14.04.2018 Views

koran_sulindo_edisi_1

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Laporan Utama<br />

5<br />

Ini mengungkapkan kepada<br />

kita, pemikiran Soekarno bukan<br />

sesuatu yang digali tanpa alasan.<br />

Ini sebuah pemikiran yang<br />

universal, yang tumbuh secara<br />

internasional.<br />

Apa yang tejadi sekarang ini<br />

sebenarnya telah diantisipasi<br />

de ngan baik oleh Soekarno.<br />

Kenapa Soekarno dulu pernah<br />

mengatakan, dengan proklamasi<br />

kita memang mengakhiri<br />

kolonialisme, tapi<br />

tan tangan ke depan jauh lebih<br />

berat? Kenapa? Karena, beliau<br />

mengingatkan riak-riak kolonialisme<br />

itu akan kembali dengan<br />

neokolonialisme.<br />

Apakah pemerintahan seka<br />

rang ini dengan mengusung<br />

Nawacita sudah menggambarkan<br />

sosialisme yang<br />

digagas Bung Karno?<br />

Saya harus jujur mengatakan,<br />

kita ini semuanya, presiden,<br />

wakil presiden, para<br />

menteri, berikut orang-orang<br />

di kementerian kan produk<br />

zaman. Saya kira kita sekarang<br />

ini kan enggak pernah ketemu<br />

Bung Karno. Kita lahir pada<br />

era sesudahnya. Sebagian besar<br />

dibesarkan oleh rezim Soeharto,<br />

yang tidak sempat lagi<br />

membaca buku Di Bawah<br />

Bendera Revolusi dan Indonesia<br />

Menggugat. Siapa yang pernah<br />

baca? Buku itu dihilangkan<br />

semua. Ada ketetapan MPR di<br />

era Soeharto yang melarang<br />

perluasan atau penyebaran.<br />

Maka, siapa yang bisa baca?<br />

Enggak ada.<br />

Ketika masih kecil, semasa<br />

pasca-Gestok, saya masih ingat<br />

masyarakat diminta mengumpulkan<br />

buku di lapangan untuk<br />

dimusnahkan. Saya menilai ini<br />

sebuah kejahatan kebudayaan.<br />

Bukan hanya partai yang<br />

dila rang, tapi sampai karyakarya,<br />

pemikiran, buku-buku<br />

dimusnahkan.<br />

Nah, generasi yang<br />

dibesarkan pada era berikutnya,<br />

ya, tersesat. Dan, itu dilakukan<br />

secara terstruktur, masif, dan<br />

sistematis melalui lembaga<br />

pendidikan dari tingkat sekolah<br />

dasar. Saya ingat dulu,<br />

sewaktu sekolah dasar, diminta<br />

menonton film-film seperti<br />

pemberontakan G30S PKI. Jadi<br />

mau bilang apa kita?<br />

Sebagai manusia biasa,<br />

me reka adalah anak zaman.<br />

Bagaimana kita mau menyalahkan<br />

mereka karena sejak<br />

sekolah sudah dikenalkan itu.<br />

Jadi, saya agak susah untuk<br />

menjelaskan. Kita ini korban<br />

dari proses de-soekarnoisasi<br />

oleh rezim Soeharto. Sudah<br />

sedemikian parahnya de-soekarnoisasi<br />

yang dilakukan<br />

rezim Seoharto, sehingga perlu<br />

kerja besar untuk mengenalkan<br />

kembali pemikiran-pemikiran<br />

Soekarno.<br />

Jadi, kembali ke pertanyaan<br />

apakah pemerintah Jokowi-JK<br />

ini akan mengusung kembali<br />

so sialisme Bung Karno? Secara<br />

tersamar, saya ingin mengatakan,<br />

ini sulit.<br />

Saya ingin ber cerita,<br />

kebetulan saya jadi peserta<br />

Rapat Kerja Nasional PDI<br />

Perjuangan di Semarang. Saya<br />

ingat, keputusan rakernas pada<br />

waktu itu adalah Jokowi dan<br />

JK diminta menyusun ka binet<br />

Trisakti sebagai upaya untuk<br />

menyambung ke pemi kiran<br />

Bung Karno. Saya ber harapharap<br />

cemas nama kabi netnya<br />

Trisakti. Ternyata tidak dan<br />

berubah menjadi Kabinet Kerja.<br />

Sebenarnya, itu kan tandatanda<br />

awal yang membuat kita<br />

sedikit menjadi waspada. Lalu,<br />

kita melihat susunan anggota<br />

kabinetnya. Ternyata, dengan<br />

bahasa yang agak sopan, “ya,<br />

namanya pemerintahan koalisi”,<br />

ya, enggak bisa lagi dikawal<br />

bahwa semua anggota<br />

ka binet itu benar-benar paham<br />

