29.12.2017 Views

Buku_Laporan_Ketimpangan_Sosial_2016

Transform your PDFs into Flipbooks and boost your revenue!

Leverage SEO-optimized Flipbooks, powerful backlinks, and multimedia content to professionally showcase your products and significantly increase your reach.

LAPORAN<br />

MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL<br />

MELALUI PENILAIAN WARGA<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong>


LAPORAN<br />

MENDETEKSI KETIMPANGAN<br />

SOSIAL MELALUI PENILAIAN<br />

WARGA<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

Tim Penyusun:<br />

Bagus Takwin<br />

M. Himawan Arifianto<br />

Alfindra Primaldhi<br />

Paksi Walandow<br />

Sahat K. Panggabean<br />

Mei 2017<br />

Didukung oleh:<br />

<strong>Laporan</strong> ini dihasilkan atas dukungan pendanaan dari TIFA dan Ford FoundationIsi dari buku ini<br />

sepenuhnya tanggung jawab INFID dan penulis, dan tidak mencerminkan posisi TIFA dan Ford<br />

Foundation


DAFTAR ISI<br />

KATA PENGANTAR 5<br />

RINGKASAN 6<br />

BAB 1. PENDAHULUAN 11<br />

MENGGALI PERSEPSI WARGA MENGENAI KETIMPANGAN SOSIAL<br />

11<br />

SEBAGAI CARA MENDETEKSI KEADILAN SOSIAL<br />

1.1. Latar Belakang 11<br />

1.2. Pertanyaan Utama 14<br />

1.3. Tujuan Pengukuran <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> 14<br />

1.4. Manfaat Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> 14<br />

BAB 2. TEMUAN-TEMUAN PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL 17<br />

2.1. Sumber <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> 17<br />

2.2. Ranah dan Wilayah <strong>Ketimpangan</strong> 20<br />

2.2.1. Derajat <strong>Ketimpangan</strong> 20<br />

2.2.2. <strong>Ketimpangan</strong> Penghasilan dengan Harapan 21<br />

2.2.3. <strong>Ketimpangan</strong> Berdasarkan Gender 26<br />

BAB 3. INDEKS KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong> 31<br />

3.1. Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>2016</strong> 31<br />

3.2. Perlakuan Diskriminatif 33<br />

3.3. Bantuan Hukum 36<br />

Bab 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 39<br />

4.1. Kesimpulan 39<br />

4.2. Rekomendasi 39<br />

DAFTAR PUSTAKA 42<br />

Lampiran 1 43<br />

Lampiran 2 45<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

3


KATA PENGANTAR<br />

Pemerintah Indonesia telah menjadikan penurunan ketimpangan menjadi salah satu<br />

prioritas pembangunan. Berbagai upaya telah dilakukan dan hasilnya mulai terlihat,<br />

setidaknya dari menurunnya angka gini rasio dalam dua tahun terakhir.<br />

Sebagai kontribusi untuk memperkuat upaya pengurangan ketimpangan di<br />

Indonesia, INFID berinisiatif untuk melakukan survei warga tentang <strong>Ketimpangan</strong><br />

<strong>Sosial</strong>. Survei yang dilakukan selama kurang lebih 3 bulan ini mengambil<br />

sampel sebanyak 210 responden di seluruh Indonesia.<br />

Berdasarkan hasil survei, tidak hanya diketahui aspek-aspek dan penyebab<br />

ketimpangan, namun juga langkah atau cara untuk mengatasi ketimpangan tersebut<br />

berdasarkan penilaian warga.<br />

Harapannya, hasil survei dapat dijadikan salah acuan untuk memantau upaya-upaya<br />

pemerintah dalam mengurangi ketimpangan. Tidak hanya itu, hasil survei ini juga<br />

diharapkan dapat membantu memperkuat pengambil kebijakan untuk merumuskan<br />

kebijakan dan program pengurangan ketimpangan.<br />

Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada Dr. Bagus Takwin beserta<br />

timnya yang telah bekerja keras dalam melaksanakan dan menyusun laporan<br />

ketimpangan social ini.<br />

Jakarta, 15 Mei 2017<br />

Hamong Santono<br />

Senior Program Officer SDGs INFID<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

5


RINGKASAN<br />

Di tahun <strong>2016</strong>, INFID melakukan pengukuran penilaian warga mengenai ketimpangan<br />

sosial yang terjadi di Indonesia selama tahun 2015. Hasilnya menunjukkan bahwa<br />

dalam penilaian warga ada penurunan ketimpangan sosial menurut warga. Indeks<br />

ketimpangan yang diperoleh lebih baik dari tahun sebelumnya. Indeks ketimpangan<br />

berubah dari 5,06 menjadi 4. Artinya setiap rata-rata warga menilai ada 4 ranah yang<br />

timpang di Indonesia. Meski ada penurunan ketimpangan jika dibandingkan dengan<br />

tahun 2014, indeks ketimpangan di tahun 2015 masih tergolong tinggi.<br />

Secara keseluruhan, 77% responden (dari total sampel 20) mempersepsikan<br />

adanya ketimpangan setidaknya pada satu ranah. Bisa dikatakan, 7 dari 10 warga<br />

Indonesia mempersepsi adanya ketimpangan.<br />

Penghasilan dirasakan oleh warga sebagai ranah yang paling timpang dan<br />

paling besar peranannya dalam menghasilkan ketimpangan sosial. <strong>Ketimpangan</strong><br />

penghasilan berdampak pada ketimpangan pada kepemilikan rumah dan harta<br />

benda, pendidikan dan kesehatan.Pengaruh ketimpangan penghasilan terhadap<br />

ketimpangan sosial keseluruhan paling besar.<br />

Warga juga menilai masih terjadinya diskriminasi. Diskrimisnasi dipersepsi oleh warga<br />

terjadi baik di Indonesia Bagian Barat, Tengah dan Timur. Persepsi pengalaman<br />

diskriminasi lebih tinggi di Indonesia bagian Timur dan Sumatra, bila dibandingkan<br />

dengan rata-rata (seluruh Indonesia).<br />

Persepsi ketimpangan gender lebih tinggi di wilayah Indonesia Bagian Timur<br />

dibandingkan dengan wilayah Indonesia Bagian Barat. Dua aspek yang dinilai paling<br />

timpang di antara laki-laki dan perempuan adalah kesempatan untuk mendapatkan<br />

pekerjaan dan penghasilan.<br />

6 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Rekomendasi<br />

Berdasarkan temuan-temuan Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>2016</strong> ini, dikemukakan<br />

rekomendasi sebagai berikut.<br />

1. Kesenjangan yang paling dirasakan oleh warga adalah ketimpangan penghasilan.<br />

<strong>Ketimpangan</strong> penghasilan ini erat kaitannya dengan kesempatan kerja. Dengan<br />

dasar ini, direkomendasikan program sosial dalam bentuk pemberian tunjangan<br />

bagi pencari kerja sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketimpangan<br />

penghasilan. Pemberian tunjangan ini dapat berperan untuk meningkatkan<br />

distribusi pendapatan. Bentuk dari tunjangan bagi pencari kerja dapat terdiri atas<br />

dua jenis:<br />

a. Tunjangan dalam bentuk uang yang diberikan kepada warga yang mengalami<br />

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melalui program asuransi;<br />

b. Tunjangan dalam bentuk bantuan konsultasi dan agen pencarian kerja bagi<br />

para pekerja yang membutuhkan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan<br />

pengalamannya.<br />

2. Untuk dapat meningkatkan penghasilan, para pekerja juga seringkali memerlukan<br />

peningkatan keahlian atau menambah keahlian baru. Agar para pekerja dapat<br />

meningkatkan atau menambah keahliannya, diperlukan program sosial dalam<br />

bentuk tunjangan pelatihan kerja, khususnya bagi mereka yang berusia di atas<br />

30 tahun baik perempuan maupun laki-laki.<br />

3. Diperlukan “paket penyelamatan” untuk semua orang dewasa yang tidak memiliki<br />

pekerjaan dengan gaji bagus, mungkin karena kehidupan rumah tangga yang<br />

buruk dan/atau sekolah dan pelatihan yang tidak berhasil, agar mereka dapat<br />

memperoleh dan mempertahankan pekerjaan dengan penghasilan yang baik.<br />

4. Untuk mengurangi pengangguran sebagai penyebab utama kemiskinan dan<br />

ketidaksetaraan, diperlukan langkah-langka. Pengangguran bisa dikurangi<br />

dengan:<br />

a. Skema penciptaan lapangan kerja yang disponsori pemerintah.<br />

b. Kebijakan pasar tenaga kerja aktif untuk meningkatkan kemampuan kerja,<br />

seperti skema re-training.<br />

c. Skema kesejahteraan kerja yang mendorong partisipasi pasar tenaga kerja.<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

