13.07.2015 Views

Bab I - USUpress - Universitas Sumatera Utara

Bab I - USUpress - Universitas Sumatera Utara

Bab I - USUpress - Universitas Sumatera Utara

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Bayang-Bayang WayangBAB IPENDAHULUANKetika pada akhirnya saya memilih kata „bayang-bayang‟ bagibuku „Bayang-Bayang Wayang‟ ini, disebabkan olehbeberapa alasan. Beberapa buku lain menyatakan bahwasesungguhnya kisah wayang, meski maksudnya adalah eposRamayana, Mahabharata dan Bharatayuda, merupakan cermin –dan sarana untuk mawas diri - bagi kehidupan manusia. Iaberbicara tentang berbagai watak dan karakter manusia yang bisameliputi keteladanan, keberanian, kemarahan, kesendirian, kecongkakan,kejujuran, integritas, pengorbanan, kebijakan, kebimbangan,dendam, kekecewaan dan pencarian. Ia bisa pula berada di wilayah,iri, dengki, intrik, fitnah, dan pengkhianatan. Walau ada pula kasihsayang, cinta, kemesraan, kesetiaan meski tak lepas dari berbagaibentuk penyelewengan, nafsu, skandal dan perselingkuhan yangterkesan manusiawi. Sulit orang memahami betapa „kisah‟ yangmungkin disusun beribu-ribu halaman, melibatkan ribuan orang,bahkan mungkin ratusan ribu orang, namun tak ada yang benarbenarmenjadi tokoh utama. Meski ditulis oleh para cendekiawandan pujangga terpintar, bergelar Empu (Mpu) seperti Mpu Kanwa,Mpu Prapanca, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Para tokoh yangtampil dalam bagian atau sekte tertentu, ternyata ia mengecewakanpara pembaca dan atau penontonnya ketika pada bagian yang lainternyata ia berbuat bertentangan suatu kebaikan atau seharusnyabaik. Tak ada yang pantas menjadi idola sepanjang „hidup‟,„kehidupan‟, atau masa dimana sang tokoh „dihidupkan‟. Tidak ada„hitam-putih‟ dalam wayangan. Bukankah itu justru sesuai dengankehidupan manusia senyatanya? Oleh karena itu pula makasesungguhnya perilaku yang melahirkan istilah-istilah politik dikemudian hari juga tidak asing bagi dunia pewayangan. Misalnyaintrik-intrik politik, termasuk agitasi, debat, intimidasi, mata-mata1


<strong>Bab</strong> 1. Pendahuluan(spionase), sabotage, perebutan kedudukan, perebutan kursi,perebutan kekuasaan, korupsi, pengkhianatan, pembunuhan,berbagai bentuk kecurangan, money politic, cost politic, blackcampaign, dan bentuk-bentuk kejahatan, kemungkaran sertaberbagai bentuk tindakan tidak terpuji lainnya. Disamping tentusaja sikap keksatriaan, loyalitas, solidaritas, kesetia kawanan, kasihsayang, cinta kasih, penghormatan, penghargaan, kekaguman danlain-lain. Alasan berikutnya, karena saya ingin buku ini jugamemberikan informasi tentang panggung wayang itu sendiri,peraga dan perannya, tokoh-tokoh yang pernah tercatat dalamkurun waktu tertentu dalam pertunjukan wayang, jangkauan yangpernah dan mungkin akan dicapai oleh wayang, dan itulah bayangbayangnya.Proyeksi wayang untuk masa yang akan datangmungkin tak dapat dilepaskan dari berbagai aspek pertunjukan danseni pewayangan. Namun sebaliknya, bayang-bayang mungkin takbisa bergantung sepenuhnya pada pola yang ada sebelumnya.Contoh, batik, tak mungkin lagi dikenakan sepenuhnya untukbudaya berkain. Kini ia bisa digunakan sebagai pola hiasandinding, taplak meja, baju dan lain-lain. Begitu pula keris,seringkali sudah terlepas dari makna awal sebagai „senjata‟. Kajianartistik lebih kental dari pada kajian senjata dan kesenjataan.Perubahan-perubahan yang mungkin dan sudah terjadi akanmelibatkan pula teknologi maju misalnya bidang optic, termasukfotografi, perfilman, musik, kesenirupaan, internet dan lain-lain.Kebudayaan Jawa sangat dipengaruhi oleh HinduismeIndia, yang membawa serta sistem kasta; namun sesudah itunampak suatu perbedaan mendasar antara kedua masyarakattersebut. Sistem Kasta India berdasarkan oposisi-oposisi, yangpaling mendasar adalah antara „murni‟ versus „bernoda‟.Bagaimanapun juga, ketika ciri-ciri kebudayaan India masuk keJawa, orang Jawa mengambilnya dengan sangat selektif, sertamenolak sistem kasta yang berdasarkan oposisi-oposisi dan, sekalilagi, lebih suka mengambil jalan tengah. Hasilnya, meskipunmenerima Hinduisme, kebudayaan Jawa tidak dapat menerimasistem Kasta, dan juga, masyarakat Jawa berlapis-lapis namun tidakhirarkhis (berbeda dengan Dumont, 1970). Apakah memilih sikapjalan tengah, mendua – atau memakai istilahnya Laksono:paradoksal - ini cocok dengan ide-ide yang menggaris bawahimitologi Jawa ? (De Josselin De Jong, dalam Laksono, 2009).2


Bayang-Bayang WayangSuatu pertanyaan yang jawabnya jelas tidak sederhana. Selainkajian serta analisis yang dilakukan akan terkena pula konsepkemungkinan terjadinya sikap „kompromistis‟, juga disadarisebagai layaknya suatu obyek kajian sosial, tidak akandiketemukan kemutlakan antara yang positif maupun negatif.Hitam dan putih. Untuk mencapai sasaran orientasi itu wayang jugamemberikan tuntunannya. Pada adegan pertapan yang berlangsungsesudah tengah malam, digambarkan bagaimana seorang satriamuda mendapatkan pelajaran dari seorang pendeta mengenaitatalaku seorang satria yang harus melayani manusia. Saran sangpendeta yaitu agar seorang satria memperhatikan tiga ‘S’: sabar,sareh dan saleh, sabar tidak mudah melepas emosi; sareh, lemahlembut dan hati-hati; saleh, menyembah Tuhan dalam sikap dantindak. Kemudian ada empat nasehat bagi para negarawan atausatria: sugih tanpa banda, kaya tanpa harta kekayaan; perang tanpabala (maju), perang tanpa bala tentara; menang tanpa ngasorake,memperoleh kemenangan tanpa mengalahkan; dan weweh tanpakelangan, memberi tanpa kehilangan. Oleh karena itu seorangpimpinan haruslah memiliki kebijaksanaan dan keadilan seorangraja, pandangan ke depan seorang pertapa, dan kesederhanaan sejatiseorang petani (Boediardjo, 1978:101).Orang Jawa juga menggunakan konsep jumbuhing kawula-Gusti untuk menginterpretasi dan mengorganisasi jalan hidupdalam masyarakat nyata (eksisten). Seperti diketahui bahwa dalamsetiap organisasi sosial, termasuk negara, selalu ada dua elemenmanusia yaitu pengorganisasi dan yang diorganisasi, ataupemerintah dan rakyat, atau raja dan rakyat, atau penggede danwong cilik. Dalam hubungan ini orang Jawa, berdasarkan konsepjumbuhing kawula-Gusti, menganggap bahwa raja dan rakyat samapentingnya, berbeda lebih karena fungsinya (keduniawian) daripada karena nilainya (transenden-esensial) (Moertono, 1981:25).Keduanya bisa suci secara esensial dan transendental lewatpersatuan dengan Gusti atau „yang tidak bisa diterangkan‟,sehingga identifikasi raja-dewa dan rakyat-dewa, yang tidak adadalam kanonik Hindu, bisa masuk akal orang Jawa.Kemanunggalan ini dimungkinkan karena menurut mistik Jawa adaciri umum yang sama antara manusia dan Tuhan yang terletakdalam esensi dan substansi yang tidak bisa diterangkan, yaitusuksma (dari kata India berarti roh) atau Nur (dari kata Arab berarti3


