12.07.2015 Views

DAMPAK LIBERALISASI WTO TERhADAP KETAHANAN PANGAN ...

DAMPAK LIBERALISASI WTO TERhADAP KETAHANAN PANGAN ...

DAMPAK LIBERALISASI WTO TERhADAP KETAHANAN PANGAN ...

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>DAMPAK</strong> <strong>LIBERALISASI</strong> <strong>WTO</strong> <strong>TERhADAP</strong><strong>KETAHANAN</strong> <strong>PANGAN</strong> BERAS DAN GULAOleh :Adrian D. Lubis 1Reni K. Arianti 2Naskah diterima : 5 Oktober 2011Disetujui diterbitkan : 10 Desember 2011AbstractThis paper goals are to study impact of trade liberalization and Indonesia capability tomaintain national food security for rice and sugar. This study that uses multiregressionanalysis with dummy variabels and GTAP found that import of rice and sugar increasedue are to lack of capability to fulfill national consumption. Therefore, Indonesia mustincrease its rice and sugar productivity to fulfill national food security in liberalizationregime.Keywords: Revealed Comparative Advantage Bilateral, LiberalisasiJEL Classification: F12, F13, F15PENDAHULUANSusastro (2004) menemukanbahwa liberalisasi merupakan salah satulangkah efektif dalam meningkatkandaya saing nasional di pasar global.Kondisi ini tercipta karena liberalisasimendorong kinerja perekonomianmenjadi lebih efisien melalui aplikasitehnologi baru sebagai implementasiliberalisasi di sektor perdagangan daninvestasi. Liberalisasi melalui rangkaiankerjasama bilateral, regional maupunbilateral merupakan kondisi yang tidakdapat dihindari lagi.Perundingan multilateral tersebutsaat ini dikenal dengan DohaDevelopment Agenda (DDA), yangtelah berlangsung sekitar 8 tahun.Namun sayangnya, sampai saat inimasih belum satupun isu perundingandapat diselesaikan. Jika negosiasitersebut berhasil dirampungkan, akanterjadi liberalisasi produk barang danjasa yang akan dilaksanakan serempakdi seluruh dunia. Adapun tujuan daripelaksanaan liberalisasi tersebut adalahpenurunan proteksi domestik yang akanmeningkatkan impor produk pertaniandi dunia, termasuk Indonesia.Banyak pihak yang khawatirliberalisasi tersebut akan memberikandampak buruk bagi petani nasional,1 Peneliti pada Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan,Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta. E-mail : adrian_d_lubis@yahoo.com2 Peneliti pada Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Jl. M.I. RidwanRais No. 5, Jakarta. E-mail : wongayu_vanlawang@yahoo.com148 - Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011


