Panduan 20 peny l primer
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Pencegahan<br />
Primer : • Konsultasi gizi untuk menerapkan pola<br />
makan yang sehat<br />
• Konsumsi makanan yang banyak<br />
mengandung zat besi, asam folat, vitamnin<br />
C dan B12.<br />
• Hindari pemberian zat besi bersamaan<br />
dengan susu, teh, kopi, minuman ringan<br />
mengandung karbonat dan multivitamin<br />
mengandung phosphate dan kalium<br />
Skrining : • Ibu hamil, bayi, anak usia sekolah<br />
3
Terapi<br />
Algoritme Tatalaksana Anemia<br />
4
Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan<br />
Sulfas ferrosus Dosis 10<br />
mg/KgBB/hari<br />
Sediaan tablet <strong>20</strong>0 mg<br />
3 kali<br />
sehari<br />
Diminum saat sedang<br />
makan, lama pemberian<br />
1-3 bulan. Efek<br />
samping mual, muntah,<br />
heartburn, konstipasi,<br />
diare, BAB kehitaman<br />
Cyanocobalamin 1000 mcg<br />
1 kali<br />
sehari<br />
Asam folat 1 mg 1-2 kali<br />
sehari<br />
Absorbsi maksimal saat<br />
lambung kosong<br />
Terapi penunjang<br />
Monitoring Pengobatan<br />
Konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi, asam folat,<br />
vitamin C dan B12 secara rutin dan lakukan pemeriksaan darah yang<br />
berhubungan dengan anemia secara rutin agar anemia Anda terkontrol.<br />
Komplikasi<br />
• Pada anak tumbuh kembangnya terhambat<br />
• Pada ibu hamil risiko prematur, pertumbuhan janin terhambat, BBLR,<br />
kematian janin<br />
• Gagal jantung<br />
• Gangguan sistem imun<br />
• Mudah terinfeksi <strong>peny</strong>akit<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Halaman 632-659. Jilid II, Edisi IV.<br />
Editor : Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus<br />
Simadibrata, Siti Setiati.Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.FKUI-<br />
RSCM<br />
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15.<br />
5
II. Asma Bronkhial<br />
No. ICPC-2 : R96 Asthma<br />
No. ICD-10 : J45 Asthma<br />
Definisi<br />
Penyakit Asma adalah suatu <strong>peny</strong>akit inflamasi kronik jalan napas yang<br />
melibatkan berbagai sel inflamasi dan elemennya yang ditandai dengan<br />
obstruksi dan hipereaktivitas bronkus sehingga menyebabkan gejala<br />
episodik berulang namun biasanya dapat membaik secara spontan ataupun<br />
dengan pengobatan.<br />
Etiologi<br />
Faktor yang berperan terjadinya asma adalah faktor genetik dan faktor<br />
lingkungan. Ada beberapa proses sebelum terjadinya asma sebagai berikut:<br />
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila<br />
terpajan dengan pemicu (inducer/ sensitisizer) maka akan timbul<br />
sensitisasi pada dirinya<br />
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi<br />
asma. Apabila seseorang yang telah mengalami terpajan dengan pemicu<br />
(echancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses<br />
inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasi yang berat secara<br />
klinis berhubungan dengan hiperaktivitas bronkus<br />
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus<br />
(trigger) maka akan timbul serangan asma (mengi).<br />
Berikut adalah pemicu terjadinya hiper-responsif pada <strong>peny</strong>andang asma:<br />
1) Infeksi virus: rhinovirus, respiratory syncytial virus, virus influenza<br />
2) Infeksi bakteri: Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia<br />
3) Bahan-bahan di dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang, kecoa<br />
4) Bahan-bahan di luar ruangan: tepung sari bunga, jamur<br />
5) Makanan-makanan tertentu: bahan pengawet, <strong>peny</strong>edap dan pewarna<br />
makanan<br />
6) Obat-obatan tertentu: aspirin, NSAID, ß1 bloker (misalnya propanolol)<br />
7) Iritan: parfum, bau-bauan merangsang<br />
8) Ekspresi emosi yang berlebihan<br />
9) Asap rokok<br />
10) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan<br />
11) Exercise-induced asthma (asma kambuh ketika melakukan aktivitas<br />
fisik tertentu)<br />
12) Perubahan cuaca.<br />
6
Penegakan Diagnosis<br />
Diagnosis klinis berdasarkan gejala, riwayat, medis, dan pemeriksaan fisis<br />
sangat berarti dalam menegakkan diagnosis asma.<br />
Anamnesis<br />
Keluhan (Subjektif) :<br />
Lebih dari satu gejala berikut: batuk<br />
berulang, sesak napas, rasa berat di dada,<br />
napas berbunyi (mengi).<br />
Gejala sering memburuk malam hari atau<br />
menjelang pagi,<br />
Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan<br />
intensitasnya,<br />
Ada faktor pencetus.<br />
Faktor Risiko : Faktor genetik: alergi, riwayat asma dalam<br />
keluarga<br />
Faktor lingkungan: allergen, infeksi<br />
pernapasan, pajanan di tempat kerja, polusi<br />
udara<br />
Usia penderita : Bisa pada semua umur, biasanya anak-anak<br />
Pemeriksaan Fisik<br />
Pemeriksaan tanda vital : Frekuensi napas dan denyut nadi dapat<br />
normal pada saat stabil (tidak eksaserbasi)<br />
atau meningkat pada eksaserbasi akut.<br />
Pemeriksaan respirasi<br />
1. Dapat normal<br />
2. Wheezing/mengi pada auskultasi, bilateral<br />
dan lebih terdengar pada fase ekspirasi<br />
saat terjadi eksaserbasi akut.<br />
3. Penggunaan otot-otot bantu napas saat<br />
eksaserbasi akut.<br />
7
Pemeriksaan Penunjang<br />
Pemeriksaan Arus puncak<br />
ekspirasi (APE)<br />
menggunakan alat peak<br />
expiratory flow rate meter<br />
(PEFR)<br />
: Perubahan (APE meningkat) ≥ 60<br />
l/menit atau <strong>20</strong>% setelah pemberian<br />
bronkodilator (short acting beta 2<br />
agonis/ SABA, contoh: salbutamol)<br />
mengindikasikan terdapat respons<br />
bronkodilator atau kemungkinan<br />
diagnosis asma.<br />
Pemeriksaan<br />
(bila tersedia)<br />
Spirometri<br />
: Penilaian obstruksi jalan napas<br />
berdasarkan rasio Volume Ekspirasi<br />
Paksa detik pertama (VEP 1 ) dan<br />
Kapasitas Vital Paksa (VEP 1 /KVP)<br />
yang normal di atas 75%. Di bawah<br />
nilai tersebut dinyatakan sebagai<br />
obstruksi jalan napas.<br />
Pemeriksaan Radiologi<br />
: Foto toraks bisa tampak normal.<br />
Diindikasikan untuk mencari<br />
komplikasi saat eksaserbasi atau<br />
memastikan diagnosis banding<br />
lainnya.<br />
Diagnosis Banding<br />
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)<br />
Bronkitis kronik<br />
Gagal jantung kongestif<br />
Batuk kronik akibat lain-lain<br />
Disfungsi larings<br />
Obstruksi mekanis<br />
Emboli paru<br />
Disfungsi pita suara<br />
Bronkiektasis<br />
Kistik fibrosis<br />
8
Penanganan Eksaserbasi Asma di Fasilitas Kesehatan Tingkat<br />
Pertama (dewasa, remaja, anak-anak 6-11 th)<br />
14
Rujukan<br />
Bila pengobatan tidak berhasil, dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan<br />
Tingkat Lanjut.<br />
Kriteria pasien yang dirujuk adalah:<br />
a. Pada serangan akut yang mengancam jiwa<br />
b. Tidak respons dengan pengobatan<br />
c. Tanda dan gejala tidak jelas dalam diagnosis banding, atau adanya<br />
komplikasi atau <strong>peny</strong>akit <strong>peny</strong>erta (komorbid): seperti sinusitis, polip<br />
hidung, aspergilosis (ABPA), rhinitis berat, disfungsi pita suara,<br />
<strong>peny</strong>akit refluks gastroesofagus (PRGE) dan PPOK<br />
d. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya diluar pemeriksaan standar<br />
seperti uji kulit (ujialergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji<br />
provokasi bronkus, uji latih (Cardiopulmonary Exercise Test),<br />
bronkoskopi dan sebagainya.<br />
16
Komplikasi<br />
Pneumotoraks<br />
Asma resisten terhadap steroid<br />
Atelektasis<br />
Gagal napas<br />
Pencegahan<br />
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu :<br />
a. Pencegahan Primer<br />
Pencegahan <strong>primer</strong> ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi<br />
dengan orang tua <strong>peny</strong>andang asma dengan cara yaitu:<br />
1) Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan<br />
masa perkembangan bayi/anak<br />
2) Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan<br />
b. Pencegahan Sekunder<br />
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak<br />
yang telah tersensitisasi dengan cara menghindar pajanan asap rokok,<br />
serta alergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.<br />
c. Pencegahan Tersier<br />
Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada<br />
anak yang telah menunjukkan manifestasi <strong>peny</strong>akit dengan menghindari<br />
pencetus<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Global initiative for asthma. Global Strategy for asma management and<br />
prevention (revised <strong>20</strong>15).<br />
2. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan<br />
penatalaksanaan asma di Indonesia. Jakarta: PDPI;<strong>20</strong>16<br />
3. Pedoman Tatalaksana Asma. Dewan asma Indonesia. Jakarta. <strong>20</strong>11.<br />
4. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Asma di Fasilitas Kesehatan<br />
Tingkat Pertama Kemenkes. <strong>20</strong>15.<br />
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15.<br />
19
Obat-Obatan<br />
Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan<br />
Antitusif<br />
Dekstrometh<br />
orfan (DMP)<br />
Codein<br />
Dewasa 15-30 mg per<br />
oral, maksimal 1<strong>20</strong><br />
mg/hari<br />
Anak 6-12 tahun: 5-15<br />
mg per oral, maksimal<br />
60 mg/hari<br />
Anak 2-6 tahun: 2.5-<br />
7.5 mg per oral,<br />
maksimal 30mg/hari<br />
Dewasa 10-<strong>20</strong> mg per<br />
oral, maksimal 1<strong>20</strong><br />
mg/hari<br />
Anak 6-12 tahun: 5-10<br />
mg per oral, maksimal<br />
60 mg/hari<br />
Anak 2-6 tahun: 2.5-5<br />
mg per oral, maksimal<br />
30mg/hari<br />
Expektorant dan Mukolitik<br />
Guaifenesin/ Dewasa: <strong>20</strong>0 – 400 mg<br />
GG per oral, maksimal<br />
2.4g/hari<br />
Anak 6-12 tahun: 100-<br />
<strong>20</strong>0 mg per oral,<br />
maksimal 1.2g/hari<br />
Anak 2-6 tahun: 50-<br />
100mg per oral,<br />
maksimal 600 mg/hari<br />
Bromhexin<br />
Ambroxol<br />
Dewasa 8 mg per oral<br />
Anak 6-12 tahun: 4 mg<br />
per oral<br />
Anak 2-6 tahun: 4mg<br />
per oral<br />
Dewasa 30 mg per<br />
oral, maksimal 1<strong>20</strong><br />
mg/hari<br />
Anak 6-12 tahun: 15<br />
23<br />
3-4 kali<br />
sehari<br />
3-4 kali<br />
sehari<br />
3-4 kali<br />
sehari<br />
3 kali<br />
sehari<br />
2 kali<br />
sehari<br />
untuk anak<br />
2-6 tahun<br />
2-3 kali<br />
sehari<br />
Diberikan selama 5<br />
hari, hati-hati<br />
penggunaan pada<br />
anak < 6 tahun,<br />
tidak diberikan<br />
pada <strong>peny</strong>andang<br />
asma, PPOK<br />
Diberikan selama 5<br />
hari, hati-hati<br />
penggunaan pada<br />
anak < 6 tahun,<br />
tidak diberikan<br />
pada <strong>peny</strong>andang<br />
