Rekonstruksi Sosial Korban Tragedi Nasional 1965 di Solo, Pati, dan Bali
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
<strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>Korban</strong><br />
<strong>Trage<strong>di</strong></strong> <strong>Nasional</strong> <strong>1965</strong><br />
<strong>di</strong> <strong>Solo</strong>, <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong> <strong>Bali</strong><br />
Disusun oleh Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia (ISSI)<br />
bekerja sama dengan Yayasan Tifa<br />
Periode Juni 2016 s/d Juli 2017
<strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong><br />
<strong>Korban</strong> <strong>Trage<strong>di</strong></strong> <strong>Nasional</strong> <strong>1965</strong><br />
<strong>di</strong> <strong>Solo</strong>, <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong> <strong>Bali</strong><br />
Disusun oleh:<br />
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia (ISSI)<br />
bekerja sama dengan Yayasan Tifa<br />
Periode Juni 2016 s/d Juli 2017
<strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>Korban</strong> <strong>Trage<strong>di</strong></strong> <strong>Nasional</strong> <strong>1965</strong> <strong>di</strong><br />
<strong>Solo</strong>, <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong> <strong>Bali</strong><br />
Disusun oleh: Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia (ISSI)<br />
bekerja sama dengan Yayasan Tifa<br />
Periode Juni 2016 s/d Juli 2017
Daftar Isi:<br />
Kata Pengantar 1<br />
Razif <strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong> Penyintas <strong>di</strong> Kota <strong>Solo</strong> 7<br />
M. Fauzi <strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong> Penyintas <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> 37<br />
Rinto Tri Hasworo <strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong> Penyintas <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> 63<br />
Kesimpulan <strong>dan</strong> Harapan 87<br />
Daftar Pustaka 90
vi
Pendahuluan<br />
Penelitian rekonstruksi sosial korban/penyintas peristiwa kekerasan <strong>1965</strong><br />
merupakan penelitian keberlanjutan dari Tahun yang Tak Pernah Berakhir<br />
(TYTPB) yang kami selenggarakan tahun 2000. Fokus penelitian TYTPB<br />
adalah pengalaman penderitaan korban, penyintas <strong>dan</strong> keluarganya akibat<br />
dari peristiwa kekerasan <strong>1965</strong>-66. <strong>Korban</strong>/penyintas dalam buku TYT-<br />
PB penuh dengan linangan air mata <strong>dan</strong> hidup yang kelam. Juga, <strong>di</strong> dalam<br />
TYTPB korban/penyintas bercerita tentang pengalaman relasi sosial mereka<br />
yang hancur.<br />
Sementara itu, pada penelitian rekonstruksi sosial ini kami menitikberatkan<br />
cerita pengalaman korban/penyintas dalam membangun kembali relasi<br />
sosial mereka yang hancur <strong>dan</strong> pengab<strong>di</strong>an mereka <strong>di</strong> masyarakat hingga<br />
dapat <strong>di</strong>terima secara penuh. Dalam ruang lingkup rekonstruksi sosial ini<br />
semangat mereka tidak kunjung padam untuk membangun kebudayaan<br />
bangsa Indonesia yang beragam.<br />
Walaupun dalam penelitian rekonstruksi sosial ini kami menekankan pada<br />
pengab<strong>di</strong>an korban/penyintas terhadap lingkungan masyarakatnya, kami<br />
perlu pula untuk memaparkan kerusakan relasi sosial mereka akibat dari<br />
peristiwa kekerasan <strong>1965</strong>. Kerusakan relasi sosial ini kembali <strong>di</strong>tata oleh<br />
korban/penyintas dengan cara yang berbeda <strong>di</strong> setiap daerah.<br />
Dari penelitian <strong>di</strong> tiga daerah yaitu <strong>Bali</strong>, <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong> <strong>Solo</strong>, masing-masing<br />
wilayah terdapat kekhususan, terutama dari struktur sosial yang melingkupinya.<br />
Misalkan, wilayah <strong>Pati</strong> masih cukup kuat tekanan militernya<br />
dalam mengawasi para penyintas <strong>1965</strong>. Kepentingan apa yang melandasi<br />
militer bersikap menekan terhadap penyintas <strong>di</strong> sana? Kami akan men<strong>di</strong>skusikan<br />
masalah ini <strong>di</strong> bagian struktur sosial <strong>di</strong> wilayah <strong>Pati</strong>. Demikian pula<br />
dengan <strong>Solo</strong>, ketika penahanan para korban menggunakan gedung kraton<br />
salah satunya adalah Sasono Mulyo (gedung untuk pengangkatan raja)<br />
<strong>dan</strong> Balai Kota, gedung pemerintah. Hal yang sama dengan <strong>Bali</strong>, apa yang<br />
menyebabkan korban/penyintas <strong>dan</strong> pelaku dapat hidup berdampingan.<br />
Persoalan kekhususan <strong>di</strong> masing-masing wilayah penyintas erat kaitan dengan<br />
struktur sosialnya.
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Sudah lima puluh tahun lebih korban peristiwa 30 September <strong>1965</strong> dapat<br />
bertahan <strong>dan</strong> tidak merasa dendam terhadap pelaku. Sikap mereka berhasil<br />
melalui perjalanan pahit, bahkan dewasa ini kehidupan mereka telah berada<br />
pada batas “melampaui rekonsiliasi”. Untuk memperjelas proses perjalanan<br />
mereka, perlu <strong>di</strong>bahas tiga hal yakni konteks penghancuran relasi<br />
sosial korban; bagaimana proses mereka kembali ke masyarakat; <strong>dan</strong> pencapaian<br />
yang mereka peroleh bersama dengan masyarakat.<br />
<strong>Korban</strong> kekerasan peristiwa 30 September <strong>1965</strong> telah mengalami penghancuran<br />
relasi sosial yang mendalam. Mereka <strong>di</strong>penjara, <strong>di</strong>buang ke Pulau<br />
Buru, <strong>di</strong>bunuh secara brutal, <strong>dan</strong> mendapatkan stigma sebagai orang kafir<br />
<strong>dan</strong> tidak berguna. <strong>Korban</strong>-korban yang <strong>di</strong>penjarakan tidak mendapatkan<br />
pasokan makanan yang memadai <strong>dan</strong> berkualitas. Apabila ada keluarga<br />
memasok makanan untuk salah seorang anggota keluarganya tidak mencukupi<br />
bagi tahanan satu sel. Lambat laun pasokan makanan semacam itu<br />
memecah kerukunan <strong>di</strong> kalangan korban.<br />
Sementara itu, para korban yang <strong>di</strong>penjara <strong>dan</strong> yang <strong>di</strong>bunuh meninggalkan<br />
anak-anak yang tidak terurus. Anak-anak mereka menja<strong>di</strong> putus sekolah,<br />
kehidupan mereka terlunta-lunta. Bahkan terdapat anak yang ikut<br />
ibunya <strong>di</strong> penjara, karena <strong>di</strong>a tidak bisa hidup dengan orang lain. Anakanak<br />
sangat bergantung dari lembaga sosial agama, jika tidak ada sanak keluarga<br />
yang mengurus mereka. Acapkali anak-anak hidupnya terpisah dari<br />
orangtua <strong>dan</strong> saudara kandung lainnya. Mayun ketika peristiwa September<br />
<strong>1965</strong> meletus berumur 8 tahun. Ayahnya seorang guru sekolah dasar (SD)<br />
<strong>di</strong>bunuh. Mayun bersama dua saudara laki-laki hidup tercerai-berai <strong>dan</strong><br />
baru dapat berkumpul kembali beberapa tahun kemu<strong>di</strong>an.<br />
Selain itu, kerusakan relasi sosial lainnya yakni keluarga korban kesulitan<br />
dalam ekonomi terutama untuk menghidupi anak-anak agar dapat melanjutkan<br />
sekolah. Di <strong>Solo</strong>, hampir rata-rata perempuan/ibu menja<strong>di</strong> kepala<br />
keluarga. Mereka secara mendadak bekerja sebagai penjahit. Situasi seperti<br />
ini karena pengaruh lingkungan sosial. Misalkan, Kitri, ketika <strong>di</strong> SD<br />
sering melihat <strong>dan</strong> belajar menjahit dengan kedua orangtuanya. Juga, saat<br />
sekolah <strong>di</strong> sekolah menengah pertama (SMP) <strong>dan</strong> sekolah menengah atas<br />
(SMA) <strong>di</strong>a mendapatkan pelajaran merancang pola pakaian yang menja<strong>di</strong><br />
modal baginya untuk memperoleh pekerjaan.<br />
2
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Demikian pula <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>, wilayah pantai utara Jawa, pengalaman Sumini bisa<br />
mendapatkan nafkah dengan menjahit <strong>dan</strong> menjual makanan. Dia <strong>di</strong>penjara<br />
selama enam setengah tahun, <strong>dan</strong> selama <strong>di</strong>penjara mendapatkan pengetahuan<br />
<strong>dan</strong> pengalaman menjahit pakaian. Juga, Mimin <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> bisa bertahan<br />
hidup dengan melakukan praktek pertanian <strong>di</strong> Desa Guang, Gianyar.<br />
Metode kerja pertanian <strong>di</strong>a peroleh dari Pulau Buru, ketika pemerintah<br />
mengirimnya ke sana untuk berkumpul dengan suami.<br />
Sementara itu, banyak tapol yang kembali ke masyarakat setelah mengenyam<br />
sekian tahun <strong>di</strong>penjara kesulitan untuk memperoleh nafkah. Perusahaan<br />
tidak ada yang mau menerima mereka, setelah <strong>di</strong>ketahui latar<br />
belakang mereka sebagai orang yang terlibat dalam organisasi komunis.<br />
Supeno hingga empat kali melamar pekerjaan, <strong>dan</strong> semua permohonan<br />
lamaran kerjanya <strong>di</strong>tolak. Akhirnya, Supeno yang mempunyai keahlian <strong>di</strong><br />
bi<strong>dan</strong>g industri mesin membuka usaha sen<strong>di</strong>ri. Selama lima puluh tahun<br />
lebih <strong>di</strong>a berusaha man<strong>di</strong>ri dengan bengkel bubut <strong>dan</strong> sukses. Dia pun dapat<br />
menyekolahkan putra-putrinya hingga lulus perguruan tinggi.<br />
Kemu<strong>di</strong>an, bagaimana korban berproses kembali ke masyarakat. Di <strong>Solo</strong>,<br />
Supeno mengab<strong>di</strong> <strong>di</strong> lingkungan tempat tinggalnya sebagai bendahara<br />
rukun tetangga (RT) selama puluhan tahun. Sejak keluar dari penjara, Supeno<br />
langsung aktif <strong>di</strong> lingkungan RT. Demikian pula Kitri, istri Supeno,<br />
selain mengurus putra-putrinya, <strong>di</strong>a juga aktif <strong>di</strong> lingkungan rukun warga<br />
(RW). Pada tahun 1980-an secara aklamasi <strong>di</strong>a <strong>di</strong>pilih oleh belasan ketua<br />
RT untuk menduduki ketua Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Kesejahteraan Keluarga (PKK)<br />
<strong>di</strong> tingkat RW. Lurah harus campur tangan untuk menurunkan Kitri dari<br />
jabatan tersebut. Meskipun demikian, Kitri tetap aktif hingga puluhan tahun<br />
mengurus peningkatan gizi balita <strong>di</strong> tingkat RW <strong>di</strong> kampungnya. Dia<br />
juga aktif meningkatkan minat baca <strong>di</strong> kalangan remaja <strong>di</strong> kampung.<br />
Sementara itu, Supeno selain aktif mengab<strong>di</strong> <strong>di</strong> lingkungan tempat tinggalnya<br />
sebagai bendahara RT, <strong>di</strong>a juga menja<strong>di</strong> anggota Majelis Gereja untuk<br />
zona Surakarta <strong>dan</strong> Yogyakarta. Bahkan, Kitri <strong>dan</strong> Supeno setiap tahun<br />
pada hari raya Idul Fitri selalu menerima kedatangan tetangganya, sanak<br />
saudara <strong>dan</strong> handai taulan untuk bersilaturahim. Rumahnya pun menja<strong>di</strong><br />
penuh sesak dengan tamu-tamunya. Mayoritas penduduk <strong>di</strong> lingkungan<br />
tempat tinggal Supeno adalah keturunan Arab. Situasi itu memperlihatkan<br />
3
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
sikap toleransi Supeno <strong>dan</strong> keluarga terhadap lingkungannya.<br />
Di <strong>Bali</strong>, proses korban kembali ke masyarakat mengambil jalan mengab<strong>di</strong><br />
kepada warga. Mereka bekerja memimpin masyarakat agar dapat meringankan<br />
beban dalam kehidupan ritual <strong>Bali</strong>. Misalkan Natar pada tahun<br />
1990an terpilih sebagai salah seorang Saba Desa. Tugas Saba Desa adalah<br />
mencari jalan yang sesuai dengan adat (sastra) <strong>Bali</strong> bagi warga. Pada 1990-<br />
an <strong>di</strong> desa Kabupaten Gianyar, keluarga yang menjalankan upacara ngaben<br />
bagi anggota keluarganya yang wafat membutuhkan biaya besar hingga<br />
harus menjual sawahnya. Akhirnya, Natar bersama rekannya <strong>di</strong> Saba Desa<br />
menemukan konsep ngaben massal. Biaya ngaben massal ini jauh lebih<br />
murah daripada sebelumnya. Jika <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan biaya sebelumnya<br />
untuk upacara ngaben keluarga harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 30<br />
juta, tetapi setelah ngaben massal <strong>di</strong>selenggarakan biaya hanya Rp 2,5 juta<br />
per keluaga. Natar menjabat Saba Desa hingga dua periode. Dia kemu<strong>di</strong>an<br />
mengundurkan dari jabatannya itu karena ingin mengab<strong>di</strong>kan <strong>di</strong>ri bagi cucu-cucunya<br />
agar dapat bersekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi.<br />
Hal yang mirip <strong>di</strong>lakukan oleh Rentang <strong>di</strong> Desa Guang, Gianyar. Setelah<br />
kembali dari pembuangan <strong>di</strong> Pulau Buru, <strong>di</strong>a aktif <strong>di</strong> pertanian. Tidak beberapa<br />
lama, <strong>di</strong>a <strong>di</strong>angkat oleh warga sebagai kepala pertanian desa (subak).<br />
Tugas Rentang yakni mengatur pembagian air pertanian desa sehingga<br />
menja<strong>di</strong> kunci keberhasilan pertanian desanya. Keberhasilan Rentang mengelola<br />
pengairan desa pernah <strong>di</strong>curigai oleh koman<strong>dan</strong> Koramil akan membawa<br />
warga seperti tahun <strong>1965</strong>. Koman<strong>dan</strong> meminta <strong>di</strong>a untuk berhenti sebagai<br />
kepala subak. Namun, warga justru mempertahankan Rentang terus<br />
mengab<strong>di</strong> bagi kepentingan pertanian desa.<br />
Juga, <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> para tapol kembali ke masyarakat dengan mengab<strong>di</strong> kepada<br />
warga, terutama untuk mengurus pertanian. Supar<strong>di</strong> setelah kembali dari<br />
Pulau Buru bergabung ke dalam organisasi Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).<br />
Di organiasi tani itu, Supar<strong>di</strong> mengurus pembagian air bersih.<br />
Warga <strong>Pati</strong> membutuhkan air bersih untuk memasak kebutuhan pokok.<br />
Selain itu, Supar<strong>di</strong> juga menjabat <strong>di</strong> Ba<strong>dan</strong> Permusyawaratan Desa (BPD).<br />
Bagian terakhir dari pendahuluan tulisan ini membahas hasil yang <strong>di</strong>capai<br />
oleh korban. Kerja kebudayaan kelompok korban <strong>di</strong> <strong>Solo</strong>, <strong>Pati</strong>, <strong>dan</strong> <strong>Bali</strong><br />
4
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
mempunyai perbedaan yang khas. Di <strong>Solo</strong>, kelompok korban yang tergabung<br />
dalam Paguyuban <strong>Korban</strong> Orde Baru (Pakorba) pada 2005 berhasil<br />
menyelenggarakan nyadran, atau upacara menghormati korban yang meninggal<br />
<strong>di</strong>bunuh <strong>di</strong> atas Jembatan Bacem.<br />
Di area Jembatan Bacem pada 2004, perempuan <strong>dan</strong> lelaki berasal dari<br />
wilayah sekitar Jawa Tengah ha<strong>di</strong>r <strong>di</strong> sana untuk berdoa agar arwah mereka<br />
yang mati tidak wajar menja<strong>di</strong> ikhlas <strong>dan</strong> tentram. Mereka menaburkan<br />
bunga, menyebarkan benih ikan ke Bengawan <strong>Solo</strong>, <strong>dan</strong> melepas puluhan<br />
burung liar ke udara. Peristiwa upacara kebudayaan <strong>di</strong> Jembatan Bacem<br />
ini untuk menghormati para korban yang <strong>di</strong>bunuh pada peristiwa <strong>1965</strong><br />
agar tidak mempunyai dendam dengan para pelaku <strong>dan</strong> agar korban lainnya<br />
yang masih hidup bisa berdamai <strong>dan</strong> bekerja mengab<strong>di</strong> <strong>di</strong> masyarakat.<br />
Peringatan <strong>di</strong> Jembatan Bacem ini <strong>di</strong>lakukan setiap tahun, bahkan pada<br />
2005 peringatan dapat menayangkan wayangan, meskipun tidak mencapai<br />
semalam suntuk.<br />
Sementara itu <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>, Natar bersama-sama dengan rekannya menyelenggarakan<br />
latihan kesenian gong <strong>Bali</strong> bagi generasi muda <strong>di</strong> sekitar desanya.<br />
Hampir setiap pekan puluhan perempuan <strong>dan</strong> para pemuda berlatih drama<br />
musik gong <strong>Bali</strong>. Peralatan musik telah terse<strong>di</strong>a. Tujuan Natar menyelenggarakan<br />
latihan kesenian itu adalah agar para pemuda-pemu<strong>di</strong> desanya<br />
dapat meneruskan kebudayaan <strong>Bali</strong>, <strong>dan</strong> juga agar mereka sejak <strong>di</strong>ni <strong>di</strong>tanamkan<br />
kesenian bu<strong>di</strong> pekerti. Mereka memahami cerita tra<strong>di</strong>si <strong>Bali</strong> yang<br />
mempunyai nilai gotong-royong <strong>dan</strong> man<strong>di</strong>ri.<br />
Aktifitas kesenian ini merupakan wujud pengab<strong>di</strong>an dari korban untuk<br />
terus memupuk nilai-nilai kebudayaan bagi generasi muda agar mereka<br />
tidak terperangkap dalam budaya kekerasan <strong>dan</strong> narkoba. Hal yang sama<br />
juga <strong>di</strong>praktekkan oleh Agung Alit <strong>dan</strong> Mayun <strong>di</strong> Kesiman, Denpasar, yang<br />
menye<strong>di</strong>akan ruang publik perpustakaan bagi pemuda-pemu<strong>di</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>.<br />
Perpustakaan itu <strong>di</strong>beri nama bersahaja yakni Taman Baca Kesiman. Tidak<br />
hanya perpustakaan yang bisa <strong>di</strong>manfaatkan oleh publik, tetapi terse<strong>di</strong>a<br />
ruang asri gaya khas <strong>Bali</strong> yang sering <strong>di</strong>pergunakan untuk <strong>di</strong>skusi publik<br />
<strong>dan</strong> pemutaran film. Menurut Agung Alit sebagai inisiator Taman Baca<br />
Kesiman, ruang publik tersebut ber<strong>di</strong>ri agar orang-orang muda bisa lebih<br />
5
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
kreatif mengekspresikan kebudayaan anti kekerasan.<br />
Sementara itu, <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>, Supar<strong>di</strong> mengorganisir para petani <strong>di</strong> dalam Koperasi<br />
Tani. Pen<strong>di</strong>rian Koperasi Tani ini agar para petani bisa bergotong-royong<br />
untuk mendapatkan produksi pertanian yang berkualitas. Koperasi Tani ini<br />
juga untuk mengatasi kesulitan dalam memperoleh benih, pupuk <strong>dan</strong> peralatan<br />
pertanian. Selain itu, Koperasi Tani ini <strong>di</strong>bentuk untuk mengatasi<br />
kesulitan warga untuk memperoleh air bersih.***<br />
6
<strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong> Penyintas <strong>di</strong> Kota <strong>Solo</strong><br />
Razif<br />
Pengantar<br />
Dampak peristiwa kekerasan <strong>1965</strong> bagi korban/penyintas <strong>di</strong> Kota <strong>Solo</strong> sangat<br />
mendalam, terutama merusak relasi sosial para korban/penyintas.<br />
Setelah korban keluar dari penjara atau <strong>di</strong>kembalikan dari pembuangan<br />
Pulau Buru mendapatkan stigma dari lingkungan tempat tinggal seperti<br />
kafir, komunis, pengangguran <strong>dan</strong> lain sebagainya. Tidak hanya itu, mereka<br />
<strong>di</strong>paksa oleh kepala desa atau ketua RT untuk <strong>di</strong>wajibkan memeluk agama<br />
tertentu. Para penyintas juga mengalami kesulitan mendapatkan nafkah<br />
untuk menyambung hidup <strong>dan</strong> biaya menyekolahkan anak. Dari kesulitan<br />
hidup itu para korban/penyintas harus bisa kembali <strong>di</strong>terima oleh masyarakat<br />
agar kehidupan mereka dapat berkelanjutan seperti warga lainnya.<br />
Dalam konteks ini, kami mencoba menuliskan ulang proses rekonstruksi<br />
sosial korban/penyintas <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong>. <strong>Rekonstruksi</strong> sosial mencakup perbaikan<br />
relasi korban dengan keluarga, komunitas <strong>dan</strong> negara atau pemerintah<br />
daerah setempat. Namun, membicarakan rekonstruksi sosial tidak<br />
dapat terlepas dari kehancuran relasi sosial korban/penyintas. Juga, hasil<br />
rekonstruksi sosial korban/penyintas berbentuk pencapaian yang mereka<br />
dapatkan.<br />
Penelusuran rekonstruksi sosial juga penting mengangkat peran perempuan.<br />
Untuk Kota <strong>Solo</strong> yang saya teliti hanya beberapa perempuan yang<br />
menja<strong>di</strong> korban peristiwa <strong>1965</strong>. Namun, peranan perempuan dalam melanjutkan<br />
kehidupan keluarga korban sangat penting. Pada umumnya, perempuan<br />
yang menye<strong>di</strong>akan <strong>dan</strong> membawa makanan ke penjara. Juga, perempuan<br />
menopang kehidupan keluarga korban dengan mendapatkan nafkah<br />
<strong>dan</strong> terutama membesarkan anak-anak dalam mendapatkan pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />
yang layak.<br />
Selain itu, dalam rekonstruksi sosial mencakup pula pembahasan cara kor-
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
ban melakukan pemulihan. <strong>Korban</strong>/penyintas tanpa menyelenggarakan<br />
pertemuan <strong>dan</strong> anjangsana ke sesama korban senasib, sulit bagi mereka<br />
untuk bisa dapat pulih kembali dari trauma masa lalu. Dengan menyelenggarakan<br />
pertemuan korban/penyintas dapat membentuk organisasi <strong>dan</strong><br />
kemu<strong>di</strong>an mengklarifikasi sejarah <strong>di</strong> situs-situs pembunuhan <strong>dan</strong> penghilangan<br />
korban <strong>di</strong>masalalu. Dalam menyelenggarakan ingatan bersama<br />
tersebut, para korban/penyintas kekerasan mencakup perempuan <strong>dan</strong> lelaki<br />
membuat ritual kenangan terhadap kawan-kawannya yang tidak beruntung.<br />
Aktifitas rekonstruksi sosial para korban/penyintas tidak dapat <strong>di</strong>pisahkan<br />
dari klarifikasi sejarah. Misalkan, ketika Paguyuban <strong>Korban</strong> Order Baru<br />
(Parkoba) kota <strong>Solo</strong> menyelenggarakan Nyadran tahun 2005 <strong>di</strong> Jembatan<br />
Bacem, mereka melakukan klarifikasi sejarah. Penjelasan sejarah yang<br />
mereka lakukan adalah <strong>di</strong> Jembatan Bacem sekitar akhir Oktober hingga<br />
Desember <strong>1965</strong> telah terja<strong>di</strong> pembunuhan 144 orang. Kemu<strong>di</strong>an, mereka<br />
memaparkan nama orang yang <strong>di</strong>bunuh, berapa usianya <strong>dan</strong> latarbelakang<br />
organisasi mereka. Juga, klarifikasi sejarah penting bagi kuburan-kuburan<br />
massal yang bertebaran hampir <strong>di</strong> seluruh Indonesia.<br />
Sebelum membahas menata ulang jaringan sosial yang rusak <strong>di</strong>kalangan<br />
korban/penyintas. Kami perlu membahas aktifitas korban dalam menegakkan<br />
hak politik atas dasar konstitusi warga negara yang <strong>di</strong>san<strong>dan</strong>g oleh korban<br />
yakni hak memilih <strong>dan</strong> <strong>di</strong>pilih. Sepanjang masa ke<strong>di</strong>ktaktoran Suharto,<br />
hak politik itu sudah <strong>di</strong>kebiri. Secara resmi, hak politik ini <strong>di</strong>pulihkan oleh<br />
Mahkamah Konstitusi pada 2003 melalui ju<strong>di</strong>cial review. Namun, sejak korban/penyintas<br />
aktif dalam ranah rukun tetangga sebagai bendahara atau<br />
penggiat <strong>di</strong> PKK RW mereka telah menyan<strong>dan</strong>g hak <strong>di</strong>pilih <strong>dan</strong> memilih<br />
yang <strong>di</strong>akui oleh masyarakat lingkungannya.<br />
Dalam penyajian tulisan ini, saya akan memaparkan bagaimana korban/penyintas<br />
mengab<strong>di</strong> kepada masyarakat lingkungannya, <strong>dan</strong> pencapaian apa<br />
yang <strong>di</strong>peroleh dari rekonstruksi sosial tersebut? Dalam membahas rekonstruksi<br />
sosial tidak dapat <strong>di</strong>pisahkan dari kerusakan-kerusakan relasi sosial<br />
korban/penyintas. Sebelum, penulis memaparkan poin pertama mengenai<br />
kehancuran relasi sosial korban/penyintas, perlu <strong>di</strong>bicarakan struktur sosial<br />
<strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong>. Struktur sosial menja<strong>di</strong> konteks menjelaskan perubahan<br />
8
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
status ekonomi <strong>dan</strong> politik yang berlangsung terhadap korban/penyintas<br />
akibat kekerasan tahun <strong>1965</strong>-66.<br />
Struktur <strong>Sosial</strong> Kota <strong>Solo</strong><br />
Kota <strong>Solo</strong> pasca kemerdekaan 1945 merupakan basis perjuangan pemuda<br />
untuk mengusir kembali datangnya penjajah Belanda. Periode itu <strong>di</strong>kenal<br />
sebagai “zaman bersiap” Di masa itu para pemuda yang sudah merasa <strong>di</strong>rinya<br />
dewasa dari pergaulan sekitar akan merasa malu jika tidak bergabung<br />
berjuang untuk kemerdekaan republik. Tidak hanya itu, organisasi militer<br />
yang tumbuh <strong>di</strong> <strong>Solo</strong> adalah tentara yang berpihak kepada rakyat. Artinya,<br />
kelompok militer bersenjata yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda.<br />
Juga, mereka menentang reorganisasi <strong>dan</strong> rasionalisasi tentara nasional<br />
pada 1950-51 yang <strong>di</strong>lancarkan oleh A.H. Nasution <strong>dan</strong> Hatta. 1 Kelompok<br />
militer ini <strong>di</strong>kenal sebagai “tentara kiri”. Mereka membentuk dalam struktur<br />
sosial kota <strong>Solo</strong>, selain mereka bertempur dengan tentara Belanda <strong>dan</strong><br />
juga melindungi perkebunan <strong>dan</strong> kantor yang berhasil <strong>di</strong>ambil alih. Kelompok<br />
militer kiri ini tetap berkembang hingga <strong>1965</strong>, pada peristiwa kekerasan<br />
<strong>1965</strong> mereka <strong>di</strong>tahan <strong>di</strong>tuduh sebagai membantu kudeta pasukan Untung<br />
Samsuri.<br />
Kemu<strong>di</strong>an, dua kraton <strong>Solo</strong> yakni Kasunanan <strong>dan</strong> Mangkunegaraan masuk<br />
kedalam struktur sosial kota <strong>Solo</strong>. Kedua Kraton <strong>di</strong> <strong>Solo</strong> ini <strong>di</strong> masa pasca<br />
kemerdekaan mengalami kemerosotan, namun kedua Kraton ini cepat<br />
beradaptasi dengan kekuasaan yang berubah. Misalkan, salah satu Kraton<br />
membagikan tanah (landreform) kepada petani-petani <strong>di</strong> <strong>Solo</strong>. 2 Kemungkinan<br />
para bangsawan Kraton khawatir akan terja<strong>di</strong> gerakan pendudukan<br />
Kraton, jika mereka tidak bertindak membagikan tanah. Namun, dalam peristiwa<br />
kekerasan <strong>1965</strong>, pihak kraton <strong>Solo</strong> terutama Kasunanan ikut terlibat,<br />
meskipun tidak langsung. Pihak Kraton atas nama raja menye<strong>di</strong>akan<br />
Sasana Mulya (tempat mengangkatan Pangeran/Raja) untuk menja<strong>di</strong> kamp<br />
1 Program ReRa itu <strong>di</strong>jalankan terhadap barisan-barisan kelaskaran dengan alasan<br />
penyatuan komando. Untuk hal ini lihat. J.Bronto. “Ketika Nakhoda Tidak<br />
Satu.” Dalam, Hersri Setiawan. Kidung untuk <strong>Korban</strong>. Dari Tutur Sepuluh Narasumber<br />
Eks Tapol <strong>Solo</strong> (Pakorba: <strong>Solo</strong>, 2006), hlm. 15<br />
2 Peristiwa pembagian tanah ini menja<strong>di</strong> yang pertama <strong>di</strong> Indonesia. Untuk hal<br />
ini lihat. Gunawan Wira<strong>di</strong>. Landreform <strong>di</strong> Indonesia. (Jakarta: KPA, 2006), hlm. 10.<br />
9
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
penahanan para tapol <strong>1965</strong>. Sasana Mulya adalah ruang hall besar yang<br />
berada <strong>di</strong>kompleks kraton Kasunanan.<br />
Pegawai pemerintahan kota <strong>Solo</strong> <strong>di</strong> tahun 1960-an juga masuk kedalam<br />
struktur sosial. Kantor Balai Kota <strong>Solo</strong> bangunan dengan berbentuk arsitektur<br />
joglo Jawa <strong>di</strong>pergunakan pula sebagai tempat penahanan para korban/<br />
penyintas. Sebagai kantor pemerintahan Balai Kota tidak berfungsi sebagai<br />
mestinya untuk beberapa waktu. Kenapa kantor Balai Kota <strong>di</strong>pergunakan<br />
untuk kamp penahanan? Pertama, kemungkinan besar penahanan dalam<br />
jumlah besar membuat penjara <strong>dan</strong> tempat penahanan lain menja<strong>di</strong> penuh<br />
sesak. Kemungkinan lainnya, banyak orang-orang yang <strong>di</strong>tahan adalah<br />
pegawai pemerintahan kota <strong>Solo</strong>. Bahkan, Walikota <strong>Solo</strong>, Utomo Ramelan<br />
pernah <strong>di</strong>tahan untuk beberapa waktu tertentu. Penahanan terhadap para<br />
pegawai pemerintahan kota bisa menja<strong>di</strong> simbol “genosida politik”.<br />
Kemu<strong>di</strong>an, pemilik-pemilik pabrik batik yang berpusat <strong>di</strong> Lawean, Banaran<br />
<strong>dan</strong> sekitar kota <strong>Solo</strong> masuk kedalam struktur sosial. Para pemilik perusahaan<br />
batik adalah orang-orang Tionghoa peranakan, keturunan Arab<br />
<strong>dan</strong> orang <strong>Solo</strong>. Mereka telah berkarir dalam proses pembuatan batik sejak<br />
zaman kolonial Belanda. Perusahaan batik milik peranakan Tionghoa <strong>dan</strong><br />
perusahaan batik nasional sering kali bergotong royong untuk mendapatkan<br />
bahan baku, terutama kain katun. Demikian pula, perusahaan tekstil<br />
batik milik peranakan Tionghoa bekerjasama dengan perusahaan nasional<br />
dalam hal mendapatkan bahan baku <strong>dan</strong> ekspor produksi batik. Tra<strong>di</strong>si kerjasama<br />
antara perusahaan batik peranakan Tionghoa dengan nasional dapat<br />
tercermin ketika para korban/penyintas kembali dari penjara <strong>dan</strong> Pulau<br />
Buru dapat bekerja <strong>di</strong> perusahaan batik milik peranakan Tionghoa. 3 Juga<br />
perusahaan batik membuka lapangan kerja bagi para korban/penyintas perempuan.<br />
Kebanyakan perempuan <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong> untuk mendapatkan nafkah<br />
bekerja sebagai penjahit <strong>di</strong>rumah, banyak perusahaan batik memesan jahitan<br />
kepada mereka.<br />
Sebagaimana <strong>di</strong>katakan <strong>di</strong> atas dalam struktur sosial <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong> terdapat<br />
keturunan Arab yang memperoleh penghasilan dari memproduksi <strong>dan</strong> ber-<br />
3 Perusahaan-perusahaan batik peranakan Tionghoa sudah mengenal para tapol<br />
itu mempunyai keahlian dalam tekstil batik. Wawancara dengan Sumi<strong>di</strong>, <strong>Solo</strong> 14<br />
Juli 2016.<br />
10
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
dagang batik. Namun, orang-orang Arab ini secara ekslusif berbisnis batik<br />
<strong>di</strong>kalangan mereka sen<strong>di</strong>ri. Juga, kebanyakan dari keturunan Arab tersebut<br />
kawin-mawin <strong>di</strong>antara mereka sen<strong>di</strong>ri. Pada pasca peristiwa kekerasan<br />
<strong>1965</strong>, orang-orang keturunan Arab menja<strong>di</strong> pengawas moral bagi para korban/penyintas<br />
<strong>di</strong>beberapa kampung <strong>di</strong> <strong>Solo</strong>. 4<br />
Struktur sosial lainnya <strong>di</strong> Kota <strong>Solo</strong> adalah pemuda-pemu<strong>di</strong> yang setelah<br />
penyerahan kedaulatan 1949-50 mereka melanjutkan sekolah. Mereka<br />
melanjutkan sekolah ke berbagai kejuruan seperti teknik, ekonomi, bahasa<br />
<strong>dan</strong> militer. Mereka sambil bersekolah mengab<strong>di</strong> kepada masyarakat melalui<br />
organisasi. Para pemuda ini ada yang bergabung dalam Pemuda Rakyat<br />
(PR). Kemu<strong>di</strong>an yang meniti profesi pengelolaan pemerintahan desa bergabung<br />
dengan Perkumpulan Pamong Pradja Indonesia (PPDI). Se<strong>dan</strong>gkan<br />
kaum perempuan bergabung dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)<br />
<strong>dan</strong> juga Pemuda Rakyat. Melalui organisasi ini para pemuda melakukan<br />
gotong royong <strong>dan</strong> mengab<strong>di</strong> untuk pembangunan bangsa.<br />
Kebanyakan para pemuda yang berhasil menamatkan sekolah mengajar<br />
<strong>di</strong> lembaga pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan untuk menghasilkan tunas bangsa. Mereka sangat<br />
bangga berprofesi sebagai guru, <strong>dan</strong> seringkali guru-guru itu tidak hanya<br />
mengajar <strong>di</strong> <strong>Solo</strong>, tetapi mereka juga <strong>di</strong>tempatkan <strong>di</strong> Boyolali, Cilacap <strong>dan</strong><br />
wilayah lain yang masih kekurangan tenaga pengajar. Guru-guru tersebut<br />
bergabung pula dengan organisasi Pemuda Rakyat <strong>dan</strong> Lembaga Kebudayaan<br />
Rakyat. Profesi guru merupakan yang terbanyak menja<strong>di</strong> korban/<br />
penyintas <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong>.<br />
Kerusakan Relasi <strong>Sosial</strong><br />
<strong>Korban</strong>/penyintas <strong>di</strong> <strong>Solo</strong> mempunyai latarbelakang beragam ada yang<br />
menja<strong>di</strong> guru, pegawai negeri, <strong>dan</strong> militer. Akan tetapi, dari tiga golongan<br />
sosial itu yang paling menonjol keberadaannya adalah guru. Pada saat itu,<br />
kemungkinan besar <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong> se<strong>dan</strong>g <strong>di</strong>mulainya pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan dasar bagi<br />
kepentingan memajukan <strong>dan</strong> merawat bangsa. Juga, ketika itu guru <strong>di</strong>per-<br />
4 Biasanya keturunan Arab yang menja<strong>di</strong> pengawas korban/penyintas adalah<br />
yang jumlahnya cukup banyak <strong>di</strong> kampung-kampung <strong>di</strong> <strong>Solo</strong>. Pengawasan yang<br />
<strong>di</strong>perankan oleh Keturunan Arab ini langsung berkoor<strong>di</strong>nasi dengan Lurah <strong>dan</strong><br />
kepolisian setempat. Wawancara dengan Supeno, <strong>Solo</strong>, 14 Juli 2016.<br />
11
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
lukan untuk menunjang organisasi pemuda, terutama untuk memperkuat<br />
pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan kesenian <strong>dan</strong> kebudayaan. 5<br />
Saya mulai menuturkan kerusakan sosial seorang guru teknik yang bernama<br />
Supeno. Selain, sebagai guru Supeno aktif pula <strong>di</strong> Pemuda Rakyat.<br />
Diorganisasi itu <strong>di</strong>a mulai dari memimpin tingkat ranting, kemu<strong>di</strong>an meningkat<br />
memimpin anak cabang, <strong>dan</strong> akhirnya anggota pleno Dewan Pimpinan<br />
Daerah (DPD) propinsi Jawa Tengah. Sebagai guru teknik Supeno bergabung<br />
pula dengan organisasi Persatuan Guru Teknik Indonesia (PGTI).<br />
Dewasa ini, Supeno berusia 86 tahun.<br />
Pada November <strong>1965</strong> Supeno <strong>di</strong>tahan, ketika itu anak pertamanya masih<br />
bayi. Penangkapan Supeno tanpa pemberitahuan kepada keluarga. Istrinya<br />
sudah berasumsi suami telah <strong>di</strong>bunuh, karena mendapatkan kabar Supeno<br />
<strong>di</strong>bawa ke Markas Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD) <strong>di</strong><br />
Karangmenjangan. Selain itu, Supeno <strong>di</strong>pecat dari nafkah utamanya sebagai<br />
guru. Pemecatan sebagai guru telah merusak relasi sosialnya terhadap<br />
keluarga. Di tambah dengan pemenjaraan fisik Supeno yang hak sosial<br />
<strong>dan</strong> politik telah <strong>di</strong>putus.<br />
Meskipun, Supeno hanya satu hari <strong>di</strong>penjara Karangmenjangan, namun<br />
<strong>di</strong>a mendapatkan siksaan yang luar biasa. 6 Kemu<strong>di</strong>an, Supeno <strong>di</strong>pindahkan<br />
ke penjara Kampung baru, Kauman. Di penjara Kauman, Supeno mengikuti<br />
pemeliharaan rohani. Di dalam penjara para tahanan <strong>di</strong>haruskan un-<br />
5 Seorang guru pada zaman itu, selain mempunyai ketrampilan utama misalnya<br />
mengajar teknik mesin, juga mereka mempunyai keahlian dalam bu<strong>di</strong> pekerti <strong>dan</strong><br />
kebudayaan. Umpamanya guru bisa bernyanyi, menari, mendongeng <strong>dan</strong> bermain<br />
san<strong>di</strong>wara. Tahun 1950-an <strong>dan</strong> 1960-an terdapat san<strong>di</strong>wara bagi anak-anak yang<br />
bernama Soyang, sebuah seni panggung populer <strong>di</strong>kalangan anak-anak sekolah.<br />
Selain itu, Soyang merupakan san<strong>di</strong>wara yang pemerannya adalah dari guru <strong>dan</strong><br />
siswa, sehingga hampir semua guru mengenal seni panggung itu. Untuk hal ini lihat.<br />
Hersri Setiawan. “Soyang Opera Anak-Anak Tani <strong>di</strong> bawah Terang Purnama.”<br />
Dalam, Aku Eks Tapol. (Jogjakarta: Galang Press, 2003).<br />
6 Dipenjara para tapol kekurangan makanan <strong>dan</strong> seringkali mendapatkan<br />
makanan tidak berkualitas. Ditambah pula <strong>di</strong>penjara <strong>di</strong>mulai pen<strong>di</strong>siplinan terhadap<br />
hukuman <strong>dan</strong> teror seperti “bon-bonan”, situasi ini umum berlaku untuk<br />
para tapol pada akhir <strong>1965</strong> hingga pertengahan tahun 1966. Kon<strong>di</strong>si seperti ini<br />
yang menciptakan kerusakan relasi sosial antara tapol dengan negara.<br />
12
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
tuk memilih menjalani pemeliharaan rohani yang mencakup agama Islam,<br />
Katolik <strong>dan</strong> Kristen Protestan. Supeno memilih untuk menjalankan agama<br />
Kristen Protestan. Bersamaan dengan itu, <strong>di</strong>penjara Kauman berlangsung<br />
teror “bon-bonan.” Kalau kita tidur bertiga berjejer <strong>di</strong>dalam sel, tahanan<br />
<strong>di</strong>sebelah kiri <strong>dan</strong> kanan saya <strong>di</strong>keluarkan <strong>dan</strong> tidak pernah kembali. Ja<strong>di</strong>,<br />
saya berfikir giliran saya kapan untuk <strong>di</strong>ambil <strong>dan</strong> tidak kembali. Dalam<br />
kon<strong>di</strong>si seperti itu saya sebagai orang hidup akan “pasrah total” dengan<br />
mahluk yang menghidupinya. Sejak itu, saya “pasrah total” dengan yang<br />
kuasa dengan mengikuti jalan Kristus. 7<br />
Pada Desember 1966 Supeno <strong>di</strong>lepas dari penjara Kauman <strong>dan</strong> kembali<br />
ke rumahnya <strong>di</strong> Kampung Merto<strong>dan</strong>an. Keha<strong>di</strong>ran Supeno <strong>di</strong> kampung<br />
itu sebagai bekas tahanan <strong>di</strong>haruskan melapor kepada ketua RT yang<br />
keturunan Arab. Penghuni kampung tempat tinggal Supeno sebagian besar<br />
adalah orang-orang keturunan Arab. Pada saat itu, penghuni kampung<br />
Merto<strong>dan</strong>an banyak yang menja<strong>di</strong> tahanan politik <strong>1965</strong> adalah orangorang<br />
Jawa, se<strong>dan</strong>gkan orang keturunan Arab menganggap <strong>di</strong>rinya sebagai<br />
“pemenang.” Penduduk keturunan Arab melakukan pengawasan terhadap<br />
para tahanan yang <strong>di</strong>tuduh terlibat PKI. Mereka tidak hanya sebagai<br />
ketua RT, tetapi juga hansip wanra yang menjaga ketertiban <strong>di</strong> kampung.<br />
Ketika, Supeno melapor, <strong>di</strong>a <strong>di</strong>ingatkan untuk bersembahyang <strong>dan</strong> akan<br />
<strong>di</strong>berikan kain sarung serta peci. Atas tawaran itu, <strong>di</strong>a hanya mengatakan<br />
“ya”. Sebelum peristiwa kekerasan <strong>1965</strong> relasi sosial Supeno dengan lingkungan<br />
masyarakatnya merasa aman <strong>dan</strong> akur, tanpa teror <strong>dan</strong> intimidasi<br />
yang <strong>di</strong>a rasakan setelah kembali dari penjara. Pengawasan yang <strong>di</strong>lakukan<br />
oleh orang-orang keturunan Arab tersebut merupakan identifikasi terhadap<br />
para tapol yang mereka asumsikan sebagai orang-orang tak beragama.<br />
Tindakan serupa ini telah merusak relasi sosial para korban/penyintas dengan<br />
lingkungan masyarakatnya atau komunitas.<br />
Pembebasan Supeno hanya sejenak sekitar satu minggu <strong>di</strong>a kembali <strong>di</strong>tahan<br />
<strong>di</strong>penjara CPM <strong>di</strong> sebelah kantor Balaikota. Di sana para tahanan politik<br />
tidak mendapatkan makanan secara memadai. Pasokan makanan seringkali<br />
berasal dari besukan keluarga. Supeno <strong>di</strong>penjara CPM tenaganya<br />
sering <strong>di</strong>pergunakan untuk merancang skema kepangkatan. Pekerjaan se-<br />
7 Supeno <strong>di</strong> penjara Kauman selama 1 tahun <strong>dan</strong> ka<strong>dan</strong>gkala mendapatkan besukkan<br />
dari keluarga. Wawancara dengan Supeno, <strong>Solo</strong>, 14 Juli 2016.<br />
13
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
perti ini merupakan salah satu cara pihak tentara mendapat tenaga kerja<br />
tanpa <strong>di</strong>bayar. Sebelum <strong>di</strong>bebaskan dari penjara itu terdapat pembicaraan<br />
antara pihak RT <strong>dan</strong> Hanra serta Lurah, mereka men<strong>di</strong>skusikan soal resiko<br />
apabila Supeno <strong>di</strong>bebaskan. Seolah-olah <strong>di</strong> tingkat terbawah dari pemerintahan<br />
<strong>di</strong> kampung, Supeno itu adalah seorang kriminal yang akan membuat<br />
kerusuhan. Alasan yang tidak masuk akal <strong>dan</strong> <strong>di</strong>buat-buat oleh aparat RT<br />
<strong>dan</strong> Hanra. Sementara itu, pihak Lurah, walaupun keberatan masih mempunyai<br />
alasan yang masuk akal yakni “jika <strong>di</strong>a buat onar <strong>di</strong>masukkan lagi<br />
ke penjara.” 8<br />
Sebelum saya melanjutkan cerita Supeno dalam merekonstruksi relasi sosial,<br />
saya akan beralih ke pengalaman hidup korban/penyintas lainnya, yakni<br />
Soeban<strong>di</strong>. Dia lahir tahun 1935 <strong>di</strong> desa Randubawa, Karanganom, Klaten.<br />
Ban<strong>di</strong> sebelum peristiwa kekerasan <strong>1965</strong> bekerja sebagai guru. Untuk menja<strong>di</strong><br />
seorang guru , Ban<strong>di</strong> <strong>di</strong>haruskan untuk menempuh sekolah guru B. Dia<br />
menjalani sekolah guru <strong>di</strong> Pemalang <strong>dan</strong> berhasil tamat tahun 1957. Di tahun<br />
1960, Ban<strong>di</strong> bergabung dengan organisasi guru PGRI Non-Vaksentral.<br />
Soeban<strong>di</strong> pertama kali mengajar <strong>di</strong> sekolah Madegan, Klaten. Ini sebuah sekolah<br />
dasar yang kebanyakan muridnya berasal dari sekitar Klaten. Kemu<strong>di</strong>an,<br />
Soeban<strong>di</strong> bersama rekan-rekannya men<strong>di</strong>rikan Sekolah Menengah<br />
Pertama (SMP) pertama <strong>di</strong> Klaten. Bagi Siswa bersekolah <strong>di</strong> SMP itu tidak<br />
<strong>di</strong>pungut biaya. Setelah itu, Soeban<strong>di</strong> berpindah lagi mengajar <strong>di</strong> sekolah<br />
teknik yang juga berlokasi <strong>di</strong> Klaten.<br />
Pada saat peristiwa kekerasan <strong>1965</strong> berlangsung, Soeban<strong>di</strong> berhasil melarikan<br />
<strong>di</strong>ri ke pegunungan Merapi Merbabu Kompleks, Jawa Tengah. Dia<br />
bersembunyi <strong>di</strong>pelosok-pelosok pegunungan hingga tahun 1970 baru <strong>di</strong>tangkap<br />
oleh tentara. Akibat pencarian <strong>dan</strong> pengejaran terhadap Soeban<strong>di</strong><br />
ibu <strong>dan</strong> saudara kandung <strong>di</strong>tahan oleh tentara. Soeban<strong>di</strong> sen<strong>di</strong>ri <strong>di</strong>tahan<br />
ketika <strong>di</strong>a kembali ke rumah <strong>di</strong> Karanganom, Klaten. Dia telah <strong>di</strong>intai sejak<br />
lama oleh militer.<br />
8 Dalam melepaskan tahanan politik negara telah merancang seolah-olah telah<br />
terja<strong>di</strong> kerusakan relasi sosial antara tapol dengan komunitas, yang paling mudah<br />
adalah mengkriminalkan mereka. Namu, cara seperti ini seringkali tidak efektif<br />
<strong>dan</strong> menipu masyarakat.<br />
14
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Pertamakali mengetahui ibu <strong>dan</strong> saudara kandung <strong>di</strong>tahan, Soeban<strong>di</strong> berasumsi<br />
mungkin kalau <strong>di</strong>a kembali, ibu <strong>dan</strong> saudara kandungnya akan<br />
<strong>di</strong>bebaskan. Ternyata dugaan itu salah. Ibu <strong>dan</strong> saudara kandungnya tetap<br />
<strong>di</strong>tahan. Soeban<strong>di</strong> <strong>di</strong>tahan <strong>di</strong> LP Klaten untuk beberapa bulan, sebelum akhirnya<br />
<strong>di</strong>buang ke Pulau Buru. Di LP Klaten, seperti pada umumnya penjara<br />
tidak memberlakukan tapol sebagai manusia. Pembagian makanan <strong>dan</strong> air<br />
yang hanya satu kali sehari <strong>dan</strong> kualitas makanan sangat buruk.<br />
Bagi Soeban<strong>di</strong> pengalaman hidup yang mengenaskan <strong>di</strong>penjara berkaitan<br />
dengan pasokan makanan yang <strong>di</strong>se<strong>di</strong>akan oleh a<strong>di</strong>knya yang masih bersekolah<br />
<strong>di</strong> Sekolah Dasar kelas empat. Kon<strong>di</strong>si seperti itu berlangsung selama<br />
berbulan-bulan hingga Soeban<strong>di</strong> <strong>di</strong>pindahkan ke Nusakambangan, Cilacap.<br />
Situasi tersebut merusak relasi sosial antara Soeban<strong>di</strong> dengan keluarga.<br />
Kerusakan relasi sosial dengan keluarga, <strong>di</strong>mulai dari penahanan ibu <strong>dan</strong><br />
saudara kandungnya telah terja<strong>di</strong> pembelahan konflik batin <strong>di</strong>antara anggota<br />
keluarga.<br />
Soeban<strong>di</strong> pulang kembali ke Klaten dari Pulau Buru tahun 1979. Setelah<br />
kembali <strong>di</strong> Klaten, <strong>di</strong>a bertekad untuk mencari pekerjaan. Ternyata sulit<br />
untuk mendapatkan pekerjaan dengan ijazah guru. Ketika itu, Soeban<strong>di</strong><br />
telah berusia 44 tahun untuk kembali lagi menja<strong>di</strong> seorang guru tidak<br />
mungkin dengan identitas KTP menyan<strong>dan</strong>g ET (Eks Tahanan). Akhirnya,<br />
<strong>di</strong>a mendapatkan pekerjaan <strong>di</strong>sebuah hotel yang berlokasi <strong>di</strong>perbatasan<br />
antara kota <strong>Solo</strong> <strong>dan</strong> Klaten. Cara mendapatkan pekerjaan itu melalui<br />
koneksi perkawanan.<br />
Dewasa ini, Soeban<strong>di</strong> telah bekerja <strong>di</strong> hotel itu selama 36 tahun. Dia untuk<br />
mencapai tempat mencari nafkah itu, perlu menempuh perjalanan 2<br />
jam dari Karanganom, Klaten. Dalam menunaikan pekerjaan itu, Soeban<strong>di</strong><br />
tidak melalui proses hukum hubungan kerja. Akibatnya, <strong>di</strong>a tidak memperoleh<br />
tunjangan pensiun, tunjangan kesehatan <strong>dan</strong> tunjangan lembur.<br />
Situasi seperti itu juga akibat dari kerusakan relasi sosial dengan negara.<br />
Hingga saat ini relasi kerusakan sosial antara Soeban<strong>di</strong> dengan negara sulit<br />
untuk dapat <strong>di</strong>perbaiki. 9<br />
9 Soeban<strong>di</strong> sudah sepantasnya mendapatkan perlindungan jaminan kesehatan<br />
dari negara yang berbentuk BPJS. Informasi Soeban<strong>di</strong> belum memperoleh perlindungan<br />
kesehatan <strong>di</strong>peroleh dari Wawancara dengan Soeban<strong>di</strong>, <strong>Solo</strong>, 23 Juli 2016.<br />
15
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Saya beralih menarasikan kerusakan relasi sosial keluarga yang <strong>di</strong>alami<br />
oleh Utari, anak seorang perwira TNI angkatan darat. Utari lahir tahun 1955<br />
<strong>di</strong> Danusuman, <strong>Solo</strong>. Ayahnya bernama Sukro Sumoatmojo. Sementara itu,<br />
ibu bernama Sri Mulati. Kedua orang tuanya pada peristiwa kekerasan <strong>1965</strong><br />
<strong>di</strong>jebloskan ke penjara. Ibunya mengenjam 2 tahun <strong>di</strong>kamp tahanan Balaikota,<br />
se<strong>dan</strong>gkan ayah mendekam 11 tahun <strong>di</strong> penjara Ambarawa. Ayahnya<br />
<strong>di</strong>tuduh sebagai tentara simpatisan Sukarno, se<strong>dan</strong>gkan ibunya bergabung<br />
dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Sehari-hari ibunya bekerja<br />
hias rias pengantin.<br />
Ayah dari Utari terlebih dahulu <strong>di</strong>tahan <strong>dan</strong> awal mendekam <strong>di</strong>penjara<br />
CPM, sebelah Balaikota. Sementara, ibunya <strong>di</strong>tahan 2 bulan kemu<strong>di</strong>an <strong>dan</strong><br />
<strong>di</strong>tempatkan <strong>di</strong> kamp tahanan Balaikota. Ketika itu Utari berusia 10 tahun<br />
masih bersekolah kelas dua sekolah dasar. Ketika guru Utari mengetahui<br />
ayahnya terkena pada peristiwa Gestok, Utari malah tidak naik kelas. Tindakan<br />
guru tersebut telah melangsungkan kerusakan relasi sosial dengan<br />
lingkungan masyarakatnya. 10 Utari pindah sekolah yang dekat dengan<br />
Balaikota, agar mudah menjenguk ibunya. Utari sering menginap <strong>di</strong> kamp<br />
tahanan Balaikota karena <strong>di</strong>a tidak bisa terpisahkan dengan ibunya.<br />
Utari bersaudara kandung 6 orang. Setelah kedua orang tuanya <strong>di</strong>tahan <strong>dan</strong><br />
tidak berpenghasilan secara ekonomi, maka 5 orang saudaranya termasuk<br />
Utari tinggal <strong>di</strong>rumah saudara ibu <strong>dan</strong> ayahnya. Mereka hidup cerai-berai<br />
tanpa orangtua melindungi. Utari sen<strong>di</strong>ri untuk sekolah <strong>di</strong>biayai oleh saudara<br />
ayahnya, namun <strong>di</strong>a tidak bisa tinggal dengan pamannya tersebut,<br />
karena tidak bisa berpisah dengan ibunya. Utari pernah tinggal <strong>di</strong> rumah<br />
tante (Bude) mendapatkan cemooh dari anak budenya yang mengatakan,<br />
“anaknya wong PKI!!! Anaknya wong PKI!!!”. Mendengar cemooh itu Utari<br />
hanya <strong>di</strong>am, mungkin saja cemooh itu ada benarnya, karena orang tuanya<br />
<strong>di</strong>tahan. Stigma yang <strong>di</strong>san<strong>dan</strong>g sebagai “anak PKI” merupakan kerusakan<br />
relasi sosial keluarga yang <strong>di</strong>terima oleh Utari. Bisa <strong>di</strong>terjemahkan bahwa<br />
Utari sebagai “anak PKI” beban keluarga lainnya.<br />
10 Kebijakan guru yang tidak menaikkan kelas siswanya karena orang tuanya seorang<br />
tapol sering terja<strong>di</strong> <strong>di</strong>sekolah-sekolah yang guru sebelumnya adalah yang<br />
bergabung dengan organisasi kiri. Tindakan tersebut sebagai balas dendam buta<br />
kalau bekas gurunya bersalah, maka muridnya juga bersalah.<br />
16
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Setelah ibu <strong>di</strong>lepas dari kamp tahanan Balaikota tahun 1967 kembali ke<br />
rumah Danusuman. Sebelum ibunya bekerja sebagai penjahit, tidak ada<br />
pekerjaan untuk membiayai makan keluarga. Untuk mengatasi kesulitan<br />
itu, ibu menjual peralatan rumah tangga seperti meja, kursi, lemari <strong>dan</strong><br />
gelas/piring. “Dulu piring, terus gelas 200 itu habis <strong>di</strong>jualin buat makan.”<br />
Kemu<strong>di</strong>an, ibu Utari menjual perkarangan rumah untuk membiayai makan<br />
mereka <strong>dan</strong> juga untuk membiayai sekolah anaknya yang pertama berkeinginan<br />
untuk bersekolah polisi. Setelah perkarangan <strong>di</strong>jual sebagian dari<br />
uang penjualan <strong>di</strong>berikan anaknya untuk masuk sekolah polisi. Namun,<br />
anaknya tidak terima <strong>di</strong>sekolah polisi, uang lenyap begitu saja. 11 Peristiwa<br />
lenyapnya sebagian uang hasil penjualan perkarangan keluarga Utari<br />
bisa <strong>di</strong>katakan keberlanjutan dari kerusakan relasi sosial keluarga dengan<br />
negara. Sudah pasti anak seorang bekas korban/penyin-tas <strong>di</strong>tolak untuk<br />
sekolah calon aparat hukum negara, se<strong>dan</strong>gkan uang hilang untuk uang<br />
pangkal sekolah polisi adalah apes, kata orang Jawa.<br />
Pada 1976, ayahanda Utari kembali dari penjara Ambarawa, Pak Sukro mulai<br />
mencari pekerjaan <strong>dan</strong> memperoleh kerja sebagai makelar penjualan<br />
rumah. Walaupun pemasukan tidak menentu, tetapi lumayan bisa menambah<br />
penghasilan keluarga. Sementara, Utari telah memasuki usia 21 tahun<br />
<strong>dan</strong> ketika itu untuk melanjutkan sekolah sudah tidak memungkinkan.<br />
Pada 1977, Utari menikah <strong>dan</strong> <strong>di</strong>karunia 2 orang anak, keduanya putra. Sekarang<br />
keduanya berhasil menempuh sekolah akedemi teknik <strong>Solo</strong>, sebuah<br />
sekolah teknik terkemuka <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong> yang mudah medapatkan pekerjaan.<br />
Sekarang mereka telah bekerja berpenghasilan baik <strong>dan</strong> bisa merenovasi<br />
rumah ibunya. Keberhasilan kedua anak Utari merupakan sublimasi atau<br />
cara untuk mengatasi kerusakan relasi sosial <strong>di</strong>tingkat keluarga.<br />
Selanjutnya, saya akan berpindah kepada korban/penyintas dalam pengalaman<br />
hidupnya <strong>di</strong>usir dari lingkungan masyarakatnya. Kaminah, sekarang<br />
berusia 70 tahun tinggal <strong>di</strong> kampung Mangkuyu<strong>dan</strong>, <strong>Solo</strong>. Tahun<br />
1972, Kaminah keluar dari penjara Wangkong 12 berminat untuk kembali<br />
11 Ibu dari Utari tidak berfikir bahwa anak dari eks tapol tidak bisa masuk sekolah<br />
polisi. Untuk hal ini lihat. Wawancara Rini dengan Ibu Utari, <strong>Solo</strong>, 23 Juli 2016.<br />
12 Sebetulnya Wangkong bukan penjara tetapi sebagai tempat penampungan<br />
tuna wisma yang <strong>di</strong>sulap menja<strong>di</strong> kamp penahanan. Wawancara Rini dengan Kaminah,<br />
<strong>Solo</strong>, 23 Juli 2016.<br />
17
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
ke rumah orang tuanya <strong>di</strong> kampung Baluwarti, namun <strong>di</strong>tolak oleh ketua<br />
RT <strong>di</strong> sana. Kaminah mengenal ketua RT itu adalah algojo yang banyak<br />
membunuh korban <strong>1965</strong> <strong>di</strong> Baluwarti. Ketua RT itu khawatir Kaminah dapat<br />
membongkar tindakan pembunuhan yang <strong>di</strong>a lakukan <strong>di</strong> masa lalu.<br />
Penolakan itu, merupakan kerusakan relasi sosial antara Kaminah dengan<br />
lingkungan masyarakat setempat. Kaminah secara personal oleh ketua RT<br />
<strong>di</strong>anggap sebagai musuh yang sudah sepantasnya harus <strong>di</strong>usir dari Baluwarti.<br />
Jika, Kaminah tidak <strong>di</strong>usir akan membuka kedok siapa sebenarnya<br />
ketua RT tersebut. Baluwarti adalah kampung yang telah masuk ke area<br />
Kraton Kasunanan. Sementara, kedua orang tua Kaminah tidak dapat bertindak<br />
atas perbuatan pengusiran ketua RT.<br />
Setelah <strong>di</strong>usir dari kampung Baluwarti, Kaminah <strong>di</strong>ajak oleh kawan senasibnya,<br />
Kusdarini untuk tinggal <strong>di</strong> Mangkuyu<strong>dan</strong> tempat tinggal mereka selama<br />
50 tahun. Kusdarini merupakan sahabat Kaminah sebelum pecahnya<br />
peristiwa kekerasan <strong>1965</strong>. Mereka berdua satu organisasi Pemuda Rakyat,<br />
<strong>dan</strong> kemu<strong>di</strong>an pasca peristiwa <strong>1965</strong> bertemu kembali <strong>di</strong>penjara Wangkong.<br />
Relasi mereka sudah melebihi dari hubungan saudara, <strong>dan</strong> kalau sekilas <strong>di</strong>pan<strong>dan</strong>g<br />
oleh orang awam keduanya seperti saudara kembar.<br />
Setelah pindah ke Mangkuyu<strong>dan</strong>, Kaminah jarang berkunjung ke kampung<br />
Baluwarti yang merupakan bagian dari kraton Kasunanan. Kehidupan Kaminah<br />
sepenuhnya berada <strong>di</strong> Mangkuyu<strong>dan</strong>, <strong>di</strong>a bersama Kusdarini mendapatkan<br />
nafkah dengan menjual makanan matang seperti gulai, opor ayam<br />
<strong>dan</strong> lain-lain. Pada awalnya dagangan mereka tidak <strong>di</strong>beli oleh tetangga,<br />
karena tetangga mengetahui mereka adalah bekas tapol. Namun, karena<br />
Kaminah <strong>dan</strong> Kusdarini tidak ada hentinya mengab<strong>di</strong> pada lingkungan masyarakatnya<br />
seperti terlibat dalam upacara 17 Agutus, <strong>dan</strong> yang lebih penting<br />
lagi aktif pada kegiatan PKK. Setelah itu, usaha “si kembar” ini cukup<br />
maju <strong>dan</strong> meluas, banyak tetangga memesan katering. Namun, mereka hanya<br />
membatasi usaha mereka <strong>di</strong> skala RT karena mereka juga terbatas akan<br />
tenaga <strong>dan</strong> transportasi.<br />
Setelah pasca reformasi, Kaminah <strong>dan</strong> Kusdarini mulai <strong>di</strong>dera macammacam<br />
penyakit, terutama Kusdarini yang mendapatkan encok <strong>di</strong> bagian<br />
kaki kirinya. Karena mereka aktif <strong>di</strong>organisasi PKK tingkat RW, tetangga<br />
memberikan informasi tentang Jaminan Kesehatan <strong>Nasional</strong> (Jamkesnas).<br />
18
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Tidak lama kemu<strong>di</strong>an, mereka mendapatkan kartu berobat gratis <strong>di</strong> rumah<br />
sakit. Bahkan kalau mereka mengantri <strong>di</strong>ruang tunggu pasien, perawat<br />
membantu mereka berdua untuk mendapatkan perawatan lebih cepat dari<br />
dokter. 13<br />
Tindakan Kaminah untuk aktif <strong>di</strong>lingkungan PKK RW seperti menimbang<br />
<strong>Bali</strong>ta, menye<strong>di</strong>akan makanan bergizi seperti bubur kacang hijau bagi<br />
anak-anak sekolah merupakan pengab<strong>di</strong>an kepada masyarakat <strong>dan</strong> dapat<br />
<strong>di</strong>terima oleh warga kampung Mangkuyu<strong>dan</strong>. Selain itu, membuka perbaikan<br />
relasi sosial dengan komunitas. Pendek kata, mereka <strong>di</strong>terima sebagai<br />
orang baik.<br />
Saya akan kembali beralih kepada korban/penyintas yang mempunyai pengalaman<br />
dapat mengatasi <strong>dan</strong> merawat relasi sosial keluarga. Ketika, Supeno<br />
mendekam <strong>di</strong>penjara Kauman meninggalkan seorang istri benama Sri<br />
Kitri. Mereka baru menikah <strong>di</strong>awal tahun <strong>1965</strong>, <strong>dan</strong> bisa <strong>di</strong>katakan Sri Kitri<br />
<strong>dan</strong> Supeno adalah pengantin baru. Ketika itu, Kitri sudah hamil 7 bulan<br />
untuk anak pertama. Sebelum pecah peristiwa kekerasan <strong>1965</strong>, Kitri bekerja<br />
sebagai pegawai Balaikota, <strong>Solo</strong>. Dia, juga masih aktif sebagai mahasiswi<br />
ekonomi <strong>di</strong> Universitas Diponegoro (Un<strong>di</strong>p) Semarang.<br />
Namun, ketika peristiwa kekerasan <strong>1965</strong> pecah Sri Kitri mengalami nasib<br />
yang kelam. Orang tua Kitri ikut <strong>di</strong>tahan untuk beberapa bulan. Situasi<br />
itu, membuat Kitri mengambil langkah untuk kembali ke rumah orang<br />
tua yang hanya berjarak 500 meter dari rumahnya sen<strong>di</strong>ri. Beliau bersaudara<br />
kandung 10 orang <strong>dan</strong> saudara kandungnya itu masih memerlukan<br />
dukungan keuangan dari orangtua. Meskipun, Kitri tidak terlibat dalam<br />
organisasi <strong>di</strong>masa orde lama, <strong>di</strong>a <strong>di</strong>pecat dari pekerjaannya sebagai pegawai<br />
pemerintahan Balaikota, <strong>Solo</strong>. Ketika Supeno <strong>dan</strong> kedua orangtuanya<br />
<strong>di</strong>tahan <strong>di</strong>penjara, Kitri memegang peran penting memasok makan bagi<br />
orang-orang yang <strong>di</strong>cintai itu. Hampir dua kali seminggu <strong>di</strong>a harus menyiapkan<br />
makanan. Sementara, nafkah tidak <strong>di</strong>a miliki, jalan keluar untuk<br />
membiayai penye<strong>di</strong>aan makanan itu <strong>dan</strong> membiayai a<strong>di</strong>k-a<strong>di</strong>knya dengan<br />
menjual barang-barang yang bisa <strong>di</strong>jual.<br />
13 Doker Rumah sakit juga peduli dengan kesehatan Kaminah <strong>dan</strong> Kusdarini,<br />
keduanya mendapatkan panggilan sebagai eyang. Wawancara Rini dengan Kaminah,<br />
<strong>Solo</strong>, 23 Juli 2016.<br />
19
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Akan tetapi, jalan keluar untuk mengatasi beban ekonomi itu dapat <strong>di</strong>atasi<br />
oleh Sri Kitri. Dia mendapatkan perkerjaan dengan menjahit pakaian.<br />
Padahal Kitri tidak mempunyai latarbelakang pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan untuk menjahit<br />
pakaian. Proses pengetahuan jahit-menjahit pakaian, <strong>di</strong>a peroleh sebelum<br />
peristiwa <strong>1965</strong>, ibunda <strong>dan</strong> ayahanda sebagai pengusaha penjahit. Pada<br />
waktu itu mereka pernah mendapatkan pesanan besar untuk menjahit pakaian<br />
seragam militer dari pemerintah. Seiring dengan itu Kitri menyerap<br />
pengetahuan menjahit dari kedua orangtuanya. Namun, bekal itu saja belum<br />
cukup untuk menja<strong>di</strong> penjahit yang akan memperoleh pesanan. Kitri<br />
perlu kembali belajar terutama menciptakan pola dasar dalam menjahit<br />
pakaian <strong>dan</strong> juga meningkatkan kemahiran dalam menjahit. Akhirnya,<br />
setelah mempunyai jam terbang dalam menekuni proses menjahit pakaian,<br />
Kitri mendapatkan pre<strong>di</strong>kat khas dalam modeste sebagai penjahit pakaian<br />
halus. Perusahaan pakaian nomor wahid memesan jahitan halus dengan<br />
Sri Kitri. Dia menekuni pekerjaan menjahit hingga tahun 2007 atau sekitar<br />
40 tahun. 14 Pesanan menjahit beliau dari hari ke hari semakin banyak <strong>dan</strong><br />
ka<strong>dan</strong>gkala tidak mempunyai waktu untuk membawa makanan bagi suami<br />
<strong>dan</strong> kedua orang tua <strong>di</strong> penjara.<br />
Dengan Sri Kitri menghasilkan pendapatan dari menjahit baik itu dari pesanan<br />
priba<strong>di</strong> atau keluarga maupun perusahaan batik, Kitri berhasil mengatasi<br />
kekurangan pembiayaan atas penye<strong>di</strong>aan makanan bagi suami <strong>dan</strong><br />
orang tua <strong>di</strong>penjara <strong>dan</strong> juga dapat membantu pembiayaan a<strong>di</strong>k-a<strong>di</strong>knya.<br />
Selain itu, Sri Kitri dapat membiayai bayi kandungan pertamanya hingga<br />
bayi tersebut lahir. Dengan jahit menjahit, Kitri bisa mengatasi <strong>dan</strong> merawat<br />
relasi sosial keluarga yang hampir saja terkoyak.<br />
Membangun relasi dengan Komunitas<br />
Dalam memberikan narasi pengalaman korban/penyintas membangun<br />
relasi sosial dengan lingkungan masyarakat/komunitas. Membangun kembali<br />
relasi sosial dengan komunitas berjalan secara alamiah berdasarkan<br />
kegiatan sehari-hari <strong>di</strong> kampung. Misalkan dalam kerja bakti perlu ada<br />
warga kampung yang menja<strong>di</strong> koor<strong>di</strong>nator. Biasanya warga yang menja<strong>di</strong><br />
koor<strong>di</strong>nator adalah yang mengurus keuangan RT. Supeno <strong>di</strong> era 1980-an<br />
14 Sri Kitri berhenti menjahit pakaian setelah merasa ba<strong>dan</strong>nya capai <strong>dan</strong> perlu<br />
istirahat sebagai penjahit. Wawancara dengan Sri Kitri, <strong>Solo</strong>, 14 Juli 2016.<br />
20
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
menja<strong>di</strong> pengurus keuangan RT. Di era itu, <strong>di</strong>a aktif membantu warga Merto<strong>dan</strong>an.<br />
Supeno pernah memegang keuangan RT <strong>dan</strong> keuangan ronda RT untuk<br />
tempo yang cukup lama hingga tahun 1990-an. Kemu<strong>di</strong>an, kalau ada warga<br />
menyelenggarakan kegiatan kerja bakti, Supeno harus keluar rumah untuk<br />
menghitung beberapa orang yang kerja bakti agar <strong>di</strong>a mempersiapkan konsumsi<br />
untuk aktifitas gotong royong itu. Selain itu, aktifitas Supeno <strong>di</strong>kampung<br />
jika ada tetangga yang mantu atau hajat kawinan, <strong>di</strong>a mesti menja<strong>di</strong><br />
panitia menggunakan pakaian adat Jawa. Dia bertugas untuk among tamu.<br />
Selain itu, Supeno aktif <strong>di</strong> majelis gereja selama 9 tahun. Pekerjaan majelis<br />
gereja itu adalah pelayanan terhadap umat gereja. Supeno bertugas sebagai<br />
kesejahteraan <strong>dan</strong> pelayanan untuk gereja Kristen protestan untuk wilayah<br />
Jogja <strong>dan</strong> <strong>Solo</strong>. Supeno melayani umat kristiani sebagai komisi <strong>di</strong>bawah<br />
majelis gereja. Selain itu, <strong>di</strong>a juga men<strong>di</strong>rikan vokal grup <strong>di</strong>gereja. Dia turut<br />
serta menja<strong>di</strong> anggota paduan suara <strong>di</strong>kelompok tersebut. 15<br />
Warga kampung Merto<strong>dan</strong>an hormat pada Supeno, <strong>di</strong>a <strong>di</strong>anggap sebagai<br />
sepuh kampung yang perlu <strong>di</strong>jaga. Warga tidak pernah memperguncingkan<br />
bahwa <strong>di</strong>a pernah terlibat sebagai anggota PKI. Pengab<strong>di</strong>an Supeno terhadap<br />
warga terus berkelanjutan. Dia senantiasa mendorong semangat gotong-royong,<br />
terutama untuk menjaga <strong>dan</strong> merawat kebersihan kampung.<br />
Pengab<strong>di</strong>an Supeno terhadap warga lingkungan tempat tinggalnya mengikuti<br />
irama kehidupan mereka. Dengan cara seperti ini warga dapat menerima<br />
keha<strong>di</strong>ran Supeno sepenuhnya. Bagi orang kampung <strong>di</strong> sana, Supeno<br />
adalah priba<strong>di</strong> yang mau membantu kehidupan mereka secara ikhlas. Penerimaan<br />
terhadap Supeno itu <strong>di</strong>wujudkan pada perayaan hari raya Idul fitri<br />
atau Lebaran. Rumah Supeno <strong>dan</strong> Kitri penuh <strong>di</strong>kunjungi oleh kerabat <strong>dan</strong><br />
penduduk kampung. Sebagian besar warga Merto<strong>dan</strong>an adalah memeluk<br />
agama Islam, setelah sembahyang Id warga bertolak ke rumah Supeno <strong>dan</strong><br />
Sri Kitri untuk silahturahmi. Peristiwa ini menandakan bahwa Supeno adalah<br />
orang tua yang <strong>di</strong>segani <strong>dan</strong> <strong>di</strong>hormati. Setiap tahun <strong>di</strong> hari Idulfitri<br />
15 Supeno mengundurkan <strong>di</strong>ri dari aktifitas gereja, setelah istrinya sering sakit<br />
<strong>dan</strong> perlu perhatian banya dari beliau. Wawancara dengan Supeno, <strong>Solo</strong>, 14 Juli<br />
2016.<br />
21
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
putra-putrinya juga berkumpul <strong>di</strong>rumah untuk merayakan <strong>dan</strong> membantu<br />
silahturahmi itu.<br />
Bagi Supeno untuk bisa mengab<strong>di</strong> pada masyarakat perlu bekerja <strong>dan</strong> mempunyai<br />
keahlian. Kalau tidak mempunyai kedua hal itu, warga sulit untuk<br />
<strong>di</strong>pimpin. Maka dari itu, ketika Supeno keluar dari penjara <strong>di</strong>a mencari pekerjaan<br />
agar warga <strong>di</strong>kampungnya tetap menghormati <strong>di</strong>a. Selain itu, pekerjaan<br />
dalam bentuk nafkah hidup <strong>di</strong>perlukan untuk membiayai pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />
anak-anaknya. Bagi Supeno, pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan itu perlu <strong>di</strong>tempuh oleh setiap<br />
orang, agar orang itu mempunyai pan<strong>dan</strong>gan yang berbeda, tidak tunggal. 16<br />
Setelah Supeno berhasil bangun bengkel bubut, <strong>di</strong>a berhasil memperbaiki<br />
keuangan keluarga. Supeno selama 50 tahun berkecimpung <strong>di</strong>bengkel<br />
bubut. Bengkel itu sudah seperti periuk keluarga. Enam putra-putrinya<br />
<strong>di</strong>tambah satu orang keponakan <strong>dan</strong> a<strong>di</strong>k istrinya berhasil menja<strong>di</strong> sarjana<br />
berkat Supeno kerja keras <strong>di</strong>bengkel miliknya. Bangunan ini yang juga<br />
membuat komunitas menerima <strong>dan</strong> menghormati Supeno.<br />
Dalam menceritakan pengalaman membangun relasi dengan komunitas<br />
perlu mengedepankan peranan perempuan penyintas. Peranan perempuan<br />
penyintas menye<strong>di</strong>akan gizi bagi anak-anak warga kampung. Sri Kitri<br />
<strong>di</strong>kampungnya pada era 1970-an <strong>dan</strong> 1980an adalah perempuan satu-satunya<br />
yang pernah mengenyam pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan tinggi. Pre<strong>di</strong>kat ini yang membuat<br />