sebagaimana pernyataan Hadi (2008),Rachman, et.al. (2008) dan Hutabarat(2006). Oleh karena itu, untukmemperoleh prediksi atas dampakliberalisasi <strong>WTO</strong>, terdapat beberapahal yang perlu untuk dianalisis yaitu1) Faktor apakah yang mempengaruhiimpor produk pertanian, 2) Bagaimanadampak keikutsertaan Indonesia dalamliberalisasi <strong>WTO</strong> terhadap kinerja sektorpertanian dalam memenuhi ketahananpangan khususnya ketersediaanpangan, dan 3) Bagaimanakah Indonesiamenyikapi dampak liberalisasi tersebutuntuk dapat meningkatkan kinerja sektorpertanian dalam memenuhi ketahananpangan?Tinjauan PustakaMenurut Apriyantono (2006), jikaditelusuri ke belakang, pada saat kitaberbicara soal liberalisasi Perdagangan,sebenarnya upaya global itu telahdimulai sejak tahun 1947 dengandirancangnya General Agreement onTariffs and Trade (GATT). Negosiasitentang perdagangan ini memakanwaktu cukup lama, sampai delapanputaran, yang berakhir tahun 1994.Putaran terakhir, Putaran Uruguay,yang berlangsung dalam periode 1986-1994, ditutup di Marakesh, Moroko padaawal 1994, kemudian dibentuk badanperdagangan dunia yang kemudiandikenal nama World Trade Organization(<strong>WTO</strong>).Dalam delapan putaran itu,dan juga Putaran Doha sekarangini, pembahasan tentang liberalisasiperdagangan sangat terfokus padapengurangan tingkat tariff, dansemuanya terkait dengan akses pasar(market access). Artinya, perdaganganinternasional telah terperangkappada sisi permintaan (demand side)dan mengabaikan sisi penawaran(supply side). Padahal, memecahkanhambatan dari sisi penawaran sangaterat kaitannya dengan kemampuannegara berkembang untuk dapat meraihkeuntungan dari terbukanya aksespasar (Apriyantono, 2006).Pentingnya sisi penawarandalam perdagangan internasional telahdiungkapkan oleh Rubens Ricupero,mantan Sekjen UNCTAD, pada suatupertemuan Trade and DevelopmentBoard UNTAD, di Jenewa 15 Oktober2003 lalu. Ia mengatakan antara lain:”Akar masalah dari keengganan banyaknegara berkembang untuk terlibat dalamliberalisasi perdagangan, karena merekatidak cukup kompetitif, disampingmereka sendiri mengandalkan padadua-tiga jenis komoditas saja untukekspor” (Apriyantono, 2006).Apriyantono (2006) menyatakanbanyak kendala yang dihadapinegara-negara berkembang, termasukIndonesia, dalam memperkuat danmemanfaatkan sisi penawaran,seperti masalah kualitas SDM, enerji,infrastruktur yang meliputi saranaprasarana transportasi (termasukpelabuhan), teknologi komunikasidan informasi. Aspek lainnya yangtidak kalah penting adalah kestabilanpolitik dan ekonomi. Apabila ke duasisi itu tercapai, maka hal tersebutakan memperkuat kapasitas produksi,mengurangi ongkos produksi, sertameningkatkan daya saing. Selanjutnya,sisi penawaran penting lainnya adalahmembuka akses sektor Usaha KecilMenengah (UKM) terhadap pendanaan(finance), meningkatkan kuantitasdan kualitas pelayanan buat mereka,perbaikan manajemen dan keahlian.Hal tersebut diharapkan agar merekaterkait dengan global supply chainBuletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011 - 149


(rantai pasokan global), bukan sepertisekarang ini.Namun, Bursfier (2001)menyatakan bahwa hambatan perdaganganuntuk produk pertaniandan subsidi meningkatkan biaya baginegara tersebut dan mitra dagangnya.Hambatan perdagangan dalam bentuktarif akan mengurangi permintaanproduk di negara mitra, namun disisilain subsidi menyebabkan kelebihanproduksi domestik. Kedua kebijakantersebut jika terjadi bersamaan akanmenyebabkan turunnya harga produkpertanian. Bursfier menyatakan bahwaeliminasi distorsi perdagangan akanmeningkatkan kesejahteraan pendudukdunia sebesar US $ 56 miliar. Adapuninstrumen yang umum digunakan dalamhambatan perdagangan adalah tarif.Oleh karena itu, di tahun 2010, negaraanggota <strong>WTO</strong> sepakat melakukanreformasi perdagangan melaluiserangkaian kebijakan penurunan tarifdan subsidi.Gambar 1 menunjukkan perubahanhambatan tarif semenjaknegosiasi Uruguay Round sampainegosiasi Doha Development Agendasaat ini. Hasil negosiasi UruguayRound adalah kesepakatan penurunantarif menjadi maksimal 100 persen.Selanjutnya, tarif tersebut dalamnegosiasi Doha Development Agendadiusahakan untuk turun lagi menjadimaksimal 50 persen. Tarif maksimal 50persen adalah tarif tertinggi yang dapatdiaplikasikan atau dikenal dengan boundrate. Jika terdapat petani dari produkpertanian tertentu mengalami kerugianakibat liberalisasi tersebut, masihdapat diselamatkan melalui mekanismespesial safeguard mechanism (SSM)Gambar 1. Skema Liberalisasi MultilateralSumber: <strong>WTO</strong> (2008)150 - Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011