<strong>Bab</strong> 1. Pendahuluancahaya) (Moertono, 1981:15 dan Susanto, 1977:27-37). Kalauorang Barat mengatakan bahwa wayang kulit purwa Indonesiasebagai ‘…the most complex and sophisticated theatrical form inthe world…’, karena pada kenyataannya wayang merupakan buahkarya akal budi manusia Indonesia yang merupakan warisanbudaya tidak nyata dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan yangluar biasa. Wayang Indonesia memang unik, karena meliputi senidrama, seni musik, seni suara, seni sastra, seni rupa dansebagainya. Demikian pula, wayang hadir dalam wujudnya yangutuh baik dalam segi estetika, etika dan filsafatnya. Wayang dalamkehidupan bangsa Indonesia bukanlah sekedar kesenian yangmemberikan hiburan, namun merupakan abstraksi dari suaturealitas tatanan kehidupan manusia yang diwujudkan dalamberbagai symbol tokoh wayang, cerita, alat pertunjukan, wacanabahkan sampai pada dalang yang mempertunjukkan wayang.DALANGDalang adalah sutradara, pemain, artis, serta tokoh sentraldari pada suatu pertunjukan wayang. Tanpa dalang, makapertunjukan wayang itu tidak ada. Apalagi untuk dalang padapertunjukan wayang kulit. Komunikasi antara dalang dengan unitpendukung, perlengkapan dan peralatan pertunjukan wayangmerupakan komunikasi yang unik. Melalui segenap indera yangdimilikinya, ia berkomunikasi dengan kompleksitas orang danperalatan yang lazim digunakan dalam suatu pertunjukan wayang.Tanpa suatu skenario yang dipersiapkan terlebih dahulu, namunwayang tampil secara spontan, kompak dan tidak pernahmengalami ‘out of order’, semalam suntuk. Sungguh suatu bentukteater yang „aneh‟ karena meskipun tanpa suatu skenario - padahaldalang dapat memilih beratus lakon atau cerita baku (babonpakem),carangan, anggitan (sanggit) – tontonan dapat berjalanmulus dari jejeran sampai tancep kayon. Sesungguhnya, dalamberbagai bentuk Seni Pertunjukan Rakyat di Indonesia, terdapatkeanehan ini, dalam arti tidak menggunakan skenario atau naskah,selain garis besar belaka (resume) yang disampaikan oleh wasesasandi (sutradara) dalam bentuk proses „penuangan‟. Ia bisa dalambentuk Kethoprak, Ludruk, bahkan Dagelan. Dalam bentukantawacana (dialog) dengan tembang palaran, bahkan juga4


Bayang-Bayang Wayangdilakukan secara spontan. Artinya semua penari harus mengenaldengan baik kaidah penyusunan tembang macapat, berkenaandengan „guru lagu‟ dan „guru wilangan‟-nya. Kepada seluruhanggota pemain wayang, pengrawit (wirapradangga), pesinden,wirasuara, ia berkomunikasi dengan sasmita (tanda-tanda).Sasmita ini bisa disampaikan dalam bentuk lisan, pathet, suluk,sendon, buka celuk, sastra maupun dalam bentuk dhodhogan sertaperagaan dari pada wayang itu sendiri. Dengan pola komunikasisedemikian dalang bisa memerintahkan gendhing yang akandibunyikan. Padahal ribuan gendhing merupakan repertoire yangtidak dipersiapkan terlebih dahulu. Dengan dhodhogan makagamelan akan berbunyi, berganti gendhing, merubah tempo,mempercepat, melambatkan atau bahkan menghentikan gendhingtersebut. Hal yang sama juga dapat dilakukan dengan ‘kombangan’.Penempatan kayon juga bermakna perubahan pathet, ataumengganti suasana. Tak heran manakala pemain gamelan, pesindendan wiraswara sesungguhnya juga menjadi penonton dari padapentas dimana ia terlibat menampilkannya. Ketika pada akhirnyadiketahui bahwa ‘wayang’ adalah suatu model pertunjukan, makadiketahui pula bahwa wayang (shadow play) ada dimana-mana.Melalui sebuah seminar di New Delhi, India, 1966, dimana salahsatu pembicara dari Indonesia adalah Djadoeg Djajakusuma, yangpernah menyutradarai film ‘Lahirnya Gatotkaca’, membahas pulaadanya beberapa pertunjukan yang dinamakan „wayang‟. Di Indiadikenal ‘Kathakali’, di Jepang dikenali ‘Tintokee Puppet Show’ dandari Indonesia, ‘Ramayana Ballet Troupe’. Tahun 2005, penulismengikuti dan tampil sebagai ‘pembentang’ (penyaji) pada sebuahseminar wayang di Pusat Kebudayaan UM Kuala Lumpur, denganwayang Indonesia. Wayang India disajikan oleh Prof. Dr. GhulamSarwar Yousuf, serta wayang Kelantan. Tahun 1970, pernahdiselenggarakan Festival Ramayana Nasional, diikuti FestivalRamayana Internasional, 1971. Pertunjukannya diselenggarakan dipanggung terbuka Candra Wilatikta, Pandaan, Jawa Timur. Olehkarena alat peraganya benda mati, dan oleh karenanya harusdihidupkan, maka diperlukan apa yang disebut dalang. VictoriaM.Clara menuliskan tentang dalang dan wayang, melalui bukunya„Dalang Dibalik Wayang‟ (The Dalang Behind the Wayang – TheRole of the Surakarta and the Yogyakarta Dalang in Indonesian –Javanese Society), sebagai berikut : Perkataan „wayang‟mengandung sejumlah pengertian. Pengertian pertama adalah5