komunitas mempercayai <strong>di</strong>a untuk mengurus masalah pengelolaan<br />
keuangan RT hingga mengurus gizi balita.<br />
Pada 1983 kumpulan RT (RW) yang ter<strong>di</strong>ri dari 126 RT berupaya untuk<br />
memilih ketua Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Keluarga Kesejahteraan (PKK). Ketika pertemuan<br />
126 RT <strong>di</strong>selenggarakan yang sebagian besar adalah perempuan<br />
secara aklamasi memilih Sri Kitri sebagai ketua PKK. Tentunya Kitri sangat<br />
senang untuk hasil pemilihan itu, <strong>di</strong>a merasa seluruh RT mempercayai <strong>di</strong>a<br />
sebagai pimpinan PKK.<br />
Para ketua RT secara aklamasi memilih Sri Kitri sebagai pimpinan PKK,<br />
namun tidak demikian dengan Lurah. Tidak <strong>di</strong>duga Lurah Merto<strong>dan</strong>an<br />
16 Pernyataan ini, <strong>di</strong>a selalu ulang <strong>dan</strong> tekankan kepada orang-orang muda yang<br />
bersilahturahmi ke rumahnya. Wawancara dengan Supeno, <strong>Solo</strong>,14 Juli 2016.<br />
22
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
menolak Kitri untuk menja<strong>di</strong> ketua PKK yang baru. Pihak Lurah mendesak<br />
Kitri untuk mengundurkan <strong>di</strong>ri dari ketua PKK. Terja<strong>di</strong> ketegangan antara<br />
pihak kelurahan dengan keluarga Sri Kitri. Ibu enam anak itu tidak mau<br />
menyerah begitu saja, karena <strong>di</strong>a <strong>di</strong>pilih secara sah oleh kumpulan ibu RT<br />
<strong>di</strong> kelurahan Merto<strong>dan</strong>an. Ibu Kitri menegaskan kepada lurah bahwa <strong>di</strong>a<br />
harus <strong>di</strong>lantik terlebih dahulu, kemu<strong>di</strong>an jabatan ketua dapat <strong>di</strong>serahkan<br />
kepada orang lain. Pak Lurah datang kerumah <strong>dan</strong> menjelaskan bahwa<br />
orang seperti ibu ini tidak boleh menjabat sebagai ketua PKK. Alasan Lurah<br />
karena suami dari Kitri adalah bekas tahanan politik. Situasi seperti<br />
ini sangat menyakitkan bagi keluarga, terutama Supeno, <strong>di</strong>a dengan tegas<br />
mengatakan kepada Lurah dengan melarang ibu sebagai ketua PKK karena<br />
suami adalah bekas orang terlibat organisasi terlarang. Apa sebetulnya<br />
yang <strong>di</strong>inginkan oleh pemerintah terhadap mereka? Pertanyaan itu tidak<br />
pernah <strong>di</strong>jawab oleh pihak kelurahan.<br />
Membangun relasi sosial dengan komunitas dengan mendapatkan kepercayaan<br />
untuk mengurus mereka tidaklah mudah. Sri Kitri berhasil membangun<br />
kepercayaan dengan komunitas tempat <strong>di</strong>a tinggal. Seluruh warga<br />
mempercayai <strong>di</strong>a untuk dapat memimpin masalah pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan keluarga.<br />
Namun, kepercayaan yang <strong>di</strong>peroleh dari warga bertentangan dengan pan<strong>dan</strong>gan<br />
pemerintah. Kerusakan relasi sosial antara penyintas dengan pemerintah<br />
sulit untuk <strong>di</strong>perbaiki. Pemerintah tidak sepenuhnya mempercayai<br />
kemampuan yang <strong>di</strong>miliki oleh penyintas <strong>dan</strong> khawatir akan <strong>di</strong>bangun<br />
orgainisasi yang bertentangan dengan pemerintah. Ironisnya warga<br />
menerima <strong>dan</strong> mengakui penyintas mempunyai jalan alternatif yang lebih<br />
baik bagi warga.<br />
Pencapaian yang Diperoleh oleh Penyintas<br />
1. Organisasi Pakorba <strong>dan</strong> Lingkar Tutur Perempuan<br />
Pencapaian yang <strong>di</strong>peroleh penyintas salah satunya berkaitan dengan organisasi<br />
yang mereka bangun. Para penyintas <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong> tahun 2001 men<strong>di</strong>rikan<br />
organisasi Paguyuban <strong>Korban</strong> Orde Baru. Tujuan organisasi itu sederhana<br />
saja adalah agar korban/penyintas peristiwa kekerasan <strong>1965</strong> dapat<br />
memulihkan hak-hak mereka yang <strong>di</strong>rampas. Organisasi Pakorba <strong>di</strong>bentuk<br />
oleh Supeno, Sumi<strong>di</strong>, Mulya<strong>di</strong>, Bronto, Sarbinatun, Srihandono, Srikirti <strong>dan</strong><br />
23
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
lain-lain. Sebagian besar nama yang <strong>di</strong>sebutkan telah meninggal.<br />
Mereka men<strong>di</strong>rikan Parkoba setelah masa reformasi atau jatuhnya Soeharto.<br />
Proses pembentukan organisasi ini melalui semangat juang agar organisasi<br />
dapat membuka pengalaman duka <strong>dan</strong> cita dari anggotanya. Juga,<br />
organisasi ini <strong>di</strong>lengkapi dengan persyaratan modern seperti ada ketua,<br />
anggota <strong>dan</strong> bendahara. Selain itu, organisasi ini <strong>di</strong>bentuk <strong>di</strong>depan notaris<br />
hukum yang berarti tercatat <strong>dan</strong> terdaftar <strong>di</strong> Kementerian Dalam Negeri<br />
<strong>dan</strong> Kementrian Hukum <strong>dan</strong> Hak Azasi Manusia.<br />
Sementara itu, menurut Mulya<strong>di</strong> salah seorang pen<strong>di</strong>ri Pakorba menceritakan<br />
bahwa pembentukan organisasi itu mencontoh Pakorba Pusat. Ketika<br />
itu sejumlah orang seperti Mulya<strong>di</strong>, Bronto, Supeno <strong>dan</strong> Sumi<strong>di</strong> mempelajari<br />
dokumen anggaran dasar Pakorba Pusat <strong>dan</strong> mereka memutuskan<br />
untuk bergabung sebagai cabang <strong>Solo</strong>. 17 Namun, dalam perjalanannya Pakorba<br />
<strong>Solo</strong> mempunyai kekhasan, terutama dalam menyusun pertemuan<br />
<strong>di</strong>kalangan korban hingga ke desa Jawa Tengah seperti Boyolali, <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong><br />
Cilacap.<br />
Perlengkapan organisasi dengan formal hukum seperti itu <strong>di</strong>maksudkan<br />
agar dapat menunjang kegiatan-kegiatan mereka apabila <strong>di</strong>pertanyakan<br />
oleh kepolisian <strong>dan</strong> aparat pemerintahan lokal. Ditambah pula, pada awal<br />
tahun reformasi aktifitas Pakorba begitu intensif dalam membuat pertemuan-pertemuan.<br />
Sebaliknya polisi dengan gencar mempertanyakan<br />
apakah organisasi mempunyai izin berkumpul atau surat pemberitahuan.<br />
Tatacara seperti itu adalah suatu yang baru yang <strong>di</strong>dalam tatanan rezim<br />
orde baru-Suharto tidak <strong>di</strong>perkenankan pertemuan organisasi <strong>dan</strong> perkumpulan.<br />
Pengalaman mengatasi hambatan dari kepolisian <strong>di</strong>ceritakan<br />
<strong>di</strong>bawah ini.<br />
Di masa reformasi, organisasi Pakorba pada 2001 mendapatkan hambatan<br />
untuk menyelenggarakan pertemuan oleh polisi. Ketika itu, Pakorba se<strong>dan</strong>g<br />
menyelenggarakan pertemuan <strong>di</strong> rumah salah seorang anggota <strong>dan</strong><br />
<strong>di</strong>satroni oleh dua orang polisi. Dalam suasana pertemuan yang telah <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>ri<br />
oleh sekitar 20 orang. Pada saat itu, Supeno yang mendapatkan kabar<br />
17 Pakorba <strong>Solo</strong> tidak mau ekslusif, sehingga perlu mengikuti organisasi yang ada<br />
<strong>di</strong> Jakarta. Wawancara dengan Mulya<strong>di</strong> <strong>di</strong> <strong>Solo</strong>, 15 Juli 2016.<br />
24
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
tersebut, berangkat dengan tergopoh-gopoh dari rumah ke tempat pertemuan<br />
yang tidak jauh dari rumah beliau. Supeno mengkisahkan kembali<br />
pengalamannya menghadapi polisi:<br />
“Pada waktu itu <strong>di</strong> pusat kota tidak terja<strong>di</strong> gangguan, namun<br />
ke daerah-daerah <strong>dan</strong> RT-RT terdapat gangguan, seperti yang<br />
terja<strong>di</strong> <strong>di</strong>kampung saya. Saya datang ke sana sudah ada polisi.<br />
Saya bertanya ke polisi ada apa ini ada masalah? Kemu<strong>di</strong>an,<br />
polisi itu berkata, anda mengadakan acara ini pake izin atau<br />
tidak? Saya Jawab, Saya hanya memberitahu kepada pejabat<br />
RT <strong>dan</strong> saya sudah punya surat yang menyatakan hal itu. Polisi<br />
bertanya, suratnya mana? Setelah membaca surat itu, polisi<br />
merubah sikap baik sekali, “lho ada ijinnya, nanti kalau ada<br />
apa-apa lapor saja ke polisi.” 18<br />
Ketika polisi mempertanyakan pertemuan itu mempunyai izin atau tidak,<br />
Ketua RT telah ha<strong>di</strong>r, orang yang memanggil polisi untuk mempermasalahkan<br />
pertemuan itu. Namun, setelah polisi membaca <strong>dan</strong> mempelajari<br />
surat izin tersebut, Ketua RT telah pergi ngeloyor entah kemana. Ketua RT<br />
yang melapor kepada polisi agar pertemuan tersebut dapat <strong>di</strong>hentikan oleh<br />
polisi, adalah pejabat RT yang sama ketika mempertanyakan identitas kepercayaan<br />
Supeno setelah <strong>di</strong>keluarkan dari penjara pada 1967.<br />
Sementara itu, surat izin <strong>di</strong>peroleh Pakorba dari Kementerian Dalam Negeri.<br />
Setelah jatuhnya Soeharto, Kemendagri memberikan keleluasaan<br />
kepada organisasi masyarakat untuk menyelenggarakan pertemuan <strong>dan</strong><br />
aktifitas lainnya. Surat edaran tersebut bermanfaat untuk menegakkan organisasi<br />
menjalankan hak-hak anggota menyelenggarakan pertemuan.<br />
Para penyintas dengan a<strong>dan</strong>ya organisi Pakorba menyelenggarakan <strong>dan</strong><br />
ha<strong>di</strong>r dalam pertemuan dengan tema bagaimana mereka dapat memperbaiki<br />
relasi dengan negara <strong>dan</strong> memperoleh hak-hak mereka kembali. Pertemuan-pertemuan<br />
yang mereka ikuti berlangsung <strong>di</strong> Jogjakarta, Jakarta<br />
hingga Kalimantan Timur. Selain itu, pertemuan lokal <strong>di</strong> <strong>Solo</strong>, Boyolali <strong>dan</strong><br />
18 Sebetulnya orang yang melaporkan pertemuan itu ke polisi adalah ketua RT<br />
keturunan Arab yang mencurigai pertemuan itu. Wawancara dengan Supeno, <strong>Solo</strong>-Merto<strong>dan</strong>an,<br />
13 Maret 2017.<br />
25
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
sekitar Surakarta juga mereka selenggarakan. Terutama pertemuan anjangsana<br />
ke rumah keluarga korban sangat penting agar korban/penyintas<br />
tetap waras. Juga, pertemuan anjangsana penting untuk menjaga ingatan<br />
mereka terhadap peristiwa kekerasan <strong>1965</strong>, terutama bisa mencegah agar<br />
peristiwa kekerasan itu tidak terulang kembali.<br />
Selama mereka bertemu <strong>dan</strong> berbicara dengan sesama penyintas baik perempuan<br />
<strong>dan</strong> lelaki, mereka menemukan trauma <strong>di</strong>kalangan penyintas<br />
perempuan. Trauma yang <strong>di</strong>hinggapi kaum perempuan itu perlu <strong>di</strong>hilangkan<br />
dengan cara mereka bercerita pengalaman hidup yang hitam pasca<br />
kekerasan peristiwa <strong>1965</strong>.<br />
Proses pengungkapan yang <strong>di</strong>tuturkan oleh kaum perempuan penyintas itu<br />
tidak boleh <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>ri <strong>dan</strong> <strong>di</strong>dengarkan oleh kaum lelaki, bahkan oleh suami<br />
mereka. Alasannya sederhana saja, kalau <strong>di</strong>dengarkan oleh kaum lelaki/<br />
suami cerita yang <strong>di</strong>ungkapkan begitu sensitif maka penuturan tidak menja<strong>di</strong><br />
sungguh-sungguh. Dalam proses mengungkapkan pengalaman buruk<br />
itu <strong>di</strong>bentuk “Lingkar Tutur Perempuan,” sebagai organ yang menyelenggarakan<br />
pertemuan tersebut.<br />
Peran Pakorba <strong>dan</strong> Lingkar Tutur Perempuan membantu penyintas perempuan<br />
sebagaimana <strong>di</strong>ceritakan kembali oleh Supeno. Dalam pembentukan<br />
Pakorba, <strong>di</strong>a sangat antusias mengedepankan permasalahan bahwa banyak<br />
perempuan penyintas kesulitan berbicara karena dampak dari peristiwa<br />
trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>. Untuk menghadapi trauma <strong>di</strong>kalangan penyintas<br />
perempuan, kami membentuk Lingkar Tutur Perempuan merupakan wadah<br />
bagi perempuan untuk bercerita tentang pengalaman mereka dampak<br />
dari peritiwa kekerasan itu. Persyaratan agar proses penceritaan dari penyintas<br />
perempuan dapat lancar, maka baik suami maupu kaum lelaki tidak<br />
<strong>di</strong>perkenankan untuk ha<strong>di</strong>r agar cerita yang menyakitkan dari kaum perempuan<br />
bisa lepas semua. Berlangsung-nya wadah dari “Lingkar Tutur<br />
Perempuan” itu membuat dampak yang baik bagi penyintas perempuan,<br />
paling tidak mereka dapat mengurangi beban trauma karena bisa bercerita<br />
<strong>dan</strong> saling mengunjungi satu sama lain.<br />
Sebelum organisasi Pakorba ber<strong>di</strong>ri, banyak kaum perempuan penyintas<br />
yang menja<strong>di</strong> anggota Pakorba mengalami trauma akibat peristiwa<br />
26
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
kekerasan <strong>1965</strong>. Salah seorang dari mereka yang terkena trauma adalah<br />
Sri Kitri. Penderitaan trauma itu sudah lama berlangsung <strong>di</strong>rasakan Kitri.<br />
Diperkirakan mulai muncul rasa trauma itu ketika suaminya, Supeno <strong>di</strong>tahan<br />
untuk pertamakali, Kitri mendapatkan kabar bahwa suaminya telah<br />
<strong>di</strong>bunuh. Meskipun, Supeno kembali kerumah dengan kon<strong>di</strong>si yang sehat<br />
namun perasaan trauma itu terus datang silih berganti. Jika perasaan trauma<br />
ha<strong>di</strong>r, Kitri tidak pernah memberi tahu Supeno. Menurut Kitri gejala<br />
trauma itu muncul ketika <strong>di</strong>a mendengarkan siaran ra<strong>di</strong>o san<strong>di</strong>wara kekerasan.<br />
Kalau ada pembunuhan dalam cerita itu, tangan <strong>dan</strong> kaki Sri Kitri<br />
merasa <strong>di</strong>ngin. Ditambah pula, dengan jantungnya berdegup keras. Pada<br />
tahun 1980an <strong>dan</strong> 1990an banyak orang yang menyukai san<strong>di</strong>wara ra<strong>di</strong>o<br />
dengan menyetel volume suara keras-keras.<br />
Juga, Supeno pada awalnya tidak memahami bahwa istrinya mengidap<br />
trauma. Jika, <strong>di</strong>a mendengarkan san<strong>di</strong>wara ra<strong>di</strong>o seluruh ba<strong>dan</strong> Sri Kitri<br />
menja<strong>di</strong> <strong>di</strong>ngin. Akhirnya, trauma yang <strong>di</strong>derita Sri Kitri <strong>di</strong>beritahu kepada<br />
Supeno. Oleh karena itu, Supeno selalu antusias untuk meyuarakan agar<br />
perempuan penyintas aktif <strong>di</strong>kegiatan “Lingkar Tutur Perempuan”. Dengan<br />
mereka dapat bercerita pengalaman hidup yang pahit dampak dari peristiwa<br />
kekerasan <strong>1965</strong> dapat mengurangi trauma yang <strong>di</strong>derita.<br />
Kemu<strong>di</strong>an, tahun 2004 sudah ber<strong>di</strong>ri Pakorba. Sri Kitri ikut berkumpul dalam<br />
organisasi tersebut. Juga, kalau ada kegiatan “Lingkar Tutur Perempuan”,<br />
Kitri mulai bercerita dengan sesama penyintas perempuan. Meskipun,<br />
pada awalnya selalu menangis ketika bercerita, tetapi setelah beberapa<br />
kali sudah semakin tegar. 19 Penderitaan trauma yang <strong>di</strong>alami oleh<br />
Kitri terus berkurang seiring dengan pertemuan-pertemuan Parkoba <strong>dan</strong><br />
Lingkar Tutur Perempuan.<br />
Hal yang berbeda dengan Karmina menanggapi Pakorba <strong>dan</strong> Lingkar Tutur<br />
Perempuan. Walaupun, <strong>di</strong>a tidak mengidap trauma. Tetapi kedua kegiatan<br />
itu sangat berguna bagi perempuan penyintas. Karmina aktif <strong>di</strong> Pakorba<br />
<strong>dan</strong> Lingkar Tutur Perempuan. Sebagaimana yang <strong>di</strong>kemukan oleh<br />
Karmina, “Saya bisa cerita apa yang saya alami dampak dari peristiwa <strong>1965</strong><br />
19 Wawancara dengan Sri Kitri, <strong>Solo</strong>, 14 Juli 2016.<br />
27
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
kepada ibu-ibu korban.” 20 Sebaliknya mereka juga bercerita tentang kehidupan<br />
pahit yang mereka alami, kegiatan berkumpul itu dapat membantu<br />
bergotong royong <strong>di</strong>antara mereka.<br />
2. Nyadran Jembatan Bacem<br />
Istilah nyadran adalah kegiatan orang Jawa mengunjungi kuburan para leluhurnya,<br />
mendoakan agar arwah bisa damai <strong>dan</strong> bebas dari beban. Nyadran<br />
Jembatan Bacem berbeda dengan nyekar kuburun yang <strong>di</strong>lakukan<br />
orang-orang Islam menjelang puasa Ramadhan. Perbedaannya nyadran<br />
jembatan Bacem adalah ritual untuk orang-orang yang <strong>di</strong>hanyutkan air sungai<br />
Bengawan <strong>Solo</strong> setelah <strong>di</strong>bunuh <strong>di</strong> sekitar bulan Oktober <strong>1965</strong> hingga<br />
1967 oleh tentara Indonesia. Juga, nyadran Jembatan Bacem baru <strong>di</strong>selenggarakan<br />
oleh Pakorba pada 2005.<br />
Nyadran Jembatan Bacem merupakan peristiwa pencapaian para penyintas<br />
<strong>1965</strong>. Bisa <strong>di</strong>katakan sebagai pencapaian penyintas, karena tidak terlepas<br />
dari kerja keras Pakorba <strong>dan</strong> Lingkar Tutut Perempuan. Dalam tulisan ini<br />
akan <strong>di</strong>bahas secara ringkas tiga hal. Pertama, ide yang mendasari <strong>di</strong>selenggarakan<br />
nyaderan Jembatan Bacem. Dalam penyelenggaraan nyaderan<br />
itu tidak hanya sekedar ritual <strong>dan</strong> doa bagi para korban yang <strong>di</strong>bunuh, tetapi<br />
juga klarifikasi sejarah. Terakhir, makna penyelenggaraan ritual nyaderan<br />
Jembatan Bacem yang bagi penyintas <strong>dan</strong> generasi muda.<br />
Pada 2004 organisasi Pakorba mulai membicarakan penyelenggaraan nyaderan<br />
Jembatan Bacem. Pada saat itu, rapat Pakorba <strong>di</strong>sepakati penyelenggaraan<br />
ritual mengenang korban-korban yang <strong>di</strong>bunuh <strong>di</strong> Jembatan<br />
Bacem. Dalam pembicaraan itu <strong>di</strong>katakan penyelenggaraan perlu waktu<br />
yang tepat, berdasarkan kultur masyarakat setempat. Mulya<strong>di</strong> sebagai organisatoris<br />
acara tersebut mengutarakan ide yang melatarbelakangi ritual<br />
Jembatan Bacem:<br />
“La itu kan mula.mula begini, pas tepat waktu itu ada nyewu.<br />
Nyewu itu seribu hari orang meninggal, itu biasanya orang<br />
Jawa <strong>di</strong>peringati terakhir, yaitu istrinya Pak Bronto. Terus kita<br />
<strong>di</strong>un<strong>dan</strong>g kesana. Sebelumnya kita sudah rananan. Bagaimana<br />
20 Wawancara dengan Sri Kitri, <strong>Solo</strong>, 14 Juli 2016.<br />
28
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Pak Bronto kalau kita bentuk ibu-ibu, sebelum itu Pak Bronto<br />
ngomong, itu bagus tapi kita harus cari timing yang baik. La,<br />
pas ada itu saya saya dengarkan gitu lo. Terus bilangnya <strong>di</strong>gunakan<br />
kita mengadakan pertemuan yang sudah itu arisan.<br />
Tapi waktu itu ibu-ibu masih komplit itu.” 21<br />
Penuturan Mulya<strong>di</strong> <strong>di</strong> atas tentang gagasan penyelenggaraan nyadran Jembatan<br />
Bacem masih belum fokus. Ketika itu, dalam rapat-rapat Pakorba<br />
para anggotanya berkeinginan untuk membuat kegiatan penyintas <strong>di</strong> luar<br />
kota <strong>Solo</strong>. Alasan para penyintas untuk membuat acara <strong>di</strong> luar kota <strong>Solo</strong><br />
agar bisa mengajak penyintas dari kota lain. Lagi pula, anggota Pakorba beberapa<br />
tahun belakangan setelah reformasi sering berkunjung ke kota-kota<br />
lain dalam rangka menjaga ingatan <strong>di</strong> kalangan para penyintas <strong>1965</strong>.<br />
Dengan menyelenggarakan kegiatan Pakorba <strong>di</strong> luar kota <strong>Solo</strong> bisa menelusuri<br />
kembali orang-orang yang hilang dalam peristiwa kekerasan <strong>1965</strong>.<br />
Ketika itu, para penyintas juga se<strong>dan</strong>g melakukan pendataan tempat-tempat<br />
penahanan korban <strong>1965</strong> <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong>. 22 Akhirnya, para penyintas<br />
bersepakat acara peringatan <strong>di</strong> luar kota <strong>Solo</strong> <strong>di</strong>rencanakan menyelenggarakan<br />
Nyadran Jembatan Bacem.<br />
Dari gagasan penyelenggaraan nyaderan itu, mereka menyusun acara itu<br />
dalam konteks kebudayaan Jawa, tetapi bukan kebudayaan Jawa pada periode<br />
Islamisasi, tetapi masih dalam ranah masa Hindu. Dalam acara nyaderan<br />
itu mereka membayangkan memerlukan bunga yang akan <strong>di</strong>tabur <strong>di</strong><br />
sungai, persis <strong>di</strong>permukaan air, tempat jasad korban yang <strong>di</strong>tarik oleh arus<br />
sungai. Juga, mereka merencanakan mengumpulkan burung liar yang akan<br />
<strong>di</strong>lepas ke udara <strong>di</strong> atas Jembatan Bacem. Pelepasan burung itu sebagai<br />
simbol mempertunjukkan arwah damai <strong>di</strong>kalangan korban yang sudah meninggal.<br />
Kemu<strong>di</strong>an, mereka merencanakan mengumpulkan ikan lele yang<br />
akan <strong>di</strong>lepas kedalam sungai sebagai simbol kesejahteraan bagi orang-<br />
21 Kemu<strong>di</strong>an pembicaraan tentang nyaderan Jembatan Bacem terus bergulir<br />
dalam pertemuan-pertemuan Pakorba. Wawancara dengan Mulya<strong>di</strong>, <strong>Solo</strong>, 15 Juli<br />
2016.<br />
22 Bersamaan dengan merencanakan penyelenggaraan nyaderan jembatan Bacem,<br />
ketika itu Pakorba bekerjasama dengan Lingkar Tutur Perempuan se<strong>dan</strong>g<br />
melakukan pendataan kamp <strong>dan</strong> tempat penahanan <strong>di</strong>seputar kota <strong>Solo</strong>.<br />
29
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
orang yang <strong>di</strong>tinggalkan. Terakhir, akan <strong>di</strong>buat perahu getek terbuat dari<br />
bambu sebagai simbol peringatan berjalannya Nyewu para korban yang<br />
meninggal ke alam damai nirwarna.<br />
Sekitar 40 tahun lamanya jembatan Bacem menja<strong>di</strong> rahasia umum sebagai<br />
tempat pembataian orang-orang yang <strong>di</strong>tuduh sebagai PKI. Jembatan<br />
Bacem berlokasi <strong>di</strong> desa Grogol, kabupaten Sukohardjo. Jembatan yang seringkali<br />
<strong>di</strong>gunakan untuk melintas dari Grogol ke Kota <strong>Solo</strong>. Pada 2 Oktober<br />
jembatan Bacem mempunyai makna yang jelas sebagai salah satu geografi<br />
kekerasan. Berdasarkan data yang <strong>di</strong>kumpulkan oleh Pakorba <strong>dan</strong> Lingkar<br />
Tutur Perempuan terdapat 144 orang <strong>di</strong>bunuh oleh tentara <strong>di</strong> jembatan<br />
Bacem. 23 Sementara itu, orang-orang yang tidak bernasib beruntung itu<br />
berasal dari Kota <strong>Solo</strong>, Klaten, Boyolali <strong>dan</strong> desa-desa yang berbatasan dengan<br />
Surakarta.<br />
Para korban pembantaian tersebut <strong>di</strong>keluarkan dari penjara <strong>dan</strong> kamp<br />
tahanan <strong>dan</strong> <strong>di</strong>bawa ke jembatan Bacem untuk <strong>di</strong>eksekusi pada tengah<br />
malam hari. Sebagian besar para korban itu adalah dengan status tahanan<br />
bon-bonan. 24 Sebelum <strong>di</strong>lakukan eksekusi terhadap korban, mereka <strong>di</strong>jejer<br />
<strong>dan</strong> <strong>di</strong>tembak dari jarak dekat. Sehingga se<strong>di</strong>kit kemungkinan para korban<br />
meleset dari target kematian.<br />
Para korban jembatan Bacem <strong>di</strong>bunuh mulai akhir Oktober <strong>1965</strong> hingga<br />
awal 1967. 25 Penduduk sekitar jembatan Bacem hanya mendengar letusan<br />
23 Penghitungan jumlah korban ini berdasarkan wawancara dari saksi-saksi yang<br />
masih hidup. Untuk hal ini lihat. Lingkar Tutur Perempuan. “Nyadran <strong>di</strong> Bangawan<br />
<strong>Solo</strong>. Kembang Setaman <strong>dan</strong> Kidung bagi <strong>Korban</strong>”. Dalam, Hersri Setiawan.<br />
Kidung untuk <strong>Korban</strong>, Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks Tapol <strong>Solo</strong> (<strong>Solo</strong>: Pakorba,<br />
2006), hlm. 1-13.<br />
24 Dalam hukum acara pi<strong>dan</strong>a terdapat kategori bagi tahanan bon-bonan, yang<br />
artinya tahanan itu <strong>di</strong>pinjamkan sebagai saksi pelapor untuk kasus yang sama,<br />
<strong>dan</strong> tahanan itu harus <strong>di</strong>kembalikan ke tempat tahanan semula. Namun, untuk<br />
semua kasus tahanan politik <strong>1965</strong>, bon-bonan berarti tahanan tidak akan kembali<br />
lagi, setelah <strong>di</strong>konfirmasi sebagai tuduhan anggota PKI.<br />
25 Rentang tahun pembunuhan tersebut <strong>di</strong>ceritakan ulang oleh Bibit Ciptarahardja<br />
sebagai penyintas <strong>dan</strong> saksi peristiwa kekerasan <strong>di</strong> jembatan Bacem. Untuk<br />
Hal ini lihat. Bibit. “Saksi pembantaian Jembatan Bacem”. Dalam, Hersri Seti-<br />
30
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
tembakan yang menandakan terja<strong>di</strong> pembunuhan. Kalau ada letusan lima<br />
kali, berarti yang <strong>di</strong>bunuh ada lima orang. Demikian pula, jika ada letusan<br />
puluhan berarti korbannya mencapai puluhan. Penduduk tidak berani keluar<br />
menyaksikan rangkaian pembunuhan tersebut. Mereka khawatir menja<strong>di</strong><br />
sasaran pembunuhan.<br />
Selain itu, jembatan Bacem menja<strong>di</strong> geografi pembunuhan karena tempatnya<br />
mudah untuk menghilangkan jejak pembantaian. Setelah sejumlah<br />
korban <strong>di</strong>tembak dengan senjata api dari jarak dekat, jasad <strong>di</strong>jatuhkan<br />
ke sungai. Kemu<strong>di</strong>an, mayat itu terbawa arus deras sungai Bengawan <strong>Solo</strong><br />
hingga ke laut tanpa dapat <strong>di</strong>saksikan oleh orang yang melintas <strong>di</strong> jembatan<br />
Bacem.<br />
Bagaimanapun untuk melakukan klarifkasi sejarah terhadap ruang formal<br />
seperti Jembatan Bacem <strong>di</strong>perlukan saksi dua orang, agar jembatan Bacem<br />
secara absah <strong>di</strong>akui sebagai salah satu tempat peristiwa kekerasan brutal.<br />
Dalam perjalanan untuk menguraikan penjelasan sosok jembatan Bacem<br />
hingga tahun 2006 baru <strong>di</strong>ketahui oleh Pakorba terdapat satu orang saksi<br />
rangkaian pembunuhan <strong>di</strong> Jembatan Bacem. Saksi itu bernama Bibit yang<br />
mempunyai latarbelakang seniman pelantun lagu genjer-genjer. Bibit sebagai<br />
seorang penyintas yang lahir pada 1947. Dia tinggal tidak jauh dari<br />
jembatan angker itu. Sehingga, tidak aneh Bibit mempunyai cerita banyak<br />
mengenai kebrutalan <strong>di</strong> jembatan itu. Setiap malam <strong>di</strong> tahun 1966-1967 <strong>di</strong>a<br />
mendengar suara letusan <strong>dan</strong> berondongan senjata api. Namun, <strong>di</strong>a menyaksikan<br />
mayat yang tersangkut ranting-ranting pohon <strong>di</strong> pinggir sungai<br />
<strong>di</strong> bawah Jembatan Bacem secara kebetulan.<br />
Pada suatu hari <strong>di</strong> pagi hari, <strong>di</strong>a bergegas ke pasar untuk mencari dedak untuk<br />
hewan piaraan kuda. Ketika <strong>di</strong>a melintas hingga tiba <strong>di</strong>ujung jembatan<br />
<strong>di</strong>ha<strong>dan</strong>g oleh dua orang berpostur kurus, berambut gondrong <strong>dan</strong> berpakaian<br />
seragam tentara. Mereka perintahkan Bibit dengan menunjuk kepada<br />
mayat yang tersangkut, agar <strong>di</strong>halau untuk bisa melanjutkan hanyut oleh<br />
arus sungai. Hampir setiap pagi Bibit menghalau mayat itu dari rintangan<br />
ranting-ranting pohon atas perintah tentara.<br />
awan. Kidung untuk <strong>Korban</strong>. Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks Tapol <strong>Solo</strong>. (<strong>Solo</strong>:<br />
Pakorba, 2006), hlm. 225-235.<br />
31
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Saksi lain yang mempunyai pengalaman menarik <strong>di</strong> Jembatan Bacem adalah<br />
Bardjo. Dewasa ini Bardjo berusia 87 tahun. Bardjo sekitar tahun 1966<br />
telah <strong>di</strong>bawa ke Jembatan Bacem untuk <strong>di</strong>eksekusi bersama korban lainnya.<br />
Akan tetapi, Bardjo dengan gagah berani melompat <strong>dan</strong> terjun ke sungai.<br />
Dia <strong>di</strong>selamatkan oleh gelap gulita malam yang hitam pekat. Jembatan<br />
Bacem telah berhasil <strong>di</strong>rekonstruksi sebagai salah satu tempat peristiwa<br />
kekerasan <strong>1965</strong>. Juga, rangkaian pembantaian Jembatan Bacem telah <strong>di</strong>proses<br />
ke dalam film dokumenter oleh sutradara Yayan Wilu<strong>di</strong>hardjo pada<br />
2013.<br />
Pada 2 Oktober 2005 <strong>di</strong>selenggarakan Nyadran Jembatan Bacem. Berdasarkan<br />
catatan Lingkar Tutur Perempuan ada sekitar 300 orang ha<strong>di</strong>r dalam<br />
ritual tersebut. 26 Ibu-ibu <strong>dan</strong> bapak ha<strong>di</strong>r dengan pakaian berwarna-warni<br />
mengenakan kebaya <strong>dan</strong> berkerudung, se<strong>dan</strong>gkan yang pria mengenakan<br />
peci. Hampir seluruh perempuan menenteng keranjang berisi bunga yang<br />
nantinya akan <strong>di</strong>tebar <strong>di</strong>atas aliran sungai Bengawan <strong>Solo</strong>. Diperkirakan<br />
ibu <strong>dan</strong> bapak yang ha<strong>di</strong>r berusia 70 hingga 80-an tahun bersama anakanak<br />
baik putra <strong>dan</strong> putri yang berusia seputar 30 tahun hingga 50 tahun.<br />
Mereka berjalan kaki menurun untuk mencapai pelataran acara <strong>di</strong> sisi selatan<br />
Jembatan Bacem. Juga, <strong>di</strong> bagian selatan itu telah terse<strong>di</strong>a peralatan<br />
tembang Ki Dalang Sri Djoko Rahardjo yang akan mengisi acara wayangan,<br />
meskipun tidak semalam suntuk. Oleh karena yang ha<strong>di</strong>r banyak yang sudah<br />
sepuh, wayangan hanya berlangsung hingga pukul 6 sore.<br />
Acara nyadran tersebut tidak hanya <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>ri oleh keluarga korban/penyintas<br />
dari kota <strong>Solo</strong>, tetapi dari <strong>Pati</strong>, Klaten <strong>dan</strong> Boyolali. Juga, acara itu <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>ri<br />
pula oleh aktivis HAM beberapa kota seperti Jogjakarta, <strong>Solo</strong>, Jakarta,<br />
Ma<strong>di</strong>un <strong>dan</strong> lain-lain. Banyak generasi muda yang mengambil gambar <strong>dan</strong><br />
foto untuk kenangan bahwa <strong>di</strong> Jembatan Bacem pernah terja<strong>di</strong> rangkaian<br />
pembunuhan brutal.<br />
Acara <strong>di</strong>mulai tepat jam 10 pagi. Di awali dengan sambutan dari panitia<br />
<strong>dan</strong> kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>lanjutkan dengan pemberian kesaksian dari para penyin-<br />
26 Pada waktu itu <strong>di</strong>pergunakan tiga bisa berukuran besar untuk mengangkut<br />
para keluarga penyintas ke lokasi acara ritual Jembatan Bacem. Lihat, Ibid., Lingkar<br />
Tutur Perempuan, hlm. 1-13.<br />
32
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
tas dari pelbagai kota. Kemu<strong>di</strong>an, acara ritual tabur bunga <strong>di</strong> atas air sungai,<br />
pelepasan burung-burung liar ke udara <strong>dan</strong> pelepasan ratusan bibit ikan<br />
lele ke dalam sungai.<br />
Dari seluruh orang yang ha<strong>di</strong>r dalam nyadran itu nampak baru kali ini<br />
mereka datang ke lokasi jembatan Bacem. Mereka ha<strong>di</strong>r selain untuk menebar<br />
bunga <strong>di</strong> sungai <strong>dan</strong> mengirim doa untuk orang-orang yang telah<br />
meninggal. Juga, mereka ingin membagi cerita kepada sesama yang ha<strong>di</strong>r<br />
<strong>di</strong> sana. Salah seorang yang ha<strong>di</strong>r akrab <strong>di</strong>panggil Mbah Lurah, karena<br />
suaminya lurah yang hilang pada <strong>1965</strong>. Mbah Lurah ha<strong>di</strong>r bersama a<strong>di</strong>knya<br />
perempuan yang suaminya juga hilang, anak-anak, <strong>dan</strong> cucu-cucunya.<br />
Suami Mbah Lurah adalah anggota organisasi desa yang pada <strong>1965</strong> <strong>di</strong>kejar-kejar<br />
<strong>dan</strong> kemu<strong>di</strong>an keluar dari tempat persembunyiannya kembali ke<br />
rumah. Dia <strong>di</strong>nasehati oleh istrinya agar menyerahkan <strong>di</strong>ri saja. Pak Lurah<br />
mengikuti nasehat istrinya untuk menyerahkan <strong>di</strong>ri, tapi <strong>di</strong>a tidak pernah<br />
kembali. Dia <strong>di</strong>bunuh <strong>di</strong> Jembatan Bacem, <strong>dan</strong> jazadnya <strong>di</strong>buang ke dalam<br />
sungai. 27<br />
Salah satu acara nyadran yang menarik adalah keluarga penyintas menulis<br />
surat kepada korban, <strong>dan</strong> surat itu kemu<strong>di</strong>an ikut <strong>di</strong>larung <strong>di</strong> arus sungai.<br />
Ada sekitar 200 surat baik dalam bentuk puisi maupun prosa <strong>di</strong>tujukan kepada<br />
arwah korban yang <strong>di</strong>bunuh. Salah satunya surat <strong>di</strong>tulis oleh anak perempuan<br />
Mbah Lurah yang <strong>di</strong>tujukan kepada bapaknya:<br />
Pak ini saya, anakmu datang bersama<br />
dengan Simbok, istrimu <strong>dan</strong> cucumu<br />
datang ke sini untuk menunjukkan cinta kami<br />
kepadamu.<br />
Pak, semoga arwahmu<br />
<strong>di</strong>terima <strong>di</strong> sisi Tuhan<br />
27 Ibid., Tutur Perempuan... hlm. 1-13.<br />
33
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Penutup<br />
Kami, anak <strong>dan</strong> cucu-cucumu<br />
akan meneruskan perjuanganmu<br />
Dari istri<br />
anak <strong>dan</strong> cucu-cucumu. 28<br />
Penulis telah membahas <strong>di</strong> atas tentang proses rekonstruksi sosial <strong>di</strong> kalangan<br />
korban <strong>di</strong> Kota <strong>Solo</strong>. Pada pembahasan pertama, penulis menguraikan<br />
struktur sosial kota <strong>Solo</strong> dengan terja<strong>di</strong>nya peristiwa kekerasan<br />
<strong>1965</strong> mengalami perubahan. Salah satu yang menonjol perubahan susunan<br />
sosial masyarakat <strong>Solo</strong> adalah banyak guru sekolah yang kehilangan pekerjaan.<br />
Pasca <strong>di</strong>keluarkan dari penjara <strong>dan</strong> kamp tahanan kesulitan untuk<br />
