alit sembodo sirkus politik: jagat purba - Umahseni
alit sembodo sirkus politik: jagat purba - Umahseni
alit sembodo sirkus politik: jagat purba - Umahseni
Transform your PDFs into Flipbooks and boost your revenue!
Leverage SEO-optimized Flipbooks, powerful backlinks, and multimedia content to professionally showcase your products and significantly increase your reach.
catatan kurasiSekali Lagi Mengenang Alit Sembodo(1973 - 2003)baran burung yang kira-kira cocok dengan zelfbewustzjinyang telah dan pernah dirujuknya. Representasi tak ada kai-(kesadaran diri) kita, menurut Sudjojono. Yang pasti, senitannya dengan tingkat-tingkat kemiripan yang dihasilkanialah jiwa seniman yang kelihatan alias jiwa ketok.dari operasi atau kerja sekadar menyalin kenyataan. Dalamkalimat Sudjojono jiwa dengan watak tertentu seniman takCorak tertentu yang sarat dengan watak dan kesadaran dirihanya akan menghasilkan gambar klise optisch opname.Ku<strong>alit</strong>as dan keotentikan apa yang sebenarnya kita harapkandatang atau lahir dari seorang seniman? Di masa silam,berkatalah S.Sudjojono (1913-1986) dengan suara lantang:yang penting bagi seorang seniman pertama-tama adalahkebenaran. Kebenaran bagi seorang seniman adalah keberanianmenggambarkan blek atau kaleng minyak yangsungguh sesuai dengan maksud dan isi blek itu. Raut blekitu memang dibuat begitu rupa sehingga wujudnya tak lainhanyalah semata-mata sarana demi veerkracht - kekuatanatau kemandirian- barang itu sendiri.Sudjojono mengatakan lagi bahwa bagi seniman “kebagusan”hanyalah soal berikutnya, katakanlah nomor dua, tigaatau empat. Pun kebagusan semacam itu bukanlah ses-sana, Sang Dewi pun berujar: “Cukup, cukup, cukup…!”.Demikianlah, kebenaran yang mengatasnamakan kejujuranpendek kata adalah kebahagiaan dunia-akhirat bagiseorang seniman menurut pandangan Sudjojono.Tak perlu dikatakan, urusan seniman dengan dunia nyatatentunya lebih pelik ketimbang laporan pertanggungjawabandi hadapan Dewi Kesenian maupun Putri-putri yanglain di alam baka. Setidaknya, tak seorang pun seniman–Sudjojono pun tidak- yang pernah kembali dari istanaSang Dewi lalu menegaskan keyakinan yang sebaliknya.Sudjojono sendiri, dalam risalah lamanya itu bahkan kemudianmenunjukkan rumitnya kebenaran seni di dunia nyatamelalui “teori” representasinya yang terkenal.adalah pekerjaan berikutnya yang harus dicari dan diselesaikansendiri oleh seniman. Di masa melahirkan teorisemacam itu, Sudjojono tentu saja menyebut-nyebut kesadaranakan corak persatuan Indonesia, “perasaan halus”yang bernama “nasionalisme” yang kadang-kadang bahkancuma menghasilkan “potongan luar yang berkonflikdengan watak-watak kita”. Sesungguhnya ia tidak antiasing,malah menganjurkan seniman mengolah “rasa aslidan rasa asing” untuk memperoleh “rasa Indonesia baru”.Yang penting lagi, seniman perlu punya jiwa besar, taksebesar kudis sehingga melukis apa pun akan menghasilkanbuah karya yang besar. Karya seni yang besar adalahkarya seni yang abadi, yang beratus-ratus tahun akanmelampaui usia terbatas seniman sendiri.Tak ada tingkat kemiripan pada sebuah representasi yangbahkan dapat dianggap memadai untuk memantapkanrelasi denotatif dalam rujukan terhadap kenyataan itu. Teorimengkopi dalam representasi akan langsung berhenti ditahap awal karena tak mampu menunjukkan secara spesifikapa yang mesti disalin. Di dalam merepresentasikan suatuobjek kita tidak menyalin begitu saja suatu penjelasan atautafsir mengenai objek itu, kata Goodman, tapi kita berupayamenggapainya. Resepsi dan interpretasi bukanlah duacara kerja yang terpisah. Dikatakan dengan lebih luas, kenyataanbukanlah seperti seorang model yang sudah jadidan bersifat pasif yang disodorkan di hadapan senimanyang seakan tinggal menyalinnya dengan tepat-persis.