You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Kusnadi K A R D I<br />
nasionalis<br />
yang<br />
tak pernah<br />
padam
nasionalis<br />
yang<br />
tak pernah<br />
padam<br />
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, besar<br />
wilayahnya, besar pula jumlah penduduknya. Namun di<br />
satu sisi, bangsa ini seperti tak mempunyai kendali dalam<br />
kedaulatan wilayah udaranya. Untuk urusan lalu-lintas<br />
udara Indonesia seperti “tergantung” pada Singapura,<br />
negara tetangga yang wilayahnya tak sebesar wilayah DKI<br />
Jakarta. Setiap penerbang tempur TNI AU hendak<br />
melakukan patroli udara harus minta ijin pada otoritas<br />
negeri Singa tersebut. “Saya sebagai purnawirawan AU<br />
dan pernah menerbangkan jet tempur, dan saya pernah<br />
mengalami bagaimana seorang penerbang tempur patroli<br />
di wilayah kita harus minta ijin ke Singapura. Padahal<br />
wilayah sendiri. Dulu saya terbang tahun 1980-90-an dan<br />
sekarang tahun 2017, dan ini sejak tahun 1946 sampai<br />
searang wilayah udara negara kita kok dikendalikan oleh<br />
negara yang hanya seluas Bekasi, penduduknya hanya<br />
sepertiga Jakarta. Saya prihatin,” demikian kesaksian<br />
Kusnadi ardi, purnawirawan penerbang jet tempur TNI AU<br />
ini. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah soal harga diri<br />
bangsa ini yang direndahkan Singapura. Belum lagi<br />
penyelundupan, semuanya lewat Singapura, orang kaya<br />
Indonesia menyimpan uang di Singapura. Kalau sakit<br />
orang Indonesia berobat ke Singapura. Belum lagi<br />
apartemen di negeri tersebut, sudah wilayah tanahnya<br />
dari Indonesia, dari reklamasi, 70 persen kepemilikannya<br />
pun punya orang Indonesia. “Jadi kayanya Singapura<br />
karena orang kita. Ini yang harus kembali ke Indonesia.”<br />
tegas Kusnadi. Berdasar dari kejadian, pengalaman, dan<br />
pemikiran tersebut timbul keprihatinan di diri Kusnadi.<br />
Menurutnya ini soal nasionalisme yang harus<br />
dibangkitkan kembali, Sebagai purnawirawan TNI AU rasa<br />
nasionalisme Kusnadi tak pernah padam, ini yang ingin ia<br />
bangkitkan kepada generasi sekarang, rasa nasionalisme.<br />
Oleh karenanya, setelah masa pensiun mulailah Kusnadi<br />
“bergerilya” menularkan pemikirannya tentang<br />
nasionalisme, khususnya tentang hukum lalu-lintas<br />
udara yang secara langsung berkaitan dengan kedaulatan<br />
NKRI. Caranya, lewat seminar-seminar, penulisan buku,<br />
dan juga pengajaran melalui aktitasnya sebagai dosen di<br />
Universitas Indonesia, Universitas Mercuabuana, UPN<br />
Veteran, Universitas Pertahanan, Sentul, Jawa Barat.<br />
“Istilahnya saya ngamen lewat seminar,” ujarnya. Lewat<br />
seminar (yang diselenggarakan tanggal 30 November<br />
2017) tersebut Kusnadi ingin menggugah semua pihak<br />
tentang kedaulatan wilayah udara Indonesia.<br />
Menurutnya,, semua stakeholder yang berhubungan<br />
dengan penerbangan harus tahu, semua pejabat harus<br />
tahu. Iapun pernah mempresentasikan bukunya tentang<br />
hal tersebut di hadapan Wantimpres dan mendapat<br />
respon yang baik. Lebih dari itu, Presiden Jokowi pun<br />
mengatakan bahwa di tahun 2019 kita yang harus<br />
mengendalikan lalu lintas udara kita, juga Bapak Luhut<br />
Panjaitan (Menko Kemaritiman) menegaskan hal sama, di<br />
bulan April 2019 kita yang mengendalikan. Artinya, lalulintas<br />
wilayah udara Indonesia adalah tanggungjawab<br />
Indonesia, tak lagi bergantung negara tetangga.
