tentang historisitas konsep <strong>HAM</strong>.Tetapi kita dapat menganalisa soal ini dari sudut pan<strong>dan</strong>g"politik nilai mayoritas", yaitu paham kebudayaan (entah atas dasartradisi atau agama) yang terus mengunggulkan laki-laki dalamkehidupan politik. Konstruksi kebudayaan yang misoginis itu, seringmemperoleh pembenaran melalui konsep "local wisdom". Padahal,berbagai format regulasi tubuh perempuan (dari mitos sampai Perda),pada akhirnya berujung pada penihilan partisipasi politik perempuan.14


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Tetapi bukan sekedar pada konstruksi kebudayaan soalrepresentasi politik perempuan terhambat. Pada tataran formal partaipun, pengakuan terhadap kepemimpinan politik perempuan masihtetap sebatas basa-basi manipulatif elite partai. Kepemimpinanperempuan masih sebatas fungsi-fungsi domestik dalam strukturpimpinan partai.Keadaan yang sama berlaku di dalam parlemen. Bahkanupaya penyatuan isu <strong>dan</strong> kepentingan perempuan melalui "kaukusperempuan", tetap melowongkan intervensi partai di dalampengambilan keputusan.Politik perempuan dalam upaya penegakan <strong>HAM</strong>, padadasarnya adalah politik untuk memperjuangkan berlapis-lapishambatan: kultur, hukum, kebijakan politik, struktur ekonomi.Dengan itu kita pahami bahwa pada perempuanlah seluruh jenislogika ketidakadilan beroperasi: biologis, ideologis, psikologis.Karena itu, menemukan hakikat ketidakadilan melalui'pengalaman perempuan' adalah orientasi paling origin di dalamupaya menghidupkan diskursus <strong>HAM</strong>. Tentu saja orientasi itu bukandimaksudkan untuk mengeksklusifkan "keperempuanan" ataumenciptakan esensialisme identitas perempuan. Pokok soal yanghendak dikemukakan adalah bahwa terhadap kelompok yang palingmengalami ketidakadilan, ke arah itulah seharusnya energiperlindungan negara seharusnya ditujukan.Cerminan pemihakan negara tidak hanya harus terlihat dalamprinsip pengaturan hukum publik, tetapi juga terasa dalam praktekkesejahteraan melalui APBD yang berperspektif keadilan jender.Kewarganegaraan adalah ukuran normatif kesetaraan hak. Tetapikesejarahan keadilan telah meminggirkan hak perempuansedemikian lama <strong>dan</strong> sistematis. Kewarasan tindakan negara hanyadapat kita tuntut pada pemihakan afirmatif terhadap kepentinganpolitik keadilan perempuan.IVEvaluasi terhadap <strong>HAM</strong> adalah evaluasi terhadap demokrasi. Faktabahwa kita kini memiliki secara lengkap semua fasilitas demokrasi(partai, parlemen, mahkamah, opini publik), tidak membuktikanbahwa demokrasi telah diselenggarakan dalam semangat15


FOKUSPolitik Negara <strong>dan</strong> Kondisi <strong>HAM</strong>penghormatan <strong>HAM</strong>. Praktek representasi politik yang seharusnyadidasarkan pada representasi elektoral, berubah menjadi representasikepentingan elite partai. Bahkan dalam format yang lebih elitis,kepentingan parlemen secara keseluruhan hanya dikendalikan olehsebuah oligarki yang bekerja atas prinsip transaksional semata-mata.Tukar-tambah politik di tingkat lokal, semata-mata demi kepentinganpersonal, dapat berlangsung dengan mengabaikan distingsi ideologisdi antara partai-partai itu.Jadi, bila sudut pan<strong>dan</strong>g politik parlemen masih sangattransaksional, maka terhadap isu substantif <strong>HAM</strong>, yang secarastrategis dapat mengganggu kepentingan politik oligarki, pastilahhambatan akan mendahului penghargaan. Jadi, tugas untukmenciptakan suasana politik terbuka yang memungkinkan idekewarganegaraan <strong>dan</strong> <strong>HAM</strong> tumbuh wajar di masyarakat, sejak awalakan ditelantarkan oleh wakil-wakil rakyat itu.Kita memiliki peralatan demokrasi yang lengkap, tetapi itusemua dipergunakan untuk memperkuat struktur oligarki. Contohmutakhir dalam isu ini adalah lolosnya UU Partai Politik yang secarateknis justru menghalangi lahirnya partai politik. Persyaratan ketatpada un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g itu disusun sistematis dengan akibatkemungkinan mendirikan partai politik menjadi nol. Jalan pikirannyajelas: memonopoli representasi politik dengan menghalangi hakkebebasan berserikat rakyat. Strategi oligarki adalah menghambatdemokrasi dengan memanfaatkan peralatan demokrasi.Memang ada suasana apatisme dalam masyarakat dalammeman<strong>dan</strong>g kebutuhan perjuangan <strong>HAM</strong> dalam kondisimendesaknya kebutuhan ekonomi. Juga ada keletihan mental padaLSM dalam memperpanjang harapan pada demokrasi yangsesungguhnya. Situasi kesulitan ekonomi global juga mempengaruhidukungan kelembagaan <strong>dan</strong> finansial dalam proyek <strong>HAM</strong> universal.Tetapi selalu ada imajinasi pada perubahan politik, justru padapuncak pelanggaran hak-hak paling dasar manusia. Karena itu,perubahan politik adalah kebutuhan terbaik untuk memungkinkan“kembalinya politik”. Yaitu mengembalikan etika publik ke dalamkehidupan bernegara. Infrastruktur <strong>HAM</strong> memerlukan lingkungankewarganegaraan yang sekuler. Kita tidak dapat mencicil perubahanitu dengan berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan advokasialternatif. Kita perlu menentukan titik balik demokrasi kita justru16


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011pada puncak penghinaan negara terhadap hak yang paling dasar dariwarga negara, yaitu kebebasan berkeyakinan. Kita boleh bernegosiasidalam soal-soal yang menyangkut penyediaan hak-hak ekonomikarena situasi global <strong>dan</strong> kondisi sumber daya nasional. Tetapiterhadap kemerdekaan pikiran <strong>dan</strong> keyakinan, tuntutan <strong>HAM</strong> adalahabsolut. Demikian juga kewajiban negara.17


Milisia Islamis, Demokrasi, <strong>dan</strong>Hak Asasi ManusiaNoorhaidi HasanAbstraksiPeriode paska luruhnya kekuasaan Orde Baru menjadi masa suburbertumbuhnya kelompok-kelompok Islamis. Mereka mengusung syariatIslam sebagai solusi atas pelbagai macam problem sosial-politik yangtak kunjung tuntas diselesaikan oleh demokrasi sekuler. Di tengahketidakjelasan arah transisi yang berjalan, kelompok-kelompok milisiaitu lantas tampil ke permukaan dengan mencoba menggantikan peranperannegara dalam menciptakan ketertiban sosial dengan jalanantidemokrasi, kekerasan, <strong>dan</strong> sektarian. Islam oleh kelompok milisia itudiseret menjadi tameng di arena politik kekuasaan. Berebut diskursusdominan dengan cara-cara yang kerap menodai demokrasi <strong>dan</strong> hak asasimanusia.Tumbangnya rezim otoriter Suharto pada 21 Mei 1998 membawaIndonesia pada transisi demokrasi yang penuh gejolak. Konflikkomunal berdarah meletus di beberapa kawasan diikuti munculnyaberbagai kelompok milisia Islamis, seperti Laskar Pembela Islam,Laskar Jihad, <strong>dan</strong> Laskar Mujahidin Indonesia. Mereka aktifberdemonstrasi memenuhi jalan-jalan menuntut penerapan syari'ahsecara menyeluruh, menggerebek kafe-kafe, diskotik, tempatperjudian, rumah pelacuran, <strong>dan</strong> sarang-sarang kemaksiatan lainnya,serta yang terpenting lagi, menyerukan jihad di Maluku, Poso <strong>dan</strong>daerah-daerah kacau lainnya di Indonesia. Melalui aksi-aksi ini,mereka mengkritik sistem politik, sosial, <strong>dan</strong> ekonomi yang ada, yangmereka anggap telah gagal menyelamatkan umat Islam Indonesia darikrisis yang terus berlangsung, sembari memperlihatkan tekad merekauntuk menempatkan diri sebagai pembela Islam yang terdepan.Selain ketiga kelompok tersebut, organisasi-organisasiIslamis lainnya aktif menuntut revitalisasi Khilafah Islamiyah <strong>dan</strong>19


FOKUSMILISIA ISLAMISmerespon berbagai isu transnasional, terutama seputar konflikPalestina-Israel, Afghanistan, <strong>dan</strong> Irak. Paling menonjol di antaramereka adalah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa MuslimIndonesia) <strong>dan</strong> HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). KAMMI berdirisebagai bagian dari perluasan penyebaran pengaruh IkhwanulMuslimin di Indonesia, yang awalnya berkembang di kampuskampusuniversitas dalam payung gerakan tarbiyah. SementaraHizbut Tahrir Indonesia tumbuh sebagai bagian dari gerakantransnasional Hizbut Tahrir yang berpusat di Timur Tengah.Kehadiran organisasi-organisasi tersebut melengkapi <strong>dan</strong>menggenapi perkembangan kelompok-kelompok vigilante jalananserupa yang dibentuk oleh partai-partai politik, organisasi-organisasimassa, <strong>dan</strong> rezim penguasa. Di antara kelompok-kelompok ini adalahBarisan Pemuda Ka'bah, Pam Swakarsa, Pendekar Banten, GerakanPemuda Islam (GPI), <strong>dan</strong> Front Hizbullah Bulan Bintang.Ekspansi kelompok-kelompok milisia Islamis di arena politikIndonesia tampak memperlihatkan a<strong>dan</strong>ya paradoks dalam dinamikatransisi <strong>dan</strong> demokratisasi pasca tumbangnya rezim Suharto.Liberalisasi <strong>dan</strong> demokratisasi yang berlangsung membukahambatan-hambatan yang selama ini membelenggu partisipasimasyarakat dalam politik. Namun hal yang sama memberikankesempatan kepada berbagai kelompok kepentingan untukmenyuarakan aspirasi-aspirasi <strong>dan</strong> identitas mereka di ruang publik.Dalam konteks inilah, kelompok-kelompok milisia Islamismuncul ke permukaan, berupaya mengklaim ruang dalam situasipolitik yang tengah berubah. Hanya saja, kehadiran kelompokkelompoksemacam ini sekaligus menghadirkan ancaman bagi prosesdemokratisasi itu sendiri. Wacana-wacana <strong>dan</strong> aksi yang merekakembangkan di ruang publik tidak saja mengingkari prinsip-prinsipdemokrasi, tetapi juga menggerogoti fondasi <strong>HAM</strong> yang se<strong>dan</strong>gtumbuh dalam atmosfer demokratisasi di Indonesia. Tulisan inibertujuan mengkaji eksistensi kelompok-kelompok milisia Islamisdari perspektif demokrasi <strong>dan</strong> <strong>HAM</strong>.Kelompok-kelompok Milisia IslamisLaskar Pembela Islam (LPI) merupakan divisi paramiliter dariorganisasi massa Islamis yang bernama Front Pembela Islam (FPI).Kelompok ini didirikan oleh Muhammad Rizieq Syihab (lahir 1965),20


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011bekerja sama dengan tokoh-tokoh lain di dalam jaringan keturunanHadrami (Arab) di Indonesia, di antaranya Idrus Jamilullail, Ali Sahil,Saleh al-Habsyi, Segaf Mahdi, Muhsin Ahmad Alatas, <strong>dan</strong> Ali binAlwi Ba'agil. 1Didirikan tanpa basis kelembagaan yang jelas, LPI diorganisirsecara bebas dengan keanggotaan yang terbuka. Kebanyakananggotanya berasal dari ikatan-ikatan pemuda masjid dari penjuruJakarta <strong>dan</strong> sejumlah madrasah ataupun pesantren di sekitar ibukota.Anggota-anggota biasa umumnya berlatar para pemudapengangguran, termasuk kelompok-kelompok preman. Pemimpinorganisasi itu mendorong para anggotanya untuk mendengarkanceramah-ceramah keagamaan rutin yang diberikan oleh Syihab, yangdengan konsisten selalu menekankan pentingnya jihad <strong>dan</strong> semangatmotto “hiduplah dengan mulia atau lebih baik mati sebagai syahid.”Dalam tempo singkat, LPI berhasil memperluas jaringannyake kota-kota di luar Jakarta, mengaku pada 2004 telah mendirikan 18cabang provinsi <strong>dan</strong> lebih dari 50 cabang kabupaten dengan puluhanribu simpatisan di seluruh Indonesia. Laskar terorganisir secara semimiliter<strong>dan</strong> mempunyai sistem stratafikasi yang berbeda yang disebutdengan istilah-istilah berbahasa Arab. Ia terbagi ke dalamjundi—istilah dari bahasa Arab jund yang secara harafiah berarti“prajurit”—yang sama dengan peleton-peleton, yang masing-masingterdiri dari 21 anggota. Setiap jundi dipimpin oleh seorang ra'is(kepala), yang berada di bawah seorang amir (koman<strong>dan</strong>). Para amirinilah yang pada praktiknya merupakan pemimpin LPI di tingkatkecamatan. Mereka berada di bawah qa'id (pemimpin), yangbertindak sebagai pemimpin di tingkat kabupaten, <strong>dan</strong> wali(pengawal), para pemimpin di tingkat provinsi. Seluruh wali itutunduk pada imam (kepala staf), orang kedua setelah panglima, yang2dikenal di kalangan anggota sebagai “imam besar.”Kemunculan LPI pertama kali dirasakan pada demonstrasimassa pada 17 Agustus 1998, ketika mereka secara terbukamenantang kelompok-kelompok yang menolak B.J. Habibie sebagaipengganti Suharto. Mereka merupakan kelompok yang paling aktifmelakukan apa yang disebut sebagai razia maksiat. Bersenjatakantongkat, para anggotanya berulang kali menyerang kafe-kafe,diskotik, tempat perjudian, <strong>dan</strong> rumah-rumah pelacuran sambilmeneriakkan slogan al-'amr bi'l-ma'ruf wa-l-nahy 'an al-munkar,1. M. Rizieq Syihab, Kyai Kampung: Ujung Tombak Perjuangan Umat Islam (Ciputat: Sekretariat FPI, 1999).2. Mengenai struktur lengkap organisasi Laskar Pembela Islam, lihat Front Pembela Islam, Struktur Laskar FPI(Jakarta: Sekretariat FPI, 1999).21


FOKUSMILISIA ISLAMISsebuah kalimat Qur'an yang bermakna “memerintahkan kebaikan <strong>dan</strong>melarang kemungkaran.”Dalam melakukan aksinya, anggota Laskar ini biasanyamengenakan baju serba putih, bergerak lambat menuju sasaransasarandengan menggunakan truk-truk terbuka. Kemudian merekadengan cepat membubarkan kegiatan-kegiatan apapun yang se<strong>dan</strong>gberlangsung <strong>dan</strong> menghancurkan apa saja yang mereka temukan disitu. Menariknya, tindakan penghancuran ini tidak mendapattantangan yang berarti dari aparat keamanan.Untuk menyuarakan tuntutan-tuntutan politik mereka secaralebih keras, berkali-kali LPI menggelar demonstrasi massa. Ketikamerayakan ulang tahunnya yang pertama pada Agustus 1999, ribuananggotanya bergerak ke gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR). Mereka membentangkan spanduk-spanduk <strong>dan</strong> poster-posteryang mendukung usulan dipilihnya kembali Habibie, sambil dengankeras <strong>dan</strong> tegas mengecam pencalonan Megawati Sukarnoputeri3sebagai presiden. Pada saat yang sama, mereka menuntut pemerintahmenghapus kebijakan mengenai asas tunggal, yang mengharuskanseluruh organisasi sosial politik menerima Pancasila, ideologi negara,sebagai satu-satunya dasar eksistensi organisasi. Mereka bahkanmenuntut agar MPR memberlakukan Piagam Jakarta, yang pernahhendak dijadikan sebagai preambule Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Dasar 1945. 4Dalam suatu kesempatan, anggota-anggota LPI menyerangKomisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas <strong>HAM</strong>), yang merekaanggap bertindak tidak adil terhadap umat Islam <strong>dan</strong> lebih mengasihikalangan Kristen. Pada saat itu, Komisi tersebut se<strong>dan</strong>g melakukanpenyelidikan terhadap aksi-aksi masa lalu sejumlah jenderalAngkatan Darat, terutama Menteri Pertahanan Wiranto, yang dituduhtelah melakukan pelanggaran hak asasi selama operasi-operasimiliter di Timor Timur. Sekali waktu Laskar tersebut mendudukiKantor Pemda DKI Jakarta <strong>dan</strong> memaksa Gubernur Sutiyoso untukmembatasi jam-jam operasi pusat-pusat hiburan yang ada di seluruhpelosok ibukota Indonesia itu. Mereka bahkan melemparkanultimatum yang menuntut gubernur untuk segera menutup diskotikdiskotik.5Laskar juga terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi antipornografi<strong>dan</strong> bahkan mengerahkan anggotanya untuk menyerangkantor majalah Playboy Indonesia. Dalam peristiwa lain yang3. Mengenai penolakan mereka terhadap pencalonan Megawati Soekarno Puteri, lihat Front Pembela Islam,Maklumat Front Pembela Islam Mengenai Presiden Wanita (Jakarta: Front Pembela Islam, 2001).4. Mengenai usulan FPI berkaitan dengan pemberlakuan Piagam Jakarta, lihat M. Rizieq Syihab,Dialog Piagam Jakarta: Kumpulan Jawaban Sekitar Keraguan terhadap Penegakan Syari'at Islam di Indonesia(Jakarta: Pustaka Ibnu Sidah, 2000).5. Lihat Front Pembela Islam, Satu Tahun Front Pembela Islam: Kilas Balik Satu Tahun FPI (Jakarta: Sekretariat FPI, 1999).22


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011menarik perhatian banyak kalangan, Laskar Pembela Islam bertindaksebagai tulang punggung penyerangan terhadap massa AKKBB(Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama <strong>dan</strong> Berkeyakinan)pada 1 Juni 2008. Ketika itu, mereka bergerak di bawah benderaLaskar Komando Islam yang dipimpin Munarman, menghalaudengan tongkat, kayu <strong>dan</strong> tangan, massa AKKBP yangberdemonstrasi di sekitar Monas untuk membela Ahmadiyah.Sifat keanggotaan Laskar Pembela Islam yang longgar jelasberbeda dengan Laskar Jihad. Yang terakhir adalah kelompok milisiaIslamis yang menyatukan para pemuda yang menyebut diri mereka“Salafi,” pengikut Salaf al-Shalih yang artinya para pendahulu yangshaleh. Kelompok ini aktif di bawah organisasi payung ForumKomunikasi Ahlus Sunnah wal Jama'ah (FKAWJ), yangpendiriannya secara resmi dicanangkan di dalam acara tabligh akbar6yang diadakan di Yogyakarta pada Januari 2000. Sebelum resmiberdiri, FKAWJ sebenarnya sudah ada. Ia berkembang dari Jama'ahIhyaus Sunnah, yang pada dasarnya merupakan gerakan dakwah yangberfokus pada pemurnian iman <strong>dan</strong> integritas moral pribadi-pribadi.Laskar Jihad didirikan oleh Ja'far Umar Thalib (lahir 1961)<strong>dan</strong> beberapa tokoh terkemuka di dalam jaringan Salafi lainnya, diantaranya Muhammad Umar As-Sewed, Ayip Syafruddin, <strong>dan</strong> Ma'rufBahrun. Laskar Jihad didirikan sebagai perluasan dari Divisi KhususFKAWJ, yang markasnya berpusat di Yogyakarta, dengan kantorkantorcabang di tingkat kabupaten <strong>dan</strong> provinsi tersebar hampir diseluruh provinsi di Indonesia. Divisi ini awalnya dibangun sebagaisuatu unit keamanan FKAWJ, terutama untuk mengamankankegiatan-kegiatan umum mereka.Laskar Jihad terdiri dari satu brigade yang dibagi ke dalambatalyon-batalyon, kompi, peleton, <strong>dan</strong> regu-regu, plus satu seksiintelejen. Persis layaknya sebuah organisasi militer. Empatbatalyonnya mengambil nama empat khalifah, yakni Abu Bakar al-Shiddiq, 'Umar bin Khattab, 'Utsman bin 'Affan, <strong>dan</strong> 'Ali bin AbiThalib. Setiap batalyon mempunyai empat kompi, setiap kompimemiliki empat peleton, <strong>dan</strong> setiap peleton memiliki empat regudengan 11 anggota. Thalib sendiri dipilih sebagai koman<strong>dan</strong> <strong>dan</strong>dibantu oleh sejumlah koman<strong>dan</strong> lapangan. Simbol kelompok iniadalah dua pe<strong>dan</strong>g bersilang di bawah tulisan “La ilaha illa Allah,7Muhammad Rasul Allah.”6. Istilah tablig akbar berasal dari dua kata Arab–tabligh <strong>dan</strong> akbar—yang secara harafiah bermakna masing-masing”penyampaian pesan” <strong>dan</strong> ”besar.”7. Kalimat ini dikenal sebagai syahadat atau syahadatain, yang berarti pengakuan Islam terhadap iman. Lihat D. Mimaret,”Shahada,” The Encyclopedia of Islam, vol. IX (Leiden: Brill, 1997), hal. 201.23


FOKUSMILISIA ISLAMISLaskar Jihad menarik perhatian publik ketika merekamenggelar pertemuan spektakuler di Stadion Utama Senayan Jakartapada awal April 2000. Diikuti oleh sekitar sepuluh ribu peserta,pertemuan ini mengecam “bencana” menyedihkan yang menimpaorang-orang Islam Maluku, yang dianggap se<strong>dan</strong>g menghadapiancaman genosida. Untuk menjawab ancaman itu, Thalibmenyatakan perlunya jihad. Ia secara terbuka mendesak umat IslamIndonesia untuk berdiri bahu-membahu dengan saudara-saudaraMuslim mereka di Maluku untuk mengangkat senjata melawanmusuh-musuh Kristen.Selanjutnya, ia mendirikan kamp pelatihan paramiliter diBogor, yang terletak di selatan Jakarta. Latihan paramiliter terpadu itudiorganisir di bawah supervisi para mantan anggota resimenmahasiswa universitas (Menwa) <strong>dan</strong> para veteran perang Afghan,Moro, <strong>dan</strong> Kasmir. Menurut laporan, latihan itu juga melibatkanbeberapa personil tentara.Pada kenyataannya, Laskar Jihad muncul sebagai organisasimilisia Islamis terbesar <strong>dan</strong> paling terorganisir yang mengirimkanpara sukarelawan jihad ke Maluku. Mereka mengaku telahmemberangkatkan lebih dari tujuh ribu pejuang selama lebih dari duatahun. Kehadiran para sukarelawan ini, yang disebar di berbagaiwilayah yang berbeda untuk melawan orang-orang Kristen, tak ayallagi telah mengubah peta konflik komunal di kepulauan itu. Dibakaroleh semangat jihad yang mereka kobarkan, kaum Muslim Malukutampil lebih agresif melakukan penyerangan terhadap orang-orangKristen, dengan keyakinan bahwa saatnya telah tiba untuk menuntutbalas.Untuk memperkokoh kehadirannya di kepulauan Maluku,Laskar Jihad juga memperhatikan masalah-masalah sosial kawasanitu <strong>dan</strong> menyebarkan ajaran-ajaran agama. Mereka bukan hanyamendirikan taman kanak-kanak Islam, sekolah-sekolah dasar Islamterpadu, <strong>dan</strong> kursus-kursus baca Qur'an, tapi juga berkunjung darirumah ke rumah untuk berdakwah secara langsung. Belakanganmereka memperluas titik-titik operasi jihad mereka denganmengirimkan ratusan pejuang ke Poso, Sulawesi Tengah. Meskipunusaha ini gagal, para pejuangnya bahkan juga sempat ingin mendaratdi Papua Barat <strong>dan</strong> Aceh.Sebagaimana Laskar Pembela Islam, Laskar Jihad berkali-24


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011kali mendorong kerusuhan-kerusuhan jalanan. Atas nama penerapansyari'at Islam, anggota-anggotanya menyerang kafe-kafe, rumahrumahpelacuran, <strong>dan</strong> tempat-tempat perjudian di sejumlah kota.Ketika seruan penerapan syari'at Islam telah bergema ke seluruhpenjuru tanah air, mereka bahkan menjalankan hukum rajam kepadaseorang pejuang yang telah melakukan perkosaan. Mereka juga terjunke jalan-jalan untuk memprotes beberapa kebijakan AbdurrahmanWahid, seperti usulannya untuk mencabut Ketetapan MPR yangmelarang PKI (Partai Komunis Indonesia). Laskar Jihad yakin bahwaWahid telah gagal menjalankan tugasnya sebagai pemimpin Muslim<strong>dan</strong> telah membuat negerinya terjebak dalam konspirasi yangdirancang pihak Barat <strong>dan</strong> Zionis.Kelompok milisia Islamis lain, Laskar Mujahidin Indonesia,merupakan organisasi yang terakhir muncul <strong>dan</strong> mungkin palingmilitan di Indonesia pasca-Orde Baru. Ia merupakan aliansi yanglonggar dari sekitar lusinan organisasi paramiliter Muslim kecil yangtersebar di kota-kota seperti Solo, Yogyakarta, Kebumen,Purwokerto, Tasikmalaya, <strong>dan</strong> Makassar. Organisasi-organisasi yangmenjadi anggotanya tercatat, antara lain, Laskar Santri, LaskarJundullah, Kompi Badar, Brigade Taliban, Korps Hizbullah DivisiSunan Bonang, Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), <strong>dan</strong> PasukanKomando Mujahidin.Laskar Mujahidin berada di bawah organisasi payung MajelisMujahiddin Indonesia, yang didirikan sebagai hasil keputusan dariapa yang disebut sebagai “Kongres Mujahiddin Indonesia I,” diYogyakarta pada Agustus 2000. Sekitar dua ribu peserta mengikutikongres itu. Di antara mereka saya lihat para anggota dari kelompokkelompokdi atas yang dengan bangga memakai baju seragam merekamasing-masing <strong>dan</strong> menjaga pintu masuk ke kongres.Pada waktu itu, seluruh pembicaraan peserta tersedot padasatu tema utama: penerapan syari'ah sebagai suatu aksi yang pentinguntuk mengatasi masalah-masalah <strong>dan</strong> konflik-konflik yangmenghancurkan Indonesia. Di dalam konteks ini, dibicarakan jugagagasan-gagasan pemikiran mengenai khilafah Islamiyah, imamah,8<strong>dan</strong> jihad. Kongres itu menghasilkan suatu piagam yang disebutPiagam Yogyakarta, yang menegaskan penolakan atas semuaideologi yang melawan <strong>dan</strong> bertentangan dengan Islam <strong>dan</strong>keputusan untuk terus mengajarkan <strong>dan</strong> melakukan jihad demi8. Risalah Kongres Mujahidin I <strong>dan</strong> Penegakan Syari'ah Islam (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001).25


FOKUSMILISIA ISLAMIS9kejayaan Islam.Kongres dimulai pada 5 Agustus 2000 <strong>dan</strong> berakhir dua harikemudian. Tanggal ini tampaknya bukanlah kebetulan. Pada tanggalyang sama limapuluh satu tahun sebelumnya, S. M. Kartosuwiryomemproklamasikan Negara Islam Indonesia, sebuah negara Islammerdeka di dalam wilayah Indonesia. Peristiwa dramatik inimengawali pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat <strong>dan</strong> kemudian10menjalar ke Aceh, Sulawesi Selatan, <strong>dan</strong> Kalimantan Selatan.Terinspirasi oleh semangat pemberontakan untuk mendirikannegara Islam itu, apa yang disebut gerakan Negara Islam Indonesia(NII) muncul di tahun 1970-an. Gerakan bawah tanah ini hadir untukmenarik kalangan radikal lain yang tidak puas dengan pemerintahuntuk masuk ke dalam orbitnya, dengan membentuk kelompokkelompokkecil yang disebut usrah (Ar. 'usra, secara harafiah berarti“keluarga”) di berbagai kota dengan nama-nama berbeda, sepertiJama'ah Islamiyah di Solo, Generasi 554 di Jakarta, <strong>dan</strong> NII Cirebon11di Cirebon.Majelis Mujahidin Indonesia merekrut sejumlah tokohterkemuka dari berbagai organisasi Islam <strong>dan</strong> partai politik, diantaranya Deliar Noer, Mochtar Naim, Mawardi Noor, Ali Yafie,Alawi Muhammad, Ahmad Syahirul Alim, <strong>dan</strong> A.M. Saefuddin.Mereka dipilih sebagai anggota ahl- al-hall wa'l-'aqd, yang secaraharafiah berarti “orang yang mempunyai wewenang untuk tidakmengikat <strong>dan</strong> mengikat,” suatu ba<strong>dan</strong> tertinggi dari organisasi ituyang mirip dengan dewan penasehat. Dewan ini dipimpin oleh AbuBakar Ba'asyir, yang bergelar Amirul Mujahidin yang secara harafiahbermakna “pemimpin para pejuang suci”.Ba'asyir adalah salah satu tokoh gaek keturunan Hadrami,yang bekerja sama dengan Abdullah Sungkar, mendirikan PesantrenAl-Mukmin, sebuah sekolah Islam konservatif, di Ngruki, Solo, Jawa12Tengah, tahun 1972. Keduanya pernah ditangkap pada November1978 karena diduga bertindak sebagai pemimpin Jama'ah Islamiyah,<strong>dan</strong> setelah sempat dibebaskan melarikan diri ke Malaysia untukmenghindari hukuman penjara di tahun 1985. Pada kongres itu,9. Majelis Mujahidin Indonesia, Piagam Yogyakarta (Yogyakarta: Majelis Mujahidin Indonesia, 2000).10. Mengenai pemberontakan ini, lihat Hiroko Horikoshi, “The Dar-ul-Islam Movement of West Java (1942-62: AnExperience in the Historical Process,” Indonesia 20 (Oktober 1975): 59-86; <strong>dan</strong> C. van Dick, Rebellion under theBanner of Islam: The Darul Islam in Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981).11. Untuk suatu tinjauan mengenai gerakan NII, lihat June Chandra Santosa, “Modernization, Utopia, and the Rise ofIslamic Radicalism in Indonesia” (PhD Dissertation, Boston University, 1996), appendix 3; lihat juga Martin vanBruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia.” Southeast Asian Research 10, 2 (2002).12. Mengenai profil pesantren ini, lihat misalnya Zuli Qodir, Ada Apa dengan Pesantren Ngruki (Yogyakarta: PondokEdukasi, 2003), <strong>dan</strong> E. S. Sopriyadi, Ngruki <strong>dan</strong> Jaringan Terorisme (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003). Cf. SidneyJones, “Al-Qaeda in Southeast Asia: The Case of the 'Ngruki Network' in Indonesia,” Asia Report 42 (Jakarta/Brussels: International Crisis Group, 2002).26


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Ba'asyir menyatakan bahwa penerapan syari'ah sangat mendasar <strong>dan</strong>13berpendapat bahwa penolakannya harus dilawan dengan jihad.Kongres itu sendiri diprakarsai oleh Irfan S. Awwas, Ketua DewanTanfidziyah majelis tersebut.Seruan-seruan untuk berjihad di Maluku <strong>dan</strong> wilayahwilayahkonflik lainnya juga menjadi agenda Laskar Mujahidin. Yangberbeda dengan Laskar Jihad, Laskar Mujahidin lebih senang bekerjasecara rahasia dalam unit-unit kecil yang terlatih <strong>dan</strong> handal. Jikapublisitas menjadi perhatian Laskar Jihad, Laskar Mujahidinmeletakkan tekad untuk menghancurkan musuh-musuh Islamsebagai prioritas.Pada kenyataannya, Laskar Mujahidin tidak berjalansehaluan dengan Laskar Jihad. Untuk menjamin sukses operasioperasijihadnya di kepulauan itu, Laskar Mujahidin dilaporkanmenerima senjata-senjata canggih dari berbagai kelompok milisi diluar Indonesia, seperti kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. BagiLaskar Mujahidin, jihad di Maluku <strong>dan</strong> wilayah-wilayah kacaulainnya hanyalah latihan biasa untuk jihad yang sesungguhnya14melawan taghut, “tiran-tiran penindas.”Islamisme <strong>dan</strong> DemokrasiMunculnya kelompok-kelompok milisia seperti yang sudahdipaparkan di atas jelas merupakan pertanda kuat bagi ekspansiIslamisme di dalam landskap politik Indonesia pasca-Suharto.Islamisme merupakan konsep analitik yang ditawarkan sebagaialternatif atas konsep serupa yang dipan<strong>dan</strong>g bias, tapi masihdigunakan banyak kalangan. Contohnya antara lain“Fundamentalisme Islam”, Ekstremisme Islam”, “Islam Militan”,“Islam Politik”, <strong>dan</strong> “Nasionalis Keagamaan”.Garis demarkasi dalam konsep Islamisme memang lebih jelasjika dibandingkan dengan konsep lainnya itu yang pengertiannyakerap kabur. Sebagaimana dikemukakan Roy (1996), Islamismemengandung makna suatu gerakan sosial-politik yang dibangun diatas landasan Islam yang didefinisikan lebih sebagai ideologi politikketimbang agama. Definisi Roy mengajukan dua unsur palingpenting bagi Islamisme; sebagai gerakan yang bertujuan mendirikannegara Islam <strong>dan</strong> yang membangun legitimasinya dari al-Quran <strong>dan</strong>15Sunnah. Sayyid (1997) mengkritik Roy karena definisinya13. Awwas, Risalah Kongres Mujahidin I, hal. 139.14. Wawancara dengan Irfan S. Awwas, Yogyakarta, Oktober 2001. Istilah ”taghut” ini, semula merujuk pada pengertiandewa-dewa Arab pra-Islam, tetapi kemudian fokusnya telah meluas, sehingga sekarang ia bisa berarti setan, penyihir, <strong>dan</strong>pemberontak, serta kekuatan apapun yang memusuhi Islam. Lihat F. H. Stewart, ”Thagut,” The Encyclopedia of Islam,vol. X (Leiden: Brill, 2000), hal. 93-95.15. Oliver Roy, The Failure of Political Islam, terjemahan Carol Volk (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996),hal. 39.27


FOKUSMILISIA ISLAMISdipan<strong>dan</strong>g terlalu sempit <strong>dan</strong> mengabaikan mereka yang bermimpimendirikan negara Islam secara bertahap (the bottom up) dengan16terlebih dahulu mengislamkan masyarakat pada aras akar-rumput.Alasan lainnya bagi kelemahan definisi Roy adalahketidakjelasannya mempertimbangkan unsur gagasan tentangkemurnian (purity) <strong>dan</strong> perlunya mempertahankan batas yang tegasantara 'dirinya' (we) <strong>dan</strong> 'yang lainnya' (the others) yang melekat17dalam Islamisme.Namun jangan dibayangkan Islamisme sebagai gerakan statisyang terkunci dalam perjuangan mendirikan negara Islam. Catatansejarah di berbagai kawasan dunia Islam menunjukkan Islamismemerupakan gerakan yang sangat dinamis, tumbuh <strong>dan</strong> bergerakmengikuti konteks <strong>dan</strong> dinamika politik, sosial, ekonomi <strong>dan</strong> budayadi suatu negara. Poros pergerakannya berada di antara dua titik;radikalisasi <strong>dan</strong> moderasi.Perasaan terancam <strong>dan</strong> frustrasi yang berkepanjanganmenghadapi struktur politik yang represif dapat membawa Islamismeke titiknya yang ekstrem; radikalisme Islamis yang mengesahkanpenggunakan taktik kekerasan untuk memperjuangkan tujuan.Pilihan taktik kekerasan biasanya ditentukan oleh tingkat represiyang diterapkan negara, di satu sisi, <strong>dan</strong> struktur kesempatan politik,di sisi lain. Represi yang tanpa pan<strong>dan</strong>g bulu (indiscriminate)biasanya mengesahkan kerangka anti sistem (anti-system frame)kaum Islamis untuk melawan penguasa dengan kekerasan. Namunstruktur politik terbuka, yang terjadi ketika negara dalam keadaanlemah, juga dapat mendorong kaum Islamis untuk menggunakantaktik kekerasan.Wacana tentang keharusan segera beralih kepada sistemIslami menemukan konteks <strong>dan</strong> keabsahannya ketika berhadapandengan negara lemah yang terancam gagal. Situasi politik pascatumbangnyarezim Suharto secara nyata memperlihatkan kelemahan<strong>dan</strong> sekaligus kegagalan sistem sekular negara-bangsa, hal yangmenjelaskan mengapa kelompok-kelompok milisia Islamis munculdalam situasi transisional itu.Dengan melakukan aksi-aksi radikal, kelompok-kelompokmilisia Islamis tidak hanya menyalakan tanda bahaya yang menandaipenyebaran sejenis militansi <strong>dan</strong> kekerasan swasta ini, tetapi jugamenentang legitimasi sistem sekuler yang diadopsi oleh negara16. Bobby Sayyid, A Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of Islamism (London: Zed Books, 1997),hal. 158.17. Untuk diskusi di seputar konsep ini, lihat Irfan Ahmad, Islamism and Democracy in Indonesia;The Transformation of Jamaat-e-Islami (Princeton: Princeton University Press, 1999), hal. 4-5.28


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Indonesia, yang mereka persepsikan sebagai perluasan hegemoniBarat yang bertanggung jawab terhadap krisis ekonomi politik yangterus berlangsung. Sembari mengecam sistem pemerintahanIndonesia, mereka menawarkan syari'ah sebagai dasar alternatifnegara <strong>dan</strong> menekankan keunggulannya terhadap sistem-sistem lainapapun. Dengan melakukan itu, mereka mencoba untuk membawaIslam ke tengah-tengah me<strong>dan</strong> diskursif untuk bersaing melawanideologi-ideologi yang lain. Baik secara samar maupun terbuka,mereka berbagi mimpi untuk melihat Islam berlaku tidak hanyasebagai agama, tetapi juga sebagai sistem politik, sosial, ekonomi,budaya, <strong>dan</strong> seterusnya.Ledakan Islamisme di arena politik Indonesia pasca-Suhartomendapat perhatian banyak pengamat dalam maupun luar negeri.Alasan utamanya adalah karena hal itu terjadi di Indonesia, negeriMuslim terbesar di dunia, yang secara umum diasosiasikan denganbentuk Islam yang damai <strong>dan</strong> toleran. Keunikan ini seringdihubungkan oleh para sejarawan dengan cara Islam yangberkembang secara pelan dari daerah-daerah pantai ke pedalaman<strong>dan</strong> menggantikan karakter Hindu <strong>dan</strong> Budha dari rezim-rezim yangmenguasai wilayah-wilayah kerajaan ini. Dalam proses adaptasi,beberapa unsur budaya lokal dimasukkan ke dalam sistem18kepercayaan baru. Tidak mengejutkan, sekalipun tanda-tandavitalitas ini telah terlihat dalam dua dekade terakhir, arus pemikiranpemikiranyang mendukung pluralisme keagamaan, demokrasi, <strong>dan</strong>partisipasi publik yang luas untuk perempuan tetap berpengaruh diseluruh negeri. Beberapa sarjana melihat Indonesia sebagai suatunegeri yang terus berkembang menjadi negara-bangsa yang paling19pluralistik <strong>dan</strong> bersahabat dengan demokrasi di seluruh dunia Islam.Sementara mengakui bahwa ada banyak kemungkinanpenjelasan yang saling tumpang-tindih terhadap perkembangan ini,kenyataan bahwa kelompok-kelompok itu muncul ke permukaanpada saat transisi harus digarisbawahi secara khusus. GuillermoO'Donnel <strong>dan</strong> Philippe C. Schmitter berpendapat bahwa transisiadalah suatu masa yang tipikal di mana pakem-pakem relasi yang adadi dalam suatu masyarakat mencair <strong>dan</strong> berubah karena wacana18. Ada berlimpah literatur mengenai awal mula <strong>dan</strong> perluasan Islam di Nusantara. Lihat, sebagai contoh, G. W. J.Drewes, ”New Light on the Coming of Islam to Indonesia?,” Bijdragen to de Taal-, Land- en Volkenkunde, 124, 4(1968): 433-59; A. H. Johns, “Islam in Southeast Asia: Reflections and New Directions,” Indonesia 19 (1975): 33-35;Martin van Bruinessen, “The Origins <strong>dan</strong>d Development of Sufis Orders (Tarekat) in Southeast Asia,” StudiaIslamika 1,1 (1994): 1-25; <strong>dan</strong> Peter Riddle, Islam and the Malay-Indonesian: Transmissions and Responses(London and Singapore: C. Hurst and Horizon Books, 2001).19. Lihat Robert W. Hefner, “Islamization and Democratization in Indonesia, dalam Islam in an Era of Nations-States, ed.Robert W. Hefner and Patricia Horvatich (Honolulu, HI: University of Hawai'i Press, 1997), hal. 75-206; Anders Uhlin,Indonesia and the “Third Wave of Democratization”: The Indonesia Pro-Democracy Movement in a Changing World(London: Curzon, 1997); <strong>dan</strong> Taufik Abdullah, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia(Bandung: Mizan, 1998).29


