Pembangunan Pertanian dan Perekonomian Pedesaan Melalui ...
Pembangunan Pertanian dan Perekonomian Pedesaan Melalui ...
Pembangunan Pertanian dan Perekonomian Pedesaan Melalui ...
Transform your PDFs into Flipbooks and boost your revenue!
Leverage SEO-optimized Flipbooks, powerful backlinks, and multimedia content to professionally showcase your products and significantly increase your reach.
ICASERD WORKING PAPER No.60PEMBANGUNAN PERTANIAN DANPEREKONOMIAN PEDESAAN MELALUIKEMITRAAN USAHA BERWAWASANAGRIBISNISS u p a d iAgustus 2004Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Ba<strong>dan</strong> Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan <strong>Pertanian</strong>Departemen <strong>Pertanian</strong>
ICASERD WORKING PAPER No. 60PEMBANGUNAN PERTANIAN DANPEREKONOMIAN PEDESAAN MELALUIKEMITRAAN USAHA BERWAWASANAGRIBISNISS u p a d iAgustus 2004Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Ba<strong>dan</strong> Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan <strong>Pertanian</strong>Departemen <strong>Pertanian</strong>Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian <strong>dan</strong>Pengembangan Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong> mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini,pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pan<strong>dan</strong>ganilmiah, <strong>dan</strong> review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala PusatPenelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>, dengan Pengelola : Dr. Handewi P.Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, <strong>dan</strong> Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi:Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Siti Fajar Ningrum SS, Kardjono <strong>dan</strong> Edi AhmadSaubari. Alamat Redaksi : Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>,Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496E-mail : caser@indosat.net.idNo. Dok.066.60.7.04
PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEREKONOMIAN PEDESAAN MELALUIKEMITRAAN USAHA BERWAWASAN AGRIBISNISS u p a d iPusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161ABSTRAKPetani masih sangat lemah dalam berbagai bi<strong>dan</strong>g sehingga untuk memperkuat posisirebut tawar “bargaining position” petani perlu mengkonsolidasikan dalam wadah kelompok.Kelembagaan petani ini sangat penting untuk menggalang kebersamaan meningkatkankemampuan mengelola usahanya, <strong>dan</strong> meningkatkan efektivitas kegiatan kelompok. Selain itupetani sangat tergantung pada banyak pihak. Sektor pertanian memiliki keterkaitan yang luas baikke hulu mapun ke hilir. Keberhasilan pembangunan pertanian, sangat ditentukan oleh sektor lainsehingga perlu dibangun kemitraan usaha. Sampai kini kegiatan usahatani, penyediaan saranaproduksi, pengolahan hasil <strong>dan</strong> pendistribusiannya masih tersekat-sekat. Pengembanganagribisnis ke depan harus dilihat sebagai suatu sistem <strong>dan</strong> agribisnis sebagai suatu usaha dilihatsecara utuh. Upaya ini dapat dilakukan melalui upaya pengembangan agribisnis kemitraan usahaagribisnis.Kata kunci : kelembagaan petani, kemitraan <strong>dan</strong> agribisnis konsolidatif.PENDAHULUANUsahatani di Indonesia didominasi oleh usahatani keluarga skala kecil yangsangat lemah dalam berbagai bi<strong>dan</strong>g, seperti keterbatasan dalam menguasai assetproduktif, modal kerja, posisi tawar-menawar <strong>dan</strong> kekuatan politik ekonomi, sehinggatidak dapat berkembang mandiri secara dinamis. Menurut Rusastra et al., (2002), petanisangat tergantung pada banyak pihak, antara lain pada bantuan subsidi, dukungan harga<strong>dan</strong> perlindungan dari pemerintah yang biasanya tidak efisien <strong>dan</strong> tidak sesuai puladengan prinsip persaingan bebas yang menjadi dasar kesepakatan WTO. Petani kecilsangat tergantung pada golongan petani lahan luas atau pedagang untuk memperolehasset produktif (lahan, peralatan), modal kerja <strong>dan</strong> perolehan sarana produksi. Demikianjuga dalam penjualan hasil petani sangat tergantung pada pedagang hasil. Oleh karenaitu, upaya pemberdayaan petani melalui pengembangan kelompok tani <strong>dan</strong> melaluikemitraan usaha agribisnis konsolidatif sebagai langkah strategis. Petani adalahpengusaha yang bertindak rasional, yang akan memberikan respon secara dinamisterhadap bekerjanya mekanisme pasar. Karena itu mekanisme pasar menjadi dasar daripenggerakan proses partisipasi petani dalam intensifikasi (Adjid,1980)1