asma, PPOK<br />
Diberikan selama 5<br />
hari, hati-hati<br />
penggunaan pada<br />
anak < 6 tahun<br />
Diberikan selama 5<br />
hari, hati-hati<br />
penggunaan pada<br />
anak < 6 tahun<br />
Diberikan selama 5<br />
hari, hati-hati<br />
penggunaan pada<br />
anak < 6 tahun
Monitoring<br />
Biasanya jarang diperlukan karena bronkitis dapat sembuh dalam beberapa<br />
minggu. Pada pasien yang masih memberikan sisa gejala lakukan evaluasi<br />
kemungkinan adanya <strong>peny</strong>akit kronik seperti asma, GERD, PPOK, infeksi<br />
TB, dll.<br />
Komplikasi<br />
Bronkitis Kronis<br />
Pneumonia<br />
Atelektasis<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Balter MS, La Forge J, Low DE, Mandell L, Grossman RF. Canadian<br />
Guidelines for the<br />
Management of acute exacerbations of chronics bronchitis; executive<br />
summary. Can Respir J. Aug <strong>20</strong>03. 248-58.<br />
2. Michigan manajement of uncomplicated acute bronchitis in adult. May<br />
<strong>20</strong>16. Smith SM, Fahey T, Smucny J, Beckey LA. The Cochrane<br />
Collaboration, <strong>20</strong>12, Issue 4; and inhaled corticosteroids for stable<br />
chronic obstructive pulmonary disease(review), Yang IA, Clarke MS,<br />
Sim EHA, Fong KM. The Cohrane Collaboration, <strong>20</strong>12, Issue 7;<br />
3. Knutson D, Braun C. Diagnosis and Management of acute bronchitis.<br />
American Family Physician. Available at www.aafp.org/afp. May <strong>20</strong>02.<br />
Vol65. <strong>20</strong>39-44<br />
4. Harris, AM, Hicks LA, Qaseem A. Appropriate Untibiotics Use for<br />
Acute Respiratory Tract Infection in Adults: Advice for High Value<br />
Care From the American College of Physicians and The Centers for<br />
Disease Control and Prevention. Ann Intern Med.<strong>20</strong>16;164:425-434<br />
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15.<br />
25
Pemeriksaan Fisik<br />
Pemeriksaan Tanda<br />
Vital<br />
Pemeriksaan BMI<br />
Pemeriksaan paru<br />
: Tergantung dari luasnya lesi pada paru, bila<br />
kerusakan paru cukup luas maka pasien akan<br />
terlihat sesak dengan frekuensi napas dan<br />
frekuensi nadi meningkat<br />
Dapat ditemukan keadaan gizi kurang atau<br />
malnutrisi<br />
: Kelainan pada pemeriksaan fisis tergantung<br />
dari luasnya kelainan atau kerusakan struktur<br />
paru. Pada permulaan <strong>peny</strong>akit umumnya tidak<br />
ditemukan kelainan. Kelainan paru umumnya<br />
pada daerah lobus superior<br />
Dapat ditemukan suara napas bronkial,<br />
amforik, melemah, ronki basah<br />
Pemeriksaan Penunjang<br />
Pemeriksaan darah : Pemeriksaan darah rutin kurang<br />
menunjukkan indikator spesifik untuk<br />
TB. Laju endap darah (LED) yang<br />
meningkat kurang spesifik<br />
Pemeriksaan bakteriologik : Bila ditemukan 1 spesimen BTA positif<br />
dari 2 atau 3 spesimen sputum<br />
Pemeriksaan/tes uji cepat (bila ada<br />
fasilitas)<br />
Xpert MTB/Rif: bila deteksi M.Tb positif<br />
: Pemeriksaan kutur M. Tb: tumbuh<br />
kuman M. Tb<br />
Pemeriksaan radiologis<br />
(foto toraks)<br />
: Bayangan berawan/nodular di segmen<br />
apikal dan posterior lobus atas paru<br />
dan segmen superior lobus bawah<br />
Kavitas, dapat dikelilingi oleh<br />
bayangan opak berawan atau noduler<br />
Bayangan bercak milier<br />
27
Algoritme Diagnosis TB pada Pasien Dewasa<br />
Sputum mikroskopis (BTA)<br />
Foto toraks<br />
BTA (+) BTA (-)<br />
Kasus definitif TB BTA (+)<br />
Lihat klinis dan foto toraks<br />
Tidak sesuai TB<br />
Antibiotik 2<br />
minggu<br />
Kasus TB BTA (-)<br />
Perbaikan<br />
Tidak perbaikan, klinis sesuai<br />
TB<br />
Bukan TB<br />
Obati sesuai kasus TB<br />
Catatan:<br />
Garis putus-putus = bila terdapat fasilitas<br />
Bila terdapat riwayat OAT sebelumnya, selain melakukan pemeriksaan sputum mikroskopis juga<br />
dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/Rif, bila Xpert Rifampisin resisten dilanjutkan dengan pemeriksaan<br />
biakan M.Tb dan uji kepekaan obat lini 1 dan lini 2 (sesuai fasilitas yang tersedia).<br />
28
Diagnosa Banding<br />
PPOK (Penyakit Paru<br />
Obstruksi Kronik)<br />
Pneumonia komunitas<br />
Bronkiektasis<br />
Kanker paru<br />
Abses paru<br />
Pencegahan<br />
Primer<br />
Skrining<br />
Sekunder<br />
: Biasanya diderita usia > 50 tahun, perokok<br />
berat, barrel chest, mengi, hasil spirometry<br />
menunjukkan adanya perlambatan aliran udara<br />
atau obstruksi<br />
Peradangan parenkim paru yang disebabkan<br />
oleh mikroorganisme yang ditandai dengan<br />
demam >40 °C, batuk dengan dahak purulen<br />
disertai dengan sesak napas atau nyeri dada<br />
Penyakit saluran nafas kronik yang ditandai<br />
dengan dilatasi abnormal permanen akibat<br />
rusaknya dinding bronkus. Gejala klinisnya<br />
batuk disertai dahak banyak yang purulen,<br />
dapat dijumpai sputum 3 lapis (lapisan busa,<br />
lapisan purulen, dan mukoid)<br />
Didapatkan massa pada paru, biasanya pada<br />
pasien dengan risiko tinggi seperti perokok.<br />
Gejala klinis batuk dapat disertai darah,<br />
penurunan berat badan dan nyeri dada<br />
Pengumpulan cairan terinfeksi dalam suatu<br />
rongga. Gejala batuk berdahak biasanya berbau<br />
busuk<br />
: Vaksinasi BCG<br />
: Active case finding (terutama pada orang dengan<br />
risiko tinggi seperti HIV, pengguna narkoba<br />
suntik, kontak dekat pada orang dengan TB aktif)<br />
: Hindari kontak langsung (pada orang yang<br />
mendapat pengobatan, setelah 2 minggu<br />
pengobatan efektif maka infeksius menjadi<br />
berkurang)<br />
Menutup hidung & mulut saat bersin/batuk<br />
dengan sapu tangan, tisu atau masker<br />
Pengawasan minum obat hingga selesai pada<br />
orang dengan TB<br />
29
Evaluasi klinis<br />
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan<br />
selanjutnya setiap 1 bulan<br />
Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta<br />
ada tidaknya komplikasi <strong>peny</strong>akit, bila terdapat efek samping berat <br />
Rujuk.<br />
Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis<br />
Evaluasi bakteriologi (0 - 2 - 6 /8 bulan pengobatan)<br />
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak<br />
Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis: sebelum<br />
pengobatan, setelah 2 (dua) bulan pengobatan dan pada akhir<br />
pengobatan<br />
Bila dahak tidak konversi Rujuk.<br />
Evaluasi radiologi (0 - 2 – 6/8 bulan pengobatan)<br />
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada sebelum<br />
pengobatan, setelah 2 (dua) bulan pengobatan kecuali pada kasus yang<br />
dipikirkan terdapat keganasan dapat dilakukan 1 (satu) bulan<br />
pengobatan dan pada akhir pengobatan.<br />
Bila tidak terdapat perbaikan atau terjadi perburukan secara radiologi <br />
Rujuk.<br />
Evaluasi efek samping secara klinis<br />
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal<br />
dan darah lengkap<br />
Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin,<br />
dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar <strong>peny</strong>akit <strong>peny</strong>erta atau<br />
efek samping pengobatan<br />
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid<br />
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol<br />
(bila ada keluhan)<br />
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan<br />
dan audiometri (bila ada keluhan)<br />
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan<br />
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan<br />
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat<br />
efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk<br />
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.<br />
32
Komplikasi<br />
Atelektasis<br />
Bronkiektasis<br />
Cor pulmonal<br />
Batuk darah masif<br />
Pneumotoraks<br />
Empyema TB<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15.<br />
2. Kemenkes RI. <strong>Panduan</strong> Penyusunan Kurikulum Pendidikan TB, <strong>20</strong>13.<br />
3. WHO. TB for Medical Student<br />
4. WHO. International Standard for Tuberculosis Care. Diagnosis,<br />
treatment and public health.3 rd ed.<strong>20</strong>13<br />
5. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:<br />
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;<strong>20</strong>14.<br />
6. TBCTA (Tuberculosis Coalitionfor Technical Assistance).<br />
7. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.<br />
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta: PT. Inoraf;<strong>20</strong>11.<br />
33
Obat-Obatan<br />
Obat Rentang dosis<br />
mg/hari<br />
Antipiretik<br />
Paracetamol Dewasa : 4000<br />
mg/hari<br />
3 bln – 1 thn: 500<br />
mg/hari<br />
1 – 6 tahun : 1000<br />
mg/hari<br />
6 – 12 tahun: <strong>20</strong>00<br />
mg/hari<br />
Frekuensi<br />
Keterangan<br />
3-4 kali sehari Jika demam<br />
sudah turun<br />
stabil<br />
hentikan<br />
Monitoring<br />
Lakukan penilaian terhadap tanda bahaya hingga fase kritis dilewati.<br />
Sebaiknya lakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin dan serum<br />
transaminase saat 4 minggu selesai perawatan untuk menilai adanya gejala<br />
sisa.<br />
Komplikasi<br />
Dengue Shock Syndrome<br />
Efusi pleura<br />
Asites<br />
Sianosis<br />
Syok irreversible<br />
Daftar Pustaka<br />
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.<br />
Buku ajar ilmu <strong>peny</strong>akit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat<br />
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; <strong>20</strong>06.<br />
WHO. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and<br />
Control.new ed.<strong>20</strong>09<br />
37
VI. Demam Typhoid<br />
No. ICPC-2:D70 Gastrointestinal infection<br />
No. ICD-10:A01.0 Typhoid fever<br />
Definisi<br />
Adalah <strong>peny</strong>akit yang disebabkan oleh infeksibakteri Salmonella enterica<br />
khususnya Salmonella typhiyang ditularkanmelaluifaecal-oral.<br />
Etiologi<br />
Salmonella typhi<br />
Salmonella paratyphi A,B,C<br />
PenegakanDiagnosa<br />
1. Diagnosis Kerja:<br />
Diagnosis kerja ditegakkan bila terdapat hal-hal berikut ini:<br />
a. Demam ≥5 hari<br />
b. Suhu ≥ 38,5 °C<br />
Ditambah salah satu dari hal-hal berikut:<br />
a. Peningkatan LED atau CRP<br />
b. Leukosit normal atau leukopenia<br />
c. Gejala gastrointestinal antara lain: mual muntah, nafsu makan<br />
berkurang, nyeri perut, diare, konstipasi<br />
2. Faktor Risiko:<br />
a. Proses mencuci tangan yang kurang baik<br />
b. Sanitasi lingkungan yang tidak bersih<br />
c. Penyediaan air bersih yang kurang baik<br />
d. Makan dan minum ditempat jualan yang kurang bersih<br />
3. Usia Penderita:<br />
Bisa dialami semua usia<br />