FOKUSMILISIA ISLAMIShegemonik yang dikontrol oleh negara telah mengalami fragmentasi.Ada banyak kemungkinan yang terjadi di seputar gejala ini, termasukmunculnya situasi kacau yang memberi jalan untuk kembalinyapemerintahan otoritarian. Meskipun demokrasi dalam beberapa halmewujud, ia kemudian diikuti oleh ketidakpastian, karena aturanaturanpermainan terus berubah. Para pemain di dalam era transisitidak bisa bekerja sekadar memenuhi ambisi-ambisi politik sesaatmereka, tapi juga untuk menerapkan kontrol terhadap negara. Didalam konteks ini, transisi, sebagaimana diungkapkan dua teoritisipolitik di atas, sering mendorong terbentuknya struktur koalisi yangmenghubungkan antara “individu-invidu tela<strong>dan</strong>” (exemplaryindividuals) dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang20mewakili massa yang luas.Melihat konteks transisional yang melatari kemunculankelompok-kelompok milisia Islamis di Indonesia ini, hampir adakonsensus di kalangan para pengamat <strong>dan</strong> analis Indonesia bahwafenomena ini merupakan bentuk sindikalisme politik khas Indonesiayang terkait secara eksklusif dengan manuver-manuver faksi elitedominan yang ingin melindungi kepentingan-kepentingan politikmereka berhadapan dengan kalangan oposisi. Para pengamatbiasanya mempersepsikan kelompok-kelompok ini sebagai alat yang21dipakai oleh para manipulator politik yang licik. Tentu, spekulasispekulasisemacam ini tidak bisa diabaikan begitu saja <strong>dan</strong> ada lebihdari cukup fakta yang menegaskan kemungkinannya. Kendatidemikian, saya berpendapat isu-isu yang rumit ini <strong>dan</strong> dasar-dasarproblemnya tidak bisa dijelaskan atau dipahami semata-mataberdasarkan teori konspirasi demikian. Hal yang sama berlaku bagipengamatan yang tidak kritis yang menafsirkan pertumbuhankelompok-kelompok ini sebagai perluasan dari ekspansi terorismeglobal. Pengamatan demikian cenderung mengabaikan dinamikainternal kelompok-kelompok tersebut berkaitan dengan perubahanpolitik, sosial, <strong>dan</strong> budaya setempat.Faktanya, krisis ekonomi Asia pada 1997 yang dampaknyalangsung menggerogoti nilai mata uang rupiah <strong>dan</strong> menyebabkaninflasi, PHK besar-besaran, <strong>dan</strong> pengangguran memicuketidakpercayaan meluas terhadap sistem sekular negara-bangsa <strong>dan</strong>rezim penguasa otoriter yang menopang kelangsungan sistem itu.Krisis kepercayaan semacam ini menjadi pra-kondisi bagi20. Guillermo O'Donnel <strong>dan</strong> Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions aboutUncertain Democracies (Baltimore, MD, and London: John Hopkins University Press, 1986), hal. 48-56; lihat jugaJuan J. Linz and Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, SouthAmerica, and Post-Communist Europe (Baltimore, MD, and London: The Johns Hopkins University Press, 1996).21. Lihat, sebagai contoh, Damien Kingsbury, The Politics of Indonesia, edisi ke-3. (Oxford: Oxford University Press,2005), hal. 218-29.30


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011meletusnya konflik komunal yang terjadi di berbagai kawasanIndonesia. Banyak kalangan menuntut hak-hak tradisional <strong>dan</strong>berupaya memposisikan ulang diri <strong>dan</strong> identitas mereka yang telahdirenggut otoritarianisme dalam sistem sekular negara-bangsa.Sebagai konsekuensinya, kelompok-kelompok berbasis etnik <strong>dan</strong>agama, komunitas-komunitas lokal, <strong>dan</strong> asosiasi-asosiasi berkarakterprimordial bermunculan. Perbenturan antar berbagai kepentinganmenjadi tak terelakkan. Aparatus negara yang kehilangan pegangansebagai konsekuensi tumbangnya sebuah tatanan politik otoritertampak tidak berdaya meredam gejolak <strong>dan</strong> konflik-konflik tersebut.Bagi kaum militan Islamis, semua gejala di atas menjadi alasan untukmenawarkan Islam sebagai solusi, tak terkecuali dalam soalkeamanan. Terjadinya konflik-konflik komunal <strong>dan</strong> tersebarnyapatologi-patologi sosial dirasakan mengancam eksistensi masyarakatMuslim Indonesia yang merupakan mayoritas. Dengan alasan inilahmereka memobilisasi diri ke dalam bentuk organisasi milisia, tampilmengambil alih 'tugas' negara. Kekerasan tadinya hanya sah jikadigunakan oleh negara demi melindungi warga masyarakatnya dariberbagai ancaman. Namun bagi kaum militan Islamis, kegagalannegara melindungi warga masyarakat dari dampak krisis-krisis di atasmendeligitimasi keabsahaannya memonopoli penggunaan kekerasantersebut.Usaha kaum militan Islamis yang tergabung dalamkelompok-kelompok milisia ini untuk menswastanisasi kekerasanatas nama agama berkorelasi dengan penolakan mereka terhadapdemokrasi. Mereka umumnya berkeyakinan bahwa diterimanyademokrasi merupakan penyebab utama krisis menyeluruh yangmenimpa bangsa Indonesia. Bagi mereka, semua kekuasaan hanyalahmilik Allah sebagai penguasa tunggal yang harus dipatuhi semuamakhluk. Konsekuensinya, umat Islam dilarang mematuhi kehendakmayoritas rakyat karena sebagian besar dari mereka berada dalamkesesatan. Dalam pan<strong>dan</strong>gan mereka, demokrasi merupakan suatucara pemerintahan yang prinsip-prinsipnya bertentangan denganIslam. Demokrasi dianggap sebagai ajaran sekuler yang potensialmenimbulkan kerusuhan <strong>dan</strong> kerusakan bagi umat Islam. Di balikpenolakan terhadap demokrasi tersimpan gagasan tentang negaraIslam yang dibayangkan sebagai suatu sistem di mana legitimasipenguasa didasarkan hanya pada kekuasaan mutlak Allah, atau31


FOKUSMILISIA ISLAMISdengan kata lain, berdasarkan pada prinsip syariah.Penolakan kaum militan Islamis terhadap demokrasisebagaimana terlihat dari wacana di atas sebenarnya lebih merupakanrespons terhadap kekhawatiran mereka yang meningkat akankembalinya sistem politik yang represif <strong>dan</strong> menindas. Ingatanmereka kembali ke masa-masa kejayaan rezim Suharto yang denganmudah melabel kelompok-kelompok penentangnya dengan label”ekstrem kiri” atau ”ekstrem kanan” atas nama penegakan demokrasiPancasila. Demokrasi yang merupakan sistem pemerintahan sekulerdipan<strong>dan</strong>g terlalu mudah dimanipulasi oleh segelintir elite penguasauntuk kepentingan kekuasaan mereka. Otokrasi ditawarkan sebagaialternatif karena sifatnya yang sakral <strong>dan</strong> transendental. Dalam logikakaum militan Islamis, sakralitas <strong>dan</strong> transendensi semacam itumenutup kemungkinan manipulasi kekuasaan oleh elite penguasa.Dengan kata lain, campur tangan Tuhan diharapkan untukmembersihkan sistem kekuasaan politik sekuler yang manipulatif.Ambivalensi Negara <strong>dan</strong> <strong>HAM</strong>Akan tetapi, strategi diskursif kaum militan Islamis memperlihatkanparadoksnya yang nyata ketika mereka tampil menggelar aksi-aksikekerasan atas nama agama. Jelas, tidak ada satupun alasan yangdapat membenarkan kelompok-kelompok itu memobilisasi paraanggotanya untuk menggelar operasi jihad melawan kelompokKristen di kawasan-kawasan konflik pasca-Suharto atau sekadarmenggelar aksi-aksi razia terhadap sasaran-sasaran tertentu yangdianggap sebagai sarang kemaksiatan <strong>dan</strong> penyerangan terhadapkelompok-kelompok minoritas. Aksi-aksi mereka yang jelasmelabrak rambu-rambu kebebasan beragama telah kerap terjadi <strong>dan</strong>bahkan hingga kini masih terjadi.SETARA Institute mencatat bahwa aksi pelanggaran terhadapkebebasan beragama yang melibatkan kelompok-kelompok itu terusmeningkat dari 135 pada tahun 2007 menjadi 286 pada tahun 2010,22yang membuktikan kegagalan negara mengawal pluralisme.Belakangan, aksi kekerasan paling fenomenal yangmelibatkan kelompok-kelompok milisia Islamis berlangsungterhadap para pengikut Ahmadiyah. Bekerjasama dengan organisasiorganisasiIslam garis keras lainnya, mereka menyerang masjid,22. Lihat Setara Institute, “Grafik Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2007-2010,”http://www.setara-institute.org/content/grafik-laporan-pelanggaran-kebebasan-beragamaberkeyakinan-2007-2010.32


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011sekolah <strong>dan</strong> perkampungan Ahmadiyah di berbagai kawasanNusantara. Aksi-aksi itu tidak hanya mengganggu keterlibatan umum<strong>dan</strong> melanggar rambu-rambu <strong>HAM</strong>, tetapi juga telah melukaisemangat kebhinekaan yang telah dibangun bersama. Dampak yangditimbulkan oleh aksi-aksi kekerasan itu juga menggerus kohesisosial masyarakat Indonesia <strong>dan</strong> bahkan mengancamkeberlangsungan sistem sekuler NKRI.Menariknya, aksi-aksi anarkis tersebut dilakukan olehkelompok milisia Islamis dengan berlindung di balik SKB tigamenteri No 5/2008 yang memaksa Ahmadiyah kembali kepada jalanIslam 'yang benar' atau berdiri sebagai agama tersendiri. PersoalanAhmadiyah dalam produk kebijakan negara ini didudukkan ke dalamranah penodaan agama (blasfemi) sebagaimana diatur dalamPeraturan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diun<strong>dan</strong>gkanmelalui UU No 5/1969. Kekerasan yang timbul karena masalah inikemudian menjadi absurd.Menghadapi persoalan aksi-aksi kekerasan atas nama agamayang semakin meningkat ini, pemerintah memang terlihat masihgamang. Peran yang harus dimainkan negara sebagai pengawalkebinnekaan tampak terabaikan. Aparatus negara kehilanganpegangan di tengah hiruk-pikuk <strong>dan</strong> mobilisasi politik di erademokrasi elektoral yang menghidupkan simpul-simpul ikatanloyalitas tradisional. Konsekuensinya, respon-respon yang diberikanumumnya bersifat ad-hoc <strong>dan</strong> tambal-sulam. Setidaknya belum adagrand-strategy yang dirumuskan untuk menjawab persoalanmeluasnya aksi-aksi kekerasan atas nama agama.Bagi SETARA Institute, meluasnya aksi-aksi kekerasan atasnama agama semacam ini bahkan sebenarnya disebabkan bukan sajakelalaian negara (by omission; tindakan membiarkan) tapi jugaketerlibatan negara di dalam mendorong aksi-aksi itu (bycommission; tindakan aktif negara), dengan mengeluarkan produkprodukhukum yang ambivalen, sebagaimana terlihat dalam kasusSKB 3 menteri yang disinggung di atas.Akar persoalan lainnya terletak dalam kegagalan negaramelembagakan demokrasi secara substansial. Demokrasi secarateoretik dapat meredam potensi konflik-konflik keagamaan <strong>dan</strong>bernuansa primordial lainnya karena mengajarkan tentang partisipasi<strong>dan</strong> keterlibatan berimbang seluruh warga masyarakat dalam33


FOKUSMILISIA ISLAMISpenyelenggaran negara. Demokrasi umumnya didasarkan padapenegasan tentang hak-hak <strong>dan</strong> kewajiban semua warga Negaradalam kehidupan bersama sebagai satu kesatuan komunitas politik,23sosial <strong>dan</strong> budaya. Namun dalam konteks politik yang berubah saatini demokrasi dimaknai secara ambigu lebih sebagai kebebasanberekspresi <strong>dan</strong> menyatakan pendapat, termasuk menebar sentimensentimenpermusuhan <strong>dan</strong> konflik di dalam masyarakat.Debat-debat rasional berwawasan yang mestinya membentukopini publik yang sehat <strong>dan</strong> berguna bagi kehidupan bersama di ruangpublik nasional tenggelam dalam ingar-bingar perebutan <strong>dan</strong> klaimruang <strong>dan</strong> konsesi politik dari berbagai kelompok kepentingan.Pemerintah sendiri terkunci di antara retorika demokrasi <strong>dan</strong>kepentingan politik transaksional. Dalam konteks inilah demokrasi,sebagai sistem politik yang paling andal menyeimbangkan antara hak<strong>dan</strong> kewajiban, kebebasan <strong>dan</strong> tanggungjawab dalam kehidupanberbangsa <strong>dan</strong> bernegara, memperlihatkan paradoksnya yang nyata.Pilihan untuk menganut demokrasi sangatlah tepat karenademokrasi adalah sistem yang paling siap untuk menghadapitantangan laju perubahan sosial <strong>dan</strong> globalisasi. Namun paradoksyang mungkin muncul dari demokrasi haruslah diminimalisirsedemikian rupa. Di sinilah arti penting setiap upaya memupuk <strong>dan</strong>menumbuh-kembangkan multikulturalisme sebagai platformbersama (common platform) <strong>dan</strong> sekaligus strategi mengawalkeutuhan bangsa. Multikulturalisme pada hakikatnya merupakanmekanisme kerjasama <strong>dan</strong> reciprocity (timbal-balik) dengan manasetiap individu <strong>dan</strong> komponen masyarakat sanggup memberikantempat, menenggang perbedaan <strong>dan</strong> bahkan membantu individu <strong>dan</strong>komponen lainnya yang ada di dalam masyarakat tersebut. Nilai-nilaitoleransi, keterbukaan, inklusivitas, kerjasama <strong>dan</strong> perhormatanterhadap hak-hak asasi manusia merupakan prinsip dasarmultikulturalisme. Terkait dengan kerangka kewarganegaraan(framework of citizenship), multikulturalisme merupakan mekanismeyang terpenting bagi pendidikan demokrasi <strong>dan</strong> perlindungan hakhakminoritas. Ia mencegah a<strong>dan</strong>ya individu atau kelompokmasyarakat yang merasa diri paling benar, <strong>dan</strong> denganmengatasnamakan kebenaran, mengembangkan prilaku eksklusif24yang mengabaikan hak-hak orang lain.Para tokoh pendiri bangsa telah memikirkan hal ini ketika23. David Nugent, “Democracy Otherwise: Struggles over Popular Rule in the Northern Peruvian Andes”, dalamJulia Paley (ed.), Democracy: Anthropological Approaches (Santa Fe: SAR Press, 2008), hal. 21-62.24. Lebih jauh tentang multikulturalisme <strong>dan</strong> kewarganegaraan, periksa Will Kymlicka, Multicultural Citizenship.A Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Oxford University Press, 1995).34


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011mereka memutuskan Pancasila sebagai dasar negara. Sila“Ketuhanan Yang Maha Esa” mengisyaratkan tidak saja jaminannegara terhadap kebebasan beragama <strong>dan</strong> berkeyakinan tapi juganetralitasnya terhadap semua agama <strong>dan</strong> keyakinan yang ada.Ekspresi keagamaan <strong>dan</strong> keyakinan seperti apapun mestinyamendapatkan ruang sepanjang tidak melanggar sila kedua Pancasila,“Kemanusiaan Yang Adil <strong>dan</strong> Beradab”. Keadaban merupakan katakunci <strong>dan</strong> sekaligus platform bersama agar tidak ada ekspresikeagamaan yang melanggar serta mengancam hak-hak orang lainuntuk meyakini <strong>dan</strong> mengekspresikan agamanya masing-masing. Iniberlaku sama baik bagi mayoritas maupun minoritas.Penataan keragaman keagamaan mestinya bisa dirumuskandengan mengacu kepada prinsip-prinsip dasar Pancasila. Hal yangsangat mendasar ini tampak terabaikan di tengah eforia reformasiyang menuntut desakralisasi Pancasila. Memang Pancasila yangmestinya menjadi platform bersama dalam kehidupan berbangsa <strong>dan</strong>bernegara (civicness) telah diseret oleh Orde Baru menjadi instrumenpeneguhan otoritarianisme. Ada semacam trauma sejarah yang lahirdari pengalaman politik ketika sila-sila Pancasila diden<strong>dan</strong>gkansebagai alat penyeragaman <strong>dan</strong> kontrol sosial politik pemerintah.Posisi Pancasila sebagai platform bersama kehidupan berbangsa yangtelah tergerus otoritarianisme Orde Baru semakin terpuruk dalamhiruk-pikuk semangat kebebasan yang menyertai gelombangdemokratisasi pasca-Suharto.Sejatinya, demokrasi memerlukan bayangan sosial di manaetika publik yang menjunjung nalar <strong>dan</strong> pluralitas dapat memainkan25peran vital bagi kehidupan bersama. Dengan bayangan sosial yangmampu menggerakkan seluruh impuls yang terdapat dalam wacanapublik untuk lebur menjadi kekuatan yang dapat mendorongtumbuhnya civil society, aturan hukum <strong>dan</strong> prinsip kewarganegaraandapat ditegakkan untuk menjamin legitimasi sistem demokrasi yangberkeadilan. Ciri penting legitimasi sistem ini adalah kapasitassebuah masyarakat untuk mengakomodasi berbagai afiliasi budaya<strong>dan</strong> politik yang saling bersaing. Individu <strong>dan</strong> komunitas tidakdireduksi menjadi entitas tunggal dengan penanda etnik, keagamaan,seksualitas, ideologi <strong>dan</strong> penanda-penanda sosial lainnya yangseragam. Pengakuan atas kebersamaan sipil (civic sharing) <strong>dan</strong>empati menjadi kunci untuk menjadikan beragam identitas itu tidak25. Amyn B. Sajoo, “Citizenship and Its Discontents: Public Religion, Civic Identities,” dalam Bryan Turner (ed.),Religious Diversity and Civil Society, A Comparative Analysis (Oxford: Bardwell Press, 2008), hal. 27-47.35


FOKUSMILISIA ISLAMISsaling berbenturan, <strong>dan</strong> pada akhirnya menghancurkan kohesi sosial.Dalam konteks inilah posisi Pancasila perlu diperkukuhkembali sebagai platform bersama yang memastikanmultikulturalisme bekerja efektif dalam kehidupan masyarakat.Tentu hal ini tidak dalam arti menjadikan Pancasila sebagai asastunggal atau slogan yang sila-silanya didengungkan setiap minggudalam upacara bendera. Namun falsafah <strong>dan</strong> nilai-nilainya yang luhurdiintegrasikan ke dalam denyut kehidupan seluruh warga negaramelalui pendidikan maupun kegiatan politik, pemerintahan, budaya<strong>dan</strong> seterusnya. Selain yang tampak abstrak ini, pemerintah jugadapat mengefektifkan kerja alat-alat <strong>dan</strong> aparatus negara untukmenghukum siapa pun yang melanggar hukum <strong>dan</strong> <strong>HAM</strong> sertamenebar kebencian <strong>dan</strong> permusuhan atas nama agama.Dalam sebuah negara demokratis, dilema tentu saja kerapmuncul tentang bagaimana <strong>HAM</strong> seharusnya diposisikan secara idealtanpa mengekang kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresisecara mutlak disyaratkan demokrasi. Dengan prinsip ini sekelompokorang dapat berserikat mendirikan organisasi untuk mencapai tujuanbersama <strong>dan</strong> hal ini menjadi dasar utama berdirinya kelompokkelompokmilisia Islamis. Namun perlindungan terhadap <strong>HAM</strong> jugainheren dalam demokrasi. Tanpa perlindungan terhadap <strong>HAM</strong>,demokrasi mustahil akan bisa tumbuh. Dalam konteks inilah, negaraberkewajiban menundukkan semua kelompok-kelompokkemasyarakatan ke dalam prinsip-prinsip civicness <strong>dan</strong> <strong>HAM</strong>.Pelanggaran terhadap keduanya oleh kelompok apapun mestinyadirespons oleh negara secara tepat. Meskipun, patut digarisbawahi,respons itu bukan harus dalam bentuk pembubaran. Yang terpentingadalah bagaimana negara menegakkan hukum (law enforcement)secara konsisten <strong>dan</strong> berkeadilan <strong>dan</strong> dengan alasan hukum bertindaksecara proporsional terhadap kelompok manapun yang melanggaraturan-aturan yang disepakati bersama.KesimpulanKehadiran kelompok-kelompok milisia Islamis di arena politikIndonesia pasca-tumbangnya rezim Suharto menandai sejumlahkompleksitas <strong>dan</strong> paradoks dalam transisi demokrasi di Indonesia. Disatu sisi, terbukanya struktur kesempatan politik pada masa inimemungkinkan demokrasi tumbuh dengan subur. Berbagai bentuk36


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011ekspresi <strong>dan</strong> kepentingan yang telah lama terbelengguotoritarianisme rezim Suharto menemukan jalan untuk muncul kepermukaan <strong>dan</strong> mengklaim ruang (space) di dalam situasi politikyang berubah dengan cepat. Namun di sisi lain, ruang kebebasan yangterbuka pasca-tumbangnya rezim Suharto itu membuka kesempatanbagi munculnya kelompok-kelompok milisia Islamis yang aktifmenggelar aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Mereka bertekadmengambil alih sejumlah tugas negara, yang dianggap gagalmelindungi umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa Indonesiadari dampak krisis <strong>dan</strong> malapetaka yang menimpa Indonesia.Maraknya aksi-aksi kekerasan atas nama agama yang digelarkelompok-kelompok milisia Islamis berkorelasi dengan penolakanmereka terhadap demokrasi. Bagi mereka, cacat utama demokrasiterletak dalam prinsipnya yang mengabaikan kekuasaan mutlak Allahuntuk mengatur kehidupan umat manusia. Demokrasi yangmerupakan sistem pemerintahan sekuler dipan<strong>dan</strong>g terlalu mudahdimanipulasi oleh segelintir elite penguasa untuk kepentingankekuasaan mereka. Otokrasi, karena itu, ditawarkan sebagai alternatifkarena sifatnya yang sakral <strong>dan</strong> transendental. Dalam logika kaummilitan Islamis, sakralitas <strong>dan</strong> transendensi semacam itu menutupkemungkinan manipulasi kekuasaan oleh elite penguasa. Di dalampenolakan mereka terhadap demokrasi sebenarnya tersimpan protesatas penyelewengan kekuasaan oleh elite penguasa atas nama sistem<strong>dan</strong> suara rakyat yang dimanipulasi.Dilema mengha<strong>dan</strong>g negara untuk melihat apakahkeberadaan kelompok-kelompok milisia Islamis harus dijamin demialasan kebebasan berserikat <strong>dan</strong> menyatakan pendapat di dalamwadah negara demokratis? Atau negara dapat membubarkannya demimenjamin ditegakkannya prinsip-prinsip <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> melindungimasyarakat dari aksi-aksi kekerasan yang mereka tebarkan? Namunhal yang tampak dilematis ini bisa juga dipan<strong>dan</strong>g sederhana jikanegara kembali kepada prinsip dasar sebagai penjamin terlaksananyahak-hak <strong>dan</strong> kewajiban seluruh warga masyarakatnya secaraberimbang.Hak berserikat <strong>dan</strong> menyatakan pendapat sekelompok warganegara tidak meniadakan kewajiban mereka memberi ruang kepadayang lain untuk melakukan hal yang sama. Hal ini menjadi sangatpenting dalam konteks kehidupan keagamaan karena agama berada di37


FOKUSMILISIA ISLAMIStitik silang pergulatan antara negara, masyarakat <strong>dan</strong> kekuatankekuatanpolitik. Peran negara untuk mengawal multikulturalismemenjadi mutlak di sini. Individu atau sekelompok orang berebutmengklaim hak untuk mengeksploitasi simbol-simbol <strong>dan</strong> wacanaagama <strong>dan</strong> menetapkan batas-batas demi mendukung klaim masingmasing.Potensi pelanggaran <strong>HAM</strong> menjadi amat besar jika negaragagal memastikan fungsinya sebagai pengawal multikulturalismetersebut.38


Kekerasan Aparat, Mengapa Masih Terjadi?Ikrar Nusa BhaktiAbstraksiMeski Indonesia sudah lepas dari periode otoritarianisme namun bukanberarti kekerasan oleh aparatus tak pernah terjadi. Beberapa kasuskekerasan pasca Orde Baru masih menempatkan aparat sebagai pelakuutamanya. Tulisan ini hendak mempresentasikan deskripsi sejumlahfaktor yang menjadi penyebab mengapa kekerasan oleh aparat masihberlangsung hingga hari ini.Reformasi Sektor Keamanan yang telah berlangsung di Indonesiasejak pertengahan 1998, telah banyak membawa perubahan padainstitusi-institusi yang terkait dengan keamanan negara, khususnyaterkait dengan pengaturan baru melalui pembentukan berbagaiun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g baru <strong>dan</strong> juga peraturan di bawahnya. Reformasiyang berlangsung di Tentara Nasional Indonesia (TNI) misalnya,telah memungkinkan lahirnya UU yang terkait dengan TNI, sepertiUU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara <strong>dan</strong> UU No. 34 tahun2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia. TNI secara lambat tapipasti juga sudah mengubah jati dirinya dari yang dulu dikenal sebagaitentara politik (political army) <strong>dan</strong> tentara niaga (business army)menjadi tentara profesional (professional army).Setali dengan TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia(Polri) juga telah memiliki UU baru. UU tersebut yaitu UU No.2tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalampraktiknya, Polri tercatat terus berupaya memperbaiki kinerjanyamelalui capaian-capaian cepat yang ingin dicapai melalui programQuick Wins, seperti dalam menangani urusan Surat Izin Mengemudi(SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) <strong>dan</strong> Buku PokokKendaraan Bermotor (BPKB). Tak hanya dalam pelayanan kepadamasyarakat, Polri juga memperoleh apresiasi tinggi dalammenangani terorisme di Indonesia.39


FOKUSKEKERASAN APARATSatu-satunya institusi bagian dari keamanan yang hingga kinimasih belum memiliki UU sendiri ialah Intelijen Negara. Hingga kinirancangan UU mengenai Intelijen Negara hasil dari inisiatif DPR-RI,proses legislasinya masih berlangsung di DPR-RI. Kalanganmasyarakat sipil juga masih terus memberi masukan mengenai apayang boleh <strong>dan</strong> tidak boleh dilakukan oleh aparat intelijen negara. Dimata banyak kalangan masyarakat sipil, RUU Intelijen ini masihbanyak kelemahannya. Keinginan pihak pemerintah untukmemberikan institusi intelijen negara hak untuk menyadap,menangkap <strong>dan</strong> menahan juga masih dikritik tajam oleh kalanganmasyarakat sipil karena akan menimbulkan tindakan melanggar hakasasi manusia (<strong>HAM</strong>) oleh intelijen terhadap masyarakat.Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) yang memilikiotoritas sebagai lembaga koordinasi sekaligus menjalankan tugasintelijen di dalam <strong>dan</strong> luar negeri, juga dikritik akan menjadikanLKIN sebagai lembaga super yang memiliki wewenang luas sepertiBa<strong>dan</strong> Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) pada masa Orde Baru.Lepas dari sudah a<strong>dan</strong>ya berbagai aturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yangmengatur institusi-institusi keamanan negara tersebut, satu hal yangpaling sulit dihilangkan dari tingkah laku aparat keamanan negaraialah budaya kekerasan. Ini tidak terbatas dilakukan oleh ketigainstitusi tersebut, melainkan juga dilakukan, misalnya, oleh aparatpemerintah daerah yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja(SATPOL PP). Tulisan singkat ini berupaya menggambarkan <strong>dan</strong>mengurai beberapa kasus kekerasan oleh aparat <strong>dan</strong> mengapa hal itumasih terjadi.Tulisan ini diawali dengan penggambaran mengenai Negara,Pemerintah, <strong>dan</strong> Kekuasaan Negara. Penggambaran ini penting agarkita dapat memahami hak <strong>dan</strong> tanggung jawab negara sertakekuasaan serta otoritas yang dimilikinya. Bagian berikut yang ingindigambarkan ialah berbagai tindak kekerasan oleh aparat yang masihterus terjadi di negeri yang kita cintai ini, Indonesia. Ini dilanjutkandengan uraian mengapa tindak kekerasan oleh aparat negara masihterus berlangsung di bumi Indonesia.Negara, Pemerintah, <strong>dan</strong> Kekuasaan NegaraJika kita mendefinisikan secara sederhana, Negara adalah institusipolitik yang memiliki kedaulatan tertinggi, yakni sebuah institusi40


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011politik yang memiliki tanggung jawab penuh untuk mengatur1masalah-masalahnya sendiri. Pemerintah adalah sekelompok orangdi dalam negara yang memiliki otoritas penuh untuk bertindak atasnama negara. Mereka adalah kelompok yang unik di dalam negara;mereka, <strong>dan</strong> hanya mereka, yang memiliki hak untuk membuatkeputusan-keputusan yang semua orang di dalam negara memiliki2tugas untuk menerima <strong>dan</strong> mematuhinya.Pemerintah yang bertindak atas nama negara, memilikikekuasaan. Kekuasaan dalam hal ini didefinisikan sebagai“kemampuan seseorang atau sekelompok orang untukmempengaruhi orang atau kelompok lain untuk bertindak sesuaidengan yang pihak pertama inginkan, dengan berbagai cara.”Kekuasaan dapat dijalankan dengan berbagai cara: pertama, coercionatau paksaan, yaitu bila kita memaksa seseorang atau sekelompokorang untuk melakukan sesuatu yang orang atau kelompok itu tidakingin melakukannya; kedua, persuasion atau bujukan, ketika kitameyakinkan seseorang/kelompok bahwa apa yang kita instruksikanitu sesuai dengan keinginan atau kepentingannya; ketiga,construction of incentives atau membangun insentif-insentif yaituketika kita membuat alternatif menjadi tidak atraktif <strong>dan</strong> hanya satu3opsi yang paling masuk akal yang tersisa <strong>dan</strong> menjadi pilihannya.Kemampuan orang atau kelompok untuk menjalankankekuasaannya didasari oleh basis kekuasaan yang dimilikinya sepertimoney, affection, physical strength, legal status (the power of a policeofficer to direct traffic, for instance), the possession of importantinformation, a winning smile, strong allies, determination,4desperation, dsb.Kekuasaan negara terbagi dalam tiga bi<strong>dan</strong>g: pertama, rangeof power atau jangkauan kekuasaan; kedua, domain of power ataudomain kekuasaan negara, <strong>dan</strong>; ketiga, scope of power, atau lingkupkekuasaan negara. Jangkauan, lingkup <strong>dan</strong> domain kekuasaan negaraini akan memudar di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaannegara, atau terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu yangmemiliki pengaruh kuat di dalam negara seperti pejabat ataukelompok yang digunakan oleh negara untuk bertindak atas namakepentingan negara, apakah kelompok ini kelompok resmi yangataupun tidak resmi.Dalam situasi normal, yakni situasi di mana rakyat atau1. W. Phillips Shively, Power and Choice. An Introduction to Political Science. New York: McGraw-Hill,Third Edition, 1993, hlm. 31.2. Ibid., hlm. 29.3. Ibid., hlm. 6.4. Ibid., hlm 6.41


FOKUSKEKERASAN APARATmasyarakat menerima legitimasi negara secara penuh, kekuasaannegara tidak memerlukan tindakan paksaan, bujukan atau punkonstruksi insentif-insentif, karena sudah ada persetujuan umumbahwa pemerintah berhak membuat aturan <strong>dan</strong> rakyat harusmematuhi aturan yang dibuat pemerintah. Namun, dalam situasitertentu, negara perlu membujuk rakyat untuk melakukan sesuatuseperti “jika anda tidak ingin pergi ke dokter, makanlah sebuah apelsetiap hari,” atau “jika ingin membangun keluarga yang sejahtera, duaanak cukup.”Dalam keadaan lain, pemerintah atau aparatnya dapatmelakukan tindak kekerasan jika masyarakat tidak mematuhi aturanyang dibuatnya. Namun, penggunaan kekerasan ini adalah caraterakhir jika cara bujukan atau konstruksi insentif-insentif tidakmampu membuat rakyat menerima atau mematuhi aturan yang dibuatpemerintah. Jika alasan-alasannya amat kuat, aparat pemerintahdapat melakukan tindakan yang dikategorikan “necessary evil”,yaitu tindak kekerasan yang memang diperlukan untuk diambiltindakan agar tercipta situasi damai atau stabil.Kekerasan AparatBerbagai pertanyaan yang perlu diajukan sebelum aparat melakukantindakan kekerasan ialah: pertama, apakah berbagai langkahpersuasif, komunikatif, <strong>dan</strong> pemberian insentif sudah dilakukanterlebih dahulu sebelum tindakan kekerasan oleh aparat benar-benarperlu dilakukan?; kedua, apa motif dari masyarakat sehingga merekatidak mematuhi aturan yang dibuat pemerintah?; ketiga, sudahkahpemerintah melakukan distribusi yang adil kepada rakyatnya sepertidistribusi kekayaan, distribusi kekuasaan, distribusi penghargaan,sehingga rakyat benar-benar merasakan keadilan yang dilakukannegara kepada rakyatnya?; keempat, sudahkah rakyat diberikaninformasi yang akurat, masuk akal <strong>dan</strong> menyeluruh sehinggatindakan melawan aparat dipan<strong>dan</strong>g sebagai sesuatu anomali dalampenerimaan kekuasaan negara oleh rakyatnya?Kita melihat bahwa berbagai pertanyaan tersebut tampaknyabelum terjawab secara baik sehingga rakyat tidak memiliki pilihanlain selain melawan tindakan aparat. Sebaliknya, aparat di lapanganjuga belum melakukan berbagai tindakan lain dalam menerapkankekuasaan negara, sebelum tindak kekerasan itu dilakukan.42


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Contoh yang paling konkret ialah tindakan aparat dalammenghadapi tantangan terhadap negara yang berasal dari dalamnegara atau dalam konsep politik disebut sebagai tantangan daribawah (challenges from below) seperti gerakan-gerakan pemisahandiri (separatism) atau penarikan diri (secessionism). Gerakansemacam itu biasanya terjadi di wilayah negara yang jauh dari pusatkekuasaan, kaya akan sumber daya alam, terdapatnya nasionalismeetnik yang kuat, terjadinya marginalisasi masyarakat serta kurangnyadistribusi kekuasaan, kekayaan <strong>dan</strong> penghormatan yang adil olehnegara kepada rakyat di wilayah itu.Gerakan separatisme atau penarikan diri bisa berbentukgerakan sporadis militer seperti yang dilakukan oleh Gerakan AcehMerdeka (GAM) <strong>dan</strong> Organisasi Papua Merdeka (OPM) di masa lalu,atau gerakan politik seperti yang dilakukan berbagai kelompokmasyarakat Papua yang menyuarakan kemerdekaan Papua baik didalam maupun luar negeri. Gerakan mereka bisa saja merupakantindakan murni untuk merdeka, tapi bisa juga sebagai pengungkapanrasa ketidakadilan yang dilakukan negara kepada rakyat.Sebelum era reformasi bergulir, sebagian rakyat di Aceh <strong>dan</strong>Papua menentang kekuasaan negara melalui tindakan sporadismiliter. Namun, sejak era reformasi gerakan mereka lebih banyakdilakukan melalui cara-cara politik, termasuk, tetapi tidak terbataspada diplomasi internasional agar nasib rakyat Aceh <strong>dan</strong> Papuadiperhatikan.Persoalan Aceh dapat diselesaikan dengan amat baik melaluiPersetujuan Helsinki pada 15 Agustus 2005 setelah melaluiperundingan-perundingan yang alot antara pemerintah Indonesia <strong>dan</strong>GAM yang difasilitasi mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari.Persoalan Papua sampai saat ini masih belum dituntaskan <strong>dan</strong> masihsaja ada insiden kekerasan di bumi Cendrawasih (Papua).Dalam kasus Papua, pemerintah Indonesia sejak era reformasimenerapkan dua cara, yaitu politik akomodatif, seperti yangdilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan menggantinama provinsi dari Irian Jaya menjadi Papua pada 1 Januari 2000 <strong>dan</strong>membantu serta membolehkan dilaksanakannya Kongres RakyatPapua II di Jayapura pada tahun yang sama. Cara kedua ialah politikkekerasan yang terus terjadi seperti pembunuhan tokoh PresidiumDewan Papua, Theys Hiyo Eluay, oleh aparat Kopassus pada dini hari43


FOKUSKEKERASAN APARAT11 November 2001 setelah yang bersangkutan menghadiri acaraperingatan Hari Pahlawan 10 November 2001 di markas Kopassus diPolimak, Jayapura, Papua. Kekerasan aparat Brimob terhadapkalangan mahasiswa Universitas Cendrawasih yang berasal dariPegunungan Tengah juga kerap terjadi.Terbunuhnya Kelly Kwalik pada dini hari 16 Desember 2009di Timika oleh aparat gabungan Brimob <strong>dan</strong> Detasemen Khusus 88juga merupakan fenomena kekerasan yang terjadi di Papua.Pertanyaan yang muncul ialah apakah benar Kelly Kwalik, tokohOPM yang sering melakukan aktivitas sporadik militer di wilayahPegunungan Tengah, melakukan perlawanan terhadap aparat <strong>dan</strong>akan melarikan diri saat ditangkap, sehingga perlu dibunuh? Ini miripdengan alasan yang dilakukan oleh aparat Kopassus untukmembunuh kurator Museum Antropologi, Arnold Ap, pada 1984yang kemudian menjadi salah satu pemicu gelombang 10.000pelintas batas dari Irian Jaya ke Papua Niugini antara 1984-1985.Pelanggaran <strong>HAM</strong> atau kekerasan aparat di tanah Papua, baikyang dilakukan oleh oknum polisi atau pun TNI masih terusberlangsung. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur EksekutifImparsial, Poengky Indarti, setidaknya ada 290 kasus penyiksaanoleh aparat militer <strong>dan</strong> polisi di Papua pada kurun waktu 1997-2007.Hingga saat ini laporan itu tidak pernah ditindaklanjuti olehpemerintah.Selain itu ada juga penyiksaan yang diduga dilakukan aparatBrimob terhadap Yawan Wayeni <strong>dan</strong> penyiksaan oleh aparat TNI-AD5di Puncak Jaya pada 2010. Sebelumnya, Jaringan Pembela <strong>HAM</strong>Peduli Papua juga mengutuk penggunaan stigma separatis/OPM6sebagai justifikasi Kekerasan Aparat Negara di Papua.Video mengenai kekerasan oknum TNI-AD di Puncak Jayapada 2010 yang beredar melalui YouTube, sempat menimbulkankritik internasional terhadap pemerintahan Presiden Susilo BambangYudhoyono. Tanggapan pemerintah melalui Menkopolhukam JokoSuyanto sangat positif, yaitu langsung mengadili mereka yangmelakukan tindak kekerasan tersebut. Namun, ternyata pengadilantersebut masih dirasa kurang adil karena tidak berlangsung secara fair<strong>dan</strong> hanya ditujukan untuk konsumsi luar negeri agar kecaman asingterhadap pemerintah berkurang <strong>dan</strong> tidak menyelesaikan masalah.Kekerasan oleh aparat memang bukan monopoli dilakukan5. “290 Kekerasan Aparat di Papua Dibiarkan,” Kompas.com, http:nasional.kompas.com/read/2010/10/22/23475895.Kekerasan.Aparat.di.Papua.Di…, diunduh pada 31/3/2010.6. Vogelkoppapua.org/%3Fpage%3Dpress_rel…, diunduh 31 Maret 2010.44