<strong>Bab</strong> 1. Pendahuluan„gambaran tentang suatu tokoh‟, „boneka‟, lebih tegas lagi adalahboneka pertunjukan wayang. Pengertian ini kemudian diperluassehingga meliputi juga pertunjukan yang dimainkan denganboneka-boneka tersebut, demikian pula, lebih luas lagi ialahbentuk-bentuk seni drama tertentu. Dengan demikian, disampingwayang kulit, yang dalam hal ini bayangan boneka-boneka kulitberpahat, di proyeksikan di atas kelir, dengan bantuan sebuahlampu, adalah wayang klithik yang menggunakan boneka-bonekakayu pipih yang bercat (klithik), dan wayang golek yangmenggunakan boneka tiga matra yang berbusana (golek), dan tanpamenggunakan kelir bagi kedua-duanya itu. Kecuali itu ada suatubentuk pertunjukan, dengan seorang pemain mengisahkanceritanya dan dibantu oleh adegan-adegan cerita yang dilukis padakain atau kertas, dan digelarnya (mbeber) selagi kisah berlangsung.Pertunjukan ini disebut wayang beber. Selanjutnya ada dua bentukpertunjukan lakon dengan pelaku-pelaku manusia (wong),bukannya boneka. Bentuk ini bisa dibagi-bagi menurutperbendaharaan cerita, teknik panggung dan perlengkapanpanggung ke dalam wayang wong yang para pelaku utamanya tidakbertopeng, dan wayang topeng dengan pelaku-pelaku utama selalumemakai topeng. Dengan demikian, perkataan ‘wayang’, kecualiberarti boneka, juga manusia pemain-pemain panggung baik aktormaupun penari. Lebih lanjut perkataan itu pun menunjuk kepadaperbendaharaan lakon yang dipentaskannya. Cerita-cerita wayangpurwa (purwa= awal, asal), misalnya, yang dimainkan baik dalampertunjukan-pertunjukan wayang kulit maupun wayang wong,mengambil seluruh atau sebagian bahannya dari wiracarita IndiaRamayana dan Mahabharata dalam versi Jawa. Tetapiperbendaharaan lakon purwa itu juga bertalian dengan cerita-ceritamengenai asal-usul orang Jawa, dan riwayat nenek moyang merekayang telah didewakan itu. Cerita-cerita wayang gedhog, denganpelaku-pelaku utamanya Raden Panji dari Koripan dan DewiSekartaji Galuh Candra Kirana dari Kediri, disusun dalam periodekejayaan kerajaan-kerajaan Jawa Timur itu. Menurut tutur Jawa,cerita-cerita ini mengisahkan babad raja-raja Jawa. Perbendaharaanlakon gedhog dimainkan baik dalam pertunjukan wayang kulitmaupun wayang topeng. Disamping perbendaharaan lakon-lakonwayang purwa dan wayang gedhog, terdapat banyak siklus ceritaceritalain di dalam pertunjukan lakon wayang Jawa. Dalang adalahtokoh utama dalam semua bentuk teater wayang yang tampil. Dia6


Bayang-Bayang Wayangadalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk), yang mengajakmemahami suasana pada saat tertentu, pemimpin musik gamelanyang mengiringi, dan diatas dari segalanya itu, dialah pemberi jiwapada boneka atau pelaku-pelaku manusianya itu (Victoria, 1987: 4-6).Sekali peristiwa, ketika saya berjalan-jalan di BukitBintang, sentral kota Kuala Lumpur Malaysia, oleh karenapenampilan saya yang barangkali cukup ‘nyentrik’ menurutkacamata mereka, sehingga disebutnya ‘anak wayang’. Beberapaorang lain yang mengerubungi saya saat itu mengangguk-anggukpertanda paham akan sebutan ‘anak wayang’ yang diberikan olehsalah seorang ‘rakan’-nya tersebut. Saya terkejut justru oleh karenasebutannya itu. Anak wayang ? Benarkah mereka tahu wayang ?Ternyata, yang mereka maksudkan sebagai anak wayang adalah„artis‟. Artis itu pula hanya terfokus pada pemain film danpenyanyi. Mungkin juga pelawak. Ada kecenderungan istilah ituberpadan kata dengan sebutan „selebritis‟ yang mencuat populer dinegeri kita. Seniman lain atau artis lain, misalnya penari, musisi,perupa, designer, apalagi dalang, tak termasuk artis. Tak termasuk‘anak wayang’, dalam paham mereka. Tak heran manakala bagimereka, gedung „bioskop‟ (berasal dari kata ‘bio’, hidup dan‘scope’, sudut pandang) di negeri itu disebut „pawagam‟. Singkatandari „panggung wayang gambar‟. Berarti „film‟ yang diputar disebuah gedung, disebutnya sebagai „wayang gambar‟. Lalu apaartinya „wayang‟ menurut mereka ? Ternyata wayang adalah‘toneel’, suatu pertunjukan di atas panggung. Ia bisa berbentukteater tradisional, opera Melayu, sandiwara bangsawan, bahkanwayang Cina. Di negeri kita pertunjukan yang diselenggarakan diklenteng-klenteng itu juga disebut dengan kata wayang. WayangPotehi, atau wayang Thithi.PIRANTI DALANGWayang. Wayang kulit Jawa tentunya terbuat dari kulit(walulang-lulang-leather). Pada umumnya terbuat dari kulit sapi,hanya sedikit daripadanya yang dibuat dari kulit kambing(Moebirman, 1973:11). Prosesnya, setelah dikerat sesuai denganukuran yang dikehendaki, direndam lebih kurang dua malam,7


<strong>Bab</strong> 1. Pendahuluansupaya lembut dan tidak tegang. Dibantu bonggol pisang yangdimasukkan dalam rendaman untuk mematikan kulit. Lembarankulit itu disandarkan di pohon atau dinding, hingga betul-betullembut dan tidak jatuh (Ku Zam-Zam Ku Idris, 1987:3-4). Kulityang lembut kemudian digunakan untuk membuat wayang. Kulitdigosok dengan daun serai dan lengkuas yang ditumbuk menjadiserbuk. Kulit kemudian diuli dengan rempah tersebut, sampaihilang baunya. Setelah itu barulah kulit siap untuk dibuat wayangdengan terlebih dahulu di-penthang. Barulah dibersihkan bulubulunyakemudian dibuat pola peraga wayang yang hendak dibuat.Khusus untuk wayang yang akan dijadikan hiasan dinding,sebagian dari bulu-bulu itu dibiarkan utuh, tidak dicabut, tidakdibersihkan. Setelah pola atau patron dibuat, barulah di-tatahsesuai dengan pola tersebut. Jadilah wayang putih-an, artinya sudahdi-tatah, namun belum dicat, atau di-sungging. Kini, wayangputihan juga sudah bisa dijual, terutama manakala akan dijadikanhiasan dinding. Pengecatan juga dilakukan sesuai dengan pola sertaragam hias yang baku. Pekerjaan ini dilakukan dengan penuhkehalusan, kesungguhan dan kehati-hatian. Kehalusan (ngrawit)pekerjaan tatah-sungging ini – selain kualitas kulitnya – akanmenentukan kualitas wayangnya, sekaligus harganya. Wayang kulitpada umumnya dianggap sebagai bentuk lain dari pada wayangwong atau wayang orang. Demikian pula dengan busana danasesorisnya. Bagaimanapun bentuk wayang dianggap sebagaimengikuti aliran surrealis. Artinya, tidak sebagaimana layaknyakaidah proporsional dari pada bentuk manusia secara natural. Adajuga wayang yang lebih natural/realistis yang belakangan dibuatoleh Ki Manteb Sudarsono dan Ki Enthus Susmono. Oleh karenawayang kulit dibuat dalam bentuk dua dimensi, maka untuk peragaraksasa matanya dibuat berjajar. Demikian pula dengan jari-jarikaki dan tangannya (Soekatno, 1992:78-81). Sekaligus mulutnyayang besar „dihiasi‟ dengan taring yang menonjol keluar. Banyakdiantaranya, terutama untuk tokoh ksatria dan wanodya (wanita),bahagian pinggang atau perutnya teramat kecil, langsing, ramping.Sementara panjang tangan juga dibuat sedemikian rupa sehingganyaris sampai di telapak kaki. (Soekatno, 1992:28-29). Pola lain,misalnya mata, ada yang disebut ‘liyepan’; ‘kedelen’;‘dondongan’; ‘thelengan’, berikut maknanya. Demikian puladengan bentuk hidung, bentuk mulut warna wajah/muka dan lainlain.Begitu pula dengan busana dan asesorisnya misalnya8