mendapatkan pekerjaan, bahkan ada yang menja<strong>di</strong> penarik becak atau yang<br />
menjual tenaganya berpuluh-puluh tahun <strong>di</strong> sebuah hotel kecil.<br />
Perubahan lainnya, <strong>di</strong> kampung-kampung yang sebagian besar penduduk<br />
keturunan Arab menja<strong>di</strong> ketua RT <strong>dan</strong> Hanra (pertahanan trakyat) mereka<br />
berfungsi melakukan pengawasan terhadap keluarga korban penyintas.<br />
Situasi ini menciptakan ketegangan sosial, meskipun tidak terja<strong>di</strong> konflik.<br />
Kemu<strong>di</strong>an, penulis membahas rekonstruksi sosial <strong>di</strong> lingkungan masyarakat/komunitas.<br />
Bisa <strong>di</strong>katakan keluarga penyintas dapat <strong>di</strong>terima oleh<br />
komunitas. Keluarga penyintas memberikan pengab<strong>di</strong>an pada komunitas<br />
melalui semangat gotong-royong, mengorganisir kerja bakti, ronda malam,<br />
<strong>dan</strong> ikut menerima mantu tetangga lengkap dengan pakaian tra<strong>di</strong>sional<br />
Jawa.<br />
Sementara itu, kaum perempuan penyintas aktif mulai pengurusan bendahara<br />
RT hingga PKK RW. Di sana mereka memberikan perawatan bagi<br />
gizi <strong>Bali</strong>ta <strong>dan</strong> mendorong anak-anak <strong>di</strong> kampung untuk belajar <strong>dan</strong> meningkatkan<br />
minat baca. Hanya satu perempuan penyintas yang <strong>di</strong>usir oleh<br />
komunitasnya. Pengusiran itu <strong>di</strong>lakukan oleh orang yang <strong>di</strong>kenal oleh penyintas<br />
sebagai algojo peristiwa kekerasan <strong>1965</strong> <strong>di</strong>desa Baluwarti.<br />
28 Ibid., Tutur Perempuan… 2006, hlm 1-13.<br />
34
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Namun, penyintas yang <strong>di</strong>usir bernama Karmina bisa <strong>di</strong>terima <strong>di</strong> komunitas<br />
lain <strong>di</strong> kampung Mangkuyu<strong>dan</strong>. Itu <strong>di</strong> kampung itu Karmina juga aktif<br />
mengab<strong>di</strong> <strong>di</strong>tingkat PKK RW, <strong>dan</strong> juga mendapatkan timbal balik informasi<br />
jaminan kesehatan bagi lansia.<br />
Para penyintas <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong> pencapaiannya dengan membentuk organisasi<br />
Pakorba (Paguyuban <strong>Korban</strong> Orde Baru). Organisasi ini banyak memberikan<br />
bantuan kepada korban/penyintas, terutama bantuan bagi penyintas<br />
perempuan yang menderita trauma. Penanggulan penderitaan trauma itu<br />
melalui cara mereka bercerita <strong>di</strong>depan kaum perempuan.<br />
Lingkar Tutur Perempuan mewadahi perempuan penyintas untuk bisa bercerita<br />
secara terbuka mengenai pengalaman hidup mereka <strong>di</strong> zaman gelap<br />
orde baru. Ketika mereka bercerita tidak <strong>di</strong>dengar <strong>dan</strong> <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>ri oleh kaum<br />
lelaki <strong>dan</strong> bahkan suaminya. Cara ini <strong>di</strong>lakukan agar seluruh pengalaman<br />
hidup yang sulit bisa menja<strong>di</strong> lapang <strong>dan</strong> terbuka. Metode ini berhasil mengurangi<br />
trauma <strong>di</strong>kalangan penyintas perempuan.<br />
Pencapaian lainnya yang penting dari keluarga penyintas <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong> adalah<br />
menyelenggarakan Nyadran Jembatan Bacem. Peristiwa Nyadran itu<br />
berhasil <strong>di</strong>maknai oleh para penyintas bahwa Jembatan Bacem menja<strong>di</strong><br />
tempat memorial kekerasan peristiwa <strong>1965</strong>. Selain itu, Nyadran Jembatan<br />
Bacem sebagai rekonstruksi sosial dari berbagai generasi yang bersepakat<br />
agar peristiwa trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> tidak terulang kembali.***<br />
35
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
36
<strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong> Penyintas <strong>di</strong> <strong>Bali</strong><br />
Pengantar<br />
M. Fauzi<br />
Pengakuan negara terhadap kekerasan <strong>di</strong> masa lalu terutama dalam peristiwa<br />
<strong>1965</strong> hingga kini belum membuahkan hasil memuaskan terutama <strong>di</strong><br />
pihak korban. Pelaku masih menyangkal kekerasan terhadap para korban<br />
trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>. Beberapa waktu lalu, dalam forum simposium <strong>1965</strong><br />
<strong>di</strong> Jakarta, pihak militer sebagai pelaku menegaskan bahwa pada peristiwa<br />
<strong>1965</strong> hanya ada satu korban yang terbunuh. Demikian pula, ketika simposium<br />
tan<strong>di</strong>ngan <strong>di</strong>selenggarakan oleh para pensiunan perwira militer<br />
<strong>dan</strong> organisasi massa (ormas) yang anti terhadap korban-korban hak asasi<br />
manusia peristiwa <strong>1965</strong>. Dalam forum itu, mereka menyusun kesimpulan<br />
bahwa se<strong>dan</strong>g berlanjut penyusunan gerakan untuk kebangkitan kembali<br />
Partai Komunis Indonesia (PKI). Kesimpulan dalam forum itu tampaknya<br />
merupakan bagian dari politik penyangkalan pelaku terhadap kekerasan,<br />
penyiksaan, penahanan, pembunuhan, <strong>dan</strong> <strong>di</strong>skriminasi terhadap korban<br />
trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>.<br />
Jika penegasan yang <strong>di</strong>lontarkan pihak yang anti terhadap korban trage<strong>di</strong><br />
nasional <strong>1965</strong> itu dapat <strong>di</strong>percaya, maka jaringan sosial, hubungan sosial<br />
penyintas dengan keluarga, lingkungan serta negara tidak mengalami<br />
kalut-marut. Selain itu, jika para penyintas trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> sejak<br />
lama aktivitasnya tidak <strong>di</strong>larang <strong>dan</strong> mereka bebas bekerja untuk mendapatkan<br />
nafkah yang layak, maka organisasi <strong>dan</strong> hubungan sosialnya menja<strong>di</strong><br />
kekuatan yang dapat <strong>di</strong>perhitungkan.<br />
Dalam konteks ini, kami melakukan inisiatif melakukan penelitian rekonstruksi<br />
sosial kehidupan korban/penyintas trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>di</strong> beberapa<br />
kota yaitu <strong>Pati</strong>, <strong>Solo</strong>, <strong>dan</strong> <strong>Bali</strong>. Cakupan penelitian dalam rekonstruksi<br />
sosial ini ter<strong>di</strong>ri dari jaringan sosial <strong>dan</strong> hubungan korban dengan keluarga,<br />
komunitas <strong>dan</strong> negara. Narasi <strong>di</strong>mulai dari latar sosial, politik, <strong>dan</strong><br />
ekonomi, kemu<strong>di</strong>an penghancuran hubungan sosial korban <strong>dan</strong> segala
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
dampaknya terhadap korban <strong>dan</strong> keluarganya, upaya korban membangun<br />
jaringan sosial setelah pembebasan dari tahanan/pembuangan, <strong>dan</strong> pencapaian<br />
yang <strong>di</strong>lakukan penyintas <strong>di</strong> masyarakat atau dalam kehidupan<br />
sosialnya.<br />
<strong>Rekonstruksi</strong> sosial korban trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> juga penting mengangkat<br />
peran perempuan. Di setiap wilayah yang <strong>di</strong>teliti ada beberapa perempuan<br />
yang menja<strong>di</strong> korban trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>, atau harus menderita karena<br />
suaminya <strong>di</strong>tahan ataupun <strong>di</strong>bunuh. Peranan perempuan korban dalam<br />
melanjutkan kehidupan bagi keluarganya ketika para suami <strong>di</strong>tahan atau<br />
justru <strong>di</strong>bunuh sangat penting. Merekalah yang membesuk, menye<strong>di</strong>akan<br />
<strong>dan</strong> membawa makanan ke penjara untuk suami atau anggota keluarganya<br />
yang <strong>di</strong>tahan, bahkan harus menemani suami hingga <strong>di</strong> kamp penahanan<br />
Pulau Buru. Kaum perempuan juga yang menopang kehidupan para keluarga<br />
korban, terutama anak-anak untuk mendapatkan pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang<br />
layak. Dari sisi itu, perempuan <strong>dan</strong> juga anak-anak mereka sesungguhnya<br />
juga sangat rentan <strong>dan</strong> ikut merasakan dampak trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>.<br />
Selain itu, dalam rekonstruksi sosial mencakup pula tentang cara korban<br />
<strong>dan</strong> juga anak-anaknya melakukan pemulihan, memutus dendam, berjuang<br />
melawan lupa, <strong>dan</strong> menyembuhkan trauma masa lalu. Tanpa mereka<br />
menyelenggarakan pertemuan <strong>dan</strong> anjangsana ke sesama korban atau<br />
menceritakan pengalaman hidupnya sebagai upaya pemulihan atau pelepasan<br />
dari sisi kelam hidupnya, sulit bagi anak-anak atau keluarga korban<br />
untuk bisa pulih kembali dari trauma masa lalu. Menjalin kontak dengan<br />
sesama korban <strong>dan</strong> saling bercerita tentang pengalaman buruk yang menimpa<br />
keluarganya dalam trage<strong>di</strong> itu agar ingatan sosial ini tidak lenyap begitu<br />
saja, kemu<strong>di</strong>an menyelenggarakan memorialisasi <strong>di</strong> situs-situs pembunuhan<br />
<strong>dan</strong> penghilangan paksa korban <strong>di</strong> masa lalu, adalah beberapa<br />
aktivitas dalam upaya melawan lupa akibat trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>. Berbagai<br />
acara, kegiatan atau upacara terkait ingatan sosial itu melibatkan korban<br />
baik perempuan maupun lelaki sekaligus sebagai kenangan terhadap kawan-kawan<br />
mereka yang tidak beruntung atau <strong>di</strong>bunuh.<br />
Aktivitas atau acara untuk mengenang para korban trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong><br />
juga berkaitan dengan kebudayaan <strong>dan</strong> tra<strong>di</strong>si <strong>di</strong> masing-masing wilayah<br />
yang berbeda satu dengan lainnya. Kegiatan-kegiatan korban yang ber-<br />
38
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
kaitan dengan memorialisasi itu memang tidak berlangsung secara bersamaan<br />
<strong>di</strong> ketiga wilayah penelitian dalam cakupan riset ini, <strong>dan</strong> <strong>di</strong> masing-masing<br />
wilayah itu mempunyai cara tersen<strong>di</strong>ri sesuai adat/tra<strong>di</strong>si <strong>di</strong><br />
wilayah itu. <strong>Korban</strong> ka<strong>dan</strong>gkala juga mengha<strong>di</strong>ri upacara memorialisasi <strong>di</strong><br />
tempat lain dengan alasan solidaritas <strong>di</strong> kalangan korban. Inisiatif dari korban<br />
untuk mencegah keberulangan trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> akan kami sajikan<br />
pula narasinya dalam paparan ini, terutama dalam konteks <strong>Bali</strong> <strong>dan</strong><br />
sejarah politiknya.<br />
Latar <strong>Sosial</strong>, Ekonomi <strong>dan</strong> Politik <strong>Bali</strong><br />
<strong>Bali</strong> pasca revolusi Indonesia adalah kisah perjuangan mengukuhkan <strong>di</strong>ri<br />
sekaligus berbagi peran <strong>dan</strong> upaya menguasai banyak bi<strong>dan</strong>g baik ekonomi<br />
maupun politik. Peran <strong>dan</strong> aktivitas itu <strong>di</strong>tentukan pula oleh seberapa besar<br />
pengaruh <strong>dan</strong> jaringan yang <strong>di</strong>miliki terhadap partai politik terutama<br />
PKI <strong>dan</strong> Partai <strong>Nasional</strong> Indonesia (PNI) serta jajaran birokrasi pemerintahan.<br />
Pemuda pejuang dari era revolusi, <strong>di</strong> antaranya, merupakan aktor<br />
yang bermain <strong>di</strong> arena untuk menanamkan pengaruh <strong>dan</strong> kekuasaannya<br />
dalam kehidupan sosial-politik <strong>Bali</strong> pasca revolusi. Sebagian dari mereka<br />
kemu<strong>di</strong>an berada dalam pusaran konflik <strong>dan</strong> menja<strong>di</strong> pelaku atau korban<br />
kekerasan politik <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> dalam trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>.<br />
Ada berbagai faktor yang berperan mematangkan <strong>dan</strong> memanaskan situasi<br />
sehingga ketegangan dalam pusaran konflik politik berlangsung keras<br />
sampai berujung pada penghilangan paksa <strong>dan</strong> pembunuhan secara brutal<br />
dalam trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>. Pasca revolusi, kon<strong>di</strong>si sosial-ekonomi <strong>Bali</strong><br />
ternyata tidak sesuai dengan harapan sebagian penduduk <strong>dan</strong> para pejuang<br />
yang menginginkan terwujudnya suatu “kesejahteraan”. Masalah ekonomi<br />
<strong>dan</strong> sosial pasca revolusi menja<strong>di</strong> beban yang harus <strong>di</strong>selesaikan pemerintah<br />
nasional <strong>dan</strong> lokal. Beberapa contoh masalah ekonomi <strong>dan</strong> sosial <strong>di</strong><br />
<strong>Bali</strong> antara lain tingginya harga kebutuhan pokok seperti beras pada awal<br />
`1950an hingga memasuki 1960 yang tidak terjangkau oleh pegawai berpendapatan<br />
rendah sekalipun, hama tikus <strong>dan</strong> kegagalan panen antara 1962<br />
<strong>dan</strong> <strong>1965</strong>, persaingan antara dua kekuatan politik utama yaitu PKI <strong>dan</strong> PNI<br />
dalam merebut pengaruh <strong>dan</strong> massa serta kursi kekuasaan, <strong>dan</strong> re<strong>di</strong>stribusi<br />
tanah yang kesemuanya mempunyai kontribusi terja<strong>di</strong>nya kekerasan <strong>dan</strong><br />
pembunuhan dalam trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>dan</strong> juga sesudahnya.<br />
39
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Sejak awal 1960an, kebijakan land reform menja<strong>di</strong> pembicaraan hangat<br />
sekaligus mengkhawatirkan para pemilik tanah-tanah luas <strong>dan</strong> kaum<br />
bangsawan <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>. Kebijakan land reform merupakan penerapan dari Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Pokok<br />
Bagi Hasil No. 2 Tahun 1960. Kebijakan <strong>di</strong> bi<strong>dan</strong>g pertanahan itu tentu berpengaruh<br />
terhadap para pemilik tanah-tanah luas, sebagian besar <strong>di</strong> antara<br />
mereka adalah kaum bangsawan <strong>dan</strong> juga pengusaha baru yang tumbuh<br />
pasca revolusi. Di sisi lain re<strong>di</strong>stribusi tanah atau land reform ini menja<strong>di</strong><br />
kabar yang menggembirakan bagi petani tak bertanah atau kaum miskin<br />
pedesaan. Kelompok terakhir inilah yang menja<strong>di</strong> basis terbesar pendukung<br />
Barisan Tani Indonesia (BTI) <strong>dan</strong> PKI. Re<strong>di</strong>stribusi tanah <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> menja<strong>di</strong><br />
isu sensitif/panas sejak awal 1960an hingga menjelang meletusnya trage<strong>di</strong><br />
nasional <strong>1965</strong>. Tanah-tanah yang tergolong luas <strong>dan</strong> produktif memang<br />
banyak <strong>di</strong>kuasai kaum bangsawan atau keluarga kerajaan, <strong>dan</strong> mereka juga<br />
masih menempati posisi penting <strong>di</strong> tingkat desa serta menguasai jaringan<br />
atau sumber-sumber ekonomi, sosial <strong>dan</strong> keagamaan yang berhubungan<br />
dengan puri.<br />
Kendati keluarga kerajaan atau kaum bangsawan memegang kepemilikan<br />
tanah secara luas, ketergantungan penduduk yang tak mempunyai tanah<br />
atau miskin terhadap puri tempatnya melakukan berbagai aktivitas adat<br />
<strong>dan</strong> keagamaan juga tergolong besar. Ada keterikatan tra<strong>di</strong>sional secara<br />
kultural <strong>dan</strong> relijius antara keduanya, meski secara sosial-ekonomi terutama<br />
dalam hal kepemilikan tanah tetaplah menunjukkan ketimpangan.<br />
Tumbuhnya pengusaha <strong>Bali</strong> pasca revolusi yang <strong>di</strong>untungkan oleh kebijakan<br />
ekonomi pemerintah lokal, sekaligus telah menyingkirkan para pengusaha<br />
Tionghoa <strong>dan</strong> Eropa yang sebelumnya mendominasi perekonomian<br />
<strong>Bali</strong> antara lain yang bergerak <strong>di</strong> bi<strong>dan</strong>g impor, angkutan, konstruksi, pariwisata<br />
setidaknya mempunyai an<strong>di</strong>l dalam menentukan kecenderungan<br />
dukungan politik terutama terhadap PNI. Kaum pengusaha yang berakar<br />
<strong>dan</strong> mendapat dukungan birokrasi pemerintahan menja<strong>di</strong> basis pendukung<br />
PNI. Merekalah yang termasuk <strong>di</strong>rugikan oleh kebijakan re<strong>di</strong>stribusi tanah<br />
sejak awal 1960an, <strong>di</strong> tengah upaya mereka untuk bangkit atau menja<strong>di</strong><br />
pemeran utama dalam aktivitas perekonomian pasca revolusi. Jalinan atau<br />
jejaring politik <strong>dan</strong> personal antara pengusaha lokal yang tumbuh pasca<br />
revolusi ini dengan birokrasi <strong>dan</strong> pemerintah lokal menja<strong>di</strong> penting daripada<br />
latar belakang sosial keturunan atau kebangsawanan mereka. Kaum<br />
40
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
bangsawan memang mempunyai akses terhadap birokrasi pemerintahan,<br />
namun mereka juga harus berbagi rezeki dengan para eks pejuang <strong>dan</strong> pegawai<br />
negeri sipil nonbangsawan yang sama-sama berusaha menancapkan<br />
pengaruhnya.<br />
Selain kon<strong>di</strong>si <strong>di</strong> atas, letusan Gunung Agung pada 1963 yang memakan<br />
korban 1.500 jiwa, merusak 62 ribu lahan produktif, sepuluh ribu jiwa kekurangan<br />
gizi, <strong>dan</strong> 75 ribu orang mengungsi ke berbagai tempat atau wilayah<br />
antara Denpasar <strong>dan</strong> Singaraja –kedua kota menja<strong>di</strong> tempat pengungsian<br />
terbanyak– ikut menambah beban sosial-ekonomi penduduk. Wilayah<br />
lain seperti Karangasem, Klungkung, Bangli <strong>dan</strong> Gianyar merupakan daerah-daerah<br />
yang juga mengalami kerusakan parah akibat bencana alam<br />
itu. 29 Kon<strong>di</strong>si sulit itu sangat mempengaruhi kehidupan penduduk saat beban<br />
ekonomi kian berat apalagi <strong>di</strong>tambah dengan harga barang-barang kebutuhan<br />
pokok terus meningkat <strong>dan</strong> sulit terjangkau terutama oleh mereka<br />
yang berpendapatan rendah.<br />
Pasca revolusi, pemerintah lokal memang <strong>di</strong>hadapkan pada kenyataan<br />
sulit menyangkut masalah ekonomi <strong>dan</strong> sosial. Menjelang akhir 1950an,<br />
masalah kebutuhan pokok belum terselesaikan secara memuaskan oleh<br />
pemerintah lokal <strong>dan</strong> hal ini berlanjut hingga 1960an. Meskipun pemerintah<br />
lokal mengontrol harga-harga kebutuhan pokok, pada pertengahan<br />
1950an misalnya, buruknya panen, terkendalanya <strong>di</strong>stribusi pasokan impor<br />
<strong>dan</strong> spekulasi, membuat harga beras terus melonjak dari Rp 3,50 menja<strong>di</strong><br />
Rp 7,50 per kilogram. Bahkan, menjelang 1964 harga beras menja<strong>di</strong> Rp 130<br />
per kilogram. 30<br />
Masalah-masalah sosial <strong>dan</strong> ekonomi juga penyelesaian pemerintah dalam<br />
hal itu pada akhirnya berpengaruh secara politis, yakni menguatnya<br />
pertentangan antara PNI <strong>dan</strong> PKI. Menguatnya posisi kaum pengusaha<br />
yang berafiliasi dengan PNI <strong>dan</strong> dukungan mereka terhadap kebijakan nasional<br />
dalam hal pengusiran orang Tionghoa dari Indonesia misalnya, ternyata<br />
justru mendapat tentangan dari PKI. <strong>Trage<strong>di</strong></strong> nasional <strong>1965</strong> menja<strong>di</strong><br />
29 Lihat Geoffrey Robinson. Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik.<br />
Yogyakarta: LKiS, 2006, hlm 362-63.<br />
30 Robinson, Ibid., hlm 362.<br />
41
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
jalan bagi lawan-lawan politik PKI untuk menyingkirkan partai ini sekaligus<br />
mengukuhkan posisi mereka dalam perekonomian lokal. PNI <strong>dan</strong> juga<br />
kaum pengusaha yang menja<strong>di</strong> pendukungnya jelas sangat <strong>di</strong>untungkan<br />
dari trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>dan</strong> kehancuran bagi PKI serta organisasi massa<br />
pendukungnya seperti BTI <strong>dan</strong> Pemuda Rakjat.<br />
<strong>Trage<strong>di</strong></strong> nasional <strong>1965</strong> yang meletus <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> <strong>dan</strong> meminta korban hingga<br />
puluhan ribu jiwa tidaklah terja<strong>di</strong> secara tiba-tiba <strong>dan</strong> ber<strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri, atau<br />
terlepas dari latar sosial, ekonomi, <strong>dan</strong> politik lokal yang sesungguhnya<br />
justru sangat berpengaruh seperti <strong>di</strong>uraikan secara singkat <strong>di</strong> atas. Akar<br />
persoalan trage<strong>di</strong> nasional <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> itu berada dalam tingkatan lokal yang<br />
basis masalahnya terletak antara lain pada masalah perekonomian pasca<br />
revolusi, ketimpangan sosial dalam hal pendapatan <strong>dan</strong> properti, dampak<br />
bencana alam gunung meletus, persaingan merebut kekuasaan <strong>dan</strong> pengaruh<br />
antara PKI <strong>dan</strong> lawan-lawan politiknya, serta re<strong>di</strong>stribusi tanah hasil<br />
penerapan kebijakan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g land reform <strong>dan</strong> bagi hasil. Semua tali-temali<br />
itu berujung pada kehancuran PKI <strong>dan</strong> organisasi pendukungnya<br />
<strong>di</strong> <strong>Bali</strong>, serta pembunuhan terhadap para anggota, simpatisan atau mereka<br />
yang <strong>di</strong>tuduh sebagai anggota PKI/komunis.<br />
Penghancuran Hubungan <strong>Sosial</strong> Penyintas<br />
<strong>Bali</strong> dalam berbagai bacaan, sejak era Hin<strong>di</strong>a Belanda, <strong>di</strong>kenal sebagai pulau<br />
yang elok, eksotis, <strong>dan</strong> harmonis. Keindahan pulau <strong>dan</strong> keramahtamahan<br />
penduduknya menja<strong>di</strong> bahan cerita <strong>di</strong> mana-mana. Hal itu tampak<br />
pula dalam berbagai ekspresi seni rupa tentang keindahan <strong>Bali</strong>, <strong>dan</strong> menja<strong>di</strong><br />
konsumsi penikmat seni. Itulah <strong>Bali</strong> yang <strong>di</strong>kenal lewat berbagai ekspresi<br />
seni <strong>dan</strong> juga pengorganisasian pertanian dalam bentuk subak.<br />
Keharmonisan <strong>dan</strong> keindahan <strong>Bali</strong> yang tercermin atau menja<strong>di</strong> bahan<br />
obrolan yang tak ada hentinya <strong>di</strong> kalangan para pelancong patut <strong>di</strong>pertanyakan<br />
ketika <strong>Bali</strong> yang tentram <strong>dan</strong> damai justru <strong>di</strong>guncang trage<strong>di</strong> nasional<br />
<strong>1965</strong> dengan menelan jumlah korban sangat banyak. Rata-rata usia<br />
para korban/penyintas saat trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> ini antara 20an hingga<br />
30an tahun, suatu usia yang tergolong produktif dalam hidup <strong>dan</strong> karier<br />
seseorang, <strong>dan</strong> sekarang usia mereka sekitar 70an hingga melewati 80an<br />
tahun. Produktivitas <strong>dan</strong> kerja mereka untuk bangsa <strong>dan</strong> masyarakat telah<br />
42
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
<strong>di</strong>renggut <strong>dan</strong> <strong>di</strong>bungkam habis karena terja<strong>di</strong>nya trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>.<br />
Apa yang sesungguhnya terja<strong>di</strong> atau bergejolak <strong>di</strong> Pulau Dewata hingga<br />
korban trage<strong>di</strong> itu sejak Desember <strong>1965</strong> hingga awal 1966 mencapai puluhan<br />
ribu <strong>dan</strong> <strong>di</strong>taksir hingga mencapai 80 ribu korban tewas, atau sekitar<br />
5% penduduk yang berjumlah kurang dari 2 juta orang. 31 Jumlah korban<br />
tewas sebanyak itu ter<strong>di</strong>ri dari beragam kasta mulai dari kasta Sudra hingga<br />
Brahmana, termasuk pula <strong>di</strong> dalamnya elit atau tokoh-tokoh <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>. Di antara<br />
para korban itu antara lain Gubernur <strong>Bali</strong> yang juga putra Raja Jembrana,<br />
Anak Agung Bagus Sutedja; 14 orang anggota pemerintahan Jembrana<br />
<strong>dan</strong> tuan tanah yang <strong>di</strong>anggap berhubungan dengan PKI juga <strong>di</strong>bunuh;<br />
kemu<strong>di</strong>an pengusaha I Gde Puger yang <strong>di</strong>bunuh dengan cara <strong>di</strong>mutilasi <strong>di</strong><br />
Desa Kapal; aktivis PKI, guru, petani, militer <strong>dan</strong> seniman termasuk pula <strong>di</strong><br />
antara mereka yang tewas <strong>di</strong>bunuh atau korban trage<strong>di</strong> itu. Pembantaian<br />
yang menyasar ke berbagai golongan <strong>dan</strong> <strong>di</strong>lakukan secara brutal itulah<br />
yang terja<strong>di</strong> pasca trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>. Bahkan, puri kerajaan <strong>di</strong><br />
Jembrana pun <strong>di</strong>bakar <strong>dan</strong> anggota keluarga puri <strong>di</strong>bunuh. Di Kabupaten<br />
Jembrana <strong>dan</strong> Buleleng yang program land reform hampir sukses menjelang<br />
<strong>1965</strong>, kekerasan <strong>dan</strong> pembunuhan berlangsung secara ekstrim. Begitu pula<br />
dengan <strong>di</strong> Kabupaten Karangasem, <strong>di</strong> mana BTI sangat aktif <strong>dan</strong> program<br />
land reform telah memicu terja<strong>di</strong>nya pembunuhan <strong>di</strong> mana-mana. 32<br />
Akar atau benih kekerasan yang berujung pada pembunuhan <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> tidaklah<br />
datang atau muncul secara mendadak, tetapi justru jauh sebelum peristiwa<br />
<strong>1965</strong> meletus. Sebagaimana <strong>di</strong>singgung sebelumnya, bahwa persaingan<br />
antara PNI <strong>dan</strong> PKI punya kontribusi dalam serangkaian kekerasan<br />
hingga pembunuhan terhadap mereka yang <strong>di</strong>tuduh terlibat dalam trage<strong>di</strong><br />
nasional <strong>1965</strong> atau simpatisan komunis. Tameng (milisi sipil) yang <strong>di</strong>kenal<br />
kejam <strong>dan</strong> dekat dengan PNI <strong>di</strong>tengarai menja<strong>di</strong> pelaku kekerasan atau eksekutor<br />
<strong>di</strong> tingkat bawah. Kekerasan <strong>dan</strong> pembunuhan <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> berlangsung<br />
pada sekitar Desember <strong>1965</strong>. Militer terutama Resimen Para Komando Angkatan<br />
Darat (RPKAD) <strong>dan</strong> tentara yang berasal dari kesatuan Divisi Brawi-<br />
31 Lihat Dewa (Soe Hok Gie). “Pembantaian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>,” dalam Robert Cribb (ed).<br />
Pembantaian PKI <strong>di</strong> Jawa <strong>dan</strong> <strong>Bali</strong> <strong>1965</strong>-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003, hlm<br />
432; Robinson. Ibid., hlm 416- 417.<br />
32 Lihat Cribb, Ibid., hlm 410-11, 415-16; Robinson, Ibid., hlm 415 <strong>dan</strong> 459.<br />
43
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
jaya yang bermarkas <strong>di</strong> Jawa Timur pada awal Desember <strong>1965</strong> mendarat<br />
<strong>di</strong> <strong>Bali</strong> untuk menumpas PKI hingga ke akar-akarnya. Tugas militer dalam<br />
penumpasan kaum komunis <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> ini tentu tidak akan berjalan lancar jika<br />
tidak ada dukungan dari milisi sipil tameng, seperti yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> berbagai<br />
kota <strong>di</strong> Jawa. 33 Beberapa narasumber yang <strong>di</strong>wawancarai dalam penelitian<br />
ini menceritakan tentang aksi tameng yang berkostum hitam-hitam saat<br />
datang <strong>dan</strong> membawa korban ke luar rumah menuju suatu tempat eksekusi.<br />
<strong>Korban</strong> yang <strong>di</strong>bawa oleh tameng sebagian besar tewas.<br />
Pelaku <strong>dan</strong> korban dalam trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> sesungguhnya tinggal<br />
dalam ruang yang sama yaitu se-natah (halaman), se-da<strong>di</strong>a (semarga<br />
atau mempunyai hubungan keluarga/garis keturunan) <strong>dan</strong> satu pemujaan<br />
atau pura. 34 Mereka saling tahu atau mengenal satu sama lain. Dalam konteks<br />
itu, kekerasan hingga pembunuhan menyisakan suatu “dendam” atau<br />
“trauma” yang tampaknya sulit <strong>di</strong>hapuskan dari ingatan korban. Para korban<br />
trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> sen<strong>di</strong>ri berupaya tidak mewarisi dendam<br />
kepada generasi berikutnya <strong>dan</strong> melihat apa yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> masa lalu secara<br />
lebih bijaksana. Mereka juga meyakini a<strong>dan</strong>ya karma phala, filosofi ajaran<br />
Hindu, yakni hasil yang <strong>di</strong>terima atas suatu perbuatan yang <strong>di</strong>lakukan.<br />
Para penyintas dalam beberapa kesempatan perbincangan menyinggung<br />
tentang hal ini saat bercerita mengenai tameng, yang secara ekonomis kehidupannya<br />
tidak lebih baik dari para penyintas saat ini.<br />
Dampak trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>dan</strong> jatuhnya korban dalam jumlah besar <strong>di</strong><br />
<strong>Bali</strong> tidak dapat <strong>di</strong>pisahkan dari berbagai persoalan sosial-politik <strong>di</strong> tingkat<br />
nasional terutama penerapan land reform sejak awal 1960an. Re<strong>di</strong>stribusi<br />
tanah <strong>dan</strong> perubahan dalam pembagian hasil pertanian mempunyai hubungan<br />
langsung dengan masyarakat <strong>Bali</strong>, daripada isu besar lainnya seperti<br />
konfrontasi terhadap Malaysia atau perjuangan merebut Irian Barat.<br />
Tanah <strong>dan</strong> pembagian hasil pertanian menja<strong>di</strong> persoalan tentang siapa<br />
yang <strong>di</strong>untungkan atau <strong>di</strong>rugikan dari kebijakan itu. Kaum bangsawan <strong>dan</strong><br />
pemilik tanah-tanah luas merasa <strong>di</strong>rugikan dari kebijakan pembagian ta-<br />
33 Robinson, Ibid., hlm 429-30. Lihat pula Robert Cribb, Soe Hok Gie dkk. “<strong>Bali</strong>,”<br />
dalam Cribb (ed).<br />
34 Lihat Agung War<strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> Roberto Hutabarat (eds.). Melawan Lupa: Narasi-narasi<br />
Komunitas Taman 65 <strong>Bali</strong>. Denpasar: Taman 65 Press, 2012, hlm 18.<br />
44
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
nah atau bagi hasil itu <strong>dan</strong> mendapatkan momentum untuk “merebut”<br />
kembali hak milik mereka yang berkurang saat trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> meletus.<br />
Di sisi lain, PKI <strong>dan</strong> BTI mendukung kebijakan tanah <strong>dan</strong> bagi hasil itu,<br />
<strong>dan</strong> dukungan mereka terhadap program land reform justru menja<strong>di</strong> sasaran<br />
penentang kebijakan itu, terutama pemilik tanah <strong>dan</strong> pendukungnya<br />
yang berafiliasi ke PNI. Dukungan Gubernur <strong>Bali</strong> Sutedja terhadap kebijakan<br />
land reform agar masalah ini segera <strong>di</strong>selesaikan turut mempertajam<br />
<strong>dan</strong> menja<strong>di</strong> ancaman bagi pemilik tanah <strong>dan</strong> pendukungnya <strong>di</strong> tubuh PNI.<br />
<strong>Trage<strong>di</strong></strong> nasional <strong>1965</strong> menja<strong>di</strong> momentum bagi pemilik tanah <strong>dan</strong> pendukungnya<br />
untuk melawan PKI <strong>dan</strong> simpatisannya yang <strong>di</strong>anggap mendukung<br />
land reform <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>. 35 <strong>Korban</strong> peristiwa itu tergolong besar <strong>dan</strong> bisa<br />
<strong>di</strong>pahami jika pokok masalah terutama adalah tanah. Dukungan petani <strong>di</strong><br />
pedesaan terhadap land reform <strong>dan</strong> berbagai aktivitas seperti gotong-royong<br />
<strong>dan</strong> kesenian bagi suksesnya kebijakan itu sangat berpengaruh <strong>dan</strong><br />
sekaligus mengkhawatirkan PNI. 36<br />
Sekitar pertengahan November <strong>1965</strong>, anggota <strong>dan</strong> simpatisan PKI serta<br />
organisasi massa seperti BTI <strong>di</strong>kumpulkan <strong>di</strong> beberapa pura <strong>dan</strong> <strong>di</strong>minta<br />
membubarkan <strong>di</strong>ri <strong>dan</strong> menghentikan semua aktivitas organisasi tersebut.<br />
Mereka kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>ambil oleh tameng <strong>dan</strong> militer, <strong>dan</strong> setelah itu hilang<br />
atau <strong>di</strong>bunuh <strong>di</strong> suatu tempat. Bulan berikutnya yakni Desember hingga<br />
awal 1966, pembunuhan terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> berbagai tempat dalam jumlah besar,<br />
<strong>dan</strong> keluarga korban tanpa pernah tahu <strong>di</strong> mana anggota keluarga mereka<br />
<strong>di</strong>bunuh atau <strong>di</strong>makamkan. Pembunuhan dalam skala besar itu tak lepas<br />
dari keha<strong>di</strong>ran RPKAD <strong>dan</strong> kesatuan Divisi Brawijaya yang sejak awal Desember<br />
mendarat <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> untuk melaksanakan tugas “membantu penumpasan<br />
PKI”. <strong>Bali</strong> termasuk dalam tiga provinsi selain Jawa Tengah <strong>dan</strong> Jawa<br />
Timur dengan jumlah korban pembunuhan paling brutal.<br />
<strong>Trage<strong>di</strong></strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>dan</strong> rentetan keja<strong>di</strong>an sebelum <strong>dan</strong> sesudah peristiwa<br />
itu tidak dapat <strong>di</strong>lepaskan <strong>dan</strong> punya an<strong>di</strong>l dalam memutus hubungan<br />
anak dengan orangtuanya, merusak ikatan kekeluargaan, membunuh ka-<br />
35 Robinson. Op.cit, hlm 405-06.<br />
