catatan kurasiSekali Lagi Mengenang Alit Sembodo(1973 - 2003)baran burung yang kira-kira cocok dengan zelfbewustzjinyang telah dan pernah dirujuknya. Representasi tak ada kai-(kesadaran diri) kita, menurut Sudjojono. Yang pasti, senitannya dengan tingkat-tingkat kemiripan yang dihasilkanialah jiwa seniman yang kelihatan alias jiwa ketok.dari operasi atau kerja sekadar menyalin kenyataan. Dalamkalimat Sudjojono jiwa dengan watak tertentu seniman takCorak tertentu yang sarat dengan watak dan kesadaran dirihanya akan menghasilkan gambar klise optisch opname.Ku<strong>alit</strong>as dan keotentikan apa yang sebenarnya kita harapkandatang atau lahir dari seorang seniman? Di masa silam,berkatalah S.Sudjojono (1913-1986) dengan suara lantang:yang penting bagi seorang seniman pertama-tama adalahkebenaran. Kebenaran bagi seorang seniman adalah keberanianmenggambarkan blek atau kaleng minyak yangsungguh sesuai dengan maksud dan isi blek itu. Raut blekitu memang dibuat begitu rupa sehingga wujudnya tak lainhanyalah semata-mata sarana demi veerkracht - kekuatanatau kemandirian- barang itu sendiri.Sudjojono mengatakan lagi bahwa bagi seniman “kebagusan”hanyalah soal berikutnya, katakanlah nomor dua, tigaatau empat. Pun kebagusan semacam itu bukanlah ses-sana, Sang Dewi pun berujar: “Cukup, cukup, cukup…!”.Demikianlah, kebenaran yang mengatasnamakan kejujuranpendek kata adalah kebahagiaan dunia-akhirat bagiseorang seniman menurut pandangan Sudjojono.Tak perlu dikatakan, urusan seniman dengan dunia nyatatentunya lebih pelik ketimbang laporan pertanggungjawabandi hadapan Dewi Kesenian maupun Putri-putri yanglain di alam baka. Setidaknya, tak seorang pun seniman–Sudjojono pun tidak- yang pernah kembali dari istanaSang Dewi lalu menegaskan keyakinan yang sebaliknya.Sudjojono sendiri, dalam risalah lamanya itu bahkan kemudianmenunjukkan rumitnya kebenaran seni di dunia nyatamelalui “teori” representasinya yang terkenal.adalah pekerjaan berikutnya yang harus dicari dan diselesaikansendiri oleh seniman. Di masa melahirkan teorisemacam itu, Sudjojono tentu saja menyebut-nyebut kesadaranakan corak persatuan Indonesia, “perasaan halus”yang bernama “nasionalisme” yang kadang-kadang bahkancuma menghasilkan “potongan luar yang berkonflikdengan watak-watak kita”. Sesungguhnya ia tidak antiasing,malah menganjurkan seniman mengolah “rasa aslidan rasa asing” untuk memperoleh “rasa Indonesia baru”.Yang penting lagi, seniman perlu punya jiwa besar, taksebesar kudis sehingga melukis apa pun akan menghasilkanbuah karya yang besar. Karya seni yang besar adalahkarya seni yang abadi, yang beratus-ratus tahun akanmelampaui usia terbatas seniman sendiri.Tak ada tingkat kemiripan pada sebuah representasi yangbahkan dapat dianggap memadai untuk memantapkanrelasi denotatif dalam rujukan terhadap kenyataan itu. Teorimengkopi dalam representasi akan langsung berhenti ditahap awal karena tak mampu menunjukkan secara spesifikapa yang mesti disalin. Di dalam merepresentasikan suatuobjek kita tidak menyalin begitu saja suatu penjelasan atautafsir mengenai objek itu, kata Goodman, tapi kita berupayamenggapainya. Resepsi dan interpretasi bukanlah duacara kerja yang terpisah. Dikatakan dengan lebih luas, kenyataanbukanlah seperti seorang model yang sudah jadidan bersifat pasif yang disodorkan di hadapan senimanyang seakan tinggal menyalinnya dengan tepat-persis.