Bayang-Bayang WayangJamang/Sumping (sada saeler, surengpati, gadjah ngoling, oncenoncendan lain-lain), Selendang/Sampur: Kunca; Binggel, gelangkaki (calumpringan, kana); Kelat Bahu (calumpringan,nagamangsa); gelang (candrakirana, calumpringan). Sementaratentang cara pengenaan kain ‘dodotan’ dikenal antara lain‘katongan’ (raja); ‘rampekan’ (prajurit); „kera‟; ‘bokongan’, putri;‘poleng’; ‘poleng bintul’; ‘punakawan’ dan lain-lain. Barang tentuberikut motif batik yang lazim dikenakan, seperti parangkusuma,tluntum, parang rusak, lereng, kawung (punakawan) poleng(Hanoman, Bima) dan lain-lain. Jenis-jenis motif batik tradisionalyang sudah menjadi konvensi bagi peraga-peraga wayang tertentu.Sampai sekarang, seseorang yang berani mengenakan kain ‘merongkampuh jinggo’, kain berwarna merah, bermakna menantang rajaatau memberontak. Di bagian kepala ada pula pola gelung(supiturang, wenangkara –mangkara – keling, gembelan); makutha(mahkota, kroon, crown, tiara); kethu (dewa, pendeta, tepak,udheng) dan jangkangan (surengpati, oncen-oncen, praban)(Soekatno, 1992:57-75). Dari uraian tersebut jelas bahwa padahakekatnya busana yang di-tatah-kan dan di-sungging-kan padawayang kulit berdasar pada busana yang dikenakan pada wayangorang. Sebagian besar watak manusia dapat pula digambarkanmelalui wujud raut muka, posisi bentuk serta warnanya. Ada pulayang digambarkan melalui posisi ukuran maupun bentuk tubuhnya.Wujud raut muka yang mengekspresikan watak, terdapat padabentuk-bentuk mata, hidung, mulut, warna roman muka, begitupula pada posisi sikap wajah, yaitu ‘luruh’, ‘longok’ dan ‘langak’-nya. Sikap muka yang merunduk (luruh), melihat ke depan(longok) dan agak menengadah (langak), menggambarkan watakyang berbeda di antara satu dengan yang lain. Begitu pula wajahyang berwarna hitam, merah, kuning emas (prada) dan biru padaraut mukanya. Dengan demikian semakin disadari perlunyapengenalan wayang kulit pada gambarnya, tatahannya, danpenyunggingannya. Apalagi pada episode „kehidupan‟ suatu peragawayang tertentu dikenali pula apa yang disebut ‘wanda’. Wandaadalah bentuk wayang pada posisi tertentu. Jagalabilawa (namakhas dari Werkudara masa mengabdi secara tersamar di kratonWiratha) atau Bima misalnya, mempunyai beberapa bentuk yangdisebut ‘wanda’, yaitu Wanda Mimis (peluru), Wanda Lindu Panondan Wanda Lindu. Dibandingkan dengan bentuk Werkudara,mempunyai perbedaan dalam hal gelung (ikat kepala), warna wajah9


<strong>Bab</strong> 1. Pendahuluandan warna tubuh. Dengan demikian (ge)-gambar-(an) wayang yangekspressif dekoratif, tatah-(an) dan sungging- (an) yang ornamentalperlu diingat dan dikenali, apalagi berkenaan denganperkembangan teknologi modern yang harus dikaitkan dengankonsep (ke)-senirupa-(an) masa kini.Gamelan. Tidak dari awal pertunjukan wayang diiringigamelan. Karena pada masa itu gamelan memang belum ada.Artinya, pertunjukan wayang telah ada sebelum adanya gamelan.Atau, wayang dan gamelan merupakan pertunjukan sendiri-sendiriyang terpisah antara satu dengan yang lain. Konser gamelan – lepassebagai pengiring wayang – memang tampil dalam berbagaibentuk. Ada yang disebut ‘cokekan’, ‘siteran’, ‘gadon’, selain adapula konser lengkap yang disebut ‘klenengan’. Belakangan adapula gamelan Sekaten. Dipertunjukkan di Mesjid Agung Surakartadan Jogyakarta. Unit gamelan Sekaten milik kraton Surakartaantara lain bernama Ki Guntur Madu. Ia menggunakan danmempunyai beberapa instrumen khusus. Antara lain ‘BonangPanembung’, bonang berukuran lebih besar dari pada ‘BonangBarung’. Ukuran serta jumlah dari pada ‘balungan’, seperti‘Demung’, ‘Saron’, lebih besar dan lebih banyak. Teknismembunyikan juga lebih keras (soran) dengan gending-gendingkhusus, antara lain ‘Rambu’ dan ‘Rangkung’. Tentunya denganpemukul (tabuh) yang lebih besar pula. Kendang, sebagai‘pamurba wirama’, dihilangkan diganti dengan ‘bedug’, sehinggaterkesan lebih ’Islami’. Konon gamelan ini ditambahkan sertadipindahkan pertunjukannya ke mesjid oleh Sunan Bonang danSunan Kalijaga (lihat lampiran). Dua wali di antara sembilan waliyang dikenali sebagai ‘Wali Sanga’, penyebar agama Islam diJawa. Pertunjukan wayang mulai dikenal pada zaman PrabuJayabaya yang bertahta di Mamonang, tahun 930. Kemudianberkembang pada zaman Erlangga di Kediri. Menurut Hazeu,sebagaimana dikutip oleh Amir Mertosedono, dalam bukunya‘Sejarah Wayang, Asal-usul, Jenis dan Cirinya’, wayang padazaman tersebut tidak mengambil cerita dari epos Ramayana danMahabharata dari India itu, akan tetapi cerita ‘Panji-Sekartaji’.Cerita yang sampai sekarang masih berlaku dalam pertunjukan„wayang madya’ atau ‘wayang gedog’. Bentuk wayang itu sendirisangat berbeda dengan yang terdapat di India, misalnya padapertunjukan ‘Kathakali’. Diakui bahwa wayang merupakan10