Tulisan ini bertujuan untuk membahas beberapa upaya yang berkaitan denganpengembangan kelembagaan kelompok tani, pola-pola kemitraan usaha <strong>dan</strong> sistemserta usaha agribisnis yang konsolidatif. Metode penulisan yang digunakan adalahmelalui studi literatur atau kepustakaan dari berbagai buku-buku <strong>dan</strong> sumber tulisan lainyang mendukung.KERANGKA PEMIKIRANUntuk mengembangkan agribisnis dibutuhkan subsistem agribisnis yang salingmendukung, terpadu, berdampingan secara serasi berbagai pihak yang terlibat atasdasar saling membutuhkan <strong>dan</strong> saling ketergantungan (Gambar 1).AgribisnisKonsolidatifPetaniKonsolidasivertikalKelembagaanKelompokTaniKonsolidasivertikal(kemitraan)SwastaUsahawanPemerintahPetani adalah pelaku utama yang harus diberdayakan. Tahap awal yang perluditempuh untuk memberdayakan petani adalah membentuk kelembagaan berupakelompok tani yang merupakan organisasi kerja sama. Kerjasama sangat diperlukanuntuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi yang pada dasarnya sangatsulit bila dihadapi secara individu. Selama ini petani lemah dalam menentukan hargaproduksinya karena sulit mendapat akses informasi pasar. Dalam hal ini petani harusmelakukan konsolidasi yang bersifat horizontal. Selanjutnya melalui penyuluhan(pendidikan <strong>dan</strong> latihan) yang berkelanjutan terhadap kelompok yang mendapatpembinaan tersebut diharapkan menghasilkan sumberdaya manusia petani yangmemiliki pengetahuan <strong>dan</strong> keterampilan dalam berusahatani.Untuk dapat berusahatani lebih teratur <strong>dan</strong> terarah maka kelembagaan kelompoktani perlu menjalin kerja sama <strong>dan</strong> kemitraan dengan pihak luar/usahawan. Keterkaitan2
<strong>dan</strong> kerja sama kelembagaan kelompok tani dengan pihak swasta/usahawan dapatterjalin secara baik bila terdapat saling ketergantungan <strong>dan</strong> kerjasama yang bersifatsimetri serta saling menguntungkan. Kemitraan dalam hal ini identik dengan konsolidasivertikal yang memadukan segmen kegiatan usahatani, pengolahan hingga pemasaran.Peran pemerintah melalui berbagai kebijakan <strong>dan</strong> program diharapkan dapatmendorong <strong>dan</strong> menciptakan iklim usaha yang kondusif <strong>dan</strong> menggairahkanpetani/kelompok tani maupun pihak swasta/usahawan, sehingga agribisnis dapatberkembang. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai fasilitator, regulator, motivatoryang harus menserasikan hubungan antar pelaku agribisnis tersebut, sehingga parapelaku dapat berinteraksi secara proporsional <strong>dan</strong> tidak terjadi eksploitasi yang bersifatkontradiktif. Para pelaku usaha bisa meraih keuntungan yang seimbang.Dengan terjadinya keterpaduan berbagai unsur tersebut (kelompok tani,swasta/usahawan <strong>dan</strong> pemerintah) diharapkan agribisnis yang bersifat konsolidatifvertikal atau kemitraan tersebut dapat berkembang.PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KELOMPOK PETANIPengembangan kelembagaan kelompok petani sangat dibutuhkan untukpemberdayaan petani untuk dapat tumbuh berkembang secara dinamis <strong>dan</strong> mandirisebagai langkah kunci di dalam mewujudkan strategi pembangunan pedesaan berbasispertanian. Dengan penguatan kelembagaan kelompok petani, masyarakat tani memilikidaya atur diri yang menimbulkan ketaatan (comformity) terhadap norma-norma yangtelah diakui bersama (Soewardi, 1977).Untuk dapat menjalankan suatu aktivitas yang secara ekonomik menguntungkandiperlukan suatu bentuk atau organisasi kerja sama yang dapat mendorong masyarakatmampu mengembangkan respon yang sesuai dengan kondisi atau iklim ekonomi yangkondusif.Banyak pakar yang mengemukakan betapa pentingnya usaha-usaha pertanian diIndonesia dilaksanakan secara berkelompok. Beberapa argumen pentingnyakelembagaan kelompok tani, antara lain adalah: (1) memudahkan dalam transferteknologi; (2) meningkatkan efisiensi dalam mendapatkan sarana produksi; (3)meningkatkan efisiensi dalam penjualan hasil; <strong>dan</strong> (4) memudahkan dalam pelaksanaanberbagai program pembangunan pertanian. A<strong>dan</strong>ya kelompok tani yang dinamis dapat3
meningkatkan kemampuan mengelola yang berkaitan dengan pengaturan pola tanamkomoditas yang diusahakan, pengaturan air, pengelolaan kredit, serta pengadaan saranaproduksi <strong>dan</strong> pemasaran hasil secara bersama. Pada dasarnya, semua permasalahantersebut tidak dapat diatasi oleh petani secara individu, namun memerlukan aksi kolektif.Perubahan-perubahan dalam lingkup yang lebih luas dalam rangka pengembangankelembagaan akan sulit <strong>dan</strong> lambat terjadi, bila dilaksanakan secara individu(Nataatmadja, 1977). Perubahan perilaku akan sangat dipercepat bila terjadi padaindividu-individu yang berkelompok <strong>dan</strong> sengaja dibina (Soewardi, 1980). Hal ini berartibahwa keberlanjutan partisipasi petani peserta program akan sangat ditentukan oleha<strong>dan</strong>ya sistem pembinaan yang berkelanjutan.Kemajuan masyarakat pertanian <strong>dan</strong> pedesaan serta kemajuan ekonomi yangberkembang cepat seperti pada kasus di Korea, Jepang <strong>dan</strong> Vietnam dilatarbelakangioleh keorganisasian kelompok tani yang relatif kuat (Pranadji, 2003). Sistemkeorganisasian ekonomi kelompok petani yang mandiri <strong>dan</strong> kuat dapat mudahdikembangkan bila struktur penguasaan lahan pertaniannya relatif merata (Sudaryanto<strong>dan</strong> Pranadji, 2000) Menurut Krisnamurthi (2003) yang dikutip Trubus, 80 persenkeberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh kapasitas <strong>dan</strong> kualitas petaninya.Namun pemerintah perlu dilibatkan terutama untuk membangun berbagai infrastrukturpendukung (jaringan jalan, irigasi, telekomunikasi, listrik <strong>dan</strong> lain-lain).Kelembagaan kelompok petani yang perlu dikembangkan meliputi: (a) organisasiuntuk mengatur sumber daya milik bersama seperti organisasi petani pemakai air,pemanfaatan hutan atau lahan