4. Pemeriksaan Penunjang:<br />
a. Pemeriksaan darah tepi: Leukosit: normal, leukopeni<br />
b. Pemeriksaan CRP dan LED: meningkat<br />
c. Pemeriksaan bakteriologis(isolasi & biakan kuman):<br />
Kultur darah : positif (negatif pada pemberian antibiotik)<br />
Feses: Positif (dilakukan setelah 1 minggu demam)<br />
d. Uji serologis:<br />
Widal : (+) titer O≥1/3<strong>20</strong> atau H≥1/640 diagnosa pasti jika<br />
terjadi kenaikan widal 2-4 kali lipat pada pemeriksaan ulang 5-<br />
7 hari<br />
Tubex : (+) skor ≥ 5, hanya dapat mendeteksi Salmonella typhi<br />
38
5. Diagnosis Akhir:<br />
a. Demam Tifoid Tanpa Penyulit<br />
Widal meningkat 2-4 kali pada pemeriksaan serial<br />
Single Titer: Widal O ≥ 1/3<strong>20</strong>; Widal H ≥ 1/640<br />
Kultur Darah Positif<br />
Respon pengobatan 3-5 hari setelah terapi empirik<br />
b. Demam Tifoid Dengan Penyulit:<br />
Penurunan kesadaran<br />
Bronkopneumonia<br />
Diagnosa Banding<br />
Demam berdarah<br />
dengue<br />
Apendisitis<br />
Demam dengue<br />
Influenza<br />
Malaria<br />
: Demam tinggi mendadak terus menerus,<br />
ditularkan oleh nyamuk, trombositopeni,<br />
hemokonsentrasi.<br />
: Disertai nyeri perut terutama dibagian kanan<br />
bawah, perut buncit, sulit buang angin<br />
: Demam tinggi mendadak disertai<br />
trombositopeni dan hemokonsentrasi<br />
: Demam tinggi disertai batuk, pilek, sakit<br />
tenggorokan, bersin<br />
: Pola demam hilang timbul disertai keringat<br />
dingin berlebihan<br />
Pencegahan<br />
Primer<br />
Sekunder<br />
: Jagalah kebersihan badan dan sekitar Anda<br />
Jagalah kebersihan sanitasi lingkungan<br />
Cucilah tangan sebelum makan<br />
Hindari makan dan minum ditempat yang tidak<br />
terjaga kebersihannya<br />
: Pemberian vaksin thyphoid jika ingin bepergian<br />
ke wilayah endemik<br />
39
Monitoring Pengobatan<br />
Lakukan kontrol 5 (lima) hari setelah pengobatan<br />
Komplikasi<br />
Perforasi usus<br />
Ileus paralitik<br />
Syok<br />
Anemia hemolitik<br />
Pleuritis<br />
Hepatitis<br />
Pielonefritis<br />
Meningitis<br />
Daftar Pustaka<br />
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.<br />
Buku ajar ilmu <strong>peny</strong>akit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat<br />
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; <strong>20</strong>06.<br />
WHO. Guidelines for The Management of Typhoid Fever. July <strong>20</strong>11.<br />
41
VII. Dermatitis<br />
VII.1 Dermatitis<br />
No. ICPC-2:S86 Dermatitis seborrhoeic<br />
No. ICD-10:L21 Seborrhoeic Dermatitis<br />
Tingkat Kemampuan 4A<br />
Masalah Kesehatan<br />
Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang digunakan untuk<br />
kelainan inflamasi kulit yang didasari oleh faktor konstitusi tertentu.<br />
Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea,<br />
sehingga mempunyai predileksi di daerah seborea (kulit kepala, wajah,<br />
dada dan punggung atas).<br />
Anamnesis (Subyektif)<br />
Pasien datang dengan keluhan munculnya bercak merah dan kulit kasar<br />
pada daerah predileksi. Kelainan awal yang ringan hanya berupa ketombe<br />
pada kulit kepala (pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa keropeng<br />
yang berbau tidak sedap dan terasa gatal. Dermatitis bisa berkembang dan<br />
meluas menjadi eritroderma.<br />
Faktor risiko di antaranya adalahgenetik, kelelahan, stres emosional,<br />
infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih sering daripada wanita,<br />
usia bayi bulan 1 dan usia 18-40 tahun, dan kurang tidur.<br />
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)<br />
Pemeriksaan Fisik<br />
Tanda-tanda patognomonis:<br />
Papul sampai plak eritema<br />
Skuama berminyak agak kekuningan<br />
Berbatas tidak tegas<br />
Lokasi predileksi: kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang leher,<br />
alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipat naso labial, sternal, areola<br />
mammae, lipatan bawah mammae pada wanita, interskapular, umbilikus,<br />
lipat paha, daerah angogenital.<br />
Dermatitis seboroik ringan apabila lesi kulit terbatas dengan eritem ringan<br />
dan skuama sedikit. Dikatakan berat bila lesi luas dengan skuama tebal,<br />
sampai menjadi eritroderma.<br />
Bentuk klinis berat (pada neonatus): seluruh kepala tertutup oleh krusta,<br />
kotor, dan berbau (cradle cap).<br />
42
Pemeriksaan Penunjang<br />
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.<br />
Dermatitis seboroik pada kulit kepala<br />
Penegakan Diagnostik (Assessment)<br />
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.<br />
Diagnosis banding:Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda Auspitz,<br />
skuama tebal seperti mika), Kandidosis (pada lipat paha dan perineal,<br />
eritema bewarna merah cerah berbatas tegas dengan lesi satelit di<br />
sekitarnya), Otomikosis (untuk lesi di liang telinga).<br />
Komplikasi<br />
Pada bayi dan anak, lesi bisa meluas menjadi <strong>peny</strong>akit Leiner atau<br />
eritroderma.<br />
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)<br />
Penatalaksanaan:<br />
Pasien diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi terjadinya<br />
keluhan, misalnya stres emosional dan kurang tidur. Diet juga<br />
disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak.<br />
Farmakoterapi dilakukan dengan:<br />
Topikal<br />
o Bayi: Diberikan topikal minyak (oleum cocos) pada lokasi<br />
skuama, malam hari—esok hari, segera di cuci dengan shampoo<br />
bayi. Gunakan kortikosteroid lemah sampai sedang, lebih baik<br />
dalam bentuk lotion atau solusio (bila ada,) selama beberapa hari.<br />
43
Selama pengobatan, rambut harus tetap dicuci.<br />
o Anak dan Dewasa: pada lesi di kulit kepala, diberikan shampo<br />
selenium sulfida 1,8 atau shampo ketokonazol 2%, zink pirition<br />
(shampo anti ketombe), atau pemakaian preparat ter (liquor<br />
carbonis detergent) 2-5 % dalam bentuk salep dengan frekuensi 2-<br />
3 kali seminggu selama 5-15 menit per hari.<br />
o Pada lesi di badan diberikan kortikosteroid topikal lemah sampai<br />
sedang selama maksimal 2 minggu<br />
o Pada kasus dengan manifestasi dengan inflamasi yang lebih berat<br />
diberikan kortikosteroid kuat misalnya betametason valerat krim<br />
0,1%. (tidak boleh dipakai di wajah dan daerah lipatan dan pada<br />
pasien bayi)<br />
o Pada kasus dengan infeksi jamur, perlu dipertimbangkan<br />
pemberian ketokonazol krim 2%.<br />
Oral sistemik<br />
o Antihistamin sedatif yaitu: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari<br />
selama 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 2<br />
minggu, ATAU<br />
o Antihistamin non sedatif yaitu: loratadin 1x10 mg selama<br />
maksimal 2 minggu.<br />
Konseling dan Edukasi<br />
o Memberitahukan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan bayi<br />
dan rajin merawat kulit kepala bayi<br />
o Memberitahukan kepada orang tua bahwa kelainan ini umumnya<br />
muncul pada bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik<br />
seiring dengan pertambahan usia<br />
o Memberikan informasi bahwa <strong>peny</strong>akit ini sukar disembuhkan<br />
tetapi dapat terkontrol dengan mengontrol emosi dan psikisnya.<br />
Kriteria Rujukan:<br />
Pasien dirujuk apabila:<br />
1. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan standar selama 2 minggu<br />
2. Pasien dengan komplikasi eritroderma<br />
3. Dermatitis seboroik berat yang didasari <strong>peny</strong>akit tertentu, misalnya<br />
infeksi HIV/AIDS<br />
Rujukan balik:<br />
Pasien yang telah mengalami remisi dan komplikasinya teratasi, dirujuk<br />
balik ke pelayanan <strong>primer</strong><br />
44
Referensi<br />
1. Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. <strong>20</strong>15. Ilmu Penyakit<br />
Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas<br />
Kedokteran Universitas Indonesia.<br />
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. <strong>20</strong>00. Andrew’s Diseases<br />
of the Skin: Clinical Dermatology. 10 th Ed. Canada. Saunders<br />
Elsevier.<br />
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.<strong>20</strong>11.Pedoman<br />
Pelayanan Medik. Jakarta<br />
46
VII.2 Dermatitis Numularis<br />
No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema<br />
No. ICD-10: L<strong>20</strong>.8 Other atopic dermatitis<br />
Tingkat Kemampuan: 4A<br />
Masalah Kesehatan<br />
Dermatitis numularis adalah dermatitis berbentuk lesi mata uang<br />
(koin) atau lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa<br />
papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah<br />
(oozing/madidans). Penyakit ini pada orang dewasa lebih sering<br />
terjadi pada pria daripada wanita. Usia puncak awitan pada kedua<br />
jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun, pada wanita usia puncak terjadi<br />
juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa<br />
ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum<br />
satu tahun.<br />
Anamnesis (Subjective)<br />
Keluhan:Bercak merah yang basah pada predileksi tertentu<br />
(kebanyakan di ekstremitas) dan sangat gatal. Keluhan hilang timbul<br />
dan sering kambuh.<br />
Faktor Risiko: riwayat trauma fisis dan kimiawi (fenomena Kobner:<br />
gambaran lesi yang mirip dengan lesi utama), riwayat dermatitis<br />
kontak alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus dermatitis<br />
numularis anak, stress emosional, minuman yang mengandung<br />
alkohol, lingkungan dengan kelembaban rendah, riwayat infeksi kulit<br />
sebelumnya.<br />
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)<br />
Pemeriksaan Fisik<br />
Tanda-tanda patognomonis:<br />
1. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel, berkelompok<br />
membentuk plak berukuran numular seukuran uang logam,<br />
eritematosa, sedikit edema, dan berbatas tegas, bentuk lesi oval.<br />
47
2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah pecah, kemudian<br />
mengering menjadi krusta kekuningan<br />
3. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral,<br />
atau simetris, dengan ukuran yang bervariasi.<br />
Tempat predileksi terutama di tungkai bawah, badan, lengan,<br />
termasuk punggung tangan.<br />
Gambar Dermatitis numularis<br />
Pemeriksaan Penunjang<br />
Tidak diperlukan.<br />
Penegakan Diagnostik (Assessment)<br />
Diagnosis Klinis: diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan<br />
pemeriksaan fisik.<br />
Diagnosis Banding: Dermatitis kontak, Dermatitis atopik,<br />
Neurodermatitis sirkumskripta, Dermatomikosis<br />
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)<br />
Penatalaksanaan<br />
1. Pasien disarankan untuk menghindari faktor yang mungkin<br />