7


d. Menyelenggarakan program pelatihan sektoral, magang, dan program kerja<br />

sambil belajar.<br />

e. Berikan insentif yang kuat untuk penciptaan lapangan kerja di dalam kota/<br />

kabupaten.<br />

5. “Paket penyelamatan” perlu diberlakukan untuk semua anak yang tidak memiliki<br />

awal yang baik dalam hidup atau tidak berprestasi di sekolah. Paket semacam<br />

itu harus memastikan bahwa anak-anak dapat mencapainya dari sekolah dan<br />

pelatihan sehingga akhirnya mendapatkan dan memperoleh pekerjaan dengan<br />

bayaran yang baik.<br />

6. Pemberian pendidikan kesetaraan gender pada siswa SMP dan SMA, baik dalam<br />

sesi-sesi kelas khusus maupun dalam bentuk pembiasaan praktik pembelajaran<br />

dan aktivitas berbasis kesetaraan gender.<br />

7. Meningkatkan bimbingan dan upaya lainnya untuk meningkatkan jumlah<br />

perempuan dalam pekerjaan laki-laki dan posisi kepemimpinan politik.<br />

8. Tingkatkan dana pemerintah untuk opsi penitipan anak berkualitas tinggi<br />

sehingga memungkinkan orang tua, dan terutama ibu-ibu, bekerja di luar rumah<br />

jika mereka menginginkannya, dan melakukannya tanpa rasa takut bahwa<br />

keuangan mereka atau kesejahteraan anak-anak mereka akan dikompromikan<br />

atau dikorbankan.<br />

9. Diperlukan kajian khusus mengenai faktor apa saja yang dapat mengurangi<br />

ketimpangan dan meningkatkan keadilan sosial, baik di tataran struktural, kultural<br />

dan personal. Di setiap tataran, sekaligus juga dikaji cara-cara mengurangi<br />

ketimpangan dan meningkatkan keadilan sosial di setiap tataran. Diperlukan<br />

juga kajian khusus mengenai program sosial apa saja yang dapat mengurangi<br />

ketimpangan. Perlu diketahui program sosial apa yang memiliki efek langsung<br />

terhadap penurunan ketimpangan, dan program sosial apa yang memiliki efek<br />

tak langsung.<br />

10. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program-program pengurangan<br />

ketimpangan disarankan untuk dilakukan secara komprehensif. Pemantauan<br />

dan evaluasi ini dilakukan mulai dari perencanaan hingga pengukuran hasil<br />

dan dampak. Evaluasi tidak hanya dilakukan pada akhir pelaksanaan program,<br />

melainkan perlu dilakukan dalam keseluruhan rentang pelaksanaan program,<br />

sejak awal, pertengahan hingga akhir program sehinggaselain dapat menjadi<br />

masukan bagi pelaksanaan program berikutnya, juga menjadi dasar untuk<br />

perbaikan program yang sedang berlangsung.<br />

8 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

9


10 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


BAB 1<br />

PENDAHULUAN<br />

MENGGALI PERSEPSI WARGA<br />

MENGENAI KETIMPANGAN SOSIAL<br />

SEBAGAI CARA MENDETEKSI<br />

KEADILAN SOSIAL<br />

1.1. Latar Belakang<br />

Kehidupan bersama yang memadai dan memiliki legitimasi adalah kehidupan<br />

yang menghasilkan keadilan. Tanpa keadilan, kehidupan bersama tak bermakna<br />

karena tak berbeda dengan hidup yang dijalani sendiri-sendiri oleh individu. Tujuan<br />

kehidupan bersama keadilan dalam kebersamaan dan kebahagiaan bagi individu<br />

yang berhimpun di dalamnya. Keadilan ini biasa disebut keadilan sosial, dengan<br />

pengertian keadilan dalam distribusi kemakmuran, kesempatan, dan privilese,<br />

termasuk cara dan prosedur pendistribusian serta akses terhadap sumber daya<br />

yang mewujudkan kemakmuran. Keadilan sosial adalah elemen konstitutif pusat dari<br />

legitimasi dan stabilitas dari setiap komunitas politik. Tanpa keadilan sosial, legitimasi<br />

komunitas politik lemah dan tak stabil.<br />

Konsep keadilan sosial didasari oleh postulat bahwa setiap individu harus<br />

diberdayakan untuk mengejar arah kehidupan yang ditentukannya sendiri, agar<br />

mereka terlibat dalam partisipasi sosial yang luas. Latar belakang sosial tertentu,<br />

seperti keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau ketidaksamaan titik<br />

awal tidak seharusnya memengaruhi secara negatif rencana kehidupan pribadi.<br />

Setidaknya ada enam dimensi keadilan sosial, meliputi pencegahan kemiskinan;<br />

akses pendidikan; inklusi pasar tenaga kerja; kohesi sosial dan non-diskriminasi;<br />

kesehatan; dan keadilan antargenerasi. Konsep keadilan ini menekankan penjaminan<br />

setiap kesempatan individu yang benar-benar sama untuk realisasi diri melalui<br />

investasi yang ditargetkan dalam pengembangan kapabilitas individu. Tujuannya<br />

adalah penyetaraan keadilan distributif atau kesetaraan kesempatan hidup formal<br />

dengan aturan main dan kode prosedur yang diterapkan sama. Tujuan yang lain<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

11


adalah keadilan sosial sebagai kerangka aturan dan pedoman bagi masyarakat<br />

partisipatif yang mengaktifkan dan memberdayakan anggotanya.<br />

Keadilan sosial bukan hal yang terberi begitu saja atau sesuatu yang otomatis<br />

berfungsi di masyarakat. Diperlukan usaha terus-menerus untuk menghadirkannya<br />

dalam kehidupan bersama, mulai dari identifikasi faktor yang berpeluang<br />

menghasilkan ketidakadilan, hingga upaya aktivitas-aktivitas yang menghasilkan<br />

keadilan. Salah satu usaha mencegah dan mengatasi ketidakadilan sosial adalah<br />

dengan mengidentifikasi ketimpangan sosial, yaitu ketimpangan di ranah-ranah<br />

kehidupan masyarakat, seperti penghasilan; kepemilikan benda; kesehatan;<br />

pendidikan; hukum; gender; dan politik. Dengan demikian, perlu ada aktivitas<br />

pengukuran ketimpangan, termasuk mengukur persepsi yang mengandung<br />

penilaian warga mengenai ketimpangan yang terjadi di masyarakatnya.<br />

Pentingnya identifikasi ketimpangan sosial disadari oleh INFID. Salah satu upaya<br />

INFID mengidentifikasi ketimpangan sosial adalah mengukur persepsi warga<br />

mengenai ketimpangan sosial. Seperti yang dilakukan pada tahun 2015, pada tahun<br />

<strong>2016</strong> INFID juga melakukan pengukuran persepsi warga mengenai ketimpangan<br />

sosial yang terjadi pada tahun 2015. Pengukuran persepsi mengenai ketimpangan<br />

sosial merupakan satu bentuk audit dari warga mengenai keadilan sosial yang ada di<br />

masyarakat Indonesia. Hasilnya dapat menjadi bahan pembanding dan pelengkap<br />

pengukuran ketimpangan dalam bentuk lain yang pernah dilakukan di Indonesia,<br />

seperti Gini Ratio, yang umum dijadikan indeks dari ketimpangan distribusi<br />

pendapatan.<br />

<strong>Ketimpangan</strong> sosial merupakan indikator keadilan sosial. Pengukuran ketimpangan<br />

sosial menurut warga dapat memberikan pemahaman mengenai ketimpangan apa<br />

saja. Lebih jauh lagi digali makna ketimpangan sosial menurut warga, di ranahnya,<br />

dan jenis ketimpangan sosial yang dipersepsi. Pengukuran ketimpangan memberikan<br />

pemahaman mengenai upaya yang diperlukan untuk mengatasi ketimpangan yang<br />

kemudian perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan program sosial yang tepat. Hasil<br />

pengukuran ketimpangan sosial melengkapi hasil Barometer <strong>Sosial</strong> <strong>2016</strong> yang<br />

diperoleh INFID melalui pengukuran persepsi warga, sehingga dapat memberikan<br />

pemahaman secara lebih komprehensif mengenai keadilan sosial dan usaha-usaha<br />

untuk mencapainya.<br />

12 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Pengukuran ketimpangan sosial ini menggunakan kerangka pemikiran social justice<br />