Bayang-Bayang Wayangpertunjukan yang menampilkan penggambaran tentang sifat dankarakter manusia. Oleh karenanya, pertunjukan wayang diyakinisebagai hasil kreasi atau kebudayaan asli orang Jawa (Indonesia).Ketika kemudian epos Ramayana dan Mahabharata masuk, dalambeberapa hal ia diakomodasikan dan di adopsi dan diadaptasi dalamwayang Indonesia. Untuk „menterjemahkan‟ sifat dan karaktermanusia tersebut. Sehingga sesungguhnya, ‘nonton’ wayang ibaratberkaca (kaca benggala), sekaligus menyadari akan perilaku yangbaik, maupun yang buruk. Juga tentang konflik-konflik yangterjadi, berikut alasan-alasan yang terkadang memang terkesandilematis (Amir, 1986: 6-7). Lihat Serat Tripama yangmenampilkan posisi dilematis dari pada Adipati Karna, dariNgawangga, patih Suwandageni dari Maespati dan Kumbakarnadari Alengkadiraja. Sebenarnya juga: Gunawan Wibisana. Terserahkepada penonton, perilaku peraga yang mana yang akan menjadipanduan hidup dan „idola‟-nya. Keasyikan nonton wayang dalamkonteks gambaran sedemikian mungkin seperti penonton fanatiksinetron masa kini. Yang tetap diikuti oleh penonton setianyameskipun bersambung-sambung hingga lebih dari seratus episode.Saat itu pertunjukan wayang sudah menggunakan alat tetabuhanyang dinamakan „Thudung‟ (sejenis seruling), saron dan kemanak.Kemanak terbuat dari brons dalam bentuk seperti pisang danberlubang, dibawah terdapat pegangan. Dahulu alat ini dipakaiuntuk mengiringi lagu-lagu. Kemanak masih dipakai sampaisekarang sejak masa ‘Bedaya Ketawang’ di kraton Surakarta(Amir, 1986: 8). Iringan ‘kemanak’ ini tetap digunakan padairingan semua bentuk beksan bedayan, serta ‘kempul isi’ padagending-gending Ketawang dengan gerongan khas. Bahkan ketikagamelan sudah digunakan untuk mengiringi beksan bedayantersebut. Ketika gamelan sudah digunakan untuk mengiringipertunjukan wayang kulit, maka yang digunakan adalah LarasSlendro. Laras Slendro dianggap lebih sesuai dengan kualitas danwarna vokal dalang. Terutama dalam hal sulukan, ada-ada,pathetan serta kombangan. Oleh karena gendhing-gendhing bakuuntuk wayang, sampai sekarang tetap menggunakan laras Slendro,seperti talu atau patalon, gendhing-gendhing jejeran sesuai denganpathetnya, seperti Gambir Sawit (Pathet Sanga) dan KututManggung (Pathet Manyura) maka disebutkan pula bahwapenggunaan Laras Pelog adalah pinjaman. Laras Pelog padaumumnya dipakai sebagai gendhing-gendhing dolanan, gecul yang11


<strong>Bab</strong> 1. Pendahuluanhadir pada adegan Limbukan (Cangik dan Limbuk) serta Gara-gara(prepat punakawan). Belakangan juga dalam adegan Kusumayudha(Perang Kembang), dengan iringan Ayak-ayakan Kemudha LarasPelog Pathet Enem.Kelir. Wayang Golek dan Wayang Klithik tidakmenggunakan kelir. Kelir adalah layar lebar yang digunakan padapertunjukan wayang kulit. Pada rumah Joglo, kelir di pasang padabagian ‘pringgitan’. Bagian ini merupakan bagian peralihan daripada ranah publik, pendopo dengan ranah privat, ndalem ataunggandok. Oleh karena itu penonton wayang kulit yang tergolongkeluarga, pada umumnya nonton di bagian dalam ndalem, yangsering dianggep nonton mburi kelir. Nonton di belakang kelir inimemang benar-benar „wewayangan’, atau bayang-bayang. Lihatbuku „Aspek Kebudayaan Jawa Dalam Pola Arsitektur BangunanDomestik dan Publik’ (Subanindyo, 2010). Dari sinilah pengaruhblencong yang seolah-olah „menghidupkan‟ wayang akan dapatterlihat (lihat: Blencong). Penonton juga tidak terganggu olehadanya gamelan. Bagi penonton publik, mereka menonton didepankelir, sehingga selain dapat melihat keindahan dari pada peragawayang itu sendiri, oleh karena tatah dan sungging-nya, berikutsimpingannya, juga dapat menyaksikan deretan pesinden atauwaranggana manakala ada. Sayang, menyaksikan dari sisi ini selaintak dapat menyaksikan pengaruh blencong, dimana wayang seolaholahmenjadi hidup, juga terkadang terhalang oleh gamelan,terutama gayor untuk kempul dan gong.Debog (simpingan). Untuk menancapkan wayang, baik yangdimainkan maupun yang yang dipamerkan (display), digunakan‘debog’, yaitu batang pisang. Tak heran, sebagaimana pernahdiceritakan oleh Pandam Guritno, ketika melanglang buanamenampilkan wayang kulit, salah satu kesulitan utama pertunjukandi Eropa dan Amerika adalah ketiadaan batang pisang (debog)tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan itu, di Eropa atau Amerika,peran debog sering diganti dengan karet busa. Barang tentu untuk„menancapkan‟ wayang yang di-display juga ada aturan-aturantertentu. Mana wayang yang harus ada disebelah kanan ki dalang,mana pula yang harus berada disebelah kirinya. Tugas‘menyimping’ ini sesungguhnya tidak terbatas hanya memasangwayang yang harus di-display, akan tetapi juga mempersiapkan12


Bayang-Bayang Wayangsegala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayangwayangyang akan digunakan (play) sesuai urutan adegannya,menempatkan kotak wayang berikut keprak dan kepyaknya,menyediakan cempala, memasang dan menyalakan maupunmengatur sumbu blencong, lampu minyak yang khas digunakandalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali jugamembantu pelayanan konsumsi (makan minum, rokok) untukdalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anakmuda sebagai salah satu media pendidikan untuk mengenali danakhirnya mencintai wayang.Blencong. Blencong adalah lampu minyak (minyak kelapa –lenga klentik) yang khusus digunakan dalam pertunjukan wayangkulit. Design-nya juga khusus, dengan cucuk (paruh) dimanadiujungnya akan menyala api sepanjang malam. Oleh karenanyaseorang penyimping harus mewaspadai pula keadaan sumbublencong tersebut manakala meredup, atau bahkan mati samasekali.Tak boleh pula api itu berkobar terlampau besar. Karenaakan mobat-mabit. Kalaupun lampu penerangan untuk dalang padamasa sekarang sudah menggunakan listrik, sesungguhnya adafungsi dasar yang hilang atau dihilangkan dari penggunaanblencong tersebut. Oleh karena blencong adalah lampu minyak,maka apinya akan bergoyang manakala ada gerakan-gerakanwayang, lebih-lebih waktu perang, yang digerakkan oleh ki dalang.Ada kesan bahwa ayunan api (kumlebeting agni) dari blencong ituseolah-olah memberikan nafas dan atau menghidupkan wayang itusendiri. Hal yang tak terjadi manakala penerangan menggunakanlistrik atau tromak (petromax). Saat ini blencong sudah jarangdigunakan. Dianggap kurang praktis dan merepotkan.Kotak, Keprak, Kepyak„Pemain-pemain‟ yang terdiri dari para pemimpin berbagainegeri, mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikotaserta para anggota DPR dan DPD maupun tokoh-tokoh politiklainnya, dalam tingkatan daerah masing-masing, pada akhirnyaakan kembali „masuk kotak‟. Baik oleh karena habis masajabatannya, di recall, atau karena kejahatan-kejahatan korupsi,termasuk skandal perselingkuhan yang mungkin dilakukannya.13