36 Wawancara dengan Natar, 26 Maret 2017.<br />
45
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
rakter seseorang/keluarga dengan tuduhan bermacam-macam, memutus<br />
ikatan sosial antarwarga/masyarakat, menghancurkan ekonomi keluarga,<br />
<strong>dan</strong> membungkam cita-cita sebagian orang tentang suatu tatanan sosial<br />
yang lebih a<strong>di</strong>l <strong>dan</strong> sejahtera. Penangkapan <strong>dan</strong> penahanan korban yang<br />
luput dari pembunuhan berlangsung sejak <strong>1965</strong> hingga 1967. Beberapa pengecualian<br />
misalnya karena tidak <strong>di</strong>temukan bukti keterlibatan, korban<br />
lalu <strong>di</strong>bebaskan. Tetapi, pada 1968, setelah muncul laporan dari aparat<br />
desa, korban kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>jebloskan lagi ke dalam tahanan hingga <strong>di</strong>bebaskan<br />
pada 1977. Perlakuan yang berbeda-beda terhadap korban dalam<br />
penahanan memperlihatkan ketidakcermatan aparat menetapkan seseorang<br />
untuk <strong>di</strong>tahan atau <strong>di</strong>bunuh, karena dugaan keterlibatan dalam peristiwa<br />
<strong>1965</strong> atau tuduhan sebagai anggota <strong>dan</strong> simpatisan PKI. Perlakuan<br />
militer dengan dukungan tameng sebagai eksekutor <strong>di</strong> lapangan juga<br />
menunjukkan kebrutalan mereka dalam aksi pemberantasan PKI hingga ke<br />
akar-akarnya.<br />
Merekat Hubungan <strong>Sosial</strong> <strong>dan</strong> Menata Kehidupan<br />
<strong>Bali</strong> sekarang adalah <strong>Bali</strong> yang <strong>di</strong>kenal luas sejagad karena pariwisatanya.<br />
Keelokan alam, keindahan pantai <strong>dan</strong> pasir putihnya, keramahan masyarakatnya,<br />
relijius dalam berbagai upacara adat/tra<strong>di</strong>si hampir setiap waktu<br />
menja<strong>di</strong> pesona bagi para pelancong. Presiden Soekarno dalam beberapa<br />
kesempatan juga memperkenalkan pesona <strong>Bali</strong> kepada tamu-tamu negara.<br />
Pesona <strong>Bali</strong> yang terkenal <strong>di</strong> mana-mana sejak era kolonial hingga kini sesungguhnya<br />
menyimpan sisi kelam dalam sejarahnya, terutama pasca trage<strong>di</strong><br />
nasional <strong>1965</strong>. Hubungan sosial baik antarwarga maupun antarkeluarga<br />
karena perbedaan politik <strong>dan</strong> persoalan tanah tercabik-cabik. Pulau yang<br />
<strong>di</strong>kenal karena keindahannya <strong>dan</strong> keharmonisannya ternyata <strong>di</strong> bawahnya<br />
menyimpan kisah kelam. “Pesona semu” mungkin tepat untuk menggambarkan<br />
<strong>Bali</strong> waktu itu. Pariwisata seolah menutup <strong>dan</strong> membungkus sisi<br />
gelap <strong>Bali</strong> dalam trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>dan</strong> hiruk-pikuk persoalan politik<br />
<strong>di</strong> masa lalu.<br />
<strong>Bali</strong>, secara geografis, sesungguhnya jauh dari pusat terja<strong>di</strong>nya trage<strong>di</strong> nasional<br />
<strong>1965</strong> yang berlangsung <strong>di</strong> Jakarta. Namun, akibat peristiwa itu kekerasan<br />
dengan jumlah korban <strong>di</strong> Pulau Dewata tergolong sangat besar<br />
seperti penculikan, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang,<br />
46
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
hingga pembunuhan/pemutilasian. Kendati tidak ada data akurat menyangkut<br />
jumlah korban <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> akibat peristiwa itu, kekerasan <strong>dan</strong> pembunuhan<br />
berlangsung <strong>di</strong> berbagai daerah <strong>di</strong> pulau itu. Di beberapa kabupaten<br />
yang tergolong pelaksanaan kebijakan land reform “sukses” atau gencar<br />
<strong>di</strong>lakukan seperti <strong>di</strong> Jembrana, Buleleng, <strong>dan</strong> Karangasem, kekerasan<br />
<strong>dan</strong> pembunuhan <strong>di</strong> ketiga kabupaten tersebut berlangsung secara brutal. 37<br />
Tentu ini menja<strong>di</strong> pertanyaan, mengapa pulau yang tergolong tenang, relijius,<br />
<strong>dan</strong> menja<strong>di</strong> tujuan pelesir para pelancong baik lokal maupun internasional<br />
justru kekerasan meledak bahkan dengan eskalasi yang tak terkendali<br />
<strong>dan</strong> keji, jika tidak ada persoalan krusial yang menyangkut banyak<br />
orang atau banyak keluarga <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>.<br />
Tatanan masyarakat yang <strong>di</strong>bangun, <strong>di</strong>rawat, <strong>dan</strong> <strong>di</strong>pertahankan selama<br />
bertahun-tahun antarkerabat atau keluarga luluh-lantak <strong>dan</strong> berantakan<br />
pasca trage<strong>di</strong> itu. Hubungan sosial baik antarkeluarga atau masyarakat<br />
pun terkena imbasnya karena trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>. Keramah-tamahan<br />
antarkeluarga pun terusik, gotong-royong atau kerja sosial kemasyarakatan<br />
terganggu, saling curiga menja<strong>di</strong> bagian keseharian masyarakat, amarah<br />
<strong>dan</strong> kebencian menyatu baik terhadap keluarga maupun masyarakat.<br />
Ketidakharmonisan secara sosial ini berlangsung puluhan tahun, bahkan<br />
hingga kini saat penelitian <strong>di</strong> lapangan hal itu masih terlihat pada beberapa<br />
korban yang selamat dari trage<strong>di</strong> itu.<br />
<strong>Korban</strong> trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> berasal dari beragam latar belakang<br />
<strong>dan</strong> waktu peristiwa itu meletus, mereka yang menja<strong>di</strong> korban masih aktif<br />
dengan profesinya masing-masing. Mereka sama sekali tidak membayangkan<br />
dalam benaknya bahwa peristiwa politik yang meletus <strong>di</strong> Jakarta justru<br />
membawa pengaruh besar <strong>dan</strong> malapetaka bagi mereka bahkan keluarganya<br />
hingga bertahun-tahun kemu<strong>di</strong>an. Bukan hanya itu, kisah tentang<br />
orangtua mereka yang <strong>di</strong>bunuh <strong>dan</strong> alasan pembunuhan itu pun bertahun-tahun<br />
lamanya tetaplah menja<strong>di</strong> misteri <strong>dan</strong> pertanyaan besar bagi<br />
anak-anak korban.<br />
Keterbukaan untuk menceritakan trage<strong>di</strong> nasional itu kepada keluarga korban<br />
juga tidak berlangsung lancar <strong>dan</strong> utuh. Bahkan beberapa keluarga<br />
masih ada yang bungkam daan enggan berkisah tentang perlakuan bu-<br />
37 Lihat Robinson. Op.cit, hlm 415.<br />
47
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
ruk <strong>dan</strong> keji yang <strong>di</strong>terima anggota keluarga mereka pasca trage<strong>di</strong> nasional<br />
<strong>1965</strong> kepada anak ataupun keluarganya, <strong>dan</strong> tetap menyimpan cerita<br />
itu hingga meninggal. Tentu masing-masing korban mempunyai alasan<br />
tersen<strong>di</strong>ri tentang mengapa mereka menolak bercerita atau tetap menyimpan<br />
rapat pengalaman buruk yang menimpa <strong>di</strong>rinya. Di sisi lain, sebagian<br />
korban atau keluarganya justru terus berupaya mencari tahu mengapa<br />
<strong>dan</strong> bagaimana orangtua atau anggota keluarganya <strong>di</strong>bunuh. Tidak semua<br />
korban memang mau secara terbuka menceritakan apa yang <strong>di</strong>alami oleh<br />
orangtua ataupun anggota keluarganya dalam trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>.<br />
Salah satu anggota keluarga korban trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> adalah Agung<br />
Alit (lahir 1961). 38 Ia bungsu dalam keluarganya <strong>dan</strong> saat keja<strong>di</strong>an itu berusia<br />
4 tahun. Ia anak dari seorang guru sekolah dasar, I Gusti Made Raka<br />
(lahir 1933), yang meninggal karena <strong>di</strong>bunuh pasca trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>. 39<br />
Pembunuhan Raka terja<strong>di</strong> sekitar Desember <strong>1965</strong> karena <strong>di</strong>tuduh sebagai<br />
komunis/anggota PKI. <strong>Korban</strong> lain dalam keluarga Alit adalah pamannya,<br />
yang juga meninggal karena <strong>di</strong>bunuh. Sebelum ayahnya <strong>di</strong>eksekusi secara<br />
keji, Raka <strong>di</strong>arak <strong>di</strong> muka umum dari alun-alun Denpasar hingga Kantor<br />
Kecamatan Kesiman. Ia <strong>di</strong>bunuh <strong>di</strong> sebuah makam yang kini menja<strong>di</strong> pasar<br />
desa adat Penatih. Bukan hanya ayah Alit yang <strong>di</strong>makamkan <strong>di</strong> tempat itu,<br />
ternyata ada beberapa korban lagi yang <strong>di</strong>makamkan <strong>di</strong> lokasi itu. Hal itu<br />
<strong>di</strong>ketahui saat <strong>di</strong>lakukan penggalian pada 1968, beberapa tulang-belulang<br />
<strong>di</strong>temukan berserakan <strong>dan</strong> letaknya saling terpisah. Temuan itu sekaligus<br />
menunjukkan bagaimana perlakuan terhadap korban <strong>di</strong> saat-saat terakhir<br />
tubuhnya <strong>di</strong>habisi secara keji.<br />
Eksekusi terhadap Raka terja<strong>di</strong> saat Alit kecil, <strong>dan</strong> hingga dewasa pertanyaan<br />
tentang mengapa ayahnya <strong>di</strong>bunuh terus mengganggu benaknya.<br />
38 Wawancara dengan Agung Alit, 18 Agustus 2016 <strong>dan</strong> 27 Maret 2017.<br />
39 Tidak ada data tentang berapa sesungguhnya guru <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> yang <strong>di</strong>bunuh, <strong>di</strong>tahan,<br />
<strong>dan</strong> <strong>di</strong>pecat dalam peristiwa <strong>1965</strong>. PGRI Nonvakcentral mengakui jumlah<br />
anggotanya sebelum peristiwa mencapai 150 ribu orang, sebagian besar dari jumlah<br />
itu tinggal <strong>di</strong> Jawa Tengah <strong>dan</strong> Jawa Timur. Diperkirakan guru yang menja<strong>di</strong><br />
korban peristiwa itu mencapai ribuan orang. Lihat Agus Suwignyo. Breach in the<br />
Dike Regime Change and the Standar<strong>di</strong>zation of Public Primary-School Teacher<br />
Training in Indonesia 1893-1969. Disertasi Ph.D Universiteit Leiden, 2012, hlm<br />
429-30.<br />
48
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Alit pun berusaha mencari tahu <strong>dan</strong> bertanya kepada siapa pun ihwal pembunuhan<br />
terhadap ayahnya. Ia berharap ada suatu titik terang yang bisa<br />
menjelaskan tentang pembunuhan terhadap ayahnya. Di sisi lain, ia pun<br />
menginginkan a<strong>dan</strong>ya keterbukaan tentang apa yang sesungguhnya terja<strong>di</strong><br />
agar trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> itu tidak terulang kembali.<br />
Setelah pembunuhan terhadap ayahnya, Alit <strong>dan</strong> kakak-kakaknya berada<br />
dalam asuhan nenek dari pihak ibunya. Bagi masyarakat <strong>Bali</strong> upacara penghormatan<br />
terhadap anggota keluarga yang meninggal sangatlah penting,<br />
agar rohnya tenang <strong>di</strong> alam sana. Maka, kejelasan tentang jenazah ayahnya<br />
penting bagi keluarga Alit. Dalam pencarian itu, suatu ketika keluarganya,<br />
juga keluarga korban lain yang <strong>di</strong>bunuh, mau mengadakan upacara ngaben<br />
dengan menggali jenazah <strong>di</strong> lokasi yang sudah <strong>di</strong>ketahui sebagai tempat<br />
eksekusi. Saksi mata yang <strong>di</strong>bawa untuk menunjukkan lokasi persisnya<br />
jasad korban <strong>di</strong>makamkan tidak dapat menunjukkan secara pasti korban,<br />
<strong>dan</strong> hanya menunjukkan letak kepala serta potongan tubuh lain yang terpisah<br />
satu sama lain <strong>di</strong> lokasi tersebut. Keterangan saksi tersebut tidak akurat<br />
<strong>dan</strong> sulit <strong>di</strong>percaya. Saat penggalian memang <strong>di</strong>temukan tulang-belulang<br />
tapi bukan ayah Alit. Keluarga pun pulang tanpa membawa jenazah/tulang-belulang<br />
Raka <strong>dan</strong> hanya mengambil tanah dari lokasi penggalian. Ini<br />
merupakan simbolis dalam ritual penghormatan terhadap anggota keluarga<br />
yang meninggal. Setelah itu kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>adakan upacara.<br />
Ngaben tanpa tubuh <strong>di</strong>lakukan oleh keluarga korban trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong><br />
dengan mengambil sebagian tanah <strong>di</strong> lokasi yang <strong>di</strong>duga sebagai tempat<br />
jenazah korban <strong>di</strong>makamkan lalu <strong>di</strong>adakan upacara <strong>di</strong> tempat lain untuk<br />
menghormati korban yang meninggal. Ngaben tanpa tubuh atau ngaben<br />
swasta yaitu ngaben bagi orang yang meninggal yang jenazahnya tidak<br />
<strong>di</strong>ketahui keberadaannya, tidak <strong>di</strong>temukan baik karena hilang, terlalu lama<br />
<strong>di</strong>kuburkan, atau meninggal <strong>di</strong> tempat yang jauh. Ngaben tanpa tubuh bagi<br />
korban trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> berbeda karena jenazah masih <strong>di</strong> dalam tanah<br />
<strong>dan</strong> tanpa <strong>di</strong>ketahui secara pasti benar-tidaknya bahwa yang <strong>di</strong>makamkan<br />
adalah anggota keluarga, seperti Raka. 40<br />
40 Lihat “Ngaben Tanpa Tubuh: <strong>Trage<strong>di</strong></strong> ’65 <strong>dan</strong> Pariwisata <strong>Bali</strong>,” dalam Anak<br />
Agung Gde Pura (et.al). Pulangkan Mereka: Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa<br />
<strong>di</strong> Indonesia. Jakarta: Lembaga Stu<strong>di</strong> <strong>dan</strong> Advokasi Masyarakat, 2012, hlm 207-228.<br />
49
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Sejak itu, tertanam dalam benak Alit bahwa ayahnya <strong>di</strong>bunuh. Sejak mengetahui<br />
ayahnya <strong>di</strong>bunuh, ada kemarahan yang sulit <strong>di</strong>hapus dari ingatannya.<br />
Ia tidak bisa memahami, mengapa ayahnya harus <strong>di</strong>bunuh <strong>dan</strong> apa<br />
kesalahannya. Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya,<br />
bahkan hingga kini masih sulit <strong>di</strong>hapus dari memorinya. Seiring dengan<br />
usianya yang beranjak dewasa, Alit terus mencari tahu tentang mengapa<br />
ayahnya <strong>di</strong>bunuh. Stigma sebagai anak PKI juga melekat pa<strong>dan</strong>ya. Hubungannya<br />
dengan pacar <strong>di</strong>ganggu/<strong>di</strong>persulit hanya karena ia sebagai anak<br />
PKI, <strong>dan</strong> kendala itu justru datang dari keluarganya. Sebagai anak tanpa<br />
keha<strong>di</strong>ran ayah <strong>di</strong> sisinya hingga usianya beranjak dewasa, Alit pun tak<br />
ber<strong>di</strong>am <strong>di</strong>ri <strong>dan</strong> terus berupaya man<strong>di</strong>ri serta membangun kehidupannya<br />
hingga berkeluarga. Sebagai anak korban, Alit tidak pernah merasa rendah<br />
<strong>di</strong>ri dalam bergaul dengan siapa pun, perkawanannya luas, tegar menghadapi<br />
apa yang terja<strong>di</strong> dalam keluarganya hingga mapan secara ekonomi dalam<br />
profesi <strong>dan</strong> aktivitas yang <strong>di</strong>tekuninya kini.<br />
Ingatan tentang ayah <strong>dan</strong> keluarganya yang <strong>di</strong>bunuh terutama, juga keluarga-keluarga<br />
lain yang bernasib sama mendorong Alit <strong>dan</strong> kawan-kawan<br />
muda kemu<strong>di</strong>an membangun Taman 65. Bangunan sederhana berupa<br />
sepetak tanah berplester dengan tulisan Taman 65 tepat <strong>di</strong> bagian tengah,<br />
tak ber<strong>di</strong>n<strong>di</strong>ng pun tak beratap, terhampar sebagai ruang terbuka <strong>di</strong> tengah<br />
lokasi pemukiman keluarganya itu yang <strong>di</strong>bangun sebagai penghormatan<br />
atau peringatan atas pembunuhan Raka. Kritik juga kecaman datang<br />
dari keluarga Alit yang mempertanyakan keha<strong>di</strong>ran taman itu <strong>di</strong> sekitar<br />
pemukiman mereka. Pada <strong>di</strong>n<strong>di</strong>ng taman peringatan itu tertulis sebaris<br />
kalimat sarat makna juga kenangan yaitu Forgive But Never Forget.<br />
Taman 65 menja<strong>di</strong> ruang bersama untuk berbagi pengalaman, kisah, <strong>dan</strong><br />
belajar satu sama lain sekaligus merawat ingatan agar tetap hidup sebagai<br />
pembelajaran bagi generasi kedua <strong>dan</strong> seterusnya dari para korban trage<strong>di</strong><br />
nasional <strong>1965</strong>. 41 Berbagai acara atau kegiatan <strong>di</strong>langsungkan <strong>di</strong> Taman 65<br />
dalam bentuk <strong>di</strong>skusi, pemutaran film atau berbagai bentuk ekspresi dengan<br />
beragam topik. Taman 65 juga merupakan suatu ruang untuk rekonsiliasi<br />
<strong>dan</strong> penyembuhan <strong>di</strong> tingkat paling bawah yaitu keluarga, unit sosial<br />
yang menderita kerusakan parah <strong>dan</strong> tercerai-berai akibat trage<strong>di</strong> nasional<br />
<strong>1965</strong>. Meskipun dari pihak keluarga ada yang tidak setuju atas keberadaan<br />
41 Lihat Melawan Lupa, hlm 71-91.<br />
50
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
taman tersebut, bagi para pen<strong>di</strong>rinya taman ini justru menja<strong>di</strong> pembelajaran<br />
<strong>dan</strong> ruang publik bagi mereka yang tinggal <strong>di</strong> sekitarnya atau <strong>di</strong> luarnya<br />
tentang berbagai hal demi kehidupan yang lebih baik <strong>dan</strong> penghargaan<br />
terhadap kemanusiaan.<br />
Upaya untuk membuka ruang-ruang <strong>di</strong>alog atau <strong>di</strong>skusi publik yang lebih<br />
luas dengan melibatkan masyarakat atau generasi muda juga <strong>di</strong>lakukan<br />
oleh Alit, kakaknya <strong>dan</strong> kawan-kawan muda lainnya dalam bentuk pen<strong>di</strong>rian<br />
Taman Baca Kesiman. Mengambil bentuk sebuah taman bacaan, suatu<br />
kesederhanaan yang justru memberi keluasan bagi siapa pun dalam berpikir,<br />
ber<strong>di</strong>alog/<strong>di</strong>skusi, <strong>dan</strong> aksi, taman ini memberi kemungkinan pula<br />
untuk membahas masalah sosial-politik, tak terkecuali trage<strong>di</strong> nasional<br />
<strong>1965</strong> secara terbuka, rasional <strong>dan</strong> tanpa emosional. Sebagai anak korban,<br />
Alit tak menempatkan <strong>di</strong>ri sebagai pihak yang harus <strong>di</strong>istimewakan dalam<br />
seluruh aktivitas kedua taman tersebut, walaupun ia termasuk salah seorang<br />
yang ikut membi<strong>dan</strong>i kelahiran dua ruang publik itu.<br />
Keluarga bagi Alit sangat penting untuk menjelaskan <strong>dan</strong> mencari tahu<br />
tentang trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>, termasuk apa yang <strong>di</strong>lakukannya dalam aktivitas<br />
Taman 65. Ia secara terbuka juga menjelaskan kepada anak-anaknya<br />
tentang siapa kakeknya, pekerjaannya, <strong>dan</strong> aktivitasnya, serta bagaimana<br />
akhir hidupnya yang mengenaskan. Baginya, sisi kelam dalam keluarganya<br />
<strong>dan</strong> menjelaskannya kepada orang lain termasuk kepada keluarga<br />
<strong>dan</strong> anak-anaknya merupakan suatu persoalan sulit. Harapannya agar peristiwa<br />
serupa tak terulang kembali <strong>dan</strong> harus <strong>di</strong>selesaikan agar bangsa<br />
ini bisa maju <strong>dan</strong> menatap ke depan. Bagi Alit, trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>dan</strong><br />
semua akibatnya adalah persoalan bangsa <strong>dan</strong> harus <strong>di</strong>buka. Ia menginginkan,<br />
“Generasi saya ke bawah itu semua sudah harus berani mengungkapkan<br />
dengan jujur, kecelakaan sejarah atau kesalahan siapa. Mari kita cari<br />
sama-sama.” 42<br />
Memang, ia tak mengelak bahwa dalam keluarga besarnya ada yang menja<strong>di</strong><br />
tameng <strong>dan</strong> juga menja<strong>di</strong> korban. Kedua keluarga juga ada yang anggota<br />
<strong>dan</strong> simpatisan PKI <strong>dan</strong> PNI. <strong>Trage<strong>di</strong></strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>dan</strong> semua akibatnya<br />
belum <strong>di</strong>bicarakan secara terbuka dalam keluarga besarnya. Pembunuhan<br />
terhadap ayahnya tetap menja<strong>di</strong> tanda tanya dalam <strong>di</strong>rinya. Ia tidak da-<br />
42 Wawancara dengan Agung Alit, 18 Agustus 2016.<br />
51
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
pat ber<strong>di</strong>am <strong>di</strong>ri atas pembunuhan ayahnya <strong>dan</strong> harus <strong>di</strong>ungkap, meskipun<br />
hal ini sulit karena menja<strong>di</strong> persoalan dalam keluarga besarnya. Dengan<br />
mengungkap kenapa ayahnya <strong>di</strong>bunuh justru akan menyembuhkan <strong>di</strong>rinya<br />
secara psikologis daripada terus menyembunyikan <strong>dan</strong> menyimpan persoalan<br />
tentang pembunuhan atas ayahnya.<br />
Dalam pergaulan sosialnya, Alit tanpa beban kerap bercerita <strong>dan</strong> mencoba<br />
mencari tahu jika bertemu dengan pelaku/tameng tentang pembunuhan <strong>di</strong><br />
<strong>Bali</strong> atau terhadap ayahnya. Ia banyak bertanya tentang ayahnya kepada<br />
pelaku atau siapa pun yang <strong>di</strong>a anggap dapat menjelaskan tentang ayahnya.<br />
Baginya, jawaban-jawaban itu juga untuk perbaikan <strong>dan</strong> pembelajaran<br />
bagi generasi berikutnya. Sebaliknya, keluarga tameng seringkali tidak seterbuka<br />
menceritakan tentang latar belakang orangtua mereka <strong>dan</strong> cenderung<br />
menutup <strong>di</strong>ri untuk berbicara tentang trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>. “Saya<br />
enggak ngerti kenapa itu harus <strong>di</strong>sembunyikan. Saya inginnya <strong>di</strong>bongkar<br />
saja, kan enak ja<strong>di</strong>nya, gamblang ja<strong>di</strong>nya. Bayangin itu <strong>di</strong> level keluarga kecil<br />
lho, masa sembunyi-sembunyi. Gawat itu ja<strong>di</strong>nya. Bohong dengan sejarah,<br />
ja<strong>di</strong> bohong seterusnya.” 43<br />
Pengalaman kelam Alit yang <strong>di</strong>tinggal ayahnya saat balita juga <strong>di</strong>alami oleh<br />
Agus (lahir 1961). Ayahnya salah satu aktivis PKI <strong>di</strong> Comite Daerah Besar<br />
<strong>di</strong>bunuh saat Agus berusia 4 tahun. Rumahnya <strong>di</strong> Mengwi <strong>di</strong>bakar oleh para<br />
pelaku. Ia terus bertanya kenapa ayahnya <strong>di</strong>bunuh <strong>dan</strong> apa kesalahannya.<br />
Padahal ayahnya <strong>di</strong>hormati oleh masyarakat, sosok yang baik, <strong>dan</strong> membantu<br />
banyak orang. Begitu pula dengan ibunya yang seorang bi<strong>dan</strong> <strong>dan</strong><br />
membantu merawat banyak orang.<br />
Peristiwa <strong>1965</strong> memberi dampak pada kehidupan Agus sebagai anak korban.<br />
Ia harus menyembunyikan <strong>dan</strong> mengabaikan siapa orangtuanya <strong>dan</strong><br />
menerima ejekan atau perlakuan buruk saat sekolah. Ibunya mengalami<br />
trauma <strong>dan</strong> menolak bercerita tentang suaminya kepada anak-anaknya.<br />
Agus harus menjalani seluruh pengalaman buruk dalam keluarganya itu<br />
selama bertahun-tahun. Kakaknya hingga kini belum bisa memaafkan <strong>dan</strong><br />
melupakan pembunuhan atas ayahnya <strong>dan</strong> perlakuan kejam terhadap keluarganya.<br />
Agus sen<strong>di</strong>ri berusaha untuk “berdamai” dengan sejarah, menatap<br />
ke depan tanpa melupakan peristiwa buruk yang <strong>di</strong>alami keluarganya <strong>dan</strong><br />
43 Wawancara dengan Agung Alit, 18 Agustus 2016.<br />
52
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
berharap ada penyelesaian atas trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>. Bagi Agus, trage<strong>di</strong><br />
itu <strong>dan</strong> apa yang terja<strong>di</strong> sesudahnya harus <strong>di</strong>ungkapkan. Mengakui apa pun<br />
yang telah <strong>di</strong>lakukan atas korban <strong>dan</strong> keluarganya. Menurut Agus, menja<strong>di</strong><br />
bangsa yang besar bukan harus ketakutan untuk menyatakan permintaan<br />
maaf kepada pihak korban. 44<br />
<strong>Trage<strong>di</strong></strong> nasional <strong>1965</strong> dengan segala dampaknya memang mengarah ke<br />
mana-mana hanya dengan tuduhan atau kecurigaan yang belum tentu benar,<br />
atau hanya karena yang bersangkutam mempunyai hubungan dengan<br />
orang yang <strong>di</strong>tuduh/<strong>di</strong>curigai sebagai anggota PKI atau <strong>di</strong>anggap komunis.<br />
Itu pula yang <strong>di</strong>alami Jro, kini usianya sekitar 70an tahun, istri dari Made<br />
Raka yang berprofesi sebagai guru. Sebagai anggota PGRI Nonvakcentral,<br />
ia <strong>di</strong>pecat dari tempatnya mengajar sebagai guru. Para tetangganya memberi<br />
cap sebagai PKI. Jro sen<strong>di</strong>ri tidak pernah merespons semua perlakuan<br />
negatif <strong>dan</strong> ejekan atas <strong>di</strong>rinya. Sebagai istri dari suami yang <strong>di</strong>tahan <strong>dan</strong><br />
kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>bunuh, Jro terus mencari kejelasan tentang nasib suaminya<br />
ke kantor kepolisian. Ia juga tak menyimpan dendam atas pembunuhan<br />
suaminya. Menurutnya, kalau mau dendam, itu akan menyusahkan <strong>di</strong>ri<br />
sen<strong>di</strong>ri, membuat <strong>di</strong>rinya sakit hati. Jro seolah tak mempunyai beban sejarah<br />
masa lalu <strong>dan</strong> menerima semua perlakuan yang terja<strong>di</strong> atas <strong>di</strong>rinya <strong>dan</strong><br />
juga pembunuhan terhadap suaminya. Bagi Jro, semua itu seolah sudah <strong>di</strong>gariskan<br />
atau memang sudah seharusnya begitu.<br />
Meskipun pasrah/menerima atas apa yang terja<strong>di</strong> pada <strong>di</strong>rinya, Jro sesungguhnya<br />
mengetahui para pelaku yang membawa suaminya, <strong>dan</strong> ia tidak i-<br />
ngin membahasnya. Menurutnya, yang sudah lewat ya sudahlah. Sikapnya<br />
yang tegar <strong>dan</strong> mencoba berdamai dengan <strong>di</strong>rinya itu juga <strong>di</strong>perlihatkan<br />
saat membahas tentang perkembangan penyelesaian trage<strong>di</strong> nasional<br />
<strong>1965</strong>. Ia tetap menjalani kehidupannya tanpa suami <strong>di</strong> sisinya <strong>dan</strong> pemecatan<br />
atas <strong>di</strong>rinya sebagai guru pasca trage<strong>di</strong> dengan berdagang kapuk. Ia<br />
tidak mau bergantung pada orang lain atau menerima belas kasihan dari<br />
orang lain atas apa yang terja<strong>di</strong> pada <strong>di</strong>rinya <strong>dan</strong> juga keluarganya. 45<br />
Selain guru yang tergabung dalam PGRI Nonvakcentral, korban lain ada-<br />
44 Wawancara dengan Agus, 18 Agustus 2016.<br />
45 Wawancara dengan Jro, 17 Agustus 2016.<br />
53
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
lah mahasiswa yang tergabung dalam CGMI seperti Rentang, kini usianya<br />
75 tahun. 46 Ia adalah korban trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> dari kalangan mahasiswa.<br />
Setelah <strong>di</strong>tangkap, ia lalu <strong>di</strong>buang ke Pulau Buru. Latar pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />
<strong>dan</strong> aktivitasnya berorganisasi sebelum <strong>di</strong>tangkap turut mempengaruhi<br />
jalan hidup <strong>dan</strong> profesi yang <strong>di</strong>tekuninya kemu<strong>di</strong>an setelah pembebasan<br />
dari kamp pembuangan Pulau Buru. Di dalam keluarganya, Rentang<br />
menja<strong>di</strong> tumpuan keluarganya dengan menampung a<strong>di</strong>k-a<strong>di</strong>k –juga para<br />
keponakannya-- karena mertua/orangtuanya meninggal dunia. Rentang<br />
termasuk korban yang secara sosial <strong>di</strong>terima oleh lingkungan tempatnya<br />
tinggal, bahkan menja<strong>di</strong> tokoh masyarakat setempat. Ia tidak mengalami<br />
kesulitan apa pun dalam beradaptasi <strong>dan</strong> bergaul dengan masyarakat <strong>di</strong> sekitar<br />
tempat tinggalnya.<br />
Gambaran tentang anggota PKI yang kejam sama sekali tidak tercermin<br />
dengan perilaku atau tindakan Rentang dalam pergaulan sosial dengan<br />
masyarakat <strong>di</strong> sekitarnya. Ia tetap bekerja sebagai petani <strong>dan</strong> melakukan<br />
aktivitas secara normal seperti warga lainnya, <strong>dan</strong> menyumbangkan pengalaman<br />
serta pengetahuan yang <strong>di</strong>milikinya buat kebaikan masyarakat.<br />
Pengalamannya sebelum trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> seolah tak pernah hilang<br />
dalam ingatannya. Bekerja untuk rakyat <strong>dan</strong> menyejahterakan rakyat kerap<br />
berulang kali <strong>di</strong>ceritakannya dalam perbincangan dengan siapa pun.<br />
Berbekal pengalaman, pengetahuan, <strong>dan</strong> kepercayaan dari masyarakat,<br />
Rentang <strong>di</strong>pilih sebagai koor<strong>di</strong>nator pertanian <strong>dan</strong> pengairan subak <strong>di</strong><br />
sekitar tempat tinggalnya <strong>di</strong> Desa Guang, Gianyar. Saat pemilihan, hanya<br />
segelintir petani anggota subak yang datang. Dalam organisasi pertanian<br />
itu, ia membawahi 500 petani. Pengangkatannya bukan tanpa masalah <strong>dan</strong><br />
itu justru datang dari aparat Koramil, yang menginginkan Rentang agar<br />
tidak mempengaruhi penduduk. Aparat militer itu mengancamnya dengan<br />
mengatakan, “Jangan sampai bapak ini mengajak-ngajak rakyat seperti ‘65<br />
lagi.” Pengawasan oleh militer dalam berbagai cara terhadap para korban<br />
trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> yang telah bebas juga <strong>di</strong>alami oleh Santa (lahir 1945).<br />
Sebagaimana Rentang menghadapi militer yang menemuinya, Santa pun<br />
tetap menemui aparat yang datang ke rumahnya <strong>dan</strong> menanyakan alasan<br />
mereka datang ke rumahnya. Walaupun pengawasan terhadap korban <strong>di</strong><br />
46 Wawancara dengan Rentang, 17 Agustus 2016.<br />
54
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
<strong>Bali</strong> tetap <strong>di</strong>lakukan, korban menghadapinya secara baik-baik. 47<br />
Sebelum Rentang terpilih sebagai koor<strong>di</strong>nator, subak tak berjalan dengan<br />
baik. Pengurus lama tidak bekerja dengan baik untuk kesejahteraan petani<br />
anggotanya. Kesempatan bekerja untuk rakyat/petani <strong>di</strong>lakukan Rentang<br />
dengan maksimal <strong>dan</strong> penuh pengab<strong>di</strong>an. Warga juga tidak mempermasalahkan<br />
tentang statusnya sebagai eks tapol Pulau Buru.<br />
Setelah terpilih sebagai koor<strong>di</strong>nator, Rentang membuktikan bahwa masyarakat<br />
bisa sejahtera, panen meningkat, <strong>dan</strong> pasokan air ke sawah berjalan<br />
lancar. Sebelum kepemimpinan Rentang, air sulit mengalir ke sawah-sawah<br />
<strong>dan</strong> harus <strong>di</strong>tunggu hingga malam untuk mendapatkan air. Air jugalah<br />
yang memicu ketegangan antarpetani <strong>di</strong> desa. Warga kemu<strong>di</strong>an bersepakat<br />
membayar iuran untuk pengairan setelah panen asalkan mereka tidak bega<strong>dan</strong>g<br />
hanya untuk mendapatkan air. Rentang memimpin <strong>dan</strong> mengelola<br />
subak berbekal pengalaman <strong>dan</strong> pengetahuan yang <strong>di</strong>perolehnya selama<br />
masa pembuangannya <strong>di</strong> Pulau Buru. Ia belajar secara oto<strong>di</strong>dak dalam hal<br />
pertanian bersama kawan-kawan tapol <strong>di</strong> pulau tersebut. Pengalaman bertani<br />
<strong>di</strong> kamp pembuangan itulah yang membawanya mampu memimpin<br />
subak.<br />
Bagi Rentang, mengab<strong>di</strong> kepada masyarakat adalah tugas utama. Di subak,<br />
ia mengurus air yang merupakan kunci dalam pertanian. Ia juga berupaya<br />
membuat panen sukses <strong>dan</strong> hasilnya meningkat. Ia juga memeriksa bendungan<br />
secara rutin saat pagi hari. Selain itu, ia juga mengurus keuangan<br />
subak. Prinsip kerjanya adalah jujur dalam bekerja mengurus rakyat. Jika<br />
jujur maka rakyat pun akan lain sikapnya. Dicinta tapi <strong>di</strong>benci, <strong>di</strong>biarkan<br />
berkembang biak tapi kalau <strong>di</strong>tekan membaja, jangan luntur karena waktu.<br />
Itulah prinsip hidupnya <strong>dan</strong> pelajaran berharga dari masa lalunya. Bekerja<br />
untuk <strong>dan</strong> mengurus rakyat bukan hal mudah baginya sebagai eks tapol<br />
Pulau Buru, apalagi rezim Soeharto masih berkuasa waktu itu. Pengawasan<br />
<strong>dan</strong> pembatasan aktivitas terhadap eks tapol ketat <strong>di</strong>lakukan saat Soeharto<br />
berkuasa.<br />
Semua kendala atau pembatasan itu ia tunjukkan dengan bekerja secara<br />
jujur, serius, <strong>dan</strong> penuh pengab<strong>di</strong>an kepada rakyat. Masa kerjanya <strong>di</strong> te-<br />
47 Wawancara dengan Santa, 16 Agustus 2016.<br />
55
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
ngah <strong>dan</strong> bersama rakyat dalam organisasi subak bukan tergolong singkat<br />
bagi seorang eks tapol. Ia mulai bekerja <strong>di</strong> lingkungan petani sejak 1980-an<br />
hingga 2017, tak lama setelah pembebasannya dari Pulau Buru berakhir.<br />
Semua itu <strong>di</strong>lakukannya dengan ikhlas. Prinsip hidupnya adalah “<strong>di</strong> mana<br />
kita hidup itu memang harus mengab<strong>di</strong> benar-benar.” Sebagai eks tapol, ia<br />
tetap menjalin kontak dengan kawan-kawannya sesama eks tapol semasa<br />
menja<strong>di</strong> petani <strong>di</strong> Pulau Buru. Mereka saling belajar <strong>dan</strong> tukar pengalaman<br />
tentang bagaimana hidup <strong>di</strong> desa, mengab<strong>di</strong> kepada masyarakat, bekerja<br />
dengan bersih <strong>dan</strong> jujur dalam administrasi keuangan. Sebagai eks tapol<br />
<strong>dan</strong> mengalami dua era yaitu Orde Lama <strong>dan</strong> Orde Baru, baginya rekonsiliasi<br />
masih jauh <strong>dan</strong> sebatas harapan. Menurut Rentang, selama tidak kuat<br />
<strong>dan</strong> berkuasa maka sulit ada perubahan. 48<br />