(keadilan sosial) yang dikemukakan oleh Wolfgang Merkel (2001). Keadilan sosial<br />

diartikan perwujudan kesempatan dan peluang hidup yang setara. <strong>Ketimpangan</strong><br />

adalah indikator belum terwujudnya keadilan sosial secara memadai yang secara<br />

umum memberikan gambaran belum memadainya legitimasi dan stabilitas<br />

masyarakat sebagai komunitas politik.<br />

Perlu dibedakan antara tingkat aktual ketimpangan (ketimpangan yang aktual<br />

terjadi di masyarakat) dengan tingkat persepsi ketimpangan (persepsi responden<br />

tentang ketimpangan di masyarakat) serta penilaian normatif tentang tingkat yang<br />

diinginkan dari ketimpangan sosial (harapan warga tentang tingkat ketimpangan<br />

yang ditoleransi dan diterima). Banyak survei dilakukan menggunakan konsep kedua,<br />

yaitu tingkat persepsi ketimpangan. Konsep tersebut digunakan dalam survei ini.<br />

Pengukuran ketimpangan sosial dilakukan melalui metode survei dengan kuesioner.<br />

Dalam survei ini, digunakan alat ukur ketimpangan sosial yang mengukur penilaian<br />

warga mengenai ketimpangan di beberapa ranah. Warga diminta menilai ranahranah<br />

ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Evaluasi berdasarkan sudut pandang<br />

warga dilakukan untuk mengatasi dan memperkecil kemungkinan bias rezim yang<br />

muncul dalam evaluasi dan laporan pemerintah.<br />

Pengukuran ketimpangan sosial ini merupakan bagian tugas INFID sebagai organisasi<br />

masyarakat sipil yang memiliki mandat untuk memantau pembangunan. Berdasarkan<br />

hasil pemantauan, berupaya mengubah kebijakan dan program pembangunan<br />

agar menjadi lebih inklusif, bermanfaat, imparsial, dan tidak diskriminatif. Dalam<br />

menjalankan mandatnya, INFID menaruh perhatian besar terhadap kemiskinan,<br />

ketimpangan penghasilan, ketimpangan kesempatan terutama kesempatan untuk<br />

mendapatkan pekerjaan, serta belum adanya jaminan kesehatan dan jaminan<br />

pensiun. Pengukuran ini merupakan usaha melengkapi bentuk pemantauan<br />

pembangunan Indonesia yang selama ini sudah dilakukan INFID.<br />

INFID telah melakukan berbagai bentuk pemantauan pembangunan melalui<br />

penelitian dan kajian, baik kajian dokumen maupun penelitian lapangan yang penting<br />

dan bermanfaat. Pemantauan INFID melalui pemantauan ini diharapkan memiliki<br />

daya pengaruh yang lebih luas, dipublikasikan kepada khalayak oleh media massa,<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

13


dan menjadi perhatian publik. Berdasarkan hal tersebut, pengukuran Barometer<br />

<strong>Sosial</strong> dan <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> dilakukan oleh INFID secara rutin.<br />

1.2. Pertanyaan Utama<br />

Pertanyaan yang diajukan dalam Survei Indeks Barometer <strong>Sosial</strong> (IBS) dan<br />

<strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> Menurut Warga <strong>2016</strong>, terdiri atas:<br />

1. Ranah/aspek/hal apa yang berperan menghasilkan ketimpangan sosial di daerah<br />

Anda?<br />

2. Dalam setiap ranah/aspek/hal yang berperan itu, seberapa besar ketimpangan<br />

sosial yang terjadi di daerah Anda?<br />

3. Apa yang menyebabkan ketimpangan di daerah Anda?<br />

4. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial yang<br />

ada di daerah Anda?<br />

5. Apa yang perlu dilakukan untuk mengurangi ketimpangan sosial di daerah Anda?<br />

6. Seberapa jauh ketimpangan gender terjadi di daerah Anda?<br />

7. Apakah ada perlakukan diskriminatif daerah Anda? Seberapa Jauh?<br />

1.3. Tujuan Pengukuran <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong><br />

Survei <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> yang dilakukan INFID bertujuan untuk menggali persepsi<br />

warga mengenai:<br />

1. Ranah/aspek/hal yang berperan menghasilkan ketimpangan sosial di Indonesia<br />

2. Seberapa besar ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia<br />

3. Penyebab ketimpangan sosial di Indonesia<br />

4. Pihak yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial yang<br />

ada di Indonesia<br />

5. Usulan cara mengurangi ketimpangan di Indonesia<br />

6. <strong>Ketimpangan</strong> gender di Indonesia<br />

7. Perlakukan diskriminatif di Indonesia<br />

1.4. Manfaat Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong><br />

Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> berfungsi sebagai alat advokasi pembangunan yang<br />

kuat dan secara bersama melibatkan partisipasi anggota INFID di berbagai kota di<br />

Indonesia<br />

14 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> dapat digunakan sebagai laporan pemantauan<br />

pembangunan yang reguler, mudah dimengerti dan dipahami oleh publik, media<br />

massa, dan pengambil kebijakan.<br />

Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> berfungsi sebagai feedback dan evaluasi mengenai<br />

kinerja dan capaian kebijakan program sosial untuk mengatasi ketimpangan bagi<br />

pengambil kebijakan di tingkat nasional dan daerah mengenai kinerja serta capaian<br />

program sosial.<br />

Hasil yang Diharapkan<br />

Hasil yang hendak dicapai riset ini adalah laporan survei yang disebut sebagai Indeks<br />

<strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> Menurut Warga <strong>2016</strong>. Pemantauan pembangunan yang secara<br />

metodologis kuat dan bertanggung jawab dapat dilakukan melalui pengukuran ini.<br />

Sebelumnya INFID telah melansir Indeks <strong>Ketimpangan</strong> 2015. Diharapkan hasil Indeks<br />

<strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>2016</strong> pun diliput banyak media massa Indonesia dan menjadi<br />

perhatian pengambil kebijakan.<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

15


16 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


BAB 2<br />

TEMUAN-TEMUAN PENGUKURAN<br />

KETIMPANGAN SOSIAL<br />

Bab ini akan memaparkan hasil survei persepsi warga mengenai ketimpangan sosial<br />

di Indonesia. <strong>Ketimpangan</strong> sosial adalah perbedaan penghasilan, sumber daya,<br />

kekuasaan, dan status di dalam dan di antara masyarakat (Naidoo dan Wills, 2008).<br />

<strong>Ketimpangan</strong> sosial secara rinci merujuk pada tingkat perbedaan kategori sosial<br />

orang (menurut karakteristik, seperti jenis kelamin, usia, kelas, dan etnis) dalam<br />

hal akses ke berbagai kemaslahatan sosial, seperti tenaga kerja, pasar dan sumber<br />

penghasilan, sistem pendidikan dan kesehatan, serta bentuk-bentuk representasi<br />

dan partisipasi politik.<br />

<strong>Ketimpangan</strong> sosial mencakup perbedaan kesempatan dan akses pada sumber<br />

daya, serta proses-proses yang menghasilkan kesempatan dan akses itu. Amartya<br />

Sen (1982) menekankan pentingnya melihat ketimpangan berdasarkan kesempatan<br />

(kapabilitas dasar: pendidikan dan kesehatan) dan ketimpangan berdasarkan proses<br />

(demokrasi, kemampuan mengontrol sumber daya, dan lingkungan). Konsep<br />

ketimpangan sosial dapat digunakan untuk memberikan gambaran perbedaan<br />

antara penghasilan rata-rata, hal yang didapatkan orang miskin dan kaya, memiliki<br />

akses pendidikan yang baik dan yang tidak, serta bentuk-bentuk pengelompokan lain<br />

dalam masyarakat. Konsep ketimpangan sosial dapat mengenali tingkat distribusi<br />

sumber daya dan infrastruktur pada warga negara yang berbeda latar belakangnya.<br />

2.1. Sumber <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong><br />

Apa sumber ketimpangan sosial yang terjadi di kehidupan warga? Bagaimana<br />

penyebaran ketimpangan di wilayah Indonesia? Seberapa jauh ketimpangan dan<br />

perlakukan diskriminatif berlangsung di masyarakat Indonesia? Survei ini hendak<br />

menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui persepsi warga.<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