memprovokasi seperti stres dan fokus infeksi di organ lain<br />
2. Farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu:<br />
Topikal (2 kali sehari)<br />
a. Kompres terbuka dengan larutan permanganas kalikus<br />
1/10.000, menggunakan 3 lapis kasa bersih, selama<br />
masing-masing 15-<strong>20</strong> menit/kali kompres (untuk lesi<br />
madidans/basah) sampai lesi mengering<br />
b. Kemudian terapi dilanjutkan dengan kortikosteroid topikal<br />
potensi : sedang sampai kuat selama maksimal 2 minggu<br />
48
c. Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan<br />
hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan Betametason<br />
valerat krim 0,1% atau Mometason furoat krim 0,1%)<br />
d. Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan<br />
pemberian antibiotik topikal<br />
Oral sistemik<br />
a. Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per<br />
hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg<br />
per hari selama maksimal 2 minggu ATAU<br />
b. Antihistamin non sedatif: loratadin 1x10 mg per hari<br />
selama maksimal 2 minggu<br />
c. Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik.<br />
Komplikasi: Infeksi sekunder dan dermatitis autosensitisasi<br />
Konseling dan Edukasi<br />
1. Memberikan edukasi bahwa kelainan bersifat kronis dan<br />
berulang sehingga penting untuk pemberian obat topikal<br />
rumatan<br />
2. Mencegah terjadinya infeksi sebagai faktor risiko terjadinya<br />
relaps<br />
3. Menganjurkan menghindari faktor risiko yang bisa dilakukan<br />
Kriteria Rujukan<br />
1. Apabila kelainan tidak membaik dengan pengobatan topikal<br />
standar selama 2 minggu<br />
2. Terjadi komplikasi dermatitis autosensitisasi atau infeksi<br />
sekunder<br />
3. Apabila diduga terdapat faktor <strong>peny</strong>ulit lain, misalnya fokus<br />
infeksi pada organ lain, maka konsultasi dan/atau disertai<br />
rujukan kepada dokter spesialis terkait (contoh: gigi mulut,<br />
THT, obgyn, dan lain-lain) untuk penatalaksanaan fokus infeksi<br />
tersebut.<br />
49
Peralatan<br />
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis <strong>peny</strong>akit<br />
dermatitis numularis.<br />
Prognosis<br />
Prognosis pada umumnya bonam apabila kelainan ringan tanpa<br />
<strong>peny</strong>ulit, dapat sembuh tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat<br />
dan dengan <strong>peny</strong>ulit prognosis menjadi dubia ad bonam.<br />
Referensi<br />
Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. <strong>20</strong>15. Ilmu Penyakit<br />
Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas<br />
Kedokteran Universitas Indonesia.<br />
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. <strong>20</strong>13. Ilmu Penyakit Kulit dan<br />
Kelamin. Edisi ke enam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas<br />
Kedokteran Universitas Indonesia.<br />
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. <strong>20</strong>00. Andrew’s Diseases<br />
of the Skin: Clinical Dermatology. 10 th Ed. Canada. Saunders<br />
Elsevier.<br />
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. <strong>20</strong>11. Pedoman<br />
Pelayanan Medik. Jakarta.<br />
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514<br />
tahun <strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas<br />
Pelayanan Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
50
ALGORITME<br />
51
VII.3 Dermatitis Popok<br />
Definisi:<br />
Dermatitis yang terlokalisasi paling tidak pada awalnya, pada daerah<br />
yang tertutup popok. Keadaan ini hanya terjadi setelah pemakaian<br />
popok.<br />
Etiologi:<br />
Etiologi dermatitis popok multifaktorial. Faktor <strong>peny</strong>ebab yang<br />
berperan antara lain: hidrasi kulit, peran feses, urin, friksi, suhu, iritan<br />
kimiawi and popok itu sendiri. Faktor yang mencetuskan pertama kali<br />
adalah peningkatan hidrasi kulit dalam jangka waktu lama. Keadaan<br />
ini akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit akibat friksi,<br />
penurunan fungsi sawar kulit, dan meingkatkan reaksi terhadap bahan<br />
iritan. Fatkror lain yang berhubungan adalah kontak dengan urin dan<br />
feses, enzimproteolitik feses, enzim lipolitik pencernaan, peningkatan<br />
pH, serta superinfeksi dengan Candida spp. atau bakteri.<br />
Manifestasi klinis:<br />
Bentuk lesi: eritema konfluens, berkilat, disertai papul eritematosa<br />
multipel, edema dan skuama<br />
Lokasi lesi: bagian cembung bokong, paha bagian dalam, mons pubis,<br />
skrotum dan labia mayora.<br />
Dermatitis popok yang telah berlangsung lebih dari 3 hari, perlu<br />
dipertimbangkan adanya infeksi jamur (Candida spp). Lesi kulit<br />
berupa plak eritematosa, skuama, berbatas tegas, dan disertai lesi<br />
satelit berupa papul dan pustul. Diagnosis ditegakkan berdasarkan<br />
lesi yang khas dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH dari<br />
kerokan kulit.<br />
Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis<br />
kulit dan kelamin)<br />
- Dermatitis popok dengan infeksi sekunder (jamur)<br />
Pengobatan:<br />
PPK Primer:<br />
1. Edukasi:<br />
a. perawatan kulit di area popok.<br />
b. menggunakan popok sesuai daya tampungnya.<br />
2. Kortikosteroid topikal potensi ringan dapat diberikan dan<br />
dioleskan 2 kali sehari.<br />
Obat-obatan:<br />
(lihat lampiran)<br />
52
Referensi<br />
MIMS Dermatology. <strong>20</strong>15. Disease Management Guidelines.<br />
Indonesia. MIMS.<br />
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. <strong>20</strong>00. Andrew’s Diseases of<br />
the Skin: Clinical Dermatology. 10 th Ed. Canada. Saunders Elsevier.<br />
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. <strong>20</strong>14. <strong>Panduan</strong><br />
Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta.<br />
54
2. Riwayat asma atau rhinitis alergi (atau riwayat atopi pada first degree<br />
relative pada anak usia < 4 tahun)<br />
3. Riwayat kulit kering dalam satu tahun terakhir<br />
4. Dermatitis pada daerah lipatan yang telihat (atau dermatitis pada<br />
pipi/dahi dan ekstensor ekstremitas pada anak usia < 4 tahun)<br />
5. Awitan sebelum usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia < 4<br />
tahun).<br />
Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis kulit<br />
dan kelamin)<br />
1. Infeksi sekunder<br />
2. Eritroderma<br />
3. DA berat dan rekalsitran<br />
Pengobatan:<br />
PPK Primer:<br />
1. Edukasi<br />
2. Menghidari dan memodifikasi faktor pencetus: berdasarkan riwayat<br />
3. Fungsi sawar kulit yang optimal:<br />
a. Perawatan kulit:<br />
i. Pembersih: sabun berpelembab, pH 5,5-6,0, surfaktan ringan.<br />
ii. Mandi: 1-2 kali/hari, air suam-suam kuku.<br />
iii. Lama mandi:10-15 menit<br />
b. Memakai pelembap:<br />
i. Tipe pelembap: humektan, emolien, oklusif, kombinasi<br />
humektan, emolien & seramid, atau kombinasi humektan,<br />
emolien, antiinflamasi dan antipruritus.<br />
ii.<br />
Aplikasi: dalam waktu 3 menit setelah mandi. Penggunaannya<br />
bisa seluruh tubuh, dan dapat diulang kapan saja bila<br />
diperlukan.<br />
4. Menghilangkan inflamasi:<br />
a. Kompres basah<br />
b. Kortikosteroid topikal:<br />
i. potensi terendah yang masih efektif. Dan pertimbangkan<br />
sesuai dengan fase, lesi, lokasi dan usia<br />
ii. untuk bayi dan anak: potensi rendah sampai sedang.<br />
iii. Untuk dewasa: potensi sedang, kuat dan sangat kuat.<br />
56
5. Menghilangkan siklus gatal-garuk :<br />
a. Antihistamin sistemik (sebagai ajuvan), intermiten, jangka<br />
pendek. AH1 atau AH2.<br />
6. Tindak lanjut/Pengamatan : akut: 5 hari, dan kronik: 2 minggu.<br />
Obat-obatan: (lihat lampiran)<br />
57
58
59
Referensi<br />
MIMS Dermatology. <strong>20</strong>15. Disease Management Guidelines.<br />
Indonesia. MIMS.<br />
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. <strong>20</strong>00. Andrew’s Diseases of<br />
the Skin: Clinical Dermatology. 10 th Ed. Canada. Saunders Elsevier.<br />
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. <strong>20</strong>14. <strong>Panduan</strong><br />
Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta.<br />
60
Cefadroxil<br />
Cefalexin<br />
Sefuroxim<br />
Dewasa:<br />
2x500/hari sampai<br />
2x1000 mg/hari<br />
Anak:<br />
30 mg/kgBB/hari<br />
dalam 2 dosis<br />
40-50 mg/kgBB/hari<br />
terbagi dalam 4 dosis<br />
selama 5-7 hari<br />
Dewasa:<br />
2x250 mg/hari sampai<br />
2x500 mg/hari<br />
Anak:<br />
2x125 mg/hari sampai<br />
2x250 mg/hari<br />
Klorfeniramin Dewasa:<br />
3x4 mg/h<br />
Setirisin<br />
Loratadine<br />
Anak:<br />
0,35mg/kgBB/h<br />
Dewasa:<br />
10 mg/h<br />
Anak:<br />
6 bln-2 thn: 2,5 mg<br />
2-5 thn: 2,5-5 mg<br />
>5 thn: 5-10 mg<br />
Dewasa:<br />
10 mg/hari<br />
Anak:<br />
1 thn – 12 kg: 2,5 mg<br />
12-30 kg: 5 mg<br />
>30 kg: 10 mg<br />
66
Monitoring Pengobatan<br />
Pasien harus diperiksa 4 minggu setelah memulai pengobatan untuk<br />
memastikan bahwa pengobatan berhasil. Jika terjadi resistensi pengobatan<br />
maka regimen obat harus diganti.<br />
Komplikasi<br />
Scabies induced pioderma<br />
o Impetigo sekunder dan glomerulonefritis poststreptococal<br />
o Sterptococcus pyogenes.<br />
Scabies yang berkrusta<br />
o Lymphangitis dan septicemia<br />
Pemicu terjadinya bullous pemfigoid<br />
Kriteria Rujuk Balik<br />
Jika tidak ditemukan lagi kelainan fisis dan pada pemeriksaan mikroskop<br />
tidak ditemukan scabies maka dirujuk kembali ke PPK 1.<br />
Referensi<br />
MIMS Dermatology. <strong>20</strong>15. Disease Management Guidelines. Indonesia.<br />
MIMS.<br />
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. <strong>20</strong>00. Andrew’s Diseases of<br />
the Skin: Clinical<br />
Dermatology. 10 th Ed. Canada. Saunders Elsevier.<br />
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. <strong>20</strong>14. <strong>Panduan</strong><br />
Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta.<br />
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
67
Tabel 1. Obat-Obatan<br />
Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan<br />
Proton Pump Inhibitor<br />
Lansoprazole** 30 mg per oral ,<br />
maksimum 60<br />
mg/hari<br />
1-2 kali<br />
sehari<br />
Diberikan antara 7 – 14<br />
hari; sebelum makan<br />
Omeprazole<br />
<strong>20</strong> mg per oral,<br />
maksimum 40<br />
mg/hari<br />
1-2 kali<br />
sehari<br />
Esomeprazole** 40 mg 1 kali<br />
sehari<br />
Rapeprazole <strong>20</strong> mg 2 kali<br />
sehari<br />
Pantoprazole 40 mg 2 kali<br />
sehari<br />
H2 Antagonis<br />
Cimetidin<br />
Ranitidin<br />
400 mg per oral,<br />
maksimum 800<br />
mg<br />
300 mg per oral<br />
maksimum 600<br />