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011terhadap para aktivis gerakan kemerdekaan di tanah Papua saja,namun masih berlangsung melewati sekat-sekat geografis Papua.Aparat terekam masih kerap melakukan tindakan anarkisnya ketikamenangani proses penanganan kasus-kasus pi<strong>dan</strong>a. Hasil risetLembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, misalnya, mencatatIndeks Penyiksaan pada tahun 2010 terhadap 100 responden tahanan<strong>dan</strong> narapi<strong>dan</strong>a menunjukkan bahwa praktek kekerasan masih terjadibaik saat penangkapan, pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP),penahanan maupun saat menjalani hukuman. Saat pemeriksaan,aparat hukum tidak jarang menggunakan cara-cara penekananpsikologis agar tersangka mengakui perbuatannya. Ini tentunya tidakakan mendapatkan kebenaran yang substansial. Padahal, dalam setiappemeriksaan mensyaratkan a<strong>dan</strong>ya proses pemeriksaan tersangkaatau pun saksi dilakukan secara bebas, bukan dalam keadaan stres,tertekan, apalagi terancam.Kekerasan yang dilakukan aparat penegak hukum terbanyakadalah kekerasan fisik saat terjadinya penangkapan, yakni sebesar72,9 persen. Disusul oleh pembentakan saat ditangkap, 67,7 persen,7ditampar, 63,5 persen <strong>dan</strong> diten<strong>dan</strong>g 60,4 persen.Kekerasan aparat terkait dengan persoalan tanah juga marakterjadi di Indonesia, seperti yang terjadi di Mamuju Utara, di manaaparat kepolisian lebih berpihak kepada para pemilik modal yangingin mengambil alih tanah rakyat ketimbang memihak kepada petanimiskin. Bahkan terjadi pula salah tembak oleh aparat kepolisian padakasus di daerah yang sama sebelumnya. Peristiwa tersebut memicusejumlah organisasi mahasiswa yang tergabung dalam aliansiSolidaritas Anti Kriminalisasi Petani melakukan demonstrasi di8depan kantor Polda Sulselbar pada 17 Maret 2011.Kekerasan aparat bukan hanya dilakukan oleh aparat TNI <strong>dan</strong>Kepolisian Negara, melainkan juga oleh aparat Satpol PP, sepertiyang mereka lakukan terhadap demonstran di Tanjung Priok yangingin mempertahankan “Makam Mbah Priok” pada 2010, atau yangdilakukan terhadap Warga Cina Benteng di Tangerang pada 13 April2010. Dalam kaitan ini aparat kepolisian tampaknya tidak berbuatbanyak dalam mencegah kekerasan oleh aparat Satpol PP atau olehmassa terhadap aparat Satpol PP, seperti yang terjadi di TanjungPriok, tidak menimbulkan korban jiwa.Satu hal yang patut dikritisi ialah ka<strong>dan</strong>gkala aparat7. “Kekerasan Struktural oleh Aparat Negara Masih Banyak Terjadi,”Koran Suroboyo, www.Koransuroboyo.com/2010/12/kekeras..., diunduh 31 Maret 2011.8. Muh. Arif, “Lagi, kekerasan aparat kepolisian terhadap masyarakat kecil,” cakrawala-ide.com., 18 Maret 2011.45


FOKUSKEKERASAN APARATkepolisian membiarkan terjadinya kekerasan massa terhadapkelompok masyarakat seperti penyerangan terhadap kelompokjemaah Ahmadyah di Cikeusik, Banten, atau terhadap kelompokummat Nasrani di Temanggung yang waktunya amat berdekatan pada9pertengahan Februari 2011 lalu.Aparat seharusnya dapat menerapkan “necessary evil”terhadap kelompok yang ingin melakukan tindakan makar. Karenaaksi mereka sudah mengarah pada ancaman menggulingkan PresidenSusilo Bambang Yudhoyono jika pemerintah berani tegasmembubarkan kelompok aliran agama yang secara paksa inginmembubarkan Ahmadyah. Namun, perhitungan politik jangkapendek menyebabkan pemerintah tidak berani melakukan tindakanapa pun terhadap kelompok tersebut. Jika ini terus berlanjut, bukanmustahil kedaulatan negara akan terancam.Mengapa Kekerasan Terus Terjadi?Banyak penyebab mengapa kekerasan aparat terus terjadi di erareformasi politik. Tindakan aparat seharusnya terukur <strong>dan</strong> tepat guna.Namun kenyataannya di lapangan tidak sedikit aparat keamanan yangmasih melakukan tindak kekerasan.Bagi anggota TNI <strong>dan</strong> Polri yang bertugas di daerah sepertiPapua, kekerasan masih terjadi karena daerah itu sangat jauh daripusat kekuasaan sehingga mereka beranggapan bahwa kontrol pusatsangat lemah. Namun, di era komunikasi yang amat canggih inimereka lupa bahwa apa yang terjadi di pelosok Papua sekali pun,dalam detik yang sama dapat tersiar di seantero bumi melalui alatkomunikasi internet atau pun mobile phone.Saat saya dulu sering melakukan penelitian di tanah Papua,penyebab lain dari tindakan kekerasan aparat ialah mereka seakansudah tidak lagi bisa membedakan antara rakyat Papua biasa <strong>dan</strong>aktivis kemerdekaan Papua. Di mata mereka, semua yang berkulithitam <strong>dan</strong> berambut keriting adalah OPM <strong>dan</strong> musuh negara.Anggapan salah ini belum sirna hingga saat ini.Alasan lain, Papua, khususnya daerah perbatasan <strong>dan</strong>pedalaman yang sulit transportasinya, merupakan “neraka” bagiaparat keamanan. Karena itu ada anggapan di sebagian anggota TNImaupun Polri bahwa gara-gara a<strong>dan</strong>ya gerakan separatisme inilahmakanya mereka ditempatkan di daerah itu. Tindakan kekerasan juga9.“Pembiaran Kekerasan Oleh Aparat Ciri Negara Kriminal,” Investor Daily, www.investor.co.id/home/pembiaran..., diunduh pada 31 Maret 2011.46


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011didasari oleh alasan bahwa apabila mereka melakukan kekerasanterhadap rakyat, mereka pasti akan dipindahkan dari wilayah itu.Anggapan ini belum tentu benar karena sejak 1980an akhir, aparatTNI yang melakukan kesalahan bukan saja mendapatkan ganjaranhukuman individual, melainkan grup pasukannya juga terkenahukuman dalam bentuk penambahan waktu tugas dari yang biasanya6 bulan menjadi 9 bulan. Rotasi pasukan memang ka<strong>dan</strong>gkalaterkendala oleh terbatasnya anggaran untuk menarik pasukan daridaerah pedalaman.Dalam kaitannya dengan aparat kepolisian atau Satpol PP,kekerasan terjadi karena mereka memiliki alat atau pun status sebagaiaparat keamanan yang boleh menggunakan kekerasan. Mereka lupabahwa penggunaan kekerasan merupakan cara terakhir apabilapendekatan persuasif atau pun pemberian insentif gagal. Anak-anakmuda yang berstatus aparat keamanan, diberi alat pemukul atausenjata, memudahkan mereka untuk berlagak jagoan dalammenghadapi masyarakat.Lepas dari berbagai alasan di atas, kekerasan oleh aparat yangtidak didasari oleh alasan kuat untuk menggunakan cara tersebut,merupakan, meminjam istilah Yudhi Latif, ciri negara kriminal.Apakah kita tidak bisa membentuk aparat yang benar-benar santuntapi tegas dalam melakukan tugas-tugas mereka sebagai bhayangkarinegara? Tanpa penegakan hukum yang tegas, kekerasan aparat akanterus berlangsung.47


RUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara:Dilema Legislasi <strong>dan</strong> Kebutuhan PertahananMufti Makaarim A.AbstraksiRencana Pemerintah mendesakkan RUU Komponen Ca<strong>dan</strong>ganPertahanan Negara menuai pro-kontra. Pendukung RUU ini mengajukanargumentasi normatif bahwa RUU ini merupakan amanat UUD 1945,UU Pertahanan Negara, <strong>dan</strong> UU TNI. Se<strong>dan</strong>gkan kalangan kontramengajukan argumentasi politis belum tuntasnya reformasi TNI <strong>dan</strong>argumentasi sosiologis dampak sosial mobilisasi sipil melalui komponenca<strong>dan</strong>gan (Komcad). RUU ini akhirnya tidak terselesaikan oleh DPRperiode 2004-2009. Pada 2010, terdengar kabar Pemerintah <strong>dan</strong> DPRperiode 2009-2014 menyetujui pembahasannya kembali. Tulisan inimendeskripisikan substansi RUU, penyelenggaraan Komcad di beberapanegara sebagai pembanding, serta catatan kritis atas isi RUU KCPN.PendahuluanKomponen Ca<strong>dan</strong>gan (Komcad) adalah pasukan ca<strong>dan</strong>gan militer,terdiri dari warga sipil yang mendapat pendidikan militer dasar,dipersiapkan untuk mendukung militer sebagai komponen utamapada masa darurat perang. Di masa damai, setelah mendapatpelatihan militer dasar atau selesai masa perang, Komcad kembalimenjadi warga sipil biasa.Pengembangan Komcad di beberapa negara berpengaruhpada anggaran <strong>dan</strong> komposisi militer di masa damai. Karena aktivitasKomcad ini membutuhkan mobilisasi penduduk yang tidak sedikit<strong>dan</strong> waktu yang juga tidak singkat. Selain Komcad, beberapa negarajuga mengembangkan program wajib militer (wamil), yaitu pelibatansipil dalam dinas kemiliteran untuk jangka waktu tertentu, dimanawamil terlibat dalam kegiatan militer secara penuh sebagaimanaanggota militer aktif.49


FOKUSRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>ganIstilah ca<strong>dan</strong>gan atau reserve dapat diinterpretasikan sempitmaupun luas. Amerika Serikat (AS) <strong>dan</strong> Inggris menggunakan istilahreserve untuk menyebut seluruh Komcad mereka, yang terbagimenjadi tentara reguler (regular forces) <strong>dan</strong> tentara ca<strong>dan</strong>gan(reserve forces). Perbedaan mendasarnya terletak pada ikatan dinaspermanen bagi tentara reguler <strong>dan</strong> temporer bagi tentara ca<strong>dan</strong>gan.Kanada menggunakan istilah militia, se<strong>dan</strong>gkan India <strong>dan</strong> Filipina1menggunakan istilah paramilitary.Terkait RUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara(KCPN) yang saat ini dibentuk, meskipun menggunakan istilahKomcad, namun kekhawatiran publik akan kemungkinan motivasipolitik Pemerintah <strong>dan</strong> Tentara Nasional Indonesia (TNI) di balikpembentukannya memunculkan reaksi penolakan yang cukup seriusdari beberapa kalangan, terutama karena ketidakjelasan konsepsiKomcad yang dianggap bertumpang tindih dengan ketentuan wamil.Di banyak negara, UU yang mengatur Komcad terfokus padasumber daya manusia (SDM). Sementara RUU KCPN mengaturtentang penggunaan <strong>dan</strong> pengerahan sumber daya alam (SDA),sumber daya buatan (SDB), sarana <strong>dan</strong> prasarana nasional sebagaibagian dari komponen yang dibutuhkan militer menjadi Komcad.Penempatan benda-benda sebagai subjek hukum selain akanmenyulitkan pengontrolan <strong>dan</strong> pengelolaannya, juga akanmengakibatkan celah penyimpangan, terutama terkait pemanfaatanyang sama sekali tidak berhubungan dengan kepentingan pertahananoleh militer. Di Amerika Serikat, terdapat unit bernama Readiness,Training and Mobilization (RTM) yang bertugas memonitor2kebijakan <strong>dan</strong> pemakaian Komcad.Legislasi Komcad: RUU Yang Silih BergantiSecara resmi Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan,dulu Departemen Pertahanan, Dephan) secara resmi mengusulkanpembahasan RUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gan Pertahan Negara (RUUKCPN) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai agenda ProgramLegislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2004-2009. Direktur Jenderal(Dirjen) Potensi Pertahanan (Pothan) Dephan, Dr. Budi SusiloSoepandji menyatakan bahwa Komcad <strong>dan</strong> Komponen Pendukungmerupakan sistem pertahanan negara, yang memperkuat TNI sebagaiKomponen Utama.1. http://www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/perbandingan_kcpn_bsh.pdf, diunduh tanggal 22 Februari 20112. Ibid50


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Komcad merupakan warga sipil yang mendapat latihankemiliteran, agar memiliki pengetahuan <strong>dan</strong> kemampuan militer,berfungsi memperbesar <strong>dan</strong> memperkuat TNI di matra darat, laut <strong>dan</strong>udara. Komcad tetap merupakan warga sipil, yang akan kembali kemasyarakat setelah mengikuti pelatihan militer selama satu bulan,namun bisa dikerahkan untuk melakukan bela negara sebagaikombatan (tentara) <strong>dan</strong> dilindungi UU. Menurut Budi, Indonesiamenganut sistem pertahanan rakyat semesta (sishanrata) yangdipersiapkan secara dini, termasuk dalam keadaan damai maupunperang. Karenanya pelatihan Komcad merupakan bagian dari3penyiapan sistem pertahan secara total.Wacana Komcad sudah berlangsung sejak masa MenteriPertahanan (Menhan) Matori Abdul Djalil. Menurut Matori,pertahanan negara merupakan usaha mempertahankan kedaulatannegara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) <strong>dan</strong> keselamatan segenap bangsa dari ancaman <strong>dan</strong>gangguan. UUD 1945 baik dalam Pembukaan maupun pada batangtubuh mengamanatkan bentuk pertahanan negara yang bersifatsemesta, yaitu melibatkan seluruh rakyat <strong>dan</strong> segenap sumberdayanasional, sarana <strong>dan</strong> prasarana nasional, serta seluruh wilayah negarasebagai satu kesatuan pertahanan.UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yangdisahkan 8 Januari 2002, menyebutkan 3 komponen kekuatanpertahanan negara, yaitu Komponen Utama (TNI), Komcad <strong>dan</strong>4Komponen Pendukung.Pada Maret 2003, Direktorat Pothan Kemhan mengeluarkanRUU KCPN untuk pertama kali, yang merujuk pada UUD 1945 <strong>dan</strong>5UU No. 3 tahun 2002. RUU yang terdiri dari 9 Bab <strong>dan</strong> 55 Pasaltersebut menyatakan bahwa tujuan Komcad adalah memperbesar <strong>dan</strong>memperkuat kekuatan TNI sebagai Komponen Utama; berunsurkanwarga negara, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sarana <strong>dan</strong>prasarana nasional. Dalam draf ini pula dinyatakan bahwa Komcaddiberlakukan kepada setiap warga negara berusia 18-48 tahun yangmendapat pelatihan militer, mantan prajurit TNI <strong>dan</strong> anggotaKepolisian Negara Republik Indonesia (Polri); yang dapatdiwajibkan berdinas aktif sekurang-kurangnya 5 tahun, atau nonaktif(kembali ke masyarakat), namun sewaktu-waktu wajibmemenuhi panggilan dinas aktif sesuai kebutuhan negara. RUU juga3. Tim Imparsial, Reformasi di Persimpangan; Rancangan Komponen Ca<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara, Jakarta,2008, hal. 79-814. Lihat http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=808 <strong>dan</strong>http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2003/03/26/brk,20030326-37,id.html, diunduh 20 Februari 20115. Termasuk merujuk UU No23 PRP Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang pada tahun 1999-2000 mendapatreaksi keras dari publik ketika akan direvisi di DPR.51


FOKUSRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>ganmengatur penggunaan Komcad oleh Panglima TNI. Komcad dapatditugaskan di masa damai, keadaan darurat sipil, darurat militer <strong>dan</strong>masa perang; mengatur sanksi pi<strong>dan</strong>a bagi seseorang yang tanpaalasan sah dengan sengaja <strong>dan</strong> melawan hukum tidak memenuhikewajiban sebagai Komcad, menyuruh atau membuat diri atau oranglain tidak cakap menjadi Komcad, anggota Komcad yang tidakmelaksanakan dinas aktif atau meninggalkan tugas; serta mengaturpembiayaan Komcad dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara(APBN) <strong>dan</strong> Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) serta6Departemen atau Instansi terkait.RUU ini mendapat kritik <strong>dan</strong> catatan dari masyarakat sipil, diantaranya adalah kelompok kerja Propatria. Menurut Propatria,perkembangan lingkungan strategis <strong>dan</strong> internasional telahmelahirkan pergeseran definisi atau interpretasi tentang bentuk <strong>dan</strong>sifat ancaman terhadap wilayah, kedaulatan, <strong>dan</strong> populasi, termasukkonsep wilayah, kedaulatan, <strong>dan</strong> populasi.Kekuatan militer yang dianggap sebagai unsur pokokkemampuan nasional mempertahankan diri dari ancaman berhadapandengan tantangan keberlanjutan (sustainability) <strong>dan</strong> keterbatasansumberdaya nasional, terutama jika dihadapkan dengan prioritaskebijakan nasional lainnya. Pilihan pengembangan kekuatanca<strong>dan</strong>gan (reserve force) yang intinya adalah alokasi <strong>dan</strong> penggunaansumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan bisa menjadipilihan terutama dalam situasi kontinjensi, namun harus disertaidengan penjelasan terkait kapan, dalam situasi seperti apa, seberapa7besar, tujuan, <strong>dan</strong> implikasi dibentuknya Komcad.Propatria juga menegaskan bahwa Komcad baru bisadibentuk jika perencanaan pertahanan yang memuat analisaancaman, kebutuhan pertahanan untuk mengatasi ancaman,ketersediaan sumber daya <strong>dan</strong> dampaknya terhadap postur militersudah diketahui <strong>dan</strong> disesuaikan dengan kemampuan keuangannegara. Jika proses ini belum berjalan, maka keberadaan UU KCPNpada saat ini menjadi kurang signifikan.Menurut Propatria, UU KCPN penting, namun harus merujukkepada UU Keamanan Nasional <strong>dan</strong> UU TNI yang belum ada (saatitu, UU TNI baru ada Oktober 2004). Meskipun UU No. 3 tahun 2002menyatakan bahwa pembentukan Komcad harus diatur UU, tidakserta merta dapat diartikan Komcad harus dibentuk segera sekarang.6. Direktorat Jenderal Departemen Pertahanan, Konsep Rancangan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Tentang Komponen Ca<strong>dan</strong>ganPertahanan Negara, Maret 20037. http://www.propatria.or.id/loaddown/Kajian%20Kritis/Kajian%20Kritis%20Terhadap%20RUU%20Komponen %20Ca<strong>dan</strong>gan%20Pertahanan%20Negara%20%5BApril%202003%5D.pdf,diunduh pada 20 Februari 201152


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Pemerintah juga harus menjawab kekhawatiran masyarakat terkaitkepentingan TNI, militerisasi sipil, penguasaan sumber daya alam<strong>dan</strong> sumber daya buatan oleh militer, serta kepentingan menjadikanUU ini sebagai alat legitimasi atas penyimpangan sudah8berlangsung.RUU ini kemudian tidak dibahas <strong>dan</strong> disahkan sampai denganberahirnya masa bakti DPR periode 1999-2004, dimana DPRmemprioritaskan pembahasan RUU TNI yang kemudian disahkanmenjadi UU No. 34Tahun 2004 tentang TNI.Pada Agustus 2005, Pemerintah melalui Dephan kembalimengajukan RUU KCPN yang terdiri dari 9 Bab 50 Pasal, yangmengalami sedikit perubahan dari versi tahun 2003, berupapengurangan <strong>dan</strong> penambahan. RUU menambahkan UU No. 34tahun 2004 sebagai rujukan. RUU kedua ini mengalami perubahanbatasan usia menjadi 18-45 tahun; memasukkan kriteria seseorangyang sukarela mendaftar dapat diangkat menjadi Komcad. RUUkedua juga menghapus kewenangan Menteri melakukan pembuatanketentuan pengerahan. Kewenangan pengangkatan KomisiPengerahan Komcad berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen)diganti dengan Peraturan Presiden (Perpres); Pelaksanaanpendayagunaan sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sarana <strong>dan</strong>prasarana berdasarkan Kepmen diganti dengan Peraturan Pemerintah(PP); Penggantian kewenangan penggunaan Komcad oleh PanglimaTNI ke Presiden dengan persetujuan DPR; pembatasan pengerahanhanya di waktu perang; pengerahan Komcad berdasarkanperhitungan ketidakmampuan TNI menghadapi ancaman militer;penetapan kekuatan Komcad yang digunakan dilakukan oleh Menteri<strong>dan</strong> selanjutnya diserahkan kepada Panglima TNI untukdioperasionalisasikan; serta, penghapusan penambahan 1/3 sanksipi<strong>dan</strong>a atas pelanggaran masa masa darurat militer atau darurat9perang.Sebagaimana RUU KCPN versi tahun 2003, prinsip kritik <strong>dan</strong>catatan masyarakat sipil tetap sama, mengingat perubahan yangdiberlakukan tidak menjawab tuntutan <strong>dan</strong> keberatan prinsipiilmasyarakat.Pada 9 Oktober 2006, Pemerintah kembali menerbitkan draftversi ketiga RUU KCPN. Draf ini lebih ringkas dengan 8 Bab 43Pasal. RUU ini menghapus atau meredefinisi ketentuan umum8. Ibid9. Departemen Pertahanan, Rancangan U<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia No .. Tahun .. Tentang KomponenCa<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara, Agustus 200553


FOKUSRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gantentang sistem pertahanan negara, penyelenggaraan pertahanannegara, komponen utama, komponen pendukung, sumberdayanasional, nilai-nilai, teknologi, masa bakti, DPR, Angkatan,kombatan <strong>dan</strong> non kombatan; pembatasan penggunaan Komcaduntuk latihan <strong>dan</strong> mobilisasi; penegasan Komcad yang dipersiapkanpada masa damai sebagai potensi pertahanan. Jika dalam draf keduaKomcad meliputi usia 18-45 tahun, draf ketiga ini usia minimumKomcad 18 tahun, tanpa usia maksimum. Revisi persyaratan Komcadmenjadi berdasarkan kriteria persyaratan umum; persyaratankompetensi <strong>dan</strong> latihan dasar kemiliteran. Keputusan pembentukanPanitia Pengerahan kembali berdasarkan Kepmen. RUU versi ketigajuga memuat penghapusan persetujuan DPR dalam kewenanganpenggunaan Komcad; pen<strong>dan</strong>aan yang hanya dibiayai APBN;pengurangan sanksi pi<strong>dan</strong>a selama-lamanya 2 tahun menjadi 1 tahunbagi mereka yang diwajibkan menjadi Komcad namun tidakmemenuhi panggilan; pi<strong>dan</strong>a selama-lamanya 6 bulan bagi wargasipil yang secara sukarela mengajukan diri menjadi Komcad namunmenolak panggilan; perubahan pi<strong>dan</strong>a dari selama-lamanya 1 tahunmenjadi 2 tahun bagi orang yang mempengaruhi atau melakukantindakan yang menggagalkan seseorang untuk memenuhi panggilanatau tidak memenuhi syarat menjadi Komcad, disertai penambahan1/3 sanksi bila dilakukan karena jabatan <strong>dan</strong> kedudukan; sertapenghapusan sanksi pi<strong>dan</strong>a bagi penyelenggara yang dengan sengajaatau lalai melakukan panggilan Komcad, yang semula bisa dipi<strong>dan</strong>a10selama-lamanya 3 tahun.RUU Versi 2006 ini memberikan 'penguatan' terhadapkewenangan negara, terutama dalam melakukan rekrutmen <strong>dan</strong>pemberian sanksi pi<strong>dan</strong>a. Sejak terbitnya RUU versi 2006, gerakanuntuk menolak RUU KCPN makin menguat, yang dipengaruhidinamika politik pemerintahan Presiden Soesilo BambangYudhoyono (SBY) yang dianggap berkepentingan memperkuatkembali dominasi militer <strong>dan</strong> mengembalikan militerisme melaluiUU KCPN.Sebagaimana kritik terdahulu, kebutuhan RUU KCPNseharusnya didasarkan pada: 1). analisis ancaman; 2). analisis sistempertahanan yang dibutuhkan; <strong>dan</strong> 3). kemampuan keuangan negara.Tanpa a<strong>dan</strong>ya dasar di atas, Komcad hanya menjadi program yangtidak efektif, tidak tepat sasaran, menimbulkan masalah baru, serta10. Departemen Pertahanan, Rancangan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia No .. Tahun .. Tentang KomponenCa<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara, Oktober 200654


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011menimbulkan kecurigaan publik terkait motivasi pemerintah yangdidukung TNI begitu ngotot mengajukan RUU ini untuk segera11disahkan DPR.Pada Desember 2008 Kemhan kembali mengajukan RUUKCPN versi lain dengan 8 Bab 44 Pasal. Perubahan yang tampak dariRUU versi sebelumnya antara lain: sanksi pi<strong>dan</strong>a selama-lamanya 6bulan bagi pimpinan instansi, pimpinan perusahaan atau pimpinanba<strong>dan</strong> swasta atau pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memberikesempatan kepada pegawai, pekerja <strong>dan</strong>/atau buruh atau pesertadidik untuk mengikuti dinas atau penugasan sebagai Komcad tanpaalasan yang sah; <strong>dan</strong> sanksi pi<strong>dan</strong>a jika tidak memberi hak-hakanggota Komcad yang mengikuti dinas atau penugasan. Masa dinasaktif Komcad selama 5 tahun <strong>dan</strong> dapat diperpanjang untuk 5 tahunberikutnya, serta ketiadaan ketentuan mobilisasi Komcad hanyauntuk masa perang memungkinkan penggunaan Komcad di masadamai untuk kebutuhan militer. Tidak hilangnya hak-hak yangberhubungan dengan gaji, pendapatan <strong>dan</strong> benefit lainnyamemungkinkan negara memaksa pengeluaran pembiayaan bagi sipil12selama tidak bekerja selain kepada negara.Komponen Ca<strong>dan</strong>gan di Amerika Serikat <strong>dan</strong> Republik FederalJerman13Amerika Serikat (AS)Komcad AS tercatat sudah ada sejak masa awal kemerdekaan negaraitu di akhir abad ke-18, ketika militia terlibat dalam perangkemerdekaan <strong>dan</strong> tentara reguler dibentuk. Saat ini AS memiliki 1,1juta Komcad, yang merupakan 45 % dari total militer AS. ASmemiliki 5 Komcad Federal (Komcad Angkatan Darat (US ArmyReserve), Komcad Angkatan Laut (US Naval Reserve), KomcadAngkatan Udara (US Air Force Reserve), Komcad Korp Marinir (USMarine Corps Reserve), <strong>dan</strong> Komcad Garda Penjaga Perairan (the USCoast Guard Reserve) serta mengorganisir militia (Garda NasionalDarat (Army National Guard) <strong>dan</strong> Garda Nasional Udara (AirNational Guard) yang bisa dikerahkan untuk pelayanan Federalmaupun negara bagian.The Coast Guard adalah pasukan militer di bawahDepartemen Keamanan Dalam Negeri (Department of Homeland11. Newsletter Media & Reformasi Sektor Keamanan <strong>Edisi</strong> VI/09/2008, IDSPS-AJI-FES, September 200812. Departemen Pertahanan, Rancangan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia No .. Tahun .. Tentang KomponenCa<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara, Desember 200813. http://www.nato.int/nrfc/database/usa.pdf, diunduh pada tanggal 20 Februari 201155


FOKUSRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>ganSecurity) yang hanya memiliki fungsi pertahanan di masa perang.Seluruh Komcad bersifat sukarela, mereka bukan wajib militer(military conscripts).Dasar hukumnya adalah Bab 10, US Code of FederalRegulations. Otoritas mobilisasi, personel <strong>dan</strong> batasan waktumerujuk pada Bab 10 USC 12301, 12302, and 12304.Tabel status mobilisasi Komcad AS12301(d)Komcad V olunteers12301(b)15 hari masa dinas12304Mobilisasi Komcadoleh Presiden12302Mobilisasi Parsial12301(a)Mobilisasi Penuh• Membutuhkan persetujuan individuKomcad.• Gubernur harus menyetujuipengaktifannya.• Diharapkan siap sebagai Komcadsampai dengan 15 hari per tahun.• Membutuhkan persetujuangubernur untuk pengaktifan.• Membutuhkan PemberitahuanPresiden kepada Kongres• Tidak membutuhkan KeputusanKongres• Tidak lebih dari 270 hari.• Membutuhkan deklarasi DaruratNasional.• Melaporkan kepada Kongres setiap6 bulan.• Membutuhkan Deklarasi Perangatau Darurat Nasional oleh Kongres.• Mengharuskan kehadiran Kongresdalam pembahasan.• Seluruhnya merupakan ca<strong>dan</strong>gan.• tidak ada pembatasan jumlah• Tidak ada pembatasan waktu• Pelatihan Tahunan• Misi Operasi• Sukarela• Komcad terpilih, bisa sampai dengan 30,000individu yang bersedia (individual readyreserve, IRR)• tidak boleh lebih dari 200,000 Komcadterpilih (selected reserve)• untuk menghadapi ancaman senjatapemusnah massal (weapon of mass destruction) atauancaman/serangan teroris.• Komcad yang tersedia.• Tidak boleh lebih dari 1,000,000 Komcad.• Tidak boleh lebih dari 24 bulan.• Seluruh Komcad termasuk Komcad non-aktif<strong>dan</strong> mantan Komcad.• Tidak ada batasan.• Masa perang atau darurat ditambah 6 bulan.Pada masa Perang Dingin, Komcad merupakan sumber utama balabantuan bagi Komponen Utama AS. Saat ini mereka dibutuhkansebagai misi bantuan militer AS, digunakan dalam perang skala besar,darurat skala kecil, latihan pengerahan ke luar negeri, <strong>dan</strong> operasibantuan kemanusiaan di dalam <strong>dan</strong> luar negeri. Mereka jugaberpartisipasi dalam program antar militer (military-to-military)bersama negara Partnership for Peace (PfP) dalam operasiperdamaian. Mereka memberikan bantuan kepada otoritas sipil <strong>dan</strong>operasi anti narkotika.Hasilnya, Pemerintah AS bisa menata kapabilitaspengamanan dengan biaya rendah. Seluruh seluruh personel Komcad56


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011<strong>dan</strong> Garda terbagi menjadi 3 kategori: 1). Komcad yang tersedia(Ready Reserve); 2). Komcad yang siap beroperasi (StandbyReserve); <strong>dan</strong> 3). Mantan Komcad (Retired Reserve).14Republik Federal JermanKomcad adalah warga negara berkebangsaan Jerman, yang secarasukarela. Panduan Kebijakan Pertahan Jerman yang dikeluarkanPemerintah pada 21 Mei 2003 menjadi dasar restrukturisasi militerJerman (Bundeswehr) <strong>dan</strong> konsep Komcad Jerman. Komcad didisainsesuai kebutuhan misi militer, baik struktur, personel, pelatihan <strong>dan</strong>perlengkapan, sesuai dengan motto, “rancang <strong>dan</strong> latih seperti engkaubertempur” (organize and train as you fight).Pada tahun 2007 militer Jerman dirampingkan dari 495,000personel menjadi 252,500 termasuk wamil. Komcad aktif berjumlah2,350 personel dari sekitar 80,000, seiring upaya pengefektifan <strong>dan</strong>pengurangan anggaran.Komcad terbagi menjadi 3 kelompok: Komcad Balabantuan(Reinforcement Reserve), Komcad Pekerja (Manpower Reserve) <strong>dan</strong>Komcad Umum (General Reserve). Komcad melaksanakan tugastugassebagaimana militer. Di masa damai, Komcad terlibat dalampencegahan krisis internasional <strong>dan</strong> manajemen konflik, mendukungkekuatan sekutu, melindungi negara Jerman <strong>dan</strong> warganya,melakukan operasi penyelamatan <strong>dan</strong> evakuasi, serta kerjasama <strong>dan</strong>perbantuan sebagimana diminta militer.Komcad diberikan pilihan atas fungsi yang mereka inginkandalam masa penugasan. Selama bertugas di militer, masa dinasKomcad tidak lebih dari 90 hari per tahun, kecuali ketika merekabertugas dalam misi pasukan perdamaian di luar teritori RepublikFederal Jerman. Dalam tugas semacam ini, masa dinas merekamaksimum 7 bulan <strong>dan</strong> tidak dapat diperpanjang.Komcad menerima pembayaran berdasarkan kepangkatanketika mereka berdinas. Anggota Reinforcement Reserve <strong>dan</strong>Manpower Reserve mendapat bayaran per hari selama masa dinasminimum 24 hari per tahun, selama tiga tahun. Mereka juga mendapatfasilitas pakaian, makanan <strong>dan</strong> perumahan selama masa dinas.Pensiunan personel militer dapat terlibat dalam Komcad sampaidengan usia 65 tahun, mendapat tambahan pembayaran pensiun.Seluruh Komcad yang ditugaskan di luar Jerman untuk misi14. http://www.nato.int/nrfc/database/germany.pdf, diunduh tanggal 20 Februari 201157


FOKUSRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>ganpasukan perdamaian atau kemanusiaan mendapat penggantian biayasesuai ketentuan UU. Mereka juga mendapat perawatan kesehatangratis, termasuk pelayanan rumah sakit. UU juga menjamin merekatidak akan kehilangan pekerjaan yang sudah digeluti sebelum merekaberdinas secara sukarela sebagai Komcad, termasuk tetap akanmenerima gaji, yang akan diganti oleh Pemerintah Jerman kepadamajikan tempat yang bersangkutan bekerja. Dengan demikian tempatmereka bekerja akan dengan senang hati mengizinkan Komcadberdinas karena mereka tidak dirugikan.Komcad juga menerima pelatihan dasar <strong>dan</strong> lanjutansebagaimana militer aktif, namun tetap disesuaikan dengan pilihandinas yang diinginkan. Kondisi ini dikecualikan dalam masa perang,dimana menurut UU Komcad dibutuhkan untuk memperkuat militer,sehingga mereka dilatih berdasarkan panggilan dinas <strong>dan</strong> kebutuhanmasa darurat yang ditetapkan oleh parlemen (Bundestag).Komcad yang disiapkan untuk penanganan bencana alam <strong>dan</strong>perlindungan rakyat Jerman pada masa damai harus tetap mengikutipelatihan dengan mendatangi pusat pelatihan Komcad <strong>dan</strong> padawaktu-waktu tertentu bekerjasama dengan ba<strong>dan</strong>-ba<strong>dan</strong> pemerintahterkait.Catatan Kritis atas RUU KCPNBagaimana respon terhadap RUU KCPN? Secara umum, keberatan<strong>dan</strong> kritik yang terkait dengan RUU tersebut berhubungan dengankekuatiran terlanggarnya hak konstitusional warga negara. RUU inidianggap belum menjadi kebutuhan terkait reformasi TNI. KehadiranKomcad diyakini bakal menimbulkan masalah pen<strong>dan</strong>aan mengingatkemampuan penganggaran KCPN yang lemah. Jika dipaksakandipastikan akan merugikan sektor lain.a. Ancaman Terhadap Hak Konstitusional Warga NegaraTerkait dengan ancaman terhadap hak konstitusional warga negara,RUU KCPN dianggap bertentangan atau berpotensi melanggarbeberapa hak, terutama hak untuk hidup, (right to life), hak ataskebebasan <strong>dan</strong> keamanan (right to liberty and security), kebebasanuntuk berpikir, hati nurani <strong>dan</strong> beragama (freedom of thought,conscience and religion), serta hak untuk mendapat perlakuan samadi muka hukum (right to be treated equal before the law). Hak ini58


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011dianggap merupakan hak tidak dapat dikurangi dalam keadaan15apapun.Komisi Tinggi <strong>HAM</strong> Perserikatan Bangsa-Bangsa telahmengeluarkan Resolusi 1998/77 mengenai penolakan wajib militeroleh seseorang yang dikenal dengan Conscientious Objection, yaitupenolakan serius berdasarkan kepercayaannya atau pan<strong>dan</strong>gankeagamaan. Resolusi tersebut meminta negara untuk tidakmelakukan tindakan-tindakan berupa penghukuman atas penolakanini.Dalam hal negara mewajibkan bela negara, maka wamil atauKomcad dapat diganti dengan pelayanan dalam bentuk lain(alternative service) yang sesuai dengan kehendak yangbersangkutan <strong>dan</strong> bukan merupakan penghukuman (misalnya denganmasa dinas yang lebih lama). Dalam kasus seseorang yang terpaksameninggalkan negara asalnya karena ketakutan akibat ancamanhukuman atas penolakan wamil atau Komcad, Resolusi jugamengharuskan pemberian suaka (granting asylum) sebagaimana16diatur dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi.Dalam RUU versi terakhir, tercantum sederatan sanksipi<strong>dan</strong>a. Sanksi diatur dari Pasal 38 sampai Pasal 42 RUU. Ketentuantersebut meliputi sanksi pi<strong>dan</strong>a kurungan paling lama 2 tahun bagi:1). Setiap orang yang dengan sengaja membuat atau menyuruhmembuat orang lain dengan suatu pemberian atau janji,mempengaruhi, menggunakan kekerasan atau ancamankekerasan, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, memberikesempatan <strong>dan</strong> memberi keterangan, sengaja menggerakkanorang lain untuk tidak melaksanakan panggilan ataumenyebabkan orang lain tidak memenuhi syarat untuk menjadianggota Komcad; apabila perbuatan tersebut dilakukan olehseseorang karena jabatan atau kedudukannya, pi<strong>dan</strong>anyaditambah 1/3 (satu per tiga);2). Setiap Anggota Komcad yang tidak melaksanakan penugasanpada saat mobilisasi tanpa alasan yang sah; <strong>dan</strong>3). Setiap Anggota Komponen Ca<strong>dan</strong>gan yang menolakperpanjangan masa bakti pada saat mobilisasi tanpa alasan yangsah.Juga diatur ketentuan pi<strong>dan</strong>a kurungan paling lama 1 tahun bagi:1). Setiap orang yang memenuhi persyaratan, namun sengaja tidak15. Bhatara Ibnu Reza, Reformasi Legislasi Sektor Keamanan Indonesia 2008-2009: Reformasi Tanpa Arah, dalamBeni Sukadis (ed), Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 2009, Lesperssi-DCAF, 2009, hal. 28516. Tim Imparsial, Reformasi di Persimpangan; Rancangan Komponen Ca<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara, Jakarta, 2008,hal. 18-2059


FOKUSRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>ganmematuhi panggilan menjadi anggota Komcad tanpa alasan yangsah;2). Setiap orang yang sengaja melakukan tipu muslihat atau rangkaiankebohongan yang menyebabkan dirinya tidak memenuhi syaratmenjadi anggota Komcad;3). Setiap orang yang sengaja melakukan tipu muslihat atau rangkaiankebohongan yang menyebabkan dirinya ditangguhkan menjadianggota Komcad;4). Setiap anggota Komcad yang tidak melaksanakan dinas aktiftanpa alasan yang sah; <strong>dan</strong>5). Setiap pemilik, penanggung jawab, atau pengelola sumber dayaalam (SDA), sumberdaya buatan (SDB), sarana <strong>dan</strong> prasarananasional yang sengaja tidak memenuhi kewajiban menyerahkanpemakaiannya.RUU juga memberikan sanksi pi<strong>dan</strong>a kurungan paling lama 6bulan bagi pimpinan instansi, pimpinan perusahaan atau pimpinanba<strong>dan</strong> swasta atau pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memberikesempatan kepada pegawai, pekerja <strong>dan</strong>/atau buruh atau pesertadidik untuk mengikuti dinas atau penugasan sebagai Komcad tanpaalasan yang sah.Adapun “alasan yang sah” untuk penangguhan sebagimanadimaksud RUU ini dijelaskan pada Pasal 12 ayat (1), yaitu:a. sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;b. keberadaannya diperlukan masyarakat;c. se<strong>dan</strong>g menjalani tahap ujian akhir atau tugas akhir pendidikanyang tidak dapat ditinggalkan;d. se<strong>dan</strong>g menunaikan ibadah haji atau ibadah lain sesuai denganagamanya; ataue. se<strong>dan</strong>g melaksanakan tugas penting yang tidak dapat digantikanoleh orang lain.Kesimpulan yang muncul dari penangguhan sebagai alasansah untuk tidak menjadi anggota Komcad ini adalah a<strong>dan</strong>yaketidaksetaraan antara kewenangan negara menangguhkan <strong>dan</strong> hakmasyarakat untuk menolak. Atas nama bela negara, Pemerintah bisamenggunakan paksaan terhadap mereka yang “terpilih” berdasarkanpersyaratan umum <strong>dan</strong> kompetensi untuk dijadikan Komcad.60


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Sementara di sisi lain, mereka yang secara sukarela ingin menjadiKomcad, belum tentu menjadi prioritas karena prinsip rekruitmenmengutamakan mereka yang dipilih ketimbang yang sukarela (Pasal8 <strong>dan</strong> 9 RUU), disertai ancaman sanksi pi<strong>dan</strong>a yang cukup berat jikaterjadi penolakan.Jika dipahami bahwa warga negara memiliki hak untukterlibat dalam pertahanan negara, maka harus dipertimbangkan jugahak warga negara untuk menolak atau meminta penangguhanberdasarkan alasan atau pertimbangan yang bersifat pribadi denganmemperhatikan kebebasan berfikir, berkeyakinan <strong>dan</strong> hak-hak dasarlainnya.b. Komcad Bukan Agenda Prioritas Reformasi Bi<strong>dan</strong>gPertahananSejauh ini sejumlah persoalan yang meliputi TNI sebagai komponenutama pertahanan negara belum selesai. Terkait pelaksanaan UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara misalnya, beberapapersoalan serius yang dianggap belum tuntas antara lain:1. Penyusunan konsep strategis pertahanan negara yang seringkali disebut Strategic Defense Review, yang memperhatikanprinsip demokrasi, <strong>HAM</strong>, kesejahteraan umum, lingkunganhidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional <strong>dan</strong>kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingansecara damai; <strong>dan</strong> memperhatikan kondisi geografisIndonesia sebagai negara kepulauan (Pasal 3). Konsep inimasih dipertanyakan keberadaannya. Pada tahun 2007,Pemerintah pernah mengeluarkan dokumen yang disebutdefense review, yang isinya tidak berbeda jauh dengan BukuPutih Pertahanan yang dikeluarkan Kementerian Pertahanansebagai turunannya.Buku Putih Pertahanan sendiri tidak luput dari kritik karenacara pan<strong>dan</strong>g terhadap ancaman <strong>dan</strong> penangkalannya yangkonvensional <strong>dan</strong> pengabaian pembangunan kekuatanmaritim <strong>dan</strong> teknologi sebagai kebutuhan riil NKRI sebagainegara kepulauan yang sangat luas. Salah satu akibatkelambanan ini adalah kesulitan membangun posturpertahanan yang berbasis pada kebutuhan riil pertahanansebagaimana diatur dalam UU No. 34Tahun 2004.61


FOKUSRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gan2. Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (Pasal 15) sebagaipenasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umumpertahanan <strong>dan</strong> pengerahan segenap komponen pertahanannegara. Dewan yang dipimpin oleh Presiden <strong>dan</strong>beranggotakan Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, MenteriLuar Negeri, Menteri Dalam Negeri, <strong>dan</strong> Panglima TNIsebagai anggota tetap serta anggota tidak tetap dari pejabatyang dianggap relevan sampai dengan saat ini belumterbentuk. Dewan ini merupakan amanat UU, dimana jikatidak terbentuk maka telah terjadi pelanggaran UU olehPresiden.3. Penguatan Kementerian Pertahanan sebagai otoritas politiksipil yang membantu Presiden merumuskan kebijakan umumpertahanan; menetapkan kebijakan penyelenggaraanpertahanan berdasarkan kebijakan umum pertahanan;menyusun buku putih pertahanan; menetapkan kebijakankerjasama bilateral, regional, <strong>dan</strong> internasional; merumuskankebijakan umum penggunaan kekuatan TNI <strong>dan</strong> komponenpertahanan lainnya; menetapkan kebijakan penganggaran,pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional,serta pembinaan teknologi <strong>dan</strong> industri pertahanan yangdiperlukan; <strong>dan</strong> bekerjasama dengan pimpinan departemen<strong>dan</strong> instansi pemerintah lain untuk menyusun <strong>dan</strong>melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumberdaya nasional untuk kepentingan pertahanan. Sejauh iniefektivitas Kemhan melaksanakan fungsi-fungsi ini dianggapmasih jauh dari harapan, karena TNI terkesan masih mengatur<strong>dan</strong> mengembangkan sendiri kebijakan terkait pertahanan.Dalam hal pelaksanaan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI,sejumlah agenda yang dianggap perlu diselesaikan sebagai prioritasantara lain:1. Pembentukan TNI yang profesional (Pasal 2), yaitu tentarayang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidakberpolitik praktis, tidak berbisnis, <strong>dan</strong> dijaminkesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negarayang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, <strong>HAM</strong>,ketentuan hukum nasional, <strong>dan</strong> hukum internasional yang62


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011telah diratifikasi. Sejauh ini masih banyak keluhan atasketidakprofesionalan TNI, terutama terkait perilaku yangbertentangan dengan ketentuan ini, termasuk tindakkekerasan <strong>dan</strong> penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimasa lalu. Atas pelbagai pelanggaran ini, kemampuan hukummenyentuh <strong>dan</strong> mengadili secara fair dianggap masih lemah.2. Memastikan kebijakan <strong>dan</strong> keputusan politik negara (Pasal 7ayat 3) dalam pelaksanaan tugas pokok TNI terkait operasimiliter untuk perang <strong>dan</strong> operasi militer selain perang.Masalah utamanya terkait pelaksanaan operasi militer selainperang, dimana banyak pimpinan militer yang mengeluarkanpernyataan <strong>dan</strong> kebijakan yang bersifat politis, yang notabenemerupakan otoritas Pemerintah.Dalam mengidentifikasi gerakan separatis misalnya, sebagianbesar pengidentifikasian lahir dari militer yang kemudiandijadikan dasar oleh Pemerintah untuk memberikanpersetujuan operasi militer, tanpa mempertimbangkankemungkinan menggunakan pendekatan non-militer.Pengalaman Aceh merupakan salah contoh dalam kasus ini.3. Belum a<strong>dan</strong>ya UU Perbantuan TNI terhadap Polri. PadahalUU mengamanatkan perbantuan ini diatur dalam UU (Pasal 7ayat (2) huruf b nomor 10).4. Memastikan pelaksanan larangan bagi TNI, yaitu untukmenjadi anggota partai politik, melakukan kegiatan politikpraktis, bisnis <strong>dan</strong> dipilih menjadi anggota legislatif maupunjabatan politis lainnya (Pasal 39).Dalam beberapa tahun terakhir ditemukan beberapa perwiraTNI terlibat dalam Pilkada tanpa pengunduran diri sebelummengikuti Pemilihan Umum (Pemilu). Ketika mereka gagal,mereka kembali berdinas aktif di militer. Juga masih banyakditemukan anggota militer aktif yang melakukan kegiatanbisnis, termasuk bisnis yang menggunakan fasilitas <strong>dan</strong>atribut militer seperti jasa pengamanan.5. Pemenuhan kesejahteraan anggota TNI, termasuk hak-hakbagi keluarga mereka untuk mendapatkan faslitas kesehatan,pendidikan, perumahan <strong>dan</strong> pensiun yang layak. Sejauh iniupaya pemenuhannya masih belum maksimal.63


FOKUSRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gan6. Memastikan ketundukan TNI pada kekuasaan peradilanumum dalam hal pelanggaran hukum pi<strong>dan</strong>a umum yangdiatur UU (Pasal 65). Selama ini peradilan militer masihmerupakan hambatan untuk pengakan hukum ataspelanggaran pi<strong>dan</strong>a umum (termasuk pelanggaran <strong>HAM</strong>)yang melibatkan anggota TNI, selain karena memasukijurisdiksi peradilan umum, peradilan militer menjadimekanisme impunitas melalui putusan-putusannya ataspelanggaran oleh anggota TNI yang seringkali lemah <strong>dan</strong>merugikan hak korban.7. Pengambilalihan seluruh bisnis yang dimiliki <strong>dan</strong> dikelolaTNI, baik secara langsung maupun tidak langsung (Pasal 76).Proses yang seharusnya selesai pada Oktober 2009 lalu masihterlantar, belum terselesaikan sepenuhnya, termasuk dalamhal penegakan hukum terkait korupsi <strong>dan</strong> pelanggaran lainnyadalam bisnis-bisnis tersebut. Sumber persoalannya terletakpada tia<strong>dan</strong>ya kemauan <strong>dan</strong> kemampuan Presiden, sehinggaproses pengabilalihan bisnis TNI tidak selesai pada 2009,yang dapat dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap UUTNI.Dengan sejumlah “pekerjaan rumah” di atas, maka pengajuanRUU KCPN menjadi tidak mendesak. Upaya untuk mendahulukanpengajuan RUU KCPN sebelum UU Strategis lainnya, seperti UUKeamanan Nasional <strong>dan</strong> UU Perbantuan TNI, menjadi sulitdimengerti urgensinya.Pengamat militer Edy Prasetyono mengajukan perlunyakajian atas 3 hal sebelum pengajuan RUU KCPN, yaitu: 1). Kekuatanriil TNI <strong>dan</strong> kebutuhan back up Komcad; 2). Kejelasan tujuanKomcad, yang bisa diterima jika untuk mengatasi ancaman eksternal(setelah pemerintah mengindetifikasi ancaman tersebut); <strong>dan</strong> 3).Kejelasan kompensasi, terutama terkait dengan keahlian yang harus17dibayar layak ketika seseorang menjadi Komcad. Usulan Edymenunjukkan keputusan untuk membangun Komcad tidak bisa asalasalan<strong>dan</strong> bukan perkara mudah.17. Ibid, hal. 8664


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011c. Masalah Anggaran KomcadMeskipun Pasal 37 RUU KCPN versi Desember 2008 menyatakanpen<strong>dan</strong>aan Komcad bersumber dari APBN, namun dalampenjelasannya dinyatakan, “..namun mengingat penyelenggaraanKomponen Ca<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara berkaitan pula dengankepentingan daerah, tidak menutup kemungkinan a<strong>dan</strong>ya sumberpen<strong>dan</strong>aan yang sah seperti bantuan/hibah pemerintah daerah,swasta, <strong>dan</strong> masyarakat.”Pembiayaan Komcad melalui APBD jelas menyalahiketentuan tentang pembiayaan anggaran pertahanan <strong>dan</strong> memerumitpertanggungjawaban penggunaan APBD, serta berpotensi membukapeluang penyimpangan <strong>dan</strong> penyalahgunaan atasnama pembiayaanKomcad.Di sisi lain, pembiayaan oleh daerah menyebabkan kesulitanuntuk melakukan kontrol <strong>dan</strong> kendali yang terpusat dalam halpenggunaan Komcad. Apalagi jika ada pembiayaan yang bersumberdari swasta <strong>dan</strong> masyarakat, maka sudah dipastikan akan memberikanpengaruh terhadap independensi pemerintah, TNI <strong>dan</strong> Komcad,terutama dalam hal membatasi pengaruh <strong>dan</strong> tukar-menukarkepetingan di balik bantuan pen<strong>dan</strong>aan tersebut.UU No. 3 Tahun 2002 dengan tegas menentukan bahwaurusan pertahanan murni dibiayai negara melalui APBN (Pasal 25).Berkaca dari pengalaman sebelumnya, Pemerintah akan merujukpada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 32 tahun2008 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2009,yang mengatur secara jelas mengenai mekanisme pemberian hibahkepada intansi vertikal, termasuk TNI <strong>dan</strong> Polri. Meski demikian,semangat dari Permendagri ini jelas bertentangan dengankepentingan pengembangan tata kelola sektor pertahanan, terutamamengacu pada kepastian hukum <strong>dan</strong> kepentingan umum.Bacaan yang muncul kemudian adalah anggapan bahwaKCPN merupakan proyek dari TNI untuk memperoleh anggaran dari18sumber-sumber non APBN.Kembali pada kritik yang pernah disampaikan kelompokkerja Propatria, RUU KCPN secara umum setidaknya harus19memperhatikan beberapa hal berikut ini:1. Perlunya kebijakan pertahanan negara <strong>dan</strong> keputusan politikPresiden sebagai dasar pembentukan Komcad (Pasal 13-1418. Bhatara Ibnu Reza, Tiga Alasan Menolak Susbtansi RUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara:Suatu Kritik, makalah, 2010, hal. 8-919. http://www.propatria.or.id/loaddown/Kajian%20Kritis/Kajian%20Kritis%20Terhadap%20RUU%20Komponen %20Ca<strong>dan</strong>gan%20Pertahanan%20Negara%20%5BApril%202003%5D.pdf, diunduh pada20 Februari 201165


FOKUSRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gan<strong>dan</strong> 16 UU No. 3 tahun 2002), tidak cukup hanya berpegangpada Pasal 7, 8, <strong>dan</strong> Pasal 9 UU No. 3 tahun 2002.2. Sebagai bagian dari kerangka pembangunan sistempertahanan, pembentukan Komcad merupakan bagian darisistem pertahanan negara. Namun hingga saat ini Indonesiabelum memiliki perencanaan pertahanan (defense planning)yang didasarkan pada strategic defense review yang memuatanalisis kebutuhan <strong>dan</strong> pembacaan ancaman.3. Perlu penjelasan tentang perbedaan Komcad dengan Wamilyang “tercampuraduk” dalam RUU KCPN.4. Perumusan syarat-syarat pengangkatan SDM <strong>dan</strong> penetapanSDA, SDB, sarana <strong>dan</strong> prasarana sebagai Komcad, tidakberimbang, lebih menekankan SDM.5. Harus disiapkan mekanisme yang memungkinkan warganegara menolak untuk diangkat <strong>dan</strong> ditetapkan sebagaiKomcad.6. Struktur Komcad yang tidak disesuaikan sesuai dengan fungsisebagai pemberi dukungan kepada komponen utama, yangditata berdasarkan faktor: (a) fungsi Komcad; (b)relevansinya dalam memberi dukungan kepada komponenutama; <strong>dan</strong> (c) postur kekuatan komponen utama.7. Ketidakjelasan rumusan fungsi Komcad. Lazimnya Komcadmengikuti fungsi pertahan, yaitu fungsi intelijen, fungsitempur <strong>dan</strong> fungsi territorial. Penggunaannya harus untukmenghadapi ancaman eksternal, bukan untuk operasi militerselain perang. Penggunaan Komcad harus didasarkan padakeputusan politik, kebutuhan fungsional, pembatasan waktu,<strong>dan</strong> dikerahkan berdasarkan skala ancaman <strong>dan</strong> kebutuhanpenguatan komponen utama.8. Pembentukan Komcad sangat tergantung pada kemampuankeuangan negara karena pembiayaannya harus sepenuhnyaberasal dari anggaran negara.9. Perlu diatur mekanisme pengawasan penggunaan keuanganKomcad.PenutupPenyusunan RUU KCPN yang dilakukan dengan persoalanpersoalanseperti 1). Belum tuntasnya agenda reformasi pertahanan66


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011lainnya; 2). Mengandung masalah terkait potensi pelanggaran hukum<strong>dan</strong> <strong>HAM</strong>; 3). A<strong>dan</strong>ya ketidakjelasan anggaran pembiayaan Komcaddari total anggaran pertahan <strong>dan</strong> kemungkinan untuk dapat dibiayaidari anggaran tersebut; <strong>dan</strong> 4). Tidak a<strong>dan</strong>ya assessment atasancaman <strong>dan</strong> kekuatan komponen utama, semakin menunjukkanketidakrelevanan pengajuannya saat ini, baik ditinjau dari kebutuhanlegislasi sektor pertahanan maupun kebutuhan pertahanan negarasendiri.Pembentukan yang tergesa-gesa ini mengesankan bahwatujuan pembentukan Komcad melalui RUU ini adalahmelipatgandakan kekuatan TNI, bukan untuk memperkuat sistempertahanan, mengingat rumusan sistem pertahanan Indonesia masihsimpang siur rujukannya.Akibatnya, Komcad dimungkinkan melakukan tugas yangtidak berbeda dengan TNI, termasuk dalam tugas operasi militerselain perang, yang tidak menjadi bagian dari rancangan sistempertahanan negara (yang murni ditujuan untuk menghadapi ancamaneksternal <strong>dan</strong> memungkinkan pelibatan Komcad jika dibutuhkankomponen utama).Komcad seharusnya tidak ditujukan untuk dikerahkan padamasa darurat sipil <strong>dan</strong> darurat militer, apalagi untuk operasi militerselain perang. Kerancuan antara Komcad, komponen pendukung <strong>dan</strong>Wamil serta kemungkinan, pembiayaan dari APBD atau swasta <strong>dan</strong>indvidu menambah kerumitan pemahaman atas maksud <strong>dan</strong> tujuanRUU ini.Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa RUU KCPN menjadiagenda yang tidak relevan untuk diprioritaskan saat ini olehPemerintah, termasuk dijadikan sebagai agenda Prolegnas 2009-2014. Pemerintah perlu memprioritaskan legislasi lain seperti RUUKeamanan Nasional, RUU Intelijen <strong>dan</strong> amandemen UU PeradilanMiliter. RUU KCPN yang akan diajukan kembali setelah selesainyaprioritas-prioritas lain terkait reformasi sektor keamanan harusmendapat kajian yang komprehensif, dengan memperhatikan prinsipprinsipdemokrasi, tata pemerintahan yang baik, <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> partisipasipublik.67


DISKURSUS


Komnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Tantangannya Dewasa IniIfdhal KasimPengantarKomisi Nasional Hak Asasi Manusia (yang lebih dikenal denganKomnas <strong>HAM</strong>) merupakan salah satu dari pilar terpentingmekanisme nasional perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.Dikatakan sebagai salah satu, karena paska kolaps-nya Orde Baru,lahir berbagai institusi-institusi serupa yang disiapkan untukmenyelesaikan masalah-masalah terkait dengan perlindungan hak1asasi manusia. Mulai dari Komisi Anti Kekerasan terhadapPerempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan AnakIndonesia (KPAI), hingga pada pembentukan Mahkamah Konstitusi.Kehadiran institusi-institusi hak asasi manusia di atassekaligus menunjukan komitmen yang kuat dari pemerintahan masaReformasi. Komitmen politik yang kuat tersebut boleh dikatakanlahir sebagai bagian dari kesadaran baru dalam pengelolaan <strong>dan</strong>pengaturan negara setelah kehancuran tatanan kehidupanberdemokrasi selama pemerintahan otoriter di masa lalu.Tonggak terpenting dari komitmen politik itu adalahpengakuan hak asasi manusia ke dalam konstitusi (UUD). Walaupunsebelumnya telah disahkan sebuah TAP MPR tentang Hak AsasiManusia, diun<strong>dan</strong>gkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak AsasiManusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>, <strong>dan</strong>disertai dengan ratifikasi terhadap beberapa konvensi internasionalhak asasi manusia yang penting, menjadikan hak asasi manusiasebagai hak konstitusional jelas merupakan langkah yang sangatstrategis. Komitmen-komitmen yang tertuang dalam politik legislasiini semakin memperkokoh kehadiran institusi-institusi yang menjadibagian dari mekanisme nasional perlindungan hak asasi manusia.Fokus bahasan tulisan ini tertuju pada Komisi Nasional Hak1. Lihat Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime, Martinus Nijhoff Publishers:Leiden, 2003.71


DISKURSUSKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> TantangannyaAsasi Manusia—komisi bi<strong>dan</strong>g <strong>HAM</strong> yang telah lahir jauh sebelumReformasi bergulir. Saya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaanini: (i) apa respon Komnas <strong>HAM</strong> terhadap tuntutan publik ataspenyelesaian kejahatan hak asasi manusia saat ini <strong>dan</strong> masa lalu; (ii)apa yang menjadi problem institusional yang menghambat prosespenyelidikan hak asasi manusia oleh Komnas <strong>HAM</strong> saat ini; <strong>dan</strong> (iii)bagaimana gambaran relasi institusional antara Komnas <strong>HAM</strong>dengan institusi lain dalam penegakan <strong>HAM</strong>?Pengalaman personal saya dalam mengelola Komnas <strong>HAM</strong>selama kurang lebih empat tahun ini akan saya jadikan basis dalamrangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena itu, apayang coba saya paparkan dalam tulisan ini tidak menggambarkanpan<strong>dan</strong>gan institusional. Ini hanya pan<strong>dan</strong>gan-reflektif personal, olehkarena itu di sana-sini pasti ada subyektifitas yang tak terhindar.Komnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> MandatnyaBerbeda saat berada di bawah pemerintahan Orde Baru, sekarang(masa Reformasi) Komnas <strong>HAM</strong> memperoleh basis hukum yanglebih kuat, yaitu di bawah UU. Tidak lagi diatur oleh KeputusanPresiden (Keppres), tetapi oleh sebuah un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yangdihasilkan di awal Reformasi. Tepatnya, Komnas <strong>HAM</strong> diatur dalamUU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain berbedabasis hukumnya, lingkungan politik tempat dimana Komnas <strong>HAM</strong>beroperasi juga sudah jauh berubah dengan masa sebelumnya.Sekarang ini Komnas <strong>HAM</strong> hidup di lingkungan politik jauhlebih terbuka (demokratis), dibanding dengan periode sebelumnya dimasa Orde Baru yang otoriter. Berada pada lingkungan politik yangbaru itu, mau tidak mau mengharuskan Komnas <strong>HAM</strong> untukmeninjau ulang peran strategisnya sesuai dengan lingkungan barutersebut. Tidak bisa dipungkiri lingkungan eksternal ini memberikontribusi yang signifikan terhadap efektifitas perlindungann olehKomnas <strong>HAM</strong>.Meski dibentuk oleh negara, <strong>dan</strong> karenanya merupakanbagian dari apparatus negara, Komnas <strong>HAM</strong> bukan dengansendirinya adalah cabang dari Pemerintah. Komnas <strong>HAM</strong> merupakaninstitusi yang independen. Ia tidak berada di bawah kontrol atau72


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011authority cabang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Independenbukan berarti Komnas <strong>HAM</strong> sama dengan organisasi non-pemerintah(NGO), melainkan independen dalam menjalankan perannya. “Thedifferences between NGOs and National Human Rights Institution(NHRI) are perhaps most pronounced with regard to the investigationof complaints. NHRI are neutral fact finders, not advocates for one2side or another”.Komnas <strong>HAM</strong> dengan demikian adalah institusi negara yangunique—yang dalam UU No. 39 tahun 1999 dirumuskan dalambahasa “setingkat lembaga negara”, yang dimandatkan untukmengawasi pemajuan <strong>dan</strong> perlindungan hak asasi manusia olehpembentuknya sendiri, yaitu Negara. Independensi adalah katakuncinya. Walaupun dalam menjalankan perannya, Komnas <strong>HAM</strong>baik secara langsung atau tidak dapat dimintai pertanggungjawabanoleh Parlemen (DPR).Dalam posisinya yang independen itulah Komnas <strong>HAM</strong> harusmeletakkan kembali peran strategisnya di tengah lingkunganeksternal yang berubah tersebut. Untuk itu marilah kita lihat peranyang diberikan UU N0. 39 tahun 1999 kepada Komnas <strong>HAM</strong>.Berdasarkan UU tersebut, Komnas <strong>HAM</strong> diperintahkan untukmencapai tujuan berikut ini:a) Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaanhak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, <strong>dan</strong>Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta DeklarasiUniversal Hak Asasi Manusia;b) Meningkatkan perlindungan <strong>dan</strong> penegakan hak asasimanusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesiaseutuhnya <strong>dan</strong> kemampuannya berpartisipasi dalam berbagaibi<strong>dan</strong>g kehidupan (Pasal 75).Inilah mandat yang digariskan dalam UU yang harusdijalankan oleh Komnas <strong>HAM</strong>. Untuk mencapai tujuan yangdimandatkan tersebut, kepada Komnas <strong>HAM</strong> diberikan tugas untukmelaksanakan fungsi-fungsi: a). pengkajian <strong>dan</strong> penelitian; b).penyuluhan <strong>dan</strong> pendidikan; c). pemantauan <strong>dan</strong> penyelidikan; <strong>dan</strong>d). mediasi tentang hak asasi manusia.Di samping menjalankan tugas <strong>dan</strong> fungsi sebagaimana2. Lihat, National Human Rights Institutions: History, Principles, Roles and Responsibilities, UN:New York-Geneva, 2010. hal 13.73


DISKURSUSKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Tantangannyadiamanatkan oleh UU No.39 tahun 1999, Komnas <strong>HAM</strong> jugadiberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan bagikepentingan penuntutan atas pelanggaran berat hak asasi manusia(pro-justicia). Kewenangan ini diberikan oleh UU No. 26 tahun 2000tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam menjalankan fungsiini, Komnas <strong>HAM</strong> dapat membentuk tim ad hoc (KPP) yanganggotanya dapat direkrut dari masyarakat.Reformasi: Menjawab Tantangan BaruSetelah memaparkan tentang kedudukan <strong>dan</strong> mandat Komnas <strong>HAM</strong>,kini kita tiba pada pertanyaan: apa yang dilakukan Komnas <strong>HAM</strong>terkait dengan tuntutan publik atas penyelesaian kejahatan hak asasimanusia saat ini <strong>dan</strong> masa lalu? Saya ingin menjawab pertanyaan inidengan meletakkannya pada proses reformasi yang berlangsungsecara keseluruhan di mana Komnas <strong>HAM</strong> terlibat di dalamnya.Pada tahun pertama reformasi, MPR mengesahkan sebuahketetapan berkaitan dengan hak asasi manusia, yaitu TAP MPRNo.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudiandiikuti dengan amandemen pasal-pasal hak asasi manusia ke dalamUUD 1945 pada tahun 2000. Lahirnya Ketetapan ini merupakan titikawal dari perubahan pada tatanan hukum Indonesia. UU yangmemberi jaminan <strong>dan</strong> perlindungan terhadap hak asasi manusia <strong>dan</strong>kebebasan dasar mulai bermunculan, termasuk ratifikasi terhadapinstrumen hak asasi manusia internasional maupun konvensikonvensiILO. Dimulai dengan pengesahan UU No. 8 tahun 1998tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum,diikuti dengan pencabutan UU No. 11/PNPS/1963 tentangPemberantasan Kegiatan Subsversi, lalu ratifikasi terhadap KonvensiInternasional Menentang Penyiksaan melalui UU No. 5 tahun 1998,Presiden BJ Habibie kemudian mengeluarkan Keppres tentangRencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Keppres No. 129 tahun1998), <strong>dan</strong> membentuk Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan(Keppres No. 181 tahun 1998).Pada tahun berikutnya (1999), Pemerintah reformasi <strong>dan</strong>DPR kembali mengesahkan UU yang memperkuat jaminanperlindungan hak asasi manusia, yaitu: UU No. 39 tahun 1999 tentang74


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Hak Asasi Manusia, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers(yang melarang sensor <strong>dan</strong> breidel), UU No. 19 Tahun 1999 tentangRatifikasi Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa,UU No. 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO N0.111tentang Penghapusan Diskriminasi dalam Pekerjaan <strong>dan</strong> Jabatan, <strong>dan</strong>UU No. 26 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No, 138tentang Usia Minimun Anak Diperbolehkan Bekerja. Selain itu, padatahun ini, Presiden BJ Habibie juga mengeluarkan Perpu No.1 tahun1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.Proses penyusunan standard-setting hak asasi manusia terusberlanjut baik pada masa kepresidenan KH. Abdurachman Wahid(Gus Dur), Megawati Soekarno Putri maupun di masa SusiloBambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). Di masa kepresidenanGus Dur, DPR mengesahkan UU No. 26 tahun 2000 tentangPengadilan Hak Asasi Manusia. UU ini lahir karena ditolaknya PerpuNo. 1 tahun 1999 yang diterbitkan oleh Presiden BJ Habibie, selainkarena tekanan internasional yang keras paska terjadinyapelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat di Timor Timur pada September 1999.Perubahan lain yang terpenting pada tahun 2000 adalahdikeluarkannya TAP MPR yang memberi amanat kepada pemerintahuntuk menuntaskan agenda reformasi, selain amandemen pasal-pasalhak asasi manusia dalam UUD 1945. Ketetapan yang dimaksud,antara lain, TAP MPR No.V/MPR/2000 tentang PemantapanPersatuan <strong>dan</strong> Kesatuan Nasional, TAP MPR No.VI/MPR/2000tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia <strong>dan</strong> KepolisianNegara Republik Indonesia, <strong>dan</strong> TAP MPR No.VII/MPR/2000tentang Peran TNI <strong>dan</strong> Polri.Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 berisi tentang amanatuntuk membentuk Komisi Kebenaran <strong>dan</strong> Rekonsiliasi (KKR)sebagai lembaga ekstra-judisial yang bertugas mengungkapkebenaran atas praktik penyalahgunaan kekuasaan <strong>dan</strong> pelanggaranhak asasi manusia di masa Soeharto.Pada masa kepresidenan Megawati Soekarno Putri, TAP MPRNo. V/MPR/200 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengandisahkannya UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran <strong>dan</strong>Rekonsiliasi (KKR). Di bawah Presiden Megawati pula, pendirian75


DISKURSUSKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Tantangannya<strong>dan</strong> proses seleksi anggota KKR mulai dilakukan. Namun belumsepenuhnya diterapkan, pada masa kepresidenan SBY-JK, UU inikemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Di masa Megawatipula dilakukan revisi terhadap un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g pemberantasankorupsi <strong>dan</strong> terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Sementara di masa kepresidenan SBY-JK, legislasi yangpenting lainnya yang lahirkan adalah ratifikasi instrumeninternasional hak asasi manusia yang mendasar, yaitu: (i) KovenanInternasional Hak-hak Ekonomi, Sosial <strong>dan</strong> Budaya melalui UU No.11 tahun 2005; <strong>dan</strong> (ii) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil <strong>dan</strong>Politik melalui UU No. 12 tahun 2005.Kalau di atas dipaparkan mengenai pengembangan standardsetting, paparan berikut akan tertuju pada upaya-upaya yangdilakukan dalam penegakan standard-setting tersebut. Kerusuhan 13-15 Mei 1998, yang diwarnai dengan a<strong>dan</strong>ya perkosaan, adalah kasuspertama yang diselidiki oleh pemerintahan BJ. Habibie. Dimulaidengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), 23 Juli1998, sebagai reaksi terhadap tuntutan publik agar kerusuhan Mei1998 diungkap dengan tuntas; diselidiki latar belakangnya, luasnyaperistiwa, korban <strong>dan</strong> penanggungjawabnya.Di tengah kontroversi yang muncul ketika itu, TGPFmengeluarkan yang ditunggu-tunggu oleh publik, yaitu hasiltemuannya. TGPF menemukan a<strong>dan</strong>ya pelanggaran hak asasimanusia yang serius pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998:peristiwa ini merupakan satu kerusuhan yang terencana <strong>dan</strong>sistematis. Berdasartkan pada temuannya itu, TGPFmerekomendasikan kepada Presiden untuk segera mengambillangkah-langkah penyidikan, <strong>dan</strong> langkah-langkah yuridis terhadappara pelaku, melakukan rehabilitasi <strong>dan</strong> pemberian kompensasiterhadap para korbannya. Namun demikian, perlu ditambahkan disini, bahwa hasil penyelidikan TGPF tidak ditindaklanjuti ke tahapberikutnya. Akhirnya Komnas <strong>HAM</strong> mengambil inisiatif menyelidikikembali peristiwa ini dengan membentuk KPP <strong>HAM</strong> untuk PeristiwaMei 1998.Kasus kedua yang diselidiki adalah pemberlakuan DOM diAceh. DOM adalah singkatan dari Daerah Operasi Militer, sebuah76


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011nama operasi militer yang diberlakukan di Aceh dalam upayamenumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Presiden BJ Habibiemengeluarkan Keppres No. 88 tahun 1999 tentang PembentukanKomite Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. MelaluiKeppres tersebut Presiden memberikan mandat kepada komite untukmenyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsungdi Aceh selama penerapan DOM, sekaligus menyelidiki kasuspenembakan <strong>dan</strong> pembunuhan Teungku Bantaqiah <strong>dan</strong> pengikutnyadi Beutong Ateh, Kabupaten Aceh Barat, yang justru terjadi di awalreformasi, yakni pada 23 Juli 1999. Komite ini dipimpin oleh seorangtokoh Aceh, Amran Zamzami, yang berlatar belakang bisnis.Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan, Komitemenemukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius dengankorban yang sangat besar di kalangan masyarakat sipil Aceh padamasa DOM. Se<strong>dan</strong>gkan pada peristiwa penyerbuan militer ke pondokpesantren Teungku Bantaqiah, Komite menemukan tindakan yang diluar prosedur dilakukan oleh tentara. Atas dasar temuan tersebut,Komite memberikan rekomendasi kepada Presiden agar segeramenindaklanjuti ke proses hukum hasil penyelidikannya. Tetapisayangnya, rekomendasi yang dijalankan Pemerintah hanya terbataspada kasus pembunuhan Teungku Bantaqiah, <strong>dan</strong> perkosaan diRumoh Geudong (Aceh Pidie). Kasus ini oleh Menteri Negara HakAsasi saat itu, Hasballah M.Saad, ditindaklanjuti dengan menggelarPengadilan Koneksitas di Banda Aceh.Se<strong>dan</strong>gkan kasus ketiga yang diselidiki adalah kasus yangmenghebohkan dunia, yaitu pembumihangusan di Timor Timur pascajajak-pendapat awal September 1999. Peristiwa ini kembali memaksaPemerintah B.J. Habibie harus menangani dengan cepat kasus ini.Masyarakat internasional mengecam keras peristiwa ini. KomisarisTinggi Hak Asasi Manusia PBB, Mary Robinson, mendesak digelarpenyelidikan internasional (international fact-finding mission)terhadap kasus tersebut. Presiden Habibie kemudian menerbitkanPerpu No.1 tahun 1999 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong> sebagai responterhadap desakan pembentukan international tribunal olehmasyarakat internasional (PBB).Terbitnya Perpu No. 1 tahun 1999 memang tak lepas dari pro<strong>dan</strong> kontra. Meski demikian, Komnas <strong>HAM</strong> tetap mengambil inisiatifmembentuk Tim Penyelidikan untuk mengungkap dugaan77


DISKURSUSKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Tantangannyapelanggaran hak asasi manusia yang massif di wilayah bekas provinsike-27 Indonesia tersebut. Tim penyelidikan ini diberi nama KPP-<strong>HAM</strong> Timor Timor, <strong>dan</strong> beranggotakan tokoh-tokoh hak asasimanusia yang kredibel. Ruang lingkup penyelidikannya ditentukanmulai dari pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak Januari1999 sampai dikeluarkannya TAP MPR pada Oktober 1999 yangmengesahkan hasil jajak pendapat.KPP-<strong>HAM</strong> Timor Timur menemukan yang terjadi di TimorTimur pasca jajak pendapat merupakan pelanggaran hak asasimanusia yang berat, yang mengarah kepada kejahatan terhadapkemanusiaan (crimes against humanity). Kasus inilah yang untukpertamakalinya diajukan ke pengadilan hak asasi manusia –segerasetelah pengesahan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HakAsasi Manusia.Pasca disahkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang PengadilanHak Asasi Manusia, Komnas <strong>HAM</strong> mulai melakukan penyelidikanterhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, khususnyapelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa Orde Baru.Berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, <strong>dan</strong>paska 1999 satu demi satu mulai disentuh oleh Komnas <strong>HAM</strong>.Diawali dengan pembentukan KPP-<strong>HAM</strong> Peristiwa Tanjung Priok,<strong>dan</strong> kemudian dilanjutkan dengan pembentukan KPP-<strong>HAM</strong>Peristiwa Abepura (Papua), KPP-<strong>HAM</strong> Peristiwa Trisakti, SemanggiI & II, KPP-<strong>HAM</strong> Kerusuhan Mei 1998, KPP-<strong>HAM</strong> PenghilanganOrang Secara Paksa, <strong>dan</strong> KPP-<strong>HAM</strong> Peristiwa Talangsari, Lampung.Dari penyelidikan yang dilakukan oleh berbagai KPP-<strong>HAM</strong> tersebut,hanya hasil penyelidikan KPP-<strong>HAM</strong> Peristiwa Tanjungpriok yangditindaklanjuti dengan pembentukan Pengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc untukPeristiwa Tanjungpriok. Sementara hasil penyelidikan oleh KPP-<strong>HAM</strong> lainnya, hingga sekarang, masih belum ditindaklanjutipenyidikannya oleh Jaksa Agung dengan alasan belum terbentuknyaPengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc untuk masing-masing peristiwa.Tabel di bawah ini menyajikan lebih lanjut kasus-kasuspelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang telah diinvestigasioleh Komnas <strong>HAM</strong> pada masa kepresidenan B.J. Habibie, KH.Abdurrahman Wahid, <strong>dan</strong> Megawati Soekarno Putri atau setelahpengesahan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>.78


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Tabel 1: Kasus-kasus yang diselidiki oleh Komnas <strong>HAM</strong>No KPP <strong>HAM</strong> Kasus yang diselidiki Perkembangan terakhir1. KPP <strong>HAM</strong> Timtim Peristiwa bumi hanguspaska jajak pendapattahun 19992. KP3T Tanjungpriok Peristiwa penembakanmassa Islam diTanjungpriok padatahun 19843. KPP <strong>HAM</strong> Abepura Peristiwa penembakanoleh polisi di Abepura,Papua, yang tejadi pada4. KPP <strong>HAM</strong> Trisakti,Semanggi I &Semanggi II.5. KPP <strong>HAM</strong> PeristiwaKerusuhan Mei 1998.tahun 2000Peristiwa penembakanterhadap demomahasiswatahun 1998-1999Peristiwa kerusuhanmenjelang lengsernyapreo siden Soehartopada tahun 1997Sudah selesai diperiksa melaluipengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc JakartaPusatSudah selesai diperiksa melaluipengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc JakartaPusatSudah selesai diperiksa melaluiPengadilan <strong>HAM</strong> di MakasarMasih di penyidik Jaksa AgungMasih di penyidik Jaksa AgungSumber: Komnas <strong>HAM</strong>Selain menggunakan mekanisme yang disediakan oleh UUNo. 26 tahun 2000, Komnas <strong>HAM</strong> juga melakukan penyelidikankasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan mekanismeyang tersedia melalui UU No. 39 tahun 1999. Kasus-kasus yangdiselidiki, antara lain, kasus Aceh di masa DOM. Tim dipimpin olehBaharudin Lopa—yang kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden B.J.Habibie dengan membentuk Komite Independen Pengusutan TindakKekerasan Aceh lewat Keppres No. 88 tahun 1999. Kemudian kasuspenyerbuan kantor PDI-P atau lebih dikenal dengan “Peristiwa 27Juli”, kasus penyerbuan pesantren Warsidi atau lebih dikenal“Peristiwa Lampung” –yang kemudian penyelidikannyaditingkatkan dengan membentuk KPP-<strong>HAM</strong> Peristiwa Lampung,kasus pembunuhan terhadap Udin, wartawan Berita NasionalYogyakarta, <strong>dan</strong> kasus kerusuhan Mei 1998—yang jugapenyelidikannya ditingkatkan dengan membentuk KPP-<strong>HAM</strong>Peristiwa Mei 1998.Berbeda dengan penyelidikan dengan menggunakanmekanisme UU No. 26 tahun 2000, penyelidikan berdasarkan UU79


DISKURSUSKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> TantangannyaNo. 39 Tahun 1999 direkomendasikan tindak lanjutnya denganmenggunakan pengadilan umum.Perlu juga dicatat disini langkah yang dilakukan oleh PresidenMegawati dalam menanggapi pembunuhan Ketua Presidium DewanAdat Papua, Theys Hiyo Eluay, pada 2002. Megawati meresponnyadengan membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN). MelaluiKeppres No. 10 Tahun 2002, Presiden menunjuk Koesparmono Irsansebagai Ketua KPN dengan sepuluh anggota yang terdiri dariDanpuspom TNI, <strong>dan</strong> unsur kepolisian serta tokoh-tokoh Papua.KPN mengungkapkan bahwa Theys Hiyo Eluay terbunuhakibat operasi intelejen yang digelar oleh Satuan Wirabuana dariKopassus. Kasus pembunuhan ini selanjutnya disi<strong>dan</strong>gkan diPengadilan Militer Surabaya. Selain itu, juga perlu dikemukan di sinilangkah yang diambil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) dalam merespon pembunuhan aktivis hak asasi manusia,Munir, juga membentuk Tim Pencari Fakta. Tim Presiden iniberanggotakan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia <strong>dan</strong>kepolisian. Tim ini berhasil mengungkapkan latar belakang <strong>dan</strong> yangbertanggungjawab atas pembunuhan tokoh terkemuka hak asasimanusia itu, <strong>dan</strong> ditindaklanjuti dengan membawa ke pengadilanpi<strong>dan</strong>a orang-orang menjadi tersangka dalam kasus pembunuhanyang mendapat perhatian dunia internasional tersebut.Berbagai tim penyelidikan kasus-kasus pelanggaran hak asasimanusia yang dipaparkan pada halaman-halaman di atas, baik yangdilakukan oleh tim pencari fakta bentukan pemerintah maupundibentuk oleh Komnas <strong>HAM</strong>, akhirnya bermuara padapertanggungjawabannya di pengadilan. Pada kurun reformasi ini,paling tidak tercatat digelar tiga pengadilan hak asasi manusia: duapengadilan koneksitas, <strong>dan</strong> dua pengadilan militer. Yang diselesaikanmelalui pengadilan hak asasi manusia adalah dua pengadilan yangsifatnya ad hoc, yaitu kasus pelanggaran <strong>HAM</strong> berat Timor Timurpaska jajak-pendapat <strong>dan</strong> kasus pelanggaran <strong>HAM</strong> berat TanjungPriok. Yang satu lagi diselesaikan melalui pengadilan <strong>HAM</strong>permanen karena peristiwanya terjadi setelah tahun 2000, yaitu kasusPelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat di Abepura, Papua.Yang diajukan sebagai terdakwa ke hadapan pengadilan saat80


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011itu, baik yang ad hoc maupun permanen, terdiri dari perwira tinggimiliter <strong>dan</strong> polisi (Pangdam <strong>dan</strong> Kapolda), gubernur, bupati, perwiramenengah hingga pelaku-pelaku lapangan (prajurit <strong>dan</strong> milisimilisi).Para terdakwa ini, di tingkat kasasi (Mahkamah Agung)hampir semuanya bebas dari hukuman yang dijatuhkan pada tingkatpertama (pengadilan negeri), kecuali untuk Abilio Jose Soares(Gubernur Tim-Tim) <strong>dan</strong> Eurico Gueteres (Panglima Milisi) yangtetap dinyatakan bersalah di tingkat kasasi (MA).Relasi Komnas <strong>HAM</strong> dengan Institusi LainnyaSelanjutnya kita akan melihat bagaimana relasi institusional antaraKomnas <strong>HAM</strong> dengan institusi lain dalam penegakan <strong>HAM</strong>,khususnya dengan Jaksa Agung. Relasi dengan Jaksa Agung initerkait dengan pelaksanaan UU No. 26 tahun 2000 tentangPengadilan <strong>HAM</strong>, yang menempatkan Komnas <strong>HAM</strong> sebagaipenyelidik pro-yustisia. Dengan memberikan peran penyelidik proyustisiauntuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat kepadaKomnas <strong>HAM</strong>, maka terbangun hubungan antar subsistem antaraKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Jaksa Agung, yaitu hubungan antara penyelidik<strong>dan</strong> penyidik dalam sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a (pelanggaran hak asasimanusia yang berat). Inilah yang membedakan dengan penyelidikan(inquiry) berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang <strong>HAM</strong>, yangtidak menempatkan Komnas <strong>HAM</strong> secara langsung ke dalam sistemperadilan pi<strong>dan</strong>a. Peran yang baru ini jelas tidak mudah bagi Komnas<strong>HAM</strong>, <strong>dan</strong> belakangan sering terjadi perbedaan.Seperti telah dipaparkan di atas, Komnas <strong>HAM</strong> setidaknyatelah melakukan lebih dari lima penyelidikan pro yustisia, yaitu: KPP<strong>HAM</strong> Timtim; KPP <strong>HAM</strong> Tanjung Priok (KP3T); KPP <strong>HAM</strong>Abepura/Papua; KPP <strong>HAM</strong> Trisakti-Semanggi I <strong>dan</strong> II; KPP <strong>HAM</strong>Kerusuhan Mei 1998; KPP <strong>HAM</strong> Penghilangan Orang; <strong>dan</strong> KPP<strong>HAM</strong> Talangsari. Laporan-laporan KPP <strong>HAM</strong> tersebut telahdiserahkan kepada Jaksa Agung untuk dilakukan rangkaian tindakanberikutnya, yaitu penyidikan <strong>dan</strong> penuntutan.Dalam menanggapi laporan hasil penyelidikan Komnas<strong>HAM</strong>, Jaksa Agung mempunyai kewenangan untuk menilai apakahlaporan penyelidikan tersebut sudah lengkap atau kurang lengkap81


DISKURSUSKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Tantangannyamenyatakan ada dugaan terjadi pelanggaran hak asasi manusia yangberat. Jika disimpulkan belum lengkap maka laporan tersebut akandikembalikan kepada Komnas <strong>HAM</strong> untuk dilengkapi.Dasar penilaian Jaksa Agung menilai laporan hasilpenyelidikan pro yustisia Komnas <strong>HAM</strong> adalah persyaratan formil<strong>dan</strong> materil, seperti yang diatur dalam KUHAP. Dasar penilaian JaksaAgung inilah yang kemudian menjadi batu sandungan hubungankelembagaan antara Komnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Jaksa Agung.Sebagai penyelidik, Komnas <strong>HAM</strong> tidak harus mengikutiketentuan formil sebagaimana diatur dalam KUHAP–sepertipengambilan sumpah buat penyelidik. Apalagi pada penyelidikankasus Timor-Timur <strong>dan</strong> Tanjung Priok. Persyaratan formil tersebuttidak pernah menjadi dasar penilaian Jaksa Agung. Alasan formil inibaru digunakan Jaksa Agung ketika menerima berkas penyelidikanKPP <strong>HAM</strong> Trisakti, Semanggi I & II, <strong>dan</strong> KPP <strong>HAM</strong> Kerusuhan Mei1998. Jaksa Agung mengembalikan berkas penyeldikan kedua kasustersebut dengan alasan formil. Jaksa Agung menilai bahwa laporanpenyelidikan Komnas <strong>HAM</strong> belum lengkap baik secara formil.Persyaratan ini sebenarnya tidak diatur dengan gamblang dalam UUNo 26/2000 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>.Itulah yang menjadi salah satu hambatan yang serius tidakberlanjutnya hasil penyelidikan Komnas <strong>HAM</strong> ke tingkat penyidikan<strong>dan</strong> penuntutan yang pada akhirnya bermuara pada terhentinyapenyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Selaindisebabkan oleh perbedaan persepsi mengenai persyaratan formiltersebut, penyebab lain dari terbengkalainya penyelesaian kasuspelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu adalahpersyaratan formil lainya, yaitu keharusan pengadilan <strong>HAM</strong> ad hocterlebih dahulu dibentuk sebelum penyidikan dilakukan. Jaksa Agungberargumen bahwa penyidik tidak dapat menjalankan kewenanganseperti menahan atau menyita tanpa terlebih dahulu ada pengadilan<strong>HAM</strong> ad hoc. Dengan alasan inilah kemudian Jaksa Agungmengembalikan berkas-berkas hasil penyellidikan Komnas <strong>HAM</strong>.Padahal dalam penyidikan pelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat pada kasusTimor-Timur <strong>dan</strong> Tanjung Priok, belum terbentuknya pengadilan<strong>HAM</strong> ad hoc tidak menjadi halangan bagi Jaksa Agung saat itu untukmelakukan penyidikan. UU No. 26 tahun 2000 juga tidak mengatur82


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011dengan gamblang masalah ini.Di bawah ini disajikan kasus-kasus yang terhenti karenaperbedaan dalam memahami perintah UU No. 26 tahu 2000.Tabel 2: Kasus-kasus pelanggaran <strong>HAM</strong> yang terhentiNo Nama Kasus Status1 Peristiwa 27 Juli Berkas terhenti di Kepolisian2 Peristiwa Trisakti, Semanggi I & II Berkas terhenti di Jaksa Agung3 Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 Berkas terhenti di Jaksa Agung4 Peristiwa Penculikan Aktivis Berkas terhenti di Jaksa Agung5 Peristiwa Talangsari Lampung Berkas terhenti di Jaksa Agung6 Peristiwa Wasior & Wamena Berkas terhenti di Jaksa AgungSumber: Komnas <strong>HAM</strong>Alasan yang lain adalah kurangnya koordinasi antara Komnas<strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Kejaksaan Agung, terutama dalam tingkat pemeriksaanawal, telah menyebabkan hambatan yang cukup berarti dalam prosespenyelesaian pelangggaran <strong>HAM</strong> yang berat. Sebelum melakukanpenyelidikan Komnas <strong>HAM</strong> memberikan pemberitahuan kepadaKejaksaan Agung bahwa telah dimulainya penyelidikan. Tapi padatahapan ini Kejaksaan Agung belum berinisiatif memberitahukanpula kepada Komnas <strong>HAM</strong> bahwa Kejaksaan Agung akanmemperlakukan laporan KPP <strong>HAM</strong> secara berbeda dengan laporanKPP <strong>HAM</strong> selanjutnya, khususnya KPP <strong>HAM</strong> TSS <strong>dan</strong> KPP <strong>HAM</strong>Kerusuhan Mei 1998. Di sisi lain, Komnas <strong>HAM</strong> belum berinisiatifjuga melibatkan Kejaksaan Agung dalam penyelidikan, misalnyaberkonsultasi kepada kejaksaan agung agar penyelidikan tepatsasaran seperti yang diinginkan oleh kejaksaan agung. Jadi memangtidak mudah menempatkan Komnas <strong>HAM</strong> sebagai subsistem darisistem peradilan pi<strong>dan</strong>a, yakni dengan memberinya posisi sebagaipenyelidik pro yustisia.83


DISKURSUSKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> TantangannyaPenutupDi masa reformasi sekarang Komnas <strong>HAM</strong> memang memperolehbasis hukum yang lebih kuat, tidak lagi diatur oleh KeputusanPresiden (Keppres), tetapi oleh sebuah UU yang dihasilkan di awalReformasi. Dan, selain berbeda basis hukumnya, lingkungan politiktempat dimana Komnas <strong>HAM</strong> beroperasi juga sudah jauh berubahdengan masa sebelumnya. Sekarang lingkungan politik jauh lebihterbuka (demokratis), dibanding dengan periode sebelumnya di masaOrde Baru yang otoriter.Namun demikian, meski memiliki basis legal yang kuat <strong>dan</strong>lingkungan politik yang demokratis, bukan dengan sendirinyaKomnas <strong>HAM</strong> dapat menjalankan mandatnya dengan lapang <strong>dan</strong>lancar. Ternyata, dalam lingkungan yang baru tersebut, Komnas<strong>HAM</strong> justru menghadapi tantangan yang jauh lebih berat: tidakterselesaikannya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yangberat; <strong>dan</strong> rendahnya dukungan institusi-institusi negara lainnyaterhadap pelaksanaan tugas <strong>dan</strong> fungsi Komnas <strong>HAM</strong>. Situasi inilahyang mengun<strong>dan</strong>g orang membandingkannya dengan Komnas <strong>HAM</strong>di masa awal, yang tampak lebih efektif dibanding dengan Komnas<strong>HAM</strong> di masa reformasi sekarang.84


Peran Kejaksaan dalamMasalah Hak Asasi KekinianDomu P. SihiteAbtraksiHak asasi manusia (<strong>HAM</strong>) adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esayang melekat (inheren) pada diri manusia, bersifat kodrati,berlangsung sepanjang hidup manusia <strong>dan</strong> universal. Oleh karenaitu, segala bentuk pelanggaran terhadap <strong>HAM</strong> merupakanpengingkaran terhadap harkat <strong>dan</strong> martabat manusia yangditerimanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.PendahuluanIndonesia sebagai suatu bangsa yang mengakui eksistensi TuhanYang Maha Esa, mempunyai kewajiban untuk menghormati <strong>dan</strong>melindungi <strong>HAM</strong>. Dalam konteks Internasional, Indonesiamenghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UniversalDeclaration of Human Rights) <strong>dan</strong> bahkan telah meratifikasibeberapa konvensi internasional <strong>HAM</strong> yang penting, antara lain: (i)Kovenan tentang Hak Sipil <strong>dan</strong> Politik; (ii) Kovenan tentang HakEkonomi, Sosial <strong>dan</strong> Budaya; (iii) Konvensi tentang Hak Anak; (iv)Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadapWanita; (v) Konvensi menentang Penyiksaan <strong>dan</strong> Perlakuan atauPenghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi, atauMerendahkan Martabat Manusia; (vi) Konvensi tentangPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.Bila kita mengamati dari sisi peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan,terlepas dari implementasinya bagaimana di lapangan, inimenunjukkan setiap a<strong>dan</strong>ya produk un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g dapat dinilaimerupakan suatu kemajuan besar dalam upaya penyelenggaraan padahak-hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak-hak yang terkaitsebagaimana ratifikasi sejumlah dokumen rujukan utama hak-hak85


DISKURSUSPERAN KEJAKSAANasasi manusia internasional.Selain ratifikasi dimaksud, kemajuan dapat juga kita lihatmelalui amandemen UUD 1945 yakni mengamandemen beberapabab yang terkait dengan hak asasi manusia sehingga menjadikomprehensif <strong>dan</strong> dapat menyesuaikan dengan standar hak-hak asasimanusia Internasional, karena di dalamnya juga ada memuat katakata“hak asasi manusia”.Sebenarnya mendengar istilah “hak asasi manusia” biasanyabanyak bayangan orang hanya tertuju pada hak-hak yang bersifat haksipil <strong>dan</strong> politik, seperti kebebasan berserikat, kebebasanberpendapat, kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasanberagama, bebas dari penyiksaan <strong>dan</strong> sebagainya. Padahal hak asasiyang bersifat ekonomi, sosial <strong>dan</strong> budaya, seperti halnya nasib kaummiskin dalam lingkungan masyarakat sangat perlu <strong>dan</strong> sangat terkaitjuga dengan hak sipil <strong>dan</strong> politik.Bila kita melihat dalam literatur hak asasi, dikenal a<strong>dan</strong>ya tigagenerasi hak asasi. Hak-hak sipil <strong>dan</strong> politik barulah generasipertama. Generasi kedua adalah hak-hak ekonomi, sosial <strong>dan</strong> budaya,se<strong>dan</strong>gkan generasi ketiga adalah hak atas pembangunan, yangmencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlakubagi segala bangsa, termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai1bagian dari kehidupan bangsa tersebut.Pada sisi lain, sebagaimana kerangka acuan yang diuraikanELSAM antara lain “ Kemajuan yang perlu dicatat yakni di bi<strong>dan</strong>ginstitusional. Komnas <strong>HAM</strong> kedudukannya diperkuat menjadididasarkan UU, tidak lagi keputusan Presiden. Gelombanginstitusionalisasi yang marak pasca rezim otoritarian Soehartomendorong kelahiran lembaga Negara yang secara spesifikmenangani hak asasi seperti Komisi Perempuan, Komisi NasionalPerlindungan Anak Indonesia atau komisi-komisi lainnya.Dengan gambaran di atas, kemajuan hak-hak asasi manusia diIndonesia, bukan berarti kita sudah bisa menarik nafas lega dalamlapangan hak-hak sipil <strong>dan</strong> politik, sebab kemajuan ini nampaknyabanyak yang baru pada tahap diplomasi <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> prosedural. Bukanatau belum <strong>HAM</strong> secara substansial.Artinya, benar bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai1. Zainal Arifin Mochtar, ” Konstitusi Ranah <strong>HAM</strong>” Jalan Berliku Amandemen Komprehensif: dari Pakar Politis,hingga Selebriti”, Kelompok DPD RI, Jakarta , Mei 2009, hal 1386


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011instrumen hak-hak asasi manusia internasional, membuat peraturanperun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang terkait dengan hak-hak asasi, membentukberbagai lembaga yang terkait dengan perlindungan hak asasi, <strong>dan</strong>lain-lain, tetapi ini semua adalah tindakan-tindakan yang bersifatprosedural formal, sehingga baru disebut <strong>HAM</strong> prosedural.Dari uraian di atas sudah barang tentu timbul pertanyaanbagaimana implementasinya? Masih sangat jauh dari memuaskanmasalahnya. Meminjam kata-kata aktivis hak asasi, Amiruddin AlRahab, dunia internasional juga cenderung melihat <strong>HAM</strong> denganukuran prosedural formal semata. Akibatnya, citra <strong>HAM</strong> kita2membaik. Inilah kecerdasan Pemerintah dalam membaca situasi.”Jadi kemajuan <strong>HAM</strong> prosedural tidak serta merta berartikemajuan <strong>HAM</strong> substansial. Tidak kurang dari Komisi Hak AsasiManusia Nasional (Komnas <strong>HAM</strong>) pun pernah melontarkanpenilaian bahwa “pelaksanaan berbagai prosedur itu tidak berartiterciptanya kondisi yang kondusif bagi penegakan <strong>HAM</strong> di3Indonesia.”Menyangkut implementasi, disebut masih jauh darimemuaskan. Ada alasan <strong>dan</strong> dasar yang dapat diamati selama inimenyangkut belum tuntasnya kasus-kasus pelanggaran hak asasimanusia berat di masa lalu, mulai kasus G/30 September 1965,Kerusuhan Mei 1998, Kasus Semanggi I <strong>dan</strong> Semanggi II,Penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998. Penilaian publikbarangkali benar karena nyatanya belum ada titik terang kapanpenyelesaian kasus-kasus tersebut.Hal ini merupakan bagian yang ada korelasinya denganinstitusi lain seperti Komnas <strong>HAM</strong> yang punya kewenanganmelakukan penyelidikan kasus-kasus kejahatan <strong>HAM</strong> yang berat,Jaksa Agung yang punya kewenangan melakukan penyidikan <strong>dan</strong>penuntutan.Landasan HukumKejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga Pemerintah yangmelaksanakan kedaulatan negara di bi<strong>dan</strong>g penuntutan sertakewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan perun<strong>dan</strong>g-2. Harian Kompas, “Pejabat Tinggi <strong>HAM</strong> PBB <strong>dan</strong> Politik Citra” 4 Desember 2007, hal 53. Ibid, hal 587


DISKURSUSPERAN KEJAKSAANun<strong>dan</strong>gan. Secara organisasi Jaksa Agung adalah pimpinan <strong>dan</strong>penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang memimpin,mengendalikan pelaksanaan tugas <strong>dan</strong> wewenang Kejaksaan.Adapun tugas <strong>dan</strong> wewenang yang dirumuskan dalam Pasal30 UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesiadalam ayat :1) Di bi<strong>dan</strong>g pi<strong>dan</strong>a, kejaksaan mempunyai tugas <strong>dan</strong>wewenang:a. Melakukan penuntutan;b. Melaksanakan penetapan hakim <strong>dan</strong> putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap;c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusanpi<strong>dan</strong>a bersyarat, putusan pi<strong>dan</strong>a pengawasan, <strong>dan</strong>keputusan lepas bersyarat;d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pi<strong>dan</strong>a tertentuberdasarkan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g;e. Melengkapi berkas perkara tertentu <strong>dan</strong> untuk itu dapatmelakukan pemeriksaan tambahan sebelumdilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannyadikoordinasikan dengan penyidik.2) Di bi<strong>dan</strong>g perdata <strong>dan</strong> tata usaha negara, Kejaksaan dengankuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluarpengadilan untuk <strong>dan</strong> atas nama negara.3) Dalam bi<strong>dan</strong>g ketertiban <strong>dan</strong> ketenteraman umum, kejaksaanturut menyelenggarakan kegiatan:a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;c. pengawasan peredaran barang cetakan;d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapatmembahayakan masyarakat <strong>dan</strong> negara;e. pencegahan penyalahgunaan <strong>dan</strong>/atau penodaanagama;f. penelitian <strong>dan</strong> pengembangan hukum serta statistikkriminal.Disamping tugas <strong>dan</strong> wewenang tersebut dalam UUKejaksaan, Kejaksaan dapat diserahi tugas <strong>dan</strong> wewenang88


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011berdasarkan UU lain, <strong>dan</strong> dalam melaksanakan tugas <strong>dan</strong>wewenangnya kejaksaan membina hubungan kerjasama denganba<strong>dan</strong> penegak hukum <strong>dan</strong> keadilan serta ba<strong>dan</strong> negara atau instansilainnya.Dalam konteks penegakan hukum, agar warga masyarakatdapat menjunjung tinggi hukum, sangat diperlukan kesadaran hukumyang tinggi yang mencakup kesadaran mematuhi ketentuan peraturanperun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang berlaku (hukum positif), <strong>dan</strong> memikultanggung jawab bersama dalam menegakkan hukum. Kesadaranhukum sangat perlu dimiliki seluruh warga negara, baik itupenyelenggara pemerintahan khususnya maupun masyarakat padaumumnya.Kesadaran hukum perlu ditumbuhkembangkan di kalanganmasyarakat melalui pan<strong>dan</strong>gan, pemahaman <strong>dan</strong> keyakinan denganperilaku taat hukum, hidupnya akan merasa aman <strong>dan</strong> tentram(ketertiban umum), keadilannya dirasakan <strong>dan</strong> <strong>HAM</strong>-nyaterlindungi.Bila dievaluasi sesuai perkembangan keadaan yang nyata,perubahan yang telah terjadi di beberapa sendi kehidupanperpolitikan melalui ketetapan MPR nomor XVII tahun 1998 tentangHak Asasi Manusia, komitmen penghormatan Hak Asasi Manusiaterus berlanjut dengan diun<strong>dan</strong>gkannya UU No. 39 tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia tanggal 23 September 1999 sebagaipelaksanaan ketetapan MPR dimaksud.Adapun dasar pertimbangan dalam UU <strong>HAM</strong> antara lain,bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan tanggung jawab moral <strong>dan</strong> hukumuntuk menjunjung tinggi <strong>dan</strong> melaksanakan deklarasi universaltentang hak asasi manusia yang ditetapkan oleh PBB, serta sebagaiInstrumen Internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yangtelah diterima oleh Negara Republik Indonesia. Sebagai penjabaranhal tersebut secara substansial mengandung kewajiban dasar manusiayaitu setiap orang yang ada di wilayah Indonesia wajib patuh padaperaturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan hukum tak tertulis, <strong>dan</strong> hukuminternasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima olehNegara Republik Indonesia.89


DISKURSUSPERAN KEJAKSAANLebih lanjut sebagai kewajiban <strong>dan</strong> tanggung jawabPemerintah yaitu menghormati, melindungi, menegakkan <strong>dan</strong>memajukan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gini, peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan lain <strong>dan</strong> hukum Internasionaltentang Hak asasi manusia yang diterima oleh Negara RepublikIndonesia.Dalam kenyataan, demi mengadili pelanggaran <strong>HAM</strong> berat,dibuatlah Peraturan Pemerintah Pengganti Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g (Perpu)No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>, yang dinilai tidakmemadai sehingga dicabut karena tidak disetujui DPR. Kemudianterbitlah UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak AsasiManusia yang disahkan pada 23 Nopember 2000, untukmenindaklanjuti Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentangHak Asasi Manusia.Dari kedua UU tersebut, UU No. 39 tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia <strong>dan</strong> UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>,bila diamati secara cermat, dalam ketentuan umumnya Pasal 1 ayat(1) disebut ” Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yangmelekat pada hakikat <strong>dan</strong> keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa <strong>dan</strong> merupakan anugrahnya yang wajibdihormati, dijunjung tinggi <strong>dan</strong> dilindungi oleh Negara, hukum,pemerintah <strong>dan</strong> setiap orang demi kehormatan serta perlindunganharkat <strong>dan</strong> martabat manusia.Tindak Pi<strong>dan</strong>a Pelanggaran <strong>HAM</strong> Berat <strong>dan</strong> KekhususannyaSecara Khusus, dasar <strong>dan</strong> kewenangan Jaksa Agung sebagai penyidik<strong>dan</strong> Penuntut Umum dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusiayang berat diatur dalam Pasal 21 <strong>dan</strong> Pasal 23 UU No. 26 tahun 2000tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>.a. Tindak Pi<strong>dan</strong>a Pelanggaran <strong>HAM</strong> BeratSesuai penjelasan umum UU No. 26 tahun 2000 disebutkan bahwapelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat merupakan extra ordinary crimes <strong>dan</strong>berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupuninternasional. Adapun perumusan perbuatan yang masuk dalampengertian tindak pi<strong>dan</strong>a pelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat sesuai UU90


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 1011tersebut, diuraikan dalam pasal-pasal:- Pasal 7Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi: a.kejahatan Genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan.- Pasal 8Kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan denganmaksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruhatau sebagaian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,kelompok agama, dengan cara :a. Membunuh anggota kelompok;b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yangberat terhadap anggota-anggota kelompok;c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akanmengakibatkan kemusnahan secara fisik baiksebagian maupun seluruhnya;d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuanmencegah kelahiran di dalam kelompok; ataue. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompoklain ke kelompok tertentu ke kelompok lain.- Pasal 9Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yangdilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atausistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebutditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :a. Pembunuhan;b. Pemusnahan;c. Perbudakan;d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;e. Perampasan kemerdekaan atau perampasankebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yangmelanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukuminternasional;f. Penyiksaan;g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran, secara91


DISKURSUSPERAN KEJAKSAANpaksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atausterilisasi secara paksa, atau bentuk-bentuk lain yangsetara;h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atauperkumpulan yang didasari persamaan politik, ras,kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin ataualasan lain yang telah diakui secara universal sebagaihal dilarang menurut hukum internasional;i. Penghilangan orang secara paksa; atauj. Kejahatan apartheid.Kekhususan dalam Penanganan Pelanggaran <strong>HAM</strong> BeratHukum acara kasus pelanggaran <strong>HAM</strong> berat tetap mengacu kepadaketentuan Hukum Acara Pi<strong>dan</strong>a, kecuali dalam hal ditentukan lainoleh UU No. 26 tahun 2000. Adapun hal-hal yang ditentukan secarakhusus oleh UU ini, antara lain sebagai berikut:- PenyelidikPenyelidik perkara pelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat hanyadilakukan oleh Komnas <strong>HAM</strong>. Dengan demikian lembaga iniyang berwenang menerima laporan atau pengaduanpelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat, sesuai dengan Pasal 22. Dalammelakukan penyelidikan Komnas <strong>HAM</strong> dapat membentuktim ad hoc yang terdiri atas Komnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> unsurmasyarakat. Dalam hal Komnas <strong>HAM</strong> melakukanpenyelidikan, penyelidik memberitahukan kepada Penyidik.Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas <strong>HAM</strong> dalamlingkup pro justisia. Hasil kesimpulan penyelidikandisampaikan kepada Penyidik.- PenyidikPenyidik perkara pelanggaran <strong>HAM</strong> berat dilakukan olehJaksa Agung. Penyidikan sebagaimana dimaksud tidaktermasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan.Dalam melakukan penyidikan, Jaksa Agung dapatmengangkat tim ad hoc yang terdiri atas unsur Pemerintah <strong>dan</strong>atau unsur masyarakat.92


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011- PenuntutanPenuntutan perkara pelanggaran <strong>HAM</strong> berat dilakukan olehJaksa Agung. Dalam melakukan penuntutan, Jaksa Agungdapat mengangkat tim ad hoc yang terdiri atas unsurpemerintah <strong>dan</strong> unsur masyarakat.- Persi<strong>dan</strong>ganPerkara pelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat diperiksa <strong>dan</strong> diputusoleh Pengadilan <strong>HAM</strong>. Pemeriksaaan perkara tersebutdilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan <strong>HAM</strong> yangberjumlah lima orang terdiri atas dua orang Hakim padaPengadilan <strong>HAM</strong> yang bersangkutan <strong>dan</strong> 3 orang Hakim adhoc. (Pasal 27). Pengadilan <strong>HAM</strong> pertama kali dibentuk diJakarta Pusat, Surabaya, Me<strong>dan</strong>, <strong>dan</strong> Makassar (Pasal 45).Sementara perkara pelanggaran <strong>HAM</strong> berat yang terjadisebelum diun<strong>dan</strong>gkannya UU No. 26 tahun 2000 diperiksa<strong>dan</strong> diputus oleh Pengadilan <strong>HAM</strong> Ad Hoc yang dibentuk atasusul DPR. Bagaimana bunyi putusan MK? berdasarkanperistiwa tertentu dengan keputusan Presiden (Pasal 43).- Tenggang waktuKetentuan mengenai tenggang waktu tertentu untukmelakukan penyidikan (240 hari), penuntutan (70 hari), <strong>dan</strong>pemeriksaan di pengadilan (180 hari).- Perlindungan korban <strong>dan</strong> saksiPerlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajibdilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparatkeamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupunmental, kepada korban <strong>dan</strong> saksi, dari ancaman, gangguan,teror, <strong>dan</strong> kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan padatahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, <strong>dan</strong> ataupemeriksaan di si<strong>dan</strong>g pengadilan.Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yangmengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran <strong>HAM</strong>yang berat yang memerlukan perlindungan fisik <strong>dan</strong> mentaldari ancaman, gangguan, teror <strong>dan</strong> kekerasan dari pihakmanapun.93


DISKURSUSPERAN KEJAKSAANSaksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan gunakepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, <strong>dan</strong> ataupemeriksaan di si<strong>dan</strong>g pengadilan tentang perkarapelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat yang ia dengar sendiri, lihatsendiri, <strong>dan</strong> alami sendiri, yang memerlukan perlindunganfisik <strong>dan</strong> mental dari ancaman, gangguan teror, <strong>dan</strong> kekerasanpihak manapun (Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 jo. PP No.2Tahun 2002).- Kompensasi, Restitusi <strong>dan</strong> RehabilitasiKompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oeh negarakarena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugiansepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusiadalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban ataukeluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupapengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untukkehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuktindakan tertentu. Rehabilitasi adalah pemulihan padakedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik,jabatan, atau hak-hak lain (Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 jo.PP No.3 Tahun 2002).Pengadilan terhadap Pelanggaran <strong>HAM</strong> BeratPenyelesaian kasus pelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat dapat kitarumuskan dalam pasal-pasal berikut :- Pasal 104 ayat (1) Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g Nomor 39 tahun 1999“Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang beratdibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dilingkunganPeradilan Umum”.- Pasal 1 ayat (3) Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g Nomor 26 tahun 2000“Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebutPengadilan <strong>HAM</strong> adalah Pengadilan Khusus terhadapPelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat”.- Pasal 43 ayat (1) Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g Nomor 26 tahun 2000“Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang terjadisebelum diun<strong>dan</strong>gkannya un<strong>dan</strong>g un<strong>dan</strong>g ini, diperiksa <strong>dan</strong>diputus oleh Pengadilan <strong>HAM</strong> Ad Hoc”.94


digitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Dari beberapa pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwapenanganan perkara pelanggaran <strong>HAM</strong> berat, diperiksa <strong>dan</strong> diputusoleh dua jenis Pengadilan <strong>HAM</strong>, yaitu:- Pengadilan <strong>HAM</strong> Ad Hoc yaitu Pengadilan <strong>HAM</strong> yangberwenang memeriksa <strong>dan</strong> memutus perkara yang terjadisebelum diun<strong>dan</strong>gkannya Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g Nomor 26 tahun2000.- Pengadilan <strong>HAM</strong> (biasa) yaitu Pengadilan <strong>HAM</strong> yangberwenang memeriksa <strong>dan</strong> memutus perkara yang terjadisesudah diun<strong>dan</strong>gkannya Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g Nomor 26 tahun2000.Kejaksaan <strong>dan</strong> Penanganan Kasus Pelanggaran <strong>HAM</strong>Dengan dasar yuridis yang sudah dipaparkan di muka, tiba saatnyaKejaksaan memaparkan sejauhmana penanganan institusi kamiterkait dengan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran <strong>HAM</strong>sekarang. Bila mengevaluasi secara khusus file berkas yang berkaitandengan kasus-kasus pelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat yang telahdilimpahkan ke Pengadilan dapat digambarkan sebagai berikut:a. Pelanggran <strong>HAM</strong> yang berat, yang peristiwanya terjadisebelum UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>,dilimpahkan ke Pengadilan:- Kasus Timor-Timur, terdapat 18 Perkara- Kasus Tanjung Priok, terdapat 4 Perkarab. Pelanggaran <strong>HAM</strong> yang Berat, yang peristiwanya terjadisesudah un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g No. 26 tahun 2000 tentangPengadilan <strong>HAM</strong>, dilimpahkan ke Pengadilan.- Kasus Abepura 2 Perkara, sudah disi<strong>dan</strong>gkan melaluiPengadilan <strong>HAM</strong> di Makasar.Sementara berkas yang diduga Pelanggaran <strong>HAM</strong> yangterjadi sebelum UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>berlaku, <strong>dan</strong> saat ini ada di Kejaksaan adalah:- Berkas peristiwa Trisakti, Semanggi I <strong>dan</strong> Semanggi II- Berkas peristiwa kerusuhan Mei 1998- Berkas peristiwa Penghilangan orang secara paksa- Berkas peristiwa Talang Sari95


DISKURSUSPERAN KEJAKSAANBerkas yang diduga Pelanggaran <strong>HAM</strong> yang Berat, yangterjadi sesudah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>berlaku, <strong>dan</strong> saat ini ada di Kejaksaan adalah :- Berkas perkara Pelanggaran <strong>HAM</strong> Berat Wasior-Wamena, masih di Kejaksaan. Hasil penyelidikanberkas dari Komnas <strong>HAM</strong> setelah diteliti secaracermat, ternyata penilaian atas kelengkapanberkas, baik syarat formil maupun syarat materilbelum lengkap.Adapun kendala yang dihadapi dalam proses penangananberkas yang belum ditindaklajuti penyelesaiannya terkait denganberkas yang ada di Kejaksaan saat ini yakni :a. Berkas peristiwa Trisakti, Semanggi I <strong>dan</strong> semanggi IIb. Berkas peristiwa kerusuhan Mei 1998c. Berkas peristiwa Penghilangan orang secara paksad. Berkas peristiwa Talang Sari.Sehingga untuk menindaklanjuti berkas peristiwa tersebut,berdasarkan Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan<strong>HAM</strong>, mengharuskan terlebih dahulu dibentuknya Pengadilan <strong>HAM</strong>Ad Hoc sebelum dilakukan Penyidikan oleh Jaksa Agung.Adapun dasar <strong>dan</strong> alasannya dapat digambarkan sebagai berikut :Penafsiran atas implementasi dari ketentuan Pasal 43 UU No.26 tahun 2000 beserta Penjelasannya, yakni kapansebenarnya Pengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc harus dibentuk, haruslahdipahami dalam konteks hakekat sistem peradilan pi<strong>dan</strong>aterpadu (Integrated Criminal Justice System). Dalam hal ini,seluruh subsistem yang ada: Penyelidik, Penyidik, PenuntutUmum, <strong>dan</strong> Pengadilan dalam melaksanakan prosedurpenanganan perkara pi<strong>dan</strong>a telah diatur sedemikian rupa olehUU (baik dalam UU No. 26 tahun 2000 maupun KUHAP),sehingga dalam menjalankan fungsinya, subsistem tersebutsaling berhubungan satu sama lain secara terpadu. Subsistemyang satu tidak akan dapat memenuhi fungsinya tanpakeberadaan sub system yang lain.Sebagai contoh, penyidik dalam melakukan penyitaan atau96


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011penggeledahan membutuhkan ijin atau persetujuan dariKetua Pengadilan yang berwenang. Pengadilan yangberwenang dalam hal ini, sesuai dengan Pasal 43 UU 26 tahun2000, adalah Pengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc yang dibentuk denganKeputusan Presiden atas usul DPR. Ijin/ persetujuanpenyitaan/ penggeledahan tersebut merupakan syaratkeabsahan dari tindakan penyidik, <strong>dan</strong> Ijin/ persetujuantersebut menjadi bagian dari berkas perkara serta merupakanpersyaratan formil berkas perkara.Selanjutnya berkas perkara yang dibuat penyidik tersebutakan dijadikan dasar oleh Penuntut Umum dalam membuatSurat Dakwaan, <strong>dan</strong> seterusnya Surat Dakwaan berikutberkas perkara akan dijadikan dasar pemeriksaan dalampersi<strong>dan</strong>gan. Jadi, apabila penyitaan tersebut dilakukanpenyidik tanpa ijin/persetujuan Pengadilan yang berwenang(dalam hal ini Pengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc), maka disampingalat/barang bukti yang disita tidak dapat digunakan sebagaialat bukti yang sah, maka hal tersebut dapat dijadikan dasaroleh terdakwa atau penasihat hukumnya untuk mengajukaneksepsi meminta surat dakwaan Penuntut Umum dibatalkankarena dakwaan dibuat berdasarkan berkas perkara yang tidaksah. Dan apabila eksepsi tersebut diterima oleh Pengadilan<strong>HAM</strong> ad hoc, maka akan berakibat luas sampai dengankepada tindakan lain yang telah dilakukan penyidik(penangkapan, penahanan, penyitaan).Demikian pula tindakan lain yang membutuhkan keberadaanPengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc, baik yang dilakukan oleh Penyidikmaupun Penuntut Umum, misalnya dalam hal perpanjanganwaktu penyidikan atau penuntutan <strong>dan</strong> perpanjanganpenahanan, maupun yang dapat dilakukan korban ataukeluarganya dalam mengajukan pra peradilan terhadappenghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 22ayat (6) UU No. 26 Tahun 2000. Dalam hal ini pra peradilanyang dimaksud menjadi kompetensi Pengadilan <strong>HAM</strong> adhoc.Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa Pengadilan yangberwenang (dalam hal ini Pengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc) harussudah ada pada saat akan dilakukan penyidikan atas kasus97


DISKURSUSPERAN KEJAKSAANpelanggaran <strong>HAM</strong> Berat yang tempus delicti-nya terjadisebelum diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2000.Bahwa Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan atas kasuspelanggaran <strong>HAM</strong> Berat yang terjadi sebelumdiun<strong>dan</strong>gkannya UU No. 26 Tahun 2000, tetap tidak dapatdipenuhi sepanjang Pengadilan <strong>HAM</strong> ad hoc untuk masingmasingperistiwa belum dibentuk.Pengembalian atas hasil penyelidikan Komnas <strong>HAM</strong> dalamkasus-kasus retroaktif tersebut baru berkisar pada salah satuaspek persyaratan formil, yakni syarat a<strong>dan</strong>ya Pengadilan<strong>HAM</strong> ad hoc terlebih dahulu belum menyangkut penelitianterhadap kelengkapan persyaratan (formil <strong>dan</strong> materiil)lainnya terhadap hasil penyelidikan Komnas <strong>HAM</strong>sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) <strong>dan</strong> (3) UUNo. 26 Tahun 2000 serta Penjelasannya.Dengan demikian, antara Kejaksaan dengan Komnas <strong>HAM</strong>saat ini sebenarnya tidak ada problem institusional yang membuata<strong>dan</strong>ya suatu ketegangan kedua institusi tersebut dalam kaitannyadengan kasus-kasus <strong>HAM</strong> yang berat. Namun yang perlu kita sadaribersama sebagai lembaga yang punya peran <strong>dan</strong> fungsi masingmasingharus tetap saling menghormati <strong>dan</strong> perlu pembinaan untukkoordinasi dalam mensinergikan potensi masing-masing untukmembahas kasus-kasus yang ditangani baik saat penyelidikan yangdilakukan oleh Komnas <strong>HAM</strong> maupun saat penyidikan bilamanadibutuhkan oleh Kejaksaan. Artinya, mekanisme kerja yang langsungada hubungan hukumnya antara kedua lembaga ini perlu ditingkatkanmelalui komunikasi yang aktif.Sebagai langkahnya, pada awal 2011, tepatnya tanggal 21Januari 2011 sudah dimulai koordinasi melalui audiensi KetuaKomnas <strong>HAM</strong> dengan anggotanya ke Jaksa Agung yang didampingioleh Jampidsus, Direktur Peran <strong>HAM</strong> yang berat, Kapuspenkum, <strong>dan</strong>staf umum Jaksa Agung. Pertemuan ini dapat disebut sebagailembaran baru dalam melaksanakan Tupoksi penegakan <strong>HAM</strong>, agarlangkah-langkah penyelesaian kasus diperlukan upaya jalan keluarsehingga dapat menjawab tuntutan masyarakat.Namun sebelumnya pun Kejaksaan dengan Komnas <strong>HAM</strong>tetap ada komunikasi pada momen-momen tertentu dalam pertemuan98