17


Ranah yang menjadi sumber ditentukan berdasarkan ranah kepuasan hidup yang<br />

memengaruhi kapabilitas, kesempatan, kebebasan, kontrol terhadap sumber<br />

daya, kepuasan hidup, dan kebahagiaan individu. Dalam pengukuran, ranah terdiri<br />

atas penghasilan; harta benda yang dimiliki; kesejahteraan keluarga; pendidikan;<br />

pekerjaan; rumah/tempat tinggal, lingkungan tempat tinggal; hukum; kesehatan;<br />

dan aktivitas politik.<br />

Warga diminta menilai apakah ranah-ranah ini merupakan sumber ketimpangan<br />

dan sejauh mana ketimpangan yang ada di setiap ranah. Secara umum, hasil yang<br />

didapatkan adalah warga mempersepsikan bahwa ranah-ranah tersebut merupakan<br />

sumber ketimpangan sosial.<br />

Sumber ketimpangan jika diurutkan dapat dilihat aspek yang menimbulkan masalah<br />

ketimpangan. Urutan tertinggi berada di atas. Urutan sumber ketimpangan adalah<br />

sebagai berikut.<br />

1. Kesempatan mendapatkan pekerjaan<br />

2. Penghasilan<br />

3. Harta benda yang dimiliki<br />

4. Rumah/tempat tinggal<br />

5. Pendidikan<br />

6. Kesejahteraan keluarga<br />

7. Hukum<br />

8. Keterlibatan dalam politik<br />

9. Lingkungan tempat tinggal<br />

10. Kesehatan<br />

18 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Grafik 1. Sumber dan Ranah <strong>Ketimpangan</strong> dalam Masyarakat<br />

Berdasarkan data, dapat dilihat ranah yang sering terjadi ketimpangan di masyarakat.<br />

Urutan tertinggi berada di atas. Urutan ranah yang sering terjadi ketimpangan adalah<br />

sebagai berikut.<br />

1. Kesempatan mendapatkan pekerjaan<br />

2. Penghasilan<br />

3. Hukum<br />

4. Pendidikan<br />

5. Harta benda yang dimiliki<br />

6. Rumah/tempat tinggal<br />

7. Kesejahteraan keluarga<br />

8. Keterlibatan dalam politik<br />

9. Lingkungan tempat tinggal<br />

10. Kesehatan<br />

Membaca data di atas, terdapat diskrepansi antara ranah yang dipersepsikan dapat<br />

menimbulkan ketimpangan dengan di ranah tempat ketimpangan aktual terjadi.<br />

Dapat dilihat dari jarak persentase ranah-ranah yang dipersepsikan menimbulkan<br />

ketimpangan dan di ranah-ranah tempat ketimpangan terjadi.<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

19


2.2. Ranah dan Wilayah <strong>Ketimpangan</strong><br />

2.2.1. Derajat <strong>Ketimpangan</strong><br />

Warga mempersepsi ketimpangan terjadi di ranah yang dinilai. Derajat ketimpangannya<br />

tergolong moderat, memiliki rentang sebesar 14-28% partisipan menilai setiap ranah<br />

timpang-sangat timpang. Angka ini mengindikasikan peningkatan dibandingkan<br />

dengan tahun lalu, sehingga bisa dikatakan bahwa berdasarkan data yang didapat,<br />

ranah-ranah yang disebutkan dalam grafik di bawah ini lebih baik dibandingkan<br />

dengan tahun lalu.<br />

Grafik 2. Persentase <strong>Ketimpangan</strong> di Setiap Ranah<br />

Grafik 3. Persentase<strong>Ketimpangan</strong> di Setiap Ranah di Indonesia Barat dan Timur<br />

20 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Indonesia jika dibagi menjadi dua, yaitu Barat dan Timur, dapat dilihat ketimpangan<br />

berdasarkan region yang disasar. Berdasarkan data yang didapatkan, secara umum<br />

persepsi ketimpangan lebih tinggi di wilayah Barat dibandingkan dengan wilayah<br />

Timur.<br />

Grafik 4. Persentase <strong>Ketimpangan</strong> di Setiap Ranah di Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan,<br />

Sulawesi, dan Indonesia Bagian Timur (NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan<br />

Papua Barat)<br />

Indonesia jika dibagi lima, yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, dan gugusan<br />

Indonesia bagian Timur, dapat dilihat ketimpangan yang lebih tinggi berada di<br />

Sumatera dan Jawa-Bali bila dibandingkan dengan wilayah lain.<br />

2.2.2. <strong>Ketimpangan</strong> Penghasilan dengan Harapan<br />

Khusus penghasilan, diajukan pertanyaan mengenai kesesuaian penghasilan<br />

responden dengan yang diharapkan mereka. Penghasilan dirasakan warga sebagai<br />

ranah yang paling timpang dan paling besar peranannya dalam menciptakan<br />

ketimpangan sosial. Sebesar 40% masyarakat merasa penghasilan mereka berada di<br />

bawah harapan (kurang layak). Selain itu, sekitar 50% masyarakat merasa penghasilan<br />

mereka sesuai dengan harapan. Sementara, 10% masyarakat penghasilannya berada<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

21


di atas harapan. Penemuan ini mengindikasikan adanya peningkatan dibandingkan<br />

tahun lalu, yaitu sekitar 50% warga menilai penghasilannya berada di bawah harapan.<br />

Lebih tinggi dibandingkan dengan tahun ini, yaitu sekitar 40% warga yang menilai<br />

penghasilannya berada di bawah harapan.<br />

Sekitar 40% masyarakat merasa penghasilannya berada di bawah harapan. Angka<br />

ini jika ditarik ke populasi, dapat dikatakan bahwa hampir setengah warga Indonesia<br />

dewasa menilai penghasilan mereka kurang layak. Penghasilan yang mereka<br />

dapatkan tidak dapat memenuhi kebutuhan primer atau hanya dapat memenuhi<br />

kebutuhan primer mereka. Sekitar 50% masyarakat merasa penghasilannya sudah<br />

sesuai dengan harapan, bahkan 10% responden merasa penghasilan mereka sudah<br />

berada di atas harapan.<br />

Hasil penelitian dapat diperoleh indikasi bahwa ketimpangan penghasilan masih<br />

cukup besar, walaupun membaik bila dibandingkan dengan tahun lalu. Hasil<br />

penelitian dapat disimpulkan bahwa jika dibagi berdasarkan kesesuaian penghasilan,<br />

masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) Warga yang<br />

berpenghasilan kurang layak, 2) Warga yang berpenghasilan layak dan 3) Warga<br />

yang berpenghasilan lebih dari layak. Kelompok dengan proporsi terbesar adalah<br />

kelompok warga yang berpenghasilan layak, diikuti dengan kelompok warga yang<br />

berpenghasilan kurang layak. Proporsi terkecil adalah warga yang berpenghasilan<br />

lebih dari layak. Keadaan ini tersebar hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.<br />

Grafik 5. Kesesuaian Penghasilan<br />

22 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Grafik6. Kesesuaian Penghasilan di Indonesia Barat dan Timur<br />

Terdapat perbedaan persepsi terhadap penghasilan di wilayah Barat dan Timur<br />

Indonesia. Perbedaan yang cukup signifikan ada pada persepsi bahwa penghasilan<br />

dianggap sesuai dengan harapan, wilayah Barat lebih tinggi sekitar 10% dibandingkan<br />

dengan wilayah Timur. Akan tetapi, dua kelompok lain tidak terdapat perbedaan<br />

yang cukup jauh. Masyarakat di wilayah Timur memiliki persepsi penghasilan yang<br />

dianggap melebihi harapan lebih tinggi 4% dibandingkan dengan wilayah Barat.<br />

Persepsi ketimpangan yang lebih besar berada di wilayah Timur, yaitu 44% warga<br />

merasa bahwa penghasilan mereka berada di bawah harapan, lebih tinggi dibanding<br />

wilayah Barat yang memiliki persentase 38%.<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

23


Grafik 7. Kesesuaian Penghasilan di Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan<br />

Indonesia Bagian Timur (NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat<br />