(Nelson Goodman; 1976, 1992).uatu yang berada “di muka kebenaran” saja tapi kebagusanyang (telah) menjadi satu dengan kebenaran. Tiap-tiapkebenaran niscaya akan menghasilkan kebagusan, asalkankebenaran tak berdusta pada hati sang seniman sendiri. Iadengan tandas mengritik para seniman yang hanya melukis“bagus yang hendak bagus saja” karena baginya senisemacam itu tak memiliki watak atau “berjiwa re<strong>alit</strong>a”. BagiSudjojono, itulah prasyarat kebenaran bagi seorang senimansekaligus begitu pula paparannya.Di mata Sudjojono, seniman yang mengatakan denganjujur apa yang dirasanya benar sebagai benar, adalah senimanyang “bares”. Alkisah, demi membela kebenaran sangseniman pun kemudian mati karena dirundung kelaparan.Namun ia siap mempertanggungjawabkan kebenaran tindakannyapada Sang Putri atau Dewi Kesenian. Sang Dewimenyambutnya sendiri di gerbang istananya atau pintusurga, bersukacita menyambut kepulangan seniman, sangkekasih yang usai menunaikan tugasnya di dunia. Nun diBegini bunyi teori itu: seekor burung yang ditatap-cermatoleh mata seniman, dan kelak menjadi sebuah lukisan burung,bukanlah burung yang sebenar-benarnya. Bahkan,burung pada lukisan itu tak sama lagi dengan burung sebenarnyayang kita lihat dalam kenyataan. Soalnya, sangburung yang ditatap oleh mata sang seniman telah menjadikesan-kesan subjektif yang mengalami pengolahan begiturupa di dalam dunia batin atau jiwa sang seniman itu sendiri.Apa itu jiwa atau dunia batin? Kata Sudjojono, jika matadapat diibaratkan lebih kurang sebagai lensa, jiwa senimanadalah kamar-kamar gelap tempat gambaran dari lensa itudiproses, tempat atau dunia dalam di mana watak senimanbersemayam. “Sebelum gambar burung tadi jadi, makadia harus pergi dahulu dengan sendirinya ke jiwa kita,”tulis Sudjojono dengan benderang. Jiwa seniman adalahproses psikologis yang mengolah “cap burung” yang telahditerimanya dari dunia luar. Masih harus diandaikan bahwaproses semacam itu tidak serta-merta menghasilkan gam-Jika seniman bertindak jujur sejak menatap burung danmengolah semua kesan yang muncul tentangnya maka iapun tak bisa lain kecuali akan mengatakan secara jujur danbares burung sebagai burung. Dan dimanapun senimanseperti itu berada, keberanian mengatakan kebenaransemacam itu akan selalu ditagih. Tapi bahwa lukisan tentangseekor burung, kata Sudjojono “tidaklah sama lagi”dengan burung yang beberapa waktu yang lalu telah ditatapdan diendapkannya, justru di situlah letak seninya. (S.Sudjojono: 1946; 2000)Kita paham, betapa lugas dan jitu Sudjojono mengemukakanteori representasi semacam itu dengan caranya sendiri.Representasi bukanlah kenyataan itu sendiri. Representasitak lain adalah re<strong>alit</strong>as yang telah dibentuk kembali olehdengan cara dan sudut pandang tertentu oleh sang seniman,justru agar representasi semacam itu dapat menjadidenotasi atau menyingkapkan makna asli dari kenyataanJika gambaran objek burung yang diajukan oleh Sudjojonokemudian ditukar dengan misalnya kondisi masyarakat,bangsa, keyakinan <strong>politik</strong>, keberpihakan, komitmenatau ekspresi belarasa seorang seniman, dan seterusnyatentu saja soalnya menjadi lebih pelik. Dapatkah re<strong>alit</strong>asatau kondisi masyarakat diamati seperti seniman mengamatiseekor burung? Jika diandaikan bahwa seekorburung dalam sebuah lukisan yang “tidak persis sama”dengan burung dalam kenyataan dapat medenotasikanatau menggubah makna asli dari seekor burung yangnyata, maka bagaimana lukisan tentang masyarakat dapatmendenotasikan kondisi tertentu masyarakat? Lebih-lebihlagi, bagaimana dan dengan cara apa masyarakat dapatdiamati?Gagasan Sudjojono yang berpengaruh mengenai perlunyaseni yang merepresentasikan kehidupan masyarakat–khususnya masyarakat sekitar di mana seniman hidup-6 7