Secara ekonomis, Rentang <strong>dan</strong> keluarganya hidup lebih baik <strong>dan</strong> bahkan<br />
mampu menampung beberapa keponakannya yang sekolah <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> saat ini.<br />
Ia meyakini bahwa hukum sebab-akibat karma phala tetap berjalan <strong>dan</strong><br />
tidak bisa <strong>di</strong>tolak, keyakinannya ini <strong>di</strong>ungkapkan jika ia melihat kehidupan<br />
pelaku/tameng. Meskipun pelaku/tameng jauh dari jangkauan hukum atau<br />
tetap aman saja, kehidupannya secara ekonomis tidak sebaik korban. Bahkan,<br />
ada korban yang membantu semampu yang <strong>di</strong>a berikan kepada tameng<br />
yang <strong>di</strong>a ketahui pernah menyakitinya. 49<br />
Rentang seperti halnya Agung Alit juga tidak merahasiakan keja<strong>di</strong>an menyakitkan<br />
yang menimpa keluarganya kepada anak-anaknya. Tidak ada<br />
yang <strong>di</strong>tutup-tutupi tentang pengalaman buruk yang membawanya hingga<br />
ke kamp pembuangan Pulau Buru. Keterbukaan dalam keluarga ini menja<strong>di</strong><br />
bagian dari penyembuhan <strong>di</strong>ri terhadap peristiwa kelam <strong>di</strong> masa lalu.<br />
Memang, tidak semua korban mampu melakukan hal yang sama kepada<br />
keluarganya. Istri Rentang, Rumini, kini usianya sekitar 70an tahun, juga<br />
aktif dalam berorganisasi <strong>di</strong> tingkat desa mulai dari kegiatan PKK, Posyandu,<br />
<strong>dan</strong> perayaan-perayaan adat <strong>di</strong> lingkungan banjar atau desanya. Ia <strong>di</strong>terima<br />
<strong>dan</strong> <strong>di</strong>sambut secara baik oleh warga tempatnya tinggal. Sama sekali<br />
tidak terlihat ada penolakan atau masalah pada <strong>di</strong>rinya sebagai istri seo-<br />
48 Wawancara dengan Rentang, 17 Agustus 2016.<br />
49 Wawancara dengan Natar, 15 Agustus 2016.<br />
56
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
rang eks tapol. 50<br />
Dalam bekerja <strong>dan</strong> mengab<strong>di</strong> kepada masyarakat, Rentang menerapkan<br />
apa yang terbaik yang <strong>di</strong>a peroleh dari pengalaman masa lalunya. Mengenal<br />
<strong>dan</strong> mengubah selalu menja<strong>di</strong> panduannya dalam mengab<strong>di</strong> kepada<br />
masyarakat. Baginya, hidup <strong>di</strong> mana-mana harus mengab<strong>di</strong>, jangan menghitung<br />
hasil. Hitunglah pengab<strong>di</strong>an. Dalam pan<strong>dan</strong>gan Rentang, “Bekerjalah<br />
tanpa mengharapkan hasil. Kalau bekerja itu baik hasilnya pasti baik.” 51<br />
Prinsip-prinsip dari pengalaman hidupnya <strong>di</strong> masa lalu inilah yang membimbingnya<br />
tetap mengab<strong>di</strong> <strong>dan</strong> berupaya mengubah masyarakat –melalui<br />
subak– menja<strong>di</strong> lebih baik.<br />
Meskipun trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> merampas sebagian masa produktif<br />
Rentang, ia tidak mempunyai dendam apa pun <strong>dan</strong> pengalaman kelam<br />
hidupnya ini justru menja<strong>di</strong> bahan evaluasi. Bagi Rentang, pengalaman<br />
hidup sebelum trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> tampaknya nikmat, <strong>di</strong> atas angin, <strong>dan</strong><br />
sepertinya PKI sudah menang pada waktu itu. Tetapi hidup setelah peristiwa<br />
itu justru menyusahkan <strong>di</strong>ri <strong>dan</strong> keluarganya <strong>dan</strong> baginya inilah hidup<br />
yang sesungguhnya.<br />
Pengalamannya <strong>di</strong> masa lalu <strong>dan</strong> sebagai eks tapol Pulau Buru menjalani<br />
hidup pasca trage<strong>di</strong> itu menja<strong>di</strong>kan <strong>di</strong>rinya lebih arif <strong>dan</strong> tegar. Menurutnya,<br />
“Hidup tegar dalam keadaan susah, ini yang sulit mencarinya. Hidup<br />
tegar dalam keadaan senang, biasa kan. Bukan penderitaan menyebabkan<br />
kita cerai-berai kan, malah justru harus semakin bersatu, makin kuat. Itu<br />
antara lain juga menyebabkan kita sehat sampai tua.” 52 Sederhana sesungguhnya<br />
pilihan-pilihan prinsip hidup Rentang tapi justru penuh makna jika<br />
membaca perjalanan seluruh hidupnya. Optimisme sangat jelas tergambar<br />
dalam wajahnya saat menuturkan seluruh pengalaman hidupnya, <strong>dan</strong><br />
bagaimana masyarakat menerima <strong>dan</strong> memberi kesempatan kepada <strong>di</strong>a sebagai<br />
eks tapol untuk berbakti <strong>dan</strong> mengab<strong>di</strong> buat masyarakat luas melalui<br />
subak. Suatu penerimaan yang mungkin sulit <strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> kota-kota lain<br />
50 Wawancara dengan Rumini, 29 Maret 2017.<br />
51 Wawancara dengan Rentang, 17 Agustus 2016.<br />
52 Wawancara dengan Rentang, 17 Agustus 2016.<br />
57
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
yang masih menganggap eks tapol hanya sebagai warga yang terus-menerus<br />
<strong>di</strong>curigai segala aktivitasnya <strong>dan</strong> menja<strong>di</strong>kannya sebagai manusia tak<br />
berguna dari hari ke hari, tanpa pernah mau melihat <strong>dan</strong> belajar tentang<br />
potensi/kemampuan yang <strong>di</strong>miliki eks tapol.<br />
Dendam, trauma, <strong>dan</strong> bayang-bayang ketakutan dalam <strong>di</strong>ri korban <strong>dan</strong> keluarganya<br />
atas trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> tidak setiap orang bisa melewatinya<br />
dengan mudah <strong>dan</strong> tanpa beban. Salah satunya <strong>di</strong>alami Yanto <strong>dan</strong> istrinya,<br />
kini keduanya masing-masing berusia sekitar 70an tahun, yang bertahun-tahun<br />
harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari pengejaran<br />
<strong>dan</strong> penangkapan aparat. Yanto berlatang belakang militer <strong>dan</strong> hidupnya<br />
yang selalu berpindah-pindah ini karena pengalamannya ber<strong>di</strong>nas <strong>di</strong> intelijen.<br />
Setidaknya ia tahu persis bagaimana seseorang harus menyelamatkan<br />
<strong>di</strong>ri dalam suatu kon<strong>di</strong>si terdesak <strong>dan</strong> sulit atau saat menja<strong>di</strong> buronan.<br />
Pengalamannya <strong>di</strong> bi<strong>dan</strong>g kemiliteran yang mengajarkan Yanto harus selalu<br />
waspada <strong>dan</strong> mencari cara untuk meloloskan <strong>di</strong>ri dari penangkapan<br />
atau pengejaran militer. Ia memang hidup aman <strong>dan</strong> lolos dari penangkapan<br />
saat gencarnya penangkapan <strong>di</strong> berbagai kota. Nasibnya mungkin akan<br />
sama dengan korban trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> lain jika ia tertangkap saat gelombang<br />
penangkapan <strong>dan</strong> pembunuhan terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> berbagai kota. Ia menyadari<br />
bahwa nyawanya terancam pasca trage<strong>di</strong>.<br />
Selama bertahun-tahun ia bertahan <strong>dan</strong> hidup dari satu tempat ke tempat<br />
lain, juga dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, serabutan bahkan menja<strong>di</strong><br />
kuli bangunan, untuk membiayai hidupnya, tetapi selalu aman <strong>dan</strong> tak<br />
pernah <strong>di</strong>tangkap. Satu waktu <strong>di</strong> Tulungagung ia pernah <strong>di</strong>interogasi pihak<br />
kepolisian <strong>dan</strong> tak kembali lagi saat interogasi berikutnya. Berbagai cara<br />
ia lakukan untuk bebas dari penangkapan, termasuk meminta bantuan kawan.<br />
Perusahaan menja<strong>di</strong> tempat pekerjaan yang aman baginya daripada<br />
bekerja <strong>di</strong> kantor pemerintah yang harus mensyaratkan surat bersih lingkungan<br />
atau surat bebas dari G-30-S.<br />
Hidup sebagai orang pelarian <strong>dan</strong> berpindah-pindah <strong>di</strong>jalaninya sejak 1967.<br />
Tak mudah memang bagi Yanto membangun kehidupan secara normal <strong>dan</strong><br />
tenang, justru <strong>di</strong> waktu <strong>di</strong>rinya <strong>dan</strong> keluarganya hidup <strong>di</strong>bayangi ketakutan<br />
<strong>dan</strong> dalam masa pelarian. Namun, ia bisa melewati semua itu <strong>dan</strong> selamat<br />
dari pembantaian, sekaligus hidup normal seperti sebagian korban trage<strong>di</strong><br />
58
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
nasional <strong>1965</strong> lainnya. Kini hidupnya lebih tenang, secara ekonomis juga<br />
tidak kekurangan, meski kewaspadaan belum lenyap <strong>dan</strong> tak bisa <strong>di</strong>lepaskan<br />
begitu saja dari <strong>di</strong>rinya jika menyangkut hubungan sosial terutama dengan<br />
orang-orang yang tidak <strong>di</strong>kenalnya. Anak-anaknya juga tidak menemui<br />
kesulitan apa pun, bahkan karier mereka tergolong bagus.<br />
Pengalaman hidup Yanto menunjukkan bahwa kebebasan yang kini<br />
<strong>di</strong>nikmati oleh para korban, sesungguhnya tidak sepenuhnya bebas dalam<br />
arti sesungguhnya. Ketakutan atau kecemasan bahwa suatu saat akan<br />
mengalami nasib yang sama seperti tapol-tapol lainnya masih membayangi<br />
hidup Yanto yang kini kian sepuh. Latar belakang kemiliteran <strong>dan</strong> pengalaman<br />
hidupnya sebagai “pelarian” memberi pelajaran berharga kepa<strong>dan</strong>ya<br />
tentang hidup sebagai orang yang merasa <strong>di</strong>tuduh terlibat dalam trage<strong>di</strong><br />
nasional <strong>1965</strong>.<br />
Jika Yanto bertahun-tahun hidup <strong>di</strong>bayangi ketakutan <strong>dan</strong> kecemasan serta<br />
berpindah-pindah, lain halnya dengan Natar (lahir 1943). Ia justru <strong>di</strong>larang<br />
Ko<strong>di</strong>m keluar dari desanya, meski sudah bebas pada 1977. Mulailah<br />
babak baru kehidupannya sebagai bekas aktivis Lekra yang mendekam<br />
dalam penjara pasca peristiwa <strong>1965</strong> yakni merintis pekerjaan sebagai peternak<br />
babi <strong>dan</strong> ayam. Pengetahuan tentang peternakan <strong>di</strong>perolehnya<br />
saat dalam tahanan melalui penyuluhan yang <strong>di</strong>berikan oleh Dinas Peternakan.<br />
Sebagai peternak, Natar tergolong sukses untuk ukuran desanya<br />
karena mampu menambah ternaknya dari waktu ke waktu, juga mempunyai<br />
jaringan bisnis yang luas. Peternakan babinya kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>serahkan<br />
pengelolaannya kepada istrinya, se<strong>dan</strong>gkan ia mulai beralih profesi <strong>dan</strong><br />
belajar tentang seluk-beluk pertukangan. Profesi baru sebagai tukang justru<br />
memberi jalan baginya untuk menja<strong>di</strong> pemborong <strong>dan</strong> makin maju. Ia<br />
<strong>dan</strong> timnya membangun banyak bangunan <strong>di</strong> sekitar <strong>Bali</strong>. Semua itu berjalan<br />
dengan usaha <strong>dan</strong> ketekunannya. Kini, Natar berkat ketekunan, jerih<br />
payah, <strong>dan</strong> kepiawaiannya berbisnis bahan-bahan bangunan, ia memiliki<br />
toko material yang cukup besar <strong>dan</strong> maju dengan para pekerja yang sigap<br />
membantu usahanya.<br />
Warga <strong>di</strong> sekitar rumah Natar tak mempersoalkan masa lalunya sebagai eks<br />
tapol atau korban trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong>. Hubungannya dengan masyarakat<br />
sekelilingnya sangat baik. Sebagai pengusaha material, ia kerapkali mem-<br />
59
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
bantu banyak orang yang memang membutuhkan bantuannya baik material<br />
maupun nonmaterial. Ia juga men<strong>di</strong>rikan koperasi serba usaha untuk kesejahteraan<br />
para pekerjanya. Setiap tahun, hingga kini, sebagian hasil usahanya<br />
dalam berbisnis ia sisihkan kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>belikan babi untuk <strong>di</strong>potong<br />
<strong>dan</strong> <strong>di</strong>bagikan secara sama rata kepada para pekerjanya. Ia juga memfasilitasi<br />
kaum muda dengan seperangkat gamelan <strong>dan</strong> menye<strong>di</strong>akan halaman<br />
rumahnya untuk kaum muda berlatih kesenian <strong>Bali</strong>. Pengalaman Natar<br />
dalam aktivitas kebudayaan <strong>di</strong> masa lalu ikut berperan dalam menggugah<br />
<strong>dan</strong> memajukan kesenian <strong>Bali</strong> serta memompa semangat kaum muda untuk<br />
serius menekuni kesenian. Natar berupaya mengarahkan kaum muda<br />
<strong>di</strong> desanya untuk melakukan aktivitas yang bersifat positif seperti berlatih<br />
gamelan <strong>dan</strong> tari <strong>Bali</strong>. 53<br />
Di tingkat desa, pada pertengahan 1990-an, Natar juga <strong>di</strong>pilih oleh warga<br />
desanya untuk duduk dalam Saba Desa. Saba Desa bertugas mencari jalan<br />
dalam persoalan desa yang sesuai dengan adat <strong>Bali</strong>. Misalnya, Saba Desa<br />
mencari jalan agar biaya untuk upacara ngaben menja<strong>di</strong> murah bagi anggota<br />
keluarga yang meninggal, tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar<br />
ataupun menjual harta benda miliknya seperti sawah, ternak <strong>dan</strong> lain-lain.<br />
Natar <strong>dan</strong> pengurus Saba Desa kemu<strong>di</strong>an menemukan suatu cara melakukan<br />
upacara itu melalui ngaben massal, yang dari segi biaya jauh lebih murah<br />
<strong>dan</strong> terjangkau oleh keluarga yang meninggal. Kepemimpinan Natar<br />
dalam Saba Desa berlangsung selama dua periode. Ia kemu<strong>di</strong>an mengundurkan<br />
<strong>di</strong>ri dari jabatannya untuk konsentrasi mengurus pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan cucu-cucunya.<br />
54<br />
Terpilihnya Natar dalam organisasi desa tersebut bukan tanpa kritik <strong>dan</strong><br />
kecaman. Ihwal Natar sebagai anggota PKI muncul saat warga akan menentukan<br />
kepengurusan Saba Desa, se<strong>dan</strong>gkan sebagian warga lainnya justru<br />
tidak mempersoalkan hal itu <strong>dan</strong> mereka lebih melihat sisi kepemimpinan<br />
Natar dalam pengab<strong>di</strong>annya terhadap masyarakat <strong>dan</strong> desanya. Sebagai<br />
korban, ia tidak menaruh dendam terhadap pelaku. Ia kerapkali membantu<br />
kesulitan pelaku/tameng yang datang menemuinya <strong>dan</strong> membutuhkan<br />
bantuannya saat membangun/memperbaiki rumahnya, terutama kebu-<br />
53 Wawancara Natar, 26 Maret 2017.<br />
54 Wawancara Natar, 15 Agustus 2016.<br />
60
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
tuhan bahan bangunan dari toko materialnya. Natar pun dengan sukarela<br />
segera mengirimkan bahan bangunan yang <strong>di</strong>butuhkan kepada pelaku itu.<br />
Sebagai eks tapol, dengan seluruh pengab<strong>di</strong>an terhadap masyarakat <strong>dan</strong><br />
desanya, Natar menunjukkan pengalaman <strong>dan</strong> pengetahuan yang <strong>di</strong>milikinya<br />
tentang bagaimana membangun atau meningkatkan kualitas kehidupan<br />
masyarakat <strong>di</strong> desanya. Ia tak pernah “menghitung” semua pengeluarannya<br />
untuk membantu orang lain yang membutuhkan bantuan atau<br />
uluran tangannya, meskipun yang memintanya adalah tameng yang pernah<br />
menyiksa <strong>di</strong>rinya atau kawan-kawan tapol lainnya.<br />
Penerimaan <strong>dan</strong> keterbukaan masyarakat atas <strong>di</strong>rinya menja<strong>di</strong> modal Natar<br />
untuk mengab<strong>di</strong> <strong>dan</strong> melakukan hal-hal terbaik buat kemajuan desanya,<br />
termasuk membina generasi muda <strong>di</strong> bi<strong>dan</strong>g kebudayaan atau kesenian<br />
<strong>Bali</strong>. Ia kerahkan semua kemampuan <strong>dan</strong> energinya untuk memajukan desanya<br />
<strong>dan</strong> meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sekitar tempat<br />
tinggalnya. Itu pula yang menja<strong>di</strong> cita-cita para korban seperti <strong>di</strong>uraikan<br />
<strong>di</strong> atas yang terbebas dari trage<strong>di</strong> nasional <strong>1965</strong> <strong>dan</strong> masih hidup hingga<br />
kini tentang Indonesia yang maju, sejahtera, <strong>di</strong>hargai, <strong>dan</strong> berkebudayaan.<br />
Penutup<br />
<strong>Trage<strong>di</strong></strong> nasional <strong>1965</strong> dengan segala sebab-akibatnya seperti <strong>di</strong>uraikan <strong>di</strong><br />
atas telah merusak jalinan hubungan sosial antarwarga <strong>dan</strong> antarkeluarga<br />
hingga ke tingkat paling bawah, keluarga atau masyarakat luas. Pemulihan<br />
yang <strong>di</strong>coba <strong>dan</strong> terus <strong>di</strong>lakukan oleh para korban atau penyintas dalam<br />
lingkup tempat tinggal atau keluarganya bukanlah sesuatu yang mudah<br />
<strong>di</strong>lakukan. Kendala <strong>dan</strong> tentangan dari masyarakat atau keluarga sen<strong>di</strong>ri<br />
kerapkali masih terja<strong>di</strong>. Tetapi, hidup harus berjalan terus <strong>dan</strong> para penyintas<br />
menghadapi semua itu tanpa dendam. Penyintas berbekal pengalaman<br />
<strong>dan</strong> pengetahuannya <strong>di</strong> masa lalu ataupun saat berada dalam masa<br />
tahanan, berupaya untuk melakukan hal-hal terbaik untuk memajukan<br />
masyarakat <strong>dan</strong> meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Sekecil apa pun<br />
tindakan para penyintas, seperti menghidupkan kesenian <strong>Bali</strong> <strong>di</strong> sekitar<br />
tempat tinggalnya, mengorganisir petani dalam subak, membantu kaum<br />
perempuan dalam kegiatan-kegiatan PKK, atau membangun ruang <strong>di</strong>alog<br />
melalui taman <strong>di</strong>skusi terus-menerus <strong>di</strong>lakukan tanpa kenal lelah, meski<br />
61
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
harus mengorbankan banyak hal.<br />
Semua capaian itu harus <strong>di</strong>lihat pula sebagai kontribusi penyintas untuk<br />
merekat kembali sekat-sekat hubungan sosial yang <strong>di</strong>rusak, menjalin ulang<br />
hubungan sosial yang terputus, <strong>dan</strong> menghidupkan lagi kegotong-royongan<br />
<strong>di</strong> sekitar desanya. Memang, bukan hal mudah bagi korban trage<strong>di</strong><br />
nasional <strong>1965</strong> untuk mewujudkan semua itu <strong>di</strong> tengah kritik bahkan ejekan<br />
sekalipun tentang masa lalu mereka yang terus <strong>di</strong>persoalkan, <strong>dan</strong> justru<br />
bukan kemampuan mereka dalam bekerja dengan semua capaiannya <strong>di</strong> tengah<br />
masyarakat yang <strong>di</strong>lihat.<br />
Pengawasan oleh aparat terhadap aktivitas korban juga tidak sepenuhnya<br />
lenyap, kendati cara-cara yang <strong>di</strong>lakukan halus misalnya mengajaknya berbicara<br />
secara baik-baik atau ber<strong>di</strong>skusi. Di sisi lain, cara korban trage<strong>di</strong> nasional<br />
<strong>1965</strong> untuk menjelaskan apa yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> masa lalu secara terbuka<br />
juga terus <strong>di</strong>lakukan dengan harapan generasi berikutnya tidak mengalami<br />
hal buruk seperti <strong>di</strong>alami oleh orangtua mereka atau keluarga mereka yang<br />
mengalami penyiksaan, pemenjaraan <strong>dan</strong> bahkan pembunuhan.<br />
Jika para korban atau penyintas <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> telah melakukan berbagai hal untuk<br />
memperpendek jarak keterputusan mereka dalam membangun hubungan<br />
sosial yang <strong>di</strong>rusak, negara justru terus berwacana untuk menyelesaikan<br />
persoalan masa lalu itu tanpa ada upaya serius tindakan nyata terhadap<br />
para korban. Keha<strong>di</strong>ran <strong>dan</strong> peran aktif negara <strong>di</strong>perlukan untuk merekat<br />
kembali hubungan sosial yang <strong>di</strong>rusak dalam bentuk mendukung tindakan<br />
<strong>dan</strong> langkah korban dalam memajukan kebudayaan, menyejahterakan masyarakat<br />
lewat berbagai aktivitas <strong>di</strong> tingkat desa, menjamin <strong>dan</strong> memastikan<br />
jaminan kesehatan penyintas tercukupi <strong>dan</strong> <strong>di</strong>layani secara baik, menjamin<br />
rasa aman penyintas, melindungi keselamatan terhadap siapa pun<br />
yang bekerja untuk <strong>dan</strong> bersama penyintas dari segala bentuk gangguan,<br />
ancaman, <strong>dan</strong> kekerasan, membuka ruang <strong>di</strong>alog secara terbuka antargenerasi<br />
tentang persoalan masa lalu sekaligus sebagai klarifikasi sejarah.<br />
Negara juga <strong>di</strong>harapkan tak lagi menja<strong>di</strong>kan korban atau penyintas <strong>dan</strong><br />
keluarganya terus-menerus berada dalam pengawasan <strong>dan</strong> menja<strong>di</strong>kannya<br />
sebagai pihak yang selalu <strong>di</strong>persalahkan, harus <strong>di</strong>catat atau <strong>di</strong>rekam<br />
seluruh aktivitasnya seolah seperti menempatkan korban atau penyintas<br />
dalam suatu “rumah kaca”.***<br />
62
<strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong> Penyintas <strong>di</strong> <strong>Pati</strong><br />
Pendahuluan<br />
Rinto Tri Hasworo<br />
Kabupaten <strong>Pati</strong> merupakan salah satu dari 35 daerah kabupaten/kota <strong>di</strong><br />
Jawa Tengah yang terletak <strong>di</strong> pantai utara bagian timur dengan luas wilayah<br />
150.368 ha yang ter<strong>di</strong>ri dari 58.448 ha lahan sawah <strong>dan</strong> 91.920 ha lahan bukan<br />
sawah. Sebelah utara <strong>Pati</strong> berbatasan dengan wilayah Kab. Jepara <strong>dan</strong><br />
Laut Jawa, Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kab. Kudus <strong>dan</strong> Kab.<br />
Jepara, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kab. Grobogan <strong>dan</strong><br />
Kab. Blora, <strong>dan</strong> <strong>di</strong> sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kab. Rembang<br />
<strong>dan</strong> Laut Jawa. 55<br />
Selain terkenal dengan bandeng prestonya, <strong>Pati</strong> adalah salah satu dari dua<br />
kabupaten penghasil buah Manggis terbesar <strong>di</strong> Jawa Tengah selain Cilacap.<br />
Berikut beberapa daerah <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> dengan berbagai potensi yang <strong>di</strong>milikinya: 56<br />
• Sentra buah jambu monyet, <strong>di</strong> Desa Margorejo<br />
• Sentra buah kelapa kopyor genjah (kelapa yang dagingnya<br />
terpisah dengan tempurung) <strong>di</strong> Jawa Tengah<br />
• Sentra buah manggis <strong>di</strong> Desa Gunungsari<br />
• Kerajinan kuningan, <strong>di</strong> Desa Juwana<br />
• Usaha susu sapi, <strong>di</strong> Desa Sukoharjo<br />
55 Kon<strong>di</strong>si Geografis <strong>Pati</strong>, 2 November 2015,<strong>di</strong>akses dari https://www.patikab.<br />
go.id/v2/id/kon<strong>di</strong>si-geografis/, pada tanggal 13 Juni 2017<br />
56 Potensi <strong>Pati</strong>. 2 November 2015, <strong>di</strong>akses dari https://www.patikab.go.id/v2/id/<br />
potensi-pati, pada tanggal 13 Juni 2017.
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
64<br />
• Industri garam, <strong>di</strong> Kecamatan Batangan<br />
• Industri gula, <strong>di</strong> Desa Trangkil<br />
• industri criping singkong aneka rasa<br />
• Sentra pengodol kapuk randu, <strong>di</strong> Desa Karaban, Kecamatan<br />
Gabus (produk kasur, bantal, guling dll).<br />
• Sentra pa<strong>di</strong> <strong>dan</strong> kacang hijau, <strong>di</strong> Desa Jambean Kidul,<br />
Margorejo<br />
• Perkebunan kopi, <strong>di</strong> Desa Jolong, Gembong<br />
• Industri tepung tapioka, <strong>di</strong> Desa Ngemplak, Margoyoso<br />
• Industri kain Batik Bakaran, <strong>di</strong> Desa Bakaran, Juwana<br />
• Industri batu bata, <strong>di</strong> Desa Trangkil<br />
• Industri terasi u<strong>dan</strong>g rebon, <strong>di</strong> Desa Juwana<br />
Potensi lain adalah kacang tanah <strong>dan</strong> pabrik pengolahan ikan. Untuk kacang<br />
tanah selama ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi<br />
pangan masyarakat <strong>dan</strong> industri lokal. Pasar domestik yang menggunakan<br />
kacang tanah sebagai bahan baku utama antara lain PT. Garuda food Putra<br />
Putri Jaya, PT. Dua Kelinci, <strong>dan</strong> beberapa perusahaan berskala kecil <strong>di</strong><br />
Kabupaten <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong> sekitarnya.57 Se<strong>dan</strong>gkan untuk industri perikanan,<br />
saat ini <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> telah <strong>di</strong>bangun <strong>dan</strong> <strong>di</strong>operasikan industri pengolahan ikan<br />
tangkap milik PT Dua Putra Utama Makmur Tbk. Pabrik pengolahan ini<br />
semula hanya berkapasitas penyimpanan 4.000 ton, namun saat ini kapasitas<br />
penyimpanannya meningkat menja<strong>di</strong> 25.000 ton. 58<br />
57 Potensi <strong>Pati</strong>. 12 Juli 2015, <strong>di</strong>akses dari http://bappeda.patikab.go.id/news-160-<br />
kon<strong>di</strong>si-<strong>dan</strong>-potensi-pati.html, pada tanggal 13 Juni 2017<br />
58 Di <strong>Pati</strong> Ada Pabrik Pengolahan Ikan Berkapasitas 25.000 ton, 10 Agustus 2016,<br />
<strong>di</strong>akses dari http://regional.kompas.com/read/2016/08/10/13435821/<strong>di</strong>.pati.ada.<br />
pabrik.pengolahan.ikan.berkapasitas.25.000.ton, pada tanggal 13 Juni 2017
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Letaknya yang “tidak enak”, berada <strong>di</strong>ujung timur pantai utara Jawa Tengah<br />
<strong>dan</strong> akses menuju <strong>Pati</strong> tidak semudah mengunjungi kota lain <strong>di</strong> Jawa<br />
Tengah seperti Purwokerto, Semarang, <strong>Solo</strong> apalagi Yogyakarta menyebabkan<br />
tidak banyak orang atau lembaga yang berminat untuk melakukan<br />
stu<strong>di</strong> atau program kegiatan yang berkaitan dengan Peristiwa 65 <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>.<br />
Dari Jakarta, jika menggunakan pesawat atau kereta api maka harus transit<br />
<strong>di</strong> Semarang untuk berganti dengan moda transportasi lain (taksi, bis, atau<br />
kendaraan priba<strong>di</strong>) dengan waktu tempuh sekitar 2 sampai 3 jam.<br />
Hal ini mungkin yang menja<strong>di</strong> salah satu faktor minimnya informasi mengenai<br />
hak asasi manusia <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>, padahal sama seperti Kabupaten lain <strong>di</strong><br />
Jawa Tengah, <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> juga terja<strong>di</strong> kejahatan terhadap kemanusiaan setelah<br />
Peristiwa 65. Banyaknya warga <strong>Pati</strong> yang menja<strong>di</strong> korban pada peristiwa<br />
kekerasan 65/66 tidak lepas dari keberadaan Partai Komunis Indonesia<br />
(PKI) yang begitu kuat <strong>di</strong> Kabupaten <strong>Pati</strong>.<br />
Pada era reformasi kehidupan para korban cukup <strong>di</strong>namis, kendati selama<br />
puluhan tahun mengalami represi. Mereka saling mencari satu sama lain<br />
untuk kemu<strong>di</strong>an berkumpul <strong>dan</strong> berorganisasi. Walaupun sangat <strong>di</strong>namis,<br />
korban <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> dapat <strong>di</strong>katakan seperti ‘berjalan sen<strong>di</strong>rian’. Organisasi korban<br />
hanya Yayasan Penelitian <strong>Korban</strong> Pembantaian (YPKP) 65. <strong>Pati</strong> “sunyi<br />
sepi” dari aktifitas LSM yang menjalankan program HAM atau pengungkapan<br />
kebenaran.<br />
Berangkat dari situasi itulah kami memilih <strong>Pati</strong> menja<strong>di</strong> salah satu lokasi<br />
riset dalam program ini. Hal lain yang menja<strong>di</strong> alasan memilih <strong>Pati</strong> adalah<br />
masih a<strong>dan</strong>ya intimidasi atau pengawasan yang begitu ketat oleh aparat<br />
kepolisian <strong>dan</strong> tentara terhadap sejumlah korban 65 <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>. Dengan menja<strong>di</strong>kan<br />
<strong>Pati</strong> sebagai salah satu lokasi riset, kiranya riset ini dapat memberikan<br />
kontribusi dalam penyebaran informasi yang berkaitan dengan <strong>Pati</strong>,<br />
utamanya mengenai realitas kehidupan para korban 65 <strong>Pati</strong>.<br />
Jika kita merunut ke belakang, pada akhir era 50an <strong>dan</strong> awal ‘60an Partai<br />
Komunis Indonesia (PKI) <strong>dan</strong> ormas-ormas yang berafiliasi dengannya merupakan<br />
organisasi yang sangat popular <strong>di</strong> Kabupaten <strong>Pati</strong>. Maka tak heran<br />
jika banyak anggota masyarakat – terutama mereka yang berasal dari lapisan<br />
masyarakat kelas bawah seperti kaum tani, buruh tani, buruh perke-<br />
65
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
bunan, buruh pabrik <strong>dan</strong> pemuda kampung–tertarik untuk bergabung atau<br />
sekedar terlibat dengan kegiatan partai. Kegiatan-kegiatan partai (yang<br />
sebagian besar <strong>di</strong>jalankan oleh ormas yang terafiliasi) <strong>di</strong>anggap dekat dengan<br />
kehidupan sehari-hari masyarakat.<br />
Aktifitas kesenian seperti bernyanyi, menari, ketoprak atau seni pertunjukan<br />
lainnya; kegiatan pertanian <strong>dan</strong> pemberantasan buta huruf merupakan<br />
sejumlah kegiatan organisasi yang begitu dekat dengan masyarakat,<br />
terutama masyarakat desa. Saat perayaan peringatan hari kemerdekaan<br />
atau hari besar lainnya, beragam pertunjukan seni <strong>dan</strong> budaya <strong>di</strong>gelar. Kemeriahan<br />
<strong>dan</strong> kegembiraan menyelimuti kehidupan masyarakat.<br />
Situasi berubah ketika berita penculikan <strong>dan</strong> pembunuhan jenderal beredar<br />
<strong>di</strong> tengah-tengah masyarakat <strong>Pati</strong>. Terlebih ketika <strong>di</strong>katakan PKI menja<strong>di</strong><br />
pelaku penculikan <strong>dan</strong> pembunuhan jenderal. Gerwani adalah organisasi<br />
pertama yang ‘<strong>di</strong>pukul’ melalui pemberitaan bahwa Gerwani terlibat dalam<br />
pembunuhan jenderal, menyilet tubuh, menyungkil mata <strong>dan</strong> memutilaasi<br />
kemaluan para jenderal sambil melakukan tari telanjang Harum Bunga.<br />
Pemberitaan-pemberitaan seputar penculikan <strong>dan</strong> pembunuhan jenderal<br />
melahirkan ketegangan <strong>di</strong> kalangan organisasi massa <strong>dan</strong> masyarakat<br />
pada umumnya. Akhirnya, sama dengan daerah-daerah lain yang menja<strong>di</strong><br />
daerah operasi penumpasan anggota <strong>dan</strong> simpatisan PKI, ketegangan yang<br />
ada <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>-pun kemu<strong>di</strong>an pecah manakala RPKAD memasuki wilayah <strong>Pati</strong>.<br />
Penangkapan <strong>dan</strong> penahanan sewenang-wenang terhadap siapapun yang<br />
<strong>di</strong>anggap sebagai anggota atau simpatisan PKI pun <strong>di</strong>mulai. 59<br />
Ormas-ormas yang secara ideologi <strong>dan</strong> politik berseberangan dengan PKI<br />
<strong>di</strong>libatkan demi efektifitas operasi penumpasan. Karena sifat operasi adalah<br />
‘penumpasan’, maka tidak se<strong>di</strong>kit operasi penangkapan berujung pada<br />
pembunuhan. Bahkan pembunuhan juga terja<strong>di</strong> terhadap mereka yang sudah<br />
berstatus tahanan politik (tapol) <strong>dan</strong> berada <strong>di</strong> kamp penahanan atau<br />
penjara. Dari data yang kami peroleh, setidaknya terdapat 7 (tujuh) titik<br />
tempat pembantaian yang berhasil <strong>di</strong>identifikasi oleh korban <strong>dan</strong> keluarga<br />
59 Rinto Tri Hasworo, Penangkapan <strong>dan</strong> Pembunuhan Setelah G-30-S, dalam Tahun<br />
yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman <strong>Korban</strong> 65: Jakarta, ISS, Elsam,<br />
TruK, 2004, hlm. 29<br />
66
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
korban. 60 Dari hasil investigasi tersebut menunjukkan bahwa lokasi tempat<br />
pembantaian umumnya adalah hutan atau perkebunan yang (saat ini) <strong>di</strong>kuasi<br />
oleh negara.<br />
Operasi penumpasan tidak hanya berdampak langsung terhadap yang <strong>di</strong>tangkap,<br />
namun juga terhadap anggota keluarga mereka. Seperti suami,<br />
isteri, orangtua, kakak ataupun a<strong>di</strong>k serta orang-orang terdekat lainnya<br />
yang mereka kasihi. Jika yang <strong>di</strong>tangkap adalah tulang punnggung keluarga,<br />
maka keluarga akan kehilangan sumber nafkah mereka. Mereka tidak<br />
hanya harus mampu bertahan hidup, namun juga harus menghidupi anggota<br />
keluarga mereka yang berada <strong>di</strong> kamp penahanan. Secara berkala<br />
ataupun tidak mereka harus mengirimi makanan untuk anggota keluarganya<br />
yang menja<strong>di</strong> tahanan politik (tapol). Sebab jatah makan bagi para<br />
tapol dari penjara bukan hanya minim dari segi jumlah <strong>dan</strong> protein, namun<br />
juga tidak layak <strong>di</strong>makan.<br />
Selain harus mampu bertahan hidup <strong>dan</strong> menghidupi keluarganya yang<br />
menja<strong>di</strong> tapol, para keluarga juga harus menghadapi stigmatisasi, cemoohan<br />
<strong>dan</strong> pan<strong>dan</strong>gan negatif dari para tetangga, termasuk pembatasan-pembatasan<br />
hak dalam berbagai bi<strong>dan</strong>g kehidupan, terlebih dalam<br />
bi<strong>dan</strong>g politik. Dalam kon<strong>di</strong>si yang demikian berat, tidak jarang anggota<br />
keluarga harus berhenti bersekolah, keluar atau <strong>di</strong>keluarkan dari pekerjaan,<br />
menja<strong>di</strong> buruh kasar, mengaburkan identitas atau asal usul, tercerai<br />
berai karena harus menumpang hidup dengan sanak saudara yang masih<br />
mau menampung mereka.<br />
Runtuhnya pemerintahan Soeharto <strong>dan</strong> lahirnya Era Reformasi tidak serta<br />
merta memulihkan kon<strong>di</strong>si <strong>dan</strong> martabat mereka. Para tapol masih tetap<br />
harus berjuang keras untuk memperoleh hak-haknya sebagai manusia <strong>dan</strong><br />
sebagai warga negara. Perjuangan in<strong>di</strong>vidual <strong>dan</strong> kolektif mereka lakukan.<br />