Perbedaan persepsi terhadap penghasilan jika Indonesia dibagi menjadi lima wilayah<br />

akan memetakan ketimpangan lebih spesifik. Jika dilihat persebaran datanya, lima<br />

wilayah ini (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia bagian Timur)<br />

terbagi menjadi dua pola ketimpangan. Gugus Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan,<br />

dan Sulawesi tidak terlalu berbeda jauh ketimpangannya. Rata-rata 50% warga<br />

merasa bahwa penghasilannya sudah sesuai harapan dan sekitar 30% warga merasa<br />

penghasilannya masih berada di bawah harapan. Sementara, Indonesia bagian Timur<br />

berbeda dibandingkan pola sebelumnya, dengan jumlah persepsi penghasilan yang<br />

tidak sesuai harapan lebih rendah (51%) dibandingkan dengan penghasilan yang<br />

sesuai harapan (38%). Hasil ini memberikan gambaran bahwa terdapat ketimpangan<br />

dalam persepsi terhadap penghasilan, dengan implikasi bahwa warga di Indonesia<br />

bagian Timur merasakan ketimpangan lebih besar dibandingkan wilayah Indonesia<br />

lainnya.<br />

24 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Grafik 8. Distribusi Persepsi Kesesuaian Penghasilan dengan Usaha yang Dilakukan<br />

dan Kesesuaian Kebutuhan dari Penghasilan di Indonesia Timur dan Barat<br />

Mayoritas responden (60%) menilai penghasilan yang mereka peroleh sesuai dengan<br />

usaha mereka. Artinya, usaha mereka bekerja untuk mendapatkan penghasilan<br />

terkompensasi dengan baik. Sekitar 38% responden merasa bahwa penghasilan<br />

yang mereka dapatkan tidak mencukupi kebutuhan. Mereka menilai penghasilannya<br />

jauh dari harapan dan kecukupan pemenuhan kebutuhan. Persepsi ini relatif merata,<br />

baik di wilayah Indonesia Barat maupun Timur.<br />

Grafik 9. Distribusi Persepsi Kesesuaian Penghasilan dengan Usaha yang Dilakukan<br />

dan Kesesuaian Kebutuhan dari Penghasilan di Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan,<br />

Sulawesi, dan Indonesia Bagian Timur<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

25


Sebagian besar responden menilai penghasilan yang mereka peroleh tidak sesuai<br />

dengan usaha mereka. Artinya, usaha mereka dalam bekerja untuk mendapatkan<br />

penghasilan tidak terkompensasi dengan baik. Sekitar 30% warga menilai bahwa<br />

penghasilan mereka jauh dari harapan dan kecukupan pemenuhan kebutuhan.<br />

Persepsi ini relatif merata di berbagai wilayah, kecuali Kalimantan yang memiliki<br />

proporsi yang cenderung setara pada persepsi penghasilan yang sesuai dengan<br />

usaha.<br />

2.2.3. <strong>Ketimpangan</strong> Berdasarkan Gender<br />

Berdasarkan rujukan dari penemuan tahun lalu, survei ini juga mengukur persepsi<br />

terhadap ketimpangan antara perempuan dengan laki-laki. Persepsi terhadap<br />

ketimpangan antara perempuan dengan laki-laki tergolong agak rendah, sebesar<br />

32% responden menilai ada ketimpangan antara perempuan dengan laki-laki. Hasil<br />

penelitian menunjukkan adanya inkoherensi dari penemuan beberapa ahli yang<br />

berkecimpung dalam permasalahan gender dengan penemuan survei ini. Penjelasan<br />

lain yang dapat digunakan untuk memahami persepsi warga adalah kesadaran<br />

mengenai kesetaraan gender belum tinggi di masyarakat, sehingga banyak warga<br />

yang kurang peka terhadap diskriminasi gender.<br />

Grafik 10. Persepsi Mengenai <strong>Ketimpangan</strong> antara Laki-laki dengan Perempuan<br />

26 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Grafik 11. Persepsi Mengenai <strong>Ketimpangan</strong> antara Laki-laki dengan Perempuan di<br />

Indonesia Barat dan Timur<br />

Persepsi ketimpangan gender lebih tinggi di wilayah Timur (35%) dibandingkan<br />

dengan wilayah Barat (29%). Hasil ini masih dapat dikategorikan sebagai ketimpangan<br />

yang tergolong rendah.<br />

Grafik 12. Persepsi Mengenai <strong>Ketimpangan</strong> antara Laki-laki dengan Perempuan di<br />

Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Bagian Timur<br />

Penelitian menunjukkan, ketimpangan yang lebih tinggi dari rata-rata<br />

(Indonesia; secara keseluruhan) berada di wilayah Sumatera, Sulawesi, dan<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

27


Indonesia Timur. Namun, rentang proporsi ini tidak terlalu berbeda jauh,<br />

sehingga dapat disimpulkan bahwa ketimpangan yang terjadi tergolong<br />

rendah.<br />

Berdasarkan penemuan dari Indeks Barometer <strong>Sosial</strong> 2015, terlihat adanya<br />

kebutuhan untuk melakukan studi lebih lanjut mengenai aspek yang<br />

menyebabkan ketimpangan gender. Aspek-aspek yang dipersepsikan<br />

menjadi sumber ketimpangan adalah harta benda yang dimiliki, penghasilan,<br />

lingkungan tempat tinggal, kesejahteraan keluarga, kesehatan, rumah/tempat<br />

tinggal, kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendidikan, pengambilan<br />

keputusan yang terkait dengan kesejahteraan dirinya, dan hukum. Dua<br />

aspek yang dinilai paling timpang adalah kesempatan untuk mendapatkan<br />

pekerjaan dan penghasilan. Namun, aspek dari ketimpangan gender ini tidak<br />

dapat dilihat begitu saja. Untuk melihat ketimpangan gender secara utuh,<br />

perlu dilihat populasi di Indonesia dari aspek-aspek yang dianggap menjadi<br />

sumber ketimpangan gender, seperti perbandingan antargender pada<br />

posisi dan jenis pekerjaan yang memiliki implikasi pada perbedaan gaji yang<br />

diterima.<br />

Grafik 13. Persepsi terhadap Aspek <strong>Ketimpangan</strong> Gender yang Terjadi*<br />

*diolah dari responden yang mempersepsikan adanya ketimpangan gender<br />

28 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Grafik 14. Persepsi terhadap Aspek <strong>Ketimpangan</strong> Gender yang Terjadi*<br />

*diolah dari responden yang mempersepsikan adanya ketimpangan gender<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

29


30 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


BAB 3<br />

Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>2016</strong><br />

3.1. Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>2016</strong><br />

Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>2016</strong> ditentukan berdasarkan banyaknya ranah yang<br />

dinilai warga mengalami ketimpangan. Semakin besar indeks,semakin banyak ranah<br />

yang dinilai mengalami ketimpangan. Definisinya adalah sebagai berikut.<br />

Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> adalah angka yang mengindikasikan berapa banyak<br />

ranah dalam kehidupan sosial yang dinilai warga mengalami ketimpangan.<br />

Berdasarkan hal tersebut, Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> mengindikasikanjumlah ranah<br />

dari 10 ranah sumber ketimpangan yang dinilai timpang oleh seluruh responden.<br />

Rentang Indeks: 1-10<br />

0 = tidak ada ranah yang timpang<br />

10 = ada ketimpangan di 10 ranah<br />

Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>2016</strong> adalah 4.,4 Artinya, seluruh responden menilai<br />

ada ketimpangan di 4 dari 10 ranah sumber ketimpangan<br />

Grafik 15. Indeks <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>2016</strong><br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

31


Secara keseluruhan, 77% responden (dari total sampel 2010) mempersepsikan<br />

adanya ketimpangan, setidaknya di satu ranah. Bisa dikatakan, sekitar tujuh dari<br />

sepuluh warga Indonesia merasakan adanya ketimpangan.<br />

Dilihat per wilayah, lebih dari 70% responden di Jawa-Bali, Kalimantan, dan Sulawesi<br />

mempersepsikan bahwa mereka merasakan ketimpangan, setidaknya di satu ranah.<br />

Persentase lebih tinggi diSumatera dan Indonesia Timur, yaitu lebih dari 80%.<br />

Di ranah harta benda yang dimiliki, ketimpangan paling besar dipersepsikan oleh<br />

masyarakat Jawa-Bali (25%), diikuti Sulawesi (22%), Sumatera (20%), Kalimantan<br />

(16%), dan Indonesia Timur (14%).<br />

Di ranah penghasilan, ketimpangan paling besar dipersepsikan masyarakat Jawa-<br />

Bali (38%), Kalimantan (30%), Sumatera (26%), Sulawesi (25%), dan Indonesia Timur<br />

(23%).<br />

Di ranah lingkungan tempat tinggal, ketimpangan paling besar dipersepsikan<br />

masyarakat Sulawesi (18%), Sumatera (15%), Indonesia Timur (14%), serta Jawa-Bali<br />

dan Kalimantan pada angka 13%.<br />

Di ranah kesejahteraan keluarga, ketimpangan paling besar dipersepsikan<br />

masyarakat Indonesia Timur (21%), Sulawesi (20%), Jawa-Bali (19%), Kalimantan (15%),<br />

dan Sumatera (14%).<br />

Di ranah kesehatan, ketimpangan paling besar dipersepsikan masyarakat Indonesia<br />

Timur (20%), Kalimantan (16%), Jawa-Bali dan Sulawesi berada di angka yang sama<br />