adat, <strong>dan</strong> dalam bentuk arisan tenaga kerja saat puncakkegiatan usahatani, (b) organisasi bisnis kooperatif, dapat berupa kegiatan kolektif(pengadaan sarana produksi pertanian, pengadaan modal <strong>dan</strong> pemasaran hasil secarabersama-sama), <strong>dan</strong> (c) organisasi lobi politik ekonomi dengan membentuk paguyubanpetani (Rusastra et al., 2002).Kelembagaan merupakan faktor penting dalam mengatur hubungan antarmanusia untuk akses <strong>dan</strong> kontrol terhadap sumberdaya. Meskipun secara ekonomikmenguntungkan karena produktivitas yang lebih tinggi <strong>dan</strong> ongkos yang lebih rendah,tetapi inovasi dalam bentuk usahatani berkelompok bukan merupakan suatu yangbersifat teknis di mana mekanisme yang begitu saja dapat diadopsi oleh petani sepertimengadopsi komponen teknologi fisik (pupuk, pestisida, alat <strong>dan</strong> lain-lain). Usahataniberkelompok merupakan inovasi yang proses adopsinya melalui suatu proses partisipasi4
dalam membangun kemampuan kelompok tani untuk mengelola rencana kerja yangtelah disusunnya untuk mencapai tujuan bersama.Berkelompok bukanlah sesuatu materi yang sudah tersedia untuk “dibeli” <strong>dan</strong>dipakai. Kemampuan kelompok adalah sesuatu yang harus dibangun dengan usaha <strong>dan</strong>“pengorbanan” dari para pesertanya. Dalam kenyataannya perkembangan kemampuankelompok kerja sama pengelolaan usahatani itu memerlukan keterlibatan yang aktif daripemerintah melalui pelayanan/pembinaan yang bersifat motivasi <strong>dan</strong> edukasi yangdilakukan oleh petugas pertanian (KCD, BPP, <strong>dan</strong> PPL), sehingga partisipasi petanitimbul dari kesadarannya sebagai jalan meningkatkan pendapatan mereka. A<strong>dan</strong>yapartisipasi secara sukarela <strong>dan</strong> atas kesadaran bersama petani/kelompok tani dapatmeningkatkan konsolidasi di dalam kelompok. Namun dalam hal ini yang perlu diingat,petani jangan disibukkan dengan kegiatan partisipatif yang kurang/tidak produktif(Sudaryanto, 1996).Perkembangan kelembagaan selayaknya dapat berlangsung secara alamiah.Dalam hal ini campur tangan pemerintah hendaknya bersifat konsultatif fasilitatif <strong>dan</strong>pengembangan sistem insentif. Pada akhirnya pengembangan <strong>dan</strong> peranan kelompoktani merupakan perwuju<strong>dan</strong> kekuatan sosial petani berswadaya untuk mencapaikemandirian.Perkembangan pertanian yang berlangsung di negara-negara yang se<strong>dan</strong>gberkembang pada dasarnya merupakan penerapan teknologi baru yang lebih unggul <strong>dan</strong>kompleks dibandingkan dengan teknologi tradisional. Penerapan teknologi baru olehpetani mau tidak mau harus disertai dengan “proses modernisasi”, yaitu a<strong>dan</strong>ya prosesprosesperubahan di dalam masyarakat, baik proses perubahan perilaku maupunperubahan kelembagaan. Perubahan atau dalam hal ini pengembangan kelembagaanpetani pada dasarnya merupakan penjalinan antara masyarakat desa (petani) <strong>dan</strong>masyarakat nasional secara permanen. Dengan berkembangnya kelembagaan kelompoktani dapat dijadikan modal utama dalam usaha transformasi perekonomian pedesaanyang bersifat tradisional ke arah perekonomian pedesaan yang modern, sehinggaperekonomian pedesaan dapat diintegrasikan dengan ekonomi pasar baik lokal, regional,maupun global (Saptana, et al., 2003).Bedasar uraian di atas untuk dapat memanfaatkan sesuatu hal yang secaraekonomi menguntungkan diperlukan suatu bentuk atau organisasi kerja sama yang5
membuat masyarakat mampu mengembangkan respon yang sesuai dengan logika yangimplisit terbawa oleh kondisi atau "iklim” ekonomi yang menguntungkan.Proses pembangunan (ekonomi) suatu bangsa secara implisit mensyaratkana<strong>dan</strong>ya transformasi pertanian tradisional menjadi pertanian maju atau modern. Dalamproses transformasi itulah pola partisipasi memainkan peranannya. <strong>Pertanian</strong> majuadalah pertanian yang berkemampuan untuk terus-menerus menyesuaikan diri dengantantangan <strong>dan</strong> permintaan pasar yang senantiasa berubah.Perencanaan kuantitatif ekonomi pertanian Indonesia belum memungkinkandilakukan selama sektor pertanian (rakyat) belum mampu untuk menumbuhkanpartisipasi petani secara menyeluruh. Kekuatan yang menghasilkan momentum untukmembangun itu adalah kemampuan untuk mengelola unit organisasi ekonomi yangcukup “besar” yang dapat berbentuk koperasi kelompok tani atau koperasi agribisnisyang mampu menjalin kerja sama dengan perusahaan (industri) yang mengolah hasilpertanian.Kemampuan manajemen yang didukung oleh partisipasi aktif dari para petani itumerupakan syarat yang diperlukan bagi tumbuh <strong>dan</strong> berkembangnya industri/perusahaan pertanian (agroindustri) di pedesaan yang terkait secara terpadu dengankehidupan <strong>dan</strong> perkembangan usahatani. Dengan demikian akan terbangun suatu polakemitraan usaha yang saling membutuhkan, memperkuat <strong>dan</strong> menguntungkan.MEMBANGUN POLA KEMITRAAN USAHASalah satu hambatan utama untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saingtinggi adalah lemahnya “bangunan” kelembagaan kemitraan agribisnis terutama yangdijalankan oleh <strong>dan</strong> di masyarakat pedesaan (Sudaryanto <strong>dan</strong> Pranadji, 2000). Dewasaini sebagian pelaku agribisnis adalah petani di pedesaan <strong>dan</strong> hampir semuanyamerupakan kegiatan usahatani yang dikelola dengan pola usaha keluarga. Kemitraanusaha yang menonjol di tingkat desa adalah kemitraan horizontal, antara lain berupakerja sama kelompok tani, se<strong>dan</strong>gkan hubungan buruh-majikan, atau bapak-anak angkat(patront client).Peran kemitraan usaha adalah pada kemampuan kerja sama yang lebih teratur<strong>dan</strong> terarah, sehingga pengembangan sistem agribisnis mempunyai daya guna yanglebih tinggi <strong>dan</strong> berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan pelaku-pelaku6