parodi wayang hip-hop. Rupanya jarak antara fantasi ke-tilah bukanlah suatu prasyarat, tapi malah kerapkali meru-Barangkali yang ingin digambarkan oleh Alit sebenarnyaApakah Alit ingin menunjukkan bahwa “Republik Tamiya”digdayaan dan re<strong>alit</strong>as kebinatangan di mata Alit tak lebihpakan akibat dari mempelajari bagaimana menerapkantak lain adalah pemandangan di sebuah “Republik Tami-tak lain cuma berisi makhluk-makhluk absurd yang yangdari sejangkah.istilah itu berikut senyawa-senyawa pembentuknya. Jadiya” (2000), suatu pertunjukan “Sirkus” (2000), atau “Barata-mempergunakan kekuasaan sebagai sarana untuk apamisalkan kita tak paham apa sejatinya makna simbolisyudha de Mobius” (2001).saja, termasuk menggilas lawan-lawannya? Tapi mana yangTapi apa yang sebenarnya ingin dirujuk dengan penggam-“homo lupus”, “kamikaze”, “kabinet Tamiya”, Republiksesungguhnya kawan dan mana lawan? Dan logika akhirbaran semacam itu? Apakah “Republik Tamiya” semata-Tamiya” atau “Transportasi Spiritual” atau “BaratayudhaPada “Republik Tamiya”, kita melihat di antara kawanandari semua keedanan itu adalah misi bunuh diri bersamamata adalah republik khayalan? Dan gambaran mengenaide Mobius”, kita dapat menerapkan istilah itu melaluisosok -yang sebenarnya nyaris serupa- tampak ada yangatau kamikaze? Kacamata gelap bisa jadi adalah kegelapan<strong>sirkus</strong> manusia-satwa yang saling melabrak adalah imajina-suatu cara tertentu mempelajari dan memaknai apa sajamengenakan jaket atau rompi bertuliskan “Taman Ber-mata atau bahkan ketiadaan pandangan alias buta. Tetapisi personal atau fiksi nir-rujukan dari sang seniman? Tentuyang ditampilkan oleh sang seniman dalam lukisan itu.main”. Suasana “permainan” ditampilkan layaknya sebuahlihatlah raut wayang, danawa atau para buta (Jawa) itu. Ke-saja tak ada re<strong>alit</strong>as kasat mata dalam masyarakat di manarapat massa dengan tanda-tanda akan terjadinya gegeran.tiadaan atau kegelapan pandangan dengan demikian jugapun yang bisa kita rujuk begitu saja melalui visu<strong>alit</strong>as per-Representasi menjadi seni, kata Sudjojono dulu, karenaRaut-raut ganjil muncul di antara kesesakan: kepala plon-bisa berarti buta alias raksasa. Manusia yang gelap matamainan kekerasan para lupus – parodi homo lupus mau-apa yang dibuat oleh seniman tak lagi persis dengan apatos bermotif loreng macan, mimik garang dan histeris den-adalah raksasa atau buta, atau bahkan para buta-raksasapun wayang lupus- yang begitu ganjil seperti ditampilkanyang kita saksikan di kenyataan. Meski apa yang digambar-gan atribut mirip mahkota raja atau wayang kestaria, ragayang tak bisa lagi melihat.oleh Alit.kan oleh Alit tidak dapat kita tengarai secara kasat-mata dibergumpal-gumpal dan otot-otot baja melingkar-lingkarmasyarakat, tapi situasi yang digambarkan oleh Alit adalahwaspada. Satu sosok di pojok mengenakan ikat kepala pu-Sekali kita memahami bahwa pada lukisan-lukisan kolo-Alit telah merepresentasikan makna denotatif dari teorisimbolisasi kondisi masyarakat yang bisa, bahkan telahtih dengan tanda merah seperti bendera Jepang, disertaisalnya Alit menerapkan susunan visual yang seakan-akanevolusi Tuan atau Kakek Darwin yang merujuk perkem-atau sedang berlangsung lewat berbagai bentuk mani-“kamikaze” di pangkal lengan.