mg<br />
50 – <strong>20</strong>0 mg per<br />
IV<br />
2 kali<br />
sehari<br />
2 kali<br />
sehari<br />
3-4 kali<br />
sehari<br />
Antimikroba<br />
Klaritromisin** 500 mg per oral 2 kali<br />
sehari<br />
Amoksisilin<br />
500-1000 mg<br />
per oral,<br />
maksimal 3000<br />
mg/hari<br />
3- 4 kali<br />
sehari<br />
Metronidazole 500 mg per oral 3 kali<br />
sehari<br />
Tetrasiklin 250-500 mg per 3-4 kali<br />
oral<br />
sehari<br />
Diberikan antara 7 - 14<br />
hari; sebelum makan<br />
Diberikan antara 7 - 14<br />
hari; sebelum makan<br />
Diberikan antara 7 - 14<br />
hari; sebelum makan<br />
Diberikan antara 7 - 14<br />
hari; sebelum makan<br />
Diberikan 4-6 minggu;<br />
sesudah makanan<br />
Diberikan 4-8 minggu;<br />
sebelum/sesudah makan<br />
Diberikan selama 14 hari<br />
Diberikan selama 14 hari<br />
Diberikan selama 14 hari<br />
Diberikan selama 14 hari<br />
72
Tabel 2. Regimen Terapi Eradikasi Hp<br />
Obat Dosis Durasi<br />
Lini Pertama<br />
PPI*<br />
Amoksisilin<br />
2x1<br />
1000 mg (2x1) 7-14 hari<br />
Klaritromisin 500 mg (2x1)<br />
Di daerah yang diketahui resistensi klaritromisin ><strong>20</strong>%:<br />
PPI*<br />
2x1<br />
Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet<br />
Metronidazole 500 mg (3x1)<br />
7-14 hari<br />
Tetrasiklin<br />
250 mg (4x1)<br />
Jika bismuth tidak ada:<br />
PPI*<br />
Amoksisilin<br />
Klaritromisin<br />
Metronidazole<br />
2x1<br />
1000 mg (2x1)<br />
500 mg (2x1)<br />
250 mg (3x1)<br />
73<br />
7-14 hari<br />
Lini Kedua: Golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen<br />
yang mengandung klaritromisin<br />
PPI*<br />
Bismut subsalisilat<br />
Metronidazole<br />
Tetrasiklin<br />
PPI*<br />
Amoksisislin<br />
Levofloksasin<br />
2x1<br />
2 x 2 tablet<br />
500 mg (3x1)<br />
250 mg (4x1)<br />
2x1<br />
1000 mg (2x1)<br />
500 mg (2x1)<br />
7-14 hari<br />
7-14 hari
Daftar Pustaka<br />
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.<br />
Buku ajar ilmu <strong>peny</strong>akit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat<br />
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; <strong>20</strong>06.<br />
2. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helibacter<br />
Pylori. Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia. <strong>20</strong>14<br />
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
4. Lee YY, Chua AS. Investigating functional dyspepsia in Asia. J<br />
Neurogastroenterol Motil <strong>20</strong>12;18:239-45.<br />
5. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report<br />
on functional dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil <strong>20</strong>12;18:150-68.<br />
6. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional<br />
Penatalaksanaan Dispesia dan infeksi Helicobacter pylory.<br />
Simadibrata M. Makmun D, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A,<br />
Renaldi K, Mauleha H, Utara AP. Editors. Perkumpulan<br />
Gastroenterologi Indonesia <strong>20</strong>14.<br />
7. Syam AF. Uninvestigated dyspepsia versus investigated dyspepsia.<br />
Acta Med Indones. <strong>20</strong>05;37(2):113-5.<br />
8. Malfertheiner P, Megraud F, O’Morain CA, et al. Management of<br />
Helicobacter pylori infection--the Maastricht IV/ Florence Consensus<br />
Report. Gut <strong>20</strong>12;61:646-64.<br />
9. Utia K, Syam AF, Simadibrata M, Setiati S, Manan C. Clinical<br />
evaluation of dyspepsia in patients with functional dyspepsia, with the<br />
history of Helicobacter pylori eradication therapy in Cipto<br />
Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Acta Med Indones <strong>20</strong>10;42:86-93.<br />
75
Risiko Kardiovaskular (CV) & Kerusakan Target Organ<br />
Faktor Risiko Terkait Kardiovaskular<br />
Laki-laki<br />
Usia (laki ≥55 thn, wanita ≥ 65 thn)<br />
Merokok<br />
Dislipidemia<br />
CT > 190 mg/dL, dan/atau<br />
LDL > 115 mg/dL, dan/atau<br />
HDL : laki< 40 mg/dL, wanita< 46 mg/dL<br />
TGL > 150 mg/dL<br />
GDP (102 – 125 mg/dL)<br />
Abnormal GD2PP<br />
Obesitas (BMI ≥ 30 kg/m 2 )<br />
Lingkar Pinggang (laki ≥102 cm, wanita ≥ 88 cm, pada ras Caucasian)<br />
Riwayat keluarga mengalami premature CVD (laki 10 m/s<br />
Ankle-brachial index 7%, dan/atau<br />
G2PP >198 mg/dL<br />
Penyakit Jantung & Ginjal<br />
CVD : stroke, TIA,<br />
CHD : angina, MI, revaskularisasi miokard dengan PCI atau CABG<br />
Gagal jantung<br />
CKD dengan eGFR< 30 mL/min/1.73m 2 (BSA), proteinurin<br />
Retinopati: perdarahan,eksudat, papilledema<br />
80
Monitoring Efek Samping Pengobatan<br />
1. Fungsi Ginjal<br />
2. Hiperkalemia<br />
3. Elektrolit<br />
4. Batuk<br />
5. Kaki edema<br />
Komplikasi<br />
Hipertropi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal,<br />
aterosklerosis, retinopati, stroke, TIA, infark miokard, angina pektoris,<br />
gagal jantung.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al; National Heart, Lung, and<br />
Blood Institute Joint National Committee on Prevention, Detection,<br />
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure; National High<br />
Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. The<br />
seventh report of the Joint National Committee on Prevention,<br />
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC<br />
7 report. JAMA. <strong>20</strong>03;289(19):2560-2572.<br />
2. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, et al. <strong>20</strong>13 ESH/ESC guidelines for<br />
the management of arterial hypertension: the Task Force for the<br />
Management of Arterial Hypertension of the European Society of<br />
Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC).<br />
Eur Heart J. <strong>20</strong>13;34(28):2159-2219.<br />
3. <strong>20</strong>14 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood<br />
Pressure in Adults. JAMA. <strong>20</strong>14;311(5):507-5<strong>20</strong>.<br />
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
83
Usia penderita<br />
Pemeriksaan Fisik<br />
• Konstipasi<br />
• Riwayat keluarga ISK berulang atau <strong>peny</strong>akit<br />
ginjal<br />
• Riwayat ditemukan kelainan ginjal pada janin<br />
saat ibu hamil<br />
• Kehamilan<br />
• Anomali struktur saluran kemih<br />
: Semua usia<br />
PemeriksaanTanda<br />
Vital<br />
Pemeriksaan<br />
Abdomen<br />
Pemeriksaan<br />
Colok Dubur<br />
(pemeriksaan<br />
kelenjar prostat<br />
pada pria)<br />
PemeriksaanPenunjang<br />
: Suhu: normal atau meningkat (38.5°C-40°C), bisa<br />
takikardi<br />
: 1. Nyeri tekan suprapubik<br />
2. Nyeri ketok pada sudut kostovertebral (jarang)<br />
: 1. Nyeri tekan (jarang)<br />
2. Pembesaran kelenjar prostat (jarang)<br />
Pemeriksaan urinalisis<br />
rutin<br />
Kultur urin (untuk<br />
ISK berulang)<br />
: Positif ,leukosituria: > 10 leukosit/mm 3 , bisa<br />
hematuri<br />
: Positif ≥ 10 5 CFU/mL<br />
Kriteria Diagnosis<br />
Berdasarkan IDSA/ESCMID<br />
Kategori Presentasi Klinis Laboratorium<br />
ISK-non komplikata<br />
akut pada wanita;<br />
sistitis non<br />
komplikata akut<br />
pada wanita<br />
Disuria, urgensi,<br />
frekuensi, nyeri<br />
suprapubik, tidak ada<br />
gangguan berkemih 4<br />
minggu sebelumnya<br />
≥ 10 leukosit/mm3<br />
≥ 10 3 CFU/mL*<br />
Pielonefritis<br />
nonkomplikata<br />
akut<br />
Demam, menggigil, nyeri<br />
pinggang;diagnosis<br />
lainnya dieksklusikan;<br />
tidak ada riwayat atau<br />
bukti klinis kelainan<br />
85<br />
≥ 10 leukosit/mm3<br />
≥ 10 4 CFU/mL*
ISK komplikata<br />
Bakteria<br />
asimtomatik<br />
ISK<br />
rekuren*uropatogen<br />
pada biakan urin<br />
porsi tengah<br />
urologis (USG,<br />
radiografi)<br />
Kombinasi gejala ISK<br />
non-komplikata akut dan<br />
pielonefritis nonkomplikata<br />
akut; terdapat<br />
faktor yang berhubungan<br />
dengan ISK komplikata<br />
(ada kelainan struktur dan<br />
fungsi saluran kemih,<br />
laki-laki, wanita hamil)<br />
Tidak ada gangguan<br />
berkemih<br />
Minimal 3 episode infeksi<br />
non-komplikata pada<br />
kultur 12 bulan terakhir:<br />
hanya pada wanita; tidak<br />
ada kelainan<br />
struktural/fungsional<br />
> 10 leukosit/mm3<br />
> 10 5 CFU/mL* pada<br />
wanita<br />
> 10 4 CFU/mL* pada<br />
pria, atau urin kateter<br />
pada wanita<br />
> 10 leukosit/mm3<br />
> 10 5 CFU/mL* pada 2<br />
biakan urin porsi tengah<br />
yang berurutan > 24<br />
jam<br />
< 10 3 CFU/mL*<br />
*uropatogen pada biakan urin porsi tengah<br />
86
Monitoring Pengobatan<br />
Setelah selesai pengobatan dilakukan pemantauan terhadap resolusi<br />
gejala dalam waktu 2-4 minggu.<br />
Komplikasi<br />
Prostatitis<br />
Pielonefritis<br />
Sepsis<br />
ISK Rekuren<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Hooton T. Bacterial Urinary Tract Infections. In Johnson RJ, Feehally J,<br />
Floege J (eds): Comprehensive clinical nephrology, ed 4, Elsevier,<br />
Philadelphia, <strong>20</strong>15, 632-43<br />
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
89
Pemeriksaan Fisik<br />
Pemeriksaan Telinga<br />
(otoskopi)<br />
Tes penala<br />
: Tampak serumen berwarna kuning kecoklatan<br />
atau kehitaman yang menutupi seluruh atau<br />
sebagian liang telinga, bisa keras/lunak, dan posisi<br />
bisa 1/3 luar atau 2/3 dalam liang telinga<br />
: Normal atau tuli konduktif<br />
Diagnosa Banding<br />
Penyumbatan benda<br />
asing<br />
Kolesteatoma eksterna<br />
Keratosis obturans<br />
: Benda kecil atau binatang masuk ke liang<br />
telinga<br />
Penyulit<br />
Otitis Eksterna<br />
Otomikosis<br />
Stenosis liang telinga<br />
Trauma liang telinga<br />
Kriteria Merujuk<br />
Serumen disertai <strong>peny</strong>ulit<br />
Pasien tidak kooperatif<br />
Curiga perforasi membran timpani dan atau adanya riwayat otore<br />
Riwayat operasi telinga sebelumnya<br />
Pencegahan<br />
Primer<br />
: Jaga kebersihan luar dan dalam telinga<br />
Membersihkan telinga harus hati-hati<br />
Jangan terlalu dalam membersihkan telinga<br />
Sekunder : Lakukan pemeriksaan rutin minimal tiap 6<br />
bulan jika memiliki riwayat <strong>peny</strong>umbatan<br />
serumen<br />
91
4. Pengait serumen dimasukkan ke liang telinga, selanjutnya melewati<br />
celah antara serumen dan kulit liang telinga dengan posisi ujung<br />
pengait sejajar dengan bidang kulit liang telinga. Bila belum ditemukan<br />
celah antara serumen dan kulit (seperti pada serumen impaksi), maka<br />
harus dibuat celah terlebih dahulu. Selanjutnya ujung pengait<br />
dirotasikan sehingga berada di dalam serumen dan serumen ditarik<br />
keluar. Manipulasi dengan alat pengait tidak dianjurkan di daerah<br />
inferior dinding liang telinga disebabkan kemungkinan terpicunya<br />