Saat ini terdapat 2 hal teknisyang sangat penting dalam negoisasi<strong>WTO</strong> selanjutnya. Pertama, yaknibesaran remedy yang dapat diterapkanberikut dengan besaran rentang lonjakan.Adapun remedy merupakan peningkatanpajak impor untuk mengembalikanharga ke tingkat semula. Kedua, caradalam menentukan besaran trigger.Trigger merupakan batas tertinggipeningkatan impor sebelum dilakukanremedy. Pendekatan yang selama inidiusulkan dan cukup banyak diterimaadalah dengan menggunakan MovingAverage (MA), khususnya MA 3.Beberapa pendekatan lain yang sempatdiwacanakan adalah penggunaan MA5, fixed reference prices dan olympicaverage price (dengan menghilangkannilai yang terbesar dan terkecil, setelah itubaru dihitung rata-ratanya). Kedua poinini yang terus menerus dinegoisasikanselain dari tuntutan negara berkembangagar negara maju mau menurunkan danbahkan menghilangkan subsidi eksporyang mereka berikan.Jika perhitungan triggerdidasarkan pada harga, maka kejatuhanharga didefinisikan sebagai perubahanharga relatif terhadap rata-rata hargaimpor tiga tahun sebelumnya. SSM akanberlaku jika terjadi kejatuhan harga c.i.fsebesar 85 persen dari rata-rata hargaimpor tiga tahun sebelumnya. Besaranremedy yang diterapkan adalah sebesar85 persen dari perbedaan harga impordan harga trigger.Perlakuan Spesial dan Berbeda BagiNegara Berkembang Dalam Negosiasi<strong>WTO</strong>Negara berkembang menerimaperlakuan yang berbeda mengenaiperhitungan safeguard yang disebutspecial and differential treatment, dalamhal pengecualian de minimis volumeimpor. Sebagai pengguna safeguard,negara berkembang menerimaperlakuan berbeda untuk menghargaiperhitungan mereka masing-masing,misalnya dengan mengecualikan durasiperpanjangan.Pada konsep pengecualianimpor de minimis, langkah safeguardtidak dapat diterapkan untuk menekanvolume ekspor dari negara berkembang;yaitu, ketika impor dari suatu negaraberkembang kurang dari 3% dari totalimpor pada produk yang diteliti. Dalamklausul ini, negara berkembang yangberada dibawah ambang tersebutsecara individu dan secara kolektiflebih dari 9 persen dari impor tersebut,impor tersebut dapat dikeluarkan dariperhitungan.Dalam pemberlakuan konsepsafeguard, negara-negara berkembangdapat memperpanjang kebijakansafeguard selama dua tahun ekstradari durasi normal yang di ijinkan.Aturan-aturan untuk melaksanakansafeguard nya pun diberlakukan secarafleksibel. Misalnya periode minimumtidak diterapkan, dalam banyak kasusdalam satu setengah durasi dariperhitungan normal, jadi paling lamapemberlakukannya setidaknya duatahun.Namun perlakuan khusus inimenjadi salah satu penyebab kebuntuanpembicaraan di 2008 yang dipicuoleh ketidaksepakatan terkait denganparameter trade remedies dalammekanisme special safeguard pertanianuntuk negara berkembang. Tidak adakesepakatan dasar mengenai kondisiseperti apa yang menjadi prasyaratutama penerapan SSM. Secaraspesifik, isu-isu penting yang menjadiperhatian dan menyebabkan kebuntuanBuletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011 - 151