<strong>Bab</strong> 1. PendahuluanKetika ia masih berada di pentas jabatannya, tentu ia menari sesuaidengan irama gendang dan atau gendhingnya. Begitu usai, ia akanditurunkan oleh „dalang‟-nya. Kecuali kalau ia masih harus tampildalam panggung berikutnya, yaitu panggung pengadilan. Samadengan wayang. Ia akan tampil dan ditampilkan oleh dalangnya.Ketika perannya selesai, ia akan segera masuk kotak. Tempat untukmenyimpan wayang.. Tentu saja untuk para „pemain‟ di alamnyata, tidak bakal diangkat kembali karena keterbatasan usiamanusia. Ia akan dibuka kembali pada waktunya, mungkindikeluarkan lagi, apabila ‘lakon’ memerlukannya. Kotak berukuran1,5 meter kali 2,5 meter ini akan merupakan peralatan dalang selainsebagaimana sudah diutarakan merupakan tempat menyimpanwayang, juga sebagai ‘keprak’, sekaligus tempat menggantungkan‘kepyak’. Dari kotak tempat menyimpan wayang ini juga akandikeluarkan wayang, baik yang akan ditampilkan maupun yangakan di-simping. Di-simping artinya dijajar, di-display di kanan dankiri layar (kelir) yang ditancapkan di debog (batang pisang). Kotakakan ditaruh dekat dalang, di sebelah kiri, dan ditentang yang dekatdalang ditempatkan kepyak. Sedang kepraknya justru bagian darikotak yang dipukul dengan cempala. Keprak adalah suaradhodhogan sebagai tanda, disebut sasmita, dengan jenis tertentudiwujudkan pemukulan pada kotak dengan menggunakan cempala.Sementara pada kepyak, berupa tiga atau empat lempengan logam(kuningan/gangsa atau besi) yang digantungkan pada kotak, jugadipukul dengan cempala, dalam bentuk tanda tertentu, juga sebagaisasmita atau tanda-tanda untuk – selain mengatur perubahanadegan – merubah, mempercepat, memperlambat, sirep,menghentikan atau mengganti lagu (gendhing). Terdengar nadayang berbeda antara kepyak wayang kulit Jogya dan gayaSurakarta.CempalaPiranti ini merupakan ‘senjata’ bagi dalang untukmemberikan segala perintah, baik kepada wiraniyaga, wiraswaramaupun waranggana. Bentuknya sangat artistik, bagaikan meru. Iabisa dipukulkan pada kotak, sebagai keprak, bisa pula ke kepyak,tiga/empat lempengan logam yang digantungkan pada kotakwayang. Pada saat ke dua tangan dalang sedang memegang wayang14


Bayang-Bayang Wayang– dan ini yang unik – maka tugas untuk membunyikan keprakmaupun kepyak, dengan tetap menggunakan cempala, dilakukanoleh kaki kanan ki dalang. Cempala – dengan desain sedemikianrupa itu – akan dijepit di antara ibu jari dan jari telunjukberikutnya. Menggunakan cempala memerlukan latihan untukmemperoleh tingkatan ketrampilan tertentu. Memukul kotakdengan cempala, Ki Dalang dapat memilih berbagai kemungkinanpembangun suasana dengan dhodhogan, seperti ada-ada, pathetan,kombangan. Dapat pula sebagai perintah kepada karawitan untukmengawali, merubah, sirep, gesang atau menghentikan gamelan.Juga dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi adegan, sepertisuara kaki kuda, suara peperangan dan lain-lain. Artinya, ketika kedua belah tangan ki dalang sedang memainkan wayang, makakeprak atau kepyak dapat juga berbunyi. Suatu keprigelan yangjarang dapat dilihat oleh para penonton wayang, karena biasanya iasedang asyik mengikuti adegan yang ditampilkan di kelir (layar).Padahal untuk mencapai tingkat keprigelan tersebut, seorangdalang harus melakukan latihan-latihan yang intensif. Betapa tidak,keempat anggota badan, tangan dan kaki harus terus bergerak,sementara pikiran dan pandangan terfokus pada apa yangdilakukannya di layar / kelir.PENDIDIKAN PEDALANGANMeski sementara seniman dan budayawan merasa tidakterlalu khawatir dengan minat generasi muda terhadap „wayang‟,terus terang, saya justru merasa miris, khawatir. Penonton generasimuda terhadap pertunjukan wayang, baik yang menontonnya secarafisik di tempat-tempat pertunjukan, maupun sekedar nonton ditelevisi, merosot drastis, berbanding terbalik denganperkembangan dan minat terhadap wayang dan pewayangan di luarnegeri. Manakala ada generasi muda kita yang „memaksakan diri‟nonton wayang melalui televisi, maka lebih banyak diantaranyaditonton televisi dari pada nonton televisi. Karena ketiduran.Perkembangan minat terhadap wayang, sangat besar terutama diAmerika, termasuk Suriname, kemudian Belanda dan juga Jepang.Apalagi setelah wayang, kemudian juga batik dan keris, dinyatakansebagai hasil karya budaya luar biasa dari manusia Indonesia.Profesor Mantle Hood, adalah seorang ethnomusikolog yang amat15


<strong>Bab</strong> 1. Pendahuluanmengenal seni karawitan. Lihat bukunya : „Gamelan Orchestra inthe World of Music’. Sementara Mc Hoffman adalah salah seorangdalang berkebangsaan Amerika. Kaoru Hata dan Hiromi Kano pulaadalah dalang dan pesinden berkebangsaan Jepang. Masih adadalang-dalang, pesinden, penabuh gamelan serta pemerhatigamelan dan wayang dari Perancis, Belanda dan lain-lain. Kalaupada tahun limapuluhan, dalam acara Dies Natalis <strong>Universitas</strong>Gadjah Mada Jogyakarta (19 Desember 1954-1959) dipentaskanwayang kulit (5 jam) dengan pelaku para sarjana alumni perguruantinggi tersebut, antara lain dalang: Letkol Ir. Sri Mulyono;pengendang Kapten Zeni Ir. Sudirgo, pengrebab, Sita Laksmi, SH(FH UGM, Ethnomusicologi, USA), penggender penerus,Sudiyanto, B.Sc; pembonang, Ir Suhadi; Kamanto B.Sc, bonangpenerus; Ir. Suprapta, penabuh gong dan kempul; Drs. AmirRokhiyatmo (kemudian menjadi tokoh SENAWANGI), penabuhDemung dan lain-lain (Sri Mulyono, 1975:104), tentulah hal yangbiasa. Karena GAMA ada di Jogya sebagai salah satu sentralbudaya Jawa. Namun ternyata dalam salah satu dies natalisnyapula, <strong>Universitas</strong> <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> (USU), juga pernah menampilkanwayang kulit semalam suntuk dengan tiga dalang bergantian, yaituKaoru Hata (konjen Jepang di Medan); Kombes Pol. SuyitnoLandung (Poldasu) dan Ki Djatiutomo, MBA (PTP III). SedangkanFestival Wayang Kulit Provinsi <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong>, dengan pesertalebih dari 100 orang, diselenggarakan di Medan, tahun 1969 sertabeberapa tahun berikutnya. Menyambut peringatan HariProklamasi Kemerdekaan RI ke 50, 17 Agustus 1995, PEPADISumut menyelenggarakan serangkaian kegiatan antara lainpementasan Ki Manteb Sudarsono (auditorium IKIP Medan),seminar tentang keris (Haryono Guritno), seminar filsafatpewayangan (Damardjati Supadjar) dan lain-lain. Sementara“wayang (wong) „pejabat”, juga beberapa kali pernah ditampilkandi Medan, dengan tokoh-tokohnya antara lain Brigjen HarrySuwondo, SH (Rektor USU); drs. Suryadi (DPRRI); KolonelSukardi (TNI-AU); Mayor Sugini (Pomdam II/BB); SugengSuharsono; Sugeng Iskumoro (Bank Niaga); Sugeng KarimSastrosiswoyo (Kejaksaan Tinggi); Djatiutomo (PTP III);Subanindyo Hadiluwih, SH (dosen UISU) dan lain-lain. Beberapaguru dan dosen dikirim dari Indonesia/Jawa ke luar negeri untukmengajar disana. Kalau saya sebutkan beberapa orang diantaranya,niscaya sesungguhnya masih jauh lebih banyak lagi. Misalnya16