Hal ini, imbuh Kusnadi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, juga masyarakat luas harus mengetahui apa saja<br />
langkah-langkah yang harus ditempuh. Oleh karena itu, untuk menjabarkan langkah-langkah tersebut Kusnadi menulis buku tentang<br />
hukum dan aturan lalu-lintas udara, yang nantinya bertepatan dengan peluncuran buku tersebut akan diadakan seminar, yang akan<br />
dihadiri dan dibuka oleh Presiden RI Bapak Joko Widodo. Kusnadi menegaskan, tahun 1946 Singapura belum merdeka, baru merdeka<br />
di tahun 1967, tapi kenapa sampai sekarang bisa mengendalikan wilayah udara Indonesia. Apa kita gak mampu? Menurutnya, orang<br />
Indonesia sesungguhnya pintar-pintar, sekolah ke luar negeri, tapi begitu lulus kemudian pulang ke tanah air, di dalam negeri tak ada<br />
pekerjaan. Makanya, banyak ahli-ahli penerbangan, putra-putra terbaik tanah air bekerja di pabrik penerbangan di Amerika, Jerman,<br />
Brasil, Malaysia, atau mengajar di Singapura. “Coba kalau bisa ditarik ke sini, itu luar biasa,” ujar Kusnadi. Jadi, menjawab tantangan<br />
di atas, Kusnadi menegaskan untuk ke depannya yang perlu diperhatikan, pertama, pendidikan SDM, kedua, pembangunan<br />
infrastruktur di seluruh Indonesia, jangan cuma di Jakarta. Indonesia perlu membangun bandara yang kualitasnya standar<br />
internasional. Tak ada keterlambatan penerbangan (delay). “Itu bisa terwujud kalau penerbangan kita sudah in-line. Nah, dalam<br />
seminar saya akan jabarkan itu,” ucap pria yang mempunyai istri mojang Sunda ini..
Kusnadi menyadari apa yang menjadi pemikirannya tentu<br />
akan banyak kendala. Dulu, ingatnya, sewaktu ada<br />
seminar tentang hukum udara orang dari Kementerian<br />
Luar Negeri pun pernah bilang wilayah penerbangan tak<br />
ada kaitannya dengan wilayah kedaulatan. Kusnadi tak<br />
terima dengan pendapat tersebut dan langsung<br />
meralatnya. Kusnadi mengatakan kalau berbicara<br />
wilayah kedaulatan itu domainnya Kementerian<br />
Pertahanan, jadi kalau bukan orang Kementerian<br />
Pertahanan lalu bicara seperti itu tentu salah besar. Nah,<br />
hal-hal seperti itulah yang menjadi menjadi<br />
keprihatinannya. Orang tak memahami seperti apa hukum<br />
udara. Kusnadi merasakan sendiri bagaimana dulu<br />
sewaktu ia ingin merebangan pesawatnya dari Medan ke<br />
Pontianak harus ijin dulu ke Singapura. Dan menurutnya,<br />
itu terjadi sampai sekarang. Padahal ini wilayah NKRI,<br />
wilayah sendiri. “Harusnya TNI AU ngomong dong. Tapi<br />
pejabat sekarang banyak yang ingin dianggap baik, kalau<br />
ngomong takut dianggap kontra-produktif. Kalau saya<br />
nothing to lose, karena sudah pensiun dan ini masalah<br />
nasionalisme. Saya kagum dengan dengan Bu Susi<br />
Pudjiastuti (Menteri KKP), tegas dia. Saya kalau ada<br />
seminar dan diundang saya bicara soal ini. Ini soal harga<br />
diri, jangan sampai kita diinjak-injak oleh Singapura.<br />
Dianggap remeh,” tegas bapa dari 3 anak ini. Menurutnya,<br />
kita harus bicara yang benar dan semata untuk<br />
kepentingan nasional. Di mata Kusnadi, apa yang<br />
dilakukan Presiden Jokowi saat ini sudah bagus.<br />
Membangun infrastruktur, di Papua dibangun jalan, harga<br />
BBM satu harga. Lalu jalan tol di Kalimalang yang sudah<br />
21 tahun mangkrak, dibangun kembali. Tapi, itupun masih<br />
ada yang tak suka, tambahnya. Padahal secara obyektif,<br />
beliau (Presiden Jokowi) baru 3 tahun menjabat sudah<br />
banyak membangun. Termasuk membangung tol Jakarta-<br />
Surabaya dan jalan Trans-Sumatera. Apa yang dilakukan<br />
oleh Kusnadi saat ini misinya jelas yaitu semata ingin<br />
mengembalikan kepentingan nasional. Kalau apa yang ia<br />