pembicaraan bukan hanya seberapabesar pengaruh impor terhadap kenaikanatau penurunan harga dalam negerisebelum trade remedies diterapkan,tetapi jika dilakukan, dengan parameterdari seberapa besar kemampuannegara berkembang menaikan tarifnyadalam kerangka tarif yang berlaku (pra-Doha), dan seberapa banyak produkyang dapat dilibatkan.Sumber Data Dan MetodologiKajian ini berusaha untukmenjawab faktor yang mempengaruhiimpor produk pertanian, dampakliberalisasi dan kemampuan mempertahankanketahanan pangan denganmenggunakan: (1) data perdaganganyang diterbitkan oleh Statistik Indonesiamaupun devisi statistik dari Foodand Agrigulture Organization (FAO)untuk menganalisa lonjakan imporproduk pertanian di Indonesia, (2) dataperubahan produksi dan konsumsiproduk pangan yaitu beras dan gula daridevisi statistik FAO, dan (3) data primeryang bertujuan mengontrol hasil prediksidengan kondisi riil di lapangan.Metodologi yang digunakanadalah persamaan regresi bergandadengan variabel dummy yang diilhamioleh model gravitasi yang dibangunMcCallum (1995). Berdasarkan modeltersebut dibangun persamaan 1 untukmemprediksi dampak perubahan kinerjaperekonomian khususnya GDP, danliberalisasi terhadap impor produk berasatau gula nasional sebagai berikut :lnM ij = a 1 + a 2 ln yi + a 3 ln p i + a 4 ln ci + a 5 ln d ij + ... + ε ijdimana : Mij adalah impor Indonesiauntuk komoditas beras atau gula daridunia, yi adalah nilai GDP Indonesia,p adalah produksi komoditas berasatau gula nasional, ci adalah konsumsikomoditas beras atau gula nasional,dan d merupakan dummy liberalisasiyaitu AFTA, KAFTA, IJEPA.Selanjutnya akan dilakukansimulasi untuk memprediksi dampakliberalisasi dengan menggunakanmodel keseimbangan umum GlobalTrade Analysist Project (GTAP) versi6 2 . Adapun simulasi yang dilakukanterdiri dari simulasi A, yaitu dampakliberalisasi yang sudah terjadi antaraIndonesia dengan sesama negaraASEAN yang dikenal dengan ASEANFree Trade Agreement (AFTA), KoreaASEAN Free Trade Agreement (KAFTA)dan Indonesia Jepang EconomicPartnership Agreement (IJEPA).Selanjutnya dilakukan simulasi B yaitusimulasi A ditambah dengan prediksidampak liberalisasi sesuai perjanjian<strong>WTO</strong>. Adapun simulasi yang dilakukandalam kajian ini terdiri dari dua bagianyang dapat dilihat selengkapnya dalamTabel 1.Simulasi liberalisasi bertujuanuntuk menganalisis dampakkomitmen Indonesia dalam liberalisasidengan mitra regional dan bilateraldibandingkan liberalisasi dunia (DDA-<strong>WTO</strong>). Analisis ini bertujuan untukmenganalisis apakah liberalisasi antara2 Model ini dikembangkan oleh Thomas W. Hertel, Profesor dari Central for Global Trade Analysis,Department of Agricultural Economic, Purdue University152 - Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011


Indonesia dengan dunia berdampaknegatif bagi peningkatan produksi, dankesejahteraan, jika disaat bersamaanIndonesia melakukan liberalisasidengan mitra dagang utama terutamaASEAN, Korea dan Jepang.Tabel 1. Simulasi LiberalisasiHasil dan PembahasanPerubahan Luas Areal Padi danTebuSalah satu indikasi pentingperubahan produksi beras dangula nasional bisa diketahui melaluiperubahan luas areal padi dan tebu.Perubahan luas areal kedua produktersebut dapat dilihat selengkapnyadalam Gambar 2. Luas areal padiselama tahun 1990 sampai dengantahun 2009 menunjukkan pertumbuhanyang signifikan. Luas areal padi ditahun 1990 mencapai 10,5 juta hektareHA dan meningkat di tahun 2009mencapai 12,8 juta HA. Peningkatan inirelatif signifikan selama periode 1990-2009, meskipun terjadi fluktuasi dalambeberapa tahun.3 Paper dibuat di awal 2010, sebelum pemberlakuan liberalisasi dengan China dan Australia-SelandiaBaruBuletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011 - 153


Gambar 2. Luas Areal Padi dan TebuSumber : www.fao.orgLuas areal tebu relatif lebihberfluktuasi dibandingkan luas arealpadi. Luas areal tebu mengalamipeningkatan dari 345 ribu HA di tahun1990 menjadi 420 ribu HA di tahun2009. Namun, di tahun 1996 sampaitahun 2003 luas areal tebu mengalamipenurunan drastis dari 430 ribu HAmenjadi 335 ribu HA.Produksi Beras 4 dan GulaProduksi beras selama tahun1990 sampai 2009 menunjukkanpertumbuhan signifikan. Produksi berasdi tahun 1990 mencapai 45,17 jutaton dan meningkat menjadi 64,39 jutaton di tahun 2009. Pertumbuhan inimenunjukkan produksi beras bertambahsebesar 1,17 persen per tahun selamaperiode tersebut.Sedangkan produksi gula selamaperiode tersebut ternyata sangatfluktuatif. Produksi gula di tahun 1990mencapai 27,97 juta ton, dan meningkatmenjadi 33 juta di tahun 1993. Namun,setelah tahun tersebut, produksi gulaturun mencapai titik terendah, mencapai23,5 juta di tahun 1999. Selanjutnyaproduksi gula mengalami peningkatanmencapai titik tertinggi di taun 2005,namun kembali menurun dan akhirnyadi tahun 2009 produksi gula nasionalmencapai 26,5 juta ton.4 Selanjutnya untuk produksi beras merupakan produksi beras setara gabah154 - Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011