agribisnis di pedesaan. Dihasilkannya produk pertanian berdaya saing tinggi, dapatdipan<strong>dan</strong>g sebagai interaksi sinergis dari komponen budaya material, perankewirausahaan <strong>dan</strong> kelembagaan (kemitraan yang terbangun dengan baik). Strukturorganisasi ekonomi masyarakat pedesaan sangat rapuh <strong>dan</strong> hal itu tercermin dari posisipelaku ekonomi pedesaan yang tidak “memiliki” kekuatan memadai untuk melakukanbargaining position dengan pelaku ekonomi di luar desa. Lemahnya bargaining positiontersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kelemahan dalam pengorganisasiankelompok tani, penguasaan permodalan usaha, interdependensi yang sangat timpangantar pelaku ekonomi pedesaan dengan luar pedesaan.Pola keorganisasian kemitraan yang ada dewasa ini, yaitu program pemerintah(inti-plasma), tradisional (patront client) <strong>dan</strong> pasar (“rasional”) masih menempatkanpetani pada posisi yang tereksploitasi secara sangat tidak adil. Pola pemerintahmenunjukkan terlalu dominannya intervensi pemerintah <strong>dan</strong> pada umumnyamenempatkan plasma pada posisi yang lemah. Pola tradisional sulit menumbuhkansemangat <strong>dan</strong> kreativitas serta mengembangkan diri, se<strong>dan</strong>gkan pola pasarmenyebabkan besarnya ketergantungan petani terhadap usahawan <strong>dan</strong> dapatmenimbulkan konglomerasi (Saragih <strong>dan</strong> Krisnamurthi, 1996). Bagi pengembanganagribisnis “kecil” masalah yang sering dihadapi terutama adalah ketidakseimbanganrebut tawar (bargaining position) <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya intransparansi bisnis. Oleh sebab itu peranpemerintah selain sebagai regulator <strong>dan</strong> pemberi insentif, juga perlu diarahkan untukmembantu pengembangan kegiatan kemitraan usaha agribisnis kecil.Karakteristik usahatani di Indonesia dicirikan oleh sifat usaha skala kecil dikelolasecara independen <strong>dan</strong> menyebar dalam kawasan yang luas (dispersal).Konsekuensinya adalah volume produksi terbatas, kualitas produk <strong>dan</strong> waktu panenbervariasi serta biaya pengumpulan produk relatif besar sehingga kurang kondusif bagipengembangan agroindustri <strong>dan</strong> sistem pemasaran yang efisien. Dampak integratifnyaadalah tingginya biaya pemasaran sehingga akan menekan pangsa harga yang diterimapetani <strong>dan</strong> mengangkat tingkat harga yang dibayar konsumen. Akibatnya adalahpermintaan <strong>dan</strong> penawaran produk usahatani akan menurun, sehingga menghambatperkembangan agribisnis (PSE, 2002).Berdasarkan pada permasalahan tersebut maka strategi kemitraan usaha yangtepat untuk mendorong mengembangkan agribisnis di pedesaan adalah kemitraan usahamelalui konsolidasi vertikal. Usahatani skala kecil dikonsolidasikan oleh suatu usaha7
agroindustri atau pemasaran dalam suatu usaha kemitraan sehingga tercipta satu unitindustri pertanian (agroindustri). Pola kemitraan haruslah didasarkan pada kesadaransemua pihak bahwa mereka saling membutuhkan <strong>dan</strong> hanya dapat tumbuh bersamasehingga harus bermitra dengan prinsip transparan, adil, patuh aturan kesepakatan <strong>dan</strong>terpercaya.Pengembangan unit agroindustri merupakan strategi dasar pengembanganagribisnis di pedesaan. Pengembangan unit agroindustri merupakan strategi operasionalyang tepat sebagai implementasi dari konsep pengembangan wilayah pedesaan yangtertata (agropolitan). Mengingat pasar tidak selamanya sempurna <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya senjanginformasi, maka pembentukan agroindustri haruslah dipacu melalui peran aktifpemerintah yang bertindak sebagai inisiator gagasan, mediator, fasilitator, pelindung <strong>dan</strong>regulator yang jujur, adil <strong>dan</strong> bijaksana. Forum dialog antara pengusaha, petani <strong>dan</strong>pemerintah dinilai sangat penting dalam mencapai keberhasilan program kemitraanagroindustri di pedesaan.Konsep agropolitan pada dasarnya adalah pengembangan wilayah pedesaanterkelola dengan luasan sekitar 30 ribu hektar <strong>dan</strong> berpenduduk maksimum 600.000orang. Daerah pedesaan dikembangkan berdasarkan pewilayahan komoditas unggulanutama yang menghasilkan bahan baku untuk pengembangan agroindustri di daerahperkotaan. Struktur agroindustri harus mampu menjamin efisiensi <strong>dan</strong> daya saing sertabersifat konstruktif.Petani sebagai pelaku utama dalam pengembangan usahatani perlu dibina <strong>dan</strong>ditumbuhkembangkan motivasi <strong>dan</strong> minatnya dalam usahatani bahwa usahatani dapatmemberikan tambahan pendapatan bila usahataninya dikelola