lakukan ini berhasil nantinya kepentingan nasional yang<br />
lain akan diperjuangkan. Ditambahkan Kusnadi, untuk<br />
kepentingan nasional seharusnya para koruptor itu dibuat<br />
miskin. Lakukan pembuktian terbalik. Contoh, seperti di<br />
Cina, koruptor ditembak. Sekarang Cina maju. Musuh kita,<br />
pertama, memang koruptor, kedua, narkoba. Harusnya<br />
dua kejahatan tersebut hukumannya sama, yakni hukum<br />
mati, karena extra-ordinary.<br />
“MUSUH KITA, PERTAMA, MEMANG<br />
KORUPTOR, KEDUA, NARKOBA.<br />
HARUSNYA DUA KEJAHATAN<br />
TERSEBUT HUKUMANNYA SAMA,<br />
YAKNI HUKUM MATI,<br />
KARENA EXTRA-ORDINARY.”
PENSIUN MEMILIH BISNIS KULINER<br />
Disinggung kenapa untuk mengisi masa pensiun Kusnadi membuka restoran, pria yang suka mengajak anaknya ke toko buku<br />
ini menjelaskan bahwa ada 3 hal yang dibutuhkan manusia, pertama, pangan, kedua, kesehatan, ketiga, pendidikan. Kalau<br />
ketiga hal ini bisa dikelola maka akan menghasilkan.. Nah, ketika memasuki masa pensiun Kusnadi menghitung-hitung<br />
dirinya tidak mungkin hidup dalam hanya satu minggu, belum lagi untuk biaya sekolah anaknya di luar negeri. Walhasil, ia pun<br />
memilih terjun di bisnis kuliner. Di atas lahan yang luasnya hampir 10.000 meter persegi ia pun membuka restoran masakan<br />
Sunda, sesuai dengan tanah elahiran sang Istri yang orang Sunda. Maka, di tahun 2005 berdirilah Saung Sari Parahiyangan,<br />
dengan kapasitas pengunjung sebanyak 200 orang. “Saya tak buka cabang. Kalau punya dua restoran pasti ada dua masalah,<br />
belum lagi mengurus karyawannya,” tukas pria. kelahiran Lampung ini. Nama Saung Sari Parahiyangan dapat diartikan Saung<br />
itu artinya tempat duduk, kalau Sari Parahiyangan artinya pusatnya masakan Sunda, karena Sari itu bisa berarti inti atau<br />
pusat dan Parahiyangan jelas nama lain dari tanah Sunda. “Saya ingin mengembangkan lagi restoran ini, nantinya saya ingin<br />
bangun Joglo untuk pertemuan, pesta perkawinan, disewakan untuk acara-acara. Di sini pelanggan dari mana-mana, tak<br />
hanya dari Pondok Rangon. Menu favorit disini nasi timbel,” ujar bapak dari Nadia Ria Pratama (sulung), Muhamad Reza Adi<br />
Pratama (anak kedua), dan Jasmine Alexandria Putri Pratama (bungsu). Menurut Kusnadi, semua anaknya bisa berbahasa<br />
Inggris dan Indonesia. Sedang si sulung yang bersekolah di Jerman bisa bahasa Jerman, Inggis, Jepang, Indonesia. Anaknya di<br />
Jerman mengambil jurusan Desain Interior. Dijelaskan Kusnadi, menu spesial restorannya adalah masakan Sunda tapi juga<br />
menyediakan masakan seafood, buka mulai dari pukul 09.00-21.00 (Senin-Sabtu), dan hari Minggu hingga pukul 22.00. Saat<br />
ini ada 30 karyawan yang membantunya, dimana semua karyawannya telah dianggap sebagai eluarga besarnya sendiri,<br />
bahan beberapa karyawan dibuatkan semacam mess di belakang restorannya sebagai tempat tinggal mereka. Untuk menarik<br />
pelanggan Kusnadi tak pernah memasang iklan, semua hanya lewat omongan orang dari mulut ke mulut. Para pelanggannya<br />
yang puas akan bercerita epada orang lain, walhasil restorannya pun berkembang pesat. Dari yang awalnya hanya berdiri di<br />
atas lahan 600 meter persegi berkembang semakin luas menjadi 10.000 meter persegi. “Saya seperti air mengalir saja,”<br />
imbuh Kusnadi. Kusnadi sebenarnya memiliki baat berbisnis dari orangtuanya, dimana ayahandanya, S. Kardi, dulu<br />
merupakan pedagang di desanya, Pringsewu. Nampaknya dari sang ayah darah bisnis mengalir di dirinya. Kusnadi mengakui,<br />
dirinya berbisnis karena merasa tertantang untuk membiayai sekolah ke-6 adiknya. Karena, Kusnadi tak bisa hanya<br />
mengandalkan usaha orangtuanya untuk membayar sekolah adik-adiknya.