“anti-komposisi”, kita akan diminta untuk melihatnya terusbangan bertahap dari organisme sederhana yang suk-festasi permukaannya. Jika kita dapat merujuk kembalisebagai ciri utamanya untuk menampilkan singularitasses mengatasi mata rantai tantangan hidupnya sampaipada maraknya berbagai peristiwa kekerasan pasca-1998Di bagian atas, serombongan sosok dengan raut wayangatau ketunggalan gelanggang kekacauan yang tak me-terbitnya ufuk sang homo sapiens. Tepat di titik itu Alit–suatu periode yang singkat sebelum ajal datang padaberkaca-mata ray-ban menyetir rangkaian kursi dan men-nyediakan jalan keluar. Begitu kita terjun ke dalamnya, kitamenciptakan parodi yang tangkas, memutar arah jarumsang seniman, masa penuh makna yang melatari kemun-ghunus golok. Di atas kepala sang sopir itulah terbacamenjadi bagian dari ketunggalan semacam itu dan tak pu-jam, dengan mengatakan bahwa perkembangan 25 jutaculan karya-karya ini- maka dengan jitu Alit telah menun-“Kabinet-kabinet Tamiya”. Di bawah, di antara lautan kegi-nya pilihan lain.tahun telah runtuh hanya dalam 1/25 juta detik. Tentu sajajukkan pada kita situasi <strong>purba</strong> kehidupan sosial <strong>politik</strong> dilaan manusia busur-busur besar diarahkan atau “molotovini adalah pernyataan waktu simbolis yang menunjukkanmana suatu tatanan tak hadir, (seakan-akan) negara absensemprong” diacung-acungkan. “Kabinet Abrakadabra”Adegan-adegan brutal antar homo-lupus atau wayang-saat yang sekejab yang sarat makna. Ia menggunakandan pada beberapa segi, kehidupan masyarakat –civil so-muncul di sekitar arena ini. Adapun mereka yang tak ke-lupus semacam itu pula yang dipersembahkan oleh Alitbenda-benda yang dikenal di dunia manusia seperti kursi,ciety- sendiri tengah merosot pada suatu “state of nature”.bagian kursi lebih memilih bermain-main dengan kuda-Sembodo pada dua lukisannya yang lain, masing-masingtangga, atribut-atribut kebesaran dan aneka senjata, ber-kudaan, mencoba menempuh arah lain. Di antaranya kitaadalah “Sirkus” (2000) dan “Akrobat Naik Tangga” (2001).bagai sarana angkut bersahaja seperti sepeda, kereta danTak ada kondisi yang lebih buruk ketimbang kehidupanmelihat wajah yang sungguh mirip Gus Dur.Makin tak bisa kita bedakan lagi yang mana manusia danbecak, dan tak terkecuali dan sosok-sosok yang kita kenaltanpa perlindungan negara, kata Hobbes (1588- 1679). Se-mana kawanan satwa. mana representasi demos (rakyat)sebagai representasi kawanan manusia itu sendiri. Dan se-cara kodrati manusia memang setara. Tapi bagi Hobbes,Jika kita telah menyaksikan karut-marut di “Republik Tami-mana ekspresi mob (gerombolan beringas). Sirkus mung-belum 1998, lebih-lebih kita menjumpai berbagai citraankesetaraan itu sama artinya juga dengan kesetingkatanya”, dengan mudah kita dapat memahami karyanya yangkin adalah istilah terbaik untuk mengungkapkan kondisisosok manusia yang terpiuh sebagai semacam karikaturdalam kekuatan dan kecakapan, sehingga manusia se-lain, “Transportasi Spiritual” (2000). Kendaraan yang disu-manusia yang serba taksa semacam itu. Hewan yang se-dan munculnya citra-citra parodi yang memelesetkan rautlalu berkemampuan untuk menghabisi yang lain. Lewatsun dari rangkaian kursi seperti di “Republik” harus dijarahdikit terdidik dapat mengerti perintah manusiawi yangwayang. Di sinilah Alit memantabkan relasi