refleks vagal yang ditandai dengan batuk<br />
5. Evaluasi liang telinga dan membran timpani<br />
Cara Irigasi liang telinga<br />
1. Pasien dalam posisi duduk stabil. Pada pasien anak harus dipangku<br />
oleh orang dewasa yang berperan memegang/ menahan kedua kaki,<br />
tangan kanan memegang kedua tangan pasien, dan tangan kiri<br />
memegang/menahan kepala pasien<br />
2. Handuk diletakkan di pundak sisi telinga yang dibersihkan<br />
3. Nierbekken diletakan dibawah telinga yang akan dibersihkan<br />
4. Daun telinga ditarik ke arah superior dan posterior untuk pasien<br />
dewasa ATAU ke arah posterior untuk pasien anak<br />
5. Cairan hangat suhu 37 o C disemprotkan ke arah celah di antara serumen<br />
dan kulit liang telinga. Arah irigasi tidak dianjurkan ke arah inferior<br />
dinding liang telinga disebabkan kemungkinan terpicunya refleks vagal<br />
yang ditandai dengan batuk<br />
6. Liang telinga dikeringkan dengan kapas/suction<br />
7. Evaluasi liang telinga dan membran timpani<br />
Irigasi liang telinga kontraindikasi pada :<br />
1. Perforasi membran timpani<br />
2. Infeksi aktif kulit liang telinga (otitis eksterna)<br />
3. Impacted cerumen keras yang menutup total liang telinga<br />
93
Komplikasi<br />
Perforasi membran timpani<br />
Tuli konduktif<br />
Infeksi kulit liang telinga<br />
Pembentukan jaringan granulasi<br />
Otitis eksterna<br />
Perikondritis<br />
Perikondritis<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Chait T, Chai TC. Bactericidal Activity of Cerument. 1980;18(4):638–<br />
41.<br />
2. Guest JF, Greener MJ, Robinson AC, Smith AF. Impacted cerumen:<br />
Composition, production, epidemiology and management. QJM - Mon<br />
J Assoc Physicians. <strong>20</strong>04;97(8):477–88.<br />
3. Guidelines P. Practice Guidelines Diagnosis and Management of<br />
Cerumen Impaction. Am Fam Physician [Internet]. <strong>20</strong>15;80(9):1–6.<br />
Available from: http://dx.doi.org/<br />
4. Hanger HC, Mulley GP. Cerumen: its fascination and clinical<br />
importance: a review. J R Soc Med [Internet]. 1992;85(6):346–9.<br />
Available from:<br />
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1625268%5Cnhttp://www.pubm<br />
edcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC1293500<br />
5. Marchisio P, Pipolo C, Landi M, Consonni D, Mansi N, Di Mauro G,<br />
et al. Cerumen: A fundamental but neglected problem by pediatricians.<br />
Int J Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. <strong>20</strong>16;87:55–60. Available<br />
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.<strong>20</strong>16.05.014<br />
6. Memel D, Langley C, Watkins C, Laue B, Birchall M, Bachmann M.<br />
Effectiveness of ear syringing in general practice: a randomised<br />
controlled trial and patients’ experiences. Br J Gen Pract.<br />
<strong>20</strong>02;52(484):906–11.<br />
7. Olusanya BO. Hearing impairment in children with impacted cerumen.<br />
Ann Trop Paediatr. <strong>20</strong>03;23(March):121–8.<br />
8. Oron Y, Zwecker-Lazar I, Levy D, Kreitler S, Roth Y. Cerumen<br />
removal: Comparison of cerumenolytic agents and effect on cognition<br />
among the elderly. Arch Gerontol Geriatr. <strong>20</strong>11;52(2):228–32.<br />
9. Pollart SM, Health V. Cerumen Impaction. <strong>20</strong>15;(April <strong>20</strong>13):66211.<br />
94
10. Propst EJ, George T, Janjua A, James A, Campisi P, Forte V. Removal<br />
of impacted cerumen in children using an aural irrigation system. Int J<br />
Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. <strong>20</strong>12;76(12):1840–3. Available<br />
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.<strong>20</strong>12.09.014<br />
11. Roland PS, Smith TL, Schwartz SR, Rosenfeld RM, Ballachanda B,<br />
Earll JM, et al. Clinical practice guideline: Cerumen impaction.<br />
Otolaryngol - Head Neck Surg. <strong>20</strong>08;139(3 SUPPL.2).<br />
12. Soy FK, Ozbay C, Kulduk E, Dundar R, Yazici H, Sakarya EU. A new<br />
approach for cerumenolytic treatment in children: In vivo and in vitro<br />
study. Int J Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. <strong>20</strong>15;79(7):1096–100.<br />
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.<strong>20</strong>15.04.039<br />
13. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
95
Rhinosinusitis akut pada anak terdapat gejala akut :<br />
- Gangguan prilaku<br />
- Sumbatan , hambatan , kongesti hidung<br />
- Perubahan warana sekret hidung<br />
- Batuk pada siang/malam hari<br />
Rhinosinusitis viral akut (Common cold) mempunyai durasi gejala <<br />
(kurang ) dari 10 hari<br />
Rhinosinusitis akut post viral Gejala memburuk setelah hari ke 5 atau<br />
gejala menetap sampai 10 hari tetapi tidak lebih dari 12 minggu<br />
Rhinosinusitis akut bacterial<br />
- Perubahan warna sekret hidung anterior / posterior<br />
- Nyeri hebat pada daerah wajah atau kepala<br />
- Demam > 38 derajat<br />
- CRP yang meningkat<br />
- Perburukan gejala dengan adanya onset demam yang baru, nyeri<br />
kepala, sekkret hidung yang menetap selama 5 sampai 6 hari setelah<br />
gejala awal membaik, ( double sickening)<br />
Hanya pada rhinosinusitis akut bakterial yang membutuhkan terapi<br />
antibiotik<br />
Pemeriksaan Fisik<br />
Tanda vital<br />
Telinga<br />
: membran tympani<br />
normal / retraksi/<br />
hiperemis<br />
Hidung<br />
Faring<br />
: Normal<br />
: Mukosa hidung tampak eritem dan edema.<br />
Tampak kavum nasi sempit, terdapat sekret<br />
serous atau mukopurulen<br />
: Terkadang hiperemis<br />
97
Mometasone<br />
furoate<br />
Fluticasone<br />
furoate<br />
Oral Kortikosteroid<br />
Prednison<br />
Antikolinergik<br />
Ipratropium<br />
bromida nasal<br />
spray 0,06 %<br />
Antileukotrien<br />
Montelukast<br />
Dewasa: 55 µg/spray,<br />
2 spray per lubang<br />
hidung<br />
Anak 2-11 thn : 55<br />
µg/spray, 1 spray per<br />
lubang hidung<br />
Dewasa:<br />
27.5µg/spray, 2 spray<br />
per lubang hidung<br />
Anak 4-11 thn:<br />
27.5µg/spray, 1 spray<br />
per lubang hidung<br />
Dewasa: <strong>20</strong>-60 mg per<br />
hari<br />
Anak: 1-2 mg/kg<br />
BB/hari<br />
Dewasa : 84 mcg (2<br />
spray) per hidung<br />
Anak (5-11 thn) : 84<br />
mcg (2 spray) per<br />
hidung<br />
Dewasa : 10 mg per<br />
oral<br />
Anak :<br />
< 6 tahun : keamanan<br />
belum diuji<br />
6-24 bulan : 4 mg<br />
(granul)<br />
2-6 tahun : 4 mg<br />
(granul atau tablet<br />
kunyah)<br />
6-15 tahun : 5 mg<br />
(tablet kunyah)<br />
>15 tahun : 10 mg<br />
1 kali<br />
sehari<br />
1 kali<br />
sehari<br />
3 kali<br />
sehari<br />
3-4x<br />
sehari<br />
3x sehari<br />
1x sehari<br />
Diberikan 3-5 hari ,<br />
hanya untuk kasus<br />
edema mukosa<br />
hidung yang berat<br />
Diberikan untuk<br />
rinorea yang<br />
refrakter<br />
Diberikan untuk<br />
kasus dengan<br />
komorbid asma<br />
bronkial<br />
108
Monitoring Pengobatan<br />
Monitoring pengobatan dilakukan setelah 2-4 minggu pemberian obat<br />
untuk menentukan respon terapi (gejala terkontrol atau tidak terkontrol).<br />
Jika gejala menetap meskipun pengobatan sudah adekuat maka perlu<br />
dipikirkan untuk pemeriksaan lanjutan.<br />
Komplikasi/Komorbid<br />
Rinosinusitis kronis dengan/tanpa polip hidung<br />
Otitis media efusi<br />
Asma bronkial<br />
Daftar Pustaka<br />
Bosquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N, Bachert C, Durham SR, Lund<br />
V, et al. Management of Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma<br />
(ARIA). ARIA Workshop Report. J All Clin Immunol (Suppl). <strong>20</strong>01;<br />
108(5)<br />
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu<br />
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 7 th ed. Jakarta.<br />
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. <strong>20</strong>12.<br />
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
109
Langkah ektirpasi lipoma :<br />
Bersihkan daerah operasi dengan tindakan antiseptik<br />
Anestesi field blok infiltrations di kedua sudut dengan lidocaine 2%,<br />
lalu menyebar ke tepi<br />
Diseksi kedalam di tiap sisi, lalu diseksi tumpul dengan jari<br />
Tarik tepi atas dengan klem sambil diseksi terus menelusuri tiap sisi<br />
Angkat dan identifikasi dasar lipom<br />
Potong dasar lipom dengan kauter, lepaskan dan atasi perdarahan<br />
(Kalau tidak ada cauter: bebaskan secara tumpul, jaringan yang<br />
mengandung arterial-feeding diikat)<br />
112
Setelah perdarahan diatasi, jahit subkutis sampai tepi insisi menyatu<br />
rapat dan kuat<br />
Jahit bagian kutis dengan rapi dan kuat<br />
Monitoring Pengobatan<br />
Disarankan untuk datang kembali jika ada timbul benjolan ditempat<br />
yang sama atau dibagian tubuh lain.<br />
Komplikasi<br />
Infeksi<br />
Seroma<br />
Hematoma<br />
Cedera saraf<br />
Keloid<br />
Daftar Pustaka<br />
• Bland, K.I., Beenken, W.S., Copeland III , E.M. <strong>20</strong>05. Dalam<br />
Schwartz, SpenserShires.Principle of Surgery. 8 Edition. New York :<br />
Mc Graw Hill Company. p. 463-466.<br />
• De Jong, W, R. Sjamsuhidajat. <strong>20</strong>04. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi<br />
Revisi. Jakarta : EGC.<br />
• Iglehart, D.J., M.D. <strong>20</strong>01. Disease of The Breast. Dalam Sabiston.<br />
Textbook of Surgery. 16thEdition. Philadelphia : W.B. Saunders<br />
Company.<br />
• Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
113
4. Diagnosa banding<br />
- Saluran susu terumbat: benjolan pada payudara tegang tidak<br />
disertai dengan gejala-gejala sistemik<br />
- Pembengkakan payudara: biasanya bilateral, ketegangan seluruh<br />
payudara, sering terjadi 2-4 hari setelah melahirkan dan berhubungan<br />
dengan demam ringan.<br />
- Inflamasi kanker payudara: suatu bentuk yang jarang dari kanker<br />
payudara yang hadir dengan payudara tegang dan perubahan kulit<br />
payudara.<br />
- Abses payudara: terdapat benjolan yang membengkak yang sangat<br />
nyeri, dengan kemerahan, panas, dan edema pada kulit di atasnya.<br />
Pada kasus yang terlambat ditangani, benjolan menjadi berfluktuasi,<br />
dengan perubahan warna kulit dan nekrosis. Demam dapat ada atau<br />
tidak ada. Untuk mengkonfirmasi diagnosis, pus dapat diaspirasi<br />
dengan spuit dan jarum berlubang besar.<br />
5. Pencegahan<br />
- mulai menyusui dalam satu jam atau lebih setelah melahirkan<br />
(inisiasi menyusui dini)<br />
- memastikan bahwa bayi mengisap payudara dengan baik;<br />
- menyusui tanpa batas, dalam hal frekuensi atau durasi, dan<br />
membiarkan bayi selesai menyusui satu payudara dulu, sebelum<br />
memberikan yang lain;<br />
- menyusui secara eksklusif selama minimal 4 bulan dan bila mungkin<br />
6 bulan.<br />
6. Terapi<br />