Usaha atau bisnis Kusnadi dimulai saat dirinya masih<br />
sebagai penerbang pesawat tempur OV 10 yang bermarkas<br />
di Lanud Abdurrahman Saleh, Malang, Jawa Timur.Setiap<br />
dirinya punya kesempatan dimanfaatkannya untuk membeli<br />
kaos kemudian disablon dengan gambar-gambar daerah di<br />
Timor-Timur (kini Timor Leste). Kusnadi melihat, temantemannya<br />
sesama tentara yang bertugas di Timor-Timur<br />
kala itu sangat senang memakai kaos bergambar daerah di<br />
Timor-Timur, karena sebagai tanda bahwa mereka pernah<br />
bertugas di sana. Bisnisnya terus meningkat. Saat dirinya<br />
menjalani pendidikan sebagai instruktur penerbang di TNI<br />
AU di Yogyakarta dengan pangkat Kapten hingga Mayor<br />
Penerbang TNI AU. Saat itu, Kusnadi tak hanya menjual kaos<br />
melainkan memborong tebu milik penduduk, mulai dari 5<br />
hektar hingga 10 hektar. Bisnisnya sukses, karirnya di<br />
militer pun gemilang hingga ia meraih pangkat jenderal TNI<br />
bintang satu atau Marsekal Pertama pada tahun 2003.<br />
Namun, Kusnadi berkir jika ia hanya mengandalkan<br />
karirnya sebagai Perwira Tinggi TNI AU sangat sulit<br />
menggapai jenderal bintang tiga atau jenderal bintang<br />
empat. Paling-paling hanya bisa mencapai jenderal TNI<br />
bintang dua, sehingga saat ia memasuki masa<br />
purnawirawan ia hanya memperoleh pensiun sekitar Rp 3,5<br />
juta. Untuk itu, ketika ada seseorang pemilik tanah di<br />
Kranggan, Bekasi, menawarkan lahannya seluas 1.200 m2<br />
untuk dijual, Kusnadi membeli separuh lahan yaitu seluas<br />
600 m2. Setahun kemudian di atas lahan miliknya tersebut<br />
didirikan restoran dengan menu Bakso Malang, kuliner khas<br />
dari Kota Malang, Jawa Timur. Lalu di tahun 2005,<br />
bertepatan dengan tanggal lahirnya, 10 Juni, Kusnadi<br />
melakukan soft launching restorannya yang diberi nama<br />
Saung Sari Parahiyangan. Meski pada awal-awal<br />
beroperasinya restoran tersebut mengalami kerugian<br />
namun berbilang hari selanjutnya keuntungan demi<br />
keuntungan mulai diraih Kusnadi. Perkembangan<br />
selanjutnya terus membanggakan, Kusnadi bisa<br />
memperluas lahan restorannya dengan membeli lahan baru<br />
sedikit demi sedikit, hingga akhirnya kini luas restorannya<br />
mencapai 1 hektar. Bisnis restoran memang menjadi<br />
kesibukannya saat ini, namun semangatnya berkarya untuk<br />
Indonesia tak surut. Kusnadi masih mempunyai mimpi jika<br />
ia bisa menjadi duta besar Kanada, dirinya akan bicara<br />
tentang hukum udara. Menurutnya, di Kanada, negara yang<br />
penduduknya cuma 30 juta ada Universitas Hukum Udara<br />
terbesar di dunia. Sementara Indonesia, negara besar<br />
dengan penduduk 250 juta, memiliki wilayah luas tak<br />
mempunyai sekolah seperti itu. Hal ini yang mendorong<br />
obsesinya ingin mendirikan Sekolah Hukum Udara.<br />
Diterangkan Kusnadi, hukum udara itu tentang hukum lalu<br />
lintas udara, peraturan udara satu negara. Kusnadi optimis<br />
sekolahnya nanti akan mendapat respon positif karena dia<br />
melihat dunia penerbangan tanah air tengah booming.<br />
Misal, di tahun 2010 penerbangan di tanah air berkisar<br />
1.000 pesawat, di tahun 2015; meningkat 2.000 pesawat,<br />
sekarang naik menjadi 2.500 pesawat.