secara baik. Denganteknik pengelolaan yang lebih baik, keragaan sektor pertanian bisa tidak kalah dengansektor perekonomian yang paling modern sekalipun (PSE,2002).Kemitraan adalah kerja sama antara usaha kecil <strong>dan</strong> usaha menengah ataudengan usaha besar disertai pembinaan <strong>dan</strong> pengembangan oleh usaha menengah ataubesar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat <strong>dan</strong> salingmenguntungkan (UU. No. 9/1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 ayat 8). Peranankemitraan dalam pengembangan agribisnis dalam konteks UU No.9/1995 dipan<strong>dan</strong>gcukup strategis karena dominannya usahatani kecil atau malah subsisten di Indonesia.Menurut Sudaryanto <strong>dan</strong> Pranadji (2000) perangkat hukum sangat penting untukmendukung sehatnya perkembangan kemitraan usaha, terutama ditujukan untuk8
melindungi hak-hak individu petani <strong>dan</strong> bahaya eksploitasi pemodal besar <strong>dan</strong> perusakansumber daya alam yang menjadi basis usaha di sektor pertanian. Namun dalam hal iniperlu diketahui bahwa untuk bermitra, di pihak petani harus ada kelembagaan kelompoktani yang berba<strong>dan</strong> hukum atau dengan kata lain <strong>dan</strong> yang lebih tepat lagi petani harustelah bergabung dalam wadah koperasi (Karwan, 1997).Untuk menjalin kemitraan, petani perlu disiapkan dalam arti ditingkatkankemampuannya baik dari aspek keorganisasian, manajemen, <strong>dan</strong> permodalannyasupaya bisa bermitra dengan yang lebih kuat. Suatu usaha dapat berkembang denganbaik bila dapat diidentifikasi dengan baik berbagai faktor yang mempengaruhinya baikfaktor internal (pendorong <strong>dan</strong> penghambat) <strong>dan</strong> eksternal (peluang <strong>dan</strong> tantangan).Perlunya kemitraan di sektor pertanian karena keberhasilan pembangunan pertanian,60–70 persen ditentukan oleh sektor lain (Hafsah dalam Olson, 1997).Diharapkan gerakan kemitraan nasional dapat mengubah paradigma modelpembangunan trickle down effect (menetes/mengalir ke bawah) menjadi model snow balleffect (efek bola salju) yang lebih menjanjikan pemerataan yang berkeadilan.Pengembangan kelembagaan kemitrausahaan dapat dipan<strong>dan</strong>g sebagai komplemendari konsolidasi segmen-segmen kegiatan pertanian. Pada kelembagaankemitrausahaan, kegiatan pertanian selain bisa diarahkan untuk meningkatkanpencapaian efisiensi ekonomi, juga bisa untuk tujuan peningkatan pemerataan <strong>dan</strong>keadilan.Dengan konsolidasi segmen-segmen kegiatan pertanian “usahatani” dapatmenjadi satu kesatuan dengan industri “pengolahan hasil”. Dengan konsolidatif ini, friksiantar kegiatan tersebut dapat ditekan sekecil mungkin. Gejala umum yang tidak sehatseperti harga bahan baku (hasil usahatani petani) yang ditekan oleh pengusahapengolah hasil pertanian tidak lagi dijumpai. Peningkatan efisiensi dapat dimulai darikonsolidasi lahan usahatani, untuk dikelola secara kolektif. Beberapa manfaat a<strong>dan</strong>yakonsolidasi usahatani ini antara lain:1. Seluruh rangkaian kegiatan fisik dapat diselenggarakan di pedesaan sehinggapengembangan pertanian berimpit dengan pengembangan ekonomi pedesaan.2. Teknologi <strong>dan</strong> modal untuk pengembangan pertanian bisa langsung diarahkan <strong>dan</strong>disalurkan ke pedesaan.3. Sumberdaya pertanian di pedesaan, misalnya lahan bisa dikelola secara lebih efisien.9
4. Mendorong perekonomian desa berkembang lebih pesat, sehingga dapatmembendung mengalirnya tenaga-tenaga kerja muda yang potensial dari pedesaanke kota.MENGEMBANGKAN AGRIBISNIS KONSOLIDATIFCiri-ciri sebagian besar usahatani Indonesia adalah (1) merupakan usahakeluarga skala kecil sehingga volume produksi per usahatani sangat kecil, (2) usaha tanidikelola secara independen sehingga kualitas produk yang dihasilkan <strong>dan</strong> waktu panenbervariasi antar petani; (3) Usahatani tersebar dalam kawasan luas (dispersal) sehinggabiaya pengumpulan hasil produksi besar pula <strong>dan</strong> juga sistem pemasaran hasil tidakefisien; (4) volume kecil merupakan penghambat eksploitasi skala ekonomi; (5) kualitasyang beragam membuat ongkos standarisasi tinggi; <strong>dan</strong> (6) tia<strong>dan</strong>ya kepastian informasimengenai kualitas <strong>dan</strong> waktu panen menciptakan ongkos pencarian <strong>dan</strong> risiko kesalahaninformasi (Rusastra et al., 2002).Dengan demikian, strategi yang tepat untuk mendorong perkembangan agribisnisdi pedesaan ialah agribisnis konsolidatif, usaha kecil dikonsolidasikan, sehingga sistemekonomi dualistik yang selama ini mendominasi usaha pertanian di Indonesia dapatdihapuskan. Indikator sehatnya organisasi masyarakat pertanian antara lain mencakupa<strong>dan</strong>ya konsolidasi <strong>dan</strong> integrasi antar cabang agribisnis pertanian, interdependensiantar pelaku agribisnis pertanian <strong>dan</strong> iklim usaha yang dibangun (praktek persainganusaha yang sehat, pencegahan praktek monopoli, kemudahan usaha, kepastian hukum<strong>dan</strong> penyelenggaraan administrasi pemerintah yang bersih <strong>dan</strong> berwibawa (Pranadji,2001).Penghapusan struktur ekonomi dualistik (antara pertanian rakyat <strong>dan</strong> pertanianmodern) merupakan salah satu strategi penting untuk memposisikan sektor pertaniansebagai tulang punggung perekonomian nasional di masa datang. Selama gejaladualistik tersebut dibiarkan, selama itu pula kekhawatiran pembangunan pertanianmengalami kemacetan akan semakin mendekati kenyataan. Karena akan mempengaruhirespon petani dalam adopsi teknologi <strong>dan</strong> penggunaan kapital dalam usahatani,sehingga tidak kondusif bagi pembangunan pertanian (PSE 2002).Pada saat krisis ekonomi berlangsung, sektor pertanian menunjukkan daya tahanyang relatif kuat, bukti empiris menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor yangcukup tangguh dalam menghadapi krisis <strong>dan</strong> paling berjasa dalam menampung10
