Daftar Isi: 1. Pendahuluan 2. Prospek Hutan Produksi 3. Perkembangan Usaha IUPHHK-HA 4. Penutup 1 1 2-5 5-6 Publikasi ini dibuat dengan dukungan dari Rakyat Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID). Isi dari publikasi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tetra Tech dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
1. Pendahuluan 2. Prospek Hutan Produksi Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 120,53 juta ha atau sekitar 63% dari luas daratannya, yang terdiri dari kawasan hutan konservasi (21,90 juta ha), kawasan hutan lindung (29,64 juta ha), dan kawasan hutan produksi (68,99 juta ha). Hutan tropis di Indonesia merupakan salah satu yang terluas di dunia selain Brazil dan Republik Kongo (Tolo 2012). Sebagai sumber daya alam yang tidak saja bernilai tinggi bagi konservasi, hutan Indonesia juga dieksploitasi sejak jaman kerajaan untuk kepentingan sosial. Intensitas eksploitasi terhadap hutan menjadi semakin tinggi pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Demikian pula ketika era pemerintahan Soekarno, dimana tata kelola kehutanan bersifat desentralistik. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 tahun 1957, pemerintah mendesentralisasikan tata kelola kehutanan di luar Pulau Jawa kepada pemerintah propinsi. Puncak dari eksploitasi hutan sebagai komoditi ekonomi adalah di era pemerintah orde baru. Sumber daya hutan seluas 143 juta hektar telah dijadikan sebagai sumber devisa negara yang penting untuk pembangunan. Hingga tahun 2000, jumlah Hak Pengusahaan Hutan (<strong>HPH</strong>) meningkat sekitar 600 unit dengan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektar. Devisa negara yang disumbangkan cukup besar setelah minyak bumi. Pada tahun 1980-an sebesar USD 200 juta per tahun; tahun 1990-an sebesar USD 9 milyar per tahun; sampai dengan awal 1990-an sektor kehutanan memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional kedua terbesar setelah minyak dan gas (Nurrochmat, 2005). Kawasan hutan produksi yang luasnya mencakup 57% dari total kawasan hutan, pada dasarnya memiliki peran cukup signifikan baik dalam konteks pembangunan ekonomi maupun dalam konteks menjaga kelangsungan kawasan hutan di Indonesia. Sekalipun dalam beberapa tahun terakhir mulai menurun kontribusinya. Hal ini disebabkan banyaknya perusahaan yang tidak aktif akibat biaya transaksi yang mahal, risiko bisnis yang meningkat, regulasi yang kurang kondusif serta lemahnya status lahan kehutanan. Termasuk harga kayu dalam negeri yang murah. Dari sekitar 269 jumlah perusahaan <strong>HPH</strong> diperkirakan ada sekitar 30% yang tidak aktif. 1 Dalam peta jalan (roadmap) pembangunan hutan produksi tahun 2016 – 2045, disebutkan bahwa untuk mengoptimalkan hutan produksi salah satu langkahnya adalah dengan meningkatkan produktivitas hutan alam dan membangun hutan tanaman dari tahun 2016 hingga 2045. Luas lahan yang dibutuhkan sekitar 17,05 juta hektar tanaman dan diprediksi dapat menghasilkan kayu bulat mencapai 572 juta m3/tahun. Sementara untuk hutan alam, pengelolaannya perlu dilakukan secara optimal pada areal seluas 20 juta hektar sehingga menghasilkan kayu bulat sekitar 28 juta m3 per tahun. 2 Dalam prakteknya, keberadaan hutan alam produksi sangat ditentukan oleh keberlanjutan usaha para pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan profesionalisme unit manajemennya. Dengan kata lain, pengelolaan hutan alam produksi secara lestari (PHPL) menjadi kunci dari keberhasilan menjaga hutan alam produksi, dan secara tidak langsung juga menjaga keberadaan kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung. Dengan demikian, profesionalisme dan kinerja Unit Manajemen (UM) pengelola hutan alam produksi menjadi penentu atas keberhasilan pengelolaan hutan alam produksi. Sebaliknya kegagalan pengelolaan hutan alam produksi oleh UM berkontribusi terhadap degradasi dan deforestasi hutan. Untuk konteks Indonesia, ternyata tidak hanya sekedar persoalan profesionalisme dan kinerja dari UM yang berkontribusi terhadap keberadaan dan kelangsungan fungsi hutan, namun juga persoalan ada tidaknya pihak/institusi yang bertanggung jawab terhadap hutan di lapangan (site) juga memiliki peran sangat penting. Mengingat tatkala tidak ada pihak/institusi yang bertanggung jawab di lapangan, maka hampir dapat dipastikan bahwa kawasan hutan tersebut akan beralih menjadi aset tak bertuan. Dalam arti akses pemanfaatan hutan menjadi sangat terbuka untuk siapa saja, dan ada kecenderungan dikelola secara ilegal. Situasi ini menjadi potensi deforestasi dan konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Ini berarti, keberadaan dan keberlanjutan usaha dari pemegang IUPHHK-HA dengan jaminan pengelolaannya secara lestari merupakan keniscayaan. Mengingat hal ini menjadi kunci untuk mempertahankan keberadaan dan fungsi dari hutan alam produksi. 1 Sugiono, Munas Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Jakarta, 19 Oktober 2016. 2 Roadmap Pembangunan Hutan Produksi Indonesia 2016 - 2045 WWW.LESTARI-INDONESIA.ORG LESTARI PAPERS: Peran <strong>HPH</strong> Dalam Menjaga Keberlanjutan Hutan Alam 1