“Saya ingin mengembangkan lagi restoran ini,<br />
nantinya saya ingin bangun Joglo untuk pertemuan,<br />
pesta perkawinan, disewakan untuk acara-acara.<br />
Di sini pelanggan dari mana-mana,<br />
tak hanya dari Pondok Rangon.<br />
Menu favorit disini nasi timbel,”
Perjalanan<br />
hidup<br />
anak<br />
transmigran<br />
Kusnadi adalah anak transmigran. Sekitar tahun<br />
1936 kakek-neneknya Bapak Wirokaryo beserta istri, Ibu<br />
Ponirah, berasal dari Kediri, Jawa Timur ikut dalam<br />
program transmigrasi yang pada jaman itu disebut<br />
Program Kolonisasi. Mereka membawa seorang putra<br />
bernama S. Kardi berangkat menuju daerah Pringsewu,<br />
Lampung. Untuk mencapai tujuan tersebut rombongan<br />
berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya<br />
menuju Pelabuhan Teluk Betung, Lampung kemudian<br />
menuju pemukiman baru di Pringsewu ditempuh dengan<br />
berjalan kaki sejauh 45 km. Setelah melalui perjalanan<br />
selama seminggu Wirokaryo, istri dan anaknya tiba di<br />
tempat tujuan, Desa Margo Mulyo, Pringsewu, Lampung,<br />
dan memulai kehidupan barunya.<br />
Singkat cerita, dalam perkembangan berikut sang<br />
anak, S. Kardi, lalu mempersunting Tuginah, gadis<br />
pujaannya asal Solo, Jawa Tengah yang sama-sama<br />
anak kolonisasi dan masih bertetangga di daerah<br />
Pringsewu. Mereka menikah tahun 1950, kemudian<br />
mukim di daerah Pringombo. Pasangan ini<br />
dikaruniai 7 anak, yakni Kusnadi Kardi, anak<br />
pertama yang lahir pada 10 Juni 1951, kemudian<br />
anak kedua, Sulikah, lalu Subiyah, Kuswanto (telah<br />
meninggal dunia), Endang Suryani (meninggal<br />
dunia), Sucipto, dan si bungsu Sulistyowati.<br />
Menurut Kusnadi, kondisi kehidupan keluarganya<br />
sangat sederhana, sehingga ia mempunyai tekad<br />
besar ingin sekolah agar bisa menjadi orang sukses,<br />
itu cita-citanya sejak kecil. Jalan untuk meraih citacita<br />
itu lalu dimulai ketika ia masuk SR Sekolah<br />
Rakyat (SR) Xaverius (sekarang SD) yang<br />
merupakan sekolah favorit pada saat itu. Di SR<br />
prestasinya amat membanggakan dimana dari<br />
kelas 1 hingga kelas 6 ia selalu meraih juara<br />
pertama, dan ketika lanjut ke SMP Xaverius kembali<br />
selalu meraih juara pertama, sejak kelas 1 hingga<br />
kelas 3. Kusnadi semakin bersemangat menuntut<br />
ilmu, terlebih ia pernah mendengar di siaran radio<br />
yang menegaskan bahwa jika seseorang ingin<br />
sukses harus rajin belajar. Namun demikian,<br />
menjelang lulus SMP ia terancam tak bisa<br />
melanjutkan sekolahnya karena sang ayah tak<br />
mendukung lantaran masalah biaya. Kusnadi lalu<br />
menemui kakeknya dan mengutarakan niatnya ingin<br />
terus bersekolah. Pilihannya waktu itu ia ingin<br />
sekolah di SMA de Brito, Yogyakarta, dengan alasan<br />
Yogyakarta adalah kota pelajar, dan SMA de Brito<br />
merupakan sekolah favorit di kota tersebut dan milik<br />
Lembaga Pendidikan Katholik sama dengan<br />
lembaga pendidikan Xaverius. Selain itu, sekolah<br />
tersebut menerapkan pungutan biaya sekolah<br />