Bayang-Bayang WayangMarsam dan Urip Sri Maeni, berpuluh tahun mengajar di CaliforniaUniversity Amerika Serikat. Belakangan hadir pula disana RTWasitodipuro, Harjito, Ben Suharto, Kardjo dan lain-lain.Sementara Pudjiyono dan isteri, seorang penari Bali, mengajar diMonash University. Saya sendiri sempat mengajar di UniversitiMalaya, Kuala Lumpur, Malaysia, setelah universitas tersebutmembeli gamelan Jawa. Beberapa sarjana kita meraih gelar Doctor(Ph.D) tidak dari salah satu universitas dalam negeri, akan tetapijustru dari luar negeri. Termasuk I Made Bandem (Amerika), SalMurgiyanto (Amerika), Sutarno, RM Sudarsono (Amerika), SriHastanto (Inggris), Rahayu Supanggah (Perancis), dan lain-lain.Manakala minat generasi muda Indonesia pupus sudah, maka kitaharus belajar wayang, pewayangan, termasuk karawitan Indonesia,di luar negeri. Di Indonesia sendiri lembaga pendidikan di bidangkesenian memang lumayan. Sejak tingkatan SMA (konservatori),misalnya Konservatori Karawitan di Sala, Jogya (tari), Denpasar,Bandung dan Padang Panjang. Kemudian Sekolah Musik di Jogyadan Medan. Sementara di tingkatan pendidikan tinggi, dimulai dariAkademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) dan Akademi Seni TariIndonesia (ASTI) yang kemudian berubah menjadi Institute SeniIndonesia (ISI) dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI).Disamping Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang mangkal di PusatKesenian „Taman Ismail Marzuki‟ (TIM). Sayang, Taman PusatKesenian dan Kebudayaan (Tapiandaya) di Medan yangpembangunannya berkiblat ke TIM Jakarta, terlanjur „almarhum‟sebelum sempat berkibar. Rangkaian gedung kesenian yang megah,meski sebelumnya dikenal sebagai tempat „jin membuang anak‟ itukemudian dihancurkan secara „sistemik‟ menjadi ajang penataranP-4 dan kini ajang Pekan Raya <strong>Sumatera</strong> <strong>Utara</strong> (PRSU) yangsedikit banyak tak ada hubungannya dengan proses kreativitas seni,selain berjualan barang-barang hasil seni dengan mutu yang cukuprendah. Selanjutnya beberapa IKIP, yang mempunyai FakultasPendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) dengan Jurusan Seni Drama,Tari dan Musik (Sendratasik). Berikutnya adalah Fakultas Sastradan Kesenian. Seperti Jurusan Ethnomusikologi Fakultas SastraUSU dan Fakultas Kesenian Nommensen. Bagaimanapun lembagalembagaseperti Taman Budaya merupakan lembaga pendidikannon-formal di bidang kesenian. Begitu juga dengan Lembaga PusatKesenian Jawa Tengah (LPKJ) era Soedjono Humardhani. LaluYayasan Roro Jonggrang yang pusat kegiatannya di nDalem17


<strong>Bab</strong> 1. PendahuluanSuryohamijayan dan Puro Pakualaman, yang menampilkan pentas„Ramayana‟ secara kolosal di Panggung Terbuka (Open Theatre)Prambanan, era Letjen Gusti Pangeran Haryo Djatikusumo (1961sampai sekarang). Kegiatan ini merangsang beberapa daerah lainuntuk mendirikan dan membuka Panggung Terbuka. Salah satudiantaranya Panggung Terbuka Wilatikta di Pandaan, Jawa Timur.Kegiatan ini juga melahirkan bentuk institusi kesenian ‘ballet’,yang kemudian mendapatkan namanya yang khas, ‘sendratari’(seni drama dan tari). Bentuk tari ini menghilangkan ontowecana(dialog) sekaligus menghilangkan fungsi dalang. Dialog„diterjemahkan‟ dalam pola gerak, sedang fungsi dalang diambilalih oleh ‘kendang’ sebagai ‘pamurba wirama’ (penguasa tunggalirama). Harus diakui lembaga-lembaga pendidikan formal,informal maupun non-formal ini dinilai berhasil mengangkatkemampuan kreativitas seniman dengan latar belakang akademis(terprogram) dari sisi kualitatif, meskipun belum cukup signifikansecara kuantitatif. Apalagi, mereka yang masuk ke lembagapendidikan tersebut ternyata banyak yang berasal dari lingkunganseniman tradisional. Dari keluarga dalang, penari, pesinden,pengrawit dan lain-lain. Artinya, ada praktisi yang menuntut bobotakademis, ada pula akademisi yang menggunakan ‘laboratorium’-nya berupa kegiatan kesenian masyarakat, sehingga ia berusaha‘ngamen’, dengan istilah PY (payon) di berbagai acara ‘murub’(ketemune neng tarub).Pekerjaan dalang didasarkan atas tradisi yang berabad-abadtuanya dan diturunkan selalu secara lisan, umumnya dari ayahkepada anak laki-laki. Meskipun belakangan juga tampil dalangwanita, namun tidak pernah populer sebagaimana dalang pria.Disamping pengetahuan dan ketrampilan yang harus dikuasai olehmereka, misalnya tentang cerita, gending yang dimainkan olehgamelan pengiring, suluk dan teknik pergelaran, juga ada sekianbanyak pengetahuan gaib yang terlibat di dalamnya. Pengetahuanini mengenai doa-doa dan mantra-mantra khusus, dan tata caratertentu dalam hal tingkah laku yang memberikan kekuatan bagidalang menghadapi kejadian-kejadian penting dalam kehidupanmasyarakat, misalnya musim kering dan hama yang mengancampanen, malang-mujur nasib seseorang dan juga keberhasilan sendirisebagai seorang dalang. Pengetahuan gaib demikian semata-matahanya boleh dikuasai oleh mereka yang sudah diberkati, dan juga18


<strong>Bab</strong> 1. PendahuluanBudaya Surakarta); b. Sekolah dalang Habiranda, Jogyakarta; c.Kursus/Sekolah Dalang Kasunanan di Museum Radya Pustaka,Sala; d. PDM, Pasinaon Dalang Mangkunegaran di Surakarta (KiWignyasutarna); e. PDL, Pasinaon Dalang Lebda Jiwa di Kartasura(Ki Nyatatjarita); f. KPKK, Kursus Pedalangan Kesenian Klaten(Ki Pujasumarta); g. KDW, Kursus Dalang Wonogiri (Ki Suratno);h. KDM, Kursus Dalang Malang; i. KDS, Kursus DalangSemarang; j. KDM, Kursus Dalang Mardiguna di Jakarta; k. KDS,Kursus Dalang Sekti di Jakarta; l. HSB, Himpunan Siswa Budaya,di Surakarta dibawah asuhan Ki Susilatmaja, Ki Pringgasatata, KiSri Handayakusuma dan drs. SD Humardani; Marsudiwirama,Jogya, dibawah asuhan R. Ng. Nayawirangka / Atmacendana danlain-lain (Sri Mulyono, 1975:148). Alasan tentang dibukanyasekolah-sekolah dalang di istana masing-masing itu bisadikemukakan : 1. ketidak puasan terhadap mutu pertunjukankebanyakan dalang sebagai akibat kurangnya pendidikan, dan 2.ketidak mampuan dalang mengikuti perkembangan masyarakat didalam pergelaran mereka, sehingga daya tariknya terhadap kaumintelektual Jawa menurun. Kurikulum sekolah-sekolah iniditekankan pada latihan praktek, dengan setiap langkah diterangkandalam pelajaran-pelajaran teori secara tersendiri. Juga segi-segiperbahasan dan sastra dalam pergelaran mendapat banyakperhatian, misalnya tentang ketepatan pengucapan suluk yangdilantunkan dalang, dan arti kata-kata di dalamnya; penjelasantentang nama-nama tempat; hubungan silsilah yang benar di dalamtokoh-tokoh wayang; urutan kronologis yang dianggap benar diantara setiap lakon; dan hubungan wiracarita-wiracarita India,Ramayana dan Mahabharata dengan lakon-lakon wayang Jawa.Akibat miskinnya pendidikan di kalangan kebanyakan dalangrakyat itu, dan sebagai akibatnya juga merekapun menjadi tidakmengenal bahasa puisi kuna (Kawi), yang justru dari sinilah bahasadalang (basa pedhalangan) meminjam sangat banyak unsurnya,maka kemudian terjadilah perusakan secara besar-besaran terhadapungkapan-ungkapan yang digunakan oleh dalang, demikian jugadengan segala macam penjelasan yang aneh-aneh mengenai katakatadan kalimat-kalimat yang dipahaminya secara keliru.Kekeliruan-kekeliruan pengertian seperti itulah yang dilempangkandi sekolah-sekolah dalang tersebut (Victoria, 1987:56-57). Halyang teristimewa penting bagi kebanyakan dalang rakyat ini ialahbahwa di sekolah itulah mereka untuk pertama kali berhadapan20