Soekarno atau punya<br />

ketertarikan.<br />

Nah, yang bisa kita jadikan<br />

harapan kemudian adalah visi<br />

dan misi presiden terlepas apa<br />

kabinetnya, siapa anggota kabinetnya.<br />

Visi dan misi presiden<br />

sudah dirumuskan dengan<br />

nama Nawacita itu.<br />

Apakah itu tak bisa diubah?<br />

Sebenarnya bisa. Tapi, itu<br />

kan baru satu dokumen yang<br />

kebetulan berhubungan dengan<br />

proses pergantian pemerintah.<br />

Yang lebih berat adalah pemerintahan<br />

yang dibentuk seka<br />

rang kan semuanya tidak<br />

bisa lari dari ribuan undangundang<br />

yang harus dipatuhi.<br />

Kalau mau diubah, ya, diproses<br />

lagi perubahannya, apakah<br />

itu Undang-Undang Sistem<br />

Peren canaan Nasional, Undang-Undang<br />

BUMN, Undang-<br />

Undang Koperasi, atau undangundang<br />

apa pun.<br />

Jadi, sebenarnya, hara pannya,<br />

pemerintahan Jokowi- JK<br />

bisa bekerja secara konsisten<br />

dengan gagasan besar Bung<br />

Karno, yakni sosialisme Indonesia.<br />

Tidak bisa tidak, kita harus<br />

bekerja secara sistematis,<br />

terstruktur, dan masif.<br />

Harus dikenali benar dengan<br />

diagnosa mendasar mengenai<br />

problem besar dan bahwa<br />

yang sekarang kita hadapi adalah<br />

warisan suatu rezim yang<br />

dimulai sejak Soeharto. Kemudian<br />

harus ada agenda yang<br />

jelas bagaimana melakukan<br />

rekoreksi. Kalau kita terus<br />

dengan kondisi kontekstual<br />

yang ada, ya, enggak ke manamana<br />

kita. Harus ada agenda<br />

yang jelas-jelas harus disusun<br />

untuk melakukan koreksi ulang<br />

terhadap apa yang telah diperbuat<br />

rezim Soeharto dan rezim<br />

sesudahnya. [Y]<br />

Marhaenisme<br />

Marhaenisme adalah asas atau ideologi<br />

Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan<br />

dan dipimpin oleh Ir Soekarno (1927). Dasar<br />

Marhaenisme ialah sosio-nasionalisme dan<br />

sosio- demokrasi. Sosio-nasionalisme ialah<br />

kebangsaan berdasarkan kemasyarakatan<br />

atau kerakyatan yang berkeperimanusiaan.<br />

Adapun sosio-demokrasi adalah asas<br />

kesamaan yang berdasarkan kebersamaan<br />

atau gotong royong.<br />

Istilah dan dasar-dasar marhaenisme<br />

diciptakan dan diletakkan Bung Karno<br />

semasa awal pendirian PNI (1927-1933).<br />

Marhaenisme diilhami dari Marhaen, nama<br />

seorang seorang petani gurem yang ditemui<br />

Bung Karno. Marhaenisme telah disebutsebut<br />

dalam Indonesia Menggugat, pidato<br />

pembelaan Bung Karno di depan landraad<br />

Bandung, di tahun 1927.<br />

Marhaenisme ditetapkan sebagai asas<br />

resmi PNI dalam sebuah manifes Kongres PNI<br />

VI di Surabaya, Desember 1952.<br />

Ditahun 1960-an, Ali Sastroamidjojo,<br />

selaku Ketua Umum PNI, menegaskan<br />

bahwa marhaenisme adalah marxisme yang<br />

diterapkan dalam konteks Indonesia. Pada<br />

pidato peringatan HUT PNI ke-36, 7 Juli 1963,<br />

di stadion utama Senayan, Ali Sastroamidjojo<br />

menegaskan bahwa marhaenisme adalah<br />

doktrin dan program sosialisme ilmiah dalam<br />

konteks Indonesia.<br />

Perkembangan ini memuncak saat<br />

dicetuskan “Deklarasi Marhaenis“ dalam<br />

pertemuan Badan Pekerja Kongres PNI<br />

di Lembang, Bandung, November 1964.<br />

Deklarasi Marhaenis tersebut, antara lain,<br />

menyebutkan bahwa: “Partai Nasional<br />

Indonesia/Front Marhaenis adalat alat bagi<br />

kaum Marhaen untuk memperdjuangkan dan<br />

merealisasikan tjita2ja jaitu: kemerdekaan<br />

penuh, sosialisme, dan dunia baru....“<br />

Dalam sidang Badan Pekerdja Kongres<br />

PNI di Lembang itu pula disetujui bahwa<br />

“Marhaenisme” ialah “marxisme jang<br />

diterapkan sesuai dengan kondisi2 dan situasi<br />