sesuai kemampuan orangtua siswa. Gayung<br />
bersambut, kakeknya Wirokaryo mendukung tekat<br />
Kusnadi dan rela menjual sawah untuk biaya seolah<br />
sang cucu. Singat kata, selesai SMP ia merantau<br />
dan sekolah di SMA De Brito, Sapen, Yogyakarta. Tak<br />
banyak pengalaman yang dialami Kusnadi saat<br />
menempuh pendidikan di SMA, sampai akhirnya<br />
Kusnadi mampu menyelesaikan pendidikan SMAnya<br />
di tahun 1969 dengan prestasi membanggakan<br />
yakni juara 5 (lima) besar. Dengan modal kelulusan<br />
itu Kusnadi memilih melanjutkan pendidikan ke<br />
AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik<br />
Indonesia), bagian udara. Menurutnya, pilihannya<br />
masuk AKABRI lantaran tidak dikenai biaya.<br />
Modalnya hanya ketekunan dan pintar. Saat itu,<br />
jelasnya, ia hanya mengikuti tes masuk AKABRI,<br />
tidak ada cadangan ikut tes perguruan tinggi lain.<br />
Ternyata, itu tak sia-sia. Ia diterima sebagai Taruna<br />
di lembaga pendidikan kedinasan tersebut.
Setahun pendidikan AKABRI para Taruna diharuskan melanjutkan<br />
pendidikannya apakah memilih Akademi AD di Magelang, Akademi AL di<br />
Surabaya, Akademi AU di Yogyakarta, atau Akademi Kepolisian (Akpol) di<br />
Semarang. Kusnadi memilih melanjutkan jenjang pendidikannya di<br />
Angkatan Udara, Yogyakarta. Alasannya, karena dirinya ingin menjadi<br />
penerbang pesawat tempur. “Saya masuk AKABRI tahun 1969 dan lulus<br />
tahun 1973, satu angkatan dengan SBY (Presiden ke-6 RI),” tuturnya. Ada<br />
satu hal yang diingatnya ketika masih sekolah di SMA de Brito, yaitu ia ingin<br />
sekali bersekolah ke luar negeri. Dan ternyata, setelah dirinya menjadi<br />
penerbang keinginan itu terwujud. Kusnadi bisa bersekolah di luar negeri.<br />
“Saya sekolah ke Amerika tahun 1985, dibiayai oleh Amerika. Saya sekolah<br />
Amerika 4 kali, Inggris dan Australia sekali, dibiayai oleh negara-negara<br />
tersebut. Kita diseleksi, modalnya nilainya bagus” tuturnya. Sewaktu<br />
bersekolah di Amerika siswa terpilih dari 25 negara, dan ia satu-satunya<br />
yang dari Indonesia. Dosennya waktu itu berusia 90 tahun, mantan marinir.<br />
Ada kejadian berkesan bersama sang dosen ketika Kusnadi bertanya umur<br />
90 kenapa masih mengajar. Sang dosen menjawab justru karena mengajar<br />
ia bisa mencapai usia 90 tahun. Nah, sejak kejadian itu ia terlecut untuk<br />
kuliah lagi. Pertama sekolah di Amerika Kusnadi mengambil pendidikan<br />
course selama 6 bulan. Kemudian di tahun 1989 ia kuliah (lagi) di Amerika<br />
mengambil jurusan Master of Science selama 2 tahun, lalu kuliah lagi yang<br />
singkat/kursus di Hawaii, California. Berikutnya mengambil S2 di Inggris<br />
(1988). Saat itu dari Indonesia yang sekolah terdiri dari 2 orang dari TNI AU,<br />
2 orang dari TNI AD, 2 orang dari TNI AL, dan 5 orang dari Mabes TNI. Jadi<br />
totalnya 12 orang dengan dirinya. Saat itu ia mengambil gelar Master<br />
setahun di Inggris. “Jadi Master saya dua, M.Sc dan RCDS (Master Of<br />
Studies). Lalu saya sekolah Air Power 6 bulan di Australia, setelah itu saya<br />