dari senyawa-rencana bulus dan persekongkolan, yang terlemah pundari pucuk maupun dari bawah: diterkam dari ubun-ubunsederhana tapi kita tak pernah tahu bagaimana cara ma-senjawa semacam itu sebagai representasi simbolis untukmampu membunuh yang terkuat. Bahkan, kata Hobbes,atau didongkel dari dasar selangkangan. Terjungkal darinusia secepat kilat mengubah diri menjadi kawanan bina-mengungkapkan kondisi tertentu dunia manusia.andaikan saya tak memiliki apapun, saya tak juga bebaskursi artinya harus mengalami nasib seperti binatang me-tang. Paduka Gajah tersungkur dalam adegan akrobat naikdari rasa takut. Ya, karena orang lain bisa saja menganggaplata yang gepeng tergilas di jalanan.tangga yang fantastis dan sosok Superman hanya miripBagi teori denotasinya Goodman, memahami sebuah is-saya tetap sebagai ancaman dan menjadikan saya tak lebih10 11
sebagai tumbal. Maka, kondisi alamiah tak lain adalah kondisiperang. Apakah kondisi semacam itu sungguh pernahada atau tidak, kita justru dapat mengandaikannya nya ketikakita membayang-bayangkan bahwa apa yang disebutsebagai negara seakan-akan adalah keniscayaan. (JonathanWolf, 2002).Untuk merepresentasikan suatu objek, sebuah lukisanmestilah menjadi sebuah simbol untuk objek itu, memilikiarti bagi objek itu sekaligus merujuk padanya juga, kataGoodman. Justru karena tingkat kemiripan saja – sekalilagi- tak cukup untuk memapankan hubungan-hubunganrujukan yang disyaratkan. Lagi pula, denotasi sebuah gambartidak dapat dikatakan lebih menentukan jenis gambaritu ketimbang jenis gambar yang menentukan denotasinya.(Goodman, 1976; 1992). Dengan kata lain, memaknaiperistiwa kekerasan melalui sebuah gambar, misalnyatak berarti otomatis menentukan jenis gambarnya, namunjenis gambarlah yang kira-kira akan lebih menentukan kemana kira-kira makna aslinya akan berlabuh.susnya setelah dekade 80an tak akan pernah melupakan(karya-karya) Semsar.Sekali Alit Sembodo menemukan pokok soal dalamgelanggang pengamatan kehidupan masyarakat yangtelah diawali oleh fajar pernyataan “seni berjiwa re<strong>alit</strong>a”nyaSudjojono dan kemudian manifesto kritis “manubilis”nyaSemsar, dan memantapkan bahasa kunci dengan semuaaikon visualnya yang menantang, ia seakan hanya memerlukansemacam panggung representasi untuk semua narasibrutal mengenai tokoh-tokoh ganjilnya. +++(Tulisan ini adalah sebagian naskah yang disiapkan untuk buku tentangAlit Sembodo)Hendro WiyantoKurator pamerankarya yang dipamerkanAlit adalah seniman yang dengan sangat cermat menggambarkanwatak denotatif kebinatangan dan kerakusanmanusia, sisi paling gelap yang tak pernah menyingkir darisejarah kita sendiri. Di masa lalu, adalah Semsar Siahaan(1925-2005) yang telah dengan pedas dan jitu menggambarkanpandangan kritis semacam itu. Manusia – dalamkonteks kehidupan yang represif di Indonesia yang koruptifdan sarat persekongkolan- bagi Semsar tak lain adalahpemegang mandat “manubilis”, campuran aneh antaramanusia-binatang-iblis bagi sesamanya. Dan setelah manifestoSemsarlah maka para seniman –khususnya di Indonesia- agaknya akan tetap merasa bersalah untuk sekadarmelukiskan “taman keindahan” pada karya-karya mereka.Semsar telah membongkar taman keindahan dari panoramaseni rupa Indonesia –khususnya setelah dekade 80-an- dan orang yang ingin memperoleh suatu horison kritisdalam dinamika kehidupan sosial <strong>politik</strong> di Indonesia, khu-12 13
Topeng-topeng Mahabharata2001Mixed Media on Canvas150 x 300 cmMooi Indie in the 11,9 Scala Richter2000Mixed Media on Canvas150 x 300 cmNabi Nuh2000 - 2001Mixed Media on Canvas150 x 300 cmRepublik Tamiya2001Mixed Media on Canvas150 x 300 cm14 15