Gambar 3. Produksi Padi dan TebuSumber : www.fao.orgJika dibandingkan denganproduksi produk pertanian danpeternakan lainnya, Indonesia berhasilmempertahankan produksi beras jauhdiatas produk lain selama 1990-2009.Namun untuk gula tebu, mengalamipenurunan dari posisi delapanterbesar di tahun 1990 menjadi posisikelimabelas di tahun 2009. Adapunproduk yang mengalami peningkatandrastis adalah kelapa sawit dankaret. Hal ini menunjukkan salah satupermasalahan dalam mempertahankanproduksi pangan adalah kompetisi lahandengan produk komersil.Tabel 2. Perbandingan Produksi 20 Produk Pertanian dan Peternakandi Tahun 1990-2009Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011 - 155


Sumber : www.fao.orgKonsumsi Beras dan Gula TebuKonsumsi beras dan gulamenunjukkan pola yang sama denganproduksi beras dan gula tebu dalamGambar 4. Konsumsi beras di tahun1990 mencapai 45,18 juta ton danmeningkat sehingga mencapai 64,51juta ton di tahun 2009, sedangkanproduksi di tahun 1990 sebesar45,18 juta ton dan meningkat menjadi64,39 juta ton di tahun 2009. Kondisiini memperlihatkan konsumsi berasselama 1999-2009 masih lebih besardibandingkan kemampuan produksinasional. Jika kondisi ini terus berlanjut,impor beras masih dibutuhkan untukmenjaga stabilitas harga beras.Gambar 4. Konsumsi Beras dan Gula Tebu NasionalSumber : www.fao.org156 - Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011


Adapun konsumsi gula tebu ditahun 1990 mencapai 28,23 juta ton,namun di tahun 2009 turun 27,78 jutaton di tahun 2009. Volume konsumsidengan produksi gula tebu hampirberbeda satu juta ton selama 1990-2009. Hal ini menunjukkan Indonesiamasih tergantung pada impor gula tebuuntuk memenuhi konsumsi nasional.Sayangnya, angka konsumsiberas dan gula tebu merupakanangka perhitungan yang diperoleh daripenjulahan produksi dengan impordikurangi ekpor. Hal ini disebabkantidak tersedianya data konsumsi gulanasional. Jika data volume riil konsumsigula tersedia, kemungkinan nilai jauhlebih besar.Korelasi Impor dan Produksi BerasSelama tahun 1990 sampaidengan 2005 terdapat pola yangmenunjukkan impor beras mengalamipeningkatan di saat produksi berasmenurun. Pola tersebut terlihat antara lainditahun 1993, 1994 dan 1997. Sebelumtahun 1998, terlihat peningkatan imporjuga terjadi saat produksi meningkat.Kondisi ini diperkirakan akibat padaperiode tersebut Indonesia seringdilanda bencana sehingga diperlukanbanyak cadangan beras.Gambar 5. Perubahan Produksi dan Impor BerasSumber : www.fao.orgKondisi di atas menyebabkantingginya korelasi antara produksidengan nilai impor beras. Hasilperhitungan korelasi Pearsonmenunjukkan bahwa korelasi antaraproduksi beras dengan impor selamatahun 1990-2009 mencapai 0,608. Halini menunjukkan bahwa peningkatanproduksi sebesar 10 persen ternyatadiikuti dengan peningkatan imporsebesar 6,8 persen.Hasil perhitungan denganmetode Pearson juga menunjukkanbahwa peningkatan impor juga berhubunganerat dengan nilai konsumsi.Nilai korelasi keduanya mencapai0,75 persen, yang berarti peningkatankonsumsi sebesar 10 persen diikutidengan peningkatan impor sebesar 7,5persen.Selain itu, berdasarkanhasil analisis regresi, ditemukanbahwa impor beras berhubunganerat dengan peningkatan volumekonsumsi dan pelaksanaan liberalisasiASEN Korea (DKAFTA). NamunBuletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011 - 157