(Nelson Goodman; 1976, 1992).uatu yang berada “di muka kebenaran” saja tapi kebagusanyang (telah) menjadi satu dengan kebenaran. Tiap-tiapkebenaran niscaya akan menghasilkan kebagusan, asalkankebenaran tak berdusta pada hati sang seniman sendiri. Iadengan tandas mengritik para seniman yang hanya melukis“bagus yang hendak bagus saja” karena baginya senisemacam itu tak memiliki watak atau “berjiwa re<strong>alit</strong>a”. BagiSudjojono, itulah prasyarat kebenaran bagi seorang senimansekaligus begitu pula paparannya.Di mata Sudjojono, seniman yang mengatakan denganjujur apa yang dirasanya benar sebagai benar, adalah senimanyang “bares”. Alkisah, demi membela kebenaran sangseniman pun kemudian mati karena dirundung kelaparan.Namun ia siap mempertanggungjawabkan kebenaran tindakannyapada Sang Putri atau Dewi Kesenian. Sang Dewimenyambutnya sendiri di gerbang istananya atau pintusurga, bersukacita menyambut kepulangan seniman, sangkekasih yang usai menunaikan tugasnya di dunia. Nun diBegini bunyi teori itu: seekor burung yang ditatap-cermatoleh mata seniman, dan kelak menjadi sebuah lukisan burung,bukanlah burung yang sebenar-benarnya. Bahkan,burung pada lukisan itu tak sama lagi dengan burung sebenarnyayang kita lihat dalam kenyataan. Soalnya, sangburung yang ditatap oleh mata sang seniman telah menjadikesan-kesan subjektif yang mengalami pengolahan begiturupa di dalam dunia batin atau jiwa sang seniman itu sendiri.Apa itu jiwa atau dunia batin? Kata Sudjojono, jika matadapat diibaratkan lebih kurang sebagai lensa, jiwa senimanadalah kamar-kamar gelap tempat gambaran dari lensa itudiproses, tempat atau dunia dalam di mana watak senimanbersemayam. “Sebelum gambar burung tadi jadi, makadia harus pergi dahulu dengan sendirinya ke jiwa kita,”tulis Sudjojono dengan benderang. Jiwa seniman adalahproses psikologis yang mengolah “cap burung” yang telahditerimanya dari dunia luar. Masih harus diandaikan bahwaproses semacam itu tidak serta-merta menghasilkan gam-Jika seniman bertindak jujur sejak menatap burung danmengolah semua kesan yang muncul tentangnya maka iapun tak bisa lain kecuali akan mengatakan secara jujur danbares burung sebagai burung. Dan dimanapun senimanseperti itu berada, keberanian mengatakan kebenaransemacam itu akan selalu ditagih. Tapi bahwa lukisan tentangseekor burung, kata Sudjojono “tidaklah sama lagi”dengan burung yang beberapa waktu yang lalu telah ditatapdan diendapkannya, justru di situlah letak seninya. (S.Sudjojono: 1946; 2000)Kita paham, betapa lugas dan jitu Sudjojono mengemukakanteori representasi semacam itu dengan caranya sendiri.Representasi bukanlah kenyataan itu sendiri. Representasitak lain adalah re<strong>alit</strong>as yang telah dibentuk kembali olehdengan cara dan sudut pandang tertentu oleh sang seniman,justru agar representasi semacam itu dapat menjadidenotasi atau menyingkapkan makna asli dari kenyataanJika gambaran objek burung yang diajukan oleh Sudjojonokemudian ditukar dengan misalnya kondisi masyarakat,bangsa, keyakinan <strong>politik</strong>, keberpihakan, komitmenatau ekspresi belarasa seorang seniman, dan seterusnyatentu saja soalnya menjadi lebih pelik. Dapatkah re<strong>alit</strong>asatau kondisi masyarakat diamati seperti seniman mengamatiseekor burung? Jika diandaikan bahwa seekorburung dalam sebuah lukisan yang “tidak persis sama”dengan burung dalam kenyataan dapat medenotasikanatau menggubah makna asli dari seekor burung yangnyata, maka bagaimana lukisan tentang masyarakat dapatmendenotasikan kondisi tertentu masyarakat? Lebih-lebihlagi, bagaimana dan dengan cara apa masyarakat dapatdiamati?Gagasan Sudjojono yang berpengaruh mengenai perlunyaseni yang merepresentasikan kehidupan masyarakat–khususnya masyarakat sekitar di mana seniman hidup-6 7