Analgesik<br />
Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang berhubungan<br />
dengan peradangan dibandingkan parasetamo. Ibuprofen sampai dosis<br />
1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga direkomendasikan<br />
untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.<br />
Antibiotik<br />
Jenis antibiotik yang biasa digunakan adalah golongan penisilin dan<br />
sefalosporin Ampicilin dengan dosis 4 x 500, dan Amoxicillin 3 x 500<br />
mg. Sefasloporin biasanya aman untuk ibu hamil yang alergi terhadap<br />
penisillin tetapi untuk kasus hipersensitif penisillin yang berat lebih<br />
dianjurkan klindamisin. Antibiotik diberikan paling sedikit selama 10 -<br />
14 hari.<br />
115
7. Monitoring<br />
Respon klinik terhadap penatalaksanaan di atas dibagi atas respon klinik<br />
cepat dan respon klinik dramatis. Jika gejalanya tidak berkurang dalam<br />
beberapa hari dengan terapi yang adekuat termasuk antibiotik, harus<br />
dipertimbangkan diagnosis banding. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin<br />
diperlukan untuk mengidentifikasi kuman-kuman yang resisten, adanya<br />
abses atau massa padat yang mendasari terjadinya mastitis seperti<br />
karsinoma duktal atau limfoma non Hodgkin. Berulangnya kejadian<br />
mastitis lebih dari dua kali pada tempat yang sama juga menjadi alasan<br />
dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk menyingkirkan<br />
kemungkinan adanya massa tumor, kista atau galaktokel.<br />
8. Komplikasi<br />
Penghentian menyusui dini<br />
Mastitis dapat menimbulkan berbagai gejala akut yang membuat<br />
seorang ibu memutuskan untuk berhenti menyusui. Penghentian<br />
menyusui secara mendadak dapat meningkatkan risiko terjadinya abses.<br />
Abses<br />
Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena<br />
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara<br />
teraba keras , merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita<br />
harus pikirkan kemungkinan terjadinya abses. Cairan ini dapat<br />
dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai<br />
diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum<br />
secara serial. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan<br />
tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan ibu harus mendapat<br />
antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar<br />
antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.<br />
Mastitis berulang<br />
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat<br />
atau tidak adekuat. Pada kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri<br />
diberikan antibiotik dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari)<br />
selama masa menyusui.<br />
Infeksi jamur<br />
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur<br />
seperti candida albicans. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin<br />
krem yang juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap<br />
selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat<br />
yang sama.<br />
116
Daftar Pustaka<br />
• Bland, K.I., Beenken, W.S., Copeland III , E.M. <strong>20</strong>05. The Breast.<br />
Dalam Schwartz, SpenserShires.Principle of Surgery. 8 Edition. New<br />
York : Mc Graw Hill Company. p. 463-466.<br />
• De Jong, W, R. Sjamsuhidajat. <strong>20</strong>04. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi<br />
Revisi. Jakarta : EGC. p. 387-402.<br />
• Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas<br />
Pelayanan Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
117
Faktor risiko<br />
1. Berat badan lebih (IMT ≥ 22,9- 4000 gram atau pernah<br />
didiagnosis DM Gestasional<br />
5. Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic ovary syndrome)<br />
6. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) / TGT (Toleransi<br />
Glukosa Terganggu)<br />
7. Aktifitas jasmani yang kurang<br />
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)<br />
Pemeriksaan Fisik<br />
1. Penilaian berat badan, tinggi badan indeks massa tubuh (IMT)<br />
2. Mata : Kelainan pada retina, katarak dini.<br />
3. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen<br />
Pemeriksaan Penunjang<br />
1. Gula Darah Puasa<br />
2. Gula Darah 2 jam Post Prandial<br />
3. Urinalisis<br />
Penegakan Diagnosis (Assessment)<br />
Diagnosis Klinis<br />
Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa:<br />
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma<br />
sewaktu ≥ <strong>20</strong>0 mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil<br />
pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan<br />
terakhir ATAU<br />
2. Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa<br />
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam<br />
ATAU<br />
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO)><br />
<strong>20</strong>0 mg/dL TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan<br />
beban glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air <strong>20</strong>0cc.<br />
4. HbA1C > 6,4 % Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria<br />
normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok<br />
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa Teranggu<br />
(GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh<br />
119
Kriteria gangguan toleransi glukosa (pre diabetes):<br />
1. GDPT: ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa<br />
didapatkan antara 100–125 mg/dl<br />
2. TGT : ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa<br />
plasma 140–199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram.<br />
3. HbA1C : 5,7 -6,4%<br />
Gambar 1. Algoritme Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2<br />
Komplikasi<br />
1. Akut<br />
Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar non ketotik, Hipoglikemia<br />
2. Kronik<br />
Makroangiopati, Pembuluh darah jantung, Pembuluh darah perifer,<br />
Pembuluh darah otak<br />
Mikroangiopati: Pembuluh darah kapiler retina, pembuluh darah kapiler<br />
renal<br />
3. Neuropati<br />
4. Gabungan: Kardiomiopati, rentan infeksi, kaki diabetik, disfungsi ereksi<br />
1<strong>20</strong>
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)<br />
Penatalaksanaan<br />
Terapi untuk Diabetes Melitus didahului dengan melakukan modifikasi<br />
gaya hidup, yang meliputi pengaturan makan dan aktivitas fisik dan<br />
dilanjutkan dengan pemberian obat-obatan jika diperlukan. (algoritma<br />
pengelolaan DM tipe 2)<br />
Perencanaan Makan<br />
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:<br />
1. Karbohidrat 45 – 65 %<br />
2. Protein 15 – <strong>20</strong> %<br />
3. Lemak <strong>20</strong> – 25 %<br />
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak<br />
berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated<br />
Fatty Acid, contoh: minyak zaitun, minyak biji bunga matahari), dan<br />
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh.<br />
Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, diutamakan serat larut.<br />
Jumlah kalori basal per hari:<br />
1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman<br />
2. Wanita: 25 kal/kg BB idaman<br />
Rumus Broca:*<br />
Berat badan idaman = ( TB – 100 ) – 10 %<br />
*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi.<br />
BB kurang : < 90 % BB idaman<br />
BB normal : 90 – 110 % BB idaman<br />
BB lebih : 110 – 1<strong>20</strong> % BB idaman<br />
Gemuk : >1<strong>20</strong> % BB idaman<br />
Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari):<br />
1. Status gizi:<br />
a. BB gemuk - <strong>20</strong> %<br />
b. BB lebih - 10 %<br />
c. BB kurang + <strong>20</strong> %<br />
2. Umur > 40 tahun : - 5 %<br />
3. Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): + (10 s/d 30 %)<br />
121
4. Aktifitas:<br />
a. Ringan + 10 %<br />
b. Sedang + <strong>20</strong> %<br />
c. Berat + 30 %<br />
5. Hamil:<br />
a. trimester I, II + 300 kal<br />
b. trimester III / laktasi + 500 kal<br />
Latihan Jasmani<br />
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-5 kali seminggu selama<br />
kurang lebih 30-60 menit minimal 150 menit/minggu intensitas sedang).<br />
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,<br />
berkebun, harus tetap dilakukan.<br />
Kriteria Rujukan<br />
Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut:<br />
1. DM tipe 2 dengan komplikasi<br />
2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk<br />
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat<br />
122
Gambar 2. Algoritme Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di<br />
Indonesia<br />
123
Gambar 3.1 Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti<br />
hiperglikemik<br />
(Sumber: Standard of Medical Care in Diabetes-ADA <strong>20</strong>15)<br />
124
Gambar 3.2 Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti<br />
hiperglikemik<br />
(Sumber: Standard of Medical Care in Diabetes-ADA <strong>20</strong>15)<br />
125
Gambar 4. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di<br />
Indonesia<br />
126
Gambar 5.1 Obat antihiperglikemia oral<br />
127
Gambar 5.2 Obat antihiperglikemia oral<br />
Catatan: Pemilihan jenis Obat Hipoglikemik oral (OHO) dan insulin<br />
bersifat individual tergantung kondisi pasien dan sebaiknya<br />
mengkombinasi obat dengan cara kerja yang berbeda.<br />
Dosis OHO<br />
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:<br />
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara<br />
bertahapsesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikansampai<br />
dosis optimal.<br />
128
2. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan.<br />
3. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.<br />
4. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama.<br />
Penunjang<br />
1. Urinalisis<br />
2. Funduskopi<br />
3. Pemeriksaan fungsi ginjal<br />
4. EKG<br />
5. Xray thoraks<br />
Rencana Tindak Lanjut:<br />
Tindak lanjut adalah untuk pengendalian kasus DM berdasarkan<br />
parameter berikut:<br />
Table 1. Sasaran Pengendalian DM (berdasarkan konsensus DM<br />
<strong>20</strong>15)<br />
Konseling dan Edukasi<br />
Edukasi meliputi pemahaman tentang:<br />
1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol<br />
2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada penderita misalnya olahraga,<br />
menghindari rokok, dan menjaga pola makan.<br />
3. Pemberian obat jangka panjang dengan kontrol teratur setiap 2 minggu<br />
129
Peralatan<br />
1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin, urin rutin,<br />
ureum, kreatinin<br />
2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa<br />
3. Monofilamen test<br />