volume impor beras berhubunganterbalik dengan peningkatan volumeproduksi, pelaksanaan liberalisasiASEAN (DAFTA) dan IndonesiaJepang (DIJEPA). Berdasarkan hasilperhitungan, diperoleh persamaan yangmempengaruhi impor beras Indonesiasebagai berikut :Impor Beras = - 88.2 + 49.1 Volume Konsumsi - 43.4 Volume Produksi- 0.33 DAFTA - 1.15 DKAFTA - 0.30 DIJEPABerdasarkan persamaan di atas,terlihat bahwa Indonesia mengimporberas disebabkan kebutuhan nasionaldibandingkan pelaksanaan liberalisasi.Kondisi ini menunjukkan jika Indonesiamemilih untuk melakukan proteksi untukproduk ini, diharapkan proteksi tersebutjuga mempertimbangkan kebutuhankonsumsi nasional agar tidak merugikankesejahteraan rakyat.Korelasi Impor dan Konsumsi GulaPerubahan produksi danimpor gula menunjukkan pola yangberlawanan selama tahun 1990-1999.Namun, pola ini mengalami perubahansemenjak tahun 2000 sampai saat ini.Setelah tahun 2000, terlihat bahwapola impor gula mengalami perubahantajam disaat perubahan produksi tidaksignifikan. Kondisi tersebut terlihatsangat jelas selama tahun 2003 sampaitahun 2006.Gambar 6. Perubahan Produksi dan Impor GulaSumber : www.fao.orgHasil uji korelasi Pearsonmenunjukkan bahwa hubungan antaraproduksi gula dengan impor gula adalah-0,57. Kondisi ini menunjukkan bahwapeningkatan produksi gula sebesar 10persen diikuti dengan penurunan imporsebesar 5,7 persen.Namun, hasil uji regressi denganvariabel berganda dan variabel dummyjustru menunjukkan hal berbeda. Hasiluji regresi menunjukkan impor gulaberhubungan negatif dengan volumekonsumsi dan pelaksanaan liberalisasiIndonesia Jepang (DIJEPA). Namunimpor tersebut berhubungan positif158 - Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011


dengan peningkatan volume produksi,pelaksanaan liberalisasi sesama negaraASEAN (DAFTA) dan liberalisasi denganKorea (DKAFTA). Adapun persamaanimpor gula dapat dirumuskan sebagaiberikut :Impor Gula = 4.8 - 81.6 Volume Konsumsi + 82.0 Volume Produksi+ 0.073 DAFTA + 0.625 DKAFTA - 0.747 DIJEPAHasil regresi di atasmenunjukkan pola yang tidakkonsisten jika dibandingkan denganpola impor beras. Adanya hubungannegatif antara konsumsi dengan impormemperlihatkan prediksi penurunankonsumsi menyebabkan importir gulamembatasi impor gula. Namun, disaatbersamaan ternyata peningkatanvolume produksi juga diikuti denganpeningkatan impor gula. Kondisi inimungkin disebabkan karena tidak adabadan seperi BULOG yang saat inimenjadi penjaga stabilitas ketersediaangula nasional, sehingga memungkinkanterjadi aktifitas pengambilan keuntungandalam perdagangan gula nasional.Simulasi Liberalisasi <strong>WTO</strong> DanDampaknya Terhadap Produksi,Konsumsi Dan Impor Produk BerasDan Gula NasionalTelah banyak penelitian yangdilakukan untuk memprediksi dampakliberalisasi terhadap kinerja nasionaldalam menjamin ketahanan pangan.Namun, saat ini Indonesia telahmelakukan liberalisasi perdagangandengan mitra dagang utama sepertiterlihat dalam Tabel 3.Tabel 3 memperlihatkan bahwatarif yang diberlakukan Indonesia untukmitra dari negara ASEAN telah nolsemenjak tahun 2010. Adapun tarif yangdiberlakukan Indonesia untuk negaraChina telah mengalami penurunansignifikan semenjak tahun 2009, danakan menjadi nol di tahun 2012 kecualiuntuk beras dan gula tidak mengalamiperubahan. Selanjutnya, Indonesia jugatelah menurunkan tarif untuk Koreadan Jepang semenjak tahun 2007 dandijadwalkan akan menjadi nol di tahun2013.Tabel 3. Perubahan Tarif Rata-Rata Indonesiadan Beberapa Negara Mitra (Persen)Sumber : Tim Tarif, diolahBuletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011 - 159