Indonesia”. PNI juga menegaskan citacitanya<br />

sebagai partai kaum marhaen untuk<br />

melawan imperialisme, neo-kolonialisme, dan<br />

kapitalisme.<br />

Manipol-USDEK<br />

Manipol adalah singkatan dari Manifesto<br />

Politik, yang semula adalah pidato<br />

kenegaraan Bung Karno pada 17 Agustus<br />

1959, yang berjudul Penemuan Kembali<br />

Revolusi Kita. Bung Karno memberi judul<br />

seperti itu tentunya ada maksudnya. Revolusi<br />

berarti menjebol dan membangun setelah<br />

kita merebut kemerdekaan dari kolonialisme<br />

Belanda, dan mengkikis habis sisa-sisa<br />

kolonialisme seperti demokrasi liberal<br />

ekonomi kapitalis dan sistem feodalisme.<br />

Pidato tersebut merupakan penjelasan<br />

dan pertanggungjawaban atas Dekrit<br />

5 Juli 1959 dan merupakan kebijakan<br />

Presiden Soekarno pada umumnya dalam<br />

mencanangkan sistem demokrasi terpimpin.<br />

DPA Sementara dalam sidangnya pada<br />

bulan September 1959 mengusulkan kepada<br />

pemerintah agar pidato Presiden Soekarno<br />

yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi<br />

Kita” dijadikan Garis-garis Besar Haluan<br />

Negara dan dinamakan “Manifesto Politik<br />

Republik Indonesia (Manipol)”.<br />

Kamus Politik<br />

Dalam pidato pembukaan Kongres<br />

Pemuda di Bandung pada bulan Februari<br />

1960, Presiden Soekarno menyatakan<br />

bahwa intisari Manipol ada lima,<br />

yaitu: UUD 1945, Sosialisme Indonesia,<br />

Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin,<br />

dan Kepribadian Indonesia (USDEK).<br />

Selanjutnya, Presiden Soekarno<br />

menerima baik usulan tersebut. Pada<br />

sidangnya tahun 1960, MPRS dengan<br />

ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960<br />

menetapkan Manipol-USDEK menjadi<br />

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).<br />

Pembangunan Semesta<br />

Gagasan Pembangunan Nasional<br />

Semesta Berencana, atau pembangunan<br />

semesta, bermula dari pidato kenegaraan<br />

Bung Karno, 17 Agustus 1959, yang diberi<br />

judul Penemuan Kembali Revolusi Kita.<br />

Dalam pidato itu Bung Karno menegaskan<br />

bahwa Indonesia akan membangun<br />

dengan kekuatan modal sendiri, secara<br />

berencana dengan pimpinan di tangan<br />

negara. Modal sendiri diartikan sebagai<br />

modal nasional yang bersifat progresif.<br />

Sedangkan modal luar negeri dijadikan<br />

pelengkap dengan syarat tidak mengikat<br />

secara politik dan militer dan berbentuk<br />

pinjaman luar negeri.<br />

Sasaran pembangunan semesta<br />

menyiratkan kehendak rakyat Indonesia<br />

untuk maju dan menjadi bangsa yang<br />

memiliki keunggulan peradaban di<br />

antara bangsa-bangsa lain di muka bumi.<br />

Rencana besar ini haruslah melingkupi<br />

pembangunan politik, budaya, dan<br />

ekonomi. Pembangunan semesta<br />

didasarkan pada Trisakti: berdaulat dalam<br />

politik, berkepribadian dalam budaya, dan<br />

berdikari dalam ekonomi.<br />

Pembangunan semesta kemudian<br />

menjadi keputusan politik, setelah<br />

menjadi Ketetapan MPRS Nomor II/<br />

MPRS/ 1960 tentang Garis-garis Besar<br />

Pola Pembangunan Nasional Semesta<br />

Berencana Tahun 1961-1969. Meski<br />

Ketetapan MPRS ini tidak dapat<br />

diimplementasikan dengan baik karena<br />

ada peristiwa Trikora, kemudian Dwikora,<br />

dan akhirnya pemberontakan G30S/PKI,<br />

Tap MPRS ini dapat disebut tonggak<br />

kesadaran bangsa Indonesia untuk<br />

menyusun perencanaan pembangunan<br />

dengan benar.<br />

Koran Suluh Indonesia 8 - 17 April 2016<br />

<strong>sulindo</strong>.com<br />

Sulindo 1.indd 5<br />

4/1/2016 1:02:53 pM

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!