mendirikan Air Power Centre Indonesia. Setelah pensiun kantornya di sini,”<br />
tutur pria yang suka menghadapi tantangan ini. Sebagai sulung dari 7<br />
bersaudara Kusnadi memegang prinsip adik-adiknya harus sekolah semua.<br />
Maka, iapun membiayai sekolah semua adiknya. Setelah semua adik<br />
selesai sekolah barulah menikahi Farida Juleha, dara manis dari tanah<br />
Parahiyangan. “Karena menyekolahkan adik-adik saya menikah telat di<br />
umur 44 tahun. Saya punya anak umur 45 tahun. Waktu saya sekolah di<br />
Australia, istri saya sedang hamil saya bawa. Lalu waktu sekolah di Inggris,<br />
anak saya umur 2 tahun dan 1 tahun saya bawa juga ke Inggris. Yang<br />
terakhir waktu umur 5 bulan saya bawa ke Australia,” ujarnya. Meski nikah<br />
terlambat tapi ia ingin anak-anaknya harus sukses.<br />
“Saya masuk AKABRI<br />
tahun 1969 dan<br />
lulus tahun 1973,<br />
satu angkatan<br />
dengan SBY<br />
(Presiden ke-6 RI),”
Entah karena dirinya bersekolah di luar negeri, anak-anaknya pun ingin bersekolah di luar negeri. Inilah yang kemudian<br />
mendorong Kusnadi mempersiapkan bekal bahasa Inggris untuk anak-anaknya. Ia ingin anaknya bersekolah di Singapura atau<br />
di Jepang, tapi anak sulungnya malah memilih sekolah di Jerman. “Tadinya saya marah, tapi okelah, kemudian saya haruskan<br />
kursus bahasa Jerman selama setahun di Jerman. Sekarang dia lancar bahasa Jerman dan bahasa Inggris,” ujar pria yang<br />
mengarahkan anak pertamanya itu boleh nanti bekerja di Jerman tapi hanya untuk mencari pengalaman, setelah itu harus<br />
kembali ke Indonesia. Anak keduanya bercita-cita menjadi tentara, alhasil selepas SMA anak tersebut mendaftar di Akmil.<br />
Tapi, lantaran lulus SMA masih berumur 17 tahun sang anak tak diterima di Akmil. Kusnadi lalu memutuskan mengirim anak<br />
keduanya sekolah teknologi di Australia. Baru kuliah 7 bulan di Australia, anaknya kirim surat dan bilang mau pulang karena<br />
ada pendaftaran Akmil.Kemudian dia daftar Akmil lagi dan diterima. “Saya pensiun tahun 2006, anak yang bungsu lahir tahun<br />
2009. Anak saya kursus bahasa Inggris umur 5 th. Istri dulu sekolah di ASMI. Namanya Farida Juleha. Anak saya pakai nama<br />
Pratama semua dengan maksud supaya semua anak saya menjadi yang pertama,” ujarnya. Kepada anak-anaknya ia juga<br />
menekankan pada anak-anaknya jangan mau menjadi anak buah jadilah entrepreuneur, orang yang mengatur. Menurutnya,<br />
kalau anak sukses berarti sebagai orangtua berhasil. Anak bisa membanggakan orangtuanya, atau ungapan Jawa<br />
mengatakan mikul duwur mendhem jero, anak bisa mengangkat dan menjaga martabat orangtua. Tapi kalau anak blangsak,<br />
terlibat narkoba berarti orangtua gagal meskipun sukses dalam usahanya, demikian pendapat Kusnadi. Nah, agar anakanaknya<br />
bisa berhasil Kusnadi menerapkan pola didik kepada anak lelakinya harus menjadi pemimpin. Kebetulan pula anak<br />
keduanya laki-laki kini menjadi Taruna Akmil, jadi boleh dibilang sudah terarah. Sedang pada anak perempuannya Kusnadi<br />