Berdasarkan data di atas, terlihatbahwa tarif internasional (most favoritenation : MFN) sebesar 7,49-7,5 saatini hanya berlaku negara yang belummemiliki perjanjian perdagangan bebasdengan Indonesia seperti AmerikaSerikat, Uni Eropa, Amerika Selatan,negara teluk dan sekitarnya. Adapunbagi mitra lain seperti halnya Indiadan Australia, akan segera meratifikasiperjanjian perdagangan bebas denganIndonesia. Menyadari kondisi di atas,maka jelas bahwa liberalisasi <strong>WTO</strong>yang diaplikasikan dengan melakukanpenurunan tarif MFN diprediksikantidak memberikan dampak sebesarliberalisasi lainnya.Dampak Liberalisasi TerhadapSurplus Perdagangan dan KesejahteraanHasil analisis menunjukkanbahwa liberalisasi yang saat ini telahberlangsung menyebabkan penurunansurplus perdagangan untuk produkberas, gula dan jasa nasional, namunmeningkatkan surplus produk pertanianlain dan manufaktur. Kondisi inidisebabkan Indonesia tidak memilikidaya saing untuk beras dan gula sertasektor jasa dibandingkan negara lain,sehingga memilih mengimpor karenaharganya lebih murah. Adapun hasilanalisis selengkapnya tercantum dalamTabel 4.Tabel 4. Dampak Liberalisasi Terhadap Surplus Perdagangan (US $ Juta)Sumber : GTAP v.6, diolahBerdasarkan simulasi B, jikaIndonesia ikut meratifikasi liberalisasi<strong>WTO</strong> setelah melaksanakan perjanjianliberalisasi dengan ASEAN, Korea danJepang, hasil simulasi menunjukkanbahwa surplus perdagangan beras dangula serta produk jasa semakin turundibandingkan kondisi dalam simulasi A.Penurunan surplus tersebut disebabkanIndonesia semakin banyak mengimporproduk beras dan gula, namun,dikompensasi dengan peningkatanekspor produk pertanian lain danmanufaktur.Jika dibandingkan dengan negaramitra, ternyata kinerja perdaganganIndonesia untuk produk beras dangula jauh lebih rendah dibandingkanASEAN lain, dimana eksportir utamauntuk produk beras dan gula tersebut160 - Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011


adalah Vietnam dan Thailand. Kondisiyang sama terjadi dalam simulasi A dansimulasi B, dimana ini disebabkan dayasaing dan produktifitas Indonesia lebihrendah dibandingkan mereka.Tabel 5. Dampak Liberalisasi Terhadap Kesejahteraan (US $ Juta)Sumber : GTAP v.6, diolahHasil simulasi memperlihatkanbahwa kesejahteraan masyarakatmeningkat semenjak liberalisasi. Kondisiini disebabkan peningkatan konsumsimasyarakat karena memperolehakses untuk produk yang lebih murah.Hasil simulasi memprediksikan, jikaIndonesia mengikuti liberalisasi <strong>WTO</strong>,kesejahteraan masyarakat akan semakinmeningkat karena akses barang murahsemakin banyak tersedia.Dampak Liberalisasi TerhadapProduksi NasionalHasil simulasi menunjukkanbahwa produksi nasional hampir tidakmengalami perubahan sebagai akibatpelaksanaan liberalisasi dalam simulasiA maupun B. Namun terlihat bahwapelaksanaan liberalisasi Indonesiadengan ASEAN, Korea dan Jepanghampir tidak meneningkatkan produksinasional. Kondisi yang hampir samajuga terjadi saat Indonesia ikut sertadalam liberalisasi <strong>WTO</strong>. Kondisi inimenunjukkan bahwa peningkatan aksespasar tidak menciptakan peningkatanpermintaan impor yang signifikan untukmendorong peningkatan produksi. Halini disebabkan proteksi dalam bentuktarif sudah semakin rendah dan tidaksignifikan mempengaruhi permintaanimpor di dunia.Dampak Liberalisasi TerhadapPerubahan Impor IndonesiaHasil simulasi A menunjukkanbahwa peningkatan impor produksensitif Indonesia terutama beras dangula lebih banyak berasal dari sesamanegara ASEAN, antara lain Thailanddan Vietnam. Namun diproyeksikan, jikaIndonesia ikut serta dalam liberalisasi<strong>WTO</strong>, akan menurunkan total impornasional untuk beras dan gula. Selainitu, data dalam Tabel 7 memperlihatkanliberalisasi <strong>WTO</strong> akan mengurangiimpor Indonesia dari ASEAN, namunsebaliknya meningkatkan impor berasdan gula dari kawasan lain. Hasil inimenunjukkan bahwa liberalisasi <strong>WTO</strong>akan mengurangi ketergantungannasional atas pasokan beras dan gulaimpor dari ASEAN.Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011 - 161