Ada yang berbuah manis namun tidak se<strong>di</strong>kit yang justru menja<strong>di</strong> pukulan<br />
balik bagi mereka. Beberapa dari mereka bahkan masih hidup dalam peng-<br />
60 Di kawasan hutan HPH Pusung, Desa Grogolan, Kec. Dukuh Seti; Perkebunan<br />
Karet Batubantal, Desa Puncol, Kec. Dukuh Seti; Hutan HPH Perhutani-Lamin,<br />
Desa Rogaloh, Kec. Tlogowungu; Kawasan HPH Perhutani-Hutan Jenggot/Jegong,<br />
Desa Mantup, Kec. Jaken; Perkebunan Kopi Jolong, Desa Guwo, Kec. Tlogowungu;<br />
Kawasan HPH Perhutani – Brati, Desa Brati, Kec. Kayen; Kawasan HPH Perhutani<br />
– Hutan Panggang/Retekabang, Desa Brati, Kec. Kayen<br />
67
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
awasan aparatur Negara seperti kepolisian, TNI <strong>dan</strong> juga ketua RT.<br />
Sekalipun stigmatisasi, cemooh <strong>dan</strong> <strong>di</strong>skriminasi masih tetap terja<strong>di</strong>, namun<br />
tidak dapat <strong>di</strong>mungkiri bahwa dalam era reformasilah tali kekang<br />
yang membelenggu kehidupan para mantan tapol <strong>dan</strong> keluarganya perlahan<br />
mengendur. Tenun kehidupan yang terkoyak selama puluhan tahun<br />
kembali mereka rajut. Keyakinan untuk kembali menja<strong>di</strong> waarga negara<br />
seutuhnya mulai tumbuh, kendati penuh keraguan. Ragu, sebab tidak ada<br />
yang menjamin bahwa kelonggaran pada awal reformasi akan terus mereka<br />
peroleh sepanjang usia mereka sen<strong>di</strong>ri <strong>dan</strong> usia anak cucu mereka.<br />
Di tengah era reformasi yang baru saja <strong>di</strong>mulai mereka kembali menyapa<br />
teman-teman senasib, menjalin kembali tali asih kepada sanak keluarga<br />
yang ‘menjauh’ karena tidak ingin menanggung risiko memiliki saudara<br />
tapol. Mereka melakukannya dengan penuh kehati-hatian, selain tidak<br />
ada jaminan bahwa era yang sudah berubah akan terus bergulir sepanjang<br />
waktu, juga masih sering <strong>di</strong>gunakannya stigma atau tuduhan PKI dalam<br />
konstelasi politik nasional. Terutama pada masa pemilihan umum maupun<br />
pemilihan kepala daerah.<br />
Sambil menyapa teman yang tercerai berai <strong>dan</strong> merekatkan kembali hubungan<br />
keluarga, para tapol memberanikan <strong>di</strong>ri untuk mengisi ruang-ruang<br />
politik yang mulai terbuka bagi mereka. Mereka mengorganisasi dalam<br />
berbagai organisasi korban dengan mandat <strong>dan</strong> tujuan yang berbeda-beda,<br />
mulai dari pengungkapan kebenaran, pemberdayaan ekonomi <strong>dan</strong> tujuan<br />
lain <strong>di</strong> bi<strong>dan</strong>g sosial kemasyarakatan.<br />
Dalam lingkup yang lebih kecil, eks tahanan politik <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> mulai menampilkan<br />
identitas <strong>di</strong>ri mereka sebagai korban. Bahkan, menjelang tahun 2000an<br />
sejumlah orang korban mulai menelusuri lokasi-lokasi yang <strong>di</strong>duga menja<strong>di</strong><br />
tempat pembantaian tapol. Lokasi-lokasi pembantaian yang berhasil<br />
mereka identifikasi <strong>di</strong>berikan tanda tertentu agar lebih mudah <strong>di</strong>kenali.<br />
Baik sebagai makam korban maupun sebagai lokasi pembantaian.<br />
Lokasi-lokasi pembantaian seperti menja<strong>di</strong> rahasia umum bagi warga sekitar.<br />
Mereka menyebut lokasi itu sebagai kuburan PKI atau hutan PKI, sebab<br />
lokasi pembantaian memang berada <strong>di</strong> kawasan hutan atau perkebunan.<br />
68
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Kedatangan mantan tapol ke lokasi-lokasi pembantaian seakan ‘mencairkan’<br />
ketegangan masyarakat dengan lokasi. Jika sebelumnya lokasi pembantaian<br />
<strong>di</strong>anggap sebagai kawasan mistis <strong>dan</strong> politis, saat ini ketegangan<br />
itu tidak terlalu <strong>di</strong>rasakan. Warga desa tidak lagi menaruh curiga jika ada<br />
orang yang mengunjungi makam para korban.<br />
Kampanye Hitam Orba, Rusaknya Relasi <strong>Sosial</strong> <strong>dan</strong><br />
Keluarga<br />
Kampanye hitam Orde Baru yang <strong>di</strong>mulai beberapa hari setelah Peristiwa G<br />
30 S, baik melalui siaran ra<strong>di</strong>o maupun me<strong>di</strong>a cetak (koran) Angkatan Darat<br />
– <strong>dan</strong> terus <strong>di</strong>lanjutkan sepanjang kekuasaannya – seakan melahirkan imajinasi<br />
baru <strong>di</strong> tengah mayarakat mengenai PKI. PKI <strong>di</strong>imajinasikan sebagai<br />
organisasi yang haus darah, amoral <strong>dan</strong> gemar memberontak. Tidak ada<br />
kisah bahwa PKI merupakan sebuah partai resmi <strong>dan</strong> besar serta pernah<br />
menja<strong>di</strong> bagian dari proses kemerdekaan, kekuatan politik republik Indonesia,<br />
peserta Pemilu tahun 1955, <strong>di</strong> mana anggota-anggotanya terlibat dalam<br />
era kebangkitan nasional <strong>dan</strong> perjuangan kemerdekaan.<br />
Gerwani sebagai organisasi perempuan yang begitu maju pada jamannya<br />
<strong>di</strong>imajinasikan sebagai organisasi tempat berkumpulnya para perempuan<br />
tidak bermoral, anti Tuhan, kejam, tidak memiliki perikemanusiaan, penyungkil<br />
mata <strong>dan</strong> pemutilasi kemaluan jenderal <strong>dan</strong> masih banyak lagi<br />
pre<strong>di</strong>kat buruk yang <strong>di</strong>sematkan pada Gerwani <strong>dan</strong> mantan anggotanya.<br />
Tidak ada kisah bahwa anggota Gerwani ambil bagian dalam proses perjuangan<br />
kemerdekaan, menja<strong>di</strong> anggota parlemen, secara sukarela keluar<br />
masuk desa untuk memberantas buta huruf yang ‘<strong>di</strong>idap’ oleh lebih dari<br />
separuh bangsa Indonesia, memerangi perkawinan anak <strong>dan</strong> aktifitas lain<br />
yang memberikan kontribusi kepada kemajuan bangsa.<br />
Penguasaan terhadap lembaga pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan, penyiaran, pemberitaan semakin<br />
menebalkan pemahaman keliru tentang PKI, Gerwani, Pemuda Rakyat<br />
<strong>dan</strong> ormas-ormas kiri lainnya, utamanya mengenai Peristiwa G 30 S <strong>dan</strong><br />
peristiwa-peristiwa setelahnya. Penyesatan sejarah tidak hanya mengaburkan<br />
pemahaman masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terja<strong>di</strong> pada<br />
bangsanya, lebih dari itu: merusak relasi sosial yang ada <strong>di</strong> masyarakat, terlebih<br />
relasi tapol dengan keluarganya <strong>dan</strong> relasi tapol dengan masyarakat.<br />
69
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Tetangga tidak mau menolong keluarga tapol yang se<strong>dan</strong>g mengalami kesulitan<br />
karena khawatir <strong>di</strong>kait-kaitkan dengan Peristiwa ‘65. Teman sepermainan<br />
semasa kecil harus ‘menjaga jarak’ karena satu dari mereka menja<strong>di</strong><br />
tahanan politik. Anak-anak <strong>di</strong>kucilkan oleh teman <strong>dan</strong> tetangga karena<br />
orangtuanya terlkait dengan PKI atau menja<strong>di</strong> tapol. Anak harus menghapus/<strong>di</strong>hapuskan<br />
latar belakang keluarganya karena orang tua mereka<br />
sebagai anggota atau simpatisan PKI. Istri kehilangan suami, suami kehilangan<br />
isteri karena salah satu dari mereka atau keduanya menja<strong>di</strong> tapol.<br />
Sarni (lahir April 1949), saat Peristiwa G 30 terja<strong>di</strong> masih duduk <strong>di</strong> bangku<br />
kelas 6 sekolah dasar (SD). 61 Selama bersekolah Sarni kerap berlatih menari<br />
<strong>dan</strong> menyanyi, baik <strong>di</strong> sekolah maupun <strong>di</strong> desanya. Sarni tidak tahu dari<br />
kelompok atau organisasi mana orang-orang yang mengajarinya menari.<br />
Seusianya saat itu tentu tidak mengetahui pentingnya mengetahui latar<br />
belakang para pelatih atau guru tarinya. Yang ia tahu hanya ia senang menari.<br />
Selain berlatih menari <strong>dan</strong> bernyanyi, Sarni juga kerap tampil dalam<br />
pementasan pada perayaan hari besar nasional, seperti peringatan Hari Kemerdekaan<br />
17 Agustus.<br />
Tidak lama setelah Peristiwa G 30 S, teman-teman <strong>dan</strong> orang-orang yang<br />
mengajarinya menari <strong>dan</strong> bernyanyi <strong>di</strong>tangkapi. Sarni tidak memiliki pemahaman<br />
yang cukup mengapa teman-teman <strong>dan</strong> orang-orang yang mengajarinya<br />
menari <strong>dan</strong> bernyanyi <strong>di</strong>tangkapi. Sarni lolos dari operasi penangkapan,<br />
karena saat itu ia masih SD.<br />
Setamat SD Sarni melanjutkan ke SMP. Sayangnya <strong>di</strong> kelas 2 SMP Sarni<br />
berhenti bersekolah <strong>dan</strong> menikah dengan laki-laki sekampungnya. Agustus<br />
1968, ketika perkawinannya baru berumur empat bulan <strong>dan</strong> tengah<br />
hamil muda anak pertamanya, Sarni <strong>di</strong>tangkap <strong>dan</strong> <strong>di</strong>tahan tanpa ia tahu<br />
alasan mengapa ia <strong>di</strong>tahan. Tidak hanya Sarni, suaminya pun kemu<strong>di</strong>an<br />
<strong>di</strong>tangkap <strong>dan</strong> <strong>di</strong>tahan.<br />
Sarni harus menjalani masa-masa kehamilannya <strong>di</strong> dalam kamp penahanan.<br />
Pada masa penahanan itulah Sarni melahirkan anak pertamanya.<br />
Sarni <strong>di</strong>ijinkan keluar dari kamp penahanan untuk menjalani persalinan.<br />
Setelah menjalani persalinan, Sarni kembali menjalani masa penahanan.<br />
61 Wawancara dengan Sarni, 10 September 2016<br />
70
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Anak laki-laki yang baru beberapa hari lalu <strong>di</strong>lahirkannya terpaksa ia tinggalkan<br />
untuk kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>rawat oleh orangtuanya.<br />
Sarni <strong>di</strong>bebaskan tahun 1971. Se<strong>dan</strong>gkan suaminya harus menjalani pembuangan<br />
<strong>di</strong> Pulau Buru. Setelah menjalani masa pembebasan Sarni kemu<strong>di</strong>an<br />
menikah kembali dengan laki-laki lain. Suami Sarni pun demikian,<br />
setelah menjalani pembuangan <strong>di</strong> Pulau Buru, suami Sarni kemu<strong>di</strong>an<br />
menikah dengan perempuan lain.<br />
Sarni <strong>dan</strong> suaminya adalah contoh nyata bagaimana mereka harus ‘bercerai’<br />
lantaran situasi politik. Anak mereka pun kehilangan hak dasar sebagai<br />
manusia <strong>dan</strong> sebagai anak. Beruntung saat mereka sudah <strong>di</strong>bebaskan komunikasi<br />
antarmereka dapat kembali <strong>di</strong>bangun, termasuk komunikasi dengan<br />
anak mereka. Hanya saja anak Sarni tidak ingin masa lalu ia <strong>dan</strong> o-<br />
rangtuanya <strong>di</strong>ungkit kembali. Masa lalu adalah masa-masa yang berat bagi<br />
kehidupan mereka.<br />
Kehancuran relasi suami isteri juga <strong>di</strong>alami oleh Slamet Iswan<strong>di</strong>, suami<br />
Sumini (71 tahun). Perkawinan Sumini dengan Slamet Iswan<strong>di</strong> merupakan<br />
perkawinan kedua bagi Slamet Iswan<strong>di</strong>. Perkawinan pertama Slamet<br />
Iswan<strong>di</strong> luluh-lantak ketika seorang tentara menjebloskannya ke dalam<br />
penjara dengan tuduhan terkait dengan PKI. Padahal jelas-jelas Slamet<br />
Iswan<strong>di</strong> adalah warga Nahdlatul Ulama (NU) <strong>dan</strong> keluarga besar Slamet<br />
Iswan<strong>di</strong>pun warga NU.<br />
Ketika <strong>di</strong>telisik, sederhana <strong>dan</strong> konyol sekali alasan tentara tersebut menjebloskan<br />
Slamet Iswan<strong>di</strong> ke penjara: isteri (pertama) Slamet Iswan<strong>di</strong> cantik,<br />
<strong>dan</strong> tentara tersebut ingin menikahinya. Benar saja, ketika Slamet Iswan<strong>di</strong><br />
sudah berada <strong>di</strong> penjara, tentara tersebut menikahi isteri Slamet Iswan<strong>di</strong>. 62<br />
Sumini pertama kali bertemu suaminya ketika mereka sama-sama <strong>di</strong>bebaskan<br />
dari masa penahanan. Setelah bebas <strong>dan</strong> menikah, Sumini menjalin<br />
komunikasi yang baik dengan mantan isteri suaminya. Namun hubungan<br />
tersebut harus <strong>di</strong>lakukan secara sembunyi-sembunyi. Ketika Sumini <strong>di</strong>rawat<br />
<strong>di</strong> rumah sakit, mantan isteri suaminya pun menjenguk Sumini. Tentu<br />
<strong>di</strong> luar sepengetahuan sang tentara.<br />
62 Wawancara dengan Sumini, <strong>Pati</strong>, 14 Juli 2016<br />
71
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Sebelum Peristiwa G 30 S, Sumini adalah seorang ga<strong>di</strong>s remaja (belum<br />
genap 19 tahun) yang aktif <strong>di</strong> organisasi. Ia menjabat sebagai ketua ranting<br />
Gerwani <strong>di</strong> kampungnya. Berbagai kegiatan <strong>di</strong>a lakukan sepanjang menja<strong>di</strong><br />
anggota <strong>dan</strong> pengurus Gerwani. Beberapa kegiatan organisasi yang masih<br />
ia ingat dengan baik adalah ketika ia harus keluar masuk desa untuk mengajarkan<br />
warga desa membaca <strong>dan</strong> menulis. Apa yang Sumini lakukan merupakan<br />
program organisasi Gerwani dalam rangka pemberantasan buta<br />
huruf (PBH).<br />
Kegiatan lain <strong>di</strong> bi<strong>dan</strong>g pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan adalah men<strong>di</strong>rikan taman kanak-kanak.<br />
Jika program pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan anak usia <strong>di</strong>ni (PAUD) baru <strong>di</strong>canangkan beberapa<br />
tahun belakangan ini, pada era 1950an Gerwani sudah memulai pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />
anak usia <strong>di</strong>ni dengan nama TK Melati. Pen<strong>di</strong>rian TK Melati bukan hanya<br />
sebagai respon Gerwani atas kon<strong>di</strong>si masyarakat yang membutuhkan sarana<br />
pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan bagi anak usia <strong>di</strong>ni, namun juga sebagai upaya pemenuhan<br />
hak anak atas pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan. 63 Terlebih pada saat itu banyak warga negara Indonesia<br />
yang buta huruf <strong>dan</strong> tidak memiliki pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang memadai.<br />
Selain <strong>di</strong> bi<strong>dan</strong>g pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan, Sumini juga aktif dalam melakukan pembelaan<br />
terhadap kaum buruh <strong>dan</strong> kon<strong>di</strong>si pertanian <strong>di</strong> desanya. Di bi<strong>dan</strong>g<br />
perburuhan, Sumini melakukan pendampingan terhadap buruh tani yang<br />
upahnya <strong>di</strong>potong/<strong>di</strong>catut oleh para mandor. Dimana buruh bekerja selama<br />
tujuh hari tapi oleh sang mandor upah <strong>di</strong>bayarkan untuk 5 atau 6 hari kerja.<br />
Sumini tidak tahan dengan kon<strong>di</strong>si ini. Ia pun kemu<strong>di</strong>an mengorganisir<br />
para buruh untuk melakukan pemogokan. Karena hanya pemogokanlah satu-satunya<br />
senjata yang <strong>di</strong>miliki para buruh.<br />
Pengorganisasian yang <strong>di</strong>lakukan Sumini <strong>dan</strong> Gerwani membuahkan hasil.<br />
Melalui pemogokan terja<strong>di</strong> negosiasi. Para mandor memenuhi tuntutan<br />
buruh untuk tidak melakukan pemotongan atau pencatutan terhadap<br />
upah mereka. Upah para buruh akan <strong>di</strong>bayarkan sesuai dengan jumlah hari<br />
mereka bekerja.<br />
63 Dalam struktur organisasi Gerwani, pen<strong>di</strong>rian <strong>dan</strong> peluasan Taman Kanakkanak<br />
merupakan salah satu bi<strong>dan</strong>g tanggung jawab Seksi Pembelaan Anak-anak<br />
Gerwani. Lihat Peraturan Dasar Gerwani yang <strong>di</strong>sahkan dalam Kongres nasional<br />
ke IV Gerwani Desember 1961, hal.26<br />
72
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Hal lain yang Sumini perjuangkan adalah melawan sistem ijon <strong>dan</strong> lintah<br />
darat. Sistem ini jelas hanya menguntungkan pemilik modal <strong>dan</strong> mencekik<br />
kehidupan para petani yang hidupnya sudah sulit menja<strong>di</strong> lebih sulit. Melalui<br />
program pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan <strong>dan</strong> pemberdayaan ekonomi maka lahirlah kesadaran<br />
baru untuk merumuskan bagaimana menghadapi sistem ijon <strong>dan</strong><br />
lintah darat.<br />
Di sektor pertanian, ketika hama tikus menyerbu sawah-sawah petani <strong>di</strong><br />
desanya, Sumini <strong>dan</strong> anggota Gerwani lainnya bersama dengan para petani<br />
desanya membuat sebuah gerakan, gerakan mengganyang tikus (germet).<br />
Malam hari mereka bergerak, membasmi tikus yang kerap memakan pa<strong>di</strong><br />
yang mulai menguning. Tikus-tikus sawah yang <strong>di</strong>dapat kemu<strong>di</strong>an mereka<br />
siangi untuk makan bersama setelah aksi Germet.<br />
Setelah Peristiwa G 30 S seluruh aktivitas yang <strong>di</strong>lakukan Gerwani hilang<br />
mengiringi pemberangusannya. Anggota <strong>dan</strong> pengurusnya <strong>di</strong>buru untuk<br />
<strong>di</strong>tangkap <strong>dan</strong> <strong>di</strong>tahan. Sumini tidak luput dari operasi penangkapan itu.<br />
Pada suatu malam yang nahas itu tempat persembunyiannya <strong>di</strong>datangi<br />
oleh sekelompok massa. Sumini <strong>di</strong>tangkap, <strong>di</strong>pukuli <strong>dan</strong> <strong>di</strong>seret massa.<br />
Dalam keadaan setengah sadar ia <strong>di</strong>lemparkan ke atas truk untuk <strong>di</strong>bawa<br />
ke Polres <strong>Pati</strong>. 64<br />
Sumini pulih kesadarannya setelah tiba <strong>di</strong> Polres <strong>Pati</strong>. Saat itu ia mendapati<br />
pakaian yang ia pakai sebelumnya sudah berganti dengan pakaian lain yang<br />
bukan miliknya. Ia yakin bahwa sepanjang tidak sadarkan <strong>di</strong>ri (pingsan) <strong>di</strong>rinya<br />
mengalami penelanjangan. Suminipun kemu<strong>di</strong>an menanyakan kepada<br />
petugas perihal pakaiannya yang sudah berganti. Petugas menjawab<br />
dengan ketus <strong>dan</strong> <strong>di</strong>ngin bahwa pakaian Sumini sudah hilang. Tidak perlu<br />
<strong>di</strong>cari-cari, yang penting sudah berpakaian lagi.<br />
Dalam masa penahanan beberapa kali Sumini menjalani pemeriksaan, <strong>di</strong><br />
Mapolres <strong>Pati</strong> maupun Markas Corp Polisi Militer (CPM). Dalam pemeriksaannya<br />
Sumini kerap mengalami penyiksaan, baik fisik maupun seksual.<br />
Pada suatu pemeriksaan, selain kerap mengalami pemukulan, ibu jari kaki<br />
Sumini pernah <strong>di</strong>tin<strong>di</strong>h kaki meja kemu<strong>di</strong>an beberapa orang pemeriksa<br />
menaikki meja <strong>dan</strong> berjingkrak <strong>di</strong> atasnya. Tidak tahan merasakan sakitnya<br />
64 Wawancara dengan Sumini, 14 Juli 2016<br />
73
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
penyiksaan, beberapa kali Sumini tidak sadarkan <strong>di</strong>ri.<br />
Setidaknya dua kali Sumini mengalami penelanjangan saat <strong>di</strong>interogasi.<br />
Para interogator yang ter<strong>di</strong>ri dari unsur kejaksaan, kepolisian <strong>dan</strong> pemuda<br />
dari sejumlah ormas berdalih bahwa <strong>di</strong> paha Sumini terdapat gambar palu<br />
arit. Karena alasan itulah mereka menelanjangi Sumini. Tentu saja mereka<br />
tidak menemukan gambar <strong>di</strong>maksud, sebab hal itu hanya dalih mereka<br />
untuk melakukan kekerasan seksual terhadap Sumini. Pola serupa mereka<br />
gunakan lagi pada pemeriksaan-pemeriksaan berikutnya. 65<br />
Pada Februari 1971 Sumini <strong>di</strong>bebaskan dari kamp penahanan LP Bulu, Semarang.<br />
Bebas dari kamp penahanan tidak berarti Sumini dapat melakukan<br />
aktifitas secara normal. Kehidupan Sumini selalu <strong>di</strong>awasi. Setiap akan<br />
pergi ke luar kota ia harus mendapat ijin dari aparat kepala desa <strong>dan</strong> juga<br />
TNI. 66<br />
Berbekal keterampilan menjahit yang <strong>di</strong>perolehnya dari sesama tapol saat<br />
<strong>di</strong>tahan <strong>di</strong> LP. Bulu, Sumini mulai menata kembali kehidupan barunya.<br />
Sayangnya, sejumlah pelanggannya <strong>di</strong>pengaruhi agar tidak menjahitkan<br />
pakaian mereka kepada Sumini. Informasi Sumini adalah mantan tapol,<br />
mantan anggota Gerwani, PKI <strong>dan</strong> pengkhianat bangsa terus <strong>di</strong>embuskan.<br />
Menghadapi situasi seperti itu Sumini harus memutar otak. Ia memutuskan<br />
untuk keluar dari <strong>Pati</strong>.<br />
Kota semarang adalah pilihan Sumini untuk memulai kembali kehidupannya.<br />
Di kota tersebut ia memiliki seorang teman yang berse<strong>di</strong>a menampungnya.<br />
Sayangnya, untuk meninggalkan kota <strong>Pati</strong> ia harus memperoleh<br />
ijin dari aparatur keamanan setempat (Ko<strong>di</strong>m). Ijin itulah yang tidak ia peroleh.<br />
Jalan kehidupan terasa makin sempit manakala ia ketahui <strong>di</strong> dalam<br />
KTP-nya terdapat tanda “ET”, eks tahanan politik.<br />
Pembatasan-pembatasan terhadap akses ekonomi juga pernah <strong>di</strong>alami<br />
65 Wawancara dengan Sumini, 15 Juli 2016<br />
66 Wawancara dengan Sumini, 11 September 2016<br />
74
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Tarup (lahir April 1946). 67 Sebelum peristiwa 65 Tarup merupakan karyawan<br />
<strong>di</strong> sebuah koperasi yang ada <strong>di</strong> desanya. Tidak lama setelah peristiwa 65,<br />
Tarup <strong>di</strong>tangkap <strong>dan</strong> <strong>di</strong>tahan oleh tentara. Tahun 68 Tarup sempat <strong>di</strong>bebaskan<br />
<strong>dan</strong> <strong>di</strong>kenakan wajib lapor. Tahun 1969 Tarup kembali <strong>di</strong>tangkap<br />
<strong>dan</strong> <strong>di</strong>tahan selama beberapa minggu <strong>di</strong> kantor ko<strong>di</strong>m <strong>Pati</strong>.<br />
Selama menajalani penahanan Tarup <strong>di</strong>kerjapaksakan oleh tentara. Banyak<br />
irigasi sawah <strong>di</strong>bangun oleh Tarup <strong>dan</strong> Tapol lainnya. Selain membangun<br />
irigasi atau sistem pengairan sawah, Tarup juga harus membangun sumur<br />
<strong>dan</strong> bak-bak penampungan air berukuran besar. Tidak ada makanan yang<br />
layak bagi Tarup tapol lain yang melakukan kerja paksa. Kalaupun mereka<br />
dapat bertahan hidup selama menjalani kerja paksa, itu semua karena<br />
mereka memperoleh kiriman makanan dari keluarga atau pemberian dari<br />
warga desa yang iba melihat para tapol.<br />
Di dalam keluarganya, selain Tarup, ayah Tarup juga <strong>di</strong>tahan karena keterlibatanynya<br />
dalam kelompok ketoprak yang berada dalam naungan Lekra.<br />
Kehidupan mereka yang sangat sederhana semakin sulit karena Tarup<br />
<strong>dan</strong> ayahnya sama-sama <strong>di</strong>tahan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ibunya<br />
<strong>dan</strong> juga ayahnya serta Tarup <strong>di</strong> penjara, maka ibunya menjual rumah<br />
<strong>dan</strong> tanah yang mereka miliki. Itupun belum dapat memenuhi kebutuhan<br />
Tarup selama <strong>di</strong> penjara. Maka Tarup pun bergantung pada tapol lainya<br />
yang memperoleh kunjungan dari keluarga mereka.<br />
Pada tahun 1974 Tarup <strong>di</strong>bebaskan. Seperti tapol pada umumnya, selepas<br />
pembebasanTarup tetap <strong>di</strong>kenakan wajib lapor. Untuk memulai hidup barunya<br />
Tarup mencoba bekerja. Ia sempat bekerja <strong>di</strong> sebuah pabrik garam,<br />
namun baru beberapa minggu bekerja ia <strong>di</strong>minta keluar dari pekerjaannya.<br />
Pemilik pabrik mendapaat intimidas dari pihak kemanan, jika tetap mempekerjakan<br />
Tarup maka pabriknya akan <strong>di</strong>tutup. Dengan berat hati <strong>dan</strong> berbekal<br />
pesangon sea<strong>dan</strong>ya Tarup keluar dari pekerjaannya. Setidaknya dua<br />
kali Tarup harus keluar dari pekerjaannya karena pemilik usaha memperoleh<br />
ancaman dari pihak keamanan.<br />
67 Wawancara dengan Tarup 09 September 2016<br />
75
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Memulihkan Kembali Relasi yang Telah DIhancurkan<br />
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru Soeharto pada 21 Mei 1998 membawa<br />
perubahan besar bagi masyarakat, khususnya korban <strong>dan</strong> keluarga korban.<br />
Peristiwa 65 sebelumnya menja<strong>di</strong> tema sejarah yang paling <strong>di</strong>larang untuk<br />
<strong>di</strong>perbincangkan, perlahan mulai <strong>di</strong>bicarakan secara terbuka. Para korbanpun<br />
kemu<strong>di</strong>an menunjukkan identitasnya sebagai korban, bahkan <strong>di</strong><br />
ruang-ruang yang sangat terbuka sekalipun. Sesuatu yang tidak mungkin<br />
terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> era Orde Baru.<br />
Sejumlah organisasi korban Peristiwa 65 bermunculan. Baik dalam bentuk<br />
lembaga penelitian maupun lembaga advokasi hukum <strong>dan</strong> pemberdayaan<br />
ekonomi. Demikian juga dengan halnya <strong>Pati</strong>. <strong>Korban</strong>-korban yang semula<br />
<strong>di</strong>benamkan dalam lembah ketakutan mulai bermunculan <strong>dan</strong> berorganisasi,<br />
baik hanya sebagai wadah untuk berkumpul dengan sesama korban<br />
maupun sebagai alat perjuangan menuntut hak-hak dasar mereka yang<br />
<strong>di</strong>rampas selama puluhan tahun.<br />
Diawal tahun 2000 sejumlah korban <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> men<strong>di</strong>rikan organisasi Yayasan<br />
Penelitian <strong>Korban</strong> Pembantai 65 (YPKP 65). Aktifitas yang <strong>di</strong>lakukan<br />
antara lain melakukan pendataan korban 65 yang ada <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>; melakukan<br />
pertemuan anjangsana secara rutin; mengadakan acara-acara kebudayaan<br />
seperti nyekar, berkesenian (bernyanyi <strong>dan</strong> memain kangamelan) <strong>dan</strong> sejumlah<br />
aktifitas lainnya.<br />
Kegiatan organisasi korban <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> yang melibatkan peserta dalam jumlah<br />
yang relatif besar <strong>dan</strong> tampil secara terbuka adalah pada tahun 2004,<br />
nyekar <strong>dan</strong> memorialisasi makam massal korban 65 yang berada <strong>di</strong> Desa<br />
Kalitelo, Tayu. Ratusan orang dari yang berasal dari sejumlah kecamatan<br />
yang ada <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong> perwakilan dari beberapa kabupaten <strong>di</strong> Jawa Tengah<br />
berpartisipasi dalam acara tersebut. Selain akan berdoa <strong>di</strong> lokasi pembantaian<br />
<strong>dan</strong> pemakaman, para korban juga akan membuat tugu atau penanda<br />
sederhana <strong>di</strong> lokasi tersebut.<br />
Sayangnya acara tersebut tidak berhasil <strong>di</strong>laksanakan. Iring-iringan ratusan<br />
korban <strong>dan</strong> keluarga korban 65 yang akan menuju lokasi <strong>di</strong>ha<strong>dan</strong>g oleh<br />
massa ormas yang <strong>di</strong>dukung oleh aparatur militer. Massa yang beberapa<br />
76
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
<strong>di</strong>antaranya dapat <strong>di</strong>identifikasi merupakan preman setempat melarang<br />
korban untuk memasuki areal pemakaman. Meskipun jumlah pezaiarah<br />
jauh lebih banyak, namun mereka memilih membatalkan acara tersebut<br />
<strong>dan</strong> kembali ke daerah masing-masing.<br />
Menariknya, sekalipun acara tersebut adalah mengunjungi lokasi pembantaian<br />
korban Peristiwa ’65 <strong>dan</strong> acara tersebut <strong>di</strong>inisiasi oleh korban <strong>dan</strong><br />
keluarga korban, namun banyak peserta ziarah yang bukan berasal dari<br />
kalangan atau keluarga korban. Mereka adalah para tetangga korban ’65<br />
yang ingin tahu mengenai kebenaran Peristiwa pembantaian pada tahun<br />
’65 yang ada <strong>di</strong> daerah mereka. Antusiasme mereka tidak berbeda dengan<br />
korban ’65 dalam urusan pengungkapan kebenaran.<br />
Kegagalan untuk melakukan memorialisasi korban <strong>di</strong> Kalitelo tidak<br />
menyurutkan langkah para korban untuk tetap mengorganisasi <strong>di</strong>ri. Mereka<br />
tetap melaksanakan pendataan mantan-mantan tapol yang berdomisili<br />
<strong>di</strong> <strong>Pati</strong>, mendata lokasi kuburan massal, mengadakan pertemuan-pertemuan<br />
rutin <strong>dan</strong> menyelenggarakan acara-acara kebudayaan.<br />
Pada April 2012 korban <strong>dan</strong> keluarga korban mengadakan acara Temu Kangen<br />
<strong>di</strong> rumah salah seorang korban <strong>di</strong> Desa Bulu Mulyo, <strong>Pati</strong>. Acara <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>ri<br />
oleh puluhan korban <strong>dan</strong> keluarga korban yang ada <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong> perwakilan<br />
dari sejumlah kabupaten yang ada <strong>di</strong> Jawa Tengah. Di acara tersebut<br />
para korban melepas rindu dengan kawan lama yang memiliki nasib sama.<br />
Selain melepas rindu, acara tersebut juga <strong>di</strong>isi dengan penyampaian informasi<br />
mengenai hak korban <strong>di</strong> bi<strong>dan</strong>g kesehatan dari negara yang dapat<br />
<strong>di</strong>akses melalui program Lembaga Perlindungan Saksi <strong>dan</strong> <strong>Korban</strong> (LPSK).<br />
Acara tersebut tidak hanya mendapat perhatian korban <strong>dan</strong> warga sekitar,<br />
namun juga dari lembaga kepolisian <strong>dan</strong> TNI. Sejumlah personil polisi <strong>dan</strong><br />
TNI <strong>di</strong>tempatkan <strong>di</strong> sekitar lokasi untuk ‘menjaga keamanan’ acara.<br />
Partisipasi warga <strong>di</strong> sekitar tempat acara juga sangat baik. Mereka terlibat<br />
dalam persiapan <strong>dan</strong> pelaksanaan acara. Para tetangga juga memberikan<br />
makanan ringan untuk suguhan acara. Lebih jauh dari itu, mereka pun<br />
menye<strong>di</strong>akan rumah mereka untuk tempat menginap peserta perwakilan<br />
dari kabupaten lain. Tidak ada kekhawatiran dari warga untuk terlibat dalam<br />
persiapan <strong>dan</strong> pelaksanaan acara, termasuk dalam memberikan tum-<br />
77
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
pangan penginapan untuk peserta acara dari kabupaten lain. Warga tahu<br />
bahwa acara tersebut adalah temu kangen mantan tahanan politik peristiwa<br />
’65.<br />
Acara Temu Kangen sangat meriah <strong>dan</strong> menghibur korban <strong>dan</strong> masyarakat<br />
sekitar. Para korban mengisi acara dengan bernyanyi <strong>dan</strong> menari <strong>di</strong>ringi<br />
dengan musik gamelan. Para penyanyi, penari <strong>dan</strong> pemain gamelan adalah<br />
para aktifis yang sebelum peristiwa ’65 sudah aktif berkesenian. Acara<br />
tersebut seperti kilas balik bagi mereka. Mereka seperti kembali ke masa<br />
lalu, masa <strong>di</strong> mana mereka bebas mengekspresikan <strong>di</strong>ri tanpa takut terkena<br />
stigma negatif <strong>dan</strong> berurusan dengan aparat keamanan. Perasaan haru <strong>dan</strong><br />
bahagia menyatu. Hanya kegembiraan yang terpancar dari wajah mereka<br />
<strong>di</strong> acara itu.<br />
Bagi masyarakat, acara tersebut sama dengan acara-acara kebudayaan lainnya<br />
yang <strong>di</strong>adakan oleh masyarakat desa pada umumnya, yang membedakan<br />
adalah acara tersebut mendapat ‘pengawalan’ (lebih tepatnya ‘pengawasan’)<br />
dari kepolisian <strong>dan</strong> tentara dengan jumlah personil yang tidak<br />
lazim. Personil tentara <strong>dan</strong> polisi tersebar mulai dari tempat acara sampai<br />
jalan-jalan desa menuju tempat acara.<br />
Saat ini penerimaan masyarakat terhadap korban 65 jauh lebih baik jika<br />
<strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan era Orde Baru. Hal ini dapat kita lihat <strong>dan</strong> rasakan<br />
dalam kehidupan sehari-hari, <strong>di</strong>mana tidak ada lagi jarak antara korban<br />
dengan masyarakat pada umumnya. Sejumlah korban bahkan <strong>di</strong>beri kepercayaan<br />
untuk menja<strong>di</strong> ketua RT <strong>dan</strong> kepala desa, termasuk memimpin organisasi<br />
atau lembaga desa.<br />
Supar<strong>di</strong> misalnya, pada saat Peristiwa 65 terja<strong>di</strong> baru berusia 23 tahun, ia<br />
merupakan anggota Pemuda Rakyat yang juga menja<strong>di</strong> Pengurus Comite<br />
Resort Besar (CRB) Partai Komunis Indonesia. Ia juga aktif <strong>di</strong> kegiatan Lekra,<br />
utamanya dalam seni pertunjukan ketoprak. Setelah Peristiwa 65 ia<br />
<strong>di</strong>tangkap <strong>dan</strong> <strong>di</strong>tahan. Supar<strong>di</strong> mengalami pembuangan ke Pulau Buru<br />
setelah sebelumnya ia menjalani masa penahanan <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong> transit <strong>di</strong><br />
Nusakambangan selama 5 bulan untuk selanjutnya <strong>di</strong>buang ke Pulau Buru.<br />
Saat ini, sekalipun masyarakat desa mengetahui bahwa Supar<strong>di</strong> yang pada<br />
78
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
saat ini berusia 75 tahun adalah mantan tahanan politik <strong>dan</strong> anggota PKI,<br />
warga masyarakat <strong>di</strong> desanya seakan tidak peduli. Mereka tetap memberikan<br />
kepercayaan kepada Supar<strong>di</strong> untuk memimpin organisasi Gapoktan.<br />
Gabungan kelompok tani. Sebuah organisasi tani yang beranggotakan sejumah<br />
kelompok tani. Organisasi lain yang sampai saat ini masih <strong>di</strong>urus<br />
oleh Supar<strong>di</strong> adalah Koperasi Tani, Lembaga Pengadaan Air Miinum Masyarakat<br />
<strong>dan</strong> ketua kelompok Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan organisasi lain yang pernah <strong>di</strong>pimpin oleh Supar<strong>di</strong> adalah<br />
Ba<strong>dan</strong> Permusyawaratan Desa (BPD). Supar<strong>di</strong> memimpin organisasi ini<br />
selama satu periode. Ia tidak dapat lagi mencalonkan <strong>di</strong>ri sebagai ketua,<br />
sebab pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan terakhir Supar<strong>di</strong> hanya lulus Sekolah Rakyat (SR, setara<br />