menekankan harus menjadi entrepreuneur. Di Indonesia, tambahnya, kalau tak menjadi entrepreuneur hidup tidak<br />
berkembang, statis. “Menulis buku juga termasuk entrepreuneur, selesai nulis diseminarkan,” tuturnya. Menurutnya, sebagai<br />
profesional dirinya sudah lengkap menjalani semua profesi, seperti pernah menjadi birokrat, jadi entrepreuneur, akademisi<br />
dengan gelar doctor dan menjabat yang tertinggi sebagai Rektor (2011-2014), dan yang kini menjadi niatnya ingin menjadi<br />
diplomat. “Jadi kalau sudah menjadi diplomat, saya akan menerbitkan buku bigra saya,” ucapnya. Selain itu, jika sudah<br />
menjadi diplomat ia akan mendirikan sekolah hukum udara. Kusnadi optimis dengan sekolah tersebut karena Indonesia<br />
negara yang banyak bandara, dimana di Papua saja memiliki 300 bandara, belum lagi di Jawa. Menurutnya, dirinya cuma<br />
bonek (bondho nekad ). Dari jaman masuk SMA di Yogya ia sudah bonek., merantau dan mendaftar sekolah sendiri. Soal lalulintas<br />
udara, Kusnadi memberi pandangannya. Saat ini Pemerintah membangun bandara di Kertajati, Cirebon, ia mengusulkan<br />
landasan di Kertajati itu harusnya terdapat 4 landasan, dari yang seharusnya minimal 5 landasan untuk Bandara<br />
Internasional. Jika di bandara overload seharusnya yang dibangun landasan pesawatnya bukan terminalnya. Seperti di<br />
Amerika, misalnya, Bandara di Amerika minimal satu bandara mempunyai 10 landasan pesawat. Hal lainnya, di samping<br />
masalah landasan tentu perlu SDMnya yang mengatur lalu lintas udara. Nah, sekolah yang akan didirikannya nanti, tak hanya<br />
soal hukum udara tapi juga akan mencetak SDM pengatur lalu lintas udara. “Kita sekarang kurang 600 SDM yang mengatur<br />
penerbangan. Kalau ada pesawat kecelakaan itu kebanyakan human error,” tuturnya.
Pesan dan harapan<br />
“<br />
Untuk menjadi<br />
orang sukses<br />
harus punya tujuan,<br />
punya semangat,<br />
punya startegi.<br />
Seperti saya ini,<br />
menulis buku,<br />
mengadakan seminar,<br />
itu strategi saya.<br />
“<br />
Kusnadi K A R D I<br />
Disinggung soal kondisi dewasa ini, Kusnadi ingin menyampaikan<br />
bahwa orang itu harus profesional dalam segala hal. Harus punya<br />
jiwa nasionalisme, cinta tanah air. Jadi, dua hal itu penting;<br />
nasionalisme dan profesionalisme. Dan, menurutnya, memang<br />
tidak mudah. Untuk menanamkan dua hal itu setiap kali mengajar<br />
Kusnadi menyampaikan perihal tersebut. Jika menjadi sarjana,<br />
jadilah sarjana yang profesional, jika jadi pemimpin tumbuhkan<br />
sikap nasionalisme. Kalau di hati ada nasionalisme akan timbul<br />
pemikiran ini bagus atau tidak untuk Indonesia.<br />
“Untuk generasi sekarang seharusnya menjadi tanggungjawab<br />
Kemenpora untuk menumbuhkan sikap nasionalisme. Menjadi<br />
Menteri itu harus punya tujuan, nanti tujuannya dicapai dengan<br />
caranya dia. Kalau tak punya tujuan ya payah. Untuk menjadi orang<br />
sukses harus punya tujuan, punya semangat, punya startegi.<br />
Seperti saya ini, menulis buku, mengadakan seminar, itu strategi<br />
saya,” tuturnya.[] (baguspram)