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011rapat-rapat sesuai kebutuhan atas dasar un<strong>dan</strong>gan dari Komnas <strong>HAM</strong>ke Kejaksaan.Selama ini Kejaksaan Agung dianggap hanya mampumenghadirkan pelaku kejahatan <strong>HAM</strong> yang berpangkat rendahan <strong>dan</strong>mengabaikan a<strong>dan</strong>ya rantai komando yang terstuktur <strong>dan</strong> sistematisdalam kasus-kasus kejahatan <strong>HAM</strong>. Menanggapi tudingan ini,Kejaksaan menilai kasus kasus kejahatan yang diduga merupakanperistiwa pelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat, yang terkait denganKomando, tetap berpedoman pada asas yang menyatakan “bahwasemua manusia sama di hadapan hukum.”Artinya, tanpa pan<strong>dan</strong>g derajat atau tingkatan bawahan atauatasan ataupun komando, bila ada “bukti permulaan yang cukup”yaitu bukti permulaan untuk menduga a<strong>dan</strong>ya tindak pi<strong>dan</strong>a bahwaseseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkanbukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pelanggaran <strong>HAM</strong>yang berat, maka tentunya harus diproses <strong>dan</strong> diminta pertanggungjawaban melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hinggapersi<strong>dan</strong>gan di Pengadilan. Dalam proses penanganan sejak dariawal, tentunya tetap menghormati asas praduga tidak bersalah.Berbicara tentang Komando atau Koman<strong>dan</strong> tetap mengacupada ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>, yang dapat digambarkan sebagai berikut:- Pasal 42(1). Koman<strong>dan</strong> militer atau seseorang yang secara efektifbertindak sebagai koman<strong>dan</strong> militer dapatdipertanggungjawabkan terhadap tindak pi<strong>dan</strong>a yangberada di dalam yurisdiksi Pengadilan <strong>HAM</strong>, yangdilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando<strong>dan</strong> pengendaliannya yang efektif, atau di bawahkekuasaan <strong>dan</strong> pengendaliannya yang efektif <strong>dan</strong> tindakpi<strong>dan</strong>a tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukanpengendalian pasukan secara patut, yaitu:a. Koman<strong>dan</strong> militer atau seorang tersebut mengetahuiatau atas dasar keadaan saat itu seharusnyamengetahui bahwa pasukan tersebut se<strong>dan</strong>gmelakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hakasasi manusia yang berat, atau99


DISKURSUSPERAN KEJAKSAANb. Koman<strong>dan</strong> militer atau seseorang tersebut tidakmelakukan tindakan yang layak <strong>dan</strong> diperlukandalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegahatau menghentikan perbuatan tersebut ataumenyerahkan pelakunya kepada pejabat yangberewenang untuk dilakukan penyelidikan,penyidikan <strong>dan</strong> penuntutan.(2). Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnyabertanggung jawab secara pi<strong>dan</strong>a terhadap pelanggaranhak asasi manusia yang berat yang dilakukan olehbawahannya yang berada di bawah kekuasaan <strong>dan</strong>pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebuttidak melakukan pengendalian terhadap bawahannyasecara patut <strong>dan</strong> benar, yaitu:a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadarmengabaikan informasi yang secara jelasmenunjukkan bahwa bawahan se<strong>dan</strong>g melakukanatau baru saja melakukan pelanggaran hak asasimanusia yang berat;b. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yanglayak <strong>dan</strong> diperlukan dalam ruang lingkupkewenangannya untuk mencegah atau menghentikanperbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunyakepada pejabat yang berwenang untuk dilakukanpenyelidikan, penyidikan, <strong>dan</strong> penuntutan.Sekedar untuk kita ingat kembali, dari file berkas perkarapelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat yang diajukan ke Pengadilan ad hocdengan level Komando atau Koman<strong>dan</strong> di lapangan dari lembagatertentu, terkait dengan pelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat, Terdakwadiajukan Penuntut Umum dengan tuntutan agar dijatuhi hukumanpenjara, adalah antara lain:Mantan Gubernur Timor Timur.Mantan Kapolda Timor TimurMantan Pangdam IX UdayanaMantan Dandrem 164 WiradharmaMantan Kapolres Dilli100


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Mantan Dandim Dilli.Mantan Bupati Liquisa,Selain nama-nama di atas, masih ada lagi yang lain yang tidakperlu diperinci di sini, namun hasilnya hakim Majelis hakim yangmembebaskan melalui putusannya baik di tingkat pertama, banding<strong>dan</strong> kasasi, termasuk yang peninjauan kembali (PK). Kejaksaansendiri sudah menilai semuanya telah ditempuh melalui prosedurhukum yang berlaku. Tanpa pilih kasih atau pan<strong>dan</strong>g bulu darimanapun lembaganya <strong>dan</strong> sampai berakhir di benteng pengadilanterakhir.Implementasi <strong>HAM</strong> melalui Tugas Pokok <strong>dan</strong> Fungsi KejaksaanGuna mengimplementasikan tugas pokok <strong>dan</strong> fungsi kejaksaandalam penegakan hukum melalui proses penyidikan <strong>dan</strong> penuntutanperkara, diperlukan peningkatan kualitas jaksa, kemampuanintelektual, integritas moral yang baik, manajerial <strong>dan</strong> disiplin yangtinggi. Jaksa Agung telah mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung No.PER-066/A/JA/07/2007 tentang standar minimum profesi jaksa yangmeliputi pengetahuan <strong>dan</strong> keahlian dalam memahami ketentuanketentuanhukum yang berlaku, termasuk ketentuan <strong>HAM</strong>, baiktingkat nasional maupun instrumen <strong>HAM</strong> internasional yang sudahdiratifikasi Indonesia.Kemudian penegasan Jaksa Agung melalui Peraturan JaksaAgung nomor: PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa,secara tegas dalam Pasal 3 disebut, Jaksa dalam melaksanakan tugasprofesinya wajib antara lain:- Mentaati kaidah hukum, peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan<strong>dan</strong> peraturan kedinasan yang berlaku serta melaksanakanpenegakan hukum sesuai prosedur hukum yang berlaku.- Menghormati prinsip cepat, sederhana, biaya ringan sesuaidengan prosedur yang ditetapkan.- Mendasarkan pada keyakinan <strong>dan</strong> alat bukti yang sah untukmencapai keadilan <strong>dan</strong> kebenaran.- Bertindak secara objektif <strong>dan</strong> tidak memihak.- Memberitahukan <strong>dan</strong> atau memberikan hak-hak yangdimiliki oleh tersangka atau terdakwa maupun korban.101


DISKURSUSPERAN KEJAKSAAN- Menghormati kebebasan <strong>dan</strong> perbedaan pendapatsepanjang tidak melanggar ketentuan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan.- Menghormati <strong>dan</strong> melindungi hak asasi manusia (<strong>HAM</strong>),<strong>dan</strong> hak-hak kebebasan sebagaimana tertera dalamperaturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> instrumen <strong>HAM</strong> yangditerima secara universal.Langkah-langkah Lain yang Dilakukan Kejaksaan dalamImplementasi <strong>HAM</strong>Langkah-langkah lain dari Kejaksaan dalam mengimplementasikan<strong>HAM</strong> melalui proses penyidikan <strong>dan</strong> penuntutan adalah dukunganlearning by doing <strong>dan</strong> doing by learning yang diwujudkan melalui:- Pendidikan teknis di lingkungan Pusdiklat Kejaksaan, dimanasalah satu materi yang disampaikan dalam proses belajarmengajaradalah masalah <strong>HAM</strong>, seperti UU No. 39 tahun1999 tentang <strong>HAM</strong>, UU No. 26 tahun 2000 tentangPengadilan <strong>HAM</strong>, <strong>dan</strong> UU No. 13 tahun 2006 tentangPerlindungan Saksi <strong>dan</strong> Korban, Peraturan Pemerintah (PP)No. 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadapKorban <strong>dan</strong> Saksi dalam Pelanggaran <strong>HAM</strong> yang berat, <strong>dan</strong>ketentuan lain yang diratifikasi menyangkut <strong>HAM</strong>.- Program pendidikan <strong>dan</strong> training ke luar negeri yangmengikutkan kejaksaan dalam peningkatan kualitasintelektual <strong>dan</strong> studi banding untuk peningkatanprofesionalisme tentang <strong>HAM</strong>.- Melengkapi referensi buku-buku tentang <strong>HAM</strong> sesuaiperkembangan <strong>HAM</strong> saat ini dalam perpustakaan Kejaksaan.- Melakukan penyuluhan <strong>dan</strong> penerangan hukum kepadamasyarakat, instansi Pemerintah, Lembaga Pendidikandengan materi tentang <strong>HAM</strong> yang dilaksanakan di pusat,provinsi <strong>dan</strong> di tingkat kabupaten/kota.- Melakukan seminar <strong>dan</strong> forum diskusi yang berkaitan dengan<strong>HAM</strong>.102


<strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Polri dalamPenegakan Hukum di IndonesiaIza FadriAbstraksiCurrently, human rights is getting a crucial issue not onlyon the national level but also the international. Since 1999, theattention of human rights and law enforcement in Indonesia hasincreased significantly. The government institution which ofteninvolved directly with the human rights issue is the police. Theissue of human rights is always integrated with the lawenforcement need a legal frame work for the aplication in the field.Human rights violations are not only done by the member of thesociety but also by the law upholders. In many cases, the use offorces by the police in critical situations are permitted by the lawfor example to protect the public security and police officers themselves. What is the kind of human rights violation by the police andwhat does the society know about the definition of human rightsviolation? In this paper, we tried to discuss the police duty andissue of human rights violation in Indonesia and the consequencesof violating the human rights based on the legal frame-work of theIndonesian law.PendahuluanSejak Januari 1999, perhatian terhadap hak asasi manusia (<strong>HAM</strong>) <strong>dan</strong>penegakan hukumnya di Indonesia menunjukkan arah peningkatanyang menggembirakan. <strong>HAM</strong> telah dinyatakan sebagai salah satukebutuhan yang mendasar dalam konsep pembangunan kemanusianterhadap seluruh masyarakat. Saat ini <strong>HAM</strong> merupakanpermasalahan yang hangat dalam tingkatan nasional suatu negaramaupun internasional. <strong>HAM</strong> bukan lagi dianggap sebagai masalahdomestik atau dalam negeri, tetapi <strong>HAM</strong> sudah menjadi103


DISKURSUS<strong>HAM</strong> DAN POLRIpermasalahan yang bersifat universal <strong>dan</strong> masyarakat internasional.Perubahan politik yang diawali dengan pergantian rezim diIndonesia telah membuka informasi terhadap pelanggaran hukumyang dilakukan oleh otoritas atau Pemerintah atau pelanggaranhukum yang tidak direspon oleh negara sebagai kejahataninternasional atau yang dapat dikategorikan pelanggaran <strong>HAM</strong>.Pelanggaran <strong>HAM</strong> terjadi karena kekuasaan yang didominasi olehotoritas kekuasaan. Dalam situasi tersebut pelanggaran <strong>HAM</strong> olehPolisi atau pejabat pemerintahan lainnya sering terjadi dalammasyarakat, seperti perampasan hak milik pribadi dengan alasandigunakan untuk kepentingan umum, penculikan <strong>dan</strong> pembunuhanaktivis <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> lain-lain. Sejak turunnya Suharto dari kursikepresidenan telah membuat penegakan hukum di Indonesia menjadititik sentral <strong>dan</strong> selalu menjadi perhatian dalam bentukpenegakannya.Penegakan hukum yang tidak sesuai dengan norma atauketentuan yang telah ada akan mudah <strong>dan</strong> cepat mendapat reaksi sertasorotan dari masyarakat, apalagi apabila penyimpangan tersebutdilakukan oleh aparat penegak hukum. Hal ini menandakan bahwamasyarakat telah kritis <strong>dan</strong> mempunyai kepedulian dalammengantisipasi kejadian-kejadian yang timbul yang berhubungandengan penegakan hukum.Kepedulian masyarakat menjadi penting supaya pelanggaran<strong>HAM</strong> tidak mengambang, <strong>dan</strong> dibiarkan terulang kembali. Untuk itusupremasi hukum <strong>dan</strong> demokrasi harus ditegakkan. Pendekatanhukum <strong>dan</strong> dialog harus dikemukakan dalam rangka melibatkanpartisipasi masyarakat dalam berkehidupan berbangsa <strong>dan</strong> bernegara.Konsepsi <strong>HAM</strong>Secara mendasar <strong>HAM</strong> sebagai suatu konsep telah diakui secarainternasional namun terka<strong>dan</strong>g konsepsi tersebut menjadi bias <strong>dan</strong>dipersepsikan secara sepihak sehingga kita sering melihat bahwasetiap pihak yang berhadapan masing-masing mengklaim dirinyase<strong>dan</strong>g menegakkan <strong>HAM</strong>-nya. Akan tetapi memang perludiperhatikan bahwa konsepsi <strong>HAM</strong> mempunyai jangkauan yang luas<strong>dan</strong> komplek, tetapi kenyataannya hanya menyentuh para aparatpemerintahan saja khususnya para penegak hukum.Batas antara kewenangan tugas alat negara atau penegak104


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011hukum yang merupakan representasi negara sebagai otoritaskekuasaan <strong>dan</strong> penyelenggara negara dengan pelanggar <strong>HAM</strong> sangattipis. Untuk itu perlu pemahaman yang mendalam dari penegakhukum <strong>dan</strong> alat negara terhadap konsep <strong>HAM</strong> supaya benar-benarmemahami perbedaannya.Hukum <strong>HAM</strong> memusatkan fokus kepada kepentingan pribadi<strong>dan</strong> kelompok pribadi dengan Pemerintah dengan tujuan memberikanperlindungan terhadap hak-hak asasi <strong>dan</strong> kebebasan pribadi ataspenyalahgunaan kekuasaan oleh Pemerintah <strong>dan</strong> juga oleh kelakuanpribadi, kelompok pribadi <strong>dan</strong> organisasi swasta serta mengusahakan<strong>dan</strong> menjamin iklim hidup yang sesuai dengan martabat manusianamun juga memperhatikan kepentingan negara sebagai representasimasyarakat dalam mengelola organisasi masyarakat (negara).Secara ideal hukum <strong>HAM</strong> harus memperhatikan harmonisasikehidupan masyarakat dalam negara, sehingga ada batas yang jelasantara penegakan hukum <strong>dan</strong> pelanggaran <strong>HAM</strong>. Secara faktualpenegakan hukum yang dilakukan oleh negara merupakan rangkaianpenegakan <strong>HAM</strong>, namun apabila negara yang diwujudkan olehotoritas kekuasaan atau Pemerintah tidak menjalankan fungsinya,maka secara faktual pula telah terjadi pelanggaran <strong>HAM</strong>.Praktik Pelanggaran <strong>HAM</strong> di IndonesiaTerjadinya pelanggaran <strong>HAM</strong> di Indonesia disebabkan oleh beberapaindikator-indikator, antara lain:a. Pendekatan pembangunan pada masa Orde Baru yangmengutamakan security approach dapat menjadi penyebabterjadinya pelanggaran <strong>HAM</strong> oleh Pemerintah. Cara-cararefresif yang digunakan oleh pemegang kekuasaan dapatmengakibatkan terjadinya pelanggaran <strong>HAM</strong>, antara lain:1) Penangkapan <strong>dan</strong> penahanan seseorang demimenjaga stabilitas, tanpa berdasarkan hukum.2) Penerapan budaya kekerasan untuk menindakwarga masyarakat yang dianggap ekstrim.3) Pembungkaman kebebasan pers dengan carapencabutan SIUPP.4) Pembatasan hak berserikat <strong>dan</strong> berkumpul serta105


DISKURSUS<strong>HAM</strong> DAN POLRImenyatakan pendapat, karena dikhawatirkan akanmenjadi oposan pemerintah.b. Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan Orde Baru denganpemusatan kekuasaan pada pemerintah pusat yangnotabene pada figure seorang Presiden, telahmengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negarasebagai akibat dari penguasaan para pemimpin negaraterhadap rakyat sehingga menimbulkan peluangpelanggaran <strong>HAM</strong> dalam bentuk pengekangan. Hal iniberakibat matinya kreativitas masyarakat <strong>dan</strong> terkekangnyahak politik warga selaku pemilik kedaulatan. Metode inidilakukan dalam rangka melestarikan kekuasaan penguasa.c. Kualitas layanan publik yang masih rendah sebagai akibatbelum terwujudnya good governance yang ditandai dengantransparansi di berbagai bi<strong>dan</strong>g, akuntabilitas, penegakanhukum yang berkeadilan, <strong>dan</strong> demokratisasi, serta belumberubahnya paradigma aparat pelayan publik yang masihmemposisikan dirinya sebagai birokrat bukan pelayanmasyarakat, hal ini akan menghasilkan pelayanan publikyang buruk <strong>dan</strong> cenderung untuk timbulnya pelanggaran<strong>HAM</strong> seperti:1) Hilang/berkurangnya beberapa hak yang berkaitandengan kesejahteraan lahir <strong>dan</strong> bathin yang sebenarnyamenjadi tugas <strong>dan</strong> tanggung jawab pemerintah untukmewujudkan kesejahteraannya.2) Hilang/berkurangnya hak yang berkaitan denganjaminan, perlindungan, pengakuan hukum, <strong>dan</strong>perlakuan yang adil <strong>dan</strong> layak.3) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkanlingkungan hidup yang baik <strong>dan</strong> sehat.4) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkankemudahan <strong>dan</strong> perlakuan khusus bagi anak-anak,orang tua <strong>dan</strong> penderita cacat.5) Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkanpekerjaan <strong>dan</strong> penghidupan yang layak.106


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011d. Konflik horizontal <strong>dan</strong> konflik vertikal telah melahirkanberbagai tindakan kekerasan yang melanggar <strong>HAM</strong> baikoleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupunoleh aparat seperti:1) Pembunuhan.2) Penganiayaan.3) Penculikan.4) Pemerkosaan.5) Pengusiran.6) Hilangnya mata pencaharian.7) Hilangnya rasa aman, dll.e. Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masihsering terjadi, walaupun PBB telah mendeklarasikan <strong>HAM</strong>yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orangdilahirkan dengan mempunyai hak akan kebebasan <strong>dan</strong>martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit,keyakinan agama <strong>dan</strong> politik, bahasa, <strong>dan</strong> jenis kelamin.Namun faktanya adalah bahwa instrumen tentang <strong>HAM</strong>belum mampu melindungi perempuan terhadappelanggaran hak asasinya dalam bentuk:1) Kekerasan berbasis gender bersifat fisik, seksual ataupsikologis; penganiayaan, pemerkosaan, <strong>dan</strong>berbagai jenis pelecehan.2) Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.3) Diskriminasi dalam sistem pengupahan.4) Perdagangan wanita.f. Pelanggaran hak asasi anak. Walaupun piagam <strong>HAM</strong> telahmemuat dengan jelas mengenai perlindungan hak asasianak namun kenyataannya masih sering terjadiperlanggaran hak asasi anak, yang sering dijumpai adalah:1) Kurangnya perlindungan hukum terhadap anak darisegala bentuk kekerasan fisik <strong>dan</strong> mental.107


DISKURSUS<strong>HAM</strong> DAN POLRI2) Menelantarkan anak.3) Perlakuan buruk.4) Pelecehan seksual.5) Penganiayaan.6) Mempekerjakan anak di bawah umur.g. Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukumdi Indonesia, maka berakibat terjadinya pelanggaran hakasasi manusia dalam bentuk:1) Perbedaan perlakuan di hadapan hukum, rakyat kecilmerasakan bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka,tidak bagi pejabat.2) Menjauhnya rasa keadilan.3) Terjadinya main hakim sendiri sebagai akibat ketidakpercayaan kepada perangkat hukum.Upaya Pencegahan Pelanggaran <strong>HAM</strong> di Indonesia1. Pendekatan security yang terjadi di era Orde Baru denganmengedepankan upaya refresif menghasilkan stabilitaskeamanan semu <strong>dan</strong> berpeluang besar menimbulkan terjadinyapelanggaran <strong>HAM</strong> tidak boleh terulang kembali, untuk itusupremasi hukum <strong>dan</strong> demokrasi harus ditegakkan, pendekatanhukum <strong>dan</strong> dialogis harus dikemukakan dalam rangkamelibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa<strong>dan</strong> bernegara.2. Sentralisasi kekuasaan yang terjadi selama ini terbukti tidakmemuaskan masyarakat, bahkan berdampak terhadaptimbulnya berbagai pelanggaran <strong>HAM</strong>, untuk itu desentralisasimelalui otonomi daerah dengan penyerahan berbagaikewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerahperlu dilanjutkan, otonomi daerah sebagai jawaban untukmengatasi ketidak adilan tidak boleh berhenti, melainkan harusditindaklanjuti <strong>dan</strong> dilakukan pembenahan atas segalakekurangan yang terjadi.108


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 20113. Reformasi aparat Pemerintah dengan mengubah paradigmapenguasa menjadi pelayan masyarakat dengan caramengadakan reformasi di bi<strong>dan</strong>g struktural, enviromental, <strong>dan</strong>kultural, mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkankualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagaibentuk pelanggaran <strong>HAM</strong> oleh pemerintah.4. Perlu penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal <strong>dan</strong>konflik vertikal di tanah air yang telah melahirkan berbagaitindak kekerasan yang melanggar <strong>HAM</strong> baik oleh sesamakelompok masyarakat dengan cara menyelesaikan akarpermasalahan secara terencana, adil <strong>dan</strong> menyeluruh.5. Kaum perempuan berhak untuk menikmati <strong>dan</strong> mendapatkanperlindungan yang sama bagi semua <strong>HAM</strong> di bi<strong>dan</strong>g, politik,ekonomi, sosial, budaya, sipil, <strong>dan</strong> bi<strong>dan</strong>g lainnya, termasukhak untuk hidup, persamaan, kebebasan <strong>dan</strong> keamanan pribadi,perlindungan yang sama menurut hukum, bebas daridiskriminasi, kondisi kerja yang adil.Untuk itu ba<strong>dan</strong>-ba<strong>dan</strong> penegak hukum tidak boleh melakukandiskriminasi terhadap perempuan, lebih konsekuen dalammematuhi Konvensi Perempuan sebagaimana yang telahdiratifikasi dalam UU No. 7 tahun 1984, mengaktifkan fungsiKomnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Harus dibuatperaturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang memadai yang menjaminperlindungan hak asasi perempuan dengan mencantumkansanksi yang memadai terhadap semua jenis pelanggarannya.6. Anak sebagai generasi muda penerus bangsa harusmendapatkan manfaat dari semua jaminan <strong>HAM</strong> yang tersediabagi orang dewasa. Anak harus diperlakukan dengan cara yangmemajukan martabat <strong>dan</strong> harga dirinya, yang memudahkanmereka berinteraksi di dalam masyarakat, anak tidak bolehdikenai siksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam <strong>dan</strong> tidakmanusiawi, pemenjaraan atau penahanan terhadap anakmerupakan tindakan ekstrim terakhir, perlakuan hukumterhadap anak harus berbeda dengan orang dewasa, anak harusmendapatkan perlindungan hukum dalam rangkamenumbuhkan suasana phisik <strong>dan</strong> psikologis yang109


DISKURSUS<strong>HAM</strong> DAN POLRImemungkinkan anak berkembang secara normal dengan baik,untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang memberikanperlindungan hak asasi anak, setiap pelanggaran terhadapaturan harus ditegakkan secara professional tanpa pa<strong>dan</strong>g bulu.7. Supremasi hukum harus ditegakkan, sistem peradilan harusberjalan dengan baik <strong>dan</strong> adil, para pejabat penegak hukumharus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepa<strong>dan</strong>yadengan memberikan layanan yang baik <strong>dan</strong> adil kepadamasyarakat penari keadilan, memberikan perlindungan kepadasemua orang dari perbuatan melawan hukum, menghindaritindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangkamenegakkan hukum.8. Perlu a<strong>dan</strong>ya kontrol dari masyarakat (social control) <strong>dan</strong>pengawasan dari lembaga politik terhadap upaya-upayapenegakan <strong>HAM</strong> yang dilakukan oleh pemerintah.Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintahtelah meletakkan landasan hukum yang kuat dalam usaha penegakan<strong>HAM</strong> di Indonesia, berbagai kebijakan tertuang dalam peraturanperun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan, antara lain:a) Hak-hak tersangka/terdakwa telah dilindungi dalam KUHAP(UU No. 8 Tahun 1981).b) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan <strong>HAM</strong>.c) UU No. 23 Tahun 2001 tentang Penghapusan TindakKekerasan Dalam Rumah Tangga.d) PP No. 24 Tahun 2004 tentang Tata Cara PerlindunganTerhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum Dan HakimDalam Perkara Tindak Pi<strong>dan</strong>a Terorisme.e) PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara PerlindunganTerhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran <strong>HAM</strong> Berat.Tugas PolriPasal 13 UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri memuat tugas pokokPolri yaitu memelihara keamanan <strong>dan</strong> ketertiban, menegakkanhukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman <strong>dan</strong>110


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011pelaksanaan kepada masyarakat. Polri dituntut harus senantiasatampil simpatik <strong>dan</strong> menyenangkan hati masyarakat. Dalam tugaspenegakan hukum, Polri harus tegas, kuat <strong>dan</strong> perkasa walaupundalam suatu keadaan, terpaksa menggunakan kekerasan.Kepada Polisi diberikan peran tertentu yang tidak diberikankepada orang lain. Kepa<strong>dan</strong>ya diberikan kekuatan <strong>dan</strong> hak yang tidakdiberikan kepada orang biasa. Oleh karena keistimewaan tersebut,Polisi dihadapkan tuntutan-tuntutan yang tidak diminta dari warganegara biasa. Polisi harus berani menghadapi bahaya <strong>dan</strong> kekerasan,se<strong>dan</strong>g rakyat dibenarkan menghindari bahaya tersebut. Sebagaimanusia biasa, Polisi akan menghadapinya dengan perasaan takut,marah, kecurigaan, dibanding dengan orang lain pada pekerjaan yangberbeda. Polisi dituntut untuk memberikan respon terhadap emosiemositersebut secara memadai, seperti menunjukkan keberanian,keuletan <strong>dan</strong> kehati-hatian.Secara teoritik, Polisi sebagai hukum yang hidup berusahauntuk menerapkan peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan di tengah-tengahmasyarakat yang majemuk. Hal ini sangatlah berbeda dengan aparatpenegak hukum lainnya seperti Jaksa, Hakim, pejabat lembagapemasyarakatan <strong>dan</strong> Advokat. Polisi terjun langsung untuk mencari<strong>dan</strong> mengungkap kasus yang terjadi dengan taruhan pangkat <strong>dan</strong>nyawa di dalam kehidupan masyarakat.Polisi biasanya menghadapi berbagai pilihan untuk mencapaitujuan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Penilaian terhadap Polisididasarkan pada bagaimana ia mampu membuat pilihan tindakanyang benar untuk tujuan yang benar. Secara singkat, Polisi yang baikmampu menjadikan moralitas sebagi bagian yang integral daripekerjaannya. Pekerjaan Polisi yang boleh menggunakan kekerasanditujukan untuk mencapai satu dari sekian banyak tujuan moral, yaitukelangsungan hidup manusia. Dihadapkan kepada tuntutan yangdemikian itu banyak pekerjaan Polisi yang secara moral menjadiproblematik.Polri sebagai alat negara penegak hukum <strong>dan</strong> kamtibmasmempunyai posisi yang sentral dalam melaksanakan tugas sebagairepresentasi kekuasaan <strong>dan</strong> dalam melaksanakan tugasnya tersebuttelah diatur tentang penggunaan kekerasan baik secara nasionalmaupun internasional, dimana penyalahgunaan wewenang ataupelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berpotensi menjadi111


DISKURSUS<strong>HAM</strong> DAN POLRIpelanggaran terhadap <strong>HAM</strong>.Polri sebagai aparat penegak hukum, dalam melaksanakantugasnya secara yuridis, ka<strong>dan</strong>g dalam situasi yang kritis atau gentingdapat menggunakan kekerasan dalam menjalankan wewenangnya<strong>dan</strong> hal tersebut mungkin dapat dibenarkan oleh hukum, terutama saatPolisi harus menangkap atau menahan pelaku kejahatan. Penggunaankekerasan oleh Polisi dalam melaksanakan tugasnya dalampenegakkan hukum <strong>dan</strong> kamtinas telah diatur <strong>dan</strong> diakui antara lain:1. Dalam Pasal 3 Code of Conduct for Law EnforcementOfficials (1979) dinyatakan bahwa petugas penegak hukumdiperkenankan menggunakan kekerasan sepanjangpenggunaan kekerasan tersebut bersifat eksepsional <strong>dan</strong>bersifat fungsional atau dengan kata lain penggunaankekerasan merupakan kekecualian yang bersifat tertentu <strong>dan</strong>penggunaannya yang bersifat:a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan.b. Untuk memudahkan serta membantu menangkap/menahan tersangka berdasarkan prosedur yangmelanggar un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g.c. Landasan penggunaan kekerasan adalah asasproporsionalitas.2. Dalam kongres PBB tentang Prevention of Crime andTreatment offender di Havana, Kuba (1990) telah diadopsiprinsip-prinsip dasar yang memuat ketentuan tentang syaratsyaratpenggunaan senjata api, yaitu:a. Petugas penegak hukum dapat menggunakan senjata apiuntuk membela diri, untuk menghadapi kondisi terbunuhatau luka berat terhadap ancaman fisik pribadi.b. Untuk mencegah atau persiapan khususnya terhadapkejahatan yang membahayakan kehidupan.c. Untuk menangkap seseorang dalam kondisi yangberbahaya dalam melawan kejahatan.d. Untuk mencegah seseorang melarikan diri <strong>dan</strong> kecualidalam kondisi yang mendesak untuk mencapai tujuan.3. Dalam hukum positif juga diatur penggunaan kekerasan olehPolri dalam melaksanakan tugas, antara lain:112


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011a. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dalam Pasal 18ayat (1) menyatakan bahwa untuk kepentingan umumpejabat Polri dalam melaksanakan tugasnya dapatbertindak menurut penilaiannya sendiri.b. Dalam KUHP:- Pasal 50 KUHP yaitu menjalankan peraturanperun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan.- Pasal 51 KUHP yaitu atas perintah jabatan.Menyikapi fenomena pelaksanaan tugas Kepolisian tersebut,maka Polri dalam merespon situasi harus melaksanakan tugas secaraprofesional. Dari segi yuridis kewenangan Polri menggunakankekerasan dalam pelaksanaan tugasnya secara internasional telahdiatur <strong>dan</strong> diakui namun harus tetap terkontrol agar tidak terjadipenyalahgunaan kekuasaan oleh Polri atau Polri digunakan <strong>dan</strong>dikooptasi oleh kekuasaan (elit politik).Nilai kejuangan, aktualisasi <strong>dan</strong> implementasi nilai-nilaikejuangan yang dijabarkan melalui doktrin Tribrata <strong>dan</strong> CaturPrasetya merupakan modal dasar bagi lembaga Polri. Dalampenjabaran nilai-nilai rersebut telah diciptakan suprastruktur yangmenunjang dengan menciptakan lembaga Kode Etik Profesi,sehingga pelaksanaan tugas Anggota Polri terukur dengan kodeetikprofesi.Selain hal tersebut Mabes Polri juga telah menerbitkan Juklak<strong>dan</strong> Juknis tentang pembinaan nilai juang untuk dipedomani <strong>dan</strong>dilaksanakan oleh setiap Anggota Polri yang diharapkan AnggotaPolri tidak melakukan pelanggaran <strong>HAM</strong>, selain itu tuntutanmasyarakat untuk menciptakan Polri yang mandiri secara struktural<strong>dan</strong> instrumental terlepas dari pengaruh politis menciptakan iklimyang kondusif bagi Polri dalam melaksanakan tugas sehingga dapatdihindari penyalahgunaan kelembagaan Polri sebagai alat kekuasandalam pelanggaran-pelanggaran terhadap <strong>HAM</strong>.Penegakan Hukum oleh PolriPenegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkanhukum yang dicita-citakan yang bersifat abstrak menjadi wujud yangkonkret. Peran Polri adalah untuk mengkonkretkan hal tersebut.113


DISKURSUS<strong>HAM</strong> DAN POLRIPenegakan hukum mempunyai tujuan mewujudkan cita-cita hukumberupa ketertiban, kepastian hukum <strong>dan</strong> keadilan.Penegakan hukum yang dilakukan tanpa disertai penegakanterhadap <strong>HAM</strong> hanya akan mempertahankan otoritas kekuasaanterhadap kepentingan kekuasaan <strong>dan</strong> hukum secara luas. Penegakanhukum sangat rentan terhadap perkembangan politik suatu negarasehingga terka<strong>dan</strong>g hukum dapat dikooptasi untuk kepentinganpolitik atau penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.Polri sebagai salah satu komponen fungsi terdepan dalampenegakan hukum berhadapan langsung dengan berbagai macamkompleksitas kemasyarakatan di dalam sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a(Criminal Justice System). Namun dalam penegakan hukum yangdilakukan oleh Polri dalam pelaksanaan tugasnya banyak menemuihambatan-hambatan, antara lain:a. Dalam substansi hukumnya:i. Tentang ketentuan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang salingbertentangan;ii. Pembaharuan hukum ternyata belum didahului denganpersamaan persepsi, sehingga ada penyelundupanketentuan hukum yang tidak benar;iii. Masih a<strong>dan</strong>ya ketentuan hukum positif peninggalankolonial Belanda yang tidak sesuai denganperkembangan jaman;iv. A<strong>dan</strong>ya peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang belumada peraturan pelaksananya, sehingga menyulitkanpenegakannya;v. Tidak a<strong>dan</strong>ya perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang sedemikianlengkap yang dapat mengatur semua perilaku manusia;b. Dalam kondisi masyarakat yang dihadapi masih terdapata<strong>dan</strong>ya sikap-sikap <strong>dan</strong> perilaku masyarakat yangtidak/kurang menguntungkan untuk terselenggaranyapenegakan hukum yang baik, antara lain:i. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadappembinaan kamtibnas pada umumnya, khususnyapenegakan hukum.114


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011ii.iii.iv.Enggan berpartisipasi dalam melaksanakan tugaskeamanan yang dilakukan oleh Polri.Kurang mengetahui atau tidak menyadari apabila hakhakmereka dilanggar atau diganggu.Kurang mengetahui akan a<strong>dan</strong>ya upaya-upaya hukumuntuk melindungi kepentingan-kepentingannya.v. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upayahukum karena faktor-faktor ekonomi, psikis, sosialatau politik.Dalam rangka menciptakan profesionalisme di bi<strong>dan</strong>gpenegakan hukum sebagai suatu core business, Kepolisian telahmengembangkan keorganisasian untuk menunjang hal tersebut.Peningkatan organisasi reserse secara struktural akan berdampakterciptanya anggota Polri yang lebih professional di bi<strong>dan</strong>gpenegakan hukum.Penegakan <strong>HAM</strong> oleh PolriPenegakan hukum mempunyai perbedaan dengan penegakan <strong>HAM</strong>.Penegakan hukum bertujuan mewujudkan cita-cita hukum berupaketertiban, kepastian hukum <strong>dan</strong> keadilan, se<strong>dan</strong>g penegakan <strong>HAM</strong>bertujuan mewujudkan nilai-nilai etika <strong>dan</strong> moral di dalam kehidupanmanusia secara universal. Di dalam nilai etika <strong>dan</strong> moral tersebutsecara implisit terkandung nilai penegakan hukum.<strong>HAM</strong> sebagai suatu bentuk kejahatan yang melibatkanotoritas kekuasaan sebagai pribadi maupun kelompok. Kejahatan inisulit dideteksi karena pada prinsipnya pelanggaran <strong>HAM</strong> ini adalahbentuk kooptasi politik terhadap hukum. Dalam praktiknya,kejahatan ini terjadi secara terencana <strong>dan</strong> sistematis. Kejahatan ataupelanggaran ini didukung oleh sistem sosial lainnya sebagai bagiandari sistem politik negara. Pelanggaran akan terungkap manakalarezim suatu pemerintahan berakhir atau tumbang, <strong>dan</strong> sistempendukung lainnya juga tidak berfungsi.Institusi Pemerintah yang sering terlibat langsung denganpermasalahan <strong>HAM</strong> adalah Polri. Tujuan strategi Polri dalammenghadapi kejahatan atau pelanggaran <strong>HAM</strong> adalah untukmenciptakan anggota Polri yang professional. Anggota tersebut harus115


DISKURSUS<strong>HAM</strong> DAN POLRIdapat menguasai pelaksanaan tugas bi<strong>dan</strong>g penegakan hukum yangmencakup penyelidikan <strong>dan</strong> penyidikan, sesuai dengan <strong>HAM</strong> yangdiakui secara internasional sebagai kejahatan internasional.Sebagai penyidik <strong>dan</strong> penyelidik yang melaksanakan tugaspenyidikan yang merupakan penyidik utama dalam KUHAP, Polrimempunyai peran yang besar dalam penegakan hukum yangberhubungan dengan <strong>HAM</strong>. Dalam menghadapi pelanggaran <strong>HAM</strong>Polri sebagai aparat penegak hukum perlu melaksanakannya secaraterencana serta didukung oleh kebijaksanaan strategi yang jelas.Dalam sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a di Indonesia telah diintrodusirsuatu mekanisme peradilan. Penyidikan <strong>dan</strong> penuntutan merupakansuatu subsistem yang berdiri sendiri. Penyidikan sebagai gerbangproses dalam sistem peradilan pi<strong>dan</strong>a dilaksanakan oleh lembagaPolri <strong>dan</strong> dalam proses penyidikan secara umum dilakukan oleh Polri<strong>dan</strong> Pegawai Negeri Sipil tertentu sesuai dengan lingkupkewenangannya.Dalam KUHAP dinyatakan pula bahwa Polri merupakanpenyidik utama <strong>dan</strong> sekaligus sebagai koordinator penyidikanlainnya, walaupun hal tersebut diingkari oleh beberapa UU lainnyaseperti UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 9 tahun 1995tentang Kepabeanan, UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal,namun secara menyeluruh penyidikan terhadap tindak pi<strong>dan</strong>a yangberhubungan dengan penegakan <strong>HAM</strong> dilakukan oleh Polri.Secara substansial <strong>dan</strong> formal kelembagaan Polri padaprinsipnya telah melaksanakan penegakan hukum sebagai rangkaianpenegakan terhadap <strong>HAM</strong>. Namun dalam praktik masih ditemukankendala-kendala yang bersifat eksternal <strong>dan</strong> internal. Gunamenyikapi hal tersebut, selain upaya untuk meniadakan kendalaeksternal, maka Polri secara kelembagaan perlu membenahi dirisecara internal.Tugas polisi sangat penting dalam menjaga supremasi <strong>HAM</strong>dalam kehidupan sosial sebagaimana terdapat dalam UU No. 2 Tahun2002, yaitu:1. Polri harus menjaga <strong>dan</strong> melindungi keamanan masyarakat,tata tertib serta penegakan hukum <strong>dan</strong> <strong>HAM</strong>.2. Polri harus menjaga keamanan umum <strong>dan</strong> hak milik, sertamenghindari kekerasan dalam menjaga tata tertibbermasyarakat dengan menghormati supremasi <strong>HAM</strong>.116