(14%), dan Sumatera (11%).<br />

Di ranah rumah/tempat tinggal, ketimpangan paling besar dipersepsikan masyarakat<br />

Kalimantan (26%), Sumatera (22%), Sulawesi (16%), serta Jawa-Bali dan Indonesia<br />

Timur (15%).<br />

Di ranah kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, ketimpangan paling besar<br />

berada di wilayah Sumatera (34%), diikuti Kalimantan (31%), Jawa-Bali (27%), Indonesia<br />

Timur (26%), dan Sulawesi (21%).<br />

32 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Di ranah pendidikan, ketimpangan terbesar di Jawa-Bali (26%), diikuti Sulawesi dan<br />

Indonesia Timur (21%), Kalimantan (20%), dan Sumatera (19%).<br />

Di ranah keterlibatan dalam politik, ketimpangan terbesar berada di Sulawesi (20%),<br />

diikuti Sumatera (19%), Kalimantan dan Indonesia Timur (18%), dan Jawa-Bali (8%)<br />

yang perbedaannya yang cukup jauh.<br />

Di ranah hukum, ketimpangan yang terjadi dapat dianggap setara besarannya di<br />

semua daerah, dengan persentase terbesar Sumatera (24%), Indonesia Timur (22%),<br />

Kalimantan (21%), dan Jawa-Bali dan Sulawesi (19%).<br />

3.2. Perlakuan Diskriminatif<br />

Survei ini melakukan studi persepsi mengenai pengalaman perlakuan diskriminatif<br />

bagi dirinya, orang lain, dan seberapa jauh terjadi diskriminasi pada ranah-ranah<br />

tertentu (harta benda, penghasilan, lingkungan tempat tinggal, kesejahteraan<br />

keluarga, kesehatan, rumah/tempat tinggal, kesempatan mendapatkan pekerjaan,<br />

pendidikan, keterlibatan dalam politik, dan hukum).Tujuannya untuk mencari tahu<br />

diskriminasi yang terjadi di Indonesia<br />

Grafik 16. Perlakuan Diskriminatif (Bagi Dirinya dan Orang Lain)<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

33


Berdasarkan data, perlakuan diskriminatif yang terjadi di Indonesia tergolong rendah,<br />

yaitu kisaran 29% pada diri sendiri, dan 26% pada orang lain.<br />

Grafik 17. Perlakuan Diskriminatif (Bagi Dirinya dan Orang Lain) di Indonesia Barat dan<br />

Timur<br />

Persentase penilaian responden terhadap diskriminasi di Indonesia relatif setara<br />

antara Indonesia Barat dengan Timur.<br />

Grafik 18. Perlakuan Diskriminatif (Bagi Dirinya dan Orang Lain) di Sumatera, Jawa-Bali,<br />

Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur<br />

34 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Persepsi pengalaman diskriminasi lebih tinggi di Indonesia bagian Timur dan<br />

Sumatera, bila dibandingkan dengan rata-rata (seluruh Indonesia). Selain persebaran<br />

tindakan diskriminasi, perlu dilihat aspek-aspek yang menyebabkan diskriminasi.<br />

Melihat aspek-aspek yang menjadi konteks diskriminasi, secara umum terdapat<br />

tiga aspek yang rentan terhadap diskriminasi, yaitu harta benda, kesempatan untuk<br />

mendapatkan pekerjaan, dan penghasilan.<br />

Grafik 19. Aspek-aspek yang Dipersepsikan Menjadi Konteks Diskriminasi<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

35


Grafik 20. Aspek-aspek yang Dipersepsikan Menjadi Konteks Diskriminasi<br />

3.3. Bantuan Hukum<br />

Survei ini membahas mengenai bantuan hukum dan perannya di masyarakat.<br />

Grafik 21. Bantuan Hukum Gratis bagi Rakyat Miskin dan Perannya<br />

Sebagian besar masyarakat (56%) tidak mengetahui bahwa negara menyediakan<br />

bantuan hukum gratis bagi rakyat miskin, meskipun mereka mempersepsikan bahwa<br />

bantuan hukum memiliki peranan yang sangat penting (62%) untuk memperoleh<br />

keadilan.<br />

36 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Grafik 22. Masalah Hukum dan Aparat Hukum<br />

Sebagian besar warga (62%) mengakui bahwa jika mereka mengalami masalah<br />

hukum, mereka akan membawanya ke aparat penegak hukum/pengadilan. Namun,<br />

48% menjawab pasti untuk membawa masalah hukum ke aparat penegak hukum.<br />

Grafik 23. Fungsi dan Proses Memperoleh Kartu Identitas dan Akta Kelahiran<br />

Berdasarkan data yang didapatkan, 59% warga menilai bahwa kartu identitas/akta<br />

kelahiran sangat penting fungsinya bagi warga negara. Sekitar 57% warga menilai<br />

bahwa proses mendapatkan kartu identitas/akta kelahiran ini mudah, dan 15% yang<br />

menjawab prosesnya sangat mudah.<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

37


38 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Bab 4<br />

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI<br />

4.1. Kesimpulan<br />

1. Pada pengukuran kali ini, diperoleh indeks ketimpangan yang lebih baik<br />

dibandingkan tahun sebelumnya. Indeks ketimpangan sosial pada tahun <strong>2016</strong><br />

adalah 4,4. Artinya, seluruh responden menilai ada ketimpangan di 4 dari 10 ranah<br />

sumber ketimpangan. Indeks ketimpangan <strong>2016</strong> lebih rendah dibandingkan<br />

indeks ketimpangan 2015 yang mencapai angka 5,06. Menurut penilaian warga,<br />

secara keseluruhan pada 10 ranah yang dinilai di tahun 2015 terjadi penurunan<br />

ketimpangan sosial.<br />

2. Secara keseluruhan, 77% responden (dari total sampel ) mempersepsikan<br />

adanya ketimpangan, setidaknya di satu ranah. Bisa dikatakan, 7 dari 10 warga<br />

Indonesia mempersepsi adanya ketimpangan.<br />

3. Derajat ketimpangannya tergolong moderat, memiliki rentang sebesar 14-<br />

28% partisipan menilai setiap ranah timpang-sangat timpang. Angka ini<br />

mengindikasikan peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu.<br />

4. Penghasilan dirasakan oleh warga sebagai ranah yang paling timpang dan paling<br />

besar peranannya dalam menghasilkan ketimpangan sosial.<br />

5. Persepsi pengalaman diskriminasi lebih tinggi di Indonesia bagian Timur dan<br />

Sumatera, bila dibandingkan dengan rata-rata (seluruh Indonesia). Terdapat tiga<br />

aspek yang rentan terhadap diskriminasi, yaitu harta benda, kesempatan untuk<br />

mendapatkan pekerjaan, dan penghasilan.<br />

6. Persepsi ketimpangan gender lebih tinggi di wilayah Indonesia bagian Timur<br />

dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian Barat.<br />

7. Sebagian besar masyarakat (56%) tidak mengetahui bahwa negara menyediakan<br />

bantuan hukum gratis bagi rakyat miskin, namun hanya 48% yang menjawab<br />

pasti membawa masalah hukum tersebut ke aparat penegak hukum.<br />

4.2. Rekomendasi<br />

1. Mengingat kesenjangan yang paling dirasakan warga adalah ketimpangan<br />

penghasilan, diperlukan program sosial yang dapat mengatasi ketimpangan.<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

39


<strong>Ketimpangan</strong> penghasilan erat kaitannya dengan kesempatan kerja. Berdasarkan<br />

hal tersebut, direkomendasikan program sosial dalam bentuk pemberian<br />

tunjangan bagi pencari kerja sebagai salah satu cara untuk mengurangi<br />

ketimpangan penghasilan. Pemberian tunjangan dapat berperan meningkatkan<br />

distribusi pendapatan. Bentuk tunjangan bagi pencari kerja terdiri atas dua jenis,<br />

antara lain.<br />

a. Tunjangan dalam bentuk uang yang diberikan kepada warga yang mengalami<br />

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melalui program asuransi.<br />

b. Tunjangan dalam bentuk bantuan konsultasi dan agen pencarian kerja bagi<br />

para pekerja yang membutuhkan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan<br />

pengalamannya.<br />

2. Para pekerja seringkali memerlukan peningkatan keahlian atau menambah<br />

keahlian baru untuk dapat meningkatkan penghasilan. Diperlukan program sosial<br />

dalam bentuk tunjangan pelatihan kerja agar para pekerja dapat meningkatkan<br />