Komunitas Wayang Marginal Total Recall2001Mixed Media on Canvas150 x 300 cmTransportasi Spiritual2000Mixed Media on Canvas120 x 130 cmThe Baratayudha’s Scooter2001Mixed Media on Canvas100 x 140 cmLast Sapper Made in Java2000Mixed Media on Canvas185 x 200 cm
Eksodus1999Mixed Media on Canvas185 x 200 cm(Kanan) ?????????????????2000Mixed Media on Canvas18 200 x 150 cm19
Sirkus2000Mixed Media on Canvas185 x 200 cmMooi Indie2003Mixed Media on Canvas145 x 160 cm20 21
Smack Down (Atas)2000Mixed Media on Canvas200 x 150 cm(Kanan) Robinson Crusoe Legend2003Mixed Media on Canvas140 x 100 cm
Baratayudha De Mobius1999Mixed Media on Canvas200 x 185 cm24Bulan Bukan Perawan Lagi (Kiri)1999Mixed Media on Canvas200 x 150 cm25
Teori Evolusi1999Mixed Media on Canvas136 x 151 cmBourag - Kuda terbang2000Mixed Media on Canvas170 x 150 cm26 27
Glob<strong>alit</strong>ation (Kiri)2003Mixed Media on Canvas140 x 100 cmBecak becak Baratayuda2001Mixed Media on Canvas150 x 200 cm????????????????????2001Mixed Media on Canvas150 x 200 cm
Rock and Roll of Baratayudha2000Mixed Media on Canvas200 x 200 cm???????????????????2001Mixed Media on Canvas200 x 150 cm31
Eksodus2000Mixed Media on Canvas200 x 185 cmMahabarata2002Mixed Media on Canvas200 x 200 cm32 33
Si Hitam2000Mixed Media on Canvas21 x 26 cm34 35
curriculum vitaeAMIR URIP ALIT SEMBODO ( 1973 – 2003 )Magelang, 10 Agustus 1973SDN Amabartawang Mungkid, Magelang 1987SMPN 8 Yogyakarta 1990SMA BOPKRI I Yogyakarta 1993AKSERI Yogyakarta 1993FSR ISI Yogyakarta 1995EXHIBITION2009 Solo Exhibition, Sketsa & Lukisan, Koong Gallery, Jakarta2002 Manusia 2002, Dirix Art Gallery, Yogyakarta2001 Kelompok Sebelas, Gelaran Budaya, Yogyakarta.INA Gallery, JakartaCanna Gallery, JakartaTujuh Pendusta Profesional, Taman Budaya YogyakartaTujuh Pendusta Profesional, Rumah Seni AIR, JakartaJogja Fine Art Community (JFAC), YogyakartaPameran ber-5, MOM Gallery, JakartaSeni Rupa Campur Sari, Galeri ISI Yogyakarta2000 Phillip Moris Indonesia Art Awards, Galeri Nasional, JakartaPerupa Muda 2000, Purna Budaya, YogyakartaShifting Point, Gelaran Budaya, Yogyakarta1999 Affandi Prize, Galeri ISI YogyakartaPhillip Morris Indonesia Art Awards, Galeri Nasional, JakartaKelompok Segi Tiga ( Azhar, Kiki, Alit ), LIP Yogyakarta1996 – 1998 Aktif mengikuti pameran di berbagai tempatAWARDS2000 Phillip Morris Indonesia Art Awards1999 Phillip Morris Indonesia Art Awards1999 40 th Indonesia Winsor & Newton Art Awards( Affandi Prize ) Pratisara Affandi Adhi Karya36 37
ucapan terima kasihKeluarga besar alm. Alit SembodoGelaran Art CommunityGreget 95Bpk. Tubagus “ Andre “ SukmanaBpk. Hendro WiyantoBpk. Rizki A. ZaelaniBpk. Deddy IriantoBpk. Rikki ZulkarnaenBpk. Deddy KusumaBpk. Bong Hendri RiantoBpk. Eddy HartonoBpk. Eddy WirawanBpk. Ferry SantosoBpk. Djaja MuliaBpk. Dr. Handojo Susanto SpS, Sp KjBpk. Hengky SenjayaBpk. Husein GozaliBpk. Roland SantosoBpk. Sunyata WangsadarmaBpk. Tjahyo SumiratBpk. Robby Ade BastianBpk. Tjhin HanMasterpiece Auction HouseSdri. Rani ElsantiBpk. Landung SimatupangBpk. Jimmy TjoeBpk. Jacob RuslieSeluruh staff umahseni dan Galeri Nasional IndonesiaM AJALAHSENIRUPAA GATE TO INDONESIAN TAR38 39
umahseniLobby Tower B Apartment Oasis Mitra SaranaJl. Senen Raya No. 135-137 Jakarta 10410Indonesiaumahseni @ Menteng Art SpaceJl. Suwiryo No. 11 MentengJakarta Pusat 10350IndonesiaPh. +62 21 3920452www.umahseni.comContact personLeo +62 816 875 604Putri +62 813 8246 7418