SD). Tingkat pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Supar<strong>di</strong> tidak memenuhi ketentuan baru untuk<br />
menja<strong>di</strong> ketua BPD. 68<br />
Pada 1985 hingga 2001 Supar<strong>di</strong> <strong>di</strong>percaya sebagai ketua RT. Saat ini pun<br />
Supar<strong>di</strong> masih <strong>di</strong>anggap seabagai tokoh masyarakat desa. Di mana Supar<strong>di</strong><br />
selalu <strong>di</strong>libatkan dalam masalah-masalah maupun tata kelola desanya.<br />
Semua jabatan yang <strong>di</strong>emban Supar<strong>di</strong> bersifat pengab<strong>di</strong>an. Supar<strong>di</strong> tidak<br />
keberatan kendati ia tidak memperoleh keuntungan finansial dari jabatan<br />
yang <strong>di</strong>embannya.<br />
Penerimaan masyarakat terhadap mereka yang memiliki kaitan dengan peristiwa<br />
65 (tapol) juga <strong>di</strong>rasakan oleh Handoyo. Handoyo lahir pada April<br />
<strong>1965</strong>. 69 Saat kedua orantuanya <strong>di</strong>tangkap usia Handoyo masih bayi yang<br />
belum genap setahun. Karena tidak ada yang mengasuh <strong>dan</strong> masih sangat<br />
memerlukan pengasuhan seorang ibu, maka Handoyopun mengikuti ibunya<br />
<strong>di</strong> penjara. Di usianya yang masih bayi Handoyo hidup <strong>dan</strong> tumbuh<br />
bersama para tapol <strong>di</strong> dalam penjara. Pada saat itu Handoyo belum memiliki<br />
kesadaran mengenai lingkungan tempat tinggalnya. Seperti anak-anak<br />
seusianya, yang ia tahu hanya bermain, tertawa <strong>dan</strong> menangis jika mengalami<br />
hal-hal yang tidak menyenangkannya.<br />
Di dalam penjara Handoyo berinteraksi dengan para tapol yang merupa-<br />
68 Wawancara dengan Supar<strong>di</strong>, <strong>Pati</strong>, 13 Juli, 11 September 2016,<br />
69 Wawancara dengan Handoyo, <strong>Pati</strong>, 13 Juli 2016<br />
79
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
kan teman-teman ibunya, Selain berinteraksi dengan para tapol, Handoyo<br />
juga kerap bermain dengan anak-anak tentara <strong>dan</strong> petugas penjara (sipir).<br />
Saat memasuki usia sekolah Handoyo kemu<strong>di</strong>an tinggal bersama neneknya.<br />
Di sekolah ia kerap <strong>di</strong>ejek oleh beberapa orang temannya sebagai anak<br />
PKI. Namun ejekan teman-temannya tidak membuat Handoyo surut untuk<br />
tetap bersekolah. Ejekan <strong>dan</strong> cibiran teman-temannya justru memotivasi<br />
Handoyo untuk terus giat bersekolah. Gelar sarjanapun kemu<strong>di</strong>an dapat ia<br />
raih.<br />
Handoyo aktif <strong>di</strong> sejumlah organisasi kemasyarakatan, terlibat dalam berbagai<br />
kegiatan advokasi masyarakat terkait isu hukum <strong>dan</strong> HAM. Selama<br />
menjalankan kegiatannya tidak ada hambatan yang <strong>di</strong>alami Handoyo terkait<br />
statusnya sebagai anak tapol. Handoyo <strong>di</strong>terima oleh komunitasnya.<br />
Bahkan, yang lebih menarik adalah awal 2016, melalui proses pemiihan<br />
langsung yang demokratis Handoyo terpilih sebagai kepala desa. Baik saat<br />
proses pemilihan maupun selama menjabat sebagai kepala desa, Handoyo<br />
tidak pernah ‘<strong>di</strong>serang’ oleh isu PKI. Warga <strong>dan</strong> masyarakat yang memilihnya<br />
tahu bahwa Handoyo merupakan anak dari tapol. Namun hal itu tidak<br />
menja<strong>di</strong> pertimbangan warga untuk memilih <strong>dan</strong> menghormati Handoyo<br />
sebagai kepala desa.<br />
Semua korban yang kami wawancarai tidak satupun menceritakan bahwa<br />
mereka saat ini masih mengalami penolakan oleh masyarakat. Warga masyarakat<br />
yang hidup berdampingan dengan korban tetap menerima korban<br />
<strong>dan</strong> keluarganya sebagai bagian dari komunitasnya. Bahwa korban pernah<br />
menja<strong>di</strong> tapol seakan hanya sebagai pengetahuan bagi para tetangga korban.<br />
Status sebagai mantan tapol bukan lagi hambatan bagi mereka untuk<br />
berinteraksi.<br />
Sumini yang pada masa-masa awal pemebebasannya mengalami pengucilan<br />
<strong>dan</strong> cibiran, saat ini dapat menjalani hidup secara normal. Sumini berjualan<br />
berbagai kebutuhan rumah tangga <strong>di</strong> pasar seperti pedagang pada<br />
umumnya. Sumini tidak lagi mengalami pengucilan <strong>di</strong> pasar sebagaimana<br />
yang pernah ia alami puluhan tahun lalu. Tidak ada kekhawatiran orang<br />
untuk berbelanja ke warung Sumini. Masyarkat menerima Sumini sebagai<br />
Sumini, bukan sebagai mantan tapol.<br />
80
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Hal menarik dari pengalaman Sumini adalah ketika Sumini tampil dalam<br />
sebuah talk show <strong>di</strong> salah satu stasium tv swasta. Banyak tetangga yang<br />
menyaksikan acara tersebut. Para tetangga menyimak kisah hidup Sumini<br />
yang <strong>di</strong>sampaikannya pada acara tersebut. Setelah tayangan tersebut banyak<br />
tetangga yang kemu<strong>di</strong>an bertanya lebih jauh mengenai pengalaman<br />
Sumini pada kurun waktu 60an. Dari mereka ingin mengetahui cerita yang<br />
sesungguhnya mengenai Gerwani, Peristiwa 65, pengalaman kekerasan<br />
<strong>dan</strong> penahanan yang pernah <strong>di</strong>alami Sumini.<br />
Sumini menja<strong>di</strong> sumber informasi warga <strong>di</strong> sekitar tempat tinggalnya yang<br />
ingin mengetahui apa yang terja<strong>di</strong> pada tahun 65. Setelah <strong>di</strong>ceritakan, tidak<br />
ada perubahan sikap atau pan<strong>dan</strong>gan negatif terhadap Sumini. Mereka justru<br />
bersimpati <strong>dan</strong> mengagumi Sumini dengan berbagai pengalaman hidup<br />
yang <strong>di</strong>laluinya. Sumini tetap aktif ambil bagian dalam berbagai kegiatan <strong>di</strong><br />
tempat tinggalnya, termasuk menja<strong>di</strong> anggota PKK.<br />
Kembali Menja<strong>di</strong> Warga Negara<br />
Perubahan situasi politik <strong>dan</strong> hukum pasca gerakan reformasi memberikan<br />
arti penting pada korban <strong>dan</strong> keluarga korban. Berbagai pembatasan hak<br />
mantan tahanan politik <strong>di</strong> berbagai bi<strong>dan</strong>g kehidupan perlahan mulai <strong>di</strong>retas.<br />
Dalam bi<strong>dan</strong>g politik misalnya, hak memilih terlebih <strong>di</strong>pilih dalam proses<br />
pemilihan umum merupakan sebuah kemewahan tersen<strong>di</strong>ri bagi para<br />
mantan tapol. Era reformasi memberikan harapan baru bagi mantan tapol<br />
untuk memperoleh pemulihan hak politik.<br />
Momentum reformasi <strong>di</strong>gunakan oleh sejumlah mantan tapol untuk<br />
menuntut pemulihan hak politik mereka melalui jalur ju<strong>di</strong>cial review terhadap<br />
pasal 60 huruf g un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan<br />
Umum ke Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal tersebut <strong>di</strong>atur bahwa calon<br />
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi <strong>dan</strong> DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi<br />
syarat (g): ”bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis<br />
lndonesia, termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat<br />
langsung ataupun tak langsung dalam G.30.S./PKI. atau organisasi terlarang<br />
lainnya”.<br />
Setelah melewati proses persi<strong>dan</strong>gan, Melalui Putusan No. 011-017/<br />
81
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan permohonan<br />
ju<strong>di</strong>cial review yang <strong>di</strong>ajukan para korban. Itulah tonggak baru dalam sejarah<br />
politik pemilihan umum kita. <strong>Korban</strong> yang selama puluhan tahun tidak<br />
memiliki hak untuk <strong>di</strong>pilih, oleh putusan tersebut hak-hak politik mereka<br />
kembali <strong>di</strong>pulihkan.<br />
Hak untuk memilih <strong>dan</strong> <strong>di</strong>pilih dalam proses pemilihan umum merupakan<br />
pemberian identitas baru sebagai warga negara. Lewat keikutsertaannya<br />
dalam pemilihan umumlah para korban dapat memaknai arti sebagai warga<br />
negara secara utuh. Bukan lagi sebagai warga negara kelas dua, kelas tiga<br />
atau kelas-kelas lain yang menunjukkan pembedaan oleh negara.<br />
Sumini begitu memberikan makna yang mendalam terkait hal ini. Ia membayangkan<br />
peristiwa puluhan tahun lalu. Jangankan memiliki hak memilih<br />
<strong>dan</strong> <strong>di</strong>pilih dalam pemilihan umum, memberikan suara dalam proses<br />
memilih kepala desa saja Sumini <strong>dan</strong> tapol lainnya tidak <strong>di</strong>perkenankan.<br />
Jika pemilihan kepala desa tiba, Sumini hanya menyaksikan para tetangganya<br />
berbondong-bondong menggunakan angkot <strong>dan</strong> dokar menuju ke<br />
tempat pemilihan kepala desa.<br />
Dalam peristiwa tersebut, Heru, anak bungsu Sumini yang lahir pada Januari<br />
1981 <strong>dan</strong> masih duduk <strong>di</strong> bangku kelas lima sekolah dasar bertanya,<br />
mengapa ibunya tidak ikut naik dokar seperti para tetangganya. Sang anak<br />
tentu tidak tahu bahwa para tetangga berbondong-bondong naik dokar<br />
lantaran ingin memilih kepala desa, <strong>dan</strong> ibunya tidak ikut dalam rombongan<br />
dokar karena tidak punya hak memilih kepala desa. Anak Sumini terlalu<br />
kecil untuk menerima penjelasannya. Demi menghibur perasaan anak<br />
<strong>dan</strong> perasaannya sen<strong>di</strong>ri, Sumini pun mengajak anaknya naik dokar. Bukan<br />
menuju tempat pemilihan kepala desa tentunya, tapi sekedar keliling kota.<br />
<strong>Rekonstruksi</strong> <strong>Sosial</strong> <strong>di</strong> Hadapan Negara<br />
Era reformasi memang memberikan sumbangsih besar bagi perubahan<br />
politik <strong>dan</strong> hukum Indonesia yang berdampak pula pada perikehidupan<br />
mantan tahanan politik <strong>dan</strong> keluarganya. Pembatasan ruang-ruang kehidupan<br />
bagi para mantan tapol yang sudah <strong>di</strong>praktekkan selama puluhan<br />
tahun perlahan mulai <strong>di</strong>hilangkan. Para mantan tapol yang berpuluh tahun<br />
82
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
<strong>di</strong>bungkan, ‘bersembunyi’ <strong>dan</strong> menutup rapat masa lalunya mulai berani<br />
tampil dengan identitasnya sebagai mantan tapol, korban ’65.<br />
Kehidupan sosial para mantan tapol pun tak ubahnya seperti masyarakat<br />
pada umumnya. Tidak ada lagi sekat-sekat atau kekhawatiran untuk berinteraksi<br />
satu dengan yang lain. Latar belakang sebagai tapol bukan menja<strong>di</strong><br />
beban atau halangan dalam melakukan interaksi sosial. Stigma buruk yang<br />
pernah <strong>di</strong>lekatkan pada <strong>di</strong>ri mantan tapol <strong>dan</strong> keluarganya seakan hapus<br />
oleh realitas kehidupan bahwa mereka adalah manusia biasa, sama seperti<br />
manusia pada umumnya yang hidup <strong>di</strong> tengah masyarakat.<br />
Lain masyarakat lain pula aparatur negara. Ketika masyarakat sudah ‘berdamai’<br />
dengan masa lalu, justru aparatur negara yang masih hidup dalam<br />
bayang-bayang masa lalu yang semu, begitu percaya dengan ‘hantu’ PKI.<br />
Ekspresi mereka menyikapi ‘hantu’ PKI menja<strong>di</strong> tidak masuk akal. Sumini,<br />
Supar<strong>di</strong> <strong>dan</strong> Handoyo adalah tiga orang mantan <strong>dan</strong> anak tapol yang hingga<br />
saat ini masih kerap <strong>di</strong>telpon atau <strong>di</strong>datangi intel kepolisian <strong>dan</strong> ko<strong>di</strong>m.<br />
Handoyo, sekalipun saat ini ia sudah menja<strong>di</strong> kepala desa yang berarti pula<br />
sebagai bagian dari struktur negara, namun bukan berarti Handoyo bebas<br />
dari pengawasan. Hingga laporan ini <strong>di</strong>buat Handoyo masih kerap menerima<br />
telepon dari intel, baik dari intel kepolisian maupun TNI. Beberapa<br />
dari mereka mengaku dari Kesbangpol Pemda <strong>Pati</strong>, namun setelah <strong>di</strong>lakukan<br />
cross check ternyata anggota TNI. Pertanyaan menyeli<strong>di</strong>k yang biasanya<br />
<strong>di</strong>ajukan kepada Handoyo antara lain posisi Handoyo saat itu, apakah<br />
(akan) mengha<strong>di</strong>ri acara tertentu <strong>di</strong> daerah tertentu, kegiatan-kegiatan<br />
yang se<strong>dan</strong>g atau akan <strong>di</strong>lakukan. Selain bertelpon, pernah juga beberapa<br />
orang intel berkunjung ke rumah Handoyo.<br />
Sama halnya dengan Handoyo. Supar<strong>di</strong> juga mengisahkan bahwa rumahnya<br />
pernah <strong>di</strong>datangi seorang intel pada tengah malam. Kepada Supar<strong>di</strong> si<br />
intel menanyakan perihal pertemuan PKI <strong>dan</strong> pembagian kaos palu arit <strong>di</strong><br />
Yogyakarta. Mendapati pertanyaan seperti itu Supar<strong>di</strong> marah kepada intel<br />
tersebut. Baginya tidak ada alasan sang intel menanyakan hal itu kepada<br />
Supar<strong>di</strong>. Pertama, karena Supar<strong>di</strong> sama sekali tidak mengetahui pertemuan<br />
itu. Kedua, jika acara <strong>di</strong>adakan <strong>di</strong> Yogyakarta mengapa justru Supar<strong>di</strong> yang<br />
berdomisili <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> yang <strong>di</strong>tanyakan. Dan jika si intel tahu ada pembagian<br />
83
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
kaos palu arit mengapa polisi <strong>dan</strong> tentara tidak langsung saja menindaknya.<br />
Kunjungan intel ke rumah Supar<strong>di</strong> bukan hanya kali itu saja, sebelum <strong>dan</strong><br />
sesudahnyapun rumah Supar<strong>di</strong> sering <strong>di</strong>datangi intel dengan berbagai a-<br />
lasan <strong>dan</strong> bermacam pertanyaan yang berkaitan dengan aktifitas korban 65<br />
<strong>di</strong> <strong>Pati</strong>. Selain mendatangi rumah, para intel juga kerap memonitor Supar<strong>di</strong><br />
<strong>dan</strong> aktifitas korban 65 melalui telepon. Lewat telepon para intel kerap<br />
menanyakan kegiatan <strong>dan</strong> keberadaan Supar<strong>di</strong> saat itu.<br />
Lain lagi kisah Sumini. Sekalipun Sumini seorang perempuan tua, namun<br />
pengawasan terhadap aktifitas Sumini tidak luput dari pengawasa intel<br />
<strong>dan</strong> anggota polisi serta anggota TNI yang tinggal <strong>di</strong> depan rumah Sumini.<br />
Pengawasan terhadap Sumini makin meningkat ketika ia tampil <strong>di</strong> tv <strong>dan</strong><br />
mengikuti acara Simposium Peristiwa 65 yang <strong>di</strong>selenggarakan oleh Pemerintah.<br />
Jika Sumini tidak tampak <strong>di</strong> rumah barang satu dua hari, maka anggota polisi<br />
<strong>dan</strong> TNI yang tinggal <strong>di</strong> depan rumah Sumini menanyakan keberadaan<br />
Sumini kepada anak atau menantu Sumini. Jika Sumini <strong>di</strong>ketahui berada <strong>di</strong><br />
Jakarta, maka bermacam pertanyaan akan <strong>di</strong>ajukan kepada Sumini sekembalinya<br />
ia dari Jakarta. Kegiatan Sumini <strong>di</strong> Jakarta seakan menja<strong>di</strong> bagian<br />
penting dari keseluruhan pengawasan terhadap Sumini.<br />
Pernah satu ketika Sumini tidak terlihat <strong>di</strong> rumah. Sang intel bertanya kepada<br />
anak Sumini <strong>dan</strong> <strong>di</strong>beri tahu bahwa Sumini tidak <strong>di</strong> se<strong>dan</strong>g berada <strong>di</strong><br />
Jakarta. Sumini hanya pergi ke suatu arisan yang masih berada <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>. Si<br />
intel tidak percaya, ia pun meminta alamat tempat arisan. Tidak <strong>di</strong>duga,<br />
sang intel benar-benar mendatangi tempat arisan untuk memastikan kebenaran<br />
informasi bahwa Sumini se<strong>dan</strong>g arisan <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>, bukan se<strong>dan</strong>g berada<br />
<strong>di</strong> Jakarta.<br />
Selain mendapatkan pengawasan yang ketat dari aparat kepolisian <strong>dan</strong> militer,<br />
Sumini juga masih mendapat <strong>di</strong>skriminasi oleh ketua RT setempat,<br />
Jika warga lain dapat setiap saat bebas mengadakan pertemuan apapun <strong>di</strong><br />
rumahnya, namun tidak demikian bagi Sumini. Sumini harus memperoleh<br />
selembar ijin mengadakan pertemuan yang <strong>di</strong>beri tanda tangan <strong>dan</strong> stem-<br />
84
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
pel RT. 70 Ketua RT hanya menjelaskan bahwa ijin <strong>di</strong>gunakan agar tidak ada<br />
tuduhan macam-macam terhadap pertemuan yang <strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> rumah<br />
Sumini.<br />
Penutup<br />
Proses pemulihan relasi sosial korban ’65 dengan masyarakat <strong>di</strong> sekitarnya<br />
secara nyata sudah terja<strong>di</strong>. Relasi yang ‘tegang’ <strong>dan</strong> penuh syak wasangka<br />
berpuluh-puluh tahun berangsur-angsur sirna. Era reformasi <strong>dan</strong> keterbukaan<br />
informasi tentu memiliki an<strong>di</strong>l yang sangat besar dalam proses ini.<br />
Jika dahulu sumber pemerintah menja<strong>di</strong> sumber tunggal dalam narasi Peristiwa<br />
’65, pada era reformasi posisi tersebut sudah tidak dapat <strong>di</strong>pertahankan<br />
lagi. Sebab berbagai sumber mengenai Peristiwa ’65 banyak bertebaran<br />
<strong>dan</strong> mudah <strong>di</strong>akses, baik secara maya maupun nyata.<br />
Situasi inilah yang meruntuhkan narasi tunggal Peristiwa 65 yang sudah<br />
berlangsung berpuluh tahun. Situasi ini juga yang membentuk relasi sosial<br />
antara korban dengan masyarakat <strong>di</strong> sekitarnya. Peristiwa 65 bukan hal<br />
tabu lagi untuk <strong>di</strong>perbincangkan <strong>di</strong> warung kopi, <strong>di</strong> lorong-lorong sempit<br />
kampung. Kuburan massal korban pun tidak melulu <strong>di</strong>selimuti hal mistis<br />
<strong>dan</strong> politis yang berpuluh tahun menyelimuti warga <strong>di</strong> sekitarnya. Kuburan<br />
massal korban sudah <strong>di</strong>perbincangkan dengan gaya bicara yang ringan <strong>dan</strong><br />
santai, tidak perlu lagi berbisik-bisik. Yang dahulu menja<strong>di</strong> rahasia umum,<br />
kini menja<strong>di</strong> pengetahuan umum.<br />
<strong>Korban</strong> <strong>dan</strong> keluarga korban yang dahulu membatasi <strong>di</strong>ri untuk berinteraksi<br />
kini berani tampil dengan identitasnya sebagai korban, sebagai mantan<br />
tapol. Dan masyarakat menerimanya. Jabatan struktural <strong>di</strong> masyarakat<br />
yang dahulu ‘<strong>di</strong>haramkan’ untuk <strong>di</strong>duduki oleh mantan tapol (termasuk<br />
keluarganya) kini sudah dapat <strong>di</strong>duduki oleh mereka. Tidak ada kekhawatiran<br />
mengenai hantu PKI walaupun yang menjabat posisi tersebut adalah<br />
mantan tapol, mantan anggota PKI.<br />
Sayangnya, relasi sosial yang mulai pulih antara korban dengan masyarakat<br />
tidak berbann<strong>di</strong>ng lurus dengan relasi para korban dengan negaranya.<br />
Perubahan norma (baru) dalam hukum positif – yang lebih menjamin pe-<br />
70 Wawancara dengan Sumini, <strong>Pati</strong>, 23 Februari 2017<br />
85
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
menuhan hak-hak dasar para tapol – seakan hanya sebatas formalitas yang<br />
tidak dapat <strong>di</strong>hindari lagi oleh negara dalam perikehidupan saat ini. Faktanya,<br />
negara melalui aparatur sipil <strong>dan</strong> militernya masih mengawasi aktifitas<br />
para korban dalam mengekspresikan hak-haknya, baik sebagai korban<br />
maupun sebagai warga negara. Padahal hak itu <strong>di</strong>jamin dalam konstitusi<br />
<strong>dan</strong> hukum positif.<br />
Penelitian ini tentu memiliki keterbatasan untuk menyingkap mengapa<br />
Negara lewat aparaturnya, baik sipil, kepolisian maupun TNI masih masih<br />
terus memberikan ‘pengawasan’ terhadap aktifitas korban 65 <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>, in<strong>di</strong>vidu<br />
maupun kelompok. Jika pengawasan <strong>di</strong>lakukan dengan dalih a<strong>dan</strong>ya<br />
organisasi korban seperti YPKP 65, <strong>di</strong> daerah lain pun terdapat YPKP<br />
65 <strong>dan</strong> organisasi korban lainnya seperti LPRKROB, Pakorba <strong>dan</strong> lain-lain,<br />
namun mereka (setidaknya <strong>di</strong> wilayah riset <strong>Solo</strong> <strong>dan</strong> <strong>Bali</strong>) tidak mengalami<br />
perlakuan seperti <strong>Pati</strong>.<br />
Kemungkinan-kemungkina lain bias saja kita ajukan. Misalnya, untuk<br />
menjaga pertumbuhan perekonomian <strong>Pati</strong> maka perlu <strong>di</strong>jaga keamanan<br />
dari berbagai ‘potensi bahaya’ yang bisa mengganggu iklim innvestasi <strong>di</strong><br />
<strong>Pati</strong>. Mengingat <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> terdapat industri pengolahan makanan (kedelai <strong>dan</strong><br />
kacang-kacangan), industri pengolahan ikan, pabrik gula, industri logam,<br />
pelabuhan ikan sebagaimana telah <strong>di</strong>kemukakan pada bagian sebelumnya.<br />
Tentu perlu riset lain untuk menyingkap alasan Negara merasa perlu mengawasi<br />
korban 65 <strong>di</strong> <strong>Pati</strong>. Riset yang kami lakukan jelas tidak tidak mampu<br />
menyingkap pertanyaan-pertanyaan itu, karena riset ini memang hanya<br />
<strong>di</strong>de<strong>di</strong>kasikan untuk mengungkap rekonstruksi sosal yang <strong>di</strong>lakukan oleh<br />
korban <strong>dan</strong> keluarga korban. Karenanya riset ini tidaklah menjangkau <strong>di</strong>mensi<br />
<strong>di</strong> luar rekonstruksi sosial yang telah terja<strong>di</strong> antara korban <strong>dan</strong> masyarakat.***<br />
86
Kesimpulan <strong>dan</strong> Harapan<br />
Dari pembahasan penataan kembali relasi sosial para korban/penyintas <strong>di</strong><br />
tiga daerah yakni <strong>Bali</strong>, <strong>Pati</strong> <strong>dan</strong> <strong>Solo</strong> bisa <strong>di</strong>katakan bahwa sepanjang kami<br />
melakukan penelitian <strong>dan</strong> wawancara dari aktivitas keluarga korban, mereka<br />
sudah lama dapat <strong>di</strong>terima oleh masyarakat lingkungannya. Selain itu,<br />
harapan korban/penyintas terhadap putra-putri mereka <strong>dan</strong> generasi selanjutnya<br />
agar bisa menikmati pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan yang berkualitas. Dengan pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan<br />
yang memadai, maka generasi mendatang dapat melihat sisi yang<br />
berbeda, menghormati perbedaan, serta bersikap toleran.<br />
<strong>Korban</strong>/penyintas senantiasa mengab<strong>di</strong> kepada lingkungan masyarakatnya.<br />
Misalnya <strong>di</strong> Gianyar, <strong>Bali</strong>, korban/penyintas menyelenggarakan latihan<br />
pertunjukan kesenian gong. Berlatih pertunjukan gong itu <strong>di</strong>maksudkan<br />
agar para remaja dapat memahami <strong>dan</strong> mempraktekkan kebudayaan<br />
<strong>Bali</strong>. Demikian pula penyelenggaraan perpustakaan publik yang <strong>di</strong>sebut<br />
sebagai Taman Baca Kesiman agar pemuda-pemu<strong>di</strong> dapat meningkatkan<br />
minat baca. Dengan membaca buku mereka membuka peluang untuk memecahkan<br />
masalah.<br />
Sementara itu, <strong>di</strong> kota <strong>Solo</strong> korban/penyintas menyelenggarakan nyadran<br />
yakni upacara mengenang <strong>dan</strong> mendoakan orang yang sudah meninggal.<br />
Upacara ini seringkali <strong>di</strong>lakukan ketika menjelang bulan puasa. Namun,<br />
nyadran yang <strong>di</strong>selenggarakan para korban/penyintas <strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> Jembatan<br />
Bacem. Sekitar Oktober hingga Desember <strong>1965</strong> ratusan orang <strong>di</strong>bunuh<br />
<strong>di</strong> atas jembatan tersebut. Mereka <strong>di</strong>bunuh atas tuduhan ikut serta dalam<br />
kudeta <strong>1965</strong> peristiwa Lubang Buaya. Dalam acara nyadran tahun 2005 korban/penyintas<br />
yang datang <strong>di</strong> Jembatan Bacem tidak hanya dari <strong>Solo</strong>, tetapi<br />
juga dari <strong>Pati</strong>, Klaten <strong>dan</strong> Ma<strong>di</strong>un.<br />
Banyak keluarga korban/penyintas datang ke Jembatan Bacem untuk pertama<br />
kalinya. Mereka <strong>di</strong> sana berdoa bagi orang yang <strong>di</strong>cintai agar arwahnya<br />
<strong>di</strong>bebaskan <strong>dan</strong> dapat <strong>di</strong>terima <strong>di</strong> sisi Tuhan yang Maha Kuasa. Selain<br />
itu, mereka yang ha<strong>di</strong>r <strong>di</strong> upacara nyadran itu tidak hanya orang-orang<br />
tua sezaman peristiwa itu, namun generasi muda baik mereka keturunan<br />
langsung para korban yang <strong>di</strong>bunuh maupun yang ingin mengetahui peris-
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
tiwa Jembatan Bacem yang sebenarnya. Lintas generasi ini telah bersepakat<br />
bahwa orang-orang yang tewas dalam pembantaian itu tidak bersalah<br />
<strong>dan</strong> titik kebenaran itu perlu menja<strong>di</strong> lembaran sejarah baru.<br />
Sementara itu, <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> para korban/penyintas bergabung dengan kelompok<br />
petani yang menamakan perkumpulannnya yaitu Gapoktan (Gabungan<br />
Kelompok Tani). Mereka mempunyai kepiawaian belajar <strong>dan</strong> mempraktekkan<br />
pertanian <strong>di</strong> Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Pulau Buru <strong>di</strong> akhir<br />
1960-an belum menja<strong>di</strong> wilayah pertanian, para tapol kemu<strong>di</strong>an mengubah<br />
dengan kerja keras menja<strong>di</strong> lumbung pa<strong>di</strong>. Setelah kembali ke <strong>Pati</strong> korban/<br />
penyintas membantu para petani membangun irigasi, sistem pengairan<br />
yang tidak bisa <strong>di</strong>tawar untuk mendapatkan hasil panen yang berkualitas.<br />
Selain itu, korban/penyitas <strong>di</strong> <strong>Pati</strong> telah mulai berorganisasi secara terbuka.<br />
Mereka juga mulai mengurus <strong>dan</strong> merawat makam korban peristiwa<br />
<strong>1965</strong> yang <strong>di</strong>bunuh dengan tuduhan sebagai simpatisan PKI. Sebelumnya<br />
makam itu telah menja<strong>di</strong> rahasia umum sebagai kuburan massal. Sekarang<br />
ini, keluarga dari korban sudah mulai menyekar <strong>di</strong> makam tersebut. Juga,<br />
para korban/penyintas sejak 1980-an mereka mengab<strong>di</strong> sebagai ketua RT,<br />
bendahara RT <strong>dan</strong> bahkan ketua RW untuk waktu yang lama.<br />
Aktivitas para korban/penyintas <strong>di</strong> pelbagai bi<strong>dan</strong>g <strong>di</strong> masyarakat ka<strong>dan</strong>gkala<br />
masih <strong>di</strong>curigai oleh organisasi massa <strong>dan</strong> pemerintah sebagai upaya<br />
untuk membangun kembali organisasi bernama PKI. Tuduhan semacam ini<br />
tidak masuk akal. Tampaknya kecurigaan semacam itu merupakan kekhawatiran<br />
dari para pelaku yang secara terus-menerus mendapatkan keuntungan<br />
jika stigma “PKI” tetap berlaku bagi para korban/penyintas. Dalam<br />
kesempatan ini kami merekomendasikan bahwa kegiatan berkumpul para<br />
korban/penyintas tidak perlu <strong>di</strong>khawatirkan, bahkan sampai <strong>di</strong>hentikan<br />
untuk <strong>di</strong>larang. Karena aktivitas pengab<strong>di</strong>an mereka <strong>di</strong> masyarakat sudah<br />
<strong>di</strong>terima. Mereka membuktikan selama bertahun-tahun pengab<strong>di</strong>an mereka<br />
kepada masyarakat sebagai titik kebenaran.<br />
Selain itu, kami juga menegaskan bahwa para korban/penyintas <strong>di</strong> tiga<br />
daerah itu telah sepuh. Kon<strong>di</strong>si ini juga berlaku bagi korban/penyintas <strong>di</strong><br />
wilayah lain <strong>di</strong> Indonesia. Usia mereka sekarang ini antara 60an tahun <strong>dan</strong><br />
80an tahun. Negara perlu memberikan perlindungan kesehatan bagi se-<br />
88
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
genap keluarga korban.<br />
Terakhir, kami perlu menekankan <strong>di</strong> sini perlunya klarifikasi sejarah terhadap<br />
ruang-ruang formal. Artinya perlu memperjelas sebuah gedung<br />
sebelum <strong>1965</strong> sebagai apa fungsinya <strong>dan</strong> setelah peristiwa kekerasan <strong>1965</strong><br />
gedung tersebut apa kegunaannya <strong>dan</strong> siapa yang memiliki. Atau kuburan-kuburan<br />
massal yang masih belum jelas, perlu <strong>di</strong>klarifikasi siapa saja<br />
yang <strong>di</strong>kuburkan <strong>dan</strong> sebagai apa status <strong>dan</strong> latarbelakang orang tersebut.<br />
Namun, <strong>di</strong> Indonesia pekerjaan seperti itu senantiasa <strong>di</strong>dera teror <strong>dan</strong> intimidasi.<br />
Bagaimana pun klarifikasi sejarah sangat <strong>di</strong>perlukan bagi generasi<br />
bangsa selanjutnya agar mereka dapat memaknai peristiwa kekerasan <strong>1965</strong><br />
terhadap masyarakat Indonesia <strong>dan</strong> supaya peristiwa kekerasan itu tidak<br />
berulang kembali.***<br />
89
Daftar Pustaka<br />
Buku<br />
Cribb, Robert, Soe Hok Gie dkk. “<strong>Bali</strong>,” dalam Robert Cribb (ed). Pembantaian<br />
PKI <strong>di</strong> Jawa <strong>dan</strong> <strong>Bali</strong> <strong>1965</strong>-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.<br />
Dewa (Soe Hok Gie). “Pembantaian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>,” dalam Robert Cribb (ed). Pembantaian<br />
PKI <strong>di</strong> Jawa <strong>dan</strong> <strong>Bali</strong> <strong>1965</strong>-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.<br />
“Ngaben Tanpa Tubuh: <strong>Trage<strong>di</strong></strong> ’65 <strong>dan</strong> Pariwisata <strong>Bali</strong>,” dalam Anak Agung<br />
Gde Putra (et.al). Pulangkan Mereka: Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa<br />
<strong>di</strong> Indonesia. Jakarta: Lembaga Stu<strong>di</strong> <strong>dan</strong> Advokasi Masyarakat, 2012.<br />
“Penangkapan <strong>dan</strong> Pembunuhan <strong>di</strong> Jawa Tengah Setelah Peristiwa G-30-S,”<br />
dalam Rinto Tri Hasworo, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman<br />
<strong>Korban</strong> ’65. Jakarta: ISSI, Elsam, TruK, 2004.<br />
Robinson, Geoffrey. Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta:<br />
LKiS, 2006.<br />
Setiawan Hersri. Kidung Untuk <strong>Korban</strong>. Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks<br />
Tapol <strong>Solo</strong> (<strong>Solo</strong>: Parkorba, 2009).<br />
Suwignyo, Agus. Breach in the Dike Regime Change and the Standar<strong>di</strong>zation<br />
of Public Primary-School Teacher Training in Indonesia 1893-1969.<br />
Disertasi Ph.D Universiteit Leiden, 2012.<br />
War<strong>dan</strong>a, Agung <strong>dan</strong> Roberto Hutabarat (eds.). Melawan Lupa: Narasi-narasi<br />
Komunitas Taman 65 <strong>Bali</strong>. Denpasar: Taman 65 Press, 2012.<br />
Wira<strong>di</strong> Gunawan. Landreform <strong>di</strong> Indonesia (Jakarta: KPA, 2003).<br />
___________________ Aku Eks Tapol. (Jogjakarta: Galang Press, 2003).
REKONSTRUKSI SOSIAL KORBAN TRAGEDI NASIONAL <strong>1965</strong><br />
Wawancara<br />
Wawancara M. Fauzi dengan Agung Alit, 18 Agustus 2016 <strong>dan</strong> 27 Maret<br />
2017.<br />
Wawancara M. Fauzi dengan Agus, 18 Agustus 2016.<br />
Wawancara M. Fauzi dengan Jro, 17 Agustus 2016.<br />
Wawancara M. Fauzi dengan Mayun, 29 Maret 2017.<br />
Wawancara M. Fauzi dengan Natar, 15 Agustus 2016 <strong>dan</strong> 26 Maret 2017.<br />
Wawancara M. Fauzi dengan Rentang, 17 Agustus 2016.<br />
Wawancara M. Fauzi dengan Rumini, 29 Maret 2017.<br />
Wawancara M. Fauzi dengan Santa, 16 Agustus 2016.<br />
Wawancara M. Fauzi dengan Yanto, 18 Agustus 2016.<br />
Wawancara Razif dengan Supeno, <strong>Solo</strong>, 14 Juli 2016<br />
Wawancara Razif dengan Sumi<strong>di</strong>, <strong>Solo</strong>, 14 Juli 2016<br />
Wawancara Razif dengan Suban<strong>di</strong>, <strong>Solo</strong>, 23 Juli 2016<br />
Wawancara Rini dengan Utari, <strong>Solo</strong>, 23 Juli 2016<br />
Wawancara Rini dengan Kaminah <strong>Solo</strong>, 23 Juli 2016<br />
Wawancara Razif dengan Sri Kitri, <strong>Solo</strong>, 14 Juli 2016<br />
Wawancaraa Razif dengan Mulya<strong>di</strong> <strong>Solo</strong>, 15 Juli 2016<br />
Wawancara Razif dengan Supeno, <strong>Solo</strong>, 13 Maret 2017<br />
91
Institut Sejarah <strong>Sosial</strong> Indonesia.<br />
Wawancara Rinto Tri Hasworo dengan Sumini, 15 Juli 2016, 11 September<br />
2016, <strong>dan</strong> 23 Februari 2017<br />
Wawancara Rinto Tri Hasworo dengan Sarni, 10 September 2016<br />
Wawancara Rinto Tri Hasworo dengan Supar<strong>di</strong>, 13 Juli 2016 <strong>dan</strong> 11 September<br />
2016<br />
Wawancara Rinto Tri Hasworo dengan Handoyo, 13 Juli 2016<br />
Wawancara Rinto Tri Hasworo dengan Tarup, 09 September 2016<br />
Arsip<br />
Peraturan Dasar Gerwani hasil Kongres ke IV Gerwani Desember 1961<br />
Internet<br />
Kon<strong>di</strong>si Geografis <strong>Pati</strong>, 2 November 2015,<strong>di</strong>akses dari https://www.patikab.<br />
go.id/v2/id/kon<strong>di</strong>si-geografis/, pada tanggal 13 Juni 2017<br />
Potensi <strong>Pati</strong>. 2 November 2015, <strong>di</strong>akses dari https://www.patikab.go.id/v2/<br />
id/potensi-pati, pada tanggal 13 Juni 2017.<br />
Potensi <strong>Pati</strong>. 12 Juli 2015, <strong>di</strong>akses dari http://bappeda.patikab.go.id/news-<br />
160-kon<strong>di</strong>si-<strong>dan</strong>-potensi-pati.html, pada tanggal 13 Juni 2017<br />
Di <strong>Pati</strong> Ada Pabrik Pengolahan Ikan Berkapasitas 25.000 ton, 10 Agustus<br />
2016, <strong>di</strong>akses dari http://regional.kompas.com/read/2016/08/10/13435821/<br />
<strong>di</strong>.pati.ada.pabrik.pengolahan.ikan.berkapasitas.25.000.ton, pada tanggal<br />
13 Juni 2017<br />
92