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 20113. Polri dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangkaharus menghormati asas praduga tak bersalah sebagai haktersangka sampai dinyatakan terbukti bersalah olehpengadilan.4. Polri harus mematuhi norma-norma hukum <strong>dan</strong> agama untukmenjaga supremasi <strong>HAM</strong>.Dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam melakukanpemeriksaan, polisi ka<strong>dan</strong>gkala mempunyai hambatan-hambatandalam menjaga supremasi <strong>HAM</strong>, tetapi Polisi tetap harusmenghormati hak-hak tersangka, yaitu antara lain:1. Hak untuk dilakukan pemeriksaan dengan segera,penuntutan di pengadilan.2. Hak untuk menjelaskan kepada penyelidik <strong>dan</strong> hakimdengan bebas.3. Hak untuk mempunyai penerjemah.4. Hak untuk didampingi pengacara/penasehathukum dalamsetiap pemeriksaan.5. Hak WNA untuk menghubungi kedutaan negaranya ketikamereka menjadi tersangka dalam suatu kasus kejahatan.6. Hak untuk menghubungi dokter.7. Hak untuk didampingi pengacara ketika tersangka ditahan<strong>dan</strong> untuk mendampinginya selama proses di pengadilan.8. Hak untuk dikunjungi oleh keluarganya9. Hak tersangka untuk dikunjungi oleh penasehat spiritualnya.10. Hak tersangka atau terdakwa untuk mempunyai saksi dalampembelaan terhadapnya.11. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti rugi.Dalam kondisi di atas, dapat dikatakan bahwa keberaanpengacara atau penasehat hukum sangat dibutuhkan untuk menyertaitersangka atau terdakwa selama pemeriksaan oleh polisi sampaimereka dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan. Tetapi untukkasus subversi, pengacara atau penasehat hukum tidak dapatmenyertai tersangka tetapi hanya dapat melihat jalannyapemeriksaan.117


DISKURSUS<strong>HAM</strong> DAN POLRIPenutupMeningkatnya perhatian terhadap <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> penegakan hukumnya diIndonesia telah membuat tuntutan untuk menegakkan <strong>HAM</strong> menjadisedemikian kuat baik di dalam negeri maupun melalui tekanan duniainternasional. Oleh karena itu diperlukan niat <strong>dan</strong> kemauan yangserius dari pemerintah, aparat penegak hukum, <strong>dan</strong> elite politik agarpenegakan <strong>HAM</strong> berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan.Strategi Polri dalam menghadapi pelanggaran <strong>HAM</strong> dapatdinyatakan sebagai upaya profesionalitas di bi<strong>dan</strong>g penegakanhukum, penegakkan <strong>HAM</strong> secara laten merupakan penegakan hukumyang baik secara sistematis merupakan strategi penegakan <strong>HAM</strong>.Selain itu pula anggota polri perlu diberi pengetahuan tentang hak <strong>dan</strong>kewajibannya dalam menegakkan hukum sesuai dengan hukumnasional maupun standar internasional, sehingga terdapatkeseimbangan antara hak <strong>dan</strong> kewajiban dalam melaksanakan tugasKepolisian.Untuk menanggulangi semakin meningkatnya sertamencegah agar pelanggaran <strong>HAM</strong> di masa lalu tidak terulangkembali di masa sekarang <strong>dan</strong> masa yang akan datang merupakansudah menjadi kewajiban bersama segenap komponen bangsa,sehingga diharapkan dengan berpartisipasinya masyarakat Indonesiaakan mendorong suasana yang kondusif <strong>dan</strong> akomodatif terhadappenegakkan <strong>HAM</strong>.118


digitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Daftar PustakaA. Hamzah, DR. SH., Perbandingan Hukum Pi<strong>dan</strong>a BeberapaNegara, Cetakan Ke-2, SinarGrafika Offset, 1995.Baldwin, R, Kinsey, R, 1982. Police Power and Politics, NamaraGroup 27/29 Goodge Street, London WIP-IFD, 380, pp. 172.Barda Nawawi Arief, Prof, DR, SH., Bunga Rampai KebijakanHukum Pi<strong>dan</strong>a, Cetakan Ke-1, PT. CITRA ADITYA BAKTI,Bandung, 1996.Bayley, D.H., 1994. Police for Future, Oxford University Press Inc,New York, 297, pp.112Binkum Polda Jateng, 2003. Data Pelanggaran Disiplin AnggotaPOlda Tahun 2001-2003Hurst Hanum, Guide to International Human Right Practice, CetakanKe-II, University of Pennsylvania Press, 1994.Hutajulu, P.H. 1999. Police and Human Rights on Crime CodePenal,CV. Sibaya, Surabaya, pp. 24-25.Kelana, M, 2002, To Understand Indonesian National Police, PTIK-Press, Jakarta, pp. 111-113.Koesparmono I., 2002, Human Rights and Law, PTIK-Press, Jakarta,pp. 194-197.Komar Kantaatmadja, Prof, DR SH, LLM (ALM)., BeberapaPemikiran Memasuki Abad XXII, Angkasa Bandung, 1998.Marbun, B.N. Gaktama, C, 2000. Human Rights, a Good Arrange ofState Nation, National Human Right Committee, Jakarta, 98, pp.141.Moeljatno, 2001. Crime Code Penal, Bumi Nsabtara, Jakarta, pp. 136.MR. R. Tresna, Komentar HIR, Cetakan ke-15, PT. PradnyaParamita, Jakarta, 1996.Paul de Jong, 1986. Het Blauwe Recht-Op weg Naar een beroepscodevan de politie, Koninklijke Vermande BV-1986, 175.Paul Hoffman, Prof, Kumpulan Diktat Kuliah “The New DueProcess”, oxford university, 1998.119


DISKURSUS<strong>HAM</strong> DAN POLRIPeter Bachr, Pieter van Dijk, Adnan Buyung Nasution, Leo Zwaak,Instrument Internasional Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia,Cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997.Peter R. Bachr, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri,Cetakan ke-1, Cetakan ke-1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1998.Peter Davies, Hak-Hak Asasi Manusia, Cetakan ke-1, Cetakan ke-1,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.Romli Atmasasmita, Hukum Pi<strong>dan</strong>a Internasional, Cetakan ke-1, PT.Ersesco Bandung, 1995.Ralph Steinhard, Prof, Kumpulan Diktat Kuliah “Human RightLawyering”, Oxford University, 1998.Sauryal, S.S, 1999. Ethics In Criminal Justice, Sam Houston StateUniversity, 633.Sitompul, D.P.M, 1999. Hukum Kepolisian Indonesia, CV. Tarsito,Bandung, 156, pp. 111-120.Sitompol, D.P.M, 2000. Beberapa Tugas Dan Peranan Polri, CV.Wanthy Jaya, Jakarta, 163, pp.137-148.Konvensi Pengadilan Pi<strong>dan</strong>a Internasional Roma.Thomas Burgenthal, International Human Rights Law, Cetakan ke-III, Wet Publishing, Co, 1995.120


OASE


Negara Hukum <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusia denganPendekatan Hukum ProgresifYance ArizonaAbstraksiTulisan ini berisi tiga pokok bahasan berkaitan dengan negara hukum,hak asasi manusia <strong>dan</strong> pendekatan hukum progresif. Pertama, akandibahas tentang apa sebenarnya hukum progresif, apa asumsi-asumsipokoknya <strong>dan</strong> mengapa ia penting dikemukakan dalam diskursus hukumdi Indonesia. Kedua, membahas pilar pokok negara hukum dalampendekatan hukum progresif <strong>dan</strong> bagaimana posisinya dalam konstelasialiran pemikiran tentang negara hukum di Indonesia. Ketiga, membahasposisi hak asasi manusia dalam perkembangan wacana yang menaungigagasan hukum progresif. Frame yang digunakan adalah pemikiranperintis hukum progresif, Prof. Satjipto Rahardjo (1930-2010), <strong>dan</strong>beberapa tulisan penstudi lain tentang Satjipto Rahardjo <strong>dan</strong> HukumProgresif.Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukumSatjipto Rahardjo (1930-2010)Hukum ProgresifDiskursus tentang hukum progresif tidak dapat dilepaskan dari sosokpenggagasnya, yaitu (alm) Prof. Satjipto Rahardjo (selanjutnyadisebut Prof. Tjip). Mantan Guru Besar Sosiologi Hukum di FakultasHukum Universitas Diponegoro itu mulai memperkenalkan hukumprogresif sejak 2002 lewat berbagai buku <strong>dan</strong> artikelnya di suratkabar(Susanto, 2010:111). Sejak pertama kali dilontarkan, hukumprogresif acap disebut <strong>dan</strong> digunakan oleh kalangan akademik,praktisi <strong>dan</strong> aparatus hukum, namun belum diletakkan pada posisiyang jelas dalam konstelasi pemikiran hukum.Prof. Tjip sendiri tidak menyematkan label khusus terhadappemikiran hukum progresif yang beliau lontarkan. Sebagaimanadibahas oleh Shidarta, terka<strong>dan</strong>g Prof. Tjip mengatakan hukumprogresif adalah suatu 'gerakan intelektual'. Pada kesempatan lain ia123


OASENEGARA HUKUM DAN <strong>HAM</strong>menyebut hukum progresif merupakan suatu 'paradigma' <strong>dan</strong> 'konsep'mengenai cara berhukum. Bahkan terka<strong>dan</strong>g beliau menyebutnya'ilmu hukum progresif'. Beliau tidak keberatan ketika Bernard L.Tanya <strong>dan</strong> kawan-kawan dalam sebuah buku memasukan hukumprogresif sebagai sebuah 'teori hukum' (Shidarta, 2010:52). Terlepasdari masih kaburnya 'jenis kelamin' hukum progresif dalam strukturkeilmuan (hukum), sebagai sebuah gagasan, hukum progresif telahmampu menggugah banyak pihak.Prof. Tjip mengenalkan hukum progresif sebagai salah satualternatif wacana dalam pembaruan hukum di Indonesia di erareformasi. Banyak mahasiswa baik yang pernah diajar langsung olehbeliau maupun mengenal gagasan beliau lewat buku kemudianmenggeliat membentuk forum-forum diskusi. Sebagian dari merekamenamakan diri 'Kaum Tjipian'. Lalu sekumpulan pengacara yangmemiliki gagasan serupa dengan Prof. Tjip membentuk SerikatPekerja Hukum Progresif (SPHP). Ada pula yang menamakan diriLingkar Studi Hukum Progresif (LSHP) (Nugroho, 2011:284). Dikalangan hakim pun gagasan ini memberi bekas. Prof. Moh. MahfudMD yang sekarang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi dalambanyak kesempatan menyebutkan bahwa: “Kami menganut hukumprogresif”, terutama berkaitan dengan putusan-putusan MahkamahKonstitusi yang fenomenal (land mark decision). Hukum progresifhadir di ruang publik menjadi idiom yang digunakan oleh para pegiat<strong>dan</strong> pejuang hukum yang anti-formalistik.Dalam altar diskursus hukum di Indonesia, hukum progresifmerupakan pendatang baru yang mulai ada <strong>dan</strong> berkembang di awalabad 21 <strong>dan</strong> ketika penggagasnya, Prof Tjip, telah berusia 70 tahun.Awaludin Marwan menyebutkan bahwa hukum progresif merupakanbuah kontemplasi “Prof Tjip Tua” yang berbeda dengan pemikiran“Prof Tjip Muda” yang lebih saintifik (Marwan, 2010:14). Setelahsempat sakit parah <strong>dan</strong> dirawat sekitar tahun 2003, 'Prof Tjip Tua'akhirnya bisa lebih sembuh <strong>dan</strong> menghasilkan banyak karya-karyahukum yang kontemplatif. Buku-buku beliau kemudian lebih longgardengan standar keilmiahan <strong>dan</strong> lebih mengalir dalam penggunaanbahasa.Hukum progresif tidak hadir dalam ruang hampa. Oleh karenaitu, hukum progresif hendaknya dibaca sebagai suatu responsterhadap dinamika yang terjadi dalam pembaruan hukum di124


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Indonesia pasca Orde Baru yang instrumenal <strong>dan</strong> fungsionalistik.Pembaruan hukum pasca Orde Baru disebut instrumenal <strong>dan</strong>fungsionalistik karena dua pendekatan dominan yang menjadi arusdalam pembaruannya, yaitu pendekatan pembaruan peraturan (legalreform approach) <strong>dan</strong> pendekatan pembaruan kelembagaan(institutional reform approach) (Arizona, 2010:127). Pembaruanperaturan dilakukan dengan menciptakan <strong>dan</strong> mengganti peraturanperun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> kebijakan lainnya. Indikasinya jumlahlegislasi meningkat. Hal ini membuat hukum menjadi 'rimba'peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan, saling tumpang tindih satu sama lain<strong>dan</strong> banyak hukum yang kemudian menjadi tidak implementatif ataumubazir (legisferitis). Hukum menjadi semakin teknikal <strong>dan</strong>memerlukan pembelajaran teknis yang jauh dari pemahaman awam.Hal ini pula yang secara tidak sadar memberi ruang yang semakinbesar kepada para sarjana hukum untuk mendominasi pemaknaanhukum.Se<strong>dan</strong>gkan pembaruan kelembagaan dilakukan denganmembenahi institusi negara yang dilakukan dengan penegasanpemisahan kekuasaan antar cabang kekuasaan negara (separation ofpower) <strong>dan</strong> pembentukan lembaga-lembaga independen.Pembentukan Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, pemilihanpresiden langsung, pembentukan 12 lembaga independen <strong>dan</strong> 42lembaga baru di bawah kekuasaan presiden menunjukkan betaparamainya pembenahan kelembagaan yang diupayakan dalampembaruan hukum. Pembaruan kelembagaan ini sejalan denganpenciptaan mekanisme check and balances dalam diskursus rule oflaw agar negara tidak jatuh kembali ke tangan otoritarianisme.Dua pendekatan dominan itu belum mampu membawabangsa Indonesia membangun sistem hukum yang membahagiakanrakyatnya <strong>dan</strong> mendatangkan keadilan. Secara kasat mata kita lihatsehari-hari kasus besar dilakukan oleh para aparatus negara baik dilingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kebanyakan kasusyang melibatkan penguasa diredam seperti kasus Bank Century <strong>dan</strong>mafia pajak. Namun di sisi lain, hukum diterapkan secara tajamkepada rakyat kecil yang mengambil kakao, pisang <strong>dan</strong> ranting kayuuntuk kebutuhan mempertahankan hidupnya. Belum lagi kekerasan<strong>dan</strong> kriminalisasi terhadap rakyat di kampung-kampung yangmempertahankan wilayah kehidupannya dari eksploitasi atau125


OASENEGARA HUKUM DAN <strong>HAM</strong>penghancuran oleh para pengusaha yang difasilitasi oleh pemerintah.Sekalian persoalan dalam kehidupan berhukum di Indonesiamemuncak pada dua persoalan utama yaitu korupsi <strong>dan</strong> carapan<strong>dan</strong>gan aparatus yang positivistik.Sebagai sebuah gerakan, hukum progresif lahir sebagairespons atas kekecewaan kepada penegak hukum yang kerapberperspektif positivis, yang hanya terpaku pada teks dalam un<strong>dan</strong>gun<strong>dan</strong>gtanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada dimasyarakat. Para penganut paham positivisme (lebih tepatnya pahamlegisme) kerap berdalih paham civil law yang dianut Indonesiasebagai warisan dari sistem hukum Kolonial Belanda 'mengharuskan'hakim sebagai corong un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g (la bouche de la loi) <strong>dan</strong>aparatus penegak hukum lainnya sebagai 'mesin hukum' yangberkerja secara mekanis berdasarkan postulat-postulat hukumtertulis.Sebagai kritik terhadap positivisme hukum, hukum progresiftidak berhenti ketika peraturan diterapkan pada kenyataan, melainkanterus berupaya sebagai rangkaian proses searching for the truth(pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti (Rahardjo,2005:3). Bahkan hukum progresif mempromosikan cara berpikiryang mematahkan cara-cara lama dalam berhukum yang diistilahkandengan 'rule breaking', yaitu sebagai salah satu strategi menembuskebuntuan legalitas formal guna menggapai keadilan.Prof. Tjip tidak hendak menjadikan hukum progresif sebagaisuatu tipe hukum yang khas <strong>dan</strong> selesai (distinct type and a finitescheme), melainkan lebih merupakan gagasan yang mengalir, yangtidak mau terjebak ke dalam status quo, sehingga menjadi mandek(stagnant) (Shidarta, 2011:54). Hukum progresif selalu ingin setiapada asas besar, 'hukum adalah untuk manusia.' Hukum progresif bisadiibaratkan sebagai papan petunjuk, yang selalu memperingatkan,hukum itu harus terus-menerus merobohkan, mengganti,membebaskan hukum yang mandek (Rahardjo, 2009a:81-2).Meskipun tidak hendak menjadikan hukum progresif sebagaisuatu yang final, Prof. Tjip dalam salah satu tulisannya (Rahardjo,2007:139-45) menyebutkan setidaknya ada tiga pilar utama dalamhukum progresif, yaitu: (a) Bertujuan untuk mengabdi bagikepentingan manusia, bukan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan asasbesar dalam hukum progresif yaitu hukum untuk manusia, bukan126


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011manusia untuk hukum. Keutamaan manusialah yang menjadi tujuanhukum, sehingga dalam konteks ini, ia sebenarnya membicarakanhak asasi manusia tanpa harus terjebak dengan standar-standarnormatif hukum hak asasi manusia; (b) Mengkritik cara berhukumstatus quo yang positivistik-legalistik. Hal ini merupakan salah satupembeda (distinction) antara hukum progresif dengan mainstreampembangunan hukum di Indonesia pasca Orde Baru yang sebenarnyamerupakan warisan dari rezim-rezim sebelumnya; <strong>dan</strong>(c) Mengutamakan perilaku baik dalam berhukum. Hal inimencirikan bahwa hukum progresif bersifat non-instrumenal denganmeletakan manusia sebagai faktor determinan dalam kehidupanberhukum, bukan peraturan sebagai faktor determinan.Negara Hukum yang Membahagiakan RakyatHukum progresif tumbuh di dalam situasi ketika Indonesiamengalami transisi paska Orde Baru. Dalam masa transisi itu adabanyak sekali proyek pembaruan hukum yang berkembang <strong>dan</strong>dibingkai dalam rangka membentuk negara hukum Indonesia. Hal inisenada dengan tuntutan reformasi, yaitu mewujudkan supremasihukum. Bangsa Indonesia memasuki reformasi tahun 1998 dengankebosanan terhadap negara otoriter yang surplus kekuasaan. Negaraotoriter itu ingin diganti dengan negara hukum. Secara normatif, buahdari perjuangan ini terlihat di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasilamandemen yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negarahukum”.Namun bagi Prof. Tjip, komitmen yuridis yang termaktubdalam UUD tersebut tidaklah cukup, karena membangun negarahukum bukanlah persoalan menancapkan plang nama, melainkanproyek raksasa yang terus menjadi. Membangun negara hukum tidakcukup hanya dengan membentuk institusi baru, melakukan pemilihanlangsung, menciptakan mekanisme judicial review, desentralisasi<strong>dan</strong> sebagaimana yang berporos pada negara (state center),melainkan lebih mendasar daripada itu, membangun negara hukumadalah membangun suatu budaya bernegara hukum.Prof. Tjip dalam satu tulisannya menuliskan: “Dalambernegara hukum yang utama adalah kultur, the cultural primacy,127


OASENEGARA HUKUM DAN <strong>HAM</strong>yaitu suatu kultur pembahagiaan rakyat” (Rahardjo, 2009:67).Dengan demikian, negara hukum bukan saja dibangun denganberporos pada negara (state centered), melainkan juga padamasyarakatnya (society centered).Lalu bagaimana mengenali gagasan negara hukum dalampendekatan hukum progresif? Tulisan beliau yang berjudul “58 tahunnegara hukum Indonesia” (Kompas, 11/08/2003) <strong>dan</strong> satu buku yangberjudul “Negara hukum yang membahagiakan rakyatnya” (2008)dapat dipakai untuk mengidentifikasi gagasan-gagasan utama negarahukum yang dikonsepsikan oleh Prof. Tjip. Setidaknya ada tujuh pilarutama negara hukum dalam pendekatan hukum progresif (Arizona,2011:132-4).Pertama, ia hadir sebagai kritik terhadap negara hukumliberal. Negara hukum liberal (rule of law <strong>dan</strong> rechtsstaat) lahir dalamrahim sosial Eropa untuk menjawab tantangan yang dihadapi olehmasyarakat Eropa pada abad ke-18 yang sejalan denganberkembangnya nasionalisme, demokrasi <strong>dan</strong> kapitalisme. Semangatyang menaungi perubahan di Eropa pada masa itu adalahindividualisme-liberalisme yang ditopang oleh golongan borjuisyang berupaya merebut tempat di dalam hukum yang sebelumnyadikuasai oleh raja-raja <strong>dan</strong> gereja. Se<strong>dan</strong>gkan negara hukum diIndonesia hadir untuk menjawab tantangan paska kolonial <strong>dan</strong> dalamdekade terakhir untuk menjawab tantangan dalam masa paskaotoritarianisme. Struktur sosial masyarakat Indonesia yang lebihmengedepankan kebersamaan <strong>dan</strong> komunalisme tidak sejalan dengantradisi di Eropa yang individualistik.Kedua, negara hukum dari bawah (the rule of law frombelow). Kebanyakan pemikir hukum Indonesia kontemporermempromosikan konsep negara hukum liberal (rule of law) yangtelah teruji di Eropa <strong>dan</strong> Amerika untuk memaknai negara hukumIndonesia. Prof. Tjip mengkritik upaya transplantasi konsep tersebutdengan mengutip penelitian Tamanaha yang menunjukkan bahwatransplantasi gagasan negara hukum liberal di negara-negara non-Eropa seperti Micronesia telah membuktikan sejumlah bukti128


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011kegagalan. Indonesia bagi Prof. Tjip tidak perlu mengikuti polatransplantasi yang mengadopsi atau mengimpor (imposed fromoutside) gagasan negara hukum dari Eropa yang memiliki susunanmasyarakat yang jauh berbeda dengan Indonesia. Prof. Tjipmenawarkan membangun negara hukum dari bawah (the rule of lawfrom below) yang berbasis pada susunan sosial masyarakat Indonesiayang ketimuran.Ketiga, negara hukum bukan saja hukum negara. Studitentang negara hukum selama ini berfokus pada negara <strong>dan</strong> hukumnegara. Oleh karena itulah yang selalu dibenahi dalam proyek iniadalah peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> kelembagaan negara.Prof. Tjip mencoba membuka ketertutupan itu dengan memasukandimensi hukum rakyat sebagai salah satu fundamen dalam bernegarahukum. Dalam tulisan yang berjudul “Era hukum rakyat” (2000)beliau membahas posisi hukum rakyat yang semakin menguat paskaOrde Baru. Bernegara hukum dengan hukum negara (formalinstitutional)saja tidak akan mencukupi untuk mencapai tujuantujuanbersama. Hukum rakyat (cultural-interactional) baik adat <strong>dan</strong>kebiasaan harus dilibatkan secara bersama-sama. Dengan kata lain,Prof. Tjip memberi ruang kepada pluralisme hukum masuk dalamwacana tentang negara hukum.Keempat, peran aktif negara untuk mewujudkan negarahukum yang membahagiakan rakyatnya. Artinya bukan rakyat yangharus datang 'meminta-minta' untuk dilayani oleh negara, melainkannegaralah yang aktif datang kepada rakyat (Rahardjo, 2009:106).Negara hukum harus menjadi negara yang baik (benevolent state)yang memiliki kepedulian <strong>dan</strong> nurani (a state with conscience), bukannegara netral maupun negara penjaga malam (nightwatcman state).Pilar ini berbeda dengan relasi antara negara <strong>dan</strong> masyarakat dalampan<strong>dan</strong>gan Lockean yang memproyeksikan relasi hak-kewajibanantara negara <strong>dan</strong> masyarakat. Untuk mewujudkan negara bernuraniatau negara yang budiman, negara tidak harus dipimpin oleh parafilsuf sebagaimana diandaikan Plato. Melainkan mirip denganpendapat Aristoteles, bahwa negara harus dikelola oleh praktik-129


OASENEGARA HUKUM DAN <strong>HAM</strong>praktik kebajikan (practical wisdow) <strong>dan</strong> moralitas kebajikan (moralvirtue) dari para penyelenggara negaranya (Miller, 2010:17). Praktik<strong>dan</strong> moralitas kebajikan inilah dalam bahasa Prof. Tjip disebutdengan nurani (conscience).Kelima, keutamaan manusia. Tujuan hukum bagi Prof. Tjipadalah untuk mengabdi <strong>dan</strong> menjunjung tinggi martabat manusia(human dignity). Membangun negara hukum pun dilakukan untukmencapai keutamaan kemanusiaan. Oleh karena itu Prof. Tjip jelasjelasmenyebutkan bahwa ia tidak mengikuti paham Kelsenian yangsangat peduli dengan bentuk <strong>dan</strong> struktur logis-rasional negarahukum, melainkan membicarakan negara hukum sebagai suatubangunan nurani (conscience, kokoro), sehingga segala hal yangberhubungan dengan negara hukum tunduk <strong>dan</strong> ditundukan pa<strong>dan</strong>urani sebagai penentu (determinant). Bukan peraturan sebagaifaktor determinan.Keenam, melampaui hukum tertulis. Prof. Tjip tidakmenampik keberadaan hukum tertulis, misalkan konstitusi tertulis.Tetapi konstitusi tertulis itu harus dibaca secara bermakna agar bisamenyelami moral yang ada di balik konstitusi tertulis. Hal ini yangbeliau sebut sebagai 'pendalaman makna' dalam membaca konstitusiatau dengan meminjam istilah Ronald Dworkin sebagai: the moralreading of the constitution (Rahardjo, 2007:41). Dengan melampauihukum tertulis, maka para pengemban hukum dapat menyelamimakna keadilan yang tersemat di dalam hukum tertulis.Ketujuh, negara hukum substantif. Menurut Tamahana adadua versi negara hukum dalam diskursus tentang negara hukum(Tamanaha, 2004:91). Pertama adalah negara hukum formal yangbersendikan (a) pembatasan kekuasaan negara; (b) pemerintahanberdasarkan hukum; (c) pemerintahan yang dipilih secarademokratis. Se<strong>dan</strong>gkan versi kedua adalah negara hukum substantifyang mengutamakan (a) pemenuhan hak-hak asasi; (b) pengutamaanmanusia <strong>dan</strong> keadilan (human dignity and justice); <strong>dan</strong> kesejahteraanwarga (welfare). Dalam dua kelompok ini, gagasan Prof. Tjip tentangnegara hukum lebih menekankan negara hukum substantif yang130


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011berupaya mencapai kebahagiaan bagi rakyatnya.Bagaimanakah gambaran negara yang membahagiakanrakyatnya itu? Suteki yang merupakan salah satu murid Prof. Tjip diUniversitas Diponegoro mengilustrasikan negara hukum yangmembahagiakan rakyatnya itu sebagaimana disampaikan oleh paradalang wayang kulit (Suteki, 2011:35).“Mereka menggambarkan suatu negara atau kerajaanbahagia yang makmur dengan ungkapan yang sangatagung, yaitu sebagai ”negari ingkang panjanghapunjung, hapasir wukir loh jinawi, gemah ripah kartoraharjo.” Artinya, wilayah suatu negara meluas daripantai laut sampai puncak gunung, tanahnya subur (loh),barang-barang serba murah, terbeli (jinawi), murahsan<strong>dan</strong>g-pangan, pedagang dapat bepergian tanpagangguan (gemah), rakyat yang jumlahnya banyak hiduprukun (ripah), petani mempunyai ternak yang cukuptanpa ada gangguan (karto) <strong>dan</strong> pemerintah dapatmemenuhi kebutuhan rakyat <strong>dan</strong> tidak ada kejahatan(raharjo).”Ketujuh pilar yang disebutkan di atas tidak hendak membatasiatau memberikan definisi final terhadap gagasan negara hukumdalam pendekatan hukum progresif, sebab hal yang final <strong>dan</strong> definitifmerupakan hal yang dihindari dalam pemikiran hukum progresif.Pilar-pilar yang disebutkan di atas hendak menjadi penanda awaluntuk memahami gagasan negara hukum dalam hukum progresifyang mengalir, berkembang untuk menjawab tantangan dalamkehidupan bernegara, bermasyarakat <strong>dan</strong> berhukum.Hukum Progresif di Tengah Aliran Pemikiran Negara HukumIndonesiaDi Indonesia, negara hukum bernurani ala hukum progresif bukanlahaliran pemikiran hukum yang baru. Sebelumnya, telah ada beberapakonsep tentang negara hukum yang digagas maupun diperkenalkanoleh para pemikir hukum Indonesia. Setidaknya telah ada empataliran pemikiran tentang negara hukum yang berkembang diIndonesia.131


OASENEGARA HUKUM DAN <strong>HAM</strong>Tabel Empat Aliran Hukum di IndonesiaNegaraIntegralistikNegara HukumPancasilaNomokrasi IslamNeoConstitutionalismTokohSoepomo,Djokosoetono,Hamid S. AttamimiSoekarno,Notonagoro,Padmo Wahyono,Oemar Senoadjie,SoedimanKartohadiprodjoM. Natsir, TahirAzhary, Yusril IhzaMahendraTodung Mulya Lubis,Adnan Buyung Nasution,Sunaryati Hartono, JimlyAsshiddiqieGagasanpokokNativisme,Organisisme,komunalisme,kedaulatan negara,ketimuranPancasila,keterpimpinan,Islam sebagai sentralbernegaraPromosi <strong>HAM</strong>, dualismeantara penguasa <strong>dan</strong>rakyatnya, fungsionalisme(supremacy constitution,separation of power, check andbalances), tidak anti-market,liberalisme, interdisiplin.Relasi negara,warga <strong>dan</strong>hukumKekeluargaan, desa,mengutamakanposisi kultural,mengutamakankewajibanMengutamakankolektivisme(gotong-royong)Teori konsentris,Islam sebagaisentral, kemudiannegara <strong>dan</strong> hukum,contoh NegaraMadinahKontrak sosial, Lockean,relasi hak-kewajiban,otonomi di luar negaraPertama, Konsep Negara Integralistik. Konsepsi tentangnegara integralistik di Indonesia dapat dirujuk akar pemikirannyapada pemikiran Soepomo, khususnya terkait dengan pidato Soepomodalam persi<strong>dan</strong>gan BPUPKI, 31 Mei 1945, ketika menjawabpertanyaan yang diajukan oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat dua harisebelumnya tentang apa filosofische grondslag atau dasar falsafahdari Negara Indonesia yang akan dibentuk (Simanjuntak, 1994:81).Dalam pidatonya tersebut Soepomo terlebih dahulumenguraikan aliran pikiran tentang negara. Pertama iamenyampaikan teori negara liberal yang banyak diterapkan dinegara-negara Eropa Barat. Negara liberal menciptakan dualismeantara penguasa <strong>dan</strong> rakyatnya di mana hak berada pada tangan rakyat<strong>dan</strong> penguasa berkewajiban untuk menjamin <strong>dan</strong> memenuhi hak-hakindividu warga negara berdasarkan kontrak sosial yang dibuat oleh1rakyatnya. Kemudian ia menyampaikan negara dalam teori kelas dimana negara merupakan alat kelas yang berkuasa di dalammasyarakat. Konsep ini beranjak dari pan<strong>dan</strong>gan Marxisme tentangnegara. Soepomo menolak kedua konsep tersebut denganmengajukan konsep negara integralistik.Konsep negara intergralistik menurut Soepomo adalahkonsep yang cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia, sejalandengan tradisi ketimuran <strong>dan</strong> ia mengangkat konsep desa sebagai1. Lebih lanjut untuk penjelasan tentang negara hukum liberal ini dapat dibaca Reza A. Wattimena, 2008.Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius. Khususnya tentang konsep negara hukum menurutJohn Locke <strong>dan</strong> JJ. Rousseau.132


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011konsep bernegara. Dalam konsep negara integralistik, negaradiandaikan sebagai sebuah makhluk hidup (organisisme) (Bourchier,2007:117) di mana antara penguasa <strong>dan</strong> rakyat menyatu (manunggal)menjadi satu ba<strong>dan</strong>. Soepomo mendasarkan konsep negaraintegralistik pada pemikiran Spinoza, Adam Muller <strong>dan</strong> Hegel (Baharet al, 1995:33). Dalam konsep negara integralistik, tugas negarabukan untuk menjamin kepentingan individu atau kelompok, tetapiuntuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat (Bourchier,22007:118-9).Kedua, Negara Hukum Pancasila. Konsep Negara HukumPancasila merujuk kepada ide Pancasila Soekarno yang diutarakanpada masa persi<strong>dan</strong>gan BPUPKI. Pada saat itu, Pancasila yangdilontarkan oleh Soekarno diterima sebagai ideologi untuk mengatasiberbagai kelompok yang ada seperti Islam <strong>dan</strong> Komunisme. KonsepNegara Hukum Pancasila itu kemudian juga mewarnai perdebatan didalam Konstituante (1956-1959). Pada saat itu ada dua faksi besar didalam Konstituante antara Islam <strong>dan</strong> Pancasila. Konstituante tidakdapat memutuskan persoalan dasar negara <strong>dan</strong> kemudian dibubarkan3oleh Soekarno.Baik konsep negara integralistik dari Soepomo maupunPancasila dari Soekarno sama-sama anti-individualisme <strong>dan</strong> jugaanti-liberal. Be<strong>dan</strong>ya, Soekarno tidak mengambil desa Indonesiatradisional tolak ukur dalam mengembangkan gagasan kenegaraansebagaimana dilakukan oleh Soepomo, ia mengambil ukuran penentudari aspek-aspek pemikiran kaum nasionalis seluruh dunia yangdilihatnya paling progresif (Bourchier, 2007:127). Kalangan ahlihukum yang melanjutkan gagasan Soekarno tersebut antara lainNotonagoro, Padmo Wahyono, Oemar Senoadjie <strong>dan</strong> SoedimanKartohadiprodjo.Ketiga, Nomokrasi Islam. Gagasan Islam sebagai dasarnegara merupakan perdebatan yang cukup panjang, bahkan sudahbermula sejak sebelum Republik Berdiri. Pertama kali perdebatan itumeruncing pada saat penyusunan Piagam Jakarta. Kemudianperdebatan di dalam Konstituante <strong>dan</strong> juga didebatkan dalamamandemen UUD 1945 (1999-2002). Para pengusung gagasan inimerujuk Negara Madinah pada zaman Nabi Muhammad SAWsebagai contoh terbaik dalam kehidupan bernegara. Pada permulaanrepublik, para pengusung gagasan ini adalah kelompok Masyumi di2. Lebih lanjut untuk memahami konsep negara intergralistik dapat dibaca Marsilam Simanjutkan, 1994.Paham Negara Integralistik, <strong>dan</strong> David Bourchier, 2007. Pancasila versi Orde Baru <strong>dan</strong> asal muasal negara organisis (integralistik),Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila UGM.3. Lebih lanjut tentang perdebatan di dalam Konstituante dapat dibaca Adnan Buyung Nasution, 2001. Aspirasi pemerintahan konstitusionaldi Indonesia: studi sosio-legal atas konstituante 1956-1959, Cet 2. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.133


OASENEGARA HUKUM DAN <strong>HAM</strong>bawah Muhammad Natsir. Se<strong>dan</strong>gkan di kalangan akademisi <strong>dan</strong>politisi ada Muhammad Tahir Azhary <strong>dan</strong> Yusril Ihza Mahendra.4Muhammad Tahir Azhari di dalam disertasinya menggunakan teorilingkaran konsentris untuk menjelaskan relasi antara agama, hukum<strong>dan</strong> negara. Agama merupakan inti atau lingkaran terdalam dari relasiyang ada, setelah itu ada hukum pada lingkaran kedua, kemudianpada lingkaran terluar adalah negara.5Keempat, Neo-Constitutionalism. Yang penulis maksuddengan Neo-Constitutionalism di dalam tulisan ini merujuk kepadaperkembangan baru studi kenegaraan di Indonesia dalam dua dekadeterakhir. Ciri menonjol dari aliran ini antara lain: (a) Mendoronggagasan dualisme antara penguasa <strong>dan</strong> rakyatnya, relasi hakkewajibansebagaimana berkembang dalam negara hukum liberal; (b)Mempromosikan hak asasi manusia; (c) Pembangunan struktur <strong>dan</strong>sistem yang bekerja secara fungsional melalui supremasi konstitusi,pemisahan kekuasaan negara, <strong>dan</strong> mekanisme check and balances;(d) Anti-monopoli dari pemerintah, sehingga sejalan dengan upayauntuk mendorong desentralisasi serta mendorong otonomi di luarnegara, otonomi pasar <strong>dan</strong> otonomi komunitas; (e) Interdisipliner,perluasan studi tentang negara hukum dengan pendekatan lain selainpendekaytan politik, misalkan pendekatan lingkungan, ekonomi <strong>dan</strong>sosial.Lalu bagaimana konsep negara hukum dengan pendekatanhukum progresif dalam berbagai aliran tersebut? Di tengah konstelasidi atas, negara hukum dalam pendekatan hukum progresif mengikutitradisi yang berupaya menonjolkan keaslian hukum Indonesia darisejarah <strong>dan</strong> perkembangan masyarakatnya (nativism) yang senadadengan upaya Soepomo melalui konsep negara integralistik.Kesamaan ini terlihat dalam salah satu tulisan Prof. Tjip yangmengendaki operasionalisasi gagasan Negara Hukum Indonesiadengan mengadvokasikan konsep 'negara organik' (Rahardjo,2009:71-2). Kita ketahui bahwa konsep negara organik yangmempersepsikan negara sebagai satu kesatuan organ seperti manusiapernah dipergunakan oleh negara totaliter <strong>dan</strong> fasis seperti NaziJerman <strong>dan</strong> juga menjadi penopang otoritarianisme Orde Baru.Namun untuk membedakan gagasannya dengan praktiktotalitarianisme negara organik, Prof. Tjip menawarkan konsep'negara organik terbatas'. Namun masih teramat samar tentang apa4. Disertasi Muhammad Tahir Azhari dibukukan dengan judul: Negara Hukum: Studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segiHukum Islam, implementasinya pada periode Negara Madinah <strong>dan</strong> masa kini. <strong>Edisi</strong> 2, 2003, Jakarta: Kencana.5. Ran Hirchl menggunakan istilah new constitutionalism untuk menujuk proses-proses politik yang diarahkan menjadi proses-proseshukum (judicialization of politic) (Hirchl, 2006:721). Sementara itu, Stephen Gill menyebutkan bahwa new constitutionalismmerupakan wujud neoliberalisme yang erat kaitanya dengan rule of law. Sebagai wujud neoiloberalisme dalam kajian konstitusi,maka asumsi-asumsi dasar dari new constitutionalism adalah penjabaran dari neoliberalism (Gill, 2000:3).134