Prognosis<br />
Prognosis umumnya adalah dubia. Karena <strong>peny</strong>akit ini adalah <strong>peny</strong>akit<br />
kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam, namun quo ad<br />
fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad malam.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.<br />
Buku ajar ilmu <strong>peny</strong>akit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan<br />
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; <strong>20</strong>06.<br />
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan<br />
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. <strong>20</strong>15.<br />
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia.<br />
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, <strong>20</strong>12.<br />
(Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Indonesia FKUI, <strong>20</strong>12)<br />
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
130
Kolesterol LDL > 100 mg/dl<br />
Kolesterol HDL 150 mg/dl<br />
Pencegahan<br />
Primer<br />
Skrining<br />
: a. Menerapkan pola makan sehat<br />
b. Konsultasi diet pada ahli gizi<br />
c. Kurangi konsumsi makanan berlemak<br />
d. Kurangi konsumsi karbohidrat berlebih<br />
e. Kurangi garam pada makanan<br />
f. Kurangi makanan yang mengandung banyak gula<br />
g. Waktu tidur yang cukup<br />
h. Kurangi / berhenti merokok<br />
i. Kurangi / berhenti konsumsi alkohol<br />
j. Olahraga teratur<br />
k. Hindari obesitas / penurununanberat badan bagi<br />
yang gemuk<br />
: Skrining direkomendasikan pada semua pasien usia ≥<br />
<strong>20</strong> tahun, dapat diulang setiap 5 tahun sekali meliputi:<br />
Profil lipid<br />
Glukosa darah<br />
Kebiasaan merokok<br />
BMI<br />
Tekanan darah<br />
133
Terapi<br />
Algoritme Tatalaksana Dislipidemia<br />
134
10 - <strong>20</strong><br />
40
Pedoman diet menurut NCEP-ATP III<br />
Kebugaran<br />
Capai berat badan ideal<br />
Aktif secara fisik setiap hari<br />
Makanan sehat<br />
Mengacu pada diet seimbang<br />
Konsumsi gandum bervariasi<br />
Konsumsi buah dan sayur setiap hari<br />
Pilih makanan secara ketat<br />
Pilih makanan rendah lemak jenuh dan kolesterol serta total lemak<br />
sedang<br />
Konsumsi sayur dan makanan dengan kadar gula rendah<br />
Kurangi garam pada makanan<br />
Kurangi konsumsi alkohol<br />
Latihan jasmani<br />
Contoh latihan fisik intensitas sedang pada orang dewasa sehat:<br />
Jalan santai 30-40 menit<br />
Berenang <strong>20</strong> menit<br />
Bersepeda untuk kesenangan atau transportasi 5 mil dalam 30 menit<br />
Bermain voli 45 menit<br />
Membersihkan rumah<br />
Bermain bola basket 15-<strong>20</strong> menit<br />
Golf<br />
Menari 30 menit<br />
Monitoring Pengobatan<br />
Kadar LDL harus dipantau pada 6 (enam) minggu pertama setelah<br />
pemberian obat hingga target penurunan tercapai. Jarak penilaian lipid<br />
dapat diperpanjang setiap 6-12 bulan jika target tercapai dan modifikasi<br />
gaya hidup dapat dilakukan.<br />
Lakukan evaluasi terhadap fungsi hati saat rencana awal penggunaan statin<br />
meskipun tidak perlu dilakukan monitoring fungsi hati secara periodik.<br />
Komplikasi<br />
Sindrom koroner akut<br />
Penyakit Jantung koroner<br />
Penyakit Arteri Perifer<br />
Stroke<br />
Disfungsi ereksi<br />
136
Daftar Pustaka<br />
1. Pedoman pengelolaan dislipidemia di Indonesia. PERKENI <strong>20</strong>15<br />
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
137
XIX. Tension Type Headache<br />
No. ICPC-2 : N95 Tension Headache<br />
No. ICD-10 : G44.2 Tension-type Headache<br />
Definisi<br />
Tension Type Headache (TTH) adalah rasa nyeri dalam, seperti tertekan<br />
berat atau terikat erat, umumnya bilateral yang pada awalnya timbul secara<br />
episodik dan terkait dengan stres tetapi kemudian nyaris setiap hari muncul<br />
dalam bentuk kronis, tanpa ada lagi kaitan psikologis yang jelas.<br />
Etiologi<br />
Tension type headache didapatkan gejala yang menonjol yaitu nyeri tekan<br />
yang bertambah pada paasi jaringan miofasial perikranial. Impuls<br />
nosiseptif dari otot perikranial yang menjalar ke kepala mengakibatkan<br />
timbulnya nyeri kepala. Nyeri akan bertambah pada daerah otot maupun<br />
tendon yang tempat insersinya.<br />
Faktor-faktor etiologinya adalah:<br />
1. Disfungsi oromandibular<br />
2. Stress psikologik<br />
3. Anxietas<br />
4. Depresi<br />
5. Nyeri kepala sebagai delusi<br />
6. Stress otot<br />
7. Kelebihan minum obat pereda nyeri kepala tipe tegang<br />
8. Salah satu kelainan dari grup 5-11 menurut klasifikasi IHS<br />
(International Headache Society)<br />
138
Penegakan Diagnosis<br />
Anamnesis<br />
Keluhan (Subjektif)<br />
Faktor Risiko<br />
Usia penderita<br />
: Nyeri menyebar di seluruh kepala sampai<br />
tengkuk dan bahu<br />
Rasa nyeri terutama pada bagian frontal<br />
atau oksipital<br />
Nyeri biasanya saat bangun tidur<br />
Rasa nyeri seperti terikat tali kencang<br />
Terasa tidak nyaman pada leher<br />
Nyerinya tidak berdenyut<br />
Tidak mual<br />
: Tingkat stress yang tinggi<br />
Depresi<br />
Belum makan<br />
Tingkat kecemasan yang tinggi<br />
Pola tidur tidak teratur<br />
Posisi tidur yang kurang nyaman<br />
Kurang olahraga<br />
Lemah, letih<br />
: Umumnya <strong>20</strong> – 39 tahun (usia produktif)<br />
Pemeriksaan Fisik<br />
Pemeriksaan tanda vital<br />
Pemeriksaan mata<br />
Pemeriksaan neurologis<br />
Pemeriksaan fungsi kognitif<br />
: tekanan darah normal<br />
: Pemeriksaan funduskopi: normal<br />
Pemeriksaan lapang pandang: normal<br />
: Normal<br />
: Normal<br />
Pemeriksaan Penunjang : tidak diperlukan<br />
139
Kepustakaan<br />
Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT. Acuan <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis<br />
Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia <strong>20</strong>16.<br />
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Indonesia, <strong>20</strong>15<br />
143
Klasifikasi Paralisis Fasialis Berdasarkan House and Brackmann<br />
Grade 1<br />
: Fungsi fasial normal<br />
Grade II<br />
: Disfungsi ringan:<br />
Kelemahan ringan saat dilakukan<br />
inspeksi detail<br />
Simetris normal saat istirahat<br />
Gerakan otot dahi hampir sempurna<br />
Menutup mata sempurna dapat dilakukan<br />
dengan sedikit usaha<br />
Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan<br />
Dapat terjadi sinkinesis ringan<br />
Grade III<br />
: Disfungsi sedang:<br />
Asimetri kedua sisi terlihat jelas,<br />
kelemahan ringan<br />
Simetris normal saat istirahat<br />
Terdapat gerakan ringan pada otot dahi<br />
Menutup mata sempurna dapat dilakukan<br />
dengan usaha<br />
Otot mulut dapat digerakkan sedikit<br />
dengan usaha maksimal<br />
Dapat ditemukan sinkinesis, kontraktur<br />
atau spasme hemifasial<br />
Grade IV<br />
: Disfungsi sedang-berat:<br />
Kelemahan dan asimetris terlihat jelas<br />
Simetris normal saat istirahat<br />
Tidak terdapat gerakan otot dahi<br />
Mata tidak menutup sempurna<br />
Otot mulut dapat digerakkan dengan<br />
usaha maksimal,namun asimetris<br />
Grade V<br />
: Disfungsi berat:<br />
Hanya sedikit gerakan yang dapat<br />
dilakukan<br />
Asimetri wajah juga terlihat saat istirahat<br />
Tidak terdapat gerakan dahi<br />
Mata menutup tidak sempurna<br />
Gerakan mulut hanya sedikit<br />
Grade VI<br />
: Paralisis total:<br />
Asimetri wajah yang jelas<br />
Tidak ada gerakan otot wajah<br />
145
Pasien dengan kelemahan wajah unilateral, onset 48 jam<br />
u<br />
Menilai derajat paralisis wajah<br />
Derajat I - IV<br />
Derajat V - VI<br />
Kortikosteroid<br />
Proteksi dan obat pelindung mata<br />
Obat antivirus, 5-10 hari<br />
Facial exercise<br />
Rujuk<br />
Evaluasi 2 minggu dan 4 minggu<br />
Pemeriksaan fungsi n.fasialis<br />
• Tidak ada perbaikan<br />
• Dan/atau terjadi kekambuhan<br />
• Dan/atau komplikasi<br />
• Dan/atau diduga <strong>peny</strong>akit lain
Monitoring<br />
Lakukan kontrol 1-2 minggu setelah pengobatan untuk memantau<br />
keamanan obat, menilai fungsi N.VII dan kondisi mata, untuk menentukan<br />
apakah perlu dirujuk atau tidak.<br />
Komplikasi<br />
• Mata kering<br />
• Ulkus kornea<br />
• Ektropion<br />
• Sekuel kelemahan n.fasialis<br />
• Hiperlakrimasi<br />
Kepustakaan<br />
Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT. Acuan <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis<br />
Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia <strong>20</strong>16.<br />
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun<br />
<strong>20</strong>15 tentang <strong>Panduan</strong> Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan<br />
Kesehatan Primer, <strong>20</strong>15<br />
Diagnosis dan Penatalaksanaan Nyeri kepala, Konsensus Nasional V<br />
Pokdi Nyeri Kepala Perdossi, <strong>20</strong>16.<br />
Diagnosis and management headache in adults – a national clinical<br />
guideline, Scottish Intercollegiate Guidelines Network, <strong>20</strong>08<br />
The International Classification of Headache Disorders 3th.Ed., <strong>20</strong>13<br />
149
Daftar Kontributor Buku Tatalaksana <strong>20</strong> Kasus Rujukan Non<br />
Spesialistik di FKTP<br />
1. Dr. Daeng Muhammad Faqih, SH, MH<br />
2. Dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT<br />
3. Dr. R. Maya. A. Rusady, M.Kes, AAK<br />
4. Dr. Fachrurrazi, MM, AAK<br />
5. Elfanetti, S.Si, Apt, AAK<br />
6. Dr. Gatot Soetono, MPH<br />
7. Dr. Abraham AP Patarai, M.Kes<br />
8. Dr. H.N. Nazar, Sp.B-K, FINACS, M.HKes<br />
9. DR.Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB<br />
10. DR.Dr. EM. Yunir,SpPD-KEMD,FINASIM<br />
11. Dr. Tri Juli Edi Tarigan,SpPD-KEMD<br />
12. DR.Dr. Lie Khie Chen,SpPD-KPTI,FINASIM<br />
13. Dr. Ginova Nainggolan,SpPD-KGH<br />
14. Dr. Triya Damayanti, Ph.D, Sp.P(K)<br />
15. Dr. Fathiyah Isbaniah,Sp.P(K), Mp.Ked<br />
16. Dr. RR. Diah Handayani, Sp.P(K)<br />
17. DR. Dr. Agus Dwi Susanto,SpP(K), FAPSR<br />
18. Dr. Erlang Samoedro,SpP<br />
19. Dr. Prasetyo Widhi Buwono,SpPD-KHOM,FINASIM<br />
<strong>20</strong>. Dr. Eiffel Faheri,SpPD-KHOM<br />
21. DR. Dr.Andhika Rahman, SpPD-KHOM<br />
22. Dr. Noor Arida Sofiana, MBA<br />
23. Dr. Didik K. Wijayanto<br />
24. Dr. Dien Kurtanty, MKM<br />
25. Dr. Mohammad Kurniawan Sp.S(K), M.Sc, FICA<br />
26. Dr. Hanny Nilasari, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV<br />
27. Dr Danang Tri Wahyudi, SpKK, FINSDV, FAADV<br />
28. Dr. Niken Lestari P, SpTHT-KL (K)<br />
29. Dr. Harim Priyono, SpTHT-KL (K)<br />
30. Dr. Vicky Riyadi, SpTHT-KL<br />
31. Dr. Rifki Effendi Suyono<br />
32. Dr. Nugroho Jati Dwi Nur Laksono<br />
33. Dr. Yoga Primadi<br />
34. Dr. R. Prabowo HP<br />
150