pengangguran yang kehilangan pekerjaan akibat krisis ekonomi tersebut. Jika saja sektorpertanian ditangani dengan lebih baik <strong>dan</strong> terarah diperkirakan pengaruh krisis ekonomiterhadap kehidupan masyarakat tidak seburuk saat ini. Dengan demikian di masa datangsektor pertanian perlu mendapat perhatian lebih serius. Dengan manajemen yang lebihbaik, keragaan sektor pertanian bisa tidak kalah dengan sektor perekonomian yangpaling modern sekalipun. (Simatupang, et al., 2002).Sumber munculnya gejala dualistik terutama disebabkan oleh tersekat-sekatnyakegiatan agribisnis, misalnya usahatani, pengolahan hasil <strong>dan</strong> pendistribusiannya. Gejaladualistik tadi akan terhapus jika seluruh kegiatan agribisnis dilihat secara utuh, sehinggatidak dikenal lagi pengusaha bahan baku atau pengusaha bahan setengah jadi(Simatupang, et al., 2002). Dengan kata lain kegiatan agribisnis harus dipan<strong>dan</strong>gsebagai satu jaringan kegiatan ekonomi utuh, tidak tersekat-sekat sehingga responsifterhadap dinamika pasar, teknologi <strong>dan</strong> permodalan Upaya ini dapat dilakukan melaluiupaya pengembangan agribisnis konsolidatif. (Rusastra, et al., 2002).Pengembangan agribisnis konsolidatif merupakan konsolidasi secara vertikal darisejak segmen kegiatan usahatani, pengolahan hingga pemasaran. Dengan konsolidasiini kegiatan pertanian “usahatani” menjadi satu kesatuan dengan industri “pengolahanhasil”. Dengan konsolidatif ini, friksi antar segmen kegiatan agribisnis tersebut dapatditekan sekecil mungkin. Gejala umum yang tidak sehat, seperti harga bahan baku (hasilusahatani petani) ditekan oleh pengusaha pengolah hasil pertanian, tidak dijumpai lagi.Beberapa manfaat yang berhubungan dengan agribisnis konsolidatif:(Simatupang, et al., 2002) :1. Seluruh rangkaian kegiatan fisik agribisnis dapat dilaksanakan di pedesaan, sehinggaperekonomian desa lebih berkembang.2. Teknologi <strong>dan</strong> kapital bisa langsung diarahkan <strong>dan</strong> disalurkan ke pedesaan.3. Bisa membendung mengalirnya tenaga-tenaga kerja muda yang potensial dipedesaan ke kota.4. Sumber daya pertanian (lahan) dapat dikelola secara lebih efisien. Pada saat inipengelolaan usahatani mengikuti manajemen keluarga, sehingga tidak efisien.Peningkatan efisiensi bisa dimulai dari konsolidasi lahan usahatani untuk dikelolasecara kolektif.11
5. Meningkatnya kredibilitas dilihat dari aspek perbankan <strong>dan</strong> bargaining position dibi<strong>dan</strong>g pemasaran hasil akhir.6. Pemeliharaan lingkungan <strong>dan</strong> pelestarian sumber daya setempat dapat dilakukansecara lebih efektif karena kegiatan lebih mudah diintegrasikan dengan ekosistemsetempat.Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa konsolidasi agribisnis tidak dapatdipisahkan dengan upaya penerapan <strong>dan</strong> kemitraan usaha. Pengembangankelembagaan kemitrausahaan dapat dipan<strong>dan</strong>g sebagai komplemen dari konsolidasisegmen-segmen kegiatan agribisnis. Pengembangan kelembagaan kemitrausahaandalam rangka mengembangkan kegiatan agribisnis selain dapat diarahkan untukmeningkatkan pencapaian efisiensi ekonomi, juga dapat ditujukan untuk pemerataan <strong>dan</strong>keadilan.Menurut Simatupang, et al., (2002) <strong>dan</strong> Sudaryanto <strong>dan</strong> Pranadji (2000) terdapattiga pola kemitraan yang berkembang dalam kegiatan agribisnis, yaitu: (1) pola kemitraantradisional, (2) kemitraan “pemerintah”, <strong>dan</strong> (3) kemitraan pasar. Kemitraan tradisionalmengikuti pola hubungan patron-client (misal hubungan pemilik lahan <strong>dan</strong> petanipenggarap. Pola kemitraan program pemerintah condong pada pengembangankemitraan secara vertikal dengan pola hubungan “Bapak Anak Angkat” yang padaagribisnis perkebunan dikenal dengan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Se<strong>dan</strong>gkanpola kemitraan pasar berkembang sebagai akibat dari masuknya sistem ekonomi pasardalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Jenis usaha pertanian yang dibidik adalahusahatani yang menghasilkan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi <strong>dan</strong>mempunyai permintaan kuat di pasar dunia. Pola ini melibatkan petani dengan pemilikmodal besar yang bergerak di bi<strong>dan</strong>g industri pengolahan <strong>dan</strong> pemasaran hasil. Merekamenggalang kerja sama (“kemitraan”) karena a<strong>dan</strong>ya kepentingan untuk berbagaimanfaat ekonomi (mutually beneficial).Kelemahan ketiga pola tersebut (Simatupang, et al., (2002) <strong>dan</strong> Sudaryanto <strong>dan</strong>Pranadji (2000) adalah:1. Pola kemitraan tradisional sangat kurang kondusif untuk adopsi inovasi teknologi,permodalan <strong>dan</strong> kelembagaan ekonomi. Tidak a<strong>dan</strong>ya kompetisi ekonomi, sehinggakreativitas usaha pelaku-pelaku sulit ditumbuhkan secara sehat.12