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011sebenarnya yang beliau maksud dengan konsep 'negara organikterbatas' itu. Ini merupakan salah satu tugas yang beliau sisakankepada kita untuk dijawab dalam wacana <strong>dan</strong> praktik di kemudianhari.Gagasan negara hukum dalam pendekatan hukum progresifyang dilontarkan oleh Prof. Tjip menghendaki sesuatu yang beranjakdari hal empiris, bukan dari gagasan-gagasan abstrak sebagaimanagagasan Negara Hukum Pancasila <strong>dan</strong> Nomokrasi Islam yang pernahdiupayakan oleh para pemikir hukum Indonesia terdahulu. Hukumprogresif juga tidak menerima begitu saja paham fungsionalismekonstitusional yang berkembang akhir-akhir ini sebabketidakpercayaannya bahwa negara bisa berjalan sesuai denganmekanismenya secara normal, apalagi bila sistem yang ada malahmempertahankan status quo. Bukan lembaga negara yang akanmenolong orang lemah, melainkan kebajikan-kebajikan dari parapenyelenggara negara. Oleh karena itu, dalam pendekatan hukumprogresif tidak menghendaki negara sebagai figur yang netral,melainkan sebagai negara yang penuh kebaikan (benevolent state).<strong>HAM</strong> dalam Hukum ProgresifBagaimana pembicaraan hak asasi manusia dalam hukum progresif?Bila menelusuri tulisan-tulisan dari Prof. Tjip kita jarang sekalimenemukan beliau menggunakan frasa 'hak asasi manusia', apalagidalam tulisan beliau pada penghujung usia. Namun tidak berartihukum progresif yang beliau lontarkan anti terhadap hak asasimanusia.Sebenarnya Prof. Tjip merupakan salah satu tokoh pejuanghak asasi manusia. Beliau adalah anggota Komnas <strong>HAM</strong> periodepertama, pada 1998 sampai 2002 (Marwan, 2011:22). Prof. Tjipmenduduki sub-komisi pengkajian instrumen <strong>HAM</strong>. Sebagai anggotapertama di tubuh institusi <strong>dan</strong> menempati posisi di bi<strong>dan</strong>g instrumen<strong>HAM</strong>, bukanlah pekerjaan mudah bagi beliau untuk pertama kalinyamengkodifikasikan sekaligus mempelajari seluruh perangkatinstrumen <strong>HAM</strong>, seperti Deklarasi Wina, Prinsip-Prinsip Paris,Deklarasi Penyan<strong>dan</strong>g Cacat, Konvensi <strong>dan</strong> Protokol StatusPengungsi UNHCHR, Konvensi Internasional MenentangPenyiksaan, Konvensi Perlindungan Buruh Migran, Kovenan HakEkonomi, Sosial, Budaya; Kovenan Hak Sipil <strong>dan</strong> Politik, <strong>dan</strong>135


OASENEGARA HUKUM DAN <strong>HAM</strong>sebagainya.Tidak hanya sekadar berhenti mempelajari kententuaninstrumen <strong>HAM</strong> Internasional saja. Bagi seorang anggota pertama,'pengharmonisan' hukum merupakan pekerjaan yang tak mudah.Menyelaraskan antara kententuan internasional dengan kententuannasional, seperti UUD 1945 amandemen 1, 2, 3, 4; UU No. 39 Tahun1999 tentang <strong>HAM</strong>, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan<strong>HAM</strong>, <strong>dan</strong> sebagainya (Marwan, 2011:22-3).Meskipun sempat menjadi bagian dari Komnas <strong>HAM</strong>,gagasan hukum progresif yang beliau kembangkan tidak terjebakdalam institusionalisasi hak asasi manusia. Sebagaimana nampakdalam tulisan-tulisan beliau pada tahun 2000-an dimana beliau tidakmenjadikan instrumen hak asasi manusia sebagai landasanmemperjuangkan hak asasi manusia <strong>dan</strong> gagasan hukum progresif.Ada tudingan bahwa hak asasi manusia merupakan produkbarat dengan nuansa individualisme <strong>dan</strong> liberalme yang kuat. Karenaitulah beliau tidak hendak masuk menggunakan terma yangmaknanya sudah diisi dengan individualisme <strong>dan</strong> liberalismemeskipun pada intinya membicarakan hal yang sama dengan yangbeliau perjuangkan, yaitu kemanusiaan yang bersifat universal. Halini karena beliau konsisten mengkritik dominasi hukum baratsekalian dengan produknya yang bearakar dari paham liberalisme.Beliau bahkan mengajak kita untuk keluar dari tradisi hukumliberal <strong>dan</strong> belajar pada tradisi hukum di Jepang atau pada tradisiTimur yang mengutamakan komunalisme <strong>dan</strong> pencariankebahagiaan. Upaya beliau untuk tidak terjebak dengan standarstandarhak asasi manusia juga sejalan dengan filsafat idealisme, yangbersinggungan dengan gagasan hukum progresif (Shidarta, 2011:58-60), yang berkeinginan menjadikan hukum sebagai institusi yangdibiarkan mengalir, tidak membeku dalam instrumen hukum.Gagasan kemanusiaan yang beliau usung tidak membeku di dalaminstrumen hak asasi manusia.Selain itu, upaya untuk tidak terjebak pada standar-standarhak asasi manusia juga sejalan dengan pendekatan sosiologi hukumnon-instrumental yang beliau geluti. Beliau tidak hendakmenggantungkan hak asasi manusia pada instrumen hukuminternasional <strong>dan</strong> nasional, melainkan menjadikan manusia sebagaititik pangkal sekaligus tujuan dari hak asasi manusia. Dengan kalimat136


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011lain dapat diutarakan bahwa hukum progresif melampaui standarstandarhak asasi manusia dengan berfokus pada martabatkemanusiaan (human dignity). Maka hukum progresif bukan hendakmengekslusi pentingnya perjuangan hak asasi manusia, melainkaningin mengajukan cara pan<strong>dan</strong>g berbeda dalam melihat hak asasimanusia <strong>dan</strong> relasi antara negara dengan rakyatnya.Bagaimana relasi antara negara dengan rakyatnya dalampan<strong>dan</strong>gan hukum progresif? Prof. Tjip tidak hendakmemproyeksikan relasi antara negara dengan rakyatnya sebagaimanakebanyakan dikembangkan pada negara modern yang mengikutipemikiran John Locke. Dalam pan<strong>dan</strong>gan Lockean, relasi negaradengan rakyatnya adalah relasi antara hak dengan kewajiban. Hakberada pada tangan rakyat <strong>dan</strong> kewajiban berada pada tangan negara.Rakyat berkumpul <strong>dan</strong> bersepakat membuat suatu kontrak sosialyang kemudian memasukan jaminan hak-hak mereka dalam hukumtertulis <strong>dan</strong> menyepakati pembentukan negara dengan sekalianaparatusnya untuk memenuhi kewajiban tersebut (Wattimena, 2008).Relasi antara negara <strong>dan</strong> rakyat dalam pan<strong>dan</strong>gan hukumprogresif bukanlah relasi negara <strong>dan</strong> rakyat dalam konsep Lockeantersebut. Bagi Prof. Tjip, negara harus menjadi negara yang baik(benevolent state) yang memiliki kepedulian <strong>dan</strong> nurani (a state withconscience), untuk mengayomi rakyatnya. Artinya bukan rakyat yangharus datang 'meminta-minta' untuk dilayani oleh negara, melainkannegaralah yang aktif datang kepada rakyat (Rahardjo, 2009:106). Jadiyang dikedepankan adalah tanggungjawab negara terhadaprakyatnya.Prof. Tjip berkali-kali menjadikan Jepang sebagai contohbagaimana relasi antara negara <strong>dan</strong> rakyatnya dapat diwujudkantanpa harus mengikuti pan<strong>dan</strong>gan Lockean. Jepang acapkali dirujuksebagai cerminan bernegara <strong>dan</strong> berhukum a la timur yang dianggaplebih cocok untuk Indonesia. Bila Prof. Tjip masih hidup ketikagempa <strong>dan</strong> tsunami melanda Jepang baru-baru ini, tentunya beliauakan kembali menyampaikan relevansi untuk belajar bernegarakepada Jepang. Pada paska gempa <strong>dan</strong> tsunami kita dapat melihat diberbagai media bagaimana Pemerintah Jepang berupaya sekuattenaga untuk melindungi rakyatnya yang terkena bencana, tidak adapenjarahan <strong>dan</strong> rakyatnya begitu percaya dengan upaya yangdilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi bencana. Jepang137


OASENEGARA HUKUM DAN <strong>HAM</strong>menunjukan bagaimana tanggungjawab yang bernurani dapat hidupsaat situasi bencana melanda rakyatnya.Relevansi Hukum ProgresifNegara hukum Indonesia adalah proyek yang belum selesai,melainkan proses yang menjadi (Rahardjo, 2009:107). Masih banyakyang perlu diperjelas <strong>dan</strong> dimantapkan. Membangun negara hukumadalah proyek raksasa. Demikian pula sebenarnya dengan gagasanhukum progresif yang dilontarkan oleh Prof. Tjip berkaitan dengannegara hukum <strong>dan</strong> hak asasi manusia. Membaca terus hukumprogresif, mengulas, mengkritik <strong>dan</strong> membacanya secara barumerupakan penghargaan terhadap intelektualitas Prof. Tjip, sangpenggagas hukum progresif. Hukum progresif membutuhkanpemaknaan-pemaknaan, bukan sebuah definisi yang pasti. Penulissependapat dengan Anton F Susanto bahwa tidak ada seorang punyang berhak mengklaim secara pasti makna hukum progresif, sebabjika klaim itu muncul, tidak akan ada lagi progresivitas (Susanto,2011:108). Oleh karena itu, tulisan ini hanya ingin penulis posisikansebagai sebuah pemaknaan terhadap konsepsi negara hukum <strong>dan</strong> hakasasi manusia dalam pendekatan hukum progresif. Bukan sebagaisebuah definisi yang final atas gagasan negara hukum <strong>dan</strong> hak asasimanusia dalam hukum progresif.Prof. Tjip telah berikhtiar untuk melahirkan gagasan alternatiftentang negara hukum di Indonesia, meskipun sebenarnyagagasannya itu belum tuntas selesai. Salah satu tema yang pentinguntuk didiskusikan lebih lanjut adalah bagaimana sebenarnyakerangka operasional dari gagasan Satjipto Rahardjo tentang negarahukum yang membahagiakan rakyatnya <strong>dan</strong> memajukankemanusiaan dapat diwujudkan.Berkaitan dengan hak asasi manusia, pemikiran hukumprogresif sebenarnya bersendikan pada asas besar bahwa hukumadalah untuk manusia. Hal ini senafas dengan sila kedua Pancasila<strong>dan</strong> juga dengan tunjuan-tujuan instrumen hak asasi manusiainternasional serta nasional. Namun dalam mengembangkan gagasanberkaitan dengan pengutamaan manusia di dalam hukum, Prof. Tjiptidak hendak terjebak pada kerangka normatif hukum, melainkanmenjadikan manusia dengan segenap nilai <strong>dan</strong> perilakunya sebagaititik tolak sekaligus tujuan dari pada hukum.138


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011Menutup tulisan ini saya menyampaikan bahwa gagasan Prof.Tjip tentang negara hukum <strong>dan</strong> hak asasi manusia perlu terusdihidupi. Bukan saja untuk menghidupi semangat beliau yangkonsisten membangun hukum dari basis sosial bangsa Indonesia,tetapi juga karena alasan lain: (1) Mengimbangi pendekataninstrumental yang selama ini dikembangkan dalam mewujudkannegara hukum Indonesia; (2) Menjadi alat analisis untuk membukakedok kepentingan penguasa di balik idiom negara hukum yangdikesankan netral; (3) Mengingatkan bahwa negara hukum bukanlahbarang statis, tetapi dinamis <strong>dan</strong> memiliki tujuan-tujuan untukmembahagiakan rakyatnya; <strong>dan</strong> (4) Memperluas keterlibatanmasyarakat dalam membangun negara hukum lewat kebajikankebajikanmanusianya.139


TINJAUAN


Tinjauan film Imagining Argentina:Melawan Penghilangan Masa Laludengan NujumI Gusti Agung Ayu RatihTitle : Imagining ArgentinaDirected by : Christopher HamptonProduced by : Michael Peyser, Diane SillanWritten by : Lawrence Thornton (novel),Christopher HamptonStarring : Antonio Banderas, Emma ThompsonDistributed by : Arenas Entertainment (USA)Release date(s) : September 12, 2003Running time : 107 minutesLanguage : EnglishThey told us, we must never look back.But, we have to look back.It is our sacred duty to look back.Carlos Rueda, Imagining Argentina (2003)Tidak selalu mudah berurusan dengan masa lalu. Apalagi bila urusanitu melibatkan kesalahan yang sangat fatal <strong>dan</strong> menghancurkan citacitakemanusiaan suatu masyarakat. Di negeri-negeri yang pernahmengalami masa pemerintahan otoritarian perbincangan tentangbagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran <strong>HAM</strong> dimasa lalu seakan tak ada habisnya. Kalaupun surut, itu hanyasementara. Setiap saat ada saja peristiwa yang memunculkanperbincangan ini kembali karena korban <strong>dan</strong> keluarganya masih ada.Bahkan negeri-negeri yang sudah berhasil menyelenggarakanproses pengungkapan kebenaran, pengadilan terhadap pelakukejahatan, baik yang diikuti dengan rekonsiliasi <strong>dan</strong> reparasi, maupuntidak, masih harus menghadapi akibat meluas <strong>dan</strong> mendalam darimasa lalu yang kelam.Yang kerap menjadi penghalang utama dalam memulai ataumelanjutkan suatu perbincangan tentang masa lalu adalah seruanuntuk melupakan, yang datang bukan saja dari Pemerintah, tetapijuga masyarakat. Mengingat <strong>dan</strong> mempersoalkan kejahatan di masa143


TINJAUANTinjauan film Imagining Argentinatidak ingin kita mengingat kekejaman Soeharto, Orde Baru, sertaperangkat pendukungnya, <strong>dan</strong> membicarakan penderitaan korban.Sementara itu negara memilih membunuh janin Komisi Kebenaran<strong>dan</strong> Rekonsiliasi <strong>dan</strong> membiarkan pelaku melenggang bebas daripengadilan. Selama pemerintah belum mampu menengahi perbedaanpan<strong>dan</strong>gan tentang masa lalu tugas membangun pemahaman umummasih bertumpu pada korban, keluarganya, <strong>dan</strong> masyarakat yangtidak lagi melihat masa lalu sebagai ancaman. Pembahasan film dibagian berikut memperlihatkan betapa tidak sederhana tugas ini <strong>dan</strong>membutuhkan lebih dari sekedar kehendak baik.Membayangkan ArgentinaFilm Imagining Argentina (2003) memberi kita secuplik gambarantentang pengalaman sebuah keluarga menghadapi terorisme negara dimasa lalu. Antara 1976-1983 rakyat Argentina mengalami apa yangdisebut Perang Kotor (Guerra Sucia) selama pemerintahan diktatormiliter di bawah pimpinan Jendral Jorge Rafael Videla. Perang inimerupakan bagian dari Operasi Kondor (Operación Cóndor), operasiintelijen <strong>dan</strong> pembunuhan, yang didukung oleh Amerika Serikatuntuk menghabisi gerakan kiri di negeri-negeri Amerika Selatan,seperti Bolivia, Brazil, Chile, Uruguay <strong>dan</strong> Paraguay.Satuan-satuan militer <strong>dan</strong> kepolisian Argentina secara khususmenghabisi orang-orang yang dianggap Sosialis/Komunis <strong>dan</strong>anggota atau simpatisan kelompok-kelompok gerilyawan penentangPemerintah dengan cara penculikan, penyiksaan, perkosaan <strong>dan</strong>pembunuhan massal. Korban yang jatuh diperkirakan antara 9.000-30.000 orang. Komisi Nasional untuk Penghilangan Orang(CONADEP) yang dibentuk setelah junta militer terguling pada 1983memperkirakan sekitar 13.000 orang diculik <strong>dan</strong> tidak kembali.Bukannya tidak ada perlawanan terhadap operasi ini.Kelompok-kelompok gerilya kota Montoneros <strong>dan</strong> Tentara RakyatRevolusioner (ERP) melancarkan aksi-aksi penculikan, pembunuhan<strong>dan</strong> pemboman terhadap militer <strong>dan</strong> polisi, serta para pimpinanperusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Argentina.Namun, gerakan melawan penghilangan paksa yang kemudianmenjadi terkenal di seluruh dunia justru dilakukan oleh kaum ibuyang kehilangan anak-anak mereka, Madres de Plaza de Mayo.Plaza de Mayo diambil dari sebuah nama plaza yang terletak144


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011lalu dianggap persoalan psikologis <strong>dan</strong> cerminan sikap tidakbijaksana segelintir korban karena mereka demikian penuh dendam<strong>dan</strong> tak ingin melihat masa depan. Tindakan ini hanya akanmenghambat langkah maju bangsa <strong>dan</strong> negara. Masalahnya, merekayang berteriak 'lupakan masa lalu' bukannya tidak peduli denganmasa lalu.Sebaliknya, mereka menjaga benar agar masa lalu dari sudutpan<strong>dan</strong>g mereka tidak diganggu-gugat. Apalagi jika mereka terlibatdalam perumusan sudut pan<strong>dan</strong>g ini demi suatu kepentingan politik.Mereka akan menolak berurusan dengan kerumitan berbagai versiagar mereka tidak perlu berhadapan dengan konsekuensi dari sebuahpengetahuan: pertanggungjawaban.Negara secara khusus membutuhkan satu versi sejarah yangtidak rumit, tegas batas antara si jahat <strong>dan</strong> si baik, seperti dongengkebajikan kanak-kanak, agar klaim kebesaran yang sudah dibangunkokoh tidak terguncang.Suka atau tidak suka kita akan selalu berurusan dengan masalalu. Pertanyaannya kemudian apa yang harus atau perlu diingat darimasa lalu <strong>dan</strong> bagaimana kita mengingatnya. Di Indonesia, kitapernah dipaksa untuk terus-menerus mengingat kehebatan JendralSoeharto <strong>dan</strong> militer, terutama Angkatan Darat, dalam menumpas'G30S/PKI' <strong>dan</strong> kekejaman PKI terhadap para jendral di LubangBuaya.Setiap 30 September <strong>dan</strong> 1 Oktober selama 32 tahun kita harusmengingat peristiwa-peristiwa ini dengan khidmat sebagai buktikesetiaan kita kepada Pancasila <strong>dan</strong> UUD 1945. Setelah ritualtersebut berhasil diakhiri, kita mencoba berbagai cara untukmenemukan penggantinya. Korban mulai bercerita. Lusinan filmdibuat untuk melawan film Arifin C. Noer, PengkhianatanG30S/PKI, lusinan buku ditulis untuk mengimbangi buku putihNugroho Notosusanto. Upacara demi upacara diselenggarakanbersama korban agar masyarakat luas tahu, berani bercerita <strong>dan</strong>bertanya serta mempertanyakan apa yang terjadi. Desakan demidesakan diajukan ke arah negara agar diciptakan ruang bercerita bagikorban, ruang pengakuan bagi pelaku, <strong>dan</strong> ruang kebenaran baru bagiseluruh bangsa.Setelah 13 tahun upaya-upaya ini berlangsung kita masihharus berhadapan dengan gerakan-gerakan liar anti-Komunis yang145


TINJAUANTinjauan film Imagining Argentinadi pusat ibukota Buenos Aires yang didirikan pada 1884 untukmemperingati revolusi 25 Mei 1810 yang merintis jalan kemerdekaanbagi Argentina, Bolivia, Paraguay <strong>dan</strong> Uruguay dari penjajahankerajaan Spanyol.Selama kurang lebih 10 tahun ibu-ibu tersebut melakukantuguran (vigil) di Plaza de Mayo dengan membawa foto anak-anakmereka. Pertama kali mereka berkumpul di depan istanakepresidenan Casa Rosada pada 30 April 1977. Jumlah mereka hanya14 orang. Setiap Kamis ibu-ibu yang berdatangan bertambah seiringdengan meningkatnya jumlah mereka yang hilang. Penculikanterhadap tiga pendiri organisasi mereka tidak membuat para ibu inimundur ketakutan.Pada tahun yang sama terbentuk pula Abuelas de Plaza deMayo, organisasi kaum nenek untuk mencari cucu-cucu mereka yanghilang bersama ibunya yang se<strong>dan</strong>g mengandung saat diculik. Selainberjalan dalam arak-arakan mengelilingi pelataran plaza, untukmenandai perlawanan mereka para ibu ini mengenakan penutupkepala putih dengan sulaman nama anak-anak mereka seperti selimutbayi.Imagining Argentina berusaha merangkum sejarah korbanpenghilangan paksa melalui pengalaman Carlos Rueda (AntonioBanderas), seorang sutradara teater anak-anak, yang kehilangan istri<strong>dan</strong> anak perempuannya. Awalnya keluarga kecil ini tidak terlaluterlibat dalam kegiatan politik. Namun, sang istri, Cecilia Rueda(Emma Thompson), yang bekerja sebagai jurnalis mulai terusikkesadarannya saat mendengar berita tentang hilangnya anak-anaksekolah yang memprotes mahalnya tarif bis kota. Ia kemudianmenulis artikel tentang anak-anak hilang tersebut walaupun Carloskeberatan karena khawatir istrinya akan mendapat masalah.Kekhawatiran Carlos bukannya tak beralasan. Pada suatu hariCecilia diculik dari rumahnya oleh segerombolan pria berbajupreman yang mengendarai se<strong>dan</strong> Ford Falcon berwarna hijau.Berbekal informasi dari seorang saksi mata, Carlos berusahamenemukan keberadaan sang istri dengan mendatangi instansi demiinstansi pemerintahan sampai menemui jendral yang dianggapberwenang atas operasi ini. Dalam proses pencarian ini Carlos tibatibamenyadari bahwa dia memiliki kewaskitaan—kemampuanmenerawang nasib atau keadaan orang dari jarak jauh. Ia melihat apa146


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011yang terjadi pada Cecilia, gambaran tempat penyekapannya, <strong>dan</strong>mencoba melacak tempat-tempat ini berdasarkan penglihatannya.Saat Carlos berjumpa dengan para ibu Plaza de Mayo, ia jugadapat melihat apa yang terjadi pada anak-anak mereka hanya denganmenatap foto-foto mereka atau menggenggam tangan ibu-ibu ini.Kewaskitaan Carlos lalu membawa keluarga korban ke pertemuanrutin di halaman rumah Carlos. Sebagai penghiburan atas rasakehilangan mereka berkumpul <strong>dan</strong> mendengarkan Carlos berceritatentang apa yang dilihatnya.Permainan prima bintang-bintang kawakan, narasi <strong>dan</strong> dialogyang cerdas <strong>dan</strong> puitik, <strong>dan</strong> ketepatan musik yang menyertairangkaian tampilan gambar memberi kekuatan pada pesan-pesanpenting yang ingin disampaikan film ini. Sejak awal ditekankanbahwa melihat ke masa lalu tidak akan membuat kita kehilanganorang yang kita cintai. “Adalah tugas suci kita untuk melihat kebelakang.” Pesan ini diperhadapkan dengan adegan drama mitologiYunani tentang pemusik Orpheus yang kehilangan istrinya, Euridyce,untuk selamanya karena ia melanggar pesan para penguasa bawahtanah untuk tidak menoleh ke belakang.Sanggar drama anak-anak tempat Carlos bekerjamenampilkan drama ini di awal <strong>dan</strong> di akhir film dengan akhir yangberbeda. Seakan-akan Carlos ingin mengatakan bahwa keberanianmenatap masa lalu setara dengan kesiapan melawan mitos yangmenghantui kita.Pesan lain yang tak kalah pentingnya adalah kekuatanimajinasi dalam tindak berlawan. Tirani mungkin memiliki kuasa takterhingga yang digunakan untuk membunuh segala, tapi mereka takdapat membunuh imajinasi. Bagi Carlos kewaskitaan yang ia milikiadalah perwuju<strong>dan</strong> kekuatan imajinasi <strong>dan</strong> senjata untuk melawanketidakadilan.Metafora tertentu juga digunakan untuk memperlihatkanbetapa penguasa tak memiliki imajinasi sehingga dengan mudahmemunggungi kemerdekaan <strong>dan</strong> menyerah kepada kekuatan yangtampak lebih unggul. Mobil yang digunakan gerombolan penculik,lazim disebut Ford Falcons of Buenos Aires atau 'mobil maut',diproduksi oleh pabrik Ford di AS <strong>dan</strong> menjadi penanda hubungan takseimbang antara AS <strong>dan</strong> Argentina dalam operasi anti gerakankerakyatan.147


TINJAUANTinjauan film Imagining ArgentinaFalcon sendiri adalah burung pemangsa sejenis elang.Sementara itu saat Carlos melacak tempat penyekapan istrinya, iabertemu dengan ratusan burung ramah beraneka jenis yangmenggiringnya ke lahan indah (Villa Esperanza atau RumahHarapan) milik pasangan Yahudi korban holokaus, Amos <strong>dan</strong> SaraSternberg.Masuknya elemen-elemen magis dalam film ini mirip dengangaya 'magic realism' yang digunakan banyak penulis Amerika Latinuntuk menggambarkan kenyataan yang pedih di negeri-negerimereka. Carlos sebagai sutradara teater menunjukkan betapa tipisbatas antara imajinasi <strong>dan</strong> realitas seperti kehidupannya juga. Apayang sebelumnya terdengar seperti cerita belaka tiba-tiba menjadikenyataan.Dengan melampaui batas-batas kenyataan-imajinasitampaknya sang sutradara berupaya memaparkan peristiwa demiperistiwa lebih menyeluruh. Sayangnya, upaya ini terlampau kasarmenafsirkan makna kekuatan imajinasi sehingga terasa melecehkanperjuangan yang sifatnya fisik. Untuk mengetahui apa yangsebenarnya terjadi keluarga korban tidak perlu lagi melakukan aksiatau bentuk-bentuk gugatan yang lain; mereka cukup bertanyakepada ahli nujum semacam Carlos Rueda. Bahkan tuguran para ibuPlaza de Mayo pun menjadi tidak lebih penting dari kegiatanmendengarkan hasil terawangan Carlos.Yang juga cukup mengganggu adalah cara film inimembincangkan kekerasan melalui penglihatan Carlos. Kekerasan diruang-ruang siksa digambarkan sedemikian vulgar <strong>dan</strong> kasat matasehingga pada bagian-bagian tertentu film ini terasa seperti teror itusendiri. Anehnya, yang berulangkali ditunjukkan secara visual adalahpenyiksaan terhadap perempuan, khususnya perkosaan. Dan,perkosaan digambarkan lebih sebagai alat pemuas nafsu hewani paraprajurit daripada bagian dari strategi penaklukan pihak musuh.Penggambaran gamblang serupa ini menjurus pada apa yang seringdisebut 'pornografi kekerasan'. Pertanyaannya kemudian apakahmemang perlu kita mengingat dengan detil tindak-tindak kekerasanyang menimpa para korban di masa lalu?Ada beberapa film lain yang berbicara tentang masa laludengan lebih bertanggungjawab. Misalnya, dari Argentina sendirisebuah film realis, Official Story, dengan jernih menggambarkan148


dignitasVolume VII No. 1 Tahun 2011pergolakan yang dialami sebuah keluarga saat sang istri mengetahuibahwa putri yang ia adopsi ternyata diambil paksa dari pasangan yangdiculik pasukan intelijen militer. Tanpa perlu menggambarkantindak-tindak kekerasan secara gamblang film ini berhasilmenciptakan suasana tegang <strong>dan</strong> pedih yang dihadapi keluargakorban <strong>dan</strong> juga orang-orang yang bukan korban, saksi, maupunpelaku.Dari Hollywood pernah muncul Missing, arahan sutradaraternama Costa Gavras yang bercerita tentang hilangnya wartawanAS, Charles Horman, segera setelah Presiden Salvador Allendedigulingkan militer pada 1976 <strong>dan</strong> kegigihan ayah <strong>dan</strong> istri Hormanmencari kekasih mereka di Cile. Se<strong>dan</strong>gkan yang bermain dengan'magic realism' dengan kecanggihan teknik sinematografi <strong>dan</strong>animasi mengagumkan adalah Pan's Labyrinth, karya sutradaraMeksiko, Guillermo del Toro. Film ini menggambarkan naiknyafasisme di Spanyol pada pertengahan 1940an dari kacamata seoranganak perempuan kecil. Lorong-lorong imajinasi si anak dijelajahiuntuk memahami bagaimana kekerasan yang demikian telak hanyasesaat menimbulkan kengerian tapi tidak berhasil menghabisikeinginan membuat dunia baru.PenutupPatut diakui bahwa karya-karya kreatif yang membicarakanpengalaman para korban menghadapi kekerasan negara sedikitbanyak membantu perjuangan mengajak masyarakat untuk tidakmelupakan masa lalu begitu saja. Apapun bentuknya upayamenceritakan kembali kisah korban <strong>dan</strong> keluarganya akanmemperluas gugatan terhadap negara yang sebaliknya ingin kisahkisahtersebut terkubur sama sekali. Namun, apabila karya-karya inidimaksudkan sebagai wahana penyadaran <strong>dan</strong> pendidikan tetap perludipertimbangkan apa sebenarnya yang perlu diingat dari masa lalu<strong>dan</strong> bagaimana menyajikan soal-soal tertentu agar sampai padatujuan yang diharapkan.Ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g penggambaran kisah pedih yang berlebihan,melodramatik, pada gilirannya membuat orang menjadi kebal rasakarena mereka tak tahu persis harus berbuat apa. Demikian pulacerita-cerita tentang kekerasan yang vulgar, betapa punkebenarannya, dapat menimbulkan kengerian, bukan pemahaman149


TINJAUANTinjauan film Imagining Argentinatentang sebuah sistem penindasan.Permakluman dari penilik <strong>dan</strong> pengamat bahwa yang pentingselalu ada cerita baru tentang masa lalu demi kebenaran <strong>dan</strong>pencegahan amnesia tidak dapat sepenuhnya diterima. Setiapgenerasi sudah selayaknya mewariskan pemahaman yang terbaiktentang sejarah bangsanya, apalagi jika itu dari perspektif korban,agar generasi berikutnya tidak kehilangan harapan akan tegaknyakemanusiaan <strong>dan</strong> keadilan.150


KONTRIBUTOR


KONTRIBUTORDomu P. SihiteDirektur Penanganan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat pada KejaksaanAgung.Ifdhal KasimKetua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas <strong>HAM</strong>) periode 2008-2012.Berpengalaman bertahun-tahun dalam advokasi hak asasi manusia di Indonesia.I Gusti Agung Ayu RatihMeraih gelar master bi<strong>dan</strong>g sejarah Asia dari Universitas Wisconsin.Aktivitasnya sekarang menjadi peneliti pada Institut Sejarah Sosial Indonesia(ISSI).Ikrar Nusa BhaktiProfesor Riset bi<strong>dan</strong>g Internasional <strong>dan</strong> Domestic Affairs di Pusat PenelitianPolitik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).Iza FadriKepala Biro Bantuan Hukum Markas Besar Kepolisian RI. Pernah mewakiliIndonesia untuk si<strong>dan</strong>g pembentukan Pengadilan Pi<strong>dan</strong>a Internasional Romapada 1998.Mufti MakaarimDirektur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS)Jakarta. Pernah menjabat sebagai sekjen Federasi Kontras periode 2004-2007.Noorhaidi HasanCendekiawan muda Islam, mendalami studi Islam masa transisional. Norrhaidijuga mengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.Rocky GerungStaf pengajar filsafat di Universitas Indonesia, budayawan-cum-aktivispluralisme terlibat sebagai saksi ahli judicial review UU Pornografi diMahkamah Konstitusi.Yance ArizonaManajer Program Hukum <strong>dan</strong> Masyarakat pada Epistema Institute, Jakarta.Se<strong>dan</strong>g menyelesaikan studi master hukum di Universitas Indonesia dengan tematesis konstitusionalisme agraria.153


PEDOMAN PENULISAN JURNALRedaksi <strong>Jurnal</strong> Dignitas menerima kiriman tulisan denganpedoman sebagai berikut:<strong>Jurnal</strong> ini mengutamakan penulisan artikel dengan gaya bahasayang sederhana, mudah dicerna, <strong>dan</strong> tidak rumit. Ini diterapkanagar tulisan dapat dipahami oleh kalangan yang lebih luas, tidakcuma kalangan hukum saja.Audiens jurnal ini mencakup juga masyarakat nonhukum yangmemiliki perhatian luas tentang hukum <strong>dan</strong> dinamikanya.Hukum mengandung kosakata yang khusus, kaku, mungkin jugatertutup, yang hanya dimengerti oleh kalangan hukum saja. Katakataseperti retroaktif, susah dimengerti oleh masyarakatnonhukum. Sehingga kata-kata yang sekiranya rumit dimengertimasyarakat nonhukum perlu diberi penjelasannya supaya mudahdipahami.Tiap kosakata asing diusahakan dicari pa<strong>dan</strong>annya dalam bahasaIndonesia, kecuali untuk jurnal edisi bahasa Inggris. Contoh: byommission, maka diganti atau ditambahi keterangan pembiaran.Namun, jika tak ada, atau susah menemukannya dalam bahasaIndonesia, tak masalah.Pada dasarnya, jurnal ini semi akademis. Tak terlalu ketat dalampenggunaan metodologi maupun pemakaian kosakata ilmiah.Penulisannya naratif, diawali dengan abstraksi tulisan. Tulisanharus fokus pada masalah tanpa melebarkan pembahasan.Panjang tulisan semua rubrik, FOKUS, DISKURSUS, OASEsekitar 20.000-23.000 karakter, kecuali TINJAUAN. Se<strong>dan</strong>guntuk rubrik TINJAUAN mengulas buku atau kumpulan buku,film, karya sastra, pertunjukan kesenian, panjangnya antara10.000 – 13.000 karakter.Kami menerima tulisan dengan sumber catatan kaki ataufootnote, bukan catatan akhir atau endnote <strong>dan</strong> catatan perut.- Contoh catatan kaki untuk sumber buku:Yando Zakaria, Abih Tandeh, Cetakan Pertama,(Jakarta: <strong>Elsam</strong>, 2000), halaman 143.- Contoh catatan kaki untuk sumber kolom, makalah, atau155


kumpulan tulisan:- Moh. Mahfud MD, “Komisi Yudisial dalam MozaikKetatanegaraan Kita”, dikutip dalam Bunga RampaiKomisi Yudisial <strong>dan</strong> Reformasi Peradilan, (Jakarta:Komisi Yudisial, 2007), hal 7.Tulisan disertai daftar pustaka dengan format, sebagai contoh:- Daniel Dhakidae. Cendekiawan dalam Kekuasaan NegaraOrde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.Kami menggunakan pedoman penulisan yang lazim digunakanpelbagai jurnal atau majalah. Penyebutan nama surat kabar,majalah, judul buku, atau media terbitan lainnya dicetak miring.Misal, Majalah Time dijatuhi denda Rp 1 trilyun oleh MahkamahAgung atas kasus gugatan Suharto.Se<strong>dan</strong>g untuk judul artikel diberi tanda kutip [“….”]. Seperticontoh: Pengadilan, menurut Satjipto Rahardjo dalam tulisannyaberjudul “Pengadilan Sang Pemenang”, tak akan pernah berhentimenjadi institut perang antara keangkaramurkaan <strong>dan</strong> kebaikankeadilan.Kirimkan naskah Anda dalam bentuk softcopy dikirimkan ke alamatemail office@elsam.or.id dengan melampirkan biodata. Redaksimenyediakan honorarium yang pantas untuk tulisan yang dimuat.156


PROFIL ELSAM(LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT)Lembaga Studi <strong>dan</strong> Advokasi Masyarakat (Institute for PolicyResearch and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasiadvokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejakAgustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usahamenumbuhkembangkan, memajukan <strong>dan</strong> melindungi hak-hak sipil<strong>dan</strong> politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya sebagaimanadiamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 <strong>dan</strong> Deklarasi Universal HakAsasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangatperjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis diIndonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi<strong>dan</strong> promosi hak asasi manusia (<strong>HAM</strong>).VISITerciptanya masyarakat <strong>dan</strong> negara Indonesia yang demokratis,berkeadilan, <strong>dan</strong> menghormati hak asasi manusia.MISISebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yangmemperjuangkan Hak Asasi Manusia, baik hak sipil-politik maupunhak ekonomi, sosial, <strong>dan</strong> budaya secara tak terpisahkan.KEGIATAN UTAMA:1. Studi kebijakan <strong>dan</strong> hukum yang berdampak pada hak asasimanusia;2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya;3. Pendidikan <strong>dan</strong> pelatihan hak asasi manusia; <strong>dan</strong>4. Penerbitan <strong>dan</strong> penyebaran informasi hak asasi manusiaPROGRAM KERJA:1. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam RangkaMewujudkan Demokrasi <strong>dan</strong> Sistem Hukum yang Berkeadilan.2. Penguatan Perlindungan <strong>HAM</strong> dari Ancaman FundamentalismePasar, Fundamentalisme Agama, <strong>dan</strong> Komunalisme dalamBerbagai Bentuknya.3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui PengembanganKelembagaan, Penguatan Kapasitas <strong>dan</strong> Akuntabilitas Lembaga.157


Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAMBa<strong>dan</strong> Pengurus:Ketua: Sandra Moniaga, SHWakil Ketua: Ifdhal Kasim, SHSekretaris: Roichatul Aswidah, S.Sos, MABendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, MABendahara II : Abdul Haris Semendawai, SH, LLMAnggota Perkumpulan:Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Dra. I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir.Agustinus Rumansara, M.Sc.; Francisia Sika Ery Seda; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA;Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. RiniPratsnawati; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Toegiran S.Pd;Herlambang Per<strong>dan</strong>a SH, MA.; Ir. Yosep Adi PrasetyoPelaksana Harian:Direktur Eksekutif: Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH. LLMDeputi Direktur Pembelaan <strong>HAM</strong> untuk Keadilan <strong>dan</strong> Plt Kepala Divisi AdvokasiHukum: Wahyu Wagiman SH.Deputi Direktur Pengembangan sumber daya <strong>HAM</strong> ( PSD<strong>HAM</strong>) <strong>dan</strong> Plt Kepala DivisiMonitoring Kebijakan <strong>dan</strong> Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SHKepala Biro Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SEKepala Divisi Kampanye <strong>dan</strong> Kerjasama Internasional: Betty Yolanda, SH, LLMKepala Divisi Informasi <strong>dan</strong> Dokumentasi: Triana Dyah, SSStaf Pelaksana Program bi<strong>dan</strong>g Advokasi Hukum:Ikhana Indah Barnasaputri,SH; Andi Muttaqien, SHStaf Senior Pelaksana Program Bi<strong>dan</strong>g Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan:E. Rini PratsnawatiStaf Pelaksana Program bi<strong>dan</strong>g Monitoring Kebijakan & Pengembangan Jaringan:Wahyudi Djafar, SHStaf Pelaksana Program bi<strong>dan</strong>g Informasi <strong>dan</strong> Dokumentasi:Paijo; SukadiStaf Keuangan:Rina Erayanti (Pjs.); Elisabet Maria Sagala, SEKasir:Maria Ririhena, SESekretaris:Yohanna Kuncup Yanuar Prastiwi, SSKepala bagian umum:KhumaedyStaf bagian rumah tangga:Siti Mariatul Qibtiyah; KosimStaf bagian transportasi:Ahmad MuzaniStaf bagian keamanan:Elly F. PangemananAlamat:Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 INDONESIATel.: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Fax.: (+62 21) 7919 2519Email: office@elsam.or.id; Website: www.elsam.or.id158


FOKUSPolitik Negara <strong>dan</strong> Kondisi <strong>HAM</strong>oleh Rocky GerungMilisia Islamis, Demokrasi, <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusiaoleh Noorhaidi HasanKekerasan Aparat, Mengapa Masih Terjadi?oleh Ikrar Nusa BhaktiRUU Komponen Ca<strong>dan</strong>gan Pertahanan Negara: Dilema Legislasi <strong>dan</strong>Kebutuhan Pertahananoleh Mufti MakaarimDISKURSUSKomnas <strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Tantangannya Dewasa Inioleh Ifdhal KasimPeran Kejaksaan dalam Masalah Hak Asasi Kekinianoleh Domu P. Sihite<strong>HAM</strong> <strong>dan</strong> Polri dalam Penegakan Hukum di Indonesiaoleh Iza FadriOASENegara Hukum <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusia dengan Pendekatan Hukum Progresifoleh Yance ArizonaTINJAUANFilm Imagining Argentina; Melawan Penghilangan Masa Lalu dengan Nujumoleh I Gusti Agung Ayu RatihAlamat Redaksi:ELSAM - Lembaga Studi & Advokasi MasyarakatJl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar MingguJakarta 12510 INDONESIATel: (+62 21) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564Fax: (+62 21) 7919 2519Email: office@elsam.or.idWebsite: www.elsam.or.id

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!