atau menambah keahliannya, khususnya bagi mereka yang berusia di atas 30<br />

tahun, baik perempuan maupun laki-laki.<br />

3. Diperlukan “paket penyelamatan” bagi semua orang dewasa yang tidak memiliki<br />

pekerjaan dengan gaji bagus, mungkin karena kehidupan rumah tangga yang<br />

buruk dan/atau sekolah dan pelatihan yang tidak berhasil, agar mereka dapat<br />

memperoleh dan mempertahankan pekerjaan dengan penghasilan yang baik.<br />

4. Diperlukan langkah-langkah untuk mengurangi pengangguran sebagai<br />

penyebab utama kemiskinan dan ketidaksetaraan. Pengangguran bisa dikurangi,<br />

antara lain dengan cara sebagai berikut.<br />

a. Skema penciptaan lapangan kerja yang disponsori pemerintah.<br />

b. Kebijakan pasar tenaga kerja aktif untuk meningkatkan kemampuan kerja,<br />

seperti skema re-training.<br />

c. Skema kesejahteraan kerja yang mendorong partisipasi pasar tenaga kerja.<br />

d. Menyelenggarakan program pelatihan sektoral, magang, dan program kerja<br />

sambil belajar.<br />

e. Memberikan insentif yang kuat untuk penciptaan lapangan kerja di dalam<br />

kota/kabupaten.<br />

5. “Paket penyelamatan” perlu diberlakukan bagi semua anak yang tidak memiliki<br />

awal yang baik dalam hidup atau tidak berprestasi di sekolah. Paket semacam<br />

itu harus memastikan bahwa anak-anak dapat mencapainya di sekolah dan di<br />

pelatihan sehingga memperoleh pekerjaan dengan bayaran yang baik.<br />

40 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


6. Pemberian pendidikan kesetaraan gender pada siswa SMP dan SMA, baik dalam<br />

sesi-sesi kelas khusus maupun dalam bentuk pembiasaan praktik pembelajaran<br />

dan aktivitas berbasis kesetaraan gender.<br />

7. Meningkatkan bimbingan dan upaya lainnya untuk meningkatkan jumlah<br />

perempuan dalam pekerjaan laki-laki dan posisi kepemimpinan politik.<br />

8. Meningkatkan dana pemerintah untuk opsi penitipan anak berkualitas tinggi<br />

sehingga memungkinkan orang tua, terutama ibu-ibu, bekerja di luar rumah<br />

jika mereka menginginkannya, dan melakukannya tanpa rasa takut bahwa<br />

keuangan mereka atau kesejahteraan anak-anak mereka akan dikompromikan<br />

atau dikorbankan.<br />

9. Diperlukan kajian khusus mengenai faktor-faktor yang dapat mengurangi<br />

ketimpangan dan meningkatkan keadilan sosial, baik di tataran struktural,<br />

kultural, dan personal. Di setiap tataran, sekaligus dikaji cara-cara mengurangi<br />

ketimpangan dan meningkatkan keadilan sosial. Diperlukan kajian khusus<br />

mengenai program sosial yang dapat mengurangi ketimpangan. Perlu diketahui<br />

program sosial yang memberi efek langsung terhadap penurunan ketimpangan,<br />

dan program sosial yang memberi efek tak langsung.<br />

10. Diperlukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program-program<br />

pengurangan ketimpangan. Pemantauan dan evaluasi perlu dilakukan secara<br />

komprehensif, mulai dari perencanaan hingga pengukuran hasil dan dampak.<br />

Evaluasi tidak hanya dilakukan pada akhir pelaksanaan program. Evaluasi<br />

perlu dilakukan dalam keseluruhan rentang pelaksanaan program, sejak awal,<br />

pertengahan, hingga akhir program. Hasil pemantauan dan evaluasi menjadi<br />

masukan bagi pelaksanaan program berikutnya, juga menjadi dasar untuk<br />

perbaikan program yang sedang berlangsung.<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

41


DAFTAR PUSTAKA<br />

Acemoglu, Daron, and James A Robinson. 2012. Why Nations Fail: The Origins of<br />

Power, Prosperity and Poverty. 1st ed. New York: Crown.<br />

Merkel, Wolfgang (2001): The Third Ways of Social Democracy, in: Cuperus, Rene/<br />

Duffek, Karl/Kandell, Johannes (Eds.): European Social Democracy<br />

Facing the Twin Revolution of Globalisation and the Knowledge Society,<br />

Amsterdam/Berlin/Vienna: 27-62.<br />

Naidoo, Jenny and Wills, Jane. 2008. Health Studies: An Introduction. Basingstoke:<br />

Palgrave.<br />

Sen, Amartya (1982). Choice, Welfare, and Measurement. Cambridge, MA: Harvard<br />

University Press.<br />

Turner, Bryan (1986) Equality. Chichester, and Tavistock, London: Ellis Horwood.<br />

42 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


LAMPIRAN 1<br />

Kerangka Teoretik<br />

1. <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong><br />

<strong>Ketimpangan</strong> sosial didefinisikan sebagai ketidakmerataan distribusi sumber<br />

daya dalam masyarakat. Konsep ketimpangan sosial dikembangkan untuk dapat<br />

memberikan gambaran perbedaan antara pendapatan rata-rata dengan yang<br />

didapatkan orang miskin dan kaya atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.<br />

Konsep ketimpangan sosial dapat mengenalitingkat kebaikan warga negara yang<br />

berbeda mendistribusikan atau berbagi pendapatan yang mereka peroleh.<br />

Turner (1986, 34-35) mengidentifikasi empat jenis kesetaraan. Pertama, kesetaraan<br />

ontologis atau kesetaraan mendasar orang. Kedua, kesetaraan kesempatan mencapai<br />

tujuan yang diinginkan. Ketiga, kesetaraan kondisi mengenai upaya membuat kondisi<br />

kehidupan yang sama bagi kelompok-kelompok sosial yang relevan. Keempat, ada<br />

kesetaraan hasil atau kesetaraan hasil.<br />

2. <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> Berdasarkan Konsep Kapabilitas<br />

dari Amartya Sen<br />

Menurut Amartya Sen, nasib dan kualitas hidup manusia bergantung sejauh<br />

perluasan kebebasan berlangsung. Ide mengenai perluasan kebebasan berkait erat<br />

dengan gagasan mengenai keadilan. Sen membagi dua definisi kebebasan, yaitu<br />

Well-Being Freedom (kebebasan untuk mencapai kondisi baik atau dikenal dengan<br />

kapabilitas atau kesempatan mencapai kondisi baik, dan Agency of Freedom atau<br />

kebebasan perlakukan atau kebebasan mencapai sesuatu yang dianggap baik. Dua<br />

hal ini mengartikan kebebasan karena adanya kesempatan (opportunity) dan ada<br />

proses yang mendukung.<br />

Pendekatan Sen kemudian diterjemahkan pentingnya melihat ketimpangan<br />

kesempatan (kapabilitas dasar: pendidikan, kesehatan) dan ketimpangan karena<br />

proses (demokrasi, kemampuan mengontrol sumber daya dan lingkungan).<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

43


3. <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> dari Sudut Pandang Ekonomi<br />

<strong>Ketimpangan</strong> sosial dapat dilihat juga dari sudut pandang ekonomi berdasarkan<br />

pengukuran pendapatan dan aset, mencakup tabungan, properti, tanah, dan lain-lain.<br />

Pendekatan ini digunakan banyak ekonom yang menulis mengenai ketimpangan,<br />

seperti Thomas Piketty (Capital in the Twenty-First Century), Branco Milanovic (The<br />

Haves and the Have-Nots), J. E. Stiglitz (The Price of Inequaity), Nancy Birdshall (the<br />

World is not Flat: Inequality and Injustice in Our Global Economy).<br />

Sebagian besar para ekonom tersebut menganalisis bentuk ketimpangan dan<br />

menguraikan penyebab ketimpangan yang berkaitan dengan institusi negara.<br />

4. <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> dari Sudut Pandang Kelembagaan<br />

atau Institutional oleh Daron Acemoglu & James<br />

Robinson (Why Nations Fails)<br />

<strong>Ketimpangan</strong> sosial dapat dilihat dari sudut pandang kelembagaan atau institutional.<br />

Pendekatan ini dikemukakan oleh Daron Acemoglu dan James Robinson dalam<br />

buku Why Nations Fails. Menurut Daron, dkk “Pentingnya peran institusi politik dan<br />

institusi ekonomi dalam mendorong kemajuan dan kesetaraan”. Ketika suatu negara<br />

memiliki institusi ekonomi dan politik yang inklusif, negara akan mempu mewujudkan<br />

kesejahteraan sekaligus kesetaraan.<br />

44 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


Lampiran 2<br />

Metode<br />

1. Pendekatan<br />

Secara umum, survei ini akan mengadopsi perspektif keadilan sosial sebagaimana<br />

disusun dalam Indeks Keadilan <strong>Sosial</strong> yang disusun Wolgang Merkel/Bertlleman<br />