2. Pola kemitraan program pemerintah, dapat memberi peluang terjadinya “eksploitasilegal” dari Sang Bapak kepada Anak Angkatnya.3. Pola kemitraan pasar, secara individual petani “dibuat” mengalami kesulitan untukakses langsung ke jaringan pusat pemasaran, karena sruktur pasar yang dikuasaipedagang besar (oligopsonistik) <strong>dan</strong> dengan kemampuannya pengusaha/pedagangbesar mampu mengendalikan pasar, termasuk untuk menciptakan situasi sehinggakoperasi “tidur nyenyak”.Dari kelemahan yang telah disebutkan tersebut, pola kemitraan yang bagaimanayang dapat diunggulkan sebagai pola alternatif yang kuat untuk mencapai pemerataan<strong>dan</strong> keadilan sosial. Dalam hal ini alternatif pola kemitraan yang harus dibangun adalahpola yang mampu mentransformasikan ciri usaha (ekonomi/pertanian tradisional menjadiberciri <strong>dan</strong> berbentuk struktur ekonomi pasar). Menurut Kasryno (2000), pertanian rakyatdapat berdampingan dengan perusahaan besar dengan membina saling ketergantungandi mana petani merasa memiliki perusahaan melalui pemilikan saham. Bentuk kemitraantersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:1. Petani produsen harus menjadi pemilik saham, sehingga secara kolektif petanimenguasai tubuh agribisnis.2. Organisasi petani tidak dibatasi hanya pada kegiatan produksi bahan baku.3. Output usaha pertanian bukanlah bahan mentah yang tidak stabil melainkankomoditas olahan (akhir) dengan nilai tambah tinggi.4. Hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis didasarkan rasionalitas ekonomi <strong>dan</strong>spesialisasi pembagian kerja secara organik. Azas keterbukaan <strong>dan</strong> penerapandemokrasi serta pengambilan keputusan baik melalui musyawarah ataupunpemungutan suara (voting).Se<strong>dan</strong>gkan menurut Rusastra, et al., (2002) ciri-ciri yang diperlukan adalah (1)pemilik “saham” terbesar kegiatan agribisnis adalah petani, (2) kegiatan agribisnisbersifat integratif, sehingga friksi antar kegiatan agribisnis dapat dieliminir, (3) outputkegiatan agribisnis bersifat stabil, memiliki nilai tambah tinggi <strong>dan</strong> berstandar mutu tinggi,(4) spesialisasi kerja <strong>dan</strong> rasionalisasi ekonomi dapat diharmonisasikan .dengan carapengelolaan agribisnis yang kooperatif, dengan koperasi sebagai lembaga ekonomiandalannya <strong>dan</strong> (5) mudah di integrasikan dengan perkembangan ekonomi pedesaan.13
Dalam rangka membangun kemitraan usaha, diharapkan turut campurpemerintah terutama dalam beberapa aspek yaitu:1. Mengarahkan kelembagaan ekonomi koperasi, untuk menjadi bagian dari kegiatanagribisnis.2. Pengkonsolidasian lahan pertanian yang terarah bahwa lahan pertanian adalah untukusaha pertanian.3. Pembuatan perangkat hukum (Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g atau PP) yang mendukungberkembangnya kemitraan usaha, terutama yang ditujukan untuk melindungi hak-hakindividu petani dari bahaya eksploitasi pemodal besar, <strong>dan</strong> pengrusakan lingkungan<strong>dan</strong> sumber daya alam yang menjadi basis usaha di sektor pertanian.4. Menciptakan prakondisi usaha seperti pengembangan prasarana ekonomi,pengkajian <strong>dan</strong> penerapan teknologi, kemudahan pelayanan perkreditan, <strong>dan</strong>pengembangan sistem informasi pasar untuk pengembangan produk pertanian.PENUTUPKelembagaan kelompok/organisasi petani yang perlu dikembangkan meliputi: (a)organisasi untuk mengatur sumber daya milik bersama seperti organisasi petani pemakaiair, pemanfaatan hutan lahan adat, (b) organisasi bisnis kooperatif yang dapat berupakegiatan produktif kolektif (pelaksanaan/pengaturan kegiatan usaha tani, pembeliansarana produksi, pengadaan modal/kredit pemasaran hasil <strong>dan</strong> koperasi, <strong>dan</strong> (c)organisasi lobi politik ekonomi dengan membentuk asosiasi petani.Pola kemitraan usaha yang harus dikembangkan adalah kemitraan usahaagribisnis konsolidatif yang diarahkan untuk menggantikan pola kemitraan yang berciripatronase. Dengan pola ini tidak dikenal lagi eksploitasi antar pelaku agribisnis dalamsatu jaringan kegiatan agribisnis (berdasarkan output akhir), baik secara terselubung,legal <strong>dan</strong> terbuka. Pola kemitraan usaha yang terbangun diharapkan dapat salingmembutuhkan, memperkuat <strong>dan</strong> saling menguntungkan.Untuk membangun ekonomi pedesaan melalui usaha-usaha pengembangankelembagaan petani, pembangunan pola kemitraan dikaitkan dengan pengembanganagribisnis konsolidatif perlu didukung oleh pembangunan sarana/prasarana (infrastruktur)ekonomi pedesaan, pengembangan sistem inovasi pertanian, optimasi pemanfaatan14