Tabel 6. Dampak Liberalisasi Terhadap Produksi Nasional (Persen)Sumber : GTAP v.6, diolahTabel 7. Dampak Liberalisasi Terhadap Impor Indonesia (US $ Juta)Sumber : GTAP v.6, diolahHasil simulasi juga menunjukkanliberalisasi <strong>WTO</strong> justru menurunkannilai impor Indonesia disetiap sektor.Temuan ini sesuai dengan temuandari Burfisher (2001). Dalam kajiannyaBurfisher menyatakan bahwa liberalisasimultilateral akan mendorongalokasi sumber daya dan menciptakanperdagangan yang lebih adil dan sesuaidengan daya saing setiap negara.162 - Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011


KesimpulanKesimpulan yang dapat diambildari kajian ini adalah pertama, imporberas dan gula cenderung meningkatsemenjak tahun 2007 sampai saat ini,lebih disebabkan penurunan ketahananpangan nasional akibat peningkatankonsumsi lebih besar dari produksi.Kedua, liberalisasi <strong>WTO</strong> mengurangiketergantungan impor nasional terhadapberas dan gula asal ASEAN,dan membantu menyehatkan neracaperdagangan.Oleh karena itu, ketakutan banyakpihak atas dampak buruk liberalisasi<strong>WTO</strong> terhadap ketahanan panganternyata tidak beralasan. KeikutsertaanIndonesia dalam liberalisasi pertanianjustru meningkatkan ketahanan pangankhususnya ketersediaan pangannasional. Namun, menyadari peranproduk beras dan gula bagi kepentingannasional, direkomendasikan keikutsertaanIndonesia dalam liberalisasitersebut harus diikuti upaya meningkatkanproduktifitas beras dan gulanasional.DAFTAR PUSTAKAApriyantono, A. (2006). LiberalisasiPerdagangan Dan PembangunanPertanian. Bahan Kuliah UmumMenteri Pertanian Pada ProgramMagister Ilmu Hubungan InternasionalFakultas Ilmu SosialDan Ilmu Politik UniversitasIndonesia, Jakarta.Anderson, J. A. (1996). EffectiveProtection Redux. NBER WorkingPaper Series No. 5854.Aswicahyono, H. (2004). Competitivenessand Efficiency of the ForestProduct Industry in Indonesia.Policy Paper Series on TheImpact of the Economic Crisis onthe Forestry Sector in Indonesia.A CSIS-John D and Catherine T.Mac Arthur Foundation Project,February.Burfisher, M. E. (2001). The RoadAhead: Agricultural Policy Reformin the <strong>WTO</strong>--Summary Report.Agricultural Economic Report No.(aer797) 32 pp, January.Departemen Perdagangan, (2009).Menuju Daya Saing BangsaDan Kemakmuran Rakyat. PembangunanPerdagangan 2005-2009. Jakarta.Hadi, S. (2008). Perdagangan Bebasdan Pembangunan, Kompas.diakses dari http://cetak.kompas.com pada Juli 2011.Hertel dan Tsigas. (1997). Structure ofGTAP, Global Trade Analysis,Modeling and Applications.Cambridge University Press,New York.McCallum, J. (1995). National BordersMatter: Canada-US RegionalTrade Matters. American EconomicReview. June, 85(3), pp.615-623.Rachman, H.P.S., S.H. Suhartini, danG. S. Hardono.(2008). DampakLiberalisasi Perdagangan TerhadapKinerja KetahananPangan, Pengembangan InovasiPertanian 1(1), Hal.: 47-55Susastro, H. (2004). Kebijakan Persaingan,Daya Saing, Liberalisasi,Globalisasi, Regionalisasi danSemua Itu. Economic WorkingPapers Series. CSIS, Jakarta.Tambunan, T. (2008). KetahananPangan Di Indonesia IntiPermasalahan Dan AlternatifSolusinya. Makalah dipersiapkanuntuk Kongres ISEI, Mataram.Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol. 5 No. 2, Desember 2011 - 163

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!