Bayang-Bayang Wayangdengan tradisi sastra tertulis di kraton-kraton. Dengan demikian,mereka merasa dicambuk untuk belajar sendiri dengan jalanmengikuti jam-jam pelajaran. Hasrat ini dimudahkan oleh adanyapenerbitan sejumlah buku pada saat itu, yang biasa digunakansebagai bahan pelajaran oleh para dalang, khususnya berkatbantuan Commissie voor de Volkslectuur, Balai Pustaka, terlebihlebiholeh karena buku-buku tersebut dapat dipinjam atau dibelidengan harga yang sangat murah. Sejak saat itu naskah-naskahsuluk diterbitkan, seringkali juga dilengkapi dengan notasikarawitannya. (Belakangan juga diterbitkan oleh penerbit TanKhoen Swie, Kediri). Disamping silsilah-silsilah dan kisah-kisahtentang para tokoh pahlawan wayang, terbit juga sejumlah jalancerita wayang (pakem balungan) yang sedikit banyak terinci.Bahan cerita ini umumnya dipinjam dari atau setidak-tidaknyadiilhami oleh, Pustaka Raja (buku tentang raja-raja) karanganR.Ng. Ranggawarsita (1802-1874). Dia seorang pujangga kratonSala, tetapi menjalin hubungan erat dengan Mangku Nagara IV(1853-1881), seorang raja penyair yang antara lain dipandangsebagai tokoh pencipta suatu bentuk wayang baru, wayang madya.Pustaka Raja adalah buku kumpulan cerita-cerita rakyat, seringkalidalam bentuk jalan cerita wayang, yang digubah dan disusun olehpenulisnya begitu rupa, sehingga menanamkan kesan adanya urutankronologis tertentu, diperkuat pula oleh pembubuhan pertanggalanyang sama sekali khayali belaka. Dengan demikian Pustaka Rajaseolah-olah tampil sebagai karya sejarah mengenai riwayat nenekmoyang dan raja-raja Jawa, dan memang demikianlahsesungguhnya arti buku ini bagi kebanyakan orang Jawa, bukansekedar bagi dalang-dalang saja. Bagi mereka, Pustaka Raja,khususnya bagian pertama yaitu Pustaka Raja Purwa, menjadikitab babon (pakem) bagi tradisi pedalangan Surakarta. Diilhamioleh kitab ini lakon-lakon wayang berkembang menjadi modelpenyusunan cerita-cerita baru (carangan). Maka, dalang Surakartapun menyatakan diri mengikuti tradisi Surakarta, oleh karenamereka menggubah lakon-lakonnya dengan bersumber kepadaPustaka Raja (Victoria, 1987:9-11). <strong>Bab</strong>on (pakem) yang lainantara lain Pakem Sastra Miruda ditulis oleh Kusumadilaga danMurwakala. Pakem belakangan ini menjadi rujukan untuk lakondalam upacara ‘ruwatan’. Berbeda dengan rekan-rekan mereka diSala, dalang-dalang di Yogyakarta tidak mempunyai pakem yangbisa dipakai sebagai pedoman. Dalam hal ini yang dimaksud ialah21


<strong>Bab</strong> 1. Pendahuluansemacam kitab babon yang sebanding dengan Pustaka Raja, yangoleh dalang dipandang sebagai buku pegangan hukum (semacampakem istimewa). Purwakanda (cerita tentang asal muasal) yangdisusun selama pemerintahan Hamengku Buwana V (1822-1855),dan seperti halnya Pustaka Raja yang merupakan kumpulan ceritaceritapurbakala dan wiracarita dari Jawa masa lalu, barangkali bisamenjadi kitab babon yang sangat cocok untuk dalang-dalangYogyakarta, tetapi hampir tidak diketahui sama sekali di luarkalangan kraton. Masa belajar di Habiranda adalah tiga tahun.Pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga setiap tahun diajarkansatu „babak‟ yang dirancang mengikuti cara yang ditetapkan dalamiringan gamelan (pathet), yaitu Pathet nem untuk babak pertama,pathet sanga untuk babak ke dua, dan pathet manyura untuk babakke tiga. Mncermati nama-nama Pathet ini sudah menunjukkanbahwa dasar dari pada gamelan pada masa awal perkembanganwayang menggunakan gamelan Slendro. Karena pada gamelandengan laras Pelog, maka pathetannya adalah Pelog Lima, Nem,dan Pelog Barang. Dalam setiap tahun setiap babak itu diterangkansecara terinci. Pada akhir tahun ke tiga pendidikannya, siswa barudiduga mampu mempergelarkan satu pertunjukan penuh. Pelajarantidak berdasarkan satu naskah baku tertentu, tetapi denganmenggunakan petilan-petilan dari berbagai macam lakon.Diharapkan pada akhir tahun ke tiga, siswa sudah akan pandaimenggubah lakon sendiri, dan juga menyusun sekaliguspercakapannya (antawecana). Metode ini dikemukakan di dalamPedhalangan Ngayogyakarta Jilid I Gegaran PamulanganHabiranda (Pedalangan Yogyakarta Jilid I Pedoman PendidikanHabiranda), sebuah buku pedoman yang disusun oleh sejumlahguru Habiranda bersama-sama dengan Raden Mas Mujanattistomo,dan diterbitkan oleh Yayasan Habiranda pada tahun 1977. Buku iniditerbitkan dalam edisi sangat mewah, sehingga tidak terjangkauoleh dompet sebagian besar siswa sekolah itu. Kasus yang hampirsama juga pernah terjadi dengan diterbitkannya buku tentang kerisbernama Relung Pustaka, oleh Raden Tumenggung Hardjonegoro(Go Tik Swan), kala itu pimpinan Museum kraton Radya Pustaka.Oleh karena diterbitkan dalam edisi sangat mewah, denganpewarnaan yang sangat canggih pada masa itu, maka setelahbeberapa nomor, akhirnya Relung Pustaka mengalami nasib yangsama dengan Pedhalangan Ngayogyakarta, keburu bangkrutdengan lay out yang sesungguhnya memang sangat indah.22

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!