sumber daya berkelanjutan, pemacuan investasi <strong>dan</strong> kebijaksanaan insentif sehinggadapat memacu pembangunan sosial ekonomi wilayah pedesaan yang pada gilirannyadapat meningkatkan taraf hidup kesejahteraan petani.Kondisi pertanian Indonesia akan tetap didominasi oleh pertanian rakyat. Untukdapat berdampingan dengan perusahaan besar petani perlu dibina terutama dalampenguasaan teknologi, akses terhadap sumber permodalan, sehingga dapat hidupberdampingan melalui pemilikan saham secara bersama. Dalam kondisi demikiankecemburuan <strong>dan</strong> kesenjangan sosial dapat diperkecil. Ini berarti masing-masingsubsistem agribisnis dapat berkembang saling menguntungkan <strong>dan</strong> saling membutuhkansecara adil, jauh dari eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. <strong>Pembangunan</strong>pertanian haruslah dapat mengembangkan keseluruhan subsistem dalam sistemagribisnis ini secara simultan <strong>dan</strong> harmonis, dengan tetap memperhatikan keunikanmasing-masing subsistem yang terlibat dalam proses modernisasi pertanian ini. Dalamproses ini keberadaan lembaga pelayanan <strong>dan</strong> pembinaan seperti lembaga konsultasi,lembaga keuangan pedesaan, koperasi yang merupakan hasil penggabungan kelompoktani adalah sangat penting.DAFTAR PUSTAKAAdjid, D.A. 1980.Pola Operasional Intensifikasi Dalam Pelita III. Dalam Capita Selecta:Pengembangan <strong>dan</strong> Pembinaan Kelompok Tani dalam Intensifikasi Tanaman Pangan.Satuan Pengendali Bimas Jakarta Hal. 62-92.Karwan. 1997. Kemitraan <strong>dan</strong> Daya Saing Petani Kita. SK. Sinar Tani, 29 Januari 1997.Kasryno, F. 2000. Sumber Daya Manusia <strong>dan</strong> Pengelolaan Lahan <strong>Pertanian</strong> di Indonesia. FAEVol. 18 No. 1 <strong>dan</strong> 2, Desember 2000 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>. Ba<strong>dan</strong>Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan <strong>Pertanian</strong> Departemen <strong>Pertanian</strong> Hal. 25-51.Nataatmadja, H. 1977. Beberapa Segi Sosial Ekonomi Petani. Dalam Penelitian Constraints toHigher Yields. Lembaga Pusat Penelitian <strong>Pertanian</strong> BogorOlson, P.S. 1997. Kemitraan Agribisnis Gilirannya Pejabat Pemerintah yang Menjadi Pelobby. SK.Sinar Tani, 29 Januari 1997.Puslitbang Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>. 2002. <strong>Pembangunan</strong> <strong>Pertanian</strong> Andalan BerwawasanAgribisnis.Dalam: Analisis Kebijaksanaan <strong>Pembangunan</strong> <strong>Pertanian</strong> Andalan BerwawasanAgribisnis. Monograph Series No. 23. T. Sudaryanto, et al., (Eds). Hal. V-X.Pranadji,T. 2003. Diagnosa Kerapuhan Kelembagaan <strong>Perekonomian</strong> <strong>Pedesaan</strong>. FAE Vol. 21 No.2, Desember 2003. Puslitbang Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>. Ba<strong>dan</strong> Litbang <strong>Pertanian</strong>.Departemen <strong>Pertanian</strong>. Hal. 128-142.15
Rusastra, I W., P. Simatupang, B. Rahman 2002. <strong>Pembangunan</strong> Ekonomi <strong>Pedesaan</strong>Berlandaskan Agribisnis. Dalam: Analisis Kebijaksanaan: <strong>Pembangunan</strong> <strong>Pertanian</strong>Andalan Berwawasan Agribisnis. Monograph Series No. 23 T. Sudaryanto, dkk (Eds)Puslitbangsosek <strong>Pertanian</strong>, Bogor. Hal 62-93.Saptana, Tri Pranadji, Syahyuti, <strong>dan</strong> Roosgandha E.M. 2003. Transformasi KelembagaanTradisional Untuk Menunjang Ekonomi Kerakyatan di <strong>Pedesaan</strong>. Pusat Penelitian <strong>dan</strong>Pengembangan Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>. Bogor.Saragih, B. <strong>dan</strong> B. Krisnamurthi. 1996. Keterkaitan Kelembagaan Dalam <strong>Pembangunan</strong><strong>Pertanian</strong>. Agritexts No. 06 Th. II /1996. Fakultas <strong>Pertanian</strong>, Universitas Sebelas Maret.Hal. 21-31.Simatupang, P., N. Syafa’at, Tri Pranadji, V.P.H. Nikijuluw <strong>dan</strong> B. Rachman. 2002. <strong>Pembangunan</strong><strong>Pertanian</strong> Sebagai Andalan <strong>Perekonomian</strong> Nasional. Dalam Analisis Kebijaksanaan<strong>Pembangunan</strong> <strong>Pertanian</strong> Andalan Berwawasan Agribsnis. Monograph Series No.23. T.Sudaryanto, I W. Rusastra, A. Syam, M. Ariani (Eds.). Puslitbangsosek <strong>Pertanian</strong>, Ba<strong>dan</strong>Litbang <strong>Pertanian</strong>, Bogor. Hal 1-60.Soewardi, H. 1977. Perkembangan Kelembagaan Menunjang <strong>Pembangunan</strong> <strong>Pertanian</strong>. Fakultas<strong>Pertanian</strong>, UNPAD. Bandung.Soewardi, H. 1980. Kebangkitan Kelompok Tani: Jawaban Terhadap Masalah PenyambunganKelembagaan Masyarakat Nasional <strong>dan</strong> Masyarakat Tradisional Dalam RangkaPenerobosan “Stagnasi” <strong>Pembangunan</strong> <strong>Pertanian</strong>. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalamIlmu Sosiologi <strong>Pedesaan</strong> pada Universitas Padjadjaran.Sudaryanto, Totok. 1996. Kemitraan Usaha dalam Pengembangan Agribisnis untuk Petani Kecil.Agritexts No. 06 Th. II/1996.Fakultas <strong>Pertanian</strong>, Universitas Sebelas Maret. Surakarta Hal.8-14.Sudaryanto, T. <strong>dan</strong> Tri Panadji. 2000. Peran Kewirausahaan <strong>dan</strong> Kelembagaan (Kemitraan)dalam Peningkatan Daya Saing Produk Tanaman Pangan. Dalam Tonggak KemajuanTeknologi Produksi Tanaman Pangan. Konsep <strong>dan</strong> Strategi Peningkatan ProduksiPangan. A.K Makarim, dkk (Eds) Puslitbang Tanaman Pangan Ba<strong>dan</strong> Litbang <strong>Pertanian</strong>.Hal. 104-114.Trubus. 2003. Bergandeng Tangan Sambut AFTA. No. 401 April 2003 XXXIV Hal. 67.16