Stiftung. Tetapi softwareitu disadur dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan<br />

Indonesia dan metode survei. Metode itu antara lain mengukur dan menilai kebijakan<br />

mengatasi kemiskinan, ketimpangan, kinerja pelayanan kesehatan, pasar kerja, dan<br />

sebagainya.<br />

2. Waktu Pelaksanaan<br />

Pengukuran dilaksanakan selama tiga bulan dengan perincian, satu bulan persiapan,<br />

satu bulan pengambilan data lapangan, dan satu bulan pengolahan data serta<br />

pembuatan laporan.<br />

3. Permasalahan<br />

Indikator ketimpangan sosial, antara lain.<br />

1. Banyaknya ranah yang menjadi sumber ketimpangan sosial. Dalam pengukuran<br />

ini sumber ketimpangan sosial yang dinilai warga mencakuppenghasilan; harta<br />

benda yang dimiliki; kesejahteraan keluarga; pendidikan; pekerjaan; rumah/<br />

tempat tinggal; lingkungan tempat tinggal; hukum; kesehatan; dan aktivitas<br />

politik.<br />

2. Penilaian warga mengenai seberapa jauh terjadi ketimpangan di setiap ranah<br />

yang menjadi sumber ketimpangan sosial.<br />

Selain hendak menggali sumber dan seberapa jauh ketimpangan sosial terjadi<br />

menurut warga, dalam pengukuran ini juga digali persepsi warga mengenai<br />

penyebab ketimpangan sosial. Di sini digali juga persepsi warga tentang pihak yang<br />

semestinya bertanggungjawab atas ketimpangan sosial dan cara untuk mengatasi<br />

ketimpangan sosial. Untuk melengkapi pemahaman mengenai ketimpangan sosial,<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

45


dalam pengukuran ini juga digali persepsi warga mengenai ketimpangan sosial<br />

antara perempuan dengan laki-laki, serta ada atau tidak perlakuan diskriminatif yang<br />

dialami warga. Dalam pengolahannya, dianalisis perbedaan persepsi mengenai<br />

ketimpangan sosial antara perempuan dengan laki-laki.<br />

Pertanyaan yang diajukan mengenai ketimpangan sosial terdiri atas.<br />

1. Ranah/aspek/hal apa yang berperan menghasilkan ketimpangan sosial di daerah<br />

Anda?<br />

2. Dalam setiap ranah/aspek/hal yang berperan, seberapa besar ketimpangan<br />

sosial yang terjadi di daerah Anda?<br />

3. Apa yang menyebabkan ketimpangan di daerah Anda?<br />

4. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial yang<br />

ada di daerah Anda?<br />

5. Apa yang perlu dilakukan untuk mengurangi ketimpangan sosial di daerah Anda?<br />

6. Seberapa jauh ketimpangan gender terjadi di daerah Anda?<br />

7. Apakah ada perlakuan diskriminatif daerah Anda? Seberapa jauh?<br />

4. Metode Riset<br />

Pengukuran <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> 2015 termasuk dalam jenis riset kuantitatif. Metode<br />

riset yang digunakan adalah metode kuantitatif yang mengandalkan peroleh<br />

data pada wawancara, observasi, dan kuesioner. Data yang diperoleh adalah data<br />

kuantitatif atau data yang diberi kode angka berdasarkan skala ordinal dan interval<br />

sehingga dapat dianalisis menggunakan perhitungan matematik.<br />

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara terstruktur<br />

berdasarkan kuesioner untuk memperoleh data kuantitatif tentang gejala yang<br />

ingin diketahui. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner selfreport.<br />

Kuesioner adalah dokumen tertulis yang terdiri dari seperangkat pertanyaan,<br />

diberikan kepada responden untuk memberikan pertanyaan dan mencatat jawaban<br />

(self-report). Melalui self-report, partisipan diminta memberikan respons yang sesuai<br />

dengan pengalaman dan keadaan dirinya. Partisipan diberikan sejumlah pertanyaan<br />

yang sama untuk kemudian jawabannya dikumpulkan dan dianalisis.<br />

Dilihat dari tujuan dan pengolahan datanya, pengukuran barometer sosial<br />

46 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


termasuk jenis riset deskriptif dan korelasional. Variabel-variabel yang diukur akan<br />

dideskripsikan dan dikorelasikan satu sama lain untuk memperoleh pemahaman<br />

mengenai hubungan antar-variabel.<br />

5. Jumlah Responden dan Teknik Sampling<br />

Jumlah responden mencakup orang. Mencakup responden di 34 provinsi<br />

di Indonesia. Metode survei yang digunakan adalah suvei dengan<br />

menggunakan kuesioner.<br />

Teknik sampling yang digunakan adalah multistage random sampling, yaitu<br />

pengambilan sampel secara bertingkat, pertama dengan menentukan kelompokkelompok<br />

sampel, kemudian sampel dipilih secara random dari kelompok-kelompok<br />

itu. Multistage random sampling seperti cluster sampling, tetapi melibatkan pemilihan<br />

sampel dalam cluster yang dipilih. Dengan teknik ini, pemilihan sampel dilakukan<br />

paling sedikit pada dua tahap (stage).<br />

6. Penyusunan Instrumen Pengukuran<br />

Instrumen yang digunakan dalam pengukuran barometer sosial dan ketimpangan<br />

sosial adalah alat ukur berupa skala dan kuesioner. Penyusunan alat ukur itu mengikuti<br />

langkah-langkah berikut.<br />

1. Identifikasi tujuan utama penggunaan alat ukur: Memperoleh Indeks Barometer<br />

<strong>Sosial</strong> dan <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong>.<br />

2. Penentuan konstruk pengukuran: Komponen-komponen Barometer <strong>Sosial</strong> dan<br />

<strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong>.<br />

3. Identifikasi indikator yang mewakili konstruk dan mendefinisikan ranah (domain)<br />

Barometer <strong>Sosial</strong> dan <strong>Ketimpangan</strong> <strong>Sosial</strong> yang akan diukur.<br />

4. Menyiapkan rangkaian spesifikasi alat ukur, termasuk proporsi item yang akan<br />

dibuat berkaitan dengan tingkah laku yang akan diukur dari konstruk.<br />

5. Konstruksi sejumlah item (items pooling).<br />

6. Review item, uji keterbacaan, expert judgment dan revisi.<br />

PENGUKURAN KETIMPANGAN SOSIAL <strong>2016</strong><br />

47


7. Tryout: Pengambilan data lapangan pada sejumlah sampel representatif dari<br />

populasi yang dituju oleh alat ukur.<br />

8. Analisis item: Pengujian statistik terhadap item-item alat ukur; jika diperlukan,<br />

menghilangkan item-item yang tidak memenuhi kriteria item yang baik atau<br />

melakukan revisi terhadap item-item tersebut.<br />

9. Uji reliabilitas dan validitas bentuk alat ukur final.<br />

10. Membuat manual administrasi, skoring, dan interpretasi terhadap skor alat ukur<br />

(di antaranya membuat tabel norma, standarperforma, dan cutting scores).<br />

7. Teknik Analisis Data<br />

Analisis data akan dilakukan menggunakan perhitungan statistik yang tepat dan<br />

sesuai untuk setiap variabel yang hendak diukur dan diteliti. Teknik analisis data<br />

yang akan digunakan mencakup statistik deskriptif, teknik analisis korelasional dan<br />

pemodelan.<br />

Untuk melihat gambaran umum subjek penelitian dilakukan perhitungan persentase,<br />

rata-rata (mean) serta penyebaran usia dan jenis kelamin subjek melalui statistik<br />

deskriptif. Analisis data dari variabel-variabel yang menjadi komponen barometer<br />

sosial dan hubungannya masing-masing terhadap variabel lain dilakukan dengan<br />

perhitungan multiple correlation dan multiple regresion. Untuk melihat hubungan<br />

pengaruh antar-variabel barometer sosial digunakan analisis persamaan struktur<br />

(structural equation modelling) satu arah dengan hubungan resiprokal yang<br />

dilakukan dengan menggunakan perangkat-lunak Lisrel.<br />

48 LAPORAN | MENDETEKSI KETIMPANGAN SOSIAL MELALUI PENILAIAN WARGA


NGO in Special Consultative Status<br />

with the Economic and Social Council of<br />

the United Nations, Ref. No : D1035<br />

Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu<br />

Jakarta Selatan, 12540<br />

Phone : 021 7819734, 7819735

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!